Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kim Mo Siankouw menghampiri Mayang, kemudian mengurut beberapa bagian punggung serta tengkuknya. Gadis itu mengeluh, membuka matanya, melihat ibu dan subo-nya, lalu dia pun merintih dan menangis setelah teringat segalanya.

"Sudahlah, Mayang. Tenangkan hatimu dan mari kita bicara. Hay Hay juga sudah berada di sini," kata ibunya.

Mendengar ini, Mayang bangkit duduk menengok dan begitu melihat Hay Hay, mulutnya bergerak-gerak, bibirnya menggigil dan dia pun kembali menangis. Akan tetapi tangis ini segera ditahannya sehingga dia menangis tanpa suara, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay merasa jantungnya laksana ditusuk-tusuk. Dia merasa iba sekali melihat Mayang, adiknya yang hampir menjadi isterinya tadi.

"Mayang, maafkan aku. Kita sudah menjadi permainan nasib...” katanya lirih, akan tetapi ucapannya ini hanya disambut suara sesenggukan dari Mayang.

"Hay Hay, sekarang kuminta engkau suka berbicara terus terang. Dari manakah engkau mendapatkan benda ini?" tanya ibu Mayang sambil menunjuk dua buah benda perhiasan kumbang merah yang telah diletakkan di atas meja oleh Kim Mo Siankouw.

"Benda itu adalah peninggalan dari ayah kandung saya, yang diberikan kepada mendiang ibu saya."

"Hay Hay, sekarang kita berada di antara orang sendiri. Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebaiknya kalau engkau menceritakan riwayat ibu dan ayahmu, dan sesudah itu akan kuceritakan mengenai diriku dan ayah Mayang. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana sesungguhnya hubungan antara engkau dan Mayang," kata pula ibu Mayang dengan sikapnya yang lembut dan halus.

Kini Mayang juga merasa amat tertarik dan dia sudah mampu menenangkan dirinya. Dia duduk dekat ibunya, memandang kepada Hay Hay dengan wajah pucat dan mata merah.

Hay Hay menghela napas panjang. Apa bila tidak ada urusan yang begini ruwet dengan Mayang, tentu dia tak akan pernah menceritakan riwayat hidup ibunya kepada siapa pun juga. Sekarang dia terpaksa, demi untuk menjernihkan kekeruhan antara dia dan Mayang.

"Terus terang saja, Bibi. Saya sendiri tidak tahu dan tidak mengenal siapa sebenarnya ibu saya. Ketika saya masih bayi, ibu saya membawa saya terjun ke laut untuk membunuh diri! Pada waktu itu Locianpwe Pek Khun, yaitu kakek buyut saudara Pek Han Siong ini melihatnya, lalu cepat menolong ibu dan saya. Akan tetapi ibu tidak tertolong dan tewas, lalu saya yang masih bayi dibawa oleh Locianpwe Pek Khun ke Pek-sim-pang. Kebetulan pada waktu itu saudara Pek Han Siong yang juga sebaya dengan saya perlu diungsikan dan disembunyikan karena dia dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama yang hendak merampasnya karena dia dianggap sebagai calon Dalai Lama. Saudara Han Siong ini lalu disembunyikan dan saya dijadikan penggantinya. Ketika Locianpwe Pek Khun menyelamatkan saya, ibu saya sempat menitipkan benda ini agar diberikan kepada saya. Dalam saat terakhirnya ibu saya bercerita kepada Locianpwe Pek Khun bahwa ibu adalah seorang korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu, yang pernah memberikan tanda perhiasan kumbang merah itu. Demikianlah riwayat ibu saya, Bibi. Saya sendiri tidak mengenal siapa ibu saya. Setelah dewasa, saya baru mengetahui bahwa saya adalah putera Ang-hong-cu, dan saya bahkan pernah melihat kejahatannya! Dia bukan saja penyebab kematian ibu saya, melainkan juga saya melihat sendiri betapa dia telah menodai beberapa orang gadis pendekar. Dia amat jahat dan keji!"

"Hemm, jadi kalau demikian, ketika engkau mengatakan kepada Mayang bahwa engkau akan mencari musuh besarmu yang membunuh ibumu, maka musuh besarmu itu adalah Ang-hong-cu, juga ayah kandungmu?" tanya pula ibu Mayang.

"Benar Bibi. Tadinya semua itu hendak saya rahasiakan dan hanya beberapa orang saja yang mengetahui, termasuk saudara Pek Han Siong ini."

Han Siong mengangguk-angguk. "Ang-hong-cu itu memang sangat jahat dan keji, akan tetapi dia lihai dan juga cerdik dan licik sekali!"

"Hay Hay, tahukah engkau siapa nama ayahmu itu?" tanya pula ibu Mayang.

Hay Hay menggeleng kepalanya. "Dalam pesan terakhir ibu saya, dia hanya mengatakan bahwa ayah itu memiliki nama keluarga Tang."

"Dan dalam penyamarannya, dia memakai nama Han Lojin," sambung Han Siong.

Ibu Mayang mengangguk-angguk. "Aih, aku sendiri juga bersalah dalam hal ini. Pada saat engkau datang bersama Mayang dan mendengar engkau she Tang, lantas melihat wajah serta bentuk tubuhmu, aku sudah terkejut dan terheran. Engkau she Tang, sama dengan she-nya ayah Mayang, dan wajahmu mirip. Akan tetapi aku tidak manyangka sejauh itu. Kalau begitu, engkau memang benar puteranya, Hay Hay. Engkau putera Ang-hong-cu, orang yang kukenal sebagai Tang-kongcu (Tuan Muda Tang), yaitu ayah kandung Mayang. Kalau begitu tidak salah lagi, engkau memang masih kakak beradik dengan Mayang, satu ayah berlainan ibu."

Hay Hay saling pandang dengan Mayang. "Engkau... adikku..." kata Hay Hay perlahan, namun Mayang tidak menjawab dengan kata-kata melainkan dengan linangan air mata.

"Kini dengarkan riwayatku, Hay Hay. Seperti juga engkau, hanya karena timbul peristiwa antara engkau dengan Mayang ini sajalah yang memaksa aku untuk menceritakan riwayat hidupku yang mirip dengan riwayat ibu kandungmu. Tadinya aku sama sekali tak mengira bahwa pemuda yang tampan dan terpelajar itu, yang sikapnya lemah lembut dan halus, yang oleh penduduk dusun kami dikenal sebagai Tang-kongcu yang pandai silat dan juga pandai mengobati orang sakit, sebenarnya adalah seorang penjahat cabul yang berjuluk Ang-hong-cu yang kejam. Aku yang saat itu masih seorang gadis bernama Souli, segera terpikat oleh ketampanan dan rayuan Tang Kongcu sehingga secara tidak tahu malu aku menyerahkan diri dengan harapan akan dikawininya. Namun, sesudah aku mengandung, dia pergi begitu saja dan hanya meninggalkan perhiasan kumbang merah itu. Orang tuaku marah kepadaku, lalu dalam keadaan mengandung aku diusir dari dusun dan tidak diakui lagi. Aku hidup terlunta-lunta, lantas melahirkan Mayang dalam keadaan sengsara sekali. Seperti ibumu, agaknya aku pun akan mati kalau saja tidak ada subo Kim Mo Siankouw ini yang telah menolong kami." Wanita itu menangis dan Mayang merangkul ibunya.

Hay Hay mengepal tinju. "Saya akan mencari Ang-hong-cu sampai dapat, dan dia harus menebus semua dosanya! Bukan saja terhadap ibuku dan terhadap Bibi, akan tetapi juga terhadap entah berapa ratus orang wanita lainnya yang kehidupannya sudah dirusak oleh kejahatan Ang-hong-cu ini!"

"Hay koko, aku ikut denganmu!" Tiba-tiba Mayang berkata, suaranya lantang dan penuh kemarahan. Agaknya gadis ini telah berhasil memulihkan kekuatan batinnya sehingga kini nampak garang.

Semua orang terkejut. Akan tetapi Hay Hay memandang dan wajahnya mulai cerah. Dia gembira melihat gadis itu telah pulih kembali, tidak tenggelam ke dalam kedukaan seperti tadi.

"Adikku Mayang, kenapa engkau hendak ikut dengan aku?" tanyanya.

"Mayang, engkau baru saja mengalami guncangan batin, sebaiknya beristirahat di rumah saja," kata ibunya.

"Ibumu benar, Mayang. Menurut kakakmu, Ang-hong-cu itu sangat lihai sehingga agaknya engkau perlu berlatih keras untuk dapat menandinginya. Biarlah kuajarkan engkau jurus-jurus simpanan agar dapat menandingi Ang-hong-cu,” kata Kim Mo Siankouw.

"Tidak, Hay-koko, Ibu dan Subo! Aku harus ikut! Pertama, orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu, biar pun dia ayah kandungku, akan tetapi dia juga orang yang telah merusak hidup Ibu, hidupku, bahkan kini mendatangkan malapetaka kepada aku dan Hay-ko. Dia harus mati di tanganku! Aku akan membantu Hay-ko menghadapinya! Selain itu, Ibu dan Subo, sesudah terjadi peristiwa ini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini lagi? Semua orang di sekitar daerah ini sudah datang menjadi tamu dan menyaksikan aku menjadi pengantin, minum arak pengantin dan memberi selamat. Kemana aku akan menaruh mukaku ini bila mereka mendengar bahwa pernikahan ini dibatalkan, bahkan aku nyaris menikah dengan kakakku sendiri?" Setelah mengucapkan kalimat terakhir ini, kembali Mayang menangis.

Hay Hay merasa kasihan sekali kepada adiknya itu. Memang dia bisa merasakan hal itu. Sebagai seorang pria tentu dia bebas dari aib. Akan tetapi keadaan hidup seorang wanita mengenai hal yang menyangkut nama, kehormatan yang berhubungan dengan kesusilaan memang sungguh gawat. Begitu mudahnya orang melemparkan aib kepada diri seorang gadis. Wanita akan selalu menjadi sasaran celoteh.

"Kalau subo-mu dan ibumu mengijinkan, sekarang aku tidak merasa berkeberatan untuk mengajakmu, Mayang."

"Terima kasih, Hay-koko, aku memang harus ikut denganmu. Kalau tidak diperkenankan maka aku akan minggat dan mencari sendiri Ang-hong-cu!" kata gadis itu.

Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang bertukar pandang. Mereka sadar bahwa sekarang ini mereka tidak mungkin dapat membujuk atau berkeras. Pula, mereka juga merasa kasihan kepada Mayang. Melihat ibu Mayang menganggukkan kepalanya, Kim Mo Siankouw lalu berkata,

"Baiklah, Mayang. Aku dan ibumu setuju jika engkau pergi bersama Hay Hay, akan tetapi mengingat bahwa engkau akan menghadapi lawan yang sangat lihai maka lebih dulu aku akan mengajarkan jurus-jurus pilihan selama sepuluh hari. Engkau bisa melatihnya dalam perjalanan setelah engkau hafal akan semua gerakannya. Tanpa bekal itu, aku tetap akan merasa khawatir kalau engkau pergi."

Mayang memandang kepada Hay Hay dan suaranya mengandung permohonan ketika dia bertanya. "Hay-ko, maukah engkau menanti sampai sepuluh hari baru kita berangkat?”

Hay Hay tersenyum. Kini dia telah memperoleh kembali ketenangan dan kegembiraannya setelah urusannya dengan Mayang itu bisa diselesaikan tanpa akibat yang menyedihkan. Dia tahu bahwa mulai saat ini mendadak dia mendapatkan seorang adik perempuan yang sangat manja! Karena itu dia mengangguk menyetujui.

Han Siong ikut merasa gembira dan dia menyatakan hal ini dengan ucapan yang disertai senyum dan wajah yang cerah. ”Saya merasa gembira sekali bahwa urusan yang tadinya membuat saya merasa amat khawatir ini telah dapat diselesaikan dengan baik. Saya pun sangat berterima kasih kepada Tuhan yang masih melindungi Hay Hay dan nona Mayang sehingga walau pun mereka telah melaksanakan upacara pernikahan, akan tetapi mereka masih belum menjadi suami isteri dan kini dapat menjadi kakak dan adik secara wajar. Bagaimana pun juga, saya akan ikut memikul dosanya kalau sampai pelanggaran terjadi, karena saya ikut pula membujuk Hay Hay untuk menerima usul perjodohan itu. Sesudah sekarang semuanya beres, saya pun hendak mohon diri, dan saya menghaturkan terima kasih kepada Kim Mo Siankouw atas semua kebaikannya selama saya berada di sini."

"Han Siong, mengapa engkau tergesa-gesa pergi? Hendak ke manakah engkau?" tanya Hay Hay.

"Engkau tahu bahwa aku pun mempunyai perhitungan dengan Ang-hong-cu. Akan tetapi aku akan pulang dahulu ke Kong-goan, ke Pek-sim-pang untuk menemui keluargaku. Mari kita berlomba, siapa yang akan lebih dulu berhasil menangkap Ang-hong-cu, Hay Hay!"

"Bagus!" Hay Hay yang telah mendapatkan kembali kegembiraannya itu segera menerima tantangan itu. "Kita lihat saja nanti. Yang kalah harus menjamu makanan apa saja yang diminta si pemenang dalam rumah makan besar!"

"Baik, Hay Hay. Nah, sekarang aku harus pergi." Han Siong lalu memberi hormat kepada mereka semua dan pergilah dia meninggalkan tempat itu.

Hatinya merasa gembira bukan main. Dia kini merasa bebas seakan-akan semua ikatan pada dirinya telah putus, seolah beban yang selama ini menghimpit hatinya telah tanggal. Pertama, Wakil Dalai Lama sendiri sudah menjanjikan bahwa mulai sekarang tidak akan ada lagi pendeta Lama yang mengganggunya, yang hendak memaksanya turut ke Tibet menjadi Dalai Lama! Ke dua, urusan Hay Hay dengan Mayang sudah dapat diselesaikan dengan baik. Bagaimana pun juga dia turut bertanggung jawab, ikut pula membujuk Hay Hay, bahkan mengancam akan memusuhinya kalau Hay Hay tidak mau berjodoh dengan Mayang!

Dia bergidik membayangkan. Apa bila sampai terlanjur terjadi pelanggaran dan hubungan suami isteri antara dua orang yang masih sedarah itu, tentu dia sendiri merasa berdosa, menyesal bukan main. Dan Hay Hay tentu akan mendapat alasan yang sangat kuat untuk melampiaskan kemarahan kepadanya tanpa dia mampu membela diri.

Hay Hay tentu akan menganggapnya jahat dan mengatakan bahwa dia telah mendorong Pendekar Mata Keranjang itu terjerumus ke dalam lembah kehinaan! Untung juga kedua muda-mudi ini memakai perhiasan kumbang merah itu sebagai kalung!

Kini semua telah lewat dan Han Siong dapat melakukan perjalanan dengan wajah berseri dan hati lapang. Ada sebuah hal lagi yang menggembirakan hatinya. Kegagalan cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian tidak menimpa dirinya sendiri! Kepahitan karena cinta gagal baru saja juga menimpa Hay Hay, bahkan lebih parah dari pada dia. Berarti dia memiliki teman sependeritaan! Hal ini membuat dia kini merasa bertambah dekat dengan Hay Hay! Di dalam kegembiraannya pemuda gemblengan ini lupa bahwa dia sudah menjadi hamba dari pada ke-akuan yang menghinggapi hampir seluruh manusia di permukaan bumi ini.

Pada umumnya, orang yang tengah tertimpa mala petaka, yang tengah merasa sengsara, tengah berduka, akan merasa terhibur dan berkurang kedukaannya jika dia melihat orang lain, terlebih lagi yang dekat dengan dia, tertimpa kemalangan yang lebih besar dari pada kemalangan yang menimpa dirinya sendiri! Orang yang sudah diperbudak ke-akuannya sendiri itu, yang merasa terhibur dan berkurang kedukaannya apa bila melihat orang lain tertimpa kedukaan yang lebih besar, tentu akan merasa tidak senang dan iri hati apa bila melihat orang lain memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pada keuntungan yang diperolehnya sendiri.

Seperti inilah kelemahan manusia yang tercengkeram oleh nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu selalu mendorong kita supaya menjadi yang paling baik, paling besar, paling penting dan tidak kalah oleh orang lain! Berbahagialah orang yang dapat melihat, merasakan, serta menyadari kelemahan yang ada pada dirinya ini. Karena hanya mereka yang waspada dan sadar sajalah dapat melihat ulah nafsu yang ada pada diri sendiri.


cerita silat online karya kho ping hoo

Mereka bertiga berjalan-jalan di puncak bukit yang penuh dengan pohon cemara itu. Pagi itu cerah sekali dan pemandangan alam amatlah indahnya. Matahari pagi telah tersenyum lembut di atas puncak, sinarnya juga lembut dan hangat di antara kesejukan semilir angin gunung.

Aroma rumput dan daun cemara yang khas sungguh nyaman dan harum menyenangkan, keharuman yang lembut sehingga membuat hidung terasa segar dan lega. Kicau burung-burung yang telah sibuk sejak matahari timbul tadi bagaikani ribuan karyawan yang sudah siap melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari pada pagi itu, memulai pekerjaan dengan semangat berkobar dan hati penuh kebahagiaan, merupakan suara yang amat merdu dan gembira, menjadi santapan pagi yang sangat sehat bagi telinga. Betapa nikmatnya hidup kalau pada suatu saat tiga di antara alat panca indriya kita, yaitu mata hidung dan telinga, dapat menikmati keindahan bersama-sama.

Sepasang mata menikmati pemandangan alam yang sangat menakjubkan, penuh pesona dan penuh kegaiban. Hidung menghirup udara yang sejuk segar, jernih dan bersih dengan aroma yang khas alami, membuat udara yang dihisap itu penuh tenaga mukjijat dari alam, memenuhi rongga dada bahkan terus hingga ke bawah pusar. Sungguh menyehatkan dan membahagiakan! Pada saat yang sama telinga mendengar suara yang penuh kedamaian, penuh ketentraman, penuh kewajaran dan keindahan. Betapa nikmatnya hidup!

Dalam keadaan seperti itu hati dan akal pikiran berhenti berceloteh, dan segala sesuatu akan nampak indah. Suara angin bermain dengan daun-daun cemara, suara air gemercik di antara batu-batu, kicau burung, kokok ayam hutan, semua itu merupakan pendengaran yang seolah-olah bunyi-bunyian merdu dari sorga!

Aroma tanah bermandikan embun saja sudah demikian sedap dan harumnya, masuk ke dalam rongga dada melalui hidung, demikian harum menyegarkan! Dan melihat kupu-kupu warna-warni beterbangan di antara bunga-bunga, melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan, bahkan melihat sebutir embun bergantung pada ujung daun, berkilauan tercuci sinar matahari pagi, sudah merupakan penglihatan yang indahnya sulit dilukiskan!

