Setan Gembel - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SETAN GEMBEL

SATU

DI BAWAH udara siang yang tidak terlalu terik, beberapa penduduk Desa Beji yang semula tenang-tenang saja, mendadak seperti tersirap. Mereka yang semula sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung menghentikan kegiatan, begitu di tempat jalan utama desa ini berjalan seorang laki-laki asing berusia sekitar dua puluh delapan tahun dengan pakaian compang-camping.

Yang membuat kening para penduduk desa itu berkerut keheranan, orang asing yang masih muda itu tengah menarik sebuah peti mati usang terbuat dari kayu jati dengan seutas tambang. Tubuhnya kurus. Rambutnya panjang dan kusut masai. Sebagian malah menutupi wajah. Kulitnya kusam dan dekil seperti tidak pernah terurus.

Pemandangan aneh itu, membuat beberapa penduduk saling berbisik. Sementara itu anak-anak kecil yang sejak tadi menakuti pemuda itu terus berteriak-teriak. Dan sebenarnya memang ada keanehan lain. Karena, peti mati itu terlihat berat. Sementara pemuda yang menariknya hanya menggunakan sebelah tangan. Tidak terlihat sedikit pun kalau mengalami kesulitan.

Orang gila! Ada orang gila, woooiii...!" teriak anak-anak kecil itu.

Pemuda berpakaian compang-camping itu diam saja. Bahkan ketika para bocah itu melempari kerikil, dia tidak bergeming. Beberapa buah sempat menyambar punggung dan batok kepalanya. Tapi, dia sama sekali tidak merasa sakit. Sehingga membuat beberapa orang penduduk yang tadi melihatnya, kini menaruh iba.

"Hei, anak-anak! Pergi sana! Pergi! Jangan mengganggu dia...!" teriak seorang penduduk yang mungkin merasa kasihan melihat pemuda berpakaian gembel.

Walaupun sambil berlari bocah-bocah itu tetap mengejek seraya menjulurkan lidah. Sementara laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengusir anak-anak kecil tadi menghampiri pemuda gembel yang menyeret peti mati.

"Kau tidak apa-apa, Kisanak...?" sapa laki-laki itu ramah.

Pemuda berpakaian compang-camping itu diam saja. Bahkan tidak menghentikan langkah. Apalagi menoleh!

"Kasihan.... Mungkin kau tuli...," gumam laki-laki penduduk desa ini, lirih.

Tapi, tiba-tiba pemuda gembel ini berhenti, dan langsung berbalik. Dipandanginya orang itu sekilas. Yang dipandang langsung bergidik ngeri, melihat sinar mata laki-laki gembel yang berkilat tajam, seperti menusuk langsung ke jantungnya.

"Eh! Ma..., maaf...," ucap penduduk desa ini pelan, lalu buru-buru menjauh.

Pemuda berpakaian gembel itu tidak mempedulikannya. Dia kembali berjalan. Sementara beberapa pemuda penduduk desa ini mulai tertarik. Diam-diam mereka mengikuti ke mana arah tujuan gembel itu.

"Hei? Lihat, Lanang, Tambuk! Dia menuju rumah Ki Jaban!" kata seorang pemuda berpakaian merah, yang berjalan bersama dua orang kawannya. Kepalanya sedikit dimiringkan ke arah dua pemuda yang dipanggil Lanang dan Tambuk.

"Mau apa dia ke sana, Kojar? Ki Jaban itu tokoh hebat? Apa dia mau can gara-gara?" tanya pemuda berpakaian putih bernama Lanang.

"Mungkin musuhnya barangkali...," timpal yang bernama Tambuk.

"Hush! Sembarangan kau bicara, Tambuk!" sentak pemuda yang bernama Kojar.

"Siapa yang berani melawan Ki Jaban? Gembel itu kelihatan lemah. Pasti dengan sekali tiup, tubuhnya akan terpelanting!"

"Eee.... Jangan sembarang menilai kau, Kojar! Coba tadi perhatikan! Gembel itu dilempari batu oleh anak-anak kecil. Tapi, dia tidak mengelak. Dan sama sekali tidak merasakan sakit. Apa namanya itu? Dia juga tidak berdarah. Orang seperti dia harus dicurigai! Jangan-jangan, dia malah tokoh hebat!" sergah Lanang.

"Apa iya...?" Kojar mulai terpengaruh.
Pemuda berpakaian merah itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sementara mereka terus melangkah, membuntuti gembel yang telah tiba di depan rumah orang yang disebut-sebut sebagai Ki Jaban. Agaknya mereka tidak puas kalau tidak melihat apa yang akan dilakukan pemuda gembel itu dari dekat.

"Betul! Dia menuju rumah Ki Jaban!" seru Tambuk.

"Gila!, Aku tidak habis pikir, mau apa dia ke sana?!" desis Lanang.

"Mau mampus barangkali!" timpal Kojar.

"Sudah, diam! Kita lihat saja apa maunya" tukas Tambuk.

Kini tidak ada yang bicara lagi. Hati mereka masih penasaran, dengan apa yang hendak dilakukan gembel itu.

Memang tak seorang pun penduduk Desa Beji yang tak mengenal Ki Jaban. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu memang cukup disegani di desanya. Ciri khas untuk mengenalinya adalah surjan dan blangkon yang dikenakannya. Juga, pipa rokok yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Konon, Ki Jaban adalah salah seorang tokoh persilatan yang memiliki lebih dari sepuluh buah keris pusaka.

Srek! Srek..!

Perlahan tapi pasti, pemuda gembel itu mema-suki halaman rumah Ki Jaban. Lalu dia berhenti ketika telah tiba persis di depan pintu. Sesaat dia berdiri tegak. Entah apa yang hendak dilakukannya. Sementara itu dari tempat-tempat tersembunyi, para penduduk desa memperhatikan keadaan dengan hati tegang.

Mendadak, pemuda berpakaian compang-camping ini mengangkat kepalan kirinya. Begitu tangannya bergerak mengibas....

Brakkk!

"Hei?!" Pintu itu kontan hancur berantakan, dihantam laki-laki gembel ini. Sementara dari dalam terdengar bentakan bernada terkejut. Tidak lama, dari pintu yang telah jebol berdiri tegak seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dengan muka garang. Sepasang matanya melotot lebar. Jakun di lehernya turun naik begitu melihat sosok di depannya.

"Kurang ajar! Gembel sialan! Apa maksudmu membuat keributan di sini?!" bentak laki-laki berpakaian surjan, yang tak lain Ki Jaban.

Sementara, pemuda gembel itu tidak langsung menjawab. Ditatapnya tajam-tajam Ki Jaban. Sinar matanya begitu menusuk, seolah hendak meruntuhkan nyali Ki Jaban.

