Sri Maharaja Ke Delapan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SRI MAHARAJA KE DELAPAN

Cerita silat Indonesia Serial Mimba Purana Karya Bastian Tito

PANGLIMA Pawang Sela melangkah lebih dekat ke pohon jati lalu berlutut satu kaki di tanah. Dari dalam pohon keluar satu sosok lelaki. Rambut wajah, sekujur tubuh serta pakaian memancarkan cahaya putih seolah dilapisi logam berkilat. Mahluk aneh ini mengenakan sebuah mahkota kecil yang juga berwarna putih dan menyilaukan. Inilah sosok SRI MAHARAJA KE DELAPAN.

Untuk sesaat dia tatap wajah Ananthawuri yang berada dalam keadaan tidak sadar. Dua mata putih Sri Maharaja Ke Delapan berpijar terang. "Cantik sekali. Penuh kesucian dan ketulusan. Gadis bernama Ananthawuri. Tidak salah kalau para Dewa mengambilmu sebagai gadis pilihan. Tidak salah kalau aku Sri Maharaja ke Delapan Kerajaan Mataram Baru mengambilmu menjadi Permaisuri…"


1.MENAHAN ANGIN MENGGANTUNG ARWAH

MEMBERI nasihat dengan tulus kepada orang lain adalah satu hal terpuji. Namun ada kalanya orang yang dinasehati menerima budi baik orang lain itu dengan memandang remeh bahkan kemarahan. Mungkin karena merasa apa yang diperbuatnya selama ini bukan satu keburukan. Bisa juga yang menerima nasihat menganggap diri lebih baik dari pada orang yang menasehati, lebih tinggi kedudukannya. Inilah yang terjadi dengan Arwah Muka Hijau.

Saat itu malam menjelang pagi. Dia duduk di tangga sebuah candi kecil di plered. Melalui satu kekuatan gaib yang menolongnya dia berhasil lolos dari bagian bawah Candi Miring dimana dia tengah menjalani hukuman dijadikan ganjalan selama seratus tahun oleh Arwah Kelua. Dibimbing petunjuk suara gaib Arwah Muka Hijdu datang ke candi di Pieret. Amarahnya masih belum surut sehabis mengusir mahluk alam roh Dhana Padmasutra yang berusaha menasihati agar dia bertobat atas semua dosa perbuatan di masa lalu dan minta ampun pada Arwah Ketua yang telah dikhianatinya.

Belum lama sosok samar Dhana Padmasutra lenyap dari pemandangan mendadak satu gelombang angin menderu dahsyat datang menghantam, membuat Arwah Muka Hijau tergontai-gontai. Beberapa bagian candi yang memang sudah lapuk runtuh berantakan. Delapan keping batu Lingga yang di dudukinya mencelat mental ke udara. Arwah Muka Hijau cepat berdiri.

"Sang penjemput rupanya sudah datang..." pikir Arwah Muka Hijau, dia cepat berdiri walau tubuhnya tergoncang keras oleh tiupan angin. "Tapi sesuai petunjuk mengapa tidak ada cahaya tiga warna keluar dari dalam tanah...?"

Selagi Arwah Muka Hijau berusaha meng-imbangi diri agar tidak tersapu jatuh oleh tiupan angin keras tiba-tiba dia mendengar suara mengorok disertai hembusan nafas memerihkan mata. Ketika memandang ke depan dia melihat satu sosok besar dengan ketinggian hampir dua kali candi berdiri berkacak pinggang di hadapannya. Mahluk raksasa penuh bulu. berkepala botak bercula memancarkan cahaya merah ini, memiliki sepasang mata putih. Bola matanya hanya merupakan titik hitam kecil. Mengenakan jubah biru dengan dada tersingkap.

Inilah sosok dahsyat Arwah Ketua, penguasa Candi Miring di bukit gersang yang dikenal sebagai candi angker di Bhumi Mataram. Sesaat Arwah Muka Hijau tergetar juga hatinya namun karena percaya diri bahwa dia mendapat perlindungan dari satu kekuatan melebihi kekuatan Arwah Ketua maka dia berdiri di tangga candi, balas berkacak pinggang sambil mulut berucap lantang.

Ujud wajah Arwah Muka Hijau selain aneh juga mengerikan. Dia tidak memiliki mata. hidung, mulut. maupun telinga. Pada bagian yang seharusnya terletak hidung.mulirt, mata dan telinga hanya terdapat sayatan tipis dijahit benang hitam kasar. Selain itu wajah dan sekujur tubuhnya penuh dengan cacat guratan luka.

"Arwah Ketua! Cahaya merah yang memancar dari tanduk di kepalamu serta sorotan sepasang mata putihmu menyatakan kau datang tidak membekal niat baik. Walau kau telah menyiksaku dan menjadikan diriku ganjalan dinding Candi Miring, tapi mengingat hubungan kita di masa lalu, saat ini aku masih mau berlaku bijaksana. Tinggalkan tempat ini dan jangan pernah berani berada di dekatku!"

Sepasang mata putih mahluk raksasa Arwah Ketua penguasa Candi Miring di Bhumi Mataram berkilat-kilat, hidung mendengus menyemburkan tiupan nafas keras memerihkan mata. Di dalam hati Arwah Ketua berkata. "Mahluk satu ini, kalau dia berani bersikap dan bicara seperti itu padaku berarti ada sesuatu yang diandaikannya! Aku tidak melihat ada seseorang di sekitar sini. Berarti andalan ada di dalam tubuhnya.

"Arwah Muka Hijau! Jangan bicara soal kebijaksanaan di hadapanku. Karena selama ini kau hanya mendapat petunjuk dari setan, tidak pemah mendapat petunjuk dari para Dewa. Apakah kau berlaku bijaksana ketika kau menghianatiku, mencuri Gading Bersurat Pertama. Bagaimana kau bisa membusung dada bicara soal kebijaksanaan?!" Suara Arwah Ketua meledak-ledak karena menahan amarah. Lalu dia menyambung ucapan.

"Mahluk yang terlahir dengan nama Gendadaluh Puluhan tahun kita bersahabat. Puluhan tahun kau menjadi pembantuku. Puluhan tahun kita sama-sama mengabdi pada kerajaan Mataram. Namun kau mengkhianati diriku. Sekarang kau bicara sombong di hadapanku! Dosa kejahatanmu setinggi langit sedalam kerak bumi! Malam ini aku menemukan Arwah Gelap Gulita di halaman selatan Candi Miring dalam keadaan tak bernyawa. Tewas mengenaskan! Tubuh tercabik-cabik. Kulit dan daging berwarna Hijau! Aku yakin dia telah jadi korban keganasan Pisau Terbang Racun Lumut Hijau. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan kau! Karena hanya kau yang memiliki ilmu kesaktian itu! Apakah itu yang kau sebut kebijaksanaan! Itu justru adalah satu kebiadaban!"

"Arwah Ketua syukur kalau kau telah mengetahui. Dengar, aku Arwah Muka Hijau hanya bicara satu kali. Aku meminta kau pergi dengan segala hormat. Sayang kau tidak mau mendengar. Kutau kau mau memilih mati seperti pembantumu itu. Aku akan memberi jalan!"

Rahang Arwah Ketua menggembung. Dalam menahan amarah dia masih bisa tertawa bergelak. "Kesombonganmu mulai dari ubun-ubun sampai ke dubur! Aku ingin melihat kau mau melakukan apa terhadapku!"

Arwah Muka Hijau menyeringai. Dua telapak tangan saling digosok, mulut merapal. Sementara merapal dari mulut itu keluar kepulan asap hijau. Lalu dengan gerakan kilat dua tangan dipukulkan ke depan. Kejap itu juga puluhan benda berbentuk pisau bermata dua tak bergagang berwarna hijau lumut melesat dari celah tangan, menderu dalam kegelapan malam menyerang Arwah Ketua. Dalam menyerang. Puluhan pisau ini tidak melesat lurus, tapi berputar seperti baling-baling, mengeluarkan suara bersiur nyaring seolah titiran tertiup angin kencang. Gerak putar pisau maut inilah yang bisa membuat tubuh lawan menemui ajal dalam keadaan tercabik-cabik! Sedang kulit dan sebagian daging akan berubah menjadi hijau akibat racun lumut.

Mahluk raksasa penguasa Candi Miring Arwah Ketua sudah mengetahui sampai dimana kehebatan ilmu lawan yang disebut Pisau Terbang Racun Lumut Hijau. Bagi Arwah Gelap Gulita pembantunya yang tewas memang belum memiliki tingkat kepandaian yang bisa menyelamatkan diri dari serangan Ilmu ini. Tapi bagi dirinya, serangan Arwah Muka Hijau bukan satu hal yang menakutkan. Sambil dorongkan dua tangan ke bawah, Arwah Ketua meniup

"Wusss!"

Puluhan pisau terbang berwarna hijau bermata dua mengandung racun mematikan, menderu runtuh ke bawah, balik menyerang Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau bersaru kaget. Secepat kilat dia melompat ke belakang sejauh satu tombak hingga punggungnya membentur dinding candi. Dua tangan kebutkan ujung lengan jubah. Dua larik sinar hijau seperti kipas menebar menderu menangkis senjata yang hendak makan tuannya. Dari rambut yang lurus kaku ceperti lidi ikut menderu larikan-larikan sinar hijau. Puluhan pisau bermata dua mental.

Melihat hal ini sambil menyeringai Arwah Ketua cepat angkat tangan kanan ke atas. Sinar hijau, lebih pekat dari hijaunya pisau-pisau terbang memancar keluar dari telapak tangan. Puluhan pisau walau masih berputar dan mengeluar suara bersiur seperti titiran namun semuanya kini menggantung di udara! Tidak mampu bergerak apa lagi meneruskan serangan maut!

Tampang hijau Arwah Muka Hijau berubah menjadi kehitaman. Rambut hijau yang tegak lurus kaku seperti lidi bergetar panas. Inilah satu pertanda bahwa mahluk ini tengah berada dalam ketakutan luar biasa. "Dia mengeluarkan Ilmu Menahan Angin Menggantung Arwah," ucap Arwah Muka Hijau dalam hati. "Jika dia menggerakkan tangan, puluhan pisau itu akan kembali menyerang dari arah yang tidak mungkin aku hindari semuanya! Celaka! Aku harus mencari akal. Mana kekuatan yang melindungi diriku. Mana sang penjemput!"

Tiba-tiba Arwah Muka Hijau jntuhkan diri, kepala bersujud di tanah namun dua mata mengintai mencari kesempatan. "Arwah Ketua! Aku yang hina mohon pengampunan. Aku menyatakan bertobat! Aku..."

Mendadak ada suara kuda meringkik menyentak udara malam menggetarkan tanah. Lalu menyusul suara bentakan lantang memotong ucapan Arwah Muka Hijau. "Dia bukan Dewa penguasa Alam Raya! Mengapa minta ampun dan bertobat padanya! Hanya pada Sang Junjungan Mataram Baru kita semua patut tundukan Kepala!"

Arwah Ketua dan Arwah Muka Hijau terkejut. Keduanya sanm-sama berpaling ke arah orang barusan hadir di tempat itu sambil mengeluarkan bentakan.

2. MEMBANTAI RAGA MENGHISAP NYAWA

ARWAH Muka Hijau punya dugaan cepat dan tepat. Selagi Arwah Ketua perhatikan mahluk yang datang, dia sudah melompat ke samping mahluk itu. Sementara puluhan pisau mata dua lumut hijau masih menggantung di udara berputar-putar mengeluarkan suara nyaring bising, masih berada dalam kuasa kekuatan ilmu kesaktian Arwah Ketua.

Walau terkejut namun Arwah Ketua tetap berlaku tenang dan waspada. Melihat sosok mahluk yang muncul hatinya berdetak jangan-jangan mahluk ini datang sebagai tuan penolong Arwah Muka Hijau. Dengan kata lain mahluk ini adalah sahabat bekas pembantunya itu. "Mahluk salah ujud!Aku belum pernah melihat sebelumnya!" membatin Arwah Ketua, memandang dengan sepasang mata tak berkedip.

Sebaliknya Arwah Muka Hijau dalam kejut diam-diam merasa gembira. Hatinya berucap. Dia melirik ke samping. "Mahluk aneh ini pasti yang di maksud dalam petunjuk berupa bisikan yang sampai ke telingaku. Orang yang di katakan akan datang menjemputku. Tapi mengapa ujudnya begini rupa? Lalu mengapa tidak ada cahaya tiga warna seperti yang dikatakan?"

Mahluk yang muncul di hadapan Arwah Ketua dan Arwah Muka Hijau bertubuh manusia, berkepala dan berkaki kuda berbulu putih.

"Jika manusia mengapa berkepala dan berkaki kuda. Kalau kuda mengapa bertubuh seperti manusia?!" pikir Arwah Muka Hijau.

Dipandangi Arwah Muka Hijau dari samping, manusia berkepala kuda berkata tanpa alihkan mata dari Arwah Ketua. "Arwah Muka Hijau", jangan ada keraguan di hatimu! Aku diutus untuk menjemputmu! Aku punya kewajiban menyelamatkanmu, itu tugas utamaku. Tapi kalau terpaksa mungkin aku sekalian akan menamatkan riwayat mahluk raksasa yang sudah terlalu lama berkeliaran di Bhumi Mataram! Tubuhnya sudah bau kerak neraka. Saatnya disingkirkan!"

Mendengar ucapan mahluk berkepala kuda Arwah Muka Hijau kini merasa yakin sekali kalau mahluk itulah memang sang penjemput yang ditunggunya. Maka diapun memutar tubuh menghadap ke arah Arwah Ketua dan berdiri dengan berkacak pinggang.

Arwah Ketua mendengus. Membuat dua mahluk di depannya harus menahan rasa perih pada mata masing-masing. "Hebat! Mahluk salah ujud! Rupanya kau berkerabat dan berserikat dengan kepompong yang keluar dari dubur iblis! Pantas bau tubuhmu tidak jauh dari bau pantat!" Habis berucap begitu Arwah Ketua tertawa gelak-gelak hingga pohon bergoyang-goyang candi berderak-derak dan tanah bergetar. Lalu dia membentak. "Katakan siapa kau adanya dan siapa yang mengutusmu?!"

"Namaku Abdika Brathama! Aku berasal dari segala tempat dan waktu! Jika kau ingin tahu siapa yang mengutusku, apakah kau punya kemampuan mengikutiku masuk ke dalam lapisan bumi Ketiga?"

Mahluk bertubuh manusia berkepala dan berkaki kuda dan mengaku bernama Abdika Brathama seperti diketahui adalah anak buah Panglima Pawang Sela. Pembantu utama dari orang yang mereka panggil sebagai Sri Maharaja Ke Delapan atau Sri Maharaja Mataram Baru. Selama ini dia berada di Kotaraja untuk memata-matai keadaan di sana terutama gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pasukan Kerajaan. Karena mendapat tugas dari Sang Panglima untuk menjemput Arwah Muka Hijau maka diapun meninggalkan Kotaraja menuju Plered. Dia tidak menyangka kalau akan kedahuluan oleh Arwah Ketua. Walau ujud Arwah Ketua besar dan tinggi seperti raksasa namun Abdika Brathama sama sekali tidak gentar.

Merasa ditantang oleh ucapan mahluk berkepala dan berkaki kuda yang dalam kelompoknya dikenal dengan nama Tuman Kcoku (Tubuh Manusia Kepala Kuda) Arwah Ketua mendengus marah. Hembusan napasnya membuat Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama sama-sama keperihan mata masing-masing. Keduanya bersurut mundur sambil siap melepas serangan.

"Wusss!"

Sosok Arwah Ketua lenyap dari hadapan kedua orang itu. Di tanah di hadapan mereka tampak satu lobang kecil mengepulkan asap kebiru-biruan Ketika lobang kecil dan asap lenyap tiba-tiba di belakang mereka kembali terdengar suara... wuussssss!

Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama cepat berpaling dan dapatkan Arwah Ketua tahu-tahu sudah berada di hadapan mereka. Sepasang mata putih yang hanya memiliki titik hitam sebagai bola mata mendelik. Mulut menyeringai.

"Sang Penjemput. Mahluk bernama Abdika Brathama. Kau mau mengajakku masuk ke dalam bumi lapisan ketiga. Aku barusan masuk dan sampai kedalam bumi lapisan ketujuh!"

"Mahluk penghabis tempat penyesak udara. Apa bukti kau telah masuk ke dalam lapisan bumi ke tujuh?! Jangan bicara sombong. Jangan menggertak aku akan kedustaan!"

Arwah Ketua menyeringai. "Suaramu bergetar! Tanda ada rasa getar! Ha...ha...ha! Buka lebar-lebar mata kudamu! Lihat ini!" Mahluk gaib raksasa dari Candi Miring itu ulurkan tangan kiri. Kepalan jari tangan sebesar pisang tanduk dibuka. Di atas telapak tangan ada gumpalan batu berbentuk setengah lingkaran berwarna hitam kebiruan mengepulkan asap.

"Cendawan batu!" ucap Abdika Brathama. Tampang kudanya berubah, darahnya berdesir, tapi tetap saja dia tidak merasa takut. Anak buah Panglima Pawang Sela ini tahu kalau tanda yang ada di tangan Arwah Ketua itu memang berasal dari perut bumi pada kedalaman paling sedikit di lapisan ketujuh.

"Mata kudamu sudah melihat! Apa kau ingin aku bawa kau ke perut bumi untuk lebih membuktikan?!"

Abdika Brathama terdiam. Arwah Muka Hijau juga tidak keluarkan suara karena dia tahu bahwa apa yang barusan diucapkan Arwah Ketua bukan main-main. Mahluk sakti yang pernah jadi pimpinannya di Candi Miring itu kalau mengatakan dia masuk ke dalam lapisan bumi ke tujuh maka dia benar-benar telah melakukan hal itu! Bukan satu kedustaan karena d!a memang memiliki kemampuan!

"Mahluk mengaku Sang Utusan. Sang Penjemput! Kesombongan tidak ada artinya di hadapanku. Apalagi di hadapan Para Dewa Penguasa Alam Semesta! Tinggalkan tempat ini sebelum kau aku jadikan sampah tak berguna. Dan jangan kau berani menyentuh mahluk hijau ini, apa lagi membawanya dari hadapanku! Para Dewa telah menentukan nyawa busuknya akan lepas dari raga kotornya untuk selama-lamanya sebelum fajar menyingsing!"

Ketika Arwah Ketua lenyap menembus tanah, puluhan pisau hijau bermata dua masih terus mengambang berputar-putar di udara. Tadinya Arwah Muka Hijau bermaksud pergunakan kesempatan untuk segera melenyapkan senjata-senjata. Maka dia mulai merapal mantera sambil gosokkan dua tangan. Namun ternyata Arwah Ketua muncul kembali lebih cepat. Saat itu Arwah Ketua berdiri sambil mengangkat tangan kanan pertanda dia masih menguasai dan mengendalikan kekuatan yang ada pada puluhan Pisau Terbang Racun Lumut Hijau.

Abdika Brathama yang jadi jengkel mendengar ucapan Arwah Ketua menyahuti dengan ucapen sangat melecehkan. "Kalau kau merasa gusar karena aku pergi hanya membawa Arwah Muka Hijau, aku tidak keberatan mengajakmu serta. Tubuhmu cukup besar untuk dijadikan ganjalan dasar Istana Sang Junjungan Mataram Baru di lapisan bumi ke tiga! Berlututlah minta pengampunan agar tubuhmu tetap utuh sampai di dasar bumi lapisan ke tiga! Ha... ha... ha!"

Arwah Ketua menggembor keras. Saat itu dia sudah gatal tangan untuk menghabisi Abdika Brathama. Namun dia perlu menanyakan sesuatu. "Ujudmu tidak karuan rupa. Otakmu pasti lebih sembrawutan kacau balau. Katakan siapa yang kau maksud dengan Sang Junjungan Mataram Baru?"

Abdika Brathama usap-usap dagu kudanya lalu sambil tertawa dia berkata, "Suaramu aku dengar digetari nyali yang tiba-tiba menjadi ciut. Itu baru aku sebut nama Sang Junjungan! Apalagi kalau kau panjang umur sempat berhadapan muka dengannya! Di hadapannya kau bisa leleh mencair seperti air Comberan!"

"Mahluk kurang ajar! Jawab saja pertanyaanku! Siapa Sang Junjungan Mataram Baru? Aku mencium ada komplotan jahat dan kau pasti adalah salah satu anggotanya!" bentak Arwah Ketua hingga udara menggaung dan tanah bergetar, pohon-pohon bergoyang, candi tua berderak-derak.

"Katanya kau mahluk berkuasa, sakti mandraguna. Mengapa memaksa orang memberi keterangan? Apa kau tidak mampu menyelidik sendiri? Apa kemampuanmu hanya sampai sebatas cium-mencium? Berarti kau tidak lebih dari seekor kucing. Atau mungkin merasa seekor gajah tapi otakmu sebesar udang! Ha...ha...ha!"

Di hina begitu rupa Arwah Ketua segera hantamkan ke bawah tangan kanannya yang sejak tadi dipentang ke atas. Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama mengira Arwah Ketua mengerahkan ilmu Menahan Angin Menggantung Arwah untuk menghantamkan puluhan pisau beracun ke arah mereka. Kedua mahluk itu tertipu! Ternyata puluhan Pisau Terbang Racun Lumut Hijau dikibas ke bawah dibuat menancap amblas ke dalam tanah. Dalam ketidak mengertian apa yang sebenarnya dilakukan lawan tiba-tiba tanah yang dipijak bergetar. Lalu... wuuttt...wuuttt! Puluhan pisau terbang yang tadi berputar amblas lenyap masuk ke dalam tanah tiba-tiba mencuat keluar, tepat di bawah tubuh Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama!

Kejut dua mahluk ini bukan olah-olah! Mereka berteriak keras lalu cepat melompat ke udara, kalang kabut berusaha selamatkan diri. Arwah Muka Hijau si pemilik puluhan pisau beracun jentikkan sepuluh jari tangan. Sepuluh larik sinar hijau menderu menangkis serangan pisau miliknya sendiri.

"Tring...tring...tring!"

Tujuh pisau terbang mental. Sisanya terus mengejar kedua orang itu. Arwah Muka Hijau menjerit putus asa ketika melihat delapan pisau tidak mampu ditangkis, berputar ganas menyambar ke arah dua kakinya. Sementara itu Abdika Brathama, walau berhasil menghantam hampir selusin pisau dengan dua kakinya yang terbungkus ladam besi namun lima pisau melesat berputar menyambar ke arah perut dan lehernya! Anak buah Panglima Pawang Sela ini keluarkan suara meringkik.

Arwah Ketua tertawa bergelak. Selagi Abdika Brathama berusaha selamatkan diri dari serangan lima pisau, dari atas Arwah Ketua hantamkan kepalan tangan kanan yang sebesar buah kelapa ke batok kepala mahluk kepala kuda ini. Sesaat lagi batok kapala itu akan hancur dihantam pukulan tiba-tiba tiga cahaya berwarna merah, biru dan hitam entah dari mana datangnya menyambar di tempat itu. memecah menjadi puluhan cahaya. Sebagian menyambar ke arah pisau terbang yang menyerang Arwah Muka Hijau, sebagian lagi menyambar pisau terbang yang mengancam Abdika Brathama dan sisanya sebanyak dua belas larikan Sinar terpecah dua. Masing-masing menyerang ke arah tangan kanan Arwah Ketua yang tengah memukul dan melesat ke arah dada yang tersingkap penuh bulu!

"Praak!"

Hantaman tangan Arwah Ketua ternyata masih lebih cepat sedikit dari sambaran cahaya tiga Warna. Kepala Abdika Brathama hancur. Tubuh terbanting dan melesak di tanah sampai ke pinggang. Mulut masih mampu keluarkan ringkikan aneh. Tangan menggapai-gapai lalu diam tak bersuara dan tak bergerak lagi. Tiga cahaya merah, biru dan hitam memang mampu membuat mental belasan pisau terbang yang menderu menyerang Arwah Muka Hijau. Tapi masih ada dua pisau yang lolos, berputar lalu membabat dada bekas anak buah Arwah Ketua ini.

"Rrrkkkkk!"

Benang hitam yang menjahit mulut Arwah Muka Hijau berderik putus ketika mahluk ini membuka mulut lebar-lebar keluarkan jeritan dahsyat. Dada cabik bersilang, mulai dari bahu kiri ke pusar dan satu lagi dari bahu kanan ke sisi kiri. Darah berwarna hijau menyembur.

Arwah Ketua sendiri dengan sigap sambil meniup berhasil membuat mental pisau terbang beracun hijau yang menyerang dada. Namun dia tidak sempat menarik tangan yang barusan memukul hancur kepala kuda Abdika Brathama. Dua pisau terbang membabat berputar ganas.

"Craass! Craasss!"

Tangan kanan Arwah Ketua terbabat putus di dua tempat Di bagian pergelangan dan di bawah siku Mahluk bertubuh raksasa ini menggerung keras. Dua potongan tangannya melayang di udara lalu jatuh di tanah. Arwah Ketua terhuyung-huyung sebentar lalu jatuh berlutut. Dari kutungan-kutungan tangan meleleh darah merah kehijauan pertanda bercampur racun pisau. Masih terhuyung-huyung Arwah Ketua berkomat kamit merapal sesuatu lalu berucap, "Batu Asmasewu. Dengan kuasa Dewa tolong diriku! Dua kutungan tangan! Kembali ke tempat asalmu!"

Dalam keadaan setengah sadar sementara lengan kanan yang buntung dijalari warna biru pertanda racun pisau lumut hijau telah mengindap dan menjalar di tubuhnya, Arwah Ketua letakkan tangannya yang buntung di tanah. Terjadilah hal yang luar biasa. Dua kutungan tangan yang tergeletak sejarak delapan langkah bergerak-gerak lalu meluncur ke arah buntungan tangan yang ditempelkan Arwah Ketua di tanah.

"Ssttt! Sttt!”

Dua kutungan tangan bergabung menjadi satu. Warna hijau yang menjalar sampai ke wajahnya perlahan-lahan sirna. Namun Arwah Ketua belum terlepas dari ancaman bahaya. Satu bayangan kuning berkelebat. Didahului memancarnya cahaya tiga warna satu tendangan keras menderu di udara.

"Bukkk!" Tendangan melanda dahsyat punggung Arwah Ketua hingga mahluk raksasa ini mencelat dan tertelungkup di tanah dengan punggung berlobang besar bekas hantaman tendangan. Antara sadar dan pingsan Arwah Ketua mendengar suara orang berseru lantang disusul suara tawa bergelak.

"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru! Sri Maharaja Ke Delapan! Untuk menyingkirkan mahluk terkutuk bernama Arwah Ketua ternyata kita tidak perlu mencari embun murni! Tendangan Membantai Raga Menghisap Nyawa berhasil membuat mahluk paling berbahaya di Bhumi Mataram ini kembali ke alam roh untuk selama lamanya! Ha...ha...ha!"

3. ANANTHAWURI DICULIK

HANYA beberapa saat tenggelam dalam ketidaksadaran. Arwah Ketua tersentak lalu menggembor keras. Tangan kiri menggapai ke punggung yang hancur. Meraba cidera besar bekas tendangan orang yang menyerang secara membokong. Sadar akan keadaan dirinya Arwah Ketua cepat jatuhkan tubuh sama rata dengan tanah. Mulut merapal ajian, kembali memanggil Batu Asmasewu, memohon pertolongan.

"Batu Asmasewu. Aku membutuhkan perto-longanmu lagi. Wahai para dewa di Swargaloka. Asal tanah kembali ke tanah. Asal sukma berpulang kembali pada sukma. Asal arwah kembali ke alam gaib. Saya pasrah namun saya mohon. Bhumi Mataram dalam bahaya besar. Sambungkan roh tali kehidupan bagi diri saya. Kecuali jika saya memang ditakdirkan tidak ada harganya lagi di permukaan bumi ini..."

"Rrrrrr”

Permohonan penguasa Candi Miring didengar oleh Yang Maha Kuasa. Tanah bergetar memancarkan cahaya. Getaran dan cahaya menjalar ke dalam tubuh Arwah Ketua. Ketika batu yang ada di dalam tubuh Arwah Ketua ikut mengalirkan hawa sakti ke punggung yang berlubang, ada satu kekuatan memancarkan cahaya tiga warna coba mencegah. Bentrokan dua kekuatan dahsyat membuat tubuh raksasa Arwah Ketua mencelat ke udara setinggi tiga tombak!

Terbungkuk-bungkuk Arwah Ketuu jejakkan kaki di tanah. Kembali dia meraba ke punggung. Lobang besar tak ada lagi. Sambil usap dada di arah beradanya Batu Asmasewu mahluk penguasa Candi Miring ini mengucap syukur, berulang kali menyebut nama Yang Maha Kuasa, lalu bangkit berdiri. Ketika memandang berkeliling Arwah Ketua terkejut. Mahluk kepala kuda Abdika Brathama lenyap. Tanah dimana tadi tubuhnya melesak sampai ke pinggang dengan kepala hancur, kini sosoknya tak ada lagi. Apa yang terjadi?

Sewaktu Arwah Ketua masih tertelungkup di tanah, sosok Abdika Brathama mengepulkan asap hitam lalu lenyap laksana hembusan angin. Yang tertinggal kini hanya lobang bekas tubuhnya amblas. Berpaling ke kiri, Arwah Ketua mahluk seram yang sudah banyak kali melihat kejadian mengerikan, namun kali ini tidak dapat menyembunyikan rasa kejut serta ngerinya. Tubuh Arwah Muka Hijau yang mengenakan jubah hijau tergeletak di tanah. Tapi dalam keadaan tidak utuh. Karena kepala dan dua kakinya lenyap entah kemana!

"Hyang Jagat Bathara! Apa yang terjadi dengan mahluk penghianat ini? Kemana lenyap kepala dan dua kakinya?!" Arwah Ketua keluarkan suara mengorok panjang. Dia ingat pada suara berseru setelah tubuhnya ditendang. "Ada mahluk ke tiga di tempat ini. Yang tadi menendangku. Aku mendengar. Aku ingat dia jelas-jelas menyebut Sri Maharaja Mataram Baru. Sri Maharaja Ke Delapan. Lalu cahaya tiga warna itu... Aku harus segera kembali ke Candi Miring. Aku harus cepat-cepat menemui Ratu Dhika Gelang Gelang. Gadis itu pernah cerita tentang pemuda kekasihnya. Apakah pemuda itu masih hidup? Sri Maharaja Ke Delapan! Bukan sekali ini aku mendengar sebutan itu! Ah, firasatku menyatakan Bhumi Mataram benar-benar dalam satu bahaya besar…”

Sekali Arwah Ketua berkelebat, tubuh raksasanya serta merta lenyap, laksana tiupan angin melesat kembali ke Candi Miring.

* * * *

FAJAR masih belum menyingsing. Hari masih gelap dan udara serta tiupan angin masih terang mencucuk jagat. Begitu keluar dari rimba belantara dan selagi melayang di udara memandang ke utara, kejut Arwah Ketua bukan alang kepalang. Dia dapat melihat bangunan candi di atas bukit dengan jelas. Salah satu menara candi tampak hancur. Dinding candi samping kanan jebol. Kepulan asap mengam-bang di udara.

"Sesuatu telah terjadi!" pikir Arwah Ketua. Dengan melipat gandakan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sesaat kemudian dia sudah berada di pintu depan candi. Tubuh raksasa menciut, melesat masuk ke dalam candi. Di ruangan dalam beberapa stupa batu berbentuk binatang hancur berantakan. Dekat puing-puing stupa singa pandangan Arwah Ketua membentur sesuatu. Ketika diperhatikan dengan mata tak berkedip darahnya tersirap. Benda itu adalah kutungan tangan kanan manusia sebatas siku sampai ujung jari, sebagian tertutup robekan kain berwarna kuning. Di lantai candi darah berceceran.

"Darah merah, berarti mahluk yang punya tangan ini adalah manusia biasa. Namun memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Kalau tidak bagaimana dia bisa masuk menembus ke dalam candi?" Ketika Arwah Ketua memperhatikan lima jari tangan buntung yang terkepal, dalam kejutnya dia segera mendapat jawaban.

"Lima jari mengepal tanah merah. Tanah kuburan! Rahasia masuk ke Candi Miring sudah diketahui orang luar! Celaka!" Dia hendak berteriak memanggil Ratu Dhika Gelang Gelang yang selama ini berada di Candi Miring untuk menjaga dua bayi keramat yang dilahikan Ananthawuri secara gaib. Namun mulutnya serta merta terkancing ketika melihat dua buah benda bulat kuning tergeletak di lantai candi. Arwah Ketua membungkuk memungut dua benda itu. Ketika diperhatikan dadanya jadi berdebar.

"Kerincing emas milik Radinda Ratu..." Mulut Arwah Ketua berucap, "Apa yang terjadi dengan dirinya. Bayi-bayi itu. Dewa Agung, saya mohon..."

"Radinda Ratu! Kau dimana?!" teriak Arwah Ketua. Suaranya menggelegar, menggetarkan bangunan Candi Miring. Memandang berkeliling Arwah Ketua tidak dapatkan jawaban. Tanduk merah di kepala berpijar-pijar. “Radinda!"

Tiba-tiba sebuah stupa singa setengah hancur yang menutupi dinding kiri ruangan bergerak ke samping lalu roboh ke lantai.

"Radinda...?!" Arwah Ketua melangkah mendekati dinding candi. Di saat yang bersamaan dinding batu itu hancur berantakan oleh satu kekuatan yang mendorongnya dari belakang. Dari lobang yang muncul di dinding menjorok keluar kepala manusia dengan kening bertanda garis tiga warna, merah, hitam dan biru.

"Tiga warna keparat!" teriak Arwah Ketua marah. Kaki kanannya berubah menjadi besar lalu memandang ke arah kening orang yang keluar dari lobang dinding candi!

"Rakanda! Tahan! ini aku" Dari balik dinding tiba-tiba ada suara perempuan berteriak disusul runtuhnya dinding candi hingga membentuk lobang lebih besar. Dari lobang di dinding ini perlahan-lahan merangkak keluar sosok seorang perempuan gemuk. Pakaiannya sehelai kemben merah robek di beberapa bagian. Rambut yang sebelumnya dikonde di atas kepala kini tampak tergerai awut-awutan. Darah mengotori tangan kanan dan bahu kirinya.

"Radinda Ratu Dhika! Apa yang terjadi?!" teriak Arwah Ketua dan dengan cepat menarik tubuh perempuan itu keluar dari lobang di dinding. "Mana dua bayi keramat...?"

Ratu Dhika Gelang Gelang batuk-batuk, semburkan darah kental. Suaranya parau ketika berkata, "Dua bayi dalam keadaan selamat. Tapi... tapi jahanam berjubah kuning itu berhasil melarikan Ananthawuri. Aku... aku hanya bisa membuang buntung tangan kanannya. Aku..."

"Bagaimana mungkin! Ibu dua bayi keramat itu memiliki Ratu Kaladungga di dalam tubuhnya. Siapa saja orang yang bermaksud jahat terhadapnya pasti tidak mampu melihat sosok tubuhnya! Siapa yang kau maksud dengan orang berjubah kuning?"

Ratu Dhika Gelang Gelang tidak memberikan jawaban karena saat itu juga tenaganya seperti habis, napas menyengat. Gadis yang masih keturunan Raja Bhumi Mataram ini terjerembab pingsan di lantai.

4. PETI DEWA PENYELAMAT RAGA DAN JIWA

Arwah Ketua bertindak cepat. Dia segera menotok beberapa bagian tubuh gemuk Ratu Dhika Gelang Gelang. Sambil menotok dia susupkan tenaga dalam dan hawa sakti. Ditambah dengan aliran kesaktian yang memancar dari Batu Asmasewu yang ada dalam dirinya. Tak selang berapa lama Ratu Dhika Gelang Gelang yang di Bhumi Mataram juga dikenal dengan julukan Ratu Meong keluarkan suara mengeluh panjang. Mulut batuk-batuk tapi kali ini tidak lagi disertai semburan darah. Arwah Ketua dudukkan gadis itu di lantai bersandar ke dindingcaridl lalu dua pipi yang tembam ditepuk-tepuk. Perlahan-lahan Ratu Dhika Gelang Gelang buka kedua matanya.

"Rakanda... Orang berjubah kuning itu melarikan Ananthawuri. Aku..."

"Tenang Radinda. Saat ini ada hal lain yang lebih penting ingin kuketahui!" memotong Arwah Ketua. "Dua bayi yang menjadi tanggung jawab kita! Kau bilang mereka selamat. Dimana keduanya sekarang?!"

"Mereka aku sembunyikan di tanah halaman barat di luar candi..."

"Maksudmu dengan ilmu kesaktianmu mereka kau benamkan ke dalam tanah?!" tanya Arwah Ketua dengan nada suara terkejut

Ratu Dhika Gelang Gelang mengangguk.

"Gila!" Arwah Ketua menggebrak lantai candi hingga hancur berantakan membentuk lobang besar.

"Aku tidak bodoh Rakanda Arwah Ketua! Aku mempergunakan ilmu Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa. Hanya dengan penyelamatan seperti itu kurasa cara paling aman bagi dua bayi. Kalau aku sembunyikan di dalam candi pasti masih bisa ditemukan. Tadipun orang berjubah kuning itu sudah mengobrak-abrik candi. Dia tidak menemukan dua bayi tapi menemui Ananthawuri dan melarikannya..."

Walau lega mengetahui dua bayi selamat namun Arwah Ketua merasa risau dengan diculiknya Ananthawuri ibu dua bayi itu. Lalu tidak menunggu lebih lama dia melesat keluar menuju halaman candi sebelah barat. Ratu Dhika Gelang Gelang mengikuti dari belakang. Dengan kesaktiannya melalui sepasang mata putih bertitik hitam Arwah Ketua sudah dapat melihat keberadaan dua buah benda kelabu berbentuk peti yang terpendam di dalam tanah.

"Peti Dewa penyelamat Raga Dan Nyawa, kalian telah berjasa menyelamatkan dua bayi calon Ksatria Utama Kerajaan Bhumi Mataram. Saatnya kami mengambil kedua bayi itu kembali. Keluarlah dari dalam tanah. Bila dua bayi keramat sudah berada di tangan kami, kalian dua peti sakti boleh kembali ke alam kalian disertai ucapan terimakasih kami!"

Baru saja Arwah Ketua selesai mengeluarkan ucapan tiba-tiba... blaar...blaaar! Tanah halaman terbongkar di dua tempat. Dari tanah yang terkuak melesat keluar dua buah benda kelabu berbentuk peti terbuat dari batu gunung yang kukuh dan atos. Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang dengan cepat mendekati dua peti batu, membuka penutup di sebelah atas. Begitu penutup peti tersingkap keduanya sama-sama keluarkan seruan keras.

"Dewa Jagat Bhatara!" teriak Ratu Dhika Gelang Gelang. Tubuhnya yang gemuk langsung jatuh terduduk di tanah. Mukanya yang gembrot pucat pasi.

Di sebelahnya Arwah Ketua keluarkan suara mengorok keras dan panjang. Mata putihnya menatap terbelalak. Dua Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa berada dalam keadaan kosong melompong. Tidak ada seorang bayi pun di dalamnya!

"Celaka besar! Kutuk dan amarah Dewa akan jatuh atas diri kita! Radinda Ratu Dhika! Bagaimana bisa begini?! Kau yakin telah merapal dan mempergunakan ilmu kesaktianmu secara benar?!"

"Tidak ada yang salah, tidak ada yang keliru Rakanda. Aku..." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak dapat meneruskan uerpan. Perempuan gemuk ini menangis menggerung-gerung sambil menjambak-jambak rambutnya.

Arwah Ketua berlutut di tanah. Wajah ditengadahkan ke langit Kepala ditinju-tinju sendiri. Sementara di timur kaki langit mulai tampak terang pertanda fajar telah menyingsing dan sang surya akan segera muncul menerangi jagat. Tiba-tiba ada sesiur angin sejuk bertiup. Hawa di bukit gersang dimana Candi Miring terletak perlahan-lahan berubah dingin.

"Radinda, tidaklah kau merasa ada keanehan?" ujar Arwah Ketua pada Ratu Dhika Gelang Gelang. Puluhan tahun aku tinggal di bukit gersang ini udara selalu panas. Sekarang mengapa tiba-tiba hawa terasa dingin?"

"Aku juga tidak mengerti Rakanda mungkin para Dewa..." Ucapan Ratu Dhika Gelang Gelang terputus oleh suara orang menegur.

"Kalian dua insan di samping candi di atas bukit tandus, apakah dua anak ini yang kailan cari sampai memukul kepala menjambak rambut?"

Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang langsung melompat. Saat itu mereka melihat seorang tua berjubah putih melangkah mendaki lereng bukit Di balik punggung menyembul sebatang tongkat terbungkus lapisan putih menebar hawa dingin. Dari ubun-ubun di atas kepala, sepasang mata, hidung serta setiap hembusan napas yang dibuatnya, mengepul keluar uap putih dingin. Meski berada dalam jarak sejauh itu namun suaranya bicara seolah dia berada beberapa langkah di hadapan Arwah Ketua dan Ratu Dhika.

Akan tetapi bukan keanehan itu yang menjadi perhatian dua mahluk di atas bukit. Yang membuat mala mereka terbeliak dan mulut berteriak nyaring adalah ketika melihat dalam gendongan tangan kiri kanan si orang tua terdapat dua orang bayi berusia satu bulan namun memiliki keadaan tubuh tidak beda dengan bayi seusia satu tahun. Itulah Mimba Purana dan Dirga Purana, dua bayi yang dilahirkan secara gaib oleh sang ibu bernama Ananthawuri, perawan pilihan para dewa berasal dari Desa Sorogedug, tak jauh dari Prambanan. Dalam gendongan si orang tua, dua bayi tampak tertidur lelap.

