Asmara Berdarah Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEMENTARA itu, pertempuran di kota San-hai-koan juga terjadi dengan amat serunya. Sisa pasukan pemberontak yang berada di San-hai-koan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba pasukan pemerintah yang berjumlah besar sekali telah mengepung San-hai-koan.

Mereka dipimpin oleh Ji-ciangkun dan para pembantunya yang melawan dengan gigih dan mempertahankan benteng San-hai-koan mati-matian. Juga para pembantu Raja Iblis, yaitu datuk-datuk sesat beserta tokoh-tokoh dunia hitam, ikut membantu pasukan pemberontak mempertahankan benteng itu.

Akan tetapi pasukan pemerintah jauh lebih kuat, dan pasukan ini pun dibantu oleh para pendekar yang kini membalas dendam kepada pasukan pemberontak. Maka dalam waktu sehari semalam saja benteng itu pun bobol lantas pertempuran terjadi dengan serunya di dalam kota San-hai-koan.

Cia Sun dan Ci Kang sekarang mengikuti Cia Kong Liang yang memimpin mereka untuk menggempur para pemberontak dari dalam. Mereka bertiga mengamuk sampai mereka dapat bertemu dengan para pendekar yang membantu pemerintah.

Melihat betapa ketua Cin-ling-pai kini malah membantu pasukan pemerintah menggempur pemberontak, para pendekar menjadi amat girang dan mereka menganggap bahwa berita tentang Cin-ling-pai yang bersekutu dengan para pemberontak ternyata tidak benar, atau mungkin juga ketua Cin-ling-pai sudah menggunakan siasat pura-pura bersekutu dengan pemberontak untuk dapat menggempur dari sebelah dalam!

Sesudah para pemberontak akhirnya tidak mampu melawan lagi, sebagian besar tewas, sebagian melarikan diri dan sebagian pula menakluk, Ci Kang dan Cia Sun cepat kembali ke tempat rahasia di mana Hui Cu tadi mereka tinggalkan. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hati mereka ketika mereka tidak lagi melihat gadis itu di tempat itu. Hui Cu telah hilang dan mereka berdua tidak tahu apakah gadis itu pergi sendiri dari situ ataukah dilarikan orang.

Juga dalam penyerbuan itu, walau pun mereka semua sudah mencari-cari bersama para pendekar lain, namun tidak ditemukan jejak Raja dan Ratu Iblis bersama Hui-thian Su-kwi dan beberapa orang datuk sesat lain. Juga Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tidak dapat mereka temukan. Hanya Ji-ciangkun yang akhirnya bisa mereka tawan hidup-hidup dalam keadaan luka-luka, namun panglima pemberontak ini pun tidak dapat menjawab ke mana larinya Raja Iblis dan kaki tangannya itu.

Tentu saja para pendekar merasa menyesal sekali. Mereka tadinya sudah siap-siap untuk mengeroyok dan membasmi para datuk sesat. Ternyata tokoh-tokoh terpenting mereka dapat melarikan diri.

Setelah kota San-hai-koan jatuh tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga bagi pasukan pemerintah, Yang-ciangkun lalu mengerahkan pasukan untuk menuju ke Ceng-tek. Seperti yang sudah diperhitungkannya, pasukan pemberontak sedang mengepung kota Ceng-tek dan menghamburkan banyak tenaga untuk mencoba membobol benteng Ceng-tek yang sudah diduduki oleh pasukan Yelu Kim. Dan selagi kedua pihak itu kelelahan, muncullah pasukan pemerintah dari San-hai-koan yang keadaannya masih segar dan dalam jumlah yang besar, dibantu pula oleh para pendekar yang penuh semangat.

Tentu saja pasukan pemberontak yang tengah mengepung Ceng-tek menjadi terkejut dan panik ketika mendadak mereka diserang oleh pasukan pemerintah dari belakang. Apa lagi sesudah mereka mendengar berita bahwa benteng pertama mereka, San-hai-koan, telah direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Berarti mereka telah kehilangan kedua benteng itu. Ceng-tek direbut oleh pasukan suku bangsa utara sedangkan San-hai-koan dirampas oleh pasukan pemerintah.

Pasukan pemberontak masih mencoba untuk melakukan perlawanan, akan tetapi mereka dihimpit dari depan dan belakang. Dalam waktu sehari saja mereka pun hancur lebur dan cerai berai, sebagian besar melarikan diri atau menakluk.

Dan terjadi perubahan pula di Ceng-tek. Pasukan Yelu Kim masih tetap mempertahankan kota itu namun kini yang mengepung kota itu adalah pasukan pemerintah yang jauh lebih kuat lagi dibandingkan pasukan pemberontak tadi.

Yang-ciangkun adalah seorang panglima yang pandai dan bijaksana. Biar pun dia sudah mendengar bahwa Yelu Kim memimpin para kepala suku bangsa di utara untuk bergerak, pertama-tama menduduki benteng Ceng-tek untuk kemudian menyerbu ke selatan untuk menegakkan kembali kekuasaan bangsa utara di selatan, namun dia menganggap bahwa Yelu Kim telah berjasa bagi pemerintah dalam menghadapi para pemberontak.

Dia pun tahu bahwa tidak ada untungnya menanam bibit permusuhan dengan suku-suku bangsa liar yang kalau sudah bersatu akan menjadi amat kuat itu. Lebih baik mengambil jalan damai dengan mereka, baru kalau tidak ada jalan lain, terpaksa harus dipergunakan kekerasan.

Oleh karena itu, Yang-ciangkun kemudian menyuruh para pembantunya untuk menyuruh penyiar yang suaranya keras supaya menyampaikan pesan dan usulnya kepada pimpinan pasukan para suku bangsa utara. Beberapa orang yang mempunyai suara nyaring dan memang bertugas untuk itu, segera maju ke depan dengan corong-corong di depan mulut mereka kemudian terdengarlah teriakan-teriakan mereka bergema dengan amat kuatnya.

"Para pimpinan suku bangsa yang gagah, dengarlah baik-baik pesan dari Yang-ciangkun! Kami tidak menganggap kalian sebagai musuh, akan tetapi sebagai sahabat yang sudah membantu kami membasmi para pemberontak. Oleh karena itu, kami harap kalian suka menyerahkan benteng Ceng-tek kembali kepada kami supaya persahabatan di antara kita tidak terganggu!"

Berkali-kali kalimat-kalimat itu diteriakkan oleh para penyiar hingga terdengar oleh mereka yang bertugas jaga di pintu gerbang atau di atas tembok benteng dan tentu saja segera disampaikan kepada Yelu Kim.

Nenek itu berada di atas menara yang menjadi pusat di mana dia memimpin para kepala suku bangsa dan pasukan mereka. Nenek ini sedang duduk berdua saja dengan Sui Cin dan merasa bimbang sekali. Ketika menerima laporan tentang usul yang diteriakkan oleh Yang-ciangkun, nenek itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. Dia merasa penasaran, akan tetapi juga ragu-ragu.

"Keparat! Dengan susah payah kita merebut benteng ini, dengan pengorbanan ribuan jiwa pasukan, dengan cucuran keringat dan darah. Dan sekarang hendak diminta begitu saja? Mana mungkin aku dapat memberikan kepada mereka?"

Semenjak tadi Sui Cin memandang wajah nenek itu. Ia merasa kagum terhadap nenek ini yang dengan gagah dan pandainya sudah memimpin pasukan utara itu sehingga berhasil menduduki Ceng-tek. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kini, sesudah pasukan pernerintah datang dan berhadapan dengan pasukan Yelu Kim, dia sendiri tidak mungkin membantu nenek yang menjadi penolong dan gurunya ini. Maka, mendengar usul yang diajukan oleh Yang-ciangkun, Sui Cin melihat suatu cara yang baik untuk turun tangan, yaitu membujuk nenek ini agar suka menerima uluran tangan Yang-ciangkun.

"Subo...," katanya lirih dan hati-hati.

"Hemm...?" Nenek yang sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri itu agak kaget dan memandang muridnya.

"Subo tentu percaya kepadaku, bukan?"

"Percaya apa?"

"Percaya bahwa aku selalu memiliki iktikad baik terhadap subo serta pasukan yang subo pimpin."

Nenek itu memperlebar matanya dan memandang tajam. "Tentu saja. Sudah banyak yang kau lakukan untukku, Sui Cin, dan untuk itu aku berterima kasih sekali padamu. Bila aku tidak percaya padamu, tentu selama ini engkau tidak kuberi tugas yang penting-penting."

"Terima kasih! Aku suka menjadi murid dan pembantu subo, bukan hanya karena terikat perjanjian, bukan pula hanya karena aku sudah menerima budi pertolongan subo, namun karena aku merasa suka kepada subo yang gagah perkasa dan bijaksana, juga aku suka melihat pasukan suku bangsa utara yang demikian gagah berani. Nah, karena rasa suka itulah maka aku hendak mengemukakan pendapatku tentang penawaran Yang-ciangkun kepada subo, akan tetapi kuharap subo tidak merasa tersinggung dan menjadi marah."

Nenek itu tersenyum dan memandang lembut. "Muridku, apa kau sangka aku belum juga mengenalmu sehingga tak tahu akan isi hatimu? Selama ini engkau membantuku karena melihat aku menentang kaum pemberontak. Engkau adalah seorang gadis pendekar dan tentu engkau pun menentang para kaum sesat yang menunggangi pasukan pemberontak. Bila mana kami berhadapan dengan pasukan pemerintah, jelas bahwa engkau tidak akan membantu kami sungguh pun aku percaya engkau tidak akan tega untuk mengkhianatiku. Bukankah demikian?"

Sui Cin terkejut dan memandang nenek itu dengan kagum. Sungguh seorang wanita tua yang cerdik dan bijaksana sekali. Pantaslah jika menjadi keturunan Yelu Ce-tai yang amat terkenal di jaman awal pemerintah Mongol itu.

"Sungguh tepat sekali wawasan subo."

"Nah, kini katakanlah apa yang menjadi pendapatmu mengenai keadaan kita sekarang ini."

"Begini, subo. Ceng-tek telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang jumlahnya sangat besar. Tanpa diserang sekali pun, baru dikepung saja sampai satu bulan lebih, tentu kita akan kehabisan ransum lantas akan celaka. Andai kata kita melawan pun, tidak mungkin dapat menang. Aku yakin subo tak akan sebodoh itu, membiarkan pasukan hancur lebur hanya untuk mempertahankan sebuah benteng kecil seperti Ceng-tek ini. Kalau menurut pendapatku, akan jauh lebih menguntungkan kalau menerima usul Yang-ciangkun, yakni menyerahkan kembali benteng ini dalam suasana damai dan bersahabat dari pada harus mempertahankan dengan kekerasan dan akhirnya melihat pasukan subo dihancurkan."

"Pendapatmu itu memang tepat dan cocok sekali dengan apa yang kupikirkan, muridku. Tetapi pantaskah jika aku memberikan kota ini begitu saja sehingga semua pengorbanan yang telah kita lakukan itu, kematian ribuan orang saudara itu, menjadi sia-sia dan tanpa guna sama sekali bagi bangsa kami?"

"Subo, Yang-ciangkun mengulurkan tangan sebagai sahabat. Seorang sahabat yang baik tentu tidak hanya pandai meminta saja, akan tetapi juga pandai pula memberi. Minta dan memberi merupakan syarat persahabatan yang baik. Apa bila subo menyerahkan kota ini dengan damai, tentu subo dapat pula mengajukan permintaan-permintaan yang kiranya akan berguna bagi bangsa-bangsa di utara sehingga pengorbanan itu tidak sia-sia belaka melainkan ada pula hasilnya, bukan?"

