Perawan Sumur Api - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MIMBA PURANA
Satria Lonceng Dewa
Episode :
PERAWAN SUMUR API
Karya : 
Bastian Tito

serial Mimba Purana episode Perawan sumur api

1.    ANAK PERAWAN SOROGEDUG

AGAKNYA ini adalah malam paling indah dipermulaan musim kemarau di Bhumi Mataram. Langit biru bersih sedikitpun tidak berawan, dihias tebaran bintang gumintang. Cahaya bulan purnama menyaput langit, turun ke bumi membawa kesejukan. Bila angin bertiup, kesegaran terasa sampai di rongga dada

Di bawah semua keindahan malam yang mempesona dan udara sejuk penuh kesegaran, candi Siwa yang terletak di kawasan Prambanan dan lebih dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan candi Loro Jonggrang tegak menjulang megah dan anggun. Diapit oleh candi Brahma di sebelah selatan dan Candi Wisnu di sebelah utara. Sesekali serombongan burung malam melayang terbang melewati puncak ketiga candi. Tiga candi tidak beda laksana tiga raksasa penjaga negeri dikelilingi oleh beberapa candi lainnya.

          Menjelang tengah malam, ketika keheningan yang berselimut udara sejuk membuat terasa adanya kesakralan di kawasan Prambanan, dari balik Candi Nandi tampak seseorang berjalan ke arah Candi Loro Jonggrang. Orang ini ternyata adalah gadis berambut panjang hitam sepinggang, mengenakan kemben lurik kasar, tidak mengenakan alas kaki dan wajah cantik alami tanpa diberi pupur, tidak juga penerang alis apa lagi pewarna bibir.

          Beberapa saat akan sampai di tangga utama candi, gadis berusia sekitar enam belas tahun ini hentikan langkah. Matanya yang bening bagus menatap ke depan, mulut berucap perlahan. "Aneh, tadi aku tidak melihat orang tua yang duduk di depan tangga candi. Sekarang mengapa tahu-tahu sudah ada di situ? Dari mana gerangan datangnya?"

Seperti yang dilihat si gadis, saat itu di tanah di depan tangga candi memang tampak duduk seorang tua berambut, kumis dan janggut putih. Pakaian selempang kain putih sederhana. Di tanah di samping kiri terletak sebatang tongkat kayu. Si orang tua duduk sambil memegang sebuah kitab. Mulut bergumam membaca isi kitab yang ditulis dengan huruf Palawa dalam bahasa Sansekerta.

          "Orang tua itu, dia membaca Kitab Weda pada bagian Yayur Weda, bacaan dan mantera untuk keselamatan..." Si gadis berucap dalam hati. Agaknya gadis ini punya pengetahuan tentang kepercayaan Hindu yang menjadi agama di Bhumi Mataram pada masa itu.

Tak berani melewati, sungkan mengganggu, maka si gadis tegak berdiri menunggu sampai si orang tua menyelesaikan bacaannya. Cukup lama baru orang tua di depan tangga candi hentikan bacaan. Perlahan-lahan dengan sikap khidmat dia menutup kitab, letakkan di atas pangkuan lalu mengangkat kepala.

Begitu pandangannya membentur gadis yang berdiri beberapa langkah di hadapannya, sepasang alis mata si orang tua naik ke atas. Mulut lalu menyapa halus.

"Seorang perawan di malam hari. Mendatangi candi suci Candi Loro Jonggrang, ada apakah maksud di hati?"

Si gadis maju dua langkah, terlebih dulu membungkuk memberi hormat lalu berkata. "Orang tua, salam sejahtera bagimu. Apakah kau seorang Brahmana..."

Orang yang duduk bersila di tanah letakan dua telapak tangan di atas dada lalu gelengkan kepala. "Aku bukan Brahmana. Aku hanya seorang tua yang di rumah tidak bisa memincingkan mata. Lalu memutuskan mencari ketenangan di tempat ini dengan membaca Kitab Weda..."

"Orang tua, kau pandai merendah diri. Jangan-jangan kau Dewa Agung yang turun ke bumi menjelma diri."

Kembali orang tua itu gelengkan kepala. Kali ini disertai dengan senyum di wajah. "Anak perawan, coba jelaskan siapa dirimu. Ada maksud apa malam-malam datang ke candi seorang diri."

"Saya datang dari Sorogedug. Sebuah desa kecil di selatan Prambanan. Saya meninggalkan desa saat matahari terbenam. Saya sengaja berjalan di malam hari agar tidak ada yang melihat."

"Sorogedug cukup jauh dari sini. Katanya kau sengaja berjalan di malam hari agar tidak ada yang melihat. Agaknya ada satu kerahasiaan dalam dirimu. Selain itu kau merasakan sepertinya ada sesuatu yang merisaukan dirimu kalau tidak mau dikatakan ada yang menakutkanmu. Anak perawan, siapa namamu? Ada maksud apa datang ke candi?"

"Nama saya Ananthawuri. Saya datang untuk mengunjung Patung Batari Durga Mahisasura-mardani."

Si orang tua menatap wajah gadis cantik di hadapannya sementara angin malam meniup rambutnya yang panjang hitam melambai-lambai di belakang punggung.

"Ananthawuri.... Sungguh nama yang bagus.Tapi dibalik wajahmu yang cantik aku melihat bayangan kesedihan, juga ada rasa ketakutan. Sesuatu mengganjal di lubuk sanubarimu. Dan kalau kau malam-malam datang ke candi untuk menemui Patung Batari Durga yang lebih dikenal dengan nama Loro Jonggrang, aku yang telah hidup puluhan tahun ini rasanya sudah bisa menerka apa maksud kedatanganmu. Apakah kau punya masalah dengan pemuda tambatan hatimu atau kau di usia semuda ini hendak memohon mendapatkan jodoh?"

"Terima kasih, kau memperhatikan diri saya, Kek. Bolehkah saya memanggilmu Kakek?" tanya si gadis.

Orang tua berselempang kain putih tersenyum dan anggukan kepala.

"Berarti saya bisa membagi rasa denganmu. Tentu saja kalau kau mau Kek. Tapi ketahuilah, saya belum mempunyai seorang pemuda yang jadi tambatan hati dan saya datang ke candi ini tidak untuk memohon jodoh." Begitu Ananthawuri menjelaskan.

"Begitu?" Orang tua yang duduk bersila di tanah agak heran tapi mulutnya tersenyum.

"Kau beruntung. Bangunan candi belum seluruhnya rampung. Tapi Patung Loro Jonggrang sudah lama selesai. Indah dan cantik. Hai, aku memperhatikan kau seorang gadis bertubuh jangkung. Tingginya dirimu hampir menyerupai sang Batari. Dan wajahmu.... Dewa Maha Besar. Mengapa aku melihat banyak kesamaan antara wajahmu dengan wajah patung Loro Jonggrang?" (Jonggrang = jangkung).

Perawan dari desa Sorogedug itu tertawa. "Kek, kau ini ada-ada saja. Masa mau menyamakan saya anak desa yang jelek ini dengan Dewi cantik jelita itu."

"Ananthawuri, walau kita baru bertemu malam ini, kau mau memanggilku Kakek. Apakah aku yang tua ini berlaku lancang kalau aku menganggap dirimu sebagai cucu sendiri."

"Tidak, tidak lancang Kek. Saya malah sangat berterima kasih. Saya gembira kini punya seorang Kakek karena sesungguhnya Ayahpun saya sudah tidak punya."

Si orang tua mengangguk. "Aku bisa melihat kesedihan di raut wajah serta pancaran sinar matamu. Ketahuilah Kakekmu ini bernama Dhana Padmasutra."

"Kakek Dhana, saya senang bertemu dan mengenal dirimu. Saat ini apakah saya boleh minta jalan dan naik ke candi?"

"Tentu saja cucuku. Namun sebelum naik dan masuk ke dalam candi dan menemui Patung Loro Jonggrang, aku ingin bertanya, apakah kau pernah mendengar riwayat kehidupan Patung yang kau hendak temui itu?"

"Saya pernah mendengar. Dari Ibu. Riwayat didongengkan setiap kali saya mau tidur. Tapi kalau Kakek juga punya cerita yang mungkin lebih bagus dan lebih lengkap tentang sang Dewi, saya suka sekali mendengarnya."

Si orang tua tersenyum dan anggukan kepala. Dalam hati dia berkata. "Anak perawan ini, dia sudah mengetahui sesuatu tapi tetap ingin mengetahui lebih banyak. Berarti dia mencintai ilmu pengetahuan. Caranya meminta dengan segala kerendahan hati dan ketinggian jiwa. Dia membekal satu urusan penting, namun masih mau meluangkan waktu bercakap-cakap dan berbagi rasa. Dia tengah menghadapi kesulitan tapi masih menyempatkan bicara denganku. Ah.... mengapa hatiku begitu suka padanya. Dewa Maha Besar, Dewa Maha Agung. Saya Dhana Padmasutra hambamu yang rendah menjatuhkan diri berlutut di hadapan Para Dewa, mengucap selangit terima kasih, menghatur sebumi rasa syukur dan menyampaikan selautan luas rasa gembira karena Para Dewa di Swargaloka telah mempertemukan saya dengan anak perawan ini. Wahai Para Dewa, apapun kesedihan serta ketakutan yang menyelinap dalam hatinya, berikan saya kemampuan untuk menolong."

Tiba-tiba satu cahaya putih laksana turun dari langit berpijar menyelubungi tubuh Dhana Padmasutra. Saat itu juga Ananthawuri melihat bagaimana wajah si orang tua menjadi lebih segar dan lebih cerah. Sepasang mata yang sebelumnya sayu kini bersinar cerah. Tubuh yang tadi agak tertunduk merunduk kini duduk lurus dengan dada tegap ke depan.

"Kakek Dhana, apa yang terjadi? Ada cahaya putih saya lihat masuk ke dalam tubuhmu. Kau tidak apa-apa?" Tanya Anathawuri sambil beringsut maju dan memegang lengan si orang tua. Ketika jari-jarinya menyentuh lengan itu, si gadis merasa ada hawa luar biasa sejuk masuk ke dalam tubuhnya.

"Aku baru saja menerima berkah Para Dewa," ucap Dhana Padmasutra. Lalu membungkuk dalam-dalam sampai keningnya menyentuh tanah. Sambil bersujud orang tua ini berucap. "Wahai Batara Dewa di Khayangan. Saya tidak tahu pertanda apa yang Engkau berikan. Saya percaya Engkau melindungi saya dalam segala niat dan perbuatan saya. Jika saya harus melindungi dan menolong orang lain, maka berilah kepada saya kekuatan untuk mampu melakukan hal itu."

Setelah kembali duduk bersila si orang tua berkata. "Cucuku Ananthawuri, aku akan ceritakan padamu riwayat Loro Jonggrang. Singkat-singkat saja agar sesudah itu kau bisa segera mengunjungi patungnya."

Si gadis tersenyum. Merasa lega mengetahui orang tua di hadapannya tidak kurang suatu apa. Sementara Dhana Padmasutra sendiri dalam hati membatin.

"Anak perawan ini agaknya bukan gadis sembarangan. Kalau bukan karena kehadirannya rahmat Para Dewa tidak akan turun atas diriku."

                          ***
2.    KISAH DHANA PADMASUTRA

 SETELAH merapikan letak kitab Weda di atas pangkuannya kakek bernama Dhana Padmasutra menuturkan kisah Loro Jonggrang pada Ananthawuri.

Konon beberapa puluh tahun lalu seorang Raja yang memiliki Keraton di Gunung Boko mempunyai seorang puteri cantik jelita tinggi semampai bernama Loro Jonggrang. Suatu ketika seorang Kesatria gagah perkasa dan juga sangat sakti bernama Bandung meminang Loro Jonggrang untuk dijadikan istri.

Raja Boko menerima lamaran itu namun sang puteri menolak. Karena sangat menghormati Ayahnya dan tidak mau mempermalukan sang Kesatria maka Loro Jonggrang menerima pinangan tersebut dengan mengajukan syarat. Syarat itu sekaligus diajukan sebagai mahar atau mas kawin yakni sang Kesatria harus membuat 1000 candi dalam waktu satu malam. Jika Bandung mampu memenuhi syarat itu maka Loro Jonggrang menerima pinangan dan bersedia menjadi istrinya.

Bandung sang Kesatria karena sangat mencintai Loro Jonggrang dengan kesaktiannya memanggil ribuan makhluk halus sebangsa jin untuk membantu membangun 1000 candi yang diminta. Maka mulai matahari terbenam sampai semalaman suntuk ribuan makhluk halus di bawah pimpinan Bandung bekerja keras. Menjelang matahari terbit ternyata tinggal satu candi yang belum rampung.

Melihat kejadian itu Loro Jonggrang yang semalaman tidak tidur dan mengawasi pembuatan 1000 candi merasa sangat khawatir. Kalau sampai candi ke 1000 selesai berarti dia harus bersedia dikawini oleh Bandung. Padahal Loro Jonggrang sama sekali tidak menyukai apa lagi mencintai sang Kesatria.

Dalam khawatirnya Loro Jonggrang terus memohon pada Yang Kuasa agar diberi petunjuk bagaimana caranya menghindari perkawinan itu. Loro Jonggrang mendapat akal. Puteri Raja ini membangunkan dan mengumpulkan semua anak gadis yang ada di Kerajaan. Kepada mereka diperintahkan agar segera menumbuk padi di lesung. Dalam waktu singkat seluruh negeri ramai oleh hiruk pikuk suara tumbukan alu di lesung padi yang dilakukan oleh hampir ratusan anak gadis. Suara alu beradu dengan lesung membuat ayam-ayam terbangun dan suara kokoknya kemudian terdengar di mana-mana.

Semua makhluk halus yang tengah melakukan pekerjaan membangun candi terakhir tersentak kaget. Mereka mengira hari telah siang dan takut celaka terkena sinar matahari.

Semuanya serta merta meninggalkan tempat mereka bekerja membangun seribu candi. Melihat apa yang terjadi dan mengetahui tipu muslihat yang dilakukan Loro Jonggrang, Bandung marah bukan alang kepalang. Kesatria sejati ini menjatuhkan kutuk, menjadikan Loro Jonggrang sebagai patung.

Sejak diciptakannya Patung Batari Durga di Candi Siwa timbul kepercayaan bahwa patung itu adalah penjelmaan Loro Jonggrang puteri Raja Boko. Patung banyak dikunjungi oleh muda mudi sambil memohon kepada Dewa agar mudah mendapatkan jodoh.

Dhana Padmasutra menutup kisahnya dengan bertanya. "Cucuku Ananthawuri, setelah kau mendengar cerita Loro Jonggrang, aku ingin bertanya lagi. Apakah maksudmu mengunjungi Patung Loro Jonggrang karena kau juga ingin mendapat jodoh seperti yang dilakukan para gadis dan banyak pemuda?"

"Tidak Kek, saya tidak bermaksud mencari jodoh. Saya ingin minta petunjuk dan perlindungan. Nasib diri saya hampir tiada beda dengan Loro Jonggrang..."

Dhana Padmasutra pandangi anak perawan dari Sorogedug itu beberapa ketika. "Cucuku, ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu."

Maka berceritalah Ananthawuri. "Semasa Ayah masih hidup, beliau memiliki banyak sawah dan ladang. Suatu ketika untuk suatu keperluan Ayah membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Panen hasil sawah dan ladang ditunggu masih lama. Ayah meminjam uang pada seorang saudagar muda dengan cara mengijonkan hasil sawah ladang.Tidak diduga semacam penyakit tanaman merusak seluruh tanaman. Anehnya musibah itu hanya terjadi pada sawah dan ladang Ayah saja. Hasil panen yang diharapkan akan dipakai untuk pembayar hutang tidak menjadi kenyataan. Sementara hutang bunga berbunga hingga berlipat ganda. Sampai Ayah meninggal dunia hutangnya tidak terbayar..."

"Cerita selanjutnya aku bisa menerka," kata Dhana Padmasutra pula. "Saudagar muda itu mendatangi keluargamu, minta agar hutang mendiang Ayahmu diselesaikan."

"Betul sekali Kek," kata Anathawuri. "Ibu memberitahu belum sanggup membayar hutang. Ibu menawarkan agar saudagar itu mengambil seluruh tanah sawah dan ladang sebagai pembayar hutang. Tapi dia menolak. Tanah sawah dan ladang kami tidak dihargai barang sekepeng batupun. Malah dia mengancam akan membawa perkara hutang piutang itu ke Pejabat Kerajaan. Ibu ketakutan dan jatuh sakit-sakitan. Namun ancaman itu ternyata akal busuk sang saudagar saja. Karena satu kali dia pernah berkata pada Ibu. Jika saya mau dijadikan istrinya maka semua hutang Ayah akan dihapus."

Dhana Padmasutra tercengang mendengar keterangan si gadis dan gelengkan kepala sampai beberapa kali.

"Yang saya khawatirkan Kek, jika maksudnya mengawini saya tidak kesampaian, mungkin sekali saya akan diapa-apakan. Bisa-bisa saya diculik dilarikan."

"Cucuku, aku tidak mengira di Bhumi Mataram ini ada seorang sejahat Saudagar muda itu. Kalau aku boleh tahu siapa gerangan orang itu."

"Namanya Narotungga..." Memberitahu Ananthawuri.

"Narotungga? Kedengarannya bukan nama orang Bhumi Mataram. Sepertinya... Jangan-jangan orang ini pendatang berasal dari Selatan."

"Betul Kek, Saudagar muda itu memang dari selatan. Tapi kabarnya dia juga bukan asli orang selatan."

"Pantas...pantas. Orang Mataram asli tidak akan ada yang sejahat itu perilakunya. Tapi Yang Maha Kuasa berbuat sekehendakNya. Berdosa kita kalau menyalahkan seseorang bersifat dan berbuat jahat."

"Selain saya tidak suka padanya, saya juga mendengar kabar kalau Saudagar Narotungga telah mempunyai beberapa orang istri. Bila dia tidak suka pada salah seorang atau dua orang istrinya dengan mudah dia menceraikan lalu mencari istri-istri baru..."

"Bukan main, seperti hewan saja," ucap Dhana Padmasutra. "Cucuku Ananthawuri, sekarang sebaiknya kau segera naik ke candi. Saatnya kau menemui Loro Jonggrang. Ceritakan dengan hati dan ucapanmu semua apa yang kau hadapi dan mohon petunjuk. Walau dia Cuma patung batu, bisu dan dingin namun melalui Kuasa Dewa sesuatu akan kau dapatkan sebagai petunjuk. Aku akan menunggumu di sini sambil melanjutkan membaca Kitab Suci Weda."

"Saya akan segera naik ke candi. Kakek Dhana, saya mohon restumu agar Para Dewa mau memperhatikan diri saya yang malang ini."

Si orang tua anggukan kepala, tersenyum dan membelai rambut panjang si gadis. "Doa orang lain memang diperlukan, namun doa serta permohonan sendiri yang disampaikan langsung kepada Yang Maha Kuasa akan lebih mustajab. Pergilah cucuku..."

Seundak demi seundak Ananthawuri menaiki tangga utama Candi Loro Jonggrang. Walau langit bersih tak berawan serta sinar rembulan ikut menerangi Bhumi Mataram termasuk kawasan Prambanan, di dalam candi keadaan tidak begitu terang. Namun Ananthawuri melangkah cepat dan sigap. Semasa kecil, sewaktu candi dibangun dia sering datang dan bermain-main di sana dengan teman-teman. Karenanya dia hafal betul di mana letak ruangan tempat beradanya Patung Batari Durga atau yang lebih dikenal dengan nama Loro Jonggrang.

Di dalam suatu ruangan batu yang menghadap ke utara disitulah beradanya Patung Loro Jonggrang. Patung berdiri di atas seekor banteng bernama Nandi yang tewas di tangan Batari Durga. Konon menurut cerita, suatu ketika ada seekor banteng hendak mencelakai Durga. Banteng ini ternyata bukan hewan biasa karena di dalam tubuhnya telah masuk satu roh jahat. Durga berhasil menumpas makhluk halus yang menguasai banteng hingga berteriak-teriak dan melarikan diri. Banteng Nandi sendiri akhirnya ikut tewas di tangan Durga.

Patung Loro Jonggrang ini bagus dan halus sekali bentuknya hingga dipandang dari kejauhan laksana hidup dan tersenyum kepada siapa saja yang memperhatikannya.

Setelah memandang patung beberapa lama, Ananthawuri lalu membungkuk tiga kali dan perlahan-lahan menjatuhkan diri berlutut. Lama perawan desa Sorogedug ini terdiam sebelum mampu membuka mulut mengeluarkan ucapan sambil tundukan kepala.

"Wahai Batari Durga yang juga saya sebut dengan nama Loro Jonggrang. Pertama sekali saya mohon maaf kalau kedatangan saya mengganggu ketenteraman Batari. Wahai Nyi Loro kalau boleh saya panggil dengan sebutan Dewi. Saya gadis desa bernama Ananthawuri, datang menghadap Dewi karena saya tidak tahu lagi akan bertemu siapa, akan bicara dengan siapa dan akan minta tolong serta perlindungan kepada siapa."

Sesaat Ananthawuri angkat kepala. Setelah memperhatikan wajah patung dia kembali tundukan kepala dan lanjutkan ucapan. Namun belum sampai kata-kata meluncur keluar dari mulut perawan desa ini tiba-tiba dia mendengar suara halus seolah bergema datang dari kejauhan.

"Ananthawuri, aku sudah mendengar apa yang kau ceritakan pada orang tua di tangga candi. Kita hidup di alam yang berbeda namun ternyata nasib kita punya kesamaan."

Dalam kejutnya Ananthawuri langsung angkat kepala, menatap kearah patung. Hyang Jagat Bathara Sakti! Dia melihat sepasang mata Patung Loro Jonggrang seolah hidup, menatap kearahnya dan mulut patung tampak bergerak-gerak.

"Dewi Loro Jonggrang. Kau menatap ke arah saya, kau bersuara. Kau hidup. Oh Dewa! Besar nian berkah Mu pada gadis malang ini..."

"Ananthawuri, kau masih muda belia. Karena itu mungkin kau belum tahu bahwa hidup dan kehidupan di atas dunia ini adalah semacam panggung sandiwara penuh tantangan. Seseorang bisa melambung ke puncak kejayaan dan kebahagiaan. Tapi seseorang juga bisa terpuruk ke jurang hina penuh nista dan teraniaya. Pulanglah, jaga Ibumu baik-baik. Bukankah dia sedang sakit-sakitan..."

"Saya mendengar ucapanmu wahai Dewi Loro Jonggrang. Saya akan segera pulang..."

"Tentang nasib dirimu Para Dewa tentu sudah mendengar dan mengetahui. Para Dewa tentu tidak akan membiarkan seorang gadis seperti mu teraniaya begitu saja."

"Terima kasih Dewi... terima kasih banyak." Kata Ananthawuri berulang kali sambil membungkuk menyentuh kening ke lantai candi yang dingin tiga kali berturut-turut. Lalu dia mencium ujung kaki Patung Loro Jonggrang. Saat itulah dia merasa ada dua tangan mengangkat bahunya hingga dia berdiri. Anehnya, kini tubuhnya jadi sama tinggi dengan patung Loro Jonggrang. Kepala saling berhadapan, mata saling berpandang.

"Dewi Loro Jonggrang..." Ucap Ananthawuri dengan suara bergetar. Dia memandang ke bawah. Dia melihat kakinya sejajar dengan kaki patung. Apa yang terjadi. Bagaimana mungkin tubuhnya bisa setinggi tubuh patung sang Dewi. Ananthawuri kembali menatap ke wajah patung. Seperti kata kakek Dhana Padmasutra, wajah patung memang menyerupai banyak kesamaan dengan wajahnya. 

"Dewa Maha Agung, bagaimana ini bisa terjadi. Wajahku menyerupai wajah Dewi Loro Jonggrang..." ucap Ananthawuri dalam hati.

Saat ini tangan kanan patung tiba-tiba bergerak ke depan, lima jari tangan menggenggam kencang membentuk tinju seolah hendak menjotos kepalanya.

"Dewi...."Ananthawuri terkesiap.

3.    BATU SAKTI KALADUNGGA

LIMA jari tangan patung yang menggenggam tiba-tiba bergerak membuka. Di atas telapak tangan Loro Jonggrang terletak sebuah benda merah sebesar ujung jari kelingking. Benda ini memancarkan kilauan aneh hingga jika diperhatikan berbentuk seperti seekor kalajengking yang menggerakan kepala, kaki dan ekor.

"Ini Batu Kaladungga. Jika batu ini berada dalam tubuhmu maka siapa saja orang yang mempunyai niat jahat terhadapmu, sekalipun baru di dalam hati, maka orang itu tidak akan mampu melihat dirimu. Ananthawuri, ambil batu ini dan telanlah."

Sepasang mata Ananthawuri memperhatikan tak berkedip batu di tangan Loro Jonggrang. Lalu gadis ini menatap wajah sang patung. Mulut patung bergerak.

"Tidak usah ada keraguan. Ambil batu ini dan cepat telan. Dewa akan menolongmu."

Ananthawuri segera mengambil batu lalu memasukan ke dalam mulut. Dia merasa ada hawa sejuk di dalam mulut dan menjalar keseluruh tubuh. Namun setelah mencoba beberapa kali gadis ini mengalami kesulitan menelan batu yang bernama Kaladungga itu. 

Loro Jonggrang usapkan tangan kanan ke leher si gadis. Saat itu juga batu Kaladungga meluncur masuk lewat tenggorokan Ananthawuri. Anak perawan berusia enam belas tahun ini merasa tubuhnya mendadak berubah ringan dan pemandangannya menjadi lebih terang.

"Ananthawuri, lekas tinggalkan tempat ini. Cepat pergi..."

"Dewi Loro Jonggrang..." Ananthawuri cium tangan kanan patung yang masih terulur. Dia seperti memegang dan mencium tiada beda tangan manusia biasa. Halus dan wangi.  Sesaat kemudian tangan itu merapat kembali ke sisi kanan tubuh. Secara bersamaan tubuh Ananthawuri berubah ke bentuk asal yaitu tidak lagi setinggi tadi.

"Dewi, saya Ananthawuri mengucapkan terima kasih. Puji hormat saya untuk Dewi dan puji syukur saya untuk Para Dewa."

Ananthawuri bungkukan tubuh, mencium kaki patung lalu bersurut mundur. Terakhir kali sebelum keluar dari ruangan gadis ini menatap ke arah wajah patung, layangkan senyum sambil tangan kanan dilambaikan. Wajah patung Dewi Loro Jonggrang balas tersenyum dan mata kirinya tampak dikedipkan.

Ketika menuruni tangga menuju pintu gerbang utama candi, Ananthawuri merasa dirinya seperti melayang. Cepat sekali dia berada di undakan tangga terakhir sebelah bawah. Namun begitu menginjakan kaki di tanah gadis ini terpekik.

"Kakek Dhana!"

Orang tua berselempang kain putih yang tadi ditemui Ananthawuri sebelum naik ke atas candi kini dalam keadaan tergeletak di tanah. Kepalanya hangus hitam mengerikan. Rambut gosong seperti habis terbakar.Tongkat kayu dan Kitab Weda tercampak di tanah dalam keadaan terkembang.

"Kakek Dhana, apa yang terjadi?!" Ananthawuri menghambur jatuhkan diri di samping sosok si orang tua. Gadis ini hendak letakkan kepala orang tua itu di atas pangkuannya namun Dhana Padmasutra yang dalam keadaan sekarat masih mampu mengeluarkan ucapan.

"Cucuku, lekas tinggalkan tempat ini. Ambil Kitab Weda, bawa tongkat kayuku. Ikuti saja kemana tongkat itu akan menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah suara Roh Agung yang memberi petunjuk padamu. Pergilah. Jangan risaukan diriku. Aku telah menerima rahmat besar dari Para Dewa. Aku merasa berbahagia bisa meninggalkan dunia fana di malam yang begitu indah dan... sebelum pergi aku bisa bertemu dengan gadis sepertimu."

"Kakek, jangan bicara seperti itu. Saya akan menolongmu. Katakan apa yang terjadi? Siapa yang mencelakai dirimu sekejam ini?!"

Wajah tua itu tersenyum. "Lekas pergi..." katanya.

"Kek..." Ananthawuri merasa bimbang.

"Cucuku, ikuti kata-kataku... Tempat ini sekarang sangat berbahaya bagimu."

"Kalau begitu katamu Kek, baiklah. Tapi saya akan membawa tubuhmu dari sini. Saya tidak akan meninggalkan dirimu."

"Tidak... Jangan. Cucuku, lupakan diriku. Pergilah..."

"Baik, Kek. Saya akan segera pergi. Cepat-cepat pulang ke desa Sorogedug."

"Jangan, jangan pulang ke desa. Ikuti saja ke mana tongkat kayu milikku akan membawa menuntun dirimu..."

"Baik Kek. Saya akan menuruti kata-katamu..."

"Dewa akan melindungi dirimu," ucap si orang tua. Lalu kepalanya terkulai.

"Kek!" Ananthawuri memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa di sekitar situ. Sepi.

Namun naluri perawan belia ini merasakan ada kehadiran orang lain di tempat itu. Pandangannya kemudian membentur Kitab Weda dan tongkat kayu yang tergeletak di tanah. Dia ingat pada pesan si kakek. Cepat-cepat gadis ini mengambil kitab dan tongkat. Ketika hendak mengambil tongkat, di tanah Ananthawuri melihat sebuah benda bulat berwarna kemerahan. Walau tidak pasti apa adanya benda itu namun diambilnya juga, diselipkan ke balik kemben.

Meski hatinya sedih dan berat meninggalkan si orang tua dalam keadaan seperti itu namun Ananthawuri terpaksa pergi dari tempat itu. Tidak lama setelah si gadis tinggalkan halaman candi tiba-tiba dua orang berkelebat dari balik bangunan candi Wisnu yang terletak di sebelah kiri candi Loro Jonggrang.


4.    SETUNGGUL LANGIT DAN SETUNGGUL BUMI

DUA ORANG lelaki yang muncul di depan candi perhatikan mayat Dhana Padmasutra lalu saling pandang satu sama lain.

"Kau tadi terlalu keras menghajarnya. Kau tidak perlu mengeluarkan ilmu Serat Arang. Seharusnya dia tidak perlu dibunuh," kata lelaki di sebelah kanan. 

Namanya Setunggul Bumi. Orang ini bertubuh pendek katai, rambut panjang digulung dan dikonde di atas kepala. Dia memelihara janggut putih panjang menjulai menyentuh tanah. Pelipis kiri kanan dicantel gelang hitam terbuat dari akar bahar. Pakaian jubah kuning yang leher serta dua ujung lengan dan bagian bawah berumbai-umbai biru.

"Dia bukan orang sembarangan. Memang dia tidak akan membunuh kita tapi kalau dibiarkan hidup kita berdua bisa celaka," jawab lelaki satunya yang berbadan ramping dan tinggi sekali, mengenakan jubah hitam berkancing merah, celana juga hitam. 

Rambut hitam berkilat digulung di atas kepala. Dua tangan menjulai hampir menyentuh tanah seperti beruk. Di keningnya menempel sebuah batu pipih hitam legam berkilat berbentuk segi tiga. Sesuai dengan keadaan tubuhnya yang tinggi jangkung dia dikenal dengan nama Setunggul Langit. Dialah yang telah membunuh Dhana Padmasutra. Orang ini lanjutkan ucapan. 

"Lagi pula apa kau lupa pesan Arwah Muka Hijau. Kita tidak boleh meninggalkan jejak. Tidak ada satu orang pun boleh tahu dan menjadi saksi semua rencana dan perbuatan kita..." Setunggul Langit berbicara sambil mengelus-elus dada.

Tiba-tiba orang itu hentikan ucapan, tampang berubah. Kepala menunduk, mata memperhatikan dada pakaian. "Kancing bajuku!" katanya. "Salah satu kancing bajuku lenyap!" Setunggul Langit memandang ke tanah, memperhatikan berkeliling.

"Aku ingat," kata si katai Setunggul Bumi. “Waktu kau menyerang orang tua itu, dia pergunakan tongkat kayu untuk menangkis. Tongkat kayu menyambar ke dada, mungkin membuat tanggal salah satu kancing bajumu."

"Kalau tidak ada yang mengambil kancing itu pasti jatuh sekitar sini!" Setunggul Langit mencari kian kemari. Lalu dia menggeledah mayat Dhana Padmasutra, memeriksa dua tangannya. Tapi dia tidak menemukan kancing baju yang dicari. "Celaka. Kancing bajuku. Kalau ada yang mengambil. Kalau sampai ada yang mengetahui...!"

"Sudah lupakan saja kancing itu. Mungkin sudah hancur sewaktu disambar ujung tongkat." Kata Setunggul Bumi. "Aku berpikir-pikir. Apakah tadi kita melihat gadis keluar dari candi?"

Setunggul Langit gelengkan kepala. "Aku tidak melihat, kau juga tidak melihat. Aneh! Tadi aku jelas mendengar suara gadis itu. Suara teriaknya, lalu suara dia bicara. Tapi mengapa orangnya tak kelihatan. Aku melihat tongkat dan Kitab Weda melayang di udara ke arah timur."

"Ini memang kejadian luar biasa. Sebelum mati orang tua itu bicara dengan seseorang yang tidak kelihatan ujudnya. Pasti gadis dari desa Sorogedug itu." Kata Setunggul Bumi sambil usap janggutnya dan memandang ke arah candi.

"Setunggul Bumi, seharusnya tadi kita terus saja mengikuti gadis itu masuk ke dalam candi. Kita bisa membekuknya di sana."

"Sobatku, enak saja kau bicara. Apa kau lupa peringatan Gendadaluh alias Arwah Muka Hijau. Kita punya pantangan tidak boleh naik apa lagi sampai masuk ke dalam candi manapun di kawasan ini."

Setunggul Langit terdiam. Sesaat kemudian dia berkata. "Kita gagal mendapatkan gadis itu. Lalu apa yang akan kita katakan pada Arwah Muka Hijau!"

"Jelas dia pasti marah besar. Tapi kita punya alasan. Kita sudah mengikuti tapi tidak menduga kalau gadis itu masuk ke candi. Lalu ada orang tua bernama Dhana Padmasutra ini menghalangi. Kita berhasil menghabisinya. Arwah Muka Hijau pasti senang mendengar kematian seteru lamanya ini." Jawab Setunggul Bumi.

"Lalu bagaimana kita mengatakan bahwa kita tidak melihat gadis itu keluar dari candi. Kita mendengar suara tapi tidak kelihatan orangnya. Apakah Arwah Muka Hijau akan mempercayai begitu saja cerita kita?"

Setunggul Bumi kembali usap janggut putih yang menjulai tanah. "Sudah, kita terima nasib saja. Dia pasti akan memendam kita lagi di Kali Progo. Sekali ini mungkin sampai seratus kali kokok ayam pagi. Lebih lama dari yang sudah-sudah. Remuk tubuh kita berdua!"

"Terus terang, sebenarnya kita telah berlaku sembrono," kata Setunggul Langit pula.

"Apa maksudmu?" tanya Setunggul Bumi.

"Tadi sewaktu kita melihat tongkat dan Kitab Weda melayang, seharusnya kita cepat mengikuti. Aku yakin sesuatu telah terjadi dengan anak perawan itu hingga dia mampu melenyapkan diri. Tongkat dan kitab tidak mungkin bisa melayang sendiri kalau tidak ada yang memegangi. Jangan-jangan di dalam candi anak perawan itu telah menemui seorang sakti mandraguna! Dengar sobatku, apapun yang terjadi kita harus mengejar. Harus menemukan perawan itu!"

"Setunggul Langit, kalau itu maumu, rasanya kita masih bisa mengejar. Kita punya ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi. Digabungkan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi Mengendus Raga. Meski kita tidak melihat ujud tapi kita mampu mencium baunya. Mengapa tidak dipergunakan? Lagi pula gadis itu masih belia, masih suci. Pasti enak dan harum baunya. Ha...ha...ha!"

Mendengar ucapan sobatnya si katai berjanggut panjang tanah itu, Setunggul Langit langsung baringkan tubuh, menelungkup ke tanah. Si katai Setunggul Bumi cepat melompat dan berdiri di atas punggung sobatnya. Dua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Mulut merapal mantera.

Setunggul Langit ikut komat kamit. Secara aneh hidung kedua orang ini menjadi panjang dan lobang hidung membesar. Mengendus tiada henti. Tiba-tiba Setunggul Bumi berteriak sambil menunjuk ke kanan.

"Timur! Ke arah timur!"

Saat itu juga tubuh Setunggul Langit naik ke udara, melayang berputar dua kali lalu wuttt! Melesat ke arah timur. Itulah ilmu kesaktian yang bernama Seribu Kaki Di Atas Bumi yang diterapkan bersamaan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi Mengendus Raga. Mereka mengejar dan menjajagi keberadaan Ananthawuri.

5.    SUMUR API

KITAB Weda dikepit di tangan kanan, tongkat dipegang di tangan kiri. Ananthawuri berlari ke arah timur. Dia merasa berlari biasa-biasa saja. Tetapi mengapa pohon-pohon yang dilewatinya seolah melesat terbang ke arah berlawanan. Rambutnya yang panjang melambai-lambai ditiup angin kencang, terasa dingin sampai ke tengkuk. Kakinya seolah tidak menjejak tanah. Walau berlari sudah sangat jauh tapi kaki tidak terasa capai dan dada tidak sesak.

