Purnama Di Prambanan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items



Purnama Di Prambanan

Serial Boma Gendenk Episode Bara  Dendam Candi Kalasan Karya Bastian Tito

BERDIRI dalam gelap, di bawah ambang pintu Candi Kalasan bernama Lekuk Kala Makara sosok Kunti Api yang dibungkus mantel biru gelap tampak angker. Apa lagi rambut kelabu tergerai panjang awut-awutan, wajah berkerut dilapis dandanan tebal tak karuan dan sepasang mata merah mencorong memandang menyelediki ke arah halaman candi, membuat nenek sakti ini tidak beda menyerupai setan.

“Sepi, tak ada yang dapat kulihat, tak ada suara apa-apa. Kemana lenyapnya suara bebunyian aneh tadi?” membatin Kunti Api. Jari-jari tangan digerak-gerakkan.

Seperti diketahui, lima jari tangan kanan si nenek kini hanya tinggal dua yang utuh. Sewaktu terjadi bentrokan hebat di Candi Borobudur dalam peristiwa penyelematan Dwita oleh kelompok golongan putih dibawah pimpinan Sinto Gendeng, dengan ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu menghamtam putus jari kelingking tengah jari telunjuk tangan kanan Kunti Api. Sebelumnya, sewaktu berada di dalam candi Kunti Api dan Pangeran Matahari mendengar suara bebunyian. Suara seperti tiupan seruling, kerincingan dan juga suara gendang ditabuh.

“Bangsat pengamen itu!” rutuk Kunti Api dalam hati. “Jika memang dia yang datang kebetulan sekali. Dia menipuku dengan telur palsu itu! Akan aku tekuk batang lehernya malam ini juga! Tapi...” Kunti Api berhenti berkata-kata dalam hati. Hidungnya ditinggikan. Dalam kelembaban dan dinginnya udara malam walau samar-samar dia mencium bau sesuatu. Bau harum mewangi. “setahuku tua bangka itu bau apek. Bukan lelaki genit yang suka pakai wewangian. Hemmm... Boleh jadi. Rupanya dia tidak datang sendirian.”

Dua mata merah si nenek menatap tajam ke seantero halaman candi. Memandang ke langit. Bulan purnama yang belum sempurna bulat terbayang suram di balik sapuan awan. Kembali si nenek memperhatikan seantero halaman candi. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa. Namun nenek sakti satu ini tidak bisa ditipu. Dia tahu, di dalam gelap, di satu tempat tersembunyi ada dua orang mendekam memperhatikan gerak-geriknya. Karena itu sejak tadi-tadi dia telah berlaku waspada, mengerahkan tenaga dalam pada tangan kiri kanan yang memiliki kuku-kuku panjang hitam menggidikkan.

Kunti Api palingkan kepala ke dalam candi. Mulutnya berucap. “Pangeran! Lekas tinggalkan candi lewat pintu samping kiri. Seperti aku bilang tadi bawa perempuan muda itu ke Candi Prambanan. Dia satu-satunya jaminan kekuatan dan tujuan kita membunuh bocah bernama Boma itu. Pergi! Tunggu aku di Prambanan!”

"Tanggung Nek, aku sudah menanggalkan pakaian," terdengar jawaban dari dalam candi gelap. Itulah suara Pangeran Matahari yang saat itu hendak melampiaskan perbuatan keji terkutuk terhadap diri Ibu Renata, yang dengan bantuan Kunti Api telah diculiknya malam itu ketika Guru Bahasa SMU Nusantara III itu menumpang becak di satu jalan raya di Jogja.

"Kalau itu maumu silahkan teruskan! Kau hanya akan mendapatkan kesenangan beberapa saat. Setelah itu nyawamu bakalan amblas! Ada bahaya besar di tempat ini!"

Pangeran Matahari memaki dalam hati. Tapi jika sang Nenek Guru berkata seperti itu, berarti dia tidak main-main. Dengan cepat pendekar yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak ini kenakan pakaiannya. Dia melompat ke pintu candi, tegak di samping Kunti Api, mata menyorot memandang ke berbagai jurusan.

"Tidak ada siapa-siapa di tempat ini. Nek, kau mungkin...”

"Manusia tolol! Apa tadi telingamu torek tidak mendengar suara bebunyian? Aku tahu siapa manusianya yang menabuh gendang, menggoyang kerincingan dan meniup seruling. Pengamen edan yang konon sudah mampus tapi muncul lagi dan menipuku dengan telur palsu! Eh, coba kau hirup udara malam. Pergunakan jalan nafas paling dalam..."

Pangeran Matahari lakukan apa yang dikatakan Kunti Api. Kepala didongakkan, hidung dinaikkan lalu menghisap dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan nafas dilepas kembali. Wajah sang Pangeran kelihatan berubah. "Kau benar Nek, ada... ada dua orang di tempat ini. Aku mengenali bau harum itu. Tapi sulit dipercaya. Apakah dia juga telah meninggalkan alam kita dan muncul di dunia sini? Wewangian itu biasa dipakai..."

“Dia siapa maksudmu?" tanya Kunti Api ketika Pangeran Matahari tidak teruskan ucapannya. 

Pangeran Matahari tidak menjawab.

"Siapa orang yang memakai wewangian itu?!" Kunti Api kembali ajukan pertanyaan disertai pelototan matanya yang merah angker.

