Serial Mimba Purana (Satria Lonceng Dewa)
Perawan Sumur Api Karya : Bastian Tito |
SOSOK berjubah hijau yang duduk di atas batu hitam, membelakangi dinding goa lumut memiliki wajah luar biasa angker. Mukanya yang berwarna hijau tidak seperti muka manusia karena rata licin. Di bagian yang seharusnya terletak sepasang mata, hidung dan mulut dan dua telinga hanya terdapat sayatan lurus dijahit melintang dengan benang kasar berwarna hitam.
Rambut di atas kepala berdiri lurus seperti lidi, berwarna hijau. Demikian juga dua tangan dan sepasang kaki yang tersembul di bawah jubah juga berwarna hijau. Orang yang baru pertama kali melihat makhluk ini sulit menduga apakah dia manusia atau sebangsa makhluk halus jejadian. Di tangan kanan makhluk aneh ini memegang sebatang gading gajah berukuran besar. Pada seputar badan gading terdapat ukiran membentuk tulisan yang telah berulang kali dibaca dan saat itu kembali dibaca. Walau mulut hanya merupakan garis terjahit, namun suaranya jelas terdengar seperti orang biasa membaca. Hanya saja suara itu disertai getaran gema halus yang terdengar menggidikan. Di masa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala memegang tahta. Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan lahir ke dunia. Terlahir dari seorang Ibu yang pada saat melahirkan berusia tujuh belas tahun. Perempuan yang telah dipilih Para Dewa. Berasal dari sebuah desa kecil di selatan Prambanan. Ibu yang akan tetap perawan sepanjang masa. Kelak dua anak akan menjadi kesatria. Mengabdi pada Kerajaan Mataram. Siapa berjodoh akan menangguk rakhmat. Siapa tidak berjodoh jangan menebar umpat dan hujat. Berita disebar ke utara, selatan, timur dan barat. Melalui empat Gading Bersurat. Untuk kemaslahatan seluruh ummat. Setelah membaca untuk kesekian kalinya tulisan di badan gading orang bermuka hijau angkat kepala, menatap keluar goa. Sambil mengusap gading dalam pangkuan dalam hati dia berkata. "Waktu yang aku berikan sudah cukup lama. Desa Sorogedug tidak jauh dari sini. Tapi mengapa dua orang itu masih belum juga kembali. Gerangan apa yang mereka temui? Mereka bukan pergi menangkap harimau, bukan pula menghadapi pendekar atau kesatria sakti mandraguna. Hanya menculik seorang anak gadis yang aku perkirakan sesuai dengan tulisan yang tertera di gading ini. Setunggul Bumi Setunggul Langit, jika kalian lalai menjalankan perintah aku akan membenamkan kalian di dasar Kali Progo! Bahkan mungkin lebih celaka dari itu." Baru saja suara hati diucapkan tiba-tiba ke dalam goa berkelebat masuk seorang berpakaian hitam yang langsung jatuhkan diri bersujud di hadapan makhluk bayangan di atas batu hijau. "Kanjeng bergelar Arwah Muka Hijau, yang bernama asli Gendadaluh, aku Setunggul Langit datang menghadap dan memohon ampun..." "Setunggul Langit, akhirnya kau muncul juga! Bukan saja kepergianmu bersama Setunggul Bumi terlalu lama! Tapi kedatanganmu agaknya membawa kabar tidak enak. Belum apa-apa kau sudah memohon minta ampun. Apa arti permohonan ampun yang barusan kau ucapkan? Mana Setunggul Bumi? Katakan apa yang terjadi!" Makhluk berjubah hijau yang duduk di atas batu keluarkan suara yang membuat goa bergetar. Sayatan berjahit di seluruh permukaan wajahnya yang hijau tampak bergerak-gerak. "Kanjeng Arwah Muka Hijau, mohon ampunmu. Aku dan Setunggul Bumi tidak berhasil menangkap gadis dari Sorogedug itu. Aku siap dan pasrah menghadapi hukuman..." Hening beberapa saat. Lalu makhluk di atas batu berucap. "Katakan apa yang terjadi sebelum aku menjatuhkan hukuman!" Setungul Langit bangkit berdiri. "Kanjeng, kami berhasil menemui rumah kediaman anak perawan yang ternyata bernama Ananthawuri. Ketika kami sampai di kediamannya di desa Sorogedug, gadis itu tidak ada di rumah. Ibunya dalam keadaan sakit. Kami tidak menanyai mengingat Kanjeng berpesan agar berhati-hati, jangan sampai ada orang lain yang mengetahui semua gerak-gerik kita. Menjelang tengah malam tadi aku dan Setunggul Bumi berhasil mengejar anak perawan itu namun sebelum dapat menangkapnya dia keburu masuk ke dalam candi Loro Jonggrang..." Wajah rata langsung berkerut, sosok makhluk berjubah hijau bergerak naik ke atas hampir menyentuh atap goa, pertanda ada kemarahan dalam dirinya mendengar apa yang barusan diucapkan Setunggul Langit. "Aku tahu aku dan juga kalian punya pantangan menginjak batu candi karena batu berasal dari Gunung Merapi tempat arwah para leluhur kita disemayamkan! Tapi sungguh tolol! Buat apa datang ke sini memberi tahu hal seperti itu. Kau dan Setunggul Bumi bisa menangkapnya begitu dia keluar dari candi!" Bentak makhluk berjuluk Arwah Muka Hijau. "Hal itu memang kami lakukan, Kanjeng. Tapi anak perawan itu tidak kunjung keluar dari candi. Yang terjadi kemudian kami mendengar suara jeritannya dan suara bicara dengan Dhana Padmasutra yang sedang sekarat..." Untuk kedua kalinya sosok berjubah hijau bergerak naik ke atas. "Kau menyebut Dhana Padmasutra, seteruku sejak lima puluh tahun silam itu? Apa aku tidak salah mendengar?" "Tidak Kanjeng, Kanjeng tidak salah mendengar." Jawab Setunggul Langit. "Ketika kami mengejar anak perawan itu ke arah candi, di depan candi kami melihat orang tua itu duduk membaca Kitab Weda. Kami menyerangnya. Aku berhasil membunuhnya dengan ilmu Serat Arang. Namun kami ketahui sebelum tewas Dhana Padmasutra bicara dengan anak perawan itu yang secara aneh setelah keluar dari dalam candi ujudnya tidak terlihat mata..." "Hemmm..." Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh mengusap dagu. Sepasang mata yang hanya merupakan sayatan lurus dijahit benang hitam menatap ke luar goa. "Kalau anak perawan itu lenyap ujudnya setelah keluar dari dalam candi berarti ada seseorang atau makhluk yang membekalinya dengan ilmu kesaktian. Sulit kuduga siapa yang memberi dan ilmu kesaktian apa yang diterapkan. Paling tidak ada satu benda sakti disusupkan ke dalam tubuh anak perawan dari Sorogedug itu." Arwah Muka Hijau menatap wajah anak buahnya seketika lalu berkata. "Walau kau berhasil membunuh seteru lamaku, tapi itu tidak bakal mengurangkan hukuman yang akan aku jatuhkan padamu. Lanjutkan ceritamu, apa yang terjadi kemudian." "Aku dan Setunggul Bumi melihat kejadian aneh. Tongkat dan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra melayang di udara, bergerak cepat ke arah timur. Kami yakin dua benda itu berada dalam pegangan anak perawan yang tengah melarikan diri. Kami mengejar. Di satu tempat kami menemui sebuah sumur api..." "Sumur api?" "Betul Kanjeng. Kami melihat sendiri ada api keluar dari dalam sumur," jawab Setungul Langit. "Di daerah mana tepat letaknya?" tanya Arwah Muka Hijau. Lalu dia mengangkat gading, memperhatikan bagian potongan yang bulat rata. Pada bagian ini terdapat gambar sebuah sumur yang dari dalamnya membersit keluar sesuatu yang berkobar. "Tepat seperti gambar yang digurat di gading ini..." ucap makhluk serba hijau dalam hati lalu memandang pada anak buah yang berdiri di depannya. Setunggul Langit memberi tahu. "Sumur api itu terletak di arah timur, antara Prambanan dan Kali Dengkeng." "Puluhan tahun malang melintang aku tahu betul, tak ada sumur seperti itu sebelumnya di kawasan itu. Tapi petunjuk yang aku miliki mengatakan sumur api itu memang ada. Setunggul Langit, apa yang terjadi kemudian?" "Aku