Pendekar Kelana Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cia Kui Bu kemudian menceritakan pengalamannya. Seminggu lalu seorang wanita cantik datang berkunjung. Wanita itu mengatakan bahwa dia memiliki sepeti emas yang sangat berharga dan hendak mengirimnya ke kota raja. Ia menghargai isi peti itu seribu tail emas!

Tentu saja Kui Bu terkejut sekali. Selama ini belum pernah dia menerima kiriman barang yang harganya sebesar itu. Akan tetapi wanita itu mendesaknya, dan sanggup membayar biaya pengiriman berapa saja diminta.

Karena wanita itu berani membayar biaya pengiriman yang besar jumlahnya, yang nilainya belum tentu bisa diperoleh Ceng-liong Piauw-kiok selama sebulan, Kui Bu mau menerima tugas itu dan dia sendiri yang mengawal peti berisi emas itu. Dia dibantu oleh lima orang piauwsu (pengawal) yang tangguh dan ilmu silatnya cukup lumayan.

Peti itu kemudian dimuat di dalam sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kusir yang mengendalikan dua ekor kuda itu pun seorang piauwsu yang sudah berpengalaman. Di atas kereta itu berkibar bendera tanda Ceng-liong Piauw-kiok, yaitu gambar seekor naga hijau. Cia Kui Bu juga mengenakan pakaian piauwsu yang serba hijau dan nampak gagah sekali.

Perjalanan dari Pao-ting ke kota raja merupakan jarak yang walau pun agak jauh namun termasuk dekat bagi para piauwsu yang biasa mengawal barang kiriman sampai lebih jauh lagi. Dan selama ini perjalanan dari Pao-ting ke kota raja aman saja, belum pernah ada yang berani mengganggu.

Setelah melakukan perjalanan sehari lamanya tanpa ada gangguan, mereka melewatkan malam di dekat bangunan terusan (kanal) yang terkenal itu, di sebuah kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi. Memang rombongan Ceng-liong Piauw-kiok biasanya menggunakan tempat ini untuk bermalam dalam perjalanan dari Pao-ting ke kota raja. Kuil itu berada di dalam sebuah hutan yang tidak terlalu luas namun menyimpang dari jalan besar.

“Malam itu terjadinya,” kata Kui Bu melanjutkan ceritanya yang didengar dengan penuh perhatian oleh keponakannya. “Seperti biasa kami membuat api unggun dan tidur secara bergiliran. Kami membuat api ungun dekat kereta dan aku lebih dahulu tidur melepaskan lelah. Menjelang tengah malam, ketika udara amat dinginnya dan suasana amat sepinya, mendadak terdengar teriakan kusir yang tidur di dalam kereta yang memuat peti emas itu. Kami semua terkejut, aku pun bangun dan meloncat untuk melihat apa yang terjadi. Kusir kami telah terlempar keluar kereta dan kereta itu sendiri diseret beberapa orang pergi dari tempat itu!”

“Hemm, mereka tentu perampok!” kata Hui Lan.

“Memang benar, akan tetapi telah bertahun-tahun kami sering lewat di situ, bahkan tanpa aku, tapi tidak pernah ada yang berani mengganggu. Aku lalu melompat dan menghalangi mereka yang menarik kereta, akan tetapi tiba-tiba di depanku telah berdiri seorang kakek berusia enam puluhan lebih, memegang sebatang tongkat berujung kepala naga dan dia segera menyerangku dengan ganas. Kakek itu amat lihai, maka terpaksa aku memainkan Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Kami berkelahi sampai puluhan jurus dengan keadaan seimbang. Lima orang pembantuku sudah roboh oleh anak buah kakek itu. Akhirnya kakek itu mengeluarkan ilmu pukulan dengan tangan kirinya, cepat dan tidak terduga-duga datangnya sehingga mengenai dadaku. Aku roboh dan terluka dalam. Para pembantuku tidak ada yang tewas, hanya luka-luka ringan. Mereka lalu menggotong aku pulang ke sini.”

“Apakah kakek itu tidak meninggalkan nama, paman?”

“Tidak. Dia segera melarikan diri setelah aku dan para pembantuku roboh. Kereta berikut peti emas itu telah lenyap dibawa mereka.”

Hui Lan mengerutkan sepasang alisnya. Dia melihat betapa pamannya kelihatan berduka sekali. “Apakah paman tidak dapat menduga siapa adanya kakek bertongkat kepala naga itu, paman?”

“Aku pernah mendengar bahwa di pantai timur ada seorang datuk lihai yang bersenjata tongkat kepala naga dan juga memiliki Tok-ciang ( tangan beracun). Entah dia atau bukan orang itu. Tapi yang menggelisahkan hatiku adalah wanita cantik itu. Tiga hari yang lalu dia datang ke sini dan sesudah mendengar bahwa emasnya dirampok oleh penjahat, lalu menuntut supaya aku membayar kerugiannya sebanyak seribu tail emas! Dari mana aku dapat memperoleh uang sebanyak itu? Biar pun kujual habis semua perusahaanku berikut rumah-rumahnya, tetap saja tidak akan cukup untuk membayar emas sebanyak itu. Dan besok pagi adalah hari terakhir penentuan pembayaran. Aku khawatir sekali, Hui Lan.”

Hui Lan mengerutkan alisnya dan berpikir. Selain keras hati dan lincah gadis ini juga amat cerdik. “Paman Kui Bu, pada waktu wanita itu mengirim peti berisi emas, apakah paman membuka peti itu dan melihat isinya?”

“Hemm, tidak. Untuk apa? Wanita itu juga melarang kami merusak peti itu. Dia sanggup membayar biaya pengiriman yang banyak sekali, dan kami percaya padanya. Andai kata peti itu bukan berisi emas, lalu untuk apa dia mengirimnya dengan biaya semahal itu?”

“Memang nampaknya tidak mungkin, akan tetapi ada sebuah kemungkinan besar sekali, paman. Dia mengirim peti berisi barang tidak berharga, lantas terjadi perampokan dan dia minta ganti seribu tail emas! Hemm, terus terang saja aku merasa curiga kepada pengirim barang itu, paman. Mungkin saja dia sudah bersekutu dengan perampok itu dan mereka mengharapkan hasilnya, yaitu penggantian seribu tail emas itu!”

“Ahhh…!” Cia Kui Bu menepuk dahinya lantas memandang kepada keponakannya penuh rasa kagum. “Tentu saja ada kemungkinan itu! Kenapa aku tidak pernah berpikir sampai ke sana? Akan tetapi karena aku tidak memeriksa isinya maka tidak ada bukti bahwa peti itu bukan berisi emas.”

“Inilah kelicikan mereka. Apabila mereka merampas emas tentu akan terus dicari sebagai penjahat perampok. Tetapi kalau menerima uang pengganti kerugian, pendapatan mereka itu sah dan tidak melanggar hukum.”

“Hemmm, aku akan mencari kakek itu ke Pulau Tembaga di lautan timur. Kalau memang benar kakek itu datuk di timur yang berjuluk Tung-hai Liong-ong, aku akan merampasnya kembali!” kata Cia Kui Bu sambil mengepal tinju.

“Nanti dulu, paman. Kita harus menghadapi mereka satu demi satu. Kita hadapi wanita itu dahulu, yang besok pagi akan datang menuntut kerugian. Seperti apakah wanita itu? Apa ciri-cirinya?”

“Dia seorang wanita cantik yang terlihat masih muda, akan tetapi kurasa dia telah berusia hampir empat puluh tahun. Dia pesolek, pakaiannya amat mewah dan memegang sebuah kebutan. Di punggungnya tergantung sebuah pedang.”

“Pakaiannya?”

“Pakaiannya mewah dan serba merah.”

“Hemm, lupakah paman akan seorang tokoh sesat yang berjuluk Ang-bi Mo-li (Iblis Betina Merah Cantik)? Agaknya tokoh itulah pengirim peti emas itu.”

Cia Kui Bu mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Aku pun pernah mendengar tentang betina itu, tetapi ketika dia datang mengirim barang, sikapnya demikian halus dan sopan sehingga aku tidak menyangka buruk kepadanya.”

“Aku sendiri juga belum pernah bertemu dengan Ang-bi Mo-li, karena itu kita tunggu saja kedatangannya besok pagi. Biar aku yang menghadapi dia. Harap paman diam saja dan melihat gerak-geriknya. Aku akan memancing agar dia mengakui siapa dirinya.”

Setelah diobati Hui Lan dan mendengar pendapat gadis itu, kesehatan Cia Kui Bu kembali pulih. Dia menjadi bersemangat karena mendapat bantuan Hui Lan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Dia pernah mendengar dari enci-nya, Cia Kui Hong, bahwa Hui Lan memiliki bakat yang baik sekali sehingga dia bisa mewarisi ilmu-ilmu andalan dari ayah ibunya. Bahkan menurut keterangan enci-nya, gadis ini sudah mempelajari ilmu sihir pula dari ayahnya!

Malam itu Cia Kui Bu sudah sembuh betul sehingga dia pun dapat makan minum dengan lahapnya. Ia makan sambil bercakap-cakap dengan Hui Lan, menanyakan kabar enci dan cihu-nya (kakak iparnya). Setelah selesai makan dia mengajak Hui Lan duduk di serambi depan sambil mengobrol.

“Aku merasa heran sekali melihat paman masih juga hidup menyendiri. Mengapa paman tidak menikah dan membentuk sebuah keluarga? Dengan begitu kehidupan paman akan menjadi tenang.”

Cia Kui Bu tersenyum. “Banyak orang mengatakan demikian, Hui Lan. Akan tetapi kalau aku belum bertemu dengan calon jodohku yang cocok, lalu bagaimana? Pula, seandainya saat ini aku sudah mempunyai isteri dan anak, bukankah aku akan menjadi lebih gelisah lagi memikirkan keselamatan mereka?”

“Setidaknya ada orang-orang yang membantu paman memecahkan setiap persoalan yang paman hadapi,“ kata gadis itu.

“Engkau benar juga, Hui Lan. Akan kupikirkan hal itu dan akan kucari cara jodohku yang cocok denganku.”

Setelah malam semakin larut, Hui Lan berpamit kepada pamannya untuk mengaso dalam kamarnya. Dia tidur malam itu, akan tetapi setiap saat dia siap dan waspada, kalau-kalau malam itu ada orang yang akan mengganggu pamannya. Ia tahu bahwa pamannya cukup lihai, akan tetapi orang yang mengganggunya lebih lihai lagi.

Pagi itu suasana di Ceng-liong Piauw-kiok amat sunyi penuh ketegangan. Semua piauwsu berkumpul di serambi depan rumah besar itu, dan jumlah mereka ada enam belas orang. Mereka semua mengenakan pakaian seragam piauwsu yang ringkas, membawa senjata tajam golok atau pedang yang tergantung di pinggang, dan nampaknya seperti pasukan yang siap untuk berperang! Ada yang berdiri dan termenung memandang keluar halaman, ada yang duduk bergerombol sambil bicara berbisik-bisik.

Cia Kui Bu sendiri pagi-pagi sudah mandi dan mengenakan pakaiannya yang serba hijau sehingga nampak gagah sekali. Tubuhnya telah sehat kembali dan dia merasa tubuhnya segar dan kuat. Hanya Hui Lan seorang yang tenang-tenang saja. Pagi-pagi sekali gadis ini sudah mandi, bertukar pakaian, lalu sarapan pagi bersama pamannya. Kini dia duduk di ruangan dalam. Dia tidak senang berada di luar karena tentu dia akan menjadi sasaran pandang mata para piauwsu.

Pukul delapan pagi. Para piauwsu yang berkumpul di serambi depan tiba-tiba terbelalak dan mereka semua berdiri memandang wanita yang tahu-tahu sudah berada di halaman rumah itu.

Seperti hantu saja datangnya wanita itu karena tidak ketahuan. Akan tetapi kalau pun dia hantu, maka hantu yang cantik sekali. Wajahnya dibedaki tipis dan pada bibir dan pipinya terhias gincu. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dan dihias dengan burung emas permata indah. Pakaiannya dari sutera beraneka warna, mewah akan tetapi ringkas dengan warna merah yang paling menyolok di antara banyak warna itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan tangan kirinya memegang sebatang kebutan.

“Cia-piauwsu, keluarlah! Keluarlah untuk mempertanggung jawabkan kewajibanmu!” wanita itu berseru dengan suaranya yang lantang.

Para piauwsu yang berada di serambi depan rumah sudah siap untuk berkelahi bila mana disuruh majikan mereka. Akan tetapi Cia Kui Bu tidak keluar, dan yang keluar justru gadis cantik yang kemarin datang menjadi tamu majikan mereka, yaitu keponakan Cia Piauwsu. Hui Lan melangkah keluar dengan sikap tenang akan tetapi waspada, dan sepasang mata yang tajam itu mencorong memandang ke arah wanita cantik itu.

Melihat munculnya gadis yang jelita ini, wanita itu lantas mengerutkan alisnya. “Siapakah engkau? Suruh Cia Piauwsu keluar. Kalau hari inii dia tidak membayar ganti rugi barangku yang dibikin hilang maka semua yang ada di sini akan kuhancurkan, dan akan kulaporkan kepada yang berwajib!”

“Apakah engkau yang berjuluk Ang-bi Mo-li?” tanya Hui Lan dengan suaranya yang halus namun mengandung wibawa besar.

Wanita itu kelihatan kaget. “Tidak perlu menyebut namaku dalam urusan ini. Cia Piauwsu telah sanggup mengantar emasku ke kota raja, akan tetapi dia mengatakan bahwa barang itu hilang dibawa perampok! Dia harus mengganti seharga seribu tail emas!”

“Barang itu memang dirampok, dan sedang diusahakan agar bisa didapatkan kembali.”

“Omong kosong! Sampai kapan barang itu didapatkan? Aku telah memberi waktu sampai hari ini dan aku tidak mau mengulur waktu lagi.”

“Hemm, benarkah engkau ini Ang-bi Mo-li?”

“Kalau benar mengapa, kalau tidak kenapa?” tantang wanita itu yang mulai menjadi marah kepada Hui Lan yang tetap bersikap tenang itu.

“Kalau engkau benar Ang-bi Mo-li, maka aku tidak merasa heran kalau barang itu dibawa lari perampok!’ kata pula Hui Lan dan sinar matanya dengan tajam mengamati wanita itu.

“Apa maksudmu?”

“Barang itu sama sekali tidak berisi emas, mungkin hanya berisi batu-batu saja.”

“Gila kau!”

“Tidak, aku hanya berkata sebenarnya. Engkau mengirim barang yang kau katakan emas, kemudian sekutumu melakukan perampasan di jalan, dan kini engkau datang untuk minta uang pengganti. Begitu bukan?”

“Apa buktinya? Barang itu memang emas seribu tail!”

“Hemm, siapakah yang melihat bahwa barang itu emas? Engkau hanya membawa sebuah peti dan melarang untuk memeriksa isinya. Hanya engkau yang mengatakan isinya emas, akan tetapi semua piauwsu di sini tidak ada yang melihatnya! Dan siapakah sekutumu itu? Bukankah dia Tung-hai Liong-ong?” kata pula Hui Lan dengan nada suara mengejek.

Wajah wanita itu menjadi merah sekali karena marah. “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Aku pengirim barang yang dibikin hilang oleh Cia-piauwsu dan aku datang minta ganti. Bukankah itu memang sudah sewajarnya?”

“Tentu sewajarnya jika engkau bukan Ang-bi Mo-li yang kelicikan dan kejahatannya sudah sangat terkenal.”

“Keparat! Bicaramu semakin kurang ajar saja! Siapakah engkau?”

“Namaku Tang Hui Lan, keponakan dari Cia-piauwsu.”

Para piauwsu yang sudah mendengarkan semua itu menjadi marah kepada Ang-bi Mo-li. “Siocia, biarkan kami yang menghajar penjahat dan penipu ini!”

Hui Lan tak keburu mencegah karena belasan orang piauwsu itu telah menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi nampak wanita itu menggerakkan kebutannya dan tubuhnya berloncatan dengan amat gesit, lalu para piauwsu itu pun roboh berpelantingan, golok dan pedang terlempar lepas dari tangan mereka. Dalam beberapa menit saja, belasan orang piauwsu itu telah roboh semua dengan tubuh terluka seperti di iris senjata tajam!

“Kalian mundur semua!” bentak Hui Lan, lantas dia pun melompat ke depan wanita cantik itu sambil mencabut sepasang pedangnya. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) pemberian ibunya.