"Apa yang terjadi dengan diriku? Mengapa aku memiliki kemampuan seperti ini? Dewa Bathara Agung, apakah Kau menolong diriku? Kakek Dhana Padmasutra, apakah ini berkat semua doamu? Dewi Loro Jonggrang, engkau pasti melindungi diriku."

Sementara berlari ucapan-ucapan itu keluar dalam hati Ananthawuri. Anak perawan dari desa Sorogedug ini tidak tahu dia mau lari ke arah mana. Tapi dia sadar sekali kalau dia tidak tengah menuju desa kediamannya. Sorogedug di selatan dan dia terus-terusan lari bukan ke arah selatan. Setiap dia ingat akan ibunya yang sedang sakit serta muncul niat untuk pulang ke desa Sorogedug, tongkat kayu milik Dhana Padmasutra menarik dirinya, seolah menjadi kemudi ke arah mana dia harus menuju yaitu ke arah timur.

"Dewa Agung," Ananthawuri mengucap ketika di depannya dia melihat langit mulai terang. "Fajar sudah menyingsing dan aku masih terus lari..."

Tongkat kayu di tangan kiri tiba-tiba bergerak ke kanan. Ananthawuri ikut bergerak ke kanan. Beberapa belas tombak di kejauhan dia melihat satu nyala terang. Hingga akhirnya gadis itu sampai di depan satu tumpukan batu bersusun rapi membentuk lingkaran mulut sumur setinggi pinggang manusia. Dari dalam lingkaran batu itulah menyebar keluar nyala terang berwarna merah.

Ananthawuri memperhatikan dengan dada berdebar mata tak berkesip. Dia melangkah lebih dekat lalu dengan hati-hati ulurkan kepala, coba melihat ke dalam. Gadis ini melihat sebuah lobang panjang dan dalam. Di dasar lobang berkobar nyala api, mengeluarkan suara menderu angker, bergejolak merah dan panas. Sesekali lidah api melesat ke udara melewati bibir sumur. Luar biasa mengerikan.

"Sumur Api..." ucap Ananthawuri. "Aneh, biasanya sumur berisi air. Yang ini mengapa berisi api?" Si gadis bersurut menjauh dua langkah. Mukanya pucat pertanda ada rasa takut.

"Ananthawuri masuklah. Ceburkan dirimu ke dalam sumur!"

Perawan desa Sorogedug ini terkesiap. Memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. "Siapa yang barusan bicara?" Ananthawuri beranikan diri bertanya.

"Ananthawuri! Lekas ceburkan dirimu ke dalam sumur! Cepat! Ada bahaya mengancam keselamatan dirimu!"

"Suara itu...." Si gadis lantas ingat pada kata-kata orang tua bernama Dhana Padmasutra. "Ikuti saja ke mana tongkat itu menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah suara Roh Agung yang memberi petunjuk padamu...."

"Roh Agung..." desis Ananthawuri.

Tiba-tiba dalam keadaan udara yang mulai terang gadis ini melihat pemandangan yang aneh. Dari arah barat melesat laksana terbang seorang berpakaian hitam. Di atas punggungnya berdiri seorang lelaki katai berjubah kuning, berjanggut putih yang panjangnya sampai ke kaki. Lelaki bertubuh pendek ini berdiri sambil dua tangan diangkat ke udara. Tiba-tiba dia menunjuk ke arah Ananthawuri berdiri.

"Aku melihat tongkat dan Kitab Weda mengambang di udara! Dekat tumpukan batu yang ada cahaya terang. Gadis itu pasti ada di sana!"

Setunggul Langit putar tangan kanannya. "Wuuttt!", Tubuhnya membelok, melesat ke arah sumur api.

"Cekal tongkat dan kitab. Gadis itu pasti bisa kita ringkus walau ujudnya tidak kelihatan!" teriak Setunggul Langit.

"Ananthawuri, jika kau ingin mencari selamat lekas masuk ke dalam sumur! Waktumu sudah habis!" Kembali terdengar suara dari makhluk yang tidak kelihatan yang menurut Dhana Padmasutra adalah suara Roh Agung. 

Ananthawuri pegang kitab dan tongkat erat-erat. Mulut berucap gemetar. "Yang Maha Kuasa. Saya serahkan diri saya padaMu."

Dengan memincingkan mata sambil keluarkan teriakan keras perawan desa Sorogedug ini melompat, menerjunkan diri masuk ke dalam sumur api. Suara gaung teriakannya bergema sepanjang kedalaman sumur, tembus ke udara terbuka lalu sirap lenyap!

"Wuutt!"
"Wuutt!"

Setunggul Langit dan Setunggul Bumi sampai di tepi tumpukan batu yang membentuk dinding sumur setinggi pinggang. Mereka berusaha mencekal ke arah tongkat. Namun keduanya hanya menggapai angin.

"Kita terlambat!" ucap lelaki yang bertubuh katai sambil pukul-pukul kening sendiri karena kesal.

"Tempat celaka apa ini?" Setunggul Langit melangkah mendekat lalu ulurkan kepala memandang ke dalam sumur.

"Wusss!"

Satu gelombang lidah api menderu keras, melesat ke atas membuat Setunggul Langit tersentak kaget, cepat-cepat melompat mundur, mengusap mukanya yang kepanasan dan menyumpah panjang pendek.

"Tidak pernah aku melihat yang seperti ini! Sumur Api! Mengapa ada kegilaan seperti ini di Bhumi Mataram!"

"Gadis tolol! Mengapa memilih bunuh diri!" Maki Setunggul Bumi "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tidak mungkin mencebur masuk mengejar anak perawan itu. Kita tidak mempunyai kemampuan melawan api!"

"Aku meragukan anak perawan itu benar-benar sudah mati!" Sahut Setunggul Langit. "Kita terpaksa menunggu di tempat ini. Masakan gadis itu tidak akan keluar-keluar dari dalam sumur."

"Setunggul Langit, jangan bodoh! Anak perawan itu pasti sudah menemui ajal! Kecemplung ke dalam sumur biasa saja dia pasti sudah tewas. Apa lagi Sumur Api seperti ini! Kita hanya membuang-buang waktu menunggu di sini. Sebaiknya kita segera menemui Arwah Muka Hijau. Terus terang saja padanya. Katakan semua apa yang kita alami."

Setunggul Langit menggeleng." Aku tetap punya keyakinan anak perawan itu tidak menemui ajal di dalam Sumur Api. Dengar, kalau kita berdua pergi, bagaimana jika anak perawan itu nanti menyelinap keluar. Kita bisa celaka lagi dihajar Arwah Muka Hijau."

"Kau benar-benar tolol!" ucap Setunggul Bumi. "Menurutku dia sudah menemui ajal di dasar sumur celaka ini. Dia seorang anak perawan desa yang tidak punya ilmu kepandaian apa-apa. Apa lagi yang namanya kesaktian!"

"Kau yang tolol sobatku!" kata Setunggul Langit setengah berteriak. "Kau bukan saja tolol tapi tidak melihat kenyataan! Anak perawan itu mampu melenyapkan ujud. Dia sanggup lari dari Prambanan sejauh sampai di sini. Kau masih mengatakan bahwa dia tidak mempunyai ilmu kesaktian?"

"Aku tetap tidak bisa percaya. Kita sudah mengawasi dia sekian lama dan kita tahu dia tidak punya ilmu kepandaian apa-apa. Bagaimana sekarang kau bisa mengatakan bahwa dia memiliki ilmu kesaktian?"

"Sudah! Kita tidak perlu berdebat! Kau tunggu di sini. Awasi Sumur Api itu. Aku akan menemui Arwah Muka Hijau. Syukur-syukur dia mau kita bawa ke tempat Ini!" Kata Setunggul langit pula.

Setunggul Bumi tidak menjawab. Dia mendudukan tubuhnya yang katai di bawah sebatang pohon jati yang kering dimakan umur. Memperhatikan sahabatnya Setunggul Langit berkelebat ke arah selatan lalu berpaling, memandang ke arah Sumur Api.

6.    ROH AGUNG

ANANTHAWURI dapatkan dirinya terduduk didasar sumur memegang Kitab Weda dan tongkat Dhana Padmasutra. Di tempat itu udara terasa sejuk padahal di sebelah atas sejarak satu penggalan dari kepalanya da kobaran api yang sekali-kali melesat keatas membentuk gelombang lidah api. Dia perhatikan seluruh tubuh, letakkan tongkat dan Kitab Weda di dasar sumur lalu mengusap wajahnya. Dia tak kurang suatu apapun, Tidak luka tidak ada cidera.

“Aneh, aku jatuh sedalam ini kedalam sumur. Ketika melewati kobaran api tubuh dan pakaianku tidak terbakar. Ketika jatuh ke dasar sumur ini tubuhku tidak cidera,” Ananthawuri menatap keatas. “Api…. Aku berada dalam Sumur Api. Wahai Dewi yang maha kuasa! Saya mohon perlindunganMu...” berucap si gadis  lalu ambil tongkat kayu dan Kitab Weda.  Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, bingung dan juga takut.

"Apa yang akan terjadi dengan diriku selanjutnya? Apakah aku akan berada di tempat ini selama-lamanya? Aku tidak takut sekali pun menemui kematian di tempat ini. Tapi bagaimana dengan Ibu...?" Memikir ibunya yang tengah sakit, air mata Ananthawuri berlinangan.

"Ananthawuri..." tiba-tiba ada suara bergema di dasar sumur. "Jangan kau bersedih, jangan menangis. Saat ini kau berada di tempat yang aman."

"Siapa yang bicara?" Ananthawuri bertanya. Dia seperti mengenal suara itu. Sama dengan suara yang tadi menyuruhnya masuk ke dalam Sumur Api.

"Aku Roh Agung. Yang ditugaskan oleh Para Dewa di Swargaloka untuk melindungi dirimu dan keturunanmu kelak..."

"Roh Agung?" ucap si gadis lalu terdiam sejenak. "Melindungi diriku dan keturunanku...?" Ananthawuri ingat kembali ucapan orang tua bernama Dhana Padmasutra. Dengan cepat gadis ini jatuhkan diri berlutut lalu berucap.

"Roh Agung, siapapun engkau adanya, saya berterima kasih. Kau telah menyelamatkan diri saya. Yang saya ingin tahu, berapa lama saya akan berada di dasar sumur ini. Saya ingin segera pulang ke Sorogedug. Ibu saya sedang sakit.."

"Ananthawuri, jangan kau terkejut Kau tidak akan pernah keluar dari Sumur Api ini seumur hidupmu kecuali dengan perkenan dan petunjuk Yang Maha Kuasa."

Ananthawuri terpekik. "Apa?"

"Dunia luar bagimu saat ini adalah malapetaka yang bisa membawa dirimu pada kematian. Itu sebabnya Dewa membawa dirimu ke tempat ini..."

"Tempat yang begini mengerikan?"

"Tempat ini tidak seperti yang kau lihat. Dibalik hal yang kau katakan mengerikan ada keindahan. Sebentar lagi kau akan menyaksikan."

"Roh Agung, bagaimanapun keindahan yang kau janjikan, saya tetap memilih pulang ke desa. Menemui dan merawat Ibu yang sedang sakit."

"Ibumu tidak kurang suatu apa. Para Dewa akan melindungi dan menjaganya."

"Juga dari Saudagar jahat bernama Narotungga itu?" tanya Ananthawuri.

"Dari siapa saja. Dari setiap marabahaya..."

"Tapi saya tetap ingin merawat dan menjaga Ibu sendiri. Saya mohon, keluarkan saya dari Sumur Api ini."

"Harap maafkan diriku. Aku tidak berdaya menolongmu. Ketentuan yang Maha Kuasa telah berlaku atas dirimu. Inilah yang dinamakan takdir kehidupan."

Tongkat di tangan kiri Ananthawuri terlepas jatuh. Tangan kanannya cepat-cepat menekankan Kitab Weda ke dada agar tidak ikut jatuh.

"Takdir kehidupan..." ucap Ananthawuri perlahan. "Apakah takdir kehidupan hanya menimpa diri seorang teraniaya seperti aku ini? Mengapa takdir buruk selalu jatuh pada manusia jelata, bukan pada mereka yang berlaku jahat? Wahai Para Dewa di Khayangan, maafkan diriku kalau aku telah berucap lancang..."

"Ananthawuri, ketahuilah. Kau telah dipilih oleh Para Dewa sebagai seorang insan yang kelak akan menjadi seorang Ibu yang akan melahirkan keturunan gagah perkasa yang akan berbakti, menjaga dan mengawal Bhumi Mataram."

"Roh Agung, saya mohon maaf padamu. Para Dewa, saya mohon ampunMu. Saya tidak akan menikah dengan siapapun...."

"Ananthawuri, jaga bicara, perhatikan ucapanmu. Siapa yang akan menjadi jodohmu sudah tertulis di sebuah Aras di Swargaloka. Ketahuilah, Para Dewa akan memberi satu berkat yang sangat luar biasa padamu. Kelak kalau kau sudah kawin dan melahirkan, maka dirimu tetap perawan selama-lamanya."

"Roh Agung, saya tidak inginkan itu. Saya mohon maaf. Saya minta ampun..."

"Ananthawuri, ambil tongkat kayu yang tergeletak di dasar sumur. Tekankan ujung tongkat ke dinding sumur sebelah kirimu. Maka itulah permulaan dari kehidupan barumu...."

"Saya tidak ingin kehidupan baru. Saya tidak mau berpisah dengan Ibu." Ucap Ananthawuri setengah berteriak setengah menangis.

Saat itu seperti ada yang memegang tangan kanannya, membimbing mengambil tongkat kayu lalu tongkat di arahkan ke dinding sumur sebelah kiri. Begitu tongkat ditekan, dinding sumur bergerak membentuk sebuah lobang berupa pintu empat persegi panjang. Di sebelah atas terdapat ukiran batu berupa burung Rajawali membentangkan sayap.

Di belakang pintu terlihat satu lorong batu dengan dinding penuh ukiran, diterangi cahaya kebiruan. Di ujung lorong Ananthawuri melihat berdiri seorang perempuan separuh baya, bermuka pucat berpakaian lusuh, tersenyum melambaikan tangan. Gadis ini terkejut. Dia mengenal sekali siapa adanya perempuan itu. Ananthawuri tidak percaya pada pandangannya. Dua mata diusap berulang kali.

"Apakah ini suatu sihir? Atau apakah aku tengah bermimpi?" Ananthawuri gigit bibirnya sendiri. Terasa sakit. "Aku tidak bermimpi." Lalu dia mengucap menyebut nama Dewa berulang kali. Perempuan di ujung lorong tidak sirna. "Ini bukan sihir..."

"Ibu!" pekik Ananthawuri memanggil.

Perempuan di ujung lorong membalas. "Ananthawuri anakku."

Kedua perempuan itu saling mendatangi dan akhirnya bertemu lalu sama berpelukan.

"Dewa Maha Besar. Terima kasih wahai Para Dewa. Terima kasih Roh Agung. Kau telah mempertemukan diriku dengan Ibundaku tercinta..."

Air mata menitik jatuh ke pipi Ananthawuri. "Ibu, katakan, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"

"Semua karena perlindungan dan pertolongan Yang Maha Kuasa, anakku. Narotungga bersama dua pengawalnya mendatangi rumah kita hendak menculikmu. Ketika dia tidak menemukanmu, Narotungga menumpahkan amarah murkanya pada Ibu. Jahat dan keji sekali..." Perempuan berusia tiga puluh lima tahun ini bercerita sambil meneteskan air mata.

***
7.    NAROTUNGGA

DESA Sorogedug. Sebuah desa kecil di sebelah selatan Prambanan. Penduduk rata-rata hidup bertani. Setiap keluarga memiliki sawah dan ladang cukup luas dan subur untuk ditanami. Sampai tengah malam banyak penduduk desa masih berada di luar rumah menyaksikan keindahan malam dihias rembulan dan bintang gemintang. Namun ketenteraman orang desa terusik oleh kedatangan ketiga penunggang kuda berdestardan berpakaian serba hitam.

Begitu melihat dan mengenali siapa adanya tiga penunggang kuda itu semua penduduk desa terutama yang memiliki anak gadis, cepat-cepat masuk ke dalam rumah, memalang pintu rapat-rapat lalu memadamkan pelita.

Tiga penunggang kuda yang membekal golok di pinggang masing-masing berhenti di sebuah rumah tua beratap rumbia yang bagian depannya diterangi sebuah pelita minyak. Ketiganya melompat turun dari kuda lalu melangkah ke depan pintu.

Salah seorang dari mereka, yaitu yang berkumis melintang bertampang garang dan rupanya bertindak sebagai pemimpin begitu berada di depan pintu langsung menendang.

"Braakkk!"

Pintu rumah jebol berantakan. Lelaki berkumis cepat menyelinap masuk kedalam rumah diikuti kedua temannya. Di dalam rumah hanya ada dua buah kamar. Kamar pertama ketika mereka dobrak dalam keadaan gelap dan kosong.

"Aku tahu betul. Ini kamarnya. Kosong, anak perawan itu tidak ada di sini." Kata lelaki yang lebih dahulu masuk ke dalam kamar pada dua temannya.

"Kita periksa kamar satunya. Dia pasti di sana menemani ibunya yang lagi sakit." Kata si kumis melintang mendahului melangkah ke bagian belakang rumah di mana terdapat sebuah kamar yang pintunya hanya tutup dengan kain panjang lusuh.

Si kumis melintang tarik kain penutup pintu hingga robek dan tanggal dari gantungannya. Di dalam kamar yang diterangi pelita kecil, di atas tempat tidur bambu beralas kasur tipis terbaring seorang perempuan separuh baya. Perempuan ini dalam keadaan sakit. Sudah dua hari menderita demam dan batuk. Wajahnya pucat.

Dia tidak dalam keadaan tidur dan dua matanya nyalang memperhatikan tiga lelaki yang berdiri di sampingnya dengan penuh rasa takut. Sambil batuk-batuk perempuan ini mencoba bangun lalu duduk di atas tempat tidur, rapatkan dada pakaiannya. Dia menatap pada lelaki berkumis yang sudah dikenalnya sebagai anak buah saudagar Narotungga kepada siapa mendiang suaminya mempunyai hutang.

"Raden Panangkaran, biasanya kau selalu datang siang hari. Ada apa datang malam-malam. Mengapa harus masuk dengan cara merusak pintu....?"

"Rupanya kau lebih sayang pada pintu rumah bobrok ini dari pada nyawamu!" Si kumis melintang bernama Panangkaran membentak.

Perempuan di atas tempat tidur makin ketakutan. Batuk-batuk beberapa kali. Setelah menarik nafas tersengal dia bertanya. "Raden, apa maksudmu..."

"Sukantili! Mana anak gadismu Ananthawuri?!"

"Kau... kau pertanyakan perihal anakku Tentu saja dia ada di kamarnya..." jawab perempuan bernama Sukantili yang sedang sakit. Ternyata dia adalah ibu Ananthawuri, anak gadis yang malam itu datang ke candi Loro Jonggrang. "Tapi... Katakan, ada apa kau mencari anak gadisku. Malam buta begini rupa. Apakah..."

"Diam! Tidak perlu banyak bertanya!" Hardik Panangkaran. "Kami sudah memeriksa. Kamar anakmu kosong! Kau sembunyikan dimana anak itu?!"

Sukantili yang duduk di atas ranjang bambu gelengkan kepala dan kembali batuk-batuk. Dadanya terasa sesak. "Saya tidak menyembunyikan. Sepanjang malam saya tidur di kamar ini dalam keadaan sakit..."

"Anakmu tidak ada di kamar ini! Dan kau tidak tahu ke mana perginya! Orang tua macam apa kau?! Katakan dia pergi ke mana? Sembunyi di mana?!"

"Raden, kalau benar kamarnya kosong, saya tidak tahu pergi kemana anak itu."

Panangkaran jambak rambut Sukantili hingga perempuan ini menggigil gemetaran. "Kau berdusta! Kau berani berdusta padaku Sukantili?!"

"Demi Yang Kuasa saya bersumpah. Saya tidak berdusta..."

Panangkaran memperkencang jambakannya hingga Sukantili mengerang kesakitan. "Perempuan desa tolol! Diberi rahmat malah minta kualat! Lebih baik kau katakan di mana anakmu. Kalau sampai kami bawa ke hadapan Gusti Narotungga, celaka nasibmu!"

"Saya tidak tahu berada di mana Ananthawuri. Kalau dia memang pergi saya juga tidak tahu pergi ke mana anak itu." Kata Sukantili terbata-bata.

"Perempuan, kau benar-benar memilih sengsara!"

Panangkaran memberi isyarat pada dua anak buahnya. Kedua orang ini segera mencekal kedua kaki dan tangan Sukantili. Salah seorang dari mereka kemudian memanggul dan membawanya keluar rumah.

Sukantili menjerit. "Saya mau dibawa ke mana? Lepaskan! Saya sedang sakit. Mohon dikasihani! Saya mau dibawa ke mana? Ananthawuri anakku! Kau di mana Nak? Tolong....!"

Sebelum meninggalkan tempat itu Panangkaran mengambil lampu minyak yang tergantung di depan rumah lalu dilempar ke atas atap. Sesaat kemudian gubuk itu telah tenggelam dalam kobaran api.

Jeritan Sukantili terdengar keras di malam sunyi itu. Banyak tetangga yang mendengar. Namun mereka tidak berani keluar rumah, apa lagi memberikan pertolongan. Mengintip dari lobang dinding kajang rumah masing-masing hanya itu yang bisa mereka lakukan. Jangankan rakyat biasa, prajurit Kerajaanpun seandainya menyaksikan kejadian itu tidak akan berbuat apa-apa. Karena mereka tahu siapa adanya Panangkaran dan untuk siapa lelaki ini bekerja.

***

GEDUNG kediaman Narotungga cukup jauh di wilayah barat laut desa Sorogedug. Gedung ini tidak beda seperti satu istana kecil. Terdiri dari satu bangunan besar dan lima bangunan kecil. Seluruh bangunan dikelilingi tembok tinggi. Rumah jaga pengawal tampak di empat sudut. Para pengawal meronda berkeliling sepanjang malam.

Sukantili dibawa ke gedung besar, di masukan ke sebuah kamar kosong, dibaringkan di lantai. Kalau dipegang tubuhnya panas sekali tapi perempuan malang ini sendiri merasa sangat kedinginan, menggigil gemetaran. Selain itu rasa takut yang amat sangat menyelubungi dirinya.

Tak lama setelah Panangkaran meninggalkan tempat itu, seorang pelayan perempuan datang memeriksa Sukantili dan memberi minuman secangkir teh hangat. Setelah itu pelayan keluar. Lalu masuklah seorang lelaki bertubuh gemuk pendek, mengenakan pakaian tidur bagus, berkumis kecil dan berjanggut tipis. Rambut hitam lurus ke atas, seperti lidi. Sepasang alis berbentuk setengah lingkaran, mata besar dan hidung tinggi bengkok. Dua telinga dicantel anting-anting bulat terbuat dari emas.

Di tangan kanannya si gemuk pendek ini memegang sebuah kipas terbuat dari bambu halus menyerupai daun keladi lebar. Sambil melangkah masuk ke dalam kamar dia mengipasi wajahnya yang pucat. Tiga dari lima jari tangan kanannya dihiasi dengan cincin batu permata besar. Lelaki berusia kurang tiga puluh tahun dan berwajah nyaris menyerupai hantu inilah Narotungga. Saudagar muda yang tergila-gila pada Ananthawuri puteri Sukantili dari suaminya Panggali.

Begitu melihat sosok Narotungga, Sukantili yang telah beberapa kali bertemu dengan saudagar ini segera jatuhkan diri. Setengah meratap dia memohon.

"Gusti Narotungga, mohon ampunmu. Mohon saya dilepas..."

Narotungga berpaling ke Panangkaran. Dengan nada dan sikap congkak dia berkata. "Aku muak mendengar ocehan perempuan ini. Suruh dia berbicara perihal anak perempuannya!"

Panangkaran cekal leher pakaian Sukantili. Perempuan ini disandarkan ke dinding lalu dibentak. "Katakan pada Gusti Narotungga dimana Ananthawuri berada. Cepat!"

"Demi Yang Maha Kuasa, saya bersumpah. Saya tidak tahu dimana anak itu. Saya tidak tahu dia pergi kemana. Saya tidak menyembunyikannya. Mohon ampun. Saya dua hari dua malam terbaring sakit di dalam kamar..."

"Sukantili, apa kau masih ingin bertemu dengan anak perempuanmu?"

"Tentu saja... Saya...”

"Kalau begitu beri tahu dimana dia berada."

"Saya sudah bersumpah. Saya tidak berdusta..." jawab Sukantili.

"Cukup!" Hardik Narotungga. "Bawa masuk kemari lelaki penyakitan itu! Biar perempuan ini tahu rasa!" Habis berkata begitu sambil berkipas-kipas saudagar muda ini keluar dari dalam kamar. 

Panangkaran memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya yang berdiri di pintu. Lelaki ini segera tinggalkan kamar. Tak lama kemudian dia kembali membawa seorang lelaki bersosok besar, yang hanya mengenakan cawat. Tubuhnya mulai dari kepala yang setengah gundul sampai ke kaki, selain kotor berdaki juga penuh dengan koreng dan kudis. Dua matanya merah, digenangi cairan nanah. Tubuh menebar bau busuk luar biasa.

"Kalian mau melakukan apa?!" Tiba-tiba Sukantili berteriak amat ketakutan.

"Tungkaduara! Kau lihat perempuan ini?!" Tanya Panangkaran pada lelaki korengan yang cuma mengenakan cawat

"Ha...hu...ha...hu!" Ternyata orang korengan ini gagu tak bisa bicara.

"Menurutmu apakah dia cantik?" tanya Panangkaran lagi.

"Ha...hu...ha...hu!"

"Kau suka padanya?" Kembali manusia korengan menjawab ha-hu-ha-hu. Kali ini sambil anggukan kepala.

"Kau boleh memperkosanya sepuas hatimu! Bahkan sampai mati sekali pun! Tidak ada yang perduli!"

Lelaki korengan busuk bernama Tungkaduara menyeringai. Barisan giginya tampak besar-besar dan kuning. Dia melangkah mendekati Sukantili sambil tangan bergerak melepas tali cawat. Sukantili kembali menjerit. Kali ini tiada henti.

"Perempuan dungu!" teriak Panangkaran. "Aku masih bisa menyelamatkanmu. Asal kau mau memberi tahu dimana keberadaan anak gadismu!"

"Demi Yang Maha Kuasa! Demi Para Dewa! Saya tidak tahu dimana anak itu. Raden, Para Dewa akan memberkahi merakhmati dirimu jika kau mau melepaskan diriku dari penganiayaan keji ini."

Panangkaran hanya menyeringai. Dia berpaling pada Tungkaduara. "Perkosa perempuan ini!"

"Ha...hu...ha...hu!"

Sukantili jatuhkan diri ke lantai. Pegangi kaki Panangkaran dan meratap. "Demi Para Dewa, saya memohon. Kasihani diri saya. Keluarkan saya dari tempat ini.Tolong..."

Seperti Narotungga mana ada rasa belas kasihan di hati Panangkaran. Dia malah tertawa bergolak mendengar ratapan perempuan itu.

"Raden, kalau kau memang tidak ingin menolong saya, saya minta, saya mohon dengan bersujud di depan kakimu, cabut golokmu! Dari pada saya diperlakukan secara keji lebih baik bunuh saya saat ini juga! Segala dosa perbuatanmu aku mintakan pengampunan pada Para Dewa di Swargaloka!"

Gelak tawa Panangkaran semakin keras. Bersama dua anak buahnya dia tinggalkan kamar itu. Pintu dipasak dari luar.


8.    MISTERI KEMATIAN TUNGKADUARA

PANANGKARAN dan dua anak buahnya duduk setengah tertidur di pendopo gedung besar kediaman Narotungga ketika saudagar itu muncul dan menendang kakinya.

Panangkaran terkejut. Begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya kepala pengawal ini serta meria melompat bangkit, membungkuk hormat lalu berteriak membangunkan dua anak buahnya.

"Fajar sudah menyingsing! Kau dan dua anak buahmu enak-enakan tidur!"

"Gusti Narotungga, mohon kami dimaafkan. Kami keletihan, semalam tidak tidur..."

"Tutup mulutmu! Pandainya kau mencari alasan! Apa tidak sadar kalau kalian sedang menjalankan tugas?!" bentak sang saudagar. "Tungkaduara masih belum keluar dari kamar! Kalau memang sudah tewas, buang mayat mereka di jurang Kalimundu!"

"Saya akan memeriksa Gusti. Saya akan membuang mayat mereka kalau memang sudah tewas." Jawab Panangkaran lalu bersama dua anak buahnya bergegas ke kamar di mana lelaki korengan disekap dan disuruh merusak kehormatan Sukantili. Pasak pintu dibuka. Daun pintu didorong. Begitu pintu kamar terpentang lebar Panangkaran bersama dua anak buahnya berseru kaget.

"Gusti Narotungga!" Panangkaran berteriak.

Sambil terus berkipas-kipas tapi kerenyitkan kening saudagar Narotungga melangkah cepat mendatangi. "Ada apa?!" tanyanya setengah membentak.

"Mohon ampun Gusti. Saya tidak berani mengatakan. Harap Gusti menyaksikan sendiri." Lalu pengawal ini menghindar dari ambang pintu kamar. Wajahnya yang garang tampak ketakutan.

Narotungga mendengus kesal mendengar ucapan Panangkaran namun dia melangkah juga ke depan pintu. Dua kakinya laksana dipaku di lantai. Dua mata membeliak. Perutnya mendadak mual dan mulutnya seperti mau menyembur muntah!

Di dalam kamar menggeletak sesosok lelaki korengan Tungkaduara dalam keadaan tanpa pakaian. Kepala pecah mulai dari kening sampai ubun-ubun! Darah menggenangi lantai kamar. Dan Sukantili tidak ada dalam ruangan itu!

Yang membuat Narotungga merasa seolah jantungnya mau tanggal ialah ketika melihat pada dinding ruangan di hadapannya tertera serangkaian tulisan dalam huruf Palawa. Tulisan ini dibuat dengan darah dan bisa dipastikan itu adalah darah Tungkaduara yang kini sudah jadi mayat!

Anak manusia bernama Narotungga
Kekayaan adalah rakhmat Para Dewa
Mengapa dipakai untuk berbuat nista
Kekuasaan adalah untuk membela orang yang lemah
Mengapa dipergunakan untuk berbuat angkara murka

Atas semua perilaku kehidupanmu selama ini
Yang hari ini kau tambah dengan perbuatan keji
Tiadalah pantas bagimu untuk berada di Bhumi Mataram

Hari ini sebelum sang surya tenggelam
Bertobatlah dan pergilah membawa diri
Tinggalkan Bhumi Mataram untuk selama-lamanya
Jangan berani kembali

Maka Para Dewa masih akan memberi rakhmat padamu
Bilamana kau tidak menyadari dan tetap bertahan diri
Maka azab Para Dewa sungguh sangat pedih

Untuk beberapa lamanya Narotungga tegak terdiam. Namun kemudian tawa bergolak menghambur dari mulutnya. Selagi tertawa kepala mendongak, mata melihat ke atas. Saat itu juga tawa lelaki ini berhenti. Di langit-langit kamar dia melihat satu lobang besar.

"Ada setan di gedung ini!" teriak Narotungga keras. "Bukan saja menculik perempuan celaka itu! Membunuh Tungkaduara! Tapi juga mengotori dinding dengan tulisan darah!"

Rahang saudagar bertubuh gemuk pendek ini menggembung. Kipas di tangan kanan dibanting ke lantai. Dia berpaling pada kepala pengawal.

"Gusti Narotungga, saya punya dugaan bukan setan yang melakukan semua ini. Mungkin ada seorang pintar berkesaktian tinggi muncul di sini. Atau mungkin juga ini semua kehendak dan perbuatan Para Dewa."

"Panangkaran! Kau banyak mulut sekarang! Kau tahu! Semua ini terjadi karena kelalaianmu dan dua anak buahmu! Kalian bertiga aku pecat! Aku tidak mau lagi melihat tampang kalian! Segera angkat kaki dari gedung kediamanku! Bawa mayat Tungkaduara. Buang di jurang Kalimundu!"

Panangkaran jatuhkan diri. Dua anak buahnya melakukan hal yang sama. "Gusti Narotunga. Mohon ampunmu..."

"Minta ampun pada setan yang membawa kabur perempuan itu, yang membunuh manusia korengan, yang menulis di tembok dengan darah!" Saudagar ini ludahi muka Panangkaran, balikkan tubuh lalu tinggalkan tempat itu.

Perlahan-lahan Panangkaran bangkit berdiri. Sepasang matanya tampak menyala seperti dikobari api. Diikuti dua anak buahnya dia meninggalkan gedung kediaman Narotungga. Sebelum keluar dari pintu gerbang dia berkata.

"Aku bersumpah akan membunuh saudagar itu! Aku akan melakukannya malam nanti!" Panangkaran berpaling pada dua orang anak buahnya. "Kalian ikut?"

"Kau pimpinan kami. Kemana kau pergi kami pergi. Apa yang kau lakukan akan kami lakukan." Jawab salah seorang anak buah Panangkaran sementara yang satunya mengangguk-angguk sambil keluarkan suara bergumam.

Panangkaran menyeringai. "Kita bunuh saudagar itu. Kita kuras harta kekayaannya. Aku tahu di mana dia menyimpan uang emas dan berbagai macam perhiasan."

***

DI DALAM sumur api Ananthawuri dan ibunya sama-sama mengusap wajah mengeringkan air mata.

"Ibu tidak menceritakan siapa yang menolong Ibu." Berkata Ananthawuri.

"Ibu sendiri tidak tahu siapa yang menyelamatkan Ibu dari perbuatan keji yang dilakukan lelaki busuk korengan itu. Ibu hanya melihat satu cahaya putih menyambar ke arah kepala orang itu. Lalu dia roboh ke lantai dengan kepala terbelah, darah mengucur. Ibu menjerit. Antara sadar dan tidak Ibu merasa ada orang yang mendukung Ibu. Tapi Ibu tidak bisa melihat sosok ataupun wajahnya. Orang ini menjebol langit-langit ruangan. Ibu melihat langit, rembulan dan bintang-bintang. Ibu sadar kalau tengah dibawa terbang. Ibu tak kuasa mengeluarkan ucapan. Tapi tidak ada rasa takut dalam diri Ibu. Sewaktu melayang dari tubuh orang yang mendukung Ibu memancar hawa hangat. Ajaib sekali. Demam dan batuk Ibu serta merta lenyap. Ibu menjerit ketika orang itu menukik ke bumi dan membawa Ibu memasuki ke sebuah lorong api. Tapi anehnya Ibu tidak merasa panas. Tubuh tidak ada yang terbakar atau cidera. Tak selang berapa lama berada di tempat ini, Ibu melihatmu..."

"Cahaya putih yang membunuh lelaki jahat itu..." kata Ananthawuri. "Saya yakin itu adalah cahaya Dewa yang memberikan pertolongan..."

"Ibu juga yakin memang begitu adanya." Kata Sukantili pula.

"Ibu, apakah Ibu tidak merasa indahnya rakhmat yang diturunkan Dewa atas kita? Ketika manusia biasa tidak memandang sebelah mata pada kita, malah berbuat jahat dan keji, Para Dewa menolong kita sehingga selamat dari bencana."

Ibu dan anak kembali saling berpelukan.

***
9.    MURKA DEWA JADI KENYATAAN

KEMATIAN Tungkaduara, lenyapnya Sukantili serta adanya tulisan darah sama sekali tidak menjadi peringatan yang mendatangkan kesadaran bagi saudagar Narotungga.

Malam harinya, setelah batas waktu peringatan dalam tulisan darah di dinding terlampaui, yaitu dia harus meninggalkan Bhumi Mataram untuk selama-lamanya sebelum matahari tenggelam, Narotungga malah mengadakan pesta. Kerabat dekat, para saudagar dan juga banyak pejabat dari Kerajaan Mataram diundang datang. 

Di ruang dalam gedung yang luas  dimana terdapat sebuah taman selain makanan lezat serta minuman keras para tamu disuguhi hiburan gamelan dengan sinden muda belia berwajah cantik serta para penari bertubuh molek. Belasan pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik berpakaian seronok melayani para tamu yang semuanya adalah lelaki. 

Sebelum pesta dimulai konon Narotungga membisikkan pada sahabat-sahabatnya terutama yang ada hubungan dagang dengan dia, jika ada yang berkenan dengan gadis-gadis pelayan itu maka dipersilakan membawanya ke bagian belakang gedung dimana tersedia delapan buah kamar.

Rupanya bukan saja Para Dewa, alampun tidak dapat menerima pesta penuh kemesuman itu. Menjelang tengah malam yaitu pada puncak kemeriahan pesta udara mendadak berubah. Langit yang tadinya terang bertaburan bintang walau tak ada lagi rembulan berubah kelam diselimuti awan hitam. 

