Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEMENTARA itu, Cin Hay melakukan perjalanan cepat keluar dari dusun Tiang-cin, memanggul emas dalam karung. Dia kini telah membalas kematian isterinya. Perhitungan dengan para pembunuh isterinya telah selesai dan kini diapun sudah memiliki modal yang cukup untuk hidup secara pantas. Akan tetapi pikiran ini segera dibuangnya. Dia mengambil harta dari Koan Ki Sek hanya untuk menghukum orang itu, dan kini dia bahkan mulai merasa repot dengan beban di pundaknya itu.

Untuk apa emas sebanyak itu? Dia teringat akan keluarga isterinya, maka kakinya lalu melangkah cepat menuju ke dusun tempat tinggal ibunya dan ayahnya. Dia akan pulang dulu ke rumah ayah bundanya, baru dia akan berkunjung kepada keluarga mertuanya. Mereka, orang tuanya sendiri dan mertuanya, tentu membutuhkan emas-emas ini!

Setidaknya, setelah meninggalkan mereka selama tujuh tahun, kini dia dapat memberikan sesuatu kepada mereka, sebagai sekedar balas jasa atas segala kebaikan mereka, juga sebagai sekedar hiburan bagi orang tua isterinya yang telah kehilangan anak.

Ibunya menyambut kedatangan Cin Hay dengan tangis keharuan dan kebahagiaan. Ibunya hidup di rumah pamannya, adik ibunya, karena ayah Cin Hay telah meninggal dunia karena sakit. Melihat betapa pamannya itu baik hati, mau menampung ibunya dan bersikap amat baik terhadap ibunya, Cin Hay bersyukur dan dia lalu menyerahkan sepuluh kati emas kepada ibunya.

Uang sebanyak itu merupakan harta yang amat besar bagi orang dusun. Ibunya segera menyerahkan emas itu kepada adiknya dan mereka sekeluarga lalu membeli tanah dan membangun rumah, dan selanjutnya hidup sebagai petani yang beruntung dan serba cukup.

Cin Hay berpamit kepada ibuya untuk melanjutkan perantauannya. Tadinya, sang ibu menahannya, bahkan membujuk seorang gadis dusun untuk menjadi isteri Cin Hay, namun pemuda ini tersenyum dan menolak dengan halus.

“Ibu, bertahun-tahun aku mempelajari ilmu dan sekaranglah saatnya aku harus mempergunakan ilmu itu dalam dunia ramai. Aku hendak merantau dan tinggallah ibu bersama paman di sini.”

Ibunya tidak dapat menahannya lagi dan pergilah Cin Hay berkunjung ke rumah mertuanya. Seperti juga keluarga ibunya, keluarga mertuanya menerima Cin Hay dengan ramah dan baik. Biarpun kini anak mereka telah meninggal dan Cin Hay hanya merupakan bekas mantu saja, namun keluarga lurah Gu itu menganggap Cin Hay seperti anak sendiri.

Menerima penyambutan yang ramah Cin Hay merasa terharu dan girang sekali. Tidak percuma dia berniat baik memberi separuh emasnya kepada keluarga mertuanya, karena ternyata keluarga mertuanya ini masih amat baik kepadanya. Dia lalu menceritakan betapa dia telah membalas dendam, membunuh See-ouw Sam-houw yang menyebabkan kematian Gu Ci Sian dan menghukum Koan Ki Sek.

Mendengar cerita ini, lurah Gu dan isterinya menangis, merasa bersyukur bahwa kematian anak mereka telah terbalas. Apa lagi ketika Cin Hay menyerahkan sepuluh kati emas kepada mereka, lurah Gu tadinya menolak.

“Anakku, mengapa kau berikan harta kepada kami! Sebaiknya kau bawa pulang saja, dan kau serahkan kepada ibumu. Bukankah setelah ayahmu meninggal dunia, ibumu tinggal bersama pamanmu? Belikan tanah dan rumah untuk ibumu dan uang ini dapat dipergunakan untuk modal.”

Cin Hay tersenyum dan semakin mantap hatinya untuk menyerahkan sebagian harta itu kepada mertua yang baik ini. “Saya sudah memberi kepada ibu, harap ayah mertua suka menerimanya.”

Akhirnya Cin Hay berpamit dan diantar oleh keluarga mendiang isterinya itu dengan hati terharu. Setelah meninggalkan dusun itu, Cin Hay teringat akan pesan mendiang gurunya. Kim-san Liong-cu (Mustika Naga dari Gunung Emas)! Dia harus memenuhi pesan gurunya itu. Berangkatlah dia untuk mencari Kim-san (Gunung Emas) di Lembah Huang-ho itu, dengan bekal pakaian secukupnya dan beberapa potong emas untuk biaya di perjalanan.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 06 karya kho ping hoo

Wanita itu sungguh cantik jelita. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun, pakaiannya tidak sangat mewah, akan tetapi karena bentuk tubuhnya yang ramping padat, maka nampak pakaian itu serasi dan indah. Rambutnya hitam panjang dan halus, digelung di atas kepala dengan hiasan bunga teratai emas. Wajahnya bulat telur, dan kulit mukanya segar kemerahan, putih mulus seperti dibedaki pada hal jelas bahwa dia tidak memakai bedak.

Sepasang matanya jeli dan lebar, tajam sinarnya dan kerlingnya nampak tajam menikam. Sepasang alis matanya seperti dilukis. Hidung kecil mancung dan mulutnya merupakan bagian yang paling menarik dari mukanya. Mulut itu selalu terhias senyuman, dan bibir yang merah dan selalu segar basah itu seperti menantang. Lesung pipit menghias tepi mulutnya, dan lesung pipit itu menjadi semakin jelas kalau ia tersenyum lebar. Di bawah mata kiri, di bagian pipi atas nampak ada tahi lalat hitam kecil yang menjadi penambah kemanisan wajah itu. Seorang wanita yang memiliki daya tarik besar sekali, memberahikan setiap orang pria yang melihatnya.

Dan wanita itu pada suatu pagi melangkahkan kakinya masuk ke pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Dan perbuatannya inilah yang amat menarik perhatian orang, terutama kaum prianya, karena rumah itu adalah sebuah rumah pelesir, sebuah rumah pelacuran milik Bibi Ciok, seorang mucikari yang terkenal di Lok-yang karena rumah pelesirnya merupakan tempat pelesiran terbesar di Lok-yang.

Bibi Ciok terkenal sebagai mucikari yang biasa menyediakan pelacur-pelacur kelas tinggi! Langganannya terdiri dari para bangsawan dan hartawan di Lok-yang. Oleh karena itulah, masuknya wanita cantik menarik itu di pekarangan rumah ini membuat semua orang menengok dan memandang kepadanya dan segera tersiar berita desas-desus yang segera meluas bahwa di rumah pelesir Bibi Ciok terdapat seorang “anggauta baru” yang amat cantik jelita!

Kedatangan orang baru merupakan berita paling menggemparkan dari sebuah rumah pelacuran dan dalam waktu singkat saja, para bangsawan dan hartawan yang menjadi langganan Bibi Ciok segera mencari tahu kebenaran berita itu. Di dalam rumah besar itu sendiri terjadi hal-hal yang amat hebat. Wanita cantik itu langsung membuka pintu depan dan memasuki rumah itu seperti orang memasuki rumah sendiri saja!

Seorang penjaga pintu terkejut melihat kedatangannya dan berusaha menghadang. Dia mengenal semua pelacur yang menjadi langganan rumah pelesir itu dan wanita ini sama sekali tidak dikenalnya. Akan tetapi, penjaga ini tidak berani sembrono karena siapa tahu wanita ini adalah isteri seorang bangsawan yang mencari suaminya!

“Nona siapakah dan ada keperluan apa?” tanyanya sambil menghadang di depan wanita itu.

“Tak perlu engkau tahu siapa aku, lekas panggil Bibi Ciok agar ia keluar menemuiku!” kata wanita itu dengan sikap dingin.

Tentu saja penjaga itu tidak mau menuruti permintaan ini. Dia bertugas sebagai penjaga pintu dan tentu saja tidak dapat mengijinkan setiap orang masuk. “Tapi... harap jelaskan dulu nona ini siapa dan ada keperluan apa masuk...”

Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangannya perlahan sambil berkata, “Jangan banyak cerewet kau!”

Sungguh luar biasa sekali. Ia hanya menggerakkan tangan seperti mendorong, akan tetapi tanpa menyentuh tubuh, penjaga itu sudah terjengkang dan tubuhnya, menabrak dinding. Penjaga itu berteriak-teriak dan muncullah lima orang laki-laki dari dalam. Mereka adalah lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul di rumah pelacuran itu, jagoan-jagoan yang diandalkan oleh Bibi Ciok.

“Hai, siapa engkau, berani mati membikin ribut di sini dan memukul penjaga pintu?” Sentak seorang di antara mereka yang berkumis tebal dan yang menjadi kepala dari rombongan jagoan itu.

Wanita cantik itu berdiri tegak dan matanya melirik tajam ketika muncul lima orang itu. Senyumnya melebar sehingga nampak sedikit kilatan giginya yang putih berderet rapi. Kini ia mengangkat muka memandang laki-laki berkumis tebal itu.

“Kalau kalian berlima tidak ingin kuhajar seperti dia ini, cepat menggelinding pergi dam panggil Bibi Ciok ke sini!” katanya.

Tentu saja lima orang jagoan itu menjadi marah melihat sikap dan terdengar ucapan yang nadanya memerintah dan memandang rendah itu. Mereka adalah jagoan terkenal di daerah itu, bahkan Bibi Ciok sendiri yang menjadi majikan, sumber penghasilan mereka, tidak berani bersikap secongkak itu. Mereka dianggap sebagai kacung-kacung saja yang boleh disuruh seenaknya oleh wanita yang baru muncul ini.

Tadinya merekapun berhati-hati, khawatir kalau kalau wanita itu adalah isteri seorang bangsawan yang datang menyusul dan mencari suaminya. Akan tetapi melihat sikap wanita itu dengan congkak, merekapun lupa akan kekhawatiran itu.

“Hemm, perempuan sombong! Siapakah engkau ini? Mengaku dulu siapa engkau dan apa keperluanmu datang mencari Bibi Ciok, baru kami akan mempertimbangkan sikapmu yang congkak!” bentak si kumis tebal.

Wanita itu tersenyum. “Kalian ini tukang-tukang pukul murahan, masih banyak lagak? Cepat panggil Bibi Ciok ke sini atau terpaksa aku akan membuat kalian menguik-nguik seperti anjing-anjing dipukul!”

Habislah kesabaran si kumis tebal. “Kurang ajar!” bentaknya dan tangan kirinya menampar ke arah pipi wanita itu. Berapapun cantiknya wanita itu, tentu saja dia tidak sudi dihina seperti itu!

Akan tetapi, dengan mudah wanita itu hanya menarik tubuhnya bagian atas ke belakang dan tamparan itu luput, dan pada detik itu juga, kaki wanita itu sudah bergerak menendang dengan kecepatan kilat ke depan. Tendangan itu cepat bukan main sehingga tidak dapat dielakkan pula oleh si kumis tebal.

“Dukk!” Perutnya tercium ujung sepatu wanita itu dan si pemilik perutpun terjengkang dan terbanting keras. Dia merangkak bangun sambil memegangi perut karena merasa nyeri seolah-olah usus buntunya yang kena tendang. Dengan muka mengernyit karena nyeri, dia memerintahkan anak buahnya dengan suara penuh geram.

“Bunuh perempuan jahat ini!”

Empat orang jagoan yang lain merasa penasaran dan marah. Merekapun segera mencabut golok masing-masing dan mengepung wanita itu yang masih berdiri tegak sambil tersenyum mengejek. Si kumis tebal memaksa diri bangkit dan mencabut goloknya pula. Biarpun perutnya masih terasa mulas, dia yang menjadi marah karena malu, kini ikut mengepung.

Kalau saja lima orang jagoan itu tidak terlalu takabur, tentu mereka dapat melihat bahwa sikap wanita itu sudah jelas menunjukkan bahwa ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dikepung lima orang jagoan yang memegang golok, wanita itu masih tersenyum, sedikitpun tidak gentar bahkan sikapnya memandang rendah! Akan tetapi lima orang itu sudah buta karena kesombongan mereka dan karena mereka sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka.

“Mampuslah!” bentak seorang di antara mereka yang berada di belakang wanita itu, goloknya menyambar ke arah tengkuk wanita itu dari belakang!

Tanpa menoleh, wanita itu mengelak, seolah-olah ada mata di tengkuknya. Ia mengelak ke kiri sehingga bacokan golok itu lewat dan seperti kilat saja, tubuhnya membalik ke kanan mengikuti tangannya yang sudah menyambar ke belakang,

“Krekkk!” tangan yang kecil mungil itu menyambar dan mengenai pundak si penyerang dan seketika orang itu terjungkal sambil mengaduh-aduh karena tulang pundaknya remuk diketuk oleh jari-jari tangan kecil mungil itu. Sebuah tendangan menyusul dan membuat tubuh itu terjengkang dan terlempar sampai ke sudut ruangan!

Empat orang jagoan, yang lain menjadi semakin marah dan mereka menyerang secara berbareng, mengeroyok wanita yang tidak bersenjata itu dengan bacokan golok mereka secara ganas sekali. Akan tetapi, wanita itu menyambut serangan empat batang golok itu dengan tenang saja.

Sikapnya tenang, namun gerakan tubuhnya demikian cepat sehingga tiba-tiba saja mata empat orang itu berkunang dan mereka telah kehilangan wanita itu. Demikian cepat gerakannya ketika melesat keluar dari kepungan sehingga ia seolah-olah pandai menghilang saja seperti iblis! Hanya nampak bayangan hitam karena pakaiannya yang serba hitam berbunga abu-abu itu

Dan ketika empat orang itu menyadari bahwa wanita itu sudah keluar dari kepungan dan mereka membalik, tiba-tiba saja wanita itu menyerang. Tendangan dan tamparan kedua tangannya menyambar bertubi-tubi dan robohlah empat orang itu dengan tulang lengan atau tulang kaki patah-patah! Dalam waktu beberapa detik saja, lima orang itu telah roboh berserakan sambil mengaduh-aduh dan tidak mampu bangkit kembali karena kaki atau lengan yang patah tulangnya!

Pada saat itu, dari dalam muncul Bibi Ciok, wanita yang usianya sudah lima puluh lima tahun dan tubuhnya semakin gembrot itu. Ia mendengar suara ribut-ribut dan karena di tempat itu ia seperti seorang ratu atau majikan yang ditakuti, dan karena ia terlalu percaya bahwa lima orang jagoannya pasti akan mampu membereskan semua persoalan, maka iapun bergegas keluar dan matanya terbelalak melihat betapa lima orang jagoannya roboh dan mengaduh-aduh, sedangkan di tengah ruangan berdiri seorang wanita yang cantik sekali.

Ia memandang penuh perhatian. Wanita yang amat cantik manis, kulitnya menjadi lebih putih mulus karena pakaiannya yang serba hitam, dari sutera halus, namun dengan potongan sederhana itu. Usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, seorang gadis yang sudah matang, dengan tubuh menggairahkan.

Sebagai seorang mucikari yang pekerjaannya mengumpulkan wanita-wanita muda yang cantik, tentu saja Bibi Ciok pandai menilai kecantikan seorang gadis, baik bentuk wajahnya maupun keadaan tubuhnya. Gadis seperti itu akan menjadi sumber uang yang baik sekali baginya, pikir wanita tua ini. Akan tetapi, ketika ia memandang dengan teliti, tiba-tiba ia terbelalak.

“Kim Cu...!” teriaknya. Ia mengenal wanita cantik berpakaian serba hitam itu. Tak salah lagi, ia adalah Lie Kim Cu, bekas selir Pangeran Coan Siu Ong yang dijual kepadanya. Gadis yang pernah menjadi pelacur di rumah pelesirnya, yang selama sebulan telah mendatangkan uang yang cukup banyak dan menjadi rebutan para kongcu hidung belang yang berani membayar mahal untuk dapat tidur semalam di kamar gadis itu! Dan gadis itu lalu melarikan diri ketika dibawa pesiar oleh Bhok-kongcu, mantu jaksa agung!

“Kim... Kim Cu...?” Jagoan berkumis tebal berseru kaget bukan main, demikian pula teman-temannya. Kini baru mereka mengenal wanita cantik berpakaian serba hitam yang lihai itu dan mereka bergidik.

Teringat peristiwa tujuh tahun yang lalu ketika mereka mengepung gadis itu, muncul seorang nenek dan terjadi keanehan ketika mereka berempat ketika itu, dihajar habis-habisan oleh gadis ini, tanpa mereka mampu membalas sama sekali! Dan kini wanita itu muncul kembali dengan ilmu kepandaian yang hebat sekali!

Wanita itu memang Lie Kim Cu! Seperti telah kita ketahui, ketika ia dikejar-kejar kemudian dikeroyok empat orang jagoan, yaitu si kumis tebal dan tiga orang kawannya ketika ia melarikan diri dari kereta Bhok Hin, muncul Huang-ho Kuibo, nenek yang berpakaian serba hitam dan yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat itu. Ia kemudian menjadi murid datuk dunia kang-ouw itu dan selama tujuh tahun ia digembleng oleh Huang-ho Kuibo.

Setelah berkeliaran di sepanjang Sungai Huang-ho selama tujuh tahun dan menggembleng muridnya dengan semua ilmu yang dimilikinya, akhirnya Huang-ho Kuibo yang sudah amat tua itu hampir sembilan puluh tahun usianya, memilih sebuah guha untuk tempat pertapaannya. Ia telah terlalu tua untuk berkeliaran lagi dan ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan bertapa di guha itu. Ia mengusir muridnya untuk mempergunakan ilmu-ilmunya di dunia ramai.

“Kalau engkau ingin menjadi seorang yang paling menonjol dalam dunia persilatan, pergilah ke Bukit Emas (Kim San). Engkau tentu masih ingat Kim-san yang pernah kutunjukkan kepadamu dari jauh dalam perantauan kita itu, bukan?”

“Maksud subo (ibu guru) Bukit Emas di sebelah selatan Sungai Kuning, yang dari jauh nampak kuning berkilauan itu di waktu senja?”

“Benar, itulah Kim San!”

“Kata subo, di sana pernah terjadi pertempuran besar di antara orang-orang pandai dan di sana banyak orang pandai di dunia persilatan roboh dan binasa.”

“Bagus kau masih ingat akan ceritaku itu. Memang, di sana kini menjadi kuburan banyak orang pandai, bahkan aku sendiri nyaris tewas di sana ketika ikut memperebutkan Kim-san Liong-cu.”

“Kim-san Liong-cu? Benda apakah itu, subo?” tanya Kim Cu ingin tahu sekali.

Nenek itu menarik napas panjang. “Siapa pernah melihatnya? Akan tetapi banyak sudah dunia kang-ouw mendengar nama benda itu. Sesuai dengan namanya, benda itu adalah sebutir liong-cu (mustika naga) yang kabarnya ratusan tahun yang lalu menjadi milik seorang pangeran dan kemudian benda itu ikut dikubur bersama jenazah pangeran itu. Kuburan kuno itu berada di puncak Kim-san.”

“Akan tetapi, kalau benda itu sudah dikubur dengan jenazah pangeran itu, mengapa untuk rebutan? Apa sih gunanya benda itu?”

“Aih, engkau sungguh tidak tahu. Di dunia ini terdapat banyak benda aneh, pusaka-pusaka yang mukzijat dan Mustika Naga merupakan sebuah di antara pusaka-pusaka yang amat hebat khasiatnya. Kalau benda itu dikubur bersama jenazah, maka jenazah itu akan dapat bertahan dan tidak rusak sampai ratusan tahun! Kalau dibikin bubuk dan diminum, akan membuat orang menjadi kuat dan panjang usia sampai lebih dari seratus tahun.”

“Akan tetapi bagaimana kalau dia dibunuh orang?”

“Ah, kalau begitu tentu lain lagi. Akan tetapi, penyakit tidak akan dapat menyerangnya, dan selain itu, makan liong-cu akan membuat tubuh kuat dan mendatangkan tenaga sin-kang yang luar biasa. Juga dapat menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan sanggup menolak segala macam racun!”

“Ih, sungguh hebat!”

“Bukan hanya itu. Kalau mustika itu dilebur dan dicampur dengan logam yang akan dijadikan senjata, maka senjata itu akan menjadi senjata pusaka yang ampuh bukan main. Nah, karena banyak sekali khasiatnya, maka begitu terdapat berita bahwa di dalam kuburan kuno itu terdapat liong-cu, para tokoh dunia persilatan berdatangan dan berebutan.”

“Lalu bagaimana, subo?” Kim Cu mendesak karena ia tertarik sekali. “Siapa yang berhasil mendapatkan pusaka itu ketika terjadi perebutan di sana?”

Nenek itu menggeleng kepalanya. “Tidak ada seorangpun yang mendapatkan, dan sudah begitu banyak orang pandai yang tewas, ada puluhan orang yang mati dan akhirnya, tidak ada seorangpun yang berhasil mendapatkan Kim-san Liong-cu!”

