Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KEPARAT, berani kau mengganggu aku...” Tiba-tiba dia menghentikan kalimatnya itu ketika Liong-li membalikkan tubuh menghadapinya. Pangeran Coan Siu Ong terkejut dan bengong memandang kepada wanita berpakaian serba hitam yang amat cantik itu. Cantik dan menyeramkan karena kemunculannya yang tiba-tiba, pakaiannya yang serba hitam, dan tangannya yang memegang pedang telanjang.

“Siapa... siapa kau...?” akhirnya dia bertanya, suaranya agak gemetar karena dia merasa seram. Sementara itu, selirnya yang juga sudah menutupi tubuh dengan pakaian sekenanya, turun dari pembaringan dan bersembunyi di sudut kamar, di balik lemari pakaian dengan muka pucat dan tubuh gemetar.

Liong-li tersenyum manis. “Pangeran Coan Siu Ong, sudah lupakah kau kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu! Lupakah engkau kepada keluarga Lie, bawahanmu yang kau bikin hancur keluarganya itu? Engkau memperkosa aku, lalu menjualku ke rumah pelesir, engkau membuat ayahku membunuh diri dan ibuku mati karena duka.”

“Ahhh...!” mata pangeran itu terbelalak ketika dia teringat. “Kau... Kim Cu...!”

“Sekarang bukan Lie Kim Cu lagi, melainkan Hek-liong-li yang datang untuk membasmi manusia-manusia jahat dan keji macam engkau!”

“Tolonggg...! Tolooongggg...!” Tiba-tiba selir yang bersembunyi di sudut dekat lemari itu berteriak-teriak mendengar ucapan wanita baju hitam itu.

Sementara itu, Pangeran Coan Siu Ong sudah jatuh berlutut karena takutnya. Dia mengenal Kim Cu, gadis yang pernah dijadikan selir, dan karena gadis itu menolak untuk digauli, bahkan memukulnya, maka dia menyuruh pengawalnya untuk membelenggu gadis itu, kemudian diperkosanya! Dia sudah tahu bahwa gadis itu kuat sekali dan andaikata dia melawan pun akan sia-sia, maka saking takutnya, dia sudah jatuh berlutut dengan tubuh menggigil ketakutan.

“Ampun... ampunkan aku...” katanya berulang kali dengan bibir gemetar. Akan tetapi diam-diam dia melirik ke arah pintu, mengharapkan munculnya para pengawalnya atas teriakan minta tolong selirnya tadi. Akan tetapi, Liong-li sama sekali tidak perduli akan teriakan selir yang ketakutan itu.

“Mintalah ampun kepada Tuhan!” kata Liong-li dan tangannya bergerak, pedangnya berkelebat menjadi sinar menyambar ke arah Pangeran Coan Siu Ong.

“Crak-crak-crak-crakk!” Nampak darah muncrat-muncrat dan tubuh pangeran itu terguling mandi darahnya sendiri yang bercucuran keluar dari kedua lengan dan kedua kakinya yang buntung! Buntung sebatas pergelangan, terbabat oleh pedang di tangan Liong-li!

Wanita itu lalu melontarkan pedang menancap pada dinding, tepat pada saat pintu kamar itu jebol karena dibuka secara paksa dari luar oleh para pengawal yang berdatangan karena teriakan selir yang ketakutan itu. Selir itu masih berteriak-teriak, bahkan semakin keras melihat betapa suaminya roboh mandi darah.

Liong-li berdiri di tengah kamar itu, bertolak pinggang dengan sikap tenang sekali, memandang kepada delapan orang pengawal yang memasuki kamar. Para pengawal terkejut bukan main melihat tubuh majikan mereka yang kehilangan kedua tangan dan kedua kaki itu, berkelojotan sambil merintih-rintih.

“Perempuan jahat berani mati dari mana yang membikin kacau di sini, berani menyerang Pangeran!” bentak seorang di antara mereka.

“Aku Dewi Naga Hitam, datang untuk menghukum orang yang jahat dan kejam seperti Pangeran Coan Siu Ong. Kalau kalian hendak membelanya, mari keluar, di sini terlalu sempit!” Berkata demikian, Liong-li meloncat dan tubuhnya sudah melayang keluar dari kamar itu melalui jendela. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya.

Liong-li menanti di pekarangan depan yang luas. Ia berdiri tegak, tanpa memegang senjata, menanti pengejaran para pengawal. Kini semua pengawal muncul, jumlah mereka ada dua belas orang. Mereka semua telah tahu bahwa majikan mereka dibuntungi kaki tangannya oleh wanita berpakaian hitam yang mengaku bernama Hek-liong-li itu, maka dua belas orang pengawal mengepungnya dengan senjata di tangan ketika melihat ia berdiri menanti di tengah pekarangan depan.

Liong-li menghadapi para pengawal itu dengan sikap tenang saja, dan ketika mereka mulai menyerbu dari depan belakang, kanan dan kiri, tubuhnya tiba-tiba bergerak amat cepatnya sehingga para pengepung itu kehilangan lawan, yang nampak hanya bayangan hitam berkelebatan di antara mereka dan berturut-turut, dua belas orang pengawal itu rebah malang melintang, ada yang patah lengannya, tulang pundak atau tulang kaki, ada pula yang pingsan. Ketika mereka yang terluka ini merangkak bangun, bayangan Dewi Naga itu sudah lenyap dari situ!

Tentu saja peristiwa hebat ini membuat nama Dewi Naga Hitam menjadi terkenal di seluruh Lok-yang dan daerahnya. Pangeran Coan Siu Ong tidak mati, akan tetapi dia hidup dalam keadaan yang sengsara sekali. Karena kakinya buntung sebatas pergelangan, untuk berjalan pun sukar dan dia harus memakai tongkat sebagai kaki ketiga! Dan kedua tangannya tidak ada. Dia menjadi seorang tapadaksa yang selalu harus dirawat dan dibantu orang.

Pangeran itu menjadi pemurung, hilang semua kesenangan dan dia lebih banyak termenung di atas pembaringan kamarnya seorang diri. Tidak lagi dia pernah mendekati wanita karena tidak tahan melihat pandang mata jijik mereka terhadap dirinya. Baru sekarang dia merasa menyesal dan seringkali membayangkan semua perbuatannya yang sesat di waktu lalu.

Dari kota Lok-yang inilah mulai dikenal nama Dewi Naga Hitam yang kemudian terkenal di dunia kang-ouw. Seorang wanita yang masih muda, cantik menarik, namun memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dengan pakaian yang serba hitam!

Bagi dunia persilatan, nama Dewi Naga Hitam yang baru muncul ini masih merupakan teka-teki, kecuali bahwa nama julukan itu adalah nama seorang wanita muda yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Dunia kang-ouw tidak tahu orang macam apa adanya Hek-liong-li, apakah termasuk golongan pendekar yang menentang kejahatan pada umumnya, ataukah golongan sesat yang memaksakan keinginan hati demi keuntungan sendiri dengan mengandalkan kekerasan dan kekuatan.

Liong-li tidak pernah menentang kejahatan, tidak mencampuri urusan orang lain dan hanya menghajar orang yang berani menentang dan memusuhinya. Karena itu, namanya yang baru muncul itu disegani, baik oleh golongan pendekar, maupun oleh golongan hitam.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 07 karya kho ping hoo

Sejak sepuluh tahun yang lalu, dunia persilatan telah digemparkan oleh munculnya datuk-datuk sesat yang terkenal dengan nama julukan Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)! Mereka dikenal sebagai Sembilan Iblis Tua, akan tetapi sesungguhnya mereka itu bergerak secara terpisah, bahkan tidak ada hubungannya satu sama lain, kecuali beberapa orang di antara mereka yang ada hubungan saudara seperguruan atau sahabat. Bahkan di antara mereka ada yang tidak saling mengenal bahkan tak pernah saling berjumpa.

Kalau mereka disebut Sembilan Iblis Tua adalah karena pada jaman itu, mereka merupakan datuk-datuk kaum sesat yang paling tinggi ilmunya dan ditakuti lawan disegani kawan. Mereka mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, bahkan tidak ada yang tinggal di satu propinsi. Kelihaian sembilan orang datuk sesat ini ramai dibicarakan di dunia persilatan, bahkan di dunia hitam, mereka itu seperti tokoh-tokoh dalam dongeng saja!

Seorang di antara mereka berjuluk Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam). Seperti delapan orang rekannya yang lain, diapun baru muncul sejak sepuluh tahun yang lalu. Tadinya, Kiu Lo-mo tak pernah muncul di dunia ramai, bahkan nama mereka seperti sudah tenggelam di samudera luas atau melayang lenyap di langit yang lebih luas lagi. Dan mungkin sekali kemunculan mereka karena saling tertarik.

Mendengar yang seorang muncul, yang lainpun agaknya tidak mau kalah sehingga dunia hitam menyambut kemunculan mereka dengan hangat, merasa telah memperoleh pimpinan yang boleh diandalkan. Segera para tokoh sesat menyatakan diri sebagai pengagum dan “berlindung” di bawah pengaruh datuk sesat itu, di wilayah masing-masing.

Demikian pula dengan Hek-sim Lo-mo. Begitu dia muncul, para tokoh sesat, kepala-kepala perampok, ketua-ketua perkumpulan gelap, bahkan hartawan dan bangsawan, banyak yang berbondong-bondong menghadap atau mengirim utusan disertai barang bingkisan atau hadiah yang amat berharga. Tentu saja bingkisan atau hadiah itu bukan diberikan dengan hati rela dan berdasarkan persahabatan yang murni.

Sama sekali tidak. Pemberian itu adalah semacam sogokan atau suapan, diberikan dengan pamrih agar nama si pemberi dimasukkan dalam daftar orang-orang yang dilindungi oleh pengaruh dan kekuasaan Hek-sim Lo-mo. Dan sebentar saja, datuk yang berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo, telah menjadi kaya raya! Perkumpulan-perkumpulan sesat yang menguasai tempat-tempat perjudian, pelacuran dan menyediakan tenaga bayaran untuk menjadi tukang-tukang pukul para hartawan, tergopoh-gopoh menyambut datuk ini, membuatkan rumah dan mencukupi segala keperluannya.

Hek-sim Lo-mo menjadi datuk yang wilayahnya meliputi dua propinsi, yaitu He-nan dan Shan-tung! Amat luas wilayah ini dan dia memilih Lok-yang sebagai tempat tinggalnya. Rumahnya besar dan mewah, seperti rumah seorang hartawan saja, di pinggir kota Lok-yang, di atas tanah yang luas. Rumah itu diperlengkapi dengan taman yang lebar dan indah, ruangan yang luas untuk tempat bermain silat, rekreasi, pesta dan sebagainya.

Rumah induknya menjadi tempat tinggalnya dan Hek-sim Lo-mo ditemani oleh lima orang selir, wanita-wanita muda yang cantik manis, berusia antara delapan belas sampai dua puluh lima tahun, dan belasan orang pelayan! Hidupnya makmur dan penuh kesenangan dan dia boleh dibilang sama sekali tidak bekerja. Namanya saja yang dipergunakan oleh dunia kang- ouw sebagai pelindung.

Tentu saja Hek-sim Lo-mo mempunyai banyak sekali pembantu, yaitu tokoh-tokoh lihai yang menjadi pelaksana dari semua perintahnya. Jarang datuk ini turun tangan sendiri. Kalau ada sesuatu hal yang perlu diselesaikan dengan kekerasan, dia hanya menyuruh seorang di antara para pembantunya dan dia hanya tahu bares saja. Beberapa hari sekali, para pembantu itu datang menghadap dan membuat laporan-laporan kepada datuk itu, yang kemudian mengatur rencana dan menentukan apa yang harus dilakukan oleh mereka.

