Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MELIHAT Cui Bhok sudah siap siaga di tengah ruangan yang luas itu, sambil tersenyum Sim Ki Liong bangkit dari kursinya. Semua anak buah Hek-tok-pang yang masih berlutut juga memandang dengan hati tegang. Mereka setuju sekali dengan sikap ketua mereka. Kalau hendak menaluk kepada seseorang, maka terlebih dahulu mereka harus melihat sendiri bagaimana lihainya orang itu!

"Cui-pangcu, permintaanmu wajar pula. Aku akan membuktikan bahwa aku memang patut kau taati. Nah, mulailah!" katanya dan dia berdiri seenaknya saja di depan Cui Bhok yang bertubuh kokoh kekar itu, berbeda dengan tubuh Sim Ki Liong yang sedang saja sehingga nampak kecil lemah di depan raksasa itu.

Cui Bhok tak mau membuang waktu lagi, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan suara mengaum seperti singa, disusul bentakannya, "Kim-lian Pangcu, lihat seranganku!"

Tubuhnya langsung menerjang dengan dahsyatnya, kedua tangannya membentuk cakar singa, kuku jari-jari tangannya terlihat menghitam tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun yang sangat berbahaya. Sekali terkena goretan kuku hitam itu akan mengakibatkan luka melepuh yang sukar disembuhkan kalau tidak memakai obat pemunah racun buatan ketua Hek-tok-pang itu!

Namun serangan bertubi-tubi yang berupa cakaran-cakaran dan cengkeraman itu dengan mudah dapat dihindarkan oleh Sim Ki Liong, hanya dengan gerakan kedua kakinya saja, kemudian dia membalas dengan tamparan lembut tapi mengandung tenaga yang dahsyat sehingga hampir saja pundak ketua Hek-tok-pang terkena tamparan. Meski pun luput dan hanya menyerempet sedikit saja, namun cukup membuat Cui Bhok terhuyung.

Tentu saja raksasa ini terkejut dan mulai merasa kagum karena hanya dalam beberapa jurus saja, bahkan baru satu kali pemuda itu menyerang, dia sudah hampir dirobohkan. Namun dia masih kurang puas, kurang yakin dan kembali dia menyerang, lebih ganas dari yang tadi.

Sementara itu Cun Sek terbelalak! Dia melihat dengan jelas betapa serangan balasan itu, tamparan yang lembut dan gerakan kaki itu adalah ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung), sebuah ilmu pilihan dari Cin-ling-pai!

Menghadapi serangan ganas dari ketua Hek-tok-pang ini, Sim Ki Liong lalu mengeluarkan bentakan nyaring, sepasang tangannya bergerak dari kanan dan kiri, menangkis sekaligus menyerang.

Begitu kedua tangannya bertemu dengan sepasang tangan ketua Kim-lian-pang, Hek-tok Pangcu Cui Bhok berteriak kaget. Kedua tangannya itu terdorong keras ke belakang dan sebelum dia sempat menghindarkan diri, ada angin pukulan dari kanan kiri menyambar ke arah kedua pundaknya. Dia pun roboh terguling, kedua pundaknya terasa nyeri seolah-olah tulangnya retak-retak!

Dia terkejut, akan tetapi juga kagum dan takluk. Dia bangkit berdiri lalu menjura dengan sikap hormat karena dia mendapat bukti betapa lihainya ketua Kim-lian-pang yang masih amat muda itu.

"Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi)...!" Tak terasa lagi mulut Cun Sek berseru ketika dia melihat gerakan kedua tangan Sim Ki Liong tadi.

Mendengar ini, Ki Liong cepat membalik dan sepasang matanya mencorong, memandang ke arah Cun Sek. Akan tetapi pada saat itu Cui Bhok sudah berkata dengan suara kagum,

"Biar pun masih amat muda, kiranya Kim-lian Pangcu sungguh memiliki kepandaian yang sangat hebat. Saya mengaku kalah dan takluk, dan saya akan memperlihatkan kesetiaan saya kepada Pangcu!" Berkata demikian, tiba-tiba saja raksasa ini bergerak cepat sekali ke arah para anggotanya yang masih berlutut.

Terdengar teriakan berturut-turut, kemudian empat orang anak buahnya roboh dan tewas seketika dengan muka menghitam. Mereka tadi telah diserang dengan cakaran maut oleh ketua mereka sendiri. Yang menjadi korban adalah dua orang yang tadi terluka oleh Cun Sek dan dua orang lain yang tingkatannya paling rendah dalam Hek-tok-pang.

Semua anak buah Hek-tok-pang terkejut dan ketakutan, akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika ketua mereka tidak menyerang lagi. Cui Bhok lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil menghadap Sim Ki Liong.

"Nah, Pangcu. Itulah bukti dari kesetiaan kami. Dengan tewasnya empat orang anak buah saya, maka kini kami yang rugi seorang dibandingkan dengan Kim-lian-pang."

Sim Ki Liong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Bagus, engkau memang pantas untuk kami terima sebagai sekutu dan pembantu, Cui Pangcu!"

Dia lalu bertepuk tangan, menyuruh pengawal atau anak buahnya untuk menyingkirkan keempat mayat itu, dan menyuruh anak buahnya untuk menjamu para anggota Hek-tok-pang yang kini tinggal dua puluh orang itu. Kemudian dia menyuruh para pelayan supaya menambah arak dan mengeluarkan hidangan untuk menyambut Cui Bhok. Ketika itulah dia memandang kepada Cun Sek dan bertanya kepada Ji Sun Bi.

"Siapakah dia ini yang mengenal Thian-te Sin-ciang?"

Ji Sun Bi tersenyum. "Tadi aku belum sempat mengenalkan dia. Tentu saja dia mengenal ilmu silatmu yang berasal dari Cin-ling-pai, Pangcu, karena dia adalah seorang tokoh Cin-ling-pai!"

"Ehhh...!" Sim Ki Long terkejut bukan kepalang, akan tetapi dengan sikap gagah dia tidak memperlihatkan kekagetannya, melainkan matanya saja yang memandang tajam kepada Cun Sek, tetapi kini mengandung kecurigaan. "Mau apa seorang tokoh Cin-ling-pai datang ke sini?" Pertanyaan ini mengandung terguran kepada Ji Sun Bi.

Sebelum Ji Sun Bi menjawab, Cun Sek mendahuluinya. "Maaf, Pangcu. Aku tidak sengaja datang ke sini melainkan diajak oleh Tok-sim Mo-li untuk diperkenalkan kepada Pangcu."

Mendengar ini Ji Sun Bi tersenyum dan dia pun cepat menjelaskan. "Pangcu, ketahuilah bahwa ketika aku turun dari puncak untuk menghadapi Hek-tok-pang, aku diperingatkan akan lorong beracun yang dibuat Hek-tok-pang oleh saudara Tang Cun Sek ini. Bukan itu saja, bahkan dialah yang telah menundukkan dan menaklukkan Hek-tok Pangcu, dan dia membantu pula ketika aku dikeroyok oleh tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo. Melihat kelihaiannya dan mengenal gerakan silatnya serta pedangnya yang jelas dari Cin-ling-pai, tadinya aku juga curiga dan terkejut. Akan tetapi sesudah dia menceritakan keadaannya, kupikir sebaiknya kalau dia kuajak ke sini agar berkenalan dengan Pangcu. Bagaimana pun juga, kepandaian Pangcu dan dia datang dari satu sumber, bukan?"

Sim Ki Liong mulai tertarik dan sekarang dia memandang kepada Cun Sek dengan penuh perhatian, akan tetapi kecurigaannya telah menipis. "Saudara Tang Cun Sek, terus terang saja, Cin-ling-pai kami anggap sebagai musuh kami. Maka, harap kau jelaskan mengapa engkau tidak memusuhi kami, bahkan ingin berkenalan denganku."

Cun Sek menarik napas panjang, "Tidak kusangkal bahwa aku adalah seorang murid Cin-ling-pai, bahkan aku telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ketua lama Cia Kong Liang sendiri. Akan tetapi, setelah aku gagal untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, maka Cin-ling-pai kuanggap sebagai musuh. Aku melarikan diri dari sana dan biar pun banyak ilmu dari sana yang kukuasai, namun aku tidak menganggap diriku sebagai seorang Cin-ling-pai," Cun Sek mengepalkan tinju, masih mendongkol kalau mengingat kekalahannya di Cin-ling-pai.

"Demikianlah keadaanku, Pangcu. Oleh karena itu Pangcu tak perlu khawatir, aku bukan seorang anggota Cin-ling-pai lagi, bahkan aku pun membenci Cin-ling-pai! Aku melarikan diri dari Cin-ling-pai, dan dalam perjalanan untuk mencari jejak ayahku yang sejak dalam kandungan belum pernah kulihat, secara kebetulan aku lewat di bawah bukit dan melihat rombongan orang Hek-tok-pang, lalu aku membayangi mereka dan kubantu Tok-sim Mo-li."

Sim Ki Liong mengangguk-angguk. "Kalau engkau gagal menjadi ketua Cin-ling-pai, lalu siapa yang menjadi ketuanya yang baru?"

Dengan suara gemas Cun Sek menjawab, "Gadis liar itu, Cia Kui Hong!"

Mendengar ini, mata Sim Ki Liong terbelalak memandang, kemudian dia tertawa bergelak. Lenyaplah sikap lembut dan sopan ketika dia tertawa dengan mulut terbuka, lalu mulut itu ditutup sehingga suara ketawanya hanya sampai di tenggorokan.

"Ha-ha-ha...! he-he-he, Cia Kui Hong? Dia menjadi ketua Cin-ling-pai?" dia tertawa lagi. "Dara itu yang telah menggagalkanmu?"

"Hemm, Cia Kui Hong! Lagi-lagi gadis setan itu yang menjadi penghalang. Dia musuh kita bersama!" kata pula Ji Sun Bi dengan gemas.

Sekarang Tang Cun Sek yang memandang dengan sinar mata heran kepada dua orang itu. Tentu saja dia tidak tahu betapa Sim Ki Liong juga sampai terlempar keluar dari Pulau Teratai Merah tempat tinggal gurunya, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, gara-gara kedatangan Cia Kui Hong, cucu luar pendekar sakti itu.

Ada pun Ji Sun Bi tentu saja tidak pernah dapat melupakan pengalaman pahitnya ketika dia membantu gerakan mendiang Lam-hai Giam-lo dan ketika gerombolan pemberontak itu diserbu oleh para pendekar. Dia sendiri bertanding melawan Cia Kui Hong dan hampir saja dia tewas ketika dia terjatuh ke dalam tebing!

"Pangcu, apakah engkau sudah mengenal Cia Kui Hong?" tanya Cun Sek.

Ki Liong masih tertawa sehingga Ji Sun Bi yang menjawab. "Tentu saja kenal baik! Cia Kui Hong itu masih terhitung murid keponakannya!"

Cun Sek terbelalak bingung. Pemuda ini? Usianya masih begitu muda dan dia menjadi paman guru Kui Hong? Paman guru dari mana? Tak mungkin pemuda ini murid kakek Cia Kong Liang pula.

Melihat tamu itu menjadi bingung, sekarang Ki Liong yang melanjutkan keterangan Sun Bi. "Ketahuilah, Tang-toako, aku adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah!"

"Ahhh...!" Sungguh hal ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Cun Sek.

Tentu saja dia tahu siapa itu Pendekar Sadis! Dan dia pun mengerti sekarang. Memang Kui Hong adalah cucu Pendekar Sadis, cucu luar, maka kalau pemuda ini murid Pendekar Sadis, otomatis Kui Hong dapat dianggap sebagai murid keponakannya.

"Akan tetapi..., kalau begitu... bagaimana pula Pangcu menganggap Kui Hong sebagai musuh?"

"Dialah yang menjadi gara-gara sehingga aku terpaksa pergi meninggalkan Pulau Teratai Merah untuk selamanya, tetapi tidak perlu kujelaskan persoalannya," kata ketua itu yang tentu saja merasa tidak enak mengingat akan pengalamannya di Pulau Teratai Merah itu.

Pada waktu Kui Hong berkunjung ke Pulau Teratai Merah, tempat tinggal kakek luarnya, seketika Ki Liong jatuh jatuh cinta dan tergila-gila kepada gadis itu. Dia berusaha merayu, namun bukan saja ditolak oleh Kui Hong, bahkan gadis itu marah-marah dan menyerang dirinya.

Peristiwa itu diketahui oleh suhu dan subo-nya sehingga dia merasa malu dan malam itu juga dia melarikan diri meninggalkan Pulau Teratai Merah sambil membawa benda-benda berharga, bahkan dia juga membawa lari pedang pusaka Gin-hwa-kiam! Dia berniat untuk mencari musuh besar pembunuh ayahnya, yaitu Siangkoan Ci Kang, akan tetapi sampai sekarang usahanya itu belum juga berhasil.

"Dan bagaimana dengan engkau, Tok-sim Mo-li? Bagaimana engkau juga mengenal Cia Kui Hong dan memusuhinya?" tanya Tang Cun Sek.

Dia merasa girang setelah mendengar keterangan ketua itu yang ternyata murid Pendekar Sadis sehingga dia tidak merasa heran kalau ketua itu mempunyai ilmu kepandaian yang demikian hebat. Ketua itu dan dia memiliki dasar ilmu silat yang sama, yaitu dari Cin-ling-pai walau pun mereka berdua masing-masing memiliki pula ilmu-ilmu lain.

Ji Sun Bi menghela napas panjang dan Ki Liong yang menjawab, "Dia pernah bertanding dan dikalahkan oleh Cia Kui Hong, bahkan hampir saja dia tewas ketika terjatuh ke dalam jurang tebing yang curam."

Ji Sun Bi cemberut dan mukanya berubah merah, sepasang matanya berkilat.

"Lain kali akan kubunuh gadis setan itu!"

Pertemuan lalu dilanjutkan dengan pesta makan minum untuk menghormati persekutuan baru itu. Cun Sek diterima dengan tangan terbuka oleh Ki Liong dan mulai saat itu pula Cun Sek merupakan pembantu utama dari pasangan Ki Liong dan Sun Bi, bahkan dia pun mulai hari itu menjadi seorang kekasih baru dari Ji Sun Bi yang tak pernah merasa puas dengan laki-laki itu.

Tentu saja Kim-lian Pangcu bisa memaklumi hal ini sebab dia memang tak pernah merasa cemburu, bahkan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Ji Sun Bi untuk mengadakan hubungan dengan pria mana pun juga, seperti juga Ji Sun Bi tidak peduli dengan wanita mana ketua itu berhubungan!

Maka terdapatlah hubungan segi tiga yang amat akrab dan aneh antara Ji Sun Bi, Sim Ki Liong, dan Tang Cun Sek. Namun tiga sekawan ini merupakan kesatuan yang berbahaya sekali karena ketiganya mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Apa lagi setelah kini Hek-tok-pang menjadi sekutu mereka pula.

Perkumpulan Teratai Emas itu menjadi semakin kuat dan semakin terkenal. Mereka terus melebarkan sayap kekuasaannya ke kota-kota lain, tetapi mereka tidak bergerak sebagai pemberontak, malah sebaliknya mereka menyusup ke dalam gedung-gedung para pejabat dan mendekati para pejabat dengan sogokan-sogokan.

Kemudian mereka menaklukkan tokoh-tokoh dunia persilatan dengan mengalahkan para pemimpinnya, namun tidak menanam permusuhan dan kebencian karena setelah berhasil mengalahkan, mereka lalu mendekati dan menarik bekas lawan itu untuk menjadi sekutu mereka. Maka makin kuatlah Kim lian-pang di bawah pimpinan Sim Ki Liong yang dibantu dengan setia oleh Ji Sun Bi dan Tang Cun Sek itu.

Mulailah mereka menyebar anak buah Kim-lian-pang yang jumlahnya semakin banyak itu, selain untuk melebarkan pengaruh juga untuk mulai melakukan penyelidikan tentang dua orang tokoh persilatan, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Si Kumbang Merah Ang-hong-cu. Yang pertama untuk sang ketua, dan yang ke dua untuk Tang Cun Sek.

********************

Pek Han Siong melangkah lesu. Sebenarnya pemandangan alam di sekitar pegunungan itu amat indahnya pada pagi hari yang cerah itu, namun tiada keindahan di luar diri bagi seseorang yang menanggung derita di dalam dirinya. Keindahan bukan terletak di luar, melainkan di dalam diri. Kalau batin sedang terlanda duka, apa pun yang dilihat oleh mata akan nampak tidak indah lagi. Dan pada saat itu, Pek Han Siong sedang dilanda duka.

Cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian ditolak! Gadis itu telah menolak cintanya. Dia dapat menghargai kejujuran dan keterus terangan Bi Lian, tapi kenyataan itu sungguh membuat hatinya bagaikan ditusuk. Pedih perih karena kecewa. Apa lagi penolakan cinta gadis itu dinyatakan di depan suhu dan subo-nya.

Dia tahu betapa mereka amat menyayangnya, maka dia pun ditarik sebagai calon mantu. Akan tetapi apa hendak dikata, Bi Lian yang terlibat langsung di dalam urusan perjodohan itu menolak! Dia pun tidak dapat menyalahkan Bi Lian. Bagaimana dia bisa menyalahkan seorang gadis karena tidak mencintanya?

Han Siong menjatuhkan diri duduk di atas akar pohon. Tubuhnya terasa penat. Semalam suntuk dia tak pernah berhenti, terus saja berjalan meski pun lambat, tak tentu arah tujuan sampai pada pagi hari itu dia tiba di pegunungan itu yang tidak dia ketahuinya namanya. Tubuhnya lemas karena sudah dua hari dia tidak makan, hanya minum air, itu pun kalau kebetulan dia melewati sebuah sumber air bersih.