Sebelum sempat menjawab saat itu Pangeran Matahari telah melihat dua sosok bergerak muncul di balik reruntuhan tembok candi sebelah barat. Dengan cepat dia berkelebat masuk ke dalam candi. Menyambar tubuh Ibu Renata yang tergeletak di lantai lalu melesat ke arah pintu candi di sebelah kiri dan lenyap dalam kegelapan.

Di balik reruntuhan tembok candi sebelah barat, menyatu dengan gelapnya malam, Pelawak Sinting Labodong dan Bidadari Angin Timur tengah memperhatikan sosok Kunti Api saling berbisik. "Kek, kau betul, nenek jahat itu memang menuju ke candi ini. Tapi ternyata dia hanya sendirian..."

“Pangeran Matahari pasti ada di sekitar sini. Mungkin di dalam candi. Aku sudah menguntit mereka sejak awal malam. Mereka menculik seorang perempuan muda.”

"Lihat baik-baik, apa kau mengenali orang yang tegak di pintu candi?” Pelawak Sinting berbisik pada gadis jelita berambut pirang yang mendekam disebelahnya, dengan tubuh dan pakaian memancarkan bau harum semerbak.

"Lama sekali aku tidak pernah melihatnya. Tapi aku mengenali. Di alamku dikenal dengan nama Kunti Api. Seorang tua bangka jahat. Nenek Guru dari Pangeran Matahari" gadis di samping Pelawak Sinting yang bukan lain Bidadari Angin Timur adanya balas berucap dengan berbisik pula. 

"Kalau Nenek Guru Pangeran keparat itu ada di sini, mungkin gurunya Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari juga ada di sini. Mereka yang..."

"Sssstt!" Bidadari Angin Timur memberi tanda, "Lihat siapa yang muncul."

Saat itu memang ada orang keluar dari dalam candi dan berdiri di samping Kunti Api. Seorang lelaki berperawakan tinggi tegap, memegang sehelai mantel hitam di tangan kiri.

Setelah memperhatikan sejenak, Pelawak Sinting berbisik. "Apa kataku! Dia ada disini! Orang yang barusan muncul adalah Pangeran Matahari!"

Bidadari Angin Timur mengangguk. "Memang dia," ucap si gadis dengan suara bergetar. "Tunggu apa lagi!" Si gadis cepat bangkit berdiri. Pelawak Sinting mengikuti. "Ingat Kek!" Bidadari Angin Timur keluarkan ucapan. "Kau boleh membunuh nenek itu. Tapi jangan sentuh Pangeran Matahari. Nyawanya adalah bagianku!"

Pelawak Sinting tidak balas ucapan si gadis. Sekali membuat lesatan, si kakek dan Bidadari Angin Timur sudah melompat di undak tangga paling atas Candi Kalasan, tepat di depan berdirinya Kunti Api. Sambil melesat Pelawak Sinting goyang kerincingan di tangan kiri hingga mengeluarkan suara bising.

Namun mereka terlambat karena saat itu Pangeran Matahari telah kabur memboyong Ibu Renata lewat pintu candi sebelah belakang. Menghadapi dua orang yang tegak di hadapannya Kunti Api tenang-tenang saja walau sepasang mata jelalatan mendeliki si kakek dan si gadis cantik. Dia sengaja mengulur waktu agar Pangeran Matahari dan perempuan culikannya bisa kabur jauh. Sambil sunggingkan senyum dan rangkapkan dua tangan di atas dada sesaat kemudian baru si nenek menegur.

"Kalian bedua. Aaahhhh! Tua bangka bau apek yang rambutnya dicat! Hik hik hik. Pusar bodong dicanteli anting! Kau menipuku dengan telur palsu! Membuat urusanku jadi recok tak karuan! Kau masih bisa kabur waktu di Candi Mendut! Saat ini apakah saudara kembarmu yang jadi setan itu ada di sini siap menolongmu? Dicari-cari tidak tahu berada dimana. Kini malah datang sendiri mengantar nyawa! Hik hik hik”

Kunti Api tertawa nyaring. Walau kepala agak didongakkan tapi sepasang matanya yang merah tetap mengawasi dua orang di hadapannya sementara diam-diam dua tangan yang bersidekap di atas dada telah dialiri hawa sakti tenaga dalam. Nenek ini berlaku waspada dan siap menghantamkan pukulan Kuku Api untuk menjaga segala kemungkinan.

"Soal tipu menipu sekarang memang sudah jamannya," menyahuti Pelawak Sinting. "Tapi kalau kau masih penasaran dan inginkan telur yang asli, aku bersedia memberikan. Aku malah punya dua Kau boleh ambil semua!" Habis berkata begitu si kakek dodorkan celananya ke bawah. 

"Terus kek! Turunkan celanamu! Siapa tahu nenek ini memang inginkan sepasang telurmu itu!” Bidadari Angin Timur timpali ucapan Pelawak Sinting sambil senyum-senyum. 

"Jahanam kurang ajar?” teriak Kunti Api marah sekali. Kaki kanannya ditendangkan ke arah dada si kakek.

“Bukkk!"

Tendangan Kunti Api melenceng ke samping karena ditepis Bidadari Angin Timur dengan tangan kiri. Kunti Api cepat imbangi diri dan keluarkan suara menggerung marah.

"Tua bangka peot berdandan seronok!" ucap Bidadari Angin Timur. “Walau kakek ini inginkan nyawamu karena kau dan Pangeran Matahari membunuh saudaranya, tapi saat ini urusan nyawamu ada di tanganku.”