Sayang sungguh sayang sekali bahwa sejak kecil kita sudah dijejali dengan kesenangan-kesenangan pemuas nafsu hingga kita menjadi mabuk. Kesenangan badani yang semu, yang hanya merupakan pelampiasan dari pada hasrat nafsu, membuat kita mabok dan tidak lagi dapat melihat segala keindahan, tidak dapat mendengarkan segala kemerduan dan tidak lagi mampu menghirup segala kesedapan yang segar.

Kita terbuai oleh kesenangan tuntutan nafsu. Hati dan akal pikiran kita selalu berceloteh dan sibuk dengan urusan pengejaran kesenangan nafsu. Kalau pun kadang-kadang kita mampu merasakan keagungan serta keindahan itu, hati dan akal pikiran segera datang mengacau dan seketika lenyaplah semua keindahan itu karena batin ini telah disibukkan kembali dengan urusan kesenangan diri, kesenangan dari pelampiasan nafsu keinginan!

Demikian pula dengan tiga orang yang berjalan-jalan pada pagi hari itu. Tadinya mereka tidak berkata-kata, seperti tenggelam dalam keindahan itu, bahkan mereka merasa sudah bersatu dengan semua keindahan itu, tidak terpisah-pisah. Rasa aman tenteram bahagia, bukan senang, menyelubungi mereka sehingga pada saat seperti itu mereka tak ber-aku, mereka bersatu dengan alam, dengan kekuasaan Tuhan, dengan Tuhan! Mereka berada dalam keadaan semedhi yang sejati, bukan pengosongan diri karena dikehedaki oleh hati dan akal pikiran!

Kekosongan batin yang dikosongkan oleh hati dan akal pikiran adalah kekosongan palsu karena kekosongan itu penuh dengan usaha dari keinginan. Kekosongan berpamrih.

Tiga orang itu bukanlah orang-orang biasa, bukan penghuni pegunungan biasa. Mereka adalah ayah, ibu dan anak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan bisa disejajarkan dengan orang-orang sakti!

Pria itu berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun. Lengan kirinya buntung sebatas siku sehingga ujung lengan baju yang kiri terkulai lemas tanpa isi. Tubuhnya tinggi dan tegap, dibalut pakaian longgar yang mengingatkan orang akan pakaian hwesio (pendeta Buddha) yang berwarna kuning.

Namun kepalanya tidak gundul, melainkan memiliki rambut yang hitam tebal dan panjang, yang digelung ke atas seperti gelung rambut tosu (pendeta agama To). Wajahnya tampan dan jantan, dengan alis tebal dan sepasang matanya mencorong. Sikapnya pendiam dan bahkan dingin. Pria ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang!

Seperti telah kita ketahui, pria ini adalah putera dari mendiang Siangkoan Lojin atau yang di dunia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si lblis Buta. Meski pun kedua matanya buta, namun Siangkoan Lojin ditakuti semua orang karena lihainya dan juga karena kejamnya. Seorang datuk sesat yang namanya tersohor.

Akan tetapi sungguh aneh! Puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, walau pun juga berhati sekeras baja namun tidak mewarisi watak kejam dan jahat seperti ayahnya. Bahkan sejak muda dia selalu menentang kejahatan hingga membuat dia menjadi penentang ayahnya sendiri!

Wanita berusia empat puluh dua tahun di sampingnya itu adalah isterinya, Toan Hui Cu yang masih kelihatan cantik sekali. Walau pun mukanya sedikit pucat, akan tetapi bukan pucat karena sakit. Dan riwayat wanita ini bahkan lebih hebat dari pada riwayat suaminya.

Seperti suaminya, Toan Hui Cu juga adalah keturunan datuk sesat. Bahkan bukan datuk biasa, melainkan rajanya datuk kaum sesat! Meski pun ayah kandungnya masih keluarga kerajaan, berdarah bangsawan tinggi, tetapi ketika masih hidup ayahnya terkenal dengan julukan Raja Iblis, sedangkan ibunya adalah Ratu Iblis!

Ayah dan ibunya mempunyai kepandaian yang membuat mereka itu sakti, dan mengenai kekejaman dan kejahatan, tak ada datuk sesat yang lebih mengerikan dari pada mereka! Anehnya, Toan Hui Cu yang merupakan anak tunggal, seperti juga halnya Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi watak jahat ayah ibunya. Bahkan dia condong berwatak pendekar!

Dua orang dari keturunan tokoh sesat ini saling mencinta, hingga akhirnya nasib membuat mereka berdua itu menjadi murid di kuil Siauw-lim-si, akan tetapi juga menjadi dua orang hukuman karena oleh ketua Siauw-lim-si mereka dianggap melakukan dosa, melanggar kesusilaan karena mereka berdua telah menjadi suami isteri tanpa nikah!

Selama dua puluh tahun mereka harus menjalani hukuman bertapa di kuil itu, akan tetapi justru dalam menjalani hukuman itulah mereka berdua menemukan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan orang-orang sakti yang termasuk Delapan Dewa! Walau pun mereka dihukum dalam ruangan berbeda, dengan ilmu mereka yang tinggi keduanya bisa mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu sehingga keduanya menjadi semakin sakti!

Dari hubungan mereka lantas terlahirlah seorang anak perempuan! Karena mereka dalam keadaan sebagai terhukum, maka terpaksa anak perempuan itu harus mereka titipkan di dusun. Nasib lalu membuat anak itu lenyap terculik, dan setelah dewasa barulah anak itu kembali kepada mereka,.

Orang ke tiga yang sedang berjalan-jalan di pagi hari itulah anak mereka, puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian! Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, bertubuh ramping dengan pinggang yang amat kecil dan dengan kulit yang putih mulus. Rambutnya panjang sampai ke pinggul, hitam mengkilap dan tebal, dan pada pagi hari ini rambut itu dikuncir menjadi dua, dibiarkan tergantung dan kedua ujungnya diikat pita sutera biru.

Bi Lian memiliki mata ayahnya yang mencorong tajam. Hidungnya kecil mancung seperti hidung ibunya, bentuk mulutnya seperti mulut ibunya, hanya bedanya, kalau bibir ibunya selalu terlihat agak pucat seperti wajahnya, bibir Bi Lian selalu terlihat merah membasah. Bentuk mukanya bulat telur dan sebutir tahi lalat di dagunya menjadi pemanis yang amat menarik.

Walau pun ayah dan ibunya amat lihai, tapi karena sejak kecil terpisah dari mereka, gadis ini menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dari dua orang datuk iblis yang amat linai, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua orang di antara Empat Setan.

Di bagian depan cerita ini sudah diceritakan betapa Bi Lian berjumpa dengan murid ayah ibunya, yaitu Pek Han Siong yang oleh ayah ibunya telah diangkat menjadi tunangannya. Han Siong inilah yang membuka rahasianya bahwa dia adalah puteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dan Han Siong pula yang membawanya ke kuil Siauw-lim-si, kemudian menyusul ke tempat tinggal suami isteri itu, yaitu Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) yang terletak di pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur.

Sesudah bertemu, pertemuan yang penuh keharuan dan kebahagiaan, ayah ibu gadis itu memberi tahu tentang ikatan jodoh antara Bi Lian dan Han Siong. Gadis itu menolak! Dia menolak bukan karena dia membenci Han Siong, malah sebaliknya dia amat mengagumi Han Siong dan juga amat menyukainya.

Akan tetapi Bi Lian sudah menganggap Han Siong sebagai suheng (kakak seperguruan) sehingga perubahan yang mendadak itu membuat gadis ini merasa canggung dan salah tingkah. Maka dia menyatakan tidak setuju.

Mendengar ini Han Siong tersinggung, dan dia pun mohon kepada kedua orang gurunya untuk membatalkan ikatan jodoh itu. Dia pun lalu mengembalikan pedang pusaka Kwan-im-kiam yang dulu diterimanya dari kedua orang gurunya sebagai tanda perjodohan.

Demikianlah, setelah Han Siong pergi Bi Lian tinggal bersama ayah dan ibunya. Dan dari kedua orang tuanya itu dia pun menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Dia memilih jurus-jurus simpanan saja sehingga dia yang sudah lihai sebagai murid Pak-kwi-ong (Raja Iblis Utara) dan Tung-hek-kwi (Iblis Hitam Timur) kini menjadi semakin lihai. Pada pagi hari itu ayah ibu dan anak ini tengah berjalan-jalan di puncak menikmati keindahan suasana pagi hari yang cerah itu.

Sejenak mereka bertiga tenggelam dalam keheningan yang indah itu. Bukan hening yang berarti sepi. Puncak-puncak cemara bergoyang, bunyi daun gemersik ditimpa dendang air dan meriahnya suara burung, keharuman yang meriah. Sama sekai tidak sepi, melainkan keheningan yang tercipta ketika hati dan akal pikiran berhenti berceloteh. Sayang sekali, keheningan itu segera dikacaukan oleh pikiran.

Melihat burung terbang berpasangan, Siangkoan Ci Kang menghela napas panjang dan melirik kepada puterinya. Semua keindahan itu lenyaplah sudah, terganti oleh kegelisahan dan kedukaan karena kini batinnya terpenuhi permasalahan mengenai diri puterinya.

Sudah hampir dua bulan puterinya tinggal bersama mereka di Kim-ke-kok, dan selama dua bulan itu dia dan isterinya mengajarkan jurus-jurus rahasia simpanan mereka kepada Bi Lian. Akan tetapi, pada waktu malam apa bila dia berada berdua saja dengan isterinya di dalam kamar mereka, mereka tiada hentinya membicarakan puteri mereka dengan hati yang kecewa dan berduka.

Puteri mereka telah menggagalkan dan bahkan membikin putus ikatan perjodohan antara puteri mereka dan murid mereka, Pek Han Siong. Mereka tidak melihat adanya pemuda lain yang lebih baik dari pada murid mereka itu. Hal inilah yang pada waktu itu menyelinap di dalam pikiran Siangkoan Ci Kang ketika dia melihat burung-burung beterbangan secara berpasangan.

“Lian-ji (anak Lian), tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?'

Bi Lian dan ibunya yang masih tenggelam dalam keheningan, seperti baru terbangun dan Bi Lian menoleh, memandang ayahnya dengan heran. Sungguh dia tak pernah menduga bahwa ayahnya akan mengajukan pertanyaan semacam itu di pagi hari ini. Sejak mendaki puncak itu mereka bertiga tidak pernah berbicara, mereka hanya menikmati suasana yang amat indah itu. Dan tiba-tiba ayahnya bertanya tentang usianya!

"Kalau tidak salah sudah hampir dua puluh satu tahun. Kenapa, Ayah?" jawabnya sambil menatap wajah ayahnya dengan sinar mata bertanya. Ayahnya juga menatap kepadanya sehingga dua pasang mata yang sama mencorongnya itu saling pandang seperti hendak menembus hati masing-masing.

"Tidak mengapa, hanya... kukira bagi seorang wanita usia sedemikian itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang isteri yang baik. Bahkan sudah cukup pula untuk menjadi seorang ibu yang baik. Aihh, betapa inginku menimang seorang bayi, seorang cucuku...!" kata pula Toan Hui Cu sambil menarik napas panjang karena dia sudah membayangkan kesenangan itu.

Bi Lian mengerutkan alisnya, namun dia tidak marah. Dia cukup mengerti akan perasaan hati ayah ibunya yang ingin melihat dia menikah kemudian mempunyai anak!

"Aihhh, Ayah dan Ibu selama dua bulan ini hampir setiap hari bicara tentang pernikahan untukku!" Dia hanya mengeluh, lalu berhenti melangkah.

Ayah dan ibunya juga berhenti. Mereka berada di puncak dan di bawah kaki mereka, di sekeliling puncak itu, nampak hutan dan pohon-pohon kelihatan begitu kecil dan pendek.

"Terus terang saja, anakku, Ayah dan Ibumu hanya memiliki satu keinginan, yaitu melihat engkau berumah tangga. Anak kami hanya engkau seorang dan kelirukah kalau Ayah dan Ibumu ingin melihat anaknya berumah tangga?" kata pula ibu Bi Lian.

Bi Lian mendekati ibunya, lantas merangkul pinggang ibunya. Ibunya masih cantik sekali, bahkan patut kalau menjadi kakaknya.

"Ibu, aku tahu dan aku tidak menyalahkan kalian, hanya saja urusan perjodohan bukanlah urusan yang sedemikian mudahnya. Tak mungkin jika aku secara begitu saja memungut seorang calon suami dari pinggir jalan!"

"Ha-ha-ha!" Siangkoan Ci Kang tertawa. "Tentu saja hal itu tidak mungkin! Engkau harus memperoleh seorang suami yang terbaik, anakku! Dan menurut penglihatan kami, kiranya tidak ada pemuda yang lebih baik dari pada suheng-mu sendiri, Pek Han Siong! Sayang sekali engkau membencinya, Lian-ji."

"Ayah, aku sama sekali tidak membencinya! Bahkan aku kagum dan suka kepadanya!" Bi Lian membantah cepat.

"Hemm, kalau benar demikian, kenapa engkau begitu tega untuk menghancurkan hatinya dengan memutuskan ikatan perjodohan itu? Dari mana lagi kita akan bisa mendapatkan seorang pemuda yang melebihi Han Siong, baik kepandaiannya mau pun wataknya? Dia seorang pendekar sejati, anakku!"

Bi Lian menahan senyumnya dan entah mengapa, pada saat itu terbayanglah wajah Hay Hay yang tersenyum-senyum nakal itu! Dia pun menghela napas.

"Ayah dan Ibu, aku tahu bahwa kalian masih menyesali kegagalan perjodohan antara aku dengan suheng. Maafkan aku. Terus terang saja aku pun kagum dan suka pada suheng Pek Han Siong, akan tetapi rasa sukaku itu hanya sebatas perasaan terhadap seorang suheng. Aku tidak tahu apakah di dalam hatiku ada cinta terhadap suheng. Akan tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa aku tidak yakin akan cintanya kepadaku."

"Ehh? Bukankah dia secara terus terang telah menyatakan cintanya kepadamu, di depan aku dan ibumu? Lian-ji, Han Siong mencintaimu, itu sudah jelas!" kata pula Siangkoan Ci Kang.

"Ayahmu benar, Bi Lian. Han Siong cinta kepadamu dan dia akan menjadi seorang suami yang amat baik, juga ayah yang baik untuk anak-anakmu," kata ibunya.

"Bagaimana Ayah dan Ibu dapat begitu yakin? Ingatlah, ketika suheng mengaku cinta, dia telah terikat perjodohan denganku maka tentu saja dia mengaku cinta, karena kalau tidak, berarti dia akan menghina Ayah dan Ibu dan juga aku! Dia sudah terikat jodoh denganku sebelum dia melihat aku, Ayah dan Ibu. Hal ini harap dipertimbangkan. Andai kata ketika dia mengaku cinta kepadaku itu dia belum terikat dengan perjodohan, mungkin sekali aku akan percaya, bahkan merasa yakin. Akan tetapi keadaannya tidak demikian. Aku tidak puas, Ayah dan Ibu. Maafkan aku, akan tetapi aku hanya mau menikah dengan seorang pria yang aku yakin benar-benar mencintaku, dan tentu saja kalau aku mencintanya."

Suami isteri itu saling pandang. Alasan puteri mereka itu memang kuat dan tepat. Kini pun mereka dapat merasakannya. Memang mereka percaya bahwa Han Siong benar-benar mencinta Bi Lian. Akan tetapi, andai kata tidak demikian halnya, apakah Han Siong berani mengatakan bahwa dia tidak mencintai gadis itu? Gadis yang sudah ditetapkan menjadi calon isterinya? Tentu tidak akan berani!

"Hemmm, kalau begitu, Lian-ji. Andai kata kelak engkau menjadi yakin bahwa Han Siong benar-benar mencintamu, apakah masih ada harapan untuk... ehh, menyambung kembali tali yang telah putus itu?" tanya Siangkoan Ci Kang.

Bi Lian termenung. Bagaimana pun juga, selama ini hanya ada dua orang laki-laki yang menarik hatinya dan dikaguminya. Yang pertama adalah Hay Hay, ada pun yang ke dua adalah Pek Han Siong!

Tentu saja Hay Hay memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi setiap orang wanita, karena pemuda itu pandai sekali mengambil hati secara wajar, bukan menjilat. Hidup di samping Hay Hay tentu merupakan suatu keadaan yang selalu menggembirakan sehingga dunia akan selalu nampak cerah. Sebaliknya Han Siong adalah seorang pemuda yang jantan, pendiam dan halus tenang, mendatangkan suasana damai yang tenang.

Keduanya memang tampan dan gagah, dengan ilmu kepandaian yang seimbang, bahkan keduanya juga menguasai ilmu sihir yang ampuh. Tapi dia merasa kecewa terhadap Han Siong karena pemuda itu menerima ikatan jodoh begitu saja, pada hal selama hidupnya belum pernah berjumpa dengannya! Hal inilah yang mengganjal di hatinya, seakan-akan dia merasa bahwa Han Siong ingin berjodoh kepadanya bukan karena dirinya, melainkan karena hendak mentaati ayah ibunya! Hal ini membuat dia merasa dirinya kurang penting dan kurang berharga!

"Tentu saja hal itu mungkin sekali, Ayah. Kita lihat saja perkembangannya kelak. Apa bila dia memang benar mencintaku dengan tulus dan kalau kemudian aku melihat kenyataan bahwa aku pun mencintanya, maka tak ada halangannya bagi kami untuk dapat berjodoh. Bukankah jodoh itu di tangan Tuhan?"

Mendengar ucapan puteri mereka, suami isteri itu saling pandang dan ada sinar harapan baru terpancar di dalam pandang mata mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar kokok ayam hutan jantan dan seketika berubah sikap Siangkoan Ci Kang dan isterinya.

Mereka cepat-cepat menyelinap ke balik semak-semak dan Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada Bi Lian untuk bersembunyi pula. Bi Lian terkejut dan terheran, lalu segera dia menyelinap ke dekat mereka.

"Ada apakah?" tanyanya dengan bisikan lirih.

"Sstttt... inilah yang kami tunggu-tunggu selama berbulan-bulan. Agaknya dia menghadapi lawan. Kita harus mendekat dengan sangat hati-hati agar jangan mengejutkan mereka dan jangan mengganggu perkelahian mereka. Mari ikuti aku dan hati-hati, jangan berisik!" kata Siangkoan Ci Kang.

Isterinya mengikuti di belakangnya, dan Bi Lian yang masih terheran-heran mengikuti di belakang ibunya. Siapakah yang sedang berkelahi, pikir Bi Lian. Tentu orang-orang yang sakti, kalau tidak begitu, tidak mungkin ayah ibunya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu begitu berhati-hati menghampiri tempat perkelahian itu. Dan siapakah yang berkelahi sambil mengeluarkan kokok ayam hutan jantan itu? Sungguh aneh!

Dengan cepat tapi dengan pengerahan ginkang agar gerakan mereka ringan sehingga tak bersuara, mereka bertiga menyusup-nyusup menuruni puncak menuju ke hutan cemara di sebelah kiri. Akhirnya Siangkoan Ci Kang berhenti kemudian bersembunyi di balik semak-semak, memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk bersembunyi di situ pula.