Membiarkan tubuhnya duduk mengaso tetap saja tidak mampu menghilangkan perasaan dukanya, malah kini pikirannya melayang-layang, mengenang keadaan dirinya dan semua peristiwa yang terjadi. Dan hatinya terasa semakin tertekan. Sejak kecil dia tidak pernah merasakan kebahagiaan, kecuali mungkin saat dia tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid suami isteri sakti yang menjadi guru-gurunya, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.

Duka timbul dari pikiran yang penuh dengan perasaan iba diri. Pikiran mengenang masa lalu yang penuh dengan kegagalan, atau membayangkan masa depan yang penuh dengan kesuraman, maka pikiran atau si aku merasa iba terhadap diri sendiri, merasa nelangsa dan sengsara. Maka datanglah rasa duka.

Duka menghilangkan kewaspadaan, melenyapkan makna hidup. Hidup bukanlah sekedar membiarkan diri diseret ke dalam lamunan, membiarkan diri dipermainkan pikiran! Hidup adalah kenyataan, apa yang ada, tidak peduli apakah kenyataan itu menyenangkan atau menyusahkan.

Yang senang atau yang susah adalah pikiran, si-aku yang selalu menghendaki keenakan dan menghindarkan ketidak enakan. Namun kenyataan hidup adalah seperti apa adanya, dan menerima kenyataan apa adanya inilah seni paling indah, paling agung dan paling murni dari kehidupan. Menerima kenyataan seperti apa adanya, tanpa menilai dan tanpa mengeluh melainkan menyerahkan kepada Tuhan! Tuhan Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Kasih! Hanya Tuhan yang akan mampu membimbing kita, lahir mau pun batin.

Kewajiban kita dalam hidup hanyalah untuk menggunakan segala alat yang ada di tubuh ini sebagaimana mestinya. Panca indera adalah alat-alat untuk bekerja seperti yang telah ditentukan dalam tugas masing-masing, termasuk pikiran yang sesungguhnya merupakan alat untuk berpikir, untuk bekerja, untuk dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain.

Pikiran bukanlah alat untuk menyeret kita ke dalam lamunan kosong tentang suka atau duka. Tak mungkin kita bisa membersihkan pikiran yang bergelimang dengan daya-daya rendah, pikiran yang penuh nafsu, pikiran yang penuh dengan keinginan untuk mengejar enak sendiri. Tidak mungkin karena kita yang ingin membersihkan ini adalah pikiran itu sendiri!

Keinginan pikiran selalu hanya bersumber pada satu pamrih, yakni mengejar keenakan untuk diri sendiri. Bisa saja pikiran menciptakan bermacam-macam akal seperti sebutan muluk-muluk, bertapa, mengasingkan diri, mengheningkan cipta dan segala macam cara lagi untuk membersihkan batin. Namun semua itu adalah pekerjaan pikiran, pekerjaan si-aku, usaha dari nafsu pula sebab pikiran itu sendiri bergelimang nafsu, dikemudikan oleh nafsu. Di balik semua usaha itu terdapat satu pamrih, yaitu sifat dari nafsu, ialah untuk mengejar keenakan bagi diri sendiri! Karena itu tak mungkin kita membersihkan pikiran, tidak mungkin nafsu mampu mengendalikan atau mengalahkan nafsu. Semua ini hanya akal-akalan saja, akalnya si akal-pikir!

Satu-satunya kenyataan adalah bahwa yang mampu merubah segalanya itu, yang dapat membersihkan jiwa dari cengkeraman nafsu, yang bisa menempatkan semua alat tubuh luar dalam kepada kedudukan dan tugas mereka masing-masing secara utuh dan benar, hanyalah KEKUASAAN TUHAN! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau si-aku, yaitu hati dan akal pikiran kita tidak bekerja! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja apa bila kita menyerah kepadaNya, menyerah dengan penuh ketawakalan, kepasrahan dan keiklasan, menyerah dengan kesabaran. Kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan inilah satu-satunya kenyataan yang mutlak.

Di dalam kepasrahan lahir batin ini kita akan menerima semua kenyataan hidup sebagai kehendak Tuhan, dan karenanya kita akan menghadapinya tanpa keluhan, tanpa celaan. Bukan berarti kita lalu acuh dan mandeg. Sama sekali tidak! Kita pergunakan semua alat tubuh luar dalam untuk berusaha! Tuhan yang akan memberi bimbingan dan tuntunan.

Kalau sudah begini, apa pun yang terjadi takkan menimbulkan penasaran atau keluhan, apa lagi duka, selain ingat dan waspada. Ingat kepada Tuhan serta kekuasaanNya yang mutlak, menyerah, waspada terhadap setiap gerak langkah kita di dalam hidup, waspada terhadap pikiran kita, ucapan kita, perbuatan kita, seperti kewaspadaan seseorang yang memegang kemudi kendaraan. Dan Tuhan Maha Kasih!


"Muridku, Han Siong. Engkau akan terjun ke dunia ramai dan akan menghadapi segala macam pengalaman hidup. Ingatlah bahwa hidup tidak selalu seperti yang kita kehendaki. Hidup adalah hidup, merupakan kesatuan dari segala macam peristiwa. Jika hidup ini kita umpamakan sebagai rasa, maka hidup itu terdiri dari semua rasa, manis, pedas, masam, gurih, asin, pahit dan sebagainya lagi. Jangan engkau menghendaki agar hidup ini selalu manis. Bagaimana mungkin engkau dapat menikmati rasa manis kalau belum merasakan pahit, getir, asin, pedas dan lain-lainnya itu? Karena itu bersiaplah engkau, jangan terkulai hanya oleh suatu peristiwa atau keadaan saja, karena apa pun yang terjadi, itu hanyalah sebagian kecil saja dari hidupmu! Bangkitlah dan senyumlah, terimalah segala peristiwa dengan tabah, lalu jadikanlah segala pengalaman sebagai guru. Tuhan selalu besertamu bila mana engkau tabah dan selalu pasrah kepada kekuasaanNya!"

Entah kenapa, ketika dia sedang merasa tertekan itu, merasa betapa dirinya seolah-olah semakin tenggelam ke dalam lautan duka, tiba-tiba saja bayangan gurunya yang terakhir, yaitu Ban Hok Lojin, kakek yang bertelanjang dada itu, amat gendut seperti arca Jilaihud, dengan wajah yang selalu terseyum lebar, salah seorang di antara Delapan Dewa, seperti tampak di depannya dan ucapan gurunya itu bergema di telinganya.

Seketika bangkitlah semangat dan batin Han Siong. Dia merasa seperti disiram air dingin. Betapa bodohnya membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan yang hanya dibikinnya sendiri. Tadi pikirannya sudah berubah menjadi tangan kejam yang meremas-remas dan mencengkeram hati dan perasaannya sendiri.

Dia segera bangkit. Wajahnya tersenyum, matanya yang tadinya sayu itu kini berkilat dan mencorong, dan pada saat itu pula dia mendengar betapa perutnya berkeruyuk dengan nyaring!

"Ha-ha-ha!" Dia tertawa, tertawa bebas lepas seperti orang gila. "Ha-ha-ha, engkau tolol! Ha-ha, engkau tolol! Terima kasih, Suhu, terima kasih!" Dia lalu menepuk-nepuk perutnya yang kempis. "Maafkan aku, perut. Aku sampai lupa kepadamu. Baiklah, sekarang mari kita mencari makanan untukmu!"

Han Siong melompat dan menuruni bukit itu. Akan tetapi tiba-tiba saja dia harus berhenti karena di depannya mendadak muncul lima orang dengan senjata pedang di tangan dan sikap mereka mengancam!

"Keparat, bersiaplah untuk menerima pembalasan kami!" bentak salah seorang di antara mereka.

Tentu saja Han Siong menjadi terbelalak kaget dan merasa heran. Dia memandang penuh perhatian kepada mereka. Yang tadi berbicara adalah seorang pria setengah tua, berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah. Di wajahnya terbayang kegagahan namun diliputi duka dan kemarahan. Pakaiannya sederhana, akan tetapi serba putih, demikian pula pakaian empat orang lainnya, pakaian berkabung!

Orang kedua amat menarik perhatian. Ia adalah seorang gadis yang usianya kurang lebih delapan belas tahun, wajahnya yang putih halus itu berbentuk bundar, cantik dan bersih, matanya jeli dan bibirnya tipis, rambutnya panjang dibiarkan berjuntai ke belakang dalam bentuk dua buah kuncir hitam yang tebal dan panjang sampai ke pinggul Gadis ini juga memegang sebatang pedang.

Tiga orang lainnya adalah pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, ketiganya bersikap garang dan gagah. Seperti orang pertama dan gadis itu, mereka juga berpakaian serba putih dan wajah mereka diliputi kedukaan dan kemarahan.

"Heii, nanti dulu!" teriaknya ketika mereka itu secara serentak sudah menyerangnya tanpa peringatan lebih dahulu. Hal ini hanya menunjukkan bahwa mereka itu benar-benar sudah marah sekali kepadanya dan amat membencinya.

Gerakan pedang mereka ganas dan cepat, juga mengandung tenaga yang cukup kuat. Ilmu pedang yang sumbernya dari selatan, dikombinasikan dengan tendangan-tendangan yang menyusul tusukan atau sabetan pedang.

Teriakannya tidak memperoleh tanggapan dari mereka, bahkan lima orang itu menyerang dengan hebatnya. Terpaksa Han Siong menggerakkan tubuhnya, berloncatan ke sana sini dan melihat mereka terus mendesak, dia segera memainkan Kwan Im Sin-kun (Silat Sakti Kwan Im) yang lemah lembut namun tubuhnya bagaikan sehelai kapas saja yang sukar untuk dibabat pedang sehingga babatan atau tusukan itu selalu luput. Tubuhnya menjadi demikian ringan, akan tetapi juga sangat cepat sehingga sampai belasan jurus, serangan lima orang itu tak pernah mengenai sasaran.

"Heii, nanti dulu! Mari kita bicara dulu!" teriak Han Siong penasaran.

Karena dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tak mau membalas, khawatir kalau dia akan melukai mereka dan hal ini tentu akan menambah kebencian mereka yang belum diketahui sebabnya. Dia ingin menggunakan ilmu sihir untuk menundukkan mereka, akan tetapi dia pun khawatir kalau-kalau mereka akan merasa terhina dan tersinggung sehingga kembali hal itu akan menambah kebencian mereka kepadanya.

Dia akan menggunakan usaha lain, yaitu memperkenalkan diri karena dia menduga bahwa tentu mereka itu keliru mengenal orang. Mereka bukan perampok dan sama sekali tidak nampak seperti orang-orang jahat.

Begitu mendapat kesempatan, tubuhnya tiba-tiba melayang naik ke atas pohon sehingga mengejutkan lima orang pengeroyok itu yang tiba-tiba saja kehilangan lawan dan mereka semua kini memandang ke atas, ke arah pemuda itu yang sudah berdiri di atas cabang pohon. Pandang mata mereka kagum akan tetapi juga penuh kebencian.

"Heiii, apakah ngo-wi (kalian berlima) terlalu banyak minum arak hingga mabok? Aku Pek Han Siong selama hidupku baru sekali ini melihat ngo-wi, apa lagi bermusuhan. Mengapa tiada hujan tiada angin ngo-wi menyerang aku demikian ganas dan kejam?"

Mendengar ini, lima orang itu saling pandang, dan pria setengah tua tadi berseru lantang, "Sobat, coba sekali lagi katakan. Siapa namamu?"

Han Siong tersenyum. Tahulah dia kini bahwa memang mereka sudah keliru menyangka orang, atau keliru mengenal orang. "Namaku Pek Han Siong, dan selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan ngo-wi."

"Engkau... bukankah engkau Kim-lian Pangcu? Wajah dan bentuk tubuhmu mirip sekali!" kata orang tua itu lagi.

"Ayah, kita baru melihatnya satu kali, itu pun tidak terlalu jelas. Agaknya kita sudah salah mengenal orang!" kata gadis itu.

Sekarang Han Siong tertawa. "Ha-ha-ha, Paman yang baik. Orang macam aku ini mana bisa menjadi pangcu (ketua)? Apa lagi ketua perkumpulan Teratai Emas, bahkan Teratai Tembaga pun tidak! Aku seorang perantau, tidak memiliki kedudukan apa pun."

"Wahh... kalau begitu maafkan kami, orang muda. Ihh, kalian berempat ini mengapa tidak memberi tahu? Aku sudah tua, mungkin mataku mulai kurang awas, akan tetapi kalian..." omelnya kepada puterinya dan tiga orang itu.

Han Siong sudah melompat turun dan gayanya melompat membuat lima orang itu berseru kagum. Mereka seperti melihat seekor naga atau seekor garuda melayang turun dari atas pohon itu dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah, sama sekali tidak terdengar suara!

Diawali oleh laki-laki setengah tua, kini lima orang itu menyambut Han Siong dengan dua tangan diangkat di depan dada sebagai tanda penghormatan. Han Siong cepat membalas penghormatan mereka. Karena mereka kini tidak lagi memusuhinya, dia pun tidak berani bicara main-main.

"Paman, seperti kukatakan tadi, aku Pek Han Siong tidak pernah bertemu dengan ngo-wi sebelumnya. Apa sebabnya ngo-wi medadak menyerangku? Mohon penjelasan, paman, agar hatiku tidak tegang dan penasaran lagi."

Pria itu menengok ke kanan kiri, lalu berkata, "Di sini masih daerah kekuasaan musuh, taihiap. Terlalu lama di sini kita bisa dikepung musuh. Marilah ikut dengan kami ke tempat tinggal kami, taihiap, dan di sana kami akan menceritakan semuanya dengan jelas."

Walau pun dia tersenyum dan merasa tidak enak disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi Han Siong yang merasa penasaran dan ingin tahu itu mengangguk dan mengikuti mereka menyusup ke dalam hutan. Dia tertarik melihat ada tanda gambar seekor burung rajawali putih pada baju mereka berlima, yaitu di dada kiri. Tentu mereka ini dari sebuah perkumpulan, pikirnya.

Akan tetapi dia kecelik kalau tadinya dia menyangka akan diajak pergi ke sebuah rumah perkumpulan besar di salah satu kota terdekat. Dia bukan di ajak ke kota, melainkan ke sebuah bukit, kemudian mereka mengajaknya masuk ke dalam sebuah goa besar yang tersembunyi!

Biar pun demi kesopanan dia diam saja, akan tetapi di dalam hatinya timbul pertanyaan. Siapakah mereka ini dan perkumpulan apa yang bersarang di sebuah goa tersembunyi? Mereka ini seperti orang-orang buruan saja, seperti pelarian!

Ternyata di dalam goa itu terdapat tikar bersih yang terhampar di atas lantai goa. Goa itu pun cukup besar, cukup untuk menampung puluhan orang! Akan tetapi di situ sunyi saja, tidak ada orang lain kecuali mereka berenam.

"Silakan duduk, taihiap. Maafkan, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa duduk di atas lantai."

"Tidak mengapa, Paman...," kata Han Siong dengan tenang, walau pun hatinya semakin tertarik karena keadaan mereka itu jelas tidak sewajarnya.

Sesudah mereka duduk bersila di atas tikar, mulailah pria setengah tua itu bercerita. Dia bernama Ouw Lok Khi, ketua dari perkumpulan Pek-tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih). Dia telah menduda dan mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Ouw Ci Goat, gadis berusia delapan belas tahun yang wajahnya bulat putih dan manis itu.

Perkumpulan Rajawali Putih mempunyal anak buah yang cukup banyak, ada empat puluh orang lebih dan selain mempelajari ilmu silat, perkumpulan ini juga membuka usaha jasa pengawalan. Nama mereka sudah cukup dikenal sebagai orang-orang yang menentang kejahatan dan mencari nafkah secara halal.

Namun pada suatu hari Ouw Lok Khi didatangi oleh seorang utusan dari Kim-lian-pang yang menuntut supaya perkumpulan Pek-tiauw-pang mau mengakui kekuasaan Kim-lian-pang dan suka bekerja sama, membagi rejeki, yaitu membagi sebagian dari hasil usaha perkumpulan itu kepada Kim-lian-pang sebagai upeti atau pengakuan kekuasaan.

Tentu saja Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi segera menolak dan menganggap permintaan itu keterlaluan. Perkumpulannya sudah berdiri selama belasan tahun, bagaimana mungkin sekarang harus mengakui kekuasaan sebuah perkumpulan yang baru saja muncul dan didirikan di Bukit Kim-lian-san yang agak jauh dari kotanya, yaitu di Hok-lam?

Akibat penolakan itu, lalu muncullah seorang pemuda yang mewakili ketua Kim-lian-pang menantang untuk mengadu kepandaian. Karena marah, Ouw Ci Goat melayani tantangan pemuda dari Kim-lian-pang itu. Akan tetapi Ci Goat kalah jauh, bahkan ketika Ouw Lok Khi sendiri maju, dia pun hanya mampu bertahan belasan jurus saja lalu roboh dan kalah.

Setelah mengalahkan mereka ayah dan anak, utusan Kim-lian-pang ini kembali membujuk agar Ouw Pangcu suka takluk dan menyerah. Namun ketua Pek-tiauw-pang ini tidak sudi menyerah. Juga puterinya dan semua anak buah Pek-tiauw-pang tak sudi menyerah dan tidak sudi membagikan hasil kerja mereka kepada perkumpulan itu.

"Karena kami tetap saja menolak, beberapa kali Kim-lian-pang mengirimkan jago-jagonya untuk menyerang kami. Dan memang mereka mempunyai banyak orang pandai, terutama sekali kedua orang pembantu ketua, pemuda dan wanita iblis itu! Kami tetap melakukan perlawanan dan kami tidak mau menyerah biar pun mereka mengancam akan membunuh kami semua. Akhirnya, tujuh hari yang lalu, benar saja serombongan orang dari Hek-tok-pang, yaitu perkumpulan jahat yang sudah menjadi anak buah mereka, menyerbu asrama kami di tepi kota Hok-lam. Kami mengadakan perlawanan secara mati-matian, akan tetapi mereka mempergunakan racun dan habis binasalah anak buah Pek-tiauw-pang! Tinggal kami berlima ini yang hidup..." Ketua Pek-tiauw-pang itu tidak menangis, akan tetapi jelas nampak betapa wajahnya penuh kedukaan dan penasaran. Juga Ci Goat tidak menangis, akan tetapi dia mengepal tinju.