"Kau yang bernama Ki Jaban?" tanya pemuda gembel ini dingin.

"Kalau iya, kau mau apa?!" tantang Ki Jaban dengan pandangan tak kalah tajam.

"Kalau benar, aku akan membunuhmu. Sebab, arwah sosok dalam peti mati yang kubawa ini, merasa belum tenang, sebelum aku menuntaskan dendamnya!" desis pemuda gembel itu.

"Jangan main-main, Kisanak! Aku tak mengerti apa maksudmu?!"

"Ingatkah kau pada Kemala? Sepuluh tahun yang lalu, gadis itu adalah kembangnya Desa Jambe Wetan. Kau waktu itu berniat memilikinya. Tapi setelah kau perawani dia, kau tinggalkan begitu saja...," papar pemuda gembel itu.

Ki Jaban kontan terjingkat. Ingatannya langsung berbalik ke masa sepuluh tahun lalu. Ya, dia dulu pernah mencintai Kemala. Namun karena suatu ketika Kemala dikunjungi seorang pemuda, Ki Jaban yang waktu itu berusia tiga puluh tahun, meninggalkannya. Cemburu butanya membuatnya harus meninggalkan Desa Jambe Wetan, sekaligus meninggalkan Kemala.

"Kau sendiri siapa?" tanya Ki Jaban dengan pandangan menyelidik.

"Kau lupa padaku? Hm.... Ternyata waktu sepuluh tahun cukup membuatmu jadi pikun.... Baiklah. Aku Respati, adik Kemala" sahut pemuda gembel itu.

"Lantas, mana kakakmu Kemala?" tanya KI Jaban lagi.

"Dia ada di dalam peti" sahut pemuda gembel yang ternyata bernama Respati.

"Kau jangan main-main, Respati!"

"Aku tidak main-main. Justru kau yang main-main dengan kakakku, sehingga dia terbaring di dalam peti! Kaulah awal bencana itu! Kau telah berhutang pada kakakku. Dan kini aku menagihnya!"

"Kurang ajar...!" Merasa kelakuannya terbongkar, Ki Jaban langsung naik darah. Seketika kaki kanannya melayang ke dada Respati.

Namun Respati yang dulu pemuda tak punya kepandaian apa-apa, mendadak mengibaskan tangannya ke bawah. Ditangkisnya serangan itu secepat kilat. Dan sebelum Ki Jaban menyerang kembali, Respati telah menghantamkan tangan kanannya ke perut.

Desss...!

"Aaakh...! Ki Jaban terjajar dengan muka berkerut geram menahan rasa sakit bercampur dendam. Dia segera memasang kuda-kuda, langsung membuka jurus. Sungguh dia tidak mau kecolongan dua kali dengan menganggap remeh pemuda yang sebelumnya diketahui tidak punya kepandaian apa-apa.

"He he he...! Kudengar kau sekarang menjadi tokoh hebat, Jaban. He he he...! Inikah orang hebat itu?!" ejek Respati sambil tertawa. Kakinya mundur perlahan ke halaman. Agaknya pemuda ini hendak mencari tempat yang lebih lega, ketimbang di depan pintu rumah Ki Jaban.

"Keparat! Kau sengaja cari mampus, he?!" Begitu kata-katanya habis, Ki Jaban melompat dengan sebuah tendangan keras.

"Heaaa...!"

Namun, pemuda gembel itu bersikap tenang-tenang saja. Begitu serangan tinggal sejengkal lagi, tangan kirinya bergerak menangkis. Lalu kaki kanan pemuda ini cepat terangkat tinggi menyodok dada.

Desss!

"Aaakh...!" Kembali laki-laki bersurjan itu memekik kesa-kitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang. Dan kali ini, dari mulutnya tampak menetes darah segar

"Hm.... Ternyata hanya begitu saja kepandai-anmu, Jaban!" leceh Respati.

"Jahanam!" Ki Jaban menggeram. Dan seketika dicabutnya keris yang terselip di pinggang.

Perlahan-lahan laki-laki ini mendekati Respati dengan sorot mata setajam elang. Sementara itu para penduduk desa yang mengintip semakin tegang saja. Dan perlahan-lahan jumlah mereka semakin bertambah.

"Heaaat...!" Dengan bernafsu Ki Jaban menikam ujung kerisnya ke dada lawan. Dan anehnya, Respati sama sekali tidak berusaha menghindar. Akibatnya.....

"Heh?!" Ujung keris Ki Jaban tepat menyentuh dada kiri pemuda itu. Namun, tidak mampu melukai kulit dadanya. Apalagi sampai menembus. Sudah barang tentu hal itu bukan saja membuat Ki Jaban terkejut. Bahkan mereka yang melihat kejadian itu sama-sama melotot tak percaya. Dan belum lagi keterkejutan Ki Jaban lenyap, Respati telah meluruk maju dengan satu hantaman bertenaga dalam amat tinggi. Maka tak dapat dihindari lagi....

Desss...!

"Aaa...!" Ki Jaban memekik setinggi langit. Tubuhnya terjungkal roboh beberapa langkah ke belakang sambil memuntahkan darah segar. Dia hanya mampu bergerak-gerak sebentar, kemudian diam seketika!

Sejenak Respati memandang mayat Ki Jaban. Lalu kepalanya mendongak ke langit. "Kakak! Dendammu telah kubalaskan! Tenanglah kau di alam sana! Aku tahu, masih ada beberapa orang yang menyakitimu! Dan mereka semua harus mempertanggungjawabkannya...!"

Sehabis mendesah lirih begitu, Respati dengan tenang meninggalkan halaman ini seperti tidak ada kejadian apa-apa. Peti matinya kembali diseret-seret, seolah tak ingin terpisahkan. Orang-orang desa yang melihat kejadian tadi, tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka seperti tidak tahu, apa yang harus dilakukan untuk sesaat. Tapi tidak lama kemudian satu persatu mendekati mayat Ki Jaban.

DUA

Sambil menyeret peti mati yang berisi mayat kakaknya, Respati terus melangkah. Begitu sayangnya pemuda berpakaian compang-camping ini pada kakaknya, sehingga ke mana pun pergi peti mati itu selalu dibawanya. Dan kini pemuda itu tiba di depan sebuah bangunan besar dengan pagar kayu mengelilingi. Di pintu gerbang tertulis,

PERGURUAN TOMBAK SAKTI

Sebentar pemuda itu memandangi tulisan, lalu melanjutkan langkah memasuki perguruan itu. Namun baru beberapa langkah....