"Aihh, benar sekali, Sui Cin!" Nenek itu bangkit dan merangkul muridnya. "Mengapa aku tidak berpikir sampai ke situ? Engkau benar sekali. Kini aku akan menyusun permintaan-permintaan itu dan aku tahu siapa yang akan menjadi utusan atau wakilku. Engkaulah orangnya yang akan menyampaikan permintaan dan usul kami kepada Yang-ciangkun!"

Sui Cin gembira sekali. "Aku bersedia, subo!"

Nenek itu lalu memerintahkan pembantunya untuk menjawab teriakan-teriakan dari bawah itu, menyatakan bahwa jawabannya akan dikirim besok pagi-pagi setelah matahari terbit. Setelah jawaban diteriakkan ke bawah, tidak terdengar lagi teriakan-teriakan dari bawah sehingga keadaan menjadi sunyi sekali.

Yang mengepung kota tinggal diam saja dan tidak melakukan gerakan apa-apa, malam itu membuat api unggun, ada pun yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan atas tembok benteng juga kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan kedua pihak begitu percaya satu sama lain sehingga para pemimpinnya dapat tidur nyenyak pada malam hari itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Sui Cin menerima gulungan kertas berisi permintaan-permintaan atau usul-usul dari Yelu Kim yang ditujukan kepada pemerintah Beng-tiauw melalui Yang-ciangkun yang tentu saja berwenang memutuskan peraturan di perbatasan utara karena di perbatasan, yang berlaku adalah peraturan-peraturan militer.

Akan tetapi dara itu tidak keluar sendirian, melainkan diantar sampai keluar pintu gerbang oleh Yelu Kim sendiri. Hal ini selain untuk memperlihatkan niat baik Yelu Kim, juga nenek ini merasa khawatir kalau-kalau ada di antara para kepala suku bangsa yang tidak setuju kemudian hendak mengganggu muridnya. Untuk keperluan menyampaikan surat itu, Sui Cin menunggang seekor kuda putih yang telah disiapkan oleh penjaga di pintu gerbang.

Pintu gerbang dibuka dan dengan diantar oleh Yelu Kim sampai keluar pintu gerbang, Sui Cin menuntun kuda putih dan setelah berpamit kepada gurunya, gadis itu lalu meloncat ke atas kudanya sambil membawa gulungan kertas itu.

Tiba-tiba nampak berkelebat dua bayangan orang yang langsung menghadang kuda yang ditunggangi Sui Cin. Gadis ini terkejut sekali, apa lagi setelah mengenal bahwa dua orang itu bukan lain adalah Raja dan Ratu Iblis sendiri!

Gadis itu berpikir cepat. Tentu kemunculan dua iblis ini ada hubungannya dengan surat yang dibawanya. "Kalian mau apa?" bentaknya marah.

"Menyerahlah dengan baik!" kata Ratu Iblis.

"Huh, kalian kira aku takut? Sampai mati aku tidak sudi menyerah!" Dan tiba-tiba Sui Cin membalapkan kudanya.

Akan tetapi tak mudah dia lolos begitu saja. Tangan Raja Iblis bergerak dan hawa pukulan yang sangat kuat membuat kuda yang ditungganginya terpelanting ke kiri! Untung Sui Cin masih memiliki ketenangan sehingga dengan ginkang-nya yang tinggi dia dapat melompat dan tidak ikut terbanting. Kuda itu terbanting akan tetapi tidak terluka, hanya terkejut saja dan meringkik ketakutan.

Sementara itu, nenek Yelu Kim yang juga melihat kemunculan dua bayangan itu, tidak masuk kembali ke dalam pintu gerbang, melainkan cepat berlari menghampiri tempat itu yang tidak begitu jauh dari tempat dia berdiri.

"Sui Cin, suratnya...!" nenek ini berseru.

Sui Cin maklum apa yang dikehendaki gurunya. Cepat gulungan kertas itu dia lemparkan ke arah nenek yang dengan cepat lalu menyambarnya. Nenek itu langsung meloncat ke atas punggung kuda yang ketakutan dan dia membalapkan kuda itu untuk menggantikan Sui Cin menghadap Yang-ciangkun, menyerahkan sendiri surat tuntutan atau permintaan bangsanya itu.

Akan tetapi kembali Raja Iblis menggerakkan tangan kanannya dan sekali ini bukan untuk melakukan pukulan jarak jauh seperti yang dia lakukan terhadap kuda tadi, melainkan ada benda bersinar putih yang meluncur dari tangan itu menuju ke arah tubuh Yelu Kim yang sedang melarikan kuda. Benda itu berputar-putar cepat seperti hidup dan tahu-tahu sudah hinggap di atas punggung Yelu Kim.

Nenek ini merasa betapa punggungnya panas dan perih sekali. Ia cepat mencengkeram ke arah benda pada punggungnya itu dan menariknya dari punggung. Ketika dilihatnya, ternyata itu adalah sebuah tengkorak kecil, agaknya tengkorak seorang anak kecil.

Nenek ini terkejut sekali lantas membanting tengkorak itu ke atas tanah. Tengkorak pecah berantakan dan dari dalamnya keluar asap hitam! Nenek itu merasa betapa rasa panas menjalar cepat ke seluruh tubuh dan tahulah dia bahwa dia telah terkena senjata beracun yang amat ampuh.

Akan tetapi dia terus saja membalapkan kuda ke depan, ke arah perkemahan pasukan pemerintah yang mengepung Ceng-tek dari jarak antara dua tiga li jauhnya. Dia menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat tubuhnya, terus melarikan kuda putihnya yang kabur karena sudah ketakutan. Nenek itu berhasil mencapai perkemahan dan terpelanting dari atas kudanya sambil masih mencengkeram gulungan kertas.

Beberapa prajurit yang menyaksikan peristiwa itu cepat mengangkutnya ke dalam kemah besar, ke hadapan Yang-ciangkun. Panglima ini cepat-cepat menerima gulungan kertas, dan nenek Yelu Kim hanya sempat mengeluarkan kata-kata begini, "Tai-ciangkun... demi kejujuran seorang pemimpin, kota Ceng-tek kuserahkan akan tetapi penuhilah permintaan-permintaan kami yang sangat pantas ini...," kemudian nenek yang gagah perkasa ini pun menghembuskan napas terakhir di depan Yang-ciangkun.

Berita mengenai kegagahan nenek Yelu Kim ini tersebar luas, dan sampai puluhan tahun kemudian namanya menjadi kebanggaan suku bangsa di timur serta dikagumi pula oleh para pendekar selatan. Tuntutannya adalah pembebasan pajak bagi suku bangsa utara yang membawa barang dagangan keluar masuk perbatasan dan hal ini langsung disetujui oleh Yang-ciangkun sehingga keadaan para pedagang suku bangsa utara menjadi jauh lebih baik.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sementara itu, Sui Cin dengan nekat melakukan perlawanan. Melihat betapa nenek Yelu Kim berhasil lari walau pun agaknya terluka, gadis ini menjadi marah sekali.

"Kalian ini iblis-iblis busuk!" bentaknya. Dia pun sudah menerjang mereka dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulannya yang sangat ampuh sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.

Akan tetapi yang diserangnya adalah Raja Iblis yang luar biasa tangguhnya. Setiap kali kakek bermuka pucat kehijauan itu menangkis, Sui Cin merasa betapa lengannya nyeri dan tergetar hebat. Akan tetapi dia tidak takut dan menyerang terus sehingga kakek itu menjadi marah bukan kepalang.

Bagaimana pun juga tingkat kepandaian Sui Cin tidak dapat dibilang rendah dan sampai belasan kali tubrukan balasan Raja Iblis tidak mampu menangkap Sui Cin yang lincah dan menggunakan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini itu.

Sui Cin tidak membiarkan dirinya ditangkap, bahkan membalas dan ketika dia mengelak dari cengkeraman sepasang tangan Raja Iblis, tiba-tiba dia membalik dan dengan kedua tangannya yang terbuka telapak tangannya, ia melakukan pukulan yang dilakukan dengan mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Angin dahsyat menyambar ke arah Raja Iblis yang diam-diam merasa kagum juga kepada gadis yang pernah membikin dia penasaran dan repot ketika Sui Cin dahulu merampas Tongkat Suci dari tangannya. Kini, kembali dia tidak mampu menangkap gadis ini dalam waktu singkat.

Raja Iblis merasa penasaran sekali. Dia dan isterinya telah gagal dalam pemberontakan membonceng pasukan Ji-ciangkun dan kedua kota benteng telah jatuh kembali ke tangan pemerintah. Ketika melihat betapa pasukan pemerintah berhadapan dengan pasukan liar dari utara, dia masih memiliki harapan agar kedua pihak berperang sehingga keduanya lemah. Namun ternyata Yelu Kim menerima tawaran dan uluran tangan Yang-ciangkun untuk berdamai.

Oleh karena itu, dia segera keluar bersama isterinya untuk menggagalkan ini, merampas surat dan juga menawan Sui Cin untuk dijadikan sandera. Akan tetapi, ternyata nenek Yelu Kim berhasil melarikan surat dan mengorbankan nyawa sendiri, dan kini tinggal dara itu yang juga tidak mudah ditangkap!

Melihat betapa dara itu malah menyerangnya dengan dahsyat, dari dalam mulutnya kakek yang seperti setan itu mengeluarkan suara mencicit seperti burung dan dia pun mengulur kedua tangan ke depan menyambut pukulan Sui Cin.

"Plakkk!"

Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan Raja Iblis merasa betapa tubuhnya tergetar! Maka dia pun semakin kagum, akan tetapi sebaliknya Sui Cin merasa betapa sepasang telapak tangannya melekat pada telapak tangan Raja Iblis. Dia berusaha menarik kedua tangannya akan tetapi merasa betapa ada tenaga menyedot dari kedua telapak tangan iblis itu yang membuat kedua tangannya melekat.

Dan pada saat itu pula, Ratu Iblis sudah bergerak menotok punggungnya. Sui Cin tidak mampu mengelak dan dia pun roboh dengan lemas lalu dipanggul oleh Ratu Iblis.

Namun, pada saat itu serombongan prajurit Yelu Kim sudah menghampiri tempat itu dan mengurung dengan senjata ditodongkan. Akan tetapi nenek Ratu Iblis segera membentak mereka, "Majulah dan nona ini akan kubunuh dulu, baru kalian!"

Melihat betapa Sui Cin yang mereka kenal sebagai pembantu dan murid nenek Yelu Kim sudah tertawan, dan mendengar ancaman Ratu Iblis, pasukan itu tidak berani menyerang maka terpaksa membiarkan saja kakek dan nenek itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Sui Cin yang sudah tidak mampu bergerak.

********************

Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang yang bersama Cia Kong Liang sudah bergabung dengan para pendekar dan turut pula membantu pasukan pemerintah yang mengurung Ceng-tek, melihat betapa nenek Yelu Kim tewas di tangan Raja Iblis. Dari jauh mereka melihat kakek dan nenek itu yang melarikan diri tanpa diganggu oleh pasukan suku utara. Keduanya segera berlari cepat menuju ke depan pintu gerbang Ceng-tek.