Meksi marah besar tapi Kunti Api bisa menahan diri. Gerakan tangan kiri yang luar biasa cepat dari gadis cantik berambut pirang sanggup menepis tendangannya. Sudah lama mendengar kehebatan Bidadari Angin Timur, baru kali ini berhadapan langsung dan menjajagi kalau gadis ini ternyata memang memiliki ilmu kepandaian yang mungkin tidak berada di bawah ilmunya sendiri. Setelah berpura-pura batuk beberapa kali Kunti Api berpaling pada Bidadari Angin Timur.

"Aneh bin ajaib! Gadis cantik berkepandaian tinggi dari alamku terpesat di Candi Kalasan! Jangan kira aku tidak mengenalimu. Bidadari Angin Timur! Urusan apa sampai membuatmu muncul disini? Tunggu, tak perlu kau jawab. Aku sudah tahu jawabannya. Hemmm... Kau tengah mencari kekasih yang hilang! Betul? Ooo... ooo! Hik hik hik!" Sambil tertawa cekikan Kunti Api angguk-anggukkan kepala.

Ingat perjanjiannya dengan si gadis, Pelawak Sinting segera membuka mulut untuk melindungi. "Sahabatku ini namanya bukan Bidadari Angin Timur. Tapi Pandan Wangi!"

"Pengamen bau! Aku lebih tahu dari kau siapa adanya gadis ini! Jadi tutup mulutmu!" bentak Kunti Api. Si Pelawak Sinting cuma menyengir lalu mencibir dan tiup harmonikanya. Si neneK berpaling pada Bidadari Angin Timur. "Betul kau tengah mencari kekasihmu?"

"Betul Sekali!" Bidadari Angin Timur menyahut tenang. "Kekasih yang kucari adalah cucu muridmu sendiri. Pangeran Matahari. Barusan dia ada di sini. Sekarang lenyap kemana? Apa sudah kabur?!" 

Pelawak Sinting goyangkan kerincingan dan pukul gendang. Lalu berkata menimpali ucapan si gadis. "Kalau dia kekasihmu dan kabur ketika kau datang berarti dia bukan seorang kekasih yang baik! Perlu apa mencarinya? Tinggalkan saja! Aku mungkin lebih pantas jadi kekasihmu! Ha ha ha!"

"Sobatku kakek pusar bodong” ucap Bidadari Angin Timur sambil senyum-senyum. "Kekasihku itu memang buruk perilaku. Aku pasti akan meninggalkan dia setelah nyawanya kubikin lepäs dari tubuhnya!"

“Tobat! Batal aku jadi kekasihmu!” kata Pelawak Sinting pula sambil goleng-goleng kepala lalu goyang kerincingannya dan tertawa cekikikan. Sebaliknya tampang Kunti Api tampak mengkerut. 

"Gadis sombong! Ilmumu mungkin tinggi! Tapi apa kau kira semudah itu membunuh Pangeran Matahari? Huh!"

"Apa sulitnya? Kalau kau mau ikutan sekalian kembali ke alam asalmu aku tidak sungkan-sungkan melakukan! Kau dan cucu muridmu serta muridmu yang berjuluk Si Muka Bangkai itu sama saja bobroknya. Sudah sangat layak untuk disingkirkan dari muka bumi!" jawab Bidadari Angin Timur. 

Marahlah Kunti Api mendengar ucapan gadis cantik berambut pirang itu. "Gadis jalang! Aku tahu riwayat kematian saudara kembarmu bernama Pandan Arum yang dibunuh Pangeran Matahari. Antara kita memang sudah terbentang jurang sengketa berdarah! Di alam asalku aku belum punya pikiran untuk menamatkan riwayatmu. Tapi malam ini, di tempat ini aku punya pikiran lain! Bersiaplah melepas nyawa! Menyedihkan! Rohmu akan terbang jauh bersusah payah mencari jalan kembali ke alam asalmu!”

Habis berkata begitu, dua tangan Kunti Api yang sejak tadi dirangkap di atas dada mendadak sontak disentak terbuka. Tujuh kuku jari panjang berwarna hitam berubah menjadi merah seperti bara. Ketika dua tangan itu kembali digerakkan, dari tujuh ujung kuku menyembur tujuh larik sinar merah lalu menyambar ganas ke arah Bidadari Angin Timur. Ilmu Pukulan Kuku Api!

"Pandan Wangi! Awas!” teriak Pelawak Sinting. Tangan kanannya bergerak ke punggung. 

"Sreettt!" Selarik sinar coklat berputar disertai sambaran angin luar biasa derasnya. 

"Brettt! Braakkk!”

Kunti Api terpekik, melompat mundur sambil pegangi lengan kanannya yang tergores Iuka. Pelawak Sinting keluarkan seruan tertahan dan melotot memandangi payung kertas coklatnya yang hancur berantakan di udara. Dia kini hanya memegang batang payung yang telah berubah hangus hitam dan mengepulkan asap! Di sampingnya Bidadari Angin Timur berdiri dengan muka pucat. Tak sangka kalau dirinya akan diserang mendadak begitu rupa dan tidak percaya kalau kakek aneh disampingnya telah menyelamatkan jiwanya dengan mempergunakan sebuah payung kertas untuk menangkis serangan maut Kunti Api!

