Kolam Iblis - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Mahesa Kelud Karya Bastian Tito

Kolam Iblis


SATU

INI BENAR-BENAR merupakan satu pemandangan yang sukar dicari tandingannya. Di kaki pegunungan Dieng sebelah selatan, dibawah udara yang selalu sejuk dalam tiupan angin lembut terdapat sebuah lembah yang ditumbuhi aneka ragam pohon-pohon bunga. Bagian tanah yang tidak ditumbuhi pepohonan menghijau pedataran rumput. 

Di ujung timur lembah menjulang tinggi pohon-pohon berdaun aneka warna. Di sebelah barat pada ketinggian yang menurun, diapit oleh pohon-pohon bunga dan pedataran rumput, mengalir sebuah anak sungai. Dari induknya di pegunungan Dieng anak sungai ini mengalirkan air sejuk bening ke dalam lembah di mana terdapat sebuah danau berbentuk bulat. Seperti air sungai yang menjadi sumbernya, air danau itu sebenarnya berwarna biru. 

Namun pantulan daun-daun pepohonan dan bunga-bunga yang sedang berkembang serta pedataran rumput yang seperti berkilauan tertimpa cahaya matahari, membuat air danau memiliki belasan warna yang indah menakjubkan.

Bagian tepi danau dilingkari oleh batu-batu besar hitam. Demikian rata dan bagusnya letak bebatuan itu hingga sulit dipercaya kalau batu-batu itu terletak begitu dengan sendirinya tanpa diatur oleh tangan manusia. Maka banyak yang berpendapat bahwa danau itu bukanlah danau ciptaan alam, melainkan dibuat dan dibentuk oleh tangan manusia. 

Dan dulunya mungkin sekali merupakan kolam mandi para dewi, permaisuri raja atau para puteri cantik jelita. Apalagi di antara bebatuan di sepanjang tepian danau tumbuh banyak pohon-pohon bunga melati yang menebar bau harum semerbak. Siapa saja yang berdiri di tepi kolam itu pasti akan tergerak hatinya untuk turun ke dalam air, berkecimpung bermain air yang ternyata dalamnya hanya sebatas dada. 

Pada malam hari. apalagi ketika saat bulan purnama, pemandangan di atas kolam dan sekitarnya sungguh sangat menakjubkan. Sangat cocok untuk tempat pasangan yang sedang berkasih-kasihan memadu asmara. Namun adalah sulit dipercaya kalau di balik semua keindahan menakjubkan dan kesejukan yang menyegarkan tersembunyi malepetaka ganas mengerikan yang berakhir hanya pada satu titik, yakni titik kematian!

Saat itu memasuki bulan ke dua musim panas. Sejak lama hujan tak pernah turun. Tanam-tanaman mulai kekeringan. Para petani mulai mengeluh. Sumur-sumur banyak yang menjadi kering. Bahkan sungai-sungai besar mulai susut airnya. Adalah aneh kalau kekeringan yang menggila itu seperti tak sanggup menyentuh kaki selatan pegunungan Dieng dimana terletak kolam yang dikitari pemandangan indah itu. 

Pohon-pohon bunga di sana tetap subur dan berkembang sebagaimana biasanya. Rerumputan tetap menghijau. Anak sungai tetap mengalirkan air sejuk ke dalam kolam, dan tiupan angin tetap lembut menyegarkan. Karenanya tidak mengherankan kalau Tumenggung Singaranu yang dalam perjalanan kembali ke Surakarta menghentikan rombongannya di lereng lembah, memandang ke bawah dengan penuh takjub.

"Taman bidadari atau kolam istana raja-rajakah yang dibawah sana...?" ujar sang tumenggung seraya turun dari kudanya yang keletihan. "Tapi aneh, tak ada rumah tak ada bangunan. Siapa gerangan pemilik kolam bulat itu. Mustahil terpelihara begitu bersih dan bagus kalau tak ada yang merawatnya..."

Tumenggung Singaranu berpaling pada lelaki bermisai lebat di sampingnya dan berkata, "Seharian penuh kita menempuh jalan sulit penuh debu di bawah terik matahari. Saatnya untuk beristirahat, Bagaimana kalau kita turun kebawah lembah?"

Parangwulung, lelaki bermisai lebat mengangguk dan menjawab hormat, "Saya hanya mengikut saja Tumenggung."

Maka Tumenggung Singaranu mendahului rombongan yang terdiri dari sembilan orang itu menuruni lembah, melangkah di antara pohon-pohon bunga, berlari-lari kecil di atas pedataran rumput yang menurun.

"Parangwulung," kata Singaranu sambil membelai-belai sekuntum bunga, "Apakah kau melihat keanehan ditempat ini?"

Lelaki berkumis tebal yang merupakan kepala pengawal sang tumenggung memandang berkeliling, coba menerka apa jawab yang harus diberikannya. Akhirnya dia menggeleng. "Saya tidak melihat keanehan apa-apa, Tumenggung," katanya.

Sang tumenggung tersenyum. "Rupanya kau hanya terpesona melihat keindahan alam yang terhampar di depan mata saja. Tidak berusaha menyimak bagaimana keindahan ini bisa tercipta."

"Saya tidak mengerti maksud Tumenggung," jawab Parangwulung terus terang. 

Sambil melangkah menuruni pedataran rumput hijau Tumenggung Singaranu berkata, "Dua hari dua malam kita menempuh perjalanan sebelum sampai ke tempat ini. Apa yang kita lihat? Bukit bukit dan pedataran tandus. Hamparan tanah keras yang pecah-pecah karena sekian lama tak tersentuh air. Sawah ladang yang mengering. Para petani yang dirundung kesusahan. Tapi di sini! Kau saksikan sendiri. Segalanya serba menghijau. Bahkan air sungai pun mengalir seolah-olah mata airnya tak terpengaruh oleh musim panas. Lihat bunga-bunga itu. Lihat rerumputan yang kita pijak. Lembah ini benar-benar luar biasa. Bukankah ini satu keanehan?"

Parangwulung manggut-manggut berulang kali. Baru dia mengerti apa maksud kata-kata sang tumenggung tadi. Rombongan sampai di tepi kolam. Tumenggung Singaranu tegak di atas sebuah batu besar sementara para pengikutnya duduk di batu-batu lain keletihan. Semua memandang ke dalam kolam yang airnya tampak berwarna-warni. 

Dalam warna-warni itu kejernihannya memungkinkan mata melihat dasar kolam yang tidak seberapa dalam. Kesejukan menyelubungi diri setiap orang yang memandang air kolam itu. Apalagi saat itu angin bertiup Iembut, menambah sejuk tenteramnya perasaan di tempati tu. Hasrat setiap anggota rombongan untuk ingin menceburkan tubuh ke dalam kolam itu seolah tak tertahankan. Hanya saja mereka tidak berani melakukan karena takut terhadap sang tumenggung. 

Singaranu berjongkok di atas batu. Dicelupkannya tangan kirinya ka dalam air kolam. Terasa kesejukan menjalar sampai ke lengannya. Dicelupkannya sekali lagi tangan kirinya, lalu tangan yang basah itu diusapkannya ke mukanya yang penuh debu.

"Ah.... benar-benar segar," kata sang tumenggung. "Aku ingin mandi di kolam ini!"

"Kami akan menunggu sampai Tumenggung selesai mandi." kata Parangwulung.

"Sementara itu biar anak-anak beristirahat...."

Kepala pengawal ini lalu memberi tahu pada anak buahnya bahwa Tumenggung hendak mandi dikolam. Mereka boleh beristirahat agak jauh dari tepi kolam karena tak pantas memperhatikan atasan mereka sedang mandi. Parangwulung sendiri pergi duduk di bawah sebatang pohon rindang. Pedang besarnya ditanggalkan dari pinggang dan diletakkan di atas pangkuan. Hembusan angin sejuk membuat ke dua matanya terkantuk-kantuk. 

Diseberang sana tampak Tumenggung Singaranu menanggalkan pakaian luarnya, meletakkan topi tingginya di atas batu lalu terdengar suara air berdebur tanda sang tumenggung sudah melompat masuk ke dalam kolam yang berair jernih dan sejuk itu. Tapi, tak sampai sepuluh hitungan sejak Tumenggung Singaranu masuk ke dalam kolam, mendadak terdengar suara jeritan sang tumenggung. Panjang dan berulang kali!

Parangwulung dan anak buahnya melompat dari tempat masing masing. Langsung menghambur ke tepi kolam! Apa yang mereka saksikan kemudian membuat tengkuk masing-masing merinding dan muka pucat pasi seperti kain kafan!

Di sana! Di dalam kolam itu mereka menyaksikan ratusan, bahkan mungkin ribuan ikan berwarna hitam sebesar empu jari kaki, bertebar berkerumun menggerogoti tubuh Tumenggung Singaranu. Dalam waktu sangat cepat seluruh daging di tubuh sang tumenggung, mulai dari kepala sampai ke kaki, licin tandas tak bersisa lagi. Termasuk isi perut dan dadanya. Sosok tubuh itu kini hanya tinggal tulang belulang alias jerangkong dengan sedikit sisa-sisa rambut pada batok tengkorak kepalanya!

Parangwulung dan tujuh anak buahnya sampai terlompat mundur menyaksikan kejadian yang sangat mengerikan itu. Saking ngerinya mereka hampir-hampir tak berani melihat. Untuk melakukan usaha pertolongan pun saat itu tidak terpikirkan lagi. Malah ketika mereka melirik ke tengah kolam, sosok tubuh Tumenggung Singaranu telah lenyap. Yang ada hanya jerangkong terapung-apung dan air kolam tampak kemerah-merahan oleh darah!

***

Kita kembali pada beberapa saat sewaktu rombongan Tumenggung Singaranu sampai di atas lembah. Di balik deretan batu-batu besar di bagian timur kolam di mana tumbuh rapat pohon-pohon besar berdaun rimbun, sulit terlihat oleh siapa pun yang berada di sekotar kolam, tampak duduk menjelepok di tanah dua orang kakek berpakaian dan bertingkah laku aneh. 

Keduanya berwajah lonjong berkepala botak plontos. Mata dan pipi cekung sedang mulut tak lagi ditumbuhi gigi alias ompong, tanda usia keduanya sudah sangat lanjut. Kakek yang duduk di sebelah kiri hanya mengenakan sehelai celana kolor putih yang sudah bulukan dan dekil apek. Matanya sebelah kanan picak sedang tulang kakinya melengkung hingga kalau dia berdiri kedua kaki itu hampir membentuk huruf O.

Kakek ke dua yang menjelepok di sebelah kanan, juga memiliki mata buta alias picak, tapi kalau kawannya disebelah kanan maka dia picak di sebelah kiri. Tubuhnya kurus kerempeng hanya tertutup oleh sehelai cawat hitam. Di dagunya ada sebuah tahi lalat besar yang ditumbuhi rambut panjang. 

Dua kakek aneh itu asyik bercakap-cakap sambil sesekali tertawa terkekeh-kekeh. Entah apa yang mereka bicarakan. Tiba-tiba Picak Kiri, begitu nama kakek yang matanya picak di sebelah kiri, menggamit lutut temannya dan letakkan jari di atas mulut.

"Ada apa...?" bertanya kakek yang digamit. Namanya Picak Kanan.

"Lihat ke atas lembah sana. Ada orang datang..." si Picak Kiri menunjuk ke arah kejauhan, ke atas lembah. Kawannya memandang ke tempat yang ditunjuk. Saat itu kelihatan serombongan orang berkuda berhenti di atas lembah, memandang ke bawah.

"Yang paling depan berpakaian bagus. Pakai topi tinggi... Pasti orang terkemuka. Kalau bukan bangsawan kaya mungkin orang dalam keraton."

Picak Kanan mengangguk "Delapan orang lainnya itu tentu pengiring-pengiringnya. Lihat, mereka turun dari kuda. Yang berpakaian bagus mulai menuruni lembah!"

"Yang lain lainnya juga mengikuti. Nah.... nah... nah! Ada rejeki besar buat kita hari ini rupanya!" kata Picak Kiri.

"Perlahan bicaramu! Jangan sampai mereka mendengar!" memperingatkan si Picak Kanan. Lalu dia menggaruk-garuk perutnya yang gatal. 

Orang-orang yang mendatangi lembah itu bukan lain adalah rombongan Tumenggung Singaranu yang dalam perjalanan kembali ke Surakarta, berhenti di lembah karena terpesona akan keindahan pemandangan dan kesejukan di tempat itu. Apalagi ketika mereka melihat sebuah kolam berair jernih di dasar lembah. Ketika Tumenggung Singaranu menyentuh air kolam yang sejuk dengan tangan kirinya lalu membasahi mukanya yang berdebu dengan air kolam itu, si Picak Kiri berbisik, 

"Aku yakin orang berpakaian bagus itu pasti akan masuk mandi ke dalam kolam kita. Peralatanmu sudah siap...?"

"Sudah," jawab si Picak Kanan. "Tanganku sudah gatal untuk mendorong rotan itu...."

Kedua kakek itu, sambil memperhatikan gerakan rombongan Tumenggung Singaranu, keduanya beringsut mendekati semak belukar pendek di antara dua batang pohon besar.

"Dugaanku tepat! Lihat! Orang itu membuka pakaiannya!" kata si Picak Kiri ketika terlihat Tumenggung Singaranu mulai menanggalkan pakaian sementara para pengiringnya bertebar beristirahat tak berapa jauh dari tepi kolam. 

Picak Kanan segera memasukkan tangan kanannya ke dalam semak belukar sampai dia menyentuh ujung dari sebuah tali rotan sepanjang tiga tombak yang berhubungan dengan sebuah terowongan berair di bawah tanah yang berbatu-batu. Ujung lain dari tali rotan itu melekat pada sebuah lempengan tembaga tebal dan berat yang merupakan sekat atau pintu penutup mulut terowongan berair.

Picak Kanan tertawa mengekeh tapi tanpa suara ketika dia melihat Tumenggung Singaranu memasukkan kedua kakinya ke dalam air kolam. Kawannya si Picak Kiri tampak berkomat-kamit dan basahi bibir dengan ujung lidah berulang kali. Terdengar suara air kolam berdebur ketika tubuh sang tumenggung masuk sampai sebatas dadanya yang berbulu.

"Sekarang Picak... Sekarang!" bisik Picak Kiri ketika Tumenggung Singaranu bergerak ke bagian tengah kolam. 

Picak Kanan dorong ujung tali rotan yang sejak tadi dipegangnya. Tembaga tebal dan berat penutup mulut terowongan air terdorong ke depan dan membuka lebar. Dari mulut terowongan yang terbuka itu, yang ternyata berhubungan dengan bagian bawah kolam, menderulah ratusan bahkan ribuan ekor ikan aneh berwarna hitam. Berbentuk segitiga dengan mulut terbuka lebar memperlihatkan gigi-giginya yang runcing seperti mata gergaji yang luar biasa tajamnya!

Ribuan ikan ini menyerbu kaki, perut dan dada Tumenggung Singaranu hingga orang ini terlonjak kesakitan, menjerit dan menggapai-gapai, berusaha melarikan diri ke tepi kolam. Tapi terlambat! Cepat sekali ribuan mulut gergaji itu melumat sekujur tubuhnya. Ketika sang tumenggung roboh tergelimpang ke dalam air kolam, maka leher, muka dan kepalanya pun jadi santapan ikan-ikan hitam itu.

"Bagus...! Bagus...! Ikan peliharaan kita memang hebat!" Si Picak Kiri tertawa mengekeh tanpa suara. 

Kawannya si Picak Kanan juga tampak senang dan ikut-ikutan tertawa. "Tidak percuma kuberi nama ikan-ikan Iblis Prahara! Jangankan manusia! Kuda pun akan disantapnya dalam sekejapan mata!"

Di dalam kolam sosok tubuh Tumenggung Singaranu yang malang telah lenyap. Yang tampak kini hanyaIah tulang belulang atau jerangkong berselimut air dan darah, mengapung mengerikan. Delapan orang pengiringnya tertegun menggigil di tepi kolam, memandang dengan muka pucat pasti dan mata membeliak.

"Picak Kanan, lekas kau masukkan ikan-ikan itu. Jangan sampai orang-orang itu tahu jelas apa yang terjadi. Ayo cepat!" Si Picak Kiri berbisik. 

Picak Kanan goyang-goyangkan ujung rotan yang dipegangnya. Dari atas terowongan berjatuhan benda-benda halus seperti pasir yang memancarkan warna putih berkilat-kilat. Kilatan benda-benda halus ini menarik perhatian ribuan ikan hitam segitiga. Mereka segera melesat masuk ke dalam terowongan. Setelah tak seekor pun yang tertinggal di dalam kolam. Picak Kanan menarik ujung rotan. Lempengan tembaga tebal dan berat ikut tertarik dan menutup rapat-rapat mulut terowongan!

Picak Kanan gosok-gosok kedua telapak tangannya dengan sukacita. Kawannya tak henti-hentinya menepuk bahunya dan berbisik: "Bagus! Permainan kita sudah selesai. Atau mungkin ada lagi dari orang-orang itu yang mau mencebur masuk ke dalam kolam kita?"

Kedua kakek aneh menunggu. Tapi tak ada seorangpun yang masuk ke dalam kolam itu. Bahkan ketakutan membuat mereka sama sekali tidak berusaha mengambil atau menarik sosok tubuh Tumenggung Singaranu yang kini telah berubah menjadi jerangkong tulang belulang itu. Parangwulung lari paling dulu menuju ke atas lembah diikuti oleh tujuh anak buahnya. Seperti dikejar setan mereka melompat ke atas punggung kuda masing-masing, lalu menghambur meninggalkan tempat itu tanpa berani menoleh ke belakang!

***
DUA

KUDA PUTIH besar tinggi dan gagah itu berhenti di depan sebuah surau kecil di puncak bukit. Meski baru saja menempuh perjalanan jauh dan sulit di dalam musim kemarau yang membara tetapi binatang yang jinak ini tidak kelihatan letih. Ekornya yang panjang tebal di kibas-kibaskan. Sikapnya tetap tegak dengan gagah sampai tuannya seorang pemuda berpakaian putih yang duduk menunggangnya turun dari punggungnya. 

Setelah si pemuda turun baru kuda putih ini melangkah menghampiri rumput liar di bawah sebatang pohon nangka hutan. Pemuda berpakaian putih tadi mencuci kaki dan tangannya di sebuah pancuran di samping surau lalu mengambil air wudhu. Setelah itu dia masuk ke dalam surau berlantai papan. 

Kiai Kali Mutu tengah khusuk bersembahyang lohor. Pemuda tadi berdiri di samping sang kiai, agak ke belakang sadikit. lalu ikut sembahyang dan menjadikan orang tua itu sebagai imam. Sesaat setelah si orang tua mengucap salam dan diikuti oleh si pemuda, keduanya membaca doa dan berzikir.

Begitu zikir selesai pemuda tadi beringsut mendekat Kiai Kali Mutu seraya memberi salam dan berkata, "Guru murid sudah kembali..." Lalu diambilnya tangan kanan orang tua itu, disalami dan diciumnya. Kiai Kali Mutu tersenyum gembira dan tepuk bahu muridnya dengan tangan kiri.

"Aku bersyukur kepada Tuhan kau telah kembali dengan selamat, Panji," kata Kiai Kali Mutu. "Sebelum ke mari apakah kau ada menziarahi makam kakekku di desa Kadilangu?"

"Saya tidak lupa hal itu, guru. Saya ada menziarahi makam Sunan," sahut si pemuda yang bernama Panji.

"Bagus. Kau memang murid yang tahu berbakti."

"Apakah selama ini guru ada baik-baik dan sehat-sehat?"

"Ah... orang setuaku ini bagaimana bisa selalu sehat. Kadang-kadang kena angin sedikit saja terus meriang atau batuk-batuk. Tapi syukurlah semua penyakit itu tidak kerasan mendekam dalam tubuh rongsokan ini. Cepat datang cepat pula perginya. Muridku, satu tahun kulepas, pengalaman apa saja yang telah kau dapati... ?"

"Banyak guru. Saya kira-kira dapat menarik satu kesimpulan."

"Kesimpulan apa?" tanya Kiai Kali Mutu.

"Ternyata dunia kita ini masih banyak didiami oleh manusia-manusia jahat. Mulai dari bangsa maling dan rampok yang berbuat kejahatan secara terang terangan, sampai pada para penguasa yang berbuat kejahatan secara tersamar..."

Kiai Kali Mutu tertawa. "Itulah hidup di dunia, muridku," katanya. "Sepanjang umur dunia manusia jahat dan kejahatan tidak akan pernah lenyap. Hanya cara mereka melakukan kejahatan berbeda-beda. Satu hal jangan kau lupakan Panji. Segala pelajaran dan ilmu yang kuberikan padamu justru adalah untuk mengikis kejahatan itu. Kenapa kukatakan mengikis? Karena kita orang-orang yang berusaha di jalan yang benar hanya merupakan segelintir kecil saja dari satu kekuatan melawan kejahatan. Ketahuilah kejahatan itu banyak temannya sedang kebenaran banyak musuhnya. Karena itulah kau kusuruh kembali ke mari untuk menggali lebih banyak ilmu. Jika kau rajin mungkin hanya enam bulan saja kau sudah boleh pergi lagi..."

"Saya akan mengikuti segala petunjuk guru dan berjanji rajin belajar..." kata Panji.

Sang kiai menepuk bahu muridnya kembali. "Aku senang mendengar kata-katamu itu. Apakah Panah Putih tidak banyak bertingkah selama berkelana bersamamu?"

"Dia kuda yang baik guru. Saya suka padanya. Kalau saya boleh bertanya apakah adik Sri Megaresmi sudah kembali?"

"Kau tahu adikmu itu gadis bandel. Waktu kusuruh dia mengelana satu tahun, dia minta diberikan waktu tiga tahun. Akhirnya setelah berdebat panjang pendek. kusetujui dua tahun. Berarti baru tahun depan dia muncul di sini."

Kiai Kali Mutu meIihat ada bayangan rasa cemas di wajah Panji. Maka diapun barkata, "Kau tak usah kawatir, muridku. Ilmu kepandaian yang dimilikinya cukup dapat diandalkan untuk menjaga diri. Asal saja dia jangan suka nakal dan jahil. Lagi pula dia pergi dengan menyamar seperti lelaki. Kalau pun kau bersua dengannya, mungkin kau tak akan mengenali itu adalah adik kandungmu sendir.” Mendengar penjelasan gurunya itu puaslah hati Panji.

"Waktu berjalan cepat. Panji. Waktu tak pernah menunggu kita. Besok selesai sembahyang subuh kita mulai. Pertama sekali kau harus memperlihatkan padaku seluruh jurus-jurus silat yang telah kau miliki. Jika ada kekurangan-kekurangan harus diperbaiki dulu, Setelah itu akan kucoba pukulan-pukulan yang mengandung tenaga putih. Lalu menguji kecepatan gerakmu. Satelah itu baru mulai dengan pelajaran baru. Jika apa yang kini kau miliki benar-benar sudah mantap, aku hanya akan menitikberatkan pelajaran pada latihan menghimpun dan melepas tenaga dalam. Apakah kau siap besok subuh?"

"Saya siap guru. Sekarang izinkan saya memberi minum Panah Putih dulu."

Kiai Kali Mutu mengangguk. Begitu muridnya lenyap dipintu surau, dia pun bangkit berdiri dan mengerjakan sembahyang sunat.


***

PICAK KANAN menguap lebar-lebar lalu menyeka mata kirinya yang berair. "Sial benar nasib kita kali ini. Hampir sebulan lebih tak ada seorang pun yang lewat di sini. Ke mana semua manusia di kolong langit ini....?!"

Picak Kiri yang duduk bersandar di batang pohon sambil mencabuti janggutnya memandang ke atas lembah lalu berkata, "Yang aku kawatirkan adalah jangan-jangan telah tersiar kabar di luaran bahwa kolam kita ini merupakan kolam maut. Hingga tak ada yang berani lewat apalagi datang dekat-dekat ke mari."

"Kekawatiranmu itu beralasan juga," ujar Picak Kanan dengan wajah gundah sambil usap-usap kepalanya yang botak plontos. Sesaat kemudian dia bangkit berdiri seraya memegang-megang perutnya yang kempis. "Aku lapar. Lebih baik kita cari makanan dulu, baru memikirkan lagi korban-korban baru."

Malas-malasan Picak Kiri bangkit pula dari duduknya, tapi cepat sekali dia tundukkan badannya di balik semak belukar, malah bergerak berlindung ke balik pohon besar. "Kenapa kau?" tanya Picak Kanan melihat gerak-gerik kawannya yang aneh itu.

"Sttt... Kau lihat ke atas sana. Ada serombongan orang muncul. Seperti serombongan pasukan. Kelihatannya seperti orang-orang Kerajaan dari timur." 

Picak Kiri menyibak semak belukar dan memandang ke atas lembah. Apa yang dikatakan kawannya memang benar. Di atas sana kelihatan serombongan orang berkuda berhenti di bibir lembah. Semuanya menunggang kuda. Kira-kira dua puluh berpakaian prajurit lengkap dengan senjata di pinggangnya. Lalu ada dua orang tua berpakaian seperti orang persilatan. Di antara ke dua orang tua ini kelihatan seorang lelaki baya bermisai tebal. 

Di depan orang bermisai ada seorang penunggang kuda berpakaian perwira kerajaan. Lalu ada tujuh orang berpakaian seragam pengawal, tapi tidak seperti pakaian yang dikenakan dua puluh perajurit pertama Ketika melihat lelaki bermisai itu, Picak Kanan berbisik pada kawannya, "Aku ingat betul! Lelaki berkumis lebat itu, bukankah dia orang yang mengawal lelaki berpakaian bagus yang mampus di kolam kita tempo hari?"

Picak Kiri buka mata kanannya lebar lebar dan otaknya coba mengingat ingat. "Kau betul. Aku ingat. Dia yang kabur paling dulu. Hik... hik... . . . hik. Aku ingat. Memang dia!"

"Hus! Jangan tertawa keras-keras. Lihat, rombongan itu mulai menuruni lembah. Mereka menuju kemari! Apakah letak persembunyian kita ini sudah aman?"

"Jangan kawatir! Setan mata sepuluhpun tak bakal tahu kalau kita ada di sini!" jawab Picak Kiri. "Kelihatannya rombongan ini seperti hendak melakukan penyelidikan. Kita harus hati-hati, Picak Kanan. Lelaki berkumis itu kelihatan tidak bergerak bebas. Dua orang tua itu seperti selalu mengapitnya. Dan kau lihat. Dua puluh perajurit menuruni lembah sambil menyebar... Tujuh orang lainnya... Ah aku ingat sekarang! Tujuh orang itu adalah orang-orang yang mengawal lelaki berpakaian bagus dulu! Ada apa ini sebenarnya!"

Saat itu memang rombongan yang barusan datang tampak menuruni lembah. Lelaki berkumis yang bukan lain adalah Parangwulung menunggangi kuda diapit oleh dua orang tua berpakaian seperti orang persilatan. Di sebelah depan memimpin orang bertubuh tegap, berseragam perwira kerajaan. Dia menunggangi kudanya dengan mata tak berkesip memandang ke arah kolam yang airnya tampak berwarna-warni. 

Di belakang keempat orang ini, bergerak tujuh orang anak buah Parangwulung, lalu di sebelah belakang sekali dua puluh perajurit menuruni lembah dengan sikap penuh waspada, menebar memanjang. Rombongan itu sampai di depan kolam. Orang berpakaian perwira berpaling pada Parangwulung dan bertanya, 

"Jadi inilah kolam yang kau katakan sebagai tempat Tumenggung Singaranu menemui ajalnya dengan cara aneh!"

"Betul sekali Kebo Alit...." jawab Parangwulung.

"Kolam begini bagus. Berair jernih. Di lembah yang berpemandangan luar biasa indah. Bagaimana seseorang bisa menemui kematian di sini...?" kata sang perwira yang bernama Kebo Alit sambil geleng-geleng kepala. "Katamu kau menyaksikan ada ikan ikan hitam yang ribuan banyaknya menyambar tubuh Tumenggung. Lalu sebentar saja tubuh itu hanya tinggal tulang belulang. Tapi aku tidak melihat sisa-sisa jenasah Tumenggung di sini..."

"Mungkin sekali sudah dimakan atau dilarikan binatang hutan," jawab Parangwulung.

"Bisa jadi!" ujar sang perwira pula sambil usap-usap dagunya. "Tapi aku pun tidak melihat ikan-ikan hitam itu di dalam kolam yang dasarnya jelas tampak dari sini. Atau mungkin mataku buta...? Paman Randu Wungu dan paman Randu Ireng, apakah kau melihat ada ikan atau binatang lain dalam kolam ini?!"

Dua orang tua yang mengapit Parangwulung sama-sama menggelengkan kepala Parangwulung tampak pucat parasnya. Kebo Alit mangusap-usap kuduk kudanya lalu berkata, "Aku akan mengitari kolam ini. Menyelidik, kalau-kalau ada petunjuk yang dapat menunjang keteranganmu. Kalian semua tunggu di sini... !"

Lalu dengan menunggang kuda perwira itu mengitari kolam sambil menunggang kudanya perlahan-Iahan. Tak selang berapa lama dia sampai di tempat rombongan berhenti, langsung berkata, "Tak ada satu pun yang kutemui. Tak ada hal-hal yang mencurigakan. Tak ada ikan di dalam kolam, tak ada juga binatang lain. Bagaimana kami bisa mempercayai keteranganmu tentang kematian Tumenggung Singaranu itu, Parangwulung!"

"Sudah kukatakan berulang kali. Kebo Alit! Aku berani bersumpah bahwa aku tidak memberikan keterangan dusta! Tumenggung Singaranu menemui kematiannya di kolam ini. Ketika hendak mandi! Diserbu oleh ribuan ikan-ikan hitam! Tujuh pengawal itu ikut menyaksikan! Kami kemudian melarikan diri ketakutan ketika melihat sosok tubuh Tumenggung Singaranu hanya tinggal jerangkong dan tengkorak belaka!"

"Parangwulung! Kau tahu apa hukuman bagi seorang bawahan yang membunuh atasannya hanya untuk merebut kedudukan atasan! Kau terlalu bodoh! Sekalipun Tumenggung menemui kematian secara wajar, kedudukan itu tak bakal diberikan padamu! Kau hanya seorang kepala pengawal yang tidak layak menduduki jabatan Tumenggung! Apalagi sangat besar kecurigaan bahwa kaulah yang talah membunuh Tumenggung Singaranu lalu mengarang cerita yang tidak masuk akal!"

"Aku bersumpah! Aku tidak membunuh Tumenggung Singaranu! Aku tidak mengarang cerita! Tujuh perajurit itu melihat dengan mata kepala mereka sendiri."

Kebo Alit memandang pada tujuh orang bawahan Parangwulung dan bertanya, "Benar kalian melihat sendiri Tumenggung Singaranu menemui ajal dimakan ikan di dalam kolam yang berair sejuk ini?!"

Tujuh orang perajurit itu serentak menggelengkan kepala. Dua orang diantara mereka membuka mulut: "Parangwulung yang membunuh Tumenggung! Mayatnya dibuang ke dalam hutan sana. Dan kami disuruhnya untuk ikut berserikat memberi keterangan palsu!"

Berubahlah paras Parangwulung. Tiba-tiba dia berteriak, "Manusia-manusta pengkhianat! Kalian tahu apa yang terjadi! Kini kalian berani bicara dusta."

Tubuh Parangwulugng melesat dari punggung kudanya. Salah satu perajurit yang tadi membuka mulut dihantamnya dengan tendangan kaki kanan hingga terjengkang dan roboh pingsan dekat bebatuan di tepi kolam. Ketika dia hendak mengamuk menghajar bawahannya yang lain, Randu Wungu dan Randu Ireng cepat melompat turun dari kuda masing-masing dan berusaha menangkap Parangwulung. Melihat orang merintangi amukannya Parangwulung berteriak marah.

"Aku lebih baik mati mengadu jiwa dengan kalian daripada mati difitnah!"

Sebagai orang yang dipercayakan menjadi kepala pengawal Tumenggung Singaranu semasa hidupnya tentu saja Parangwulung memiliki kepandaian silat yang dapat diandalkan. Gebrakan-gebrakan kilatnya yang dilandasi hawa amarah membuat dua orang tua yang diserangnya terpaksa menyingkir. 

Ketika Kebo Alit mendorong punggungnya dengan tumit hingga dia hampir jatuh terjerembab, Parangwulung segera hunus pedang besarnya. Sekali membabat pedang itu hampir saja membacok putus kaki kanan Kebo Alit. Untuk selamatkan kakinya perwira ini jatuhkan diri dari punggung kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung kirimkan satu jotosan ke dada Parangwulung. 

Tapi yang diserang cepat menerpa dengan senjatanya hingga Kebo Alit dengan geram terpaksa tarik pulang tangannya dan melompat mundur! Dengan pedang di tangan memang sulit bagi Kebo Alit untuk menghadapi lawan karena tingkat kepandaian mereka memang hampir sejajar.

Tetapi lain haInya dengan dua orang tua itu. Baik Randu Wungu maupun Randu Ireng sama-sama memiliki kepandaian silat yang jauh lebih tinggi dari Parangwulung. Sehingga sekalipun Parangwulung memegang pedang di tangan, setelah menyerang gencar dan beringas, empat jurus kemudian dua orang tua ini berhasil melumpuhkan Parangwulung dengan satu totokan. Dalam keadaan tak berdaya lagi sementara pedangnya jatuh tergeletak di atas rumput, kedua orang tua itu membawa kepala pengawal itu ke tepi kolam.

Di sini Randu Wungu berkata, "Parangwulung, harap maafkan kami berdua! Walau kita bersahabat tetapi sebagai hamba kerajaan kami tunduk akan perintah yang diberikan oleh mahapatih kerajaan. Jika kolam ini memang ada ikan ganas seperti katamu mari sama-sama kita buktikan!"

Lalu kedua orang itu melemparkan tubuh Parangwulung ke dalam kolam. Parangwulung berteriak ketakutan. Tubuhnya jatuh duduk di dasar kolam. Karena kedua kaki dan tangannya lumpuh akibat totokan, dia tak sanggup berdiri dan megap-megap dalam air. Dia yakin seperti apa yang disaksikannya terjadi atas diri Tumenggung Singaranu, sebentar lagi akan menimpa dirinya. Ribuan ikan hitam berbentuk segitiga dengan gigi-gigi yang runcing seperti gergaji akan menyerbu dan melumat seluruh daging yang membalut tubuh dan kepalanya.

Tetapi sampai sekian lama menunggu tak seekor ikan pun muncul. Dalam keadaan lemas hampir pingsan Randu Wulung dan Randu Ireng mengangkat Parangwulung ke luar dari dalam kolam lalu melepas totokannya. Begitu totokannya lepas langsung dia telungkupkan badan hingga air kolam yang banyak terminum keluar kembali.

Kebo Alit melangkah mendekatmya dan berkata, "Kau saksikan sendiri Parang! Kolam itu tak ada makhluk apa-apanya! Apa itu tidak cukup bukti atas kedustaanmu...?!"

Parangwulung yang tidak berdaya karena masih sangat lemas tak bisa menjawab apa apa. Dia hanya memandang dengan mata merah melotot pada Kebo Alit ketika perwira ini memberi perintah pada dua orang perajurit untuk mengikat dua pergelangan tangan serta bahunya.

"Parang! Kau telah membuktikan kedustaanmu sendiri! Atas nama mahapatih kerajaan, kau kami tangkap dan dibawa kembali ke Kotaraja!"

Parangwulung diangkat dan didudukkan di punggung Kuda. Ketika rombongan itu meninggalkan lembah, Picak Kiri berpaling pada Picak Kanan dengan wajah menunjukkan rasa kesal.

"Kenapa tidak kau lepaskan ikan-ikan Iblis Prahara itu?!"

"Aku tak merasa perlu meskipun sudah sekian lama tak ada yang dapat dijadikan mangsa ikan-ikanku!"

"Gila! Kenapa tidak merasa perlu?!" si Picak Kiri jadi sewot.

"Kau yang gila!" balas menyemprot Picak Kanan. Kedua kakek aneh itu serantak sama sama berdiri, hampir beradu hidung dan sama-sama kepalkan tangan.

"Kau berani memaki aku gila?!" sentak Picak Kiri.

"Kau yang duluan mengatakan aku gila!" balas menyentak Picak Kanan.

"Kau memang gila! Apa kau tidak menyadari akibatnya jika ikan-ikan itu kulepas?! Mereka akan melihat dan tahu di kolam ini benar-benar ada ikan iblis itu! Dan mereka akan menghancurkan tempat ini. Lalu apa lagi permainan kita?!"

Picak Kanan terdiam. Amarahnya surut. Perlahan-lahan dia kembali duduk menjelepok di tanah. Tapi bangun lagi ketika ingat akan perutnya yang lapar lalu mengajak kawannya mancari makanan.

***
TIGA

PEMUDA bertubuh ramping itu memacu kuda hitamnya di kaki pegunungan Dieng menuju ke arah timur. Kulitnya yang putih tampak kemerah-merahan oleh teriknya sinar matahari. Sambil menunggang kuda kedua matanya memandang kian kemari meneliti keadaan di sekelilingnya. 

Ke mana pun mata memandang yang dilihatnya hanya pedataran atau bukit tandus, atau pohon-pohon yang mengering dedaunannya. Bosan menempuh pedataran gersang sejajar kaki pegunungan, pemuda ini membelokkan kudanya menuju ke sebuah bukit.

"Kudaku, kau tentu haus. Siapa tahu di puncak bukit sana kita bakal menemukan mata air," kata si pemuda pada kuda tunggangannya sambil mengelus-elus tengkuk binatang itu. 

Seperti mengerti akan ucapan tuannya. kuda hitam itu kedap-kedipkan kedua matanya dan mempercepat larinya menuju bukit. Pada saat baru saja mencapai lereng. Dari atas bukit si pemuda melihat serombongan orang berkuda menuruni bukit, tepat mengarah ke jurusannya. Meskipun lereng bukit itu cukup luas dan sebenarnya si pemuda bisa menghindar agar tidak berpapasan langsung dengan rombongan yang turun, namun nyatanya pemuda ini tak mau melakukan hal itu. Dia terus mendaki bukit, menyongsong arus rombongan di depannya. 

Baru sejarak dua puluh tombak dari orang-orang itu dia hentikan kudanya dan menunggu sambil memandang tajam-tajam ke depan. Makin dekat ke arahnya makin dapat dilihatnya siapa-siapa para penunggang kuda itu. Di sebelah depan adalah seorang lelaki separuh baya berpakaian perwira kerajaan. Di belakangnya menyusul tiga penunggang kuda. Yang dua orang berusia lanjut, mengenakan pakaian seperti orang-orang dari rimba persilatan. 

Keduanya menunggang kuda mengapit seorang lelaki berkumis tebal. Ada keanehan pada lelaki berkumis ini yang membuat si pemuda memperhatikannya dengan seksama. Dia mengenakan pakaian perajurit kepala yang basah kuyup dan kedua tangannya berada di depan perut dalam keadaan terikat. Di belakang tiga orang ini tampak lebih dari dua puluh perajurit, bergerak dalam posisi demikian rupa seperti mengawal orang-orang yang ada di sebelah depan mereka. 