Setelah menjadi datuk yang kekuasaannya meliputi wilayah dua propinsi itu, hampir semua tokoh dunia hitam tunduk kepada Hek-sim Lo-mo. Ada memang beberapa orang tokoh yang belum pernah mengenal kelihaiannya, merasa kurang percaya dan enggan untuk tunduk atau takluk. Dan ada beberapa tokoh yang cukup tangguh sehingga terpaksa Hek-sim Lo-mo harus turun tangan sendiri menaklukkannya dengan ilmu kepandaiannya yang luar biasa!

Dan kabarnya, tidak ada seorangpun tokoh sesat pembangkang yang sanggup menandinginya lebih dari sepuluh jurus! Beberapa orang tokoh yang dinilai cukup lihai dan berharga untuk menjadi pembantunya, yang tadinya membangkang, tidak dibunuhnya melainkan ditundukkan dan diangkat menjadi pembantu yang boleh diandalkan.

Pada suatu malam, para pembantu Hek-sim Lo-mo datang menghadap seperti biasa. Pertemuan seperti itu diadakan sedikitnya sebulan sekali, dan malam itu, atas permintaan Hek-sim Lo-mo, mereka datang untuk membuat laporan. Hek-sim Lo-mo yang seolah-olah menjadi raja di antara kaum sesat itu, menerima paras pembantunya dengan gembira, dengan pesta pora.

Ruangan yang luas itu dipergunakan untuk menjamu para pembantunya, bahkan mengundang gadis-gadis panggilan, juga rombongan gadis pemain musik, tari dan nyanyi, untuk menghibur pertemuan antara dia dan para pembantunya itu. Memang, terhadap para pembantunya, Hek-sim Lo-mo bersikap royal, dan diapun melimpahkan banyak barang berharga untuk mereka.

Ruangan yang luas itu terang benderang karena banyaknya lampu yang dipasang. Juga ruangan itu dihias dengan kain sutera warna-warni, dan karena banyak gadis cantik melayani, maka pesta itu meriah bukan main. Seperti biasa, sebelum menerima laporan dan merundingkan urusan yang timbul dalam wilayah kekuasaan Hek-sim Lo-mo, datuk ini lebih dulu menjamu para pembantunya dengan makanan yang mewah, dan minum arak nomor satu, juga menghibur mereka dengan tarian dan nyanyian yang dilakukan oteh rombongan gadis penari yang muda-muda dan cantik.

Terjadilah pesta mabok-mabokan dan penuh kecabulan. Para tokoh sesat yang menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo itu sebagian besar adalah tokoh-tokoh jahat terkemuka di dunia kang-ouw, dan mereka adalah orang-orang kasar yang tidak segan-segan melakukan perbuatan tanpa susila di depan siapa saja.

Melihat para gadis panggilan yang melayani mereka itu muda-muda dan cantik-cantik, maka merekapun tanpa malu-malu lagi menggoda dan mempermainkan mereka, mencubit, mencolek, meraba, bahkan ada yang memangku dan menciumi seorang gadis panggilan yang hanya terkekeh genit! Tentu saja tidak sampai berkelanjutan ke hubungan yang lebih intim.

Untuk kesempatan itu, akan diberikan oleh Hek-sim Lo-mo setelah rapat selesai sehingga pesta ini juga merupakan “pemanasan” bagi para pembantu yang diam-diam telah memilih gadis pilihan masing-masing untuk menemani mereka malam nanti. Kamar-kamar untuk para pembantu itu telah disediakan di bagian belakang, kamar-kamar yang cukup mewah untuk menyenangkan hati para pembantunya.

Setelah makan minum selesai, rapatpun dimulai. Tempat itu dibersihkan dari sisa-sisa pesta, meja-meja disingkirkan, diganti meja yang panjang di kelilingi kursi-kursi untuk para pembantu, sedangkan kursi besar berada di kepala meja, tempat duduk Hek-sim Lo-mo. Ruangan itu menjadi lega dan luas, dan para gadis itupun disuruh mundur.

Hek-sim Lo-mo nampak duduk di kepala meja. Dia seorang laki-laki yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, sedikitnya enampuluh tiga tahun. Namun, tubuhnya yang tinggi besar itu masih nampak tegap dan kokoh kuat seperti batu karang. Wajahnya kasar, berbentuk segi empat dengan kulit muka kasar menghitam yang setengahnya, di bagian bawah, penuh dengan kumis jenggot dan cambang.

Sepasang matanya bulat dan besar, memiliki sinar tajam mencorong dan mulutnya selalu menyeringai karena bibirnya terlalu pendek untuk dapat menutup pintu mulutnya. Hidungnya juga besar dan bulat seperti buah terong muda. Bagian tubuh yang kelihatan seperti leher, sebagian lengan karena dia menggulung lengan bajunya, dilingkari otot-otot yang menonjol dan menggembung, membayangkan kekuatan yang dahsyat.

Pakaiannya seperti pakaian hartawan, mewah, dari sutera mahal beraneka warna, dan kepalanya ditutupi sebuah topi yang indah pula, sulaman bunga dan burung Hong. Di luar bajunya, dia mengenakan jubah panjang berwarna mortal seperti yang biasa dipakai oleh pendeta-pendeta. Dia tidak nampak membawa senjata, akan tetapi orang tidak tahu apa yang tersembuyi di balik jubah lebar itu. Sepatunya mengkilat, dari kulit tebal yang kuat. Biarpun usianya sudah enampuluh tiga tahun, namun kumis, jenggot dan rambut kepalanya masih hitam, kaku dan keras seperti kawat-kawat saja.

Tidak ada yang tahu dari mana asalnya Hek-sim Lo-mo dan tidak ada yang berani menanyakannya. Melihat bentuk muka dan kulitnya, mungkin dia peranakan India atau Nepal, setidaknya dia tentu berasal dari daerah barat. Namanya menjulang tinggi dan ditakuti ketika tersiar berita betapa Hek-sim Lo-mo pada puluhan tahun yang lalu, pernah bermusuhan dengan perkumpulan Kui-san-pang dan kabarnya, dalam perkelahian di mana Hek-sim Lo-mo dikeroyok oleh semua pimpinan dan anak buah Kui-san-pang, datuk ini telah menewaskan seluruh anggauta Kui-san-pang yang jumlahnya tidak kurang dari seratus lima puluh orang!

Belum ada yang membuktikan kebenaran berita ini, akan tetapi kenyataannya, Kui-san-pang terbasmi dan tidak tersisa lagi anggautanya, pada hal perkumpulan itu terkenal sekali sebagai perkumpulan yang memiliki banyak orang pandai! Kemudian, berulang kali tokoh-tokoh dunia persilatan menentang Hek-sim Lo-mo, namun seorang demi seorang roboh, tidak kuat menandingi datuk ini.

Di antara para pembantu Hek-sim Lo-mo yang dipercaya dan diandalkan, terdapat lima orang yang dianggap sebagai tangan kanan dan yang paling lihai di antara belasan orang itu. Yang pertama dan duduk di sebelah kanan Hek-sim Lo-mo adalah Yauw Ban yang berjuluk Tok-gan-liong (Naga Mata Satu).

Dia seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, tinggi kurus dengan leher panjang dan yang menarik adalah matanya yang tinggal sebelah. Mata sebelah kiri telah buta, tertutup dan tidak ada biji matanya. Mata itu tertusuk senjata lawan dan dia menjadi buta ketika masih muda dalam suatu perkelahian. Tok-gan-liong Yauw Ban ini lihai sekali, memiliki ilmu pedang tunggal yang sukar dicari tandingannya, dan diapun seorang ahli ginkang yang memiliki kecepatan gerakan seperti terbang saja. Dia pendiam dan berdarah dingin, dapat membunuh tanpa mengedipkan mata tunggalnya, dan cerdik sekali.

Dia menjadi pembantu nomor satu dari Hek-sim Lo-mo setelah dia dikalahkan oleh datuk itu karena tadinya diapun tidak sudi takluk sebelum menguji kepandaian datuk itu. Dan dalam perkelahian inilah Hek-sim Lo-mo dapat melihat kelihaian Naga Mata Satu ini, maka diapun menarik Yauw Ban menjadi pembantu utama, maklum bahwa para pembantu yang lain masih kalah dibandingkan dengan Yauw Ban.

Sebelum menjadi pembantu pertama Hek-sim Lo-mo, Tok-gan-liong Yauw Ban ini menjadi perampok tunggal yang dianggap sebagai datuk para perampok di wilayah Propinsi Shan-tung. Dia malang melintang dan para perampok lainnya selalu memberi semacam “upeti” kepadanya. Akan tetapi kemunculan Hek-sim Lo-mo menarik nama besarnya ke bawah sehingga dia penasaran dan menantang datuk itu untuk mengadu ilmu silat. Tanpa banyak kesukaran, Hek-sim Lo-mo yang memang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya, mengalahkan Yauw Ban dan Si Naga Mata Satu ini lalu takluk dan dengan senang hati menjadi pembantunya yang paling setia.

Bahkan Hek-sim Lo-mo berkenan memperdalam ilmu pembantunya ini sehingga Yauw Ban menjadi semakin setia karena menganggap Hek-sim Lo-mo selain atasannya, juga seperti gurunya sendiri. Dan datuk sesat itupun pandai menyenangkan hati Tok-gan-liong Yauw Ban sehingga pada waktu itu, andaikata disuruh menyeberangi lautan api sekalipun kalau yang memerintahnya Hek-sim Lo-mo, tentu Yauw Ban akan mentaatinya!

Pembantu kedua yang juga amat lihai dan duduk di sebelah kiri Hek-sim Lo-mo adalah seorang wanita! Ia juga seorang tokoh sesat yang amat terkenal di Propinsi He-nan dan Shan-tung, terutama sekali di sepanjang Sungai Kuning dan wanita ini terkenal ganas sekali. Ia terkenal dengan julukannya, yaitu Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor Sembilan) sehingga nama aselinya tak pernah diketahui orang.

Iapun suka disebut Mo-li (Iblis Betina) saja! Selain ganas, kejam dan sadis, wanita ini terkenal gila laki-laki, cabul dan setiap orang laki-laki yang disenanginya, diculik dan dipaksa untuk melayani gairah nafsu berahinya. Yang menolak, dibunuh seketika. Yang mau melayaninya, kalau memuaskan hatinya, ia beri hadiah yang royal sekali, akan tetapi kalau mengecewakan, juga dibunuhnya!

Tujuh tahun yang lalu, Kiu-bwe Mo-li berani menentang kekuasaan Hek-sim Lo-mo yang mengutus Tok-gan-liong Yauw Ban untuk menundukkannya. Dalam adu kepandaian yang amat seru, Tok-gan-liong Yauw Ban menemui kesulitan untuk mengalahkan wanita itu, walaupun kehebatan ilmu pedangnya juga membuat Kiu-bwe Mo-li kewalahan untuk dapat mendesak lawannya.

Melihat betapa wanita itu lihai, dapat mengimbangi kepandaian pembantu utamanya, timbul perasaan sayang pada Hek-sim Lo-mo dan dia lalu maju menggantikan Yauw Ban. Tanpa banyak kesulitan, akhirnya dia mampu menundukkan Kiu-bwe Mo-li yang kemudian takluk dan menjadi pembantunya yang nomor dua.