Melihat ini Ang-bi Mo-li memandang tajam. “Apakah engkau adalah puteri Tang Hay dan Cia Kui Hong? Dan kakek nenekmu bernama Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin?”

Diam-diam Hui Lan terkejut sekali. Wanita ini telah mengenal semua keluarganya. Sebuah pikiran tiba-tiba menyelinap di otaknya. Kalau begitu wanita ini memang sengaja membikin susah pamannya karena pamannya adalah adik dari ibunya!

“Kalau benar mengapa? Kalau tidak kenapa?” Hui Lan membalas seperti jawaban Ang-bi Mo-li ketika dia bertanya tadi.

Sepasang mata wanita itu bagaikan menyinarkan api. “Bagus! Jadi engkau ini anak ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu hari ini engkau akan mampus di tanganku!” tiba-tiba saja Ang-bi Mo-li mencabut pedang dari punggungnya dengan tangan kanan sehingga sekarang dia memegang dua senjata, yaitu pedang dan kebutan.

“Aku atau engkau yang akan mampus?” Hui Lan membalas menggertak.

Ang-bi Mo-li sudah demikian marahnya sehingga dia tidak mengeluarkan suara lagi, tetapi langsung menyerang dengan pedang serta kebutannya. Akan tetapi Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar dan dia pun menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis.

“Trang...! Cringg...!”

Keduanya cepat melompat ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan empat buah senjata itu membuat tangan mereka tergetar. Ang-bi Mo-li terkejut bukan kepalang. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu demikian lihainya, maka dia pun kembali menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu silatnya sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya.

Namun sepasang pedang di tangan Hui Lan sudah berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan sama sekali tidak dapat ditembus oleh pedang dan kebutan Ang-bi Mo-li. Sebaliknya, setiap kali gadis itu balas menyerang, cahaya kilat mencuat dari gulungan sinar pedang. Ang-bi Mo-li menjadi terkejut dan nyaris terkena tusukan pedang. Mulailah dia terdesak ke belakang.

Cia Kui Bu yang sejak tadi sudah keluar, menonton pertandingan itu dengan hati kagum bukan main. Ang-bi Mo-li mungkin tidak selihai kakek bertongkat kepala naga, akan tetapi harus diakui bahwa gerakan wanita berbaju merah itu sangat gesit. Akan tetapi segera dia melihat betapa keponakannya mendesak terus.

Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan dua sinar pedang mencuat dari dua gulungan sinar itu, dua batang pedangnya menyerang lawan dari dua jurusan.

“Heiiittt... kena...!”

Ang-bi Mo-li mencoba untuk memutar dua senjatanya sambil mengelak, namun tetap saja ada sinar pedang menyambar pundak kirinya sehingga bajunya robek dan kulitnya terluka berdarah. Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan membanting sesuatu.

“Darrrrr...!”

Nampak asap hitam mengepul tebal. Hui Lan yang tidak mau terkena asap itu cepat-cepat meloncat ke belakang dan kesempatan itu digunakan Ang-bi Mo-li untuk melarikan diri.

Cia Kui Bu cepat menghampiri keponakannya. “Engkau hebat sekali, Hui Lan. Ang-bi Mo-li itu sangat lihai, tetapi dengan mudah engkau telah mengusirnya!”

“Sayang aku tidak dapat menangkapnya, paman. Dia menggunakan bahan peledak untuk melarikan diri. Sekarang aku sudah tahu pasti, paman. Peti itu tentu bukan berisi emas, melainkan batu-batu biasa saja. Dengan cara ini dia hendak membikin nama baik Ceng-liong Piauw-kiok menjadi tercemar. Ini semua memang sudah diatur. Agaknya wanita iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Cin-ling-pai, maka dia membalasnya kepadamu.”

Cia Kui Bu mengangguk-angguk. “Agaknya Ang-bi Mo-li memang telah bersekutu dengan Tung-hai Liong-ong. Ini berarti bahwa Tung-hai Liong-ong juga hendak membalas dendam kepada keluarga Cin-ling-pai.”

“Boleh jadi, paman. Tidak mengherankan kalau begitu karena semenjak dulu orang-orang tua yang menurunkan kita selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, sekalu menentang semua penjahat. Malah aku belum sempat mengabarimu bahwa kakek buyut Ceng Thian Sin juga sudah meninggal dunia.”

“Ahhh...!” Kui Bu memandang Hui Lan dengan hati terkejut. “Rasanya sulit dipercaya jika kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu dapat mati! Mari kita bicara di dalam, Hui Lan.”

Para piauwsu mengobati luka-luka ringan mereka, dan mereka tak habis-habisnya memuji kehebatan Hui Lan yang mampu mengalahkan wanita iblis itu!

Setelah berada di dalam, Kui Bu lalu bertanya, “Bagaimana kakek Ceng Thian Sin sampai meninggal dunia, Hui Lan? Apakah karena sakit dan karena usia tua?”

“Sebenarnya boleh dibilang demikian, akan tetapi juga karena adanya orang-orang yang hendak membalas dendam kepadanya. Tujuh orang datuk datang ke Pulau Teratai Merah menantang kakek buyut. Mereka semua berhasil dikalahkan oleh kakek buyut, akan tetapi kakek buyut yang sudah tua dan mulai lemah itu juga menderita luka berat yang akhirnya membawanya kepada kematiannya.”

Cia Kui Bu menarik napas panjang. “Ahh, permusuhan dan permusuhan, saling membalas dendam. Sampai kapankah semuanya baru berakhir? Apakah kita juga harus membalas dendam kepada mereka yang membalas dendam?”

Hui Lan tersenyum. “Tentu saja jalan pikiran kita tak begitu, paman. Kita tidak membalas dendam, tetapi kita selalu menentang segala bentuk perbuatan jahat. Jika kita membasmi kejahatan kemudian ada keturunan orang jahat hendak membalas dendam, tentu saja kita layani, karena keturunan yang membalaskan dendam kematian orang tua mereka yang jahat, sudah pasti bukan orang baik pula.”

“Pekerjaan seorang piauwsu penuh bahaya dan permusuhan, Hui Lan. Oleh karena itu aku ingin berganti perusahaan, tidak lagi menjadi piauwsu, melainkan menjadi pedagang. Aku telah mengumpulkan cukup modal, dan aku pun sering kali mengangkut barang dagangan sehingga aku tahu barang apa yang harus dijual ke sana. Dengan demikian aku pun dapat tetap memberi pekerjaan kepada para pembantuku.”

“Berganti perusahaan boleh saja, paman. Akan tetapi kurasa menjadi piauwsu juga baik. Ada pun halangan atau bahaya itu akan selalu menimpa manusia di mana pun dia berada dan pekerjaan apa pun yang dilakukannya. Yang jelas, semua yang merintangi pekerjaan piauwsu adalah para perampok dan maling, para orang jahat.”

Kembali Cia Kui Bu menghela napas panjang. “Benar juga pendapatmu, Hui Lan. Biarlah kulanjutkan pekerjaan piauwsu ini. Akan tetapi bagaimana dengan urusan peti emas itu? Bagaimana kalau dia datang lagi untuk meminta ganti?”

“Aku kira tidak, paman. Ang-bi Mo-li tentu tahu bahwa akal busuknya sudah kita ketahui sehingga dia tak akan begitu bodoh untuk datang lagi setelah dia mendapat hajaran keras tadi. Lain dari pada itu, paman, apakah paman juga mendengar tentang Pek-lui-kiam?”

“Pek-lui-kiam yang menjadi perebutan di dunia kangouw itu? Tentu saja aku juga pernah mendengarnya, karena hal itu ramai dibicarakan orang di dunia persilatan. Menurut kabar angin, barang siapa dapat memiliki pedang itu maka dia akan menjagoi seluruh dunia dan kelak dapat diangkat atau dipilih menjadi bengcu.”

“Ah, aku tidak percaya, paman. Kelihaian seseorang tergantung dari kepandaian orang itu sendiri, bukan dari senjatanya walau pun senjata itu membantunya. Orang yang memiliki ilmu kepandaian setingkat mungkin akan menang dengan menggunakan sebuah pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi bagaimana ampuh pun senjata itu, dia tetap akan kalah juga kalau dia berhadapan dengan orang yang tingkatnya jauh lebih tinggi,.”

“Pendapatmu itu memang benar, Hui Lan. Aku juga tidak menginginkan pedang pusaka itu kalau untuk itu aku harus berebutan dengan banyak orang.”

“Akan tetapi bahayanya besar sekali kalau pedang pusaka yang kabarnya sangat ampuh itu terjatuh ke tangan seorang datuk jahat yang berilmu tinggi. Dia seperti harimau yang tumbuh sayap, akan berbahaya sekali bagi manusia pada umumnya dan dunia persilatan pada khususnya. Kewajiban kita adalah mencegah terjadinya hal itu, paman. Bila pedang itu jatuh ke tangan seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, maka hal itu sudah benar. Akan tetapi kalau terjatuh kepada seorang iblis, maka aku harus menentangnya!”

“Ada berita bahwa pedang pusaka itu sekarang berada di tangan Ang I Sianjin, ketua dari Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san. Entah benar atau tidak berita itu, akan tetapi kalau benar terjatuh ke tangan ketua Kwi-jiauw-pang itu, tentu dunia kang-ouw akan menjadi semakin keruh. Kwi-jiauw-pang terkenal sebagai sebuah perkumpulan sesat yang sangat kuat dan orang-orangnya terkenal kejam. Apa lagi karena Kwi-jiauw-pang kabarnya berhubungan dekat dengan perkumpulan besar Pek-lian-kauw.”

“Hemm, kalau begitu sungguh berbahaya sekali, paman. Nanti sesudah singgah ke rumah paman Pek Han Siong di Tung-ciu, aku ingin menyelidiki ke Kwi-liong-san.”

“Aihh, jangan sembrono, Hui Lan. Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san benar-benar kuat. Anak buahnya banyak sekali. Sungguh berbahaya kalau engkau hanya seorang diri saja pergi ke sana.”

“Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono, paman. Aku hanya ingin menyelidiki dan mencari tahu, apakah benar Pek-lui-kiam berada di sana. Aku tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran dengan mereka.”

“Kalau begitu hatiku lega, Hui Lan. Biar pun engkau telah mewarisi banyak ilmu silat yang lihai, tetapi sungguh perbuatan yang tidak bijaksana kalau hanya seorang diri menghadapi puluhan bahkan ratusan anak buah Kwi-jiauw-pang.”

Pada keesokan harinya Hui Lan berpamit dari pamannya, lantas melanjutkan perjalanan ke kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja. Dia hendak memenuhi pesan ayahnya untuk singgah ke rumah Pek Han Siong yang menjadi sahabat baik seperti saudara sendiri dari ayahnya. Akan tetapi karena perjalanan ke Tung-ciu harus melewati kota raja, dia hendak singgah dulu di kota raja.

Di kota raja tinggal bibinya, yaitu adik ayahnya yang bernama Mayang, wanita peranakan Tibet. Ayah Mayang adalah kakeknya. Jadi Mayang adalah bibi tirinya yang hubungannya sangat akrab dengan ayahnya. Sekarang bibinya menjadi isteri seorang bangsawan, yaitu Cang Sun.

Sudah lewat dua tahun semenjak Cang Sun, Mayang, dan Teng Cin Nio, isterinya kedua, datang berkunjung ke Cin-Ling-pai. Masih teringat dia betapa gembiranya ketika itu. Dia berkenalan dengan anak-anak mereka. Yang pertama adalah Cang Hok Thian, seorang pemuda putera Mayang, empat tahun lebih tua darinya. Yang kedua adalah puteri Teng Cin Nio bernama Cang Wi Mei, setahun lebih tua darinya. Biar pun mereka hanya tinggal setengah bulan di Cin-ling-san, kedua orang muda itu telah menjadi sahabat akarabnya.

Sesudah meninggalkan Pao-ting, Hui Lan segera melakukan perjalanan ke utara, menuju ke kota raja.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada waktu itu, dalam tahun 1575, kerajaan Beng masih nampak kuat walau pun terjadi pemberontakan di selatan dan barat. Bahkan kini kekuasaan Jepang mulai mendesak dari timur dan berebutan dengan orang-orang kulit putih yang tidak pernah jera biar pun belum lama ini pemerintah telah menghancurkan orang-orang Portugis dari daratan Cina.

Pada saat itu yang memegang tahta kerajaan adalah kaisar Wan Li (1572-1620). Dia baru selama tiga tahun menjabat sebagai kaisar. Seperti juga kaisar sebelumnya, kaisar Wan Li berusaha keras untuk mempertahankan kedaulatan dan wilayahnya dari desakan orang asing. Kekuasaan bangsa-bangsa lain juga berulang kali mencoba menerobos pertahanan pasukan Beng.

Bahkan pada beberapa tahun yang lalu pernah ada pasukan berani mati bangsa-bangsa Nomad di utara menerobos masuk hingga sampai di luar tembok kota raja Peking. Namun akhirnya pasukan berani mati dari utara itu dapat disapu bersih dan selebihnya melarikan diri cerai berai. Ada yang menggabungkan diri dengan gerombolan penjahat, bahkan ada yang melarikan diri ke pantai timur lalu bergabung dengan orang-orang Jepang.

Selama masa pemerintahan Kaisar Cia Ceng (1520-1566) ada dua orang menteri utama yang sangat berjasa, yang merupakan menteri-menteri setia yang bijaksana serta pandai. Sesudah mereka meninggal dunia, kerajaan Beng kehilangan pemimpin yang pandai dan bijaksana.

Akan tetapi sekarang terdapat seorang yang diangkat menjadi penasehat kaisar Wan Li, dijadikan penasehat karena orang ini juga memiliki pengetahuan yang luas dan amat setia kepada kerajaan. Dia ini bukan lain adalah Cang Sun, putera dari mendiang menteri Cang Ku Ceng.

Sebagai seorang putera menteri, seorang bangsawan, semenjak muda Cang Sun sudah berkenalan dengan para pendekar yang gagah perkasa dan berjiwa patriot. Biar pun Cang Sun sendiri seorang ahli sastra dan tidak mempelajari ilmu silat, akan tetapi isterinya yang pertama adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, yaitu Mayang, bibi dari Hui Lan. Karena itu kedua orang anaknya, seorang putera dan seorang puteri, telah digembleng oleh Mayang sehingga menjadi orang-orang muda yang pandai ilmu silat.

Kaisar Wan Li yang mengetahui bahwa Cang Sun mewarisi kesetiaan dan kebijaksanaan ayahnya, lantas mengangkatnya menjadi menteri yang bertugas menasehati kaisar dalam urusan pemerintahan, baik ke dalam mau pun keluar, karena itu kekuasaan menteri Cang Sun amat besar. Akan tetapi, seperti mendiang ayahnya dulu, menteri Cang Sun bersikap keras terhadap mereka yang ingin menyuapnya. Dia memerintahkan pasukan menangkap mereka yang hendak menyuapnya itu dan menjebloskan ke dalam penjara. Sejak itu tidak ada lagi yang berani main-main terhadap menteri ini.

Karena menteri Cang Sun bersikap keras dan galak terhadap korupsi, sedikit pun tak mau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan sendiri, maka semua bawahannya juga bertindak jujur dan tidak ada yang berani melakukan penyelewengan.

Memang demikianlah. Untuk menjaga agar pohon dapat tumbuh subur lalu menghasilkan bunga dan buah, maka yang perlu dipelihara dan dijaga adalah akarnya dan batangnya. Demikian pula jika menghendaki anak buah yang yang taat dan jujur, pemimpinnya lebih dulu harus jujur dan tertib. Pemimpin yang bijaksana dapat menindak bawahannya yang menyeleweng, sebaliknya seorang pemimpin yang korup, bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan?

Menteri Cang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para pembesar lainnya, juga dengan panglima-panglima perang. Melihat perkembangan yang berbahaya dari bangsa Jepang, menteri Cang Sun lalu menasehati kaisar untuk mengirim pasukan dan menjaga pantai timur. Akan tetapi sukar sekali membendung menyusupnya orang-orang Jepang ke daratan karena kulit dan wajah mereka tidak ada bedanya dengan pribumi.

Ketika kaisar Wan Li mengirim pasukan ke selatan untuk menaklukkan negara Annam, Siam, dan Birma, menteri Cang Sun merasa tidak setuju. Yang terpenting adalah menjaga kedaulatan di negara sendiri, bukan memerangi kerajaan lain untuk ditaklukkan! Sesudah membujuk berulang kali, akhirnya usaha menteri Cang Sun berhasil juga. Pasukan yang berperang di selatan itu segera ditarik kembali untuk memperkuat penjagaan di timur dan utara. Setelah demikian barulah keadaan menjadi agak tenteram.