Kemudian suami isteri itu mengintai dengan penuh perhatian, dengan wajah berseri-seri. Bi Lian juga mengintai ke arah mereka memandang dan dia terbelalak karena yang diintai oleh ayah ibunya itu bukan dua orang jago silat yang sedang bertanding, melainkan dua ekor ayam jago hutan sedang bertanding! Seekor ayam jago yang bulunya seperti emas melawan seekor ayam jago yang bulunya kelabu.

Pantas saja mereka harus berindap-indap karena dua ekor ayam hutan itu tentu langsung terbang pergi jika mereka mengeluarkan suara berisik. Ayam hutan merupakan binatang yang liar sekali, tak dapat didekati manusia. Akan tetapi mengapa ayah ibunya menonton ayam bertanding dengan perhatian seperti itu?

Dengan penuh perhatian Bi Lian ikut memandang. Akan tetapi baginya dua ekor binatang yang sedang bertanding itu hanyalah dua ekor ayam hutan yang tidak begitu besar, tidak sebesar ayam jago biasa,. Akan tetapi sesudah memperhatikan, dia melihat bahwa ayam berbulu emas itu memiliki ketangkasan luar biasa, sedangkan si bulu kelabu hanya galak dan menyerang secara ngawur saja.

Semua serangan dari si kelabu itu tak pernah berhasil, patukannya luput, sabetan kakinya juga tidak pernah mengenai sasaran. Si bulu emas jarang menyerang, akan tetapi setiap kali menyerang pasti mengenai sasaran dengan tepatnya sehingga sudah beberapa kali si kelabu kena tertendang hingga terjengkang!

Biar pun demikian, semua itu tidak ada artinya bagi Bi Lian. Akan tetapi bila dia menoleh kepada ayah ibunya, mereka menonton tanpa pernah berkedip seolah-olah setiap gerakan dua ekor ayam hutan itu hendak ditelan dengan pandang mata mereka, dan beberapa kali dia melihat ayahnya mengangguk-angguk dengan wajah gembira sekali.

Perkelahian mati-matian itu tidak berlangsung lama. Pada saat si kelabu yang telah mulai lemah dan mukanya sudah mulai membengkak dan berdarah itu untuk ke sekian kalinya menerjang dengan tenaga terakhir, si bulu emas mengelak ke samping dan ketika tubuh lawan menubruk tempat kosong, dia membalik, menggunakan paruhnya mematuk leher si kelabu, kemudian kakinya menendang.

"Bressss...! Keokkk...!"

Si kelabu hanya berteriak satu kali dan dia berlompatan aneh, dari kepalanya bercucuran darah. Kiranya sabetan kaki yang berjalu runcing itu telah mengenai kepala dengan tepat, dekat telinga sehingga tempurung kepala itu retak dan darah keluar, membuat si kelabu berloncatan dalam keadaan sekarat! Dan si bulu emas, dengan lagak yang gagah sekali, lantas mengembangkan sayapnya, menarik tubuh ke atas setinggi mungkin, dengan leher terjulur panjang dan keluarlah bunyi kokoknya penuh kebanggaan dan kemenangan!

Biar pun pertandingan itu telah selesai, Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada isteri dan puterinya agar berdiam diri. Selagi Bi Lian merasa heran, tiba-tiba dari semak-semak di seberang berloncatan keluar dua ekor binatang musang. Tidak terlampau besar, hanya sebesar anjing kecil, akan tetapi mereka itu melompat dengan cekatan sekali.

Yang seekor telah menyambar ayam yang sekarat, menggigit lehernya dan menyeretnya pergi dari situ. Musang ke dua, yang lebih besar, menubruk ke ayam hutan berbulu emas yang tadi menang bertanding. Lompatannya sangat cepat dan gesit, dan agaknya sukar bagi ayam itu untuk meloloskan diri.

Akan tetapi pada detik terakhir ayam berbulu emas itu dapat melempar tubuh ke belakang lalu membanting diri ke samping sehingga tubrukan itu luput. Kalau ayam itu mau, dengan mudah saja dia dapat terbang meloloskan diri dari musang itu. Akan tetapi ternyata tidak! Ayam itu sekarang berdiri dengan kepala menunduk, sepasang mata melotot, bulu emas dilehernya mekar dan siap untuk bertarung!

"Tolol!" pikir Bi Lian dalam hatinya. "Mana mungkin kamu akan dapat menandingi seekor musang?"

Ayam berbulu emas itu amat sombong, pikirnya, tidak memperhitungkan siapa lawannya. Mungkin dia sudah menjadi kepala besar dan tidak takut melawan siapa pun juga karena kemenangannya terhadap ayam kelabu tadi!

Agaknya musang itu juga menjadi tercengang. Tadi tubrukannya sudah luput dan menurut pengalamannya, tentu ayam hutan yang luput ditubruk itu telah terbang pergi. Akan tetapi ayam hutan berbulu emas ini tidak segera terbang melarikan diri malah menantang untuk berkelahi!

Kalau saja wataknya seperti manusia, tentu dia sudah tertawa untuk mengejek ayam kecil itu! Akan tetapi dia tetap seekor musang, maka melihat calon mangsanya masih di sana, dia telah menerkam lagi dengan ganasnya. Musang pun termasuk binatang liar, hidupnya di hutan dan makanan utamanya memang binatang yang lebih kecil, maka gerakannya ganas dan beringas sekali, penuh kebuasan binatang liar yang hidup di hutan.

"Wuuuttt...! Bresss...!"

Bi Lian hampir bersorak. Pada saat musang itu menubruk, ayam itu meloncat ke samping atas dan sebelum musang yang luput menubruk itu sempat membalik, ayam itu sudah menerjang dari atas, secara serentak paruhnya mematuk dan kakinya menendang kepala musang.

Musang itu terkejut. Patukan serta tendangan kaki berjalu itu cukup mendatangkan nyeri walau pun tidak dapat melukai kulitnya yang terlindung bulu itu. Dia segera membalik dan kembali menerkam. Ayam itu mengelak lagi sambil terbang dan kembali sudah menerjang dari atas dan hal ini terjadi berkali-kali.

Bi Lian menonton dengan hati tegang. Walau pun sambarannya dapat mengenai kepala musang dengan tepat, akan tetapi tenaga ayam itu tidak cukup kuat untuk melukai kepala musang yang terlindung bulu apa lagi merobohkannya. Sedangkan sebaliknya, sekali saja terkaman musang itu mengenai sasaran, tentu leher atau perut ayam itu kena digigit dan akan tamatlah riwayat ayam yang pemberani itu.

Ketika dia menengok ke arah ayah ibunya, dia melihat kedua orang itu masih saja seperti tadi, tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Dan kembali seperti tadi, beberapa kali ayahnya mengangguk-angguk gembira.

Musang itu agaknya marah sekali. Kembali dia menubruk dan ketika ayam itu mengelak ke atas, musang itu tiba-tiba saja berdiri di atas kaki belakang dan kedua kaki depannya mencoba untuk menangkap ke atas.

Akan tetapi dengan sekali mengebutkan sayapnya yang dikembangkan, ayam itu kembali luput sebab tubuhnya naik ke atas kemudian secara tiba-tiba sekali dia membalas dengan patukan dan cakaran, tak lagi menendang melainkan mencakar. Dengan kuku-kuku yang menjadi kuat dan tebal, juga runcing melengkung karena setiap hari dipergunakan untuk menggaruk-garuk tanah keras mencari cacing itu, kedua kaki itu lantas mencakar ke arah moncong musang, sedangkan paruhnya yang juga runcing melengkung dan sangat keras itu mematuk ke arah mata kiri.

"Bresss...!"

Musang itu mengeluarkan suara seperti tikus terjepit batu, lantas dari hidung dan matanya mengucur darah! Mata kirinya pecah terpatuk dan hidungnya luka berdarah. Dia pun lari tunggang langgang dan menghilang ke dalam semak-semak jauh dari situ. Ayam hutan itu pun terbang ke atas, hinggap pada sebuah dahan pohon cemara dan dia pun berkeruyuk dengan sombongnya, dengan dada mengembung dan leher memanjang!

Bi Lian menjadi demikian gembiranya sehingga tanpa sadar dia pun melompat keluar dari tempat sembunyinya dan bertepuk tangan memuji. Begitu mendengar suara tepuk tangan ini, ayam jantan yang pemberani itu langsung terbang dan melarikan diri ketakutan sambil mengeluarkan teriakan berkokok panik!

Akan tetapi mendadak Bi Lian menghentikan tepuk tangannya dan memandang terbelalak melihat betapa ayah dan ibunya kini bersilat saling serang! Dia melihat ibunya menyerang dengan jurus-jurus dahsyat dari Kwan Im Sin-kun yang sedang dia pelajari dari mereka, jurus-jurus pilihan paling hebat.

Dari kedua tangan ibunya itu menyambar-nyambar angin pukulan yang lembut namun dia tahu bahwa di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat. Itulah kehebatan ilmu silat Kwan Im itu. Sesuai dengan sifat Dewi Kwan Im sendiri, Dewi Welas Asih yang terkenal lembut dan murah hati, akan tetapi di balik kelembutan itu terkandung kesaktian yang tak dapat dikalahkan oleh segala macam setan dan iblis!

Dia tidak merasa heran melihat ibunya menyerang ayahnya dengan ilmu silat itu. Tentu saja serangan-serangan ibunya amat hebat karena ibunya adalah ahli dalam ilmu silat itu yang tingkatnya sudah sejajar dengan ayahnya. Akan tetapi yang membuat dia bengong adalah ketika melihat ayahnya menghadapi serangan ibunya itu dengan gerakan-gerakan yang hampir saja memancing ketawanya.

Gerakan ayahnya itu mirip sekali dengan gerakan ayam jantan hutan berbulu emas tadi! Betapa ayahnya menggerak-gerakkan kepalanya ke depan dan belakang, betapa kepala itu kadang kala mengelak ke bawah dan ke belakang dengan gerakan melengkung sambil menjulurkan leher, kemudian kedua kaki itu berloncatan seperti lagak ayam jago berbulu kuning emas tadi.

Ketika ibunya menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba ayahnya mengelak dengan loncatan ke atas, lalu dari atas dia menerkam ke bawah. Lengan baju kiri yang tidak berisi lengan itu meluncur ke arah mata, sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah hidung dan mulut, sementara kedua kaki juga menendang ke arah dada.

Teringatlah Bi Lian akan ‘jurus’ yang digunakan oleh ayam jago bulu emas tadi terhadap lawannya yang jauh lebih kuat, yaitu musang. Jurus itulah yang tadi membuat si musang berdarah pada mata dan hidungnya, kemudian membuat musang itu lari ketakutan.

"Ihhhh... bagus sekali...!" Ibunya melempar tubuh ke belakang sambil terhuyung. Ayahnya juga melompat turun dan keduanya tersenyum dengan wajah cerah.

Bi Lian adalah seorang gadis yang cerdik. Biar pun tadi dia terheran-heran dan juga geli, sekarang dia pun memandang kagum kepada mereka setelah dia mengerti.

"Aihh, kiranya Ayah dan Ibu sudah lama mempelajari gerakan ayam hutan jantan berbulu kuning emas itu untuk menciptakan ilmu silat baru! Pantas tadi kita harus berhati-hati agar jangan mengejutkannya!"

Ayah dan ibunya serentak mengangguk. "Ayam hutan berbulu kuning emas itu memang hebat bukan kepalang," kata ibunya. "Kami pernah melihat dia mengalahkan seekor ular, bahkan juga menghajar sampai mati seekor tikus hutan yang sangat besar. Dan sekali ini engkau melihat sendiri, bukan saja dia menghajar ayam hutan lain tadi, bahkan dia sudah berhasil mengalahkan seekor musang! "

"Gerakannya memang cepat, gesit dan cerdik. Kami dapat meniru beberapa gerakannya yang memang hebat sekali," sambung ayahnya. "Sudah beberapa tahun kami mengamati gerakannya dan baru pagi hari ini aku berhasil menyempurnakan beberapa jurus gerakan yang sudah lama kupelajari."

"Hebat sekali!" seru Bi Lian. "Lalu apa namanya ilmu silat yang Ayah Ibu ciptakan itu?"

"Kami beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), selain memang berdasarkan banyak gerakan ayam hutan berbulu emas itu, juga disesuaikan dengan tempat ini yang disebut Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas). Tentu saja gerakan ayam hutan itu merupakan dasarnya, tapi dicampur dengan ilmu silat kami. Kau telah mempelajari gerakan ilmu silat kami, tentu akan mudah menguasai Kim-ke Sin-kun."

Bi Lian girang sekali mendengar ucapan ayahnya itu, dan mulai hari itu juga dia pun mulai mempelajari ilmu silat yang baru diciptakan oleh ayah ibunya itu. Seperti juga sifat seekor ayam jantan dari hutan yang masih liar, maka ilmu silat Kim-ke Sin-kun itu mengandung pula kecepatan, kegesitan, kewaspadaan alamiah dan kecerdikan yang disertai keliaran. Di samping itu, karena ilmu ini dipadukan dengan Kwan Im Sin-kun, maka mengandung kehalusan dan kelembutan pula, didorong oleh sinkang (tenaga sakti) yang amat dahsyat.

Selama tiga bulan Bi Lian mempelajari ilmu baru itu dengan tekunnya, juga memperdalam ilmu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut. Seperti biasanya, pada pagi itu dia sedang berlatih di puncak yang sunyi di mana dia bersama ayah dan ibunya pernah melihat ayam hutan berbulu emas berkelahi.

Pagi hari itu ia sengaja meminjam pedang pusaka Kwan Im Po-kiam dari ayah ibunya dan menggunakan pedang itu untuk berlatih silat pedang Kwan Im Kiam-sut. Sebelumnya dia berlatih silat tangan kosong Kim-ke Sin-kun yang merupakan ilmu silat baru ciptaan orang tuanya itu.

Tiba-tiba Bi Lian menghentikan permainan pedangnya dan cepat menyarungkan pedang, kemudian pandang matanya ditujukan ke bawah. Dia melihat seorang penunggang kuda sedang membalapkan kudanya mendaki bukit itu. Kuda itu besar dan kuat, dan agaknya penunggangnya juga pandai sekali. Akan tetapi Bi Lian mengerutkan alisnya.

Jalan menuju ke rumah ayah ibunya itu amat berbahaya jika dicapai dengan menunggang kuda yang dilarikan demikian cepatnya. Pada jalan mendaki itu ada bagian yang berbatu-batu kecil yang licin sekali. Seekor kuda yang berlari cepat dapat jatuh apa bila menginjak batu-batu kecil yang mudah runtuh ke bawah itu.

Bi Lian khawatir dan juga tertarik. Cepat ia menuruni puncak untuk melihat apa yang akan terjadi dengan penunggang kuda itu ketika melewati jalan yang berbahaya itu. Sebaiknya kalau dia dapat datang lebih dulu untuk memperingatkan penunggang kuda itu. Maka Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari menuruni puncak seperti terbang untuk mendahului kuda itu.

Akan tetapi kuda itu berlari cepat sekali dan Bi Lian masih berada agak jauh di atas saat kuda itu telah memasuki jalan yang berbahaya itu. Akan percuma saja kalau dia berteriak memperingatkan, sebab selain jaraknya masih jauh sehingga ucapannya tentu tidak dapat ditangkap jelas, juga penunggang kuda yang belum dikenalnya itu belum tentu akan mau memperhatikan teriakan serta isyaratnya. Maka dia pun hanya memandang saja dengan hati khawatir.

Jika hanya kuda itu tergelincir dan jatuh saja, hal ini masih tidak mengkhawatirkan. Paling hebat penunggangnya akan terlempar dan lecet-lecet atau patah tulang saja. Akan tetapi di sebelah kiri jalan mendaki itu terdapat jurang yang menganga lebar dan sangat dalam. Kalau penunggang kuda itu sampai terlempar ke dalam jurang, akan habislah riwayatnya! Inilah yang mengkhawatirkan hatinya.

Penunggang kuda itu kini kelihatan jelas oleh Bi Lian. Seorang pria muda yang bertubuh tinggi besar sehingga serasi dengan kudanya yang juga besar dan kuat. Cara dia duduk di atas pelana kuda saja menunjukkan bahwa dia seorang penunggang kuda yang mahir. Duduknya tegak, lentur dan seolah-olah tubuhnya telah menjadi satu dengan kuda karena gerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan kuda.

Sekarang kuda mulai memasuki jalan yang berbatu kerikil itu. Bi Lian memandang dengan penuh perhatian dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, kuda itu segera saja tergelincir begitu keempat kakinya menginjak batu-batu kecil!

Agaknya kuda itu sudah melakukan perjalanan jauh dan dalam keadaan yang kelelahan pula. Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan ketika binatang itu tergelincir, dia mencoba untuk mempertahankan tubuh dengan keempat kakinya. Akan tetapi setiap kali menginjak tanah dengan kuat, kakinya terpaksa menginjak batu kerikil pula sehingga tergelincir dan akhirnya kuda itu terjatuh, terpelanting dan keempat kakinya seperti ditarik dalam waktu yang bersamaan.

Bi Lian melihat kuda itu terjatuh, akan tetapi pada saat itu pula ia terbelalak kagum ketika melihat tubuh penunggang kuda itu tiba-tiba saja melayang ke atas, lantas berjungkir balik membuat salto sampai lima kali sebelum dia turun ke atas tanah dengan tegak. Dan baru nampak bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, tubuh seorang pria yang jantan dan gagah sekali.

Dengan sikap amat tenang pemuda itu lalu menghampiri kudanya yang tak dapat bangkit kembali. Tadi kuda itu terjatuh, lalu tubuhnya meluncur kembali ke bawah karena jalan itu mendaki dan tubuhnya baru berhenti terseret ketika menumbuk batu besar yang berada di tepi jalan. Untung ada batu besar itu, jika tidak tentu tubuhnya akan terjerumus ke dalam jurang di balik batu itu.

Ketika pemuda itu berjongkok memeriksa kudanya, binatang itu hanya dapat menggerak-gerakkan sedikit kaki dan kepalanya, akan tetapi tak mampu bangkit. Agaknya tulang dua kaki depannya sudah patah, juga kepalanya terluka dan berdarah.

Pemuda itu memeriksa dengan teliti, kemudian mengambil buntalan pakaiannya dari atas punggung kuda. Diikatnya buntalan itu pada punggungnya, lalu pemuda itu memandang ke sekeliling. Sunyi tidak nampak orang lain. Lalu dia menjenguk ke dalam jurang di balik batu.

"Kuda yang baik, engkau telah banyak berjasa kepadaku. Terpaksa aku akan mengakhiri penderitaanmu. Selamat berpisah!" Mendadak tangan kanannya bergerak ke arah kepala kuda itu.

"Prakkk…!”

Kuda itu terkulai, terlihat kakinya tidak bergerak-gerak lagi. Kemudian pemuda itu menarik kaki kuda, dan dengan pengerahan tenaga, dia melemparkan bangkai kuda itu ke dalam jurang!

Bi Lian terbelalak, wajahnya berubah merah karena marah dan dia pun melompat keluar dari tempat pengintaiannya.

"Engkau manusia berhati iblis!" bentaknya marah sekali.