"Tua bangka penculik anak!" amarah Arwah Ketua menggelegar." Lekas serahkan dua bayi itu padaku atau kubuat lumat dan amblas tubuhmu ke dalam tanah!" teriak Arwah Ketua.

Tanduk tunggal di alas kepala memancarkan sinar merah. Tubuhnya serta merta mencuat menjadi besar setinggi Candi Miring. Dua kaki melangkah cepat dan tangan kiri kanan diulurkan menjadi panjang untuk dapat mengambil dua bayi dalam dukungan si kakek tak dikenal. Namun hebatnya dua tangan yang diulurkan itu jangankan menyentuh, sampaipun tidak. Padahal si orang tua yang mendukung dua bayi justru terus saja melangkah enteng ke atas bukit, mendekati ke arah dimana Arwah Ketua dan Ratu Dhika berada.

Ratu Dhika Gelang Gelang setengah berlari mendatangi si orang tua penggendong bayi. "Kakek, bagaimana dua bayi itu bisa berada padamu? Aku sebelumnya telah..." ucapan Ratu Dhika terhenti. Matanya memandang besar-besar dan lekat-lekat ke paras si orang tua. Mulutnya lalu berucap, "Orang tua, maafkan diriku kalau salah berkata. Aku melihat seluruh matamu berwarna putih. Kau buta...?"

"Dewa Agung memberikan sepasang mata yang terbuat dari gumpalan salju padaku. Buta atau tidak apa perbedaannya? Mata hati dan mata perasaan pemberian Yang Maha Kuasa terkadang lebih sempurna dari mata biasa. Apa lagi mata yang senang melihat kemaksiatan," jawab si orang tua sambil tertawa. Waktu bicara dari mulutnya keluar uap dingin.

"Gadis gemuk, aku senang. Kau bertanya lebih lembut dan lebih sopan dari raksasa penguasa Candi Miring itu. He... he... he. Aku tahu. Sebelumnya dua bayi ini bukankah kau selamatkan dengan cara memasukkan mereka ke dalam dua peti batu bernama Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa? Kau punya akal panjang. Tapi musuh tidak berkepandaian lebih rendah dirimu."

Ratu Dhika Gelang Gelang tercengang mendengar si kakek dengan jelas mengetahui dan menyebut nama dua peti batu. Lalu tahu pula keadaannya yang gemuk.

"Orang tua, bagaimana kau tahu...? Kau datang dari arah kaki bukit. Apakah sebelumnya kau berada di atas sini? Kami berdua tidak mengenal siapa kau adanya. Jangan-jangan kau utusan..." Ratu Dhika tidak teruskan ucapan karena saat itu dia harus menghalangi Arwah Ketua yang hendak hendak menerjang menyerang si orang tua yang mendukung dua bayi. "Sabar Rakanda... sabar. Jangan sampai kesalahan tangan..."

"Radinda Ratu Dhika! Kau mau membela orang yang hendak menculik dua bayi keramat?!" bentak Arwah Ketua.

"Rakanda, harap kau mau berpikir jernih. Jika orang tua itu punya maksud jahat menculik dua bayi, dia tidak akan melangkah mendatangi ke arah kita. Dia sudah lama kabur!" jawab Ratu Dhika Gelang Gelang.

Saat itu orang tua berjubah putih telah berada dekat sekali di hadapan Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku hanya kebetulan saja lewat di kawasan ini. Mungkin sudah takdir Dewa aku harus melakukan satu kebajikan. Apa kalian tidak memperhatikan tanah di halaman barat candi ini?"

"Memangnya ada apa Kek?" ucap Ratu Dhika Gelang Gelang. Tapi bersama Arwah Ketua dia memandang juga ke seputar halaman, terutama sekitar keluarnya dua peti tadi dari dalam tanah. Kini keduanya baru sadar dan melihat.

"Apa yang kalian lihat?" bertanya si orang tua.

Arwah Ketua tidak menjawab. Yang menjawab Ratu Dhika Gelang Gelang. "Aku... aku melihat ada noda darah berceceran. Hampir mengering..."

"Matamu tajam, anak gadis. Tapi apakah kau tahu itu darah siapa?"

5. SANG PENYELAMAT DUA BAYI KERAMAT

RATU Dhika Gelang Gelang menggeleng, "Itu adalah darah manusia berjubah kuning yang kau buntungi tangannya. Dalam keadaan terluka parah dia keluar dari candi, berusaha mengeluarkan dua buah peti dari dalam tanah. Kebetulan saja aku berada di sekitar sini dan Para Dewa berkenan memberi kepercayaan padaku untuk menyelamatkan dua bayi sebelum orang berjubah kuning mengambilnya..."

"Tapi mengapa barusan kau justru datang dari arah kaki bukit) Seharusnya kau berada di atas bukit sini?" bentak Arwah Ketua.

Dengan tenang dan sabar orang tua itu menjawab, "Kalau aku masih berada di atas bukit di sekitar candi, besar kemungkinan si jubah kuning yang mau menculik mengetahui keberadaanku dan dua bayi. Bukankah itu berbahaya sekali? Selain untuk menyelamatkan mereka, aku juga senang pada dua bayi ini. Apa salahnya aku mengajaknya berjalan-jalan barang sebentar ke kaki bukit. Ada rimba belantara cukup teduh di bawah sana. Dibanding dengan keadaan gersang, kering dan panas di bukit ini. Bukankah menghirup udara segar sangat penting bagi pertumbuhan seorang bayi?"

"Soal mengurus dua bayi itu adalah tanggung jawab kami. Mengapa kau orang tua yang tidak aku kenal mau merepotkan dlri?!" ucap Arwah Ketua dengan mata mendelik.

"Betul apa yang kau ucapkan. Soal mengurus dua bayi adalah tanggung jawab kalian. Tapi apakah kalian telah merawat bayi-bayi ini dengan benar? Kalian hanya memperhatikan keamanan dan keselamatannya. Tapi kalian memperlakukan mereka tidak lebih dari dua ekor hewan yang kalian sekap dalam candi pengap yang hanya sedikit lebih baik dari kurungan ayam!"

Mendidihlah amarah Arwah Ketuar ampai asap merah mengepul keluar dari batok kepa!anva yang botak. Lagi-lagi Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa menghalangi ketika mahluk raksasa Ini hendak menerjang si orang tua.

"Orang tua kurang ajar! Jaga mulutmu! Beraninya kau mengatakan dua bayi sebagai hewan! Kau tidak tahu siapa adanya bayi itu! Lekas pergi dari sini! Serahkan mereka padaku! Atau kupecahkan kepalamu saat ini juga!" ancam Arwah Ketua yang menjadi luar biasa marah mendengar kata-kata si or-ang tua berjubah putih.

Yang dibentak dan diancam malah cuma tertawa. "Mahluk penguasa candi! Seribu hari sebelum dua bayi ini lahir aku sudah lebih dulu mengetahui keberadaan mereka. Aku lebih banyak tahu siapa adanya dua bayi ini dari pada kalian! Bukankah begitu wahai dua bayi pilihan Para Dewa?" sambil berkata si orang tua menggoyang sedikit tangannya yang menggendong. Anehnya dua bayi itu sama-sama tertawa dalam kelelapan tidur mereka!

Sementara Ratu Dhika tercengang Arwah Ketua tetap masih meradang. "Aku tidak percaya padamu! Bagaimana kau bisa tahu kalau dua bayi ada di dalam tanah di halaman ini, dimasukkan dalam dua peti batu!"

Si orang tua kembali tersenyum sabar. "Mahluk bertubuh raksasa. Keberadaanmu sungguh hebat tapi sayang jalan pikiranmu tidak sehebat penampilanmu! Kalau Para Dewa memberi kepercayaan padaku untuk menolong dua bayi, apakah kau lebih kuasa dan lebih mengetahui dan mereka?"

Rahang Arwah Ketua menggembung, hidung mengendus dan lenggorokan menggembor, mata putih mendelik. Mau rasanya dia menelan bulat-butat tua bangka di hadapannya itu. Tanpa memperhatikan Arwah Ketua lagi si orang tua melangkah ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. Dua bayi diserahkan pada si gadis seraya berkata. "Jaga dua bayi keramat ini baik-baik. Karena pada satu hari kelak aku akan datang menjemput salah seorang dari mereka..."

Ratu Dhika Gelang Gelang tercengang heran mendengar ucapan itu. Sebaliknya Arwah Ketua kembali menjadi marah dan menghardik. "Hai! Apa arti ucapanmu itu?"

"Mahluk hebat, bersyukurlah pada Yang Maha Kuasa bahwa dua bayi telah diselamatkannya."

"Tua bangka bunglon. Kau tidak menjawab pertanyaanku! Kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu! Dan jangan kira aku tidak tahu kalau kau ke sini tidak sendirian!" sambil bicara Arwah Ketua menatap ke kaki bukit dimana terdapat sebuah batu besar.

"Eh, apa maksudmu mahluk penguasa candi?" tanya si mata buta.

"Kau datang membawa teman! Saat ini dia sembunyi di balik baju besar di kaki bukit! Lihat saja! Aku akan buktikan kedustaanmu!"

Selesai berucap, selagi si orang tua terheran-heran, tubuh raksasa Arwah Ketua melesat ke kaki bukit ke arah sebuah batu besar Sesaat kemudian dia sudah kembali sambil memanggul sosok seorang gadis berpakaian dan berkerudung putih. Dengan kasar Arwah Ketua melemparkan si gadis ke tanah.

Namun dengan gerakan enteng si gadis berjungkir balik, lalu di lain kejap dia sudah berdiri di samping si orang tua bermata salju! Pundak kiri jubah putihnya ada bekas robekan yang telah dijahit Kerudung putih di atas kepala jatuh ke bahu. Wajahnya kini tersingkap jelas. Sambil berdiri bertolak pinggang gadis ini keluarkan ucapan ketidak senangan tapi dengan mulut tersenyum.

"Tiada salah kau hendak membanting diriku ke tanah. Benar ucapan pamanku ini tadi. Otakmu tidak sehebat penampilan dirimu! Hik... hik..!"

Baik Arwah Ketua maupun Ratu Dhika Gelang Gelang tidak perdulikan ucapan si gadis.Yang menjadi pusat perhatian keduanya adalah justru wajah cantik gadis berpakaian putih itu. Mereka tidak melihat bagaimana keadaan dua tangan si gadis yang berkacak pinggang yaitu yang hanya merupakan tulang belulang tak berdaging tidak berkulit sebatas pergelangan sampai ujung jari.

"Ananthawuri!” seru Arwah Ketua dan Ratu Dhika hampir berbarengan ketika mereka melihat paras si gadis. "Tunggu! Rakanda Arwah Ketua apa salah mata kita melihat?" Ratu Dhika Gelang Gelang susul seruannya dengan ucapan.

Gadis berpakaian putih yang rambutnya tergerai lepas sebenarnya adalah Dewi Tangan Jerangkong puteri Giring Mangkureja dar! Kadiri. Wajahnya, seperti yang pernah disaksikan sendirl oleh Pangeran Bunga Bangkai memang memiliki banyak kemiripan dengan Ananthawuri. (Riwayat gadis ini bisa dibaca dalam Dewi Tangan Jerangkong)

"Kalian berdua salah menyangka orang. Gadis ini bukan Ananthawuri, Ibu dari dua bayi. Dia adalah keponakanku. Namanya Liris Pramawari," berkata orang tua bermata buta. Lalu tongkat berlapis benda putih yang mengepulkan asap dingin dimelintangkan atas bahu kanan si gadis seraya berkata, "Kau gadis nakal. Mengapa kau mengikutiku sampai ke sini. Bukankah aku suah memberi satu tugas padamu?"

"Kau benar Paman. Tapi ketika saya masih bingung, belum tahu mau menuju ke mana di tepi hutan saya melihat satu kejadian. Saya membatalkan meneruskan perjalanan, memilih lebih baik menemui paman untuk memberi tahu. Itu sebabnya saya berusaha mengejarmu sampai ke sini. Saya..." karena si kakek sudah menganggap dirinya sebagai Keponakan maka saat itu Liris Pramawari memanggil si orang tua dengan sebutan Paman.

"Sudah...sudah! Kau anak nakal. Ayo kita tinggalkan tempat ini. Di tengah jalan kau boleh menceritakan kejadian apa yang telah kau alami..." Si orang tua lalu memukul-mukulkan tongkatnya ke pinggul si gadis.

Tidak banyak bicara lagi dua orang itu segera melangkah menuruni puncak bukti gersang, meninggalkan Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun Arwah Ketua yang masih penasaran berteriak.

"Orang tua! Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku ada beberapa pertanyaan! Kau belum memberi tahu siapa dirimu sebenarnya!" Arwah Ketua mengejar. Dua kaki raksasanya membuat tanah lereng bukit berlobang-lobang ketika berusaha mengejar si orang tua dan gadis berwajah sama dengan Ananthawuri.

Namun tiba-tiba tubuhnya laksana pohon besar tak bisa bergerak karena tertahan akar. Dua kaki mendadak sontak dibalut oleh tumpukan benda putih dingin luar biasa hingga rahangnya menggembung dan geraham bergemeletakan. Di lereng bukit orang tua bermata putih berhenti, berpaling pada Arwah Ketua lalu berseru.

"Apa perlunya mengejar diriku! Lebih baik kalian mengamankan dua bayi. Selain itu kau harus cepat-cepat melenyapkan tanda tiga warna di kening gadis gemuk itu. Kalau tidak maka dalam tiga hari otaknya akan berubah! Dia bisa berbalik menjadi musuh yang bisa mencelakai dirimu! Di bumi Mataram ini hanya ada dua orang yang bisa menolong gadis gemuk itu. Pertama, seseorang yang telah kau aniaya di rimba belantara sana..."

"Siapa orang yang kau maksudkan?!" tanya Arwah Ketua.

Orang tua yang ditanya tidak menjawab melainkan meneruskan ucapan. "Orang kedua adalah keponakanku ini. Tapi tadi kau telah sempat membuatnya kecewa. Membantingnya ke tanah..."

Tapi keponakanmu itu tidak cidera..." menengahi Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Cidera tubuh memang tidak. Tapi kecewa hati Karena diperlakukan jahat kurasa tidak semua orang bisa menerima..." Jawab si orang tua pula.

"Orang tua! Katakan siapa kau sebenarnya. Apakah kau penjelmaan atau utusan Roh Agung...?"

Mendengar dirinya disebut Roh Agung si orang tua hentikan langkah, berpating menghadap ke arah Arwah Ketua. "Mahluk raksasa penguasa Candi Miring. Jangan terlalu mudah menduga insan biasa sebagai penjelmaan Roh Agung. Aku melihat hal yang tidak pada tempatnya sering terjadi dan dilakukan orang di Bhumi Mataram ini. Banyak orang pandai yang menyangka telah bicara dan bertemu dengan Roh Agung ketika mereka melihat cahaya atau mendengar suara tanpa ujud. Roh Agung Yang Maha Kuasa memang bisa berada dimana-mana bahkan bersemayam dalam diri setiap insan. Namun jangan sekali-kali menganggap setiap cahaya atau suara yang tidak berujud itu adalah roh Agung. Kuasa Roh Agung jauh lebih hebat dan lebih mulia dari itu. Cahaya yang muncul, suara yang terdengar bisa saja ulah arwah yang mendapat kekuatan dari Yang Maha Kuasa untuk memberi petunjuk atau memberikan pertolongan pada setiap insan. Jangan sekali-kali merendahkan Roh Agung kalau tidak mau kualat! Ketahuilah sekali seorang anak manusia berkesempatan melihat cahaya Roh Agung maka dia akan tertidur lelap sampai seratus tahun! Camkan itu baik-baik!"

Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang terdiam. Si orang tua memutar tubuh kembali. meneruskan langkah menuruni lereng bukit.

"Dewa Jagat Bathara! Siapa orang tua bermata buta itu? Apa aku telah kejatuhan kutuk?!" ucap Arwah Ketua. Dia kembali berteriak memanggil orang tua berjubah putih sambil berusaha membebaskan dua kakinya yang dibalut lapisan putih dingin.

Namun orang tua itu terus melangkah menuruni lereng bukit sambil terus memukuli bagian bawah tubuh gadis berpakaian putih. Yang dipukuli tidak merasa sakit, malah senyum-senyum. Tongkat itu sendiri setiap dikibaskan menebar hawa luar biasa dingin. Namun hawa dingin tidak mempengaruhi si gadis sebaliknya melesat ke arah Arwah Ketua membuat mahluk bertubuh raksasa ini semakin menggigil kedinginan.

"Orang tua! Kau pasti tukang sihir! Sudah! Aku tidak akan mengejarmu! Kau mau pergi kemana aku tidak perduli” Arwah Ketua akhirnya memutuskan untuk tidak meneruskan pengejaran. Aneh, begitu dia membalikkan badan, tumpukan benda putih dingin yang melapisi dua kaki raksasanya langsung meleleh dan akhirnya lenyap sama sekali!

"Radika Ratu," kata Arwah Ketua ketika sampai di hadapan Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kita harus mencari siasat baru menyembunyikan dua bayi. Setelah bayi berada dalam keadaan aman, aku ingin bicara banyak denganmu. Kau cepat masuk duluan ke dalam candi."

"Kau ingat ucapan orang tua aneh tadi? Tiga warna di keningku Ini mengancam keselamatan diriku..."

“Radinda. bagaimana tanda itu bisa ada di keningmu?" tanya Arwah Ketua.

"Ketika aku berhasil membuat buntung tangan kanan orang berjubah kuning, dia sempat menyusupkan pukulan telapak tangan kiri ke mukaku. Saat itu aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku. Kita harus segera masuk ke dalam candi."

"Saatnya kau masuk ke dalam candi. Bawa dua bayi ke dalam Ruang Enam Dinding Dewa. Nyalakan kayu cendana. Tunggu sampai aku menyusul..."

"Kau sendiri mau melakukan apa Rakanda Arwah Ketua?" tanya Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Banyak yang harus aku lakukan. Aku harus melindungi candi ini dengan ilmu Menebar Kabut Menutup Pandang. Lalu aku akan mengamankan potongan tangan kanan orang berjubah kuning yang ada dalam candi. Dari kutungan tangan di dalam candi dengan Ilmu Menjejak Bumi Menerawang Langit. Aku akan melacak siapa manusia itu sebenarnya dan dimana dia berada. Lalu aku harus melenyapkan tiga warna yang ada di keningmu. Tobat, begini banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Sang Hyang Jagat Bathara. saya mohon pertolonganMu..."

Dengan menggendong dua bayi keramat Ratu Dhika Gelang Gelang masuk ke dalam candi. Di halaman Arwah Ketua merapal mantera. Dua buah peti batu yang ada di tempat itu perlahan-lahan terlihat samar dan akhirnya lenyap. Candi Miring sendiri walau saat itu matahari telah terbit dan keadaan di atas bukit menjadi terang namun ujud candi seperti diselimuti kabut tebal dan akhirnya lenyap pula dari pemandangan, inilah kesaktian ilmu bernama Menebar Kabut Menutup Pandang yang kekuatannya lima kali dari kesaktian yang dimiliki Arwah Gelap Gulita yang telah menemui ajal di tangan Arwah Muka Hijau. Ketika Arwah Ketua masuk ke dalam candi, ternyata potongan tangan orang berjubah kuning tak ada lagi. Darah yang sebelumnya berceceran di lantai juga lenyap.

"Ada yang mengambil tangan dan menghapus noda darah menghilangkan jejak..." ucap Arwah Ketua perlahan. Kumis dan janggut diusap-usap. Mulut sunggingkan seringai. "Apa kalian kira aku tidak punya akal lain?!" Arwah Ketua cepat keluar cari dalam candi, menuju ke halaman sebelah barat. Di sini dia mengambil cairan darah yang telah mengering dan bercampur tanah lalu dengan cepat kembali masuk ke dalam candi.

* * * *

SIAPAKAH adanya orang tua aneh bermata buta dan memiliki kesaktian yang membuat Ratu Dhika Gelang Gelang tercengang sementara Arwah Ketua menjadi penasaran setengah mati? Di dalam episode Meringkik Di Lembah Hantu, diriwayatkan kakek bermata putih buta ini adalah seorang Resi dikenal dengan nama Resi Garispasthika, berjuluk Si Mata Salju.

Dituturkan bahwa orang tua ini suatu ketika bertemu dengan Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong. Pada saat itu Si Mata Salju tengah diserang oleh dua kakek nenek bernama Durangga dan Arupadi yang dikenal dengan julukan Dewa Dewi Empat Penjuru Angin. Durangga tewas. Si nenek kabur. Si Mata Salju berhasil merampas sebilah golok sakti bernama Empat Mulut Penghirup Darah yang kemudian diserahkan pada Liris Pramawari. Gadis yang dianggap sebagai keponakannya itu oleh Si Mata Salju ditugaskan untuk membawa golok ke puncak Gunung Mahameru guna diserahkan pada pewarisnya. Ternyata di tengah jalan dalam bingungnya Liris Pramawari menemui satu peristiwa yang membuatnya berbalik dan mencari Si Mata Salju.

6.PENYUSUP MENEMBUS CANDI MIRING

YANG DI SEBUT Ruang Enam Dinding Dewa adalah satu ruangan gaib yang tidak terletak di dalam Candi Miring, melainkan mengambang di udara di atas bangunan candi. Empat dinding ditambah lantai dan atap terbuat dari susunan batu kebiru-biruan memancarkan cahaya terang disertai hawa sejuk, Konon untuk membangun ruangan yang tahan segala macam bahaya ini dibutuhkan sekitar dua ratus mahluk gaib dan menghabiskan waktu hampir sepuluh tahun. Lamanya waktu pembuatan dikarenakan mahluk gaib harus bertapa dan menunggu Para Dewa menurunkan satu demi satu batu berwarna biru yang menjadi bahan pembuatan dinding, lantai dan atap ruangan.

Sebenarnya sejak pertama kali kedatangan bayi keramat Arwah Ketua ingin menempatkan mereka di ruangan tersebut. Namun sekitar dua puluh tahun silam, ruang gaib yang boleh dikatakan sulit ditembus orang luar bagaimanapun kesaktiannya, pernah kebobolan disusupi musuh. Karena khawatir hal tersebut akan terulang untuk kedua kalinya maka Arwah Ketua tidak menempatkan dua bayi yang dijaga Ratu Dhika di ruangan tersebut

"Aku berharap dua bayi ini sekarang benar-benar aman berada di tempat ini..." kata Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Bagaimanapun juga kita harus tetap berwaspada Radinda Ratu. Aku masih penasaran pada tua bangka bermata putih itu! Aku tahu dia pendusta besar! Gadis yang wajahnya sangat mirip Ananthawuri itu..."

"Belum tentu hanya sangat mirip tapi siapa tahu dia sebenarnya memang Ananthawuri," kata Ratu Dhika pula.

Rupanya baik Arwah Ketua maupun Ratu Dhika tidak melihat keadaan dua tangan jerangkong Liris Pramawari. Kalau saja mereka sempat melihat tentu keduanya akan berpikiran lain tentang gadis cantik berjubah dan berkerudung putih itu.

"Gadis itu aku yakin bukan keponakannya. Kalau dia menjadi paman lalu ayah si yadis berapa tahun lebih tua bangkanya dan si mata salju itu!"

"Rakanda Arwah Ketua. Aku rasa perihal orang tua aneh itu tidak penting kita bicarakan. Ada hal lain..."

"Radinda Ratu, jangan kau menganggap gampang persoalan yang kita hadapi. Kalau dugaanmu benar bahwa gadis itu memang Ananthawuri dan berhasil disirap serta ditenung hingga patuh saja pada si mata buta itu, rasanya aku harus segera melakukan pengejaran sebelum Para Dewa murka atas diriku! Belakangan ini aku telah sering berbuat kekeliruan dan kelalaian..."

"Rakanda, mendengar ucapan si orang tua bahwa dia akan datang menjemput salah satu dari bayi ini. Apa perlunya dia menculik ibu Mimba dan Dirga..."

"Si mata salju berkata begitu. Kalau dia memang inginkan salah satu bayi, mengapa tidak sekarang-sekarang dia mengambilnya. Lalu mengapa cuma satu bayi saja? Aku merasa perlu meneliti kembali apa yang tertulis di empat Gading Bersurat..."

"Rakanda, kalau tidak ada hal lain yang kau perlukan dariku, kuharap kita bisa berganti tugas untuk sementara."

"Eh, apa maksudmu Radinda Ratu?"

"Aku tidak tenang selama tiga warna celaka ini masih ada di keningku. Ingat ucapan orang tua aneh itu?"

"Jangan kau terpengaruh. Bisa saja dia melakukan kedustaan..."

"Rakanda Arwah Ketua, kau jaga dua bayi baik-baik. Aku akan meninggalkan candi..."

"Memangnya kau mau kemana?" tanya Arwah Ketua dengan mata mendelik.

"Aku akan mengejar gadis yang wajahnya mirip Ananthawuri itu. Minta tolong dia melenyapkan tiga wama di keningku sebelum aku nanti benar-benar jadi berubah pikiran alias gila dan menjadi musuhmu!"

Arwah Ketua terdiam beberapa ketika lalu berkala. "Radinda. kau masih punya waktu tiga hari. Mengapa harus terburu-buru? Kau belum menuturkan apa yang terjadi di candi ini sampai dua bayi nyaris diculik orang. Siapa orang yang berjubah kuning yang kau katakan itu? Aku sudah mengambil gumpalan cairan darah keringnya. Aku akan melakukan semedi Menjejak Bumi Menerawang Langit untuk mengetahui siapa dia adanya. Kalau perlu aku akan mendatangi sampai ke sarangnya, kalau memang dia punya sarang sekalipun di neraka!"

"Kalau begitu aku akan membantumu..." kata Ratu Dhika Gelang Gelang pula karena dia tahu untuk melakukan semedi Menjajak Bumi Menerawang Langit guna menjajaki seseorang berdasarkan sesuatu yang merupakan bagian tubuhnya tidak mungkin dilakukan seorang diri.

"Aku akan menceritakan padamu. Tapi setelah itu aku tetap akan pergi mengejar gadis itu..."

"Kau belum tentu bisa mengejar dan me-nemukannya. Orang tua bermata salju dia pasti akan menghalangimu."

"Aku yakin dia tidak sejahat itu. Tapi kalau kelak itu jadi kenyataan, Aku akan mencari penolong yang kedua. Yaitu orang yang menurut si mata salju telah kau aniaya dan berada di dalam rimba belantara."

"Radinda Ratu. Kau ini ada-ada saja. Jangan-jangan kau benar-benar sudah berada dalam sirap dan pengaruh orang tua tadi. Seingatku aku tidak pernah menganiaya orang di dalam rimba belantara di kaki bukit sana..."

"Bagaimana kalau yang dimaksudkan si orang tua adalah Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengikutnya yang kau tenung dengan ilmu Melangkah Ke Depan. Arwah Tiba Di Belakang. Melangkah Ke Belakang, Arwah Tiba Di Depan. Melangkah Ke Samping Arwah Berputar Di Tengah. Hingga Pangeran dan dua kawannya itu tidak bisa keluar dari rimba belantara. Selain itu aku tidak tahu dimana keberadaan kucingku Si Ragil Abang..."

"Astaga Radinda! Soal ilmu tenung itu! Bukankah kau sendiri yang minta aku menerapkan ilmu itu agar Pangeran aneh itu tidak datang mengacau ke sini?"

"Benar sekali Rakanda. Namun itu hal terakhir yang bisa aku mintakan padamu. Karena sebelumnya bukankah kau bermaksud hendak membunuh orang-orang itu?"

"Aku tidak mengerti! Benar-benar tidak mengerti..."

"Rakanda Arwah Ketua, aku akan menceritakan apa yang terjadi. Aku hanya akan menceritakan satu kali dan tidak akan mengulang-ulang. Setelah itu aku akan membantumu bersemedi. Lalu setelah itu aku akan pergi..."

Arwah Ketua tidak keluarkan ucapan apa-apa. Dia mengembalikan dua kerincing emas milik Ratu Dhika yang ditemuinya di lantai candi.

* * * *

PENUTURAN Ratu Dhika Gelang Gelang...

SAAT itu menjelang pagi. Di dalam candi, tak lama setelah Arwah Ketua pergi, di satu ruangan rahasia Ratu Dhika Gelang Gelang tengah mengawasi dua bayi yang tertidur lelap di atas dua pembaringan rotan beralas kasur kapuk lembut. Dua bayi walau baru berusia satu bulan namun keadaan tubuh menyerupai anak berumur satu tahun.

Mendadak Ratu Dhika melihat beberapa bagian dari lantai dan dinding ruangan seperti bergelombang, laksana permukaan air danau disaput tiupan angin. Ratu Dhika Gelang Gelang yang tahu seluk beluk keadaan Candi Miring, yakin betul bahwa saat itu ada bahaya mengancam candi, dirinya dan pasti juga yang sangat berbahaya mengancam dua bayi.

"Ada orang sakti mau menyusup ke dalam candi..." Ratu Dhika berkata dalam hati. Lalu dia melangkah cepat ke salah satu bagian dinding candi. Ujung ibu jari tangan kanan dijilat. Ujung jari yang basah oleh ludah itu diusap sambil ditekan ke dinding. Ketika Ratu Dhika mendekatkan mata kanannya ke bagian dinding yang ditekan dengan ibu jari tadi, dia seperti mengintai melalui sebuah lobang dan dapat melihat keadaan di luar candi bagian selatan. Hanya kegelapan malam menjelang pagi yang terlihat. Tidak kelihatan satu mahluk pun di luar sana. Namun bagian dinding dan lantai yang bergelombang bertambah banyak. Pertanda orang yang tengah berusaha menyusup semakin dekat.

Ratu Dhika kembali basahi ujung ibu jari tangan kanan. Kini ujung jari diusap dan ditekan pada dinding sebelah kiri dimana tampak gerak gelombang yang lebih kencang. Begitu untuk kedua kali Ratu Dhika mengintai melalui dinding yang seolah tembus berlobang, kali ini dia dapat melihat halaman timur candi. Seperti tadi dia melihat suasana gelap. Namun dalam kegelapan dia dapat melihat seorang berbadan tinggi, mengenakan jubah panjang yang wajahnya belum terlihat jelas.

Ketika orang ini semakin dekat ke dinding candi sebelah timur kelihatan kalau dia mengenakan destar dan jubah kuning. Ada bayangan tiga warna menyelubungi tubuhnya. Bayangan ini sangat tipis hingga kalau bukan orang berkepandaian tinggi seperti Ratu Dhika niscaya tidak akan melihatnya. Kejut Ratu Dhika Gelang Gelang bukan kepalang. Namun bukan cuma bayangan tiga warna tipis itu yang membuat gadis yang masih punya darah keturunan penguasa di Kerajaan Bhumi Mataram ini menjadi terkejut. Yang paling mengagetkan hingga tengkuknya terasa dingin adalah ketika melihat dalam genggaman tangan kiri kanan, orang ini mengepal gumpalan tanah merah.

"Celaka! Kalau yang dipegang orang itu tanah kuburan pasti tembus! Dia pasti bisa masuk ke dalam candi!" Ratu Dhika memandang berkeliling lalu berteriak, "Rakanda Arwah Ketua! Ada penyusup mau masuk ke dalam candi!"

Tak ada sahutan karena Arwah Ketua saat itu memang tidak ada di Candi Miring, tengah melakukan pengejaran terhadap Arwah Muka Hijau yang telah membunuh Arwah Gelap Gulita.

7.SANG PENYUSUP: PANGLIMA PAWANG SELA

RATU Dhika kertakkan rahang. "Arwah Ketua tidak ada di candi! Apa boleh buat! Aku harus menghadapi penyusup berkepandaian tinggi itu seorang diri! Siapa dia sebenarnya. Ada cahaya tipis tiga warna menyelubungi tubuhnya. Aku harus bisa menangkapnya hidup-hidup! Kalau terpaksa harus menyabung nyawa apa boleh buat. Wahai Para Dewa di Swargaloka. Saya Ratu Dhika Gelang Gelang tidak takut mati. Namun saya mohon ulurkan tangan pertolonganMu. Selamatkan dua bayi Mimba dan Dirga!"

Ratu Dhika kerahkan tenaga dalam penuh dari pusar. Dua tangan dikembang lalu didorong. Empat buah menara candi memancarkan cahaya berpiijar berwarna kelabu. Empat cahaya ini adalah satu kekuatan sakti yang diarahkan Ratu Dhika pada orang berjubah kuning yang berada di halaman timur atau halaman depan Candi Miring.

Mendadak di udara gelap melesat sambaran cahaya tipis tiga warna. Menyambar ke arah empat cahaya kelabu. Benturan hebat tidak terelakkan. Empat letusan keras menggelegar di kegelapan menjelang pagi. Cahaya kelabu di tiga menara bertabur lenyap. Puncak empat menara bergoyang, mengeluarkan suara berderak. Menara ke empat yang tidak sanggup menahan sambaran cahaya tiga warna hancur berantakan. Di halaman depan candi orang berjubah kuning terbanting ke tanah. Namun masih mampu berdiri dengan cepat agak sedikit terbungkuk pertanda mengalami cidera walau tidak berat.

Di dalam candi Ratu Dhika Gelang Gelang jatuh berlutut di lantai. Sekujur tubuh bergetar dan basah oleh keringat. "Orang berjubah kuning itu..." ucap Ratu Dhika dalam hati. "Dia memiliki dasar tenaga dalam tinggi. Ditambah kekuatan berasal dari cahaya tiga warna yang menyelubunginya. Apa yang harus aku lakukan. Langsung menghadapi dan membunuhnya atau lebih dulu menyelamatkan dua bayi."

Saat itu salah seorang dari dua bayi tampak menggeliat sambil keluarkan suara mendesah pendek.

"Dua bayi itu! Mereka harus aku selamatkan lebih dulu'" Ratu Dhika mengambil keputusan. Dia ingat ruangan gaib bernama Enam Dinding Dewa yang terletak di atas candi. Namun hatinya meragu untuk membawa dan menyelamatkan dua bayi ketempat itu. Memandang ke arah pintu depan candi, Ratu Dhika merasa heran. Seharusnya orang berjubah kuning itu sudah melewati pintu dan berada dalam candi. Tapi sampai saat itu tidak kelihatan sosoknya.

Selagi Ratu Dhika memperhatikan bagian dalam candi yang cukup luas tiba-tiba dinding candi sebelah utara jebol hancur berantakan. Satu bayangan kuning berkelebat rnasuk ke dalam candi lewat lobang besar di dinding. Seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun mengenakan destar dan jubah kuning, berwajah tiras dan berkulit pucat berdiri di hadapan Ratu Dhikia Gelang Gelang. Orang Ini hanya memiliki satu alis yaitu di atas mata sebelah kiri, panjang hitam menjulai

"Perempuan gemuk! Yang aku kenal dengan panggilan Ratu Dhika Gelang Gelang! Lekas jatuhkan diri berlutut. Jangan berani menggagalkan niat kedatanganku! Aku utusan Sri Maharaja Ke Delapan Kerajaan Mataram Baru datang untuk mengambil dua Bayi!"

Si jubah kuning ini bukan lain adalah Panglima Pawang Sela. Pembantu paling utama dan paling terpercaya dari orang yang menyebut dirinya sebagai Sri Maharaja Ke Delapan dari Kerajaan Mataram Baru. Tidak mengenal manusia di hadapannya tapi orang mengetahui siapa dirinya tidak membuat Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut. Namun yang membuat dia terkesiap ketika untuk kesekian kalinya dia mendengar orang menyebut tentang Sri Maharaja Ke Delapan dan kini disebut-sebut pula Kerajaan Mataram Baru.

"Aku harus bisa menangkap manusia satu ini hidup-hidup. Aku harus bisa mengorek apa arti semua ucapannya tadi!"

Dengan cepat gadis gemuk ini sentakkan dua kaki dan hantamkan dua tangan. Dua puluh kerincing emas yang melingkar di lengan dan pergelangan kaki bergemerincing keras disertai melesatnya dua puluh larik cahaya kuning. Walau cepat mengelak dan menangkis dengan kebutkan dua ujung lengan jubah kiri kanan, namun ada perasaan menganggap enteng serangan Ratu Dhika Gelang Gelang. Tapi ketika... breett... breett... breettt..brettt! empat dan dua puluh larik sinar kuning merobek jubahnya di empat bagian, tidak menunggu lebih lama sambil membentak orang berjubah kuning ini melesat setinggi atap candi, membuat gerakan aneh seperti baling-baling berputar sementara dua tangan menebar hawa sakti.

"Wuttt! Wuttt!”

Satu stupa hancur. Satu lainnya terbongkar dari alasnya. Dinding dan lantai candi remuk di beberapa tempat. Namun saat itu dua bayi dan Ratu Dhika Gelang Gelang sudah tidak ada di tempat tersebut. Di satu ruang rahasia di bawah lantai candi Ratu Dhika Gelang Gelang menggendong dua bayi erat-erat Walau kedua anak ini tampak tenang-tenang saja namun sepasang mata mereka dalam keadaan terbuka dan sesekali bergerak berputar seolah tahu kalau diri mereka berada dalam ancaman bahaya.

"Anak baik-baik bagus... jangan menangis. Jangan mengeluarkan suara..." Ratu Dhika berbisik lalu hembus kening dua bayi. "Tidur... tidurlah anak-anak manis..."

Begitu ditiup dua mata bayi yang tadi nyalang perlahan-lahan menutup. Ratu Dhika merasa lega sedikit. Di dalam ruangan dia berdiri tidak bergerak. Dua kaki sedikit dikembang. sepasang mata dipejamkan, mulut merapal ajian kesaktian ditutup dengan doa.

"Para Dewa di Kahyangan. Dengan segala kehinaan diri ini, saya mohon pertolonganMu. Selamatkan dua bayi ini. Para Dewa telah menetapkan ibundanya sebagai perawan pilihan. Dua bayi ini sesuai dengan kehendakMu wahai Para Dewa. Mereka akan menjadi dua Ksatria Utama Bhumi Mataram, pembela Kerajaan pembela Keadilan dan penegak Kebenaran. Oleh karena itu Wahai Para Dewa. dengarkan doa saya ini. Saya percaya Engkau Yang Maha Kuasa akan mengulurkan tangan pemberi pertolongan."

Sambil masih menggendong erat dua bayi yang tertidur lelap Ratu Dhika Gelang Gelang rundukkan badannya yang gemuk. Begitu tubuh diluruskan kembali mulutnya berucap perlahan. "Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa! Dengan kehendak Yang Kuasa muncullah! Selamatkan dua bayi keramat ini!"

Belum habis gema seruan Ratu Dhika tiba-tiba dua cahaya berpijar dan di atas lantai dalam ruangan rahasia itu tahu-tahu lelah berada dua buah peti terbuat dari batu gunung kokoh kelabu.

“Blakk...blaakkk!" Penutup dua buah peti terbuka.

"Terima kasih Dewa. Terima kasih..." ucap Ratu Dhika berulang kali. Dua bayi dalam gendongan dimasukkan ke dalam dua peti batu.

“Blaakk...blaakkk!" Dua peti tertutup dengan sendirinya lalu melayang ke arah kiri. Luar biasa sekali! Dua peti batu berisi bayi menembus dinding candi laksana angin. melesat ke halaman barat, melayang sebentar diudara lalu amblas lenyap masuk ke dalam tanah tanpa bekas sama sekali!

Ratu Dhika Gelang Gelang yang masih berada di dalam ruang rahasia cepat merapat ke dinding di belakangnya ketika tiba-tiba salah satu dinding ruangan hancur dan dari lobang bosar yang kini terkuak melesat masuk orang bermuka pucat berjubah kuning dan hanya punya satu alis yaitu di atas mata kiri anjang menjulai sampai ke pipi!

"Kau sembunyikan dimana dua bayi?!" bentak si jubah kuning alias Panglima Pawang Sela. "Lekas ambil dan serahkan padaku! Atau aku buat candi ini sama rata dengan tanah dalam sekejapan mata! Dan kau akan terpendam di dalam reruntuhannya sampai kiamat!"

Ratu Dhika Gelang Gelang menyeringai, keluarkan suara mendengus lalu berkata. "Kau inginkan dua bayi itu! Carilah di neraka!" Ratu Dhika Gelang Gelang lalu buka mulutnya lebar-lebar. Perut yang besar menciut mengeluarkan suara mendesis panjang lalu berubah menjadi kempis. Dari mulut yang terbuka menderu satu kekuatan luar biasa dahsyat, menyedot tubuh si jubah kuning hingga saat itu juga sosoknya laksana dibetot, naik setinggi dua tombak lalu melesat ke arah tembok candi.

"Braaakkk!"

8. PERTARUNGAN DALAM CANDI MIRING

ILMU kesaktian yang dikeluarkan Ratu Dhika Gelang Gelang adalah Selaksa Angin Menghisap Roh. Jangankan manusia, pohon besar atau gajah sekalipun pasti akan tersedot lalu dibanting ke arah yang dikehendaki. Dengan ilmu inilah Ratu Dhika Gelang Gelang dulu menghajar Arwah Muka Hijau ketika dirinya dimasukkan ke dalam bubu ikan berbisa.

Akan halnya Panglima Pawang Sela meskipun dengan kesaktiannya Ratu Dhika mampu membuat orang ini terbanting ke dinding candi hingga untuk sesaat tubuhnya serasa remuk melesak namun tampaknya dia hanya mengalami cidera tidak berarti. Sambil memukul hancur dinding di sekitarnya dengan dua tangan, Panglima Pawang Sela melesat keluar dari dalam dinding. Didahului teriakan aneh yang mirip-mirip suara ringkikan kuda dan lolongan anjing Panglima Pawang Sela menerjang ke arah Ratu Dhika. Serangan yang dilancarkan merupakan kebutan dua ujung lengan jubah mengeluarkan suara seperti gelombang menghantam karang di pantai, disertai sambaran cahaya kuning.