dan Setunggul Bumi melihat tongkat dan Kitab Weda mengapung dekat sumur api. Berarti anak perawan dari Sorogedug itu ada di sana. Ketika kami mencoba mencekal, tongkat dan kitab melesat masuk ke dalam sumur api. Berarti anak perawan itu telah menceburkan diri ke dalam sumur api!" "Mati?!" Tanya Arwah Muka Hijau dengan wajah berkerut. "Aku tidak yakin anak perawan itu menemui ajal. Itu sebabnya Setunggul Bumi aku perintah berjaga-jaga di dekat sumur api sementara aku datang menemui Kanjeng untuk memberi tahu." Arwah Muka Hijau terdiam beberapa lamanya hingga akhirnya dia berkata "Setunggul Langit, tetap di tempatmu, jangan bergerak jangan bersuara. Aku akan mencari petunjuk..." Selesai keluarkan ucapan makhluk serba hijau itu letakkan dua tangan di atas dada Tubuhnya tidak bergerak dan suara nafasnyapun tidak terdengar. Selang beberapa lama tangan di atas dada diturunkan ke bawah. "Anak perawan itu memang tidak menemui kematian. Dia ada di satu tempat aneh dan penuh rahasia di dasar sumur api." "Bila Kanjeng berkenan datang melihat sendiri sumur api itu, aku akan mengantarkan ke sana." kata Setunggul Langit pula. Arwah Muka Hijau mengangguk lalu dia memperhatikan dada pakaian Setunggul Langit. "Aku melihat satu hal lagi. Banyak kelalaian yang kau buat dalam urusan yang sangat rahasia ini. Kau kehilangan satu kancing bajumu!" Setunggul Langit mengusap dada pakaiannya. "Aku tahu Kanjeng. Mungkin sekali tanggal terkena tangkisan tongkat Dhana Padmasutra ketika aku menyerangnya. Aku dan Setunggul Bumi berusaha mencari tapi tidak menemukan. Mohon maafmu Kanjeng. Mudah-mudahan kancing itu sudah hancur tak berbentuk lagi." Arwah Muka Hijau menggeleng. "Aku punya dugaan seseorang telah menemukan kancing itu," katanya. Makhluk serba hijau itu lalu sambung ucapan. "Sebelum aku menjatuhkan hukuman berat atas dirimu dan Setunggul Bumi, aku merasa layak mengambil kembali ilmu Serat Arang yang aku berikan padamu!" Begitu selesai berucap tangan kanan Arwah Muka Hijau menyambar ke arah kening Setunggul Langit di mana menempel sebuah batu hitam berbentuk segi tiga, yakni pusat kekuatan ilmu kesaktian bernama Serat Arang. Pada saat batu hitam tanggal dari keningnya, Setunggul Langit merasa jantungnya ikut dibetot. Lelaki bertubuh tinggi kurus jatuh terduduk di lantai goa dengan wajah pucat pasi. Arwah Muka Hijau letakan ujung lancip gading di lantai batu. Sekali tangan kanannya menekan maka secara luar biasa gading yang panjangnya lima jengkal itu menyusup amblas masuk dan lenyap ke dalam lantai goa. "Sekarang antarkan aku ke sumur api. Kau masih memiliki ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi." Mendengar ucapan Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit segera berdiri lalu melangkah ke luar goa. Sampai di luar goa dia jatuhkan diri menelungkup di tanah. Arwah Muka Hijau berdiri di punggung anak buahnya. Setunggul Langit ulurkan dua tangan ke depan lalu dikembangkan ke samping. Saat itu juga tubuhnya bergerak naik ke atas lalu melesat di udara. 11. RATU DHIKA GELANG GELANG
KETIKA Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit sampai di sumur api Setunggul Bumi yang seharusnya ada dan berjaga-jaga di tempat itu tidak kelihatan. Setelah lebih dahulu memeriksa dan mengelilingi sumur api Arwah Muka Hijau berpaling pada Setunggul Langit. "Kelakuanmu dan temanmu si pendek katai itu sama saja kurang ajarnya! Menurutmu dia kau suruh mengawasi sumur api. Sekarang kau lihat sendiri dia tidak ada di sini!" Heran ada, jengkel juga ada Setunggul Langit memandang berkeliling lalu berteriak memanggil Setunggul Bumi. Sampai tenggorokannya kering berteriak-teriak berulang kali tidak ada jawaban. "Aku punya firasat tidak enak. Temanmu itu mungkin sudah menemui ajal! Kau sekarang tinggal sendirian!" Setunggul Langit terkejut dan merasa tidak enak mendengar ucapan Arwah Muka Hijau. "Bagaimana Kanjeng bisa berkata begitu?" tanya Setunggul Langit. "Aku mencium rohnya sudah gentayangan di sekitar tempat ini" jawab Arwah Muka Hijau lalu melangkah menghampiri sumur api. Sambil merapal satu bacaan dia kembangkan telapak tangan kanannya yang hijau di atas sumur. "Wusss!" Dari dalam sumur serta merta melesat lidah api menghantam tangan Arwah Muka Hijau. Makhluk ini tidak bergeming.Tangannya tidak bergerak sedikitpun. Telapak tangan itu tidak cidera. "Wusss!" Untuk kedua kalinya dari dalam sumur menggebubu lidah api. Arwah Muka Hijau tetap tidak bergeming dari tempatnya. Akan tetapi sewaktu lidah api melesat untuk ke tiga kalinya, makhluk ini berteriak kaget, melompat mundur sambil kibas-kibaskan lengan jubah hijaunya yang terbakar, sementara telapak tangan yang hijau kelihatan mengepulkan asap! "Ada kekuatan luar biasa hebat melindungi tempat ini. Aku tak mungkin masuk ke dalam sumur," katanya pada Setunggul Langit. Dia diam sejenak lalu berkata lagi. "Ada dua cara untuk bisa tembus ke dasar sumur api. Pertama minta bantuan Jelanang Kameswhara alias Seribu Mata Air. Kedua menyelidik dari arah lain. Aku yakin ada jalan rahasia masuk ke dasar sumur api. Aku lebih suka melakukan hal yang kedua. Setunggul Langit, kau beruntung. Hukumanmu aku tunda beberapa hari. Malam ini kita menginap di tempat ini. Kau berjaga-jaga sementara aku akan menyelidik dimana beradanya jalan rahasia itu." "Terima kasih Kanjeng. Perintah Kanjeng akan saya ikuti. Tapi apakah kita tidak akan mencari Setunggul Bumi? Kalau memang dia sudah menemui ajal seperti kata Kanjeng paling tidak kita harus menemukan dan mengurus pembakaran jenazahnya." Baru saja Setunggul Langit berkata begitu tiba-tiba ada suara perempuan berseru. "Setunggul Langit! Kau lebih berperikemanusiaan dari majikanmu yang berjuluk Arwah Muka Hijau. Tapi aku pikir bangsa arwah memang mana punya rasa kemanusiaan?" Ucapan perempuan itu ditutup dengan suara tawa cekikikan. Arwah Muka Hijau dan Setunggul langit memandang berkeliling. Mereka sama merasakan tanah agak bergetar sewaktu perempuan yang tak kelihatan mengumbar suara tertawa. Namun keduanya bukan saja tidak dapat melihat siapa perempuan yang barusan bicara dan tertawa, malah dari arah mana datangnya asal suara merekapun tidak dapat menjajagi. Sayatan-sayatan lurus yang dijahit benang hitam kasar di wajah Arwah Muka Hijau berkedut-kedut beberapa kali. Lalu dia keluarkan suara menjawab ucapan perempuan tadi. "Aku yakin kau bukan bangsa demit atau makhluk halus jejadian. Tapi mengapa malu memperlihatkan diri. Bicara memakai ilmu membuka mulut memindah suara." "Arwah Muka Hijau, kau tersinggung rupanya! Aneh juga. Pada maksud baik orang lain kau tidak menunjukan rasa pengertian. Tapi pada yang menyangkut buruk dirimu kau menumpahkan kejengkelan. Lagi pula aku bicara pada Setunggul Langit, bukan padamu. Mengapa harus merasa risih dihati? Hik...hik...hik." "Makhluk pengecut!" Memaki Arwah Muka Hijau. "Maaf, saat ini aku tidak punya niat bicara lagi dengan dirimu." Perempuan yang bicara tanpa kelihatan kemudian menyambung ucapannya. "Setunggul Langit, kalau kau memang ingin berbakti pada sahabatmu Setunggul Bumi, ingin mengurus jenazahnya aku akan memberikan jenazahnya padamu. Cuma sayang jenazahnya tidak terlalu utuh dan mulai agak bau." Tiba-tiba dari arah kiri melayang tubuh manusia dan blukk! Tubuh ini jatuh tepat di hadapan Setunggul Langit. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkerut. Setunggul Langit melompat mundur beberapa langkah. Mulut ternganga, mata membeliak. "Mana kepalanya!" Setunggul Langit berteriak. Tubuh pendek katai berjubah kuning yang tergeletak di tanah itu memang tubuh Setunggul Bumi. Tapi kepalanya tidak ada! Inilah yang tadi yang diteriakan oleh Setunggul Langit dalam keterkejutannya. "Setunggul Langit, harap maafkan. Jadi kau juga perlu kepalanya. Memang pantas dan seharusnya begitu. Kau seorang yang sangat memperhatikan keadaan teman walaupun sudah jadi mayat." Lalu dari arah kanan menggelinding sebuah benda bulat yang bukan lain adalah kuntungan kepala Setunggul Bumi! Kepala itu agaknya sengaja diarahkan ke tempat berdirinya Arwah Muka Hijau. Makhluk bermuka rata ini cepat-cepat menghindar lalu tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak melakukan satu pukulan tangan kosong ke arah kiri, yaitu arah datangnya kepala yang menggelinding. Selarik cahaya hijau disertai deru keras menyambar. "Braakkk... braaakk!" Dua pohon besar patah bertumbangan. Semak belukar terbongkar berhamburan. Namun siapapun orang yang jadi sasaran Arwah Muka Hijau tidak ada di tempat itu. Malah tiba-tiba sekali sebuah benda panjang melesat di udara lalu menancap tepat di depan kaki Arwah Muka Hijau hingga makhluk ini menyumpah habis-habisan. Benda yang menancap di depan kaki Arwah Muka Hijau ternyata adalah sebilah golok besar berdarah milik Setunggul Bumi. Setunggul Langit tidak pedulikan kemarahan serta apa yang terjadi dengan Arwah Muka Hijau. Dia lebih memperhatikan jenazah sahabatnya. Dengan cepat dia mendukung mayat Setunggul Bumi dan membaringkan di bawah sebatang pohon. Lalu dia mengambil kuntungan kepala sahabatnya itu. Karena bingung mau diletakan dimana akhirnya Setunggul Langit memasukan kuntungan kepala ke balik dada jubah kuning mayat Setunggul Bumi. Lalu lelaki ini balikan diri dan berteriak keras. "Makhluk biadab! Perempuan keji! Perlihatkan dirimu! Apa salah sahabatku hingga kau membunuhnya...?" Hening beberapa lamanya. Lalu terdengar suara tertawa perlahan disusul suara benda bergemerincing. Sesaat kemudian di bawah sebatang pohon Mahoni berdaun lebat berdiri seorang perempuan berkulit hitam gemuk mengenakan pakaian kemben hitam merah. Bagian tengah bawah kemben ini depan belakang terbelah sampai ke lutut. Mukanya yang bundar gembrot dengan berhidung lebar pesek tertutup dandanan tebal mencolok. Wajahnya jauh dari cantik. Bedak tebal putih, pipi diberi merah-merah, alis hitam kereng dan bibir yang dower dilapis pemerah. Rambut diberi warna merah-merah, dikonde di atas kepala, dihias sekuntum bunga mawar merah yang tak pernah layu karena telah direndam dalam sejenis jelaga. Di belakang punggungnya menyembul sebuah benda putih kekuningan yang bukan merupakan sebilah pedang atau senjata. Pakaian merah dan tubuhnya menebar bau harum aneh menyengat, menusuk jalan pernafasan. Pada kedua pergelangan lengan dan kaki perempuan ini melingkar gelang kerincing terbuat dari emas. Setiap dia membuat gerakan, walau sedikit saja gelang-gelang itu akan keluarkan suara berkerincing. "Dhika Gelang Gelang!" ucap Arwah Muka Hijau yang mengenali perempuan itu dengan suara setengah tertahan sementara Setunggul Langit yang juga mengetahui siapa adanya perempuan itu tegak ternganga terkesiap. Perempuan gemuk sepertinya tidak acuhkan kedua orang yang ada di hadapannya. Dia memegang sebuah cermin kecil, asyik berkaca sambil mematik alis dan rambut. Lidah sesekali dijulurkan untuk membasahi bibir merah dower. Setelah menyimpan cermin kecil di balikdadanya, perempuan ini angkat kepala, memandang senyum-senyum ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit. Tangan kanan diangkat ke atas lalu tubuh diputar satu kali ke kanan, satu kali ke kiri. Empat gelang berkerincingan. Kemudian perempuan ini keluarkan ucapan bertanya. "Bagaimana menurut kalian, apakah wajahku sudah cantik dan tubuhku langsing gemulai?" Karena tak ada yang menjawab perempuan gemuk ini singsingkan ke atas bagian bawah kembennya yang terbelah sebelah depan. "Aku orangnya memang berkulit hitam. Tapi kalian saksikan sendiri, pahaku putih bersih dan mulus! Hik...hik...hik!" Padahal sebagaimana keadaan kulit tubuhnya yang lain, paha perempuan ini hitam dan gempal. Arwah Muka Hijau tidak bergerak. Rahang menggembung, sayatan pada bagian mata dan mulut bergerak-gerak. Ketika perempuan gemuk itu memutar tubuh ke kiri dan ke kanan Arwah Muka Hijau melihat benda yang menyembul di balik punggung adalah sebuah gading besar yang terselip di kemben, sama seperti yang dimilikinya. Arwah Muka Hijau tersentak kaget. "Jadi dia adalah orang kedua yang memiliki Gading Bersurat yang seluruhnya berjumlah empat itu. Berarti kehadirannya di sumur api ini tidak bisa tidak ada sangkut pautnya dengan Gading Bersurat itu." "Hai, aku bertanya. Mengapa tidak satupun dari kalian yang menjawab. Apa kalian terpesona melihat kecantikan dan keelokan tubuhku. Atau saat ini kalian jadi punya pikiran kotor setelah melihat pahaku yang putih mulus? Ah menyesal tadi aku memperlihatkan." "Dhika Gelang Gelang..." "Ssshhhh!" Perempuan gemuk gelengkan kepala dan goyang-goyangkan tangan kanan. "Arwah Muka Hijau, sudah dua kali engkau menyebut namaku secara tidak sopan. Kau tahu siapa diriku. Ratu Bhumi Mataram yang tidak pernah menginginkan tahta Kerajaan. Sangat pantas jika kau memanggil diriku dengan sebutan Ratu Dhika Gelang Gelang. Ingat, jangan lupa hal itu. Kalau kau bersikap sopan dan tahu peradatan maka aku akan melakukan hal yang sama. Kalau kau menghormati diriku, maka aku akan balas menghormat. Bukankah hidup ini begitu mudah? Mengapa manusia sering mempersulit diri sendiri?" "Aku tidak perduli siapa pun kau adanya. Aku ingin tahu apakah kau yang membunuh Setunggul Bumi anak buahku yang barusan kau lemparkan tubuh dan kepalanya?!" "Arwah Muka Hijau, kau tidak menghormati Ratumu sendiri." Kata Ratu Dhika Gelang Gelang. Muka rata Arwah Muka Hijau tampak menggembung. "Kau jawab saja pertanyaanku." "Ahhh. Jadi itu pertanyaanmu. Baik. Aku akan menjawab. Tapi aku sudah mencatat perilakumu yang tidak hormat." Kata si gemuk yang menyatakan diri sebagai Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku tidak membunuh manusia bernama Setunggul Bumi itu. Dia sendiri yang menggorok lehernya sampai putus!" "Kedustaan keji! Bagaimana hal itu mungkin terjadi?" Menyanggah Setunggul Langit. "Kau minta kami berlaku hormat. Tapi dengan berdusta kau telah dengan sengaja bersikap tidak hormat," Arwah Muka Hijau berkata. "Bisa saja kau berkata begitu karena tidak melihat..." "Mari aku ceritakan apa yang terjadi." Kata Ratu Dhika Gelang Gelang. "Ketika aku datang ke tempat ini anak buahmu langsung mengusir aku dan mengancam. Jika aku tidak mau pergi maka leherku akan digorok! Sungguh tidak sopan dan tidak pantas. Aku seorang ratu tidak minta dihormati, tapi kalau diperlakukan kurang ajar aku bisa marah. Kemana aku mau pergi, aku mau berada dimana adalah urusanku. Setunggul Bumi tidak punya hak mengusir diriku dari tempat ini. Ketika aku membalas supaya dia saja yang pergi dari sini, anak buahmu langsung menghunus golok lalu menyerangku. Aku berhasil mencekal tangannya yang memegang senjata. Aku sama sekali tidak menyentuh senjata itu. Gagang golok masih berada dalam genggamannya ketika senjata itu berbalik deras menebas lehernya sendiri hingga putus. Jelas dia yang menebas lehernya sendiri! Bukankah itu namanya bunuh diri?!" "Perempuan licik! Kurang ajar! Kau bermain kata-kata tidak mau mengakui kalau kau yang menggorok Setunggul Bumi. Sekalipun kau tidak memegang gagang golok tapi sebenarnya kaulah yang membunuh Setunggul Bumi!" Setunggul Langit marah sekali. Ketika dia hendak menerjang Arwah Muka Hijau cepat menahan bahunya dan berbisik. "Kita berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Setahuku kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah yang lebih buas dari pemiliknya. Aku tidak melihat dia membawa binatang itu. Biar aku mencari tahu lebih dulu ada keperluan apa perempuan ini berada di sini. Setelah itu, jika aku memberi isyarat kau serang dia dengan Ilmu Bubu Ikan Berbisa. Tubuhnya gemuk. Gerakannya pasti lamban. Sekali masuk dia akan celaka, tak bisa keluar lagi." * * * * * * *