Ketercekatan gadis berambut pirang itu hanya sesaat. Begitu dia bisa menguasai diri dan jalan pikiran, secepat kilat ia melompati si nenek. Lalu terjadilah satu hal luar biasa. Tangan Bidadari Angin Timur kiri dan kanan bergerak laksana kilat menyambar ke arah mantel yang dikenakan Kunti Api. Kejap itu juga si nenek dapatkan dirinya berputar laksana gasing. Dia kerahkan tenaga dalam dan gerakkan kaki demikian rupa untuk menghentikan putaran tubuh tapi sia-sia. Di lain saat mendadak dia merasakan hawa dingin menyapu tubuhnya.

Pelawak Sinting terkejut besar, mata mendelik. mulut terperangah. "Pandan Wangi! Apa yang kau lakukan!" teriak si kakek. Matanya terbeliak tak berkesip melihat ke arah Kunti Api. 

"Ala, jangan berlagak alim. Aku tahu kau senang melihatnya!" jawab Bidadari Angin Timur senyum-senyum. 

"Hik hik hik! Untung malam agak gelap. Walau peot kelihatannya bagus juga!”

Si nenek sendiri belum mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Rasa dingin membuat dia memegang bahu. Baru dia sadar. Kunti Api menjerit keras. Saat itu dia dapatkan dirinya tanpa selembar benangpun. Memandang ke depan dilihatnya mantel dan pakaiannya telah berada dalam pegangan Bidadari Angin Timur. Sebagian besar dalam keadaan robek. Bagaimana ini bisa terjadi? Ilmu apa yang dimiliki si gadis? Kunti Api menjerit keras.

“Gadis jahanam! Kembalikan pakaianku!” Dalam bingungnya nenek ini gerabak-gerubuk berusaha menutupi auratnya yang tersingkap lalu lari ke arah Pelawak Sinting dan berlindung di balik sosok kakek ini.

"Hai! Kalau mau sembunyi jangan di belakang. Tapi di depan biar aku bisa melihat jelas tubuhmu! Hik hik hik Pelawak Sinting cekikikan. 

“Tua bangka setan! Mampuslah!” Kunti Api cengkeramkan jari-jari tangannya ke leher Pelawak Sinting.

"Ihhh!" Si kakek sudah tahu apa yang hendak diperbuat orang segera melompat menjauhi si nenek hingga Kunti Api kembali tidak terlindung dan jadi kalang kabut berteriak-teriak mencaci maki.

"Pakaianku! Kembalikan!" Nenek ini menyerbu nekad ke arah Bidadari Angin Timur untuk merampas mantel dan pakaiannya. Tapi si gadis yang terkenal memiliki kecepatan bergerak dengan mudah menghindar semua serangan kalap Kunti Api. Sementara Pelawak Sinting terbelok-belok menyaksikan pemandangan di hadapannya.

"Kunti Api. Aku akan serahkan mantel dan pakaianmu kalau kau mau memberi tahu dimana beradanya Pangeran Matahari!” Bidadari Angin Timur keluarkan seruan.

"Aku tidak tahu dia berada dimana! Dia kabur lewat pintu candi sebelah belakang!” Jawab Kunti Api sambil dua tangannya bergerak serba salah mau menutupi bagian tubuhnya sebelah mana. Ditutup aurat sebelah atas, tubuh sebelah bawah tersingkap. Ditutup sebelah bawah aurat sebelah atas terbuka lebar.

"Nenek muka dempul! Kau pasti tahu kemana kaburnya! Dia memboyong seorang perempuan muda!" ucap Pelawak Sinting. 

"Aku bersumpah! Aku tidak tahu!" jawab Kunti Api.

"Kalau begitu kau terpaksa bugil sampai pagi" kata Bidadari Angin Timur pula. Habis berkata begitu dia berpaling pada Pelawak Sinting. "Kek, mari kita tinggalkan tempat ini.”

"Apa bisa ditunda sebentar lagi?” 

Heran mendengar jawaban orang Bidadari Angin Timur bertanya. "Memangnya kenapa?" 

"Aku... aku masih belum puas melihat tubuhnya.”

"Otak mesum mata kotor!" damprat Bidadari Angin Timur. 

"Hai! Aku hanya menikmati hasil pekerjaanmu! Jarang-jarang pekerjaan bagus seperti ini! Hik Hik Hik!”

“Gadis jahanam!" Teriak Kunti Api. "Aku tidak akan melupakan perbuatan terkutukmu ini! Aku bersumpah melakukan pembalasan dan akan menyengsarakan dirimu seumur-umur!”

Dari balik rambutnya yang kelabu panjang dan awut-awutan Kunti Api keluarkan sebuah benda berwarna dan berbentuk seperti buah jamblang. Begitu dilempar ke udara benda ini meletus dan menghamburlah asap hitam pekat. Selagi kelagapan dan tak bisa melihat apa-apa, Pelawak Sinting merasa tangannya ditarik orang. 

"Hai! Siapa yang menarik?!" teriak si kakek. 

"Aku! Memangnya siapa?!” Itu suara Bidadari Angin Timur. 

"Kukira nenek itu yang ingin mengajakku bersenang-senang di satu tempat!" jawab Pelawak Sinting lalu tiup harmonikanya dan tertawa gelak gelak... [Karya Bastian Tito]

********************

Serial Boma Gendenk terhenti sampai di episode Purnama Di Prambanan.

