Jago Pedang Tak Bernama Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

JAGO PEDANG TAK BERNAMA JILID 02

Bu Beng mendongkol juga melihat lagak lawan, maka ia tidak sungkan-sungkan lagi. Setelah berkata, “Maafkan aku bergerak terlebih dahulu,” ia memajukan kaki menyerang dengan tangan kiri, sedangkan pedang pendek di tangan kanannya masih disembunyikan di belakang lengan.

Si Huncwe Maut mencabut huncwenya dan dengan berseru. “Haya!” ia berkelit ke samping sambil gerakkan kaki. Gerakannya memang lemas sekali, tubuhnya melengkok-lengkok bagaikan tubuh seorang perempuan.

Bu Beng maklum bahwa si kurus itu sengaja berlagak atau sengaja hendak memanaskan hatinya. Tiba-tiba ia ingat bahwa si Huncwe maut adalah seorang ahli totok, maka kalau ia sampai tak dapat menahan perasaannya dan menjadi marah karena diejek itu, berbahaya sekali menghadapi lawan tangguh ini. karena itu, tiba-tiba ia mundur dua langkah an berdiri biasa dengan tubuh tegak, sedangkan kedua matanya menatap lawan bagaikan orang yang sedang nonton sesuatu yang lucu.

“Hei, ayo serang, anakku!” lawannya mengejek, tapi Bu Beng tiba-tiba tertawa geli.

“Ah, aku lebih senang menonton seorang badut yang berlagak,” jawabnya. “Sungguh gerakanmu lucu dan menarik. Biarlah kalau sudah main nanti aku ikut memberi hadiah beberapa potong uang perak.”

Song Leng Ho marah sekali dan tidak dapat menerima hinaan ini. kulit mukanya menjadi merah dan ia hentikan gerakan-gerakannya yang lemah gemulai. “Baiklah kau sendiri yang cari mampus,” katanya, lalu ia menyerang maju dengan hebat. Huncwenya diayun cepat mengarah leher Bu Beng.

Kini Bu Beng-lah yang mempermainkannya. Anak muda itu berkelit ke kiri dan menyampok huncwe itu dengan pedang pendeknya. Ia mendapat kenyataan bahwa tenaganya masih tidak kalah oleh lawannya, karena dalam bentrokan itu ia dapat mengukur tenaga lawan.

Sebaliknya bentrokan itu membuat Song Leng Ho sadar bahwa lawannya yang masih muda itu, selain bertenaga kuat, juga memiliki senjata pusaka, karena tidak sembarangan senjata dapat menahan huncwenya yang terbuat dari baja hitam. Maka ia tidak berani pandang ringan lawannya dan berkelahi dengan hai-hati.

Tapi setelah bergebrak lima enam jurus tahulah Bu Beng bahwa si kurus ini hanya lagaknya saja yang hebat. Tentang kepandaian, hanya sedikit lebih tinggi dari Sim Pangcu, maka ia tidak merasa khawatir dan gunakan kelincahan gerakannya mempermainkan lawan itu sambil berkelit gesit kesana kemari.

Karena ternyata sekian banyak serangan serangannya hanya mengenai angin, Song Leng Ho merasa penasaran dan gemas sekali. Tiba-tiba ia menyerang dengan totokan kearah jalan darah di rusuk kanan Bu Beng dan satu serangan itu dibarengi dengan tendangan maut kearah tubuh lawan!

Dua gerakan dalam serangan maut ini masih ditambah lagi dengan semburan asap hitam penuh racun kearah muka Bu Beng. Ini sungguh merupakan serangan hebat dan nekat. Melihat serangan kejam dan yang semata-mata dilakukan oleh orang yang menghendaki jiwanya, Bu Beng menjadi marah. Ia berseru keras dan menggunakan tenaga dalamnya meniup kearah asap yang menyambar mukanya hingga asap itu buyar dan terbang kembali.

Terhadap serangan huncwe dan tendangan Bu Beng berlaku lebih keras lagi. Ia gunakan pedang pendeknya menyampok dengan sepenuh tenaga sehingga terdengar suara keras dan huncwe itu terlepas dari tangan si Huncwe Maut yang merasa tangannya pedas dan panas, terlempar jauh dan jatuh ke atas lantai mengeluarkan suara berkerontangan, dan Bu Beng miringkan tubuh menghindarkan tendangan, berbareng majukan tangan kiri menghantam dada lawan, Song Leng Ho berteriak ngeri dan tubuhnya terpental ke belakang lalu jatuh berdebukan dengan mata terbalik dan dari mulut mengeluarkan darah!

Hut Bong Hwesio, Pok Thian Beng dan Lui Im yang sejak tadi melihat jalannya pertempuran dengan penuh rasa tegang, ketika melihat Song Lng Ho menggunakan tipu serangan maut tadi telah merasa menyesal dan terkejut sekali, tapi mereka tak sempat mencegah. Kini melihat betapa si Huncwe Maut itu terluka hebat, mereka cemas sekali.

Bu Beng juga merasa menyesal karena ia telah memberi pukulan demikian hebat. Segera ia meloncat mendekati tubuh Song Leng Ho yang terbujur di atas tanah. Ketika ia sedang membungkuk, tiba -tiba dari belakangnya menyambar angin dingin. Ia tahu bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang, tapi tanpa menoleh, ia angkat atangan kiri menyampok. Segera tangannya beradu dengan tangan Hut Bong Hwesio yang sebenarnya salah menyangka ia hendak mencelakakan Song Leng Ho dan turun tangan menceah.

Ketika kedua tangan beradu, Hut Bong Hwesio terhuyung ke belakang tiga tindak. Hwesio itu meramkan mata dan mengatur napas, dan mukanya menjadi merah karena malu ketika melihat betapa pemuda itu menggunakan jari telunjuknya menotok jalan darah hui hing ciat untuk meny embuhkan luka dalam Song Leng Ho yang terpukul olehnya tadi.

Setelah selesai menolong jiwa Song Leng Ho, Bu Beng berdiri memandang penyerangnya tadi. Hut Bong Hwesio rangkapkan kedua tangan lalu menghela napas.

“Ah, sungguh tak tersangka pemuda ini telah memiliki tenaga dan kepandaian sempurna. Pinceng mengaku kalah, harap Bu Beng Taihiap maafkan kesembronoan pinceng tadi.” Kemudian sambil menjuru kepada Sim pangcu, hwesio itu berkata,

“Sim pangcu, pinceng mohon diri, karena pinceng tak dapat membantu. Maafkanlah.”

Tanpa menanti jawab, hwesio itu segera tinggalkan tempat itu dengan tindakan cepat. Lim San yang melihat semua itu, segera maju dan menjuru kepada Sim Pangcu.

“Saudara Sim, aku mohon kau suka habiskan saja pertunjukan-pertunjukan ini. marilah masuk dan minum arak bersama agar hubungan kita baik kembali seperti sedia kala. Janganlah hendaknya soal salah paham kecil ini dijadikan dasar perkelahian yang membahayakan jiwa.”

Sim Boan Lip tersenyum lemah. “Kau benar, saudara Lim. Memang seharusnya kami mengalah karena kau mempunyai pelindung yang demikian gagahnya.” Ia berkata penuh sindiran tajam.

“Mengalah?” seru Sim Tek Hin sambil bertindak maju. “Tidak! Biar bagaimana juga orang tua she Lim harus pegang teguh janjinya. Kalau ayah dan para locianpwe tidak mau membelaku, sepantasnya aku menuntut balas atas penghinaan yang dijatuhkan kepada Song locianpwe! Song locianpwe adalah tamu kita, pembela dan kawan kita, kini setelah ia dihina oleh Bu Beng siauwcut itu, haruskah kalian tinggal peluk tangan belaka? Apakah ini boleh diartikan bahwa ayah dan jiwi cianpwe jerih dan takut padanya?”

Sambil berkata begitu Sim Tek Hin memandang tajam kepada ayahnya dan kepada Pok Thian Beng si Tangan Besi, lalu mengerling kepada Lui Im si Golok Setan.

Panas juga hati Pok Thian Beng mendengar sindiran Sim Tek Hin ini. Maka dengan langkah lebar ia menghampiri Bu Beng yang memandang semua itu dengan berdiri sambil berpeluk tangan.

“Anak muda, telah kulihat bahwa kau memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar. Berilah ketika padaku untuk mencobanya.”

Bu Beng menjuru dengan hormat. “Maaf, loenghiong. Bolehkah saya mengetahui nama dan gelaran loenghiong yang mulia?”

Melihat sikap dan kesopanan anak muda itu, hati Pok Thian Beng telah muali menyesal mengapa ia mudah saja dibakar oleh Sim Tek Hin. Tapi karena sudah terlanjur, ia menjawab juga.

“Aku adalah Pok Thian Beng.”

“Ah, jadi loenghiong adalah si Tangan Besi? Sungguh beruntung saya yang bodoh dapat berjumpa dengan loenghiong yang telah lama kukagumi.” Jawab Bu Beng.

Tapi Pok Thian Beng yang jujur tidak jadi sombong bahwa anak muda itu telah mendengar nama besarnya, bahkan ia khawatir kalau-kalau nama besar itu sebentar lagi akan hancur oleh anak muda yang agaknya baru saja muncul dalam kalangan kang ouw hingga namapun tidak punya!

“Anak muda, kita tak pernah bermusuhan maka marilah kita main-main sebentar, sekadar belajar kenal,” katanya demikian dan Sim Tek Hin yagn mendengar percakapan saling merendah ini menjadi tidak puas.

“Pok loenghiong. Apakah perlunya kita menonjolkan kepandaian? Saya sudah cukup percaya akan kelihaianmu dan haruskah perkenalan ini dikotori oleh adu tenaga? Bantah Bu Beng.

“Hm, hm, Bu Beng Kiamhiap. Agaknya kau jerih terhadap Pok cianpwe, ha ha ha!” Sim Tek Hin mengejeknya.

“Hayo, Bu Beng Taihiap, layanilah aku barang dua tiga jurus. Kalau tidak, maka tentu kau atau aku akan dianggap pengecut.”

Pok Thian Beng mendesak, hingga apa boleh buat Bu Beng siap melayaninya. Tapi karena ia maklum akan ketulusan Pok Thian Beng dan tahu bahwa orang itu hanya menjadi kurban kelicikan keluarga Sim, ia tidak hendak mencelakakan atau membikin malu kepadanya.

“Awas pukulan,” Pok Thian Beng berseru sambil maju menyerang dalam tipu Hong tan tiam cie atau burung Hong pentang sayap langsung memukul kearah iga Bu Beng.

Anak muda itu berkelit dengan gesit, tapi segera datang pula serangan dari si Tangan Besi dengan gerakan Hek houw to sim atau Macan hitam menyambar hati. Bu Beng adlah seorang pemuda yang penuh keinginan meluaskan pengalaman, maka tidak akan puas hatinya kalau belum mencoba sesuatu yang telah didengarnya. Telah lama ia mendengar akan kehebatan lengan tangan Pok Thian Beng yang dijuluki si Tangan besi, maka kini melihat tangan kanan lawan menyambar kearah ulu hatinya, ia segera kumpulkan tenga mengepul tangan dan gunakan tangannya itu memukul kedepan dan memapaki datangnya pukulan lawan.

Si Tangan Besi terkejut melihat kecerobohan lawan yang masih muda ini. Ia tidak mau membikin anak muda itu celaka dan ia yakin bahwa jika mereka beradu tangan, pasti anak muda itu sedikitnya akan terpatah lengnnya. Tapi, karena untuk menarik kembali kepalannya sudah tak sempat lagi, maka ia hanya dapat mengurangi tanaganya dan hanya gunakan setengah saja. Dua kepalan tangan bertemu dan...

“Dukkk!”

Kedua-duanya merasa betapa sebuah tangan besar bertemu dengan tangan masing-masing. Karena si Tangan Besi hanya gunakan setengah tenaganya dan berbareng itu Bu Beng sendiri yang sangat percaya akan tenaga sendiri juga kurangi tenaga pukulannya, maka si Tangan Besi lah yang kalah tenaga dan terhuyung-huyung mundur sampai lima tindak, sedangkan Bu Beng hanya mundur dua tindak.

Pok Thian Beng memandang kagum dan penasaran. Ia si Tangan Besi yang terkenal dan jarang terlawan kekuatannya kini terpukul mundur oleh anak muda ini ? ia menyesal mengapa tadi tidak kerahkan semua tenaganya! Dan masih menganggap bahwa kekalahannya itu karena ia tadi hanya menggunakan setengah tenaga. Maka ia merangsek kembali karena belum puas.

Bu Beng tidak mau dianggap tidak pandang sebelah mata kepada musuh yang dihormati itu, maka iapun balas menyerang. Ketika Bu Beng dengan pukulan Kim liong tam jiauw atau Naga mas mengulur kuku memukul kearah lambung, tibalah giliran si Tangan Besi untuk mengukur tenaga lawan. Ia kerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.

Kembali dua telapak tangan beradu, kini lebih hebat karena Pok Thian Beng gunakan semua tenaga sedangkan Bu Beng juga pusatkan tenaganya di lengan. Akibat tumbukan tenaga itu, Pok Thian Beng rasakan lengannya kesemutan dan Bu Beng juga rasakan kulit tangannya panas. Anak muda itu segera barengi meloncat mundur sambil berkata,

“Pok loenghiong sungguh tidak percuma bergelar Tangan Besi. Siauwte mengaku kalah.” Katanya sambil memberi hormat.

Pok Thian Beng makin kagum melihat kesopanan pemuda itu. Ia tertawa dengan gembira. “Ha ha. Tidak kecewa aku datang kesini dan dapat mengagumi orang muda seperti kau. Tidak malu aku mengaku bahwa kalau kau mau, mudah saja bagimu untuk menjatuhkan aku. Kalau aku mempunyai tangan basi, maka kau mempunyai tangan baja, Bu Beng Kiamhiap!” kemudian kepada Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin ia menjura.

“Terima kasih atas undangan jiwi. Tapi aku yang bodoh dan tidak berguna ternyata tak dapat membantu apa-apa. Terserah kepadamu, jiwi, tapi menurut pendapatku yang bodoh, lebih baik persolan kecil ini dihabiskan saja.”

“Ah, Pok cianpwe mengapa merendahkan nama kita sendiri? Terang sekali Pok cianpwe berlaku mengalah terhadap pemuda sombong ini, tapi mengapa berkata demikian. Pula Lui Im losuhu juga berada disini apakah orang tidak pandang mata kepadanya,‟ berkata Sim Tek Hin.

Mendengar teguran ini, Pok Thian Beng memandang marah. “Hm, bagus, Sim hiante. Jadi undanganmu kepada kami dulu itu hanya untuk mengadu kami dengan orang-orang lain? Jadi hanya untuk memperalat kami. Terimakasih dan sampai jumpa pula.” Sambil berkata begitu, Pok Thian Beng balikkan tubuh hendak meninggalkan empat ini. tapi sekali loncat, Lui Im telah berada di sebelahnya dan pegang lengannya.

“Eh, Pok twako, jangan pergi dulu. Tunggu aku ajar kenal dulu dengan Bu Beng Kiamhiap.”

Si Tangan Besi memandang dan tersenyum lalu duduk di atas sebuah bangku dengan sikap tidak perduli kepada orang she Sim itu. Lui Im yang bertubuh pendek kecil itu segera mendekati Bu Beng.

“Bu Beng Kiamhiap, kau sebagai seorang hohan tentu suka berlaku adil. Kami semua datang kesini dan sudah belajar kenal dengan kelihaianmu, hanya aku seorang yang belum. Maka janganlah bikin aku penasaran dan berilah sedikit pengajaran padaku.”

Bu Beng memberi hormat, “Mana aku yang muda berani memberi pengajaran? Sebaliknya, siauwte masih mengharapkan petunjuk-petunjuk darimu.”

Lui Im cabut golok dari punggungnya dan kelebat-kelebatkan itu beberapa kali. Melihat ini, Bu Beng terkejut.

“Bukankah loenghiong ini pangcu dari Cung lim pang yang bernama Lui Im loenghiong?” tanyanya.

Lui Im terkejut juga. Bagaimana pemuda yang tak dikenalnya ini dapat mengenalnya? “Eh, darimana kau tahu nama dan kedudukanku, anak muda?”

Bu Beng memberi hormat. “Maaf, karena siauwte tadi tidak tahu berhadapan dengan siapa. Tidak tahunya berhadapan dengan seorang sahabat baik dari suhengku.”

“Siapa suhengmu itu?‟"

“Suhengku ialah Kim Kong Tianglo dari Liong san.”

Lui Im menggerakkan tangan kanannya dan tiba-tiba goloknya menancap diatas tanah dan gagangnya bergerak-gerak menggetar.

“Kim Kong Tianglo? Kau… sutenya? Aneh. Sungguh aneh! Kemudian ia berdiri termangu-mangu karena sesungguhnya ia pernah mendengar dari Kim Kong Tianglo sendiri bahwa pendeta tua itu mempunyai seorang sute yang gagah, tapi masakan sute itu semuda ini?

Bu Beng mengerti bahwa orang itu ragu-ragu, maka tiba-tiba ia mendapat pikiran untuk menaklukkan orang ini tanpa mengadu kepandaian. Ia berkata,

“Maaf” dan secepat kilat ia loncat menyambar dan tahu-tahu golok yan tertancap di tanah itu telah dicongkel dengan ujung kaki hingga terlempar keatas yang lalu diterima dengan tangan. Kemudian ia mulai bersilat sambil berkata,

“Sebagai sahabat suhengku, tentu loenghiong kenal permainan ini,” lalu diputar-putarnya golok itu dan ia mainkan ilmu golok dari Kim liong pai. Golok itu berubah menjadi sinar putih yang lebar dan yang menyelimuti tubuh anak muda itu. Lui Im berdiri ternganga dan tak disengaja mulutnya berkata memuji.

“Bagus, bagus.”

Setelah Bu Beng berhenti bersilat dan menancapkan kembali golok di tempat tadi, Lui Im menghampirinya dan menpuk-nepuk pundaknya dengan mesra.

“Tidak salah, tidak salah! Kau tentu sute dari Kim Kong, bahkan permainan golokmu lebih hebat dari padanya. Sungguh hebat. Sungguh beruntung kita belum bergebrak, kalau sudah ah tentu aku akan celaka. Ha ha ha!”

Kemudian ia berpaling kepada Pok Thian Beng yang masih duduk. “Saudara Pok, matamu sungguh awas dan mengenal barang baik. Kau benar, kita berdua tak usah mencampuri persoalan tetek bengek ini. Saudara Sim, pandanglah muka kami berdua dan habiskan saja pertempuran ini. mari, saudara Pok, sudah waktunya bagi kita untuk pergi.”

Kedua jagoan tua itu, setelah menjuru kearah Bu Beng dengan kata-kata. “Sampai bertemu lagi,” lalu berjalan cepat tinggalkan tempat itu.

Melihat bahwa ia sendiri berikut keempat kawannya yang diandalkan itu satu demi satu dibikin takluk oleh Bu Beng. Sim pangcu menjadi malu sekali. Ia menjuru kearah Lim San yang sejak tadi melihat pertunjukan-pertunjukan itu dengan penuh kekaguman, sambil berkata,

“Saudara Lim, biarlah kali ini aku mengaku kalah.”

Lim San balas menjuru. “Sim pangcu, kau tidak kalah dariku, maka sudahi sajalah urusan ini dan anggap saja bahwa kita tiada jodoh untuk berbesan. Biarlah kita menjadi sahabat baik.”

Sim pangcu menggoyang-goyang kepala. “Bagaimana juga aku sekawan telah dijatuhkan orang, dan aku harus berusaha mencuci bersih noda memalukan ini.”

Tiba-tiba Bu Beng meloncat kedepannya dan berkata keras dengan suara penuh ejekan. “Ha ha, Sim pangcu ternyata bersikap seperti anak kecil. Kalau sikapmu seperti ini, mana pantas kau menjadi seorang pangcu? Ketahuilah, kau adalah seorang pengecut besar kalau urusan hari ini kau taruh dendam kepada Lim San loenghiong. Kau hanya tujukan kepada orang yang kiranya tak dapat melawanmu agar kau dapat paksakan nafsu jahatmu. Kalau kau memang seorang gagah, lenyapkan semua urusanmu dengan Lim San loenghiong. Jika dalam hatimu masih ada dendam maka dendam itu tidak seharusnya ditujukan kepadanya, tapi seharusnya kepadaku, karena akulah orangnya yang telah menjatuhkan kalian.”