Angin yang sebelumnya bertiup semilir sejuk kini menjadi keras disertai deru menakutkan. Pohon-pohon besar berderak-derak, cabang-cabang bergoyang, rerantingan berpatahan, dedaunan luruh ke tanah. Petir menyambar mendebar dada, guntur menggelegar menusuk pendengaran berulang kali. Anehnya hujan tidak turun-turun.

Diantara para tamu yang menghadiri pesta di gedung kediaman Narotungga ada yang mulai gelisah dan berniat minta diri. Namun sebelum ada satupun yang meninggalkan  gedung itu tiba-tiba petir kembali menyambar. Sekejapan seluruh tempat terang benderang. Lalu terdengar letupan keras di wuwungan gedung yang terbuat dari kayu sirap dan wuuusss!

Api besar berkobar di atap gedung. Suasana pesta jadi kacau. Belasan prajurit kerajaan yang membantu mengamankan jalannya pesta berusaha memadamkan api. Namun kebakaran malah semakin hebat. Tiupan angin yang luar biasa kencang membuat titik api menebar ke beberapa tempat di atas atap gedung. Sebentar saja seluruh atap gedung besar kediaman saudagar Narotungga telah tenggelam dalam kobaran api. 

Ketika beberapa bagian atap mulai berderak runtuh dan api merambat bagian bawah gedung Narotungga tidak perdulikan para tamu, serta merta dia meninggalkan halaman pesta, masuk ke dalam gedung besar, langsung menuju ke sebuah ruangan di mana terdapat sebuah lemari besi tempat dia menyimpan uang, batangan emas serta berbagai macam perhiasan yang dimasukan dalam dua buah peti masing-masing dibungkus kantong kain berwarna hitam.

Selagi Narotungga mengeluarkan dua buah kantong hitam dari dalam lemari dan siap memanggulnya tiba-tiba ada suara menegur.

"Saudagar, kami suka sekali membantumu mengangkat dua peti dalam bungkusan kain hitam itu."

Narotungga terdiam. Dia mengenali suara itu. Perlahan-lahan dia berpaling. Dugaannya tidak salah. Di hadapannya berdiri Panangkaran menyeringai sambil memelintir kumis tebal. Di kiri kanan berdiri dua orang anak buahnya dengan sikap berkacak pinggang.

"Kalian bertiga sudah aku perintahkan untuk pergi! Mengapa berani muncul kembali?!" ucap Narotungga dengan suara keras membentak.

"Kami memang sudah pergi, tapi datang kembali untuk membantu Gusti Narotungga," jawab Panangkaran. Waktu mengucapkan Gusti Narotungga Panangkaran sengaja mengejek dengan memencongkan mulut, berpaling pada dua kawannya lalu ketiganya tertawa gelak-gelak.

"Menyingkir! Jangan berani menghalangi jalanku!" Narotungga marah besar merasa dihina. Tapi diam-diam hatinya mulai kecut. Tiga orang di hadapan Narotungga semakin keras gelak tawanya. "Kalian rupanya minta aku hajar!" Narotungga mengancam.

"Narotungga," kata Panangkaran. "Aku dan teman-teman sebenarnya ingin menolong dirimu. Menurut tulisan di dinding bukankah sore tadi seharusnya kau sudah meninggalkan gedung kediamanmu ini? Sekarang masih belum terlambat. Kami bertiga akan bantu membawakan dua peti itu kemana kau mau pergi. Bukan begitu teman-teman?"

Dua orang anak buah Panangkaran mengangguk lalu tertawa gelak-gelak.

Mendengar bekas pengawal menyebut namanya tanpa sopan santun lagi Narotungga letakan dua bungkusan peti di lantai. Dari balik punggung pakaiannya dia mengeluarkan sebilah keris berluk tujuh yang langsung dihunus. Tujuh warna membersit keluar dari tubuh keris. Senjata ini bukan senjata sembarangan karena merupakan keris bertuah dan mengandung racun mematikan.

Namun Narotungga sebagai seorang saudagar sama sekali tidak memiliki ilmu silat sekalipun silat luar. Apa lagi yang namanya tenaga dalam dan kesaktian. Keselamatannya selama ini hanya mengandalkan para pegawai seperti Panangkaran.

"Kalau kalian bertiga mau mati, mendekatlah!" Narotungga acungkan keris sakti ke arah tiga orang di hadapannya.

Panangkaran keluarkan suara berdecak berulang kali lalu berkata. "Keris Mustika Pelangi. Senjata sakti luar biasa hebat! Tapi aku tahu kau mencuri dari mana senjata itu!" kata Panangkaran pula.

"Saatnya kalian menerima kematian!" Teriak Narotungga dengan mata mendelik.

"Kami bertiga memang ingin sekali mati di tanganmu. Tapi Narotungga, bagaimana kalau kau mati duluan hingga bisa jadi penunjuk jalan kami bertiga menuju pintu neraka! Ha...ha...ha!"

Setelah keluarkan ucapan dan hambur tawa bergelak Panangkaran cabut golok besar di pinggang. Dua anak buahnya lakukan hai yang sama. Sebelum tiga orang itu bergerak, Narotungga lebih dulu menerjang. Serangannya berupa tusukan sekuat tenaga diarahkan ke dada Panangkaran.

Bekas kepala pengawal itu dengan mudah mengelakkan serangan. Akibat tusukan sekuat tenaga yang hanya mengenai tempat kosong Narotungga terputar melintir. Saat itulah Panangkaran melompat ke hadapan Narotungga. Walau golok siap dibacokkan akan tetapi dia tidak melakukan. Dalam jarak sedekat itu dia tiba-tiba meludahi muka Narotungga! 

Ini merupakan pembalasan dari Panangkaran yang pagi sebelumnya telah diludahi mukanya oleh Narotungga. Penghinaan telah dibalas dengan penghinaan. Namun agaknya pembalasan Panangkaran dan dua anak buahnya tidak sampai sebatas meludah saja!

"Jahanam kurang ajar! Kau berani meludahi mukaku!" teriak Narotungga. Saudagar bertubuh gemuk pendek ini dengan kalap menusuk dan membabatkan senjata di tangannya ke arah Panangkaran. Yang diserang menangkis dengan golok.

"Traangg!"

Begitu bentrokan senjata terjadi, Panangkaran putar golok demikian rupa hingga keris di tangan Narotungga ikut berputar dan akhirnya terlepas mental. Saudagar ini melompat mundur dengan muka pucat. Panangkaran mendatangi, dua anak buahnya bergerak dari samping. Tiga golok besar terpentang siap untuk dibacokkan.

"Kalian bertiga! Dengar..." Ucap Narotungga dengan suara gemetar, wajah pucat tubuh menggigil. "Kalian boleh ambil salah satu peti itu. Biarkan aku pergi dari sini!"

Panangkaran menyeringai. "Kau tiba-tiba berubah jadi dermawan. Padahal selama ini kau adalah tukang peras!" Tangan kanan Panangkaran yang memegang golok naik ke atas. Tampangnya yang sangar tampak sangat menyeramkan.

"Kalau... kalau masih kurang kalian boleh ambil peti itu dua-duanya." Kata Narotungga yang kini ketakutan setengah mati. Tanpa sadar air kencing mengucur dibalik celananya.

Panangkaran tertawa bergelak. "Narotungga. Kau memang boleh pergi kemana kau suka. Hanya saja biar rohmu yang pergi lebih dulu."

Tangan kanan Panangkaran bergerak. Dua anak buahnya melakukan hal yang sama. Tiga bilah golok besar menderu. Narotungga menjerit keras. Dalam keadaan bersimbah darah tubuh gemuknya rebah ke lantai ruangan.

Panangkaran sarungkan senjata, ambil dua peti yang dibungkus kain hitam sementara salah seorang anak buahnya memungut sarung dan keris Mustika Pelangi yang tercampak di lantai.

***
10. ARWAH MUKA HIJAU

SOSOK berjubah hijau yang duduk di atas batu hitam, membelakangi dinding goa lumut memiliki wajah luar biasa angker. Mukanya yang berwarna hijau tidak seperti muka manusia karena rata licin. Di bagian yang seharusnya terletak sepasang mata, hidung dan mulut dan dua telinga hanya terdapat sayatan lurus dijahit melintang dengan benang kasar berwarna hitam. 

Rambut di atas kepala berdiri lurus seperti lidi, berwarna hijau. Demikian juga dua tangan dan sepasang kaki yang tersembul di bawah jubah juga berwarna hijau. Orang yang baru pertama kali melihat makhluk ini sulit menduga apakah dia manusia atau sebangsa makhluk halus jejadian.

Di tangan kanan makhluk aneh ini memegang sebatang gading gajah berukuran besar. Pada seputar badan gading terdapat ukiran membetuk tulisan yang telah berulang kali dibaca dan saat itu kembali dibaca. Walau mulut hanya merupakan garis terjahit, namun suaranya jelas terdengar seperti orang biasa membaca. Hanya saja suara itu disertai getaran gema halus yang terdengar menggidikan.

Di masa Sri Maharaja Rakai Kayu wangi Dyah Lokapala memegang tahta
Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan lahir ke dunia
Terlahir dari seorang Ibu yang pada saat melahirkan berusia tujuh belas tahun
Perempuan yang telah dipilih Para Dewa Berasal dari sebuah desa kecil di selatan Prambanan
Ibu yang akan tetap perawan sepanjang masa
Kelak dua anak akan menjadi kesatria
Mengabdi pada Kerajaan Mataram
Siapa berjodoh akan menangguk rakhmat
Siapa tidak berjodoh jangan menebar umpat dan hujat
Berita disebar ke utara, selatan, timur dan barat
Melalui empat Gading Bersurat
Untuk kemaslahatan seluruh ummat

Setelah membaca untuk kesekian kalinya tulisan di badan gading orang bermuka hijau angkat kepala, menatap keluar goa. Sambil mengusap gading dalam pangkuan dalam hati dia berkata.

"Waktu yang aku berikan sudah cukup lama. Desa Sorogedug tidak jauh dari sini. Tapi mengapa dua orang itu masih belum juga kembali. Gerangan apa yang mereka temui? Mereka bukan pergi menangkap harimau, bukan pula menghadapi pendekar atau kesatria sakti mandraguna. Hanya menculik seorang anak gadis yang aku perkirakan sesuai dengan tulisan yang tertera di gading ini. Setunggul Bumi Setunggul Langit, jika kalian lalai menjalankan perintah aku akan membenamkan kalian di dasar Kali Progo! Bahkan mungkin lebih celaka dari itu."

Baru saja suara hati diucapkan tiba-tiba ke dalam goa berkelebat masuk seorang berpakaian hitam yang langsung jatuhkan diri bersujud di hadapan makhluk bayangan di atas batu hijau.

"Kanjeng bergelar Arwah Muka Hijau, yang bernama asli Gendadaluh, aku Setunggul Langit datang menghadap dan memohon ampun..."

"Setunggul Langit, akhirnya kau muncul juga! Bukan saja kepergianmu bersama Setunggul Bumi terlalu lama! Tapi kedatanganmu agaknya membawa kabar tidak enak. Belum apa-apa kau sudah memohon minta ampun. Apa arti permohonan ampun yang barusan kau ucapkan? Mana Setunggul Bumi? Katakan apa yang terjadi!"

Makhluk berjubah hijau yang duduk di atas batu keluarkan suara yang membuat goa bergetar. Sayatan berjahit di seluruh permukaan wajahnya yang hijau tampak bergerak-gerak.

"Kanjeng Arwah Muka Hijau, mohon ampunmu. Aku dan Setunggul Bumi tidak berhasil menangkap gadis dari Sorogedug itu. Aku siap dan pasrah menghadapi hukuman..."

Hening beberapa saat. Lalu makhluk di atas batu berucap. "Katakan apa yang terjadi sebelum aku menjatuhkan hukuman!"

Setungul Langit bangkit berdiri. "Kanjeng, kami berhasil menemui rumah kediaman anak perawan yang ternyata bernama Ananthawuri. Ketika kami sampai di kediamannya di desa Sorogedug, gadis itu tidak ada di rumah. Ibunya dalam keadaan sakit. Kami tidak menanyai mengingat Kanjeng berpesan agar berhati-hati, jangan sampai ada orang lain yang mengetahui semua gerak-gerik kita. Menjelang tengah malam tadi aku dan Setunggul Bumi berhasil mengejar anak perawan itu namun sebelum dapat menangkapnya dia keburu masuk ke dalam candi Loro Jonggrang..."

Wajah rata langsung berkerut, sosok makhluk berjubah hijau bergerak naik ke atas hampir menyentuh atap goa, pertanda ada kemarahan dalam dirinya mendengar apa yang barusan diucapkan Setunggul Langit.

"Aku tahu, aku dan juga kalian punya pantangan menginjak batu candi karena batu berasal dari Gunung Merapi tempat arwah para leluhur kita disemayamkan! Tapi sungguh tolol! Buat apa datang ke sini memberi tahu hal seperti itu. Kau dan Setunggul Bumi bisa menangkapnya begitu dia keluar dari candi!" Bentak makhluk berjuluk Arwah Muka Hijau.

"Hal itu memang kami lakukan, Kanjeng Tapi anak perawan itu tidak kunjung keluar dari candi. Yang terjadi kemudian kami mendengar suara jeritannya dan suara bicara dengan Dhana Padmasutra yang sedang sekarat..."

Untuk kedua kalinya sosok berjubah hijau bergerak naik ke atas. "Kau menyebut Dhana Padmasutra, seteruku sejak lima puluh tahun silam itu? Apa aku tidak salah mendengar?"

"Tidak Kanjeng, Kanjeng tidak salah mendengar." Jawab Setunggul Langit. "Ketika kami mengejar anak perawan itu ke arah candi, di depan candi kami melihat orang tua itu duduk membaca Kitab Weda. Kami menyerangnya. Aku berhasil membunuhnya dengan ilmu Serat Arang. Namun kami ketahui sebelum tewas Dhana Padmasutra bicara dengan anak perawan itu yang secara aneh setelah keluar dari dalam candi ujudnya tidak terlihat mata..."

"Hemmm..." Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh mengusap dagu. Sepasang mata yang hanya merupakan sayatan lurus dijahit benang hitam menatap ke luar goa. "Kalau anak perawan itu lenyap ujudnya setelah keluar dari dalam candi berarti ada seseorang atau makhluk yang membekalinya dengan ilmu kesaktian. Sulit kuduga siapa yang memberi dan ilmu kesaktian apa yang diterapkan. Paling tidak ada satu benda sakti disusupkan ke dalam tubuh anak perawan dari Sorogedug itu."

Arwah Muka Hijau menatap wajah anak buahnya seketika lalu berkata. "Walau kau berhasil membunuh seteru lamaku, tapi itu tidak bakal mengurangkan hukuman yang akan aku jatuhkan padamu. Lanjutkan ceritamu, apa yang terjadi kemudian."

"Aku dan Setunggul Bumi melihat kejadian aneh. Tongkat dan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra melayang di udara, bergerak cepat ke arah timur. Kami yakin dua benda itu berada dalam pegangan anak perawan yang tengah melarikan diri. Kami mengejar. Di satu tempat kami menemui sebuah sumur api..."

"Sumur api?"

"Betul Kanjeng. Kami melihat sendiri ada api keluar dari dalam sumur," jawab Setungul Langit.

"Di daerah mana tepat letaknya?" tanya Arwah Muka Hijau. Lalu dia mengangkat gading, memperhatikan bagian potongan yang bulat rata. Pada bagian ini terdapat gambar sebuah sumur yang dari dalamnya membersit keluar sesuatu yang berkobar. "Tepat seperti gambar yang digurat di gading ini..." ucap makhluk serba hijau dalam hati lalu memandang pada anak buah yang berdiri di depannya.

Setunggul Langit memberi tahu. "Sumur api itu terletak di arah timur, antara Prambanan dan Kali Dengkeng."

"Puluhan tahun malang melintang aku tahu betul, tak ada sumur seperti itu sebelumnya di kawasan itu. Tapi petunjuk yang aku miliki mengatakan sumur api itu memang ada. Setunggul Langit, apa yang terjadi kemudian?"

"Aku dan Setunggul Bumi melihat tongkat dan Kitab Weda mengapung dekat sumur api. Berarti anak perawan dari Sorogedug itu ada di sana. Ketika kami mencoba mencekal, tongkat dan kitab melesat masuk ke dalam sumur api. Berarti anak perawan itu telah menceburkan diri ke dalam sumur api!"

"Mati?!" Tanya Arwah Muka Hijau dengan wajah berkerut

"Aku tidak yakin anak perawan itu menemui ajal. Itu sebabnya Setunggul Bumi aku perintah berjaga-jaga di dekat sumur api sementara aku datang menemui Kanjeng untuk memberi tahu."

Arwah Muka Hijau terdiam beberapa lamanya hingga akhirnya dia berkata "Setunggul Langit, tetap di tempatmu, jangan bergerak jangan bersuara. Aku akan mencari petunjuk..." 

Selesai keluarkan ucapan makhluk serba hijau itu letakkan dua tangan di atas dada Tubuhnya tidak bergerak dan suara nafasnyapun tidak terdengar. Selang beberapa lama tangan di atas dada diturunkan ke bawah.

"Anak perawan itu memang tidak menemui kematian. Dia ada di satu tempat aneh dan penuh rahasia di dasar sumur api."

"Bila Kanjeng berkenan datang melihat sendiri sumur api itu, aku akan mengantarkan ke sana." Kata Setunggul Langit pula.

Arwah Muka Hijau mengangguk lalu dia memperhatikan dada pakaian Setunggul Langit. "Aku melihat satu hal lagi. Banyak kelalaian yang kau buat dalam urusan yang sangat rahasia ini. Kau kehilangan satu kancing bajumu!"

Setunggul Langit mengusap dada pakaiannya. "Aku tahu Kanjeng. Mungkin sekali tanggal terkena tangkisan tongkat Dhana Padmasutra ketika aku menyerangnya. Aku dan Setunggul Bumi berusaha mencari tapi tidak menemukan. Mohon maafmu Kanjeng. Mudah-mudahan kancing itu sudah hancur tak berbentuk lagi."

Arwah Muka Hijau menggeleng. "Aku punya dugaan seseorang telah menemukan kancing itu," katanya. Makhluk serba hijau itu lalu sambung ucapan. "Sebelum aku menjatuhkan hukuman berat atas dirimu dan Setunggul Bumi, aku merasa layak mengambil kembali ilmu Serat Arang yang aku berikan padamu!"

Begitu selesai berucap tangan kanan Arwah Muka Hijau menyambar ke arah kening Setunggul Langit di mana menempel sebuah batu hitam berbentuk segi tiga, yakni pusat kekuatan ilmu kesaktian bernama Serat Arang.

Pada saat batu hitam tanggal dari keningnya, Setunggul Langit merasa jantungnya ikut dibetot. Lelaki bertubuh tinggi kurus jatuh terduduk di lantai goa dengan wajah pucat pasi.

Arwah Muka Hijau letakan ujung lancip gading di lantai batu. Sekali tangan kanannya menekan maka secara luar biasa gading yang panjangnya lima jengkal itu menyusup amblas masuk dan lenyap ke dalam lantai goa.

"Sekarang antarkan aku ke sumur api. Kau masih memiliki ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi."

Mendengar ucapan Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit segera berdiri lalu melangkah ke luar goa. Sampai di luar goa dia jatuhkan diri menelungkup di tanah. Arwah Muka Hijau berdiri di punggung anak buahnya. Setunggul Langit ulurkan dua tangan ke depan lalu dikembangkan ke samping. Saat itu juga tubuhnya bergerak naik ke atas lalu melesat di udara.

***
11.  RATU DHIKA GELANG GELANG

KETIKA Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit sampai di sumur api Setunggul Bumi yang seharusnya ada dan berjaga-jaga di tempat itu tidak kelihatan. Setelah lebih dahulu memeriksa dan mengelilingi sumur api Arwah Muka Hijau berpaling pada Setunggul Langit.

"Kelakuanmu dan temanmu si pendek katai itu sama saja kurang ajarnya! Menurutmu dia kau suruh mengawasi sumur api. Sekarang kau lihat sendiri dia tidak ada di sini!"

Heran ada, jengkel juga ada Setunggul Langit memandang berkeliling lalu berteriak memanggil Setunggul Bumi. Sampai tenggorokannya kering berteriak-teriak berulang kali tidak ada jawaban.

"Aku punya firasat tidak enak. Temanmu itu mungkin sudah menemui ajal! Kau sekarang tinggal sendirian!"

Setunggul Langit terkejut dan merasa tidak enak mendengar ucapan Arwah Muka Hijau. "Bagaimana Kanjeng bisa berkata begitu?" Tanya Setunggul Langit.

"Aku mencium rohnya sudah gentayangan di sekitar tempat ini" jawab Arwah Muka Hijau lalu melangkah menghampiri sumur api. Sambil merapal satu bacaan dia kembangkan telapak tangan kanannya yang hijau di atas sumur.

"Wusss!"

Dari dalam sumur serta merta melesat lidah api menghantam tangan Arwah Muka Hijau. Makhluk ini tidak bergeming. Tangannya tidak bergerak sedikitpun. Telapak tangan itu tidak cidera.

"Wusss!"

Untuk kedua kalinya dari dalam sumur menggebubu lidah api. Arwah Muka Hijau tetap tidak bergeming dari tempatnya. Akan tetapi sewaktu lidah api melesat untuk ke tiga kalinya, makhluk ini berteriak kaget, melompat mundur sambil kibas-kibaskan lengan jubah hijaunya yang terbakar, sementara telapak tangan yang hijau kelihatan mengepulkan asap!

"Ada kekuatan luar biasa hebat melindungi tempat ini. Aku tak mungkin masuk ke dalam sumur," katanya pada Setunggul Langit. Dia diam sejenak lalu berkata lagi. "Ada dua cara untuk bisa tembus ke dasar sumur api. Pertama minta bantuan Jelanang Kameswhara alias Seribu Mata Air. Kedua menyelidik dari arah lain. Aku yakin ada jalan rahasia masuk ke dasar sumur api. Aku lebih suka melakukan hal yang kedua. Setunggul Langit, kau beruntung. Hukumanmu aku tunda beberapa hari. Malam ini kita menginap di tempat ini. Kau berjaga-jaga sementara aku akan menyelidik dimana beradanya jalan rahasia itu."

"Terima kasih Kanjeng. Perintah Kanjeng akan saya ikuti. Tapi apakah kita tidak akan mencari Setunggul Bumi? Kalau memang dia sudah menemui ajal seperti kata Kanjeng paling tidak kita harus menemukan dan mengurus pembakaran jenazahnya."

Baru saja Setunggul Langit berkata begitu tiba-tiba ada suara perempuan berseru.

"Setunggul Langit! Kau lebih berperikemanusiaan dari majikanmu yang berjuluk Arwah Muka Hijau. Tapi aku pikir bangsa arwah memang mana punya rasa kemanusiaan?" Ucapan perempuan itu ditutup dengan suara tawa cekikikan.

Arwah Muka Hijau dan Setunggul langit memandang berkeliling. Mereka sama merasakan tanah agak bergetar sewaktu perempuan yang tak kelihatan mengumbar suara tertawa. Namun keduanya bukan saja tidak dapat melihat siapa perempuan yang barusan bicara dan tertawa, malah dari arah mana datangnya asal suara merekapun tidak dapat menjajagi.

Sayatan-sayatan lurus yang dijahit benang hitam kasar di wajah Arwah Muka Hijau berkedut-kedut beberapa kali. Lalu dia keluarkan suara menjawab ucapan perempuan tadi.

"Aku yakin kau bukan bangsa demit atau makhluk halus jejadian. Tapi mengapa malu memperlihatkan diri. Bicara memakai ilmu membuka mulut memindah suara."

"Arwah Muka Hijau, kau tersinggung rupanya! Aneh juga. Pada maksud baik orang lain kau tidak menunjukan rasa pengertian. Tapi pada yang menyangkut buruk dirimu kau menumpahkan kejengkelan. Lagi pula aku bicara pada Setunggul Langit, bukan padamu. Mengapa harus merasa risih dihati? Hik...hik...hik."

"Makhluk pengecut!" Memaki Arwah Muka Hijau.

"Maaf, saat ini aku tidak punya niat bicara lagi dengan dirimu." Perempuan yang bicara tanpa kelihatan kemudian menyambung ucapannya. "Setunggul Langit, kalau kau memang ingin berbakti pada sahabatmu Setunggul Bumi, ingin mengurus jenazahnya aku akan memberikan jenazahnya padamu. Cuma sayang jenazahnya tidak terlalu utuh dan mulai agak bau."

Tiba-tiba dari arah kiri melayang tubuh manusia dan blukk! Tubuh ini jatuh tepat di hadapan Setunggul Langit. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkerut. Setunggul Langit melompat mundur beberapa langkah. Mulut ternganga, mata membeliak.

"Mana kepalanya!" Setunggul Langit berteriak. Tubuh pendek katai berjubah kuning yang tergeletak di tanah itu memang tubuh Setunggul Bumi. Tapi kepalanya tidak ada! Inilah yang tadi yang diteriakan oleh Setunggul Langit dalam keterkejutannya.

"Setunggul Langit, harap maafkan. Jadi kau juga perlu kepalanya. Memang pantas dan seharusnya begitu. Kau seorang yang sangat memperhatikan keadaan teman walaupun sudah jadi mayat."

Lalu dari arah kanan menggelinding sebuah benda bulat yang bukan lain adalah kuntungan kepala Setunggul Bumi! Kepala itu agaknya sengaja diarahkan ke tempat berdirinya Arwah Muka Hijau. Makhluk bermuka rata ini cepat-cepat menghindar lalu tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak melakukan satu pukulan tangan kosong ke arah kiri, yaitu arah datangnya kepala yang menggelinding. Selarik cahaya hijau disertai deru keras menyambar.

"Braakkk... braaakk!"

Dua pohon besar patah bertumbangan. Semak belukar terbongkar berhamburan. Namun siapapun orang yang jadi sasaran Arwah Muka Hijau tidak ada di tempat itu. Malah tiba-tiba sekali sebuah benda panjang melesat di udara lalu menancap tepat di depan kaki Arwah Muka Hijau hingga makhluk ini menyumpah habis-habisan. 

Benda yang menancap di depan kaki Arwah Muka Hijau ternyata adalah sebilah golok besar berdarah milik Setunggul Bumi. Setunggul Langit tidak pedulikan kemarahan serta apa yang terjadi dengan Arwah Muka Hijau. Dia lebih memperhatikan jenazah sahabatnya

 Dengan cepat dia mendukung mayat Setunggul Bumi dan membaringkan di bawah sebatang pohon. Lalu dia mengambil kuntungan kepala sahabatnya itu. Karena bingung mau diletakan dimana akhirnya Setunggul Langit memasukan kuntungan kepala ke balik dada jubah kuning mayat Setunggul Bumi. Lalu lelaki ini balikan diri dan berteriak keras.

"Makhluk biadab! Perempuan keji! Perlihatkan dirimu! Apa salah sahabatku hingga kau membunuhnya?"

Hening beberapa lamanya. Lalu terdengar suara tertawa perlahan disusul suara benda bergemerincing. Sesaat kemudian di bawah sebatang pohon Mahoni berdaun lebat berdiri seorang perempuan berkulit hitam gemuk mengenakan pakaian kemben hitam merah. Bagian tengah bawah kemben ini depan belakang terbelah sampai ke lutut. Mukanya yang bundar gembrot dengan berhidung lebar pesek tertutup dandanan tebal mencolok. 

Wajahnya jauh dari cantik. Bedak tebal putih, pipi diberi merah-merah, alis hitam kereng dan bibir yang dower dilapis pemerah. Rambut diberi warna merah-merah, dikonde di atas kepala, dihias sekuntum bunga mawar merah yang tak pernah layu karena telah direndam dalam sejenis jelaga. Di belakang punggungnya menyembul sebuah benda putih kekuningan yang bukan merupakan sebilah pedang atau senjata. Pakaian merah dan tubuhnya menebar bau harum aneh menyengat,menusuk jalan pernafasan.

Pada kedua pergelangan lengan dan kaki perempuan ini melingkar gelang kerincing terbuat dari emas. Setiap dia membuat gerakan, walau sedikit saja gelang-gelang itu akan keluarkan suara berkerincing.

"Dhika Gelang Gelang!" ucap Arwah Muka Hijau yang mengenali perempuan itu dengan suara setengah tertahan sementara Setunggul Langit yang juga mengetahui siapa adanya perempuan itu tegak ternganga terkesiap.

Perempuan gemuk sepertinya tidak acuhkan kedua orang yang ada di hadapannya. Dia memegang sebuah cermin kecil, asyik berkaca sambil mematik alis dan rambut. Lidah sesekali dijulurkan untuk membasahi bibir merah dower. Setelah menyimpan cermin kecil di balik dadanya, perempuan ini angkat kepala, memandang senyum-senyum ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit. Tangan kanan diangkat keatas lalu tubuh diputar satu kali ke kanan, satu kali ke kiri.Empat gelang berkerincingan. Kemudian perempuan ini keluarkan ucapan bertanya.

"Bagaimana menurut kalian, apakah wajahku sudah cantik dan tubuhku langsing gemulai?" 

Karena tak ada yang menjawab perempuan gemuk ini singsingkan ke atas bagian bawah kembennya yang terbelah sebelah depan. "Aku orangnya memang berkulit hitam. Tapi kalian saksikan sendiri, pahaku putih bersih dan mulus! Hik...hik...hik!" Padahal sebagaimana keadaan kulit tubuhnya yang lain, paha perempuan ini hitam dan gempal.

Arwah Muka Hijau tidak bergerak. Rahang menggembung,sayatan pada bagian mata dan mulut bergerak-gerak. Ketika perempuan gemuk itu memutar tubuh ke kiri dan ke kanan Arwah Muka Hijau melihat benda yang menyembul di balik punggung adalah sebuah gading besar yang terselip di kemben, sama seperti yang dimilikinya. Arwah Muka Hijau tersentak kaget.

"Jadi dia adalah orang kedua yang memiliki Gading Bersurat yang seluruhnya berjumlah empat itu. Berarti kehadirannya di sumur api ini tidak bisa tidak ada sangkut pautnya dengan Gading Bersurat itu."

"Hai, aku bertanya. Mengapa tidak satupun dari kalian yang menjawab. Apa kalian terpesona melihat kecantikan dan keelokan tubuhku. Atau saat ini kalian jadi punya pikiran kotor setelah melihat pahaku yang putih mulus? Ah menyesal tadi aku memperlihatkan."

"Dhika Gelang Gelang..."

"Ssshhhh!" Perempuan gemuk gelengkan kepala dan goyang-goyangkan tangan kanan. "Arwah Muka Hijau, sudah dua kali engkau menyebut namaku secara tidak sopan. Kau tahu siapa diriku. Ratu Bhumi Mataram yang tidak pernah menginginkan tahta Kerajaan. Sangat pantas jika kau memanggil diriku dengan sebutan Ratu Dhika Gelang Gelang. Ingat, jangan lupa hal itu. Kalau kau bersikap sopan dan tahu peradatan maka aku akan melakukan hal yang sama. Kalau kau menghormati diriku, maka aku akan balas menghormat. Bukankah hidup ini begitu mudah? Mengapa manusia sering mempersulit diri sendiri?"

"Aku tidak perduli siapa pun kau adanya. Aku ingin tahu apakah kau yang membunuh Setunggul Bumi anak buah ku yang barusan kau lemparkan tubuh dan kepalanya?!"

"Arwah Muka Hijau, kau tidak menghormati Ratumu sendiri." Kata Ratu Dhika Gelang Gelang.

Muka rata Arwah Muka Hijau tampak menggembung. "Kau jawab saja pertanyaanku."

"Ahhh. Jadi itu pertanyaanmu. Baik. Aku akan menjawab. Tapi aku sudah mencatat perilakumu yang tidak hormat." Kata si gemuk yang menyatakan diri sebagai Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku tidak membunuh manusia bernama Setunggul Bumi itu. Dia sendiri yang menggorok lehernya sampai putus!"

"Kedustaan keji! Bagaimana hal itu mungkin terjadi?" Menyanggah Setunggul Langit. 

"Kau minta kami berlaku hormat. Tapi dengan berdusta kau telah dengan sengaja bersikap tidak hormat," Arwah Muka Hijau berkata. 

"Bisa saja kau berkata begitu karena tidak melihat. Mari aku ceritakan apa yang terjadi." Kata Ratu Dhika Gelang Gelang. "Ketika aku datang ke tempat ini anak buahmu langsung mengusir aku dan mengancam. Jika aku tidak mau pergi maka leherku akan digorok! Sungguh tidak sopan dan tidak pantas. Aku seorang ratu tidak minta dihormati, tapi kalau diperlakukan kurang ajar aku bisa marah. Kemana aku mau pergi, aku mau berada dimana adalah urusanku. Setunggul Bumi tidak punya hak mengusir diriku dari tempat ini. Ketika aku membalas supaya dia saja yang pergi dari sini, anak buahmu langsung menghunus golok lalu menyerangku. Aku berhasil mencekal tangannya yang memegang senjata. Aku sama sekali tidak menyentuh senjata itu. Gagang golok masih berada dalam genggamannya ketika senjata itu berbalik deras menebas lehernya sendiri hingga putus. Jelas dia yang menebas lehernya sendiri! Bukankah itu namanya bunuh diri?!"

"Perempuan licik! Kurang ajar! Kau bermain kata-kata tidak mau mengakui kalau kau yang menggorok Setunggul Bumi. Sekalipun kau tidak memegang gagang golok tapi sebenarnya kaulah yang membunuh Setunggul Bumi!" Setunggul Langit marah sekali. 

Ketika dia hendak menerjang Arwah Muka Hijau cepat menahan bahunya dan berbisik. "Kita berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Setahuku kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah yang lebih buas dari pemiliknya. Aku tidak melihat dia membawa binatang itu. Biar aku mencari tahu lebih dulu ada keperluan apa perempuan ini berada di sini. Setelah itu, jika aku memberi isyarat kau serang dia dengan Ilmu Bubu Ikan Berbisa. Tubuhnya gemuk. Gerakannya pasti lamban. Sekali masuk dia akan celaka, tak bisa keluar lagi."

***

SIAPAKAH Dhika Gelang Gelang yang menyebut dirinya sebagai Ratu? 

Konon ketika Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu mengakhiri masa pemerintahannya sebagai Raja Mataram, anak tertuanya adalah seorang perempuan yaitu Dhika Gelang Gelang. Namun karena Dhika adalah anak yang dilahirkan dari seorang istri ketiga maka banyak pihak yang menolak Dhika Gelang Gelang sebagai pewaris tahta. 

Dhika Gelang Gelang sendiri sebenarnya tidak menginginkan menjadi Raja atau Ratu di Bhumi Mataram. Maka secara diam-diam dia meninggalkan Istana menyepi diri di satu tempat yang tidak diketahui orang.

Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, putera tertua dari istri kedua Rakai Pikatan Dyah Saladu kemudian dinobatkan sebagai Sri Maharaja Mataram yang baru.

Beberapa tahun kemudian Dhika Gelang Gelang muncul kembali. Walau dia menyebut diri sebagai Ratu dan penampilannya menjadi aneh namun dia tidak mengusik tahta dan malah menjaga ketenteraman Istana dan Kerajaan. Dia jarang berada di kalangan Istana, lebih banyak menyatu dengan rakyat jelata. 

Satu hal yang diketahui orang, setelah menghilang sekian lama perempuan yang kini bertubuh gemuk dan berwajah tidak cantik itu telah menjadi seorang sakti mandraguna. Kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah. 

Ketika Kerajaan terlibat peperangan dengan orang-orang di wilayah selatan, Dhika Gelang Gelang sangat banyak memberikan bantuan sehingga pertumpahan darah yang lebih besar dapat dihindarkan dan antara utara dengan selatan dicapai perdamaian. Setelah peristiwa besar itu Dhika Gelang Gelang kembali melenyapkan diri. Hanya sesekali muncul di Kotaraja, itupun tidak mendatangi Istana. 

Pada setiap kali kemunculan pasti ada satu peristiwa besar yang ditanganinya. Mengetahui ketinggian ilmu kesaktian perempuan inilah maka Arwah Muka Hijau tidak mau berlaku ceroboh. Dia cepat menghalangi Setunggul Langit yang hendak menyerang sambil mengatur siasat.

***
12.  BUBU IKAN BERBISA

"RATU Dhika Gelang Gelang, soal kematian anak buah ku biar aku lupakan dulu," berkata Arwah Muka Hijau. "Aku ingin bertanya, maksud apa yang ada dalam dirimu hingga muncul di tempat ini. Adakah sumur api itu yang menarik perhatianmu?"

"Kau sekarang memanggilku Ratu. Betapa hormatnya! Bicaramu kini sopan penuh peradatan. Betapa indahnya! Kau bicara berterus terang. Sungguh menyenangkan. Arwah Muka Hijau, mengapa kau mendadak berubah. Apa yang ada dibenakmu? Apa yang tersembunyi di hatimu?" Balik bertanya perempuan gemuk berkemben merah sambil naikan sepasang alis mata, membuat Arwah Muka Hijau jadi jengkel penasaran.