Wanita itu kini berusia empa tpuluh dua tahun, akan tetapi karena terlampau menurutkan nafsu berahi yang diumbarnya tanpa batas, wajahnya nampak lebih tua dan keriputan. Wajahnya yang dulu cantik itu masih meninggalkan bekas, namun kulitnya keriputan dan rambutnya banyak yang putih. Kenyataan ini hendak disembunyikan dengan bedak tebal dan dandanan yang pesolek sekali, juga sikap yang amat genit!

Sesuai dengan nama julukannya, Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor Sembilan), wanita ini memiliki senjata yang istimewa, yaitu sebatang cambuk yang berekor sembilan. Ia pandai sekali memainkan senjata cambuk ekor sembilan ini dan julukannya pun diambil dari senjata itu.

Orang ketiga yang menjadi pembantu utama Hek-sim Lo-mo adalah seorang pria yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun. Baru lima tahun dia menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo. Dia bertubuh sedang dan wajahnya tampan dan menarik, gerak-geriknya halus lembut dan sopan peramah, pakaiannya seperti pakaian seorang terpelajar. Orang akan tidak percaya kalau mendengar bahwa dia adalah seorang yang memiliki hati yang amat kejam dan jahat, tidak percaya bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang suka memperkosa wanita dan membunuhnya!

Namanya Lui Teng dan dia dijuluki Jai-hwa Kongcu (Tuan Muda Pemetik Bunga). Sebenarnya, Jai-hwa Kongcu Lui Teng ini adalah seorang murid yang pandai dari perguruan Pek-tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih) yang berada di puncak Gunung Lu-san, sebuah perkumpulan para orang gagah. Akan tetapi, Lui Teng diperhamba oleh nafsu berahinya sendiri sehingga dia melakukan perbuatan jahat, yaitu memaksa wanita yang membangkitkan gairah berahinya dengan cara memperkosa, bahkan sering kali dia membunuh wanita yang menolaknya atau melawannya ketika dia memperkosanya.

Karena perbuatan ini, dia menjadi seorang pelarian, melarikan diri dari Pek-tiauw-pang. Bahkan setelah mendengar akan sepak terjang Lui Teng, para pimpinan Pek- tiauw-pang mengutuknya dan tidak lagi mengakuinya sebagai murid, walaupun hal ini dilakukan oleh para pimpinan dengan hati menyesal karena sesungguhnya Lui Teng adalah seorang murid yang mewarisi ilmu-ilmu perguruan itu dengan baik dan kepandaiannya yang tinggi dapat menjunjung tinggi nama perguruan Pek-tiauw-pang. Lui Teng juga penasaran melihat munculnya Hek-sim Lo-mo sebagai datuk. Diapun menantangnya dan biarpun dengan susah payah, dia dapat dikalahkan oleh Tok-gan-liong Yauw Ban. Dia takluk dan diangkat menjadi pembantu ketiga oleh Hek-sim Lo-mo.

Pembantu keempat dan kelima adalah saudara kembar. Mereka bernama Gan Siang dan Gan Siong, dan keduanya selalu maju bersama. Oleh karena itu mereka mendapat julukan He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis dari He-nan). Mereka berusia sekitar empatpuluh tahun dan baru dua tahun mereka menjadi pembantu-pembantu yang dipercaya oleh Hek-sim Lo-mo. Kedua orang kembar ini berwajah serupa benar sehingga sukarlah bagi orang lain untuk dapat membedakan antara mereka. Wajah mereka bulat, dan bukan hanya bentuk wajah dan tubuh mereka yang serupa benar, akan tetapi bahkan pakaian merekapun sama, seolah-olah lipatan-lipatannya sama, bentuk rambut, kumis dan jenggot mereka tiada bedanya. Juga keduanya suka tertawa, suka memandang rendah orang lain dan berhati kejam.

Mereka terkenal sekali bukan hanya karena kekejaman mereka, melainkan terutama sekali karena kelihaian mereka memainkan sebatang golok. Kalau menghadapi bahaya atau lawan, jarang mereka maju satu demi satu, pasti mereka maju bersama, biar lawannya hanya seorang ataupun ada sepuluh orang. Dan kalau kedua orang kembar ini sudah memainkan golok mereka, dengan ilmu golok Siang-mo Sin-to (Golok Sakti Sepasang Iblis), maka dua batang golok itu seolah-olah digerakkan oleh satu orang saja yang memiliki dua pasang tangan dan dua pasang kaki!

Kerja sama mereka mengagumkan dan mengherankan sekali, karena masing-masing seperti dapat mengetahui apa yang berada di dalam hati dan pikiran saudara kembarnya. Inilah yang membuat mereka menjadi lihai dan berbahaya sekali. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, mereka masih kalah oleh Jai-hwa Kongcu Lui Teng, akan tetapi kalau mereka maju bersama, biar Tok-gan-liong Yauw Ban sendiri akan repot melawan mereka.

Di samping lima orang ini, masih ada sepuluh orang lain yang diangkat menjadi pembantu-pembantunya, akan tetapi yang menjadi tangan kanan hanyalah lima orang itu. Tentu saja tingkat kepandaian para pembantu lain juga tinggi dan mereka adalah tokoh-tokoh golongan hitam atau kaum sesat, namun masih kalah kalau dibandingkan dengan lima orang pembantu utama tadi.

“Nah, sekarang mulailah kalian membuat laporan dan hasil dari pekerjaan kalian selama sebulan ini. Harap cepat karena aku merasa lelah, ingin beristirahat. Kalianpun tentu ingin beristirahat dengan pasangan kalian yang sudah kalian pilih tadi, di kamar kalian masing-masing seperti yang sudah-sudah.”

Mulailah para pembantu itu membuat laporan seorang demi seorang. Kebanyakan di antara mereka memberi pelaporan tentang hasil pemasukan uang “pajak” yang mereka tarik dari rumah-rumah judi, rumah-rumah pelacuran, dan bingkisan dari mereka yang merasa dan mengharapkan perlindungan, juga dari kepala-kepala perampok, bajak, copet, maling yang merasa berada di bawah kedaulatan datuk ini dan sekedar mengirim “bagi hasil”.

Di antara mereka, yang paling banyak mengumpulkan uang hasil tarikan ini adalah He-nan Siang-mo sehingga Hek-sim Lo-mo merasa girang sekali dan memuji dua orang pembantunya ini. Semua hasil berupa emas perak dan barang berharga itu segera diangkut oleh He-nan Siang-mo yang dipercaya oleh datuk itu untuk membuka gudang harta dan menyimpan semua harta baru itu ke dalam gudang.

Kini tiba giliran Kui-bwe Mo-li yang membuat laporan. “Laporan yang saya bawa agak tidak menyenangkan, Beng-cu,” memang Hek-sim Lo-mo memerintahkan semua bawahannya untuk menyebut dia beng-cu (pemimpin rakyat), membandingkan dirinya dengan para pahlawan rakyat yang berjuang demi rakyat jelata!

“Seorang di antara bangsawan yang berada di bawah perlindungan kita, telah disiksa orang, bahkan dibuntungi kaki tangannya. Dia adalah Pangeran Coan Siu Ong! Bukan itu saja, juga orang yang membuntunginya itupun telah mengadakan pengacauan di Lok-yang, menghajar para jagoan dari rumah pelesir Bibi Ciok!”

Sepasang alis tebal Hek-sim Lo-mo berkerut. ”Hemm, mengganggu orang-orang yang kita lindungi sama artinya dengan mengganggu kita! Siapa orangnya demikian berani mati? Tentu dia bukan orang sini dan tidak tahu akan kekuasaan kita!”

“Sudah saya selidiki, Beng-cu. Ia adalah seorang gadis yang usianya sekitar duapuluh tiga tahun, cantik jelita dan ilmu kepandaiannya tinggi, selalu mengenakan pakaian serba hitam dan mengaku julukannya Hek-liong-li!”

“Dewi Naga Hitam? Hemmm, betapa sombongnya. Cari dan segera bunuh ia, jangan beri ampun!” Bentak Hek-sim Lo-mo. “Kuserahkan tugas ini kepadamu, Mo-li!”

“Harap Beng-cu jangan khawatir. Saya akan mencarinya, kalau perlu dibantu anak buah, dan kalau sudah dapat ditemukan, akan kupenggal kepalanya!” kata Kiu-bwe Mo-li sambil terkekeh genit.

Yauw Ban, tangan kanan pertama itu melaporkan bahwa dia telah berhasil menemukan seorang ahli pembuat pedang yang amat pandai. “Namanya Thio Wi Han, usianya sudah tujuh puluh tahun. Akan tetapi dia tidak mau dibawa ke sini, Beng-cu.”

“Ehh? Kalau tidak mau, seret saja!”

“Dia adalah seorang tua yang kukuh. Katanya, dia hanya mampu membuat pedang pusaka kalau di rumahnya sendiri, menggunakan alat-alatnya sendiri. Kalau disuruh membuat di luar rumahnya, di tempat lain, dia tidak sanggup dan biar dibunuh mati sekalipun, dia tidak sanggup mengerjakannya.”

“Keparat, keras kepala! Akan tetapi sudahlah, yang penting adalah bahannya lebih dulu. Sudah mendapatkan seorang ahli pembuat pedang, sudah baik, dan membuat di sanapun tidak mengapa. Nah, Lui Teng, bagaimana dengan pelaksanaan tugasmu?”

“Sudah saya laksanakan, Beng-cu. Dia memang keras kepala. Segala siksaan sudah saya lakukan, akan tetapi dia tetap membungkam. Saya khawatir kalau dia akan mati oleh siksaan yang lebih berat, maka saya lalu mencari akal yang baik sekali. Saya melakukan penyelidikan dan mengetahui bahwa dia meninggalkan seorang anak gadis di dusunnya. Saya lalu menangkap gadis itu dan membawanya ke sini, sekarang telah saya masukkan kamar tahanan. Saya kira kalau dia melihat anaknya disiksa, dia akan membuka mulut!”

Wajah yang hitam menyeramkan dari Hek-sim Lo-mo berseri dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha, bagus, bagus sekali! Engkau memang cerdik, Lui Teng! Aku ingin cepat mendapatkan Liong-cu (mustika naga) itu. Bawa sasterawan kepala batu itu ke sini bersama anak gadisnya. Ha-ha, kita nonton pertunjukan sambil menanti keluarnya rahasia tempat penyimpanan Liong-cu itu!”

“Baik, Beng-cu,” kata Jai-hwa Kongcu Lui Teng dengan gembira.

Dia lalu meninggalkan ruangan itu dan tak lama kemudian dia datang kembali bersama seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, dipapah oleh seorang gadis berusia tujuhbelas tahun yang menuntun kakek itu sambil menangis. Kakek itu berpakaian sasterawan, pakaiannya kotor dan dekil karena semenjak ditahan dan disiksa, dia tidak pernah berganti pakaian.

Usianya kurang lebih enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus. Dia adalah seorang sasterawan yang amat pandai dalam hal baca dan tulis, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng. Dia ditangkap oleh Hek-sim Lo-mo karena datuk ini juga merupakan seorang di antara mereka yang mencari-cari Kim-san Liong-cu, mustika naga yang berada di kuburan tua seorang pangeran di jaman dahulu. Ternyata kemudian bahwa mustika yang diperebutkan itu tidak ada di dalam makam setelah makam dibongkar, sudah ada orang lain yang mendahului para tokoh dunia persilatan yang memperebutkannya.

Hek-sim Lo-mo yang ingin sekali mendapatkan mustika itu, tidak patah semangat dan dia terus melakukan penyelidikan, dibantu oleh banyak anak buahnya. Akhirnya dia menemukan rahasia kehilangan mustika itu. Kiranya seorang sastrawan yang terkenal amat pandai dalam ilmu sastra kuno, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng, orang yang suka melakukan penyelidikan mengenai sejarah dari peninggalan dan tulisan-tulisan kuno, telah menemukan tulisan kuno rahasia.