“Bu Beng! Jangan kau sombong” teriak Sim pangcu sambil kertak giginya karena marah dan gemas. “Siapa yang taruh hati dendam kepada Lim enghiong? Puteraku ditampik adalah soal kecil. Masih banyak gadis lain di dunia ini. Dendam hatiku memang ditujukan padamu. Maka ingatlah pada suatu hari aku pasti akan mencarimu dan menagih hutang!” sehabis berkata demikian, Sim Pangcu segera mengambil langkah lebar dengan diikuti Sim Tek Hin yang berjalan dengan tunduk.

Lim San maklum bahwa ucapan sombong yang dikeluarkan oleh Bu Beng itu memang disengaja untuk memindahkan rasa dendam di hati pangcu itu dari Lim San kepada Bu Beng. Maka makin bertambahlah rasa terima kasihnya kepada pemuda itu. Namun Bu Beng tak memberi kesempatan kepada orang untuk menyatakan terima kasih, karena setelah menjuru ia cepat berkelebat dan bayangannya tak tampak lagi. Lim San sekeluarga hanya dapat menarik napas dalam dan geleng-geleng kepala.

********************

Bu Beng secepat terbang kembali ke pondok diatas bukit dan setelah membungkus barang-barangnya yang tak berapa banyak itu di dalam sebuah kain kuning, ia meninggalkan tempat itu dengan bungkusan terikat di punggung untuk melanjutkan perjalanannya merantau setelah berdiam di tempat sunyi itu hampir sebulan lamanya.

Disepanjang jalan tak habis-habisnya Bu Beng melakukan kewajibannya sebagai seorang pendekar, menolong yang lemah tertindas dan membasmi yang kuat sewenang-wenang. Tak heran nama Bu Beng Kiamhiap makin terkenal, ditakuti lawan diindahkan kawan.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bu Beng telah berjalan kaki seorang diri dalam sebuah hutan di kaki bukit Lun ma san. Di kaki bukit Lun ma san terdapat beberapa kampong kecil dengan penduduk terdiri dari kaum petani. Tapi karena bukit itu mengandung tanah kapur, pertanian disitu tidak dapat subur. Maka disamping bertani, penduduk disitu menambah penghasilan dengan menjual hasil hutan dan kapur yang memang banyak terdapat disitu. Di beberapa hutan terdapat kayu besi yang hitam membaja dan banyak disukai oleh orang-orang kota untuk membuat bangunan karena kayu itu kerasnya bagaikan besi saja.

Ketika enak berjalan, tiba-tiba Bu Beng mendengar sura kanak-kanak yang tertawa-tawa dengan riangnya. Suara tawa anak-anak yang wajar ini membuat Bu Beng sadar dari lamunannya, karena sesungguhnya semenjak tadi Bu Beng melamun walaupun kedua kakinya berjalan maju. Ia merasa seakan-akan suara tawa riang dan bening itu merupakan cahaya dan membuatnya gembira sekali. Dengan cepat ia menuju kearah datangnya suara itu.

Ternyata olehnya bahwa yang tertawa-tawa gembira adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan berusia kurang lebih enam tahun. Mereka sambil tertawa mengejar seekor kelinci yang lari kesana kemari dengan gesitnya. Tapi kedua anak itu lebih gesit, seorang mencegat disana, seorang pula mencegat disini, hingga akhirnya binatang berbulu putih itu kelelahan dan hanya mendekam di tengah-tengah sambil terengah engah dan tubuhnya menggil seakan-akan kedinginan. Sepasang telinganya yang panjang bergerak-gerak kebawah keatas dengan lucunya.

Bu Beng heran dan kagum melihat gerakan kedua anak itu. Jelas baginya bahwa kedua anak itu mempunyai gerakan yang terlatih dan pasti mereka adalah murid-murid seorang ahli silat yang pandai. Tiba-tiba anak perempuan itu meloncat dan tangannya menyambat. Sambil tertawa girang ia melihat betapa kelinci itu bergerak-gerak hendak meloloskan diri, tapi percuma karena tangan kecil yang memegang kedua telinganya itu kuat sekali hingga ia hanya dapat menggerak-gerakkan kedua kakinya yang tergantung dan kaki depannya bergerak-gerak seakan-akan orang main silat.

“Cin Lan, lepaskan ia, kasihan. Telinganya tentu sakit kau gantung demikian rupa,” tegur anak laki -laki itu.

“Mengapa kasihan? Tampaknya lucu!” jawab anak yang perempuan, “Biar kubawa pulang, kuberikan pada twaci agar dimasak. Hm, alangkah sedapnya nanti.”

“Jangan, Cin Lan. Kasihan dia. Aku tak suka daging kelinci. Lihat itu matanya seperti matamu. Sebentar lagi ia menangis.”

Digoda demikian, si gadis kecil melempar kelinci itu ke tengah gerombolan pohon kecil. Binatang itu segera lari cepat dan menghilang dibawah rumput alang-alang. Anak perempuan itu dengan muka merah menghadapi kakaknya.

“Kau ini bisanya menggoda saja. Awas nanti kuberitahukan cici agar kau dijewer sampai merah biru telingamu.”

“Sudahlah jangan marah. Lebih baik kita berlatih karena kalau cici datang melihat kita belum latihan, barangkali telinga kita berdua akan dijewer sampai putus. Kau tahu, bagaimana halusnya tangan cici, kalau sudah menjewer telinga ampun sakitnya bukan main.”

“Baiklah, Han ko tapi kau jangan nakal lagi. Mari kita latih pelajaran kemarin. Gerakan jurus keempat masih terasa sukar bagiku.”

Semenjak tadi Bu Beng mengintai dari belakang pohon dengan hati gembira. Ia suka sekali kepada kedua anak kecil yang mungil itu. Yang laki-laki cakap berwajah tampan, daun telinganya lebar dan matanya bersinar, tapi bibir dan pandangan matanya memperlihatkan kesabaran dan kebijaksanaan. Terang bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang mulia dan bijaksana.

Anak perempuan yang dipanggil Cin Lan itupun mungil sekali. Wajahnya cantik jelita dengan mata yang lebar, jika ketawa nampak dua lekuk manis di kanan kiri mulutnya. Tapi menurut pandangan Bu Beng, pandangan mata anak perempuan itu ketika marah tampak kejam dan jahat, sungguhpun setelah tertawa lenyaplah sifat itu dan terganti sifat yang halus menyenangkan.

Kini setelah melihat kedua anak itu bertanding main silat terkejutlah Bu Beng. Karena ternyata kedua anak itu mainkan tipu-tipu gerakan dari Kim liong pai! Murid siapakah kedua anak ini? Demikian Bu Beng tak habis terheran-heran. Kalau murid dari cabangnya yang mengajar kedua anak itu, mengapa gerakannya demikian kacau? Tipu-tipu gerakan ini walaupun banyak mengambil dari Kim liong pai, tapi harus diakui ada bedanya, atau beda dalam variasinya. Karena heran dan ingin sekali tahu, Bu Beng menghampiri mereka.

Dua anak itu berhenti main silat dan memandang Bu Beng dengan curiga. Pakaian Bu Beng memang dapat mencurigakan hati kanak-kanak, karena pakaian warna kuning itu sudah bertambal sana sini bahkan di bagian pundak kiri robek belum ditambal hingga nampak kulit pundaknya yang putih dengan tulang pundak menonjol.

“Anak baik, siapakah guru kalian? Bagus sekali permainanmu,” Tanya Bu Beng ramah.

Tapi anak perempuan itu segera mundur dan berbisik kepada kakaknya. “Han ko, hati-hati, ini tentu sebangsa penjahat seperti yang diceritakan cici.”

Bu Beng tertawa geli mendengar ini. “Eh aku bukan penjahat. Aku suka sekali melihat permainan silatmu tadi. Tapi ada beberapa bagian yang kaku dan salah. Tadi ketika kau mainkan tipu naga mas memburu mustika kaki kirimu salah duduknya, seharusnya agak ditarik serong ke kiri,” katanya kepada anak perempuan itu.

Kemudian ia berkata kepada anak laki-laki yang memandangnya dengan mata tajam. “Dan kau, siauw ko ketika kau menangkis dengan Naga Mas Sabetkan Ekor tadi, tangan kirimu yang menganggur seharusnya dikerjakan untuk balas menyerang dengan tipu Naga Mas Leletkan Lidah karena kedudukan lawanmu kosong bagian pinggang kanan.”

“Eh, orang kuarang ajar!” tiba-tiba gadis kecil itu mendamprat, “Kau lancang sekali berani mencela ilmu silat kami yang diturunkan oleh cici!”

Bu Beng ketawa gembira melihat kelincahan dan kegalakan nona cilik itu. “Oh, jadi kalian diberi pelajaran oleh cici kalian sendiri?”

“Apa kau berani bilang bahwa twaci kami salah pula dalam memberi pelajaran?” Tanya anak laki -laki itu penasaran.

“Memang salah. Kalau cicimu yang mengajar, maka ia juga salah.”

“Hm, sonbong benar kau! twaci mendapat pelajaran dari supek, apakah kalau begitu supek juga salah?” Tanya anak perempuan itu.

Bu Beng mengangguk sambil tersenyum. “kalau memang begini cara mengajarnya, supekmu itu juga salah!”

“Kurang ajar!” gadis kecil itu berteriak marah dan dengan cepat ia layangkan kepalannya yang kecil memukul perut Bu Beng.

Bu Beng tertawa geli dan timbul kegembiraannya. “Baik, baik mari berlatih agar dapat kemajuan.” Ia berkelit sambil berkata, “Nah, ini kelitan Naga Mas Putar tubuh.”

Anak laki-laki ketika melihat adiknya menyerang segera ikut membantu dan sebentar kemudian Bu Beng sikeroyok oleh kedua anak itu. Bu Beng sambil berkelit dengan mulut tersenyum gembira selalu memberi petunjuk. Ia sebutkan kesalahan-kesalahan gerakan anak-anak itu dan sebutkan nama gerakannya sendiri sambil mengelak atau menangkis perlahan.

Ternyata kedua anak itu bersemangat besar karena biarpun sudah merasa lelah, namun masih saja mendesak. Disamping menyerang, merekapun perhatikan petunjuk-petunjuk dari Bu Beng dan dasar otak mereka berdua cerdik merekan seakan-akan terbuka mata mereka dan dapat menangkap kesalahan-kesalahan sendiri.

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring. “He, orang kasar darimana berani mengganggu kedua adikku?”

Mendengar seruan ini Bu Beng meloncat mundur dua kali dan memandang. Ia tertegun dan untuk sejenak seakan-akan napasnya berhenti. Bu beng bukanlah seorang pemuda yang mudah saja terpesona oleh paras cantik. Tapi ketika matanya memandang gadis berpakaian putih yang berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang dan matanya bercahaya tajam dan marah itu, ia rasakan semangatnya melayang-layang.

Wajah dan potongan tubuh gadis itu menarik hatinya benar dan diam-diam ia bandingkan gadis itu dengan gadis yang selalu memenuhi alam mimpinya. Karena sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun, sebagai seorang pemuda yang sehat, sering kali Bu Beng mengenangkan dan mimpikan seorang gadis yang sesuai dan cocok dengan selera hatinya. Dan gadis ini mememnuhi segala-galanya.

Gadis itu berusia paling banyak sembilan belas tahun, tubuhnya ramping padat, sepasang matanya merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung mulutnya kecil dengan bibir bagaikan gendewa terpentang dan berwarna merah, rambutnya terurai ke belakang dan diikat dengan kain putih, sebagian rambut terurai kejidat menambah kemanisannya. Baju dan celana putih dari kain kasar dan sepatu putih pula menutupi tubuhnya. Sungguhpun ia berdandan sederhana sekali namun kesederhanaannya ini bahkan menonjolkan kejelitaan yang asli.

Karena orang yang ditegurnya dari tadi bengong saja sambil memandang bagikan patung hidup, gadis itu merasa malu dan wajahnya menjadi merah. Ia marah sekali melihat kekurang ajaran orang.

“He, bangsat! Ada apa kau pandang orang saja dan tak menjawab kata-kataku. Apakah kesalahan kedua adikku ini hingga kau seorang dewasa sampai mengajak mereka berkelahi? Pengecut besar, tidak malu berkelahi dengan anak-anak kecil.”

Bu Beng makin kagum, karena setelah marah, ternyata wajah itu makin cantik saja. Tapi kata-kata yang pedas itu membuatnya sadar. Segera ia rangkapkan tangan memberi hormat.

“Siocia, maafkan aku seorang perantauan yang tak tahu adab. Harap jangan salah sangka, kedua adikmu tadi bukan sedang berkelahi dengan aku, tapi kami bertiga hanya sedang main-main dan berlatih saja.”

Gadis itu memandang adik perempuannya. “Cin Lan, benarkan kalian tidak berkelahi tadi!”

Dengan keringat di sekujur badan dan napas masih terengah-engah, Cin Lan menjebikan bibir kearah Bu Beng dan berkata. “Siapa yang main-main? Coba cici lihat, apakah aku kelihatan seperti orang main-main? Keringatku sampai membasahi semua pakaian, dan lihat Han ko itu, ia masih terengah-engah kelelahan! kalau cici tidak keburu datang memisah, sekarang kami berdua tentu telah dapat menggebuk mampus padanya!”

“Huh!” gadis itu menegur, tapi mau tak mau ia terpaksa bersenyum mendengar kejumawaan adiknya itu.

“Sungguh bukan maksudku mengajak mereka berkelahi nona. Coba kau tanya siauw ko ini benar-benarkah kami tadi berkelahi?”

Anak laki-laki itu memandang cicinya dengan matanya yang jujur dan berkata ragu-ragu. “Aku sendiri tidak tahu, tapi dia ini memberi petunjuk-petunjuk dan membetulkan kesalahan-kesalahan gerakan kami.”

“Membetulkan kesalahan gerakanmu?” cicinya bertanya heran.

“Ya, ci, bahkan kau sendiri juga dicelanya, juga supek dikatakannya salah mengajar!” kata nona cilik yang nakal itu.

“Apa katamu?‟ gadis itu memandang marah kepada Bu Beng.

“Ah, bukan begitu maksudku, nona…” membela Bu Beng.

“Jangan banyak cakap. Kalau kau ada kepandaian dan dapat mencela ilmu silatku, cobalah kau terima dan sambut seranganku ini!”

Bu Beng hendak membantah, tapi gadis baju putih itu tak memberi kesempatan padanya untuk bicara, langsung maju menyerang secepat kilat. Pukulannya selain cepat juga berat dan antep sekali hingga Bu Beng buru-buru berkelit. Dalam gerakan-gerakan pertama gadis itu gunakan ilmu silat Kim liong pai hingga ia makin heran. Ternyata gadis itu walaupun gerakannya gesit dan tenaganya besar, juga membuat kesalahan - kesalahan dalam gerakannya atau mungkin juga, ilmu silat Kim liong pai telah tercampur aduk dengan ilmu silat lain yang tidak kalah lihainya.

Menghadapi ilmu silat cabang sendiri, Bu Beng dengan mudah sekali dapat memunahkan setiap serangan. Gadis itu menjadi penasaran dan segera merobah gerakannya. Kini ia menyerang dengan lebih cepat dan tahulah kini Bu Beng bahwa sebenarnya gadis itu mahir sekali ilmu silat Bie jin kun yang gerakan-gerakannya lemas tapi mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Mungkin gadis ini baru sedikit mempelajari ilmu silat Kim liong pai dan kepandaian aslinya ialah Bie jin kun itu.

Karena dalam hal ilmu silat Bu Beng sudah digembleng oleh gurunya dan ia mempelajari pula segala macam ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan inipun ia hanya tersenyum sambil berkelit dengan gesitnya. Tak pernah ia menangkis atau balas menyerang, seakan-akan hatinya tidak tega melukai gadis itu. Diam-diam ia gembira karena iapun ingin sekali menjajal kepandaian gadis itu. Kini ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang lumayan juga.

Gadis baju putih itu ketika menyerang berpuluh jurus tapi belum juga dapat menyentuh ujung baju Bu Beng, dan mendengar sorakan-sorakan adik-adiknya yang memang gemar menonton orang bersilat, dengan dibarengi teriakan-teriakan

“Pukul, ci! Robohkan ia! ah, meleset lagi! Sayang, tidak kena lagi, ci! Hayo pukul roboh!” maka ia menjadi marah dan gemas bukan main. Dengan seruan keras ia cabut sepasang pedangnya yang terselip di punggung dan gunakan siang kiam itu menyerang hebat!.

“Tahan pedangmu, nona. Aku tidak ingin berkelahi,” mencegah Bu Beng.

“Hm, kalau dengan kanak-kanak berani ya? Kalau benar-benar laki-laki keluarkan senjatamu.”

Bu Beng buka kedua lengannya sambil angkat pundak. “Aku tidak ingin berkelahi nona.”

“Jangan banyak cakap. Kalau kau tidak mau melayaniku maka kau akan kuanggap laki-laki pengecut.”

Bu Beng tersenyum. “Kau memaksa nona. Apa boleh buat aku bukan pengecut. Majulah!”

Gadis itu segera buka serangannya dengan gerakan Burung Kepinis Menyambar Ikan. Pedang kanannya menusuk kearah tenggorokan Bu Beng sedangkan pedang kiri terputar mengancam untuk membingungkan lawan. Tapi Bu Beng ganda tertawa saja, dan loncat berkelit. Gadis itu merangsek maju dengan hati panas, dan Bu Beng terpaksa gunakan ilmu ginkangnya yang hebat untuk melayaninya dengan tangan kosong.

Pemuda itu mengandalkan keringan tubuh dan kegesitan gerakannya untuk meloloskan diri dari bayangan pedang. Sebenarnya permainan siang kiam gadis itu hebat dan telengas sekali. Kalau bukan Bu Beng, jangankan bertangan kosong biar bersenjatapun, tidak sembrangan orang dapat menangkan gadis itu. Tapi kali ini ia bertemu dengan Bu Beng Kiamhiap yang tingkatnya masih jauh diatasnya, maka dengan mudah saja ia dipermainkan.

Pada saat itu dari jauh datang berlari seorang wanita tua yang membawa tongkat. Tindakan kakinya ringan dan larinya cepat sekali hingga diam-diam Bu Beng terkejut. Ia melihat orang tua itu duduk diatas sebuah akar pohon di dekat mereka dan diam saja menonton perkelahian itu. Gadis yang menyerangnya dengan sengit itu agaknya tak melihat kedatangan orang tua itu karena gerakannya memang ringan sekali. Tapi kedua anak kecil itu ketika melihat perempuan tua bertongkat tahu-tahu duduk disitu segera lari menghampiri dan memeluknya.

Hati Bu Beng bimbang juga. Ternyata perempuan tua yang berkepandaian tinggi itu masih keluarga mereka. Ah, ia harus menyimpan tenaga untuk menghadapinya jika hal itu terjadi nanti. Pada saat ia berpikir demikian, tiba-tiba gadis baju putih itu menggerakkan kedua pedangnya menusuk dada dengan tipu Wanita Cantik Tawarkan Arak. Sepasang pedangnya yang meluncur ke dada Bu Beng, sebuah ditusukkan dan yang satu lagi dibacokkan kebawah!.

Menghadapi serangan ini, Bu Beng berlaku cepat. Tubuhnya berkelit kesamping dan sekali menggerakkan tangan kearah pergelangan gadis itu, sekejap kemudian pedang kanan gadis itu pindah tangan!

“Bagus, bagus!” terdengan wanita tua itu memuji.

Tapi gadis itu menjadi penasaran sekali. Dengan nekat ia gunakan sebilah pedangnya untuk menyerang kembali. Bu Beng menggunakan pedang yang dirampasnya untuk menangkis dengan main mundur. Tiba-tiba sebuah sinar hitam menyela diantara mereka dengan membawa angin keras dibarengi bentakan orang.

“Cin Eng, mundurlah. Seharusnya kau tahu diri dan tidak berlaku nekat!”

Mendengar bentakan ini, gadis itu berloncat mundur dan berdiri dengan tunduk dan wajah merah. Melihat keadaannya itu, timbul rasa iba di hati Bu Beng, maka segera ia maju menghampiri dan memberi hormat, lalu sambil mengangsurkan pedang yang dirampasnya kepada pemiliknya, ia berkata halus,

“Nona, maafkan aku yang rendah telah berlaku kurang ajar. Terimalah pedangmu kembali, nona.”

Cin Eng mengangkat kepala memandangnya, tapi ia tertunduk kembali dengan muka merah dan mulut cemberut.

“Ha, ha!” wanita tua itu tertawa terkekeh-kekeh. “Cin Eng, orang telah berlaku mengalah dan baik kepadamu, hayo terima kembali pedangmu!”

Dan gadis itu kembali mentaati perintah itu dan terima kembali pedangnya dari tangan Bu Beng tanpa berani memandang pemuda itu.

“Anak muda, kau gagah juga dan kepandaianmu lumayan. Majulah dan coba kau tahan tongkatku yang lapuk ini.”