Tiba-tiba Kim Cu dapat membayangkan keadaan yang amat lucu itu dan iapun tertawa. Gurunya memandang kepadanya dengan alis berkerut. “Kenapa engkau tertawa?”

“Hi-hik, alangkah lucunya, subo. Setelah puluhan orang tewas dalam perebutan, kuburan itu dibongkar oleh mereka yang menang dan tentu saja isinya hanya tengkorak karena mustika naga itu hanya dongeng bohong belaka.”

“Bodoh!” Nenek itu membentak sehingga Kim Cu terkejut dan kembali ia memusat perhatian. “Bukan begitu! Akan tetapi kuburan itu telah ada yang lebih dulu membongkarnya dan ada orang yang telah mengambil Kim-san Liong-cu itu sebelum para tokoh datang memperebutkannya! Pusaka itu memang ada, sebesar kepala bayi yang baru lahir, akan tetapi telah lebih dulu diambil orang!”

Kim Cu kembali tertarik sekali. “Siapa yang mengambilnya, subo?”

“Itulah! Tidak ada yang tahu. Karena itu engkau harus pergi ke Kim-san, melakukan penyelidikan dan siapa tahu engkau akan dapat mengetahui siapa orang yang mencuri pusaka itu, kemudian engkau harus merebutnya agar engkau, muridku, menjadi orang paling lihai di dunia ini!”

Tanpa disuruh sekalipun, setelah mendengar cerita yang amat menarik itu. Kim Cu sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki dan mencari orang yang telah mengambil mustika itu. Ia mengangguk menyanggupi kemudian ia turun dari bukit di mana terdapat guha itu, meninggalkan gurunya. Iapun condong mengikuti kebiasaan gurunya, suka memakai pakaian yang serba hitam.

Demikianlah, setelah meninggalkan gurunya, Kim Cu langsung menuju ke Lok-yang dan tempat yang pertama kali dikunjunginya adalah rumah pelesir milik Bibi Ciok di mana ia pernah menjadi pelacur secara terpaksa. Dan terjadi keributan di mana ia merobohkan lima orang jagoan Bibi Ciok yang kini mengenalnya setelah Bibi Ciok menyebut namanya.

Melihat betapa Bibi Ciok dan lima orang jagoan yang telah dirobohkannya itu mengenalnya, Kim Cu lalu membentak dengan suara lirih namun penuh wibawa, “Hayo kalian cepat berlutut!”

Bibi Ciok sudah melihat betapa lima orang jagoannya roboh oleh Kim Cu. Iapun bukan orang bodoh dan tahulah ia bahwa wanita cantik itu kini menjadi seorang yang amat berbahaya maka iapun menjatuhkan diri berlutut seperti yang dilakukan oleh lima orang jagoannya yang kini memandang ketakutan.

“Ingat, dari sekarang jangan menyebut namaku yang lama lagi. Aku kini adalah Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam) dan kalian harus mentaati semua perintahku. Sekali saja melanggar akan kucabut nyawanya!”

Mendengar ucapan itu, enam orang itu bergidik, dan Bibi Ciok yang mengumpulkan seluruh keberaniannya, sambil berlutut menyembah-nyembah dan berkata dengan suara gemetar.

“Nona... Liong-li... harap ampunkan kami yang bodoh. Saya berjanji akan memenuhi semua perintah nona. Sebenarnya... apakah yang nona kehendaki datang ke tempat yang buruk ini...?”

“Bibi Ciok, tujuh tahun yang lalu, ketika engkau memaksa aku melayani para pria hidung belang di sini, aku mempunyai langganan sebanyak dua belas orang. Aku ingin agar engkau mengundang mereka semua itu untuk datang ke sini, katakan bahwa aku telah kembali dan aku akan mengadakan pertunjukan yang manis untuk mereka, bahkan akan kutentukan, siapa yang boleh menemani aku tidur semalam di sini, yaitu dia yang membawa emas paling banyak. Nah, aturlah itu, agar tiga hari kemudian mereka semua datang ke sini, pada senja hari. Ruangan pertunjukan di belakang itu harus kau hias sebaik-baiknya, sediakan kursi-kursi untuk dua belas orang tamuku, dan aku akan menari di sana. Awas, kurang seorang saja berarti sekali tamparan untukmu, dan engkau sudah melihat sendiri akan kerasnya tamparanku. Mereka semua harus selengkapnya berada di sini! Untuk membuktikan kerasnya tamparanku, kau lihat ini!”

Kim Cu menghampiri sebuah meja tebal dan sekali tangan kirinya bergerak membacok, meja itu telah pecah berantakan! Tentu saja lima orang jagoan dan Bibi Ciok memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.

“Akan kami usahakan... akan kami lakukan perintah nona...” kata Bibi Ciok dengan tubuh gemetar.

“Bagus, dengan begitu nyawamu akan tetap tinggal dalam tubuhmu. Tiga hari lagi, pada sore hari aku datang ke sini. Mereka harus sudah berkumpul dan panggil serombongan pemain musik wanita untuk mengiringi aku menari!”

Setelah berkata demikian, Lie Kim Cu atau yang lebih baik kita sebut saja nama barunya, yaitu Hek-liong-li atau Liong-li saja, meninggalkan Bibi Ciok dan lima orang jagoannya yang masih berlutut ketakutan.

Baru setelah gadis itu pergi dan tidak nampak lagi, Bibi Ciok bangun dan sumpah serapah keluar dari mulutnya yang nyerocos memaki-maki lima orang jagoannya yang dianggapnya tidak becus! Akan tetapi, lima orang jagoan itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi, karena mereka harus berobat untuk menyambung tulang kaki atau lengan yang patah-patah untuk beberapa bulan lamanya, lima orang jagoan ini tidak akan dapat berlagak jagoan lagi karena harus beristirahat.

Biarpun ia masih merasa heran atas sikap Lie Kim Cu yang kini beralih nama menjadi Hek-liong-li, nama yang menyeramkan itu, namun Bibi Ciok sama sekali tidak berani membangkang terhadap perintah gadis itu. Tadinya memang ada niat di hatinya untuk memanggil jagoan-jagoan yang lebih pandai, yang banyak terdapat di Lok-yang, akan tetapi lima orang jagoannya menasihati agar Bibi Ciok jangan melakukan hal itu. Mereka mengaku bahwa tingkat ilmu kepandaian Hek-liong-li luar biasa sekali dan guru merekapun tidak akan mampu menandingi gadis itu!

Mendengar ini, Bibi Ciok tidak berani mengambil resiko. Apalagi, perintah itu tidak berbahaya, bahkan akan menguntungkan dirinya! Agaknya bekas anak buahnya itu masih teringat akan para langganannya yang menyayanginya maka kini hendak menjamu mereka dengan pesta dan tari. Dan menjanjikan tidur seorang di antara mereka yang membawa emas paling banyak! Hampir Bibi Ciok bersorak kalau membayangkan betapa Hek-liong-li akan suka melayani pria-pria hidung belang lagi di situ, karena hal ini berarti mengalirnya banyak emas ke dalam sakunya!

Tiga hari lewat dengan cepatnya. Bibi Ciok sibuk selama tiga hari itu, akan tetapi ia masih ingat kepada dua belas orang langganan Lie Kim Cu. Mereka adalah orang orang muda, ada yang putera hartawan, ada pula putera bangsawan. Memang dahulu, Lie Kim Cu tidak mau mengobral dirinya, dan setiap malam hanya melayani seorang pria sampai pagi. Dengan demikian, selama berada di situ sebulan lebih, gadis itu hanya mempunyai dua belas orang langganan yang kesemuanya tergila-gila kepadanya.

Oleh karena itu, ketika Bibi Ciok menghubungi mereka dan mengabarkan bahwa Lie Kim Cu yang cantik jelita dan pandai menghibur hati mereka dengan segala kehangatan dan kemesraan itu telah kembali, para pria hidung belang itu menjadi gembira sekali. Di antara mereka termasuk Bhok Hin! Mereka semua berjanji akan datang pada senja hari itu dan mereka akan berlomba memenangkan hati wanita cantik itu agar dipilih.

Pada hari yang ditentukan, sejak sore hari dua belas orang kongcu hidung belang itu sudah bergiliran datang dengan kereta mereka yang mewah. Mereka disambut dengan penuh keramahan oleh Bibi Ciok dan mereka dipersilakan langsung saja masuk ke ruangan belakang yang luas. Tempat ini memang biasa dipergunakan untuk pesta, tari-tarian dan sebagainya dan keadaan tempat itu kini amat meriah, dihias dengan rapi dan bersih.

Kursi-kursi berjajar merupakan setengah lingkaran menghadap ke sebuah panggung di mana wanita cantik yang mereka rindukan itu akan muncul. Rombongan musik yang terdiri dari gadis-gadis cantik sudah siap, bahkan atas isyarat dari Bibi Ciok, mereka sudah memainkan alat musik mereka perlahan-lahan untuk menyambut para tamu yang berdatangan.

Kini dua belas orang tamu itu sudah datang semua. Yang paling akhir adalah Bhok Hin dan begitu mantu jaksa agung itu hadir, langsung dia bertanya kepada Bibi Ciok, “Bibi Ciok, mana si cantik Kim Cu?”

Pertanyaan ini disambut oleh para tamu lainya yang juga sudah tidak sabar untuk cepat bertemu dan melihat bagaimana keadaan wanita yang pernah membuat mereka tergila-gila tujuh tahun yang lalu. Hal ini adalah karena pandainya Bibi Ciok berpromosi, mengabarkan bahwa kini wanita itu jauh lebih cantik, matang dan menarik dibandingkan tujuh tahun yang lalu!

Selagi mereka riuh-rendah bertanya kepada Bibi Ciok, tiba-tiba kain tirai sutera di belakang panggung itu tersibak dan semua mata ditujukan ke sana, percakapan pun seketika terhenti! Di sana, di atas panggung, muncul seorang wanita yang memang nampak cantik luar biasa. Kulitnya yang putih mulus kemerahan nampak lebih putih lagi karena ia mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera hitam.

Pakaian itu ringkas dan ketat sehingga tubuhnya yang padat langsing itu nampak jelas lekuk lengkungnya yang menggairahkan. Sepasang matanya jernih dan tajam, sedangkan mulut itu tersenyum-senyum ramah dan manis sekali, nampak lesung pipit di dekat mulut.

Semua tamu terpesona dan mereka mengenal wanita yang pernah membuat mereka mabok dan tergila-gila, hanya kini nampak lebih cantik dan lebih matang, tepat seperti yang dipromosikan Bibi Ciok! Seperti dikomando saja, duabelas orang itu bertepuk tangan sambil tersenyum-senyum, memasang lagak agar nampak tampan dan menarik.

Liong-li mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isyarat agar mereka tidak gaduh. Mereka pun duduk diam dan memandang penuh kagum, dan suasana menjadi hening. Liong-li memperlebar senyumnya sehingga nampak deretan giginya berkilat. Biarpun mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam dan memikat, namun wanita ini merasa betapa hatinya panas. Teringat ia betapa tujuh tahun yang lalu, dengan hati menderita dan terpaksa menelan semua kejijikan dan penghinaan, ia harus melayani dua belas orang ini, menyerahkan dirinya dan segala-galanya, bahkan harus berpura-pura menikmatinya dan menyenanginya! Semua ingatan ini membuat hatinya terbakar oleh dendam dan kemarahan.

“Cu-wi Kong-cu (Tuan-tuan Muda Sekalian),” ia berkata dengan suara merdu merayu dan kerling mata penuh daya tarik, “selamat sore dan selamat berjumpa kembali! Sungguh saya merasa rindu sekali kepada cu-wi (anda sekalian). Tentu cu-wi telah melupakan saya, apalagi rindu....” Ia berhenti dan senyumnya melebar.

“Wah, akupun rindu sekali!” teriak seseorang.

“Aku juga!”

“Aku rindu setengah mati!”

Bhok Hin berteriak, “Kim Cu, kami semua rindu kepadamu. Ke mana saja selama tujuh tahun ini engkau pergi?”

Liong-li mengerling tajam. “Hal itu akan saya ceritakan kepada cu-wi seorang demi seorang, bukan di sini akan tetapi di dalam kamar di mana kita berdua saja...”

Kembali mereka bersorak dan baru keadaan menjadi hening setelah Liong-li memberi isyarat. “Akan tetapi karena cu-wi berjumlah belasan orang, tentu saja saya tidak dapat melayani semua. Satu malam untuk satu orang seperti dulu, dan malam ini saya akan memilih seorang dengan melihat siapa di antara cuwi yang paling rindu kepada saya. Hal itu dapat saya lihat berapa besarnya hadiah yang cuwi berikan untuk saya! Harap cuwi menaruh hadiah itu di sini!” Ia mengeluarkan sehelai kain hitam yang lebar dan mengembangkan kain itu di atas panggung.

Mendengar ini, dua belas orang itu kembali tertawa-tawa dan suasana menjadi gaduh ketika mereka maju dam meletakkan bermacam barang berharga, kebanyakan potongan emas ke atas bentangan kain hitam itu. Liong-li sambil tersenyum memandang dan melihat betapa setiap orang memberi paling sedikit tiga tail emas dan paling banyak sepuluh tail emas sehingga menurut taksirannya, setelah semua orang menyerahkan hadiah, tidak kurang dari lima puluh tail emas terkumpul!

Setelah semua orang kembali dipersilakan duduk, Liong-li berkata lantang. “Sebelum saya umumkan siapa yang menang dan berhak menemani saya malam ini, saya akan mempersembahkan sebuah tarian untuk cuwi yang tercinta!”

Liong-li menyuruh para pemain musik membunyikan musik mereka lebih keras, dan iapun mulai dengan tariannya! Dikeluarkannya sebatang pedang dan iapun mulai menari pedang! Memang Liong-li tidak dapat disamakan dengan Lie Kim Cu. Ia kini seorang ahli silat yang hebat, dan kini ia dapat memainkan tari pedang yang lemah gemulai, namun di balik gerakan pedang yang nampak indah itu terkandung kekuatan dahsyat yang hanya akan dikenal oleh ahli silat tinggi.

Dua belas orang kongcu hidung belang itu mana mungkin mengenalnya? Mereka terpesona, bukan oleh tarian pedang, melainkan oleh tubuh yang bergerak-gerak amat menggairahkan dan seperti tertarik besi semberani, mereka bangkit dari tempat duduk mereka dan mendekati panggung agar dapat melihat lebih jelas.

Melihat betapa dua belas orang itu kini berdiri membuat setengah lingkaran di depan panggung, senyum Liong-li melebar dan iapun sambil menari berkata-kata dengan suara lantang.

“Kalian adalah kongcu-kongcu hidung belang. Biarlah kusingkirkan hidung-hidung itu agar tidak nampak belangnya lagi!” berkata demikian tiba-tiba saja pedang itu lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyambar ke bawah panggung.

Terdengar teriakan-teriakan dan nampak darah muncrat-muncrat. Keadaan menjadi gaduh dan gempar. Para gadis penabuh musik menjerit ketakutan dan lari cerai berai. Hanya sebentar saja keributan itu terjadi. Ketika kegaduhan berhenti, keadaan sungguh mengerikan. Dua belas orang pria itu menggunakan tangan mendekap muka mereka, terutama di bagian hidung. Darah mengalir dari celah antara jari tangan yang mendekap dan mulut mereka merintih kesakitan.

Kiranya, dua belas orang itu benar-benar telah kehilangan batang hidung mereka. Bukit hidung itu disambar gulungan sinar pedang dan buntung! Dan di sudut nampak Bibi Ciok melolong dan menangis sambil menggunakan tangan kiri memegangi lengan kanannya yang buntung! Tadi sinar pedang itu menyambar ke arah tangan kanannya dan terdengar bentakan Liong-li.

“Engkau harus menebus dosamu kepadaku dengan menyerahkan tanganmu yang kotor!” Dan begitu sinar menyambar, tangan kanannya sebatas pergelangan menjadi buntung!

Dan ketika semua orang memandang ke arah panggung, Liong-li sudah tidak nampak bayangannya lagi, dan tumpukan emas di atas kain hitam yang terbentang tadipun lenyap. Liong-li telah pergi setelah menghukum orang-orang yang pernah menyakiti hatinya.

Tentu saja peristiwa itu mendatangkan geger di kota Lok-yang. Semua orang membicarakannya dan nama Hek-liong-li menjadi buah bibir orang. Dewi Naga Hitam menjadi terkenal di Lok-yang. Apa lagi setelah pada malam hari itu juga terjadi peristiwa lain di Lok-yang yang amat mengerikan pula. Terjadi di rumah gedung Pangeran Coan Siu Ong!

Malam itu sunyi meliputi rumah gedung yang seperti istana itu milik Pangeran Coan Siu Ong. Pangeran yang kini usianya sudah lima puluh tujuh tahun itu, sudah tidur mendengkur kelelahan setelah menggilir selir barunya yang nomor lima!

Tengah malam telah lewat dan para peronda di gedung itu sudah mulai meronda. Mereka terdiri dari lima orang pengawal yang meronda di sekeliling gedung, memasuki taman dan memeriksa semua sudut. Seorang di antara mereka memegang sebuah lentera. Namun, sunyi saja dan nampaknya aman sehingga mereka setelah berkeliling lalu kembali ke gardu penjagaan mereka yang berada di pekarangan depan gedung itu.

Udara dingin dan mereka berlima lebih hangat kalau berada di dalam gardu. Tiga orang segera rebah di atas kursi panjang, yang dua orang sibuk bermain catur. Tak seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa sepasang mata jeli dari atas genteng sejak tadi mengamati gerak-gerik mereka ketika meronda. Setelah mereka memasuki gardu, pemilik mata itu bangkit dari keadaannya yang mendekam tadi, lalu nampak bayangannya yang hitam ramping berloncatan di atas wuwungan, kemudian melayang turun di taman dalam gedung dan menyelinap di antara kamar-kamar gedung besar itu.

Beberapa menit kemudian, bayangan hitam itu sudah membuka jendela sebuah kamar dengan mudahnya, lalu bagaikan seekor burung saja ia melompat masuk ke dalam kamar itu. Di atas meja masih bernyala penerangan sebatang lilin yang dikerudung kain merah sehingga cuaca dalam kamar itu kemerahan remang-remang, romantis sekali. Bayangan itu seorang wanita yang cantik, berpakaian serba hitam dan dalam penerangan lilin, nampaklah bahwa ia bukan lain adalah Hek-liong-li!

Setelah menghajar para kongcu hidung belang yang pernah menjadi langganannya, yang pernah dilayaninya secara terpaksa dan dengan hati tersiksa, kini Liong-li memasuki kamar orang yang paling dibencinya, yaitu kamar Pangeran Coan Siu Ong! Pangeran inilah yang pertama kali memperkosanya, dan pangeran ini pula yang mengakibatkan ayah kandungnya membunuh diri dan ibu kandungnya meninggal dunia karena kedukaan.

Liong-li membuka kerudung lilin, bahkan memasang pula tiga buah lilin yang dipadamkan, di tempat lilin di atas meja. Kini kamar itu tidak remang-remang lagi, melainkan terang dan Liong-li yang menoleh ke arah tempat tidur, dapat melihat betapa di balik kelambu yang putih halus itu terdapat dua sosok tubuh manusia yang tidur pulas dalam keadaan saling berpelukan dan tertutup selimut merah.

Liong-li segera membayangkan keadaannya ketika itu, tujuh tahun yang lalu, di dalam kamar ini, bahkan di atas pembaringan itu. Betapa ia terbelenggu kaki tangannya, diperkosa oleh Pangeran Coan Siu Ong. Wajahnya menjadi merah, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan ketika ia mengerling ke dinding, ia melihat bahwa pedang pendek yang dulu pernah ia pergunakan untuk mencoba membunuh pangeran itu kini masih juga tergantung di situ.

Ia mengambil pedang itu dan menghunusnya. Ia tidak pernah membawa pedang dan pedang yang dipergunakan untuk “menari” dan menghajar para pria hidung belang di rumah pelesir Bibi Ciok juga merupakan pedang biasa yang dibelinya dari penjual pedang di pasar.

“Brettt... bretttt...!” Kelambu itu disambar pedang dan robek terkuak lebar, namun dua orang yang saling berpelukan di atas tempat tidur itu tidak bergerak. Mereka sudah tidur nyenyak sekali.

“Brukkkk...!” Liong-li membacok kaki pembaringan itu sehingga pembaringan itu roboh miring. Barulah dua orang itu terkejut, selimut tersingkap dan Liong-li memalingkan muka melihat bahwa mereka itu sama sekali tidak berpakaian.

“Apa... apa... siapa...?” Pangeran Coan Siu Ong yang terkejut itu gelagapan dan bersama selirnya, dia menyambar pakaian dan mengenakan pakaiannya secara tergesa-gesa, sejadinya saja. Lalu dia meloncat turun dari pembaringan yang miring itu, matanya terbelalak kemerahan karena dia melihat seorang wanita berdiri membelakangi pembaringan.

Dia mengira bahwa tentu seorang diantara selirnya yang sengaja datang membikin ribut karena iri hati dan panas melihat dia lebih sering tidur di kamar selir terbaru ini. Dia marah sekali dan siap untuk memaki dan menghajar selir kurang ajar itu...

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 06

SEMENTARA itu, Cin Hay melakukan perjalanan cepat keluar dari dusun Tiang-cin, memanggul emas dalam karung. Dia kini telah membalas kematian isterinya. Perhitungan dengan para pembunuh isterinya telah selesai dan kini diapun sudah memiliki modal yang cukup untuk hidup secara pantas. Akan tetapi pikiran ini segera dibuangnya. Dia mengambil harta dari Koan Ki Sek hanya untuk menghukum orang itu, dan kini dia bahkan mulai merasa repot dengan beban di pundaknya itu.

Untuk apa emas sebanyak itu? Dia teringat akan keluarga isterinya, maka kakinya lalu melangkah cepat menuju ke dusun tempat tinggal ibunya dan ayahnya. Dia akan pulang dulu ke rumah ayah bundanya, baru dia akan berkunjung kepada keluarga mertuanya. Mereka, orang tuanya sendiri dan mertuanya, tentu membutuhkan emas-emas ini!

Setidaknya, setelah meninggalkan mereka selama tujuh tahun, kini dia dapat memberikan sesuatu kepada mereka, sebagai sekedar balas jasa atas segala kebaikan mereka, juga sebagai sekedar hiburan bagi orang tua isterinya yang telah kehilangan anak.

Ibunya menyambut kedatangan Cin Hay dengan tangis keharuan dan kebahagiaan. Ibunya hidup di rumah pamannya, adik ibunya, karena ayah Cin Hay telah meninggal dunia karena sakit. Melihat betapa pamannya itu baik hati, mau menampung ibunya dan bersikap amat baik terhadap ibunya, Cin Hay bersyukur dan dia lalu menyerahkan sepuluh kati emas kepada ibunya.

Uang sebanyak itu merupakan harta yang amat besar bagi orang dusun. Ibunya segera menyerahkan emas itu kepada adiknya dan mereka sekeluarga lalu membeli tanah dan membangun rumah, dan selanjutnya hidup sebagai petani yang beruntung dan serba cukup.

Cin Hay berpamit kepada ibuya untuk melanjutkan perantauannya. Tadinya, sang ibu menahannya, bahkan membujuk seorang gadis dusun untuk menjadi isteri Cin Hay, namun pemuda ini tersenyum dan menolak dengan halus.

“Ibu, bertahun-tahun aku mempelajari ilmu dan sekaranglah saatnya aku harus mempergunakan ilmu itu dalam dunia ramai. Aku hendak merantau dan tinggallah ibu bersama paman di sini.”

Ibunya tidak dapat menahannya lagi dan pergilah Cin Hay berkunjung ke rumah mertuanya. Seperti juga keluarga ibunya, keluarga mertuanya menerima Cin Hay dengan ramah dan baik. Biarpun kini anak mereka telah meninggal dan Cin Hay hanya merupakan bekas mantu saja, namun keluarga lurah Gu itu menganggap Cin Hay seperti anak sendiri.

Menerima penyambutan yang ramah Cin Hay merasa terharu dan girang sekali. Tidak percuma dia berniat baik memberi separuh emasnya kepada keluarga mertuanya, karena ternyata keluarga mertuanya ini masih amat baik kepadanya. Dia lalu menceritakan betapa dia telah membalas dendam, membunuh See-ouw Sam-houw yang menyebabkan kematian Gu Ci Sian dan menghukum Koan Ki Sek.

Mendengar cerita ini, lurah Gu dan isterinya menangis, merasa bersyukur bahwa kematian anak mereka telah terbalas. Apa lagi ketika Cin Hay menyerahkan sepuluh kati emas kepada mereka, lurah Gu tadinya menolak.

“Anakku, mengapa kau berikan harta kepada kami! Sebaiknya kau bawa pulang saja, dan kau serahkan kepada ibumu. Bukankah setelah ayahmu meninggal dunia, ibumu tinggal bersama pamanmu? Belikan tanah dan rumah untuk ibumu dan uang ini dapat dipergunakan untuk modal.”

Cin Hay tersenyum dan semakin mantap hatinya untuk menyerahkan sebagian harta itu kepada mertua yang baik ini. “Saya sudah memberi kepada ibu, harap ayah mertua suka menerimanya.”

Akhirnya Cin Hay berpamit dan diantar oleh keluarga mendiang isterinya itu dengan hati terharu. Setelah meninggalkan dusun itu, Cin Hay teringat akan pesan mendiang gurunya. Kim-san Liong-cu (Mustika Naga dari Gunung Emas)! Dia harus memenuhi pesan gurunya itu. Berangkatlah dia untuk mencari Kim-san (Gunung Emas) di Lembah Huang-ho itu, dengan bekal pakaian secukupnya dan beberapa potong emas untuk biaya di perjalanan.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 06 karya kho ping hoo

Wanita itu sungguh cantik jelita. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun, pakaiannya tidak sangat mewah, akan tetapi karena bentuk tubuhnya yang ramping padat, maka nampak pakaian itu serasi dan indah. Rambutnya hitam panjang dan halus, digelung di atas kepala dengan hiasan bunga teratai emas. Wajahnya bulat telur, dan kulit mukanya segar kemerahan, putih mulus seperti dibedaki pada hal jelas bahwa dia tidak memakai bedak.

Sepasang matanya jeli dan lebar, tajam sinarnya dan kerlingnya nampak tajam menikam. Sepasang alis matanya seperti dilukis. Hidung kecil mancung dan mulutnya merupakan bagian yang paling menarik dari mukanya. Mulut itu selalu terhias senyuman, dan bibir yang merah dan selalu segar basah itu seperti menantang. Lesung pipit menghias tepi mulutnya, dan lesung pipit itu menjadi semakin jelas kalau ia tersenyum lebar. Di bawah mata kiri, di bagian pipi atas nampak ada tahi lalat hitam kecil yang menjadi penambah kemanisan wajah itu. Seorang wanita yang memiliki daya tarik besar sekali, memberahikan setiap orang pria yang melihatnya.

Dan wanita itu pada suatu pagi melangkahkan kakinya masuk ke pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Dan perbuatannya inilah yang amat menarik perhatian orang, terutama kaum prianya, karena rumah itu adalah sebuah rumah pelesir, sebuah rumah pelacuran milik Bibi Ciok, seorang mucikari yang terkenal di Lok-yang karena rumah pelesirnya merupakan tempat pelesiran terbesar di Lok-yang.

Bibi Ciok terkenal sebagai mucikari yang biasa menyediakan pelacur-pelacur kelas tinggi! Langganannya terdiri dari para bangsawan dan hartawan di Lok-yang. Oleh karena itulah, masuknya wanita cantik menarik itu di pekarangan rumah ini membuat semua orang menengok dan memandang kepadanya dan segera tersiar berita desas-desus yang segera meluas bahwa di rumah pelesir Bibi Ciok terdapat seorang “anggauta baru” yang amat cantik jelita!

Kedatangan orang baru merupakan berita paling menggemparkan dari sebuah rumah pelacuran dan dalam waktu singkat saja, para bangsawan dan hartawan yang menjadi langganan Bibi Ciok segera mencari tahu kebenaran berita itu. Di dalam rumah besar itu sendiri terjadi hal-hal yang amat hebat. Wanita cantik itu langsung membuka pintu depan dan memasuki rumah itu seperti orang memasuki rumah sendiri saja!

Seorang penjaga pintu terkejut melihat kedatangannya dan berusaha menghadang. Dia mengenal semua pelacur yang menjadi langganan rumah pelesir itu dan wanita ini sama sekali tidak dikenalnya. Akan tetapi, penjaga ini tidak berani sembrono karena siapa tahu wanita ini adalah isteri seorang bangsawan yang mencari suaminya!

“Nona siapakah dan ada keperluan apa?” tanyanya sambil menghadang di depan wanita itu.

“Tak perlu engkau tahu siapa aku, lekas panggil Bibi Ciok agar ia keluar menemuiku!” kata wanita itu dengan sikap dingin.

Tentu saja penjaga itu tidak mau menuruti permintaan ini. Dia bertugas sebagai penjaga pintu dan tentu saja tidak dapat mengijinkan setiap orang masuk. “Tapi... harap jelaskan dulu nona ini siapa dan ada keperluan apa masuk...”

Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangannya perlahan sambil berkata, “Jangan banyak cerewet kau!”

Sungguh luar biasa sekali. Ia hanya menggerakkan tangan seperti mendorong, akan tetapi tanpa menyentuh tubuh, penjaga itu sudah terjengkang dan tubuhnya, menabrak dinding. Penjaga itu berteriak-teriak dan muncullah lima orang laki-laki dari dalam. Mereka adalah lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul di rumah pelacuran itu, jagoan-jagoan yang diandalkan oleh Bibi Ciok.

“Hai, siapa engkau, berani mati membikin ribut di sini dan memukul penjaga pintu?” Sentak seorang di antara mereka yang berkumis tebal dan yang menjadi kepala dari rombongan jagoan itu.

Wanita cantik itu berdiri tegak dan matanya melirik tajam ketika muncul lima orang itu. Senyumnya melebar sehingga nampak sedikit kilatan giginya yang putih berderet rapi. Kini ia mengangkat muka memandang laki-laki berkumis tebal itu.

“Kalau kalian berlima tidak ingin kuhajar seperti dia ini, cepat menggelinding pergi dam panggil Bibi Ciok ke sini!” katanya.

Tentu saja lima orang jagoan itu menjadi marah melihat sikap dan terdengar ucapan yang nadanya memerintah dan memandang rendah itu. Mereka adalah jagoan terkenal di daerah itu, bahkan Bibi Ciok sendiri yang menjadi majikan, sumber penghasilan mereka, tidak berani bersikap secongkak itu. Mereka dianggap sebagai kacung-kacung saja yang boleh disuruh seenaknya oleh wanita yang baru muncul ini.

Tadinya merekapun berhati-hati, khawatir kalau kalau wanita itu adalah isteri seorang bangsawan yang datang menyusul dan mencari suaminya. Akan tetapi melihat sikap wanita itu dengan congkak, merekapun lupa akan kekhawatiran itu.

“Hemm, perempuan sombong! Siapakah engkau ini? Mengaku dulu siapa engkau dan apa keperluanmu datang mencari Bibi Ciok, baru kami akan mempertimbangkan sikapmu yang congkak!” bentak si kumis tebal.

Wanita itu tersenyum. “Kalian ini tukang-tukang pukul murahan, masih banyak lagak? Cepat panggil Bibi Ciok ke sini atau terpaksa aku akan membuat kalian menguik-nguik seperti anjing-anjing dipukul!”

Habislah kesabaran si kumis tebal. “Kurang ajar!” bentaknya dan tangan kirinya menampar ke arah pipi wanita itu. Berapapun cantiknya wanita itu, tentu saja dia tidak sudi dihina seperti itu!