Semua orang mengenal Ci Kang yang gagah perkasa karena Ci Kang pernah dicalonkan menjadi jagoan bahkan hampir memperoleh kemenangan kalau tidak dikalahkan oleh Sui Cin.

"Apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak menahan dua orang kakek dan nenek itu tadi?" tanya Ci Kang.

"Mereka menawan nona Sui Cin, jadi kami tidak berani turun tangan."

"Apa?" Cia Sun terkejut mendengar bahwa Sui Cin ditawan Raja dan Ratu Iblis. "Ke mana mereka lari?"

"Ke sana...!" Seorang perwira menunjuk ke arah sebuah bukit yang nampak gundul dari tempat itu.

Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berunding lebih dahulu, Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun berlari menuju ke bukit itu, menggunakan ilmu berlari cepat. Pada saat keduanya tiba di kaki bukit itu, mereka bertemu dengan Hui Song dan sisa murid-murid Cin-ling-pai.

Seperti kita ketahui, Hui Song dan Siang Wi bersama dengan murid-murid Cin-ling-pai, berhasil dibawa keluar dari Ceng-tek oleh Sui Cin. Akan tetapi ketika mereka pergi ke San-hai-koan untuk mencari ketua mereka, ternyata San-hai-koan sedang dalam perang sehingga mereka tidak dapat masuk kota benteng itu. Terpaksa mereka menjauhkan diri karena mereka merasa khawatir akan terjadi salah paham dari pasukan pemerintah yang agaknya sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai bersekutu dengan pemberontak.

Sesudah perang berakhir, barulah Hui Song, Siang Wi dan saudara-saudara seperguruan mereka mendengar bahwa Cia Kong Liang kini membantu pasukan pemerintah dan turut menyerang ke Ceng-tek. Mereka merasa gembira sekali, dan mereka pun mengejar ke Ceng-tek.

Biar pun hati Hui Song tetap tidak senang melihat Ci Kang, akan tetapi ketika melihat Cia Sun dia segera bertanya, "Cia Sun, engkau hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan di Ceng-tek? Apakah engkau bertemu dengan ayah?"

Cia Sun mengangguk. "Kami bersama-sama dengan ayahmu dan beliau sekarang berada di antara pasukan yang mengepung Ceng-tek. Kami berdua hendak mengejar Raja dan Ratu Iblis yang telah menawan dan melarikan nona Sui Cin..."

"Apa...?!" Hui Song menjadi pucat wajahnya. "Ke mana dia dibawa lari?"

"Ke bukit itu, dan kita hendak mencarinya!" kata Cia Sun dan dia pun cepat mengejar Ci Kang yang agaknya tidak mau banyak cakap dan sudah lari lagi.

"Aku ikut...!" kata Hui Song. "Sumoi, bawa saudara-saudara menemui ayah di luar kota Ceng-tek!" Dan dia pun cepat mengerahkan tenaganya untuk mengejar Ci Kang dan Cia Sun. Mereka bertiga seperti orang berlomba lari menuju ke bukit yang nampak gundul dan hitam dari tempat itu.

Bukit itu memang gundul dan kering. Sesudah didekati, nampak bahwa bukit itu hanya terdiri dari padang pasir dan batu-batu karang belaka, tidak nampak sedikit pun tumbuh-tumbuhan. Dan di sebuah lereng bukit karang, mereka melihat pemandangan yang dari jauh nampak amat menegangkan hati sehingga dengan sendirinya ketiganya berhenti dan memandang ke arah depan. Di sana, dalam jarak puluhan meter, nampak Sui Cin sedang berdiri bersandar tiang dan jelas bahwa gadis itu diikat pada tiang itu.

"Itu Sui Cin...!" Hui Song berteriak dan dialah yang lebih dahulu meloncat dan lari, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang.

"Cin-moi...!" Hui Song berseru setelah tiba dekat.

"Song-ko! Jangan mendekat...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru dan seruan ini mengejutkan tiga orang pemuda itu. Mereka berdiri memandang dengan alis berkerut dan memperhatikan keadaan.

Ternyata Sui Cin terikat pada sebuah tiang baja yang terletak di tengah-tengah lingkaran segi delapan. Pat-kwa atau Segi Delapan itu terbuat dari batu dan bentuknya biasa saja, akan tetapi amat mencurigakan. Garis tengahnya kurang lebih enam meter dan jarak dari sisi segi delapan itu ke tiang di mana Sui Cin terikat, sekitar tiga meter.

Tempat di mana Sui Cin diikat itu tak dapat dijangkau dengan tangan. Untuk menghampiri atau menolong dara itu, orang terpaksa harus naik dan menginjak batu segi delapan yang tebalnya antara dua kaki itu. Dilihat begitu saja, tentu akan mudah melepaskan belenggu yang mengikat kedua lengan Sui Cin pada tiang di belakangnya.

Akan tetapi tiga orang muda itu bukan orang sembarangan, apa lagi ada cegahan Sui Cin yang membuat mereka mengerti bahwa segi delapan ini merupakan suatu jebakan yang mengandung rahasia yang amat berbahaya bila diinjak oleh orang yang hendak menolong gadis itu.

"Jangan mendekat dari arah depan. Tadi ada seorang pendekar yang tewas akibat hendak menolongku. Pasir di depan itu adalah pasir yang bisa membunuh, menyedot orang yang menginjaknya. Ahh, mengerikan sekali...! Aku melihat orang yang hendak menolongku itu tersedot, menangis tanpa aku mampu menolongnya hingga akhirnya dia lenyap ke bawah permukaan pasir..." Suara gadis itu tergetar hebat. "Raja Iblis sengaja menaruh aku di sini untuk menjebak kalian yang tentu datang mencoba untuk menolongku. Hati-hati, jangan sembarangan bergerak."

Tentu saja tiga orang pemuda itu menjadi terkejut sekali dan bingung. Mereka berdiri agak jauh di depan Sui Cin.

Kini gadis itu dapat melihat mereka semua dan wajahnya berseri gembira. Tidak dikiranya bahwa tiga orang pemuda itulah yang datang hendak menolongnya, tiga orang pemuda yang begitu dekat dengan hatinya! Baru kini seperti terbuka matanya bahwa mereka itu, Cia Sun, Cia Hui Song, dan Siangkoan Ci Kang, semua mencintanya, jatuh hati padanya!

Ketika melihat mereka bertiga itu berdiri berjajar di hadapannya, hati Sui Cin yakin bahwa sesungguhnya perasaan hatinya lebih condong kepada Hui Song. Apa pun kekurangan pemuda ini kalau dibandingkan dengan dua orang pemuda yang lain, tetap saja perasaan Sui Cin lebih dekat dengannya dan dia tahu bahwa Hui Song memiliki watak dan cita rasa yang mirip dengannya. Hanya dengan Hui Song dia dapat bergembira, dapat bertengkar, berbaik kembali, berbantahan dan saling mengalah.

Cia Sun terlalu serius, terlalu halus perasaannya sehingga tentu mudah tersinggung. Ada pun Siangkoan Ci Kang mungkin yang paling gagah di antara mereka, penuh daya tarik kejantanan, akan tetapi juga pendiam dan bahkan agak dingin. Sekarang, dalam keadaan terancam bahaya seperti itu, memang lucu sekali, gadis ini mengambil keputusan bahwa yang dicintanya hanyalah Hui Song.

"Cin-moi, aku harus menolongmu. Aku dapat meloncat ke atas batu dan membebaskan dirimu, tanpa menginjak tanah di tepi batu pat-kwa ini!" kata Hui Song.

"Jangan...! Hati-hatilah, Song-ko, engkau akan celaka nanti. Batu pat-kwa ini mengandung alat-alat rahasia yang sangat mengerikan. Aku melihat sendiri betapa Raja dan Ratu Iblis melakukan langkah-langkah aneh ketika menginjak batu pat-kwa ini, dan aku yakin bahwa jika sekali saja salah langkah dan menginjak bagian yang ada alat rahasianya, maka akan terjadi hal-hal yang mengerikan."

"Aku tidak takut, kalau perlu aku boleh saja mati untuk menolongmu!"

"Nanti dulu, paman Hui Song! Kalau alat rahasia itu mengakibatkan kematianmu masih baik, akan tetapi bagaimana kalau alat rahasia itu bekerja membunuh Sui Cin?" kata Cia Sun dan wajah Hui Song berubah menjadi pucat karena dia teringat akan kemungkinan ini dan membayangkan kematian mengerikan bagi Sui Cin sebagai akibat perbuatannya yang gegabah!

"Begini saja!" mendadak Ci Kang berkata. "Aku yang akan mencoba menghampiri nona Ceng dengan berjalan di atas batu pat-kwa. Kalau terjadi apa-apa dengan diriku, biarlah, aku rela mati. Dan jika terjadi sesuatu dengan nona Ceng, kalian berdua berjaga-jaga dan melindunginya."

"Biar aku saja yang mencobanya, Ci Kang," kata Cia Sun. "Engkau dan paman Hui Song yang berjaga-jaga melindungi Cin-moi."

"Jangan...!" Kini Hui Song yang berteriak. "Apakah kalian berdua hendak mempermainkan keselamatan Cin-moi? Tidak, tidak boleh gegabah! Kita harus menyelidiki dahulu keadaan batu pat-kwa ini dan sekelilingnya!"

"Lalu apa yang akan kau lakukan, paman Hui Song?"

"Kita selidiki dulu tanah di sekeliling pat-kwa ini." Hui Song mengambil batu-batu sebesar kepala orang. Dia melemparkan batu itu di dekat batu pat-kwa di depan Sui Cin dan benar saja, begitu tersentuh batu, mendadak pasir di depan batu pat-kwa itu bergerak memutar dan batu itu lantas disedot dengan cepat sekali ke bawah! Hui Song mencoba lagi untuk melihat di mana batas pasir berputar itu dan ternyata sampai sejauh tiga meter di bagian itu masih berbahaya.

Tanpa diminta lagi, kini Cia Sun dan Ci Kang membantu pemuda Cin-ling-pai itu. Mereka menggunakan batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu pat-kwa. Ada bagian yang kalau diinjak atau kejatuhan batu mengeluarkan paku-paku beracun, bahkan ada pula yang mengeluarkan asap beracun sehingga tidaklah mungkin menghampiri batu pat-kwa dengan menginjak tanah di sekelilingnya, kecuali satu bagian saja yang ketika dijatuhi batu tidak mengakibatkan apa-apa. Bagian ini berada di sebelah kiri Sui Cin. Ketika beberapa kali mereka melempukan batu di segi itu dan tidak terjadi reaksi apa-apa seperti yang terjadi pada tujuh segi yang lain, mereka pun menjadi girang.

"Bagian ini tidak mengandung perangkap!" kata Hui Song.

"Biar aku sekarang mencoba naik ke batu pat-kwa," kata Ci Kang sambil melangkah maju.

"Tidak! Engkau tidak boleh mendekatinya. Akulah yang berhak menolong Cin-moi, bukan engkau!" Hui Song yang masih sangat membenci Ci Kang karena perbuatannya yang lalu terhadap Sui Cin, membentak marah.

"Hemm, mengapa harus engkau saja?" Ci Kang merasa mendongkol dan membantah.

"Karena dia... dia... adalah orang yang kucinta!" dengan jujur Hui Song mengaku begitu saja sehingga wajah Sui Cin menjadi merah dan hatinya juga mendongkol mengapa Hui Song begitu lancang untuk bicara soal cinta di hadapan orang-orang lain dalam keadaan seperti itu.