Purnama Di Prambanan



Purnama Di Prambanan

Serial Boma Gendenk Episode Bara  Dendam Candi Kalasan Karya Bastian Tito

BERDIRI dalam gelap, di bawah ambang pintu Candi Kalasan bernama Lekuk Kala Makara sosok Kunti Api yang dibungkus mantel biru gelap tampak angker. Apa lagi rambut kelabu tergerai panjang awut-awutan, wajah berkerut dilapis dandanan tebal tak karuan dan sepasang mata merah mencorong memandang menyelediki ke arah halaman candi, membuat nenek sakti ini tidak beda menyerupai setan.

“Sepi, tak ada yang dapat kulihat, tak ada suara apa-apa. Kemana lenyapnya suara bebunyian aneh tadi?” membatin Kunti Api. Jari-jari tangan digerak-gerakkan.

Seperti diketahui, lima jari tangan kanan si nenek kini hanya tinggal dua yang utuh. Sewaktu terjadi bentrokan hebat di Candi Borobudur dalam peristiwa penyelematan Dwita oleh kelompok golongan putih dibawah pimpinan Sinto Gendeng, dengan ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu menghamtam putus jari kelingking tengah jari telunjuk tangan kanan Kunti Api. Sebelumnya, sewaktu berada di dalam candi Kunti Api dan Pangeran Matahari mendengar suara bebunyian. Suara seperti tiupan seruling, kerincingan dan juga suara gendang ditabuh.

“Bangsat pengamen itu!” rutuk Kunti Api dalam hati. “Jika memang dia yang datang kebetulan sekali. Dia menipuku dengan telur palsu itu! Akan aku tekuk batang lehernya malam ini juga! Tapi...” Kunti Api berhenti berkata-kata dalam hati. Hidungnya ditinggikan. Dalam kelembaban dan dinginnya udara malam walau samar-samar dia mencium bau sesuatu. Bau harum mewangi. “setahuku tua bangka itu bau apek. Bukan lelaki genit yang suka pakai wewangian. Hemmm... Boleh jadi. Rupanya dia tidak datang sendirian.”

Dua mata merah si nenek menatap tajam ke seantero halaman candi. Memandang ke langit. Bulan purnama yang belum sempurna bulat terbayang suram di balik sapuan awan. Kembali si nenek memperhatikan seantero halaman candi. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa. Namun nenek sakti satu ini tidak bisa ditipu. Dia tahu, di dalam gelap, di satu tempat tersembunyi ada dua orang mendekam memperhatikan gerak-geriknya. Karena itu sejak tadi-tadi dia telah berlaku waspada, mengerahkan tenaga dalam pada tangan kiri kanan yang memiliki kuku-kuku panjang hitam menggidikkan.

Kunti Api palingkan kepala ke dalam candi. Mulutnya berucap. “Pangeran! Lekas tinggalkan candi lewat pintu samping kiri. Seperti aku bilang tadi bawa perempuan muda itu ke Candi Prambanan. Dia satu-satunya jaminan kekuatan dan tujuan kita membunuh bocah bernama Boma itu. Pergi! Tunggu aku di Prambanan!”

"Tanggung Nek, aku sudah menanggalkan pakaian," terdengar jawaban dari dalam candi gelap. Itulah suara Pangeran Matahari yang saat itu hendak melampiaskan perbuatan keji terkutuk terhadap diri Ibu Renata, yang dengan bantuan Kunti Api telah diculiknya malam itu ketika Guru Bahasa SMU Nusantara III itu menumpang becak di satu jalan raya di Jogja.

"Kalau itu maumu silahkan teruskan! Kau hanya akan mendapatkan kesenangan beberapa saat. Setelah itu nyawamu bakalan amblas! Ada bahaya besar di tempat ini!"

Pangeran Matahari memaki dalam hati. Tapi jika sang Nenek Guru berkata seperti itu, berarti dia tidak main-main. Dengan cepat pendekar yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak ini kenakan pakaiannya. Dia melompat ke pintu candi, tegak di samping Kunti Api, mata menyorot memandang ke berbagai jurusan.

"Tidak ada siapa-siapa di tempat ini. Nek, kau mungkin...”

"Manusia tolol! Apa tadi telingamu torek tidak mendengar suara bebunyian? Aku tahu siapa manusianya yang menabuh gendang, menggoyang kerincingan dan meniup seruling. Pengamen edan yang konon sudah mampus tapi muncul lagi dan menipuku dengan telur palsu! Eh, coba kau hirup udara malam. Pergunakan jalan nafas paling dalam..."

Pangeran Matahari lakukan apa yang dikatakan Kunti Api. Kepala didongakkan, hidung dinaikkan lalu menghisap dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan nafas dilepas kembali. Wajah sang Pangeran kelihatan berubah. "Kau benar Nek, ada... ada dua orang di tempat ini. Aku mengenali bau harum itu. Tapi sulit dipercaya. Apakah dia juga telah meninggalkan alam kita dan muncul di dunia sini? Wewangian itu biasa dipakai..."

“Dia siapa maksudmu?" tanya Kunti Api ketika Pangeran Matahari tidak teruskan ucapannya. 

Pangeran Matahari tidak menjawab.

"Siapa orang yang memakai wewangian itu?!" Kunti Api kembali ajukan pertanyaan disertai pelototan matanya yang merah angker.