Bagi orang lain yang tidak mengerti, bahkan bagi ahli-ahli sastra kebanyakan saja, benda itu tidak ada harga dan artinya. Namun, Pouw Sianseng dapat menterjemahkannya dan diapun girang membaca bahwa tulisan kuno itu menunjukkan tempat penyimpanan mustika yang disebut Kim-san Liong-cu yang ternyata telah diambil orang jauh sebelum para tokoh persilatan memperebutkannya!

Pouw Sianseng lalu mencari tempat rahasia itu dan berhasil menemukan mustika itu! Akan tetapi, rahasianya ini akhirnya bocor ketika isterinya yang masih muda, jatuh cinta kepada seorang laki-laki muda. Isterinya itu membisikkan rahasia ini kepada kekasihnya. Perbuatan mereka tertangkap basah dan Pouw Sianseng membunuh isterinya, tidak tahu bahwa rahasianya tentang mustika sudah diketahui oleh kekasih isterinya yang melarikan diri.

Semenjak isteri yang melakukan penyelewengan itu dibunuhnya, Pouw Sian-seng hidup berdua dengan puterinya yang kini berusia tujuh belas tahun, bernama Pouw Bi Hwa. Ketika dia membunuh isterinya, Bi Hwa baru berusia lima tahun dan selama belasan tahun ini, Pouw Sianseng berhasil menyimpan rahasianya tentang mustika naga yang disimpannya di tempat rahasia.

Celakanya, kekasih mendiang isterinya itu tidak dapat menutup mulut dan dari mulut ke mulut, akhirnya berita itu sampai juga ke telinga Hek-sim Lo-mo. Sudah beberapa kali Pouw Sianseng diserbu pencuri, perampok, bahkan pernah diancam oleh tokoh- tokoh sesat untuk menyerahkan mustika itu, namun Pouw Sianseng tetap menyangkal sehingga akhirnya para tokoh itu berkesimpulan bahwa berita tentang mustika naga yang berada dalam kekuasaan Pouw Sianseng itu hanya kabar bohong belaka.

Namun tidak demikian anggapan Hek-sim Lo-mo. Dia lalu mengutus orang kepercayaannya yang ketiga, yaitu Jai-hwa Kongcu Lui Teng, untuk menyiksa dan mengorek keterangan dari Pouw Sianseng yang sudah diculiknya. Hasilnyapun sia-sia, dan seperti yang sudah-sudah, Pouw Sianseng tetap menyangkal dan tidak mau membuka rahasia tentang Liong-cu (mustika naga) yang disembunyikannya itu.

Hek-sim Lo-mo sudah demikian yakin bahwa dia akan dapat menguasai mustika naga itu, maka diapun sudah menyuruh pembantu utamanya, Tok-gan-liong Yauw Ban, untuk mencari seorang ahli pembuat pedang yang berilmu tinggi dan akan membuatkan pedang dari mustika naga itu!

Ternyata kemudian dari laporan itu bahwa Pouw Sianseng benar-benar keras kepala sehingga Jai-hwa Kongcu Lui Teng mempergunakan akal lain, yaitu menculik puteri Pouw Sianseng. Dan kini, Jai-hwa Kongcu Lui Teng membawa Pouw Sianseng dan anak gadisnya ke dalam ruangan itu.

Biarpun keadaan Pouw Sianseng sudah payah karena mengalami siksaan yang mengerikan, namun ketika dia masuk ruangan dipapah puterinya, dia menahan semua rasa nyeri dan menegakkan tubuh dan kepalanya, dengan sikap gagah dia hendak menentang semua pemaksaan para penculiknya.

Sementara itu, puterinya memandang sekeliling dengan wajah pucat. Gadis berusia tujuhbelas tahun ini berwajah manis, tidak terlalu cantik, berpakaian sederhana namun sepasang matanya membayangkan kelembutan dan kecerdasan. Tubuhnya montok sebagai seorang gadis yang mulai dewasa, seperti setangkai bunga yang mulai mekar. Namun, gadis itu jelas kelihatan ketakutan dan gelisah sekali, juga berduka melihat keadaan ayahnya.

Ayahnya menghilang sejak beberapa hari lamanya dan selagi ia kebingungan, malam itu muncul laki-laki tampan dan halus berpakaian pelajar itu yang mengatakan bahwa dia tahu di mana adanya ayahnya yang bilang dan mengajak ia untuk pergi bersama mengunjungi ayahnya. Karena khawatir akan keselamatan ayahnya, Pouw Bi Hwa terpaksa ikut dengan laki-laki yang bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng itu! Kalau saja ia tahu bahwa pria tampan itu adalah seorang tukang perkosa wanita yang amat keji!

Akan tetapi, pria itu sama sekali tidak mengganggunya. Hal ini adalah karena gadis itu diajak pergi bukan untuk diperkosa, melainkan untuk keperluan lain lagi yang lebih penting, yaitu memaksa ayah gadis itu mengaku di mana adanya Liong-cu! Pula, selera Lui Teng dalam urusan wanita memang agak tinggi dan hanya wanita cantik jelita pilihan saja yang dapat menggerakkan hati dan membangkitkan gairahnya. Sedangkan Bi Hwa, biarpun tidak jelek, hanya memiliki kemanisan yang umum saja!

Melihat sikap Pouw Sianseng yang angkuh, Hek-sim Lo-mo mengerutkan alisnya. Orang seperti ini memiliki kegagahan tersendiri, pikirnya, dan kalau dipaksanya, tentu dia lebih baik mati dari pada menyerahkan mustika itu. Kemudian dia memandang gadis itu dan dia pun tersenyum. Memang pembantunya yang nomor tiga itu cerdik sekali.

Orang yang mempertahankan kehormatan lebih dari pada nyawanya seperti Pouw Sianseng itu, harus dilawan dengan ancaman terhadap kehormatannya pula. Dan kehormatan apakah yang lebih tinggi bagi seorang ayah dari pada kehormatan diri anak gadisnya? Tentu tidak lebih rendah dari pada kehormatan mempertahankan milik dan haknya, seperti mustika naga itu!

Jai-hwa Kongcu mendorong ayah dan anak itu ke depan Hek-sim Lo-mo. Ayah dan anak itu jatuh tersungkur di atas lantai dan mereka berlutut di depan Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi, Pouw Sianseng sudah mengangkat mukanya lagi dan menegakkan kepala, memandang kepada Hek-sim Lo-mo dengan penuh ketabahan.

Hek-sim Lo-mo menyeringai. “Pouw Sianseng, keberanianmu mengagumkan hatiku. Biarlah aku tidak akan membunuhmu dan aku menukar nyawamu dengan Liong-cu itu!”

Baru satu kali Pouw Sianseng dibawa menghadap Hek-sim Lo-mo, sebelum dia disiksa dan diapun tahu bahwa raksasa muka hitam inilah yang menjadi kepala di tempat itu, bahkan yang menyuruh orang menangkap dan menyiksa untuk merampas Liong-cu. Kini, ucapan Hek-sim Lo-mo disambutnya dengan senyum mengejek.

“Hek-sim Lo-mo, tidak perlu banyak cakap lagi dan tidak perlu lagi membujuk atau mengancam aku. Aku tidak takut mati dan biar kaubunuh sekalipun aku tidak akan bicara tentang Liong-cu!”

“Aku akan menukar puterimu dengan Liong-cu!” Tiba-tiba Hek-sim Lo-mo berkata.

Sepasang mata kakek sastrawan itu terbelalak sejenak, lalu diapun tersenyum. “Anakkupun tidak takut mati. Engkau tidak perlu mengancam. Biar kaubunuh kami berdua, Liong-cu tidak akan kuserahkan kepadamu!”

“Orang she Pouw, jangan sombong engkau! Ada yang lebih menyiksa dari pada sekedar kematian. Panggil Hek-wan (Lutung Hitam) ke sini!” perintahnya kepada Jai-hwa Kongcu Lui Teng.

Pria tampan ini tersenyum-senyum lalu keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang wajah serta tubuhnya amat menyeramkan. Dialah Tiat-pi Hek-wan (Lutung Hitam Lengan Besi) yang terkenal sebagai tukang siksa yang kejam dan sadis. Mukanya mirip seekor monyet, kulit tubuhnya hitam, dan kedua lengannya berbulu seperti lengan lutung besar, tubuh atasnya tidak memakai pakaian sehingga nampak dada yang lebar, membusung, hitam dan penuh otot-otot besar, juga ditumbuhi bulu tebal.

Begitu memasuki ruangan, Tiat-pi Hek-wan ini memandang ke sekeliling sambil tersenyum dan kelihatan bangga bahwa dia dipanggil oleh Hek-sim Lo-mo, berarti dia dibutuhkan. Setelah berada di depan datuk itu, dia memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya.

“Hek-wan, aku akan memberi pekerjaan kepadamu, sekali ini pekerjaan yang amat menyenangkan!” kata Hek-sim Lo-mo.

Si Lutung Hitam itu tertawa bergelak dan dia membuka mulut selebarnya sehingga nampak gigi yang besar-besar tidak rata dan kekuning-kuningan menjijikkan. “Ha-ha-ha, saya selalu siap sedia, Beng-cu. Menyiksa dan membunuh orang adalah pekerjaanku, kesenanganku. Siapa lagi yang harus saya patah-patahkan kaki tangannya, saya cabut lidah atau matanya, atau saya puntir batang lehernya?”

Pouw Sianseng memandang kepada raksasa berbulu itu dengan pandang mata acuh, akan tetapi puterinya terbelalak dengan muka pucat dan jelas nampak bahwa ia merasa ngeri dan ketakutan.

“Sekali ini tidak yang seperti itu, Hek-wan. Aku ingin memberi hadiah kepadamu. Lihat, gadis ini kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau harus memperkosanya di sini, kami dan ayah gadis ini ingin sekali melihat bagaimana engkau akan melakukannya,” kata Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya tertawa dengan hati penuh ketegangan yang menggembirakan karena mereka akan disuguhi pertunjukan yang mereka anggap amat menyenangkan dan menarik hati.

Mendengar ini, Tiat-pi Hek-wan menyeringai dan mengangguk-angguk, lalu dia menoleh kepada Bi Hwa yang sudah merangkul ayahnya sambil menangis. Pouw Sianseng kini juga terbelalak dan mukanya pucat, kedua lengannya merangkul puterinya seperti hendak melindunginya dari bahaya yang mengerikan.

“Heh-heh, manis, engkau mendengar perintah Beng-cu tadi? Ke sinilah manis, dan engkau akan mengalami sesuatu yang selama hidupmu takkan pernah dapat kaulupakan! Marilah...”

Dia melangkah maju. Bi Hwa menggeleng kepala keras-keras, menutupi mulut untuk menahan jeritnya saking merasa ngeri dan takut, merangkul ayahnya semakin kuat. Akan tetapi, sekali tangan kirinya menyambar, Tiat-pi Hek-wan sudah menangkap lengan kanan gadis itu dan menariknya. Ketika gadis itu menahan, dan ayahnya mempertahankan puterinya dengan kedua tangan merangkul kuat-kuat.

Akan tetapi, Tiat-pi Hek-wan menendang dan tubuh kakek itupun terjengkang, dan pegangan antara ayah dan anak itupun terlepas. Bi Hwa menjerit ketika tubuhnya ditarik dan dipondong oleh raksasa itu. Ia meronta dan mencakar, menjerit-jerit dan menangis...