Pemuda itu sangat terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik jelita muncul di hadapannya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri menudingkan telunjuk kecil ke arah mukanya, sepasang mata itu mencorong penuh kemarahan dan seketika itu juga hati pemuda itu meloncat-loncat di dalam rongga dadanya, berjungkir balik dan dia jatuh hati!

"Apa...? Mengapa...? Aihh, Nona, kenapa Nona marah dan memaki aku? Siapakah Nona dan apa kesalahanku sehingga Nona memaki aku berhati iblis?" tanyanya dengan gugup karena kecantikan Bi Lian benar-benar membuat dia terpesona, salah tingkah dan hampir dia tidak percaya bahwa gadis itu seorang manusia, bukan seorang dewi dari langit!

"Manusia busuk! Kau kira tidak ada yang melihat perbuatanmu? Kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan tadi? Engkau ini manusia berhati kejam. Kau tadi mengaku sendiri bahwa kuda itu telah banyak berjasa kepadamu. Akan tetapi engkau justru membunuhnya dan melempar bangkainya ke dalam jurang! Di samping kejam engkau juga telah merusak tempat ini sehingga aku tidak dapat membiarkan saja!"

"Ahh, itukah gerangan yang membuat engkau menjadi sangat marah, Nona?" Pemuda itu baru mengerti sekarang dan dia tersenyum.

Harus diakui oleh Bi Lian bahwa pemuda itu memang gagah. Selain tubuhnya tinggi tegap dan kokoh, juga wajah itu memiliki daya tarik yang sangat kuat ketika tersenyum. Akan tetapi bila mana mengingat akan perbuatannya tadi, hatinya tetap merasa penasaran dan marah sekali.

"Akan tetapi, Nona, perbuatanku tadi tidak merugikan siapa pun, juga tidak merugikanmu. Kuda itu adalah milikku sendiri, dan bangkainya pun kubuang ke dalam jurang yang dalam sehingga tidak akan mengganggu orang lain. Kenapa engkau marah-marah, Nona?"

"Masih bertanya mengapa aku marah? Pertama, melihat kekejamanmu tadi, engkau patut dihukum! Ke dua, tempat ini adalah tempat tinggal kami, dan engkau mengotori jurang itu dengan bangkai kuda yang nanti tentu akan mengeluarkan bau busuk. Dan engkau masih bertanya mengapa aku marah?"

Pemuda itu tidak tersenyum lagi, nampak terkejut dan heran mendengar ucapan itu. "Ahh, jadi bukit ini adalah tempat tinggalmu, Nona? Kalau begitu maafkanlah aku, Nona, sebab aku tidak mengerti dan..."

"Sudahlah! Engkau adalah orang yang kejam dan melihat engkau tadi telah mengeluarkan kepandaianmu, maka aku tahu bahwa engkau pandai silat. Agaknya kepandaian itu yang membuat engkau berhati kejam. Nah, majulah dan terimalah hukumanmu!"

Ditantang begitu, pemuda ini kelihatan gembira. Dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dan tentu saja dia memandang rendah kepada seorang gadis yang kelihatan begitu cantik jelita dan lemah, walau pun gadis aneh itu mengaku pemilik bukit itu!

"Nona, aku tak ingin berkelahi denganmu, bahkan aku ingin berkenalan denganmu kalau engkau suka. Namaku Tan Hok Seng dan aku...”

"Aku tak ingin berkenalan denganmu, melainkan ingin menghukummu atas kekejamanmu tadi. Majulah!" Bi Lian sudah siap.

Pemuda yang mengaku bernama Tan Hok Seng itu sekarang tersenyum. "Nona, sudah kukatakan bahwa aku tak ingin berkelahi denganmu. Tetapi mengapa engkau mendesak dan menantangku? Ketahuilah, Nona, aku sama sekali tidak berbuat kejam terhadap kuda itu. Aku adalah seorang penyayang kuda dan selama ini kuda itu menjadi sahabat baikku. Tetapi setelah tadi dia terjatuh dan kuperiksa, ternyata tulang kedua kaki depannya sudah patah dan kepalanya juga retak. Tiada harapan hidup lagi baginya. Bagaimana aku dapat membiarkan dia menderita terlampau lama? Lebih baik dia dibunuh saja untuk mengakhiri penderitaannya."

Bi Lian bukan seorang gadis bodoh atau seorang yang masih belum matang. Sebaliknya dia adalah seorang gadis dewasa gemblengan yang sudah banyak pengalaman, seorang pendekar wanita yang tentu saja selalu berpikir panjang dan berpemandangan luas.

Dia dapat menerima alasan yang dikemukakan pemuda tinggi tegap, tampan dan gagah itu, dan dia sudah tidak lagi menyalahkan pemuda itu. Mungkin agak terlalu keras, namun apa yang dilakukan oleh pemuda itu terhadap kudanya memang merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan binatang yang disayangnya itu.

Namun diam-diam timbul keinginannya untuk menguji sampai di mana kehebatan pemuda gagah perkasa ini. Kalau saja ia tadi tidak melihat pemuda itu menghindarkan diri terbawa jatuh bersama kudanya dengan membuat pok-sai (salto) sedemikian indahnya, kemudian melihat betapa sekali pukul saja pemuda itu dapat membunuh kudanya, tentu tidak timbul keinginan hatinya untuk menguji kepandaian pemuda itu.

"Sudahlah, cukup! Aku tidak ingin berpanjang cerita lagi. Engkau sudah mengotori tempat tinggal kami dengan bangkai kuda di dalam jurang itu. Kini hanya ada dua pilihan bagimu. Engkau ambil bangkai kuda itu lantas kau kuburkan baik-baik agar tidak menimbulkan bau busuk, atau engkau harus menghadapi seranganku!"

Pemuda yang bernama Tan Hok Seng itu mengerutkan alisnya yang hitam dan berbentuk golok, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. Dia menjenguk ke bawah jurang, kemudian menarik napas panjang.

"Nona, bagaimana mungkin aku menuruni jurang ini untuk mengambil bangkai kuda itu?" katanya.

Tentu saja Bi Lian maklum akan ketidak mungkinan ini, karena itu dia justru mengajukan pilihan itu sehingga takkan ada piihan lain bagi pemuda itu kecuali menandinginya!

"Hemm, kalau engkau tidak dapat mengambilnya dan menguburnya, maka engkau harus menandingiku!" Lalu dia segera menambahkan. "Tentu saja kalau engkau bukan seorang pengecut yang takut menerima tantanganku!"

Biar pun pada dasarnya Bi Lian mempunyai jiwa pendekar, namun dia pernah menerima gemblengan dua orang datuk sesat, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, maka sedikit banyak watak ugal-ugalan menular kepadanya dan dia dapat bersikap keras mau menang sendiri!

Tan Hok Seng menarik napas panjang, akan tetapi matanya yang agak lebar itu bersinar dan wajahnya berseri. Dia kagum bukan main dan harus diakuinya dalam hati bahwa dara yang berdiri di depannya itu bukan main cantiknya.

Tubuhnya padat ramping dengan lekuk lengkung yang menunjukkan bahwa dara itu telah matang dan dewasa. Kulitnya putih mulus dan kulit muka serta lehernya demikian halus, tangannya begitu kecil lembut sehingga sukar dipercaya bahwa tangan selembut itu dapat bermain silat dan memukul orang.

Rambut yang panjangnya sampai pinggang itu dikuncir. Sepasang matanya demikian jeli dan tajam sinarnya, hidung kecil mancung, mulut yang menggairahkan dengan bibir yang basah kemerahan. Manisnya masih ditambah oleh tahi lalat kecil di dagu. Bukan main!

"Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu, apa lagi sampai berkelahi. Akan tetapi bukan berarti aku pengecut atau takut kepadamu. Tapi...”

"Sudahlah, kau sambut seranganku ini!" bentak Bi Lian yang ingin berkelahi bukan karena marah, melainkan karena ingin tahu hingga di mana kepandaian pemuda yang gagah dan tampan ini.

Hok Seng langsung mengelak karena dari sambaran tangan yang lembut itu datang angin pukulan yang sangat kuat. Dia terkejut dan sambil mengelak, dia pun membalas dengan tamparan ke arah pundak. Dia masih sungkan karena melihat kecantikan gadis itu, maka yang diserang hanyalah pundak lawan.

Bi Lian melihat betapa gerakan pemuda itu cukup tangkas, dengan jurus silat yang baik, kalau dia tidak salah menilai, dari aliran silat Bu-tong-pai. Maka dia pun cepat menangkis untuk mengukur sampai di mana besarnya tenaga pemuda itu.

"Dukkk!"

Lengan Hok Seng terpental dan dia meringis kesakitan. Tidak disangkanya bahwa lengan kecil gadis itu mengandung tenaga yang begitu kuatnya sehingga dia merasa lengannya bertemu dengan sepotong baja, bukan lengan gadis yang halus.

"Huhh, jangan memandang rendah kepadaku! Kerahkan semua tenagamu dan keluarkan semua kepandaian silatmu!" Bi Lian mengejek, karena tahu bahwa pemuda itu tadi tidak mengerahkan semua tenaganya.

Hok Seng terkejut ketika Bi Lian kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh gadis itu bergerak seperti bayangan saja, karena memang Bi Lian mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dia warisi dari mendiang Pak Kwi Ong si ahli ginkang. Dia juga menggunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Tung Hek Kwi, mengandalkan sinkang dan dengan ilmu silat ini dia dapat membuat lengannya mulur hingga bertambah panjang hampir setengah lengan!

Hok Seng berusaha melawan dengan gerakan cepat dan mencoba untuk membalas. Akan tetapi sebentar saja dia menjadi pening karena harus memutar-mutar tubuhnya mengikuti gerakan Bi Lian yang menyambar-nyambar bagaikan burung walet. Biar pun cukup gesit dan bertenaga besar, namun di dalam hal ilmu silat ternyata pemuda itu masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Bi Lian. Padahal Bi Lian belum memainkan ilmu silat yang baru saja dia pelajari dari ayah ibunya!

Bi Lian pun maklum akan hal ini, maka dia pun tidak menjatuhkan tangan maut kepada Hok Seng, hanya menyerang bertubi-tubi untuk mengacaukan perlawanannya saja. Kalau dia menghendaki, tentu pemuda itu tak akan mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus!

Tiba-tiba saja nampak dua sosok bayangan orang berkelebat di tempat itu dan terdengar seruan nyaring berwibawa, "Hentikan perkelahian!"

Mendengar suara ayahnya, Bi Lian cepat meloncat ke belakang, mendekati ayah ibunya yang segera memandang ke arah Hok Seng. Mereka tadi melihat betapa puteri mereka menyerang seorang pemuda yang mencoba untuk membela diri mati-matian, akan tetapi hati mereka lega karena melihat bahwa Bi Lian sama sekali tidak bermaksud mencelakai orang itu yang kalah jauh dibandingkan puteri mereka.

"Ayah dan Ibu, orang ini sudah membunuh kudanya yang jatuh terluka lantas membuang bangkainya ke dalam jurang." Bi Lian langsung melapor karena tidak ingin dipersalahkan. "Aku melihatnya sebagai hal yang kejam, dan dia mencemarkan udara ini dengan bangkai kuda yang tentu akan membusuk di dalam jurang lalu baunya akan mengotorkan udara di sini. Maka kutantang dia!"

"Aihh, engkau ini mencari gara-gara saja, Bi Lian." tegur ibunya.

Melihat gadis itu ditegur ibunya, Hok Seng cepat memberi hormat kepada suami isteri itu, merangkap kedua tangan dan membungkuk dengan sikap sopan sekali.

"Mohon maaf kepada Paman dan Bibi yang terhormat karena secara lancang saya telah melanggar wilayah tempat tinggal ji-wi (kalian berdua). Sebenarnya Nona ini tak bersalah dan sayalah yang bersalah. Kuda saya itu kelelahan sehingga terpeleset dan jatuh di sini, kedua kaki depannya patah dan kepalanya retak. Untuk mengakhiri penderitaannya maka terpaksa saya membunuhnya dan membuang bangkainya ke dalam jurang dengan tujuan agar tidak mengganggu orang yang lewat di sini. Tetapi saya telah melakukan kesalahan karena tanpa disadari saya telah membuangnya ke jurang sehingga mengotorkan udara di sini...”

Suami isteri itu memandang dengan senyum. Hati mereka tertarik dan merasa suka sekali kepada pemuda gagah tampan yang pandai membawa diri itu.

"Orang muda, kami yang minta maaf kepadamu untuk anak kami. Walau pun kami tinggal di daerah ini, akan tetapi tentu saja kami tidak menguasai seluruh bukit dan lembah. Dan engkau tidak dapat dipersalahkan kalau membuang bangkai kudamu itu ke dalam jurang. Anak kami sudah bersikap tidak sepatutnya, harap engkau suka menyudahi saja urusan ini."

"Dengan segala senang hati, Paman. Lagi pula, apa daya saya seorang yang bodoh dan lelah ini terhadap nona yang demikian tinggi ilmunya? Tadi pun saya sudah merasa segan melawannya, akan tetapi karena nona mendesak terpaksa saya..."

"Sudahlah!" kata Bi Lian. "Bukankah ayahku sudah mengatakan agar urusan ini disudahi saja? Ataukah engkau masih merasa penasaran?" karena tidak ingin terus dipersalahkan, gadis itu membentak.

"Bi Lian! Tidak pantas bersikap kasar kepada seorang tamu!" kata ibunya.

"Orang muda, apa yang diucapkan isteriku itu benar. Engkau adalah seorang tamu, maka kami persilakan berkunjung ke rumah kami di sana!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang menunjuk ke belakang.

Tan Hok Seng memang sudah kagum bukan main kepada Bi Lian. Pertama kali bertemu tadi sudah menjadi tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, kemudian setelah bertanding, dia kagum bukan main melihat bahwa gadis itu selain cantik jelita juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi sehingga dia yang biasanya membanggakan kepandaiannya, sekali ini sama sekali tidak berdaya!

Maka, ketika ayah ibu gadis itu muncul, dia yang sudah kagum sekali kepada keluarga ini mempunyai niat untuk dapat menjadi murid suami isteri yang tentu sangat sakti itu. Tentu saja Hok Seng menjadi gembira bukan main ketika mendengar undangan itu, akan tetapi dengan rendah hati dia menjawab.

"Ahhh, saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja kepada Paman dan Bibi yang terhormat...”

"Ahh, jangan sungkan, orang muda. Terimalah undangan kami jika engkau memang mau memaafkan anak kami," kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya juga mengangguk ramah.

Diam-diam Hok Seng girang bukan main. Apa yang ditemukan di Kim-ke-kok ini ternyata jauh melebihi apa yang telah didengarnya. Ketika tiba di kaki pegunungan Heng-tuan-san, dia telah mendengar dari para penduduk dusun di sekitar daerah itu bahwa di Kim-ke-kok tinggal sepasang suami isteri yang oleh para penduduk di sana dikenal sebagai pendekar sakti yang suka menolong para penduduk. Tertariklah hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa selama beberapa bulan ini sepasang pendekar itu kedatangan seorang dara cantik jelita yang kabarnya adalah puteri mereka.

Kini, begitu melihat gadis itu, dia sudah kagum bukan main. Apa lagi setelah ayah ibunya muncul. Seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih yang tinggi tegap, lengan kirinya buntung akan tetapi sikapnya demikian gagah dan berwibawa.

Dan isterinya juga merupakan tokoh yang tak kalah menariknya. Seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih sedikit, wajahnya agak kepucatan namun cantik dan dengan raut wajah yang agung. Juga bentuk tubuhnya masih padat dan indah seperti seorang gadis saja.

Kiranya mereka inilah sepasang suami isteri pendekar yang dipuji-puji oleh para penduduk dusun itu. Dan meski pun dia belum pernah melihat mereka mempergunakan kepandaian, baru melihat kelihaian puteri mereka saja, tetapi dia sudah dapat membayangkan betapa saktinya suami isteri itu.

Dengan sikap hormat Tan Hok Seng lalu mengikuti suami isteri itu bersama puteri mereka ke sebuah rumah yang berdiri di lembah, pada bagian yang datar dan subur. Rumah itu nampak mungil, namun terpelihara rapi dengan taman bunga yang penuh dengan bunga beraneka warna.

Meski pun di dalam hatinya Bi Lian kagum juga kepada pemuda yang tampan gagah dan bersikap lembut itu, namun di sudut hatinya masih terdapat kekecewaan bahwa ilmu silat pemuda itu masih amat rendah dibandingkan dia sendiri. Maka begitu pemuda itu diterima ayah ibunya duduk di ruangan tamu, dia lalu mengundurkan diri dengan dalih membantu pelayan di belakang.

"Orang muda, siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apa maka engkau berkunjung ke lembah ini?" tanya Siangkoan Ci Kang, akan tetapi suaranya yang lembut tidak menimbulkan kesan bahwa dia menyelidiki keadaan pemuda itu.

Pemuda itu kelihatan berduka sekali ketika mendengar pernyataan ini. Bukan kedukaan buatan, melainkan benar-benar dia merasa berduka dan merasa betapa nasibnya sangat buruk.

"Paman, saya adalah seorang yang hidup sebatang kara dan sudah tertimpa mala petaka dan penasaran besar," dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Karena sudah mengambil keputusan untuk kalau mungkin berguru kepada suami isteri pendekar ini, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayatnya.

"Saya adalah seorang yatim piatu. Dengan susah payah serta kerja keras akhirnya saya berhasil menjadi seorang perwira. Akan tetapi nasib saya sungguh malang, saya difitnah orang yang menginginkan kedudukan saya sehingga saya dijatuhi hukuman buang oleh pemerintah! Untung bahwa di dalam perjalanan ke tempat pembuangan saya ditolong oleh seorang pendekar yang tak mau memperkenalkan dirinya sehingga saya bisa bebas, lalu saya melarikan diri. Dalam perjalanan melarikan diri dari kemungkinan pengejaran petugas keamanan kota raja maka hari ini saya sampai ke tempat ini."

"Hemm, begitukah?" Siangkoan Ci Kang menatap tajam untuk menyelidiki apakah cerita itu dapat dipercayan. Akan tetapi pemuda itu membalas tatapan matanya dengan penuh keberanian dan keterbukaan, dan ini saja sudah membuktikan bahwa ceritanya memang benar.

"Siapakah namamu, orang muda?"

"Nama saya Tan Hok Seng, Paman. Dan melihat kehebatan ilmu silat puteri Paman dan Bibi tadi, timbul keinginan hati saya, apa bila kiranya Paman dan Bibi sudi menerimanya, saya ingin sekali berguru kepada Paman dan Bibi di sini. Biarlah saya bekerja apa saja di sini, sebagai pelayan, tukang kebun atau pesuruh, asal Paman dan Bibi suka menerima saya sebagai murid." Setelah berkata demikian, langsung saja Hok Seng menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu.

Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu saling bertukar pandang. Suami isteri yang sudah bisa mengetahui isi hati masing-masing hanya melalui pandang mata saja itu saling kedip kemudian dengan lembut Toan Hui Cu mengangguk.

Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 21

Kim Mo Siankouw menghampiri Mayang, kemudian mengurut beberapa bagian punggung serta tengkuknya. Gadis itu mengeluh, membuka matanya, melihat ibu dan subo-nya, lalu dia pun merintih dan menangis setelah teringat segalanya.

"Sudahlah, Mayang. Tenangkan hatimu dan mari kita bicara. Hay Hay juga sudah berada di sini," kata ibunya.

Mendengar ini, Mayang bangkit duduk menengok dan begitu melihat Hay Hay, mulutnya bergerak-gerak, bibirnya menggigil dan dia pun kembali menangis. Akan tetapi tangis ini segera ditahannya sehingga dia menangis tanpa suara, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay merasa jantungnya laksana ditusuk-tusuk. Dia merasa iba sekali melihat Mayang, adiknya yang hampir menjadi isterinya tadi.

"Mayang, maafkan aku. Kita sudah menjadi permainan nasib...” katanya lirih, akan tetapi ucapannya ini hanya disambut suara sesenggukan dari Mayang.

"Hay Hay, sekarang kuminta engkau suka berbicara terus terang. Dari manakah engkau mendapatkan benda ini?" tanya ibu Mayang sambil menunjuk dua buah benda perhiasan kumbang merah yang telah diletakkan di atas meja oleh Kim Mo Siankouw.

"Benda itu adalah peninggalan dari ayah kandung saya, yang diberikan kepada mendiang ibu saya."

"Hay Hay, sekarang kita berada di antara orang sendiri. Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebaiknya kalau engkau menceritakan riwayat ibu dan ayahmu, dan sesudah itu akan kuceritakan mengenai diriku dan ayah Mayang. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana sesungguhnya hubungan antara engkau dan Mayang," kata pula ibu Mayang dengan sikapnya yang lembut dan halus.

Kini Mayang juga merasa amat tertarik dan dia sudah mampu menenangkan dirinya. Dia duduk dekat ibunya, memandang kepada Hay Hay dengan wajah pucat dan mata merah.

Hay Hay menghela napas panjang. Apa bila tidak ada urusan yang begini ruwet dengan Mayang, tentu dia tak akan pernah menceritakan riwayat hidup ibunya kepada siapa pun juga. Sekarang dia terpaksa, demi untuk menjernihkan kekeruhan antara dia dan Mayang.

"Terus terang saja, Bibi. Saya sendiri tidak tahu dan tidak mengenal siapa sebenarnya ibu saya. Ketika saya masih bayi, ibu saya membawa saya terjun ke laut untuk membunuh diri! Pada waktu itu Locianpwe Pek Khun, yaitu kakek buyut saudara Pek Han Siong ini melihatnya, lalu cepat menolong ibu dan saya. Akan tetapi ibu tidak tertolong dan tewas, lalu saya yang masih bayi dibawa oleh Locianpwe Pek Khun ke Pek-sim-pang. Kebetulan pada waktu itu saudara Pek Han Siong yang juga sebaya dengan saya perlu diungsikan dan disembunyikan karena dia dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama yang hendak merampasnya karena dia dianggap sebagai calon Dalai Lama. Saudara Han Siong ini lalu disembunyikan dan saya dijadikan penggantinya. Ketika Locianpwe Pek Khun menyelamatkan saya, ibu saya sempat menitipkan benda ini agar diberikan kepada saya. Dalam saat terakhirnya ibu saya bercerita kepada Locianpwe Pek Khun bahwa ibu adalah seorang korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu, yang pernah memberikan tanda perhiasan kumbang merah itu. Demikianlah riwayat ibu saya, Bibi. Saya sendiri tidak mengenal siapa ibu saya. Setelah dewasa, saya baru mengetahui bahwa saya adalah putera Ang-hong-cu, dan saya bahkan pernah melihat kejahatannya! Dia bukan saja penyebab kematian ibu saya, melainkan juga saya melihat sendiri betapa dia telah menodai beberapa orang gadis pendekar. Dia amat jahat dan keji!"

"Hemm, jadi kalau demikian, ketika engkau mengatakan kepada Mayang bahwa engkau akan mencari musuh besarmu yang membunuh ibumu, maka musuh besarmu itu adalah Ang-hong-cu, juga ayah kandungmu?" tanya pula ibu Mayang.

"Benar Bibi. Tadinya semua itu hendak saya rahasiakan dan hanya beberapa orang saja yang mengetahui, termasuk saudara Pek Han Siong ini."

Han Siong mengangguk-angguk. "Ang-hong-cu itu memang sangat jahat dan keji, akan tetapi dia lihai dan juga cerdik dan licik sekali!"

"Hay Hay, tahukah engkau siapa nama ayahmu itu?" tanya pula ibu Mayang.

Hay Hay menggeleng kepalanya. "Dalam pesan terakhir ibu saya, dia hanya mengatakan bahwa ayah itu memiliki nama keluarga Tang."

"Dan dalam penyamarannya, dia memakai nama Han Lojin," sambung Han Siong.

Ibu Mayang mengangguk-angguk. "Aih, aku sendiri juga bersalah dalam hal ini. Pada saat engkau datang bersama Mayang dan mendengar engkau she Tang, lantas melihat wajah serta bentuk tubuhmu, aku sudah terkejut dan terheran. Engkau she Tang, sama dengan she-nya ayah Mayang, dan wajahmu mirip. Akan tetapi aku tidak manyangka sejauh itu. Kalau begitu, engkau memang benar puteranya, Hay Hay. Engkau putera Ang-hong-cu, orang yang kukenal sebagai Tang-kongcu (Tuan Muda Tang), yaitu ayah kandung Mayang. Kalau begitu tidak salah lagi, engkau memang masih kakak beradik dengan Mayang, satu ayah berlainan ibu."

Hay Hay saling pandang dengan Mayang. "Engkau... adikku..." kata Hay Hay perlahan, namun Mayang tidak menjawab dengan kata-kata melainkan dengan linangan air mata.

"Kini dengarkan riwayatku, Hay Hay. Seperti juga engkau, hanya karena timbul peristiwa antara engkau dengan Mayang ini sajalah yang memaksa aku untuk menceritakan riwayat hidupku yang mirip dengan riwayat ibu kandungmu. Tadinya aku sama sekali tak mengira bahwa pemuda yang tampan dan terpelajar itu, yang sikapnya lemah lembut dan halus, yang oleh penduduk dusun kami dikenal sebagai Tang-kongcu yang pandai silat dan juga pandai mengobati orang sakit, sebenarnya adalah seorang penjahat cabul yang berjuluk Ang-hong-cu yang kejam. Aku yang saat itu masih seorang gadis bernama Souli, segera terpikat oleh ketampanan dan rayuan Tang Kongcu sehingga secara tidak tahu malu aku menyerahkan diri dengan harapan akan dikawininya. Namun, sesudah aku mengandung, dia pergi begitu saja dan hanya meninggalkan perhiasan kumbang merah itu. Orang tuaku marah kepadaku, lalu dalam keadaan mengandung aku diusir dari dusun dan tidak diakui lagi. Aku hidup terlunta-lunta, lantas melahirkan Mayang dalam keadaan sengsara sekali. Seperti ibumu, agaknya aku pun akan mati kalau saja tidak ada subo Kim Mo Siankouw ini yang telah menolong kami." Wanita itu menangis dan Mayang merangkul ibunya.

Hay Hay mengepal tinju. "Saya akan mencari Ang-hong-cu sampai dapat, dan dia harus menebus semua dosanya! Bukan saja terhadap ibuku dan terhadap Bibi, akan tetapi juga terhadap entah berapa ratus orang wanita lainnya yang kehidupannya sudah dirusak oleh kejahatan Ang-hong-cu ini!"

"Hay koko, aku ikut denganmu!" Tiba-tiba Mayang berkata, suaranya lantang dan penuh kemarahan. Agaknya gadis ini telah berhasil memulihkan kekuatan batinnya sehingga kini nampak garang.

Semua orang terkejut. Akan tetapi Hay Hay memandang dan wajahnya mulai cerah. Dia gembira melihat gadis itu telah pulih kembali, tidak tenggelam ke dalam kedukaan seperti tadi.

"Adikku Mayang, kenapa engkau hendak ikut dengan aku?" tanyanya.

"Mayang, engkau baru saja mengalami guncangan batin, sebaiknya beristirahat di rumah saja," kata ibunya.

"Ibumu benar, Mayang. Menurut kakakmu, Ang-hong-cu itu sangat lihai sehingga agaknya engkau perlu berlatih keras untuk dapat menandinginya. Biarlah kuajarkan engkau jurus-jurus simpanan agar dapat menandingi Ang-hong-cu,” kata Kim Mo Siankouw.

"Tidak, Hay-koko, Ibu dan Subo! Aku harus ikut! Pertama, orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu, biar pun dia ayah kandungku, akan tetapi dia juga orang yang telah merusak hidup Ibu, hidupku, bahkan kini mendatangkan malapetaka kepada aku dan Hay-ko. Dia harus mati di tanganku! Aku akan membantu Hay-ko menghadapinya! Selain itu, Ibu dan Subo, sesudah terjadi peristiwa ini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini lagi? Semua orang di sekitar daerah ini sudah datang menjadi tamu dan menyaksikan aku menjadi pengantin, minum arak pengantin dan memberi selamat. Kemana aku akan menaruh mukaku ini bila mereka mendengar bahwa pernikahan ini dibatalkan, bahkan aku nyaris menikah dengan kakakku sendiri?" Setelah mengucapkan kalimat terakhir ini, kembali Mayang menangis.

Hay Hay merasa kasihan sekali kepada adiknya itu. Memang dia bisa merasakan hal itu. Sebagai seorang pria tentu dia bebas dari aib. Akan tetapi keadaan hidup seorang wanita mengenai hal yang menyangkut nama, kehormatan yang berhubungan dengan kesusilaan memang sungguh gawat. Begitu mudahnya orang melemparkan aib kepada diri seorang gadis. Wanita akan selalu menjadi sasaran celoteh.

"Kalau subo-mu dan ibumu mengijinkan, sekarang aku tidak merasa berkeberatan untuk mengajakmu, Mayang."

"Terima kasih, Hay-koko, aku memang harus ikut denganmu. Kalau tidak diperkenankan maka aku akan minggat dan mencari sendiri Ang-hong-cu!" kata gadis itu.

Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang bertukar pandang. Mereka sadar bahwa sekarang ini mereka tidak mungkin dapat membujuk atau berkeras. Pula, mereka juga merasa kasihan kepada Mayang. Melihat ibu Mayang menganggukkan kepalanya, Kim Mo Siankouw lalu berkata,

"Baiklah, Mayang. Aku dan ibumu setuju jika engkau pergi bersama Hay Hay, akan tetapi mengingat bahwa engkau akan menghadapi lawan yang sangat lihai maka lebih dulu aku akan mengajarkan jurus-jurus pilihan selama sepuluh hari. Engkau bisa melatihnya dalam perjalanan setelah engkau hafal akan semua gerakannya. Tanpa bekal itu, aku tetap akan merasa khawatir kalau engkau pergi."

Mayang memandang kepada Hay Hay dan suaranya mengandung permohonan ketika dia bertanya. "Hay-ko, maukah engkau menanti sampai sepuluh hari baru kita berangkat?”

Hay Hay tersenyum. Kini dia telah memperoleh kembali ketenangan dan kegembiraannya setelah urusannya dengan Mayang itu bisa diselesaikan tanpa akibat yang menyedihkan. Dia tahu bahwa mulai saat ini mendadak dia mendapatkan seorang adik perempuan yang sangat manja! Karena itu dia mengangguk menyetujui.

Han Siong ikut merasa gembira dan dia menyatakan hal ini dengan ucapan yang disertai senyum dan wajah yang cerah. ”Saya merasa gembira sekali bahwa urusan yang tadinya membuat saya merasa amat khawatir ini telah dapat diselesaikan dengan baik. Saya pun sangat berterima kasih kepada Tuhan yang masih melindungi Hay Hay dan nona Mayang sehingga walau pun mereka telah melaksanakan upacara pernikahan, akan tetapi mereka masih belum menjadi suami isteri dan kini dapat menjadi kakak dan adik secara wajar. Bagaimana pun juga, saya akan ikut memikul dosanya kalau sampai pelanggaran terjadi, karena saya ikut pula membujuk Hay Hay untuk menerima usul perjodohan itu. Sesudah sekarang semuanya beres, saya pun hendak mohon diri, dan saya menghaturkan terima kasih kepada Kim Mo Siankouw atas semua kebaikannya selama saya berada di sini."

"Han Siong, mengapa engkau tergesa-gesa pergi? Hendak ke manakah engkau?" tanya Hay Hay.

"Engkau tahu bahwa aku pun mempunyai perhitungan dengan Ang-hong-cu. Akan tetapi aku akan pulang dahulu ke Kong-goan, ke Pek-sim-pang untuk menemui keluargaku. Mari kita berlomba, siapa yang akan lebih dulu berhasil menangkap Ang-hong-cu, Hay Hay!"

"Bagus!" Hay Hay yang telah mendapatkan kembali kegembiraannya itu segera menerima tantangan itu. "Kita lihat saja nanti. Yang kalah harus menjamu makanan apa saja yang diminta si pemenang dalam rumah makan besar!"

"Baik, Hay Hay. Nah, sekarang aku harus pergi." Han Siong lalu memberi hormat kepada mereka semua dan pergilah dia meninggalkan tempat itu.

Hatinya merasa gembira bukan main. Dia kini merasa bebas seakan-akan semua ikatan pada dirinya telah putus, seolah beban yang selama ini menghimpit hatinya telah tanggal. Pertama, Wakil Dalai Lama sendiri sudah menjanjikan bahwa mulai sekarang tidak akan ada lagi pendeta Lama yang mengganggunya, yang hendak memaksanya turut ke Tibet menjadi Dalai Lama! Ke dua, urusan Hay Hay dengan Mayang sudah dapat diselesaikan dengan baik. Bagaimana pun juga dia turut bertanggung jawab, ikut pula membujuk Hay Hay, bahkan mengancam akan memusuhinya kalau Hay Hay tidak mau berjodoh dengan Mayang!

Dia bergidik membayangkan. Apa bila sampai terlanjur terjadi pelanggaran dan hubungan suami isteri antara dua orang yang masih sedarah itu, tentu dia sendiri merasa berdosa, menyesal bukan main. Dan Hay Hay tentu akan mendapat alasan yang sangat kuat untuk melampiaskan kemarahan kepadanya tanpa dia mampu membela diri.

Hay Hay tentu akan menganggapnya jahat dan mengatakan bahwa dia telah mendorong Pendekar Mata Keranjang itu terjerumus ke dalam lembah kehinaan! Untung juga kedua muda-mudi ini memakai perhiasan kumbang merah itu sebagai kalung!

Kini semua telah lewat dan Han Siong dapat melakukan perjalanan dengan wajah berseri dan hati lapang. Ada sebuah hal lagi yang menggembirakan hatinya. Kegagalan cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian tidak menimpa dirinya sendiri! Kepahitan karena cinta gagal baru saja juga menimpa Hay Hay, bahkan lebih parah dari pada dia. Berarti dia memiliki teman sependeritaan! Hal ini membuat dia kini merasa bertambah dekat dengan Hay Hay! Di dalam kegembiraannya pemuda gemblengan ini lupa bahwa dia sudah menjadi hamba dari pada ke-akuan yang menghinggapi hampir seluruh manusia di permukaan bumi ini.

Pada umumnya, orang yang tengah tertimpa mala petaka, yang tengah merasa sengsara, tengah berduka, akan merasa terhibur dan berkurang kedukaannya jika dia melihat orang lain, terlebih lagi yang dekat dengan dia, tertimpa kemalangan yang lebih besar dari pada kemalangan yang menimpa dirinya sendiri! Orang yang sudah diperbudak ke-akuannya sendiri itu, yang merasa terhibur dan berkurang kedukaannya apa bila melihat orang lain tertimpa kedukaan yang lebih besar, tentu akan merasa tidak senang dan iri hati apa bila melihat orang lain memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pada keuntungan yang diperolehnya sendiri.

Seperti inilah kelemahan manusia yang tercengkeram oleh nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu selalu mendorong kita supaya menjadi yang paling baik, paling besar, paling penting dan tidak kalah oleh orang lain! Berbahagialah orang yang dapat melihat, merasakan, serta menyadari kelemahan yang ada pada dirinya ini. Karena hanya mereka yang waspada dan sadar sajalah dapat melihat ulah nafsu yang ada pada diri sendiri.


cerita silat online karya kho ping hoo

Mereka bertiga berjalan-jalan di puncak bukit yang penuh dengan pohon cemara itu. Pagi itu cerah sekali dan pemandangan alam amatlah indahnya. Matahari pagi telah tersenyum lembut di atas puncak, sinarnya juga lembut dan hangat di antara kesejukan semilir angin gunung.

Aroma rumput dan daun cemara yang khas sungguh nyaman dan harum menyenangkan, keharuman yang lembut sehingga membuat hidung terasa segar dan lega. Kicau burung-burung yang telah sibuk sejak matahari timbul tadi bagaikani ribuan karyawan yang sudah siap melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari pada pagi itu, memulai pekerjaan dengan semangat berkobar dan hati penuh kebahagiaan, merupakan suara yang amat merdu dan gembira, menjadi santapan pagi yang sangat sehat bagi telinga. Betapa nikmatnya hidup kalau pada suatu saat tiga di antara alat panca indriya kita, yaitu mata hidung dan telinga, dapat menikmati keindahan bersama-sama.

Sepasang mata menikmati pemandangan alam yang sangat menakjubkan, penuh pesona dan penuh kegaiban. Hidung menghirup udara yang sejuk segar, jernih dan bersih dengan aroma yang khas alami, membuat udara yang dihisap itu penuh tenaga mukjijat dari alam, memenuhi rongga dada bahkan terus hingga ke bawah pusar. Sungguh menyehatkan dan membahagiakan! Pada saat yang sama telinga mendengar suara yang penuh kedamaian, penuh ketentraman, penuh kewajaran dan keindahan. Betapa nikmatnya hidup!

Dalam keadaan seperti itu hati dan akal pikiran berhenti berceloteh, dan segala sesuatu akan nampak indah. Suara angin bermain dengan daun-daun cemara, suara air gemercik di antara batu-batu, kicau burung, kokok ayam hutan, semua itu merupakan pendengaran yang seolah-olah bunyi-bunyian merdu dari sorga!

Aroma tanah bermandikan embun saja sudah demikian sedap dan harumnya, masuk ke dalam rongga dada melalui hidung, demikian harum menyegarkan! Dan melihat kupu-kupu warna-warni beterbangan di antara bunga-bunga, melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan, bahkan melihat sebutir embun bergantung pada ujung daun, berkilauan tercuci sinar matahari pagi, sudah merupakan penglihatan yang indahnya sulit dilukiskan!