"Ratu Dhika, kau menjawab pertanyaan dengan balik bertanya. Itukah yang kau sebut sopan santun? Kalau kau tak mau menjawab, biar aku menduga. Kau membekal sebatang gading. Aku tahu riwayat yang tertulis di gading itu. Kau ke sini untuk menyelidik tentang seorang gadis yang kelak akan melahirkan dua anak lelaki. Kau tak perlu menjawab tapi juga tidak perlu berdusta."

Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa panjang mendengar kata-kata Arwah Muka Hijau. "Betapa tololnya dirimu. Ketololan pertama! Sudah gaharu cendana pula. Sudah tahu bertanya pula. Ketololan kedua. Kalau memang ada seorang gadis akan melahirkan di dalam sumur api itu, berarti masih sembilan bulan lebih waktu penantian. Mengapa dari sekarang repot-repot mau berbuat keributan?"

"Kami tidak merasa membuat kerepotan. Justru dari pihakmu yang memulai berbuat keributan. Kau membunuh anak buahku Setunggul Bumi!"

"Arwah Muka Hijau, rasanya kurang sedap berbicara denganmu. Kau selalu mengulang-ulang soal kematian anak buahmu itu. Pada hal aku sudah menceritakan apa yang terjadi. Bukankah lebih baik bagimu meninggalkan tempat ini. Mengurus pembakaran jenazah Setunggul Bumi?"

"Kau tak layak mengatur diriku. Anak buahku datang lebih dulu ke tempat ini. Adalah dia pantas mengusir orang semacammu!" Menukas Arwah Muka Hijau lalu kedipkan mata sambil meraba dagu, memberi isyarat pada Setunggul Langit. Serangan Bubu Ikan Berbisa serta merta dilaksanakan!

Begitu melihat isyarat, Setunggul Langit keluarkan bentakan keras. Dua tangan diluruskan ke depan. Dari sepuluh ujung jari tangan mencuat dua puluh empat sinar hitam. Ujung yang ada di arah tangan menyatu seperti diikat sementara ujung yang lain membuka lebar lalu menekuk runcing ke dalam. Secara luar biasa dua puluh empat larikan sinar yang menyerupai bubu atau perangkap ikan secepat kilat menelan tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang tanpa perempuan ini sempat berkelit selamatkan diri. Empat gelang di tangan dan kaki berkerincingan.

Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelak-gelak. "Ratu jelek! Ternyata kau tidak punya ilmu kepandaian apa-apa!" teriak Arwah Muka Hijau mengejek. "Aku mau lihat! Kalau kau mampu keluar dari perangkap, kami berdua sampai anak cucu kami akan bersujud menghambakan diri padamu selama tujuh turunan Raja yang berkuasa di Mataram."

Di dalam perangkap Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa kerahkan ilmu meringankan tubuh dan melayang seperti ikan besar yang masuk ke dalam bubu raksasa. Dia tahu tidak mungkin berbalik meloloskan diri melalui bagian depan bubu yang memiliki dua puluh empat ujung runcing menghadang. Melalui celah di kiri kanan atau sebelah atas dan sebelah bawah perangkap dia mungkin bisa menyelinap keluar namun kalau sampai tubuhnya tergores maka racun jahat akan masuk ke dalam aliran darah dan dia akan menemui ajal sebelum matahari tenggelam!

"Kalau aku jebol dengan pukulan sakti, perangkap celaka ini mungkin bisa ambruk. Namun serpihan-serpihannya bisa berbahaya kalau sampai ada yang menancap di tubuhku. Berapa lama aku bisa bertahan mengambangkan diri seperti ini...?"

Sadar dirinya dalam keadaan bahaya besar Ratu Dhika Gelang Gelang masih mampu berlaku tenang. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dia memutar tubuh yang mengambang hingga menghadap ke bagian depan bubu. Dengan tangan kirinya perempuan gemuk ini mengusap-usap perut sementara mulut berkomat kamit dan sepasang mata menatap ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit yang tegak di bagian depan mulut bubu.

"Perutku... Mengapa perutku. Ada sesuatu bergerak didalam perutku..." Ratu Dhika Gelang Gelang berucap sambil terus usap-usap perutnya.

Arwah Muka Hijau perhatikan gerak-gerik Ratu Dhika Gelang Gelang. Dalam hati bertanya-tanya apa yang dilakukan perempuan itu. Tiba-tiba kedua orang di luar bubu melihat keanehan terjadi dengan Ratu Dhika Gelang Gelang. Perutnya perlahan-lahan berubah membesar.

"Arwah Muka Hijau, tidakkah kau melihat perubahan yang terjadi dengan diriku...?" Ratu Dhika Gelang Gelang bertanya.

Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri Arwah Muka Hijau menjawab. "Ilmu setan apa yang hendak kau keluarkan?! Jangan harap kau bisa lolos dari dalam Bubu Ikan Berbisa!"

"Perutku membesar. Ada makhluk bergerak di dalamnya. Hyang Jagat Batara Dewa! Aku hamil! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?!"

Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelak-gelak. "Akal busukmu tidak bakal menipu kami!" teriak Setunggul Langit. 

Ratu Dhika Gelang Gelang tidak perdulikan ucapan orang. Kepala didongakkan ke atas, menatap ke langit. Dua tangan disusun di atas kepala. "Sang Hyang Jagat Batara. Para Dewa di Swargaloka. Dalam keadaaan sengsara seperti ini apakah Kau melimpahkan rakhmat pada diriku? Apakah kau telah memilih diriku mewakili anak perawan dari desa kecil di selatan Prambanan? Aku hamil besar wahai Para Dewa. Apakah aku akan melahirkan dua bayi yang kelak akan menjadi dua kesatria seperti yang tertulis pada Gading Bersurat? Wahai Para Dewa, besar nian rakhmat-mu...."

Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit saling berpandangan. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkedut-kedut sementara tampang Setunggul Langit berubah, ada rasa tidak percaya dibayangi rasa takut.

"Arwah Muka Hijau, aku tidak menipu. Perutku membesar. Aku benar-benar hamil. Lihatlah! Saksikan! Mendekatlah."

"Breett!"

Kemben merah yang dikenakan Ratu Dhika Gelang Gelang tidak sanggup lagi menahan perut yang membesar. Dalam keadaan robek ke dua orang di depan bubu melihat bagaimana perut perempuan gemuk yang kini tersingkap itu memang benar-benar membesar seperti perempuan hamil.

"Arwah Muka Hijau, mendekatlah. Biar kau bisa melihat jelas. Ini bukan sihir, bukan tipu daya. Semua adalah rakhmat Para Dewa atas diriku. Mungkin sudah ditakdirkan bahwa kelak bayi yang akan aku lahirkan akan menjadi milikmu. Bukankah itu niat maksud dirimu datang ke SUMUR API ini? Ah, Gading Bersurat. Ternyata bukan cerita bohong ataupun tipu daya. Gading Bersurat, ternyata kau nyata. Terima kasih Para Dewa, aku telah dipilih menjadi wakil untuk kebaikan di Bhumi Mataram ini. Ah... sebentar lagi. Sebentar lagi bayi ini pasti akan lahir. Satu bayi... dua bayi, atau tiga bayi..."

Arwah Muka Hijau menatap dengan muka sayatan berjahit benang kasar ke dalam kubu raksasa lalu berpaling pada Setunggul Langit. "Apakah yang kau lihat tidak berbeda dengan yang aku saksikan? Apakah orang tidak tengah menipu kita?"

"Kanjeng, kita melihat hal yang sama. Keajaiban telah terjadi. Tidak mungkin kalau ini bukan karena keajaibanNya Para Dewa. Kita harus melenyapkan Bubu Berbisa. Kalau bayi itu sampai lahir di dalam bubu bisa celaka. Kalau dari semula maksud kita memang untuk mendapatkan bayi itu, kita harus menyelamatkannya. Kanjeng...."

"Tunggu dulu. Jangan cepat percaya. Perempuan ini tinggi ilmunya. Dia punya seribu akal. Biar aku perhatikan dulu lebih jelas."

Arwah Muka Hijau mendekat ke mulut bubu raksasa. Pada saat dia hanya berdiri satu langkah di depan mulut bubu, Ratu Dhika Gelang Gelang buka mulutnya lebar-lebar. Perut yang besar menciut mengeluarkan suara mendesis panjang dan mengempis! Mulut yang terbuka menyedot. Satu gelombang angin besar dan dasyat menarik tubuh Arwah Muka Hijau.

"Ilmu Selaksa Angin Menghisap Roh!" teriak Arwah Muka Hijau. Dia berusaha menggeliat, memutar tubuh untuk berbalik. 

Setunggul Langit berusaha untuk menolong. Namun terlambat. Tubuh Arwah Muka Hijau telah lebih dahulu terhisap masuk ke dalam bubu raksasa, dua kaki lebih dulu!

Ratu Dhika Gelang Gelang membentak keras. Dua tangannya dengan cepat mencekal pergelangan kaki Arwah Muka Hijau. Sekali dia mengerahkan tenaga dalam maka tubuh Arwah Muka Hijau yang barusan masuk ke dalam bubu raksasa ini melesat kembali keluar. Masih memegangi kaki orang, Ratu Dhika Gelang Gelang ikut menyelinap dari belakang tanpa tubuhnya menyentuh bubu berbisa.

Arwah Muka Hijau menjerit keras sewaktu kepalanya menghantam dua puluh empat ujung runcing berbisa di mulut bubu! Bubu raksasa hancur berantakan. Makhluk bermuka rata itu terhempas jatuh di tanah. Di kepala, muka dan sebagian tubuhnya terdapat dua puluh empat luka mengerikan. Darah yang mengucur bukannya merah tapi hijau pekat.

Melihat apa yang terjadi Setunggul Langit segera lepaskan satu pukulan sakti ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun perempuan ini sambil mengumbar tawa cekikikan telah berkelebat lenyap. Hanya gaung suara dan kerincingan empat gelangnya yang terdengar.

"Arwah Muka Hijau! Kalau nyawamu masih panjang kita pasti berjumpa lagi!"

"Perempuan terkutuk! Aku pasti mencarimu!" teriak Arwah Muka Hijau. 

Setunggul Langit segera mengejar namun urungkan niat ketika dia mendengar Arwah Muka Hijau berteriak.

"Jangan dikejar! Lekas bawa aku ke Candi Miring! Aku menyimpan obat penangkal luka berbisa di sana! Cepat! Sebelum malam datang aku harus sudah ada di sana. Kalau terlambat nyawaku tidak tertolong! Cepat! Kalau aku selamat semua kesalahanmu akan aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan aku kembalikan padamu!"

"Kanjeng! Aku mendengar semua ucapanmu. Apa yang kau perintahkan akan aku laksanakan!" Jawab Setunggul Langit. Lalu dengan cepat dia panggul tubuh Arwah Muka Hijau. Mayat Setunggul Bumi dilupakan begitu saja.

***
13.  HAMIL GAIB ANANTHAWURI

PAGI hari di sebuah taman tak jauh dari dasar sumur api. Ananthawuri tengah mencium keharuman setangkai mawar kuning ketika Sukantili, ibunya muncul di undakan tangga batu merah paling atas.

"Anakku, sudah lama kau menunggu di taman ini?" menyapa Sukantili.

Ananthawuri segera menghampiri ibunya, mencium tangan perempuan itu penuh khidmat lalu mencium pipinya kiri dan kanan.

"Saya belum lama berada di sini. Tapi kali ini entah mengapa saya merasa sangat tidak sabar menunggu kedatangan Ibu." 

Anak perawan dari desa Sorogedug yang bersama ibunya kini tinggal di satu tempat rahasia tak jauh dari dasar sumur api tatap wajah sang ibunda sejenak lalu bertanya.

"Saya melihat wajah Ibu seperti tidak berseri. Apakah Ibu sakit atau ada sesuatu yang menjadi pikiran?"

"Ibu baik-baik dan sehat. Namun terus terang memang ada sesuatu yang menjadi pikiran di benak Ibu, sesuatu yang menjadi ganjalan di hati Ibu."

"Wahai Ibuku sayang, katakanlah. Gerangan apa yang jadi pikiran dan ganjalan itu?"

"Anakku Ananthawuri, selama kita tinggal di tempat ini kita berada dalam kecukupan. Berkat kasih sayang dan kebesaran Para Dewa segala sesuatunya tersedia. Tempat kediaman, makanan dan lebih dari itu diberkahi kesehatan yang baik. Bahkan ada pula seorang pelayan. Namun setiap malam, sebelum Ibu pulas tertidur, selalu ada pikiran dan pertanyaan yang datang. Berapa lama kita akan berada di tempat ini? Ibu orang biasa. Betapapun bagusnya tempat kediaman ini tetap saja bukan milik kita. Ibu merasa bagaimanapun buruknya gubuk kita namun hidup di desa Sorogedug ternyata jauh lebih nyaman menyenangkan. Tetangga orang sedesa selalu bersikap baik dan ramah. Teman-teman mendiang ayahmu kerap datang menyambangi."

"Ibu, menurut cerita Ibu bukankah rumah kita di Sorogedug telah dibakar oleh kaki tangan saudagar Narotungga?"

"Betul, tapi Ibu bisa bangun gubuk baru. Penduduk desa pasti mau membantu bergotong-royong. Kita tidak bisa meninggalkan begitu saja apa yang diwariskan oleh Ayahmu.  Bagaimanapun buruk dan tidak bernilainya warisan itu." Jawab Sukantili.

"Ibu, saya pernah bercerita bahwa petunjuk Para Dewa telah memberitahu, saya tidak akan dapat keluar dari tempat ini untuk selama-lamanya kecuali atas perkenan Mereka. Selain itu saya juga menerima petunjuk bahwa kelak saya akan kawin dan memiliki anak yang akan menjadi seorang kesatria dan berbakti pada Kerajaan Mataram. Kalau Ibu berniat pergi, siapakah yang akan menjadi teman saya ditempat ini. Ibu, sebenarnya saya juga pernah berpikir seperti Ibu. Ingin pergi dari sini. Namun pada akhirnya saya merasa pasrah. Saya menyadari seperti apa yang dikatakan Roh Agung. Ini adalah takdir kehidupan diri saya. Apakah manusia seperti kita, seperti saya ini bisa berkehendak melawan takdir Yang Maha Kuasa? Saya percaya Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui serta Maha Pengasih telah mengatur sesuatu yang terbaik untuk diri saya." Ananthawuri pegang lengan ibunya. "Ibu, percayalah Para Dewa selama ini telah melindungi kita berdua."

Sukantili anggukan kepala, terdiam beberapa ketika lalu menarik nafas panjang. "Ananthawuri, tadi kau berkata merasa tidak sabar menunggu kedatangan Ibu..."

"Betul Ibu, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan pada Ibu."

"Hemmm... lbu akan senang sekali mendengarkan. Cerita tentang apa anakku?"

"Tadi malam saya bermimpi."

"Mimpi bunga hiasan tidur" Kata Sukantili pula sambil tersenyum dan membelai rambut anak gadisnya.

"Tapi mimpi saya ini aneh, Bu. Dalam mimpi saya tengah berbaring tidur. Lalu saya mencium bau busuk luar biasa. Membuat kepala pusing dan perut mual mau muntah. Tak lama kemudian bau busuk itu hilang. Berganti dengan bau wangi harum semerbak yang tidak pernah saya cium sebelumnya. Kemudian dari langit saya melihat cahaya putih. Turun ke tempat saya berbaring. Di balik cahaya putih itu saya melihat samar wajah dan sosok pemuda. Saya bertanya siapa gerangan dia adanya. Tak ada jawaban. Kemudian cahaya putih melayang mendekati diri saya, menutupi sekujur tubuh saya. Saat itu saya merasa ada orang memeluk saya. Ibu, saya merasa satu kehangatan dan kemesraan luar biasa yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ada perasaan bergairah pada bagian-bagian tertentu tubuh saya. Saya tertidur lelap dalam pelukan orang itu. Ketika saya bangun dalam mimpi cahaya putih telah lenyap. Dekapan mesra hanya menyisakan kehangatan. Lalu saya terbangun dari tidur. Saya merenung. Sampai menjelang pagi saya tidak bisa menduga apa arti mimpi itu. Mungkin Ibu tahu kira-kira makna mimpi saya?"

Setelah berdiam diri berpikir-pikir beberapa lamanya akhirnya Sukantili gelengkan kepala. "Sulit Ibu menduga. Sebaiknya kau berdoa memohon petunjuk serta tetap meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa."

Keesokan malamnya, mimpi yang sama kembali dialami Ananthawuri. Hal itu terjadi sampai tujuh malam berturut-turut. Setiap kali bermimpi paginya gadis ini langsung menemui sang ibu dan menceritakan mimpinya.

"Ibu," kata Ananthawuri pada hari ke tujuh. "Berulang kali mimpi itu datang, berulang kali saya dipeluk mesra penuh kasih sayang, dan berulang kali saya melihat wajah pemuda walaupun tidak jelas, lama kelamaan ada rasa suka serta sayang saya terhadap pemuda itu. Ibu, apakah saya telah jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata?"

Sukantili tertawa. "Anakku, kau masih muda belia. Belum tahu apa-apa tentang cinta. Biar Ibu beritahukan. Cinta itu adalah sesuatu yang nyata. Jika kita mencintai seseorang maka orang itu adalah juga sesuatu yang nyata."

Ananthawuri terdiam sesaat. Lalu kembali bertanya. "Ibu, menurutmu apakah pemuda di dalam mimpi itu bisa menjadi kenyataan?"

"Apa maksudmu anakku?" tanya Sukantili.

"Maksud saya, apakah saya bisa bertemu dengan pemuda itu?"

Sukantili memeluk anak gadisnya. "Ibu tidak tahu anakku. Kalau Yang Maha Kuasa berkehendak, kalau Para Dewa melimpahkan rakhmat segala sesuatunya bisa terjadi..."

Hari ke delapan dan seterusnya mimpi itu tidak pernah datang lagi. Ananthawuri merasa sedih. Dia ingin pemuda dalam cahaya putih itu datang kembali mengunjungi dirinya walaupun dalam mimpi. Memeluknya penuh mesra dan kasih sayang. Namun sampai hari ke dua puluh mimpi yang ditunggu tak kunjung datang. Di atas pembaringan Ananthawuri berucap.

"Pemuda dalam cahaya. Jika kau memang kekasih yang telah dipilihkan Para Dewa untukku, datanglah. Aku rindu pelukan hangatmu. Aku rindu belaian mesramu. Aku tahu kau mengasihi diriku. Dan aku tahu betapa aku mencintaimu walau kau datang tidak berupa dan tidak pula bernama."

Namun sampai pagi tiba kekasih sang mimpi tak kunjung datang. Kekasih gaib yang diharapkan tidak muncul. Hari ke dua puluh tujuh ketika anak perawan dari Desa Sorogedug ini menemui ibunya sang ibu berkata.

"Ananthawuri, apakah hari ini kau sehat-sehat saja anakku?" 

"Saya sehat-sehat, Ibu."

"Ibu melihat wajahmu agak pucat."

"Mungkin saya kurang tidur. Tapi terus terang ada sesuatu yang hendak saya sampaikan, Ibu."

"Kau bermimpi lagi anakku?"

Ananthawuri menggeleng. "Ibu mohon maafmu. Saya ingin mengatakan sesuatu yang sangat pribadi. Saya merasa mual sejak beberapa hari ini dan sulit makan. Saya... saya terlambat haid. Seharusnya enam hari lalu..."

"Anakku, hal itu bisa saja terjadi karena kau terlalu banyak pikiran." Kata Sukantili pula walau sang Ibu ada rasa gelisah membayangi perasaannya.

"Saya berharap begitu Ibu. Tapi saya merasa ada kelainan pada tubuh saya."

"Kelainan bagaimana anakku?"

"Dada saya Bu. Tadi pagi saya memperhatikan lalu meraba. Dada saya membesar dan lebih kencang dari biasanya. Pinggul saya terasa melebar. Ibu jangan-jangan saya..."

Sukantili memeluk anaknya. "Jangan ucapkan itu anakku. Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu Tunggu dalam dua tiga hari ini..."

Seminggu berlalu Ananthawuri belum juga mendapatkan haid. Beberapa minggu kemudian anak perawan ini melihat perutnya membesar. Ketika hal itu diceritakan pada Sukantili sang ibu tidak bisa menduga lain. Anak gadisnya benar-benar telah mengandung.

"Anakku," kata sang ibu sambil memeluk Ananthawuri erat-erat. "Kalau ini bukan kehendak dan kuasa Yang Maha Kuasa, bagaimana mungkin bisa terjadi? Kau belum menikah. Kau belum punya suami..."

"Ibu, pemuda dalam cahaya putih yang datang tujuh malam berturut-turut dalam mimpi saya itu. Apakah mungkin dia yang menebar benih kehidupan ke dalam diri saya. Ibu tahu, saya tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun."

Sukantili tidak menjawab melainkan kembali memeluk anak gadisnya sementara air mata perempuan ini tampak berlinang-linang.

Pada saat itulah tiba-tiba berhembus tiupan angin disertai desiran seolah ada seseorang berjubah panjang melewati Sukantili dan Ananthawuri. Lalu terdengar suara bergema.

Dua insan yang tengah bersatu hati
Di dunia ini tidak ada yang abadi
Namun kehendak Yang Maha Kuasa adalah pasti
Ananthawuri, takdir Yang Maha Kuasa telah terjadi
Kau hamil tapi dirimu tetap suci
Setelah sembilan bulan sepuluh hari
Kau akan melahirkan
Namun kau akan tetap sebagai seorang perawan
Karena keturunanmu sudah ditetapkan
Menjadi Kesatria Bhumi Mataram

Ananthawuri lepaskan pelukan dari tubuh ibunya. Dia memandang berkeliling. Dia mengenali suara itu. "Roh Agung? Kakek Dhana Padmasutra?"

Angin kembali berhembus. Suara berdesir terdengar lagi lalu sunyi.

***
14.  KUCING BETINA BERBULU MERAH

MALAM Jum'at Kliwon. Empat bulan setengah Ananthawuri kedatangan suara Roh Agung, memberi tahu tentang kehamilannya. Malam itu kegelapan pekat sekali. Langit hitam dan sesekali ada tiupan angin yang membawa percikan hujan rintik-rintik dari arah timur. Sumur api seperti tidur karena sejak sekian lama lidah api tidak menyembul keluar.

Dalam kegelapan, dari arah barat sumur api berjalan seseorang lelaki kurus tinggi bermuka keriputan berkulit hitamlegam. Di keningnya ada satu benjolan bulat berwarna merah. Di atas kepala dia menjunjung sebuah ketiding bambu tertutup rapat. Sampai di depan sumur ia tegak diam beberapa lama.

"Mungkin bukan cerita dusta. Menempuh perjalanan tiga puluh hari akhirnya kutemui juga sumur api. Benar adanya seperti apa yang tertulis di Gading Bersurat. Tapi keadaan sekitar sini gelap sekali. Nafasku mencium ada bekas bangkai manusia di sekitar sini! Apakah sumur api ini sudah mencari korban sebelum kedatanganku?"

Orang tinggi hitam ulurkan tangan menjangkau ranting besar sebuah pohon. Ranting dipatahkan lalu di ujungnya diletakan di atas sumur api. Sebentar saja ujung ranting telah terbakar. Dengan menggunakan ranting menyala sebagai obor, orang ini menyelidik berkeliling sampai akhirnya dia berhenti melangkah dan keluarkan saruan tertahan.

Di bawah sebatang pohon dia menemukan sesosok tubuh penuh belatungan nyaris tinggal tulang belulang, tertutup jubah kuning yang sudah hancur.

"Bangkai manusia tanpa kepala!" Orang tinggi hitam berucap sambil meludah berulang kali. Dia memperhatikan bagian dada jubah kuning. Ada sesuatu di balik pakaian yang membuat jubah menggembung menonjol. 

Orang ini pergunakan ujung kaki untuk mengeluarkan benda itu dari balik jubah. Begitu benda keluar dan menggelinding ke tanah, dia menyumpah-nyumpah. Ternyata buntungan kepala manusia yang tinggal tengkorak. Dari bagian mata, telinga, mulut dan hidung bersembulan belatung. Setelah merasa agak tenang dari rasa kagetnya orang ini dekatkan ujung ranting di atas buntungan kepala.

“Hah! Kepala tinggal tengkorak. Tak mungkin aku kenali! Yang jelas ada korban pembunuhan di tempat ini. Lehernya ditebas! Mungkin dengan golok atau pedang! Sudah ada korban yang berhubungan dengan rahasia dibalik sumur api!"

Orang tinggi hitam bermuka keriput melangkah mundur. Ranting menyala diangkat tinggi-tinggi, diputar berkeliling.

"Tidak ada mayat lain. Berarti yang tadi baru satu-satunya korban. Tapi mana aku tahu kalau sudah ada yang jadi korban sebelumnya. Dibuang masuk ke dalam sumur api..." 

Dari balik pakaian hitamnya orang yang keningnya ada benjolan merah keluarkan satu benda yang ternyata adalah sebuah gading besar. Salah satu bagian gading diterangi dengan nyala api di ujung ranting. Pada bagian yang terang itu terbaca tulisan berbunyi: 

Jika ingin tahu lama kehamilan dari perawan desa yang telah dipilih Para Dewa menjadi Ibu dari bayi yang kelak akan menjadi Kesatria Mataram, letakkan gading di atas sumur api. Ukur bagian gading yang menjadi hitam. Maka akan diketahui lama kehamilan.

Dengan hati-hati orang berpakaian hitam yang sampai saat itu masih menjunjung ketiding bambu di atas kepala letakan gading bulat panjang di atas sumur api. Seperti yang tadi dibacanya segera saja gading itu menjadi hitam mulai dari ujung sampai ke bagian tengah. Gading diangkat dari atas sumur api. Orang ini lalu memperhatikan dan menjengkal-jengkal dengan jari tangan. Setelah menghitung-hitung,mulutnya berucap.

"Kurang dari setengah. Berarti usia kehamilan perempuan itu baru sekitar empat bulan. Apakah aku harus menunggu di tempat ini selama lima bulan lebih?"

Orang berpakaian hitam tepuk-tepuk ketiding di atas kepala.

"Sahabat-sahabatku, apa kalian mau menunggu sampai sekian lama di tengah rimba belantara ini?" 

Dari dalam ketiding bambu terdengar suara mendesis riuh dan panjang. Simuka keriput dengan benjolan di kening menyeringai. Ranting menyala dicampakkan. Lalu dua tangan menurunkan ketiding dari atas kepala, diletakan di atas tanah. Seperti tadi ketiding ditepuk-tepuk.

"Sahabat-sahabat. Akupun tidak mau menunggu berlama-lama sampai lumutan di tempat ini. Apa yang bisa kita kerjakan malam ini harus kita laksanakan. Aku butuh pertolongan kalian. Cari perempuan itu di dasar sumur api. Paksa dia melarikan diri ke arah jalan rahasia. Aku akan menunggu di mulut jalan. Tapi awas, kalian jangan sekali-kali menyakiti dirinya. Jangan sampai tubuhnya tersentuh bisa dimulut kalian! Para sahabat, bersiaplah. Aku akan membuka penutup ketiding. Lalu aku akan memasukan kalian di dalam sumur api. Jangan takut. Api tidak akan menciderai apa lagi membunuh kalian. Mantera Selicin Lumut Sedingin Air yang sudah aku terapkan akan melindungi kalian."

Begitu selesai bicara orang berpakaian hitam buka penutup ketiding. Saat itu juga dari dalam ketiding bambu ini menyembul puluhan ekor ular berbisa dari berbagai jenis dan warna, mengeluarkan suara mendesis riuh. Ketiding cepat-cepat diangkat, diletakan di sumur api. Sewaktu puluhan ular dalam ketiding siap hendak dimasukan diceburkan ke dalam sumur api tiba-tiba dari arah kegelapan di kiri sumur api terdengar suara kucing mengeong.

Gerakan orang berpakaian hitam yang hendak membalikan ketiding bambu serta merta tertahan. Memandang ke arah kiri dia hanya melihat kegelapan.

"Kucing mengeong malam-malam. Di tempat seperti ini. Sungguh aneh..." ucap orang berpakaian hitam bermuka keriput. Lalu belum habis rasa herannya tiba-tiba terdengar suara benda berkerincingan, disusul suara perempuan menegur.

"Giring Laweyan, manusia berjuluk Sang Raja Ulo, menyantap ular panggang malam-malam begini memang sedap sekali. Jangan lupa membagiku barang seekor."

Orang berpakaian hitam di dekat sumur api jadi tercekat. Dia cepat berpikir. Dimulai dengan suara kucing mengeong. Lalu ada suara berkerincingan. Disusul suara perempuan menegur. Siapa lagi! Pasti dia! Jangan-jangan dia yang Jadi pembunuh mayat berjubah kuning. 

Belum habis rasa terkejutnya karena si penegur mengenal siapa dirinya, orang di tepi sumur api melihat diseberang sumur tepat dihadapannya berdiri seorang perempuan gemuk mengenakan kemben merah berdandanan tebal seronok. Dibahu kanan tengkurap seekor kucing besar berbulu merah. Binatang ini kelihatan tenang dan jinak. Di tangan kiri perempuan itu ada sebuah cermin kecil. Dia asyik memandang ke dalam cermin sambil mematik-matik pinggiran rambut di samping telinga kanan sambil lidah dijulur membasahi bibir. 

Malam-malam masih mau berdandan, ditempat gelap begitu rupa, sungguh gila, pikir lelaki berpakaian hitam yang memegang ketiding berisi ular dan tadi dipanggil dengan nama Giring Laweyan alias Sang Raja Ulo. Tapi tidak gila kalau perempuan itu adalah yang dikenal dengan nama Ratu Dhika Gelang Gelang!

Selesai merapikan dandanan perempuan gemuk masukan kaca kecil ke balik kemben lalu bertanya pada lelaki yang pegang ketiding berisi ular.

"Menurutmu apakah dandananku sudah apik dan wajahku sudah cantik?"

Giring Laweyan tidak menjawab. Dia bersikap waspada karena tahu betul perempuan di hadapannya setiap saat bisa melakukan perbuatan yang tak terduga seperti menyerang dengan tiba-tiba.

"Giring Laweyan! Malam buta kau datang ke tempat ini. Pasti bukan kemauan Para Dewa yang membimbing langkahmu! Kau datang membekal Gading Bersurat, membawa puluhan makhluk najis. Katakan apa keperluanmu!" Sehabis bertanya perempuan gemuk elus-elus kucing merah yang tengkurap di bahu kanannya.

"Perempuan di tepi sumur, orang-orang menyebutmu dan kau selalu memperkenalkan diri sebagai Ratu Dhika Gelang Gelang. Tapi aku lebih suka menyebutmu Ratu Meong! Nama itu cukup pantas bagimu, bukan? Ha...ha...ha!" Lelaki bernama Giring Laweyan keluarkan ucapan mengejek lalu tertawa gelak-gelak.

"Siapa saja yang mau memberi nama dan julukan padaku akan aku terima dengan senang hati. Aku berterima kasih padamu yang telah memberiku nama Ratu Meong. Hai, muka keriput! Kau belum menjawab apa keperluanmu datang ketempat ini!"

"Kita membekal benda yang sama yaitu Gading Bersurat. Berarti kita punya maksud yang sama. Mengapa kau masih bertanya?!"

Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa. "Bekal boleh sama tapi isi perut bisa lain. Apa lagi pikiran di dalam otak dan perasaan di dalam hati. Mana bisa sama!"

"Jika begitu ucapanmu maka kau tidak keberatan berterus terang. Aku bermaksud menculik anak perawan di dalam sumur api. Mengapa aku menculik aku rasa tidak perlu menerangkan karena kau pasti sudah tahu. Apakah kau merasa keberatan atau ada yang mengganjal dalam hatimu?"

"Ternyata kau orang jujur. Mau berterus terang meskipun melakukan pekerjaan salah. Semoga Para Dewa akan mengurangi sedikit dosa-dosamu. Hik...hik! Giring Laweyan, sebelumnya kau melihat ada mayat berjubah kuning yang sudah jadi jerangkong di sekitar sini. Kau tahu siapa manusia malang itu?"

"Silakan kau menerangkan!" jawab Giring Laweyan.

"Namanya Setunggul Bumi. Sahabat dari Setunggul Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau!" 

Meski terkejut namun Giring Laweyan berpura-pura tidak acuh. "Kau tahu kenapa dia menemui kematian dan siapa yang membunuhnya?"

"Aku tidak perduli!"

Ratu Dhika tersenyum. "Jangan begitu Giring Laweyan. Jangan berpura-pura tidak perduli. Aku mencium dari jalan nafasmu. Kau mulai merasa jerih. Bukankah begitu?"

"Akan aku beri tahu. Akan aku beri tahu!" jawab Ratu Dhika Gelang Gelang pula. "Aku yang membunuh manusia malang itu. Kenapa? Karena dia membekal maksud sama denganmu. Hendak menculik anak perawan yang di dasar sumur api. Berarti...." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak meneruskan ucapan, dia menatap ke arah Giring Laweyan yang wajahnya diterangi cahaya api dari dasar sumur.

"Berarti kau juga hendak membunuhku!" Justru Giring Laweyan yang meneruskan ucapan Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Aku tidak berkata begitu. Tetapi umur manusia siapa yang tahu," jawab Ratu Dhika.

"Ratu Meong, apakah kau masih ingin makan ular panggang?" Tiba-tiba Giring Laweyan bertanya.

"Jika kau memang mau memberi mengapa aku tidak mau menerima?" jawab Ratu Dhika yang dipanggil Ratu Meong oleh Giring Laweyan.

"Aku bukan manusia pelit. Kau boleh makan ular panggang sekenyang perutmu!" Setelah berucap Giring Laweyan lemparkan ketiding berisi puluhan ular berbisa ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang.

Sang Ratu terpekik lalu meniup. Empat gelang berkerincingan. Enam ekor ular berbisa mental dengan tubuh hancur. Kucing merah menggerung keras dan melompat ke arah lelaki berkulit hitam. Tak lama kemudian terdengar dua jeritan keras.

Jeritan pertama keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang Gelang yang bukan takut diserang ular tapi lebih merasa jijik. Patukan puluhan binatang itu memang melukainya berupa titik-titik kecil tapi bisa ular tidak dapat membunuhnya karena dia memiliki ilmu kebal terhadap segala macam racun termasuk racun ular. 

Ilmu kebal ini bernama Kebal Lemah Kebal Banyu. Selama ada bagian tubuhnya menyentuh tanah atau air maka tidak ada racun yang bisa mencekal dirinya termasuk racun ular berbisa. Satu persatu binatang yang melilit tubuhnya diremas hingga hancur.

Jeritan kedua keluar dari mulut Giring Laweyan alias si Raja Ulo. Kucing merah peliharaan Ratu Dhika Gelang Gelang mengeong keras begitu ketiding berisi ular dilemparkan. Secepat kilat binatang ini melompat dari bahu kanan Ratu Dhika. Dua kaki belakang membenam di pangkal leher, dua kaki depan mencakar ganas ke wajah. 

Dalam waktu sekejapan saja sekujur muka Giring Laweyan tercabik-cabik. Darah mengucur membasahi muka dan pakaian. Sungguh mengerikan. Sambil berteriak kesakitan dan lari kian kemari si Raja Ulo ini coba menangkap dan melemparkan kucing merah yang masih mencakar dan kini malah menggigit lehernya.

Dalam keadaan sakit yang amat sangat, ditambah kedua matanya telah tertutup darah, Giring Laweyan tidak melihat lagi kemana arah larinya. Tubuh yang tinggi kurus menabrak pinggiran batu sumur api lalu terjungkal dan tak ampun lagi tercebur masuk ke dalamnya! Dari dasar sumur, lidah api menderu ke atas seolah menyambut kejatuhan tubuh Giring Laweyan. Sesaat terdengar suara jeritan lelaki itu menggema di dalam sumur lalu lenyap.

Kucing merah melompat kembali ke atas bahu kanan Ratu Dhika Gelang Gelang. Lalu menjilati kuku kakinya yang bernoda darah. Di dalam kegelapan, di balik sebatang pohon Mahoni, seorang perempuan tua yang di atas kepalanya menangkring seekor bulus atau kura-kura besar hijau bermata merah menyaksikan semua kejadian di tempat itu dengan hati tercekat. Dalam hati dia membatin.

"Dari pada celaka lebih baik aku menunda niat. Mungkin aku harus menunggu sampai anak perawan itu melahirkan lima bulan dimuka sambil mencari akal. Kalau aku bersikeras meneruskan rencana, sama saja dengan mengantar nyawa. Para Dewa jelas tidak akan berpihak padaku. Ratu Meong bukan tandinganku. Apa lagi saat ini dia membawa serta kucing betina merah itu. Mempergunakan kekerasan lebih banyak celakanya bagi diriku. Aku harus mencari akal. Selain itu aku harus tahu apa keperluan dan sebagai apa perempuan satu ini berada di tempat ini. Menjaga sumur api? Mungkin dengan cara memperdayai dan memperalat pemuda yang dicintainya itu aku bisa menyelinap ke dasar sumur api melalui jalan rahasia."

Tidak menunggu lebih lama perempuan tua ini segera tinggalkan tempat itu. Langkahnya tampak lamban sekali seperti seekor kura-kura. Namun sebentar saja sosoknya sudah lenyap dari kawasan sumur api.