"Hemm, engkau sungguh terlalu tinggi hati," kata Ci Kang tak puas.

"Paman Hui Song, siapa pun orangnya boleh saja jatuh cinta kepada Cin-moi tetapi hanya dialah yang akan menentukan siapa yang berhak memiliki hatinya. Akan tetapi jika untuk menolongnya kukira tidak ada perbedaan, semua pun berhak."

"Tidak! Biarlah aku yang mencobanya terlebih dahulu, dan kuharap engkau suka menjaga kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam dirinya, Cia Sun." Kemudian, tanpa memberi kesempatan kepada dua orang pemuda yang lain, Hui Song lalu melangkah ke atas tanah yang tadi telah dicoba berkali-kali dengan lemparan batu dan tidak terjadi sesuatu. Sui Cin yang tadi merasa bingung melihat betapa terjadi pertengkaran di antara mereka bertiga, kini memandang dengan hati khawatir.

Tiba-tiba terdengar ledakan dan Hui Song cepat meloncat ke belakang sambil berjungkir balik. Untung dia dapat bergerak cepat dan bersikap waspada. Ternyata, tanah yang tadi sudah diselidiki dan dicoba dengan lemparan batu dan tidak berbahaya itu, begitu terkena injakan kakinya langsung melemparkan batu dan pasir ke atas disertai suara ledakan dari bawah!

"Sungguh aneh! Kenapa tadi ketika dicoba dengan batu tidak apa-apa?" tanya Hui Song.

Cia Sun juga merasa heran dan dia sudah melemparkan lagi sebuah batu ke tempat itu. Kembali terdengar ledakan dan pasir bersama batu menyambar ke atas disertai ledakan dari bawah!

"Ahh, aku tahu sekarang!" kata Ci Kang yang segera menusuk-nusukkan sebatang kayu yang didapatnya ke atas tanah di sebelah kanan bagian yang meledak tadi. Dan di bagian itu, ketika ditusuk-tusuk, tidak terjadi apa-apa. Padahal tadi bagian itu pada saat disentuh mengeluarkan paku-paku beracun!

"Aku mengerti sekarang. Lihat, bayangan tiang itu tadi tiba di segi yang meledakkan pasir dan ketika dicoba tidak apa-apa. Kini bayangan tiang telah bergeser ke kanan, jatuh pada bagian ini dan bagian ini yang tadi menyemburkan paku kini tidak berbahaya. Sebaliknya, bagian yang tadi terkena bayangan dan tidak berbahaya, kini malah menjadi berbahaya! Agaknya bayangan tiang itu membuat alat rahasia pada bagian atau segi yang tertutup bayangan menjadi lumpuh dan alat rahasia itu tidak bekerja!"

Dua orang pemuda yang lainnya turut mencoba-coba dan memang betul. Kini bagian yang terkena bayangan, yang nampak melintang hitam di satu segi dari batu pat-kwa, ketika dilempar batu tanah di depannya, tidak terjadi apa-apa.

"Aku akan naik, harap kalian menjaga nona Sui Cin!" kata Ci Kang dan dengan berani dia sudah melangkah ke depan.

Tanah itu diinjaknya dan tidak terjadi apa-apa. Dia melangkah menghampiri batu pat-kwa, dipandang dengan jantung berdebar oleh Sui Cin. Dua orang pemuda yang lain, karena keduluan Ci Kang maka terpaksa hanya berdiri dengan sikap penuh kewaspadaan mereka menjaga kalau-kalau Sui Cin akan terancam bahaya bekerjanya alat rahasia.

Ci Kang sudah tiba di dekat batu pat-kwa. Dia tidak mau gegabah naik ke atas batu-batu pat-kwa itu, akan tetapi lebih dulu menggunakan tongkat kayu tadi memukul permukaan batu pada kotak pertama. Setelah tidak terjadi sesuatu, dia kemudian naik dan menginjak bagian itu. Dengan tongkatnya, dia lalu memukul kembali bagian depan, juga tidak terjadi apa-apa.

Kotak ketiga di depan dibagi menjadi dua oleh sebuah garis. Ci Kang meragu. Yang mana yang harus dipukul untuk mencari landasan yang aman. Dengan hati-hati dia memukulkan tongkatnya ke atas kotak yang kiri dan tiba-tiba saja bagian itu terbuka kemudian nampak berkelebat dua sinar hitam, satu ke arah Ci Kang dan yang lain ke arah Sui Cin!

Ci Kang cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik melompat ke bawah batu pat-kwa sehingga anak panah hitam itu meluncur lewat dan tak mengenai tubuhnya. Dan pada saat itu pula Hui Song sedang melemparkan sebuah batu besar untuk menyambit anak panah yang meluncur dan menyambar ke arah Sui Cin.

"Takkk...!"

Anak panah itu terpukul batu lalu mencelat jauh keluar dari batu pat-kwa. Wajah Sui Cin menjadi agak pucat dan wajah tiga orang pemuda itu pun diliputi ketegangan.

"Benar-benar berbahaya!" kata Cia Sun. "Biarlah sekarang aku yang mencobanya, harap kalian suka menjaga baik-baik." Tanpa menunggu jawaban, dia pun menghampiri bagian segi yang tadi dilalui Ci Kang.

Seperti juga Ci Kang, dia berhasil naik sampai ke dalam kotak kedua dan di sini, dengan hati-hati dia mempergunakan ujung kakinya menekan kotak yang kanan dari kotak yang terbagi dua itu. Ternyata di sini aman, tidak seperti di bagian kiri yang tadi menyemburkan anak panah. Dua orang pemuda lain memandang penuh ketegangan.

Di depan kotak ketiga yang terbagi dua itu pun terdapat kotak yang terbagi dua. Satu segi dari batu pat-kwa itu terbagi menjadi lima kotak dengan garis melintang dan pada bagian yang dilalui Cia Sun itu kotak ketiga dan keempat terbagi menjadi dua. Di sini Cia Sun menjadi ragu lagi. Kotak mana yang harus dilaluinya.

Dia sudah cukup dekat dengan Sui Cin, namun belum dapat menjangkau ke depan untuk melepaskan belenggu pada kedua pergelangan lengan gadis itu. Dia masih harus melalui dua bagian lagi ke depan. Dengan sangat hati-hati dan secara untung-untungan, kakinya menginjak bagian kanan dari kotak yang terbagi dua itu.

"Blarrrrr...!"

Bagian itu terbuka dan dengan desis yang mengerikan, keluarlah dua ekor ular sendok yang agaknya sudah kelaparan karena dua ekor ular itu tiba-tiba menyerang ke arah Cia Sun dan Sui Cin. Dalam keadaan berdiri dengan sebelah kaki seperti itu, tentu saja Cia Sun tidak dapat melawan serangan ular dan menghindarkan diri, dia lalu melempar tubuh ke belakang seperti yang dilakukan oleh Ci Kang tadi.

Akan tetapi Ci Kang dan Hui Song yang sudah siap siaga, menggerakkan tangan dan dua buah batu menghantam dua ekor ular itu sehingga dua binatang berbisa itu terlempar jauh dengan kepala hancur oleh dua buah batu yang disambitkan dengan kekuatan besar itu. Kini mereka bertiga saling pandang dengan muka pucat.

"Berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Sungguh tidak mungkin menghampiri Sui Cin melalui atas batu pat-kwa, terlalu berbahaya baginya, harus dicari jalan lain."

"Aku tahu," kata Hui Song "Aku akan melompat ke atas tiang itu. Dengan demikian aku akan melewati batu pat-kwa dan dari atas tiang, aku dapat membebaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin."

"Jangan, Song-ko, terlampau berbahaya. Bagaimana kalau sampai engkau terjebak dan celaka?" seru Sui Cin penuh kekhawatiran.

Bukan main gembiranya rasa hati Hui Song mendengar dan melibat kekhawatiran gadis itu. Mungkinkah Sui Cin demikian mengkhawatirkan keselamatan dirinya karena gadis itu mencintanya?

"Ahhh, apa artinya mala petaka bagiku, Cin-moi? Yang penting asal engkau selamat dan segera bebas dari tempat ini!"

Sesudah berkata demikian, dengan penuh semangat karena terdorong rasa gembiranya, Hui Song kemudian meloncat ke atas. Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dia melayang ke arah tiang di tengah batu pat-kwa dan hinggap di puncak tiang itu. Akan tetapi, begitu kedua kakinya menginjak tiang, tiba-tiba terdengar suara keras dan tiang itu pun lalu berputar dengan cepat sekali, membawa tubuh Sui Cin dan Hui Song berputaran dengan cepat.

Karena Sui Cin tidak mampu bergerak, kedua pergelangan tangannya terikat di belakang tiang, ia merasa ngeri dan hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya maut yang mungkin tidak dapat dihindarkannya lagi.

Tubuh Hui Song yang berdiri dengan sebelah kaki di atas tiang, berpusing dengan sangat cepatnya pula. Pemuda ini pun menjadi sangat bingung karena dia tidak mungkin dapat menghentikan gerakan tiang yang berputar dengan sangat cepatnya itu, yang membawa tubuhnya berpusing seperti kitiran. Bagaimana pun pandainya, mana mungkin dia dapat menggunakan tenaga untuk melawan perputaran tiang.

Yang sangat membingungkan hatinya adalah karena dia sedang memikirkan keselamatan gadis yang dicintanya, yang kini juga ikut berpusing di sebelah bawahnya. Dia tidak begitu memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi lebih mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.

Semua orang yang berada di luar batu pat-kwa juga terbelalak bingung. Apa bila tiang itu tidak cepat dapat dihentikan, kalau kedua orang itu terus berpusing seperti itu cepatnya, maka akan berbahayalah keadaan mereka. Orang dapat saja tewas hanya karena diputar secepat itu, atau setidaknya akan gila karena ketakutan.

"Hui Song, cepat meloncat turun!" tiba-tiba Ci Kang membentak dengan nyaring. Dia tidak ingat lagi dengan segala ketidak senangan hatinya dan menyebut nama Hui Song begitu saja di luar kesadarannya, saking gelisahnya melihat Sui Cin dan Hui Song yang masih terus berpusing seperti itu.

Barulah Cia Sun teringat dan dia pun cepat meneriaki Hui Song supaya segera meloncat turun. Tadinya Hui Song sendiri tidak sadar dan sudah mengambil keputusan untuk mati bersama Sui Cin. Akan tetapi, setelah mendengar teriakan-teriakan kedua orang pemuda di bawah itu, teringatlah dia bahwa berpusingnya tiang karena terinjak olehnya dan besar sekali kemungkinan tiang itu akan berhenti kalau tidak diinjak.

Akan tetapi, meloncat turun sampai di luar batu pat-kwa dalam keadaan berputar secepat itu bukanlah hal yang mudah dan tidak berbahaya. Betapa pun juga, ketika teringat akan keselamatan Sui Cin, dia tak peduli lagi akan bahaya apa pun yang akan mengancamnya dan setelah mengumpulkan tenaga, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat meninggalkan tiang.

Tentu saja dia tidak dapat mempergunakan perhitungan karena pandang matanya sudah kabur dan dia tidak dapat melihat ke arah mana dia melompat. Bayangan kedua orang pemuda di luar batu pat-kwa itu pun sudah tidak kelihatan lagi olehnya saking cepatnya tubuhnya berpusing.

Asmara Berdarah Jilid 35

SEMENTARA itu, pertempuran di kota San-hai-koan juga terjadi dengan amat serunya. Sisa pasukan pemberontak yang berada di San-hai-koan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba pasukan pemerintah yang berjumlah besar sekali telah mengepung San-hai-koan.

Mereka dipimpin oleh Ji-ciangkun dan para pembantunya yang melawan dengan gigih dan mempertahankan benteng San-hai-koan mati-matian. Juga para pembantu Raja Iblis, yaitu datuk-datuk sesat beserta tokoh-tokoh dunia hitam, ikut membantu pasukan pemberontak mempertahankan benteng itu.

Akan tetapi pasukan pemerintah jauh lebih kuat, dan pasukan ini pun dibantu oleh para pendekar yang kini membalas dendam kepada pasukan pemberontak. Maka dalam waktu sehari semalam saja benteng itu pun bobol lantas pertempuran terjadi dengan serunya di dalam kota San-hai-koan.

Cia Sun dan Ci Kang sekarang mengikuti Cia Kong Liang yang memimpin mereka untuk menggempur para pemberontak dari dalam. Mereka bertiga mengamuk sampai mereka dapat bertemu dengan para pendekar yang membantu pemerintah.

Melihat betapa ketua Cin-ling-pai kini malah membantu pasukan pemerintah menggempur pemberontak, para pendekar menjadi amat girang dan mereka menganggap bahwa berita tentang Cin-ling-pai yang bersekutu dengan para pemberontak ternyata tidak benar, atau mungkin juga ketua Cin-ling-pai sudah menggunakan siasat pura-pura bersekutu dengan pemberontak untuk dapat menggempur dari sebelah dalam!

Sesudah para pemberontak akhirnya tidak mampu melawan lagi, sebagian besar tewas, sebagian melarikan diri dan sebagian pula menakluk, Ci Kang dan Cia Sun cepat kembali ke tempat rahasia di mana Hui Cu tadi mereka tinggalkan. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hati mereka ketika mereka tidak lagi melihat gadis itu di tempat itu. Hui Cu telah hilang dan mereka berdua tidak tahu apakah gadis itu pergi sendiri dari situ ataukah dilarikan orang.

Juga dalam penyerbuan itu, walau pun mereka semua sudah mencari-cari bersama para pendekar lain, namun tidak ditemukan jejak Raja dan Ratu Iblis bersama Hui-thian Su-kwi dan beberapa orang datuk sesat lain. Juga Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tidak dapat mereka temukan. Hanya Ji-ciangkun yang akhirnya bisa mereka tawan hidup-hidup dalam keadaan luka-luka, namun panglima pemberontak ini pun tidak dapat menjawab ke mana larinya Raja Iblis dan kaki tangannya itu.

Tentu saja para pendekar merasa menyesal sekali. Mereka tadinya sudah siap-siap untuk mengeroyok dan membasmi para datuk sesat. Ternyata tokoh-tokoh terpenting mereka dapat melarikan diri.

Setelah kota San-hai-koan jatuh tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga bagi pasukan pemerintah, Yang-ciangkun lalu mengerahkan pasukan untuk menuju ke Ceng-tek. Seperti yang sudah diperhitungkannya, pasukan pemberontak sedang mengepung kota Ceng-tek dan menghamburkan banyak tenaga untuk mencoba membobol benteng Ceng-tek yang sudah diduduki oleh pasukan Yelu Kim. Dan selagi kedua pihak itu kelelahan, muncullah pasukan pemerintah dari San-hai-koan yang keadaannya masih segar dan dalam jumlah yang besar, dibantu pula oleh para pendekar yang penuh semangat.

Tentu saja pasukan pemberontak yang tengah mengepung Ceng-tek menjadi terkejut dan panik ketika mendadak mereka diserang oleh pasukan pemerintah dari belakang. Apa lagi sesudah mereka mendengar berita bahwa benteng pertama mereka, San-hai-koan, telah direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Berarti mereka telah kehilangan kedua benteng itu. Ceng-tek direbut oleh pasukan suku bangsa utara sedangkan San-hai-koan dirampas oleh pasukan pemerintah.

Pasukan pemberontak masih mencoba untuk melakukan perlawanan, akan tetapi mereka dihimpit dari depan dan belakang. Dalam waktu sehari saja mereka pun hancur lebur dan cerai berai, sebagian besar melarikan diri atau menakluk.

Dan terjadi perubahan pula di Ceng-tek. Pasukan Yelu Kim masih tetap mempertahankan kota itu namun kini yang mengepung kota itu adalah pasukan pemerintah yang jauh lebih kuat lagi dibandingkan pasukan pemberontak tadi.

Yang-ciangkun adalah seorang panglima yang pandai dan bijaksana. Biar pun dia sudah mendengar bahwa Yelu Kim memimpin para kepala suku bangsa di utara untuk bergerak, pertama-tama menduduki benteng Ceng-tek untuk kemudian menyerbu ke selatan untuk menegakkan kembali kekuasaan bangsa utara di selatan, namun dia menganggap bahwa Yelu Kim telah berjasa bagi pemerintah dalam menghadapi para pemberontak.

Dia pun tahu bahwa tidak ada untungnya menanam bibit permusuhan dengan suku-suku bangsa liar yang kalau sudah bersatu akan menjadi amat kuat itu. Lebih baik mengambil jalan damai dengan mereka, baru kalau tidak ada jalan lain, terpaksa harus dipergunakan kekerasan.

Oleh karena itu, Yang-ciangkun kemudian menyuruh para pembantunya untuk menyuruh penyiar yang suaranya keras supaya menyampaikan pesan dan usulnya kepada pimpinan pasukan para suku bangsa utara. Beberapa orang yang mempunyai suara nyaring dan memang bertugas untuk itu, segera maju ke depan dengan corong-corong di depan mulut mereka kemudian terdengarlah teriakan-teriakan mereka bergema dengan amat kuatnya.

"Para pimpinan suku bangsa yang gagah, dengarlah baik-baik pesan dari Yang-ciangkun! Kami tidak menganggap kalian sebagai musuh, akan tetapi sebagai sahabat yang sudah membantu kami membasmi para pemberontak. Oleh karena itu, kami harap kalian suka menyerahkan benteng Ceng-tek kembali kepada kami supaya persahabatan di antara kita tidak terganggu!"

Berkali-kali kalimat-kalimat itu diteriakkan oleh para penyiar hingga terdengar oleh mereka yang bertugas jaga di pintu gerbang atau di atas tembok benteng dan tentu saja segera disampaikan kepada Yelu Kim.

Nenek itu berada di atas menara yang menjadi pusat di mana dia memimpin para kepala suku bangsa dan pasukan mereka. Nenek ini sedang duduk berdua saja dengan Sui Cin dan merasa bimbang sekali. Ketika menerima laporan tentang usul yang diteriakkan oleh Yang-ciangkun, nenek itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. Dia merasa penasaran, akan tetapi juga ragu-ragu.

"Keparat! Dengan susah payah kita merebut benteng ini, dengan pengorbanan ribuan jiwa pasukan, dengan cucuran keringat dan darah. Dan sekarang hendak diminta begitu saja? Mana mungkin aku dapat memberikan kepada mereka?"

Semenjak tadi Sui Cin memandang wajah nenek itu. Ia merasa kagum terhadap nenek ini yang dengan gagah dan pandainya sudah memimpin pasukan utara itu sehingga berhasil menduduki Ceng-tek. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kini, sesudah pasukan pernerintah datang dan berhadapan dengan pasukan Yelu Kim, dia sendiri tidak mungkin membantu nenek yang menjadi penolong dan gurunya ini. Maka, mendengar usul yang diajukan oleh Yang-ciangkun, Sui Cin melihat suatu cara yang baik untuk turun tangan, yaitu membujuk nenek ini agar suka menerima uluran tangan Yang-ciangkun.

"Subo...," katanya lirih dan hati-hati.

"Hemm...?" Nenek yang sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri itu agak kaget dan memandang muridnya.

"Subo tentu percaya kepadaku, bukan?"

"Percaya apa?"

"Percaya bahwa aku selalu memiliki iktikad baik terhadap subo serta pasukan yang subo pimpin."

Nenek itu memperlebar matanya dan memandang tajam. "Tentu saja. Sudah banyak yang kau lakukan untukku, Sui Cin, dan untuk itu aku berterima kasih sekali padamu. Bila aku tidak percaya padamu, tentu selama ini engkau tidak kuberi tugas yang penting-penting."

"Terima kasih! Aku suka menjadi murid dan pembantu subo, bukan hanya karena terikat perjanjian, bukan pula hanya karena aku sudah menerima budi pertolongan subo, namun karena aku merasa suka kepada subo yang gagah perkasa dan bijaksana, juga aku suka melihat pasukan suku bangsa utara yang demikian gagah berani. Nah, karena rasa suka itulah maka aku hendak mengemukakan pendapatku tentang penawaran Yang-ciangkun kepada subo, akan tetapi kuharap subo tidak merasa tersinggung dan menjadi marah."

Nenek itu tersenyum dan memandang lembut. "Muridku, apa kau sangka aku belum juga mengenalmu sehingga tak tahu akan isi hatimu? Selama ini engkau membantuku karena melihat aku menentang kaum pemberontak. Engkau adalah seorang gadis pendekar dan tentu engkau pun menentang para kaum sesat yang menunggangi pasukan pemberontak. Bila mana kami berhadapan dengan pasukan pemerintah, jelas bahwa engkau tidak akan membantu kami sungguh pun aku percaya engkau tidak akan tega untuk mengkhianatiku. Bukankah demikian?"

Sui Cin terkejut dan memandang nenek itu dengan kagum. Sungguh seorang wanita tua yang cerdik dan bijaksana sekali. Pantaslah jika menjadi keturunan Yelu Ce-tai yang amat terkenal di jaman awal pemerintah Mongol itu.

"Sungguh tepat sekali wawasan subo."

"Nah, kini katakanlah apa yang menjadi pendapatmu mengenai keadaan kita sekarang ini."

"Begini, subo. Ceng-tek telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang jumlahnya sangat besar. Tanpa diserang sekali pun, baru dikepung saja sampai satu bulan lebih, tentu kita akan kehabisan ransum lantas akan celaka. Andai kata kita melawan pun, tidak mungkin dapat menang. Aku yakin subo tak akan sebodoh itu, membiarkan pasukan hancur lebur hanya untuk mempertahankan sebuah benteng kecil seperti Ceng-tek ini. Kalau menurut pendapatku, akan jauh lebih menguntungkan kalau menerima usul Yang-ciangkun, yakni menyerahkan kembali benteng ini dalam suasana damai dan bersahabat dari pada harus mempertahankan dengan kekerasan dan akhirnya melihat pasukan subo dihancurkan."

"Pendapatmu itu memang tepat dan cocok sekali dengan apa yang kupikirkan, muridku. Tetapi pantaskah jika aku memberikan kota ini begitu saja sehingga semua pengorbanan yang telah kita lakukan itu, kematian ribuan orang saudara itu, menjadi sia-sia dan tanpa guna sama sekali bagi bangsa kami?"

"Subo, Yang-ciangkun mengulurkan tangan sebagai sahabat. Seorang sahabat yang baik tentu tidak hanya pandai meminta saja, akan tetapi juga pandai pula memberi. Minta dan memberi merupakan syarat persahabatan yang baik. Apa bila subo menyerahkan kota ini dengan damai, tentu subo dapat pula mengajukan permintaan-permintaan yang kiranya akan berguna bagi bangsa-bangsa di utara sehingga pengorbanan itu tidak sia-sia belaka melainkan ada pula hasilnya, bukan?"

"Aihh, benar sekali, Sui Cin!" Nenek itu bangkit dan merangkul muridnya. "Mengapa aku tidak berpikir sampai ke situ? Engkau benar sekali. Kini aku akan menyusun permintaan-permintaan itu dan aku tahu siapa yang akan menjadi utusan atau wakilku. Engkaulah orangnya yang akan menyampaikan permintaan dan usul kami kepada Yang-ciangkun!"

Sui Cin gembira sekali. "Aku bersedia, subo!"

Nenek itu lalu memerintahkan pembantunya untuk menjawab teriakan-teriakan dari bawah itu, menyatakan bahwa jawabannya akan dikirim besok pagi-pagi setelah matahari terbit. Setelah jawaban diteriakkan ke bawah, tidak terdengar lagi teriakan-teriakan dari bawah sehingga keadaan menjadi sunyi sekali.

Yang mengepung kota tinggal diam saja dan tidak melakukan gerakan apa-apa, malam itu membuat api unggun, ada pun yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan atas tembok benteng juga kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan kedua pihak begitu percaya satu sama lain sehingga para pemimpinnya dapat tidur nyenyak pada malam hari itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Sui Cin menerima gulungan kertas berisi permintaan-permintaan atau usul-usul dari Yelu Kim yang ditujukan kepada pemerintah Beng-tiauw melalui Yang-ciangkun yang tentu saja berwenang memutuskan peraturan di perbatasan utara karena di perbatasan, yang berlaku adalah peraturan-peraturan militer.

Akan tetapi dara itu tidak keluar sendirian, melainkan diantar sampai keluar pintu gerbang oleh Yelu Kim sendiri. Hal ini selain untuk memperlihatkan niat baik Yelu Kim, juga nenek ini merasa khawatir kalau-kalau ada di antara para kepala suku bangsa yang tidak setuju kemudian hendak mengganggu muridnya. Untuk keperluan menyampaikan surat itu, Sui Cin menunggang seekor kuda putih yang telah disiapkan oleh penjaga di pintu gerbang.

Pintu gerbang dibuka dan dengan diantar oleh Yelu Kim sampai keluar pintu gerbang, Sui Cin menuntun kuda putih dan setelah berpamit kepada gurunya, gadis itu lalu meloncat ke atas kudanya sambil membawa gulungan kertas itu.

Tiba-tiba nampak berkelebat dua bayangan orang yang langsung menghadang kuda yang ditunggangi Sui Cin. Gadis ini terkejut sekali, apa lagi setelah mengenal bahwa dua orang itu bukan lain adalah Raja dan Ratu Iblis sendiri!

Gadis itu berpikir cepat. Tentu kemunculan dua iblis ini ada hubungannya dengan surat yang dibawanya. "Kalian mau apa?" bentaknya marah.

"Menyerahlah dengan baik!" kata Ratu Iblis.

"Huh, kalian kira aku takut? Sampai mati aku tidak sudi menyerah!" Dan tiba-tiba Sui Cin membalapkan kudanya.

Akan tetapi tak mudah dia lolos begitu saja. Tangan Raja Iblis bergerak dan hawa pukulan yang sangat kuat membuat kuda yang ditungganginya terpelanting ke kiri! Untung Sui Cin masih memiliki ketenangan sehingga dengan ginkang-nya yang tinggi dia dapat melompat dan tidak ikut terbanting. Kuda itu terbanting akan tetapi tidak terluka, hanya terkejut saja dan meringkik ketakutan.

Sementara itu, nenek Yelu Kim yang juga melihat kemunculan dua bayangan itu, tidak masuk kembali ke dalam pintu gerbang, melainkan cepat berlari menghampiri tempat itu yang tidak begitu jauh dari tempat dia berdiri.

"Sui Cin, suratnya...!" nenek ini berseru.

Sui Cin maklum apa yang dikehendaki gurunya. Cepat gulungan kertas itu dia lemparkan ke arah nenek yang dengan cepat lalu menyambarnya. Nenek itu langsung meloncat ke atas punggung kuda yang ketakutan dan dia membalapkan kuda itu untuk menggantikan Sui Cin menghadap Yang-ciangkun, menyerahkan sendiri surat tuntutan atau permintaan bangsanya itu.

Akan tetapi kembali Raja Iblis menggerakkan tangan kanannya dan sekali ini bukan untuk melakukan pukulan jarak jauh seperti yang dia lakukan terhadap kuda tadi, melainkan ada benda bersinar putih yang meluncur dari tangan itu menuju ke arah tubuh Yelu Kim yang sedang melarikan kuda. Benda itu berputar-putar cepat seperti hidup dan tahu-tahu sudah hinggap di atas punggung Yelu Kim.

Nenek ini merasa betapa punggungnya panas dan perih sekali. Ia cepat mencengkeram ke arah benda pada punggungnya itu dan menariknya dari punggung. Ketika dilihatnya, ternyata itu adalah sebuah tengkorak kecil, agaknya tengkorak seorang anak kecil.

Nenek ini terkejut sekali lantas membanting tengkorak itu ke atas tanah. Tengkorak pecah berantakan dan dari dalamnya keluar asap hitam! Nenek itu merasa betapa rasa panas menjalar cepat ke seluruh tubuh dan tahulah dia bahwa dia telah terkena senjata beracun yang amat ampuh.

Akan tetapi dia terus saja membalapkan kuda ke depan, ke arah perkemahan pasukan pemerintah yang mengepung Ceng-tek dari jarak antara dua tiga li jauhnya. Dia menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat tubuhnya, terus melarikan kuda putihnya yang kabur karena sudah ketakutan. Nenek itu berhasil mencapai perkemahan dan terpelanting dari atas kudanya sambil masih mencengkeram gulungan kertas.

Beberapa prajurit yang menyaksikan peristiwa itu cepat mengangkutnya ke dalam kemah besar, ke hadapan Yang-ciangkun. Panglima ini cepat-cepat menerima gulungan kertas, dan nenek Yelu Kim hanya sempat mengeluarkan kata-kata begini, "Tai-ciangkun... demi kejujuran seorang pemimpin, kota Ceng-tek kuserahkan akan tetapi penuhilah permintaan-permintaan kami yang sangat pantas ini...," kemudian nenek yang gagah perkasa ini pun menghembuskan napas terakhir di depan Yang-ciangkun.

Berita mengenai kegagahan nenek Yelu Kim ini tersebar luas, dan sampai puluhan tahun kemudian namanya menjadi kebanggaan suku bangsa di timur serta dikagumi pula oleh para pendekar selatan. Tuntutannya adalah pembebasan pajak bagi suku bangsa utara yang membawa barang dagangan keluar masuk perbatasan dan hal ini langsung disetujui oleh Yang-ciangkun sehingga keadaan para pedagang suku bangsa utara menjadi jauh lebih baik.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sementara itu, Sui Cin dengan nekat melakukan perlawanan. Melihat betapa nenek Yelu Kim berhasil lari walau pun agaknya terluka, gadis ini menjadi marah sekali.

"Kalian ini iblis-iblis busuk!" bentaknya. Dia pun sudah menerjang mereka dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulannya yang sangat ampuh sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.

Akan tetapi yang diserangnya adalah Raja Iblis yang luar biasa tangguhnya. Setiap kali kakek bermuka pucat kehijauan itu menangkis, Sui Cin merasa betapa lengannya nyeri dan tergetar hebat. Akan tetapi dia tidak takut dan menyerang terus sehingga kakek itu menjadi marah bukan kepalang.

Bagaimana pun juga tingkat kepandaian Sui Cin tidak dapat dibilang rendah dan sampai belasan kali tubrukan balasan Raja Iblis tidak mampu menangkap Sui Cin yang lincah dan menggunakan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini itu.

Sui Cin tidak membiarkan dirinya ditangkap, bahkan membalas dan ketika dia mengelak dari cengkeraman sepasang tangan Raja Iblis, tiba-tiba dia membalik dan dengan kedua tangannya yang terbuka telapak tangannya, ia melakukan pukulan yang dilakukan dengan mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Angin dahsyat menyambar ke arah Raja Iblis yang diam-diam merasa kagum juga kepada gadis yang pernah membikin dia penasaran dan repot ketika Sui Cin dahulu merampas Tongkat Suci dari tangannya. Kini, kembali dia tidak mampu menangkap gadis ini dalam waktu singkat.

Raja Iblis merasa penasaran sekali. Dia dan isterinya telah gagal dalam pemberontakan membonceng pasukan Ji-ciangkun dan kedua kota benteng telah jatuh kembali ke tangan pemerintah. Ketika melihat betapa pasukan pemerintah berhadapan dengan pasukan liar dari utara, dia masih memiliki harapan agar kedua pihak berperang sehingga keduanya lemah. Namun ternyata Yelu Kim menerima tawaran dan uluran tangan Yang-ciangkun untuk berdamai.

Oleh karena itu, dia segera keluar bersama isterinya untuk menggagalkan ini, merampas surat dan juga menawan Sui Cin untuk dijadikan sandera. Akan tetapi, ternyata nenek Yelu Kim berhasil melarikan surat dan mengorbankan nyawa sendiri, dan kini tinggal dara itu yang juga tidak mudah ditangkap!

Melihat betapa dara itu malah menyerangnya dengan dahsyat, dari dalam mulutnya kakek yang seperti setan itu mengeluarkan suara mencicit seperti burung dan dia pun mengulur kedua tangan ke depan menyambut pukulan Sui Cin.

"Plakkk!"

Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan Raja Iblis merasa betapa tubuhnya tergetar! Maka dia pun semakin kagum, akan tetapi sebaliknya Sui Cin merasa betapa sepasang telapak tangannya melekat pada telapak tangan Raja Iblis. Dia berusaha menarik kedua tangannya akan tetapi merasa betapa ada tenaga menyedot dari kedua telapak tangan iblis itu yang membuat kedua tangannya melekat.

Dan pada saat itu pula, Ratu Iblis sudah bergerak menotok punggungnya. Sui Cin tidak mampu mengelak dan dia pun roboh dengan lemas lalu dipanggul oleh Ratu Iblis.

Namun, pada saat itu serombongan prajurit Yelu Kim sudah menghampiri tempat itu dan mengurung dengan senjata ditodongkan. Akan tetapi nenek Ratu Iblis segera membentak mereka, "Majulah dan nona ini akan kubunuh dulu, baru kalian!"

Melihat betapa Sui Cin yang mereka kenal sebagai pembantu dan murid nenek Yelu Kim sudah tertawan, dan mendengar ancaman Ratu Iblis, pasukan itu tidak berani menyerang maka terpaksa membiarkan saja kakek dan nenek itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Sui Cin yang sudah tidak mampu bergerak.

********************

Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang yang bersama Cia Kong Liang sudah bergabung dengan para pendekar dan turut pula membantu pasukan pemerintah yang mengurung Ceng-tek, melihat betapa nenek Yelu Kim tewas di tangan Raja Iblis. Dari jauh mereka melihat kakek dan nenek itu yang melarikan diri tanpa diganggu oleh pasukan suku utara. Keduanya segera berlari cepat menuju ke depan pintu gerbang Ceng-tek.

Semua orang mengenal Ci Kang yang gagah perkasa karena Ci Kang pernah dicalonkan menjadi jagoan bahkan hampir memperoleh kemenangan kalau tidak dikalahkan oleh Sui Cin.

"Apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak menahan dua orang kakek dan nenek itu tadi?" tanya Ci Kang.

"Mereka menawan nona Sui Cin, jadi kami tidak berani turun tangan."

"Apa?" Cia Sun terkejut mendengar bahwa Sui Cin ditawan Raja dan Ratu Iblis. "Ke mana mereka lari?"

"Ke sana...!" Seorang perwira menunjuk ke arah sebuah bukit yang nampak gundul dari tempat itu.

Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berunding lebih dahulu, Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun berlari menuju ke bukit itu, menggunakan ilmu berlari cepat. Pada saat keduanya tiba di kaki bukit itu, mereka bertemu dengan Hui Song dan sisa murid-murid Cin-ling-pai.

Seperti kita ketahui, Hui Song dan Siang Wi bersama dengan murid-murid Cin-ling-pai, berhasil dibawa keluar dari Ceng-tek oleh Sui Cin. Akan tetapi ketika mereka pergi ke San-hai-koan untuk mencari ketua mereka, ternyata San-hai-koan sedang dalam perang sehingga mereka tidak dapat masuk kota benteng itu. Terpaksa mereka menjauhkan diri karena mereka merasa khawatir akan terjadi salah paham dari pasukan pemerintah yang agaknya sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai bersekutu dengan pemberontak.

Sesudah perang berakhir, barulah Hui Song, Siang Wi dan saudara-saudara seperguruan mereka mendengar bahwa Cia Kong Liang kini membantu pasukan pemerintah dan turut menyerang ke Ceng-tek. Mereka merasa gembira sekali, dan mereka pun mengejar ke Ceng-tek.

Biar pun hati Hui Song tetap tidak senang melihat Ci Kang, akan tetapi ketika melihat Cia Sun dia segera bertanya, "Cia Sun, engkau hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan di Ceng-tek? Apakah engkau bertemu dengan ayah?"

Cia Sun mengangguk. "Kami bersama-sama dengan ayahmu dan beliau sekarang berada di antara pasukan yang mengepung Ceng-tek. Kami berdua hendak mengejar Raja dan Ratu Iblis yang telah menawan dan melarikan nona Sui Cin..."

"Apa...?!" Hui Song menjadi pucat wajahnya. "Ke mana dia dibawa lari?"

"Ke bukit itu, dan kita hendak mencarinya!" kata Cia Sun dan dia pun cepat mengejar Ci Kang yang agaknya tidak mau banyak cakap dan sudah lari lagi.

"Aku ikut...!" kata Hui Song. "Sumoi, bawa saudara-saudara menemui ayah di luar kota Ceng-tek!" Dan dia pun cepat mengerahkan tenaganya untuk mengejar Ci Kang dan Cia Sun. Mereka bertiga seperti orang berlomba lari menuju ke bukit yang nampak gundul dan hitam dari tempat itu.

Bukit itu memang gundul dan kering. Sesudah didekati, nampak bahwa bukit itu hanya terdiri dari padang pasir dan batu-batu karang belaka, tidak nampak sedikit pun tumbuh-tumbuhan. Dan di sebuah lereng bukit karang, mereka melihat pemandangan yang dari jauh nampak amat menegangkan hati sehingga dengan sendirinya ketiganya berhenti dan memandang ke arah depan. Di sana, dalam jarak puluhan meter, nampak Sui Cin sedang berdiri bersandar tiang dan jelas bahwa gadis itu diikat pada tiang itu.

"Itu Sui Cin...!" Hui Song berteriak dan dialah yang lebih dahulu meloncat dan lari, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang.

"Cin-moi...!" Hui Song berseru setelah tiba dekat.

"Song-ko! Jangan mendekat...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru dan seruan ini mengejutkan tiga orang pemuda itu. Mereka berdiri memandang dengan alis berkerut dan memperhatikan keadaan.

Ternyata Sui Cin terikat pada sebuah tiang baja yang terletak di tengah-tengah lingkaran segi delapan. Pat-kwa atau Segi Delapan itu terbuat dari batu dan bentuknya biasa saja, akan tetapi amat mencurigakan. Garis tengahnya kurang lebih enam meter dan jarak dari sisi segi delapan itu ke tiang di mana Sui Cin terikat, sekitar tiga meter.

Tempat di mana Sui Cin diikat itu tak dapat dijangkau dengan tangan. Untuk menghampiri atau menolong dara itu, orang terpaksa harus naik dan menginjak batu segi delapan yang tebalnya antara dua kaki itu. Dilihat begitu saja, tentu akan mudah melepaskan belenggu yang mengikat kedua lengan Sui Cin pada tiang di belakangnya.

Akan tetapi tiga orang muda itu bukan orang sembarangan, apa lagi ada cegahan Sui Cin yang membuat mereka mengerti bahwa segi delapan ini merupakan suatu jebakan yang mengandung rahasia yang amat berbahaya bila diinjak oleh orang yang hendak menolong gadis itu.

"Jangan mendekat dari arah depan. Tadi ada seorang pendekar yang tewas akibat hendak menolongku. Pasir di depan itu adalah pasir yang bisa membunuh, menyedot orang yang menginjaknya. Ahh, mengerikan sekali...! Aku melihat orang yang hendak menolongku itu tersedot, menangis tanpa aku mampu menolongnya hingga akhirnya dia lenyap ke bawah permukaan pasir..." Suara gadis itu tergetar hebat. "Raja Iblis sengaja menaruh aku di sini untuk menjebak kalian yang tentu datang mencoba untuk menolongku. Hati-hati, jangan sembarangan bergerak."

Tentu saja tiga orang pemuda itu menjadi terkejut sekali dan bingung. Mereka berdiri agak jauh di depan Sui Cin.

Kini gadis itu dapat melihat mereka semua dan wajahnya berseri gembira. Tidak dikiranya bahwa tiga orang pemuda itulah yang datang hendak menolongnya, tiga orang pemuda yang begitu dekat dengan hatinya! Baru kini seperti terbuka matanya bahwa mereka itu, Cia Sun, Cia Hui Song, dan Siangkoan Ci Kang, semua mencintanya, jatuh hati padanya!

Ketika melihat mereka bertiga itu berdiri berjajar di hadapannya, hati Sui Cin yakin bahwa sesungguhnya perasaan hatinya lebih condong kepada Hui Song. Apa pun kekurangan pemuda ini kalau dibandingkan dengan dua orang pemuda yang lain, tetap saja perasaan Sui Cin lebih dekat dengannya dan dia tahu bahwa Hui Song memiliki watak dan cita rasa yang mirip dengannya. Hanya dengan Hui Song dia dapat bergembira, dapat bertengkar, berbaik kembali, berbantahan dan saling mengalah.

Cia Sun terlalu serius, terlalu halus perasaannya sehingga tentu mudah tersinggung. Ada pun Siangkoan Ci Kang mungkin yang paling gagah di antara mereka, penuh daya tarik kejantanan, akan tetapi juga pendiam dan bahkan agak dingin. Sekarang, dalam keadaan terancam bahaya seperti itu, memang lucu sekali, gadis ini mengambil keputusan bahwa yang dicintanya hanyalah Hui Song.

"Cin-moi, aku harus menolongmu. Aku dapat meloncat ke atas batu dan membebaskan dirimu, tanpa menginjak tanah di tepi batu pat-kwa ini!" kata Hui Song.

"Jangan...! Hati-hatilah, Song-ko, engkau akan celaka nanti. Batu pat-kwa ini mengandung alat-alat rahasia yang sangat mengerikan. Aku melihat sendiri betapa Raja dan Ratu Iblis melakukan langkah-langkah aneh ketika menginjak batu pat-kwa ini, dan aku yakin bahwa jika sekali saja salah langkah dan menginjak bagian yang ada alat rahasianya, maka akan terjadi hal-hal yang mengerikan."

"Aku tidak takut, kalau perlu aku boleh saja mati untuk menolongmu!"

"Nanti dulu, paman Hui Song! Kalau alat rahasia itu mengakibatkan kematianmu masih baik, akan tetapi bagaimana kalau alat rahasia itu bekerja membunuh Sui Cin?" kata Cia Sun dan wajah Hui Song berubah menjadi pucat karena dia teringat akan kemungkinan ini dan membayangkan kematian mengerikan bagi Sui Cin sebagai akibat perbuatannya yang gegabah!

"Begini saja!" mendadak Ci Kang berkata. "Aku yang akan mencoba menghampiri nona Ceng dengan berjalan di atas batu pat-kwa. Kalau terjadi apa-apa dengan diriku, biarlah, aku rela mati. Dan jika terjadi sesuatu dengan nona Ceng, kalian berdua berjaga-jaga dan melindunginya."

"Biar aku saja yang mencobanya, Ci Kang," kata Cia Sun. "Engkau dan paman Hui Song yang berjaga-jaga melindungi Cin-moi."

"Jangan...!" Kini Hui Song yang berteriak. "Apakah kalian berdua hendak mempermainkan keselamatan Cin-moi? Tidak, tidak boleh gegabah! Kita harus menyelidiki dahulu keadaan batu pat-kwa ini dan sekelilingnya!"

"Lalu apa yang akan kau lakukan, paman Hui Song?"

"Kita selidiki dulu tanah di sekeliling pat-kwa ini." Hui Song mengambil batu-batu sebesar kepala orang. Dia melemparkan batu itu di dekat batu pat-kwa di depan Sui Cin dan benar saja, begitu tersentuh batu, mendadak pasir di depan batu pat-kwa itu bergerak memutar dan batu itu lantas disedot dengan cepat sekali ke bawah! Hui Song mencoba lagi untuk melihat di mana batas pasir berputar itu dan ternyata sampai sejauh tiga meter di bagian itu masih berbahaya.

Tanpa diminta lagi, kini Cia Sun dan Ci Kang membantu pemuda Cin-ling-pai itu. Mereka menggunakan batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu pat-kwa. Ada bagian yang kalau diinjak atau kejatuhan batu mengeluarkan paku-paku beracun, bahkan ada pula yang mengeluarkan asap beracun sehingga tidaklah mungkin menghampiri batu pat-kwa dengan menginjak tanah di sekelilingnya, kecuali satu bagian saja yang ketika dijatuhi batu tidak mengakibatkan apa-apa. Bagian ini berada di sebelah kiri Sui Cin. Ketika beberapa kali mereka melempukan batu di segi itu dan tidak terjadi reaksi apa-apa seperti yang terjadi pada tujuh segi yang lain, mereka pun menjadi girang.

"Bagian ini tidak mengandung perangkap!" kata Hui Song.

"Biar aku sekarang mencoba naik ke batu pat-kwa," kata Ci Kang sambil melangkah maju.

"Tidak! Engkau tidak boleh mendekatinya. Akulah yang berhak menolong Cin-moi, bukan engkau!" Hui Song yang masih sangat membenci Ci Kang karena perbuatannya yang lalu terhadap Sui Cin, membentak marah.

"Hemm, mengapa harus engkau saja?" Ci Kang merasa mendongkol dan membantah.

"Karena dia... dia... adalah orang yang kucinta!" dengan jujur Hui Song mengaku begitu saja sehingga wajah Sui Cin menjadi merah dan hatinya juga mendongkol mengapa Hui Song begitu lancang untuk bicara soal cinta di hadapan orang-orang lain dalam keadaan seperti itu.