Bu Beng menjuru hormat. “Aku yang muda mana berani berlaku tidak sopan.”

“Hm, jangan sungkan-sungkan, anak muda. Dengan mudah kau dapat mengalahkan puteriku. Maka, mau tak mau kau harus melayani aku yang tua ini beberapa jurus. Aku hanya ingin mengukur dalamnya kepandaianmu, jangan kau takut. Aku takkan berlaku kejam padamu.”

Panas juga hati Bu Beng karena terang sekali orang memandang ringan kepadanya, bahkan ia disangka takut! Maka ia majukan kaki selangkah dan setelah berkata,

“Maaf,” ia cabut pedang pendeknya yang disembunyikan di belakang punggung dalam bajunya. Pedang pendek ini bukanlah pedang sembarangan. Ia dapat merampasnya dari seorang kepala perampok kenamaan setelah mengadu jiwa mati-matian. Pedang ini disebut Hwee hong kiam dan tajamnya luar biasa serta terbuat daripada logam yang jarang terdapat dan keras melebihi baja tulen. Kalau tidak terpakasa, jarang sekali Bu Beng keluarkan senjata ini. tapi kali ini ia tahu bahwa wanita tua ini bukanlah orang sembarangan dan bahwa tongkatnya itu tentu lihai sekali.

“Ha, bagus! Nah sambutlah tongkatku!” wanita tua itu tak sungkan lagi maju menyerang. Tongkatnya yang berwarna hitam menyambar berat mendatangkan angin dingin.

Bu Beng gunakan pedangnya menangkis dan merasa betapa berat tenaga dalam wanita tua itu. Namun wanita itupun diam-diam terkejut karena anak muda itu ternyata bertenaga tidak lebih bawah darinya. Wanita itu gunakan tipu-tipu ilmu toya Siauw lim si yang hebat dicampur dengan gerakan ilmu golok Kun lun. Biarpun ia mempunyai ilmu silat yang hebat sekali dan pengalamannya yang berpuluh tahun itu mebuat gerakannya tetap dan kuat, namun baru bergebrak beberapa jurus saja ia merasa heran dan kaget.

Karena ilmu pedang Bu Beng sangat membingungkannya. Bu Beng keluarkan tipu-tipu Kim liong pai yang sudah dikombinasikan sedemikian rupa dengan tipu-tipu Hoa san pai hingga merupakan gerakan-gerakan tersendiri yang sangat lihai dan tak terduga datangnya! Tak heran bahwa sebentar saja perempuan itu terdesak dan hanya dapat menangkis saja.

Pada suatu desakan, Bu Beng menggunakan pedang pendeknya menusuk dada lawan. Tusukan ini cepat sekali, tapi biarpun terdesak, nenek itu masih dapat memutar tongkatnya menangkis pedang yang ujungnya sudah hampir mengenai kulitnya itu. Tak tersangka-sangka Bu Beng cepat sekali merobah arah pedangnya ke kiri dan membabat lengan lawan!

Nenek itu menjerit kaget dan menggunakan jaln satu-satunya yang masih mungkin ia lakukan, yakni melepaskan tongkat dan menggelinding pergi sejauh dua tombak lebih.

Bu Beng rangkapkan kedua tangan. “Maaf, maaf.”

Nenek itu berdiri cepat dengan muka pucat. Ia belum bebas sama sekali dari rasa terkejut. Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan dengan terkekeh-kekeh ia jemput tongkatnya lalu menghampiri Bu Beng.

“Anak muda, kau sungguh gagah perkasa. Ketahuilah, aku adalah Hun Gwat Go yang disebut orang si Tongkat Terbang. Tapi sekarang aku sudah tua hingga tak pandai memainkan tongkat lagi, buktinya dengan begitu saja aku terpaksa melepaskan tongkatku. Hi hi hi!”

Bu Beng tak senang mendengar suara tertawa terkekeh-kekeh ini, tapi karena orang berkata dengan ramah, ia terpaksa tersenyum juga.

“Dan ini adalah Cin Eng, anakku. Kedua anak kecil itu Cin Lan dan Cin Hai. Dan kau sendiri siapakah anak muda?”

“Saya bernama Bu Beng.”

Kedua anak kecil itu tertawa mendengar nama Tak Benama ini dan nenek sendiri memandang heran. Tapi karena Bu Beng memandangnya dengan wajah bersungguh-sungguh dan sinar matanya menyambar tajam, ia tak berani bertanya lagi.

“Bu Beng Taihiap, kami persilakan mampir dipondok kami,” katanya kemudian, “Perkenalan ini harus kita pererat. Sudah lama aku ingin berjumpa dengan seorang hohan di jaman ini. Dan kebetulan ini hari berjumpa dengan kau yang pantas sekali kami hormati.”

Sebenarnya Bu Beng tidak suka mampir, tapi demi melihat kearah Cin Eng yang menggunakan mata burung hongnya memandang dengan tajam padanya, ia menyanggupi dan beramai-ramai mereka menuju ke rumah nenek itu yang berada di sebelah kampong tak jauh dari situ. Ketiak mereka memasuki sebuah rumah pondok besar tapi yang keadaanya miskin, si nenek berkata kedalam rumah.

“Tianglo silakan keluar, ini ada tamu agung datang!” Bu Beng memandang ke pintu tengah dengan tajam dan waspada. Ia tetap belum percaya kepada nenek aneh ini dan siap menghadapi lain lawan. Tapi ketika tampak tubuh seorang pendeta yang tinggi kurus keluar dari pintu itu, ia segera meloncat menghampiri dan memberi hormat.

“Suheng!” katanya heran dan gembira.

“Eh, eh, kau sute? Pantas saja ada orang yang dengan mudah dapat mengetahui kesalahan-kesalahan Cin Lan dan Cin Han, tak tahu kaulah orangnya!”

“Bagaimana suheng dapat tahu?”

Kim Kong Tianglo tertawa lebar. “Kau sangka aku tidak tahu juga bagaimana kau berhasil membuat Hun toanio lepaskan tongkatnya?”

Karena semua pendengarnya merasa heran, Kim Kong Tianglo bercerita bahwa tadi karena khawatir akan keselamatan tuan rumahnya yang lama tidak kembali, ia menyusul ke hutan dan sembunyi sambil menonton pertempuran-pertempuran itu. Hun Gwat Go tertawa dengan suara terkekeh-kekeh yang tak disuka oleh Bu Beng itu, lalu berkata,

“Ha ha ha, kukira siapa, tidak tahunya orang sendiri. Jadi Bu Beng Taihiap ini sute mu sendiri? Ah, aku makin tidak penasaran telah jatuh dalam tangannya.”

Kemudian nenek yang aneh itu setelah perinthakan Cin Eng keluarkan arak, meninggalkan kedua saudara seperguruan itu di ruang tamu.

Setelah berada berdua saja. Bu Beng melampiaskan rasa kangennya dan memeluk suhengnya. Ia memang menganggap suhengnya ini sebagai kakak sendiri. Mereka berbicara asyik sekali dan saling menuturkan pengalaman semenjak berpisah. Kemudian Bu Beng bertanya mengapa Kim Kong Tianglo dapat tinggal di rumah nenek itu.

Kim Kong Tianglo menarik napas dalam dan menuturkan pengalamannya dan keadaaan yang aneh itu. Menurut cerita Kim Kong Tianglo, nenek itu bernama Hun Gwat Go berasal dari Kilam. Sebelum kawin, ia adalah seorang puteri seorang bajak laut yang terkenal kejam. Agaknya adat ayahnya menurun, karena Hun Gwat Go juga beradat jelek sekali, tapi ia sangat cantik hingga menarik banyak rasa cinta pemuda.

Diantaranya terdapat seorang pendekar yang menjalankan tugas menolong sesamanya dengan cara menjadi pencuri budiman. Ia bernama Liu Pa San. Rumah hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar jahat ia santroni dan banyak harta haram ia curi untuk kemudian dibagi-bagikan kepada petani miskin. Karena ia berkepandaian tinggi dan cakap juga, maka pilihan Gwat Go jatuh padanya.

Sebenarnya ketika kawin dengan Gwat Go, Lui Pa San telah menjadi duda dengan seorang perempuan, karena belum lama istrinya meninggal dunia karena sakit. Anak perempuannya itu ialah Cin Eng yang tadi dikagumi oleh Bu Beng.

Dengan Gwat Go. Liu Pa San setelah kawin puluhan tahun, barulah mempunyai anak, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yakni Cin Han dan Cin Lan. Cin Eng mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya, dan biarpun adatnya buruk, namun Gwat Go tidak merupakan seorang ibu tiri yang kejam. Ia sayang Cin Eng seperti anak sendiri, hanya adatnya yang kasar dank eras membuat gadis itu takut padanya. Bahkan ibu tiri inipun mendidik Cin Eng mempunyai kepandaian yang lihai juga.

Kim Kong Tianglo kenal baik dengan Liu Pa San. Beberapa bulan yang lalu, ketika Kim Kong Tianglo sedang merantau di kota Hiebun, pada suatu malam ia mendengar suara ribut-ribut diatas genteng tikoan di kota itu. Ia segera loncat keatas dan melihat betapa Liu Pa San dikeroyok beberapa orang jagoan yang sengaja diundang oleh tikoan itu untuk menjaga harta bendanya. Ternyata diantara jagoan-jagoan terdapat Ngo houw atau lima hariamau dari Tiang san yang terkenal kosen.

Ketika Kim Kong Tianglo tiba di tempat pertempuran. Liu Pa San telah terluka hebat tapi masih melakukan perlawanan dengan gigih. Kim Kong Tianglo berhasil menolong dan membawanya pergi. Tapi malam hari itu juga Liu Pa San si maling budiman menghembuskan napas terakhir dihadapan Kim Kong Tianglo. Hwesio ini terharu sekali karena ia tahu benar akan sepak terjang dan kebaikan hati maling perkasa itu.

Sebelum mati, Liu Pa San meninggalkan permohonan kepadanya untuk mendidik ilmu silat kepada anak-anaknya. Ia minta Kim Kong Tianglo bersumpah untuk memenuhi permohonannya ini, dan sebagai seorang suci dan seorang sahabat baik, hwesio ini tidak tega untuk menolak permintaan seorang yang telah berada diambang pintu kematiannya.

Demikianlah, setelah mengubur jenazah Liu Pa San baik-baik, Kim Kong Tianglo mencari rumah Liu Pa San. Ia sangat kecewa dan tidak senang melihat sikap janda Liu Pa San yaitu Hun Gwat Go, tapi setelah melihat Cin Eng, Cin Han dan Cin Lan, timbul kegembiraannya karena Cin Eng merupakan seorang gadis yang baik hati, sedangkan Cin Han dan Cin Lan mempunyai bakat baik. Semenjak itu ia tinggal di rumah itu untuk memenuhi permintaan mendiang sahabatnya. Rencananya, setelah mendidik Cin Eng beberapa lama, maka gadis itu akan dapat mewakilkan ia mendidik kedua adiknya.

“Sute” berkata Kim Kong Tianglo setelah sudah selesai bercerita, “Umur berapakah kau sekarang?” tiba-tiba saja pertanyaan ini hingga Bu Beng memandang suhengnya dngan heran karena tidak mengerti maksudnya. Tapi ia menjawab juga.

“Dua puluh enam tahun, suheng. Ada apakah?”

Kim Kong Tianglo tertawa. “Tidakkah kau pikir usia sedemikian itu sudah cukup untuk menjadi seorang suami?”

Untuk sejenak Bu Beng memandang muka suhengnya, kemudian ia tunduk dan mukanya menjadi merah. Kim Kong Tianglo tertawa geli melihat laku pemuda itu.

“Sebenarnya memang sukar mendapatkan jodoh yang sesuai, sute. Tapi percayalah, aku adalah seorang yang telah cukup pengalaman, dan menurut penglihatanku, Cin Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, baik mengenai rupa dan tabiatnya maupun mengenai ilmu silatnya. Bagaimana pikiranmu sute, kalau aku berlaku lancang menjadi wakilmu untuk mengajukan lamaran?”

Dengan masih tunduk dan hati berdebar-debar Bu Beng berkata. “Suheng, beribu terima kasih kuhaturkan untuk budi kecintaanmu ini. Memang, bagiku di dunia ini setelah suhu meninggal dunia, hanya suhenglah yang menjadi orang tuaku, saudaraku dan juga guruku. Aku ini orang macam apakah untuk menampik seorang seperti nona Cin Eng itu? Tapi, yang menjadi persoalan ialah, sudikah dia atau ibunya menerima aku orang sebatang kara yang miskin dan hina dina ini menjadi suami dan mantu? Kalau sampai ditolak, aku akan merasa malu dan rendah sekali, suheng. Baiknya janganlah coba-coba, karena sembilan bagian pasti akan ditolak!”

Kim Kong Tianlo berdiri dan menepuk-nepuk pundak sutenya. “Jadi kau suka padanya? Baik, baik, sute. Soal yang lain serahkan saja padaku. Ketahuilah olehmu, Hun Gwat Go pernah menyatakan padaku bahwa ia dan gadisnya itu hanya ingin mendapatkan seorang yang berkepandaian melebihi si gadis sendiri dan melebihi ibunya pula! Dan sekarang kaulah orangnya! Tahukah kau mengapa Hun toanio mengundang kau mampir di rumahnya? Biasanya tidak sembarangan ia mengundang seseorang begitu saja. Tentu ada maksudnya. Ha ha ha!”

Bu Beng hanya menyerahkan saja urusan itu kepada suhengnya dan ketika Kim Kong Tianglo pergi kedalam untuk menjumpai Hun Gwat Go dan membicarakan urusan ini, ia hanya menanti di ruang tam u sambil saban-saban minum araknya untuk memenangkan hatinya yang bergoncang. Ia bangkit dengan segera dan berdebar-debar ketika tak lama kemudian suhengnya balik kembali bersama Hun Gwat Go dengan tersenyum girang.

“Selamat, sute. Kionghi, kionghi,” kata hwesio itu dengan gembira dan wajah berseri-seri. Bu Beng angkat tangan membalas ucapan selamat itu. Setelah Hun wat Go duduk diatas sebuah bangku, Kim Kong Tianglo segera berkata,

“Eh, sute, tunggu apa lagi? Hayo beri hormat kepada gakbomu.”

Dengan muka merah karena malu Bu Beng segera berlutut dan memberi hormat kepada calon ibu mertuanya yang diterima oleh Gwat Go dengan terkekeh-kekeh kegirangan.

“Ah, tercapai kini cita-citaku dan keinginan anakku Cin Eng, dapat seorang mantu yang gagah melebihi ayahnya.”

Sampai disini, tiba-tiba Gwat Go menangis tersedu-sedu dan air mata membasahi kedua pipinya yang kempot karena ia eringat suaminya yang telah mati.

“Kau... kau harus balaskan sakit hati ini…” katanya kepada Bu Beng yang hanya mengangguk sambil tundukkan kepala. Tiba-tiba kegembiraan Gwat Go timbul kembali, ia berkaok memanggil Cin Eng dan ketika gadis itu datang, Bu BEng segera tundukkan kepala lebih dalam dan tak berani berkutik.

Cin Eng berdiri bingung karena melihat wajah ibunya dan gurunya Kim Kong Tianglo tampak berseri-seri gembira. Ia mengerling kearah Bu Beng dan bertambah keheranannya melihat pemuda itu tunduk saja dengan malu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan diam-diam ia dapat menduga hingga tak terasa lagi warna merah menjalar keseluruh muka dan telinganya.

“Ada apa, ibu?” tanyanya.

“Eng, sediakan makanan lezat. Ini hari kita harus berpesta sepuasnya. Tambah lagi arak wangi kepada… gurumu... eh, sekarang kau tak boleh panggil guru lagi, tapi suheng dan beri hormat juga kepada calon suamimu,” berkata demikian ini sambil menunjuk kepada Bu Beng yang makin berdebar dan duduk dengan serba tidak enak.

Cin Eng yang biasanya sangat takut dan taat kepada ibunya, kini terpaksa membangkang. Ia hanya memberi hormat kepada Kim Kong Tianglo saja, sedangkan kepada Bu Beng ketika ia telah berdiri dihadapan pemuda itu yang memandangnya dengan malu, tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan lari masuk sambil gunakan kedua tangan menutupi mukanya! Gwat Go tertawa terkekeh-kekeh dan Kim Kong Tianglo tertawa tergelak-gelak hingga tinggal Bu Beng sendiri yang duduk diam dengan muka merah.

Tak lama kemudian, meraka semua, tak ketinggalan Cin Han dan Cin Lan, menghadapi meja dan makan bersama. Cin Lan yang nakal tiada hentinya menggoda cicinya, karena iapun sudah mendengar perihal pertunangan itu. Beberapa kali ia melirik kerah cicinya dan mengejap-ngejapkan mata sambil menggunakan sumpit menuding kearah Bu Beng, hingga Cin Eng menjadi gemas dan mencubitnya. Cin Lan berteriak.

“Ah, ah, cici nakal sekali, awas nanti kuberitahukan kepada cihu!”

Semua orang tertawa dan Cin Eng makin malu hingga sukar rasanya baginya untuk menelan makanan. Bu Beng juga hampir tak dapat makan karena malu. Sebenarnya didalam hatinya terbit dua macam perasaan pada saat itu. Rasa bahagia dan rasa sedih. Ia merasa girang dan berbahagia sekali karena di dalam hati ia cinta dan kagum kepada Cin Eng. Tapi karena teringat akan kedua orang tuanya yang telah tidak ada, ia menjadi sedih dan merasa bahwa ia benar -benar sebatang kara di dunia ini.

Menurut keputusan perundingan antara Gwat Go dan Kim Kong Tianglo, perkawinan akan dilangsungkan sebulan lagi, yaitu menanti sampai Cin Eng menghabiskan mata perkabungannya atas kematian ayahnya.

Pesta kecil itu berjalan dengan gembira sampai jauh malam dan berakhir dengan mabuknya Kim Kong Tianglo dan Gwat Go yang lalu pergi ke kamar masing-masing. Cin Han dan Cin Lan pergi tidur dan Cin Eng sibuk membersihkan sisa pesta, sedangkan Bu Beng yang diharuskan tidur bersama suhengnya, tidak pergi ke kamar itu tapi lalu keluar seorang diri membawa sulingnya. Ketika hendak keluar dari rumah itu ia bertemu dengan Cin Eng. Mereka saling pandang dan gadis itu tertunduk lebih dulu.

“Nona, kalau suheng mencariku tolong beritahu bahwa aku hendak pergi mencari hawa sejuk di hutan.”

Cin Eng hanya mengangguk tapi diam-diam ia mengerling karena mendengar suara Bu Beng yang terdengar parau seperti suara orang bersedih.

Setelah tiba di hutan, Bu Beng jatuhkan diri diatas rumput hijau dengan hati sedih. “Aku tak dapat kawin, tak mungkin…” keluhnya. Tapi tiada seorangpun mendengar keluhan itu, hanya angin malam saja berbisik diantara daun-daun seakan-akan menjawab keluhannya itu.

“Aku seorang diri di dunia ini, sebatang kara, miskin dan sengsara. Kalau Cin Eng menjadi isteriku, apakah ia juga harus hidup sengsara seperti aku? Ah, tidak, kasihan kalau ia hidup tak tentu tempat tingal seperti aku ini. Pula, aku belum tahu siapa orang tuaku, dimana tempat makamnya dan belum dapat membalas sakit hati mereka. Beban yang sudah berat ini apakah hendak kutambah pula dengan merusak dan membikin sengsara gadis yang kucinta sepenuh jiwa ini? tidak... tidak.”

Bu Beng berdongak memandang Dewi Malam yang pada saat itu tengah tersenyum simpul diantara gulungan awan. Ia bangun dan duduk tanpa pedulikan pakaiannya yang menjadi basah karena ruput. Setelah duduk melamun beberapa lama, ia mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan mulai meniup suling itu dalam lagu merayu dan sedih, Bu Beng memang ahli dalam main suling, ditambah pula perasaannya sedang perih oleh rasa duka, maka suara sulingnya menjadi halus dan penuh getaran jiwanya, seakan-akan merupakan jeritan bathinnya minta perlindungan dan pembelaan Tuhan. Tiba-tiba terdengar suara lemah dibelakangnya,

“Koko…”

Bu Beng yang sedang tenggelam di dalam suara sulingnya yang dimainkan sepenuh jiwa dan hatinya, tak mendengar suara ini tapi terus menyuling dengan asyiknya. Lambat laun suara sulingnya merendah dan perlahan-lahan berhenti. Kedua lengannya terkulai dan sulingnya terpegang dalam tangan kanan yang gemetar.

“Kokoo…“ suara ini terdengar halus dibarengi isak.