 ***


TAMAT

Ikuti kisah selanjutnya:

Perawan Sumur Api

MIMBA PURANA
Satria Lonceng Dewa
Episode :
PERAWAN SUMUR API
Karya : 
Bastian Tito

serial Mimba Purana episode Perawan sumur api

1.    ANAK PERAWAN SOROGEDUG

AGAKNYA ini adalah malam paling indah dipermulaan musim kemarau di Bhumi Mataram. Langit biru bersih sedikitpun tidak berawan, dihias tebaran bintang gumintang. Cahaya bulan purnama menyaput langit, turun ke bumi membawa kesejukan. Bila angin bertiup, kesegaran terasa sampai di rongga dada

Di bawah semua keindahan malam yang mempesona dan udara sejuk penuh kesegaran, candi Siwa yang terletak di kawasan Prambanan dan lebih dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan candi Loro Jonggrang tegak menjulang megah dan anggun. Diapit oleh candi Brahma di sebelah selatan dan Candi Wisnu di sebelah utara. Sesekali serombongan burung malam melayang terbang melewati puncak ketiga candi. Tiga candi tidak beda laksana tiga raksasa penjaga negeri dikelilingi oleh beberapa candi lainnya.

          Menjelang tengah malam, ketika keheningan yang berselimut udara sejuk membuat terasa adanya kesakralan di kawasan Prambanan, dari balik Candi Nandi tampak seseorang berjalan ke arah Candi Loro Jonggrang. Orang ini ternyata adalah gadis berambut panjang hitam sepinggang, mengenakan kemben lurik kasar, tidak mengenakan alas kaki dan wajah cantik alami tanpa diberi pupur, tidak juga penerang alis apa lagi pewarna bibir.

          Beberapa saat akan sampai di tangga utama candi, gadis berusia sekitar enam belas tahun ini hentikan langkah. Matanya yang bening bagus menatap ke depan, mulut berucap perlahan. "Aneh, tadi aku tidak melihat orang tua yang duduk di depan tangga candi. Sekarang mengapa tahu-tahu sudah ada di situ? Dari mana gerangan datangnya?"

Seperti yang dilihat si gadis, saat itu di tanah di depan tangga candi memang tampak duduk seorang tua berambut, kumis dan janggut putih. Pakaian selempang kain putih sederhana. Di tanah di samping kiri terletak sebatang tongkat kayu. Si orang tua duduk sambil memegang sebuah kitab. Mulut bergumam membaca isi kitab yang ditulis dengan huruf Palawa dalam bahasa Sansekerta.

          "Orang tua itu, dia membaca Kitab Weda pada bagian Yayur Weda, bacaan dan mantera untuk keselamatan..." Si gadis berucap dalam hati. Agaknya gadis ini punya pengetahuan tentang kepercayaan Hindu yang menjadi agama di Bhumi Mataram pada masa itu.

Tak berani melewati, sungkan mengganggu, maka si gadis tegak berdiri menunggu sampai si orang tua menyelesaikan bacaannya. Cukup lama baru orang tua di depan tangga candi hentikan bacaan. Perlahan-lahan dengan sikap khidmat dia menutup kitab, letakkan di atas pangkuan lalu mengangkat kepala.

Begitu pandangannya membentur gadis yang berdiri beberapa langkah di hadapannya, sepasang alis mata si orang tua naik ke atas. Mulut lalu menyapa halus.

"Seorang perawan di malam hari. Mendatangi candi suci Candi Loro Jonggrang, ada apakah maksud di hati?"

Si gadis maju dua langkah, terlebih dulu membungkuk memberi hormat lalu berkata. "Orang tua, salam sejahtera bagimu. Apakah kau seorang Brahmana..."

Orang yang duduk bersila di tanah letakan dua telapak tangan di atas dada lalu gelengkan kepala. "Aku bukan Brahmana. Aku hanya seorang tua yang di rumah tidak bisa memincingkan mata. Lalu memutuskan mencari ketenangan di tempat ini dengan membaca Kitab Weda..."

"Orang tua, kau pandai merendah diri. Jangan-jangan kau Dewa Agung yang turun ke bumi menjelma diri."

Kembali orang tua itu gelengkan kepala. Kali ini disertai dengan senyum di wajah. "Anak perawan, coba jelaskan siapa dirimu. Ada maksud apa malam-malam datang ke candi seorang diri."

"Saya datang dari Sorogedug. Sebuah desa kecil di selatan Prambanan. Saya meninggalkan desa saat matahari terbenam. Saya sengaja berjalan di malam hari agar tidak ada yang melihat."

"Sorogedug cukup jauh dari sini. Katanya kau sengaja berjalan di malam hari agar tidak ada yang melihat. Agaknya ada satu kerahasiaan dalam dirimu. Selain itu kau merasakan sepertinya ada sesuatu yang merisaukan dirimu kalau tidak mau dikatakan ada yang menakutkanmu. Anak perawan, siapa namamu? Ada maksud apa datang ke candi?"

"Nama saya Ananthawuri. Saya datang untuk mengunjung Patung Batari Durga Mahisasura-mardani."

Si orang tua menatap wajah gadis cantik di hadapannya sementara angin malam meniup rambutnya yang panjang hitam melambai-lambai di belakang punggung.

"Ananthawuri.... Sungguh nama yang bagus.Tapi dibalik wajahmu yang cantik aku melihat bayangan kesedihan, juga ada rasa ketakutan. Sesuatu mengganjal di lubuk sanubarimu. Dan kalau kau malam-malam datang ke candi untuk menemui Patung Batari Durga yang lebih dikenal dengan nama Loro Jonggrang, aku yang telah hidup puluhan tahun ini rasanya sudah bisa menerka apa maksud kedatanganmu. Apakah kau punya masalah dengan pemuda tambatan hatimu atau kau di usia semuda ini hendak memohon mendapatkan jodoh?"

"Terima kasih, kau memperhatikan diri saya, Kek. Bolehkah saya memanggilmu Kakek?" tanya si gadis.

Orang tua berselempang kain putih tersenyum dan anggukan kepala.

"Berarti saya bisa membagi rasa denganmu. Tentu saja kalau kau mau Kek. Tapi ketahuilah, saya belum mempunyai seorang pemuda yang jadi tambatan hati dan saya datang ke candi ini tidak untuk memohon jodoh." Begitu Ananthawuri menjelaskan.

"Begitu?" Orang tua yang duduk bersila di tanah agak heran tapi mulutnya tersenyum.

"Kau beruntung. Bangunan candi belum seluruhnya rampung. Tapi Patung Loro Jonggrang sudah lama selesai. Indah dan cantik. Hai, aku memperhatikan kau seorang gadis bertubuh jangkung. Tingginya dirimu hampir menyerupai sang Batari. Dan wajahmu.... Dewa Maha Besar. Mengapa aku melihat banyak kesamaan antara wajahmu dengan wajah patung Loro Jonggrang?" (Jonggrang = jangkung).

Perawan dari desa Sorogedug itu tertawa. "Kek, kau ini ada-ada saja. Masa mau menyamakan saya anak desa yang jelek ini dengan Dewi cantik jelita itu."

"Ananthawuri, walau kita baru bertemu malam ini, kau mau memanggilku Kakek. Apakah aku yang tua ini berlaku lancang kalau aku menganggap dirimu sebagai cucu sendiri."

"Tidak, tidak lancang Kek. Saya malah sangat berterima kasih. Saya gembira kini punya seorang Kakek karena sesungguhnya Ayahpun saya sudah tidak punya."

Si orang tua mengangguk. "Aku bisa melihat kesedihan di raut wajah serta pancaran sinar matamu. Ketahuilah Kakekmu ini bernama Dhana Padmasutra."

"Kakek Dhana, saya senang bertemu dan mengenal dirimu. Saat ini apakah saya boleh minta jalan dan naik ke candi?"

"Tentu saja cucuku. Namun sebelum naik dan masuk ke dalam candi dan menemui Patung Loro Jonggrang, aku ingin bertanya, apakah kau pernah mendengar riwayat kehidupan Patung yang kau hendak temui itu?"

"Saya pernah mendengar. Dari Ibu. Riwayat didongengkan setiap kali saya mau tidur. Tapi kalau Kakek juga punya cerita yang mungkin lebih bagus dan lebih lengkap tentang sang Dewi, saya suka sekali mendengarnya."

Si orang tua tersenyum dan anggukan kepala. Dalam hati dia berkata. "Anak perawan ini, dia sudah mengetahui sesuatu tapi tetap ingin mengetahui lebih banyak. Berarti dia mencintai ilmu pengetahuan. Caranya meminta dengan segala kerendahan hati dan ketinggian jiwa. Dia membekal satu urusan penting, namun masih mau meluangkan waktu bercakap-cakap dan berbagi rasa. Dia tengah menghadapi kesulitan tapi masih menyempatkan bicara denganku. Ah.... mengapa hatiku begitu suka padanya. Dewa Maha Besar, Dewa Maha Agung. Saya Dhana Padmasutra hambamu yang rendah menjatuhkan diri berlutut di hadapan Para Dewa, mengucap selangit terima kasih, menghatur sebumi rasa syukur dan menyampaikan selautan luas rasa gembira karena Para Dewa di Swargaloka telah mempertemukan saya dengan anak perawan ini. Wahai Para Dewa, apapun kesedihan serta ketakutan yang menyelinap dalam hatinya, berikan saya kemampuan untuk menolong."

Tiba-tiba satu cahaya putih laksana turun dari langit berpijar menyelubungi tubuh Dhana Padmasutra. Saat itu juga Ananthawuri melihat bagaimana wajah si orang tua menjadi lebih segar dan lebih cerah. Sepasang mata yang sebelumnya sayu kini bersinar cerah. Tubuh yang tadi agak tertunduk merunduk kini duduk lurus dengan dada tegap ke depan.

"Kakek Dhana, apa yang terjadi? Ada cahaya putih saya lihat masuk ke dalam tubuhmu. Kau tidak apa-apa?" Tanya Anathawuri sambil beringsut maju dan memegang lengan si orang tua. Ketika jari-jarinya menyentuh lengan itu, si gadis merasa ada hawa luar biasa sejuk masuk ke dalam tubuhnya.

"Aku baru saja menerima berkah Para Dewa," ucap Dhana Padmasutra. Lalu membungkuk dalam-dalam sampai keningnya menyentuh tanah. Sambil bersujud orang tua ini berucap. "Wahai Batara Dewa di Khayangan. Saya tidak tahu pertanda apa yang Engkau berikan. Saya percaya Engkau melindungi saya dalam segala niat dan perbuatan saya. Jika saya harus melindungi dan menolong orang lain, maka berilah kepada saya kekuatan untuk mampu melakukan hal itu."

Setelah kembali duduk bersila si orang tua berkata. "Cucuku Ananthawuri, aku akan ceritakan padamu riwayat Loro Jonggrang. Singkat-singkat saja agar sesudah itu kau bisa segera mengunjungi patungnya."

Si gadis tersenyum. Merasa lega mengetahui orang tua di hadapannya tidak kurang suatu apa. Sementara Dhana Padmasutra sendiri dalam hati membatin.

"Anak perawan ini agaknya bukan gadis sembarangan. Kalau bukan karena kehadirannya rahmat Para Dewa tidak akan turun atas diriku."

                          ***
2.    KISAH DHANA PADMASUTRA

 SETELAH merapikan letak kitab Weda di atas pangkuannya kakek bernama Dhana Padmasutra menuturkan kisah Loro Jonggrang pada Ananthawuri.

Konon beberapa puluh tahun lalu seorang Raja yang memiliki Keraton di Gunung Boko mempunyai seorang puteri cantik jelita tinggi semampai bernama Loro Jonggrang. Suatu ketika seorang Kesatria gagah perkasa dan juga sangat sakti bernama Bandung meminang Loro Jonggrang untuk dijadikan istri.

Raja Boko menerima lamaran itu namun sang puteri menolak. Karena sangat menghormati Ayahnya dan tidak mau mempermalukan sang Kesatria maka Loro Jonggrang menerima pinangan tersebut dengan mengajukan syarat. Syarat itu sekaligus diajukan sebagai mahar atau mas kawin yakni sang Kesatria harus membuat 1000 candi dalam waktu satu malam. Jika Bandung mampu memenuhi syarat itu maka Loro Jonggrang menerima pinangan dan bersedia menjadi istrinya.

Bandung sang Kesatria karena sangat mencintai Loro Jonggrang dengan kesaktiannya memanggil ribuan makhluk halus sebangsa jin untuk membantu membangun 1000 candi yang diminta. Maka mulai matahari terbenam sampai semalaman suntuk ribuan makhluk halus di bawah pimpinan Bandung bekerja keras. Menjelang matahari terbit ternyata tinggal satu candi yang belum rampung.

Melihat kejadian itu Loro Jonggrang yang semalaman tidak tidur dan mengawasi pembuatan 1000 candi merasa sangat khawatir. Kalau sampai candi ke 1000 selesai berarti dia harus bersedia dikawini oleh Bandung. Padahal Loro Jonggrang sama sekali tidak menyukai apa lagi mencintai sang Kesatria.

Dalam khawatirnya Loro Jonggrang terus memohon pada Yang Kuasa agar diberi petunjuk bagaimana caranya menghindari perkawinan itu. Loro Jonggrang mendapat akal. Puteri Raja ini membangunkan dan mengumpulkan semua anak gadis yang ada di Kerajaan. Kepada mereka diperintahkan agar segera menumbuk padi di lesung. Dalam waktu singkat seluruh negeri ramai oleh hiruk pikuk suara tumbukan alu di lesung padi yang dilakukan oleh hampir ratusan anak gadis. Suara alu beradu dengan lesung membuat ayam-ayam terbangun dan suara kokoknya kemudian terdengar di mana-mana.

Semua makhluk halus yang tengah melakukan pekerjaan membangun candi terakhir tersentak kaget. Mereka mengira hari telah siang dan takut celaka terkena sinar matahari.

Semuanya serta merta meninggalkan tempat mereka bekerja membangun seribu candi. Melihat apa yang terjadi dan mengetahui tipu muslihat yang dilakukan Loro Jonggrang, Bandung marah bukan alang kepalang. Kesatria sejati ini menjatuhkan kutuk, menjadikan Loro Jonggrang sebagai patung.

Sejak diciptakannya Patung Batari Durga di Candi Siwa timbul kepercayaan bahwa patung itu adalah penjelmaan Loro Jonggrang puteri Raja Boko. Patung banyak dikunjungi oleh muda mudi sambil memohon kepada Dewa agar mudah mendapatkan jodoh.

Dhana Padmasutra menutup kisahnya dengan bertanya. "Cucuku Ananthawuri, setelah kau mendengar cerita Loro Jonggrang, aku ingin bertanya lagi. Apakah maksudmu mengunjungi Patung Loro Jonggrang karena kau juga ingin mendapat jodoh seperti yang dilakukan para gadis dan banyak pemuda?"

"Tidak Kek, saya tidak bermaksud mencari jodoh. Saya ingin minta petunjuk dan perlindungan. Nasib diri saya hampir tiada beda dengan Loro Jonggrang..."

Dhana Padmasutra pandangi anak perawan dari Sorogedug itu beberapa ketika. "Cucuku, ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu."

Maka berceritalah Ananthawuri. "Semasa Ayah masih hidup, beliau memiliki banyak sawah dan ladang. Suatu ketika untuk suatu keperluan Ayah membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Panen hasil sawah dan ladang ditunggu masih lama. Ayah meminjam uang pada seorang saudagar muda dengan cara mengijonkan hasil sawah ladang.Tidak diduga semacam penyakit tanaman merusak seluruh tanaman. Anehnya musibah itu hanya terjadi pada sawah dan ladang Ayah saja. Hasil panen yang diharapkan akan dipakai untuk pembayar hutang tidak menjadi kenyataan. Sementara hutang bunga berbunga hingga berlipat ganda. Sampai Ayah meninggal dunia hutangnya tidak terbayar..."

"Cerita selanjutnya aku bisa menerka," kata Dhana Padmasutra pula. "Saudagar muda itu mendatangi keluargamu, minta agar hutang mendiang Ayahmu diselesaikan."

"Betul sekali Kek," kata Anathawuri. "Ibu memberitahu belum sanggup membayar hutang. Ibu menawarkan agar saudagar itu mengambil seluruh tanah sawah dan ladang sebagai pembayar hutang. Tapi dia menolak. Tanah sawah dan ladang kami tidak dihargai barang sekepeng batupun. Malah dia mengancam akan membawa perkara hutang piutang itu ke Pejabat Kerajaan. Ibu ketakutan dan jatuh sakit-sakitan. Namun ancaman itu ternyata akal busuk sang saudagar saja. Karena satu kali dia pernah berkata pada Ibu. Jika saya mau dijadikan istrinya maka semua hutang Ayah akan dihapus."

Dhana Padmasutra tercengang mendengar keterangan si gadis dan gelengkan kepala sampai beberapa kali.

"Yang saya khawatirkan Kek, jika maksudnya mengawini saya tidak kesampaian, mungkin sekali saya akan diapa-apakan. Bisa-bisa saya diculik dilarikan."

"Cucuku, aku tidak mengira di Bhumi Mataram ini ada seorang sejahat Saudagar muda itu. Kalau aku boleh tahu siapa gerangan orang itu."

"Namanya Narotungga..." Memberitahu Ananthawuri.

"Narotungga? Kedengarannya bukan nama orang Bhumi Mataram. Sepertinya... Jangan-jangan orang ini pendatang berasal dari Selatan."

"Betul Kek, Saudagar muda itu memang dari selatan. Tapi kabarnya dia juga bukan asli orang selatan."

"Pantas...pantas. Orang Mataram asli tidak akan ada yang sejahat itu perilakunya. Tapi Yang Maha Kuasa berbuat sekehendakNya. Berdosa kita kalau menyalahkan seseorang bersifat dan berbuat jahat."

"Selain saya tidak suka padanya, saya juga mendengar kabar kalau Saudagar Narotungga telah mempunyai beberapa orang istri. Bila dia tidak suka pada salah seorang atau dua orang istrinya dengan mudah dia menceraikan lalu mencari istri-istri baru..."

"Bukan main, seperti hewan saja," ucap Dhana Padmasutra. "Cucuku Ananthawuri, sekarang sebaiknya kau segera naik ke candi. Saatnya kau menemui Loro Jonggrang. Ceritakan dengan hati dan ucapanmu semua apa yang kau hadapi dan mohon petunjuk. Walau dia Cuma patung batu, bisu dan dingin namun melalui Kuasa Dewa sesuatu akan kau dapatkan sebagai petunjuk. Aku akan menunggumu di sini sambil melanjutkan membaca Kitab Suci Weda."

"Saya akan segera naik ke candi. Kakek Dhana, saya mohon restumu agar Para Dewa mau memperhatikan diri saya yang malang ini."

Si orang tua anggukan kepala, tersenyum dan membelai rambut panjang si gadis. "Doa orang lain memang diperlukan, namun doa serta permohonan sendiri yang disampaikan langsung kepada Yang Maha Kuasa akan lebih mustajab. Pergilah cucuku..."

Seundak demi seundak Ananthawuri menaiki tangga utama Candi Loro Jonggrang. Walau langit bersih tak berawan serta sinar rembulan ikut menerangi Bhumi Mataram termasuk kawasan Prambanan, di dalam candi keadaan tidak begitu terang. Namun Ananthawuri melangkah cepat dan sigap. Semasa kecil, sewaktu candi dibangun dia sering datang dan bermain-main di sana dengan teman-teman. Karenanya dia hafal betul di mana letak ruangan tempat beradanya Patung Batari Durga atau yang lebih dikenal dengan nama Loro Jonggrang.

Di dalam suatu ruangan batu yang menghadap ke utara disitulah beradanya Patung Loro Jonggrang. Patung berdiri di atas seekor banteng bernama Nandi yang tewas di tangan Batari Durga. Konon menurut cerita, suatu ketika ada seekor banteng hendak mencelakai Durga. Banteng ini ternyata bukan hewan biasa karena di dalam tubuhnya telah masuk satu roh jahat. Durga berhasil menumpas makhluk halus yang menguasai banteng hingga berteriak-teriak dan melarikan diri. Banteng Nandi sendiri akhirnya ikut tewas di tangan Durga.

Patung Loro Jonggrang ini bagus dan halus sekali bentuknya hingga dipandang dari kejauhan laksana hidup dan tersenyum kepada siapa saja yang memperhatikannya.

Setelah memandang patung beberapa lama, Ananthawuri lalu membungkuk tiga kali dan perlahan-lahan menjatuhkan diri berlutut. Lama perawan desa Sorogedug ini terdiam sebelum mampu membuka mulut mengeluarkan ucapan sambil tundukan kepala.

"Wahai Batari Durga yang juga saya sebut dengan nama Loro Jonggrang. Pertama sekali saya mohon maaf kalau kedatangan saya mengganggu ketenteraman Batari. Wahai Nyi Loro kalau boleh saya panggil dengan sebutan Dewi. Saya gadis desa bernama Ananthawuri, datang menghadap Dewi karena saya tidak tahu lagi akan bertemu siapa, akan bicara dengan siapa dan akan minta tolong serta perlindungan kepada siapa."

Sesaat Ananthawuri angkat kepala. Setelah memperhatikan wajah patung dia kembali tundukan kepala dan lanjutkan ucapan. Namun belum sampai kata-kata meluncur keluar dari mulut perawan desa ini tiba-tiba dia mendengar suara halus seolah bergema datang dari kejauhan.

"Ananthawuri, aku sudah mendengar apa yang kau ceritakan pada orang tua di tangga candi. Kita hidup di alam yang berbeda namun ternyata nasib kita punya kesamaan."

Dalam kejutnya Ananthawuri langsung angkat kepala, menatap kearah patung. Hyang Jagat Bathara Sakti! Dia melihat sepasang mata Patung Loro Jonggrang seolah hidup, menatap kearahnya dan mulut patung tampak bergerak-gerak.

"Dewi Loro Jonggrang. Kau menatap ke arah saya, kau bersuara. Kau hidup. Oh Dewa! Besar nian berkah Mu pada gadis malang ini..."

"Ananthawuri, kau masih muda belia. Karena itu mungkin kau belum tahu bahwa hidup dan kehidupan di atas dunia ini adalah semacam panggung sandiwara penuh tantangan. Seseorang bisa melambung ke puncak kejayaan dan kebahagiaan. Tapi seseorang juga bisa terpuruk ke jurang hina penuh nista dan teraniaya. Pulanglah, jaga Ibumu baik-baik. Bukankah dia sedang sakit-sakitan..."

"Saya mendengar ucapanmu wahai Dewi Loro Jonggrang. Saya akan segera pulang..."

"Tentang nasib dirimu Para Dewa tentu sudah mendengar dan mengetahui. Para Dewa tentu tidak akan membiarkan seorang gadis seperti mu teraniaya begitu saja."

"Terima kasih Dewi... terima kasih banyak." Kata Ananthawuri berulang kali sambil membungkuk menyentuh kening ke lantai candi yang dingin tiga kali berturut-turut. Lalu dia mencium ujung kaki Patung Loro Jonggrang. Saat itulah dia merasa ada dua tangan mengangkat bahunya hingga dia berdiri. Anehnya, kini tubuhnya jadi sama tinggi dengan patung Loro Jonggrang. Kepala saling berhadapan, mata saling berpandang.

"Dewi Loro Jonggrang..." Ucap Ananthawuri dengan suara bergetar. Dia memandang ke bawah. Dia melihat kakinya sejajar dengan kaki patung. Apa yang terjadi. Bagaimana mungkin tubuhnya bisa setinggi tubuh patung sang Dewi. Ananthawuri kembali menatap ke wajah patung. Seperti kata kakek Dhana Padmasutra, wajah patung memang menyerupai banyak kesamaan dengan wajahnya. 

"Dewa Maha Agung, bagaimana ini bisa terjadi. Wajahku menyerupai wajah Dewi Loro Jonggrang..." ucap Ananthawuri dalam hati.

Saat ini tangan kanan patung tiba-tiba bergerak ke depan, lima jari tangan menggenggam kencang membentuk tinju seolah hendak menjotos kepalanya.

"Dewi...."Ananthawuri terkesiap.

3.    BATU SAKTI KALADUNGGA

LIMA jari tangan patung yang menggenggam tiba-tiba bergerak membuka. Di atas telapak tangan Loro Jonggrang terletak sebuah benda merah sebesar ujung jari kelingking. Benda ini memancarkan kilauan aneh hingga jika diperhatikan berbentuk seperti seekor kalajengking yang menggerakan kepala, kaki dan ekor.

"Ini Batu Kaladungga. Jika batu ini berada dalam tubuhmu maka siapa saja orang yang mempunyai niat jahat terhadapmu, sekalipun baru di dalam hati, maka orang itu tidak akan mampu melihat dirimu. Ananthawuri, ambil batu ini dan telanlah."

Sepasang mata Ananthawuri memperhatikan tak berkedip batu di tangan Loro Jonggrang. Lalu gadis ini menatap wajah sang patung. Mulut patung bergerak.

"Tidak usah ada keraguan. Ambil batu ini dan cepat telan. Dewa akan menolongmu."

Ananthawuri segera mengambil batu lalu memasukan ke dalam mulut. Dia merasa ada hawa sejuk di dalam mulut dan menjalar keseluruh tubuh. Namun setelah mencoba beberapa kali gadis ini mengalami kesulitan menelan batu yang bernama Kaladungga itu. 

Loro Jonggrang usapkan tangan kanan ke leher si gadis. Saat itu juga batu Kaladungga meluncur masuk lewat tenggorokan Ananthawuri. Anak perawan berusia enam belas tahun ini merasa tubuhnya mendadak berubah ringan dan pemandangannya menjadi lebih terang.

"Ananthawuri, lekas tinggalkan tempat ini. Cepat pergi..."

"Dewi Loro Jonggrang..." Ananthawuri cium tangan kanan patung yang masih terulur. Dia seperti memegang dan mencium tiada beda tangan manusia biasa. Halus dan wangi.  Sesaat kemudian tangan itu merapat kembali ke sisi kanan tubuh. Secara bersamaan tubuh Ananthawuri berubah ke bentuk asal yaitu tidak lagi setinggi tadi.

"Dewi, saya Ananthawuri mengucapkan terima kasih. Puji hormat saya untuk Dewi dan puji syukur saya untuk Para Dewa."

Ananthawuri bungkukan tubuh, mencium kaki patung lalu bersurut mundur. Terakhir kali sebelum keluar dari ruangan gadis ini menatap ke arah wajah patung, layangkan senyum sambil tangan kanan dilambaikan. Wajah patung Dewi Loro Jonggrang balas tersenyum dan mata kirinya tampak dikedipkan.

Ketika menuruni tangga menuju pintu gerbang utama candi, Ananthawuri merasa dirinya seperti melayang. Cepat sekali dia berada di undakan tangga terakhir sebelah bawah. Namun begitu menginjakan kaki di tanah gadis ini terpekik.

"Kakek Dhana!"

Orang tua berselempang kain putih yang tadi ditemui Ananthawuri sebelum naik ke atas candi kini dalam keadaan tergeletak di tanah. Kepalanya hangus hitam mengerikan. Rambut gosong seperti habis terbakar.Tongkat kayu dan Kitab Weda tercampak di tanah dalam keadaan terkembang.

"Kakek Dhana, apa yang terjadi?!" Ananthawuri menghambur jatuhkan diri di samping sosok si orang tua. Gadis ini hendak letakkan kepala orang tua itu di atas pangkuannya namun Dhana Padmasutra yang dalam keadaan sekarat masih mampu mengeluarkan ucapan.

"Cucuku, lekas tinggalkan tempat ini. Ambil Kitab Weda, bawa tongkat kayuku. Ikuti saja kemana tongkat itu akan menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah suara Roh Agung yang memberi petunjuk padamu. Pergilah. Jangan risaukan diriku. Aku telah menerima rahmat besar dari Para Dewa. Aku merasa berbahagia bisa meninggalkan dunia fana di malam yang begitu indah dan... sebelum pergi aku bisa bertemu dengan gadis sepertimu."

"Kakek, jangan bicara seperti itu. Saya akan menolongmu. Katakan apa yang terjadi? Siapa yang mencelakai dirimu sekejam ini?!"

Wajah tua itu tersenyum. "Lekas pergi..." katanya.

"Kek..." Ananthawuri merasa bimbang.

"Cucuku, ikuti kata-kataku... Tempat ini sekarang sangat berbahaya bagimu."

"Kalau begitu katamu Kek, baiklah. Tapi saya akan membawa tubuhmu dari sini. Saya tidak akan meninggalkan dirimu."

"Tidak... Jangan. Cucuku, lupakan diriku. Pergilah..."

"Baik, Kek. Saya akan segera pergi. Cepat-cepat pulang ke desa Sorogedug."

"Jangan, jangan pulang ke desa. Ikuti saja ke mana tongkat kayu milikku akan membawa menuntun dirimu..."

"Baik Kek. Saya akan menuruti kata-katamu..."

"Dewa akan melindungi dirimu," ucap si orang tua. Lalu kepalanya terkulai.

"Kek!" Ananthawuri memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa di sekitar situ. Sepi.

Namun naluri perawan belia ini merasakan ada kehadiran orang lain di tempat itu. Pandangannya kemudian membentur Kitab Weda dan tongkat kayu yang tergeletak di tanah. Dia ingat pada pesan si kakek. Cepat-cepat gadis ini mengambil kitab dan tongkat. Ketika hendak mengambil tongkat, di tanah Ananthawuri melihat sebuah benda bulat berwarna kemerahan. Walau tidak pasti apa adanya benda itu namun diambilnya juga, diselipkan ke balik kemben.

Meski hatinya sedih dan berat meninggalkan si orang tua dalam keadaan seperti itu namun Ananthawuri terpaksa pergi dari tempat itu. Tidak lama setelah si gadis tinggalkan halaman candi tiba-tiba dua orang berkelebat dari balik bangunan candi Wisnu yang terletak di sebelah kiri candi Loro Jonggrang.


4.    SETUNGGUL LANGIT DAN SETUNGGUL BUMI

DUA ORANG lelaki yang muncul di depan candi perhatikan mayat Dhana Padmasutra lalu saling pandang satu sama lain.

"Kau tadi terlalu keras menghajarnya. Kau tidak perlu mengeluarkan ilmu Serat Arang. Seharusnya dia tidak perlu dibunuh," kata lelaki di sebelah kanan. 

Namanya Setunggul Bumi. Orang ini bertubuh pendek katai, rambut panjang digulung dan dikonde di atas kepala. Dia memelihara janggut putih panjang menjulai menyentuh tanah. Pelipis kiri kanan dicantel gelang hitam terbuat dari akar bahar. Pakaian jubah kuning yang leher serta dua ujung lengan dan bagian bawah berumbai-umbai biru.

"Dia bukan orang sembarangan. Memang dia tidak akan membunuh kita tapi kalau dibiarkan hidup kita berdua bisa celaka," jawab lelaki satunya yang berbadan ramping dan tinggi sekali, mengenakan jubah hitam berkancing merah, celana juga hitam. 

Rambut hitam berkilat digulung di atas kepala. Dua tangan menjulai hampir menyentuh tanah seperti beruk. Di keningnya menempel sebuah batu pipih hitam legam berkilat berbentuk segi tiga. Sesuai dengan keadaan tubuhnya yang tinggi jangkung dia dikenal dengan nama Setunggul Langit. Dialah yang telah membunuh Dhana Padmasutra. Orang ini lanjutkan ucapan. 

"Lagi pula apa kau lupa pesan Arwah Muka Hijau. Kita tidak boleh meninggalkan jejak. Tidak ada satu orang pun boleh tahu dan menjadi saksi semua rencana dan perbuatan kita..." Setunggul Langit berbicara sambil mengelus-elus dada.

Tiba-tiba orang itu hentikan ucapan, tampang berubah. Kepala menunduk, mata memperhatikan dada pakaian. "Kancing bajuku!" katanya. "Salah satu kancing bajuku lenyap!" Setunggul Langit memandang ke tanah, memperhatikan berkeliling.

"Aku ingat," kata si katai Setunggul Bumi. “Waktu kau menyerang orang tua itu, dia pergunakan tongkat kayu untuk menangkis. Tongkat kayu menyambar ke dada, mungkin membuat tanggal salah satu kancing bajumu."

"Kalau tidak ada yang mengambil kancing itu pasti jatuh sekitar sini!" Setunggul Langit mencari kian kemari. Lalu dia menggeledah mayat Dhana Padmasutra, memeriksa dua tangannya. Tapi dia tidak menemukan kancing baju yang dicari. "Celaka. Kancing bajuku. Kalau ada yang mengambil. Kalau sampai ada yang mengetahui...!"

"Sudah lupakan saja kancing itu. Mungkin sudah hancur sewaktu disambar ujung tongkat." Kata Setunggul Bumi. "Aku berpikir-pikir. Apakah tadi kita melihat gadis keluar dari candi?"

Setunggul Langit gelengkan kepala. "Aku tidak melihat, kau juga tidak melihat. Aneh! Tadi aku jelas mendengar suara gadis itu. Suara teriaknya, lalu suara dia bicara. Tapi mengapa orangnya tak kelihatan. Aku melihat tongkat dan Kitab Weda melayang di udara ke arah timur."

"Ini memang kejadian luar biasa. Sebelum mati orang tua itu bicara dengan seseorang yang tidak kelihatan ujudnya. Pasti gadis dari desa Sorogedug itu." Kata Setunggul Bumi sambil usap janggutnya dan memandang ke arah candi.

"Setunggul Bumi, seharusnya tadi kita terus saja mengikuti gadis itu masuk ke dalam candi. Kita bisa membekuknya di sana."

"Sobatku, enak saja kau bicara. Apa kau lupa peringatan Gendadaluh alias Arwah Muka Hijau. Kita punya pantangan tidak boleh naik apa lagi sampai masuk ke dalam candi manapun di kawasan ini."

Setunggul Langit terdiam. Sesaat kemudian dia berkata. "Kita gagal mendapatkan gadis itu. Lalu apa yang akan kita katakan pada Arwah Muka Hijau!"

"Jelas dia pasti marah besar. Tapi kita punya alasan. Kita sudah mengikuti tapi tidak menduga kalau gadis itu masuk ke candi. Lalu ada orang tua bernama Dhana Padmasutra ini menghalangi. Kita berhasil menghabisinya. Arwah Muka Hijau pasti senang mendengar kematian seteru lamanya ini." Jawab Setunggul Bumi.

"Lalu bagaimana kita mengatakan bahwa kita tidak melihat gadis itu keluar dari candi. Kita mendengar suara tapi tidak kelihatan orangnya. Apakah Arwah Muka Hijau akan mempercayai begitu saja cerita kita?"

Setunggul Bumi kembali usap janggut putih yang menjulai tanah. "Sudah, kita terima nasib saja. Dia pasti akan memendam kita lagi di Kali Progo. Sekali ini mungkin sampai seratus kali kokok ayam pagi. Lebih lama dari yang sudah-sudah. Remuk tubuh kita berdua!"

"Terus terang, sebenarnya kita telah berlaku sembrono," kata Setunggul Langit pula.

"Apa maksudmu?" tanya Setunggul Bumi.

"Tadi sewaktu kita melihat tongkat dan Kitab Weda melayang, seharusnya kita cepat mengikuti. Aku yakin sesuatu telah terjadi dengan anak perawan itu hingga dia mampu melenyapkan diri. Tongkat dan kitab tidak mungkin bisa melayang sendiri kalau tidak ada yang memegangi. Jangan-jangan di dalam candi anak perawan itu telah menemui seorang sakti mandraguna! Dengar sobatku, apapun yang terjadi kita harus mengejar. Harus menemukan perawan itu!"

"Setunggul Langit, kalau itu maumu, rasanya kita masih bisa mengejar. Kita punya ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi. Digabungkan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi Mengendus Raga. Meski kita tidak melihat ujud tapi kita mampu mencium baunya. Mengapa tidak dipergunakan? Lagi pula gadis itu masih belia, masih suci. Pasti enak dan harum baunya. Ha...ha...ha!"

Mendengar ucapan sobatnya si katai berjanggut panjang tanah itu, Setunggul Langit langsung baringkan tubuh, menelungkup ke tanah. Si katai Setunggul Bumi cepat melompat dan berdiri di atas punggung sobatnya. Dua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Mulut merapal mantera.

Setunggul Langit ikut komat kamit. Secara aneh hidung kedua orang ini menjadi panjang dan lobang hidung membesar. Mengendus tiada henti. Tiba-tiba Setunggul Bumi berteriak sambil menunjuk ke kanan.

"Timur! Ke arah timur!"

Saat itu juga tubuh Setunggul Langit naik ke udara, melayang berputar dua kali lalu wuttt! Melesat ke arah timur. Itulah ilmu kesaktian yang bernama Seribu Kaki Di Atas Bumi yang diterapkan bersamaan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi Mengendus Raga. Mereka mengejar dan menjajagi keberadaan Ananthawuri.

5.    SUMUR API

KITAB Weda dikepit di tangan kanan, tongkat dipegang di tangan kiri. Ananthawuri berlari ke arah timur. Dia merasa berlari biasa-biasa saja. Tetapi mengapa pohon-pohon yang dilewatinya seolah melesat terbang ke arah berlawanan. Rambutnya yang panjang melambai-lambai ditiup angin kencang, terasa dingin sampai ke tengkuk. Kakinya seolah tidak menjejak tanah. Walau berlari sudah sangat jauh tapi kaki tidak terasa capai dan dada tidak sesak.