Sayang sungguh sayang sekali bahwa sejak kecil kita sudah dijejali dengan kesenangan-kesenangan pemuas nafsu hingga kita menjadi mabuk. Kesenangan badani yang semu, yang hanya merupakan pelampiasan dari pada hasrat nafsu, membuat kita mabok dan tidak lagi dapat melihat segala keindahan, tidak dapat mendengarkan segala kemerduan dan tidak lagi mampu menghirup segala kesedapan yang segar.

Kita terbuai oleh kesenangan tuntutan nafsu. Hati dan akal pikiran kita selalu berceloteh dan sibuk dengan urusan pengejaran kesenangan nafsu. Kalau pun kadang-kadang kita mampu merasakan keagungan serta keindahan itu, hati dan akal pikiran segera datang mengacau dan seketika lenyaplah semua keindahan itu karena batin ini telah disibukkan kembali dengan urusan kesenangan diri, kesenangan dari pelampiasan nafsu keinginan!

Demikian pula dengan tiga orang yang berjalan-jalan pada pagi hari itu. Tadinya mereka tidak berkata-kata, seperti tenggelam dalam keindahan itu, bahkan mereka merasa sudah bersatu dengan semua keindahan itu, tidak terpisah-pisah. Rasa aman tenteram bahagia, bukan senang, menyelubungi mereka sehingga pada saat seperti itu mereka tak ber-aku, mereka bersatu dengan alam, dengan kekuasaan Tuhan, dengan Tuhan! Mereka berada dalam keadaan semedhi yang sejati, bukan pengosongan diri karena dikehedaki oleh hati dan akal pikiran!

Kekosongan batin yang dikosongkan oleh hati dan akal pikiran adalah kekosongan palsu karena kekosongan itu penuh dengan usaha dari keinginan. Kekosongan berpamrih.

Tiga orang itu bukanlah orang-orang biasa, bukan penghuni pegunungan biasa. Mereka adalah ayah, ibu dan anak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan bisa disejajarkan dengan orang-orang sakti!

Pria itu berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun. Lengan kirinya buntung sebatas siku sehingga ujung lengan baju yang kiri terkulai lemas tanpa isi. Tubuhnya tinggi dan tegap, dibalut pakaian longgar yang mengingatkan orang akan pakaian hwesio (pendeta Buddha) yang berwarna kuning.

Namun kepalanya tidak gundul, melainkan memiliki rambut yang hitam tebal dan panjang, yang digelung ke atas seperti gelung rambut tosu (pendeta agama To). Wajahnya tampan dan jantan, dengan alis tebal dan sepasang matanya mencorong. Sikapnya pendiam dan bahkan dingin. Pria ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang!

Seperti telah kita ketahui, pria ini adalah putera dari mendiang Siangkoan Lojin atau yang di dunia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si lblis Buta. Meski pun kedua matanya buta, namun Siangkoan Lojin ditakuti semua orang karena lihainya dan juga karena kejamnya. Seorang datuk sesat yang namanya tersohor.

Akan tetapi sungguh aneh! Puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, walau pun juga berhati sekeras baja namun tidak mewarisi watak kejam dan jahat seperti ayahnya. Bahkan sejak muda dia selalu menentang kejahatan hingga membuat dia menjadi penentang ayahnya sendiri!

Wanita berusia empat puluh dua tahun di sampingnya itu adalah isterinya, Toan Hui Cu yang masih kelihatan cantik sekali. Walau pun mukanya sedikit pucat, akan tetapi bukan pucat karena sakit. Dan riwayat wanita ini bahkan lebih hebat dari pada riwayat suaminya.

Seperti suaminya, Toan Hui Cu juga adalah keturunan datuk sesat. Bahkan bukan datuk biasa, melainkan rajanya datuk kaum sesat! Meski pun ayah kandungnya masih keluarga kerajaan, berdarah bangsawan tinggi, tetapi ketika masih hidup ayahnya terkenal dengan julukan Raja Iblis, sedangkan ibunya adalah Ratu Iblis!

Ayah dan ibunya mempunyai kepandaian yang membuat mereka itu sakti, dan mengenai kekejaman dan kejahatan, tak ada datuk sesat yang lebih mengerikan dari pada mereka! Anehnya, Toan Hui Cu yang merupakan anak tunggal, seperti juga halnya Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi watak jahat ayah ibunya. Bahkan dia condong berwatak pendekar!

Dua orang dari keturunan tokoh sesat ini saling mencinta, hingga akhirnya nasib membuat mereka berdua itu menjadi murid di kuil Siauw-lim-si, akan tetapi juga menjadi dua orang hukuman karena oleh ketua Siauw-lim-si mereka dianggap melakukan dosa, melanggar kesusilaan karena mereka berdua telah menjadi suami isteri tanpa nikah!

Selama dua puluh tahun mereka harus menjalani hukuman bertapa di kuil itu, akan tetapi justru dalam menjalani hukuman itulah mereka berdua menemukan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan orang-orang sakti yang termasuk Delapan Dewa! Walau pun mereka dihukum dalam ruangan berbeda, dengan ilmu mereka yang tinggi keduanya bisa mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu sehingga keduanya menjadi semakin sakti!

Dari hubungan mereka lantas terlahirlah seorang anak perempuan! Karena mereka dalam keadaan sebagai terhukum, maka terpaksa anak perempuan itu harus mereka titipkan di dusun. Nasib lalu membuat anak itu lenyap terculik, dan setelah dewasa barulah anak itu kembali kepada mereka,.

Orang ke tiga yang sedang berjalan-jalan di pagi hari itulah anak mereka, puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian! Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, bertubuh ramping dengan pinggang yang amat kecil dan dengan kulit yang putih mulus. Rambutnya panjang sampai ke pinggul, hitam mengkilap dan tebal, dan pada pagi hari ini rambut itu dikuncir menjadi dua, dibiarkan tergantung dan kedua ujungnya diikat pita sutera biru.

Bi Lian memiliki mata ayahnya yang mencorong tajam. Hidungnya kecil mancung seperti hidung ibunya, bentuk mulutnya seperti mulut ibunya, hanya bedanya, kalau bibir ibunya selalu terlihat agak pucat seperti wajahnya, bibir Bi Lian selalu terlihat merah membasah. Bentuk mukanya bulat telur dan sebutir tahi lalat di dagunya menjadi pemanis yang amat menarik.

Walau pun ayah dan ibunya amat lihai, tapi karena sejak kecil terpisah dari mereka, gadis ini menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dari dua orang datuk iblis yang amat linai, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua orang di antara Empat Setan.

Di bagian depan cerita ini sudah diceritakan betapa Bi Lian berjumpa dengan murid ayah ibunya, yaitu Pek Han Siong yang oleh ayah ibunya telah diangkat menjadi tunangannya. Han Siong inilah yang membuka rahasianya bahwa dia adalah puteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dan Han Siong pula yang membawanya ke kuil Siauw-lim-si, kemudian menyusul ke tempat tinggal suami isteri itu, yaitu Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) yang terletak di pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur.

Sesudah bertemu, pertemuan yang penuh keharuan dan kebahagiaan, ayah ibu gadis itu memberi tahu tentang ikatan jodoh antara Bi Lian dan Han Siong. Gadis itu menolak! Dia menolak bukan karena dia membenci Han Siong, malah sebaliknya dia amat mengagumi Han Siong dan juga amat menyukainya.

Akan tetapi Bi Lian sudah menganggap Han Siong sebagai suheng (kakak seperguruan) sehingga perubahan yang mendadak itu membuat gadis ini merasa canggung dan salah tingkah. Maka dia menyatakan tidak setuju.

Mendengar ini Han Siong tersinggung, dan dia pun mohon kepada kedua orang gurunya untuk membatalkan ikatan jodoh itu. Dia pun lalu mengembalikan pedang pusaka Kwan-im-kiam yang dulu diterimanya dari kedua orang gurunya sebagai tanda perjodohan.

Demikianlah, setelah Han Siong pergi Bi Lian tinggal bersama ayah dan ibunya. Dan dari kedua orang tuanya itu dia pun menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Dia memilih jurus-jurus simpanan saja sehingga dia yang sudah lihai sebagai murid Pak-kwi-ong (Raja Iblis Utara) dan Tung-hek-kwi (Iblis Hitam Timur) kini menjadi semakin lihai. Pada pagi hari itu ayah ibu dan anak ini tengah berjalan-jalan di puncak menikmati keindahan suasana pagi hari yang cerah itu.

Sejenak mereka bertiga tenggelam dalam keheningan yang indah itu. Bukan hening yang berarti sepi. Puncak-puncak cemara bergoyang, bunyi daun gemersik ditimpa dendang air dan meriahnya suara burung, keharuman yang meriah. Sama sekai tidak sepi, melainkan keheningan yang tercipta ketika hati dan akal pikiran berhenti berceloteh. Sayang sekali, keheningan itu segera dikacaukan oleh pikiran.

Melihat burung terbang berpasangan, Siangkoan Ci Kang menghela napas panjang dan melirik kepada puterinya. Semua keindahan itu lenyaplah sudah, terganti oleh kegelisahan dan kedukaan karena kini batinnya terpenuhi permasalahan mengenai diri puterinya.

Sudah hampir dua bulan puterinya tinggal bersama mereka di Kim-ke-kok, dan selama dua bulan itu dia dan isterinya mengajarkan jurus-jurus rahasia simpanan mereka kepada Bi Lian. Akan tetapi, pada waktu malam apa bila dia berada berdua saja dengan isterinya di dalam kamar mereka, mereka tiada hentinya membicarakan puteri mereka dengan hati yang kecewa dan berduka.

Puteri mereka telah menggagalkan dan bahkan membikin putus ikatan perjodohan antara puteri mereka dan murid mereka, Pek Han Siong. Mereka tidak melihat adanya pemuda lain yang lebih baik dari pada murid mereka itu. Hal inilah yang pada waktu itu menyelinap di dalam pikiran Siangkoan Ci Kang ketika dia melihat burung-burung beterbangan secara berpasangan.

“Lian-ji (anak Lian), tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?'

Bi Lian dan ibunya yang masih tenggelam dalam keheningan, seperti baru terbangun dan Bi Lian menoleh, memandang ayahnya dengan heran. Sungguh dia tak pernah menduga bahwa ayahnya akan mengajukan pertanyaan semacam itu di pagi hari ini. Sejak mendaki puncak itu mereka bertiga tidak pernah berbicara, mereka hanya menikmati suasana yang amat indah itu. Dan tiba-tiba ayahnya bertanya tentang usianya!

"Kalau tidak salah sudah hampir dua puluh satu tahun. Kenapa, Ayah?" jawabnya sambil menatap wajah ayahnya dengan sinar mata bertanya. Ayahnya juga menatap kepadanya sehingga dua pasang mata yang sama mencorongnya itu saling pandang seperti hendak menembus hati masing-masing.

"Tidak mengapa, hanya... kukira bagi seorang wanita usia sedemikian itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang isteri yang baik. Bahkan sudah cukup pula untuk menjadi seorang ibu yang baik. Aihh, betapa inginku menimang seorang bayi, seorang cucuku...!" kata pula Toan Hui Cu sambil menarik napas panjang karena dia sudah membayangkan kesenangan itu.

Bi Lian mengerutkan alisnya, namun dia tidak marah. Dia cukup mengerti akan perasaan hati ayah ibunya yang ingin melihat dia menikah kemudian mempunyai anak!

"Aihhh, Ayah dan Ibu selama dua bulan ini hampir setiap hari bicara tentang pernikahan untukku!" Dia hanya mengeluh, lalu berhenti melangkah.

Ayah dan ibunya juga berhenti. Mereka berada di puncak dan di bawah kaki mereka, di sekeliling puncak itu, nampak hutan dan pohon-pohon kelihatan begitu kecil dan pendek.

"Terus terang saja, anakku, Ayah dan Ibumu hanya memiliki satu keinginan, yaitu melihat engkau berumah tangga. Anak kami hanya engkau seorang dan kelirukah kalau Ayah dan Ibumu ingin melihat anaknya berumah tangga?" kata pula ibu Bi Lian.

Bi Lian mendekati ibunya, lantas merangkul pinggang ibunya. Ibunya masih cantik sekali, bahkan patut kalau menjadi kakaknya.

"Ibu, aku tahu dan aku tidak menyalahkan kalian, hanya saja urusan perjodohan bukanlah urusan yang sedemikian mudahnya. Tak mungkin jika aku secara begitu saja memungut seorang calon suami dari pinggir jalan!"

"Ha-ha-ha!" Siangkoan Ci Kang tertawa. "Tentu saja hal itu tidak mungkin! Engkau harus memperoleh seorang suami yang terbaik, anakku! Dan menurut penglihatan kami, kiranya tidak ada pemuda yang lebih baik dari pada suheng-mu sendiri, Pek Han Siong! Sayang sekali engkau membencinya, Lian-ji."

"Ayah, aku sama sekali tidak membencinya! Bahkan aku kagum dan suka kepadanya!" Bi Lian membantah cepat.

"Hemm, kalau benar demikian, kenapa engkau begitu tega untuk menghancurkan hatinya dengan memutuskan ikatan perjodohan itu? Dari mana lagi kita akan bisa mendapatkan seorang pemuda yang melebihi Han Siong, baik kepandaiannya mau pun wataknya? Dia seorang pendekar sejati, anakku!"

Bi Lian menahan senyumnya dan entah mengapa, pada saat itu terbayanglah wajah Hay Hay yang tersenyum-senyum nakal itu! Dia pun menghela napas.

"Ayah dan Ibu, aku tahu bahwa kalian masih menyesali kegagalan perjodohan antara aku dengan suheng. Maafkan aku. Terus terang saja aku pun kagum dan suka pada suheng Pek Han Siong, akan tetapi rasa sukaku itu hanya sebatas perasaan terhadap seorang suheng. Aku tidak tahu apakah di dalam hatiku ada cinta terhadap suheng. Akan tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa aku tidak yakin akan cintanya kepadaku."

"Ehh? Bukankah dia secara terus terang telah menyatakan cintanya kepadamu, di depan aku dan ibumu? Lian-ji, Han Siong mencintaimu, itu sudah jelas!" kata pula Siangkoan Ci Kang.

"Ayahmu benar, Bi Lian. Han Siong cinta kepadamu dan dia akan menjadi seorang suami yang amat baik, juga ayah yang baik untuk anak-anakmu," kata ibunya.

"Bagaimana Ayah dan Ibu dapat begitu yakin? Ingatlah, ketika suheng mengaku cinta, dia telah terikat perjodohan denganku maka tentu saja dia mengaku cinta, karena kalau tidak, berarti dia akan menghina Ayah dan Ibu dan juga aku! Dia sudah terikat jodoh denganku sebelum dia melihat aku, Ayah dan Ibu. Hal ini harap dipertimbangkan. Andai kata ketika dia mengaku cinta kepadaku itu dia belum terikat dengan perjodohan, mungkin sekali aku akan percaya, bahkan merasa yakin. Akan tetapi keadaannya tidak demikian. Aku tidak puas, Ayah dan Ibu. Maafkan aku, akan tetapi aku hanya mau menikah dengan seorang pria yang aku yakin benar-benar mencintaku, dan tentu saja kalau aku mencintanya."

Suami isteri itu saling pandang. Alasan puteri mereka itu memang kuat dan tepat. Kini pun mereka dapat merasakannya. Memang mereka percaya bahwa Han Siong benar-benar mencinta Bi Lian. Akan tetapi, andai kata tidak demikian halnya, apakah Han Siong berani mengatakan bahwa dia tidak mencintai gadis itu? Gadis yang sudah ditetapkan menjadi calon isterinya? Tentu tidak akan berani!

"Hemmm, kalau begitu, Lian-ji. Andai kata kelak engkau menjadi yakin bahwa Han Siong benar-benar mencintamu, apakah masih ada harapan untuk... ehh, menyambung kembali tali yang telah putus itu?" tanya Siangkoan Ci Kang.

Bi Lian termenung. Bagaimana pun juga, selama ini hanya ada dua orang laki-laki yang menarik hatinya dan dikaguminya. Yang pertama adalah Hay Hay, ada pun yang ke dua adalah Pek Han Siong!

Tentu saja Hay Hay memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi setiap orang wanita, karena pemuda itu pandai sekali mengambil hati secara wajar, bukan menjilat. Hidup di samping Hay Hay tentu merupakan suatu keadaan yang selalu menggembirakan sehingga dunia akan selalu nampak cerah. Sebaliknya Han Siong adalah seorang pemuda yang jantan, pendiam dan halus tenang, mendatangkan suasana damai yang tenang.

Keduanya memang tampan dan gagah, dengan ilmu kepandaian yang seimbang, bahkan keduanya juga menguasai ilmu sihir yang ampuh. Tapi dia merasa kecewa terhadap Han Siong karena pemuda itu menerima ikatan jodoh begitu saja, pada hal selama hidupnya belum pernah berjumpa dengannya! Hal inilah yang mengganjal di hatinya, seakan-akan dia merasa bahwa Han Siong ingin berjodoh kepadanya bukan karena dirinya, melainkan karena hendak mentaati ayah ibunya! Hal ini membuat dia merasa dirinya kurang penting dan kurang berharga!

"Tentu saja hal itu mungkin sekali, Ayah. Kita lihat saja perkembangannya kelak. Apa bila dia memang benar mencintaku dengan tulus dan kalau kemudian aku melihat kenyataan bahwa aku pun mencintanya, maka tak ada halangannya bagi kami untuk dapat berjodoh. Bukankah jodoh itu di tangan Tuhan?"

Mendengar ucapan puteri mereka, suami isteri itu saling pandang dan ada sinar harapan baru terpancar di dalam pandang mata mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar kokok ayam hutan jantan dan seketika berubah sikap Siangkoan Ci Kang dan isterinya.

Mereka cepat-cepat menyelinap ke balik semak-semak dan Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada Bi Lian untuk bersembunyi pula. Bi Lian terkejut dan terheran, lalu segera dia menyelinap ke dekat mereka.

"Ada apakah?" tanyanya dengan bisikan lirih.

"Sstttt... inilah yang kami tunggu-tunggu selama berbulan-bulan. Agaknya dia menghadapi lawan. Kita harus mendekat dengan sangat hati-hati agar jangan mengejutkan mereka dan jangan mengganggu perkelahian mereka. Mari ikuti aku dan hati-hati, jangan berisik!" kata Siangkoan Ci Kang.

Isterinya mengikuti di belakangnya, dan Bi Lian yang masih terheran-heran mengikuti di belakang ibunya. Siapakah yang sedang berkelahi, pikir Bi Lian. Tentu orang-orang yang sakti, kalau tidak begitu, tidak mungkin ayah ibunya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu begitu berhati-hati menghampiri tempat perkelahian itu. Dan siapakah yang berkelahi sambil mengeluarkan kokok ayam hutan jantan itu? Sungguh aneh!

Dengan cepat tapi dengan pengerahan ginkang agar gerakan mereka ringan sehingga tak bersuara, mereka bertiga menyusup-nyusup menuruni puncak menuju ke hutan cemara di sebelah kiri. Akhirnya Siangkoan Ci Kang berhenti kemudian bersembunyi di balik semak-semak, memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk bersembunyi di situ pula.