"Kami akan melawan terus sampai mati!" kata gadis itu penuh semangat.

"Akan tetapi, mengapa tadi paman sekalian mengeroyok aku?" Han Siong bertanya.

"Ketika orang-orang Hek-tok-pang itu menyerbu, kami sempat melihat tiga orang pimpinan Kim-lian-pang. Mereka tidak ikut turun tangan, akan tetapi sempat ketuanya menawarkan perdamaian dengan kami. Akan tetapi untuk terakhir kalinya kami tetap menolak dan dia pun lalu mengerahkan orang-orang Hek-tok-pang itu. Ketuanya itulah yang mirip dengan Taihiap. Kami memang sedang mengintai dan menanti saat yang baik. Kalau pemimpin mereka keluar, maka kami akan menyergap dan membunuhnya. Ketika Taihiap muncul, kami mengira Taihiap adalah ketua Kim-lian-pang yang bernama Sim Ki Liong itu."

"Siapa...?!" Han Siong bertanya, kaget mendengar nama itu.

"Namanya Sim Ki Liong!"

"Orangnya masih muda, sekitar dua puluh dua tahun?"

"Betul sekali, apakah... Taihiap sahabatnya...?" tanya Ci Goat dengan suara mengandung kekhawatiran. Han Siong menoleh sehingga dua pasang mata bertemu, bertaut dan gadis itu menundukkan mukanya. Jelas nampak kedua pipi yang putih halus itu kemerahan.

"Sama sekali tidak bersahabat, Nona, justru pernah kami saling bermusuhan! Dia pernah membantu pemberontakan seorang datuk sesat terhadap pemerintah. Dia memang lihai sekali dan sayang bahwa ketika gerombolan itu diserbu, dia sempat melarikan diri. Dan siapakah dua orang pembantunya yang lihai itu?"

"Seorang pemuda yang amat lihai pula bernama Tang Cun Sek," kata Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi. Han Siong mengerutkan alis dan menggeleng kepala, tidak mengenal nama itu.

"Dan seorang wanita iblis, yaitu Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi...," kata Ci Goat.

"Aihh, kiranya siluman betina itu?" kembali Han Siong terkejut. "Dia dulu juga membantu gerombolan pemberontak, kiranya berhasil menyelamatkan diri. Ahhh, kalau mereka yang memimpin, tentu Kim-lian-pang merupakan perkumpulan yang kuat dan juga jahat!"

Mendengar bahwa pemuda perkasa ini pernah bermusuhan melawan dua orang di antara para pimpinan Kim-lian-pang, hati kelima orang sisa anggota Pek-tiauw-pang yang sudah terbasmi hampir habis itu menjadi girang dan timbul kembali harapan mereka untuk dapat membalas dendam. Ouw Lok Khi cepat-cepat berlutut dan menghadap pemuda itu sambil berkata,

"Pek Taihiap, mohon Taihiap sudi menolong kami..."

Terkejut juga Han Siong ketika melihat orang tua itu berlutut. Cepat dia memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya duduk kembali. 鈥淧angcu, harap jangan begitu. Tanpa kau minta sekali pun, kalau aku melihat dua orang jahat itu merajalela, sudah pasti aku akan menentang mereka."

"Aih, kalau taihiap sudi turun tangan, sudah pasti mereka akan dapat kita hancurkan. Mari kita menyerbu sarang mereka di puncak Kim-lian-san, Pek Taihiap!" kata pula ketua Pek-tiauw-pang itu penuh semangat, sedangkan puterinya serta tiga orang pembantunya juga mengangguk dan penuh semangat. Mereka berlima sudah siap untuk membalas dendam dengan taruhan nyawa mereka. Akan tetapi Han Siong tetap tenang dan menggerakkan tangan menyatakan tidak setuju.

"Pangcu, sungguh tidak bijaksana bila kita menuruti hati yang mendendam saja. Dendam dan kebencian akan menghilangkan kewaspadaan, dan akhirnya bahkan menyeret kita ke dalam kehancuran. Seperti yang kau ceritakan tadi, Kim-lian-pang kuat sekali, di samping dipimpin oleh tiga orang yang lihai, juga dibantu Hek-tok-pang dan memiliki banyak anak buah. Kita yang hanya enam orang ini mana mungkin mampu menandingi begitu banyak lawan? Belum lagi jika diingat bahwa sarang perkumpulan sejahat itu tentu penuh dengan jebakan dan perangkap rahasia."

"Aku tidak takut!" tiba-tiba Ci Goat berseru sambil mengepal tinju.

Han Siong tersenyum dan memandang kagum kepada gadis itu. "Kegagahanmu sangat mengagumkan dan kuhargai, Nona. Akan tetapi, dalam menghadapi lawan yang kuat dan jumlahnya besar, tidak mungkin kita hanya mengandalkan keberanian. Keberanian karena dendam akan membuat kita nekat dan tanpa perhitungan, dan aku tak ingin membiarkan kita semua mati konyol."

Ouw Lok Khi mengangguk-angguk kemudian menarik napas panjang. "Sekarang baru aku melihat kebenaran ucapanmu, Taihiap. Memang kami sudah menjadi gila akibat dendam sehingga kami tidak memperhitungkan bahaya dan kemungkinan kalah. Karena engkau berada di pihak kami, maka kami menyerahkan kepadamu semua cara untuk menghadapi musuh."

Han Siong mengangguk dan menerima penyerahan pimpinan ini tanpa sungkan-sungkan lagi karena dia tahu bahwa orang-orang yang sedang diamuk dendam kebencian bukan merupakan pimpinan yang baik.

"Bila kita hendak menentang gerombolan jahat yang lihai itu, maka setidaknya kita harus mempunyai pembantu yang cukup berani dan gagah, yang jumlahnya seimbang dengan jumlah mereka."

"Hal itu amat mudah, Taihiap. Banyak perkumpulan yang merasa sakit hati terhadap Kim-lian-pang, namun mereka itu tidak berani bergerak karena merasa tidak kuat menghadapi kekuatan Kim-lian-pang. Aku akan menghubungi mereka, sebab di antara mereka banyak terdapat sahabat baikku, dan akan kubujuk mereka supaya suka bekerja sama. Beberapa perkumpulan persilatan tentu bersedia membantu. Menurut perkiraanku, jumlah anak buah Kim-lian-pang tidak melebihi seratus lima puluh orang dan kita akan dapat mengumpulkan lebih banyak lagi."

Han Siong mengerutkan alisnya. Banyak juga anak buah yang sudah dikumpulkan Sim Ki Liong, pikirnya. "Apakah tidak mungkin kalau kita minta bantuan dari pasukan keamanan pemerintah?"

"Ahhh, itu sama saja dengan bunuh diri!" kata Ouw Lok Khi dengan muka muram. "Kalau kita melapor, kita malah akan ditangkap lebih dulu! Ketahuilah, Taihiap, gerombolan Kim-lian-pang itu cerdik dan licik bukan main. Mereka mendekati para pimpinan pemerintahan daerah dengan jalan menyuap dan menyogok, mengambil hati mereka, bahkan Kim-lian-pang menunjukkan jasa dengan membasmi gerombolan penjahat. Kim-lian-pang sendiri tidak pernah melakukan kejahatan. Mereka hanya menundukkan semua perkumpulan dan memaksa para pimpinan perkumpulan itu untuk takluk dan membagi hasil rejeki. Mereka memungut pajak dari mana pun yang menghasilkan banyak uang, dengan dalih menjaga keamanan mereka. Toko besar, perusahaan dan bahkan rumah-rumah penginapan. Tidak, kita tidak mungkin dapat mengharapkan bantuan dari pasukan keamanan yang tentu akan berpihak kepada mereka."

Han Siong mengerutkan alisnya. Kiranya Sim Ki Liong cerdik sekali, tak mau mengulang kesalahan mendiang Lam-hai Giam-lo yang memberontak terhadap pemerintah. Kini dia bahkan mendekati pemerintah atau mendekati pejabat korup yang suka disogoknya agar mereka berpihak kepadanya! Memang satu-satunya jalan untuk mengumpulkan pasukan adalah seperti yang diusulkan Ouw Pangcu tadi, yaitu mengumpulkan orang-orang yang mendendam kepada Kim-lian-pang.

"Baiklah, Ouw Pangcu. Engkau kumpulkan orang-orang yang mau diajak menyerbu Kim-lian-pang. Sesudah mereka siap, kita kepung puncak itu kemudian kau ajukan tantangan kepada Sim Ki Liong untuk mengadu kepandaian di lereng. Aku akan menghadapinya dan ketika aku sedang bertanding dengan para pimpinan itu, maka kau kerahkan pasukan kita untuk menyerbu ke atas. Akan tetapi harus berhati-hati terhadap jebakan dan perangkap."

"Sebaiknya kita pergunakan api untuk memaksa mereka semua keluar sehingga kita tak perlu harus menerjang jebakan dan perangkap berbahaya," kata Ouw Lok Khi yang kini telah tenang, tak lagi didesak dendam yang membuatnya nekat. Han Siong mengangguk girang.

"Siasatmu itu tepat sekali, Pangcu. Marilah kita mulai bekerja. Aku akan mempersiapkan diri dan karena engkau membutuhkan waktu untuk mengumpulkan tenaga bantuan, maka sebaiknya kalau aku menanti pada rumah penginapan di kota terdekat," Han Siong lantas bangkit berdiri.

Ketua Pek-tiauw-pang itu pun cepat-cepat bangkit. "Taihiap, sebaiknya jika Taihiap tinggal bersama kami. Walau pun asrama kami di Hok-lam telah dihancurkan oleh Kim-lian-pang, akan tetapi kami dapat tinggal di rumah seorang murid kami ini." Dia menunjuk kepada seorang di antara tiga orang anggota Pek-tiauw-pang itu. "Dia memiliki rumah besar dan kita semua dapat tinggal untuk sementara di sana."

"Benar sekali, Pek Taihiap," kata pria berusia tiga puluh tahun itu. "Rumah kami cukup besar dan kami dapat menyediakan sebuah kamar untuk Taihiap," orang itu bernama Thio Ki dan sikapnya ramah.

Karena merasa bahwa memang lebih baik jika dia tidak berpisah dari lima orang itu, Han Siong lalu menyetujui dan berangkatlah mereka meninggalkan goa dalam hutan itu, pergi ke kota Hok-lam. Akan tetapi mereka bersepakat bahwa goa yang tersembunyi itu akan dijadikan markas baru untuk kegiatan mereka saat melakukan penyerbuan terhadap Kim-lian-pang karena tempat itu baik sekali, merupakan goa dalam hutan di bukit yang tidak berjauhan dari Kim-lian-san.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Beberapa hari saja sesudah dia tinggal di rumah Thio Ki, Han Siong merasa benar bahwa dia amat dihormati dan diperhatikan. Terutama sekali Ouw Ci Goat. Gadis itu sendiri yang melayaninya, mencuci pakaiannya, membersihkan kamarnya. Perhatian Ci Goat terhadap dirinya sungguh membuat dia merasa sungkan dan malu. Berkali-kali dia melarang gadis itu mencucikan pakaiannya, namun Ci Goat tetap memaksanya.

"Taihiap adalah tamu agung kami, bagaimana harus mencuci pakaian sendiri? Lagi pula aku seorang wanita, sudah selayaknya kalau mencucikan pakaian Taihiap. Harap jangan sungkan, Taihiap, bukankah kita telah bersahabat dan Taihiap adalah penolong kami?"

Perhatian gadis itu bukan hanya dengan cara melayaninya saja, akan tetapi beberapa kali dia pernah memergoki gadis itu menatapnya dengan pandang mata yang aneh, pandang mata yang sayu dan seperti orang terpesona, dan kalau tanpa disengaja dia menengok sehingga mereka bertemu pandang, gadis itu tersipu lalu menundukkan mukanya dengan cepat, akan tetapi dia masih sempat melihat sepasang pipi yang tadinya putih halus itu berubah kemerahan. Sungguh aneh sekali!

Dua hari kemudian mereka hanya berdua saja di rumah itu. Ouw Lok Khi dan tiga orang murid merangkap anak buahnya, pergi untuk melanjutkan usahanya mengumpulkan bala bantuan. Thio Ki memang tinggal seorang diri di rumah itu. Ayah ibunya dan juga isterinya telah dia ungsikan ke dusun semenjak dia terlibat permusuhan dengan Kim-lian-pang, dan semua pelayan juga sudah disuruh pulang. Hanya Ci Goat yang ditinggal di rumah untuk melayani keperluan Han Siong yang mereka hormati.

"Taihiap, silakan makan pagi," kata Ci Goat sesudah dia menyiapkan makan pagi di meja ruangan makan. "Semenjak pagi sekali tadi ayah bersama tiga orang suheng sudah pergi berkunjung ke Ki-lam untuk mengumpulkan teman. Silakan Taihiap makan sendiri."

"Ahh, mari kita makan bersama, Nona. Engkau pun belum makan pagi bukan?"

"Harap jangan sebut aku nona, tidak enak rasanya... seakan-akan kita ini saling merasa asing..."

"Tapi engkau pun menyebut taihiap padaku, Nona."

"Engkau memang seorang pendekar sakti, pantas disebut taihiap. Akan tetapi aku... ahh, sebut saja namaku. Namaku Ci Goat."

"Aku mau menyebutmu adik Ci Goat kalau engkau juga mau merubah sebutan kepadaku. Panggil saja aku toako (kakak)."

Gadis itu tersenyum dan kembali kedua pipinya berubah merah sekali. "Baiklah..., Toako." katanya sambil menunduk. "Silakan makan pagi, Toako."

"Kita hanya berdua saja di rumah ini, apa salahnya kalau kita makan bersama, Goat-moi (adik Goat)? Hayolah, bukankah engkau sendiri bilang bahwa kita ini bukan orang asing?"

Biar pun masih tersipu, akhirnya Ci Goat mau juga diajak makan bersama. Setelah duduk berhadapan dekat, hanya terhalang meja makan, barulah Han Siong mendapat kenyataan bahwa biar pun gadis ini sederhana sekali, wajahnya tanpa bedak dan gincu, akan tetapi wajah itu sungguh bersih dan manis. Juga sikapnya amat sederhana, tidak banyak cakap, jarang tertawa, bahkan wajahnya diliputi awan duka.

Namun mulut itu selalu membayangkan senyum ramah, senyum dikulum yang membuat wajahnya tampak manis selalu. Juga ketika dia bicara dan Han Siong memperhatikannya, gadis itu memiliki gigi yang berderet rapi dan putih bersih.

"Goat-moi, setelah kita kini menjadi sahabat yang akrab, kiranya sudah sepantasnya jika aku mendengar lebih banyak tentang dirimu dan ayahmu. Maukah engkau menceritakan riwayat dan keadaanmu sampai engkau kehilangan tempat tinggal seperti sekarang ini?" tanya Han Siong ketika mereka baru saja selesai makan dan dia turut membantu gadis itu membersihkan meja, menyingkirkan sisa makanan dan mencuci mangkok.

Dara itu menarik napas panjang. "Tidak banyak yang dapat kuceritakan, Twako, dan yang dapat diceritakan hanya hal-hal yang menyedihkan saja. Aku sudah kehilangan ibuku saat berusia kurang dari sepuluh tahun. Semenjak itu aku hidup berdua dengan ayah dan para suheng, dan aku dididik oleh ayah, mempelajari ilmu silat dan ilmu baca tulis sekedarnya. Sesudah remaja aku membantu pekerjaan ayah, kadang-kadang membantu pengawalan kiriman barang bersama para suheng. Kemudian terjadilah mala petaka yang disebabkan oleh Kim-Iian-pang itu. Hampir semua anggota perkumpulan kami binasa, hanya tinggal kami berlima. Juga dalam perkelahian itu aku telah kehilangan... calon suamiku..."

"Ahhh...! Sungguh menyedihkan! Kasihan sekali engkau, Goat-moi!" kata Han Siong yang terkejut dan juga ikut bersedih.

Gadis itu kemudian menarik napas panjang. "Jangan engkau salah duga, Twako. Bagiku kematiannya tiada bedanya dengan kesedihan melihat para suheng lain yang juga tewas. Tunanganku itu juga seorang suheng-ku, murid dari ayah. Terus terang saja, perjodohan itu atas kehendak ayah, namun bagiku dia itu seperti para suheng yang lain. Aku bahkan sering termenung dan sulit membayangkan dia menjadi suamiku kelak. Sudahlah, kini dia sudah tidak ada dan semoga dia mendapatkan tempat yang penuh damai."

Sekarang Han Siong tidak berani banyak bicara lagi, takut jika mengusik kenangan yang menyedihkan. Akan tetapi dia maklum bahwa gadis ini tidak mencintai tunangannya yang tewas itu, dan kalau dia mau dijodohkan dengannya, hal itu hanya karena dia mentaati perintah ayahnya saja. Secara diam-diam dia menaruh hati iba kepada gadis yang manis ini yang telah begitu percaya kepadanya sehingga menceritakan semua tentang dirinya.

"Toako, sekarang tiba giliranmu. Aku pun ingin sekali mendengar riwayatmu, tentu hebat. Maukah engkau menceritakan kepadaku, toako?" tanya gadis itu dan mereka kini duduk di belakang rumah, di atas bangku dalam taman yang bermandikan cahaya matahari pagi.

