Lutung Gila - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Lutung gila

LUTUNG GILA


SATU
LANGIT di ufuk timur kelihatan terang tanda matahari mulai keluar dari peraduan tempat tenggelamnya, tanda pagi akan segera datang, tanda malam berganti dengan siang. Dua kekasih itu berada di sebuah kali, tengah membersihkan muka masing-masing. Di belakang mereka terdapat tebing tinggi dan pada tebing ini terletak sebuah jalan tanah berdebu yang berkelok meliku sesuai dengan kelok-liku kali kecil tersebut.

Mahesa Kelud tengah melangkah mendekati Wulansari sambil mengeringkan mukanya dengan sehelai sapu tangan ketika dikejauhan didengarnya gemeletak roda kereta dan suara tapak-tapak kaki kuda banyak sekali. Kedua orang ini sama memutar kepala.

Di ujung sana, di jalan di atas mereka kelihatan sebuah kereta ditarik oleh dua ekor kuda hitam. Di sekeliling kereta ini kira-kira lima orang memacu kuda tunggangan masing-masing dan mereka mengenakan pakaian putih-putih. Semakin dekat rombongan tersebut, semakin berdebar hati kedua orang ini.

Melihat kepada bagusnya kereta pasti kendaraan ini milik seorang hartawan atau bangsawan. Bisa jadi pula milik seorang pejabat tinggi kerajaan. Yang menarik perhatian Mahesa Kelud serta Wulansari ialah lima manusia yang menunggangi kuda di sekeliling kereta! Kelimanya berkepala botak dan mengenakan jubah putih!

Wulan dan Mahesa saling pandang beberapa detik lamanya.

Jika memang dia bersama kaki-kaki tangannya..." desis Wulansari.

"Kuharap memang dia," sahut Mahesa. 
"Ayo Wulan, tunggu apa lagi! Bersiaplah!"

Mahesa Kelud membungkuk. Di sepanjang tepi kali itu terdapat banyak batu-batu hitam sebesar tinju. Mahesa Kelud mengambil sebanyak-banyaknya. Wulansari segera maklum apa yang dilakukan kekasihnya dan mengambil pula batu-batu tersebut sebanyak yang bisa dipegangnya.

Sementara rombongan di atas sana bergerak juga semakin dekat, kedua orang ini merangkak diantara alang-alang sungai, bergerak ke atas jalanan! Rombongan makin dekat. Makin dekat. Debu jalanan beterbangan menggebu.

"Sekarang Wulan!" seru Mahesa. Dan selusin batu-batu hitam sebesar kepalan tangan melesat mendesing ke arah kaki-kaki ke tujuh ekor kuda yang tengah berlari cepat di jalan berdebu menurun itu!

Kejap itu juga terdengar ringkik meninggi langit dari ke tujuh binatang tersebut! Kuda kereta seperti tertarung dan melosoh ke muka, menghempaskan kereta yang ditarik ke samping! Kuda-kuda lain mengalami nasib sama. Kaki-kaki mereka, sekitar sambungan siku patah tulangnya kena dihantam batu-batu hitam yang dilemparkan oleh dua pendekar muda yang sembunyi di balik alang-alang membuat binatang-binatang tersebut rebah bergulingan, melemparkan penunggang-penunggangnya!

Salah seorang dari penunggang kuda itu hampir saja terlempar ke dalam sungai di bawah tebing curam. Namun dengan kelihaian yang mengagumkan dia jungkir balik di udara hingga sesaat kemudian tubuhnya selamat dan berdiri tegak di tanah di atas kedua kakinya!

"Bangsat-bangsat rendah yang bersembunyi di balik alang-alang, keluarlah untuk menerima mampus!" teriak salah seorang dari lima manusia berjubah putih, berkepala botak.

Serentak dengan itu tangan kanannya bergerak dan sebuah pisau terbang melesat ke arah persembunyian Mahesa Kelud dan Wulansari! Kedua orang ini terkejut sekali dan cepat-cepat melompat keluar dari persembunyian mereka seraya mencabut pedang sakti masing-masing!

Sementara itu pintu kereta yang terhampar miring di tepi jalan terbuka dan sesosok tubuh berpakaian bagus keluar! Manusia ini tidak lain dari pada Suto Nyamat adanya! Dan kelima orang berjubah putih berkepala botak itu adalah kaki-kaki tangannya Suto Nyamat. Lima Brahmana yang tempo hari membantu Suto Nyamat ketika diserang sampai terbunuhnya Pendekar Budiman Kakek Wulansari dan guru Wulansari serta Mahesa Kelud. Betapa terkejutnya Suto Nyamat melihat kedua muda-mudi itu!

Namun rasa terkejutnya disembunyikan. Dan memang dia tak perlu merasa khawatir karena bersamanya ada lima orang jago-jago silat kawakan yang setiap saat akan selalu sedia mengorbankan jiwa raga untuk keselamatannya!

"Kalian rupanya huh! Kali ini jangan kira kalian bisa angkat kaki hidup-hidup dari sini!
Kalian harus tinggalkan nyawa kalian di sini!" kata Suto Nyamat dengan membentak. 

Mahesa Kelud tertawa mengejek. "Agaknya kau tengah melarikan diri, Suto Nyamat! Apakah tidak enak tinggal di kotaraja...?"

"Mana bisa enak!" menimpali Wulansari, bila malaikat maut membuntutinya terus-terusan!"

Kelima manusia berjubah putih yang berdiri saling berdekatan ini segera mengenali siapa adanya kedua orang di hadapan mereka tersebut. Brahmana yang paling tua, yang tadi melemparkan pisau terbang kepada Mahesa dan Wulansari mengeluarkan suara tertawa bergerak.

"Ha ha....! Rupanya tikus-tikus pengecut yang dulu melarikan diri kini sengaja datang mengantarkan nyawa! Bagus sekali!"'

Sambil berkata demikian dia memberi isyarat pada keempat saudaranya. Seperti dulu, saat inipun kelimanya menganggap remeh terhadap sepasang pendekar ini, meski diam-diam mereka agak ngeri juga melihat kilauan sinar pedang merah di tangan Wulansari dan Mahesa Kelud!

Sementara itu Suto Nyamat sudah cabut sepasang golok panjangnya namun masih tetap mengambil posisi di belakang kelima Brahmana tersebut. Ini cukup menjadi kenyataan betapa kecutnya nyali manusia ini!

Tiba-tiba dengan serentak, dengan kecepatan luar biasa lima Brahmana itu gerakkan tangan mereka dan sepuluh pisau berkeluk terbang ke arah Wulansari dan Mahesa Kelud! Dua sinar merah membabat di udara. Terdengar kemudian suara, trang... trang... trang! berulang kali. Seperti ranting-ranting kayu yang dipatahkan, demikianlah pisau-pisau terbang tersebut berjatuhan ke tanah!

Sebenarnya pisau terbang kelima Brahmana tersebut mempunyai kehebatan tertentu yakni akan berputar membalik dan menyerang untuk kedua kalinya bila ditangkis! Tapi kali ini senjata-senjata tersebut hilang sama sekali keampuhannya, dibikin terkutung dua semuanya oleh tebasan pedang mustika sakti di tangan Wulansari dan Mahesa Kelud!

Dengan tertawa mengejek Mahesa Kelud berkata, "Ha ha! Hari ini agaknya Lima Brahmana mendapat malu besar karena senjata-senjata yang sangat mereka andalkan kini hanya seperti ranting-ranting kering tiada gunanya!"

"Tapi rasa malu itu tak akan mereka rasakan lama, Mahesa," ujar Wulansari, karena sebentar lagi mereka akan segera minggat ke neraka!"

Muka Lima Brahmana itu kelihatan merah sekali karena malu dan amarah yang meluap. Tapi mereka juga terkejut melihat kelihayan kedua anak muda ini karena kini nyatalah bahwa ilmu keduanya jauh lebih tinggi dari dua tahun yang lampau, bahkan pedang-pedang yang memancarkan sinar merah di tangan keduanya itu tak bisa tidak pasti senjata mustika sakti!

Dengan membentak garang Brahmana tertua melompat ke muka diikuti oleh empat saudaranya. Suto Nyamat sebenarnya lebih menyukai mempergunakan kesempatan itu untuk larikan diri. Tapi dia takut akan benar-benar hilang muka, dicap sebagai pengecut kelas wahid!

Demikianlah maka tujuh golok panjang, lima di tangan Si Lima Brahmana dan sepasang lagi di tangan Suto Nyamat menyerbu menyerang kedua pendekar itu dari tujuh penjuru! Mahesa dan Wulansari putar senjata mereka dengan sebat sampai suaranya menderu. Keduanya bukan menangkis tapi sebaliknya balas menyerang dengan mempergunakan jurus seribu dewa mengamuk.

Bergidik keenam penyerang tersebut melihat sinar merah bergulung dan mengeluarkan angin panas. Mereka tahan serangan dan mundur beberapa langkah. Lima Brahmana itu memiliki ilmu permainan golok tersendiri yang memang patut dikagumi. Tapi dengan adanya Suto Nyamat bersama mereka saat itu maka kelimanya menjadi kurang leluasa! Karenanya Brahmana yang tertua berkata,

"Raden Mas Suto Nyamat, kau menghindarlah! Untuk menebas batang-batang leher tikus-tikus kecil ini serahkan saja pada kami!"

Ini memang maunya Suto Nyamat. Cepat-cepat dia melompat ke belakang kalangan pertempuran bahkan kemudian melarikan diri! Dengan penasaran Wulansari ambil sebuah batu sebesar empu jari dan lemparkan ke arah Suto Nyamat. Di saat itu Lima Brahmana menyerbu ke arah Wulan namun dengan cekatan Mahesa Kelud membendung serangan yang dahsyat itu sehingga kekasihnya terlindung, sedang di muka sana Suto Nyamat yang sedang berlari cepat tiba-tiba berhenti tertegun dan tak bergerak lagi! Tubuhnya kaku mematung karena urat besar dipunggungnya sudah kena ditotok oleh batu yang dilemparkan oleh Wulansari tadi!

Kedua pendekar itu kemudian sama melancarkan serangan ke arah lawan. Saat itu Lima Brahmana sudah mengatur barisan, memanjang ke belakang dengan Brahmana tertua di paling depan, menyusul Brahmana nomer dua, ketiga dan seterusnya. Pedang sakti Mahesa Kelud dan Wulansari dengan sendirinya membabat pada si botak paling muka ini.

Tapi si botak tertua dengan cepat lompat ke samping menjauhi serangan kedua lawan tersebut! Brahmana kedua kini yang menyambut serangan sepasang pendekar ini! Dia angkat goloknya tinggi-tinggi seperti mau menangkis. Tapi ini juga hanya gerakan tipuan belaka karena dengan sangat cepat kemudian dia melompat ke samping menjauhi serangan lawan sedang Brahmana adiknya, yaitu yang ketiga dalam barisan melompat menghadang ke muka!

Dan Brahmana ketiga ini memang benar-benar menangkis sepasang pedang lawan itu! Di saat terdengar suara "trang" dan di saat bunga api berpijaran maka dua Brahmana yang terdahulu bergerak memencar. Brahmana-brahmana yang dua lainnya di belakang memencar pula!

Sementara saudara mereka yang seorang tengah menangkis serangan Mahesa dan Wulansari, maka keempatnya serentak menyerang! Bukan saja kedua pendekar itu terkurung di tengah-tengah, tapi juga sekaligus diserang dari empat jurusan! Di sinilah letak kehebatan permainan golok ciptaan kelima Brahmana tersebut!

Meski terjepit demikian rupa, seperti tak ada lagi jalan keluar namun dalam detik-detik yang menegangkan itu baik Mahesa maupun Wulansari berlaku tenang. Percuma mereka jadi murid Si Suara Tanpa Rupa selama dua tahun, percuma mereka memiliki sepasang pedang sakti dan percuma mereka memiliki ilmu Dewa Pedang Delapan Penjuru Angin" jika serangan begitu saja tak sanggup mereka tanggulangi!

Dengan kerahkan tenaga dalamnya, Mahesa Kelud membentak menggeledek sedang Wulansari melengking tinggi, membuat anak-anak telinga kelima orang itu seperti mau pecah dan sekaligus mempengaruhi dan mengacaukan penyerangan mereka! Di saat itulah Wulansari dan Mahesa Kelud sama menjatuhkan diri ke tanah sambil memutar pedang mereka laksana dua titiran membabat ke perut lima penyerangnya!

Lima Brahmana terkejut bukan main. Golok mereka hampir beradu satu sama lain jika tidak cepat ditarik pulang kembali! Demikian pula kelimanya harus melompat ke belakang untuk menyelamatkan perut masing-masing! Tapi adalah di luar dugaan mereka apa yang terjadi selanjutnya! Begitu menjatuhkan diri dengan membabatkan pedang maka Mahesa Kelud dan Wulansari memecah dua. 

Wulansari berguling di bawah kaki-kaki musuhnya ke sebelah kanan sedang Mahesa Kelud ke samping kiri. Sehingga ketika Brahmana-brahmana tersebut melompat menjauhi sambaran pedang, sesungguhnya kedua pemuda-pemudi itu telah lebih dahulu pula melewati mereka! Dan malanglah nasib dua Brahmana yang kebetulan melompat ke jurusan mana kedua lawan mereka berguling! Belum lagi kedua kaki mereka menjejak tanah maka pedang Wulansari dan Mahesa Kelud sudah menyambar dengan ganasnya!

Kedua Brahmana itu melolong setinggi langit! Yang satu bahunya terbacok sampai ke tulang punggung sedang Brahmana yang kedua hampir putus lehernya oleh tebasan pedang! Keduanya rebah ke tanah. Yang tertebas pangkal lehernya segera mati di situ juga sedang saudaranya masih bisa kelojotan seketika tapi menyusul meregang nyawa pula!

Marahlah ketiga Brahmana lainnya! Dengan bentakan-bentakan dahsyat, didahului oleh serangan pisau terbang ketiganya menyerbu menyerang! Kedua murid Suara Tanpa Rupa melompat jauh ke kiri-kanan mengelakkan serangan pisau terbang dan sambaran golok lawan. Kemudian keduanya menyerbu kembali!

Kini sebaliknya, ketiga Brahmana itulah yang terkurung di tengah! Betapapun mereka bertiga mengeluarkan segala kepandaian dan ilmu-ilmu simpanan yang mereka andalkan namun menghadapi sepasang pedang mustika sakti yang dipegang oleh dua pendekar gagah serta dimainkan dalam jurus-jurus yang sama sekali aneh bagi mereka, maka terdesaklah ketiga Brahmana tersebut!

Keringat dingin membasahi jubah serta kepala mereka yang botak sehingga kepala-kepala itu berkilat-kilauan ditimpa sinar matahari yang tengah naik! Dua tahun lalu mereka boleh dongak kepala dan busungkan dada ketika menghadapi Mahesa Kelud serta Wulansari yang datang menyerbu ke gedung kadipaten Madiun! Tapi kali ini mereka benar-benar mati kutu, apalagi sesudah dua orang dari mereka menemui ajal!

Mereka benar-benar terdesak hebat dan sudah sama memberi isyarat untuk melarikan diri, tapi kesempatan untuk itu sama sekali tidak ada! Dua gulungan sinar merah mengurung mereka, jika mereka lengah atau salah tindak sedikit saja tak ayal lagi nasib mereka akan sama dengan dua orang saudara mereka terdahulu!

Tak ada harapan lagi untuk kabur, tak ada harapan untuk bisa selamatkan diri serta nyawa. Namun demikian mereka bertahan juga mati-matian, sambil berharap siapa tahu ada kawan-kawan mereka dari kotaraja lewat di situ! Tapi harapan tinggal harapan! Maut datang lebih dahulu!

Korban ketiga yang harus meregang nyawa adalah Brahmana tertua yang paling lihai. Lengan kanannya terbabat puntung oleh pedang Mahesa Kelud. Tangan yang masih menggenggam golok panjang mental ke udara bersama senjata tersebut, sungguh mengerikan!

Meski berada dalam kesakitan luar biasa serta darah yang memuncrat dari urat nadi yang putus-putus namun dengan tangan kirinya Brahmana tua ini masih bisa lemparkan tiga pisau terbangnya sekaligus kepada Mahesa Kelud! Pemuda ini putar pedangnya! Pada detik ketika pisau terbang tersebut buntung berantakan maka pada saat itu pula Mahesa Kelud menusukkan pedangnya ke dada si Brahmana!
  
DUA

BRAHMANA tersebut masih coba untuk membuang diri ke samping namun sia-sia belaka karena tubuhnya sudah "disate" lebih dahulu oleh pedang merah di tangan Mahesa Kelud! Brahmana ini mengeluh pendek. Ketika pedang dicabut tubuhnya rebah dan sebelum tubuhnya mencium tanah, nyawanya sudah melayang! Dua Brahmana yang masih hidup, yang dilayani oleh Wulansari sudah memuncak ketakutan mereka! Keduanya segera ambil langkah seribu sambil melemparkan empat buah pisau terbang!

Dengan tertawa meninggi Wulansari mengelakkan empat pisau tersebut. Tangan kirinya kemudian bergerak cepat ke kantong kecil di pinggangnya, di mana tersimpan pasir merah panas! "Kalian mau lari ke neraka?!" ujar gadis itu. "Nah, pergilah!"

Ratusan pasir kecil-kecil melesat ke arah kedua Brahmana yang lari pontang panting itu! Mereka maklum kalau tengah diserang dengan senjata rahasia, lalu keduanya segera putarkan golok panjang mereka di belakang punggung! Namun hanya sebahagian kecil saja dari pasir-pasir tersebut yang sanggup mereka bikin mental dengan sambaran golok sedang sebagian besar lainnya tetap saja menyerang tubuh mereka, menembus jubah putih mereka di bagian punggung, masuk ke dalam daging dan terus larut dalam aliran darah!

Mula-mula mereka hanya merasakan sedikit nyeri! Mereka lari terus! Kemudian rasa nyeri hilang, kini berganti dengan rasa panas yang selangkah demi selangkah semakin menjadi-jadi panasnya. Wulansari sendiri sesudah melepaskan senjata rahasianya tidak terus mengejar. Dia sudah maklum apa yang bakal terjadi dengan diri kedua orang Brahmana tersebut, karenanya dia berdiri saja memperhatikannya!

Ketika keduanya sampai ke jalan yang mendaki maka lari mereka mulai tertatih-tatih dan akhirnya terhenti sama sekali! Kemudian kelihatan bagaimana tubuh Brahmana-Brahmana ini berdiri terhuyung dan akhirnya rebah ke jalanan, menggelinding ke bawah. Yang satu tertahan oleh semak belukar di tepi jalan, yang satu lagi terguling ke tebing dan jatuh ke sungai!

Tamatlah riwayat kelima Brahmana yang menjadi kaki tangan Suto Nyamat itu. Suto Nyamat sendiri masih berdiri dalam keadaan tubuh kaku mematung di tengah jalan sebelah sana!

Wulansari memandang kepada Mahesa Kelud. Pemuda ini menganggukkan kepalanya dan berkata,

"Dia, bagianmu, Wulan."

Kedua mata gadis itu bersinar aneh. Dia melangkah mendekati tubuh Suto Nyamat. Kini tibalah saatnya untuk membuat perhitungan dengan manusia berhati setan pembunuh laknat! Yang telah membunuh ayah bundanya, yang telah membunuh kakeknya serta pamannya, yang menyebar fitnah di sana sini serta memeras rakyat habis-habisan semasa dia tinggal di Madiun dulu!

Gadis ini siap mempergunakan jari-jari tangannya untuk melepaskan totokan di punggung Suto Nyamat. Tapi betapa jijiknya dia menyentuh tubuh manusia ini! Tubuh musuh besarnya! Dia membungkuk mengambil batu dan melemparkan batu tersebut ke punggung Suto Nyamat hingga detik itu juga terlepaslah totokan Suto Nyamat.

Begitu sadarkan diri laki-laki ini segera hendak melarikan diri namun di hadapannya telah menghadang Wulansari dengan pedang merah di tangan! Dia berpaling ke belakang. Di belakangnya kelihatan berdiri pula Mahesa Kelud! Dia maklum bahwa dia sudah terkurung di tengah-tengah! Tak bisa lari! Hatinya kecut! Lututnya gemetar! Lebih-lebih ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri tubuh empat Brahmana yang menggeletak di jalanan!

Menggigil tubuh Suto Nyamat! Merinding bulu tengkuknya! Ajal sudah di depan mata! Malaikat maut segera siap mencabut nyawanya! Suto Nyamat berpaling kepada Mahesa Kelud lalu kembali memandang pada Wulansari.

"Kalian berdua! Dengar!" katanya. Suaranya keras tapi gemetar dan aneh, laksana suara yang keluar dari liang kubur! "Biarkan aku meninggalkan tempat ini! Biarkan aku kembali ke kotaraja dan bebaskan anakku yang kalian culik!"

"Alangkah enaknya!" kata Wulansari dengan nada mengejek.

"Aku akan berikan apa saja yang kalian minta!" jawab Suto Nyamat.

"Apa saja?!"

"Ya, apa saja! Uang, harta, pokoknya apa saja asal kau kabulkan permintaanku!" jawab Suto Nyamat penuh harapan.

Wulansari memandang kepada Mahesa Kelud. Kedua orang ini saling tersenyum. Harapan Suto Nyamat semakin besar. "Baiklah Suto Nyamat, kami kabulkan permintaanmu. Tapi kami tidak mau uangmu," kata Wulansari.

"Lantas, pakaian bagus, emas berlian?"

"Tidak, bukan itu," sahut Wulansari.

"Apa kalau begitu...?"

"Kami inginkan nyawamu. Suto Nyamat!"

"Oh... tidak! Jangan!"

Wulansari maju selangkah demi selangkah dengan pedang di tangan.

"Tidak! Ampun....! Aku akan berikan apa saja! Apa saja!" teriak Suto Nyamat dengan paras pucat pasi laksana mayat dan sambil mundur ke belakang

"Cabut senjatamu, manusia durjana!" bentak Wulansari.

Tidak! Ampun, tobat aku...."

"Cabut senjatamu, kataku!"

Laki-laki itu mundur terus sampai akhirnya tubuhnya membentur badan Mahesa Kelud yang berdiri di belakangnya. Suto Nyamat terkejut. "Pemuda...!" katanya sambil menjauhkan diri berlutut di hadapan Mahesa Kelud.

"Tolong aku... tolong aku...!" Saking takutnya Suto Nyamat sampai berlaku begitu, merengek bahkan menangis seperti anak kecil!

Mahesa Kelud menyeringai. Dia gerakkan kedua kakinya sampai Suto Nyamat terguling ditanah, sementara itu Wulansari sudah berdiri di hadapannya. Ujung pedang merah yang runcing tajam meluncur mendekati lehernya dan berhenti satu jari di atas leher itu! Dalam ketakutannya, Suto Nyamat benar-benar menangis seperti anak kecil kini! Ini membuat Wulansari semakin muak dan jijik benci setengah mati pada ini manusia!

Namun meskipun dendamnya sudah berurat-urat, meski amarahnya sudah meluap membakar dada dan kesempatan untuk menghabisi nyawa musuh besarnya itu hanya tinggal menekankan ujung pedangnya saja. Tapi jiwa satria masih tetap dipegangnya! Pantang bagi gadis berhati jantan ini untuk membunuh seorang musuh yang berada dalam keadaan tak berdaya dan tanpa senjata!

"Bangun Suto Nyamat! Cabut senjatamu!"

Tenggorokan laki-laki itu kelihatan turun naik. Tubuhnya menggigil. "Tidak... jangan! Ampun...."

"Kau tidak mau bangun?!" bentak Wulansari dan ujung pedangnya menempel di kulit leher Suto Nyamat. Pedang merah di tangan gadis itu bergerak. Tring!" Kancing baju paling atas pakaian kebesaran Suto Nyamat, yang terbuat dari perak putus, menggelinding di tanah. "Berdiri!"

Suto Nyamat masih menangis menelentang di tanah. Kancing perak kedua putus! Lalu yang ketiga, menyusul yang keempat. Kini dada laki-laki itu yang berbulu jadi tersingkap dan kelihatanlah tulang-tulang dada dan iganya turun naik sesuai tarikan-tarikan napasnya yang menyesak! Namun manusia ini masih saja tetap tak bergerak di tempatnya.

Wulansari sudah hilang kesabarannya. Ujung pedang bergerak perlahan menyilang di atas kulit dada Suto Nyamat! Laki-laki ini mengerenyitkan kulit mukanya, merintih diantara tangisnya. Kulit dadanya terasa perih dan panas! Dia masih tetap berbaring seperti itu dan Wulansari membuat silang kedua kini sehingga dikulit dada laki-laki itu terlihat guratan tanda kali yang besar dan panjang.

Kini Suto Nyamat tak tahan lagi akan rasa perih dan panas yang menjalari dadanya. Dia berguling. Pakaiannya yang bagus kotor oleh debu! Kemudian kelihatanlah manusia itu berdiri perlahan. Terjadi perubahan pada paras Suto Nyamat. Parasnya yang sebelumnya pucat pasi laksana mayat kini merah mengelam tanda bahwa rasa sakit yang dideritanya membuat timbulnya rasa amarah yang meluap! Suto Nyamat memang benar-benar marah kini, benar-benar naik pitam!

Kedua tangannya bergerak mencabut golok panjangnya, dengan muka beringas dia memutar tubuh ke hadapan Wulansari! Memang justru inilah yang diharapkan si gadis! Pancingnya dengan membuat sakit tubuh lawan ternyata berhasil baik.

"Ayo manusia durjana, majulah!"

Suto Nyamat maju selangkah demi selangkah. Nyatalah bahwa rasa takutnya benar-benar lenyap. Dia menggereng seperti seekor singa dan memang tampangnya seperti singa! Dengan bentakan dahsyat tiba-tiba dia melompat ke muka. Pedangnya menyambar dari kiri dan dari kanan, ke arah kepala Wulansari!

Si gadis rundukkan diri dan pergunakan pedangnya untuk membabat perut lawan! Suto Nyamat memang tidak rendah kepandaiannya! Kehebatan sepasang permainan pedangnya sangat diandalkan dan lihay! Namun menghadapi Wulansari tentu saja dia ketinggalan jauh!

Laki-laki ini turunkan kedua goloknya dengan sebat, maksudnya menangkis pedang lawan sekaligus menjepit senjata tersebut dengan kedua golok panjangnya! Tapi apa lacur! Wulansari sudah melompat ke samping dan dari samping gadis ini pergunakan ujung pedangnya untuk memukul senjata lawan!

'Trang!"

Golok di tangan kiri Suto Nyamat mental ke udara, membuat laki-laki itu tertegun seketika tapi kemudian menyerbu lagi dengan garang! Tapi tentu saja kini kehebatan permainan golok laki-laki ini jadi semakin tidak berarti karena senjatanya cuma tinggal satu! Dua kali saja Wulansari menggerakkan pedang merahnya maka "cras!" bahu kanan Suto Nyamat terbabat puntung!

Laki-laki ini menjerit keras. Tubuhnya huyung dan menggigil oleh rasa sakit yang amat sangat dan oleh hawa panas dari pedang merah. "Keparat!" maki Suto Nyamat. Tebaslah batang leherku! Bunuh!"

Wulansari tertawa mengejek. Tadi kau begitu takut mampus Suto Nyamat, seperti sudah melihat bagaimana gelapnya dalam kubur! "Sekarang kau ingin lekas-lekas mati, apakah sudah terlihat bidadari yang hendak menyambutmu di sorga...?"

"Bunuhlah!" teriak Suto Nyamat sementara rangsangan hawa panas mulai tak tertahankan lagi meski dia kerahkan tenaga dalamnya.

"Sekarang kau belum boleh mati, Suto Nyamat, mungkin sebentar lagi," kata Wulansari. "Kau masih memiliki tangan kiri yang bisa dipergunakan untuk memungut golok itu!"

Suto Nyamat mengigit bibir menahan geram dan rasa sakit. Di hadapannya, di atas tanah menggeletak dua batang golok panjang miliknya yang tadi dibikin mental oleh Wulansari. Kedua senjata itu saling berdekatan. Suto Nyamat membungkuk dan mengambil salah satu dari golok tersebut. Tiba-tiba senjata ini dilemparkannya ke arah Wulansari! Selagi si gadis pergunakan pedangnya untuk menangkis golok yang dilemparkan lawan maka Suto Nyamat segera ambil golok kedua dan menyerbu!

Serangan ini memang hebat dan cepat tapi sama sekali tidak membuat yang diserang menjadi bingung ataupun gugup! Tadinya Wulansari hendak pergunakan pedang untuk menangkis golok yang dilemparkan itu, tapi ketika sudut matanya melihat lawan mengambil golok kedua dan menyerbu maka dengan cepat gadis ini ulurkan tangan kiri. 

Pada detik dia berhasil menangkap hulu golok panjang maka saat itu pula dia pergunakan pedangnya menangkis serangan. Suto Nyamat sendiri tiada menduga kalau lawannya secepat itu memapaki serangannya sehingga meskipun hatinya gentar melihat sambaran pedang Wulansari namun dia tak punya kesempatan untuk menarik pulang serangannya!

Dua senjata saling beradu. Golok panjang Suto Nyamat patah dua dan mental! Sejurus kemudian terdengar lolong laki-laki itu karena pedang di tangan Wulansari terus menerus menyambar ke dadanya! Tulang dada Suto Nyamat jebol, dua tulang iganya amblas! Dia terhuyung-huyung kebelakang, kedua bola matanya berputar dan membeliak. Sedetik kemudian tubuhnya terguling ke tanah, mati!

Wulansari memandang kepada tubuh musuh besarnya itu, sejurus kemudian dia berlari mendapatkan Mahesa Kelud dan memeluk tubuh pemuda itu, lalu menyembunyikan kepalanya di dalam dekapan Mahesa lalu menangis tersedu-sedu.

Mahesa membelai rambut kekasihnya. Ia tahu bahwa gadis itu menangis karena haru bahwa dengan tangannya sendiri dan dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan kematian Suto Nyamat, manusia yang telah menjadi biang celaka penyebab kematian ayah bunda, paman serta kakeknya.

"Wulan," bisik Mahesa Kelud. "Kau hebat sekali, dapat mengalahkannya...."

Tangis gadis itu semakin kencang dan kedua tangannya digelungkan di leher Mahesa Kelud. Mahesa membimbing kekasihnya ke tepi jalan di mana terletak sebuah pohon rindang dan duduk di sana. Wulan menyembunyikan kepalanya dalam pangkuan Mahesa Kelud. Bagi keduanya suasana seperti itu tidak lagi merupakan suasana sedih atau haru, tapi berganti dengan suasana penuh kemesraan. Akhirnya tangis gadis itu mereda juga. Dengan selendang kuningnya disekanya kedua matanya.

"Kenapa tidak nangis lagi...?" tanya Mahesa Kelud menggoda.

"Aduh!" pekik pemuda ini kemudian karena paha kirinya dicubit.

"E... e... eee, sudah nangis mencubit orang pula! Lucu!"

"Kau yang lucu!"

"Aku? Lucu mengapa?" tanya Mahesa Kelud.

"Kau tidak tahu!"

"Apa yang tidak tahu...?"

Gadis itu menyeka mukanya kembali, duduk bersandar ke batang pohon di samping Mahesa Kelud lalu berkata, "Ada satu rahasia lucu yang kau tidak tahu."

"Heh... katakanlah."

Wulansari tertawa geli. Dia baru saja hendak membuka mulutnya yang mungil itu ketika tiba-tiba terdengar satu suara tertawa berkakakan disusul dengan suara bentakan keras!

"Alangkah hebatnya! Habis membunuh lalu bercumbu!"

Mahesa Kelud dan Wulansari terkejutnya bukan main. Keduanya bangkit dengan cepat dan melihat dua manusia berdiri kira-kira lima belas langkah di hadapan mereka! Yang satu masih muda belia, berpakaian perang. Yang kedua seorang perempuan bertubuh tinggi, bermuka hitam berhidung bengkok dan berjubah merah!

Yang muda adalah Braja Kunto, murid Waranganaya Toteng yang waktu di Madiun tempo hari menjadi Kepala Pasukan Pengawal Kadipaten dan pernah bertempur melawan Wulansari serta Mahesa Kelud di sekitar gua tempat kediaman guru mereka Si Suara Tanpa Rupa. Adapun perempuan jangkung berjubah merah, tiada lain daripada Niliman Toteng! Dialah tadi yang bicara membentak dan tertawa bekakakan!

Sewaktu Suto Nyamat meninggalkan kotaraja maka Niliman Toteng menyuruh Lima Brahmana itu pergi bersama Suto Nyamat sedang dia akan menyusul kemudian karena dia sedang menunggu adiknya yaitu Waranganaya Toteng untuk satu urusan penting. Tapi tunggu punya tunggu Waranganaya Toteng tidak muncul, yang datang adalah murid adiknya yakni Braja Kunto, membawa kabar bahwa gurunya tidak bisa datang karena ada satu persoalan penting di lain tempat.

Dengan kesal Niliman Toteng ajak keponakan muridnya itu sama-sama menyusul Suto Nyamat dan rombongan. Mereka tak perlu berlari cepat dan tak perlu merasa khawatir melepas Suto Nyamat bersama lima orang tersebut karena nama Lima Brahmana sudah dikenal dalam dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh yang ditakuti karena tinggi ilmunya!

Namun betapa terkejutnya kedua orang tersebut, lebih-lebih Niliman Toteng, ketika mereka sampai di jalan yang menurun itu, keduanya menemui dua sosok mayat di tengah jalan yang tak lain dua orang dari Lima Brahmana! Dan ketika mereka memandang ke bawah, kelihatanlah kereta milik Suto Nyamat terhampar di tengah jalan bersama beberapa ekor kuda. Keduanya berlari ke sana! Di sini mereka harus menyaksikan lagi empat sosok mayat yaitu tiga mayat Brahmana dan yang satu mayat Suto Nyamat!

Kedua orang ini menggeram menyaksikan hal tersebut. Wulansari dan Mahesa Kelud sendiri yang berada dalam suasana berkasih sayang penuh kemesraan tidak mengetahui kedatangan kedua orang ini sampai akhirnya Niliman Toteng melihat keduanya di bawah pohon!

