Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MELIHAT ini, Liong-li terkejut dan hendak menolong pemuda itu, akan tetapi pada saat itu, bukan hanya Kiu-bwe Mo-li yang menyerang, melainkan juga Jai-hwa Kong-cu Lui Teng dan sepasang orang kembar He-nan Siang-mo sudah pula mengeroyoknya. Ia memutar goloknya menghadapi pengeroyokan empat orang ini dan para pengeroyoknya itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan para anggauta Cap-sha-kwi!

Mereka sudah mendengar akan kelihaiannya, maka empat orang itu bersikap hati-hati sekali sehingga pukulan-pukulan Hiat-tok-ciang dari tangan kiri Liong-li belum juga menemui sasaran karena selalu dielakkan lawan. Bahkan kini Yauw Ban juga turut mengeroyoknya dengan permainan pedangnya yang amat lihai itu.

Baru kini Liong-li tahu bahwa para pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo memang hebat sekali. Pengeroyokan lima orang itu membuat ia terdesak, akan tetapi gadis yang amat perkasa ini memutar goloknya sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya lenyap terlindung oleh gulungan sinar golok yang berkilauan tertimpa sinar lampu-lampu yang lebar itu.

Golok itu milik seorang di antara Wei-ho Cap-sha-kwi. Karena tiga belas orang tokoh sesat ini merupakan tokoh sesat yang terkenal dan sudah lama malang melintang di dunia kang-ouw, maka golok mereka tentu saja bukan golok sembarangan, melainkan terbuat dari baja yang baik. Maka, bertemu dengan senjata lima orang itu, Liong-li dapat menandingi dan tangkisan-tangkisannya tidak sampai merusakkan goloknya.

Tiba-tiba terdengar bentakan parau yang suaranya menggetarkan ruangan itu, “Hemm, inikah yang berjuluk Hek-liong-li??”

Dan ada angin menyambar dahsyat ke arah gadis itu. Liong-li terkejut melihat sinar terang dan karena sinar itu menyambar ke arah lehernya, ia cepat menggerakkan goloknya menangkis.

“Trakkk...!” Goloknya patah menjadi dua potong dan angin yang amat keras menyambar ke arahnya. Ia cepat mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya sudah meloncat keluar dari ruangan itu! Kiranya yang menyerangnya adalah seorang kakek raksasa yang tinggi besar bermuka hitam. Ia dapat menduga bahwa tentu ini yang bernama Hek-sim Lo-mo!

Ketika ia melompat keluar dari ruangan itu, Hek-sim Lo-mo dan lima orang pembantunya mengejar dan berlompatan keluar. Liong-li bermaksud untuk melawan mati-matian, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan putih berkelebat di sampingnya dan lengannya disentuh orang.

“Hek-liong-li, cepat lari. Jangan melawan musuh di dalam sarangnya!” kata orang yang menyentuh lengannya itu.

“Pek-liong-eng...!” Liong-li berseru, agak marah melihat pemuda ini berani menghalanginya.

“Ssttt, nanti kita bicara. Mari kita pergi!” Cin Hay sudah menangkap lengan kanan wanita itu yang tadinya hendak mencabut pedang, dan sekali meloncat, tubuh Cin Hay melesat jauh dan tubuh Liong-li terbawa loncat!

Wanita itu mendongkol sekali, akan tetapi ia dapat melihat kebenaran ajakan untuk lari ini. Memang ia telah bersikap sembrono sekali. Pihak musuh amat kuat, dan ia tidak tahu siapa lagi yang berada di situ. Kalau ia dikeroyok banyak orang pandai di dalam sarang mereka, hal ini amatlah berbahaya. Maka iapun melepaskan lengannya dan lari sendiri dengan cepatnya. Mereka berdua menghilang ditelan kegelapan bayang-bayang pohon sehingga Hek-sim Lo-mo dan lima orang pembantunya tidak dapat melakukan pengejaran.

“Pemuda pakaian putih itupun muncul...!" kata Jai-hwa Kongcu dengan khawatir dan agak gemetar.

“Cap-sha-kwi telah tewas semua di tangan Liong-li!” kata Kiu-bwe Mo-li dengan gemas.

“Sebaiknya Song Tek Hin itu dibunuh saja. Dia yang menjadi gara-gara sampai Cap-sha-kwi tewas!” kata Gan Siang, seorang dari He-nan Siang-mo.

“Kalian sungguh bodoh!” kata Hek-sim Lo-mo. “Kalau Cap-sha-kwi mampus, hal itu adalah karena ketololan mereka sendiri, karena mereka telah lengah dan mabok-mabokan. Akan tetapi sungguh bodoh sekali kalau Song Tek Hin itu dibunuh. Dia tetap merupakan umpan yang baik. Bukankah dua ekor ikan itu benar-benar muncul karena ada umpan pemuda itu? Malam ini mereka hanya dapat membunuh Cap-sha-kwi, akan tetapi bukan itu tujuan mereka. Mereka pasti akan datang lagi untuk menolongnya, karena itu tidak boleh dibunuh. Belum waktunya dia dibunuh!”

Demikianlah, Tek Hin masih terlepas dari maut yang sudah mengancamnya dan kini dia disekap dalam kamar, diawasi dengan ketat oleh kelima pembantu utama Hek-sim Lo-mo. Walaupun dia masih diberi makan dan tidak disiksa, akan tetapi kaki tangannya dirantai dan dia tidak diperkenankan keluar dari kamarnya!

********************

“Engkau lancang sekali! Kenapa engkau berani menarikku dan membujukku pergi meninggalkan sarang Hek-sim Lo-mo?” Liong-li mencela Cin Hay sambil mengerutkan alisnya. Mereka sudah tiba jauh di luar kota Lok-yang, duduk di tepi sungai kecil di sebuah hutan, di mana terhampar rumput hijau yang tebal dan lunak.

Sinar bulan menimpa air yang berdendang merdu, air yang tidak begitu dalam, namun amat jernih dan yang bermain-main dengan batu-batu kali yang berkilauan tertimpa sinar bulan. Pohon-pohon besar di belakang sana nampak seperti barisan raksasa yang melindungi mereka, dan hamparan petak rumput itu seperti permadani hijau yang amat indah. Malam sudah amat larut dan hawa udara amat dinginnya.

Cin Hay membuat api unggun dan api itu mendatangkan kehangatan dan mengusir nyamuk. Mendengar ucapan Liong-li yang mencelanya, celaan yang entah ke berapa kalinya karena sejak tadi wanita itu mengomel terus, dia lalu menghadapinya. Mereka duduk di atas rumput. berhadapan, terhalang api unggun. Dari balik api unggun, melihat wajah wanita muda berpakaian serba hitam itu sungguh merupakan penglihatan mentakjubkan.

Wajah yang ayu itu seperti terbuat dari pada emas. Emas yang terukir indah. Matanya seperti sepasang bintang. Dan mulut itu! Agak cemberut, bibirnya agak terbuka. manisnya sukar diceritakan! “Maafkan aku, nona...”

“Tidak usah nona-nonaan! Engkau bukan pelayanku!” Liong-li yang masih mendongkol itu mencela lagi.

Cin Hay membelalakkan matanya. “Sungguh membingungkan! Disebut nona tidak mau, dan aku belum mengetahui siapa namamu, habis harus panggil apa?”

“Engkau panggil apa saja, asal jangan nona. Panggilan itu seperti ejekan saja karena engkau bukan kacungku!”

“Baiklah, Liong-li. Sebaiknya tanpa Hek (hitam) karena engkau tidak berkulit hitam, Hanya pakaianmu yang hitam. Maafkan aku tadi, Liong-li. Melihat engkau menandingi Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya di sarang mereka, aku khawatir sekali. Ketahuilah bahwa datuk iblis itu lihai bukan main...”

“Aku tahu! Golok rampasanku tadi patah oleh pedangnya, akan tetapi engkau boleh takut kepadanya, aku tidak!”

“Ah, harap engkau suka bersikap adil dan suka mempertimbangkan, Liong-li. Ini bukan soal takut atau tidak, melainkan kita harus berhati-hati menghadapi orang-orang jahat dan licik seperti mereka. Kalau tadi engkau nekat menghadapi pengeroyokan mereka di sarang mereka, akhirnya engkau tentu akan celaka.”

“Hemm, perduli amat engkau apakah aku akan celaka atau tidak? Pula, di sana terdapat pemuda yang gagah berani itu...”

“Ahhh? Kaumaksudkan Song Tek Hin?”

“Namanya Song Tek Hin? Dia seorang yang memiliki ilmu silat sedikit saja, akan tetapi dia sungguh gagah berani menghadapi maut. Tidak lari-lari ketakutan seperti kita tadi!”

Cin Hay tertawa. “Ha-ha, memang Tek Hin memiliki keberanian yang hebat! Bahkan kalau tidak kebetulan aku melihat dan mencegahnya, dia sudah mengambil nyawanya sendiri. Tentu saja sekarang dia tidak takut mati, karena agaknya memang dia merindukan kematian.”

“Ehh? Apakah yang terjadi dengan dia?” Liong-li tertarik sekali. Semua kemarahan lenyap dari mukanya dan kini ia bersikap seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan seorang sahabat lama.

