Menyikapi Isu Serta Mitos Terkait Aksi Buruh - Banyak isu maupun mitos yang berkembang di masyarakat Indonesia akhir-akhir ini terkait tentang aksi demo yang dilakukan oleh para buruh yang menuntut upah. Khususnya yang dilakukan buruh dengan menggunakan strategi blokade jalan.

Munculnya isu ataupun mitos tersebut tentu memiliki kaitan dengan arus pemberitaan media massa mengenai aksi para buruh tersebut. Perspektif yang di bangun melalui strategi framing mereka masing-masing tentunya.
Oleh sebab itu, kita harus bijak menilai isu ataupun mitos tersebut dalam kerangka dampak dari strategi framing dari pemberitaan media massa mainstream terkait aksi yang dilakukan para buruh.
Ada beberapa hal yang perlu di sikapi dengan bijak tentang isu dan mitos tersebut, diantaranya adalah:
1. Banyak yang beranggapan bahwa, jika buruh terus melakukan aksi demo akan melemahkan daya tarik investor asing untuk masuk ke Indonesia, bahkan akan membuat investor merelokasi perusahaannya ke luar negeri.
Pandangan semacam ini telah menjadi pendapat umum seolah-olah menjadi "kebenaran". Namun kenyataannya, jika kita merujuk pada fakta dimana upah buruh Indonesia termasuk salah satu termurah di Asia Tenggara.
Maka pertanyaannya adalah; Jika demo upah buruh kemudian para investor merelokasi perusahaannya, kemana lagi para investor tersebut mencari negara tujuan dengan upah buruh yang lebih murah, fasilitas dan kemudahan-kemudahan yang disediakan pemerintah Indonesia? Fakta yang terjadi sekarang ini justru sebaliknya, banyak perusahaan dari luar salah satunya Tiongkok dan India justru merelokasi perusahaan mereka ke Indonesia.
2. Banyak yang mengatakan bahwa aksi demo yang dilakukan para buruh dengan mem-blokade jalan telah melanggar HAM dan ketertiban umum. Padahal perlu dipertanyakan, HAM dalam pengertian yang universal dan dimiliki semua orang.
Kita juga harus bersikap adil dalam melihat aksi buruh yang menuntut tentang kelayakan upah dengan cara mem-blokade jalan, hal ini terpaksa dilakukan untuk memaksa otoritas yang berwenang memberikan perhatian dan memenuhi tuntutan mereka, karena didalam tuntutan aksi tersebut melekat kepentingan dari jutaan manusia. Tuntutan yang didalamnya terkandung hak lebih banyak publik.
3. Isu dan mitos yang berkembang di masyarakat lainnya adalah bahwa demo buruh harus diselesaikan dengan cara negosiasi. Hal ini satu sisi dengan doktrin hubungan industrial yang memandang relasi antara buruh dan majikan sebagai relasi yang setara, dan sudah seharusnya dibangun atas dasar keharmonisan.
Hal ini menutupi kenyataan alamiah, jika relasi buruh dan majikan merupakan relasi konfliktual, karena itu hanya bertumpu pada penyelesaian melalui jalur negosiasi atau jalur formal jelas hal yang tidak cukup. Karena dalam kenyataannya pendekatan-pendekatan negosiasi dengan selubung ideologi doktrin hubungan industrial justru menjadi salah satu mekanisme penjinakan serikat buruh.
Selain itu, semakin gencarnya aksi turun kejalan yang dilakukan kaum buruh merefleksikan tidak berfungsinya saluran dan lembaga formal seperti wakil rakyat di parlemen termasuk lembaga Tripartit dan juga lemahnya keberpihakan negara melalui lembaga-lembaga formal tersebut termasuk yang baru ini dengan terbitnya PP 78 Tahun 2015.
Pada dasarnya, siapapun tidak perlu risau terhadap aksi demontrasi yang dilakukan oleh para buruh yang sering digambarkan sebagai biang kerok kemacetan.
Namun ada yang kerap dilupakan, mengapa pilihan aksi tersebut muncul?
Apakah betul karena ketidaktaatan buruh terhadap hukum?
Apakah benar "kebodohan" para buruh yang tidak rela menempuh jalur perundingan?
Jika kita lihat setiap tahun kenaikan upah minimum tidak lebih dari 10% dari upah sebelumnya, dan bahkan kenaikan itu belum tentu bisa dinikmati oleh seluruh buruh karena adanya kelonggaran penangguhan bagi perusahaan.
Di tengah gelombang pasar bebas, menaikkan upah buruh ke nilai yang lebih layak adalah pilihan paling logis. Karena ditangan masyarakat buruh, ekonomi suatu daerah dapat berjalan. Sederhananya, mobilitas uang yang dimiliki masyarakat buruh tidak akan lari ke luar negeri apalagi berinvestasi dalam bentuk portofolio.
Mereka berbelanja di warung kecil, di pasar tradisional, toko dan juga mengirimkan uang ke sanak keluarganya di kampung, bukan untuk membeli properti di luar negeri, tamasya ke hawai atau berbelanja di singapura.[Lembur]