Paras Mahesa dan Wulansari jadi merah malu karena mendengar bentakan Niliman Toteng tadi. Mereka tidak takut terhadap Braja Kunto dan tahu bahwa kepandaian murid Waranganaya Toteng itu masih jauh di bawah mereka karena mereka pernah menjajalnya dahulu! Tapi kehadiran Niliman Toteng di situ. Benar-benar mengejutkan hati kedua teruna ini!

Sementara itu Braja Kunto sudah mencabut senjatanya berupa sebuah ruyung dan melangkah mendekati Wulansari. "Ha ha, gadis begini manis tak disangka berhati jahat seperti setan! Sanggup membunuh sesama manusia! Ini cukup alasan bagiku untuk memecahkan kepalamu! Tapi aku Braja Kunto masih punya hati kemanusiaan, serahkan dirimu dan ikut aku ke kotaraja! Tinggal bersamaku! Makan bersamaku, tidur bersamaku! 
Ha ha ha!"

"Manusia kunyuk! Kubeset mulut busukmu!" bentak Wulansari seraya cabut pedangnya dan menyerbu ke muka. Di saat yang sama, Niliman Toteng sudah mengeluarkan stagennya dan melangkah ke hadapan Mahesa Kelud!


TIGA

"JANGAN mengira bahwa kau akan bisa melarikan diri lagi seperti malam tadi, tikus kecil!" kata Niliman Toteng.

"Iblis Jangkung," menyahut Mahesa Kelud. "Bicaramu selalu besar! Sudahkah baik luka sambaran pedang kawanku malam tadi? Dan Sudahkah dijahit robekan pada jubah merahmu?! Kalau belum aku bersedia menunggu sampai lukamu sembuh dan sampai kau selesai menjahit jubahmu yang robek!"

Darah Niliman Toteng naik ke kepala mendengar penghinaan ini. Dengan segera dia menyerbu ke muka! Mahesa Kelud maklum bahwa lawannya seorang yang tangguh. Makanya begitu Niliman Toteng lancarkan serangan stagen merah, pemuda itu segera cabut pedang dan memapak serangan lawan dengan sabetan yang mematikan!

Perempuan tua bermuka hitam itu memutar senjatanya sampai mengeluarkan angin bersiuran. Ujung stagen lewat di bawah sambaran pedang dan menyambar tajam ke bagian bawah perut Mahesa Kelud? Murid Suara Tanpa Rupa ini melompat ke samping seraya membalikkan mata pedang membabat kepungan Niliman Toteng!

Seperti Wulansari, dalam tenaga dalam dan ilmu mengentengi tubuh Mahesa Kelud masih jauh berada di bawah Niliman Toteng. Tapi dengan pedang merah sakti di tangan dia tak perlu khawatir akan dicelakai oleh lawannya. Di lain pihak pertempuran antara Wulansari dengan Braja Kunto berjalan sangat tidak seimbang sekali! Murid Waranganaya Toteng meskipun dalam dua tahun terakhir ini telah mendapat gemblengan yang lebih ulet dari gurunya, namun menghadapi gadis lawannya yang memainkan jurus-jurus ilmu pedang "Dewi Delapan Penjuru Angin" tak urung menjadi dibikin sangat repot!

Berkali-kali Braja Kunto mengeluarkan seruan tertahan karena dada atau perut ataupun hidungnya hampir saja "dicium" ujung pedang lawan! Braja Kunto mempercepat gerakannya tapi sia-sia belaka. Ujung-ujungnya, pedang sakti di tangan Wulansari berhasil juga menghantam pinggul kirinya!

Luka besar menyemburkan darah. Tulang pinggul sampai ke paha hampir putus! Braja Kunto yang berbadan gemuk itu rebah ke tanah laksana pohon kelapa tumbang. Tubuhnya berkelejotan seketika. Begitu hawa panas beracun pedang sakti lawannya menjalar ke jantung. Braja Kunto terpaksa pasrahkan nyawanya di situ juga!

Melihat murid adiknya mati mengenaskan begitu rupa, Niliman Toteng segera cabut senjata aneh berbentuk sapu ijuk dari punggung jubahnya. Sekali dia putar senjata tersebut maka dari sela-sela ijuk-ijuk hitam tebal itu melesat puluhan jarum hitam yang suaranya menggebu laksana tawon mengamuk! Jarum-jarum hitam beracun ini menyerang Mahesa Kelud mulai dari arah kaki sampai ke kepala!

Mahesa tahu bahwa dalam keadaan sesingkat itu sukar baginya untuk menangkis serangan jarum. Meskipun dia putar pedang saktinya, belum tentu semua jarum bisa disapu. Karenanya tak ayal lagi Mahesa jatuhkan diri ke tanah dan berguling ke arah lawannya!

Niliman Toteng kaget sekali waktu melihat bagaimana sambil mengelak lawannya berguling ke arahnya dan membabatkan pedang ke kakinya! Cepat-cepat Niliman melompat dan arah lompatannya sengaja mendekati Wulansari untuk sekaligus melancarkan serangan pula!

Si gadis yang tidak menduga akan diserang secara mendadak oleh lawan yang tengah dihadapi kakak seperguruannya segera putar pedang. Tapi terlambat! Ujung stagen merah telah melilit lengannya, terus sampai ke hulu pedang!

Niliman segera betot stagen dan kebutkan sapu ijuknya ke arah Mahesa Kelud yang datang menyerang dari samping. Wulansari tahu bahwa kalau tarikan keras stagen lawan balas dengan sentakan keras pula maka pasti lengannya akan tanggal. Untuk kedua kalinya gadis ini terpaksa serahkan pedang kepada lawan demi selamatkan diri!

Niliman Toteng tertawa mengekeh. Stagennya dililitkan ke pinggang kembali dan kini dengan pedang sakti milik Wulansari di tangan Si Iblis Jangkung ini segera menyerang kedua muda teruna itu! Mahesa mengeluarkan jurus-jurus teratas dari ilmu. "Dewa Pedang". Tapi percuma saja karena Niliman Toteng kini juga memiliki pedang sakti yang dapat menandingi pedang di tangan Mahesa bahkan setiap saat dia tak ragu-ragu mempergunakan pedang itu untuk beradu senjata!

Wulansari gemasnya bukan main. Tangannya bergerak ke sisi pakaian kuningnya "Perempuan Iblis! Mampuslah!" teriaknya.

Ratusan butiran pasir merah menderu seperti angin punting beliung, menyambar ke arah Niliman Toteng! Perempuan bermuka hitam ini pergunakan pedang milik Wulansari yang kini menjadi andalannya untuk menyapu serangan pasir-pasir merah itu!

Tapi kali ini dia salah perhitungan. Meski kedua senjata tersebut, pedang dan pasir merah sama-sama berasal dari satu guru sakti, namun untuk menyelamatkan diri dari serangan pasir-pasir merah tidak cukup dengan putaran pedang saja jika tidak disertai gerakan melompat ke samping untuk mengelak! Enam butir pasir menembus jubah merah Niliman Toteng, masuk ke dalam pori-pori kulitnya dan mengalir bersama aliran darah!

Perempuan tua itu merasa tubuhnya diserang hawa panas, segera maklum bahwa senjata rahasia lawan sudah masuk ke dalam tubuhnya. Dikerahkannya tenaga dalamnya yang sangat tinggi. Hawa panas berkurang sedikit. Sapu ijuknya dikebutkan ke arah kedua lawannya. Sementara Mahesa dan Wulansari sibuk dengan jarum-jarum hitam tersebut maka dia pergunakan kesempatan untuk menotok urat darah besar di badan sebelah kirinya.

Untuk kedua kalinya dalam jurus itu Niliman Toteng kebutkan sapu ijuknya. Jarum-jarum hitam melesat lagi ke arah Mahesa dan Wulansari. Kali ini kedua orang itu tidak tinggal diam. Mereka menggerakkan tangan kiri. Ratusan butir pasir merah melayang ke arah jarum-jarum hitam dan bentrokan hebat di udara. Betapapun hebatnya jarum-jarum hitam itu namun menghadapi butiran-butiran pasir merah panas, maka laksana bubuk gergaji, jarum-jarum itu patah-patah dan luluh ke tanah!

Niliman Toteng tidak kecewa senjata rahasianya dikalahkan demikian rupa. Yang penting baginya adalah mendapatkan kesempatan untuk menyelamatkan nyawanya dari pasir-pasir beracun yang sudah mengindap di darahnya. Perempuan tua ini memang hebat. Ujung hulu pedang dipergunakannya untuk memukul dadanya sendiri. Dia terhuyung-huyung ke belakang lalu batuk dan muntah darah berbuku-buku!

Segera dia lepaskan totokan pada urat darah di sisi kiri tubuhnya dan mengatur jalan darah serta pernafasannya dengan cepat. Dengan demikian terlepaslah dia dari bahaya kematian keracunan butiran-butiran pasir merah yang dilepaskan Wulansari tadi!

"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar tertawa cekikik tertahan-tahan. Sejurus kemudian berkelebatlah satu bayangan putih dan tahu-tahu seorang berjubah putih berbadan bungkuk berdiri kira-kira beberapa langkah dari Niliman Toteng.

Dia seorang perempuan tua bermuka hitam, kaki kanannya buntung dan dia memegang sebuah tongkat besi yang besar. Kedua matanya besar serta merah. Hidungnya bengkok dan tidak mempunyai alis. Bibir bawahnya yang tebal kelihatan menjelewer ke bawah waktu dia tertawa itu!

Siapa adanya perempuan tua ini tidak lain dari Sitaraga alias Iblis Puntung yang dulu telah memberi obat perangsang terhadap Mahesa Kelud dan Kemaladewi sehingga kedua muda mudi ini melakukan perbuatan tidak senonoh tanpa mereka sadari!

Di samping terkejut melihat kemunculan yang tiba-tiba dari manusia penimbul malapetaka ini, kemarahan Mahesa Kelud juga jadi mendidih karena inilah manusia yang dulu berminggu-minggu dicarinya untuk ditamatkan riwayatnya! Tapi belum habis rasa kejut pemuda ini, sekelebat kemudian muncul pula seorang lain di tempat itu. Waranganaya Toteng! Agaknya kini lengkaplah musuh-musuh Wulansari dan Mahesa Kelud!

Sitaraga alias Iblis Putung memang datang ke tempat itu bersama-sama Waranganaya. Tapi karena si perempuan tua itu memiliki ilmu lari yang lebih ampuh maka Waranganaya ketinggalan jauh di belakangnya dan dia sampai duluan. Wulansari merasa ngeri juga melihat si puntung kaki ini. Dia bergerak mendekati kakak seperguruannya. Mahesa Kelud sendiri sudah bisa menyimpulkan jika Sitaraga datang bersama dengan Waranganaya Toteng, maka pastilah mereka kawan sepihak!

Pemuda ini mengeluh dalam hatinya. Niliman dan Waranganaya Toteng mungkin masih bisa mereka hadapi, tapi dengan adanya Sitaraga, kecil sekali harapan untuk dapat membalaskan sakit hati dan dendam kesumat sekaligus kepada ketiga manusia-manusia terkutuk.

Bahkan mungkin mereka terpaksa harus serahkan nyawa di tempat itu, apalagi pedang sakti Wulansari sudah dirampas pula oleh Niliman Toteng! Apa yang ada dipikiran Mahesa Kelud tidak terpikir dan tidak terasa oleh Wulansari karena memang gadis ini tidak tahu manusia macam bagaimana adanya Sitaraga alias Iblis Puntung!

Sitaraga masih juga tertawa-tawa. "Banyak gunung tinggi menjulang! Banyak manusia berilmu tinggi berumur lanjut berpengalaman selautan luas! Tapi mengapa melayani bocah yang masih bau amis sampai dibikin muntah darah?!

Hik hik hik!" Jika dilihat kulit muka yang hitam dan hidung yang bengkok dari Niliman Toteng, maka banyak persamaan tampangnya dengan tampang Sitaraga. Mendengar tertawa dan ucapan mengejek dari Sitaraga itu maka Niliman Toteng putarkan kepala dengan muka cemberut.

"Sitaraga! Kentut kau!" makinya. Datang-datang sudah mengejek!" Kemudian Resi ini melihat adiknya. "Eh kau juga ada di sini, Waranganaya?! Kau juga kentut! Apa kalian datang kesini untuk mentertawai aku?!"

Iblis Puntung tidak perdulikan ucapan Niliman Toteng. “Niliman, kau tahu siapa itu pemuda yang menjadi lawanmu?" Dalam bicara, sejak tadi Sitaraga tidak memandang kepada Mahesa Kelud ataupun Wulansari. Kepalanya tetap menghadap kepada Niliman.

"Sitaraga," ujar Waranganaya Toteng, "inilah dia gembong-gembong anak pemberontak yang aku terangkan tempo hari! Yang pakai baju kuning itu anaknya Jarot Singgih, biang pemberontak dari Madiun yang sudah mampus!"

"Resi keparat! Kubeset mulutmu!" bentak Wulansari ketika mendengar Waranganaya Toteng hinakan ayahnya yang sudah tiada. Gadis ini hendak menyerbu ke muka tapi cepat lengannya dicekal Mahesa Kelud.

"Hik hik hik. Kalian hanya tau itu, kalian hanya tahu bahwa mereka adalah gembong-gembong pemberontak! Tapi kalian tidak tahu lebih dari itu! Yang laki-laki adalah pemuda hidung belang yang pernah datang membawa seorang gadis cantik ke goaku dan berbuat kotor di sana sampai dua hari dua malam! Hik hik hik!"

Terkejut Wulansari laksana halilintar menggeledek di kedua anak telinganya ketika mendengar ucapan Sitaraga tersebut. Dipalingkannya kepalanya kepada Mahesa Kelud. Hatinya berdebar keras waktu melihat bagaimana pemuda kekasihnya itu air mukanya menjadi merah gelap.

"Perempuan laknat!" bentak Mahesa Kelud. Dia sudah lupakan sama sekali kehadiran Wulansari di sampingnya saat itu karena amarah yang meluap. "Kalau tidak karena kau yang berhati iblis, semua kekotoran itu tidak akan terjadi."

Sitaraga masih tetap tidak memandang kepada Mahesa Kelud. "Hik hik. Kau bisa cari alasan palsu untuk buang malu! Apakah gadis di sampingmu itu juga hendak kau bawa ke goaku? Hendak kau tidur....? Hik hik hik!"

Amarah Mahesa Kelud sudah tidak tertahankan lagi. "Manusia jahanam, hari ini aku mengadu jiwa dengan kau!"

Tanpa memperdulikan lagi betapa Sitaraga adalah seorang tokoh persilatan yang ilmunya sangat tinggi, lebih tinggi dari Waranganaya dan Niliman Toteng maka dengan pedang merah di tangan pemuda ini menerjang ke arah Sitaraga!

Yang diserang kelihatannya acuh tak acuh saja. Bahkan masih tertawa cekikikan dan memandang ke jurusan Niliman Toteng. Angin sambaran pedang Mahesa Kelud sudah bersiuran. Niliman yang berdiri tak jauh dari Sitaraga dapat merasakan panasnya hawa sambaran pedang sakti tersebut tapi Sitaraga masih saja seperti seorang tua yang berlagak pilon!

Dia membuka mulutnya yang berbibir dower bergusi ompong. "Kasihan... kasihan mereka yang tidak tahu tingginya gunung...."

Tiba-tiba perempuan berkaki puntung ini kebutkan ujung lengan kiri jubah putihnya. Satu gelombang angin yang dahsyat sekali laksana topan menghantam ke arah Mahesa Kelud. Sekejap kemudian kelihatanlah pemuda itu mental sampai tiga tombak ke belakang! Terguling di tanah tapi cepat berdiri kembali dengan pedang sakti masih tetap di tangan.

Mahesa merasakan tubuhnya mulai dari kaki sampai ke ubun-ubun tergetar hebat dan panas dingin. Pemandangannya berkunang, lututnya seperti mau copot. Cepat-cepat dilapatkannya mantera penguat diri yang diajarkan gurunya Suara Tanpa Rupa dan dialirkannya tenaga dalamnya serta diatur jalan napas dan darahnya.

Ketika Mahesa Kelud menyerbu menyerang Sitaraga maka Wulansari tidak pula tinggal diam. Dia melompat dan menyerang Waranganaya Toteng, musuh besar kepada siapa dendamnya berurat berakar karena inilah manusia kaki tangan Suto Nyamat yang dulu membunuh guru merangkap kakeknya yakni Sentot Bangil alias Pendekar Budiman.

Waranganaya Toteng mulanya anggap sepi serangan tangan kosong gadis ini karena dua tahun yang lewat dia pernah saksikan kepandaian Wulansari yang masih sangat rendah waktu menyerang ke gedung Kadipaten Madiun. Tapi kali ini Resi dari Blambangan itu salah duga. Wulansari dua tahun yang lalu tidak sama dengan yang dihadapinya hari ini!

Ketika jubah hitamnya dibagian dada robek besar terkena sambaran cakaran kuku-kuku tangan kiri lawannya, berubahlah parasnya menjadi pucat. Cepat-cepat dia melompat ke samping dan kebutkan rumbai-rumbai ikatan jubahnya. Angin panas menyambar keras menyerang Wulansari. Yang diserang berkelit cepat, sambil mengeluarkan satu jerit melengking dan dengan gunakan gerakan "rajawali sakti menyambar mangsa" tahu-tahu dia, sudah berada di belakang Resi tersebut dan "buk!"

Tepisan tapak kanannya mendarat di punggung Waranganaya Toteng. Resi itu mendudu ke muka hampir jatuh menelungkup jika dia tidak pergunakan kedua ujung tangannya untuk jungkir balik dengan gerakan yang dinamakan "kodok selamatkan diri dari patilan ular." Waktu berdiri kembali tubuhnya tak bisa lempang sedang punggungnya mendenyut sakit bukan main!

"Niliman dan Waranganaya! Kalian kakak beradik sama saja begoknya! Minggir saja biar aku yang layani bocah-bocah bau pesing ini!" kata Sitaraga. Perempuan bungkuk berkaki puntung ini pergunakan satu kakinya berjingkat-jingkat. Tongkat besi di tangan kanan diputar tak menentu, bolak balik naik turun, sebentar menyamping sebentar ke atas dan sebentar menusuk ke muka.

Meski tongkat yang berat itu diputar tidak karuan, namun sambaran sambaran angin yang dikeluarkannya laksana badai dan tongkat tersebut seperti-menjadi puluhan banyaknya. Sitaraga kebutkan lagi ujung lengan jubahnya. Mahesa dan Wulansari berlompatan kesamping lalu balas menyerang. Mahesa dengan sambaran pedang sedang Wulansari dengan butiran-butiran pasir merah beracun!

Sitaraga menyambut serangan ini dengan tertawa cekikikan mengejek. Sambaran angin tongkat membuat semua senjata rahasia butiran pasir merah mental. Serangan pedang sakti Mahesa Kelud dielakkan dengan mudah sekali oleh si Iblis Puntung ini.

Kemudian dengan segala kedahsyatan yang ada tubuh Sitaraga kelihatan mengapung di udara. Gerakannya sebat dan lihay. Ujung tongkat sekaligus memapak ke kepala kedua lawannya! Kalau si gadis cepat-cepat merunduk dan melompat mundur selamatkan kepala maka Mahesa Kelud pergunakan pedang saktinya untuk menangkis!

"Trang!"

Bunga api berpijar terang. Gelombang hawa menggebu ke udara. Pedang merah di tangan Mahesa Kelud mental! Tangan pemuda itu tergetar hebat kesemutan dan ngilu sakit! Dalam kejapan gebrakan yang hebat itu Sitaraga membuat satu gerakan aneh dan entah bagaimana, kemudian tahu-tahu kaki kiri yang berkulit hitam itu sudah mencelat ke dada Wulansari sedang ujung tongkat besi menotok ke ubun-ubun Mahesa Kelud!

Bagaimanapun cepatnya kedua orang itu membuat gerakan untuk mengelak, namun sia-sia belaka, akan tetapi kalah cepat dari datangnya serangan maut! Tak ada daya untuk menangkis, tak ada daya untuk mengelak. Sambaran angin serangan saja sudah menggigilkan tubuh kedua muda-mudi tersebut dan dalam sekejap mata lagi pastilah keduanya akan meregang nyawa mengerikan!

Sitaraga sudah ketawa cekikikan karena dia sudah maklum bahwa kedua lawannya tak punya daya lagi untuk menghindar dari serangannya. Tapi ajal di tangan Yang Satu. Tinggi gunung ada lagi yang lebih tinggi. Di luar langit ada langit.

"Bum!"

Terdengar satu ledakan dahsyat melanglang udara. Tanah sekitar situ bergetar. Sinar putih panas menyilaukan mata lewat di atas kepala Mahesa Kelud dan Wulansari. Sitaraga mencelat menjauh dan berseru nyaring. Jubah putihnya berubah menjadi hitam. Hangus!

Sedang Waranganaya Toteng dan Niliman Toteng menjerit setinggi langit seperti mereka melihat setan-setan yang menakutkan, lalu roboh ke tanah tanpa nyawa! Tubuh dan pakaian keduanya hangus serta mengepulkan asap berbau daging terpanggang! Pada waktu yang bersamaan terdengar suara memerintah.

"Murid-muridku, kalian minggirlah!"


EMPAT

DUA kekasih sama terkejut melihat peristiwa hebat itu. Mereka buru-buru melompat menjauh. Keduanya kemudian melihat seorang laki-laki yang sangat tua sekali, berambut putih laksana salju di puncak gunung yang panjangnya sampai ke bahu, berselempang kain putih. Mukanya licin bersih, kumis serta janggut dan alis matanya putih seperti rambutnya. Di pundak kirinya duduk seenaknya seekor anak rusa!

Mahesa dan Wulansari sebelumnya tak pernah melihat orang tua itu. Tapi keduanya mengenali suara si orang tua itu juga mengenali anak rusa yang di pundak laki-laki itu! Dengan serta merta dua kekasih ini berlutut di tanah.

"Guru!" seru mereka haru dan gembira. Si orang tua berselempang kain putih tidak hiraukan mereka melainkan berdiri memandang melotot pada Sitaraga.

"Kakek-kakek sedeng! Kau sudah bosan hidup?!" bentak Sitaraga.

Si orang tua, cuma ganda tertawa mendengar kata-kata Iblis Puntung itu. Dia membuka mulut berkata. Dan kata-katanya ini merupakan serangkaian syair.

Percuma tingginya gunung
Bila meletus akan merata
Jika ilmu di tangan manusia berotak linglung
Badan sendiri yang akan celaka.


Geramlah Sitaraga mendengar syair ejekan itu. Tampangnya membesi kaku. "Orang tua, kau siapa?" tanyanya membentak.

"Siapa aku....? Ha ha! Sitaraga dengar syairku dan kau akan tahu siapa aku," kata orang tua berambut putih itu.

Langit tinggi tiada bertiang.
Tinggi luas tidak terukur
Sepuluh tahun di dalam Hang
Sepuluh tahun diduga tidur
Muncul kembali ditanya orang
Tapi tetap tidak bernama


Terkejutlah Sitaraga mendengar syair itu, terutama bait yang terakhir. Maklum dia kini dengan siapa dia berhadapan. Kakek-kakek dihadapannya itu tiada lain dari si Suara Tanpa Rupa yang sudah sejak sepuluh tahun tak pernah muncul dalam dunia persilatan! Bulu tengkuk Sitaraga diam-diam menggerinding, lebih-lebih waktu dia menunduk sedikit dan melihat jubah putihnya yang sudah hangus!

Perempuan Iblis itu dongakkan kepala. Dia tertawa untuk hilangkan kegentarannya."Tak sangka hari ini akan berhadapan dengan Suara Tanpa Rupa. Tak sangka yang sudah diduga mati, muncul dan hidup kembali. Ini mengingatkan aku pada cerita lama. Hik hik hik...."

Anehnya saat itu baik Mahesa Kelud maupun Wulansari sama melihat bagaimana paras guru mereka mendadak sontak berubah jadi merah menyala waktu mendengar ucapan Sitaraga tadi. Dan lebih merah lagi ketika mendengar ucapan Sitaraga selanjutnya,

"Alangkah sialnya, guru dan murid sama saja malang nasibnya! Hik hik. hik."

"Dosamu tak berampun Sitaraga! Tertawa puaskan hatimu karena kelak mulutmu akan tersumpal dan tertindih tanah pekuburan!" kata Suara Tanpa Rupa pula.

"Hik hik hik..." Sitaraga kebutkan ujung lengan jubah tangan kirinya. Gelombang hawa yang keras dahsyat menyambar ke arah Suara Tanpa Rupa. Serentak dengan itu Sitaraga melompat pula ke muka dengan putaran tongkat besinya dalam gerakan-gerakan yang tidak teratur. Suara Tanpa Rupa tidak bergerak sedikitpun. Pada saat sambaran angin dan ujung tongkat sampai ke mukanya, barulah orang sakti ini menggerakkan kedua tangannya. Dari tangan lebih hebat lagi, tubuh Sitaraga mental, terguling di tanah!

Sedang tongkat besinya sudah berpindah ke tangan kiri Suara Tanpa Rupa! Mahesa Kelud dan Wulansari kaget dan saling pandang, sama kagum melihat kehebatan guru mereka. Keduanya tahu bahwa gerakan yang dibuat oleh si orang tua sakti adalah jurus-jurus yang pernah diajarkannya kepada mereka, tapi yang tentu saja sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

Cuma memang pukulan yang mengeluarkan sinar putih menyilaukan itu tak pernah sebelumnya mereka terima dari si Suara Tanpa Rupa, dan ini membuat Mahesa maupun Wulansari menjadi kecewa, mengapa gurunya tidak mengajarkan ilmu pukulan hebat tersebut!

Di muka sana Sitaraga kelihatan berdiri di atas satu kakinya dengan terhuyung-huyung. Tubuhnya mengepul. Matanya melotot menggidikkan dan tampangnya mengerikan sekali. Suara tertawanya kini tidak lagi cekikikan tertahan-tahan tapi mengekeh panjang! Kedua tangannya dikepalkan ke muka dada, mulutnya komat-kamit. Kemudian kelihatanlah bagaimana kedua kepalan tersebut dari hitam berubah menjadi biru.

"Mampus!" teriak Sitaraga melengking. Dua sinar biru melesat menyambar Suara Tanpa Rupa.

Mahesa dan Wulansari terpaksa menjauh karena sinar biru ini dinginnya bukan main menggigilkan tubuh mereka! Suara Tanpa Rupa menunggu dengan tenang. Dia angkat tangan kanannya, diputar beberapa kali lalu dihantamkan ke muka! Maka kelihatanlah gelombang panjang sinar putih panas bergulung-gulung mengurung dua sinar biru. Seperti terseret maka dua sinar biru gerakannya tertahan-tahan lalu ketika keampuhannya menjadi lumer sama sekali maka sinar biru berbalik memukul kembali ke arah Sitaraga, disusul oleh hantaman sinar putih!

Sitaraga jatuhkan diri. Tapi sebagian dari tubuhnya sudah tersambar hawa pukulan sendiri dan hawa sinar putih lawan. Tubuhnya terguling, menghempas ke kiri dan ke kanan! Segala kekuatan yang ada di kerahkannya. Iblis Puntung ini memang hebat karena meski sebagian dari tubuhnya sudah hangus dan luka lumpuh namun dia masih bisa berdiri dan melangkah berjingkat-jingkat mendekati Suara Tanpa Rupa yang sejak tadi tiada sedikitpun bergerak dari tempat berdirinya, demikian juga anak rusa yang berada di atas pundaknya!

Jingkat demi jingkat Sitaraga makin dekat ke hadapan Suara Tanpa Rupa. Kedua tangannya terpentang. Dia menjerit keras dan menggapai. Suara Tanpa Rupa gerakkan tangan kirinya yang memegang tongkat.

"Krak!"

Senjata makan tuan! Tulang lengan kiri Sitaraga patah urat-uratnya berputusan, patahan lengan putus dan mental, darah menyembur! Sitaraga melolong seperti serigala lapar di malam buta. Tubuhnya melintir miring. Suara Tanpa Rupa membungkuk sedikit dan hantamkan tongkat besi untuk kedua kalinya! Kini lengan kanan Sitaraga yang menjadi korban.

Perempuan berhati Iblis ini mengeluarkan lolongan lagi, lebih seram dari semula. Suara lolongnya terhenti dengan serta merta ketika tongkat besi yang dilemparkan Suara Tanpa Rupa menghancurkan tulang dadanya, menembus tubuhnya! Tubuh Sitaraga laksana kertas melayang bersama tongkat besi itu dan jatuh di tebing sungai, menggelinding ke bawah, masuk ke dalam sungai! Air sungai kelihatan merah dan tubuh manusia iblis itu sedikit demi sedikit tenggelam ke dasar sungai oleh beratnya tongkat besi.

Mahesa dan Wulansari telah banyak menyaksikan kematian manusia dalam berbagai bentuk dan cara. Tapi kematian Sitaraga yang mereka lihat dengan mata kepala sendiri itu sungguh menggidikkan. Untuk beberapa detik lamanya kedua mata mereka masih saja memandang ke arah sungai di mana mayat Sitaraga tenggelam dan berkubur di dasar sungai!

Kedua kekasih itu kemudian sadar. Mereka berdiri dan berlutut di hadapan Suara Tanpa Rupa. Orang tua sakti itu tegak tak bergerak, kedua matanya terpejam. Joko Cilik, anak rusa yang berada di pundaknya juga tidak bergerak-gerak.

"Guru," kata Mahesa. "Kami murid-muridmu menghaturkan rasa syukur serta terima kasih. Kalau tidak guru datang, pastilah kami sudah menjadi korban Sitaraga. Kami murid-muridmu juga merasa gembira sekali karena inilah untuk pertama kalinya sesudah tahunan kami dapat bertemu muka dengan guru. Untuk selanjutnya kami mohon petunjuk guru."

Untuk beberapa lamanya kesunyian menyelubung. Udara di tempat itu masih saja berbau daging mayat Waranganaya dan Niliman Toteng yang hangus terpanggang. Suara Tanpa Rupa tidak bergerak di tempatnya, kedua matanyapun masih terpejam. Kedua muridnya menunggu dengan tekurkan kepala. Sesaat kemudian baru orang tua tersebut bukakan mata dan bibirnya bergerak.

"Mahesa dan Wulan, murid-muridku. Semua yang kau saksikan di sini hari ini menjadi satu peringatan yang harus tidak kalian lupakan yaitu betapa kejahatan itu akhirnya akan hancur di ujung jalan kebenaran. Bahwa betapa akhirnya segala ilmu yang tinggi bagaimanapun jika dipakai untuk kejahatan akhirnya akan musnah tiada arti dihancurkan oleh kebaikan. Ini juga suatu pertanda bahwa segala apapun yang ada di dunia ini akan berakhir dengan seungguk tanah. Ilmu yang kalian miliki masih belum apa-apa, kalian masih harus banyak berlatih agar mencapai tingkat sesempurna mungkin. Sesempurna mungkin kataku karena tidak ada satu manusiapun yang sempurna betul-betul dalam segala hal di atas dunia ini! Ilmunya Sitaraga juga masih belum apa-apa. Demikian juga dengan ilmuku sendiri. Semua ilmu berdasar dan bersumber pada satu sumber, satu asal yaitu Yang Kuasa! Bisakah kita melawan atau menantang kepada sumber ilmu itu? Kepada ke Maha Besaran Yang Satu itu...?"

"Tidak guru," jawab Mahesa dan Wulansari 

Suara Tanpa Rupa anggukkan kepala. "Ingat semua itu baik-baik, murid-muridku. Langkah manusia di ujung nasib, nasib manusia di ujung langkah. Pertemuan kita cukup sampai di sini. Penghabisan kali, mungkin ada yang kalian tanyakan...?"

Mahesa Kelud teringat akan kata-kata Sitaraga tadi. 'Alangkah sialnya, guru dan murid sama saja malang nasibnya!' Apakah yang dimaksud Sitaraga dengan ucapan tersebut? Mengapa paras gurunya kelihatan merah sekali waktu mendengar kata-kata Sitaraga, apakah hal yang terjadi antara dia dengan Kemaladewi pernah pula terjadi atas gurunya?

Tak berani Mahesa berpikir sejauh itu. Meski dia kepingin tahu tapi kecut hatinya untuk ajukan pertanyaan. Dia tahu itu adalah urusan pribadi gurunya. Dan kalaupun memang Sitaraga pernah mencelakai gurunya maka sang guru sudah selesaikan urusannya dengan perempuan berhati iblis itu!

"Jika tidak ada pertanyaan, aku akan pergi...."

"Guru," kata Mahesa cepat.

"Ya?"

"Kami tadi telah menyaksikan bagaimana guru mengeluarkan pukulan-pukulan yang menimbulkan sinar putih menyilaukan ketika menghadapi Sitaraga. Kalau kami boleh tanya, ilmu pukulan apakah namanya itu...?"

"Dan bolehkah kami mempelajarinya?" meneruskan bertanya Wulansari.

Suara Tanpa Rupa lukiskan senyum di sudut bibirnya. "Pukulan itu bernama pukulan Api Salju. Dinamakan demikian karena mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan mata. Ilmu pukulan tersebut mempunyai dua hawa yang dahsyat yaitu panas laksana api tapi juga dapat menimbulkan hawa dingin laksana salju di puncak gunung. Kalian berdua jangan kecil hati. Waktu di goa tempo hari aku memang tidak mengajarkan pada kalian karena ilmu ini memang tidak boleh diajarkan, tapi harus dituntut langsung kepada sumbernya...."

"Kami mohon petunjuk guru untuk dapatkan ilmu pukulan itu," ujar Mahesa Kelud.

"Kalian berdua pergilah ke selatan," berkata Suara Tanpa Rupa. "Sampai akhirnya kalian temukan sebuah telaga mendidih berair putih seperti salju. Itulah sumber ilmu pukulan Api Salju. Kalian pergilah ke sana. Jika kalian berdua bernasib baik, kalian akan dapatkan ilmu itu. Tapi bila kalian bernasib malang, mungkin kalian akan tinggalkan nyawa di situ!"