"Tahan!" Terdengar bentakan dari depan. Respati menghentikan langkahnya. Ditatapnya sosok pemuda yang membentaknya. Sepasang matanya begitu tajam, seolah hendak menusuk jantung pemuda di depannya.

"Aku tidak ada urusan denganmu. Pergilah!" desis Respati, dingin.

Pemuda yang agaknya murid Perguruan Tombak Sakti terkesiap. Dan dia tidak mampu berbuat apa-apa ketika Respati melangkah maju. Di halaman ini, beberapa murid yang tengah berlatih langsung berhenti. Sementara seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang tengah melatih pun sudah melangkah menghampiri Respati, setelah memberi isyarat.

"Siapa kau, Kisanak? Dan apa yang kau ingin-kan di sini?" tanya laki-laki berpakaian jubah warna coklat itu, penuh wibawa.

"Kaukah Gautama alias si Tombak Sakti?" Respati malah bertanya, setelah meletakkan tali penarik peti.

"Benar...!"

"Aku Respati, alias Setan Gembel.

"Belum pernah kudengar sebelumnya nama itu...?" kata laki-laki berjuluk si Tombak Sakti dengan dahi berkernyit. "Tapi kau mengenal Kemala bukan?" tukas Respati yang ternyata berjuluk Setan Gembel.

Gautama tercekat. Nama Kemala memang tak asing lagi di telinganya. Namun sembilan tahun yang lalu dia terpaksa meninggalkannya, karena gadis itu dipergoki main gila dengan laki-laki lain. Mereka memang sempat menikah beberapa bulan. Sebenarnya si Tombak Sakti bukannya tak mengenal Respati. Namun karena keadaan dan penampilan pemuda itu telah jauh berubah, sehingga membuatnya pangling. Begitu pula Respati.

Dia pun bukannya tak mengenali si Tombak Sakti. Hanya karena masalah ini urusan pribadi, tindakannya terlihat hati-hati. Karena sejak kakaknya menikah, Respati hanya sekali saja melihat tampang si Tombak Sakti. Setelah itu dia pergi berguru di Gunung Rogo Sembangan pada seorang tokoh hitam berjuluk Iblis Gembel. Tak heran kalau dia perlu menanyakan nama dulu, sebelum menuntaskan dendam kakaknya.

"Hm.... Apa yang kau inginkan, Respati?" tanya si Tombak Sakti yang bernama asli Gautama.

"Tentu saja mengajakmu ke akhirat untuk menemani kakakku yang kau tinggalkan begitu saja pada sembilan tahun yang lalu," sahut Respati. Kau adalah suami Kemala. Dan setelah menikmati madunya, kau tinggalkan begitu saja!"

"Brengsek!" desis si Tombak Sakti menggeram, merasa rahasianya terbongkar.

"Guru! Orang ini telah lancang menuduh yang bukan-bukan! Lebih baik, biar aku yang menghajarnya!" teriak salah seorang murid.

"He he he...! Kau bocah bau kencur! Apa yang bisa kau perbuat padaku?" tantang Setan Gembel, melecehkan.

"Keparat! Rupanya kau memang benar-benar kepingin dihajar!"

Setelah berkata begitu, murid yang bertubuh tegap itu langsung meluruk menyerang Respati. Namun tidak disangka-sangka, pemuda gembel itu berkelit gesit ke samping. Dan tiba-tiba saja, Respati memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangan. Lalu....

Begkh...!

"Aaakh...!" Tahu-tahu murid Perguruan Tombak Sakti itu terpental ke belakang sambil memekik kesakitan. Begitu jatuh di tanah, dia tak bangun-bangun lagi.

"Hah?! Si Sarwa mati!" desis salah seorang murid yang langsung memeriksa keadaan pemuda yang jadi sasaran pukulan Respati.

"Iya, dia mati!" timpal yang lain.

Gautama memandang geram pada Setan Gembel. Terbayang amarah memuncak dari wajahnya. Begitu juga murid-muridnya. Bahkan sebagian telah ada yang bergerak.

"Jangan!" cegah si Tombak Sakti ketika melihat murid-muridnya hendak mengeroyok Setan Gembel.

"Tapi, Guru...."

Ini urusan pribadiku! Bukan urusan perguruan. Oleh sebab itu akulah yang bertanggung jawab!" tegas Gautama seraya memandang Setan Gembel.

"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Kuhargai tanggung jawabmu! Tapi sayang, sudah terlambat! Kemala sudah terbaring di peti yang kubawa. Jadi tanggung jawabmu sudah tak berharga lagi di depanku!"

"Tapi Kemala mengkhianatiku, Respati! Kakakmu kupergoki telah menerima laki-laki lain. Itulah sebabnya aku meninggalkannya!" kilah Gautama.

"Tapi, biar bagaimanapun dia tetap kakakku. Orang yang amat kusayang dan kukasihi. Tak akan kubiarkan kakakku dihina begitu rupa!"

"Hm.... Percuma bicara denganmu!" dengus si Tombak Sakti.

Bersamaan dengan itu, laki-laki yang juga Ketua Perguruan Tombak Sakti ini mengibaskan tombaknya. Ujung tombak Gautama menyambar-nyambar ke leher dan dada Setan Gembel. Namun dengan lincahnya Respati meliuk-liukkan tubuhnya. Dan itu membuat si Tombak Sakti semakin gemas saja. Geraham Gautama bergemelutuk. Seketika permainan ilmu tombaknya semakin cepat dan ganas. Namun begitu, tetap saja belum mampu mendesak Respati. Setan Gembel terus saja menghindar dengan meliuk-liukkan tubuhnya sambil tertawa mengejek.

"He he he...! Tombak Sakti adalah nama yang kesohor. Tapi yang kulihat tidak lebih dari seorang tokoh yang tengah belajar ilmu silat satu dua jurus!"

"Kurang ajar! dengus Gautama, menggeram marah.

"Ha ha ha...! Kenapa mesti marah? Seharusnya aku yang marah, karena kau membuat kakakku putus asa, dan akhirnya bunuh diri!"

Memang aneh watak Respati, setelah berguru beberapa tahun di Gunung Rogo Sembangan. Dulu pemuda ini dikenal pendiam dan ramah. Tapi entah mengapa, sifatnya jadi penuh dendam dan berkesan brangasan. Mungkinkah itu akibat tempaan Iblis Gembel?

Ujung tombak Gautama terus mengejar ke mana saja Respati bergerak. Namun sejauh itu belum juga mampu mengenai sasaran. Apalagi hanya untuk menyentuh Setan Gembel.

"Apa kebisaanmu hanya menghindar, Respati?!" bentak si Tombak Sakti.