Dan Cin Hay juga merasa senang melihat sikap ini. Entah bagaimana, dia merasa seolah-olah sudah lama sekali mangenal baik dan menjadi sahabat gadis perkasa ini! Dia merasa cocok sekali dengan Liong-li, bahkan walaupun wataknya angin-anginan, mudah marah, namun watak inipun menarik baginya, karena marahnya gadis itu ada dasarnya.

“Dia itu calon mantu mendiang Pouw Sianseng...”

“Siapa itu Pouw Sianseng dan apa hubungannya...”

“Semua ada hubungannya. Harap dengarkan ceritaku dengan tenang dan sabar, Liong-li. Setelah kita berdua dipilih oleh mendiang kakek Thio Wi Han sebagai ahli waris-ahli waris Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam, kiranya sudah sepatutnya kalau kita bekerja sama menghadapi Hek-sim Lo-mo, bukan?”

“Lihat saja nanti perkembangannya. Teruskan ceritamu tentang Song Tek Hin itu.”

“Pouw Sianseng adalah orang yang beruntung mendapatkan Kim-san Liong-cu, yaitu batu atau logam pusaka yang diperebutkan...”

“Aku tahu tentang Kim-san Liong-cu,” Liong-li memotong, “guruku menyuruh aku untuk mencari dan mendapatkan Kim-san Liong-cu pula. Bagaimana Kim-san Liong-cu dapat terjatuh ke tangan orang bernama Pouw Sianseng itu?”

“Hal itu aku kurang jelas, sebaiknya kelak kita tanyakan kepada Tek Hin, kalau kita berhasil membebaskannya. Akan tetapi, agaknya Hek-sim Lo-mo tahu akan rahasia itu. Dia menangkap Pouw Sianseng dan puterinya yang menjadi tunangan Song Tek Hin. Puterinya diperkosa oleh anak buah Hek-sim Lo-mo untuk memaksa Pouw Sianseng menyerahkan mustika itu, dan akhirnya Pouw Sianseng pun dibunuh setelah Liong-cu (mustika naga) itu terampas oleh Hek-sim Lo-mo. Puterinya juga tewas.”

“Hemm, memang mereka itu iblis-iblis kejam!” kata Liong-li gemas.

“Seperti engkau mungkin sudah dapat menduga, Hek-sim Lo-mo membawa Liong-cu itu kepada kakek Thio Wi Han, ahli pembuat pedang pusaka dan memaksa kakek itu membuatkan sepasang pedang. Anak buahnya berjaga-jaga di rumah suami isteri Thio Wi Han itu. Akan tetapi seperti kita ketahui, agaknya mereka berdua tidak rela menyerahkan pedang-pedang pusaka kepada Hek-sim Lo-mo. Mereka melarikan diri dan bertemu dengan kita.”

“Hemm, lalu bagaimana dengan pemuda itu?”

“Wah, agaknya engkau tertarik sekali kepadanya!” Cin Hay berseru.

Wanita itu menatap wajahnya dengan sinar mata tajam, dan polos. “Memang, aku tertarik kepadanya dan aku suka kepadanya. Dia pemberani, gagah, tidak mementingkan diri sendiri...”

“Dan tampan!”

“Ya, dan tampan,” kata pula Liong-li dengan polos.

Cin Hay tersenyum. Dia tidak cemburu atau iri hati, seolah-olah dia mendengarkan seorang adik perempuan memuji-muji seorang kawan pria saja! “Aku bertemu dengan Song Tek Hin ketika dia hendak membunuh diri di depan kuburan kuno dari Kiang-sun-ong, karena dia merasa berduka telah kehilangan tunangannya, yaitu Pouw Bi Hwa yang tewas bersama ayahnya di tangan Hek-sim Lo- mo dan anak buahnya. Aku sempat mencegahnya dan menasihatinya, dan dia menurut, bahkan kami lalu pergi mengunjungi kakek Thio Wi Han. Sayang, kami berdua tertawan oleh para penjahat itu...”

“Engkau? Tertawan? Aneh, kukira kepandaianmu cukup untuk dapat membela diri dan tidak sampai tertawan!”

“Mereka menangkap Tek Hin dan mengancam sehingga terpaksa aku menyerah dan ditawan bersama dia di dalam rumah mendiang kakek Thio Wi Han. Kemudian, kakek Thio muncul di pagi hari dan menyerahkan pedang Pek-liong-kiam ini kepadaku setelah dia terluka parah. Aku membawanya lari, terpaksa meninggalkan Tek Hin yang kembali mereka tawan.”

“Hemm, dan engkau bertemu dengan aku yang menyelamatkan isteri kakek Thio itu, dan agaknya Tek Hin lalu dibawa ke sini oleh Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya.”

“Begitulah, Liong-li,” kata Cin Hay sambil menambahkan kayu pada api unggun. “Tentu saja aku tidak dapat membiarkan dia menjadi tawanan, maka aku memang sudah mempunyai niat untuk mencoba membebaskannya sambil menentang Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya. Akan tetapi, engkau mendahului dan aku membayangimu dari jauh. Aku melihat betapa engkau telah menewaskan Cap-sha-kwi, sungguh hebat sekali engkau, Liong-li. Setidaknya, kini kekuatan mereka berkurang.”

Menerima pujian itu, kembali Liong-li merasa jantungnya berdebar. Ini aneh, pikirnya. Banyak sudah ia menerima pujian pria, baik untuk kecantikannya maupun untuk kelihaiannya, dan setiap kali menerima pujian, ia merasa jemu dan bahkan dengan senyum mengejek. Ia tahu betapa pria memang paling pandai memuji dan suka mengobral pujian, tentu saja dengan maksud untuk merayu kaum wanita.

Akan tetapi, pujian yang keluar dari mulut Cin Hay ini tidak dianggapnya sebagai rayuan, bahkan berarti besar. Hal ini adalah karena ia tahu benar bahwa kepandaian pemuda ini tidak berada disebelah bawah tingkatnya! Sejenak mereka saling pandang dari atas api unggun dan jelas nampak betapa masing-masing saling pandang dengan sinar mata penuh kekaguman.

“Kalau engkau tahu bahwa kekuatan mereka berkurang, kenapa engkau mengajak aku lari seperti dua orang anak kecil takut menghadapi setan-setan? Kenapa kita tidak menyerbu saja dan membasmi mereka malam tadi?”

“Aku sudah pernah menjadi tahanan mereka, akan tetapi ketika itu aku ditahan di dalam rumah kakek Thio Wi Han yang bersahaja. Kini, mereka berada di dalam sarang mereka sendiri. Orang-orang seperti mereka yang amat kejam dan jahat, tentu juga amat curang dan licik. Dalam sarang itu tentu dipasangi banyak alat-alat rahasia dan jebakan-jebakan yang berbahaya. Hal itu amat membahayakan keadaan kita sendiri.”

“Apakah tidak membahayakan keselamatan Song Tek Hin?”

Cin Hay tersenyum. “Jangan khawatirkan dia. Kalau memang para iblis itu menghendaki nyawanya, apa sukarnya bagi mereka untuk membunuhnya? Memang begitulah keadaannya yang kadang-kadang amat membingungkan. Orang yang ingin mati, tidak juga menemui kematiannya, sebaliknya orang yang tidak ingin mati, sekali waktu tiba-tiba saja mati! Kalau orang macam Hek-sim Lo-mo tidak segera membunuh Tek Hin dan menahannya, maka hal itu hanya berarti bahwa datuk iblis itu masih membutuhkan Tek Hin hidup-hidup. Dan agaknya aku mengetahui mengapa mereka belum juga membunuhnya, dan sekarangpun kita tidak perlu khawatir dia akan dibunuh tidak secepat itu!”

“Hemm, omonganmu masuk di akal. Akan tetapi apa yang menyebabkan Hek-sim Lo-mo tidak segera membunuhnya?”

“Untuk memancing kedatanganku!”

“Hemm, belum tentu hanya itu, juga memancing kedatanganku!” kata Liong-li tidak mau kalah.

“Ehh? Apakah mereka juga mengenalmu sebagai lawan?”

“Sebelum malam ini, aku pernah bentrok dengan mereka, juga aku telah membunuh Twa-to Ngo-houw anak buah mereka, membunuh pula Tiat-pi Hek-wan, Hek-sim Lo-mo tentu amat membenciku.”

“Aihh, dan sekarang engkau membunuh pula Wei-ho Cap-sha-kwi! Hebat, engkau memang hebat, Liong-li. Aku kagum padamu, dan tentu Tek Hin akan merasa girang sekali mendengar bahwa engkau yang membunuh Tiat-pi Hek-wan, karena penjahat itulah yang memperkosa tunangannya sampai mati.”

Liong-li termenung. Betapa banyaknya manusia yang baik hidup menderita di dunia ini. Ia teringat akan keadaan hidupnya sendiri. Ia tidak merasa bahwa ia seorang manusia yang baik, akan tetapi setidaknya ia tidak pernah melakukan perbuatan jahat, sampai tiba perubahan hebat pada dirinya semenjak ia secara terpaksa menjadi selir Pengeran Coan Siu Ong.