"Apa yang terjadi dengan diriku? Mengapa aku memiliki kemampuan seperti ini? Dewa Bathara Agung, apakah Kau menolong diriku? Kakek Dhana Padmasutra, apakah ini berkat semua doamu? Dewi Loro Jonggrang, engkau pasti melindungi diriku."

Sementara berlari ucapan-ucapan itu keluar dalam hati Ananthawuri. Anak perawan dari desa Sorogedug ini tidak tahu dia mau lari ke arah mana. Tapi dia sadar sekali kalau dia tidak tengah menuju desa kediamannya. Sorogedug di selatan dan dia terus-terusan lari bukan ke arah selatan. Setiap dia ingat akan ibunya yang sedang sakit serta muncul niat untuk pulang ke desa Sorogedug, tongkat kayu milik Dhana Padmasutra menarik dirinya, seolah menjadi kemudi ke arah mana dia harus menuju yaitu ke arah timur.

"Dewa Agung," Ananthawuri mengucap ketika di depannya dia melihat langit mulai terang. "Fajar sudah menyingsing dan aku masih terus lari..."

Tongkat kayu di tangan kiri tiba-tiba bergerak ke kanan. Ananthawuri ikut bergerak ke kanan. Beberapa belas tombak di kejauhan dia melihat satu nyala terang. Hingga akhirnya gadis itu sampai di depan satu tumpukan batu bersusun rapi membentuk lingkaran mulut sumur setinggi pinggang manusia. Dari dalam lingkaran batu itulah menyebar keluar nyala terang berwarna merah.

Ananthawuri memperhatikan dengan dada berdebar mata tak berkesip. Dia melangkah lebih dekat lalu dengan hati-hati ulurkan kepala, coba melihat ke dalam. Gadis ini melihat sebuah lobang panjang dan dalam. Di dasar lobang berkobar nyala api, mengeluarkan suara menderu angker, bergejolak merah dan panas. Sesekali lidah api melesat ke udara melewati bibir sumur. Luar biasa mengerikan.

"Sumur Api..." ucap Ananthawuri. "Aneh, biasanya sumur berisi air. Yang ini mengapa berisi api?" Si gadis bersurut menjauh dua langkah. Mukanya pucat pertanda ada rasa takut.

"Ananthawuri masuklah. Ceburkan dirimu ke dalam sumur!"

Perawan desa Sorogedug ini terkesiap. Memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. "Siapa yang barusan bicara?" Ananthawuri beranikan diri bertanya.

"Ananthawuri! Lekas ceburkan dirimu ke dalam sumur! Cepat! Ada bahaya mengancam keselamatan dirimu!"

"Suara itu...." Si gadis lantas ingat pada kata-kata orang tua bernama Dhana Padmasutra. "Ikuti saja ke mana tongkat itu menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah suara Roh Agung yang memberi petunjuk padamu...."

"Roh Agung..." desis Ananthawuri.

Tiba-tiba dalam keadaan udara yang mulai terang gadis ini melihat pemandangan yang aneh. Dari arah barat melesat laksana terbang seorang berpakaian hitam. Di atas punggungnya berdiri seorang lelaki katai berjubah kuning, berjanggut putih yang panjangnya sampai ke kaki. Lelaki bertubuh pendek ini berdiri sambil dua tangan diangkat ke udara. Tiba-tiba dia menunjuk ke arah Ananthawuri berdiri.

"Aku melihat tongkat dan Kitab Weda mengambang di udara! Dekat tumpukan batu yang ada cahaya terang. Gadis itu pasti ada di sana!"

Setunggul Langit putar tangan kanannya. "Wuuttt!", Tubuhnya membelok, melesat ke arah sumur api.

"Cekal tongkat dan kitab. Gadis itu pasti bisa kita ringkus walau ujudnya tidak kelihatan!" teriak Setunggul Langit.

"Ananthawuri, jika kau ingin mencari selamat lekas masuk ke dalam sumur! Waktumu sudah habis!" Kembali terdengar suara dari makhluk yang tidak kelihatan yang menurut Dhana Padmasutra adalah suara Roh Agung. 

Ananthawuri pegang kitab dan tongkat erat-erat. Mulut berucap gemetar. "Yang Maha Kuasa. Saya serahkan diri saya padaMu."

Dengan memincingkan mata sambil keluarkan teriakan keras perawan desa Sorogedug ini melompat, menerjunkan diri masuk ke dalam sumur api. Suara gaung teriakannya bergema sepanjang kedalaman sumur, tembus ke udara terbuka lalu sirap lenyap!

"Wuutt!"
"Wuutt!"

Setunggul Langit dan Setunggul Bumi sampai di tepi tumpukan batu yang membentuk dinding sumur setinggi pinggang. Mereka berusaha mencekal ke arah tongkat. Namun keduanya hanya menggapai angin.

"Kita terlambat!" ucap lelaki yang bertubuh katai sambil pukul-pukul kening sendiri karena kesal.

"Tempat celaka apa ini?" Setunggul Langit melangkah mendekat lalu ulurkan kepala memandang ke dalam sumur.

"Wusss!"

Satu gelombang lidah api menderu keras, melesat ke atas membuat Setunggul Langit tersentak kaget, cepat-cepat melompat mundur, mengusap mukanya yang kepanasan dan menyumpah panjang pendek.

"Tidak pernah aku melihat yang seperti ini! Sumur Api! Mengapa ada kegilaan seperti ini di Bhumi Mataram!"

"Gadis tolol! Mengapa memilih bunuh diri!" Maki Setunggul Bumi "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tidak mungkin mencebur masuk mengejar anak perawan itu. Kita tidak mempunyai kemampuan melawan api!"

"Aku meragukan anak perawan itu benar-benar sudah mati!" Sahut Setunggul Langit. "Kita terpaksa menunggu di tempat ini. Masakan gadis itu tidak akan keluar-keluar dari dalam sumur."

"Setunggul Langit, jangan bodoh! Anak perawan itu pasti sudah menemui ajal! Kecemplung ke dalam sumur biasa saja dia pasti sudah tewas. Apa lagi Sumur Api seperti ini! Kita hanya membuang-buang waktu menunggu di sini. Sebaiknya kita segera menemui Arwah Muka Hijau. Terus terang saja padanya. Katakan semua apa yang kita alami."

Setunggul Langit menggeleng." Aku tetap punya keyakinan anak perawan itu tidak menemui ajal di dalam Sumur Api. Dengar, kalau kita berdua pergi, bagaimana jika anak perawan itu nanti menyelinap keluar. Kita bisa celaka lagi dihajar Arwah Muka Hijau."

"Kau benar-benar tolol!" ucap Setunggul Bumi. "Menurutku dia sudah menemui ajal di dasar sumur celaka ini. Dia seorang anak perawan desa yang tidak punya ilmu kepandaian apa-apa. Apa lagi yang namanya kesaktian!"

"Kau yang tolol sobatku!" kata Setunggul Langit setengah berteriak. "Kau bukan saja tolol tapi tidak melihat kenyataan! Anak perawan itu mampu melenyapkan ujud. Dia sanggup lari dari Prambanan sejauh sampai di sini. Kau masih mengatakan bahwa dia tidak mempunyai ilmu kesaktian?"

"Aku tetap tidak bisa percaya. Kita sudah mengawasi dia sekian lama dan kita tahu dia tidak punya ilmu kepandaian apa-apa. Bagaimana sekarang kau bisa mengatakan bahwa dia memiliki ilmu kesaktian?"

"Sudah! Kita tidak perlu berdebat! Kau tunggu di sini. Awasi Sumur Api itu. Aku akan menemui Arwah Muka Hijau. Syukur-syukur dia mau kita bawa ke tempat Ini!" Kata Setunggul langit pula.

Setunggul Bumi tidak menjawab. Dia mendudukan tubuhnya yang katai di bawah sebatang pohon jati yang kering dimakan umur. Memperhatikan sahabatnya Setunggul Langit berkelebat ke arah selatan lalu berpaling, memandang ke arah Sumur Api.

6.    ROH AGUNG

ANANTHAWURI dapatkan dirinya terduduk didasar sumur memegang Kitab Weda dan tongkat Dhana Padmasutra. Di tempat itu udara terasa sejuk padahal di sebelah atas sejarak satu penggalan dari kepalanya da kobaran api yang sekali-kali melesat keatas membentuk gelombang lidah api. Dia perhatikan seluruh tubuh, letakkan tongkat dan Kitab Weda di dasar sumur lalu mengusap wajahnya. Dia tak kurang suatu apapun, Tidak luka tidak ada cidera.

“Aneh, aku jatuh sedalam ini kedalam sumur. Ketika melewati kobaran api tubuh dan pakaianku tidak terbakar. Ketika jatuh ke dasar sumur ini tubuhku tidak cidera,” Ananthawuri menatap keatas. “Api…. Aku berada dalam Sumur Api. Wahai Dewi yang maha kuasa! Saya mohon perlindunganMu...” berucap si gadis  lalu ambil tongkat kayu dan Kitab Weda.  Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, bingung dan juga takut.

"Apa yang akan terjadi dengan diriku selanjutnya? Apakah aku akan berada di tempat ini selama-lamanya? Aku tidak takut sekali pun menemui kematian di tempat ini. Tapi bagaimana dengan Ibu...?" Memikir ibunya yang tengah sakit, air mata Ananthawuri berlinangan.

"Ananthawuri..." tiba-tiba ada suara bergema di dasar sumur. "Jangan kau bersedih, jangan menangis. Saat ini kau berada di tempat yang aman."

"Siapa yang bicara?" Ananthawuri bertanya. Dia seperti mengenal suara itu. Sama dengan suara yang tadi menyuruhnya masuk ke dalam Sumur Api.

"Aku Roh Agung. Yang ditugaskan oleh Para Dewa di Swargaloka untuk melindungi dirimu dan keturunanmu kelak..."

"Roh Agung?" ucap si gadis lalu terdiam sejenak. "Melindungi diriku dan keturunanku...?" Ananthawuri ingat kembali ucapan orang tua bernama Dhana Padmasutra. Dengan cepat gadis ini jatuhkan diri berlutut lalu berucap.

"Roh Agung, siapapun engkau adanya, saya berterima kasih. Kau telah menyelamatkan diri saya. Yang saya ingin tahu, berapa lama saya akan berada di dasar sumur ini. Saya ingin segera pulang ke Sorogedug. Ibu saya sedang sakit.."

"Ananthawuri, jangan kau terkejut Kau tidak akan pernah keluar dari Sumur Api ini seumur hidupmu kecuali dengan perkenan dan petunjuk Yang Maha Kuasa."

Ananthawuri terpekik. "Apa?"

"Dunia luar bagimu saat ini adalah malapetaka yang bisa membawa dirimu pada kematian. Itu sebabnya Dewa membawa dirimu ke tempat ini..."

"Tempat yang begini mengerikan?"

"Tempat ini tidak seperti yang kau lihat. Dibalik hal yang kau katakan mengerikan ada keindahan. Sebentar lagi kau akan menyaksikan."

"Roh Agung, bagaimanapun keindahan yang kau janjikan, saya tetap memilih pulang ke desa. Menemui dan merawat Ibu yang sedang sakit."

"Ibumu tidak kurang suatu apa. Para Dewa akan melindungi dan menjaganya."

"Juga dari Saudagar jahat bernama Narotungga itu?" tanya Ananthawuri.

"Dari siapa saja. Dari setiap marabahaya..."

"Tapi saya tetap ingin merawat dan menjaga Ibu sendiri. Saya mohon, keluarkan saya dari Sumur Api ini."

"Harap maafkan diriku. Aku tidak berdaya menolongmu. Ketentuan yang Maha Kuasa telah berlaku atas dirimu. Inilah yang dinamakan takdir kehidupan."

Tongkat di tangan kiri Ananthawuri terlepas jatuh. Tangan kanannya cepat-cepat menekankan Kitab Weda ke dada agar tidak ikut jatuh.

"Takdir kehidupan..." ucap Ananthawuri perlahan. "Apakah takdir kehidupan hanya menimpa diri seorang teraniaya seperti aku ini? Mengapa takdir buruk selalu jatuh pada manusia jelata, bukan pada mereka yang berlaku jahat? Wahai Para Dewa di Khayangan, maafkan diriku kalau aku telah berucap lancang..."

"Ananthawuri, ketahuilah. Kau telah dipilih oleh Para Dewa sebagai seorang insan yang kelak akan menjadi seorang Ibu yang akan melahirkan keturunan gagah perkasa yang akan berbakti, menjaga dan mengawal Bhumi Mataram."

"Roh Agung, saya mohon maaf padamu. Para Dewa, saya mohon ampunMu. Saya tidak akan menikah dengan siapapun...."

"Ananthawuri, jaga bicara, perhatikan ucapanmu. Siapa yang akan menjadi jodohmu sudah tertulis di sebuah Aras di Swargaloka. Ketahuilah, Para Dewa akan memberi satu berkat yang sangat luar biasa padamu. Kelak kalau kau sudah kawin dan melahirkan, maka dirimu tetap perawan selama-lamanya."

"Roh Agung, saya tidak inginkan itu. Saya mohon maaf. Saya minta ampun..."

"Ananthawuri, ambil tongkat kayu yang tergeletak di dasar sumur. Tekankan ujung tongkat ke dinding sumur sebelah kirimu. Maka itulah permulaan dari kehidupan barumu...."

"Saya tidak ingin kehidupan baru. Saya tidak mau berpisah dengan Ibu." Ucap Ananthawuri setengah berteriak setengah menangis.

Saat itu seperti ada yang memegang tangan kanannya, membimbing mengambil tongkat kayu lalu tongkat di arahkan ke dinding sumur sebelah kiri. Begitu tongkat ditekan, dinding sumur bergerak membentuk sebuah lobang berupa pintu empat persegi panjang. Di sebelah atas terdapat ukiran batu berupa burung Rajawali membentangkan sayap.

Di belakang pintu terlihat satu lorong batu dengan dinding penuh ukiran, diterangi cahaya kebiruan. Di ujung lorong Ananthawuri melihat berdiri seorang perempuan separuh baya, bermuka pucat berpakaian lusuh, tersenyum melambaikan tangan. Gadis ini terkejut. Dia mengenal sekali siapa adanya perempuan itu. Ananthawuri tidak percaya pada pandangannya. Dua mata diusap berulang kali.

"Apakah ini suatu sihir? Atau apakah aku tengah bermimpi?" Ananthawuri gigit bibirnya sendiri. Terasa sakit. "Aku tidak bermimpi." Lalu dia mengucap menyebut nama Dewa berulang kali. Perempuan di ujung lorong tidak sirna. "Ini bukan sihir..."

"Ibu!" pekik Ananthawuri memanggil.

Perempuan di ujung lorong membalas. "Ananthawuri anakku."

Kedua perempuan itu saling mendatangi dan akhirnya bertemu lalu sama berpelukan.

"Dewa Maha Besar. Terima kasih wahai Para Dewa. Terima kasih Roh Agung. Kau telah mempertemukan diriku dengan Ibundaku tercinta..."

Air mata menitik jatuh ke pipi Ananthawuri. "Ibu, katakan, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"

"Semua karena perlindungan dan pertolongan Yang Maha Kuasa, anakku. Narotungga bersama dua pengawalnya mendatangi rumah kita hendak menculikmu. Ketika dia tidak menemukanmu, Narotungga menumpahkan amarah murkanya pada Ibu. Jahat dan keji sekali..." Perempuan berusia tiga puluh lima tahun ini bercerita sambil meneteskan air mata.

***
7.    NAROTUNGGA

DESA Sorogedug. Sebuah desa kecil di sebelah selatan Prambanan. Penduduk rata-rata hidup bertani. Setiap keluarga memiliki sawah dan ladang cukup luas dan subur untuk ditanami. Sampai tengah malam banyak penduduk desa masih berada di luar rumah menyaksikan keindahan malam dihias rembulan dan bintang gemintang. Namun ketenteraman orang desa terusik oleh kedatangan ketiga penunggang kuda berdestardan berpakaian serba hitam.

Begitu melihat dan mengenali siapa adanya tiga penunggang kuda itu semua penduduk desa terutama yang memiliki anak gadis, cepat-cepat masuk ke dalam rumah, memalang pintu rapat-rapat lalu memadamkan pelita.

Tiga penunggang kuda yang membekal golok di pinggang masing-masing berhenti di sebuah rumah tua beratap rumbia yang bagian depannya diterangi sebuah pelita minyak. Ketiganya melompat turun dari kuda lalu melangkah ke depan pintu.

Salah seorang dari mereka, yaitu yang berkumis melintang bertampang garang dan rupanya bertindak sebagai pemimpin begitu berada di depan pintu langsung menendang.

"Braakkk!"

Pintu rumah jebol berantakan. Lelaki berkumis cepat menyelinap masuk kedalam rumah diikuti kedua temannya. Di dalam rumah hanya ada dua buah kamar. Kamar pertama ketika mereka dobrak dalam keadaan gelap dan kosong.

"Aku tahu betul. Ini kamarnya. Kosong, anak perawan itu tidak ada di sini." Kata lelaki yang lebih dahulu masuk ke dalam kamar pada dua temannya.

"Kita periksa kamar satunya. Dia pasti di sana menemani ibunya yang lagi sakit." Kata si kumis melintang mendahului melangkah ke bagian belakang rumah di mana terdapat sebuah kamar yang pintunya hanya tutup dengan kain panjang lusuh.

Si kumis melintang tarik kain penutup pintu hingga robek dan tanggal dari gantungannya. Di dalam kamar yang diterangi pelita kecil, di atas tempat tidur bambu beralas kasur tipis terbaring seorang perempuan separuh baya. Perempuan ini dalam keadaan sakit. Sudah dua hari menderita demam dan batuk. Wajahnya pucat.

Dia tidak dalam keadaan tidur dan dua matanya nyalang memperhatikan tiga lelaki yang berdiri di sampingnya dengan penuh rasa takut. Sambil batuk-batuk perempuan ini mencoba bangun lalu duduk di atas tempat tidur, rapatkan dada pakaiannya. Dia menatap pada lelaki berkumis yang sudah dikenalnya sebagai anak buah saudagar Narotungga kepada siapa mendiang suaminya mempunyai hutang.

"Raden Panangkaran, biasanya kau selalu datang siang hari. Ada apa datang malam-malam. Mengapa harus masuk dengan cara merusak pintu....?"

"Rupanya kau lebih sayang pada pintu rumah bobrok ini dari pada nyawamu!" Si kumis melintang bernama Panangkaran membentak.

Perempuan di atas tempat tidur makin ketakutan. Batuk-batuk beberapa kali. Setelah menarik nafas tersengal dia bertanya. "Raden, apa maksudmu..."

"Sukantili! Mana anak gadismu Ananthawuri?!"

"Kau... kau pertanyakan perihal anakku Tentu saja dia ada di kamarnya..." jawab perempuan bernama Sukantili yang sedang sakit. Ternyata dia adalah ibu Ananthawuri, anak gadis yang malam itu datang ke candi Loro Jonggrang. "Tapi... Katakan, ada apa kau mencari anak gadisku. Malam buta begini rupa. Apakah..."

"Diam! Tidak perlu banyak bertanya!" Hardik Panangkaran. "Kami sudah memeriksa. Kamar anakmu kosong! Kau sembunyikan dimana anak itu?!"

Sukantili yang duduk di atas ranjang bambu gelengkan kepala dan kembali batuk-batuk. Dadanya terasa sesak. "Saya tidak menyembunyikan. Sepanjang malam saya tidur di kamar ini dalam keadaan sakit..."

"Anakmu tidak ada di kamar ini! Dan kau tidak tahu ke mana perginya! Orang tua macam apa kau?! Katakan dia pergi ke mana? Sembunyi di mana?!"

"Raden, kalau benar kamarnya kosong, saya tidak tahu pergi kemana anak itu."

Panangkaran jambak rambut Sukantili hingga perempuan ini menggigil gemetaran. "Kau berdusta! Kau berani berdusta padaku Sukantili?!"

"Demi Yang Kuasa saya bersumpah. Saya tidak berdusta..."

Panangkaran memperkencang jambakannya hingga Sukantili mengerang kesakitan. "Perempuan desa tolol! Diberi rahmat malah minta kualat! Lebih baik kau katakan di mana anakmu. Kalau sampai kami bawa ke hadapan Gusti Narotungga, celaka nasibmu!"

"Saya tidak tahu berada di mana Ananthawuri. Kalau dia memang pergi saya juga tidak tahu pergi ke mana anak itu." Kata Sukantili terbata-bata.

"Perempuan, kau benar-benar memilih sengsara!"

Panangkaran memberi isyarat pada dua anak buahnya. Kedua orang ini segera mencekal kedua kaki dan tangan Sukantili. Salah seorang dari mereka kemudian memanggul dan membawanya keluar rumah.

Sukantili menjerit. "Saya mau dibawa ke mana? Lepaskan! Saya sedang sakit. Mohon dikasihani! Saya mau dibawa ke mana? Ananthawuri anakku! Kau di mana Nak? Tolong....!"

Sebelum meninggalkan tempat itu Panangkaran mengambil lampu minyak yang tergantung di depan rumah lalu dilempar ke atas atap. Sesaat kemudian gubuk itu telah tenggelam dalam kobaran api.

Jeritan Sukantili terdengar keras di malam sunyi itu. Banyak tetangga yang mendengar. Namun mereka tidak berani keluar rumah, apa lagi memberikan pertolongan. Mengintip dari lobang dinding kajang rumah masing-masing hanya itu yang bisa mereka lakukan. Jangankan rakyat biasa, prajurit Kerajaanpun seandainya menyaksikan kejadian itu tidak akan berbuat apa-apa. Karena mereka tahu siapa adanya Panangkaran dan untuk siapa lelaki ini bekerja.

***

GEDUNG kediaman Narotungga cukup jauh di wilayah barat laut desa Sorogedug. Gedung ini tidak beda seperti satu istana kecil. Terdiri dari satu bangunan besar dan lima bangunan kecil. Seluruh bangunan dikelilingi tembok tinggi. Rumah jaga pengawal tampak di empat sudut. Para pengawal meronda berkeliling sepanjang malam.

Sukantili dibawa ke gedung besar, di masukan ke sebuah kamar kosong, dibaringkan di lantai. Kalau dipegang tubuhnya panas sekali tapi perempuan malang ini sendiri merasa sangat kedinginan, menggigil gemetaran. Selain itu rasa takut yang amat sangat menyelubungi dirinya.

Tak lama setelah Panangkaran meninggalkan tempat itu, seorang pelayan perempuan datang memeriksa Sukantili dan memberi minuman secangkir teh hangat. Setelah itu pelayan keluar. Lalu masuklah seorang lelaki bertubuh gemuk pendek, mengenakan pakaian tidur bagus, berkumis kecil dan berjanggut tipis. Rambut hitam lurus ke atas, seperti lidi. Sepasang alis berbentuk setengah lingkaran, mata besar dan hidung tinggi bengkok. Dua telinga dicantel anting-anting bulat terbuat dari emas.

Di tangan kanannya si gemuk pendek ini memegang sebuah kipas terbuat dari bambu halus menyerupai daun keladi lebar. Sambil melangkah masuk ke dalam kamar dia mengipasi wajahnya yang pucat. Tiga dari lima jari tangan kanannya dihiasi dengan cincin batu permata besar. Lelaki berusia kurang tiga puluh tahun dan berwajah nyaris menyerupai hantu inilah Narotungga. Saudagar muda yang tergila-gila pada Ananthawuri puteri Sukantili dari suaminya Panggali.

Begitu melihat sosok Narotungga, Sukantili yang telah beberapa kali bertemu dengan saudagar ini segera jatuhkan diri. Setengah meratap dia memohon.

"Gusti Narotungga, mohon ampunmu. Mohon saya dilepas..."

Narotungga berpaling ke Panangkaran. Dengan nada dan sikap congkak dia berkata. "Aku muak mendengar ocehan perempuan ini. Suruh dia berbicara perihal anak perempuannya!"

Panangkaran cekal leher pakaian Sukantili. Perempuan ini disandarkan ke dinding lalu dibentak. "Katakan pada Gusti Narotungga dimana Ananthawuri berada. Cepat!"

"Demi Yang Maha Kuasa, saya bersumpah. Saya tidak tahu dimana anak itu. Saya tidak tahu dia pergi kemana. Saya tidak menyembunyikannya. Mohon ampun. Saya dua hari dua malam terbaring sakit di dalam kamar..."

"Sukantili, apa kau masih ingin bertemu dengan anak perempuanmu?"

"Tentu saja... Saya...”

"Kalau begitu beri tahu dimana dia berada."

"Saya sudah bersumpah. Saya tidak berdusta..." jawab Sukantili.

"Cukup!" Hardik Narotungga. "Bawa masuk kemari lelaki penyakitan itu! Biar perempuan ini tahu rasa!" Habis berkata begitu sambil berkipas-kipas saudagar muda ini keluar dari dalam kamar. 

Panangkaran memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya yang berdiri di pintu. Lelaki ini segera tinggalkan kamar. Tak lama kemudian dia kembali membawa seorang lelaki bersosok besar, yang hanya mengenakan cawat. Tubuhnya mulai dari kepala yang setengah gundul sampai ke kaki, selain kotor berdaki juga penuh dengan koreng dan kudis. Dua matanya merah, digenangi cairan nanah. Tubuh menebar bau busuk luar biasa.

"Kalian mau melakukan apa?!" Tiba-tiba Sukantili berteriak amat ketakutan.

"Tungkaduara! Kau lihat perempuan ini?!" Tanya Panangkaran pada lelaki korengan yang cuma mengenakan cawat

"Ha...hu...ha...hu!" Ternyata orang korengan ini gagu tak bisa bicara.

"Menurutmu apakah dia cantik?" tanya Panangkaran lagi.

"Ha...hu...ha...hu!"

"Kau suka padanya?" Kembali manusia korengan menjawab ha-hu-ha-hu. Kali ini sambil anggukan kepala.

"Kau boleh memperkosanya sepuas hatimu! Bahkan sampai mati sekali pun! Tidak ada yang perduli!"

Lelaki korengan busuk bernama Tungkaduara menyeringai. Barisan giginya tampak besar-besar dan kuning. Dia melangkah mendekati Sukantili sambil tangan bergerak melepas tali cawat. Sukantili kembali menjerit. Kali ini tiada henti.

"Perempuan dungu!" teriak Panangkaran. "Aku masih bisa menyelamatkanmu. Asal kau mau memberi tahu dimana keberadaan anak gadismu!"

"Demi Yang Maha Kuasa! Demi Para Dewa! Saya tidak tahu dimana anak itu. Raden, Para Dewa akan memberkahi merakhmati dirimu jika kau mau melepaskan diriku dari penganiayaan keji ini."

Panangkaran hanya menyeringai. Dia berpaling pada Tungkaduara. "Perkosa perempuan ini!"

"Ha...hu...ha...hu!"

Sukantili jatuhkan diri ke lantai. Pegangi kaki Panangkaran dan meratap. "Demi Para Dewa, saya memohon. Kasihani diri saya. Keluarkan saya dari tempat ini.Tolong..."

Seperti Narotungga mana ada rasa belas kasihan di hati Panangkaran. Dia malah tertawa bergolak mendengar ratapan perempuan itu.

"Raden, kalau kau memang tidak ingin menolong saya, saya minta, saya mohon dengan bersujud di depan kakimu, cabut golokmu! Dari pada saya diperlakukan secara keji lebih baik bunuh saya saat ini juga! Segala dosa perbuatanmu aku mintakan pengampunan pada Para Dewa di Swargaloka!"

Gelak tawa Panangkaran semakin keras. Bersama dua anak buahnya dia tinggalkan kamar itu. Pintu dipasak dari luar.


8.    MISTERI KEMATIAN TUNGKADUARA

PANANGKARAN dan dua anak buahnya duduk setengah tertidur di pendopo gedung besar kediaman Narotungga ketika saudagar itu muncul dan menendang kakinya.

Panangkaran terkejut. Begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya kepala pengawal ini serta meria melompat bangkit, membungkuk hormat lalu berteriak membangunkan dua anak buahnya.

"Fajar sudah menyingsing! Kau dan dua anak buahmu enak-enakan tidur!"

"Gusti Narotungga, mohon kami dimaafkan. Kami keletihan, semalam tidak tidur..."

"Tutup mulutmu! Pandainya kau mencari alasan! Apa tidak sadar kalau kalian sedang menjalankan tugas?!" bentak sang saudagar. "Tungkaduara masih belum keluar dari kamar! Kalau memang sudah tewas, buang mayat mereka di jurang Kalimundu!"

"Saya akan memeriksa Gusti. Saya akan membuang mayat mereka kalau memang sudah tewas." Jawab Panangkaran lalu bersama dua anak buahnya bergegas ke kamar di mana lelaki korengan disekap dan disuruh merusak kehormatan Sukantili. Pasak pintu dibuka. Daun pintu didorong. Begitu pintu kamar terpentang lebar Panangkaran bersama dua anak buahnya berseru kaget.

"Gusti Narotungga!" Panangkaran berteriak.

Sambil terus berkipas-kipas tapi kerenyitkan kening saudagar Narotungga melangkah cepat mendatangi. "Ada apa?!" tanyanya setengah membentak.

"Mohon ampun Gusti. Saya tidak berani mengatakan. Harap Gusti menyaksikan sendiri." Lalu pengawal ini menghindar dari ambang pintu kamar. Wajahnya yang garang tampak ketakutan.

Narotungga mendengus kesal mendengar ucapan Panangkaran namun dia melangkah juga ke depan pintu. Dua kakinya laksana dipaku di lantai. Dua mata membeliak. Perutnya mendadak mual dan mulutnya seperti mau menyembur muntah!

Di dalam kamar menggeletak sesosok lelaki korengan Tungkaduara dalam keadaan tanpa pakaian. Kepala pecah mulai dari kening sampai ubun-ubun! Darah menggenangi lantai kamar. Dan Sukantili tidak ada dalam ruangan itu!

Yang membuat Narotungga merasa seolah jantungnya mau tanggal ialah ketika melihat pada dinding ruangan di hadapannya tertera serangkaian tulisan dalam huruf Palawa. Tulisan ini dibuat dengan darah dan bisa dipastikan itu adalah darah Tungkaduara yang kini sudah jadi mayat!

Anak manusia bernama Narotungga
Kekayaan adalah rakhmat Para Dewa
Mengapa dipakai untuk berbuat nista
Kekuasaan adalah untuk membela orang yang lemah
Mengapa dipergunakan untuk berbuat angkara murka

Atas semua perilaku kehidupanmu selama ini
Yang hari ini kau tambah dengan perbuatan keji
Tiadalah pantas bagimu untuk berada di Bhumi Mataram

Hari ini sebelum sang surya tenggelam
Bertobatlah dan pergilah membawa diri
Tinggalkan Bhumi Mataram untuk selama-lamanya
Jangan berani kembali

Maka Para Dewa masih akan memberi rakhmat padamu
Bilamana kau tidak menyadari dan tetap bertahan diri
Maka azab Para Dewa sungguh sangat pedih

Untuk beberapa lamanya Narotungga tegak terdiam. Namun kemudian tawa bergolak menghambur dari mulutnya. Selagi tertawa kepala mendongak, mata melihat ke atas. Saat itu juga tawa lelaki ini berhenti. Di langit-langit kamar dia melihat satu lobang besar.

"Ada setan di gedung ini!" teriak Narotungga keras. "Bukan saja menculik perempuan celaka itu! Membunuh Tungkaduara! Tapi juga mengotori dinding dengan tulisan darah!"

Rahang saudagar bertubuh gemuk pendek ini menggembung. Kipas di tangan kanan dibanting ke lantai. Dia berpaling pada kepala pengawal.

"Gusti Narotungga, saya punya dugaan bukan setan yang melakukan semua ini. Mungkin ada seorang pintar berkesaktian tinggi muncul di sini. Atau mungkin juga ini semua kehendak dan perbuatan Para Dewa."

"Panangkaran! Kau banyak mulut sekarang! Kau tahu! Semua ini terjadi karena kelalaianmu dan dua anak buahmu! Kalian bertiga aku pecat! Aku tidak mau lagi melihat tampang kalian! Segera angkat kaki dari gedung kediamanku! Bawa mayat Tungkaduara. Buang di jurang Kalimundu!"

Panangkaran jatuhkan diri. Dua anak buahnya melakukan hal yang sama. "Gusti Narotunga. Mohon ampunmu..."

"Minta ampun pada setan yang membawa kabur perempuan itu, yang membunuh manusia korengan, yang menulis di tembok dengan darah!" Saudagar ini ludahi muka Panangkaran, balikkan tubuh lalu tinggalkan tempat itu.

Perlahan-lahan Panangkaran bangkit berdiri. Sepasang matanya tampak menyala seperti dikobari api. Diikuti dua anak buahnya dia meninggalkan gedung kediaman Narotungga. Sebelum keluar dari pintu gerbang dia berkata.

"Aku bersumpah akan membunuh saudagar itu! Aku akan melakukannya malam nanti!" Panangkaran berpaling pada dua orang anak buahnya. "Kalian ikut?"

"Kau pimpinan kami. Kemana kau pergi kami pergi. Apa yang kau lakukan akan kami lakukan." Jawab salah seorang anak buah Panangkaran sementara yang satunya mengangguk-angguk sambil keluarkan suara bergumam.

Panangkaran menyeringai. "Kita bunuh saudagar itu. Kita kuras harta kekayaannya. Aku tahu di mana dia menyimpan uang emas dan berbagai macam perhiasan."

***

DI DALAM sumur api Ananthawuri dan ibunya sama-sama mengusap wajah mengeringkan air mata.

"Ibu tidak menceritakan siapa yang menolong Ibu." Berkata Ananthawuri.

"Ibu sendiri tidak tahu siapa yang menyelamatkan Ibu dari perbuatan keji yang dilakukan lelaki busuk korengan itu. Ibu hanya melihat satu cahaya putih menyambar ke arah kepala orang itu. Lalu dia roboh ke lantai dengan kepala terbelah, darah mengucur. Ibu menjerit. Antara sadar dan tidak Ibu merasa ada orang yang mendukung Ibu. Tapi Ibu tidak bisa melihat sosok ataupun wajahnya. Orang ini menjebol langit-langit ruangan. Ibu melihat langit, rembulan dan bintang-bintang. Ibu sadar kalau tengah dibawa terbang. Ibu tak kuasa mengeluarkan ucapan. Tapi tidak ada rasa takut dalam diri Ibu. Sewaktu melayang dari tubuh orang yang mendukung Ibu memancar hawa hangat. Ajaib sekali. Demam dan batuk Ibu serta merta lenyap. Ibu menjerit ketika orang itu menukik ke bumi dan membawa Ibu memasuki ke sebuah lorong api. Tapi anehnya Ibu tidak merasa panas. Tubuh tidak ada yang terbakar atau cidera. Tak selang berapa lama berada di tempat ini, Ibu melihatmu..."

"Cahaya putih yang membunuh lelaki jahat itu..." kata Ananthawuri. "Saya yakin itu adalah cahaya Dewa yang memberikan pertolongan..."

"Ibu juga yakin memang begitu adanya." Kata Sukantili pula.

"Ibu, apakah Ibu tidak merasa indahnya rakhmat yang diturunkan Dewa atas kita? Ketika manusia biasa tidak memandang sebelah mata pada kita, malah berbuat jahat dan keji, Para Dewa menolong kita sehingga selamat dari bencana."

Ibu dan anak kembali saling berpelukan.

***
9.    MURKA DEWA JADI KENYATAAN

KEMATIAN Tungkaduara, lenyapnya Sukantili serta adanya tulisan darah sama sekali tidak menjadi peringatan yang mendatangkan kesadaran bagi saudagar Narotungga.

Malam harinya, setelah batas waktu peringatan dalam tulisan darah di dinding terlampaui, yaitu dia harus meninggalkan Bhumi Mataram untuk selama-lamanya sebelum matahari tenggelam, Narotungga malah mengadakan pesta. Kerabat dekat, para saudagar dan juga banyak pejabat dari Kerajaan Mataram diundang datang. 

Di ruang dalam gedung yang luas  dimana terdapat sebuah taman selain makanan lezat serta minuman keras para tamu disuguhi hiburan gamelan dengan sinden muda belia berwajah cantik serta para penari bertubuh molek. Belasan pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik berpakaian seronok melayani para tamu yang semuanya adalah lelaki. 

Sebelum pesta dimulai konon Narotungga membisikkan pada sahabat-sahabatnya terutama yang ada hubungan dagang dengan dia, jika ada yang berkenan dengan gadis-gadis pelayan itu maka dipersilakan membawanya ke bagian belakang gedung dimana tersedia delapan buah kamar.

Rupanya bukan saja Para Dewa, alampun tidak dapat menerima pesta penuh kemesuman itu. Menjelang tengah malam yaitu pada puncak kemeriahan pesta udara mendadak berubah. Langit yang tadinya terang bertaburan bintang walau tak ada lagi rembulan berubah kelam diselimuti awan hitam. 