Melihat ada penunggang kuda yang sengaja berhenti di arah jalan yang mereka lalui, lelaki berpakaian perwira angkat tangannya memberi tanda. Maka seluruh rombongan pun berhenti. Perwira itu yang bukan lain adalah Kebo Alit mendekati si pemuda dan berhenti sejarak empat langkah, lalu menegur.

"Orang muda, kau seperti sengaja menghadang perjalanan kami!"

Pemuda itu menatap wajah sang perwira sesaat dengan sepasang matanya yang bening, lalu menjawab, "Aku tak merasa menghadang siapa-siapa. Lereng bukit ini cukup luas dan aku berhenti di sini tanpa mengandung maksud apa-apa..."

"Begitu? Kalau demikian menyingkirlah. Kami akan lewat!"

"Sekali lagi kukatakan, lereng bukit ini cukup luas. Mengapa aku harus menyingkir?!"

"Hemm... Pemuda ini mungkin bebal atau keras kepala!" kata Kebo Alit dalam hati. Sementara itu Randu Wungu dan Randu Ireng memperhatikan si pemuda dengan perasaan jengkel sedang Parangwulung yang dalam keadaan seperti itu hanya tundukkan kepala, merasa tak ada perlunya dia memperhatikan siapa adanya orang di hadapan rombongan.

"Anak muda! Jadi kau tidak mau menyingkir memberi jalan?!" tanya Kebo Alit. Suaranya bernada memperingatkan, bahkan mengancam.

"Kenapa aku harus menyingkir atau memberi jalan? Aku tidak menghadang siapa-siapa di tempat ini. Jika kau dan rombonganmu ingin lewat silahkan. Berbelok ke kiri atau mengambil jalan di sebelah kanan. Terus juga boleh asalkan jangan menabrakku!"

Kebo Alit jadi penasaran. "Kau tidak tahu kalau kami rombongan kerajaan?!"

"Dari pakaian kalian tadi-tadi pun aku sudah tahu kalian rombongan atau pasukan kerajaan. Tapi apa sangkut pautnya diriku dengan siapa pun adanya kalian?!"

Untuk pertama kalinya Parangwulung mengangkat kepala memperhatikan orang di depannya. Ketika dilihatnya orang itu adalah seorang pemuda berparas cakap, berkulit putih dan bertubuh ramping maka dia pun berkata, "Anak muda, kau menghindarlah. Beri jalan. Biar lebih cepat aku sampai di Kotaraja dan menerima hukuman!"

"Ah, rupanya kau seorang tawanan!" ujar si pemuda pula sambil meneliti dari kepala sampai ke kaki Parangwulung. "Tetapi kau tawanan yang aneh! Kau mengenakan pakaian perajurit tingkat tinggi. Pakaianmu basah kuyup!"

"Siapa dia dan apa yang terjadi dengan dirinya bukan urusanmu!" membentak Kebo Alit. "Kalau kau tak lekas menyingkir, para perajuritku akan kuperintahkan untuk menindakmu!"

"Sungguh malang nasibku! Tak bersalah apa-apa mau ditindak perajurit kerajaan!" sahut si pemuda pula dengan nada mengejek. Lalu dia berpaling pada Parangwulung.

"Aku kasihan melihatmu! Sudah basah kuyup dan harus menunggang kuda dengan tangan terikat. Sekali kau kehilangan keseimbangan kau akan terjungkal jatuh dan lehermu bisa patah, kau bisa mati konyol!"

"Mati konyol jatuh dari atas kuda lebih baik baginya daripada mati di tiang gantungan!" tukas Kebo Alit.

"Oh, dia mau digantung! Apa sih salahnya?!" bertanya si pemuda. Sampai di situ Randu Wungu tak dapat menahan rasa kesalnya. Dia berkata, "Kebon Alit! Kenapa menghabiskan waktu melayani pemuda tidak beres itu?!"

Dikatakan tidak beres membuat si pemuda jadi gusar dan balik memaki, "Kalianlah orang-orang yang tidak beres! Meributkan soal jalan! Membawa tawanan seenaknya!"
Randu Wungu geleng-geleng kepala. "Kebo, pemuda ini pantas diberi pelajaran sopan-santun. Perintahkan perajurit-perajuritmu untuk mengajarnya!"

Kebo Alit yang memang sejak tadi menahan marah, mendengar ucapan Randu Wungu itu segera berikan isyarat, pada lima orang perajurit. Lalu pada anggota rombongan yang lain dia memberi aba-aba untuk mengikutinya meneruskan perjalanan dengan menyibak ke kiri. 

Tetapi baru beberapa langkah kuda-kuda mereka bergerak, di sebelah belakang terdengar suara gedebak-gedebuk disertai pekik-pekik kesakitan. Ketika berpaling, kagetlah Kebo Alit dan yang lain-lainnya. Lima perajurit yang tadi diperintahkan menghajar si pemuda kini kelihatan berkaparan di tanah, merintih kesakitan!

"Hemmm......!" menggumam Randu Ireng. "Rupanya ada sedikit ilmu yang diandalkan makanya dia bersikap pongah dan bertindak kurang ajar!" Orang tua ini majukan kudanya mendekati si pemuda. "Apa hubunganmu dengan Parangwulung tawanan ini! Katakan!"

"Aku tak punya hubungan apa-apa!"

"Kalau tak ada hubungan berarti kau memang sengaja menjadi lantaran!" Randu Ireng lalu kibaskan lengan baju tangan panjangnya sebelah kiri. Angin keras menggebu menghantam ke arah si pemuda. 

Meskipun kaget dan tak mengira orang tua itu dapat lepaskan pukulan tangan kosong yang hebat, namun si pemuda tidak mau tunjukkan sikap terkejut. "Orang tua! Kau sendiri rupanya sengaja obral kepandaian!" teriak si pemuda lalu gebrak pinggul kuda hitamnya. Binatang ini melompat ke samping tapi bersamaan dengan itu dia hantamkan kaki kiri belakangnya ke arah kuda lawan. Tendangan kaki kuda yang keras ini mendarat tepat dilutut kuda yang ditunggangi Randu Ireng.

Kraak!!!

Kaki kuda itu patah. Binatang ini meringkik. Tubuhnya langsung terjerambab ke depan, melemparkan penunggangnya. Sambil bersuit nyaring Randu Ireng jungkir balik di udara. Sebelum kedua kakinya menjejak tanah dia kembali lepaskan pukulan tangan kosong. Kali ini dengan tangan kiri. Namun seperti tadi, si pemuda kembali menggebrak tubuh kudanya, binatang ini melompat jauh hingga serangan Randu Ireng hanya mengenai tempat kosong! Randu Wungu terkesima, diam-diam merasa kagum juga melihat kelincahan pemuda itu namun hatinya menjadi penasaran karena saudaranya seolah-olah dipermainkan.

Randu Ireng sendiri malu bukan main. Di hadapan sekian banyak mata perajurit dan perwira kerajaan, bahkan di depan hidung Parangwulung yang menjadi tawanan, dirinya seperti orang yang baru belajar silat saja. Dua kali menyerang dua kali gagaI. MaIah kudanya dibuat patah kaki dan dia terpaksa tunggang-langgang berjumpalitan agar tidak melosoh jatuh ke tanah! Ketika Randu Ireng hendak menyerbu kembali, Randu Wungu berseru, 

"Tunggu dulu Ireng! Aku perlu bertanya dengan pemuda ini! Jangan-jangan dia kaki tangan orang-orang Pajang. Bukan mustahil dia kemari tidak seorang diri!"

Pemuda berkuda hitam yang dituduh kaki tangan orang-orang Pajang itu tertawa. "Kau bisa saja mengada-ada! Orang tua, orang yang jatuh dari kuda itu pasti saudaramu. Cara kalian berpakaian sama dan tampang kalian juga mirip satu sama lain! Melihat bagaimana dia hendak mengobral kepandaian tapi hampir celaka sendiri, jelas dia bukan tandinganku!"

"Pemuda lancang! Kau hendak merendahkan Randu Ireng tokoh pengawal Keraton Surakarta?!" Yang membentak adalah Kebo Alit.

"Siapa dia aku tidak perduli!" menyahuti pemuda itu dengan beraninya "Jika ada tokoh pengawal istana yang kepandaiannya seperti dia, tidak dapat menahan amarah dan bertindak seenaknya saja, wah! Istana bisa kebobolan. Kalau aku jadi raja kalian, orang seperti dia tak akan kupakai"

Paras Randu Ireng mengelam sampai ke telinga. Darahnya mendidih. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat penghinaan demikian rupa. Dan oleh seorang pemuda tak dikenal pula Kebo Alit memajukan kudanya beberapa langkah lalu menunjuk tepat-tepat si pemuda, "Mulutmu kotor kurang ajar! Kau sangat berani menghina kami orang-orang Keraton! Kau terpaksa kutangkap saat ini juga!" 

Habis berkata begitu Kebo Alit merangsak ke depan tapi si pemuda dapat berkelit ke samping seraya berseru. "Perwira! Tahan dulu! Bagaimana kalau kita membuat taruhan!"

"Taruhan kepala bapak moyangmu!" bentak Kebo Alit seraya menerjang ke depan. Tapi saat itu Randu Wungu menyela: "Kebo Alit! Biarkan saja! Aku ingin tahu apa taruhannya! Orang muda sombong jelaskan maksudmu'"

"Terima kasih kau mau memberi kesempatan," ucap si pemuda seraya menjura ke arah Randu Wungu. Sikapnya dirasakan bukan seperti penghormatan tapi lebih banyak merupakan satu ejekan! "Begini, jika perwira kerajaan ini sanggup menangkapku dalam waktu lima jurus perkelahian, aku akan serahkan diri dan bersedia dijadikan tawanan seperti lelaki bermisai itu! Tetapi, jika lima jurus dia tak berhasil menangkapku maka kalian harus membebaskan tawanan itu! Bagaimana.... ?!"

Randu Wungu terkesiap. Randu Ireng menggeram. Sementara puluhan perajurit melongo di atas kuda masing-masing. Ucapan si pemuda itu benar-benar merupakan tantangan gila! Dalam marahnya Kebo Alit menjawab.

"Setuju! Jika lima jurus kau tak berhasil kutangkap, tawanan ini akan kami bebaskan! Tapi jika dalam lima jurus kau dapat kulumpuhkan, maka kau harus serahkan kepalamu pada aku! Akan kupancung di tempat ini juga!"

Semula semua orang akan menyangka si pemuda menjadi ciut nyalinya ditantang begitu rupa. Tapi! Malah dia terdengar menjawab, "Setuju! Kepalaku atau kebebasan tawanan itu!"

Parangwulung yang masih berada dalam keadaan terikat di atas kudanya sampai ternganga tak percaya. "Pemuda tak dikenal itu mengapa mau korbankan nyawa untuk diriku yang tak punya hubungan apa-apa, bahkan kenal pun tidak. Terlalu ceroboh Terlalu ceroboh!" kata Parangwulung berulang kali. Kebo Alit bukan perwira sembarangan. Tingkat kepandaiannya hampir sejajar dengan dua tokoh silat istana yaitu Randu Ireng dan Randu Wungu.

"Perwira, kau ingin berkelahi di atas kuda atau sama-sama turun ke tanah?!" si pemuda bertanya menantang menyepelekan lagi sikapnya!

Dari apa yang dilakukan terhadap kuda tunggangan Randu Ireng. Kebo Alit maklum kalau kuda hitam tunggangan si pemuda buka kuda sembarangan. Menyadari hal ini maka dia tak mau melakukan perkelahian di atas kuda. Kebo Alit langsung melompat ke tanah. Gerakannya cepat dan enteng. Si pemuda pun melakukan hal yang sama. 

Turun dari punggung kudanya, tapi sikapnya jelas dibuat-buat yaitu berpagut pada leher kudanya, melosoh ke tanah seperti anak kecil yang ketakutan atau gampang turun dari tempat tinggi! Begitu sampai di tanah pemuda ini usap-usap kedua telapak tangannya satu sama lain dan bertanya, "Perwira, kau ingin berkelahi dengan tangan kosong atau pakai senjata?"

"Untuk meringkus tikus busuk sepertimu perlu apa pakai senjata! Sebaliknya kalau kau punya senjata silahkan keluarkan!" sahut Kebo Alit semakin mendidih amarahnya.

"Kalau begitu aku pun akan melayanimu dengan tangan kosong. Ingat lima jurus! Nah silahkan mulai perwira!"

Baru saja si pemuda selesai mengucapkan kata kau itu Kebo Alit sudah melompat menerjang dan buk! Buk! Jotosan kiri kanan perwira itu bersarang di perut dan pertengahan dada si pemuda, membuatnya terpental dua langkah dan jatuh duduk di tanah!

"Nah... nah.... nah!" Randu Wungu buka suara. "Belum lima jurus kau sudah roboh! Ternyata kemampuanmu tidak sesuai dengan kecongkakan dan mulut besarmu!"

Serangan Kebo Alit tadi memang luar biasa cepatnya dan tidak terduga oleh si pemuda. Dia sengaja terus bersikap dan mengeluarkan kata-kata mengejek untuk memancing kemarahan orang. Namun karena bertindak sedikit lengah maka ketika dua pukulan Kebo Alit menghantam dia tak sempat berkelit dan hanya mampu membentengi dada dan perutnya dengan tenaga dalam. 

Meskipun begitu tetap saja pemuda ini merasakan dada dan perutnya sakit bukan main. Tapi dasar bandel, sambil menahan sakit dia cepat berdiri dan berkata, "Cuma dua pukulan anak kecil, seperti digelitik! Meskipun aku jatuh tapi bukan di situ letak perjanjian kita! Aku belum kalah! Dia belum melumpuhkan apa lagi menangkapku!"

Apa yang dikatakan si pemuda memang benar. Kenyataan dan lagi-lagi ucapan serta sikap mengejek ini membuat Kebo Alit kembali terbakar amarahnya. Dia yakin pemuda itu cidera di dalam akibat dua jotosannya tadi, namun diam-diam dia merasa heran bagaimana pemuda ini masih bisa bangkit berdiri dan seperti tidak mengalami apa-apa.

"Pemuda sombong! Ini jurus kedua!" teriak Kebo Alit. Perwira ini kembali menyerbu. Seperti tadi kedua tangannya menjotos dan lagi-lagi satu mengarah perut satu mengarah dada. Ketika lawan bersiap menangkis, mendadak dua serangan berupa jotosan itu ditarik pulang dan kini kaki kanan Kebo Alit yang melesat ke dada lawan!

"Hebat!" Seru si pemuda memuji. Tubuhnya melesat ke atas setinggi satu tombak, tangan kanannya terkembang dan menepis betis Kebo Alit. Gerakan menepis ini tampak perlahan saja bahkan ketika balik telapak tangannya menyentuh betis sang perwira sama sekali tidak terdengar suara beradunya betis dengan tangan. 

Namun Kebo Alit merasakan kaki kanannya terdorong keras ke kiri. Akibatnya kaki kiri yang menjadi tumpuan kuda-kuda ikut berputar ke kiri. Di saat yang sama tangan kiri lawan tiba-tiba menderu dengan pinggiran tangan membabat laksana sebilah pedang. Kebo Alit cepat rundukkan kepala. Kepalanya selamat tapi dia masih kurang cepat. Topi tingginya yang berwarna hitam kena dibabat tangan si pemuda, mental tercampak jauh. 

Ketika Randu Ireng dan Randu Wungu melihat topi yang jatuh itu kagetlah keduanya. Topi hitam sang perwira ternyata telah terpotong dua! Tebasan tangan pemuda itu setajam pedang! Kebo Alit sendiri tampak berubah parasnya. Dapat dibayangkan kalau tepi telapak tangan itu tadi tepat menghantam muka atau batok kepalanya!

"Jurus ketiga!" teriak Kebo Alit yang tak mau menunggu lebih lama. Dia bergerak memutari lawan. 

Si pemuda mengikuti arah putaran hingga Kebo Alit selalu berada di depannya. Tiba-tiba Kebo Alit merubah arah gerakannya. Kalau tadi dari kiri ke kanan maka kini dari kanan ke kiri. Perubahan gerakan yang mendadak ini membuat si pemuda sesaat berada pada jurusan menyamping. Di kejap inilah Kebo Alit masuk menyusupkan jotosan tangan kanan ke pelipis si pemuda. Di pihak lain, meskipun kedudukannya tidak tepat menghadapi lawan namun sudut mata si pemuda cukup jeli melihat datangnya serangan. 

Tubuhnya dilontarkan ke belakang seperti sebatang pohon tumbang. Tapi bersamaan dengan itu tangan kanannya membabat ke atas yaitu ke arah pinggang sang perwira. Kebo Alit tadi telah melihat kehebatan pukulan tepi telapak tangan si pemuda. Tak mau mencari celaka dia terpaksa batalkan jotosannya dan tangan kanannya kini dipergunakan untuk menyapu lengan lawan. Maka beradunya dua lengan tak dapat dihindarkan lagi!

Buk!

Pemuda itu terbanting ka tanah. Lengan kanannya tampak merah kebiruan. Sebaliknya Kebo Alit. Tampak kesakitan dan ketika memeriksa lengannya ternyata lengan itu pun tampak merah dan bengkak. Tapi dia tak perdulikan. Lawan yang jatuh tertelentang merupakan makanan empuk baginya. 

Cepat dia melompat dan hunjamkan tumitnya ke perut Si pemuda. Tapi si pemuda lebih cepat berguling jauhkan diri hingga kaki kanan Kebo Alit menghantam tanah dan tanah itu tampak melesak sampai setengah jengkal. Dengan demikian jurus ke tiga dan keempat berlalu sudah. Kini masuk jurus ke lima yang merupakan jurus terakhir.

Kebo Alit sadar betapa malunya dia kalau sampai dalam jurus kelima tidak dapat meringkus atau melumpuhkan lawannya. Apalagi itu akan berarti dia harus membebaskan Parangwulung yang menjadi tawanannya. Gila! Bagaimana dia sampai mau menerima pertaruhan gila itu! 

Tak ada jalan lain. Dia harus menghantam habis lawannya pada jurus kelima ini. Pemuda berpakaian putih itu tampak tegak seenaknya tapi sambil usap-usap lengan kanannya pertanda bahwa bentrokan pukulan tadi betapa pun kuatnya dia telah mendatangkan rasa sakit pada daging dan tulang lengannya.

"Jika kau mau menyerah aku akan memperingan hukuman yang bakal dijatuhkan terhadapmu!" tiba-tiba Kebo Alit berkata sambil menggeser kakinya beberapa langkah mendekati lawan.

Si pemuda menyeringai dan menjawab, "Bukan begitu taruhan kita!" Agaknya pemuda ini sudah mencium adanya rasa kekawatiran dalam diri sang perwira.

"Rupanya kau memang minta digebuk dan ingin diseret jadi tawanan!" Kebo Alit menggeram. Tubuhnya membungkuk memasang kuda-kuda rendah. Lawannya tegak tak bergerak.

"Hiaatt!" Kebon Alit berteriak dan dari jarak empat langkah dia lepaskan pukulan tangan kosong. Sebelum angin pukulan sampai di jarak sasaran satu kali lagi terdengar suara teriakan perwira itu lalu tubuhnya tampak mencelat ke udara, jungkir balik. Gerakannya sangat cepat sekali. Ketika tubuhnya melayang turun tahu-tahu dia sudah berada di belakang lawan dan langsung menerkam leher pemuda itu dengan kedua tangannya yang kuat dan besar.

"Hek!" suara tercekik keluar dari tenggorokan si pemuda. Tak dapat tidak tamatlah perlawanan pemuda itu saat itu juga apalagi jelas napasnya mulai menyengal.

"Mampus!" teriak Kebo Alit seraya melipatgandakan cekikan mautnya. 

Tapi perwira ini lupa menjaga jarak. Saat itu dia berada terlalu dekat dengan tubuh lawannya. Ketika si pemuda tiba-tiba menghantamkan siku tangan kanannya ke belakang, Kebo Alit tak sempat berkelit. Siku lawan melabrak lambungnya. Pada saat dia menggeliat kesakitan lawan rundukkan kepala lalu secepat kilat tangannya bergerak ke belakang menjambak rambut Kebo Alit. 

Begitu rambut sang perwira terjambak maka pemuda itu membuat gerakan setengah berputar yang mengakibatkan cekikan kedua tangan Kebo Alit terlepas dan di lain detik tubuhnya terlontar ke atas lalu brukk! Kebo Alit terbanting keras ke tanah. Dia tidak pingsan tapi sekujur tubuhnya sebelah belakang terasa seperti remuk. Untuk beberapa saat dia terkapar dan menggigit bibir agar tidak keluarkan suara keluhan kesakitan!

Pemuda bertubuh ramping berkulit putih memandang berkeliling sambil usut-usut lehernya yang tampak kemerah-merahan akibat cekikan Kebo Alit tadi. Lalu dia menarik napas dalam beberapa kali. Di depannya sang perwira tampak berusaha bangun dengan susah payah.

"Kau kalah taruhan. Sudah saatnya membebaskan tawanan itu!" kata si pemuda pula. Dia melangkah mendekati Parangwulung yang sampai saat itu berada di atas punggung kuda dan terikat kedua pergelangan tangannya. 

Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara Kebo Alit memberi perintah, "Tangkap pemuda itu!"

Hampir selusin perajurit mengurung dengan cepat. Randu Ireng dan Randu Wungu sesaat tampak ragu-ragu. Tapi ketika Kebo Alit mereka lihat memimpin para bawahannya itu maka kedua tokoh silat itu pun ikut melakukan pengurungan untuk menangkap si pemuda. Yang dikurung tampak terheran-heran karena tidak menyangka hal itu. 

Jika semua orang yang ada di situ benar-benar hendak menangkapnya, dia bakal mendapat kesulitan. Walaupun begitu tak sedikit pun ada bayangan rasa takut di wajahnya yang polos. Cepat sekali dia melompat ke kiri, menggebuk seorang perajurit terdekat lalu merampas pedangnya. Dengan senjata rampasan di tangan dia tegak tak bergerak, menunggu serbuan para pengeroyok.

"Kalau tak bisa ditangkap hidup-hidup, dibunuh pun tak jadi apa!' teriak Kebo Alit. Lalu dia mendahului menyerang.

Saat itu mendadak terdengar suara membentak. "Kalian orang-orang kerajaan curang semua!"

***
EMPAT

SUARA bentakan itu demikian keras dan membahana hingga menggetarkan seantero bukit tandus dan membuat semua orang hentikan gerakan. Semua berpaling ke arah kiri, dari mana tadi datangnya suara membentak. Namun aneh, tak seorang pun tampak di jurusan itu! Padahal suara bentakan tadi begitu keras nyaring tanda siapapun yang mengeluarkan bentakan pasti berada dekat dari situ. 

Randu Ireng yang berada, di bawah pohon kering melambaikan tangannya pada Randu Wungu, memberi isyarat bahwa suara bentakan itu tadi datang dari arah belakangnya. Randu Wungu menyelidik ke jurusan yang dikatakan saudaranya, tetap saja dia tak dapat melihat siapa-siapa. Dia memandang lagi berkeliling. Aneh, di bukit tandus begini rupa, yang hanya ditumbuhi pohon-pohon berdaun kering tak mungkin si pembentak dapat sembunyikan diri. Randu Wungu sesaat saling pandang dengan Kebo Alit. Keduanya saling mendekati.

"Apa pendapatmu?" bisik Randu Wungu.

"Begini, aku dan yang Iain-Iain meneruskan membekuk pemuda itu. Kau tetap di sini berjaga-jaga. Jika ada yang muncul dan bermaksud membantu pemuda itu kau harus menghalangi dan menghajarnya. Mengerti...?"

Randu Wungu tak begitu senang diperintah seperti itu. Bagaimanapun dia seorang perwira. Namun karena diapun ingin sekali mengetahui siapa adanya orang yang berteriak tadi maka diapun anggukkan kepala menyetujui. Kebo Alit kembali memimpin perajurit-perajurit itu mengurung dan menyerbu si pemuda.

"Benar-benar pengecut!" suara yang tadi membentak kembali terdengar. Bersamaan dengan itu sebuah benda panjang tampak melayang di udara disertai suara jeritan. Benda panjang ini jatuh tepat di atas kepala Kebo Alit. 

Sang perwira hantamkan tangannya untuk memukul namun cepat menarik pulang pukulannya ketika menyadari benda yang jatuh itu bukan lain adalah sosok tubuh Randu Ireng. Orang tua ini menjerit kesakitan ketika tubuhnya terhempas di tanah lalu pingsan tak berkutik lagi. Gemparlah semua orang yang ada di situ. Randu Wungu lari ke balik pohon di mana sebelumnya saudaranya menggeletak. 

Namun dia tidak menemukan apa-apa di situ, apalagi melihat seseorang. Dia mendongak ke atas pohon. Tetap saja tidak menemukan siapa-siapa. Dengan perasaan sangat tidak enak dia segera mendekati Kebo Alit dan berkata perlahan. 

"Jangan-jangan tempat ini ada dedemitnya. Ingat keterangan Parangwulung tentang ikan-ikan aneh yang menggerogoti daging Tumenggung Singaranu..."

"Aku tidak begitu percaya pada segala tahyul seperti itu," sahut Kebo Alit. "Mana ada dedemit yang sanggup melemparkan tubuh Randu Ireng begitu rupa. Besar kemungkinan ada seorang berkepandaian tinggi di sekitar tempat ini. Mungkin kawan pemuda keparat itu... "

"Menurutku baiknya kita pergi saja dari sini. Biarkan pemuda itu tapi Parangwulung tetap harus dibawa ke kotaraja sebagai tawanan!"

"Aku setuju," sahut Kebo Alit yang memang sudah melihat dan mendapat firasat tidak enak. Cepat-cepat dia memberi isyarat pada semua orang untuk naik ke kuda masing-masing. Dia dan Randu Wungu membantu Randu Ireng naik ke atas seekor kuda cadangan, lalu mengapit Parangwulung.

"Hai! Kalian mau ke mana?!" seru pemuda berpakaian putih ketika melihat rombongan itu siap untuk pergi.

"Kemana kami mau pergi perduli setan!" bentak Kebo Alit. "Tidak kami cincang kau juga sudah untung!"

"Kalian boleh pergi tapi sesuai perjanjian kalian tidak boleh membawa tawanan itu. Dia harus dibebaskan!" Yang berkata ini bukanlah si pemuda, tapi orang yang tadi membentak. Suaranya datang dari satu tempat yang sulit untuk dijajagi!

"Keparat!" kertak Kebo Alit marah sekali. "Kau hanya berani bermulut besar tapi takut unjukkan muka!"

"Mukaku tidak penting bagi kalian! Tapi aku lebih penting mengingatkan agar kalian membebaskan tawanan itu!" terdengar suara jawaban.

"Apakah kau tahu kalau tawanan ini telah membunuh Tumenggung Singaranu? Dia layak dihukum gantung!"

"Layak kalau dia memang bersalah! Apakah kalian telah membuktikan kesalahannya?!" tanya suara tadi pula.

"Soal bukti membuktikan bukan urusanmu dedemit pengecut!" yang berteriak adalah Randu Wungu. Orang yang tak kelihatan keluarkan suara tawa panjang.

"Randu Wungu! Sebagai tokoh tertinggi di keraton Surakarta kau harus tahu bagaimana mengatur dan menjatuhkan hukum. Ternyata kau lebih banyak menurutkan hawa amarah dari pada bertindak bijak."

Paras Randu Wungu menjadi berubah. Ternyata orang yang bicara tanpa memperlihatkan ujud itu mengetahui nama dan siapa dia adanya. Sementara pemuda bertubuh ramping berkulit putih diam-diam juga jadi terheran heran dan berusaha menduga-duga siapa adanya orang yang bicara tanpa memperlihatkan muka itu. Gurunya? Pasti tidak. Dia kenal betul suara gurunya.

"Orang-orang kerajaan!" terdengar kembali suara tanpa ujud tadi. "Aku akan menunggu sampai tiga daun kering pohon di sebelah kanan kalian melayang ke tanah. Jika sampai saat ketiga daun kering itu menyentuh tanah kalian masih belum membebaskan tawanan. salah satu dari kalian bertiga akan kujadikan tawanan pengganti!"

Kebo Alit, Randu Wungu saling pandang. Sedang Randu Ireng masih melingkar pingsan di atas kuda. Tiba-tiba semua orang di tempat itu mendengar suara angin mendesir. Memandang ke atas pohon di samping kanan mereka mereka melihat tiga daun kering melayang jatuh Beberapa saat kemudian daun pertama yang menyentuh tanah. Menyusul daun kedua, terakhir sekali daun ketiga!

"Kebo Alit," kata Randu Wungu. "Kita benar-benar berhadapan dengan dedemit! Sebaiknya lekas pergi dari sini. Tinggalkan saja Parangwulung. Aku akan membuat laporan pada Mahapatih seolah-olah orang ini terbunuh karena melakukan perlawanan. Habis perkara..." Lalu Randu Wungu menggerakkan kudanya sambil menarik tali kekang kuda yang membawa sosok tubuh Randu Ireng.

"Keparat sialan!" maki Kebo Alit. "Kalaupun kita terpaksa meninggalkannya, dia harus mampus lebih dulu!"

Lalu perwira ini cabut kerisnya dan hunjamkan ke dada Parangwulung. Di saat itu tiga helai daun kering yang tadi berguguran jatuh secara aneh ke tanah, tiba-tiba terangkat dari tanah lalu melesat laksana panah ke arah Kebo Alit. Daun pertama menghantam tangan kanannya yang memegang keris. Gagang daun yang kering menancap di dagingnya membuat perwira ini kesakitan dan lepaskan keris. 

Daun kedua memukul telinganya hingga merah lecet. Sesaat Kebo Alit merasakan telinganya berdengung dan tuli. Daun ketiga menyerempet alis matanya sebelah kiri hingga menimbulkan luka tersayat dan mengucurkan darah. Nyali perwira kerajaan itu menjadi lumer. Lebih-lebih ketika diketahuinya dia hanya tinggal seorang diri di tempat itu. Yang Iain-Iain telah pergi meninggalkannya. 

Kebo Alit cepat pungut kerisnya yang jatuh, menyeka darah yang mengucuri alisnya lalu melompat ke atas punggung kudanya dan membedal binatang itu secepat yang bisa dilakukannya. Tinggal kini Parangwulung yang duduk bingung serta heran di atas punggung kudanya. 

"Anak muda, terima kasih kau telah menolongku..."

"Bukan aku yang menolongmu. Ada seorang lain yang kepandaiannya sangat tinggi. Tapi dia malu-malu memperlihatkan wajahnya Mungkin wajahnya jelek sekali!" sahut si pemuda lalu tolong membuka tali yang mengikat pergelangan tangan Parangwulung. 

"Kau boleh pergi sekarang!" kata si pemuda.

"Ya, aku akan pergi. Tapi tak tahu akan pergi ke mana. Jelas tak mungkin ke kotaraja. Mereka akan menangkapku kembali. Tapi anak dan istriku berada di sana. Ah bagaimana ini..." Parangwulung benar benar bingung. Namun akhirnya dia meninggalkan tempat itu setelah sekali lagi mengucapkan terima kasih dan si pemuda tetap menolak bahwa bukan dialah yang telah menolong lelaki itu. 

Sesaat setelah Parangwulung lenyap dari kejauhan, pemuda itu memandang berkeliling. Lalu dia menjentikkan tangan memanggil kuda hitamnya. Ketika binatang ini hendak ditungganginya mendadak terdengar lagi suara tanpa ujud itu.

"Anak muda! Jangan pergi dulu. Aku ingin bicara denganmu!"

Si pemuda memandang lagi berkeliling. "Hmm..." gumamnya "Kukira kau pun sudah pergi. Ternyata masih nongkrong di sini. Orang pandai kenapa kau tidak mau menunjukkan diri? "

"Sejak tadi aku ada di dekatmu. Apa kau tidak melihat? Atau matamu mungkin lamur?" Suara itu datang dari sebelah kiri. 

Si pemuda berpaling. Astaga! Di sampingnya saat itu memang berdiri sesosok tubuh serba putih. Mulai dari pakaiannya yang berbentuk jubah lebih dalam sampai ke rambut, alis, janggut dan kumisnya. Di atas bahu orang tua ini tampak duduk enak-enakan seekor anak rusa.

"Hah... orang tua, kau ini setan atau malaikat? Bicara tak kelihatan, tahu-tahu ada di depan hidungku!" kata si pemuda pula. Sebelum yang ditanya menjawab dia kembali memberondong. "Kaukah tadi yang melempar tubuh orang tua bernama Randu Ireng itu? Kau juga yang meluruhkan tiga daun kering lalu menghantamkannya ke tubuh si perwira?"

Orang tua itu tertawa. "Pertanyaanmu banyak amat anak muda. Biar kujawab satu satu. Pertama aku bukan setan bukan malaikat. Aku manusia sepertimu, cuma aku hampir empat kali lipat umurmu. Memang aku yang tadi melemparkan sosok tubuh Randu Ireng itu. Juga aku mempergunakan tiga helai daun untuk menghantam perwira kerajaan itu. Nah semua pertanyaanmu sudah kujawab Ada lagi pertanyaan lain...?"

"Binatang yang di pundak kirimu itu. Kucing apa itu? Bentuknya aneh....!"

Si orang tua tertawa mengekeh. "Seumur hidupmu tentu kau belum pernah melihat binatang seperti ini. Ini bukan kucing. Tapi seekor anak rusa..."

"Apa namanya?"

"Rusa!"

"Rusa!" mengulang si pemuda. 

Orang tua itu mengangguk. "Kini giliranku bertanya Kenapa kau sengaja menghadang rombongan kerajaan tadi. Mengapa kau begitu repot-repot mencampuri urusan orang lain dan ingin membebaskan tawanan berkumis itu? Lalu siapa namamu, kau berasal dari mana dan mau ke mana?"

"Aih! Pertanyaanmu ternyata banyak amat. Dan dengar, aku tak akan menjawab satupun dari pertanyaan itu!"

Si orang tua kerenyitkan kening lalu tersenyum. "Anak muda, ada beberapa hal kulihat pada dirimu yang kurang pantas kau miliki..."

"Heh! Apa?!" si pemuda jadi penasaran dikatakan demikian.

"Pertama, kau termasuk anak jahil yang suka mencari tantangan tanpa perduli apakah itu mengganggu orang lain..."

"Tidak bisa!" memotong pemuda itu.

"Dengar dulu, bicaraku belum selesai. Kedua, kau termasuk orang yang agak keras kepala. Ketiga, sikapmu bicara menyatakan bahwa kau kurang mengenal sopan santun..."

"Orang tua! Kau benar benar menghinaku!"

"Tidak! Karena tabiat yang kukatakan itu memang benar-benar melekat di dirimu. Selain pelajaran silat apakah gurumu tak pernah mengajarkan sikap yang baik hormat dan bagaimana bicara sopan bagaimana jangan sampai usil mengganggu orang?!"

"Orang tua. sekali lagi kau menyebut-nyebut nama guruku, kutampar mulutmu!"

"Nah... nah... Itu bukti kekurangsopanan dan kekerasan kepalamu!"

Si pemuda hentakkan kaki kanannya ke tanah saking marahnya. "Kalau kau bukan orang tua, benar-benar sudah kutampar mulutmu"

"Nah, kau menunjukkan tanda-tanda ingin berlaku baik tak jadi menamparku tapi masih memperlihatkan sikap kurang ajar!"

"Orang tua! Aku tak ingin bicara denganmu lagi'"

Pemuda itu lantas naik ke punggung kudanya. Si orang tua cuma tertawa. "Kudaku, ayo jalan!" Si pemuda tepuk pinggul kudanya. Tapi binatang itu tak mau jalan. "Hai! Ayo jalan Panah Hitam!" seru si pemuda. Tetap saja kudanya tak mau jalan, bahkan bergerak sedikitpun tidak. "Ada apa denganmu sebenarnya?" Si pemuda memeriksa dan dapatkan ternyata binatang itu tertegak kaku, entah ditotok entah diapakan. "Pasti kau yang melakukannya!" ujar si pemuda dengan mata dibesarkan pada orang tua berpakaian putih. 

Orang tua itu kembali tertawa. "Anak muda, ketahuilah. Kau berjodoh denganku!"

Mendengar ucapan itu si anak muda melotot besar matanya. "Tua bangka gila! Apa katamu! Kupecahkan kepalamu!"

"Eh, kenapa kau marah-marah? Seharusnya kau senang!"

"Tua bangka busuk! Barusan tadi kau mengatakan usiamu empat kali umurku! Kini kau mengatakan aku berjodoh denganmu. Apa itu namanya bukan gila... !"

Orang tua berambut putih geleng-geleng kepala "Akhirnya kau membuka kedokmu sendiri nak. Sejak tadi aku sudah tahu kalau kau bukan seorang pemuda..."

Tiba-tiba saja paras si pemuda menjadi pucat pasi. Orang tua di hadapannya kembali berkata, "Kalau aku menyebut soal jodoh bukan berarti aku ingin memperistrikanmu! Soal jodoh adalah soal jodoh sebagai guru dan murid. Kau berjodoh denganku! Kau pantas jadi muridku..."

"Jadi muridmu? Memangnya apa sih kepandaianmu?!"

"Nah, keras kepala dan kurang sopanmu kembali. Aku tahu kau memiliki kepandaian silat cukup tinggi. Dan pasti saat ini kau tengah mengelana mencari pengalaman. Tapi ketahuilah, ilmu itu apa pun adanya tak ada batasnya. Semakin dituntut semakin kita ketahui bahwa kita masih banyak ketinggalan. Apakah kau tidak ingin belajar bagaimana cara meruntuhkan daun dan mempergunakan sebagai senjata seperti yang kulakukan tadi...?"

"Tidak, aku tak perlu ilmu seperti itu?" jawab si pemuda. "Dan aku tak sudi bicara denganmu lebih lama!"

Kembali pemuda itu melompat ke atas kudanya. Namun segera pula disadarinya bahwa binatang itu masih berada dalam keadaan kaku tegang. Bagaimanapun dia berusaha tetap saja dia tak dapat membuat kudanya mampu bergerak apalagi berjalan.

"Orang tua! Kalau tidak kau bebaskan kudaku, kupatahkan tanganmu. Ternyata kau pun seorang yang jahil!" pemuda itu mengancam.

"Kudamu itu akan bebas dengan sendirinya beberapa saat lagi. Dengar, pada permulaan bulan ke tujuh datanglah ke tempat kediamanku di selatan, di tepi hutan Grinting. Jika kau tidak datang kau akan menyesal seumur hidup..."

Pemuda itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi didapatnya orang tua itu tak ada lagi di hadapannya. Memandang ke depan dilihatnya si orang tua sudah berada jauh di kaki bukit tandus.

"Ah... dia benar-benar hebat. Ilmunya jelas jauh lebih tinggi dari guru..." kata si pemuda dalam hati. Lalu dia kembali memeriksa kudanya dan ternyata binatang ini sudah bisa bergerak kembali. Maka dia pun naik ke punggungnya dan memacunya menuju puncak bukit tandus.