Ia memandang kepada Cin Hay, diam-diam ia ingin sekali mendengar bagaimana riwayat pendekar muda berpakaian putih ini. Apakah juga pernah menderita sengsara seperti ia dan juga seperti Tek Hin? Akan tetapi untuk menanyakan hal itu, ia merasa rikuh. “Sekarang, setelah kita melarikan diri dari sana, lalu apa yang akan kita lakukan?”

“Kita menghadapi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya di luar sarang mereka, agar tidak ada bahaya perangkap dengan alat rahasia.”

“Bagaimana kita dapat memancing mereka keluar?”

“Kita tidak memancing mereka, melainkan menantang! Terang-terangan kita tantang Hek-sim Lo-mo untuk mengadu kepandaian di suatu tempat terbuka. Aku yakin seorang datuk iblis seperti dia memiliki watak yang angkuh dan tentu dia merasa malu kalau tidak menerima tantangan kita orang-orang muda.”

Liong-li mengangguk-angguk, “Baik, kau lakukan saja hal itu. Akan tetapi kalau tidak berhasil besok dia keluar memenuhi tantangan kita, aku akan menyerbu ke sana seorang diri!”

Cin Hay tersenyum. “Harap jangan tergesa-gesa. Berilah waktu sampai dua hari. Aku mengundang dia dengan surat tantangan besok agar besok lusa dia suka datang ke tempat ini, lusa jam sembilan pagi untuk memenuhi tantangan kita. Kalau lusa dia tidak datang, barulah kita menyerbu ke sana.”

“Kita?”

“Tentu saja, Liong-li. Kita berdua sudah sama-sama terjun ke dalam urusan ini, sama-sama basah. Apakah engkau tidak sudi bekerja sama dengan aku?”

Beberapa lamanya mereka saling pandang. Api unggun sudah padam, akan tetapi mereka tidak memerlukannya lagi karena sinar matahari pagi sudah mulai mengusir sisa kegelapan malam.

“Mengingat bahwa kita berdua adalah ahli waris sepasang pedang Naga, baiklah, aku mau bekerja sama. Akan tetapi aku tidak mau menjadi anak buahmu yang harus mentaati semua perintahmu.”

“Begitukah? Baik, mulai sekarang engkau yang menjadi pemimpinnya, Liong-li, dan aku akan mentaati semua petunjukmu!”

Wajah Lie Kim Cu berubah merah dan mulutnya cemberut. “Bukan begitu maksudku, kita bekerja sama, setiap tindakan harus dirundingkan dan disetujui bersama. Pendeknya, aku tidak mau menjadi anak buah.”

“Aku tidak berkeberatan untuk menjadi anak buah,” jawab Cin Hay. “Biar engkau yang menjadi bapak buah... eh, maksudku ibu buah... eh...”

“Sudahlah, aku setuju dengan maksudmu mengirim surat tantangan tadi. Bagaimana engkau hendak melakukannya?”

“Akan kutulis sebuah surat tantangan berbunyi begini:

Hek-liong-li dan Pek-liong-eng menantang Hek-sim Lo-mo untuk mengadu ilmu. Kalau berani, agar datang di petak rumput tepi sungai dalam hutan sebelah timur kota, besok pagi jam 9.00 pagi. Kami tunggu!”

Liong-li mengangguk-angguk. “Baik, kalau begitu, aku mau pergi dulu dan besok lusa pagi aku datang ke sini.”

“Nanti dulu, Liong-li, masih ada siasat lain yang perlu kubicarakan denganmu.”

Liong-li yang tadinya sudah bangkit berdiri, terpaksa duduk kembali dan memandang wajah pemuda itu dengan tajam penuh selidik. “Siasat apa lagi?”

“Liong-li, engkau tentu tahu bahwa orang semacam Hek-sim Lo-mo adalah lawan yang tangguh sekali, selain tinggi ilmu silatnya, juga tentu licik dan curang. Dia menawan Tek Hin, tentu akan mempergunakan pemuda itu, selain untuk memancing kami, juga mungkin sekali dia hendak mempergunakan dia sebagai sandera untuk memaksa kita menyerah. Oleh karena itu, akan lebih baik kalau kita setelah mengirim surat tantangan, berusaha untuk membebaskan Tek Hin lebih dulu.”

“Hemm, caranya?” tanya Liong-li sambil mengelus-elus dagunya.

Diam-diam Cin Hay amat tertarik. Wanita cantik ini kadang-kadang lucu, mengelus dagu seperti kebiasaan banyak pria kalau sedang berpikir. Padahal dagu itu halus mulus, sama sekali tidak ada jenggotnya! “Caranya? Kita bekerja sama, maka kuserahkan padamu bagaimana baiknya untuk dapat membebaskan Tek Hin sebelum gerombolan penjahat itu memenuhi undangan kita.”

Liong-li merasa bahwa ia sedang diuji kecerdikannya oleh Pek-liong-eng, maka iapun berpikir keras dan mengambil keputusan untuk memaksakan siasat yang sedang dirancangnya itu. Ada sepuluh menit ia mengerutkan alis dan termenung itu, dan diam-diam Cin Hay mengerling dan mengamatinya dengan hati tertarik.

“Ah, sudah kudapatkan!” tiba-tiba wanita itu berseru dan wajahnya berseri.

“Bagus, bentangkan rencanamu, Liong-li!” kata Cin Hay, ikut gembira.

“Kalau kita malam ini atau malam besok menyerbu untuk menolong Tek Hin, hal itu tentu tidak ada gunanya karena kita sudah mengirim tantangan memancing mereka keluar dari sarang. Lalu bagaimana kita dapat membebaskan Tek Hin sebelum mereka keluar memenuhi tantangan kita? Hanya ada satu jalan!” Liong-li memandang Cin Hay den keduanya saling pandang seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing.

Cin Hay juga sudah mempunyai rencana dan memang tepat seperti dikatakan Liong-li tadi. Hanya ada satu jalan, dan dia ingin sekali tahu apakah jalan pikiran mereka sama. “Nanti dulu, Liong-li. Tunggu aku tuliskan dulu rencanaku, kemudian disesuaikan dengan rencanamu dan kita rundingkan sematangnya.”

Cin Hay cepat mengeluarkan alat tulis yang berupa daun lebar saja yang dipetiknya dari pohon dan sebatang kayu kecil runcing untuk menulis. Dicoret-coretnya di atas beberapa helai daun, kemudian setelah selesai, dia menelungkupkan daun-daun itu dan berkata lagi, “Nah, sekarang katakanlah bagaimana jalan satu-satunya yang hendak kau tempuh untuk menolong Tek Hin.”

“Kita tidak mungkin menolong Tek Hin keluar dari sarang itu selama Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya berada di sana. Kita lihat saja. Kalau lusa dia bawa Tek Hin keluar untuk menyambut tantangan kita, seorang di antara kita serbu Hek-sim Lo-mo dan seorang lagi cepat membebaskan Tek Hin. Kalau mereka meninggalkan Tek Hin di sarang mereka, begitu mereka keluar untuk menyambut tantangan kita, kita menyelundup dulu ke dalam dan membebaskannya, baru kita mengejar gerombolan itu.”

Cin Hay tersenyum. Hatinya gembira sekali, gembira dan juga kagum. Ternyata jalan pikiran mereka sama! Sungguh senang sekali bekerja sama dengan wanita yang cantik manis dan cerdik ini.

“Hemm, kenapa kau senyum-senyum?”

Cin Hay menyerahkan tumpukan daun yang ditulisnya tadi kepada Liong-li. “Kau bacalah sendiri.”

Liong-li membaca. Coretan-coretan itu cukup jelas, dan alisnya berkerut ketika ia membaca, “Kalau mereka membawa Tek Hin, kita serbu di perjalanan, kalau mereka meninggalkannya, kita bebaskan Tek Hin selagi mereka keluar memenuhi tantangan kita.”

“Heiii, kau menjiplak saja rencanaku, ya?”

“Aih, Liong-li, bagaimana aku menjiplak kalau aku yang lebih dulu menuliskannya di atas daun-daun ini? Apakah engkau tadi melihat aku corat-coret dan dapat membaca dari gerakanku?”

“Tan Cin Hay!” Liong-li meloncat berdiri dan alisnya terangkat, matanya terbelalak marah. “Kau menuduh aku menjiplakmu? Hei, laki-laki yang lancang mulut!”

Cin Hay terkejut. Sungguh sukar diduga sebelumnya watak wanita ini, pikirnya. Tiada hujan tiada angin, seperti kilat dan guntur menyambar-nyambar begitu saja. Cepat dia bangkit berdiri. “Maaf, Liong-li. Aku hanya ingin bergurau. Tentu saja engkau tidak menjiplaknya, seperti akupun tidak menjiplak darimu. Ternyata jalan pikiran kita sama dan ini berarti bahwa memang kita cocok untuk saling kerja sama. Selanjutnya, bagaimana baiknya rencana ini dilaksanakan, terserah kepadamu.”

Rasa panas di dada Liong-li menjadi dingin kembali. Wataknya memang pemarah semenjak ia menjadi Liong-li, akan tetapi kesadarannya selalu membuat ia mudah melihat persoalan dan iapun tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja menuduhnya menjiplak.

“Sudahlah, sebaiknya kau berhati-hati kalau bicara. Ingat, di antara kita belum ada yang kalah atau menang, maka sekali waktu ingin aku menguji kepandaian kita.”