"Perempuan gemuk jahanam! Jangan kira aku tidak tahu kau menyembunyikan dua bayi dimana! Sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan mereka! Tapi tidak ada salahnya kalau lehermu yang banyak lemak itu aku buat buntung lebih dulu!"

Pada saat yang sama di halaman candi sebelah barat di mana dua peti berisi bayi lenyap masuk kedalam tanah tanpa bekas, seorang berjubah putih berkelebat di tempat itu. Tangan kanan yang memegang tongkat putih berlapis salju dingin diketuk dua kali ke tanah lalu di sapukan di udara dua kali pula. Mulut berucap perlahan.

"Wahai para Dewa di Swargaloka. Kau tahu ada orang berniat jahat di dalam candi memiliki kemampuan untuk mengeluarkan dua peti dari dalam tanah. Dengan kuasaMu izinkan saya menyelamatkan dua bayi itu!"

Satu cahaya putih memancar di dua tempat di tanah. Lalu terdengar suara mengiang di telinga orang tua yang memegang tongkat yang mengepulkan hawa dingin.

"Resi Garipastika. Para Dewa mengabulkan permintaanmu. Selamatkan dua bayi. Tapi ingat baik-baik. Jangan kau berlaku culas. Mengambil salah satu dari dua bayi. Belum saatnya kau melakukan itu! Berlutut di tanah, kembangkan dua tanganmu!"

Mendengar suara mengiang serta merta si orang tua yang ternyata adalah Resi Garipasthika yang di kenal dengan julukan Si Mata Salju jatuhkan diri berlutut ke tanah. Tongkat putih diselipkan di punggung, dua tangan dikembang.

"Arwah Suci... Kau pasti Arwah Suci yang mewakili para Dewa, yang selama ini selalu disalah artikan sebagai Roh Agung oleh banyak insan di Bhumi Mataram ini. Saya Reshi Garipasthika mengucapkan terima kasih atas izin Mu. Saya mengerti. Saya..."

Belum selesai ucapan sang Resi tiba-tiba... dess...desss! Dari dalam tanah melesat dua bayi yang sebelumnya berada dalam dua buah peti bernama Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa. Dua bayi kemudian melayang ke arah Resi Garipasthika, masuk ke dalam gendongan tangan kiri kanan. Tidak menunggu lebih lama orang tua sakti yang pernah bertapa di puncak Gunung Himalaya selama sepuluh tahun ini segera berkelebat lenyap dari tempat itu.

Kembali ke dalam Candi Miring. Suara teriakan yang menyerupai ringkik kuda dan lolongan anjing yang di keluarkan Panglima Pawang Sela cukup membuat Ratu Dhika Gelang Gelang terkesiap. Apalagi mendengar ucapan orang yang berjubah kuning itu yang menyatakan mengetahui di mana dia menyembunyikan dua bayi. Walau hanya sesaat terkesiap namun sudah cukup memberikan kesempatan pada Panglima Pawang Sela menyambar leher Ratu Dhika dengan dua cengkeraman tangan kiri kanan.

Sesaat batang leher gemuk itu siap hendak di puntir remuk, Ratu Dhika tersandar. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke bawah. Dalam keadaan setengah berlutut dia lepaskan satu pukulan telak ke dada Panglima Pawang Sela. Orang beralis satu ini semburkan darah kental tapi mulutnya malah menyunggingkan senyum. Tubuhnya lalu mengapung di udara, tangan kanan Ratu Dhika yang masih membentuk kepalan melekat di dada seolah menunjang! Ratu Dhika terpekik ketika merasakan tinjunya yang menempel di dada lawan dijalari hawa panas sekali.

Didahului suara tertawa seolah mengejek, Panglima Pawang Sela semburkan ludah campur darah yang ada di mulutnya ke muka Ratu Dhika. Dalam waktu bersamaan tangannya kiri kanan yang tadi hendak memuntir tanggal leher kini bergerak menggebuk ke arah batok kepala gadis gemuk itu.

Tidak bisa melepaskan tangan kanan yang lengket di dada lawan sementara orang hendak menggebuk hancur kepalanya. Ratu Dhika Gelang Gelang mengadu jiwa dengan balas melancarkan serangan bernama Cakar Besi Penghancur Berhala dengan mempergunakan tangan kiri. Tangan menjulur panjang. Lima jari berubah besar menjadi cakar besi, hitam mengerikan. Serangan Ratu Dhika menyambar lawan lebih dulu dan lebih cepat dari dua gebukan yang dilancarkan Panglima Pawang Sela. Masih untung orang ini mampu selamatkan kepalanya yang semula hendak jadi sasaran. Namun begitu gagal menyambar kepala, lima jari kini berkelebat ke bawah ke arah tangan kanan lawan.

"Breett!" Lengan jubah Panglima Pawang Sela robek besar.

"Kraakk!" Terdengar suara tulang patah dan tanggal!

Panglima Pawang Sela menjerit keras ketika siku tangan kanannya kena disambar Cakar Besi Penghancur Berhala. Siku putus, lengan langsung tanggal buntung mulai dari siku ke bawah! Darah menyembur dari urat-urat besar yang putus berbusaian! Plukk! Buntungan lengan tercampak di lantai. Lima jari bergetar lalu mengepal. Dalam keadaan menahan sakit luar biasa Panglima Pawang Sela masih sempat menghantamkan telapak tangan kirinya ke kepala Ratu Dhika Gelang Gelang. Gumpalan tanah liat kuburan yang masih melekat di tangan kiri Pawang Sela mendarat di kening si gadis gemuk. Tiga cahaya berpijar! Di kening Ratu Dhika kelihatan tiga garis lebar berwarna hitam, merah dan biru!

Ratu Dhika menjerit keras. Tubuh gemuknya terpental membentur dinding candi hingga jebol lalu terguling jatuh di satu ruangan gelap. Dalam keadaan setengah sadar dia pentang dua tangan, siap melepas pukulan sakti bernama Langit Roboh Bumi Terbongkar. Pukulan ini mengandung hawa panas luar biasa yang mampu membuat tubuh lawan hancur berkeping-keping. Kalau lawan di luar sana masuk mengejar maka dia akan menghabisi dengan dua pukulan sekaligus!

Tadinya Panglima Pawang Sela bermaksud hendak mengejar masuk ke dapan ruangan sempit dan gelap itu namun khawatir akan mendapat serangan mendadak selain itu karena lebih mementingkan mendapatkan dua bayi maka tidak pikir panjang lagi dia menjebol dinding barat candi, melesat ke halaman. Walau tidak ada tanda di tanah bekas masuknya dua peti batu namun dengan kesaktiannya, melalui penciuman serta getaran di gumpalan tanah kuburan yang masih ada di genggaman tangan kiri dia mampu mengetahui keberadaan dua peti batu dimana dua bayi disembunyikan. Pawang Seia merapal mantera lalu berseru.

"Dua peti sakti ciptaan Dewa! Tempatmu tidak layak di dalam tanah! Keluarlah!"

"Braakk! Braakk!"

Tanah halaman terbongkar di dua tempat. Dua Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa melesat keluar dari dalam tanah, melayang turun di hadapan Panglima Pawang Sela.

"Blaakk! Blaakk!" Penutup peti terbuka.

Sepasang mata Pawang Sela terbeliak besar. Mulut keluarkan suara bengis. Dua peti batu ternyata berada dalam keadaan kosong!

9.SANGKALA DARUPADHA RAJA JIN HUTAN ROBAN

DALAM amarah menggelegak Pawang Sela tendangkan kaki kanan ke salah satu peti batu di hadapannya. Cahaya tiga warna memancar di ujung kaki kanan. Walau bernama Peti Dewa tapi tendangan yang dilancarkan Pawang Sela bukan tendangan sembarangan, bernama Tendangan Tiga Warna. Peti batu itu pasti akan hancur berkeping-keping! Namun dua peti tiba-tiba lebih dulu lenyap dari pemandangan, hanya meninggalkan kepulan asap kelabu tipis.

"Kurang ajar! Ratu Dhika! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku! Akan aku kubur kau hidup-hidup dalam runtuhan candi!"

Ketika Pawang Sela hindak keluarkan ilmu kesaktian bernama Angin Prahara Lembah Hantu yang mampu menghancurkan luluhkan Candi Miring tiba-tiba ada satu suara mengiang di telinganya.

"Panglima, kau telah terlalu banyak mengeluarkan darah. Perhatikan keselamatanmu! Lawan mampu menjebol perlindungan yang aku berikan. Menurut penglihatanku dua bayi berada dalam lindungan seorang sakti yang belum bisa kau tandingi dalam keadaanmu seperti saat ini. Kau harus mengalah dulu. Lupakan gadis gemuk berkepandaian tinggi itu. Kau telah meninggalkan tanda di keningnya. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu kebal yang tangguh, niscaya saat kau memukul keningnya dengan Pukulan Tiga Warna tubuhnya telah tercerai berai! Sekarang kita bisa menghabisinya dalam waktu tiga hari mendatang. Tapi lebih bermanfaat kalau kita bisa menyirapkan untuk datang dan bergabung dengan kita. Kita telah banyak kehilangan anggota berkepandaian tinggi. Kita perlu yang satu ini. Sebelum pergi kau harus cepat mengambil potongan tanganmu yang ada dalam candi. Jangan sekali-kali sampai orang bisa menjajagi keberadaanmu sebelum rencana besar kita terlaksana "

Panglima Pawang Sela cepat membungkuk. "Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan, jika itu perintahmu, saya akan segera melakukan!"

"Sekarang segera tinggalkan kawasan candi. Aku berada di luar hutan di kaki bukit. Temui aku di pinggiran sebelah timur. Cari pohon jati kering yang tidak bercabang dan tidak berdaun. Aku ada di situ..."

"Saya maklum junjungan. Saya mengerti." Sebelum meninggalkan tempat itu, sesuai perintah ngiangan suara di telinganya Panglima Pawang Sela lebih dulu masuk ke dalam candi untuk mengambil kutungan tangannya. Itu sebabnya ketika Arwah Ketua masuk kembali ke dalam candi dia tidak menemukan lagi buntungan tangan yang sebagian masih terbungkus lengan jubah berwarna kuning.

Tidak terduga pada saat itu terdengar perempuan meratap disertai suara memanggil berulang kali. "Anakku Mimba dan Dirga! Di mana kalian wahai... Hyang Jagat Bhatara tolong... tolong dimana mereka! Lindungi mereka. Apa yang terjadi di candi ini... Ratu Dhika... Kau dimana?"

Panglima Pawang Sela serta merta hentikan gerakannya hendak meninggalkan candi. Begitu dia berpaling, dari balik reruntuhan dinding candi muncul keluar seorang gadis berpakaian biru, berwajah cantik dan berkulit putih. Rambut panjang hitam tergerai lepas sampai ke pinggang.

"Gadis ini... Dia meratap memanggil anaknya. Dua bayi... Apakah dia ibu dari dua bayi itu? Siapapun dia, pasti bukan orang sembarangan di tempat ini! Aku tidak boleh berbuat lalai. Lebih baik aku tangkap dulu dia!"

Tidak menunggu lebih lama lagi Panglima Pawang Sela segera menghambur menangkap gadis itu lalu secepat kilat tinggalkan Candi Mining. Sebenarnya di dalam tubuh Ananthawuri terdapat batu sakti Kaladungga pemberian gaib patung Loro Jonggrang, yang membuat dirinya tidak bisa terlihat oleh siapa saja yang berniat jahat. Namun karena ilmu kesaktian yang dimiliki Pawang Sela jauh lebih tinggi dia mampu melihat Ananthawuri secara nyata.

Dari dalam ruangan gelap Ratu Dhika Gelang Gelang masih sempat melihat apa yang terjadi. Dia berteriak keras lalu melompat coba mengejar. Tapi entah mengapa saat itu kepalanya terasa sangat berat Ketika dia berusaha menerobos lobang besar di dinding candi, kepalanya membentur pinggiran lobang hingga tubuhnya terpental dan kembali tergelimpang di lantai. Untuk beberapa lama pandangannya berbintang-bintang. Namun mulutnya masih bisa berucap,

"Hyang Bhatara Agung... Tolong... Manusia jahat itu menculik Ananthawuri... Selamatkan ibu dua bayi itu. Tolong…”

KETIKA berlari cepat menuruni bukit gersang, di kejauhan Panglima Pawang Sela melihat seorang berjubah putih melangkah seenaknya mendaki ke arah puncak bukit Sosok yang terlihat begitu samar hingga dia tidak bisa mengenal siapa adanya orang itu. Kalau saja dia tidak diperintahkan oleh Sang Junjungan segera pergi menemuinya di pinggiran rimba belantara sebelah timur, sebenarnya ada niat hendak mendatangi dan menyelidik siapa adanya orang tersebut. Pawang Sela tidak pernah menduga kalau orang yang terlihat samar itu adalah Resi Garispasthika alias kakek berjuluk Si Mata Salju yang tengah menggendong dua bayi keramat dan telah lebih dulu diambil diselamatkan dari dalam Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa.

KEMBALI ke dalam Candi Miring di Ruang Enam Dinding Dewa. "Rakanda Arwah Ketua, kau telah mendengar penuturanku apa yang terjadi ketika kau meninggalkan candi mengejar si keparat Arwah Muka Hijau. Se-karang sebaiknya kita cepat-cepat melakukan samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit untuk mencari tahu siapa dan dimana sarang manusia jahanam itu..."

"Radinda Ratu, aku harap kau bisa bersabar sedikit. Kau beruntung. Berkat Ilmu Kebal Lemah Kebal Banyu pukulan lawan yang meninggalkan tanda tiga warna di keningmu tidak membuatmu celaka atau keracunan... Apa yang kau tuturkan membuat aku ingat kembali pada tugas yang pernah aku berikan padamu. Tapi mungkin belum sempat kau lakukan. Kau ingat tiga tugas itu Radinda Ratu...?"

"Aku ingat Rakanda," jawab Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Kita harus menyelidik siapa yang sejak belakangan ini disebut-sebut dan menamakan dirinya sebagai Sri Maharaja Ke Delapan. Ketika aku berhadapan dengan manusia aneh bernama Abdika Brathama, mengaku utusan Sri Maharaja Ke Delapan, dia juga menyebut mengenai Mataram Baru! Semakin jelas bagiku kalau Bhumi Mataram berada dalam satu ancaman luar biasa besar. Ada orang yang hendak meruntuhkan tahta Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang masih pamanmu. Ada satu rencana pemberontakan besar-besaran terhadap penguasa yang syah saat ini. Rasanya dalam waktu singkat aku harus menghadap Sri Maharaja di Kotaraja."

Arwah Ketua berhenti bicara sejenak lalu melanjutkan. "Tugasmu yang ke dua menyelidik apa dan siapa sebenarnya pemilik ilmu kesaktian yang selalu menampakkan ujud dalam cahaya tiga warna. Merah, biru dan hitam. Ilmu kesaktian itu agaknya bisa dipecah, bisa diberikan kepada siapa saja oleh sang pemilik yang sekaligus sang pengendali. Aku punya dugaan keras mahluk ini adalah sang pengendali. Dia kunci dari semua kejadian. Mungkin sekali dialah Sri Maharaja Ke Delapan itu..."

"Aku juga punya dugaan sama sepertimu Rakanda," menyahuti Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Kalau sekarang kaki tangannya berhasil menculik Ananthawuri maka keadaan akan lebih parah dan tambah sangat berbahaya bagi masa depan Bhumi Mataram. Dia punya kekuatan untuk menekan."

Arwah Ketua keluarkan suara mengorok, hembuskan nafas panjang yang memerihkan jangat dan mata lalu berkata lagi. "Kau juga aku minta mencari pemuda bernama Sebayang Kaligantha. Pemuda itu mempunyai hubungan dengan ilmu kesaktian memancarkan cahaya tiga warna itu. Aku menyirap kabar dia memiliki satu ajimat sangat sakti yang didapatnya ketika masuk ke dalam alam gaib di negeri seberang, di satu bekas Kerajaan Kuna. Pemuda bernama Sebayang Kaligantha itu, bukankah dia kekasihmu Radinda Ratu? Apakah kau sudah berkesempatan menemuinya?!"

Ratu Dhika Gelang Gelang tertunduk lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Dulu aku pernah curiga kalau sang pengendali ilmu kesaktian yang selalu menampilkan cahaya tiga warna itu adalah mahluk yang dikenal dengan nama Pangeran Bunga Bangkai. Ternyata bukan dia. Aku juga menyirap kabar bahwa orang-orang di selatan tengah menggalang satu pasukan besar untuk melaksanakan niat jahat, menyerang Kotaraja, merebut tahta Kerajaan. Beberapa di antara mereka telah menyusup dan melakukan pembunuhan. Ingat peristiwa tewasnya Wakil Balatentara Kerajaan Janggel Kantanu? Sampai saat ini tidak diketahui siapa pembunuhnya. Belakangan ini banyak orang-orang tak dikenal gentayangan menyebar maut. Di antara mereka ada yang mempergunakan senjata rahasia berupa kepingan besi bulat biru mengandung racun mematikan..."

"Itu jelas orang dari selatan..." kata Arwah Ketua sambil mengusap tanduk merah di atas kepalanya yang botak. "Aku harus mengirim seseorang ke selatan untuk menyelidik. Kalau tidak aku sendiri yang akan kesana..."

"Rakanda. sampai saat ini Arwah Hitam Pengawal Malam tidak diketahui dimana beradanya. Juga Arwah Putih Pengawal Siang..."

"Aku punya firasat Arwah Putih sudah menemui ajal. Tunggu saja dalam beberapa hari ini. Kalau bayangan arwahnya muncul di salah satu menara candi menjelang matahari tenggelam, berarti memang pembantuku itu sudah tidak ada lagi di alam nyata ini... Radinda, saatnya kita harus bertindak. Aku benar-benar harus segera berangkat ke Kotaraja..." Namun Arwah ketua kemudian terdiam. Selang beberapa ketika baru berucap lagi. "Kalau aku ke Kotaraja dan kau pergi mencari gadis yang katanya bisa mengobatimu itu, lalu siapa yang menjaga dua bayi di Ruang Enam Dinding Dewa?"

"Rakanda, aku mengusulkan agar kau menemui Raja Jin Hutan Roban. Minta bantuannya untuk mengirim beberapa puluh jin guna bantu mengawal dua bayi..."

Sepasang mata putih bertitik hitam Arwah Ketua mendelik tak berkesip menatap Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Ada apa Rakanda? Mengapa kau menatapku seperti hendak menelanku bulat-bulat?" tanya Ratu Dhika yang merasa aneh melihat cara Arwah Ketua menatapnya. Dalam keadaan seperti itu gadis gemuk ini keluarkan cermin kecil yang selalu dibawanya kemana-mana. Ketika melihat wajahnya di cermin, setengah sesenggukkan dia berkata. "Aduh, jeleknya parasku. Ada noda tiga warna di kening. Aduh bagaimana ini..."

"Radinda, simpan cermin itu. Bukan saatnya untuk bersolek!" tegur Arwah Ketua. "Kau tahu mengapa barusan aku memandangmu seperti itu? Karena jalan pikiranmu benar-benar dapat diandalkan."

"Jangan membuat hidungku tambah besar dan mekar Rakanda..." kata Ratu Dhika sambil senyum dan usap-usap hidungnya yang memang agak besar.

"Radinda, tahu apa yang kini ada dalam benakku setelah mendengar ucapanmu tadi?

Ratu Dhika gelengkan kepala.

"Sudah terlalu lama aku melupakan sahabatku Sangkala Darupadha, Raja Jin Hutan Roban! Dia dan anak buahnya bukan saja bisa dimintakan pertolongan untuk menjaga dua bayi keramat, tapi juga mampu menghadapi ratusan bahkan ribuan pasukan pemberontak. Jika pengkhianatan itu kelak benar-benar terjadi..." Arwah Ketua usap-usap kepala botak bertanduk, lalu mengelus janggut tebal hitam. "Radinda, kau belum menceritakan apakah kau sudah menemui pemuda kekasihmu bernama Sebayang Kaligantha itu."

"Aku memang sudah menemukannya, Rakanda Arwah Ketua. Berdasarkan petunjuk yang diberikan Pangeran Bunga Bangkai alias Nalapraya. Konon mahluk aneh itu berasal dari Kerajaan Tarumanegara di daerah barat. Sebayang ketika kutemui keadaannya sudah setengah mayat Setelah itu dia benar-benar jadi mayat."

Kening Arwah Ketua mengernyit. "Coba kau ceritakan apa yang terjadi dengan pemuda kekasihmu itu," kata Arwah ketua pula.

Wajah Ratu Dhika Gelang Gelang tampak mumng sesaat. Lalu dengan suara perlahan dia mulai bercerita.

10. TAMU DARI JAUH

SEPERTI diriwayatkan dalam episode sebelumnya berjudul Pangeran Bunga Bangkai Ratu Dhika Gelang Gelang menemukan kekasihnya Sebayang Kaligantha di sebuah candi runtuh di satu bukit kapur yang jarang didatangi manusia. Pemuda itu terbujur mengenaskan di atas gundukan batu hanya mengenakan celana. Nafas satu-satu. Dua mata terpejam dan tampak bengkak membiru. Di dadanya kelihatan satu robekan luka sepanjang satu jengkal. Kaki dan tangan pemuda ini diikat dengan rantai sebesar betis yang ujungnya dipendam ke dalam gundukan batu. Pemuda yang dulu gagah dan bertubuh kekar penuh otot itu kini kelihatan seperti mayat, tubuh kurus lunglai tiada daya.

Ratu Dhika hancurkan empat rantai besi yang mengikat dua tangan Sebayang Kaligantha lalu membaringkan pemuda kekasihnya di lantai candi. Dalam keadaan sekarat Sebayang Kaligantha menerangkan beberapa hari sebelumnya tiga orang tidak dikenal mendatangi rumahnya. Dia dibawa ke candi runtuh. Dada dirobek. Mutiara Mahakam, sebuah jimat sakti mandraguna yang didapatnya ketika memasuki alam gaib di bekas Kerajaan Kutai dan tersimpan di rongga dadanya dirampas.

Menurut Sebayang dia mengenali salah seorang pelaku, yaitu orang dari selatan. Namun sebelum sempat menyebutkan nama orang itu dua buah senjata rahasia berbentuk besi bulat pipih bergerigi berwarna biru menderu. Senjata rahasia pertama berhasil dipukul mental oleh Ratu Dhika sementara rahasia kedua tidak dapat ditangkis dan menancap telak di tenggorokan Sebayang Kaligatha. Saat itu juga tubuh pemuda ini berubah biru legam mulai dari leher, kepala dan sebagian dada.

"Waktu itu kucingku Ragil Abang bertingkah aneh." kata Ratu Dhika dalam menuturkan riwayatnya. "Kucing itu lari ke satu arah. Menduga dia akan menunjukkan arah dimana pembunuh Sebayang berada, aku mengejar. Ternyata aku menemui pemuda berkepala aneh itu. Kepalanya berbentuk bunga besar dan busuk. Dia tidak mau memberi tahu nama kecuali mengatanan kalau dia berasal dari Kerajaan Tarumanegara. Belakangan aku mengetahui bahwa dirinya disebut Pangeran Bunga Bangkai. Tadinya aku menduga dialah yang telah membunuh Sebayang, ternyata tidak. Anehnya kucingku Ragil Abang sangat jinak padanya. Dari penuturan mahluk aneh itu aku mengetahui kalau dia adalah ayah dari dua bayi, suami dari Ananthawuri. Sulit diterima akal! Saat ini seperti Rakanda ketahui dia berada di hutan jati dalam keadaan tersesat tidak bisa keluar kemana-mana. Karena kita telah menyirap menenung dia dan dua kawannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Ragil Abang..."

Arwah Ketua tercengang mendengar penuturan Ratu Dhika itu. "Apakah jalan pikiranmu bisa dipercaya Radinda Ratu?"

"Semula aku sulit percaya. Namun ketika Pangeran Bunga Bangkai memberi petunjuk bahwa jenazah Sebayang telah ada yang mengurus dan terbukti benar, hatiku jadi bimbang. Lalu ketika aku menduganya sebagai pembunuh Sebayang dan mengejar ke sebuah goa, ada suara tanpa ujud menegurku..."

"Roh Agung...?"

"Semula aku menduga begitu. Tapi turut apa yang tadi diucapkan kakek bermata salju itu. sekarang aku punya dugaan yang menegurku adalah Arwah Suci."

"Ah. rupanya dialah yang selama ini dipercaya oleh Sang Hyang Dewa Bathara Agung untuk membimbing dan menolong insan di Bhumi Mataram ini. Sementara manusia dan mahluk alam gaib menganggapnya sebagai Roh Agung. Sungguh kita semua harus minta ampun dan maaf pada Roh Agung dan berterima kasih pada Arwah Suci..." Setelah terdiam sesaat Arwah Ketua berkata, "Radinda. kau belum menceritakan apa yang terjadi dengan jenazah Sebayang Kaligantha. Apa kau telah mengurusnya..."

"Rakanda, justru di sini terjadi satu keanehan," Jawab Ratu Dhika pula. "Beberapa sahabat Sebayang Kaligantha mengurus jenazahnya. Melakukan upacara pembakaran di halaman candi. Ketika api mulai berkobar mendadak sosok Sebayang Kaligantha bergerak naik ke atas. Bersamaan dengan itu ada cahaya tiga warna memancar keluar dari tubuhnya. Cahaya melesat ke langit diikuti tubuh Sebayang. Di arah langit tubuh Sebayang meledak. Berubah menjadi kepulan asap dan lenyap..."

"Lagi-lagi cahaya tiga warna! Ini pasti jahanam yang menyebut diri sebagai Sri Maharaja Ke Delapan itu yang punya pekerjaan!" kata Arwah Ketua sambil keluarkan suara mengrombor geram. "Mungkin sekali kekasihmu itu telah menjadi korban penggandaan. Seperti yang terjadi dengan Sri Sikaparwathi..."

"Berarti dia masih hidup. Mungkin hanya tinggal menunggu ajal..." kata Ratu Dhika pula. Sepasang matanya berbinar menahan air mata yang hendak mengucur keluar. "Semoga Para Dewa melindungi, menyelamatkan dan mempertemukan kami kembali..."

"Mudah-mudahan dia masih hidup. Dia pemuda baik. Candi ini dia yang mengurusi. Mudah-mudahan Dewa Agung melindungi dan memanjangkan umurnya..." (Kisah yang dialami Sebayang Kaligantha bisa diikuti lebih lengkap dalam episode sebelumnya berjudul Pangeran Bunga Bangkai)

"Aku bersumpah akan mencari kembali pemuda itu setelah aku berhasil menemui gadis yang berwajah seperti Ananthawuri. Yang lebih penting menentukan kembali azimat Mutiara Mahakam."

"Kau betul Radinda," kata Arwah Ketua pula. "Azimat itu telah disalahgunakan. Kini menjadi pangkal malapetaka bagi Bhumi Mataram." Setelah diam sejenak Arwah Ketua meneruskan ucapan. "Saatnya kita harus melakukan samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit! Kita harus bisa mengetahui siapa adanya mahluk berjubah kuning yang tangannya kau buntungi itu. Kita harus mampu mencari tahu dimana sarangnya. Sekaligus menjajagi siapa adanya keparat yang mengagulkan diri Sri Maharaja Ke Delapan itu. Selesai semadi kau boleh pergi mengejar gadis berwajah mirip Ananthawuri itu. Aku akan mem-bantumu menjajagi keberadaannya. Tapi Radinda, apa salahnya kalau aku coba dulu melenyapkan tanda tiga warna di keningmu. Jika Para Dewa menghendaki dan aku berhasil menolongmu berarti sebagian dari bebanmu sudah bisa dikurangi..."

"Rakanda. aku sangat berterima kasih atas kebaikan hatimu. Tapi apa kau lupa apa yang dikatakan orang tua bermata putih dingin itu. Hanya ada dua orang yang mampu menolong diriku. Yaitu gadis berpakaian putih yang wajahnya mirip Ananthawuri. Satunya lagi Pangeran Bunga Bangkai, yang kini terkurung di dalam hutan jati dan kita dituduh oleh orang tua bermata putih telah menganiaya..."

"Radinda. kau boleh saja percaya pada ucapan orang tua itu. Tapi bagaimanapun juga segala sesuatunya adalah Yang Maha Kuasa yang me-nentukan. Jika aku berniat baik. masakan Para Dewa tidak memperhatikan..."

"Kalau begitu kata Rakanda aku menurut saja. Silahkan Rakanda mulai..."

Ratu Dhika Gelang Gelang lalu duduk bersila di lantai candi. Dua tangan diletakkan di atas paha Mata dipejam dan perlahan-lahan dia menyalurkan hawa sakti ke arah kepala. Saat itu Arwah Ketua telah berlutut di belakangnya. Dua telapak tangan dltekapkan ke kening sampai pelipis kiri kanan Ratu Dhika. Mulut merapal, mata membellak dan seperti yang dilakukan Ratu Dhika, Arwah Ketua juga salurkan tenaga dalam serta hawa sakti ke arah dua tangan yang memegang kepala.

"Sekarang Radinda..." bisik Arwah Ketua.

Dua orang itu sama-sama alirkan tenaga dalam dan hawa sakti penuh.

"Dess! Desss! Desss!"

Tiga kali terdengar suara letupan disusul memancarnya cahaya tiga warna. Bangunan candi bergoyang. Batu-batu di dinding, lantai dan atap berderak. Ada beberapa yang hancur. Saat itu juga Arwah Ketua berteriak keras. Ratu Dhika Gelang Gelang terpekik.

"Wusss!"

Satu gelombang angin luar biasa deras menyambar. Sosok Arwah Ketua terbanting ke belakang, tergeletak menelungkup di lantai candi. Ratu Dhika dalam keadaan terhuyung-huyung cepat berbalik. Kagetnya bukan alang kepalang sampai dia keluarkan beberapa kali jeritan keras.

"Rakanda! Apa yang terjadi dengan dirimu! Sang Kyang Jagat Bathara mengapa bisa jadi begini?!"

Setengah meratap Ratu Dhika jatuhkan diri dan cepat balikkan tubuh Arwah Ketua. Matanya terbeliak begitu menyaksikan keadaan Arwah Ketua. Kembali gadis gemuk ini menjerit Saat itu sosok Arwah Ketua diam tidak bergerak walau hembusan nafasnya masih terasa memerihkan jangat dan mata. Sepasang mata terpejam. Satu hal yang hebat telah terjadi pada Arwah Ketua. Tangan kirinya pindah ke tangan kanan sedang tangan kanan pindah ke tangan kiri. Begitu juga dua kaki saling berubah pindah. Yang kanan ke kiri, yang kiri ke kanan!

"Rakanda! Rakanda!" teriak Ratu Dhika sambi! mengguncang tubuh Arwah Ketua.

Cahaya tiga warna, merah, hitam dan biru, sangat tipis mengepul keluar dari kepala Arwah Ketua. Perlahan-lahan mahluk alam gaib ini nyalangkan kedua mata. "Ratu Dhika... Apa yang terjadi..."

"Tubuhmu Rakanda! Bangun dan lihat keadaan dua tangan serta kakimu!" teriak Ratu Dhika.

Saat itu Arwah Ketua memang merasakan ada aliran aneh dalam tubuhnya. Dengan cepat dia melompat bangun. Tubuhnya huyung berat. Kalau tidak cepat menjaga keseimbangan niscaya dirinya akan tersungkur ke lantai. Begitu melihat dan menyadari keadaan kedua tangan serta kakinya Arwah Ketua langsung menggembor keras. Dia melompat ke kiri. Kaki kanan yang sebenarnya kaki kiri menendang arca besar berbentuk gajah duduk di sudut ruangan namun tendangannya tidak mengenai sasaran. Lewat dua jengkal dari arca. Padahal arca itu hanya dua langkah di hadapannya. Arwah Ketua banting salah satu kaki ke lantai candi hingga lantai yang terbuat dari batu gunung yang sangat keras itu melesak hancur sedalam mata kaki! Keadaan di dalam maupun di luar candi benar-benar telah centang perenang hancur-hancuran.

"Apa yang terjadi dengan diriku! Mengapa bisa begini! Ada orang mengerjai dengan ilmu kesaktiannya! Lihat saja! Aku akan membalas lebih ganas!"

Ratu Dhika meraba keningnya lalu bertanya. "Rakanda, apakah tanda tiga warna di keningku sudah lenyap?!"

"Jahanam! Belum Radinda! Tanda itu masih Ada!"

Pucatlah wujah gemuk Ratu Dhika Gelang Gelang. Arwah Ketua kepalkan dua tinju kepala men-dongak dan suara berucap gemetar ketika berkata, "Wahai Para Dewa. ketika Bhumi Mataram berada dalam ancaman malapetaka besar mengapa pada kami masih dijatuhkan cobaan begini berat!"

"Rakanda, jangan mengumpat. Jangan bicara seperti itu pada Para Dewa. Semua apa yang terjadi ini pasti ada hikmahnya..." Berkata Ratu Dhika walau dirinya sendiri sebenarnya diam-diam juga merasa sangat terpukul.

Rasa kecewa di hati Arwah Ketua agak mengendur sedikit. "Radinda cepat ikut aku. Kita harus melakukan samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit sekarang juga!"

"Tapi bagaimana keadaan dirimu? Kau harus melakukan sesuatu agar dua tangan dan kakimu kembali ke tempat semula! Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk membantu."

"Aku tidak perduli tangan dan kakiku pindah ke pantat sekalipun! Yang penting mencari tahu siapa sumber biang racunnya! Pasti bangsat yang mana! Si pengendali cahaya tiga warna itu! Kalau aku mampu membuat tubuhnya hancur cerai berai pasti keadaan tubuhku dapat kembali seperti semula!"

Arwah Ketua melangkah lebih dulu. Tubuhnya terhuyung ke kiri dan ke kanan. Dari mulutnya keluar kutuk serapah berkepanjangan. Kepala dipukul-pukul! "Lihat saja pembalasanku! Tunggu!" teriaknya.

Walau di samping kiri ada pintu yang menuju ke halaman selatan namun dalam amarahnya Arwah Ketua langsung saja menabrak jebol dinding candi. Sampai di halaman Arwah Ketua berpaling pada Ratu Dhika. "Kau sudah siap?!"

Ratu Dhika anggukkan kepala.

"Letakkan dua telapak tanganmu di punggungku."

Ratu Dhika lakukan apa yang dikatakan Arwah Ketua. Begitu telapak tangan menempel di punggung Arwah Ketua... wuss! Dess! Sosok kedua orang itu amblas masuk ke dalam tanah!

Hanya satu kejapan mata setelah lenyapnya tubuh Arwah Ketua dan Ratu Dhika ke dalam tanah untuk melakukan samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit tiba-tiba seorang tua berpakaian hitam muncul di halaman depan Candi Miring. Kening diikat seutas tali besar berbentuk jalin terbuat dari ijuk. Sambil berjalan ataupun diam berdiri dua telapak tangan selalu digosokan satu sama lain. Walau memelihara rambut putih menjulai. Namun wajahnya bersih kelimis. Di usianya yang hampir mencapai delapan puluh tahun sikap gerak geriknya tampak masih gagah. Sambil menggosok-gosok dua telapak tangan orang tua Ini memandang seputar bangunan candi sebelah depan. Lalu mulut berucap perlahan.

"Aku melihat banyak kerusakan di tempat ini. Apakah ini penyebab tuan rumah tidak muncul menyambut kedatanganku? Sahabatku Arwah Ketua, aku mendengar kau menyebut namaku. Dari jauh aku datang untuk mencari tahu. Tapi gerangan dimana kau berada saat ini?"

Orang tua ini pejamkan mata, kepala dldongakkan. Kembali terdengar suaranya berkata. "Ahh... Ada dua mahluk mungil telah mengisi Ruang Enam Dinding Dewa. Sayang aku punya keterbatasan tidak mampu melihat secara terbuka. Sahabatku Arwah Ketua, kau mampu melihat secara terbuka. Sahabatku Arwah Ketua, kau mungkin tengah melakukan sesuatu atau belum berada di tempat ini. Baiklah, aku akan menunggu. Sementara menunggu perkenankan aku menghibur diri sendiri. Udara di sini terasa sangak dan panas. Perlu sedikit keteduhan..."

Dua telapak tangan berhenti digosokkan. Tangan kanan diangkat ke atas. Saat itu juga tahu-tahu telah tergenggam sebuah seruling terbuat dari bambu. Si orang tua duduk di tangga candi. Seruling ditempelkan ke bibir. Sesaat kemudian terdengar suara alunan tipuan seruling mendayu-dayu merdu sekali. Aneh. udara bukit gersang yang panas perlahan-lahan terasa sejuk. Tiupan angin yang hampir tak pernah menyapu kawasan itu kini mengalun nyaman sepoi-sepoi basah seolah mengikuti alunan suara tiupan seruling.

11.DINDING TAK BERUJUD

KITA tinggalkan dulu Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang yang tengah melakukan Samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit di dalam tanah di halaman selatan Candi Miring serta tamu tidak dikenal yang menyebut diri datang dari jauh dan saat itu tengah duduk di tangga candi sambil meniup seruling.

Mari kita ikuti Resi Garispasthika yang sedang berjalan menuruni bukit bersama Liris Pramawari. Si gadis membawa sang Resi ke pinggiran sebuah hutan jati sebelah timur. "Liris Pramawari. Kita sudah berpisah beberapa hari. Kau tiba-tiba muncul. Berarti kau masih belum menempuh jalan ke Gunung Mahameru. Apa kau lupa tugas yang aku berikan atau sengaja tidak mau melaksanakan?"

"Bukan begitu Kek, eh Paman..."

"Sudah, jangan memanggil aku Paman. Panggil seperti yang sudah-sudah kau lakukan. Panggil aku Kakek..."

"Tapi bukankah kau sudah menganggap diriku sebagai keponakan. Dan kau mengatakan pada banyak orang. Jadi pantas aku memanggilmu Paman bukan...?"

"Seharusnya begitu. Keponakan memanggil paman pada adik ayahnya. Tapi Jika kau memanggilku Paman..." Sepasang mata putih si orang tua tampak seperti mau mencair. Resi Garipasthika cepat tengadahkan kepala. Dua gundukan salju putih yang mulai mencair serta merta menggumpal keras kembali.

"Ada apa Kek... Apakah aku sudah bicara salah padamu?" tanya Liris Pramawari memandang dengan heran.

Si orang tua tersenyum. "Suatu ketika aku akan menceritakan padamu riwayat diriku. Dulu... puluhan tahun silam aku memang punya seorang keponakan. Saat itu usianya sebayamu sekarang ini. Lalu ada manusia jahat membunuhnya. Ketika pertama kali menemuimu, aku merasa keponakanku itu hidup kembali. Dewa sungguh Agung..."

Liris Pramawari cepat-cepat memegang kedua tangan Resi Garipasthika. "Kek. kalau begitu harap maafkan diriku. Aku tidak tahu riwayat masa silammu..." Kata Liris cepat menyambung ucapannya. "Mengenal tugas darimu pasti saya laksanakan, tapi saya masih dalam keadaan bingung..."

"Kalau hidupmu hanya dipenuhi kebingungan, lalu kapan kau akan berbuat kebajikan?"

Liris Pramawari terdiam. Mata menatap dua tangan mulai dari pergelangan sampai ke ujung jari. Dia memperhatikan dan menyadari kalau tangan tidak berkulit dan tidak berdaging itu kini kembali menjalar naik ke arah pertengahan lengan.

Melihat sang keponakan terdiam. Resi Garipasthika jadi kasihan. Dia tahu kalau gadis itu tidak akan melalaikan tugas yang diberikan. Tapi derita beban kehidupannya memang bukan main-main dan sungguh berat Mulai dari kematian ibunya yang dibunuh orang di depan mata kepalanya sendiri. Lalu hukum kutukan Dewa yang dijatuhkan atas diri ayahnya dimana sang ayah kemudian menghilang tidak diketahui alam rimbanya meski sebelum pergi sempat memindahkan seluruh ilmu silat dan ilmu kesaktiannya ke dalam diri Liris Pramawri yang oleh Sebayang Kaligantha kemudian diberi julukan Dewi Tangan Jerangkong.

Gadis malang tapi berhati perkasa ini telah bersedia menanggung dosa kesalahan sang ayah. Ini membawa akibat hukuman jatuh pada dirinya yaitu berupa seluruh tubuh akan berubah menjadi jerangkong jika dia tidak bisa berbuat tiga kebajikan besar dalam dua belas bulan purnama. Sejauh ini dia baru mampu berbuat satu kebajikan besar yaitu ketika menolong Sebayang Kaligatha. (Baca Dewi Tangan Jerangkong)

Dalam rasa haru dan kasihan Resi Garipasthika bertanya sengaja alihkan pembicaraan. "Keponakanku, bagaimana kau bisa mengetahui aku berada di kawasan Candi Miring?"

Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong cabut golok berikut sarungnya yang terbuat dari gading dan sejak diterima diselipkan di balik punggung. "Golok sakti ini Kek. Senjata ini yang membimbing saya ke arahmu..."