***
LIMA

KETIKA sampai di puncak bukit tandus dan memandang ke depan, tercenganglah pemuda penunggang kuda hitam itu. Dia hampir-hampir tak dapat mempercayai pemandangan matanya. Di bawah sana terdapat sebuah Iembah yang sebagiannya tertutup rumput hijau serta pohon pohon bunga yang sedang mekar berwarna-warni. Di sebelah timur ada sungai kecil yang airnya mengalir menuju sebuah kolam di pertengahan lembah. Keseluruhannya menyajikan satu pemandangan yang luar biasa indahnya.

Bagaimana bisa terjadi bagian bukit yang baru dilewatinya berada dalam keadaan tandus kering kerontang sedang bagian yang di sini merupakan satu lembah subur dengan pemandangan yang sangat menakjubkan.

"Kudaku, nasib kita hari ini sedang mujur. Lihat, di sana ada air dan rumput segar untukmu!"

Pemuda itu lalu menuruni lembah dengan cepat. Sebelum turun dari kudanya dia mengelilingi dulu kolam yang airnya tampak berwarna-warni itu, menikmati satu keindahan yang belum pernah disaksikannya sebelumnya.

"Kau minumlah sepuasmu lalu merumput di pedataran sana!" kata si pemuda seraya mengusap tengkuk kudanya. Lalu turun dan berlari-lari kecil menuju aliran anak sungai. Di sini pemuda itu membasahi mukanya lalu meneguk air segar sepuasnya. Memandang Ke kolam dari tempatnya duduk, hatinya terdorong untuk membasahi sekujur tubuhnya. 

Tapi ada rasa kawatir. Kalau kalau ada orang lain di tempat itu. Dia memandang berkeliling. Meneliti setiap sudut lembah dengan seksama. Tak tampak siapa-siapa. Perlahan-lahan dia menuju ke tepi kolam. Dia tidak segera masuk ke dalam air tapi duduk dulu di atas batu batu besar dan mencelupkan kedua kakinya yang putih. 

Terasa segar sejuk air kolam itu. Sekali lagi dia memperhatikan berkeliling. Setelah memastikan tak ada orang lain di tempat itu selain kudanya yang merumput di kejauhan maka pemuda ini segera lepaskan pakaian putihnya. Terlindung di balik batu-batu besar dan batang-batang pohon rapat. dua kakek berkepala lonjong dan bermata picak tertawa lebar.

"Sekian minggu menunggu akhirnya datang juga mangsa baru!" kata si Picak Kiri sambil usap-usap telapak tangannya satu sama lain. "Sudahkah kau periksa peralatanmu, Picak Kanan?"

"Jangan kawatir. Peralatanku beres. Dan ikan-ikan iblis itu pasti akan menyantap mangsanya cepat sekali! Bayangkan sekian lama mereka tidak mendapat makanan. Dan kau lihat, yang datang ternyata seorang pemuda berparas cakap berkulit putih! Tentu daging dan darahnya sedap sekali. Hik... hik.... hik....!"

"Huss! Jangan keras keras tertawamu. Nanti kedengaran! Lihat, pemuda itu sudah duduk di tepi kolam. Nah, dia mencelupkan kedua kakinya dan memain-mainkan air kolam. Sekarang lihat, dia mulai menanggalkan pakaiannya. Hai.... Lihat!" seru Picak Kiri.

"Ada apa?" Picak Kanan bertanya.

"Pemuda itu! Ternyata dia... dia... Lihat dadanya! Dia bukan seorang laki-laki! Tapi perempuan! Seorang gadis! Nah, dia melepas ikat kepalanya. Nah, benarkan. Rambutnya panjang sebahu! Aih, cantiknya. Dan buah dadanya itu... Bagus sekali... Bagus sekali! Tak pernah aku melihat pemandangan begini luar biasa. Sebentar lagi dia tentu akan membuka seluruh pakaiannya..."

Mata kiri Picak Kanan terpentang lebar. Apa yang dikatakan saudaranya memang benar. Orang di tepi kolam yang semula mereka sangka adalah seorang lelaki muda, setelah membuka pakaian dan melepas ikatan rambutnya ternyata adalah seorang gadis berkulit putih mulus berparas jelita.

"Pinggangnya ramping amat dan pinggul serta pahanya begitu putih. Ampun mau mati aku rasanya melihatnya!" kata si Picak Kanan.

Orang yang di tepi kolam perlahan-lahan masuk ke dalam air, bergerak ke tengah sambil sesekali membasahi mukanya dengan air sejuk.

"Jangan kau lepas dulu ikan-ikan Iblis Prahara itu, Picak Kanan. Biar kita menikmati pemandangan yang luar biasa ini!" kata si Picak Kiri. Matanya yang cuma satu tidak berkedip-kedip. 

Dara di tengah kolam tampak memandang berkeliling. Dia masih kawatir kalau-kalau ada orang lain di tempat itu. Setelah yakin benar memang tak ada siapa-siapa di situ maka diapun berkecimpung di dalam kolam sepuas-puasnya. Rambutnya yang hitam basah berkilat kilat ditimpa sinar matahari. Letih bermain air dia duduk sebentar di tepi kolam. Dua kakek botak seperti mau gila melihat tubuh putih mulus itu. Sesaat kemudian gadis itu masuk kembali ke dalam kolam.

"Picak Kiri..." berbisik Picak Kanan. "Aku ada usul. Sebaiknya ikan-ikan itu tidak kita lepas. Jika gadis itu kita bunuh sekarang berarti hanya kali ini kita melihat keindahan tubuh telanjangnya. Tapi kalau kita biarkan hidup, siapa tahu dia bakal datang lagi kemari? Berarti kita akan dapat lagi melihat pemandangan yang begini menakjubkan! Bagaimana pendapatmu?"

Picak Kiri usap usap mata kanannya. Dia berpikir sejenak. "Kau betul!" sahutnya kemudian. "Aku setuju. Biar kita lepaskan yang satu ini... "

Gadis di dalam kolam berenang perIahan ke tepian di mana tadi dia meninggalkan pakaiannya. Sampai di tepi kolam dia tidak segera mengenakan pakaian tetapi duduk-duduk dulu seperti berjemur mengeringkan air yang menempel di badannya. Sambil menunggu keringnya badan dia memetik bunga-bunga melati yang banyak tumbuh di sela-sela batu-batu besar. Rambutnya disanggul lalu bunga melati itu diselipkannya di sela gulungan rambut. Sesaat kemudian diapun sudah mengenakan pakaian kembali. Picak Kanan dan Picak Kiri sama-sama menarik nafas dalam dan mengurut dada.

"Luar biasa... Benar-benar luar biasa!" kata Picak Kanan sambil rebahkan diri ke tanah dan menelentang menatap langit sesaat lalu bangkit kembali. 

Saat itu gadis yang berpakaian seperti lelaki itu tampak tegak di atas batu besar memandang berkeliling lalu melangkah mendekati kudanya yang juga telah puas merumput. "Panah Hitam, mari kita pergi. Tempat ini sangat indah. Lain kali kita akan kemari lagi... " Lalu sekali lompat saja dia sudah berada di punggung kuda hitam itu. Si gadis yang menyamar sebagai laki-laki ini bukan lain adalah Sri Megaresmi, murid perempuan Kiai Kali Mutu dari Demak.

"Kalau saja aku tak dapat menahan hati, mungkin tadi aku sudah keluar dari tempat persembunyian ini dan masuk ke dalam kolam. Mandi bersama gadis cantik tadi! Dan tidak mandi saja tentunya. Akan kupeluk tubuhnya. Kudekap dadanya yang putih kencang itu dan..."

"Ssstt... !" Picak Kiri menggamit kaki saudaranya. "Lihat ada orang datang di puncak lembah!" Saat itu di atas lembah memang tampak seekor kuda putih tegak berhenti. Di punggungnya duduk seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih.

"Yang satu ini kuharap benar benar lelaki! Bukan gadis berpakaian pemuda!" kata Picak Kiri. "Jika dia mandi di kolam kita maka dialah mangsa ikan-ikan kita itu. Hitung-hitung sebagai pengganti gadis tadi!" kata Picak Kanan pula.

Penunggang kuda putih adalah Panji murid Kiai Kali Mutu dari Demak. telah menyelesaikan gemblengan terakhir sekitar satu bulan lalu. Sang Kiai kini melepaskan kembali ke dalam rimba persilatan untuk mencari pengalaman agar benar-benar menjadi seorang pendekar yang mantap. Seperti siapa saja yang baru pertama kali melihat keadaan lembah itu. Diapun merasa terheran-heran. Di musim kemarau yang panjang, di mana segala sesuatunya menjadi tandus kerontang. Tahu-tahu di lembah itu terdapat kesuburan yang disertai pemandangan indah luar biasa.

"Panah Putih," si pemuda memanggil nama kudanya. "kita akan bersenang-senang di lembah itu. Kau menyantap rumput sepuasmu dan aku beristirahat di kolam sana."

Bersama kudanya dia menuruni lembah. Binatang itu dilepas di padataran rumput, dia sendiri menuju kolam, merendam kepalanya beberapa saat lalu menarik nafas segar dalam-dalam.

"Air kolam ini sejuk nyaman sekali. Tak puas rasanya kalau tidak mandi berendam..." Panji membuka kancing-kancing pakaiannya. Sesaat kemudian dia sudah mencebur masuk ke dalam kolam.

Picak Kiri berpaling pada saudaranya, "Mangsa sudah di dalam kolam. Kau tunggu apa lagi...?"

Picak Kanan menyeringai. Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Tenggorokannya turun naik. Perlahan lahan tangan kanannya bergerak ke dalam Iubang di antara semak belukar. Begitu menyentuh ujung tali rotan. segera dia mendorong ke depan. Lempengan tembaga berat penutup mulut terowonganpun terbuka. Panji mendengar suara berdesir aneh di dalam air kolam. 

Memandang ke samping kiri dilihatnya ikan hitam aneh banyak sekali berenang melesat ke arahnya. Hanya ikan-ikan kecil, pasti binatang penghuni kolam itu, apa yang ditakutinya? Pemuda ini tak pernah menyangka kalau hari itu, di tempat itu, adalah akhir dari perjalanan hidupnya yang masih sangat muda. Kematian datang menjemput bukan dalam berlaga menghadapi musuh dan kejahatan, tetapi justru muncul di sebuah kolam bagus berair sejuk.

Pemuda ini tersentak kaget dan menjerit kesakitan sewaktu ikani-kan Iblis Prahara manancapkan gigi-giginya di paha, di perut, sepanjang kedua kaki, pinggang, dada dan punggungnya Dia pergunakan kedua tangannya untuk menepis binatang itu. Tetapi percuma. Hanya beberapa ekor yang barjatuhan sedang yang datang menyerbu jauh labih banyak. Panji kerahkan tenaga dalam, maksudnya hendak lepaskan pukulan guna memusnahkan ikan-ikan Iblis itu. 

Tetapi pemuda ini menjerit sewaktu melihat kedua tangannya ternyata hanya tinggal tulang saja! Tubuhnya kemudian seperti diseret kuat-kuat ke dasar kolam. Kini ikan-ikan hitam berbentuk segitiga dengan gigi-giginya yang lancip runcing serta tajam seperti mata gergaji bukan saja manggerogoti tubuhnya, tetapi juga muka dan kepalanya. Air kolam yang tadi bening jernih kini tampak merah oleh darah!

Kuda putih yang tengah merumput di lereng lembah dongakkan kepala. Matanya berkedip-kedip memandang ke arah kolam. Seperti tahu apa yang terjadi binatang ini meringkik. Panjang dan keras. Barulangkali tiada henti.


***
ENAM

SUARA ringkik kuda yang keras panjang dan terus itu menarik perhatian Mahesa Kelud yang tengah dalam perjalanan menuju ke timur. Mungkin itu hanya ringkik kuda liar yang kehausan. Mungkin juga ringkik seekor kuda yang tengah menghadapi bahaya. Atau ada kuda penarik kereta terbalik. 

Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pemuda ini segera mendaki bukit tandus di depannya. Sampai di puncak bukit kalau saja dia tidak melihat seekor kuda putih yang terus meringkik, pastilah dia akan terpesona melihat keindahan yang terbentang di depan matanya.

Mahesa berlari mendekati kuda putih itu. Pada jarak tiga langkah mendadak binatang ini tendangkan kaki kiri belakangnya ke arah Mahesa. Kalau tidak cepat menghindar pasti perutnya kena diterjang kaki kuda itu.

"Kuda putih... tenang. Tenang... Aku sahabatmu. Aku tak akan mengganggumu! Kenapa kau meringkik terus menerus!" 

Mahesa berkata itu sambil ulurkan tangan mengelus tengkuk kuda putih. Binatang ini masih terus meringkik, tetapi tidak galak lagi. Mahesa memandang berkeliling. Tangannya terus mengusap leher kuda. Ketika dia menuruni pedataran berumput menuju ke kolam di bawah sana. Kuda putih itu mengikutinya. Di tepi kolam Mahesa menemukan sehelai pakaian yang terdiri dari pakaian dan celana panjang putih. Lalu ikat kepala putih. Persis seperti yang saat itu dikenakannya sendiri. 

Namun apa yang menjadi perhatiannya dan membuat pandekar ini keranyitkan kening adalah sesosok kerangka manusia lengkap dengan tengkorak kepala, terapung di air kolam yang tampak kemerah-merahan. Bau amis menusuk hidungnya. Kuda putih di sampingnya meringkik keras.

"Celaka! Kita tidak keburu mengambil dan menyembunyikan tengkorak itu. Air kolampun masih ada darahnya!" terdengar bisikan di balik tumpukan batu besar dan kerapatan pohon pohon. Yang berbisik adalah kakek botak Picak Kanan.

"Tenang saja...." Picak Kiri menyahut. "Tak mungkin orang itu mengetahui apa yang terjadi. Yang penting jangan keluarkan suara berisik. Pemuda itu jelas tengah meneliti keadaan di tempat ini!"

Mahesa tegak di atas batu besar di tepi kolam. Otaknya bekerja keras memecahkan teka-teki apa yang telah terjadi di tempat itu. Pembunuhan? Seseorang, pemilik pakaian putih dan pemilik kuda putih itu. diakah yang jadi korban? Tapi siapa yang membunuh? Mahesa menatap ke arah tengkorak yang terapung di air kolam. Pada saat itulah di belakangnya terdengar suara derap kaki kuda, disusul oleh suara seseorang berseru, 

"Kakak Panji!"

Mahesa cepat berpaling. Bukan saja ingin melihat siapa yang memanggil itu tetapi juga karena Panji adalah nama aslinya, nama sebelum gurunya Embah Jagatnata memberikan nama Mahesa Kelud kepadanya. Siapa gerangan orang yang mengetahui nama aslinya itu? Ketika berpaling Mahesa dapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang muda penunggang kuda hitam. Pemuda itu bertubuh ramping, berpakaian serba putih dan memiliki paras serta kulit sehalus perempuan.

"Ah! Kau bukan kakak Panji!" penunggang kuda hitam berkata dan di wajahnya tampak bayangan rasa heran. Dia memandang ke tengah kolam di mana tampak mengapung tengkorak manusia. Lalu melirik pada kuda putih di samping kiri si pemuda. "Kau bukan kakak Panji! Tapi kuda itu adalah Panah Putih. Kuda miliknya. Dan..."

Penunggang kuda hitam meluncur turun dan kudanya ketika melihat seonggok pakaian putih di atas batu di tepi kolam. "Ini pasti pakaiannya. Kakak Panji! Di mana kau!" seru pemuda ramping itu yang bukan lam adalah Sri Megaresmi murid Kiai Kali Mutu, adik seperguruan Panji. Kenapa gadis berpakaian lelaki ini kembali ke tempat itu?

Seperti diceritakan, sebelumnya Megaresmi telah datang ke lembah yang indah itu dan sempat mandi di kolam. Meskipun hatinya diselimuti rasa senang karena dapat mandi di air yang bersih bening dan sejuk demikian rupa namun setelah meniggalkan tempat itu gadis ini menaruh rasa tidak enak. Dia yakin gerak-geriknya ketika mandi tadi telah diintip oleh orang lain. 

Rasa jengah timbul dalam dirinya. Tetapi sekaligus juga rasa marah. Jika ada orang yang berani mengintipnya mandi, orang itu siapapun adanya harus digebuk dan dihajar. Maka gadis yang keras hati ini sengaja kembali ke tempat itu untuk menyelidik. Justru yang ditemuinya adalah Mahesa Kelud dan kuda putih milik kakak seperguruannya.

"Saudara, kau memanggil nama Panji berulang kali! Siapakah dia? Aku sendiri juga bernama Panji!" Mahesa menegur.

"Aku tak perduli siapa namamu! Yang kucari adalah Panji kakak seperguruanku! Kulihat kuda putihnya ada bersamamu! Dan itu pasti pakaiannya!"

"Ketika aku sampai di tempat ini kutemui kuda ini meringkik terus-terusan. Lalu kutemui pakaian. Aku tidak melihat siapapun di sini, kecuali tengkorak yang terapung apung di dalam kolam..." menerangkan Mahesa.

Megaresmi memandang ke kolam kembali. Hatinya tidak enak. Berpaling ke arah Mahasa dia tiba-tiba berkata: "Pasti kau yang tadi mengintip aku mandi!"

"Hah! Aku baru saja sampai di tempat ini! Bagaimana kau bisa menuduh aku mengintipmu mandi! Memangnya kapan kau mandi di sini? Di dalam kolam yang ada jerangkong ada airnya amis itu?!"

"Jangan berpura-pura! Ketika aku mandi kolam itu bersih dan sejuk airnya. Tak ada bau amis, apalagi jerangkong!" tukas Megaresmi.

"Aneh, kalau begitu sesuatu telah terjadi sesaat setelah kau pergi dan sebelum aku muncul di tempat ini!" kata Mahesa pula.

"Aku curiga! Kaulah yang telah membunuh kakak seperguruanku!"

Mahesa Kelud tentu saja terkejut mendengar tuduhan itu. "Tuduhanmu tak beralasan. Aku tak pernah bertemu dangan kakak seperguruanmu itu. Lalu apa pula pasal musababnya aku membunuhnya?!" Mahesa memandang ke arah kolam. "Apa kau bisa membuktikan bahwa aku yang membunuh saudaramu dan bagaimana cara aku membunuh!"

"Aku tidak merasa perlu membuktikannya. Justru kau yang harus mengakuinya. Jika kau berani bardusta kupecahkan batok kepalamu!"

Mahesa tersenyum. "Siapa sudi mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya? Apalagi membunuh orang!"

"Kalau begitu bersiaplah untuk mampus! Aku yakin kau membunuh kakakku Mungkin karena kau menginginkan kuda putihnya itu Atau antara kalian ada dendam kesumat!"

"Pemuda picik! Jika aku membunuh seseorang mana mayatnya?!"

"Pasti telah kau sembunyikan. Atau mungkin jerangkong yang ada dalam kolam itu!"

Mahesa tertawa. "Membunuh seseorang lalu membuatnya hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak seperti itu bukan pekerjaan mudah! Mayat yang dikuburpun berbilang tahun baru menjadi tengkorak putih!"

"Sudahlah! Kau mau mengaku atau tidak?!" Megaresmi mengancam.

"Apa yang harus kuakui?!" tukas Mahesa.

"Keparat! Mulutmu pandai berdalih! Lihat serangan!"

Mahesa Kelud terkejut ketika melihat "pemuda" di hadapannya menerjang dengan satu pukulan kilat mengarah mukanya. Dari angin pukulan yang mengeluarkan suara berdesir. Mahesa segera maklum kalau pemuda yang kelihatannya lemah lembut itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Untuk menjajal sampai di mana kekuatan lawan maka diapun angkat lengan kiri, menangkis.

Megaresmi dalam marahnya juga ingin menjajagi kehebatan si pemuda maka diapun tidak berusaha untuk menghindarkan terjadinya bentrokan lengan. Buk! Mahesa melompat mundur sambil teliti pergelangan tangannya. Ternyata lengannya tampak kemerah-merahan dan rasa sakit membuat pendekar ini menatap kagum ke depan. Tidak disangka pemuda yang bertubuh ramping halus itu memiliki kekuatan luar biasa. Sebaliknya Megaresmi sendiri tampak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangannya. Jelas dia menderita sakit yang amat sangat. 

Melihat hal ini diam-diam Mahesa jadi kasihan dan berkata, "Harap maafkan, bukan maksudmu mencelakaimu. Tanganmu cidera?!"

"Kentut busuk!" Megaresmi memaki gemas. Ucapan belas kasihan itu olehnya terasa justru seperti ejekan. Tubuhnya berkelebat ke depan. Tangan kirinya membabat deras mencari sasaran seru. Jurus demi jurus berlalu sangat cepat. Tak terasa dua puluh jurus telah terlewatkan. Megaresmi keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat memukul atau merobohkan lawan. 

Namun sampai tenaganya terkuras dia tak mampu menyentuh tubuh pemuda itu. Sebaliknya Mahesa bekerja keras dan harus keluarkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari Embah Jagatnata, sesekali digabung dengan jurus-jurus ilmu pedang yang didapatnya dari Suara Tanpa Rupa. 

Selama perkelahian Mahesa lebih banyak mengambil sikap bertahan. Entah mengapa dia merasa tidak tega balas menyerang. apalagi sampai menjatuhkan tangan keras. Selain tidak ada silang sengketa dengan "pemuda" itu. Mahesa juga sadar kalau lawannya banyak terpengaruh oleh anggapan bahwa dialah yang telah membunuh kakak seperguruannya.

Memasuki jurus keduapuluh lima gerakan Megaresmi tampak semakin lamban. Nafasnya menyengal. Gila! Maki "pemuda" ini. Tadi bertempur melawan orang-orang kerajaan itu dia sama sekali tidak merasa lemas. Mengapa menghadapi lawan yang seorang ini tenaganya seperti tersedot. Dalam keadaan kehabisan tenaga, ketika Mahesa menepuk bahunya, Megaresmi akhirnya jatuh terduduk di antara pohon-pohon bunga yang sedang bermekaran. 

Perasaannya campur aduk. Malu, gemas, marah dan menyesal. Sekian lama menjadi murid Kiai Kali Mutu ternyata kepandaiannya hanya sampai di situ saja. Tak sanggup menghadapi pemuda itu. Percuma menghabiskan waktu sekian lama di Demak kalau hasilnya hanya begini saja. Terlupa akan penyamarannya. Megaresmi duduk bersimpuh di tanah sambil tekap mukanya dengan kedua tangan. lalu tak sadar dia menjambak-jambak rambut di kepalanya hingga gelungannya terlepas dan rambutnya yang panjang sebatas bahu tergerai. Melihat ini Mahesa Kelud tentu saja jadi terkejut.

"Hah... kau ini lelaki atau..."

Megaresmi turunkan kedua tangannya, memandang melotot pada Mahesa

"Kau... seorang perempuan!" ujar Mahesa.

Baru Megaresmi sadar. Kedua tangannya diusapkan ke kepala. Sadar dia apa yang terjadi. Sanggulnya lepas. Penyamarannya terbuka. Yang bisa dilakukannya kini adalah menangis dan menangis!

Mahesa geleng geleng kepala. Dia duduk di tanah di hadapan gadis itu tapi tetap menjaga jarak karena bukan mustahil tiba-tiba si gadis kembali menyerangnya.

"Apa yang hendak kau lakukan padaku?!" tiba-tiba Megaresmi bertanya dengan suara keras. Nadanya penuh putus asa.

"Eh. aku tak akan melakukan apa-apa. Memangnya kenapa?" tanya Mahesa heran.

"Kalau begitu enyahlah dari hadapanku!"

"Jika kau tidak suka pada tampangku yang jelek, tak jadi apa." sahut Mahesa. "Tapi di tempat ini ada sesuatu yang tidak beres. Bagaimana kalau kita melakukan penyelidikan bersama-sama. Bukankah kau menaruh curiga bahwa kakak seperguruanmu berada di tempat ini dan lenyap secara aneh. Lalu ada jerangkong terapung di kolam sana. Dan kuda putih itu yang menurutmu adalah kuda kakakmu. Dan pakaian putih. Atau mungkin kau masih menuduhku sebagai pembunuh?"

"Sampai kau sendiri yang membuktikan bahwa kau bukan pembunuh, aku tetap mencapmu sebagai pembunuh!"

"Kau keterlaluan. Siapa sih namamu?!" Tanya Mahesa.

"Perlu apa kau tahu namaku! Dengar! Hari ini aku mengaku kalah. Mengejek dan mempermankanku! Tapi tunggu saja! Aku akan datang lagi mencarimu. Aku akan berguru ke selatan. Sekali kau kutemui lagi akan kuhajar kau sampai menggelepar!"

"Kau gadis keras hati!" kata Mahesa. 

Megaresmi tak menyahut. Dia bangkit berdiri, mengambil pakaian putih yang terletak di atas batu di tepi kolam lalu melompat ke atas kuda hitamuya. Sebelum pergi dia berpaling pada kuda putih yang tegak di samping Mahesa.

"Panah Putih." katanya. "aku tak bisa membawamu. Jagalah dirimu baik-baik..." 

Sesaat gadis itu melirik ke arah Mahesa lalu membedal kudanya dan tinggalkan tempat itu. Yang ada di benaknya saat itu adalah bayangan orang tua serba putih yang muncul bersama anak rusa di pundaknya. Orang tua itu telah menyuruhnya pergi menemuinya di selatan. Semula sama sekali tak ada niat di hati Megaresmi untuk memenuhi permintaan itu. 

Tapi setelah dia dikalahkan oleh pemuda tadi. Hatinya benar-benar kesal. Dia bertekad untuk membalas kekalahan itu. Untuk kembali ke gurunya di Demak dia merasa malu. Karena itu dia menuju ke selatan, mencari kakek sakti yang mengatakan bahwa dirinya berjodoh untuk diambil murid. Gadis ini sama sekali tak pernah mengetahui kalau orang tua yang hendak mengambilnya menjadi murid itu sesungguhnya adalah juga guru Mahesa Kelud.

Sesaat setelah sendirian Mahesa tegak termangu. Akhirnya didekatinya kuda putih itu, dielus-elusnya tengkuk binatang ini seraya berkata, "Kuda putih, namamu Panah Putih, benar...?"

Sang kuda kedip-kedipkan mata.

"Dari pada tak ada yang mengurusmu, lebih baik ikut bersamaku." Lalu Mahesa melompat ke punggung kuda itu dan memacunya ke jurusan timur.


***
TUJUH

TIGA ekor kuda berpacu menuruni lembah berumput. Dua kuda di tunggangi oleh dua orang bertubuh kekar berwaiah bengis dan memiliki rambut gondrong menjela bahu. Muka masing-masing selain tertutup debu juga terbungkus oleh cambang bawuk serta kumis tebal. Kuda ketiga tidak berpenumpang tapi membawa sejumlah buntalan dan peti kayu.

"Delapan tahun malang-melintang di daerah ini, baru hari ini aku tahu kalau di sini ada lembah yang begini indah, lengkap dengan bunga dan kolam sejuk!"

Penunggang kuda yang sebelah kanan berkata sambil tekankan telapak tangan kanannya ke gagang golok besar yang tersisip di pinggang.

"Warok. tempat ini pantas kita jadikan markas!" kata kawan di sebelahnya.

Yang dipanggil dengan sebutan warok usap-usap cambang bawuknya lalu menjawab, "Itu tadi memang terlintas dalam benakku. Tapi tempat seindah ini tidak aman bagi kita dan anak-anak. Kau tahu siapa saja yang lewat di sini pasti menyempatkan singgah untuk menikmati pemandangan serta bermain di kolam. Aku sendiri merasa gerah. Sudah seminggu tubuhku tak menyentuh air. Sampang Ijo. Kau berangkatlah duluan. Bawa serta barang-barang itu. Tunggu aku di Goa Srindil. Aku ingin mandi dulu di kolam ini.. . "

"Kalau warok berkata begitu baiklah," kata Sampang Ijo lalu dia menarik tali kuda barang dan segera tinggalkan tempat itu.

Kakek botak Picak Kiri mengusap-usap kepatanya yang botak. "Kalau aku tidak salah terka, manusia gondrong bertampang buas itu adalah Warok Suto Jagal, kepala rampok yang terkenal jahat dan ganas itu... "

"Memang dia," jawab Picak Kanan. "Gerak-geriknya dia hendak mandi kolam kita. Kali ini ikan-ikan kita akan dapat mangsa alot! Daging dan darahnya pasti tidak sedap!"

"Tak jadi apa. Yang penting ikan-ikan Iblis Prahara itu dapat makan. Yang aku takutkan justru kalau mereka sampai mati kelaparan. Siapkan perkakasmu Picak Kanan. Sebentar lagi sang warok akan berlangir darah dan dagingnya sendiri! Hik... hik... hik!"

Saat itu Warok Suto Jagal memang sudah menanggalkan pakaiannya. Dadanya tampak penuh tertutup bulu sampai ke pusar dan perutnya yang buncit berlemak. Air kolam muncrat tinggi ketika tubuh yang besar gendut itu mencemplung masuk.

"Sedapnya mandi di sini ..." kata sang warok. "Sehabis mandi sebaiknya aku tidak terus ke Goa Srindil. Aku mampir dulu ke tempat Nyi Jumilah. Dia tentu senang bergelut-gelut dengan tubuhku yang bersih. Selama ini dia selalu mengatakan badanku bau...!"

Suto Jagal berenang ke tepi, maksudnya hendak mengambil daun-daun dan kembang-kembang melati untuk digosokkan ke badannya agar harum. Tetapi sebelum dia mencapai tepi kolam tiba-tiba ada sesuatu yang menggigit kakinya. pahanya, lalu pinggul dan pinggangnya. Dari terpekik kesakitan. Kini malah dada dan perutnya seperti dicucuk.

"Binatang keparat!" maki kepala rampok itu ketika melihat ternyata yang menggigit tubuhnya adalah ikan-ikan kecil berwarna hitam. Dia mengibas kian kemari sambil berusaha mencapai tepi kolam. Namun ikan-ikan yang ribuan ekor banyaknya itu lebih dahulu menyeretnya ke dalam kolam. Ketika tak lama kemudian Warok Suto Jagal muncul di permukaan air maka tubuhnya hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak yang mengerikan!

"Ikan-ikan luar biasa!" kata Picak Kiri sambil menyeringai puas. "Tubuh begitu besar alot dan penuh lemak dihabisi dalam waktu singkat! Picak Kanan, ayo cepat masukkan ikan ikanmu. Aku harus mengangkat jerangkong itu dari dalam air. Kawatir ada pendatang lain muncul seperti kejadian tempo hari..."

Picak Kanan goyang-goyang ujung tali rotan yang dipegangnya. Dan bagian atas tarowongan di dalam tanah berjatuhan butir-butir pasir berkilauan. Ribuan ikan hitam yang tertarik melihat benda-benda ini segera menghambur masuk ke dalam terowongan. Picak Kanan lalu menarik ujung tali rotan. Lempengan tembaga berat turut menutup mulut terowongan. 

Sementara itu Picak Kiri keluar dari tempat persembunyian mereka membawa sebuah galah yang ujungnya ada pengait. Dengan galah itu dikaitnya jerangkong tengkorak Suto Jagal lalu diseretnya sejauh dua ratus tombak, ke satu tempat tersembunyi di mana terpampang satu pemandangan yang mengerikan. Di situ tertumpuk puluhan tulang belulang dan tengkorak manusia. Semua adalah korban-korban tak berdosa yang menemui ajal terjebak dalam kolam iblis!

Selesai membuang tulang belulang Warok Wuto Jagal, Picak Kiri kembali ke tempat persembunyian di belakang batu dan pohon-pohon besar. Dia mengeluarkan sebuah pisau kecil, lalu menggurat batang pohon di depannya dengan ujung pisau. Pada batang pohon itu terdapat puluhan guratan.

"Sudah berapa semuanya Picak Kiri?" tanya kakek Picak Kanan.

"Tiga puluh satu..."

"Banyak juga. Hik... hik... hik... Berapa korban lagi yang bakal kita dapatkan!"

Mendadak dari atas salah satu pohon di bawah mana kedua kakek botak ompong ini berada, terdengar suara seseorang membentak. "Manusia-manusia edan! Kalian tidak akan mendapat korban baru! Kalau ada yang mampus dalam kolam itu, itu adalah kalian berdua!"

Tentu saja Picak Kanan dan Picak Kiri kaget bukan main. Kedua kakek botak ini mendongak ke atas pohon. Saat itu tampak sesosok tubuh melayang turun. Sambil turun orang itu hantamkan kaki kiri kanan ke batok kepala dua kakek aneh. Ini adalah satu serangan maut yang ganas!

Dua kakek berseru keras dan serentak menghambur selamatkan diri. Satu melompat ke kiri, satunya lagi membuang diri ke kanan. Sambil berkelit keduanya sama hantamkan tangan ke atas. Dua gelombang angin deras laksana gunting menyambar tubuh yang melayang turun. Tapi meleset karena orang itu kelihatan jungkir balik dan di lain kejap dia sudah menjejakkan kedua kaki di tanah. 

Tegak sejauh enam langkah dari dua kakek botak plontos. Orang ini seorang tua mengenakan pakaian biru. Di pinggangnya tergelung sebuah ikat pinggang berupa ular sanca besar yang merupakan satu senjata ampuh berbahaya. Yang menggidikkan dari orang ini ialah mukanya yang tinggal kulit pembungkus tulang hingga muka itu hampir menyerupai sebuah tengkorak!

"Datuk Ulat Muka Tengkorak!" seru Picak Kiri dan Picak Kanan dengan suara bergetar.

"Tak ada hujan tak ada angin! Tak ada silang sengketa tak ada lantai terjungkat! Kenapa kau hendak membunuh kami?!" bertanya Picak Kanan. Baik dia maupun Picak Kiri tahu betul kehebatan Datuk Ular apalagi kalau manusia ini sampai pergunakan ikat pinggang ular sancanya urusan bisa berabe.

Datuk Ular meludah ke tanah. "Antara kita memang tak ada silang sengketa ataupun perselisihan! Tetapi antara kau dan kebenaran ada yang perlu diselesaikan! Tigapuluh satu orang tak berdosa telah jadi korban kejahatan kaiian! Untuk itu kalian pantas dihajar sampai mati!"

(Mengenai siapa adanya Datuk Ular Muka Tengkorak ini harap baca serial Pedang Sakti Keris Ular Emas: Simo Gembong Mencari Mati dan Srigala Berbulu Domba)

"Datuk Ular... Datuk Ular..." kata Picak Kiri sambil geleng-geleng kepala. "Aku menghormati nama besarmu. Tapi jika kau memaksa bukan berarti aku dan saudaraku ini akan diam saja seperti kerbau dungu!"

Datuk Ular Muka Tengkorak tertawa mengekeh. "Perlu dibuktikan dulu apa betul kalian bukan dua ekor kerbau dungu!" Habis berkata begitu sang datuk langsung menyerbu kedua orang itu. Meskipun dikeroyok dua namun tampaknya sulit bagi dua kakek botak untuk mengalahkan lawan. Setelah menggebrak terus-terusan selama delapan jurus Picak Kiri dan Picak Kanan mulai mendapat serangan-serangan balasan yang membuat keduanya terdesak.

"Celaka, dua jurus di muka dia pasti dapat menggebuk kita. Bagaimana pendapatmu?" bisik Picak Kiri pada Picak Kanan.

"Tak ada jalan lain. Kau harus memancingnya berkelahi di tepi kolam. Begitu ada kesempatan dorong tubuhnya ke dalam air. Aku akan membuka katup tembaga di mulut terowongan!"

Mendengar ucapan itu maka Picak Kiri lepaskan dua serangan berantai ke arah Datuk Ular, begitu lawan balas menghantam dia cepat melompat ke atas batu-batu besar pembatas kolam iblis. Sementara saudaranya Picak Kanan menyelinap ke balik pepohonan di mana terdapat peralatan rahasia. Datuk Ular bukan orang bodoh. Dia sempat melihat kasak-kusuk di antara kedua lawannya. Pasti mereka menyusun rencana, pikirnya. Maka diapun lebih berhati-hati.

"Datuk Ular! Mari kita berkelahi satu lawan satu di atas batu-batu ini!" seru Picak Kiri.

Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu. Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu. "Kenapa cuma di atas batu-batu di tepi kolam itu? Mengapa tidak di dalam kolam saja?!" sahutnya.

Picak Kiri lemparkan senyum mengejek. "Nyalimu rupanya hanya sampai di situ! Lagakmu bersikap bersih, seolah-olah hendak melenyapkan kejahatan di muka bumi ini. Tapi semua orang tahu kau tak lebih dari seekor ular busuk kepala dua!"

Mendengar caci maki itu marahlah Datuk Ular. Dia terpancing melompat ke atas batu dan kirimkan serangan gencar pada Picak Kiri. Yang terserang pergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan satu gerak tipu dia berhasil membetot pinggang Datuk Ular dan menariknya kedalam kolam. Tapi sang Datuk tidak bodoh. Begitu tubuhnya jatuh, kakinya cepat mengait kaki lawan hingga keduanya sama-sama tercebur masuk ke dalam kolam. Malang bagi Picak Kiri justru tubuhnya terbenam lebih dulu. Selagi dia megap-megap karena hidung dan mulutnya kemasukan air, Datuk Ular hantam mukanya dengan satu jotosan. 

Di balik pohon Picak Kanan telah mendengar suara tubuh masuk ke dalam kolam, tapi dia tak dapat mengetahui dengan jelas siapa yang tercebur. Maka diapun bangkit mengintip-intip lewat celah-celah batu. Justru saat itu satu tendangan menghantam pelipisnya hingga si botak ini terpental dan roboh di tanah antara sadar dan pingsan. Datuk Ular seret tubuh Picak Kanan dan masukkan ke dalam kolam. 

Sadar apa yang bakal dialaminya Picak Kanan berteriak dan kumpulkan tenaga yang ada untuk keluar dari dalam air. Namun kembali satu tendangan menghantam tubuhnya di bagian dada. Picak Kanan terhempas ke belakang. Jatuh manimpa tubuh Picak Kiri yang dalam keadaan megap-megap berusaha pula selamatkan diri.

Datuk Ular lari ke balik pohon-pohon besar. Selama satu minggu secara diam-diam dia telah mengintai gerak-gerik kedua kakek botak itu dan tahu betul seluk-beluk alat rahasia yang tersembunyi di balik semak belukar. Dengan cepat dia mendorong ujung tali rotan. Tembaga penutup mulut terowongan terbuka. 

Ribuan ikan hitam menyerbu ke luar terowongan, langsung melumat dua sosok tubuh yang ada di dalam kolam, Picak Kiri dan Picak Kanan menggelepar-gelepar. Teriakan-teriakan putus asa keluar dari mulut keduanya. Namun itu hanya merupakan teriakan pengantar kematian mereka.

***
DELAPAN

SEBELUM menamatkan riwayat dua kakek jahat Picak Kiri dan Picak Kanan tujuan utama Datuk Ular semata-mata adalah untuk membasmi kejahatan dari muka bumi ini. Namun setelah kedua kakek itu terbunuh, maka satu pikiran sesat justru merasuk hati sang Datuk, malah sangat bertentangan dengan niat baiknya semula.

