Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

“TIKUS busuk, masih berani engkau bermulut besar? Engkau hendak membunuhku? Kau? Hemm, hendak kulihat apa yang dapat kaulakukan kepadaku!”

Berkata demikian, cepat sekali tangan Jai-hwa Kongcu Lui Teng bergerak menepuk tengkuk dan punggung Tek Hin yang seketika mampu bergerak kembali. Akan tetapi tubuhnya masih terasa kaku-kaku dan nyeri, maka dia bangkit duduk sambil menggeliat untuk melemaskan tubuhnya.

“Bukk!” Lui Teng menendangnya sehingga dia terguling-guling, “Ha, ha, hayo kau bangkit dan lawan aku, tikus sombong!” Lui Teng tertawa dan maju mendekat.

Inilah yang dikehendaki oleh Tek Hin dan sejak tadi memang dia sudah mencari akal bagaimana agar dia dapat dibebaskan dari totokan, Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Jai-hwa Kongcu Lui Teng yang lihai, akan tetapi dia tidak ingin mati konyol. Kalau dia dapat bergerak dan melawan mati-matian biarpun akhirnya dia akan kalah dan tewas, dia tidak penasaran karena mati dalam perlawanan dan perkelahian. Mati sebagai seekor harimau jauh lebih berharga dari pada mati sebagai seekor babi yang tidak mampu melawan.

Kalau tendangan yang dilakukan Lui Teng tadi dimaksudkan untuk membunuh tentu kini Tek Hin sudah tidak mampu bangun kembali. Akan tetapi, agaknya Lui Teng tidak tergesa-gesa hendak membunuh Tek Hin, melainkan hendak memamerkan dulu keunggulannya di depan Hong Ing dan menghajar Tek Hin sepuas hatinya.

Tek Hin meloncat bangun dan kini tubuhnya sudah terasa ringan dan tidak kaku lagi. Maka diapun menerjang ke depan dan menyerang dengan pukulan yang didukung oleh seluruh tenaganya, menghantam ke arah dada Lui Teng. Akan tetapi, yang dipukul itu tenang-tenang saja, setelah pukulan Tek Hin menyambar dekat, barulah dia menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Dukkk!” Ketika kedua lengan bertemu, Tek Hin yang kalah tenaga merasa lengannya nyeri dan tubuhnya terdorong miring. Lui Teng menggerakkan tangan amat cepatnya dan dia sudah memukul pundak Tek Hin dengan tangan terbuka.

“Plakk!” Tubuh Tek Hin terpelanting dan sebelum dia dapat bangkit berdiri lagi, Lui Teng sudah menyusulkan tendangan ke arah punggungnya.

“Desss!” Kembali tubuh Tek Hin terguling-guling dan menabrak dinding ruangan itu. Ketika dia bangkit lagi, darah mengalir dari ujung bibirnya yang pecah. Akan tetapi sedikitpun Tek Hin tidak kelihatan takut dan dia sudah meloncat dan menyerang lagi, kini dengan kedua tangan bertubi-tubi melakukan serangan pukulan. Akan tetapi, kembali Lui Teng meloncat ke samping dan kakinya mencuat dengan kecepatan kilat.

“Bukk!” Perut Tek Hin tertendang dan dia terjengkang, lalu roboh terbanting keras. Dia meringis kesakitan dan kepalanya terasa pening karena kepalanya terbanting ke atas lantai, akan tetapi dia sudah merangkak dan bangkit lagi.

“Ha-ha-ha, macam engkau ini mau membunuh aku? Hayo cepat bunuh, hayo patahkan tulang-tulangku, hancurkan kepalaku dan keluarkan isi perutku, ha-ha-ha!”

Tek Hin menubruk, akan tetapi disambut dengan tendangan lagi yang membuat dia untuk kesekian kalinya terpelanting keras. Melihat betapa Tek Hin dihajar, Hong Ing berteriak dari atas pembaringan,

“Pengecut besar, hayo bebaskan totokanku kalau engkau berani! Aku akan membunuhmu!”

Akan tetapi, Lui Teng menoleh dan tersenyum, “Manis, tenanglah. Engkau akan mendapat giliranmu nanti, he-he-he!”

Selagi dia menoleh, Tek Hin mempergunakan kesempatan itu untuk menerjangnya dengan serangan yang nekat. Dia berhasil menerkam dan mencengkeram dada dan leher Lui Teng yang tadi lengah karena menoleh dan bicara dengan Hong Ing.

“Ehh...!!” Dia terkejut juga ketika tahu-tahu Tek Hin sudah mencekik leher dan mencengkeram dadanya. Namun dengan kecepatan luar biasa dan dengan pengerahan tenaga, Lui Teng mengangkat lututnya yang memasuki perut Tek Hin dan kedua tangannya bergerak merenggut jari-jari kedua tangan Tek Hin, lalu mendorong.

“Bressss...!” Kembali Tek Hin terjengkang dan terbanting, dan hanya secuil baju Lui Teng saja yang terobek dan tertinggal dalam tangan Tek Hin.

Kini Lui Teng menjadi marah sekali. Biarpun terkaman tadi tidak mendatangkan luka, hanya sedikit kenyerian pada kulit leher dan dada, namun cukup membuat dia mendongkol sekali dan sebelum Tek Hin dapat bangkit kembali, diapun mulai menghajar pemuda itu dengan tendangan-tendangan!

Tubuh Tek Hin terguling-guling dan darah bercucuran keluar dari hidung yang terkena tendangan, dan dia sudah tidak dapat melawan sama sekali. Tek Hin menanti datangnya tendangan atau pukulan maut yang akan merenggut nyawanya. Akan tetapi dia merasa puas karena dia sudah sempat melawan dan akan tewas sebagai seorang gagah yang kalah dalam perkelahian.

Pada saat itu, seorang penjaga berlari masuk dan munculnya orang ini menghentikan Lui Teng dari amukannya terhadap tubuh Tek Hin yang sudah tidak berdaya itu. “Kongcu...” kata orang itu terengah-engah. Dia adalah orang yang mengintai apa yang terjadi di tempat pertempuran di luar kota. “Semua teman kongcu telah tewas! Semua tewas oleh Liong-li dan pemuda pakaian putih itu! Dan sekarang mereka berdua sedang dikepung oleh barisan ular yang dikerahkan Beng-cu. Aku takut sekali dan ngeri, lalu cepat pulang untuk memberi laporan.”

Terkejut juga hati Lui Teng mendengar berita ini. Semua temannya mati? Tok-gan-liong Yauw Ban, Kiu-bwe Mo-li dan si kembar He-nan Siang-mo telah tewas oleh Tan Cin Hay dan Hek-liong-li! Akan tetapi, mereka kini dikepung ular-ular yang dikerahkan oleh Hek-sim Lo-mo! Tentu mereka akan mampus, dan bukankah di sana masih ada Hek-sim Lo-mo?

“Bawa dia keluar! Boleh kalian siksa dan bunuh dia!” katanya.

Orang itu mengangguk, lalu bangkit dan menyeret Tek Hin keluar dari dalam kamar itu. Lui Teng menutupkan pintu kamar itu dan menghampiri pembaringan di mana Hong Ing masih rebah miring dan belum dapat menggerakkan kaki tangannya, dan matanya terbelalak penuh kengerian memandang kepada pemuda cabul itu.

Lui Teng tersenyum, menggunakan jari tangannya mencolek dagu yang manis itu. “Nah, sekarang tiba giliranmu, manis. Engkau ingin bebas? Boleh, kubebaskan karena akupun tidak senang dilayani seorang wanita yang tidak mampu bergerak seperti mayat. Nah, engkau boleh mencoba melawanku, atau engkau menyerahkan diri dengan suka rela melayani aku. Boleh kau pilih!”

Tiba-tiba jari-jari tangannya menotok punggung dan seketika Hong Ing dapat menggerakkan kembali kaki tangannya. Akan tetapi pada saat itu, Lui Teng sudah menubruknya, mendekap dan mencoba untuk menciumi muka dan bibirnya. Ketika tiba-tiba dapat bergerak, Hong Ing segera meronta dan memukul, mendorong Lui Teng yang menciuminya penuh nafsu. Lui Teng melepaskan pelukannya sambil tertawa, melompat turun dari atas pembaringan. Timbul kegembiraannya untuk mempermainkan gadis ini, seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum diterkam dan diganyangnya.

Hong Ing juga melompat turun dan iapun mulai menyerang dengan nekat! Untuk beberapa belas jurus lamanya, Lui Teng melayaninya, mengelak dan menangkis, kemudian tiba-tiba tangannya menampar dari samping. Cepat sekali tamparannya itu dan tentu akan mengenai kepala Hong Ing kalau saja tangan itu tidak merubah arahnya, turun dan tahu-tahu mencengkeram baju di pundak Hong Ing.

“Bretttt...!” Dengan tenaganya yang kuat sekali, sekali renggut saja baju itu terobek dan terlepas dari tubuh atas Hong Ing sehingga nampak baju dalam warna merah muda di baik baju hijau yang direnggut lepas tadi.

“Aduh, manisnya!” Lui Teng menggoda dan mencium baju itu lalu dilemparkannya baju itu ke atas meja.

Hong Ing marah bukan main, marah dan malu, akan tetapi ia tidak mempunyai sesuatu untuk menutupi tubuh atas yang hanya ditutup baju dalam yang amat tipis itu, dan dengan nekat untuk mengadu nyawa, iapun menyerang lagi. Kakinya menendang- nendang dengan cepat dan kuat.

Kembali Lui Teng melayaninya sambil mentertawakan dan menggoda sehingga Hong Ing menjadi semakin marah. Tiba-tiba, ketika kaki kanannya menendang, dari samping Lui Teng menggerakkan tangannya dan berhasil menangkap pergelangan kaki gadis itu dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya mencengkeram dan merenggut dengan kuat.

“Bretttt...!” Kini celana bijau itulah yang robek-robek dan terlepas. Tali pinggang dan kancing-kancingnya putus dan di lain saat, celana hijau itu telah berada di tangannya.

Hong Ing terbelalak! Kini seluruh tubuhnya hanya tertutup oleh pakaian dalam yang tipis sekali. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan kecuali mengamuk semakin nekat? Ia tidak lagi memperdulikan keadaan pakaiannya, hanya menyerang semakin hebat seperti seekor harimau yang tersudut. Ia ingin mati dalam perkelahian itu!

Akan tetapi, kepandaiannya jauh di bawah tingkat Lui Teng yang dengan mudah mempermainkannya. Sambil tertawa-tawa Lui Teng mengelak dan menangkis dan pada suatu saat, dia berhasil, menangkap kedua pergelangan tangan gadis itu, diringkusnya ke belakang dan sekali renggut, terdengar bunyi kain robek dan kini Hong Ing sudah berada dalam rangkulannya! Akan tetapi, ketika pemuda itu mencoba untuk menciumnya, Hong Ing membuka mulut dan mencoba untuk menggigitnya! Lui Teng mengelak dan mengangkat tubuh Hong Ing, Ialu melemparkannya ke atas pembaringan!