"Tidak ada hal yang menarik, Goat-moi. Ayahku juga seorang pangcu, ketua dari Pek-sim-pang di daerah Kong-goan yang sangat jauh dari sini, jauh di barat sana. Sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, dan sekarang aku sedang melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan memperbanyak pengetahuan. Kebetulan saja aku lewat di sini sehingga bertemu dengan kalian berlima."

Han Siong memang tidak suka terlalu banyak bercerita tentang dirinya, dan agaknya hal ini terasa pula oleh Ci Goat, maka gadis itu pun tidak mendesak. Hanya ada satu hal yang sejak tadi agaknya mengganjal hati Ci Goat, dan kini dengan memberanikan diri, dengan kedua pipi berubah kemerahan ketika dia menatap wajah pemuda itu, dia pun berkata,

"Toako, kurasa usiamu jauh lebih tua dari pada aku yang berusia delapan belas tahun," Jelas bahwa ucapan ini memancing keinginan tahuannya tentang usia pemuda itu.

Han Siong tersenyum. "Tentu saja aku jauh lebih tua, adik Goat. Aku sudah berusia dua puluh dua, hampir dua puluh tiga tahun."

"Ah, kalau begitu tentu engkau telah berkeluarga, Toako," kata gadis itu cepat dan sambil lalu, seolah acuh.

Mendengar pertanyaan ini, Han Siong merasa betapa hatinya tertusuk karena dia teringat kepada Siangkoan Bi Lian, gadis yang dicintanya namun juga telah menolaknya! Ci Goat telah berterus terang kepadanya, maka sudah sepantasnya kalau dia pun berterus terang, sekalian mendapat kesempatan untuk menyalurkan rasa penasaran dan kekecewaannya.

"Seperti juga engkau, tadinya aku sudah ditunangkan oleh guru-guruku, tapi pertunangan itu gagal..."

Dara itu terbelalak, memandang dengan matanya yang jeli, dan bayangan senyum segera menghilang dari ujung bibirnya. "Dia... dia juga... mati...?"

Han Siong menggeleng kepala kemudian menghela napas. "Dia menolak untuk berjodoh denganku."

"Ahhh...!" Gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih, "tidak mungkin... tidak mungkin..."

Han Siong mengangkat muka, memandang dengan sinar mata heran. "Apanya yang tidak mungkin, Goat-moi?"

"Bagaimana mungkin seorang gadis menolak engkau untuk menjadi jodohnya...!" tiba-tiba gadis itu berhenti bicara dan menundukkan mukanya yang kemerahan, karena dia merasa betapa dia telah kelepasan bicara, begitu saja mengeluarkan suara hati melalui mulutnya.

Han Siong tersenyum pahit, kemudian dia pun berjalan meninggalkan gadis itu menuju ke kamarnya. Malam itu Han Siong gelisah dan tidak bisa tidur. Percakapan dengan Ci Goat tadi telah membongkar kenangan lama, membuat wajah Bi Lian selalu terbayang di depan mata, mendatangkan rasa rindu yang hebat. Ketika Ci Goat menawarkan makan malam, dia mengatakan bahwa dia tidak lapar dan minta kepada gadis itu untuk makan malam sendiri.

"Taruh saja di atas meja, Goat-moi, nanti kalau lapar aku akan mengambilnya sendiri," katanya dengan lesu.

Agaknya Ci Goat juga melihat sikap pemuda yang lesu itu, maka dia pun tidak berani lagi mengganggunya. Tadi ketika makan siang pun pemuda itu hanya makan sedikit dan tidak banyak bicara.

Malam telah larut, namun Han Siong masih rebah termenung tidak dapat pulas. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara di belakang rumah. Dia menjadi curiga dan cepat dia turun dari pembaringan, mengenakan sepatunya lantas berindap keluar dari kamarnya, cepat menuju ke belakang rumah.

Kiranya yang menimbulkan suara itu adalah Ci Goat! Gadis itu keluar dari rumah menuju ke kebun di belakang sambil membawa buntalan. Han Siong menahan diri tidak menegur, hanya membayangi dengan perasaan heran. Apa yang hendak dilakukan gadis itu pada malam hari begini?

Ci Goat berhenti dekat bangku panjang di mana pagi tadi mereka duduk bercakap-cakap, lalu dia meletakkan buntalan di atas bangku dan membukanya. Kiranya buntalan itu terisi alat-alat untuk bersembahyang, seperti hio-swa (dupa biting) dan lain-lain. Dan gadis itu lalu meletakkan semua persiapan sembahyang di atas bangku, menyalakan hio dan mulai bersembahyang!

Dara itu mengucapkan kata-kata permohonan dengan suara bisik-bisik. Dia merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang yang akan mendengar suaranya yang sangat lirih. Kebun itu sunyi dan kosong, dan andai kata ada orang didekatnya pun tak akan bisa menangkap kata-kata doa yang diucapkan sambil berbisik.

Dia salah perhitungan! Orang biasa mungkin tidak dapat menangkap kata-kata bisikan itu, namun pendengaran Han Siong lain dari pada orang biasa. Biar pun jarak antara dia yang berada di balik batang pohon tidak terlalu dekat dengan gadis itu, namun di tempat yang sesunyi itu dia mampu menangkap kata-kata doa gadis itu dengan jelas!

Ternyata gadis itu berdoa untuk dia! Gadis Itu bersembahyang untuk dia. Antara lain yang didengarnya adalah kata-kata yang membuatnya terharu sekali,

"Ya Tuhan, Tuhan dari Bumi dan Langit, dengarlah permohonan saya ini. Kalau sampai terjadi perkelahian dengan Kim-lian-pang kelak, lindungilah Toako Pek Han Siong, berilah kemenangan padanya atau andai kata dia kalah pun, lindungilah dia. Jangan sampai aku kehilangan dia pula, ya Tuhan, karena dialah satu-satunya orang yang menjadi tumpuan harapanku, dialah satu-satunya orang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku..."

Han Siong tidak dapat mendengarkan terus. Dia sudah berkelebat pergi dengan jantung berdebar dan muka terasa panas. Gadis itu jatuh cinta padanya! Begitu sampai di dalam kamarnya, kembali dia termenung. Sekali ini bukan membayangkan wajah Bi Lian, namun yang terbayang adalah wajah Ci Goat, gadis yang bersembahyang bagi keselamatannya, gadis yang takut kehilangan dia, yang mencintanya dengan jiwa raganya!

Pada keesokan harinya dia bersikap biasa, akan tetapi sekarang baru dia mengerti akan pandangan mata gadis itu yang tadinya dianggap aneh. Ternyata pandangan mata gadis itu penuh dengan sinar kagum dan cinta! Hal ini membuat dia merasa rikuh sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan merasa semakin kasihan kepada gadis itu.

Kalau saja Ci Goat tahu bahwa hatinya telah melekat pada bayangan Bi Lian dan bahwa tidak mungkin ada gadis lain di dunia ini yang dapat menjatuhkan cinta hatinya! Dia hanya mencinta Bi Lian seorang, dan andai kata dia dapat mencinta gadis lain, tentu tidak akan seperti cintanya kepada Bi Lian.

Sepekan kemudian siaplah sudah pasukan yang dikumpulkan oleh Ouw Pangcu. Mereka itu adalah sekumpulan orang-orang gagah dari beberapa perkumpulan silat yang pernah menerima penghinaan dari Kim-lian-pang. Jumlah mereka tak kurang dari dua ratus orang!

Mereka yang bersedia membantu adalah para anggota perkumpulan silat yang rata-rata mempunyai ilmu silat yang lumayan, dipimpin oleh ketua atau guru masing-masing. Tentu saja para pimpinan ini pun lihai, satu tingkat dengan ilmu kepandaian Ouw Pangcu dan jumlah mereka ada enam orang.

Enam orang ini kemudian dipertemukan dengan Han Siong dan mereka semua merasa kagum kepada pemuda itu ketika mereka mendengar betapa Han Siong adalah seorang di antara para pendekar yang pernah membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin mendiang Lam-hai Giam-lo. Mereka lalu mengadakan perundingan dan menyusun siasat.

Pada hari yang sudah ditentukan, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi berdiri di lereng Bukit Kim-lian-san dekat puncak, kemudian beberapa orang anak buahnya melepas anak panah berapi ke arah puncak. Sesudah beberapa kali melepas panah berapi dan di antaranya ada yang membakar daun-daun kering dekat puncak, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi lalu mengeluarkan teriakan nyaring sambil mengerahkan tenaga khikang.

"Haiii, para pimpinan Klm-lian-pang! Kalau kalian memang gagah perkasa, turunlah dari puncak dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

Sampai tiga kali dia mengulang teriakannya itu, kemudian bersama semua pasukan yang telah siap di tempat itu, dia bersembunyi. Kini hanya Han Siong seorang yang menanti di lapangan rumput di lereng bukit itu, dengan sikap waspada dan hati-hati.

Tidak lama kemudian nampak bayangan orang berkelebat dari atas dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang pria muda yang tampan dan gagah. Tadinya Han Siong mengira bahwa ketua Kim-lian-pang, yaitu Sim Ki Liong yang muncul sendiri. Akan tetapi sesudah dia memperhatikan, yang muncul itu adalah seorang pria muda berusia kira-kira tiga puluh tahun yang tidak dikenalnya.

Pria ini bertubuh tinggi besar. Wajahnya berkulit putih dan tampan gagah, kedua matanya mencorong aneh. Pria ini bertangan kosong, tapi sikapnya yang tenang itu, tanpa senjata, dan pemunculannya yang tiba-tiba bagaikan setan, sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang lawan yang tangguh.

Pria itu bukan lain adalah Tang Cun Sek. Para pimpinan Kim-lian-pang marah bukan main melihat serangan anak panah berapi itu. Walau pun anak panah yang diluncurkan itu tidak sampai mencapai puncak sehingga tidak mengenai perumahan Kim-lian-pang, akan tetapi cukup mengejutkan juga, apa lagi ada beberapa batang anak panah berapi yang sempat mengakibatkan kebakaran sesudah mengenai daun-daun kering di atas tanah. Anak buah Kim-lian-pang terpaksa harus cepat-cepat memadamkan kebakaran itu sebelum menjalar dan membakar hutan di dekat puncak.

Ketika mereka mendengar tantangan yang diteriakkan oleh Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi, Tang Cun Sek segera berkata kepada Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi bahwa dia akan menghadapi ketua Pek-tiauw-pang itu.

"Hemm, aku yakin dia tidak datang sendirian. Tentu banyak kawannya, dan tentu dia telah membentuk pasukan yang kuat. Kalau tidak, mana dia berani bersikap seperti itu?" kata Ji Sun Bi yang berhati-hati.

"Aku pun menduga demikian," kata Sim Ki Liong. "Tang-toako, engkau keluarlah dulu dan sambut tantangan itu, kami mengikuti dari belakang karena aku hendak mempersiapkan anak buah lebih dulu untuk bertahan kalau-kalau mereka berani menyerang ke atas dan kita harus dapat membasmi mereka."

Tan Cun Sek menyanggupi lalu dia pun berlari turun dari puncak. Ketika dia melihat ada seorang pemuda berdiri seorang diri di lapangan rumput itu, dia pun cepat menghampiri dan mereka kini sudah berdiri saling berhadapan dan saling pandang dalam jarak kurang lebih empat meter saja.

Laksana dua ekor ayam aduan, mereka berdua saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seperti hendak mengetahui keadaan lawan masing-masing. Watak Cun Sek yang tinggi hati membuat dia belum apa-apa sudah memandang rendah terhadap calon lawan itu.

"Mana dia ketua Pek-tiauw-pang yang berteriak menantang tadi?" tanyanya. "Kenapa dia bersembunyi dan siapakah engkau?"

Han Siong tersenyum tenang. "Memang akulah yang mewakilinya untuk menghadapi para pimpinan Kim-lian-pang. Di mana adanya ketua Kim-lian-pang? Biarkan dia turun sendiri untuk menandingiku."

"Keparat, engkau hanya datang mengantar nyawa. Tak perlu Kim-lian Pangcu yang maju sendiri, sudah cukup aku untuk menghajarmu, kalau perlu membunuhmu!" kata Tang Cun Sek sambil melangkah maju.

"Hemm...! Sayang, sungguh sayang, seorang muda yang gagah seperti engkau ternyata hanya menjadi kaki tangan iblis-iblis seperti Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi. Tentu engkaulah yang bernama Tang Cun Sek, bukan? Hemm, apa saja yang kau peroleh dari mereka? Janji muluk, harta dan juga kecabulan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi itu, bukan?"

Mendengar ucapan ini, seketika wajah Cun Sek menjadi merah sekali. Memang ucapan itu dengan tepat menelanjanginya, maka dapat dibayangkan betapa rasa malu membuat dia marah bukan main.

"Tutup mulutmu, keparat busuk!" bentaknya dan dia sudah menerjang dengan dahsyat.

Kedua tangannya bergerak cepat dan kuat sekali, mendatangkan tenaga yang amat hebat karena dia sudah mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Cjn-ling-pai.

Menghadapi serangan yang dahsyat ini, tentu saja Han Siong tidak berani memandang ringan. Dari angin pukulan itu saja dia pun maklum bahwa benar seperti yang diduganya, lawan ini bukanlah lawan yang ringan. Dia pun cepat mengelak.

Tetapi gerakan Cun Sek memang cepat sekali, karena begitu pukulannya luput, tubuhnya segera membalik dan kembali dia sudah melakukan serangan bertubi-tubi yang sambung menyambung.

Han Siong berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan serangan-serangan itu sambil memperhatikan gerakan lawan. Diam-diam dia pun terkejut dan heran sekali. Jelas bahwa pemuda ini menjadi pembantu dua orang muda yang sangat jahat, maka sepantasnyalah kalau pemuda ini juga seorang tokoh sesat. Akan tetapi kenapa gerakan silatnya demikian bersih? Bahkan ilmu silatnya sendiri jauh kalah bersih kalau dibandingkan ilmu silat yang dimainkan penyerangnya itu.

Dia menerima ilmu-ilmunya dari suhu dan subo-nya, dan memang dua orang gurunya itu pernah membuat pengakuan bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk sesat sehingga ilmu mereka pun tidak bersih.

"Bagaimana pun juga, yang menentukan bersih kotornya suatu ilmu adalah pemakainya," demikian suhu-nya pernah berkata. "Sudah menjadi kewajibanmu untuk membuat seluruh ilmu silat kita menjadi ilmu yang bersih dengan menghilangkan sifat-sifat yang curang dan licik, menghilangkan penggunaan hawa beracun, dan terutama sekali menggunakannya untuk menentang kejahatan dan membela keadilan dan kebenaran!"

Dan selama ini dia selalu mentaati pesan gurunya itu, bahkan sesudah dia memperoleh gemblengan dari Ban Hok Lojin, maka ilmu-ilmu dari gurunya dapat disempurnakan dan dibersihkan.

Setelah mempelajari gerakan lawan sampai belasan jurus, barulah Han Siong membalas dan mengingat akan kelihaian lawan, dia pun langsung memainkan ilmu silat Pek-hong Sin-ciang yang diperolehnya dari Ban Hok Lojin. Begitu dia memainkan ilmu silat ini, maka terkejutlah Cun Sek. Angin menyambar-nyambar laksana badai dan setiap kali lengannya bertemu dengan lengan lawan, Cun Sek terdorong sampai terhuyung ke belakang!

Karena terkejut, setelah berdiri tegak kembali dia tidak segera menyerang lagi, melainkan memandang dengan mata mendelik, penuh rasa penasaran dan marah karena malu.

"Singggg...!"

Ketika tangan kanannya meraba pinggang, tiba-tiba berkelebat sinar emas dan pedang pusaka Hong-cu-kiam telah berada di tangan kanannya.

"Keparat!" Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Han Siong. "sebelum engkau kubunuh, katakanlah siapa namamu agar jangan sampai engkau mati tanpa nama!"

Han Siong tersenyum. Pemuda bernama Tang Cun Sek ini bukanlah orang yang sedang dicarinya. Yang ingin dilawannya adalah Sim Ki Liong, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda di depannya ini merupakan seorang pembantu yang amat lihai dari Sim Ki Liong. Bahkan mungkin tidak kalah dibandingkan dengan Ji Sun Bi, maka harus ditundukkan!

Apa lagi pedang yang kini berada di tangannya itu jelas bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang pusaka yang ampuh. Dari sinarnya saja dia sudah tahu bahwa pedang tipis yang tadi menjadi sabuk itu amat berbahaya. Padahal dia sendiri sudah tak memiliki pedang, karena pedang pusaka Kwan-im Po-kiam pemberian gurunya yang juga menjadi tanda ikatan jodoh sudah dia kembalikan kepada suhu dan subo-nya. Biarlah, dia hendak menguji dulu sampai di mana kelihaian lawannya itu.

"Hemm, namaku Pek Han Siong, kawan. Lebih kusayangkan lagi bahwa pedang pusaka sebaik itu akan kau pergunakan untuk kejahatan!"

Cun Sek belum pernah mendengar nama Pek Han Siong, maka baginya nama itu tak ada arti apa pun. Juga dia melihat lawannya itu masih belum mengeluarkan senjata. Sebagai seorang yang amat menghargai diri sendiri, Cun Sek merasa penasaran sekali. Tentu saja dia tidak mau dianggap pengecut karena menyerang orang tanpa senjata dengan pedang pusakanya, maka dia menantang.

"Pek Han Siong, tidak perlu banyak cakap. Keluarkan senjatamu!"

Han Siong menggelengkan kepalanya. "Aku tidak memegang senjata, tetapi engkau keliru kalau mengira aku takut menghadapi pedangmu. Aku akan melawan pedangmu dengan tangan kosong."

"Manusia sombong, jangan salahkan aku kalau tubuhmu akan terbabat menjadi beberapa potong. Lihat pedang!" Terdengar suara berdesing dan nampak sinar emas menyambar ke arah leher Han Siong.

Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 12

MELIHAT Cui Bhok sudah siap siaga di tengah ruangan yang luas itu, sambil tersenyum Sim Ki Liong bangkit dari kursinya. Semua anak buah Hek-tok-pang yang masih berlutut juga memandang dengan hati tegang. Mereka setuju sekali dengan sikap ketua mereka. Kalau hendak menaluk kepada seseorang, maka terlebih dahulu mereka harus melihat sendiri bagaimana lihainya orang itu!

"Cui-pangcu, permintaanmu wajar pula. Aku akan membuktikan bahwa aku memang patut kau taati. Nah, mulailah!" katanya dan dia berdiri seenaknya saja di depan Cui Bhok yang bertubuh kokoh kekar itu, berbeda dengan tubuh Sim Ki Liong yang sedang saja sehingga nampak kecil lemah di depan raksasa itu.

Cui Bhok tak mau membuang waktu lagi, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan suara mengaum seperti singa, disusul bentakannya, "Kim-lian Pangcu, lihat seranganku!"

Tubuhnya langsung menerjang dengan dahsyatnya, kedua tangannya membentuk cakar singa, kuku jari-jari tangannya terlihat menghitam tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun yang sangat berbahaya. Sekali terkena goretan kuku hitam itu akan mengakibatkan luka melepuh yang sukar disembuhkan kalau tidak memakai obat pemunah racun buatan ketua Hek-tok-pang itu!

Namun serangan bertubi-tubi yang berupa cakaran-cakaran dan cengkeraman itu dengan mudah dapat dihindarkan oleh Sim Ki Liong, hanya dengan gerakan kedua kakinya saja, kemudian dia membalas dengan tamparan lembut tapi mengandung tenaga yang dahsyat sehingga hampir saja pundak ketua Hek-tok-pang terkena tamparan. Meski pun luput dan hanya menyerempet sedikit saja, namun cukup membuat Cui Bhok terhuyung.

Tentu saja raksasa ini terkejut dan mulai merasa kagum karena hanya dalam beberapa jurus saja, bahkan baru satu kali pemuda itu menyerang, dia sudah hampir dirobohkan. Namun dia masih kurang puas, kurang yakin dan kembali dia menyerang, lebih ganas dari yang tadi.

Sementara itu Cun Sek terbelalak! Dia melihat dengan jelas betapa serangan balasan itu, tamparan yang lembut dan gerakan kaki itu adalah ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung), sebuah ilmu pilihan dari Cin-ling-pai!

Menghadapi serangan ganas dari ketua Hek-tok-pang ini, Sim Ki Liong lalu mengeluarkan bentakan nyaring, sepasang tangannya bergerak dari kanan dan kiri, menangkis sekaligus menyerang.

Begitu kedua tangannya bertemu dengan sepasang tangan ketua Kim-lian-pang, Hek-tok Pangcu Cui Bhok berteriak kaget. Kedua tangannya itu terdorong keras ke belakang dan sebelum dia sempat menghindarkan diri, ada angin pukulan dari kanan kiri menyambar ke arah kedua pundaknya. Dia pun roboh terguling, kedua pundaknya terasa nyeri seolah-olah tulangnya retak-retak!

Dia terkejut, akan tetapi juga kagum dan takluk. Dia bangkit berdiri lalu menjura dengan sikap hormat karena dia mendapat bukti betapa lihainya ketua Kim-lian-pang yang masih amat muda itu.

"Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi)...!" Tak terasa lagi mulut Cun Sek berseru ketika dia melihat gerakan kedua tangan Sim Ki Liong tadi.

Mendengar ini, Ki Liong cepat membalik dan sepasang matanya mencorong, memandang ke arah Cun Sek. Akan tetapi pada saat itu Cui Bhok sudah berkata dengan suara kagum,

"Biar pun masih amat muda, kiranya Kim-lian Pangcu sungguh memiliki kepandaian yang sangat hebat. Saya mengaku kalah dan takluk, dan saya akan memperlihatkan kesetiaan saya kepada Pangcu!" Berkata demikian, tiba-tiba saja raksasa ini bergerak cepat sekali ke arah para anggotanya yang masih berlutut.

Terdengar teriakan berturut-turut, kemudian empat orang anak buahnya roboh dan tewas seketika dengan muka menghitam. Mereka tadi telah diserang dengan cakaran maut oleh ketua mereka sendiri. Yang menjadi korban adalah dua orang yang tadi terluka oleh Cun Sek dan dua orang lain yang tingkatannya paling rendah dalam Hek-tok-pang.

Semua anak buah Hek-tok-pang terkejut dan ketakutan, akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika ketua mereka tidak menyerang lagi. Cui Bhok lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil menghadap Sim Ki Liong.

"Nah, Pangcu. Itulah bukti dari kesetiaan kami. Dengan tewasnya empat orang anak buah saya, maka kini kami yang rugi seorang dibandingkan dengan Kim-lian-pang."

Sim Ki Liong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Bagus, engkau memang pantas untuk kami terima sebagai sekutu dan pembantu, Cui Pangcu!"

Dia lalu bertepuk tangan, menyuruh pengawal atau anak buahnya untuk menyingkirkan keempat mayat itu, dan menyuruh anak buahnya untuk menjamu para anggota Hek-tok-pang yang kini tinggal dua puluh orang itu. Kemudian dia menyuruh para pelayan supaya menambah arak dan mengeluarkan hidangan untuk menyambut Cui Bhok. Ketika itulah dia memandang kepada Cun Sek dan bertanya kepada Ji Sun Bi.

"Siapakah dia ini yang mengenal Thian-te Sin-ciang?"

Ji Sun Bi tersenyum. "Tadi aku belum sempat mengenalkan dia. Tentu saja dia mengenal ilmu silatmu yang berasal dari Cin-ling-pai, Pangcu, karena dia adalah seorang tokoh Cin-ling-pai!"

"Ehhh...!" Sim Ki Long terkejut bukan kepalang, akan tetapi dengan sikap gagah dia tidak memperlihatkan kekagetannya, melainkan matanya saja yang memandang tajam kepada Cun Sek, tetapi kini mengandung kecurigaan. "Mau apa seorang tokoh Cin-ling-pai datang ke sini?" Pertanyaan ini mengandung terguran kepada Ji Sun Bi.

Sebelum Ji Sun Bi menjawab, Cun Sek mendahuluinya. "Maaf, Pangcu. Aku tidak sengaja datang ke sini melainkan diajak oleh Tok-sim Mo-li untuk diperkenalkan kepada Pangcu."

Mendengar ini Ji Sun Bi tersenyum dan dia pun cepat menjelaskan. "Pangcu, ketahuilah bahwa ketika aku turun dari puncak untuk menghadapi Hek-tok-pang, aku diperingatkan akan lorong beracun yang dibuat Hek-tok-pang oleh saudara Tang Cun Sek ini. Bukan itu saja, bahkan dialah yang telah menundukkan dan menaklukkan Hek-tok Pangcu, dan dia membantu pula ketika aku dikeroyok oleh tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo. Melihat kelihaiannya dan mengenal gerakan silatnya serta pedangnya yang jelas dari Cin-ling-pai, tadinya aku juga curiga dan terkejut. Akan tetapi sesudah dia menceritakan keadaannya, kupikir sebaiknya kalau dia kuajak ke sini agar berkenalan dengan Pangcu. Bagaimana pun juga, kepandaian Pangcu dan dia datang dari satu sumber, bukan?"

Sim Ki Liong mulai tertarik dan sekarang dia memandang kepada Cun Sek dengan penuh perhatian, akan tetapi kecurigaannya telah menipis. "Saudara Tang Cun Sek, terus terang saja, Cin-ling-pai kami anggap sebagai musuh kami. Maka, harap kau jelaskan mengapa engkau tidak memusuhi kami, bahkan ingin berkenalan denganku."

Cun Sek menarik napas panjang, "Tidak kusangkal bahwa aku adalah seorang murid Cin-ling-pai, bahkan aku telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ketua lama Cia Kong Liang sendiri. Akan tetapi, setelah aku gagal untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, maka Cin-ling-pai kuanggap sebagai musuh. Aku melarikan diri dari sana dan biar pun banyak ilmu dari sana yang kukuasai, namun aku tidak menganggap diriku sebagai seorang Cin-ling-pai," Cun Sek mengepalkan tinju, masih mendongkol kalau mengingat kekalahannya di Cin-ling-pai.

"Demikianlah keadaanku, Pangcu. Oleh karena itu Pangcu tak perlu khawatir, aku bukan seorang anggota Cin-ling-pai lagi, bahkan aku pun membenci Cin-ling-pai! Aku melarikan diri dari Cin-ling-pai, dan dalam perjalanan untuk mencari jejak ayahku yang sejak dalam kandungan belum pernah kulihat, secara kebetulan aku lewat di bawah bukit dan melihat rombongan orang Hek-tok-pang, lalu aku membayangi mereka dan kubantu Tok-sim Mo-li."

Sim Ki Liong mengangguk-angguk. "Kalau engkau gagal menjadi ketua Cin-ling-pai, lalu siapa yang menjadi ketuanya yang baru?"

Dengan suara gemas Cun Sek menjawab, "Gadis liar itu, Cia Kui Hong!"

Mendengar ini, mata Sim Ki Liong terbelalak memandang, kemudian dia tertawa bergelak. Lenyaplah sikap lembut dan sopan ketika dia tertawa dengan mulut terbuka, lalu mulut itu ditutup sehingga suara ketawanya hanya sampai di tenggorokan.

"Ha-ha-ha...! he-he-he, Cia Kui Hong? Dia menjadi ketua Cin-ling-pai?" dia tertawa lagi. "Dara itu yang telah menggagalkanmu?"

"Hemm, Cia Kui Hong! Lagi-lagi gadis setan itu yang menjadi penghalang. Dia musuh kita bersama!" kata pula Ji Sun Bi dengan gemas.

Sekarang Tang Cun Sek yang memandang dengan sinar mata heran kepada dua orang itu. Tentu saja dia tidak tahu betapa Sim Ki Liong juga sampai terlempar keluar dari Pulau Teratai Merah tempat tinggal gurunya, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, gara-gara kedatangan Cia Kui Hong, cucu luar pendekar sakti itu.

Ada pun Ji Sun Bi tentu saja tidak pernah dapat melupakan pengalaman pahitnya ketika dia membantu gerakan mendiang Lam-hai Giam-lo dan ketika gerombolan pemberontak itu diserbu oleh para pendekar. Dia sendiri bertanding melawan Cia Kui Hong dan hampir saja dia tewas ketika dia terjatuh ke dalam tebing!

"Pangcu, apakah engkau sudah mengenal Cia Kui Hong?" tanya Cun Sek.

Ki Liong masih tertawa sehingga Ji Sun Bi yang menjawab. "Tentu saja kenal baik! Cia Kui Hong itu masih terhitung murid keponakannya!"

Cun Sek terbelalak bingung. Pemuda ini? Usianya masih begitu muda dan dia menjadi paman guru Kui Hong? Paman guru dari mana? Tak mungkin pemuda ini murid kakek Cia Kong Liang pula.

Melihat tamu itu menjadi bingung, sekarang Ki Liong yang melanjutkan keterangan Sun Bi. "Ketahuilah, Tang-toako, aku adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah!"

"Ahhh...!" Sungguh hal ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Cun Sek.

Tentu saja dia tahu siapa itu Pendekar Sadis! Dan dia pun mengerti sekarang. Memang Kui Hong adalah cucu Pendekar Sadis, cucu luar, maka kalau pemuda ini murid Pendekar Sadis, otomatis Kui Hong dapat dianggap sebagai murid keponakannya.

"Akan tetapi..., kalau begitu... bagaimana pula Pangcu menganggap Kui Hong sebagai musuh?"

"Dialah yang menjadi gara-gara sehingga aku terpaksa pergi meninggalkan Pulau Teratai Merah untuk selamanya, tetapi tidak perlu kujelaskan persoalannya," kata ketua itu yang tentu saja merasa tidak enak mengingat akan pengalamannya di Pulau Teratai Merah itu.

Pada waktu Kui Hong berkunjung ke Pulau Teratai Merah, tempat tinggal kakek luarnya, seketika Ki Liong jatuh jatuh cinta dan tergila-gila kepada gadis itu. Dia berusaha merayu, namun bukan saja ditolak oleh Kui Hong, bahkan gadis itu marah-marah dan menyerang dirinya.

Peristiwa itu diketahui oleh suhu dan subo-nya sehingga dia merasa malu dan malam itu juga dia melarikan diri meninggalkan Pulau Teratai Merah sambil membawa benda-benda berharga, bahkan dia juga membawa lari pedang pusaka Gin-hwa-kiam! Dia berniat untuk mencari musuh besar pembunuh ayahnya, yaitu Siangkoan Ci Kang, akan tetapi sampai sekarang usahanya itu belum juga berhasil.

"Dan bagaimana dengan engkau, Tok-sim Mo-li? Bagaimana engkau juga mengenal Cia Kui Hong dan memusuhinya?" tanya Tang Cun Sek.

Dia merasa girang setelah mendengar keterangan ketua itu yang ternyata murid Pendekar Sadis sehingga dia tidak merasa heran kalau ketua itu mempunyai ilmu kepandaian yang demikian hebat. Ketua itu dan dia memiliki dasar ilmu silat yang sama, yaitu dari Cin-ling-pai walau pun mereka berdua masing-masing memiliki pula ilmu-ilmu lain.

Ji Sun Bi menghela napas panjang dan Ki Liong yang menjawab, "Dia pernah bertanding dan dikalahkan oleh Cia Kui Hong, bahkan hampir saja dia tewas ketika terjatuh ke dalam jurang tebing yang curam."

Ji Sun Bi cemberut dan mukanya berubah merah, sepasang matanya berkilat.

"Lain kali akan kubunuh gadis setan itu!"

Pertemuan lalu dilanjutkan dengan pesta makan minum untuk menghormati persekutuan baru itu. Cun Sek diterima dengan tangan terbuka oleh Ki Liong dan mulai saat itu pula Cun Sek merupakan pembantu utama dari pasangan Ki Liong dan Sun Bi, bahkan dia pun mulai hari itu menjadi seorang kekasih baru dari Ji Sun Bi yang tak pernah merasa puas dengan laki-laki itu.

Tentu saja Kim-lian Pangcu bisa memaklumi hal ini sebab dia memang tak pernah merasa cemburu, bahkan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Ji Sun Bi untuk mengadakan hubungan dengan pria mana pun juga, seperti juga Ji Sun Bi tidak peduli dengan wanita mana ketua itu berhubungan!

Maka terdapatlah hubungan segi tiga yang amat akrab dan aneh antara Ji Sun Bi, Sim Ki Liong, dan Tang Cun Sek. Namun tiga sekawan ini merupakan kesatuan yang berbahaya sekali karena ketiganya mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Apa lagi setelah kini Hek-tok-pang menjadi sekutu mereka pula.

Perkumpulan Teratai Emas itu menjadi semakin kuat dan semakin terkenal. Mereka terus melebarkan sayap kekuasaannya ke kota-kota lain, tetapi mereka tidak bergerak sebagai pemberontak, malah sebaliknya mereka menyusup ke dalam gedung-gedung para pejabat dan mendekati para pejabat dengan sogokan-sogokan.

Kemudian mereka menaklukkan tokoh-tokoh dunia persilatan dengan mengalahkan para pemimpinnya, namun tidak menanam permusuhan dan kebencian karena setelah berhasil mengalahkan, mereka lalu mendekati dan menarik bekas lawan itu untuk menjadi sekutu mereka. Maka makin kuatlah Kim lian-pang di bawah pimpinan Sim Ki Liong yang dibantu dengan setia oleh Ji Sun Bi dan Tang Cun Sek itu.

Mulailah mereka menyebar anak buah Kim-lian-pang yang jumlahnya semakin banyak itu, selain untuk melebarkan pengaruh juga untuk mulai melakukan penyelidikan tentang dua orang tokoh persilatan, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Si Kumbang Merah Ang-hong-cu. Yang pertama untuk sang ketua, dan yang ke dua untuk Tang Cun Sek.

********************

Pek Han Siong melangkah lesu. Sebenarnya pemandangan alam di sekitar pegunungan itu amat indahnya pada pagi hari yang cerah itu, namun tiada keindahan di luar diri bagi seseorang yang menanggung derita di dalam dirinya. Keindahan bukan terletak di luar, melainkan di dalam diri. Kalau batin sedang terlanda duka, apa pun yang dilihat oleh mata akan nampak tidak indah lagi. Dan pada saat itu, Pek Han Siong sedang dilanda duka.

Cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian ditolak! Gadis itu telah menolak cintanya. Dia dapat menghargai kejujuran dan keterus terangan Bi Lian, tapi kenyataan itu sungguh membuat hatinya bagaikan ditusuk. Pedih perih karena kecewa. Apa lagi penolakan cinta gadis itu dinyatakan di depan suhu dan subo-nya.

Dia tahu betapa mereka amat menyayangnya, maka dia pun ditarik sebagai calon mantu. Akan tetapi apa hendak dikata, Bi Lian yang terlibat langsung di dalam urusan perjodohan itu menolak! Dia pun tidak dapat menyalahkan Bi Lian. Bagaimana dia bisa menyalahkan seorang gadis karena tidak mencintanya?

Han Siong menjatuhkan diri duduk di atas akar pohon. Tubuhnya terasa penat. Semalam suntuk dia tak pernah berhenti, terus saja berjalan meski pun lambat, tak tentu arah tujuan sampai pada pagi hari itu dia tiba di pegunungan itu yang tidak dia ketahuinya namanya. Tubuhnya lemas karena sudah dua hari dia tidak makan, hanya minum air, itu pun kalau kebetulan dia melewati sebuah sumber air bersih.