Pada suatu hari Cang Sun menonton putera dan puterinya yang sedang berlatih silat di bawah petunjuk isteri pertamanya, Mayang. Dalam mendidik dua orang muda itu Mayang tidak berlaku berat sebelah, tidak mengutamakan puteranya sendiri yang bernama Cang Hok Thian itu. Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Cang Wi Mei lebih cocok bermain pedang dari pada Cang Hok Thian, dia lantas menurunkan ilmu pedang kepada puteri tirinya itu.

Kepada Hok Thian dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, yaitu yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Ada pun untuk senjatanya, Hok Thian lebih cocok menggunakan sabuk rantai yang juga dipakainya sebagai ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja murni, agak tipis dan panjangnya dua meter. Meski pun berupa rantai baja akan tetapi karena tipis dan digerakkan oleh tangan yang mengandung tenaga sinkang, maka senjata ini dapat menjadi tajam seperti pedang!

Hari ini kedua orang kakak beradik ini latihan bersama, bertanding dengan tangan kosong. Cang Sun duduk di atas kursi menonton. Memang dia tidak belajar ilmu silat, akan tetapi pergaulannya dengan para ahli silat sangat erat sehingga dia dapat menilai baik buruknya permainan silat.

Ketika melihat putera dan puterinya bertanding dalam suatu latihan bersama, Cang Sun bisa menilai bahwa Cang Wi Mei lebih gesit dan ringan tubuhnya dibandingkan kakaknya. Biar pun dalam hal tenaga Cang Hok Thian masih menang setingkat, namun karena kalah cepat gerakannya maka pemuda ini lebih banyak terdesak.

“Kena!” Mendadak Wi Mei berseru kemudian tubuhnya meloncat ke belakang. Hok Thian tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk minta kembali kain pengikat rambutnya yang sudah berada di tangan adiknya.

“Gerakanmu amat cepat, Mei-moi, aku tidak dapat mengikutimu!” kata Hok Thian dengan sejujurnya.

“Tenagamu lebih kuat dariku, Thian-ko. Apa bila aku tidak menggunakan kecepatan, pasti aku kalah olehmu,” jawab Wi Mei dengan jujur pula.

“Gerakan cepat saja jika tidak disertai tenaga sinkang yang memadai maka daya hasilnya masih kurang, Wi Mei. Engkau harus lebih banyak bersemedhi dan menghimpun tenaga saktimu. Dan engkau Hok Thian. Gerakanmu tadi sudah cukup cepat, hanya masih kalah setingkat oleh adikmu. Karena itu engkau harus lebih teliti dalam pertahananmu sehingga kalau menghadapi lawan yang lebih cepat engkau dapat melindungi diri lebih baik. Engkau harus memperbanyak latihanmu dalam hal pertahanan itu.”

Tiba-tiba percakapan mereka terhenti dengan munculnya seorang prajurit yang bertugas menjaga di luar. Dia memberi hormat kepada menteri Cang Sun, lantas melapor bahwa di luar ada seorang tamu wanita yang bernama Tang Hui Lan mohon menghadap.

“Adik Hui Lan? Ahh, aku girang sekali!” kata Wi Mei. Wajah Cang Hok Thian juga berseri mendengar nama itu. Mayang segera berkata kepada penjaga itu.

“Cepat persilakan dia masuk!”

Penjaga itu tidak segera pergi melainkan memandang kepada menteri Cang Sun. Setelah pembesar ini menganggukkan kepala, barulah dia memberi hormat dan pergi keluar.

Tak lama kemudian muncullah Hui Lan ke dalam ruangan itu. Dia segera memberi hormat kepada keluarga itu, mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata gembira, “Paman, Bibi...!”

“Ahhh, Hui Lan. Dengan siapa engkau datang? Dari mana saja engkau?” tanya Mayang dengan gembira sekali.

“Saya hanya sendiri, Bibi. Sebelum singgah ke sini saya sudah mengunjungi paman Cia Kui Bu."

Mereka kemudian bercakap-cakap dalam suasana akrab sekali. Akan tetapi semua orang langsung terdiam karena terkejut dan turut berduka ketika Hui Lan menceritakan tentang kematian kakek buyutnya, Ceng Thian Sin.

“Ah, siapa yang mengira bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu akhirnya meninggal dunia juga. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa semua orang, tidak peduli dia itu pandai atau berkedudukan tinggi sekali pun, pada suatu hari tentu akan mati dan kembali kepada asal mulanya. Sayang sekali kami tidak tahu akan kematiannya sehingga kami tidak dapat melayat. Apakah ketika meninggal dia masih tinggal di Pulau Teratai Merah? Lalu siapa yang berada dengan dia di saat terakhirnya? Dan bagaimana kematiannya, apakah karena sakit dan usia tua?”

“Kebetulan saya dan ayah ibu berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Kedatangan kami agak terlambat karena kakek buyut sudah berada di ambang kematian. Kakek buyut meninggal karena usia tua, dan dalam keadaan sudah lemah itu terpaksa dia melawan tujuh orang yang datang menantangnya. Dia berhasil mengusir tujuh orang itu, akan tetapi dia sendiri menderita luka dalam karena dalam keadaan sudah tua sekali itu dia harus mengerahkan sinkang-nya.”

Cang Sun menghela napas panjang. “Menyedihkan sekali. Dalam usia yang sudah lewat seratus tahun Pendekar Sadis masih saja dimusuhi orang! Selama orang-orang jahat dan sesat itu masih ada, maka kejahatan akan selalu timbul sebagai imbangan dari kebaikan. Siapakah tujuh orang yang memusuhinya itu, Hui Lan?”

“Menurut seorang murid kakek buyut yang hidup berdua saja dengan kakek buyut di pulau itu, yang datang menantang kakek buyut adalah dua orang datuk dari barat berjuluk Toa Ok dan Ji Ok, bersama kelima Bu-tek Ngo-sian yang juga datang dari barat.”

Mayang mengerutkan alisnya. Ia sendiri berasal dari barat, akan tetapi semenjak menjadi isteri Cang Sun dia tidak pernah lagi pergi ke Tibet maka dia tak pernah mendengar akan nama datuk-datuk yang disebut itu.

“Bagaimana keadaan ayah dan ibumu, Hui Lan? Aku sudah rindu sekali kepada mereka!” kata Mayang, mengalihkan percakapan dari berita yang tidak menyenangkan itu.

Hui Lan tahu dari ayah ibunya bahwa bibinya ini amat sayang kepada ayahnya. Dia pun menjawab dengan nada suara gembira. “Mereka baik-baik saja, Bibi, kakek Cia Hui Song dan nenek Ceng Sui Cin juga dalam keadaan sehat. Keadaan Cin-ling-pai pada umumnya baik dan tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.”

“Syukurlah, Hui Lan. Aku gembira mendengar itu. Sayang sekali bahwa pamanmu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sekarang negara sedang dirongrong oleh banyak persoalan pemberontakan dan kekacauan di perbatasan sehingga kami tidak memiliki waktu luang untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.”

“Mendengar berita bahwa mereka dalam keadaan sehat adalah hal yang menyenangkan sekali,” kata Cang Sun menghibur. “Tidak lama lagi tentu Cin-ling-pai akan mengadakan pesta pernikahan Hui Lan dan kesempatan itu boleh kau pergunakan untuk berkunjung ke sana bersama dua orang anak kita.”

Wajah Hui Lan berubah merah mendengar kata-kata pamannya itu. Akan tetapi dia tidak marah sebab ucapan itu dikeluarkan untuk menghibur bibinya dan bukan untuk mengolok-olok dirinya.

“Itu bagus sekali!” Wi Mei bersorak. “Adik Hui Lan, kapankah engkau akan menikah? Aku sudah ingin sekali berkunjung ke Cin-ling-pai!”

Tentu saja Hui Lan tersipu malu. “Ahh, sama sekali belum ada rencana untuk itu, enci Wi Mei. Engkau dan kakak Hok Thian tentu akan menikah lebih dulu dari pada aku dan untuk merayakan hari baik kalian itu, ayah ibu dan kakek nenek tentu akan datang ke sini!”

Kini Wi Mei menjadi merah mukanya dan Thian Hok juga tersipu. “Kami juga belum ada rencana untuk menikah!” kata Wi Mei.

Tiba-tiba Hok Thian berkata kepada orang tuanya. “Ayah, bagaimana kalau kami berdua ikut dengan adik Hui Lan berkunjung ke Cin-ling-pai? Kami berdua juga ingin melakukan perjalanan dan menambah pengalaman kami!”

“Betul sekali, ayah. Saya juga ingin sekali pergi merantau, melakukan perjalanan seperti adik Hui Lan, melihat-lihat dunia kangouw!” kata Cang Wi Mei. “Ibu tentu setuju, bukan?”

Ketika itu seorang wanita berusia empat puluh lima tahun muncul dari dalam memasuki ruangan itu. “Hemm, apakah yang harus disetujui itu, Wi Mei?”

Wanita itu adalah Teng Cin Nio, isteri kedua dari Cang Sun. Hui Lan cepat-cepat bangkit berdiri memberi hormat.

“Ah, engkau Hui Lan, bukan? Sekarang telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan cantik jelita!” Teng Cin Nio berkata gembira lalu dia pun ikut duduk dekat Mayang.

“Dua orang anak kita ini minta agar diperkenankan pergi ke Cin-ling-pai bersama Hui Lan,” kata Mayang kepadanya.

Teng Cin Nio mengerutkan kedua alisnya. Dia memandang kepada suaminya lalu berkata, “Agaknya tidak bijaksana jika mengijinkan mereka melakukan perjalanan sejauh itu tanpa pengawalan pasukan. Aku khawatir kalau terjadi hal yang tidak baik pada mereka.”

“Aku sendiri juga merasa agak keberatan. Biar pun selama ini mereka sudah mempelajari beberapa macam ilmu silat, namun di dalam dunia kangouw terdapat banyak sekali orang jahat yang ilmu silatnya amat tinggi.”

Mendengar ucapan kedua orang ibunya itu, Wi Mei lalu merengek. “Takut apa? Bukankah adik Hui Lan juga melakukan perjalanan seorang diri dan tidak ada bahaya yang menimpa dirinya? Kalau kami berdua pergi bersamanya, bukankah kami bertiga cukup kuat untuk membela diri?”

Cang Sun yang mendengar ucapan kedua orang isterinya itu lantas berkata kepada kedua orang anaknya. “Hui Lan lain lagi. Ia tentu telah menguasai semua ilmu ayah ibunya yang sangat tinggi. Lagi pula, kalau sampai ada yang tahu bahwa kalian berdua adalah anakku, tentu banyak orang sesat yang berusaha untuk menawan kalian, untuk dijadikan sandera. Kalian harus tahu bahwa banyak sekali orang yang memusuhi aku, terutama yang hendak melakukan pemberontakan. Tidak, kalian tidak boleh pergi kecuali jika membawa pasukan pengawal yang kuat.”

Cang Hok Thian dan Cang Wi Mei bersungut-sungut, dan melihat ini Hui Lan menghibur. “Kakak Cang Hok Thian dan enci Cang Wi Mei, dari sini aku tidak akan langsung pulang ke Cin-ling-pai. Aku hendak berkunjung ke rumah paman Pek Han Siong di Tung-ciu. Dan aku masih hendak merantau entah ke mana sebelum kembali ke Cin-ling-pai. Sebaiknya kalau kalian menurut kata orang tuamu, karena aku yang merasa tidak enak sekali kalau kalian ikut aku lalu terjadi sesuatu atas diri kalian berdua.”

Selama tiga hari Hui Lan tinggal di istana menteri Cang. Selama itu pergaulannya dengan kedua orang putera-puteri menteri itu menjadi semakin akrab. Mereka bahkan latihan silat bersama dan dalam kesempatan ini Hok Thian dan Wi Mei mendapat petunjuk yang amat berharga dari Hui Lan. Tingkat kepandaian Hui Lan memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka.

Kelebihan ini membuat Hok Thian merasa rendah diri. Sebenarnya, di dalam hatinya Hok Thian kagum dan jatuh cinta kepada Hui Lan. Akan tetapi rasa rendah diri karena Hui Lan jauh lebih tangguh darinya membuat dia menekan rasa cintanya dan menganggap dirinya tidak patut untuk menjadi pasangan Hui Lan.

Sesudah tiga hari Hui Lan lalu berpamit dari keluarga Menteri Cang itu untuk melanjutkan perjalanannya menuju Tung-ciu, tempat tinggal Pek Han Siong dan keluarganya.

********************

Seorang pemuda menunggang kudanya yang berbulu putih menuruni sebuah lereng bukit. Kuda itu besar dan bagus sekali, terlihat kuat dan gagah. Penunggangnya juga gagah dan tampan, duduk dengan tegak di atas kudanya yang dibiarkan mencongklang seenaknya. Dia tidak kelihatan tergesa-gesa, melainkan menoleh ke kanan kiri menikmati keindahan pemandangan dari lereng bukit itu.

Pemuda itu berpakaian serba indah seperti seorang kongcu yang kaya raya, berpakaian seperti seorang terpelajar. Melihat rambutnya yang licin dan rapi, serta pakaiannya yang mewah dan sepatunya yang masih baru, ada kesan pesolek pada diri pemuda ini.

Pemuda ini mengenakan sebuah topi yang bagus untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari. Pada punggungnya terdapat sebatang pedang sehingga dia nampak gagah dan tampan. Wajahnya bundar, matanya lebar, hidungnya mancung dan pada bibirnya selalu tersungging senyuman mengejek sehingga dia nampak tinggi hati.

Ketika tiba di luar sebuah hutan di bawah lereng, dia menghentikan kudanya dan menoleh ke kiri. Dari hutan itu muncul sepuluh orang yang segera memberi hormat kepada pemuda itu. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan kasar dan bertubuh tegap.

“Selamat siang, kongcu!” kata yang menjadi pemimpin sepuluh orang itu.

“Ada berita apa? Kenapa kalian menemui aku? Sudah kukatakan agar jangan sekali-kali bertemu denganku di tempat umum.”

“Maaf, kongcu. Di sini aman, sepi tak ada orang lain. Kami hanya ingin melaporkan bahwa di depan sana ada serombongan orang wanita memikul sebuah joli. Kami telah mengintai dan ketika joli tersingkap kami melihat bahwa di dalam joli itu duduk seorang gadis yang kecantikannya seperti seorang puteri raja. Mungkin kongcu akan tertarik, karena itu kami sengaja menghadang kongcu di sini.”

“Hemm, siapa gadis itu?”

“Kami tidak tahu, kongcu. Para pengawalnya juga rata-rata wanita cantik.”

“Baik, hendak kulihat orang macam apa adanya gadis itu! Nanti kalian boleh muncul dan mengganggunya sebagai perampok biasa. Tapi begitu aku muncul kalian harus melarikan diri ketakutan.”

“Baik, kongcu. Kami mengerti apa yang kongcu maksudkan!” kata pemimpin rombongan itu dan mereka lalu berloncatan menghilang ke dalam hutan.

Pemuda tampan itu lantas melanjutkan jalan kudanya, terus ke depan dengan santai dan seenaknya. Dari tempat yang agak tinggi dia memandang ke depan dan benar saja. Dia melihat empat orang wanita muda memikul sebuah joli berwarna hijau dan ada dua orang gadis lain yang berjalan di belakang joli itu.

Dari cara mereka berjalan dapat diduga bahwa para wanita itu bukan orang sembarangan. Langkah mereka sangat ringan dan tegap. Joli itu nampak ringan sekali bagi mereka. Dan di punggung enam orang wanita itu nampak gagang sebatang pedang. Pemuda itu tertarik sekali dan menonton dari tempat tinggi itu.

Tidak lama kemudian muncullah sepuluh orang anak buahnya yang tadi menghadangnya. Sepuluh orang itu cengar-cengir menghadang rombongan wanita itu, lantas pemimpinnya mengangkat tangannya ke atas tanda bahwa rombongan pemikul joli itu harus berhenti.

Dua orang wanita yang tadinya berjalan di belakang joli, kini sudah berpindah ke depan. Para pemikul joli segera berhenti melangkah akan tetapi tidak menurunkan joli. Dua orang gadis pengawal itu memandang dengan alis mata berkerut, dan seorang di antara mereka bertanya dengan suara bernada ketus,

“Mau apa kalian menghadang perjalanan kami?”