Seperti diketahui Datuk Ular adalah termasuk tokoh silat golongan putih. Meskipun demikian kerap kali tindakan-tindakan yang dilakukannya tidak begitu disukai oleh para tokoh golongan putih karena hanya mengikuti kehendak pribadi dan terkadang bahkan menguntungkan mereka dari golongan hitam. Dengan kematian dua kakek botak, sang datuk kini sadar betul bahwa hanya dia seorang yang mengetahui seluk beluk dan rahasia kolam iblis di lembah subur itu. 

Maka dalam hatinya yang telah terhasut oleh setan itu, Datuk Ular merasa dengan menguasai kolam itu dia dapat melakukan satu kejutan besar tetapi secara rahasia, yakni menguasai dunia persilatan! Caranya tentu saja mula-mula dengan membunuhi para tokoh silat yang tidak sehaluan dengan dia. Manusia pertama yang ingin dibunuhnya adalah bekas sekutunya sendiri yakni Dewi Rebab Kencana. 

Perempuan sakti ini yang termasuk golongan putih dalam banyak hal selalu menentang apa-apa yang ingin dilakukan sang datuk sehingga Datuk Ular mencapnya sebagai musuh dalam selimut. Setelah Dewi Rebab Kencana dibereskan, orang kedua yang masuk dalam daftar maut sang datuk adalah Mahesa Kelud. 

Beberapa waktu yang lalu, bersama beberapa orang kawannya dia pernah menempur pemuda murid Simo Gembong itu hingga terjungkal masuk ke dalam jurang batu bersama seorang anak buah Dewi Maut. Semula diperkirakan kedua orang itu telah menemui ajal di dasar jurang. Tetapi beberapa waktu yang lalu Datuk Ular menyirap kabar dan menemui bukti-bukti kuat yang menyatakan bahwa Mahesa Kelud masih hidup!

Tempat kematian yang paling tepat bagi kedua orang tersebut adalah kolam ikan iblis itu. Namun Datuk Ular tahu betul, tidak mudah untuk menjebak Dewi Rebab Kencana ataupun Mahesa Kelud untuk datang ke lembah itu. Tapi dasar manusia cerdik panjang akal, sang datuk segera menemukan akal bagaimana agar Mahesa Kelud serta Dewi Rebab bisa dibuat muncul. Selain cerdik Datuk Ular juga seorang yang memiliki perhitungan panjang.

Untuk menjaga segala kemungkinan, dia menghubungi Pengemis Sableng dan Pengemis Berkipas Putih yaitu dua orang tokoh silat pentolan istana yang dulu pernah ditugaskan hartawan Prajadika untuk menangkap Mahesa Kelud karena pendekar ini telah membunuh putera sang hartawan yang bernama Prajakuncara, yaitu ketika Prajakuncara hendak merusak kehormatan Wulansari.

Begitulah, selama beberapa bulan ini dunia persilatan diam-diam telah dilanda kegegeran. Beberapa tokoh silat dikabarkan lenyap tanpa diketahui apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka. Dalam kegegeran itu, dua orang menerima surat secara aneh. Surat pertama diterima oleh Dewi Rebab Kencana, berbunyi :

Berbilang bulan telah berlalu sejak kematian guru
Jika dendam kesumat masa lalu bisa dipupus
Ada satu pesan Simo Gembong yang perlu disampaikan.
Sudikah Dewi datang ke lembah subur di kaki selatan pegunungan Dieng.
Datanglah tepat pada tengah hari ketika sang surya bersinar terik.
Pada hari ke lima bulan enam.
Aku menunggu Dewi di tepi kolam berair sejuk.

Mehesa Kelud

Surat kedua sampai di tangan Mahesa Kelud. Di situ tertulis :

Berbulan-bulan telah berlalu sejak kematian gurumu
Ada pesan mendiang Simo Gembong yang terlupa kusampaikan
Jika kau murid yang patuh datanglah tepat pada
tengah hari ketika sang surya bersinar terik.
Pada hari ke tujuh bulan enam.
Aku menunggumu di tepi kolam berair sejuk.
Di lembah subur kaki selatan pegunungan Dieng.

Dewi Rebab Kencana.

Sewaktu Dewi Rebab Kencana menerima surat itu, hatinya diliputi berbagai kebimbangan. Pertama apakah benar surat itu dikirimkan oleh Mahesa Kelud, murid mendiang Simo Gembong, kekasihnya di masa muda. Kedua surat itu secara aneh disampaikan oleh seorang berpakaian seperti nelayan ketika dia berada di pantai selatan. 

Sewaktu dia berusaha menguntit nelayan itu, orang tersebut lenyap tanpa jejak. Nelayan biasa tak bakal bisa melakukan hal itu. Pasti nelayan tadi adalah seorang berkepandaian tinggi yang sengaja menyamar. Ketiga, jika Simo Gembong memang mempunyai pesan untuknya mengapa sang murid tidak memberitahukan ketika mereka berada di Pulau Mayat, tempat kediaman Dewi Maut, yaitu ketika mereka berada di sana sebelum Simo Gembong menemui ajal bunuh diri. 

Namun mengenang kehidupan masa lalunya bersama Simo Gembong dan teringat pada bayangan wajah Mahesa Kelud yang tak pernah dilupakannya karena wajah pemuda itu mirip seseorang yang pernah dicintainya, maka Dewi Rebab Kencana memutuskan untuk segera berangkat ke utara, menuju pegunungan Dieng. 

Hanya saja perempuan berusia lanjut tetapi awet muda ini mengadakan perjalanan seenak yang disukainya, maka dia sampai di lembah subur itu bukan pada hari ke lima bulan enam, melainkan pada hari ke tujuh bulan enam. Jadi terlambat dua hari dari yang tertulis dalam surat. Sang Dewi merasa tak perlu harus tepat seperti yang ditetapkan pengirim surat karena menurut anggapannya jika Mahesa memang memerlukannya, pemuda itu harus mau menunggu.

Mahesa Kelud sendiri dengan menunggang kuda putih milik Panji sampai di lembah lewat tengah hari, hanya terpaut beberapa saat dari Dewi Rebab Kencana. Pemuda ini datang dari arah utara, jadi tidak melalui bukit tandus seperti ketika pertama kali dia sampai di tempat itu. Justru karena kedatangannya dari arah yang berlawanan ini Mahesa berhasil mengetahui bahaya maut yang mengancam di tempat itu. 

Karena datang dari sebelah utara, Mahesa berada di kaki pegunungan yang lebih tinggi dan lembah tujuannya. Semakin ke bawah ternyata jalan yang ditempuh bukan semakin mudah, malah bertambah sulit karena bebatuan gunung bukan saja besar-besar tetapi juga licin berlumut.

Mahesa turun dari atas Panah Putih. Di satu tempat dia terpaksa meninggalkan binatang ini dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sekitar lima puluh tombak sebelum dia mencapai lembah subur di mana terletak kolam berair sejuk itu, dari kejauhan Mahesa melihat sosok tubuh seseorang membelakanginya. 

Orang ini duduk di tanah, di balik batu-batu besar dan pohon-pohon rimbun. Tampaknya seperti tengah memperhatikan ke arah kolam. Dari pakaian dan potongan tubuhnya Mahesa tahu betul orang itu bukanlah Dewi Rebab Kencana. Siapa adanya orang ini dan apa yang dila kukannya di tempat yang tersembunyi itu? 

Mahesa mendekati dengan hati-hati. Ketika jaraknya hanya terpisah lima belas tombak Mahesa segera mengenali siapa adanya orang itu, walau dia belum sempat melihat waiahnya. Pakaiannya yang biru, ikat pinggang ular besar yang tergelung di pinggangnya!

"Datuk Ular..." kata Mahesa dalam hati. Perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak enak. Dari balik pohon besar tempat dia berlindung pemuda ini coba melihat ke sebelah depan. Dia hanya dapat melihat sebagian dari kolam. Lalu pedataran berumput serta pohon-pohon bunga. Tak tampak siapapun di sekitar kolam. 

Tapi tunggu dulu! Seseorang berambut panjang tergerai, memegang sebuah rebab di tangan kiri dan penggesek di tangan kanan tiba-tiba tampak melangkah mundar-mandir di tepi kolam itu. Dewi Rebab Kencana! Sikapnya menandakan perempuan ini berada dalam ketidak sabaran. Dewi Rebab Kencana kini menyesali diri sendiri yang terlambat dua hari datang ke tempat itu hingga tidak menemui Mahesa Kelud si pengirim surat. Tapi dia juga menyesali pemuda itu yang tak mau menunggu sampai dia muncul.

Di balik pepohonan rapat Datuk Ular Muka Tengkorak merasa kesal, mengapa Dewi Rebab Kencana datang pada hari ketujuh bukannya hari ke lima seperti yang disebutkan dalam surat. Dia sengaja mengatur perbedaan waktu datang antara perempuan itu dengan Mahesa. Karena jika keduanya datang dalam waktu bersamaan, sulit baginya untuk menjalankan rencana jahatnya. 

Dia berharap agar Dewi Rebab cepat-cepat masuk ke dalam kolam dan agar Mahesa tidak muncul di tempat itu sebelum dia dapat membereskan perempuan sakti tersebut. Sang datuk tidak tahu kalau pendekar itu justru sudah ada di belakangnya. Mahesa merasa heran rnengapa Datuk Ular orang yang selama ini menganggapnya sebagai musuh berada di tempat itu dan apa yang dikerjakannya di tempat itu. Jelas dia tengah memperhatikan gerak-geik Dewi Rebab dan sengaja bersembunyi.

"Bangsat ini pasti punya maksud yang tidak baik," kata Mahesa dalam hati. "Dua kali dia berusaha hendak membunuhku. Terakhir ketika dia membuat aku jatuh ke dalam jurang batu bersama Sembilan Biru. Jangan-jangan dia yang mengirimkan surat itu. Tapi mengapa Dewi Rebab juga bisa ada di sini...?"

Di tepi kolam Dewi Rebab menghibur hati dengan memetik bunga-bunga melati, menciumi bunga-bunga yang harum itu dan menyisipkannya di kelepak pakaiannya. Angin lembab bertiup sejuk. Sang Dewi melangkah di atas batu-batu besar pembatas tepi kolam. Memandang ke dalam kolam, mau tak mau hati perempuan ini jadi tergerak. Air kolam begitu jernih hingga dia dapat melihat dasar kolam yang tak seberapa dalam.

"Sebelum pemuda itu datang sebaiknya aku mandi saja dulu," pikir sang dewi. "Tapi kalau dia datang dan aku berada di kolam tanpa pakaian..." Hati perempuan ini sesaat ragu. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap masuk ke dalam kolam tapi tanpa membuka pakaian dalamnya. 

Di balik pohon-pohon besar Datuk Ular Muka Tengkorak tersenyum lega ketika dilihatnya Dewi Rebab Kencana masuk ke dalam kolam. Mula-mula bermain air di tepian, kemudian bergerak ke tengah. Datuk Ular menyeringai. Tangan kanannya menyelusup di antara semak-semak sampai akhirnya dia menyentuh ujung tali rotan.

"Tamat riwayatmu sekarang dewi... !" desis Datuk Ular. Lalu didorongnya ujung tali rotan itu. Lempengan tembaga berat penutup mulut terowongan terbuka. Ikan-ikan Iblis Prahara menyerbu keluar. Pada saat itu dari lereng pedataran berumput terdengar suara kuda dipacu, menyusul satu teriakan memperingatkan.

"Hai! Jangan mandi di kolam itu! Berbahaya! Lekas naik ke darat!"

Tiga orang tersentak kaget! Dewi Kencana, Datuk Ular Muka Tengkorak dan Mahesa Kelud!


***
SEMBILAN

KEPARAT sialan!" maki Datuk Ular. "Siapa bangsat yang berteriak memberi peringatan itu?!" Dia cepat berdiri dan mengintai dari balik pohon besar. 

Di dalam kolam saat itu ribuan ikan Iblis Prahara telah ke luar dari terowongan, langsung menyerbu Dewi Rebab Kencana. Perempuan sakti ini sempat mendengar suara aneh bersiuran di dalam air, namun teriakan orang tadi membuatnya lebih cepat waspada. Bukan saja karena dia merasa sangat malu kalau sampai kedapatan orang lain hanya dalam keadaan mengenakan pakaian dalam serta basah kuyup begitu rupa hingga setiap liku badannya yang bagus tersembul dengan jelas, tetapi juga peringatan itu sekaligus membuat dia mencium memang adanya bahaya yang tak kelihatan di dalam kolam itu.

Satu hal cerdik yang dilakukan oleh Dewi Rebab ialah dia bukan berenang menuju tepi kolam. tapi pergunakan kepandaiannya untuk melompat ke udara, jungkir balik dan melesat ke atas batu-batu. Tak urung tiga ikan iblis masih sempat mematuk dan menancap di kakinya hingga sang dewi terpekik kesakitan. Begitu sampai di batu dia segera menggebuk hancur ketiga ikan ini. Lalu cepat menotok beberapa bagian dari kakinya agar darah tidak terus mengucur dan sekaligus membendung rasa sakit.

Dewi Rebab cepat cepat mengenakan pakaian luarnya tanpa membuka pakaian dalam yang basah. Dia memandang tak berkedip pada penunggang kuda. Membuat orang ini bergidik merasakan keangkeran pada wajah cantik tapi pucat itu.

"Aku tidak kenal padamu! Tapi aku berterima kasih kau telah menolong. Siapa kau dan apa sebenar nya yang ada dalam kolam itu?" bertanya Dewi Rebab Kencana.

"Aku Parangwulung. Bekas kepala pengawal Tumenggung Singaranu! Tumenggungku menemui ajalnya di kolam ini tiga bulan yang lalu. Mati dilumat ribuan ikan-ikan ganas! Lihat ke dalam kolam sana!"

Parangwulung melompat turun dari kudanya dan melangkah ke tepi kolam. Dewi Kencana ikut memperhatikan ke dalam kolam. Tengkuknya menjadi dingin. Bulu kuduknya merinding. Ribuan ikan aneh berwarna hitam legam berbentuk segi tiga berkeliaran kian ke mari. Mulutnya selalu membuka hingga jelas kelihatan gigi-giginya yang runcing tajam seperti mata gergaji.

"Binatang binatang jahanam!" sumpah Dewi Rebab Kencana. Dia ingat pada tiga ikan hitam itu yang sempat menancap di kakinya. Tapi apa benarkah ikan-ikan itu ganas berbahaya?

Seekor burung hutan melayang rendah di permukaan kolam. Dewi Rebab Kencana cepat mengambil rebabnya lalu menjetik satu dari empat tali rebab. Terdengar suara melengking dan satu sinar putih kekuningan berkelebat ke atas. Burung hutan yang sedang terbang terdengar mencicit, tubuhnya langsung jatuh dan masuk ke dalam kolam. Ribuan ikan hitam bersirebut cepat. Dalam waktu sekejapan mata saja tubuh burung itu amblas lenyap. Tak bersisa lagi baik tulang-tulang maupun bulunya!

Bagaimana Parangwulung bisa berada dan muncul di tempat itu kembali? Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, ketika dia ditangkap oleh orang-orang kerajaan dan di bawanya ke tempat itu untuk memasitkan bahwa Tumengggung Singaranu memang menemui ajal karena diserbu ikan aneh di dalam kolam, ketika Sri Megaresmi yang menyamar sebagai seorang muda bersama seorang kakek sakti berpakaian serba putih telah menolongnya. 

Meskipun dirinya kini bebas tetapi untuk kembali ke kotaraja tak mungkin bagi Parangwulung. Kembali ke kotaraja berarti sama dengan menyerahkan diri bulat-bulat untuk ditangkap. Malah mungkin dia akan menerima perlakuan yang lebih kejam. Karena itu dia bertekad untuk mendapatkan bukti-bukti bahwa Tumenggung Singaranu memang menemui ajal di kolam itu. Setelah malang-melintang lebih dari dua bulan di luar kotaraja akhirnya dia kembali ke lembah subur tersebut untuk melakukan penyelidikan. 

Dia sampai di lembah pada hari dan saat ketika Dewi Rebab Kencana dilihatnya baru saja masuk ke dalam kolam. Karena sudah menyaksikan sendiri sebelumnya ikan-ikan hitam ganas dalam kolam itu, langsung saja Parangwulung berteriak memberi peringatan. Dan peringatannya itu tidak sia-sia karena berhasil menyelamatkan Dewi Rebab Kencana dari kematian yang mengerikan dan mengenaskan.

"Siapa yang punya pekerjaan gila ini?!"' tanya Dewi Rebab Kencana.

Parangwulung menggeleng. "Justru aku datang ke mari untuk menyelidik. Aku menjadi manusia buronan gara-gara kolam dan ikan-ikan iblis itu."

Dewi Rebab Kencana berpikir-pikir. "Mungkinkah pemuda itu...?" tanyanya dalam hati. "Mungkin dia yang sengaja memancingku mengirimkan surat jebakan. Tapi... aku dan dia tak ada perselisihan. Malah di pulau Mayat dia tahu betul bagaimana aku bertindak bijaksana, aku tidak ikut mengejarnya bersama Datuk Ular dan tokoh-tokoh silat istana. Dia sendiri menunjukkan sikap hormat terhadapku.

Di balik pepohonan besar di sebelah timur kolam iblis, Datuk Ular membalik cepat ketika terdengar suara menggeresek di belakangnya. Matanya terpentang lebar ketika melihat siapa yang tegak di hadapannya. Tapi dia tak mau menunjukkan sikap takut.

"Bagus! Ternyata benar kau masih hidup. Tahukah bahwa kedatanganmu ke mari hanya untuk mengantar nyawa!"

Mahesa Kelud menyeringai. "Mulutmu terlalu busuk! Hatimu ternyata sangat jahat! Jangan harap hari ini kau bakal kulepaskan hidup-hidup!"

"Pemuda sombong! Sampai di mana kehebatanmu!" Datuk Ular menerjang ke depan seolah-olah hendak menyerang.

Tetapi begitu Mahesa berkelit ke samping manusia muka tengkorak itu cepat menghambur ke kiri dan melarikan diri. "Datuk keparat! Kau mau lari ke mana?!" bentak Mahesa Kelud. Suara bentakan yang keras ini sempat terdengar oleh Dewi Rebab Kencana.

"Hai! Itu suara Mahesa!" seru sang Dewi. Dia memandang berkeliling! Di lain saat tubuhnya melayang laksana terbang ke arah batu-batu besar dan pohon-pohon di sebelah timur kolam. 

Parangwulung menyusul. Di situ keduanya menemukan Mahesa Kelud tengah berkelahi melawan seorang kakek muka tengkorak barbaju biru gelap.

"Datuk ular!" teriak Dewi Rebab Kencana ketika mengenali orang tua itu. "Jadi kau...!"

"Dewi Rebab Kencana!" balas berseru Datuk Ular. Otaknya yang cerdik segera bekerja. "Syukur kau datang! Lekas kau bantu aku menangkap pemuda ini! Bukankah dia murid Simo Gembong dengan siapa kau menanam dendam kesumat?!"

Dewi Rebah Kencana menyeringai. "Dendam kesumatku dengan Simo Gembong tak ada sangkut pautnya dengan pemuda ini. Katakan apakah kau yang mengirim surat keparat ini?!" Sang Dewi keluarkan surat yang pernah diterimanya dan balik pakaian dan melemparkannya ke tanah ke hadapan Datuk Ular.

"Dewi! Kau tahu aku tak pandai tulis baca. Mana mungkin aku yang mengirim surat itu. Pasti pemuda ini! Dia yang sengaja hendak menjebakmu!"

Hampir Dewi Rebab Kencana termakan oleh ucapan sang datuk kalau Mahesa Kelud tidak lekas membuka mulut. "Otakmu cerdik, mulutmu licin! Tapi hatimu busuk! Aku juga menerima sepucuk surat jebakan untuk datang ke mari. Bukankah kau yang menulis?!" Mahesa keluarkan surat yang dibawanya dan melemparkannya ke arah Datuk Ular. "Dewi, aku tadi menangkap basah tengah menggerakkan satu alat rahasia di balik pohon sana!"

Muka Dewi Rebab yang selalu pucat kini tampak merah. Sepasang matanya laksana dikobari api. "Antara aku dan kau tak ada perselisihan. Mengapa kau inginkan jiwa secara keji?" Suara Dewi Rebab bergetar tanda dia tidak dapat mengendalikan amarah. Sang datuk tak bisa menjawab. Mahesa membuka mulut. "Kalau dia tidak mau menerangkan saat ini biar arwahnya yang bicara di hadapan setan akhirat!"

"Betul sekali! Mari kita berebut pahala menghajar manusia ular kepala dua ini!" teriak sang dewi lalu menerjang kirimkan serangan dengan penggesek rebab.

"Celaka! Rencanaku berantakan!" keluh Datuk Ular dalam hati menghadapi Dewi Rebab seorang saja bukan urusan mudah baginya, apalagi kini di situ ada pula Mahesa Kelud. Datuk ini memandang berkeliling dan dalam hati dia menyumpah, "Sialan! Mana dua keparat edan itu! Sampai saat ini masih juga belum muncul!" maki sang datuk keluarkan suara suitan keras.

Dari kaki lembah sebelah selatan mendadak terdengar suitan balasan. Dua kali berturut-turut. Di lain saat dua orang tua berpakaian aneh seperti pengemis muncul di tempat itu sambil tertawa-tawa. Yang satu sambil berkipas-kipas.

Mahesa Kelud terkejut setelah melihat kemunculan dua manusia ini. Namun hatinya tidak kecut. Dua orang tua ini punya hutang piutang dengan dirinya. Merekalah dulu yang membantu Datuk Ular sampai dia jatuh ke dalam jurang batu!


***
SEPULUH

DUA ORANG TUA itu tertawa-tawa memandang pada Mahesa Kelud. Yang satu menuding seraya berkata:

"Hai! Bukankah budak ini sudah mampus waktu jatuh di jurang batu?!"

"Memang aku sudah mampus!" sahut Mahesa marah karena dipanggil dengan sebutan budak. "Yang tegak di depanmu adalah arwahku yang gentayangan. Yang akan mencopot kepalamu!"

"Hik... hik...hik! Lucu ada arwah bisa bicara. Dan mau mencopot kepala kita!" kata orang tua yang satu lagi. Dia mengenakan pakaian dekil bertambal-tambal. Rambutnya panjang awut-awutan. Dialah yang bernama Pengemis Sableng dan otaknya memang tidak watas. 

Di sebelahnya berdiri adik kembarnya yang dikenal dengan nama julukan Pengemis Berkipas Putih. Seperti kakaknya dia juga berotak tidak waras, mengenakan pakaian penuh tambalan tetapi bersih dan selalu membawa sebuah kipas putih. Kipas ini bukan kipas biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang hebat.

"Hai... kalian berdua jangan tetap mematung saja!" berteriak Datuk Ular. "Tangkap dan kalau perlu bunuh pemuda itu! Aku akan melayani perempuan bermuka pucat tukang pengamen ini!"

Lagi-lagi Datuk Ular berlaku cerdik. Dengan begitu dia akan menghadapi Dewi Rebab Kencana yang dianggapnya bisa dilayaninya sementara dua pengemis mengeroyok Mahesa Kelud yang menurut Datuk Ular jauh lebih berbahaya dari Dewi Rebab. Karena sebelumnya telah pemah dikeroyok oleh dua kakek berotak miring itu, Mahesa tahu betul kehebatan mereka. Terlebih pengemis yang memegang kipas putih. Maka tanpa menunggu lebih lama Mahesa segera cabut pedang Dewa dan siapkan pukulan karang sewu di tangan kiri.

"Aha! Pedang Dewa!" seru Pengemis Sableng. "Dulu aku inginkan senjata itu tapi tak kesampaian! Tidak tahunya hari ini kembali bertemu! Rupanya aku memang berjodoh memilikinya!"

Selesai berseru Pengemis Sableng menggapai ke depan hendak merampas senjata sakti itu. Gerakannya tampak lamban saja. Tapi seolah-olah kedua tangannya menjadi panjang secara aneh, tahu-tahu tangan yang kiri telah berkelebat ke pergelangan kanan Mahesa sementara tangan kanannya meluncur hendak menarik badan pedang!

Mahesa cepat putar tangannya, pedang sakti merah menderu. Sinar merah berkiblat menyilaukan. Pengemis Sableng tersentak kaget dan cepat tarik kedua tangannya yang hampir terbabat putus. Begitu pedang lewat dia kembali merangsak dengan gerakan-gerakan aneh! 

Dari samping di saat yang sama. Pengemis Berkipas Putih mulai membuka serangan dengan kibaskan kipas saktinya. Satu gelombang angin panas menerpa Mahesa. Pendekar ini merasakan tangannya yang memegang pedang bergetar. Cepat dia melompat ke atas untuk hindari serangan ganas itu lalu secepat kilat membalik menukik tusukkan pedang ke pangkal tenggorokan Pengemis Berkipas Putih!

Braakk!

Badan pedang sakti dan kipas putih saling beradu ketika Pengemis Berkipas Putih membuat gerakan menggebrak memukul senjata lawan. Mahesa yang sengaja tak mau manghindari bentrokan karena mengetahui keampuhan pedangnya hanya menggerakkan tangan sedikit lalu menerpa senjata lawan sambil kerahkan tenaga dalam. 

Dua bagian kipas putih robek besar. Pengemis Berkipas Putih melompat kaget dan mengomel tak karuan ketika dapati senjatanya telah rusak sementara Mahesa cepat atur pernafasan. Bentrokan tadi membuat rasa sakit menjalar dari lengan sampai ke pundak kanannya. Dalam keadaan seperti itu mendadak Pengemis Sableng menyerbunya sambil berteriak-teriak.

Kita tinggalkan dulu Mahesa dan dua pengeroyoknya. Di tepi kolam sebelah kiri Datuk Ular Muka Tengkorak tengah menempur Dewi Rebab Kencana dengan serangan serangan mematikan. Sejak jurus pertama sang datuk telah loloskan ikat pinggang ular sancanya. Senjata yang bisa berubah jadi tongkat atau bergelung seperti ular hidup ini menderu-deru menggempur sang dewi yang bertahan dengan rebab di tangan kiri dan penggesek di tangan kanan. 

Setelah lewat tujuh jurus dia masih belum dapat mendesak lawannya maka Datuk Ular mulai semburkan racun jahat dari mulut bangkai ular. Mau tak mau Dewi Rebab Kencana menghadapi lawannya dengan lebih hati-hati dan terpaksa menutup jalan pernafasan pada saat racun menyemprot ke arahnya.

"Datuk Ular!" seru Dewi Rebab. "Sejak dulu kau selalu mencari penyakit! Hari ini kau malah menggunting dalam lipatan hendak mencelakai teman sendiri! Kelakuanmu sungguh keji! Jangan harap aku akan memberi ampun padamu!"

"Perempuan muka pucat! Siapa yang merengek minta ampun padamu! Perempuan yang telah dirusak Simo Gembong di mataku tak lebih daripada barang rongsokan yang tak ada harganya!" balas berteriak Datuk Ular. 

Ucapan sang datuk benar-benar membuat Dewi Rebab marah sekali. Tubuhnya mencelat ke udara. Dari atas perempuan ini gesekkan rebabnya. Suara melengking menembus langit di atas lembah. Cahaya putih kekuningan menyilaukan mata berkiblat. Datuk Ular sapukan senjatanya ke atas untuk menangkis. Namun dia salah perhitungan. Bagaimana pun juga cahaya lebih cepat jalannya dari pada gebukan bangkai ularnya. 

Datuk Ular terhempas ke belakang. Sekujur tubuhnya terasa panas seperti dipanggang. Dia gerakkan lagi tangannya untuk menghantam dengan senjatanya. Tetapi apa yang terjadi membuat nyalinya jadi lumer. Bangkai ular sanca yang sangat diandalkannya itu ternyata telah hangus dan begitu digerakkan senjata ini jadi luruh ke tanah!

Dewi Rebab Kencana tertawa panjang. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan sang datuk dengan penggesek rebab ditekankan ke tenggorokannya. "Datuk, apakah kau senang mandi di kolam yang sejuk sana...?"

Sepasang mata Datuk Ular terbeliak besar ketika mendengar kata-kata Dewi Rebab. Kemudian dirasakannya tekanan kuat pada lehernya membuat dia terjajar mundur ke arah kolam. "Tidak! Jangan!" teriak Datuk Ular.

Dewi Rebab kembali perdengarkan suara tawa panjang. Dia terus menekan leher sang datuk dengan penggesek rebab. 

"Kau boleh bunuh aku dengan cara apa pun! Tapi jangan suruh aku masuk ke dalam kolam iblis itu!" teriak Datuk Ular.

"Itu satu-satunya tempat kematian yang paling bagus untukmu!" sahut Dewi Rebab. Dalam takutnya Datuk Ular menjadi nekad. Dia menyeruduk ke muka sambil menendang salah satu tangan mencengkeram.

Bret!

Datuk Ular hanya berhasil merobek dada pakaian Dewi Rebab. Sebaliknya penggesek rebab yang menekan lehernya tiba-tiba bergerak sangat kuat hingga kepalanya terbanting ke kiri dan badannya ikut miring. Sebelum dia mampu mengimbangi kedua kaki, ujung penggesek menusuk dadanya. Datuk Ular menjerit. Tapi bukan rasa sakit tusukan pada dada itu yang membuat dia menjerit. Melainkan rasa takut luar biasa ketika dia menyadari tubuhnya terpelanting ke belakang dan tak ampun lagi terjerumus masuk ke dalam kolam!

Jeritan Datuk Ular masih terdengar dua kali lagi. Setelah itu lenyap. Tubuhnya yang sesaat menggelepar-gelepar kini tampak diam. Ribuan ikan Iblis Prahara menggerogoti tubuhnya mulai dari batok kepala sampai ke ujung kaki. Tubuh itu kemudian hanya tinggal tulang belulang!

Dewi Rebab yang sudah sering menyaksikan berbagai macam kematian yang mengerikan kini benar-benar merinding bulu tengkuknya. Tak ada kematian sedahsyat seperti yang dilihatnya di kolam itu. Kalau saja tadi dia tidak mendapat teriakan peringatan dan tak sempat melompat ke luar dari dalam kolam, nasibnya pasti sama seperti yang di alami Datuk Ular itu.

"Datuk Ular! Kami bertempur mati-matian kau enak-enak mandi di kolam!" 

Tiba-tiba terdengar teriakan kakek sinting Pengemis Sableng. Dasar otaknya miring. Datuk Ular yang meregang nyawa dan kini hanya tinggal jerangkong dikatakannya sedang enak-enakan mandi. Saat itu meskipun dia bersama adik kembarnya berada dalam keadaan terdesak, enak saja dia meninggalkan kalangan perkelahian dan melompat ke tepi kolam.

"Hai! Datuk Ular! Di mana kau?" teriak Pengemis Sableng. Di dalam kolam yang airnya telah butek oleh darah dia hanya melihat ribuan ikan hitam dan tulang tengkorak manusia.

"Pengemis Sableng!" menegur Dewi Rebab. "Jika kau tidak lekas ajak adikmu minggat dari sini kalian akan segera menyusul Datuk Ular menjadi tulang belulang!"

"Perempuan muka pucat mulutmu sombong amat!" maki Pengemis Sableng. Dia hendak menyerang Dewi Rebab tapi di sebelah sana terdengar saudaranya minta tolong. 

Ditinggal sendirian rupanya Pengemis Berkipas Putih tak sanggup menahan gempuran Mahesa Kelud. Walau dia berhasil melepaskan beberapa kali gebukan ke tubuh dan muka Mahesa, namun kipas saktinya telah hancur terbabat pedang sakti lawan. Pakaiannya bahkan telah robek-robek di beberapa bagian. Pengemis Sableng cepat kembali membantu adiknya. Namun saat itu serangan Mahesa Kelud tak terbendung lagi. Pemuda ini keluarkan seluruh jurut-jurus ilmu pedang dewa yang didapatnya dari gurunya Suara Tanpa Rupa.

"Adikku! Baiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Tak ada gunanya meneruskan perkelahian!" kata Pengemis Sableng. 

Pengemis Berkipas Putih menyambut marah. "Pengecut! Jika kau mau kabur, kaburlah! Tapi hubungan kita sebagai adik kakak putus hari ini juga!"

"Manusia tolol! Datuk Ular sudah mampus. Upah yang kita dapat dari hartawan Prajadika tidak seberapa! Apa kau mau korbankan nyawa untuk hadiah yang secuil itu!" bentak Pengemis Sableng.

"Ucapanmu memalukan!" balas membentak Pengemis Berkipas Putih. Dia menarik tangannya ketika Pengemis Sableng membetotnya memaksa agar meninggalkan tempat itu. Justru di saat itu Pedang Dewa di tangan Mahesa Kelud datang membabat dan crass!

Pengemis Berkipas Putih menjerit. Lengan kirinya putus. Darah mengucur. Pengemis Sableng ikut menjerit. Tapi menjerit marah dan menyerbu Mahesa dalam gerakan tak karuan hingga mudah sekali bagi pemuda itu menghantamnya dengan pukulan karang sewu ke arah dadanya.

Pengemis Sableng terpentaI jauh. Darah mengucur dari mulutnya. Dengan susah payah dia bangkit berdiri. Tanpa perdulikan lagi adiknya dia melarikan diri tinggalkan lembah itu. Menyadari dirinya ditinggal sendirian. Pengemis Berkipas akhirnya mengikuti jejak kakaknya melarikan diri dalam keadaan luka parah.

Mahesa Kelud bersihkan pedang saktinya. Setelah masukkan senjata itu ke dalam sarungnya dia melangkah menemui Dewi Rebab dan menjura memberi penghormatan. "Dewi, jika kau tak ada di sini, sulit bagiku menghadapi ketiga manusia itu sekaligus."

"Kau pandai merendahkan diri Mahesa," sahut Dewi Rebab sambiI menatap paras pemuda itu. Wajahnya tetap pucat dan dingin. Namun di lubuk hatinya ada rasa gembira. Dia ingat Mahesa lah orang yang pernah memuji kepolosan hati dan kecantikan wajahnya.

Mahesa manggoyangkan kepala ke arah kolam. "Sulit dipercaya ada kolam iblis seperti ini."

"Pasti puluhan orang telah jadi korban di tempat ini. Kurasa lenyapnya beberapa tokoh silat ada sangkut pautnya dengan tempat ini. Ulah Datuk celaka itu. Ikan-ikan ini harus dimusnahkan!"

"Harus dimusnahkan sabelum ada korban lagi yang jatuh!" mengulang Mahesa. Lalu dia melangkah ke tepi kolam, tegak di atas batu-batu besar. Tangan kanannya di angkat ke atas. Mulutnya berkomat-kamit. Tangan kanan itu tampak bergetar ketika ada asap tipis keluar. 

Dewi Rebab dan Parangwulung merasakan lembah yang tadinya begitu sejuk kini tiba-tiba menjadi panas. Mahesa berteriak keras lalu pukukan tangan kanannya ke arah kolam. Asap putih menggebu disertai hawa yang sangat panas.

"Pukulan Api Salju!" teriak Dewi Rebab kaget dan kagum lalu melompat menjauh. Air kolam muncrat lalu terdengar mendidih. Ketika asap putih Ienyap tampakIah ribuan ikan-ikan Iblis Prahara telah mengambang dalam keadaan mati seperti direbus. Perlahan-lahan Mahesa Kelud turun dari batu besar.

"Mahesa... Apakah... apakah kau juga murid Pendekar Api Salju....." terdengar Dewi Rebab Kencana bertanya. 

Mahesa hanya tundukkan kepala tak memberikan jawaban. Tapi itu sudah cukup menjadi pertanda jawaban bagi sang dewi. Dan hatinya bertambah kagum terhadap pemuda ini. Dengan menguasai ilmu pukulan Api Salju itu maka dia sadar kalau ilmu kepandaiannya jauh tertinggal di bawah si pemuda.

"Tak ada gunanya kita berlama-lama di tempat ini Mahesa."

"Ya, sebaiknya kita pergi dari sini. Sebentar lagi maIam akan tiba," menyahuti Mahesa. Lalu dia bersiul memanggil kuda putih yang menunggu sabar di bukit-bukit batu.

"Ah... kau memiliki kuda bagus. Aku hanya berjalan kaki!" kata Dewi Rebab pula.

"Kalau kau suka kau boleh ambil kudaku..." kata Parangwulung yang sejak tadi tegak berdiam diri, tertegun menyaksikan segala kejadian.

"Terima kasih. Aku tak menolak pemberianmu yang tulus. Tapi kau sendiri bagaimana tanpa kuda..." tanya Dewi Rebab.

"Jangan pikirkan diriku. Apa yang telah terjadi di sini mendatangkah nikmat bagiku. Kini aku punya bukti-bukti bahwa Tumenggung Singaranu memang menemui ajal karena ikan-ikan keparat itu! Aku akan membawa kepala pengawal istana bernama Kebo Alit itu ke mari. Agar dia melihat sendiri!"

Dewi Rebab hendak naik ke atas kuda pemberian Parangwulung ketika dia ingat sesuatu sementara Mahesa sudah siap di atas punggung Panah Putih. "Kau telah menyelamatkan jiwaku dari ikan-ikan iblis itu. Tidak pantas rasanya kalau aku tidak meninggalkan sesuatu sebagai tanda terima kasih..."

"Dewi... aku tidak meminta balas jasa apapun..." kata Parangwulung. 

Saat itu Dewi Rebab telah berada di hadapannya. Parangwulung tak tahu apa yang hendak dilakukan perempuan sakti ini. Tiba-tiba Dewi Rebab ulurkan tangan kanan dan mencengkeram perut Parangwulung di bagian pusar. Lelaki ini menjerit kesakitan ketika dirasakannya ada hawa panas mengalir masuk ke dalam pusarnya lalu menyebar ke seluruh badan. Perlahan-lahan rasa sakit itu pun lenyap. 

Ketika Parangwulung buka kedua matanya yang tadi terpejam karena kesakitan, dilihatnya Mahesa Kelud dan Dewi Rebab Kencana telah memacu kuda masing-masing ke arah timur. Lelaki ini singkapkan pakaiannya di bagian perut. Tampak tanda merah bekas cengkeraman Dewi Rebab. Ketika dia melangkahkan kakinya, bekas pengawal Tumenggung ini terkejut. Dia dapatkan gerakannya sangat enteng.

"Eh, apa yang telah dialirkan perempuan sakti itu tadi ke dalam tubuhku...?" membatin Parangwulung. Dia acungkan tinju kanannya, mengusap-usap dengan tangan kiri. "Jangan-jangan..." 

Parangwulung memandang ke arah Dewi Rebab di kejauhan. Lalu ke arah sebuah batu besar di tepi kolam yang telah ambruk itu. Sesaat hatinya meragu. Namun dengan satu keyakinan Parangwulung hantamkan tangan kanan itu ke atas batu besar.

Braakk!

Batu besar itu hancur berantakan! Parangwulung berteriak girang. Lalu lelaki ini jatuhkan diri berlutut ke arah Dewi Rebab yang semakin jauh di arah Timur. "Terima kasih Dewi... Kau baik sekali. Terima kasih untuk tenaga dalam yang kau berikan! Aku tak pernah mengimpikan rezeki begini besar...!"