Terkejutlah kedua murid tersebut. Mahesa hendak bertanya, namun saat itu sang guru sudah kelebatan tubuh dan lenyap dari pandangan mereka! Kejut mereka belum lagi habis ketika keduanya menyaksikan bagaimana tanah bekas tempat menjejak kedua kaki guru mereka kelihatan melesak sampai satu jengkal lebih!

Perlahan-lahan Wulansari berdiri dari berlututnya, Dia melangkah mendekati mayat Niliman Toteng dan mengambil pedangnya. Senjata sakti tersebut dimasukkanya kembali ke dalam sarung di balik punggung.

"Wulan, mari kita tinggalkan tempat ini," terdengar suara Mahesa. Si gadis balikkan tubuh. Pandangannya meneliti paras kekasihnya. Tak pernah sebelumnya Mahesa dipandang demikian rupa. Ini membuat pemuda itu jadi terheran.

"Ada apa kau pandang aku demikian rupa, Wulan?" tanya Mahesa.

"Kakak," suara gadis itu bergetar. "Apakah ucapan Sitaraga tadi benar adanya?"

Berdebar jantung si pemuda dengarkan itu pertanyaan. Lututnya menggoyah. "Ucapan Sitaraga yang mana maksudmu, Wulan?" tanya Mahesa pura-pura. Dia melangkah dan berdiri dekat-dekat di hadapan kekasihnya.

"Bahwa... bahwa kau pernah datang ke goanya... membawa seorang gadis cantik dan... dan... benarkah itu, Mahesa?"

Pemuda itu coba tekan perasaannya. Terjadi kobaran peperangan dalam kalbunya. Apakah akan dikatakannya bahwa ucapan perempuan Iblis itu dusta belaka atau diterangkannya saja dengan jujur dan terus-terang?

"Panjang ceritanya, adikku," kata Mahesa pada akhirnya. "Tapi biar aku terangkan padamu...."

"Jadi, jadi ucapan Sitaraga itu betul!?!"

"Betul, tapi...."

Wulansari jatuhkan diri ke tanah. Mukanya ditutup dengan kedua tangan. Dia menangis tersedu-sedu. Mahesa letakkan tangan kanannya di atas bahu gadis itu. "Wulan, kau jangan salah sangka. Semuanya itu...."

"Sudah diam!" bentak Wulansari tiba-tiba seraya berdiri. Matanya yang basah oleh air mata memandang beringas pada Mahesa. Saking terkejutnya dibentak seperti itu, si pemuda sampai undur langkah! "Mulai detik ini, aku bukan adikmu lagi! Bukan kekasihmu! Putus segala hubungan antara kita! Kau laki-laki bejat, hidung belang! Kotor!"

Serentak dengan itu Wulansari putar tubuh dan lari meninggalkan tempat itu. Mahesa termangu beberapa kejapan mata. Lalu dia bergerak lari menyusul.

"Wulan! Tunggu!" teriaknya.

Tapi gadis itu malah mempercepat larinya. Di satu tempat akhirnya Mahesa berhasil mengejar gadis tersebut dan memegang lengannya.

"Wulan, dengar! Jangan kesusu dan salah duga. Aku akan terangkan bagaimana peristiwa itu terjadi...."

Wulansari tarik tangannya. "Jangan sentuh tubuhku, pemuda kotor! Lepaskan!"

"Wulan kau...!"

"Lepaskan!"

"Tidak!"

"Kurang ajar! Manusia macammu ini lebih pantas mampus!"

"Sret!" Gadis itu cabut pedangnya dan "bret!" Pakaian putih Mahesa Kelud robek besar di bagian dada. Pemuda itu dalam terkejutnya dan karena gerakan Wulansari sangat cepat sampai dia tak sanggup mengelak. Masih untung ujung pedang hanya merobekkan pakaiannya. Mahesa melompat menjauh. 

"Wulan, sadarlah!"

"Diam! Jangan panggil namaku!" bentak si gadis kalap. Dia menyerang dengan ganas, mengeluarkan jurus ilmu "Pedang Dewi" yang paling ampuh!"

Mahesa dibikin kalang kabut berkelebat repot kian kemari. Tubuhnya terbungkus oleh gulungan sinar pedang merah sakti yang meniupkan angin membadai! Pemuda ini mengeluh. Bertangan kosong demikian rupa bagaimanapun lihaynya dia menghadapi gadis yang tengah marah itu namun cepat atau lambat pasti dirinya akan kena celaka juga!

"Wulan, sadarlah! Mari kita bicara dulu!"

"Keparat! Kau lebih pantas mampus, kataku!" Gadis itu memperhebat serangannya!

Sejak tadi Mahesa terus-terusan mengelak. Keadaan semakin kepepet. Dengan susah payah akhirnya dia bisa keluar dari gulungan pedang dan melompat jauh. Pemuda itu juga sudah kalap. "Wulan! Jika kau mau membunuhku, baiklah! Mungkin itu pantas kuterima sebagai balas dosa yang kuperbuat! Tapi bila aku sudah mati kelak, kau akan tahu bahwa semuanya itu bukan kehendakku. Aku ditipu oleh...."

"Hidung belang! Jangan bicara ngaco!" potong Wulansari. Dia menerjang. Pedangnya bersiuran dalam gerakan "menembus ombak membelah gelombang," memapas kearah kepala Mahesa Kelud. 

Mahesa tidak bergerak sedikitpun. Kedua matanya dipejamkan. Pemuda ini sudah siap untuk terima nasib. Melihat sikap ini, sekilas kesadaran memancar di kepala Wulansari! Dia kertakkan geraham dan membuat gerakan “cambuk emas lewati rembulan!" Tebasan pedang berubah arah dan lewat dengan segala kehebatannya setengah jengkal di atas kepala Mahesa Kelud!

Pemuda itu masih menunggu. Ketika itu terdengarlah suara tangisan Wulansari menggagahi telinganya. Terdengar pula suara pedang yang dibuang ke tanah. Tanpa bukakan kedua matanya berkatalah Mahesa Kelud. "Mengapa kau urungkan niatmu untuk membunuh aku, Wulan? Teruskanlah! Aku laki-laki hidung belang. Manusia kotor. Teramat pantas untuk lekas-lekas mampus! Teruskanlah, Wulan! Aku memang manusia berdosa!"

Tangis gadis itu semakin keras. Akhirnya Mahesa Kelud membuka kedua matanya kembali dan memandang kepada Wulansari dengan hati haru campur kecewa. Rasa kasih sayang kemudian membuat pemuda itu melangkah mendekati kekasihnya dan mengambil pedang yang menggeletak di tanah lalu menuntun Wulansari ke sebuah batu besar ditepi jalan dan mendudukkannya di sana.

Mahesa menunggu sampai tangis gadis itu mereda. Sesudah tangis Wulansari mulai mereda maka Mahesa segera menuturkan peristiwa besar yang telah menimpa dirinya akibat kejahatan terkutuk dari Sitaraga alias Iblis Buntung itu! Pada akhir keterangannya Mahesa bertanya. "Kau kini percaya padaku, Wulan?"

Gadis itu mengangguk di antara isakannya. Mahesa menyeka butiran-butiran air mata yang basah menderai di pipi lembut kekasihnya. "Mahesa...."

"Ya, adikku?"

"Kau... kau mau maafkan aku? Tadi aku sudah bicara kasar dan...."

Mahesa menutup bibir gadis itu dengan silangan jari telunjuk. "Orang kalap dan marah bisa berbuat dan berkata apa saja. Aku sudah maafkan kau adik...."

Wulansari sembunyikan kepalanya di dada pemuda itu. "Kau tidak marah, Mahesa...?"

'Tidak," bisik Mahesa ke telinga kekasihnya. Lalu mencium belakang telinga gadis tersebut. "Bagaimana kalau Kemaladewi dan gurunya mencarimu?"

"Ya... bagaimana," desis si pemuda dalam hati. Dia berdiam diri tak bisa berikan jawaban beberapa lamanya. Kemudian sambil membimbing berdiri dia berkata: "Biarlah tak usah kita bicarakan lebih lanjut persoalan itu. Ingat pesan guru. Mari kita pergi ke selatan...."

***
LIMA

MALAM pekat menggelap. Jari di depan matapun tidak kelihatan! Hujan mencurah deras seperti dituang dari langit. Angin dahsyat membawa udara dingin menusuk sumsum menyembilu. Guntur menggelegar bilangan kali. Penghuni hutan yaitu binatang-binatang buas gelisah dalam buruknya cuaca. Harimau mengaum, singa menggereng, gajah lari melanda semak dan merobohkan pepohonan. Serigala melolong. Gorila memekik dahsyat. Ular menggelung mendesis.

Sejak pagi tadi udara seperti itu, hujan tiada hentinya. Air sungai meluber membanjiri daerah yang dilewati arusnya. Samudera menggelombang. Malam masih lama sampai pada paginya dan hujan juga tidak hendak akan berhenti, terus mengucur bumi, seperti seorang mabok yang terus juga membasahi rangkumannya dengan arak dan tuak! 

Tiada malam sengeri itu. Udara dingin, angin keras. Pemandangan mata tertutup oleh air hujan lebat serta kepekatan. Bila kilat menyambar, alam terang sekejap lalu gelap menyelubung kembali!

Sekali lagi kilat menyambar maka sekelebatan kelihatanlah dua manusia berlari ke jurusan selatan. Siapakah keduanya yang begitu gila malam-malam demikian berada di udara terbuka yang sangat buruk, dikala angin membadai, hujan menderas?

Kilat menyambar lagi. Hanya sekejapan mata tapi itu sudah cukup untuk melakukan penelitian bagi sepasang mata yang tajam yang kebetulan memandang ke bawah lembah.

"Mahesa! Lihat di bawah sana!" Mahesa Kelud putarkan kepala. Tapi sinar kilat sudah lenyap dan pemandangan tertutup kembali oleh kegelapan. "Apa yang kau lihat Wulan?!"

"Telaga berair putih!"

Pemuda itu terkejut dan cekal lengan kekasihnya. "Kau tidak salah lihat?!"

"Pasti tidak."

"Kalau begitu... mari!"

Keduanya lari lagi di bawah lebatnya hujan. Suara lari mereka menderu memapasi angin. Bila kilat menyambar lagi maka keduanya sudah sampai ke tepi telaga. Cukup sekejapan mata saja yaitu ketika kilat menyambar tadi maka mereka sudah dapat melihat keadaan telaga dan sekitarnya. Telaga itu tidak seberapa luas. Airnya putih seperti salju. Dan anehnya dari dalam telaga tersebut mengepul asap putih.

Air hujan seperti tidak sanggup untuk menembus kepulan asap tersebut. Dan bila tanah-tanah leguk di sekitar lembab itu sudah pada luber dan banjir oleh air hujan yang menyanak maka air telaga sama sekali tetap tidak bertambah, tidak membanjir! 

Berdiri di tepi telaga tersebut, Mahesa Kelud dan Wulansari dapat merasakan hawa panas yang memancar dari dalam telaga! Inilah suatu keajaiban yang sukar dipercaya. Bahwasanya di tengah malam yang buta dingin, udara seperti salju menyembilu, air hujan turun deras menggebubu, telaga itu sama sekali tidak menjadi ikut tertelan hawa dingin, bahkan sebaliknya mengeluarkan kepulan asap panas!

Kalau tadi tubuh kedua kekasih itu basah kuyup oleh air hujan maka air hujan itu kini bercampur baur dengan butiran-butiran keringat! Baik Mahesa maupun Wulansari terpaksa undur sampai sepuluh langkah menjauhi tepian telaga! Mahesa Kelud memasang telinganya tajam-tajam ketika Wulansari di sampingnya menyentuh lengannya dan membisik.

"Kau dengar suara sesuatu, Mahesa?"

"Ya" sahut pemuda itu dengan berbisik pula. 

"Suara orang menyanyi.... Aneh!"

Memang adalah aneh bila di malam begitu rupa ada seseorang menyanyi! Mahesa memandang ke arah telaga dan berkata, "Suara nyanyian itu datang dari dalam telaga!" katanya kemudian.

"Betul. Tapi tidak mungkin bila ada seseorang di dalam telaga itu. Diam di sana dan menyanyi pula!"

"Tapi suara nyanyian itu memang datang dari sana!"

Keduanya berdiam diri pasang telinga. Mula-mula suara nyanyian itu hanya lapat-lapat kedengarannya karena suara air hujan yang deras dan angin yang membadai. Ketika suara hujan serta angin itu mengendur sedikit maka suara nyanyian agak menjelas.

"Bila hujan meninggi langit
Bila angin membadai laut
Bila gelap memekat malam
Duniapun menjadi gila

Manusia menjadi edan
Mengapa gila?
Tidak tahu...
Mengapa edan...?
Tidak tahu...

Mungkin inginkan ilmu
Mungkin inginkan nama
Mungkin antarkan nyawa..."


Suara nyanyian baitnya berakhir sampai di situ untuk kemudian di ulang lagi dari bait pertama, "Bila hujan meninggi langit... Bila angin membadai laut..." dan seterusnya sampai berulang kali.

"Mahesa," bisik Wulansari. "Mungkinkah nyanyian itu ditujukan kepada kita...?"

"Boleh jadi," sahut si pemuda.

"Apa yang kita lakukan?"

"Tunggu saja sampai hari terang."

Beberapa lama kemudian. Hembusan angin mulai pelahan. Dinginnya udara mulai berkurang, derasnya hujan mulai mereda. Di ufuk timur kelihatan seberkas sinar terang tanda surya dalam waktu singkat akan segera munculkan diri, tanda siang akan menggantikan malam.

Sejak malam tadi suara nyanyian diulang-ulang itu tiada kunjung berhenti. Anehnya ketika pantulan pertama sinar matahari menyentuh atas telaga maka mendadak sontak hilang lenyaplah suara nyanyian. Air telaga yang putih laksana salju itu membuih mendidih, menggelagak menggejolak, seakan-akan di bawah, di dasar telaga menyala api besar.

Kepulan asap menjadi-jadi dan panasnya udara di sekitar telaga tiada tertahankan sehingga Mahesa dan Wulansari terpaksa mundur lagi menjauh dan berlindung di balik batang kayu besar!

Didahului oleh suara jeritan panjang membelah langit maka tiba-tiba kelihatanlah air telaga muncrat ke atas sampai tujuh tombak tingginya! Sedetik kemudian ke tepi telaga melompat satu makhluk aneh seram. Tubuhnya tinggi sekali, hampir mencapai dua setengah meter.

Tidak selembar pakaianpun yang dikenakannya. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki tertutup oleh bulu-bulu panjang dan tebal berwarna putih mengapas. Hidung dan mulutnya sama sekali tidak kelihatan oleh tebal panjangnya bulu-bulu itu. Hanya sepasang matanya yang besar merah memandang menyorot menyeramkan.

Mahesa dan Wulansari yang sembunyi di balik pohon tidak dapat memastikan apakah makhluk aneh tersebut seorang manusia, atau raksasa, atau binatang ataupun setan penghuni telaga! Juga apakah makhluk ini yang menyanyi semalam-malaman tadi? Makhluk aneh dongakkan kepala ke langit. Sinar matahari memantul di kedua matanya yang merah seram. Lalu terdengarlah suaranya menyanyi.

Pohon besar banyak gunanya
Daun rindang burung bersarang
Batang besarnya untuk kayu papan
Ranting keringnya untuk kayu api
Manusia serendah lipas
Ingin unjukkan nyali besar
Tapi sembunyi di balik pohon


Makhluk aneh itu tiba-tiba angkat tangan kanannya lalu dipukulkan ke muka. Serangkum sinar putih, setiup angin dahsyat melesat menyilaukan mata ke pohon besar di balik mana Mahesa Kelud dan Wulansari berlindung!

"Bum!"

"Krak!" Pohon besar itu patah batangnya dan tumbang dengan menimbulkan suara hebat sekali. Kedua kekasih berlompatan jungkir balik selamatkan diri. Keringat dingin mengucur di kening mereka yang kini berkulit pucat.

"Makhluk aneh? Mengapa menyerang kami?!" tanya Mahesa.

Makhluk itu tertawa keras. Suara tertawanya mengandung tenaga dalam luar biasa hebatnya sehingga tanah bergetar dan daun-daun pohon bergemerisikan! "Kalian kunyuk-kunyuk yang terlalu berani! Kalian andalkan apa datang mengotori tempatku?"

Mahesa cepat menjura. "Harap maafkan kalau kami mengganggu ketenteramanmu, makhluk gagah...."

"Jangan memuji!" bentak makhluk itu.

"Makhluk aneh, kami murid-muridnya Suara Tanpa Rupa!" berkata Wulansari. Dia berharap sang guru adalah dikenal baik oleh makhluk tersebut.

"Aku tidak tanya!" semprot si makhluk. "Tahu apa akibatnya datang ke tepi telaga ini?!"

"Kami tidak bermaksud buruk. Kami...."

"Kunyuk! Aku tanya tahu akibat datang ke telaga ini?!"

'Tidak," jawab Mahesa.

Makhluk aneh tertawa keras. "Mampus direbus dalam telaga mendidih!"

Detik berakhirnya ucapannya itu maka tubuhnya lenyap dari pemandangan. Tahu-tahu Mahesa dan Wulansari merasakan tengkuk mereka dicekal oleh jari-jari tangan yang kuat dan besar-besar serta berbulu. Terdengar suara tertawa si makhluk aneh. Tubuh sepasang kekasih itu kemudian dilemparkan ke dalam air telaga putih yang mendidih dan mengepulkan asap! Mahesa dan Wulansari menjerit keras. Keduanya tahu bahwa tamatlah segera riwayat mereka.

"Byur! Byur!" Tubuh mereka susul menyusul masuk ke dalam air telaga! Aneh di balik aneh! Apa yang terjadi nyatanya tidak sebagaimana yang diduga kedua orang tersebut. Air telaga putih yang mendidih menggejolak, mengepulkan asap putih berhawa panas nyatanya sejuk dingin! 

Mahesa Kelud dan Wulansari berenang di tepi telaga. Tapi kali ini terjadi lagi keanehan. Karena bagaimanapun mereka coba berenang mencapai tepi telaga tapi tetap tidak berhasil. Keduanya berenang lurus ke muka.

Menurut pikiran mereka dan memang semestinya begitu, pasti mereka akan mencapai tepi telaga dalam waktu yang singkat. Namun nyatanya keduanya hanya berputar-putar di situ-situ juga seakan-akan telaga kecil itu adalah satu samudera raya yang luas, tiada berujung tiada bertepi!

Mereka mulai lemas. Napas menyengal dan tenaga mengendur. Mahesa coba andalkan ilmu mengentengi tubuhnya untuk membuat lompatan ke udara, tapi seperti ada tenaga kuat aneh menahan gerakan kedua kakinya ke atas hingga dia tak sanggup membuat lompatan tersebut!

Sementara kedua kekasih itu mati-matian berenang ke sana-sini untuk mencapai tepi telaga maka si makhluk aneh Api Salju tiada hentinya mengeluarkan suara nyanyian. Baik Mahesa maupun Wulansari tidak sempat lagi untuk dengarkan atau ambil perhatian akan apa yang dinyanyikan Api Salju itu. Keduanya sibuk berusaha untuk selamatkan diri dari telaga berair dingin seperti salju! 

Sehabis daya sehabis usaha keduanya kini tak sanggup lagi berenang bahkan menggerakkan tubuhpun tidak dapat! Kaki, tangan, sekujur tubuh mereka dingin kaku, kejang! Dan perlahan-lahan tubuh mereka amblas ke dalam air sedingin salju itu.

"Wulan!" seru Mahesa ketika air sudah mencapai lehernya. "Umur kita hanya sampai di sini rupanya!"

"Aku tidak penasaran mati di sampingmu, kakak!" sahut Wulansari.

Kedua matanya basah oleh air mata dan tubuhnyapun lenyap di telan air. Mahesa meramkan mata, tak sanggup dia menyaksikan lenyapnya kepala kekasihnya itu. Sebentar kemudian tubuhnya sendiripun amblas pula menyusul!

* * *
ENAM

KITA tinggalkan dahulu dua kekasih yang amblas ke dasar telaga itu. Entah keduanya masih dapat hidup, entah mereka akan berkubur di situ. Kita kembali pada seorang gadis jelita yang hidupnya telah dirusakkan oleh kebejatan hati dan kebusukan budi Si Iblis Buntung Sitaraga, yaitu Kemaladewi, murid Dewa Tongkat dari Lembah Rotan.

Sejak hari perpisahannya dengan Mahesa Kelud, sejak hari kembalinya gadis itu ke tempat kediaman gurunya maka sikap dirinya jauh berbeda dari sebelumnya. Kemala yang dahulu merupakan seorang gadis riang gembira, suka tertawa banyak bicara, sering melucu, kini berubah menjadi seorang gadis pendiam. Sepanjang hari senantiasa dia mengurung diri di dalam kamarnya.

Kalau tidak gurunya memanggil, dia tidak keluar. Bicarapun tidak banyak dan dia baru membuka mulut jika ditanya. Perubahan sikap ini tentu saja diketahui oleh Dewa Tongkat. Sang guru menduga bahwa muridnya gadis remaja itu tengah memikirkan dan melamuni seorang perjaka, seorang pemuda. Biasa demikian keadaannya jika seorang gadis tertambat hati di mabuk asmara!

Memang benar bahwa Kemaladewi tengah memikirkan perjaka. Memang betul! Bahwa gadis itu tengah lamunkan seorang pemuda! Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Dunia ciptaan Tuhan berputar juga terus, siang berganti malam, malam digantikan siang. Sudah empat kali bulan purnama muncul tapi orang yang diharap datang tak kunjung muncul! Mahesa Kelud tidak menampakkan diri!

Kegelisahan Kemaladewi tidak dapat diperkirakan karena merasakan perubahan yang terjadi pada dirinya. Dia sering muntah-muntah. Dia gemar pada makanan yang asam-asam! Dan hari kehari dirasakannya betapa perutnya tambah membesar. Dirasakannya betapa di dalam perut itu ada sesuatu yang bernafas, yang berjiwa, yang bergerak! Dia tahu dia hamil! Inilah yang dicemaskan dan digelisahkannya sepanjang hari!

Kandungannya bertambah besar juga sedang Mahesa Kelud, ayah dari anak yang dikandungnya itu tiada kunjung muncul! Berapa lama lagikah dia bisa menunggu? Berapa lama lagikah dia dapat menyimpan keadaan rahasia dirinya itu pada gurunya? 

Hampir setiap malam gadis ini tiada dapat picingkan matanya. Hampir setiap malam dia selalu menangis mengenang nasibnya yang malang dan mengingat Mahesa yang tak kunjung datang. Dia hampir-hampir putus asa. Kalau saja tidak ingat kepada Tuhan maulah rasanya dia menggorok leher menikam dada, bunuh diri!"

Bulan yang kelima kandungannya semakin besar dan semakin kentara. Kemaladewi, tak tahu lagi apa yang diperbuatnya. Akhirnya, di satu malam buta, secara diam-diam gadis itu melarikan diri dari pondok gurunya. Tak tahu ke mana dia harus pergi membawa untung perasaannya tak tahu dia kemana akan melangkahkan kaki membawa nasib malangnya!

Dua bulan dia berkeliling ke pelbagai penjuru mencari Mahesa Kelud. Dan dalam dua bulan itu kandungannya sudah membesar juga. Keadaan gadis ini sangat menyedihkan sekali. Dan tak sanggup lagi dia melanjutkan perjalanan. Suatu hari berhentilah Kemaladewi di tengah hutan. Dia duduk menjelepok di bawah sebatang pohon dan menangis tersedu mengenangi nasibnya yang malang itu.

Mendadak terdengar suara mengaum! Kemaladewi terkejutnya bukan main dan turunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Sepuluh tombak dihadapannya, diantara rerumputan semak belukar muncul kepala seekor harimau besar. Mulutnya menguak lebar memperlihatkan gigi serta taringnya yang panjang besar dan runcing! 

Suara aumannya menggetarkan rimba raya. Menggerinding bulu tengkuk gadis itu. Dia segera hendak berdiri karena yakin bahwa dalam sekejapan mata lagi pasti binatang buas itu akan melompat menerkamnya! Tapi mendadak sontak niatnya untuk selamatkan diri itu dibatalkannya! Kemala teringat pada nasib dirinya! Dalam keadaan serba menderita lahir dan bathin seperti itu, apalagi gunanya hidup?

Mahesa Kelud, manusia yang dicarinya dan bertanggung jawab tidak kunjung bertemu. Dari pada terus hidup menanggung malu memiliki anak tanpa ayah bukankah sebaiknya dia biarkan saja harimau itu mengoyak-ngoyak tubuhnya? Bukankah lebih baik mati dan bukankah memang sudah sejak lama dia kepingin mati?!

Gadis itu duduk kembali tenang-tenang. Si raja hutan buka mulutnya lebar-lebar dan mengaum. Kedua kaki mukanya diulurkan panjang-panjang sedang kepalanya merunduk. Binatang ini menggereng lalu melompat! Kemaladewi pejamkan mata. Dia rela menerima nasib demikian dari pada hidup terus!

Raja hutan yang lapar buas itu baru saja membuat setengah lompatan ketika setiup angin laksana badai menghantamnya dari samping kiri! Harimau itu mengaum dahsyat. Tubuhnya mental dan terguling di tanah sampai beberapa tombak jauhnya. Dan bersamaan dengan itu terdengar suara tertawa berkekehan disusul dengan ucapan-ucapan.

"Biung... bah! Ciluk! Ada kucing... eh kucing besar hendak makan tikus... eh tikus besar. Biung... biung! Ciluk, baaa...!!!" Sehabis ucapan itu terdengar suara langkah menggetarkan tanah!

Menyadari adanya hal yang aneh terjadi dihadapannya saat itu, Kemaladewi segera buka matanya! Apa yang dilihatnya hampir tak dapat dipercaya. Makhluk aneh melangkah besar-besar dihadapannya. 

Tubuhnya sebatas leher ke bawah tak ubahnya seperti seekor lutung besar, berbulu hitam tebal. Sebaliknya mukanya adalah muka manusia muda berparas gagah meskipun rambutnya panjang sampai ke bahu dan awut-awutan! Setiap langkah yang dibuat makhluk setengah manusia setengah lutung ini menggetarkan tanah dan menimbulkan angin. Debu dan pasir beterbangan!

Di samping kiri kelihatan harimau tadi tengah siap pula hendak melompat. Yang diserangnya kini adalah makhluk aneh tersebut. Harimau melompat. Makhluk aneh melangkah terus acuh tak acuh. Tapi dari kaki kanannya melesat angin tendangan sekuat topan. Tubuh harimau besar yang mengapung di udara mental dan kali ini tak ampun lagi, kepalanya pecah!

Kejut Kemaladewi bukan alang kepalang. Pastilah makhluk aneh ini memiliki kesaktian hebat luar biasa. Tanpa pikir panjang lagi gadis yang tengah hamil delapan bulan itu tegak dan jatuhkan diri di hadapan si makhluk. Karena tak tahu harus memanggil apa maka Kemaladewi berlutut dan menjura. Tapi makhluk tersebut tidak acuhkan dia melainkan melangkah terus seenaknya.

"Krak... krak... krak!"

Tubuh harimau mati yang terpijak oleh kedua kakinya berpatahan tulang-tulangnya! Selewatnya mayat harimau makhluk itu balikkan tubuh dan melangkah lagi ke jurusan Kemala, lewati gadis itu, kemudian membalik lagi dan begitulah dia mondar-mandir sampai beberapa kali.

Pada kali yang keempat makhluk itu lewat di depannya, Kemaladewi segera menjura dan berkata: "Saudara penolong, terima kasih atas pertolonganmu...."

Makhluk itu melangkah terus seenaknya. 
"Eh, siapa tolong siapa...? Biung... biung... Ciluk!"

"Kau, kau telah menolong aku dari terkaman harimau itu!" sahut Kemaladewi.

"Eee... eh. Kucing mau makan tikus tapi keburu mampus! Biung... biung!" Makhluk itu melangkah terus. Karena dia terus menerus melangkah di tempat yang sama maka mayat harimau yang menggeletak di tanah lama-lama menjadi hancur sama rata dengan tanah!

Kemaladewi tak habis heran melihat sikap orang itu. Bukan saja keadaan tubuhnya aneh, tapi gerak gerik dan kata-katanya pun aneh atau lebih tepatnya seperti lagak seorang gila.

"Saudara penolong, kau siapakah?" tanya Kemaladewi beranikan diri.

"Biung... biung ciluk! Baaa....! Siapa tanya siapa?!"

"Aku Kemaladewi...."

Makhluk itu tertawa aneh, lama dan panjang. Dia masih juga melangkah mundar-mandir. "Biung... biung, mengapa perutmu melendung?!"

Paras gadis itu menjadi merah karena malu.

"Eee... mengapa pipimu menjadi merah seperti bulan empat belas hari? Biung! Biung!"

Kemaladewi menggigit bibir. Kalau saja bukan makhluk aneh ini yang telah menolongnya tadi dari terkaman harimau maulah dia mencaci maki dan mendampratnya habis-habisan!

"Dewi Kemala," kata si makhluk menyebut nama gadis itu dengan terbalik! "Biung! Kau belum menjawab mengapa pipimu merah!"

"Saudara penolong, aku berhutang nyawa padamu. Tapi aku tak suka kalau kau bicara kurang ajar!" kata Kemaladewi.

Makhluk itu melangkah terus mundar-mandir dan tertawa dalam-dalam. "Aku kurang ajar? Memang kurang ajar! Biung! Mulutku harus ditampar!" Dia menggerakkan tangan kanannya. "Plak!" Tamparannya membuat parasnya yang gagah jadi merah.

Dugaan Kemaladewi bahwa makhluk aneh ini berotak miring alias gila semakin besar. Dia coba mengingat-ingat. Menurut gurunya dalam dunia persilatan ada beberapa tokoh sakti berotak miring. Diantaranya yang bernama Orang gila, Setan Sedeng, dan Tua Edan. Yang manakah makhluk yang disaksikannya saat itu?

"Saudara, apakah kau bukannya Setan Sedeng?" tanya Kemaladewi.

"Tobat biung!" Makhluk itu tertawa gelak,gelak. "Apakah parasku seperti setan?"

"Tidak memang..." mengakui gadis itu.

"Apakah aku sedeng?"

"Aku tidak tahu...."

"Goblok!"

"Siapa yang goblok?!" tanya Kemaladewi.

"Aku!" 
Dan makhluk itu tertawa. Kemaladewi juga jadi tertawa geli.

"Eeee biung! Kenapa ketawa?!"

Kemaladewi berdiri.

"Eee, kau mau ke mana Dewikemala?"

"Namaku Kemaladewi, bukan Dewikemala!" ujar si gadis.

"Biung, mau ke mana!"

"Meneruskan perjalanan!" jawab gadis itu. Sebenarnya dia berdiri hanya letih berlutut.

"Berjalan ke mana?"

Kemala tak menyahut karena memang dia tak tahu harus pergi ke mana. Si makhluk lewat lagi untuk kesekian kalinya dihadapannya.

"Eeee... perutmu melendung. Kau bunting ya?!"

"Aku tidak suka bicara macam begituan!"

"Kenapa tidak, biung!"

"Sudah!"

"Oooooo, kau marah ya? Nanti lekas tua!"

"Biar tua!"

"Nanti cepat mati!"

"Aku memang mau mati!"

"Biung! Tidak kasihan anakmu yang di dalam perut?!"

Kemaladewi terkesiap. Mulutnya terkunci. Tiba-tiba makhluk aneh menangis. Tangisnya sedih mendalam merawankan hati menyayat jantung. Tidak sadar, ingat pada nasibnya sendiri, tanpa terasa lagi Kemaladewi mulai pula mengisak. Si makhluk hentikan tangisnya.

"Kenapa kau terisak?" tanyanya. "Aku menyakitimu, ciluk?!"

Kemala menggeleng. Dia memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu.

"Eeeee... tunggu, kau mau kemana biung?!"

Si gadis melangkah terus tak acuhkan pertanyaan si makhluk gila. Makhluk itu hentikan langkah dengan terpaksa dan memburu.

"Dewikemala, kau... tunggu dulu." Diulurkannya tangannya yang berbulu memegang bahu gadis itu.

Kemala balikkan tubuh. "Jangan sentuh!" teriaknya marah.

Makhluk itu tarik tangannya cepat-cepat. Parasnya pucat tanda dia takut sekali akan kemarahan Kemaladewi.

"Kau mau apa!"

"Biung... aku... aku tanya mau ke mana kau?"

"Ada urusan apa?!"

"Aku ingin ikut bersamamu...."

Gadis itu terkejut sekali. "Gila!"

"Aku memang gila ciluk!" mengakui si makhluk. Ucapannya perlahan. Nada dan parasnya rawan, menyedih. Diam-diam si gadis merasa hiba terhadapnya.

"Mengapa kau ingin ikut denganku, saudara?"

"Karena aku kasihan pada kau dan...."

"Dan apa?"

"Dan aku suka padamu. Aku ingin dekat-dekat padamu...."

Merah wajah si gadis. Tangannya dipentang. "Plak!" Tamparannya mendarat di pipi makhluk tersebut. Anehnya si makhluk Cuma tundukkan kepala. Ketika dia angkat kepala, kelihatanlah matanya berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa, tanpa tunjukkan sikap otak miringnya, dia putar tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu.

Kemaladewi termangu. "Hai tunggu!" Serunya tiba-tiba. 
Makhluk itu hentikan langkah. "Kalau aku ajak kau, kau mau turuti segala perintahku?"

Yang ditanya mengangguk. "Kau berjanji tidak akan berbuat kurang ajar?"

Makhluk itu mengangguk lagi.

"Namamu siapa?"

"Lutung Gila."

"Baik, kau boleh ikut aku Lutung Gila."

Lutung Gila tertawa gembira dan bertepuk tangan serta berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Tiba-tiba dia hentikan semua perbuatannya itu. "Tapi, bagaimana dengan suamimu, ciluk! Tentu dia cemburu dan marah bila melihat kita jalan sama-sama...."

"Aku tidak punya suami."

Lutung Gila melongo bengong. "Biung ciluk! Kalau kau tak punya suami bagaimana... bagaimana perutmu... ah! Aku tidak mengerti!"