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 07

KEPARAT, berani kau mengganggu aku...” Tiba-tiba dia menghentikan kalimatnya itu ketika Liong-li membalikkan tubuh menghadapinya. Pangeran Coan Siu Ong terkejut dan bengong memandang kepada wanita berpakaian serba hitam yang amat cantik itu. Cantik dan menyeramkan karena kemunculannya yang tiba-tiba, pakaiannya yang serba hitam, dan tangannya yang memegang pedang telanjang.

“Siapa... siapa kau...?” akhirnya dia bertanya, suaranya agak gemetar karena dia merasa seram. Sementara itu, selirnya yang juga sudah menutupi tubuh dengan pakaian sekenanya, turun dari pembaringan dan bersembunyi di sudut kamar, di balik lemari pakaian dengan muka pucat dan tubuh gemetar.

Liong-li tersenyum manis. “Pangeran Coan Siu Ong, sudah lupakah kau kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu! Lupakah engkau kepada keluarga Lie, bawahanmu yang kau bikin hancur keluarganya itu? Engkau memperkosa aku, lalu menjualku ke rumah pelesir, engkau membuat ayahku membunuh diri dan ibuku mati karena duka.”

“Ahhh...!” mata pangeran itu terbelalak ketika dia teringat. “Kau... Kim Cu...!”

“Sekarang bukan Lie Kim Cu lagi, melainkan Hek-liong-li yang datang untuk membasmi manusia-manusia jahat dan keji macam engkau!”

“Tolonggg...! Tolooongggg...!” Tiba-tiba selir yang bersembunyi di sudut dekat lemari itu berteriak-teriak mendengar ucapan wanita baju hitam itu.

Sementara itu, Pangeran Coan Siu Ong sudah jatuh berlutut karena takutnya. Dia mengenal Kim Cu, gadis yang pernah dijadikan selir, dan karena gadis itu menolak untuk digauli, bahkan memukulnya, maka dia menyuruh pengawalnya untuk membelenggu gadis itu, kemudian diperkosanya! Dia sudah tahu bahwa gadis itu kuat sekali dan andaikata dia melawan pun akan sia-sia, maka saking takutnya, dia sudah jatuh berlutut dengan tubuh menggigil ketakutan.

“Ampun... ampunkan aku...” katanya berulang kali dengan bibir gemetar. Akan tetapi diam-diam dia melirik ke arah pintu, mengharapkan munculnya para pengawalnya atas teriakan minta tolong selirnya tadi. Akan tetapi, Liong-li sama sekali tidak perduli akan teriakan selir yang ketakutan itu.

“Mintalah ampun kepada Tuhan!” kata Liong-li dan tangannya bergerak, pedangnya berkelebat menjadi sinar menyambar ke arah Pangeran Coan Siu Ong.

“Crak-crak-crak-crakk!” Nampak darah muncrat-muncrat dan tubuh pangeran itu terguling mandi darahnya sendiri yang bercucuran keluar dari kedua lengan dan kedua kakinya yang buntung! Buntung sebatas pergelangan, terbabat oleh pedang di tangan Liong-li!

Wanita itu lalu melontarkan pedang menancap pada dinding, tepat pada saat pintu kamar itu jebol karena dibuka secara paksa dari luar oleh para pengawal yang berdatangan karena teriakan selir yang ketakutan itu. Selir itu masih berteriak-teriak, bahkan semakin keras melihat betapa suaminya roboh mandi darah.

Liong-li berdiri di tengah kamar itu, bertolak pinggang dengan sikap tenang sekali, memandang kepada delapan orang pengawal yang memasuki kamar. Para pengawal terkejut bukan main melihat tubuh majikan mereka yang kehilangan kedua tangan dan kedua kaki itu, berkelojotan sambil merintih-rintih.

“Perempuan jahat berani mati dari mana yang membikin kacau di sini, berani menyerang Pangeran!” bentak seorang di antara mereka.

“Aku Dewi Naga Hitam, datang untuk menghukum orang yang jahat dan kejam seperti Pangeran Coan Siu Ong. Kalau kalian hendak membelanya, mari keluar, di sini terlalu sempit!” Berkata demikian, Liong-li meloncat dan tubuhnya sudah melayang keluar dari kamar itu melalui jendela. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya.

Liong-li menanti di pekarangan depan yang luas. Ia berdiri tegak, tanpa memegang senjata, menanti pengejaran para pengawal. Kini semua pengawal muncul, jumlah mereka ada dua belas orang. Mereka semua telah tahu bahwa majikan mereka dibuntungi kaki tangannya oleh wanita berpakaian hitam yang mengaku bernama Hek-liong-li itu, maka dua belas orang pengawal mengepungnya dengan senjata di tangan ketika melihat ia berdiri menanti di tengah pekarangan depan.

Liong-li menghadapi para pengawal itu dengan sikap tenang saja, dan ketika mereka mulai menyerbu dari depan belakang, kanan dan kiri, tubuhnya tiba-tiba bergerak amat cepatnya sehingga para pengepung itu kehilangan lawan, yang nampak hanya bayangan hitam berkelebatan di antara mereka dan berturut-turut, dua belas orang pengawal itu rebah malang melintang, ada yang patah lengannya, tulang pundak atau tulang kaki, ada pula yang pingsan. Ketika mereka yang terluka ini merangkak bangun, bayangan Dewi Naga itu sudah lenyap dari situ!

Tentu saja peristiwa hebat ini membuat nama Dewi Naga Hitam menjadi terkenal di seluruh Lok-yang dan daerahnya. Pangeran Coan Siu Ong tidak mati, akan tetapi dia hidup dalam keadaan yang sengsara sekali. Karena kakinya buntung sebatas pergelangan, untuk berjalan pun sukar dan dia harus memakai tongkat sebagai kaki ketiga! Dan kedua tangannya tidak ada. Dia menjadi seorang tapadaksa yang selalu harus dirawat dan dibantu orang.

Pangeran itu menjadi pemurung, hilang semua kesenangan dan dia lebih banyak termenung di atas pembaringan kamarnya seorang diri. Tidak lagi dia pernah mendekati wanita karena tidak tahan melihat pandang mata jijik mereka terhadap dirinya. Baru sekarang dia merasa menyesal dan seringkali membayangkan semua perbuatannya yang sesat di waktu lalu.

Dari kota Lok-yang inilah mulai dikenal nama Dewi Naga Hitam yang kemudian terkenal di dunia kang-ouw. Seorang wanita yang masih muda, cantik menarik, namun memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dengan pakaian yang serba hitam!

Bagi dunia persilatan, nama Dewi Naga Hitam yang baru muncul ini masih merupakan teka-teki, kecuali bahwa nama julukan itu adalah nama seorang wanita muda yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Dunia kang-ouw tidak tahu orang macam apa adanya Hek-liong-li, apakah termasuk golongan pendekar yang menentang kejahatan pada umumnya, ataukah golongan sesat yang memaksakan keinginan hati demi keuntungan sendiri dengan mengandalkan kekerasan dan kekuatan.

Liong-li tidak pernah menentang kejahatan, tidak mencampuri urusan orang lain dan hanya menghajar orang yang berani menentang dan memusuhinya. Karena itu, namanya yang baru muncul itu disegani, baik oleh golongan pendekar, maupun oleh golongan hitam.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 07 karya kho ping hoo

Sejak sepuluh tahun yang lalu, dunia persilatan telah digemparkan oleh munculnya datuk-datuk sesat yang terkenal dengan nama julukan Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)! Mereka dikenal sebagai Sembilan Iblis Tua, akan tetapi sesungguhnya mereka itu bergerak secara terpisah, bahkan tidak ada hubungannya satu sama lain, kecuali beberapa orang di antara mereka yang ada hubungan saudara seperguruan atau sahabat. Bahkan di antara mereka ada yang tidak saling mengenal bahkan tak pernah saling berjumpa.

Kalau mereka disebut Sembilan Iblis Tua adalah karena pada jaman itu, mereka merupakan datuk-datuk kaum sesat yang paling tinggi ilmunya dan ditakuti lawan disegani kawan. Mereka mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, bahkan tidak ada yang tinggal di satu propinsi. Kelihaian sembilan orang datuk sesat ini ramai dibicarakan di dunia persilatan, bahkan di dunia hitam, mereka itu seperti tokoh-tokoh dalam dongeng saja!

Seorang di antara mereka berjuluk Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam). Seperti delapan orang rekannya yang lain, diapun baru muncul sejak sepuluh tahun yang lalu. Tadinya, Kiu Lo-mo tak pernah muncul di dunia ramai, bahkan nama mereka seperti sudah tenggelam di samudera luas atau melayang lenyap di langit yang lebih luas lagi. Dan mungkin sekali kemunculan mereka karena saling tertarik.

Mendengar yang seorang muncul, yang lainpun agaknya tidak mau kalah sehingga dunia hitam menyambut kemunculan mereka dengan hangat, merasa telah memperoleh pimpinan yang boleh diandalkan. Segera para tokoh sesat menyatakan diri sebagai pengagum dan “berlindung” di bawah pengaruh datuk sesat itu, di wilayah masing-masing.

Demikian pula dengan Hek-sim Lo-mo. Begitu dia muncul, para tokoh sesat, kepala-kepala perampok, ketua-ketua perkumpulan gelap, bahkan hartawan dan bangsawan, banyak yang berbondong-bondong menghadap atau mengirim utusan disertai barang bingkisan atau hadiah yang amat berharga. Tentu saja bingkisan atau hadiah itu bukan diberikan dengan hati rela dan berdasarkan persahabatan yang murni.

Sama sekali tidak. Pemberian itu adalah semacam sogokan atau suapan, diberikan dengan pamrih agar nama si pemberi dimasukkan dalam daftar orang-orang yang dilindungi oleh pengaruh dan kekuasaan Hek-sim Lo-mo. Dan sebentar saja, datuk yang berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo, telah menjadi kaya raya! Perkumpulan-perkumpulan sesat yang menguasai tempat-tempat perjudian, pelacuran dan menyediakan tenaga bayaran untuk menjadi tukang-tukang pukul para hartawan, tergopoh-gopoh menyambut datuk ini, membuatkan rumah dan mencukupi segala keperluannya.

Hek-sim Lo-mo menjadi datuk yang wilayahnya meliputi dua propinsi, yaitu He-nan dan Shan-tung! Amat luas wilayah ini dan dia memilih Lok-yang sebagai tempat tinggalnya. Rumahnya besar dan mewah, seperti rumah seorang hartawan saja, di pinggir kota Lok-yang, di atas tanah yang luas. Rumah itu diperlengkapi dengan taman yang lebar dan indah, ruangan yang luas untuk tempat bermain silat, rekreasi, pesta dan sebagainya.

Rumah induknya menjadi tempat tinggalnya dan Hek-sim Lo-mo ditemani oleh lima orang selir, wanita-wanita muda yang cantik manis, berusia antara delapan belas sampai dua puluh lima tahun, dan belasan orang pelayan! Hidupnya makmur dan penuh kesenangan dan dia boleh dibilang sama sekali tidak bekerja. Namanya saja yang dipergunakan oleh dunia kang- ouw sebagai pelindung.

Tentu saja Hek-sim Lo-mo mempunyai banyak sekali pembantu, yaitu tokoh-tokoh lihai yang menjadi pelaksana dari semua perintahnya. Jarang datuk ini turun tangan sendiri. Kalau ada sesuatu hal yang perlu diselesaikan dengan kekerasan, dia hanya menyuruh seorang di antara para pembantunya dan dia hanya tahu bares saja. Beberapa hari sekali, para pembantu itu datang menghadap dan membuat laporan-laporan kepada datuk itu, yang kemudian mengatur rencana dan menentukan apa yang harus dilakukan oleh mereka.