Akan tetapi, dengan mudah wanita itu hanya menarik tubuhnya bagian atas ke belakang dan tamparan itu luput, dan pada detik itu juga, kaki wanita itu sudah bergerak menendang dengan kecepatan kilat ke depan. Tendangan itu cepat bukan main sehingga tidak dapat dielakkan pula oleh si kumis tebal.

“Dukk!” Perutnya tercium ujung sepatu wanita itu dan si pemilik perutpun terjengkang dan terbanting keras. Dia merangkak bangun sambil memegangi perut karena merasa nyeri seolah-olah usus buntunya yang kena tendang. Dengan muka mengernyit karena nyeri, dia memerintahkan anak buahnya dengan suara penuh geram.

“Bunuh perempuan jahat ini!”

Empat orang jagoan yang lain merasa penasaran dan marah. Merekapun segera mencabut golok masing-masing dan mengepung wanita itu yang masih berdiri tegak sambil tersenyum mengejek. Si kumis tebal memaksa diri bangkit dan mencabut goloknya pula. Biarpun perutnya masih terasa mulas, dia yang menjadi marah karena malu, kini ikut mengepung.

Kalau saja lima orang jagoan itu tidak terlalu takabur, tentu mereka dapat melihat bahwa sikap wanita itu sudah jelas menunjukkan bahwa ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dikepung lima orang jagoan yang memegang golok, wanita itu masih tersenyum, sedikitpun tidak gentar bahkan sikapnya memandang rendah! Akan tetapi lima orang itu sudah buta karena kesombongan mereka dan karena mereka sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka.

“Mampuslah!” bentak seorang di antara mereka yang berada di belakang wanita itu, goloknya menyambar ke arah tengkuk wanita itu dari belakang!

Tanpa menoleh, wanita itu mengelak, seolah-olah ada mata di tengkuknya. Ia mengelak ke kiri sehingga bacokan golok itu lewat dan seperti kilat saja, tubuhnya membalik ke kanan mengikuti tangannya yang sudah menyambar ke belakang,

“Krekkk!” tangan yang kecil mungil itu menyambar dan mengenai pundak si penyerang dan seketika orang itu terjungkal sambil mengaduh-aduh karena tulang pundaknya remuk diketuk oleh jari-jari tangan kecil mungil itu. Sebuah tendangan menyusul dan membuat tubuh itu terjengkang dan terlempar sampai ke sudut ruangan!

Empat orang jagoan, yang lain menjadi semakin marah dan mereka menyerang secara berbareng, mengeroyok wanita yang tidak bersenjata itu dengan bacokan golok mereka secara ganas sekali. Akan tetapi, wanita itu menyambut serangan empat batang golok itu dengan tenang saja.

Sikapnya tenang, namun gerakan tubuhnya demikian cepat sehingga tiba-tiba saja mata empat orang itu berkunang dan mereka telah kehilangan wanita itu. Demikian cepat gerakannya ketika melesat keluar dari kepungan sehingga ia seolah-olah pandai menghilang saja seperti iblis! Hanya nampak bayangan hitam karena pakaiannya yang serba hitam berbunga abu-abu itu

Dan ketika empat orang itu menyadari bahwa wanita itu sudah keluar dari kepungan dan mereka membalik, tiba-tiba saja wanita itu menyerang. Tendangan dan tamparan kedua tangannya menyambar bertubi-tubi dan robohlah empat orang itu dengan tulang lengan atau tulang kaki patah-patah! Dalam waktu beberapa detik saja, lima orang itu telah roboh berserakan sambil mengaduh-aduh dan tidak mampu bangkit kembali karena kaki atau lengan yang patah tulangnya!

Pada saat itu, dari dalam muncul Bibi Ciok, wanita yang usianya sudah lima puluh lima tahun dan tubuhnya semakin gembrot itu. Ia mendengar suara ribut-ribut dan karena di tempat itu ia seperti seorang ratu atau majikan yang ditakuti, dan karena ia terlalu percaya bahwa lima orang jagoannya pasti akan mampu membereskan semua persoalan, maka iapun bergegas keluar dan matanya terbelalak melihat betapa lima orang jagoannya roboh dan mengaduh-aduh, sedangkan di tengah ruangan berdiri seorang wanita yang cantik sekali.

Ia memandang penuh perhatian. Wanita yang amat cantik manis, kulitnya menjadi lebih putih mulus karena pakaiannya yang serba hitam, dari sutera halus, namun dengan potongan sederhana itu. Usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, seorang gadis yang sudah matang, dengan tubuh menggairahkan.

Sebagai seorang mucikari yang pekerjaannya mengumpulkan wanita-wanita muda yang cantik, tentu saja Bibi Ciok pandai menilai kecantikan seorang gadis, baik bentuk wajahnya maupun keadaan tubuhnya. Gadis seperti itu akan menjadi sumber uang yang baik sekali baginya, pikir wanita tua ini. Akan tetapi, ketika ia memandang dengan teliti, tiba-tiba ia terbelalak.

“Kim Cu...!” teriaknya. Ia mengenal wanita cantik berpakaian serba hitam itu. Tak salah lagi, ia adalah Lie Kim Cu, bekas selir Pangeran Coan Siu Ong yang dijual kepadanya. Gadis yang pernah menjadi pelacur di rumah pelesirnya, yang selama sebulan telah mendatangkan uang yang cukup banyak dan menjadi rebutan para kongcu hidung belang yang berani membayar mahal untuk dapat tidur semalam di kamar gadis itu! Dan gadis itu lalu melarikan diri ketika dibawa pesiar oleh Bhok-kongcu, mantu jaksa agung!

“Kim... Kim Cu...?” Jagoan berkumis tebal berseru kaget bukan main, demikian pula teman-temannya. Kini baru mereka mengenal wanita cantik berpakaian serba hitam yang lihai itu dan mereka bergidik.

Teringat peristiwa tujuh tahun yang lalu ketika mereka mengepung gadis itu, muncul seorang nenek dan terjadi keanehan ketika mereka berempat ketika itu, dihajar habis-habisan oleh gadis ini, tanpa mereka mampu membalas sama sekali! Dan kini wanita itu muncul kembali dengan ilmu kepandaian yang hebat sekali!

Wanita itu memang Lie Kim Cu! Seperti telah kita ketahui, ketika ia dikejar-kejar kemudian dikeroyok empat orang jagoan, yaitu si kumis tebal dan tiga orang kawannya ketika ia melarikan diri dari kereta Bhok Hin, muncul Huang-ho Kuibo, nenek yang berpakaian serba hitam dan yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat itu. Ia kemudian menjadi murid datuk dunia kang-ouw itu dan selama tujuh tahun ia digembleng oleh Huang-ho Kuibo.

Setelah berkeliaran di sepanjang Sungai Huang-ho selama tujuh tahun dan menggembleng muridnya dengan semua ilmu yang dimilikinya, akhirnya Huang-ho Kuibo yang sudah amat tua itu hampir sembilan puluh tahun usianya, memilih sebuah guha untuk tempat pertapaannya. Ia telah terlalu tua untuk berkeliaran lagi dan ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan bertapa di guha itu. Ia mengusir muridnya untuk mempergunakan ilmu-ilmunya di dunia ramai.

“Kalau engkau ingin menjadi seorang yang paling menonjol dalam dunia persilatan, pergilah ke Bukit Emas (Kim San). Engkau tentu masih ingat Kim-san yang pernah kutunjukkan kepadamu dari jauh dalam perantauan kita itu, bukan?”

“Maksud subo (ibu guru) Bukit Emas di sebelah selatan Sungai Kuning, yang dari jauh nampak kuning berkilauan itu di waktu senja?”

“Benar, itulah Kim San!”

“Kata subo, di sana pernah terjadi pertempuran besar di antara orang-orang pandai dan di sana banyak orang pandai di dunia persilatan roboh dan binasa.”

“Bagus kau masih ingat akan ceritaku itu. Memang, di sana kini menjadi kuburan banyak orang pandai, bahkan aku sendiri nyaris tewas di sana ketika ikut memperebutkan Kim-san Liong-cu.”

“Kim-san Liong-cu? Benda apakah itu, subo?” tanya Kim Cu ingin tahu sekali.

Nenek itu menarik napas panjang. “Siapa pernah melihatnya? Akan tetapi banyak sudah dunia kang-ouw mendengar nama benda itu. Sesuai dengan namanya, benda itu adalah sebutir liong-cu (mustika naga) yang kabarnya ratusan tahun yang lalu menjadi milik seorang pangeran dan kemudian benda itu ikut dikubur bersama jenazah pangeran itu. Kuburan kuno itu berada di puncak Kim-san.”

“Akan tetapi, kalau benda itu sudah dikubur dengan jenazah pangeran itu, mengapa untuk rebutan? Apa sih gunanya benda itu?”

“Aih, engkau sungguh tidak tahu. Di dunia ini terdapat banyak benda aneh, pusaka-pusaka yang mukzijat dan Mustika Naga merupakan sebuah di antara pusaka-pusaka yang amat hebat khasiatnya. Kalau benda itu dikubur bersama jenazah, maka jenazah itu akan dapat bertahan dan tidak rusak sampai ratusan tahun! Kalau dibikin bubuk dan diminum, akan membuat orang menjadi kuat dan panjang usia sampai lebih dari seratus tahun.”

“Akan tetapi bagaimana kalau dia dibunuh orang?”

“Ah, kalau begitu tentu lain lagi. Akan tetapi, penyakit tidak akan dapat menyerangnya, dan selain itu, makan liong-cu akan membuat tubuh kuat dan mendatangkan tenaga sin-kang yang luar biasa. Juga dapat menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan sanggup menolak segala macam racun!”

“Ih, sungguh hebat!”

“Bukan hanya itu. Kalau mustika itu dilebur dan dicampur dengan logam yang akan dijadikan senjata, maka senjata itu akan menjadi senjata pusaka yang ampuh bukan main. Nah, karena banyak sekali khasiatnya, maka begitu terdapat berita bahwa di dalam kuburan kuno itu terdapat liong-cu, para tokoh dunia persilatan berdatangan dan berebutan.”

“Lalu bagaimana, subo?” Kim Cu mendesak karena ia tertarik sekali. “Siapa yang berhasil mendapatkan pusaka itu ketika terjadi perebutan di sana?”

Nenek itu menggeleng kepalanya. “Tidak ada seorangpun yang mendapatkan, dan sudah begitu banyak orang pandai yang tewas, ada puluhan orang yang mati dan akhirnya, tidak ada seorangpun yang berhasil mendapatkan Kim-san Liong-cu!”

Tiba-tiba Kim Cu dapat membayangkan keadaan yang amat lucu itu dan iapun tertawa. Gurunya memandang kepadanya dengan alis berkerut. “Kenapa engkau tertawa?”

“Hi-hik, alangkah lucunya, subo. Setelah puluhan orang tewas dalam perebutan, kuburan itu dibongkar oleh mereka yang menang dan tentu saja isinya hanya tengkorak karena mustika naga itu hanya dongeng bohong belaka.”

“Bodoh!” Nenek itu membentak sehingga Kim Cu terkejut dan kembali ia memusat perhatian. “Bukan begitu! Akan tetapi kuburan itu telah ada yang lebih dulu membongkarnya dan ada orang yang telah mengambil Kim-san Liong-cu itu sebelum para tokoh datang memperebutkannya! Pusaka itu memang ada, sebesar kepala bayi yang baru lahir, akan tetapi telah lebih dulu diambil orang!”

Kim Cu kembali tertarik sekali. “Siapa yang mengambilnya, subo?”

“Itulah! Tidak ada yang tahu. Karena itu engkau harus pergi ke Kim-san, melakukan penyelidikan dan siapa tahu engkau akan dapat mengetahui siapa orang yang mencuri pusaka itu, kemudian engkau harus merebutnya agar engkau, muridku, menjadi orang paling lihai di dunia ini!”

Tanpa disuruh sekalipun, setelah mendengar cerita yang amat menarik itu. Kim Cu sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki dan mencari orang yang telah mengambil mustika itu. Ia mengangguk menyanggupi kemudian ia turun dari bukit di mana terdapat guha itu, meninggalkan gurunya. Iapun condong mengikuti kebiasaan gurunya, suka memakai pakaian yang serba hitam.

Demikianlah, setelah meninggalkan gurunya, Kim Cu langsung menuju ke Lok-yang dan tempat yang pertama kali dikunjunginya adalah rumah pelesir milik Bibi Ciok di mana ia pernah menjadi pelacur secara terpaksa. Dan terjadi keributan di mana ia merobohkan lima orang jagoan Bibi Ciok yang kini mengenalnya setelah Bibi Ciok menyebut namanya.

Melihat betapa Bibi Ciok dan lima orang jagoan yang telah dirobohkannya itu mengenalnya, Kim Cu lalu membentak dengan suara lirih namun penuh wibawa, “Hayo kalian cepat berlutut!”

Bibi Ciok sudah melihat betapa lima orang jagoannya roboh oleh Kim Cu. Iapun bukan orang bodoh dan tahulah ia bahwa wanita cantik itu kini menjadi seorang yang amat berbahaya maka iapun menjatuhkan diri berlutut seperti yang dilakukan oleh lima orang jagoannya yang kini memandang ketakutan.

“Ingat, dari sekarang jangan menyebut namaku yang lama lagi. Aku kini adalah Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam) dan kalian harus mentaati semua perintahku. Sekali saja melanggar akan kucabut nyawanya!”

Mendengar ucapan itu, enam orang itu bergidik, dan Bibi Ciok yang mengumpulkan seluruh keberaniannya, sambil berlutut menyembah-nyembah dan berkata dengan suara gemetar.

“Nona... Liong-li... harap ampunkan kami yang bodoh. Saya berjanji akan memenuhi semua perintah nona. Sebenarnya... apakah yang nona kehendaki datang ke tempat yang buruk ini...?”

“Bibi Ciok, tujuh tahun yang lalu, ketika engkau memaksa aku melayani para pria hidung belang di sini, aku mempunyai langganan sebanyak dua belas orang. Aku ingin agar engkau mengundang mereka semua itu untuk datang ke sini, katakan bahwa aku telah kembali dan aku akan mengadakan pertunjukan yang manis untuk mereka, bahkan akan kutentukan, siapa yang boleh menemani aku tidur semalam di sini, yaitu dia yang membawa emas paling banyak. Nah, aturlah itu, agar tiga hari kemudian mereka semua datang ke sini, pada senja hari. Ruangan pertunjukan di belakang itu harus kau hias sebaik-baiknya, sediakan kursi-kursi untuk dua belas orang tamuku, dan aku akan menari di sana. Awas, kurang seorang saja berarti sekali tamparan untukmu, dan engkau sudah melihat sendiri akan kerasnya tamparanku. Mereka semua harus selengkapnya berada di sini! Untuk membuktikan kerasnya tamparanku, kau lihat ini!”

Kim Cu menghampiri sebuah meja tebal dan sekali tangan kirinya bergerak membacok, meja itu telah pecah berantakan! Tentu saja lima orang jagoan dan Bibi Ciok memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.

“Akan kami usahakan... akan kami lakukan perintah nona...” kata Bibi Ciok dengan tubuh gemetar.

“Bagus, dengan begitu nyawamu akan tetap tinggal dalam tubuhmu. Tiga hari lagi, pada sore hari aku datang ke sini. Mereka harus sudah berkumpul dan panggil serombongan pemain musik wanita untuk mengiringi aku menari!”

Setelah berkata demikian, Lie Kim Cu atau yang lebih baik kita sebut saja nama barunya, yaitu Hek-liong-li atau Liong-li saja, meninggalkan Bibi Ciok dan lima orang jagoannya yang masih berlutut ketakutan.

Baru setelah gadis itu pergi dan tidak nampak lagi, Bibi Ciok bangun dan sumpah serapah keluar dari mulutnya yang nyerocos memaki-maki lima orang jagoannya yang dianggapnya tidak becus! Akan tetapi, lima orang jagoan itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi, karena mereka harus berobat untuk menyambung tulang kaki atau lengan yang patah-patah untuk beberapa bulan lamanya, lima orang jagoan ini tidak akan dapat berlagak jagoan lagi karena harus beristirahat.

Biarpun ia masih merasa heran atas sikap Lie Kim Cu yang kini beralih nama menjadi Hek-liong-li, nama yang menyeramkan itu, namun Bibi Ciok sama sekali tidak berani membangkang terhadap perintah gadis itu. Tadinya memang ada niat di hatinya untuk memanggil jagoan-jagoan yang lebih pandai, yang banyak terdapat di Lok-yang, akan tetapi lima orang jagoannya menasihati agar Bibi Ciok jangan melakukan hal itu. Mereka mengaku bahwa tingkat ilmu kepandaian Hek-liong-li luar biasa sekali dan guru merekapun tidak akan mampu menandingi gadis itu!

Mendengar ini, Bibi Ciok tidak berani mengambil resiko. Apalagi, perintah itu tidak berbahaya, bahkan akan menguntungkan dirinya! Agaknya bekas anak buahnya itu masih teringat akan para langganannya yang menyayanginya maka kini hendak menjamu mereka dengan pesta dan tari. Dan menjanjikan tidur seorang di antara mereka yang membawa emas paling banyak! Hampir Bibi Ciok bersorak kalau membayangkan betapa Hek-liong-li akan suka melayani pria-pria hidung belang lagi di situ, karena hal ini berarti mengalirnya banyak emas ke dalam sakunya!

Tiga hari lewat dengan cepatnya. Bibi Ciok sibuk selama tiga hari itu, akan tetapi ia masih ingat kepada dua belas orang langganan Lie Kim Cu. Mereka adalah orang orang muda, ada yang putera hartawan, ada pula putera bangsawan. Memang dahulu, Lie Kim Cu tidak mau mengobral dirinya, dan setiap malam hanya melayani seorang pria sampai pagi. Dengan demikian, selama berada di situ sebulan lebih, gadis itu hanya mempunyai dua belas orang langganan yang kesemuanya tergila-gila kepadanya.

Oleh karena itu, ketika Bibi Ciok menghubungi mereka dan mengabarkan bahwa Lie Kim Cu yang cantik jelita dan pandai menghibur hati mereka dengan segala kehangatan dan kemesraan itu telah kembali, para pria hidung belang itu menjadi gembira sekali. Di antara mereka termasuk Bhok Hin! Mereka semua berjanji akan datang pada senja hari itu dan mereka akan berlomba memenangkan hati wanita cantik itu agar dipilih.

Pada hari yang ditentukan, sejak sore hari dua belas orang kongcu hidung belang itu sudah bergiliran datang dengan kereta mereka yang mewah. Mereka disambut dengan penuh keramahan oleh Bibi Ciok dan mereka dipersilakan langsung saja masuk ke ruangan belakang yang luas. Tempat ini memang biasa dipergunakan untuk pesta, tari-tarian dan sebagainya dan keadaan tempat itu kini amat meriah, dihias dengan rapi dan bersih.

Kursi-kursi berjajar merupakan setengah lingkaran menghadap ke sebuah panggung di mana wanita cantik yang mereka rindukan itu akan muncul. Rombongan musik yang terdiri dari gadis-gadis cantik sudah siap, bahkan atas isyarat dari Bibi Ciok, mereka sudah memainkan alat musik mereka perlahan-lahan untuk menyambut para tamu yang berdatangan.

Kini dua belas orang tamu itu sudah datang semua. Yang paling akhir adalah Bhok Hin dan begitu mantu jaksa agung itu hadir, langsung dia bertanya kepada Bibi Ciok, “Bibi Ciok, mana si cantik Kim Cu?”

Pertanyaan ini disambut oleh para tamu lainya yang juga sudah tidak sabar untuk cepat bertemu dan melihat bagaimana keadaan wanita yang pernah membuat mereka tergila-gila tujuh tahun yang lalu. Hal ini adalah karena pandainya Bibi Ciok berpromosi, mengabarkan bahwa kini wanita itu jauh lebih cantik, matang dan menarik dibandingkan tujuh tahun yang lalu!

Selagi mereka riuh-rendah bertanya kepada Bibi Ciok, tiba-tiba kain tirai sutera di belakang panggung itu tersibak dan semua mata ditujukan ke sana, percakapan pun seketika terhenti! Di sana, di atas panggung, muncul seorang wanita yang memang nampak cantik luar biasa. Kulitnya yang putih mulus kemerahan nampak lebih putih lagi karena ia mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera hitam.

Pakaian itu ringkas dan ketat sehingga tubuhnya yang padat langsing itu nampak jelas lekuk lengkungnya yang menggairahkan. Sepasang matanya jernih dan tajam, sedangkan mulut itu tersenyum-senyum ramah dan manis sekali, nampak lesung pipit di dekat mulut.

Semua tamu terpesona dan mereka mengenal wanita yang pernah membuat mereka mabok dan tergila-gila, hanya kini nampak lebih cantik dan lebih matang, tepat seperti yang dipromosikan Bibi Ciok! Seperti dikomando saja, duabelas orang itu bertepuk tangan sambil tersenyum-senyum, memasang lagak agar nampak tampan dan menarik.