Sekarang barulah Hong Ing ketakutan setengah mati! Ia tahu bahwa segala usahanya untuk meronta akan gagal. Orang itu terlampau kuat dan terlampau pandai. Biarpun demikian, ia mengambil keputusan untuk mempertahankan kehormatannya sampai mati, dan kalau sampai ia tidak berhasil dan diperkosa, ia akan membunuh diri!

Sambil menyeringai menyeramkan, Lui Teng menghampiri pembaringan, kedua tangannya mulai meraba-raba kancing bajunya dan gerakan ini membuat Hong Ing semakin ketakutan, memandang dengan mata terbelalak. Semua akalnya sudah hilang dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia hanya duduk meringkuk di sudut pembaringan paling jauh dan berusaha sedapat mungkin untuk menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Pada saat Lui Teng melempar bajunya yang sudah terbuka dan menjulurkan tangan ke arah Hong Ing, tiba-tiba terdengar suara keras.

“Braakkkkk...!! Daun pintu kamar itu jebol dan sesosok bayangan putih berkelebat masuk ke dalam kamar itu.

Lui Teng terkejut dan menengok untuk lebih kaget lagi sampai mukanya berubah pucat ketika dia mengenal siapa yang memasuki kamar dengan paksa itu. Tan Cin Hay atau Pek-liong-eng. Jai-hwa Kongcu Lui Teng menjadi ketakutan! Munculnya pemuda berpakaian putih itu hanya berarti bahwa Hek-sim Lo-mo gagal membunuh dua orang muda itu, dan mungkin malah Beng-cu itu telah tewas.

Dia menoleh ke arah jendela karena dia ingin melarikan diri, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda berpakaian putih itu. Dan menuruti hatinya yang penuh rasa takut, tiba-tiba Jai-hwa Kongcu Lui Teng meloncat ke arah jendela kamar itu untuk melarikan diri! Akan tetapi, bayangan putih berkelebat didahului gulungan sinar putih dan tubuh Lui Teng terkulai di bawah jendela, mandi darah dan tewas karena jantungnya telah ditembusi pedang Pek-liong-kiam di tangan Tan Cin Hay!

Cin Hay menoleh ke arah pembaringan, Gadis itu sudah rebah telentang dalam keadaan pingsan! Saking merasa ngeri menghadapi ancaman perkosaan atas dirinya, gadis yang tabah itu akhirnya tidak tahan dan jatuh pingsan pada saat pintu kamar itu pecah berantakan. Rasa ngeri yang sudah sampai di puncaknya, porak poranda karena harapan baru yang muncul ketika daun pintu jebol, membuat Hong Ing tak sadarkan diri.

Cin Hay berdiri di tepi pembaringan. Melihat wajah yang manis itu, diam-diam Cin Hay mengerti mengapa Lui Teng tadi mati-matian hendak memperkosa gadis ini, tidak takut lagi kepada pemimpinnya. Siapapun akan tergila-gila oleh gadis seperti ini, pikirnya. Diambilnya sehelai selimut yang masih terlipat di sudut pembaringan, lalu ditutupinya tubuh itu dengan selimut, digulungnya dan diapun memanggul tubuh Hong Ing yang sudah terbungkus selimut dan sebelum dia keluar dari kamar, dia menyambar pakaian gadis itu yang robek dan berserakan di atas lantai, lalu pakaian itu dia susupkan ke dalam gulungan selimut pula. Dan keluarlah Cin Hay dari dalam kamar itu, menuju ke ruangan dalam di mana terjadi hal lain yang hebat!

Ketika Song Tek Hin dalam keadaan seluruh tubuh nyeri-nyeri karena hajaran Lui Teng diseret oleh penjaga itu keluar kamar, dia menurut saja, akan tetapi diam-diam Tek Hin mengumpulkan kekuatannya. Untung bahwa tidak ada tulang di tubuhnya yang patah-patah, dan luka-lukanya hanya luka luar saja, tubuhnya matang biru dan bengkak-bengkak, dari hidung dan mulutnya mengalir darah karena tamparan Lui Teng yang memecahkan bibirnya dan membuat hidungnya berdarah.

Dia diseret ke tengah ruangan di mana masih ada duabelas orang penjaga yang berkumpul. Wajah para penjaga itu tegang sekali karena merekapun bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan mereka khawatir kalau-kalau pimpinan mereka akan kalah oleh dua orang muda yang lihai itu. Bahkan dua orang di antara mereka tadi sudah lari untuk melapor dan minta bantuan kepada Kwa-ciangkun, komandan pasukan keamanan di benteng kota Lok-yang yang sudah menjadi sahabat baik dari Hek-sim Lo-mo!

Begitu melihat Tek Hin diseret masuk dan penjaga yang menyeretnya itu berkata, “Kong-cu telah menyerahkan orang ini kepada kita, boleh kita siksa dia sampai mampus!” Semua penjaga yang sudah ketakutan dan marah kepada musuh ini, segera mengepung dan berlumba untuk memukuli Tek Hin. Akan tetapi pemuda ini sudah sejak tadi mengumpulkan tenaga.

Kini dia tahu bahwa dia terancam bahaya maut di tangan tigabelas orang penjaga ini. Mereka tidaklah selihai Jai-hwa Kongcu Lui Teng, pikirnya, maka bangkitlah semangatnya dan diapun mengamuk, menghantam sana, menerjang sini dan tidak memperdulikan hujan pukulan yang jatuh kepada tubuhnya. Semangatnya makin berkobar ketika dia mendapatkan hasil dengan robohnya beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, dia sendiri sudah semakin lemah, dihujani pukulan dan dia terhuyung ke sana-sini seperti seekor jangkerik sekarat dikeroyok sekumpulan semut.

Ketika keadaan Tek Hin gawat sekali karena kini para penjaga itu saking marahnya sudah mencabut golok masing-masing, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam didahului sinar hitam bergulung-gulung dan para penjaga itu roboh dan tewas seketika kena disambar oleh Hek-liong-kiam di tangan Liong-li! Tek Hin masih berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, dan dia tersenyum melihat Liong-li yang berdiri dengan pedang di tangan dan semua pengeroyok telah roboh.

“Hebat... kau wanita hebat... aku yakin engkau pasti datang menolongku... kau... Liong-li yang cantik jelita dan hebat...” dan diapun terguling dan tentu akan terbanting jatuh karena pingsan kalau saja tidak cepat disambut oleh Liong-li.

Wanita ini merasa kagum sekali melihat keberanian Song Tek Hin, juga terharu mendengar pujian menjelang pingsannya tadi. Dipanggulnya tubuh itu dan dibawanya meloncat keluar. Tiba-tiba terdengar derap banyak kaki kuda dari orang di luar gedung itu. Agaknya serombongan besar orang berkuda dan berjalan kaki menyerbu ke pekarangan gedung itu dan segera Liong-li melihat di bawah sinar bulan betapa puluhan orang menyerbu masuk pekarangan dan melihat pakaian mereka yang seragam, tahulah ia bahwa penyerbu itu adalah pasukan keamanan kota!

Selagi ia termangu-mangu, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan ia melihat Cin Hay telah berdiri di dekatnya dan di pundak pemuda itu terpanggul tubuh seorang gadis cantik yang dibungkus selimut! Liong-li merasa geli dan iapun mengenal gadis yang tadi menjadi tawanan bersama Tek Hin. Akan tetapi Cin Hay berkata dengan suara serius.

“Liong-li, mari kita cepat pergi. Mereka itu adalah pasukan keamanan yang telah bersekutu dengan Hek-sim Lo-mo. Mari, lewat belakang saja!”

Tubuhnya berkelebat cepat dan Liong-li juga tidak membuang waktu, cepat mengikuti Cin Hay. Dengan mempergunakan ilmu mereka berlari cepat, biarpun masing-masing memanggul tubuh orang, mereka dapat cepat keluar dari kota Lok-yang.

“Kita pergi ke petak rumput tepi sungai!” kata pula Cin Hay yang setelah tiba di luar tembok kota mempercepat larinya.

Liong-li maklum tempat mana yang dimaksudkan, tentu tempat di mana mereka tadinya menantang kepada Hek-sim Lo-mo untuk bertanding. Iapun mempercepat larinya, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu menandingi Cin Hay dalam hal berlari cepat.

Bulan bersinar terang sehingga Liong-li dapat mencari tempat itu di tepi sungai kecil yang jernih airnya, dan ketika ia tiba di situ, ia berhenti melihat dari jauh betapa gadis itu merangkul leher Cin Hay sambil menangis! Liong-li menahan ketawanya dan iapun mengambil jalan lain, menuju ke tepi sungai yang agak jauh dari tempat Cin Hay, terhalang banyak semak belukar sehingga mereka tidak dapat saling lihat.

Ketika Cin Hay menurunkan “buntalan selimut” itu, Hong Ing siuman dari pingsannya. Begitu siuman, dan melihat dirinya dibungkus selimut, tanpa disadarinya ia bangkit duduk dan bungkusan selimut itupun terlepas dan ia bergidik. Lalu ia teringat dan memandang ke kiri. Ia melihat Cin Hay duduk bersila di atas rumput dan pemuda ini berkata halus.

“Pakaianmu berada di dalam selimut itu, nona.”

Hong Ing terkejut, lalu teringat bahwa tadi pintu kamar itu jebol ketika ia hampir putus asa menahan Lui Teng yang hendak memperkosanya dan biarpun batinnya terguncang hebat dan pandang matanya sudah kurang terang, namun ia masih dapat melihat berkelebatnya bayangan putih dan melihat munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang memegang sebatang pedang yang berkilauan sebelum ia jatuh pingsan!

Kini, melihat pemuda yang duduk bersila di dekatnya, pemuda yang berwajah tampan dan halus, yang berpakaian serba putih sederhana, ia teringat kesemuanya. Pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya yang lebih hebat dari pada maut! Pemuda ini telah menyelamatkan nyawanya, menyelamatkan kehormatannya! Keharuan menggenangi perasaannya.

“Apakah... apakah engkau... Tan-taihiap?” Ia teringat akan cerita Song Tek Hin kepadanya.

Cin Hay memandang kepadanya dan tersenyum. “Namaku Tan Cin Hay, nona...”

“Ahhh... terima kasih, taihiap... terima kasih...” dengan hati diliputi penuh keharuan, Su Hong Ing lalu maju dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda yang bersila itu.

Tentu saja Cin Hay menjadi repot sekali! Dia memegang kedua pundak wanita itu, mengangkatnya bangkit agar tidak berlutut. Dilepasnya lagi pundak itu dan dia memandang penuh kagum. Cin Hay adalah seorang laki-laki yang baru berusia duapuluh lima tahun, tentu saja penglihatan di depannya itu, wajah yang cantik manis, merasa betapa tubuh itu mengeluarkan hawa yang hangat, ditambah sinar bulan yang romantis, tak dapat dicegah lagi diapun terpesona. Sampai lama dia mengamati gadis itu, dan Hong Ing yang berterima kasih, kagum dan maklum akan pandang mata yang penuh kagum itu, menundukkan mukanya.

“Nona... kau... kau sungguh cantik sekali...!” kata Cin Hay lirih dan suaranya tersendat-sendat.

Hong Ing mengangkat mukanya, muka yang kini berubah merah dan matanya bersinar-sinar. Ia merasa bahwa ia berhutang nyawa, berhutang budi kepada pemuda perkasa yang seketika menarik hatinya ini, dan seperti ditarik oleh besi semberani, gadis itupun merangkulkan kedua lengannya ke leher Cin Hay, menyandarkan mukanya di dada itu dan menangis!

Cin Hay tidak dapat berbuat lain kecuali merangkul dan memeluknya, mengelus rambutnya dan hatinya diliputi rasa kasihan dan sayang. Pada saat gadis itu merangkul dan menangis di dadanya itulah Liong-li melihat dari jauh dan gadis itupun tersenyum geli, kemudian pergi mencari tempat lain.

Ketika Liong-li menurunkan tubuh Tek Hin dari pondongan atau panggulannya ke atas rumput tebal, pemuda itu mengeluh, tanda bahwa dia telah siuman dari pingsan. Begitu siuman, dia segera teringat dan cepat dia bangkit duduk.

“Li-hiap (pendekar wanita), aku...” katanya dengan sinar mata penuh kagum dan terima kasih yang mudah dilihat oleh Liong-li di bawah sinar bulan. Liong-li cepat meletakkan jari tangannya di atas bibir pemuda itu dan berkata lirih.

“Sshhhh, jangan banyak bicara dulu. Rebahlah, aku harus memeriksamu, kalau-kalau engkau menderita luka dalam atau patah tulang.”

Tek Hin merebahkan diri lagi telentang. Ah, jangankan hanya luka dalam atau patah tulang, biar mati sekalipun dia tidak penasaran kalau akhirnya dia dapat berduaan dengan pendekar wanita yang amat dikaguminya ini! Berduaan di tempat sunyi, di malam hari terang bulan, dan wanita ini sekarang meraba-raba seluruh tubuhnya dengan jari-jari tangan yang lembut dan hangat! Amboii! Sama sekali dia tidak pernah mimpi akan dapat merasakan kemesraan seperti ini dengan Liong-li!

Liong-li memeriksa seluruh tubuh Tek Hin, memijat tulang-tulangnya, meraba dengan telapak tangan untuk memeriksa kalau-kalau ada tulang patah atau luka dalam yang berbahaya. Dan ia semakin kagum. Pemuda ini bukan saja hebat semangatnya, gagah berani dan tidak takut menghadapi kematian, akan tetapi selain tampan dan gagah juga memiliki bentuk tubuh yang hebat! Seorang pria yang akan mudah menundukkan hati wanita yang manapun juga, termasuk ia sendiri!

Hatinya tergerak dan ia tertarik sekali, apa lagi ia adalah seorang wanita yang masih muda, baru berusia duapuluh tiga tahun, bagaikan bunga sedang mekarnya. Pengalamannya dengan para pria dahulu hanya merendahkan dan menghina dirinya. Ia hanya dijadikan korban, menjadi alat pemuas nafsu para pria itu tanpa ia merasakan sedikitpun kemesraan kasih sayang, sedikitpun tidak pernah merasakan cinta di dalam hatinya, melainkan benci yang terselubung karena terpaksa.

Kini, melihat Song Tek Hin, hatinya mekar seperti kelopak bunga menyambut embun pagi dan tanpa disadarinya, jari-jari tangannya memancarkan gelora yang timbul dari hati yang menyayang. “Bukan main!” katanya. “Engkau tidak apa-apa! Engkau dikeroyok, dihajar oleh banyak orang, mengalami siksaan dan penahanan selama berhari-hari, sampai mukamu bengkak-bengkak, kulitmu lembam dan matang biru, akan tetapi sedikitpun engkau tidak menderita luka dalam atau patah tulang! Song-toako, engkau sungguh gagah bukan main!”

Bagaikan mimpi rasanya Tek Hin mendengar betapa dari mulut pendekar wanita yang dikaguminya itu meluncur sebutan “Song-toako” sedemikian merdunya! Merdu dan mesra. Diapun bangkit dan segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis pendekar itu,

“Li-hiap, jangan menumpuk budi terlampau banyak sampai aku merasa tidak kuat untuk menerimanya! Berkat pertolonganmu yang dua kali, aku kini masih hidup, dan engkau malah memuji-mujiku. Li-hiap, aku bersyukur dan berterima kasih sekali kepadamu, dan kalau dalam kehidupan yang sekarang aku tidak mampu membalas budi, biarlah di lain kehidupan mendatang aku akan menjadi kuda tungganganmu!”

Wajah Liong-li berubah merah membayangkan betapa pemuda ini menjadi kuda tunggangannya! “Ihh, jangan begitu, toako. Bangkitlah, engkau lebih tua dariku, dan engkau begini gagah perkasa, tidak layak kalau berlutut kepadaku!”

Liong-li memegang kedua pundak Tek Hin dan menariknya pemuda itu bangkit duduk. Tek Hin memegang kedua lengan yang begitu halus mulus kulitnya akan tetapi yang dia tahu menyembunyikan tenaga dahsyat di dalamnya. Mereka masih saling pegang, dan duduk berhadapan.

Liong-li memegang kedua pundak pemuda itu dan Tek Hin memegang kedua lengannya. Dua mata saling berpadu, penuh sinar aneh dan agaknya cahaya bulan mendorongkan pengaruhnya kepada dua hati itu sehingga tanpa diketahui lagi siapa yang mendahului, tahu-tahu mereka sudah saling rangkul!

Perasaan kagum dan iba merupakan dua di antara perasaan-perasaan yang berpengaruh kuat sekali terhadap pertumbuhan kasih sayang. Dan kasih sayang antara dua jenis yang berlawanan selalu menjadi makanan lunak bagi nafsu yang selalu mengintai untuk menerkam hati yang dilemahkan oleh perasaan kasih sayang.

Kalau dua buah hati yang haus akan kemesraan belaian kasih sayang, kalau dua buah hati yang mendambahkan curahan cinta bagaikan bunga kekeringan mengharapkan tetesan embun, kalau dua buah hati yang dirundung rindu dendam sudah saling bertemu dan bersatu padu, maka dunia ini rasanya bagaikan sorga. Waktu tidak ada lagi, ruang tidak ada lagi, aku dan engkau tidak ada lagi, yang ada hanyalah kebahagiaan yang tak dapat diukur dan digambarkan lagi.

Tahu-tahu pagipun sudah menjelang, sinar matahari pagi mulai memudarkan sinar bulan dan bintang-bintang di angkasa. Bersama lenyapnya cahaya bulan yang mempesona dan menyihir hati, maka kesadaranpun mulai kembali menguasai batin.

“Li-hiap... benarkah engkau tidak mau hidup selamanya di sampingku? Begitu tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi pagi ini, setelah engkau merampas cintaku, merampas hatiku, merampas segalanya yang ada padaku?”

Liong-li yang menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, menarik napas panjang. Sepasang matanya masih sayu seperti orang mengantuk, akan tetapi bibirnya tersenyum. “Alangkah indahnya hidup ini! Alangkah akan bahagianya kalau aku dapat terus begini...!”

“Mengapa tidak, Li-hiap? Engkau dapat menjadi isteriku yang terkasih! Aku akan mencintamu selama hidupku, sebagai suamimu, dan kita akan hidup bersama selamanya...”

Liong-li menggeleng kepala. “Itu tidak mungkin, Song-toako. Sama sekali tidak mungkin, dan karena itu, maka pagi ini aku terpaksa harus berpisah darimu. Kita harus berpisah dan biarlah semua yang terjadi menjadi kenangan manis dalam kehidupan kita.”

Tek Hin mendekap kepala itu ke dadanya erat-erat, seolah-olah kepala itu sebuah mustika dan dia tidak mau kehilangan mustika itu, hendak membenamkan di dalam dadanya agar selamanya tidak keluar lagi. “Akan tetapi kenapa, Li-hiap? Kenapa tidak mungkin? Bukankah engkau juga mencintaku seperti aku cinta padamu, Li-hiap?”

Liong-li mengangkat mukanya, merangkul leher di atas itu dan menarik kepala Tek Hin turun, lalu bibirnya mengecup dagu pemuda itu, “Aku sayang padamu, Song-toako, hal ini tentu engkau ketahui dan boleh yakin. Akan tetapi, tidak semua cinta dan sayang harus berakhir dengan pernikahan.”

Ia lalu bangkit duduk dan menghadapi. pemuda itu, pandang matanya penuh kesungguhan. “Dengar baik-baik, toako. Aku tidak mungkin dapat hidup sebagai seorang isteri dan rumah tangga. Aku seorang petualang dan hidupku penuh bahaya maut. Aku tidak mau membawa engkau masuk ke dalam ancaman bahaya setiap waktu! Aku harus hidup sendirian!”

Dengan pandang mata sayu Tek Hin memandang wanita itu. Betapa cantik jelitanya, dengan rambut yang agak awut-awutan seperti itu, mata yang demikian tajam bersinar akan tetapi masih nampak kesayuannya penuh kemesraan. “Li-hiap, aku bersedia untuk hidup menghadapi tantangan bahaya maut di sampingmu!”

Kembali Liong-li menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, toako. Pernikahan bukan hanya membutuhkan cinta kasih, lebih dari pada itu! Selain cinta kasih, juga harus dilandasi saling pengertian, selera yang sama, cara hidup yang sama. Kalau tidak, maka cinta itu akan mudah goyah. Sudahlah, engkau percayalah bahwa aku, Lie Kim Cu, selamanya tidak akan melupakan Song Tek Hin. Selamat tinggal!”

Tek Hin hendak bicara, akan tetapi tiba-tiba gadis di depannya itu telah berkelebat menjadi sesosok bayangan hitam dan lenyap dengan kecepatan seperti menghilang saja! Tek Hin bangkit berdiri, memandang ke empat penjuru, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu, tidak mendengar sesuatu dan dengan kedua kaki lemas dia menjatuhkan diri lagi di atas rumput, menelungkup dan hidungnya masih dapat mencium bau sedap yang ditinggalkan tubuh Liong-li, masih dapat merasakan kehangatan yang ditinggalkan tubuh wanita itu pada rumput. Kalau saja dia seorang wanita lemah, bukan seorang laki-laki jantan, tentu dia sudah menangis mengguguk!

Sementara itu di tepi sungai agak jauh dari situ, Hong Ing menangis sambil merangkul pundak Cin Hay, menyembunyikan mukanya di dada pendekar itu sehingga baju Cin Hay menjadi basah oleh air mata. Cin Hay mengelus rambut yang halus itu dan menghibur.

“Sudahlah, Ing-moi, tenangkan hatimu.”

“Tapi, tai-hiap... begitu tegakah hatimu untuk meninggalkan aku? Aku... aku ingin ikut denganmu selamanya, tai-hiap... tidak ingin berpisah lagi darimu... biar aku menjadi bujangmu, menjadi pelayanmu, aku... aku... bukankah kita saling mencinta, tai-hiap...?” kata Hong Ing di antara isak tangisnya.

Cin Hay mengangkat muka itu dengan memegang dagunya, lalu mengecup bibir yang gemetar itu, mengecup pipi yang dibasahi air mata. “Tentu saja aku cinta padamu, Hong Ing. Engkau seorang gadis yang amat baik, gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi, sekali lagi kujelaskan bahwa aku bukan seorang yang pantas menjadi suami dan ayah. Hidupku mengharuskan aku menjadi seorang petualang, pembasmi kejahatan dan hidupku bergelimang kekerasan dan selalu terancam bahaya maut.”

“Aku tidak takut...!”

“Aku percaya, akan tetapi aku yang tidak ingin melihat engkau selalu terancam bahaya. Tidak, engkau harus memperoleh jodoh yang cocok bagimu. Engkau seorang gadis yang baik, aku hanya akan berdoa untukmu, Ing-moi. Percayalah, aku selamanya takkan melupakanmu. Selamat tinggal, Ing-moi, selamat tinggal dan semoga engkau berbahagia!”

“Tai-hiap...!” Hong Ing menjerit ketika tiba-tiba Cin Hay melepaskan dirinya dan sekali berkelebat, hanya nampak bayangan putih dan pemuda itu telah lenyap. “Tai-hiap... aahhh, tai-hiap...!” Dan gadis itupun menangis, mengguguk sambil menelungkup di atas rumput.

Setelah tangisnya mereda, Hong Ing bangkit duduk, masih terisak dan ia berkata seorang diri, “Tai-hiap... engkau meninggalkan aku... apa artinya lagi hidup bagiku? Tai-hiap, lebih baik aku mati saja...” Ia bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara halus di belakangnya.

“Hong Ing, jangan engkau berkata seperti itu!”

Hong Ing terkejut, penuh harap ia membalikkan tubuhnya. Kiranya yang berdiri di depannya adalah Song Tek Hin.

“Ing-moi, tenangkanlah hatimu, sabarkanlah hatimu, aku... aku tahu apa yang kau sedihkan, Ing-moi. Aku sendiri juga amat kehilangan ia... ia telah meninggalkan aku pula, seperti Tan-taihiap meninggalkanmu...”

Hong Ing merasa hatinya seperti ditusuk karena diingatkan dengan nada penuh iba itu. Ia lalu lari menubruk Tek Hin dan menangis di dada pemuda itu, seperti seorang anak kecil. Tek Hin merangkul dan menarik napas panjang, mengelus rambut gadis itu dengan hati penuh iba. Dia tahu bagaimana rasanya hati yang ditinggal pergi kekasih, bukan hanya ditinggal pergi, melainkan juga direnggut putus tali cinta kasihnya. Dia merasakan hal yang sama seperti yang kini diderita Hong Ing.

“Ing-moi, engkau tentu mencinta Tan-taihiap, bukan?” tanyanya halus, seperti kepada seorang adik.

Tanpa menjawab, dengan muka masih disembunyikan di dada itu, dengan pundak masih terguncang oleh isak, Hong Ing mengangguk.

“Dan Tan-taihiap terpaksa meninggalkan engkau karena dia tidak ingin engkau menjadi teman hidupnya?”

Kembali Hong Ing mengangguk, sesenggukan. “Aku juga mengalami hal yang sama, Ing-moi. Aku mencinta Li-hiap, dan iapun sayang padaku, akan tetapi, ia terpaksa meninggalkan aku karena ia tidak ingin aku hidup selamanya di sampingnya.”

Hong Ing terheran mendengar ini dan ia lalu melepaskan diri, mundur dua langkah dan memandang kepada pemuda itu dengan muka basah air mata, kini matanya terbelalak memandang pemuda itu. “Kau... kau juga?” hanya demikian ia bertanya.

Tek Hin tersenyum, senyum yang pahit sekali dan mengangguk. Hong Ing menghentikan tangisnya, kini hatinya diliputi rasa iba terhadap pemuda itu. Keduanya menunduk sampai lama. Tek Hin menarik napas panjang.

“Mereka itu benar, Ing-moi. Kita yang tidak tahu diri. Bagaimana mungkin dua orang pendekar sakti seperti mereka itu mau berjodoh dengan orang-orang bodoh seperti kita? Kehidupan mereka akan menjadi pincang dan kita hanya akan menjadi beban mereka. Seekor naga tak mungkin berjodoh dengan seekor ular. Burung-burung Hong seperti mereka tidak mungkin berjodoh dengan burung-burung gagak seperti kita. Burung gagak jodohnya juga burung gagak, seperti engkau dengan aku.”

Hong Ing mengangkat mukanya dan matanya terbelalak, “Apa... apa maksudmu, toako?”

Tek Hin tersenyum, “Engkau mengalami patah hati dan kekecewaan cinta, akupun demikian, Ing-moi. Engkau tahu, aku telah kehilangan tunanganku Pouw Bi Hwa, dan sekarang aku kehilangan Hek-liong-li. Sekarang barulah aku menyadari bahwa orang yang jauh lebih pantas dan cocok untuk menjadi jodohku adalah engkau! Kita sama-sama menderita kekecewaan, bagaimana kalau kita sama-sama berusaha saling menghibur? Bersediakah engkau menjadi isteriku, Ing-moi?”

Wajah itu berubah kemerahan dan matanya semakin terbelalak. Dahulu, sudah lama sekali, ketika untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada tunangan saudara misannya, Pouw Bi Hwa, pernah diam-diam ia mengagumi pemuda ini dan merasa iri kepada Bi Hwa. Dan kini, pemuda itu secara tiba-tiba melamar dirinya untuk menjadi isterinya! Setelah apa yang dialaminya bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay!

Hong Ing termenung, sukar sekali untuk menjawab. Akan tetapi kemudian ia mengangkat mukanya lagi menatap wajah pemuda itu. Mereka saling pandang dengan sinar mata penuh selidik dan mendapat kenyataan betapa mereka memang saling menaruh rasa iba.

“Toako, kita berdua baru saja mengalami hal-hal yang hebat, baru saja lolos dari maut yang mengerikan. Agaknya kita memang senasib sependeritaan, juga dalam cinta. Karena itu... kalau memang engkau sungguh-sungguh tulus dan jujur, aku... aku akan merasa berbahagia sekali, mendapatkan kembali harapanku untuk hidup berbahagia di sampingmu, toako.”

Tek Hin tersenyum, melangkah maju dan merangkul pundak gadis itu, diajaknya melangkah menuju ke timur di mana matahari mulai muncul dengan cerahnya. Mereka berjalan melangkah perlahan-lahan menyongsong Sang Surya, menyongsong kehangatan dan cahaya terang penuh kedamaian. Lengan kiri Tek Hin merangkul pundak dan leher Hong Ing dan perlahan-lahan, lengan kanan gadis itupun melingkar di pinggang Tek Hin.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 21 karya kho ping hoo

“Liong-li, perlahan dulu...!”

Liong-li yang sedang berlari cepat itu, menahan langkahnya dan menoleh, ia tersenyum melihat Tan Cin Hay berlari mengejarnya, “Hemm, engkau, Liong-eng (Pendekar Naga)?” tegurnya.

Dan Cin Hay tersenyum mendengar sebutan itu. Liong-li menyebutnya Liong-eng, dan memang sebutan ini cocok sekali dengan sebutan Liong-li! Biarlah mulai sekarang, setidaknya untuk Liong-li, dia berjuluk Liong-eng, singkatan dari Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih).

Mereka, tanpa berunding, duduk di atas rumput di tepi sungai kecil yang airnya jernih itu. Mereka telah meninggalkan Tek Hin dan Hong Ing jauh sekali, akan tetapi masih terus mengikuti sungai dan tadi mereka berlari menyusuri tepi sungai.

“Jadi engkau juga meninggalkan dia?” tanya Cin Hay.

Liong-li menatap tajam. “Engkau juga meninggalkan gadismu baju hijau atau baju selimut itu?” ia tersenyum mengejek.

Cin Hay mengangguk serius, “Aku bukan seorang calon suami yang baik.”

“Aku juga bukan seorang calon isteri yang baik,” kata pula Liong-li. Kemudian disambungnya, “Liong-eng, mengapa engkau berkata bahwa engkau bukan seorang calon suami yang baik?”

“Aku pernah menjadi suami orang, akan tetapi aku seorang suami yang tidak mampu menjaga keselamatan isterinya sehingga isteri itu tewas dalam tangan manusia-manusia iblis.”

Cin Hay lalu menceritakan pengalaman hidupnya, betapa dia dan isterinya di Telaga See-ouw diganggu oleh Koan Taijin dan tukang-tukang pukulnya, yaitu See-ouw Sam-houw. Betapa dia hampir tewas dan isterinya dirampas, kemudian isterinya diperkosa sampai mati, pada hal isterinya sedang mengandung tiga bulan.

Diceritakannya pula betapa dia kemudian ditolong oleh mendiang Pek I Lojin yang menjadi gurunya. Dia digembleng oleh kakek itu, kemudian dia, tujuh tahun kemudian, membalas dendam kematian isterinya, membunuh See-ouw Sam-houw dan membuat Koan Taijin menjadi seorang manusia yang tidak berguna lagi.

“Kemudian aku memenuhi pesan mendiang suhu untuk mencari Kim-san Liong-cu yang membawaku bertentangan dengan Hek-sim Lo-mo dan bertemu denganmu, Liong-li. Nah, entah mengapa aku menceritakan semua ini kepadamu, Liong-li, pada hal aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk merahasiakan riwayat hidupku yang buruk ini. Entah mengapa aku menaruh kepercayaan yang mutlak kepadamu. Engkau merupakan orang pertama dan orang terakhir yang mendengar riwayatku, maka kupercaya engkau akan merahasiakannya pula.”

Liong-li mendengarkan dengan terharu. Kiranya pemuda ini memiliki riwayat hidup yang cukup menyedihkan. “Percayalah, aku akan menyimpannya seperti rahasia pribadiku sendiri.”

“Akan tetapi, kuharap engkaupun cukup percaya kepadaku untuk menceritakan riwayatmu, Liong-li. Dengan demikian, kita berdua saling mengenal secara mendalam. Aku mendapat firasat bahwa bukan hanya sekali ini saja kita akan bekerja sama menentang kejahatan. Maukah engkau bercerita kepadaku, Liong-li!”

Liong-li menundukkan mukanya dan menyembunyikan warna merah yang naik ke wajahnya yang manis itu. Beberapa kali ia menarik napas panjang, kemudian berkata, “Akupun menaruh kepercayaan besar kepadamu, Liong-eng. Maka biarlah engkau mendengar riwayatku dan engkaupun orang pertama dan orang terakhir yang akan mendengarnya.”

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 21

“TIKUS busuk, masih berani engkau bermulut besar? Engkau hendak membunuhku? Kau? Hemm, hendak kulihat apa yang dapat kaulakukan kepadaku!”

Berkata demikian, cepat sekali tangan Jai-hwa Kongcu Lui Teng bergerak menepuk tengkuk dan punggung Tek Hin yang seketika mampu bergerak kembali. Akan tetapi tubuhnya masih terasa kaku-kaku dan nyeri, maka dia bangkit duduk sambil menggeliat untuk melemaskan tubuhnya.

“Bukk!” Lui Teng menendangnya sehingga dia terguling-guling, “Ha, ha, hayo kau bangkit dan lawan aku, tikus sombong!” Lui Teng tertawa dan maju mendekat.

Inilah yang dikehendaki oleh Tek Hin dan sejak tadi memang dia sudah mencari akal bagaimana agar dia dapat dibebaskan dari totokan, Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Jai-hwa Kongcu Lui Teng yang lihai, akan tetapi dia tidak ingin mati konyol. Kalau dia dapat bergerak dan melawan mati-matian biarpun akhirnya dia akan kalah dan tewas, dia tidak penasaran karena mati dalam perlawanan dan perkelahian. Mati sebagai seekor harimau jauh lebih berharga dari pada mati sebagai seekor babi yang tidak mampu melawan.

Kalau tendangan yang dilakukan Lui Teng tadi dimaksudkan untuk membunuh tentu kini Tek Hin sudah tidak mampu bangun kembali. Akan tetapi, agaknya Lui Teng tidak tergesa-gesa hendak membunuh Tek Hin, melainkan hendak memamerkan dulu keunggulannya di depan Hong Ing dan menghajar Tek Hin sepuas hatinya.

Tek Hin meloncat bangun dan kini tubuhnya sudah terasa ringan dan tidak kaku lagi. Maka diapun menerjang ke depan dan menyerang dengan pukulan yang didukung oleh seluruh tenaganya, menghantam ke arah dada Lui Teng. Akan tetapi, yang dipukul itu tenang-tenang saja, setelah pukulan Tek Hin menyambar dekat, barulah dia menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Dukkk!” Ketika kedua lengan bertemu, Tek Hin yang kalah tenaga merasa lengannya nyeri dan tubuhnya terdorong miring. Lui Teng menggerakkan tangan amat cepatnya dan dia sudah memukul pundak Tek Hin dengan tangan terbuka.

“Plakk!” Tubuh Tek Hin terpelanting dan sebelum dia dapat bangkit berdiri lagi, Lui Teng sudah menyusulkan tendangan ke arah punggungnya.

“Desss!” Kembali tubuh Tek Hin terguling-guling dan menabrak dinding ruangan itu. Ketika dia bangkit lagi, darah mengalir dari ujung bibirnya yang pecah. Akan tetapi sedikitpun Tek Hin tidak kelihatan takut dan dia sudah meloncat dan menyerang lagi, kini dengan kedua tangan bertubi-tubi melakukan serangan pukulan. Akan tetapi, kembali Lui Teng meloncat ke samping dan kakinya mencuat dengan kecepatan kilat.

“Bukk!” Perut Tek Hin tertendang dan dia terjengkang, lalu roboh terbanting keras. Dia meringis kesakitan dan kepalanya terasa pening karena kepalanya terbanting ke atas lantai, akan tetapi dia sudah merangkak dan bangkit lagi.

“Ha-ha-ha, macam engkau ini mau membunuh aku? Hayo cepat bunuh, hayo patahkan tulang-tulangku, hancurkan kepalaku dan keluarkan isi perutku, ha-ha-ha!”

Tek Hin menubruk, akan tetapi disambut dengan tendangan lagi yang membuat dia untuk kesekian kalinya terpelanting keras. Melihat betapa Tek Hin dihajar, Hong Ing berteriak dari atas pembaringan,

“Pengecut besar, hayo bebaskan totokanku kalau engkau berani! Aku akan membunuhmu!”

Akan tetapi, Lui Teng menoleh dan tersenyum, “Manis, tenanglah. Engkau akan mendapat giliranmu nanti, he-he-he!”

Selagi dia menoleh, Tek Hin mempergunakan kesempatan itu untuk menerjangnya dengan serangan yang nekat. Dia berhasil menerkam dan mencengkeram dada dan leher Lui Teng yang tadi lengah karena menoleh dan bicara dengan Hong Ing.

“Ehh...!!” Dia terkejut juga ketika tahu-tahu Tek Hin sudah mencekik leher dan mencengkeram dadanya. Namun dengan kecepatan luar biasa dan dengan pengerahan tenaga, Lui Teng mengangkat lututnya yang memasuki perut Tek Hin dan kedua tangannya bergerak merenggut jari-jari kedua tangan Tek Hin, lalu mendorong.

“Bressss...!” Kembali Tek Hin terjengkang dan terbanting, dan hanya secuil baju Lui Teng saja yang terobek dan tertinggal dalam tangan Tek Hin.

Kini Lui Teng menjadi marah sekali. Biarpun terkaman tadi tidak mendatangkan luka, hanya sedikit kenyerian pada kulit leher dan dada, namun cukup membuat dia mendongkol sekali dan sebelum Tek Hin dapat bangkit kembali, diapun mulai menghajar pemuda itu dengan tendangan-tendangan!

Tubuh Tek Hin terguling-guling dan darah bercucuran keluar dari hidung yang terkena tendangan, dan dia sudah tidak dapat melawan sama sekali. Tek Hin menanti datangnya tendangan atau pukulan maut yang akan merenggut nyawanya. Akan tetapi dia merasa puas karena dia sudah sempat melawan dan akan tewas sebagai seorang gagah yang kalah dalam perkelahian.

Pada saat itu, seorang penjaga berlari masuk dan munculnya orang ini menghentikan Lui Teng dari amukannya terhadap tubuh Tek Hin yang sudah tidak berdaya itu. “Kongcu...” kata orang itu terengah-engah. Dia adalah orang yang mengintai apa yang terjadi di tempat pertempuran di luar kota. “Semua teman kongcu telah tewas! Semua tewas oleh Liong-li dan pemuda pakaian putih itu! Dan sekarang mereka berdua sedang dikepung oleh barisan ular yang dikerahkan Beng-cu. Aku takut sekali dan ngeri, lalu cepat pulang untuk memberi laporan.”

Terkejut juga hati Lui Teng mendengar berita ini. Semua temannya mati? Tok-gan-liong Yauw Ban, Kiu-bwe Mo-li dan si kembar He-nan Siang-mo telah tewas oleh Tan Cin Hay dan Hek-liong-li! Akan tetapi, mereka kini dikepung ular-ular yang dikerahkan oleh Hek-sim Lo-mo! Tentu mereka akan mampus, dan bukankah di sana masih ada Hek-sim Lo-mo?

“Bawa dia keluar! Boleh kalian siksa dan bunuh dia!” katanya.

Orang itu mengangguk, lalu bangkit dan menyeret Tek Hin keluar dari dalam kamar itu. Lui Teng menutupkan pintu kamar itu dan menghampiri pembaringan di mana Hong Ing masih rebah miring dan belum dapat menggerakkan kaki tangannya, dan matanya terbelalak penuh kengerian memandang kepada pemuda cabul itu.

Lui Teng tersenyum, menggunakan jari tangannya mencolek dagu yang manis itu. “Nah, sekarang tiba giliranmu, manis. Engkau ingin bebas? Boleh, kubebaskan karena akupun tidak senang dilayani seorang wanita yang tidak mampu bergerak seperti mayat. Nah, engkau boleh mencoba melawanku, atau engkau menyerahkan diri dengan suka rela melayani aku. Boleh kau pilih!”

Tiba-tiba jari-jari tangannya menotok punggung dan seketika Hong Ing dapat menggerakkan kembali kaki tangannya. Akan tetapi pada saat itu, Lui Teng sudah menubruknya, mendekap dan mencoba untuk menciumi muka dan bibirnya. Ketika tiba-tiba dapat bergerak, Hong Ing segera meronta dan memukul, mendorong Lui Teng yang menciuminya penuh nafsu. Lui Teng melepaskan pelukannya sambil tertawa, melompat turun dari atas pembaringan. Timbul kegembiraannya untuk mempermainkan gadis ini, seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum diterkam dan diganyangnya.

Hong Ing juga melompat turun dan iapun mulai menyerang dengan nekat! Untuk beberapa belas jurus lamanya, Lui Teng melayaninya, mengelak dan menangkis, kemudian tiba-tiba tangannya menampar dari samping. Cepat sekali tamparannya itu dan tentu akan mengenai kepala Hong Ing kalau saja tangan itu tidak merubah arahnya, turun dan tahu-tahu mencengkeram baju di pundak Hong Ing.

“Bretttt...!” Dengan tenaganya yang kuat sekali, sekali renggut saja baju itu terobek dan terlepas dari tubuh atas Hong Ing sehingga nampak baju dalam warna merah muda di baik baju hijau yang direnggut lepas tadi.

“Aduh, manisnya!” Lui Teng menggoda dan mencium baju itu lalu dilemparkannya baju itu ke atas meja.

Hong Ing marah bukan main, marah dan malu, akan tetapi ia tidak mempunyai sesuatu untuk menutupi tubuh atas yang hanya ditutup baju dalam yang amat tipis itu, dan dengan nekat untuk mengadu nyawa, iapun menyerang lagi. Kakinya menendang- nendang dengan cepat dan kuat.

Kembali Lui Teng melayaninya sambil mentertawakan dan menggoda sehingga Hong Ing menjadi semakin marah. Tiba-tiba, ketika kaki kanannya menendang, dari samping Lui Teng menggerakkan tangannya dan berhasil menangkap pergelangan kaki gadis itu dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya mencengkeram dan merenggut dengan kuat.

“Bretttt...!” Kini celana bijau itulah yang robek-robek dan terlepas. Tali pinggang dan kancing-kancingnya putus dan di lain saat, celana hijau itu telah berada di tangannya.

Hong Ing terbelalak! Kini seluruh tubuhnya hanya tertutup oleh pakaian dalam yang tipis sekali. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan kecuali mengamuk semakin nekat? Ia tidak lagi memperdulikan keadaan pakaiannya, hanya menyerang semakin hebat seperti seekor harimau yang tersudut. Ia ingin mati dalam perkelahian itu!

Akan tetapi, kepandaiannya jauh di bawah tingkat Lui Teng yang dengan mudah mempermainkannya. Sambil tertawa-tawa Lui Teng mengelak dan menangkis dan pada suatu saat, dia berhasil, menangkap kedua pergelangan tangan gadis itu, diringkusnya ke belakang dan sekali renggut, terdengar bunyi kain robek dan kini Hong Ing sudah berada dalam rangkulannya! Akan tetapi, ketika pemuda itu mencoba untuk menciumnya, Hong Ing membuka mulut dan mencoba untuk menggigitnya! Lui Teng mengelak dan mengangkat tubuh Hong Ing, Ialu melemparkannya ke atas pembaringan!