Angin yang sebelumnya bertiup semilir sejuk kini menjadi keras disertai deru menakutkan. Pohon-pohon besar berderak-derak, cabang-cabang bergoyang, rerantingan berpatahan, dedaunan luruh ke tanah. Petir menyambar mendebar dada, guntur menggelegar menusuk pendengaran berulang kali. Anehnya hujan tidak turun-turun.

Diantara para tamu yang menghadiri pesta di gedung kediaman Narotungga ada yang mulai gelisah dan berniat minta diri. Namun sebelum ada satupun yang meninggalkan  gedung itu tiba-tiba petir kembali menyambar. Sekejapan seluruh tempat terang benderang. Lalu terdengar letupan keras di wuwungan gedung yang terbuat dari kayu sirap dan wuuusss!

Api besar berkobar di atap gedung. Suasana pesta jadi kacau. Belasan prajurit kerajaan yang membantu mengamankan jalannya pesta berusaha memadamkan api. Namun kebakaran malah semakin hebat. Tiupan angin yang luar biasa kencang membuat titik api menebar ke beberapa tempat di atas atap gedung. Sebentar saja seluruh atap gedung besar kediaman saudagar Narotungga telah tenggelam dalam kobaran api. 

Ketika beberapa bagian atap mulai berderak runtuh dan api merambat bagian bawah gedung Narotungga tidak perdulikan para tamu, serta merta dia meninggalkan halaman pesta, masuk ke dalam gedung besar, langsung menuju ke sebuah ruangan di mana terdapat sebuah lemari besi tempat dia menyimpan uang, batangan emas serta berbagai macam perhiasan yang dimasukan dalam dua buah peti masing-masing dibungkus kantong kain berwarna hitam.

Selagi Narotungga mengeluarkan dua buah kantong hitam dari dalam lemari dan siap memanggulnya tiba-tiba ada suara menegur.

"Saudagar, kami suka sekali membantumu mengangkat dua peti dalam bungkusan kain hitam itu."

Narotungga terdiam. Dia mengenali suara itu. Perlahan-lahan dia berpaling. Dugaannya tidak salah. Di hadapannya berdiri Panangkaran menyeringai sambil memelintir kumis tebal. Di kiri kanan berdiri dua orang anak buahnya dengan sikap berkacak pinggang.

"Kalian bertiga sudah aku perintahkan untuk pergi! Mengapa berani muncul kembali?!" ucap Narotungga dengan suara keras membentak.

"Kami memang sudah pergi, tapi datang kembali untuk membantu Gusti Narotungga," jawab Panangkaran. Waktu mengucapkan Gusti Narotungga Panangkaran sengaja mengejek dengan memencongkan mulut, berpaling pada dua kawannya lalu ketiganya tertawa gelak-gelak.

"Menyingkir! Jangan berani menghalangi jalanku!" Narotungga marah besar merasa dihina. Tapi diam-diam hatinya mulai kecut. Tiga orang di hadapan Narotungga semakin keras gelak tawanya. "Kalian rupanya minta aku hajar!" Narotungga mengancam.

"Narotungga," kata Panangkaran. "Aku dan teman-teman sebenarnya ingin menolong dirimu. Menurut tulisan di dinding bukankah sore tadi seharusnya kau sudah meninggalkan gedung kediamanmu ini? Sekarang masih belum terlambat. Kami bertiga akan bantu membawakan dua peti itu kemana kau mau pergi. Bukan begitu teman-teman?"

Dua orang anak buah Panangkaran mengangguk lalu tertawa gelak-gelak.

Mendengar bekas pengawal menyebut namanya tanpa sopan santun lagi Narotungga letakan dua bungkusan peti di lantai. Dari balik punggung pakaiannya dia mengeluarkan sebilah keris berluk tujuh yang langsung dihunus. Tujuh warna membersit keluar dari tubuh keris. Senjata ini bukan senjata sembarangan karena merupakan keris bertuah dan mengandung racun mematikan.

Namun Narotungga sebagai seorang saudagar sama sekali tidak memiliki ilmu silat sekalipun silat luar. Apa lagi yang namanya tenaga dalam dan kesaktian. Keselamatannya selama ini hanya mengandalkan para pegawai seperti Panangkaran.

"Kalau kalian bertiga mau mati, mendekatlah!" Narotungga acungkan keris sakti ke arah tiga orang di hadapannya.

Panangkaran keluarkan suara berdecak berulang kali lalu berkata. "Keris Mustika Pelangi. Senjata sakti luar biasa hebat! Tapi aku tahu kau mencuri dari mana senjata itu!" kata Panangkaran pula.

"Saatnya kalian menerima kematian!" Teriak Narotungga dengan mata mendelik.

"Kami bertiga memang ingin sekali mati di tanganmu. Tapi Narotungga, bagaimana kalau kau mati duluan hingga bisa jadi penunjuk jalan kami bertiga menuju pintu neraka! Ha...ha...ha!"

Setelah keluarkan ucapan dan hambur tawa bergelak Panangkaran cabut golok besar di pinggang. Dua anak buahnya lakukan hai yang sama. Sebelum tiga orang itu bergerak, Narotungga lebih dulu menerjang. Serangannya berupa tusukan sekuat tenaga diarahkan ke dada Panangkaran.

Bekas kepala pengawal itu dengan mudah mengelakkan serangan. Akibat tusukan sekuat tenaga yang hanya mengenai tempat kosong Narotungga terputar melintir. Saat itulah Panangkaran melompat ke hadapan Narotungga. Walau golok siap dibacokkan akan tetapi dia tidak melakukan. Dalam jarak sedekat itu dia tiba-tiba meludahi muka Narotungga! 

Ini merupakan pembalasan dari Panangkaran yang pagi sebelumnya telah diludahi mukanya oleh Narotungga. Penghinaan telah dibalas dengan penghinaan. Namun agaknya pembalasan Panangkaran dan dua anak buahnya tidak sampai sebatas meludah saja!

"Jahanam kurang ajar! Kau berani meludahi mukaku!" teriak Narotungga. Saudagar bertubuh gemuk pendek ini dengan kalap menusuk dan membabatkan senjata di tangannya ke arah Panangkaran. Yang diserang menangkis dengan golok.

"Traangg!"

Begitu bentrokan senjata terjadi, Panangkaran putar golok demikian rupa hingga keris di tangan Narotungga ikut berputar dan akhirnya terlepas mental. Saudagar ini melompat mundur dengan muka pucat. Panangkaran mendatangi, dua anak buahnya bergerak dari samping. Tiga golok besar terpentang siap untuk dibacokkan.

"Kalian bertiga! Dengar..." Ucap Narotungga dengan suara gemetar, wajah pucat tubuh menggigil. "Kalian boleh ambil salah satu peti itu. Biarkan aku pergi dari sini!"

Panangkaran menyeringai. "Kau tiba-tiba berubah jadi dermawan. Padahal selama ini kau adalah tukang peras!" Tangan kanan Panangkaran yang memegang golok naik ke atas. Tampangnya yang sangar tampak sangat menyeramkan.

"Kalau... kalau masih kurang kalian boleh ambil peti itu dua-duanya." Kata Narotungga yang kini ketakutan setengah mati. Tanpa sadar air kencing mengucur dibalik celananya.

Panangkaran tertawa bergelak. "Narotungga. Kau memang boleh pergi kemana kau suka. Hanya saja biar rohmu yang pergi lebih dulu."

Tangan kanan Panangkaran bergerak. Dua anak buahnya melakukan hal yang sama. Tiga bilah golok besar menderu. Narotungga menjerit keras. Dalam keadaan bersimbah darah tubuh gemuknya rebah ke lantai ruangan.

Panangkaran sarungkan senjata, ambil dua peti yang dibungkus kain hitam sementara salah seorang anak buahnya memungut sarung dan keris Mustika Pelangi yang tercampak di lantai.

***
10. ARWAH MUKA HIJAU

SOSOK berjubah hijau yang duduk di atas batu hitam, membelakangi dinding goa lumut memiliki wajah luar biasa angker. Mukanya yang berwarna hijau tidak seperti muka manusia karena rata licin. Di bagian yang seharusnya terletak sepasang mata, hidung dan mulut dan dua telinga hanya terdapat sayatan lurus dijahit melintang dengan benang kasar berwarna hitam. 

Rambut di atas kepala berdiri lurus seperti lidi, berwarna hijau. Demikian juga dua tangan dan sepasang kaki yang tersembul di bawah jubah juga berwarna hijau. Orang yang baru pertama kali melihat makhluk ini sulit menduga apakah dia manusia atau sebangsa makhluk halus jejadian.

Di tangan kanan makhluk aneh ini memegang sebatang gading gajah berukuran besar. Pada seputar badan gading terdapat ukiran membetuk tulisan yang telah berulang kali dibaca dan saat itu kembali dibaca. Walau mulut hanya merupakan garis terjahit, namun suaranya jelas terdengar seperti orang biasa membaca. Hanya saja suara itu disertai getaran gema halus yang terdengar menggidikan.

Di masa Sri Maharaja Rakai Kayu wangi Dyah Lokapala memegang tahta
Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan lahir ke dunia
Terlahir dari seorang Ibu yang pada saat melahirkan berusia tujuh belas tahun
Perempuan yang telah dipilih Para Dewa Berasal dari sebuah desa kecil di selatan Prambanan
Ibu yang akan tetap perawan sepanjang masa
Kelak dua anak akan menjadi kesatria
Mengabdi pada Kerajaan Mataram
Siapa berjodoh akan menangguk rakhmat
Siapa tidak berjodoh jangan menebar umpat dan hujat
Berita disebar ke utara, selatan, timur dan barat
Melalui empat Gading Bersurat
Untuk kemaslahatan seluruh ummat

Setelah membaca untuk kesekian kalinya tulisan di badan gading orang bermuka hijau angkat kepala, menatap keluar goa. Sambil mengusap gading dalam pangkuan dalam hati dia berkata.

"Waktu yang aku berikan sudah cukup lama. Desa Sorogedug tidak jauh dari sini. Tapi mengapa dua orang itu masih belum juga kembali. Gerangan apa yang mereka temui? Mereka bukan pergi menangkap harimau, bukan pula menghadapi pendekar atau kesatria sakti mandraguna. Hanya menculik seorang anak gadis yang aku perkirakan sesuai dengan tulisan yang tertera di gading ini. Setunggul Bumi Setunggul Langit, jika kalian lalai menjalankan perintah aku akan membenamkan kalian di dasar Kali Progo! Bahkan mungkin lebih celaka dari itu."

Baru saja suara hati diucapkan tiba-tiba ke dalam goa berkelebat masuk seorang berpakaian hitam yang langsung jatuhkan diri bersujud di hadapan makhluk bayangan di atas batu hijau.

"Kanjeng bergelar Arwah Muka Hijau, yang bernama asli Gendadaluh, aku Setunggul Langit datang menghadap dan memohon ampun..."

"Setunggul Langit, akhirnya kau muncul juga! Bukan saja kepergianmu bersama Setunggul Bumi terlalu lama! Tapi kedatanganmu agaknya membawa kabar tidak enak. Belum apa-apa kau sudah memohon minta ampun. Apa arti permohonan ampun yang barusan kau ucapkan? Mana Setunggul Bumi? Katakan apa yang terjadi!"

Makhluk berjubah hijau yang duduk di atas batu keluarkan suara yang membuat goa bergetar. Sayatan berjahit di seluruh permukaan wajahnya yang hijau tampak bergerak-gerak.

"Kanjeng Arwah Muka Hijau, mohon ampunmu. Aku dan Setunggul Bumi tidak berhasil menangkap gadis dari Sorogedug itu. Aku siap dan pasrah menghadapi hukuman..."

Hening beberapa saat. Lalu makhluk di atas batu berucap. "Katakan apa yang terjadi sebelum aku menjatuhkan hukuman!"

Setungul Langit bangkit berdiri. "Kanjeng, kami berhasil menemui rumah kediaman anak perawan yang ternyata bernama Ananthawuri. Ketika kami sampai di kediamannya di desa Sorogedug, gadis itu tidak ada di rumah. Ibunya dalam keadaan sakit. Kami tidak menanyai mengingat Kanjeng berpesan agar berhati-hati, jangan sampai ada orang lain yang mengetahui semua gerak-gerik kita. Menjelang tengah malam tadi aku dan Setunggul Bumi berhasil mengejar anak perawan itu namun sebelum dapat menangkapnya dia keburu masuk ke dalam candi Loro Jonggrang..."

Wajah rata langsung berkerut, sosok makhluk berjubah hijau bergerak naik ke atas hampir menyentuh atap goa, pertanda ada kemarahan dalam dirinya mendengar apa yang barusan diucapkan Setunggul Langit.

"Aku tahu, aku dan juga kalian punya pantangan menginjak batu candi karena batu berasal dari Gunung Merapi tempat arwah para leluhur kita disemayamkan! Tapi sungguh tolol! Buat apa datang ke sini memberi tahu hal seperti itu. Kau dan Setunggul Bumi bisa menangkapnya begitu dia keluar dari candi!" Bentak makhluk berjuluk Arwah Muka Hijau.

"Hal itu memang kami lakukan, Kanjeng Tapi anak perawan itu tidak kunjung keluar dari candi. Yang terjadi kemudian kami mendengar suara jeritannya dan suara bicara dengan Dhana Padmasutra yang sedang sekarat..."

Untuk kedua kalinya sosok berjubah hijau bergerak naik ke atas. "Kau menyebut Dhana Padmasutra, seteruku sejak lima puluh tahun silam itu? Apa aku tidak salah mendengar?"

"Tidak Kanjeng, Kanjeng tidak salah mendengar." Jawab Setunggul Langit. "Ketika kami mengejar anak perawan itu ke arah candi, di depan candi kami melihat orang tua itu duduk membaca Kitab Weda. Kami menyerangnya. Aku berhasil membunuhnya dengan ilmu Serat Arang. Namun kami ketahui sebelum tewas Dhana Padmasutra bicara dengan anak perawan itu yang secara aneh setelah keluar dari dalam candi ujudnya tidak terlihat mata..."

"Hemmm..." Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh mengusap dagu. Sepasang mata yang hanya merupakan sayatan lurus dijahit benang hitam menatap ke luar goa. "Kalau anak perawan itu lenyap ujudnya setelah keluar dari dalam candi berarti ada seseorang atau makhluk yang membekalinya dengan ilmu kesaktian. Sulit kuduga siapa yang memberi dan ilmu kesaktian apa yang diterapkan. Paling tidak ada satu benda sakti disusupkan ke dalam tubuh anak perawan dari Sorogedug itu."

Arwah Muka Hijau menatap wajah anak buahnya seketika lalu berkata. "Walau kau berhasil membunuh seteru lamaku, tapi itu tidak bakal mengurangkan hukuman yang akan aku jatuhkan padamu. Lanjutkan ceritamu, apa yang terjadi kemudian."

"Aku dan Setunggul Bumi melihat kejadian aneh. Tongkat dan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra melayang di udara, bergerak cepat ke arah timur. Kami yakin dua benda itu berada dalam pegangan anak perawan yang tengah melarikan diri. Kami mengejar. Di satu tempat kami menemui sebuah sumur api..."

"Sumur api?"

"Betul Kanjeng. Kami melihat sendiri ada api keluar dari dalam sumur," jawab Setungul Langit.

"Di daerah mana tepat letaknya?" tanya Arwah Muka Hijau. Lalu dia mengangkat gading, memperhatikan bagian potongan yang bulat rata. Pada bagian ini terdapat gambar sebuah sumur yang dari dalamnya membersit keluar sesuatu yang berkobar. "Tepat seperti gambar yang digurat di gading ini..." ucap makhluk serba hijau dalam hati lalu memandang pada anak buah yang berdiri di depannya.

Setunggul Langit memberi tahu. "Sumur api itu terletak di arah timur, antara Prambanan dan Kali Dengkeng."

"Puluhan tahun malang melintang aku tahu betul, tak ada sumur seperti itu sebelumnya di kawasan itu. Tapi petunjuk yang aku miliki mengatakan sumur api itu memang ada. Setunggul Langit, apa yang terjadi kemudian?"

"Aku dan Setunggul Bumi melihat tongkat dan Kitab Weda mengapung dekat sumur api. Berarti anak perawan dari Sorogedug itu ada di sana. Ketika kami mencoba mencekal, tongkat dan kitab melesat masuk ke dalam sumur api. Berarti anak perawan itu telah menceburkan diri ke dalam sumur api!"

"Mati?!" Tanya Arwah Muka Hijau dengan wajah berkerut

"Aku tidak yakin anak perawan itu menemui ajal. Itu sebabnya Setunggul Bumi aku perintah berjaga-jaga di dekat sumur api sementara aku datang menemui Kanjeng untuk memberi tahu."

Arwah Muka Hijau terdiam beberapa lamanya hingga akhirnya dia berkata "Setunggul Langit, tetap di tempatmu, jangan bergerak jangan bersuara. Aku akan mencari petunjuk..." 

Selesai keluarkan ucapan makhluk serba hijau itu letakkan dua tangan di atas dada Tubuhnya tidak bergerak dan suara nafasnyapun tidak terdengar. Selang beberapa lama tangan di atas dada diturunkan ke bawah.

"Anak perawan itu memang tidak menemui kematian. Dia ada di satu tempat aneh dan penuh rahasia di dasar sumur api."

"Bila Kanjeng berkenan datang melihat sendiri sumur api itu, aku akan mengantarkan ke sana." Kata Setunggul Langit pula.

Arwah Muka Hijau mengangguk lalu dia memperhatikan dada pakaian Setunggul Langit. "Aku melihat satu hal lagi. Banyak kelalaian yang kau buat dalam urusan yang sangat rahasia ini. Kau kehilangan satu kancing bajumu!"

Setunggul Langit mengusap dada pakaiannya. "Aku tahu Kanjeng. Mungkin sekali tanggal terkena tangkisan tongkat Dhana Padmasutra ketika aku menyerangnya. Aku dan Setunggul Bumi berusaha mencari tapi tidak menemukan. Mohon maafmu Kanjeng. Mudah-mudahan kancing itu sudah hancur tak berbentuk lagi."

Arwah Muka Hijau menggeleng. "Aku punya dugaan seseorang telah menemukan kancing itu," katanya. Makhluk serba hijau itu lalu sambung ucapan. "Sebelum aku menjatuhkan hukuman berat atas dirimu dan Setunggul Bumi, aku merasa layak mengambil kembali ilmu Serat Arang yang aku berikan padamu!"

Begitu selesai berucap tangan kanan Arwah Muka Hijau menyambar ke arah kening Setunggul Langit di mana menempel sebuah batu hitam berbentuk segi tiga, yakni pusat kekuatan ilmu kesaktian bernama Serat Arang.

Pada saat batu hitam tanggal dari keningnya, Setunggul Langit merasa jantungnya ikut dibetot. Lelaki bertubuh tinggi kurus jatuh terduduk di lantai goa dengan wajah pucat pasi.

Arwah Muka Hijau letakan ujung lancip gading di lantai batu. Sekali tangan kanannya menekan maka secara luar biasa gading yang panjangnya lima jengkal itu menyusup amblas masuk dan lenyap ke dalam lantai goa.

"Sekarang antarkan aku ke sumur api. Kau masih memiliki ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi."

Mendengar ucapan Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit segera berdiri lalu melangkah ke luar goa. Sampai di luar goa dia jatuhkan diri menelungkup di tanah. Arwah Muka Hijau berdiri di punggung anak buahnya. Setunggul Langit ulurkan dua tangan ke depan lalu dikembangkan ke samping. Saat itu juga tubuhnya bergerak naik ke atas lalu melesat di udara.

***
11.  RATU DHIKA GELANG GELANG

KETIKA Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit sampai di sumur api Setunggul Bumi yang seharusnya ada dan berjaga-jaga di tempat itu tidak kelihatan. Setelah lebih dahulu memeriksa dan mengelilingi sumur api Arwah Muka Hijau berpaling pada Setunggul Langit.

"Kelakuanmu dan temanmu si pendek katai itu sama saja kurang ajarnya! Menurutmu dia kau suruh mengawasi sumur api. Sekarang kau lihat sendiri dia tidak ada di sini!"

Heran ada, jengkel juga ada Setunggul Langit memandang berkeliling lalu berteriak memanggil Setunggul Bumi. Sampai tenggorokannya kering berteriak-teriak berulang kali tidak ada jawaban.

"Aku punya firasat tidak enak. Temanmu itu mungkin sudah menemui ajal! Kau sekarang tinggal sendirian!"

Setunggul Langit terkejut dan merasa tidak enak mendengar ucapan Arwah Muka Hijau. "Bagaimana Kanjeng bisa berkata begitu?" Tanya Setunggul Langit.

"Aku mencium rohnya sudah gentayangan di sekitar tempat ini" jawab Arwah Muka Hijau lalu melangkah menghampiri sumur api. Sambil merapal satu bacaan dia kembangkan telapak tangan kanannya yang hijau di atas sumur.

"Wusss!"

Dari dalam sumur serta merta melesat lidah api menghantam tangan Arwah Muka Hijau. Makhluk ini tidak bergeming. Tangannya tidak bergerak sedikitpun. Telapak tangan itu tidak cidera.

"Wusss!"

Untuk kedua kalinya dari dalam sumur menggebubu lidah api. Arwah Muka Hijau tetap tidak bergeming dari tempatnya. Akan tetapi sewaktu lidah api melesat untuk ke tiga kalinya, makhluk ini berteriak kaget, melompat mundur sambil kibas-kibaskan lengan jubah hijaunya yang terbakar, sementara telapak tangan yang hijau kelihatan mengepulkan asap!

"Ada kekuatan luar biasa hebat melindungi tempat ini. Aku tak mungkin masuk ke dalam sumur," katanya pada Setunggul Langit. Dia diam sejenak lalu berkata lagi. "Ada dua cara untuk bisa tembus ke dasar sumur api. Pertama minta bantuan Jelanang Kameswhara alias Seribu Mata Air. Kedua menyelidik dari arah lain. Aku yakin ada jalan rahasia masuk ke dasar sumur api. Aku lebih suka melakukan hal yang kedua. Setunggul Langit, kau beruntung. Hukumanmu aku tunda beberapa hari. Malam ini kita menginap di tempat ini. Kau berjaga-jaga sementara aku akan menyelidik dimana beradanya jalan rahasia itu."

"Terima kasih Kanjeng. Perintah Kanjeng akan saya ikuti. Tapi apakah kita tidak akan mencari Setunggul Bumi? Kalau memang dia sudah menemui ajal seperti kata Kanjeng paling tidak kita harus menemukan dan mengurus pembakaran jenazahnya."

Baru saja Setunggul Langit berkata begitu tiba-tiba ada suara perempuan berseru.

"Setunggul Langit! Kau lebih berperikemanusiaan dari majikanmu yang berjuluk Arwah Muka Hijau. Tapi aku pikir bangsa arwah memang mana punya rasa kemanusiaan?" Ucapan perempuan itu ditutup dengan suara tawa cekikikan.

Arwah Muka Hijau dan Setunggul langit memandang berkeliling. Mereka sama merasakan tanah agak bergetar sewaktu perempuan yang tak kelihatan mengumbar suara tertawa. Namun keduanya bukan saja tidak dapat melihat siapa perempuan yang barusan bicara dan tertawa, malah dari arah mana datangnya asal suara merekapun tidak dapat menjajagi.

Sayatan-sayatan lurus yang dijahit benang hitam kasar di wajah Arwah Muka Hijau berkedut-kedut beberapa kali. Lalu dia keluarkan suara menjawab ucapan perempuan tadi.

"Aku yakin kau bukan bangsa demit atau makhluk halus jejadian. Tapi mengapa malu memperlihatkan diri. Bicara memakai ilmu membuka mulut memindah suara."

"Arwah Muka Hijau, kau tersinggung rupanya! Aneh juga. Pada maksud baik orang lain kau tidak menunjukan rasa pengertian. Tapi pada yang menyangkut buruk dirimu kau menumpahkan kejengkelan. Lagi pula aku bicara pada Setunggul Langit, bukan padamu. Mengapa harus merasa risih dihati? Hik...hik...hik."

"Makhluk pengecut!" Memaki Arwah Muka Hijau.

"Maaf, saat ini aku tidak punya niat bicara lagi dengan dirimu." Perempuan yang bicara tanpa kelihatan kemudian menyambung ucapannya. "Setunggul Langit, kalau kau memang ingin berbakti pada sahabatmu Setunggul Bumi, ingin mengurus jenazahnya aku akan memberikan jenazahnya padamu. Cuma sayang jenazahnya tidak terlalu utuh dan mulai agak bau."

Tiba-tiba dari arah kiri melayang tubuh manusia dan blukk! Tubuh ini jatuh tepat di hadapan Setunggul Langit. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkerut. Setunggul Langit melompat mundur beberapa langkah. Mulut ternganga, mata membeliak.

"Mana kepalanya!" Setunggul Langit berteriak. Tubuh pendek katai berjubah kuning yang tergeletak di tanah itu memang tubuh Setunggul Bumi. Tapi kepalanya tidak ada! Inilah yang tadi yang diteriakan oleh Setunggul Langit dalam keterkejutannya.

"Setunggul Langit, harap maafkan. Jadi kau juga perlu kepalanya. Memang pantas dan seharusnya begitu. Kau seorang yang sangat memperhatikan keadaan teman walaupun sudah jadi mayat."

Lalu dari arah kanan menggelinding sebuah benda bulat yang bukan lain adalah kuntungan kepala Setunggul Bumi! Kepala itu agaknya sengaja diarahkan ke tempat berdirinya Arwah Muka Hijau. Makhluk bermuka rata ini cepat-cepat menghindar lalu tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak melakukan satu pukulan tangan kosong ke arah kiri, yaitu arah datangnya kepala yang menggelinding. Selarik cahaya hijau disertai deru keras menyambar.

"Braakkk... braaakk!"

Dua pohon besar patah bertumbangan. Semak belukar terbongkar berhamburan. Namun siapapun orang yang jadi sasaran Arwah Muka Hijau tidak ada di tempat itu. Malah tiba-tiba sekali sebuah benda panjang melesat di udara lalu menancap tepat di depan kaki Arwah Muka Hijau hingga makhluk ini menyumpah habis-habisan. 

Benda yang menancap di depan kaki Arwah Muka Hijau ternyata adalah sebilah golok besar berdarah milik Setunggul Bumi. Setunggul Langit tidak pedulikan kemarahan serta apa yang terjadi dengan Arwah Muka Hijau. Dia lebih memperhatikan jenazah sahabatnya

 Dengan cepat dia mendukung mayat Setunggul Bumi dan membaringkan di bawah sebatang pohon. Lalu dia mengambil kuntungan kepala sahabatnya itu. Karena bingung mau diletakan dimana akhirnya Setunggul Langit memasukan kuntungan kepala ke balik dada jubah kuning mayat Setunggul Bumi. Lalu lelaki ini balikan diri dan berteriak keras.

"Makhluk biadab! Perempuan keji! Perlihatkan dirimu! Apa salah sahabatku hingga kau membunuhnya?"

Hening beberapa lamanya. Lalu terdengar suara tertawa perlahan disusul suara benda bergemerincing. Sesaat kemudian di bawah sebatang pohon Mahoni berdaun lebat berdiri seorang perempuan berkulit hitam gemuk mengenakan pakaian kemben hitam merah. Bagian tengah bawah kemben ini depan belakang terbelah sampai ke lutut. Mukanya yang bundar gembrot dengan berhidung lebar pesek tertutup dandanan tebal mencolok. 

Wajahnya jauh dari cantik. Bedak tebal putih, pipi diberi merah-merah, alis hitam kereng dan bibir yang dower dilapis pemerah. Rambut diberi warna merah-merah, dikonde di atas kepala, dihias sekuntum bunga mawar merah yang tak pernah layu karena telah direndam dalam sejenis jelaga. Di belakang punggungnya menyembul sebuah benda putih kekuningan yang bukan merupakan sebilah pedang atau senjata. Pakaian merah dan tubuhnya menebar bau harum aneh menyengat,menusuk jalan pernafasan.

Pada kedua pergelangan lengan dan kaki perempuan ini melingkar gelang kerincing terbuat dari emas. Setiap dia membuat gerakan, walau sedikit saja gelang-gelang itu akan keluarkan suara berkerincing.

"Dhika Gelang Gelang!" ucap Arwah Muka Hijau yang mengenali perempuan itu dengan suara setengah tertahan sementara Setunggul Langit yang juga mengetahui siapa adanya perempuan itu tegak ternganga terkesiap.

Perempuan gemuk sepertinya tidak acuhkan kedua orang yang ada di hadapannya. Dia memegang sebuah cermin kecil, asyik berkaca sambil mematik alis dan rambut. Lidah sesekali dijulurkan untuk membasahi bibir merah dower. Setelah menyimpan cermin kecil di balik dadanya, perempuan ini angkat kepala, memandang senyum-senyum ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit. Tangan kanan diangkat keatas lalu tubuh diputar satu kali ke kanan, satu kali ke kiri.Empat gelang berkerincingan. Kemudian perempuan ini keluarkan ucapan bertanya.

"Bagaimana menurut kalian, apakah wajahku sudah cantik dan tubuhku langsing gemulai?" 

Karena tak ada yang menjawab perempuan gemuk ini singsingkan ke atas bagian bawah kembennya yang terbelah sebelah depan. "Aku orangnya memang berkulit hitam. Tapi kalian saksikan sendiri, pahaku putih bersih dan mulus! Hik...hik...hik!" Padahal sebagaimana keadaan kulit tubuhnya yang lain, paha perempuan ini hitam dan gempal.

Arwah Muka Hijau tidak bergerak. Rahang menggembung,sayatan pada bagian mata dan mulut bergerak-gerak. Ketika perempuan gemuk itu memutar tubuh ke kiri dan ke kanan Arwah Muka Hijau melihat benda yang menyembul di balik punggung adalah sebuah gading besar yang terselip di kemben, sama seperti yang dimilikinya. Arwah Muka Hijau tersentak kaget.

"Jadi dia adalah orang kedua yang memiliki Gading Bersurat yang seluruhnya berjumlah empat itu. Berarti kehadirannya di sumur api ini tidak bisa tidak ada sangkut pautnya dengan Gading Bersurat itu."

"Hai, aku bertanya. Mengapa tidak satupun dari kalian yang menjawab. Apa kalian terpesona melihat kecantikan dan keelokan tubuhku. Atau saat ini kalian jadi punya pikiran kotor setelah melihat pahaku yang putih mulus? Ah menyesal tadi aku memperlihatkan."

"Dhika Gelang Gelang..."

"Ssshhhh!" Perempuan gemuk gelengkan kepala dan goyang-goyangkan tangan kanan. "Arwah Muka Hijau, sudah dua kali engkau menyebut namaku secara tidak sopan. Kau tahu siapa diriku. Ratu Bhumi Mataram yang tidak pernah menginginkan tahta Kerajaan. Sangat pantas jika kau memanggil diriku dengan sebutan Ratu Dhika Gelang Gelang. Ingat, jangan lupa hal itu. Kalau kau bersikap sopan dan tahu peradatan maka aku akan melakukan hal yang sama. Kalau kau menghormati diriku, maka aku akan balas menghormat. Bukankah hidup ini begitu mudah? Mengapa manusia sering mempersulit diri sendiri?"

"Aku tidak perduli siapa pun kau adanya. Aku ingin tahu apakah kau yang membunuh Setunggul Bumi anak buah ku yang barusan kau lemparkan tubuh dan kepalanya?!"

"Arwah Muka Hijau, kau tidak menghormati Ratumu sendiri." Kata Ratu Dhika Gelang Gelang.

Muka rata Arwah Muka Hijau tampak menggembung. "Kau jawab saja pertanyaanku."

"Ahhh. Jadi itu pertanyaanmu. Baik. Aku akan menjawab. Tapi aku sudah mencatat perilakumu yang tidak hormat." Kata si gemuk yang menyatakan diri sebagai Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku tidak membunuh manusia bernama Setunggul Bumi itu. Dia sendiri yang menggorok lehernya sampai putus!"

"Kedustaan keji! Bagaimana hal itu mungkin terjadi?" Menyanggah Setunggul Langit. 

"Kau minta kami berlaku hormat. Tapi dengan berdusta kau telah dengan sengaja bersikap tidak hormat," Arwah Muka Hijau berkata. 

"Bisa saja kau berkata begitu karena tidak melihat. Mari aku ceritakan apa yang terjadi." Kata Ratu Dhika Gelang Gelang. "Ketika aku datang ke tempat ini anak buahmu langsung mengusir aku dan mengancam. Jika aku tidak mau pergi maka leherku akan digorok! Sungguh tidak sopan dan tidak pantas. Aku seorang ratu tidak minta dihormati, tapi kalau diperlakukan kurang ajar aku bisa marah. Kemana aku mau pergi, aku mau berada dimana adalah urusanku. Setunggul Bumi tidak punya hak mengusir diriku dari tempat ini. Ketika aku membalas supaya dia saja yang pergi dari sini, anak buahmu langsung menghunus golok lalu menyerangku. Aku berhasil mencekal tangannya yang memegang senjata. Aku sama sekali tidak menyentuh senjata itu. Gagang golok masih berada dalam genggamannya ketika senjata itu berbalik deras menebas lehernya sendiri hingga putus. Jelas dia yang menebas lehernya sendiri! Bukankah itu namanya bunuh diri?!"

"Perempuan licik! Kurang ajar! Kau bermain kata-kata tidak mau mengakui kalau kau yang menggorok Setunggul Bumi. Sekalipun kau tidak memegang gagang golok tapi sebenarnya kaulah yang membunuh Setunggul Bumi!" Setunggul Langit marah sekali. 

Ketika dia hendak menerjang Arwah Muka Hijau cepat menahan bahunya dan berbisik. "Kita berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Setahuku kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah yang lebih buas dari pemiliknya. Aku tidak melihat dia membawa binatang itu. Biar aku mencari tahu lebih dulu ada keperluan apa perempuan ini berada di sini. Setelah itu, jika aku memberi isyarat kau serang dia dengan Ilmu Bubu Ikan Berbisa. Tubuhnya gemuk. Gerakannya pasti lamban. Sekali masuk dia akan celaka, tak bisa keluar lagi."

***

SIAPAKAH Dhika Gelang Gelang yang menyebut dirinya sebagai Ratu? 

Konon ketika Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu mengakhiri masa pemerintahannya sebagai Raja Mataram, anak tertuanya adalah seorang perempuan yaitu Dhika Gelang Gelang. Namun karena Dhika adalah anak yang dilahirkan dari seorang istri ketiga maka banyak pihak yang menolak Dhika Gelang Gelang sebagai pewaris tahta. 

Dhika Gelang Gelang sendiri sebenarnya tidak menginginkan menjadi Raja atau Ratu di Bhumi Mataram. Maka secara diam-diam dia meninggalkan Istana menyepi diri di satu tempat yang tidak diketahui orang.

Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, putera tertua dari istri kedua Rakai Pikatan Dyah Saladu kemudian dinobatkan sebagai Sri Maharaja Mataram yang baru.

Beberapa tahun kemudian Dhika Gelang Gelang muncul kembali. Walau dia menyebut diri sebagai Ratu dan penampilannya menjadi aneh namun dia tidak mengusik tahta dan malah menjaga ketenteraman Istana dan Kerajaan. Dia jarang berada di kalangan Istana, lebih banyak menyatu dengan rakyat jelata. 

Satu hal yang diketahui orang, setelah menghilang sekian lama perempuan yang kini bertubuh gemuk dan berwajah tidak cantik itu telah menjadi seorang sakti mandraguna. Kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah. 

Ketika Kerajaan terlibat peperangan dengan orang-orang di wilayah selatan, Dhika Gelang Gelang sangat banyak memberikan bantuan sehingga pertumpahan darah yang lebih besar dapat dihindarkan dan antara utara dengan selatan dicapai perdamaian. Setelah peristiwa besar itu Dhika Gelang Gelang kembali melenyapkan diri. Hanya sesekali muncul di Kotaraja, itupun tidak mendatangi Istana. 

Pada setiap kali kemunculan pasti ada satu peristiwa besar yang ditanganinya. Mengetahui ketinggian ilmu kesaktian perempuan inilah maka Arwah Muka Hijau tidak mau berlaku ceroboh. Dia cepat menghalangi Setunggul Langit yang hendak menyerang sambil mengatur siasat.

***
12.  BUBU IKAN BERBISA

"RATU Dhika Gelang Gelang, soal kematian anak buah ku biar aku lupakan dulu," berkata Arwah Muka Hijau. "Aku ingin bertanya, maksud apa yang ada dalam dirimu hingga muncul di tempat ini. Adakah sumur api itu yang menarik perhatianmu?"

"Kau sekarang memanggilku Ratu. Betapa hormatnya! Bicaramu kini sopan penuh peradatan. Betapa indahnya! Kau bicara berterus terang. Sungguh menyenangkan. Arwah Muka Hijau, mengapa kau mendadak berubah. Apa yang ada dibenakmu? Apa yang tersembunyi di hatimu?" Balik bertanya perempuan gemuk berkemben merah sambil naikan sepasang alis mata, membuat Arwah Muka Hijau jadi jengkel penasaran.