"Hm, agaknya kau sudah tidak sabar untuk mati? Baiklah. Akan kukabulkan keinginanmu! sahut Setan Gembel.

Begitu kata-katanya habis, Respati bergerak amat cepat mendekati si Tombak Sakti. Gautama terkesiap, tidak menyangka kalau pemuda itu mampu bergerak secepat ini. Dan sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Setan Gembel melepas satu gedoran amat cepat bertenaga dalam tinggi.

"Deessst...!

"Aaakh...! Telak sekali gedoran Respati mendarat di dada Gautama. Disertai teriakan keras, Ketua Perguruan Tombak Sakti itu terjungkal ke belakang. Begitu mencium tanah, si Tombak Sakti tak bangun-bangun lagi.

"Guru...!" Murid-murid Perguruan Tombak Sakti tersentak kaget. Mereka menyerbu tubuh Gautama yang dikira hanya pingsan saja. Namun ketika salah seorang menempelkan telinganya ke dada, jantung laki-laki Ketua Perguruan Tombak Sakti itu tak bergerak lagi. Darah tampak meleleh pada mulut, hidung, dan kelopak matanya. Jelas si Tombak Sakti terluka dalam dengan jantungnya pecah!

Sebentar Respati memandang mayat si Tombak Sakti, lalu berbalik menuju peti mati yang dibawanya. Diambilnya tali penarik, lalu kakinya melangkah perlahan. Namun baru beberapa tombak melangkah...

"Hei?! Berhenti...!

"Hm,...!" Respati alias Setan Gembel menggumam tak jelas seraya menghentikan langkah ketika terdengar bentakan keras. Dan sebelum dia berbalik, murid-murid Perguruan Tombak Sakti telah berlompatan. Mereka mengurung Setan Gembel sambil menghunus tombak.

"Kau telah membunuh Guru kami! Jangan seenaknya pergi, Keparat!" dengus murid yang bertubuh gemuk.

"Apa maumu?" tanya Setan Gembel, tenang.

"Kau harus mati, Gembel Busuk!"

"Mati di tangan kalian? Ha ha ha...! Gurumu saja tidak mampu mengalahkanku. Apalagi kalian?"

"Kau jangan takabur, Keparat! Meski kepandaianmu tinggi, tapi kami tidak takut!"

Setan Gembel memutar tubuhnya perlahan-lahan. Pandangan matanya tajam menusuk, menyapu orang-orang yang mengepungnya. "Begitukah menurut kalian?" tanya Respati dingin.

"Habisi dia! Bentuk barisan Tujuh Bintang, seru murid bertubuh gemuk kepada kawan-kawannya.

"Yaaap...!

Mereka membentuk barisan seperti huruf S. Dan salah satu ujung barisan bergerak ke arah Setan Gembel. Namun dengan gesit Respati mencelat ke atas. Begitu menjejak tanah kembali, barisan murid-murid itu terus mengejar. Namun kegesitan Setan Gembel tidak bisa diimbangi. Di mata Respati ge-rakan mereka terasa lambat. Sehingga dengan mudah pemuda ini mengobrak-abrik hingga mereka tercerai-berai.

Dua tombak mendadak meluncur deras ke tubuh Respati. Namun dengan sigapnya, dia berhasil menangkap. Dan dengan sekali sentak, tombak yang satu lepas dari genggaman. Sementara pemiliknya sendiri terjungkal ke depan. Saat itulah Respati melepas tendangan bertenaga dalam tinggi.

Desss...!

"Aaakh...!" Seorang yang tadi menghujamkan tombak kontan roboh dengan dada hancur. Darah kontan termuntah dari mulutnya.

"Sial! Si Jaka mati!" teriak seorang murid si Tombak Sakti.

Belum lagi habis rasa kaget, mendadak tombak yang satu lagi di tangan Setan Gembel berputaran cepat. Beberapa senjata para murid itu terpental. Maka saat itu pula korbannya mulai berjatuhan dalam waktu singkat. Setan Gembel tidak berhenti sampai di situ. Ujung tombaknya terus bergerak, menyambar-nyambar. Tiap sambaran tombaknya, beberapa korban kembali jatuh. Baru ketika korban berjatuhan semakin banyak, murid-murid yang masih sayang nyawa segera mundur teratur.

"Ha ha ha...!" Setan Gembel terbahak-bahak dengan kepala mendongak ke atas. Kemudian perlahan-lahan matanya memandang para murid satu persatu.

"Pergilah kalian! Aku tidak berselera melawan orang-orang yang sok pahlawan!" ujar Respati datar.

Setelah berkata begitu, Setan Tombak berbalik, lalu melangkah kembali ke arah peti matinya. Dan tombaknya dilempar ke tanah begitu saja. Perlahan-lahan dia meninggalkan tempat ini sambil menyeret peti mati.

********************

Kabar tentang kematian Ki Jaban dan Gautama yang terjadi beberapa minggu yang lalu cepat tersebar luas di kalangan persilatan. Maka saat itu juga nama Setan Gembel langsung jadi buah bibir. Karena selama ini, memang tak ada orang yang menyangsikan kepandaian Ki Jaban dan si Tombak Sakti yang dikenal sebagai tokoh atas dunia persilatan. Namun dengan mudahnya mereka tewas di tangan Setan Gembel. Bahkan kematian mereka, diikuti dengan kematian-kematian para tokoh persilatan lainnya.

Orang-orang mulai bertanya-tanya, siapa itu Setan Gembel? Mengapa membunuhi tokoh persilatan yang termasuk golongan putih itu. Konon menurut kabar, Setan Gembel adalah seorang pemuda berpakaian compang-camping dengan badan lusuh tak terurus. Rambutnya kusut masai. Dan yang paling khas adalah, selalu menyeret-nyeret sebuah peti mati.

Namun rupanya peristiwa itu belum sampai di telinga seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang tengah berjalan tenang memasuki Desa Kalianget. Pemuda berambut sebahu dengan pedang bergagang kepala burung rajawali di punggung ini tampak begitu menikmati keramaian di desa itu.

Ketika pemuda yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Rangga atau lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti ini melintasi sebuah pohon di jalan utama desa, mendadak...

"Sedekah, Tuan...!"

Rangga menoleh, melihat seseorang menadahkan tangan di dekatnya sambil terns mengikuti langkahnya. Sambil tersenyum, Pendekar Rajawali Sakti merogoh saku di pinggangnya. Lalu dilemparkannya beberapa keping uang perak.

"Ambillah...!"

"Terima kasih, Tuan! Terima kasih...!" sahut pengemis berusia lanjut itu dengan wajah haru. Lalu dia berlari-lari kecil meninggalkan tempat itu.