Setelah menjadi datuk yang kekuasaannya meliputi wilayah dua propinsi itu, hampir semua tokoh dunia hitam tunduk kepada Hek-sim Lo-mo. Ada memang beberapa orang tokoh yang belum pernah mengenal kelihaiannya, merasa kurang percaya dan enggan untuk tunduk atau takluk. Dan ada beberapa tokoh yang cukup tangguh sehingga terpaksa Hek-sim Lo-mo harus turun tangan sendiri menaklukkannya dengan ilmu kepandaiannya yang luar biasa!

Dan kabarnya, tidak ada seorangpun tokoh sesat pembangkang yang sanggup menandinginya lebih dari sepuluh jurus! Beberapa orang tokoh yang dinilai cukup lihai dan berharga untuk menjadi pembantunya, yang tadinya membangkang, tidak dibunuhnya melainkan ditundukkan dan diangkat menjadi pembantu yang boleh diandalkan.

Pada suatu malam, para pembantu Hek-sim Lo-mo datang menghadap seperti biasa. Pertemuan seperti itu diadakan sedikitnya sebulan sekali, dan malam itu, atas permintaan Hek-sim Lo-mo, mereka datang untuk membuat laporan. Hek-sim Lo-mo yang seolah-olah menjadi raja di antara kaum sesat itu, menerima paras pembantunya dengan gembira, dengan pesta pora.

Ruangan yang luas itu dipergunakan untuk menjamu para pembantunya, bahkan mengundang gadis-gadis panggilan, juga rombongan gadis pemain musik, tari dan nyanyi, untuk menghibur pertemuan antara dia dan para pembantunya itu. Memang, terhadap para pembantunya, Hek-sim Lo-mo bersikap royal, dan diapun melimpahkan banyak barang berharga untuk mereka.

Ruangan yang luas itu terang benderang karena banyaknya lampu yang dipasang. Juga ruangan itu dihias dengan kain sutera warna-warni, dan karena banyak gadis cantik melayani, maka pesta itu meriah bukan main. Seperti biasa, sebelum menerima laporan dan merundingkan urusan yang timbul dalam wilayah kekuasaan Hek-sim Lo-mo, datuk ini lebih dulu menjamu para pembantunya dengan makanan yang mewah, dan minum arak nomor satu, juga menghibur mereka dengan tarian dan nyanyian yang dilakukan oteh rombongan gadis penari yang muda-muda dan cantik.

Terjadilah pesta mabok-mabokan dan penuh kecabulan. Para tokoh sesat yang menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo itu sebagian besar adalah tokoh-tokoh jahat terkemuka di dunia kang-ouw, dan mereka adalah orang-orang kasar yang tidak segan-segan melakukan perbuatan tanpa susila di depan siapa saja.

Melihat para gadis panggilan yang melayani mereka itu muda-muda dan cantik-cantik, maka merekapun tanpa malu-malu lagi menggoda dan mempermainkan mereka, mencubit, mencolek, meraba, bahkan ada yang memangku dan menciumi seorang gadis panggilan yang hanya terkekeh genit! Tentu saja tidak sampai berkelanjutan ke hubungan yang lebih intim.

Untuk kesempatan itu, akan diberikan oleh Hek-sim Lo-mo setelah rapat selesai sehingga pesta ini juga merupakan “pemanasan” bagi para pembantu yang diam-diam telah memilih gadis pilihan masing-masing untuk menemani mereka malam nanti. Kamar-kamar untuk para pembantu itu telah disediakan di bagian belakang, kamar-kamar yang cukup mewah untuk menyenangkan hati para pembantunya.

Setelah makan minum selesai, rapatpun dimulai. Tempat itu dibersihkan dari sisa-sisa pesta, meja-meja disingkirkan, diganti meja yang panjang di kelilingi kursi-kursi untuk para pembantu, sedangkan kursi besar berada di kepala meja, tempat duduk Hek-sim Lo-mo. Ruangan itu menjadi lega dan luas, dan para gadis itupun disuruh mundur.

Hek-sim Lo-mo nampak duduk di kepala meja. Dia seorang laki-laki yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, sedikitnya enampuluh tiga tahun. Namun, tubuhnya yang tinggi besar itu masih nampak tegap dan kokoh kuat seperti batu karang. Wajahnya kasar, berbentuk segi empat dengan kulit muka kasar menghitam yang setengahnya, di bagian bawah, penuh dengan kumis jenggot dan cambang.

Sepasang matanya bulat dan besar, memiliki sinar tajam mencorong dan mulutnya selalu menyeringai karena bibirnya terlalu pendek untuk dapat menutup pintu mulutnya. Hidungnya juga besar dan bulat seperti buah terong muda. Bagian tubuh yang kelihatan seperti leher, sebagian lengan karena dia menggulung lengan bajunya, dilingkari otot-otot yang menonjol dan menggembung, membayangkan kekuatan yang dahsyat.

Pakaiannya seperti pakaian hartawan, mewah, dari sutera mahal beraneka warna, dan kepalanya ditutupi sebuah topi yang indah pula, sulaman bunga dan burung Hong. Di luar bajunya, dia mengenakan jubah panjang berwarna mortal seperti yang biasa dipakai oleh pendeta-pendeta. Dia tidak nampak membawa senjata, akan tetapi orang tidak tahu apa yang tersembuyi di balik jubah lebar itu. Sepatunya mengkilat, dari kulit tebal yang kuat. Biarpun usianya sudah enampuluh tiga tahun, namun kumis, jenggot dan rambut kepalanya masih hitam, kaku dan keras seperti kawat-kawat saja.

Tidak ada yang tahu dari mana asalnya Hek-sim Lo-mo dan tidak ada yang berani menanyakannya. Melihat bentuk muka dan kulitnya, mungkin dia peranakan India atau Nepal, setidaknya dia tentu berasal dari daerah barat. Namanya menjulang tinggi dan ditakuti ketika tersiar berita betapa Hek-sim Lo-mo pada puluhan tahun yang lalu, pernah bermusuhan dengan perkumpulan Kui-san-pang dan kabarnya, dalam perkelahian di mana Hek-sim Lo-mo dikeroyok oleh semua pimpinan dan anak buah Kui-san-pang, datuk ini telah menewaskan seluruh anggauta Kui-san-pang yang jumlahnya tidak kurang dari seratus lima puluh orang!

Belum ada yang membuktikan kebenaran berita ini, akan tetapi kenyataannya, Kui-san-pang terbasmi dan tidak tersisa lagi anggautanya, pada hal perkumpulan itu terkenal sekali sebagai perkumpulan yang memiliki banyak orang pandai! Kemudian, berulang kali tokoh-tokoh dunia persilatan menentang Hek-sim Lo-mo, namun seorang demi seorang roboh, tidak kuat menandingi datuk ini.

Di antara para pembantu Hek-sim Lo-mo yang dipercaya dan diandalkan, terdapat lima orang yang dianggap sebagai tangan kanan dan yang paling lihai di antara belasan orang itu. Yang pertama dan duduk di sebelah kanan Hek-sim Lo-mo adalah Yauw Ban yang berjuluk Tok-gan-liong (Naga Mata Satu).

Dia seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, tinggi kurus dengan leher panjang dan yang menarik adalah matanya yang tinggal sebelah. Mata sebelah kiri telah buta, tertutup dan tidak ada biji matanya. Mata itu tertusuk senjata lawan dan dia menjadi buta ketika masih muda dalam suatu perkelahian. Tok-gan-liong Yauw Ban ini lihai sekali, memiliki ilmu pedang tunggal yang sukar dicari tandingannya, dan diapun seorang ahli ginkang yang memiliki kecepatan gerakan seperti terbang saja. Dia pendiam dan berdarah dingin, dapat membunuh tanpa mengedipkan mata tunggalnya, dan cerdik sekali.

Dia menjadi pembantu nomor satu dari Hek-sim Lo-mo setelah dia dikalahkan oleh datuk itu karena tadinya diapun tidak sudi takluk sebelum menguji kepandaian datuk itu. Dan dalam perkelahian inilah Hek-sim Lo-mo dapat melihat kelihaian Naga Mata Satu ini, maka diapun menarik Yauw Ban menjadi pembantu utama, maklum bahwa para pembantu yang lain masih kalah dibandingkan dengan Yauw Ban.

Sebelum menjadi pembantu pertama Hek-sim Lo-mo, Tok-gan-liong Yauw Ban ini menjadi perampok tunggal yang dianggap sebagai datuk para perampok di wilayah Propinsi Shan-tung. Dia malang melintang dan para perampok lainnya selalu memberi semacam “upeti” kepadanya. Akan tetapi kemunculan Hek-sim Lo-mo menarik nama besarnya ke bawah sehingga dia penasaran dan menantang datuk itu untuk mengadu ilmu silat. Tanpa banyak kesukaran, Hek-sim Lo-mo yang memang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya, mengalahkan Yauw Ban dan Si Naga Mata Satu ini lalu takluk dan dengan senang hati menjadi pembantunya yang paling setia.

Bahkan Hek-sim Lo-mo berkenan memperdalam ilmu pembantunya ini sehingga Yauw Ban menjadi semakin setia karena menganggap Hek-sim Lo-mo selain atasannya, juga seperti gurunya sendiri. Dan datuk sesat itupun pandai menyenangkan hati Tok-gan-liong Yauw Ban sehingga pada waktu itu, andaikata disuruh menyeberangi lautan api sekalipun kalau yang memerintahnya Hek-sim Lo-mo, tentu Yauw Ban akan mentaatinya!

Pembantu kedua yang juga amat lihai dan duduk di sebelah kiri Hek-sim Lo-mo adalah seorang wanita! Ia juga seorang tokoh sesat yang amat terkenal di Propinsi He-nan dan Shan-tung, terutama sekali di sepanjang Sungai Kuning dan wanita ini terkenal ganas sekali. Ia terkenal dengan julukannya, yaitu Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor Sembilan) sehingga nama aselinya tak pernah diketahui orang.

Iapun suka disebut Mo-li (Iblis Betina) saja! Selain ganas, kejam dan sadis, wanita ini terkenal gila laki-laki, cabul dan setiap orang laki-laki yang disenanginya, diculik dan dipaksa untuk melayani gairah nafsu berahinya. Yang menolak, dibunuh seketika. Yang mau melayaninya, kalau memuaskan hatinya, ia beri hadiah yang royal sekali, akan tetapi kalau mengecewakan, juga dibunuhnya!

Tujuh tahun yang lalu, Kiu-bwe Mo-li berani menentang kekuasaan Hek-sim Lo-mo yang mengutus Tok-gan-liong Yauw Ban untuk menundukkannya. Dalam adu kepandaian yang amat seru, Tok-gan-liong Yauw Ban menemui kesulitan untuk mengalahkan wanita itu, walaupun kehebatan ilmu pedangnya juga membuat Kiu-bwe Mo-li kewalahan untuk dapat mendesak lawannya.

Melihat betapa wanita itu lihai, dapat mengimbangi kepandaian pembantu utamanya, timbul perasaan sayang pada Hek-sim Lo-mo dan dia lalu maju menggantikan Yauw Ban. Tanpa banyak kesulitan, akhirnya dia mampu menundukkan Kiu-bwe Mo-li yang kemudian takluk dan menjadi pembantunya yang nomor dua.

Wanita itu kini berusia empa tpuluh dua tahun, akan tetapi karena terlampau menurutkan nafsu berahi yang diumbarnya tanpa batas, wajahnya nampak lebih tua dan keriputan. Wajahnya yang dulu cantik itu masih meninggalkan bekas, namun kulitnya keriputan dan rambutnya banyak yang putih. Kenyataan ini hendak disembunyikan dengan bedak tebal dan dandanan yang pesolek sekali, juga sikap yang amat genit!

Sesuai dengan nama julukannya, Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor Sembilan), wanita ini memiliki senjata yang istimewa, yaitu sebatang cambuk yang berekor sembilan. Ia pandai sekali memainkan senjata cambuk ekor sembilan ini dan julukannya pun diambil dari senjata itu.

Orang ketiga yang menjadi pembantu utama Hek-sim Lo-mo adalah seorang pria yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun. Baru lima tahun dia menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo. Dia bertubuh sedang dan wajahnya tampan dan menarik, gerak-geriknya halus lembut dan sopan peramah, pakaiannya seperti pakaian seorang terpelajar. Orang akan tidak percaya kalau mendengar bahwa dia adalah seorang yang memiliki hati yang amat kejam dan jahat, tidak percaya bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang suka memperkosa wanita dan membunuhnya!

Namanya Lui Teng dan dia dijuluki Jai-hwa Kongcu (Tuan Muda Pemetik Bunga). Sebenarnya, Jai-hwa Kongcu Lui Teng ini adalah seorang murid yang pandai dari perguruan Pek-tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih) yang berada di puncak Gunung Lu-san, sebuah perkumpulan para orang gagah. Akan tetapi, Lui Teng diperhamba oleh nafsu berahinya sendiri sehingga dia melakukan perbuatan jahat, yaitu memaksa wanita yang membangkitkan gairah berahinya dengan cara memperkosa, bahkan sering kali dia membunuh wanita yang menolaknya atau melawannya ketika dia memperkosanya.

Karena perbuatan ini, dia menjadi seorang pelarian, melarikan diri dari Pek-tiauw-pang. Bahkan setelah mendengar akan sepak terjang Lui Teng, para pimpinan Pek- tiauw-pang mengutuknya dan tidak lagi mengakuinya sebagai murid, walaupun hal ini dilakukan oleh para pimpinan dengan hati menyesal karena sesungguhnya Lui Teng adalah seorang murid yang mewarisi ilmu-ilmu perguruan itu dengan baik dan kepandaiannya yang tinggi dapat menjunjung tinggi nama perguruan Pek-tiauw-pang. Lui Teng juga penasaran melihat munculnya Hek-sim Lo-mo sebagai datuk. Diapun menantangnya dan biarpun dengan susah payah, dia dapat dikalahkan oleh Tok-gan-liong Yauw Ban. Dia takluk dan diangkat menjadi pembantu ketiga oleh Hek-sim Lo-mo.

Pembantu keempat dan kelima adalah saudara kembar. Mereka bernama Gan Siang dan Gan Siong, dan keduanya selalu maju bersama. Oleh karena itu mereka mendapat julukan He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis dari He-nan). Mereka berusia sekitar empatpuluh tahun dan baru dua tahun mereka menjadi pembantu-pembantu yang dipercaya oleh Hek-sim Lo-mo. Kedua orang kembar ini berwajah serupa benar sehingga sukarlah bagi orang lain untuk dapat membedakan antara mereka. Wajah mereka bulat, dan bukan hanya bentuk wajah dan tubuh mereka yang serupa benar, akan tetapi bahkan pakaian merekapun sama, seolah-olah lipatan-lipatannya sama, bentuk rambut, kumis dan jenggot mereka tiada bedanya. Juga keduanya suka tertawa, suka memandang rendah orang lain dan berhati kejam.

Mereka terkenal sekali bukan hanya karena kekejaman mereka, melainkan terutama sekali karena kelihaian mereka memainkan sebatang golok. Kalau menghadapi bahaya atau lawan, jarang mereka maju satu demi satu, pasti mereka maju bersama, biar lawannya hanya seorang ataupun ada sepuluh orang. Dan kalau kedua orang kembar ini sudah memainkan golok mereka, dengan ilmu golok Siang-mo Sin-to (Golok Sakti Sepasang Iblis), maka dua batang golok itu seolah-olah digerakkan oleh satu orang saja yang memiliki dua pasang tangan dan dua pasang kaki!

Kerja sama mereka mengagumkan dan mengherankan sekali, karena masing-masing seperti dapat mengetahui apa yang berada di dalam hati dan pikiran saudara kembarnya. Inilah yang membuat mereka menjadi lihai dan berbahaya sekali. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, mereka masih kalah oleh Jai-hwa Kongcu Lui Teng, akan tetapi kalau mereka maju bersama, biar Tok-gan-liong Yauw Ban sendiri akan repot melawan mereka.

Di samping lima orang ini, masih ada sepuluh orang lain yang diangkat menjadi pembantu-pembantunya, akan tetapi yang menjadi tangan kanan hanyalah lima orang itu. Tentu saja tingkat kepandaian para pembantu lain juga tinggi dan mereka adalah tokoh-tokoh golongan hitam atau kaum sesat, namun masih kalah kalau dibandingkan dengan lima orang pembantu utama tadi.

“Nah, sekarang mulailah kalian membuat laporan dan hasil dari pekerjaan kalian selama sebulan ini. Harap cepat karena aku merasa lelah, ingin beristirahat. Kalianpun tentu ingin beristirahat dengan pasangan kalian yang sudah kalian pilih tadi, di kamar kalian masing-masing seperti yang sudah-sudah.”

Mulailah para pembantu itu membuat laporan seorang demi seorang. Kebanyakan di antara mereka memberi pelaporan tentang hasil pemasukan uang “pajak” yang mereka tarik dari rumah-rumah judi, rumah-rumah pelacuran, dan bingkisan dari mereka yang merasa dan mengharapkan perlindungan, juga dari kepala-kepala perampok, bajak, copet, maling yang merasa berada di bawah kedaulatan datuk ini dan sekedar mengirim “bagi hasil”.

Di antara mereka, yang paling banyak mengumpulkan uang hasil tarikan ini adalah He-nan Siang-mo sehingga Hek-sim Lo-mo merasa girang sekali dan memuji dua orang pembantunya ini. Semua hasil berupa emas perak dan barang berharga itu segera diangkut oleh He-nan Siang-mo yang dipercaya oleh datuk itu untuk membuka gudang harta dan menyimpan semua harta baru itu ke dalam gudang.

Kini tiba giliran Kui-bwe Mo-li yang membuat laporan. “Laporan yang saya bawa agak tidak menyenangkan, Beng-cu,” memang Hek-sim Lo-mo memerintahkan semua bawahannya untuk menyebut dia beng-cu (pemimpin rakyat), membandingkan dirinya dengan para pahlawan rakyat yang berjuang demi rakyat jelata!

“Seorang di antara bangsawan yang berada di bawah perlindungan kita, telah disiksa orang, bahkan dibuntungi kaki tangannya. Dia adalah Pangeran Coan Siu Ong! Bukan itu saja, juga orang yang membuntunginya itupun telah mengadakan pengacauan di Lok-yang, menghajar para jagoan dari rumah pelesir Bibi Ciok!”

Sepasang alis tebal Hek-sim Lo-mo berkerut. ”Hemm, mengganggu orang-orang yang kita lindungi sama artinya dengan mengganggu kita! Siapa orangnya demikian berani mati? Tentu dia bukan orang sini dan tidak tahu akan kekuasaan kita!”

“Sudah saya selidiki, Beng-cu. Ia adalah seorang gadis yang usianya sekitar duapuluh tiga tahun, cantik jelita dan ilmu kepandaiannya tinggi, selalu mengenakan pakaian serba hitam dan mengaku julukannya Hek-liong-li!”

“Dewi Naga Hitam? Hemmm, betapa sombongnya. Cari dan segera bunuh ia, jangan beri ampun!” Bentak Hek-sim Lo-mo. “Kuserahkan tugas ini kepadamu, Mo-li!”

“Harap Beng-cu jangan khawatir. Saya akan mencarinya, kalau perlu dibantu anak buah, dan kalau sudah dapat ditemukan, akan kupenggal kepalanya!” kata Kiu-bwe Mo-li sambil terkekeh genit.

Yauw Ban, tangan kanan pertama itu melaporkan bahwa dia telah berhasil menemukan seorang ahli pembuat pedang yang amat pandai. “Namanya Thio Wi Han, usianya sudah tujuh puluh tahun. Akan tetapi dia tidak mau dibawa ke sini, Beng-cu.”

“Ehh? Kalau tidak mau, seret saja!”

“Dia adalah seorang tua yang kukuh. Katanya, dia hanya mampu membuat pedang pusaka kalau di rumahnya sendiri, menggunakan alat-alatnya sendiri. Kalau disuruh membuat di luar rumahnya, di tempat lain, dia tidak sanggup dan biar dibunuh mati sekalipun, dia tidak sanggup mengerjakannya.”

“Keparat, keras kepala! Akan tetapi sudahlah, yang penting adalah bahannya lebih dulu. Sudah mendapatkan seorang ahli pembuat pedang, sudah baik, dan membuat di sanapun tidak mengapa. Nah, Lui Teng, bagaimana dengan pelaksanaan tugasmu?”

“Sudah saya laksanakan, Beng-cu. Dia memang keras kepala. Segala siksaan sudah saya lakukan, akan tetapi dia tetap membungkam. Saya khawatir kalau dia akan mati oleh siksaan yang lebih berat, maka saya lalu mencari akal yang baik sekali. Saya melakukan penyelidikan dan mengetahui bahwa dia meninggalkan seorang anak gadis di dusunnya. Saya lalu menangkap gadis itu dan membawanya ke sini, sekarang telah saya masukkan kamar tahanan. Saya kira kalau dia melihat anaknya disiksa, dia akan membuka mulut!”

Wajah yang hitam menyeramkan dari Hek-sim Lo-mo berseri dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha, bagus, bagus sekali! Engkau memang cerdik, Lui Teng! Aku ingin cepat mendapatkan Liong-cu (mustika naga) itu. Bawa sasterawan kepala batu itu ke sini bersama anak gadisnya. Ha-ha, kita nonton pertunjukan sambil menanti keluarnya rahasia tempat penyimpanan Liong-cu itu!”

“Baik, Beng-cu,” kata Jai-hwa Kongcu Lui Teng dengan gembira.

Dia lalu meninggalkan ruangan itu dan tak lama kemudian dia datang kembali bersama seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, dipapah oleh seorang gadis berusia tujuhbelas tahun yang menuntun kakek itu sambil menangis. Kakek itu berpakaian sasterawan, pakaiannya kotor dan dekil karena semenjak ditahan dan disiksa, dia tidak pernah berganti pakaian.

Usianya kurang lebih enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus. Dia adalah seorang sasterawan yang amat pandai dalam hal baca dan tulis, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng. Dia ditangkap oleh Hek-sim Lo-mo karena datuk ini juga merupakan seorang di antara mereka yang mencari-cari Kim-san Liong-cu, mustika naga yang berada di kuburan tua seorang pangeran di jaman dahulu. Ternyata kemudian bahwa mustika yang diperebutkan itu tidak ada di dalam makam setelah makam dibongkar, sudah ada orang lain yang mendahului para tokoh dunia persilatan yang memperebutkannya.

Hek-sim Lo-mo yang ingin sekali mendapatkan mustika itu, tidak patah semangat dan dia terus melakukan penyelidikan, dibantu oleh banyak anak buahnya. Akhirnya dia menemukan rahasia kehilangan mustika itu. Kiranya seorang sastrawan yang terkenal amat pandai dalam ilmu sastra kuno, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng, orang yang suka melakukan penyelidikan mengenai sejarah dari peninggalan dan tulisan-tulisan kuno, telah menemukan tulisan kuno rahasia.