Pemimpin rombongan orang laki-laki itu, yang bertubuh tinggi besar, tertawa dan teman-temannya juga tertawa cengar-cengir dengan sikap kurang ajar sekali.

“Ha-ha-ha, masih hendak bertanya lagi? Kami tidak minta banyak, hanya lepaskan semua perhiasan dan pakaian kalian, berikan kepada kami termasuk nona yang berada di dalam joli, lantas kalian bertujuh ikut dengan kami bersenang-senang!” Kata-kata itu sudah jelas sekali.

Yang berada di dalam joli itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin. Seperti kita ketahui, dia ditingggalkan oleh Si Kong dan gadis yang keras hati itu nekat hendak pergi ke Kwi-liong-san untuk mencari dan menyusul Si Kong yang dia tahu tentu akan pergi ke sana pula. Dari dalam jolinya Cu Yin bisa mengintai keluar, maka dia tahu bahwa ada segerombolan perampok hendak mengganggu.

“Turunkan joli!” perintahnya dan empat orang pemikul lalu menurunkan joli.

Sepuluh orang lelaki itu tertawa-tawa gembira. Mereka mengira bahwa rombongan wanita ini tentu akan menyerah kepada mereka karena merasa ketakutan.

Karena nona mereka minta agar joli diturunkan, hal itu berarti bahwa nona mereka akan menghadapi sendiri sepuluh orang itu. Enam orang wanita pengawal itu segera berdiri di kanan kiri joli, masing-masing tiga orang dan mereka telah siap siaga untuk berkelahi apa bila nona mereka memerintahkan.

Cu Yin membuka penutup joli dan semua orang laki-laki yang berdiri di situ mengeluarkan seruan kagum. Gadis di dalam joli itu cantik jelita bukan main. Akan tetapi tanpa berkata apa-apa Cu Yin sudah menggerakkan kedua tangannya, lalu meluncurlah empat batang anak panah ke arah rombongan sepuluh orang laki-laki itu. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan empat orang di antara mereka lantas terjungkal, kemudian sekarat dan akhirnya tewas semua!

Melihat hal ini enam orang lainnya menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka juga marah bukan main. Tadinya mereka hanya ingin mengganggu sambil menanti munculnya kongcu mereka yang akan bertindak seolah-olah menolong gadis itu. Tetapi siapa kira yang terjadi adalah sebaliknya. Empat dari mereka sudah roboh dan tewas di tangan gadis cantik itu. Hal ini dapat terjadi karena mereka sama sekali tak mengira akan diserang dengan panah tangan yang merupakan senjata rahasia yang ampuh itu.

Enam orang itu segera mencabut golok masing-masing dan menyerang maju. Akan tetapi enam orang pengawal wanita itu sudah berloncatan ke depan dengan pedang di tangan sehingga terjadilah perkelahian enam orang pria melawan enam orang wanita dengan seru sekali. Terdengar bunyi senjata mereka berkerontangan kalau beradu dan nampak bunga api berpijar.

Melihat enam orang pengawalnya telah menandingi para perampok itu, Siangkoan Cu Yin hanya duduk saja di dalam jolinya dan mengamati jalannya pertandingan. Dia tahu bahwa para pembantunya tak akan kalah oleh para perampok itu, maka dia pun tidak mau turun tangan membantu, melainkan hanya bersikap waspada dan menjaga agar jangan sampai ada pembantunya yang terluka.

Sementara itu pemuda tampan berkuda yang tadi menonton dari tempat yang tinggi, kini menjadi terkejut bukan main sesudah melihat empat orang anak buahnya tewas. Dia lalu membalapkan kudanya menuruni tempat tinggi itu menuju ke tempat pertempuran.

Pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia adalah putera tunggal dari datuk timur Tung Giam-ong (Raja Maut Timur), seorang datuk besar yang terkenal serta ditakuti di wilayah timur, dari pantai utara sampai pantai sebelah selatan. Nama pemuda itu adalah Tio Gin Ciong.

Sebagai putera tunggal, tentu saja dia sudah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya dan kini dia merupakan seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang masih belum menikah. Tio Gin Ciong kini berada di tempat itu adalah dalam melaksanakan tugas yang diberikan ayahnya kepadanya, yaitu mencari Pek-lui-kiam dan turut memperebutkannya. Dia pergi membawa sepuluh orang pembantu pilihan. Siapa menduga bahwa empat dari sepuluh orang pembantunya mati konyol di tangan seorang gadis yang duduk di dalam joli!

Dengan muka merah karena marah Gin Ciong membalapkan kudanya dan sebentar saja dia sudah sampai di tempat perkelahian. Dia meloncat turun dari atas kudanya, kemudian berjongkok memeriksa salah seorang di antara empat orang pembantunya. Dari atas tadi dia hanya melihat empat orang pembantunya roboh, akan tetapi dia tidak bisa melihat apa yang menyebabkan mereka jatuh dan mengapa mereka tidak dapat bangkit kembali.

Kini dia tahu bahwa empat orang pembantunya itu telah tewas dengan bagian tubuh yang tertancap anak panah kecil itu berwarna hitam. Anak panah beracun, pikirnya dan dia pun mencabut anak panah itu untuk memeriksanya. Dia semakin terkejut ketika melihat ukiran dua huruf Lam Tok pada gagang anak panah.

Lam Tok adalah seorang datuk besar yang berkuasa di selatan! Racun Selatan itu sama kedudukannya dengan ayahnya yang berjuluk Raja Maut Timur! Keduanya adalah datuk besar yang ditakuti dan disegani. Dia bangkit berdiri sambil memegang anak panah itu.

“Berhenti berkelahi! Kalian semua mundur!” teriakan dan suara pemuda ini berpengaruh dan berwibawa sekali.

Mendengar teriakan ini, enam orang anak buahnya segera berloncatan ke belakang dan enam orang wanita itu juga berlompatan ke dekat joli di mana nona mereka masih duduk dengan tenang. Kini Gin Ciong melangkah maju hingga berhadapan dengan Cu Yin yang masih enak-enak duduk di dalam jolinya yang sudah terbuka tirainya. Dua orang itu saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Keduanya menjadi kagum.

Cu Yin tidak menyembunyikan rasa kagumnya melihat pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, dan kudanya yang putih itu juga seekor kuda pilihan. Sekarang seorang anak buah Gin Ciong menuntun kuda itu untuk dilepas kendalinya dan dibiarkan makan rumput di bawah pohon, mengikatkan kendali pada pohon itu.

Tio Gin Ciong juga kagum bukan kepalang. Sungguh tepat laporan anak buahnya bahwa gadis di dalam joli itu teramat cantik jelita seperti puteri istana. Tidak, bahkan lebih cantik lagi. Seperti bidadari dari surga!

Sambil mengangkat anak panah itu ke atas, Gin Ciong bertanya kepada Cu Yin, “Nona, ada hubungan apakah antara engkau dan Lam Tok? Anak panah ini senjata rahasia Lam Tok, mengapa engkau pergunakan?”

Cu Yin merasa bangga bahwa anak panah itu dikenal di mana-mana. Hal ini menandakan bahwa nama besar ayahnya sudah terkenal di semua penjuru.

“Mau tahu apa hubunganku dengan Lam Tok? Dia adalah ayahku! Dan siapa engkau ini? Apakah para perampok ini adalah anak buahmu?”

Gin Ciong semakin terkejut sesudah mendengar bahwa nona itu adalah puteri Lam Tok. Pantas saja tindakannya demikian keras dan kejam, sekali turun tangan telah membunuh empat orang anak buahnya!

“Kiranya engkau adalah puteri paman Siangkoan? Dengar, nona. Antara ayahmu dengan ayahku ada hubungan, karena keduanya adalah datuk besar di wilayah masing-masing. Kalau ayahmu itu datuk besar selatan maka ayahku adalah datuk besar dari timur.”

Cu Yin terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. Ia bahkan keluar dan turun dari jolinya, kini berdiri berhadapan dengan pemuda itu. Sebaliknya Gin Ciong semakin kagum karena sesudah berdiri ternyata gadis itu bukan saja cantik jelita, juga mempunyai bentuk tubuh yang amat menggairahkan.

“Engkau tentu putera Tung Giam-ong?”

Gin Ciong menjura dengan hormat sambil berkata, “Benar, nona. Namaku Tio Gin Ciong, putera tunggal dari ayahku Tung Giam-ong. Kalau boleh aku mengetahui namamu...”

“Namaku Siangkoan Cu Yin,” jawabnya singkat. “Apakah sepuluh orang ini adalah anak buah Pulau Beruang?”

“Dugaanmu benar, nona. Sepuluh orang ini adalah para pembantuku. Akan tetapi empat orang dari mereka telah kau bunuh!” Gin Ciong menekan kata terakhir itu sebagai protes.

“Tentu saja mereka kubunuh, sebab mereka mengaku perampok dan mengeluarkan kata-kata kurang ajar kepadaku! Sepatutnya mereka itu kubunuh semua!”

Gin Ciong mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Mereka kurang ajar? Bagaimana kata-kata yang mereka ucapkan?”

“Mereka bukan saja minta semua perhiasan dan pakaian kami, bahkan hendak menawan kami untuk dipermainkan. Bukankah mereka itu layak sekali dibunuh?”

Kini Gin Ciong menghadapi keenam orang anak buahnya. “Benarkah apa yang dikatakan nona ini? Kalian berani kurang ajar?”

Seorang di antara enam orang itu lalu menjawab, “Tidak, kongcu, kami hanya menggertak mereka, tidak mengeluarkan ucapan kurang ajar.”

“Jahanam!” Gin Ciong membentak dan sekali tangan kirinya yang memegang anak panah itu bergerak, anak panah itu segera meluncur ke depan kemudian menancap di dada anak buahnya yang menjawab tadi. Orang ini hanya mengeluh satu kali lantas jatuh terlentang dengan mata mendelik dan tewas tak lama kemudian.

“Hayo, siapa lagi yang tidak mau mengakui kesalahannya?!” pemuda itu membentak.

Lima orang anak buahnya cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Gin Ciong, “Kami bersalah, kami siap menerima hukuman!” Ucapan ini mereka keluarkan secara serentak. Gin Ciong tersenyum mengejek.

“Bagus! Kalian telah mengaku salah, maka kuampunkan untuk sekali ini. Hayo minta maaf kepada Siangkoan Siocia!”

Lima orang itu berlutut menghadap Cu Yin, lantas berkata serentak, “Siocia, kami berlima mohon ampun atas kesalahan kami.”

Cu Yin tersenyum kemudian melambaikan tangan. “Sudahlah, lima orang dari kalian telah dihukum mati, aku sudah puas!”

“Terima kasih, siocia. Terima kasih, kongcu!” Lima orang itu kemudian bangkit berdiri dan berjalan mundur mengambil jarak cukup jauh sambil menanti perintah selanjutnya.

Cu Yin memerintahkan pembantunya untuk mengambil kembali anak panahnya dari tubuh kelima mayat itu. Seorang di antara enam orang pembantunya dengan cekatan kemudian mencabuti anak-anak panah itu, lalu dengan selembar kain membersihkannya dari darah dan menyimpannya.

Gin Ciong juga memerintahkan anak buahnya untuk mengubur jenazah lima orang anak buahnya di dalam hutan. Lima orang anak buahnya lalu mengangkat kelima mayat itu dan membawanya ke dalam hutan untuk dikuburkan.

Setelah kelima orang anak buahnya pergi, Gin Ciong merasa lebih bebas untuk berbicara dengan gadis itu. “Nona Siangkoan, kalau boleh aku mengetahui, apa yang hendak nona lakukan maka nona berada di sini? Ke manakah nona hendak pergi dan dari mana nona datang?”

Cu Yin tersenyum. Pemuda ini amat tampan dan putera seorang datuk besar, akan tetapi selain sederhana juga sikapnya begitu hormat dan sopan sehingga hatinya tertarik. Tetapi tentu saja dia tidak mungkin menceritakan apa yang hendak dicarinya kepada sembarang orang yang baru saja dikenalnya.

“Tio-kongcu, secara kebetulan kita berjumpa di sini, dan karena ulah anak buahmu maka kita dapat saling berkenalan. Sudah sewajarnya kalau orang-orang yang baru berkenalan saling menceritakan keadaan dirinya, maka kuharap engkau suka lebih dulu menceritakan apa yang sedang kau lakukan di tempat sunyi ini.”

Gin Ciong tertawa ketika mendengar betapa pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. “Baiklah, nona. Memang sudah sepatutnya kalau aku yang menceritakan keadaanku lebih dulu. Ketahuilah, nona Siangkoan, aku meninggalkan Pulau Beruang untuk mencari pedang Pek-lui-kiam. Ayahku yang menyuruhku, dengan maksud agar di dalam mencari pedang pusaka itu aku memperoleh pengalaman dan dapat bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw.”

Diam-diam Cu Yin merasa geli. Keadaan pemuda ini tak ada bedanya dengan dia sendiri. Dia pun hendak mencari pedang pusaka itu, seperti yang diperintahkan ayahnya!

“Hi-hi-hik,” Cu Yin tertawa geli tanpa menutupi mulutnya seperti kebiasaan para gadis apa bila tertawa. Puteri Lam To ini tertawa dengan wajar dan bebas, tidak menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih mengkilap. “Kalau begitu kita ini saling berhadapan sebagai saingan karena aku pun meninggalkan tepi sungai Hun-kiang memenuhi perintah ayah untuk mencari dan merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam!”

Mula-mula Gin Ciong terkejut mendengar ini, akan tetapi sesudah berpikr sejenak dia pun lalu tertawa gembira. “Baik sekali kalau begitu! Kita sama sekali tidak saling berhadapan sebagai saingan. Kita adalah orang-orang segolongan. Ayahmu datuk selatan dan ayahku datuk timur. Kebetulan sekali kalau begitu. Kita tidak perlu bersaing, bahkan dapat saling membantu untuk memperoleh Pek-lui-kiam. Kalau begitu lebih baik kita bekerja sama saja sehingga akan lebih mudah menguasai Pek-lui-kiam!”

“Ahh, mana bisa diatur begitu? Pedang itu hanya satu batang saja, bukan dua atau lebih sehingga dapat dibagi-bagi!”

“Tentu saja tidak dibagi, nona. Kalau kita dapat memperoleh pedang pusaka itu, aku akan mengalah dan memberikannya kepadamu. Apa bedanya pedang itu menjadi milikku atau milikmu? Kita satu golongan, dan aku tentu akan mengalah terhadapmu.”

“Sesungguhnyakah? Kalau begitu, engkau akan membantu merampas pedang itu?”

Gin Ciong mengangguk. “Boleh kau anggap begitu. Tetapi aku belum tahu harus mencari ke mana.”

“Aku tahu di mana adanya pedang itu!” kata Cu Yin yang tiba-tiba saja teringat kepada Si Kong, pemuda yang dicintainya namun tidak menanggapinya bahkan meninggalkannya.

Wajah Gin Ciong berseri gembira, “Ahh, itu bagus sekali, nona. Kalau begitu marilah kita melakukan perjalanan bersama untuk merampas pedang itu!”

“Nanti dulu, Tio-kongcu ( tuan mudaTio)...”

“Aihh, nona, setelah kita menjadi sahabat, jangan panggil aku kongcu lagi.”

“Habis, aku harus menyebut bagaimana? Engkau sendiri menyebutku nona.”

“Baiklah, mulai saat ini kita jangan menggunakan sebutan tuan muda dan nona lagi. Aku lebih tua darimu, maka akan kusebut engkau Yin-moi (adik Yin) dan engkau menyebutku Ciong-ko (kakak Ciong), bagaimana pendapatmu? Setujukah engkau, Yin-moi?”

“Baik, Ciong-ko. Dengan sebutan ini kita menjadi lebih akrab dan tidak merasa asing.”

“Yin-moi, dengan ilmu kepandaian kita berdua, kita akan sanggup menghadapi siapa pun juga. Oleh karena itu kukira tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk ditemani pelayan atau pengawal. Lebih baik kita menyuruh mereka pulang dan kita beli seekor kuda untukmu.”

Cu Yin mengangguk. “Aku setuju,” katanya, lantas dia pun menggapai enam orang wanita yang menjadi pengawalnya dan meyuruh mereka membelikan seekor kuda untuknya.