Namun tidak berapa lama, muncul beberapa orang pengemis mendekati Rangga. Dalam hati, pemuda ini menghitung. Jumlah mereka lebih sepuluh orang. Semuanya menadahkan tangan minta sedekah. Sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti bingung.

"Kasihan, Tuan...! Sedekahnya...."

"Hm, "Pemuda tampan berbaju rompi putih menggumam sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Namun tanpa terduga, salah seorang menubruk tubuhnya sambil merogoh ke balik ikat pinggangnya.

"He, apa yang kau lakukan?!" bentak Rangga garang.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menangkap pergelangan tangan pengemis yang merogohnya. Namun pengemis berusia muda dengan tubuh kurus itu mencoba melepaskan diri.

"Lepaskan aku! Lepaskan...! Tolong, orang ini memukulku! Orang ini memukulku!" teriak pengemis muda itu.

"He, lepaskan dia!" teriak pengemis yang lain.

Dan agaknya bukan hanya kawan-kawan pengemis itu yang hendak membantu. Tapi, juga orang-orang yang berada di dekat situ. Mereka mendekati Pendekar Rajawali Sakti beramai-ramai.

"Orang asing kurang ajar! Kau telah mencelakai kawan kami sampai terluka! Kau harus mengganti kerugiannya. Atau, akan kami seret ke balai desa!" bentak salah seorang pengemis lain dengan suara lantang.

"Kisanak! Jangan mengada-ada. Kau sendiri mengetahui kalau dia bemsaha mencuri uangku! Dan aku sama sekali tidak menyakitinya!" kilah Pendekar Rajawali Sakti berusaha membela diri.

"Bohong! Aku lihat sendiri kau memukulnya. Yang lain juga melihat!" seru pengemis yang berusia sekitar tiga puluh tahun seraya mempengaruhi kawan-kawarnya.

"Ya! Kau telah memukul kawan kami...!" sahut yang lain, saling menimpali.

Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung mengerubuti Pendekar Rajawali Sakti.

"Tangkap dia! Heaaa...!"

"Sial!" dengus Rangga kesal.

Pendekar Rajawali Sakti yang tak ingin menyakiti mereka segera melenting ke atas. Setelah berputaran dua kali, tubuhnya mendarat dua tombak dari keroyokan para pengemis. Karuan saja, hal itu membuat para pengemis terkejut. Dan belum mereka menyerang, Rangga segera berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

Tapi baru saja kira-kira sepuluh tombak dari tempat tadi, mendadak di depannya berdiri dua sosok tubuh yang menghadang sambil menghentakkan kedua tangan mereka.

"Heaaa...!" Serangkum angin bertenaga dahsyat meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Celaka...!" Rangga mendesis pelan. Namun secepat kilat tubuhnya dibuang ke kiri, langsung berguling-guling. Sehingga pukulan jarak jauh yang dilepaskan kedua orang itu berhasil dihindari.

Rangga bangkit berdiri dengan gerakan indah. Matanya memperhatikan kedua orang yang menyerangnya. Di depannya berdiri dua sosok pengemis berbaju dekil dan penuh tambalan. Yang seorang berusia muda, memiliki kumis tebal. Sedang seorang lagi bertubuh pendek, dengan rambut telah memutih.

"He he he...! Boleh juga kepandaianmu, Bocah. Tapi bukan berarti kau boleh berbuat seenak jidatmu terhadap anak buahku!" ujar pengemis tua.

"Aku tidak tahu ke mana arah bicaramu, Ki?" kilah Pendekar Rajawali Sakti, tenang.

"Tidak usah pura-pura! Baru saja kau memukul salah seorang anak buahku!" sahut pengemis tua itu dengan suara keras.

Rangga tidak langsung menjawab. Pandangannya beredar ke sekitamya. Dalam waktu singkat. tempat ini telah dipenuhi pengemis berbaju dekil dan penuh tambalan. Rangga tersenyum kecut. Dan dia mulai mengerti, siapa yang dihadapinya kini. Kemudian matanya memandang kepada pengemis tua itu.

"Apa yang kau inginkan dariku, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti datar.

"Kau telah memukul salah seorang anak buahku. Semestinya, kau harus dihukum. Tapi kami bisa bertindak lebih adil. Maka sebagai gantinya, kau boleh membayar tebusan sejumlah sepuluh keping uang emas!" jelas pengemis tua itu tanpa tedeng aling-aling.

"Sebelum kuterima atau kutolak permintaanmu itu, bolehkah aku tahu dengan siapa berhadapan?" tanya Rangga lagi.

"Kau berhadapan dengan Ki Surati, Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin!" sahut pengemis tua bernama Surati.

"Ki Surati! Aku tidak tahu, apakah kau bijaksana atau tidak. Namun dengan caramu, kini aku bisa menilai bahwa kelakuanmu sama buruknya dengan anak buahmu tadi! Dia penipu dan tukang fitnah. Kalau anak buahmu mau jujur, mereka pasti akan mengatakan kalau pemuda kurus itulah yang mencoba mencuri uangku. Dan aku tidak sedikit pun memukulnya."

"Huh! Kau kira bisa mungkir dengan jawabanmu itu?! Kau menambah satu kesalahan lagi, Bocah. Menghina diriku, sama artinya menghina mereka semua. Dan jelas, kami tidak terima. Maka tidak ada pilihan bagimu jika ingin selamat. Yaitu, membayar denda seratus keping uang emas ditambah pedangmu itu!" sahut Ki Surati dengan suara lantang.

"Ki Surati!" bentak Rangga mulai kesal melihat tingkah mereka. "Kalau aku bersalah, akan kubayar denda meski seribu keping emas. Tapi aku tidak bersalah. Maka jangankan seratus. Bahkan sekeping pun jangan harap kuberikan!"

TIGA

"Keparat! Serang dia!" teriak Ki Surati memberi perintah.

"Heaaaa....!" Saat itu juga tanpa basa-basi lagi, semua pengemis berlompatan menyerang Rangga dengan kibasan tongkat kayu.

"Uts!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat di antara sambaran tongkat. Segera dikerahkannya jurus Sembilan Langkah Ajaib. Seketika tubuhnya meliuk-liuk indah, ditunjang dengan gerakan kaki yang lincah. Kadang tubuhnya condong ke depan, kadang ke belakang, hampir sejajar tanah. Sehingga tak satu pun serangan yang bisa menyentuh tubuhnya.

Melihat keadaan ini, Ki Surati jadi geram. "Jawul! Bantu bawahanmu!" ujar Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin ini pada pemuda pengemis di sebelahnya.

"Baik, Ketua!" Sahut pemuda berkumis tebal yang dipanggil Jawul.