Kolam Iblis

Serial Mahesa Kelud Karya Bastian Tito

Kolam Iblis


SATU

INI BENAR-BENAR merupakan satu pemandangan yang sukar dicari tandingannya. Di kaki pegunungan Dieng sebelah selatan, dibawah udara yang selalu sejuk dalam tiupan angin lembut terdapat sebuah lembah yang ditumbuhi aneka ragam pohon-pohon bunga. Bagian tanah yang tidak ditumbuhi pepohonan menghijau pedataran rumput. 

Di ujung timur lembah menjulang tinggi pohon-pohon berdaun aneka warna. Di sebelah barat pada ketinggian yang menurun, diapit oleh pohon-pohon bunga dan pedataran rumput, mengalir sebuah anak sungai. Dari induknya di pegunungan Dieng anak sungai ini mengalirkan air sejuk bening ke dalam lembah di mana terdapat sebuah danau berbentuk bulat. Seperti air sungai yang menjadi sumbernya, air danau itu sebenarnya berwarna biru. 

Namun pantulan daun-daun pepohonan dan bunga-bunga yang sedang berkembang serta pedataran rumput yang seperti berkilauan tertimpa cahaya matahari, membuat air danau memiliki belasan warna yang indah menakjubkan.

Bagian tepi danau dilingkari oleh batu-batu besar hitam. Demikian rata dan bagusnya letak bebatuan itu hingga sulit dipercaya kalau batu-batu itu terletak begitu dengan sendirinya tanpa diatur oleh tangan manusia. Maka banyak yang berpendapat bahwa danau itu bukanlah danau ciptaan alam, melainkan dibuat dan dibentuk oleh tangan manusia. 

Dan dulunya mungkin sekali merupakan kolam mandi para dewi, permaisuri raja atau para puteri cantik jelita. Apalagi di antara bebatuan di sepanjang tepian danau tumbuh banyak pohon-pohon bunga melati yang menebar bau harum semerbak. Siapa saja yang berdiri di tepi kolam itu pasti akan tergerak hatinya untuk turun ke dalam air, berkecimpung bermain air yang ternyata dalamnya hanya sebatas dada. 

Pada malam hari. apalagi ketika saat bulan purnama, pemandangan di atas kolam dan sekitarnya sungguh sangat menakjubkan. Sangat cocok untuk tempat pasangan yang sedang berkasih-kasihan memadu asmara. Namun adalah sulit dipercaya kalau di balik semua keindahan menakjubkan dan kesejukan yang menyegarkan tersembunyi malepetaka ganas mengerikan yang berakhir hanya pada satu titik, yakni titik kematian!

Saat itu memasuki bulan ke dua musim panas. Sejak lama hujan tak pernah turun. Tanam-tanaman mulai kekeringan. Para petani mulai mengeluh. Sumur-sumur banyak yang menjadi kering. Bahkan sungai-sungai besar mulai susut airnya. Adalah aneh kalau kekeringan yang menggila itu seperti tak sanggup menyentuh kaki selatan pegunungan Dieng dimana terletak kolam yang dikitari pemandangan indah itu. 

Pohon-pohon bunga di sana tetap subur dan berkembang sebagaimana biasanya. Rerumputan tetap menghijau. Anak sungai tetap mengalirkan air sejuk ke dalam kolam, dan tiupan angin tetap lembut menyegarkan. Karenanya tidak mengherankan kalau Tumenggung Singaranu yang dalam perjalanan kembali ke Surakarta menghentikan rombongannya di lereng lembah, memandang ke bawah dengan penuh takjub.

"Taman bidadari atau kolam istana raja-rajakah yang dibawah sana...?" ujar sang tumenggung seraya turun dari kudanya yang keletihan. "Tapi aneh, tak ada rumah tak ada bangunan. Siapa gerangan pemilik kolam bulat itu. Mustahil terpelihara begitu bersih dan bagus kalau tak ada yang merawatnya..."

Tumenggung Singaranu berpaling pada lelaki bermisai lebat di sampingnya dan berkata, "Seharian penuh kita menempuh jalan sulit penuh debu di bawah terik matahari. Saatnya untuk beristirahat, Bagaimana kalau kita turun kebawah lembah?"

Parangwulung, lelaki bermisai lebat mengangguk dan menjawab hormat, "Saya hanya mengikut saja Tumenggung."

Maka Tumenggung Singaranu mendahului rombongan yang terdiri dari sembilan orang itu menuruni lembah, melangkah di antara pohon-pohon bunga, berlari-lari kecil di atas pedataran rumput yang menurun.

"Parangwulung," kata Singaranu sambil membelai-belai sekuntum bunga, "Apakah kau melihat keanehan ditempat ini?"

Lelaki berkumis tebal yang merupakan kepala pengawal sang tumenggung memandang berkeliling, coba menerka apa jawab yang harus diberikannya. Akhirnya dia menggeleng. "Saya tidak melihat keanehan apa-apa, Tumenggung," katanya.

Sang tumenggung tersenyum. "Rupanya kau hanya terpesona melihat keindahan alam yang terhampar di depan mata saja. Tidak berusaha menyimak bagaimana keindahan ini bisa tercipta."

"Saya tidak mengerti maksud Tumenggung," jawab Parangwulung terus terang. 

Sambil melangkah menuruni pedataran rumput hijau Tumenggung Singaranu berkata, "Dua hari dua malam kita menempuh perjalanan sebelum sampai ke tempat ini. Apa yang kita lihat? Bukit bukit dan pedataran tandus. Hamparan tanah keras yang pecah-pecah karena sekian lama tak tersentuh air. Sawah ladang yang mengering. Para petani yang dirundung kesusahan. Tapi di sini! Kau saksikan sendiri. Segalanya serba menghijau. Bahkan air sungai pun mengalir seolah-olah mata airnya tak terpengaruh oleh musim panas. Lihat bunga-bunga itu. Lihat rerumputan yang kita pijak. Lembah ini benar-benar luar biasa. Bukankah ini satu keanehan?"

Parangwulung manggut-manggut berulang kali. Baru dia mengerti apa maksud kata-kata sang tumenggung tadi. Rombongan sampai di tepi kolam. Tumenggung Singaranu tegak di atas sebuah batu besar sementara para pengikutnya duduk di batu-batu lain keletihan. Semua memandang ke dalam kolam yang airnya tampak berwarna-warni. 

Dalam warna-warni itu kejernihannya memungkinkan mata melihat dasar kolam yang tidak seberapa dalam. Kesejukan menyelubungi diri setiap orang yang memandang air kolam itu. Apalagi saat itu angin bertiup Iembut, menambah sejuk tenteramnya perasaan di tempati tu. Hasrat setiap anggota rombongan untuk ingin menceburkan tubuh ke dalam kolam itu seolah tak tertahankan. Hanya saja mereka tidak berani melakukan karena takut terhadap sang tumenggung. 

Singaranu berjongkok di atas batu. Dicelupkannya tangan kirinya ka dalam air kolam. Terasa kesejukan menjalar sampai ke lengannya. Dicelupkannya sekali lagi tangan kirinya, lalu tangan yang basah itu diusapkannya ke mukanya yang penuh debu.

"Ah.... benar-benar segar," kata sang tumenggung. "Aku ingin mandi di kolam ini!"

"Kami akan menunggu sampai Tumenggung selesai mandi." kata Parangwulung.

"Sementara itu biar anak-anak beristirahat...."

Kepala pengawal ini lalu memberi tahu pada anak buahnya bahwa Tumenggung hendak mandi dikolam. Mereka boleh beristirahat agak jauh dari tepi kolam karena tak pantas memperhatikan atasan mereka sedang mandi. Parangwulung sendiri pergi duduk di bawah sebatang pohon rindang. Pedang besarnya ditanggalkan dari pinggang dan diletakkan di atas pangkuan. Hembusan angin sejuk membuat ke dua matanya terkantuk-kantuk. 

Diseberang sana tampak Tumenggung Singaranu menanggalkan pakaian luarnya, meletakkan topi tingginya di atas batu lalu terdengar suara air berdebur tanda sang tumenggung sudah melompat masuk ke dalam kolam yang berair jernih dan sejuk itu. Tapi, tak sampai sepuluh hitungan sejak Tumenggung Singaranu masuk ke dalam kolam, mendadak terdengar suara jeritan sang tumenggung. Panjang dan berulang kali!

Parangwulung dan anak buahnya melompat dari tempat masing masing. Langsung menghambur ke tepi kolam! Apa yang mereka saksikan kemudian membuat tengkuk masing-masing merinding dan muka pucat pasi seperti kain kafan!

Di sana! Di dalam kolam itu mereka menyaksikan ratusan, bahkan mungkin ribuan ikan berwarna hitam sebesar empu jari kaki, bertebar berkerumun menggerogoti tubuh Tumenggung Singaranu. Dalam waktu sangat cepat seluruh daging di tubuh sang tumenggung, mulai dari kepala sampai ke kaki, licin tandas tak bersisa lagi. Termasuk isi perut dan dadanya. Sosok tubuh itu kini hanya tinggal tulang belulang alias jerangkong dengan sedikit sisa-sisa rambut pada batok tengkorak kepalanya!

Parangwulung dan tujuh anak buahnya sampai terlompat mundur menyaksikan kejadian yang sangat mengerikan itu. Saking ngerinya mereka hampir-hampir tak berani melihat. Untuk melakukan usaha pertolongan pun saat itu tidak terpikirkan lagi. Malah ketika mereka melirik ke tengah kolam, sosok tubuh Tumenggung Singaranu telah lenyap. Yang ada hanya jerangkong terapung-apung dan air kolam tampak kemerah-merahan oleh darah!

***

Kita kembali pada beberapa saat sewaktu rombongan Tumenggung Singaranu sampai di atas lembah. Di balik deretan batu-batu besar di bagian timur kolam di mana tumbuh rapat pohon-pohon besar berdaun rimbun, sulit terlihat oleh siapa pun yang berada di sekotar kolam, tampak duduk menjelepok di tanah dua orang kakek berpakaian dan bertingkah laku aneh. 

Keduanya berwajah lonjong berkepala botak plontos. Mata dan pipi cekung sedang mulut tak lagi ditumbuhi gigi alias ompong, tanda usia keduanya sudah sangat lanjut. Kakek yang duduk di sebelah kiri hanya mengenakan sehelai celana kolor putih yang sudah bulukan dan dekil apek. Matanya sebelah kanan picak sedang tulang kakinya melengkung hingga kalau dia berdiri kedua kaki itu hampir membentuk huruf O.

Kakek ke dua yang menjelepok di sebelah kanan, juga memiliki mata buta alias picak, tapi kalau kawannya disebelah kanan maka dia picak di sebelah kiri. Tubuhnya kurus kerempeng hanya tertutup oleh sehelai cawat hitam. Di dagunya ada sebuah tahi lalat besar yang ditumbuhi rambut panjang. 

Dua kakek aneh itu asyik bercakap-cakap sambil sesekali tertawa terkekeh-kekeh. Entah apa yang mereka bicarakan. Tiba-tiba Picak Kiri, begitu nama kakek yang matanya picak di sebelah kiri, menggamit lutut temannya dan letakkan jari di atas mulut.

"Ada apa...?" bertanya kakek yang digamit. Namanya Picak Kanan.

"Lihat ke atas lembah sana. Ada orang datang..." si Picak Kiri menunjuk ke arah kejauhan, ke atas lembah. Kawannya memandang ke tempat yang ditunjuk. Saat itu kelihatan serombongan orang berkuda berhenti di atas lembah, memandang ke bawah.

"Yang paling depan berpakaian bagus. Pakai topi tinggi... Pasti orang terkemuka. Kalau bukan bangsawan kaya mungkin orang dalam keraton."

Picak Kanan mengangguk "Delapan orang lainnya itu tentu pengiring-pengiringnya. Lihat, mereka turun dari kuda. Yang berpakaian bagus mulai menuruni lembah!"

"Yang lain lainnya juga mengikuti. Nah.... nah... nah! Ada rejeki besar buat kita hari ini rupanya!" kata Picak Kiri.

"Perlahan bicaramu! Jangan sampai mereka mendengar!" memperingatkan si Picak Kanan. Lalu dia menggaruk-garuk perutnya yang gatal. 

Orang-orang yang mendatangi lembah itu bukan lain adalah rombongan Tumenggung Singaranu yang dalam perjalanan kembali ke Surakarta, berhenti di lembah karena terpesona akan keindahan pemandangan dan kesejukan di tempat itu. Apalagi ketika mereka melihat sebuah kolam berair jernih di dasar lembah. Ketika Tumenggung Singaranu menyentuh air kolam yang sejuk dengan tangan kirinya lalu membasahi mukanya yang berdebu dengan air kolam itu, si Picak Kiri berbisik, 

"Aku yakin orang berpakaian bagus itu pasti akan masuk mandi ke dalam kolam kita. Peralatanmu sudah siap...?"

"Sudah," jawab si Picak Kanan. "Tanganku sudah gatal untuk mendorong rotan itu...."

Kedua kakek itu, sambil memperhatikan gerakan rombongan Tumenggung Singaranu, keduanya beringsut mendekati semak belukar pendek di antara dua batang pohon besar.

"Dugaanku tepat! Lihat! Orang itu membuka pakaiannya!" kata si Picak Kiri ketika terlihat Tumenggung Singaranu mulai menanggalkan pakaian sementara para pengiringnya bertebar beristirahat tak berapa jauh dari tepi kolam. 

Picak Kanan segera memasukkan tangan kanannya ke dalam semak belukar sampai dia menyentuh ujung dari sebuah tali rotan sepanjang tiga tombak yang berhubungan dengan sebuah terowongan berair di bawah tanah yang berbatu-batu. Ujung lain dari tali rotan itu melekat pada sebuah lempengan tembaga tebal dan berat yang merupakan sekat atau pintu penutup mulut terowongan berair.

Picak Kanan tertawa mengekeh tapi tanpa suara ketika dia melihat Tumenggung Singaranu memasukkan kedua kakinya ke dalam air kolam. Kawannya si Picak Kiri tampak berkomat-kamit dan basahi bibir dengan ujung lidah berulang kali. Terdengar suara air kolam berdebur ketika tubuh sang tumenggung masuk sampai sebatas dadanya yang berbulu.

"Sekarang Picak... Sekarang!" bisik Picak Kiri ketika Tumenggung Singaranu bergerak ke bagian tengah kolam. 

Picak Kanan dorong ujung tali rotan yang sejak tadi dipegangnya. Tembaga tebal dan berat penutup mulut terowongan air terdorong ke depan dan membuka lebar. Dari mulut terowongan yang terbuka itu, yang ternyata berhubungan dengan bagian bawah kolam, menderulah ratusan bahkan ribuan ekor ikan aneh berwarna hitam. Berbentuk segitiga dengan mulut terbuka lebar memperlihatkan gigi-giginya yang runcing seperti mata gergaji yang luar biasa tajamnya!

Ribuan ikan ini menyerbu kaki, perut dan dada Tumenggung Singaranu hingga orang ini terlonjak kesakitan, menjerit dan menggapai-gapai, berusaha melarikan diri ke tepi kolam. Tapi terlambat! Cepat sekali ribuan mulut gergaji itu melumat sekujur tubuhnya. Ketika sang tumenggung roboh tergelimpang ke dalam air kolam, maka leher, muka dan kepalanya pun jadi santapan ikan-ikan hitam itu.

"Bagus...! Bagus...! Ikan peliharaan kita memang hebat!" Si Picak Kiri tertawa mengekeh tanpa suara. 

Kawannya si Picak Kanan juga tampak senang dan ikut-ikutan tertawa. "Tidak percuma kuberi nama ikan-ikan Iblis Prahara! Jangankan manusia! Kuda pun akan disantapnya dalam sekejapan mata!"

Di dalam kolam sosok tubuh Tumenggung Singaranu yang malang telah lenyap. Yang tampak kini hanyaIah tulang belulang atau jerangkong berselimut air dan darah, mengapung mengerikan. Delapan orang pengiringnya tertegun menggigil di tepi kolam, memandang dengan muka pucat pasti dan mata membeliak.

"Picak Kanan, lekas kau masukkan ikan-ikan itu. Jangan sampai orang-orang itu tahu jelas apa yang terjadi. Ayo cepat!" Si Picak Kiri berbisik. 

Picak Kanan goyang-goyangkan ujung rotan yang dipegangnya. Dari atas terowongan berjatuhan benda-benda halus seperti pasir yang memancarkan warna putih berkilat-kilat. Kilatan benda-benda halus ini menarik perhatian ribuan ikan hitam segitiga. Mereka segera melesat masuk ke dalam terowongan. Setelah tak seekor pun yang tertinggal di dalam kolam. Picak Kanan menarik ujung rotan. Lempengan tembaga tebal dan berat ikut tertarik dan menutup rapat-rapat mulut terowongan!

Picak Kanan gosok-gosok kedua telapak tangannya dengan sukacita. Kawannya tak henti-hentinya menepuk bahunya dan berbisik: "Bagus! Permainan kita sudah selesai. Atau mungkin ada lagi dari orang-orang itu yang mau mencebur masuk ke dalam kolam kita?"

Kedua kakek aneh menunggu. Tapi tak ada seorangpun yang masuk ke dalam kolam itu. Bahkan ketakutan membuat mereka sama sekali tidak berusaha mengambil atau menarik sosok tubuh Tumenggung Singaranu yang kini telah berubah menjadi jerangkong tulang belulang itu. Parangwulung lari paling dulu menuju ke atas lembah diikuti oleh tujuh anak buahnya. Seperti dikejar setan mereka melompat ke atas punggung kuda masing-masing, lalu menghambur meninggalkan tempat itu tanpa berani menoleh ke belakang!

***
DUA

KUDA PUTIH besar tinggi dan gagah itu berhenti di depan sebuah surau kecil di puncak bukit. Meski baru saja menempuh perjalanan jauh dan sulit di dalam musim kemarau yang membara tetapi binatang yang jinak ini tidak kelihatan letih. Ekornya yang panjang tebal di kibas-kibaskan. Sikapnya tetap tegak dengan gagah sampai tuannya seorang pemuda berpakaian putih yang duduk menunggangnya turun dari punggungnya. 

Setelah si pemuda turun baru kuda putih ini melangkah menghampiri rumput liar di bawah sebatang pohon nangka hutan. Pemuda berpakaian putih tadi mencuci kaki dan tangannya di sebuah pancuran di samping surau lalu mengambil air wudhu. Setelah itu dia masuk ke dalam surau berlantai papan. 

Kiai Kali Mutu tengah khusuk bersembahyang lohor. Pemuda tadi berdiri di samping sang kiai, agak ke belakang sadikit. lalu ikut sembahyang dan menjadikan orang tua itu sebagai imam. Sesaat setelah si orang tua mengucap salam dan diikuti oleh si pemuda, keduanya membaca doa dan berzikir.

Begitu zikir selesai pemuda tadi beringsut mendekat Kiai Kali Mutu seraya memberi salam dan berkata, "Guru murid sudah kembali..." Lalu diambilnya tangan kanan orang tua itu, disalami dan diciumnya. Kiai Kali Mutu tersenyum gembira dan tepuk bahu muridnya dengan tangan kiri.

"Aku bersyukur kepada Tuhan kau telah kembali dengan selamat, Panji," kata Kiai Kali Mutu. "Sebelum ke mari apakah kau ada menziarahi makam kakekku di desa Kadilangu?"

"Saya tidak lupa hal itu, guru. Saya ada menziarahi makam Sunan," sahut si pemuda yang bernama Panji.

"Bagus. Kau memang murid yang tahu berbakti."

"Apakah selama ini guru ada baik-baik dan sehat-sehat?"

"Ah... orang setuaku ini bagaimana bisa selalu sehat. Kadang-kadang kena angin sedikit saja terus meriang atau batuk-batuk. Tapi syukurlah semua penyakit itu tidak kerasan mendekam dalam tubuh rongsokan ini. Cepat datang cepat pula perginya. Muridku, satu tahun kulepas, pengalaman apa saja yang telah kau dapati... ?"

"Banyak guru. Saya kira-kira dapat menarik satu kesimpulan."

"Kesimpulan apa?" tanya Kiai Kali Mutu.

"Ternyata dunia kita ini masih banyak didiami oleh manusia-manusia jahat. Mulai dari bangsa maling dan rampok yang berbuat kejahatan secara terang terangan, sampai pada para penguasa yang berbuat kejahatan secara tersamar..."

Kiai Kali Mutu tertawa. "Itulah hidup di dunia, muridku," katanya. "Sepanjang umur dunia manusia jahat dan kejahatan tidak akan pernah lenyap. Hanya cara mereka melakukan kejahatan berbeda-beda. Satu hal jangan kau lupakan Panji. Segala pelajaran dan ilmu yang kuberikan padamu justru adalah untuk mengikis kejahatan itu. Kenapa kukatakan mengikis? Karena kita orang-orang yang berusaha di jalan yang benar hanya merupakan segelintir kecil saja dari satu kekuatan melawan kejahatan. Ketahuilah kejahatan itu banyak temannya sedang kebenaran banyak musuhnya. Karena itulah kau kusuruh kembali ke mari untuk menggali lebih banyak ilmu. Jika kau rajin mungkin hanya enam bulan saja kau sudah boleh pergi lagi..."

"Saya akan mengikuti segala petunjuk guru dan berjanji rajin belajar..." kata Panji.

Sang kiai menepuk bahu muridnya kembali. "Aku senang mendengar kata-katamu itu. Apakah Panah Putih tidak banyak bertingkah selama berkelana bersamamu?"

"Dia kuda yang baik guru. Saya suka padanya. Kalau saya boleh bertanya apakah adik Sri Megaresmi sudah kembali?"

"Kau tahu adikmu itu gadis bandel. Waktu kusuruh dia mengelana satu tahun, dia minta diberikan waktu tiga tahun. Akhirnya setelah berdebat panjang pendek. kusetujui dua tahun. Berarti baru tahun depan dia muncul di sini."

Kiai Kali Mutu meIihat ada bayangan rasa cemas di wajah Panji. Maka diapun barkata, "Kau tak usah kawatir, muridku. Ilmu kepandaian yang dimilikinya cukup dapat diandalkan untuk menjaga diri. Asal saja dia jangan suka nakal dan jahil. Lagi pula dia pergi dengan menyamar seperti lelaki. Kalau pun kau bersua dengannya, mungkin kau tak akan mengenali itu adalah adik kandungmu sendir.” Mendengar penjelasan gurunya itu puaslah hati Panji.

"Waktu berjalan cepat. Panji. Waktu tak pernah menunggu kita. Besok selesai sembahyang subuh kita mulai. Pertama sekali kau harus memperlihatkan padaku seluruh jurus-jurus silat yang telah kau miliki. Jika ada kekurangan-kekurangan harus diperbaiki dulu, Setelah itu akan kucoba pukulan-pukulan yang mengandung tenaga putih. Lalu menguji kecepatan gerakmu. Satelah itu baru mulai dengan pelajaran baru. Jika apa yang kini kau miliki benar-benar sudah mantap, aku hanya akan menitikberatkan pelajaran pada latihan menghimpun dan melepas tenaga dalam. Apakah kau siap besok subuh?"

"Saya siap guru. Sekarang izinkan saya memberi minum Panah Putih dulu."

Kiai Kali Mutu mengangguk. Begitu muridnya lenyap dipintu surau, dia pun bangkit berdiri dan mengerjakan sembahyang sunat.


***

PICAK KANAN menguap lebar-lebar lalu menyeka mata kirinya yang berair. "Sial benar nasib kita kali ini. Hampir sebulan lebih tak ada seorang pun yang lewat di sini. Ke mana semua manusia di kolong langit ini....?!"

Picak Kiri yang duduk bersandar di batang pohon sambil mencabuti janggutnya memandang ke atas lembah lalu berkata, "Yang aku kawatirkan adalah jangan-jangan telah tersiar kabar di luaran bahwa kolam kita ini merupakan kolam maut. Hingga tak ada yang berani lewat apalagi datang dekat-dekat ke mari."

"Kekawatiranmu itu beralasan juga," ujar Picak Kanan dengan wajah gundah sambil usap-usap kepalanya yang botak plontos. Sesaat kemudian dia bangkit berdiri seraya memegang-megang perutnya yang kempis. "Aku lapar. Lebih baik kita cari makanan dulu, baru memikirkan lagi korban-korban baru."

Malas-malasan Picak Kiri bangkit pula dari duduknya, tapi cepat sekali dia tundukkan badannya di balik semak belukar, malah bergerak berlindung ke balik pohon besar. "Kenapa kau?" tanya Picak Kanan melihat gerak-gerik kawannya yang aneh itu.

"Sttt... Kau lihat ke atas sana. Ada serombongan orang muncul. Seperti serombongan pasukan. Kelihatannya seperti orang-orang Kerajaan dari timur." 

Picak Kiri menyibak semak belukar dan memandang ke atas lembah. Apa yang dikatakan kawannya memang benar. Di atas sana kelihatan serombongan orang berkuda berhenti di bibir lembah. Semuanya menunggang kuda. Kira-kira dua puluh berpakaian prajurit lengkap dengan senjata di pinggangnya. Lalu ada dua orang tua berpakaian seperti orang persilatan. Di antara ke dua orang tua ini kelihatan seorang lelaki baya bermisai tebal. 

Di depan orang bermisai ada seorang penunggang kuda berpakaian perwira kerajaan. Lalu ada tujuh orang berpakaian seragam pengawal, tapi tidak seperti pakaian yang dikenakan dua puluh perajurit pertama Ketika melihat lelaki bermisai itu, Picak Kanan berbisik pada kawannya, "Aku ingat betul! Lelaki berkumis lebat itu, bukankah dia orang yang mengawal lelaki berpakaian bagus yang mampus di kolam kita tempo hari?"

Picak Kiri buka mata kanannya lebar lebar dan otaknya coba mengingat ingat. "Kau betul. Aku ingat. Dia yang kabur paling dulu. Hik... hik... . . . hik. Aku ingat. Memang dia!"

"Hus! Jangan tertawa keras-keras. Lihat, rombongan itu mulai menuruni lembah. Mereka menuju kemari! Apakah letak persembunyian kita ini sudah aman?"

"Jangan kawatir! Setan mata sepuluhpun tak bakal tahu kalau kita ada di sini!" jawab Picak Kiri. "Kelihatannya rombongan ini seperti hendak melakukan penyelidikan. Kita harus hati-hati, Picak Kanan. Lelaki berkumis itu kelihatan tidak bergerak bebas. Dua orang tua itu seperti selalu mengapitnya. Dan kau lihat. Dua puluh perajurit menuruni lembah sambil menyebar... Tujuh orang lainnya... Ah aku ingat sekarang! Tujuh orang itu adalah orang-orang yang mengawal lelaki berpakaian bagus dulu! Ada apa ini sebenarnya!"

Saat itu memang rombongan yang barusan datang tampak menuruni lembah. Lelaki berkumis yang bukan lain adalah Parangwulung menunggangi kuda diapit oleh dua orang tua berpakaian seperti orang persilatan. Di sebelah depan memimpin orang bertubuh tegap, berseragam perwira kerajaan. Dia menunggangi kudanya dengan mata tak berkesip memandang ke arah kolam yang airnya tampak berwarna-warni. 

Di belakang keempat orang ini, bergerak tujuh orang anak buah Parangwulung, lalu di sebelah belakang sekali dua puluh perajurit menuruni lembah dengan sikap penuh waspada, menebar memanjang. Rombongan itu sampai di depan kolam. Orang berpakaian perwira berpaling pada Parangwulung dan bertanya, 

"Jadi inilah kolam yang kau katakan sebagai tempat Tumenggung Singaranu menemui ajalnya dengan cara aneh!"

"Betul sekali Kebo Alit...." jawab Parangwulung.

"Kolam begini bagus. Berair jernih. Di lembah yang berpemandangan luar biasa indah. Bagaimana seseorang bisa menemui kematian di sini...?" kata sang perwira yang bernama Kebo Alit sambil geleng-geleng kepala. "Katamu kau menyaksikan ada ikan ikan hitam yang ribuan banyaknya menyambar tubuh Tumenggung. Lalu sebentar saja tubuh itu hanya tinggal tulang belulang. Tapi aku tidak melihat sisa-sisa jenasah Tumenggung di sini..."

"Mungkin sekali sudah dimakan atau dilarikan binatang hutan," jawab Parangwulung.

"Bisa jadi!" ujar sang perwira pula sambil usap-usap dagunya. "Tapi aku pun tidak melihat ikan-ikan hitam itu di dalam kolam yang dasarnya jelas tampak dari sini. Atau mungkin mataku buta...? Paman Randu Wungu dan paman Randu Ireng, apakah kau melihat ada ikan atau binatang lain dalam kolam ini?!"

Dua orang tua yang mengapit Parangwulung sama-sama menggelengkan kepala Parangwulung tampak pucat parasnya. Kebo Alit mangusap-usap kuduk kudanya lalu berkata, "Aku akan mengitari kolam ini. Menyelidik, kalau-kalau ada petunjuk yang dapat menunjang keteranganmu. Kalian semua tunggu di sini... !"

Lalu dengan menunggang kuda perwira itu mengitari kolam sambil menunggang kudanya perlahan-Iahan. Tak selang berapa lama dia sampai di tempat rombongan berhenti, langsung berkata, "Tak ada satu pun yang kutemui. Tak ada hal-hal yang mencurigakan. Tak ada ikan di dalam kolam, tak ada juga binatang lain. Bagaimana kami bisa mempercayai keteranganmu tentang kematian Tumenggung Singaranu itu, Parangwulung!"

"Sudah kukatakan berulang kali. Kebo Alit! Aku berani bersumpah bahwa aku tidak memberikan keterangan dusta! Tumenggung Singaranu menemui kematiannya di kolam ini. Ketika hendak mandi! Diserbu oleh ribuan ikan-ikan hitam! Tujuh pengawal itu ikut menyaksikan! Kami kemudian melarikan diri ketakutan ketika melihat sosok tubuh Tumenggung Singaranu hanya tinggal jerangkong dan tengkorak belaka!"

"Parangwulung! Kau tahu apa hukuman bagi seorang bawahan yang membunuh atasannya hanya untuk merebut kedudukan atasan! Kau terlalu bodoh! Sekalipun Tumenggung menemui kematian secara wajar, kedudukan itu tak bakal diberikan padamu! Kau hanya seorang kepala pengawal yang tidak layak menduduki jabatan Tumenggung! Apalagi sangat besar kecurigaan bahwa kaulah yang talah membunuh Tumenggung Singaranu lalu mengarang cerita yang tidak masuk akal!"

"Aku bersumpah! Aku tidak membunuh Tumenggung Singaranu! Aku tidak mengarang cerita! Tujuh perajurit itu melihat dengan mata kepala mereka sendiri."

Kebo Alit memandang pada tujuh orang bawahan Parangwulung dan bertanya, "Benar kalian melihat sendiri Tumenggung Singaranu menemui ajal dimakan ikan di dalam kolam yang berair sejuk ini?!"

Tujuh orang perajurit itu serentak menggelengkan kepala. Dua orang diantara mereka membuka mulut: "Parangwulung yang membunuh Tumenggung! Mayatnya dibuang ke dalam hutan sana. Dan kami disuruhnya untuk ikut berserikat memberi keterangan palsu!"

Berubahlah paras Parangwulung. Tiba-tiba dia berteriak, "Manusia-manusta pengkhianat! Kalian tahu apa yang terjadi! Kini kalian berani bicara dusta."

Tubuh Parangwulugng melesat dari punggung kudanya. Salah satu perajurit yang tadi membuka mulut dihantamnya dengan tendangan kaki kanan hingga terjengkang dan roboh pingsan dekat bebatuan di tepi kolam. Ketika dia hendak mengamuk menghajar bawahannya yang lain, Randu Wungu dan Randu Ireng cepat melompat turun dari kuda masing-masing dan berusaha menangkap Parangwulung. Melihat orang merintangi amukannya Parangwulung berteriak marah.

"Aku lebih baik mati mengadu jiwa dengan kalian daripada mati difitnah!"

Sebagai orang yang dipercayakan menjadi kepala pengawal Tumenggung Singaranu semasa hidupnya tentu saja Parangwulung memiliki kepandaian silat yang dapat diandalkan. Gebrakan-gebrakan kilatnya yang dilandasi hawa amarah membuat dua orang tua yang diserangnya terpaksa menyingkir. 

Ketika Kebo Alit mendorong punggungnya dengan tumit hingga dia hampir jatuh terjerembab, Parangwulung segera hunus pedang besarnya. Sekali membabat pedang itu hampir saja membacok putus kaki kanan Kebo Alit. Untuk selamatkan kakinya perwira ini jatuhkan diri dari punggung kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung kirimkan satu jotosan ke dada Parangwulung. 

Tapi yang diserang cepat menerpa dengan senjatanya hingga Kebo Alit dengan geram terpaksa tarik pulang tangannya dan melompat mundur! Dengan pedang di tangan memang sulit bagi Kebo Alit untuk menghadapi lawan karena tingkat kepandaian mereka memang hampir sejajar.

Tetapi lain haInya dengan dua orang tua itu. Baik Randu Wungu maupun Randu Ireng sama-sama memiliki kepandaian silat yang jauh lebih tinggi dari Parangwulung. Sehingga sekalipun Parangwulung memegang pedang di tangan, setelah menyerang gencar dan beringas, empat jurus kemudian dua orang tua ini berhasil melumpuhkan Parangwulung dengan satu totokan. Dalam keadaan tak berdaya lagi sementara pedangnya jatuh tergeletak di atas rumput, kedua orang tua itu membawa kepala pengawal itu ke tepi kolam.

Di sini Randu Wungu berkata, "Parangwulung, harap maafkan kami berdua! Walau kita bersahabat tetapi sebagai hamba kerajaan kami tunduk akan perintah yang diberikan oleh mahapatih kerajaan. Jika kolam ini memang ada ikan ganas seperti katamu mari sama-sama kita buktikan!"

Lalu kedua orang itu melemparkan tubuh Parangwulung ke dalam kolam. Parangwulung berteriak ketakutan. Tubuhnya jatuh duduk di dasar kolam. Karena kedua kaki dan tangannya lumpuh akibat totokan, dia tak sanggup berdiri dan megap-megap dalam air. Dia yakin seperti apa yang disaksikannya terjadi atas diri Tumenggung Singaranu, sebentar lagi akan menimpa dirinya. Ribuan ikan hitam berbentuk segitiga dengan gigi-gigi yang runcing seperti gergaji akan menyerbu dan melumat seluruh daging yang membalut tubuh dan kepalanya.

Tetapi sampai sekian lama menunggu tak seekor ikan pun muncul. Dalam keadaan lemas hampir pingsan Randu Wulung dan Randu Ireng mengangkat Parangwulung ke luar dari dalam kolam lalu melepas totokannya. Begitu totokannya lepas langsung dia telungkupkan badan hingga air kolam yang banyak terminum keluar kembali.

Kebo Alit melangkah mendekatmya dan berkata, "Kau saksikan sendiri Parang! Kolam itu tak ada makhluk apa-apanya! Apa itu tidak cukup bukti atas kedustaanmu...?!"

Parangwulung yang tidak berdaya karena masih sangat lemas tak bisa menjawab apa apa. Dia hanya memandang dengan mata merah melotot pada Kebo Alit ketika perwira ini memberi perintah pada dua orang perajurit untuk mengikat dua pergelangan tangan serta bahunya.

"Parang! Kau telah membuktikan kedustaanmu sendiri! Atas nama mahapatih kerajaan, kau kami tangkap dan dibawa kembali ke Kotaraja!"

Parangwulung diangkat dan didudukkan di punggung Kuda. Ketika rombongan itu meninggalkan lembah, Picak Kiri berpaling pada Picak Kanan dengan wajah menunjukkan rasa kesal.

"Kenapa tidak kau lepaskan ikan-ikan Iblis Prahara itu?!"

"Aku tak merasa perlu meskipun sudah sekian lama tak ada yang dapat dijadikan mangsa ikan-ikanku!"

"Gila! Kenapa tidak merasa perlu?!" si Picak Kiri jadi sewot.

"Kau yang gila!" balas menyemprot Picak Kanan. Kedua kakek aneh itu serantak sama sama berdiri, hampir beradu hidung dan sama-sama kepalkan tangan.

"Kau berani memaki aku gila?!" sentak Picak Kiri.

"Kau yang duluan mengatakan aku gila!" balas menyentak Picak Kanan.

"Kau memang gila! Apa kau tidak menyadari akibatnya jika ikan-ikan itu kulepas?! Mereka akan melihat dan tahu di kolam ini benar-benar ada ikan iblis itu! Dan mereka akan menghancurkan tempat ini. Lalu apa lagi permainan kita?!"

Picak Kanan terdiam. Amarahnya surut. Perlahan-lahan dia kembali duduk menjelepok di tanah. Tapi bangun lagi ketika ingat akan perutnya yang lapar lalu mengajak kawannya mancari makanan.

***
TIGA

PEMUDA bertubuh ramping itu memacu kuda hitamnya di kaki pegunungan Dieng menuju ke arah timur. Kulitnya yang putih tampak kemerah-merahan oleh teriknya sinar matahari. Sambil menunggang kuda kedua matanya memandang kian kemari meneliti keadaan di sekelilingnya. 

Ke mana pun mata memandang yang dilihatnya hanya pedataran atau bukit tandus, atau pohon-pohon yang mengering dedaunannya. Bosan menempuh pedataran gersang sejajar kaki pegunungan, pemuda ini membelokkan kudanya menuju ke sebuah bukit.

"Kudaku, kau tentu haus. Siapa tahu di puncak bukit sana kita bakal menemukan mata air," kata si pemuda pada kuda tunggangannya sambil mengelus-elus tengkuk binatang itu. 

Seperti mengerti akan ucapan tuannya. kuda hitam itu kedap-kedipkan kedua matanya dan mempercepat larinya menuju bukit. Pada saat baru saja mencapai lereng. Dari atas bukit si pemuda melihat serombongan orang berkuda menuruni bukit, tepat mengarah ke jurusannya. Meskipun lereng bukit itu cukup luas dan sebenarnya si pemuda bisa menghindar agar tidak berpapasan langsung dengan rombongan yang turun, namun nyatanya pemuda ini tak mau melakukan hal itu. Dia terus mendaki bukit, menyongsong arus rombongan di depannya. 

Baru sejarak dua puluh tombak dari orang-orang itu dia hentikan kudanya dan menunggu sambil memandang tajam-tajam ke depan. Makin dekat ke arahnya makin dapat dilihatnya siapa-siapa para penunggang kuda itu. Di sebelah depan adalah seorang lelaki separuh baya berpakaian perwira kerajaan. Di belakangnya menyusul tiga penunggang kuda. Yang dua orang berusia lanjut, mengenakan pakaian seperti orang-orang dari rimba persilatan. 

Keduanya menunggang kuda mengapit seorang lelaki berkumis tebal. Ada keanehan pada lelaki berkumis ini yang membuat si pemuda memperhatikannya dengan seksama. Dia mengenakan pakaian perajurit kepala yang basah kuyup dan kedua tangannya berada di depan perut dalam keadaan terikat. Di belakang tiga orang ini tampak lebih dari dua puluh perajurit, bergerak dalam posisi demikian rupa seperti mengawal orang-orang yang ada di sebelah depan mereka. 