Sekarang barulah Hong Ing ketakutan setengah mati! Ia tahu bahwa segala usahanya untuk meronta akan gagal. Orang itu terlampau kuat dan terlampau pandai. Biarpun demikian, ia mengambil keputusan untuk mempertahankan kehormatannya sampai mati, dan kalau sampai ia tidak berhasil dan diperkosa, ia akan membunuh diri!

Sambil menyeringai menyeramkan, Lui Teng menghampiri pembaringan, kedua tangannya mulai meraba-raba kancing bajunya dan gerakan ini membuat Hong Ing semakin ketakutan, memandang dengan mata terbelalak. Semua akalnya sudah hilang dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia hanya duduk meringkuk di sudut pembaringan paling jauh dan berusaha sedapat mungkin untuk menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Pada saat Lui Teng melempar bajunya yang sudah terbuka dan menjulurkan tangan ke arah Hong Ing, tiba-tiba terdengar suara keras.

“Braakkkkk...!! Daun pintu kamar itu jebol dan sesosok bayangan putih berkelebat masuk ke dalam kamar itu.

Lui Teng terkejut dan menengok untuk lebih kaget lagi sampai mukanya berubah pucat ketika dia mengenal siapa yang memasuki kamar dengan paksa itu. Tan Cin Hay atau Pek-liong-eng. Jai-hwa Kongcu Lui Teng menjadi ketakutan! Munculnya pemuda berpakaian putih itu hanya berarti bahwa Hek-sim Lo-mo gagal membunuh dua orang muda itu, dan mungkin malah Beng-cu itu telah tewas.

Dia menoleh ke arah jendela karena dia ingin melarikan diri, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda berpakaian putih itu. Dan menuruti hatinya yang penuh rasa takut, tiba-tiba Jai-hwa Kongcu Lui Teng meloncat ke arah jendela kamar itu untuk melarikan diri! Akan tetapi, bayangan putih berkelebat didahului gulungan sinar putih dan tubuh Lui Teng terkulai di bawah jendela, mandi darah dan tewas karena jantungnya telah ditembusi pedang Pek-liong-kiam di tangan Tan Cin Hay!

Cin Hay menoleh ke arah pembaringan, Gadis itu sudah rebah telentang dalam keadaan pingsan! Saking merasa ngeri menghadapi ancaman perkosaan atas dirinya, gadis yang tabah itu akhirnya tidak tahan dan jatuh pingsan pada saat pintu kamar itu pecah berantakan. Rasa ngeri yang sudah sampai di puncaknya, porak poranda karena harapan baru yang muncul ketika daun pintu jebol, membuat Hong Ing tak sadarkan diri.

Cin Hay berdiri di tepi pembaringan. Melihat wajah yang manis itu, diam-diam Cin Hay mengerti mengapa Lui Teng tadi mati-matian hendak memperkosa gadis ini, tidak takut lagi kepada pemimpinnya. Siapapun akan tergila-gila oleh gadis seperti ini, pikirnya. Diambilnya sehelai selimut yang masih terlipat di sudut pembaringan, lalu ditutupinya tubuh itu dengan selimut, digulungnya dan diapun memanggul tubuh Hong Ing yang sudah terbungkus selimut dan sebelum dia keluar dari kamar, dia menyambar pakaian gadis itu yang robek dan berserakan di atas lantai, lalu pakaian itu dia susupkan ke dalam gulungan selimut pula. Dan keluarlah Cin Hay dari dalam kamar itu, menuju ke ruangan dalam di mana terjadi hal lain yang hebat!

Ketika Song Tek Hin dalam keadaan seluruh tubuh nyeri-nyeri karena hajaran Lui Teng diseret oleh penjaga itu keluar kamar, dia menurut saja, akan tetapi diam-diam Tek Hin mengumpulkan kekuatannya. Untung bahwa tidak ada tulang di tubuhnya yang patah-patah, dan luka-lukanya hanya luka luar saja, tubuhnya matang biru dan bengkak-bengkak, dari hidung dan mulutnya mengalir darah karena tamparan Lui Teng yang memecahkan bibirnya dan membuat hidungnya berdarah.

Dia diseret ke tengah ruangan di mana masih ada duabelas orang penjaga yang berkumpul. Wajah para penjaga itu tegang sekali karena merekapun bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan mereka khawatir kalau-kalau pimpinan mereka akan kalah oleh dua orang muda yang lihai itu. Bahkan dua orang di antara mereka tadi sudah lari untuk melapor dan minta bantuan kepada Kwa-ciangkun, komandan pasukan keamanan di benteng kota Lok-yang yang sudah menjadi sahabat baik dari Hek-sim Lo-mo!

Begitu melihat Tek Hin diseret masuk dan penjaga yang menyeretnya itu berkata, “Kong-cu telah menyerahkan orang ini kepada kita, boleh kita siksa dia sampai mampus!” Semua penjaga yang sudah ketakutan dan marah kepada musuh ini, segera mengepung dan berlumba untuk memukuli Tek Hin. Akan tetapi pemuda ini sudah sejak tadi mengumpulkan tenaga.

Kini dia tahu bahwa dia terancam bahaya maut di tangan tigabelas orang penjaga ini. Mereka tidaklah selihai Jai-hwa Kongcu Lui Teng, pikirnya, maka bangkitlah semangatnya dan diapun mengamuk, menghantam sana, menerjang sini dan tidak memperdulikan hujan pukulan yang jatuh kepada tubuhnya. Semangatnya makin berkobar ketika dia mendapatkan hasil dengan robohnya beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, dia sendiri sudah semakin lemah, dihujani pukulan dan dia terhuyung ke sana-sini seperti seekor jangkerik sekarat dikeroyok sekumpulan semut.

Ketika keadaan Tek Hin gawat sekali karena kini para penjaga itu saking marahnya sudah mencabut golok masing-masing, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam didahului sinar hitam bergulung-gulung dan para penjaga itu roboh dan tewas seketika kena disambar oleh Hek-liong-kiam di tangan Liong-li! Tek Hin masih berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, dan dia tersenyum melihat Liong-li yang berdiri dengan pedang di tangan dan semua pengeroyok telah roboh.

“Hebat... kau wanita hebat... aku yakin engkau pasti datang menolongku... kau... Liong-li yang cantik jelita dan hebat...” dan diapun terguling dan tentu akan terbanting jatuh karena pingsan kalau saja tidak cepat disambut oleh Liong-li.

Wanita ini merasa kagum sekali melihat keberanian Song Tek Hin, juga terharu mendengar pujian menjelang pingsannya tadi. Dipanggulnya tubuh itu dan dibawanya meloncat keluar. Tiba-tiba terdengar derap banyak kaki kuda dari orang di luar gedung itu. Agaknya serombongan besar orang berkuda dan berjalan kaki menyerbu ke pekarangan gedung itu dan segera Liong-li melihat di bawah sinar bulan betapa puluhan orang menyerbu masuk pekarangan dan melihat pakaian mereka yang seragam, tahulah ia bahwa penyerbu itu adalah pasukan keamanan kota!

Selagi ia termangu-mangu, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan ia melihat Cin Hay telah berdiri di dekatnya dan di pundak pemuda itu terpanggul tubuh seorang gadis cantik yang dibungkus selimut! Liong-li merasa geli dan iapun mengenal gadis yang tadi menjadi tawanan bersama Tek Hin. Akan tetapi Cin Hay berkata dengan suara serius.

“Liong-li, mari kita cepat pergi. Mereka itu adalah pasukan keamanan yang telah bersekutu dengan Hek-sim Lo-mo. Mari, lewat belakang saja!”

Tubuhnya berkelebat cepat dan Liong-li juga tidak membuang waktu, cepat mengikuti Cin Hay. Dengan mempergunakan ilmu mereka berlari cepat, biarpun masing-masing memanggul tubuh orang, mereka dapat cepat keluar dari kota Lok-yang.

“Kita pergi ke petak rumput tepi sungai!” kata pula Cin Hay yang setelah tiba di luar tembok kota mempercepat larinya.

Liong-li maklum tempat mana yang dimaksudkan, tentu tempat di mana mereka tadinya menantang kepada Hek-sim Lo-mo untuk bertanding. Iapun mempercepat larinya, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu menandingi Cin Hay dalam hal berlari cepat.

Bulan bersinar terang sehingga Liong-li dapat mencari tempat itu di tepi sungai kecil yang jernih airnya, dan ketika ia tiba di situ, ia berhenti melihat dari jauh betapa gadis itu merangkul leher Cin Hay sambil menangis! Liong-li menahan ketawanya dan iapun mengambil jalan lain, menuju ke tepi sungai yang agak jauh dari tempat Cin Hay, terhalang banyak semak belukar sehingga mereka tidak dapat saling lihat.

Ketika Cin Hay menurunkan “buntalan selimut” itu, Hong Ing siuman dari pingsannya. Begitu siuman, dan melihat dirinya dibungkus selimut, tanpa disadarinya ia bangkit duduk dan bungkusan selimut itupun terlepas dan ia bergidik. Lalu ia teringat dan memandang ke kiri. Ia melihat Cin Hay duduk bersila di atas rumput dan pemuda ini berkata halus.

“Pakaianmu berada di dalam selimut itu, nona.”

Hong Ing terkejut, lalu teringat bahwa tadi pintu kamar itu jebol ketika ia hampir putus asa menahan Lui Teng yang hendak memperkosanya dan biarpun batinnya terguncang hebat dan pandang matanya sudah kurang terang, namun ia masih dapat melihat berkelebatnya bayangan putih dan melihat munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang memegang sebatang pedang yang berkilauan sebelum ia jatuh pingsan!

Kini, melihat pemuda yang duduk bersila di dekatnya, pemuda yang berwajah tampan dan halus, yang berpakaian serba putih sederhana, ia teringat kesemuanya. Pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya yang lebih hebat dari pada maut! Pemuda ini telah menyelamatkan nyawanya, menyelamatkan kehormatannya! Keharuan menggenangi perasaannya.

“Apakah... apakah engkau... Tan-taihiap?” Ia teringat akan cerita Song Tek Hin kepadanya.

Cin Hay memandang kepadanya dan tersenyum. “Namaku Tan Cin Hay, nona...”

“Ahhh... terima kasih, taihiap... terima kasih...” dengan hati diliputi penuh keharuan, Su Hong Ing lalu maju dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda yang bersila itu.

Tentu saja Cin Hay menjadi repot sekali! Dia memegang kedua pundak wanita itu, mengangkatnya bangkit agar tidak berlutut. Dilepasnya lagi pundak itu dan dia memandang penuh kagum. Cin Hay adalah seorang laki-laki yang baru berusia duapuluh lima tahun, tentu saja penglihatan di depannya itu, wajah yang cantik manis, merasa betapa tubuh itu mengeluarkan hawa yang hangat, ditambah sinar bulan yang romantis, tak dapat dicegah lagi diapun terpesona. Sampai lama dia mengamati gadis itu, dan Hong Ing yang berterima kasih, kagum dan maklum akan pandang mata yang penuh kagum itu, menundukkan mukanya.