Liong-li mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isyarat agar mereka tidak gaduh. Mereka pun duduk diam dan memandang penuh kagum, dan suasana menjadi hening. Liong-li memperlebar senyumnya sehingga nampak deretan giginya berkilat. Biarpun mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam dan memikat, namun wanita ini merasa betapa hatinya panas. Teringat ia betapa tujuh tahun yang lalu, dengan hati menderita dan terpaksa menelan semua kejijikan dan penghinaan, ia harus melayani dua belas orang ini, menyerahkan dirinya dan segala-galanya, bahkan harus berpura-pura menikmatinya dan menyenanginya! Semua ingatan ini membuat hatinya terbakar oleh dendam dan kemarahan.

“Cu-wi Kong-cu (Tuan-tuan Muda Sekalian),” ia berkata dengan suara merdu merayu dan kerling mata penuh daya tarik, “selamat sore dan selamat berjumpa kembali! Sungguh saya merasa rindu sekali kepada cu-wi (anda sekalian). Tentu cu-wi telah melupakan saya, apalagi rindu....” Ia berhenti dan senyumnya melebar.

“Wah, akupun rindu sekali!” teriak seseorang.

“Aku juga!”

“Aku rindu setengah mati!”

Bhok Hin berteriak, “Kim Cu, kami semua rindu kepadamu. Ke mana saja selama tujuh tahun ini engkau pergi?”

Liong-li mengerling tajam. “Hal itu akan saya ceritakan kepada cu-wi seorang demi seorang, bukan di sini akan tetapi di dalam kamar di mana kita berdua saja...”

Kembali mereka bersorak dan baru keadaan menjadi hening setelah Liong-li memberi isyarat. “Akan tetapi karena cu-wi berjumlah belasan orang, tentu saja saya tidak dapat melayani semua. Satu malam untuk satu orang seperti dulu, dan malam ini saya akan memilih seorang dengan melihat siapa di antara cuwi yang paling rindu kepada saya. Hal itu dapat saya lihat berapa besarnya hadiah yang cuwi berikan untuk saya! Harap cuwi menaruh hadiah itu di sini!” Ia mengeluarkan sehelai kain hitam yang lebar dan mengembangkan kain itu di atas panggung.

Mendengar ini, dua belas orang itu kembali tertawa-tawa dan suasana menjadi gaduh ketika mereka maju dam meletakkan bermacam barang berharga, kebanyakan potongan emas ke atas bentangan kain hitam itu. Liong-li sambil tersenyum memandang dan melihat betapa setiap orang memberi paling sedikit tiga tail emas dan paling banyak sepuluh tail emas sehingga menurut taksirannya, setelah semua orang menyerahkan hadiah, tidak kurang dari lima puluh tail emas terkumpul!

Setelah semua orang kembali dipersilakan duduk, Liong-li berkata lantang. “Sebelum saya umumkan siapa yang menang dan berhak menemani saya malam ini, saya akan mempersembahkan sebuah tarian untuk cuwi yang tercinta!”

Liong-li menyuruh para pemain musik membunyikan musik mereka lebih keras, dan iapun mulai dengan tariannya! Dikeluarkannya sebatang pedang dan iapun mulai menari pedang! Memang Liong-li tidak dapat disamakan dengan Lie Kim Cu. Ia kini seorang ahli silat yang hebat, dan kini ia dapat memainkan tari pedang yang lemah gemulai, namun di balik gerakan pedang yang nampak indah itu terkandung kekuatan dahsyat yang hanya akan dikenal oleh ahli silat tinggi.

Dua belas orang kongcu hidung belang itu mana mungkin mengenalnya? Mereka terpesona, bukan oleh tarian pedang, melainkan oleh tubuh yang bergerak-gerak amat menggairahkan dan seperti tertarik besi semberani, mereka bangkit dari tempat duduk mereka dan mendekati panggung agar dapat melihat lebih jelas.

Melihat betapa dua belas orang itu kini berdiri membuat setengah lingkaran di depan panggung, senyum Liong-li melebar dan iapun sambil menari berkata-kata dengan suara lantang.

“Kalian adalah kongcu-kongcu hidung belang. Biarlah kusingkirkan hidung-hidung itu agar tidak nampak belangnya lagi!” berkata demikian tiba-tiba saja pedang itu lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyambar ke bawah panggung.

Terdengar teriakan-teriakan dan nampak darah muncrat-muncrat. Keadaan menjadi gaduh dan gempar. Para gadis penabuh musik menjerit ketakutan dan lari cerai berai. Hanya sebentar saja keributan itu terjadi. Ketika kegaduhan berhenti, keadaan sungguh mengerikan. Dua belas orang pria itu menggunakan tangan mendekap muka mereka, terutama di bagian hidung. Darah mengalir dari celah antara jari tangan yang mendekap dan mulut mereka merintih kesakitan.

Kiranya, dua belas orang itu benar-benar telah kehilangan batang hidung mereka. Bukit hidung itu disambar gulungan sinar pedang dan buntung! Dan di sudut nampak Bibi Ciok melolong dan menangis sambil menggunakan tangan kiri memegangi lengan kanannya yang buntung! Tadi sinar pedang itu menyambar ke arah tangan kanannya dan terdengar bentakan Liong-li.

“Engkau harus menebus dosamu kepadaku dengan menyerahkan tanganmu yang kotor!” Dan begitu sinar menyambar, tangan kanannya sebatas pergelangan menjadi buntung!

Dan ketika semua orang memandang ke arah panggung, Liong-li sudah tidak nampak bayangannya lagi, dan tumpukan emas di atas kain hitam yang terbentang tadipun lenyap. Liong-li telah pergi setelah menghukum orang-orang yang pernah menyakiti hatinya.

Tentu saja peristiwa itu mendatangkan geger di kota Lok-yang. Semua orang membicarakannya dan nama Hek-liong-li menjadi buah bibir orang. Dewi Naga Hitam menjadi terkenal di Lok-yang. Apa lagi setelah pada malam hari itu juga terjadi peristiwa lain di Lok-yang yang amat mengerikan pula. Terjadi di rumah gedung Pangeran Coan Siu Ong!

Malam itu sunyi meliputi rumah gedung yang seperti istana itu milik Pangeran Coan Siu Ong. Pangeran yang kini usianya sudah lima puluh tujuh tahun itu, sudah tidur mendengkur kelelahan setelah menggilir selir barunya yang nomor lima!

Tengah malam telah lewat dan para peronda di gedung itu sudah mulai meronda. Mereka terdiri dari lima orang pengawal yang meronda di sekeliling gedung, memasuki taman dan memeriksa semua sudut. Seorang di antara mereka memegang sebuah lentera. Namun, sunyi saja dan nampaknya aman sehingga mereka setelah berkeliling lalu kembali ke gardu penjagaan mereka yang berada di pekarangan depan gedung itu.

Udara dingin dan mereka berlima lebih hangat kalau berada di dalam gardu. Tiga orang segera rebah di atas kursi panjang, yang dua orang sibuk bermain catur. Tak seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa sepasang mata jeli dari atas genteng sejak tadi mengamati gerak-gerik mereka ketika meronda. Setelah mereka memasuki gardu, pemilik mata itu bangkit dari keadaannya yang mendekam tadi, lalu nampak bayangannya yang hitam ramping berloncatan di atas wuwungan, kemudian melayang turun di taman dalam gedung dan menyelinap di antara kamar-kamar gedung besar itu.

Beberapa menit kemudian, bayangan hitam itu sudah membuka jendela sebuah kamar dengan mudahnya, lalu bagaikan seekor burung saja ia melompat masuk ke dalam kamar itu. Di atas meja masih bernyala penerangan sebatang lilin yang dikerudung kain merah sehingga cuaca dalam kamar itu kemerahan remang-remang, romantis sekali. Bayangan itu seorang wanita yang cantik, berpakaian serba hitam dan dalam penerangan lilin, nampaklah bahwa ia bukan lain adalah Hek-liong-li!

Setelah menghajar para kongcu hidung belang yang pernah menjadi langganannya, yang pernah dilayaninya secara terpaksa dan dengan hati tersiksa, kini Liong-li memasuki kamar orang yang paling dibencinya, yaitu kamar Pangeran Coan Siu Ong! Pangeran inilah yang pertama kali memperkosanya, dan pangeran ini pula yang mengakibatkan ayah kandungnya membunuh diri dan ibu kandungnya meninggal dunia karena kedukaan.

Liong-li membuka kerudung lilin, bahkan memasang pula tiga buah lilin yang dipadamkan, di tempat lilin di atas meja. Kini kamar itu tidak remang-remang lagi, melainkan terang dan Liong-li yang menoleh ke arah tempat tidur, dapat melihat betapa di balik kelambu yang putih halus itu terdapat dua sosok tubuh manusia yang tidur pulas dalam keadaan saling berpelukan dan tertutup selimut merah.

Liong-li segera membayangkan keadaannya ketika itu, tujuh tahun yang lalu, di dalam kamar ini, bahkan di atas pembaringan itu. Betapa ia terbelenggu kaki tangannya, diperkosa oleh Pangeran Coan Siu Ong. Wajahnya menjadi merah, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan ketika ia mengerling ke dinding, ia melihat bahwa pedang pendek yang dulu pernah ia pergunakan untuk mencoba membunuh pangeran itu kini masih juga tergantung di situ.

Ia mengambil pedang itu dan menghunusnya. Ia tidak pernah membawa pedang dan pedang yang dipergunakan untuk “menari” dan menghajar para pria hidung belang di rumah pelesir Bibi Ciok juga merupakan pedang biasa yang dibelinya dari penjual pedang di pasar.

“Brettt... bretttt...!” Kelambu itu disambar pedang dan robek terkuak lebar, namun dua orang yang saling berpelukan di atas tempat tidur itu tidak bergerak. Mereka sudah tidur nyenyak sekali.

“Brukkkk...!” Liong-li membacok kaki pembaringan itu sehingga pembaringan itu roboh miring. Barulah dua orang itu terkejut, selimut tersingkap dan Liong-li memalingkan muka melihat bahwa mereka itu sama sekali tidak berpakaian.

“Apa... apa... siapa...?” Pangeran Coan Siu Ong yang terkejut itu gelagapan dan bersama selirnya, dia menyambar pakaian dan mengenakan pakaiannya secara tergesa-gesa, sejadinya saja. Lalu dia meloncat turun dari pembaringan yang miring itu, matanya terbelalak kemerahan karena dia melihat seorang wanita berdiri membelakangi pembaringan.

Dia mengira bahwa tentu seorang diantara selirnya yang sengaja datang membikin ribut karena iri hati dan panas melihat dia lebih sering tidur di kamar selir terbaru ini. Dia marah sekali dan siap untuk memaki dan menghajar selir kurang ajar itu...