Melihat ada penunggang kuda yang sengaja berhenti di arah jalan yang mereka lalui, lelaki berpakaian perwira angkat tangannya memberi tanda. Maka seluruh rombongan pun berhenti. Perwira itu yang bukan lain adalah Kebo Alit mendekati si pemuda dan berhenti sejarak empat langkah, lalu menegur.

"Orang muda, kau seperti sengaja menghadang perjalanan kami!"

Pemuda itu menatap wajah sang perwira sesaat dengan sepasang matanya yang bening, lalu menjawab, "Aku tak merasa menghadang siapa-siapa. Lereng bukit ini cukup luas dan aku berhenti di sini tanpa mengandung maksud apa-apa..."

"Begitu? Kalau demikian menyingkirlah. Kami akan lewat!"

"Sekali lagi kukatakan, lereng bukit ini cukup luas. Mengapa aku harus menyingkir?!"

"Hemm... Pemuda ini mungkin bebal atau keras kepala!" kata Kebo Alit dalam hati. Sementara itu Randu Wungu dan Randu Ireng memperhatikan si pemuda dengan perasaan jengkel sedang Parangwulung yang dalam keadaan seperti itu hanya tundukkan kepala, merasa tak ada perlunya dia memperhatikan siapa adanya orang di hadapan rombongan.

"Anak muda! Jadi kau tidak mau menyingkir memberi jalan?!" tanya Kebo Alit. Suaranya bernada memperingatkan, bahkan mengancam.

"Kenapa aku harus menyingkir atau memberi jalan? Aku tidak menghadang siapa-siapa di tempat ini. Jika kau dan rombonganmu ingin lewat silahkan. Berbelok ke kiri atau mengambil jalan di sebelah kanan. Terus juga boleh asalkan jangan menabrakku!"

Kebo Alit jadi penasaran. "Kau tidak tahu kalau kami rombongan kerajaan?!"

"Dari pakaian kalian tadi-tadi pun aku sudah tahu kalian rombongan atau pasukan kerajaan. Tapi apa sangkut pautnya diriku dengan siapa pun adanya kalian?!"

Untuk pertama kalinya Parangwulung mengangkat kepala memperhatikan orang di depannya. Ketika dilihatnya orang itu adalah seorang pemuda berparas cakap, berkulit putih dan bertubuh ramping maka dia pun berkata, "Anak muda, kau menghindarlah. Beri jalan. Biar lebih cepat aku sampai di Kotaraja dan menerima hukuman!"

"Ah, rupanya kau seorang tawanan!" ujar si pemuda pula sambil meneliti dari kepala sampai ke kaki Parangwulung. "Tetapi kau tawanan yang aneh! Kau mengenakan pakaian perajurit tingkat tinggi. Pakaianmu basah kuyup!"

"Siapa dia dan apa yang terjadi dengan dirinya bukan urusanmu!" membentak Kebo Alit. "Kalau kau tak lekas menyingkir, para perajuritku akan kuperintahkan untuk menindakmu!"

"Sungguh malang nasibku! Tak bersalah apa-apa mau ditindak perajurit kerajaan!" sahut si pemuda pula dengan nada mengejek. Lalu dia berpaling pada Parangwulung.

"Aku kasihan melihatmu! Sudah basah kuyup dan harus menunggang kuda dengan tangan terikat. Sekali kau kehilangan keseimbangan kau akan terjungkal jatuh dan lehermu bisa patah, kau bisa mati konyol!"

"Mati konyol jatuh dari atas kuda lebih baik baginya daripada mati di tiang gantungan!" tukas Kebo Alit.

"Oh, dia mau digantung! Apa sih salahnya?!" bertanya si pemuda. Sampai di situ Randu Wungu tak dapat menahan rasa kesalnya. Dia berkata, "Kebon Alit! Kenapa menghabiskan waktu melayani pemuda tidak beres itu?!"

Dikatakan tidak beres membuat si pemuda jadi gusar dan balik memaki, "Kalianlah orang-orang yang tidak beres! Meributkan soal jalan! Membawa tawanan seenaknya!"
Randu Wungu geleng-geleng kepala. "Kebo, pemuda ini pantas diberi pelajaran sopan-santun. Perintahkan perajurit-perajuritmu untuk mengajarnya!"

Kebo Alit yang memang sejak tadi menahan marah, mendengar ucapan Randu Wungu itu segera berikan isyarat, pada lima orang perajurit. Lalu pada anggota rombongan yang lain dia memberi aba-aba untuk mengikutinya meneruskan perjalanan dengan menyibak ke kiri. 

Tetapi baru beberapa langkah kuda-kuda mereka bergerak, di sebelah belakang terdengar suara gedebak-gedebuk disertai pekik-pekik kesakitan. Ketika berpaling, kagetlah Kebo Alit dan yang lain-lainnya. Lima perajurit yang tadi diperintahkan menghajar si pemuda kini kelihatan berkaparan di tanah, merintih kesakitan!

"Hemmm......!" menggumam Randu Ireng. "Rupanya ada sedikit ilmu yang diandalkan makanya dia bersikap pongah dan bertindak kurang ajar!" Orang tua ini majukan kudanya mendekati si pemuda. "Apa hubunganmu dengan Parangwulung tawanan ini! Katakan!"

"Aku tak punya hubungan apa-apa!"

"Kalau tak ada hubungan berarti kau memang sengaja menjadi lantaran!" Randu Ireng lalu kibaskan lengan baju tangan panjangnya sebelah kiri. Angin keras menggebu menghantam ke arah si pemuda. 

Meskipun kaget dan tak mengira orang tua itu dapat lepaskan pukulan tangan kosong yang hebat, namun si pemuda tidak mau tunjukkan sikap terkejut. "Orang tua! Kau sendiri rupanya sengaja obral kepandaian!" teriak si pemuda lalu gebrak pinggul kuda hitamnya. Binatang ini melompat ke samping tapi bersamaan dengan itu dia hantamkan kaki kiri belakangnya ke arah kuda lawan. Tendangan kaki kuda yang keras ini mendarat tepat dilutut kuda yang ditunggangi Randu Ireng.

Kraak!!!

Kaki kuda itu patah. Binatang ini meringkik. Tubuhnya langsung terjerambab ke depan, melemparkan penunggangnya. Sambil bersuit nyaring Randu Ireng jungkir balik di udara. Sebelum kedua kakinya menjejak tanah dia kembali lepaskan pukulan tangan kosong. Kali ini dengan tangan kiri. Namun seperti tadi, si pemuda kembali menggebrak tubuh kudanya, binatang ini melompat jauh hingga serangan Randu Ireng hanya mengenai tempat kosong! Randu Wungu terkesima, diam-diam merasa kagum juga melihat kelincahan pemuda itu namun hatinya menjadi penasaran karena saudaranya seolah-olah dipermainkan.

Randu Ireng sendiri malu bukan main. Di hadapan sekian banyak mata perajurit dan perwira kerajaan, bahkan di depan hidung Parangwulung yang menjadi tawanan, dirinya seperti orang yang baru belajar silat saja. Dua kali menyerang dua kali gagaI. MaIah kudanya dibuat patah kaki dan dia terpaksa tunggang-langgang berjumpalitan agar tidak melosoh jatuh ke tanah! Ketika Randu Ireng hendak menyerbu kembali, Randu Wungu berseru, 

"Tunggu dulu Ireng! Aku perlu bertanya dengan pemuda ini! Jangan-jangan dia kaki tangan orang-orang Pajang. Bukan mustahil dia kemari tidak seorang diri!"

Pemuda berkuda hitam yang dituduh kaki tangan orang-orang Pajang itu tertawa. "Kau bisa saja mengada-ada! Orang tua, orang yang jatuh dari kuda itu pasti saudaramu. Cara kalian berpakaian sama dan tampang kalian juga mirip satu sama lain! Melihat bagaimana dia hendak mengobral kepandaian tapi hampir celaka sendiri, jelas dia bukan tandinganku!"

"Pemuda lancang! Kau hendak merendahkan Randu Ireng tokoh pengawal Keraton Surakarta?!" Yang membentak adalah Kebo Alit.

"Siapa dia aku tidak perduli!" menyahuti pemuda itu dengan beraninya "Jika ada tokoh pengawal istana yang kepandaiannya seperti dia, tidak dapat menahan amarah dan bertindak seenaknya saja, wah! Istana bisa kebobolan. Kalau aku jadi raja kalian, orang seperti dia tak akan kupakai"

Paras Randu Ireng mengelam sampai ke telinga. Darahnya mendidih. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat penghinaan demikian rupa. Dan oleh seorang pemuda tak dikenal pula Kebo Alit memajukan kudanya beberapa langkah lalu menunjuk tepat-tepat si pemuda, "Mulutmu kotor kurang ajar! Kau sangat berani menghina kami orang-orang Keraton! Kau terpaksa kutangkap saat ini juga!" 

Habis berkata begitu Kebo Alit merangsak ke depan tapi si pemuda dapat berkelit ke samping seraya berseru. "Perwira! Tahan dulu! Bagaimana kalau kita membuat taruhan!"

"Taruhan kepala bapak moyangmu!" bentak Kebo Alit seraya menerjang ke depan. Tapi saat itu Randu Wungu menyela: "Kebo Alit! Biarkan saja! Aku ingin tahu apa taruhannya! Orang muda sombong jelaskan maksudmu'"

"Terima kasih kau mau memberi kesempatan," ucap si pemuda seraya menjura ke arah Randu Wungu. Sikapnya dirasakan bukan seperti penghormatan tapi lebih banyak merupakan satu ejekan! "Begini, jika perwira kerajaan ini sanggup menangkapku dalam waktu lima jurus perkelahian, aku akan serahkan diri dan bersedia dijadikan tawanan seperti lelaki bermisai itu! Tetapi, jika lima jurus dia tak berhasil menangkapku maka kalian harus membebaskan tawanan itu! Bagaimana.... ?!"

Randu Wungu terkesiap. Randu Ireng menggeram. Sementara puluhan perajurit melongo di atas kuda masing-masing. Ucapan si pemuda itu benar-benar merupakan tantangan gila! Dalam marahnya Kebo Alit menjawab.

"Setuju! Jika lima jurus kau tak berhasil kutangkap, tawanan ini akan kami bebaskan! Tapi jika dalam lima jurus kau dapat kulumpuhkan, maka kau harus serahkan kepalamu pada aku! Akan kupancung di tempat ini juga!"

Semula semua orang akan menyangka si pemuda menjadi ciut nyalinya ditantang begitu rupa. Tapi! Malah dia terdengar menjawab, "Setuju! Kepalaku atau kebebasan tawanan itu!"

Parangwulung yang masih berada dalam keadaan terikat di atas kudanya sampai ternganga tak percaya. "Pemuda tak dikenal itu mengapa mau korbankan nyawa untuk diriku yang tak punya hubungan apa-apa, bahkan kenal pun tidak. Terlalu ceroboh Terlalu ceroboh!" kata Parangwulung berulang kali. Kebo Alit bukan perwira sembarangan. Tingkat kepandaiannya hampir sejajar dengan dua tokoh silat istana yaitu Randu Ireng dan Randu Wungu.

"Perwira, kau ingin berkelahi di atas kuda atau sama-sama turun ke tanah?!" si pemuda bertanya menantang menyepelekan lagi sikapnya!

Dari apa yang dilakukan terhadap kuda tunggangan Randu Ireng. Kebo Alit maklum kalau kuda hitam tunggangan si pemuda buka kuda sembarangan. Menyadari hal ini maka dia tak mau melakukan perkelahian di atas kuda. Kebo Alit langsung melompat ke tanah. Gerakannya cepat dan enteng. Si pemuda pun melakukan hal yang sama. 

Turun dari punggung kudanya, tapi sikapnya jelas dibuat-buat yaitu berpagut pada leher kudanya, melosoh ke tanah seperti anak kecil yang ketakutan atau gampang turun dari tempat tinggi! Begitu sampai di tanah pemuda ini usap-usap kedua telapak tangannya satu sama lain dan bertanya, "Perwira, kau ingin berkelahi dengan tangan kosong atau pakai senjata?"

"Untuk meringkus tikus busuk sepertimu perlu apa pakai senjata! Sebaliknya kalau kau punya senjata silahkan keluarkan!" sahut Kebo Alit semakin mendidih amarahnya.

"Kalau begitu aku pun akan melayanimu dengan tangan kosong. Ingat lima jurus! Nah silahkan mulai perwira!"

Baru saja si pemuda selesai mengucapkan kata kau itu Kebo Alit sudah melompat menerjang dan buk! Buk! Jotosan kiri kanan perwira itu bersarang di perut dan pertengahan dada si pemuda, membuatnya terpental dua langkah dan jatuh duduk di tanah!

"Nah... nah.... nah!" Randu Wungu buka suara. "Belum lima jurus kau sudah roboh! Ternyata kemampuanmu tidak sesuai dengan kecongkakan dan mulut besarmu!"

Serangan Kebo Alit tadi memang luar biasa cepatnya dan tidak terduga oleh si pemuda. Dia sengaja terus bersikap dan mengeluarkan kata-kata mengejek untuk memancing kemarahan orang. Namun karena bertindak sedikit lengah maka ketika dua pukulan Kebo Alit menghantam dia tak sempat berkelit dan hanya mampu membentengi dada dan perutnya dengan tenaga dalam. 

Meskipun begitu tetap saja pemuda ini merasakan dada dan perutnya sakit bukan main. Tapi dasar bandel, sambil menahan sakit dia cepat berdiri dan berkata, "Cuma dua pukulan anak kecil, seperti digelitik! Meskipun aku jatuh tapi bukan di situ letak perjanjian kita! Aku belum kalah! Dia belum melumpuhkan apa lagi menangkapku!"

Apa yang dikatakan si pemuda memang benar. Kenyataan dan lagi-lagi ucapan serta sikap mengejek ini membuat Kebo Alit kembali terbakar amarahnya. Dia yakin pemuda itu cidera di dalam akibat dua jotosannya tadi, namun diam-diam dia merasa heran bagaimana pemuda ini masih bisa bangkit berdiri dan seperti tidak mengalami apa-apa.

"Pemuda sombong! Ini jurus kedua!" teriak Kebo Alit. Perwira ini kembali menyerbu. Seperti tadi kedua tangannya menjotos dan lagi-lagi satu mengarah perut satu mengarah dada. Ketika lawan bersiap menangkis, mendadak dua serangan berupa jotosan itu ditarik pulang dan kini kaki kanan Kebo Alit yang melesat ke dada lawan!

"Hebat!" Seru si pemuda memuji. Tubuhnya melesat ke atas setinggi satu tombak, tangan kanannya terkembang dan menepis betis Kebo Alit. Gerakan menepis ini tampak perlahan saja bahkan ketika balik telapak tangannya menyentuh betis sang perwira sama sekali tidak terdengar suara beradunya betis dengan tangan. 

Namun Kebo Alit merasakan kaki kanannya terdorong keras ke kiri. Akibatnya kaki kiri yang menjadi tumpuan kuda-kuda ikut berputar ke kiri. Di saat yang sama tangan kiri lawan tiba-tiba menderu dengan pinggiran tangan membabat laksana sebilah pedang. Kebo Alit cepat rundukkan kepala. Kepalanya selamat tapi dia masih kurang cepat. Topi tingginya yang berwarna hitam kena dibabat tangan si pemuda, mental tercampak jauh. 

Ketika Randu Ireng dan Randu Wungu melihat topi yang jatuh itu kagetlah keduanya. Topi hitam sang perwira ternyata telah terpotong dua! Tebasan tangan pemuda itu setajam pedang! Kebo Alit sendiri tampak berubah parasnya. Dapat dibayangkan kalau tepi telapak tangan itu tadi tepat menghantam muka atau batok kepalanya!

"Jurus ketiga!" teriak Kebo Alit yang tak mau menunggu lebih lama. Dia bergerak memutari lawan. 

Si pemuda mengikuti arah putaran hingga Kebo Alit selalu berada di depannya. Tiba-tiba Kebo Alit merubah arah gerakannya. Kalau tadi dari kiri ke kanan maka kini dari kanan ke kiri. Perubahan gerakan yang mendadak ini membuat si pemuda sesaat berada pada jurusan menyamping. Di kejap inilah Kebo Alit masuk menyusupkan jotosan tangan kanan ke pelipis si pemuda. Di pihak lain, meskipun kedudukannya tidak tepat menghadapi lawan namun sudut mata si pemuda cukup jeli melihat datangnya serangan. 

Tubuhnya dilontarkan ke belakang seperti sebatang pohon tumbang. Tapi bersamaan dengan itu tangan kanannya membabat ke atas yaitu ke arah pinggang sang perwira. Kebo Alit tadi telah melihat kehebatan pukulan tepi telapak tangan si pemuda. Tak mau mencari celaka dia terpaksa batalkan jotosannya dan tangan kanannya kini dipergunakan untuk menyapu lengan lawan. Maka beradunya dua lengan tak dapat dihindarkan lagi!

Buk!

Pemuda itu terbanting ka tanah. Lengan kanannya tampak merah kebiruan. Sebaliknya Kebo Alit. Tampak kesakitan dan ketika memeriksa lengannya ternyata lengan itu pun tampak merah dan bengkak. Tapi dia tak perdulikan. Lawan yang jatuh tertelentang merupakan makanan empuk baginya. 

Cepat dia melompat dan hunjamkan tumitnya ke perut Si pemuda. Tapi si pemuda lebih cepat berguling jauhkan diri hingga kaki kanan Kebo Alit menghantam tanah dan tanah itu tampak melesak sampai setengah jengkal. Dengan demikian jurus ke tiga dan keempat berlalu sudah. Kini masuk jurus ke lima yang merupakan jurus terakhir.

Kebo Alit sadar betapa malunya dia kalau sampai dalam jurus kelima tidak dapat meringkus atau melumpuhkan lawannya. Apalagi itu akan berarti dia harus membebaskan Parangwulung yang menjadi tawanannya. Gila! Bagaimana dia sampai mau menerima pertaruhan gila itu! 

Tak ada jalan lain. Dia harus menghantam habis lawannya pada jurus kelima ini. Pemuda berpakaian putih itu tampak tegak seenaknya tapi sambil usap-usap lengan kanannya pertanda bahwa bentrokan pukulan tadi betapa pun kuatnya dia telah mendatangkan rasa sakit pada daging dan tulang lengannya.

"Jika kau mau menyerah aku akan memperingan hukuman yang bakal dijatuhkan terhadapmu!" tiba-tiba Kebo Alit berkata sambil menggeser kakinya beberapa langkah mendekati lawan.

Si pemuda menyeringai dan menjawab, "Bukan begitu taruhan kita!" Agaknya pemuda ini sudah mencium adanya rasa kekawatiran dalam diri sang perwira.

"Rupanya kau memang minta digebuk dan ingin diseret jadi tawanan!" Kebo Alit menggeram. Tubuhnya membungkuk memasang kuda-kuda rendah. Lawannya tegak tak bergerak.

"Hiaatt!" Kebon Alit berteriak dan dari jarak empat langkah dia lepaskan pukulan tangan kosong. Sebelum angin pukulan sampai di jarak sasaran satu kali lagi terdengar suara teriakan perwira itu lalu tubuhnya tampak mencelat ke udara, jungkir balik. Gerakannya sangat cepat sekali. Ketika tubuhnya melayang turun tahu-tahu dia sudah berada di belakang lawan dan langsung menerkam leher pemuda itu dengan kedua tangannya yang kuat dan besar.

"Hek!" suara tercekik keluar dari tenggorokan si pemuda. Tak dapat tidak tamatlah perlawanan pemuda itu saat itu juga apalagi jelas napasnya mulai menyengal.

"Mampus!" teriak Kebo Alit seraya melipatgandakan cekikan mautnya. 

Tapi perwira ini lupa menjaga jarak. Saat itu dia berada terlalu dekat dengan tubuh lawannya. Ketika si pemuda tiba-tiba menghantamkan siku tangan kanannya ke belakang, Kebo Alit tak sempat berkelit. Siku lawan melabrak lambungnya. Pada saat dia menggeliat kesakitan lawan rundukkan kepala lalu secepat kilat tangannya bergerak ke belakang menjambak rambut Kebo Alit. 

Begitu rambut sang perwira terjambak maka pemuda itu membuat gerakan setengah berputar yang mengakibatkan cekikan kedua tangan Kebo Alit terlepas dan di lain detik tubuhnya terlontar ke atas lalu brukk! Kebo Alit terbanting keras ke tanah. Dia tidak pingsan tapi sekujur tubuhnya sebelah belakang terasa seperti remuk. Untuk beberapa saat dia terkapar dan menggigit bibir agar tidak keluarkan suara keluhan kesakitan!

Pemuda bertubuh ramping berkulit putih memandang berkeliling sambil usut-usut lehernya yang tampak kemerah-merahan akibat cekikan Kebo Alit tadi. Lalu dia menarik napas dalam beberapa kali. Di depannya sang perwira tampak berusaha bangun dengan susah payah.

"Kau kalah taruhan. Sudah saatnya membebaskan tawanan itu!" kata si pemuda pula. Dia melangkah mendekati Parangwulung yang sampai saat itu berada di atas punggung kuda dan terikat kedua pergelangan tangannya. 

Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara Kebo Alit memberi perintah, "Tangkap pemuda itu!"

Hampir selusin perajurit mengurung dengan cepat. Randu Ireng dan Randu Wungu sesaat tampak ragu-ragu. Tapi ketika Kebo Alit mereka lihat memimpin para bawahannya itu maka kedua tokoh silat itu pun ikut melakukan pengurungan untuk menangkap si pemuda. Yang dikurung tampak terheran-heran karena tidak menyangka hal itu. 

Jika semua orang yang ada di situ benar-benar hendak menangkapnya, dia bakal mendapat kesulitan. Walaupun begitu tak sedikit pun ada bayangan rasa takut di wajahnya yang polos. Cepat sekali dia melompat ke kiri, menggebuk seorang perajurit terdekat lalu merampas pedangnya. Dengan senjata rampasan di tangan dia tegak tak bergerak, menunggu serbuan para pengeroyok.

"Kalau tak bisa ditangkap hidup-hidup, dibunuh pun tak jadi apa!' teriak Kebo Alit. Lalu dia mendahului menyerang.

Saat itu mendadak terdengar suara membentak. "Kalian orang-orang kerajaan curang semua!"

***
EMPAT

SUARA bentakan itu demikian keras dan membahana hingga menggetarkan seantero bukit tandus dan membuat semua orang hentikan gerakan. Semua berpaling ke arah kiri, dari mana tadi datangnya suara membentak. Namun aneh, tak seorang pun tampak di jurusan itu! Padahal suara bentakan tadi begitu keras nyaring tanda siapapun yang mengeluarkan bentakan pasti berada dekat dari situ. 

Randu Ireng yang berada, di bawah pohon kering melambaikan tangannya pada Randu Wungu, memberi isyarat bahwa suara bentakan itu tadi datang dari arah belakangnya. Randu Wungu menyelidik ke jurusan yang dikatakan saudaranya, tetap saja dia tak dapat melihat siapa-siapa. Dia memandang lagi berkeliling. Aneh, di bukit tandus begini rupa, yang hanya ditumbuhi pohon-pohon berdaun kering tak mungkin si pembentak dapat sembunyikan diri. Randu Wungu sesaat saling pandang dengan Kebo Alit. Keduanya saling mendekati.

"Apa pendapatmu?" bisik Randu Wungu.

"Begini, aku dan yang Iain-Iain meneruskan membekuk pemuda itu. Kau tetap di sini berjaga-jaga. Jika ada yang muncul dan bermaksud membantu pemuda itu kau harus menghalangi dan menghajarnya. Mengerti...?"

Randu Wungu tak begitu senang diperintah seperti itu. Bagaimanapun dia seorang perwira. Namun karena diapun ingin sekali mengetahui siapa adanya orang yang berteriak tadi maka diapun anggukkan kepala menyetujui. Kebo Alit kembali memimpin perajurit-perajurit itu mengurung dan menyerbu si pemuda.

"Benar-benar pengecut!" suara yang tadi membentak kembali terdengar. Bersamaan dengan itu sebuah benda panjang tampak melayang di udara disertai suara jeritan. Benda panjang ini jatuh tepat di atas kepala Kebo Alit. 

Sang perwira hantamkan tangannya untuk memukul namun cepat menarik pulang pukulannya ketika menyadari benda yang jatuh itu bukan lain adalah sosok tubuh Randu Ireng. Orang tua ini menjerit kesakitan ketika tubuhnya terhempas di tanah lalu pingsan tak berkutik lagi. Gemparlah semua orang yang ada di situ. Randu Wungu lari ke balik pohon di mana sebelumnya saudaranya menggeletak. 

Namun dia tidak menemukan apa-apa di situ, apalagi melihat seseorang. Dia mendongak ke atas pohon. Tetap saja tidak menemukan siapa-siapa. Dengan perasaan sangat tidak enak dia segera mendekati Kebo Alit dan berkata perlahan. 

"Jangan-jangan tempat ini ada dedemitnya. Ingat keterangan Parangwulung tentang ikan-ikan aneh yang menggerogoti daging Tumenggung Singaranu..."

"Aku tidak begitu percaya pada segala tahyul seperti itu," sahut Kebo Alit. "Mana ada dedemit yang sanggup melemparkan tubuh Randu Ireng begitu rupa. Besar kemungkinan ada seorang berkepandaian tinggi di sekitar tempat ini. Mungkin kawan pemuda keparat itu... "

"Menurutku baiknya kita pergi saja dari sini. Biarkan pemuda itu tapi Parangwulung tetap harus dibawa ke kotaraja sebagai tawanan!"

"Aku setuju," sahut Kebo Alit yang memang sudah melihat dan mendapat firasat tidak enak. Cepat-cepat dia memberi isyarat pada semua orang untuk naik ke kuda masing-masing. Dia dan Randu Wungu membantu Randu Ireng naik ke atas seekor kuda cadangan, lalu mengapit Parangwulung.

"Hai! Kalian mau ke mana?!" seru pemuda berpakaian putih ketika melihat rombongan itu siap untuk pergi.

"Kemana kami mau pergi perduli setan!" bentak Kebo Alit. "Tidak kami cincang kau juga sudah untung!"

"Kalian boleh pergi tapi sesuai perjanjian kalian tidak boleh membawa tawanan itu. Dia harus dibebaskan!" Yang berkata ini bukanlah si pemuda, tapi orang yang tadi membentak. Suaranya datang dari satu tempat yang sulit untuk dijajagi!

"Keparat!" kertak Kebo Alit marah sekali. "Kau hanya berani bermulut besar tapi takut unjukkan muka!"

"Mukaku tidak penting bagi kalian! Tapi aku lebih penting mengingatkan agar kalian membebaskan tawanan itu!" terdengar suara jawaban.

"Apakah kau tahu kalau tawanan ini telah membunuh Tumenggung Singaranu? Dia layak dihukum gantung!"

"Layak kalau dia memang bersalah! Apakah kalian telah membuktikan kesalahannya?!" tanya suara tadi pula.

"Soal bukti membuktikan bukan urusanmu dedemit pengecut!" yang berteriak adalah Randu Wungu. Orang yang tak kelihatan keluarkan suara tawa panjang.

"Randu Wungu! Sebagai tokoh tertinggi di keraton Surakarta kau harus tahu bagaimana mengatur dan menjatuhkan hukum. Ternyata kau lebih banyak menurutkan hawa amarah dari pada bertindak bijak."

Paras Randu Wungu menjadi berubah. Ternyata orang yang bicara tanpa memperlihatkan ujud itu mengetahui nama dan siapa dia adanya. Sementara pemuda bertubuh ramping berkulit putih diam-diam juga jadi terheran heran dan berusaha menduga-duga siapa adanya orang yang bicara tanpa memperlihatkan muka itu. Gurunya? Pasti tidak. Dia kenal betul suara gurunya.

"Orang-orang kerajaan!" terdengar kembali suara tanpa ujud tadi. "Aku akan menunggu sampai tiga daun kering pohon di sebelah kanan kalian melayang ke tanah. Jika sampai saat ketiga daun kering itu menyentuh tanah kalian masih belum membebaskan tawanan. salah satu dari kalian bertiga akan kujadikan tawanan pengganti!"

Kebo Alit, Randu Wungu saling pandang. Sedang Randu Ireng masih melingkar pingsan di atas kuda. Tiba-tiba semua orang di tempat itu mendengar suara angin mendesir. Memandang ke atas pohon di samping kanan mereka mereka melihat tiga daun kering melayang jatuh Beberapa saat kemudian daun pertama yang menyentuh tanah. Menyusul daun kedua, terakhir sekali daun ketiga!

"Kebo Alit," kata Randu Wungu. "Kita benar-benar berhadapan dengan dedemit! Sebaiknya lekas pergi dari sini. Tinggalkan saja Parangwulung. Aku akan membuat laporan pada Mahapatih seolah-olah orang ini terbunuh karena melakukan perlawanan. Habis perkara..." Lalu Randu Wungu menggerakkan kudanya sambil menarik tali kekang kuda yang membawa sosok tubuh Randu Ireng.

"Keparat sialan!" maki Kebo Alit. "Kalaupun kita terpaksa meninggalkannya, dia harus mampus lebih dulu!"

Lalu perwira ini cabut kerisnya dan hunjamkan ke dada Parangwulung. Di saat itu tiga helai daun kering yang tadi berguguran jatuh secara aneh ke tanah, tiba-tiba terangkat dari tanah lalu melesat laksana panah ke arah Kebo Alit. Daun pertama menghantam tangan kanannya yang memegang keris. Gagang daun yang kering menancap di dagingnya membuat perwira ini kesakitan dan lepaskan keris. 

Daun kedua memukul telinganya hingga merah lecet. Sesaat Kebo Alit merasakan telinganya berdengung dan tuli. Daun ketiga menyerempet alis matanya sebelah kiri hingga menimbulkan luka tersayat dan mengucurkan darah. Nyali perwira kerajaan itu menjadi lumer. Lebih-lebih ketika diketahuinya dia hanya tinggal seorang diri di tempat itu. Yang Iain-Iain telah pergi meninggalkannya. 

Kebo Alit cepat pungut kerisnya yang jatuh, menyeka darah yang mengucuri alisnya lalu melompat ke atas punggung kudanya dan membedal binatang itu secepat yang bisa dilakukannya. Tinggal kini Parangwulung yang duduk bingung serta heran di atas punggung kudanya. 

"Anak muda, terima kasih kau telah menolongku..."

"Bukan aku yang menolongmu. Ada seorang lain yang kepandaiannya sangat tinggi. Tapi dia malu-malu memperlihatkan wajahnya Mungkin wajahnya jelek sekali!" sahut si pemuda lalu tolong membuka tali yang mengikat pergelangan tangan Parangwulung. 

"Kau boleh pergi sekarang!" kata si pemuda.

"Ya, aku akan pergi. Tapi tak tahu akan pergi ke mana. Jelas tak mungkin ke kotaraja. Mereka akan menangkapku kembali. Tapi anak dan istriku berada di sana. Ah bagaimana ini..." Parangwulung benar benar bingung. Namun akhirnya dia meninggalkan tempat itu setelah sekali lagi mengucapkan terima kasih dan si pemuda tetap menolak bahwa bukan dialah yang telah menolong lelaki itu. 

Sesaat setelah Parangwulung lenyap dari kejauhan, pemuda itu memandang berkeliling. Lalu dia menjentikkan tangan memanggil kuda hitamnya. Ketika binatang ini hendak ditungganginya mendadak terdengar lagi suara tanpa ujud itu.

"Anak muda! Jangan pergi dulu. Aku ingin bicara denganmu!"

Si pemuda memandang lagi berkeliling. "Hmm..." gumamnya "Kukira kau pun sudah pergi. Ternyata masih nongkrong di sini. Orang pandai kenapa kau tidak mau menunjukkan diri? "

"Sejak tadi aku ada di dekatmu. Apa kau tidak melihat? Atau matamu mungkin lamur?" Suara itu datang dari sebelah kiri. 

Si pemuda berpaling. Astaga! Di sampingnya saat itu memang berdiri sesosok tubuh serba putih. Mulai dari pakaiannya yang berbentuk jubah lebih dalam sampai ke rambut, alis, janggut dan kumisnya. Di atas bahu orang tua ini tampak duduk enak-enakan seekor anak rusa.

"Hah... orang tua, kau ini setan atau malaikat? Bicara tak kelihatan, tahu-tahu ada di depan hidungku!" kata si pemuda pula. Sebelum yang ditanya menjawab dia kembali memberondong. "Kaukah tadi yang melempar tubuh orang tua bernama Randu Ireng itu? Kau juga yang meluruhkan tiga daun kering lalu menghantamkannya ke tubuh si perwira?"

Orang tua itu tertawa. "Pertanyaanmu banyak amat anak muda. Biar kujawab satu satu. Pertama aku bukan setan bukan malaikat. Aku manusia sepertimu, cuma aku hampir empat kali lipat umurmu. Memang aku yang tadi melemparkan sosok tubuh Randu Ireng itu. Juga aku mempergunakan tiga helai daun untuk menghantam perwira kerajaan itu. Nah semua pertanyaanmu sudah kujawab Ada lagi pertanyaan lain...?"

"Binatang yang di pundak kirimu itu. Kucing apa itu? Bentuknya aneh....!"

Si orang tua tertawa mengekeh. "Seumur hidupmu tentu kau belum pernah melihat binatang seperti ini. Ini bukan kucing. Tapi seekor anak rusa..."

"Apa namanya?"

"Rusa!"

"Rusa!" mengulang si pemuda. 

Orang tua itu mengangguk. "Kini giliranku bertanya Kenapa kau sengaja menghadang rombongan kerajaan tadi. Mengapa kau begitu repot-repot mencampuri urusan orang lain dan ingin membebaskan tawanan berkumis itu? Lalu siapa namamu, kau berasal dari mana dan mau ke mana?"

"Aih! Pertanyaanmu ternyata banyak amat. Dan dengar, aku tak akan menjawab satupun dari pertanyaan itu!"

Si orang tua kerenyitkan kening lalu tersenyum. "Anak muda, ada beberapa hal kulihat pada dirimu yang kurang pantas kau miliki..."

"Heh! Apa?!" si pemuda jadi penasaran dikatakan demikian.

"Pertama, kau termasuk anak jahil yang suka mencari tantangan tanpa perduli apakah itu mengganggu orang lain..."

"Tidak bisa!" memotong pemuda itu.

"Dengar dulu, bicaraku belum selesai. Kedua, kau termasuk orang yang agak keras kepala. Ketiga, sikapmu bicara menyatakan bahwa kau kurang mengenal sopan santun..."

"Orang tua! Kau benar benar menghinaku!"

"Tidak! Karena tabiat yang kukatakan itu memang benar-benar melekat di dirimu. Selain pelajaran silat apakah gurumu tak pernah mengajarkan sikap yang baik hormat dan bagaimana bicara sopan bagaimana jangan sampai usil mengganggu orang?!"

"Orang tua. sekali lagi kau menyebut-nyebut nama guruku, kutampar mulutmu!"

"Nah... nah... Itu bukti kekurangsopanan dan kekerasan kepalamu!"

Si pemuda hentakkan kaki kanannya ke tanah saking marahnya. "Kalau kau bukan orang tua, benar-benar sudah kutampar mulutmu"

"Nah, kau menunjukkan tanda-tanda ingin berlaku baik tak jadi menamparku tapi masih memperlihatkan sikap kurang ajar!"

"Orang tua! Aku tak ingin bicara denganmu lagi'"

Pemuda itu lantas naik ke punggung kudanya. Si orang tua cuma tertawa. "Kudaku, ayo jalan!" Si pemuda tepuk pinggul kudanya. Tapi binatang itu tak mau jalan. "Hai! Ayo jalan Panah Hitam!" seru si pemuda. Tetap saja kudanya tak mau jalan, bahkan bergerak sedikitpun tidak. "Ada apa denganmu sebenarnya?" Si pemuda memeriksa dan dapatkan ternyata binatang itu tertegak kaku, entah ditotok entah diapakan. "Pasti kau yang melakukannya!" ujar si pemuda dengan mata dibesarkan pada orang tua berpakaian putih. 

Orang tua itu kembali tertawa. "Anak muda, ketahuilah. Kau berjodoh denganku!"

Mendengar ucapan itu si anak muda melotot besar matanya. "Tua bangka gila! Apa katamu! Kupecahkan kepalamu!"

"Eh, kenapa kau marah-marah? Seharusnya kau senang!"

"Tua bangka busuk! Barusan tadi kau mengatakan usiamu empat kali umurku! Kini kau mengatakan aku berjodoh denganmu. Apa itu namanya bukan gila... !"

Orang tua berambut putih geleng-geleng kepala "Akhirnya kau membuka kedokmu sendiri nak. Sejak tadi aku sudah tahu kalau kau bukan seorang pemuda..."

Tiba-tiba saja paras si pemuda menjadi pucat pasi. Orang tua di hadapannya kembali berkata, "Kalau aku menyebut soal jodoh bukan berarti aku ingin memperistrikanmu! Soal jodoh adalah soal jodoh sebagai guru dan murid. Kau berjodoh denganku! Kau pantas jadi muridku..."

"Jadi muridmu? Memangnya apa sih kepandaianmu?!"

"Nah, keras kepala dan kurang sopanmu kembali. Aku tahu kau memiliki kepandaian silat cukup tinggi. Dan pasti saat ini kau tengah mengelana mencari pengalaman. Tapi ketahuilah, ilmu itu apa pun adanya tak ada batasnya. Semakin dituntut semakin kita ketahui bahwa kita masih banyak ketinggalan. Apakah kau tidak ingin belajar bagaimana cara meruntuhkan daun dan mempergunakan sebagai senjata seperti yang kulakukan tadi...?"

"Tidak, aku tak perlu ilmu seperti itu?" jawab si pemuda. "Dan aku tak sudi bicara denganmu lebih lama!"

Kembali pemuda itu melompat ke atas kudanya. Namun segera pula disadarinya bahwa binatang itu masih berada dalam keadaan kaku tegang. Bagaimanapun dia berusaha tetap saja dia tak dapat membuat kudanya mampu bergerak apalagi berjalan.

"Orang tua! Kalau tidak kau bebaskan kudaku, kupatahkan tanganmu. Ternyata kau pun seorang yang jahil!" pemuda itu mengancam.

"Kudamu itu akan bebas dengan sendirinya beberapa saat lagi. Dengar, pada permulaan bulan ke tujuh datanglah ke tempat kediamanku di selatan, di tepi hutan Grinting. Jika kau tidak datang kau akan menyesal seumur hidup..."

Pemuda itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi didapatnya orang tua itu tak ada lagi di hadapannya. Memandang ke depan dilihatnya si orang tua sudah berada jauh di kaki bukit tandus.

"Ah... dia benar-benar hebat. Ilmunya jelas jauh lebih tinggi dari guru..." kata si pemuda dalam hati. Lalu dia kembali memeriksa kudanya dan ternyata binatang ini sudah bisa bergerak kembali. Maka dia pun naik ke punggungnya dan memacunya menuju puncak bukit tandus.