Senjata yang berada di tangan Liris Pramawari adalah golok sakti bernama Golok Empat Mulut Penghisap Darah yang beberapa waktu lalu diterimanya dari kakek bermata salju itu. Resi Garipasthika terdiam. Walau saat itu sang surya bersinar terik namun dari hidung serta sepasang matanya yang putih terus saja keluar uap dingin. Dalam hati sang Resi membatin,

"Kalau memang Golok Empat Mulut Penghisap Darah itu yang membimbingnya, berarti gadis ini tidak mengada-ada. Segala sesuatunya seperti sudah dikehendaki Yang Maha Kuasa. Kalau dia tidak menaruh hormat padaku, tidak nanti dia akan mencari diriku. Aku berterima kasih Dewa telah mempertemukanku dengan gadis itu. Meski beban derita dirinya sendiri begitu berat dia masih ingat dan mau melakukan sesuatu untuk kebaikan orang lain."

Kedua orang itu lanjutkan perjalanan kembali. Di satu tempat, di tepi hutan yang sunyi Liris Pramawari berhenti. "Kek, kita sudah sampai di pinggir hutan dimana saya menyaksikan kejadian itu..."

Resi Garipasthika memandang berkeliling dengan sepasang mata putihnya. Lalu berkata, "Sebelumnya aku juga berada di sekitar hutan ini. Ketika mengamankan dua bayi. Aku hanya mampu masuk sejauh tujuh langkah. Setelah itu ada satu kekuatan yang sulit ditembus..."

"Itu yang terjadi dengan diri saya Kek. Saya mendengar suara kucing mengeong di sekitar sini. Suara ada tapi binatangnya tidak kelihatan. Ketika saya hendak masuk ke dalam hutan saya seperti dihalangi oleh tembok kokoh yang tidak kelihatan..."

"Rimba belantara ini telah diselimuti sirap tenung yang dilakukan oleh Arwah Ketua, penguasa di Candi Miring itu. Maksudnya mungkin baik. Namun aku punya dugaan kali ini dia telah mengambil langkah keliru. Aku menyirap kabar ada seorang pemuda aneh bersama dua sahabatnya terkurung di dalam hutan. Pemuda itu mungkin sekali adalah ayahanda dari dua bayi keramat yang ada di Candi Miring. Suara kucing yang kau dengar pasti binatang peliharaan gadis gemuk bernama Ratu Dhika itu. Keponakanku, sekarang ceritakan apa yang telah kau alami di tempat ini…”

Liris Pramawari usap tengkuknya yang mendadak terasa dingin lalu mulai bercerita.

* * * *

KISAH Liris Pramawari...

SUARA ngeongan kucing membuat Liris Pramawari hentikan lari. Karena rimba belantara itu diselimuti kesunyian, suara kucing terdengar jelas sekali. Namun setelah mencari kian kemari dia tidak berhasil menemukan binatang itu.

"Kucing di dalam hutan, terasa agak aneh. Aku ingin mencari binatang itu tapi tugas yang diberikan kakek bermata salju sungguh tugas berat. Perjalananku masih sangat jauh. Aku harus pergi jauh ke timur. Padahal di Bhumi Mataram masalah yang aku hadapi banyak dan berat..."

Liris termangu beberapa saat di pinggir hutan sampai dia mendengar kembali suara ngeongan kucing. Suara itu begitu menghiba seperti hendak memberitahukan sesuatu atau seolah minta pertolongan. Akhirnya Liris Pramawari memutuskan masuk ke dalam hutan. Namun baru menindak satu langkah ke dalam rimba tiba-tiba... braakk! Tubuhnya menabrak sesuatu hingga dia terpental beberapa langkah ke belakang.

"Aneh, apa yang menghalangi? Aku tidak melihat apa-apa!"

Untuk kedua kalinya gadis ini melompat masuk ke dalam hutan. Untuk kedua kalinya pula tubuhnya membentur sesuatu. Kening, hidungnya dan lutut terasa sakit. "Benar-benar aneh..."

Liris Pramawari memandang ke dalam hutan dengan mata terbelalak. Lalu dia melangkah. Dua tangan disapukan dan diketukkan ke depan. Dia menyentuh satu benda tebal. Kemanapun dia meraba dan mengetuk benda tebal itu tetap terasa.

"Dinding penghalang tidak berujud. Tidak bisa dilihat mata... Bagaimana mungkin? Orang sakti mana yang punya pekerjaan? Atau dedemit hutan tengah berpesta hingga orang luar tidak boleh masuk ke dalam hutan?" Si gadis usap-usap tengkuknya yang terasa dingin. Tapi otak masih terus berpikir. "Kucing tadi. Apa binatang itu ada di dalam atau di luar hutan?"

Liris menatap hutan belantara di hadapannya. Coba menebus pandang sampai jauh ke dalam dimana pohon jati tumbuh rapat dan keadaan redup. Karena belum yakin dan masih penasaran gadis ini mundur beberapa langkah. Dua tangan diangkat ke atas, siap melepas pukulan sakti bernama Menabas Tiang Meruntuh Atap yaitu ilmu kesaktian yang didapat dari ayahnya. Dua tangan memancarkan cahaya keputih-putihan bergetar tanda Liris Pramawari mengerahkan seluruh kemampuan tenaga dalam yang dimiliki. Sesaat lagi pukulan sakti akan melesat tiba-tiba di hutan sebelah utara dan selatan terdengar suara ringkikan kuda seperti saling bersahutan.

"Siapa...?" pikir Liris Pramawari yang terpaksa turunkan dua tangan. Batal melepas pukulan sakti. Telinganya yang tajam menangkap satu kejanggalan.

12. PERMAISURI MATARAM BARU

"INI aneh lagi. Ada suara kuda meringkik tapi tidak ada suara tapal kaki mendera tanah! Aku tadi seperti melihat ada sambaran cahaya dari selatan..."

Liris Pramawari mengambil putusan cepat dan tepat. Gadis ini melesat ke atas satu pohon jati besar, berpijak di atas cabang paling tinggi, mendekam di balik daun-daun jati yang lebar dan lebat.

Tidak menunggu lama, dari arah kiri, dari jurusan dimana terletak bukit gersang, berkelebat satu bayangan kuning. Di bawah pohon kemudian tampak seorang berdestar dan berjubah kuning berdiri sambil memegang buntungan tangan yang ternyata adalah tangan kanannya sendiri. Orang ini memiliki hanya satu alis, yaitu di atas mata kiri, panjang menjulal sampai ke pipi. Di bahu si jubah kuning memanggul seorang perempuan berambut tergerai lepas yang wajahnya tidak bisa dilihat oleh Liris Pramawari. Orang ini bukan lain ialah Panglima Pawang Sela. Perempuan yang dipanggulnya adalah Ananthawuri yang beberapa saat lalu diculiknya dari Candi Miring.

Liris memperhatikan ke arah kanan. Tadi ada suara meringkik dari jurusan itu namun mengapa tidak ada orang atau binatang atau mahluk lain yang muncul? Mata dibesarkan, telinga dipasang tajam-tajam. Di pinggir hutan Pawang Sela mencari pohon jati kering tidak bercabang dan tidak berdaun.

"Apakah aku datang ke tempat yang salah? Aku tidak melihat pohon jati yang dikatakan Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan."

Baru saja Pawang Sela membatin mendadak ada suara mengiang. "Panglima, aku ada di sini."

Pawang Sela cepat menoleh ke pinggiran hutan sebelah kiri. Di situ semua pohon jati tumbuh bercabang dan berdaun lebat. Namun tiba-tiba dia melihat ada satu pohon jati tinggi besar, berkulit kering, tidak memiliki cabang maupun ranting apa lagi daun. Sekilas tampak ada cahaya tiga warna memancar di batang pohon lalu lenyap. Dengan cepat Pawang Sela melompat ke hadapan pohon, membungkuk dalam-dalam sambil berkata, "Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan, saya sudah berada di hadapanmu. Mohon maafmu, tadi saya tidak melihat pohon jati ini..."

"Aku sengaja tadi menutup pandanganmu karena ketika menuju ke sini aku mencium bau manusia lain di sekitar rimba belantara ini. Apakah ada orang yang mengikutimu Panglima?" Suara yang bicara seolah datang dari dalam batang jati kering.

"Saya yakin tidak..."

"Lalu mengapa aku masih mencium bau manusia di sekitar sini?"

Liris Pramawari mengatur napas demikian rupa agar jangan sampai terdengar, karena dia kini tahu orang-orang berkepandaian luar biasa tinggi di bawah sana. Satu masih belum kelihatan ujudnya yaitu yang disapa dengan panggilan Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan. Saat itu karena terlindung oleh dedaunan Liris Pramawari tidak melihat bayangan cahaya tiga warna di batang pohon jati kering tak bercabang dan tidak berdaun.

"Kalau begitu izinkan saya menyelidik. Atau mungkin bau manusia yang Junjungan cium adalah perempuan yang ada di atas panggulan saya saat ini?"

"Perempuan yang kau bawa berbau harum bunga melati. Yang aku cium baunya lain..."

"Junjungan mengizinkan saya melakukan penyelidikan?"

"Tidak perlu. Waktuku tidak lama. Mungkin saja bau yang aku cium berasal dari beberapa manusia yang terkurung di dalam rimba belantara. Bukankah ada mahluk yang mempergunakan ilmu kepandaian untuk menyesatkan orang lain hingga terkurung di dalam rimba?"

"Saya mendengar hal itu Junjungan. Saya tahu siapa pelakunya yaitu Arwah Ketua Penguasa Candi Miring. Tapi saya tidak tahu siapa yang terkurung di dalam rimba..."

"Nanti kau harus menyelidik. Kalau bisa kita keluarkan siapa tahu mereka bisa kita jadikan mahluk Tuman Keku. Sekarang untuk sementara lupakan orang-orang itu. Panglima, aku melihat keadaanmu sangat menyedihkan..."

"Mohon maafmu wahai Junjungan. Saya berhasil menembus Candi Miring namun tidak mampu mendapatkan dua bayi. Saya kehilangan tangan kanan..."

"Aku tahu. Pembalasan dan hukuman akan segera jatuh pada perempuan gemuk bernama Ratu Dhika Gelang Gelang yang telah mencelakai dirimu. Tapi aku lebih dulu akan memanfaatkan ilmu kesaktiannya. Sampai saat ini kita belum punya mahluk Tuman Keku betina. Ha... ha... ha!"

Mahluk di dalam pohon kering tertawa. Panglima Pawang Sela juga tertawa tapi tidak berani keras-keras.

"Panglima, buntungan tanganmu itu, kau sudah menyelamatkannya. Tak ada orang yang bisa menjajagi keberadaanmu. Tapi aku tidak terlalu yakin. Sekarang kau tidak memerlukan lagi buntungan tangan itu..."

"Saya mohon petunjuk Junjungan. Apakah tangan ini tidak bisa disambung lagi?"

"Cakar besi yang merenggut putus tanganmu mengandung racun jahat Racun Liang Sungsum. Kalau kutungan tangan disambung, racun akan mengalir kembali dalam aliran darahmu dan masuk ke dalam sungsum. Kau akan menemui ajal dalam waktu dua hari. Kalau saja aku punya ilmu penawar racun itu..."

"Saya mengerti," jawab Panglima Pawang Sela pula. Lalu tidak menunggu lebih lama Panglima Pawang Sela bantingkan buntungan tangan ke tanah hingga amblas.

"Pawang Sela, kau pembantuku yang sangat berbakti. Walau tanganmu kini cuma satu, aku akan menambahkan kadar cahaya tiga warna dalam tubuhmu hingga ilmu kesaktianmu berlipat ganda."

"Terima kasih Junjungan," kata Panglima Pawang Sela sambll membungkuk. Lalu dia menatap ke arah pohon dan berkata. "Junjungan, saya berhasil menculik ibu dari dua bayi keramat itu."

"Itu. pekerjaan hebat! Aku sudah melihat. Bukankah namanya Ananthawuri. Menurut apa yang tersurat di Empat Gading Bersurat, dia adalah gadis pilihan Para Dewa. Dia akan tetap perawan meskipun telah melahirkan dua bayi."

"Saya mohon petunjuk, apa yang akan saya lakukan dengan gadis ini..."

"Serahkan padaku." kata suara di dalam pohon. "Bukankah seorang Sri Maharaja memerlukan seorang calon Permaisuri?"

Panglima Pawang Sela terkesiap mendengar ucapan mahluk di dalam pohon jati. Dalam hati dia membatin. "Bagaimana mungkin. Dua bayinya mau dibunuh, ibunya mau dijadikan Permaisuri..."

13. KEBAJIKAN KEDUA

MATA baja putih berkilau Sri Maharaja Ke Delapan menatap Pawang Sela. "Panglima, apa yang ada di benakmu?!"

Panglima Pawang Sela tersentak mendengar teguran itu. Apakah dia tahu apa yang barusan aku ucapkan dalam hati?" pikir Pawang Sela. Cepat-cepat Panglima dari Kerajaan Mataram Baru ini membungkuk berulang-ulang. "Dewa Agung. Wahai Junjungan, saya tidak sadar kalau saat ini saya tengah membawa calon Permaisuri Kerajaan Mataram Baru..."

Di atas pohon dengan hati-hati Liris Pramawari menyibakkan daun jati agar bisa melihat ke bawah lebih jelas. "Permaisuri...? Mahluk sakti itu hendak menjadikan Ananthawuri sebagai Perrhalsuri? Sang Hyang Jagad Bathara. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri ini. Apa pula yang akan terjadi kemudian...?"

"Panglima, lebih mendekatlah ke pohon. Aku segera akan mengambil gadis itu." Sri Maharaja Ke Delapan berkata.

Dengan cepat Panglima Pawang Sela melangkah lebih dekat ke arah pohon jati kering lalu berlutut satu kaki di tanah hingga tubuh dipanggulnya akan lebih mudah untuk diambil. Cahaya tiga warna yang ada di batang pohon berpijar terang lalu lenyap. Sekali ini Liris Pramawari sempat melihat keberadaan cahaya tiga warna itu.

"Cahaya tiga warna..." desis Liris Pramawari dengari bibir bergetar. "Berarti... apakah dia pemiliknya? Mungkinkah dia sang pengendali yang pernah mencelakai pemuda bernama Sebayang Kaligatha itu...?"

Begitu cahaya lenyap sebagai gantinya dari dalam pohon keluar satu sosok lelaki. Rambut, wajah, sekujur tubuh serta pakaian yang dikenakannya memancarkan cahaya berkilat seolah dilapisi sejenis logam putih berkilau. Bahkan dua bola matapun putih, mengingatkan Liris Pramawari pada Resi Garipasthika. Mahluk aneh ini mengenakan sebuah mahkota kecil yang juga berwarna putih dan lebih menyilaukan dibanding warna putih yang melapisi tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki termasuk pakaian ringkas yang dikenakannya.

"Manusia baja putih...?" ucap Liris Pramawari dalam hati penuh tanda tanya. "Seumur hidup baru sekali ini aku melihat mahluk seperti ini. Apakah dia manusia atau mahluk dari alam gaib atau bagaimana? Jadi inilah ujud Sri Maharaja Ke Delapan yang selama ini disebut-sebut keberadaannya di Bhumi Mataram. Tidak berkumis tidak berjanggut. Lapisan putih berkilat di wajahnya membuat sulit menduga apakah dia masih muda atau sudah tua renta."

Mahluk yang disebut sebagai mahluk baja oleh Liris Pramawari, menyembul keluar dan dalam batang pohon sampai sejarak satu langkah. Dua tangan diulurkan untuk mengambil sosok Ananthawuri dari atas bahu Panglima Pawang Sela. Pada saat Ananthawuri berpindah ke dalam gendongan Sri Maharaja Ke Delapan dengan tubuh tertelentang, rambut yang menjulal tersibak, wajah yang tadi tertutup rambut kini tersingkap. Begitu Liris Pramawari memperhatikan wajah gadis itu, kejutnya bunga alang kepalang. Untung saja dia bisa cepat menguasai diri hingga tidak mengeluarkan seruan bertahan.

"Dewa Jagat Bhatara! Tidak salah mataku melihat? Wajah gadis itu mengapa sangat mirip dengan parasku? Tidak heran kalau Arwah Ketua di Candi Miring mengira aku ibu dua bayi itu..."

Sri Maharaja Ke Delapan tatap sesaat wajah Ananthawuri yang berada dalam keadaan tidak sadar karena sebelumnya telah ditotok oleh Pawang Sela. Dua mata putih Sri Maharaja Ke Delapan berpijar terang. "Cantik sekali. Penuh kesucian dan ketulusan. Gadis bernama Ananthawuri. tidak salah kalau Para Dewa mengambilmu sebagai gadis pilihan. Tidak salah kalau aku Sri Maharaja Ke Delapan Kerajaan Mataram Baru mengambilmu menjadi Permaisuri. Aku sungguh berbahagia..."

Sri Maharaja Ke Delapan menatap pada Pawang Sela. Sang Panglima cepat berdiri dari berlutut dan berkata, "Junjungan, kebahagiaanmu menjadi kebahagiaan saya juga."

"Panglima, aku akan membawa Permaisuriku ini ke lapisan bumi ke tiga. Otaknya perlu dicuci terlebih dulu. Aku menunggumu di sana. Namun sebelumnya kau harus memeriksa tempat pemusatan Tuman Keku dan Tuman Kean. Juga temui Arwah Hitam Pengawal Malam. Periksa apakah dia telah melakukan tugas seperti yang kita kehendaki. Bila keadaan sudah cukup matang, dalam keadaan hari di muka aku akan mengambil keputusan kapan kita melakukan penyerbuan..."

Di atas pohon kening Liris Pramawari mengernyit. "Tuman Keku, Tuman Kean... Mahluk apa itu? Penyerbuan...? Penyerbuan kemana? Siapa yang hendak diserbu. Memangnya ada pasukan..."

"Perintah Junjungan akan saya laksanakan," jawab Panglima Pawang Sela. "Sebelum berpisah ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Maaf kalau perilaku saya dianggap lancang. Junjungan, kita sudah menguasai perempuan gemuk bernama Ratu Dhika Gelang Gelang. Apakah kita juga sudah bisa menjajagi siapa adanya orang yang menyelamatkan dua bayi dari dalam Peti Dewa? Saya menduga ilmu kesaktian orang itu jauh lebih tinggi dari Ratu Dhika. Bahkan tidak berada di bawah Arwah Ketua..."

Muka bertapis baja putih Sri maharaja Ke Delapan sungglngkan senyum. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan manusia satu itu Panglima Pawang Sela. Dia aku ketahui adalah seorang Resi bernama Garipasthika. Sebelum hari penyerbuan dia sudah berada di pihak kita. Aku tahu apa yang menjadi kelemahannya."

Pawang Sela membungkuk. "Syukurlah kalau begitu wahai Junjungan."

Sri Maharaja Ke Delapan anggukkan kepala. Dia melangkah mundur. Sosok anehnya bersama Ananthawuri yang didukungnya masuk ke dalam batang pohon jati dan sirna dari pemandangan. Cahaya tiga warna yang ada di pohon itu memancar terang lalu lenyap.

Di atas pohon Liris Pramawari mengusap wajahnya yang keringatan berulang kali. "Sri Maharaja Ke Delapan. Rencana penyerbuan...? Gadis itu hendak dijadikan permaisuri. Lebih dulu dicuci otaknya. Tuman Keku dan Tuman Kean... mahluk apa itu? Lalu kakekku itu hendak mereka apakan? Resi itu dalam bahaya. Bagaimana ini? Aku harus membatalkan niat meneruskan perjalanan membawa golok sakti ke Gunung Mahameru. Aku harus mencari orang tua itu. Tapi dia berada dimana...?"

Tiba-tiba golok sakti bersarung gading yang terselip di punggung Liris Pramawari bergetar lalu melesat keluar. Di udara senjata sakti ini berputar tiga kali sebelum diam mengepung dengan ujung golok memancarkan sinar aneh dan menunjuk ke arah selatan. Liris Pramawari yang berotak tajam maklum apa arti kejadian ini.

"Senjata sakti, terima kasih. Kau telah memberi petunjuk arah dimana aku bisa menemukan orang tua bermata salju itu..."

Liris Pramawari cepat mengambil golok sakti yang mengapung di udara dan memasukkannya ke balik punggung jubah putih. Tak lama setelah dilihatnya Panglima Pawang Sela meninggalkan tempat itu maka diapun melompat t urun dari atas pohon jati. berlari secepat angin ke arah selatan. Mengikuti petunjuk golok sakti ke arah dimana beradanya Resi Garipasthika. Ketika dia sampai di kaki bukit gersang dimana Candi Minng terletak. Liris melihat Resi Garipasthika tengah menyerahkan dua bayi pada seseorang perempuan gemuk mengenakan kemben merah.

"Rupanya pamanku itu ada urusan dengan orang-orang Candi Miring. Sebaiknya aku tidak mengganggu. Biar aku menunggu di balik batu besar sana..."

Tak lama setelah Liris duduk di balik batu besar di kaki bukit tiba-tiba Arwah Ketua muncul, langsung mencekal leher pakaiannya. Belum sempat gadis ini berpikir apakah dia akan melawan atau diam saja, tahu-tahu dia sudah sampai di atas bukit.

* * * *

"KEK, begitu kejadian yang aku alami. Kalau saya telah bertindak salah tidak meneruskan perjalanan tapi malah berbalik mencarimu, saya mohon maaf." Berkata Liris Pramawan begitu selesai menuturkan apa yang dialaminya di hutan jati.

"Tidak, kau tidak melakukan kesalahan. Apa yang kau perbuat yaitu mencariku adalah satu tindakan yang sangat benar. Bhumi Mataram, semua tokoh baik di Kerajaan ini tengah menghadapi satu perkara besar. Kebanyakan dari mereka tidak mengetahui atau tidak menyadari. Kau datang padaku, memberi tahu berarti merupakan satu kebajikan. Apakah kau tidak menyadari...?"

"Apa maksudmu Kek?"

Resi Garipasthika tersenyum. Dua tangan diulurkan memegang tangan si gadis. Lalu dua tangan diangkat, didekatkan ke mata Liris.

"Kau lihat sendiri..."

Liris Pramawari membuka matanya lebar-lebar. Dua tangan yang sebelumnya mengelupas tidak berkulit tidak berdaging sampai sebatas lengan kini tampak pulih utuh sampai ke ujung kuku. Liris Pramawari terpekik gembira langsung memeluk si orang tua sambil menyebut Yang Maha Kuasa berulang-ulang.

"Kek. Saya merasa tidak berbuat kebajikan apa-apa..."

Resi Pramawari elus punggung si gadis. "Kau merasa begitu tapi Para Dewa lebih mengetahui dan selalu berlaku adil. Apa yang telah kau lakukan, yaitu mencariku dan menceritakan apa yang terjadi di hutan jati merupakan satu kebajikan besar. Karena dengan cara itu kau telah memberi tahu bahwa Bhumi Mataram tengah menghadapi satu perkara bahaya sangat besar. Kau telah membantu usaha menyelamatkan Kerajaan. Kini menjadi kewajibanku dan para tokoh baik di Mataram untuk mengambil tindakan. Kalau saja Arwah Ketua mau bersikap bersahabat dengan diriku, sebenarnya aku dan dia bisa bekerjasama bahu membahu menyelamatkan Kerajaan. Sayang... sayang sekali. Dia justru curiga padaku. Dia hanya menurutkan kata hati sendiri. Pikiran yang jernih terkadang tidak dipakai, dilupakan begitu saja. Sayang, padahal aku tahu dia mahluk baik."

Resi Garipasthika lepaskan pelukan dua tangan si gadis lalu berkata, "Liris kalau tidak salah aku mengingat riwayat dirimu, berarti sampai saat ini kau sudah berbuat dua kebajikan besar. Kau masih harus melakukan satu kebajikan besar lagi hingga hukuman Dewa hapus atas dirimu..."

"Kek, saya tidak mengkhawatirkan diri saya. Saat ini saya sembuh. Saya berterima kasih pada Para Dewa dan dirimu. Saya tahu, dalam beberapa hari di muka tangan saya kembali akan mengelupas lagi. Kek, saya saat ini yang saya khawatirkan justru adalah dirimu. Ingat ucapan orang bertubuh baja putih itu. Dia tahu keadaan dirimu. Termasuk kelemahanmu. Mereka hendak mencelakanmu Kek. Mereka juga hendak mengerjai Ratu Dhika."

"Aku tahu. Mereka hendak mencelakai semua orang yang tidak sehaluan dengan mereka, apalagi yang dianggap bisa menghalangi rencana keji mereka. Termasuk dua bayi suci keramat yang tidak tahu apa-apa itu. Mahluk baja putih itu. yang dipanggil Sri Maharaja Ke Delapan, dia biang keladi semua perbuatan dan rencana jahat ini. Dia juga yang menjadi penguasa dan pemilik ilmu yang memancarkan cahaya tiga warna. Kita harus bisa menghancurkan sumber ilmunya. Tapi yang harus dilakukan lebih dulu adalah mencari tahu dimana sarang kediamannya."

"Saya mendengar dia menyebut satu tempat di lapisan bumi ke tiga..."

"Lapisan bumi terlalu luas. Tidak mungkin mencarinya tanpa kepastian letak keberadaannya. Jika saja Arwah Ketua mau kuajak bekerja sama dia bisa melesat masuk ke dalam bumi. Mencari tahu."

"Bagaimana kalau kita menemui Arwah Ketua kembali di Candi Miring..."

"Aku tengah memikirkan hal itu. Hanya saja aku lebih banyak khawatir dari pada mengharap..." jawab Resi Garipasthika yang rupanya sudah tahu betul seluk beluk sifat peradatan Arwah Ketua.

"Mereka juga saya dengar menyebut Tuman Keku dan Tuman Kean. Kau tahu mahluk apa itu Kek?" bertanya Liris.

"Kau pernah diserang mahluk bertubuh manusia berkepala anjing. Benar?"

"Benar Kek"

"Setahuku itulah mahluk bernama Tuman Kean. Tubuh manusia Kepala Anjing. Ada yang menciptakan untuk satu keperluan besar. Jangan-jangan ini ada sangkut pautnya sama Sri Maharaja ke Delapan. Kalau Tuman Keku, aku masih belum paham. Rasanya manusia juga tapi berkepala binatang. Entah apa. Dalam waktu tidak lama kita pasti akan mengetahui."

"Kek. sebelum orang yang menculik Ananthawuri dan mahluk aneh putih itu muncul, saya mendengar ada suara seperti kuda meringkik..." Memberi tahu Liris Pramawari.

"Kalau begitu Tuman Keku bisa saja berarti Tumbuh Manusia Kepala Kuda."

Liris tercengang lalu bertanya lagi. "Kek, mengapa mahluk berlapis baja putih menyebut diri dan dipanggil Sri Maharaja Ke Delapan. Sungguh sangat takabur..."

Resi Garipasthika menatap ke langit bersih di atas hutan jati. "Itu yang sejak beberapa waktu lalu menjadi tanda tanya dalam diriku. Saat ini dengan petunjuk Dewa Agung, setelah mendengar penuturanmu, aku sudah bisa meraba. Raja yang memerintah di Mataram sekarang ini adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Merupakan Sri Maharaja ke tujuh dalam jajaran Raja-raja Kerajaan Mataram. Mahluk baja putih itu bermimpi akan menjadi pengganti pada urutan Sri Maharaja Ke Delapan dengan cara merampas tahta. Melakukan penyerbuan... Mereka pasti akan menyerbu Kotaraja..."

"Kalau begitu apa yang harus kita lakukan Kek? Apakah saya harus kembali menempuh jalan ke Gunung Mahameru untuk menyerahkan golok sakti pada Resi Pewaris di sana?"

"Keponakanku, untuk sementara tugas itu bisa kau tunda dulu. Yang harus kau lakukan saat ini adalah mencari kucing yang kau dengar suara mengeongnya tadi sebelum dua mahluk aneh itu muncul di pinggiran hutan..."

"Kucing? Untuk apa di cari Kek?"

"Binatang itu bisa membantu kita melebur tenung yang menyirap beberapa orang yang ada di dalam rimba belantara. Mereka orang-orang pandai. Kita perlu bantuan mereka untuk menyelamatkan Kerajaan sebelum mereka di masukan ke dalam kelompoknya oleh Sri Maharaja Ke Delapan. Tapi tindakan itu agaknya harus tertunda beberapa waktu. Aku punya firasat Arwah Ketua dan perempuan gemuk yang bernama Ratu Dhika tengah melakukan sesuatu yang sakral di Candi Miring. Kita tidak boleh mengganggu mereka..."

"Kalau itu perintah darimu. Akan saya lakukan Kek. Lalu Kakek sendiri mau melakukan apa atau mau ke mana?"

Resi Garipasthika tidak menjawab. Dia menyerahkan tongkat yang ada lapisan putih dan mengepulkan hawa dingin pada Liris Pramawari. Walau merasa heran si gadis menerima juga tongkat itu dan memegangnya di tangan kanan.

"Kek, dulu kau menyerahkan golok sakti padaku. Lalu minta digendong, sekarang kau menyerahkan tongkat sakti. Apakah sekarang kau juga mau minta digendong?"

Si Mata Salju tertawa. Belum lenyap gema tawa itu, tubuhnya berubah menjadi asap putih dingin, lalu lenyap masuk ke dalam tongkat. "Aku malas berjalan, apalagi lari. Kau saja yang membawa aku kemana-mana..." Terdengar suara Sang Resi dari dalam tongkat.

Begitu si orang tua sakti masuk ke dalam tongkat langsung saja tangan dan bahu kanan Liris Pramawari tertarik miring karena tongkat itu serta merta menjadi sangat berat hingga dua kakinya tertekuk dan akhirnya jatuh terduduk di tanah. Liris Pramawari kerahkan tenaga luar dalam, berusaha berdiri sambil mengangkat tongkat. Tapi sampai tubuhnya keluar keringat dan rahang menggembung dia tidak mampu melakukan. Malah kembali jatuh terduduk di tanah! Karena kehabisan akal gadis ini akhirnya duduk menjelepok lalu tertawa geli.

"Keponakanku, mengapa kau tertawa? Anak perawan tidak baik tertawa di hutan belantara. Apa kau mau menyuruh datang semua dedemit hutan..." Keluar suara dari dalam tongkat.

"Ih... jangan bicara membuat aku takut Kek."

"Lalu apa tongkatku berlaku nakal menggelitikmu?"

"Kek tongkatmu tidak nakal. Tapi tongkat ini kenapa jadi berat begini. Aku tidak mampu mengangkatnya!" jawab Liris Pramawuri.

"Oala... Padahal sudah satu minggu ini aku puasa! Ah. pasti tua bangka ini masih banyak dosa! Ha...ha... ha!" Terdengar suara sang resi dari dalam tongkat disusul suara tawa. "Sekarang coba kau angkat lagi. Apa masih berat?!"

Liris mencoba. Dia jadi terkejut sendiri. Tongkat putih mengepulkan hawa dingin itu mendadak bukan saja berubah sangat ringan. Tapi juga menariknya ke depan hingga untuk mengikuti dia terpaksa harus berlari cepat, makin cepat dan tidak terasa dia sudah dua kali mengelilingi rimba belantara hutan jati di kaki bukit itu!

"Meong..." Sekonyong-konyong terdengar suara kucing mengeong!

14. MENJEJAK BUMI MENERAWANG LANGIT

ILMU Menjejak Bumi Menerawang Langit pada masa itu hanya dimiliki oleh Arwah Ketua. Dengan ilmu ini, berdasarkan bagian tubuh atau pakaian dari seseorang bisa dijajagi dimana beradanya orang bersangkutan dan dalam waktu beberapa kejapan mata saja bisa didatangi sekalipun orang itu berada di dalam perut bumi, di goa batu di dalam gunung atau di dasar laut.

Konon ketika pada mulanya Arwah Ketua memohon untuk mendapatkan ilmu tersebut yang dilakukan melalui doa dan tapa semedi. Para Dewa tidak mengabulkan. Arwah Ketua kemudian melakukan samadi alam terbuka di satu bukit di Gurun Pasir Dieng. Tanpa pakaian selembarpun Arwah Ketua melakukan semadi. Siang kepanasan membuat tubuhnya seolah leleh oleh terik panas sinar matahari sedang malam kedinginan laksana dikubur di dalam gundukan es!

Setelah memasuki hari ke empat puluh dimana keadaan Arwah Ketua tidak lebih dari jerangkong hidup dan siap sekarat, berkat keteguhan hati serta niat bahwa ilmu kesaktian itu hanya akan dipergunakan untuk kebaikan maka Para Dewa akhirnya mengabulkan tapa samadi Arwah Ketua. Kepadanya diberikan ilmu sakti mandraguna bernama Menjejak Bumi Menerawang Langit.

Ratu Gelang Gelang yang sejak tadi berdiam diri meletakkan dua tangan di depan mata. Tapi dia tidak melihat apa-apa. Semua serba gelap gulita. Dia merasa seperti berada dalam satu liang yang sempit. Ketika tangan disapukan ke kiri dan ke kanan dia menyentuh tanah lembab!

"Rakanda, kita berada dimana?" bisik Ratu Dhika yang dia tahu berada di sampingnya tapi tidak dapat melihat sosoknya.

"Kita sudah di dalam tanah. Jangan ada rasa khawatir. Bernafas seperti biasa. Kita akan segera mulai bertapa, memohon pertolongan Dewa Agung. Waktu kita tidak lama. Sebelum matahari mencapai titik tertingginya di luar sana, tapa kita harus sudah selesai. Sekarang ulurkan tanganmu ke samping. Jika kau menyentuh bahuku, bergeraklah. Pindah ke sebelah belakang. Dua telapak tanganmu letakkan di punggungku. Alirkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang kau miliki ke tubuhku. Kosongkan pikiran. Pada saat samadi berlangsung, kedua mataku akan menjadi buta. Maka matamu jangan sekali-kali dipejamkan karena kau yang akan melihat pertanda yang akan diberikan oleh alam gaib."

Ratu Dhika Gelang Gelang lakukan apa yang dikatakan Arwah Ketua. Ketika tangan kanan diulurkan ke samping, dia menyentuh bahu Arwah Ketua. Lalu dengan cepat dia bergeser duduk bersila di sebelah belakang, dua tangan ditempelkan di punggung Arwah Ketua.

"Radinda, selama samadi berlangsung kau tidak boleh mengeluarkan suara sedikitpun. Kecuali jika kau bertanya atau kau telah melihat sesuatu maka kau harus memberi tahu kepadaku..."

"Aku mengerti Rakanda," bisik Ratu Dhika Gelang Gelang. Suaranya masih menyatakan ada ketegangan dalam dirinya.

Dari kepalan tangan kirinya Arwah Ketua menebar segenggam tanah bercampur darah yang berasal dari luka buntungan tangan kanan Panglima Pawang Sela. "Kita mulai!" bisik Arwah Ketua. Maka saat itu juga meski kedua mata nyalang namun seandainya ada sinar terang di hadapannya dia tidak akan mampu melihat.

Di luar, sang surya perlahan-lahan bergerak mendekati titik tertinggi di pertengahan siang. Di dalam liang tanah Arwah Ketua dan Ratu Dhika sama-sama mandi keringat. Satu-satunya suara yang terdengar adalah hembusan napas mereka. Sepeminuman teh berlalu. Tiba-tiba ada getaran di empat dinding, lantai dan bagian atas liang tanah. Lalu Ratu Dhika melihat ada satu titik kecil berwarna hitam di kejauhan. Perlahan-lahan titik ini bergerak mendekat dan saat demi saat berubah besar.

Pada waktu mencapai seukuran kepalan titik hitam bergerak melebar membentuk tabir empat persegi. Di kehitaman tabir tiba-tiba muncul sebatang pohon jati kering, tinggi besar namun tidak bercabang dan tidak beranting, juga tidak memiliki daun selembarpun. Dari getaran telapak tangan Ratu Dhika yang menempel di punggungnya Arwah Ketua maklum kalau gadis gemuk itu telah melihat sesuatu.

"Katakan apa yang kau lihat..." ucap Arwah Ketua yang dari suaranya jelas dia juga tidak mampu menekan rasa tegang.

"Aku melihat pohon jati besar. Tinggi tak bercabang, tidak ada daun..."

"Hanya pohon?" tanya Arwah Ketua.

"Betul, hanya pohon."

"Aneh... kau sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti?"

"Nyawaku sudah seperti mau putus..." jawab Ratu Dhika.

"Apa yang terjadi...? Mungkin ada satu kekuatan dahsyat melindungi manusia berjubah kuning itu hingga dia tidak muncul dalam tabir samadi..." Arwah Ketua berpikir keras. Dia ingat sesuatu, "Radinda Ratu. coba kau perhatikan lagi. Beri tahu jika ada perubahan yang kau lihat."

Setelah berkata begitu Arwah Ketua ulurkan tangan kiri yang kini berada di sebelah kanan tubuhnya. Di dalam gelap dia kumpulkan kembali tanah mengandung darah yang tadi ditebar. Begitu digenggam tanah dalam genggaman memancarkan cahaya redup. Saat itu juga di sebelah belakang Ratu Dhika membuka mulut,

"Rakanda. aku melihat ada cahaya tiga warna pada batang pohon Jati kering..."

"Jangan berkesip... Kita hampir dapat menjajagi manusia berjubah kuning itu. Wahai Dewa Agung, tolong kami..." ucap Arwah Ketua.

Sesaat kemudian Ratu Dhika tiba-tiba melihat seorang berjubah kuning bertangan buntung yang memanggul seorang perempuan berambut panjang di bahu kirinya. "Aku melihat orang berjubah kuning itu. Orang yang mengaku Panglima Pawang Sela utusan Sri Maharaja Ke Delapan. Dia berdiri di depan pohon. Dia seperti bicara dengan seseorang. Tapi lawan bicaranya tidak kelihatan... Juga tidak terdengar suaranya. Aku hanya melihat sebentuk cahaya putih menyilaukan dari arah pohon jati. Di bahunya aku jelas melihat Ananthawuri yang diculik dari candi."

Tubuh Arwah Ketua bergetar. "Orang yang bicara dengan si jubah kuning itu pasti memiliki kekuatan dahsyat atau dilindungi oleh cahaya tiga warna hingga kau tidak mampu melihat dan mendengar suaranya. Perhatikan dan dengar baik-baik setiap ucapan Pawang Sela..."

"Orang itu memanggil lawan bicaranya dengan kata-kata Junjungan, Sri Maharaja Ke Delapan..."

"Dewa Jagat Bhatara! Dia rupanya."

"Rakanda, si jubah kuning menyerahkan Ananthawuri pada orang yang tidak kelihatan..."

"Radinda, kau tahu dimana kira-kira mereka berada? Kau mengenali keadaan sekitar pohon Jati?"

"Setahuku hutan jati terdekat ada di selatan kaki bukit"

"Benar, kita akan segera keluar dari dalam tanah. Aku akan memasuki alam gaib dan melesat ke kawasan hutan jati. Kau cepat mencari gadis berpakaian putih yang wajahnya mirip Anantha-wuri..."

"Aku sudah tidak sabar cepat-cepat keluar dari sini. Apakah samadi kita sudah selesai Rakanda. Olala... tunggu...!"

"Ada apa Radinda Ratu?"

"Aku... aku melihat diriku dalam tabir hitam itu. Cahaya tiga warna di keningku memancar terang Rakanda. kepalaku mendadak sakit sekali. Seperti mau pecah..."

"Ada orang hendak mencelakai dirimu..."

"Rakanda.. aku melihat mahluk aneh. Sekujur tubuhnya diselubungi benda putih berkilat seperti timah, mungkin baja. Ada mahkota berkilau di atas kepalanya. Mahluk ini mengulurkan tangan menarik tanganku. Rakanda aku... Tubuhku tertarik...!"

"Dewa Jagat Bathara! Radinda. orang hendak mengambil dirimu dari jauh. Kau harus cepat keluar dari sini. Ambil ini cepat telan!"

Arwah Ketua seperti mencongkel sesuatu dari dalam dadanya lalu benda bercahaya hijau bergemerlap ini dimasukkan ke dalam mulut Ratu Dhika Gelang Gelang yang saat itu menghuyung ke kanan seperti ditarik orang. "Telan!"

"Rakanda kau memberikan batu Asmasewu padaku?" Ratu Dhika tidak percaya.

"Saat ini hanya batu sakti ini yang bisa kuberikan untuk menyelamatkan dirimu. Lekas pergi! Cari gadis berkerudung putih!"

"Tapi bagaimana dengan dirimu?!"

"Jangan pikirkan aku! Batu itu akan kembali padaku jika kau sudah selamat dari mara bahaya! Cepat telan!"

Tidak ragu lagi Ratu Dhika segera menelan batu sakti bernama Asmasewu. Tanpa berpaling ke belakang Arwah Ketua lalu hunjamkan dua sikutnya ke belakang.

"Bukk! Bukkk!"

Dua sikut menghantam tubuh kiri kanan Ratu Dhika Gelang Gelang hingga dia menjerit keras merasa dirinya seolah luluh lantak! Saat itu juga tubuh gadis gemuk ini melesat keluar dari dalam tanah. Di udara siang benderang tubuhnya melesat ke arah barat hutan jati. Sekejapan kemudian Arwah Ketua telah keluar pula dari dalam tanah, melayang ke ujung utara hutan jati dan melesat turun di satu tempat yang bukan lain adalah Lembah Hantu!

T A M A T

Sri Maharaja Ke Delapan berusaha menculik Ratu Dhika Gelang Gelang secara gaib untuk dimanfaatkan ilmu kesaktiannya lalu dihabisi. Mampukah batu sakti Asmasewu menyelamatkan?

Bagaimana dengan Pangeran Bunga Bangkai dan dua sahabatnya yang masih terkurung di dalam rimba belantara karena tenungan Arwah Ketua?

Bisakah Ananthawuri lepas dari tangan Sri Maharaja Ke Delapan yang hendak mengambilnya menjadi Permaisuri?

Siapakah orang tua berpakaian hitam dan meniup seruling di tangga Candi Miring?

Serial Mimba Purana terhenti di episode ini...!!!