Sebelum sempat menjawab saat itu Pangeran Matahari telah melihat dua sosok bergerak muncul di balik reruntuhan tembok candi sebelah barat. Dengan cepat dia berkelebat masuk ke dalam candi. Menyambar tubuh Ibu Renata yang tergeletak di lantai lalu melesat ke arah pintu candi di sebelah kiri dan lenyap dalam kegelapan.

Di balik reruntuhan tembok candi sebelah barat, menyatu dengan gelapnya malam, Pelawak Sinting Labodong dan Bidadari Angin Timur tengah memperhatikan sosok Kunti Api saling berbisik. "Kek, kau betul, nenek jahat itu memang menuju ke candi ini. Tapi ternyata dia hanya sendirian..."

“Pangeran Matahari pasti ada di sekitar sini. Mungkin di dalam candi. Aku sudah menguntit mereka sejak awal malam. Mereka menculik seorang perempuan muda.”

"Lihat baik-baik, apa kau mengenali orang yang tegak di pintu candi?” Pelawak Sinting berbisik pada gadis jelita berambut pirang yang mendekam disebelahnya, dengan tubuh dan pakaian memancarkan bau harum semerbak.

"Lama sekali aku tidak pernah melihatnya. Tapi aku mengenali. Di alamku dikenal dengan nama Kunti Api. Seorang tua bangka jahat. Nenek Guru dari Pangeran Matahari" gadis di samping Pelawak Sinting yang bukan lain Bidadari Angin Timur adanya balas berucap dengan berbisik pula. 

"Kalau Nenek Guru Pangeran keparat itu ada di sini, mungkin gurunya Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari juga ada di sini. Mereka yang..."

"Sssstt!" Bidadari Angin Timur memberi tanda, "Lihat siapa yang muncul."

Saat itu memang ada orang keluar dari dalam candi dan berdiri di samping Kunti Api. Seorang lelaki berperawakan tinggi tegap, memegang sehelai mantel hitam di tangan kiri.

Setelah memperhatikan sejenak, Pelawak Sinting berbisik. "Apa kataku! Dia ada disini! Orang yang barusan muncul adalah Pangeran Matahari!"

Bidadari Angin Timur mengangguk. "Memang dia," ucap si gadis dengan suara bergetar. "Tunggu apa lagi!" Si gadis cepat bangkit berdiri. Pelawak Sinting mengikuti. "Ingat Kek!" Bidadari Angin Timur keluarkan ucapan. "Kau boleh membunuh nenek itu. Tapi jangan sentuh Pangeran Matahari. Nyawanya adalah bagianku!"

Pelawak Sinting tidak balas ucapan si gadis. Sekali membuat lesatan, si kakek dan Bidadari Angin Timur sudah melompat di undak tangga paling atas Candi Kalasan, tepat di depan berdirinya Kunti Api. Sambil melesat Pelawak Sinting goyang kerincingan di tangan kiri hingga mengeluarkan suara bising.

Namun mereka terlambat karena saat itu Pangeran Matahari telah kabur memboyong Ibu Renata lewat pintu candi sebelah belakang. Menghadapi dua orang yang tegak di hadapannya Kunti Api tenang-tenang saja walau sepasang mata jelalatan mendeliki si kakek dan si gadis cantik. Dia sengaja mengulur waktu agar Pangeran Matahari dan perempuan culikannya bisa kabur jauh. Sambil sunggingkan senyum dan rangkapkan dua tangan di atas dada sesaat kemudian baru si nenek menegur.

"Kalian bedua. Aaahhhh! Tua bangka bau apek yang rambutnya dicat! Hik hik hik. Pusar bodong dicanteli anting! Kau menipuku dengan telur palsu! Membuat urusanku jadi recok tak karuan! Kau masih bisa kabur waktu di Candi Mendut! Saat ini apakah saudara kembarmu yang jadi setan itu ada di sini siap menolongmu? Dicari-cari tidak tahu berada dimana. Kini malah datang sendiri mengantar nyawa! Hik hik hik”

Kunti Api tertawa nyaring. Walau kepala agak didongakkan tapi sepasang matanya yang merah tetap mengawasi dua orang di hadapannya sementara diam-diam dua tangan yang bersidekap di atas dada telah dialiri hawa sakti tenaga dalam. Nenek ini berlaku waspada dan siap menghantamkan pukulan Kuku Api untuk menjaga segala kemungkinan.

"Soal tipu menipu sekarang memang sudah jamannya," menyahuti Pelawak Sinting. "Tapi kalau kau masih penasaran dan inginkan telur yang asli, aku bersedia memberikan. Aku malah punya dua Kau boleh ambil semua!" Habis berkata begitu si kakek dodorkan celananya ke bawah. 

"Terus kek! Turunkan celanamu! Siapa tahu nenek ini memang inginkan sepasang telurmu itu!” Bidadari Angin Timur timpali ucapan Pelawak Sinting sambil senyum-senyum. 

"Jahanam kurang ajar?” teriak Kunti Api marah sekali. Kaki kanannya ditendangkan ke arah dada si kakek.

“Bukkk!"

Tendangan Kunti Api melenceng ke samping karena ditepis Bidadari Angin Timur dengan tangan kiri. Kunti Api cepat imbangi diri dan keluarkan suara menggerung marah.

"Tua bangka peot berdandan seronok!" ucap Bidadari Angin Timur. “Walau kakek ini inginkan nyawamu karena kau dan Pangeran Matahari membunuh saudaranya, tapi saat ini urusan nyawamu ada di tanganku.”