"Lain hari aku terangkan padamu, Lutung Gila." Kemala terkesiap sejurus, mengapa dia menjanjikan hal itu kepada makhluk aneh? "Nah Lutung Gila, mari kita pergi."

"Mari. Kemana kita...?"

Sebenarnya gadis itu sendiri tak tahu kemana harus pergi. Dia berpikir-pikir. "Kita mencari dua manusia dajal!" katanya kemudian.

"Biung! Dua manusia dajal? Siapakah ciluk?!"

"Pernah dengar tentang seorang perempuan jahat berjuluk Iblis Buntung?"

"Pernah. Mengapa dia?"

Karena percaya pada Lutung Gila, Kemala tak malu-malu lagi menuturkan secara singkat perbuatan jahat Si Iblis Buntung alias Sitaraga. Lutung Gila menarik napas dalam dan golengkan kepala.

"Iblis Buntung bukan lawan enteng ciluk! Tempatnya tidak tetap. Aku tidak remehkan kau, tapi sepuluh manusia macammu bisa dilalapnya mentah-mentah!"

Kemaladewi mengkerutkan kening. Apa yang diucapkan Lutung Gila memang benar. Tiba-tiba dia mendapat akal. "Kalau begitu percuma kau ikut aku jika nanti tak mau menolong!"

"Biung! Maksudku bukan demikian ciluk. Baa...! Untukmu aku berani taruhkan nyawa! Tapi sebelum mencari musuhmu itu sebaiknya kau ikut aku ke tempatku!"


TUJUH

"PERLU apa aku pergi ke sana! Tidak sudi!"

"Icuh... icuh! Tempatku memang buruk! Kotor! Tak pantas didatangi gadis macammu! Tapi kalau kau tahu di sana ada siapa, kau pasti mau datang!"

Kemaladewi jadi tertarik. "Memangnya ada siapa di tempatmu?" tanya gadis ini. "Ada Raja Lutung."

"Siapa dia?"

"Kawan dan guruku! Kau tahu ciluk! Ilmunya banyak. Kalau kau ke sana kau pasti diberinya pengajaran dan kita bisa berlatih!"

Kemaladewi semakin tertarik. Dia sudah menyaksikan kehebatan makhluk gila ini tadi. Kalau Raja Lutung adalah gurunya tentu Raja Lutung seorang yang luar biasa dahsyatnya, banyak ilmu dan sakti!

"Biung ciluk...! Kau mau pergi...?" Gadis ini masih berpikir-pikir. "Kalau kau dapat ilmu dari kawanku, kau pasti bisa kalahkan Sitaraga? Dan kau pasti bisa mencari itu pemuda yang tidak bertanggungjawab. Kau suka pergi, ciluk...?!"

"Aah..."

Lutung Gila tertawa lebar. Parasnya menarik sekali cuma sayang keadaan tubuhnya yang seperti binatang itu. "Tempatku memang jauh. Di pulau Bawean! Di tengah Laut. Tapi kau tak usah khawatir, aku sedia menggendong kau ke sana ciluk. Man,..."

"Cis! Siapa sudi digendong sama kau!" tukas Kemaladewi menjauh.

"Dengan jalan kaki sampai kiamat kita baru sampai ke sana ciluk!"

"Aku sanggup berlari," sahut Kemaladewi.

"Eeeee... perutmu yang gendut itu mau dikemanakan? Kau mau anakmu memberojot di tengah jalan...."

"Lutung Gila! Jaga mulutmu!" bentak Kemala.
"Ayo, kau larilah, biar aku ikuti dari belakang!" kata Kemaladewi.

"Icuh... icuh! Jangankan lari, melangkahpun aku kau belum tentu bisa mengejar Ciluk!" kata Lutung Gila. Makhluk itu putar tubuhnya dan melangkah.

Anehnya, Kemala melihat jelas bahwa Lutung Gila hanya membuat tak lebih dari lima langkah, tapi tahu-tahu sudah berada lebih dari lima belas tombak di muka sana! Kemala segera lari menyusul. Namun betapapun dia kerahkan tenaga dalamnya, betapapun dia keluarkan ilmu lari ajaran gurunya Si Dewa Tongkat tetap saja dia tak bisa menyusul.

Lutung Gila yang melangkah seenaknya, tapi tetap saja dia ketinggalan sampai dua tiga puluh tombak di belakang! Sialnya Lutung Gila melangkah itu sambil tiada hentinya menyanyi! Nafas Kemaladewi menyengal. Perutnya sakit. Dia terpaksa hentikan larinya.

"Lutung Gila!" serunya. Tunggu!"

Lutung Gila menghentikan langkahnya dan membalik. "Biung, ada apa?! serunya bertanya.

"Larimu terlalu cepat...!"

"Eeee... siapa bilang aku lari? Hik... hik!"

Kemaladewi melangkah ke hadapan Lutung Gila.

"Eee... kenapa hidungmu kembang kempis kenapa pipimu merah, kenapa parasmu megap-megap dan kenapa kau keringatan, ciluk?!"

"Kenapa... kenapa! Kau yang lari terlalu cepat!"

"Aku tidak lari, ciluk!"

"Lari atau tidak tapi kau tinggalkan aku!" ujar Kemaladewi.

"Icuh... icuh! Lutung Gila tadi sudah bilang agar digendong tapi kau keras kepala mau lari! Kenapa salahkan Lutung Gila? Baaa...?!"

Gadis itu menggigit bibirnya terdiam. "Baiklah, kau boleh gendong aku," katanya kemudian dengan malu-malu.

"Na... na... naaa... coba dari tadi! Kan kau tidak letih ciluk!" Lutung Gila tertawa geli. Sekali tangannya bergerak maka tubuh Kemaladewi sudah berada di pundak kanannya. "Pegang rambutku erat-erat, ciluk!"

Kemaladewi memegang rambut Lutung Gila. Sekali makhluk itu enjotkan kaki ke tanah maka tubuhnya pun melesat laksana panah lepas dari gendewanya. Ilmu lari Lutung Gila luar biasa bukan main! Kemala hampir-hampir tak dapat melihat dengan jelas setiap pohon-pohon atau benda apa saja yang mereka papasi.

Daun-daun pohon bergemeresikan. Ranting-ranting bergoyangan. Debu dan pasir menggebubu beterbangan di belakang. Gadis itu tak ubahnya merasakan seperti duduk melayang di atas punggung seekor burung besar, dibawa terbang! Mereka tiba di tepi pantai. 

"Ciluk, kau tentu letih. Istirahatlah dahulu!" kata Lutung Gila sambil menurunkan Kemaladewi dari atas pundaknya.

"Lutung Gila, mengapa kau terus-terusan panggil aku dengan ciluk, ciluk!" tanya Kemaladewi seraya betulkan letak pakaiannya di bagian perut.

"Itu baaa... itu kemauanku!"

"Kemauan tinggal kemauan. Tapi apa artinya ciluk?"

"Artinya? Eeee... tidak tahu!"

Gadis itu geleng-gelengkan kepalanya. Waktu didukung di atas bahu tadi, sepanjang perjalanan dia telah menyaksikan dari dekat paras Lutung Gila. Kegagahan makhluk setengah manusia setengah lutung itu ternyata tidak mengecewakan hati si gadis. Sikap dan tutur katanya yang lucu, meski kadangkala kurang ajar menggemaskan tapi semuanya itu diliputi kejujuran.

"Dewikemala...."

"Lagi-lagi kau panggil namaku terbalik!" tukas Kemaladewi.

"Memangnya dibalik tidak bagus ciluk?"

"Sudahlah jangan bicara ngaco! Mari kita teruskan perjalanan."

"Letihmu sudah hilang?!"

"Siapa bilang aku letih?!"

"He he." Lutung Gila menyeringai. Barisan gigi-giginya rata dan putih berkilat. Dia menunjuk ke tengah lautan. "Kau lihat pulau di ujung sana itu?"

Kemala mengangguk.

"Kesanalah tujuan kita, pulau Bawean. Mari...." Lutung Gila hendak menaikkan gadis itu ke atas bahunya kembali.

"Eh, tunggu dulu, Lutung Gila."

Lutung Gila kerenyitkan kening. "Baaa... kau malu lagi digendong ya?! Tadi kenapa mau?!"

"Tidak... tidak malu," sahut si gadis meskipun parasnya kemerahan.

"Biung... Icuh icuh! Kalau pipimu kemerahan, parasmu tambah cantik ciluk!"

"Plak!" Tamparan Kemaladewi jatuh di pipi Lutung Gila.

Anehnya kali ini Lutung Gila tertawa keras dan senang. "Sudah dua kali... sudah dua kali!"

"Apa yang sudah dua kali?!" tanya Kemala.

"Sudah dua kali kau tampar aku, aduh biung!"

"Kau mau ditampar lagi?!"

"Mau eh tidak! Hi hik hik!" Lutung Gila tertawa geli. Si gadis menggigit bibir menahan gelaknya. "Sudahlah ciluk, mari kita berangkat."

"Lutung Gila, dengan apa kita ke pulau itu?"

"Baa... dengan apa tanyamu? Dengan kaki tentunya ciluk!"

"Lutung Gila, biar otakmu miring tapi jangan terus-terusan bicara main-main denganku!" memperingatkan Kemaladewi karena merasa diperolokkan.

"Biung! Siapa mainkan siapa?"

"Kau! Masakan menyeberangi lautan dengan jalan kaki?!"

"Habis?!"

"Dengan perahu tentunya!"

Lutung Gila tertawa gelak-gelak. "Kau belum tahu siapa Lutung Gila. Ah, marilah!"

Disambarnya pinggang Si gadis, dinaikkannya ke atas pundak. Lalu berlarilah dia menghambur ke laut! Apa yang dilihat Kemaladewi benar-benar hampir tak masuk diakalnya. Dari gurunya memang dia pernah dengar semacam ilmu yang bisa dipergunakan untuk jalan atau lari di atas air.

Tapi baru hari inilah dia menyaksikan ilmu luar biasa tersebut! Dengan mendukung Kemaladewi di atas pundaknya, Lutung Gila berlari cepat di atas permukaan air laut, memapasi gelombang-gelombang kecil yang menggulung menuju tepi pantai, air laut bermuncratan di kiri kanan dan di belakang kedua kakinya!

"Lutung Gila! Kau hebat sekali!" memuji gadis itu tanpa sadarnya.

Lutung Gila tertawa girang dipuji demikian rupa. Larinya dipercepat. "Aku tidak hebat, Lutung Gila tidak hebat! Ada lagi yang lebih hebat. Kawanku Si Raja Lutung! Dan dia pasti ajarkan berbagai ilmu kepadamu ciluk!" 

"Betul, Lutung Gila?"

"Betul... benar... sungguh... pasti! Biung icuh!"

Kemaladewi girang sekali mendengar itu. Pastilah dia akan memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Pastilah dia akan dapat menuntut balas terhadap Sitaraga dan pastilah dia akan berhadapan dengan Mahesa Kelud untuk minta pertanggung jawab pemuda itu!

Sejak duka derita melanda dirinya, sejak kehancuran hati menimpanya, sejak keputusasaan menyelubunginya maka sesungguhnya sejak saat itulah rasa rindu, rasa kasih sayangnya terhadap Mahesa Kelud, pemuda yang pernah dicintainya, berubah menjadi rasa benci yang berkobar menyala, mendendam berurat berakar!

Sitaraga biang racun penyebab bahala menghancurkan hidupnya dan Mahesa Kelud pemuda pengecut rendah budi tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya! Mahesa dan Sitaraga adalah sama saja! Demikianlah Kemaladewi mencap kedua orang tersebut!

Akhirnya mereka sampai juga ke pulau Bawean. "Oho, kita sudah sampai ciluk. Kita langsung ke goa!" kata Lutung Gila pula. Dia lari disela-sela pepohonan dan baru berhenti di hadapan sebuah mulut goa yang besar sekali!

"Icuh... icu...! Raja Lutung... kawanku... guruku, aku Lutung Gila kembali. Icuh icuh!" kata Lutung Gila seraya turunkan Kemaladewi ke tanah.

Sesosok tubuh setinggi tiga meter keluar dari dalam goa. Inilah Raja Lutung. Tubuhnya benar-benar seekor lutung dari kepala sampai ke kaki. Menggerindil bulu kuduk Kemaladewi melihat binatang ini, lebih-lebih ketika Raja Lutung memekik tinggi membuka mulut lebar-lebar memperlihatkan gigi-gigi serta taringnya yang besar panjang dan runcing!

"Icuh... icuh! Dewi... Raja Lutung tertawa menyambut kedatanganmu. Beri hormat kepadanya!"

Kemaladewi menjura. Raja Lutung memekik lagi melengking. Mau pecah rasanya anak telinga oleh pekikan yang dahsyat itu! Tiba-tiba Raja Lutung menerjang ke muka menyerang Kemaladewi! Dalam terkejutnya gadis itu masih sempat hindarkan diri. Tubuhnya menggelinding terkena sambaran angin serangan! Untungnya dia bisa membuat gerakan yang tidak membahayakan kandungannya. Sesaat kemudian dalam langkah grabak-grubuk tak karuan Raja Lutung menyerang lagi!

"Icuh... icuh! Haaa...! Dewi... kau untung... kau untung! Apa kataku! Lihat, kawanku tengah mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong! Ayo perhatikan gerakan kaki dan tangannya! Tirukan, kau pasti bisa!"

Kemaladewi meskipun kaget dan terheran tapi mengikuti juga apa yang dikatakan Lutung Gila. Serangan grabak-grubuk yang dilakukan oleh Raja Lutung tidak cepat, mudah diperhatikan dan ditiru. Dalam dua tiga kali saja Kemaladewi yang memang berotak cerdas sudah dapat melakukan gerakan-gerakan seperti yang dibuat Raja Lutung, bahkan ketika gerakannya dipercepat, maka beberapa jurus ilmu pukulan aneh itu sudah bisa difahaminya! 

Lutung Gila riang sekali dan bertepuk-tepuk tangan! "Baaa... yah... bagus! Hup... Icuh! Boaa... biung, kau hebat ciluk!"

Demikianlah, nasib yang malang melintang telah membawa Kemaladewi anak murid Dewa Tongkat ke pulau Bawean dimana diam seekor lutung sakti, dengan siapa kemudian gadis itu mendapat segala macam pengajaran ilmu aneh luar biasa, yang jarang ada tandingannya dalam dunia persilatan di masa itu!

***
DELAPAN

SIAPAKAH sebenarnya Lutung Gila? Di Ujung Kulon berdiam seorang Empu sakti bernama Empu Sora. Nama tokoh ini dalam kalangan dunia persilatan dikenal sebagai tokoh golongan putih. Empu Sora mempunyai beberapa orang murid. Seorang di antaranya adalah Jayengrana. Pemuda ini berparas cakap dan paling disayangi oleh Empu Sora. 

Tapi dasar di dunia ini bisa terjadi apa saja yang diluar dugaan dan kehendak manusia, maka pada suatu hari Jayengrana, telah membuat satu kesalahan besar, melanggar pantangan perguruan, memberi malu Empu Sora. Sesudah mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, yaitu digebuk seribu kali mulai dari kepala sampai ke ujung kaki maka Jayengrana diusir dari perguruan!

Gebukan-gebukan hukuman yang diterima pemuda itu membawa akibat yang tidak baik. Beberapa urat syarafnya putus rusak. Otaknya geger. Hingga pemuda gagah berilmu tinggi itupun menjadi miring otaknya. Hampir satu tahun lamanya dia malang melintang di rimba hijau, menimbulkan kejadian-kejadian yang menggemparkan dunia persilatan.

Sampai pada suatu hari di tengah rimba raya yang tiada tembus sinar matahari Jayengrana menemukan seekor lutung besar berada dalam keadaan terluka parah akibat patokan ular hijau berbisa! Jika tidak segera mendapat obat maka dalam tempo tiga hari tamatlah riwayat binatang itu!

Meskipun berotak miring, tapi segala pengajaran gurunya sama sekali tidak dilupakan oleh Jayengrana. Dia tahu betul bahwa bila seseorang dipatuk ular hijau, satu-satunya obat ialah dengan memamah dan mengunyah lidah ular hijau yang penuh racun itu. Antara racun yang dimamah dan racun yang mengalir dari liang luka akan terjadi bentrokan saling gempur hingga akhirnya racun itu akan lumpuh sendiri dan orang atau binatang yang tadi dipatuk akan sembuh!

Satu hari satu malam lamanya Jayengrana mencari ular hijau. Akhirnya sore hari kedua dia berhasil juga menemukan seekor binatang tersebut. Ketika dia kembali keadaan lutung raksasa itu sudah payah sekali. Jayengrana segera masukkan lidah ular hijau ke dalam mulut binatang itu.

"Kunyah! Kunyah! Telan... telan!" kata Jayengrana berulang-ulang.

Sang lutung rupanya tahu pula apa yang dikatakan Jayengrana dan memapak lidah ular hijau dalam mulutnya. Binatang itu kemudian jatuh pingsan. Tapi keesokan paginya lukanyapun sembuhlah! Ternyata lutung besar itu bukanlah binatang biasa! Jayengrana bersahabat baik dengannya dan suatu hari pemuda sinting itu dibawanya ke pulau Bawean dan disinilah Jayengrana diajarkannya berbagai macam ilmu aneh yang jarang kelihatan dalam kalangan persilatan!

Oleh Raja Lutung, Jayengrana diberikan sejenis pakaian yang terbuat dari kulit lutung. Pakaian itulah yang dikenakan Jayengrana dan tak pernah dilepas-lepaskannya! Jayengrana sering meninggalkan pulau Bawean, mengelana membuat kegegeran di kalangan dunia persilatan. Lambat laun diapun dikenal dengan julukan Lutung Gila!

***

Enam bulan berlalu...

Di pulau Bawean telah lahir seorang anak laki-laki. Anak Kemaladewi. Anak yang berumur beberapa bulan itu dinamakan Lutung Bawean. Yang sangat menyedihkan dan mengiris hati Kemaladewi ialah bila dia melihat paras oroknya karena paras orok tersebut sama sekali dengan paras Mahesa Kelud. Hidungnya, matanya, bibirnya... semakin besar semakin jelas lagi persamaan-persamaan itu!

Suatu hari Kemaladewi menggendong Lutung Bawean di tepi pasir pulau. Dia memandang ke tengah lautan. Lutung Gila tegak disampingnya. Kemala yang telah tahu riwayat Lutung Gila, bertanya pada Lutung Gila.

"Lutung Gila, kau ingat janjimu tempo hari bahwa kau akan patuh dan menurut setiap perintahku?"

"Icuh biung! Tentu saja!" jawab Lutung Gila. "Memangnya kau mau suruh aku apa, ciluk?"

"Dengar baik-baik, Lutung Gila. Kau harus berjanji padaku bahwa kepada siapapun kau harus katakan bahwa aku adalah istrimu."

Kedua mata Lutung Gila melotot besar. Mukanya memucat. Lalu dia tertawa terbahak-bahak. "Dunia sudah terbalik agaknya! Icuh-icuh! Kau atau aku yang gila, Dewi? Kau yang sinting atau aku yang sedeng? Icuh biung!" Dia tertawa lagi panjang-panjang.

"Lutung Gila!" bentak Kemaladewi.

Lutung Gila terkejut dan hentikan tertawanya. Dia jadi ketakutan sendirinya waktu melihat paras Kemaladewi yang membayangkan kemarahan.

"Kau mau turut kataku atau tidak, Lutung Gila?!"

"Ma... mau, eh tapi Dewi. Aduh biung!"

"Tapi apa?! Kau mau membantah ya?!"

"Tidak ciluk! Biung, biung. Baiklah... baiklah Dewi. Kepada semua orang akan kukatakan bahwa... bahwa kau adalah mertuaku..."

"Eh..." Meskipun geli, Kemala hampir tak dapat menahan kejengkelannya. "Bukan mertua, tapi istrimu! Tahu?!"

"Ya... yaaa. Pada semua orang, juga pada jin laut sekalipun akan kukatakan bahwa kau adalah istriku. Naaaah kau puas ciluk?"

"Belum!"

Lutung Gila kerenyitkan kening.

"Dengar. Bila ada orang yang bertanya-tanya anak siapa Lutung Bawean ini maka kau harus jawab dia adalah anakmu. Mengerti?!"

"Tobat biung!" seru Lutung Gila. Dia mundur beberapa langkah dan memandang penuh heran pada Kemaladewi. "Mana mungkin ciluk! Mana mungkin aku Lutung Gila bisa beranak! Aku laki-laki, pasti semua orang tidak mau percaya! Tobat biung! Tobat biung! Siapa sedia dibilang jadi banci? Laki-laki beranak! Tobat!"

"Eee Lutung Gila! Jangan ngaco! Bukan kau yang beranak tapi aku. Aku istrimu dan anak ini adalah anakmu dilahirkan dariku! Jelas?!"

"Aduh biung... susah! Susah kalau begini! ujar Lutung Gila.

"Susah! Susah! Apa yang disusahkan?! Bilang saja kau tidak mau patuhi perintah!" semprot Kemaladewi.

"Icuh... tidak... tidak. Tapi... aduh baiklah Dewi. Baik! Aku turut kata-katamu. Tobat biung...! Tobat!"

***

Lembah Rotan...

Menghilangnya Kemaladewi, murid satu-satunya dari Dewa Tongkat sangat merusuhkan hati orang tua sakti tersebut. Tak tahu dia kemana gadis itu pergi dan apa yang menyebabkannya pergi namun dia maklum bahwa ada sesuatu peristiwa besar yang terjadi atas diri muridnya itu.

Beberapa bulan sudah berlalu maka Dewa Tongkat mendengar kabar bahwa muridnya itu berada di pulau Bawean, kawin dengan Lutung Gila dan sudah punya anak! Alangkah marahnya Dewa Tongkat. Kesalahan yang dibuat Kemaladewi sudah lebih dari takaran.

Pertama, melarikan diri pergi tanpa pamit. Kedua kawin tanpa seizinnya selaku guru dan yang diperlaki ternyata manusia berotak miring. Lutung Gila! Belum ada satu tahun gadis itu meninggalkan lembah Rotan, lalu tahu-tahu sudah beranak! Pastilah sebelum kawin Kemaladewi telah berbuat mesum dengan Lutung Gila... atau mungkin juga dengan lain laki-laki!

Sebagai tokoh persilatan yang dihormati dan disegani lawan serta kawan, mau diletakkan kemana mukanya? Kemaladewi telah memberi malu besar yang tiada terkirakan! Akhirnya bulatlah tekad Dewa Tongkat untuk berangkat ke pulau Bawean, pergi untuk menghukum murid yang telah berlaku kurang ajar, memberi malu nama besarnya!

Beberapa hari kemudian Dewa Tongkat sampai ke sebuah bukit kecil. Di bawahnya kelihatan pasir menghitam dan di muka sana membentanglah lautan luas. Nun jauh di tengah laut samar-samar kelihatan sebuah pulau. Pulau Bawean. Dengan gunakan ilmu larinya yang hebat Dewa Tongkat turuni lereng bukit. Dalam tempo yang singkat orang tua ini sudah sampai di tepi laut.

Di tengah memandang berkeliling mencari-cari perahu penyeberangan ketika di lereng bukit dimana dia tadi berada kelihatan satu sosok tubuh manusia berpakaian hijau lari menuruni bukit. Diam-diam Dewa Tongkat harus mengakui kehebatan ilmu lari manusia itu dan tahu bahwa dia ketinggalan satu dua tingkat. Dalam beberapa kejapan mata saja manusia baju hijau sudah sampai di hadapan Dewa Tongkat!

Ternyata si baju hijau seorang tua renta yang seumur dengan dia sendiri. Dan terkejutlah Dewa Tongkat ketika dia mengenali siapa adanya orangtua itu. Buru-buru dia menjura menghormat.

"Ah daratan membentang, laut meluas. Nasib manusia diatur kodrat. Tak sangka hari ini aku akan bertemu muka dengan Empu Sora, tokoh ternama di dunia persilatan."

Orang tua baju hijau yang ternyata adalah Empu Sora guru Lutung Gila tertawa lebar dan balas menjura. "Betul sekali sahabatku. Nasib manusia diatur kodrat. Tapi gerangan angin apakah yang membawa Dewa Tongkat ke tepi pantai sunyi ini?"

Dewa Tongkat silangkan tangan di muka dada. Parasnya yang tua kelihatan masygul. "Persoalan yang menusuk mata, kabar yang mencucuk telinga, berita yang menjengahkan muka, itulah yang membawa aku sampai ke sini, sahabat. Dan sungguh kebetulan sekali kita bertemu di sini."

Empu Sora sudah maklum apa yang membawa Dewa Tongkat ke tepi pantai selatan itu. Dia berkata, "Dewa Tongkat, agaknya peristiwa yang samalah yang menemukan kita disini. Bukankah kau bermaksud ke pulau Bawean untuk menemui muridmu yang kabarnya kawin dengan muridku si Jayengrana yang kini bernama Lutung Gila itu?"

"Ah, tepat sekali! Tepat sekali Empu Sora," sahut Dewa Tongkat. "Kita orang tua-tua mana bisa berlepas tangan diberi malu demikian rupa? Tokoh-tokoh dunia persilatan pastilah mengejek kita sebagai manusia-manusia tua renta yang pikun!"

Empu Sora manggut-manggut beberapa lamanya. "Benar sahabatku. Muridku Jayengrana perbuatannya sudah keliwat batas! Dulu dia melanggar perintah melampaui pantangan, memberi malu perguruanku. Setelah digebuk dan diusir bukannya dia menjadi ingat dan tobat tapi malah malang melintang di rimba raya, merampok dan membunuh! Lalu kini dia buat lagi hal-hal yang mencemarkan namaku dan nama perguruan! Sudah keliwat pantas bila kita yang tua datang kepadanya untuk memberi hajaran!"

"Ah, senang sekali aku mendengar bahwa kau juga bermaksud ke pulau Bawean menemui muridmu. Maksud sama, tujuan sama bukankah sebaiknya kita juga pergi sama-sama...?"

"Suatu kehormatan," sahut Empu Sora.

"Marilah kita kemudik sana mencari perahu penyeberangan," kata Dewa Tongkat pula.

"Sahabatku, mengapa susah-susah pergi jauh-jauh hanya untuk mencari perahu buruk? Disini banyak perahu!" sahut Empu Sora.

Belum habis rasa heran Dewa Tongkat akan kata-kata Empu Sora maka dari balik jubah hijaunya Empu Sora sudah keluarkan sebilah pedang hijau. Sinar matahari berkilauan di mata pedang. Sekali senjata itu berkelebat maka sebatang pohon kelapa yang berada di dekat situ terbabat puntung! Belum lagi bagian yang puntung tumbang ke atas pasir maka pedang hijau kelihatan bergerak sebat kian ke mari menimbulkan suara angin berisik dan seketika kemudian maka tahu-tahu di atas pasir sudah terletak sebuah perahu! Di sekitar perahu bertebaran potongan-potongan kecil batang-batang kelapa!

Terkejutlah Dewa Tongkat melihat kelihayan Empu Sora. Dengan jujur dia menjura dan memuji. "Ah, rupanya kehebatan nama Empu Sora di dunia persilatan bukan kosong belaka! Dewa Tongkat yang rendah memuji dengan sejujurnya!"

Empu Sora batuk-batuk dan masukkan pedangnya kembali ke balik punggung jubah hijau. "Nah Dewa Tongkat, mari kita berangkat!" katanya. Serentak dengan itu perahu dari batang kelapa ditendangnya dengan kaki kiri sampai mental ke atas air laut. Dia menjejakkan kedua kakinya, tubuhnya melayang. Ketika mendarat diatas perahu, sedikitpun perahu batang kelapa itu tidak bergoyang! Bukan main hebatnya ilmu mengentengi tubuh Empu Sora.

Dewa Tongkat tidak mau kalah. Dia segera susul melompat. Juga perahu tidak bergoyang ketika kedua kakinya mendarat di bagian belakang. Sambil cabut tongkat rotan berkeluknya berkatalah Dewa Tongkat. "Aku yang rendah biarlah duduk di belakang mendayung dan memegang kemudi!"

Dia celupkan tongkatnya ke dalam air laut. Sekali benda itu digerakkannya ke belakang maka laksana topan menghembus demikianlah dahsyatnya perahu tersebut meluncur ke muka membelah gelombang. Air laut bermuncratan di kiri kanan. Empu Sora berdiri dengan rangkapkan tangan di bagian muka perahu.

Dewa Tongkat hanya menggerakkan tongkat rotannya lima enam kali. Sejurus kemudian perahu itupun sudah menggeser tepi pasir di pulau Bawean. Diam-diam Empu Sora memuji akan kehebatan senjata serta tenaga dalam Si Dewa Tongkat. Kedua orang tua sakti itu kemudian segera melompat ke daratan.

***

Lutung Gila gembira sekali. Dia melangkah mundar-mandir menyanyi dan mengayun-ayun orok laki-laki di dalam badungannya.

Ke atas langit tujuh lapis
Ke bawah bumi tujuh lapis
Dalam dunia seribu keanehan terjadi
Tidak bersuami dapat beranak
Tidak beristri punya orok
Baa... ciluk!"


Lutung Gila dekatkan kepalanya ke muka sang bayi. Bayi berumur beberapa bulan lalu itu tertawa merdu dan Lutung Gila melangkah lagi mundar mandir, menyanyi dan menimang Lutung Bawean.

"Ke atas langit tujuh lapis. Ke bawah...."

Suara nyanyian Lutung Gila terhenti dengan serta merta ketika dari samping datang satu suara bertanya. "Jayengrana, apa yang kau buat di tempat ini?!"

Lutung Gila terkejut. Dia hentikan langkah dan putar kepala. Kedua matanya membelalak, mulutnya menganga dan parasnya pucat. "Bi... biung.... Siapa tanya siapa?!"

"Jayengrana, kau lupa aku gurumu! Empu Sora...."

Lutung Gila tiba-tiba tertawa bekakakan sampai Lutung Bawean yang ada di dalam bandungannya terkejut dan menangis. "Namaku bukan Jayengrana! Aku Lutung Gila! Dan Lutung Gila tidak berguru pada kakek-kakek buruk macam si Jubah hijau! Hik... hik! Ciluk... baaaa...."

Dewa Tongkat mengerling kepada Empu Sora dan melihat bagaimana paras orang tua baju hijau itu menjadi marah. Kalau saja tidak menyadari bahwa muridnya itu sudah berobah otaknya pastilah segera Empu Sora melekatkan tamparan ke mulut Jayengrana alias Lutung Gila! Empu Sora masih dapat menahan hati. Dia bertanya, "Lutung Gila anak siapa yang kau timang itu?"

"Eh... ada apa kau tanyatanya anak? Awas kalau kau mau rampas dia! Baa... ciluk!"

Empu Sora dan Dewa Tongkat saling berpandangan dan melongo.

"Eeee Lutung Gila," kata Dewa Tongkat. "Sejak kapan kau beranak?!"

"Biung... biung! Orang tua sedeng! Siapa bilang aku beranak! Dunia bisa kiamat bila ada laki-laki beranak. Ini orok istriku!"

"Dimana dia sekarang?!" tanya Dewa Tongkat gusar.

"Dia siapa, orang tua buruk?!"

"Kemaladewi."

"Biung! Perlu apa kau tanya-tanya istriku? Pergi sana!" Lutung Gila tendangkan kaki kanannya ke muka.

Baik Dewa Tongkat maupun Empu Sora buru-buru menghindar ke samping. Keduanya sama-sama terkejut karena dari kaki kirinya Lutung Gila itu melesat angin tendangan yang sangat dahsyat tajam menyembilu tulang! Empu Sora tak habis pikir dari mana muridnya mendapatkan ilmu tendangan yang demikian hebatnya itu!
Kesabaran Empu Sora yang ditahan-tahan mulai mendekati batas habisnya.

"Lutung Gila!" bentaknya. "Katakan yang betul, benar-benar itu anakmu dan kau sudah punya istri?!"

"Eeee biung! Siapa bicara dusta!" jawab Lutung Gila acuh tak acuh dan terus juga menimang-nimang Lutung Bawean yang saat itu sudah berhenti tangisnya.

"Kau murid edan!"

"Aku memang edan. Habis perkara!"

"Kau murid murtad!" semprot Empu Sora. "Kawin tanpa minta izin dan memberitahu pada guru lebih dulu!"

"Kau bukan guruku orang tua buruk! Kau yang buat aku murtad! Baa... ciluk!"

Dewa Tongkat sementara itu memandang berkeliling mencari-cari di mana adanya Kemaladewi, muridnya. Kesabaran Empu Sora habis sudah dan berganti dengan kemarahan. Dia angkat tangan kanannya untuk menghajar murid yang sinting itu tapi niatnya dibatalkan karena dia takut kesalahan tangan mengenai bayi yang ada di dalam dukungan Lutung Gila. Kalau Empu Sora khawatir sebaliknya Lutung Gila malah tertawa panjang.

"Eee biung?! Kenapa tidak jadi memukulku?!"

Empu Sora menyumpah dalam hati. "Jayengrana! Kau harus ikut aku sekarang juga ke Ujung Kulon!" bentaknya.

"Jangan ngaco orang tua! Aku bukan anak atau pacarmu mau diajak-ajak! Ujung Hik hik hik, dimana itu?! Biung... biung!"

"Kau berani membantah perintahku Jayengrana?!"

"Icu biung! Namaku bukan Jayengrana, tapi Lutung Gila!"

"Terserah siapapun namamu! Setan atau iblis sekalipun! Kau harus ikut perintahku! Aku gurumu!"

"Orang tua jelek! Dulu kau yang menggebuk aku sampai otakku miring! Betul....? Atau aku yang akan menggebukmu sampai otakmu keblinger? Hik hik hik! Icuh biung."

Empu Sora terkesiap mendengar ucapan Lutung Gila itu. Walau hatinya panas tapi pikirannya jadi kacau. Mungkin dia harus meninggalkan tempat itu sebelum terjadi hal yang tak diingini. Dia bisa saja membunuh Lutung Gila sesuai dengan segala dosa yang telah diperbuatnya. Tapi dia juga bisa dibunuh oleh murid gila dan murtad itu...!