SIAPAKAH Dhika Gelang Gelang yang menyebut dirinya sebagai Ratu? Konon ketika Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu mengakhiri masa pemerintahannya sebagai Raja Mataram, anak tertuanya adalah seorang perempuan yaitu Dhika Gelang Gelang. Namun karena Dhika adalah anak yang dilahirkan dari seorang istri ketiga maka banyak pihak yang menolak Dhika Gelang Gelang sebagai pewaris tahta. Dhika Gelang Gelang sendiri sebenarnya tidak menginginkan menjadi Raja atau Ratu di Bhumi Mataram. Maka secara diam-diam dia meninggalkan Istana menyepi diri di satu tempat yang tidak diketahui orang. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, putera tertua dari istri kedua Rakai Pikatan Dyah Saladu kemudian dinobatkan sebagai Sri Maharaja Mataram yang baru. Beberapa tahun kemudian Dhika Gelang Gelang muncul kembali. Walau dia menyebut diri sebagai Ratu dan penampilannya menjadi aneh namun dia tidak mengusik tahta dan malah menjaga ketenteraman Istana dan Kerajaan. Dia jarang berada di kalangan Istana, lebih banyak menyatu dengan rakyat jelata. Satu hal yang diketahui orang, setelah menghilang sekian lama perempuan yang kini bertubuh gemuk dan berwajah tidak cantik itu telah menjadi seorang sakti mandraguna. Kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah. Ketika Kerajaan terlibat peperangan dengan orang-orang di wilayah selatan, Dhika Gelang Gelang sangat banyak memberikan bantuan sehingga pertumpahan darah yang lebih besar dapat dihindarkan dan antara utara dengan selatan dicapai perdamaian. Setelah peristiwa besar itu Dhika Gelang Gelang kembali melenyapkan diri. Hanya sesekali muncul di Kotaraja, itupun tidak mendatangi Istana. Pada setiap kali kemunculan pasti ada satu peristiwa besar yang ditanganinya. Mengetahui ketinggian ilmu kesaktian perempuan inilah maka Arwah Muka Hijau tidak mau berlaku ceroboh. Dia cepat menghalangi Setunggul Langit yang hendak menyerang sambil mengatur siasat. 12. BUBU IKAN BERBISA
"RATU Dhika Gelang Gelang, soal kematian anak buahku biar aku lupakan dulu," berkata Arwah Muka Hijau. "Aku ingin bertanya, maksud apa yang ada dalam dirimu hingga muncul di tempat ini. Adakah sumur api itu yang menarik perhatianmu?" "Kau sekarang memanggilku Ratu. Betapa hormatnya! Bicaramu kini sopan penuh peradatan. Betapa indahnya! Kau bicara berterus terang. Sungguh menyenangkan. Arwah Muka Hijau, mengapa kau mendadak berubah. Apa yang ada di benakmu? Apa yang tersembunyi di hatimu?" Balik bertanya perempuan gemuk berkemben merah sambil naikan sepasang alis mata, membuat Arwah Muka Hijau jadi jengkel penasaran. "Ratu Dhika, kau menjawab pertanyaan dengan balik bertanya. Itukah yang kau sebut sopan santun? Kalau kau tak mau menjawab, biar aku menduga. Kau membekal sebatang gading. Aku tahu riwayat yang tertulis di gading itu. Kau ke sini untuk menyelidik tentang seorang gadis yang kelak akan melahirkan dua anak lelaki. Kau tak perlu menjawab tapi juga tidak perlu berdusta." Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa panjang mendengar kata-kata Arwah Muka Hijau. "Betapa tololnya dirimu. Ketololan pertama! Sudah gaharu cendana pula. Sudah tahu bertanya pula. Ketololan kedua. Kalau memang ada seorang gadis akan melahirkan di dalam sumur api itu, berarti masih sembilan bulan lebih waktu penantian. Mengapa dari sekarang repot-repot mau berbuat keributan?" "Kami tidak merasa membuat kerepotan. Justru dari pihakmu yang memulai berbuat keributan. Kau membunuh anak buahku Setunggul Bumi!" "Arwah Muka Hijau, rasanya kurang sedap berbicara denganmu. Kau selalu mengulang-ulang soal kematian anak buahmu itu. Pada hal aku sudah menceritakan apa yang terjadi. Bukankah lebih baik bagimu meninggalkan tempat ini. Mengurus pembakaran jenazah Setunggul Bumi?" "Kau tak layak mengatur diriku. Anak buahku datang lebih dulu ke tempat ini. Adalah dia pantas mengusir orang semacammu!" Menukas Arwah Muka Hijau lalu kedipkan mata sambil meraba dagu, memberi isyarat pada Setunggul Langit. Serangan Bubu Ikan Berbisa serta merta dilaksanakan! Begitu melihat isyarat, Setunggul Langit keluarkan bentakan keras. Dua tangan diluruskan ke depan. Dari sepuluh ujung jari tangan mencuat dua puluh empat sinar hitam. Ujung yang ada di arah tangan menyatu seperti diikat sementara ujung yang lain membuka lebar lalu menekuk runcing ke dalam. Secara luar biasa dua puluh empat larikan sinar yang menyerupai bubu atau perangkap ikan secepat kilat menelan tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang tanpa perempuan ini sempat berkelit selamatkan diri. Empat gelang di tangan dan kaki berkerincingan. Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelak-gelak. "Ratu jelek! Ternyata kau tidak punya ilmu kepandaian apa-apa!" teriak Arwah Muka Hijau mengejek. "Aku mau lihat! Kalau kau mampu keluar dari perangkap, kami berdua sampai anak cucu kami akan bersujud menghambakan diri padamu selama tujuh turunan Raja yang berkuasa di Mataram." Di dalam perangkap Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa kerahkan ilmu meringankan tubuh dan melayang seperti ikan besar yang masuk ke dalam bubu raksasa. Dia tahu tidak mungkin berbalik meloloskan diri melalui bagian depan bubu yang memiliki dua puluh empat ujung runcing menghadang. Melalui celah di kiri kanan atau sebelah atas dan sebelah bawah perangkap dia mungkin bisa menyelinap keluar namun kalau sampai tubuhnya tergores maka racun jahat akan masuk ke dalam aliran darah dan dia akan menemui ajal sebelum matahari tenggelam! "Kalau aku jebol dengan pukulan sakti, perangkap celaka ini mungkin bisa ambruk. Namun serpihan-serpihannya bisa berbahaya kalau sampai ada yang menancap di tubuhku. Berapa lama aku bisa bertahan mengambangkan diri seperti ini...?" Sadar dirinya dalam keadaan bahaya besar Ratu Dhika Gelang Gelang masih mampu berlaku tenang. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dia memutar tubuh yang mengambang hingga menghadap ke bagian depan bubu. Dengan tangan kirinya perempuan gemuk ini mengusap-usap perut sementara mulut berkomat kamit dan sepasang mata menatap ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit yang tegak di bagian depan mulut bubu. "Perutku...Mengapa perutku. Ada sesuatu bergerak di dalam perutku..." Ratu Dhika Gelang Gelang berucap sambil terus usap-usap perutnya. Arwah Muka Hijau perhatikan gerak-gerik Ratu Dhika Gelang Gelang. Dalam hati bertanya-tanya apa yang dilakukan perempuan itu. Tiba-tiba kedua orang di luar bubu melihat keanehan terjadi dengan Ratu Dhika Gelang Gelang. Perutnya perlahan-lahan berubah membesar. "Arwah Muka Hijau, tidakkah kau melihat perubahan yang terjadi dengan diriku...?" Ratu Dhika Gelang Gelang bertanya. Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri Arwah Muka Hijau menjawab. "Ilmu setan apa yang hendak kau keluarkan?! Jangan harap kau bisa lolos dari dalam Bubu Ikan Berbisa!" "Perutku membesar. Ada makhluk bergerak didalamnya. Hyang Jagat Batara Dewa! Aku hamil! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?!" Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelak-gelak. "Akal busukmu tidak bakal menipu kami!" teriak Setunggul Langit. Ratu Dhika Gelang Gelang tidak perdulikan ucapan orang. Kepala didongakkan ke atas, menatap ke langit. Dua tangan disusun di atas kepala. "Sang Hyang Jagat Batara. Para Dewa di Swargaloka. Dalam keadaaan sengsara seperti ini apakah Kau melimpahkan rakhmat pada diriku? Apakah kau telah memilih diriku mewakili anak perawan dari desa kecil di selatan Prambanan? Aku hamil besar wahai Para Dewa. Apakah aku akan melahirkan dua bayi yang kelak akan menjadi dua kesatria seperti yang tertulis pada Gading Bersurat? Wahai Para Dewa, besar nian rakhmat-mu...." Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit saling berpandangan. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkedut-kedut sementara tampang Setunggul Langit berubah, ada rasa tidak percaya dibayangi rasa takut. "Arwah Muka Hijau, aku tidak menipu. Perutku membesar. Aku benar-benar hamil. Lihatlah! Saksikan! Mendekatlah." "Breett!" Kemben merah yang dikenakan Ratu Dhika Gelang Gelang tidak sanggup lagi menahan perut yang membesar. Dalam keadaan robek ke dua orang di depan kubu melihat bagaimana perut perempuan gemuk yang kini tersingkap itu memang benar-benar membesar seperti perempuan hamil. "Arwah Muka Hijau, mendekatlah. Biar kau bisa melihat jelas. Ini bukan sihir, bukan tipu daya. Semua adalah rakhmat Para Dewa atas diriku. Mungkin sudah ditakdirkan bahwa kelak bayi yang akan aku lahirkan akan menjadi milikmu. Bukankah itu niat maksud dirimu datang ke SUMUR API ini? Ah, Gading Bersurat. Ternyata bukan cerita bohong ataupun tipu daya. Gading Bersurat, ternyata kau nyata. Terima kasih Para Dewa, aku telah dipilih menjadi wakil untuk kebaikan di Bhumi Mataram ini. Ah...sebentar lagi. Sebentar lagi bayi ini pasti akan lahir. Satu bayi...dua bayi, atau tiga bayi..." Arwah Muka Hijau menatap dengan muka sayatan berjahit benang kasar ke dalam kubu raksasa lalu berpaling pada Setunggul Langit. "Apakah yang kau lihat tidak berbeda dengan yang aku saksikan? Apakah orang tidak tengah menipu kita?" "Kanjeng, kita melihat hal yang sama. Keajaiban telah terjadi. Tidak mungkin kalau ini bukan karena keajaibanNya Para Dewa. Kita harus melenyapkan Bubu Berbisa. Kalau bayi itu sampai lahir di dalam bubu bisa celaka. Kalau dari semula maksud kita memang untuk mendapatkan bayi itu, kita harus menyelamatkannya. Kanjeng...." "Tunggu dulu. Jangan cepat percaya. Perempuan ini tinggi ilmunya. Dia punya seribu akal. Biar aku perhatikan dulu lebih jelas." Arwah Muka Hijau mendekat ke mulut bubu raksasa. Pada saat dia hanya berdiri satu langkah di depan mulut bubu, Ratu Dhika Gelang Gelang buka mulutnya lebar-lebar. Perut yang besar menciut mengeluarkan suara mendesis panjang dan mengempis! Mulut yang terbuka menyedot. Satu gelombang angin besar dan dasyat menarik tubuh Arwah Muka Hijau. "Ilmu Selaksa Angin Menghisap Roh!" teriak Arwah Muka Hijau. Dia berusaha menggeliat, memutar tubuh untuk berbalik. Setunggul Langit berusaha untuk menolong. Namun terlambat. Tubuh Arwah Muka Hijau telah lebih dahulu terhisap masuk ke dalam bubu raksasa, dua kaki lebih dulu! Ratu Dhika Gelang Gelang membentak keras. Dua tangannya dengan cepat mencekal pergelangan kaki Arwah Muka Hijau. Sekali dia mengerahkan tenaga dalam maka tubuh Arwah Muka Hijau yang barusan masuk ke dalam bubu raksasa ini melesat kembali keluar. Masih memegangi kaki orang, Ratu Dhika Gelang Gelang ikut menyelinap dari belakang tanpa tubuhnya menyentuh bubu berbisa. Arwah Muka Hijau menjerit keras sewaktu kepalanya menghantam dua puluh empat ujung runcing berbisa di mulut bubu! Bubu raksasa hancur berantakan. Makhluk bermuka rata itu terhempas jatuh di tanah. Di kepala, muka dan sebagian tubuhnya terdapat dua puluh empat luka mengerikan. Darah yang mengucur bukannya merah tapi hijau pekat. Melihat apa yang terjadi Setunggul Langit segera lepaskan satu pukulan sakti ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun perempuan ini sambil mengumbar tawa cekikikan telah berkelebat lenyap. Hanya gaung suara dan kerinclngan empat gelangnya yang terdengar. "Arwah Muka Hijau! Kalau nyawamu masih panjang kita pasti berjumpa lagi!" "Perempuan terkutuk! Aku pasti mencarimu!" teriak Arwah Muka Hijau. Setunggul Langit segera mengejar namun urungkan niat ketika dia mendengar Arwah Muka Hijau berteriak. "Jangan dikejar! Lekas bawa aku ke Candi Miring! Aku menyimpan obat penangkal luka berbisa di sana! Cepat! Sebelum malam datang aku harus sudah ada di sana. Kalau terlambat nyawaku tidak tertolong! Cepat! Kalau aku selamat semua kesalahanmu akan aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan aku kembalikan padamu!" "Kanjeng! Aku mendengar semua ucapanmu. Apa yang kau perintahkan akan aku laksanakan!" Jawab Setunggul Langit. Lalu dengan cepat dia panggul tubuh Arwah Muka Hijau. Mayat Setunggul Bumi dilupakan begitu saja. 13. HAMIL GAIB ANANTHAWURI
PAGI hari di sebuah taman tak jauh dari dasar sumur api. Ananthawuri tengah mencium keharuman setangkai mawar kuning ketika Sukantili, ibunya muncul di undakan tangga batu merah paling atas. "Anakku, sudah lama kau menunggu di taman ini?" menyapa Sukantili. Ananthawuri segera menghampiri ibunya, mencium tangan perempuan itu penuh khidmat lalu mencium pipinya kiri dan kanan. "Saya belum lama berada di sini. Tapi kali ini entah mengapa saya merasa sangat tidak sabar menunggu kedatangan Ibu." Anak perawan dari desa Sorogedug yang bersama ibunya kini tinggal di satu tempat rahasia tak jauh dari dasar sumur api tatap wajah sang ibunda sejenak lalu bertanya. "Saya melihat wajah Ibu seperti tidak berseri. Apakah Ibu sakit atau ada sesuatu yang menjadi pikiran?" "Ibu baik-baik dan sehat. Namun terus terang memang ada sesuatu yang menjadi pikiran di benak Ibu, sesuatu yang menjadi ganjalan di hati Ibu." "Wahai Ibuku sayang, katakanlah. Gerangan apa yang jadi pikiran dan ganjalan itu?" "Anakku Ananthawuri, selama kita tinggal di tempat ini kita berada dalam kecukupan. Berkat kasih sayang dan kebesaran Para Dewa segala sesuatunya tersedia. Tempat kediaman, makanan dan lebih dari itu diberkahi kesehatan yang baik. Bahkan ada pula seorang pelayan. Namun setiap malam, sebelum Ibu pulas tertidur, selalu ada pikiran dan pertanyaan yang datang. Berapa lama kita akan berada di tempat ini? Ibu orang ie a Betapa pun bagusnya tempat kediaman ini tetap saja bukan milik kita. Ibu merasa bagaimanapun buruknya gubuk kita namun