Membiarkan tubuhnya duduk mengaso tetap saja tidak mampu menghilangkan perasaan dukanya, malah kini pikirannya melayang-layang, mengenang keadaan dirinya dan semua peristiwa yang terjadi. Dan hatinya terasa semakin tertekan. Sejak kecil dia tidak pernah merasakan kebahagiaan, kecuali mungkin saat dia tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid suami isteri sakti yang menjadi guru-gurunya, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.

Duka timbul dari pikiran yang penuh dengan perasaan iba diri. Pikiran mengenang masa lalu yang penuh dengan kegagalan, atau membayangkan masa depan yang penuh dengan kesuraman, maka pikiran atau si aku merasa iba terhadap diri sendiri, merasa nelangsa dan sengsara. Maka datanglah rasa duka.

Duka menghilangkan kewaspadaan, melenyapkan makna hidup. Hidup bukanlah sekedar membiarkan diri diseret ke dalam lamunan, membiarkan diri dipermainkan pikiran! Hidup adalah kenyataan, apa yang ada, tidak peduli apakah kenyataan itu menyenangkan atau menyusahkan.

Yang senang atau yang susah adalah pikiran, si-aku yang selalu menghendaki keenakan dan menghindarkan ketidak enakan. Namun kenyataan hidup adalah seperti apa adanya, dan menerima kenyataan apa adanya inilah seni paling indah, paling agung dan paling murni dari kehidupan. Menerima kenyataan seperti apa adanya, tanpa menilai dan tanpa mengeluh melainkan menyerahkan kepada Tuhan! Tuhan Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Kasih! Hanya Tuhan yang akan mampu membimbing kita, lahir mau pun batin.

Kewajiban kita dalam hidup hanyalah untuk menggunakan segala alat yang ada di tubuh ini sebagaimana mestinya. Panca indera adalah alat-alat untuk bekerja seperti yang telah ditentukan dalam tugas masing-masing, termasuk pikiran yang sesungguhnya merupakan alat untuk berpikir, untuk bekerja, untuk dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain.

Pikiran bukanlah alat untuk menyeret kita ke dalam lamunan kosong tentang suka atau duka. Tak mungkin kita bisa membersihkan pikiran yang bergelimang dengan daya-daya rendah, pikiran yang penuh nafsu, pikiran yang penuh dengan keinginan untuk mengejar enak sendiri. Tidak mungkin karena kita yang ingin membersihkan ini adalah pikiran itu sendiri!

Keinginan pikiran selalu hanya bersumber pada satu pamrih, yakni mengejar keenakan untuk diri sendiri. Bisa saja pikiran menciptakan bermacam-macam akal seperti sebutan muluk-muluk, bertapa, mengasingkan diri, mengheningkan cipta dan segala macam cara lagi untuk membersihkan batin. Namun semua itu adalah pekerjaan pikiran, pekerjaan si-aku, usaha dari nafsu pula sebab pikiran itu sendiri bergelimang nafsu, dikemudikan oleh nafsu. Di balik semua usaha itu terdapat satu pamrih, yaitu sifat dari nafsu, ialah untuk mengejar keenakan bagi diri sendiri! Karena itu tak mungkin kita membersihkan pikiran, tidak mungkin nafsu mampu mengendalikan atau mengalahkan nafsu. Semua ini hanya akal-akalan saja, akalnya si akal-pikir!

Satu-satunya kenyataan adalah bahwa yang mampu merubah segalanya itu, yang dapat membersihkan jiwa dari cengkeraman nafsu, yang bisa menempatkan semua alat tubuh luar dalam kepada kedudukan dan tugas mereka masing-masing secara utuh dan benar, hanyalah KEKUASAAN TUHAN! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau si-aku, yaitu hati dan akal pikiran kita tidak bekerja! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja apa bila kita menyerah kepadaNya, menyerah dengan penuh ketawakalan, kepasrahan dan keiklasan, menyerah dengan kesabaran. Kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan inilah satu-satunya kenyataan yang mutlak.

Di dalam kepasrahan lahir batin ini kita akan menerima semua kenyataan hidup sebagai kehendak Tuhan, dan karenanya kita akan menghadapinya tanpa keluhan, tanpa celaan. Bukan berarti kita lalu acuh dan mandeg. Sama sekali tidak! Kita pergunakan semua alat tubuh luar dalam untuk berusaha! Tuhan yang akan memberi bimbingan dan tuntunan.

Kalau sudah begini, apa pun yang terjadi takkan menimbulkan penasaran atau keluhan, apa lagi duka, selain ingat dan waspada. Ingat kepada Tuhan serta kekuasaanNya yang mutlak, menyerah, waspada terhadap setiap gerak langkah kita di dalam hidup, waspada terhadap pikiran kita, ucapan kita, perbuatan kita, seperti kewaspadaan seseorang yang memegang kemudi kendaraan. Dan Tuhan Maha Kasih!


"Muridku, Han Siong. Engkau akan terjun ke dunia ramai dan akan menghadapi segala macam pengalaman hidup. Ingatlah bahwa hidup tidak selalu seperti yang kita kehendaki. Hidup adalah hidup, merupakan kesatuan dari segala macam peristiwa. Jika hidup ini kita umpamakan sebagai rasa, maka hidup itu terdiri dari semua rasa, manis, pedas, masam, gurih, asin, pahit dan sebagainya lagi. Jangan engkau menghendaki agar hidup ini selalu manis. Bagaimana mungkin engkau dapat menikmati rasa manis kalau belum merasakan pahit, getir, asin, pedas dan lain-lainnya itu? Karena itu bersiaplah engkau, jangan terkulai hanya oleh suatu peristiwa atau keadaan saja, karena apa pun yang terjadi, itu hanyalah sebagian kecil saja dari hidupmu! Bangkitlah dan senyumlah, terimalah segala peristiwa dengan tabah, lalu jadikanlah segala pengalaman sebagai guru. Tuhan selalu besertamu bila mana engkau tabah dan selalu pasrah kepada kekuasaanNya!"

Entah kenapa, ketika dia sedang merasa tertekan itu, merasa betapa dirinya seolah-olah semakin tenggelam ke dalam lautan duka, tiba-tiba saja bayangan gurunya yang terakhir, yaitu Ban Hok Lojin, kakek yang bertelanjang dada itu, amat gendut seperti arca Jilaihud, dengan wajah yang selalu terseyum lebar, salah seorang di antara Delapan Dewa, seperti tampak di depannya dan ucapan gurunya itu bergema di telinganya.

Seketika bangkitlah semangat dan batin Han Siong. Dia merasa seperti disiram air dingin. Betapa bodohnya membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan yang hanya dibikinnya sendiri. Tadi pikirannya sudah berubah menjadi tangan kejam yang meremas-remas dan mencengkeram hati dan perasaannya sendiri.

Dia segera bangkit. Wajahnya tersenyum, matanya yang tadinya sayu itu kini berkilat dan mencorong, dan pada saat itu pula dia mendengar betapa perutnya berkeruyuk dengan nyaring!

"Ha-ha-ha!" Dia tertawa, tertawa bebas lepas seperti orang gila. "Ha-ha-ha, engkau tolol! Ha-ha, engkau tolol! Terima kasih, Suhu, terima kasih!" Dia lalu menepuk-nepuk perutnya yang kempis. "Maafkan aku, perut. Aku sampai lupa kepadamu. Baiklah, sekarang mari kita mencari makanan untukmu!"

Han Siong melompat dan menuruni bukit itu. Akan tetapi tiba-tiba saja dia harus berhenti karena di depannya mendadak muncul lima orang dengan senjata pedang di tangan dan sikap mereka mengancam!

"Keparat, bersiaplah untuk menerima pembalasan kami!" bentak salah seorang di antara mereka.

Tentu saja Han Siong menjadi terbelalak kaget dan merasa heran. Dia memandang penuh perhatian kepada mereka. Yang tadi berbicara adalah seorang pria setengah tua, berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah. Di wajahnya terbayang kegagahan namun diliputi duka dan kemarahan. Pakaiannya sederhana, akan tetapi serba putih, demikian pula pakaian empat orang lainnya, pakaian berkabung!

Orang kedua amat menarik perhatian. Ia adalah seorang gadis yang usianya kurang lebih delapan belas tahun, wajahnya yang putih halus itu berbentuk bundar, cantik dan bersih, matanya jeli dan bibirnya tipis, rambutnya panjang dibiarkan berjuntai ke belakang dalam bentuk dua buah kuncir hitam yang tebal dan panjang sampai ke pinggul Gadis ini juga memegang sebatang pedang.

Tiga orang lainnya adalah pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, ketiganya bersikap garang dan gagah. Seperti orang pertama dan gadis itu, mereka juga berpakaian serba putih dan wajah mereka diliputi kedukaan dan kemarahan.

"Heii, nanti dulu!" teriaknya ketika mereka itu secara serentak sudah menyerangnya tanpa peringatan lebih dahulu. Hal ini hanya menunjukkan bahwa mereka itu benar-benar sudah marah sekali kepadanya dan amat membencinya.

Gerakan pedang mereka ganas dan cepat, juga mengandung tenaga yang cukup kuat. Ilmu pedang yang sumbernya dari selatan, dikombinasikan dengan tendangan-tendangan yang menyusul tusukan atau sabetan pedang.

Teriakannya tidak memperoleh tanggapan dari mereka, bahkan lima orang itu menyerang dengan hebatnya. Terpaksa Han Siong menggerakkan tubuhnya, berloncatan ke sana sini dan melihat mereka terus mendesak, dia segera memainkan Kwan Im Sin-kun (Silat Sakti Kwan Im) yang lemah lembut namun tubuhnya bagaikan sehelai kapas saja yang sukar untuk dibabat pedang sehingga babatan atau tusukan itu selalu luput. Tubuhnya menjadi demikian ringan, akan tetapi juga sangat cepat sehingga sampai belasan jurus, serangan lima orang itu tak pernah mengenai sasaran.

"Heii, nanti dulu! Mari kita bicara dulu!" teriak Han Siong penasaran.

Karena dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tak mau membalas, khawatir kalau dia akan melukai mereka dan hal ini tentu akan menambah kebencian mereka yang belum diketahui sebabnya. Dia ingin menggunakan ilmu sihir untuk menundukkan mereka, akan tetapi dia pun khawatir kalau-kalau mereka akan merasa terhina dan tersinggung sehingga kembali hal itu akan menambah kebencian mereka kepadanya.

Dia akan menggunakan usaha lain, yaitu memperkenalkan diri karena dia menduga bahwa tentu mereka itu keliru mengenal orang. Mereka bukan perampok dan sama sekali tidak nampak seperti orang-orang jahat.

Begitu mendapat kesempatan, tubuhnya tiba-tiba melayang naik ke atas pohon sehingga mengejutkan lima orang pengeroyok itu yang tiba-tiba saja kehilangan lawan dan mereka semua kini memandang ke atas, ke arah pemuda itu yang sudah berdiri di atas cabang pohon. Pandang mata mereka kagum akan tetapi juga penuh kebencian.

"Heiii, apakah ngo-wi (kalian berlima) terlalu banyak minum arak hingga mabok? Aku Pek Han Siong selama hidupku baru sekali ini melihat ngo-wi, apa lagi bermusuhan. Mengapa tiada hujan tiada angin ngo-wi menyerang aku demikian ganas dan kejam?"

Mendengar ini, lima orang itu saling pandang, dan pria setengah tua tadi berseru lantang, "Sobat, coba sekali lagi katakan. Siapa namamu?"

Han Siong tersenyum. Tahulah dia kini bahwa memang mereka sudah keliru menyangka orang, atau keliru mengenal orang. "Namaku Pek Han Siong, dan selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan ngo-wi."

"Engkau... bukankah engkau Kim-lian Pangcu? Wajah dan bentuk tubuhmu mirip sekali!" kata orang tua itu lagi.

"Ayah, kita baru melihatnya satu kali, itu pun tidak terlalu jelas. Agaknya kita sudah salah mengenal orang!" kata gadis itu.

Sekarang Han Siong tertawa. "Ha-ha-ha, Paman yang baik. Orang macam aku ini mana bisa menjadi pangcu (ketua)? Apa lagi ketua perkumpulan Teratai Emas, bahkan Teratai Tembaga pun tidak! Aku seorang perantau, tidak memiliki kedudukan apa pun."

"Wahh... kalau begitu maafkan kami, orang muda. Ihh, kalian berempat ini mengapa tidak memberi tahu? Aku sudah tua, mungkin mataku mulai kurang awas, akan tetapi kalian..." omelnya kepada puterinya dan tiga orang itu.

Han Siong sudah melompat turun dan gayanya melompat membuat lima orang itu berseru kagum. Mereka seperti melihat seekor naga atau seekor garuda melayang turun dari atas pohon itu dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah, sama sekali tidak terdengar suara!

Diawali oleh laki-laki setengah tua, kini lima orang itu menyambut Han Siong dengan dua tangan diangkat di depan dada sebagai tanda penghormatan. Han Siong cepat membalas penghormatan mereka. Karena mereka kini tidak lagi memusuhinya, dia pun tidak berani bicara main-main.

"Paman, seperti kukatakan tadi, aku Pek Han Siong tidak pernah bertemu dengan ngo-wi sebelumnya. Apa sebabnya ngo-wi medadak menyerangku? Mohon penjelasan, paman, agar hatiku tidak tegang dan penasaran lagi."

Pria itu menengok ke kanan kiri, lalu berkata, "Di sini masih daerah kekuasaan musuh, taihiap. Terlalu lama di sini kita bisa dikepung musuh. Marilah ikut dengan kami ke tempat tinggal kami, taihiap, dan di sana kami akan menceritakan semuanya dengan jelas."

Walau pun dia tersenyum dan merasa tidak enak disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi Han Siong yang merasa penasaran dan ingin tahu itu mengangguk dan mengikuti mereka menyusup ke dalam hutan. Dia tertarik melihat ada tanda gambar seekor burung rajawali putih pada baju mereka berlima, yaitu di dada kiri. Tentu mereka ini dari sebuah perkumpulan, pikirnya.

Akan tetapi dia kecelik kalau tadinya dia menyangka akan diajak pergi ke sebuah rumah perkumpulan besar di salah satu kota terdekat. Dia bukan di ajak ke kota, melainkan ke sebuah bukit, kemudian mereka mengajaknya masuk ke dalam sebuah goa besar yang tersembunyi!

Biar pun demi kesopanan dia diam saja, akan tetapi di dalam hatinya timbul pertanyaan. Siapakah mereka ini dan perkumpulan apa yang bersarang di sebuah goa tersembunyi? Mereka ini seperti orang-orang buruan saja, seperti pelarian!

Ternyata di dalam goa itu terdapat tikar bersih yang terhampar di atas lantai goa. Goa itu pun cukup besar, cukup untuk menampung puluhan orang! Akan tetapi di situ sunyi saja, tidak ada orang lain kecuali mereka berenam.

"Silakan duduk, taihiap. Maafkan, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa duduk di atas lantai."

"Tidak mengapa, Paman...," kata Han Siong dengan tenang, walau pun hatinya semakin tertarik karena keadaan mereka itu jelas tidak sewajarnya.

Sesudah mereka duduk bersila di atas tikar, mulailah pria setengah tua itu bercerita. Dia bernama Ouw Lok Khi, ketua dari perkumpulan Pek-tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih). Dia telah menduda dan mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Ouw Ci Goat, gadis berusia delapan belas tahun yang wajahnya bulat putih dan manis itu.

Perkumpulan Rajawali Putih mempunyal anak buah yang cukup banyak, ada empat puluh orang lebih dan selain mempelajari ilmu silat, perkumpulan ini juga membuka usaha jasa pengawalan. Nama mereka sudah cukup dikenal sebagai orang-orang yang menentang kejahatan dan mencari nafkah secara halal.

Namun pada suatu hari Ouw Lok Khi didatangi oleh seorang utusan dari Kim-lian-pang yang menuntut supaya perkumpulan Pek-tiauw-pang mau mengakui kekuasaan Kim-lian-pang dan suka bekerja sama, membagi rejeki, yaitu membagi sebagian dari hasil usaha perkumpulan itu kepada Kim-lian-pang sebagai upeti atau pengakuan kekuasaan.

Tentu saja Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi segera menolak dan menganggap permintaan itu keterlaluan. Perkumpulannya sudah berdiri selama belasan tahun, bagaimana mungkin sekarang harus mengakui kekuasaan sebuah perkumpulan yang baru saja muncul dan didirikan di Bukit Kim-lian-san yang agak jauh dari kotanya, yaitu di Hok-lam?

Akibat penolakan itu, lalu muncullah seorang pemuda yang mewakili ketua Kim-lian-pang menantang untuk mengadu kepandaian. Karena marah, Ouw Ci Goat melayani tantangan pemuda dari Kim-lian-pang itu. Akan tetapi Ci Goat kalah jauh, bahkan ketika Ouw Lok Khi sendiri maju, dia pun hanya mampu bertahan belasan jurus saja lalu roboh dan kalah.

Setelah mengalahkan mereka ayah dan anak, utusan Kim-lian-pang ini kembali membujuk agar Ouw Pangcu suka takluk dan menyerah. Namun ketua Pek-tiauw-pang ini tidak sudi menyerah. Juga puterinya dan semua anak buah Pek-tiauw-pang tak sudi menyerah dan tidak sudi membagikan hasil kerja mereka kepada perkumpulan itu.

"Karena kami tetap saja menolak, beberapa kali Kim-lian-pang mengirimkan jago-jagonya untuk menyerang kami. Dan memang mereka mempunyai banyak orang pandai, terutama sekali kedua orang pembantu ketua, pemuda dan wanita iblis itu! Kami tetap melakukan perlawanan dan kami tidak mau menyerah biar pun mereka mengancam akan membunuh kami semua. Akhirnya, tujuh hari yang lalu, benar saja serombongan orang dari Hek-tok-pang, yaitu perkumpulan jahat yang sudah menjadi anak buah mereka, menyerbu asrama kami di tepi kota Hok-lam. Kami mengadakan perlawanan secara mati-matian, akan tetapi mereka mempergunakan racun dan habis binasalah anak buah Pek-tiauw-pang! Tinggal kami berlima ini yang hidup..." Ketua Pek-tiauw-pang itu tidak menangis, akan tetapi jelas nampak betapa wajahnya penuh kedukaan dan penasaran. Juga Ci Goat tidak menangis, akan tetapi dia mengepal tinju.