Selanjutnya,
TELAGA API SALJU

Lutung Gila

Lutung gila

LUTUNG GILA


SATU
LANGIT di ufuk timur kelihatan terang tanda matahari mulai keluar dari peraduan tempat tenggelamnya, tanda pagi akan segera datang, tanda malam berganti dengan siang. Dua kekasih itu berada di sebuah kali, tengah membersihkan muka masing-masing. Di belakang mereka terdapat tebing tinggi dan pada tebing ini terletak sebuah jalan tanah berdebu yang berkelok meliku sesuai dengan kelok-liku kali kecil tersebut.

Mahesa Kelud tengah melangkah mendekati Wulansari sambil mengeringkan mukanya dengan sehelai sapu tangan ketika dikejauhan didengarnya gemeletak roda kereta dan suara tapak-tapak kaki kuda banyak sekali. Kedua orang ini sama memutar kepala.

Di ujung sana, di jalan di atas mereka kelihatan sebuah kereta ditarik oleh dua ekor kuda hitam. Di sekeliling kereta ini kira-kira lima orang memacu kuda tunggangan masing-masing dan mereka mengenakan pakaian putih-putih. Semakin dekat rombongan tersebut, semakin berdebar hati kedua orang ini.

Melihat kepada bagusnya kereta pasti kendaraan ini milik seorang hartawan atau bangsawan. Bisa jadi pula milik seorang pejabat tinggi kerajaan. Yang menarik perhatian Mahesa Kelud serta Wulansari ialah lima manusia yang menunggangi kuda di sekeliling kereta! Kelimanya berkepala botak dan mengenakan jubah putih!

Wulan dan Mahesa saling pandang beberapa detik lamanya.

Jika memang dia bersama kaki-kaki tangannya..." desis Wulansari.

"Kuharap memang dia," sahut Mahesa. 
"Ayo Wulan, tunggu apa lagi! Bersiaplah!"

Mahesa Kelud membungkuk. Di sepanjang tepi kali itu terdapat banyak batu-batu hitam sebesar tinju. Mahesa Kelud mengambil sebanyak-banyaknya. Wulansari segera maklum apa yang dilakukan kekasihnya dan mengambil pula batu-batu tersebut sebanyak yang bisa dipegangnya.

Sementara rombongan di atas sana bergerak juga semakin dekat, kedua orang ini merangkak diantara alang-alang sungai, bergerak ke atas jalanan! Rombongan makin dekat. Makin dekat. Debu jalanan beterbangan menggebu.

"Sekarang Wulan!" seru Mahesa. Dan selusin batu-batu hitam sebesar kepalan tangan melesat mendesing ke arah kaki-kaki ke tujuh ekor kuda yang tengah berlari cepat di jalan berdebu menurun itu!

Kejap itu juga terdengar ringkik meninggi langit dari ke tujuh binatang tersebut! Kuda kereta seperti tertarung dan melosoh ke muka, menghempaskan kereta yang ditarik ke samping! Kuda-kuda lain mengalami nasib sama. Kaki-kaki mereka, sekitar sambungan siku patah tulangnya kena dihantam batu-batu hitam yang dilemparkan oleh dua pendekar muda yang sembunyi di balik alang-alang membuat binatang-binatang tersebut rebah bergulingan, melemparkan penunggang-penunggangnya!

Salah seorang dari penunggang kuda itu hampir saja terlempar ke dalam sungai di bawah tebing curam. Namun dengan kelihaian yang mengagumkan dia jungkir balik di udara hingga sesaat kemudian tubuhnya selamat dan berdiri tegak di tanah di atas kedua kakinya!

"Bangsat-bangsat rendah yang bersembunyi di balik alang-alang, keluarlah untuk menerima mampus!" teriak salah seorang dari lima manusia berjubah putih, berkepala botak.

Serentak dengan itu tangan kanannya bergerak dan sebuah pisau terbang melesat ke arah persembunyian Mahesa Kelud dan Wulansari! Kedua orang ini terkejut sekali dan cepat-cepat melompat keluar dari persembunyian mereka seraya mencabut pedang sakti masing-masing!

Sementara itu pintu kereta yang terhampar miring di tepi jalan terbuka dan sesosok tubuh berpakaian bagus keluar! Manusia ini tidak lain dari pada Suto Nyamat adanya! Dan kelima orang berjubah putih berkepala botak itu adalah kaki-kaki tangannya Suto Nyamat. Lima Brahmana yang tempo hari membantu Suto Nyamat ketika diserang sampai terbunuhnya Pendekar Budiman Kakek Wulansari dan guru Wulansari serta Mahesa Kelud. Betapa terkejutnya Suto Nyamat melihat kedua muda-mudi itu!

Namun rasa terkejutnya disembunyikan. Dan memang dia tak perlu merasa khawatir karena bersamanya ada lima orang jago-jago silat kawakan yang setiap saat akan selalu sedia mengorbankan jiwa raga untuk keselamatannya!

"Kalian rupanya huh! Kali ini jangan kira kalian bisa angkat kaki hidup-hidup dari sini!
Kalian harus tinggalkan nyawa kalian di sini!" kata Suto Nyamat dengan membentak. 

Mahesa Kelud tertawa mengejek. "Agaknya kau tengah melarikan diri, Suto Nyamat! Apakah tidak enak tinggal di kotaraja...?"

"Mana bisa enak!" menimpali Wulansari, bila malaikat maut membuntutinya terus-terusan!"

Kelima manusia berjubah putih yang berdiri saling berdekatan ini segera mengenali siapa adanya kedua orang di hadapan mereka tersebut. Brahmana yang paling tua, yang tadi melemparkan pisau terbang kepada Mahesa dan Wulansari mengeluarkan suara tertawa bergerak.

"Ha ha....! Rupanya tikus-tikus pengecut yang dulu melarikan diri kini sengaja datang mengantarkan nyawa! Bagus sekali!"'

Sambil berkata demikian dia memberi isyarat pada keempat saudaranya. Seperti dulu, saat inipun kelimanya menganggap remeh terhadap sepasang pendekar ini, meski diam-diam mereka agak ngeri juga melihat kilauan sinar pedang merah di tangan Wulansari dan Mahesa Kelud!

Sementara itu Suto Nyamat sudah cabut sepasang golok panjangnya namun masih tetap mengambil posisi di belakang kelima Brahmana tersebut. Ini cukup menjadi kenyataan betapa kecutnya nyali manusia ini!

Tiba-tiba dengan serentak, dengan kecepatan luar biasa lima Brahmana itu gerakkan tangan mereka dan sepuluh pisau berkeluk terbang ke arah Wulansari dan Mahesa Kelud! Dua sinar merah membabat di udara. Terdengar kemudian suara, trang... trang... trang! berulang kali. Seperti ranting-ranting kayu yang dipatahkan, demikianlah pisau-pisau terbang tersebut berjatuhan ke tanah!

Sebenarnya pisau terbang kelima Brahmana tersebut mempunyai kehebatan tertentu yakni akan berputar membalik dan menyerang untuk kedua kalinya bila ditangkis! Tapi kali ini senjata-senjata tersebut hilang sama sekali keampuhannya, dibikin terkutung dua semuanya oleh tebasan pedang mustika sakti di tangan Wulansari dan Mahesa Kelud!

Dengan tertawa mengejek Mahesa Kelud berkata, "Ha ha! Hari ini agaknya Lima Brahmana mendapat malu besar karena senjata-senjata yang sangat mereka andalkan kini hanya seperti ranting-ranting kering tiada gunanya!"

"Tapi rasa malu itu tak akan mereka rasakan lama, Mahesa," ujar Wulansari, karena sebentar lagi mereka akan segera minggat ke neraka!"

Muka Lima Brahmana itu kelihatan merah sekali karena malu dan amarah yang meluap. Tapi mereka juga terkejut melihat kelihayan kedua anak muda ini karena kini nyatalah bahwa ilmu keduanya jauh lebih tinggi dari dua tahun yang lampau, bahkan pedang-pedang yang memancarkan sinar merah di tangan keduanya itu tak bisa tidak pasti senjata mustika sakti!

Dengan membentak garang Brahmana tertua melompat ke muka diikuti oleh empat saudaranya. Suto Nyamat sebenarnya lebih menyukai mempergunakan kesempatan itu untuk larikan diri. Tapi dia takut akan benar-benar hilang muka, dicap sebagai pengecut kelas wahid!

Demikianlah maka tujuh golok panjang, lima di tangan Si Lima Brahmana dan sepasang lagi di tangan Suto Nyamat menyerbu menyerang kedua pendekar itu dari tujuh penjuru! Mahesa dan Wulansari putar senjata mereka dengan sebat sampai suaranya menderu. Keduanya bukan menangkis tapi sebaliknya balas menyerang dengan mempergunakan jurus seribu dewa mengamuk.

Bergidik keenam penyerang tersebut melihat sinar merah bergulung dan mengeluarkan angin panas. Mereka tahan serangan dan mundur beberapa langkah. Lima Brahmana itu memiliki ilmu permainan golok tersendiri yang memang patut dikagumi. Tapi dengan adanya Suto Nyamat bersama mereka saat itu maka kelimanya menjadi kurang leluasa! Karenanya Brahmana yang tertua berkata,

"Raden Mas Suto Nyamat, kau menghindarlah! Untuk menebas batang-batang leher tikus-tikus kecil ini serahkan saja pada kami!"

Ini memang maunya Suto Nyamat. Cepat-cepat dia melompat ke belakang kalangan pertempuran bahkan kemudian melarikan diri! Dengan penasaran Wulansari ambil sebuah batu sebesar empu jari dan lemparkan ke arah Suto Nyamat. Di saat itu Lima Brahmana menyerbu ke arah Wulan namun dengan cekatan Mahesa Kelud membendung serangan yang dahsyat itu sehingga kekasihnya terlindung, sedang di muka sana Suto Nyamat yang sedang berlari cepat tiba-tiba berhenti tertegun dan tak bergerak lagi! Tubuhnya kaku mematung karena urat besar dipunggungnya sudah kena ditotok oleh batu yang dilemparkan oleh Wulansari tadi!

Kedua pendekar itu kemudian sama melancarkan serangan ke arah lawan. Saat itu Lima Brahmana sudah mengatur barisan, memanjang ke belakang dengan Brahmana tertua di paling depan, menyusul Brahmana nomer dua, ketiga dan seterusnya. Pedang sakti Mahesa Kelud dan Wulansari dengan sendirinya membabat pada si botak paling muka ini.

Tapi si botak tertua dengan cepat lompat ke samping menjauhi serangan kedua lawan tersebut! Brahmana kedua kini yang menyambut serangan sepasang pendekar ini! Dia angkat goloknya tinggi-tinggi seperti mau menangkis. Tapi ini juga hanya gerakan tipuan belaka karena dengan sangat cepat kemudian dia melompat ke samping menjauhi serangan lawan sedang Brahmana adiknya, yaitu yang ketiga dalam barisan melompat menghadang ke muka!

Dan Brahmana ketiga ini memang benar-benar menangkis sepasang pedang lawan itu! Di saat terdengar suara "trang" dan di saat bunga api berpijaran maka dua Brahmana yang terdahulu bergerak memencar. Brahmana-brahmana yang dua lainnya di belakang memencar pula!

Sementara saudara mereka yang seorang tengah menangkis serangan Mahesa dan Wulansari, maka keempatnya serentak menyerang! Bukan saja kedua pendekar itu terkurung di tengah-tengah, tapi juga sekaligus diserang dari empat jurusan! Di sinilah letak kehebatan permainan golok ciptaan kelima Brahmana tersebut!

Meski terjepit demikian rupa, seperti tak ada lagi jalan keluar namun dalam detik-detik yang menegangkan itu baik Mahesa maupun Wulansari berlaku tenang. Percuma mereka jadi murid Si Suara Tanpa Rupa selama dua tahun, percuma mereka memiliki sepasang pedang sakti dan percuma mereka memiliki ilmu Dewa Pedang Delapan Penjuru Angin" jika serangan begitu saja tak sanggup mereka tanggulangi!

Dengan kerahkan tenaga dalamnya, Mahesa Kelud membentak menggeledek sedang Wulansari melengking tinggi, membuat anak-anak telinga kelima orang itu seperti mau pecah dan sekaligus mempengaruhi dan mengacaukan penyerangan mereka! Di saat itulah Wulansari dan Mahesa Kelud sama menjatuhkan diri ke tanah sambil memutar pedang mereka laksana dua titiran membabat ke perut lima penyerangnya!

Lima Brahmana terkejut bukan main. Golok mereka hampir beradu satu sama lain jika tidak cepat ditarik pulang kembali! Demikian pula kelimanya harus melompat ke belakang untuk menyelamatkan perut masing-masing! Tapi adalah di luar dugaan mereka apa yang terjadi selanjutnya! Begitu menjatuhkan diri dengan membabatkan pedang maka Mahesa Kelud dan Wulansari memecah dua. 

Wulansari berguling di bawah kaki-kaki musuhnya ke sebelah kanan sedang Mahesa Kelud ke samping kiri. Sehingga ketika Brahmana-brahmana tersebut melompat menjauhi sambaran pedang, sesungguhnya kedua pemuda-pemudi itu telah lebih dahulu pula melewati mereka! Dan malanglah nasib dua Brahmana yang kebetulan melompat ke jurusan mana kedua lawan mereka berguling! Belum lagi kedua kaki mereka menjejak tanah maka pedang Wulansari dan Mahesa Kelud sudah menyambar dengan ganasnya!

Kedua Brahmana itu melolong setinggi langit! Yang satu bahunya terbacok sampai ke tulang punggung sedang Brahmana yang kedua hampir putus lehernya oleh tebasan pedang! Keduanya rebah ke tanah. Yang tertebas pangkal lehernya segera mati di situ juga sedang saudaranya masih bisa kelojotan seketika tapi menyusul meregang nyawa pula!

Marahlah ketiga Brahmana lainnya! Dengan bentakan-bentakan dahsyat, didahului oleh serangan pisau terbang ketiganya menyerbu menyerang! Kedua murid Suara Tanpa Rupa melompat jauh ke kiri-kanan mengelakkan serangan pisau terbang dan sambaran golok lawan. Kemudian keduanya menyerbu kembali!

Kini sebaliknya, ketiga Brahmana itulah yang terkurung di tengah! Betapapun mereka bertiga mengeluarkan segala kepandaian dan ilmu-ilmu simpanan yang mereka andalkan namun menghadapi sepasang pedang mustika sakti yang dipegang oleh dua pendekar gagah serta dimainkan dalam jurus-jurus yang sama sekali aneh bagi mereka, maka terdesaklah ketiga Brahmana tersebut!

Keringat dingin membasahi jubah serta kepala mereka yang botak sehingga kepala-kepala itu berkilat-kilauan ditimpa sinar matahari yang tengah naik! Dua tahun lalu mereka boleh dongak kepala dan busungkan dada ketika menghadapi Mahesa Kelud serta Wulansari yang datang menyerbu ke gedung kadipaten Madiun! Tapi kali ini mereka benar-benar mati kutu, apalagi sesudah dua orang dari mereka menemui ajal!

Mereka benar-benar terdesak hebat dan sudah sama memberi isyarat untuk melarikan diri, tapi kesempatan untuk itu sama sekali tidak ada! Dua gulungan sinar merah mengurung mereka, jika mereka lengah atau salah tindak sedikit saja tak ayal lagi nasib mereka akan sama dengan dua orang saudara mereka terdahulu!

Tak ada harapan lagi untuk kabur, tak ada harapan untuk bisa selamatkan diri serta nyawa. Namun demikian mereka bertahan juga mati-matian, sambil berharap siapa tahu ada kawan-kawan mereka dari kotaraja lewat di situ! Tapi harapan tinggal harapan! Maut datang lebih dahulu!

Korban ketiga yang harus meregang nyawa adalah Brahmana tertua yang paling lihai. Lengan kanannya terbabat puntung oleh pedang Mahesa Kelud. Tangan yang masih menggenggam golok panjang mental ke udara bersama senjata tersebut, sungguh mengerikan!

Meski berada dalam kesakitan luar biasa serta darah yang memuncrat dari urat nadi yang putus-putus namun dengan tangan kirinya Brahmana tua ini masih bisa lemparkan tiga pisau terbangnya sekaligus kepada Mahesa Kelud! Pemuda ini putar pedangnya! Pada detik ketika pisau terbang tersebut buntung berantakan maka pada saat itu pula Mahesa Kelud menusukkan pedangnya ke dada si Brahmana!
  
DUA

BRAHMANA tersebut masih coba untuk membuang diri ke samping namun sia-sia belaka karena tubuhnya sudah "disate" lebih dahulu oleh pedang merah di tangan Mahesa Kelud! Brahmana ini mengeluh pendek. Ketika pedang dicabut tubuhnya rebah dan sebelum tubuhnya mencium tanah, nyawanya sudah melayang! Dua Brahmana yang masih hidup, yang dilayani oleh Wulansari sudah memuncak ketakutan mereka! Keduanya segera ambil langkah seribu sambil melemparkan empat buah pisau terbang!

Dengan tertawa meninggi Wulansari mengelakkan empat pisau tersebut. Tangan kirinya kemudian bergerak cepat ke kantong kecil di pinggangnya, di mana tersimpan pasir merah panas! "Kalian mau lari ke neraka?!" ujar gadis itu. "Nah, pergilah!"

Ratusan pasir kecil-kecil melesat ke arah kedua Brahmana yang lari pontang panting itu! Mereka maklum kalau tengah diserang dengan senjata rahasia, lalu keduanya segera putarkan golok panjang mereka di belakang punggung! Namun hanya sebahagian kecil saja dari pasir-pasir tersebut yang sanggup mereka bikin mental dengan sambaran golok sedang sebagian besar lainnya tetap saja menyerang tubuh mereka, menembus jubah putih mereka di bagian punggung, masuk ke dalam daging dan terus larut dalam aliran darah!

Mula-mula mereka hanya merasakan sedikit nyeri! Mereka lari terus! Kemudian rasa nyeri hilang, kini berganti dengan rasa panas yang selangkah demi selangkah semakin menjadi-jadi panasnya. Wulansari sendiri sesudah melepaskan senjata rahasianya tidak terus mengejar. Dia sudah maklum apa yang bakal terjadi dengan diri kedua orang Brahmana tersebut, karenanya dia berdiri saja memperhatikannya!

Ketika keduanya sampai ke jalan yang mendaki maka lari mereka mulai tertatih-tatih dan akhirnya terhenti sama sekali! Kemudian kelihatan bagaimana tubuh Brahmana-Brahmana ini berdiri terhuyung dan akhirnya rebah ke jalanan, menggelinding ke bawah. Yang satu tertahan oleh semak belukar di tepi jalan, yang satu lagi terguling ke tebing dan jatuh ke sungai!

Tamatlah riwayat kelima Brahmana yang menjadi kaki tangan Suto Nyamat itu. Suto Nyamat sendiri masih berdiri dalam keadaan tubuh kaku mematung di tengah jalan sebelah sana!

Wulansari memandang kepada Mahesa Kelud. Pemuda ini menganggukkan kepalanya dan berkata,

"Dia, bagianmu, Wulan."

Kedua mata gadis itu bersinar aneh. Dia melangkah mendekati tubuh Suto Nyamat. Kini tibalah saatnya untuk membuat perhitungan dengan manusia berhati setan pembunuh laknat! Yang telah membunuh ayah bundanya, yang telah membunuh kakeknya serta pamannya, yang menyebar fitnah di sana sini serta memeras rakyat habis-habisan semasa dia tinggal di Madiun dulu!

Gadis ini siap mempergunakan jari-jari tangannya untuk melepaskan totokan di punggung Suto Nyamat. Tapi betapa jijiknya dia menyentuh tubuh manusia ini! Tubuh musuh besarnya! Dia membungkuk mengambil batu dan melemparkan batu tersebut ke punggung Suto Nyamat hingga detik itu juga terlepaslah totokan Suto Nyamat.

Begitu sadarkan diri laki-laki ini segera hendak melarikan diri namun di hadapannya telah menghadang Wulansari dengan pedang merah di tangan! Dia berpaling ke belakang. Di belakangnya kelihatan berdiri pula Mahesa Kelud! Dia maklum bahwa dia sudah terkurung di tengah-tengah! Tak bisa lari! Hatinya kecut! Lututnya gemetar! Lebih-lebih ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri tubuh empat Brahmana yang menggeletak di jalanan!

Menggigil tubuh Suto Nyamat! Merinding bulu tengkuknya! Ajal sudah di depan mata! Malaikat maut segera siap mencabut nyawanya! Suto Nyamat berpaling kepada Mahesa Kelud lalu kembali memandang pada Wulansari.

"Kalian berdua! Dengar!" katanya. Suaranya keras tapi gemetar dan aneh, laksana suara yang keluar dari liang kubur! "Biarkan aku meninggalkan tempat ini! Biarkan aku kembali ke kotaraja dan bebaskan anakku yang kalian culik!"

"Alangkah enaknya!" kata Wulansari dengan nada mengejek.

"Aku akan berikan apa saja yang kalian minta!" jawab Suto Nyamat.

"Apa saja?!"

"Ya, apa saja! Uang, harta, pokoknya apa saja asal kau kabulkan permintaanku!" jawab Suto Nyamat penuh harapan.

Wulansari memandang kepada Mahesa Kelud. Kedua orang ini saling tersenyum. Harapan Suto Nyamat semakin besar. "Baiklah Suto Nyamat, kami kabulkan permintaanmu. Tapi kami tidak mau uangmu," kata Wulansari.

"Lantas, pakaian bagus, emas berlian?"

"Tidak, bukan itu," sahut Wulansari.

"Apa kalau begitu...?"

"Kami inginkan nyawamu. Suto Nyamat!"

"Oh... tidak! Jangan!"

Wulansari maju selangkah demi selangkah dengan pedang di tangan.

"Tidak! Ampun....! Aku akan berikan apa saja! Apa saja!" teriak Suto Nyamat dengan paras pucat pasi laksana mayat dan sambil mundur ke belakang

"Cabut senjatamu, manusia durjana!" bentak Wulansari.

Tidak! Ampun, tobat aku...."

"Cabut senjatamu, kataku!"

Laki-laki itu mundur terus sampai akhirnya tubuhnya membentur badan Mahesa Kelud yang berdiri di belakangnya. Suto Nyamat terkejut. "Pemuda...!" katanya sambil menjauhkan diri berlutut di hadapan Mahesa Kelud.

"Tolong aku... tolong aku...!" Saking takutnya Suto Nyamat sampai berlaku begitu, merengek bahkan menangis seperti anak kecil!

Mahesa Kelud menyeringai. Dia gerakkan kedua kakinya sampai Suto Nyamat terguling ditanah, sementara itu Wulansari sudah berdiri di hadapannya. Ujung pedang merah yang runcing tajam meluncur mendekati lehernya dan berhenti satu jari di atas leher itu! Dalam ketakutannya, Suto Nyamat benar-benar menangis seperti anak kecil kini! Ini membuat Wulansari semakin muak dan jijik benci setengah mati pada ini manusia!

Namun meskipun dendamnya sudah berurat-urat, meski amarahnya sudah meluap membakar dada dan kesempatan untuk menghabisi nyawa musuh besarnya itu hanya tinggal menekankan ujung pedangnya saja. Tapi jiwa satria masih tetap dipegangnya! Pantang bagi gadis berhati jantan ini untuk membunuh seorang musuh yang berada dalam keadaan tak berdaya dan tanpa senjata!

"Bangun Suto Nyamat! Cabut senjatamu!"

Tenggorokan laki-laki itu kelihatan turun naik. Tubuhnya menggigil. "Tidak... jangan! Ampun...."

"Kau tidak mau bangun?!" bentak Wulansari dan ujung pedangnya menempel di kulit leher Suto Nyamat. Pedang merah di tangan gadis itu bergerak. Tring!" Kancing baju paling atas pakaian kebesaran Suto Nyamat, yang terbuat dari perak putus, menggelinding di tanah. "Berdiri!"

Suto Nyamat masih menangis menelentang di tanah. Kancing perak kedua putus! Lalu yang ketiga, menyusul yang keempat. Kini dada laki-laki itu yang berbulu jadi tersingkap dan kelihatanlah tulang-tulang dada dan iganya turun naik sesuai tarikan-tarikan napasnya yang menyesak! Namun manusia ini masih saja tetap tak bergerak di tempatnya.

Wulansari sudah hilang kesabarannya. Ujung pedang bergerak perlahan menyilang di atas kulit dada Suto Nyamat! Laki-laki ini mengerenyitkan kulit mukanya, merintih diantara tangisnya. Kulit dadanya terasa perih dan panas! Dia masih tetap berbaring seperti itu dan Wulansari membuat silang kedua kini sehingga dikulit dada laki-laki itu terlihat guratan tanda kali yang besar dan panjang.

Kini Suto Nyamat tak tahan lagi akan rasa perih dan panas yang menjalari dadanya. Dia berguling. Pakaiannya yang bagus kotor oleh debu! Kemudian kelihatanlah manusia itu berdiri perlahan. Terjadi perubahan pada paras Suto Nyamat. Parasnya yang sebelumnya pucat pasi laksana mayat kini merah mengelam tanda bahwa rasa sakit yang dideritanya membuat timbulnya rasa amarah yang meluap! Suto Nyamat memang benar-benar marah kini, benar-benar naik pitam!

Kedua tangannya bergerak mencabut golok panjangnya, dengan muka beringas dia memutar tubuh ke hadapan Wulansari! Memang justru inilah yang diharapkan si gadis! Pancingnya dengan membuat sakit tubuh lawan ternyata berhasil baik.

"Ayo manusia durjana, majulah!"

Suto Nyamat maju selangkah demi selangkah. Nyatalah bahwa rasa takutnya benar-benar lenyap. Dia menggereng seperti seekor singa dan memang tampangnya seperti singa! Dengan bentakan dahsyat tiba-tiba dia melompat ke muka. Pedangnya menyambar dari kiri dan dari kanan, ke arah kepala Wulansari!

Si gadis rundukkan diri dan pergunakan pedangnya untuk membabat perut lawan! Suto Nyamat memang tidak rendah kepandaiannya! Kehebatan sepasang permainan pedangnya sangat diandalkan dan lihay! Namun menghadapi Wulansari tentu saja dia ketinggalan jauh!

Laki-laki ini turunkan kedua goloknya dengan sebat, maksudnya menangkis pedang lawan sekaligus menjepit senjata tersebut dengan kedua golok panjangnya! Tapi apa lacur! Wulansari sudah melompat ke samping dan dari samping gadis ini pergunakan ujung pedangnya untuk memukul senjata lawan!

'Trang!"

Golok di tangan kiri Suto Nyamat mental ke udara, membuat laki-laki itu tertegun seketika tapi kemudian menyerbu lagi dengan garang! Tapi tentu saja kini kehebatan permainan golok laki-laki ini jadi semakin tidak berarti karena senjatanya cuma tinggal satu! Dua kali saja Wulansari menggerakkan pedang merahnya maka "cras!" bahu kanan Suto Nyamat terbabat puntung!

Laki-laki ini menjerit keras. Tubuhnya huyung dan menggigil oleh rasa sakit yang amat sangat dan oleh hawa panas dari pedang merah. "Keparat!" maki Suto Nyamat. Tebaslah batang leherku! Bunuh!"

Wulansari tertawa mengejek. Tadi kau begitu takut mampus Suto Nyamat, seperti sudah melihat bagaimana gelapnya dalam kubur! "Sekarang kau ingin lekas-lekas mati, apakah sudah terlihat bidadari yang hendak menyambutmu di sorga...?"

"Bunuhlah!" teriak Suto Nyamat sementara rangsangan hawa panas mulai tak tertahankan lagi meski dia kerahkan tenaga dalamnya.

"Sekarang kau belum boleh mati, Suto Nyamat, mungkin sebentar lagi," kata Wulansari. "Kau masih memiliki tangan kiri yang bisa dipergunakan untuk memungut golok itu!"

Suto Nyamat mengigit bibir menahan geram dan rasa sakit. Di hadapannya, di atas tanah menggeletak dua batang golok panjang miliknya yang tadi dibikin mental oleh Wulansari. Kedua senjata itu saling berdekatan. Suto Nyamat membungkuk dan mengambil salah satu dari golok tersebut. Tiba-tiba senjata ini dilemparkannya ke arah Wulansari! Selagi si gadis pergunakan pedangnya untuk menangkis golok yang dilemparkan lawan maka Suto Nyamat segera ambil golok kedua dan menyerbu!

Serangan ini memang hebat dan cepat tapi sama sekali tidak membuat yang diserang menjadi bingung ataupun gugup! Tadinya Wulansari hendak pergunakan pedang untuk menangkis golok yang dilemparkan itu, tapi ketika sudut matanya melihat lawan mengambil golok kedua dan menyerbu maka dengan cepat gadis ini ulurkan tangan kiri. 

Pada detik dia berhasil menangkap hulu golok panjang maka saat itu pula dia pergunakan pedangnya menangkis serangan. Suto Nyamat sendiri tiada menduga kalau lawannya secepat itu memapaki serangannya sehingga meskipun hatinya gentar melihat sambaran pedang Wulansari namun dia tak punya kesempatan untuk menarik pulang serangannya!

Dua senjata saling beradu. Golok panjang Suto Nyamat patah dua dan mental! Sejurus kemudian terdengar lolong laki-laki itu karena pedang di tangan Wulansari terus menerus menyambar ke dadanya! Tulang dada Suto Nyamat jebol, dua tulang iganya amblas! Dia terhuyung-huyung kebelakang, kedua bola matanya berputar dan membeliak. Sedetik kemudian tubuhnya terguling ke tanah, mati!

Wulansari memandang kepada tubuh musuh besarnya itu, sejurus kemudian dia berlari mendapatkan Mahesa Kelud dan memeluk tubuh pemuda itu, lalu menyembunyikan kepalanya di dalam dekapan Mahesa lalu menangis tersedu-sedu.

Mahesa membelai rambut kekasihnya. Ia tahu bahwa gadis itu menangis karena haru bahwa dengan tangannya sendiri dan dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan kematian Suto Nyamat, manusia yang telah menjadi biang celaka penyebab kematian ayah bunda, paman serta kakeknya.

"Wulan," bisik Mahesa Kelud. "Kau hebat sekali, dapat mengalahkannya...."

Tangis gadis itu semakin kencang dan kedua tangannya digelungkan di leher Mahesa Kelud. Mahesa membimbing kekasihnya ke tepi jalan di mana terletak sebuah pohon rindang dan duduk di sana. Wulan menyembunyikan kepalanya dalam pangkuan Mahesa Kelud. Bagi keduanya suasana seperti itu tidak lagi merupakan suasana sedih atau haru, tapi berganti dengan suasana penuh kemesraan. Akhirnya tangis gadis itu mereda juga. Dengan selendang kuningnya disekanya kedua matanya.

"Kenapa tidak nangis lagi...?" tanya Mahesa Kelud menggoda.

"Aduh!" pekik pemuda ini kemudian karena paha kirinya dicubit.

"E... e... eee, sudah nangis mencubit orang pula! Lucu!"

"Kau yang lucu!"

"Aku? Lucu mengapa?" tanya Mahesa Kelud.

"Kau tidak tahu!"

"Apa yang tidak tahu...?"

Gadis itu menyeka mukanya kembali, duduk bersandar ke batang pohon di samping Mahesa Kelud lalu berkata, "Ada satu rahasia lucu yang kau tidak tahu."

"Heh... katakanlah."

Wulansari tertawa geli. Dia baru saja hendak membuka mulutnya yang mungil itu ketika tiba-tiba terdengar satu suara tertawa berkakakan disusul dengan suara bentakan keras!

"Alangkah hebatnya! Habis membunuh lalu bercumbu!"

Mahesa Kelud dan Wulansari terkejutnya bukan main. Keduanya bangkit dengan cepat dan melihat dua manusia berdiri kira-kira lima belas langkah di hadapan mereka! Yang satu masih muda belia, berpakaian perang. Yang kedua seorang perempuan bertubuh tinggi, bermuka hitam berhidung bengkok dan berjubah merah!

Yang muda adalah Braja Kunto, murid Waranganaya Toteng yang waktu di Madiun tempo hari menjadi Kepala Pasukan Pengawal Kadipaten dan pernah bertempur melawan Wulansari serta Mahesa Kelud di sekitar gua tempat kediaman guru mereka Si Suara Tanpa Rupa. Adapun perempuan jangkung berjubah merah, tiada lain daripada Niliman Toteng! Dialah tadi yang bicara membentak dan tertawa bekakakan!

Sewaktu Suto Nyamat meninggalkan kotaraja maka Niliman Toteng menyuruh Lima Brahmana itu pergi bersama Suto Nyamat sedang dia akan menyusul kemudian karena dia sedang menunggu adiknya yaitu Waranganaya Toteng untuk satu urusan penting. Tapi tunggu punya tunggu Waranganaya Toteng tidak muncul, yang datang adalah murid adiknya yakni Braja Kunto, membawa kabar bahwa gurunya tidak bisa datang karena ada satu persoalan penting di lain tempat.

Dengan kesal Niliman Toteng ajak keponakan muridnya itu sama-sama menyusul Suto Nyamat dan rombongan. Mereka tak perlu berlari cepat dan tak perlu merasa khawatir melepas Suto Nyamat bersama lima orang tersebut karena nama Lima Brahmana sudah dikenal dalam dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh yang ditakuti karena tinggi ilmunya!

Namun betapa terkejutnya kedua orang tersebut, lebih-lebih Niliman Toteng, ketika mereka sampai di jalan yang menurun itu, keduanya menemui dua sosok mayat di tengah jalan yang tak lain dua orang dari Lima Brahmana! Dan ketika mereka memandang ke bawah, kelihatanlah kereta milik Suto Nyamat terhampar di tengah jalan bersama beberapa ekor kuda. Keduanya berlari ke sana! Di sini mereka harus menyaksikan lagi empat sosok mayat yaitu tiga mayat Brahmana dan yang satu mayat Suto Nyamat!

Kedua orang ini menggeram menyaksikan hal tersebut. Wulansari dan Mahesa Kelud sendiri yang berada dalam suasana berkasih sayang penuh kemesraan tidak mengetahui kedatangan kedua orang ini sampai akhirnya Niliman Toteng melihat keduanya di bawah pohon!