Meksi marah besar tapi Kunti Api bisa menahan diri. Gerakan tangan kiri yang luar biasa cepat dari gadis cantik berambut pirang sanggup menepis tendangannya. Sudah lama mendengar kehebatan Bidadari Angin Timur, baru kali ini berhadapan langsung dan menjajagi kalau gadis ini ternyata memang memiliki ilmu kepandaian yang mungkin tidak berada di bawah ilmunya sendiri. Setelah berpura-pura batuk beberapa kali Kunti Api berpaling pada Bidadari Angin Timur.

"Aneh bin ajaib! Gadis cantik berkepandaian tinggi dari alamku terpesat di Candi Kalasan! Jangan kira aku tidak mengenalimu. Bidadari Angin Timur! Urusan apa sampai membuatmu muncul disini? Tunggu, tak perlu kau jawab. Aku sudah tahu jawabannya. Hemmm... Kau tengah mencari kekasih yang hilang! Betul? Ooo... ooo! Hik hik hik!" Sambil tertawa cekikan Kunti Api angguk-anggukkan kepala.

Ingat perjanjiannya dengan si gadis, Pelawak Sinting segera membuka mulut untuk melindungi. "Sahabatku ini namanya bukan Bidadari Angin Timur. Tapi Pandan Wangi!"

"Pengamen bau! Aku lebih tahu dari kau siapa adanya gadis ini! Jadi tutup mulutmu!" bentak Kunti Api. Si Pelawak Sinting cuma menyengir lalu mencibir dan tiup harmonikanya. Si neneK berpaling pada Bidadari Angin Timur. "Betul kau tengah mencari kekasihmu?"

"Betul Sekali!" Bidadari Angin Timur menyahut tenang. "Kekasih yang kucari adalah cucu muridmu sendiri. Pangeran Matahari. Barusan dia ada di sini. Sekarang lenyap kemana? Apa sudah kabur?!" 

Pelawak Sinting goyangkan kerincingan dan pukul gendang. Lalu berkata menimpali ucapan si gadis. "Kalau dia kekasihmu dan kabur ketika kau datang berarti dia bukan seorang kekasih yang baik! Perlu apa mencarinya? Tinggalkan saja! Aku mungkin lebih pantas jadi kekasihmu! Ha ha ha!"

"Sobatku kakek pusar bodong” ucap Bidadari Angin Timur sambil senyum-senyum. "Kekasihku itu memang buruk perilaku. Aku pasti akan meninggalkan dia setelah nyawanya kubikin lepäs dari tubuhnya!"

“Tobat! Batal aku jadi kekasihmu!” kata Pelawak Sinting pula sambil goleng-goleng kepala lalu goyang kerincingannya dan tertawa cekikikan. Sebaliknya tampang Kunti Api tampak mengkerut. 

"Gadis sombong! Ilmumu mungkin tinggi! Tapi apa kau kira semudah itu membunuh Pangeran Matahari? Huh!"

"Apa sulitnya? Kalau kau mau ikutan sekalian kembali ke alam asalmu aku tidak sungkan-sungkan melakukan! Kau dan cucu muridmu serta muridmu yang berjuluk Si Muka Bangkai itu sama saja bobroknya. Sudah sangat layak untuk disingkirkan dari muka bumi!" jawab Bidadari Angin Timur. 

Marahlah Kunti Api mendengar ucapan gadis cantik berambut pirang itu. "Gadis jalang! Aku tahu riwayat kematian saudara kembarmu bernama Pandan Arum yang dibunuh Pangeran Matahari. Antara kita memang sudah terbentang jurang sengketa berdarah! Di alam asalku aku belum punya pikiran untuk menamatkan riwayatmu. Tapi malam ini, di tempat ini aku punya pikiran lain! Bersiaplah melepas nyawa! Menyedihkan! Rohmu akan terbang jauh bersusah payah mencari jalan kembali ke alam asalmu!”

Habis berkata begitu, dua tangan Kunti Api yang sejak tadi dirangkap di atas dada mendadak sontak disentak terbuka. Tujuh kuku jari panjang berwarna hitam berubah menjadi merah seperti bara. Ketika dua tangan itu kembali digerakkan, dari tujuh ujung kuku menyembur tujuh larik sinar merah lalu menyambar ganas ke arah Bidadari Angin Timur. Ilmu Pukulan Kuku Api!

"Pandan Wangi! Awas!” teriak Pelawak Sinting. Tangan kanannya bergerak ke punggung. 

"Sreettt!" Selarik sinar coklat berputar disertai sambaran angin luar biasa derasnya. 

"Brettt! Braakkk!”

Kunti Api terpekik, melompat mundur sambil pegangi lengan kanannya yang tergores Iuka. Pelawak Sinting keluarkan seruan tertahan dan melotot memandangi payung kertas coklatnya yang hancur berantakan di udara. Dia kini hanya memegang batang payung yang telah berubah hangus hitam dan mengepulkan asap! Di sampingnya Bidadari Angin Timur berdiri dengan muka pucat. Tak sangka kalau dirinya akan diserang mendadak begitu rupa dan tidak percaya kalau kakek aneh disampingnya telah menyelamatkan jiwanya dengan mempergunakan sebuah payung kertas untuk menangkis serangan maut Kunti Api!