hidup di desa Sorogedug ternyata jauh lebih nyaman menyenangkan. Tetangga orang sedesa selalu bersikap baik dan ramah. Teman-teman mendiang ayahmu kerap datang menyambangi." "Ibu, menurut cerita Ibu bukankah rumah kita di Sorogedug telah dibakar oleh kaki tangan saudagar Narotungga?" "Betul, tapi Ibu bisa bangun gubuk baru. Penduduk desa pasti mau membantu bergotong-royong. Kita tidak bisa meninggalkan begitu saja apa yang diwariskan oleh Ayahmu. Bagaimanapun .buruk dan tidak bernilainya warisan itu." Jawab Sukantili. "Ibu, saya pernah bercerita bahwa petunjuk Para Dewa telah memberitahu, saya tidak akan dapat keluar dari tempat ini untuk selama-lamanya kecuali atas perkenan Mereka. Selain itu saya juga menerima petunjuk bahwa kelak saya akan kawin dan memiliki anak yang akan menjadi seorang kesatria dan berbakti pada Kerajaan Mataram. Kalau Ibu berniat pergi, siapakah yang akan menjadi teman saya di tempat ini. Ibu, sebenarnya saya juga pernah berpikir seperti Ibu. Ingin pergi dari sini. Namun pada akhirnya saya merasa pasrah. Saya menyadari seperti apa yang dikatakan Roh Agung. Ini adalah takdir kehidupan diri saya. Apakah manusia seperti kita, seperti saya ini bisa berkehendak melawan takdir Yang Maha Kuasa? Saya percaya Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui serta Maha Pengasih telah mengatur sesuatu yang terbaik untuk diri saya." Ananthawuri pegang lengan ibunya. "Ibu, percayalah Para Dewa selama ini telah melindungi kita berdua." Sukantili anggukan kepala, terdiam beberapa ketika lalu menarik nafas panjang. "Ananthawuri, tadi kau berkata merasa tidak sabar menunggu kedatangan Ibu..." "Betul Ibu, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan pada Ibu." "Hemmm....lbu akan senang sekali mendengarkan. Cerita tentang apa anakku?" "Tadi malam saya bermimpi." "Mimpi bunga hiasan tidur" Kata Sukantili pula sambil tersenyum dan membelai rambut anak gadisnya. "Tapi mimpi saya ini aneh, Bu. Dalam mimpi saya tengah berbaring tidur. Lalu saya mencium bau busuk luar biasa. Membuat kepala pusing dan perut mual mau muntah. Tak lama kemudian bau busuk itu hilang. Berganti dengan bau wangi harum semerbak yang tidak pernah saya cium sebelumnya. Kemudian dari langit saya melihat cahaya putih turun ke tempat saya berbaring. Di balik cahaya putih itu saya melihat samar wajah dan sosok pemuda. Saya bertanya siapa gerangan dia adanya. Tak ada jawaban. Kemudian cahaya putih melayang mendekati diri saya, menutupi sekujur tubuh saya. Saat itu saya merasa ada orang memeluk saya. Ibu, saya merasa satu kehangatan dan kemesraan luar biasa yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ada perasaan bergairah pada bagian-bagian tertentu tubuh saya. Saya tertidur lelap dalam pelukan orang itu. Ketika saya bangun dalam mimpi cahaya putih telah lenyap. Dekapan mesra hanya menyisakan kehangatan. Lalu saya terbangun dari tidur. Saya merenung. Sampai menjelang pagi saya tidak bisa menduga apa arti mimpi itu. Mungkin Ibu tahu kira-kira makna mimpi saya?" Setelah berdiam diri berpikir-pikir beberapa lamanya akhirnya Sukantili gelengkan kepala. "Sulit Ibu menduga. Sebaiknya kau berdoa memohon petunjuk serta tetap meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa." Keesokan malamnya, mimpi yang sama kembali dialami Ananthawuri. Hal itu terjadi sampai tujuh malam berturut-turut. Setiap kali bermimpi paginya gadis ini langsung menemui sang ibu dan menceritakan mimpinya. "Ibu," kata Ananthawuri pada hari ke tujuh. "Berulang kali mimpi itu datang, berulang kali saya dipeluk mesra penuh kasih sayang, dan berulang kali saya melihat wajah pemuda walaupun tidak jelas, lama kelamaan ada rasa suka serta sayang saya terhadap pemuda itu. Ibu, apakah saya telah jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata?" Sukantili tertawa. "Anakku, kau masih muda belia. Belum tahu apa-apa tentang cinta. Biar Ibu beritahukan. Cinta itu adalah sesuatu yang nyata. Jika kita mencintai seseorang maka orang itu adalah juga sesuatu yang nyata." Ananthawuri terdiam sesaat. Lalu kembali bertanya. "Ibu, menurutmu apakah pemuda di dalam mimpi itu bisa menjadi kenyataan?" "Apa maksudmu anakku?" tanya Sukantili. "Maksud saya, apakah saya bisa bertemu dengan pemuda itu?" Sukantili memeluk anak gadisnya. "Ibu tidak tahu anakku. Kalau Yang Maha Kuasa berkehendak, kalau Para Dewa melimpahkan rakhmat segala sesuatunya bisa terjadi..." Hari ke delapan dan seterusnya mimpi itu tidak pernah datang lagi. Ananthawuri merasa sedih. Dia ingin pemuda dalam cahaya putih itu datang kembali mengunjungi dirinya walaupun dalam mimpi. Memeluknya penuh mesra dan kasih sayang. Namun sampai hari ke dua puluh mimpi yang ditunggu tak kunjung datang. Di atas pembaringan Ananthawuri berucap. "Pemuda dalam cahaya. Jika kau memang kekasih yang telah dipilihkan Para Dewa untukku, datanglah. Aku rindu pelukan hangatmu. Aku rindu belaian mesramu. Aku tahu kau mengasihi diriku. Dan aku tahu betapa aku mencintaimu walau kau datang tidak berupa dan tidak pula bernama." Namun sampai pagi tiba kekasih sang mimpi tak kunjung datang. Kekasih gaib yang diharapkan tidak muncul. Hari ke dua puluh tujuh ketika anak perawan dari Desa Sorogedug ini menemui ibunya sang ibu berkata. "Ananthawuri, apakah hari ini kau sehat-sehat saja anakku?" "Saya sehat-sehat, Ibu." "Ibu melihat wajahmu agak pucat." "Mungkin saya kurang tidur.Tapi terus terang ada sesuatu yang hendak saya sampaikan, Ibu." "Kau bermimpi lagi anakku?" Ananthawuri menggeleng. "Ibu mohon maafmu. Saya ingin mengatakan sesuatu yang sangat pribadi. Saya merasa mual sejak beberapa hari ini dan sulit makan. Saya... saya terlambat haid. Seharusnya enam hari lalu..." "Anakku, hal itu bisa saja terjadi karena kau terlalu banyak pikiran." Kata Sukantili pula walau sang Ibu ada rasa gelisah membayangi perasaannya. "Saya berharap begitu Ibu.Tapi saya merasa ada kelainan pada tubuh saya." "Kelainan bagaimana anakku?" "Dada saya Bu. Tadi pagi saya memperhatikan lalu meraba. Dada saya membesar dan lebih kencang dari biasanya. Pinggul saya terasa melebar. Ibu jangan-jangan saya..." Sukantili memeluk anaknya. "Jangan ucapkan itu anakku. Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pad dirimu Tunggu dalam dua tiga hari ini..." Seminggu berlalu Ananthawuri belum juga mendapatkan haid. Beberapa minggu kemudian anak perawan ini melihat perutnya membesar. Ketika hal itu diceritakan pada Sukantili sang ibu tidak bisa menduga lain. Anak gadisnya benar-benar telah mengandung. "Anakku," kata sang ibu sambil memeluk Ananthawuri erat-erat. "Kalau ini bukan kehendak dan kuasa Yang Maha Kuasa, bagaimana mungkin bisa terjadi? Kau belum menikah. Kau belum punya suami..." "Ibu, pemuda dalam cahaya putih yang datang tujuh malam berturut-turut dalam mimpi saya itu. Apakah mungkin dia yang menebar benih kehidupan ke dalam diri saya. Ibu tahu, saya tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun." Sukantili tidak menjawab melainkan kembali memeluk anak gadisnya sementara air mata perempuan ini tampak berlinang-linang. Pada saat itulah tiba-tiba berhembus tiupan angin disertai desiran seolah ada seseorang berjubah panjang melewati Sukantili dan Ananthawuri. Lalu terdengar suara bergema. "Dua insan yang tengah bersatu hati. Di dunia ini tidak ada yang abadi. Namun kehendak Yang Maha Kuasa adalah pasti. Ananthawuri, takdir Yang Maha Kuasa telah terjadi. Kau hamil tapi dirimu tetap suci. Setelah sembilan bulan sepuluh hari. Kau akan melahirkan. Namun kau akan tetap sebagai seorang perawan. Karena keturunanmu sudah ditetapkan. Menjadi Kesatria Bhumi Mataram." Ananthawuri lepaskan pelukan dari tubuh ibunya. Dia memandang berkeliling. Dia mengenali suara itu. "Roh Agung? Kakek Dhana Padmasutra?" Angin kembali berhembus. Suara berdesir terdengar lagi lalu sunyi. 14. KUCING BETINA BERBULU MERAH