"Hemm, engkau sungguh terlalu tinggi hati," kata Ci Kang tak puas.

"Paman Hui Song, siapa pun orangnya boleh saja jatuh cinta kepada Cin-moi tetapi hanya dialah yang akan menentukan siapa yang berhak memiliki hatinya. Akan tetapi jika untuk menolongnya kukira tidak ada perbedaan, semua pun berhak."

"Tidak! Biarlah aku yang mencobanya terlebih dahulu, dan kuharap engkau suka menjaga kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam dirinya, Cia Sun." Kemudian, tanpa memberi kesempatan kepada dua orang pemuda yang lain, Hui Song lalu melangkah ke atas tanah yang tadi telah dicoba berkali-kali dengan lemparan batu dan tidak terjadi sesuatu. Sui Cin yang tadi merasa bingung melihat betapa terjadi pertengkaran di antara mereka bertiga, kini memandang dengan hati khawatir.

Tiba-tiba terdengar ledakan dan Hui Song cepat meloncat ke belakang sambil berjungkir balik. Untung dia dapat bergerak cepat dan bersikap waspada. Ternyata, tanah yang tadi sudah diselidiki dan dicoba dengan lemparan batu dan tidak berbahaya itu, begitu terkena injakan kakinya langsung melemparkan batu dan pasir ke atas disertai suara ledakan dari bawah!

"Sungguh aneh! Kenapa tadi ketika dicoba dengan batu tidak apa-apa?" tanya Hui Song.

Cia Sun juga merasa heran dan dia sudah melemparkan lagi sebuah batu ke tempat itu. Kembali terdengar ledakan dan pasir bersama batu menyambar ke atas disertai ledakan dari bawah!

"Ahh, aku tahu sekarang!" kata Ci Kang yang segera menusuk-nusukkan sebatang kayu yang didapatnya ke atas tanah di sebelah kanan bagian yang meledak tadi. Dan di bagian itu, ketika ditusuk-tusuk, tidak terjadi apa-apa. Padahal tadi bagian itu pada saat disentuh mengeluarkan paku-paku beracun!

"Aku mengerti sekarang. Lihat, bayangan tiang itu tadi tiba di segi yang meledakkan pasir dan ketika dicoba tidak apa-apa. Kini bayangan tiang telah bergeser ke kanan, jatuh pada bagian ini dan bagian ini yang tadi menyemburkan paku kini tidak berbahaya. Sebaliknya, bagian yang tadi terkena bayangan dan tidak berbahaya, kini malah menjadi berbahaya! Agaknya bayangan tiang itu membuat alat rahasia pada bagian atau segi yang tertutup bayangan menjadi lumpuh dan alat rahasia itu tidak bekerja!"

Dua orang pemuda yang lainnya turut mencoba-coba dan memang betul. Kini bagian yang terkena bayangan, yang nampak melintang hitam di satu segi dari batu pat-kwa, ketika dilempar batu tanah di depannya, tidak terjadi apa-apa.

"Aku akan naik, harap kalian menjaga nona Sui Cin!" kata Ci Kang dan dengan berani dia sudah melangkah ke depan.

Tanah itu diinjaknya dan tidak terjadi apa-apa. Dia melangkah menghampiri batu pat-kwa, dipandang dengan jantung berdebar oleh Sui Cin. Dua orang pemuda yang lain, karena keduluan Ci Kang maka terpaksa hanya berdiri dengan sikap penuh kewaspadaan mereka menjaga kalau-kalau Sui Cin akan terancam bahaya bekerjanya alat rahasia.

Ci Kang sudah tiba di dekat batu pat-kwa. Dia tidak mau gegabah naik ke atas batu-batu pat-kwa itu, akan tetapi lebih dulu menggunakan tongkat kayu tadi memukul permukaan batu pada kotak pertama. Setelah tidak terjadi sesuatu, dia kemudian naik dan menginjak bagian itu. Dengan tongkatnya, dia lalu memukul kembali bagian depan, juga tidak terjadi apa-apa.

Kotak ketiga di depan dibagi menjadi dua oleh sebuah garis. Ci Kang meragu. Yang mana yang harus dipukul untuk mencari landasan yang aman. Dengan hati-hati dia memukulkan tongkatnya ke atas kotak yang kiri dan tiba-tiba saja bagian itu terbuka kemudian nampak berkelebat dua sinar hitam, satu ke arah Ci Kang dan yang lain ke arah Sui Cin!

Ci Kang cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik melompat ke bawah batu pat-kwa sehingga anak panah hitam itu meluncur lewat dan tak mengenai tubuhnya. Dan pada saat itu pula Hui Song sedang melemparkan sebuah batu besar untuk menyambit anak panah yang meluncur dan menyambar ke arah Sui Cin.

"Takkk...!"

Anak panah itu terpukul batu lalu mencelat jauh keluar dari batu pat-kwa. Wajah Sui Cin menjadi agak pucat dan wajah tiga orang pemuda itu pun diliputi ketegangan.

"Benar-benar berbahaya!" kata Cia Sun. "Biarlah sekarang aku yang mencobanya, harap kalian suka menjaga baik-baik." Tanpa menunggu jawaban, dia pun menghampiri bagian segi yang tadi dilalui Ci Kang.

Seperti juga Ci Kang, dia berhasil naik sampai ke dalam kotak kedua dan di sini, dengan hati-hati dia mempergunakan ujung kakinya menekan kotak yang kanan dari kotak yang terbagi dua itu. Ternyata di sini aman, tidak seperti di bagian kiri yang tadi menyemburkan anak panah. Dua orang pemuda lain memandang penuh ketegangan.

Di depan kotak ketiga yang terbagi dua itu pun terdapat kotak yang terbagi dua. Satu segi dari batu pat-kwa itu terbagi menjadi lima kotak dengan garis melintang dan pada bagian yang dilalui Cia Sun itu kotak ketiga dan keempat terbagi menjadi dua. Di sini Cia Sun menjadi ragu lagi. Kotak mana yang harus dilaluinya.

Dia sudah cukup dekat dengan Sui Cin, namun belum dapat menjangkau ke depan untuk melepaskan belenggu pada kedua pergelangan lengan gadis itu. Dia masih harus melalui dua bagian lagi ke depan. Dengan sangat hati-hati dan secara untung-untungan, kakinya menginjak bagian kanan dari kotak yang terbagi dua itu.

"Blarrrrr...!"

Bagian itu terbuka dan dengan desis yang mengerikan, keluarlah dua ekor ular sendok yang agaknya sudah kelaparan karena dua ekor ular itu tiba-tiba menyerang ke arah Cia Sun dan Sui Cin. Dalam keadaan berdiri dengan sebelah kaki seperti itu, tentu saja Cia Sun tidak dapat melawan serangan ular dan menghindarkan diri, dia lalu melempar tubuh ke belakang seperti yang dilakukan oleh Ci Kang tadi.

Akan tetapi Ci Kang dan Hui Song yang sudah siap siaga, menggerakkan tangan dan dua buah batu menghantam dua ekor ular itu sehingga dua binatang berbisa itu terlempar jauh dengan kepala hancur oleh dua buah batu yang disambitkan dengan kekuatan besar itu. Kini mereka bertiga saling pandang dengan muka pucat.

"Berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Sungguh tidak mungkin menghampiri Sui Cin melalui atas batu pat-kwa, terlalu berbahaya baginya, harus dicari jalan lain."

"Aku tahu," kata Hui Song "Aku akan melompat ke atas tiang itu. Dengan demikian aku akan melewati batu pat-kwa dan dari atas tiang, aku dapat membebaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin."

"Jangan, Song-ko, terlampau berbahaya. Bagaimana kalau sampai engkau terjebak dan celaka?" seru Sui Cin penuh kekhawatiran.

Bukan main gembiranya rasa hati Hui Song mendengar dan melibat kekhawatiran gadis itu. Mungkinkah Sui Cin demikian mengkhawatirkan keselamatan dirinya karena gadis itu mencintanya?

"Ahhh, apa artinya mala petaka bagiku, Cin-moi? Yang penting asal engkau selamat dan segera bebas dari tempat ini!"

Sesudah berkata demikian, dengan penuh semangat karena terdorong rasa gembiranya, Hui Song kemudian meloncat ke atas. Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dia melayang ke arah tiang di tengah batu pat-kwa dan hinggap di puncak tiang itu. Akan tetapi, begitu kedua kakinya menginjak tiang, tiba-tiba terdengar suara keras dan tiang itu pun lalu berputar dengan cepat sekali, membawa tubuh Sui Cin dan Hui Song berputaran dengan cepat.

Karena Sui Cin tidak mampu bergerak, kedua pergelangan tangannya terikat di belakang tiang, ia merasa ngeri dan hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya maut yang mungkin tidak dapat dihindarkannya lagi.

Tubuh Hui Song yang berdiri dengan sebelah kaki di atas tiang, berpusing dengan sangat cepatnya pula. Pemuda ini pun menjadi sangat bingung karena dia tidak mungkin dapat menghentikan gerakan tiang yang berputar dengan sangat cepatnya itu, yang membawa tubuhnya berpusing seperti kitiran. Bagaimana pun pandainya, mana mungkin dia dapat menggunakan tenaga untuk melawan perputaran tiang.

Yang sangat membingungkan hatinya adalah karena dia sedang memikirkan keselamatan gadis yang dicintanya, yang kini juga ikut berpusing di sebelah bawahnya. Dia tidak begitu memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi lebih mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.

Semua orang yang berada di luar batu pat-kwa juga terbelalak bingung. Apa bila tiang itu tidak cepat dapat dihentikan, kalau kedua orang itu terus berpusing seperti itu cepatnya, maka akan berbahayalah keadaan mereka. Orang dapat saja tewas hanya karena diputar secepat itu, atau setidaknya akan gila karena ketakutan.

"Hui Song, cepat meloncat turun!" tiba-tiba Ci Kang membentak dengan nyaring. Dia tidak ingat lagi dengan segala ketidak senangan hatinya dan menyebut nama Hui Song begitu saja di luar kesadarannya, saking gelisahnya melihat Sui Cin dan Hui Song yang masih terus berpusing seperti itu.

Barulah Cia Sun teringat dan dia pun cepat meneriaki Hui Song supaya segera meloncat turun. Tadinya Hui Song sendiri tidak sadar dan sudah mengambil keputusan untuk mati bersama Sui Cin. Akan tetapi, setelah mendengar teriakan-teriakan kedua orang pemuda di bawah itu, teringatlah dia bahwa berpusingnya tiang karena terinjak olehnya dan besar sekali kemungkinan tiang itu akan berhenti kalau tidak diinjak.

Akan tetapi, meloncat turun sampai di luar batu pat-kwa dalam keadaan berputar secepat itu bukanlah hal yang mudah dan tidak berbahaya. Betapa pun juga, ketika teringat akan keselamatan Sui Cin, dia tak peduli lagi akan bahaya apa pun yang akan mengancamnya dan setelah mengumpulkan tenaga, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat meninggalkan tiang.

Tentu saja dia tidak dapat mempergunakan perhitungan karena pandang matanya sudah kabur dan dia tidak dapat melihat ke arah mana dia melompat. Bayangan kedua orang pemuda di luar batu pat-kwa itu pun sudah tidak kelihatan lagi olehnya saking cepatnya tubuhnya berpusing.