Bu Beng segera sadar dari lamunannya dan sulingnya jatuh terlepas dari tangannya. Ia berdiri dan menengok ke belakang. Di depannya berdiri Cin Eng yang dalam pakaian putihnya tersinar bulan purnama merupakan dewi yang baru turun dari kayangan. Bu Beng memandang kagum dan perlahan-lahan ia bertindak maju.

“Moi-moi…“ katanya berbisik dan Cin Eng tundukan kepala.

Sebetulnya Bu Beng masih ragu-ragu untuk menyebut 'adik' pada gadis itu, tapi karena mendengar gadis itu menyebutnya 'kanda', ia jadi berani merobah sebutan 'nona' menjadi 'dinda'.

“Adik Eng… mengapa kaupun berada disini?” tanyanya halus.

“Aku… aku… mengapa suara sulingmu demikian sedih, koko?”

Bu Beng menghela napas. “Mungkinkah sulingku dapat terdengar dari rumah?”

“Tidak, koko. Hanya saja, tadi kau bicara dengan suara demikian sedih, maka aku merasa tak enak hati lalu menyusul disini...”

“Duduklah adik Eng,” kata Bu Beng dan mereka duduk diatas rumput hijau yang merupakan permadani indah dimalam terang bulan ini.

“Sebenarnya aku terkenang kepada orang tuaku adik Eng,” katanya dan ia lalu menceritakan riwayat hidupnya yang penuh kepahitan.

Cin Eng mendengar dengan terharu dan tak terasa matanya mengalirkan air mata ketika mendengar betapa Bu Beng sampai lupa akan nama sendiri!

“Jadi itukah yang membuatmu sedih? Kukira…”

“Kau kira apa, adikku?”

“Kukira bahwa kau… tak suka dengan perkawinan kita yang akan datang ini…”

Bu Beng menggerakkan tangan dan pegang tangan Cin Eng. Gadis itu terkejut tapi ia tidak menarik tangannya, hanya membiarkan tangan itu digenggam oleh Bu Beng yang merasa betapa tangan itu bergemetar.

“Jangan sangka yang tidak-tidak, adik Eng. Ketahuilah, ketika suheng majukan usul ini, aku hampir berjingkrak kegirangan karena sesungguhnya semenjak kita berjumpa, aku… aku... suka sekali kepadamu…”

Cin Eng hanya tundukkan kepala.

“Dan kau bagaimana adikku? Sukakah kau akan pilihan ibumu ini?”

Cin Eng mengangkat wajahnya yang jelita memandang mesra, kemudian ia tundukkan kepala sambil berkata lemah.

“Koko, semenjak pertempuran kita tadi, aku terpikat oleh ilmu silatmu dan oleh kesopananmu. Aku sebagai seorang anak yang puthauw tentu saja menurut segala kehendak ibu, dan pilihan ibu… Tentu saja aku setuju sekali…”

“Apakah kalau pilhan ibumu jatuh pada seorang yang kau tidak suka, kau juga akan menurut? Tanya Bu Beng.

Cin Eng gelengkan kepala keras-keras. “Tidak! dalam hal ini biarpun ibu sendiri akan kutentang.”

“Kalau begitu kau suka padaku? Tanya Bu Beng dan pegangan tangannya dipererat.

Cin Eng hanya tunduk. “Entahlah…” kemudian ia berkata.

“Cin Eng adiku, bilanglah terus terang. Cintakah kau padaku? Jawab saja dengan geleng atau angguk.”

Cin Eng mengangkat mukanya dan mengangguk.

“Betul betul kau cinta padaku? Ingat, aku seorang miskin. Lihat saja bajuku, penuh tambalan. Aku hidup sebatang kara, dan ingatlah, bahwa jika kau menjadi istriku, maka kau akan hidup serba kekurangan dan sengsara.”

Cin Eng pandang wajah Bu Beng dengan tajam. “Koko, jangan kau berkata begitu. Kau anggap aku ini gadis apa? Biarpun akan menderita hidup miskin, disampingmu aku akan berbahagia!”

Saking girangnya rasa hati Bu Beng, ia menarik tangan Cin Eng hingga gadis itu tersentak dan jatuh bersandar kedadanya.

“Adikku yang jelita, adikku yang tercinta! Tahukah kau bahwa barusan aku merasa sedih sekali dan bahkan mengambil keputusan untuk tidak kawin denganmu karena takut kalau-kalau kau akan menjadi sengsara? Kini hatiku puas. Aku menjadi berani, karena dengan kau disampingku aku berani menempuh gelombang penderitaan yang bagaimana hebatpun.”

Cin Eng meramkan matanya dan bersandar di dada yang bidang itu dengan hati memukul penuh kebahagiaan. Untuk beberapa lama mereka tenggelam dalam ombak asmara, mabuk alunan mesra. Sengguhpun kedua taruna itu diam saja tak bergerak, yang wanita bersandar ke dada dengan meramkan mata, yang pria duduk memegang kedua lengan dengan berdongak memandang dewi malam yang gemilang, dilamun pikiran penuh keindahan, tiba-tiba Cin Eng tersentak bangun. Ia berdiri memandang Bu Beng dengan mata dibuka lebar lalu berkata hampir berteriak,

“Tidak...! tidak...! Tidak mungkin…!” kemudian sebelum Bu Beng sadar dari terkejutnya gadis itu lari cepat masuk hutan.

“Adik Eng… adik Eng…!‟ Bu Beng loncat mengejar dengan cepat dan sebentar saja gadis itu telah berada dalam pelukannya.

“Adikku sayang… ada apa? Mengapa kau lari? Apa yang kau susahkan?”

Cin Eng menangis sedih dan geleng-gelengkan kepala bagaikan orang gila. Ia berontak-rontak dalam pelukan Bu Beng, tapi pemuda itu tak mau melepaskannya.

“Adik Eng, kalau ada kesukaran, beritahulah aku. Mari kita pecahkan bersama-sama.”

Tapi Cin Eng hanya geleng-geleng kepala dengan sedih. Tiba-tiba Bu Beng lepaskan pelukannya.

“Hm, agaknya ternyata bahwa kau tidak cinta padaku, ya? Memang lebih baik begitu aku orang miskin tak berharga. Nah, aku takkan mencegah dan menahanmu. Kau bebas, biar aku cinta sepenuh hati dan jiwaku padamu tapi aku sebagai orang laki-laki takkan gunakan kekerasan untuk memilikimu.”

Mata Cin Eng terbelalak, ia lalu menangis makin sedih. “Tidak, koko, bukan demikian, kau salah sangka! Dengarlah, koko kita tak mungkin menjadi suami-istri... karena… karena…”

Bu Beng pegang pundaknya. “Karena apa? Siapa yang melarang ? katakanlah... katakanlah!”

“Tidak ada yang melarang, koko… tapi… tapi... Kalau kita kawin, maka… itu berarti aku akan menjadi pembunuh…!”

Bu Beng terkejut dan tak mengerti. “Apa katamu? Pembunuh? Siapa yang akan kau bunuh?”

“Aku akan menjadi pembunuh… anakku…Anak kita…!”

Bu Beng makin heran. Ia mulai bersangsi. Gilakah gadis ini? “Cin Eng tenanglah. Apa maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali. Jelaskanlah dan bicaralah dengan tenang. Kau kan wanita gagah? Mengapa begini lemah?”

“Begini koko” kata Cin Eng setelah susut air matanya, “Sebenarnya aku… aku mempunyai semacam penyakit dalam tubuh… kata ayah dulu, akibat penyakitku ini walaupun tidak mengganggu badanku sendiri, tapi akan merusak anak dalam kandungan. Anak yang kukandung akan dimakan penyakit itu dan akan lahir tak bernyawa lagi…”

Bu Beng terkejut dan untuk sejenak ia berdiri bagaikan patung dengan hati tak karuan rasa. “Tak dapatkah diobati?”

Cin Eng menahan isaknya. “Inilah soalnya yang sukar. Inilah mengapa ibu inginkan mantu yang mempunyai kegagahan diatas dia sendiri. Obat penyakit ini sukar sekali dicarinya. Obat ini hanya jantung seekor ular yang telah bertapa dan mempunyai mustika didalam kepalanya! Nah, bayangkan, betapa sukarnya mencari obat ini!”

Bu Beng benar-benar terpukul hatinya dan ia pandang wajah kekasihnya dengan putus asa. “Dimana… dimanakah orang bisa dapatkan ular demikian itu…?”

Cin Eng melihat wajah pemuda yang suram dan bersedih itu menjadi kasihan, maka buru-buru ia menerangkan. “Koko, dulu pernah ayah dan ibu berdua pergi ke tempat dimana terdapat ular macam itu, tapi ternyata mereka gagal dan bahkan hampir saja ayah dan ibu terbinasa karenanya, karena tempat gua dimana ular itu bersembunyi adalah sangat berbahaya. Biarpun ayah ibu berkepandaian tinggi, mereka tak berdaya. Maka, akhirnya kami putus asa dan aku hidup mengandung kedukaan dan kecemasan. Ibu dan aku sendiri lalu memutuskan bahwa orang yang diterima lamarannya terhadap diriku harus orang yang berkepandaian tinggi dan yang kiranya cukup kuat untuk dapat mencari obat itu.

Bu Beng mengangguk-angguk dan wajahnya menjadi gembira kembali. Ia yakin bahwa ia tentu akan dapat mencari obat itu. Segera ia berkata. “Adikku, tenangkan hatimu. Aku pasti dapat mencari obat itu. Katakanlah dimana tempat itu? Aku akan segera berangkat mencarinya.”

Cin Eng, pegang erat lengan Bu Beng, “Jangan, koko… Jangan…”

“Eh, mengapa jangan?” Tanya Bu Beng heran.

“Tempat itu sangat jauh dan berbahaya. Aku khawatir… kau… kau…!”

“Khawatir aku menemui bahaya? Ah, betapa besar bahayanya membunuh seekor ular? Jangankan baru harus menghadapi ular, biarpun disuruh menghadapi seekor naga sakti sekalipun, demi kebahagianmu, akan kutempuh juga dengan berani.”

Cin Eng sandarkan kepalanya ke dada Bu Beng. “Koko, kau… Kau seorang mulia. Sebenarnya aku akan bahagia sekali dapat hidup bersamamu di dunia ini yang penuh kegetiran ini. Tapi… Kalau kau pergi dan mendapat bencana di tempat berbahaya itu, ah… lalu aku bagaimana koko?” Air matanya menitik turun.

“Jangan khawatir, adikku. Rasa sedih dan doamu akan membuat aku tidak mempan oleh segala bahaya. Aku pasti akan kembali. Katakanlah dimana tempat ular itu?”

“Menurut kata ibu, tempatnya jauh sekali, karena bukan di daratan Tiongkok, tapi disebuah pulau sebelah timur pantai Tiongkok, yaitu di pulau Ang coat ho. Disitu terdapat sebuah gua di dalam gunung dan disitulah telah bertahun-tahun duduk bertapa seekor ular yang besar sekali. Kepalanya mengeluarkan cahaya dan ia berbahaya serta ganas. Hawa dari mulutnya saja dapat membakar kulit kita, kata ibu. Tapi, lebih baik kita tanya ibu, karena ia tentu dapat memberi petunjuk yang lebih nyata lagi.”

Tanpa membuang waktu lagi, Bu Beng menggandeng tangan Cin Eng dan mereka kembali ke kampong. Cin Eng langsung menuju kerumahnya dan Bu Beng duduk bersamadhi di ruang tamu karena untuk tidur sudah kepalang baginya.

Pagi-pagi sebelum fajar menyingsing, Bu Beng segera menjumpai Hun toanio yang ternyata sudah bangun pula. Kim Kong Tianglo juga sudah bagun, maka mereka bertiga bercakap-cakap. Bu Beng langsung ajukan pertanyaan kepada Hun toanio tentang pulau Ang coat ho.

“Ah, kau sudah tahu? Tentu dari Cin Eng! Memang hari ini aku hendak ceritakan padamu, mantuku. Entah dosa apa yang dilakukan oleh ayah atau ibu Cin Eng di waktu mudanya, maka Cin Eng menderita sakit terkutuk itu. Pulau yang kau tanyakan itu terletak di sebelah timur. Aku sendiri tidak tahu jelas. Tapi ada satu jalan yang takkan membawamu tersesat, yahni, dari sini kau menuju ke utara. Terus saja, setelah kira-kira empat lima ratus li, kau akan bertemu dengan sungai besar yang mengalir ke timur. Nah, dari situ kau bisa menggunakan perahu menurut aliran sungai sampai ke laut. Kau harus hati-hati, air sungai itu setelah mendekati laut menjadi sangat besar dan berbahaya. Setelah perahu sampai di permukaan laut, tepat dimana air sungai itu terjun, maka dari situ kau dapat melihat sebuah pulau yang panjang dan kecil bentuknya, agak arah timur laut dan warnanya hitam kehijau-hijauan. Pulau itu mudah dikenal diantara pulau-pulau lain, karena pulau-pulau panjang kecil hanya sebuah itu saja. Nah, dari situ kau dapat berlayar ke pulau itu. Di Ang coat ho terdapat sebuah bukit yang puncaknya meruncing keatas. Kau boleh mendarat disebelah selatan pulau itu dan naik bukit melalui sebuah hutan pohon siong yang terdapat di sebelah selatan bukit. Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya, maka akan sampailah kau di mulut gua ular yang kumaksudkan itu. Nah, disitu kau harus bertindak hati-hati dan segala-galanya terserah kepada pertimbagnan dan kewaspadaanmu sendiri.”

Bu Beng mendengarkan dengan penuh perhatian sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Sute, Hun toanio dan suaminya yang terkenal gagahpun tidak berhasil membunuh ular itu. Kau harus tahu bahwa usahamu kali ini adalah berbahaya sekali dan bukan tidak mungkin jiwamu dalam bahaya pula. Maka, sudah bulat benar-benarkah hatimu untuk pergi kesana?”

Bu Beng memandaang suhengnya dengan sinar mata tetap, “Suheng, kau sendiri yang mengajar padaku supaya menjadi seorang laki-laki jantan dan memegang teguh kepercayaan. Kini, suheng begitu mencinta kepadaku dan mencarikan pasangan hidup. Maka setelah orang menaruh kepercayaan kepadaku sedemikian besarnya hingga rela menjadi istriku, pantaskah kalau aku mundur hanya karena rintangan ini? pantaskah kalau aku menjadi takut untuk berkorban, biar dengan jiwaku sekalipun? Tidak, suheng sendiri tentu akan mencelaku habis-habisan kalau aku mundur dan takut.”

Kim Kong Tianglo berdiri dan memegang pundak sutenya. “Bagus, bagus! Beginilah seharusnya sikap seorang jantan, kau pantas menjadi murid terkasih dari guru kita yang bijaksana. Dan dengan kata -katamu ini terbayanglah betapa besarnya cintamu terhadap calon istrimu. Sayang aku sudah tua dan lemah, sute. Kalau tidak tentu aku akan turut dan membantumu.”

“Terima kasih suheng. Aku tidak berani membawamu kedalam bahaya ini. Pula ini adalah tanggung jawab dan kewajibanku sendiri. Disamping itu, akupun ingin meluaskan pengalaman dan menjelajah tempat-tempat yang asing untuk menambah pengetahuanku.”

“Bilakah! Kapan kau akan berangkat, anakku?” Tanya Hun toanio dengan suara halus dan ramah.

“Sekarang juga, jawab Bu Beng dengan suara tetap.

Hun Gwat Go berteriak memanggil Cin Eng. Baru saja ia menutup mulutnya, gadis itu telah muncul dari pintu karena semenjak tadi telah mendengarkan di balik daun pintu. Sepasang matanya yang bagus itu berwarna kemerah-merahan bekas tangis dan tangannya membawa sebuah bungkusan.

Hun toanio berkata, “Anakku, kokomu hendak berangkat mencari obat untukmu, hayo haturkan selamat jalan!”

Cin Eng tak menjawab tapi menghampri Bu Beng tanpa kata-kata apa-apa hanya mengangsurkan bungkusan itu sambil memandang wajah pemuda itu dengan mata sayu.

“Apakah ini, adik Eng?” Tanya Bu Beng dengan terharu.

“Pakaian dan selimut penahan dingin,” jawab gadis itu perlahan sambil tundukkan kepala, lalu ia membalikkan tubuh lari ke pintu. Tapi setiba di ambang pintu, ia menengok memandang sekilas lagi kepada Bu Beng dan bibirnya berbisik perlahan, “Hati-hatilah koko...“

Hun Gwat Go dan Kim Kong Tianglo ikut terharu melihat perpisahan ini dan diam-diam mereka heran mengapa kedua taruna itu nampak telah demikian mesra seakan-akan sudah tak asing lagi.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Bu Beng berjalan cepat tiada hentinya sehari penuh. Karena daerah yang dilaluinya itu masih asing baginya, maka ia sendiri tidak tahu kemana ia sedang menuju! Ia hanya tahu bahwa ia harus mengambil jalan langsung kearah utara. Maka ia menjadi bingung juga ketika matahari telah tenggelam dan cuaca sudah mulai gelap, masih saja ia belum keluar dari sebuah hutan.

Ketika ia melihat dua ekor burung mendekam diatas dahan pohon yan rendah, maka tiba-tiba ia merasa letih. Tadi semangatnya yang berkobar-kobar hendak lekas-lekas tiba di tempat yang ditujunya membuat ia tak kenal lelah, tapi dua ekor burung yang sedang beristirahat dengan nikmatnya itu membuat kedua kakinya terasa lemas dan tiba-tiba ia ingat pula bahwa sehari itu ia belum makan apa-apa.

Ia pasang mata dan telinga kalau-kalau di dekat situ terdapat rumah makan atau rumah perkampungan. Tapi ternyata hutan itu liar dan hanya penuh dengan pohon-pohon besar. Bu Beng loncat keatas, dari mana ia memandang kesana kemari kalau-kalau ada, tentu ia akan dapat melihat sinar api pelita rumah orang. Betul saja, di jurusan selatan ia melihat sinar api berkelap-kelip. Segera ia meloncat turun dan menuju ke tempat itu.

Ternyata sinar pelita itu keluar dari sebuah pondok kecil yang sederhana. Pintu pondok itu tertutup rapat. Bu Beng maju mengetuk tapi tiada terdengar jawaban. Bu Beng mengetuk lagi sambil memanggil-manggil. Tetap tiada jawaban. Ia menjadi curiga dan segera mengintip dari celah-celah bilik dan daum jendela. Ia melihat rumah itu kosong dan tidak ada penghuninya, tapi diatas meja tampak makanan didalam beberapa buah mangkuk. Dan timbullah seleranya. Tanpa memperdulikan bahwa tindakannya itu tidak sopan, ia gunakan tenaganya untuk mendobrak daun pintu. Ketika ia memasuki rumah itu, bau arak wangi menambah laparnya dan langsung ia menuju ke meja yang penuh makanan itu.

Tiba-tiba terdengar suara dan seperti ada sesuatu bergerak-gerak di ruang sebelah kamar itu. Bu Beng segera berlaku waspada. Sekali meloncat ia lewati pintu tembusan dan berada dalam kamar sebelah itu. Alangkah kagetnya ketika melihat seorang tua rebah di lantai tak berdaya. Ketika ia melihat lebih cermat, ternyata bahwa orang laki-laki tua itu tidak lain adalah Lui Im si Golok Setan, ketua Cung lim pang yang telah ditemuinya di rumah Lim San dulu itu.

Orang tua gagah itu tak berdaya dan Bu Beng maklum Lui Im terkena totokan jari tangan seorang pendekar ulung. Ia segera mengulurkan tangannya dan menggunakan jari tengah untuk memulihkan jalan darah Lui Im. Setelah jalan darahnya baik kembali, Lui Im menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, lalu meloncat berdiri. Ia memandang Bu Beng dan merasa girang bercampur terkejut ketika mengenalnya. Segera ia menjuru.

“Ah, terima kasih, Bu Beng Taihiap. Sungguh hebat totokan yang membuatku tak berdaya tadi sehingga setelah mengumpulkan semangat, aku hanya mampu menggerak -gerakkan kakiku saja untuk menarik perhatian orang. Ternyata yang masuk rumah ini tadi adalah kau sendiri. Syukurlah, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan diriku.”

Bu Beng balas menghormat, “Aku juga girang sekali dapat berjumpa dengan loenghiong disini. Bagaimanakah terjadinya maka loenghiong sampai dalam keadaan begini dan ini rumah siapa?”

Lui Im menghela napas. “Kalau diceritakan, sungguh membuat aku malu. Kali ini hancurlah nama si Golok Setan dan sekaligus tercemar dan hina pulalah nama perkumpulanku,” kemudian ia bercerita...