Paras Mahesa dan Wulansari jadi merah malu karena mendengar bentakan Niliman Toteng tadi. Mereka tidak takut terhadap Braja Kunto dan tahu bahwa kepandaian murid Waranganaya Toteng itu masih jauh di bawah mereka karena mereka pernah menjajalnya dahulu! Tapi kehadiran Niliman Toteng di situ. Benar-benar mengejutkan hati kedua teruna ini!

Sementara itu Braja Kunto sudah mencabut senjatanya berupa sebuah ruyung dan melangkah mendekati Wulansari. "Ha ha, gadis begini manis tak disangka berhati jahat seperti setan! Sanggup membunuh sesama manusia! Ini cukup alasan bagiku untuk memecahkan kepalamu! Tapi aku Braja Kunto masih punya hati kemanusiaan, serahkan dirimu dan ikut aku ke kotaraja! Tinggal bersamaku! Makan bersamaku, tidur bersamaku! 
Ha ha ha!"

"Manusia kunyuk! Kubeset mulut busukmu!" bentak Wulansari seraya cabut pedangnya dan menyerbu ke muka. Di saat yang sama, Niliman Toteng sudah mengeluarkan stagennya dan melangkah ke hadapan Mahesa Kelud!


TIGA

"JANGAN mengira bahwa kau akan bisa melarikan diri lagi seperti malam tadi, tikus kecil!" kata Niliman Toteng.

"Iblis Jangkung," menyahut Mahesa Kelud. "Bicaramu selalu besar! Sudahkah baik luka sambaran pedang kawanku malam tadi? Dan Sudahkah dijahit robekan pada jubah merahmu?! Kalau belum aku bersedia menunggu sampai lukamu sembuh dan sampai kau selesai menjahit jubahmu yang robek!"

Darah Niliman Toteng naik ke kepala mendengar penghinaan ini. Dengan segera dia menyerbu ke muka! Mahesa Kelud maklum bahwa lawannya seorang yang tangguh. Makanya begitu Niliman Toteng lancarkan serangan stagen merah, pemuda itu segera cabut pedang dan memapak serangan lawan dengan sabetan yang mematikan!

Perempuan tua bermuka hitam itu memutar senjatanya sampai mengeluarkan angin bersiuran. Ujung stagen lewat di bawah sambaran pedang dan menyambar tajam ke bagian bawah perut Mahesa Kelud? Murid Suara Tanpa Rupa ini melompat ke samping seraya membalikkan mata pedang membabat kepungan Niliman Toteng!

Seperti Wulansari, dalam tenaga dalam dan ilmu mengentengi tubuh Mahesa Kelud masih jauh berada di bawah Niliman Toteng. Tapi dengan pedang merah sakti di tangan dia tak perlu khawatir akan dicelakai oleh lawannya. Di lain pihak pertempuran antara Wulansari dengan Braja Kunto berjalan sangat tidak seimbang sekali! Murid Waranganaya Toteng meskipun dalam dua tahun terakhir ini telah mendapat gemblengan yang lebih ulet dari gurunya, namun menghadapi gadis lawannya yang memainkan jurus-jurus ilmu pedang "Dewi Delapan Penjuru Angin" tak urung menjadi dibikin sangat repot!

Berkali-kali Braja Kunto mengeluarkan seruan tertahan karena dada atau perut ataupun hidungnya hampir saja "dicium" ujung pedang lawan! Braja Kunto mempercepat gerakannya tapi sia-sia belaka. Ujung-ujungnya, pedang sakti di tangan Wulansari berhasil juga menghantam pinggul kirinya!

Luka besar menyemburkan darah. Tulang pinggul sampai ke paha hampir putus! Braja Kunto yang berbadan gemuk itu rebah ke tanah laksana pohon kelapa tumbang. Tubuhnya berkelejotan seketika. Begitu hawa panas beracun pedang sakti lawannya menjalar ke jantung. Braja Kunto terpaksa pasrahkan nyawanya di situ juga!

Melihat murid adiknya mati mengenaskan begitu rupa, Niliman Toteng segera cabut senjata aneh berbentuk sapu ijuk dari punggung jubahnya. Sekali dia putar senjata tersebut maka dari sela-sela ijuk-ijuk hitam tebal itu melesat puluhan jarum hitam yang suaranya menggebu laksana tawon mengamuk! Jarum-jarum hitam beracun ini menyerang Mahesa Kelud mulai dari arah kaki sampai ke kepala!

Mahesa tahu bahwa dalam keadaan sesingkat itu sukar baginya untuk menangkis serangan jarum. Meskipun dia putar pedang saktinya, belum tentu semua jarum bisa disapu. Karenanya tak ayal lagi Mahesa jatuhkan diri ke tanah dan berguling ke arah lawannya!

Niliman Toteng kaget sekali waktu melihat bagaimana sambil mengelak lawannya berguling ke arahnya dan membabatkan pedang ke kakinya! Cepat-cepat Niliman melompat dan arah lompatannya sengaja mendekati Wulansari untuk sekaligus melancarkan serangan pula!

Si gadis yang tidak menduga akan diserang secara mendadak oleh lawan yang tengah dihadapi kakak seperguruannya segera putar pedang. Tapi terlambat! Ujung stagen merah telah melilit lengannya, terus sampai ke hulu pedang!

Niliman segera betot stagen dan kebutkan sapu ijuknya ke arah Mahesa Kelud yang datang menyerang dari samping. Wulansari tahu bahwa kalau tarikan keras stagen lawan balas dengan sentakan keras pula maka pasti lengannya akan tanggal. Untuk kedua kalinya gadis ini terpaksa serahkan pedang kepada lawan demi selamatkan diri!

Niliman Toteng tertawa mengekeh. Stagennya dililitkan ke pinggang kembali dan kini dengan pedang sakti milik Wulansari di tangan Si Iblis Jangkung ini segera menyerang kedua muda teruna itu! Mahesa mengeluarkan jurus-jurus teratas dari ilmu. "Dewa Pedang". Tapi percuma saja karena Niliman Toteng kini juga memiliki pedang sakti yang dapat menandingi pedang di tangan Mahesa bahkan setiap saat dia tak ragu-ragu mempergunakan pedang itu untuk beradu senjata!

Wulansari gemasnya bukan main. Tangannya bergerak ke sisi pakaian kuningnya "Perempuan Iblis! Mampuslah!" teriaknya.

Ratusan butiran pasir merah menderu seperti angin punting beliung, menyambar ke arah Niliman Toteng! Perempuan bermuka hitam ini pergunakan pedang milik Wulansari yang kini menjadi andalannya untuk menyapu serangan pasir-pasir merah itu!

Tapi kali ini dia salah perhitungan. Meski kedua senjata tersebut, pedang dan pasir merah sama-sama berasal dari satu guru sakti, namun untuk menyelamatkan diri dari serangan pasir-pasir merah tidak cukup dengan putaran pedang saja jika tidak disertai gerakan melompat ke samping untuk mengelak! Enam butir pasir menembus jubah merah Niliman Toteng, masuk ke dalam pori-pori kulitnya dan mengalir bersama aliran darah!

Perempuan tua itu merasa tubuhnya diserang hawa panas, segera maklum bahwa senjata rahasia lawan sudah masuk ke dalam tubuhnya. Dikerahkannya tenaga dalamnya yang sangat tinggi. Hawa panas berkurang sedikit. Sapu ijuknya dikebutkan ke arah kedua lawannya. Sementara Mahesa dan Wulansari sibuk dengan jarum-jarum hitam tersebut maka dia pergunakan kesempatan untuk menotok urat darah besar di badan sebelah kirinya.

Untuk kedua kalinya dalam jurus itu Niliman Toteng kebutkan sapu ijuknya. Jarum-jarum hitam melesat lagi ke arah Mahesa dan Wulansari. Kali ini kedua orang itu tidak tinggal diam. Mereka menggerakkan tangan kiri. Ratusan butir pasir merah melayang ke arah jarum-jarum hitam dan bentrokan hebat di udara. Betapapun hebatnya jarum-jarum hitam itu namun menghadapi butiran-butiran pasir merah panas, maka laksana bubuk gergaji, jarum-jarum itu patah-patah dan luluh ke tanah!

Niliman Toteng tidak kecewa senjata rahasianya dikalahkan demikian rupa. Yang penting baginya adalah mendapatkan kesempatan untuk menyelamatkan nyawanya dari pasir-pasir beracun yang sudah mengindap di darahnya. Perempuan tua ini memang hebat. Ujung hulu pedang dipergunakannya untuk memukul dadanya sendiri. Dia terhuyung-huyung ke belakang lalu batuk dan muntah darah berbuku-buku!

Segera dia lepaskan totokan pada urat darah di sisi kiri tubuhnya dan mengatur jalan darah serta pernafasannya dengan cepat. Dengan demikian terlepaslah dia dari bahaya kematian keracunan butiran-butiran pasir merah yang dilepaskan Wulansari tadi!

"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar tertawa cekikik tertahan-tahan. Sejurus kemudian berkelebatlah satu bayangan putih dan tahu-tahu seorang berjubah putih berbadan bungkuk berdiri kira-kira beberapa langkah dari Niliman Toteng.

Dia seorang perempuan tua bermuka hitam, kaki kanannya buntung dan dia memegang sebuah tongkat besi yang besar. Kedua matanya besar serta merah. Hidungnya bengkok dan tidak mempunyai alis. Bibir bawahnya yang tebal kelihatan menjelewer ke bawah waktu dia tertawa itu!

Siapa adanya perempuan tua ini tidak lain dari Sitaraga alias Iblis Puntung yang dulu telah memberi obat perangsang terhadap Mahesa Kelud dan Kemaladewi sehingga kedua muda mudi ini melakukan perbuatan tidak senonoh tanpa mereka sadari!

Di samping terkejut melihat kemunculan yang tiba-tiba dari manusia penimbul malapetaka ini, kemarahan Mahesa Kelud juga jadi mendidih karena inilah manusia yang dulu berminggu-minggu dicarinya untuk ditamatkan riwayatnya! Tapi belum habis rasa kejut pemuda ini, sekelebat kemudian muncul pula seorang lain di tempat itu. Waranganaya Toteng! Agaknya kini lengkaplah musuh-musuh Wulansari dan Mahesa Kelud!

Sitaraga alias Iblis Putung memang datang ke tempat itu bersama-sama Waranganaya. Tapi karena si perempuan tua itu memiliki ilmu lari yang lebih ampuh maka Waranganaya ketinggalan jauh di belakangnya dan dia sampai duluan. Wulansari merasa ngeri juga melihat si puntung kaki ini. Dia bergerak mendekati kakak seperguruannya. Mahesa Kelud sendiri sudah bisa menyimpulkan jika Sitaraga datang bersama dengan Waranganaya Toteng, maka pastilah mereka kawan sepihak!

Pemuda ini mengeluh dalam hatinya. Niliman dan Waranganaya Toteng mungkin masih bisa mereka hadapi, tapi dengan adanya Sitaraga, kecil sekali harapan untuk dapat membalaskan sakit hati dan dendam kesumat sekaligus kepada ketiga manusia-manusia terkutuk.

Bahkan mungkin mereka terpaksa harus serahkan nyawa di tempat itu, apalagi pedang sakti Wulansari sudah dirampas pula oleh Niliman Toteng! Apa yang ada dipikiran Mahesa Kelud tidak terpikir dan tidak terasa oleh Wulansari karena memang gadis ini tidak tahu manusia macam bagaimana adanya Sitaraga alias Iblis Puntung!

Sitaraga masih juga tertawa-tawa. "Banyak gunung tinggi menjulang! Banyak manusia berilmu tinggi berumur lanjut berpengalaman selautan luas! Tapi mengapa melayani bocah yang masih bau amis sampai dibikin muntah darah?!

Hik hik hik!" Jika dilihat kulit muka yang hitam dan hidung yang bengkok dari Niliman Toteng, maka banyak persamaan tampangnya dengan tampang Sitaraga. Mendengar tertawa dan ucapan mengejek dari Sitaraga itu maka Niliman Toteng putarkan kepala dengan muka cemberut.

"Sitaraga! Kentut kau!" makinya. Datang-datang sudah mengejek!" Kemudian Resi ini melihat adiknya. "Eh kau juga ada di sini, Waranganaya?! Kau juga kentut! Apa kalian datang kesini untuk mentertawai aku?!"

Iblis Puntung tidak perdulikan ucapan Niliman Toteng. “Niliman, kau tahu siapa itu pemuda yang menjadi lawanmu?" Dalam bicara, sejak tadi Sitaraga tidak memandang kepada Mahesa Kelud ataupun Wulansari. Kepalanya tetap menghadap kepada Niliman.

"Sitaraga," ujar Waranganaya Toteng, "inilah dia gembong-gembong anak pemberontak yang aku terangkan tempo hari! Yang pakai baju kuning itu anaknya Jarot Singgih, biang pemberontak dari Madiun yang sudah mampus!"

"Resi keparat! Kubeset mulutmu!" bentak Wulansari ketika mendengar Waranganaya Toteng hinakan ayahnya yang sudah tiada. Gadis ini hendak menyerbu ke muka tapi cepat lengannya dicekal Mahesa Kelud.

"Hik hik hik. Kalian hanya tau itu, kalian hanya tahu bahwa mereka adalah gembong-gembong pemberontak! Tapi kalian tidak tahu lebih dari itu! Yang laki-laki adalah pemuda hidung belang yang pernah datang membawa seorang gadis cantik ke goaku dan berbuat kotor di sana sampai dua hari dua malam! Hik hik hik!"

Terkejut Wulansari laksana halilintar menggeledek di kedua anak telinganya ketika mendengar ucapan Sitaraga tersebut. Dipalingkannya kepalanya kepada Mahesa Kelud. Hatinya berdebar keras waktu melihat bagaimana pemuda kekasihnya itu air mukanya menjadi merah gelap.

"Perempuan laknat!" bentak Mahesa Kelud. Dia sudah lupakan sama sekali kehadiran Wulansari di sampingnya saat itu karena amarah yang meluap. "Kalau tidak karena kau yang berhati iblis, semua kekotoran itu tidak akan terjadi."

Sitaraga masih tetap tidak memandang kepada Mahesa Kelud. "Hik hik. Kau bisa cari alasan palsu untuk buang malu! Apakah gadis di sampingmu itu juga hendak kau bawa ke goaku? Hendak kau tidur....? Hik hik hik!"

Amarah Mahesa Kelud sudah tidak tertahankan lagi. "Manusia jahanam, hari ini aku mengadu jiwa dengan kau!"

Tanpa memperdulikan lagi betapa Sitaraga adalah seorang tokoh persilatan yang ilmunya sangat tinggi, lebih tinggi dari Waranganaya dan Niliman Toteng maka dengan pedang merah di tangan pemuda ini menerjang ke arah Sitaraga!

Yang diserang kelihatannya acuh tak acuh saja. Bahkan masih tertawa cekikikan dan memandang ke jurusan Niliman Toteng. Angin sambaran pedang Mahesa Kelud sudah bersiuran. Niliman yang berdiri tak jauh dari Sitaraga dapat merasakan panasnya hawa sambaran pedang sakti tersebut tapi Sitaraga masih saja seperti seorang tua yang berlagak pilon!

Dia membuka mulutnya yang berbibir dower bergusi ompong. "Kasihan... kasihan mereka yang tidak tahu tingginya gunung...."

Tiba-tiba perempuan berkaki puntung ini kebutkan ujung lengan kiri jubah putihnya. Satu gelombang angin yang dahsyat sekali laksana topan menghantam ke arah Mahesa Kelud. Sekejap kemudian kelihatanlah pemuda itu mental sampai tiga tombak ke belakang! Terguling di tanah tapi cepat berdiri kembali dengan pedang sakti masih tetap di tangan.

Mahesa merasakan tubuhnya mulai dari kaki sampai ke ubun-ubun tergetar hebat dan panas dingin. Pemandangannya berkunang, lututnya seperti mau copot. Cepat-cepat dilapatkannya mantera penguat diri yang diajarkan gurunya Suara Tanpa Rupa dan dialirkannya tenaga dalamnya serta diatur jalan napas dan darahnya.

Ketika Mahesa Kelud menyerbu menyerang Sitaraga maka Wulansari tidak pula tinggal diam. Dia melompat dan menyerang Waranganaya Toteng, musuh besar kepada siapa dendamnya berurat berakar karena inilah manusia kaki tangan Suto Nyamat yang dulu membunuh guru merangkap kakeknya yakni Sentot Bangil alias Pendekar Budiman.

Waranganaya Toteng mulanya anggap sepi serangan tangan kosong gadis ini karena dua tahun yang lewat dia pernah saksikan kepandaian Wulansari yang masih sangat rendah waktu menyerang ke gedung Kadipaten Madiun. Tapi kali ini Resi dari Blambangan itu salah duga. Wulansari dua tahun yang lalu tidak sama dengan yang dihadapinya hari ini!

Ketika jubah hitamnya dibagian dada robek besar terkena sambaran cakaran kuku-kuku tangan kiri lawannya, berubahlah parasnya menjadi pucat. Cepat-cepat dia melompat ke samping dan kebutkan rumbai-rumbai ikatan jubahnya. Angin panas menyambar keras menyerang Wulansari. Yang diserang berkelit cepat, sambil mengeluarkan satu jerit melengking dan dengan gunakan gerakan "rajawali sakti menyambar mangsa" tahu-tahu dia, sudah berada di belakang Resi tersebut dan "buk!"

Tepisan tapak kanannya mendarat di punggung Waranganaya Toteng. Resi itu mendudu ke muka hampir jatuh menelungkup jika dia tidak pergunakan kedua ujung tangannya untuk jungkir balik dengan gerakan yang dinamakan "kodok selamatkan diri dari patilan ular." Waktu berdiri kembali tubuhnya tak bisa lempang sedang punggungnya mendenyut sakit bukan main!

"Niliman dan Waranganaya! Kalian kakak beradik sama saja begoknya! Minggir saja biar aku yang layani bocah-bocah bau pesing ini!" kata Sitaraga. Perempuan bungkuk berkaki puntung ini pergunakan satu kakinya berjingkat-jingkat. Tongkat besi di tangan kanan diputar tak menentu, bolak balik naik turun, sebentar menyamping sebentar ke atas dan sebentar menusuk ke muka.

Meski tongkat yang berat itu diputar tidak karuan, namun sambaran sambaran angin yang dikeluarkannya laksana badai dan tongkat tersebut seperti-menjadi puluhan banyaknya. Sitaraga kebutkan lagi ujung lengan jubahnya. Mahesa dan Wulansari berlompatan kesamping lalu balas menyerang. Mahesa dengan sambaran pedang sedang Wulansari dengan butiran-butiran pasir merah beracun!

Sitaraga menyambut serangan ini dengan tertawa cekikikan mengejek. Sambaran angin tongkat membuat semua senjata rahasia butiran pasir merah mental. Serangan pedang sakti Mahesa Kelud dielakkan dengan mudah sekali oleh si Iblis Puntung ini.

Kemudian dengan segala kedahsyatan yang ada tubuh Sitaraga kelihatan mengapung di udara. Gerakannya sebat dan lihay. Ujung tongkat sekaligus memapak ke kepala kedua lawannya! Kalau si gadis cepat-cepat merunduk dan melompat mundur selamatkan kepala maka Mahesa Kelud pergunakan pedang saktinya untuk menangkis!

"Trang!"

Bunga api berpijar terang. Gelombang hawa menggebu ke udara. Pedang merah di tangan Mahesa Kelud mental! Tangan pemuda itu tergetar hebat kesemutan dan ngilu sakit! Dalam kejapan gebrakan yang hebat itu Sitaraga membuat satu gerakan aneh dan entah bagaimana, kemudian tahu-tahu kaki kiri yang berkulit hitam itu sudah mencelat ke dada Wulansari sedang ujung tongkat besi menotok ke ubun-ubun Mahesa Kelud!

Bagaimanapun cepatnya kedua orang itu membuat gerakan untuk mengelak, namun sia-sia belaka, akan tetapi kalah cepat dari datangnya serangan maut! Tak ada daya untuk menangkis, tak ada daya untuk mengelak. Sambaran angin serangan saja sudah menggigilkan tubuh kedua muda-mudi tersebut dan dalam sekejap mata lagi pastilah keduanya akan meregang nyawa mengerikan!

Sitaraga sudah ketawa cekikikan karena dia sudah maklum bahwa kedua lawannya tak punya daya lagi untuk menghindar dari serangannya. Tapi ajal di tangan Yang Satu. Tinggi gunung ada lagi yang lebih tinggi. Di luar langit ada langit.

"Bum!"

Terdengar satu ledakan dahsyat melanglang udara. Tanah sekitar situ bergetar. Sinar putih panas menyilaukan mata lewat di atas kepala Mahesa Kelud dan Wulansari. Sitaraga mencelat menjauh dan berseru nyaring. Jubah putihnya berubah menjadi hitam. Hangus!

Sedang Waranganaya Toteng dan Niliman Toteng menjerit setinggi langit seperti mereka melihat setan-setan yang menakutkan, lalu roboh ke tanah tanpa nyawa! Tubuh dan pakaian keduanya hangus serta mengepulkan asap berbau daging terpanggang! Pada waktu yang bersamaan terdengar suara memerintah.

"Murid-muridku, kalian minggirlah!"


EMPAT

DUA kekasih sama terkejut melihat peristiwa hebat itu. Mereka buru-buru melompat menjauh. Keduanya kemudian melihat seorang laki-laki yang sangat tua sekali, berambut putih laksana salju di puncak gunung yang panjangnya sampai ke bahu, berselempang kain putih. Mukanya licin bersih, kumis serta janggut dan alis matanya putih seperti rambutnya. Di pundak kirinya duduk seenaknya seekor anak rusa!

Mahesa dan Wulansari sebelumnya tak pernah melihat orang tua itu. Tapi keduanya mengenali suara si orang tua itu juga mengenali anak rusa yang di pundak laki-laki itu! Dengan serta merta dua kekasih ini berlutut di tanah.

"Guru!" seru mereka haru dan gembira. Si orang tua berselempang kain putih tidak hiraukan mereka melainkan berdiri memandang melotot pada Sitaraga.

"Kakek-kakek sedeng! Kau sudah bosan hidup?!" bentak Sitaraga.

Si orang tua, cuma ganda tertawa mendengar kata-kata Iblis Puntung itu. Dia membuka mulut berkata. Dan kata-katanya ini merupakan serangkaian syair.

Percuma tingginya gunung
Bila meletus akan merata
Jika ilmu di tangan manusia berotak linglung
Badan sendiri yang akan celaka.


Geramlah Sitaraga mendengar syair ejekan itu. Tampangnya membesi kaku. "Orang tua, kau siapa?" tanyanya membentak.

"Siapa aku....? Ha ha! Sitaraga dengar syairku dan kau akan tahu siapa aku," kata orang tua berambut putih itu.

Langit tinggi tiada bertiang.
Tinggi luas tidak terukur
Sepuluh tahun di dalam Hang
Sepuluh tahun diduga tidur
Muncul kembali ditanya orang
Tapi tetap tidak bernama


Terkejutlah Sitaraga mendengar syair itu, terutama bait yang terakhir. Maklum dia kini dengan siapa dia berhadapan. Kakek-kakek dihadapannya itu tiada lain dari si Suara Tanpa Rupa yang sudah sejak sepuluh tahun tak pernah muncul dalam dunia persilatan! Bulu tengkuk Sitaraga diam-diam menggerinding, lebih-lebih waktu dia menunduk sedikit dan melihat jubah putihnya yang sudah hangus!

Perempuan Iblis itu dongakkan kepala. Dia tertawa untuk hilangkan kegentarannya."Tak sangka hari ini akan berhadapan dengan Suara Tanpa Rupa. Tak sangka yang sudah diduga mati, muncul dan hidup kembali. Ini mengingatkan aku pada cerita lama. Hik hik hik...."

Anehnya saat itu baik Mahesa Kelud maupun Wulansari sama melihat bagaimana paras guru mereka mendadak sontak berubah jadi merah menyala waktu mendengar ucapan Sitaraga tadi. Dan lebih merah lagi ketika mendengar ucapan Sitaraga selanjutnya,

"Alangkah sialnya, guru dan murid sama saja malang nasibnya! Hik hik. hik."

"Dosamu tak berampun Sitaraga! Tertawa puaskan hatimu karena kelak mulutmu akan tersumpal dan tertindih tanah pekuburan!" kata Suara Tanpa Rupa pula.

"Hik hik hik..." Sitaraga kebutkan ujung lengan jubah tangan kirinya. Gelombang hawa yang keras dahsyat menyambar ke arah Suara Tanpa Rupa. Serentak dengan itu Sitaraga melompat pula ke muka dengan putaran tongkat besinya dalam gerakan-gerakan yang tidak teratur. Suara Tanpa Rupa tidak bergerak sedikitpun. Pada saat sambaran angin dan ujung tongkat sampai ke mukanya, barulah orang sakti ini menggerakkan kedua tangannya. Dari tangan lebih hebat lagi, tubuh Sitaraga mental, terguling di tanah!

Sedang tongkat besinya sudah berpindah ke tangan kiri Suara Tanpa Rupa! Mahesa Kelud dan Wulansari kaget dan saling pandang, sama kagum melihat kehebatan guru mereka. Keduanya tahu bahwa gerakan yang dibuat oleh si orang tua sakti adalah jurus-jurus yang pernah diajarkannya kepada mereka, tapi yang tentu saja sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

Cuma memang pukulan yang mengeluarkan sinar putih menyilaukan itu tak pernah sebelumnya mereka terima dari si Suara Tanpa Rupa, dan ini membuat Mahesa maupun Wulansari menjadi kecewa, mengapa gurunya tidak mengajarkan ilmu pukulan hebat tersebut!

Di muka sana Sitaraga kelihatan berdiri di atas satu kakinya dengan terhuyung-huyung. Tubuhnya mengepul. Matanya melotot menggidikkan dan tampangnya mengerikan sekali. Suara tertawanya kini tidak lagi cekikikan tertahan-tahan tapi mengekeh panjang! Kedua tangannya dikepalkan ke muka dada, mulutnya komat-kamit. Kemudian kelihatanlah bagaimana kedua kepalan tersebut dari hitam berubah menjadi biru.

"Mampus!" teriak Sitaraga melengking. Dua sinar biru melesat menyambar Suara Tanpa Rupa.

Mahesa dan Wulansari terpaksa menjauh karena sinar biru ini dinginnya bukan main menggigilkan tubuh mereka! Suara Tanpa Rupa menunggu dengan tenang. Dia angkat tangan kanannya, diputar beberapa kali lalu dihantamkan ke muka! Maka kelihatanlah gelombang panjang sinar putih panas bergulung-gulung mengurung dua sinar biru. Seperti terseret maka dua sinar biru gerakannya tertahan-tahan lalu ketika keampuhannya menjadi lumer sama sekali maka sinar biru berbalik memukul kembali ke arah Sitaraga, disusul oleh hantaman sinar putih!

Sitaraga jatuhkan diri. Tapi sebagian dari tubuhnya sudah tersambar hawa pukulan sendiri dan hawa sinar putih lawan. Tubuhnya terguling, menghempas ke kiri dan ke kanan! Segala kekuatan yang ada di kerahkannya. Iblis Puntung ini memang hebat karena meski sebagian dari tubuhnya sudah hangus dan luka lumpuh namun dia masih bisa berdiri dan melangkah berjingkat-jingkat mendekati Suara Tanpa Rupa yang sejak tadi tiada sedikitpun bergerak dari tempat berdirinya, demikian juga anak rusa yang berada di atas pundaknya!

Jingkat demi jingkat Sitaraga makin dekat ke hadapan Suara Tanpa Rupa. Kedua tangannya terpentang. Dia menjerit keras dan menggapai. Suara Tanpa Rupa gerakkan tangan kirinya yang memegang tongkat.

"Krak!"

Senjata makan tuan! Tulang lengan kiri Sitaraga patah urat-uratnya berputusan, patahan lengan putus dan mental, darah menyembur! Sitaraga melolong seperti serigala lapar di malam buta. Tubuhnya melintir miring. Suara Tanpa Rupa membungkuk sedikit dan hantamkan tongkat besi untuk kedua kalinya! Kini lengan kanan Sitaraga yang menjadi korban.

Perempuan berhati Iblis ini mengeluarkan lolongan lagi, lebih seram dari semula. Suara lolongnya terhenti dengan serta merta ketika tongkat besi yang dilemparkan Suara Tanpa Rupa menghancurkan tulang dadanya, menembus tubuhnya! Tubuh Sitaraga laksana kertas melayang bersama tongkat besi itu dan jatuh di tebing sungai, menggelinding ke bawah, masuk ke dalam sungai! Air sungai kelihatan merah dan tubuh manusia iblis itu sedikit demi sedikit tenggelam ke dasar sungai oleh beratnya tongkat besi.

Mahesa dan Wulansari telah banyak menyaksikan kematian manusia dalam berbagai bentuk dan cara. Tapi kematian Sitaraga yang mereka lihat dengan mata kepala sendiri itu sungguh menggidikkan. Untuk beberapa detik lamanya kedua mata mereka masih saja memandang ke arah sungai di mana mayat Sitaraga tenggelam dan berkubur di dasar sungai!

Kedua kekasih itu kemudian sadar. Mereka berdiri dan berlutut di hadapan Suara Tanpa Rupa. Orang tua sakti itu tegak tak bergerak, kedua matanya terpejam. Joko Cilik, anak rusa yang berada di pundaknya juga tidak bergerak-gerak.

"Guru," kata Mahesa. "Kami murid-muridmu menghaturkan rasa syukur serta terima kasih. Kalau tidak guru datang, pastilah kami sudah menjadi korban Sitaraga. Kami murid-muridmu juga merasa gembira sekali karena inilah untuk pertama kalinya sesudah tahunan kami dapat bertemu muka dengan guru. Untuk selanjutnya kami mohon petunjuk guru."

Untuk beberapa lamanya kesunyian menyelubung. Udara di tempat itu masih saja berbau daging mayat Waranganaya dan Niliman Toteng yang hangus terpanggang. Suara Tanpa Rupa tidak bergerak di tempatnya, kedua matanyapun masih terpejam. Kedua muridnya menunggu dengan tekurkan kepala. Sesaat kemudian baru orang tua tersebut bukakan mata dan bibirnya bergerak.

"Mahesa dan Wulan, murid-muridku. Semua yang kau saksikan di sini hari ini menjadi satu peringatan yang harus tidak kalian lupakan yaitu betapa kejahatan itu akhirnya akan hancur di ujung jalan kebenaran. Bahwa betapa akhirnya segala ilmu yang tinggi bagaimanapun jika dipakai untuk kejahatan akhirnya akan musnah tiada arti dihancurkan oleh kebaikan. Ini juga suatu pertanda bahwa segala apapun yang ada di dunia ini akan berakhir dengan seungguk tanah. Ilmu yang kalian miliki masih belum apa-apa, kalian masih harus banyak berlatih agar mencapai tingkat sesempurna mungkin. Sesempurna mungkin kataku karena tidak ada satu manusiapun yang sempurna betul-betul dalam segala hal di atas dunia ini! Ilmunya Sitaraga juga masih belum apa-apa. Demikian juga dengan ilmuku sendiri. Semua ilmu berdasar dan bersumber pada satu sumber, satu asal yaitu Yang Kuasa! Bisakah kita melawan atau menantang kepada sumber ilmu itu? Kepada ke Maha Besaran Yang Satu itu...?"

"Tidak guru," jawab Mahesa dan Wulansari 

Suara Tanpa Rupa anggukkan kepala. "Ingat semua itu baik-baik, murid-muridku. Langkah manusia di ujung nasib, nasib manusia di ujung langkah. Pertemuan kita cukup sampai di sini. Penghabisan kali, mungkin ada yang kalian tanyakan...?"

Mahesa Kelud teringat akan kata-kata Sitaraga tadi. 'Alangkah sialnya, guru dan murid sama saja malang nasibnya!' Apakah yang dimaksud Sitaraga dengan ucapan tersebut? Mengapa paras gurunya kelihatan merah sekali waktu mendengar kata-kata Sitaraga, apakah hal yang terjadi antara dia dengan Kemaladewi pernah pula terjadi atas gurunya?

Tak berani Mahesa berpikir sejauh itu. Meski dia kepingin tahu tapi kecut hatinya untuk ajukan pertanyaan. Dia tahu itu adalah urusan pribadi gurunya. Dan kalaupun memang Sitaraga pernah mencelakai gurunya maka sang guru sudah selesaikan urusannya dengan perempuan berhati iblis itu!

"Jika tidak ada pertanyaan, aku akan pergi...."

"Guru," kata Mahesa cepat.

"Ya?"

"Kami tadi telah menyaksikan bagaimana guru mengeluarkan pukulan-pukulan yang menimbulkan sinar putih menyilaukan ketika menghadapi Sitaraga. Kalau kami boleh tanya, ilmu pukulan apakah namanya itu...?"

"Dan bolehkah kami mempelajarinya?" meneruskan bertanya Wulansari.

Suara Tanpa Rupa lukiskan senyum di sudut bibirnya. "Pukulan itu bernama pukulan Api Salju. Dinamakan demikian karena mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan mata. Ilmu pukulan tersebut mempunyai dua hawa yang dahsyat yaitu panas laksana api tapi juga dapat menimbulkan hawa dingin laksana salju di puncak gunung. Kalian berdua jangan kecil hati. Waktu di goa tempo hari aku memang tidak mengajarkan pada kalian karena ilmu ini memang tidak boleh diajarkan, tapi harus dituntut langsung kepada sumbernya...."

"Kami mohon petunjuk guru untuk dapatkan ilmu pukulan itu," ujar Mahesa Kelud.

"Kalian berdua pergilah ke selatan," berkata Suara Tanpa Rupa. "Sampai akhirnya kalian temukan sebuah telaga mendidih berair putih seperti salju. Itulah sumber ilmu pukulan Api Salju. Kalian pergilah ke sana. Jika kalian berdua bernasib baik, kalian akan dapatkan ilmu itu. Tapi bila kalian bernasib malang, mungkin kalian akan tinggalkan nyawa di situ!"