***
LIMA

KETIKA sampai di puncak bukit tandus dan memandang ke depan, tercenganglah pemuda penunggang kuda hitam itu. Dia hampir-hampir tak dapat mempercayai pemandangan matanya. Di bawah sana terdapat sebuah Iembah yang sebagiannya tertutup rumput hijau serta pohon pohon bunga yang sedang mekar berwarna-warni. Di sebelah timur ada sungai kecil yang airnya mengalir menuju sebuah kolam di pertengahan lembah. Keseluruhannya menyajikan satu pemandangan yang luar biasa indahnya.

Bagaimana bisa terjadi bagian bukit yang baru dilewatinya berada dalam keadaan tandus kering kerontang sedang bagian yang di sini merupakan satu lembah subur dengan pemandangan yang sangat menakjubkan.

"Kudaku, nasib kita hari ini sedang mujur. Lihat, di sana ada air dan rumput segar untukmu!"

Pemuda itu lalu menuruni lembah dengan cepat. Sebelum turun dari kudanya dia mengelilingi dulu kolam yang airnya tampak berwarna-warni itu, menikmati satu keindahan yang belum pernah disaksikannya sebelumnya.

"Kau minumlah sepuasmu lalu merumput di pedataran sana!" kata si pemuda seraya mengusap tengkuk kudanya. Lalu turun dan berlari-lari kecil menuju aliran anak sungai. Di sini pemuda itu membasahi mukanya lalu meneguk air segar sepuasnya. Memandang Ke kolam dari tempatnya duduk, hatinya terdorong untuk membasahi sekujur tubuhnya. 

Tapi ada rasa kawatir. Kalau kalau ada orang lain di tempat itu. Dia memandang berkeliling. Meneliti setiap sudut lembah dengan seksama. Tak tampak siapa-siapa. Perlahan-lahan dia menuju ke tepi kolam. Dia tidak segera masuk ke dalam air tapi duduk dulu di atas batu batu besar dan mencelupkan kedua kakinya yang putih. 

Terasa segar sejuk air kolam itu. Sekali lagi dia memperhatikan berkeliling. Setelah memastikan tak ada orang lain di tempat itu selain kudanya yang merumput di kejauhan maka pemuda ini segera lepaskan pakaian putihnya. Terlindung di balik batu-batu besar dan batang-batang pohon rapat. dua kakek berkepala lonjong dan bermata picak tertawa lebar.

"Sekian minggu menunggu akhirnya datang juga mangsa baru!" kata si Picak Kiri sambil usap-usap telapak tangannya satu sama lain. "Sudahkah kau periksa peralatanmu, Picak Kanan?"

"Jangan kawatir. Peralatanku beres. Dan ikan-ikan iblis itu pasti akan menyantap mangsanya cepat sekali! Bayangkan sekian lama mereka tidak mendapat makanan. Dan kau lihat, yang datang ternyata seorang pemuda berparas cakap berkulit putih! Tentu daging dan darahnya sedap sekali. Hik... hik.... hik....!"

"Huss! Jangan keras keras tertawamu. Nanti kedengaran! Lihat, pemuda itu sudah duduk di tepi kolam. Nah, dia mencelupkan kedua kakinya dan memain-mainkan air kolam. Sekarang lihat, dia mulai menanggalkan pakaiannya. Hai.... Lihat!" seru Picak Kiri.

"Ada apa?" Picak Kanan bertanya.

"Pemuda itu! Ternyata dia... dia... Lihat dadanya! Dia bukan seorang laki-laki! Tapi perempuan! Seorang gadis! Nah, dia melepas ikat kepalanya. Nah, benarkan. Rambutnya panjang sebahu! Aih, cantiknya. Dan buah dadanya itu... Bagus sekali... Bagus sekali! Tak pernah aku melihat pemandangan begini luar biasa. Sebentar lagi dia tentu akan membuka seluruh pakaiannya..."

Mata kiri Picak Kanan terpentang lebar. Apa yang dikatakan saudaranya memang benar. Orang di tepi kolam yang semula mereka sangka adalah seorang lelaki muda, setelah membuka pakaian dan melepas ikatan rambutnya ternyata adalah seorang gadis berkulit putih mulus berparas jelita.

"Pinggangnya ramping amat dan pinggul serta pahanya begitu putih. Ampun mau mati aku rasanya melihatnya!" kata si Picak Kanan.

Orang yang di tepi kolam perlahan-lahan masuk ke dalam air, bergerak ke tengah sambil sesekali membasahi mukanya dengan air sejuk.

"Jangan kau lepas dulu ikan-ikan Iblis Prahara itu, Picak Kanan. Biar kita menikmati pemandangan yang luar biasa ini!" kata si Picak Kiri. Matanya yang cuma satu tidak berkedip-kedip. 

Dara di tengah kolam tampak memandang berkeliling. Dia masih kawatir kalau-kalau ada orang lain di tempat itu. Setelah yakin benar memang tak ada siapa-siapa di situ maka diapun berkecimpung di dalam kolam sepuas-puasnya. Rambutnya yang hitam basah berkilat kilat ditimpa sinar matahari. Letih bermain air dia duduk sebentar di tepi kolam. Dua kakek botak seperti mau gila melihat tubuh putih mulus itu. Sesaat kemudian gadis itu masuk kembali ke dalam kolam.

"Picak Kiri..." berbisik Picak Kanan. "Aku ada usul. Sebaiknya ikan-ikan itu tidak kita lepas. Jika gadis itu kita bunuh sekarang berarti hanya kali ini kita melihat keindahan tubuh telanjangnya. Tapi kalau kita biarkan hidup, siapa tahu dia bakal datang lagi kemari? Berarti kita akan dapat lagi melihat pemandangan yang begini menakjubkan! Bagaimana pendapatmu?"

Picak Kiri usap usap mata kanannya. Dia berpikir sejenak. "Kau betul!" sahutnya kemudian. "Aku setuju. Biar kita lepaskan yang satu ini... "

Gadis di dalam kolam berenang perIahan ke tepian di mana tadi dia meninggalkan pakaiannya. Sampai di tepi kolam dia tidak segera mengenakan pakaian tetapi duduk-duduk dulu seperti berjemur mengeringkan air yang menempel di badannya. Sambil menunggu keringnya badan dia memetik bunga-bunga melati yang banyak tumbuh di sela-sela batu-batu besar. Rambutnya disanggul lalu bunga melati itu diselipkannya di sela gulungan rambut. Sesaat kemudian diapun sudah mengenakan pakaian kembali. Picak Kanan dan Picak Kiri sama-sama menarik nafas dalam dan mengurut dada.

"Luar biasa... Benar-benar luar biasa!" kata Picak Kanan sambil rebahkan diri ke tanah dan menelentang menatap langit sesaat lalu bangkit kembali. 

Saat itu gadis yang berpakaian seperti lelaki itu tampak tegak di atas batu besar memandang berkeliling lalu melangkah mendekati kudanya yang juga telah puas merumput. "Panah Hitam, mari kita pergi. Tempat ini sangat indah. Lain kali kita akan kemari lagi... " Lalu sekali lompat saja dia sudah berada di punggung kuda hitam itu. Si gadis yang menyamar sebagai laki-laki ini bukan lain adalah Sri Megaresmi, murid perempuan Kiai Kali Mutu dari Demak.

"Kalau saja aku tak dapat menahan hati, mungkin tadi aku sudah keluar dari tempat persembunyian ini dan masuk ke dalam kolam. Mandi bersama gadis cantik tadi! Dan tidak mandi saja tentunya. Akan kupeluk tubuhnya. Kudekap dadanya yang putih kencang itu dan..."

"Ssstt... !" Picak Kiri menggamit kaki saudaranya. "Lihat ada orang datang di puncak lembah!" Saat itu di atas lembah memang tampak seekor kuda putih tegak berhenti. Di punggungnya duduk seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih.

"Yang satu ini kuharap benar benar lelaki! Bukan gadis berpakaian pemuda!" kata Picak Kiri. "Jika dia mandi di kolam kita maka dialah mangsa ikan-ikan kita itu. Hitung-hitung sebagai pengganti gadis tadi!" kata Picak Kanan pula.

Penunggang kuda putih adalah Panji murid Kiai Kali Mutu dari Demak. telah menyelesaikan gemblengan terakhir sekitar satu bulan lalu. Sang Kiai kini melepaskan kembali ke dalam rimba persilatan untuk mencari pengalaman agar benar-benar menjadi seorang pendekar yang mantap. Seperti siapa saja yang baru pertama kali melihat keadaan lembah itu. Diapun merasa terheran-heran. Di musim kemarau yang panjang, di mana segala sesuatunya menjadi tandus kerontang. Tahu-tahu di lembah itu terdapat kesuburan yang disertai pemandangan indah luar biasa.

"Panah Putih," si pemuda memanggil nama kudanya. "kita akan bersenang-senang di lembah itu. Kau menyantap rumput sepuasmu dan aku beristirahat di kolam sana."

Bersama kudanya dia menuruni lembah. Binatang itu dilepas di padataran rumput, dia sendiri menuju kolam, merendam kepalanya beberapa saat lalu menarik nafas segar dalam-dalam.

"Air kolam ini sejuk nyaman sekali. Tak puas rasanya kalau tidak mandi berendam..." Panji membuka kancing-kancing pakaiannya. Sesaat kemudian dia sudah mencebur masuk ke dalam kolam.

Picak Kiri berpaling pada saudaranya, "Mangsa sudah di dalam kolam. Kau tunggu apa lagi...?"

Picak Kanan menyeringai. Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Tenggorokannya turun naik. Perlahan lahan tangan kanannya bergerak ke dalam Iubang di antara semak belukar. Begitu menyentuh ujung tali rotan. segera dia mendorong ke depan. Lempengan tembaga berat penutup mulut terowonganpun terbuka. Panji mendengar suara berdesir aneh di dalam air kolam. 

Memandang ke samping kiri dilihatnya ikan hitam aneh banyak sekali berenang melesat ke arahnya. Hanya ikan-ikan kecil, pasti binatang penghuni kolam itu, apa yang ditakutinya? Pemuda ini tak pernah menyangka kalau hari itu, di tempat itu, adalah akhir dari perjalanan hidupnya yang masih sangat muda. Kematian datang menjemput bukan dalam berlaga menghadapi musuh dan kejahatan, tetapi justru muncul di sebuah kolam bagus berair sejuk.

Pemuda ini tersentak kaget dan menjerit kesakitan sewaktu ikani-kan Iblis Prahara manancapkan gigi-giginya di paha, di perut, sepanjang kedua kaki, pinggang, dada dan punggungnya Dia pergunakan kedua tangannya untuk menepis binatang itu. Tetapi percuma. Hanya beberapa ekor yang barjatuhan sedang yang datang menyerbu jauh labih banyak. Panji kerahkan tenaga dalam, maksudnya hendak lepaskan pukulan guna memusnahkan ikan-ikan Iblis itu. 

Tetapi pemuda ini menjerit sewaktu melihat kedua tangannya ternyata hanya tinggal tulang saja! Tubuhnya kemudian seperti diseret kuat-kuat ke dasar kolam. Kini ikan-ikan hitam berbentuk segitiga dengan gigi-giginya yang lancip runcing serta tajam seperti mata gergaji bukan saja manggerogoti tubuhnya, tetapi juga muka dan kepalanya. Air kolam yang tadi bening jernih kini tampak merah oleh darah!

Kuda putih yang tengah merumput di lereng lembah dongakkan kepala. Matanya berkedip-kedip memandang ke arah kolam. Seperti tahu apa yang terjadi binatang ini meringkik. Panjang dan keras. Barulangkali tiada henti.


***
ENAM

SUARA ringkik kuda yang keras panjang dan terus itu menarik perhatian Mahesa Kelud yang tengah dalam perjalanan menuju ke timur. Mungkin itu hanya ringkik kuda liar yang kehausan. Mungkin juga ringkik seekor kuda yang tengah menghadapi bahaya. Atau ada kuda penarik kereta terbalik. 

Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pemuda ini segera mendaki bukit tandus di depannya. Sampai di puncak bukit kalau saja dia tidak melihat seekor kuda putih yang terus meringkik, pastilah dia akan terpesona melihat keindahan yang terbentang di depan matanya.

Mahesa berlari mendekati kuda putih itu. Pada jarak tiga langkah mendadak binatang ini tendangkan kaki kiri belakangnya ke arah Mahesa. Kalau tidak cepat menghindar pasti perutnya kena diterjang kaki kuda itu.

"Kuda putih... tenang. Tenang... Aku sahabatmu. Aku tak akan mengganggumu! Kenapa kau meringkik terus menerus!" 

Mahesa berkata itu sambil ulurkan tangan mengelus tengkuk kuda putih. Binatang ini masih terus meringkik, tetapi tidak galak lagi. Mahesa memandang berkeliling. Tangannya terus mengusap leher kuda. Ketika dia menuruni pedataran berumput menuju ke kolam di bawah sana. Kuda putih itu mengikutinya. Di tepi kolam Mahesa menemukan sehelai pakaian yang terdiri dari pakaian dan celana panjang putih. Lalu ikat kepala putih. Persis seperti yang saat itu dikenakannya sendiri. 

Namun apa yang menjadi perhatiannya dan membuat pandekar ini keranyitkan kening adalah sesosok kerangka manusia lengkap dengan tengkorak kepala, terapung di air kolam yang tampak kemerah-merahan. Bau amis menusuk hidungnya. Kuda putih di sampingnya meringkik keras.

"Celaka! Kita tidak keburu mengambil dan menyembunyikan tengkorak itu. Air kolampun masih ada darahnya!" terdengar bisikan di balik tumpukan batu besar dan kerapatan pohon pohon. Yang berbisik adalah kakek botak Picak Kanan.

"Tenang saja...." Picak Kiri menyahut. "Tak mungkin orang itu mengetahui apa yang terjadi. Yang penting jangan keluarkan suara berisik. Pemuda itu jelas tengah meneliti keadaan di tempat ini!"

Mahesa tegak di atas batu besar di tepi kolam. Otaknya bekerja keras memecahkan teka-teki apa yang telah terjadi di tempat itu. Pembunuhan? Seseorang, pemilik pakaian putih dan pemilik kuda putih itu. diakah yang jadi korban? Tapi siapa yang membunuh? Mahesa menatap ke arah tengkorak yang terapung di air kolam. Pada saat itulah di belakangnya terdengar suara derap kaki kuda, disusul oleh suara seseorang berseru, 

"Kakak Panji!"

Mahesa cepat berpaling. Bukan saja ingin melihat siapa yang memanggil itu tetapi juga karena Panji adalah nama aslinya, nama sebelum gurunya Embah Jagatnata memberikan nama Mahesa Kelud kepadanya. Siapa gerangan orang yang mengetahui nama aslinya itu? Ketika berpaling Mahesa dapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang muda penunggang kuda hitam. Pemuda itu bertubuh ramping, berpakaian serba putih dan memiliki paras serta kulit sehalus perempuan.

"Ah! Kau bukan kakak Panji!" penunggang kuda hitam berkata dan di wajahnya tampak bayangan rasa heran. Dia memandang ke tengah kolam di mana tampak mengapung tengkorak manusia. Lalu melirik pada kuda putih di samping kiri si pemuda. "Kau bukan kakak Panji! Tapi kuda itu adalah Panah Putih. Kuda miliknya. Dan..."

Penunggang kuda hitam meluncur turun dan kudanya ketika melihat seonggok pakaian putih di atas batu di tepi kolam. "Ini pasti pakaiannya. Kakak Panji! Di mana kau!" seru pemuda ramping itu yang bukan lam adalah Sri Megaresmi murid Kiai Kali Mutu, adik seperguruan Panji. Kenapa gadis berpakaian lelaki ini kembali ke tempat itu?

Seperti diceritakan, sebelumnya Megaresmi telah datang ke lembah yang indah itu dan sempat mandi di kolam. Meskipun hatinya diselimuti rasa senang karena dapat mandi di air yang bersih bening dan sejuk demikian rupa namun setelah meniggalkan tempat itu gadis ini menaruh rasa tidak enak. Dia yakin gerak-geriknya ketika mandi tadi telah diintip oleh orang lain. 

Rasa jengah timbul dalam dirinya. Tetapi sekaligus juga rasa marah. Jika ada orang yang berani mengintipnya mandi, orang itu siapapun adanya harus digebuk dan dihajar. Maka gadis yang keras hati ini sengaja kembali ke tempat itu untuk menyelidik. Justru yang ditemuinya adalah Mahesa Kelud dan kuda putih milik kakak seperguruannya.

"Saudara, kau memanggil nama Panji berulang kali! Siapakah dia? Aku sendiri juga bernama Panji!" Mahesa menegur.

"Aku tak perduli siapa namamu! Yang kucari adalah Panji kakak seperguruanku! Kulihat kuda putihnya ada bersamamu! Dan itu pasti pakaiannya!"

"Ketika aku sampai di tempat ini kutemui kuda ini meringkik terus-terusan. Lalu kutemui pakaian. Aku tidak melihat siapapun di sini, kecuali tengkorak yang terapung apung di dalam kolam..." menerangkan Mahesa.

Megaresmi memandang ke kolam kembali. Hatinya tidak enak. Berpaling ke arah Mahasa dia tiba-tiba berkata: "Pasti kau yang tadi mengintip aku mandi!"

"Hah! Aku baru saja sampai di tempat ini! Bagaimana kau bisa menuduh aku mengintipmu mandi! Memangnya kapan kau mandi di sini? Di dalam kolam yang ada jerangkong ada airnya amis itu?!"

"Jangan berpura-pura! Ketika aku mandi kolam itu bersih dan sejuk airnya. Tak ada bau amis, apalagi jerangkong!" tukas Megaresmi.

"Aneh, kalau begitu sesuatu telah terjadi sesaat setelah kau pergi dan sebelum aku muncul di tempat ini!" kata Mahesa pula.

"Aku curiga! Kaulah yang telah membunuh kakak seperguruanku!"

Mahesa Kelud tentu saja terkejut mendengar tuduhan itu. "Tuduhanmu tak beralasan. Aku tak pernah bertemu dangan kakak seperguruanmu itu. Lalu apa pula pasal musababnya aku membunuhnya?!" Mahesa memandang ke arah kolam. "Apa kau bisa membuktikan bahwa aku yang membunuh saudaramu dan bagaimana cara aku membunuh!"

"Aku tidak merasa perlu membuktikannya. Justru kau yang harus mengakuinya. Jika kau berani bardusta kupecahkan batok kepalamu!"

Mahesa tersenyum. "Siapa sudi mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya? Apalagi membunuh orang!"

"Kalau begitu bersiaplah untuk mampus! Aku yakin kau membunuh kakakku Mungkin karena kau menginginkan kuda putihnya itu Atau antara kalian ada dendam kesumat!"

"Pemuda picik! Jika aku membunuh seseorang mana mayatnya?!"

"Pasti telah kau sembunyikan. Atau mungkin jerangkong yang ada dalam kolam itu!"

Mahesa tertawa. "Membunuh seseorang lalu membuatnya hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak seperti itu bukan pekerjaan mudah! Mayat yang dikuburpun berbilang tahun baru menjadi tengkorak putih!"

"Sudahlah! Kau mau mengaku atau tidak?!" Megaresmi mengancam.

"Apa yang harus kuakui?!" tukas Mahesa.

"Keparat! Mulutmu pandai berdalih! Lihat serangan!"

Mahesa Kelud terkejut ketika melihat "pemuda" di hadapannya menerjang dengan satu pukulan kilat mengarah mukanya. Dari angin pukulan yang mengeluarkan suara berdesir. Mahesa segera maklum kalau pemuda yang kelihatannya lemah lembut itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Untuk menjajal sampai di mana kekuatan lawan maka diapun angkat lengan kiri, menangkis.

Megaresmi dalam marahnya juga ingin menjajagi kehebatan si pemuda maka diapun tidak berusaha untuk menghindarkan terjadinya bentrokan lengan. Buk! Mahesa melompat mundur sambil teliti pergelangan tangannya. Ternyata lengannya tampak kemerah-merahan dan rasa sakit membuat pendekar ini menatap kagum ke depan. Tidak disangka pemuda yang bertubuh ramping halus itu memiliki kekuatan luar biasa. Sebaliknya Megaresmi sendiri tampak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangannya. Jelas dia menderita sakit yang amat sangat. 

Melihat hal ini diam-diam Mahesa jadi kasihan dan berkata, "Harap maafkan, bukan maksudmu mencelakaimu. Tanganmu cidera?!"

"Kentut busuk!" Megaresmi memaki gemas. Ucapan belas kasihan itu olehnya terasa justru seperti ejekan. Tubuhnya berkelebat ke depan. Tangan kirinya membabat deras mencari sasaran seru. Jurus demi jurus berlalu sangat cepat. Tak terasa dua puluh jurus telah terlewatkan. Megaresmi keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat memukul atau merobohkan lawan. 

Namun sampai tenaganya terkuras dia tak mampu menyentuh tubuh pemuda itu. Sebaliknya Mahesa bekerja keras dan harus keluarkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari Embah Jagatnata, sesekali digabung dengan jurus-jurus ilmu pedang yang didapatnya dari Suara Tanpa Rupa. 

Selama perkelahian Mahesa lebih banyak mengambil sikap bertahan. Entah mengapa dia merasa tidak tega balas menyerang. apalagi sampai menjatuhkan tangan keras. Selain tidak ada silang sengketa dengan "pemuda" itu. Mahesa juga sadar kalau lawannya banyak terpengaruh oleh anggapan bahwa dialah yang telah membunuh kakak seperguruannya.

Memasuki jurus keduapuluh lima gerakan Megaresmi tampak semakin lamban. Nafasnya menyengal. Gila! Maki "pemuda" ini. Tadi bertempur melawan orang-orang kerajaan itu dia sama sekali tidak merasa lemas. Mengapa menghadapi lawan yang seorang ini tenaganya seperti tersedot. Dalam keadaan kehabisan tenaga, ketika Mahesa menepuk bahunya, Megaresmi akhirnya jatuh terduduk di antara pohon-pohon bunga yang sedang bermekaran. 

Perasaannya campur aduk. Malu, gemas, marah dan menyesal. Sekian lama menjadi murid Kiai Kali Mutu ternyata kepandaiannya hanya sampai di situ saja. Tak sanggup menghadapi pemuda itu. Percuma menghabiskan waktu sekian lama di Demak kalau hasilnya hanya begini saja. Terlupa akan penyamarannya. Megaresmi duduk bersimpuh di tanah sambil tekap mukanya dengan kedua tangan. lalu tak sadar dia menjambak-jambak rambut di kepalanya hingga gelungannya terlepas dan rambutnya yang panjang sebatas bahu tergerai. Melihat ini Mahesa Kelud tentu saja jadi terkejut.

"Hah... kau ini lelaki atau..."

Megaresmi turunkan kedua tangannya, memandang melotot pada Mahesa

"Kau... seorang perempuan!" ujar Mahesa.

Baru Megaresmi sadar. Kedua tangannya diusapkan ke kepala. Sadar dia apa yang terjadi. Sanggulnya lepas. Penyamarannya terbuka. Yang bisa dilakukannya kini adalah menangis dan menangis!

Mahesa geleng geleng kepala. Dia duduk di tanah di hadapan gadis itu tapi tetap menjaga jarak karena bukan mustahil tiba-tiba si gadis kembali menyerangnya.

"Apa yang hendak kau lakukan padaku?!" tiba-tiba Megaresmi bertanya dengan suara keras. Nadanya penuh putus asa.

"Eh. aku tak akan melakukan apa-apa. Memangnya kenapa?" tanya Mahesa heran.

"Kalau begitu enyahlah dari hadapanku!"

"Jika kau tidak suka pada tampangku yang jelek, tak jadi apa." sahut Mahesa. "Tapi di tempat ini ada sesuatu yang tidak beres. Bagaimana kalau kita melakukan penyelidikan bersama-sama. Bukankah kau menaruh curiga bahwa kakak seperguruanmu berada di tempat ini dan lenyap secara aneh. Lalu ada jerangkong terapung di kolam sana. Dan kuda putih itu yang menurutmu adalah kuda kakakmu. Dan pakaian putih. Atau mungkin kau masih menuduhku sebagai pembunuh?"

"Sampai kau sendiri yang membuktikan bahwa kau bukan pembunuh, aku tetap mencapmu sebagai pembunuh!"

"Kau keterlaluan. Siapa sih namamu?!" Tanya Mahesa.

"Perlu apa kau tahu namaku! Dengar! Hari ini aku mengaku kalah. Mengejek dan mempermankanku! Tapi tunggu saja! Aku akan datang lagi mencarimu. Aku akan berguru ke selatan. Sekali kau kutemui lagi akan kuhajar kau sampai menggelepar!"

"Kau gadis keras hati!" kata Mahesa. 

Megaresmi tak menyahut. Dia bangkit berdiri, mengambil pakaian putih yang terletak di atas batu di tepi kolam lalu melompat ke atas kuda hitamuya. Sebelum pergi dia berpaling pada kuda putih yang tegak di samping Mahesa.

"Panah Putih." katanya. "aku tak bisa membawamu. Jagalah dirimu baik-baik..." 

Sesaat gadis itu melirik ke arah Mahesa lalu membedal kudanya dan tinggalkan tempat itu. Yang ada di benaknya saat itu adalah bayangan orang tua serba putih yang muncul bersama anak rusa di pundaknya. Orang tua itu telah menyuruhnya pergi menemuinya di selatan. Semula sama sekali tak ada niat di hati Megaresmi untuk memenuhi permintaan itu. 

Tapi setelah dia dikalahkan oleh pemuda tadi. Hatinya benar-benar kesal. Dia bertekad untuk membalas kekalahan itu. Untuk kembali ke gurunya di Demak dia merasa malu. Karena itu dia menuju ke selatan, mencari kakek sakti yang mengatakan bahwa dirinya berjodoh untuk diambil murid. Gadis ini sama sekali tak pernah mengetahui kalau orang tua yang hendak mengambilnya menjadi murid itu sesungguhnya adalah juga guru Mahesa Kelud.

Sesaat setelah sendirian Mahesa tegak termangu. Akhirnya didekatinya kuda putih itu, dielus-elusnya tengkuk binatang ini seraya berkata, "Kuda putih, namamu Panah Putih, benar...?"

Sang kuda kedip-kedipkan mata.

"Dari pada tak ada yang mengurusmu, lebih baik ikut bersamaku." Lalu Mahesa melompat ke punggung kuda itu dan memacunya ke jurusan timur.


***
TUJUH

TIGA ekor kuda berpacu menuruni lembah berumput. Dua kuda di tunggangi oleh dua orang bertubuh kekar berwaiah bengis dan memiliki rambut gondrong menjela bahu. Muka masing-masing selain tertutup debu juga terbungkus oleh cambang bawuk serta kumis tebal. Kuda ketiga tidak berpenumpang tapi membawa sejumlah buntalan dan peti kayu.

"Delapan tahun malang-melintang di daerah ini, baru hari ini aku tahu kalau di sini ada lembah yang begini indah, lengkap dengan bunga dan kolam sejuk!"

Penunggang kuda yang sebelah kanan berkata sambil tekankan telapak tangan kanannya ke gagang golok besar yang tersisip di pinggang.

"Warok. tempat ini pantas kita jadikan markas!" kata kawan di sebelahnya.

Yang dipanggil dengan sebutan warok usap-usap cambang bawuknya lalu menjawab, "Itu tadi memang terlintas dalam benakku. Tapi tempat seindah ini tidak aman bagi kita dan anak-anak. Kau tahu siapa saja yang lewat di sini pasti menyempatkan singgah untuk menikmati pemandangan serta bermain di kolam. Aku sendiri merasa gerah. Sudah seminggu tubuhku tak menyentuh air. Sampang Ijo. Kau berangkatlah duluan. Bawa serta barang-barang itu. Tunggu aku di Goa Srindil. Aku ingin mandi dulu di kolam ini.. . "

"Kalau warok berkata begitu baiklah," kata Sampang Ijo lalu dia menarik tali kuda barang dan segera tinggalkan tempat itu.

Kakek botak Picak Kiri mengusap-usap kepatanya yang botak. "Kalau aku tidak salah terka, manusia gondrong bertampang buas itu adalah Warok Suto Jagal, kepala rampok yang terkenal jahat dan ganas itu... "

"Memang dia," jawab Picak Kanan. "Gerak-geriknya dia hendak mandi kolam kita. Kali ini ikan-ikan kita akan dapat mangsa alot! Daging dan darahnya pasti tidak sedap!"

"Tak jadi apa. Yang penting ikan-ikan Iblis Prahara itu dapat makan. Yang aku takutkan justru kalau mereka sampai mati kelaparan. Siapkan perkakasmu Picak Kanan. Sebentar lagi sang warok akan berlangir darah dan dagingnya sendiri! Hik... hik... hik!"

Saat itu Warok Suto Jagal memang sudah menanggalkan pakaiannya. Dadanya tampak penuh tertutup bulu sampai ke pusar dan perutnya yang buncit berlemak. Air kolam muncrat tinggi ketika tubuh yang besar gendut itu mencemplung masuk.

"Sedapnya mandi di sini ..." kata sang warok. "Sehabis mandi sebaiknya aku tidak terus ke Goa Srindil. Aku mampir dulu ke tempat Nyi Jumilah. Dia tentu senang bergelut-gelut dengan tubuhku yang bersih. Selama ini dia selalu mengatakan badanku bau...!"

Suto Jagal berenang ke tepi, maksudnya hendak mengambil daun-daun dan kembang-kembang melati untuk digosokkan ke badannya agar harum. Tetapi sebelum dia mencapai tepi kolam tiba-tiba ada sesuatu yang menggigit kakinya. pahanya, lalu pinggul dan pinggangnya. Dari terpekik kesakitan. Kini malah dada dan perutnya seperti dicucuk.

"Binatang keparat!" maki kepala rampok itu ketika melihat ternyata yang menggigit tubuhnya adalah ikan-ikan kecil berwarna hitam. Dia mengibas kian kemari sambil berusaha mencapai tepi kolam. Namun ikan-ikan yang ribuan ekor banyaknya itu lebih dahulu menyeretnya ke dalam kolam. Ketika tak lama kemudian Warok Suto Jagal muncul di permukaan air maka tubuhnya hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak yang mengerikan!

"Ikan-ikan luar biasa!" kata Picak Kiri sambil menyeringai puas. "Tubuh begitu besar alot dan penuh lemak dihabisi dalam waktu singkat! Picak Kanan, ayo cepat masukkan ikan ikanmu. Aku harus mengangkat jerangkong itu dari dalam air. Kawatir ada pendatang lain muncul seperti kejadian tempo hari..."

Picak Kanan goyang-goyang ujung tali rotan yang dipegangnya. Dan bagian atas tarowongan di dalam tanah berjatuhan butir-butir pasir berkilauan. Ribuan ikan hitam yang tertarik melihat benda-benda ini segera menghambur masuk ke dalam terowongan. Picak Kanan lalu menarik ujung tali rotan. Lempengan tembaga berat turut menutup mulut terowongan. 

Sementara itu Picak Kiri keluar dari tempat persembunyian mereka membawa sebuah galah yang ujungnya ada pengait. Dengan galah itu dikaitnya jerangkong tengkorak Suto Jagal lalu diseretnya sejauh dua ratus tombak, ke satu tempat tersembunyi di mana terpampang satu pemandangan yang mengerikan. Di situ tertumpuk puluhan tulang belulang dan tengkorak manusia. Semua adalah korban-korban tak berdosa yang menemui ajal terjebak dalam kolam iblis!

Selesai membuang tulang belulang Warok Wuto Jagal, Picak Kiri kembali ke tempat persembunyian di belakang batu dan pohon-pohon besar. Dia mengeluarkan sebuah pisau kecil, lalu menggurat batang pohon di depannya dengan ujung pisau. Pada batang pohon itu terdapat puluhan guratan.

"Sudah berapa semuanya Picak Kiri?" tanya kakek Picak Kanan.

"Tiga puluh satu..."

"Banyak juga. Hik... hik... hik... Berapa korban lagi yang bakal kita dapatkan!"

Mendadak dari atas salah satu pohon di bawah mana kedua kakek botak ompong ini berada, terdengar suara seseorang membentak. "Manusia-manusia edan! Kalian tidak akan mendapat korban baru! Kalau ada yang mampus dalam kolam itu, itu adalah kalian berdua!"

Tentu saja Picak Kanan dan Picak Kiri kaget bukan main. Kedua kakek botak ini mendongak ke atas pohon. Saat itu tampak sesosok tubuh melayang turun. Sambil turun orang itu hantamkan kaki kiri kanan ke batok kepala dua kakek aneh. Ini adalah satu serangan maut yang ganas!

Dua kakek berseru keras dan serentak menghambur selamatkan diri. Satu melompat ke kiri, satunya lagi membuang diri ke kanan. Sambil berkelit keduanya sama hantamkan tangan ke atas. Dua gelombang angin deras laksana gunting menyambar tubuh yang melayang turun. Tapi meleset karena orang itu kelihatan jungkir balik dan di lain kejap dia sudah menjejakkan kedua kaki di tanah. 

Tegak sejauh enam langkah dari dua kakek botak plontos. Orang ini seorang tua mengenakan pakaian biru. Di pinggangnya tergelung sebuah ikat pinggang berupa ular sanca besar yang merupakan satu senjata ampuh berbahaya. Yang menggidikkan dari orang ini ialah mukanya yang tinggal kulit pembungkus tulang hingga muka itu hampir menyerupai sebuah tengkorak!

"Datuk Ulat Muka Tengkorak!" seru Picak Kiri dan Picak Kanan dengan suara bergetar.

"Tak ada hujan tak ada angin! Tak ada silang sengketa tak ada lantai terjungkat! Kenapa kau hendak membunuh kami?!" bertanya Picak Kanan. Baik dia maupun Picak Kiri tahu betul kehebatan Datuk Ular apalagi kalau manusia ini sampai pergunakan ikat pinggang ular sancanya urusan bisa berabe.

Datuk Ular meludah ke tanah. "Antara kita memang tak ada silang sengketa ataupun perselisihan! Tetapi antara kau dan kebenaran ada yang perlu diselesaikan! Tigapuluh satu orang tak berdosa telah jadi korban kejahatan kaiian! Untuk itu kalian pantas dihajar sampai mati!"

(Mengenai siapa adanya Datuk Ular Muka Tengkorak ini harap baca serial Pedang Sakti Keris Ular Emas: Simo Gembong Mencari Mati dan Srigala Berbulu Domba)

"Datuk Ular... Datuk Ular..." kata Picak Kiri sambil geleng-geleng kepala. "Aku menghormati nama besarmu. Tapi jika kau memaksa bukan berarti aku dan saudaraku ini akan diam saja seperti kerbau dungu!"

Datuk Ular Muka Tengkorak tertawa mengekeh. "Perlu dibuktikan dulu apa betul kalian bukan dua ekor kerbau dungu!" Habis berkata begitu sang datuk langsung menyerbu kedua orang itu. Meskipun dikeroyok dua namun tampaknya sulit bagi dua kakek botak untuk mengalahkan lawan. Setelah menggebrak terus-terusan selama delapan jurus Picak Kiri dan Picak Kanan mulai mendapat serangan-serangan balasan yang membuat keduanya terdesak.

"Celaka, dua jurus di muka dia pasti dapat menggebuk kita. Bagaimana pendapatmu?" bisik Picak Kiri pada Picak Kanan.

"Tak ada jalan lain. Kau harus memancingnya berkelahi di tepi kolam. Begitu ada kesempatan dorong tubuhnya ke dalam air. Aku akan membuka katup tembaga di mulut terowongan!"

Mendengar ucapan itu maka Picak Kiri lepaskan dua serangan berantai ke arah Datuk Ular, begitu lawan balas menghantam dia cepat melompat ke atas batu-batu besar pembatas kolam iblis. Sementara saudaranya Picak Kanan menyelinap ke balik pepohonan di mana terdapat peralatan rahasia. Datuk Ular bukan orang bodoh. Dia sempat melihat kasak-kusuk di antara kedua lawannya. Pasti mereka menyusun rencana, pikirnya. Maka diapun lebih berhati-hati.

"Datuk Ular! Mari kita berkelahi satu lawan satu di atas batu-batu ini!" seru Picak Kiri.

Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu. Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu. "Kenapa cuma di atas batu-batu di tepi kolam itu? Mengapa tidak di dalam kolam saja?!" sahutnya.

Picak Kiri lemparkan senyum mengejek. "Nyalimu rupanya hanya sampai di situ! Lagakmu bersikap bersih, seolah-olah hendak melenyapkan kejahatan di muka bumi ini. Tapi semua orang tahu kau tak lebih dari seekor ular busuk kepala dua!"

Mendengar caci maki itu marahlah Datuk Ular. Dia terpancing melompat ke atas batu dan kirimkan serangan gencar pada Picak Kiri. Yang terserang pergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan satu gerak tipu dia berhasil membetot pinggang Datuk Ular dan menariknya kedalam kolam. Tapi sang Datuk tidak bodoh. Begitu tubuhnya jatuh, kakinya cepat mengait kaki lawan hingga keduanya sama-sama tercebur masuk ke dalam kolam. Malang bagi Picak Kiri justru tubuhnya terbenam lebih dulu. Selagi dia megap-megap karena hidung dan mulutnya kemasukan air, Datuk Ular hantam mukanya dengan satu jotosan. 

Di balik pohon Picak Kanan telah mendengar suara tubuh masuk ke dalam kolam, tapi dia tak dapat mengetahui dengan jelas siapa yang tercebur. Maka diapun bangkit mengintip-intip lewat celah-celah batu. Justru saat itu satu tendangan menghantam pelipisnya hingga si botak ini terpental dan roboh di tanah antara sadar dan pingsan. Datuk Ular seret tubuh Picak Kanan dan masukkan ke dalam kolam. 

Sadar apa yang bakal dialaminya Picak Kanan berteriak dan kumpulkan tenaga yang ada untuk keluar dari dalam air. Namun kembali satu tendangan menghantam tubuhnya di bagian dada. Picak Kanan terhempas ke belakang. Jatuh manimpa tubuh Picak Kiri yang dalam keadaan megap-megap berusaha pula selamatkan diri.

Datuk Ular lari ke balik pohon-pohon besar. Selama satu minggu secara diam-diam dia telah mengintai gerak-gerik kedua kakek botak itu dan tahu betul seluk-beluk alat rahasia yang tersembunyi di balik semak belukar. Dengan cepat dia mendorong ujung tali rotan. Tembaga penutup mulut terowongan terbuka. 

Ribuan ikan hitam menyerbu ke luar terowongan, langsung melumat dua sosok tubuh yang ada di dalam kolam, Picak Kiri dan Picak Kanan menggelepar-gelepar. Teriakan-teriakan putus asa keluar dari mulut keduanya. Namun itu hanya merupakan teriakan pengantar kematian mereka.

***
DELAPAN

SEBELUM menamatkan riwayat dua kakek jahat Picak Kiri dan Picak Kanan tujuan utama Datuk Ular semata-mata adalah untuk membasmi kejahatan dari muka bumi ini. Namun setelah kedua kakek itu terbunuh, maka satu pikiran sesat justru merasuk hati sang Datuk, malah sangat bertentangan dengan niat baiknya semula.