"Heaaa...!" Jawul langsung meluruk, menyelip di antara kawan-kawannya. Seketika tongkatnya disabetkan dari atas ke bawah.

"Hiih!" Tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat diangkat ke atas, memapak tongkat Jawul.

Pemuda pengemis itu kaget bukan main melihat tongkatnya malah patah, saat menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum hilang rasa kaget Jawul, Rangga cepat melepas satu tendangan menggeledek yang begitu cepat tak tertahankan.

Desss...!

"Aaah...!" Tendangan kaki Rangga membuat Jawul terlempar ke belakang sambil menjerit kesakitan.

"Keparat!" Ki Surati menyumpah geram.

Sementara itu Jawul telah bangkit kembali. Segera didekatinya Ki Surati. Wajahnya tampak gusar penuh amarah. "Bagaimana, Ki? Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Jawul seraya memperhatikan sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang tengah dikeroyok para pengemis lain dan dibantu beberapa penduduk.

"Apa yang kita lakukan? Dasar tolol! Kita harus membekuknya! Orang itu harus mampus di tanganku!" desis Ki Surati geram seraya mengepalkan buku jari-jarinya.

"Tapi, Ki.... Dia berkepandaian tinggi...."

"Tutup mulutmu! Dasar pengecut! Ayo cepat kau bantu mereka lagi...!" hardik Ki Surati.

"Baik, Ki!" sahut Jawul.

Dengan langkah terburu-buru pemuda itu bergabung kembali dengan kawan-kawannya untuk ikut mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti. Sedang Ki Surati masih tenang-tenang saja memperhatikan. Serangan para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin ini sebenarnya hebat.

Namun agaknya mereka kurang kompak, sehingga dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti menghindarinya. Bahkan sambil berkelebat Rangga sempat membalas dengan pukulan yang tak dialiri tenaga dalam. Karena pada dasarnya, dia tak ingin menyakiti. Apalagi Rangga melihat di antara pengeroyoknya terdapat beberapa penduduk yang sebenarnya tak tahu apa-apa.

Bukk...!

"Akh...!" Setiap tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak maka seketika terdengar jeritan yang susul-menyusul disertai robohnya para pengemis itu satu persatu. Padahal para pengemis itu berusaha mati-matian untuk menjatuhkan Rangga secepat mungkin, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

"Kurang ajar!" maki Jawul kalap, melihat kawan-kawannya berjatuhan.

Saat itu juga, pemuda berkumis lebat ini melompat menerjang sambil melepaskan pukulan bertubi-tubi. Namun Pendekar Rajawali Sakti kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan mampu menghindar dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan dan kiri. Hal ini membuat Jawul semakin gemas. Serangannya makin kacau dan tak karuan. Kesempatan itu tidak disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti. Sambil memutar tubuhnya, tangannya mengibas cepat. Lalu....

"Wuaaa...!" Jawul menjerit keras ketika dadanya terhantam kepalan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berkumis lebat itu kembali terlempar sejauh dua tombak. Begitu jatuh di tanah, kedua tangannya langsung memegangi dadanya yang terasa nyeri dan sesak. Sementara mulutnya meringis dengan mata menatap sendu pada Ki Surati.

"Brengsek! Dasar tidak becus...!" umpat Ki Surati. Pengemis tua itu langsung meluruk cepat melepas serangan saat Pendekar Rajawali Sakti disibukkan oleh kerubutan para pengemis dan para penduduk yang masih bertahan. Tapi, agaknya percuma saja Ki Surati berusaha membokong. Sebab meski cukup sibuk menghadapi serangan-serangan, namun kewaspadaan Pendekar Rajawali Sakti ternyata tidak lenyap begitu saja. Begitu terasa ada desir angin halus di belakangnya, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke samping. Dan akibatnya, tongkat di tangan Ki Surati malah mengenai kepala seorang anak buahnya.

"Bletak...!

"Adouw...!"

Brengsek! Kenapa kau ada di situ, goblok!" sembur Ki Surati.

"Aduh, Ki! Kira-kira kalau mau menyerang. Masa batok kepalaku yang dihantam..." rintih orang yang jadi sasaran dengan wajah meringis sambil mengusap-usap kepala yang terasa nyeri.

"Sudah! Diam kau...!" bentak Ki Surati.

Sementara itu, agaknya Rangga sudah mulai bosan berhadapan dengan mereka. Jelas para pengemis dan para penduduk itu tidak bisa membedakan mana yang harus dibela dan mana yang tidak. Mereka adalah kaum pengemis yang mungkin saja sering memeras korbannya dengan cara seperti ini. Sehingga, penduduk ikut terhasut oleh fitnah mereka. Bahkan ikut membantu mengeroyok. Dan kalau begini terus, tidak akan mungkin menyadarkan mereka meski dihajar sampai babak belur. Yang paling tepat adalah menangkap pemimpinnya.

"Heaaa...!" Maka disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke udara dengan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega. Setelah berputaran beberapa kali tubuhnya meluncur ke arah Ki Surati.

"Eeh...! Uts!" Ki Surati terkesiap. Secepat kilat tubuhnya dimiringkan seraya mengibaskan tongkatnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tak peduli, cepat tangannya berkelebat dengan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali

"Heh?!" Ki Surati tercekat melihat tongkatnya patah terhantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum keterkejutannya hilang, Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di udara kembali memutar tubuhnya dengan kedua kaki merapat, tertuju lurus ke dada Ki Surati. Dan....

Dessss...!

Aaakh...!" Ki Surati menjerit keras ketika kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di dadanya. Tubuh orang tua itu tersungkur jatuh ke tanah. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Tubuhnya yang telah mendarat segera melompat ke arah Ki Surati. Saat itu juga sebelah kakinya menginjak dada Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin itu, namun dengan perhitungan yang matang agar tidak sampai menyebabkan kematian.

"Hugkh...!" Ki Surati melenguh tertahan. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit saat dadanya ditekan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara anak buahnya jadi tercengang tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Ki?" ancam Rangga dingin seraya menekan dada Ki Surati dengan kakinya. Karena disertai tenaga dalam, Ki Surati merasa dadanya bagai ditindih batu sebesar kerbau.

"Am..., ampun! Aku akan membebaskan kau dari syarat tadi. Kau boleh pergi sesukamu sekarang juga!" sahut Ki Surati.

"Huh! Kau kira semudah itu?!" cibir Rangga.

"Lalu apa maumu?"

"Kau harus membayar denda padaku!"

"Eh! Mana mungkin? Aku hanya pengemis. Dan, tidak mungkin punya uang banyak"

"Aku tidak katakan uang. Tapi kau harus bayar denda. Lagi pula apa dikira aku percaya kalau kau tidak punya uang?"