Jago Pedang Tak Bernama Jilid 02

JAGO PEDANG TAK BERNAMA JILID 02

Bu Beng mendongkol juga melihat lagak lawan, maka ia tidak sungkan-sungkan lagi. Setelah berkata, “Maafkan aku bergerak terlebih dahulu,” ia memajukan kaki menyerang dengan tangan kiri, sedangkan pedang pendek di tangan kanannya masih disembunyikan di belakang lengan.

Si Huncwe Maut mencabut huncwenya dan dengan berseru. “Haya!” ia berkelit ke samping sambil gerakkan kaki. Gerakannya memang lemas sekali, tubuhnya melengkok-lengkok bagaikan tubuh seorang perempuan.

Bu Beng maklum bahwa si kurus itu sengaja berlagak atau sengaja hendak memanaskan hatinya. Tiba-tiba ia ingat bahwa si Huncwe maut adalah seorang ahli totok, maka kalau ia sampai tak dapat menahan perasaannya dan menjadi marah karena diejek itu, berbahaya sekali menghadapi lawan tangguh ini. karena itu, tiba-tiba ia mundur dua langkah an berdiri biasa dengan tubuh tegak, sedangkan kedua matanya menatap lawan bagaikan orang yang sedang nonton sesuatu yang lucu.

“Hei, ayo serang, anakku!” lawannya mengejek, tapi Bu Beng tiba-tiba tertawa geli.

“Ah, aku lebih senang menonton seorang badut yang berlagak,” jawabnya. “Sungguh gerakanmu lucu dan menarik. Biarlah kalau sudah main nanti aku ikut memberi hadiah beberapa potong uang perak.”

Song Leng Ho marah sekali dan tidak dapat menerima hinaan ini. kulit mukanya menjadi merah dan ia hentikan gerakan-gerakannya yang lemah gemulai. “Baiklah kau sendiri yang cari mampus,” katanya, lalu ia menyerang maju dengan hebat. Huncwenya diayun cepat mengarah leher Bu Beng.

Kini Bu Beng-lah yang mempermainkannya. Anak muda itu berkelit ke kiri dan menyampok huncwe itu dengan pedang pendeknya. Ia mendapat kenyataan bahwa tenaganya masih tidak kalah oleh lawannya, karena dalam bentrokan itu ia dapat mengukur tenaga lawan.

Sebaliknya bentrokan itu membuat Song Leng Ho sadar bahwa lawannya yang masih muda itu, selain bertenaga kuat, juga memiliki senjata pusaka, karena tidak sembarangan senjata dapat menahan huncwenya yang terbuat dari baja hitam. Maka ia tidak berani pandang ringan lawannya dan berkelahi dengan hai-hati.

Tapi setelah bergebrak lima enam jurus tahulah Bu Beng bahwa si kurus ini hanya lagaknya saja yang hebat. Tentang kepandaian, hanya sedikit lebih tinggi dari Sim Pangcu, maka ia tidak merasa khawatir dan gunakan kelincahan gerakannya mempermainkan lawan itu sambil berkelit gesit kesana kemari.

Karena ternyata sekian banyak serangan serangannya hanya mengenai angin, Song Leng Ho merasa penasaran dan gemas sekali. Tiba-tiba ia menyerang dengan totokan kearah jalan darah di rusuk kanan Bu Beng dan satu serangan itu dibarengi dengan tendangan maut kearah tubuh lawan!

Dua gerakan dalam serangan maut ini masih ditambah lagi dengan semburan asap hitam penuh racun kearah muka Bu Beng. Ini sungguh merupakan serangan hebat dan nekat. Melihat serangan kejam dan yang semata-mata dilakukan oleh orang yang menghendaki jiwanya, Bu Beng menjadi marah. Ia berseru keras dan menggunakan tenaga dalamnya meniup kearah asap yang menyambar mukanya hingga asap itu buyar dan terbang kembali.

Terhadap serangan huncwe dan tendangan Bu Beng berlaku lebih keras lagi. Ia gunakan pedang pendeknya menyampok dengan sepenuh tenaga sehingga terdengar suara keras dan huncwe itu terlepas dari tangan si Huncwe Maut yang merasa tangannya pedas dan panas, terlempar jauh dan jatuh ke atas lantai mengeluarkan suara berkerontangan, dan Bu Beng miringkan tubuh menghindarkan tendangan, berbareng majukan tangan kiri menghantam dada lawan, Song Leng Ho berteriak ngeri dan tubuhnya terpental ke belakang lalu jatuh berdebukan dengan mata terbalik dan dari mulut mengeluarkan darah!

Hut Bong Hwesio, Pok Thian Beng dan Lui Im yang sejak tadi melihat jalannya pertempuran dengan penuh rasa tegang, ketika melihat Song Lng Ho menggunakan tipu serangan maut tadi telah merasa menyesal dan terkejut sekali, tapi mereka tak sempat mencegah. Kini melihat betapa si Huncwe Maut itu terluka hebat, mereka cemas sekali.

Bu Beng juga merasa menyesal karena ia telah memberi pukulan demikian hebat. Segera ia meloncat mendekati tubuh Song Leng Ho yang terbujur di atas tanah. Ketika ia sedang membungkuk, tiba -tiba dari belakangnya menyambar angin dingin. Ia tahu bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang, tapi tanpa menoleh, ia angkat atangan kiri menyampok. Segera tangannya beradu dengan tangan Hut Bong Hwesio yang sebenarnya salah menyangka ia hendak mencelakakan Song Leng Ho dan turun tangan menceah.

Ketika kedua tangan beradu, Hut Bong Hwesio terhuyung ke belakang tiga tindak. Hwesio itu meramkan mata dan mengatur napas, dan mukanya menjadi merah karena malu ketika melihat betapa pemuda itu menggunakan jari telunjuknya menotok jalan darah hui hing ciat untuk meny embuhkan luka dalam Song Leng Ho yang terpukul olehnya tadi.

Setelah selesai menolong jiwa Song Leng Ho, Bu Beng berdiri memandang penyerangnya tadi. Hut Bong Hwesio rangkapkan kedua tangan lalu menghela napas.

“Ah, sungguh tak tersangka pemuda ini telah memiliki tenaga dan kepandaian sempurna. Pinceng mengaku kalah, harap Bu Beng Taihiap maafkan kesembronoan pinceng tadi.” Kemudian sambil menjuru kepada Sim pangcu, hwesio itu berkata,

“Sim pangcu, pinceng mohon diri, karena pinceng tak dapat membantu. Maafkanlah.”

Tanpa menanti jawab, hwesio itu segera tinggalkan tempat itu dengan tindakan cepat. Lim San yang melihat semua itu, segera maju dan menjuru kepada Sim Pangcu.

“Saudara Sim, aku mohon kau suka habiskan saja pertunjukan-pertunjukan ini. marilah masuk dan minum arak bersama agar hubungan kita baik kembali seperti sedia kala. Janganlah hendaknya soal salah paham kecil ini dijadikan dasar perkelahian yang membahayakan jiwa.”

Sim Boan Lip tersenyum lemah. “Kau benar, saudara Lim. Memang seharusnya kami mengalah karena kau mempunyai pelindung yang demikian gagahnya.” Ia berkata penuh sindiran tajam.

“Mengalah?” seru Sim Tek Hin sambil bertindak maju. “Tidak! Biar bagaimana juga orang tua she Lim harus pegang teguh janjinya. Kalau ayah dan para locianpwe tidak mau membelaku, sepantasnya aku menuntut balas atas penghinaan yang dijatuhkan kepada Song locianpwe! Song locianpwe adalah tamu kita, pembela dan kawan kita, kini setelah ia dihina oleh Bu Beng siauwcut itu, haruskah kalian tinggal peluk tangan belaka? Apakah ini boleh diartikan bahwa ayah dan jiwi cianpwe jerih dan takut padanya?”

Sambil berkata begitu Sim Tek Hin memandang tajam kepada ayahnya dan kepada Pok Thian Beng si Tangan Besi, lalu mengerling kepada Lui Im si Golok Setan.

Panas juga hati Pok Thian Beng mendengar sindiran Sim Tek Hin ini. Maka dengan langkah lebar ia menghampiri Bu Beng yang memandang semua itu dengan berdiri sambil berpeluk tangan.

“Anak muda, telah kulihat bahwa kau memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar. Berilah ketika padaku untuk mencobanya.”

Bu Beng menjuru dengan hormat. “Maaf, loenghiong. Bolehkah saya mengetahui nama dan gelaran loenghiong yang mulia?”

Melihat sikap dan kesopanan anak muda itu, hati Pok Thian Beng telah muali menyesal mengapa ia mudah saja dibakar oleh Sim Tek Hin. Tapi karena sudah terlanjur, ia menjawab juga.

“Aku adalah Pok Thian Beng.”

“Ah, jadi loenghiong adalah si Tangan Besi? Sungguh beruntung saya yang bodoh dapat berjumpa dengan loenghiong yang telah lama kukagumi.” Jawab Bu Beng.

Tapi Pok Thian Beng yang jujur tidak jadi sombong bahwa anak muda itu telah mendengar nama besarnya, bahkan ia khawatir kalau-kalau nama besar itu sebentar lagi akan hancur oleh anak muda yang agaknya baru saja muncul dalam kalangan kang ouw hingga namapun tidak punya!

“Anak muda, kita tak pernah bermusuhan maka marilah kita main-main sebentar, sekadar belajar kenal,” katanya demikian dan Sim Tek Hin yagn mendengar percakapan saling merendah ini menjadi tidak puas.

“Pok loenghiong. Apakah perlunya kita menonjolkan kepandaian? Saya sudah cukup percaya akan kelihaianmu dan haruskah perkenalan ini dikotori oleh adu tenaga? Bantah Bu Beng.

“Hm, hm, Bu Beng Kiamhiap. Agaknya kau jerih terhadap Pok cianpwe, ha ha ha!” Sim Tek Hin mengejeknya.

“Hayo, Bu Beng Taihiap, layanilah aku barang dua tiga jurus. Kalau tidak, maka tentu kau atau aku akan dianggap pengecut.”

Pok Thian Beng mendesak, hingga apa boleh buat Bu Beng siap melayaninya. Tapi karena ia maklum akan ketulusan Pok Thian Beng dan tahu bahwa orang itu hanya menjadi kurban kelicikan keluarga Sim, ia tidak hendak mencelakakan atau membikin malu kepadanya.

“Awas pukulan,” Pok Thian Beng berseru sambil maju menyerang dalam tipu Hong tan tiam cie atau burung Hong pentang sayap langsung memukul kearah iga Bu Beng.

Anak muda itu berkelit dengan gesit, tapi segera datang pula serangan dari si Tangan Besi dengan gerakan Hek houw to sim atau Macan hitam menyambar hati. Bu Beng adlah seorang pemuda yang penuh keinginan meluaskan pengalaman, maka tidak akan puas hatinya kalau belum mencoba sesuatu yang telah didengarnya. Telah lama ia mendengar akan kehebatan lengan tangan Pok Thian Beng yang dijuluki si Tangan besi, maka kini melihat tangan kanan lawan menyambar kearah ulu hatinya, ia segera kumpulkan tenga mengepul tangan dan gunakan tangannya itu memukul kedepan dan memapaki datangnya pukulan lawan.

Si Tangan Besi terkejut melihat kecerobohan lawan yang masih muda ini. Ia tidak mau membikin anak muda itu celaka dan ia yakin bahwa jika mereka beradu tangan, pasti anak muda itu sedikitnya akan terpatah lengnnya. Tapi, karena untuk menarik kembali kepalannya sudah tak sempat lagi, maka ia hanya dapat mengurangi tanaganya dan hanya gunakan setengah saja. Dua kepalan tangan bertemu dan...

“Dukkk!”

Kedua-duanya merasa betapa sebuah tangan besar bertemu dengan tangan masing-masing. Karena si Tangan Besi hanya gunakan setengah tenaganya dan berbareng itu Bu Beng sendiri yang sangat percaya akan tenaga sendiri juga kurangi tenaga pukulannya, maka si Tangan Besi lah yang kalah tenaga dan terhuyung-huyung mundur sampai lima tindak, sedangkan Bu Beng hanya mundur dua tindak.

Pok Thian Beng memandang kagum dan penasaran. Ia si Tangan Besi yang terkenal dan jarang terlawan kekuatannya kini terpukul mundur oleh anak muda ini ? ia menyesal mengapa tadi tidak kerahkan semua tenaganya! Dan masih menganggap bahwa kekalahannya itu karena ia tadi hanya menggunakan setengah tenaga. Maka ia merangsek kembali karena belum puas.

Bu Beng tidak mau dianggap tidak pandang sebelah mata kepada musuh yang dihormati itu, maka iapun balas menyerang. Ketika Bu Beng dengan pukulan Kim liong tam jiauw atau Naga mas mengulur kuku memukul kearah lambung, tibalah giliran si Tangan Besi untuk mengukur tenaga lawan. Ia kerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.

Kembali dua telapak tangan beradu, kini lebih hebat karena Pok Thian Beng gunakan semua tenaga sedangkan Bu Beng juga pusatkan tenaganya di lengan. Akibat tumbukan tenaga itu, Pok Thian Beng rasakan lengannya kesemutan dan Bu Beng juga rasakan kulit tangannya panas. Anak muda itu segera barengi meloncat mundur sambil berkata,

“Pok loenghiong sungguh tidak percuma bergelar Tangan Besi. Siauwte mengaku kalah.” Katanya sambil memberi hormat.

Pok Thian Beng makin kagum melihat kesopanan pemuda itu. Ia tertawa dengan gembira. “Ha ha. Tidak kecewa aku datang kesini dan dapat mengagumi orang muda seperti kau. Tidak malu aku mengaku bahwa kalau kau mau, mudah saja bagimu untuk menjatuhkan aku. Kalau aku mempunyai tangan basi, maka kau mempunyai tangan baja, Bu Beng Kiamhiap!” kemudian kepada Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin ia menjura.

“Terima kasih atas undangan jiwi. Tapi aku yang bodoh dan tidak berguna ternyata tak dapat membantu apa-apa. Terserah kepadamu, jiwi, tapi menurut pendapatku yang bodoh, lebih baik persolan kecil ini dihabiskan saja.”

“Ah, Pok cianpwe mengapa merendahkan nama kita sendiri? Terang sekali Pok cianpwe berlaku mengalah terhadap pemuda sombong ini, tapi mengapa berkata demikian. Pula Lui Im losuhu juga berada disini apakah orang tidak pandang mata kepadanya,‟ berkata Sim Tek Hin.

Mendengar teguran ini, Pok Thian Beng memandang marah. “Hm, bagus, Sim hiante. Jadi undanganmu kepada kami dulu itu hanya untuk mengadu kami dengan orang-orang lain? Jadi hanya untuk memperalat kami. Terimakasih dan sampai jumpa pula.” Sambil berkata begitu, Pok Thian Beng balikkan tubuh hendak meninggalkan empat ini. tapi sekali loncat, Lui Im telah berada di sebelahnya dan pegang lengannya.

“Eh, Pok twako, jangan pergi dulu. Tunggu aku ajar kenal dulu dengan Bu Beng Kiamhiap.”

Si Tangan Besi memandang dan tersenyum lalu duduk di atas sebuah bangku dengan sikap tidak perduli kepada orang she Sim itu. Lui Im yang bertubuh pendek kecil itu segera mendekati Bu Beng.

“Bu Beng Kiamhiap, kau sebagai seorang hohan tentu suka berlaku adil. Kami semua datang kesini dan sudah belajar kenal dengan kelihaianmu, hanya aku seorang yang belum. Maka janganlah bikin aku penasaran dan berilah sedikit pengajaran padaku.”

Bu Beng memberi hormat, “Mana aku yang muda berani memberi pengajaran? Sebaliknya, siauwte masih mengharapkan petunjuk-petunjuk darimu.”

Lui Im cabut golok dari punggungnya dan kelebat-kelebatkan itu beberapa kali. Melihat ini, Bu Beng terkejut.

“Bukankah loenghiong ini pangcu dari Cung lim pang yang bernama Lui Im loenghiong?” tanyanya.

Lui Im terkejut juga. Bagaimana pemuda yang tak dikenalnya ini dapat mengenalnya? “Eh, darimana kau tahu nama dan kedudukanku, anak muda?”

Bu Beng memberi hormat. “Maaf, karena siauwte tadi tidak tahu berhadapan dengan siapa. Tidak tahunya berhadapan dengan seorang sahabat baik dari suhengku.”

“Siapa suhengmu itu?‟"

“Suhengku ialah Kim Kong Tianglo dari Liong san.”

Lui Im menggerakkan tangan kanannya dan tiba-tiba goloknya menancap diatas tanah dan gagangnya bergerak-gerak menggetar.

“Kim Kong Tianglo? Kau… sutenya? Aneh. Sungguh aneh! Kemudian ia berdiri termangu-mangu karena sesungguhnya ia pernah mendengar dari Kim Kong Tianglo sendiri bahwa pendeta tua itu mempunyai seorang sute yang gagah, tapi masakan sute itu semuda ini?

Bu Beng mengerti bahwa orang itu ragu-ragu, maka tiba-tiba ia mendapat pikiran untuk menaklukkan orang ini tanpa mengadu kepandaian. Ia berkata,

“Maaf” dan secepat kilat ia loncat menyambar dan tahu-tahu golok yan tertancap di tanah itu telah dicongkel dengan ujung kaki hingga terlempar keatas yang lalu diterima dengan tangan. Kemudian ia mulai bersilat sambil berkata,

“Sebagai sahabat suhengku, tentu loenghiong kenal permainan ini,” lalu diputar-putarnya golok itu dan ia mainkan ilmu golok dari Kim liong pai. Golok itu berubah menjadi sinar putih yang lebar dan yang menyelimuti tubuh anak muda itu. Lui Im berdiri ternganga dan tak disengaja mulutnya berkata memuji.

“Bagus, bagus.”

Setelah Bu Beng berhenti bersilat dan menancapkan kembali golok di tempat tadi, Lui Im menghampirinya dan menpuk-nepuk pundaknya dengan mesra.

“Tidak salah, tidak salah! Kau tentu sute dari Kim Kong, bahkan permainan golokmu lebih hebat dari padanya. Sungguh hebat. Sungguh beruntung kita belum bergebrak, kalau sudah ah tentu aku akan celaka. Ha ha ha!”

Kemudian ia berpaling kepada Pok Thian Beng yang masih duduk. “Saudara Pok, matamu sungguh awas dan mengenal barang baik. Kau benar, kita berdua tak usah mencampuri persoalan tetek bengek ini. Saudara Sim, pandanglah muka kami berdua dan habiskan saja pertempuran ini. mari, saudara Pok, sudah waktunya bagi kita untuk pergi.”

Kedua jagoan tua itu, setelah menjuru kearah Bu Beng dengan kata-kata. “Sampai bertemu lagi,” lalu berjalan cepat tinggalkan tempat itu.

Melihat bahwa ia sendiri berikut keempat kawannya yang diandalkan itu satu demi satu dibikin takluk oleh Bu Beng. Sim pangcu menjadi malu sekali. Ia menjuru kearah Lim San yang sejak tadi melihat pertunjukan-pertunjukan itu dengan penuh kekaguman, sambil berkata,

“Saudara Lim, biarlah kali ini aku mengaku kalah.”

Lim San balas menjuru. “Sim pangcu, kau tidak kalah dariku, maka sudahi sajalah urusan ini dan anggap saja bahwa kita tiada jodoh untuk berbesan. Biarlah kita menjadi sahabat baik.”

Sim pangcu menggoyang-goyang kepala. “Bagaimana juga aku sekawan telah dijatuhkan orang, dan aku harus berusaha mencuci bersih noda memalukan ini.”

Tiba-tiba Bu Beng meloncat kedepannya dan berkata keras dengan suara penuh ejekan. “Ha ha, Sim pangcu ternyata bersikap seperti anak kecil. Kalau sikapmu seperti ini, mana pantas kau menjadi seorang pangcu? Ketahuilah, kau adalah seorang pengecut besar kalau urusan hari ini kau taruh dendam kepada Lim San loenghiong. Kau hanya tujukan kepada orang yang kiranya tak dapat melawanmu agar kau dapat paksakan nafsu jahatmu. Kalau kau memang seorang gagah, lenyapkan semua urusanmu dengan Lim San loenghiong. Jika dalam hatimu masih ada dendam maka dendam itu tidak seharusnya ditujukan kepadanya, tapi seharusnya kepadaku, karena akulah orangnya yang telah menjatuhkan kalian.”