Pendekar Kelana Jilid 11

Cia Kui Bu kemudian menceritakan pengalamannya. Seminggu lalu seorang wanita cantik datang berkunjung. Wanita itu mengatakan bahwa dia memiliki sepeti emas yang sangat berharga dan hendak mengirimnya ke kota raja. Ia menghargai isi peti itu seribu tail emas!

Tentu saja Kui Bu terkejut sekali. Selama ini belum pernah dia menerima kiriman barang yang harganya sebesar itu. Akan tetapi wanita itu mendesaknya, dan sanggup membayar biaya pengiriman berapa saja diminta.

Karena wanita itu berani membayar biaya pengiriman yang besar jumlahnya, yang nilainya belum tentu bisa diperoleh Ceng-liong Piauw-kiok selama sebulan, Kui Bu mau menerima tugas itu dan dia sendiri yang mengawal peti berisi emas itu. Dia dibantu oleh lima orang piauwsu (pengawal) yang tangguh dan ilmu silatnya cukup lumayan.

Peti itu kemudian dimuat di dalam sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kusir yang mengendalikan dua ekor kuda itu pun seorang piauwsu yang sudah berpengalaman. Di atas kereta itu berkibar bendera tanda Ceng-liong Piauw-kiok, yaitu gambar seekor naga hijau. Cia Kui Bu juga mengenakan pakaian piauwsu yang serba hijau dan nampak gagah sekali.

Perjalanan dari Pao-ting ke kota raja merupakan jarak yang walau pun agak jauh namun termasuk dekat bagi para piauwsu yang biasa mengawal barang kiriman sampai lebih jauh lagi. Dan selama ini perjalanan dari Pao-ting ke kota raja aman saja, belum pernah ada yang berani mengganggu.

Setelah melakukan perjalanan sehari lamanya tanpa ada gangguan, mereka melewatkan malam di dekat bangunan terusan (kanal) yang terkenal itu, di sebuah kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi. Memang rombongan Ceng-liong Piauw-kiok biasanya menggunakan tempat ini untuk bermalam dalam perjalanan dari Pao-ting ke kota raja. Kuil itu berada di dalam sebuah hutan yang tidak terlalu luas namun menyimpang dari jalan besar.

“Malam itu terjadinya,” kata Kui Bu melanjutkan ceritanya yang didengar dengan penuh perhatian oleh keponakannya. “Seperti biasa kami membuat api unggun dan tidur secara bergiliran. Kami membuat api ungun dekat kereta dan aku lebih dahulu tidur melepaskan lelah. Menjelang tengah malam, ketika udara amat dinginnya dan suasana amat sepinya, mendadak terdengar teriakan kusir yang tidur di dalam kereta yang memuat peti emas itu. Kami semua terkejut, aku pun bangun dan meloncat untuk melihat apa yang terjadi. Kusir kami telah terlempar keluar kereta dan kereta itu sendiri diseret beberapa orang pergi dari tempat itu!”

“Hemm, mereka tentu perampok!” kata Hui Lan.

“Memang benar, akan tetapi telah bertahun-tahun kami sering lewat di situ, bahkan tanpa aku, tapi tidak pernah ada yang berani mengganggu. Aku lalu melompat dan menghalangi mereka yang menarik kereta, akan tetapi tiba-tiba di depanku telah berdiri seorang kakek berusia enam puluhan lebih, memegang sebatang tongkat berujung kepala naga dan dia segera menyerangku dengan ganas. Kakek itu amat lihai, maka terpaksa aku memainkan Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Kami berkelahi sampai puluhan jurus dengan keadaan seimbang. Lima orang pembantuku sudah roboh oleh anak buah kakek itu. Akhirnya kakek itu mengeluarkan ilmu pukulan dengan tangan kirinya, cepat dan tidak terduga-duga datangnya sehingga mengenai dadaku. Aku roboh dan terluka dalam. Para pembantuku tidak ada yang tewas, hanya luka-luka ringan. Mereka lalu menggotong aku pulang ke sini.”

“Apakah kakek itu tidak meninggalkan nama, paman?”

“Tidak. Dia segera melarikan diri setelah aku dan para pembantuku roboh. Kereta berikut peti emas itu telah lenyap dibawa mereka.”

Hui Lan mengerutkan sepasang alisnya. Dia melihat betapa pamannya kelihatan berduka sekali. “Apakah paman tidak dapat menduga siapa adanya kakek bertongkat kepala naga itu, paman?”

“Aku pernah mendengar bahwa di pantai timur ada seorang datuk lihai yang bersenjata tongkat kepala naga dan juga memiliki Tok-ciang ( tangan beracun). Entah dia atau bukan orang itu. Tapi yang menggelisahkan hatiku adalah wanita cantik itu. Tiga hari yang lalu dia datang ke sini dan sesudah mendengar bahwa emasnya dirampok oleh penjahat, lalu menuntut supaya aku membayar kerugiannya sebanyak seribu tail emas! Dari mana aku dapat memperoleh uang sebanyak itu? Biar pun kujual habis semua perusahaanku berikut rumah-rumahnya, tetap saja tidak akan cukup untuk membayar emas sebanyak itu. Dan besok pagi adalah hari terakhir penentuan pembayaran. Aku khawatir sekali, Hui Lan.”

Hui Lan mengerutkan alisnya dan berpikir. Selain keras hati dan lincah gadis ini juga amat cerdik. “Paman Kui Bu, pada waktu wanita itu mengirim peti berisi emas, apakah paman membuka peti itu dan melihat isinya?”

“Hemm, tidak. Untuk apa? Wanita itu juga melarang kami merusak peti itu. Dia sanggup membayar biaya pengiriman yang banyak sekali, dan kami percaya padanya. Andai kata peti itu bukan berisi emas, lalu untuk apa dia mengirimnya dengan biaya semahal itu?”

“Memang nampaknya tidak mungkin, akan tetapi ada sebuah kemungkinan besar sekali, paman. Dia mengirim peti berisi barang tidak berharga, lantas terjadi perampokan dan dia minta ganti seribu tail emas! Hemm, terus terang saja aku merasa curiga kepada pengirim barang itu, paman. Mungkin saja dia sudah bersekutu dengan perampok itu dan mereka mengharapkan hasilnya, yaitu penggantian seribu tail emas itu!”

“Ahhh…!” Cia Kui Bu menepuk dahinya lantas memandang kepada keponakannya penuh rasa kagum. “Tentu saja ada kemungkinan itu! Kenapa aku tidak pernah berpikir sampai ke sana? Akan tetapi karena aku tidak memeriksa isinya maka tidak ada bukti bahwa peti itu bukan berisi emas.”

“Inilah kelicikan mereka. Apabila mereka merampas emas tentu akan terus dicari sebagai penjahat perampok. Tetapi kalau menerima uang pengganti kerugian, pendapatan mereka itu sah dan tidak melanggar hukum.”

“Hemmm, aku akan mencari kakek itu ke Pulau Tembaga di lautan timur. Kalau memang benar kakek itu datuk di timur yang berjuluk Tung-hai Liong-ong, aku akan merampasnya kembali!” kata Cia Kui Bu sambil mengepal tinju.

“Nanti dulu, paman. Kita harus menghadapi mereka satu demi satu. Kita hadapi wanita itu dahulu, yang besok pagi akan datang menuntut kerugian. Seperti apakah wanita itu? Apa ciri-cirinya?”

“Dia seorang wanita cantik yang terlihat masih muda, akan tetapi kurasa dia telah berusia hampir empat puluh tahun. Dia pesolek, pakaiannya amat mewah dan memegang sebuah kebutan. Di punggungnya tergantung sebuah pedang.”

“Pakaiannya?”

“Pakaiannya mewah dan serba merah.”

“Hemm, lupakah paman akan seorang tokoh sesat yang berjuluk Ang-bi Mo-li (Iblis Betina Merah Cantik)? Agaknya tokoh itulah pengirim peti emas itu.”

Cia Kui Bu mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Aku pun pernah mendengar tentang betina itu, tetapi ketika dia datang mengirim barang, sikapnya demikian halus dan sopan sehingga aku tidak menyangka buruk kepadanya.”

“Aku sendiri juga belum pernah bertemu dengan Ang-bi Mo-li, karena itu kita tunggu saja kedatangannya besok pagi. Biar aku yang menghadapi dia. Harap paman diam saja dan melihat gerak-geriknya. Aku akan memancing agar dia mengakui siapa dirinya.”

Setelah diobati Hui Lan dan mendengar pendapat gadis itu, kesehatan Cia Kui Bu kembali pulih. Dia menjadi bersemangat karena mendapat bantuan Hui Lan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Dia pernah mendengar dari enci-nya, Cia Kui Hong, bahwa Hui Lan memiliki bakat yang baik sekali sehingga dia bisa mewarisi ilmu-ilmu andalan dari ayah ibunya. Bahkan menurut keterangan enci-nya, gadis ini sudah mempelajari ilmu sihir pula dari ayahnya!

Malam itu Cia Kui Bu sudah sembuh betul sehingga dia pun dapat makan minum dengan lahapnya. Ia makan sambil bercakap-cakap dengan Hui Lan, menanyakan kabar enci dan cihu-nya (kakak iparnya). Setelah selesai makan dia mengajak Hui Lan duduk di serambi depan sambil mengobrol.

“Aku merasa heran sekali melihat paman masih juga hidup menyendiri. Mengapa paman tidak menikah dan membentuk sebuah keluarga? Dengan begitu kehidupan paman akan menjadi tenang.”

Cia Kui Bu tersenyum. “Banyak orang mengatakan demikian, Hui Lan. Akan tetapi kalau aku belum bertemu dengan calon jodohku yang cocok, lalu bagaimana? Pula, seandainya saat ini aku sudah mempunyai isteri dan anak, bukankah aku akan menjadi lebih gelisah lagi memikirkan keselamatan mereka?”

“Setidaknya ada orang-orang yang membantu paman memecahkan setiap persoalan yang paman hadapi,“ kata gadis itu.

“Engkau benar juga, Hui Lan. Akan kupikirkan hal itu dan akan kucari cara jodohku yang cocok denganku.”

Setelah malam semakin larut, Hui Lan berpamit kepada pamannya untuk mengaso dalam kamarnya. Dia tidur malam itu, akan tetapi setiap saat dia siap dan waspada, kalau-kalau malam itu ada orang yang akan mengganggu pamannya. Ia tahu bahwa pamannya cukup lihai, akan tetapi orang yang mengganggunya lebih lihai lagi.

Pagi itu suasana di Ceng-liong Piauw-kiok amat sunyi penuh ketegangan. Semua piauwsu berkumpul di serambi depan rumah besar itu, dan jumlah mereka ada enam belas orang. Mereka semua mengenakan pakaian seragam piauwsu yang ringkas, membawa senjata tajam golok atau pedang yang tergantung di pinggang, dan nampaknya seperti pasukan yang siap untuk berperang! Ada yang berdiri dan termenung memandang keluar halaman, ada yang duduk bergerombol sambil bicara berbisik-bisik.

Cia Kui Bu sendiri pagi-pagi sudah mandi dan mengenakan pakaiannya yang serba hijau sehingga nampak gagah sekali. Tubuhnya telah sehat kembali dan dia merasa tubuhnya segar dan kuat. Hanya Hui Lan seorang yang tenang-tenang saja. Pagi-pagi sekali gadis ini sudah mandi, bertukar pakaian, lalu sarapan pagi bersama pamannya. Kini dia duduk di ruangan dalam. Dia tidak senang berada di luar karena tentu dia akan menjadi sasaran pandang mata para piauwsu.

Pukul delapan pagi. Para piauwsu yang berkumpul di serambi depan tiba-tiba terbelalak dan mereka semua berdiri memandang wanita yang tahu-tahu sudah berada di halaman rumah itu.

Seperti hantu saja datangnya wanita itu karena tidak ketahuan. Akan tetapi kalau pun dia hantu, maka hantu yang cantik sekali. Wajahnya dibedaki tipis dan pada bibir dan pipinya terhias gincu. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dan dihias dengan burung emas permata indah. Pakaiannya dari sutera beraneka warna, mewah akan tetapi ringkas dengan warna merah yang paling menyolok di antara banyak warna itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan tangan kirinya memegang sebatang kebutan.

“Cia-piauwsu, keluarlah! Keluarlah untuk mempertanggung jawabkan kewajibanmu!” wanita itu berseru dengan suaranya yang lantang.

Para piauwsu yang berada di serambi depan rumah sudah siap untuk berkelahi bila mana disuruh majikan mereka. Akan tetapi Cia Kui Bu tidak keluar, dan yang keluar justru gadis cantik yang kemarin datang menjadi tamu majikan mereka, yaitu keponakan Cia Piauwsu. Hui Lan melangkah keluar dengan sikap tenang akan tetapi waspada, dan sepasang mata yang tajam itu mencorong memandang ke arah wanita cantik itu.

Melihat munculnya gadis yang jelita ini, wanita itu lantas mengerutkan alisnya. “Siapakah engkau? Suruh Cia Piauwsu keluar. Kalau hari inii dia tidak membayar ganti rugi barangku yang dibikin hilang maka semua yang ada di sini akan kuhancurkan, dan akan kulaporkan kepada yang berwajib!”

“Apakah engkau yang berjuluk Ang-bi Mo-li?” tanya Hui Lan dengan suaranya yang halus namun mengandung wibawa besar.

Wanita itu kelihatan kaget. “Tidak perlu menyebut namaku dalam urusan ini. Cia Piauwsu telah sanggup mengantar emasku ke kota raja, akan tetapi dia mengatakan bahwa barang itu hilang dibawa perampok! Dia harus mengganti seharga seribu tail emas!”

“Barang itu memang dirampok, dan sedang diusahakan agar bisa didapatkan kembali.”

“Omong kosong! Sampai kapan barang itu didapatkan? Aku telah memberi waktu sampai hari ini dan aku tidak mau mengulur waktu lagi.”

“Hemm, benarkah engkau ini Ang-bi Mo-li?”

“Kalau benar mengapa, kalau tidak kenapa?” tantang wanita itu yang mulai menjadi marah kepada Hui Lan yang tetap bersikap tenang itu.

“Kalau engkau benar Ang-bi Mo-li, maka aku tidak merasa heran kalau barang itu dibawa lari perampok!’ kata pula Hui Lan dan sinar matanya dengan tajam mengamati wanita itu.

“Apa maksudmu?”

“Barang itu sama sekali tidak berisi emas, mungkin hanya berisi batu-batu saja.”

“Gila kau!”

“Tidak, aku hanya berkata sebenarnya. Engkau mengirim barang yang kau katakan emas, kemudian sekutumu melakukan perampasan di jalan, dan kini engkau datang untuk minta uang pengganti. Begitu bukan?”

“Apa buktinya? Barang itu memang emas seribu tail!”

“Hemm, siapakah yang melihat bahwa barang itu emas? Engkau hanya membawa sebuah peti dan melarang untuk memeriksa isinya. Hanya engkau yang mengatakan isinya emas, akan tetapi semua piauwsu di sini tidak ada yang melihatnya! Dan siapakah sekutumu itu? Bukankah dia Tung-hai Liong-ong?” kata pula Hui Lan dengan nada suara mengejek.

Wajah wanita itu menjadi merah sekali karena marah. “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Aku pengirim barang yang dibikin hilang oleh Cia-piauwsu dan aku datang minta ganti. Bukankah itu memang sudah sewajarnya?”

“Tentu sewajarnya jika engkau bukan Ang-bi Mo-li yang kelicikan dan kejahatannya sudah sangat terkenal.”

“Keparat! Bicaramu semakin kurang ajar saja! Siapakah engkau?”

“Namaku Tang Hui Lan, keponakan dari Cia-piauwsu.”

Para piauwsu yang sudah mendengarkan semua itu menjadi marah kepada Ang-bi Mo-li. “Siocia, biarkan kami yang menghajar penjahat dan penipu ini!”

Hui Lan tak keburu mencegah karena belasan orang piauwsu itu telah menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi nampak wanita itu menggerakkan kebutannya dan tubuhnya berloncatan dengan amat gesit, lalu para piauwsu itu pun roboh berpelantingan, golok dan pedang terlempar lepas dari tangan mereka. Dalam beberapa menit saja, belasan orang piauwsu itu telah roboh semua dengan tubuh terluka seperti di iris senjata tajam!

“Kalian mundur semua!” bentak Hui Lan, lantas dia pun melompat ke depan wanita cantik itu sambil mencabut sepasang pedangnya. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) pemberian ibunya.