Sri Maharaja Ke Delapan

SRI MAHARAJA KE DELAPAN

Cerita silat Indonesia Serial Mimba Purana Karya Bastian Tito

PANGLIMA Pawang Sela melangkah lebih dekat ke pohon jati lalu berlutut satu kaki di tanah. Dari dalam pohon keluar satu sosok lelaki. Rambut wajah, sekujur tubuh serta pakaian memancarkan cahaya putih seolah dilapisi logam berkilat. Mahluk aneh ini mengenakan sebuah mahkota kecil yang juga berwarna putih dan menyilaukan. Inilah sosok SRI MAHARAJA KE DELAPAN.

Untuk sesaat dia tatap wajah Ananthawuri yang berada dalam keadaan tidak sadar. Dua mata putih Sri Maharaja Ke Delapan berpijar terang. "Cantik sekali. Penuh kesucian dan ketulusan. Gadis bernama Ananthawuri. Tidak salah kalau para Dewa mengambilmu sebagai gadis pilihan. Tidak salah kalau aku Sri Maharaja ke Delapan Kerajaan Mataram Baru mengambilmu menjadi Permaisuri…"


1.MENAHAN ANGIN MENGGANTUNG ARWAH

MEMBERI nasihat dengan tulus kepada orang lain adalah satu hal terpuji. Namun ada kalanya orang yang dinasehati menerima budi baik orang lain itu dengan memandang remeh bahkan kemarahan. Mungkin karena merasa apa yang diperbuatnya selama ini bukan satu keburukan. Bisa juga yang menerima nasihat menganggap diri lebih baik dari pada orang yang menasehati, lebih tinggi kedudukannya. Inilah yang terjadi dengan Arwah Muka Hijau.

Saat itu malam menjelang pagi. Dia duduk di tangga sebuah candi kecil di plered. Melalui satu kekuatan gaib yang menolongnya dia berhasil lolos dari bagian bawah Candi Miring dimana dia tengah menjalani hukuman dijadikan ganjalan selama seratus tahun oleh Arwah Kelua. Dibimbing petunjuk suara gaib Arwah Muka Hijdu datang ke candi di Pieret. Amarahnya masih belum surut sehabis mengusir mahluk alam roh Dhana Padmasutra yang berusaha menasihati agar dia bertobat atas semua dosa perbuatan di masa lalu dan minta ampun pada Arwah Ketua yang telah dikhianatinya.

Belum lama sosok samar Dhana Padmasutra lenyap dari pemandangan mendadak satu gelombang angin menderu dahsyat datang menghantam, membuat Arwah Muka Hijau tergontai-gontai. Beberapa bagian candi yang memang sudah lapuk runtuh berantakan. Delapan keping batu Lingga yang di dudukinya mencelat mental ke udara. Arwah Muka Hijau cepat berdiri.

"Sang penjemput rupanya sudah datang..." pikir Arwah Muka Hijau, dia cepat berdiri walau tubuhnya tergoncang keras oleh tiupan angin. "Tapi sesuai petunjuk mengapa tidak ada cahaya tiga warna keluar dari dalam tanah...?"

Selagi Arwah Muka Hijau berusaha meng-imbangi diri agar tidak tersapu jatuh oleh tiupan angin keras tiba-tiba dia mendengar suara mengorok disertai hembusan nafas memerihkan mata. Ketika memandang ke depan dia melihat satu sosok besar dengan ketinggian hampir dua kali candi berdiri berkacak pinggang di hadapannya. Mahluk raksasa penuh bulu. berkepala botak bercula memancarkan cahaya merah ini, memiliki sepasang mata putih. Bola matanya hanya merupakan titik hitam kecil. Mengenakan jubah biru dengan dada tersingkap.

Inilah sosok dahsyat Arwah Ketua, penguasa Candi Miring di bukit gersang yang dikenal sebagai candi angker di Bhumi Mataram. Sesaat Arwah Muka Hijau tergetar juga hatinya namun karena percaya diri bahwa dia mendapat perlindungan dari satu kekuatan melebihi kekuatan Arwah Ketua maka dia berdiri di tangga candi, balas berkacak pinggang sambil mulut berucap lantang.

Ujud wajah Arwah Muka Hijau selain aneh juga mengerikan. Dia tidak memiliki mata. hidung, mulut. maupun telinga. Pada bagian yang seharusnya terletak hidung.mulirt, mata dan telinga hanya terdapat sayatan tipis dijahit benang hitam kasar. Selain itu wajah dan sekujur tubuhnya penuh dengan cacat guratan luka.

"Arwah Ketua! Cahaya merah yang memancar dari tanduk di kepalamu serta sorotan sepasang mata putihmu menyatakan kau datang tidak membekal niat baik. Walau kau telah menyiksaku dan menjadikan diriku ganjalan dinding Candi Miring, tapi mengingat hubungan kita di masa lalu, saat ini aku masih mau berlaku bijaksana. Tinggalkan tempat ini dan jangan pernah berani berada di dekatku!"

Sepasang mata putih mahluk raksasa Arwah Ketua penguasa Candi Miring di Bhumi Mataram berkilat-kilat, hidung mendengus menyemburkan tiupan nafas keras memerihkan mata. Di dalam hati Arwah Ketua berkata. "Mahluk satu ini, kalau dia berani bersikap dan bicara seperti itu padaku berarti ada sesuatu yang diandaikannya! Aku tidak melihat ada seseorang di sekitar sini. Berarti andalan ada di dalam tubuhnya.

"Arwah Muka Hijau! Jangan bicara soal kebijaksanaan di hadapanku. Karena selama ini kau hanya mendapat petunjuk dari setan, tidak pemah mendapat petunjuk dari para Dewa. Apakah kau berlaku bijaksana ketika kau menghianatiku, mencuri Gading Bersurat Pertama. Bagaimana kau bisa membusung dada bicara soal kebijaksanaan?!" Suara Arwah Ketua meledak-ledak karena menahan amarah. Lalu dia menyambung ucapan.

"Mahluk yang terlahir dengan nama Gendadaluh Puluhan tahun kita bersahabat. Puluhan tahun kau menjadi pembantuku. Puluhan tahun kita sama-sama mengabdi pada kerajaan Mataram. Namun kau mengkhianati diriku. Sekarang kau bicara sombong di hadapanku! Dosa kejahatanmu setinggi langit sedalam kerak bumi! Malam ini aku menemukan Arwah Gelap Gulita di halaman selatan Candi Miring dalam keadaan tak bernyawa. Tewas mengenaskan! Tubuh tercabik-cabik. Kulit dan daging berwarna Hijau! Aku yakin dia telah jadi korban keganasan Pisau Terbang Racun Lumut Hijau. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan kau! Karena hanya kau yang memiliki ilmu kesaktian itu! Apakah itu yang kau sebut kebijaksanaan! Itu justru adalah satu kebiadaban!"

"Arwah Ketua syukur kalau kau telah mengetahui. Dengar, aku Arwah Muka Hijau hanya bicara satu kali. Aku meminta kau pergi dengan segala hormat. Sayang kau tidak mau mendengar. Kutau kau mau memilih mati seperti pembantumu itu. Aku akan memberi jalan!"

Rahang Arwah Ketua menggembung. Dalam menahan amarah dia masih bisa tertawa bergelak. "Kesombonganmu mulai dari ubun-ubun sampai ke dubur! Aku ingin melihat kau mau melakukan apa terhadapku!"

Arwah Muka Hijau menyeringai. Dua telapak tangan saling digosok, mulut merapal. Sementara merapal dari mulut itu keluar kepulan asap hijau. Lalu dengan gerakan kilat dua tangan dipukulkan ke depan. Kejap itu juga puluhan benda berbentuk pisau bermata dua tak bergagang berwarna hijau lumut melesat dari celah tangan, menderu dalam kegelapan malam menyerang Arwah Ketua. Dalam menyerang. Puluhan pisau ini tidak melesat lurus, tapi berputar seperti baling-baling, mengeluarkan suara bersiur nyaring seolah titiran tertiup angin kencang. Gerak putar pisau maut inilah yang bisa membuat tubuh lawan menemui ajal dalam keadaan tercabik-cabik! Sedang kulit dan sebagian daging akan berubah menjadi hijau akibat racun lumut.

Mahluk raksasa penguasa Candi Miring Arwah Ketua sudah mengetahui sampai dimana kehebatan ilmu lawan yang disebut Pisau Terbang Racun Lumut Hijau. Bagi Arwah Gelap Gulita pembantunya yang tewas memang belum memiliki tingkat kepandaian yang bisa menyelamatkan diri dari serangan Ilmu ini. Tapi bagi dirinya, serangan Arwah Muka Hijau bukan satu hal yang menakutkan. Sambil dorongkan dua tangan ke bawah, Arwah Ketua meniup

"Wusss!"

Puluhan pisau terbang berwarna hijau bermata dua mengandung racun mematikan, menderu runtuh ke bawah, balik menyerang Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau bersaru kaget. Secepat kilat dia melompat ke belakang sejauh satu tombak hingga punggungnya membentur dinding candi. Dua tangan kebutkan ujung lengan jubah. Dua larik sinar hijau seperti kipas menebar menderu menangkis senjata yang hendak makan tuannya. Dari rambut yang lurus kaku ceperti lidi ikut menderu larikan-larikan sinar hijau. Puluhan pisau bermata dua mental.

Melihat hal ini sambil menyeringai Arwah Ketua cepat angkat tangan kanan ke atas. Sinar hijau, lebih pekat dari hijaunya pisau-pisau terbang memancar keluar dari telapak tangan. Puluhan pisau walau masih berputar dan mengeluar suara bersiur seperti titiran namun semuanya kini menggantung di udara! Tidak mampu bergerak apa lagi meneruskan serangan maut!

Tampang hijau Arwah Muka Hijau berubah menjadi kehitaman. Rambut hijau yang tegak lurus kaku seperti lidi bergetar panas. Inilah satu pertanda bahwa mahluk ini tengah berada dalam ketakutan luar biasa. "Dia mengeluarkan Ilmu Menahan Angin Menggantung Arwah," ucap Arwah Muka Hijau dalam hati. "Jika dia menggerakkan tangan, puluhan pisau itu akan kembali menyerang dari arah yang tidak mungkin aku hindari semuanya! Celaka! Aku harus mencari akal. Mana kekuatan yang melindungi diriku. Mana sang penjemput!"

Tiba-tiba Arwah Muka Hijau jntuhkan diri, kepala bersujud di tanah namun dua mata mengintai mencari kesempatan. "Arwah Ketua! Aku yang hina mohon pengampunan. Aku menyatakan bertobat! Aku..."

Mendadak ada suara kuda meringkik menyentak udara malam menggetarkan tanah. Lalu menyusul suara bentakan lantang memotong ucapan Arwah Muka Hijau. "Dia bukan Dewa penguasa Alam Raya! Mengapa minta ampun dan bertobat padanya! Hanya pada Sang Junjungan Mataram Baru kita semua patut tundukan Kepala!"

Arwah Ketua dan Arwah Muka Hijau terkejut. Keduanya sanm-sama berpaling ke arah orang barusan hadir di tempat itu sambil mengeluarkan bentakan.

2. MEMBANTAI RAGA MENGHISAP NYAWA

ARWAH Muka Hijau punya dugaan cepat dan tepat. Selagi Arwah Ketua perhatikan mahluk yang datang, dia sudah melompat ke samping mahluk itu. Sementara puluhan pisau mata dua lumut hijau masih menggantung di udara berputar-putar mengeluarkan suara nyaring bising, masih berada dalam kuasa kekuatan ilmu kesaktian Arwah Ketua.

Walau terkejut namun Arwah Ketua tetap berlaku tenang dan waspada. Melihat sosok mahluk yang muncul hatinya berdetak jangan-jangan mahluk ini datang sebagai tuan penolong Arwah Muka Hijau. Dengan kata lain mahluk ini adalah sahabat bekas pembantunya itu. "Mahluk salah ujud!Aku belum pernah melihat sebelumnya!" membatin Arwah Ketua, memandang dengan sepasang mata tak berkedip.

Sebaliknya Arwah Muka Hijau dalam kejut diam-diam merasa gembira. Hatinya berucap. Dia melirik ke samping. "Mahluk aneh ini pasti yang di maksud dalam petunjuk berupa bisikan yang sampai ke telingaku. Orang yang di katakan akan datang menjemputku. Tapi mengapa ujudnya begini rupa? Lalu mengapa tidak ada cahaya tiga warna seperti yang dikatakan?"

Mahluk yang muncul di hadapan Arwah Ketua dan Arwah Muka Hijau bertubuh manusia, berkepala dan berkaki kuda berbulu putih.

"Jika manusia mengapa berkepala dan berkaki kuda. Kalau kuda mengapa bertubuh seperti manusia?!" pikir Arwah Muka Hijau.

Dipandangi Arwah Muka Hijau dari samping, manusia berkepala kuda berkata tanpa alihkan mata dari Arwah Ketua. "Arwah Muka Hijau", jangan ada keraguan di hatimu! Aku diutus untuk menjemputmu! Aku punya kewajiban menyelamatkanmu, itu tugas utamaku. Tapi kalau terpaksa mungkin aku sekalian akan menamatkan riwayat mahluk raksasa yang sudah terlalu lama berkeliaran di Bhumi Mataram! Tubuhnya sudah bau kerak neraka. Saatnya disingkirkan!"

Mendengar ucapan mahluk berkepala kuda Arwah Muka Hijau kini merasa yakin sekali kalau mahluk itulah memang sang penjemput yang ditunggunya. Maka diapun memutar tubuh menghadap ke arah Arwah Ketua dan berdiri dengan berkacak pinggang.

Arwah Ketua mendengus. Membuat dua mahluk di depannya harus menahan rasa perih pada mata masing-masing. "Hebat! Mahluk salah ujud! Rupanya kau berkerabat dan berserikat dengan kepompong yang keluar dari dubur iblis! Pantas bau tubuhmu tidak jauh dari bau pantat!" Habis berucap begitu Arwah Ketua tertawa gelak-gelak hingga pohon bergoyang-goyang candi berderak-derak dan tanah bergetar. Lalu dia membentak. "Katakan siapa kau adanya dan siapa yang mengutusmu?!"

"Namaku Abdika Brathama! Aku berasal dari segala tempat dan waktu! Jika kau ingin tahu siapa yang mengutusku, apakah kau punya kemampuan mengikutiku masuk ke dalam lapisan bumi Ketiga?"

Mahluk bertubuh manusia berkepala dan berkaki kuda dan mengaku bernama Abdika Brathama seperti diketahui adalah anak buah Panglima Pawang Sela. Pembantu utama dari orang yang mereka panggil sebagai Sri Maharaja Ke Delapan atau Sri Maharaja Mataram Baru. Selama ini dia berada di Kotaraja untuk memata-matai keadaan di sana terutama gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pasukan Kerajaan. Karena mendapat tugas dari Sang Panglima untuk menjemput Arwah Muka Hijau maka diapun meninggalkan Kotaraja menuju Plered. Dia tidak menyangka kalau akan kedahuluan oleh Arwah Ketua. Walau ujud Arwah Ketua besar dan tinggi seperti raksasa namun Abdika Brathama sama sekali tidak gentar.

Merasa ditantang oleh ucapan mahluk berkepala dan berkaki kuda yang dalam kelompoknya dikenal dengan nama Tuman Kcoku (Tubuh Manusia Kepala Kuda) Arwah Ketua mendengus marah. Hembusan napasnya membuat Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama sama-sama keperihan mata masing-masing. Keduanya bersurut mundur sambil siap melepas serangan.

"Wusss!"

Sosok Arwah Ketua lenyap dari hadapan kedua orang itu. Di tanah di hadapan mereka tampak satu lobang kecil mengepulkan asap kebiru-biruan Ketika lobang kecil dan asap lenyap tiba-tiba di belakang mereka kembali terdengar suara... wuussssss!

Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama cepat berpaling dan dapatkan Arwah Ketua tahu-tahu sudah berada di hadapan mereka. Sepasang mata putih yang hanya memiliki titik hitam sebagai bola mata mendelik. Mulut menyeringai.

"Sang Penjemput. Mahluk bernama Abdika Brathama. Kau mau mengajakku masuk ke dalam bumi lapisan ketiga. Aku barusan masuk dan sampai kedalam bumi lapisan ketujuh!"

"Mahluk penghabis tempat penyesak udara. Apa bukti kau telah masuk ke dalam lapisan bumi ke tujuh?! Jangan bicara sombong. Jangan menggertak aku akan kedustaan!"

Arwah Ketua menyeringai. "Suaramu bergetar! Tanda ada rasa getar! Ha...ha...ha! Buka lebar-lebar mata kudamu! Lihat ini!" Mahluk gaib raksasa dari Candi Miring itu ulurkan tangan kiri. Kepalan jari tangan sebesar pisang tanduk dibuka. Di atas telapak tangan ada gumpalan batu berbentuk setengah lingkaran berwarna hitam kebiruan mengepulkan asap.

"Cendawan batu!" ucap Abdika Brathama. Tampang kudanya berubah, darahnya berdesir, tapi tetap saja dia tidak merasa takut. Anak buah Panglima Pawang Sela ini tahu kalau tanda yang ada di tangan Arwah Ketua itu memang berasal dari perut bumi pada kedalaman paling sedikit di lapisan ketujuh.

"Mata kudamu sudah melihat! Apa kau ingin aku bawa kau ke perut bumi untuk lebih membuktikan?!"

Abdika Brathama terdiam. Arwah Muka Hijau juga tidak keluarkan suara karena dia tahu bahwa apa yang barusan diucapkan Arwah Ketua bukan main-main. Mahluk sakti yang pernah jadi pimpinannya di Candi Miring itu kalau mengatakan dia masuk ke dalam lapisan bumi ke tujuh maka dia benar-benar telah melakukan hal itu! Bukan satu kedustaan karena d!a memang memiliki kemampuan!

"Mahluk mengaku Sang Utusan. Sang Penjemput! Kesombongan tidak ada artinya di hadapanku. Apalagi di hadapan Para Dewa Penguasa Alam Semesta! Tinggalkan tempat ini sebelum kau aku jadikan sampah tak berguna. Dan jangan kau berani menyentuh mahluk hijau ini, apa lagi membawanya dari hadapanku! Para Dewa telah menentukan nyawa busuknya akan lepas dari raga kotornya untuk selama-lamanya sebelum fajar menyingsing!"

Ketika Arwah Ketua lenyap menembus tanah, puluhan pisau hijau bermata dua masih terus mengambang berputar-putar di udara. Tadinya Arwah Muka Hijau bermaksud pergunakan kesempatan untuk segera melenyapkan senjata-senjata. Maka dia mulai merapal mantera sambil gosokkan dua tangan. Namun ternyata Arwah Ketua muncul kembali lebih cepat. Saat itu Arwah Ketua berdiri sambil mengangkat tangan kanan pertanda dia masih menguasai dan mengendalikan kekuatan yang ada pada puluhan Pisau Terbang Racun Lumut Hijau.

Abdika Brathama yang jadi jengkel mendengar ucapan Arwah Ketua menyahuti dengan ucapen sangat melecehkan. "Kalau kau merasa gusar karena aku pergi hanya membawa Arwah Muka Hijau, aku tidak keberatan mengajakmu serta. Tubuhmu cukup besar untuk dijadikan ganjalan dasar Istana Sang Junjungan Mataram Baru di lapisan bumi ke tiga! Berlututlah minta pengampunan agar tubuhmu tetap utuh sampai di dasar bumi lapisan ke tiga! Ha... ha... ha!"

Arwah Ketua menggembor keras. Saat itu dia sudah gatal tangan untuk menghabisi Abdika Brathama. Namun dia perlu menanyakan sesuatu. "Ujudmu tidak karuan rupa. Otakmu pasti lebih sembrawutan kacau balau. Katakan siapa yang kau maksud dengan Sang Junjungan Mataram Baru?"

Abdika Brathama usap-usap dagu kudanya lalu sambil tertawa dia berkata, "Suaramu aku dengar digetari nyali yang tiba-tiba menjadi ciut. Itu baru aku sebut nama Sang Junjungan! Apalagi kalau kau panjang umur sempat berhadapan muka dengannya! Di hadapannya kau bisa leleh mencair seperti air Comberan!"

"Mahluk kurang ajar! Jawab saja pertanyaanku! Siapa Sang Junjungan Mataram Baru? Aku mencium ada komplotan jahat dan kau pasti adalah salah satu anggotanya!" bentak Arwah Ketua hingga udara menggaung dan tanah bergetar, pohon-pohon bergoyang, candi tua berderak-derak.

"Katanya kau mahluk berkuasa, sakti mandraguna. Mengapa memaksa orang memberi keterangan? Apa kau tidak mampu menyelidik sendiri? Apa kemampuanmu hanya sampai sebatas cium-mencium? Berarti kau tidak lebih dari seekor kucing. Atau mungkin merasa seekor gajah tapi otakmu sebesar udang! Ha...ha...ha!"

Di hina begitu rupa Arwah Ketua segera hantamkan ke bawah tangan kanannya yang sejak tadi dipentang ke atas. Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama mengira Arwah Ketua mengerahkan ilmu Menahan Angin Menggantung Arwah untuk menghantamkan puluhan pisau beracun ke arah mereka. Kedua mahluk itu tertipu! Ternyata puluhan Pisau Terbang Racun Lumut Hijau dikibas ke bawah dibuat menancap amblas ke dalam tanah. Dalam ketidak mengertian apa yang sebenarnya dilakukan lawan tiba-tiba tanah yang dipijak bergetar. Lalu... wuuttt...wuuttt! Puluhan pisau terbang yang tadi berputar amblas lenyap masuk ke dalam tanah tiba-tiba mencuat keluar, tepat di bawah tubuh Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama!

Kejut dua mahluk ini bukan olah-olah! Mereka berteriak keras lalu cepat melompat ke udara, kalang kabut berusaha selamatkan diri. Arwah Muka Hijau si pemilik puluhan pisau beracun jentikkan sepuluh jari tangan. Sepuluh larik sinar hijau menderu menangkis serangan pisau miliknya sendiri.

"Tring...tring...tring!"

Tujuh pisau terbang mental. Sisanya terus mengejar kedua orang itu. Arwah Muka Hijau menjerit putus asa ketika melihat delapan pisau tidak mampu ditangkis, berputar ganas menyambar ke arah dua kakinya. Sementara itu Abdika Brathama, walau berhasil menghantam hampir selusin pisau dengan dua kakinya yang terbungkus ladam besi namun lima pisau melesat berputar menyambar ke arah perut dan lehernya! Anak buah Panglima Pawang Sela ini keluarkan suara meringkik.

Arwah Ketua tertawa bergelak. Selagi Abdika Brathama berusaha selamatkan diri dari serangan lima pisau, dari atas Arwah Ketua hantamkan kepalan tangan kanan yang sebesar buah kelapa ke batok kepala mahluk kepala kuda ini. Sesaat lagi batok kapala itu akan hancur dihantam pukulan tiba-tiba tiga cahaya berwarna merah, biru dan hitam entah dari mana datangnya menyambar di tempat itu. memecah menjadi puluhan cahaya. Sebagian menyambar ke arah pisau terbang yang menyerang Arwah Muka Hijau, sebagian lagi menyambar pisau terbang yang mengancam Abdika Brathama dan sisanya sebanyak dua belas larikan Sinar terpecah dua. Masing-masing menyerang ke arah tangan kanan Arwah Ketua yang tengah memukul dan melesat ke arah dada yang tersingkap penuh bulu!

"Praak!"

Hantaman tangan Arwah Ketua ternyata masih lebih cepat sedikit dari sambaran cahaya tiga Warna. Kepala Abdika Brathama hancur. Tubuh terbanting dan melesak di tanah sampai ke pinggang. Mulut masih mampu keluarkan ringkikan aneh. Tangan menggapai-gapai lalu diam tak bersuara dan tak bergerak lagi. Tiga cahaya merah, biru dan hitam memang mampu membuat mental belasan pisau terbang yang menderu menyerang Arwah Muka Hijau. Tapi masih ada dua pisau yang lolos, berputar lalu membabat dada bekas anak buah Arwah Ketua ini.

"Rrrkkkkk!"

Benang hitam yang menjahit mulut Arwah Muka Hijau berderik putus ketika mahluk ini membuka mulut lebar-lebar keluarkan jeritan dahsyat. Dada cabik bersilang, mulai dari bahu kiri ke pusar dan satu lagi dari bahu kanan ke sisi kiri. Darah berwarna hijau menyembur.

Arwah Ketua sendiri dengan sigap sambil meniup berhasil membuat mental pisau terbang beracun hijau yang menyerang dada. Namun dia tidak sempat menarik tangan yang barusan memukul hancur kepala kuda Abdika Brathama. Dua pisau terbang membabat berputar ganas.

"Craass! Craasss!"

Tangan kanan Arwah Ketua terbabat putus di dua tempat Di bagian pergelangan dan di bawah siku Mahluk bertubuh raksasa ini menggerung keras. Dua potongan tangannya melayang di udara lalu jatuh di tanah. Arwah Ketua terhuyung-huyung sebentar lalu jatuh berlutut. Dari kutungan-kutungan tangan meleleh darah merah kehijauan pertanda bercampur racun pisau. Masih terhuyung-huyung Arwah Ketua berkomat kamit merapal sesuatu lalu berucap, "Batu Asmasewu. Dengan kuasa Dewa tolong diriku! Dua kutungan tangan! Kembali ke tempat asalmu!"

Dalam keadaan setengah sadar sementara lengan kanan yang buntung dijalari warna biru pertanda racun pisau lumut hijau telah mengindap dan menjalar di tubuhnya, Arwah Ketua letakkan tangannya yang buntung di tanah. Terjadilah hal yang luar biasa. Dua kutungan tangan yang tergeletak sejarak delapan langkah bergerak-gerak lalu meluncur ke arah buntungan tangan yang ditempelkan Arwah Ketua di tanah.

"Ssttt! Sttt!”

Dua kutungan tangan bergabung menjadi satu. Warna hijau yang menjalar sampai ke wajahnya perlahan-lahan sirna. Namun Arwah Ketua belum terlepas dari ancaman bahaya. Satu bayangan kuning berkelebat. Didahului memancarnya cahaya tiga warna satu tendangan keras menderu di udara.

"Bukkk!" Tendangan melanda dahsyat punggung Arwah Ketua hingga mahluk raksasa ini mencelat dan tertelungkup di tanah dengan punggung berlobang besar bekas hantaman tendangan. Antara sadar dan pingsan Arwah Ketua mendengar suara orang berseru lantang disusul suara tawa bergelak.

"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru! Sri Maharaja Ke Delapan! Untuk menyingkirkan mahluk terkutuk bernama Arwah Ketua ternyata kita tidak perlu mencari embun murni! Tendangan Membantai Raga Menghisap Nyawa berhasil membuat mahluk paling berbahaya di Bhumi Mataram ini kembali ke alam roh untuk selama lamanya! Ha...ha...ha!"

3. ANANTHAWURI DICULIK

HANYA beberapa saat tenggelam dalam ketidaksadaran. Arwah Ketua tersentak lalu menggembor keras. Tangan kiri menggapai ke punggung yang hancur. Meraba cidera besar bekas tendangan orang yang menyerang secara membokong. Sadar akan keadaan dirinya Arwah Ketua cepat jatuhkan tubuh sama rata dengan tanah. Mulut merapal ajian, kembali memanggil Batu Asmasewu, memohon pertolongan.

"Batu Asmasewu. Aku membutuhkan perto-longanmu lagi. Wahai para dewa di Swargaloka. Asal tanah kembali ke tanah. Asal sukma berpulang kembali pada sukma. Asal arwah kembali ke alam gaib. Saya pasrah namun saya mohon. Bhumi Mataram dalam bahaya besar. Sambungkan roh tali kehidupan bagi diri saya. Kecuali jika saya memang ditakdirkan tidak ada harganya lagi di permukaan bumi ini..."

"Rrrrrr”

Permohonan penguasa Candi Miring didengar oleh Yang Maha Kuasa. Tanah bergetar memancarkan cahaya. Getaran dan cahaya menjalar ke dalam tubuh Arwah Ketua. Ketika batu yang ada di dalam tubuh Arwah Ketua ikut mengalirkan hawa sakti ke punggung yang berlubang, ada satu kekuatan memancarkan cahaya tiga warna coba mencegah. Bentrokan dua kekuatan dahsyat membuat tubuh raksasa Arwah Ketua mencelat ke udara setinggi tiga tombak!

Terbungkuk-bungkuk Arwah Ketuu jejakkan kaki di tanah. Kembali dia meraba ke punggung. Lobang besar tak ada lagi. Sambil usap dada di arah beradanya Batu Asmasewu mahluk penguasa Candi Miring ini mengucap syukur, berulang kali menyebut nama Yang Maha Kuasa, lalu bangkit berdiri. Ketika memandang berkeliling Arwah Ketua terkejut. Mahluk kepala kuda Abdika Brathama lenyap. Tanah dimana tadi tubuhnya melesak sampai ke pinggang dengan kepala hancur, kini sosoknya tak ada lagi. Apa yang terjadi?

Sewaktu Arwah Ketua masih tertelungkup di tanah, sosok Abdika Brathama mengepulkan asap hitam lalu lenyap laksana hembusan angin. Yang tertinggal kini hanya lobang bekas tubuhnya amblas. Berpaling ke kiri, Arwah Ketua mahluk seram yang sudah banyak kali melihat kejadian mengerikan, namun kali ini tidak dapat menyembunyikan rasa kejut serta ngerinya. Tubuh Arwah Muka Hijau yang mengenakan jubah hijau tergeletak di tanah. Tapi dalam keadaan tidak utuh. Karena kepala dan dua kakinya lenyap entah kemana!

"Hyang Jagat Bathara! Apa yang terjadi dengan mahluk penghianat ini? Kemana lenyap kepala dan dua kakinya?!" Arwah Ketua keluarkan suara mengorok panjang. Dia ingat pada suara berseru setelah tubuhnya ditendang. "Ada mahluk ke tiga di tempat ini. Yang tadi menendangku. Aku mendengar. Aku ingat dia jelas-jelas menyebut Sri Maharaja Mataram Baru. Sri Maharaja Ke Delapan. Lalu cahaya tiga warna itu... Aku harus segera kembali ke Candi Miring. Aku harus cepat-cepat menemui Ratu Dhika Gelang Gelang. Gadis itu pernah cerita tentang pemuda kekasihnya. Apakah pemuda itu masih hidup? Sri Maharaja Ke Delapan! Bukan sekali ini aku mendengar sebutan itu! Ah, firasatku menyatakan Bhumi Mataram benar-benar dalam satu bahaya besar…”

Sekali Arwah Ketua berkelebat, tubuh raksasanya serta merta lenyap, laksana tiupan angin melesat kembali ke Candi Miring.

* * * *

FAJAR masih belum menyingsing. Hari masih gelap dan udara serta tiupan angin masih terang mencucuk jagat. Begitu keluar dari rimba belantara dan selagi melayang di udara memandang ke utara, kejut Arwah Ketua bukan alang kepalang. Dia dapat melihat bangunan candi di atas bukit dengan jelas. Salah satu menara candi tampak hancur. Dinding candi samping kanan jebol. Kepulan asap mengam-bang di udara.

"Sesuatu telah terjadi!" pikir Arwah Ketua. Dengan melipat gandakan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sesaat kemudian dia sudah berada di pintu depan candi. Tubuh raksasa menciut, melesat masuk ke dalam candi. Di ruangan dalam beberapa stupa batu berbentuk binatang hancur berantakan. Dekat puing-puing stupa singa pandangan Arwah Ketua membentur sesuatu. Ketika diperhatikan dengan mata tak berkedip darahnya tersirap. Benda itu adalah kutungan tangan kanan manusia sebatas siku sampai ujung jari, sebagian tertutup robekan kain berwarna kuning. Di lantai candi darah berceceran.

"Darah merah, berarti mahluk yang punya tangan ini adalah manusia biasa. Namun memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Kalau tidak bagaimana dia bisa masuk menembus ke dalam candi?" Ketika Arwah Ketua memperhatikan lima jari tangan buntung yang terkepal, dalam kejutnya dia segera mendapat jawaban.

"Lima jari mengepal tanah merah. Tanah kuburan! Rahasia masuk ke Candi Miring sudah diketahui orang luar! Celaka!" Dia hendak berteriak memanggil Ratu Dhika Gelang Gelang yang selama ini berada di Candi Miring untuk menjaga dua bayi keramat yang dilahikan Ananthawuri secara gaib. Namun mulutnya serta merta terkancing ketika melihat dua buah benda bulat kuning tergeletak di lantai candi. Arwah Ketua membungkuk memungut dua benda itu. Ketika diperhatikan dadanya jadi berdebar.

"Kerincing emas milik Radinda Ratu..." Mulut Arwah Ketua berucap, "Apa yang terjadi dengan dirinya. Bayi-bayi itu. Dewa Agung, saya mohon..."

"Radinda Ratu! Kau dimana?!" teriak Arwah Ketua. Suaranya menggelegar, menggetarkan bangunan Candi Miring. Memandang berkeliling Arwah Ketua tidak dapatkan jawaban. Tanduk merah di kepala berpijar-pijar. “Radinda!"

Tiba-tiba sebuah stupa singa setengah hancur yang menutupi dinding kiri ruangan bergerak ke samping lalu roboh ke lantai.

"Radinda...?!" Arwah Ketua melangkah mendekati dinding candi. Di saat yang bersamaan dinding batu itu hancur berantakan oleh satu kekuatan yang mendorongnya dari belakang. Dari lobang yang muncul di dinding menjorok keluar kepala manusia dengan kening bertanda garis tiga warna, merah, hitam dan biru.

"Tiga warna keparat!" teriak Arwah Ketua marah. Kaki kanannya berubah menjadi besar lalu memandang ke arah kening orang yang keluar dari lobang dinding candi!

"Rakanda! Tahan! ini aku" Dari balik dinding tiba-tiba ada suara perempuan berteriak disusul runtuhnya dinding candi hingga membentuk lobang lebih besar. Dari lobang di dinding ini perlahan-lahan merangkak keluar sosok seorang perempuan gemuk. Pakaiannya sehelai kemben merah robek di beberapa bagian. Rambut yang sebelumnya dikonde di atas kepala kini tampak tergerai awut-awutan. Darah mengotori tangan kanan dan bahu kirinya.

"Radinda Ratu Dhika! Apa yang terjadi?!" teriak Arwah Ketua dan dengan cepat menarik tubuh perempuan itu keluar dari lobang di dinding. "Mana dua bayi keramat...?"

Ratu Dhika Gelang Gelang batuk-batuk, semburkan darah kental. Suaranya parau ketika berkata, "Dua bayi dalam keadaan selamat. Tapi... tapi jahanam berjubah kuning itu berhasil melarikan Ananthawuri. Aku... aku hanya bisa membuang buntung tangan kanannya. Aku..."

"Bagaimana mungkin! Ibu dua bayi keramat itu memiliki Ratu Kaladungga di dalam tubuhnya. Siapa saja orang yang bermaksud jahat terhadapnya pasti tidak mampu melihat sosok tubuhnya! Siapa yang kau maksud dengan orang berjubah kuning?"

Ratu Dhika Gelang Gelang tidak memberikan jawaban karena saat itu juga tenaganya seperti habis, napas menyengat. Gadis yang masih keturunan Raja Bhumi Mataram ini terjerembab pingsan di lantai.

4. PETI DEWA PENYELAMAT RAGA DAN JIWA

Arwah Ketua bertindak cepat. Dia segera menotok beberapa bagian tubuh gemuk Ratu Dhika Gelang Gelang. Sambil menotok dia susupkan tenaga dalam dan hawa sakti. Ditambah dengan aliran kesaktian yang memancar dari Batu Asmasewu yang ada dalam dirinya. Tak selang berapa lama Ratu Dhika Gelang Gelang yang di Bhumi Mataram juga dikenal dengan julukan Ratu Meong keluarkan suara mengeluh panjang. Mulut batuk-batuk tapi kali ini tidak lagi disertai semburan darah. Arwah Ketua dudukkan gadis itu di lantai bersandar ke dindingcaridl lalu dua pipi yang tembam ditepuk-tepuk. Perlahan-lahan Ratu Dhika Gelang Gelang buka kedua matanya.

"Rakanda... Orang berjubah kuning itu melarikan Ananthawuri. Aku..."

"Tenang Radinda. Saat ini ada hal lain yang lebih penting ingin kuketahui!" memotong Arwah Ketua. "Dua bayi yang menjadi tanggung jawab kita! Kau bilang mereka selamat. Dimana keduanya sekarang?!"

"Mereka aku sembunyikan di tanah halaman barat di luar candi..."

"Maksudmu dengan ilmu kesaktianmu mereka kau benamkan ke dalam tanah?!" tanya Arwah Ketua dengan nada suara terkejut

Ratu Dhika Gelang Gelang mengangguk.

"Gila!" Arwah Ketua menggebrak lantai candi hingga hancur berantakan membentuk lobang besar.

"Aku tidak bodoh Rakanda Arwah Ketua! Aku mempergunakan ilmu Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa. Hanya dengan penyelamatan seperti itu kurasa cara paling aman bagi dua bayi. Kalau aku sembunyikan di dalam candi pasti masih bisa ditemukan. Tadipun orang berjubah kuning itu sudah mengobrak-abrik candi. Dia tidak menemukan dua bayi tapi menemui Ananthawuri dan melarikannya..."

Walau lega mengetahui dua bayi selamat namun Arwah Ketua merasa risau dengan diculiknya Ananthawuri ibu dua bayi itu. Lalu tidak menunggu lebih lama dia melesat keluar menuju halaman candi sebelah barat. Ratu Dhika Gelang Gelang mengikuti dari belakang. Dengan kesaktiannya melalui sepasang mata putih bertitik hitam Arwah Ketua sudah dapat melihat keberadaan dua buah benda kelabu berbentuk peti yang terpendam di dalam tanah.

"Peti Dewa penyelamat Raga Dan Nyawa, kalian telah berjasa menyelamatkan dua bayi calon Ksatria Utama Kerajaan Bhumi Mataram. Saatnya kami mengambil kedua bayi itu kembali. Keluarlah dari dalam tanah. Bila dua bayi keramat sudah berada di tangan kami, kalian dua peti sakti boleh kembali ke alam kalian disertai ucapan terimakasih kami!"

Baru saja Arwah Ketua selesai mengeluarkan ucapan tiba-tiba... blaar...blaaar! Tanah halaman terbongkar di dua tempat. Dari tanah yang terkuak melesat keluar dua buah benda kelabu berbentuk peti terbuat dari batu gunung yang kukuh dan atos. Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang dengan cepat mendekati dua peti batu, membuka penutup di sebelah atas. Begitu penutup peti tersingkap keduanya sama-sama keluarkan seruan keras.

"Dewa Jagat Bhatara!" teriak Ratu Dhika Gelang Gelang. Tubuhnya yang gemuk langsung jatuh terduduk di tanah. Mukanya yang gembrot pucat pasi.

Di sebelahnya Arwah Ketua keluarkan suara mengorok keras dan panjang. Mata putihnya menatap terbelalak. Dua Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa berada dalam keadaan kosong melompong. Tidak ada seorang bayi pun di dalamnya!

"Celaka besar! Kutuk dan amarah Dewa akan jatuh atas diri kita! Radinda Ratu Dhika! Bagaimana bisa begini?! Kau yakin telah merapal dan mempergunakan ilmu kesaktianmu secara benar?!"

"Tidak ada yang salah, tidak ada yang keliru Rakanda. Aku..." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak dapat meneruskan uerpan. Perempuan gemuk ini menangis menggerung-gerung sambil menjambak-jambak rambutnya.

Arwah Ketua berlutut di tanah. Wajah ditengadahkan ke langit Kepala ditinju-tinju sendiri. Sementara di timur kaki langit mulai tampak terang pertanda fajar telah menyingsing dan sang surya akan segera muncul menerangi jagat. Tiba-tiba ada sesiur angin sejuk bertiup. Hawa di bukit gersang dimana Candi Miring terletak perlahan-lahan berubah dingin.

"Radinda, tidaklah kau merasa ada keanehan?" ujar Arwah Ketua pada Ratu Dhika Gelang Gelang. Puluhan tahun aku tinggal di bukit gersang ini udara selalu panas. Sekarang mengapa tiba-tiba hawa terasa dingin?"

"Aku juga tidak mengerti Rakanda mungkin para Dewa..." Ucapan Ratu Dhika Gelang Gelang terputus oleh suara orang menegur.

"Kalian dua insan di samping candi di atas bukit tandus, apakah dua anak ini yang kailan cari sampai memukul kepala menjambak rambut?"

Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang langsung melompat. Saat itu mereka melihat seorang tua berjubah putih melangkah mendaki lereng bukit Di balik punggung menyembul sebatang tongkat terbungkus lapisan putih menebar hawa dingin. Dari ubun-ubun di atas kepala, sepasang mata, hidung serta setiap hembusan napas yang dibuatnya, mengepul keluar uap putih dingin. Meski berada dalam jarak sejauh itu namun suaranya bicara seolah dia berada beberapa langkah di hadapan Arwah Ketua dan Ratu Dhika.

Akan tetapi bukan keanehan itu yang menjadi perhatian dua mahluk di atas bukit. Yang membuat mala mereka terbeliak dan mulut berteriak nyaring adalah ketika melihat dalam gendongan tangan kiri kanan si orang tua terdapat dua orang bayi berusia satu bulan namun memiliki keadaan tubuh tidak beda dengan bayi seusia satu tahun. Itulah Mimba Purana dan Dirga Purana, dua bayi yang dilahirkan secara gaib oleh sang ibu bernama Ananthawuri, perawan pilihan para dewa berasal dari Desa Sorogedug, tak jauh dari Prambanan. Dalam gendongan si orang tua, dua bayi tampak tertidur lelap.