“Bu Beng! Jangan kau sombong” teriak Sim pangcu sambil kertak giginya karena marah dan gemas. “Siapa yang taruh hati dendam kepada Lim enghiong? Puteraku ditampik adalah soal kecil. Masih banyak gadis lain di dunia ini. Dendam hatiku memang ditujukan padamu. Maka ingatlah pada suatu hari aku pasti akan mencarimu dan menagih hutang!” sehabis berkata demikian, Sim Pangcu segera mengambil langkah lebar dengan diikuti Sim Tek Hin yang berjalan dengan tunduk.

Lim San maklum bahwa ucapan sombong yang dikeluarkan oleh Bu Beng itu memang disengaja untuk memindahkan rasa dendam di hati pangcu itu dari Lim San kepada Bu Beng. Maka makin bertambahlah rasa terima kasihnya kepada pemuda itu. Namun Bu Beng tak memberi kesempatan kepada orang untuk menyatakan terima kasih, karena setelah menjuru ia cepat berkelebat dan bayangannya tak tampak lagi. Lim San sekeluarga hanya dapat menarik napas dalam dan geleng-geleng kepala.

********************

Bu Beng secepat terbang kembali ke pondok diatas bukit dan setelah membungkus barang-barangnya yang tak berapa banyak itu di dalam sebuah kain kuning, ia meninggalkan tempat itu dengan bungkusan terikat di punggung untuk melanjutkan perjalanannya merantau setelah berdiam di tempat sunyi itu hampir sebulan lamanya.

Disepanjang jalan tak habis-habisnya Bu Beng melakukan kewajibannya sebagai seorang pendekar, menolong yang lemah tertindas dan membasmi yang kuat sewenang-wenang. Tak heran nama Bu Beng Kiamhiap makin terkenal, ditakuti lawan diindahkan kawan.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bu Beng telah berjalan kaki seorang diri dalam sebuah hutan di kaki bukit Lun ma san. Di kaki bukit Lun ma san terdapat beberapa kampong kecil dengan penduduk terdiri dari kaum petani. Tapi karena bukit itu mengandung tanah kapur, pertanian disitu tidak dapat subur. Maka disamping bertani, penduduk disitu menambah penghasilan dengan menjual hasil hutan dan kapur yang memang banyak terdapat disitu. Di beberapa hutan terdapat kayu besi yang hitam membaja dan banyak disukai oleh orang-orang kota untuk membuat bangunan karena kayu itu kerasnya bagaikan besi saja.

Ketika enak berjalan, tiba-tiba Bu Beng mendengar sura kanak-kanak yang tertawa-tawa dengan riangnya. Suara tawa anak-anak yang wajar ini membuat Bu Beng sadar dari lamunannya, karena sesungguhnya semenjak tadi Bu Beng melamun walaupun kedua kakinya berjalan maju. Ia merasa seakan-akan suara tawa riang dan bening itu merupakan cahaya dan membuatnya gembira sekali. Dengan cepat ia menuju kearah datangnya suara itu.

Ternyata olehnya bahwa yang tertawa-tawa gembira adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan berusia kurang lebih enam tahun. Mereka sambil tertawa mengejar seekor kelinci yang lari kesana kemari dengan gesitnya. Tapi kedua anak itu lebih gesit, seorang mencegat disana, seorang pula mencegat disini, hingga akhirnya binatang berbulu putih itu kelelahan dan hanya mendekam di tengah-tengah sambil terengah engah dan tubuhnya menggil seakan-akan kedinginan. Sepasang telinganya yang panjang bergerak-gerak kebawah keatas dengan lucunya.

Bu Beng heran dan kagum melihat gerakan kedua anak itu. Jelas baginya bahwa kedua anak itu mempunyai gerakan yang terlatih dan pasti mereka adalah murid-murid seorang ahli silat yang pandai. Tiba-tiba anak perempuan itu meloncat dan tangannya menyambat. Sambil tertawa girang ia melihat betapa kelinci itu bergerak-gerak hendak meloloskan diri, tapi percuma karena tangan kecil yang memegang kedua telinganya itu kuat sekali hingga ia hanya dapat menggerak-gerakkan kedua kakinya yang tergantung dan kaki depannya bergerak-gerak seakan-akan orang main silat.

“Cin Lan, lepaskan ia, kasihan. Telinganya tentu sakit kau gantung demikian rupa,” tegur anak laki -laki itu.

“Mengapa kasihan? Tampaknya lucu!” jawab anak yang perempuan, “Biar kubawa pulang, kuberikan pada twaci agar dimasak. Hm, alangkah sedapnya nanti.”

“Jangan, Cin Lan. Kasihan dia. Aku tak suka daging kelinci. Lihat itu matanya seperti matamu. Sebentar lagi ia menangis.”

Digoda demikian, si gadis kecil melempar kelinci itu ke tengah gerombolan pohon kecil. Binatang itu segera lari cepat dan menghilang dibawah rumput alang-alang. Anak perempuan itu dengan muka merah menghadapi kakaknya.

“Kau ini bisanya menggoda saja. Awas nanti kuberitahukan cici agar kau dijewer sampai merah biru telingamu.”

“Sudahlah jangan marah. Lebih baik kita berlatih karena kalau cici datang melihat kita belum latihan, barangkali telinga kita berdua akan dijewer sampai putus. Kau tahu, bagaimana halusnya tangan cici, kalau sudah menjewer telinga ampun sakitnya bukan main.”

“Baiklah, Han ko tapi kau jangan nakal lagi. Mari kita latih pelajaran kemarin. Gerakan jurus keempat masih terasa sukar bagiku.”

Semenjak tadi Bu Beng mengintai dari belakang pohon dengan hati gembira. Ia suka sekali kepada kedua anak kecil yang mungil itu. Yang laki-laki cakap berwajah tampan, daun telinganya lebar dan matanya bersinar, tapi bibir dan pandangan matanya memperlihatkan kesabaran dan kebijaksanaan. Terang bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang mulia dan bijaksana.

Anak perempuan yang dipanggil Cin Lan itupun mungil sekali. Wajahnya cantik jelita dengan mata yang lebar, jika ketawa nampak dua lekuk manis di kanan kiri mulutnya. Tapi menurut pandangan Bu Beng, pandangan mata anak perempuan itu ketika marah tampak kejam dan jahat, sungguhpun setelah tertawa lenyaplah sifat itu dan terganti sifat yang halus menyenangkan.

Kini setelah melihat kedua anak itu bertanding main silat terkejutlah Bu Beng. Karena ternyata kedua anak itu mainkan tipu-tipu gerakan dari Kim liong pai! Murid siapakah kedua anak ini? Demikian Bu Beng tak habis terheran-heran. Kalau murid dari cabangnya yang mengajar kedua anak itu, mengapa gerakannya demikian kacau? Tipu-tipu gerakan ini walaupun banyak mengambil dari Kim liong pai, tapi harus diakui ada bedanya, atau beda dalam variasinya. Karena heran dan ingin sekali tahu, Bu Beng menghampiri mereka.

Dua anak itu berhenti main silat dan memandang Bu Beng dengan curiga. Pakaian Bu Beng memang dapat mencurigakan hati kanak-kanak, karena pakaian warna kuning itu sudah bertambal sana sini bahkan di bagian pundak kiri robek belum ditambal hingga nampak kulit pundaknya yang putih dengan tulang pundak menonjol.

“Anak baik, siapakah guru kalian? Bagus sekali permainanmu,” Tanya Bu Beng ramah.

Tapi anak perempuan itu segera mundur dan berbisik kepada kakaknya. “Han ko, hati-hati, ini tentu sebangsa penjahat seperti yang diceritakan cici.”

Bu Beng tertawa geli mendengar ini. “Eh aku bukan penjahat. Aku suka sekali melihat permainan silatmu tadi. Tapi ada beberapa bagian yang kaku dan salah. Tadi ketika kau mainkan tipu naga mas memburu mustika kaki kirimu salah duduknya, seharusnya agak ditarik serong ke kiri,” katanya kepada anak perempuan itu.

Kemudian ia berkata kepada anak laki-laki yang memandangnya dengan mata tajam. “Dan kau, siauw ko ketika kau menangkis dengan Naga Mas Sabetkan Ekor tadi, tangan kirimu yang menganggur seharusnya dikerjakan untuk balas menyerang dengan tipu Naga Mas Leletkan Lidah karena kedudukan lawanmu kosong bagian pinggang kanan.”

“Eh, orang kuarang ajar!” tiba-tiba gadis kecil itu mendamprat, “Kau lancang sekali berani mencela ilmu silat kami yang diturunkan oleh cici!”

Bu Beng ketawa gembira melihat kelincahan dan kegalakan nona cilik itu. “Oh, jadi kalian diberi pelajaran oleh cici kalian sendiri?”

“Apa kau berani bilang bahwa twaci kami salah pula dalam memberi pelajaran?” Tanya anak laki -laki itu penasaran.

“Memang salah. Kalau cicimu yang mengajar, maka ia juga salah.”

“Hm, sonbong benar kau! twaci mendapat pelajaran dari supek, apakah kalau begitu supek juga salah?” Tanya anak perempuan itu.

Bu Beng mengangguk sambil tersenyum. “kalau memang begini cara mengajarnya, supekmu itu juga salah!”

“Kurang ajar!” gadis kecil itu berteriak marah dan dengan cepat ia layangkan kepalannya yang kecil memukul perut Bu Beng.

Bu Beng tertawa geli dan timbul kegembiraannya. “Baik, baik mari berlatih agar dapat kemajuan.” Ia berkelit sambil berkata, “Nah, ini kelitan Naga Mas Putar tubuh.”

Anak laki-laki ketika melihat adiknya menyerang segera ikut membantu dan sebentar kemudian Bu Beng sikeroyok oleh kedua anak itu. Bu Beng sambil berkelit dengan mulut tersenyum gembira selalu memberi petunjuk. Ia sebutkan kesalahan-kesalahan gerakan anak-anak itu dan sebutkan nama gerakannya sendiri sambil mengelak atau menangkis perlahan.

Ternyata kedua anak itu bersemangat besar karena biarpun sudah merasa lelah, namun masih saja mendesak. Disamping menyerang, merekapun perhatikan petunjuk-petunjuk dari Bu Beng dan dasar otak mereka berdua cerdik merekan seakan-akan terbuka mata mereka dan dapat menangkap kesalahan-kesalahan sendiri.

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring. “He, orang kasar darimana berani mengganggu kedua adikku?”

Mendengar seruan ini Bu Beng meloncat mundur dua kali dan memandang. Ia tertegun dan untuk sejenak seakan-akan napasnya berhenti. Bu beng bukanlah seorang pemuda yang mudah saja terpesona oleh paras cantik. Tapi ketika matanya memandang gadis berpakaian putih yang berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang dan matanya bercahaya tajam dan marah itu, ia rasakan semangatnya melayang-layang.

Wajah dan potongan tubuh gadis itu menarik hatinya benar dan diam-diam ia bandingkan gadis itu dengan gadis yang selalu memenuhi alam mimpinya. Karena sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun, sebagai seorang pemuda yang sehat, sering kali Bu Beng mengenangkan dan mimpikan seorang gadis yang sesuai dan cocok dengan selera hatinya. Dan gadis ini mememnuhi segala-galanya.

Gadis itu berusia paling banyak sembilan belas tahun, tubuhnya ramping padat, sepasang matanya merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung mulutnya kecil dengan bibir bagaikan gendewa terpentang dan berwarna merah, rambutnya terurai ke belakang dan diikat dengan kain putih, sebagian rambut terurai kejidat menambah kemanisannya. Baju dan celana putih dari kain kasar dan sepatu putih pula menutupi tubuhnya. Sungguhpun ia berdandan sederhana sekali namun kesederhanaannya ini bahkan menonjolkan kejelitaan yang asli.

Karena orang yang ditegurnya dari tadi bengong saja sambil memandang bagikan patung hidup, gadis itu merasa malu dan wajahnya menjadi merah. Ia marah sekali melihat kekurang ajaran orang.

“He, bangsat! Ada apa kau pandang orang saja dan tak menjawab kata-kataku. Apakah kesalahan kedua adikku ini hingga kau seorang dewasa sampai mengajak mereka berkelahi? Pengecut besar, tidak malu berkelahi dengan anak-anak kecil.”

Bu Beng makin kagum, karena setelah marah, ternyata wajah itu makin cantik saja. Tapi kata-kata yang pedas itu membuatnya sadar. Segera ia rangkapkan tangan memberi hormat.

“Siocia, maafkan aku seorang perantauan yang tak tahu adab. Harap jangan salah sangka, kedua adikmu tadi bukan sedang berkelahi dengan aku, tapi kami bertiga hanya sedang main-main dan berlatih saja.”

Gadis itu memandang adik perempuannya. “Cin Lan, benarkan kalian tidak berkelahi tadi!”

Dengan keringat di sekujur badan dan napas masih terengah-engah, Cin Lan menjebikan bibir kearah Bu Beng dan berkata. “Siapa yang main-main? Coba cici lihat, apakah aku kelihatan seperti orang main-main? Keringatku sampai membasahi semua pakaian, dan lihat Han ko itu, ia masih terengah-engah kelelahan! kalau cici tidak keburu datang memisah, sekarang kami berdua tentu telah dapat menggebuk mampus padanya!”

“Huh!” gadis itu menegur, tapi mau tak mau ia terpaksa bersenyum mendengar kejumawaan adiknya itu.

“Sungguh bukan maksudku mengajak mereka berkelahi nona. Coba kau tanya siauw ko ini benar-benarkah kami tadi berkelahi?”

Anak laki-laki itu memandang cicinya dengan matanya yang jujur dan berkata ragu-ragu. “Aku sendiri tidak tahu, tapi dia ini memberi petunjuk-petunjuk dan membetulkan kesalahan-kesalahan gerakan kami.”

“Membetulkan kesalahan gerakanmu?” cicinya bertanya heran.

“Ya, ci, bahkan kau sendiri juga dicelanya, juga supek dikatakannya salah mengajar!” kata nona cilik yang nakal itu.

“Apa katamu?‟ gadis itu memandang marah kepada Bu Beng.

“Ah, bukan begitu maksudku, nona…” membela Bu Beng.

“Jangan banyak cakap. Kalau kau ada kepandaian dan dapat mencela ilmu silatku, cobalah kau terima dan sambut seranganku ini!”

Bu Beng hendak membantah, tapi gadis baju putih itu tak memberi kesempatan padanya untuk bicara, langsung maju menyerang secepat kilat. Pukulannya selain cepat juga berat dan antep sekali hingga Bu Beng buru-buru berkelit. Dalam gerakan-gerakan pertama gadis itu gunakan ilmu silat Kim liong pai hingga ia makin heran. Ternyata gadis itu walaupun gerakannya gesit dan tenaganya besar, juga membuat kesalahan - kesalahan dalam gerakannya atau mungkin juga, ilmu silat Kim liong pai telah tercampur aduk dengan ilmu silat lain yang tidak kalah lihainya.

Menghadapi ilmu silat cabang sendiri, Bu Beng dengan mudah sekali dapat memunahkan setiap serangan. Gadis itu menjadi penasaran dan segera merobah gerakannya. Kini ia menyerang dengan lebih cepat dan tahulah kini Bu Beng bahwa sebenarnya gadis itu mahir sekali ilmu silat Bie jin kun yang gerakan-gerakannya lemas tapi mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Mungkin gadis ini baru sedikit mempelajari ilmu silat Kim liong pai dan kepandaian aslinya ialah Bie jin kun itu.

Karena dalam hal ilmu silat Bu Beng sudah digembleng oleh gurunya dan ia mempelajari pula segala macam ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan inipun ia hanya tersenyum sambil berkelit dengan gesitnya. Tak pernah ia menangkis atau balas menyerang, seakan-akan hatinya tidak tega melukai gadis itu. Diam-diam ia gembira karena iapun ingin sekali menjajal kepandaian gadis itu. Kini ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang lumayan juga.

Gadis baju putih itu ketika menyerang berpuluh jurus tapi belum juga dapat menyentuh ujung baju Bu Beng, dan mendengar sorakan-sorakan adik-adiknya yang memang gemar menonton orang bersilat, dengan dibarengi teriakan-teriakan

“Pukul, ci! Robohkan ia! ah, meleset lagi! Sayang, tidak kena lagi, ci! Hayo pukul roboh!” maka ia menjadi marah dan gemas bukan main. Dengan seruan keras ia cabut sepasang pedangnya yang terselip di punggung dan gunakan siang kiam itu menyerang hebat!.

“Tahan pedangmu, nona. Aku tidak ingin berkelahi,” mencegah Bu Beng.

“Hm, kalau dengan kanak-kanak berani ya? Kalau benar-benar laki-laki keluarkan senjatamu.”

Bu Beng buka kedua lengannya sambil angkat pundak. “Aku tidak ingin berkelahi nona.”

“Jangan banyak cakap. Kalau kau tidak mau melayaniku maka kau akan kuanggap laki-laki pengecut.”

Bu Beng tersenyum. “Kau memaksa nona. Apa boleh buat aku bukan pengecut. Majulah!”

Gadis itu segera buka serangannya dengan gerakan Burung Kepinis Menyambar Ikan. Pedang kanannya menusuk kearah tenggorokan Bu Beng sedangkan pedang kiri terputar mengancam untuk membingungkan lawan. Tapi Bu Beng ganda tertawa saja, dan loncat berkelit. Gadis itu merangsek maju dengan hati panas, dan Bu Beng terpaksa gunakan ilmu ginkangnya yang hebat untuk melayaninya dengan tangan kosong.

Pemuda itu mengandalkan keringan tubuh dan kegesitan gerakannya untuk meloloskan diri dari bayangan pedang. Sebenarnya permainan siang kiam gadis itu hebat dan telengas sekali. Kalau bukan Bu Beng, jangankan bertangan kosong biar bersenjatapun, tidak sembrangan orang dapat menangkan gadis itu. Tapi kali ini ia bertemu dengan Bu Beng Kiamhiap yang tingkatnya masih jauh diatasnya, maka dengan mudah saja ia dipermainkan.

Pada saat itu dari jauh datang berlari seorang wanita tua yang membawa tongkat. Tindakan kakinya ringan dan larinya cepat sekali hingga diam-diam Bu Beng terkejut. Ia melihat orang tua itu duduk diatas sebuah akar pohon di dekat mereka dan diam saja menonton perkelahian itu. Gadis yang menyerangnya dengan sengit itu agaknya tak melihat kedatangan orang tua itu karena gerakannya memang ringan sekali. Tapi kedua anak kecil itu ketika melihat perempuan tua bertongkat tahu-tahu duduk disitu segera lari menghampiri dan memeluknya.

Hati Bu Beng bimbang juga. Ternyata perempuan tua yang berkepandaian tinggi itu masih keluarga mereka. Ah, ia harus menyimpan tenaga untuk menghadapinya jika hal itu terjadi nanti. Pada saat ia berpikir demikian, tiba-tiba gadis baju putih itu menggerakkan kedua pedangnya menusuk dada dengan tipu Wanita Cantik Tawarkan Arak. Sepasang pedangnya yang meluncur ke dada Bu Beng, sebuah ditusukkan dan yang satu lagi dibacokkan kebawah!.

Menghadapi serangan ini, Bu Beng berlaku cepat. Tubuhnya berkelit kesamping dan sekali menggerakkan tangan kearah pergelangan gadis itu, sekejap kemudian pedang kanan gadis itu pindah tangan!

“Bagus, bagus!” terdengan wanita tua itu memuji.

Tapi gadis itu menjadi penasaran sekali. Dengan nekat ia gunakan sebilah pedangnya untuk menyerang kembali. Bu Beng menggunakan pedang yang dirampasnya untuk menangkis dengan main mundur. Tiba-tiba sebuah sinar hitam menyela diantara mereka dengan membawa angin keras dibarengi bentakan orang.

“Cin Eng, mundurlah. Seharusnya kau tahu diri dan tidak berlaku nekat!”

Mendengar bentakan ini, gadis itu berloncat mundur dan berdiri dengan tunduk dan wajah merah. Melihat keadaannya itu, timbul rasa iba di hati Bu Beng, maka segera ia maju menghampiri dan memberi hormat, lalu sambil mengangsurkan pedang yang dirampasnya kepada pemiliknya, ia berkata halus,

“Nona, maafkan aku yang rendah telah berlaku kurang ajar. Terimalah pedangmu kembali, nona.”

Cin Eng mengangkat kepala memandangnya, tapi ia tertunduk kembali dengan muka merah dan mulut cemberut.

“Ha, ha!” wanita tua itu tertawa terkekeh-kekeh. “Cin Eng, orang telah berlaku mengalah dan baik kepadamu, hayo terima kembali pedangmu!”

Dan gadis itu kembali mentaati perintah itu dan terima kembali pedangnya dari tangan Bu Beng tanpa berani memandang pemuda itu.

“Anak muda, kau gagah juga dan kepandaianmu lumayan. Majulah dan coba kau tahan tongkatku yang lapuk ini.”