Terkejutlah kedua murid tersebut. Mahesa hendak bertanya, namun saat itu sang guru sudah kelebatan tubuh dan lenyap dari pandangan mereka! Kejut mereka belum lagi habis ketika keduanya menyaksikan bagaimana tanah bekas tempat menjejak kedua kaki guru mereka kelihatan melesak sampai satu jengkal lebih!

Perlahan-lahan Wulansari berdiri dari berlututnya, Dia melangkah mendekati mayat Niliman Toteng dan mengambil pedangnya. Senjata sakti tersebut dimasukkanya kembali ke dalam sarung di balik punggung.

"Wulan, mari kita tinggalkan tempat ini," terdengar suara Mahesa. Si gadis balikkan tubuh. Pandangannya meneliti paras kekasihnya. Tak pernah sebelumnya Mahesa dipandang demikian rupa. Ini membuat pemuda itu jadi terheran.

"Ada apa kau pandang aku demikian rupa, Wulan?" tanya Mahesa.

"Kakak," suara gadis itu bergetar. "Apakah ucapan Sitaraga tadi benar adanya?"

Berdebar jantung si pemuda dengarkan itu pertanyaan. Lututnya menggoyah. "Ucapan Sitaraga yang mana maksudmu, Wulan?" tanya Mahesa pura-pura. Dia melangkah dan berdiri dekat-dekat di hadapan kekasihnya.

"Bahwa... bahwa kau pernah datang ke goanya... membawa seorang gadis cantik dan... dan... benarkah itu, Mahesa?"

Pemuda itu coba tekan perasaannya. Terjadi kobaran peperangan dalam kalbunya. Apakah akan dikatakannya bahwa ucapan perempuan Iblis itu dusta belaka atau diterangkannya saja dengan jujur dan terus-terang?

"Panjang ceritanya, adikku," kata Mahesa pada akhirnya. "Tapi biar aku terangkan padamu...."

"Jadi, jadi ucapan Sitaraga itu betul!?!"

"Betul, tapi...."

Wulansari jatuhkan diri ke tanah. Mukanya ditutup dengan kedua tangan. Dia menangis tersedu-sedu. Mahesa letakkan tangan kanannya di atas bahu gadis itu. "Wulan, kau jangan salah sangka. Semuanya itu...."

"Sudah diam!" bentak Wulansari tiba-tiba seraya berdiri. Matanya yang basah oleh air mata memandang beringas pada Mahesa. Saking terkejutnya dibentak seperti itu, si pemuda sampai undur langkah! "Mulai detik ini, aku bukan adikmu lagi! Bukan kekasihmu! Putus segala hubungan antara kita! Kau laki-laki bejat, hidung belang! Kotor!"

Serentak dengan itu Wulansari putar tubuh dan lari meninggalkan tempat itu. Mahesa termangu beberapa kejapan mata. Lalu dia bergerak lari menyusul.

"Wulan! Tunggu!" teriaknya.

Tapi gadis itu malah mempercepat larinya. Di satu tempat akhirnya Mahesa berhasil mengejar gadis tersebut dan memegang lengannya.

"Wulan, dengar! Jangan kesusu dan salah duga. Aku akan terangkan bagaimana peristiwa itu terjadi...."

Wulansari tarik tangannya. "Jangan sentuh tubuhku, pemuda kotor! Lepaskan!"

"Wulan kau...!"

"Lepaskan!"

"Tidak!"

"Kurang ajar! Manusia macammu ini lebih pantas mampus!"

"Sret!" Gadis itu cabut pedangnya dan "bret!" Pakaian putih Mahesa Kelud robek besar di bagian dada. Pemuda itu dalam terkejutnya dan karena gerakan Wulansari sangat cepat sampai dia tak sanggup mengelak. Masih untung ujung pedang hanya merobekkan pakaiannya. Mahesa melompat menjauh. 

"Wulan, sadarlah!"

"Diam! Jangan panggil namaku!" bentak si gadis kalap. Dia menyerang dengan ganas, mengeluarkan jurus ilmu "Pedang Dewi" yang paling ampuh!"

Mahesa dibikin kalang kabut berkelebat repot kian kemari. Tubuhnya terbungkus oleh gulungan sinar pedang merah sakti yang meniupkan angin membadai! Pemuda ini mengeluh. Bertangan kosong demikian rupa bagaimanapun lihaynya dia menghadapi gadis yang tengah marah itu namun cepat atau lambat pasti dirinya akan kena celaka juga!

"Wulan, sadarlah! Mari kita bicara dulu!"

"Keparat! Kau lebih pantas mampus, kataku!" Gadis itu memperhebat serangannya!

Sejak tadi Mahesa terus-terusan mengelak. Keadaan semakin kepepet. Dengan susah payah akhirnya dia bisa keluar dari gulungan pedang dan melompat jauh. Pemuda itu juga sudah kalap. "Wulan! Jika kau mau membunuhku, baiklah! Mungkin itu pantas kuterima sebagai balas dosa yang kuperbuat! Tapi bila aku sudah mati kelak, kau akan tahu bahwa semuanya itu bukan kehendakku. Aku ditipu oleh...."

"Hidung belang! Jangan bicara ngaco!" potong Wulansari. Dia menerjang. Pedangnya bersiuran dalam gerakan "menembus ombak membelah gelombang," memapas kearah kepala Mahesa Kelud. 

Mahesa tidak bergerak sedikitpun. Kedua matanya dipejamkan. Pemuda ini sudah siap untuk terima nasib. Melihat sikap ini, sekilas kesadaran memancar di kepala Wulansari! Dia kertakkan geraham dan membuat gerakan “cambuk emas lewati rembulan!" Tebasan pedang berubah arah dan lewat dengan segala kehebatannya setengah jengkal di atas kepala Mahesa Kelud!

Pemuda itu masih menunggu. Ketika itu terdengarlah suara tangisan Wulansari menggagahi telinganya. Terdengar pula suara pedang yang dibuang ke tanah. Tanpa bukakan kedua matanya berkatalah Mahesa Kelud. "Mengapa kau urungkan niatmu untuk membunuh aku, Wulan? Teruskanlah! Aku laki-laki hidung belang. Manusia kotor. Teramat pantas untuk lekas-lekas mampus! Teruskanlah, Wulan! Aku memang manusia berdosa!"

Tangis gadis itu semakin keras. Akhirnya Mahesa Kelud membuka kedua matanya kembali dan memandang kepada Wulansari dengan hati haru campur kecewa. Rasa kasih sayang kemudian membuat pemuda itu melangkah mendekati kekasihnya dan mengambil pedang yang menggeletak di tanah lalu menuntun Wulansari ke sebuah batu besar ditepi jalan dan mendudukkannya di sana.

Mahesa menunggu sampai tangis gadis itu mereda. Sesudah tangis Wulansari mulai mereda maka Mahesa segera menuturkan peristiwa besar yang telah menimpa dirinya akibat kejahatan terkutuk dari Sitaraga alias Iblis Buntung itu! Pada akhir keterangannya Mahesa bertanya. "Kau kini percaya padaku, Wulan?"

Gadis itu mengangguk di antara isakannya. Mahesa menyeka butiran-butiran air mata yang basah menderai di pipi lembut kekasihnya. "Mahesa...."

"Ya, adikku?"

"Kau... kau mau maafkan aku? Tadi aku sudah bicara kasar dan...."

Mahesa menutup bibir gadis itu dengan silangan jari telunjuk. "Orang kalap dan marah bisa berbuat dan berkata apa saja. Aku sudah maafkan kau adik...."

Wulansari sembunyikan kepalanya di dada pemuda itu. "Kau tidak marah, Mahesa...?"

'Tidak," bisik Mahesa ke telinga kekasihnya. Lalu mencium belakang telinga gadis tersebut. "Bagaimana kalau Kemaladewi dan gurunya mencarimu?"

"Ya... bagaimana," desis si pemuda dalam hati. Dia berdiam diri tak bisa berikan jawaban beberapa lamanya. Kemudian sambil membimbing berdiri dia berkata: "Biarlah tak usah kita bicarakan lebih lanjut persoalan itu. Ingat pesan guru. Mari kita pergi ke selatan...."

***
LIMA

MALAM pekat menggelap. Jari di depan matapun tidak kelihatan! Hujan mencurah deras seperti dituang dari langit. Angin dahsyat membawa udara dingin menusuk sumsum menyembilu. Guntur menggelegar bilangan kali. Penghuni hutan yaitu binatang-binatang buas gelisah dalam buruknya cuaca. Harimau mengaum, singa menggereng, gajah lari melanda semak dan merobohkan pepohonan. Serigala melolong. Gorila memekik dahsyat. Ular menggelung mendesis.

Sejak pagi tadi udara seperti itu, hujan tiada hentinya. Air sungai meluber membanjiri daerah yang dilewati arusnya. Samudera menggelombang. Malam masih lama sampai pada paginya dan hujan juga tidak hendak akan berhenti, terus mengucur bumi, seperti seorang mabok yang terus juga membasahi rangkumannya dengan arak dan tuak! 

Tiada malam sengeri itu. Udara dingin, angin keras. Pemandangan mata tertutup oleh air hujan lebat serta kepekatan. Bila kilat menyambar, alam terang sekejap lalu gelap menyelubung kembali!

Sekali lagi kilat menyambar maka sekelebatan kelihatanlah dua manusia berlari ke jurusan selatan. Siapakah keduanya yang begitu gila malam-malam demikian berada di udara terbuka yang sangat buruk, dikala angin membadai, hujan menderas?

Kilat menyambar lagi. Hanya sekejapan mata tapi itu sudah cukup untuk melakukan penelitian bagi sepasang mata yang tajam yang kebetulan memandang ke bawah lembah.

"Mahesa! Lihat di bawah sana!" Mahesa Kelud putarkan kepala. Tapi sinar kilat sudah lenyap dan pemandangan tertutup kembali oleh kegelapan. "Apa yang kau lihat Wulan?!"

"Telaga berair putih!"

Pemuda itu terkejut dan cekal lengan kekasihnya. "Kau tidak salah lihat?!"

"Pasti tidak."

"Kalau begitu... mari!"

Keduanya lari lagi di bawah lebatnya hujan. Suara lari mereka menderu memapasi angin. Bila kilat menyambar lagi maka keduanya sudah sampai ke tepi telaga. Cukup sekejapan mata saja yaitu ketika kilat menyambar tadi maka mereka sudah dapat melihat keadaan telaga dan sekitarnya. Telaga itu tidak seberapa luas. Airnya putih seperti salju. Dan anehnya dari dalam telaga tersebut mengepul asap putih.

Air hujan seperti tidak sanggup untuk menembus kepulan asap tersebut. Dan bila tanah-tanah leguk di sekitar lembab itu sudah pada luber dan banjir oleh air hujan yang menyanak maka air telaga sama sekali tetap tidak bertambah, tidak membanjir! 

Berdiri di tepi telaga tersebut, Mahesa Kelud dan Wulansari dapat merasakan hawa panas yang memancar dari dalam telaga! Inilah suatu keajaiban yang sukar dipercaya. Bahwasanya di tengah malam yang buta dingin, udara seperti salju menyembilu, air hujan turun deras menggebubu, telaga itu sama sekali tidak menjadi ikut tertelan hawa dingin, bahkan sebaliknya mengeluarkan kepulan asap panas!

Kalau tadi tubuh kedua kekasih itu basah kuyup oleh air hujan maka air hujan itu kini bercampur baur dengan butiran-butiran keringat! Baik Mahesa maupun Wulansari terpaksa undur sampai sepuluh langkah menjauhi tepian telaga! Mahesa Kelud memasang telinganya tajam-tajam ketika Wulansari di sampingnya menyentuh lengannya dan membisik.

"Kau dengar suara sesuatu, Mahesa?"

"Ya" sahut pemuda itu dengan berbisik pula. 

"Suara orang menyanyi.... Aneh!"

Memang adalah aneh bila di malam begitu rupa ada seseorang menyanyi! Mahesa memandang ke arah telaga dan berkata, "Suara nyanyian itu datang dari dalam telaga!" katanya kemudian.

"Betul. Tapi tidak mungkin bila ada seseorang di dalam telaga itu. Diam di sana dan menyanyi pula!"

"Tapi suara nyanyian itu memang datang dari sana!"

Keduanya berdiam diri pasang telinga. Mula-mula suara nyanyian itu hanya lapat-lapat kedengarannya karena suara air hujan yang deras dan angin yang membadai. Ketika suara hujan serta angin itu mengendur sedikit maka suara nyanyian agak menjelas.

"Bila hujan meninggi langit
Bila angin membadai laut
Bila gelap memekat malam
Duniapun menjadi gila

Manusia menjadi edan
Mengapa gila?
Tidak tahu...
Mengapa edan...?
Tidak tahu...

Mungkin inginkan ilmu
Mungkin inginkan nama
Mungkin antarkan nyawa..."


Suara nyanyian baitnya berakhir sampai di situ untuk kemudian di ulang lagi dari bait pertama, "Bila hujan meninggi langit... Bila angin membadai laut..." dan seterusnya sampai berulang kali.

"Mahesa," bisik Wulansari. "Mungkinkah nyanyian itu ditujukan kepada kita...?"

"Boleh jadi," sahut si pemuda.

"Apa yang kita lakukan?"

"Tunggu saja sampai hari terang."

Beberapa lama kemudian. Hembusan angin mulai pelahan. Dinginnya udara mulai berkurang, derasnya hujan mulai mereda. Di ufuk timur kelihatan seberkas sinar terang tanda surya dalam waktu singkat akan segera munculkan diri, tanda siang akan menggantikan malam.

Sejak malam tadi suara nyanyian diulang-ulang itu tiada kunjung berhenti. Anehnya ketika pantulan pertama sinar matahari menyentuh atas telaga maka mendadak sontak hilang lenyaplah suara nyanyian. Air telaga yang putih laksana salju itu membuih mendidih, menggelagak menggejolak, seakan-akan di bawah, di dasar telaga menyala api besar.

Kepulan asap menjadi-jadi dan panasnya udara di sekitar telaga tiada tertahankan sehingga Mahesa dan Wulansari terpaksa mundur lagi menjauh dan berlindung di balik batang kayu besar!

Didahului oleh suara jeritan panjang membelah langit maka tiba-tiba kelihatanlah air telaga muncrat ke atas sampai tujuh tombak tingginya! Sedetik kemudian ke tepi telaga melompat satu makhluk aneh seram. Tubuhnya tinggi sekali, hampir mencapai dua setengah meter.

Tidak selembar pakaianpun yang dikenakannya. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki tertutup oleh bulu-bulu panjang dan tebal berwarna putih mengapas. Hidung dan mulutnya sama sekali tidak kelihatan oleh tebal panjangnya bulu-bulu itu. Hanya sepasang matanya yang besar merah memandang menyorot menyeramkan.

Mahesa dan Wulansari yang sembunyi di balik pohon tidak dapat memastikan apakah makhluk aneh tersebut seorang manusia, atau raksasa, atau binatang ataupun setan penghuni telaga! Juga apakah makhluk ini yang menyanyi semalam-malaman tadi? Makhluk aneh dongakkan kepala ke langit. Sinar matahari memantul di kedua matanya yang merah seram. Lalu terdengarlah suaranya menyanyi.

Pohon besar banyak gunanya
Daun rindang burung bersarang
Batang besarnya untuk kayu papan
Ranting keringnya untuk kayu api
Manusia serendah lipas
Ingin unjukkan nyali besar
Tapi sembunyi di balik pohon


Makhluk aneh itu tiba-tiba angkat tangan kanannya lalu dipukulkan ke muka. Serangkum sinar putih, setiup angin dahsyat melesat menyilaukan mata ke pohon besar di balik mana Mahesa Kelud dan Wulansari berlindung!

"Bum!"

"Krak!" Pohon besar itu patah batangnya dan tumbang dengan menimbulkan suara hebat sekali. Kedua kekasih berlompatan jungkir balik selamatkan diri. Keringat dingin mengucur di kening mereka yang kini berkulit pucat.

"Makhluk aneh? Mengapa menyerang kami?!" tanya Mahesa.

Makhluk itu tertawa keras. Suara tertawanya mengandung tenaga dalam luar biasa hebatnya sehingga tanah bergetar dan daun-daun pohon bergemerisikan! "Kalian kunyuk-kunyuk yang terlalu berani! Kalian andalkan apa datang mengotori tempatku?"

Mahesa cepat menjura. "Harap maafkan kalau kami mengganggu ketenteramanmu, makhluk gagah...."

"Jangan memuji!" bentak makhluk itu.

"Makhluk aneh, kami murid-muridnya Suara Tanpa Rupa!" berkata Wulansari. Dia berharap sang guru adalah dikenal baik oleh makhluk tersebut.

"Aku tidak tanya!" semprot si makhluk. "Tahu apa akibatnya datang ke tepi telaga ini?!"

"Kami tidak bermaksud buruk. Kami...."

"Kunyuk! Aku tanya tahu akibat datang ke telaga ini?!"

'Tidak," jawab Mahesa.

Makhluk aneh tertawa keras. "Mampus direbus dalam telaga mendidih!"

Detik berakhirnya ucapannya itu maka tubuhnya lenyap dari pemandangan. Tahu-tahu Mahesa dan Wulansari merasakan tengkuk mereka dicekal oleh jari-jari tangan yang kuat dan besar-besar serta berbulu. Terdengar suara tertawa si makhluk aneh. Tubuh sepasang kekasih itu kemudian dilemparkan ke dalam air telaga putih yang mendidih dan mengepulkan asap! Mahesa dan Wulansari menjerit keras. Keduanya tahu bahwa tamatlah segera riwayat mereka.

"Byur! Byur!" Tubuh mereka susul menyusul masuk ke dalam air telaga! Aneh di balik aneh! Apa yang terjadi nyatanya tidak sebagaimana yang diduga kedua orang tersebut. Air telaga putih yang mendidih menggejolak, mengepulkan asap putih berhawa panas nyatanya sejuk dingin! 

Mahesa Kelud dan Wulansari berenang di tepi telaga. Tapi kali ini terjadi lagi keanehan. Karena bagaimanapun mereka coba berenang mencapai tepi telaga tapi tetap tidak berhasil. Keduanya berenang lurus ke muka.

Menurut pikiran mereka dan memang semestinya begitu, pasti mereka akan mencapai tepi telaga dalam waktu yang singkat. Namun nyatanya keduanya hanya berputar-putar di situ-situ juga seakan-akan telaga kecil itu adalah satu samudera raya yang luas, tiada berujung tiada bertepi!

Mereka mulai lemas. Napas menyengal dan tenaga mengendur. Mahesa coba andalkan ilmu mengentengi tubuhnya untuk membuat lompatan ke udara, tapi seperti ada tenaga kuat aneh menahan gerakan kedua kakinya ke atas hingga dia tak sanggup membuat lompatan tersebut!

Sementara kedua kekasih itu mati-matian berenang ke sana-sini untuk mencapai tepi telaga maka si makhluk aneh Api Salju tiada hentinya mengeluarkan suara nyanyian. Baik Mahesa maupun Wulansari tidak sempat lagi untuk dengarkan atau ambil perhatian akan apa yang dinyanyikan Api Salju itu. Keduanya sibuk berusaha untuk selamatkan diri dari telaga berair dingin seperti salju! 

Sehabis daya sehabis usaha keduanya kini tak sanggup lagi berenang bahkan menggerakkan tubuhpun tidak dapat! Kaki, tangan, sekujur tubuh mereka dingin kaku, kejang! Dan perlahan-lahan tubuh mereka amblas ke dalam air sedingin salju itu.

"Wulan!" seru Mahesa ketika air sudah mencapai lehernya. "Umur kita hanya sampai di sini rupanya!"

"Aku tidak penasaran mati di sampingmu, kakak!" sahut Wulansari.

Kedua matanya basah oleh air mata dan tubuhnyapun lenyap di telan air. Mahesa meramkan mata, tak sanggup dia menyaksikan lenyapnya kepala kekasihnya itu. Sebentar kemudian tubuhnya sendiripun amblas pula menyusul!

* * *
ENAM

KITA tinggalkan dahulu dua kekasih yang amblas ke dasar telaga itu. Entah keduanya masih dapat hidup, entah mereka akan berkubur di situ. Kita kembali pada seorang gadis jelita yang hidupnya telah dirusakkan oleh kebejatan hati dan kebusukan budi Si Iblis Buntung Sitaraga, yaitu Kemaladewi, murid Dewa Tongkat dari Lembah Rotan.

Sejak hari perpisahannya dengan Mahesa Kelud, sejak hari kembalinya gadis itu ke tempat kediaman gurunya maka sikap dirinya jauh berbeda dari sebelumnya. Kemala yang dahulu merupakan seorang gadis riang gembira, suka tertawa banyak bicara, sering melucu, kini berubah menjadi seorang gadis pendiam. Sepanjang hari senantiasa dia mengurung diri di dalam kamarnya.

Kalau tidak gurunya memanggil, dia tidak keluar. Bicarapun tidak banyak dan dia baru membuka mulut jika ditanya. Perubahan sikap ini tentu saja diketahui oleh Dewa Tongkat. Sang guru menduga bahwa muridnya gadis remaja itu tengah memikirkan dan melamuni seorang perjaka, seorang pemuda. Biasa demikian keadaannya jika seorang gadis tertambat hati di mabuk asmara!

Memang benar bahwa Kemaladewi tengah memikirkan perjaka. Memang betul! Bahwa gadis itu tengah lamunkan seorang pemuda! Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Dunia ciptaan Tuhan berputar juga terus, siang berganti malam, malam digantikan siang. Sudah empat kali bulan purnama muncul tapi orang yang diharap datang tak kunjung muncul! Mahesa Kelud tidak menampakkan diri!

Kegelisahan Kemaladewi tidak dapat diperkirakan karena merasakan perubahan yang terjadi pada dirinya. Dia sering muntah-muntah. Dia gemar pada makanan yang asam-asam! Dan hari kehari dirasakannya betapa perutnya tambah membesar. Dirasakannya betapa di dalam perut itu ada sesuatu yang bernafas, yang berjiwa, yang bergerak! Dia tahu dia hamil! Inilah yang dicemaskan dan digelisahkannya sepanjang hari!

Kandungannya bertambah besar juga sedang Mahesa Kelud, ayah dari anak yang dikandungnya itu tiada kunjung muncul! Berapa lama lagikah dia bisa menunggu? Berapa lama lagikah dia dapat menyimpan keadaan rahasia dirinya itu pada gurunya? 

Hampir setiap malam gadis ini tiada dapat picingkan matanya. Hampir setiap malam dia selalu menangis mengenang nasibnya yang malang dan mengingat Mahesa yang tak kunjung datang. Dia hampir-hampir putus asa. Kalau saja tidak ingat kepada Tuhan maulah rasanya dia menggorok leher menikam dada, bunuh diri!"

Bulan yang kelima kandungannya semakin besar dan semakin kentara. Kemaladewi, tak tahu lagi apa yang diperbuatnya. Akhirnya, di satu malam buta, secara diam-diam gadis itu melarikan diri dari pondok gurunya. Tak tahu ke mana dia harus pergi membawa untung perasaannya tak tahu dia kemana akan melangkahkan kaki membawa nasib malangnya!

Dua bulan dia berkeliling ke pelbagai penjuru mencari Mahesa Kelud. Dan dalam dua bulan itu kandungannya sudah membesar juga. Keadaan gadis ini sangat menyedihkan sekali. Dan tak sanggup lagi dia melanjutkan perjalanan. Suatu hari berhentilah Kemaladewi di tengah hutan. Dia duduk menjelepok di bawah sebatang pohon dan menangis tersedu mengenangi nasibnya yang malang itu.

Mendadak terdengar suara mengaum! Kemaladewi terkejutnya bukan main dan turunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Sepuluh tombak dihadapannya, diantara rerumputan semak belukar muncul kepala seekor harimau besar. Mulutnya menguak lebar memperlihatkan gigi serta taringnya yang panjang besar dan runcing! 

Suara aumannya menggetarkan rimba raya. Menggerinding bulu tengkuk gadis itu. Dia segera hendak berdiri karena yakin bahwa dalam sekejapan mata lagi pasti binatang buas itu akan melompat menerkamnya! Tapi mendadak sontak niatnya untuk selamatkan diri itu dibatalkannya! Kemala teringat pada nasib dirinya! Dalam keadaan serba menderita lahir dan bathin seperti itu, apalagi gunanya hidup?

Mahesa Kelud, manusia yang dicarinya dan bertanggung jawab tidak kunjung bertemu. Dari pada terus hidup menanggung malu memiliki anak tanpa ayah bukankah sebaiknya dia biarkan saja harimau itu mengoyak-ngoyak tubuhnya? Bukankah lebih baik mati dan bukankah memang sudah sejak lama dia kepingin mati?!

Gadis itu duduk kembali tenang-tenang. Si raja hutan buka mulutnya lebar-lebar dan mengaum. Kedua kaki mukanya diulurkan panjang-panjang sedang kepalanya merunduk. Binatang ini menggereng lalu melompat! Kemaladewi pejamkan mata. Dia rela menerima nasib demikian dari pada hidup terus!

Raja hutan yang lapar buas itu baru saja membuat setengah lompatan ketika setiup angin laksana badai menghantamnya dari samping kiri! Harimau itu mengaum dahsyat. Tubuhnya mental dan terguling di tanah sampai beberapa tombak jauhnya. Dan bersamaan dengan itu terdengar suara tertawa berkekehan disusul dengan ucapan-ucapan.

"Biung... bah! Ciluk! Ada kucing... eh kucing besar hendak makan tikus... eh tikus besar. Biung... biung! Ciluk, baaa...!!!" Sehabis ucapan itu terdengar suara langkah menggetarkan tanah!

Menyadari adanya hal yang aneh terjadi dihadapannya saat itu, Kemaladewi segera buka matanya! Apa yang dilihatnya hampir tak dapat dipercaya. Makhluk aneh melangkah besar-besar dihadapannya. 

Tubuhnya sebatas leher ke bawah tak ubahnya seperti seekor lutung besar, berbulu hitam tebal. Sebaliknya mukanya adalah muka manusia muda berparas gagah meskipun rambutnya panjang sampai ke bahu dan awut-awutan! Setiap langkah yang dibuat makhluk setengah manusia setengah lutung ini menggetarkan tanah dan menimbulkan angin. Debu dan pasir beterbangan!

Di samping kiri kelihatan harimau tadi tengah siap pula hendak melompat. Yang diserangnya kini adalah makhluk aneh tersebut. Harimau melompat. Makhluk aneh melangkah terus acuh tak acuh. Tapi dari kaki kanannya melesat angin tendangan sekuat topan. Tubuh harimau besar yang mengapung di udara mental dan kali ini tak ampun lagi, kepalanya pecah!

Kejut Kemaladewi bukan alang kepalang. Pastilah makhluk aneh ini memiliki kesaktian hebat luar biasa. Tanpa pikir panjang lagi gadis yang tengah hamil delapan bulan itu tegak dan jatuhkan diri di hadapan si makhluk. Karena tak tahu harus memanggil apa maka Kemaladewi berlutut dan menjura. Tapi makhluk tersebut tidak acuhkan dia melainkan melangkah terus seenaknya.

"Krak... krak... krak!"

Tubuh harimau mati yang terpijak oleh kedua kakinya berpatahan tulang-tulangnya! Selewatnya mayat harimau makhluk itu balikkan tubuh dan melangkah lagi ke jurusan Kemala, lewati gadis itu, kemudian membalik lagi dan begitulah dia mondar-mandir sampai beberapa kali.

Pada kali yang keempat makhluk itu lewat di depannya, Kemaladewi segera menjura dan berkata: "Saudara penolong, terima kasih atas pertolonganmu...."

Makhluk itu melangkah terus seenaknya. 
"Eh, siapa tolong siapa...? Biung... biung... Ciluk!"

"Kau, kau telah menolong aku dari terkaman harimau itu!" sahut Kemaladewi.

"Eee... eh. Kucing mau makan tikus tapi keburu mampus! Biung... biung!" Makhluk itu melangkah terus. Karena dia terus menerus melangkah di tempat yang sama maka mayat harimau yang menggeletak di tanah lama-lama menjadi hancur sama rata dengan tanah!

Kemaladewi tak habis heran melihat sikap orang itu. Bukan saja keadaan tubuhnya aneh, tapi gerak gerik dan kata-katanya pun aneh atau lebih tepatnya seperti lagak seorang gila.

"Saudara penolong, kau siapakah?" tanya Kemaladewi beranikan diri.

"Biung... biung ciluk! Baaa....! Siapa tanya siapa?!"

"Aku Kemaladewi...."

Makhluk itu tertawa aneh, lama dan panjang. Dia masih juga melangkah mundar-mandir. "Biung... biung, mengapa perutmu melendung?!"

Paras gadis itu menjadi merah karena malu.

"Eee... mengapa pipimu menjadi merah seperti bulan empat belas hari? Biung! Biung!"

Kemaladewi menggigit bibir. Kalau saja bukan makhluk aneh ini yang telah menolongnya tadi dari terkaman harimau maulah dia mencaci maki dan mendampratnya habis-habisan!

"Dewi Kemala," kata si makhluk menyebut nama gadis itu dengan terbalik! "Biung! Kau belum menjawab mengapa pipimu merah!"

"Saudara penolong, aku berhutang nyawa padamu. Tapi aku tak suka kalau kau bicara kurang ajar!" kata Kemaladewi.

Makhluk itu melangkah terus mundar-mandir dan tertawa dalam-dalam. "Aku kurang ajar? Memang kurang ajar! Biung! Mulutku harus ditampar!" Dia menggerakkan tangan kanannya. "Plak!" Tamparannya membuat parasnya yang gagah jadi merah.

Dugaan Kemaladewi bahwa makhluk aneh ini berotak miring alias gila semakin besar. Dia coba mengingat-ingat. Menurut gurunya dalam dunia persilatan ada beberapa tokoh sakti berotak miring. Diantaranya yang bernama Orang gila, Setan Sedeng, dan Tua Edan. Yang manakah makhluk yang disaksikannya saat itu?

"Saudara, apakah kau bukannya Setan Sedeng?" tanya Kemaladewi.

"Tobat biung!" Makhluk itu tertawa gelak,gelak. "Apakah parasku seperti setan?"

"Tidak memang..." mengakui gadis itu.

"Apakah aku sedeng?"

"Aku tidak tahu...."

"Goblok!"

"Siapa yang goblok?!" tanya Kemaladewi.

"Aku!" 
Dan makhluk itu tertawa. Kemaladewi juga jadi tertawa geli.

"Eeee biung! Kenapa ketawa?!"

Kemaladewi berdiri.

"Eee, kau mau ke mana Dewikemala?"

"Namaku Kemaladewi, bukan Dewikemala!" ujar si gadis.

"Biung, mau ke mana!"

"Meneruskan perjalanan!" jawab gadis itu. Sebenarnya dia berdiri hanya letih berlutut.

"Berjalan ke mana?"

Kemala tak menyahut karena memang dia tak tahu harus pergi ke mana. Si makhluk lewat lagi untuk kesekian kalinya dihadapannya.

"Eeee... perutmu melendung. Kau bunting ya?!"

"Aku tidak suka bicara macam begituan!"

"Kenapa tidak, biung!"

"Sudah!"

"Oooooo, kau marah ya? Nanti lekas tua!"

"Biar tua!"

"Nanti cepat mati!"

"Aku memang mau mati!"

"Biung! Tidak kasihan anakmu yang di dalam perut?!"

Kemaladewi terkesiap. Mulutnya terkunci. Tiba-tiba makhluk aneh menangis. Tangisnya sedih mendalam merawankan hati menyayat jantung. Tidak sadar, ingat pada nasibnya sendiri, tanpa terasa lagi Kemaladewi mulai pula mengisak. Si makhluk hentikan tangisnya.

"Kenapa kau terisak?" tanyanya. "Aku menyakitimu, ciluk?!"

Kemala menggeleng. Dia memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu.

"Eeeee... tunggu, kau mau kemana biung?!"

Si gadis melangkah terus tak acuhkan pertanyaan si makhluk gila. Makhluk itu hentikan langkah dengan terpaksa dan memburu.

"Dewikemala, kau... tunggu dulu." Diulurkannya tangannya yang berbulu memegang bahu gadis itu.

Kemala balikkan tubuh. "Jangan sentuh!" teriaknya marah.

Makhluk itu tarik tangannya cepat-cepat. Parasnya pucat tanda dia takut sekali akan kemarahan Kemaladewi.

"Kau mau apa!"

"Biung... aku... aku tanya mau ke mana kau?"

"Ada urusan apa?!"

"Aku ingin ikut bersamamu...."

Gadis itu terkejut sekali. "Gila!"

"Aku memang gila ciluk!" mengakui si makhluk. Ucapannya perlahan. Nada dan parasnya rawan, menyedih. Diam-diam si gadis merasa hiba terhadapnya.

"Mengapa kau ingin ikut denganku, saudara?"

"Karena aku kasihan pada kau dan...."

"Dan apa?"

"Dan aku suka padamu. Aku ingin dekat-dekat padamu...."

Merah wajah si gadis. Tangannya dipentang. "Plak!" Tamparannya mendarat di pipi makhluk tersebut. Anehnya si makhluk Cuma tundukkan kepala. Ketika dia angkat kepala, kelihatanlah matanya berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa, tanpa tunjukkan sikap otak miringnya, dia putar tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu.

Kemaladewi termangu. "Hai tunggu!" Serunya tiba-tiba. 
Makhluk itu hentikan langkah. "Kalau aku ajak kau, kau mau turuti segala perintahku?"

Yang ditanya mengangguk. "Kau berjanji tidak akan berbuat kurang ajar?"

Makhluk itu mengangguk lagi.

"Namamu siapa?"

"Lutung Gila."

"Baik, kau boleh ikut aku Lutung Gila."

Lutung Gila tertawa gembira dan bertepuk tangan serta berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Tiba-tiba dia hentikan semua perbuatannya itu. "Tapi, bagaimana dengan suamimu, ciluk! Tentu dia cemburu dan marah bila melihat kita jalan sama-sama...."

"Aku tidak punya suami."

Lutung Gila melongo bengong. "Biung ciluk! Kalau kau tak punya suami bagaimana... bagaimana perutmu... ah! Aku tidak mengerti!"