Maksudmu?" tanya Ki Surati dengan mulut tetap meringis.

"Kalian tentu sering. melakukan penipuan seperti ini, bukan?" tebak Rangga langsung.

"Eh, aku tidak mengerti. Kau yang bersalah... aaakh!" Pengemis tua itu tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena seketika itu juga Rangga menekan injakannya. Karuan saja, Ki Surati menjerit kesakitan.

"Jangan memutarbalikkan kenyataan! Atau, dadamu akan hancur sekarang juga!" gertak Rangga.

"Apa yang harus kukatakan kalau kenyataan-nya memang begitu?" tukas laki-laki tua itu, kembali berpura-pura setelah tekanan di dadanya dikendorkan.

"Sial!" dengus Rangga geram. Kembali Pendekar Rajawali Sakti menambah tekanan di dada, sampai Ki Surati gelagapan. Anak buah Ki Surati yang sejak tadi diam dan tak tahu apa yang harus dilakukan, coba-coba memberanikan diri dengan bergerak maju. Tapi baru saja beberapa langkah mendekat...

"Jangan coba-coba mendekat! Atau, pemimpin kalian akan tewas di tanganku?!" ancam Pendekar Rajawali Sakti dengan suara garang.

"Kalau kau bukan pengecut, lepaskan dia!" ujar Jawul.

"Aku tak peduli! Aku sudah muak melihat tingkah kalian!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.

"Dasar pengecut!" umpat Jawul.

"Ya, Pengecut Busuk!" timpal yang lain beramai-ramai.

"Kalian yang pengecut! Apa namanya main keroyokan kalau bukan perbuatan pengecut?"

Tak ada yang menjawab. Seolah mereka tersadar dengan apa yang telah diperbuat.

"Sekarang katakan padaku, mengapa kau mengemis secara paksa seperti ini?!" tanya Pendekar Rajawali Sakti lantang suaranya.

"Aku sebenarnya terpaksa melakukan hal ini..." desah Ki Surati, akhirnya melemah juga.

"Apa maksudmu?"

"Kami perlu uang banyak..."

"Untuk apa?"

"Untuk membayar seseorang...?" Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkernyit.

Sementara Ki Surati tahu kalau pemuda itu masih kebingungan dengan jawaban-jawabannya. "Kami bermaksud menyewa Iblis Api untuk membunuh seseorang. Tapi, harganya cukup mahal. Dan itu tidak terjangkau oleh kami..." jelas Ki Surati.

"Lalu kalian menggunakan cara menipu seperti yang dilakukan kepadaku?"

"Kami terpaksa, Anak Muda..." sahut Ki Surati, lirih.

Bangunlah, Ki. Maaf, ini terpaksa kulakukan agar kau jangan terlalu mengumbar kekuasaan demi memaksakan kehendak terhadap orang lain," ucap Pendekar Rajawali Sakti halus, seraya mengangkat kakinya dari dada Ki Surati. Dia yakin, laki-laki tua ini berkata jujur. Dan itu terlihat dari sorot matanya yang memancarkan kesungguhan.

"Tak apa, Anak...

"Panggil aku Rangga, Ki!" potong Pendekar Rajawali Sakti.

"Baik, Rangga. Aku sebenarnya jadi malu padamu desah Ki Surati setelah bangkit berdiri, walaupun masih meringis merasakan nyeri pada dadanya.

Rangga menarik napas panjang seraya menatap lembut laki-laki tua itu. Ki Surati jadi tertunduk malu. Dia tahu apa yang tengah dipikirkan pemuda itu mengenai mereka. Dan khususnya mengenai dirinya. Perbuatan itu memang tidak pantas dilakukan.

"Sebenarnya untuk apa kau bermaksud menyewa Iblis Api?" tanya Rangga.

"Agar dia membunuh Setan Gembel!" jelas Ki Surati, mendesis. Wajah laki-laki tua ini tampak geram ketika menyebut nama itu.

Dan Rangga pun merasakannya. "Setan Gembel? Siapa dia?" tanya Rangga.

"Apakah kau tidak mendengar berita yang baru tersebar beberapa hari ini?" Pemuda itu menggeleng. "Hm.... Setan Gembel sekarang mulai meresahkan tokoh-tokoh silat di belahan bumi ini," jelas Ki Surati.

"Apa salah Setan Gembel padamu sehingga kau begitu mendendam?" tanya Pendekar Rajawali Sakti lagi.

"Dia telah membunuh saudaraku. Ki Jaban, namanya."

"Itu hal biasa. Mungkin saja di antara mereka pernah terjadi permusuhan. Dan saat Ki Jaban mati, lalu kau mendendam padanya. Dan seandainya dia pun mati olehmu, tapi sahabatnya atau kerabatnya akan mendendam lagi padamu. Maka dendam tidak akan ada habis-habisnya."

"Tapi Setan Gembel juga membunuhi orang-orang yang tak ada sangkut pautnya dengan urusan pribadinya. Memang, dia terjun ke dunia persilatan untuk pertama kali hanya untuk urusan dendam. Tapi begitu namanya jadi buah bibir karena mampu membunuh saudaraku dan membunuh si Tongkat Sakti, dia jadi besar kepala! Segala tokoh yang menurutnya berkepandaian tinggi mulai didatanginya satu persatu," jelas Ki Surati.

Rangga mendesah sambil menggeleng lemah. Dia tak habis pikir, dalam setiap petualangannya, selalu saja ada peristiwa berdarah. "Hm.... Kalau boleh tahu, berapa bayaran yang diminta Iblis Api agar mau membantu kalian?" tanya Rangga.

"Sepuluh ribu keping uang perak, atau dua ribu lima ratus keping uang emas...," sahut Ki Surati.

"Hei?! Itu jumlah yang banyak sekali?!" Rangga tersentak kaget mendengar jumlah uang yang disebutkan Ki Surati.

"Ya, begitulah harganya...," desah laki-laki tua itu.

"Kenapa kau mesti menyewa dia? Bukankah dengan mengandalkan jumlah anak buahmu kalian dapat menaklukkan Setan Gembel?"

"Aku tak ingin mengorbankan nyawa anak buahku untuk mati sia-sia. Kepandaian Setan Gembel telah bisa ku ukur, setelah mampu membunuh si Tombak Sakti."

"Kau benar, Ki. Aku kagum dengan kasih sayangmu dengan anak buahmu. Kalau begitu ceritanya, kalian memang bukan tandingannya. Hm.... Kalau Setan Gembel sampai membantai tanpa alasan jelas, aku pun tak akan tinggal diam. Aku harus menyelidikinya!" tandas Pendekar Rajawali Sakti.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengajakmu untuk terlibat dalam urusan ini," desah Ki Surati dengan nada lirih.