"Tua bangka penculik anak!" amarah Arwah Ketua menggelegar." Lekas serahkan dua bayi itu padaku atau kubuat lumat dan amblas tubuhmu ke dalam tanah!" teriak Arwah Ketua.

Tanduk tunggal di alas kepala memancarkan sinar merah. Tubuhnya serta merta mencuat menjadi besar setinggi Candi Miring. Dua kaki melangkah cepat dan tangan kiri kanan diulurkan menjadi panjang untuk dapat mengambil dua bayi dalam dukungan si kakek tak dikenal. Namun hebatnya dua tangan yang diulurkan itu jangankan menyentuh, sampaipun tidak. Padahal si orang tua yang mendukung dua bayi justru terus saja melangkah enteng ke atas bukit, mendekati ke arah dimana Arwah Ketua dan Ratu Dhika berada.

Ratu Dhika Gelang Gelang setengah berlari mendatangi si orang tua penggendong bayi. "Kakek, bagaimana dua bayi itu bisa berada padamu? Aku sebelumnya telah..." ucapan Ratu Dhika terhenti. Matanya memandang besar-besar dan lekat-lekat ke paras si orang tua. Mulutnya lalu berucap, "Orang tua, maafkan diriku kalau salah berkata. Aku melihat seluruh matamu berwarna putih. Kau buta...?"

"Dewa Agung memberikan sepasang mata yang terbuat dari gumpalan salju padaku. Buta atau tidak apa perbedaannya? Mata hati dan mata perasaan pemberian Yang Maha Kuasa terkadang lebih sempurna dari mata biasa. Apa lagi mata yang senang melihat kemaksiatan," jawab si orang tua sambil tertawa. Waktu bicara dari mulutnya keluar uap dingin.

"Gadis gemuk, aku senang. Kau bertanya lebih lembut dan lebih sopan dari raksasa penguasa Candi Miring itu. He... he... he. Aku tahu. Sebelumnya dua bayi ini bukankah kau selamatkan dengan cara memasukkan mereka ke dalam dua peti batu bernama Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa? Kau punya akal panjang. Tapi musuh tidak berkepandaian lebih rendah dirimu."

Ratu Dhika Gelang Gelang tercengang mendengar si kakek dengan jelas mengetahui dan menyebut nama dua peti batu. Lalu tahu pula keadaannya yang gemuk.

"Orang tua, bagaimana kau tahu...? Kau datang dari arah kaki bukit. Apakah sebelumnya kau berada di atas sini? Kami berdua tidak mengenal siapa kau adanya. Jangan-jangan kau utusan..." Ratu Dhika tidak teruskan ucapan karena saat itu dia harus menghalangi Arwah Ketua yang hendak hendak menerjang menyerang si orang tua yang mendukung dua bayi. "Sabar Rakanda... sabar. Jangan sampai kesalahan tangan..."

"Radinda Ratu Dhika! Kau mau membela orang yang hendak menculik dua bayi keramat?!" bentak Arwah Ketua.

"Rakanda, harap kau mau berpikir jernih. Jika orang tua itu punya maksud jahat menculik dua bayi, dia tidak akan melangkah mendatangi ke arah kita. Dia sudah lama kabur!" jawab Ratu Dhika Gelang Gelang.

Saat itu orang tua berjubah putih telah berada dekat sekali di hadapan Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku hanya kebetulan saja lewat di kawasan ini. Mungkin sudah takdir Dewa aku harus melakukan satu kebajikan. Apa kalian tidak memperhatikan tanah di halaman barat candi ini?"

"Memangnya ada apa Kek?" ucap Ratu Dhika Gelang Gelang. Tapi bersama Arwah Ketua dia memandang juga ke seputar halaman, terutama sekitar keluarnya dua peti tadi dari dalam tanah. Kini keduanya baru sadar dan melihat.

"Apa yang kalian lihat?" bertanya si orang tua.

Arwah Ketua tidak menjawab. Yang menjawab Ratu Dhika Gelang Gelang. "Aku... aku melihat ada noda darah berceceran. Hampir mengering..."

"Matamu tajam, anak gadis. Tapi apakah kau tahu itu darah siapa?"

5. SANG PENYELAMAT DUA BAYI KERAMAT

RATU Dhika Gelang Gelang menggeleng, "Itu adalah darah manusia berjubah kuning yang kau buntungi tangannya. Dalam keadaan terluka parah dia keluar dari candi, berusaha mengeluarkan dua buah peti dari dalam tanah. Kebetulan saja aku berada di sekitar sini dan Para Dewa berkenan memberi kepercayaan padaku untuk menyelamatkan dua bayi sebelum orang berjubah kuning mengambilnya..."

"Tapi mengapa barusan kau justru datang dari arah kaki bukit) Seharusnya kau berada di atas bukit sini?" bentak Arwah Ketua.

Dengan tenang dan sabar orang tua itu menjawab, "Kalau aku masih berada di atas bukit di sekitar candi, besar kemungkinan si jubah kuning yang mau menculik mengetahui keberadaanku dan dua bayi. Bukankah itu berbahaya sekali? Selain untuk menyelamatkan mereka, aku juga senang pada dua bayi ini. Apa salahnya aku mengajaknya berjalan-jalan barang sebentar ke kaki bukit. Ada rimba belantara cukup teduh di bawah sana. Dibanding dengan keadaan gersang, kering dan panas di bukit ini. Bukankah menghirup udara segar sangat penting bagi pertumbuhan seorang bayi?"

"Soal mengurus dua bayi itu adalah tanggung jawab kami. Mengapa kau orang tua yang tidak aku kenal mau merepotkan dlri?!" ucap Arwah Ketua dengan mata mendelik.

"Betul apa yang kau ucapkan. Soal mengurus dua bayi adalah tanggung jawab kalian. Tapi apakah kalian telah merawat bayi-bayi ini dengan benar? Kalian hanya memperhatikan keamanan dan keselamatannya. Tapi kalian memperlakukan mereka tidak lebih dari dua ekor hewan yang kalian sekap dalam candi pengap yang hanya sedikit lebih baik dari kurungan ayam!"

Mendidihlah amarah Arwah Ketuar ampai asap merah mengepul keluar dari batok kepa!anva yang botak. Lagi-lagi Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa menghalangi ketika mahluk raksasa Ini hendak menerjang si orang tua.

"Orang tua kurang ajar! Jaga mulutmu! Beraninya kau mengatakan dua bayi sebagai hewan! Kau tidak tahu siapa adanya bayi itu! Lekas pergi dari sini! Serahkan mereka padaku! Atau kupecahkan kepalamu saat ini juga!" ancam Arwah Ketua yang menjadi luar biasa marah mendengar kata-kata si or-ang tua berjubah putih.

Yang dibentak dan diancam malah cuma tertawa. "Mahluk penguasa candi! Seribu hari sebelum dua bayi ini lahir aku sudah lebih dulu mengetahui keberadaan mereka. Aku lebih banyak tahu siapa adanya dua bayi ini dari pada kalian! Bukankah begitu wahai dua bayi pilihan Para Dewa?" sambil berkata si orang tua menggoyang sedikit tangannya yang menggendong. Anehnya dua bayi itu sama-sama tertawa dalam kelelapan tidur mereka!

Sementara Ratu Dhika tercengang Arwah Ketua tetap masih meradang. "Aku tidak percaya padamu! Bagaimana kau bisa tahu kalau dua bayi ada di dalam tanah di halaman ini, dimasukkan dalam dua peti batu!"

Si orang tua kembali tersenyum sabar. "Mahluk bertubuh raksasa. Keberadaanmu sungguh hebat tapi sayang jalan pikiranmu tidak sehebat penampilanmu! Kalau Para Dewa memberi kepercayaan padaku untuk menolong dua bayi, apakah kau lebih kuasa dan lebih mengetahui dan mereka?"

Rahang Arwah Ketua menggembung, hidung mengendus dan lenggorokan menggembor, mata putih mendelik. Mau rasanya dia menelan bulat-butat tua bangka di hadapannya itu. Tanpa memperhatikan Arwah Ketua lagi si orang tua melangkah ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. Dua bayi diserahkan pada si gadis seraya berkata. "Jaga dua bayi keramat ini baik-baik. Karena pada satu hari kelak aku akan datang menjemput salah seorang dari mereka..."

Ratu Dhika Gelang Gelang tercengang heran mendengar ucapan itu. Sebaliknya Arwah Ketua kembali menjadi marah dan menghardik. "Hai! Apa arti ucapanmu itu?"

"Mahluk hebat, bersyukurlah pada Yang Maha Kuasa bahwa dua bayi telah diselamatkannya."

"Tua bangka bunglon. Kau tidak menjawab pertanyaanku! Kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu! Dan jangan kira aku tidak tahu kalau kau ke sini tidak sendirian!" sambil bicara Arwah Ketua menatap ke kaki bukit dimana terdapat sebuah batu besar.

"Eh, apa maksudmu mahluk penguasa candi?" tanya si mata buta.

"Kau datang membawa teman! Saat ini dia sembunyi di balik baju besar di kaki bukit! Lihat saja! Aku akan buktikan kedustaanmu!"

Selesai berucap, selagi si orang tua terheran-heran, tubuh raksasa Arwah Ketua melesat ke kaki bukit ke arah sebuah batu besar Sesaat kemudian dia sudah kembali sambil memanggul sosok seorang gadis berpakaian dan berkerudung putih. Dengan kasar Arwah Ketua melemparkan si gadis ke tanah.

Namun dengan gerakan enteng si gadis berjungkir balik, lalu di lain kejap dia sudah berdiri di samping si orang tua bermata salju! Pundak kiri jubah putihnya ada bekas robekan yang telah dijahit Kerudung putih di atas kepala jatuh ke bahu. Wajahnya kini tersingkap jelas. Sambil berdiri bertolak pinggang gadis ini keluarkan ucapan ketidak senangan tapi dengan mulut tersenyum.

"Tiada salah kau hendak membanting diriku ke tanah. Benar ucapan pamanku ini tadi. Otakmu tidak sehebat penampilan dirimu! Hik... hik..!"

Baik Arwah Ketua maupun Ratu Dhika Gelang Gelang tidak perdulikan ucapan si gadis.Yang menjadi pusat perhatian keduanya adalah justru wajah cantik gadis berpakaian putih itu. Mereka tidak melihat bagaimana keadaan dua tangan si gadis yang berkacak pinggang yaitu yang hanya merupakan tulang belulang tak berdaging tidak berkulit sebatas pergelangan sampai ujung jari.

"Ananthawuri!” seru Arwah Ketua dan Ratu Dhika hampir berbarengan ketika mereka melihat paras si gadis. "Tunggu! Rakanda Arwah Ketua apa salah mata kita melihat?" Ratu Dhika Gelang Gelang susul seruannya dengan ucapan.

Gadis berpakaian putih yang rambutnya tergerai lepas sebenarnya adalah Dewi Tangan Jerangkong puteri Giring Mangkureja dar! Kadiri. Wajahnya, seperti yang pernah disaksikan sendirl oleh Pangeran Bunga Bangkai memang memiliki banyak kemiripan dengan Ananthawuri. (Riwayat gadis ini bisa dibaca dalam Dewi Tangan Jerangkong)

"Kalian berdua salah menyangka orang. Gadis ini bukan Ananthawuri, Ibu dari dua bayi. Dia adalah keponakanku. Namanya Liris Pramawari," berkata orang tua bermata buta. Lalu tongkat berlapis benda putih yang mengepulkan asap dingin dimelintangkan atas bahu kanan si gadis seraya berkata, "Kau gadis nakal. Mengapa kau mengikutiku sampai ke sini. Bukankah aku suah memberi satu tugas padamu?"

"Kau benar Paman. Tapi ketika saya masih bingung, belum tahu mau menuju ke mana di tepi hutan saya melihat satu kejadian. Saya membatalkan meneruskan perjalanan, memilih lebih baik menemui paman untuk memberi tahu. Itu sebabnya saya berusaha mengejarmu sampai ke sini. Saya..." karena si kakek sudah menganggap dirinya sebagai Keponakan maka saat itu Liris Pramawari memanggil si orang tua dengan sebutan Paman.

"Sudah...sudah! Kau anak nakal. Ayo kita tinggalkan tempat ini. Di tengah jalan kau boleh menceritakan kejadian apa yang telah kau alami..." Si orang tua lalu memukul-mukulkan tongkatnya ke pinggul si gadis.

Tidak banyak bicara lagi dua orang itu segera melangkah menuruni puncak bukti gersang, meninggalkan Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun Arwah Ketua yang masih penasaran berteriak.

"Orang tua! Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku ada beberapa pertanyaan! Kau belum memberi tahu siapa dirimu sebenarnya!" Arwah Ketua mengejar. Dua kaki raksasanya membuat tanah lereng bukit berlobang-lobang ketika berusaha mengejar si orang tua dan gadis berwajah sama dengan Ananthawuri.

Namun tiba-tiba tubuhnya laksana pohon besar tak bisa bergerak karena tertahan akar. Dua kaki mendadak sontak dibalut oleh tumpukan benda putih dingin luar biasa hingga rahangnya menggembung dan geraham bergemeletakan. Di lereng bukit orang tua bermata putih berhenti, berpaling pada Arwah Ketua lalu berseru.

"Apa perlunya mengejar diriku! Lebih baik kalian mengamankan dua bayi. Selain itu kau harus cepat-cepat melenyapkan tanda tiga warna di kening gadis gemuk itu. Kalau tidak maka dalam tiga hari otaknya akan berubah! Dia bisa berbalik menjadi musuh yang bisa mencelakai dirimu! Di bumi Mataram ini hanya ada dua orang yang bisa menolong gadis gemuk itu. Pertama, seseorang yang telah kau aniaya di rimba belantara sana..."

"Siapa orang yang kau maksudkan?!" tanya Arwah Ketua.

Orang tua yang ditanya tidak menjawab melainkan meneruskan ucapan. "Orang kedua adalah keponakanku ini. Tapi tadi kau telah sempat membuatnya kecewa. Membantingnya ke tanah..."

Tapi keponakanmu itu tidak cidera..." menengahi Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Cidera tubuh memang tidak. Tapi kecewa hati Karena diperlakukan jahat kurasa tidak semua orang bisa menerima..." Jawab si orang tua pula.

"Orang tua! Katakan siapa kau sebenarnya. Apakah kau penjelmaan atau utusan Roh Agung...?"

Mendengar dirinya disebut Roh Agung si orang tua hentikan langkah, berpating menghadap ke arah Arwah Ketua. "Mahluk raksasa penguasa Candi Miring. Jangan terlalu mudah menduga insan biasa sebagai penjelmaan Roh Agung. Aku melihat hal yang tidak pada tempatnya sering terjadi dan dilakukan orang di Bhumi Mataram ini. Banyak orang pandai yang menyangka telah bicara dan bertemu dengan Roh Agung ketika mereka melihat cahaya atau mendengar suara tanpa ujud. Roh Agung Yang Maha Kuasa memang bisa berada dimana-mana bahkan bersemayam dalam diri setiap insan. Namun jangan sekali-kali menganggap setiap cahaya atau suara yang tidak berujud itu adalah roh Agung. Kuasa Roh Agung jauh lebih hebat dan lebih mulia dari itu. Cahaya yang muncul, suara yang terdengar bisa saja ulah arwah yang mendapat kekuatan dari Yang Maha Kuasa untuk memberi petunjuk atau memberikan pertolongan pada setiap insan. Jangan sekali-kali merendahkan Roh Agung kalau tidak mau kualat! Ketahuilah sekali seorang anak manusia berkesempatan melihat cahaya Roh Agung maka dia akan tertidur lelap sampai seratus tahun! Camkan itu baik-baik!"

Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang terdiam. Si orang tua memutar tubuh kembali. meneruskan langkah menuruni lereng bukit.

"Dewa Jagat Bathara! Siapa orang tua bermata buta itu? Apa aku telah kejatuhan kutuk?!" ucap Arwah Ketua. Dia kembali berteriak memanggil orang tua berjubah putih sambil berusaha membebaskan dua kakinya yang dibalut lapisan putih dingin.

Namun orang tua itu terus melangkah menuruni lereng bukit sambil terus memukuli bagian bawah tubuh gadis berpakaian putih. Yang dipukuli tidak merasa sakit, malah senyum-senyum. Tongkat itu sendiri setiap dikibaskan menebar hawa luar biasa dingin. Namun hawa dingin tidak mempengaruhi si gadis sebaliknya melesat ke arah Arwah Ketua membuat mahluk bertubuh raksasa ini semakin menggigil kedinginan.

"Orang tua! Kau pasti tukang sihir! Sudah! Aku tidak akan mengejarmu! Kau mau pergi kemana aku tidak perduli” Arwah Ketua akhirnya memutuskan untuk tidak meneruskan pengejaran. Aneh, begitu dia membalikkan badan, tumpukan benda putih dingin yang melapisi dua kaki raksasanya langsung meleleh dan akhirnya lenyap sama sekali!

"Radika Ratu," kata Arwah Ketua ketika sampai di hadapan Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kita harus mencari siasat baru menyembunyikan dua bayi. Setelah bayi berada dalam keadaan aman, aku ingin bicara banyak denganmu. Kau cepat masuk duluan ke dalam candi."

"Kau ingat ucapan orang tua aneh tadi? Tiga warna di keningku Ini mengancam keselamatan diriku..."

“Radinda. bagaimana tanda itu bisa ada di keningmu?" tanya Arwah Ketua.

"Ketika aku berhasil membuat buntung tangan kanan orang berjubah kuning, dia sempat menyusupkan pukulan telapak tangan kiri ke mukaku. Saat itu aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku. Kita harus segera masuk ke dalam candi."

"Saatnya kau masuk ke dalam candi. Bawa dua bayi ke dalam Ruang Enam Dinding Dewa. Nyalakan kayu cendana. Tunggu sampai aku menyusul..."

"Kau sendiri mau melakukan apa Rakanda Arwah Ketua?" tanya Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Banyak yang harus aku lakukan. Aku harus melindungi candi ini dengan ilmu Menebar Kabut Menutup Pandang. Lalu aku akan mengamankan potongan tangan kanan orang berjubah kuning yang ada dalam candi. Dari kutungan tangan di dalam candi dengan Ilmu Menjejak Bumi Menerawang Langit. Aku akan melacak siapa manusia itu sebenarnya dan dimana dia berada. Lalu aku harus melenyapkan tiga warna yang ada di keningmu. Tobat, begini banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Sang Hyang Jagat Bathara. saya mohon pertolonganMu..."

Dengan menggendong dua bayi keramat Ratu Dhika Gelang Gelang masuk ke dalam candi. Di halaman Arwah Ketua merapal mantera. Dua buah peti batu yang ada di tempat itu perlahan-lahan terlihat samar dan akhirnya lenyap. Candi Miring sendiri walau saat itu matahari telah terbit dan keadaan di atas bukit menjadi terang namun ujud candi seperti diselimuti kabut tebal dan akhirnya lenyap pula dari pemandangan, inilah kesaktian ilmu bernama Menebar Kabut Menutup Pandang yang kekuatannya lima kali dari kesaktian yang dimiliki Arwah Gelap Gulita yang telah menemui ajal di tangan Arwah Muka Hijau. Ketika Arwah Ketua masuk ke dalam candi, ternyata potongan tangan orang berjubah kuning tak ada lagi. Darah yang sebelumnya berceceran di lantai juga lenyap.

"Ada yang mengambil tangan dan menghapus noda darah menghilangkan jejak..." ucap Arwah Ketua perlahan. Kumis dan janggut diusap-usap. Mulut sunggingkan seringai. "Apa kalian kira aku tidak punya akal lain?!" Arwah Ketua cepat keluar cari dalam candi, menuju ke halaman sebelah barat. Di sini dia mengambil cairan darah yang telah mengering dan bercampur tanah lalu dengan cepat kembali masuk ke dalam candi.

* * * *

SIAPAKAH adanya orang tua aneh bermata buta dan memiliki kesaktian yang membuat Ratu Dhika Gelang Gelang tercengang sementara Arwah Ketua menjadi penasaran setengah mati? Di dalam episode Meringkik Di Lembah Hantu, diriwayatkan kakek bermata putih buta ini adalah seorang Resi dikenal dengan nama Resi Garispasthika, berjuluk Si Mata Salju.

Dituturkan bahwa orang tua ini suatu ketika bertemu dengan Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong. Pada saat itu Si Mata Salju tengah diserang oleh dua kakek nenek bernama Durangga dan Arupadi yang dikenal dengan julukan Dewa Dewi Empat Penjuru Angin. Durangga tewas. Si nenek kabur. Si Mata Salju berhasil merampas sebilah golok sakti bernama Empat Mulut Penghirup Darah yang kemudian diserahkan pada Liris Pramawari. Gadis yang dianggap sebagai keponakannya itu oleh Si Mata Salju ditugaskan untuk membawa golok ke puncak Gunung Mahameru guna diserahkan pada pewarisnya. Ternyata di tengah jalan dalam bingungnya Liris Pramawari menemui satu peristiwa yang membuatnya berbalik dan mencari Si Mata Salju.

6.PENYUSUP MENEMBUS CANDI MIRING

YANG DI SEBUT Ruang Enam Dinding Dewa adalah satu ruangan gaib yang tidak terletak di dalam Candi Miring, melainkan mengambang di udara di atas bangunan candi. Empat dinding ditambah lantai dan atap terbuat dari susunan batu kebiru-biruan memancarkan cahaya terang disertai hawa sejuk, Konon untuk membangun ruangan yang tahan segala macam bahaya ini dibutuhkan sekitar dua ratus mahluk gaib dan menghabiskan waktu hampir sepuluh tahun. Lamanya waktu pembuatan dikarenakan mahluk gaib harus bertapa dan menunggu Para Dewa menurunkan satu demi satu batu berwarna biru yang menjadi bahan pembuatan dinding, lantai dan atap ruangan.

Sebenarnya sejak pertama kali kedatangan bayi keramat Arwah Ketua ingin menempatkan mereka di ruangan tersebut. Namun sekitar dua puluh tahun silam, ruang gaib yang boleh dikatakan sulit ditembus orang luar bagaimanapun kesaktiannya, pernah kebobolan disusupi musuh. Karena khawatir hal tersebut akan terulang untuk kedua kalinya maka Arwah Ketua tidak menempatkan dua bayi yang dijaga Ratu Dhika di ruangan tersebut

"Aku berharap dua bayi ini sekarang benar-benar aman berada di tempat ini..." kata Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Bagaimanapun juga kita harus tetap berwaspada Radinda Ratu. Aku masih penasaran pada tua bangka bermata putih itu! Aku tahu dia pendusta besar! Gadis yang wajahnya sangat mirip Ananthawuri itu..."

"Belum tentu hanya sangat mirip tapi siapa tahu dia sebenarnya memang Ananthawuri," kata Ratu Dhika pula.

Rupanya baik Arwah Ketua maupun Ratu Dhika tidak melihat keadaan dua tangan jerangkong Liris Pramawari. Kalau saja mereka sempat melihat tentu keduanya akan berpikiran lain tentang gadis cantik berjubah dan berkerudung putih itu.

"Gadis itu aku yakin bukan keponakannya. Kalau dia menjadi paman lalu ayah si yadis berapa tahun lebih tua bangkanya dan si mata salju itu!"

"Rakanda Arwah Ketua. Aku rasa perihal orang tua aneh itu tidak penting kita bicarakan. Ada hal lain..."

"Radinda Ratu, jangan kau menganggap gampang persoalan yang kita hadapi. Kalau dugaanmu benar bahwa gadis itu memang Ananthawuri dan berhasil disirap serta ditenung hingga patuh saja pada si mata buta itu, rasanya aku harus segera melakukan pengejaran sebelum Para Dewa murka atas diriku! Belakangan ini aku telah sering berbuat kekeliruan dan kelalaian..."

"Rakanda, mendengar ucapan si orang tua bahwa dia akan datang menjemput salah satu dari bayi ini. Apa perlunya dia menculik ibu Mimba dan Dirga..."

"Si mata salju berkata begitu. Kalau dia memang inginkan salah satu bayi, mengapa tidak sekarang-sekarang dia mengambilnya. Lalu mengapa cuma satu bayi saja? Aku merasa perlu meneliti kembali apa yang tertulis di empat Gading Bersurat..."

"Rakanda, kalau tidak ada hal lain yang kau perlukan dariku, kuharap kita bisa berganti tugas untuk sementara."

"Eh, apa maksudmu Radinda Ratu?"

"Aku tidak tenang selama tiga warna celaka ini masih ada di keningku. Ingat ucapan orang tua aneh itu?"

"Jangan kau terpengaruh. Bisa saja dia melakukan kedustaan..."

"Rakanda Arwah Ketua, kau jaga dua bayi baik-baik. Aku akan meninggalkan candi..."

"Memangnya kau mau kemana?" tanya Arwah Ketua dengan mata mendelik.

"Aku akan mengejar gadis yang wajahnya mirip Ananthawuri itu. Minta tolong dia melenyapkan tiga wama di keningku sebelum aku nanti benar-benar jadi berubah pikiran alias gila dan menjadi musuhmu!"

Arwah Ketua terdiam beberapa ketika lalu berkala. "Radinda. kau masih punya waktu tiga hari. Mengapa harus terburu-buru? Kau belum menuturkan apa yang terjadi di candi ini sampai dua bayi nyaris diculik orang. Siapa orang yang berjubah kuning yang kau katakan itu? Aku sudah mengambil gumpalan cairan darah keringnya. Aku akan melakukan semedi Menjejak Bumi Menerawang Langit untuk mengetahui siapa dia adanya. Kalau perlu aku akan mendatangi sampai ke sarangnya, kalau memang dia punya sarang sekalipun di neraka!"

"Kalau begitu aku akan membantumu..." kata Ratu Dhika Gelang Gelang pula karena dia tahu untuk melakukan semedi Menjajak Bumi Menerawang Langit guna menjajaki seseorang berdasarkan sesuatu yang merupakan bagian tubuhnya tidak mungkin dilakukan seorang diri.

"Aku akan menceritakan padamu. Tapi setelah itu aku tetap akan pergi mengejar gadis itu..."

"Kau belum tentu bisa mengejar dan me-nemukannya. Orang tua bermata salju dia pasti akan menghalangimu."

"Aku yakin dia tidak sejahat itu. Tapi kalau kelak itu jadi kenyataan, Aku akan mencari penolong yang kedua. Yaitu orang yang menurut si mata salju telah kau aniaya dan berada di dalam rimba belantara."

"Radinda Ratu. Kau ini ada-ada saja. Jangan-jangan kau benar-benar sudah berada dalam sirap dan pengaruh orang tua tadi. Seingatku aku tidak pernah menganiaya orang di dalam rimba belantara di kaki bukit sana..."

"Bagaimana kalau yang dimaksudkan si orang tua adalah Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengikutnya yang kau tenung dengan ilmu Melangkah Ke Depan. Arwah Tiba Di Belakang. Melangkah Ke Belakang, Arwah Tiba Di Depan. Melangkah Ke Samping Arwah Berputar Di Tengah. Hingga Pangeran dan dua kawannya itu tidak bisa keluar dari rimba belantara. Selain itu aku tidak tahu dimana keberadaan kucingku Si Ragil Abang..."

"Astaga Radinda! Soal ilmu tenung itu! Bukankah kau sendiri yang minta aku menerapkan ilmu itu agar Pangeran aneh itu tidak datang mengacau ke sini?"

"Benar sekali Rakanda. Namun itu hal terakhir yang bisa aku mintakan padamu. Karena sebelumnya bukankah kau bermaksud hendak membunuh orang-orang itu?"

"Aku tidak mengerti! Benar-benar tidak mengerti..."

"Rakanda Arwah Ketua, aku akan menceritakan apa yang terjadi. Aku hanya akan menceritakan satu kali dan tidak akan mengulang-ulang. Setelah itu aku akan membantumu bersemedi. Lalu setelah itu aku akan pergi..."

Arwah Ketua tidak keluarkan ucapan apa-apa. Dia mengembalikan dua kerincing emas milik Ratu Dhika yang ditemuinya di lantai candi.

* * * *

PENUTURAN Ratu Dhika Gelang Gelang...

SAAT itu menjelang pagi. Di dalam candi, tak lama setelah Arwah Ketua pergi, di satu ruangan rahasia Ratu Dhika Gelang Gelang tengah mengawasi dua bayi yang tertidur lelap di atas dua pembaringan rotan beralas kasur kapuk lembut. Dua bayi walau baru berusia satu bulan namun keadaan tubuh menyerupai anak berumur satu tahun.

Mendadak Ratu Dhika melihat beberapa bagian dari lantai dan dinding ruangan seperti bergelombang, laksana permukaan air danau disaput tiupan angin. Ratu Dhika Gelang Gelang yang tahu seluk beluk keadaan Candi Miring, yakin betul bahwa saat itu ada bahaya mengancam candi, dirinya dan pasti juga yang sangat berbahaya mengancam dua bayi.

"Ada orang sakti mau menyusup ke dalam candi..." Ratu Dhika berkata dalam hati. Lalu dia melangkah cepat ke salah satu bagian dinding candi. Ujung ibu jari tangan kanan dijilat. Ujung jari yang basah oleh ludah itu diusap sambil ditekan ke dinding. Ketika Ratu Dhika mendekatkan mata kanannya ke bagian dinding yang ditekan dengan ibu jari tadi, dia seperti mengintai melalui sebuah lobang dan dapat melihat keadaan di luar candi bagian selatan. Hanya kegelapan malam menjelang pagi yang terlihat. Tidak kelihatan satu mahluk pun di luar sana. Namun bagian dinding dan lantai yang bergelombang bertambah banyak. Pertanda orang yang tengah berusaha menyusup semakin dekat.

Ratu Dhika kembali basahi ujung ibu jari tangan kanan. Kini ujung jari diusap dan ditekan pada dinding sebelah kiri dimana tampak gerak gelombang yang lebih kencang. Begitu untuk kedua kali Ratu Dhika mengintai melalui dinding yang seolah tembus berlobang, kali ini dia dapat melihat halaman timur candi. Seperti tadi dia melihat suasana gelap. Namun dalam kegelapan dia dapat melihat seorang berbadan tinggi, mengenakan jubah panjang yang wajahnya belum terlihat jelas.

Ketika orang ini semakin dekat ke dinding candi sebelah timur kelihatan kalau dia mengenakan destar dan jubah kuning. Ada bayangan tiga warna menyelubungi tubuhnya. Bayangan ini sangat tipis hingga kalau bukan orang berkepandaian tinggi seperti Ratu Dhika niscaya tidak akan melihatnya. Kejut Ratu Dhika Gelang Gelang bukan kepalang. Namun bukan cuma bayangan tiga warna tipis itu yang membuat gadis yang masih punya darah keturunan penguasa di Kerajaan Bhumi Mataram ini menjadi terkejut. Yang paling mengagetkan hingga tengkuknya terasa dingin adalah ketika melihat dalam genggaman tangan kiri kanan, orang ini mengepal gumpalan tanah merah.

"Celaka! Kalau yang dipegang orang itu tanah kuburan pasti tembus! Dia pasti bisa masuk ke dalam candi!" Ratu Dhika memandang berkeliling lalu berteriak, "Rakanda Arwah Ketua! Ada penyusup mau masuk ke dalam candi!"

Tak ada sahutan karena Arwah Ketua saat itu memang tidak ada di Candi Miring, tengah melakukan pengejaran terhadap Arwah Muka Hijau yang telah membunuh Arwah Gelap Gulita.

7.SANG PENYUSUP: PANGLIMA PAWANG SELA

RATU Dhika kertakkan rahang. "Arwah Ketua tidak ada di candi! Apa boleh buat! Aku harus menghadapi penyusup berkepandaian tinggi itu seorang diri! Siapa dia sebenarnya. Ada cahaya tipis tiga warna menyelubungi tubuhnya. Aku harus bisa menangkapnya hidup-hidup! Kalau terpaksa harus menyabung nyawa apa boleh buat. Wahai Para Dewa di Swargaloka. Saya Ratu Dhika Gelang Gelang tidak takut mati. Namun saya mohon ulurkan tangan pertolonganMu. Selamatkan dua bayi Mimba dan Dirga!"

Ratu Dhika kerahkan tenaga dalam penuh dari pusar. Dua tangan dikembang lalu didorong. Empat buah menara candi memancarkan cahaya berpiijar berwarna kelabu. Empat cahaya ini adalah satu kekuatan sakti yang diarahkan Ratu Dhika pada orang berjubah kuning yang berada di halaman timur atau halaman depan Candi Miring.

Mendadak di udara gelap melesat sambaran cahaya tipis tiga warna. Menyambar ke arah empat cahaya kelabu. Benturan hebat tidak terelakkan. Empat letusan keras menggelegar di kegelapan menjelang pagi. Cahaya kelabu di tiga menara bertabur lenyap. Puncak empat menara bergoyang, mengeluarkan suara berderak. Menara ke empat yang tidak sanggup menahan sambaran cahaya tiga warna hancur berantakan. Di halaman depan candi orang berjubah kuning terbanting ke tanah. Namun masih mampu berdiri dengan cepat agak sedikit terbungkuk pertanda mengalami cidera walau tidak berat.

Di dalam candi Ratu Dhika Gelang Gelang jatuh berlutut di lantai. Sekujur tubuh bergetar dan basah oleh keringat. "Orang berjubah kuning itu..." ucap Ratu Dhika dalam hati. "Dia memiliki dasar tenaga dalam tinggi. Ditambah kekuatan berasal dari cahaya tiga warna yang menyelubunginya. Apa yang harus aku lakukan. Langsung menghadapi dan membunuhnya atau lebih dulu menyelamatkan dua bayi."

Saat itu salah seorang dari dua bayi tampak menggeliat sambil keluarkan suara mendesah pendek.

"Dua bayi itu! Mereka harus aku selamatkan lebih dulu'" Ratu Dhika mengambil keputusan. Dia ingat ruangan gaib bernama Enam Dinding Dewa yang terletak di atas candi. Namun hatinya meragu untuk membawa dan menyelamatkan dua bayi ketempat itu. Memandang ke arah pintu depan candi, Ratu Dhika merasa heran. Seharusnya orang berjubah kuning itu sudah melewati pintu dan berada dalam candi. Tapi sampai saat itu tidak kelihatan sosoknya.

Selagi Ratu Dhika memperhatikan bagian dalam candi yang cukup luas tiba-tiba dinding candi sebelah utara jebol hancur berantakan. Satu bayangan kuning berkelebat rnasuk ke dalam candi lewat lobang besar di dinding. Seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun mengenakan destar dan jubah kuning, berwajah tiras dan berkulit pucat berdiri di hadapan Ratu Dhikia Gelang Gelang. Orang Ini hanya memiliki satu alis yaitu di atas mata sebelah kiri, panjang hitam menjulai

"Perempuan gemuk! Yang aku kenal dengan panggilan Ratu Dhika Gelang Gelang! Lekas jatuhkan diri berlutut. Jangan berani menggagalkan niat kedatanganku! Aku utusan Sri Maharaja Ke Delapan Kerajaan Mataram Baru datang untuk mengambil dua Bayi!"

Si jubah kuning ini bukan lain adalah Panglima Pawang Sela. Pembantu paling utama dan paling terpercaya dari orang yang menyebut dirinya sebagai Sri Maharaja Ke Delapan dari Kerajaan Mataram Baru. Tidak mengenal manusia di hadapannya tapi orang mengetahui siapa dirinya tidak membuat Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut. Namun yang membuat dia terkesiap ketika untuk kesekian kalinya dia mendengar orang menyebut tentang Sri Maharaja Ke Delapan dan kini disebut-sebut pula Kerajaan Mataram Baru.

"Aku harus bisa menangkap manusia satu ini hidup-hidup. Aku harus bisa mengorek apa arti semua ucapannya tadi!"

Dengan cepat gadis gemuk ini sentakkan dua kaki dan hantamkan dua tangan. Dua puluh kerincing emas yang melingkar di lengan dan pergelangan kaki bergemerincing keras disertai melesatnya dua puluh larik cahaya kuning. Walau cepat mengelak dan menangkis dengan kebutkan dua ujung lengan jubah kiri kanan, namun ada perasaan menganggap enteng serangan Ratu Dhika Gelang Gelang. Tapi ketika... breett... breett... breettt..brettt! empat dan dua puluh larik sinar kuning merobek jubahnya di empat bagian, tidak menunggu lebih lama sambil membentak orang berjubah kuning ini melesat setinggi atap candi, membuat gerakan aneh seperti baling-baling berputar sementara dua tangan menebar hawa sakti.

"Wuttt! Wuttt!”

Satu stupa hancur. Satu lainnya terbongkar dari alasnya. Dinding dan lantai candi remuk di beberapa tempat. Namun saat itu dua bayi dan Ratu Dhika Gelang Gelang sudah tidak ada di tempat tersebut. Di satu ruang rahasia di bawah lantai candi Ratu Dhika Gelang Gelang menggendong dua bayi erat-erat Walau kedua anak ini tampak tenang-tenang saja namun sepasang mata mereka dalam keadaan terbuka dan sesekali bergerak berputar seolah tahu kalau diri mereka berada dalam ancaman bahaya.

"Anak baik-baik bagus... jangan menangis. Jangan mengeluarkan suara..." Ratu Dhika berbisik lalu hembus kening dua bayi. "Tidur... tidurlah anak-anak manis..."

Begitu ditiup dua mata bayi yang tadi nyalang perlahan-lahan menutup. Ratu Dhika merasa lega sedikit. Di dalam ruangan dia berdiri tidak bergerak. Dua kaki sedikit dikembang. sepasang mata dipejamkan, mulut merapal ajian kesaktian ditutup dengan doa.

"Para Dewa di Kahyangan. Dengan segala kehinaan diri ini, saya mohon pertolonganMu. Selamatkan dua bayi ini. Para Dewa telah menetapkan ibundanya sebagai perawan pilihan. Dua bayi ini sesuai dengan kehendakMu wahai Para Dewa. Mereka akan menjadi dua Ksatria Utama Bhumi Mataram, pembela Kerajaan pembela Keadilan dan penegak Kebenaran. Oleh karena itu Wahai Para Dewa. dengarkan doa saya ini. Saya percaya Engkau Yang Maha Kuasa akan mengulurkan tangan pemberi pertolongan."

Sambil masih menggendong erat dua bayi yang tertidur lelap Ratu Dhika Gelang Gelang rundukkan badannya yang gemuk. Begitu tubuh diluruskan kembali mulutnya berucap perlahan. "Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa! Dengan kehendak Yang Kuasa muncullah! Selamatkan dua bayi keramat ini!"

Belum habis gema seruan Ratu Dhika tiba-tiba dua cahaya berpijar dan di atas lantai dalam ruangan rahasia itu tahu-tahu lelah berada dua buah peti terbuat dari batu gunung kokoh kelabu.

“Blakk...blaakkk!" Penutup dua buah peti terbuka.

"Terima kasih Dewa. Terima kasih..." ucap Ratu Dhika berulang kali. Dua bayi dalam gendongan dimasukkan ke dalam dua peti batu.

“Blaakk...blaakkk!" Dua peti tertutup dengan sendirinya lalu melayang ke arah kiri. Luar biasa sekali! Dua peti batu berisi bayi menembus dinding candi laksana angin. melesat ke halaman barat, melayang sebentar diudara lalu amblas lenyap masuk ke dalam tanah tanpa bekas sama sekali!

Ratu Dhika Gelang Gelang yang masih berada di dalam ruang rahasia cepat merapat ke dinding di belakangnya ketika tiba-tiba salah satu dinding ruangan hancur dan dari lobang bosar yang kini terkuak melesat masuk orang bermuka pucat berjubah kuning dan hanya punya satu alis yaitu di atas mata kiri anjang menjulai sampai ke pipi!

"Kau sembunyikan dimana dua bayi?!" bentak si jubah kuning alias Panglima Pawang Sela. "Lekas ambil dan serahkan padaku! Atau aku buat candi ini sama rata dengan tanah dalam sekejapan mata! Dan kau akan terpendam di dalam reruntuhannya sampai kiamat!"

Ratu Dhika Gelang Gelang menyeringai, keluarkan suara mendengus lalu berkata. "Kau inginkan dua bayi itu! Carilah di neraka!" Ratu Dhika Gelang Gelang lalu buka mulutnya lebar-lebar. Perut yang besar menciut mengeluarkan suara mendesis panjang lalu berubah menjadi kempis. Dari mulut yang terbuka menderu satu kekuatan luar biasa dahsyat, menyedot tubuh si jubah kuning hingga saat itu juga sosoknya laksana dibetot, naik setinggi dua tombak lalu melesat ke arah tembok candi.

"Braaakkk!"

8. PERTARUNGAN DALAM CANDI MIRING

ILMU kesaktian yang dikeluarkan Ratu Dhika Gelang Gelang adalah Selaksa Angin Menghisap Roh. Jangankan manusia, pohon besar atau gajah sekalipun pasti akan tersedot lalu dibanting ke arah yang dikehendaki. Dengan ilmu inilah Ratu Dhika Gelang Gelang dulu menghajar Arwah Muka Hijau ketika dirinya dimasukkan ke dalam bubu ikan berbisa.

Akan halnya Panglima Pawang Sela meskipun dengan kesaktiannya Ratu Dhika mampu membuat orang ini terbanting ke dinding candi hingga untuk sesaat tubuhnya serasa remuk melesak namun tampaknya dia hanya mengalami cidera tidak berarti. Sambil memukul hancur dinding di sekitarnya dengan dua tangan, Panglima Pawang Sela melesat keluar dari dalam dinding. Didahului teriakan aneh yang mirip-mirip suara ringkikan kuda dan lolongan anjing Panglima Pawang Sela menerjang ke arah Ratu Dhika. Serangan yang dilancarkan merupakan kebutan dua ujung lengan jubah mengeluarkan suara seperti gelombang menghantam karang di pantai, disertai sambaran cahaya kuning.