MALAM Jum'at Kliwon. Empat bulan setengah Ananthawuri kedatangan suara Roh Agung, memberi tahu tentang kehamilannya. Malam itu kegelapan pekat sekali. Langit hitam dan sesekali ada tiupan angin yang membawa percikan hujan rintik-rintik dari arah timur. Sumur api seperti tidur karena sejak sekian lama lidah api tidak menyembul keluar. Dalam kegelapan, dari arah barat sumur api berjalan seseorang lelaki kurus tinggi bermuka keriputan berkulit hitam legam. Di keningnya ada satu benjolan bulat berwarna merah. Di atas kepala dia menjunjung sebuah ketiding bambu tertutup rapat. Sampai di depan sumur ia tegak diam beberapa lama. "Mungkin bukan cerita dusta. Menempuh perjalanan tiga puluh hari akhirnya kutemui juga sumur api. Benar adanya seperti apa yang tertulis di Gading Bersurat. Tapi keadaan sekitar sini gelap sekali. Nafasku mencium ada bekas bangkai manusia di sekitar sini! Apakah sumur api ini sudah mencari korban sebelum kedatanganku?" Orang tinggi hitam ulurkan tangan menjangkau ranting besar sebuah pohon. Ranting dipatahkan lalu di ujungnya diletakan di atas sumur api. Sebentar saja ujung ranting telah terbakar. Dengan menggunakan ranting menyala sebagai obor, orang ini menyelidik berkeliling sampai akhirnya dia berhenti melangkah dan keluarkan saruan tertahan. Di bawah sebatang pohon dia menemukan sesosok tubuh penuh belatungan nyaris tinggal tulang belulang, tertutup jubah kuning yang sudah hancur. "Bangkai manusia tanpa kepala!" Orang tinggi hitam berucap sambil meludah berulang kali. Dia memperhatikan bagian dada jubah kuning. Ada sesuatu di balik pakaian yang membuat jubah menggembung menonjol. Orang ini pergunakan ujung kaki untuk mengeluarkan benda itu dari balik jubah. Begitu benda keluar dan menggelinding ke tanah, dia menyumpah-nyumpah. Ternyata buntungan kepala manusia yang tinggal tengkorak. Dari bagian mata, telinga, mulut dan hidung bersembulan belatung. Setelah merasa agak tenang dari rasa kagetnya orang ini dekatkan ujung ranting di atas buntungan kepala. “Hah! Kepala tinggal tengkorak. Tak mungkin aku kenali! Yang jelas ada korban pembunuhan di tempat ini. Lehernya ditebas! Mungkin dengan golok atau pedang! Sudah ada korban yang berhubungan dengan rahasia dibalik sumur api!" Orang tinggi hitam bermuka keriput melangkah mundur. Ranting menyala diangkat tinggi-tinggi, diputar berkeliling. "Tidak ada mayat lain. Berarti yang tadi baru satu-satunya korban.Tapi mana aku tahu kalau sudah ada yang jadi korban sebelumnya. Dibuang masuk ke dalam sumur api..." Dari balik pakaian hitamnya orang yang keningnya ada benjolan merah keluarkan satu benda yang ternyata adalah sebuah gading besar. Salah satu bagian gading diterangi dengan nyala api di ujung ranting. Pada bagian yang terang itu terbaca tulisan berbunyi: Jika ingin tahu lama kehamilan dari perawan desa yang telah dipilih Para Dewa menjadi Ibu dari bayi yang kelak akan menjadi Kesatria Mataram, letakkan gading di atas sumur api. Ukur bagian gading yang menjadi hitam. Maka akan diketahui lama kehamilan. Dengan hati-hati orang berpakaian hitam yang sampai saat itu masih menjunjung ketiding bambu di atas kepala letakan gading bulat panjang di atas sumur api. Seperti yang tadi dibacanya segera saja gading itu menjadi hitam mulai dari ujung sampai ke bagian tengah. Gading diangkat dari atas sumur api. Orang ini lalu memperhatikan dan menjengkal-jengkal dengan jari tangan. Setelah menghitung-hitung, mulutnya berucap. "Kurang dari setengah. Berarti usia kehamilan perempuan itu baru sekitar empat bulan. Apakah aku harus menunggu di tempat ini selama lima bulan lebih?" Orang berpakaian hitam tepuk-tepuk ketiding di atas kepala. "Sahabat-sahabatku, apa kalian mau menunggu sampai sekian lama di tengah rimba belantara ini?" Dari dalam ketiding bambu terdengar suara mendesis riuh dan panjang. Si muka keriput dengan benjolan di kening menyeringai. Ranting menyala dicampakkan. Lalu dua tangan menurunkan ketiding dari atas kepala, diletakan di atas tanah. Seperti tadi ketiding ditepuk-tepuk. "Sahabat-sahabat. Akupun tidak mau menunggu berlama-lama sampai lumutan di tempat ini. Apa yang bisa kita kerjakan malam ini harus kita laksanakan. Aku butuh pertolongan kalian. Cari perempuan itu di dasar sumur api. Paksa dia melarikan diri ke arah jalan rahasia. Aku akan menunggu di mulut jalan. Tapi awas, kalian jangan sekali-kali menyakiti dirinya. Jangan sampai tubuhnya tersentuh bisa di mulut kalian! Para sahabat, bersiaplah. Aku akan membuka penutup ketiding. Lalu aku akan memasukan kalian di dalam sumur api. Jangan takut. Api tidak akan menciderai apa lagi membunuh kalian. Mantera Selicin Lumut Sedingin Air yang sudah aku terapkan akan melindungi kalian." Begitu selesai bicara orang berpakaian hitam buka penutup ketiding. Saat itu juga dari dalam ketiding bambu ini menyembul puluhan ekor ular berbisa dari berbagai jenis dan warna, mengeluarkan suara mendesis riuh. Ketiding cepat-cepat diangkat, diletakan di sumur api. Sewaktu puluhan ular dalam ketiding siap hendak dimasukan diceburkan ke dalam sumur api tiba-tiba dari arah kegelapan di kiri sumur api terdengar suara kucing mengeong. Gerakan orang berpakaian hitam yang hendak membalikan ketiding bambu serta merta tertahan. Memandang ke arah kiri dia hanya melihat kegelapan. "Kucing mengeong malam-malam. Di tempat seperti ini. Sungguh aneh..." ucap orang berpakaian hitam bermuka keriput. Lalu belum habis rasa herannya tiba-tiba terdengar suara benda berkerincingan, disusul suara perempuan menegur. "Giring Laweyan, manusia berjuluk Sang Raja Ulo, menyantap ular panggang malam-malam begini memang sedap sekali. Jangan lupa membagiku barang seekor." Orang berpakaian hitam di dekat sumur api jadi tercekat. Dia cepat berpikir. Dimulai dengan suara kucing mengeong. Lalu ada suara berkerincingan. Disusul suara perempuan menegur. Siapa lagi! Pasti dia! Jangan-jangan dia yang jadi pembunuh mayat berjubah kuning. Belum habis rasa terkejutnya karena si penegur mengenal siapa dirinya, orang di tepi sumur api melihat diseberang sumur tepat dihadapannya berdiri seorang perempuan gemuk mengenakan kemben merah berdandanan tebal seronok. Di bahu kanan tengkurap seekor kucing besar berbulu merah. Binatang ini kelihatan tenang dan jinak. Di tangan kiri perempuan itu ada sebuah cermin kecil. Dia asyik memandang ke dalam cermin sambil mematik-matik pinggiran rambut di samping telinga kanan sambil lidah dijulur membasahi bibir. "Malam-malam masih mau berdandan, di tempat gelap begitu rupa, sungguh gila," pikir lelaki berpakaian hitam yang memegang ketiding berisi ular dan tadi dipanggil dengan nama Giring Laweyan alias Sang Raja Ulo. Tapi tidak gila kalau perempuan itu adalah yang dikenal