"Ratu Dhika, kau menjawab pertanyaan dengan balik bertanya. Itukah yang kau sebut sopan santun? Kalau kau tak mau menjawab, biar aku menduga. Kau membekal sebatang gading. Aku tahu riwayat yang tertulis di gading itu. Kau ke sini untuk menyelidik tentang seorang gadis yang kelak akan melahirkan dua anak lelaki. Kau tak perlu menjawab tapi juga tidak perlu berdusta."

Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa panjang mendengar kata-kata Arwah Muka Hijau. "Betapa tololnya dirimu. Ketololan pertama! Sudah gaharu cendana pula. Sudah tahu bertanya pula. Ketololan kedua. Kalau memang ada seorang gadis akan melahirkan di dalam sumur api itu, berarti masih sembilan bulan lebih waktu penantian. Mengapa dari sekarang repot-repot mau berbuat keributan?"

"Kami tidak merasa membuat kerepotan. Justru dari pihakmu yang memulai berbuat keributan. Kau membunuh anak buahku Setunggul Bumi!"

"Arwah Muka Hijau, rasanya kurang sedap berbicara denganmu. Kau selalu mengulang-ulang soal kematian anak buahmu itu. Pada hal aku sudah menceritakan apa yang terjadi. Bukankah lebih baik bagimu meninggalkan tempat ini. Mengurus pembakaran jenazah Setunggul Bumi?"

"Kau tak layak mengatur diriku. Anak buahku datang lebih dulu ke tempat ini. Adalah dia pantas mengusir orang semacammu!" Menukas Arwah Muka Hijau lalu kedipkan mata sambil meraba dagu, memberi isyarat pada Setunggul Langit. Serangan Bubu Ikan Berbisa serta merta dilaksanakan!

Begitu melihat isyarat, Setunggul Langit keluarkan bentakan keras. Dua tangan diluruskan ke depan. Dari sepuluh ujung jari tangan mencuat dua puluh empat sinar hitam. Ujung yang ada di arah tangan menyatu seperti diikat sementara ujung yang lain membuka lebar lalu menekuk runcing ke dalam. Secara luar biasa dua puluh empat larikan sinar yang menyerupai bubu atau perangkap ikan secepat kilat menelan tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang tanpa perempuan ini sempat berkelit selamatkan diri. Empat gelang di tangan dan kaki berkerincingan.

Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelak-gelak. "Ratu jelek! Ternyata kau tidak punya ilmu kepandaian apa-apa!" teriak Arwah Muka Hijau mengejek. "Aku mau lihat! Kalau kau mampu keluar dari perangkap, kami berdua sampai anak cucu kami akan bersujud menghambakan diri padamu selama tujuh turunan Raja yang berkuasa di Mataram."

Di dalam perangkap Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa kerahkan ilmu meringankan tubuh dan melayang seperti ikan besar yang masuk ke dalam bubu raksasa. Dia tahu tidak mungkin berbalik meloloskan diri melalui bagian depan bubu yang memiliki dua puluh empat ujung runcing menghadang. Melalui celah di kiri kanan atau sebelah atas dan sebelah bawah perangkap dia mungkin bisa menyelinap keluar namun kalau sampai tubuhnya tergores maka racun jahat akan masuk ke dalam aliran darah dan dia akan menemui ajal sebelum matahari tenggelam!

"Kalau aku jebol dengan pukulan sakti, perangkap celaka ini mungkin bisa ambruk. Namun serpihan-serpihannya bisa berbahaya kalau sampai ada yang menancap di tubuhku. Berapa lama aku bisa bertahan mengambangkan diri seperti ini...?"

Sadar dirinya dalam keadaan bahaya besar Ratu Dhika Gelang Gelang masih mampu berlaku tenang. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dia memutar tubuh yang mengambang hingga menghadap ke bagian depan bubu. Dengan tangan kirinya perempuan gemuk ini mengusap-usap perut sementara mulut berkomat kamit dan sepasang mata menatap ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit yang tegak di bagian depan mulut bubu.

"Perutku... Mengapa perutku. Ada sesuatu bergerak didalam perutku..." Ratu Dhika Gelang Gelang berucap sambil terus usap-usap perutnya.

Arwah Muka Hijau perhatikan gerak-gerik Ratu Dhika Gelang Gelang. Dalam hati bertanya-tanya apa yang dilakukan perempuan itu. Tiba-tiba kedua orang di luar bubu melihat keanehan terjadi dengan Ratu Dhika Gelang Gelang. Perutnya perlahan-lahan berubah membesar.

"Arwah Muka Hijau, tidakkah kau melihat perubahan yang terjadi dengan diriku...?" Ratu Dhika Gelang Gelang bertanya.

Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri Arwah Muka Hijau menjawab. "Ilmu setan apa yang hendak kau keluarkan?! Jangan harap kau bisa lolos dari dalam Bubu Ikan Berbisa!"

"Perutku membesar. Ada makhluk bergerak di dalamnya. Hyang Jagat Batara Dewa! Aku hamil! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?!"

Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelak-gelak. "Akal busukmu tidak bakal menipu kami!" teriak Setunggul Langit. 

Ratu Dhika Gelang Gelang tidak perdulikan ucapan orang. Kepala didongakkan ke atas, menatap ke langit. Dua tangan disusun di atas kepala. "Sang Hyang Jagat Batara. Para Dewa di Swargaloka. Dalam keadaaan sengsara seperti ini apakah Kau melimpahkan rakhmat pada diriku? Apakah kau telah memilih diriku mewakili anak perawan dari desa kecil di selatan Prambanan? Aku hamil besar wahai Para Dewa. Apakah aku akan melahirkan dua bayi yang kelak akan menjadi dua kesatria seperti yang tertulis pada Gading Bersurat? Wahai Para Dewa, besar nian rakhmat-mu...."

Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit saling berpandangan. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkedut-kedut sementara tampang Setunggul Langit berubah, ada rasa tidak percaya dibayangi rasa takut.

"Arwah Muka Hijau, aku tidak menipu. Perutku membesar. Aku benar-benar hamil. Lihatlah! Saksikan! Mendekatlah."

"Breett!"

Kemben merah yang dikenakan Ratu Dhika Gelang Gelang tidak sanggup lagi menahan perut yang membesar. Dalam keadaan robek ke dua orang di depan bubu melihat bagaimana perut perempuan gemuk yang kini tersingkap itu memang benar-benar membesar seperti perempuan hamil.

"Arwah Muka Hijau, mendekatlah. Biar kau bisa melihat jelas. Ini bukan sihir, bukan tipu daya. Semua adalah rakhmat Para Dewa atas diriku. Mungkin sudah ditakdirkan bahwa kelak bayi yang akan aku lahirkan akan menjadi milikmu. Bukankah itu niat maksud dirimu datang ke SUMUR API ini? Ah, Gading Bersurat. Ternyata bukan cerita bohong ataupun tipu daya. Gading Bersurat, ternyata kau nyata. Terima kasih Para Dewa, aku telah dipilih menjadi wakil untuk kebaikan di Bhumi Mataram ini. Ah... sebentar lagi. Sebentar lagi bayi ini pasti akan lahir. Satu bayi... dua bayi, atau tiga bayi..."

Arwah Muka Hijau menatap dengan muka sayatan berjahit benang kasar ke dalam kubu raksasa lalu berpaling pada Setunggul Langit. "Apakah yang kau lihat tidak berbeda dengan yang aku saksikan? Apakah orang tidak tengah menipu kita?"

"Kanjeng, kita melihat hal yang sama. Keajaiban telah terjadi. Tidak mungkin kalau ini bukan karena keajaibanNya Para Dewa. Kita harus melenyapkan Bubu Berbisa. Kalau bayi itu sampai lahir di dalam bubu bisa celaka. Kalau dari semula maksud kita memang untuk mendapatkan bayi itu, kita harus menyelamatkannya. Kanjeng...."

"Tunggu dulu. Jangan cepat percaya. Perempuan ini tinggi ilmunya. Dia punya seribu akal. Biar aku perhatikan dulu lebih jelas."

Arwah Muka Hijau mendekat ke mulut bubu raksasa. Pada saat dia hanya berdiri satu langkah di depan mulut bubu, Ratu Dhika Gelang Gelang buka mulutnya lebar-lebar. Perut yang besar menciut mengeluarkan suara mendesis panjang dan mengempis! Mulut yang terbuka menyedot. Satu gelombang angin besar dan dasyat menarik tubuh Arwah Muka Hijau.

"Ilmu Selaksa Angin Menghisap Roh!" teriak Arwah Muka Hijau. Dia berusaha menggeliat, memutar tubuh untuk berbalik. 

Setunggul Langit berusaha untuk menolong. Namun terlambat. Tubuh Arwah Muka Hijau telah lebih dahulu terhisap masuk ke dalam bubu raksasa, dua kaki lebih dulu!

Ratu Dhika Gelang Gelang membentak keras. Dua tangannya dengan cepat mencekal pergelangan kaki Arwah Muka Hijau. Sekali dia mengerahkan tenaga dalam maka tubuh Arwah Muka Hijau yang barusan masuk ke dalam bubu raksasa ini melesat kembali keluar. Masih memegangi kaki orang, Ratu Dhika Gelang Gelang ikut menyelinap dari belakang tanpa tubuhnya menyentuh bubu berbisa.

Arwah Muka Hijau menjerit keras sewaktu kepalanya menghantam dua puluh empat ujung runcing berbisa di mulut bubu! Bubu raksasa hancur berantakan. Makhluk bermuka rata itu terhempas jatuh di tanah. Di kepala, muka dan sebagian tubuhnya terdapat dua puluh empat luka mengerikan. Darah yang mengucur bukannya merah tapi hijau pekat.

Melihat apa yang terjadi Setunggul Langit segera lepaskan satu pukulan sakti ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun perempuan ini sambil mengumbar tawa cekikikan telah berkelebat lenyap. Hanya gaung suara dan kerincingan empat gelangnya yang terdengar.

"Arwah Muka Hijau! Kalau nyawamu masih panjang kita pasti berjumpa lagi!"

"Perempuan terkutuk! Aku pasti mencarimu!" teriak Arwah Muka Hijau. 

Setunggul Langit segera mengejar namun urungkan niat ketika dia mendengar Arwah Muka Hijau berteriak.

"Jangan dikejar! Lekas bawa aku ke Candi Miring! Aku menyimpan obat penangkal luka berbisa di sana! Cepat! Sebelum malam datang aku harus sudah ada di sana. Kalau terlambat nyawaku tidak tertolong! Cepat! Kalau aku selamat semua kesalahanmu akan aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan aku kembalikan padamu!"

"Kanjeng! Aku mendengar semua ucapanmu. Apa yang kau perintahkan akan aku laksanakan!" Jawab Setunggul Langit. Lalu dengan cepat dia panggul tubuh Arwah Muka Hijau. Mayat Setunggul Bumi dilupakan begitu saja.

***
13.  HAMIL GAIB ANANTHAWURI

PAGI hari di sebuah taman tak jauh dari dasar sumur api. Ananthawuri tengah mencium keharuman setangkai mawar kuning ketika Sukantili, ibunya muncul di undakan tangga batu merah paling atas.

"Anakku, sudah lama kau menunggu di taman ini?" menyapa Sukantili.

Ananthawuri segera menghampiri ibunya, mencium tangan perempuan itu penuh khidmat lalu mencium pipinya kiri dan kanan.

"Saya belum lama berada di sini. Tapi kali ini entah mengapa saya merasa sangat tidak sabar menunggu kedatangan Ibu." 

Anak perawan dari desa Sorogedug yang bersama ibunya kini tinggal di satu tempat rahasia tak jauh dari dasar sumur api tatap wajah sang ibunda sejenak lalu bertanya.

"Saya melihat wajah Ibu seperti tidak berseri. Apakah Ibu sakit atau ada sesuatu yang menjadi pikiran?"

"Ibu baik-baik dan sehat. Namun terus terang memang ada sesuatu yang menjadi pikiran di benak Ibu, sesuatu yang menjadi ganjalan di hati Ibu."

"Wahai Ibuku sayang, katakanlah. Gerangan apa yang jadi pikiran dan ganjalan itu?"

"Anakku Ananthawuri, selama kita tinggal di tempat ini kita berada dalam kecukupan. Berkat kasih sayang dan kebesaran Para Dewa segala sesuatunya tersedia. Tempat kediaman, makanan dan lebih dari itu diberkahi kesehatan yang baik. Bahkan ada pula seorang pelayan. Namun setiap malam, sebelum Ibu pulas tertidur, selalu ada pikiran dan pertanyaan yang datang. Berapa lama kita akan berada di tempat ini? Ibu orang biasa. Betapapun bagusnya tempat kediaman ini tetap saja bukan milik kita. Ibu merasa bagaimanapun buruknya gubuk kita namun hidup di desa Sorogedug ternyata jauh lebih nyaman menyenangkan. Tetangga orang sedesa selalu bersikap baik dan ramah. Teman-teman mendiang ayahmu kerap datang menyambangi."

"Ibu, menurut cerita Ibu bukankah rumah kita di Sorogedug telah dibakar oleh kaki tangan saudagar Narotungga?"

"Betul, tapi Ibu bisa bangun gubuk baru. Penduduk desa pasti mau membantu bergotong-royong. Kita tidak bisa meninggalkan begitu saja apa yang diwariskan oleh Ayahmu.  Bagaimanapun buruk dan tidak bernilainya warisan itu." Jawab Sukantili.

"Ibu, saya pernah bercerita bahwa petunjuk Para Dewa telah memberitahu, saya tidak akan dapat keluar dari tempat ini untuk selama-lamanya kecuali atas perkenan Mereka. Selain itu saya juga menerima petunjuk bahwa kelak saya akan kawin dan memiliki anak yang akan menjadi seorang kesatria dan berbakti pada Kerajaan Mataram. Kalau Ibu berniat pergi, siapakah yang akan menjadi teman saya ditempat ini. Ibu, sebenarnya saya juga pernah berpikir seperti Ibu. Ingin pergi dari sini. Namun pada akhirnya saya merasa pasrah. Saya menyadari seperti apa yang dikatakan Roh Agung. Ini adalah takdir kehidupan diri saya. Apakah manusia seperti kita, seperti saya ini bisa berkehendak melawan takdir Yang Maha Kuasa? Saya percaya Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui serta Maha Pengasih telah mengatur sesuatu yang terbaik untuk diri saya." Ananthawuri pegang lengan ibunya. "Ibu, percayalah Para Dewa selama ini telah melindungi kita berdua."

Sukantili anggukan kepala, terdiam beberapa ketika lalu menarik nafas panjang. "Ananthawuri, tadi kau berkata merasa tidak sabar menunggu kedatangan Ibu..."

"Betul Ibu, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan pada Ibu."

"Hemmm... lbu akan senang sekali mendengarkan. Cerita tentang apa anakku?"

"Tadi malam saya bermimpi."

"Mimpi bunga hiasan tidur" Kata Sukantili pula sambil tersenyum dan membelai rambut anak gadisnya.

"Tapi mimpi saya ini aneh, Bu. Dalam mimpi saya tengah berbaring tidur. Lalu saya mencium bau busuk luar biasa. Membuat kepala pusing dan perut mual mau muntah. Tak lama kemudian bau busuk itu hilang. Berganti dengan bau wangi harum semerbak yang tidak pernah saya cium sebelumnya. Kemudian dari langit saya melihat cahaya putih. Turun ke tempat saya berbaring. Di balik cahaya putih itu saya melihat samar wajah dan sosok pemuda. Saya bertanya siapa gerangan dia adanya. Tak ada jawaban. Kemudian cahaya putih melayang mendekati diri saya, menutupi sekujur tubuh saya. Saat itu saya merasa ada orang memeluk saya. Ibu, saya merasa satu kehangatan dan kemesraan luar biasa yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ada perasaan bergairah pada bagian-bagian tertentu tubuh saya. Saya tertidur lelap dalam pelukan orang itu. Ketika saya bangun dalam mimpi cahaya putih telah lenyap. Dekapan mesra hanya menyisakan kehangatan. Lalu saya terbangun dari tidur. Saya merenung. Sampai menjelang pagi saya tidak bisa menduga apa arti mimpi itu. Mungkin Ibu tahu kira-kira makna mimpi saya?"

Setelah berdiam diri berpikir-pikir beberapa lamanya akhirnya Sukantili gelengkan kepala. "Sulit Ibu menduga. Sebaiknya kau berdoa memohon petunjuk serta tetap meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa."

Keesokan malamnya, mimpi yang sama kembali dialami Ananthawuri. Hal itu terjadi sampai tujuh malam berturut-turut. Setiap kali bermimpi paginya gadis ini langsung menemui sang ibu dan menceritakan mimpinya.

"Ibu," kata Ananthawuri pada hari ke tujuh. "Berulang kali mimpi itu datang, berulang kali saya dipeluk mesra penuh kasih sayang, dan berulang kali saya melihat wajah pemuda walaupun tidak jelas, lama kelamaan ada rasa suka serta sayang saya terhadap pemuda itu. Ibu, apakah saya telah jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata?"

Sukantili tertawa. "Anakku, kau masih muda belia. Belum tahu apa-apa tentang cinta. Biar Ibu beritahukan. Cinta itu adalah sesuatu yang nyata. Jika kita mencintai seseorang maka orang itu adalah juga sesuatu yang nyata."

Ananthawuri terdiam sesaat. Lalu kembali bertanya. "Ibu, menurutmu apakah pemuda di dalam mimpi itu bisa menjadi kenyataan?"

"Apa maksudmu anakku?" tanya Sukantili.

"Maksud saya, apakah saya bisa bertemu dengan pemuda itu?"

Sukantili memeluk anak gadisnya. "Ibu tidak tahu anakku. Kalau Yang Maha Kuasa berkehendak, kalau Para Dewa melimpahkan rakhmat segala sesuatunya bisa terjadi..."

Hari ke delapan dan seterusnya mimpi itu tidak pernah datang lagi. Ananthawuri merasa sedih. Dia ingin pemuda dalam cahaya putih itu datang kembali mengunjungi dirinya walaupun dalam mimpi. Memeluknya penuh mesra dan kasih sayang. Namun sampai hari ke dua puluh mimpi yang ditunggu tak kunjung datang. Di atas pembaringan Ananthawuri berucap.

"Pemuda dalam cahaya. Jika kau memang kekasih yang telah dipilihkan Para Dewa untukku, datanglah. Aku rindu pelukan hangatmu. Aku rindu belaian mesramu. Aku tahu kau mengasihi diriku. Dan aku tahu betapa aku mencintaimu walau kau datang tidak berupa dan tidak pula bernama."

Namun sampai pagi tiba kekasih sang mimpi tak kunjung datang. Kekasih gaib yang diharapkan tidak muncul. Hari ke dua puluh tujuh ketika anak perawan dari Desa Sorogedug ini menemui ibunya sang ibu berkata.

"Ananthawuri, apakah hari ini kau sehat-sehat saja anakku?" 

"Saya sehat-sehat, Ibu."

"Ibu melihat wajahmu agak pucat."

"Mungkin saya kurang tidur. Tapi terus terang ada sesuatu yang hendak saya sampaikan, Ibu."

"Kau bermimpi lagi anakku?"

Ananthawuri menggeleng. "Ibu mohon maafmu. Saya ingin mengatakan sesuatu yang sangat pribadi. Saya merasa mual sejak beberapa hari ini dan sulit makan. Saya... saya terlambat haid. Seharusnya enam hari lalu..."

"Anakku, hal itu bisa saja terjadi karena kau terlalu banyak pikiran." Kata Sukantili pula walau sang Ibu ada rasa gelisah membayangi perasaannya.

"Saya berharap begitu Ibu. Tapi saya merasa ada kelainan pada tubuh saya."

"Kelainan bagaimana anakku?"

"Dada saya Bu. Tadi pagi saya memperhatikan lalu meraba. Dada saya membesar dan lebih kencang dari biasanya. Pinggul saya terasa melebar. Ibu jangan-jangan saya..."

Sukantili memeluk anaknya. "Jangan ucapkan itu anakku. Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu Tunggu dalam dua tiga hari ini..."

Seminggu berlalu Ananthawuri belum juga mendapatkan haid. Beberapa minggu kemudian anak perawan ini melihat perutnya membesar. Ketika hal itu diceritakan pada Sukantili sang ibu tidak bisa menduga lain. Anak gadisnya benar-benar telah mengandung.

"Anakku," kata sang ibu sambil memeluk Ananthawuri erat-erat. "Kalau ini bukan kehendak dan kuasa Yang Maha Kuasa, bagaimana mungkin bisa terjadi? Kau belum menikah. Kau belum punya suami..."

"Ibu, pemuda dalam cahaya putih yang datang tujuh malam berturut-turut dalam mimpi saya itu. Apakah mungkin dia yang menebar benih kehidupan ke dalam diri saya. Ibu tahu, saya tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun."

Sukantili tidak menjawab melainkan kembali memeluk anak gadisnya sementara air mata perempuan ini tampak berlinang-linang.

Pada saat itulah tiba-tiba berhembus tiupan angin disertai desiran seolah ada seseorang berjubah panjang melewati Sukantili dan Ananthawuri. Lalu terdengar suara bergema.

Dua insan yang tengah bersatu hati
Di dunia ini tidak ada yang abadi
Namun kehendak Yang Maha Kuasa adalah pasti
Ananthawuri, takdir Yang Maha Kuasa telah terjadi
Kau hamil tapi dirimu tetap suci
Setelah sembilan bulan sepuluh hari
Kau akan melahirkan
Namun kau akan tetap sebagai seorang perawan
Karena keturunanmu sudah ditetapkan
Menjadi Kesatria Bhumi Mataram

Ananthawuri lepaskan pelukan dari tubuh ibunya. Dia memandang berkeliling. Dia mengenali suara itu. "Roh Agung? Kakek Dhana Padmasutra?"

Angin kembali berhembus. Suara berdesir terdengar lagi lalu sunyi.

***
14.  KUCING BETINA BERBULU MERAH

MALAM Jum'at Kliwon. Empat bulan setengah Ananthawuri kedatangan suara Roh Agung, memberi tahu tentang kehamilannya. Malam itu kegelapan pekat sekali. Langit hitam dan sesekali ada tiupan angin yang membawa percikan hujan rintik-rintik dari arah timur. Sumur api seperti tidur karena sejak sekian lama lidah api tidak menyembul keluar.

Dalam kegelapan, dari arah barat sumur api berjalan seseorang lelaki kurus tinggi bermuka keriputan berkulit hitamlegam. Di keningnya ada satu benjolan bulat berwarna merah. Di atas kepala dia menjunjung sebuah ketiding bambu tertutup rapat. Sampai di depan sumur ia tegak diam beberapa lama.

"Mungkin bukan cerita dusta. Menempuh perjalanan tiga puluh hari akhirnya kutemui juga sumur api. Benar adanya seperti apa yang tertulis di Gading Bersurat. Tapi keadaan sekitar sini gelap sekali. Nafasku mencium ada bekas bangkai manusia di sekitar sini! Apakah sumur api ini sudah mencari korban sebelum kedatanganku?"

Orang tinggi hitam ulurkan tangan menjangkau ranting besar sebuah pohon. Ranting dipatahkan lalu di ujungnya diletakan di atas sumur api. Sebentar saja ujung ranting telah terbakar. Dengan menggunakan ranting menyala sebagai obor, orang ini menyelidik berkeliling sampai akhirnya dia berhenti melangkah dan keluarkan saruan tertahan.

Di bawah sebatang pohon dia menemukan sesosok tubuh penuh belatungan nyaris tinggal tulang belulang, tertutup jubah kuning yang sudah hancur.

"Bangkai manusia tanpa kepala!" Orang tinggi hitam berucap sambil meludah berulang kali. Dia memperhatikan bagian dada jubah kuning. Ada sesuatu di balik pakaian yang membuat jubah menggembung menonjol. 

Orang ini pergunakan ujung kaki untuk mengeluarkan benda itu dari balik jubah. Begitu benda keluar dan menggelinding ke tanah, dia menyumpah-nyumpah. Ternyata buntungan kepala manusia yang tinggal tengkorak. Dari bagian mata, telinga, mulut dan hidung bersembulan belatung. Setelah merasa agak tenang dari rasa kagetnya orang ini dekatkan ujung ranting di atas buntungan kepala.

“Hah! Kepala tinggal tengkorak. Tak mungkin aku kenali! Yang jelas ada korban pembunuhan di tempat ini. Lehernya ditebas! Mungkin dengan golok atau pedang! Sudah ada korban yang berhubungan dengan rahasia dibalik sumur api!"

Orang tinggi hitam bermuka keriput melangkah mundur. Ranting menyala diangkat tinggi-tinggi, diputar berkeliling.

"Tidak ada mayat lain. Berarti yang tadi baru satu-satunya korban. Tapi mana aku tahu kalau sudah ada yang jadi korban sebelumnya. Dibuang masuk ke dalam sumur api..." 

Dari balik pakaian hitamnya orang yang keningnya ada benjolan merah keluarkan satu benda yang ternyata adalah sebuah gading besar. Salah satu bagian gading diterangi dengan nyala api di ujung ranting. Pada bagian yang terang itu terbaca tulisan berbunyi: 

Jika ingin tahu lama kehamilan dari perawan desa yang telah dipilih Para Dewa menjadi Ibu dari bayi yang kelak akan menjadi Kesatria Mataram, letakkan gading di atas sumur api. Ukur bagian gading yang menjadi hitam. Maka akan diketahui lama kehamilan.

Dengan hati-hati orang berpakaian hitam yang sampai saat itu masih menjunjung ketiding bambu di atas kepala letakan gading bulat panjang di atas sumur api. Seperti yang tadi dibacanya segera saja gading itu menjadi hitam mulai dari ujung sampai ke bagian tengah. Gading diangkat dari atas sumur api. Orang ini lalu memperhatikan dan menjengkal-jengkal dengan jari tangan. Setelah menghitung-hitung,mulutnya berucap.

"Kurang dari setengah. Berarti usia kehamilan perempuan itu baru sekitar empat bulan. Apakah aku harus menunggu di tempat ini selama lima bulan lebih?"

Orang berpakaian hitam tepuk-tepuk ketiding di atas kepala.

"Sahabat-sahabatku, apa kalian mau menunggu sampai sekian lama di tengah rimba belantara ini?" 

Dari dalam ketiding bambu terdengar suara mendesis riuh dan panjang. Simuka keriput dengan benjolan di kening menyeringai. Ranting menyala dicampakkan. Lalu dua tangan menurunkan ketiding dari atas kepala, diletakan di atas tanah. Seperti tadi ketiding ditepuk-tepuk.

"Sahabat-sahabat. Akupun tidak mau menunggu berlama-lama sampai lumutan di tempat ini. Apa yang bisa kita kerjakan malam ini harus kita laksanakan. Aku butuh pertolongan kalian. Cari perempuan itu di dasar sumur api. Paksa dia melarikan diri ke arah jalan rahasia. Aku akan menunggu di mulut jalan. Tapi awas, kalian jangan sekali-kali menyakiti dirinya. Jangan sampai tubuhnya tersentuh bisa dimulut kalian! Para sahabat, bersiaplah. Aku akan membuka penutup ketiding. Lalu aku akan memasukan kalian di dalam sumur api. Jangan takut. Api tidak akan menciderai apa lagi membunuh kalian. Mantera Selicin Lumut Sedingin Air yang sudah aku terapkan akan melindungi kalian."

Begitu selesai bicara orang berpakaian hitam buka penutup ketiding. Saat itu juga dari dalam ketiding bambu ini menyembul puluhan ekor ular berbisa dari berbagai jenis dan warna, mengeluarkan suara mendesis riuh. Ketiding cepat-cepat diangkat, diletakan di sumur api. Sewaktu puluhan ular dalam ketiding siap hendak dimasukan diceburkan ke dalam sumur api tiba-tiba dari arah kegelapan di kiri sumur api terdengar suara kucing mengeong.

Gerakan orang berpakaian hitam yang hendak membalikan ketiding bambu serta merta tertahan. Memandang ke arah kiri dia hanya melihat kegelapan.

"Kucing mengeong malam-malam. Di tempat seperti ini. Sungguh aneh..." ucap orang berpakaian hitam bermuka keriput. Lalu belum habis rasa herannya tiba-tiba terdengar suara benda berkerincingan, disusul suara perempuan menegur.

"Giring Laweyan, manusia berjuluk Sang Raja Ulo, menyantap ular panggang malam-malam begini memang sedap sekali. Jangan lupa membagiku barang seekor."

Orang berpakaian hitam di dekat sumur api jadi tercekat. Dia cepat berpikir. Dimulai dengan suara kucing mengeong. Lalu ada suara berkerincingan. Disusul suara perempuan menegur. Siapa lagi! Pasti dia! Jangan-jangan dia yang Jadi pembunuh mayat berjubah kuning. 

Belum habis rasa terkejutnya karena si penegur mengenal siapa dirinya, orang di tepi sumur api melihat diseberang sumur tepat dihadapannya berdiri seorang perempuan gemuk mengenakan kemben merah berdandanan tebal seronok. Dibahu kanan tengkurap seekor kucing besar berbulu merah. Binatang ini kelihatan tenang dan jinak. Di tangan kiri perempuan itu ada sebuah cermin kecil. Dia asyik memandang ke dalam cermin sambil mematik-matik pinggiran rambut di samping telinga kanan sambil lidah dijulur membasahi bibir. 

Malam-malam masih mau berdandan, ditempat gelap begitu rupa, sungguh gila, pikir lelaki berpakaian hitam yang memegang ketiding berisi ular dan tadi dipanggil dengan nama Giring Laweyan alias Sang Raja Ulo. Tapi tidak gila kalau perempuan itu adalah yang dikenal dengan nama Ratu Dhika Gelang Gelang!

Selesai merapikan dandanan perempuan gemuk masukan kaca kecil ke balik kemben lalu bertanya pada lelaki yang pegang ketiding berisi ular.

"Menurutmu apakah dandananku sudah apik dan wajahku sudah cantik?"

Giring Laweyan tidak menjawab. Dia bersikap waspada karena tahu betul perempuan di hadapannya setiap saat bisa melakukan perbuatan yang tak terduga seperti menyerang dengan tiba-tiba.

"Giring Laweyan! Malam buta kau datang ke tempat ini. Pasti bukan kemauan Para Dewa yang membimbing langkahmu! Kau datang membekal Gading Bersurat, membawa puluhan makhluk najis. Katakan apa keperluanmu!" Sehabis bertanya perempuan gemuk elus-elus kucing merah yang tengkurap di bahu kanannya.

"Perempuan di tepi sumur, orang-orang menyebutmu dan kau selalu memperkenalkan diri sebagai Ratu Dhika Gelang Gelang. Tapi aku lebih suka menyebutmu Ratu Meong! Nama itu cukup pantas bagimu, bukan? Ha...ha...ha!" Lelaki bernama Giring Laweyan keluarkan ucapan mengejek lalu tertawa gelak-gelak.

"Siapa saja yang mau memberi nama dan julukan padaku akan aku terima dengan senang hati. Aku berterima kasih padamu yang telah memberiku nama Ratu Meong. Hai, muka keriput! Kau belum menjawab apa keperluanmu datang ketempat ini!"

"Kita membekal benda yang sama yaitu Gading Bersurat. Berarti kita punya maksud yang sama. Mengapa kau masih bertanya?!"

Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa. "Bekal boleh sama tapi isi perut bisa lain. Apa lagi pikiran di dalam otak dan perasaan di dalam hati. Mana bisa sama!"

"Jika begitu ucapanmu maka kau tidak keberatan berterus terang. Aku bermaksud menculik anak perawan di dalam sumur api. Mengapa aku menculik aku rasa tidak perlu menerangkan karena kau pasti sudah tahu. Apakah kau merasa keberatan atau ada yang mengganjal dalam hatimu?"

"Ternyata kau orang jujur. Mau berterus terang meskipun melakukan pekerjaan salah. Semoga Para Dewa akan mengurangi sedikit dosa-dosamu. Hik...hik! Giring Laweyan, sebelumnya kau melihat ada mayat berjubah kuning yang sudah jadi jerangkong di sekitar sini. Kau tahu siapa manusia malang itu?"

"Silakan kau menerangkan!" jawab Giring Laweyan.

"Namanya Setunggul Bumi. Sahabat dari Setunggul Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau!" 

Meski terkejut namun Giring Laweyan berpura-pura tidak acuh. "Kau tahu kenapa dia menemui kematian dan siapa yang membunuhnya?"

"Aku tidak perduli!"

Ratu Dhika tersenyum. "Jangan begitu Giring Laweyan. Jangan berpura-pura tidak perduli. Aku mencium dari jalan nafasmu. Kau mulai merasa jerih. Bukankah begitu?"

"Akan aku beri tahu. Akan aku beri tahu!" jawab Ratu Dhika Gelang Gelang pula. "Aku yang membunuh manusia malang itu. Kenapa? Karena dia membekal maksud sama denganmu. Hendak menculik anak perawan yang di dasar sumur api. Berarti...." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak meneruskan ucapan, dia menatap ke arah Giring Laweyan yang wajahnya diterangi cahaya api dari dasar sumur.

"Berarti kau juga hendak membunuhku!" Justru Giring Laweyan yang meneruskan ucapan Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Aku tidak berkata begitu. Tetapi umur manusia siapa yang tahu," jawab Ratu Dhika.

"Ratu Meong, apakah kau masih ingin makan ular panggang?" Tiba-tiba Giring Laweyan bertanya.

"Jika kau memang mau memberi mengapa aku tidak mau menerima?" jawab Ratu Dhika yang dipanggil Ratu Meong oleh Giring Laweyan.

"Aku bukan manusia pelit. Kau boleh makan ular panggang sekenyang perutmu!" Setelah berucap Giring Laweyan lemparkan ketiding berisi puluhan ular berbisa ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang.

Sang Ratu terpekik lalu meniup. Empat gelang berkerincingan. Enam ekor ular berbisa mental dengan tubuh hancur. Kucing merah menggerung keras dan melompat ke arah lelaki berkulit hitam. Tak lama kemudian terdengar dua jeritan keras.

Jeritan pertama keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang Gelang yang bukan takut diserang ular tapi lebih merasa jijik. Patukan puluhan binatang itu memang melukainya berupa titik-titik kecil tapi bisa ular tidak dapat membunuhnya karena dia memiliki ilmu kebal terhadap segala macam racun termasuk racun ular. 

Ilmu kebal ini bernama Kebal Lemah Kebal Banyu. Selama ada bagian tubuhnya menyentuh tanah atau air maka tidak ada racun yang bisa mencekal dirinya termasuk racun ular berbisa. Satu persatu binatang yang melilit tubuhnya diremas hingga hancur.

Jeritan kedua keluar dari mulut Giring Laweyan alias si Raja Ulo. Kucing merah peliharaan Ratu Dhika Gelang Gelang mengeong keras begitu ketiding berisi ular dilemparkan. Secepat kilat binatang ini melompat dari bahu kanan Ratu Dhika. Dua kaki belakang membenam di pangkal leher, dua kaki depan mencakar ganas ke wajah. 

Dalam waktu sekejapan saja sekujur muka Giring Laweyan tercabik-cabik. Darah mengucur membasahi muka dan pakaian. Sungguh mengerikan. Sambil berteriak kesakitan dan lari kian kemari si Raja Ulo ini coba menangkap dan melemparkan kucing merah yang masih mencakar dan kini malah menggigit lehernya.

Dalam keadaan sakit yang amat sangat, ditambah kedua matanya telah tertutup darah, Giring Laweyan tidak melihat lagi kemana arah larinya. Tubuh yang tinggi kurus menabrak pinggiran batu sumur api lalu terjungkal dan tak ampun lagi tercebur masuk ke dalamnya! Dari dasar sumur, lidah api menderu ke atas seolah menyambut kejatuhan tubuh Giring Laweyan. Sesaat terdengar suara jeritan lelaki itu menggema di dalam sumur lalu lenyap.

Kucing merah melompat kembali ke atas bahu kanan Ratu Dhika Gelang Gelang. Lalu menjilati kuku kakinya yang bernoda darah. Di dalam kegelapan, di balik sebatang pohon Mahoni, seorang perempuan tua yang di atas kepalanya menangkring seekor bulus atau kura-kura besar hijau bermata merah menyaksikan semua kejadian di tempat itu dengan hati tercekat. Dalam hati dia membatin.

"Dari pada celaka lebih baik aku menunda niat. Mungkin aku harus menunggu sampai anak perawan itu melahirkan lima bulan dimuka sambil mencari akal. Kalau aku bersikeras meneruskan rencana, sama saja dengan mengantar nyawa. Para Dewa jelas tidak akan berpihak padaku. Ratu Meong bukan tandinganku. Apa lagi saat ini dia membawa serta kucing betina merah itu. Mempergunakan kekerasan lebih banyak celakanya bagi diriku. Aku harus mencari akal. Selain itu aku harus tahu apa keperluan dan sebagai apa perempuan satu ini berada di tempat ini. Menjaga sumur api? Mungkin dengan cara memperdayai dan memperalat pemuda yang dicintainya itu aku bisa menyelinap ke dasar sumur api melalui jalan rahasia."

Tidak menunggu lebih lama perempuan tua ini segera tinggalkan tempat itu. Langkahnya tampak lamban sekali seperti seekor kura-kura. Namun sebentar saja sosoknya sudah lenyap dari kawasan sumur api.

 ***


TAMAT

Ikuti kisah selanjutnya: