Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kui Hong lantas melakukan persiapan untuk bertanding melawan pemuda yang cerdik itu. Kecerdikan harus dihadapi dengan kecerdikan, kelicikan harus dilawan dengan kelicikan pula, pikir gadis yang cerdik ini.

Tidak lama kemudian kedua orang muda itu sudah berada di tengah panggung dan saling berhadapan. Apa bila Tang Cun Sek berdiri dengan gagahnya, dengan pakaian baru yang bersih, berwarna serba hijau yang menjadi warna kesukaan pemuda ini, dengan kedua tangan memegang sebatang mouw-pit yang bulu-bulunya telah dibasahi dengan tinta bak, Kui Hong berdiri tegak dengan senyum mengejek dan hanya tangan kanannya saja yang memegang sebatang mouw-pit, sedangkan tangan kirinya kosong tidak memegang apa pun, bahkan bertolak pinggang.

Para tamu serta para anggota Cin-ling-pai menyambut mereka dengan tepuk tangan dan dengan hati berdebar tegang. Tentu saja keinginan kakek Cia Kong Liang yang hendak menjodohkan Cun Sek dengan Kui Hong sudah bocor hingga diketahui kebanyakan murid Cin-ling-pai, maka kini mereka semua memandang penuh perhatian.

Harus mereka akui bahwa kedua orang yang kini saling berhadapan sebagai calon lawan itu, keduanya calon ketua Cin-ling-pai yang kuat, memang serasi sekali. Dalam pakaian barunya, Cun Sek nampak ganteng dan gagah perkasa, wajahnya yang berkulit putih itu tampan sekali. Sebaliknya, Kui Hong juga nampak cantik jelita dan gagah perkasa, apa lagi dia tersenyum-senyum manis.

Melihat betapa Kui Hong hanya membawa sebuah mouw-pit saja pada tangan kanannya, terdengar Ceng Sui Cin, ibunya, berseru, "Kui Hong, engkau juga harus memegang dua buah mouw-pit seperti Cun Sek!"

Akan tetapi Kui Hong menengok ke arah ibunya dan berkata lantang sehingga terdengar oleh semua orang, "Tidak perlu, Ibu. Sebuah mouw-pit saja sudah cukup!"

Melihat dan mendengar ini, Cun Sek merasa tidak enak sekali, merasa dipandang rendah oleh gadis itu. Dia pun cukup maklum bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, tidak boleh disamakan dengan Gouw Kian Sun tadi. Dia telah melihat ketika gadis itu berlatih silat dikeroyok oleh lima orang suheng-nya, tetapi gadis itu masih tetap unggul. Karena itu, biar dia merasa dipandang rendah, dia tidak berani mengurangi mouw-pitnya.

Dia harus dapat menundukkan gadis ini, harus mampu mengalahkannya, karena dengan demikian, bukan saja dia akan dapat menjadi ketua Cin-ling-pai di mana dia memperoleh kekuasaan dan nama besar, namun juga besar harapannya untuk dapat mempersunting gadis yang diidamkannya itu. Akan tetapi, untuk menutupi perasaan tak enak itu, dia pun berkata dengan sikap sopan.

"Suci, harap Suci suka mempergunakan dua buah mouw-pit sungguh pun dengan sebuah mouw-pit saja, tentu saya tidak akan mampu mengalahkan Suci (kakak seperguruan),"

Kui Hong tersenyum. Memang pemuda ini pandai membawa diri. Meski pun pemuda ini jauh lebih tua darinya, akan tetapi menyebutnya ‘suci’ sebagai tanda bahwa pemuda itu mengakuinya sebagai kakak seperguruan karena memang tentu saja Kui Hong lebih dulu menjadi murid Cin-ling-pai. Hal ini saja sudah menunjukkan kerendahan hati.

Akan tetapi Kui Hong tidak hanya mendengarkan ucapan yang sopan itu, melainkan lebih memperhatikan sinar mata pemuda itu. Sinar mata itu mencorong dan sama sekali tidak menunjukkan kerendahan hati, melainkan mengandung penuh kecerdikan dan kelicikan. Dia hanya berpura-pura, pikirnya, hanya beraksi seperti pemain sandiwara yang ulung. Ia berhadapan dengan seorang yang lihai dan berbahaya sekali, maka dia haruslah berhati-hati, pikir Kui Hong.

"Sudahlah, saudara Tang Cun Sek, tidak perlu bersungkan-sungkan. Aku lebih senang mempergunakan sebatang mouw-pit saja, engkau boleh menggunakan dua batang atau lebih kalau kau kehendaki!"

Wajah Cun Sek menjadi merah. Bagaimana pun juga gadis ini terlampau sombong dan memandang rendah kepadanya. Untuk memenangkan hati gadis seperti ini, lebih dahulu harus menundukkan kesombongannya dengan cara mengalahkannya, barulah akan ada harapan untuk menundukkan hatinya, pikir pemuda yang sudah banyak pengalamannya dalam mengenal watak wanita ini.

"Baiklah, Suci, jika engkau memang menghendaki demikian. Marilah, silakan Suci mulai, saya sudah siap melayanimu, Suci!"

Kui Hong tersenyum lagi. Tentu saja dia maklum akan akal ini yang mempersilakan agar dia menyerang lebih dulu dan hal ini berarti bahwa kedudukannya akan lebih lemah.

"Lihat seranganku!" bentaknya, kemudian dia pun segera menyerang dengan kecepatan kilat, tangan kirinya yang tidak bersenjata itu menampar ke arah kepala pemuda itu dari samping, disusul tangan kanannya yang menotokkan mouw-pitnya ke arah dada.

Meski pun serangan dengan sebuah jurus Thai-kek Sin-kun yang sudah amat dikenal oleh Cun Sek, akan tetapi karena serangan itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa serta mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, Cun Sek cepat mengelak sambil meloncat ke belakang, lalu kembali maju dari samping untuk membalas serangan gadis itu dengan totokan dua mouw-pitnya dari kanan kiri. Kui Hong harus mengakui kelincahan lawannya yang dapat demikian cepatnya melakukan serangan balasan. Namun dia pun mengelak dan menyerang lagi.

Terjadilah serang menyerang yang amat seru, lebih seru dari pada pertandingan pertama tadi karena sekarang keduanya mengerahkan seluruh kecepatan gerakan mereka hingga tubuh mereka lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan hijau dan bayangan merah dan biru dari pakaian Kui Hong. Mereka berdua saling desak, kadang-kadang mengubah ilmu silat mereka yang segera dikembari oleh lawan.

Mau tak mau Tang Cun Sek harus mengakui dalam hatinya bahwa gadis ini benar-benar amat berbahaya. Meski pun mouw-pitnya hanya sebuah saja, tapi tangan kanan gadis itu menyambar-nyambar mengancam seluruh tubuhnya dengan totokan-totokan yang dapat membuatnya lumpuh!

Dia harus mengakui bahwa dia masih kalah oleh Kui Hong di dalam hal kecepatan, juga dalam ilmu silat kalah matang karena tentu saja gadis itu lebih mahir memainkan ilmu silat nenek moyangnya. Hanya dalam hal tenaga sinkang saja dia masih mampu mengimbangi kekuatan Kui Hong.

Karena memang kalah cepat, maka walau pun dia memegang dua batang mouw-pit dan gadis itu hanya memegang sebatang, dalam waktu singkat saja sudah ada lima goresan hitam pada bajunya, sedangkan dia hanya baru dapat menggores sebanyak dua kali, itu pun di ujung baju Kui Hong. Kalau diteruskan seperti ini, tentu dia akan kalah! Padahal dia harus dapat mengalahkan gadis ini. Harus! Kalau dia tidak dapat mengalahkannya, berarti akan sia-sia belaka usahanya selama empat tahun ini.

Mulailah Cun Sek mempergunakan akalnya yang tadi telah membuat dia berhasil menang dengan mudah dari Gouw Kian Sun, yaitu dengan jalan menggetarkan dua ujung mouw-pitnya sehingga tinta dari bulu-bulu mouw-pit di kedua tangannya memercik dan mengenai pakaian Kui Hong! Dalam satu kali serangan saja dengan kedua batang mouw-pit, walau pun kedua mouw-pit itu tidak dapat menyentuh baju Kui Hong, namun dari percikan tinta itu baju Kui Hong ternoda lebih dari lima tempat!

Memang inilah saat yang dinanti-nanti oleh Kui Hong. Dia sama sekali tak menjadi marah ketika melihat pemuda itu sudah mulai menjalankan siasatnya yang licik. Dia pun segera menggerakkan tangan kirinya ke dalam saku bajunya dan mengeluarkan sebotol tinta bak! Dan sekarang dia pun menggetar-getarkan ujung mouw-pitnya yang hanya sebatang itu, setelah mencelupnya ke dalam botol tinta bak yang sudah dia buka tutupnya.

Tentu saja bulu mouw-pit yang basah itu lebih mudah memercik, bahkan bisa sampai jauh sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, kini banyak sekali noda-noda hitam menghias baju Cun Sek! Pemuda ini terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa gadis itu menyembunyikan sebotol tinta bak di saku bajunya. Kiranya gadis itu memang telah siap siaga dan pantas saja hanya menggunakan sebatang mouw-pit, kiranya tangan kiri memang dipersiapkan untuk memegangi botol penuh tinta itu!

Dia berusaha untuk menggetarkan kedua mouw-pitnya agar lebih banyak lagi pakaian Kui Hong terkena percikan tinta. Akan tetapi betapa pun juga perang percikan tinta ini tentu saja dimenangkan oleh Kui Hong yang mouw-pitnya selalu basah, sedangkan sepasang mouw-pit di tangan Cun Sek mulai kering!

Pakaian Cun Sek sudah penuh noda hitam, dua atau tiga kali lipat lebih banyak dari pada noda pada pakaian Kui Hong. Pemuda itu menjadi gugup dan mendongkol bukan main.

Pada waktu Cia Kong Liang menyerukan agar pertandingan dihentikan karena hio sudah terbakar habis, Kui Hong lantas menyiramkan seluruh sisa tinta bak itu kepada lawannya. Cun Sek mencoba untuk mengelak, namun tetap saja sebagian muka, leher dan dadanya berlepotan tinta hitam!

Kemarahan Cun Sek membuat dia lupa diri, lupa akan topeng sopan santun yang selama empat tahun ini dikenakan pada mukanya. Dengan mata melotot dia memandang kepada Kui Hong, lantas menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka gadis itu sambil membentak marah, suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Engkau... engkau... gadis curang! Engkau telah bertindak licik dan curang! Engkau gadis kurang ajar!"

Kui Hong tersenyum mengejek dan begitu kedua tangannya bergerak, tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu di tangan kanan dan kirinya sudah nampak sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam!

"Benarkah itu?" jawabnya mengejek. "Aku curang dan licik sedangkan engkau bersih dan jujur, ya? Apa yang kau lakukan ketika engkau melawan susiok Gouw Kian Sun tadi? Apa pula yang kau lakukan kepadaku tadi ketika engkau mulai kalah? Engkau yang curang dan licik semenjak melawan susiok, aku hanya mengimbangimu saja! Sekarang kau mau apa? Kalau tidak terima, boleh kita mencoba dengan senjata, siapa yang lebih unggul di antara kita!" Setelah berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan sepasang pedangnya, membuat kuda-kuda dan gerakan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam yang amat dahsyat.

Melihat ini Cun Sek menjadi semakin marah. "Kau berani menggunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai? Calon ketua macam apa kau ini?"

Kembali Kui Hong tersenyum mengejek, dalam hatinya amat girang sebab pancingannya mengena. "Ahai...! Manusia tidak tahu diri! Engkau bilang aku mempergunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai? Kau kira ilmu silat yang kau mainkan itu ilmu Cin-ling-pai murni? Hemmm, bocah sombong! Aku adalah keturunan ketua Cin-ling-pai, aku mempelajari ilmu silat Cin-ling-pai sejak kecil! Aku jauh lebih mahir dalam ilmu silat Cin-ling-pai dari pada engkau yang baru empat tahun belajar di sini. Aku memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam untuk menunjukkan kepadamu bahwa bukan hanya engkau seorang yang mahir ilmu-ilmu silat lain. Sekarang engkau mengajak bertanding dengan apa pun, akan kulayani! Dengan ilmu silat Cin-ling-pai yang asli tanpa kau campur-campur seperti cap-jai? Atau dengan ilmu silat lain? Aku siap! Hayo lekas keluarkan senjatamu!"

Metihat keributan itu, para tamu dan semua murid Cin-ling-pai memandang dengan hati tegang, tidak ada yang berani mengeluarkan suara atau mencampuri. Cia Hui Song dan isterinya saling pandang dan bersikap tenang, pura-pura tidak tahu saja.

Meski pun tidak membenci Tang Cun Sek yang pandai membawa diri dan menyenangkan hati, tapi suami isteri ini juga tidak tertarik atau suka sekali kepada pemuda yang mereka anggap penuh rahasia itu. Mereka pun telah melihat kecurangan yang dilakukan pemuda itu tadi terhadap Gouw Kian Sun, maka pembalasan yang dilakukan puteri mereka tidak membuat mereka menjadi marah. Akan tetapi, ketika melihat betapa ayahnya marah, Cia Hui Song menjadi tak enak hati dan dia pun ikut berdiri ketika ayahnya bangkit berdiri.

"Kalian hentikan keributan itu!" bentak Cia Kong Liang kepada mereka.

"Kui Hong, mundurlah engkau!" Cia Hui Song juga melanjutkan seruan ayahnya.

Mendengar seruan kedua orang tua itu, Kui Hong menggerakkan pundaknya kemudian memandang kepada Tang Cun Sek dengan sikap mengejek dan berkata, "Ahh, sungguh sayang kongkong dan ayah melarangku. Untung bagimu tidak sampai berkenalan dengan sepasang pedangku Penakluk Iblis ini!" Dia pun lantas menyarungkan kembali sepasang pedangnya.

Wajah Cun Sek akan terlihat merah padam kalau saja sebagian tidak tertutup tinta hitam. Dia maklum bahwa dirinya telah menjadi bulan-bulan penghinaan dan dipermainkan oleh Kui Hong di hadapan banyak orang. Kalau dia nekat berusaha membalas dan menyerang gadis itu, selain belum tentu dia menang, juga tentu semua orang akan membela dara itu. Maka dia pun membalikkan tubuhnya, menghadapi Cia Kong Liang dan memberi hormat lalu berkata pendek,

"Teecu hendak membersihkan noda hitam dan bertukar pakaian!" Dan tanpa menunggu jawaban, dia pun melompat turun dari atas panggung lalu berkelebat cepat menghilang, menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

Kini banyak di antara para murid Cin-ling-pai yang berbalik pilihan. Tadinya mereka yang memilih Tang Cun Sek sebagai calon ketua adalah para murid yang merasa tertarik dan suka kepada murid baru ltu yang menjanjikan akan mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi, lebih tinggi dari pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai kalau dia menjadi ketua.

Para murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang berjiwa gagah. Mereka memang senang sekali mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, namun mereka paling membenci perbuatan yang licik dan curang. Kini mereka semua mendengar betapa Cia Kui Hong membongkar rahasia kecurangan pemuda itu ketika tadi melawan Gouw Kian Sun, maka mereka pun mulai tak suka kepada pemuda itu dan pilihan mereka sekarang ditujukan kepada Cia Kui Hong.

"Hidup nona Cia Kui Hong!"

"Dia ketua baru yang paling tepat!"

Mereka bersorak-sorak sehingga kakek Cia Kong Liang tak dapat membantah lagi karena dalam pertandingan tadi Kui Hong memang telah mendapatkan kemenangan mutlak. Dia tidak menyangka bahwa gadis itu mau mencalonkan diri menjadi ketua, dan tidak mengira gadis itu tidak tertarik kepada Cun Sek, bahkan menentangnya.

Diam-diam dia merasa heran. Cun Sek demikian baiknya, mengapa tidak mendapatkan dukungan? Dia lalu menarik napas panjang dan hanya mengangguk-angguk ketika para anggota juri menghadap padanya, termasuk puteranya sendiri, untuk menyatakan bahwa yang keluar sebagai pemenang dalam pemilihan ketua baru itu adalah Cia Kui Hong.

"Sudahlah, memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Cin-ling-pai harus mempunyai seorang ketua wanita, cucuku sendiri, Cia Kui Hong!"

Para murid Cin-ling-pai menyambut dengan tepuk tangan dan sorak gembira ketika ketua mereka, Cia Hui Song, berdiri di atas panggung sambil mengumumkan bahwa ketua baru yang akan menggantikan dia adalah puterinya sendiri, Cia Kui Hong yang keluar sebagai pemenang. Cia Hui Song juga minta kepada para undangan untuk menjadi saksi bahwa sekarang Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang ketua baru, yaitu nona Cia Kui Hong!

Untuk diperkenalkan kepada para tamu, Kui Hong dipanggil ayahnya untuk tampil di atas panggung. Dengan pakaian masih berlepotan tanda-tanda hitam Kui Hong menghampiri ayahnya di atas panggung, disambut tepuk tangan meriah oleh para anggota Cin-ling-pai.

Pada saat itu pula, seorang murid yang tadi diutus oleh Cia Kong Liang untuk memanggil Tang Cun Sek supaya hadir dalam pengangkatan ketua baru itu, karena kakek ini masih mengharapkan agar pemuda itu dapat menjadi wakil ketua atau pembantu ketua supaya dapat mendekatkan antara pemuda itu dengan cucunya, datang melapor dengan suara keras bahwa Tang Cun Sek tidak berada di dalam kamarnya, bahkan semua pakaiannya juga tidak ada!

"Dia... dia berani minggat...?!” Kakek itu berseru marah, lantas menjatuhkan diri terduduk di atas kursi, wajahnya agak pucat dan dia pun mengeluh, "... ahhh, apakah semua yang kulakukan selalu salah belaka?"

Kui Hong cepat-cepat berlutut di dekat kakeknya. "Kongkong, sebenarnya kongkong tidak bersalah. Kongkong berniat baik sekali, demi untuk kemajuan Cin-ling-pai atau pun untuk mencarikan jodoh bagiku. Namun Kongkong tertipu oleh topeng domba yang digunakan seekor serigala. Naluri kewanitaanku lebih peka, Kongkong, sehingga di dalam pertemuan pertama itu pun aku sudah merasa tidak suka kepadanya. Dia pandai membawa diri dan mengambil hati sehingga bukan Kongkong saja yang terpikat, bahkan ayah ibu dan para saudara Cin-ling-pai tidak ada yang menyangka bahwa dia adalah seorang yang berhati palsu. Sudahlah, tak perlu disesalkan lagi, Kongkong, yang penting kita masih untung bisa menyelamatkan Cin-ling-pai dari tangan orang luar yang tidak mempunyai itikad baik!”

Wajah kakek itu nampak berduka sekali. "Ahh, akan tetapi pedang pusaka Hong-cu-kiam telah kuberikan kepadanya dan kini dibawa pergi... "

"Biarlah, kelak akulah yang akan mencarinya untuk merampas kembali Hong-cu-kiam dari tangannya, kemudian membunuh dia karena sudah berani menipumu, Kongkong. Harap Kongkong tidak berduka, karena bukan kita saja yang tertipu oleh muka manis dan sikap yang baik. Bahkan kakek dan nenek di Pulau Teratai Merah yang demikian lihainya masih dapat kebobolan dan juga kemasukan orang jahat yang berhasil mewarisi ilmu-ilmu Pulau Teratai Merah bahkan juga telah minggat dan melarikan pusaka Gin-hwa-kiam dari sana."

Dengan singkat gadis itu lalu bercerita tentang Sim Ki Liong, keturunan musuh besar yang berhasil menyelundup ke Pulau Teratai Merah dan diterima menjadi murid oleh Pendekar Sadis dan isterinya! Memang ada hasilnya cerita itu bagi kakek Cia Kong Liang. Agaknya terhibur juga hatinya mendengar betapa suami isteri yang demikian sakti seperti Pendekar Sadis dan isterinya dapat pula dikelabui oleh muka manis.

Setelah pesta pemilihan ketua itu selesai dan para tamu pulang dengan membawa cerita menarik dan kesan mendalam tentang pemilihan yang ricuh itu, Cia Kui Hong menerima kedudukan sebagai ketua Cin-ling-pai secara resmi. Kakeknya sendiri yang memimpinnya untuk bersumpah setia kepada Cin-ling-pai dan dalam kesempatan ini, Kui Hong dengan resmi pula mengangkat susiok-nya, Gouw Kian Sun menjadi wakil ketua dan mewakilinya dalam semua urusan kalau dia sedang tidak berada di Cin-ling-pai.

"Sebenarnya jiwaku tidak banyak bedanya dengan ayah dan ibu," katanya kepada kedua orang tuanya itu, juga di depan kakeknya. "Aku senang merantau dan tidak betah untuk tinggal di sini, dipusingkan dengan urusan perkumpulan. Aku melihat bahwa susiok lebih tepat untuk menjadi ketua, malah susiok pula yang selama ini mengurus Cin-ling-pai pada saat ayah tidak aktip. Tetapi karena dalam pemilihan itu terpaksa aku harus turun tangan demi menyelamatkan Cin-ling-pai kemudian terpilih menjadi ketua, maka biarlah aku akan bertanggung jawab. Namun, untuk dapat mengurusnya dengan baik dan untuk kemajuan Cin-ling-pai, maka aku wakilkan kepada susiok Gouw Kian Sun!"

Tidak ada yang menentang pendapat dan keputusan ini. Nama Gouw Kian Sun memang merupakan nama yang cukup berwibawa dan juga disukai oleh para anggota Cin-ling-pai. Mereka yang tadinya mendukung Tang Cun Sek adalah karena terpikat oleh janji muluk-muluk dari pemuda itu dan kini mereka yang tadinya mendukung, berbalik menjadi benci kepada pemuda itu yang ternyata di samping curang dan licik, juga pengecut tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya malah melarikan diri tanpa pamit!

Tentu saja Gouw Kian Sun girang sekali karena dia memang seorang murid Cin-ling-pai yang sangat mencintai perkumpulan itu. Seolah-olah seluruh hidupnya tergantung kepada perkumpulan Cin-ling-pai di mana dia dibesarkan, di mana dia tinggal dan mengalami suka duka dalam hidupnya.

Sampai berusia empat puluh tahun, Gouw Kian Sun masih saja hidup membujang belum menikah. Dan sekarang, sebagai seorang wakil ketua tentu saja dia dapat mencurahkan segenap kemampuannya untuk memajukan Cin-ling-pai dan di bawah pimpinannya, dapat diharapkan Cin-ling-pai akan mengalami perubahan dan kemajuan pesat.

Sesudah Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai, dia merundingkan dengan susiok-nya yang menjadi wakil ketua, minta nasehat dari ayah ibunya dan juga dari kakeknya, lalu mulai mengadakan perubahan-perubahan kepada perkumpulan mereka itu. Pengalaman pahit dengan menyelundupnya Tang Cun Sek menjadi peringatan bagi mereka semua supaya lebih berhati-hati.

Sebulan setelah itu, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, meninggalkan Cin-ling-san untuk melakukan perjalanan ke Pulau Teratai Merah di wilayah selatan. Pertama untuk mengunjungi ayah ibu Ceng Sui Cin, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong, dan ke dua untuk merayakan kembali kedamaian yang mereka dapatkan setelah Kui Hong pulang ke Cin-ling-san.

Tidak lama kemudian, sesudah melihat bahwa keadaan perkumpulan Cin-ling-pai mulai teratur dengan baik di bawah pimpinan Gouw Kian Sun sebagai wakil ketua, Kui Hong sendiri lalu berpamit dari kakeknya untuk pergi merantau. Kakek Cia Kong Liang tak dapat menahan cucunya, apa lagi karena cucunya ingin memenuhi janjinya untuk mencari Tang Cun Sek, merampas kembali Hong-cu-kiam dan menghukum murid murtad itu.

Sejak peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai itu, yaitu beberapa peristiwa susul-menyusul yang mendatangkan banyak guncangan batin baginya, kakek Cia Kong Liang tidak lagi menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Kini dia keluar dan menyumbangkan tenaganya untuk menjadi penasehat bagi muridnya, Gouw Kian Sun yang sekarang menjadi ketua.

Dan banyak perubahan terjadi pada dirinya yang sudah banyak mengalami kekecewaan itu. Dia menjadi seorang yang penyabar sekali, pandangannya menjadi luas dan dalam karena dia mulai menghilangkan rasa keakuannya yang dahulu sangat besar dan kuat itu. Kekerasan watak kakek itu kini hampir lenyap, terganti kesabaran dan kewaspadaan yang mengagumkan.

Kekerasan watak manusia memang dibentuk oleh besarnya rasa keakuan. Pikiran akan menciptakan gambaran tentang diri sendiri, sedemikian besar dan agungnya sehingga diri sendiri selalu benar, selalu tepat, selalu baik dan semua ini akan membentuk kekerasan karena merasa benar sendiri.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dua bayangan yang berkelebat di luar kuil Siauw-lim-si itu bergerak amat cepatnya. Kuil itu sendiri memang berdiri di tempat yang sunyi, kurang lebih sepuluh kilometer di luar kota Yu-shu, di tepi Sungai Cin-sha antara Pegunungan Heng-tuan-san di Propinsi Cing-hai selatan. Kuil itu merupakan kuil kuno yang cukup besar, dengan pekarangan depan yang amat luas dan bagian belakang kuil juga merupakan kebun yang luas, di mana para hwesio kuil itu menanam sayur-sayuran.

Kepala kuil Siauw-lim-si itu bernama Ceng Hok Hwesio, seorang pendeta yang usianya telah lanjut, sekitar tujuh puluh tiga tahun. Hwesio tua ini memiliki tubuh yang tinggi besar dan mukanya agak kehitaman. Dia terkenal sebagai seorang hwesio yang berilmu tinggi, berwatak jujur dan berdisiplin, karena itu Ceng Hok Hwesio nampak keras.

Karena kedisiplinan ketuanya, maka semua hwesio yang tinggal di kuil itu pun merupakan pendeta-pendeta yang berdisiplin pula. Hal ini terbukti dari adanya penjagaan yang ketat di sekeliling kuil itu dan pada setiap sudut terdapat hwesio yang berjaga, bahkan ada pula yang meronda di malam yang dingin sekali itu.

Siapakah dua bayangan yang berkelebat laksana dua ekor burung dengan gerakan yang luar biasa cepatnya itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis.

Pemuda itu berusia dua puluh dua tahun, bertubuh sedang akan tetapi dadanya bidang dan tegap. Wajahnya yang bulat berkulit putih membuat alisnya yang tebal nampak hitam sekali, matanya agak sipit dengan sinar yang terang. Sebuah wajah yang tampan disertai sikap yang lembut dan tenang membayangkan kegagahan. Pakaiannya sederhana saja, rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut dari sutera biru. Pemuda itu bernama Pek Han Siong, keturunan dari keluarga para pimpinan perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di daerah Kong-goan Propinsi Secuan.

Perkumpulan ini adalah perkumpulan atau perguruan silat yang gagah perkasa. Keluarga Pek ini secara turun temurun merupakan ketua dari Pek-sim-pang, bahkan ketua pertama dari perkumpulan ini yang bernama Pek Khun merupakan pendiri Pek-sim-pang. Mendiang Pek Khun adalah seorang ahli silat aliran Siauw-lim-pai, oleh karena itu mudahlah diduga bahwa Pek-sim-pang merupakan sebuah perguruan silat yang sumbernya dari ilmu silat Siauw-lim-pai.

Mendiang Pek Khun lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Pek Ki Bu, kemudian putera Pek Ki Bu yang bernama Pek Kong menggantikan ayahnya menjadi ketua Pek-sim-pang. Pek Kong inilah ayah kandung dari Pek Han Siong, pemuda yang kini nampak bergerak dengan cepatnya bersama seorang gadis di luar tembok pagar kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu.

Ketika Pek Han Siong masih berada di dalam kandungan ibunya yang bernama Souw Bwee, anak di dalam kandungan ini telah menimbulkan kegemparan karena ramalan dari para pendeta Lama di Tibet bahwa anak di dalam kandungan itu adalah seorang Sin-tong (Anak Ajaib) yang kelak akan menjadi seorang Dalai Lama atau pemimpin agama di Tibet yang besar.

Para pendeta Lama mula-mula meminta dengan hormat dan sopan agar kelak anak yang terlahir itu diserahkan kepada mereka untuk dididik menjadi calon seorang guru besar dunia. Tentu saja keluarga Pek merasa keberatan sehingga mereka menentang kehendak para pendeta Lama.

Hal ini kemudian menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Karena para pendeta Lama di Tibet mempunyai banyak orang sakti, maka seluruh keluarga Pek bersama para murid dan anggota Pek-sim-pang melarikan diri mengungsi menjauhi daerah Tibet dan akhirnya menetap di kota Kong-goan, di Propinsi Secuan.

Akan tetapi para pendeta Lama masih terus melakukan pengejaran. Untuk menghindarkan pengejaran inilah maka Pek Kong lalu mengajak isterinya melarikan diri dan bersembunyi. Akhirnya anak itu terlahir dan tepat seperti yang diramalkan para pendeta Lama di Tibet, anak itu laki-laki dan pada punggungnya terdapat sebuah tanda berwarna merah.

Untuk menyelamatkan anak yang diberi nama Pek Han Siong itu, kakek buyutnya yang ketika itu masih hidup, yaitu Pek Khun, lalu membawa pergi Han Siong dari asuhan ayah ibunya. Sebagai gantinya, kakek Pek Khun kebetulan menyelamatkan seorang bayi laki-laki yang dibawa ibunya membunuh diri di lautan. Kakek itu berhasil menyelamatkan bayi itu akan tetapi ibu anak itu tewas, dan menyerahkan bayi itu kepada cucunya, Pek Kong dan isterinya, untuk menjadi pengganti Han Siong!

Pek Han Siong dilarikan kakek buyutnya dan sesudah merawatnya selama tujuh tahun, akhirnya dia membawa cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si di dekat Yu-shu itu, lantas menitipkannya kepada Ceng Hok Hwesio ketua kuil itu yang sebenarnya masih terhitung murid keponakannya sendiri.

Pek Han Siong hidup di dalam kuil itu dan secara kebetulan sekali dia berjumpa dengan sepasang suami isteri sakti yang sedang melakukan pertapaan atau menerima hukuman atas dosa mereka telah melakukan perjinahan atau menikah secara tidak sah. Hukuman itu adalah hukuman kurung selama dua puluh tahun! Akan tetapi, karena mereka itu sakti, setiap saat bila mereka kehendaki, mereka dapat saling bertemu tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya atau mampu mencegah mereka.

Dua orang sakti yang menjadi suami isteri itu bernama Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, keduanya merupakan keturunan dari datuk-datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Pasangan suami isteri ini kemudian mengangkat Pek Han Siong sebagai murid mereka.

Di bawah bimbingan suhu dan subo-nya yang sangat sakti. Pek Han Siong memperoleh kepandaian yang hebat bukan main. Ilmu-ilmu silat tinggi sudah dikuasainya, dan dia pun menerima pedang pusaka Kwan-im Po-kiam dari kedua orang gurunya. Bukan hanya itu, akan tetapi kedua orang gurunya itu menjodohkan murid tunggal mereka itu dengan puteri mereka yang lenyap diculik orang ketika masih kecil!

Hubungan dua orang sakti ini sudah menghasilkan seorang anak perempuan yang diberi nama Siangkoan Bi Lian! Karena itu, murid yang kini telah menjadi seorang pemuda yang tangguh itu diberi tugas untuk mencari puteri mereka sampai dapat, dan mengajaknya ke kuil Siauw-lim-si untuk menghadap mereka.

Puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian itu semenjak masih bayi mereka titipkan kepada sebuah keluarga Cu di dusun yang berada di kaki gunung, tidak jauh dari kuil itu. Kadang-kadang dua orang suami isteri itu datang mengunjungi puteri mereka, akan tetapi mereka tidak memperkenalkan diri sebagai ayah ibu kepada Bi Lian, melainkan sebagai guru karena mereka mulai mendidik Bi Lian dengan dasar-dasar ilmu silat.

Pada suatu hari, ketika Bi Lian masih berusia enam tahun, di dusun itu terjadi keributan. Pertempuran hebat antara datuk-datuk sesat membuat dusun menjadi geger dan banyak orang dusun tewas, termasuk keluarga Cu yang dititipi Bi Lian. Akan tetapi Bi Lian lenyap dan Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu tidak berhasil menemukan anak mereka yang lenyap tanpa bekas itu.

Demikianlah, setelah Han Siong tamat belajar dari mereka, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bersepakat untuk menarik pemuda murid mereka ini menjadi calon mantu mereka, dan memberi tugas kepada Han Siong untuk mencari sampai dapat puteri mereka yang hilang itu dan mengajaknya menghadap mereka di kuil Siauw-lim-si.

Pada waktu itu Han Siong berusia dua puluh tahun, sementara sudah belasan tahun Bi Lian lenyap dari dusun. Oleh karena itu, tentu saja bukan merupakan tugas yang ringan bagi Han Siong untuk dapat menemukan gadis itu karena tidak ada sedikit pun petunjuk kemana perginya gadis itu dan siapa pula yang membawanya pergi.

Dua tahun lamanya Han Siong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa yang hebat dan menarik dan dalam perantauannya inilah secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Bi Lian yang masih mempergunakan nama keluarga Cu! Semua pengalaman Han Siong sejak lahir sampai pertemuannya dengan Cu Bi Lian diceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama.

Kini, tiba-tiba saja dia muncul kembali bersama seorang gadis. Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, raut wajahnya manis sekali. Tubuh gadis itu ramping, kulitnya putih mulus, rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dan dihiasi dengan tusuk konde perak. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, hidungnya mancung dan kecil, mulutnya berbentuk menggairahkan dengan bibir yang selalu merah membasah, mukanya bulat telur dan terdapat sebuah tahi lalat di dagunya.

Siapakah gadis manis ini? Dia bukan lain adalah Cu Bi Lian, atau yang sebetulnya she Siangkoan! Ia berhasil ditemukan Han Siong dan diajak berkunjung ke kuil itu, berkunjung kepada suami isteri sakti yang dikenalnya sebagai gurunya di waktu dia masih kecil, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kedua orang gurunya itu sebetulnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri!

Apa yang sudah terjadi dengan diri gadis ini ketika dia berusia enam tahun di dusun itu? Ternyata dia sudah terjatuh ke dalam tangan dua orang datuk sesat yang pada waktu itu amat ditakuti di dunia kang-ouw, yaitu yang berjuluk Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) dan Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur), dua orang di antara Empat Setan yang namanya telah menggetarkan kolong langit akibat kelihaian mereka dan juga tindakan mereka yang aneh-aneh, kadang-kadang tanpa mengenal peri kemanusiaan sama sekali.

Dua orang datuk sesat inilah yang dulu mengamuk di dusun itu, membunuh banyak tokoh kang-ouw dan banyak orang dusun termasuk keluarga Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai keluarganya yang sesungguhnya. Bi Lian menarik perhatian kedua orang datuk sesat itu sehingga dia pun akhirnya diambil sebagai murid.

Dua orang datuk itu mewariskan seluruh ilmu-ilmunya yang hebat kepada gadis ini dan Bi Lian menjadi seorang gadis dewasa yang selain tinggi ilmu silatnya, juga berwatak aneh, berani, galak, dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya. Karena itu, di dunia kang-ouw namanya segera menonjol dan dia dijuluki Thiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) saking keras wataknya.

Dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama diceritakan tentang pengalaman gadis yang lihai ini sampai akhirnya kehilangan kedua gurunya yang tewas saling bunuh dalam perkelahian karena berbeda pendapat mengenai diri murid mereka yang tersayang itu. Yang seorang ingin menjodohkan Bi Lian dengan seorang tokoh pemberontak, akan tetapi Bi Lian tidak mau dan guru ke dua membelanya. Akhirnya keduanya tewas setelah mereka saling serang dengan hebatnya.

Bi Lian merasa sakit hati terhadap para pemberontak itu, lantas dalam usaha menentang para pemberontak inilah dia bertemu dengan Pek Han Siong, saling bekerja sama untuk menghancurkan pemberontak bersama pendekar lainnya, kemudian mereka berkenalan.

Pek Han Siong kemudian dapat menduga bahwa inilah puteri dari kedua orang gurunya, gadis yang telah dijodohkan dengan dia! Dia lalu memperkenalkan diri sebagai murid dari Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang oleh Bi Lian juga dianggap sebagai dua orang gurunya ketika dia masih kecil sehingga mereka pun seakan-akan masih terhitung suheng dan sumoi! Dan sesudah pemberontak itu dapat ditindas, Han Siong berhasil mengajak Bi Lian untuk berkunjung ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu itu untuk menghadap suhu dan subo-nya itu.

Demikianlah, pada malam hari itu dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan kini mereka sudah berdiri di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.

"Suheng, hari sudah demikian malam, apakah baik untuk mengunjungi suhu dan subo?" tanya Bi Lian ketika mereka berhenti di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.

"Kita lihat saja nanti. Kalau suhu dan subo bersedia menerima kita malam ini juga, maka kita langsung menghadap, kalau andai kata mereka tidur, kita akan menanti di dalam kuil untuk menghadap besok pagi."

"Akan tetapi, kenapa kita harus masuk lewat pagar tembok? Bukankah lebih baik masuk melalui pintu gerbang dan mengetuknya kalau sudah ditutup, suheng?"

"Ah, aku belum bercerita padamu, sumoi. Suhu dan subo adalah orang-orang... hukuman yang berada dalam kurungan di kuil ini."

"Ahhh...!" Gadis itu terrcengang, "Orang hukuman? Mengapa...? Apa kesalahan mereka? Dan bagaimana pula mereka dahulu dapat mengunjungi aku dan melatih ilmu silat?"

"Sumoi, sebaiknya kalau hal itu engkau dengar sendiri dari suhu dan subo karena aku... aku tak berhak untuk menceritakannya. Marilah, sudah dua tahun aku pergi meninggalkan mereka dan aku sudah rindu sekali untuk bertemu dengan mereka." Berkata demikian, Han Siong lalu menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok, diikuti oleh Bi Lian yang gerakannya lebih lincah lagi.

Memang ia seorang gadis yang lincah sekali, sebaliknya Han Siong pendiam dan tenang. Padahal kalau diadakan perbandingan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) tentu saja Han Siong yang menerima gemblengan dari subo-nya yang merupakan seorang ahli ginkang hebat, jauh lebih pandai dari pada Bi Lian. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga walau pun pagar tembok itu terjaga oleh para hwesio, tidak ada seorang pun di antara para penjaga itu melihat berkelebatnya dua bayangan yang memasuki kuil lewat pagar tembok belakang.

Han Siong yang pernah tinggal di kuil itu selama bertahun-tahun tentu saja sudah hafal sekali akan keadaan di dalam kuil. Dia yang menjadi penunjuk jalan berada di depan dan Bi Lian mengikuti di belakangnya. Dengan mudah saja Han Siong mengambil jalan yang tersembunyi sehingga tidak pernah kepergok oleh seorang pun hwesio dan kini mereka tiba di luar sebuah kamar yang jendela dan daun pintunya tertutup. Inilah kamar kurungan di mana biasanya subo-nya berada, tempat hukuman bagi subo-nya!

Dengan hati-hati Han Siong mengetuk daun pintu kamar itu, kemudian daun jendela, akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Pada saat dia mengintai ke dalam, kamar itu nampak gelap dan sunyi. Bahkan ketika dia menempelkan telinganya pada papan daun jendela, dia tidak mendengar bunyi pernapasan manusia di dalamnya. Kamar itu kosong!

"Bagaimana, Suheng?" tanya Bi Lian yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu.

“Ini kamar subo, akan tetapi kamar ini sekarang kosong. Jangan-jangan subo sedang ke luar. Mari kita ke kamar tahanan suhu saja.”

Mereka lalu pegi ke bagian lain dari kuil itu, jauh ke ujung kiri dan tak lama kemudian Han Siong sudah berada di luar sebuah kamar lainnya yang daun jendela serta pintunya juga tertutup. Akan tetapi nampak sedikit cahaya yang menerobos keluar dari celah-celah daun jendela, tanda bahwa di dalam kamar itu ada lilin bernyala. Gembira rasa hati Han Siong karena hal ini menandakan bahwa suhu-nya berada di dalam kamar itu.

Daun pintu itu diketuknya perlahan-lahan. Tidak ada jawaban dari dalam. Diketuknya lagi dan dia pun berseru lirih, "Suhu...! Suhu, ini teecu yang datang mohon menghadap suhu!"

Kini terdengar suara gerakan di dalam kamar itu, kemudian terdengar suara teguran dari dalam yang sangat mengejutkan hati Han Siong. "Omitohud…! Siapa berani mengganggu pinceng di tengah malam buta begini?"

Tentu saja Han Siong amat terkejut karena dia mengenal suara yang berat dari Ceng Hok Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang amat galak itu. Ketua inilah yang dulu memberi hukuman kepada suhu dan subo-nya! Biar pun Ceng Hok Hwesio selalu bersikap baik kepadanya, bahkan hwesio tua ini pula yang mendorongnya untuk mempelajari kesusasteraan melalui kitab-kitab agama yang kuno, namun Han Siong selalu merasa hormat dan segan kepada hwesio tua yang amat keras menjaga peraturan ini.

Dia merasa serba salah. Dia sudah terlanjur mengeluarkan suara sehingga hwesio tua itu sudah tahu bahwa di luar ada orang, maka tidak mungkin lagi dia mundur. Apakah hwesio tua itu tengah mengadakan kunjungan kepada suhu-nya? Di malam buta begini? Sungguh aneh. Namun dia harus cepat menjawab karena hwesio tua itu sedang menunggu dengan hati tidak sabar.

“Losuhu, maafkan saya. Saya adalah Pek Han Siong...," jawabnya.

Hening sejenak di dalam kamar itu. Kemudian baru terdengar suara yang berat itu, "Pek Han Siong...? Ahh, engkau telah kembali? Apakah engkau mencari suhu-mu, Siangkoan Ci Kang?”

Girang rasa hati Han Siong mendengar suara yang berat itu tak mengandung kemarahan. "Benar sekali, Lo-suhu! Bolehkah saya menghadap suhu?"

Kembali hening sejenak, lalu kembali terdengar suara. "Baiklah, tapi pinceng mendengar gerakan dua orang. Siapa kawanmu itu?"

Han Siong saling pandang dengan Bi Lian. Kakek yang berada dalam kamar itu ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam. "Saya datang bersama seorang murid suhu dan subo yang lain, losuhu. Ia bernama... Cu Bi Lian, juga ingin menghadap suhu dan subo."

“Seorang wanita?” Suara itu seperti terkejut, lalu disambungnya cepat-cepat, “Siancay... biarlah, kalian masuklah, pintu kamar ini tidak terkunci.”

Han Siong memberi isyarat kepada Bi Lian dan keduanya membuka daun pintu kemudian masuk ke dalam kamar itu. Bi Lian memandang penuh perhatian, sedangkan Han Siong menutupkan kembali daun pintu dari dalam.

Seorang hwesio tua sekali duduk bersila di tengah ruangan kamar itu, kamar yang kosong dan di sudut kamar terdapat sebuah meja di mana berdiri sebatang lilin yang bernyala. Beberapa batang lilin lain yang tidak bernyala menggeletak di atas meja.

Han Siong mengajak Bi Lian untuk menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang duduk bersila di atas lantai itu, lantai dingin tanpa tilam! Dan Han Siong merasa teharu. Baru dua tahun berlalu, akan tetapi ketua kuil itu sekarang nampak sudah sangat tua, tua keriputan dan mukanya yang kehitaman itu, yang biasanya tampak segar, kini terlihat layu dan lesu. Sinar matanya bahkan diliputi kedukaan.

"Losuhu, saya dan sumoi mohon maaf bila mengganggu losuhu. Akan tetapi di manakah adanya suhu? Tadi subo juga tak ada di dalam kamar tahanannya. Di manakah mereka?"

Sepasang mata yang dulu menyinarkan kegalakan dan kekerasan itu nampak sayu, yang ada hanya tinggal sinar kejujurannya, dan kini sepasang mata itu mengamati Han Siong dan Bi Lian.

"Han Siong, coba nyalakan dua batang lilin lagi supaya agak terang. Mata pinceng sudah tidak begitu awas lagi..." katanya lirih.

Hati pemuda itu terharu dan dia pun cepat menyalakan dua batang lilin di atas meja. Kini kakek itu mengamati mereka dan diam-diam merasa terkejut sekali ketika melihat wajah gadis yang datang bersama Han Siong. Alangkah miripnya wajah itu dengan wajah Toan Hui Cu! Teringat akan Toan Hui Cu, hatinya bagaikan diremas dan dia pun memejamkan kedua matanya, merangkapkan kedua tangan di depan dada dan berkata lirih,

"Omituhud... semoga semua dosa pinceng diampuni oleh Thian..."

“Losuhu, sudilah kiranya losuhu menceritakan di mana adanya suhu dan subo sekarang," kata pula Han Siong yang merasa tak enak melihat kedukaan membayang di wajah kakek itu.

Kakek itu membuka matanya dan menghela napas panjang. "Kalian duduklah yang enak. Kebetulan sekali kalian datang selagi pinceng bingung mencari siapa yang kiranya patut untuk menerima curahan penyesalan hati pinceng yang selama ini pinceng sembunyikan. Kalian berdua adalah orang yang paling tepat menerima dan mendengarkannya. Benar, terutama engkau, Han Siong. Dengarkan baik-baik pengakuan pjnceng, pengakuan orang yang berdosa besar!"

"Losuhu...!" Han Siong membantah dengan perasaan terkejut sekali, akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas.

"Diamlah, Han Siong, dan kau dengarkan saja pengakuan pinceng ini."

Han Siong lalu duduk bersila menutup mulut dan menundukkan mukanya, sedangkan Bi Lian mengamati kakek itu dengan hati tertarik. Tentu dia akan mendengarkan cerita yang sangat menarik, pikirnya. Kakek ini sungguh aneh, akan tetapi melihat mukanya yang tua itu, sepasang mata yang redup dan sayu akan tetapi mengandung sinar kejujuran dan juga kekerasan itu membuat dia merasa suka kepada kakek tua renta itu.

"Kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu ada sepasang orang muda datang ke kuil ini menghadap pinceng. Usia mereka seperti kalian berdua, masih muda, yang pria tampan dan yang wanita cantik. Mereka itu adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka membuat pengakuan yang amat mengejutkan hati pinceng. Siangkoan Ci Kang mengaku sebagai putera tunggal mendiang Siangkoan Lojin yang berjuluk Iblis Buta, seorang datuk sesat. Sedangkan Toan Hui Cu bahkan mengaku sebagai puteri mendiang Raja dan Ratu Iblis, sepasang raja datuk sesat yang menggemparkan dunia kang-ouw. Mereka sengaja menghadap pinceng dan minta agar diterima menjadi hwesio dan nikouw, karena mereka berdua merasa telah berbuat dosa dan untuk mencuci darah keturunan mereka yang amat jahat. Pinceng menerima karena melihat betapa mereka itu mempunyai niat yang tulus ikhlas…" Sampai di sini kakek itu berdiam sejenak.

Han Siong merasa kagum sekali kepada suhu dan subo-nya. Biar pun keduanya adalah keturunan datuk-datuk sesat yang seperti iblis, akan tetapi keduanya agaknya menyadari kekeliruan orang tua mereka bahkan hendak menebus dosa orang tua dengan masuk menjadi pendeta!

Bi Lian yang hanya samar-samar saja ingat kepada kedua orang gurunya itu, diam-diam juga merasa kagum dan bersimpati. Dia sendiri pun sejak kecil menjadi murid dua orang datuk sesat, tetapi dia sama sekali tidak sudi mengikuti jejak mereka sebagai orang jahat. Sama sekali tidak! Dia benci terhadap perbuatan jahat dan menentang mereka yang suka bertindak sewenang-wenang dan jahat.

"Ketika itu, pinceng yang sudah puluhan tahun tidak pernah membayangkan wanita, tiba-tiba saja menjadi lemah dan seperti kemasukan iblis dalam diri pinceng. Pinceng... tergila-gila kepada Toan Hui Cu!"

Mendengar ini, hati Han Siong terkejut bukan main. Kalau saja kakek itu tidak membuat pengakuan sendiri, pasti dia tidak akan percaya! Bi Lian menatap wajah kakek itu, kedua matanya memandang tajam penuh selidik.

Ceng Hok Hwesio menghela napas panjang. "Batin pinceng masih lemah, terlalu mudah dimasuki kotoran. Pinceng tertarik oleh kecantikan Toan Hui Cu dan pinceng menyatakan perasaan ini. Dia menolak pinceng! Kemudian... di luar pengetahuannya, ternyata ketika masuk menjadi nikouw, Toan Hui Cu telah mengandung akibat hubungan cintanya dengan Siangkoan Ci Kang. Hubungan di luar nikah! Kesempatan ini lalu pinceng gunakan untuk membalas dendam kepada Toan Hui Cu yang telah mengecewakan pinceng dan menolak perasaan hati pinceng yang sesungguhnya hanyalah gejolak nafsu binatang belaka. Juga membalas dendam terhadap Siangkoan Ci Kang karena iri hati dan cemburu yang juga merupakan nafsu pementingan diri sendiri yang merasa dikecewakan. Maka pinceng lalu menjatuhkan hukuman kepada mereka, hukuman kurung selama dua puluh tahun dalam kamar kurungan yang terpisah!"

"Aihhh, betapa kejinya!" tiba-tiba Bi Lian berseru. marah, matanya berapi-api memandang kepada hwesio tua itu. "Losuhu sebagai seorang hwesio tua sungguh tidak pantas sekali melakukan perbuatan yang begitu kejam terhadap mereka! Mula-mula tergila-gila kepada seorang wanita muda, dan karena tidak mendapat tanggapan lalu membalas dendam dan menghukum mereka sampai dua puluh tahun! Tidak malukah losuhu kepada diri sendiri?"

"Sumoi...!" Han Siong berseru kaget sekali ketika mendengar ucapan yang nadanya amat mencela dan merendahkan ketua kuil itu!

Akan tetapi kakek itu bahkan tersenyum, lantas merangkap kedua tangan di depan dada, memejamkan kedua matanya dan berkata, "Omitohud..., terima kasih, nona. Makian dan celaan tadi sungguh terasa sebagai obat pelunak rasa perih karena penyesalan pinceng. Pinceng memang layak dimaki, bahkan pantas dipukul atau dibunuh kalau perlu. Pinceng akan menerimanya dengan senang hati sekali..."

Mendengar ini, Bi Lian segera menutup mulutnya dan memandang heran, juga bingung. Ia menoleh kepada Han Siong yang mengedipkan mata dan memberi isyarat kepadanya agar suka menahan diri. Karena Han Siong ingin sekali tahu ke mana perginya suhu dan subo-nya, maka dia pun kembali mendesak dengan hati-hati kepada kakek yang masih memejamkan kedua matanya itu.

"Lalu bagaimana kelanjutannya, losuhu?"

Kakek itu membuka matanya, masih tersenyum ketika memandang kepada Bi Lian, dan pandang matanya juga terlihat lembut, sama sekali tidak membayangkan kemarahan biar pun tadi dimaki dan ditegur dengan keras oleh gadis itu.

"Ketika engkau pergi meninggalkan kuil, hukuman mereka itu tinggal dua tiga tahun lagi, Han Siong. Akan tetapi pada suatu hari pinceng menyadari dan menginsyafi dosa yang pinceng lakukan. Sayang kesadaran itu timbul sesudah pinceng begini tua. Pinceng lalu memanggil mereka, membebaskan mereka dari sisa hukuman itu dan di hadapan mereka pinceng mengakui semua dosa pinceng serta menyatakan bahwa pinceng telah menjatuhi hukuman pada diri pinceng sendiri dengan hukuman kurungan di kamar ini sampai mati"

"Ahhh...!" Han Siong berseru dan tercengang, akan tetapi Bi Lian bersungut-sungut.

"Hemm, masih terlalu ringan! Mereka yang tak berdosa harus menjalani hukuman selama hampir dua puluh tahun! Kalau losuhu, melihat usia losuhu yang sudah tua sekali, tentu hanya tinggal beberapa tahun saja..."

"Sumoi...!" kembali Hong Siong menegur gadis itu.

Kakek itu tersenyum lagi dan mengangkat tangannya. "Biarkan saja, Han Siong! Pinceng malah girang sebab gadis ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng. Sungguh selama ini pinceng merasa menyesal sekali, apa lagi ketika dikeluarkan dari sini, mereka berdua itu sama sekali tidak mengutuk pinceng. Sebab itu biarlah nona ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng...! Mereka memang tidak berdosa. Sesudah pinceng mendengar akan pengalaman mereka, ternyata mereka memang saling mencinta, sama-sama menderita dengan nasib yang hampir sama. Apakah dosa hubungan antara dua orang yang saling mencinta? Pinceng yang didorong nafsu iblis, nafsu binatang. Bahkan bukan mereka saja yang menderita, anak mereka yang tidak bersalah apa pun akhirnya ikut pula menderita akibat perbuatan pinceng yang kotor..."

"Anak mereka...? Ahh, suhu dan subo mempunyai anak, lantas bagaimana dengan anak mereka itu?" Kini Bi Lian bertanya sambil menatap tajam wajah Ceng Hok Hwesio yang masih tersenyum.

Mendengar ini, berdebar rasa hati Han Siong. Bi Lian bertanya tentang anak itu, tentang dirinya sendiri! Dan hwesio tua itu pun sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa yang bertanya itu adalah anak itu sendiri, anak dari dua orang hukuman itu!

Han Siong merasa serba salah. Tentu saja tak mungkin dia mencegah kakek itu bercerita atau melarang Bi Lian bertanya. Pertanyaan sudah diajukan dan dengan jantung berdebar penuh ketegangan Han Siong hanya dapat memandang dan mendengarkan, menunggu jawaban dari Ceng Hok Hwesio.

"Anak mereka itu? Ah, anak yang malang itu ikut pula menjadi korban dosa yang pinceng lakukan terhadap kedua orang tuanya. Anak itu perempuan dan karena mereka tidak ingin membiarkan anak mereka hidup dalam kurungan pula, mereka lalu menitipkan anak itu ke dusun di kaki gunung. Akan tetapi... Omitohud... semoga dosa pinceng dapat diampuni... anak itu kabarnya dilarikan oleh penjahat sesudah keluarga yang mereka titipi itu dibunuh penjahat..."

Bi Lian meloncat bangun berdiri dan wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak ketika dia membentak Ceng Hok Hwesio dengan pertanyaan yang mengejutkan hati kakek tua itu.

"Katakan! Siapa nama anak perempuan mereka itu? Hayo katakan, atau... demi Tuhan, kubunuh kau!"

"Sumoi...!" Han Siong juga bangkit berdiri, siap mencegah kalau sampai gadis itu benar-benar hendak membunuh ketua Siauw-lim-si itu.

Akan tetapi Ceng Hok Hwesio masih saja bersikap tenang dan tersenyum, seolah-olah dia memang mengharapkan ada orang yang membunuhnya untuk menghukum dosanya yang membuat dia terbenam dalam penderitaan karena penyesalan.

"Sungguh pinceng tidak tahu siapa namanya. Kalau engkau hendak membunuh pinceng, silakan, nona, pinceng tidak akan menghindarkan diri..., silakan...!"

"Sumoi...!" Han Siong kembali menegur.

Bi Lian yang masih pucat itu kini menoleh dan berhadapan dengan Han Siong. "Suheng engkau... engkau tentu tahu... anak... anak itu... dia... dia…?"

Sinar matanya penuh pertanyaan dan bibirnya gemetar, tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Tanpa suara pun Han Siong maklum apa yang menjadi dugaan hati gadis itu. Dia pun mengangguk.

"Benar, sumoi. Engkaulah anak itu... engkau adalah puteri suhu dan subo yang dititipkan kepada keluarga Cu itu..."

Bi Lian terbelalak, mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan tubuhnya sudah bergerak, didahului tangannya yang menyambar ke depan, menghantam ke arah ubun-ubun kepala Ceng Hok Hwesio yang masih duduk bersila dan tersenyum, memandang tanpa berkedip. Tetapi pukulan itu bertemu dengan tangan Han Siong yang lunak, yang sudah menangkis pukulan itu dan mendorong mundur tubuh Bi Lian.

"Sumoi, tenanglah. Apabila engkau membunuhnya, berarti engkau mengambil alih semua dosanya...! Jangan, Sumoi, demi Tuhan, jangan lakukan itu...!"

Bi Lian mencoba untuk meronta, namun Han Siong terus memegangi kedua lengannya. "Lepaskan, Suheng! Ia telah mencelakakan kedua orang tuaku, menyiksa ayah dan ibuku! Aku harus membunuhnya!"

"Omitohud... jadi nona ini adalah puteri mereka? Ya Tuhan, Han Siong lepaskan dia, biar dia membunuh pinceng. Omitohud... akhirnya hukuman yang adil datang. Lepaskan, biar dia membunuh pinceng. Anak baik, kau bunuhlah pinceng... kau bunuhlah pinceng..." Dan hwesio itu pun kini menangis terisak-isak sambil berbisik-bisik minta dibunuh.

Han Siong tetap mencegah Bi Lian, "Ingat, Sumoi, suhu dan subo, yaitu ayah dan ibumu, tentu akan marah dan berduka sekali jika mereka mendengar engkau membunuh losuhu ini. Mereka yang menerima hukuman itu saja tak pernah mencela, tidak pernah mengutuk. Setidaknya engkau harus bertanya dahulu kepada mereka. Mari, sumoi, mari kita temui ayah ibumu...”

"Ayah? Ibu? Di mana... di mana... mereka... ?" Gadis itu tergagap-gagap, kedua matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.

"Losuhu, tolong beri tahu, di mana adanya suhu dan subo kini?"

Dengan kepala tunduk, masih menangis, Ceng Hok Hwesio berkata, "Mereka... mereka... di Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas), di puncak Heng-tuan-san ujung timur... tapi… tapi... biarkan dia membunuhku dulu, Han Siong... aku mohon padamu, biarkan dia membunuh pinceng..."

Akan tetapi Han Siong tidak mempedulikan kakek itu, melainkan menarik tangan Bi Lian dan membawanya keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluh kesah dari kakek itu yang di antara tangisnya terus minta dibunuh, akan tetapi Han Siong tetap mengajak sumoi-nya keluar.

Di luar kamar mereka bertemu dengan banyak hwesio yang tadi terkejut mendengar jerit Bi Lian. Ketika mereka tiba di depan kamar, mereka mendengar tangis Ceng Hok Hwesio sehingga para hwesio ini tentu saja menjadi terkejut dan terheran akan tetapi tidak berani memasuki kamar yang dijadikan tempat hukuman atau pertapaan oleh ketua mereka itu.

Ketika para hwesio itu melihat seorang pemuda dan seorang gadis keluar dari kamar itu, tentu saja mereka segera menghadang dan bersikap penuh curiga. Akan tetapi Han Siong cepat memperkenalkan diri. "Para Suhu dan Suheng, apakah lupa kepadaku? Aku adalah Pek Han Siong..."

"Ahh, Han Siong...”

"Sute..."

Para hwesio itu kini mengenalnya, akan tetapi Han Siong tak ingin banyak bicara dengan mereka. Dia menggandeng tangan sumoi-nya dan berbisik, "Mari kita pergi, sumoi...!"

Dia pun mengajak sumoi-nya untuk meloncat dan beberapa kali berkelebat saja, mereka telah menghilang dalam kegelapan malam. Para hwesio hanya bisa memandang dengan mata terbelalak penuh kagum.

Mereka melanjutkan perjalanan dalam kegelapan malam, hanya diterangi sejuta bintang di langit. Karena perjalanan mendaki Pegunungan Heng-tuan-san merupakan perjalanan yang sulit dan berbahaya, maka mereka hanya berjalan perlahan-lahan. Tiba-tiba Bi Lian berhenti.

"Marilah, Sumoi..."

Akan tetapi Bi Lian tidak bergerak dan mencoba untuk menatap tajam wajah pemuda itu melalui kegelapan.

"Suheng..." Dari suaranya dapat diketahui bahwa gadis itu menahan tangisnya.

Semenjak keluar dari kuil tadi, hanya dengan kekerasan hatinya saja Bi Lian tidak sampai tersedu-sedu atau terisak-isak walau pun kedua matanya telah basah dan kadang-kadang ada air mata menetes ke atas pipinya. Pikirannya menjadi kacau tidak karuan.

Ia membayangkan mereka yang pernah dianggapnya sebagai ayah dan ibu kandungnya, yakni suami isteri Cu Pak Sun yang terbunuh oleh mendiang kedua orang gurunya yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Lalu dia membayangkan dan mencoba untuk mengingat-ingat wajah kedua orang yang menjadi gurunya, yang sering datang di waktu malam dan memberi bimbingan ilmu silat kepadanya.

Seorang pria yang gagah perkasa akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku, serta seorang wanita yang cantik jeilta akan tetapi wajahnya selalu pucat. Mereka begitu baik kepadanya, bahkan wanita yang menjadi subo-nya itu setiap kali datang dan pergi selalu mencium kedua pipinya dan pria berlengan buntung sebelah yang menjadi suhu-nya itu selalu mengelus-elus kepalanya penuh kasih sayang! Jadi mereka itu adalah ayah dan ibu kandungnya!

"Ya? Ada apa, Sumoi?" Han Siong bertanya, hatinya tidak enak karena tadi dia berkeras melarang sumoi-nya membunuh Ceng Hok Hwesio.

"Suheng, katakan terus terang, apakah selama ini, sejak pertemuan pertama antara kita, engkau sudah tahu siapa diriku?"

Han Siong mengangguk, akan tetapi cepat-cepat menjawab setelah teringat bahwa cuaca gelap dan belum tentu anggukannya kelihatan oleh gadis itu. "Aku tahu, Sumoi. Suhu dan subo telah memberi tahu kepadaku siapa namamu, yaitu Bi Lian dan menggunakan nama keluarga Cu. Ketahuilah, Sumoi. Aku memang diutus oleh suhu dan subo untuk mencari engkau. Selama dua tahun aku mengembara, tidak tahu harus mencari ke mana sampai pada hari itu kita kebetulan saling berjumpa dan begitu melihat, aku... aku sudah merasa tegang karena wajahmu mirip sekali dengan wajah subo. Sesudah mendengar namamu, maka aku menjadi yakin."

"Tapi, kenapa kau diam saja, suheng? Kenapa kau tidak memberi tahu kepadaku bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung mereka?"

"Aku khawatir engkau tidak percaya, Sumoi. Maksudku hendak membawamu menghadap mereka dan biarlah engkau mendengar dari mereka sendiri. Tidak kusangka kita bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio sehingga rahasia itu kau ketahui...”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Karena Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) itu berada di puncak paling ujung dan perjalanan dilakukan secara lambat, dan setelah terang tanah mereka baru dapat melanjutkan perjalanan dengan cepat, maka pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di lembah itu.

Tidak sukar mencari suami isteri itu sesudah mereka berdua tiba di lembah, karena baru saja mereka memasuki lembah yang nampak subur itu, mereka melihat dua titik hitam dari atas depan yang makin lama menjadi makin besar dan akhirnya nampak dua sosok tubuh manusia berlari cepat menyongsong mereka.

Tanpa disadari, tangan Bi Lian mencari kemudian memegang lengan kanan Han Siong. Pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan gadis itu dingin dan gemetar .

Seperti yang diduganya, setelah tiba di depannya, dua sosok tubuh itu bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu! Mereka menyongsong sambil tersenyum gembira dan dari jauh Siangkoan Ci Kang sudah berseru,

"Heiiii..., bukankah itu engkau, Han Siong...?"

Ketika mereka sudah berhadapan, Toan Hui Cu tersenyum. "Kami sudah menduga bahwa yang datang tentu engkau..." Mendadak dia berhenti dan matanya terbelalak mengamati wajah Bi Lian.

Juga Siangkoan Ci Kang tiba-tiba saja memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat, suaranya gemetar ketika dia berkata, "Han Siong, ini... dia ini..."

Seperti besi terbetot besi sembrani Toan Hui Cu melangkah maju menghampiri, "...kau... kau..." Dia tidak mampu melanjutkan karena takut kalau-kalau dia salah kira.

Akan tetapi suaminya berteriak, "Pasti dia! Wajahnya itu... ahh, serupa benar denganmu, Hui Cu. Dia Bi Lian...!"

"Kau... kau benar Bi Lian...?” Dengan suara bercampur isak Toan Hui Cu berkata, kedua lengannya dikembangkan.

Sejak tadi Bi Lian sudah memandang kedua orang itu dengan air mata bercucuran dan kini dia tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia lari menubruk Toan Hui Cu dan dirangkulnya wanita itu.

"Ibuuuuu..., engkau ibuku...!"

"Bi Lian anakku... ahh, Bi Lian...!"

Kedua ibu dan anak itu saling berangkulan, kemudian Hui Cu mendekap puterinya sambil tersedu-sedu.

"Bi Lian... ya Tuhan, syukurlah engkau selamat dan dapat bertemu kembali dengan kami, anakku..."

Bi Lian melepaskan rangkulan ibunya, lalu lari menubruk kaki ayahnya.

"Ayaahhh...!”

"Anakku...!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang membelai kepala gadis itu. Pria yang sakti dan gagah perkasa ini tidak mampu menahan basahnya kedua matanya. Hui Cu merangkul lagi puterinya dan mereka bertiga saling berangkulan dalam suasana yang penuh keharuan dan kebahagiaan.

Kemudian Siangkoan Ci Kang menghampiri Han Siong yang semenjak tadi juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subo-nya dan hanya memandang pertemuan itu dengan mulut tersenyum sambil menahan keharuan hatinya yang merasa ikut bahagia. Siangkoan Ci Kang yang lengan kirinya buntung itu menyentuh kepala muridnya dengan penuh perasaan syukur dan berterima kasih.

“Syukur bahwa engkau berhasil menemukan anak kami, Han Siong."

Toan Hui Cu sekarang bangkit berdiri sambil merangkul pinggang puterinya yang ramping. "Kami amat berterima kasih kepadamu, Han Siong. Tidak percuma kami mendidik dengan susah payah padamu selama ini, ternyata engkau berhasil membawa pulang Bi Lian."

"Pertemuan antara teecu dan sumoi hanya kebetulan saja, Suhu dan Subo. Kami berdua sama-sama menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo."

"Ahh…! Jadi iblis itu malah mengusahakan pemberontakan?" Suami isteri itu bertanya.

Tentu saja mereka berdua mengenal Lam-hai Giam-lo, pemimpin pemberontak itu karena Lam-hai Giam-lo pernah melarikan diri dari para musuhnya yang sangat lihai, menyamar sebagai hwesio dan bersembunyi di dalam kuil Siauw-lim-si pimpinan Ceng Hok Hwesio di mana mereka menjadi dua orang hukuman. Lam-hai Giam-lo menyamar sebagai seorang tukang sapu yang gagu dan berkat suami isteri yang sakti ini pula iblis itu dapat diusir dari kuil.

"Ibu dan ayah... mengapa ibu dan ayah begitu... nakal terhadap diriku? Ayah dan ibu dulu memberikan aku kepada keluarga Cu! Apakah ayah dan ibu malu mengakui aku sebagai anak?" Dengan merengut manja gadis itu bertanya sambil merangkul ibunya. Suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum lebar.

"Hai, Han Siong! Bagaimana Bi Lian begitu berjumpa dengan kami segera tahu bahwa dia adalah puteri kami? Apakah engkau sudah menceritakan kepadanya?" Ibu gadis itu malah balik mengajukan pertanyaan ini kepada Han Siong sebelum dapat menjawab pertanyaan puterinya.

Siangkoan Ci Kang tertawa, "Ha-ha-ha, hujan pertanyaan yang menuntut jawaban! Mari kita pulang dan kita bicara sejelasnya di dalam pondok. Kita masing-masing diharuskan menceritakan segalanya secara panjang lebar supaya tidak ada lagi rasa penasaran yang menyelinap di dalam hati. Sabarlah, anakku, sebentar lagi engkau pasti akan mendengar semua jawaban atas pertanyaanmu."

Dara itu berjalan di tengah digandeng oleh ayah ibunya, dan Han Siong mengikuti mereka dari belakang, diam-diam hatinya merasa tegang karena masih ada satu hal yang belum terpecahkan dan yang masih menggoda perasaan hatinya. Dia meraba gagang pedang Kwan-im-kiam yang tergantung di pinggangnya.

Pedang pusaka itu pemberian kedua orang gurunya, bukan hanya sebagai hadiah guru kepada muridnya, melainkan terutama sekali sebagai tanda bahwa dia sudah dijodohkan dengan Bi Lian. Dahulu hatinya merasa ragu-ragu mengenai ikatan jodoh ini, akan tetapi dia tidak berani menolak karena dia merasa hutang budi besar sekali kepada kedua orang gurunya. Akan tetapi sekarang, setelah dia berjumpa dengan gadis itu, tidak perlu ditanya untuk kedua kalinya, hatinya sudah seratus persen menerima dan setuju untuk menjadi calon suami Bi Lian! Begitu bertemu, dia sudah langsung jatuh hati.

Yang membuat hatinya merasa tidak enak, tegang dan bimbang adalah karena dia belum dapat menduga bagaimana nanti tanggapan atau pendapat gadis itu apa bila mendengar bahwa dia dijodohkan dengan suheng-nya! Selama bergaul dengan Bi Lian, dia sungguh harus mengakui bahwa dia bingung dan tidak dapat menduga bagaimana perasaan gadis itu terhadap dirinya.

Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 05

Kui Hong lantas melakukan persiapan untuk bertanding melawan pemuda yang cerdik itu. Kecerdikan harus dihadapi dengan kecerdikan, kelicikan harus dilawan dengan kelicikan pula, pikir gadis yang cerdik ini.

Tidak lama kemudian kedua orang muda itu sudah berada di tengah panggung dan saling berhadapan. Apa bila Tang Cun Sek berdiri dengan gagahnya, dengan pakaian baru yang bersih, berwarna serba hijau yang menjadi warna kesukaan pemuda ini, dengan kedua tangan memegang sebatang mouw-pit yang bulu-bulunya telah dibasahi dengan tinta bak, Kui Hong berdiri tegak dengan senyum mengejek dan hanya tangan kanannya saja yang memegang sebatang mouw-pit, sedangkan tangan kirinya kosong tidak memegang apa pun, bahkan bertolak pinggang.

Para tamu serta para anggota Cin-ling-pai menyambut mereka dengan tepuk tangan dan dengan hati berdebar tegang. Tentu saja keinginan kakek Cia Kong Liang yang hendak menjodohkan Cun Sek dengan Kui Hong sudah bocor hingga diketahui kebanyakan murid Cin-ling-pai, maka kini mereka semua memandang penuh perhatian.

Harus mereka akui bahwa kedua orang yang kini saling berhadapan sebagai calon lawan itu, keduanya calon ketua Cin-ling-pai yang kuat, memang serasi sekali. Dalam pakaian barunya, Cun Sek nampak ganteng dan gagah perkasa, wajahnya yang berkulit putih itu tampan sekali. Sebaliknya, Kui Hong juga nampak cantik jelita dan gagah perkasa, apa lagi dia tersenyum-senyum manis.

Melihat betapa Kui Hong hanya membawa sebuah mouw-pit saja pada tangan kanannya, terdengar Ceng Sui Cin, ibunya, berseru, "Kui Hong, engkau juga harus memegang dua buah mouw-pit seperti Cun Sek!"

Akan tetapi Kui Hong menengok ke arah ibunya dan berkata lantang sehingga terdengar oleh semua orang, "Tidak perlu, Ibu. Sebuah mouw-pit saja sudah cukup!"

Melihat dan mendengar ini, Cun Sek merasa tidak enak sekali, merasa dipandang rendah oleh gadis itu. Dia pun cukup maklum bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, tidak boleh disamakan dengan Gouw Kian Sun tadi. Dia telah melihat ketika gadis itu berlatih silat dikeroyok oleh lima orang suheng-nya, tetapi gadis itu masih tetap unggul. Karena itu, biar dia merasa dipandang rendah, dia tidak berani mengurangi mouw-pitnya.

Dia harus dapat menundukkan gadis ini, harus mampu mengalahkannya, karena dengan demikian, bukan saja dia akan dapat menjadi ketua Cin-ling-pai di mana dia memperoleh kekuasaan dan nama besar, namun juga besar harapannya untuk dapat mempersunting gadis yang diidamkannya itu. Akan tetapi, untuk menutupi perasaan tak enak itu, dia pun berkata dengan sikap sopan.

"Suci, harap Suci suka mempergunakan dua buah mouw-pit sungguh pun dengan sebuah mouw-pit saja, tentu saya tidak akan mampu mengalahkan Suci (kakak seperguruan),"

Kui Hong tersenyum. Memang pemuda ini pandai membawa diri. Meski pun pemuda ini jauh lebih tua darinya, akan tetapi menyebutnya ‘suci’ sebagai tanda bahwa pemuda itu mengakuinya sebagai kakak seperguruan karena memang tentu saja Kui Hong lebih dulu menjadi murid Cin-ling-pai. Hal ini saja sudah menunjukkan kerendahan hati.

Akan tetapi Kui Hong tidak hanya mendengarkan ucapan yang sopan itu, melainkan lebih memperhatikan sinar mata pemuda itu. Sinar mata itu mencorong dan sama sekali tidak menunjukkan kerendahan hati, melainkan mengandung penuh kecerdikan dan kelicikan. Dia hanya berpura-pura, pikirnya, hanya beraksi seperti pemain sandiwara yang ulung. Ia berhadapan dengan seorang yang lihai dan berbahaya sekali, maka dia haruslah berhati-hati, pikir Kui Hong.

"Sudahlah, saudara Tang Cun Sek, tidak perlu bersungkan-sungkan. Aku lebih senang mempergunakan sebatang mouw-pit saja, engkau boleh menggunakan dua batang atau lebih kalau kau kehendaki!"

Wajah Cun Sek menjadi merah. Bagaimana pun juga gadis ini terlampau sombong dan memandang rendah kepadanya. Untuk memenangkan hati gadis seperti ini, lebih dahulu harus menundukkan kesombongannya dengan cara mengalahkannya, barulah akan ada harapan untuk menundukkan hatinya, pikir pemuda yang sudah banyak pengalamannya dalam mengenal watak wanita ini.

"Baiklah, Suci, jika engkau memang menghendaki demikian. Marilah, silakan Suci mulai, saya sudah siap melayanimu, Suci!"

Kui Hong tersenyum lagi. Tentu saja dia maklum akan akal ini yang mempersilakan agar dia menyerang lebih dulu dan hal ini berarti bahwa kedudukannya akan lebih lemah.

"Lihat seranganku!" bentaknya, kemudian dia pun segera menyerang dengan kecepatan kilat, tangan kirinya yang tidak bersenjata itu menampar ke arah kepala pemuda itu dari samping, disusul tangan kanannya yang menotokkan mouw-pitnya ke arah dada.

Meski pun serangan dengan sebuah jurus Thai-kek Sin-kun yang sudah amat dikenal oleh Cun Sek, akan tetapi karena serangan itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa serta mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, Cun Sek cepat mengelak sambil meloncat ke belakang, lalu kembali maju dari samping untuk membalas serangan gadis itu dengan totokan dua mouw-pitnya dari kanan kiri. Kui Hong harus mengakui kelincahan lawannya yang dapat demikian cepatnya melakukan serangan balasan. Namun dia pun mengelak dan menyerang lagi.

Terjadilah serang menyerang yang amat seru, lebih seru dari pada pertandingan pertama tadi karena sekarang keduanya mengerahkan seluruh kecepatan gerakan mereka hingga tubuh mereka lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan hijau dan bayangan merah dan biru dari pakaian Kui Hong. Mereka berdua saling desak, kadang-kadang mengubah ilmu silat mereka yang segera dikembari oleh lawan.

Mau tak mau Tang Cun Sek harus mengakui dalam hatinya bahwa gadis ini benar-benar amat berbahaya. Meski pun mouw-pitnya hanya sebuah saja, tapi tangan kanan gadis itu menyambar-nyambar mengancam seluruh tubuhnya dengan totokan-totokan yang dapat membuatnya lumpuh!

Dia harus mengakui bahwa dia masih kalah oleh Kui Hong di dalam hal kecepatan, juga dalam ilmu silat kalah matang karena tentu saja gadis itu lebih mahir memainkan ilmu silat nenek moyangnya. Hanya dalam hal tenaga sinkang saja dia masih mampu mengimbangi kekuatan Kui Hong.

Karena memang kalah cepat, maka walau pun dia memegang dua batang mouw-pit dan gadis itu hanya memegang sebatang, dalam waktu singkat saja sudah ada lima goresan hitam pada bajunya, sedangkan dia hanya baru dapat menggores sebanyak dua kali, itu pun di ujung baju Kui Hong. Kalau diteruskan seperti ini, tentu dia akan kalah! Padahal dia harus dapat mengalahkan gadis ini. Harus! Kalau dia tidak dapat mengalahkannya, berarti akan sia-sia belaka usahanya selama empat tahun ini.

Mulailah Cun Sek mempergunakan akalnya yang tadi telah membuat dia berhasil menang dengan mudah dari Gouw Kian Sun, yaitu dengan jalan menggetarkan dua ujung mouw-pitnya sehingga tinta dari bulu-bulu mouw-pit di kedua tangannya memercik dan mengenai pakaian Kui Hong! Dalam satu kali serangan saja dengan kedua batang mouw-pit, walau pun kedua mouw-pit itu tidak dapat menyentuh baju Kui Hong, namun dari percikan tinta itu baju Kui Hong ternoda lebih dari lima tempat!

Memang inilah saat yang dinanti-nanti oleh Kui Hong. Dia sama sekali tak menjadi marah ketika melihat pemuda itu sudah mulai menjalankan siasatnya yang licik. Dia pun segera menggerakkan tangan kirinya ke dalam saku bajunya dan mengeluarkan sebotol tinta bak! Dan sekarang dia pun menggetar-getarkan ujung mouw-pitnya yang hanya sebatang itu, setelah mencelupnya ke dalam botol tinta bak yang sudah dia buka tutupnya.

Tentu saja bulu mouw-pit yang basah itu lebih mudah memercik, bahkan bisa sampai jauh sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, kini banyak sekali noda-noda hitam menghias baju Cun Sek! Pemuda ini terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa gadis itu menyembunyikan sebotol tinta bak di saku bajunya. Kiranya gadis itu memang telah siap siaga dan pantas saja hanya menggunakan sebatang mouw-pit, kiranya tangan kiri memang dipersiapkan untuk memegangi botol penuh tinta itu!

Dia berusaha untuk menggetarkan kedua mouw-pitnya agar lebih banyak lagi pakaian Kui Hong terkena percikan tinta. Akan tetapi betapa pun juga perang percikan tinta ini tentu saja dimenangkan oleh Kui Hong yang mouw-pitnya selalu basah, sedangkan sepasang mouw-pit di tangan Cun Sek mulai kering!

Pakaian Cun Sek sudah penuh noda hitam, dua atau tiga kali lipat lebih banyak dari pada noda pada pakaian Kui Hong. Pemuda itu menjadi gugup dan mendongkol bukan main.

Pada waktu Cia Kong Liang menyerukan agar pertandingan dihentikan karena hio sudah terbakar habis, Kui Hong lantas menyiramkan seluruh sisa tinta bak itu kepada lawannya. Cun Sek mencoba untuk mengelak, namun tetap saja sebagian muka, leher dan dadanya berlepotan tinta hitam!

Kemarahan Cun Sek membuat dia lupa diri, lupa akan topeng sopan santun yang selama empat tahun ini dikenakan pada mukanya. Dengan mata melotot dia memandang kepada Kui Hong, lantas menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka gadis itu sambil membentak marah, suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Engkau... engkau... gadis curang! Engkau telah bertindak licik dan curang! Engkau gadis kurang ajar!"

Kui Hong tersenyum mengejek dan begitu kedua tangannya bergerak, tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu di tangan kanan dan kirinya sudah nampak sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam!

"Benarkah itu?" jawabnya mengejek. "Aku curang dan licik sedangkan engkau bersih dan jujur, ya? Apa yang kau lakukan ketika engkau melawan susiok Gouw Kian Sun tadi? Apa pula yang kau lakukan kepadaku tadi ketika engkau mulai kalah? Engkau yang curang dan licik semenjak melawan susiok, aku hanya mengimbangimu saja! Sekarang kau mau apa? Kalau tidak terima, boleh kita mencoba dengan senjata, siapa yang lebih unggul di antara kita!" Setelah berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan sepasang pedangnya, membuat kuda-kuda dan gerakan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam yang amat dahsyat.

Melihat ini Cun Sek menjadi semakin marah. "Kau berani menggunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai? Calon ketua macam apa kau ini?"

Kembali Kui Hong tersenyum mengejek, dalam hatinya amat girang sebab pancingannya mengena. "Ahai...! Manusia tidak tahu diri! Engkau bilang aku mempergunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai? Kau kira ilmu silat yang kau mainkan itu ilmu Cin-ling-pai murni? Hemmm, bocah sombong! Aku adalah keturunan ketua Cin-ling-pai, aku mempelajari ilmu silat Cin-ling-pai sejak kecil! Aku jauh lebih mahir dalam ilmu silat Cin-ling-pai dari pada engkau yang baru empat tahun belajar di sini. Aku memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam untuk menunjukkan kepadamu bahwa bukan hanya engkau seorang yang mahir ilmu-ilmu silat lain. Sekarang engkau mengajak bertanding dengan apa pun, akan kulayani! Dengan ilmu silat Cin-ling-pai yang asli tanpa kau campur-campur seperti cap-jai? Atau dengan ilmu silat lain? Aku siap! Hayo lekas keluarkan senjatamu!"

Metihat keributan itu, para tamu dan semua murid Cin-ling-pai memandang dengan hati tegang, tidak ada yang berani mengeluarkan suara atau mencampuri. Cia Hui Song dan isterinya saling pandang dan bersikap tenang, pura-pura tidak tahu saja.

Meski pun tidak membenci Tang Cun Sek yang pandai membawa diri dan menyenangkan hati, tapi suami isteri ini juga tidak tertarik atau suka sekali kepada pemuda yang mereka anggap penuh rahasia itu. Mereka pun telah melihat kecurangan yang dilakukan pemuda itu tadi terhadap Gouw Kian Sun, maka pembalasan yang dilakukan puteri mereka tidak membuat mereka menjadi marah. Akan tetapi, ketika melihat betapa ayahnya marah, Cia Hui Song menjadi tak enak hati dan dia pun ikut berdiri ketika ayahnya bangkit berdiri.

"Kalian hentikan keributan itu!" bentak Cia Kong Liang kepada mereka.

"Kui Hong, mundurlah engkau!" Cia Hui Song juga melanjutkan seruan ayahnya.

Mendengar seruan kedua orang tua itu, Kui Hong menggerakkan pundaknya kemudian memandang kepada Tang Cun Sek dengan sikap mengejek dan berkata, "Ahh, sungguh sayang kongkong dan ayah melarangku. Untung bagimu tidak sampai berkenalan dengan sepasang pedangku Penakluk Iblis ini!" Dia pun lantas menyarungkan kembali sepasang pedangnya.

Wajah Cun Sek akan terlihat merah padam kalau saja sebagian tidak tertutup tinta hitam. Dia maklum bahwa dirinya telah menjadi bulan-bulan penghinaan dan dipermainkan oleh Kui Hong di hadapan banyak orang. Kalau dia nekat berusaha membalas dan menyerang gadis itu, selain belum tentu dia menang, juga tentu semua orang akan membela dara itu. Maka dia pun membalikkan tubuhnya, menghadapi Cia Kong Liang dan memberi hormat lalu berkata pendek,

"Teecu hendak membersihkan noda hitam dan bertukar pakaian!" Dan tanpa menunggu jawaban, dia pun melompat turun dari atas panggung lalu berkelebat cepat menghilang, menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

Kini banyak di antara para murid Cin-ling-pai yang berbalik pilihan. Tadinya mereka yang memilih Tang Cun Sek sebagai calon ketua adalah para murid yang merasa tertarik dan suka kepada murid baru ltu yang menjanjikan akan mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi, lebih tinggi dari pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai kalau dia menjadi ketua.

Para murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang berjiwa gagah. Mereka memang senang sekali mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, namun mereka paling membenci perbuatan yang licik dan curang. Kini mereka semua mendengar betapa Cia Kui Hong membongkar rahasia kecurangan pemuda itu ketika tadi melawan Gouw Kian Sun, maka mereka pun mulai tak suka kepada pemuda itu dan pilihan mereka sekarang ditujukan kepada Cia Kui Hong.

"Hidup nona Cia Kui Hong!"

"Dia ketua baru yang paling tepat!"

Mereka bersorak-sorak sehingga kakek Cia Kong Liang tak dapat membantah lagi karena dalam pertandingan tadi Kui Hong memang telah mendapatkan kemenangan mutlak. Dia tidak menyangka bahwa gadis itu mau mencalonkan diri menjadi ketua, dan tidak mengira gadis itu tidak tertarik kepada Cun Sek, bahkan menentangnya.

Diam-diam dia merasa heran. Cun Sek demikian baiknya, mengapa tidak mendapatkan dukungan? Dia lalu menarik napas panjang dan hanya mengangguk-angguk ketika para anggota juri menghadap padanya, termasuk puteranya sendiri, untuk menyatakan bahwa yang keluar sebagai pemenang dalam pemilihan ketua baru itu adalah Cia Kui Hong.

"Sudahlah, memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Cin-ling-pai harus mempunyai seorang ketua wanita, cucuku sendiri, Cia Kui Hong!"

Para murid Cin-ling-pai menyambut dengan tepuk tangan dan sorak gembira ketika ketua mereka, Cia Hui Song, berdiri di atas panggung sambil mengumumkan bahwa ketua baru yang akan menggantikan dia adalah puterinya sendiri, Cia Kui Hong yang keluar sebagai pemenang. Cia Hui Song juga minta kepada para undangan untuk menjadi saksi bahwa sekarang Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang ketua baru, yaitu nona Cia Kui Hong!

Untuk diperkenalkan kepada para tamu, Kui Hong dipanggil ayahnya untuk tampil di atas panggung. Dengan pakaian masih berlepotan tanda-tanda hitam Kui Hong menghampiri ayahnya di atas panggung, disambut tepuk tangan meriah oleh para anggota Cin-ling-pai.

Pada saat itu pula, seorang murid yang tadi diutus oleh Cia Kong Liang untuk memanggil Tang Cun Sek supaya hadir dalam pengangkatan ketua baru itu, karena kakek ini masih mengharapkan agar pemuda itu dapat menjadi wakil ketua atau pembantu ketua supaya dapat mendekatkan antara pemuda itu dengan cucunya, datang melapor dengan suara keras bahwa Tang Cun Sek tidak berada di dalam kamarnya, bahkan semua pakaiannya juga tidak ada!

"Dia... dia berani minggat...?!” Kakek itu berseru marah, lantas menjatuhkan diri terduduk di atas kursi, wajahnya agak pucat dan dia pun mengeluh, "... ahhh, apakah semua yang kulakukan selalu salah belaka?"

Kui Hong cepat-cepat berlutut di dekat kakeknya. "Kongkong, sebenarnya kongkong tidak bersalah. Kongkong berniat baik sekali, demi untuk kemajuan Cin-ling-pai atau pun untuk mencarikan jodoh bagiku. Namun Kongkong tertipu oleh topeng domba yang digunakan seekor serigala. Naluri kewanitaanku lebih peka, Kongkong, sehingga di dalam pertemuan pertama itu pun aku sudah merasa tidak suka kepadanya. Dia pandai membawa diri dan mengambil hati sehingga bukan Kongkong saja yang terpikat, bahkan ayah ibu dan para saudara Cin-ling-pai tidak ada yang menyangka bahwa dia adalah seorang yang berhati palsu. Sudahlah, tak perlu disesalkan lagi, Kongkong, yang penting kita masih untung bisa menyelamatkan Cin-ling-pai dari tangan orang luar yang tidak mempunyai itikad baik!”

Wajah kakek itu nampak berduka sekali. "Ahh, akan tetapi pedang pusaka Hong-cu-kiam telah kuberikan kepadanya dan kini dibawa pergi... "

"Biarlah, kelak akulah yang akan mencarinya untuk merampas kembali Hong-cu-kiam dari tangannya, kemudian membunuh dia karena sudah berani menipumu, Kongkong. Harap Kongkong tidak berduka, karena bukan kita saja yang tertipu oleh muka manis dan sikap yang baik. Bahkan kakek dan nenek di Pulau Teratai Merah yang demikian lihainya masih dapat kebobolan dan juga kemasukan orang jahat yang berhasil mewarisi ilmu-ilmu Pulau Teratai Merah bahkan juga telah minggat dan melarikan pusaka Gin-hwa-kiam dari sana."

Dengan singkat gadis itu lalu bercerita tentang Sim Ki Liong, keturunan musuh besar yang berhasil menyelundup ke Pulau Teratai Merah dan diterima menjadi murid oleh Pendekar Sadis dan isterinya! Memang ada hasilnya cerita itu bagi kakek Cia Kong Liang. Agaknya terhibur juga hatinya mendengar betapa suami isteri yang demikian sakti seperti Pendekar Sadis dan isterinya dapat pula dikelabui oleh muka manis.

Setelah pesta pemilihan ketua itu selesai dan para tamu pulang dengan membawa cerita menarik dan kesan mendalam tentang pemilihan yang ricuh itu, Cia Kui Hong menerima kedudukan sebagai ketua Cin-ling-pai secara resmi. Kakeknya sendiri yang memimpinnya untuk bersumpah setia kepada Cin-ling-pai dan dalam kesempatan ini, Kui Hong dengan resmi pula mengangkat susiok-nya, Gouw Kian Sun menjadi wakil ketua dan mewakilinya dalam semua urusan kalau dia sedang tidak berada di Cin-ling-pai.

"Sebenarnya jiwaku tidak banyak bedanya dengan ayah dan ibu," katanya kepada kedua orang tuanya itu, juga di depan kakeknya. "Aku senang merantau dan tidak betah untuk tinggal di sini, dipusingkan dengan urusan perkumpulan. Aku melihat bahwa susiok lebih tepat untuk menjadi ketua, malah susiok pula yang selama ini mengurus Cin-ling-pai pada saat ayah tidak aktip. Tetapi karena dalam pemilihan itu terpaksa aku harus turun tangan demi menyelamatkan Cin-ling-pai kemudian terpilih menjadi ketua, maka biarlah aku akan bertanggung jawab. Namun, untuk dapat mengurusnya dengan baik dan untuk kemajuan Cin-ling-pai, maka aku wakilkan kepada susiok Gouw Kian Sun!"

Tidak ada yang menentang pendapat dan keputusan ini. Nama Gouw Kian Sun memang merupakan nama yang cukup berwibawa dan juga disukai oleh para anggota Cin-ling-pai. Mereka yang tadinya mendukung Tang Cun Sek adalah karena terpikat oleh janji muluk-muluk dari pemuda itu dan kini mereka yang tadinya mendukung, berbalik menjadi benci kepada pemuda itu yang ternyata di samping curang dan licik, juga pengecut tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya malah melarikan diri tanpa pamit!

Tentu saja Gouw Kian Sun girang sekali karena dia memang seorang murid Cin-ling-pai yang sangat mencintai perkumpulan itu. Seolah-olah seluruh hidupnya tergantung kepada perkumpulan Cin-ling-pai di mana dia dibesarkan, di mana dia tinggal dan mengalami suka duka dalam hidupnya.

Sampai berusia empat puluh tahun, Gouw Kian Sun masih saja hidup membujang belum menikah. Dan sekarang, sebagai seorang wakil ketua tentu saja dia dapat mencurahkan segenap kemampuannya untuk memajukan Cin-ling-pai dan di bawah pimpinannya, dapat diharapkan Cin-ling-pai akan mengalami perubahan dan kemajuan pesat.

Sesudah Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai, dia merundingkan dengan susiok-nya yang menjadi wakil ketua, minta nasehat dari ayah ibunya dan juga dari kakeknya, lalu mulai mengadakan perubahan-perubahan kepada perkumpulan mereka itu. Pengalaman pahit dengan menyelundupnya Tang Cun Sek menjadi peringatan bagi mereka semua supaya lebih berhati-hati.

Sebulan setelah itu, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, meninggalkan Cin-ling-san untuk melakukan perjalanan ke Pulau Teratai Merah di wilayah selatan. Pertama untuk mengunjungi ayah ibu Ceng Sui Cin, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong, dan ke dua untuk merayakan kembali kedamaian yang mereka dapatkan setelah Kui Hong pulang ke Cin-ling-san.

Tidak lama kemudian, sesudah melihat bahwa keadaan perkumpulan Cin-ling-pai mulai teratur dengan baik di bawah pimpinan Gouw Kian Sun sebagai wakil ketua, Kui Hong sendiri lalu berpamit dari kakeknya untuk pergi merantau. Kakek Cia Kong Liang tak dapat menahan cucunya, apa lagi karena cucunya ingin memenuhi janjinya untuk mencari Tang Cun Sek, merampas kembali Hong-cu-kiam dan menghukum murid murtad itu.

Sejak peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai itu, yaitu beberapa peristiwa susul-menyusul yang mendatangkan banyak guncangan batin baginya, kakek Cia Kong Liang tidak lagi menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Kini dia keluar dan menyumbangkan tenaganya untuk menjadi penasehat bagi muridnya, Gouw Kian Sun yang sekarang menjadi ketua.

Dan banyak perubahan terjadi pada dirinya yang sudah banyak mengalami kekecewaan itu. Dia menjadi seorang yang penyabar sekali, pandangannya menjadi luas dan dalam karena dia mulai menghilangkan rasa keakuannya yang dahulu sangat besar dan kuat itu. Kekerasan watak kakek itu kini hampir lenyap, terganti kesabaran dan kewaspadaan yang mengagumkan.

Kekerasan watak manusia memang dibentuk oleh besarnya rasa keakuan. Pikiran akan menciptakan gambaran tentang diri sendiri, sedemikian besar dan agungnya sehingga diri sendiri selalu benar, selalu tepat, selalu baik dan semua ini akan membentuk kekerasan karena merasa benar sendiri.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dua bayangan yang berkelebat di luar kuil Siauw-lim-si itu bergerak amat cepatnya. Kuil itu sendiri memang berdiri di tempat yang sunyi, kurang lebih sepuluh kilometer di luar kota Yu-shu, di tepi Sungai Cin-sha antara Pegunungan Heng-tuan-san di Propinsi Cing-hai selatan. Kuil itu merupakan kuil kuno yang cukup besar, dengan pekarangan depan yang amat luas dan bagian belakang kuil juga merupakan kebun yang luas, di mana para hwesio kuil itu menanam sayur-sayuran.

Kepala kuil Siauw-lim-si itu bernama Ceng Hok Hwesio, seorang pendeta yang usianya telah lanjut, sekitar tujuh puluh tiga tahun. Hwesio tua ini memiliki tubuh yang tinggi besar dan mukanya agak kehitaman. Dia terkenal sebagai seorang hwesio yang berilmu tinggi, berwatak jujur dan berdisiplin, karena itu Ceng Hok Hwesio nampak keras.

Karena kedisiplinan ketuanya, maka semua hwesio yang tinggal di kuil itu pun merupakan pendeta-pendeta yang berdisiplin pula. Hal ini terbukti dari adanya penjagaan yang ketat di sekeliling kuil itu dan pada setiap sudut terdapat hwesio yang berjaga, bahkan ada pula yang meronda di malam yang dingin sekali itu.

Siapakah dua bayangan yang berkelebat laksana dua ekor burung dengan gerakan yang luar biasa cepatnya itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis.

Pemuda itu berusia dua puluh dua tahun, bertubuh sedang akan tetapi dadanya bidang dan tegap. Wajahnya yang bulat berkulit putih membuat alisnya yang tebal nampak hitam sekali, matanya agak sipit dengan sinar yang terang. Sebuah wajah yang tampan disertai sikap yang lembut dan tenang membayangkan kegagahan. Pakaiannya sederhana saja, rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut dari sutera biru. Pemuda itu bernama Pek Han Siong, keturunan dari keluarga para pimpinan perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di daerah Kong-goan Propinsi Secuan.

Perkumpulan ini adalah perkumpulan atau perguruan silat yang gagah perkasa. Keluarga Pek ini secara turun temurun merupakan ketua dari Pek-sim-pang, bahkan ketua pertama dari perkumpulan ini yang bernama Pek Khun merupakan pendiri Pek-sim-pang. Mendiang Pek Khun adalah seorang ahli silat aliran Siauw-lim-pai, oleh karena itu mudahlah diduga bahwa Pek-sim-pang merupakan sebuah perguruan silat yang sumbernya dari ilmu silat Siauw-lim-pai.

Mendiang Pek Khun lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Pek Ki Bu, kemudian putera Pek Ki Bu yang bernama Pek Kong menggantikan ayahnya menjadi ketua Pek-sim-pang. Pek Kong inilah ayah kandung dari Pek Han Siong, pemuda yang kini nampak bergerak dengan cepatnya bersama seorang gadis di luar tembok pagar kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu.

Ketika Pek Han Siong masih berada di dalam kandungan ibunya yang bernama Souw Bwee, anak di dalam kandungan ini telah menimbulkan kegemparan karena ramalan dari para pendeta Lama di Tibet bahwa anak di dalam kandungan itu adalah seorang Sin-tong (Anak Ajaib) yang kelak akan menjadi seorang Dalai Lama atau pemimpin agama di Tibet yang besar.

Para pendeta Lama mula-mula meminta dengan hormat dan sopan agar kelak anak yang terlahir itu diserahkan kepada mereka untuk dididik menjadi calon seorang guru besar dunia. Tentu saja keluarga Pek merasa keberatan sehingga mereka menentang kehendak para pendeta Lama.

Hal ini kemudian menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Karena para pendeta Lama di Tibet mempunyai banyak orang sakti, maka seluruh keluarga Pek bersama para murid dan anggota Pek-sim-pang melarikan diri mengungsi menjauhi daerah Tibet dan akhirnya menetap di kota Kong-goan, di Propinsi Secuan.

Akan tetapi para pendeta Lama masih terus melakukan pengejaran. Untuk menghindarkan pengejaran inilah maka Pek Kong lalu mengajak isterinya melarikan diri dan bersembunyi. Akhirnya anak itu terlahir dan tepat seperti yang diramalkan para pendeta Lama di Tibet, anak itu laki-laki dan pada punggungnya terdapat sebuah tanda berwarna merah.

Untuk menyelamatkan anak yang diberi nama Pek Han Siong itu, kakek buyutnya yang ketika itu masih hidup, yaitu Pek Khun, lalu membawa pergi Han Siong dari asuhan ayah ibunya. Sebagai gantinya, kakek Pek Khun kebetulan menyelamatkan seorang bayi laki-laki yang dibawa ibunya membunuh diri di lautan. Kakek itu berhasil menyelamatkan bayi itu akan tetapi ibu anak itu tewas, dan menyerahkan bayi itu kepada cucunya, Pek Kong dan isterinya, untuk menjadi pengganti Han Siong!

Pek Han Siong dilarikan kakek buyutnya dan sesudah merawatnya selama tujuh tahun, akhirnya dia membawa cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si di dekat Yu-shu itu, lantas menitipkannya kepada Ceng Hok Hwesio ketua kuil itu yang sebenarnya masih terhitung murid keponakannya sendiri.

Pek Han Siong hidup di dalam kuil itu dan secara kebetulan sekali dia berjumpa dengan sepasang suami isteri sakti yang sedang melakukan pertapaan atau menerima hukuman atas dosa mereka telah melakukan perjinahan atau menikah secara tidak sah. Hukuman itu adalah hukuman kurung selama dua puluh tahun! Akan tetapi, karena mereka itu sakti, setiap saat bila mereka kehendaki, mereka dapat saling bertemu tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya atau mampu mencegah mereka.

Dua orang sakti yang menjadi suami isteri itu bernama Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, keduanya merupakan keturunan dari datuk-datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Pasangan suami isteri ini kemudian mengangkat Pek Han Siong sebagai murid mereka.

Di bawah bimbingan suhu dan subo-nya yang sangat sakti. Pek Han Siong memperoleh kepandaian yang hebat bukan main. Ilmu-ilmu silat tinggi sudah dikuasainya, dan dia pun menerima pedang pusaka Kwan-im Po-kiam dari kedua orang gurunya. Bukan hanya itu, akan tetapi kedua orang gurunya itu menjodohkan murid tunggal mereka itu dengan puteri mereka yang lenyap diculik orang ketika masih kecil!

Hubungan dua orang sakti ini sudah menghasilkan seorang anak perempuan yang diberi nama Siangkoan Bi Lian! Karena itu, murid yang kini telah menjadi seorang pemuda yang tangguh itu diberi tugas untuk mencari puteri mereka sampai dapat, dan mengajaknya ke kuil Siauw-lim-si untuk menghadap mereka.

Puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian itu semenjak masih bayi mereka titipkan kepada sebuah keluarga Cu di dusun yang berada di kaki gunung, tidak jauh dari kuil itu. Kadang-kadang dua orang suami isteri itu datang mengunjungi puteri mereka, akan tetapi mereka tidak memperkenalkan diri sebagai ayah ibu kepada Bi Lian, melainkan sebagai guru karena mereka mulai mendidik Bi Lian dengan dasar-dasar ilmu silat.

Pada suatu hari, ketika Bi Lian masih berusia enam tahun, di dusun itu terjadi keributan. Pertempuran hebat antara datuk-datuk sesat membuat dusun menjadi geger dan banyak orang dusun tewas, termasuk keluarga Cu yang dititipi Bi Lian. Akan tetapi Bi Lian lenyap dan Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu tidak berhasil menemukan anak mereka yang lenyap tanpa bekas itu.

Demikianlah, setelah Han Siong tamat belajar dari mereka, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bersepakat untuk menarik pemuda murid mereka ini menjadi calon mantu mereka, dan memberi tugas kepada Han Siong untuk mencari sampai dapat puteri mereka yang hilang itu dan mengajaknya menghadap mereka di kuil Siauw-lim-si.

Pada waktu itu Han Siong berusia dua puluh tahun, sementara sudah belasan tahun Bi Lian lenyap dari dusun. Oleh karena itu, tentu saja bukan merupakan tugas yang ringan bagi Han Siong untuk dapat menemukan gadis itu karena tidak ada sedikit pun petunjuk kemana perginya gadis itu dan siapa pula yang membawanya pergi.

Dua tahun lamanya Han Siong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa yang hebat dan menarik dan dalam perantauannya inilah secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Bi Lian yang masih mempergunakan nama keluarga Cu! Semua pengalaman Han Siong sejak lahir sampai pertemuannya dengan Cu Bi Lian diceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama.

Kini, tiba-tiba saja dia muncul kembali bersama seorang gadis. Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, raut wajahnya manis sekali. Tubuh gadis itu ramping, kulitnya putih mulus, rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dan dihiasi dengan tusuk konde perak. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, hidungnya mancung dan kecil, mulutnya berbentuk menggairahkan dengan bibir yang selalu merah membasah, mukanya bulat telur dan terdapat sebuah tahi lalat di dagunya.

Siapakah gadis manis ini? Dia bukan lain adalah Cu Bi Lian, atau yang sebetulnya she Siangkoan! Ia berhasil ditemukan Han Siong dan diajak berkunjung ke kuil itu, berkunjung kepada suami isteri sakti yang dikenalnya sebagai gurunya di waktu dia masih kecil, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kedua orang gurunya itu sebetulnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri!

Apa yang sudah terjadi dengan diri gadis ini ketika dia berusia enam tahun di dusun itu? Ternyata dia sudah terjatuh ke dalam tangan dua orang datuk sesat yang pada waktu itu amat ditakuti di dunia kang-ouw, yaitu yang berjuluk Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) dan Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur), dua orang di antara Empat Setan yang namanya telah menggetarkan kolong langit akibat kelihaian mereka dan juga tindakan mereka yang aneh-aneh, kadang-kadang tanpa mengenal peri kemanusiaan sama sekali.

Dua orang datuk sesat inilah yang dulu mengamuk di dusun itu, membunuh banyak tokoh kang-ouw dan banyak orang dusun termasuk keluarga Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai keluarganya yang sesungguhnya. Bi Lian menarik perhatian kedua orang datuk sesat itu sehingga dia pun akhirnya diambil sebagai murid.

Dua orang datuk itu mewariskan seluruh ilmu-ilmunya yang hebat kepada gadis ini dan Bi Lian menjadi seorang gadis dewasa yang selain tinggi ilmu silatnya, juga berwatak aneh, berani, galak, dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya. Karena itu, di dunia kang-ouw namanya segera menonjol dan dia dijuluki Thiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) saking keras wataknya.

Dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama diceritakan tentang pengalaman gadis yang lihai ini sampai akhirnya kehilangan kedua gurunya yang tewas saling bunuh dalam perkelahian karena berbeda pendapat mengenai diri murid mereka yang tersayang itu. Yang seorang ingin menjodohkan Bi Lian dengan seorang tokoh pemberontak, akan tetapi Bi Lian tidak mau dan guru ke dua membelanya. Akhirnya keduanya tewas setelah mereka saling serang dengan hebatnya.

Bi Lian merasa sakit hati terhadap para pemberontak itu, lantas dalam usaha menentang para pemberontak inilah dia bertemu dengan Pek Han Siong, saling bekerja sama untuk menghancurkan pemberontak bersama pendekar lainnya, kemudian mereka berkenalan.

Pek Han Siong kemudian dapat menduga bahwa inilah puteri dari kedua orang gurunya, gadis yang telah dijodohkan dengan dia! Dia lalu memperkenalkan diri sebagai murid dari Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang oleh Bi Lian juga dianggap sebagai dua orang gurunya ketika dia masih kecil sehingga mereka pun seakan-akan masih terhitung suheng dan sumoi! Dan sesudah pemberontak itu dapat ditindas, Han Siong berhasil mengajak Bi Lian untuk berkunjung ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu itu untuk menghadap suhu dan subo-nya itu.

Demikianlah, pada malam hari itu dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan kini mereka sudah berdiri di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.

"Suheng, hari sudah demikian malam, apakah baik untuk mengunjungi suhu dan subo?" tanya Bi Lian ketika mereka berhenti di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.

"Kita lihat saja nanti. Kalau suhu dan subo bersedia menerima kita malam ini juga, maka kita langsung menghadap, kalau andai kata mereka tidur, kita akan menanti di dalam kuil untuk menghadap besok pagi."

"Akan tetapi, kenapa kita harus masuk lewat pagar tembok? Bukankah lebih baik masuk melalui pintu gerbang dan mengetuknya kalau sudah ditutup, suheng?"

"Ah, aku belum bercerita padamu, sumoi. Suhu dan subo adalah orang-orang... hukuman yang berada dalam kurungan di kuil ini."

"Ahhh...!" Gadis itu terrcengang, "Orang hukuman? Mengapa...? Apa kesalahan mereka? Dan bagaimana pula mereka dahulu dapat mengunjungi aku dan melatih ilmu silat?"

"Sumoi, sebaiknya kalau hal itu engkau dengar sendiri dari suhu dan subo karena aku... aku tak berhak untuk menceritakannya. Marilah, sudah dua tahun aku pergi meninggalkan mereka dan aku sudah rindu sekali untuk bertemu dengan mereka." Berkata demikian, Han Siong lalu menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok, diikuti oleh Bi Lian yang gerakannya lebih lincah lagi.

Memang ia seorang gadis yang lincah sekali, sebaliknya Han Siong pendiam dan tenang. Padahal kalau diadakan perbandingan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) tentu saja Han Siong yang menerima gemblengan dari subo-nya yang merupakan seorang ahli ginkang hebat, jauh lebih pandai dari pada Bi Lian. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga walau pun pagar tembok itu terjaga oleh para hwesio, tidak ada seorang pun di antara para penjaga itu melihat berkelebatnya dua bayangan yang memasuki kuil lewat pagar tembok belakang.

Han Siong yang pernah tinggal di kuil itu selama bertahun-tahun tentu saja sudah hafal sekali akan keadaan di dalam kuil. Dia yang menjadi penunjuk jalan berada di depan dan Bi Lian mengikuti di belakangnya. Dengan mudah saja Han Siong mengambil jalan yang tersembunyi sehingga tidak pernah kepergok oleh seorang pun hwesio dan kini mereka tiba di luar sebuah kamar yang jendela dan daun pintunya tertutup. Inilah kamar kurungan di mana biasanya subo-nya berada, tempat hukuman bagi subo-nya!

Dengan hati-hati Han Siong mengetuk daun pintu kamar itu, kemudian daun jendela, akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Pada saat dia mengintai ke dalam, kamar itu nampak gelap dan sunyi. Bahkan ketika dia menempelkan telinganya pada papan daun jendela, dia tidak mendengar bunyi pernapasan manusia di dalamnya. Kamar itu kosong!

"Bagaimana, Suheng?" tanya Bi Lian yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu.

“Ini kamar subo, akan tetapi kamar ini sekarang kosong. Jangan-jangan subo sedang ke luar. Mari kita ke kamar tahanan suhu saja.”

Mereka lalu pegi ke bagian lain dari kuil itu, jauh ke ujung kiri dan tak lama kemudian Han Siong sudah berada di luar sebuah kamar lainnya yang daun jendela serta pintunya juga tertutup. Akan tetapi nampak sedikit cahaya yang menerobos keluar dari celah-celah daun jendela, tanda bahwa di dalam kamar itu ada lilin bernyala. Gembira rasa hati Han Siong karena hal ini menandakan bahwa suhu-nya berada di dalam kamar itu.

Daun pintu itu diketuknya perlahan-lahan. Tidak ada jawaban dari dalam. Diketuknya lagi dan dia pun berseru lirih, "Suhu...! Suhu, ini teecu yang datang mohon menghadap suhu!"

Kini terdengar suara gerakan di dalam kamar itu, kemudian terdengar suara teguran dari dalam yang sangat mengejutkan hati Han Siong. "Omitohud…! Siapa berani mengganggu pinceng di tengah malam buta begini?"

Tentu saja Han Siong amat terkejut karena dia mengenal suara yang berat dari Ceng Hok Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang amat galak itu. Ketua inilah yang dulu memberi hukuman kepada suhu dan subo-nya! Biar pun Ceng Hok Hwesio selalu bersikap baik kepadanya, bahkan hwesio tua ini pula yang mendorongnya untuk mempelajari kesusasteraan melalui kitab-kitab agama yang kuno, namun Han Siong selalu merasa hormat dan segan kepada hwesio tua yang amat keras menjaga peraturan ini.

Dia merasa serba salah. Dia sudah terlanjur mengeluarkan suara sehingga hwesio tua itu sudah tahu bahwa di luar ada orang, maka tidak mungkin lagi dia mundur. Apakah hwesio tua itu tengah mengadakan kunjungan kepada suhu-nya? Di malam buta begini? Sungguh aneh. Namun dia harus cepat menjawab karena hwesio tua itu sedang menunggu dengan hati tidak sabar.

“Losuhu, maafkan saya. Saya adalah Pek Han Siong...," jawabnya.

Hening sejenak di dalam kamar itu. Kemudian baru terdengar suara yang berat itu, "Pek Han Siong...? Ahh, engkau telah kembali? Apakah engkau mencari suhu-mu, Siangkoan Ci Kang?”

Girang rasa hati Han Siong mendengar suara yang berat itu tak mengandung kemarahan. "Benar sekali, Lo-suhu! Bolehkah saya menghadap suhu?"

Kembali hening sejenak, lalu kembali terdengar suara. "Baiklah, tapi pinceng mendengar gerakan dua orang. Siapa kawanmu itu?"

Han Siong saling pandang dengan Bi Lian. Kakek yang berada dalam kamar itu ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam. "Saya datang bersama seorang murid suhu dan subo yang lain, losuhu. Ia bernama... Cu Bi Lian, juga ingin menghadap suhu dan subo."

“Seorang wanita?” Suara itu seperti terkejut, lalu disambungnya cepat-cepat, “Siancay... biarlah, kalian masuklah, pintu kamar ini tidak terkunci.”

Han Siong memberi isyarat kepada Bi Lian dan keduanya membuka daun pintu kemudian masuk ke dalam kamar itu. Bi Lian memandang penuh perhatian, sedangkan Han Siong menutupkan kembali daun pintu dari dalam.

Seorang hwesio tua sekali duduk bersila di tengah ruangan kamar itu, kamar yang kosong dan di sudut kamar terdapat sebuah meja di mana berdiri sebatang lilin yang bernyala. Beberapa batang lilin lain yang tidak bernyala menggeletak di atas meja.

Han Siong mengajak Bi Lian untuk menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang duduk bersila di atas lantai itu, lantai dingin tanpa tilam! Dan Han Siong merasa teharu. Baru dua tahun berlalu, akan tetapi ketua kuil itu sekarang nampak sudah sangat tua, tua keriputan dan mukanya yang kehitaman itu, yang biasanya tampak segar, kini terlihat layu dan lesu. Sinar matanya bahkan diliputi kedukaan.

"Losuhu, saya dan sumoi mohon maaf bila mengganggu losuhu. Akan tetapi di manakah adanya suhu? Tadi subo juga tak ada di dalam kamar tahanannya. Di manakah mereka?"

Sepasang mata yang dulu menyinarkan kegalakan dan kekerasan itu nampak sayu, yang ada hanya tinggal sinar kejujurannya, dan kini sepasang mata itu mengamati Han Siong dan Bi Lian.

"Han Siong, coba nyalakan dua batang lilin lagi supaya agak terang. Mata pinceng sudah tidak begitu awas lagi..." katanya lirih.

Hati pemuda itu terharu dan dia pun cepat menyalakan dua batang lilin di atas meja. Kini kakek itu mengamati mereka dan diam-diam merasa terkejut sekali ketika melihat wajah gadis yang datang bersama Han Siong. Alangkah miripnya wajah itu dengan wajah Toan Hui Cu! Teringat akan Toan Hui Cu, hatinya bagaikan diremas dan dia pun memejamkan kedua matanya, merangkapkan kedua tangan di depan dada dan berkata lirih,

"Omituhud... semoga semua dosa pinceng diampuni oleh Thian..."

“Losuhu, sudilah kiranya losuhu menceritakan di mana adanya suhu dan subo sekarang," kata pula Han Siong yang merasa tak enak melihat kedukaan membayang di wajah kakek itu.

Kakek itu membuka matanya dan menghela napas panjang. "Kalian duduklah yang enak. Kebetulan sekali kalian datang selagi pinceng bingung mencari siapa yang kiranya patut untuk menerima curahan penyesalan hati pinceng yang selama ini pinceng sembunyikan. Kalian berdua adalah orang yang paling tepat menerima dan mendengarkannya. Benar, terutama engkau, Han Siong. Dengarkan baik-baik pengakuan pjnceng, pengakuan orang yang berdosa besar!"

"Losuhu...!" Han Siong membantah dengan perasaan terkejut sekali, akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas.

"Diamlah, Han Siong, dan kau dengarkan saja pengakuan pinceng ini."

Han Siong lalu duduk bersila menutup mulut dan menundukkan mukanya, sedangkan Bi Lian mengamati kakek itu dengan hati tertarik. Tentu dia akan mendengarkan cerita yang sangat menarik, pikirnya. Kakek ini sungguh aneh, akan tetapi melihat mukanya yang tua itu, sepasang mata yang redup dan sayu akan tetapi mengandung sinar kejujuran dan juga kekerasan itu membuat dia merasa suka kepada kakek tua renta itu.

"Kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu ada sepasang orang muda datang ke kuil ini menghadap pinceng. Usia mereka seperti kalian berdua, masih muda, yang pria tampan dan yang wanita cantik. Mereka itu adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka membuat pengakuan yang amat mengejutkan hati pinceng. Siangkoan Ci Kang mengaku sebagai putera tunggal mendiang Siangkoan Lojin yang berjuluk Iblis Buta, seorang datuk sesat. Sedangkan Toan Hui Cu bahkan mengaku sebagai puteri mendiang Raja dan Ratu Iblis, sepasang raja datuk sesat yang menggemparkan dunia kang-ouw. Mereka sengaja menghadap pinceng dan minta agar diterima menjadi hwesio dan nikouw, karena mereka berdua merasa telah berbuat dosa dan untuk mencuci darah keturunan mereka yang amat jahat. Pinceng menerima karena melihat betapa mereka itu mempunyai niat yang tulus ikhlas…" Sampai di sini kakek itu berdiam sejenak.

Han Siong merasa kagum sekali kepada suhu dan subo-nya. Biar pun keduanya adalah keturunan datuk-datuk sesat yang seperti iblis, akan tetapi keduanya agaknya menyadari kekeliruan orang tua mereka bahkan hendak menebus dosa orang tua dengan masuk menjadi pendeta!

Bi Lian yang hanya samar-samar saja ingat kepada kedua orang gurunya itu, diam-diam juga merasa kagum dan bersimpati. Dia sendiri pun sejak kecil menjadi murid dua orang datuk sesat, tetapi dia sama sekali tidak sudi mengikuti jejak mereka sebagai orang jahat. Sama sekali tidak! Dia benci terhadap perbuatan jahat dan menentang mereka yang suka bertindak sewenang-wenang dan jahat.

"Ketika itu, pinceng yang sudah puluhan tahun tidak pernah membayangkan wanita, tiba-tiba saja menjadi lemah dan seperti kemasukan iblis dalam diri pinceng. Pinceng... tergila-gila kepada Toan Hui Cu!"

Mendengar ini, hati Han Siong terkejut bukan main. Kalau saja kakek itu tidak membuat pengakuan sendiri, pasti dia tidak akan percaya! Bi Lian menatap wajah kakek itu, kedua matanya memandang tajam penuh selidik.

Ceng Hok Hwesio menghela napas panjang. "Batin pinceng masih lemah, terlalu mudah dimasuki kotoran. Pinceng tertarik oleh kecantikan Toan Hui Cu dan pinceng menyatakan perasaan ini. Dia menolak pinceng! Kemudian... di luar pengetahuannya, ternyata ketika masuk menjadi nikouw, Toan Hui Cu telah mengandung akibat hubungan cintanya dengan Siangkoan Ci Kang. Hubungan di luar nikah! Kesempatan ini lalu pinceng gunakan untuk membalas dendam kepada Toan Hui Cu yang telah mengecewakan pinceng dan menolak perasaan hati pinceng yang sesungguhnya hanyalah gejolak nafsu binatang belaka. Juga membalas dendam terhadap Siangkoan Ci Kang karena iri hati dan cemburu yang juga merupakan nafsu pementingan diri sendiri yang merasa dikecewakan. Maka pinceng lalu menjatuhkan hukuman kepada mereka, hukuman kurung selama dua puluh tahun dalam kamar kurungan yang terpisah!"

"Aihhh, betapa kejinya!" tiba-tiba Bi Lian berseru. marah, matanya berapi-api memandang kepada hwesio tua itu. "Losuhu sebagai seorang hwesio tua sungguh tidak pantas sekali melakukan perbuatan yang begitu kejam terhadap mereka! Mula-mula tergila-gila kepada seorang wanita muda, dan karena tidak mendapat tanggapan lalu membalas dendam dan menghukum mereka sampai dua puluh tahun! Tidak malukah losuhu kepada diri sendiri?"

"Sumoi...!" Han Siong berseru kaget sekali ketika mendengar ucapan yang nadanya amat mencela dan merendahkan ketua kuil itu!

Akan tetapi kakek itu bahkan tersenyum, lantas merangkap kedua tangan di depan dada, memejamkan kedua matanya dan berkata, "Omitohud..., terima kasih, nona. Makian dan celaan tadi sungguh terasa sebagai obat pelunak rasa perih karena penyesalan pinceng. Pinceng memang layak dimaki, bahkan pantas dipukul atau dibunuh kalau perlu. Pinceng akan menerimanya dengan senang hati sekali..."

Mendengar ini, Bi Lian segera menutup mulutnya dan memandang heran, juga bingung. Ia menoleh kepada Han Siong yang mengedipkan mata dan memberi isyarat kepadanya agar suka menahan diri. Karena Han Siong ingin sekali tahu ke mana perginya suhu dan subo-nya, maka dia pun kembali mendesak dengan hati-hati kepada kakek yang masih memejamkan kedua matanya itu.

"Lalu bagaimana kelanjutannya, losuhu?"

Kakek itu membuka matanya, masih tersenyum ketika memandang kepada Bi Lian, dan pandang matanya juga terlihat lembut, sama sekali tidak membayangkan kemarahan biar pun tadi dimaki dan ditegur dengan keras oleh gadis itu.

"Ketika engkau pergi meninggalkan kuil, hukuman mereka itu tinggal dua tiga tahun lagi, Han Siong. Akan tetapi pada suatu hari pinceng menyadari dan menginsyafi dosa yang pinceng lakukan. Sayang kesadaran itu timbul sesudah pinceng begini tua. Pinceng lalu memanggil mereka, membebaskan mereka dari sisa hukuman itu dan di hadapan mereka pinceng mengakui semua dosa pinceng serta menyatakan bahwa pinceng telah menjatuhi hukuman pada diri pinceng sendiri dengan hukuman kurungan di kamar ini sampai mati"

"Ahhh...!" Han Siong berseru dan tercengang, akan tetapi Bi Lian bersungut-sungut.

"Hemm, masih terlalu ringan! Mereka yang tak berdosa harus menjalani hukuman selama hampir dua puluh tahun! Kalau losuhu, melihat usia losuhu yang sudah tua sekali, tentu hanya tinggal beberapa tahun saja..."

"Sumoi...!" kembali Hong Siong menegur gadis itu.

Kakek itu tersenyum lagi dan mengangkat tangannya. "Biarkan saja, Han Siong! Pinceng malah girang sebab gadis ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng. Sungguh selama ini pinceng merasa menyesal sekali, apa lagi ketika dikeluarkan dari sini, mereka berdua itu sama sekali tidak mengutuk pinceng. Sebab itu biarlah nona ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng...! Mereka memang tidak berdosa. Sesudah pinceng mendengar akan pengalaman mereka, ternyata mereka memang saling mencinta, sama-sama menderita dengan nasib yang hampir sama. Apakah dosa hubungan antara dua orang yang saling mencinta? Pinceng yang didorong nafsu iblis, nafsu binatang. Bahkan bukan mereka saja yang menderita, anak mereka yang tidak bersalah apa pun akhirnya ikut pula menderita akibat perbuatan pinceng yang kotor..."

"Anak mereka...? Ahh, suhu dan subo mempunyai anak, lantas bagaimana dengan anak mereka itu?" Kini Bi Lian bertanya sambil menatap tajam wajah Ceng Hok Hwesio yang masih tersenyum.

Mendengar ini, berdebar rasa hati Han Siong. Bi Lian bertanya tentang anak itu, tentang dirinya sendiri! Dan hwesio tua itu pun sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa yang bertanya itu adalah anak itu sendiri, anak dari dua orang hukuman itu!

Han Siong merasa serba salah. Tentu saja tak mungkin dia mencegah kakek itu bercerita atau melarang Bi Lian bertanya. Pertanyaan sudah diajukan dan dengan jantung berdebar penuh ketegangan Han Siong hanya dapat memandang dan mendengarkan, menunggu jawaban dari Ceng Hok Hwesio.

"Anak mereka itu? Ah, anak yang malang itu ikut pula menjadi korban dosa yang pinceng lakukan terhadap kedua orang tuanya. Anak itu perempuan dan karena mereka tidak ingin membiarkan anak mereka hidup dalam kurungan pula, mereka lalu menitipkan anak itu ke dusun di kaki gunung. Akan tetapi... Omitohud... semoga dosa pinceng dapat diampuni... anak itu kabarnya dilarikan oleh penjahat sesudah keluarga yang mereka titipi itu dibunuh penjahat..."

Bi Lian meloncat bangun berdiri dan wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak ketika dia membentak Ceng Hok Hwesio dengan pertanyaan yang mengejutkan hati kakek tua itu.

"Katakan! Siapa nama anak perempuan mereka itu? Hayo katakan, atau... demi Tuhan, kubunuh kau!"

"Sumoi...!" Han Siong juga bangkit berdiri, siap mencegah kalau sampai gadis itu benar-benar hendak membunuh ketua Siauw-lim-si itu.

Akan tetapi Ceng Hok Hwesio masih saja bersikap tenang dan tersenyum, seolah-olah dia memang mengharapkan ada orang yang membunuhnya untuk menghukum dosanya yang membuat dia terbenam dalam penderitaan karena penyesalan.

"Sungguh pinceng tidak tahu siapa namanya. Kalau engkau hendak membunuh pinceng, silakan, nona, pinceng tidak akan menghindarkan diri..., silakan...!"

"Sumoi...!" Han Siong kembali menegur.

Bi Lian yang masih pucat itu kini menoleh dan berhadapan dengan Han Siong. "Suheng engkau... engkau tentu tahu... anak... anak itu... dia... dia…?"

Sinar matanya penuh pertanyaan dan bibirnya gemetar, tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Tanpa suara pun Han Siong maklum apa yang menjadi dugaan hati gadis itu. Dia pun mengangguk.

"Benar, sumoi. Engkaulah anak itu... engkau adalah puteri suhu dan subo yang dititipkan kepada keluarga Cu itu..."

Bi Lian terbelalak, mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan tubuhnya sudah bergerak, didahului tangannya yang menyambar ke depan, menghantam ke arah ubun-ubun kepala Ceng Hok Hwesio yang masih duduk bersila dan tersenyum, memandang tanpa berkedip. Tetapi pukulan itu bertemu dengan tangan Han Siong yang lunak, yang sudah menangkis pukulan itu dan mendorong mundur tubuh Bi Lian.

"Sumoi, tenanglah. Apabila engkau membunuhnya, berarti engkau mengambil alih semua dosanya...! Jangan, Sumoi, demi Tuhan, jangan lakukan itu...!"

Bi Lian mencoba untuk meronta, namun Han Siong terus memegangi kedua lengannya. "Lepaskan, Suheng! Ia telah mencelakakan kedua orang tuaku, menyiksa ayah dan ibuku! Aku harus membunuhnya!"

"Omitohud... jadi nona ini adalah puteri mereka? Ya Tuhan, Han Siong lepaskan dia, biar dia membunuh pinceng. Omitohud... akhirnya hukuman yang adil datang. Lepaskan, biar dia membunuh pinceng. Anak baik, kau bunuhlah pinceng... kau bunuhlah pinceng..." Dan hwesio itu pun kini menangis terisak-isak sambil berbisik-bisik minta dibunuh.

Han Siong tetap mencegah Bi Lian, "Ingat, Sumoi, suhu dan subo, yaitu ayah dan ibumu, tentu akan marah dan berduka sekali jika mereka mendengar engkau membunuh losuhu ini. Mereka yang menerima hukuman itu saja tak pernah mencela, tidak pernah mengutuk. Setidaknya engkau harus bertanya dahulu kepada mereka. Mari, sumoi, mari kita temui ayah ibumu...”

"Ayah? Ibu? Di mana... di mana... mereka... ?" Gadis itu tergagap-gagap, kedua matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.

"Losuhu, tolong beri tahu, di mana adanya suhu dan subo kini?"

Dengan kepala tunduk, masih menangis, Ceng Hok Hwesio berkata, "Mereka... mereka... di Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas), di puncak Heng-tuan-san ujung timur... tapi… tapi... biarkan dia membunuhku dulu, Han Siong... aku mohon padamu, biarkan dia membunuh pinceng..."

Akan tetapi Han Siong tidak mempedulikan kakek itu, melainkan menarik tangan Bi Lian dan membawanya keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluh kesah dari kakek itu yang di antara tangisnya terus minta dibunuh, akan tetapi Han Siong tetap mengajak sumoi-nya keluar.

Di luar kamar mereka bertemu dengan banyak hwesio yang tadi terkejut mendengar jerit Bi Lian. Ketika mereka tiba di depan kamar, mereka mendengar tangis Ceng Hok Hwesio sehingga para hwesio ini tentu saja menjadi terkejut dan terheran akan tetapi tidak berani memasuki kamar yang dijadikan tempat hukuman atau pertapaan oleh ketua mereka itu.

Ketika para hwesio itu melihat seorang pemuda dan seorang gadis keluar dari kamar itu, tentu saja mereka segera menghadang dan bersikap penuh curiga. Akan tetapi Han Siong cepat memperkenalkan diri. "Para Suhu dan Suheng, apakah lupa kepadaku? Aku adalah Pek Han Siong..."

"Ahh, Han Siong...”

"Sute..."

Para hwesio itu kini mengenalnya, akan tetapi Han Siong tak ingin banyak bicara dengan mereka. Dia menggandeng tangan sumoi-nya dan berbisik, "Mari kita pergi, sumoi...!"

Dia pun mengajak sumoi-nya untuk meloncat dan beberapa kali berkelebat saja, mereka telah menghilang dalam kegelapan malam. Para hwesio hanya bisa memandang dengan mata terbelalak penuh kagum.

Mereka melanjutkan perjalanan dalam kegelapan malam, hanya diterangi sejuta bintang di langit. Karena perjalanan mendaki Pegunungan Heng-tuan-san merupakan perjalanan yang sulit dan berbahaya, maka mereka hanya berjalan perlahan-lahan. Tiba-tiba Bi Lian berhenti.

"Marilah, Sumoi..."

Akan tetapi Bi Lian tidak bergerak dan mencoba untuk menatap tajam wajah pemuda itu melalui kegelapan.

"Suheng..." Dari suaranya dapat diketahui bahwa gadis itu menahan tangisnya.

Semenjak keluar dari kuil tadi, hanya dengan kekerasan hatinya saja Bi Lian tidak sampai tersedu-sedu atau terisak-isak walau pun kedua matanya telah basah dan kadang-kadang ada air mata menetes ke atas pipinya. Pikirannya menjadi kacau tidak karuan.

Ia membayangkan mereka yang pernah dianggapnya sebagai ayah dan ibu kandungnya, yakni suami isteri Cu Pak Sun yang terbunuh oleh mendiang kedua orang gurunya yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Lalu dia membayangkan dan mencoba untuk mengingat-ingat wajah kedua orang yang menjadi gurunya, yang sering datang di waktu malam dan memberi bimbingan ilmu silat kepadanya.

Seorang pria yang gagah perkasa akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku, serta seorang wanita yang cantik jeilta akan tetapi wajahnya selalu pucat. Mereka begitu baik kepadanya, bahkan wanita yang menjadi subo-nya itu setiap kali datang dan pergi selalu mencium kedua pipinya dan pria berlengan buntung sebelah yang menjadi suhu-nya itu selalu mengelus-elus kepalanya penuh kasih sayang! Jadi mereka itu adalah ayah dan ibu kandungnya!

"Ya? Ada apa, Sumoi?" Han Siong bertanya, hatinya tidak enak karena tadi dia berkeras melarang sumoi-nya membunuh Ceng Hok Hwesio.

"Suheng, katakan terus terang, apakah selama ini, sejak pertemuan pertama antara kita, engkau sudah tahu siapa diriku?"

Han Siong mengangguk, akan tetapi cepat-cepat menjawab setelah teringat bahwa cuaca gelap dan belum tentu anggukannya kelihatan oleh gadis itu. "Aku tahu, Sumoi. Suhu dan subo telah memberi tahu kepadaku siapa namamu, yaitu Bi Lian dan menggunakan nama keluarga Cu. Ketahuilah, Sumoi. Aku memang diutus oleh suhu dan subo untuk mencari engkau. Selama dua tahun aku mengembara, tidak tahu harus mencari ke mana sampai pada hari itu kita kebetulan saling berjumpa dan begitu melihat, aku... aku sudah merasa tegang karena wajahmu mirip sekali dengan wajah subo. Sesudah mendengar namamu, maka aku menjadi yakin."

"Tapi, kenapa kau diam saja, suheng? Kenapa kau tidak memberi tahu kepadaku bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung mereka?"

"Aku khawatir engkau tidak percaya, Sumoi. Maksudku hendak membawamu menghadap mereka dan biarlah engkau mendengar dari mereka sendiri. Tidak kusangka kita bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio sehingga rahasia itu kau ketahui...”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Karena Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) itu berada di puncak paling ujung dan perjalanan dilakukan secara lambat, dan setelah terang tanah mereka baru dapat melanjutkan perjalanan dengan cepat, maka pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di lembah itu.

Tidak sukar mencari suami isteri itu sesudah mereka berdua tiba di lembah, karena baru saja mereka memasuki lembah yang nampak subur itu, mereka melihat dua titik hitam dari atas depan yang makin lama menjadi makin besar dan akhirnya nampak dua sosok tubuh manusia berlari cepat menyongsong mereka.

Tanpa disadari, tangan Bi Lian mencari kemudian memegang lengan kanan Han Siong. Pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan gadis itu dingin dan gemetar .

Seperti yang diduganya, setelah tiba di depannya, dua sosok tubuh itu bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu! Mereka menyongsong sambil tersenyum gembira dan dari jauh Siangkoan Ci Kang sudah berseru,

"Heiiii..., bukankah itu engkau, Han Siong...?"

Ketika mereka sudah berhadapan, Toan Hui Cu tersenyum. "Kami sudah menduga bahwa yang datang tentu engkau..." Mendadak dia berhenti dan matanya terbelalak mengamati wajah Bi Lian.

Juga Siangkoan Ci Kang tiba-tiba saja memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat, suaranya gemetar ketika dia berkata, "Han Siong, ini... dia ini..."

Seperti besi terbetot besi sembrani Toan Hui Cu melangkah maju menghampiri, "...kau... kau..." Dia tidak mampu melanjutkan karena takut kalau-kalau dia salah kira.

Akan tetapi suaminya berteriak, "Pasti dia! Wajahnya itu... ahh, serupa benar denganmu, Hui Cu. Dia Bi Lian...!"

"Kau... kau benar Bi Lian...?” Dengan suara bercampur isak Toan Hui Cu berkata, kedua lengannya dikembangkan.

Sejak tadi Bi Lian sudah memandang kedua orang itu dengan air mata bercucuran dan kini dia tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia lari menubruk Toan Hui Cu dan dirangkulnya wanita itu.

"Ibuuuuu..., engkau ibuku...!"

"Bi Lian anakku... ahh, Bi Lian...!"

Kedua ibu dan anak itu saling berangkulan, kemudian Hui Cu mendekap puterinya sambil tersedu-sedu.

"Bi Lian... ya Tuhan, syukurlah engkau selamat dan dapat bertemu kembali dengan kami, anakku..."

Bi Lian melepaskan rangkulan ibunya, lalu lari menubruk kaki ayahnya.

"Ayaahhh...!”

"Anakku...!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang membelai kepala gadis itu. Pria yang sakti dan gagah perkasa ini tidak mampu menahan basahnya kedua matanya. Hui Cu merangkul lagi puterinya dan mereka bertiga saling berangkulan dalam suasana yang penuh keharuan dan kebahagiaan.

Kemudian Siangkoan Ci Kang menghampiri Han Siong yang semenjak tadi juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subo-nya dan hanya memandang pertemuan itu dengan mulut tersenyum sambil menahan keharuan hatinya yang merasa ikut bahagia. Siangkoan Ci Kang yang lengan kirinya buntung itu menyentuh kepala muridnya dengan penuh perasaan syukur dan berterima kasih.

“Syukur bahwa engkau berhasil menemukan anak kami, Han Siong."

Toan Hui Cu sekarang bangkit berdiri sambil merangkul pinggang puterinya yang ramping. "Kami amat berterima kasih kepadamu, Han Siong. Tidak percuma kami mendidik dengan susah payah padamu selama ini, ternyata engkau berhasil membawa pulang Bi Lian."

"Pertemuan antara teecu dan sumoi hanya kebetulan saja, Suhu dan Subo. Kami berdua sama-sama menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo."

"Ahh…! Jadi iblis itu malah mengusahakan pemberontakan?" Suami isteri itu bertanya.

Tentu saja mereka berdua mengenal Lam-hai Giam-lo, pemimpin pemberontak itu karena Lam-hai Giam-lo pernah melarikan diri dari para musuhnya yang sangat lihai, menyamar sebagai hwesio dan bersembunyi di dalam kuil Siauw-lim-si pimpinan Ceng Hok Hwesio di mana mereka menjadi dua orang hukuman. Lam-hai Giam-lo menyamar sebagai seorang tukang sapu yang gagu dan berkat suami isteri yang sakti ini pula iblis itu dapat diusir dari kuil.

"Ibu dan ayah... mengapa ibu dan ayah begitu... nakal terhadap diriku? Ayah dan ibu dulu memberikan aku kepada keluarga Cu! Apakah ayah dan ibu malu mengakui aku sebagai anak?" Dengan merengut manja gadis itu bertanya sambil merangkul ibunya. Suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum lebar.

"Hai, Han Siong! Bagaimana Bi Lian begitu berjumpa dengan kami segera tahu bahwa dia adalah puteri kami? Apakah engkau sudah menceritakan kepadanya?" Ibu gadis itu malah balik mengajukan pertanyaan ini kepada Han Siong sebelum dapat menjawab pertanyaan puterinya.

Siangkoan Ci Kang tertawa, "Ha-ha-ha, hujan pertanyaan yang menuntut jawaban! Mari kita pulang dan kita bicara sejelasnya di dalam pondok. Kita masing-masing diharuskan menceritakan segalanya secara panjang lebar supaya tidak ada lagi rasa penasaran yang menyelinap di dalam hati. Sabarlah, anakku, sebentar lagi engkau pasti akan mendengar semua jawaban atas pertanyaanmu."

Dara itu berjalan di tengah digandeng oleh ayah ibunya, dan Han Siong mengikuti mereka dari belakang, diam-diam hatinya merasa tegang karena masih ada satu hal yang belum terpecahkan dan yang masih menggoda perasaan hatinya. Dia meraba gagang pedang Kwan-im-kiam yang tergantung di pinggangnya.

Pedang pusaka itu pemberian kedua orang gurunya, bukan hanya sebagai hadiah guru kepada muridnya, melainkan terutama sekali sebagai tanda bahwa dia sudah dijodohkan dengan Bi Lian. Dahulu hatinya merasa ragu-ragu mengenai ikatan jodoh ini, akan tetapi dia tidak berani menolak karena dia merasa hutang budi besar sekali kepada kedua orang gurunya. Akan tetapi sekarang, setelah dia berjumpa dengan gadis itu, tidak perlu ditanya untuk kedua kalinya, hatinya sudah seratus persen menerima dan setuju untuk menjadi calon suami Bi Lian! Begitu bertemu, dia sudah langsung jatuh hati.

Yang membuat hatinya merasa tidak enak, tegang dan bimbang adalah karena dia belum dapat menduga bagaimana nanti tanggapan atau pendapat gadis itu apa bila mendengar bahwa dia dijodohkan dengan suheng-nya! Selama bergaul dengan Bi Lian, dia sungguh harus mengakui bahwa dia bingung dan tidak dapat menduga bagaimana perasaan gadis itu terhadap dirinya.