"Lain hari aku terangkan padamu, Lutung Gila." Kemala terkesiap sejurus, mengapa dia menjanjikan hal itu kepada makhluk aneh? "Nah Lutung Gila, mari kita pergi."

"Mari. Kemana kita...?"

Sebenarnya gadis itu sendiri tak tahu kemana harus pergi. Dia berpikir-pikir. "Kita mencari dua manusia dajal!" katanya kemudian.

"Biung! Dua manusia dajal? Siapakah ciluk?!"

"Pernah dengar tentang seorang perempuan jahat berjuluk Iblis Buntung?"

"Pernah. Mengapa dia?"

Karena percaya pada Lutung Gila, Kemala tak malu-malu lagi menuturkan secara singkat perbuatan jahat Si Iblis Buntung alias Sitaraga. Lutung Gila menarik napas dalam dan golengkan kepala.

"Iblis Buntung bukan lawan enteng ciluk! Tempatnya tidak tetap. Aku tidak remehkan kau, tapi sepuluh manusia macammu bisa dilalapnya mentah-mentah!"

Kemaladewi mengkerutkan kening. Apa yang diucapkan Lutung Gila memang benar. Tiba-tiba dia mendapat akal. "Kalau begitu percuma kau ikut aku jika nanti tak mau menolong!"

"Biung! Maksudku bukan demikian ciluk. Baa...! Untukmu aku berani taruhkan nyawa! Tapi sebelum mencari musuhmu itu sebaiknya kau ikut aku ke tempatku!"


TUJUH

"PERLU apa aku pergi ke sana! Tidak sudi!"

"Icuh... icuh! Tempatku memang buruk! Kotor! Tak pantas didatangi gadis macammu! Tapi kalau kau tahu di sana ada siapa, kau pasti mau datang!"

Kemaladewi jadi tertarik. "Memangnya ada siapa di tempatmu?" tanya gadis ini. "Ada Raja Lutung."

"Siapa dia?"

"Kawan dan guruku! Kau tahu ciluk! Ilmunya banyak. Kalau kau ke sana kau pasti diberinya pengajaran dan kita bisa berlatih!"

Kemaladewi semakin tertarik. Dia sudah menyaksikan kehebatan makhluk gila ini tadi. Kalau Raja Lutung adalah gurunya tentu Raja Lutung seorang yang luar biasa dahsyatnya, banyak ilmu dan sakti!

"Biung ciluk...! Kau mau pergi...?" Gadis ini masih berpikir-pikir. "Kalau kau dapat ilmu dari kawanku, kau pasti bisa kalahkan Sitaraga? Dan kau pasti bisa mencari itu pemuda yang tidak bertanggungjawab. Kau suka pergi, ciluk...?!"

"Aah..."

Lutung Gila tertawa lebar. Parasnya menarik sekali cuma sayang keadaan tubuhnya yang seperti binatang itu. "Tempatku memang jauh. Di pulau Bawean! Di tengah Laut. Tapi kau tak usah khawatir, aku sedia menggendong kau ke sana ciluk. Man,..."

"Cis! Siapa sudi digendong sama kau!" tukas Kemaladewi menjauh.

"Dengan jalan kaki sampai kiamat kita baru sampai ke sana ciluk!"

"Aku sanggup berlari," sahut Kemaladewi.

"Eeeee... perutmu yang gendut itu mau dikemanakan? Kau mau anakmu memberojot di tengah jalan...."

"Lutung Gila! Jaga mulutmu!" bentak Kemala.
"Ayo, kau larilah, biar aku ikuti dari belakang!" kata Kemaladewi.

"Icuh... icuh! Jangankan lari, melangkahpun aku kau belum tentu bisa mengejar Ciluk!" kata Lutung Gila. Makhluk itu putar tubuhnya dan melangkah.

Anehnya, Kemala melihat jelas bahwa Lutung Gila hanya membuat tak lebih dari lima langkah, tapi tahu-tahu sudah berada lebih dari lima belas tombak di muka sana! Kemala segera lari menyusul. Namun betapapun dia kerahkan tenaga dalamnya, betapapun dia keluarkan ilmu lari ajaran gurunya Si Dewa Tongkat tetap saja dia tak bisa menyusul.

Lutung Gila yang melangkah seenaknya, tapi tetap saja dia ketinggalan sampai dua tiga puluh tombak di belakang! Sialnya Lutung Gila melangkah itu sambil tiada hentinya menyanyi! Nafas Kemaladewi menyengal. Perutnya sakit. Dia terpaksa hentikan larinya.

"Lutung Gila!" serunya. Tunggu!"

Lutung Gila menghentikan langkahnya dan membalik. "Biung, ada apa?! serunya bertanya.

"Larimu terlalu cepat...!"

"Eeee... siapa bilang aku lari? Hik... hik!"

Kemaladewi melangkah ke hadapan Lutung Gila.

"Eee... kenapa hidungmu kembang kempis kenapa pipimu merah, kenapa parasmu megap-megap dan kenapa kau keringatan, ciluk?!"

"Kenapa... kenapa! Kau yang lari terlalu cepat!"

"Aku tidak lari, ciluk!"

"Lari atau tidak tapi kau tinggalkan aku!" ujar Kemaladewi.

"Icuh... icuh! Lutung Gila tadi sudah bilang agar digendong tapi kau keras kepala mau lari! Kenapa salahkan Lutung Gila? Baaa...?!"

Gadis itu menggigit bibirnya terdiam. "Baiklah, kau boleh gendong aku," katanya kemudian dengan malu-malu.

"Na... na... naaa... coba dari tadi! Kan kau tidak letih ciluk!" Lutung Gila tertawa geli. Sekali tangannya bergerak maka tubuh Kemaladewi sudah berada di pundak kanannya. "Pegang rambutku erat-erat, ciluk!"

Kemaladewi memegang rambut Lutung Gila. Sekali makhluk itu enjotkan kaki ke tanah maka tubuhnya pun melesat laksana panah lepas dari gendewanya. Ilmu lari Lutung Gila luar biasa bukan main! Kemala hampir-hampir tak dapat melihat dengan jelas setiap pohon-pohon atau benda apa saja yang mereka papasi.

Daun-daun pohon bergemeresikan. Ranting-ranting bergoyangan. Debu dan pasir menggebubu beterbangan di belakang. Gadis itu tak ubahnya merasakan seperti duduk melayang di atas punggung seekor burung besar, dibawa terbang! Mereka tiba di tepi pantai. 

"Ciluk, kau tentu letih. Istirahatlah dahulu!" kata Lutung Gila sambil menurunkan Kemaladewi dari atas pundaknya.

"Lutung Gila, mengapa kau terus-terusan panggil aku dengan ciluk, ciluk!" tanya Kemaladewi seraya betulkan letak pakaiannya di bagian perut.

"Itu baaa... itu kemauanku!"

"Kemauan tinggal kemauan. Tapi apa artinya ciluk?"

"Artinya? Eeee... tidak tahu!"

Gadis itu geleng-gelengkan kepalanya. Waktu didukung di atas bahu tadi, sepanjang perjalanan dia telah menyaksikan dari dekat paras Lutung Gila. Kegagahan makhluk setengah manusia setengah lutung itu ternyata tidak mengecewakan hati si gadis. Sikap dan tutur katanya yang lucu, meski kadangkala kurang ajar menggemaskan tapi semuanya itu diliputi kejujuran.

"Dewikemala...."

"Lagi-lagi kau panggil namaku terbalik!" tukas Kemaladewi.

"Memangnya dibalik tidak bagus ciluk?"

"Sudahlah jangan bicara ngaco! Mari kita teruskan perjalanan."

"Letihmu sudah hilang?!"

"Siapa bilang aku letih?!"

"He he." Lutung Gila menyeringai. Barisan gigi-giginya rata dan putih berkilat. Dia menunjuk ke tengah lautan. "Kau lihat pulau di ujung sana itu?"

Kemala mengangguk.

"Kesanalah tujuan kita, pulau Bawean. Mari...." Lutung Gila hendak menaikkan gadis itu ke atas bahunya kembali.

"Eh, tunggu dulu, Lutung Gila."

Lutung Gila kerenyitkan kening. "Baaa... kau malu lagi digendong ya?! Tadi kenapa mau?!"

"Tidak... tidak malu," sahut si gadis meskipun parasnya kemerahan.

"Biung... Icuh icuh! Kalau pipimu kemerahan, parasmu tambah cantik ciluk!"

"Plak!" Tamparan Kemaladewi jatuh di pipi Lutung Gila.

Anehnya kali ini Lutung Gila tertawa keras dan senang. "Sudah dua kali... sudah dua kali!"

"Apa yang sudah dua kali?!" tanya Kemala.

"Sudah dua kali kau tampar aku, aduh biung!"

"Kau mau ditampar lagi?!"

"Mau eh tidak! Hi hik hik!" Lutung Gila tertawa geli. Si gadis menggigit bibir menahan gelaknya. "Sudahlah ciluk, mari kita berangkat."

"Lutung Gila, dengan apa kita ke pulau itu?"

"Baa... dengan apa tanyamu? Dengan kaki tentunya ciluk!"

"Lutung Gila, biar otakmu miring tapi jangan terus-terusan bicara main-main denganku!" memperingatkan Kemaladewi karena merasa diperolokkan.

"Biung! Siapa mainkan siapa?"

"Kau! Masakan menyeberangi lautan dengan jalan kaki?!"

"Habis?!"

"Dengan perahu tentunya!"

Lutung Gila tertawa gelak-gelak. "Kau belum tahu siapa Lutung Gila. Ah, marilah!"

Disambarnya pinggang Si gadis, dinaikkannya ke atas pundak. Lalu berlarilah dia menghambur ke laut! Apa yang dilihat Kemaladewi benar-benar hampir tak masuk diakalnya. Dari gurunya memang dia pernah dengar semacam ilmu yang bisa dipergunakan untuk jalan atau lari di atas air.

Tapi baru hari inilah dia menyaksikan ilmu luar biasa tersebut! Dengan mendukung Kemaladewi di atas pundaknya, Lutung Gila berlari cepat di atas permukaan air laut, memapasi gelombang-gelombang kecil yang menggulung menuju tepi pantai, air laut bermuncratan di kiri kanan dan di belakang kedua kakinya!

"Lutung Gila! Kau hebat sekali!" memuji gadis itu tanpa sadarnya.

Lutung Gila tertawa girang dipuji demikian rupa. Larinya dipercepat. "Aku tidak hebat, Lutung Gila tidak hebat! Ada lagi yang lebih hebat. Kawanku Si Raja Lutung! Dan dia pasti ajarkan berbagai ilmu kepadamu ciluk!" 

"Betul, Lutung Gila?"

"Betul... benar... sungguh... pasti! Biung icuh!"

Kemaladewi girang sekali mendengar itu. Pastilah dia akan memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Pastilah dia akan dapat menuntut balas terhadap Sitaraga dan pastilah dia akan berhadapan dengan Mahesa Kelud untuk minta pertanggung jawab pemuda itu!

Sejak duka derita melanda dirinya, sejak kehancuran hati menimpanya, sejak keputusasaan menyelubunginya maka sesungguhnya sejak saat itulah rasa rindu, rasa kasih sayangnya terhadap Mahesa Kelud, pemuda yang pernah dicintainya, berubah menjadi rasa benci yang berkobar menyala, mendendam berurat berakar!

Sitaraga biang racun penyebab bahala menghancurkan hidupnya dan Mahesa Kelud pemuda pengecut rendah budi tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya! Mahesa dan Sitaraga adalah sama saja! Demikianlah Kemaladewi mencap kedua orang tersebut!

Akhirnya mereka sampai juga ke pulau Bawean. "Oho, kita sudah sampai ciluk. Kita langsung ke goa!" kata Lutung Gila pula. Dia lari disela-sela pepohonan dan baru berhenti di hadapan sebuah mulut goa yang besar sekali!

"Icuh... icu...! Raja Lutung... kawanku... guruku, aku Lutung Gila kembali. Icuh icuh!" kata Lutung Gila seraya turunkan Kemaladewi ke tanah.

Sesosok tubuh setinggi tiga meter keluar dari dalam goa. Inilah Raja Lutung. Tubuhnya benar-benar seekor lutung dari kepala sampai ke kaki. Menggerindil bulu kuduk Kemaladewi melihat binatang ini, lebih-lebih ketika Raja Lutung memekik tinggi membuka mulut lebar-lebar memperlihatkan gigi-gigi serta taringnya yang besar panjang dan runcing!

"Icuh... icuh! Dewi... Raja Lutung tertawa menyambut kedatanganmu. Beri hormat kepadanya!"

Kemaladewi menjura. Raja Lutung memekik lagi melengking. Mau pecah rasanya anak telinga oleh pekikan yang dahsyat itu! Tiba-tiba Raja Lutung menerjang ke muka menyerang Kemaladewi! Dalam terkejutnya gadis itu masih sempat hindarkan diri. Tubuhnya menggelinding terkena sambaran angin serangan! Untungnya dia bisa membuat gerakan yang tidak membahayakan kandungannya. Sesaat kemudian dalam langkah grabak-grubuk tak karuan Raja Lutung menyerang lagi!

"Icuh... icuh! Haaa...! Dewi... kau untung... kau untung! Apa kataku! Lihat, kawanku tengah mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong! Ayo perhatikan gerakan kaki dan tangannya! Tirukan, kau pasti bisa!"

Kemaladewi meskipun kaget dan terheran tapi mengikuti juga apa yang dikatakan Lutung Gila. Serangan grabak-grubuk yang dilakukan oleh Raja Lutung tidak cepat, mudah diperhatikan dan ditiru. Dalam dua tiga kali saja Kemaladewi yang memang berotak cerdas sudah dapat melakukan gerakan-gerakan seperti yang dibuat Raja Lutung, bahkan ketika gerakannya dipercepat, maka beberapa jurus ilmu pukulan aneh itu sudah bisa difahaminya! 

Lutung Gila riang sekali dan bertepuk-tepuk tangan! "Baaa... yah... bagus! Hup... Icuh! Boaa... biung, kau hebat ciluk!"

Demikianlah, nasib yang malang melintang telah membawa Kemaladewi anak murid Dewa Tongkat ke pulau Bawean dimana diam seekor lutung sakti, dengan siapa kemudian gadis itu mendapat segala macam pengajaran ilmu aneh luar biasa, yang jarang ada tandingannya dalam dunia persilatan di masa itu!

***
DELAPAN

SIAPAKAH sebenarnya Lutung Gila? Di Ujung Kulon berdiam seorang Empu sakti bernama Empu Sora. Nama tokoh ini dalam kalangan dunia persilatan dikenal sebagai tokoh golongan putih. Empu Sora mempunyai beberapa orang murid. Seorang di antaranya adalah Jayengrana. Pemuda ini berparas cakap dan paling disayangi oleh Empu Sora. 

Tapi dasar di dunia ini bisa terjadi apa saja yang diluar dugaan dan kehendak manusia, maka pada suatu hari Jayengrana, telah membuat satu kesalahan besar, melanggar pantangan perguruan, memberi malu Empu Sora. Sesudah mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, yaitu digebuk seribu kali mulai dari kepala sampai ke ujung kaki maka Jayengrana diusir dari perguruan!

Gebukan-gebukan hukuman yang diterima pemuda itu membawa akibat yang tidak baik. Beberapa urat syarafnya putus rusak. Otaknya geger. Hingga pemuda gagah berilmu tinggi itupun menjadi miring otaknya. Hampir satu tahun lamanya dia malang melintang di rimba hijau, menimbulkan kejadian-kejadian yang menggemparkan dunia persilatan.

Sampai pada suatu hari di tengah rimba raya yang tiada tembus sinar matahari Jayengrana menemukan seekor lutung besar berada dalam keadaan terluka parah akibat patokan ular hijau berbisa! Jika tidak segera mendapat obat maka dalam tempo tiga hari tamatlah riwayat binatang itu!

Meskipun berotak miring, tapi segala pengajaran gurunya sama sekali tidak dilupakan oleh Jayengrana. Dia tahu betul bahwa bila seseorang dipatuk ular hijau, satu-satunya obat ialah dengan memamah dan mengunyah lidah ular hijau yang penuh racun itu. Antara racun yang dimamah dan racun yang mengalir dari liang luka akan terjadi bentrokan saling gempur hingga akhirnya racun itu akan lumpuh sendiri dan orang atau binatang yang tadi dipatuk akan sembuh!

Satu hari satu malam lamanya Jayengrana mencari ular hijau. Akhirnya sore hari kedua dia berhasil juga menemukan seekor binatang tersebut. Ketika dia kembali keadaan lutung raksasa itu sudah payah sekali. Jayengrana segera masukkan lidah ular hijau ke dalam mulut binatang itu.

"Kunyah! Kunyah! Telan... telan!" kata Jayengrana berulang-ulang.

Sang lutung rupanya tahu pula apa yang dikatakan Jayengrana dan memapak lidah ular hijau dalam mulutnya. Binatang itu kemudian jatuh pingsan. Tapi keesokan paginya lukanyapun sembuhlah! Ternyata lutung besar itu bukanlah binatang biasa! Jayengrana bersahabat baik dengannya dan suatu hari pemuda sinting itu dibawanya ke pulau Bawean dan disinilah Jayengrana diajarkannya berbagai macam ilmu aneh yang jarang kelihatan dalam kalangan persilatan!

Oleh Raja Lutung, Jayengrana diberikan sejenis pakaian yang terbuat dari kulit lutung. Pakaian itulah yang dikenakan Jayengrana dan tak pernah dilepas-lepaskannya! Jayengrana sering meninggalkan pulau Bawean, mengelana membuat kegegeran di kalangan dunia persilatan. Lambat laun diapun dikenal dengan julukan Lutung Gila!

***

Enam bulan berlalu...

Di pulau Bawean telah lahir seorang anak laki-laki. Anak Kemaladewi. Anak yang berumur beberapa bulan itu dinamakan Lutung Bawean. Yang sangat menyedihkan dan mengiris hati Kemaladewi ialah bila dia melihat paras oroknya karena paras orok tersebut sama sekali dengan paras Mahesa Kelud. Hidungnya, matanya, bibirnya... semakin besar semakin jelas lagi persamaan-persamaan itu!

Suatu hari Kemaladewi menggendong Lutung Bawean di tepi pasir pulau. Dia memandang ke tengah lautan. Lutung Gila tegak disampingnya. Kemala yang telah tahu riwayat Lutung Gila, bertanya pada Lutung Gila.

"Lutung Gila, kau ingat janjimu tempo hari bahwa kau akan patuh dan menurut setiap perintahku?"

"Icuh biung! Tentu saja!" jawab Lutung Gila. "Memangnya kau mau suruh aku apa, ciluk?"

"Dengar baik-baik, Lutung Gila. Kau harus berjanji padaku bahwa kepada siapapun kau harus katakan bahwa aku adalah istrimu."

Kedua mata Lutung Gila melotot besar. Mukanya memucat. Lalu dia tertawa terbahak-bahak. "Dunia sudah terbalik agaknya! Icuh-icuh! Kau atau aku yang gila, Dewi? Kau yang sinting atau aku yang sedeng? Icuh biung!" Dia tertawa lagi panjang-panjang.

"Lutung Gila!" bentak Kemaladewi.

Lutung Gila terkejut dan hentikan tertawanya. Dia jadi ketakutan sendirinya waktu melihat paras Kemaladewi yang membayangkan kemarahan.

"Kau mau turut kataku atau tidak, Lutung Gila?!"

"Ma... mau, eh tapi Dewi. Aduh biung!"

"Tapi apa?! Kau mau membantah ya?!"

"Tidak ciluk! Biung, biung. Baiklah... baiklah Dewi. Kepada semua orang akan kukatakan bahwa... bahwa kau adalah mertuaku..."

"Eh..." Meskipun geli, Kemala hampir tak dapat menahan kejengkelannya. "Bukan mertua, tapi istrimu! Tahu?!"

"Ya... yaaa. Pada semua orang, juga pada jin laut sekalipun akan kukatakan bahwa kau adalah istriku. Naaaah kau puas ciluk?"

"Belum!"

Lutung Gila kerenyitkan kening.

"Dengar. Bila ada orang yang bertanya-tanya anak siapa Lutung Bawean ini maka kau harus jawab dia adalah anakmu. Mengerti?!"

"Tobat biung!" seru Lutung Gila. Dia mundur beberapa langkah dan memandang penuh heran pada Kemaladewi. "Mana mungkin ciluk! Mana mungkin aku Lutung Gila bisa beranak! Aku laki-laki, pasti semua orang tidak mau percaya! Tobat biung! Tobat biung! Siapa sedia dibilang jadi banci? Laki-laki beranak! Tobat!"

"Eee Lutung Gila! Jangan ngaco! Bukan kau yang beranak tapi aku. Aku istrimu dan anak ini adalah anakmu dilahirkan dariku! Jelas?!"

"Aduh biung... susah! Susah kalau begini! ujar Lutung Gila.

"Susah! Susah! Apa yang disusahkan?! Bilang saja kau tidak mau patuhi perintah!" semprot Kemaladewi.

"Icuh... tidak... tidak. Tapi... aduh baiklah Dewi. Baik! Aku turut kata-katamu. Tobat biung...! Tobat!"

***

Lembah Rotan...

Menghilangnya Kemaladewi, murid satu-satunya dari Dewa Tongkat sangat merusuhkan hati orang tua sakti tersebut. Tak tahu dia kemana gadis itu pergi dan apa yang menyebabkannya pergi namun dia maklum bahwa ada sesuatu peristiwa besar yang terjadi atas diri muridnya itu.

Beberapa bulan sudah berlalu maka Dewa Tongkat mendengar kabar bahwa muridnya itu berada di pulau Bawean, kawin dengan Lutung Gila dan sudah punya anak! Alangkah marahnya Dewa Tongkat. Kesalahan yang dibuat Kemaladewi sudah lebih dari takaran.

Pertama, melarikan diri pergi tanpa pamit. Kedua kawin tanpa seizinnya selaku guru dan yang diperlaki ternyata manusia berotak miring. Lutung Gila! Belum ada satu tahun gadis itu meninggalkan lembah Rotan, lalu tahu-tahu sudah beranak! Pastilah sebelum kawin Kemaladewi telah berbuat mesum dengan Lutung Gila... atau mungkin juga dengan lain laki-laki!

Sebagai tokoh persilatan yang dihormati dan disegani lawan serta kawan, mau diletakkan kemana mukanya? Kemaladewi telah memberi malu besar yang tiada terkirakan! Akhirnya bulatlah tekad Dewa Tongkat untuk berangkat ke pulau Bawean, pergi untuk menghukum murid yang telah berlaku kurang ajar, memberi malu nama besarnya!

Beberapa hari kemudian Dewa Tongkat sampai ke sebuah bukit kecil. Di bawahnya kelihatan pasir menghitam dan di muka sana membentanglah lautan luas. Nun jauh di tengah laut samar-samar kelihatan sebuah pulau. Pulau Bawean. Dengan gunakan ilmu larinya yang hebat Dewa Tongkat turuni lereng bukit. Dalam tempo yang singkat orang tua ini sudah sampai di tepi laut.

Di tengah memandang berkeliling mencari-cari perahu penyeberangan ketika di lereng bukit dimana dia tadi berada kelihatan satu sosok tubuh manusia berpakaian hijau lari menuruni bukit. Diam-diam Dewa Tongkat harus mengakui kehebatan ilmu lari manusia itu dan tahu bahwa dia ketinggalan satu dua tingkat. Dalam beberapa kejapan mata saja manusia baju hijau sudah sampai di hadapan Dewa Tongkat!

Ternyata si baju hijau seorang tua renta yang seumur dengan dia sendiri. Dan terkejutlah Dewa Tongkat ketika dia mengenali siapa adanya orangtua itu. Buru-buru dia menjura menghormat.

"Ah daratan membentang, laut meluas. Nasib manusia diatur kodrat. Tak sangka hari ini aku akan bertemu muka dengan Empu Sora, tokoh ternama di dunia persilatan."

Orang tua baju hijau yang ternyata adalah Empu Sora guru Lutung Gila tertawa lebar dan balas menjura. "Betul sekali sahabatku. Nasib manusia diatur kodrat. Tapi gerangan angin apakah yang membawa Dewa Tongkat ke tepi pantai sunyi ini?"

Dewa Tongkat silangkan tangan di muka dada. Parasnya yang tua kelihatan masygul. "Persoalan yang menusuk mata, kabar yang mencucuk telinga, berita yang menjengahkan muka, itulah yang membawa aku sampai ke sini, sahabat. Dan sungguh kebetulan sekali kita bertemu di sini."

Empu Sora sudah maklum apa yang membawa Dewa Tongkat ke tepi pantai selatan itu. Dia berkata, "Dewa Tongkat, agaknya peristiwa yang samalah yang menemukan kita disini. Bukankah kau bermaksud ke pulau Bawean untuk menemui muridmu yang kabarnya kawin dengan muridku si Jayengrana yang kini bernama Lutung Gila itu?"

"Ah, tepat sekali! Tepat sekali Empu Sora," sahut Dewa Tongkat. "Kita orang tua-tua mana bisa berlepas tangan diberi malu demikian rupa? Tokoh-tokoh dunia persilatan pastilah mengejek kita sebagai manusia-manusia tua renta yang pikun!"

Empu Sora manggut-manggut beberapa lamanya. "Benar sahabatku. Muridku Jayengrana perbuatannya sudah keliwat batas! Dulu dia melanggar perintah melampaui pantangan, memberi malu perguruanku. Setelah digebuk dan diusir bukannya dia menjadi ingat dan tobat tapi malah malang melintang di rimba raya, merampok dan membunuh! Lalu kini dia buat lagi hal-hal yang mencemarkan namaku dan nama perguruan! Sudah keliwat pantas bila kita yang tua datang kepadanya untuk memberi hajaran!"

"Ah, senang sekali aku mendengar bahwa kau juga bermaksud ke pulau Bawean menemui muridmu. Maksud sama, tujuan sama bukankah sebaiknya kita juga pergi sama-sama...?"

"Suatu kehormatan," sahut Empu Sora.

"Marilah kita kemudik sana mencari perahu penyeberangan," kata Dewa Tongkat pula.

"Sahabatku, mengapa susah-susah pergi jauh-jauh hanya untuk mencari perahu buruk? Disini banyak perahu!" sahut Empu Sora.

Belum habis rasa heran Dewa Tongkat akan kata-kata Empu Sora maka dari balik jubah hijaunya Empu Sora sudah keluarkan sebilah pedang hijau. Sinar matahari berkilauan di mata pedang. Sekali senjata itu berkelebat maka sebatang pohon kelapa yang berada di dekat situ terbabat puntung! Belum lagi bagian yang puntung tumbang ke atas pasir maka pedang hijau kelihatan bergerak sebat kian ke mari menimbulkan suara angin berisik dan seketika kemudian maka tahu-tahu di atas pasir sudah terletak sebuah perahu! Di sekitar perahu bertebaran potongan-potongan kecil batang-batang kelapa!

Terkejutlah Dewa Tongkat melihat kelihayan Empu Sora. Dengan jujur dia menjura dan memuji. "Ah, rupanya kehebatan nama Empu Sora di dunia persilatan bukan kosong belaka! Dewa Tongkat yang rendah memuji dengan sejujurnya!"

Empu Sora batuk-batuk dan masukkan pedangnya kembali ke balik punggung jubah hijau. "Nah Dewa Tongkat, mari kita berangkat!" katanya. Serentak dengan itu perahu dari batang kelapa ditendangnya dengan kaki kiri sampai mental ke atas air laut. Dia menjejakkan kedua kakinya, tubuhnya melayang. Ketika mendarat diatas perahu, sedikitpun perahu batang kelapa itu tidak bergoyang! Bukan main hebatnya ilmu mengentengi tubuh Empu Sora.

Dewa Tongkat tidak mau kalah. Dia segera susul melompat. Juga perahu tidak bergoyang ketika kedua kakinya mendarat di bagian belakang. Sambil cabut tongkat rotan berkeluknya berkatalah Dewa Tongkat. "Aku yang rendah biarlah duduk di belakang mendayung dan memegang kemudi!"

Dia celupkan tongkatnya ke dalam air laut. Sekali benda itu digerakkannya ke belakang maka laksana topan menghembus demikianlah dahsyatnya perahu tersebut meluncur ke muka membelah gelombang. Air laut bermuncratan di kiri kanan. Empu Sora berdiri dengan rangkapkan tangan di bagian muka perahu.

Dewa Tongkat hanya menggerakkan tongkat rotannya lima enam kali. Sejurus kemudian perahu itupun sudah menggeser tepi pasir di pulau Bawean. Diam-diam Empu Sora memuji akan kehebatan senjata serta tenaga dalam Si Dewa Tongkat. Kedua orang tua sakti itu kemudian segera melompat ke daratan.

***

Lutung Gila gembira sekali. Dia melangkah mundar-mandir menyanyi dan mengayun-ayun orok laki-laki di dalam badungannya.

Ke atas langit tujuh lapis
Ke bawah bumi tujuh lapis
Dalam dunia seribu keanehan terjadi
Tidak bersuami dapat beranak
Tidak beristri punya orok
Baa... ciluk!"


Lutung Gila dekatkan kepalanya ke muka sang bayi. Bayi berumur beberapa bulan lalu itu tertawa merdu dan Lutung Gila melangkah lagi mundar mandir, menyanyi dan menimang Lutung Bawean.

"Ke atas langit tujuh lapis. Ke bawah...."

Suara nyanyian Lutung Gila terhenti dengan serta merta ketika dari samping datang satu suara bertanya. "Jayengrana, apa yang kau buat di tempat ini?!"

Lutung Gila terkejut. Dia hentikan langkah dan putar kepala. Kedua matanya membelalak, mulutnya menganga dan parasnya pucat. "Bi... biung.... Siapa tanya siapa?!"

"Jayengrana, kau lupa aku gurumu! Empu Sora...."

Lutung Gila tiba-tiba tertawa bekakakan sampai Lutung Bawean yang ada di dalam bandungannya terkejut dan menangis. "Namaku bukan Jayengrana! Aku Lutung Gila! Dan Lutung Gila tidak berguru pada kakek-kakek buruk macam si Jubah hijau! Hik... hik! Ciluk... baaaa...."

Dewa Tongkat mengerling kepada Empu Sora dan melihat bagaimana paras orang tua baju hijau itu menjadi marah. Kalau saja tidak menyadari bahwa muridnya itu sudah berobah otaknya pastilah segera Empu Sora melekatkan tamparan ke mulut Jayengrana alias Lutung Gila! Empu Sora masih dapat menahan hati. Dia bertanya, "Lutung Gila anak siapa yang kau timang itu?"

"Eh... ada apa kau tanyatanya anak? Awas kalau kau mau rampas dia! Baa... ciluk!"

Empu Sora dan Dewa Tongkat saling berpandangan dan melongo.

"Eeee Lutung Gila," kata Dewa Tongkat. "Sejak kapan kau beranak?!"

"Biung... biung! Orang tua sedeng! Siapa bilang aku beranak! Dunia bisa kiamat bila ada laki-laki beranak. Ini orok istriku!"

"Dimana dia sekarang?!" tanya Dewa Tongkat gusar.

"Dia siapa, orang tua buruk?!"

"Kemaladewi."

"Biung! Perlu apa kau tanya-tanya istriku? Pergi sana!" Lutung Gila tendangkan kaki kanannya ke muka.

Baik Dewa Tongkat maupun Empu Sora buru-buru menghindar ke samping. Keduanya sama-sama terkejut karena dari kaki kirinya Lutung Gila itu melesat angin tendangan yang sangat dahsyat tajam menyembilu tulang! Empu Sora tak habis pikir dari mana muridnya mendapatkan ilmu tendangan yang demikian hebatnya itu!
Kesabaran Empu Sora yang ditahan-tahan mulai mendekati batas habisnya.

"Lutung Gila!" bentaknya. "Katakan yang betul, benar-benar itu anakmu dan kau sudah punya istri?!"

"Eeee biung! Siapa bicara dusta!" jawab Lutung Gila acuh tak acuh dan terus juga menimang-nimang Lutung Bawean yang saat itu sudah berhenti tangisnya.

"Kau murid edan!"

"Aku memang edan. Habis perkara!"

"Kau murid murtad!" semprot Empu Sora. "Kawin tanpa minta izin dan memberitahu pada guru lebih dulu!"

"Kau bukan guruku orang tua buruk! Kau yang buat aku murtad! Baa... ciluk!"

Dewa Tongkat sementara itu memandang berkeliling mencari-cari di mana adanya Kemaladewi, muridnya. Kesabaran Empu Sora habis sudah dan berganti dengan kemarahan. Dia angkat tangan kanannya untuk menghajar murid yang sinting itu tapi niatnya dibatalkan karena dia takut kesalahan tangan mengenai bayi yang ada di dalam dukungan Lutung Gila. Kalau Empu Sora khawatir sebaliknya Lutung Gila malah tertawa panjang.

"Eee biung?! Kenapa tidak jadi memukulku?!"

Empu Sora menyumpah dalam hati. "Jayengrana! Kau harus ikut aku sekarang juga ke Ujung Kulon!" bentaknya.

"Jangan ngaco orang tua! Aku bukan anak atau pacarmu mau diajak-ajak! Ujung Hik hik hik, dimana itu?! Biung... biung!"

"Kau berani membantah perintahku Jayengrana?!"

"Icu biung! Namaku bukan Jayengrana, tapi Lutung Gila!"

"Terserah siapapun namamu! Setan atau iblis sekalipun! Kau harus ikut perintahku! Aku gurumu!"

"Orang tua jelek! Dulu kau yang menggebuk aku sampai otakku miring! Betul....? Atau aku yang akan menggebukmu sampai otakmu keblinger? Hik hik hik! Icuh biung."

Empu Sora terkesiap mendengar ucapan Lutung Gila itu. Walau hatinya panas tapi pikirannya jadi kacau. Mungkin dia harus meninggalkan tempat itu sebelum terjadi hal yang tak diingini. Dia bisa saja membunuh Lutung Gila sesuai dengan segala dosa yang telah diperbuatnya. Tapi dia juga bisa dibunuh oleh murid gila dan murtad itu...!

Selanjutnya,
TELAGA API SALJU