"Kami akan melawan terus sampai mati!" kata gadis itu penuh semangat.

"Akan tetapi, mengapa tadi paman sekalian mengeroyok aku?" Han Siong bertanya.

"Ketika orang-orang Hek-tok-pang itu menyerbu, kami sempat melihat tiga orang pimpinan Kim-lian-pang. Mereka tidak ikut turun tangan, akan tetapi sempat ketuanya menawarkan perdamaian dengan kami. Akan tetapi untuk terakhir kalinya kami tetap menolak dan dia pun lalu mengerahkan orang-orang Hek-tok-pang itu. Ketuanya itulah yang mirip dengan Taihiap. Kami memang sedang mengintai dan menanti saat yang baik. Kalau pemimpin mereka keluar, maka kami akan menyergap dan membunuhnya. Ketika Taihiap muncul, kami mengira Taihiap adalah ketua Kim-lian-pang yang bernama Sim Ki Liong itu."

"Siapa...?!" Han Siong bertanya, kaget mendengar nama itu.

"Namanya Sim Ki Liong!"

"Orangnya masih muda, sekitar dua puluh dua tahun?"

"Betul sekali, apakah... Taihiap sahabatnya...?" tanya Ci Goat dengan suara mengandung kekhawatiran. Han Siong menoleh sehingga dua pasang mata bertemu, bertaut dan gadis itu menundukkan mukanya. Jelas nampak kedua pipi yang putih halus itu kemerahan.

"Sama sekali tidak bersahabat, Nona, justru pernah kami saling bermusuhan! Dia pernah membantu pemberontakan seorang datuk sesat terhadap pemerintah. Dia memang lihai sekali dan sayang bahwa ketika gerombolan itu diserbu, dia sempat melarikan diri. Dan siapakah dua orang pembantunya yang lihai itu?"

"Seorang pemuda yang amat lihai pula bernama Tang Cun Sek," kata Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi. Han Siong mengerutkan alis dan menggeleng kepala, tidak mengenal nama itu.

"Dan seorang wanita iblis, yaitu Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi...," kata Ci Goat.

"Aihh, kiranya siluman betina itu?" kembali Han Siong terkejut. "Dia dulu juga membantu gerombolan pemberontak, kiranya berhasil menyelamatkan diri. Ahhh, kalau mereka yang memimpin, tentu Kim-lian-pang merupakan perkumpulan yang kuat dan juga jahat!"

Mendengar bahwa pemuda perkasa ini pernah bermusuhan melawan dua orang di antara para pimpinan Kim-lian-pang, hati kelima orang sisa anggota Pek-tiauw-pang yang sudah terbasmi hampir habis itu menjadi girang dan timbul kembali harapan mereka untuk dapat membalas dendam. Ouw Lok Khi cepat-cepat berlutut dan menghadap pemuda itu sambil berkata,

"Pek Taihiap, mohon Taihiap sudi menolong kami..."

Terkejut juga Han Siong ketika melihat orang tua itu berlutut. Cepat dia memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya duduk kembali. 鈥淧angcu, harap jangan begitu. Tanpa kau minta sekali pun, kalau aku melihat dua orang jahat itu merajalela, sudah pasti aku akan menentang mereka."

"Aih, kalau taihiap sudi turun tangan, sudah pasti mereka akan dapat kita hancurkan. Mari kita menyerbu sarang mereka di puncak Kim-lian-san, Pek Taihiap!" kata pula ketua Pek-tiauw-pang itu penuh semangat, sedangkan puterinya serta tiga orang pembantunya juga mengangguk dan penuh semangat. Mereka berlima sudah siap untuk membalas dendam dengan taruhan nyawa mereka. Akan tetapi Han Siong tetap tenang dan menggerakkan tangan menyatakan tidak setuju.

"Pangcu, sungguh tidak bijaksana bila kita menuruti hati yang mendendam saja. Dendam dan kebencian akan menghilangkan kewaspadaan, dan akhirnya bahkan menyeret kita ke dalam kehancuran. Seperti yang kau ceritakan tadi, Kim-lian-pang kuat sekali, di samping dipimpin oleh tiga orang yang lihai, juga dibantu Hek-tok-pang dan memiliki banyak anak buah. Kita yang hanya enam orang ini mana mungkin mampu menandingi begitu banyak lawan? Belum lagi jika diingat bahwa sarang perkumpulan sejahat itu tentu penuh dengan jebakan dan perangkap rahasia."

"Aku tidak takut!" tiba-tiba Ci Goat berseru sambil mengepal tinju.

Han Siong tersenyum dan memandang kagum kepada gadis itu. "Kegagahanmu sangat mengagumkan dan kuhargai, Nona. Akan tetapi, dalam menghadapi lawan yang kuat dan jumlahnya besar, tidak mungkin kita hanya mengandalkan keberanian. Keberanian karena dendam akan membuat kita nekat dan tanpa perhitungan, dan aku tak ingin membiarkan kita semua mati konyol."

Ouw Lok Khi mengangguk-angguk kemudian menarik napas panjang. "Sekarang baru aku melihat kebenaran ucapanmu, Taihiap. Memang kami sudah menjadi gila akibat dendam sehingga kami tidak memperhitungkan bahaya dan kemungkinan kalah. Karena engkau berada di pihak kami, maka kami menyerahkan kepadamu semua cara untuk menghadapi musuh."

Han Siong mengangguk dan menerima penyerahan pimpinan ini tanpa sungkan-sungkan lagi karena dia tahu bahwa orang-orang yang sedang diamuk dendam kebencian bukan merupakan pimpinan yang baik.

"Bila kita hendak menentang gerombolan jahat yang lihai itu, maka setidaknya kita harus mempunyai pembantu yang cukup berani dan gagah, yang jumlahnya seimbang dengan jumlah mereka."

"Hal itu amat mudah, Taihiap. Banyak perkumpulan yang merasa sakit hati terhadap Kim-lian-pang, namun mereka itu tidak berani bergerak karena merasa tidak kuat menghadapi kekuatan Kim-lian-pang. Aku akan menghubungi mereka, sebab di antara mereka banyak terdapat sahabat baikku, dan akan kubujuk mereka supaya suka bekerja sama. Beberapa perkumpulan persilatan tentu bersedia membantu. Menurut perkiraanku, jumlah anak buah Kim-lian-pang tidak melebihi seratus lima puluh orang dan kita akan dapat mengumpulkan lebih banyak lagi."

Han Siong mengerutkan alisnya. Banyak juga anak buah yang sudah dikumpulkan Sim Ki Liong, pikirnya. "Apakah tidak mungkin kalau kita minta bantuan dari pasukan keamanan pemerintah?"

"Ahhh, itu sama saja dengan bunuh diri!" kata Ouw Lok Khi dengan muka muram. "Kalau kita melapor, kita malah akan ditangkap lebih dulu! Ketahuilah, Taihiap, gerombolan Kim-lian-pang itu cerdik dan licik bukan main. Mereka mendekati para pimpinan pemerintahan daerah dengan jalan menyuap dan menyogok, mengambil hati mereka, bahkan Kim-lian-pang menunjukkan jasa dengan membasmi gerombolan penjahat. Kim-lian-pang sendiri tidak pernah melakukan kejahatan. Mereka hanya menundukkan semua perkumpulan dan memaksa para pimpinan perkumpulan itu untuk takluk dan membagi hasil rejeki. Mereka memungut pajak dari mana pun yang menghasilkan banyak uang, dengan dalih menjaga keamanan mereka. Toko besar, perusahaan dan bahkan rumah-rumah penginapan. Tidak, kita tidak mungkin dapat mengharapkan bantuan dari pasukan keamanan yang tentu akan berpihak kepada mereka."

Han Siong mengerutkan alisnya. Kiranya Sim Ki Liong cerdik sekali, tak mau mengulang kesalahan mendiang Lam-hai Giam-lo yang memberontak terhadap pemerintah. Kini dia bahkan mendekati pemerintah atau mendekati pejabat korup yang suka disogoknya agar mereka berpihak kepadanya! Memang satu-satunya jalan untuk mengumpulkan pasukan adalah seperti yang diusulkan Ouw Pangcu tadi, yaitu mengumpulkan orang-orang yang mendendam kepada Kim-lian-pang.

"Baiklah, Ouw Pangcu. Engkau kumpulkan orang-orang yang mau diajak menyerbu Kim-lian-pang. Sesudah mereka siap, kita kepung puncak itu kemudian kau ajukan tantangan kepada Sim Ki Liong untuk mengadu kepandaian di lereng. Aku akan menghadapinya dan ketika aku sedang bertanding dengan para pimpinan itu, maka kau kerahkan pasukan kita untuk menyerbu ke atas. Akan tetapi harus berhati-hati terhadap jebakan dan perangkap."

"Sebaiknya kita pergunakan api untuk memaksa mereka semua keluar sehingga kita tak perlu harus menerjang jebakan dan perangkap berbahaya," kata Ouw Lok Khi yang kini telah tenang, tak lagi didesak dendam yang membuatnya nekat. Han Siong mengangguk girang.

"Siasatmu itu tepat sekali, Pangcu. Marilah kita mulai bekerja. Aku akan mempersiapkan diri dan karena engkau membutuhkan waktu untuk mengumpulkan tenaga bantuan, maka sebaiknya kalau aku menanti pada rumah penginapan di kota terdekat," Han Siong lantas bangkit berdiri.

Ketua Pek-tiauw-pang itu pun cepat-cepat bangkit. "Taihiap, sebaiknya jika Taihiap tinggal bersama kami. Walau pun asrama kami di Hok-lam telah dihancurkan oleh Kim-lian-pang, akan tetapi kami dapat tinggal di rumah seorang murid kami ini." Dia menunjuk kepada seorang di antara tiga orang anggota Pek-tiauw-pang itu. "Dia memiliki rumah besar dan kita semua dapat tinggal untuk sementara di sana."

"Benar sekali, Pek Taihiap," kata pria berusia tiga puluh tahun itu. "Rumah kami cukup besar dan kami dapat menyediakan sebuah kamar untuk Taihiap," orang itu bernama Thio Ki dan sikapnya ramah.

Karena merasa bahwa memang lebih baik jika dia tidak berpisah dari lima orang itu, Han Siong lalu menyetujui dan berangkatlah mereka meninggalkan goa dalam hutan itu, pergi ke kota Hok-lam. Akan tetapi mereka bersepakat bahwa goa yang tersembunyi itu akan dijadikan markas baru untuk kegiatan mereka saat melakukan penyerbuan terhadap Kim-lian-pang karena tempat itu baik sekali, merupakan goa dalam hutan di bukit yang tidak berjauhan dari Kim-lian-san.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Beberapa hari saja sesudah dia tinggal di rumah Thio Ki, Han Siong merasa benar bahwa dia amat dihormati dan diperhatikan. Terutama sekali Ouw Ci Goat. Gadis itu sendiri yang melayaninya, mencuci pakaiannya, membersihkan kamarnya. Perhatian Ci Goat terhadap dirinya sungguh membuat dia merasa sungkan dan malu. Berkali-kali dia melarang gadis itu mencucikan pakaiannya, namun Ci Goat tetap memaksanya.

"Taihiap adalah tamu agung kami, bagaimana harus mencuci pakaian sendiri? Lagi pula aku seorang wanita, sudah selayaknya kalau mencucikan pakaian Taihiap. Harap jangan sungkan, Taihiap, bukankah kita telah bersahabat dan Taihiap adalah penolong kami?"

Perhatian gadis itu bukan hanya dengan cara melayaninya saja, akan tetapi beberapa kali dia pernah memergoki gadis itu menatapnya dengan pandang mata yang aneh, pandang mata yang sayu dan seperti orang terpesona, dan kalau tanpa disengaja dia menengok sehingga mereka bertemu pandang, gadis itu tersipu lalu menundukkan mukanya dengan cepat, akan tetapi dia masih sempat melihat sepasang pipi yang tadinya putih halus itu berubah kemerahan. Sungguh aneh sekali!

Dua hari kemudian mereka hanya berdua saja di rumah itu. Ouw Lok Khi dan tiga orang murid merangkap anak buahnya, pergi untuk melanjutkan usahanya mengumpulkan bala bantuan. Thio Ki memang tinggal seorang diri di rumah itu. Ayah ibunya dan juga isterinya telah dia ungsikan ke dusun semenjak dia terlibat permusuhan dengan Kim-lian-pang, dan semua pelayan juga sudah disuruh pulang. Hanya Ci Goat yang ditinggal di rumah untuk melayani keperluan Han Siong yang mereka hormati.

"Taihiap, silakan makan pagi," kata Ci Goat sesudah dia menyiapkan makan pagi di meja ruangan makan. "Semenjak pagi sekali tadi ayah bersama tiga orang suheng sudah pergi berkunjung ke Ki-lam untuk mengumpulkan teman. Silakan Taihiap makan sendiri."

"Ahh, mari kita makan bersama, Nona. Engkau pun belum makan pagi bukan?"

"Harap jangan sebut aku nona, tidak enak rasanya... seakan-akan kita ini saling merasa asing..."

"Tapi engkau pun menyebut taihiap padaku, Nona."

"Engkau memang seorang pendekar sakti, pantas disebut taihiap. Akan tetapi aku... ahh, sebut saja namaku. Namaku Ci Goat."

"Aku mau menyebutmu adik Ci Goat kalau engkau juga mau merubah sebutan kepadaku. Panggil saja aku toako (kakak)."

Gadis itu tersenyum dan kembali kedua pipinya berubah merah sekali. "Baiklah..., Toako." katanya sambil menunduk. "Silakan makan pagi, Toako."

"Kita hanya berdua saja di rumah ini, apa salahnya kalau kita makan bersama, Goat-moi (adik Goat)? Hayolah, bukankah engkau sendiri bilang bahwa kita ini bukan orang asing?"

Biar pun masih tersipu, akhirnya Ci Goat mau juga diajak makan bersama. Setelah duduk berhadapan dekat, hanya terhalang meja makan, barulah Han Siong mendapat kenyataan bahwa biar pun gadis ini sederhana sekali, wajahnya tanpa bedak dan gincu, akan tetapi wajah itu sungguh bersih dan manis. Juga sikapnya amat sederhana, tidak banyak cakap, jarang tertawa, bahkan wajahnya diliputi awan duka.

Namun mulut itu selalu membayangkan senyum ramah, senyum dikulum yang membuat wajahnya tampak manis selalu. Juga ketika dia bicara dan Han Siong memperhatikannya, gadis itu memiliki gigi yang berderet rapi dan putih bersih.

"Goat-moi, setelah kita kini menjadi sahabat yang akrab, kiranya sudah sepantasnya jika aku mendengar lebih banyak tentang dirimu dan ayahmu. Maukah engkau menceritakan riwayat dan keadaanmu sampai engkau kehilangan tempat tinggal seperti sekarang ini?" tanya Han Siong ketika mereka baru saja selesai makan dan dia turut membantu gadis itu membersihkan meja, menyingkirkan sisa makanan dan mencuci mangkok.

Dara itu menarik napas panjang. "Tidak banyak yang dapat kuceritakan, Twako, dan yang dapat diceritakan hanya hal-hal yang menyedihkan saja. Aku sudah kehilangan ibuku saat berusia kurang dari sepuluh tahun. Semenjak itu aku hidup berdua dengan ayah dan para suheng, dan aku dididik oleh ayah, mempelajari ilmu silat dan ilmu baca tulis sekedarnya. Sesudah remaja aku membantu pekerjaan ayah, kadang-kadang membantu pengawalan kiriman barang bersama para suheng. Kemudian terjadilah mala petaka yang disebabkan oleh Kim-Iian-pang itu. Hampir semua anggota perkumpulan kami binasa, hanya tinggal kami berlima. Juga dalam perkelahian itu aku telah kehilangan... calon suamiku..."

"Ahhh...! Sungguh menyedihkan! Kasihan sekali engkau, Goat-moi!" kata Han Siong yang terkejut dan juga ikut bersedih.

Gadis itu kemudian menarik napas panjang. "Jangan engkau salah duga, Twako. Bagiku kematiannya tiada bedanya dengan kesedihan melihat para suheng lain yang juga tewas. Tunanganku itu juga seorang suheng-ku, murid dari ayah. Terus terang saja, perjodohan itu atas kehendak ayah, namun bagiku dia itu seperti para suheng yang lain. Aku bahkan sering termenung dan sulit membayangkan dia menjadi suamiku kelak. Sudahlah, kini dia sudah tidak ada dan semoga dia mendapatkan tempat yang penuh damai."

Sekarang Han Siong tidak berani banyak bicara lagi, takut jika mengusik kenangan yang menyedihkan. Akan tetapi dia maklum bahwa gadis ini tidak mencintai tunangannya yang tewas itu, dan kalau dia mau dijodohkan dengannya, hal itu hanya karena dia mentaati perintah ayahnya saja. Secara diam-diam dia menaruh hati iba kepada gadis yang manis ini yang telah begitu percaya kepadanya sehingga menceritakan semua tentang dirinya.

"Toako, sekarang tiba giliranmu. Aku pun ingin sekali mendengar riwayatmu, tentu hebat. Maukah engkau menceritakan kepadaku, toako?" tanya gadis itu dan mereka kini duduk di belakang rumah, di atas bangku dalam taman yang bermandikan cahaya matahari pagi.