Bagi orang lain yang tidak mengerti, bahkan bagi ahli-ahli sastra kebanyakan saja, benda itu tidak ada harga dan artinya. Namun, Pouw Sianseng dapat menterjemahkannya dan diapun girang membaca bahwa tulisan kuno itu menunjukkan tempat penyimpanan mustika yang disebut Kim-san Liong-cu yang ternyata telah diambil orang jauh sebelum para tokoh persilatan memperebutkannya!

Pouw Sianseng lalu mencari tempat rahasia itu dan berhasil menemukan mustika itu! Akan tetapi, rahasianya ini akhirnya bocor ketika isterinya yang masih muda, jatuh cinta kepada seorang laki-laki muda. Isterinya itu membisikkan rahasia ini kepada kekasihnya. Perbuatan mereka tertangkap basah dan Pouw Sianseng membunuh isterinya, tidak tahu bahwa rahasianya tentang mustika sudah diketahui oleh kekasih isterinya yang melarikan diri.

Semenjak isteri yang melakukan penyelewengan itu dibunuhnya, Pouw Sian-seng hidup berdua dengan puterinya yang kini berusia tujuh belas tahun, bernama Pouw Bi Hwa. Ketika dia membunuh isterinya, Bi Hwa baru berusia lima tahun dan selama belasan tahun ini, Pouw Sianseng berhasil menyimpan rahasianya tentang mustika naga yang disimpannya di tempat rahasia.

Celakanya, kekasih mendiang isterinya itu tidak dapat menutup mulut dan dari mulut ke mulut, akhirnya berita itu sampai juga ke telinga Hek-sim Lo-mo. Sudah beberapa kali Pouw Sianseng diserbu pencuri, perampok, bahkan pernah diancam oleh tokoh- tokoh sesat untuk menyerahkan mustika itu, namun Pouw Sianseng tetap menyangkal sehingga akhirnya para tokoh itu berkesimpulan bahwa berita tentang mustika naga yang berada dalam kekuasaan Pouw Sianseng itu hanya kabar bohong belaka.

Namun tidak demikian anggapan Hek-sim Lo-mo. Dia lalu mengutus orang kepercayaannya yang ketiga, yaitu Jai-hwa Kongcu Lui Teng, untuk menyiksa dan mengorek keterangan dari Pouw Sianseng yang sudah diculiknya. Hasilnyapun sia-sia, dan seperti yang sudah-sudah, Pouw Sianseng tetap menyangkal dan tidak mau membuka rahasia tentang Liong-cu (mustika naga) yang disembunyikannya itu.

Hek-sim Lo-mo sudah demikian yakin bahwa dia akan dapat menguasai mustika naga itu, maka diapun sudah menyuruh pembantu utamanya, Tok-gan-liong Yauw Ban, untuk mencari seorang ahli pembuat pedang yang berilmu tinggi dan akan membuatkan pedang dari mustika naga itu!

Ternyata kemudian dari laporan itu bahwa Pouw Sianseng benar-benar keras kepala sehingga Jai-hwa Kongcu Lui Teng mempergunakan akal lain, yaitu menculik puteri Pouw Sianseng. Dan kini, Jai-hwa Kongcu Lui Teng membawa Pouw Sianseng dan anak gadisnya ke dalam ruangan itu.

Biarpun keadaan Pouw Sianseng sudah payah karena mengalami siksaan yang mengerikan, namun ketika dia masuk ruangan dipapah puterinya, dia menahan semua rasa nyeri dan menegakkan tubuh dan kepalanya, dengan sikap gagah dia hendak menentang semua pemaksaan para penculiknya.

Sementara itu, puterinya memandang sekeliling dengan wajah pucat. Gadis berusia tujuhbelas tahun ini berwajah manis, tidak terlalu cantik, berpakaian sederhana namun sepasang matanya membayangkan kelembutan dan kecerdasan. Tubuhnya montok sebagai seorang gadis yang mulai dewasa, seperti setangkai bunga yang mulai mekar. Namun, gadis itu jelas kelihatan ketakutan dan gelisah sekali, juga berduka melihat keadaan ayahnya.

Ayahnya menghilang sejak beberapa hari lamanya dan selagi ia kebingungan, malam itu muncul laki-laki tampan dan halus berpakaian pelajar itu yang mengatakan bahwa dia tahu di mana adanya ayahnya yang bilang dan mengajak ia untuk pergi bersama mengunjungi ayahnya. Karena khawatir akan keselamatan ayahnya, Pouw Bi Hwa terpaksa ikut dengan laki-laki yang bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng itu! Kalau saja ia tahu bahwa pria tampan itu adalah seorang tukang perkosa wanita yang amat keji!

Akan tetapi, pria itu sama sekali tidak mengganggunya. Hal ini adalah karena gadis itu diajak pergi bukan untuk diperkosa, melainkan untuk keperluan lain lagi yang lebih penting, yaitu memaksa ayah gadis itu mengaku di mana adanya Liong-cu! Pula, selera Lui Teng dalam urusan wanita memang agak tinggi dan hanya wanita cantik jelita pilihan saja yang dapat menggerakkan hati dan membangkitkan gairahnya. Sedangkan Bi Hwa, biarpun tidak jelek, hanya memiliki kemanisan yang umum saja!

Melihat sikap Pouw Sianseng yang angkuh, Hek-sim Lo-mo mengerutkan alisnya. Orang seperti ini memiliki kegagahan tersendiri, pikirnya, dan kalau dipaksanya, tentu dia lebih baik mati dari pada menyerahkan mustika itu. Kemudian dia memandang gadis itu dan dia pun tersenyum. Memang pembantunya yang nomor tiga itu cerdik sekali.

Orang yang mempertahankan kehormatan lebih dari pada nyawanya seperti Pouw Sianseng itu, harus dilawan dengan ancaman terhadap kehormatannya pula. Dan kehormatan apakah yang lebih tinggi bagi seorang ayah dari pada kehormatan diri anak gadisnya? Tentu tidak lebih rendah dari pada kehormatan mempertahankan milik dan haknya, seperti mustika naga itu!

Jai-hwa Kongcu mendorong ayah dan anak itu ke depan Hek-sim Lo-mo. Ayah dan anak itu jatuh tersungkur di atas lantai dan mereka berlutut di depan Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi, Pouw Sianseng sudah mengangkat mukanya lagi dan menegakkan kepala, memandang kepada Hek-sim Lo-mo dengan penuh ketabahan.

Hek-sim Lo-mo menyeringai. “Pouw Sianseng, keberanianmu mengagumkan hatiku. Biarlah aku tidak akan membunuhmu dan aku menukar nyawamu dengan Liong-cu itu!”

Baru satu kali Pouw Sianseng dibawa menghadap Hek-sim Lo-mo, sebelum dia disiksa dan diapun tahu bahwa raksasa muka hitam inilah yang menjadi kepala di tempat itu, bahkan yang menyuruh orang menangkap dan menyiksa untuk merampas Liong-cu. Kini, ucapan Hek-sim Lo-mo disambutnya dengan senyum mengejek.

“Hek-sim Lo-mo, tidak perlu banyak cakap lagi dan tidak perlu lagi membujuk atau mengancam aku. Aku tidak takut mati dan biar kaubunuh sekalipun aku tidak akan bicara tentang Liong-cu!”

“Aku akan menukar puterimu dengan Liong-cu!” Tiba-tiba Hek-sim Lo-mo berkata.

Sepasang mata kakek sastrawan itu terbelalak sejenak, lalu diapun tersenyum. “Anakkupun tidak takut mati. Engkau tidak perlu mengancam. Biar kaubunuh kami berdua, Liong-cu tidak akan kuserahkan kepadamu!”

“Orang she Pouw, jangan sombong engkau! Ada yang lebih menyiksa dari pada sekedar kematian. Panggil Hek-wan (Lutung Hitam) ke sini!” perintahnya kepada Jai-hwa Kongcu Lui Teng.

Pria tampan ini tersenyum-senyum lalu keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang wajah serta tubuhnya amat menyeramkan. Dialah Tiat-pi Hek-wan (Lutung Hitam Lengan Besi) yang terkenal sebagai tukang siksa yang kejam dan sadis. Mukanya mirip seekor monyet, kulit tubuhnya hitam, dan kedua lengannya berbulu seperti lengan lutung besar, tubuh atasnya tidak memakai pakaian sehingga nampak dada yang lebar, membusung, hitam dan penuh otot-otot besar, juga ditumbuhi bulu tebal.

Begitu memasuki ruangan, Tiat-pi Hek-wan ini memandang ke sekeliling sambil tersenyum dan kelihatan bangga bahwa dia dipanggil oleh Hek-sim Lo-mo, berarti dia dibutuhkan. Setelah berada di depan datuk itu, dia memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya.

“Hek-wan, aku akan memberi pekerjaan kepadamu, sekali ini pekerjaan yang amat menyenangkan!” kata Hek-sim Lo-mo.

Si Lutung Hitam itu tertawa bergelak dan dia membuka mulut selebarnya sehingga nampak gigi yang besar-besar tidak rata dan kekuning-kuningan menjijikkan. “Ha-ha-ha, saya selalu siap sedia, Beng-cu. Menyiksa dan membunuh orang adalah pekerjaanku, kesenanganku. Siapa lagi yang harus saya patah-patahkan kaki tangannya, saya cabut lidah atau matanya, atau saya puntir batang lehernya?”

Pouw Sianseng memandang kepada raksasa berbulu itu dengan pandang mata acuh, akan tetapi puterinya terbelalak dengan muka pucat dan jelas nampak bahwa ia merasa ngeri dan ketakutan.

“Sekali ini tidak yang seperti itu, Hek-wan. Aku ingin memberi hadiah kepadamu. Lihat, gadis ini kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau harus memperkosanya di sini, kami dan ayah gadis ini ingin sekali melihat bagaimana engkau akan melakukannya,” kata Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya tertawa dengan hati penuh ketegangan yang menggembirakan karena mereka akan disuguhi pertunjukan yang mereka anggap amat menyenangkan dan menarik hati.

Mendengar ini, Tiat-pi Hek-wan menyeringai dan mengangguk-angguk, lalu dia menoleh kepada Bi Hwa yang sudah merangkul ayahnya sambil menangis. Pouw Sianseng kini juga terbelalak dan mukanya pucat, kedua lengannya merangkul puterinya seperti hendak melindunginya dari bahaya yang mengerikan.

“Heh-heh, manis, engkau mendengar perintah Beng-cu tadi? Ke sinilah manis, dan engkau akan mengalami sesuatu yang selama hidupmu takkan pernah dapat kaulupakan! Marilah...”

Dia melangkah maju. Bi Hwa menggeleng kepala keras-keras, menutupi mulut untuk menahan jeritnya saking merasa ngeri dan takut, merangkul ayahnya semakin kuat. Akan tetapi, sekali tangan kirinya menyambar, Tiat-pi Hek-wan sudah menangkap lengan kanan gadis itu dan menariknya. Ketika gadis itu menahan, dan ayahnya mempertahankan puterinya dengan kedua tangan merangkul kuat-kuat.

Akan tetapi, Tiat-pi Hek-wan menendang dan tubuh kakek itupun terjengkang, dan pegangan antara ayah dan anak itupun terlepas. Bi Hwa menjerit ketika tubuhnya ditarik dan dipondong oleh raksasa itu. Ia meronta dan mencakar, menjerit-jerit dan menangis...