Melihat ini Ang-bi Mo-li memandang tajam. “Apakah engkau adalah puteri Tang Hay dan Cia Kui Hong? Dan kakek nenekmu bernama Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin?”

Diam-diam Hui Lan terkejut sekali. Wanita ini telah mengenal semua keluarganya. Sebuah pikiran tiba-tiba menyelinap di otaknya. Kalau begitu wanita ini memang sengaja membikin susah pamannya karena pamannya adalah adik dari ibunya!

“Kalau benar mengapa? Kalau tidak kenapa?” Hui Lan membalas seperti jawaban Ang-bi Mo-li ketika dia bertanya tadi.

Sepasang mata wanita itu bagaikan menyinarkan api. “Bagus! Jadi engkau ini anak ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu hari ini engkau akan mampus di tanganku!” tiba-tiba saja Ang-bi Mo-li mencabut pedang dari punggungnya dengan tangan kanan sehingga sekarang dia memegang dua senjata, yaitu pedang dan kebutan.

“Aku atau engkau yang akan mampus?” Hui Lan membalas menggertak.

Ang-bi Mo-li sudah demikian marahnya sehingga dia tidak mengeluarkan suara lagi, tetapi langsung menyerang dengan pedang serta kebutannya. Akan tetapi Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar dan dia pun menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis.

“Trang...! Cringg...!”

Keduanya cepat melompat ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan empat buah senjata itu membuat tangan mereka tergetar. Ang-bi Mo-li terkejut bukan kepalang. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu demikian lihainya, maka dia pun kembali menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu silatnya sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya.

Namun sepasang pedang di tangan Hui Lan sudah berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan sama sekali tidak dapat ditembus oleh pedang dan kebutan Ang-bi Mo-li. Sebaliknya, setiap kali gadis itu balas menyerang, cahaya kilat mencuat dari gulungan sinar pedang. Ang-bi Mo-li menjadi terkejut dan nyaris terkena tusukan pedang. Mulailah dia terdesak ke belakang.

Cia Kui Bu yang sejak tadi sudah keluar, menonton pertandingan itu dengan hati kagum bukan main. Ang-bi Mo-li mungkin tidak selihai kakek bertongkat kepala naga, akan tetapi harus diakui bahwa gerakan wanita berbaju merah itu sangat gesit. Akan tetapi segera dia melihat betapa keponakannya mendesak terus.

Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan dua sinar pedang mencuat dari dua gulungan sinar itu, dua batang pedangnya menyerang lawan dari dua jurusan.

“Heiiittt... kena...!”

Ang-bi Mo-li mencoba untuk memutar dua senjatanya sambil mengelak, namun tetap saja ada sinar pedang menyambar pundak kirinya sehingga bajunya robek dan kulitnya terluka berdarah. Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan membanting sesuatu.

“Darrrrr...!”

Nampak asap hitam mengepul tebal. Hui Lan yang tidak mau terkena asap itu cepat-cepat meloncat ke belakang dan kesempatan itu digunakan Ang-bi Mo-li untuk melarikan diri.

Cia Kui Bu cepat menghampiri keponakannya. “Engkau hebat sekali, Hui Lan. Ang-bi Mo-li itu sangat lihai, tetapi dengan mudah engkau telah mengusirnya!”

“Sayang aku tidak dapat menangkapnya, paman. Dia menggunakan bahan peledak untuk melarikan diri. Sekarang aku sudah tahu pasti, paman. Peti itu tentu bukan berisi emas, melainkan batu-batu biasa saja. Dengan cara ini dia hendak membikin nama baik Ceng-liong Piauw-kiok menjadi tercemar. Ini semua memang sudah diatur. Agaknya wanita iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Cin-ling-pai, maka dia membalasnya kepadamu.”

Cia Kui Bu mengangguk-angguk. “Agaknya Ang-bi Mo-li memang telah bersekutu dengan Tung-hai Liong-ong. Ini berarti bahwa Tung-hai Liong-ong juga hendak membalas dendam kepada keluarga Cin-ling-pai.”

“Boleh jadi, paman. Tidak mengherankan kalau begitu karena semenjak dulu orang-orang tua yang menurunkan kita selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, sekalu menentang semua penjahat. Malah aku belum sempat mengabarimu bahwa kakek buyut Ceng Thian Sin juga sudah meninggal dunia.”

“Ahhh...!” Kui Bu memandang Hui Lan dengan hati terkejut. “Rasanya sulit dipercaya jika kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu dapat mati! Mari kita bicara di dalam, Hui Lan.”

Para piauwsu mengobati luka-luka ringan mereka, dan mereka tak habis-habisnya memuji kehebatan Hui Lan yang mampu mengalahkan wanita iblis itu!

Setelah berada di dalam, Kui Bu lalu bertanya, “Bagaimana kakek Ceng Thian Sin sampai meninggal dunia, Hui Lan? Apakah karena sakit dan karena usia tua?”

“Sebenarnya boleh dibilang demikian, akan tetapi juga karena adanya orang-orang yang hendak membalas dendam kepadanya. Tujuh orang datuk datang ke Pulau Teratai Merah menantang kakek buyut. Mereka semua berhasil dikalahkan oleh kakek buyut, akan tetapi kakek buyut yang sudah tua dan mulai lemah itu juga menderita luka berat yang akhirnya membawanya kepada kematiannya.”

Cia Kui Bu menarik napas panjang. “Ahh, permusuhan dan permusuhan, saling membalas dendam. Sampai kapankah semuanya baru berakhir? Apakah kita juga harus membalas dendam kepada mereka yang membalas dendam?”

Hui Lan tersenyum. “Tentu saja jalan pikiran kita tak begitu, paman. Kita tidak membalas dendam, tetapi kita selalu menentang segala bentuk perbuatan jahat. Jika kita membasmi kejahatan kemudian ada keturunan orang jahat hendak membalas dendam, tentu saja kita layani, karena keturunan yang membalaskan dendam kematian orang tua mereka yang jahat, sudah pasti bukan orang baik pula.”

“Pekerjaan seorang piauwsu penuh bahaya dan permusuhan, Hui Lan. Oleh karena itu aku ingin berganti perusahaan, tidak lagi menjadi piauwsu, melainkan menjadi pedagang. Aku telah mengumpulkan cukup modal, dan aku pun sering kali mengangkut barang dagangan sehingga aku tahu barang apa yang harus dijual ke sana. Dengan demikian aku pun dapat tetap memberi pekerjaan kepada para pembantuku.”

“Berganti perusahaan boleh saja, paman. Akan tetapi kurasa menjadi piauwsu juga baik. Ada pun halangan atau bahaya itu akan selalu menimpa manusia di mana pun dia berada dan pekerjaan apa pun yang dilakukannya. Yang jelas, semua yang merintangi pekerjaan piauwsu adalah para perampok dan maling, para orang jahat.”

Kembali Cia Kui Bu menghela napas panjang. “Benar juga pendapatmu, Hui Lan. Biarlah kulanjutkan pekerjaan piauwsu ini. Akan tetapi bagaimana dengan urusan peti emas itu? Bagaimana kalau dia datang lagi untuk meminta ganti?”

“Aku kira tidak, paman. Ang-bi Mo-li tentu tahu bahwa akal busuknya sudah kita ketahui sehingga dia tak akan begitu bodoh untuk datang lagi setelah dia mendapat hajaran keras tadi. Lain dari pada itu, paman, apakah paman juga mendengar tentang Pek-lui-kiam?”

“Pek-lui-kiam yang menjadi perebutan di dunia kangouw itu? Tentu saja aku juga pernah mendengarnya, karena hal itu ramai dibicarakan orang di dunia persilatan. Menurut kabar angin, barang siapa dapat memiliki pedang itu maka dia akan menjagoi seluruh dunia dan kelak dapat diangkat atau dipilih menjadi bengcu.”

“Ah, aku tidak percaya, paman. Kelihaian seseorang tergantung dari kepandaian orang itu sendiri, bukan dari senjatanya walau pun senjata itu membantunya. Orang yang memiliki ilmu kepandaian setingkat mungkin akan menang dengan menggunakan sebuah pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi bagaimana ampuh pun senjata itu, dia tetap akan kalah juga kalau dia berhadapan dengan orang yang tingkatnya jauh lebih tinggi,.”

“Pendapatmu itu memang benar, Hui Lan. Aku juga tidak menginginkan pedang pusaka itu kalau untuk itu aku harus berebutan dengan banyak orang.”

“Akan tetapi bahayanya besar sekali kalau pedang pusaka yang kabarnya sangat ampuh itu terjatuh ke tangan seorang datuk jahat yang berilmu tinggi. Dia seperti harimau yang tumbuh sayap, akan berbahaya sekali bagi manusia pada umumnya dan dunia persilatan pada khususnya. Kewajiban kita adalah mencegah terjadinya hal itu, paman. Bila pedang itu jatuh ke tangan seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, maka hal itu sudah benar. Akan tetapi kalau terjatuh kepada seorang iblis, maka aku harus menentangnya!”

“Ada berita bahwa pedang pusaka itu sekarang berada di tangan Ang I Sianjin, ketua dari Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san. Entah benar atau tidak berita itu, akan tetapi kalau benar terjatuh ke tangan ketua Kwi-jiauw-pang itu, tentu dunia kang-ouw akan menjadi semakin keruh. Kwi-jiauw-pang terkenal sebagai sebuah perkumpulan sesat yang sangat kuat dan orang-orangnya terkenal kejam. Apa lagi karena Kwi-jiauw-pang kabarnya berhubungan dekat dengan perkumpulan besar Pek-lian-kauw.”

“Hemm, kalau begitu sungguh berbahaya sekali, paman. Nanti sesudah singgah ke rumah paman Pek Han Siong di Tung-ciu, aku ingin menyelidiki ke Kwi-liong-san.”

“Aihh, jangan sembrono, Hui Lan. Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san benar-benar kuat. Anak buahnya banyak sekali. Sungguh berbahaya kalau engkau hanya seorang diri saja pergi ke sana.”

“Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono, paman. Aku hanya ingin menyelidiki dan mencari tahu, apakah benar Pek-lui-kiam berada di sana. Aku tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran dengan mereka.”

“Kalau begitu hatiku lega, Hui Lan. Biar pun engkau telah mewarisi banyak ilmu silat yang lihai, tetapi sungguh perbuatan yang tidak bijaksana kalau hanya seorang diri menghadapi puluhan bahkan ratusan anak buah Kwi-jiauw-pang.”

Pada keesokan harinya Hui Lan berpamit dari pamannya, lantas melanjutkan perjalanan ke kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja. Dia hendak memenuhi pesan ayahnya untuk singgah ke rumah Pek Han Siong yang menjadi sahabat baik seperti saudara sendiri dari ayahnya. Akan tetapi karena perjalanan ke Tung-ciu harus melewati kota raja, dia hendak singgah dulu di kota raja.

Di kota raja tinggal bibinya, yaitu adik ayahnya yang bernama Mayang, wanita peranakan Tibet. Ayah Mayang adalah kakeknya. Jadi Mayang adalah bibi tirinya yang hubungannya sangat akrab dengan ayahnya. Sekarang bibinya menjadi isteri seorang bangsawan, yaitu Cang Sun.

Sudah lewat dua tahun semenjak Cang Sun, Mayang, dan Teng Cin Nio, isterinya kedua, datang berkunjung ke Cin-Ling-pai. Masih teringat dia betapa gembiranya ketika itu. Dia berkenalan dengan anak-anak mereka. Yang pertama adalah Cang Hok Thian, seorang pemuda putera Mayang, empat tahun lebih tua darinya. Yang kedua adalah puteri Teng Cin Nio bernama Cang Wi Mei, setahun lebih tua darinya. Biar pun mereka hanya tinggal setengah bulan di Cin-ling-san, kedua orang muda itu telah menjadi sahabat akarabnya.

Sesudah meninggalkan Pao-ting, Hui Lan segera melakukan perjalanan ke utara, menuju ke kota raja.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada waktu itu, dalam tahun 1575, kerajaan Beng masih nampak kuat walau pun terjadi pemberontakan di selatan dan barat. Bahkan kini kekuasaan Jepang mulai mendesak dari timur dan berebutan dengan orang-orang kulit putih yang tidak pernah jera biar pun belum lama ini pemerintah telah menghancurkan orang-orang Portugis dari daratan Cina.

Pada saat itu yang memegang tahta kerajaan adalah kaisar Wan Li (1572-1620). Dia baru selama tiga tahun menjabat sebagai kaisar. Seperti juga kaisar sebelumnya, kaisar Wan Li berusaha keras untuk mempertahankan kedaulatan dan wilayahnya dari desakan orang asing. Kekuasaan bangsa-bangsa lain juga berulang kali mencoba menerobos pertahanan pasukan Beng.

Bahkan pada beberapa tahun yang lalu pernah ada pasukan berani mati bangsa-bangsa Nomad di utara menerobos masuk hingga sampai di luar tembok kota raja Peking. Namun akhirnya pasukan berani mati dari utara itu dapat disapu bersih dan selebihnya melarikan diri cerai berai. Ada yang menggabungkan diri dengan gerombolan penjahat, bahkan ada yang melarikan diri ke pantai timur lalu bergabung dengan orang-orang Jepang.

Selama masa pemerintahan Kaisar Cia Ceng (1520-1566) ada dua orang menteri utama yang sangat berjasa, yang merupakan menteri-menteri setia yang bijaksana serta pandai. Sesudah mereka meninggal dunia, kerajaan Beng kehilangan pemimpin yang pandai dan bijaksana.

Akan tetapi sekarang terdapat seorang yang diangkat menjadi penasehat kaisar Wan Li, dijadikan penasehat karena orang ini juga memiliki pengetahuan yang luas dan amat setia kepada kerajaan. Dia ini bukan lain adalah Cang Sun, putera dari mendiang menteri Cang Ku Ceng.

Sebagai seorang putera menteri, seorang bangsawan, semenjak muda Cang Sun sudah berkenalan dengan para pendekar yang gagah perkasa dan berjiwa patriot. Biar pun Cang Sun sendiri seorang ahli sastra dan tidak mempelajari ilmu silat, akan tetapi isterinya yang pertama adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, yaitu Mayang, bibi dari Hui Lan. Karena itu kedua orang anaknya, seorang putera dan seorang puteri, telah digembleng oleh Mayang sehingga menjadi orang-orang muda yang pandai ilmu silat.

Kaisar Wan Li yang mengetahui bahwa Cang Sun mewarisi kesetiaan dan kebijaksanaan ayahnya, lantas mengangkatnya menjadi menteri yang bertugas menasehati kaisar dalam urusan pemerintahan, baik ke dalam mau pun keluar, karena itu kekuasaan menteri Cang Sun amat besar. Akan tetapi, seperti mendiang ayahnya dulu, menteri Cang Sun bersikap keras terhadap mereka yang ingin menyuapnya. Dia memerintahkan pasukan menangkap mereka yang hendak menyuapnya itu dan menjebloskan ke dalam penjara. Sejak itu tidak ada lagi yang berani main-main terhadap menteri ini.

Karena menteri Cang Sun bersikap keras dan galak terhadap korupsi, sedikit pun tak mau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan sendiri, maka semua bawahannya juga bertindak jujur dan tidak ada yang berani melakukan penyelewengan.

Memang demikianlah. Untuk menjaga agar pohon dapat tumbuh subur lalu menghasilkan bunga dan buah, maka yang perlu dipelihara dan dijaga adalah akarnya dan batangnya. Demikian pula jika menghendaki anak buah yang yang taat dan jujur, pemimpinnya lebih dulu harus jujur dan tertib. Pemimpin yang bijaksana dapat menindak bawahannya yang menyeleweng, sebaliknya seorang pemimpin yang korup, bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan?

Menteri Cang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para pembesar lainnya, juga dengan panglima-panglima perang. Melihat perkembangan yang berbahaya dari bangsa Jepang, menteri Cang Sun lalu menasehati kaisar untuk mengirim pasukan dan menjaga pantai timur. Akan tetapi sukar sekali membendung menyusupnya orang-orang Jepang ke daratan karena kulit dan wajah mereka tidak ada bedanya dengan pribumi.