dengan nama Ratu Dhika Gelang Gelang! Selesai merapikan dandanan perempuan gemuk masukan kaca kecil ke balik kemben lalu bertanya pada lelaki yang pegang ketiding berisi ular. "Menurutmu apakah dandananku sudah apik dan wajahku sudah cantik?" Giring Laweyan tidak menjawab. Dia bersikap waspada karena tahu betul perempuan di hadapannya setiap saat bisa melakukan perbuatan yang tak terduga seperti menyerang dengan tiba-tiba. "Giring Laweyan! Malam buta kau datang ke tempat ini. Pasti bukan kemauan Para Dewa yang membimbing langkahmu! Kau datang membekal Gading Bersurat, membawa puluhan makhluk najis. Katakan apa keperluanmu!" Sehabis bertanya perempuan gemuk elus-elus kucing merah yang tengkurap di bahu kanannya. "Perempuan di tepi sumur, orang-orang menyebutmu dan kau selalu memperkenalkan diri sebagai Ratu Dhika Gelang Gelang. Tapi aku lebih suka menyebutmu Ratu Meong! Nama itu cukup pantas bagimu, bukan? Ha...ha...ha!" Lelaki bernama Giring Laweyan keluarkan ucapan mengejek lalu tertawa gelak-gelak. "Siapa saja yang mau memberi nama dan julukan padaku akan aku terima dengan senang hati. Aku berterima kasih padamu yang telah memberiku nama Ratu Meong. Hai, muka keriput! Kau belum menjawab apa keperluanmu datang ke tempat ini!" "Kita membekal benda yang sama yaitu Gading Bersurat. Berarti kita punya maksud yang sama. Mengapa kau masih bertanya?!" Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa. "Bekal boleh sama tapi isi perut bisa lain. Apa lagi pikiran di dalam otak dan perasaan di dalam hati. Mana bisa sama!" "Jika begitu ucapanmu maka kau tidak keberatan berterus terang. Aku bermaksud menculik anak perawan di dalam sumur api. Mengapa aku menculik, aku rasa tidak perlu menerangkan karena kau pasti sudah tahu. Apakah kau merasa keberatan atau ada yang mengganjal dalam hatimu?" "Ternyata kau orang jujur. Mau berterus terang meskipun melakukan pekerjaan salah. Semoga Para Dewa akan mengurangi sedikit dosa-dosamu. Hik...hik! Giring Laweyan, sebelumnya kau melihat ada mayat berjubah kuning yang sudah jadi jerangkong di sekitar sini. Kau tahu siapa manusia malang itu?" "Silakan kau menerangkan!" jawab Giring Laweyan. "Namanya Setunggul Bumi. Sahabat dari Setunggul Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau!" Meski terkejut namun Giring Laweyan berpura-pura tidak acuh. "Kau tahu kenapa dia menemui kematian dan siapa yang membunuhnya?" "Aku tidak perduli!" Ratu Dhika tersenyum. "Jangan begitu Giring Laweyan. Jangan berpura-pura tidak perduli. Aku mencium dari jalan nafasmu. Kau mulai merasa jerih. Bukankah begitu?" "Siapa yang membunuhnya?" "Akan aku beri tahu. Akan aku beri tahu!" jawab Ratu Dhika Gelang Gelang pula. "Aku yang membunuh manusia malang itu. Kenapa? Karena dia membekal maksud sama denganmu. Hendak menculik anak perawan yang di dasar sumur api. Berarti...." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak meneruskan ucapan, dia menatap ke arah Giring Laweyan yang wajahnya diterangi cahaya api dari dasar sumur. "Berarti kau juga hendak membunuhku!" Justru Giring Laweyan yang meneruskan ucapan Ratu Dhika Gelang Gelang. "Aku tidak berkata begitu. Tetapi umur manusia siapa yang tahu," jawab Ratu Dhika. "Ratu Meong, apakah kau masih ingin makan ular panggang?" Tiba-tiba Giring Laweyan bertanya. "Jika kau memang mau memberi mengapa aku tidak mau menerima?" jawab Ratu Dhika yang dipanggil Ratu Meong oleh Giring Laweyan. "Aku bukan manusia pelit. Kau boleh makan ular panggang sekenyang perutmu!" Setelah berucap Giring Laweyan lemparkan ketiding berisi puluhan ular berbisa ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. Sang Ratu terpekik lalu meniup. Empat gelang berkerincingan. Enam ekor ular berbisa mental dengan tubuh hancur. Kucing merah menggerung keras dan melompat ke arah lelaki berkulit hitam. Tak lama kemudian terdengar dua jeritan keras. Jeritan pertama keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang Gelang yang bukan takut diserang ular tapi lebih merasa jijik. Patukan puluhan binatang itu memang melukainya berupa titik-titik kecil tapi bisa ular tidak dapat membunuhnya karena dia memiliki ilmu kebal terhadap segala macam racun termasuk racun ular. Ilmu kebal ini bernama Kebal Lemah Kebal Banyu. Selama ada bagian tubuhnya menyentuh tanah atau air maka tidak ada racun yang bisa mencekal dirinya termasuk racun ular berbisa. Satu persatu binatang yang melilit tubuhnya diremas hingga hancur. Jeritan kedua keluar dari mulut Giring Laweyan alias si Raja Ulo. Kucing merah peliharaan Ratu Dhika Gelang Gelang mengeong keras begitu ketiding berisi ular dilemparkan. Secepat kilat binatang ini melompat dari bahu kanan Ratu Dhika. Dua kaki belakang membenam di pangkal leher, dua kaki depan mencakar ganas ke wajah. Dalam waktu sekejapan saja sekujur muka Giring Laweyan tercabik-cabik. Darah mengucur membasahi muka dan pakaian. Sungguh mengerikan. Sambil berteriak kesakitan dan lari kian kemari si Raja Ulo ini coba menangkap dan melemparkan kucing merah yang masih mencakar dan kini malah menggigit lehernya. Dalam keadaan sakit yang amat sangat, ditambah kedua matanya telah tertutup darah, Giring Laweyan tidak melihat lagi kemana arah larinya. Tubuh yang tinggi kurus menabrak pinggiran batu sumur api lalu terjungkal dan tak ampun lagi tercebur masuk ke dalamnya! Dari dasar sumur, lidah api menderu ke atas seolah menyambut kejatuhan tubuh Giring Laweyan. Sesaat terdengar suara jeritan lelaki itu menggema di dalam sumur lalu lenyap. Kucing merah melompat kembali ke atas bahu kanan Ratu Dhika Gelang Gelang. Lalu menjilati kuku kakinya yang bernoda darah. Di dalam kegelapan, di balik sebatang pohon Mahoni, seorang perempuan tua yang di atas kepalanya menangkring seekor bulus atau kura-kura besar hijau bermata merah menyaksikan semua kejadian di tempat itu dengan hati tercekat. Dalam hati dia membatin. "Dari pada celaka lebih baik aku menunda niat. Mungkin aku harus menunggu sampai anak perawan itu melahirkan lima bulan dimuka sambil mencari akal. Kalau aku bersikeras meneruskan rencana, sama saja dengan mengantar nyawa. Para Dewa jelas tidak akan berpihak padaku. Ratu Meong bukan tandinganku. Apa lagi saat ini dia membawa serta kucing betina merah itu. Mempergunakan kekerasan lebih banyak celakanya bagi diriku. Aku harus mencari akal. Selain itu aku harus tahu apa keperluan dan sebagai apa perempuan satu ini berada di tempat ini. Menjaga sumur api? Mungkin dengan cara memperdayai dan memperalat pemuda yang dicintainya itu aku bisa menyelinap ke dasar sumur api melalui jalan rahasia." Tidak menunggu lebih lama perempuan tua ini segera tinggalkan tempat itu. Langkahnya tampak lamban sekali seperti seekor kura-kura. Namun sebentar saja sosoknya sudah lenyap dari kawasan sumur api. TAMAT
Semakin dekat hari kelahiran bayi yang dikandung Ananthawuri semakin banyak orang pandai dan sakti baik dari golongan putih maupun golongan hitam di Bhumi Mataram berusaha mendapatkan anak perawan dari Desa Sorogedug itu. Namun banyak pula di antara mereka yang berlaku cerdik dan berpikir buat apa bertarung percuma. Bukankah lebih baik menculik langsung sang bayi saja nanti bilamana telah lahir? Nantikan kemunculan MIMBA PURANA, Kesatria Lonceng Dewa, Pendekar Bhumi Mataram... |
Kisah selanjutnya;
|