“Nona... kau... kau sungguh cantik sekali...!” kata Cin Hay lirih dan suaranya tersendat-sendat.

Hong Ing mengangkat mukanya, muka yang kini berubah merah dan matanya bersinar-sinar. Ia merasa bahwa ia berhutang nyawa, berhutang budi kepada pemuda perkasa yang seketika menarik hatinya ini, dan seperti ditarik oleh besi semberani, gadis itupun merangkulkan kedua lengannya ke leher Cin Hay, menyandarkan mukanya di dada itu dan menangis!

Cin Hay tidak dapat berbuat lain kecuali merangkul dan memeluknya, mengelus rambutnya dan hatinya diliputi rasa kasihan dan sayang. Pada saat gadis itu merangkul dan menangis di dadanya itulah Liong-li melihat dari jauh dan gadis itupun tersenyum geli, kemudian pergi mencari tempat lain.

Ketika Liong-li menurunkan tubuh Tek Hin dari pondongan atau panggulannya ke atas rumput tebal, pemuda itu mengeluh, tanda bahwa dia telah siuman dari pingsan. Begitu siuman, dia segera teringat dan cepat dia bangkit duduk.

“Li-hiap (pendekar wanita), aku...” katanya dengan sinar mata penuh kagum dan terima kasih yang mudah dilihat oleh Liong-li di bawah sinar bulan. Liong-li cepat meletakkan jari tangannya di atas bibir pemuda itu dan berkata lirih.

“Sshhhh, jangan banyak bicara dulu. Rebahlah, aku harus memeriksamu, kalau-kalau engkau menderita luka dalam atau patah tulang.”

Tek Hin merebahkan diri lagi telentang. Ah, jangankan hanya luka dalam atau patah tulang, biar mati sekalipun dia tidak penasaran kalau akhirnya dia dapat berduaan dengan pendekar wanita yang amat dikaguminya ini! Berduaan di tempat sunyi, di malam hari terang bulan, dan wanita ini sekarang meraba-raba seluruh tubuhnya dengan jari-jari tangan yang lembut dan hangat! Amboii! Sama sekali dia tidak pernah mimpi akan dapat merasakan kemesraan seperti ini dengan Liong-li!

Liong-li memeriksa seluruh tubuh Tek Hin, memijat tulang-tulangnya, meraba dengan telapak tangan untuk memeriksa kalau-kalau ada tulang patah atau luka dalam yang berbahaya. Dan ia semakin kagum. Pemuda ini bukan saja hebat semangatnya, gagah berani dan tidak takut menghadapi kematian, akan tetapi selain tampan dan gagah juga memiliki bentuk tubuh yang hebat! Seorang pria yang akan mudah menundukkan hati wanita yang manapun juga, termasuk ia sendiri!

Hatinya tergerak dan ia tertarik sekali, apa lagi ia adalah seorang wanita yang masih muda, baru berusia duapuluh tiga tahun, bagaikan bunga sedang mekarnya. Pengalamannya dengan para pria dahulu hanya merendahkan dan menghina dirinya. Ia hanya dijadikan korban, menjadi alat pemuas nafsu para pria itu tanpa ia merasakan sedikitpun kemesraan kasih sayang, sedikitpun tidak pernah merasakan cinta di dalam hatinya, melainkan benci yang terselubung karena terpaksa.

Kini, melihat Song Tek Hin, hatinya mekar seperti kelopak bunga menyambut embun pagi dan tanpa disadarinya, jari-jari tangannya memancarkan gelora yang timbul dari hati yang menyayang. “Bukan main!” katanya. “Engkau tidak apa-apa! Engkau dikeroyok, dihajar oleh banyak orang, mengalami siksaan dan penahanan selama berhari-hari, sampai mukamu bengkak-bengkak, kulitmu lembam dan matang biru, akan tetapi sedikitpun engkau tidak menderita luka dalam atau patah tulang! Song-toako, engkau sungguh gagah bukan main!”

Bagaikan mimpi rasanya Tek Hin mendengar betapa dari mulut pendekar wanita yang dikaguminya itu meluncur sebutan “Song-toako” sedemikian merdunya! Merdu dan mesra. Diapun bangkit dan segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis pendekar itu,

“Li-hiap, jangan menumpuk budi terlampau banyak sampai aku merasa tidak kuat untuk menerimanya! Berkat pertolonganmu yang dua kali, aku kini masih hidup, dan engkau malah memuji-mujiku. Li-hiap, aku bersyukur dan berterima kasih sekali kepadamu, dan kalau dalam kehidupan yang sekarang aku tidak mampu membalas budi, biarlah di lain kehidupan mendatang aku akan menjadi kuda tungganganmu!”

Wajah Liong-li berubah merah membayangkan betapa pemuda ini menjadi kuda tunggangannya! “Ihh, jangan begitu, toako. Bangkitlah, engkau lebih tua dariku, dan engkau begini gagah perkasa, tidak layak kalau berlutut kepadaku!”

Liong-li memegang kedua pundak Tek Hin dan menariknya pemuda itu bangkit duduk. Tek Hin memegang kedua lengan yang begitu halus mulus kulitnya akan tetapi yang dia tahu menyembunyikan tenaga dahsyat di dalamnya. Mereka masih saling pegang, dan duduk berhadapan.

Liong-li memegang kedua pundak pemuda itu dan Tek Hin memegang kedua lengannya. Dua mata saling berpadu, penuh sinar aneh dan agaknya cahaya bulan mendorongkan pengaruhnya kepada dua hati itu sehingga tanpa diketahui lagi siapa yang mendahului, tahu-tahu mereka sudah saling rangkul!

Perasaan kagum dan iba merupakan dua di antara perasaan-perasaan yang berpengaruh kuat sekali terhadap pertumbuhan kasih sayang. Dan kasih sayang antara dua jenis yang berlawanan selalu menjadi makanan lunak bagi nafsu yang selalu mengintai untuk menerkam hati yang dilemahkan oleh perasaan kasih sayang.

Kalau dua buah hati yang haus akan kemesraan belaian kasih sayang, kalau dua buah hati yang mendambahkan curahan cinta bagaikan bunga kekeringan mengharapkan tetesan embun, kalau dua buah hati yang dirundung rindu dendam sudah saling bertemu dan bersatu padu, maka dunia ini rasanya bagaikan sorga. Waktu tidak ada lagi, ruang tidak ada lagi, aku dan engkau tidak ada lagi, yang ada hanyalah kebahagiaan yang tak dapat diukur dan digambarkan lagi.

Tahu-tahu pagipun sudah menjelang, sinar matahari pagi mulai memudarkan sinar bulan dan bintang-bintang di angkasa. Bersama lenyapnya cahaya bulan yang mempesona dan menyihir hati, maka kesadaranpun mulai kembali menguasai batin.

“Li-hiap... benarkah engkau tidak mau hidup selamanya di sampingku? Begitu tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi pagi ini, setelah engkau merampas cintaku, merampas hatiku, merampas segalanya yang ada padaku?”

Liong-li yang menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, menarik napas panjang. Sepasang matanya masih sayu seperti orang mengantuk, akan tetapi bibirnya tersenyum. “Alangkah indahnya hidup ini! Alangkah akan bahagianya kalau aku dapat terus begini...!”

“Mengapa tidak, Li-hiap? Engkau dapat menjadi isteriku yang terkasih! Aku akan mencintamu selama hidupku, sebagai suamimu, dan kita akan hidup bersama selamanya...”

Liong-li menggeleng kepala. “Itu tidak mungkin, Song-toako. Sama sekali tidak mungkin, dan karena itu, maka pagi ini aku terpaksa harus berpisah darimu. Kita harus berpisah dan biarlah semua yang terjadi menjadi kenangan manis dalam kehidupan kita.”

Tek Hin mendekap kepala itu ke dadanya erat-erat, seolah-olah kepala itu sebuah mustika dan dia tidak mau kehilangan mustika itu, hendak membenamkan di dalam dadanya agar selamanya tidak keluar lagi. “Akan tetapi kenapa, Li-hiap? Kenapa tidak mungkin? Bukankah engkau juga mencintaku seperti aku cinta padamu, Li-hiap?”

Liong-li mengangkat mukanya, merangkul leher di atas itu dan menarik kepala Tek Hin turun, lalu bibirnya mengecup dagu pemuda itu, “Aku sayang padamu, Song-toako, hal ini tentu engkau ketahui dan boleh yakin. Akan tetapi, tidak semua cinta dan sayang harus berakhir dengan pernikahan.”

Ia lalu bangkit duduk dan menghadapi. pemuda itu, pandang matanya penuh kesungguhan. “Dengar baik-baik, toako. Aku tidak mungkin dapat hidup sebagai seorang isteri dan rumah tangga. Aku seorang petualang dan hidupku penuh bahaya maut. Aku tidak mau membawa engkau masuk ke dalam ancaman bahaya setiap waktu! Aku harus hidup sendirian!”

Dengan pandang mata sayu Tek Hin memandang wanita itu. Betapa cantik jelitanya, dengan rambut yang agak awut-awutan seperti itu, mata yang demikian tajam bersinar akan tetapi masih nampak kesayuannya penuh kemesraan. “Li-hiap, aku bersedia untuk hidup menghadapi tantangan bahaya maut di sampingmu!”

Kembali Liong-li menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, toako. Pernikahan bukan hanya membutuhkan cinta kasih, lebih dari pada itu! Selain cinta kasih, juga harus dilandasi saling pengertian, selera yang sama, cara hidup yang sama. Kalau tidak, maka cinta itu akan mudah goyah. Sudahlah, engkau percayalah bahwa aku, Lie Kim Cu, selamanya tidak akan melupakan Song Tek Hin. Selamat tinggal!”

Tek Hin hendak bicara, akan tetapi tiba-tiba gadis di depannya itu telah berkelebat menjadi sesosok bayangan hitam dan lenyap dengan kecepatan seperti menghilang saja! Tek Hin bangkit berdiri, memandang ke empat penjuru, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu, tidak mendengar sesuatu dan dengan kedua kaki lemas dia menjatuhkan diri lagi di atas rumput, menelungkup dan hidungnya masih dapat mencium bau sedap yang ditinggalkan tubuh Liong-li, masih dapat merasakan kehangatan yang ditinggalkan tubuh wanita itu pada rumput. Kalau saja dia seorang wanita lemah, bukan seorang laki-laki jantan, tentu dia sudah menangis mengguguk!

Sementara itu di tepi sungai agak jauh dari situ, Hong Ing menangis sambil merangkul pundak Cin Hay, menyembunyikan mukanya di dada pendekar itu sehingga baju Cin Hay menjadi basah oleh air mata. Cin Hay mengelus rambut yang halus itu dan menghibur.

“Sudahlah, Ing-moi, tenangkan hatimu.”