Ketika kaisar Wan Li mengirim pasukan ke selatan untuk menaklukkan negara Annam, Siam, dan Birma, menteri Cang Sun merasa tidak setuju. Yang terpenting adalah menjaga kedaulatan di negara sendiri, bukan memerangi kerajaan lain untuk ditaklukkan! Sesudah membujuk berulang kali, akhirnya usaha menteri Cang Sun berhasil juga. Pasukan yang berperang di selatan itu segera ditarik kembali untuk memperkuat penjagaan di timur dan utara. Setelah demikian barulah keadaan menjadi agak tenteram.

Pada suatu hari Cang Sun menonton putera dan puterinya yang sedang berlatih silat di bawah petunjuk isteri pertamanya, Mayang. Dalam mendidik dua orang muda itu Mayang tidak berlaku berat sebelah, tidak mengutamakan puteranya sendiri yang bernama Cang Hok Thian itu. Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Cang Wi Mei lebih cocok bermain pedang dari pada Cang Hok Thian, dia lantas menurunkan ilmu pedang kepada puteri tirinya itu.

Kepada Hok Thian dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, yaitu yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Ada pun untuk senjatanya, Hok Thian lebih cocok menggunakan sabuk rantai yang juga dipakainya sebagai ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja murni, agak tipis dan panjangnya dua meter. Meski pun berupa rantai baja akan tetapi karena tipis dan digerakkan oleh tangan yang mengandung tenaga sinkang, maka senjata ini dapat menjadi tajam seperti pedang!

Hari ini kedua orang kakak beradik ini latihan bersama, bertanding dengan tangan kosong. Cang Sun duduk di atas kursi menonton. Memang dia tidak belajar ilmu silat, akan tetapi pergaulannya dengan para ahli silat sangat erat sehingga dia dapat menilai baik buruknya permainan silat.

Ketika melihat putera dan puterinya bertanding dalam suatu latihan bersama, Cang Sun bisa menilai bahwa Cang Wi Mei lebih gesit dan ringan tubuhnya dibandingkan kakaknya. Biar pun dalam hal tenaga Cang Hok Thian masih menang setingkat, namun karena kalah cepat gerakannya maka pemuda ini lebih banyak terdesak.

“Kena!” Mendadak Wi Mei berseru kemudian tubuhnya meloncat ke belakang. Hok Thian tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk minta kembali kain pengikat rambutnya yang sudah berada di tangan adiknya.

“Gerakanmu amat cepat, Mei-moi, aku tidak dapat mengikutimu!” kata Hok Thian dengan sejujurnya.

“Tenagamu lebih kuat dariku, Thian-ko. Apa bila aku tidak menggunakan kecepatan, pasti aku kalah olehmu,” jawab Wi Mei dengan jujur pula.

“Gerakan cepat saja jika tidak disertai tenaga sinkang yang memadai maka daya hasilnya masih kurang, Wi Mei. Engkau harus lebih banyak bersemedhi dan menghimpun tenaga saktimu. Dan engkau Hok Thian. Gerakanmu tadi sudah cukup cepat, hanya masih kalah setingkat oleh adikmu. Karena itu engkau harus lebih teliti dalam pertahananmu sehingga kalau menghadapi lawan yang lebih cepat engkau dapat melindungi diri lebih baik. Engkau harus memperbanyak latihanmu dalam hal pertahanan itu.”

Tiba-tiba percakapan mereka terhenti dengan munculnya seorang prajurit yang bertugas menjaga di luar. Dia memberi hormat kepada menteri Cang Sun, lantas melapor bahwa di luar ada seorang tamu wanita yang bernama Tang Hui Lan mohon menghadap.

“Adik Hui Lan? Ahh, aku girang sekali!” kata Wi Mei. Wajah Cang Hok Thian juga berseri mendengar nama itu. Mayang segera berkata kepada penjaga itu.

“Cepat persilakan dia masuk!”

Penjaga itu tidak segera pergi melainkan memandang kepada menteri Cang Sun. Setelah pembesar ini menganggukkan kepala, barulah dia memberi hormat dan pergi keluar.

Tak lama kemudian muncullah Hui Lan ke dalam ruangan itu. Dia segera memberi hormat kepada keluarga itu, mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata gembira, “Paman, Bibi...!”

“Ahhh, Hui Lan. Dengan siapa engkau datang? Dari mana saja engkau?” tanya Mayang dengan gembira sekali.

“Saya hanya sendiri, Bibi. Sebelum singgah ke sini saya sudah mengunjungi paman Cia Kui Bu."

Mereka kemudian bercakap-cakap dalam suasana akrab sekali. Akan tetapi semua orang langsung terdiam karena terkejut dan turut berduka ketika Hui Lan menceritakan tentang kematian kakek buyutnya, Ceng Thian Sin.

“Ah, siapa yang mengira bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu akhirnya meninggal dunia juga. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa semua orang, tidak peduli dia itu pandai atau berkedudukan tinggi sekali pun, pada suatu hari tentu akan mati dan kembali kepada asal mulanya. Sayang sekali kami tidak tahu akan kematiannya sehingga kami tidak dapat melayat. Apakah ketika meninggal dia masih tinggal di Pulau Teratai Merah? Lalu siapa yang berada dengan dia di saat terakhirnya? Dan bagaimana kematiannya, apakah karena sakit dan usia tua?”

“Kebetulan saya dan ayah ibu berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Kedatangan kami agak terlambat karena kakek buyut sudah berada di ambang kematian. Kakek buyut meninggal karena usia tua, dan dalam keadaan sudah lemah itu terpaksa dia melawan tujuh orang yang datang menantangnya. Dia berhasil mengusir tujuh orang itu, akan tetapi dia sendiri menderita luka dalam karena dalam keadaan sudah tua sekali itu dia harus mengerahkan sinkang-nya.”

Cang Sun menghela napas panjang. “Menyedihkan sekali. Dalam usia yang sudah lewat seratus tahun Pendekar Sadis masih saja dimusuhi orang! Selama orang-orang jahat dan sesat itu masih ada, maka kejahatan akan selalu timbul sebagai imbangan dari kebaikan. Siapakah tujuh orang yang memusuhinya itu, Hui Lan?”

“Menurut seorang murid kakek buyut yang hidup berdua saja dengan kakek buyut di pulau itu, yang datang menantang kakek buyut adalah dua orang datuk dari barat berjuluk Toa Ok dan Ji Ok, bersama kelima Bu-tek Ngo-sian yang juga datang dari barat.”

Mayang mengerutkan alisnya. Ia sendiri berasal dari barat, akan tetapi semenjak menjadi isteri Cang Sun dia tidak pernah lagi pergi ke Tibet maka dia tak pernah mendengar akan nama datuk-datuk yang disebut itu.

“Bagaimana keadaan ayah dan ibumu, Hui Lan? Aku sudah rindu sekali kepada mereka!” kata Mayang, mengalihkan percakapan dari berita yang tidak menyenangkan itu.

Hui Lan tahu dari ayah ibunya bahwa bibinya ini amat sayang kepada ayahnya. Dia pun menjawab dengan nada suara gembira. “Mereka baik-baik saja, Bibi, kakek Cia Hui Song dan nenek Ceng Sui Cin juga dalam keadaan sehat. Keadaan Cin-ling-pai pada umumnya baik dan tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.”

“Syukurlah, Hui Lan. Aku gembira mendengar itu. Sayang sekali bahwa pamanmu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sekarang negara sedang dirongrong oleh banyak persoalan pemberontakan dan kekacauan di perbatasan sehingga kami tidak memiliki waktu luang untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.”

“Mendengar berita bahwa mereka dalam keadaan sehat adalah hal yang menyenangkan sekali,” kata Cang Sun menghibur. “Tidak lama lagi tentu Cin-ling-pai akan mengadakan pesta pernikahan Hui Lan dan kesempatan itu boleh kau pergunakan untuk berkunjung ke sana bersama dua orang anak kita.”

Wajah Hui Lan berubah merah mendengar kata-kata pamannya itu. Akan tetapi dia tidak marah sebab ucapan itu dikeluarkan untuk menghibur bibinya dan bukan untuk mengolok-olok dirinya.

“Itu bagus sekali!” Wi Mei bersorak. “Adik Hui Lan, kapankah engkau akan menikah? Aku sudah ingin sekali berkunjung ke Cin-ling-pai!”

Tentu saja Hui Lan tersipu malu. “Ahh, sama sekali belum ada rencana untuk itu, enci Wi Mei. Engkau dan kakak Hok Thian tentu akan menikah lebih dulu dari pada aku dan untuk merayakan hari baik kalian itu, ayah ibu dan kakek nenek tentu akan datang ke sini!”

Kini Wi Mei menjadi merah mukanya dan Thian Hok juga tersipu. “Kami juga belum ada rencana untuk menikah!” kata Wi Mei.

Tiba-tiba Hok Thian berkata kepada orang tuanya. “Ayah, bagaimana kalau kami berdua ikut dengan adik Hui Lan berkunjung ke Cin-ling-pai? Kami berdua juga ingin melakukan perjalanan dan menambah pengalaman kami!”

“Betul sekali, ayah. Saya juga ingin sekali pergi merantau, melakukan perjalanan seperti adik Hui Lan, melihat-lihat dunia kangouw!” kata Cang Wi Mei. “Ibu tentu setuju, bukan?”

Ketika itu seorang wanita berusia empat puluh lima tahun muncul dari dalam memasuki ruangan itu. “Hemm, apakah yang harus disetujui itu, Wi Mei?”

Wanita itu adalah Teng Cin Nio, isteri kedua dari Cang Sun. Hui Lan cepat-cepat bangkit berdiri memberi hormat.

“Ah, engkau Hui Lan, bukan? Sekarang telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan cantik jelita!” Teng Cin Nio berkata gembira lalu dia pun ikut duduk dekat Mayang.

“Dua orang anak kita ini minta agar diperkenankan pergi ke Cin-ling-pai bersama Hui Lan,” kata Mayang kepadanya.

Teng Cin Nio mengerutkan kedua alisnya. Dia memandang kepada suaminya lalu berkata, “Agaknya tidak bijaksana jika mengijinkan mereka melakukan perjalanan sejauh itu tanpa pengawalan pasukan. Aku khawatir kalau terjadi hal yang tidak baik pada mereka.”

“Aku sendiri juga merasa agak keberatan. Biar pun selama ini mereka sudah mempelajari beberapa macam ilmu silat, namun di dalam dunia kangouw terdapat banyak sekali orang jahat yang ilmu silatnya amat tinggi.”

Mendengar ucapan kedua orang ibunya itu, Wi Mei lalu merengek. “Takut apa? Bukankah adik Hui Lan juga melakukan perjalanan seorang diri dan tidak ada bahaya yang menimpa dirinya? Kalau kami berdua pergi bersamanya, bukankah kami bertiga cukup kuat untuk membela diri?”

Cang Sun yang mendengar ucapan kedua orang isterinya itu lantas berkata kepada kedua orang anaknya. “Hui Lan lain lagi. Ia tentu telah menguasai semua ilmu ayah ibunya yang sangat tinggi. Lagi pula, kalau sampai ada yang tahu bahwa kalian berdua adalah anakku, tentu banyak orang sesat yang berusaha untuk menawan kalian, untuk dijadikan sandera. Kalian harus tahu bahwa banyak sekali orang yang memusuhi aku, terutama yang hendak melakukan pemberontakan. Tidak, kalian tidak boleh pergi kecuali jika membawa pasukan pengawal yang kuat.”

Cang Hok Thian dan Cang Wi Mei bersungut-sungut, dan melihat ini Hui Lan menghibur. “Kakak Cang Hok Thian dan enci Cang Wi Mei, dari sini aku tidak akan langsung pulang ke Cin-ling-pai. Aku hendak berkunjung ke rumah paman Pek Han Siong di Tung-ciu. Dan aku masih hendak merantau entah ke mana sebelum kembali ke Cin-ling-pai. Sebaiknya kalau kalian menurut kata orang tuamu, karena aku yang merasa tidak enak sekali kalau kalian ikut aku lalu terjadi sesuatu atas diri kalian berdua.”

Selama tiga hari Hui Lan tinggal di istana menteri Cang. Selama itu pergaulannya dengan kedua orang putera-puteri menteri itu menjadi semakin akrab. Mereka bahkan latihan silat bersama dan dalam kesempatan ini Hok Thian dan Wi Mei mendapat petunjuk yang amat berharga dari Hui Lan. Tingkat kepandaian Hui Lan memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka.

Kelebihan ini membuat Hok Thian merasa rendah diri. Sebenarnya, di dalam hatinya Hok Thian kagum dan jatuh cinta kepada Hui Lan. Akan tetapi rasa rendah diri karena Hui Lan jauh lebih tangguh darinya membuat dia menekan rasa cintanya dan menganggap dirinya tidak patut untuk menjadi pasangan Hui Lan.

Sesudah tiga hari Hui Lan lalu berpamit dari keluarga Menteri Cang itu untuk melanjutkan perjalanannya menuju Tung-ciu, tempat tinggal Pek Han Siong dan keluarganya.

********************

Seorang pemuda menunggang kudanya yang berbulu putih menuruni sebuah lereng bukit. Kuda itu besar dan bagus sekali, terlihat kuat dan gagah. Penunggangnya juga gagah dan tampan, duduk dengan tegak di atas kudanya yang dibiarkan mencongklang seenaknya. Dia tidak kelihatan tergesa-gesa, melainkan menoleh ke kanan kiri menikmati keindahan pemandangan dari lereng bukit itu.

Pemuda itu berpakaian serba indah seperti seorang kongcu yang kaya raya, berpakaian seperti seorang terpelajar. Melihat rambutnya yang licin dan rapi, serta pakaiannya yang mewah dan sepatunya yang masih baru, ada kesan pesolek pada diri pemuda ini.

Pemuda ini mengenakan sebuah topi yang bagus untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari. Pada punggungnya terdapat sebatang pedang sehingga dia nampak gagah dan tampan. Wajahnya bundar, matanya lebar, hidungnya mancung dan pada bibirnya selalu tersungging senyuman mengejek sehingga dia nampak tinggi hati.

Ketika tiba di luar sebuah hutan di bawah lereng, dia menghentikan kudanya dan menoleh ke kiri. Dari hutan itu muncul sepuluh orang yang segera memberi hormat kepada pemuda itu. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan kasar dan bertubuh tegap.

“Selamat siang, kongcu!” kata yang menjadi pemimpin sepuluh orang itu.

“Ada berita apa? Kenapa kalian menemui aku? Sudah kukatakan agar jangan sekali-kali bertemu denganku di tempat umum.”

“Maaf, kongcu. Di sini aman, sepi tak ada orang lain. Kami hanya ingin melaporkan bahwa di depan sana ada serombongan orang wanita memikul sebuah joli. Kami telah mengintai dan ketika joli tersingkap kami melihat bahwa di dalam joli itu duduk seorang gadis yang kecantikannya seperti seorang puteri raja. Mungkin kongcu akan tertarik, karena itu kami sengaja menghadang kongcu di sini.”

“Hemm, siapa gadis itu?”

“Kami tidak tahu, kongcu. Para pengawalnya juga rata-rata wanita cantik.”

“Baik, hendak kulihat orang macam apa adanya gadis itu! Nanti kalian boleh muncul dan mengganggunya sebagai perampok biasa. Tapi begitu aku muncul kalian harus melarikan diri ketakutan.”

“Baik, kongcu. Kami mengerti apa yang kongcu maksudkan!” kata pemimpin rombongan itu dan mereka lalu berloncatan menghilang ke dalam hutan.

Pemuda tampan itu lantas melanjutkan jalan kudanya, terus ke depan dengan santai dan seenaknya. Dari tempat yang agak tinggi dia memandang ke depan dan benar saja. Dia melihat empat orang wanita muda memikul sebuah joli berwarna hijau dan ada dua orang gadis lain yang berjalan di belakang joli itu.

Dari cara mereka berjalan dapat diduga bahwa para wanita itu bukan orang sembarangan. Langkah mereka sangat ringan dan tegap. Joli itu nampak ringan sekali bagi mereka. Dan di punggung enam orang wanita itu nampak gagang sebatang pedang. Pemuda itu tertarik sekali dan menonton dari tempat tinggi itu.

Tidak lama kemudian muncullah sepuluh orang anak buahnya yang tadi menghadangnya. Sepuluh orang itu cengar-cengir menghadang rombongan wanita itu, lantas pemimpinnya mengangkat tangannya ke atas tanda bahwa rombongan pemikul joli itu harus berhenti.

Dua orang wanita yang tadinya berjalan di belakang joli, kini sudah berpindah ke depan. Para pemikul joli segera berhenti melangkah akan tetapi tidak menurunkan joli. Dua orang gadis pengawal itu memandang dengan alis mata berkerut, dan seorang di antara mereka bertanya dengan suara bernada ketus,

“Mau apa kalian menghadang perjalanan kami?”