"Perempuan gemuk jahanam! Jangan kira aku tidak tahu kau menyembunyikan dua bayi dimana! Sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan mereka! Tapi tidak ada salahnya kalau lehermu yang banyak lemak itu aku buat buntung lebih dulu!"

Pada saat yang sama di halaman candi sebelah barat di mana dua peti berisi bayi lenyap masuk kedalam tanah tanpa bekas, seorang berjubah putih berkelebat di tempat itu. Tangan kanan yang memegang tongkat putih berlapis salju dingin diketuk dua kali ke tanah lalu di sapukan di udara dua kali pula. Mulut berucap perlahan.

"Wahai para Dewa di Swargaloka. Kau tahu ada orang berniat jahat di dalam candi memiliki kemampuan untuk mengeluarkan dua peti dari dalam tanah. Dengan kuasaMu izinkan saya menyelamatkan dua bayi itu!"

Satu cahaya putih memancar di dua tempat di tanah. Lalu terdengar suara mengiang di telinga orang tua yang memegang tongkat yang mengepulkan hawa dingin.

"Resi Garipastika. Para Dewa mengabulkan permintaanmu. Selamatkan dua bayi. Tapi ingat baik-baik. Jangan kau berlaku culas. Mengambil salah satu dari dua bayi. Belum saatnya kau melakukan itu! Berlutut di tanah, kembangkan dua tanganmu!"

Mendengar suara mengiang serta merta si orang tua yang ternyata adalah Resi Garipasthika yang di kenal dengan julukan Si Mata Salju jatuhkan diri berlutut ke tanah. Tongkat putih diselipkan di punggung, dua tangan dikembang.

"Arwah Suci... Kau pasti Arwah Suci yang mewakili para Dewa, yang selama ini selalu disalah artikan sebagai Roh Agung oleh banyak insan di Bhumi Mataram ini. Saya Reshi Garipasthika mengucapkan terima kasih atas izin Mu. Saya mengerti. Saya..."

Belum selesai ucapan sang Resi tiba-tiba... dess...desss! Dari dalam tanah melesat dua bayi yang sebelumnya berada dalam dua buah peti bernama Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa. Dua bayi kemudian melayang ke arah Resi Garipasthika, masuk ke dalam gendongan tangan kiri kanan. Tidak menunggu lebih lama orang tua sakti yang pernah bertapa di puncak Gunung Himalaya selama sepuluh tahun ini segera berkelebat lenyap dari tempat itu.

Kembali ke dalam Candi Miring. Suara teriakan yang menyerupai ringkik kuda dan lolongan anjing yang di keluarkan Panglima Pawang Sela cukup membuat Ratu Dhika Gelang Gelang terkesiap. Apalagi mendengar ucapan orang yang berjubah kuning itu yang menyatakan mengetahui di mana dia menyembunyikan dua bayi. Walau hanya sesaat terkesiap namun sudah cukup memberikan kesempatan pada Panglima Pawang Sela menyambar leher Ratu Dhika dengan dua cengkeraman tangan kiri kanan.

Sesaat batang leher gemuk itu siap hendak di puntir remuk, Ratu Dhika tersandar. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke bawah. Dalam keadaan setengah berlutut dia lepaskan satu pukulan telak ke dada Panglima Pawang Sela. Orang beralis satu ini semburkan darah kental tapi mulutnya malah menyunggingkan senyum. Tubuhnya lalu mengapung di udara, tangan kanan Ratu Dhika yang masih membentuk kepalan melekat di dada seolah menunjang! Ratu Dhika terpekik ketika merasakan tinjunya yang menempel di dada lawan dijalari hawa panas sekali.

Didahului suara tertawa seolah mengejek, Panglima Pawang Sela semburkan ludah campur darah yang ada di mulutnya ke muka Ratu Dhika. Dalam waktu bersamaan tangannya kiri kanan yang tadi hendak memuntir tanggal leher kini bergerak menggebuk ke arah batok kepala gadis gemuk itu.

Tidak bisa melepaskan tangan kanan yang lengket di dada lawan sementara orang hendak menggebuk hancur kepalanya. Ratu Dhika Gelang Gelang mengadu jiwa dengan balas melancarkan serangan bernama Cakar Besi Penghancur Berhala dengan mempergunakan tangan kiri. Tangan menjulur panjang. Lima jari berubah besar menjadi cakar besi, hitam mengerikan. Serangan Ratu Dhika menyambar lawan lebih dulu dan lebih cepat dari dua gebukan yang dilancarkan Panglima Pawang Sela. Masih untung orang ini mampu selamatkan kepalanya yang semula hendak jadi sasaran. Namun begitu gagal menyambar kepala, lima jari kini berkelebat ke bawah ke arah tangan kanan lawan.

"Breett!" Lengan jubah Panglima Pawang Sela robek besar.

"Kraakk!" Terdengar suara tulang patah dan tanggal!

Panglima Pawang Sela menjerit keras ketika siku tangan kanannya kena disambar Cakar Besi Penghancur Berhala. Siku putus, lengan langsung tanggal buntung mulai dari siku ke bawah! Darah menyembur dari urat-urat besar yang putus berbusaian! Plukk! Buntungan lengan tercampak di lantai. Lima jari bergetar lalu mengepal. Dalam keadaan menahan sakit luar biasa Panglima Pawang Sela masih sempat menghantamkan telapak tangan kirinya ke kepala Ratu Dhika Gelang Gelang. Gumpalan tanah liat kuburan yang masih melekat di tangan kiri Pawang Sela mendarat di kening si gadis gemuk. Tiga cahaya berpijar! Di kening Ratu Dhika kelihatan tiga garis lebar berwarna hitam, merah dan biru!

Ratu Dhika menjerit keras. Tubuh gemuknya terpental membentur dinding candi hingga jebol lalu terguling jatuh di satu ruangan gelap. Dalam keadaan setengah sadar dia pentang dua tangan, siap melepas pukulan sakti bernama Langit Roboh Bumi Terbongkar. Pukulan ini mengandung hawa panas luar biasa yang mampu membuat tubuh lawan hancur berkeping-keping. Kalau lawan di luar sana masuk mengejar maka dia akan menghabisi dengan dua pukulan sekaligus!

Tadinya Panglima Pawang Sela bermaksud hendak mengejar masuk ke dapan ruangan sempit dan gelap itu namun khawatir akan mendapat serangan mendadak selain itu karena lebih mementingkan mendapatkan dua bayi maka tidak pikir panjang lagi dia menjebol dinding barat candi, melesat ke halaman. Walau tidak ada tanda di tanah bekas masuknya dua peti batu namun dengan kesaktiannya, melalui penciuman serta getaran di gumpalan tanah kuburan yang masih ada di genggaman tangan kiri dia mampu mengetahui keberadaan dua peti batu dimana dua bayi disembunyikan. Pawang Seia merapal mantera lalu berseru.

"Dua peti sakti ciptaan Dewa! Tempatmu tidak layak di dalam tanah! Keluarlah!"

"Braakk! Braakk!"

Tanah halaman terbongkar di dua tempat. Dua Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa melesat keluar dari dalam tanah, melayang turun di hadapan Panglima Pawang Sela.

"Blaakk! Blaakk!" Penutup peti terbuka.

Sepasang mata Pawang Sela terbeliak besar. Mulut keluarkan suara bengis. Dua peti batu ternyata berada dalam keadaan kosong!

9.SANGKALA DARUPADHA RAJA JIN HUTAN ROBAN

DALAM amarah menggelegak Pawang Sela tendangkan kaki kanan ke salah satu peti batu di hadapannya. Cahaya tiga warna memancar di ujung kaki kanan. Walau bernama Peti Dewa tapi tendangan yang dilancarkan Pawang Sela bukan tendangan sembarangan, bernama Tendangan Tiga Warna. Peti batu itu pasti akan hancur berkeping-keping! Namun dua peti tiba-tiba lebih dulu lenyap dari pemandangan, hanya meninggalkan kepulan asap kelabu tipis.

"Kurang ajar! Ratu Dhika! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku! Akan aku kubur kau hidup-hidup dalam runtuhan candi!"

Ketika Pawang Sela hindak keluarkan ilmu kesaktian bernama Angin Prahara Lembah Hantu yang mampu menghancurkan luluhkan Candi Miring tiba-tiba ada satu suara mengiang di telinganya.

"Panglima, kau telah terlalu banyak mengeluarkan darah. Perhatikan keselamatanmu! Lawan mampu menjebol perlindungan yang aku berikan. Menurut penglihatanku dua bayi berada dalam lindungan seorang sakti yang belum bisa kau tandingi dalam keadaanmu seperti saat ini. Kau harus mengalah dulu. Lupakan gadis gemuk berkepandaian tinggi itu. Kau telah meninggalkan tanda di keningnya. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu kebal yang tangguh, niscaya saat kau memukul keningnya dengan Pukulan Tiga Warna tubuhnya telah tercerai berai! Sekarang kita bisa menghabisinya dalam waktu tiga hari mendatang. Tapi lebih bermanfaat kalau kita bisa menyirapkan untuk datang dan bergabung dengan kita. Kita telah banyak kehilangan anggota berkepandaian tinggi. Kita perlu yang satu ini. Sebelum pergi kau harus cepat mengambil potongan tanganmu yang ada dalam candi. Jangan sekali-kali sampai orang bisa menjajagi keberadaanmu sebelum rencana besar kita terlaksana "

Panglima Pawang Sela cepat membungkuk. "Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan, jika itu perintahmu, saya akan segera melakukan!"

"Sekarang segera tinggalkan kawasan candi. Aku berada di luar hutan di kaki bukit. Temui aku di pinggiran sebelah timur. Cari pohon jati kering yang tidak bercabang dan tidak berdaun. Aku ada di situ..."

"Saya maklum junjungan. Saya mengerti." Sebelum meninggalkan tempat itu, sesuai perintah ngiangan suara di telinganya Panglima Pawang Sela lebih dulu masuk ke dalam candi untuk mengambil kutungan tangannya. Itu sebabnya ketika Arwah Ketua masuk kembali ke dalam candi dia tidak menemukan lagi buntungan tangan yang sebagian masih terbungkus lengan jubah berwarna kuning.

Tidak terduga pada saat itu terdengar perempuan meratap disertai suara memanggil berulang kali. "Anakku Mimba dan Dirga! Di mana kalian wahai... Hyang Jagat Bhatara tolong... tolong dimana mereka! Lindungi mereka. Apa yang terjadi di candi ini... Ratu Dhika... Kau dimana?"

Panglima Pawang Sela serta merta hentikan gerakannya hendak meninggalkan candi. Begitu dia berpaling, dari balik reruntuhan dinding candi muncul keluar seorang gadis berpakaian biru, berwajah cantik dan berkulit putih. Rambut panjang hitam tergerai lepas sampai ke pinggang.

"Gadis ini... Dia meratap memanggil anaknya. Dua bayi... Apakah dia ibu dari dua bayi itu? Siapapun dia, pasti bukan orang sembarangan di tempat ini! Aku tidak boleh berbuat lalai. Lebih baik aku tangkap dulu dia!"

Tidak menunggu lebih lama lagi Panglima Pawang Sela segera menghambur menangkap gadis itu lalu secepat kilat tinggalkan Candi Mining. Sebenarnya di dalam tubuh Ananthawuri terdapat batu sakti Kaladungga pemberian gaib patung Loro Jonggrang, yang membuat dirinya tidak bisa terlihat oleh siapa saja yang berniat jahat. Namun karena ilmu kesaktian yang dimiliki Pawang Sela jauh lebih tinggi dia mampu melihat Ananthawuri secara nyata.

Dari dalam ruangan gelap Ratu Dhika Gelang Gelang masih sempat melihat apa yang terjadi. Dia berteriak keras lalu melompat coba mengejar. Tapi entah mengapa saat itu kepalanya terasa sangat berat Ketika dia berusaha menerobos lobang besar di dinding candi, kepalanya membentur pinggiran lobang hingga tubuhnya terpental dan kembali tergelimpang di lantai. Untuk beberapa lama pandangannya berbintang-bintang. Namun mulutnya masih bisa berucap,

"Hyang Bhatara Agung... Tolong... Manusia jahat itu menculik Ananthawuri... Selamatkan ibu dua bayi itu. Tolong…”

KETIKA berlari cepat menuruni bukit gersang, di kejauhan Panglima Pawang Sela melihat seorang berjubah putih melangkah seenaknya mendaki ke arah puncak bukit Sosok yang terlihat begitu samar hingga dia tidak bisa mengenal siapa adanya orang itu. Kalau saja dia tidak diperintahkan oleh Sang Junjungan segera pergi menemuinya di pinggiran rimba belantara sebelah timur, sebenarnya ada niat hendak mendatangi dan menyelidik siapa adanya orang tersebut. Pawang Sela tidak pernah menduga kalau orang yang terlihat samar itu adalah Resi Garispasthika alias kakek berjuluk Si Mata Salju yang tengah menggendong dua bayi keramat dan telah lebih dulu diambil diselamatkan dari dalam Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa.

KEMBALI ke dalam Candi Miring di Ruang Enam Dinding Dewa. "Rakanda Arwah Ketua, kau telah mendengar penuturanku apa yang terjadi ketika kau meninggalkan candi mengejar si keparat Arwah Muka Hijau. Se-karang sebaiknya kita cepat-cepat melakukan samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit untuk mencari tahu siapa dan dimana sarang manusia jahanam itu..."

"Radinda Ratu, aku harap kau bisa bersabar sedikit. Kau beruntung. Berkat Ilmu Kebal Lemah Kebal Banyu pukulan lawan yang meninggalkan tanda tiga warna di keningmu tidak membuatmu celaka atau keracunan... Apa yang kau tuturkan membuat aku ingat kembali pada tugas yang pernah aku berikan padamu. Tapi mungkin belum sempat kau lakukan. Kau ingat tiga tugas itu Radinda Ratu...?"

"Aku ingat Rakanda," jawab Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Kita harus menyelidik siapa yang sejak belakangan ini disebut-sebut dan menamakan dirinya sebagai Sri Maharaja Ke Delapan. Ketika aku berhadapan dengan manusia aneh bernama Abdika Brathama, mengaku utusan Sri Maharaja Ke Delapan, dia juga menyebut mengenai Mataram Baru! Semakin jelas bagiku kalau Bhumi Mataram berada dalam satu ancaman luar biasa besar. Ada orang yang hendak meruntuhkan tahta Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang masih pamanmu. Ada satu rencana pemberontakan besar-besaran terhadap penguasa yang syah saat ini. Rasanya dalam waktu singkat aku harus menghadap Sri Maharaja di Kotaraja."

Arwah Ketua berhenti bicara sejenak lalu melanjutkan. "Tugasmu yang ke dua menyelidik apa dan siapa sebenarnya pemilik ilmu kesaktian yang selalu menampakkan ujud dalam cahaya tiga warna. Merah, biru dan hitam. Ilmu kesaktian itu agaknya bisa dipecah, bisa diberikan kepada siapa saja oleh sang pemilik yang sekaligus sang pengendali. Aku punya dugaan keras mahluk ini adalah sang pengendali. Dia kunci dari semua kejadian. Mungkin sekali dialah Sri Maharaja Ke Delapan itu..."

"Aku juga punya dugaan sama sepertimu Rakanda," menyahuti Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Kalau sekarang kaki tangannya berhasil menculik Ananthawuri maka keadaan akan lebih parah dan tambah sangat berbahaya bagi masa depan Bhumi Mataram. Dia punya kekuatan untuk menekan."

Arwah Ketua keluarkan suara mengorok, hembuskan nafas panjang yang memerihkan jangat dan mata lalu berkata lagi. "Kau juga aku minta mencari pemuda bernama Sebayang Kaligantha. Pemuda itu mempunyai hubungan dengan ilmu kesaktian memancarkan cahaya tiga warna itu. Aku menyirap kabar dia memiliki satu ajimat sangat sakti yang didapatnya ketika masuk ke dalam alam gaib di negeri seberang, di satu bekas Kerajaan Kuna. Pemuda bernama Sebayang Kaligantha itu, bukankah dia kekasihmu Radinda Ratu? Apakah kau sudah berkesempatan menemuinya?!"

Ratu Dhika Gelang Gelang tertunduk lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Dulu aku pernah curiga kalau sang pengendali ilmu kesaktian yang selalu menampilkan cahaya tiga warna itu adalah mahluk yang dikenal dengan nama Pangeran Bunga Bangkai. Ternyata bukan dia. Aku juga menyirap kabar bahwa orang-orang di selatan tengah menggalang satu pasukan besar untuk melaksanakan niat jahat, menyerang Kotaraja, merebut tahta Kerajaan. Beberapa di antara mereka telah menyusup dan melakukan pembunuhan. Ingat peristiwa tewasnya Wakil Balatentara Kerajaan Janggel Kantanu? Sampai saat ini tidak diketahui siapa pembunuhnya. Belakangan ini banyak orang-orang tak dikenal gentayangan menyebar maut. Di antara mereka ada yang mempergunakan senjata rahasia berupa kepingan besi bulat biru mengandung racun mematikan..."

"Itu jelas orang dari selatan..." kata Arwah Ketua sambil mengusap tanduk merah di atas kepalanya yang botak. "Aku harus mengirim seseorang ke selatan untuk menyelidik. Kalau tidak aku sendiri yang akan kesana..."

"Rakanda. sampai saat ini Arwah Hitam Pengawal Malam tidak diketahui dimana beradanya. Juga Arwah Putih Pengawal Siang..."

"Aku punya firasat Arwah Putih sudah menemui ajal. Tunggu saja dalam beberapa hari ini. Kalau bayangan arwahnya muncul di salah satu menara candi menjelang matahari tenggelam, berarti memang pembantuku itu sudah tidak ada lagi di alam nyata ini... Radinda, saatnya kita harus bertindak. Aku benar-benar harus segera berangkat ke Kotaraja..." Namun Arwah ketua kemudian terdiam. Selang beberapa ketika baru berucap lagi. "Kalau aku ke Kotaraja dan kau pergi mencari gadis yang katanya bisa mengobatimu itu, lalu siapa yang menjaga dua bayi di Ruang Enam Dinding Dewa?"

"Rakanda, aku mengusulkan agar kau menemui Raja Jin Hutan Roban. Minta bantuannya untuk mengirim beberapa puluh jin guna bantu mengawal dua bayi..."

Sepasang mata putih bertitik hitam Arwah Ketua mendelik tak berkesip menatap Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Ada apa Rakanda? Mengapa kau menatapku seperti hendak menelanku bulat-bulat?" tanya Ratu Dhika yang merasa aneh melihat cara Arwah Ketua menatapnya. Dalam keadaan seperti itu gadis gemuk ini keluarkan cermin kecil yang selalu dibawanya kemana-mana. Ketika melihat wajahnya di cermin, setengah sesenggukkan dia berkata. "Aduh, jeleknya parasku. Ada noda tiga warna di kening. Aduh bagaimana ini..."

"Radinda, simpan cermin itu. Bukan saatnya untuk bersolek!" tegur Arwah Ketua. "Kau tahu mengapa barusan aku memandangmu seperti itu? Karena jalan pikiranmu benar-benar dapat diandalkan."

"Jangan membuat hidungku tambah besar dan mekar Rakanda..." kata Ratu Dhika sambil senyum dan usap-usap hidungnya yang memang agak besar.

"Radinda, tahu apa yang kini ada dalam benakku setelah mendengar ucapanmu tadi?

Ratu Dhika gelengkan kepala.

"Sudah terlalu lama aku melupakan sahabatku Sangkala Darupadha, Raja Jin Hutan Roban! Dia dan anak buahnya bukan saja bisa dimintakan pertolongan untuk menjaga dua bayi keramat, tapi juga mampu menghadapi ratusan bahkan ribuan pasukan pemberontak. Jika pengkhianatan itu kelak benar-benar terjadi..." Arwah Ketua usap-usap kepala botak bertanduk, lalu mengelus janggut tebal hitam. "Radinda, kau belum menceritakan apakah kau sudah menemui pemuda kekasihmu bernama Sebayang Kaligantha itu."

"Aku memang sudah menemukannya, Rakanda Arwah Ketua. Berdasarkan petunjuk yang diberikan Pangeran Bunga Bangkai alias Nalapraya. Konon mahluk aneh itu berasal dari Kerajaan Tarumanegara di daerah barat. Sebayang ketika kutemui keadaannya sudah setengah mayat Setelah itu dia benar-benar jadi mayat."

Kening Arwah Ketua mengernyit. "Coba kau ceritakan apa yang terjadi dengan pemuda kekasihmu itu," kata Arwah ketua pula.

Wajah Ratu Dhika Gelang Gelang tampak mumng sesaat. Lalu dengan suara perlahan dia mulai bercerita.

10. TAMU DARI JAUH

SEPERTI diriwayatkan dalam episode sebelumnya berjudul Pangeran Bunga Bangkai Ratu Dhika Gelang Gelang menemukan kekasihnya Sebayang Kaligantha di sebuah candi runtuh di satu bukit kapur yang jarang didatangi manusia. Pemuda itu terbujur mengenaskan di atas gundukan batu hanya mengenakan celana. Nafas satu-satu. Dua mata terpejam dan tampak bengkak membiru. Di dadanya kelihatan satu robekan luka sepanjang satu jengkal. Kaki dan tangan pemuda ini diikat dengan rantai sebesar betis yang ujungnya dipendam ke dalam gundukan batu. Pemuda yang dulu gagah dan bertubuh kekar penuh otot itu kini kelihatan seperti mayat, tubuh kurus lunglai tiada daya.

Ratu Dhika hancurkan empat rantai besi yang mengikat dua tangan Sebayang Kaligantha lalu membaringkan pemuda kekasihnya di lantai candi. Dalam keadaan sekarat Sebayang Kaligantha menerangkan beberapa hari sebelumnya tiga orang tidak dikenal mendatangi rumahnya. Dia dibawa ke candi runtuh. Dada dirobek. Mutiara Mahakam, sebuah jimat sakti mandraguna yang didapatnya ketika memasuki alam gaib di bekas Kerajaan Kutai dan tersimpan di rongga dadanya dirampas.

Menurut Sebayang dia mengenali salah seorang pelaku, yaitu orang dari selatan. Namun sebelum sempat menyebutkan nama orang itu dua buah senjata rahasia berbentuk besi bulat pipih bergerigi berwarna biru menderu. Senjata rahasia pertama berhasil dipukul mental oleh Ratu Dhika sementara rahasia kedua tidak dapat ditangkis dan menancap telak di tenggorokan Sebayang Kaligatha. Saat itu juga tubuh pemuda ini berubah biru legam mulai dari leher, kepala dan sebagian dada.

"Waktu itu kucingku Ragil Abang bertingkah aneh." kata Ratu Dhika dalam menuturkan riwayatnya. "Kucing itu lari ke satu arah. Menduga dia akan menunjukkan arah dimana pembunuh Sebayang berada, aku mengejar. Ternyata aku menemui pemuda berkepala aneh itu. Kepalanya berbentuk bunga besar dan busuk. Dia tidak mau memberi tahu nama kecuali mengatanan kalau dia berasal dari Kerajaan Tarumanegara. Belakangan aku mengetahui bahwa dirinya disebut Pangeran Bunga Bangkai. Tadinya aku menduga dialah yang telah membunuh Sebayang, ternyata tidak. Anehnya kucingku Ragil Abang sangat jinak padanya. Dari penuturan mahluk aneh itu aku mengetahui kalau dia adalah ayah dari dua bayi, suami dari Ananthawuri. Sulit diterima akal! Saat ini seperti Rakanda ketahui dia berada di hutan jati dalam keadaan tersesat tidak bisa keluar kemana-mana. Karena kita telah menyirap menenung dia dan dua kawannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Ragil Abang..."

Arwah Ketua tercengang mendengar penuturan Ratu Dhika itu. "Apakah jalan pikiranmu bisa dipercaya Radinda Ratu?"

"Semula aku sulit percaya. Namun ketika Pangeran Bunga Bangkai memberi petunjuk bahwa jenazah Sebayang telah ada yang mengurus dan terbukti benar, hatiku jadi bimbang. Lalu ketika aku menduganya sebagai pembunuh Sebayang dan mengejar ke sebuah goa, ada suara tanpa ujud menegurku..."

"Roh Agung...?"

"Semula aku menduga begitu. Tapi turut apa yang tadi diucapkan kakek bermata salju itu. sekarang aku punya dugaan yang menegurku adalah Arwah Suci."

"Ah. rupanya dialah yang selama ini dipercaya oleh Sang Hyang Dewa Bathara Agung untuk membimbing dan menolong insan di Bhumi Mataram ini. Sementara manusia dan mahluk alam gaib menganggapnya sebagai Roh Agung. Sungguh kita semua harus minta ampun dan maaf pada Roh Agung dan berterima kasih pada Arwah Suci..." Setelah terdiam sesaat Arwah Ketua berkata, "Radinda. kau belum menceritakan apa yang terjadi dengan jenazah Sebayang Kaligantha. Apa kau telah mengurusnya..."

"Rakanda, justru di sini terjadi satu keanehan," Jawab Ratu Dhika pula. "Beberapa sahabat Sebayang Kaligantha mengurus jenazahnya. Melakukan upacara pembakaran di halaman candi. Ketika api mulai berkobar mendadak sosok Sebayang Kaligantha bergerak naik ke atas. Bersamaan dengan itu ada cahaya tiga warna memancar keluar dari tubuhnya. Cahaya melesat ke langit diikuti tubuh Sebayang. Di arah langit tubuh Sebayang meledak. Berubah menjadi kepulan asap dan lenyap..."

"Lagi-lagi cahaya tiga warna! Ini pasti jahanam yang menyebut diri sebagai Sri Maharaja Ke Delapan itu yang punya pekerjaan!" kata Arwah Ketua sambil keluarkan suara mengrombor geram. "Mungkin sekali kekasihmu itu telah menjadi korban penggandaan. Seperti yang terjadi dengan Sri Sikaparwathi..."

"Berarti dia masih hidup. Mungkin hanya tinggal menunggu ajal..." kata Ratu Dhika pula. Sepasang matanya berbinar menahan air mata yang hendak mengucur keluar. "Semoga Para Dewa melindungi, menyelamatkan dan mempertemukan kami kembali..."

"Mudah-mudahan dia masih hidup. Dia pemuda baik. Candi ini dia yang mengurusi. Mudah-mudahan Dewa Agung melindungi dan memanjangkan umurnya..." (Kisah yang dialami Sebayang Kaligantha bisa diikuti lebih lengkap dalam episode sebelumnya berjudul Pangeran Bunga Bangkai)

"Aku bersumpah akan mencari kembali pemuda itu setelah aku berhasil menemui gadis yang berwajah seperti Ananthawuri. Yang lebih penting menentukan kembali azimat Mutiara Mahakam."

"Kau betul Radinda," kata Arwah Ketua pula. "Azimat itu telah disalahgunakan. Kini menjadi pangkal malapetaka bagi Bhumi Mataram." Setelah diam sejenak Arwah Ketua meneruskan ucapan. "Saatnya kita harus melakukan samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit! Kita harus bisa mengetahui siapa adanya mahluk berjubah kuning yang tangannya kau buntungi itu. Kita harus mampu mencari tahu dimana sarangnya. Sekaligus menjajagi siapa adanya keparat yang mengagulkan diri Sri Maharaja Ke Delapan itu. Selesai semadi kau boleh pergi mengejar gadis berwajah mirip Ananthawuri itu. Aku akan mem-bantumu menjajagi keberadaannya. Tapi Radinda, apa salahnya kalau aku coba dulu melenyapkan tanda tiga warna di keningmu. Jika Para Dewa menghendaki dan aku berhasil menolongmu berarti sebagian dari bebanmu sudah bisa dikurangi..."

"Rakanda. aku sangat berterima kasih atas kebaikan hatimu. Tapi apa kau lupa apa yang dikatakan orang tua bermata putih dingin itu. Hanya ada dua orang yang mampu menolong diriku. Yaitu gadis berpakaian putih yang wajahnya mirip Ananthawuri. Satunya lagi Pangeran Bunga Bangkai, yang kini terkurung di dalam hutan jati dan kita dituduh oleh orang tua bermata putih telah menganiaya..."

"Radinda. kau boleh saja percaya pada ucapan orang tua itu. Tapi bagaimanapun juga segala sesuatunya adalah Yang Maha Kuasa yang me-nentukan. Jika aku berniat baik. masakan Para Dewa tidak memperhatikan..."

"Kalau begitu kata Rakanda aku menurut saja. Silahkan Rakanda mulai..."

Ratu Dhika Gelang Gelang lalu duduk bersila di lantai candi. Dua tangan diletakkan di atas paha Mata dipejam dan perlahan-lahan dia menyalurkan hawa sakti ke arah kepala. Saat itu Arwah Ketua telah berlutut di belakangnya. Dua telapak tangan dltekapkan ke kening sampai pelipis kiri kanan Ratu Dhika. Mulut merapal, mata membellak dan seperti yang dilakukan Ratu Dhika, Arwah Ketua juga salurkan tenaga dalam serta hawa sakti ke arah dua tangan yang memegang kepala.

"Sekarang Radinda..." bisik Arwah Ketua.

Dua orang itu sama-sama alirkan tenaga dalam dan hawa sakti penuh.

"Dess! Desss! Desss!"

Tiga kali terdengar suara letupan disusul memancarnya cahaya tiga warna. Bangunan candi bergoyang. Batu-batu di dinding, lantai dan atap berderak. Ada beberapa yang hancur. Saat itu juga Arwah Ketua berteriak keras. Ratu Dhika Gelang Gelang terpekik.

"Wusss!"

Satu gelombang angin luar biasa deras menyambar. Sosok Arwah Ketua terbanting ke belakang, tergeletak menelungkup di lantai candi. Ratu Dhika dalam keadaan terhuyung-huyung cepat berbalik. Kagetnya bukan alang kepalang sampai dia keluarkan beberapa kali jeritan keras.

"Rakanda! Apa yang terjadi dengan dirimu! Sang Kyang Jagat Bathara mengapa bisa jadi begini?!"

Setengah meratap Ratu Dhika jatuhkan diri dan cepat balikkan tubuh Arwah Ketua. Matanya terbeliak begitu menyaksikan keadaan Arwah Ketua. Kembali gadis gemuk ini menjerit Saat itu sosok Arwah Ketua diam tidak bergerak walau hembusan nafasnya masih terasa memerihkan jangat dan mata. Sepasang mata terpejam. Satu hal yang hebat telah terjadi pada Arwah Ketua. Tangan kirinya pindah ke tangan kanan sedang tangan kanan pindah ke tangan kiri. Begitu juga dua kaki saling berubah pindah. Yang kanan ke kiri, yang kiri ke kanan!

"Rakanda! Rakanda!" teriak Ratu Dhika sambi! mengguncang tubuh Arwah Ketua.

Cahaya tiga warna, merah, hitam dan biru, sangat tipis mengepul keluar dari kepala Arwah Ketua. Perlahan-lahan mahluk alam gaib ini nyalangkan kedua mata. "Ratu Dhika... Apa yang terjadi..."

"Tubuhmu Rakanda! Bangun dan lihat keadaan dua tangan serta kakimu!" teriak Ratu Dhika.

Saat itu Arwah Ketua memang merasakan ada aliran aneh dalam tubuhnya. Dengan cepat dia melompat bangun. Tubuhnya huyung berat. Kalau tidak cepat menjaga keseimbangan niscaya dirinya akan tersungkur ke lantai. Begitu melihat dan menyadari keadaan kedua tangan serta kakinya Arwah Ketua langsung menggembor keras. Dia melompat ke kiri. Kaki kanan yang sebenarnya kaki kiri menendang arca besar berbentuk gajah duduk di sudut ruangan namun tendangannya tidak mengenai sasaran. Lewat dua jengkal dari arca. Padahal arca itu hanya dua langkah di hadapannya. Arwah Ketua banting salah satu kaki ke lantai candi hingga lantai yang terbuat dari batu gunung yang sangat keras itu melesak hancur sedalam mata kaki! Keadaan di dalam maupun di luar candi benar-benar telah centang perenang hancur-hancuran.

"Apa yang terjadi dengan diriku! Mengapa bisa begini! Ada orang mengerjai dengan ilmu kesaktiannya! Lihat saja! Aku akan membalas lebih ganas!"

Ratu Dhika meraba keningnya lalu bertanya. "Rakanda, apakah tanda tiga warna di keningku sudah lenyap?!"

"Jahanam! Belum Radinda! Tanda itu masih Ada!"

Pucatlah wujah gemuk Ratu Dhika Gelang Gelang. Arwah Ketua kepalkan dua tinju kepala men-dongak dan suara berucap gemetar ketika berkata, "Wahai Para Dewa. ketika Bhumi Mataram berada dalam ancaman malapetaka besar mengapa pada kami masih dijatuhkan cobaan begini berat!"

"Rakanda, jangan mengumpat. Jangan bicara seperti itu pada Para Dewa. Semua apa yang terjadi ini pasti ada hikmahnya..." Berkata Ratu Dhika walau dirinya sendiri sebenarnya diam-diam juga merasa sangat terpukul.

Rasa kecewa di hati Arwah Ketua agak mengendur sedikit. "Radinda cepat ikut aku. Kita harus melakukan samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit sekarang juga!"

"Tapi bagaimana keadaan dirimu? Kau harus melakukan sesuatu agar dua tangan dan kakimu kembali ke tempat semula! Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk membantu."

"Aku tidak perduli tangan dan kakiku pindah ke pantat sekalipun! Yang penting mencari tahu siapa sumber biang racunnya! Pasti bangsat yang mana! Si pengendali cahaya tiga warna itu! Kalau aku mampu membuat tubuhnya hancur cerai berai pasti keadaan tubuhku dapat kembali seperti semula!"

Arwah Ketua melangkah lebih dulu. Tubuhnya terhuyung ke kiri dan ke kanan. Dari mulutnya keluar kutuk serapah berkepanjangan. Kepala dipukul-pukul! "Lihat saja pembalasanku! Tunggu!" teriaknya.

Walau di samping kiri ada pintu yang menuju ke halaman selatan namun dalam amarahnya Arwah Ketua langsung saja menabrak jebol dinding candi. Sampai di halaman Arwah Ketua berpaling pada Ratu Dhika. "Kau sudah siap?!"

Ratu Dhika anggukkan kepala.

"Letakkan dua telapak tanganmu di punggungku."

Ratu Dhika lakukan apa yang dikatakan Arwah Ketua. Begitu telapak tangan menempel di punggung Arwah Ketua... wuss! Dess! Sosok kedua orang itu amblas masuk ke dalam tanah!

Hanya satu kejapan mata setelah lenyapnya tubuh Arwah Ketua dan Ratu Dhika ke dalam tanah untuk melakukan samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit tiba-tiba seorang tua berpakaian hitam muncul di halaman depan Candi Miring. Kening diikat seutas tali besar berbentuk jalin terbuat dari ijuk. Sambil berjalan ataupun diam berdiri dua telapak tangan selalu digosokan satu sama lain. Walau memelihara rambut putih menjulai. Namun wajahnya bersih kelimis. Di usianya yang hampir mencapai delapan puluh tahun sikap gerak geriknya tampak masih gagah. Sambil menggosok-gosok dua telapak tangan orang tua Ini memandang seputar bangunan candi sebelah depan. Lalu mulut berucap perlahan.

"Aku melihat banyak kerusakan di tempat ini. Apakah ini penyebab tuan rumah tidak muncul menyambut kedatanganku? Sahabatku Arwah Ketua, aku mendengar kau menyebut namaku. Dari jauh aku datang untuk mencari tahu. Tapi gerangan dimana kau berada saat ini?"

Orang tua ini pejamkan mata, kepala dldongakkan. Kembali terdengar suaranya berkata. "Ahh... Ada dua mahluk mungil telah mengisi Ruang Enam Dinding Dewa. Sayang aku punya keterbatasan tidak mampu melihat secara terbuka. Sahabatku Arwah Ketua, kau mampu melihat secara terbuka. Sahabatku Arwah Ketua, kau mungkin tengah melakukan sesuatu atau belum berada di tempat ini. Baiklah, aku akan menunggu. Sementara menunggu perkenankan aku menghibur diri sendiri. Udara di sini terasa sangak dan panas. Perlu sedikit keteduhan..."

Dua telapak tangan berhenti digosokkan. Tangan kanan diangkat ke atas. Saat itu juga tahu-tahu telah tergenggam sebuah seruling terbuat dari bambu. Si orang tua duduk di tangga candi. Seruling ditempelkan ke bibir. Sesaat kemudian terdengar suara alunan tipuan seruling mendayu-dayu merdu sekali. Aneh. udara bukit gersang yang panas perlahan-lahan terasa sejuk. Tiupan angin yang hampir tak pernah menyapu kawasan itu kini mengalun nyaman sepoi-sepoi basah seolah mengikuti alunan suara tiupan seruling.

11.DINDING TAK BERUJUD

KITA tinggalkan dulu Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang yang tengah melakukan Samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit di dalam tanah di halaman selatan Candi Miring serta tamu tidak dikenal yang menyebut diri datang dari jauh dan saat itu tengah duduk di tangga candi sambil meniup seruling.

Mari kita ikuti Resi Garispasthika yang sedang berjalan menuruni bukit bersama Liris Pramawari. Si gadis membawa sang Resi ke pinggiran sebuah hutan jati sebelah timur. "Liris Pramawari. Kita sudah berpisah beberapa hari. Kau tiba-tiba muncul. Berarti kau masih belum menempuh jalan ke Gunung Mahameru. Apa kau lupa tugas yang aku berikan atau sengaja tidak mau melaksanakan?"

"Bukan begitu Kek, eh Paman..."

"Sudah, jangan memanggil aku Paman. Panggil seperti yang sudah-sudah kau lakukan. Panggil aku Kakek..."

"Tapi bukankah kau sudah menganggap diriku sebagai keponakan. Dan kau mengatakan pada banyak orang. Jadi pantas aku memanggilmu Paman bukan...?"

"Seharusnya begitu. Keponakan memanggil paman pada adik ayahnya. Tapi Jika kau memanggilku Paman..." Sepasang mata putih si orang tua tampak seperti mau mencair. Resi Garipasthika cepat tengadahkan kepala. Dua gundukan salju putih yang mulai mencair serta merta menggumpal keras kembali.

"Ada apa Kek... Apakah aku sudah bicara salah padamu?" tanya Liris Pramawari memandang dengan heran.

Si orang tua tersenyum. "Suatu ketika aku akan menceritakan padamu riwayat diriku. Dulu... puluhan tahun silam aku memang punya seorang keponakan. Saat itu usianya sebayamu sekarang ini. Lalu ada manusia jahat membunuhnya. Ketika pertama kali menemuimu, aku merasa keponakanku itu hidup kembali. Dewa sungguh Agung..."

Liris Pramawari cepat-cepat memegang kedua tangan Resi Garipasthika. "Kek. kalau begitu harap maafkan diriku. Aku tidak tahu riwayat masa silammu..." Kata Liris cepat menyambung ucapannya. "Mengenal tugas darimu pasti saya laksanakan, tapi saya masih dalam keadaan bingung..."

"Kalau hidupmu hanya dipenuhi kebingungan, lalu kapan kau akan berbuat kebajikan?"

Liris Pramawari terdiam. Mata menatap dua tangan mulai dari pergelangan sampai ke ujung jari. Dia memperhatikan dan menyadari kalau tangan tidak berkulit dan tidak berdaging itu kini kembali menjalar naik ke arah pertengahan lengan.

Melihat sang keponakan terdiam. Resi Garipasthika jadi kasihan. Dia tahu kalau gadis itu tidak akan melalaikan tugas yang diberikan. Tapi derita beban kehidupannya memang bukan main-main dan sungguh berat Mulai dari kematian ibunya yang dibunuh orang di depan mata kepalanya sendiri. Lalu hukum kutukan Dewa yang dijatuhkan atas diri ayahnya dimana sang ayah kemudian menghilang tidak diketahui alam rimbanya meski sebelum pergi sempat memindahkan seluruh ilmu silat dan ilmu kesaktiannya ke dalam diri Liris Pramawri yang oleh Sebayang Kaligantha kemudian diberi julukan Dewi Tangan Jerangkong.

Gadis malang tapi berhati perkasa ini telah bersedia menanggung dosa kesalahan sang ayah. Ini membawa akibat hukuman jatuh pada dirinya yaitu berupa seluruh tubuh akan berubah menjadi jerangkong jika dia tidak bisa berbuat tiga kebajikan besar dalam dua belas bulan purnama. Sejauh ini dia baru mampu berbuat satu kebajikan besar yaitu ketika menolong Sebayang Kaligatha. (Baca Dewi Tangan Jerangkong)

Dalam rasa haru dan kasihan Resi Garipasthika bertanya sengaja alihkan pembicaraan. "Keponakanku, bagaimana kau bisa mengetahui aku berada di kawasan Candi Miring?"

Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong cabut golok berikut sarungnya yang terbuat dari gading dan sejak diterima diselipkan di balik punggung. "Golok sakti ini Kek. Senjata ini yang membimbing saya ke arahmu..."