Kemudian suami isteri itu mengintai dengan penuh perhatian, dengan wajah berseri-seri. Bi Lian juga mengintai ke arah mereka memandang dan dia terbelalak karena yang diintai oleh ayah ibunya itu bukan dua orang jago silat yang sedang bertanding, melainkan dua ekor ayam jago hutan sedang bertanding! Seekor ayam jago yang bulunya seperti emas melawan seekor ayam jago yang bulunya kelabu.

Pantas saja mereka harus berindap-indap karena dua ekor ayam hutan itu tentu langsung terbang pergi jika mereka mengeluarkan suara berisik. Ayam hutan merupakan binatang yang liar sekali, tak dapat didekati manusia. Akan tetapi mengapa ayah ibunya menonton ayam bertanding dengan perhatian seperti itu?

Dengan penuh perhatian Bi Lian ikut memandang. Akan tetapi baginya dua ekor binatang yang sedang bertanding itu hanyalah dua ekor ayam hutan yang tidak begitu besar, tidak sebesar ayam jago biasa,. Akan tetapi sesudah memperhatikan, dia melihat bahwa ayam berbulu emas itu memiliki ketangkasan luar biasa, sedangkan si bulu kelabu hanya galak dan menyerang secara ngawur saja.

Semua serangan dari si kelabu itu tak pernah berhasil, patukannya luput, sabetan kakinya juga tidak pernah mengenai sasaran. Si bulu emas jarang menyerang, akan tetapi setiap kali menyerang pasti mengenai sasaran dengan tepatnya sehingga sudah beberapa kali si kelabu kena tertendang hingga terjengkang!

Biar pun demikian, semua itu tidak ada artinya bagi Bi Lian. Akan tetapi bila dia menoleh kepada ayah ibunya, mereka menonton tanpa pernah berkedip seolah-olah setiap gerakan dua ekor ayam hutan itu hendak ditelan dengan pandang mata mereka, dan beberapa kali dia melihat ayahnya mengangguk-angguk dengan wajah gembira sekali.

Perkelahian mati-matian itu tidak berlangsung lama. Pada saat si kelabu yang telah mulai lemah dan mukanya sudah mulai membengkak dan berdarah itu untuk ke sekian kalinya menerjang dengan tenaga terakhir, si bulu emas mengelak ke samping dan ketika tubuh lawan menubruk tempat kosong, dia membalik, menggunakan paruhnya mematuk leher si kelabu, kemudian kakinya menendang.

"Bressss...! Keokkk...!"

Si kelabu hanya berteriak satu kali dan dia berlompatan aneh, dari kepalanya bercucuran darah. Kiranya sabetan kaki yang berjalu runcing itu telah mengenai kepala dengan tepat, dekat telinga sehingga tempurung kepala itu retak dan darah keluar, membuat si kelabu berloncatan dalam keadaan sekarat! Dan si bulu emas, dengan lagak yang gagah sekali, lantas mengembangkan sayapnya, menarik tubuh ke atas setinggi mungkin, dengan leher terjulur panjang dan keluarlah bunyi kokoknya penuh kebanggaan dan kemenangan!

Biar pun pertandingan itu telah selesai, Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada isteri dan puterinya agar berdiam diri. Selagi Bi Lian merasa heran, tiba-tiba dari semak-semak di seberang berloncatan keluar dua ekor binatang musang. Tidak terlampau besar, hanya sebesar anjing kecil, akan tetapi mereka itu melompat dengan cekatan sekali.

Yang seekor telah menyambar ayam yang sekarat, menggigit lehernya dan menyeretnya pergi dari situ. Musang ke dua, yang lebih besar, menubruk ke ayam hutan berbulu emas yang tadi menang bertanding. Lompatannya sangat cepat dan gesit, dan agaknya sukar bagi ayam itu untuk meloloskan diri.

Akan tetapi pada detik terakhir ayam berbulu emas itu dapat melempar tubuh ke belakang lalu membanting diri ke samping sehingga tubrukan itu luput. Kalau ayam itu mau, dengan mudah saja dia dapat terbang meloloskan diri dari musang itu. Akan tetapi ternyata tidak! Ayam itu sekarang berdiri dengan kepala menunduk, sepasang mata melotot, bulu emas dilehernya mekar dan siap untuk bertarung!

"Tolol!" pikir Bi Lian dalam hatinya. "Mana mungkin kamu akan dapat menandingi seekor musang?"

Ayam berbulu emas itu amat sombong, pikirnya, tidak memperhitungkan siapa lawannya. Mungkin dia sudah menjadi kepala besar dan tidak takut melawan siapa pun juga karena kemenangannya terhadap ayam kelabu tadi!

Agaknya musang itu juga menjadi tercengang. Tadi tubrukannya sudah luput dan menurut pengalamannya, tentu ayam hutan yang luput ditubruk itu telah terbang pergi. Akan tetapi ayam hutan berbulu emas ini tidak segera terbang melarikan diri malah menantang untuk berkelahi!

Kalau saja wataknya seperti manusia, tentu dia sudah tertawa untuk mengejek ayam kecil itu! Akan tetapi dia tetap seekor musang, maka melihat calon mangsanya masih di sana, dia telah menerkam lagi dengan ganasnya. Musang pun termasuk binatang liar, hidupnya di hutan dan makanan utamanya memang binatang yang lebih kecil, maka gerakannya ganas dan beringas sekali, penuh kebuasan binatang liar yang hidup di hutan.

"Wuuuttt...! Bresss...!"

Bi Lian hampir bersorak. Pada saat musang itu menubruk, ayam itu meloncat ke samping atas dan sebelum musang yang luput menubruk itu sempat membalik, ayam itu sudah menerjang dari atas, secara serentak paruhnya mematuk dan kakinya menendang kepala musang.

Musang itu terkejut. Patukan serta tendangan kaki berjalu itu cukup mendatangkan nyeri walau pun tidak dapat melukai kulitnya yang terlindung bulu itu. Dia segera membalik dan kembali menerkam. Ayam itu mengelak lagi sambil terbang dan kembali sudah menerjang dari atas dan hal ini terjadi berkali-kali.

Bi Lian menonton dengan hati tegang. Walau pun sambarannya dapat mengenai kepala musang dengan tepat, akan tetapi tenaga ayam itu tidak cukup kuat untuk melukai kepala musang yang terlindung bulu apa lagi merobohkannya. Sedangkan sebaliknya, sekali saja terkaman musang itu mengenai sasaran, tentu leher atau perut ayam itu kena digigit dan akan tamatlah riwayat ayam yang pemberani itu.

Ketika dia menengok ke arah ayah ibunya, dia melihat kedua orang itu masih saja seperti tadi, tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Dan kembali seperti tadi, beberapa kali ayahnya mengangguk-angguk gembira.

Musang itu agaknya marah sekali. Kembali dia menubruk dan ketika ayam itu mengelak ke atas, musang itu tiba-tiba saja berdiri di atas kaki belakang dan kedua kaki depannya mencoba untuk menangkap ke atas.

Akan tetapi dengan sekali mengebutkan sayapnya yang dikembangkan, ayam itu kembali luput sebab tubuhnya naik ke atas kemudian secara tiba-tiba sekali dia membalas dengan patukan dan cakaran, tak lagi menendang melainkan mencakar. Dengan kuku-kuku yang menjadi kuat dan tebal, juga runcing melengkung karena setiap hari dipergunakan untuk menggaruk-garuk tanah keras mencari cacing itu, kedua kaki itu lantas mencakar ke arah moncong musang, sedangkan paruhnya yang juga runcing melengkung dan sangat keras itu mematuk ke arah mata kiri.

"Bresss...!"

Musang itu mengeluarkan suara seperti tikus terjepit batu, lantas dari hidung dan matanya mengucur darah! Mata kirinya pecah terpatuk dan hidungnya luka berdarah. Dia pun lari tunggang langgang dan menghilang ke dalam semak-semak jauh dari situ. Ayam hutan itu pun terbang ke atas, hinggap pada sebuah dahan pohon cemara dan dia pun berkeruyuk dengan sombongnya, dengan dada mengembung dan leher memanjang!

Bi Lian menjadi demikian gembiranya sehingga tanpa sadar dia pun melompat keluar dari tempat sembunyinya dan bertepuk tangan memuji. Begitu mendengar suara tepuk tangan ini, ayam jantan yang pemberani itu langsung terbang dan melarikan diri ketakutan sambil mengeluarkan teriakan berkokok panik!

Akan tetapi mendadak Bi Lian menghentikan tepuk tangannya dan memandang terbelalak melihat betapa ayah dan ibunya kini bersilat saling serang! Dia melihat ibunya menyerang dengan jurus-jurus dahsyat dari Kwan Im Sin-kun yang sedang dia pelajari dari mereka, jurus-jurus pilihan paling hebat.

Dari kedua tangan ibunya itu menyambar-nyambar angin pukulan yang lembut namun dia tahu bahwa di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat. Itulah kehebatan ilmu silat Kwan Im itu. Sesuai dengan sifat Dewi Kwan Im sendiri, Dewi Welas Asih yang terkenal lembut dan murah hati, akan tetapi di balik kelembutan itu terkandung kesaktian yang tak dapat dikalahkan oleh segala macam setan dan iblis!

Dia tidak merasa heran melihat ibunya menyerang ayahnya dengan ilmu silat itu. Tentu saja serangan-serangan ibunya amat hebat karena ibunya adalah ahli dalam ilmu silat itu yang tingkatnya sudah sejajar dengan ayahnya. Akan tetapi yang membuat dia bengong adalah ketika melihat ayahnya menghadapi serangan ibunya itu dengan gerakan-gerakan yang hampir saja memancing ketawanya.

Gerakan ayahnya itu mirip sekali dengan gerakan ayam jantan hutan berbulu emas tadi! Betapa ayahnya menggerak-gerakkan kepalanya ke depan dan belakang, betapa kepala itu kadang kala mengelak ke bawah dan ke belakang dengan gerakan melengkung sambil menjulurkan leher, kemudian kedua kaki itu berloncatan seperti lagak ayam jago berbulu kuning emas tadi.

Ketika ibunya menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba ayahnya mengelak dengan loncatan ke atas, lalu dari atas dia menerkam ke bawah. Lengan baju kiri yang tidak berisi lengan itu meluncur ke arah mata, sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah hidung dan mulut, sementara kedua kaki juga menendang ke arah dada.

Teringatlah Bi Lian akan ‘jurus’ yang digunakan oleh ayam jago bulu emas tadi terhadap lawannya yang jauh lebih kuat, yaitu musang. Jurus itulah yang tadi membuat si musang berdarah pada mata dan hidungnya, kemudian membuat musang itu lari ketakutan.

"Ihhhh... bagus sekali...!" Ibunya melempar tubuh ke belakang sambil terhuyung. Ayahnya juga melompat turun dan keduanya tersenyum dengan wajah cerah.

Bi Lian adalah seorang gadis yang cerdik. Biar pun tadi dia terheran-heran dan juga geli, sekarang dia pun memandang kagum kepada mereka setelah dia mengerti.

"Aihh, kiranya Ayah dan Ibu sudah lama mempelajari gerakan ayam hutan jantan berbulu kuning emas itu untuk menciptakan ilmu silat baru! Pantas tadi kita harus berhati-hati agar jangan mengejutkannya!"

Ayah dan ibunya serentak mengangguk. "Ayam hutan berbulu kuning emas itu memang hebat bukan kepalang," kata ibunya. "Kami pernah melihat dia mengalahkan seekor ular, bahkan juga menghajar sampai mati seekor tikus hutan yang sangat besar. Dan sekali ini engkau melihat sendiri, bukan saja dia menghajar ayam hutan lain tadi, bahkan dia sudah berhasil mengalahkan seekor musang! "

"Gerakannya memang cepat, gesit dan cerdik. Kami dapat meniru beberapa gerakannya yang memang hebat sekali," sambung ayahnya. "Sudah beberapa tahun kami mengamati gerakannya dan baru pagi hari ini aku berhasil menyempurnakan beberapa jurus gerakan yang sudah lama kupelajari."

"Hebat sekali!" seru Bi Lian. "Lalu apa namanya ilmu silat yang Ayah Ibu ciptakan itu?"

"Kami beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), selain memang berdasarkan banyak gerakan ayam hutan berbulu emas itu, juga disesuaikan dengan tempat ini yang disebut Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas). Tentu saja gerakan ayam hutan itu merupakan dasarnya, tapi dicampur dengan ilmu silat kami. Kau telah mempelajari gerakan ilmu silat kami, tentu akan mudah menguasai Kim-ke Sin-kun."

Bi Lian girang sekali mendengar ucapan ayahnya itu, dan mulai hari itu juga dia pun mulai mempelajari ilmu silat yang baru diciptakan oleh ayah ibunya itu. Seperti juga sifat seekor ayam jantan dari hutan yang masih liar, maka ilmu silat Kim-ke Sin-kun itu mengandung pula kecepatan, kegesitan, kewaspadaan alamiah dan kecerdikan yang disertai keliaran. Di samping itu, karena ilmu ini dipadukan dengan Kwan Im Sin-kun, maka mengandung kehalusan dan kelembutan pula, didorong oleh sinkang (tenaga sakti) yang amat dahsyat.

Selama tiga bulan Bi Lian mempelajari ilmu baru itu dengan tekunnya, juga memperdalam ilmu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut. Seperti biasanya, pada pagi itu dia sedang berlatih di puncak yang sunyi di mana dia bersama ayah dan ibunya pernah melihat ayam hutan berbulu emas berkelahi.

Pagi hari itu ia sengaja meminjam pedang pusaka Kwan Im Po-kiam dari ayah ibunya dan menggunakan pedang itu untuk berlatih silat pedang Kwan Im Kiam-sut. Sebelumnya dia berlatih silat tangan kosong Kim-ke Sin-kun yang merupakan ilmu silat baru ciptaan orang tuanya itu.

Tiba-tiba Bi Lian menghentikan permainan pedangnya dan cepat menyarungkan pedang, kemudian pandang matanya ditujukan ke bawah. Dia melihat seorang penunggang kuda sedang membalapkan kudanya mendaki bukit itu. Kuda itu besar dan kuat, dan agaknya penunggangnya juga pandai sekali. Akan tetapi Bi Lian mengerutkan alisnya.

Jalan menuju ke rumah ayah ibunya itu amat berbahaya jika dicapai dengan menunggang kuda yang dilarikan demikian cepatnya. Pada jalan mendaki itu ada bagian yang berbatu-batu kecil yang licin sekali. Seekor kuda yang berlari cepat dapat jatuh apa bila menginjak batu-batu kecil yang mudah runtuh ke bawah itu.

Bi Lian khawatir dan juga tertarik. Cepat ia menuruni puncak untuk melihat apa yang akan terjadi dengan penunggang kuda itu ketika melewati jalan yang berbahaya itu. Sebaiknya kalau dia dapat datang lebih dulu untuk memperingatkan penunggang kuda itu. Maka Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari menuruni puncak seperti terbang untuk mendahului kuda itu.

Akan tetapi kuda itu berlari cepat sekali dan Bi Lian masih berada agak jauh di atas saat kuda itu telah memasuki jalan yang berbahaya itu. Akan percuma saja kalau dia berteriak memperingatkan, sebab selain jaraknya masih jauh sehingga ucapannya tentu tidak dapat ditangkap jelas, juga penunggang kuda yang belum dikenalnya itu belum tentu akan mau memperhatikan teriakan serta isyaratnya. Maka dia pun hanya memandang saja dengan hati khawatir.

Jika hanya kuda itu tergelincir dan jatuh saja, hal ini masih tidak mengkhawatirkan. Paling hebat penunggangnya akan terlempar dan lecet-lecet atau patah tulang saja. Akan tetapi di sebelah kiri jalan mendaki itu terdapat jurang yang menganga lebar dan sangat dalam. Kalau penunggang kuda itu sampai terlempar ke dalam jurang, akan habislah riwayatnya! Inilah yang mengkhawatirkan hatinya.

Penunggang kuda itu kini kelihatan jelas oleh Bi Lian. Seorang pria muda yang bertubuh tinggi besar sehingga serasi dengan kudanya yang juga besar dan kuat. Cara dia duduk di atas pelana kuda saja menunjukkan bahwa dia seorang penunggang kuda yang mahir. Duduknya tegak, lentur dan seolah-olah tubuhnya telah menjadi satu dengan kuda karena gerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan kuda.

Sekarang kuda mulai memasuki jalan yang berbatu kerikil itu. Bi Lian memandang dengan penuh perhatian dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, kuda itu segera saja tergelincir begitu keempat kakinya menginjak batu-batu kecil!

Agaknya kuda itu sudah melakukan perjalanan jauh dan dalam keadaan yang kelelahan pula. Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan ketika binatang itu tergelincir, dia mencoba untuk mempertahankan tubuh dengan keempat kakinya. Akan tetapi setiap kali menginjak tanah dengan kuat, kakinya terpaksa menginjak batu kerikil pula sehingga tergelincir dan akhirnya kuda itu terjatuh, terpelanting dan keempat kakinya seperti ditarik dalam waktu yang bersamaan.

Bi Lian melihat kuda itu terjatuh, akan tetapi pada saat itu pula ia terbelalak kagum ketika melihat tubuh penunggang kuda itu tiba-tiba saja melayang ke atas, lantas berjungkir balik membuat salto sampai lima kali sebelum dia turun ke atas tanah dengan tegak. Dan baru nampak bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, tubuh seorang pria yang jantan dan gagah sekali.

Dengan sikap amat tenang pemuda itu lalu menghampiri kudanya yang tak dapat bangkit kembali. Tadi kuda itu terjatuh, lalu tubuhnya meluncur kembali ke bawah karena jalan itu mendaki dan tubuhnya baru berhenti terseret ketika menumbuk batu besar yang berada di tepi jalan. Untung ada batu besar itu, jika tidak tentu tubuhnya akan terjerumus ke dalam jurang di balik batu itu.

Ketika pemuda itu berjongkok memeriksa kudanya, binatang itu hanya dapat menggerak-gerakkan sedikit kaki dan kepalanya, akan tetapi tak mampu bangkit. Agaknya tulang dua kaki depannya sudah patah, juga kepalanya terluka dan berdarah.

Pemuda itu memeriksa dengan teliti, kemudian mengambil buntalan pakaiannya dari atas punggung kuda. Diikatnya buntalan itu pada punggungnya, lalu pemuda itu memandang ke sekeliling. Sunyi tidak nampak orang lain. Lalu dia menjenguk ke dalam jurang di balik batu.

"Kuda yang baik, engkau telah banyak berjasa kepadaku. Terpaksa aku akan mengakhiri penderitaanmu. Selamat berpisah!" Mendadak tangan kanannya bergerak ke arah kepala kuda itu.

"Prakkk…!”

Kuda itu terkulai, terlihat kakinya tidak bergerak-gerak lagi. Kemudian pemuda itu menarik kaki kuda, dan dengan pengerahan tenaga, dia melemparkan bangkai kuda itu ke dalam jurang!

Bi Lian terbelalak, wajahnya berubah merah karena marah dan dia pun melompat keluar dari tempat pengintaiannya.

"Engkau manusia berhati iblis!" bentaknya marah sekali.