“Wah, lupa lagi kau, Liong-li? Aku pernah terkena pukulanmu, tangan kirimu yang membuat aku panas dingin dan keracunan.”

“Hemm, itu belum berarti aku menang. Sudah, mari kita rundingkan dari mana kita dapat mengintai sebaiknya. Tentu mereka akan melalui pintu gerbang sebelah timur, kita mencari tempat persembunyian yang baik di luar pintu gerbang...”

Mereka lalu duduk lagi. Kini api unggun telah padam, dan mereka merundingkan siasat mereka untuk mengirim tantangan dan untuk mengintai rombongan musuh itu kalau mereka keluar esok lusa pagi.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 18 karya kho ping hoo

Bayangan yang tubuhnya ramping itu bergerak dengan gesitnya, meloncati pagar tembok bangunan rumah Hek-sim Lo-mo. Di punggungnya tergantung sepasang pedang dan ketika bulan menyinari mukanya, nampaklah wajah seorang gadis yang manis, dengan pakaian serba hijau dan matanya bersinar terang ketika ia melompat ke sebelah dalam dan memandang ke kanan kiri penuh selidik.

Agaknya iapun maklum bahwa ia berada di sarang harimau ganas, maka ia mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya, lalu melangkah maju berindap-indap menghampiri bangunan gedung yang besar itu. Ia tidak tahu sama sekali bahwa sejak ia muncul di luar tembok pagar bangunan itu, semua gerak geriknya telah diikuti oleh pandang mata beberapa orang yang mengintai dari dalam gedung.

Karena baru saja menderita kerugian besar dengan terbunuhnya Wei-ho Cap-sha-kwi, dan tahu bahwa di luar terdapat dua orang musuh yang amat lihai, maka Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya bersikap hati-hati sekali. Mereka tidak pernah lengah melakukan penjagaan secara bergiliran dan pada malam hari itu, tentu saja mereka yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dapat melihat gerak-gerik bayangan berpakaian hijau yang melompati pagar tembok.

Malam itu yang melakukan giliran berjaga malam adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng dan Yauw Ban. Mereka berdua bersama belasan orang penjaga yang menjadi anak buah mereka, mengintai dan mengamati gerak gerik bayangan berbaju hijau itu. Ketika mereka melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, tadinya mereka terkejut dan mengira bahwa yang muncul adalah Liong-li. Akan tetapi ketika sinar bulan menimpa wajah gadis itu dan mereka melihat bahwa gadis itu bukan Liong-li, hati kedua orang jagoan ini menjadi besar. Apa lagi Jai-hwa Kong-cu Lui Teng, ketika melihat gadis manis itu, dia tersenyum dan berbisik kepada Yauw Ban.

“Yauw toako, serahkan saja gadis itu kepadaku. Aku akan menangkapnya!”

Yauw Ban mengerutkan alisnya. Dia sudah mengenal benar watak Jai-hwa Kongcu ini, seorang pemuda yang gila perempuan dan tidak pernah mau melepaskan seorang gadis cantik begitu saja tanpa mengganggunya.

“Ingat, kita sedang menghadapi ancaman musuh yang lihai. Jangan pandang rendah gadis ini, dan setelah berhasil menangkapnya, jangan sekali-kali mengganggunya sebelum membawanya menghadap Beng-cu agar ia diperiksa apa maksudnya datang ke sini. Siapa tahu ia adalah teman dari Liong-li atau pemuda baju putih itu.”

Jai-hwa Kongcu tersenyum. “Aku mengerti, toako. Akan kutangkap ia dan kubawa ke depan Beng-cu, kemudian kalau Beng-cu menyerahkan ia kepadaku, hemm...!” Matanya berkejap penuh arti, kemudian sambil menyeringai, Lui Teng berkelebat lenyap di dalam gelap untuk mencari gadis yang sudah masuk ke dalam pekarangan tadi.

Yauw Ban tidak tinggal diam. Bersama anak buah diapun lalu membayangi, setelah berpesan kepada para penjaga lainnya agar tidak lengah dan tetap melakukan penjagaan ketat. Siapa tahu gadis itu hanya merupakan siasat dari dua orang musuh yang lihai itu, untuk memindahkan perhatian mereka, kemudian kalau mereka lengah karena mengejar gadis baju hijau, lalu pemuda baju putih dan Liong-li akan menyerbu masuk!

Gadis baju hijau itu memang manis sekali wajahnya, dan kulit muka dan lehernya nampak putih mulus di balik pakaiannya yang serba hijau. Sepasang pedang yang dicabutnya juga mengeluarkan sinar berkilauan, tanda bahwa itu adalah sepasang pedang yang baik dan cukup ampuh. Gerakannya ringan sekali ketika dara ini menyelinap di antara pohon-pohon mendekati gedung itu. Ia memasuki gedung itu dari sebuah pintu belakang yang dengan mudah ia dorong terbuka dari luar. Sekali menyelinap masuk, sikapnya amat waspada dan iapun mencari-cari. Yang dicarinya adalah kamar di mana ia akan dapat menemukan Hek-sim Lo-mo karena kedatangannya ini adalah untuk membunuh datuk sesat itu!

Dengan berindap-indap gadis baju hijau itu mengintai dari jendela sebuah kamar. Ia melihat seorang pemuda tampan duduk menghadapi meja dan sedang membaca buku di bawah sinar tiga batang lilin. Ia dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas dan sepasang mata yang jeli itu terbelalak penuh kaget dan keheranan!

“Song-toako...” Terdengar ia berbisik dari luar jendela.

Pemuda itu bukan lain adalah Song Tek Hin yang menjadi tawanan! Semenjak kegagalan Liong-li untuk membebaskannya, pemuda ini merasa kecewa sekali. Setelah berjumpa dengan Liong-li, dia merasa kagum sekali dan merasa heran mengapa kini dia tidak lagi nekat untuk menghadapi kematian. Kehidupan yang tadinya terasa kosong setelah kematian tunangannya, yaitu Pouw Bi Hwa, yang membuat dia tidak kerasan lagi hidup di dunia, kini berubah. Kehidupan itu berarti kembali!

Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada pendekar wanita yang amat perkasa itu, pendekar yang dengan beraninya menyerbu dan menentang Hek-sim Lo-mo dan berusaha untuk membebaskannya. Sayang sekali bahwa gadis itu gagal dan terpaksa melarikan diri bersama Cin Hay, sedangkan dia tertawan kembali. Untungnya, Hek-sim Lo-mo masih mempergunakan dia sebagai umpan dan tidak membunuhnya. Untuk melenyapkan kekesalan hatinya, dia membaca buku yang memang disediakan oleh tuan rumah untuk dia melewatkan waktu menganggur.

“Song-toako...!”

Song Tek Hin terkejut. Tadi dia sudah mendengar bisikan itu akan tetapi karena perhatiannya tercurah kepada bacaannya, dia tidak memperhatikan dan mengira bahwa dia salah dengar. Akan tetapi sekali ini dia menoleh ke arah jendela dan wajahnya berseri, matanya memandang penuh harapan. Liong-li datang lagi! Datang lagi untuk membebaskannya, pikirnya.

“Liong-li...!” bisiknya kembali dan cepat dia membuka daun jendela dengan hati-hati sekali. Akan tetapi, wajah yang dilihatnya di luar jendela sama sekali bukan wajah Liong-li, walaupun wajah itu juga manis dan menarik sekali.

“Ah, engkau... Su Hong Ing...?” dalam suaranya terkandung keheranan, kekagetan juga kekecewaan karena yang muncul bukan Liong-li yang amat diharapkan dan dirindukan.

Su Hong Ing ini adalah saudara misan dari mendiang Pouw Bi Hwa, masih keponakan dari ibu tunangannya itu dan Su Hong Ing menjadi murid dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal pula. Ilmu silat gadis baju hijau ini sudah lumayan tingginya, seimbang dengan tingkat kepandaian Song Tek Hin. Tek Hin mengenal Hong Ing karena pernah gadis ini datang dan tinggal untuk beberapa bulan lamanya di rumah mendiang Pouw Sianseng dan sempat diperkenalkan kepadanya oleh mendiang Pouw Bi Hwa, tunangannya.

Sekali melompat, Hong Ing telah melompati jendela dan telah berada di dalam. “Song-toako, bagaimana engkau dapat berada di sini?” bisiknya, dan melihat pemuda itu tidak terbelenggu, sama sekali bukan sebagai tahanan bahkan kamarnyapun cukup bagus, ia lalu mengerutkan alisnya.

“Ah, toa-ko, sungguh aku tidak mengerti! Mereka telah membunuh paman dan membunuh adik Bi Hwa, dan engkau malah... agaknya menjadi sahabat para penjahat itu? Sungguh tak kusangka...!”

“Ssttt, Ing-moi, jangan kau bicara begitu. Engkau tidak tahu, aku di sini sebagai tawanan, sebagai umpan agar dua orang pendekar yang menjadi musuh mereka datang untuk mencoba membebaskan aku, tidak tahunya engkau malah yang muncul! Hong Ing, lekas engkau pergi dari sini selagi masih ada kesempatan. Cepat, mereka itu lihai sekali! Engkau dan aku bukanlah lawan mereka. Pergilah, Ing-moi...!”