"Tidak ada hal yang menarik, Goat-moi. Ayahku juga seorang pangcu, ketua dari Pek-sim-pang di daerah Kong-goan yang sangat jauh dari sini, jauh di barat sana. Sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, dan sekarang aku sedang melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan memperbanyak pengetahuan. Kebetulan saja aku lewat di sini sehingga bertemu dengan kalian berlima."

Han Siong memang tidak suka terlalu banyak bercerita tentang dirinya, dan agaknya hal ini terasa pula oleh Ci Goat, maka gadis itu pun tidak mendesak. Hanya ada satu hal yang sejak tadi agaknya mengganjal hati Ci Goat, dan kini dengan memberanikan diri, dengan kedua pipi berubah kemerahan ketika dia menatap wajah pemuda itu, dia pun berkata,

"Toako, kurasa usiamu jauh lebih tua dari pada aku yang berusia delapan belas tahun," Jelas bahwa ucapan ini memancing keinginan tahuannya tentang usia pemuda itu.

Han Siong tersenyum. "Tentu saja aku jauh lebih tua, adik Goat. Aku sudah berusia dua puluh dua, hampir dua puluh tiga tahun."

"Ah, kalau begitu tentu engkau telah berkeluarga, Toako," kata gadis itu cepat dan sambil lalu, seolah acuh.

Mendengar pertanyaan ini, Han Siong merasa betapa hatinya tertusuk karena dia teringat kepada Siangkoan Bi Lian, gadis yang dicintanya namun juga telah menolaknya! Ci Goat telah berterus terang kepadanya, maka sudah sepantasnya kalau dia pun berterus terang, sekalian mendapat kesempatan untuk menyalurkan rasa penasaran dan kekecewaannya.

"Seperti juga engkau, tadinya aku sudah ditunangkan oleh guru-guruku, tapi pertunangan itu gagal..."

Dara itu terbelalak, memandang dengan matanya yang jeli, dan bayangan senyum segera menghilang dari ujung bibirnya. "Dia... dia juga... mati...?"

Han Siong menggeleng kepala kemudian menghela napas. "Dia menolak untuk berjodoh denganku."

"Ahhh...!" Gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih, "tidak mungkin... tidak mungkin..."

Han Siong mengangkat muka, memandang dengan sinar mata heran. "Apanya yang tidak mungkin, Goat-moi?"

"Bagaimana mungkin seorang gadis menolak engkau untuk menjadi jodohnya...!" tiba-tiba gadis itu berhenti bicara dan menundukkan mukanya yang kemerahan, karena dia merasa betapa dia telah kelepasan bicara, begitu saja mengeluarkan suara hati melalui mulutnya.

Han Siong tersenyum pahit, kemudian dia pun berjalan meninggalkan gadis itu menuju ke kamarnya. Malam itu Han Siong gelisah dan tidak bisa tidur. Percakapan dengan Ci Goat tadi telah membongkar kenangan lama, membuat wajah Bi Lian selalu terbayang di depan mata, mendatangkan rasa rindu yang hebat. Ketika Ci Goat menawarkan makan malam, dia mengatakan bahwa dia tidak lapar dan minta kepada gadis itu untuk makan malam sendiri.

"Taruh saja di atas meja, Goat-moi, nanti kalau lapar aku akan mengambilnya sendiri," katanya dengan lesu.

Agaknya Ci Goat juga melihat sikap pemuda yang lesu itu, maka dia pun tidak berani lagi mengganggunya. Tadi ketika makan siang pun pemuda itu hanya makan sedikit dan tidak banyak bicara.

Malam telah larut, namun Han Siong masih rebah termenung tidak dapat pulas. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara di belakang rumah. Dia menjadi curiga dan cepat dia turun dari pembaringan, mengenakan sepatunya lantas berindap keluar dari kamarnya, cepat menuju ke belakang rumah.

Kiranya yang menimbulkan suara itu adalah Ci Goat! Gadis itu keluar dari rumah menuju ke kebun di belakang sambil membawa buntalan. Han Siong menahan diri tidak menegur, hanya membayangi dengan perasaan heran. Apa yang hendak dilakukan gadis itu pada malam hari begini?

Ci Goat berhenti dekat bangku panjang di mana pagi tadi mereka duduk bercakap-cakap, lalu dia meletakkan buntalan di atas bangku dan membukanya. Kiranya buntalan itu terisi alat-alat untuk bersembahyang, seperti hio-swa (dupa biting) dan lain-lain. Dan gadis itu lalu meletakkan semua persiapan sembahyang di atas bangku, menyalakan hio dan mulai bersembahyang!

Dara itu mengucapkan kata-kata permohonan dengan suara bisik-bisik. Dia merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang yang akan mendengar suaranya yang sangat lirih. Kebun itu sunyi dan kosong, dan andai kata ada orang didekatnya pun tak akan bisa menangkap kata-kata doa yang diucapkan sambil berbisik.

Dia salah perhitungan! Orang biasa mungkin tidak dapat menangkap kata-kata bisikan itu, namun pendengaran Han Siong lain dari pada orang biasa. Biar pun jarak antara dia yang berada di balik batang pohon tidak terlalu dekat dengan gadis itu, namun di tempat yang sesunyi itu dia mampu menangkap kata-kata doa gadis itu dengan jelas!

Ternyata gadis itu berdoa untuk dia! Gadis Itu bersembahyang untuk dia. Antara lain yang didengarnya adalah kata-kata yang membuatnya terharu sekali,

"Ya Tuhan, Tuhan dari Bumi dan Langit, dengarlah permohonan saya ini. Kalau sampai terjadi perkelahian dengan Kim-lian-pang kelak, lindungilah Toako Pek Han Siong, berilah kemenangan padanya atau andai kata dia kalah pun, lindungilah dia. Jangan sampai aku kehilangan dia pula, ya Tuhan, karena dialah satu-satunya orang yang menjadi tumpuan harapanku, dialah satu-satunya orang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku..."

Han Siong tidak dapat mendengarkan terus. Dia sudah berkelebat pergi dengan jantung berdebar dan muka terasa panas. Gadis itu jatuh cinta padanya! Begitu sampai di dalam kamarnya, kembali dia termenung. Sekali ini bukan membayangkan wajah Bi Lian, namun yang terbayang adalah wajah Ci Goat, gadis yang bersembahyang bagi keselamatannya, gadis yang takut kehilangan dia, yang mencintanya dengan jiwa raganya!

Pada keesokan harinya dia bersikap biasa, akan tetapi sekarang baru dia mengerti akan pandangan mata gadis itu yang tadinya dianggap aneh. Ternyata pandangan mata gadis itu penuh dengan sinar kagum dan cinta! Hal ini membuat dia merasa rikuh sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan merasa semakin kasihan kepada gadis itu.

Kalau saja Ci Goat tahu bahwa hatinya telah melekat pada bayangan Bi Lian dan bahwa tidak mungkin ada gadis lain di dunia ini yang dapat menjatuhkan cinta hatinya! Dia hanya mencinta Bi Lian seorang, dan andai kata dia dapat mencinta gadis lain, tentu tidak akan seperti cintanya kepada Bi Lian.

Sepekan kemudian siaplah sudah pasukan yang dikumpulkan oleh Ouw Pangcu. Mereka itu adalah sekumpulan orang-orang gagah dari beberapa perkumpulan silat yang pernah menerima penghinaan dari Kim-lian-pang. Jumlah mereka tak kurang dari dua ratus orang!

Mereka yang bersedia membantu adalah para anggota perkumpulan silat yang rata-rata mempunyai ilmu silat yang lumayan, dipimpin oleh ketua atau guru masing-masing. Tentu saja para pimpinan ini pun lihai, satu tingkat dengan ilmu kepandaian Ouw Pangcu dan jumlah mereka ada enam orang.

Enam orang ini kemudian dipertemukan dengan Han Siong dan mereka semua merasa kagum kepada pemuda itu ketika mereka mendengar betapa Han Siong adalah seorang di antara para pendekar yang pernah membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin mendiang Lam-hai Giam-lo. Mereka lalu mengadakan perundingan dan menyusun siasat.

Pada hari yang sudah ditentukan, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi berdiri di lereng Bukit Kim-lian-san dekat puncak, kemudian beberapa orang anak buahnya melepas anak panah berapi ke arah puncak. Sesudah beberapa kali melepas panah berapi dan di antaranya ada yang membakar daun-daun kering dekat puncak, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi lalu mengeluarkan teriakan nyaring sambil mengerahkan tenaga khikang.

"Haiii, para pimpinan Klm-lian-pang! Kalau kalian memang gagah perkasa, turunlah dari puncak dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

Sampai tiga kali dia mengulang teriakannya itu, kemudian bersama semua pasukan yang telah siap di tempat itu, dia bersembunyi. Kini hanya Han Siong seorang yang menanti di lapangan rumput di lereng bukit itu, dengan sikap waspada dan hati-hati.

Tidak lama kemudian nampak bayangan orang berkelebat dari atas dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang pria muda yang tampan dan gagah. Tadinya Han Siong mengira bahwa ketua Kim-lian-pang, yaitu Sim Ki Liong yang muncul sendiri. Akan tetapi sesudah dia memperhatikan, yang muncul itu adalah seorang pria muda berusia kira-kira tiga puluh tahun yang tidak dikenalnya.

Pria ini bertubuh tinggi besar. Wajahnya berkulit putih dan tampan gagah, kedua matanya mencorong aneh. Pria ini bertangan kosong, tapi sikapnya yang tenang itu, tanpa senjata, dan pemunculannya yang tiba-tiba bagaikan setan, sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang lawan yang tangguh.

Pria itu bukan lain adalah Tang Cun Sek. Para pimpinan Kim-lian-pang marah bukan main melihat serangan anak panah berapi itu. Walau pun anak panah yang diluncurkan itu tidak sampai mencapai puncak sehingga tidak mengenai perumahan Kim-lian-pang, akan tetapi cukup mengejutkan juga, apa lagi ada beberapa batang anak panah berapi yang sempat mengakibatkan kebakaran sesudah mengenai daun-daun kering di atas tanah. Anak buah Kim-lian-pang terpaksa harus cepat-cepat memadamkan kebakaran itu sebelum menjalar dan membakar hutan di dekat puncak.

Ketika mereka mendengar tantangan yang diteriakkan oleh Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi, Tang Cun Sek segera berkata kepada Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi bahwa dia akan menghadapi ketua Pek-tiauw-pang itu.

"Hemm, aku yakin dia tidak datang sendirian. Tentu banyak kawannya, dan tentu dia telah membentuk pasukan yang kuat. Kalau tidak, mana dia berani bersikap seperti itu?" kata Ji Sun Bi yang berhati-hati.

"Aku pun menduga demikian," kata Sim Ki Liong. "Tang-toako, engkau keluarlah dulu dan sambut tantangan itu, kami mengikuti dari belakang karena aku hendak mempersiapkan anak buah lebih dulu untuk bertahan kalau-kalau mereka berani menyerang ke atas dan kita harus dapat membasmi mereka."

Tan Cun Sek menyanggupi lalu dia pun berlari turun dari puncak. Ketika dia melihat ada seorang pemuda berdiri seorang diri di lapangan rumput itu, dia pun cepat menghampiri dan mereka kini sudah berdiri saling berhadapan dan saling pandang dalam jarak kurang lebih empat meter saja.

Laksana dua ekor ayam aduan, mereka berdua saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seperti hendak mengetahui keadaan lawan masing-masing. Watak Cun Sek yang tinggi hati membuat dia belum apa-apa sudah memandang rendah terhadap calon lawan itu.

"Mana dia ketua Pek-tiauw-pang yang berteriak menantang tadi?" tanyanya. "Kenapa dia bersembunyi dan siapakah engkau?"

Han Siong tersenyum tenang. "Memang akulah yang mewakilinya untuk menghadapi para pimpinan Kim-lian-pang. Di mana adanya ketua Kim-lian-pang? Biarkan dia turun sendiri untuk menandingiku."

"Keparat, engkau hanya datang mengantar nyawa. Tak perlu Kim-lian Pangcu yang maju sendiri, sudah cukup aku untuk menghajarmu, kalau perlu membunuhmu!" kata Tang Cun Sek sambil melangkah maju.

"Hemm...! Sayang, sungguh sayang, seorang muda yang gagah seperti engkau ternyata hanya menjadi kaki tangan iblis-iblis seperti Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi. Tentu engkaulah yang bernama Tang Cun Sek, bukan? Hemm, apa saja yang kau peroleh dari mereka? Janji muluk, harta dan juga kecabulan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi itu, bukan?"

Mendengar ucapan ini, seketika wajah Cun Sek menjadi merah sekali. Memang ucapan itu dengan tepat menelanjanginya, maka dapat dibayangkan betapa rasa malu membuat dia marah bukan main.

"Tutup mulutmu, keparat busuk!" bentaknya dan dia sudah menerjang dengan dahsyat.

Kedua tangannya bergerak cepat dan kuat sekali, mendatangkan tenaga yang amat hebat karena dia sudah mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Cjn-ling-pai.

Menghadapi serangan yang dahsyat ini, tentu saja Han Siong tidak berani memandang ringan. Dari angin pukulan itu saja dia pun maklum bahwa benar seperti yang diduganya, lawan ini bukanlah lawan yang ringan. Dia pun cepat mengelak.

Tetapi gerakan Cun Sek memang cepat sekali, karena begitu pukulannya luput, tubuhnya segera membalik dan kembali dia sudah melakukan serangan bertubi-tubi yang sambung menyambung.

Han Siong berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan serangan-serangan itu sambil memperhatikan gerakan lawan. Diam-diam dia pun terkejut dan heran sekali. Jelas bahwa pemuda ini menjadi pembantu dua orang muda yang sangat jahat, maka sepantasnyalah kalau pemuda ini juga seorang tokoh sesat. Akan tetapi kenapa gerakan silatnya demikian bersih? Bahkan ilmu silatnya sendiri jauh kalah bersih kalau dibandingkan ilmu silat yang dimainkan penyerangnya itu.

Dia menerima ilmu-ilmunya dari suhu dan subo-nya, dan memang dua orang gurunya itu pernah membuat pengakuan bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk sesat sehingga ilmu mereka pun tidak bersih.

"Bagaimana pun juga, yang menentukan bersih kotornya suatu ilmu adalah pemakainya," demikian suhu-nya pernah berkata. "Sudah menjadi kewajibanmu untuk membuat seluruh ilmu silat kita menjadi ilmu yang bersih dengan menghilangkan sifat-sifat yang curang dan licik, menghilangkan penggunaan hawa beracun, dan terutama sekali menggunakannya untuk menentang kejahatan dan membela keadilan dan kebenaran!"

Dan selama ini dia selalu mentaati pesan gurunya itu, bahkan sesudah dia memperoleh gemblengan dari Ban Hok Lojin, maka ilmu-ilmu dari gurunya dapat disempurnakan dan dibersihkan.

Setelah mempelajari gerakan lawan sampai belasan jurus, barulah Han Siong membalas dan mengingat akan kelihaian lawan, dia pun langsung memainkan ilmu silat Pek-hong Sin-ciang yang diperolehnya dari Ban Hok Lojin. Begitu dia memainkan ilmu silat ini, maka terkejutlah Cun Sek. Angin menyambar-nyambar laksana badai dan setiap kali lengannya bertemu dengan lengan lawan, Cun Sek terdorong sampai terhuyung ke belakang!

Karena terkejut, setelah berdiri tegak kembali dia tidak segera menyerang lagi, melainkan memandang dengan mata mendelik, penuh rasa penasaran dan marah karena malu.

"Singggg...!"

Ketika tangan kanannya meraba pinggang, tiba-tiba berkelebat sinar emas dan pedang pusaka Hong-cu-kiam telah berada di tangan kanannya.

"Keparat!" Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Han Siong. "sebelum engkau kubunuh, katakanlah siapa namamu agar jangan sampai engkau mati tanpa nama!"

Han Siong tersenyum. Pemuda bernama Tang Cun Sek ini bukanlah orang yang sedang dicarinya. Yang ingin dilawannya adalah Sim Ki Liong, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda di depannya ini merupakan seorang pembantu yang amat lihai dari Sim Ki Liong. Bahkan mungkin tidak kalah dibandingkan dengan Ji Sun Bi, maka harus ditundukkan!

Apa lagi pedang yang kini berada di tangannya itu jelas bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang pusaka yang ampuh. Dari sinarnya saja dia sudah tahu bahwa pedang tipis yang tadi menjadi sabuk itu amat berbahaya. Padahal dia sendiri sudah tak memiliki pedang, karena pedang pusaka Kwan-im Po-kiam pemberian gurunya yang juga menjadi tanda ikatan jodoh sudah dia kembalikan kepada suhu dan subo-nya. Biarlah, dia hendak menguji dulu sampai di mana kelihaian lawannya itu.

"Hemm, namaku Pek Han Siong, kawan. Lebih kusayangkan lagi bahwa pedang pusaka sebaik itu akan kau pergunakan untuk kejahatan!"

Cun Sek belum pernah mendengar nama Pek Han Siong, maka baginya nama itu tak ada arti apa pun. Juga dia melihat lawannya itu masih belum mengeluarkan senjata. Sebagai seorang yang amat menghargai diri sendiri, Cun Sek merasa penasaran sekali. Tentu saja dia tidak mau dianggap pengecut karena menyerang orang tanpa senjata dengan pedang pusakanya, maka dia menantang.

"Pek Han Siong, tidak perlu banyak cakap. Keluarkan senjatamu!"

Han Siong menggelengkan kepalanya. "Aku tidak memegang senjata, tetapi engkau keliru kalau mengira aku takut menghadapi pedangmu. Aku akan melawan pedangmu dengan tangan kosong."

"Manusia sombong, jangan salahkan aku kalau tubuhmu akan terbabat menjadi beberapa potong. Lihat pedang!" Terdengar suara berdesing dan nampak sinar emas menyambar ke arah leher Han Siong.