Senjata yang berada di tangan Liris Pramawari adalah golok sakti bernama Golok Empat Mulut Penghisap Darah yang beberapa waktu lalu diterimanya dari kakek bermata salju itu. Resi Garipasthika terdiam. Walau saat itu sang surya bersinar terik namun dari hidung serta sepasang matanya yang putih terus saja keluar uap dingin. Dalam hati sang Resi membatin,

"Kalau memang Golok Empat Mulut Penghisap Darah itu yang membimbingnya, berarti gadis ini tidak mengada-ada. Segala sesuatunya seperti sudah dikehendaki Yang Maha Kuasa. Kalau dia tidak menaruh hormat padaku, tidak nanti dia akan mencari diriku. Aku berterima kasih Dewa telah mempertemukanku dengan gadis itu. Meski beban derita dirinya sendiri begitu berat dia masih ingat dan mau melakukan sesuatu untuk kebaikan orang lain."

Kedua orang itu lanjutkan perjalanan kembali. Di satu tempat, di tepi hutan yang sunyi Liris Pramawari berhenti. "Kek, kita sudah sampai di pinggir hutan dimana saya menyaksikan kejadian itu..."

Resi Garipasthika memandang berkeliling dengan sepasang mata putihnya. Lalu berkata, "Sebelumnya aku juga berada di sekitar hutan ini. Ketika mengamankan dua bayi. Aku hanya mampu masuk sejauh tujuh langkah. Setelah itu ada satu kekuatan yang sulit ditembus..."

"Itu yang terjadi dengan diri saya Kek. Saya mendengar suara kucing mengeong di sekitar sini. Suara ada tapi binatangnya tidak kelihatan. Ketika saya hendak masuk ke dalam hutan saya seperti dihalangi oleh tembok kokoh yang tidak kelihatan..."

"Rimba belantara ini telah diselimuti sirap tenung yang dilakukan oleh Arwah Ketua, penguasa di Candi Miring itu. Maksudnya mungkin baik. Namun aku punya dugaan kali ini dia telah mengambil langkah keliru. Aku menyirap kabar ada seorang pemuda aneh bersama dua sahabatnya terkurung di dalam hutan. Pemuda itu mungkin sekali adalah ayahanda dari dua bayi keramat yang ada di Candi Miring. Suara kucing yang kau dengar pasti binatang peliharaan gadis gemuk bernama Ratu Dhika itu. Keponakanku, sekarang ceritakan apa yang telah kau alami di tempat ini…”

Liris Pramawari usap tengkuknya yang mendadak terasa dingin lalu mulai bercerita.

* * * *

KISAH Liris Pramawari...

SUARA ngeongan kucing membuat Liris Pramawari hentikan lari. Karena rimba belantara itu diselimuti kesunyian, suara kucing terdengar jelas sekali. Namun setelah mencari kian kemari dia tidak berhasil menemukan binatang itu.

"Kucing di dalam hutan, terasa agak aneh. Aku ingin mencari binatang itu tapi tugas yang diberikan kakek bermata salju sungguh tugas berat. Perjalananku masih sangat jauh. Aku harus pergi jauh ke timur. Padahal di Bhumi Mataram masalah yang aku hadapi banyak dan berat..."

Liris termangu beberapa saat di pinggir hutan sampai dia mendengar kembali suara ngeongan kucing. Suara itu begitu menghiba seperti hendak memberitahukan sesuatu atau seolah minta pertolongan. Akhirnya Liris Pramawari memutuskan masuk ke dalam hutan. Namun baru menindak satu langkah ke dalam rimba tiba-tiba... braakk! Tubuhnya menabrak sesuatu hingga dia terpental beberapa langkah ke belakang.

"Aneh, apa yang menghalangi? Aku tidak melihat apa-apa!"

Untuk kedua kalinya gadis ini melompat masuk ke dalam hutan. Untuk kedua kalinya pula tubuhnya membentur sesuatu. Kening, hidungnya dan lutut terasa sakit. "Benar-benar aneh..."

Liris Pramawari memandang ke dalam hutan dengan mata terbelalak. Lalu dia melangkah. Dua tangan disapukan dan diketukkan ke depan. Dia menyentuh satu benda tebal. Kemanapun dia meraba dan mengetuk benda tebal itu tetap terasa.

"Dinding penghalang tidak berujud. Tidak bisa dilihat mata... Bagaimana mungkin? Orang sakti mana yang punya pekerjaan? Atau dedemit hutan tengah berpesta hingga orang luar tidak boleh masuk ke dalam hutan?" Si gadis usap-usap tengkuknya yang terasa dingin. Tapi otak masih terus berpikir. "Kucing tadi. Apa binatang itu ada di dalam atau di luar hutan?"

Liris menatap hutan belantara di hadapannya. Coba menebus pandang sampai jauh ke dalam dimana pohon jati tumbuh rapat dan keadaan redup. Karena belum yakin dan masih penasaran gadis ini mundur beberapa langkah. Dua tangan diangkat ke atas, siap melepas pukulan sakti bernama Menabas Tiang Meruntuh Atap yaitu ilmu kesaktian yang didapat dari ayahnya. Dua tangan memancarkan cahaya keputih-putihan bergetar tanda Liris Pramawari mengerahkan seluruh kemampuan tenaga dalam yang dimiliki. Sesaat lagi pukulan sakti akan melesat tiba-tiba di hutan sebelah utara dan selatan terdengar suara ringkikan kuda seperti saling bersahutan.

"Siapa...?" pikir Liris Pramawari yang terpaksa turunkan dua tangan. Batal melepas pukulan sakti. Telinganya yang tajam menangkap satu kejanggalan.

12. PERMAISURI MATARAM BARU

"INI aneh lagi. Ada suara kuda meringkik tapi tidak ada suara tapal kaki mendera tanah! Aku tadi seperti melihat ada sambaran cahaya dari selatan..."

Liris Pramawari mengambil putusan cepat dan tepat. Gadis ini melesat ke atas satu pohon jati besar, berpijak di atas cabang paling tinggi, mendekam di balik daun-daun jati yang lebar dan lebat.

Tidak menunggu lama, dari arah kiri, dari jurusan dimana terletak bukit gersang, berkelebat satu bayangan kuning. Di bawah pohon kemudian tampak seorang berdestar dan berjubah kuning berdiri sambil memegang buntungan tangan yang ternyata adalah tangan kanannya sendiri. Orang ini memiliki hanya satu alis, yaitu di atas mata kiri, panjang menjulal sampai ke pipi. Di bahu si jubah kuning memanggul seorang perempuan berambut tergerai lepas yang wajahnya tidak bisa dilihat oleh Liris Pramawari. Orang ini bukan lain ialah Panglima Pawang Sela. Perempuan yang dipanggulnya adalah Ananthawuri yang beberapa saat lalu diculiknya dari Candi Miring.

Liris memperhatikan ke arah kanan. Tadi ada suara meringkik dari jurusan itu namun mengapa tidak ada orang atau binatang atau mahluk lain yang muncul? Mata dibesarkan, telinga dipasang tajam-tajam. Di pinggir hutan Pawang Sela mencari pohon jati kering tidak bercabang dan tidak berdaun.

"Apakah aku datang ke tempat yang salah? Aku tidak melihat pohon jati yang dikatakan Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan."

Baru saja Pawang Sela membatin mendadak ada suara mengiang. "Panglima, aku ada di sini."

Pawang Sela cepat menoleh ke pinggiran hutan sebelah kiri. Di situ semua pohon jati tumbuh bercabang dan berdaun lebat. Namun tiba-tiba dia melihat ada satu pohon jati tinggi besar, berkulit kering, tidak memiliki cabang maupun ranting apa lagi daun. Sekilas tampak ada cahaya tiga warna memancar di batang pohon lalu lenyap. Dengan cepat Pawang Sela melompat ke hadapan pohon, membungkuk dalam-dalam sambil berkata, "Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan, saya sudah berada di hadapanmu. Mohon maafmu, tadi saya tidak melihat pohon jati ini..."

"Aku sengaja tadi menutup pandanganmu karena ketika menuju ke sini aku mencium bau manusia lain di sekitar rimba belantara ini. Apakah ada orang yang mengikutimu Panglima?" Suara yang bicara seolah datang dari dalam batang jati kering.

"Saya yakin tidak..."

"Lalu mengapa aku masih mencium bau manusia di sekitar sini?"

Liris Pramawari mengatur napas demikian rupa agar jangan sampai terdengar, karena dia kini tahu orang-orang berkepandaian luar biasa tinggi di bawah sana. Satu masih belum kelihatan ujudnya yaitu yang disapa dengan panggilan Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan. Saat itu karena terlindung oleh dedaunan Liris Pramawari tidak melihat bayangan cahaya tiga warna di batang pohon jati kering tak bercabang dan tidak berdaun.

"Kalau begitu izinkan saya menyelidik. Atau mungkin bau manusia yang Junjungan cium adalah perempuan yang ada di atas panggulan saya saat ini?"

"Perempuan yang kau bawa berbau harum bunga melati. Yang aku cium baunya lain..."

"Junjungan mengizinkan saya melakukan penyelidikan?"

"Tidak perlu. Waktuku tidak lama. Mungkin saja bau yang aku cium berasal dari beberapa manusia yang terkurung di dalam rimba belantara. Bukankah ada mahluk yang mempergunakan ilmu kepandaian untuk menyesatkan orang lain hingga terkurung di dalam rimba?"

"Saya mendengar hal itu Junjungan. Saya tahu siapa pelakunya yaitu Arwah Ketua Penguasa Candi Miring. Tapi saya tidak tahu siapa yang terkurung di dalam rimba..."

"Nanti kau harus menyelidik. Kalau bisa kita keluarkan siapa tahu mereka bisa kita jadikan mahluk Tuman Keku. Sekarang untuk sementara lupakan orang-orang itu. Panglima, aku melihat keadaanmu sangat menyedihkan..."

"Mohon maafmu wahai Junjungan. Saya berhasil menembus Candi Miring namun tidak mampu mendapatkan dua bayi. Saya kehilangan tangan kanan..."

"Aku tahu. Pembalasan dan hukuman akan segera jatuh pada perempuan gemuk bernama Ratu Dhika Gelang Gelang yang telah mencelakai dirimu. Tapi aku lebih dulu akan memanfaatkan ilmu kesaktiannya. Sampai saat ini kita belum punya mahluk Tuman Keku betina. Ha... ha... ha!"

Mahluk di dalam pohon kering tertawa. Panglima Pawang Sela juga tertawa tapi tidak berani keras-keras.

"Panglima, buntungan tanganmu itu, kau sudah menyelamatkannya. Tak ada orang yang bisa menjajagi keberadaanmu. Tapi aku tidak terlalu yakin. Sekarang kau tidak memerlukan lagi buntungan tangan itu..."

"Saya mohon petunjuk Junjungan. Apakah tangan ini tidak bisa disambung lagi?"

"Cakar besi yang merenggut putus tanganmu mengandung racun jahat Racun Liang Sungsum. Kalau kutungan tangan disambung, racun akan mengalir kembali dalam aliran darahmu dan masuk ke dalam sungsum. Kau akan menemui ajal dalam waktu dua hari. Kalau saja aku punya ilmu penawar racun itu..."

"Saya mengerti," jawab Panglima Pawang Sela pula. Lalu tidak menunggu lebih lama Panglima Pawang Sela bantingkan buntungan tangan ke tanah hingga amblas.

"Pawang Sela, kau pembantuku yang sangat berbakti. Walau tanganmu kini cuma satu, aku akan menambahkan kadar cahaya tiga warna dalam tubuhmu hingga ilmu kesaktianmu berlipat ganda."

"Terima kasih Junjungan," kata Panglima Pawang Sela sambll membungkuk. Lalu dia menatap ke arah pohon dan berkata. "Junjungan, saya berhasil menculik ibu dari dua bayi keramat itu."

"Itu. pekerjaan hebat! Aku sudah melihat. Bukankah namanya Ananthawuri. Menurut apa yang tersurat di Empat Gading Bersurat, dia adalah gadis pilihan Para Dewa. Dia akan tetap perawan meskipun telah melahirkan dua bayi."

"Saya mohon petunjuk, apa yang akan saya lakukan dengan gadis ini..."

"Serahkan padaku." kata suara di dalam pohon. "Bukankah seorang Sri Maharaja memerlukan seorang calon Permaisuri?"

Panglima Pawang Sela terkesiap mendengar ucapan mahluk di dalam pohon jati. Dalam hati dia membatin. "Bagaimana mungkin. Dua bayinya mau dibunuh, ibunya mau dijadikan Permaisuri..."

13. KEBAJIKAN KEDUA

MATA baja putih berkilau Sri Maharaja Ke Delapan menatap Pawang Sela. "Panglima, apa yang ada di benakmu?!"

Panglima Pawang Sela tersentak mendengar teguran itu. Apakah dia tahu apa yang barusan aku ucapkan dalam hati?" pikir Pawang Sela. Cepat-cepat Panglima dari Kerajaan Mataram Baru ini membungkuk berulang-ulang. "Dewa Agung. Wahai Junjungan, saya tidak sadar kalau saat ini saya tengah membawa calon Permaisuri Kerajaan Mataram Baru..."

Di atas pohon dengan hati-hati Liris Pramawari menyibakkan daun jati agar bisa melihat ke bawah lebih jelas. "Permaisuri...? Mahluk sakti itu hendak menjadikan Ananthawuri sebagai Perrhalsuri? Sang Hyang Jagad Bathara. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri ini. Apa pula yang akan terjadi kemudian...?"

"Panglima, lebih mendekatlah ke pohon. Aku segera akan mengambil gadis itu." Sri Maharaja Ke Delapan berkata.

Dengan cepat Panglima Pawang Sela melangkah lebih dekat ke arah pohon jati kering lalu berlutut satu kaki di tanah hingga tubuh dipanggulnya akan lebih mudah untuk diambil. Cahaya tiga warna yang ada di batang pohon berpijar terang lalu lenyap. Sekali ini Liris Pramawari sempat melihat keberadaan cahaya tiga warna itu.

"Cahaya tiga warna..." desis Liris Pramawari dengari bibir bergetar. "Berarti... apakah dia pemiliknya? Mungkinkah dia sang pengendali yang pernah mencelakai pemuda bernama Sebayang Kaligatha itu...?"

Begitu cahaya lenyap sebagai gantinya dari dalam pohon keluar satu sosok lelaki. Rambut, wajah, sekujur tubuh serta pakaian yang dikenakannya memancarkan cahaya berkilat seolah dilapisi sejenis logam putih berkilau. Bahkan dua bola matapun putih, mengingatkan Liris Pramawari pada Resi Garipasthika. Mahluk aneh ini mengenakan sebuah mahkota kecil yang juga berwarna putih dan lebih menyilaukan dibanding warna putih yang melapisi tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki termasuk pakaian ringkas yang dikenakannya.

"Manusia baja putih...?" ucap Liris Pramawari dalam hati penuh tanda tanya. "Seumur hidup baru sekali ini aku melihat mahluk seperti ini. Apakah dia manusia atau mahluk dari alam gaib atau bagaimana? Jadi inilah ujud Sri Maharaja Ke Delapan yang selama ini disebut-sebut keberadaannya di Bhumi Mataram. Tidak berkumis tidak berjanggut. Lapisan putih berkilat di wajahnya membuat sulit menduga apakah dia masih muda atau sudah tua renta."

Mahluk yang disebut sebagai mahluk baja oleh Liris Pramawari, menyembul keluar dan dalam batang pohon sampai sejarak satu langkah. Dua tangan diulurkan untuk mengambil sosok Ananthawuri dari atas bahu Panglima Pawang Sela. Pada saat Ananthawuri berpindah ke dalam gendongan Sri Maharaja Ke Delapan dengan tubuh tertelentang, rambut yang menjulal tersibak, wajah yang tadi tertutup rambut kini tersingkap. Begitu Liris Pramawari memperhatikan wajah gadis itu, kejutnya bunga alang kepalang. Untung saja dia bisa cepat menguasai diri hingga tidak mengeluarkan seruan bertahan.

"Dewa Jagat Bhatara! Tidak salah mataku melihat? Wajah gadis itu mengapa sangat mirip dengan parasku? Tidak heran kalau Arwah Ketua di Candi Miring mengira aku ibu dua bayi itu..."

Sri Maharaja Ke Delapan tatap sesaat wajah Ananthawuri yang berada dalam keadaan tidak sadar karena sebelumnya telah ditotok oleh Pawang Sela. Dua mata putih Sri Maharaja Ke Delapan berpijar terang. "Cantik sekali. Penuh kesucian dan ketulusan. Gadis bernama Ananthawuri. tidak salah kalau Para Dewa mengambilmu sebagai gadis pilihan. Tidak salah kalau aku Sri Maharaja Ke Delapan Kerajaan Mataram Baru mengambilmu menjadi Permaisuri. Aku sungguh berbahagia..."

Sri Maharaja Ke Delapan menatap pada Pawang Sela. Sang Panglima cepat berdiri dari berlutut dan berkata, "Junjungan, kebahagiaanmu menjadi kebahagiaan saya juga."

"Panglima, aku akan membawa Permaisuriku ini ke lapisan bumi ke tiga. Otaknya perlu dicuci terlebih dulu. Aku menunggumu di sana. Namun sebelumnya kau harus memeriksa tempat pemusatan Tuman Keku dan Tuman Kean. Juga temui Arwah Hitam Pengawal Malam. Periksa apakah dia telah melakukan tugas seperti yang kita kehendaki. Bila keadaan sudah cukup matang, dalam keadaan hari di muka aku akan mengambil keputusan kapan kita melakukan penyerbuan..."

Di atas pohon kening Liris Pramawari mengernyit. "Tuman Keku, Tuman Kean... Mahluk apa itu? Penyerbuan...? Penyerbuan kemana? Siapa yang hendak diserbu. Memangnya ada pasukan..."

"Perintah Junjungan akan saya laksanakan," jawab Panglima Pawang Sela. "Sebelum berpisah ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Maaf kalau perilaku saya dianggap lancang. Junjungan, kita sudah menguasai perempuan gemuk bernama Ratu Dhika Gelang Gelang. Apakah kita juga sudah bisa menjajagi siapa adanya orang yang menyelamatkan dua bayi dari dalam Peti Dewa? Saya menduga ilmu kesaktian orang itu jauh lebih tinggi dari Ratu Dhika. Bahkan tidak berada di bawah Arwah Ketua..."

Muka bertapis baja putih Sri maharaja Ke Delapan sungglngkan senyum. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan manusia satu itu Panglima Pawang Sela. Dia aku ketahui adalah seorang Resi bernama Garipasthika. Sebelum hari penyerbuan dia sudah berada di pihak kita. Aku tahu apa yang menjadi kelemahannya."

Pawang Sela membungkuk. "Syukurlah kalau begitu wahai Junjungan."

Sri Maharaja Ke Delapan anggukkan kepala. Dia melangkah mundur. Sosok anehnya bersama Ananthawuri yang didukungnya masuk ke dalam batang pohon jati dan sirna dari pemandangan. Cahaya tiga warna yang ada di pohon itu memancar terang lalu lenyap.

Di atas pohon Liris Pramawari mengusap wajahnya yang keringatan berulang kali. "Sri Maharaja Ke Delapan. Rencana penyerbuan...? Gadis itu hendak dijadikan permaisuri. Lebih dulu dicuci otaknya. Tuman Keku dan Tuman Kean... mahluk apa itu? Lalu kakekku itu hendak mereka apakan? Resi itu dalam bahaya. Bagaimana ini? Aku harus membatalkan niat meneruskan perjalanan membawa golok sakti ke Gunung Mahameru. Aku harus mencari orang tua itu. Tapi dia berada dimana...?"

Tiba-tiba golok sakti bersarung gading yang terselip di punggung Liris Pramawari bergetar lalu melesat keluar. Di udara senjata sakti ini berputar tiga kali sebelum diam mengepung dengan ujung golok memancarkan sinar aneh dan menunjuk ke arah selatan. Liris Pramawari yang berotak tajam maklum apa arti kejadian ini.

"Senjata sakti, terima kasih. Kau telah memberi petunjuk arah dimana aku bisa menemukan orang tua bermata salju itu..."

Liris Pramawari cepat mengambil golok sakti yang mengapung di udara dan memasukkannya ke balik punggung jubah putih. Tak lama setelah dilihatnya Panglima Pawang Sela meninggalkan tempat itu maka diapun melompat t urun dari atas pohon jati. berlari secepat angin ke arah selatan. Mengikuti petunjuk golok sakti ke arah dimana beradanya Resi Garipasthika. Ketika dia sampai di kaki bukit gersang dimana Candi Minng terletak. Liris melihat Resi Garipasthika tengah menyerahkan dua bayi pada seseorang perempuan gemuk mengenakan kemben merah.

"Rupanya pamanku itu ada urusan dengan orang-orang Candi Miring. Sebaiknya aku tidak mengganggu. Biar aku menunggu di balik batu besar sana..."

Tak lama setelah Liris duduk di balik batu besar di kaki bukit tiba-tiba Arwah Ketua muncul, langsung mencekal leher pakaiannya. Belum sempat gadis ini berpikir apakah dia akan melawan atau diam saja, tahu-tahu dia sudah sampai di atas bukit.

* * * *

"KEK, begitu kejadian yang aku alami. Kalau saya telah bertindak salah tidak meneruskan perjalanan tapi malah berbalik mencarimu, saya mohon maaf." Berkata Liris Pramawan begitu selesai menuturkan apa yang dialaminya di hutan jati.

"Tidak, kau tidak melakukan kesalahan. Apa yang kau perbuat yaitu mencariku adalah satu tindakan yang sangat benar. Bhumi Mataram, semua tokoh baik di Kerajaan ini tengah menghadapi satu perkara besar. Kebanyakan dari mereka tidak mengetahui atau tidak menyadari. Kau datang padaku, memberi tahu berarti merupakan satu kebajikan. Apakah kau tidak menyadari...?"

"Apa maksudmu Kek?"

Resi Garipasthika tersenyum. Dua tangan diulurkan memegang tangan si gadis. Lalu dua tangan diangkat, didekatkan ke mata Liris.

"Kau lihat sendiri..."

Liris Pramawari membuka matanya lebar-lebar. Dua tangan yang sebelumnya mengelupas tidak berkulit tidak berdaging sampai sebatas lengan kini tampak pulih utuh sampai ke ujung kuku. Liris Pramawari terpekik gembira langsung memeluk si orang tua sambil menyebut Yang Maha Kuasa berulang-ulang.

"Kek. Saya merasa tidak berbuat kebajikan apa-apa..."

Resi Pramawari elus punggung si gadis. "Kau merasa begitu tapi Para Dewa lebih mengetahui dan selalu berlaku adil. Apa yang telah kau lakukan, yaitu mencariku dan menceritakan apa yang terjadi di hutan jati merupakan satu kebajikan besar. Karena dengan cara itu kau telah memberi tahu bahwa Bhumi Mataram tengah menghadapi satu perkara bahaya sangat besar. Kau telah membantu usaha menyelamatkan Kerajaan. Kini menjadi kewajibanku dan para tokoh baik di Mataram untuk mengambil tindakan. Kalau saja Arwah Ketua mau bersikap bersahabat dengan diriku, sebenarnya aku dan dia bisa bekerjasama bahu membahu menyelamatkan Kerajaan. Sayang... sayang sekali. Dia justru curiga padaku. Dia hanya menurutkan kata hati sendiri. Pikiran yang jernih terkadang tidak dipakai, dilupakan begitu saja. Sayang, padahal aku tahu dia mahluk baik."

Resi Garipasthika lepaskan pelukan dua tangan si gadis lalu berkata, "Liris kalau tidak salah aku mengingat riwayat dirimu, berarti sampai saat ini kau sudah berbuat dua kebajikan besar. Kau masih harus melakukan satu kebajikan besar lagi hingga hukuman Dewa hapus atas dirimu..."

"Kek, saya tidak mengkhawatirkan diri saya. Saat ini saya sembuh. Saya berterima kasih pada Para Dewa dan dirimu. Saya tahu, dalam beberapa hari di muka tangan saya kembali akan mengelupas lagi. Kek, saya saat ini yang saya khawatirkan justru adalah dirimu. Ingat ucapan orang bertubuh baja putih itu. Dia tahu keadaan dirimu. Termasuk kelemahanmu. Mereka hendak mencelakanmu Kek. Mereka juga hendak mengerjai Ratu Dhika."

"Aku tahu. Mereka hendak mencelakai semua orang yang tidak sehaluan dengan mereka, apalagi yang dianggap bisa menghalangi rencana keji mereka. Termasuk dua bayi suci keramat yang tidak tahu apa-apa itu. Mahluk baja putih itu. yang dipanggil Sri Maharaja Ke Delapan, dia biang keladi semua perbuatan dan rencana jahat ini. Dia juga yang menjadi penguasa dan pemilik ilmu yang memancarkan cahaya tiga warna. Kita harus bisa menghancurkan sumber ilmunya. Tapi yang harus dilakukan lebih dulu adalah mencari tahu dimana sarang kediamannya."

"Saya mendengar dia menyebut satu tempat di lapisan bumi ke tiga..."

"Lapisan bumi terlalu luas. Tidak mungkin mencarinya tanpa kepastian letak keberadaannya. Jika saja Arwah Ketua mau kuajak bekerja sama dia bisa melesat masuk ke dalam bumi. Mencari tahu."

"Bagaimana kalau kita menemui Arwah Ketua kembali di Candi Miring..."

"Aku tengah memikirkan hal itu. Hanya saja aku lebih banyak khawatir dari pada mengharap..." jawab Resi Garipasthika yang rupanya sudah tahu betul seluk beluk sifat peradatan Arwah Ketua.

"Mereka juga saya dengar menyebut Tuman Keku dan Tuman Kean. Kau tahu mahluk apa itu Kek?" bertanya Liris.

"Kau pernah diserang mahluk bertubuh manusia berkepala anjing. Benar?"

"Benar Kek"

"Setahuku itulah mahluk bernama Tuman Kean. Tubuh manusia Kepala Anjing. Ada yang menciptakan untuk satu keperluan besar. Jangan-jangan ini ada sangkut pautnya sama Sri Maharaja ke Delapan. Kalau Tuman Keku, aku masih belum paham. Rasanya manusia juga tapi berkepala binatang. Entah apa. Dalam waktu tidak lama kita pasti akan mengetahui."

"Kek. sebelum orang yang menculik Ananthawuri dan mahluk aneh putih itu muncul, saya mendengar ada suara seperti kuda meringkik..." Memberi tahu Liris Pramawari.

"Kalau begitu Tuman Keku bisa saja berarti Tumbuh Manusia Kepala Kuda."

Liris tercengang lalu bertanya lagi. "Kek, mengapa mahluk berlapis baja putih menyebut diri dan dipanggil Sri Maharaja Ke Delapan. Sungguh sangat takabur..."

Resi Garipasthika menatap ke langit bersih di atas hutan jati. "Itu yang sejak beberapa waktu lalu menjadi tanda tanya dalam diriku. Saat ini dengan petunjuk Dewa Agung, setelah mendengar penuturanmu, aku sudah bisa meraba. Raja yang memerintah di Mataram sekarang ini adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Merupakan Sri Maharaja ke tujuh dalam jajaran Raja-raja Kerajaan Mataram. Mahluk baja putih itu bermimpi akan menjadi pengganti pada urutan Sri Maharaja Ke Delapan dengan cara merampas tahta. Melakukan penyerbuan... Mereka pasti akan menyerbu Kotaraja..."

"Kalau begitu apa yang harus kita lakukan Kek? Apakah saya harus kembali menempuh jalan ke Gunung Mahameru untuk menyerahkan golok sakti pada Resi Pewaris di sana?"

"Keponakanku, untuk sementara tugas itu bisa kau tunda dulu. Yang harus kau lakukan saat ini adalah mencari kucing yang kau dengar suara mengeongnya tadi sebelum dua mahluk aneh itu muncul di pinggiran hutan..."

"Kucing? Untuk apa di cari Kek?"

"Binatang itu bisa membantu kita melebur tenung yang menyirap beberapa orang yang ada di dalam rimba belantara. Mereka orang-orang pandai. Kita perlu bantuan mereka untuk menyelamatkan Kerajaan sebelum mereka di masukan ke dalam kelompoknya oleh Sri Maharaja Ke Delapan. Tapi tindakan itu agaknya harus tertunda beberapa waktu. Aku punya firasat Arwah Ketua dan perempuan gemuk yang bernama Ratu Dhika tengah melakukan sesuatu yang sakral di Candi Miring. Kita tidak boleh mengganggu mereka..."

"Kalau itu perintah darimu. Akan saya lakukan Kek. Lalu Kakek sendiri mau melakukan apa atau mau ke mana?"

Resi Garipasthika tidak menjawab. Dia menyerahkan tongkat yang ada lapisan putih dan mengepulkan hawa dingin pada Liris Pramawari. Walau merasa heran si gadis menerima juga tongkat itu dan memegangnya di tangan kanan.

"Kek, dulu kau menyerahkan golok sakti padaku. Lalu minta digendong, sekarang kau menyerahkan tongkat sakti. Apakah sekarang kau juga mau minta digendong?"

Si Mata Salju tertawa. Belum lenyap gema tawa itu, tubuhnya berubah menjadi asap putih dingin, lalu lenyap masuk ke dalam tongkat. "Aku malas berjalan, apalagi lari. Kau saja yang membawa aku kemana-mana..." Terdengar suara Sang Resi dari dalam tongkat.

Begitu si orang tua sakti masuk ke dalam tongkat langsung saja tangan dan bahu kanan Liris Pramawari tertarik miring karena tongkat itu serta merta menjadi sangat berat hingga dua kakinya tertekuk dan akhirnya jatuh terduduk di tanah. Liris Pramawari kerahkan tenaga luar dalam, berusaha berdiri sambil mengangkat tongkat. Tapi sampai tubuhnya keluar keringat dan rahang menggembung dia tidak mampu melakukan. Malah kembali jatuh terduduk di tanah! Karena kehabisan akal gadis ini akhirnya duduk menjelepok lalu tertawa geli.

"Keponakanku, mengapa kau tertawa? Anak perawan tidak baik tertawa di hutan belantara. Apa kau mau menyuruh datang semua dedemit hutan..." Keluar suara dari dalam tongkat.

"Ih... jangan bicara membuat aku takut Kek."

"Lalu apa tongkatku berlaku nakal menggelitikmu?"

"Kek tongkatmu tidak nakal. Tapi tongkat ini kenapa jadi berat begini. Aku tidak mampu mengangkatnya!" jawab Liris Pramawuri.

"Oala... Padahal sudah satu minggu ini aku puasa! Ah. pasti tua bangka ini masih banyak dosa! Ha...ha... ha!" Terdengar suara sang resi dari dalam tongkat disusul suara tawa. "Sekarang coba kau angkat lagi. Apa masih berat?!"

Liris mencoba. Dia jadi terkejut sendiri. Tongkat putih mengepulkan hawa dingin itu mendadak bukan saja berubah sangat ringan. Tapi juga menariknya ke depan hingga untuk mengikuti dia terpaksa harus berlari cepat, makin cepat dan tidak terasa dia sudah dua kali mengelilingi rimba belantara hutan jati di kaki bukit itu!

"Meong..." Sekonyong-konyong terdengar suara kucing mengeong!

14. MENJEJAK BUMI MENERAWANG LANGIT

ILMU Menjejak Bumi Menerawang Langit pada masa itu hanya dimiliki oleh Arwah Ketua. Dengan ilmu ini, berdasarkan bagian tubuh atau pakaian dari seseorang bisa dijajagi dimana beradanya orang bersangkutan dan dalam waktu beberapa kejapan mata saja bisa didatangi sekalipun orang itu berada di dalam perut bumi, di goa batu di dalam gunung atau di dasar laut.

Konon ketika pada mulanya Arwah Ketua memohon untuk mendapatkan ilmu tersebut yang dilakukan melalui doa dan tapa semedi. Para Dewa tidak mengabulkan. Arwah Ketua kemudian melakukan samadi alam terbuka di satu bukit di Gurun Pasir Dieng. Tanpa pakaian selembarpun Arwah Ketua melakukan semadi. Siang kepanasan membuat tubuhnya seolah leleh oleh terik panas sinar matahari sedang malam kedinginan laksana dikubur di dalam gundukan es!

Setelah memasuki hari ke empat puluh dimana keadaan Arwah Ketua tidak lebih dari jerangkong hidup dan siap sekarat, berkat keteguhan hati serta niat bahwa ilmu kesaktian itu hanya akan dipergunakan untuk kebaikan maka Para Dewa akhirnya mengabulkan tapa samadi Arwah Ketua. Kepadanya diberikan ilmu sakti mandraguna bernama Menjejak Bumi Menerawang Langit.

Ratu Gelang Gelang yang sejak tadi berdiam diri meletakkan dua tangan di depan mata. Tapi dia tidak melihat apa-apa. Semua serba gelap gulita. Dia merasa seperti berada dalam satu liang yang sempit. Ketika tangan disapukan ke kiri dan ke kanan dia menyentuh tanah lembab!

"Rakanda, kita berada dimana?" bisik Ratu Dhika yang dia tahu berada di sampingnya tapi tidak dapat melihat sosoknya.

"Kita sudah di dalam tanah. Jangan ada rasa khawatir. Bernafas seperti biasa. Kita akan segera mulai bertapa, memohon pertolongan Dewa Agung. Waktu kita tidak lama. Sebelum matahari mencapai titik tertingginya di luar sana, tapa kita harus sudah selesai. Sekarang ulurkan tanganmu ke samping. Jika kau menyentuh bahuku, bergeraklah. Pindah ke sebelah belakang. Dua telapak tanganmu letakkan di punggungku. Alirkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang kau miliki ke tubuhku. Kosongkan pikiran. Pada saat samadi berlangsung, kedua mataku akan menjadi buta. Maka matamu jangan sekali-kali dipejamkan karena kau yang akan melihat pertanda yang akan diberikan oleh alam gaib."

Ratu Dhika Gelang Gelang lakukan apa yang dikatakan Arwah Ketua. Ketika tangan kanan diulurkan ke samping, dia menyentuh bahu Arwah Ketua. Lalu dengan cepat dia bergeser duduk bersila di sebelah belakang, dua tangan ditempelkan di punggung Arwah Ketua.

"Radinda, selama samadi berlangsung kau tidak boleh mengeluarkan suara sedikitpun. Kecuali jika kau bertanya atau kau telah melihat sesuatu maka kau harus memberi tahu kepadaku..."

"Aku mengerti Rakanda," bisik Ratu Dhika Gelang Gelang. Suaranya masih menyatakan ada ketegangan dalam dirinya.

Dari kepalan tangan kirinya Arwah Ketua menebar segenggam tanah bercampur darah yang berasal dari luka buntungan tangan kanan Panglima Pawang Sela. "Kita mulai!" bisik Arwah Ketua. Maka saat itu juga meski kedua mata nyalang namun seandainya ada sinar terang di hadapannya dia tidak akan mampu melihat.

Di luar, sang surya perlahan-lahan bergerak mendekati titik tertinggi di pertengahan siang. Di dalam liang tanah Arwah Ketua dan Ratu Dhika sama-sama mandi keringat. Satu-satunya suara yang terdengar adalah hembusan napas mereka. Sepeminuman teh berlalu. Tiba-tiba ada getaran di empat dinding, lantai dan bagian atas liang tanah. Lalu Ratu Dhika melihat ada satu titik kecil berwarna hitam di kejauhan. Perlahan-lahan titik ini bergerak mendekat dan saat demi saat berubah besar.

Pada waktu mencapai seukuran kepalan titik hitam bergerak melebar membentuk tabir empat persegi. Di kehitaman tabir tiba-tiba muncul sebatang pohon jati kering, tinggi besar namun tidak bercabang dan tidak beranting, juga tidak memiliki daun selembarpun. Dari getaran telapak tangan Ratu Dhika yang menempel di punggungnya Arwah Ketua maklum kalau gadis gemuk itu telah melihat sesuatu.

"Katakan apa yang kau lihat..." ucap Arwah Ketua yang dari suaranya jelas dia juga tidak mampu menekan rasa tegang.

"Aku melihat pohon jati besar. Tinggi tak bercabang, tidak ada daun..."

"Hanya pohon?" tanya Arwah Ketua.

"Betul, hanya pohon."

"Aneh... kau sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti?"

"Nyawaku sudah seperti mau putus..." jawab Ratu Dhika.

"Apa yang terjadi...? Mungkin ada satu kekuatan dahsyat melindungi manusia berjubah kuning itu hingga dia tidak muncul dalam tabir samadi..." Arwah Ketua berpikir keras. Dia ingat sesuatu, "Radinda Ratu. coba kau perhatikan lagi. Beri tahu jika ada perubahan yang kau lihat."

Setelah berkata begitu Arwah Ketua ulurkan tangan kiri yang kini berada di sebelah kanan tubuhnya. Di dalam gelap dia kumpulkan kembali tanah mengandung darah yang tadi ditebar. Begitu digenggam tanah dalam genggaman memancarkan cahaya redup. Saat itu juga di sebelah belakang Ratu Dhika membuka mulut,

"Rakanda. aku melihat ada cahaya tiga warna pada batang pohon Jati kering..."

"Jangan berkesip... Kita hampir dapat menjajagi manusia berjubah kuning itu. Wahai Dewa Agung, tolong kami..." ucap Arwah Ketua.

Sesaat kemudian Ratu Dhika tiba-tiba melihat seorang berjubah kuning bertangan buntung yang memanggul seorang perempuan berambut panjang di bahu kirinya. "Aku melihat orang berjubah kuning itu. Orang yang mengaku Panglima Pawang Sela utusan Sri Maharaja Ke Delapan. Dia berdiri di depan pohon. Dia seperti bicara dengan seseorang. Tapi lawan bicaranya tidak kelihatan... Juga tidak terdengar suaranya. Aku hanya melihat sebentuk cahaya putih menyilaukan dari arah pohon jati. Di bahunya aku jelas melihat Ananthawuri yang diculik dari candi."

Tubuh Arwah Ketua bergetar. "Orang yang bicara dengan si jubah kuning itu pasti memiliki kekuatan dahsyat atau dilindungi oleh cahaya tiga warna hingga kau tidak mampu melihat dan mendengar suaranya. Perhatikan dan dengar baik-baik setiap ucapan Pawang Sela..."

"Orang itu memanggil lawan bicaranya dengan kata-kata Junjungan, Sri Maharaja Ke Delapan..."

"Dewa Jagat Bhatara! Dia rupanya."

"Rakanda, si jubah kuning menyerahkan Ananthawuri pada orang yang tidak kelihatan..."

"Radinda, kau tahu dimana kira-kira mereka berada? Kau mengenali keadaan sekitar pohon Jati?"

"Setahuku hutan jati terdekat ada di selatan kaki bukit"

"Benar, kita akan segera keluar dari dalam tanah. Aku akan memasuki alam gaib dan melesat ke kawasan hutan jati. Kau cepat mencari gadis berpakaian putih yang wajahnya mirip Anantha-wuri..."

"Aku sudah tidak sabar cepat-cepat keluar dari sini. Apakah samadi kita sudah selesai Rakanda. Olala... tunggu...!"

"Ada apa Radinda Ratu?"

"Aku... aku melihat diriku dalam tabir hitam itu. Cahaya tiga warna di keningku memancar terang Rakanda. kepalaku mendadak sakit sekali. Seperti mau pecah..."

"Ada orang hendak mencelakai dirimu..."

"Rakanda.. aku melihat mahluk aneh. Sekujur tubuhnya diselubungi benda putih berkilat seperti timah, mungkin baja. Ada mahkota berkilau di atas kepalanya. Mahluk ini mengulurkan tangan menarik tanganku. Rakanda aku... Tubuhku tertarik...!"

"Dewa Jagat Bathara! Radinda. orang hendak mengambil dirimu dari jauh. Kau harus cepat keluar dari sini. Ambil ini cepat telan!"

Arwah Ketua seperti mencongkel sesuatu dari dalam dadanya lalu benda bercahaya hijau bergemerlap ini dimasukkan ke dalam mulut Ratu Dhika Gelang Gelang yang saat itu menghuyung ke kanan seperti ditarik orang. "Telan!"

"Rakanda kau memberikan batu Asmasewu padaku?" Ratu Dhika tidak percaya.

"Saat ini hanya batu sakti ini yang bisa kuberikan untuk menyelamatkan dirimu. Lekas pergi! Cari gadis berkerudung putih!"

"Tapi bagaimana dengan dirimu?!"

"Jangan pikirkan aku! Batu itu akan kembali padaku jika kau sudah selamat dari mara bahaya! Cepat telan!"

Tidak ragu lagi Ratu Dhika segera menelan batu sakti bernama Asmasewu. Tanpa berpaling ke belakang Arwah Ketua lalu hunjamkan dua sikutnya ke belakang.

"Bukk! Bukkk!"

Dua sikut menghantam tubuh kiri kanan Ratu Dhika Gelang Gelang hingga dia menjerit keras merasa dirinya seolah luluh lantak! Saat itu juga tubuh gadis gemuk ini melesat keluar dari dalam tanah. Di udara siang benderang tubuhnya melesat ke arah barat hutan jati. Sekejapan kemudian Arwah Ketua telah keluar pula dari dalam tanah, melayang ke ujung utara hutan jati dan melesat turun di satu tempat yang bukan lain adalah Lembah Hantu!

T A M A T

Sri Maharaja Ke Delapan berusaha menculik Ratu Dhika Gelang Gelang secara gaib untuk dimanfaatkan ilmu kesaktiannya lalu dihabisi. Mampukah batu sakti Asmasewu menyelamatkan?

Bagaimana dengan Pangeran Bunga Bangkai dan dua sahabatnya yang masih terkurung di dalam rimba belantara karena tenungan Arwah Ketua?

Bisakah Ananthawuri lepas dari tangan Sri Maharaja Ke Delapan yang hendak mengambilnya menjadi Permaisuri?

Siapakah orang tua berpakaian hitam dan meniup seruling di tangga Candi Miring?

Serial Mimba Purana terhenti di episode ini...!!!