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 18

MELIHAT ini, Liong-li terkejut dan hendak menolong pemuda itu, akan tetapi pada saat itu, bukan hanya Kiu-bwe Mo-li yang menyerang, melainkan juga Jai-hwa Kong-cu Lui Teng dan sepasang orang kembar He-nan Siang-mo sudah pula mengeroyoknya. Ia memutar goloknya menghadapi pengeroyokan empat orang ini dan para pengeroyoknya itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan para anggauta Cap-sha-kwi!

Mereka sudah mendengar akan kelihaiannya, maka empat orang itu bersikap hati-hati sekali sehingga pukulan-pukulan Hiat-tok-ciang dari tangan kiri Liong-li belum juga menemui sasaran karena selalu dielakkan lawan. Bahkan kini Yauw Ban juga turut mengeroyoknya dengan permainan pedangnya yang amat lihai itu.

Baru kini Liong-li tahu bahwa para pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo memang hebat sekali. Pengeroyokan lima orang itu membuat ia terdesak, akan tetapi gadis yang amat perkasa ini memutar goloknya sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya lenyap terlindung oleh gulungan sinar golok yang berkilauan tertimpa sinar lampu-lampu yang lebar itu.

Golok itu milik seorang di antara Wei-ho Cap-sha-kwi. Karena tiga belas orang tokoh sesat ini merupakan tokoh sesat yang terkenal dan sudah lama malang melintang di dunia kang-ouw, maka golok mereka tentu saja bukan golok sembarangan, melainkan terbuat dari baja yang baik. Maka, bertemu dengan senjata lima orang itu, Liong-li dapat menandingi dan tangkisan-tangkisannya tidak sampai merusakkan goloknya.

Tiba-tiba terdengar bentakan parau yang suaranya menggetarkan ruangan itu, “Hemm, inikah yang berjuluk Hek-liong-li??”

Dan ada angin menyambar dahsyat ke arah gadis itu. Liong-li terkejut melihat sinar terang dan karena sinar itu menyambar ke arah lehernya, ia cepat menggerakkan goloknya menangkis.

“Trakkk...!” Goloknya patah menjadi dua potong dan angin yang amat keras menyambar ke arahnya. Ia cepat mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya sudah meloncat keluar dari ruangan itu! Kiranya yang menyerangnya adalah seorang kakek raksasa yang tinggi besar bermuka hitam. Ia dapat menduga bahwa tentu ini yang bernama Hek-sim Lo-mo!

Ketika ia melompat keluar dari ruangan itu, Hek-sim Lo-mo dan lima orang pembantunya mengejar dan berlompatan keluar. Liong-li bermaksud untuk melawan mati-matian, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan putih berkelebat di sampingnya dan lengannya disentuh orang.

“Hek-liong-li, cepat lari. Jangan melawan musuh di dalam sarangnya!” kata orang yang menyentuh lengannya itu.

“Pek-liong-eng...!” Liong-li berseru, agak marah melihat pemuda ini berani menghalanginya.

“Ssttt, nanti kita bicara. Mari kita pergi!” Cin Hay sudah menangkap lengan kanan wanita itu yang tadinya hendak mencabut pedang, dan sekali meloncat, tubuh Cin Hay melesat jauh dan tubuh Liong-li terbawa loncat!

Wanita itu mendongkol sekali, akan tetapi ia dapat melihat kebenaran ajakan untuk lari ini. Memang ia telah bersikap sembrono sekali. Pihak musuh amat kuat, dan ia tidak tahu siapa lagi yang berada di situ. Kalau ia dikeroyok banyak orang pandai di dalam sarang mereka, hal ini amatlah berbahaya. Maka iapun melepaskan lengannya dan lari sendiri dengan cepatnya. Mereka berdua menghilang ditelan kegelapan bayang-bayang pohon sehingga Hek-sim Lo-mo dan lima orang pembantunya tidak dapat melakukan pengejaran.

“Pemuda pakaian putih itupun muncul...!" kata Jai-hwa Kongcu dengan khawatir dan agak gemetar.

“Cap-sha-kwi telah tewas semua di tangan Liong-li!” kata Kiu-bwe Mo-li dengan gemas.

“Sebaiknya Song Tek Hin itu dibunuh saja. Dia yang menjadi gara-gara sampai Cap-sha-kwi tewas!” kata Gan Siang, seorang dari He-nan Siang-mo.

“Kalian sungguh bodoh!” kata Hek-sim Lo-mo. “Kalau Cap-sha-kwi mampus, hal itu adalah karena ketololan mereka sendiri, karena mereka telah lengah dan mabok-mabokan. Akan tetapi sungguh bodoh sekali kalau Song Tek Hin itu dibunuh. Dia tetap merupakan umpan yang baik. Bukankah dua ekor ikan itu benar-benar muncul karena ada umpan pemuda itu? Malam ini mereka hanya dapat membunuh Cap-sha-kwi, akan tetapi bukan itu tujuan mereka. Mereka pasti akan datang lagi untuk menolongnya, karena itu tidak boleh dibunuh. Belum waktunya dia dibunuh!”

Demikianlah, Tek Hin masih terlepas dari maut yang sudah mengancamnya dan kini dia disekap dalam kamar, diawasi dengan ketat oleh kelima pembantu utama Hek-sim Lo-mo. Walaupun dia masih diberi makan dan tidak disiksa, akan tetapi kaki tangannya dirantai dan dia tidak diperkenankan keluar dari kamarnya!

********************

“Engkau lancang sekali! Kenapa engkau berani menarikku dan membujukku pergi meninggalkan sarang Hek-sim Lo-mo?” Liong-li mencela Cin Hay sambil mengerutkan alisnya. Mereka sudah tiba jauh di luar kota Lok-yang, duduk di tepi sungai kecil di sebuah hutan, di mana terhampar rumput hijau yang tebal dan lunak.

Sinar bulan menimpa air yang berdendang merdu, air yang tidak begitu dalam, namun amat jernih dan yang bermain-main dengan batu-batu kali yang berkilauan tertimpa sinar bulan. Pohon-pohon besar di belakang sana nampak seperti barisan raksasa yang melindungi mereka, dan hamparan petak rumput itu seperti permadani hijau yang amat indah. Malam sudah amat larut dan hawa udara amat dinginnya.

Cin Hay membuat api unggun dan api itu mendatangkan kehangatan dan mengusir nyamuk. Mendengar ucapan Liong-li yang mencelanya, celaan yang entah ke berapa kalinya karena sejak tadi wanita itu mengomel terus, dia lalu menghadapinya. Mereka duduk di atas rumput. berhadapan, terhalang api unggun. Dari balik api unggun, melihat wajah wanita muda berpakaian serba hitam itu sungguh merupakan penglihatan mentakjubkan.

Wajah yang ayu itu seperti terbuat dari pada emas. Emas yang terukir indah. Matanya seperti sepasang bintang. Dan mulut itu! Agak cemberut, bibirnya agak terbuka. manisnya sukar diceritakan! “Maafkan aku, nona...”

“Tidak usah nona-nonaan! Engkau bukan pelayanku!” Liong-li yang masih mendongkol itu mencela lagi.

Cin Hay membelalakkan matanya. “Sungguh membingungkan! Disebut nona tidak mau, dan aku belum mengetahui siapa namamu, habis harus panggil apa?”

“Engkau panggil apa saja, asal jangan nona. Panggilan itu seperti ejekan saja karena engkau bukan kacungku!”

“Baiklah, Liong-li. Sebaiknya tanpa Hek (hitam) karena engkau tidak berkulit hitam, Hanya pakaianmu yang hitam. Maafkan aku tadi, Liong-li. Melihat engkau menandingi Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya di sarang mereka, aku khawatir sekali. Ketahuilah bahwa datuk iblis itu lihai bukan main...”

“Aku tahu! Golok rampasanku tadi patah oleh pedangnya, akan tetapi engkau boleh takut kepadanya, aku tidak!”

“Ah, harap engkau suka bersikap adil dan suka mempertimbangkan, Liong-li. Ini bukan soal takut atau tidak, melainkan kita harus berhati-hati menghadapi orang-orang jahat dan licik seperti mereka. Kalau tadi engkau nekat menghadapi pengeroyokan mereka di sarang mereka, akhirnya engkau tentu akan celaka.”

“Hemm, perduli amat engkau apakah aku akan celaka atau tidak? Pula, di sana terdapat pemuda yang gagah berani itu...”

“Ahhh? Kaumaksudkan Song Tek Hin?”

“Namanya Song Tek Hin? Dia seorang yang memiliki ilmu silat sedikit saja, akan tetapi dia sungguh gagah berani menghadapi maut. Tidak lari-lari ketakutan seperti kita tadi!”

Cin Hay tertawa. “Ha-ha, memang Tek Hin memiliki keberanian yang hebat! Bahkan kalau tidak kebetulan aku melihat dan mencegahnya, dia sudah mengambil nyawanya sendiri. Tentu saja sekarang dia tidak takut mati, karena agaknya memang dia merindukan kematian.”

“Ehh? Apakah yang terjadi dengan dia?” Liong-li tertarik sekali. Semua kemarahan lenyap dari mukanya dan kini ia bersikap seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan seorang sahabat lama.