Bu Beng menjuru hormat. “Aku yang muda mana berani berlaku tidak sopan.”

“Hm, jangan sungkan-sungkan, anak muda. Dengan mudah kau dapat mengalahkan puteriku. Maka, mau tak mau kau harus melayani aku yang tua ini beberapa jurus. Aku hanya ingin mengukur dalamnya kepandaianmu, jangan kau takut. Aku takkan berlaku kejam padamu.”

Panas juga hati Bu Beng karena terang sekali orang memandang ringan kepadanya, bahkan ia disangka takut! Maka ia majukan kaki selangkah dan setelah berkata,

“Maaf,” ia cabut pedang pendeknya yang disembunyikan di belakang punggung dalam bajunya. Pedang pendek ini bukanlah pedang sembarangan. Ia dapat merampasnya dari seorang kepala perampok kenamaan setelah mengadu jiwa mati-matian. Pedang ini disebut Hwee hong kiam dan tajamnya luar biasa serta terbuat daripada logam yang jarang terdapat dan keras melebihi baja tulen. Kalau tidak terpakasa, jarang sekali Bu Beng keluarkan senjata ini. tapi kali ini ia tahu bahwa wanita tua ini bukanlah orang sembarangan dan bahwa tongkatnya itu tentu lihai sekali.

“Ha, bagus! Nah sambutlah tongkatku!” wanita tua itu tak sungkan lagi maju menyerang. Tongkatnya yang berwarna hitam menyambar berat mendatangkan angin dingin.

Bu Beng gunakan pedangnya menangkis dan merasa betapa berat tenaga dalam wanita tua itu. Namun wanita itupun diam-diam terkejut karena anak muda itu ternyata bertenaga tidak lebih bawah darinya. Wanita itu gunakan tipu-tipu ilmu toya Siauw lim si yang hebat dicampur dengan gerakan ilmu golok Kun lun. Biarpun ia mempunyai ilmu silat yang hebat sekali dan pengalamannya yang berpuluh tahun itu mebuat gerakannya tetap dan kuat, namun baru bergebrak beberapa jurus saja ia merasa heran dan kaget.

Karena ilmu pedang Bu Beng sangat membingungkannya. Bu Beng keluarkan tipu-tipu Kim liong pai yang sudah dikombinasikan sedemikian rupa dengan tipu-tipu Hoa san pai hingga merupakan gerakan-gerakan tersendiri yang sangat lihai dan tak terduga datangnya! Tak heran bahwa sebentar saja perempuan itu terdesak dan hanya dapat menangkis saja.

Pada suatu desakan, Bu Beng menggunakan pedang pendeknya menusuk dada lawan. Tusukan ini cepat sekali, tapi biarpun terdesak, nenek itu masih dapat memutar tongkatnya menangkis pedang yang ujungnya sudah hampir mengenai kulitnya itu. Tak tersangka-sangka Bu Beng cepat sekali merobah arah pedangnya ke kiri dan membabat lengan lawan!

Nenek itu menjerit kaget dan menggunakan jaln satu-satunya yang masih mungkin ia lakukan, yakni melepaskan tongkat dan menggelinding pergi sejauh dua tombak lebih.

Bu Beng rangkapkan kedua tangan. “Maaf, maaf.”

Nenek itu berdiri cepat dengan muka pucat. Ia belum bebas sama sekali dari rasa terkejut. Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan dengan terkekeh-kekeh ia jemput tongkatnya lalu menghampiri Bu Beng.

“Anak muda, kau sungguh gagah perkasa. Ketahuilah, aku adalah Hun Gwat Go yang disebut orang si Tongkat Terbang. Tapi sekarang aku sudah tua hingga tak pandai memainkan tongkat lagi, buktinya dengan begitu saja aku terpaksa melepaskan tongkatku. Hi hi hi!”

Bu Beng tak senang mendengar suara tertawa terkekeh-kekeh ini, tapi karena orang berkata dengan ramah, ia terpaksa tersenyum juga.

“Dan ini adalah Cin Eng, anakku. Kedua anak kecil itu Cin Lan dan Cin Hai. Dan kau sendiri siapakah anak muda?”

“Saya bernama Bu Beng.”

Kedua anak kecil itu tertawa mendengar nama Tak Benama ini dan nenek sendiri memandang heran. Tapi karena Bu Beng memandangnya dengan wajah bersungguh-sungguh dan sinar matanya menyambar tajam, ia tak berani bertanya lagi.

“Bu Beng Taihiap, kami persilakan mampir dipondok kami,” katanya kemudian, “Perkenalan ini harus kita pererat. Sudah lama aku ingin berjumpa dengan seorang hohan di jaman ini. Dan kebetulan ini hari berjumpa dengan kau yang pantas sekali kami hormati.”

Sebenarnya Bu Beng tidak suka mampir, tapi demi melihat kearah Cin Eng yang menggunakan mata burung hongnya memandang dengan tajam padanya, ia menyanggupi dan beramai-ramai mereka menuju ke rumah nenek itu yang berada di sebelah kampong tak jauh dari situ. Ketiak mereka memasuki sebuah rumah pondok besar tapi yang keadaanya miskin, si nenek berkata kedalam rumah.

“Tianglo silakan keluar, ini ada tamu agung datang!” Bu Beng memandang ke pintu tengah dengan tajam dan waspada. Ia tetap belum percaya kepada nenek aneh ini dan siap menghadapi lain lawan. Tapi ketika tampak tubuh seorang pendeta yang tinggi kurus keluar dari pintu itu, ia segera meloncat menghampiri dan memberi hormat.

“Suheng!” katanya heran dan gembira.

“Eh, eh, kau sute? Pantas saja ada orang yang dengan mudah dapat mengetahui kesalahan-kesalahan Cin Lan dan Cin Han, tak tahu kaulah orangnya!”

“Bagaimana suheng dapat tahu?”

Kim Kong Tianglo tertawa lebar. “Kau sangka aku tidak tahu juga bagaimana kau berhasil membuat Hun toanio lepaskan tongkatnya?”

Karena semua pendengarnya merasa heran, Kim Kong Tianglo bercerita bahwa tadi karena khawatir akan keselamatan tuan rumahnya yang lama tidak kembali, ia menyusul ke hutan dan sembunyi sambil menonton pertempuran-pertempuran itu. Hun Gwat Go tertawa dengan suara terkekeh-kekeh yang tak disuka oleh Bu Beng itu, lalu berkata,

“Ha ha ha, kukira siapa, tidak tahunya orang sendiri. Jadi Bu Beng Taihiap ini sute mu sendiri? Ah, aku makin tidak penasaran telah jatuh dalam tangannya.”

Kemudian nenek yang aneh itu setelah perinthakan Cin Eng keluarkan arak, meninggalkan kedua saudara seperguruan itu di ruang tamu.

Setelah berada berdua saja. Bu Beng melampiaskan rasa kangennya dan memeluk suhengnya. Ia memang menganggap suhengnya ini sebagai kakak sendiri. Mereka berbicara asyik sekali dan saling menuturkan pengalaman semenjak berpisah. Kemudian Bu Beng bertanya mengapa Kim Kong Tianglo dapat tinggal di rumah nenek itu.

Kim Kong Tianglo menarik napas dalam dan menuturkan pengalamannya dan keadaaan yang aneh itu. Menurut cerita Kim Kong Tianglo, nenek itu bernama Hun Gwat Go berasal dari Kilam. Sebelum kawin, ia adalah seorang puteri seorang bajak laut yang terkenal kejam. Agaknya adat ayahnya menurun, karena Hun Gwat Go juga beradat jelek sekali, tapi ia sangat cantik hingga menarik banyak rasa cinta pemuda.

Diantaranya terdapat seorang pendekar yang menjalankan tugas menolong sesamanya dengan cara menjadi pencuri budiman. Ia bernama Liu Pa San. Rumah hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar jahat ia santroni dan banyak harta haram ia curi untuk kemudian dibagi-bagikan kepada petani miskin. Karena ia berkepandaian tinggi dan cakap juga, maka pilihan Gwat Go jatuh padanya.

Sebenarnya ketika kawin dengan Gwat Go, Lui Pa San telah menjadi duda dengan seorang perempuan, karena belum lama istrinya meninggal dunia karena sakit. Anak perempuannya itu ialah Cin Eng yang tadi dikagumi oleh Bu Beng.

Dengan Gwat Go. Liu Pa San setelah kawin puluhan tahun, barulah mempunyai anak, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yakni Cin Han dan Cin Lan. Cin Eng mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya, dan biarpun adatnya buruk, namun Gwat Go tidak merupakan seorang ibu tiri yang kejam. Ia sayang Cin Eng seperti anak sendiri, hanya adatnya yang kasar dank eras membuat gadis itu takut padanya. Bahkan ibu tiri inipun mendidik Cin Eng mempunyai kepandaian yang lihai juga.

Kim Kong Tianglo kenal baik dengan Liu Pa San. Beberapa bulan yang lalu, ketika Kim Kong Tianglo sedang merantau di kota Hiebun, pada suatu malam ia mendengar suara ribut-ribut diatas genteng tikoan di kota itu. Ia segera loncat keatas dan melihat betapa Liu Pa San dikeroyok beberapa orang jagoan yang sengaja diundang oleh tikoan itu untuk menjaga harta bendanya. Ternyata diantara jagoan-jagoan terdapat Ngo houw atau lima hariamau dari Tiang san yang terkenal kosen.

Ketika Kim Kong Tianglo tiba di tempat pertempuran. Liu Pa San telah terluka hebat tapi masih melakukan perlawanan dengan gigih. Kim Kong Tianglo berhasil menolong dan membawanya pergi. Tapi malam hari itu juga Liu Pa San si maling budiman menghembuskan napas terakhir dihadapan Kim Kong Tianglo. Hwesio ini terharu sekali karena ia tahu benar akan sepak terjang dan kebaikan hati maling perkasa itu.

Sebelum mati, Liu Pa San meninggalkan permohonan kepadanya untuk mendidik ilmu silat kepada anak-anaknya. Ia minta Kim Kong Tianglo bersumpah untuk memenuhi permohonannya ini, dan sebagai seorang suci dan seorang sahabat baik, hwesio ini tidak tega untuk menolak permintaan seorang yang telah berada diambang pintu kematiannya.

Demikianlah, setelah mengubur jenazah Liu Pa San baik-baik, Kim Kong Tianglo mencari rumah Liu Pa San. Ia sangat kecewa dan tidak senang melihat sikap janda Liu Pa San yaitu Hun Gwat Go, tapi setelah melihat Cin Eng, Cin Han dan Cin Lan, timbul kegembiraannya karena Cin Eng merupakan seorang gadis yang baik hati, sedangkan Cin Han dan Cin Lan mempunyai bakat baik. Semenjak itu ia tinggal di rumah itu untuk memenuhi permintaan mendiang sahabatnya. Rencananya, setelah mendidik Cin Eng beberapa lama, maka gadis itu akan dapat mewakilkan ia mendidik kedua adiknya.

“Sute” berkata Kim Kong Tianglo setelah sudah selesai bercerita, “Umur berapakah kau sekarang?” tiba-tiba saja pertanyaan ini hingga Bu Beng memandang suhengnya dngan heran karena tidak mengerti maksudnya. Tapi ia menjawab juga.

“Dua puluh enam tahun, suheng. Ada apakah?”

Kim Kong Tianglo tertawa. “Tidakkah kau pikir usia sedemikian itu sudah cukup untuk menjadi seorang suami?”

Untuk sejenak Bu Beng memandang muka suhengnya, kemudian ia tunduk dan mukanya menjadi merah. Kim Kong Tianglo tertawa geli melihat laku pemuda itu.

“Sebenarnya memang sukar mendapatkan jodoh yang sesuai, sute. Tapi percayalah, aku adalah seorang yang telah cukup pengalaman, dan menurut penglihatanku, Cin Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, baik mengenai rupa dan tabiatnya maupun mengenai ilmu silatnya. Bagaimana pikiranmu sute, kalau aku berlaku lancang menjadi wakilmu untuk mengajukan lamaran?”

Dengan masih tunduk dan hati berdebar-debar Bu Beng berkata. “Suheng, beribu terima kasih kuhaturkan untuk budi kecintaanmu ini. Memang, bagiku di dunia ini setelah suhu meninggal dunia, hanya suhenglah yang menjadi orang tuaku, saudaraku dan juga guruku. Aku ini orang macam apakah untuk menampik seorang seperti nona Cin Eng itu? Tapi, yang menjadi persoalan ialah, sudikah dia atau ibunya menerima aku orang sebatang kara yang miskin dan hina dina ini menjadi suami dan mantu? Kalau sampai ditolak, aku akan merasa malu dan rendah sekali, suheng. Baiknya janganlah coba-coba, karena sembilan bagian pasti akan ditolak!”

Kim Kong Tianlo berdiri dan menepuk-nepuk pundak sutenya. “Jadi kau suka padanya? Baik, baik, sute. Soal yang lain serahkan saja padaku. Ketahuilah olehmu, Hun Gwat Go pernah menyatakan padaku bahwa ia dan gadisnya itu hanya ingin mendapatkan seorang yang berkepandaian melebihi si gadis sendiri dan melebihi ibunya pula! Dan sekarang kaulah orangnya! Tahukah kau mengapa Hun toanio mengundang kau mampir di rumahnya? Biasanya tidak sembarangan ia mengundang seseorang begitu saja. Tentu ada maksudnya. Ha ha ha!”

Bu Beng hanya menyerahkan saja urusan itu kepada suhengnya dan ketika Kim Kong Tianglo pergi kedalam untuk menjumpai Hun Gwat Go dan membicarakan urusan ini, ia hanya menanti di ruang tam u sambil saban-saban minum araknya untuk memenangkan hatinya yang bergoncang. Ia bangkit dengan segera dan berdebar-debar ketika tak lama kemudian suhengnya balik kembali bersama Hun Gwat Go dengan tersenyum girang.

“Selamat, sute. Kionghi, kionghi,” kata hwesio itu dengan gembira dan wajah berseri-seri. Bu Beng angkat tangan membalas ucapan selamat itu. Setelah Hun wat Go duduk diatas sebuah bangku, Kim Kong Tianglo segera berkata,

“Eh, sute, tunggu apa lagi? Hayo beri hormat kepada gakbomu.”

Dengan muka merah karena malu Bu Beng segera berlutut dan memberi hormat kepada calon ibu mertuanya yang diterima oleh Gwat Go dengan terkekeh-kekeh kegirangan.

“Ah, tercapai kini cita-citaku dan keinginan anakku Cin Eng, dapat seorang mantu yang gagah melebihi ayahnya.”

Sampai disini, tiba-tiba Gwat Go menangis tersedu-sedu dan air mata membasahi kedua pipinya yang kempot karena ia eringat suaminya yang telah mati.

“Kau... kau harus balaskan sakit hati ini…” katanya kepada Bu Beng yang hanya mengangguk sambil tundukkan kepala. Tiba-tiba kegembiraan Gwat Go timbul kembali, ia berkaok memanggil Cin Eng dan ketika gadis itu datang, Bu BEng segera tundukkan kepala lebih dalam dan tak berani berkutik.

Cin Eng berdiri bingung karena melihat wajah ibunya dan gurunya Kim Kong Tianglo tampak berseri-seri gembira. Ia mengerling kearah Bu Beng dan bertambah keheranannya melihat pemuda itu tunduk saja dengan malu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan diam-diam ia dapat menduga hingga tak terasa lagi warna merah menjalar keseluruh muka dan telinganya.

“Ada apa, ibu?” tanyanya.

“Eng, sediakan makanan lezat. Ini hari kita harus berpesta sepuasnya. Tambah lagi arak wangi kepada… gurumu... eh, sekarang kau tak boleh panggil guru lagi, tapi suheng dan beri hormat juga kepada calon suamimu,” berkata demikian ini sambil menunjuk kepada Bu Beng yang makin berdebar dan duduk dengan serba tidak enak.

Cin Eng yang biasanya sangat takut dan taat kepada ibunya, kini terpaksa membangkang. Ia hanya memberi hormat kepada Kim Kong Tianglo saja, sedangkan kepada Bu Beng ketika ia telah berdiri dihadapan pemuda itu yang memandangnya dengan malu, tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan lari masuk sambil gunakan kedua tangan menutupi mukanya! Gwat Go tertawa terkekeh-kekeh dan Kim Kong Tianglo tertawa tergelak-gelak hingga tinggal Bu Beng sendiri yang duduk diam dengan muka merah.

Tak lama kemudian, meraka semua, tak ketinggalan Cin Han dan Cin Lan, menghadapi meja dan makan bersama. Cin Lan yang nakal tiada hentinya menggoda cicinya, karena iapun sudah mendengar perihal pertunangan itu. Beberapa kali ia melirik kerah cicinya dan mengejap-ngejapkan mata sambil menggunakan sumpit menuding kearah Bu Beng, hingga Cin Eng menjadi gemas dan mencubitnya. Cin Lan berteriak.

“Ah, ah, cici nakal sekali, awas nanti kuberitahukan kepada cihu!”

Semua orang tertawa dan Cin Eng makin malu hingga sukar rasanya baginya untuk menelan makanan. Bu Beng juga hampir tak dapat makan karena malu. Sebenarnya didalam hatinya terbit dua macam perasaan pada saat itu. Rasa bahagia dan rasa sedih. Ia merasa girang dan berbahagia sekali karena di dalam hati ia cinta dan kagum kepada Cin Eng. Tapi karena teringat akan kedua orang tuanya yang telah tidak ada, ia menjadi sedih dan merasa bahwa ia benar -benar sebatang kara di dunia ini.

Menurut keputusan perundingan antara Gwat Go dan Kim Kong Tianglo, perkawinan akan dilangsungkan sebulan lagi, yaitu menanti sampai Cin Eng menghabiskan mata perkabungannya atas kematian ayahnya.

Pesta kecil itu berjalan dengan gembira sampai jauh malam dan berakhir dengan mabuknya Kim Kong Tianglo dan Gwat Go yang lalu pergi ke kamar masing-masing. Cin Han dan Cin Lan pergi tidur dan Cin Eng sibuk membersihkan sisa pesta, sedangkan Bu Beng yang diharuskan tidur bersama suhengnya, tidak pergi ke kamar itu tapi lalu keluar seorang diri membawa sulingnya. Ketika hendak keluar dari rumah itu ia bertemu dengan Cin Eng. Mereka saling pandang dan gadis itu tertunduk lebih dulu.

“Nona, kalau suheng mencariku tolong beritahu bahwa aku hendak pergi mencari hawa sejuk di hutan.”

Cin Eng hanya mengangguk tapi diam-diam ia mengerling karena mendengar suara Bu Beng yang terdengar parau seperti suara orang bersedih.

Setelah tiba di hutan, Bu Beng jatuhkan diri diatas rumput hijau dengan hati sedih. “Aku tak dapat kawin, tak mungkin…” keluhnya. Tapi tiada seorangpun mendengar keluhan itu, hanya angin malam saja berbisik diantara daun-daun seakan-akan menjawab keluhannya itu.

“Aku seorang diri di dunia ini, sebatang kara, miskin dan sengsara. Kalau Cin Eng menjadi isteriku, apakah ia juga harus hidup sengsara seperti aku? Ah, tidak, kasihan kalau ia hidup tak tentu tempat tingal seperti aku ini. Pula, aku belum tahu siapa orang tuaku, dimana tempat makamnya dan belum dapat membalas sakit hati mereka. Beban yang sudah berat ini apakah hendak kutambah pula dengan merusak dan membikin sengsara gadis yang kucinta sepenuh jiwa ini? tidak... tidak.”

Bu Beng berdongak memandang Dewi Malam yang pada saat itu tengah tersenyum simpul diantara gulungan awan. Ia bangun dan duduk tanpa pedulikan pakaiannya yang menjadi basah karena ruput. Setelah duduk melamun beberapa lama, ia mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan mulai meniup suling itu dalam lagu merayu dan sedih, Bu Beng memang ahli dalam main suling, ditambah pula perasaannya sedang perih oleh rasa duka, maka suara sulingnya menjadi halus dan penuh getaran jiwanya, seakan-akan merupakan jeritan bathinnya minta perlindungan dan pembelaan Tuhan. Tiba-tiba terdengar suara lemah dibelakangnya,

“Koko…”

Bu Beng yang sedang tenggelam di dalam suara sulingnya yang dimainkan sepenuh jiwa dan hatinya, tak mendengar suara ini tapi terus menyuling dengan asyiknya. Lambat laun suara sulingnya merendah dan perlahan-lahan berhenti. Kedua lengannya terkulai dan sulingnya terpegang dalam tangan kanan yang gemetar.

“Kokoo…“ suara ini terdengar halus dibarengi isak.