Pemimpin rombongan orang laki-laki itu, yang bertubuh tinggi besar, tertawa dan teman-temannya juga tertawa cengar-cengir dengan sikap kurang ajar sekali.

“Ha-ha-ha, masih hendak bertanya lagi? Kami tidak minta banyak, hanya lepaskan semua perhiasan dan pakaian kalian, berikan kepada kami termasuk nona yang berada di dalam joli, lantas kalian bertujuh ikut dengan kami bersenang-senang!” Kata-kata itu sudah jelas sekali.

Yang berada di dalam joli itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin. Seperti kita ketahui, dia ditingggalkan oleh Si Kong dan gadis yang keras hati itu nekat hendak pergi ke Kwi-liong-san untuk mencari dan menyusul Si Kong yang dia tahu tentu akan pergi ke sana pula. Dari dalam jolinya Cu Yin bisa mengintai keluar, maka dia tahu bahwa ada segerombolan perampok hendak mengganggu.

“Turunkan joli!” perintahnya dan empat orang pemikul lalu menurunkan joli.

Sepuluh orang lelaki itu tertawa-tawa gembira. Mereka mengira bahwa rombongan wanita ini tentu akan menyerah kepada mereka karena merasa ketakutan.

Karena nona mereka minta agar joli diturunkan, hal itu berarti bahwa nona mereka akan menghadapi sendiri sepuluh orang itu. Enam orang wanita pengawal itu segera berdiri di kanan kiri joli, masing-masing tiga orang dan mereka telah siap siaga untuk berkelahi apa bila nona mereka memerintahkan.

Cu Yin membuka penutup joli dan semua orang laki-laki yang berdiri di situ mengeluarkan seruan kagum. Gadis di dalam joli itu cantik jelita bukan main. Akan tetapi tanpa berkata apa-apa Cu Yin sudah menggerakkan kedua tangannya, lalu meluncurlah empat batang anak panah ke arah rombongan sepuluh orang laki-laki itu. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan empat orang di antara mereka lantas terjungkal, kemudian sekarat dan akhirnya tewas semua!

Melihat hal ini enam orang lainnya menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka juga marah bukan main. Tadinya mereka hanya ingin mengganggu sambil menanti munculnya kongcu mereka yang akan bertindak seolah-olah menolong gadis itu. Tetapi siapa kira yang terjadi adalah sebaliknya. Empat dari mereka sudah roboh dan tewas di tangan gadis cantik itu. Hal ini dapat terjadi karena mereka sama sekali tak mengira akan diserang dengan panah tangan yang merupakan senjata rahasia yang ampuh itu.

Enam orang itu segera mencabut golok masing-masing dan menyerang maju. Akan tetapi enam orang pengawal wanita itu sudah berloncatan ke depan dengan pedang di tangan sehingga terjadilah perkelahian enam orang pria melawan enam orang wanita dengan seru sekali. Terdengar bunyi senjata mereka berkerontangan kalau beradu dan nampak bunga api berpijar.

Melihat enam orang pengawalnya telah menandingi para perampok itu, Siangkoan Cu Yin hanya duduk saja di dalam jolinya dan mengamati jalannya pertandingan. Dia tahu bahwa para pembantunya tak akan kalah oleh para perampok itu, maka dia pun tidak mau turun tangan membantu, melainkan hanya bersikap waspada dan menjaga agar jangan sampai ada pembantunya yang terluka.

Sementara itu pemuda tampan berkuda yang tadi menonton dari tempat yang tinggi, kini menjadi terkejut bukan main sesudah melihat empat orang anak buahnya tewas. Dia lalu membalapkan kudanya menuruni tempat tinggi itu menuju ke tempat pertempuran.

Pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia adalah putera tunggal dari datuk timur Tung Giam-ong (Raja Maut Timur), seorang datuk besar yang terkenal serta ditakuti di wilayah timur, dari pantai utara sampai pantai sebelah selatan. Nama pemuda itu adalah Tio Gin Ciong.

Sebagai putera tunggal, tentu saja dia sudah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya dan kini dia merupakan seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang masih belum menikah. Tio Gin Ciong kini berada di tempat itu adalah dalam melaksanakan tugas yang diberikan ayahnya kepadanya, yaitu mencari Pek-lui-kiam dan turut memperebutkannya. Dia pergi membawa sepuluh orang pembantu pilihan. Siapa menduga bahwa empat dari sepuluh orang pembantunya mati konyol di tangan seorang gadis yang duduk di dalam joli!

Dengan muka merah karena marah Gin Ciong membalapkan kudanya dan sebentar saja dia sudah sampai di tempat perkelahian. Dia meloncat turun dari atas kudanya, kemudian berjongkok memeriksa salah seorang di antara empat orang pembantunya. Dari atas tadi dia hanya melihat empat orang pembantunya roboh, akan tetapi dia tidak bisa melihat apa yang menyebabkan mereka jatuh dan mengapa mereka tidak dapat bangkit kembali.

Kini dia tahu bahwa empat orang pembantunya itu telah tewas dengan bagian tubuh yang tertancap anak panah kecil itu berwarna hitam. Anak panah beracun, pikirnya dan dia pun mencabut anak panah itu untuk memeriksanya. Dia semakin terkejut ketika melihat ukiran dua huruf Lam Tok pada gagang anak panah.

Lam Tok adalah seorang datuk besar yang berkuasa di selatan! Racun Selatan itu sama kedudukannya dengan ayahnya yang berjuluk Raja Maut Timur! Keduanya adalah datuk besar yang ditakuti dan disegani. Dia bangkit berdiri sambil memegang anak panah itu.

“Berhenti berkelahi! Kalian semua mundur!” teriakan dan suara pemuda ini berpengaruh dan berwibawa sekali.

Mendengar teriakan ini, enam orang anak buahnya segera berloncatan ke belakang dan enam orang wanita itu juga berlompatan ke dekat joli di mana nona mereka masih duduk dengan tenang. Kini Gin Ciong melangkah maju hingga berhadapan dengan Cu Yin yang masih enak-enak duduk di dalam jolinya yang sudah terbuka tirainya. Dua orang itu saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Keduanya menjadi kagum.

Cu Yin tidak menyembunyikan rasa kagumnya melihat pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, dan kudanya yang putih itu juga seekor kuda pilihan. Sekarang seorang anak buah Gin Ciong menuntun kuda itu untuk dilepas kendalinya dan dibiarkan makan rumput di bawah pohon, mengikatkan kendali pada pohon itu.

Tio Gin Ciong juga kagum bukan kepalang. Sungguh tepat laporan anak buahnya bahwa gadis di dalam joli itu teramat cantik jelita seperti puteri istana. Tidak, bahkan lebih cantik lagi. Seperti bidadari dari surga!

Sambil mengangkat anak panah itu ke atas, Gin Ciong bertanya kepada Cu Yin, “Nona, ada hubungan apakah antara engkau dan Lam Tok? Anak panah ini senjata rahasia Lam Tok, mengapa engkau pergunakan?”

Cu Yin merasa bangga bahwa anak panah itu dikenal di mana-mana. Hal ini menandakan bahwa nama besar ayahnya sudah terkenal di semua penjuru.

“Mau tahu apa hubunganku dengan Lam Tok? Dia adalah ayahku! Dan siapa engkau ini? Apakah para perampok ini adalah anak buahmu?”

Gin Ciong semakin terkejut sesudah mendengar bahwa nona itu adalah puteri Lam Tok. Pantas saja tindakannya demikian keras dan kejam, sekali turun tangan telah membunuh empat orang anak buahnya!

“Kiranya engkau adalah puteri paman Siangkoan? Dengar, nona. Antara ayahmu dengan ayahku ada hubungan, karena keduanya adalah datuk besar di wilayah masing-masing. Kalau ayahmu itu datuk besar selatan maka ayahku adalah datuk besar dari timur.”

Cu Yin terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. Ia bahkan keluar dan turun dari jolinya, kini berdiri berhadapan dengan pemuda itu. Sebaliknya Gin Ciong semakin kagum karena sesudah berdiri ternyata gadis itu bukan saja cantik jelita, juga mempunyai bentuk tubuh yang amat menggairahkan.

“Engkau tentu putera Tung Giam-ong?”

Gin Ciong menjura dengan hormat sambil berkata, “Benar, nona. Namaku Tio Gin Ciong, putera tunggal dari ayahku Tung Giam-ong. Kalau boleh aku mengetahui namamu...”

“Namaku Siangkoan Cu Yin,” jawabnya singkat. “Apakah sepuluh orang ini adalah anak buah Pulau Beruang?”

“Dugaanmu benar, nona. Sepuluh orang ini adalah para pembantuku. Akan tetapi empat orang dari mereka telah kau bunuh!” Gin Ciong menekan kata terakhir itu sebagai protes.

“Tentu saja mereka kubunuh, sebab mereka mengaku perampok dan mengeluarkan kata-kata kurang ajar kepadaku! Sepatutnya mereka itu kubunuh semua!”

Gin Ciong mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Mereka kurang ajar? Bagaimana kata-kata yang mereka ucapkan?”

“Mereka bukan saja minta semua perhiasan dan pakaian kami, bahkan hendak menawan kami untuk dipermainkan. Bukankah mereka itu layak sekali dibunuh?”

Kini Gin Ciong menghadapi keenam orang anak buahnya. “Benarkah apa yang dikatakan nona ini? Kalian berani kurang ajar?”

Seorang di antara enam orang itu lalu menjawab, “Tidak, kongcu, kami hanya menggertak mereka, tidak mengeluarkan ucapan kurang ajar.”

“Jahanam!” Gin Ciong membentak dan sekali tangan kirinya yang memegang anak panah itu bergerak, anak panah itu segera meluncur ke depan kemudian menancap di dada anak buahnya yang menjawab tadi. Orang ini hanya mengeluh satu kali lantas jatuh terlentang dengan mata mendelik dan tewas tak lama kemudian.

“Hayo, siapa lagi yang tidak mau mengakui kesalahannya?!” pemuda itu membentak.

Lima orang anak buahnya cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Gin Ciong, “Kami bersalah, kami siap menerima hukuman!” Ucapan ini mereka keluarkan secara serentak. Gin Ciong tersenyum mengejek.

“Bagus! Kalian telah mengaku salah, maka kuampunkan untuk sekali ini. Hayo minta maaf kepada Siangkoan Siocia!”

Lima orang itu berlutut menghadap Cu Yin, lantas berkata serentak, “Siocia, kami berlima mohon ampun atas kesalahan kami.”

Cu Yin tersenyum kemudian melambaikan tangan. “Sudahlah, lima orang dari kalian telah dihukum mati, aku sudah puas!”

“Terima kasih, siocia. Terima kasih, kongcu!” Lima orang itu kemudian bangkit berdiri dan berjalan mundur mengambil jarak cukup jauh sambil menanti perintah selanjutnya.

Cu Yin memerintahkan pembantunya untuk mengambil kembali anak panahnya dari tubuh kelima mayat itu. Seorang di antara enam orang pembantunya dengan cekatan kemudian mencabuti anak-anak panah itu, lalu dengan selembar kain membersihkannya dari darah dan menyimpannya.

Gin Ciong juga memerintahkan anak buahnya untuk mengubur jenazah lima orang anak buahnya di dalam hutan. Lima orang anak buahnya lalu mengangkat kelima mayat itu dan membawanya ke dalam hutan untuk dikuburkan.

Setelah kelima orang anak buahnya pergi, Gin Ciong merasa lebih bebas untuk berbicara dengan gadis itu. “Nona Siangkoan, kalau boleh aku mengetahui, apa yang hendak nona lakukan maka nona berada di sini? Ke manakah nona hendak pergi dan dari mana nona datang?”

Cu Yin tersenyum. Pemuda ini amat tampan dan putera seorang datuk besar, akan tetapi selain sederhana juga sikapnya begitu hormat dan sopan sehingga hatinya tertarik. Tetapi tentu saja dia tidak mungkin menceritakan apa yang hendak dicarinya kepada sembarang orang yang baru saja dikenalnya.

“Tio-kongcu, secara kebetulan kita berjumpa di sini, dan karena ulah anak buahmu maka kita dapat saling berkenalan. Sudah sewajarnya kalau orang-orang yang baru berkenalan saling menceritakan keadaan dirinya, maka kuharap engkau suka lebih dulu menceritakan apa yang sedang kau lakukan di tempat sunyi ini.”

Gin Ciong tertawa ketika mendengar betapa pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. “Baiklah, nona. Memang sudah sepatutnya kalau aku yang menceritakan keadaanku lebih dulu. Ketahuilah, nona Siangkoan, aku meninggalkan Pulau Beruang untuk mencari pedang Pek-lui-kiam. Ayahku yang menyuruhku, dengan maksud agar di dalam mencari pedang pusaka itu aku memperoleh pengalaman dan dapat bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw.”

Diam-diam Cu Yin merasa geli. Keadaan pemuda ini tak ada bedanya dengan dia sendiri. Dia pun hendak mencari pedang pusaka itu, seperti yang diperintahkan ayahnya!

“Hi-hi-hik,” Cu Yin tertawa geli tanpa menutupi mulutnya seperti kebiasaan para gadis apa bila tertawa. Puteri Lam To ini tertawa dengan wajar dan bebas, tidak menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih mengkilap. “Kalau begitu kita ini saling berhadapan sebagai saingan karena aku pun meninggalkan tepi sungai Hun-kiang memenuhi perintah ayah untuk mencari dan merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam!”

Mula-mula Gin Ciong terkejut mendengar ini, akan tetapi sesudah berpikr sejenak dia pun lalu tertawa gembira. “Baik sekali kalau begitu! Kita sama sekali tidak saling berhadapan sebagai saingan. Kita adalah orang-orang segolongan. Ayahmu datuk selatan dan ayahku datuk timur. Kebetulan sekali kalau begitu. Kita tidak perlu bersaing, bahkan dapat saling membantu untuk memperoleh Pek-lui-kiam. Kalau begitu lebih baik kita bekerja sama saja sehingga akan lebih mudah menguasai Pek-lui-kiam!”

“Ahh, mana bisa diatur begitu? Pedang itu hanya satu batang saja, bukan dua atau lebih sehingga dapat dibagi-bagi!”

“Tentu saja tidak dibagi, nona. Kalau kita dapat memperoleh pedang pusaka itu, aku akan mengalah dan memberikannya kepadamu. Apa bedanya pedang itu menjadi milikku atau milikmu? Kita satu golongan, dan aku tentu akan mengalah terhadapmu.”

“Sesungguhnyakah? Kalau begitu, engkau akan membantu merampas pedang itu?”

Gin Ciong mengangguk. “Boleh kau anggap begitu. Tetapi aku belum tahu harus mencari ke mana.”

“Aku tahu di mana adanya pedang itu!” kata Cu Yin yang tiba-tiba saja teringat kepada Si Kong, pemuda yang dicintainya namun tidak menanggapinya bahkan meninggalkannya.

Wajah Gin Ciong berseri gembira, “Ahh, itu bagus sekali, nona. Kalau begitu marilah kita melakukan perjalanan bersama untuk merampas pedang itu!”

“Nanti dulu, Tio-kongcu ( tuan mudaTio)...”

“Aihh, nona, setelah kita menjadi sahabat, jangan panggil aku kongcu lagi.”

“Habis, aku harus menyebut bagaimana? Engkau sendiri menyebutku nona.”

“Baiklah, mulai saat ini kita jangan menggunakan sebutan tuan muda dan nona lagi. Aku lebih tua darimu, maka akan kusebut engkau Yin-moi (adik Yin) dan engkau menyebutku Ciong-ko (kakak Ciong), bagaimana pendapatmu? Setujukah engkau, Yin-moi?”

“Baik, Ciong-ko. Dengan sebutan ini kita menjadi lebih akrab dan tidak merasa asing.”

“Yin-moi, dengan ilmu kepandaian kita berdua, kita akan sanggup menghadapi siapa pun juga. Oleh karena itu kukira tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk ditemani pelayan atau pengawal. Lebih baik kita menyuruh mereka pulang dan kita beli seekor kuda untukmu.”

Cu Yin mengangguk. “Aku setuju,” katanya, lantas dia pun menggapai enam orang wanita yang menjadi pengawalnya dan meyuruh mereka membelikan seekor kuda untuknya.