Dan Cin Hay juga merasa senang melihat sikap ini. Entah bagaimana, dia merasa seolah-olah sudah lama sekali mangenal baik dan menjadi sahabat gadis perkasa ini! Dia merasa cocok sekali dengan Liong-li, bahkan walaupun wataknya angin-anginan, mudah marah, namun watak inipun menarik baginya, karena marahnya gadis itu ada dasarnya.

“Dia itu calon mantu mendiang Pouw Sianseng...”

“Siapa itu Pouw Sianseng dan apa hubungannya...”

“Semua ada hubungannya. Harap dengarkan ceritaku dengan tenang dan sabar, Liong-li. Setelah kita berdua dipilih oleh mendiang kakek Thio Wi Han sebagai ahli waris-ahli waris Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam, kiranya sudah sepatutnya kalau kita bekerja sama menghadapi Hek-sim Lo-mo, bukan?”

“Lihat saja nanti perkembangannya. Teruskan ceritamu tentang Song Tek Hin itu.”

“Pouw Sianseng adalah orang yang beruntung mendapatkan Kim-san Liong-cu, yaitu batu atau logam pusaka yang diperebutkan...”

“Aku tahu tentang Kim-san Liong-cu,” Liong-li memotong, “guruku menyuruh aku untuk mencari dan mendapatkan Kim-san Liong-cu pula. Bagaimana Kim-san Liong-cu dapat terjatuh ke tangan orang bernama Pouw Sianseng itu?”

“Hal itu aku kurang jelas, sebaiknya kelak kita tanyakan kepada Tek Hin, kalau kita berhasil membebaskannya. Akan tetapi, agaknya Hek-sim Lo-mo tahu akan rahasia itu. Dia menangkap Pouw Sianseng dan puterinya yang menjadi tunangan Song Tek Hin. Puterinya diperkosa oleh anak buah Hek-sim Lo-mo untuk memaksa Pouw Sianseng menyerahkan mustika itu, dan akhirnya Pouw Sianseng pun dibunuh setelah Liong-cu (mustika naga) itu terampas oleh Hek-sim Lo-mo. Puterinya juga tewas.”

“Hemm, memang mereka itu iblis-iblis kejam!” kata Liong-li gemas.

“Seperti engkau mungkin sudah dapat menduga, Hek-sim Lo-mo membawa Liong-cu itu kepada kakek Thio Wi Han, ahli pembuat pedang pusaka dan memaksa kakek itu membuatkan sepasang pedang. Anak buahnya berjaga-jaga di rumah suami isteri Thio Wi Han itu. Akan tetapi seperti kita ketahui, agaknya mereka berdua tidak rela menyerahkan pedang-pedang pusaka kepada Hek-sim Lo-mo. Mereka melarikan diri dan bertemu dengan kita.”

“Hemm, lalu bagaimana dengan pemuda itu?”

“Wah, agaknya engkau tertarik sekali kepadanya!” Cin Hay berseru.

Wanita itu menatap wajahnya dengan sinar mata tajam, dan polos. “Memang, aku tertarik kepadanya dan aku suka kepadanya. Dia pemberani, gagah, tidak mementingkan diri sendiri...”

“Dan tampan!”

“Ya, dan tampan,” kata pula Liong-li dengan polos.

Cin Hay tersenyum. Dia tidak cemburu atau iri hati, seolah-olah dia mendengarkan seorang adik perempuan memuji-muji seorang kawan pria saja! “Aku bertemu dengan Song Tek Hin ketika dia hendak membunuh diri di depan kuburan kuno dari Kiang-sun-ong, karena dia merasa berduka telah kehilangan tunangannya, yaitu Pouw Bi Hwa yang tewas bersama ayahnya di tangan Hek-sim Lo- mo dan anak buahnya. Aku sempat mencegahnya dan menasihatinya, dan dia menurut, bahkan kami lalu pergi mengunjungi kakek Thio Wi Han. Sayang, kami berdua tertawan oleh para penjahat itu...”

“Engkau? Tertawan? Aneh, kukira kepandaianmu cukup untuk dapat membela diri dan tidak sampai tertawan!”

“Mereka menangkap Tek Hin dan mengancam sehingga terpaksa aku menyerah dan ditawan bersama dia di dalam rumah mendiang kakek Thio Wi Han. Kemudian, kakek Thio muncul di pagi hari dan menyerahkan pedang Pek-liong-kiam ini kepadaku setelah dia terluka parah. Aku membawanya lari, terpaksa meninggalkan Tek Hin yang kembali mereka tawan.”

“Hemm, dan engkau bertemu dengan aku yang menyelamatkan isteri kakek Thio itu, dan agaknya Tek Hin lalu dibawa ke sini oleh Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya.”

“Begitulah, Liong-li,” kata Cin Hay sambil menambahkan kayu pada api unggun. “Tentu saja aku tidak dapat membiarkan dia menjadi tawanan, maka aku memang sudah mempunyai niat untuk mencoba membebaskannya sambil menentang Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya. Akan tetapi, engkau mendahului dan aku membayangimu dari jauh. Aku melihat betapa engkau telah menewaskan Cap-sha-kwi, sungguh hebat sekali engkau, Liong-li. Setidaknya, kini kekuatan mereka berkurang.”

Menerima pujian itu, kembali Liong-li merasa jantungnya berdebar. Ini aneh, pikirnya. Banyak sudah ia menerima pujian pria, baik untuk kecantikannya maupun untuk kelihaiannya, dan setiap kali menerima pujian, ia merasa jemu dan bahkan dengan senyum mengejek. Ia tahu betapa pria memang paling pandai memuji dan suka mengobral pujian, tentu saja dengan maksud untuk merayu kaum wanita.

Akan tetapi, pujian yang keluar dari mulut Cin Hay ini tidak dianggapnya sebagai rayuan, bahkan berarti besar. Hal ini adalah karena ia tahu benar bahwa kepandaian pemuda ini tidak berada disebelah bawah tingkatnya! Sejenak mereka saling pandang dari atas api unggun dan jelas nampak betapa masing-masing saling pandang dengan sinar mata penuh kekaguman.

“Kalau engkau tahu bahwa kekuatan mereka berkurang, kenapa engkau mengajak aku lari seperti dua orang anak kecil takut menghadapi setan-setan? Kenapa kita tidak menyerbu saja dan membasmi mereka malam tadi?”

“Aku sudah pernah menjadi tahanan mereka, akan tetapi ketika itu aku ditahan di dalam rumah kakek Thio Wi Han yang bersahaja. Kini, mereka berada di dalam sarang mereka sendiri. Orang-orang seperti mereka yang amat kejam dan jahat, tentu juga amat curang dan licik. Dalam sarang itu tentu dipasangi banyak alat-alat rahasia dan jebakan-jebakan yang berbahaya. Hal itu amat membahayakan keadaan kita sendiri.”

“Apakah tidak membahayakan keselamatan Song Tek Hin?”

Cin Hay tersenyum. “Jangan khawatirkan dia. Kalau memang para iblis itu menghendaki nyawanya, apa sukarnya bagi mereka untuk membunuhnya? Memang begitulah keadaannya yang kadang-kadang amat membingungkan. Orang yang ingin mati, tidak juga menemui kematiannya, sebaliknya orang yang tidak ingin mati, sekali waktu tiba-tiba saja mati! Kalau orang macam Hek-sim Lo-mo tidak segera membunuh Tek Hin dan menahannya, maka hal itu hanya berarti bahwa datuk iblis itu masih membutuhkan Tek Hin hidup-hidup. Dan agaknya aku mengetahui mengapa mereka belum juga membunuhnya, dan sekarangpun kita tidak perlu khawatir dia akan dibunuh tidak secepat itu!”

“Hemm, omonganmu masuk di akal. Akan tetapi apa yang menyebabkan Hek-sim Lo-mo tidak segera membunuhnya?”

“Untuk memancing kedatanganku!”

“Hemm, belum tentu hanya itu, juga memancing kedatanganku!” kata Liong-li tidak mau kalah.

“Ehh? Apakah mereka juga mengenalmu sebagai lawan?”

“Sebelum malam ini, aku pernah bentrok dengan mereka, juga aku telah membunuh Twa-to Ngo-houw anak buah mereka, membunuh pula Tiat-pi Hek-wan, Hek-sim Lo-mo tentu amat membenciku.”

“Aihh, dan sekarang engkau membunuh pula Wei-ho Cap-sha-kwi! Hebat, engkau memang hebat, Liong-li. Aku kagum padamu, dan tentu Tek Hin akan merasa girang sekali mendengar bahwa engkau yang membunuh Tiat-pi Hek-wan, karena penjahat itulah yang memperkosa tunangannya sampai mati.”

Liong-li termenung. Betapa banyaknya manusia yang baik hidup menderita di dunia ini. Ia teringat akan keadaan hidupnya sendiri. Ia tidak merasa bahwa ia seorang manusia yang baik, akan tetapi setidaknya ia tidak pernah melakukan perbuatan jahat, sampai tiba perubahan hebat pada dirinya semenjak ia secara terpaksa menjadi selir Pengeran Coan Siu Ong.