Bu Beng segera sadar dari lamunannya dan sulingnya jatuh terlepas dari tangannya. Ia berdiri dan menengok ke belakang. Di depannya berdiri Cin Eng yang dalam pakaian putihnya tersinar bulan purnama merupakan dewi yang baru turun dari kayangan. Bu Beng memandang kagum dan perlahan-lahan ia bertindak maju.

“Moi-moi…“ katanya berbisik dan Cin Eng tundukan kepala.

Sebetulnya Bu Beng masih ragu-ragu untuk menyebut 'adik' pada gadis itu, tapi karena mendengar gadis itu menyebutnya 'kanda', ia jadi berani merobah sebutan 'nona' menjadi 'dinda'.

“Adik Eng… mengapa kaupun berada disini?” tanyanya halus.

“Aku… aku… mengapa suara sulingmu demikian sedih, koko?”

Bu Beng menghela napas. “Mungkinkah sulingku dapat terdengar dari rumah?”

“Tidak, koko. Hanya saja, tadi kau bicara dengan suara demikian sedih, maka aku merasa tak enak hati lalu menyusul disini...”

“Duduklah adik Eng,” kata Bu Beng dan mereka duduk diatas rumput hijau yang merupakan permadani indah dimalam terang bulan ini.

“Sebenarnya aku terkenang kepada orang tuaku adik Eng,” katanya dan ia lalu menceritakan riwayat hidupnya yang penuh kepahitan.

Cin Eng mendengar dengan terharu dan tak terasa matanya mengalirkan air mata ketika mendengar betapa Bu Beng sampai lupa akan nama sendiri!

“Jadi itukah yang membuatmu sedih? Kukira…”

“Kau kira apa, adikku?”

“Kukira bahwa kau… tak suka dengan perkawinan kita yang akan datang ini…”

Bu Beng menggerakkan tangan dan pegang tangan Cin Eng. Gadis itu terkejut tapi ia tidak menarik tangannya, hanya membiarkan tangan itu digenggam oleh Bu Beng yang merasa betapa tangan itu bergemetar.

“Jangan sangka yang tidak-tidak, adik Eng. Ketahuilah, ketika suheng majukan usul ini, aku hampir berjingkrak kegirangan karena sesungguhnya semenjak kita berjumpa, aku… aku... suka sekali kepadamu…”

Cin Eng hanya tundukkan kepala.

“Dan kau bagaimana adikku? Sukakah kau akan pilihan ibumu ini?”

Cin Eng mengangkat wajahnya yang jelita memandang mesra, kemudian ia tundukkan kepala sambil berkata lemah.

“Koko, semenjak pertempuran kita tadi, aku terpikat oleh ilmu silatmu dan oleh kesopananmu. Aku sebagai seorang anak yang puthauw tentu saja menurut segala kehendak ibu, dan pilihan ibu… Tentu saja aku setuju sekali…”

“Apakah kalau pilhan ibumu jatuh pada seorang yang kau tidak suka, kau juga akan menurut? Tanya Bu Beng.

Cin Eng gelengkan kepala keras-keras. “Tidak! dalam hal ini biarpun ibu sendiri akan kutentang.”

“Kalau begitu kau suka padaku? Tanya Bu Beng dan pegangan tangannya dipererat.

Cin Eng hanya tunduk. “Entahlah…” kemudian ia berkata.

“Cin Eng adiku, bilanglah terus terang. Cintakah kau padaku? Jawab saja dengan geleng atau angguk.”

Cin Eng mengangkat mukanya dan mengangguk.

“Betul betul kau cinta padaku? Ingat, aku seorang miskin. Lihat saja bajuku, penuh tambalan. Aku hidup sebatang kara, dan ingatlah, bahwa jika kau menjadi istriku, maka kau akan hidup serba kekurangan dan sengsara.”

Cin Eng pandang wajah Bu Beng dengan tajam. “Koko, jangan kau berkata begitu. Kau anggap aku ini gadis apa? Biarpun akan menderita hidup miskin, disampingmu aku akan berbahagia!”

Saking girangnya rasa hati Bu Beng, ia menarik tangan Cin Eng hingga gadis itu tersentak dan jatuh bersandar kedadanya.

“Adikku yang jelita, adikku yang tercinta! Tahukah kau bahwa barusan aku merasa sedih sekali dan bahkan mengambil keputusan untuk tidak kawin denganmu karena takut kalau-kalau kau akan menjadi sengsara? Kini hatiku puas. Aku menjadi berani, karena dengan kau disampingku aku berani menempuh gelombang penderitaan yang bagaimana hebatpun.”

Cin Eng meramkan matanya dan bersandar di dada yang bidang itu dengan hati memukul penuh kebahagiaan. Untuk beberapa lama mereka tenggelam dalam ombak asmara, mabuk alunan mesra. Sengguhpun kedua taruna itu diam saja tak bergerak, yang wanita bersandar ke dada dengan meramkan mata, yang pria duduk memegang kedua lengan dengan berdongak memandang dewi malam yang gemilang, dilamun pikiran penuh keindahan, tiba-tiba Cin Eng tersentak bangun. Ia berdiri memandang Bu Beng dengan mata dibuka lebar lalu berkata hampir berteriak,

“Tidak...! tidak...! Tidak mungkin…!” kemudian sebelum Bu Beng sadar dari terkejutnya gadis itu lari cepat masuk hutan.

“Adik Eng… adik Eng…!‟ Bu Beng loncat mengejar dengan cepat dan sebentar saja gadis itu telah berada dalam pelukannya.

“Adikku sayang… ada apa? Mengapa kau lari? Apa yang kau susahkan?”

Cin Eng menangis sedih dan geleng-gelengkan kepala bagaikan orang gila. Ia berontak-rontak dalam pelukan Bu Beng, tapi pemuda itu tak mau melepaskannya.

“Adik Eng, kalau ada kesukaran, beritahulah aku. Mari kita pecahkan bersama-sama.”

Tapi Cin Eng hanya geleng-geleng kepala dengan sedih. Tiba-tiba Bu Beng lepaskan pelukannya.

“Hm, agaknya ternyata bahwa kau tidak cinta padaku, ya? Memang lebih baik begitu aku orang miskin tak berharga. Nah, aku takkan mencegah dan menahanmu. Kau bebas, biar aku cinta sepenuh hati dan jiwaku padamu tapi aku sebagai orang laki-laki takkan gunakan kekerasan untuk memilikimu.”

Mata Cin Eng terbelalak, ia lalu menangis makin sedih. “Tidak, koko, bukan demikian, kau salah sangka! Dengarlah, koko kita tak mungkin menjadi suami-istri... karena… karena…”

Bu Beng pegang pundaknya. “Karena apa? Siapa yang melarang ? katakanlah... katakanlah!”

“Tidak ada yang melarang, koko… tapi… tapi... Kalau kita kawin, maka… itu berarti aku akan menjadi pembunuh…!”

Bu Beng terkejut dan tak mengerti. “Apa katamu? Pembunuh? Siapa yang akan kau bunuh?”

“Aku akan menjadi pembunuh… anakku…Anak kita…!”

Bu Beng makin heran. Ia mulai bersangsi. Gilakah gadis ini? “Cin Eng tenanglah. Apa maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali. Jelaskanlah dan bicaralah dengan tenang. Kau kan wanita gagah? Mengapa begini lemah?”

“Begini koko” kata Cin Eng setelah susut air matanya, “Sebenarnya aku… aku mempunyai semacam penyakit dalam tubuh… kata ayah dulu, akibat penyakitku ini walaupun tidak mengganggu badanku sendiri, tapi akan merusak anak dalam kandungan. Anak yang kukandung akan dimakan penyakit itu dan akan lahir tak bernyawa lagi…”

Bu Beng terkejut dan untuk sejenak ia berdiri bagaikan patung dengan hati tak karuan rasa. “Tak dapatkah diobati?”

Cin Eng menahan isaknya. “Inilah soalnya yang sukar. Inilah mengapa ibu inginkan mantu yang mempunyai kegagahan diatas dia sendiri. Obat penyakit ini sukar sekali dicarinya. Obat ini hanya jantung seekor ular yang telah bertapa dan mempunyai mustika didalam kepalanya! Nah, bayangkan, betapa sukarnya mencari obat ini!”

Bu Beng benar-benar terpukul hatinya dan ia pandang wajah kekasihnya dengan putus asa. “Dimana… dimanakah orang bisa dapatkan ular demikian itu…?”

Cin Eng melihat wajah pemuda yang suram dan bersedih itu menjadi kasihan, maka buru-buru ia menerangkan. “Koko, dulu pernah ayah dan ibu berdua pergi ke tempat dimana terdapat ular macam itu, tapi ternyata mereka gagal dan bahkan hampir saja ayah dan ibu terbinasa karenanya, karena tempat gua dimana ular itu bersembunyi adalah sangat berbahaya. Biarpun ayah ibu berkepandaian tinggi, mereka tak berdaya. Maka, akhirnya kami putus asa dan aku hidup mengandung kedukaan dan kecemasan. Ibu dan aku sendiri lalu memutuskan bahwa orang yang diterima lamarannya terhadap diriku harus orang yang berkepandaian tinggi dan yang kiranya cukup kuat untuk dapat mencari obat itu.

Bu Beng mengangguk-angguk dan wajahnya menjadi gembira kembali. Ia yakin bahwa ia tentu akan dapat mencari obat itu. Segera ia berkata. “Adikku, tenangkan hatimu. Aku pasti dapat mencari obat itu. Katakanlah dimana tempat itu? Aku akan segera berangkat mencarinya.”

Cin Eng, pegang erat lengan Bu Beng, “Jangan, koko… Jangan…”

“Eh, mengapa jangan?” Tanya Bu Beng heran.

“Tempat itu sangat jauh dan berbahaya. Aku khawatir… kau… kau…!”

“Khawatir aku menemui bahaya? Ah, betapa besar bahayanya membunuh seekor ular? Jangankan baru harus menghadapi ular, biarpun disuruh menghadapi seekor naga sakti sekalipun, demi kebahagianmu, akan kutempuh juga dengan berani.”

Cin Eng sandarkan kepalanya ke dada Bu Beng. “Koko, kau… Kau seorang mulia. Sebenarnya aku akan bahagia sekali dapat hidup bersamamu di dunia ini yang penuh kegetiran ini. Tapi… Kalau kau pergi dan mendapat bencana di tempat berbahaya itu, ah… lalu aku bagaimana koko?” Air matanya menitik turun.

“Jangan khawatir, adikku. Rasa sedih dan doamu akan membuat aku tidak mempan oleh segala bahaya. Aku pasti akan kembali. Katakanlah dimana tempat ular itu?”

“Menurut kata ibu, tempatnya jauh sekali, karena bukan di daratan Tiongkok, tapi disebuah pulau sebelah timur pantai Tiongkok, yaitu di pulau Ang coat ho. Disitu terdapat sebuah gua di dalam gunung dan disitulah telah bertahun-tahun duduk bertapa seekor ular yang besar sekali. Kepalanya mengeluarkan cahaya dan ia berbahaya serta ganas. Hawa dari mulutnya saja dapat membakar kulit kita, kata ibu. Tapi, lebih baik kita tanya ibu, karena ia tentu dapat memberi petunjuk yang lebih nyata lagi.”

Tanpa membuang waktu lagi, Bu Beng menggandeng tangan Cin Eng dan mereka kembali ke kampong. Cin Eng langsung menuju kerumahnya dan Bu Beng duduk bersamadhi di ruang tamu karena untuk tidur sudah kepalang baginya.

Pagi-pagi sebelum fajar menyingsing, Bu Beng segera menjumpai Hun toanio yang ternyata sudah bangun pula. Kim Kong Tianglo juga sudah bagun, maka mereka bertiga bercakap-cakap. Bu Beng langsung ajukan pertanyaan kepada Hun toanio tentang pulau Ang coat ho.

“Ah, kau sudah tahu? Tentu dari Cin Eng! Memang hari ini aku hendak ceritakan padamu, mantuku. Entah dosa apa yang dilakukan oleh ayah atau ibu Cin Eng di waktu mudanya, maka Cin Eng menderita sakit terkutuk itu. Pulau yang kau tanyakan itu terletak di sebelah timur. Aku sendiri tidak tahu jelas. Tapi ada satu jalan yang takkan membawamu tersesat, yahni, dari sini kau menuju ke utara. Terus saja, setelah kira-kira empat lima ratus li, kau akan bertemu dengan sungai besar yang mengalir ke timur. Nah, dari situ kau bisa menggunakan perahu menurut aliran sungai sampai ke laut. Kau harus hati-hati, air sungai itu setelah mendekati laut menjadi sangat besar dan berbahaya. Setelah perahu sampai di permukaan laut, tepat dimana air sungai itu terjun, maka dari situ kau dapat melihat sebuah pulau yang panjang dan kecil bentuknya, agak arah timur laut dan warnanya hitam kehijau-hijauan. Pulau itu mudah dikenal diantara pulau-pulau lain, karena pulau-pulau panjang kecil hanya sebuah itu saja. Nah, dari situ kau dapat berlayar ke pulau itu. Di Ang coat ho terdapat sebuah bukit yang puncaknya meruncing keatas. Kau boleh mendarat disebelah selatan pulau itu dan naik bukit melalui sebuah hutan pohon siong yang terdapat di sebelah selatan bukit. Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya, maka akan sampailah kau di mulut gua ular yang kumaksudkan itu. Nah, disitu kau harus bertindak hati-hati dan segala-galanya terserah kepada pertimbagnan dan kewaspadaanmu sendiri.”

Bu Beng mendengarkan dengan penuh perhatian sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Sute, Hun toanio dan suaminya yang terkenal gagahpun tidak berhasil membunuh ular itu. Kau harus tahu bahwa usahamu kali ini adalah berbahaya sekali dan bukan tidak mungkin jiwamu dalam bahaya pula. Maka, sudah bulat benar-benarkah hatimu untuk pergi kesana?”

Bu Beng memandaang suhengnya dengan sinar mata tetap, “Suheng, kau sendiri yang mengajar padaku supaya menjadi seorang laki-laki jantan dan memegang teguh kepercayaan. Kini, suheng begitu mencinta kepadaku dan mencarikan pasangan hidup. Maka setelah orang menaruh kepercayaan kepadaku sedemikian besarnya hingga rela menjadi istriku, pantaskah kalau aku mundur hanya karena rintangan ini? pantaskah kalau aku menjadi takut untuk berkorban, biar dengan jiwaku sekalipun? Tidak, suheng sendiri tentu akan mencelaku habis-habisan kalau aku mundur dan takut.”

Kim Kong Tianglo berdiri dan memegang pundak sutenya. “Bagus, bagus! Beginilah seharusnya sikap seorang jantan, kau pantas menjadi murid terkasih dari guru kita yang bijaksana. Dan dengan kata -katamu ini terbayanglah betapa besarnya cintamu terhadap calon istrimu. Sayang aku sudah tua dan lemah, sute. Kalau tidak tentu aku akan turut dan membantumu.”

“Terima kasih suheng. Aku tidak berani membawamu kedalam bahaya ini. Pula ini adalah tanggung jawab dan kewajibanku sendiri. Disamping itu, akupun ingin meluaskan pengalaman dan menjelajah tempat-tempat yang asing untuk menambah pengetahuanku.”

“Bilakah! Kapan kau akan berangkat, anakku?” Tanya Hun toanio dengan suara halus dan ramah.

“Sekarang juga, jawab Bu Beng dengan suara tetap.

Hun Gwat Go berteriak memanggil Cin Eng. Baru saja ia menutup mulutnya, gadis itu telah muncul dari pintu karena semenjak tadi telah mendengarkan di balik daun pintu. Sepasang matanya yang bagus itu berwarna kemerah-merahan bekas tangis dan tangannya membawa sebuah bungkusan.

Hun toanio berkata, “Anakku, kokomu hendak berangkat mencari obat untukmu, hayo haturkan selamat jalan!”

Cin Eng tak menjawab tapi menghampri Bu Beng tanpa kata-kata apa-apa hanya mengangsurkan bungkusan itu sambil memandang wajah pemuda itu dengan mata sayu.

“Apakah ini, adik Eng?” Tanya Bu Beng dengan terharu.

“Pakaian dan selimut penahan dingin,” jawab gadis itu perlahan sambil tundukkan kepala, lalu ia membalikkan tubuh lari ke pintu. Tapi setiba di ambang pintu, ia menengok memandang sekilas lagi kepada Bu Beng dan bibirnya berbisik perlahan, “Hati-hatilah koko...“

Hun Gwat Go dan Kim Kong Tianglo ikut terharu melihat perpisahan ini dan diam-diam mereka heran mengapa kedua taruna itu nampak telah demikian mesra seakan-akan sudah tak asing lagi.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Bu Beng berjalan cepat tiada hentinya sehari penuh. Karena daerah yang dilaluinya itu masih asing baginya, maka ia sendiri tidak tahu kemana ia sedang menuju! Ia hanya tahu bahwa ia harus mengambil jalan langsung kearah utara. Maka ia menjadi bingung juga ketika matahari telah tenggelam dan cuaca sudah mulai gelap, masih saja ia belum keluar dari sebuah hutan.

Ketika ia melihat dua ekor burung mendekam diatas dahan pohon yan rendah, maka tiba-tiba ia merasa letih. Tadi semangatnya yang berkobar-kobar hendak lekas-lekas tiba di tempat yang ditujunya membuat ia tak kenal lelah, tapi dua ekor burung yang sedang beristirahat dengan nikmatnya itu membuat kedua kakinya terasa lemas dan tiba-tiba ia ingat pula bahwa sehari itu ia belum makan apa-apa.

Ia pasang mata dan telinga kalau-kalau di dekat situ terdapat rumah makan atau rumah perkampungan. Tapi ternyata hutan itu liar dan hanya penuh dengan pohon-pohon besar. Bu Beng loncat keatas, dari mana ia memandang kesana kemari kalau-kalau ada, tentu ia akan dapat melihat sinar api pelita rumah orang. Betul saja, di jurusan selatan ia melihat sinar api berkelap-kelip. Segera ia meloncat turun dan menuju ke tempat itu.

Ternyata sinar pelita itu keluar dari sebuah pondok kecil yang sederhana. Pintu pondok itu tertutup rapat. Bu Beng maju mengetuk tapi tiada terdengar jawaban. Bu Beng mengetuk lagi sambil memanggil-manggil. Tetap tiada jawaban. Ia menjadi curiga dan segera mengintip dari celah-celah bilik dan daum jendela. Ia melihat rumah itu kosong dan tidak ada penghuninya, tapi diatas meja tampak makanan didalam beberapa buah mangkuk. Dan timbullah seleranya. Tanpa memperdulikan bahwa tindakannya itu tidak sopan, ia gunakan tenaganya untuk mendobrak daun pintu. Ketika ia memasuki rumah itu, bau arak wangi menambah laparnya dan langsung ia menuju ke meja yang penuh makanan itu.

Tiba-tiba terdengar suara dan seperti ada sesuatu bergerak-gerak di ruang sebelah kamar itu. Bu Beng segera berlaku waspada. Sekali meloncat ia lewati pintu tembusan dan berada dalam kamar sebelah itu. Alangkah kagetnya ketika melihat seorang tua rebah di lantai tak berdaya. Ketika ia melihat lebih cermat, ternyata bahwa orang laki-laki tua itu tidak lain adalah Lui Im si Golok Setan, ketua Cung lim pang yang telah ditemuinya di rumah Lim San dulu itu.

Orang tua gagah itu tak berdaya dan Bu Beng maklum Lui Im terkena totokan jari tangan seorang pendekar ulung. Ia segera mengulurkan tangannya dan menggunakan jari tengah untuk memulihkan jalan darah Lui Im. Setelah jalan darahnya baik kembali, Lui Im menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, lalu meloncat berdiri. Ia memandang Bu Beng dan merasa girang bercampur terkejut ketika mengenalnya. Segera ia menjuru.

“Ah, terima kasih, Bu Beng Taihiap. Sungguh hebat totokan yang membuatku tak berdaya tadi sehingga setelah mengumpulkan semangat, aku hanya mampu menggerak -gerakkan kakiku saja untuk menarik perhatian orang. Ternyata yang masuk rumah ini tadi adalah kau sendiri. Syukurlah, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan diriku.”

Bu Beng balas menghormat, “Aku juga girang sekali dapat berjumpa dengan loenghiong disini. Bagaimanakah terjadinya maka loenghiong sampai dalam keadaan begini dan ini rumah siapa?”

Lui Im menghela napas. “Kalau diceritakan, sungguh membuat aku malu. Kali ini hancurlah nama si Golok Setan dan sekaligus tercemar dan hina pulalah nama perkumpulanku,” kemudian ia bercerita...