Seperti diketahui Datuk Ular adalah termasuk tokoh silat golongan putih. Meskipun demikian kerap kali tindakan-tindakan yang dilakukannya tidak begitu disukai oleh para tokoh golongan putih karena hanya mengikuti kehendak pribadi dan terkadang bahkan menguntungkan mereka dari golongan hitam. Dengan kematian dua kakek botak, sang datuk kini sadar betul bahwa hanya dia seorang yang mengetahui seluk beluk dan rahasia kolam iblis di lembah subur itu. 

Maka dalam hatinya yang telah terhasut oleh setan itu, Datuk Ular merasa dengan menguasai kolam itu dia dapat melakukan satu kejutan besar tetapi secara rahasia, yakni menguasai dunia persilatan! Caranya tentu saja mula-mula dengan membunuhi para tokoh silat yang tidak sehaluan dengan dia. Manusia pertama yang ingin dibunuhnya adalah bekas sekutunya sendiri yakni Dewi Rebab Kencana. 

Perempuan sakti ini yang termasuk golongan putih dalam banyak hal selalu menentang apa-apa yang ingin dilakukan sang datuk sehingga Datuk Ular mencapnya sebagai musuh dalam selimut. Setelah Dewi Rebab Kencana dibereskan, orang kedua yang masuk dalam daftar maut sang datuk adalah Mahesa Kelud. 

Beberapa waktu yang lalu, bersama beberapa orang kawannya dia pernah menempur pemuda murid Simo Gembong itu hingga terjungkal masuk ke dalam jurang batu bersama seorang anak buah Dewi Maut. Semula diperkirakan kedua orang itu telah menemui ajal di dasar jurang. Tetapi beberapa waktu yang lalu Datuk Ular menyirap kabar dan menemui bukti-bukti kuat yang menyatakan bahwa Mahesa Kelud masih hidup!

Tempat kematian yang paling tepat bagi kedua orang tersebut adalah kolam ikan iblis itu. Namun Datuk Ular tahu betul, tidak mudah untuk menjebak Dewi Rebab Kencana ataupun Mahesa Kelud untuk datang ke lembah itu. Tapi dasar manusia cerdik panjang akal, sang datuk segera menemukan akal bagaimana agar Mahesa Kelud serta Dewi Rebab bisa dibuat muncul. Selain cerdik Datuk Ular juga seorang yang memiliki perhitungan panjang.

Untuk menjaga segala kemungkinan, dia menghubungi Pengemis Sableng dan Pengemis Berkipas Putih yaitu dua orang tokoh silat pentolan istana yang dulu pernah ditugaskan hartawan Prajadika untuk menangkap Mahesa Kelud karena pendekar ini telah membunuh putera sang hartawan yang bernama Prajakuncara, yaitu ketika Prajakuncara hendak merusak kehormatan Wulansari.

Begitulah, selama beberapa bulan ini dunia persilatan diam-diam telah dilanda kegegeran. Beberapa tokoh silat dikabarkan lenyap tanpa diketahui apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka. Dalam kegegeran itu, dua orang menerima surat secara aneh. Surat pertama diterima oleh Dewi Rebab Kencana, berbunyi :

Berbilang bulan telah berlalu sejak kematian guru
Jika dendam kesumat masa lalu bisa dipupus
Ada satu pesan Simo Gembong yang perlu disampaikan.
Sudikah Dewi datang ke lembah subur di kaki selatan pegunungan Dieng.
Datanglah tepat pada tengah hari ketika sang surya bersinar terik.
Pada hari ke lima bulan enam.
Aku menunggu Dewi di tepi kolam berair sejuk.

Mehesa Kelud

Surat kedua sampai di tangan Mahesa Kelud. Di situ tertulis :

Berbulan-bulan telah berlalu sejak kematian gurumu
Ada pesan mendiang Simo Gembong yang terlupa kusampaikan
Jika kau murid yang patuh datanglah tepat pada
tengah hari ketika sang surya bersinar terik.
Pada hari ke tujuh bulan enam.
Aku menunggumu di tepi kolam berair sejuk.
Di lembah subur kaki selatan pegunungan Dieng.

Dewi Rebab Kencana.

Sewaktu Dewi Rebab Kencana menerima surat itu, hatinya diliputi berbagai kebimbangan. Pertama apakah benar surat itu dikirimkan oleh Mahesa Kelud, murid mendiang Simo Gembong, kekasihnya di masa muda. Kedua surat itu secara aneh disampaikan oleh seorang berpakaian seperti nelayan ketika dia berada di pantai selatan. 

Sewaktu dia berusaha menguntit nelayan itu, orang tersebut lenyap tanpa jejak. Nelayan biasa tak bakal bisa melakukan hal itu. Pasti nelayan tadi adalah seorang berkepandaian tinggi yang sengaja menyamar. Ketiga, jika Simo Gembong memang mempunyai pesan untuknya mengapa sang murid tidak memberitahukan ketika mereka berada di Pulau Mayat, tempat kediaman Dewi Maut, yaitu ketika mereka berada di sana sebelum Simo Gembong menemui ajal bunuh diri. 

Namun mengenang kehidupan masa lalunya bersama Simo Gembong dan teringat pada bayangan wajah Mahesa Kelud yang tak pernah dilupakannya karena wajah pemuda itu mirip seseorang yang pernah dicintainya, maka Dewi Rebab Kencana memutuskan untuk segera berangkat ke utara, menuju pegunungan Dieng. 

Hanya saja perempuan berusia lanjut tetapi awet muda ini mengadakan perjalanan seenak yang disukainya, maka dia sampai di lembah subur itu bukan pada hari ke lima bulan enam, melainkan pada hari ke tujuh bulan enam. Jadi terlambat dua hari dari yang tertulis dalam surat. Sang Dewi merasa tak perlu harus tepat seperti yang ditetapkan pengirim surat karena menurut anggapannya jika Mahesa memang memerlukannya, pemuda itu harus mau menunggu.

Mahesa Kelud sendiri dengan menunggang kuda putih milik Panji sampai di lembah lewat tengah hari, hanya terpaut beberapa saat dari Dewi Rebab Kencana. Pemuda ini datang dari arah utara, jadi tidak melalui bukit tandus seperti ketika pertama kali dia sampai di tempat itu. Justru karena kedatangannya dari arah yang berlawanan ini Mahesa berhasil mengetahui bahaya maut yang mengancam di tempat itu. 

Karena datang dari sebelah utara, Mahesa berada di kaki pegunungan yang lebih tinggi dan lembah tujuannya. Semakin ke bawah ternyata jalan yang ditempuh bukan semakin mudah, malah bertambah sulit karena bebatuan gunung bukan saja besar-besar tetapi juga licin berlumut.

Mahesa turun dari atas Panah Putih. Di satu tempat dia terpaksa meninggalkan binatang ini dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sekitar lima puluh tombak sebelum dia mencapai lembah subur di mana terletak kolam berair sejuk itu, dari kejauhan Mahesa melihat sosok tubuh seseorang membelakanginya. 

Orang ini duduk di tanah, di balik batu-batu besar dan pohon-pohon rimbun. Tampaknya seperti tengah memperhatikan ke arah kolam. Dari pakaian dan potongan tubuhnya Mahesa tahu betul orang itu bukanlah Dewi Rebab Kencana. Siapa adanya orang ini dan apa yang dila kukannya di tempat yang tersembunyi itu? 

Mahesa mendekati dengan hati-hati. Ketika jaraknya hanya terpisah lima belas tombak Mahesa segera mengenali siapa adanya orang itu, walau dia belum sempat melihat waiahnya. Pakaiannya yang biru, ikat pinggang ular besar yang tergelung di pinggangnya!

"Datuk Ular..." kata Mahesa dalam hati. Perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak enak. Dari balik pohon besar tempat dia berlindung pemuda ini coba melihat ke sebelah depan. Dia hanya dapat melihat sebagian dari kolam. Lalu pedataran berumput serta pohon-pohon bunga. Tak tampak siapapun di sekitar kolam. 

Tapi tunggu dulu! Seseorang berambut panjang tergerai, memegang sebuah rebab di tangan kiri dan penggesek di tangan kanan tiba-tiba tampak melangkah mundar-mandir di tepi kolam itu. Dewi Rebab Kencana! Sikapnya menandakan perempuan ini berada dalam ketidak sabaran. Dewi Rebab Kencana kini menyesali diri sendiri yang terlambat dua hari datang ke tempat itu hingga tidak menemui Mahesa Kelud si pengirim surat. Tapi dia juga menyesali pemuda itu yang tak mau menunggu sampai dia muncul.

Di balik pepohonan rapat Datuk Ular Muka Tengkorak merasa kesal, mengapa Dewi Rebab Kencana datang pada hari ketujuh bukannya hari ke lima seperti yang disebutkan dalam surat. Dia sengaja mengatur perbedaan waktu datang antara perempuan itu dengan Mahesa. Karena jika keduanya datang dalam waktu bersamaan, sulit baginya untuk menjalankan rencana jahatnya. 

Dia berharap agar Dewi Rebab cepat-cepat masuk ke dalam kolam dan agar Mahesa tidak muncul di tempat itu sebelum dia dapat membereskan perempuan sakti tersebut. Sang datuk tidak tahu kalau pendekar itu justru sudah ada di belakangnya. Mahesa merasa heran rnengapa Datuk Ular orang yang selama ini menganggapnya sebagai musuh berada di tempat itu dan apa yang dikerjakannya di tempat itu. Jelas dia tengah memperhatikan gerak-geik Dewi Rebab dan sengaja bersembunyi.

"Bangsat ini pasti punya maksud yang tidak baik," kata Mahesa dalam hati. "Dua kali dia berusaha hendak membunuhku. Terakhir ketika dia membuat aku jatuh ke dalam jurang batu bersama Sembilan Biru. Jangan-jangan dia yang mengirimkan surat itu. Tapi mengapa Dewi Rebab juga bisa ada di sini...?"

Di tepi kolam Dewi Rebab menghibur hati dengan memetik bunga-bunga melati, menciumi bunga-bunga yang harum itu dan menyisipkannya di kelepak pakaiannya. Angin lembab bertiup sejuk. Sang Dewi melangkah di atas batu-batu besar pembatas tepi kolam. Memandang ke dalam kolam, mau tak mau hati perempuan ini jadi tergerak. Air kolam begitu jernih hingga dia dapat melihat dasar kolam yang tak seberapa dalam.

"Sebelum pemuda itu datang sebaiknya aku mandi saja dulu," pikir sang dewi. "Tapi kalau dia datang dan aku berada di kolam tanpa pakaian..." Hati perempuan ini sesaat ragu. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap masuk ke dalam kolam tapi tanpa membuka pakaian dalamnya. 

Di balik pohon-pohon besar Datuk Ular Muka Tengkorak tersenyum lega ketika dilihatnya Dewi Rebab Kencana masuk ke dalam kolam. Mula-mula bermain air di tepian, kemudian bergerak ke tengah. Datuk Ular menyeringai. Tangan kanannya menyelusup di antara semak-semak sampai akhirnya dia menyentuh ujung tali rotan.

"Tamat riwayatmu sekarang dewi... !" desis Datuk Ular. Lalu didorongnya ujung tali rotan itu. Lempengan tembaga berat penutup mulut terowongan terbuka. Ikan-ikan Iblis Prahara menyerbu keluar. Pada saat itu dari lereng pedataran berumput terdengar suara kuda dipacu, menyusul satu teriakan memperingatkan.

"Hai! Jangan mandi di kolam itu! Berbahaya! Lekas naik ke darat!"

Tiga orang tersentak kaget! Dewi Kencana, Datuk Ular Muka Tengkorak dan Mahesa Kelud!


***
SEMBILAN

KEPARAT sialan!" maki Datuk Ular. "Siapa bangsat yang berteriak memberi peringatan itu?!" Dia cepat berdiri dan mengintai dari balik pohon besar. 

Di dalam kolam saat itu ribuan ikan Iblis Prahara telah ke luar dari terowongan, langsung menyerbu Dewi Rebab Kencana. Perempuan sakti ini sempat mendengar suara aneh bersiuran di dalam air, namun teriakan orang tadi membuatnya lebih cepat waspada. Bukan saja karena dia merasa sangat malu kalau sampai kedapatan orang lain hanya dalam keadaan mengenakan pakaian dalam serta basah kuyup begitu rupa hingga setiap liku badannya yang bagus tersembul dengan jelas, tetapi juga peringatan itu sekaligus membuat dia mencium memang adanya bahaya yang tak kelihatan di dalam kolam itu.

Satu hal cerdik yang dilakukan oleh Dewi Rebab ialah dia bukan berenang menuju tepi kolam. tapi pergunakan kepandaiannya untuk melompat ke udara, jungkir balik dan melesat ke atas batu-batu. Tak urung tiga ikan iblis masih sempat mematuk dan menancap di kakinya hingga sang dewi terpekik kesakitan. Begitu sampai di batu dia segera menggebuk hancur ketiga ikan ini. Lalu cepat menotok beberapa bagian dari kakinya agar darah tidak terus mengucur dan sekaligus membendung rasa sakit.

Dewi Rebab cepat cepat mengenakan pakaian luarnya tanpa membuka pakaian dalam yang basah. Dia memandang tak berkedip pada penunggang kuda. Membuat orang ini bergidik merasakan keangkeran pada wajah cantik tapi pucat itu.

"Aku tidak kenal padamu! Tapi aku berterima kasih kau telah menolong. Siapa kau dan apa sebenar nya yang ada dalam kolam itu?" bertanya Dewi Rebab Kencana.

"Aku Parangwulung. Bekas kepala pengawal Tumenggung Singaranu! Tumenggungku menemui ajalnya di kolam ini tiga bulan yang lalu. Mati dilumat ribuan ikan-ikan ganas! Lihat ke dalam kolam sana!"

Parangwulung melompat turun dari kudanya dan melangkah ke tepi kolam. Dewi Kencana ikut memperhatikan ke dalam kolam. Tengkuknya menjadi dingin. Bulu kuduknya merinding. Ribuan ikan aneh berwarna hitam legam berbentuk segi tiga berkeliaran kian ke mari. Mulutnya selalu membuka hingga jelas kelihatan gigi-giginya yang runcing tajam seperti mata gergaji.

"Binatang binatang jahanam!" sumpah Dewi Rebab Kencana. Dia ingat pada tiga ikan hitam itu yang sempat menancap di kakinya. Tapi apa benarkah ikan-ikan itu ganas berbahaya?

Seekor burung hutan melayang rendah di permukaan kolam. Dewi Rebab Kencana cepat mengambil rebabnya lalu menjetik satu dari empat tali rebab. Terdengar suara melengking dan satu sinar putih kekuningan berkelebat ke atas. Burung hutan yang sedang terbang terdengar mencicit, tubuhnya langsung jatuh dan masuk ke dalam kolam. Ribuan ikan hitam bersirebut cepat. Dalam waktu sekejapan mata saja tubuh burung itu amblas lenyap. Tak bersisa lagi baik tulang-tulang maupun bulunya!

Bagaimana Parangwulung bisa berada dan muncul di tempat itu kembali? Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, ketika dia ditangkap oleh orang-orang kerajaan dan di bawanya ke tempat itu untuk memasitkan bahwa Tumengggung Singaranu memang menemui ajal karena diserbu ikan aneh di dalam kolam, ketika Sri Megaresmi yang menyamar sebagai seorang muda bersama seorang kakek sakti berpakaian serba putih telah menolongnya. 

Meskipun dirinya kini bebas tetapi untuk kembali ke kotaraja tak mungkin bagi Parangwulung. Kembali ke kotaraja berarti sama dengan menyerahkan diri bulat-bulat untuk ditangkap. Malah mungkin dia akan menerima perlakuan yang lebih kejam. Karena itu dia bertekad untuk mendapatkan bukti-bukti bahwa Tumenggung Singaranu memang menemui ajal di kolam itu. Setelah malang-melintang lebih dari dua bulan di luar kotaraja akhirnya dia kembali ke lembah subur tersebut untuk melakukan penyelidikan. 

Dia sampai di lembah pada hari dan saat ketika Dewi Rebab Kencana dilihatnya baru saja masuk ke dalam kolam. Karena sudah menyaksikan sendiri sebelumnya ikan-ikan hitam ganas dalam kolam itu, langsung saja Parangwulung berteriak memberi peringatan. Dan peringatannya itu tidak sia-sia karena berhasil menyelamatkan Dewi Rebab Kencana dari kematian yang mengerikan dan mengenaskan.

"Siapa yang punya pekerjaan gila ini?!"' tanya Dewi Rebab Kencana.

Parangwulung menggeleng. "Justru aku datang ke mari untuk menyelidik. Aku menjadi manusia buronan gara-gara kolam dan ikan-ikan iblis itu."

Dewi Rebab Kencana berpikir-pikir. "Mungkinkah pemuda itu...?" tanyanya dalam hati. "Mungkin dia yang sengaja memancingku mengirimkan surat jebakan. Tapi... aku dan dia tak ada perselisihan. Malah di pulau Mayat dia tahu betul bagaimana aku bertindak bijaksana, aku tidak ikut mengejarnya bersama Datuk Ular dan tokoh-tokoh silat istana. Dia sendiri menunjukkan sikap hormat terhadapku.

Di balik pepohonan besar di sebelah timur kolam iblis, Datuk Ular membalik cepat ketika terdengar suara menggeresek di belakangnya. Matanya terpentang lebar ketika melihat siapa yang tegak di hadapannya. Tapi dia tak mau menunjukkan sikap takut.

"Bagus! Ternyata benar kau masih hidup. Tahukah bahwa kedatanganmu ke mari hanya untuk mengantar nyawa!"

Mahesa Kelud menyeringai. "Mulutmu terlalu busuk! Hatimu ternyata sangat jahat! Jangan harap hari ini kau bakal kulepaskan hidup-hidup!"

"Pemuda sombong! Sampai di mana kehebatanmu!" Datuk Ular menerjang ke depan seolah-olah hendak menyerang.

Tetapi begitu Mahesa berkelit ke samping manusia muka tengkorak itu cepat menghambur ke kiri dan melarikan diri. "Datuk keparat! Kau mau lari ke mana?!" bentak Mahesa Kelud. Suara bentakan yang keras ini sempat terdengar oleh Dewi Rebab Kencana.

"Hai! Itu suara Mahesa!" seru sang Dewi. Dia memandang berkeliling! Di lain saat tubuhnya melayang laksana terbang ke arah batu-batu besar dan pohon-pohon di sebelah timur kolam. 

Parangwulung menyusul. Di situ keduanya menemukan Mahesa Kelud tengah berkelahi melawan seorang kakek muka tengkorak barbaju biru gelap.

"Datuk ular!" teriak Dewi Rebab Kencana ketika mengenali orang tua itu. "Jadi kau...!"

"Dewi Rebab Kencana!" balas berseru Datuk Ular. Otaknya yang cerdik segera bekerja. "Syukur kau datang! Lekas kau bantu aku menangkap pemuda ini! Bukankah dia murid Simo Gembong dengan siapa kau menanam dendam kesumat?!"

Dewi Rebah Kencana menyeringai. "Dendam kesumatku dengan Simo Gembong tak ada sangkut pautnya dengan pemuda ini. Katakan apakah kau yang mengirim surat keparat ini?!" Sang Dewi keluarkan surat yang pernah diterimanya dan balik pakaian dan melemparkannya ke tanah ke hadapan Datuk Ular.

"Dewi! Kau tahu aku tak pandai tulis baca. Mana mungkin aku yang mengirim surat itu. Pasti pemuda ini! Dia yang sengaja hendak menjebakmu!"

Hampir Dewi Rebab Kencana termakan oleh ucapan sang datuk kalau Mahesa Kelud tidak lekas membuka mulut. "Otakmu cerdik, mulutmu licin! Tapi hatimu busuk! Aku juga menerima sepucuk surat jebakan untuk datang ke mari. Bukankah kau yang menulis?!" Mahesa keluarkan surat yang dibawanya dan melemparkannya ke arah Datuk Ular. "Dewi, aku tadi menangkap basah tengah menggerakkan satu alat rahasia di balik pohon sana!"

Muka Dewi Rebab yang selalu pucat kini tampak merah. Sepasang matanya laksana dikobari api. "Antara aku dan kau tak ada perselisihan. Mengapa kau inginkan jiwa secara keji?" Suara Dewi Rebab bergetar tanda dia tidak dapat mengendalikan amarah. Sang datuk tak bisa menjawab. Mahesa membuka mulut. "Kalau dia tidak mau menerangkan saat ini biar arwahnya yang bicara di hadapan setan akhirat!"

"Betul sekali! Mari kita berebut pahala menghajar manusia ular kepala dua ini!" teriak sang dewi lalu menerjang kirimkan serangan dengan penggesek rebab.

"Celaka! Rencanaku berantakan!" keluh Datuk Ular dalam hati menghadapi Dewi Rebab seorang saja bukan urusan mudah baginya, apalagi kini di situ ada pula Mahesa Kelud. Datuk ini memandang berkeliling dan dalam hati dia menyumpah, "Sialan! Mana dua keparat edan itu! Sampai saat ini masih juga belum muncul!" maki sang datuk keluarkan suara suitan keras.

Dari kaki lembah sebelah selatan mendadak terdengar suitan balasan. Dua kali berturut-turut. Di lain saat dua orang tua berpakaian aneh seperti pengemis muncul di tempat itu sambil tertawa-tawa. Yang satu sambil berkipas-kipas.

Mahesa Kelud terkejut setelah melihat kemunculan dua manusia ini. Namun hatinya tidak kecut. Dua orang tua ini punya hutang piutang dengan dirinya. Merekalah dulu yang membantu Datuk Ular sampai dia jatuh ke dalam jurang batu!


***
SEPULUH

DUA ORANG TUA itu tertawa-tawa memandang pada Mahesa Kelud. Yang satu menuding seraya berkata:

"Hai! Bukankah budak ini sudah mampus waktu jatuh di jurang batu?!"

"Memang aku sudah mampus!" sahut Mahesa marah karena dipanggil dengan sebutan budak. "Yang tegak di depanmu adalah arwahku yang gentayangan. Yang akan mencopot kepalamu!"

"Hik... hik...hik! Lucu ada arwah bisa bicara. Dan mau mencopot kepala kita!" kata orang tua yang satu lagi. Dia mengenakan pakaian dekil bertambal-tambal. Rambutnya panjang awut-awutan. Dialah yang bernama Pengemis Sableng dan otaknya memang tidak watas. 

Di sebelahnya berdiri adik kembarnya yang dikenal dengan nama julukan Pengemis Berkipas Putih. Seperti kakaknya dia juga berotak tidak waras, mengenakan pakaian penuh tambalan tetapi bersih dan selalu membawa sebuah kipas putih. Kipas ini bukan kipas biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang hebat.

"Hai... kalian berdua jangan tetap mematung saja!" berteriak Datuk Ular. "Tangkap dan kalau perlu bunuh pemuda itu! Aku akan melayani perempuan bermuka pucat tukang pengamen ini!"

Lagi-lagi Datuk Ular berlaku cerdik. Dengan begitu dia akan menghadapi Dewi Rebab Kencana yang dianggapnya bisa dilayaninya sementara dua pengemis mengeroyok Mahesa Kelud yang menurut Datuk Ular jauh lebih berbahaya dari Dewi Rebab. Karena sebelumnya telah pemah dikeroyok oleh dua kakek berotak miring itu, Mahesa tahu betul kehebatan mereka. Terlebih pengemis yang memegang kipas putih. Maka tanpa menunggu lebih lama Mahesa segera cabut pedang Dewa dan siapkan pukulan karang sewu di tangan kiri.

"Aha! Pedang Dewa!" seru Pengemis Sableng. "Dulu aku inginkan senjata itu tapi tak kesampaian! Tidak tahunya hari ini kembali bertemu! Rupanya aku memang berjodoh memilikinya!"

Selesai berseru Pengemis Sableng menggapai ke depan hendak merampas senjata sakti itu. Gerakannya tampak lamban saja. Tapi seolah-olah kedua tangannya menjadi panjang secara aneh, tahu-tahu tangan yang kiri telah berkelebat ke pergelangan kanan Mahesa sementara tangan kanannya meluncur hendak menarik badan pedang!

Mahesa cepat putar tangannya, pedang sakti merah menderu. Sinar merah berkiblat menyilaukan. Pengemis Sableng tersentak kaget dan cepat tarik kedua tangannya yang hampir terbabat putus. Begitu pedang lewat dia kembali merangsak dengan gerakan-gerakan aneh! 

Dari samping di saat yang sama. Pengemis Berkipas Putih mulai membuka serangan dengan kibaskan kipas saktinya. Satu gelombang angin panas menerpa Mahesa. Pendekar ini merasakan tangannya yang memegang pedang bergetar. Cepat dia melompat ke atas untuk hindari serangan ganas itu lalu secepat kilat membalik menukik tusukkan pedang ke pangkal tenggorokan Pengemis Berkipas Putih!

Braakk!

Badan pedang sakti dan kipas putih saling beradu ketika Pengemis Berkipas Putih membuat gerakan menggebrak memukul senjata lawan. Mahesa yang sengaja tak mau manghindari bentrokan karena mengetahui keampuhan pedangnya hanya menggerakkan tangan sedikit lalu menerpa senjata lawan sambil kerahkan tenaga dalam. 

Dua bagian kipas putih robek besar. Pengemis Berkipas Putih melompat kaget dan mengomel tak karuan ketika dapati senjatanya telah rusak sementara Mahesa cepat atur pernafasan. Bentrokan tadi membuat rasa sakit menjalar dari lengan sampai ke pundak kanannya. Dalam keadaan seperti itu mendadak Pengemis Sableng menyerbunya sambil berteriak-teriak.

Kita tinggalkan dulu Mahesa dan dua pengeroyoknya. Di tepi kolam sebelah kiri Datuk Ular Muka Tengkorak tengah menempur Dewi Rebab Kencana dengan serangan serangan mematikan. Sejak jurus pertama sang datuk telah loloskan ikat pinggang ular sancanya. Senjata yang bisa berubah jadi tongkat atau bergelung seperti ular hidup ini menderu-deru menggempur sang dewi yang bertahan dengan rebab di tangan kiri dan penggesek di tangan kanan. 

Setelah lewat tujuh jurus dia masih belum dapat mendesak lawannya maka Datuk Ular mulai semburkan racun jahat dari mulut bangkai ular. Mau tak mau Dewi Rebab Kencana menghadapi lawannya dengan lebih hati-hati dan terpaksa menutup jalan pernafasan pada saat racun menyemprot ke arahnya.

"Datuk Ular!" seru Dewi Rebab. "Sejak dulu kau selalu mencari penyakit! Hari ini kau malah menggunting dalam lipatan hendak mencelakai teman sendiri! Kelakuanmu sungguh keji! Jangan harap aku akan memberi ampun padamu!"

"Perempuan muka pucat! Siapa yang merengek minta ampun padamu! Perempuan yang telah dirusak Simo Gembong di mataku tak lebih daripada barang rongsokan yang tak ada harganya!" balas berteriak Datuk Ular. 

Ucapan sang datuk benar-benar membuat Dewi Rebab marah sekali. Tubuhnya mencelat ke udara. Dari atas perempuan ini gesekkan rebabnya. Suara melengking menembus langit di atas lembah. Cahaya putih kekuningan menyilaukan mata berkiblat. Datuk Ular sapukan senjatanya ke atas untuk menangkis. Namun dia salah perhitungan. Bagaimana pun juga cahaya lebih cepat jalannya dari pada gebukan bangkai ularnya. 

Datuk Ular terhempas ke belakang. Sekujur tubuhnya terasa panas seperti dipanggang. Dia gerakkan lagi tangannya untuk menghantam dengan senjatanya. Tetapi apa yang terjadi membuat nyalinya jadi lumer. Bangkai ular sanca yang sangat diandalkannya itu ternyata telah hangus dan begitu digerakkan senjata ini jadi luruh ke tanah!

Dewi Rebab Kencana tertawa panjang. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan sang datuk dengan penggesek rebab ditekankan ke tenggorokannya. "Datuk, apakah kau senang mandi di kolam yang sejuk sana...?"

Sepasang mata Datuk Ular terbeliak besar ketika mendengar kata-kata Dewi Rebab. Kemudian dirasakannya tekanan kuat pada lehernya membuat dia terjajar mundur ke arah kolam. "Tidak! Jangan!" teriak Datuk Ular.

Dewi Rebab kembali perdengarkan suara tawa panjang. Dia terus menekan leher sang datuk dengan penggesek rebab. 

"Kau boleh bunuh aku dengan cara apa pun! Tapi jangan suruh aku masuk ke dalam kolam iblis itu!" teriak Datuk Ular.

"Itu satu-satunya tempat kematian yang paling bagus untukmu!" sahut Dewi Rebab. Dalam takutnya Datuk Ular menjadi nekad. Dia menyeruduk ke muka sambil menendang salah satu tangan mencengkeram.

Bret!

Datuk Ular hanya berhasil merobek dada pakaian Dewi Rebab. Sebaliknya penggesek rebab yang menekan lehernya tiba-tiba bergerak sangat kuat hingga kepalanya terbanting ke kiri dan badannya ikut miring. Sebelum dia mampu mengimbangi kedua kaki, ujung penggesek menusuk dadanya. Datuk Ular menjerit. Tapi bukan rasa sakit tusukan pada dada itu yang membuat dia menjerit. Melainkan rasa takut luar biasa ketika dia menyadari tubuhnya terpelanting ke belakang dan tak ampun lagi terjerumus masuk ke dalam kolam!

Jeritan Datuk Ular masih terdengar dua kali lagi. Setelah itu lenyap. Tubuhnya yang sesaat menggelepar-gelepar kini tampak diam. Ribuan ikan Iblis Prahara menggerogoti tubuhnya mulai dari batok kepala sampai ke ujung kaki. Tubuh itu kemudian hanya tinggal tulang belulang!

Dewi Rebab yang sudah sering menyaksikan berbagai macam kematian yang mengerikan kini benar-benar merinding bulu tengkuknya. Tak ada kematian sedahsyat seperti yang dilihatnya di kolam itu. Kalau saja tadi dia tidak mendapat teriakan peringatan dan tak sempat melompat ke luar dari dalam kolam, nasibnya pasti sama seperti yang di alami Datuk Ular itu.

"Datuk Ular! Kami bertempur mati-matian kau enak-enak mandi di kolam!" 

Tiba-tiba terdengar teriakan kakek sinting Pengemis Sableng. Dasar otaknya miring. Datuk Ular yang meregang nyawa dan kini hanya tinggal jerangkong dikatakannya sedang enak-enakan mandi. Saat itu meskipun dia bersama adik kembarnya berada dalam keadaan terdesak, enak saja dia meninggalkan kalangan perkelahian dan melompat ke tepi kolam.

"Hai! Datuk Ular! Di mana kau?" teriak Pengemis Sableng. Di dalam kolam yang airnya telah butek oleh darah dia hanya melihat ribuan ikan hitam dan tulang tengkorak manusia.

"Pengemis Sableng!" menegur Dewi Rebab. "Jika kau tidak lekas ajak adikmu minggat dari sini kalian akan segera menyusul Datuk Ular menjadi tulang belulang!"

"Perempuan muka pucat mulutmu sombong amat!" maki Pengemis Sableng. Dia hendak menyerang Dewi Rebab tapi di sebelah sana terdengar saudaranya minta tolong. 

Ditinggal sendirian rupanya Pengemis Berkipas Putih tak sanggup menahan gempuran Mahesa Kelud. Walau dia berhasil melepaskan beberapa kali gebukan ke tubuh dan muka Mahesa, namun kipas saktinya telah hancur terbabat pedang sakti lawan. Pakaiannya bahkan telah robek-robek di beberapa bagian. Pengemis Sableng cepat kembali membantu adiknya. Namun saat itu serangan Mahesa Kelud tak terbendung lagi. Pemuda ini keluarkan seluruh jurut-jurus ilmu pedang dewa yang didapatnya dari gurunya Suara Tanpa Rupa.

"Adikku! Baiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Tak ada gunanya meneruskan perkelahian!" kata Pengemis Sableng. 

Pengemis Berkipas Putih menyambut marah. "Pengecut! Jika kau mau kabur, kaburlah! Tapi hubungan kita sebagai adik kakak putus hari ini juga!"

"Manusia tolol! Datuk Ular sudah mampus. Upah yang kita dapat dari hartawan Prajadika tidak seberapa! Apa kau mau korbankan nyawa untuk hadiah yang secuil itu!" bentak Pengemis Sableng.

"Ucapanmu memalukan!" balas membentak Pengemis Berkipas Putih. Dia menarik tangannya ketika Pengemis Sableng membetotnya memaksa agar meninggalkan tempat itu. Justru di saat itu Pedang Dewa di tangan Mahesa Kelud datang membabat dan crass!

Pengemis Berkipas Putih menjerit. Lengan kirinya putus. Darah mengucur. Pengemis Sableng ikut menjerit. Tapi menjerit marah dan menyerbu Mahesa dalam gerakan tak karuan hingga mudah sekali bagi pemuda itu menghantamnya dengan pukulan karang sewu ke arah dadanya.

Pengemis Sableng terpentaI jauh. Darah mengucur dari mulutnya. Dengan susah payah dia bangkit berdiri. Tanpa perdulikan lagi adiknya dia melarikan diri tinggalkan lembah itu. Menyadari dirinya ditinggal sendirian. Pengemis Berkipas akhirnya mengikuti jejak kakaknya melarikan diri dalam keadaan luka parah.

Mahesa Kelud bersihkan pedang saktinya. Setelah masukkan senjata itu ke dalam sarungnya dia melangkah menemui Dewi Rebab dan menjura memberi penghormatan. "Dewi, jika kau tak ada di sini, sulit bagiku menghadapi ketiga manusia itu sekaligus."

"Kau pandai merendahkan diri Mahesa," sahut Dewi Rebab sambiI menatap paras pemuda itu. Wajahnya tetap pucat dan dingin. Namun di lubuk hatinya ada rasa gembira. Dia ingat Mahesa lah orang yang pernah memuji kepolosan hati dan kecantikan wajahnya.

Mahesa manggoyangkan kepala ke arah kolam. "Sulit dipercaya ada kolam iblis seperti ini."

"Pasti puluhan orang telah jadi korban di tempat ini. Kurasa lenyapnya beberapa tokoh silat ada sangkut pautnya dengan tempat ini. Ulah Datuk celaka itu. Ikan-ikan ini harus dimusnahkan!"

"Harus dimusnahkan sabelum ada korban lagi yang jatuh!" mengulang Mahesa. Lalu dia melangkah ke tepi kolam, tegak di atas batu-batu besar. Tangan kanannya di angkat ke atas. Mulutnya berkomat-kamit. Tangan kanan itu tampak bergetar ketika ada asap tipis keluar. 

Dewi Rebab dan Parangwulung merasakan lembah yang tadinya begitu sejuk kini tiba-tiba menjadi panas. Mahesa berteriak keras lalu pukukan tangan kanannya ke arah kolam. Asap putih menggebu disertai hawa yang sangat panas.

"Pukulan Api Salju!" teriak Dewi Rebab kaget dan kagum lalu melompat menjauh. Air kolam muncrat lalu terdengar mendidih. Ketika asap putih Ienyap tampakIah ribuan ikan-ikan Iblis Prahara telah mengambang dalam keadaan mati seperti direbus. Perlahan-lahan Mahesa Kelud turun dari batu besar.

"Mahesa... Apakah... apakah kau juga murid Pendekar Api Salju....." terdengar Dewi Rebab Kencana bertanya. 

Mahesa hanya tundukkan kepala tak memberikan jawaban. Tapi itu sudah cukup menjadi pertanda jawaban bagi sang dewi. Dan hatinya bertambah kagum terhadap pemuda ini. Dengan menguasai ilmu pukulan Api Salju itu maka dia sadar kalau ilmu kepandaiannya jauh tertinggal di bawah si pemuda.

"Tak ada gunanya kita berlama-lama di tempat ini Mahesa."

"Ya, sebaiknya kita pergi dari sini. Sebentar lagi maIam akan tiba," menyahuti Mahesa. Lalu dia bersiul memanggil kuda putih yang menunggu sabar di bukit-bukit batu.

"Ah... kau memiliki kuda bagus. Aku hanya berjalan kaki!" kata Dewi Rebab pula.

"Kalau kau suka kau boleh ambil kudaku..." kata Parangwulung yang sejak tadi tegak berdiam diri, tertegun menyaksikan segala kejadian.

"Terima kasih. Aku tak menolak pemberianmu yang tulus. Tapi kau sendiri bagaimana tanpa kuda..." tanya Dewi Rebab.

"Jangan pikirkan diriku. Apa yang telah terjadi di sini mendatangkah nikmat bagiku. Kini aku punya bukti-bukti bahwa Tumenggung Singaranu memang menemui ajal karena ikan-ikan keparat itu! Aku akan membawa kepala pengawal istana bernama Kebo Alit itu ke mari. Agar dia melihat sendiri!"

Dewi Rebab hendak naik ke atas kuda pemberian Parangwulung ketika dia ingat sesuatu sementara Mahesa sudah siap di atas punggung Panah Putih. "Kau telah menyelamatkan jiwaku dari ikan-ikan iblis itu. Tidak pantas rasanya kalau aku tidak meninggalkan sesuatu sebagai tanda terima kasih..."

"Dewi... aku tidak meminta balas jasa apapun..." kata Parangwulung. 

Saat itu Dewi Rebab telah berada di hadapannya. Parangwulung tak tahu apa yang hendak dilakukan perempuan sakti ini. Tiba-tiba Dewi Rebab ulurkan tangan kanan dan mencengkeram perut Parangwulung di bagian pusar. Lelaki ini menjerit kesakitan ketika dirasakannya ada hawa panas mengalir masuk ke dalam pusarnya lalu menyebar ke seluruh badan. Perlahan-lahan rasa sakit itu pun lenyap. 

Ketika Parangwulung buka kedua matanya yang tadi terpejam karena kesakitan, dilihatnya Mahesa Kelud dan Dewi Rebab Kencana telah memacu kuda masing-masing ke arah timur. Lelaki ini singkapkan pakaiannya di bagian perut. Tampak tanda merah bekas cengkeraman Dewi Rebab. Ketika dia melangkahkan kakinya, bekas pengawal Tumenggung ini terkejut. Dia dapatkan gerakannya sangat enteng.

"Eh, apa yang telah dialirkan perempuan sakti itu tadi ke dalam tubuhku...?" membatin Parangwulung. Dia acungkan tinju kanannya, mengusap-usap dengan tangan kiri. "Jangan-jangan..." 

Parangwulung memandang ke arah Dewi Rebab di kejauhan. Lalu ke arah sebuah batu besar di tepi kolam yang telah ambruk itu. Sesaat hatinya meragu. Namun dengan satu keyakinan Parangwulung hantamkan tangan kanan itu ke atas batu besar.

Braakk!

Batu besar itu hancur berantakan! Parangwulung berteriak girang. Lalu lelaki ini jatuhkan diri berlutut ke arah Dewi Rebab yang semakin jauh di arah Timur. "Terima kasih Dewi... Kau baik sekali. Terima kasih untuk tenaga dalam yang kau berikan! Aku tak pernah mengimpikan rezeki begini besar...!"