Ia memandang kepada Cin Hay, diam-diam ia ingin sekali mendengar bagaimana riwayat pendekar muda berpakaian putih ini. Apakah juga pernah menderita sengsara seperti ia dan juga seperti Tek Hin? Akan tetapi untuk menanyakan hal itu, ia merasa rikuh. “Sekarang, setelah kita melarikan diri dari sana, lalu apa yang akan kita lakukan?”

“Kita menghadapi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya di luar sarang mereka, agar tidak ada bahaya perangkap dengan alat rahasia.”

“Bagaimana kita dapat memancing mereka keluar?”

“Kita tidak memancing mereka, melainkan menantang! Terang-terangan kita tantang Hek-sim Lo-mo untuk mengadu kepandaian di suatu tempat terbuka. Aku yakin seorang datuk iblis seperti dia memiliki watak yang angkuh dan tentu dia merasa malu kalau tidak menerima tantangan kita orang-orang muda.”

Liong-li mengangguk-angguk, “Baik, kau lakukan saja hal itu. Akan tetapi kalau tidak berhasil besok dia keluar memenuhi tantangan kita, aku akan menyerbu ke sana seorang diri!”

Cin Hay tersenyum. “Harap jangan tergesa-gesa. Berilah waktu sampai dua hari. Aku mengundang dia dengan surat tantangan besok agar besok lusa dia suka datang ke tempat ini, lusa jam sembilan pagi untuk memenuhi tantangan kita. Kalau lusa dia tidak datang, barulah kita menyerbu ke sana.”

“Kita?”

“Tentu saja, Liong-li. Kita berdua sudah sama-sama terjun ke dalam urusan ini, sama-sama basah. Apakah engkau tidak sudi bekerja sama dengan aku?”

Beberapa lamanya mereka saling pandang. Api unggun sudah padam, akan tetapi mereka tidak memerlukannya lagi karena sinar matahari pagi sudah mulai mengusir sisa kegelapan malam.

“Mengingat bahwa kita berdua adalah ahli waris sepasang pedang Naga, baiklah, aku mau bekerja sama. Akan tetapi aku tidak mau menjadi anak buahmu yang harus mentaati semua perintahmu.”

“Begitukah? Baik, mulai sekarang engkau yang menjadi pemimpinnya, Liong-li, dan aku akan mentaati semua petunjukmu!”

Wajah Lie Kim Cu berubah merah dan mulutnya cemberut. “Bukan begitu maksudku, kita bekerja sama, setiap tindakan harus dirundingkan dan disetujui bersama. Pendeknya, aku tidak mau menjadi anak buah.”

“Aku tidak berkeberatan untuk menjadi anak buah,” jawab Cin Hay. “Biar engkau yang menjadi bapak buah... eh, maksudku ibu buah... eh...”

“Sudahlah, aku setuju dengan maksudmu mengirim surat tantangan tadi. Bagaimana engkau hendak melakukannya?”

“Akan kutulis sebuah surat tantangan berbunyi begini:

Hek-liong-li dan Pek-liong-eng menantang Hek-sim Lo-mo untuk mengadu ilmu. Kalau berani, agar datang di petak rumput tepi sungai dalam hutan sebelah timur kota, besok pagi jam 9.00 pagi. Kami tunggu!”

Liong-li mengangguk-angguk. “Baik, kalau begitu, aku mau pergi dulu dan besok lusa pagi aku datang ke sini.”

“Nanti dulu, Liong-li, masih ada siasat lain yang perlu kubicarakan denganmu.”

Liong-li yang tadinya sudah bangkit berdiri, terpaksa duduk kembali dan memandang wajah pemuda itu dengan tajam penuh selidik. “Siasat apa lagi?”

“Liong-li, engkau tentu tahu bahwa orang semacam Hek-sim Lo-mo adalah lawan yang tangguh sekali, selain tinggi ilmu silatnya, juga tentu licik dan curang. Dia menawan Tek Hin, tentu akan mempergunakan pemuda itu, selain untuk memancing kami, juga mungkin sekali dia hendak mempergunakan dia sebagai sandera untuk memaksa kita menyerah. Oleh karena itu, akan lebih baik kalau kita setelah mengirim surat tantangan, berusaha untuk membebaskan Tek Hin lebih dulu.”

“Hemm, caranya?” tanya Liong-li sambil mengelus-elus dagunya.

Diam-diam Cin Hay amat tertarik. Wanita cantik ini kadang-kadang lucu, mengelus dagu seperti kebiasaan banyak pria kalau sedang berpikir. Padahal dagu itu halus mulus, sama sekali tidak ada jenggotnya! “Caranya? Kita bekerja sama, maka kuserahkan padamu bagaimana baiknya untuk dapat membebaskan Tek Hin sebelum gerombolan penjahat itu memenuhi undangan kita.”

Liong-li merasa bahwa ia sedang diuji kecerdikannya oleh Pek-liong-eng, maka iapun berpikir keras dan mengambil keputusan untuk memaksakan siasat yang sedang dirancangnya itu. Ada sepuluh menit ia mengerutkan alis dan termenung itu, dan diam-diam Cin Hay mengerling dan mengamatinya dengan hati tertarik.

“Ah, sudah kudapatkan!” tiba-tiba wanita itu berseru dan wajahnya berseri.

“Bagus, bentangkan rencanamu, Liong-li!” kata Cin Hay, ikut gembira.

“Kalau kita malam ini atau malam besok menyerbu untuk menolong Tek Hin, hal itu tentu tidak ada gunanya karena kita sudah mengirim tantangan memancing mereka keluar dari sarang. Lalu bagaimana kita dapat membebaskan Tek Hin sebelum mereka keluar memenuhi tantangan kita? Hanya ada satu jalan!” Liong-li memandang Cin Hay den keduanya saling pandang seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing.

Cin Hay juga sudah mempunyai rencana dan memang tepat seperti dikatakan Liong-li tadi. Hanya ada satu jalan, dan dia ingin sekali tahu apakah jalan pikiran mereka sama. “Nanti dulu, Liong-li. Tunggu aku tuliskan dulu rencanaku, kemudian disesuaikan dengan rencanamu dan kita rundingkan sematangnya.”

Cin Hay cepat mengeluarkan alat tulis yang berupa daun lebar saja yang dipetiknya dari pohon dan sebatang kayu kecil runcing untuk menulis. Dicoret-coretnya di atas beberapa helai daun, kemudian setelah selesai, dia menelungkupkan daun-daun itu dan berkata lagi, “Nah, sekarang katakanlah bagaimana jalan satu-satunya yang hendak kau tempuh untuk menolong Tek Hin.”

“Kita tidak mungkin menolong Tek Hin keluar dari sarang itu selama Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya berada di sana. Kita lihat saja. Kalau lusa dia bawa Tek Hin keluar untuk menyambut tantangan kita, seorang di antara kita serbu Hek-sim Lo-mo dan seorang lagi cepat membebaskan Tek Hin. Kalau mereka meninggalkan Tek Hin di sarang mereka, begitu mereka keluar untuk menyambut tantangan kita, kita menyelundup dulu ke dalam dan membebaskannya, baru kita mengejar gerombolan itu.”

Cin Hay tersenyum. Hatinya gembira sekali, gembira dan juga kagum. Ternyata jalan pikiran mereka sama! Sungguh senang sekali bekerja sama dengan wanita yang cantik manis dan cerdik ini.

“Hemm, kenapa kau senyum-senyum?”

Cin Hay menyerahkan tumpukan daun yang ditulisnya tadi kepada Liong-li. “Kau bacalah sendiri.”

Liong-li membaca. Coretan-coretan itu cukup jelas, dan alisnya berkerut ketika ia membaca, “Kalau mereka membawa Tek Hin, kita serbu di perjalanan, kalau mereka meninggalkannya, kita bebaskan Tek Hin selagi mereka keluar memenuhi tantangan kita.”

“Heiii, kau menjiplak saja rencanaku, ya?”

“Aih, Liong-li, bagaimana aku menjiplak kalau aku yang lebih dulu menuliskannya di atas daun-daun ini? Apakah engkau tadi melihat aku corat-coret dan dapat membaca dari gerakanku?”

“Tan Cin Hay!” Liong-li meloncat berdiri dan alisnya terangkat, matanya terbelalak marah. “Kau menuduh aku menjiplakmu? Hei, laki-laki yang lancang mulut!”

Cin Hay terkejut. Sungguh sukar diduga sebelumnya watak wanita ini, pikirnya. Tiada hujan tiada angin, seperti kilat dan guntur menyambar-nyambar begitu saja. Cepat dia bangkit berdiri. “Maaf, Liong-li. Aku hanya ingin bergurau. Tentu saja engkau tidak menjiplaknya, seperti akupun tidak menjiplak darimu. Ternyata jalan pikiran kita sama dan ini berarti bahwa memang kita cocok untuk saling kerja sama. Selanjutnya, bagaimana baiknya rencana ini dilaksanakan, terserah kepadamu.”

Rasa panas di dada Liong-li menjadi dingin kembali. Wataknya memang pemarah semenjak ia menjadi Liong-li, akan tetapi kesadarannya selalu membuat ia mudah melihat persoalan dan iapun tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja menuduhnya menjiplak.

“Sudahlah, sebaiknya kau berhati-hati kalau bicara. Ingat, di antara kita belum ada yang kalah atau menang, maka sekali waktu ingin aku menguji kepandaian kita.”

“Wah, lupa lagi kau, Liong-li? Aku pernah terkena pukulanmu, tangan kirimu yang membuat aku panas dingin dan keracunan.”

“Hemm, itu belum berarti aku menang. Sudah, mari kita rundingkan dari mana kita dapat mengintai sebaiknya. Tentu mereka akan melalui pintu gerbang sebelah timur, kita mencari tempat persembunyian yang baik di luar pintu gerbang...”

Mereka lalu duduk lagi. Kini api unggun telah padam, dan mereka merundingkan siasat mereka untuk mengirim tantangan dan untuk mengintai rombongan musuh itu kalau mereka keluar esok lusa pagi.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 18 karya kho ping hoo

Bayangan yang tubuhnya ramping itu bergerak dengan gesitnya, meloncati pagar tembok bangunan rumah Hek-sim Lo-mo. Di punggungnya tergantung sepasang pedang dan ketika bulan menyinari mukanya, nampaklah wajah seorang gadis yang manis, dengan pakaian serba hijau dan matanya bersinar terang ketika ia melompat ke sebelah dalam dan memandang ke kanan kiri penuh selidik.

Agaknya iapun maklum bahwa ia berada di sarang harimau ganas, maka ia mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya, lalu melangkah maju berindap-indap menghampiri bangunan gedung yang besar itu. Ia tidak tahu sama sekali bahwa sejak ia muncul di luar tembok pagar bangunan itu, semua gerak geriknya telah diikuti oleh pandang mata beberapa orang yang mengintai dari dalam gedung.

Karena baru saja menderita kerugian besar dengan terbunuhnya Wei-ho Cap-sha-kwi, dan tahu bahwa di luar terdapat dua orang musuh yang amat lihai, maka Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya bersikap hati-hati sekali. Mereka tidak pernah lengah melakukan penjagaan secara bergiliran dan pada malam hari itu, tentu saja mereka yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dapat melihat gerak-gerik bayangan berpakaian hijau yang melompati pagar tembok.

Malam itu yang melakukan giliran berjaga malam adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng dan Yauw Ban. Mereka berdua bersama belasan orang penjaga yang menjadi anak buah mereka, mengintai dan mengamati gerak gerik bayangan berbaju hijau itu. Ketika mereka melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, tadinya mereka terkejut dan mengira bahwa yang muncul adalah Liong-li. Akan tetapi ketika sinar bulan menimpa wajah gadis itu dan mereka melihat bahwa gadis itu bukan Liong-li, hati kedua orang jagoan ini menjadi besar. Apa lagi Jai-hwa Kong-cu Lui Teng, ketika melihat gadis manis itu, dia tersenyum dan berbisik kepada Yauw Ban.

“Yauw toako, serahkan saja gadis itu kepadaku. Aku akan menangkapnya!”

Yauw Ban mengerutkan alisnya. Dia sudah mengenal benar watak Jai-hwa Kongcu ini, seorang pemuda yang gila perempuan dan tidak pernah mau melepaskan seorang gadis cantik begitu saja tanpa mengganggunya.

“Ingat, kita sedang menghadapi ancaman musuh yang lihai. Jangan pandang rendah gadis ini, dan setelah berhasil menangkapnya, jangan sekali-kali mengganggunya sebelum membawanya menghadap Beng-cu agar ia diperiksa apa maksudnya datang ke sini. Siapa tahu ia adalah teman dari Liong-li atau pemuda baju putih itu.”

Jai-hwa Kongcu tersenyum. “Aku mengerti, toako. Akan kutangkap ia dan kubawa ke depan Beng-cu, kemudian kalau Beng-cu menyerahkan ia kepadaku, hemm...!” Matanya berkejap penuh arti, kemudian sambil menyeringai, Lui Teng berkelebat lenyap di dalam gelap untuk mencari gadis yang sudah masuk ke dalam pekarangan tadi.

Yauw Ban tidak tinggal diam. Bersama anak buah diapun lalu membayangi, setelah berpesan kepada para penjaga lainnya agar tidak lengah dan tetap melakukan penjagaan ketat. Siapa tahu gadis itu hanya merupakan siasat dari dua orang musuh yang lihai itu, untuk memindahkan perhatian mereka, kemudian kalau mereka lengah karena mengejar gadis baju hijau, lalu pemuda baju putih dan Liong-li akan menyerbu masuk!

Gadis baju hijau itu memang manis sekali wajahnya, dan kulit muka dan lehernya nampak putih mulus di balik pakaiannya yang serba hijau. Sepasang pedang yang dicabutnya juga mengeluarkan sinar berkilauan, tanda bahwa itu adalah sepasang pedang yang baik dan cukup ampuh. Gerakannya ringan sekali ketika dara ini menyelinap di antara pohon-pohon mendekati gedung itu. Ia memasuki gedung itu dari sebuah pintu belakang yang dengan mudah ia dorong terbuka dari luar. Sekali menyelinap masuk, sikapnya amat waspada dan iapun mencari-cari. Yang dicarinya adalah kamar di mana ia akan dapat menemukan Hek-sim Lo-mo karena kedatangannya ini adalah untuk membunuh datuk sesat itu!

Dengan berindap-indap gadis baju hijau itu mengintai dari jendela sebuah kamar. Ia melihat seorang pemuda tampan duduk menghadapi meja dan sedang membaca buku di bawah sinar tiga batang lilin. Ia dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas dan sepasang mata yang jeli itu terbelalak penuh kaget dan keheranan!

“Song-toako...” Terdengar ia berbisik dari luar jendela.

Pemuda itu bukan lain adalah Song Tek Hin yang menjadi tawanan! Semenjak kegagalan Liong-li untuk membebaskannya, pemuda ini merasa kecewa sekali. Setelah berjumpa dengan Liong-li, dia merasa kagum sekali dan merasa heran mengapa kini dia tidak lagi nekat untuk menghadapi kematian. Kehidupan yang tadinya terasa kosong setelah kematian tunangannya, yaitu Pouw Bi Hwa, yang membuat dia tidak kerasan lagi hidup di dunia, kini berubah. Kehidupan itu berarti kembali!

Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada pendekar wanita yang amat perkasa itu, pendekar yang dengan beraninya menyerbu dan menentang Hek-sim Lo-mo dan berusaha untuk membebaskannya. Sayang sekali bahwa gadis itu gagal dan terpaksa melarikan diri bersama Cin Hay, sedangkan dia tertawan kembali. Untungnya, Hek-sim Lo-mo masih mempergunakan dia sebagai umpan dan tidak membunuhnya. Untuk melenyapkan kekesalan hatinya, dia membaca buku yang memang disediakan oleh tuan rumah untuk dia melewatkan waktu menganggur.

“Song-toako...!”

Song Tek Hin terkejut. Tadi dia sudah mendengar bisikan itu akan tetapi karena perhatiannya tercurah kepada bacaannya, dia tidak memperhatikan dan mengira bahwa dia salah dengar. Akan tetapi sekali ini dia menoleh ke arah jendela dan wajahnya berseri, matanya memandang penuh harapan. Liong-li datang lagi! Datang lagi untuk membebaskannya, pikirnya.

“Liong-li...!” bisiknya kembali dan cepat dia membuka daun jendela dengan hati-hati sekali. Akan tetapi, wajah yang dilihatnya di luar jendela sama sekali bukan wajah Liong-li, walaupun wajah itu juga manis dan menarik sekali.

“Ah, engkau... Su Hong Ing...?” dalam suaranya terkandung keheranan, kekagetan juga kekecewaan karena yang muncul bukan Liong-li yang amat diharapkan dan dirindukan.

Su Hong Ing ini adalah saudara misan dari mendiang Pouw Bi Hwa, masih keponakan dari ibu tunangannya itu dan Su Hong Ing menjadi murid dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal pula. Ilmu silat gadis baju hijau ini sudah lumayan tingginya, seimbang dengan tingkat kepandaian Song Tek Hin. Tek Hin mengenal Hong Ing karena pernah gadis ini datang dan tinggal untuk beberapa bulan lamanya di rumah mendiang Pouw Sianseng dan sempat diperkenalkan kepadanya oleh mendiang Pouw Bi Hwa, tunangannya.

Sekali melompat, Hong Ing telah melompati jendela dan telah berada di dalam. “Song-toako, bagaimana engkau dapat berada di sini?” bisiknya, dan melihat pemuda itu tidak terbelenggu, sama sekali bukan sebagai tahanan bahkan kamarnyapun cukup bagus, ia lalu mengerutkan alisnya.

“Ah, toa-ko, sungguh aku tidak mengerti! Mereka telah membunuh paman dan membunuh adik Bi Hwa, dan engkau malah... agaknya menjadi sahabat para penjahat itu? Sungguh tak kusangka...!”

“Ssttt, Ing-moi, jangan kau bicara begitu. Engkau tidak tahu, aku di sini sebagai tawanan, sebagai umpan agar dua orang pendekar yang menjadi musuh mereka datang untuk mencoba membebaskan aku, tidak tahunya engkau malah yang muncul! Hong Ing, lekas engkau pergi dari sini selagi masih ada kesempatan. Cepat, mereka itu lihai sekali! Engkau dan aku bukanlah lawan mereka. Pergilah, Ing-moi...!”