“Tapi, tai-hiap... begitu tegakah hatimu untuk meninggalkan aku? Aku... aku ingin ikut denganmu selamanya, tai-hiap... tidak ingin berpisah lagi darimu... biar aku menjadi bujangmu, menjadi pelayanmu, aku... aku... bukankah kita saling mencinta, tai-hiap...?” kata Hong Ing di antara isak tangisnya.

Cin Hay mengangkat muka itu dengan memegang dagunya, lalu mengecup bibir yang gemetar itu, mengecup pipi yang dibasahi air mata. “Tentu saja aku cinta padamu, Hong Ing. Engkau seorang gadis yang amat baik, gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi, sekali lagi kujelaskan bahwa aku bukan seorang yang pantas menjadi suami dan ayah. Hidupku mengharuskan aku menjadi seorang petualang, pembasmi kejahatan dan hidupku bergelimang kekerasan dan selalu terancam bahaya maut.”

“Aku tidak takut...!”

“Aku percaya, akan tetapi aku yang tidak ingin melihat engkau selalu terancam bahaya. Tidak, engkau harus memperoleh jodoh yang cocok bagimu. Engkau seorang gadis yang baik, aku hanya akan berdoa untukmu, Ing-moi. Percayalah, aku selamanya takkan melupakanmu. Selamat tinggal, Ing-moi, selamat tinggal dan semoga engkau berbahagia!”

“Tai-hiap...!” Hong Ing menjerit ketika tiba-tiba Cin Hay melepaskan dirinya dan sekali berkelebat, hanya nampak bayangan putih dan pemuda itu telah lenyap. “Tai-hiap... aahhh, tai-hiap...!” Dan gadis itupun menangis, mengguguk sambil menelungkup di atas rumput.

Setelah tangisnya mereda, Hong Ing bangkit duduk, masih terisak dan ia berkata seorang diri, “Tai-hiap... engkau meninggalkan aku... apa artinya lagi hidup bagiku? Tai-hiap, lebih baik aku mati saja...” Ia bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara halus di belakangnya.

“Hong Ing, jangan engkau berkata seperti itu!”

Hong Ing terkejut, penuh harap ia membalikkan tubuhnya. Kiranya yang berdiri di depannya adalah Song Tek Hin.

“Ing-moi, tenangkanlah hatimu, sabarkanlah hatimu, aku... aku tahu apa yang kau sedihkan, Ing-moi. Aku sendiri juga amat kehilangan ia... ia telah meninggalkan aku pula, seperti Tan-taihiap meninggalkanmu...”

Hong Ing merasa hatinya seperti ditusuk karena diingatkan dengan nada penuh iba itu. Ia lalu lari menubruk Tek Hin dan menangis di dada pemuda itu, seperti seorang anak kecil. Tek Hin merangkul dan menarik napas panjang, mengelus rambut gadis itu dengan hati penuh iba. Dia tahu bagaimana rasanya hati yang ditinggal pergi kekasih, bukan hanya ditinggal pergi, melainkan juga direnggut putus tali cinta kasihnya. Dia merasakan hal yang sama seperti yang kini diderita Hong Ing.

“Ing-moi, engkau tentu mencinta Tan-taihiap, bukan?” tanyanya halus, seperti kepada seorang adik.

Tanpa menjawab, dengan muka masih disembunyikan di dada itu, dengan pundak masih terguncang oleh isak, Hong Ing mengangguk.

“Dan Tan-taihiap terpaksa meninggalkan engkau karena dia tidak ingin engkau menjadi teman hidupnya?”

Kembali Hong Ing mengangguk, sesenggukan. “Aku juga mengalami hal yang sama, Ing-moi. Aku mencinta Li-hiap, dan iapun sayang padaku, akan tetapi, ia terpaksa meninggalkan aku karena ia tidak ingin aku hidup selamanya di sampingnya.”

Hong Ing terheran mendengar ini dan ia lalu melepaskan diri, mundur dua langkah dan memandang kepada pemuda itu dengan muka basah air mata, kini matanya terbelalak memandang pemuda itu. “Kau... kau juga?” hanya demikian ia bertanya.

Tek Hin tersenyum, senyum yang pahit sekali dan mengangguk. Hong Ing menghentikan tangisnya, kini hatinya diliputi rasa iba terhadap pemuda itu. Keduanya menunduk sampai lama. Tek Hin menarik napas panjang.

“Mereka itu benar, Ing-moi. Kita yang tidak tahu diri. Bagaimana mungkin dua orang pendekar sakti seperti mereka itu mau berjodoh dengan orang-orang bodoh seperti kita? Kehidupan mereka akan menjadi pincang dan kita hanya akan menjadi beban mereka. Seekor naga tak mungkin berjodoh dengan seekor ular. Burung-burung Hong seperti mereka tidak mungkin berjodoh dengan burung-burung gagak seperti kita. Burung gagak jodohnya juga burung gagak, seperti engkau dengan aku.”

Hong Ing mengangkat mukanya dan matanya terbelalak, “Apa... apa maksudmu, toako?”

Tek Hin tersenyum, “Engkau mengalami patah hati dan kekecewaan cinta, akupun demikian, Ing-moi. Engkau tahu, aku telah kehilangan tunanganku Pouw Bi Hwa, dan sekarang aku kehilangan Hek-liong-li. Sekarang barulah aku menyadari bahwa orang yang jauh lebih pantas dan cocok untuk menjadi jodohku adalah engkau! Kita sama-sama menderita kekecewaan, bagaimana kalau kita sama-sama berusaha saling menghibur? Bersediakah engkau menjadi isteriku, Ing-moi?”

Wajah itu berubah kemerahan dan matanya semakin terbelalak. Dahulu, sudah lama sekali, ketika untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada tunangan saudara misannya, Pouw Bi Hwa, pernah diam-diam ia mengagumi pemuda ini dan merasa iri kepada Bi Hwa. Dan kini, pemuda itu secara tiba-tiba melamar dirinya untuk menjadi isterinya! Setelah apa yang dialaminya bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay!

Hong Ing termenung, sukar sekali untuk menjawab. Akan tetapi kemudian ia mengangkat mukanya lagi menatap wajah pemuda itu. Mereka saling pandang dengan sinar mata penuh selidik dan mendapat kenyataan betapa mereka memang saling menaruh rasa iba.

“Toako, kita berdua baru saja mengalami hal-hal yang hebat, baru saja lolos dari maut yang mengerikan. Agaknya kita memang senasib sependeritaan, juga dalam cinta. Karena itu... kalau memang engkau sungguh-sungguh tulus dan jujur, aku... aku akan merasa berbahagia sekali, mendapatkan kembali harapanku untuk hidup berbahagia di sampingmu, toako.”

Tek Hin tersenyum, melangkah maju dan merangkul pundak gadis itu, diajaknya melangkah menuju ke timur di mana matahari mulai muncul dengan cerahnya. Mereka berjalan melangkah perlahan-lahan menyongsong Sang Surya, menyongsong kehangatan dan cahaya terang penuh kedamaian. Lengan kiri Tek Hin merangkul pundak dan leher Hong Ing dan perlahan-lahan, lengan kanan gadis itupun melingkar di pinggang Tek Hin.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 21 karya kho ping hoo

“Liong-li, perlahan dulu...!”

Liong-li yang sedang berlari cepat itu, menahan langkahnya dan menoleh, ia tersenyum melihat Tan Cin Hay berlari mengejarnya, “Hemm, engkau, Liong-eng (Pendekar Naga)?” tegurnya.

Dan Cin Hay tersenyum mendengar sebutan itu. Liong-li menyebutnya Liong-eng, dan memang sebutan ini cocok sekali dengan sebutan Liong-li! Biarlah mulai sekarang, setidaknya untuk Liong-li, dia berjuluk Liong-eng, singkatan dari Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih).

Mereka, tanpa berunding, duduk di atas rumput di tepi sungai kecil yang airnya jernih itu. Mereka telah meninggalkan Tek Hin dan Hong Ing jauh sekali, akan tetapi masih terus mengikuti sungai dan tadi mereka berlari menyusuri tepi sungai.

“Jadi engkau juga meninggalkan dia?” tanya Cin Hay.

Liong-li menatap tajam. “Engkau juga meninggalkan gadismu baju hijau atau baju selimut itu?” ia tersenyum mengejek.

Cin Hay mengangguk serius, “Aku bukan seorang calon suami yang baik.”

“Aku juga bukan seorang calon isteri yang baik,” kata pula Liong-li. Kemudian disambungnya, “Liong-eng, mengapa engkau berkata bahwa engkau bukan seorang calon suami yang baik?”

“Aku pernah menjadi suami orang, akan tetapi aku seorang suami yang tidak mampu menjaga keselamatan isterinya sehingga isteri itu tewas dalam tangan manusia-manusia iblis.”

Cin Hay lalu menceritakan pengalaman hidupnya, betapa dia dan isterinya di Telaga See-ouw diganggu oleh Koan Taijin dan tukang-tukang pukulnya, yaitu See-ouw Sam-houw. Betapa dia hampir tewas dan isterinya dirampas, kemudian isterinya diperkosa sampai mati, pada hal isterinya sedang mengandung tiga bulan.

Diceritakannya pula betapa dia kemudian ditolong oleh mendiang Pek I Lojin yang menjadi gurunya. Dia digembleng oleh kakek itu, kemudian dia, tujuh tahun kemudian, membalas dendam kematian isterinya, membunuh See-ouw Sam-houw dan membuat Koan Taijin menjadi seorang manusia yang tidak berguna lagi.

“Kemudian aku memenuhi pesan mendiang suhu untuk mencari Kim-san Liong-cu yang membawaku bertentangan dengan Hek-sim Lo-mo dan bertemu denganmu, Liong-li. Nah, entah mengapa aku menceritakan semua ini kepadamu, Liong-li, pada hal aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk merahasiakan riwayat hidupku yang buruk ini. Entah mengapa aku menaruh kepercayaan yang mutlak kepadamu. Engkau merupakan orang pertama dan orang terakhir yang mendengar riwayatku, maka kupercaya engkau akan merahasiakannya pula.”

Liong-li mendengarkan dengan terharu. Kiranya pemuda ini memiliki riwayat hidup yang cukup menyedihkan. “Percayalah, aku akan menyimpannya seperti rahasia pribadiku sendiri.”

“Akan tetapi, kuharap engkaupun cukup percaya kepadaku untuk menceritakan riwayatmu, Liong-li. Dengan demikian, kita berdua saling mengenal secara mendalam. Aku mendapat firasat bahwa bukan hanya sekali ini saja kita akan bekerja sama menentang kejahatan. Maukah engkau bercerita kepadaku, Liong-li!”

Liong-li menundukkan mukanya dan menyembunyikan warna merah yang naik ke wajahnya yang manis itu. Beberapa kali ia menarik napas panjang, kemudian berkata, “Akupun menaruh kepercayaan besar kepadamu, Liong-eng. Maka biarlah engkau mendengar riwayatku dan engkaupun orang pertama dan orang terakhir yang akan mendengarnya.”