Pemuda itu sangat terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik jelita muncul di hadapannya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri menudingkan telunjuk kecil ke arah mukanya, sepasang mata itu mencorong penuh kemarahan dan seketika itu juga hati pemuda itu meloncat-loncat di dalam rongga dadanya, berjungkir balik dan dia jatuh hati!

"Apa...? Mengapa...? Aihh, Nona, kenapa Nona marah dan memaki aku? Siapakah Nona dan apa kesalahanku sehingga Nona memaki aku berhati iblis?" tanyanya dengan gugup karena kecantikan Bi Lian benar-benar membuat dia terpesona, salah tingkah dan hampir dia tidak percaya bahwa gadis itu seorang manusia, bukan seorang dewi dari langit!

"Manusia busuk! Kau kira tidak ada yang melihat perbuatanmu? Kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan tadi? Engkau ini manusia berhati kejam. Kau tadi mengaku sendiri bahwa kuda itu telah banyak berjasa kepadamu. Akan tetapi engkau justru membunuhnya dan melempar bangkainya ke dalam jurang! Di samping kejam engkau juga telah merusak tempat ini sehingga aku tidak dapat membiarkan saja!"

"Ahh, itukah gerangan yang membuat engkau menjadi sangat marah, Nona?" Pemuda itu baru mengerti sekarang dan dia tersenyum.

Harus diakui oleh Bi Lian bahwa pemuda itu memang gagah. Selain tubuhnya tinggi tegap dan kokoh, juga wajah itu memiliki daya tarik yang sangat kuat ketika tersenyum. Akan tetapi bila mana mengingat akan perbuatannya tadi, hatinya tetap merasa penasaran dan marah sekali.

"Akan tetapi, Nona, perbuatanku tadi tidak merugikan siapa pun, juga tidak merugikanmu. Kuda itu adalah milikku sendiri, dan bangkainya pun kubuang ke dalam jurang yang dalam sehingga tidak akan mengganggu orang lain. Kenapa engkau marah-marah, Nona?"

"Masih bertanya mengapa aku marah? Pertama, melihat kekejamanmu tadi, engkau patut dihukum! Ke dua, tempat ini adalah tempat tinggal kami, dan engkau mengotori jurang itu dengan bangkai kuda yang nanti tentu akan mengeluarkan bau busuk. Dan engkau masih bertanya mengapa aku marah?"

Pemuda itu tidak tersenyum lagi, nampak terkejut dan heran mendengar ucapan itu. "Ahh, jadi bukit ini adalah tempat tinggalmu, Nona? Kalau begitu maafkanlah aku, Nona, sebab aku tidak mengerti dan..."

"Sudahlah! Engkau adalah orang yang kejam dan melihat engkau tadi telah mengeluarkan kepandaianmu, maka aku tahu bahwa engkau pandai silat. Agaknya kepandaian itu yang membuat engkau berhati kejam. Nah, majulah dan terimalah hukumanmu!"

Ditantang begitu, pemuda ini kelihatan gembira. Dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dan tentu saja dia memandang rendah kepada seorang gadis yang kelihatan begitu cantik jelita dan lemah, walau pun gadis aneh itu mengaku pemilik bukit itu!

"Nona, aku tak ingin berkelahi denganmu, bahkan aku ingin berkenalan denganmu kalau engkau suka. Namaku Tan Hok Seng dan aku...”

"Aku tak ingin berkenalan denganmu, melainkan ingin menghukummu atas kekejamanmu tadi. Majulah!" Bi Lian sudah siap.

Pemuda yang mengaku bernama Tan Hok Seng itu sekarang tersenyum. "Nona, sudah kukatakan bahwa aku tak ingin berkelahi denganmu. Tetapi mengapa engkau mendesak dan menantangku? Ketahuilah, Nona, aku sama sekali tidak berbuat kejam terhadap kuda itu. Aku adalah seorang penyayang kuda dan selama ini kuda itu menjadi sahabat baikku. Tetapi setelah tadi dia terjatuh dan kuperiksa, ternyata tulang kedua kaki depannya sudah patah dan kepalanya juga retak. Tiada harapan hidup lagi baginya. Bagaimana aku dapat membiarkan dia menderita terlampau lama? Lebih baik dia dibunuh saja untuk mengakhiri penderitaannya."

Bi Lian bukan seorang gadis bodoh atau seorang yang masih belum matang. Sebaliknya dia adalah seorang gadis dewasa gemblengan yang sudah banyak pengalaman, seorang pendekar wanita yang tentu saja selalu berpikir panjang dan berpemandangan luas.

Dia dapat menerima alasan yang dikemukakan pemuda tinggi tegap, tampan dan gagah itu, dan dia sudah tidak lagi menyalahkan pemuda itu. Mungkin agak terlalu keras, namun apa yang dilakukan oleh pemuda itu terhadap kudanya memang merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan binatang yang disayangnya itu.

Namun diam-diam timbul keinginannya untuk menguji sampai di mana kehebatan pemuda gagah perkasa ini. Kalau saja ia tadi tidak melihat pemuda itu menghindarkan diri terbawa jatuh bersama kudanya dengan membuat pok-sai (salto) sedemikian indahnya, kemudian melihat betapa sekali pukul saja pemuda itu dapat membunuh kudanya, tentu tidak timbul keinginan hatinya untuk menguji kepandaian pemuda itu.

"Sudahlah, cukup! Aku tidak ingin berpanjang cerita lagi. Engkau sudah mengotori tempat tinggal kami dengan bangkai kuda di dalam jurang itu. Kini hanya ada dua pilihan bagimu. Engkau ambil bangkai kuda itu lantas kau kuburkan baik-baik agar tidak menimbulkan bau busuk, atau engkau harus menghadapi seranganku!"

Pemuda yang bernama Tan Hok Seng itu mengerutkan alisnya yang hitam dan berbentuk golok, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. Dia menjenguk ke bawah jurang, kemudian menarik napas panjang.

"Nona, bagaimana mungkin aku menuruni jurang ini untuk mengambil bangkai kuda itu?" katanya.

Tentu saja Bi Lian maklum akan ketidak mungkinan ini, karena itu dia justru mengajukan pilihan itu sehingga takkan ada piihan lain bagi pemuda itu kecuali menandinginya!

"Hemm, kalau engkau tidak dapat mengambilnya dan menguburnya, maka engkau harus menandingiku!" Lalu dia segera menambahkan. "Tentu saja kalau engkau bukan seorang pengecut yang takut menerima tantanganku!"

Biar pun pada dasarnya Bi Lian mempunyai jiwa pendekar, namun dia pernah menerima gemblengan dua orang datuk sesat, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, maka sedikit banyak watak ugal-ugalan menular kepadanya dan dia dapat bersikap keras mau menang sendiri!

Tan Hok Seng menarik napas panjang, akan tetapi matanya yang agak lebar itu bersinar dan wajahnya berseri. Dia kagum bukan main dan harus diakuinya dalam hati bahwa dara yang berdiri di depannya itu bukan main cantiknya.

Tubuhnya padat ramping dengan lekuk lengkung yang menunjukkan bahwa dara itu telah matang dan dewasa. Kulitnya putih mulus dan kulit muka serta lehernya demikian halus, tangannya begitu kecil lembut sehingga sukar dipercaya bahwa tangan selembut itu dapat bermain silat dan memukul orang.

Rambut yang panjangnya sampai pinggang itu dikuncir. Sepasang matanya demikian jeli dan tajam sinarnya, hidung kecil mancung, mulut yang menggairahkan dengan bibir yang basah kemerahan. Manisnya masih ditambah oleh tahi lalat kecil di dagu. Bukan main!

"Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu, apa lagi sampai berkelahi. Akan tetapi bukan berarti aku pengecut atau takut kepadamu. Tapi...”

"Sudahlah, kau sambut seranganku ini!" bentak Bi Lian yang ingin berkelahi bukan karena marah, melainkan karena ingin tahu hingga di mana kepandaian pemuda yang gagah dan tampan ini.

Hok Seng langsung mengelak karena dari sambaran tangan yang lembut itu datang angin pukulan yang sangat kuat. Dia terkejut dan sambil mengelak, dia pun membalas dengan tamparan ke arah pundak. Dia masih sungkan karena melihat kecantikan gadis itu, maka yang diserang hanyalah pundak lawan.

Bi Lian melihat betapa gerakan pemuda itu cukup tangkas, dengan jurus silat yang baik, kalau dia tidak salah menilai, dari aliran silat Bu-tong-pai. Maka dia pun cepat menangkis untuk mengukur sampai di mana besarnya tenaga pemuda itu.

"Dukkk!"

Lengan Hok Seng terpental dan dia meringis kesakitan. Tidak disangkanya bahwa lengan kecil gadis itu mengandung tenaga yang begitu kuatnya sehingga dia merasa lengannya bertemu dengan sepotong baja, bukan lengan gadis yang halus.

"Huhh, jangan memandang rendah kepadaku! Kerahkan semua tenagamu dan keluarkan semua kepandaian silatmu!" Bi Lian mengejek, karena tahu bahwa pemuda itu tadi tidak mengerahkan semua tenaganya.

Hok Seng terkejut ketika Bi Lian kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh gadis itu bergerak seperti bayangan saja, karena memang Bi Lian mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dia warisi dari mendiang Pak Kwi Ong si ahli ginkang. Dia juga menggunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Tung Hek Kwi, mengandalkan sinkang dan dengan ilmu silat ini dia dapat membuat lengannya mulur hingga bertambah panjang hampir setengah lengan!

Hok Seng berusaha melawan dengan gerakan cepat dan mencoba untuk membalas. Akan tetapi sebentar saja dia menjadi pening karena harus memutar-mutar tubuhnya mengikuti gerakan Bi Lian yang menyambar-nyambar bagaikan burung walet. Biar pun cukup gesit dan bertenaga besar, namun di dalam hal ilmu silat ternyata pemuda itu masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Bi Lian. Padahal Bi Lian belum memainkan ilmu silat yang baru saja dia pelajari dari ayah ibunya!

Bi Lian pun maklum akan hal ini, maka dia pun tidak menjatuhkan tangan maut kepada Hok Seng, hanya menyerang bertubi-tubi untuk mengacaukan perlawanannya saja. Kalau dia menghendaki, tentu pemuda itu tak akan mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus!

Tiba-tiba saja nampak dua sosok bayangan orang berkelebat di tempat itu dan terdengar seruan nyaring berwibawa, "Hentikan perkelahian!"

Mendengar suara ayahnya, Bi Lian cepat meloncat ke belakang, mendekati ayah ibunya yang segera memandang ke arah Hok Seng. Mereka tadi melihat betapa puteri mereka menyerang seorang pemuda yang mencoba untuk membela diri mati-matian, akan tetapi hati mereka lega karena melihat bahwa Bi Lian sama sekali tidak bermaksud mencelakai orang itu yang kalah jauh dibandingkan puteri mereka.

"Ayah dan Ibu, orang ini sudah membunuh kudanya yang jatuh terluka lantas membuang bangkainya ke dalam jurang." Bi Lian langsung melapor karena tidak ingin dipersalahkan. "Aku melihatnya sebagai hal yang kejam, dan dia mencemarkan udara ini dengan bangkai kuda yang tentu akan membusuk di dalam jurang lalu baunya akan mengotorkan udara di sini. Maka kutantang dia!"

"Aihh, engkau ini mencari gara-gara saja, Bi Lian." tegur ibunya.

Melihat gadis itu ditegur ibunya, Hok Seng cepat memberi hormat kepada suami isteri itu, merangkap kedua tangan dan membungkuk dengan sikap sopan sekali.

"Mohon maaf kepada Paman dan Bibi yang terhormat karena secara lancang saya telah melanggar wilayah tempat tinggal ji-wi (kalian berdua). Sebenarnya Nona ini tak bersalah dan sayalah yang bersalah. Kuda saya itu kelelahan sehingga terpeleset dan jatuh di sini, kedua kaki depannya patah dan kepalanya retak. Untuk mengakhiri penderitaannya maka terpaksa saya membunuhnya dan membuang bangkainya ke dalam jurang dengan tujuan agar tidak mengganggu orang yang lewat di sini. Tetapi saya telah melakukan kesalahan karena tanpa disadari saya telah membuangnya ke jurang sehingga mengotorkan udara di sini...”

Suami isteri itu memandang dengan senyum. Hati mereka tertarik dan merasa suka sekali kepada pemuda gagah tampan yang pandai membawa diri itu.

"Orang muda, kami yang minta maaf kepadamu untuk anak kami. Walau pun kami tinggal di daerah ini, akan tetapi tentu saja kami tidak menguasai seluruh bukit dan lembah. Dan engkau tidak dapat dipersalahkan kalau membuang bangkai kudamu itu ke dalam jurang. Anak kami sudah bersikap tidak sepatutnya, harap engkau suka menyudahi saja urusan ini."

"Dengan segala senang hati, Paman. Lagi pula, apa daya saya seorang yang bodoh dan lelah ini terhadap nona yang demikian tinggi ilmunya? Tadi pun saya sudah merasa segan melawannya, akan tetapi karena nona mendesak terpaksa saya..."

"Sudahlah!" kata Bi Lian. "Bukankah ayahku sudah mengatakan agar urusan ini disudahi saja? Ataukah engkau masih merasa penasaran?" karena tidak ingin terus dipersalahkan, gadis itu membentak.

"Bi Lian! Tidak pantas bersikap kasar kepada seorang tamu!" kata ibunya.

"Orang muda, apa yang diucapkan isteriku itu benar. Engkau adalah seorang tamu, maka kami persilakan berkunjung ke rumah kami di sana!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang menunjuk ke belakang.

Tan Hok Seng memang sudah kagum bukan main kepada Bi Lian. Pertama kali bertemu tadi sudah menjadi tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, kemudian setelah bertanding, dia kagum bukan main melihat bahwa gadis itu selain cantik jelita juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi sehingga dia yang biasanya membanggakan kepandaiannya, sekali ini sama sekali tidak berdaya!

Maka, ketika ayah ibu gadis itu muncul, dia yang sudah kagum sekali kepada keluarga ini mempunyai niat untuk dapat menjadi murid suami isteri yang tentu sangat sakti itu. Tentu saja Hok Seng menjadi gembira bukan main ketika mendengar undangan itu, akan tetapi dengan rendah hati dia menjawab.

"Ahhh, saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja kepada Paman dan Bibi yang terhormat...”

"Ahh, jangan sungkan, orang muda. Terimalah undangan kami jika engkau memang mau memaafkan anak kami," kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya juga mengangguk ramah.

Diam-diam Hok Seng girang bukan main. Apa yang ditemukan di Kim-ke-kok ini ternyata jauh melebihi apa yang telah didengarnya. Ketika tiba di kaki pegunungan Heng-tuan-san, dia telah mendengar dari para penduduk dusun di sekitar daerah itu bahwa di Kim-ke-kok tinggal sepasang suami isteri yang oleh para penduduk di sana dikenal sebagai pendekar sakti yang suka menolong para penduduk. Tertariklah hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa selama beberapa bulan ini sepasang pendekar itu kedatangan seorang dara cantik jelita yang kabarnya adalah puteri mereka.

Kini, begitu melihat gadis itu, dia sudah kagum bukan main. Apa lagi setelah ayah ibunya muncul. Seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih yang tinggi tegap, lengan kirinya buntung akan tetapi sikapnya demikian gagah dan berwibawa.

Dan isterinya juga merupakan tokoh yang tak kalah menariknya. Seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih sedikit, wajahnya agak kepucatan namun cantik dan dengan raut wajah yang agung. Juga bentuk tubuhnya masih padat dan indah seperti seorang gadis saja.

Kiranya mereka inilah sepasang suami isteri pendekar yang dipuji-puji oleh para penduduk dusun itu. Dan meski pun dia belum pernah melihat mereka mempergunakan kepandaian, baru melihat kelihaian puteri mereka saja, tetapi dia sudah dapat membayangkan betapa saktinya suami isteri itu.

Dengan sikap hormat Tan Hok Seng lalu mengikuti suami isteri itu bersama puteri mereka ke sebuah rumah yang berdiri di lembah, pada bagian yang datar dan subur. Rumah itu nampak mungil, namun terpelihara rapi dengan taman bunga yang penuh dengan bunga beraneka warna.

Meski pun di dalam hatinya Bi Lian kagum juga kepada pemuda yang tampan gagah dan bersikap lembut itu, namun di sudut hatinya masih terdapat kekecewaan bahwa ilmu silat pemuda itu masih amat rendah dibandingkan dia sendiri. Maka begitu pemuda itu diterima ayah ibunya duduk di ruangan tamu, dia lalu mengundurkan diri dengan dalih membantu pelayan di belakang.

"Orang muda, siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apa maka engkau berkunjung ke lembah ini?" tanya Siangkoan Ci Kang, akan tetapi suaranya yang lembut tidak menimbulkan kesan bahwa dia menyelidiki keadaan pemuda itu.

Pemuda itu kelihatan berduka sekali ketika mendengar pernyataan ini. Bukan kedukaan buatan, melainkan benar-benar dia merasa berduka dan merasa betapa nasibnya sangat buruk.

"Paman, saya adalah seorang yang hidup sebatang kara dan sudah tertimpa mala petaka dan penasaran besar," dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Karena sudah mengambil keputusan untuk kalau mungkin berguru kepada suami isteri pendekar ini, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayatnya.

"Saya adalah seorang yatim piatu. Dengan susah payah serta kerja keras akhirnya saya berhasil menjadi seorang perwira. Akan tetapi nasib saya sungguh malang, saya difitnah orang yang menginginkan kedudukan saya sehingga saya dijatuhi hukuman buang oleh pemerintah! Untung bahwa di dalam perjalanan ke tempat pembuangan saya ditolong oleh seorang pendekar yang tak mau memperkenalkan dirinya sehingga saya bisa bebas, lalu saya melarikan diri. Dalam perjalanan melarikan diri dari kemungkinan pengejaran petugas keamanan kota raja maka hari ini saya sampai ke tempat ini."

"Hemm, begitukah?" Siangkoan Ci Kang menatap tajam untuk menyelidiki apakah cerita itu dapat dipercayan. Akan tetapi pemuda itu membalas tatapan matanya dengan penuh keberanian dan keterbukaan, dan ini saja sudah membuktikan bahwa ceritanya memang benar.

"Siapakah namamu, orang muda?"

"Nama saya Tan Hok Seng, Paman. Dan melihat kehebatan ilmu silat puteri Paman dan Bibi tadi, timbul keinginan hati saya, apa bila kiranya Paman dan Bibi sudi menerimanya, saya ingin sekali berguru kepada Paman dan Bibi di sini. Biarlah saya bekerja apa saja di sini, sebagai pelayan, tukang kebun atau pesuruh, asal Paman dan Bibi suka menerima saya sebagai murid." Setelah berkata demikian, langsung saja Hok Seng menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu.

Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu saling bertukar pandang. Suami isteri yang sudah bisa mengetahui isi hati masing-masing hanya melalui pandang mata saja itu saling kedip kemudian dengan lembut Toan Hui Cu mengangguk.