Ketercekatan gadis berambut pirang itu hanya sesaat. Begitu dia bisa menguasai diri dan jalan pikiran, secepat kilat ia melompati si nenek. Lalu terjadilah satu hal luar biasa. Tangan Bidadari Angin Timur kiri dan kanan bergerak laksana kilat menyambar ke arah mantel yang dikenakan Kunti Api. Kejap itu juga si nenek dapatkan dirinya berputar laksana gasing. Dia kerahkan tenaga dalam dan gerakkan kaki demikian rupa untuk menghentikan putaran tubuh tapi sia-sia. Di lain saat mendadak dia merasakan hawa dingin menyapu tubuhnya.

Pelawak Sinting terkejut besar, mata mendelik. mulut terperangah. "Pandan Wangi! Apa yang kau lakukan!" teriak si kakek. Matanya terbeliak tak berkesip melihat ke arah Kunti Api. 

"Ala, jangan berlagak alim. Aku tahu kau senang melihatnya!" jawab Bidadari Angin Timur senyum-senyum. 

"Hik hik hik! Untung malam agak gelap. Walau peot kelihatannya bagus juga!”

Si nenek sendiri belum mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Rasa dingin membuat dia memegang bahu. Baru dia sadar. Kunti Api menjerit keras. Saat itu dia dapatkan dirinya tanpa selembar benangpun. Memandang ke depan dilihatnya mantel dan pakaiannya telah berada dalam pegangan Bidadari Angin Timur. Sebagian besar dalam keadaan robek. Bagaimana ini bisa terjadi? Ilmu apa yang dimiliki si gadis? Kunti Api menjerit keras.

“Gadis jahanam! Kembalikan pakaianku!” Dalam bingungnya nenek ini gerabak-gerubuk berusaha menutupi auratnya yang tersingkap lalu lari ke arah Pelawak Sinting dan berlindung di balik sosok kakek ini.

"Hai! Kalau mau sembunyi jangan di belakang. Tapi di depan biar aku bisa melihat jelas tubuhmu! Hik hik hik Pelawak Sinting cekikikan. 

“Tua bangka setan! Mampuslah!” Kunti Api cengkeramkan jari-jari tangannya ke leher Pelawak Sinting.

"Ihhh!" Si kakek sudah tahu apa yang hendak diperbuat orang segera melompat menjauhi si nenek hingga Kunti Api kembali tidak terlindung dan jadi kalang kabut berteriak-teriak mencaci maki.

"Pakaianku! Kembalikan!" Nenek ini menyerbu nekad ke arah Bidadari Angin Timur untuk merampas mantel dan pakaiannya. Tapi si gadis yang terkenal memiliki kecepatan bergerak dengan mudah menghindar semua serangan kalap Kunti Api. Sementara Pelawak Sinting terbelok-belok menyaksikan pemandangan di hadapannya.

"Kunti Api. Aku akan serahkan mantel dan pakaianmu kalau kau mau memberi tahu dimana beradanya Pangeran Matahari!” Bidadari Angin Timur keluarkan seruan.

"Aku tidak tahu dia berada dimana! Dia kabur lewat pintu candi sebelah belakang!” Jawab Kunti Api sambil dua tangannya bergerak serba salah mau menutupi bagian tubuhnya sebelah mana. Ditutup aurat sebelah atas, tubuh sebelah bawah tersingkap. Ditutup sebelah bawah aurat sebelah atas terbuka lebar.

"Nenek muka dempul! Kau pasti tahu kemana kaburnya! Dia memboyong seorang perempuan muda!" ucap Pelawak Sinting. 

"Aku bersumpah! Aku tidak tahu!" jawab Kunti Api.

"Kalau begitu kau terpaksa bugil sampai pagi" kata Bidadari Angin Timur pula. Habis berkata begitu dia berpaling pada Pelawak Sinting. "Kek, mari kita tinggalkan tempat ini.”

"Apa bisa ditunda sebentar lagi?” 

Heran mendengar jawaban orang Bidadari Angin Timur bertanya. "Memangnya kenapa?" 

"Aku... aku masih belum puas melihat tubuhnya.”

"Otak mesum mata kotor!" damprat Bidadari Angin Timur. 

"Hai! Aku hanya menikmati hasil pekerjaanmu! Jarang-jarang pekerjaan bagus seperti ini! Hik Hik Hik!”

“Gadis jahanam!" Teriak Kunti Api. "Aku tidak akan melupakan perbuatan terkutukmu ini! Aku bersumpah melakukan pembalasan dan akan menyengsarakan dirimu seumur-umur!”

Dari balik rambutnya yang kelabu panjang dan awut-awutan Kunti Api keluarkan sebuah benda berwarna dan berbentuk seperti buah jamblang. Begitu dilempar ke udara benda ini meletus dan menghamburlah asap hitam pekat. Selagi kelagapan dan tak bisa melihat apa-apa, Pelawak Sinting merasa tangannya ditarik orang. 

"Hai! Siapa yang menarik?!" teriak si kakek. 

"Aku! Memangnya siapa?!” Itu suara Bidadari Angin Timur. 

"Kukira nenek itu yang ingin mengajakku bersenang-senang di satu tempat!" jawab Pelawak Sinting lalu tiup harmonikanya dan tertawa gelak gelak... [Karya Bastian Tito]

********************

Serial Boma Gendenk terhenti sampai di episode Purnama Di Prambanan.