"Sudahlah.... Itu sudah menjadi urusanku, bila tindakan Setan Gembel benar-benar sesat," ujar Rangga.

"Kalau begitu aku pamit dulu...!"

Setelah berkata begitu, Rangga berkelebat cepat dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Sehingga dalam sekejap mata dia telah jauh dari tempat tadi. Ki Surati hanya bisa memandang dengan tatapan bahagia.

********************

EMPAT

"Heaaa...!" Seekor kuda putih berlari cepat, seiring gebahan penunggangnya, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dengan pakaian jubah warna biru tua. Namun ketika berbelok ke kanan, saat itu pula dari kejauhan terlihat seseorang berjalan pelan dari arah yang berlawanan. Laki-laki penunggang kuda ini menggeram, dengan mata memandang tajam. Semakin dekat jarak mereka, semakin jelas terlihat kalau orang yang berjalan seenaknya di tengah jalan itu adalah seorang pemuda berbaju kumal penuh compang-camping. Sementara sebuah peti mati dari kayu diseret-seretnya di belakang.

"Hooop...!" Laki-laki penunggang kuda itu ini menghentikan tunggangan pada jarak dua tombak, ketika pemuda penghadangnya tak juga menyingkir. Dengan wajah kesal dia melompat turun. Dipandanginya pemuda gembel itu di depannya dengan seksama.

"Hm.... Ya! Aku tahu. Kau pasti Setan Gembel!" tebak laki-laki penunggang kuda itu.

Pemuda gembel yang tak lain memang Setan Gembel tidak menjawab. Perlahan-lahan mukanya diangkat sehingga mereka saling pandang.

"Hhh...! Rupanya kau telah tahu siapa diriku! Lantas kenapa? Kau punya dendam padaku?" sahut Respati, datar.

"Ya! Aku memang punya dendam denganmu. Aku Tejareksa alias si Pedang Kayu ingin agar kau bertanggung jawab atas kematian Gautama!" dengus laki-laki setengah baya yang berjuluk si Pedang Kayu.

"Dia memang pantas untuk mati!"

"Keparat!" Si Pedang Kayu yang bernama asli Tejareksa kontan kalap mendengar jawaban Setan Gembel. Kedua bola matanya mendelik lebar.

"Banyak yang mampus di tanganku. Tapi buat apa mengingat mereka?" lanjut Respati, dingin.

"Bedebah! Si Tombak Sakti masih terhitung keponakanku, tahu?!"

"Tapi apa urusannya denganmu? Dia mati karena dosa-dosanya. Dan itu harus ditebus dengan nyawanya sendiri," sahut Setan Gembel enteng tanpa beban perasaan.

"Kau memang tidak berperasaan sama sekali. Memang pantas kau mendapat julukan Setan Gembel! Jiwamu sendiri memang gembel! Gembel terkutuk..!" maki Tejareksa, kalap.

"Ha ha ha...! Apakah baru sekarang kau mengetahui? Aku sendiri yang menjuluki Setan Gembel. Bukan orang lain. Dan siapa yang berani mengusikku nyawa taruhannya!"

"Tapi hari ini aku yang akan mencabut nyawamu!" tegas si Pedang Kayu geram.

"Jangan terlalu yakin. Sebab menurutku kaulah yang kukirim ke liang kubur."

"Sebaiknya kita buktikan saja sekarang! Kalau kau punya senjata. Keluarkan!"

Begitu selesai berkata begitu, Ki Tejareksa mencabut pedangnya. Sambil maju selangkah, pedangnya ditusukkan ke dada Respati. Sebaliknya Setan Gembel kelihatan tenang-tenang saja. Tapi begitu sebilah pedang hampir mengenainya, tubuhnya melejit ke atas. Lalu sambil berjumpalitan beberapa kali, dia mencelat ke belakang.

"Yeaaa...!" Ki Tejareksa tidak mau membiarkan begitu saja. Tubuhnya langsung meluruk mengejar sambil berusaha menyarangkan senjatanya sebelum lawan menjejak tanah.

"Hiih!" Setan Gembel mengegoskan kepala, sehingga pedang itu luput, hanya menyambar angin kosong. Pada saat yang singkat, si Pedang Kayu melepas tendangan menggeledek. Maka cepat bagai kilat, Respati menangkis tendangan si Pedang Kayu dengan tangan kiri.

Ki Tejareksa kelihatan gemas karena serangannya berhasil dikandaskan. Padahal, dia ingin menghabisi pemuda itu secepatnya. Tapi Setan Gembel sendiri ternyata bukan tokoh sembarangan yang bisa dijatuhkan dengan mudah.

"Ha ha ha...! Senjatamu ternyata bukan pedang pusaka yang bisa diandalkan. Rasanya pedang mainan itu lebih pantas digunakan untuk bertarung dengan anak-anak!" ejek Setan Gembel.

"Tutup mulutmu, Bedebah! Sebentar lagi kau akan tahu, bagaimana enaknya kepalamu menggelinding oleh tebasan pedangku ini!" maki Ki Tejareksa.

Mendadak si Pedang Kayu mengamuk sejadi-jadinya. Ejekan Setan Gembel membuatnya geram. Dan kemarahannya memuncak laksana api berkobar-kobar. Pedangnya berkelebat menyambar ke mana saja pemuda itu bergerak.

"Hmm...!" Mula-mula Setan Gembel terkesiap melihat perubahan jurus-jurus yang diperlihatkan laki-laki setengah baya itu. Tapi begitu diperhatikannya dengan seksama, ternyata jurus-jurus yang tengah dimainkan si Pedang Kayu sangat ceroboh, karena terlalu mengumbar kemarahan. Sehingga dalam keadaan seperti sekarang malah jurus-jurusnya terlihat berantakan. Banyak sekali kelemahan, serta pertahanan terbuka.

"Heaaa...!" Dalam satu kesempatan Setan Gembel membentak nyaring. Tubuhnya bergerak cepat. Dan tahu-tahu dia telah menyelinap di antara sapuan pedang. Ki Tejareksa terkesiap. Sebelum menyadari kebodohannya sendiri tahu-tahu....

Dessss...!

"Aaakh...!" Satu tendangan Respati telah menghantam telak sekali. Si Pedang Kayu kontan terjungkal beberapa langkah ke belakang disertai pekik kesakitan. Dari mulutnya keluar darah segar.

"Ha ha ha...! Hanya segitukah kepandaian pendekar kesohor yang menamakan diri si Pedang Kayu?!" teriak Setan Gembel disertai tawa nyaring dan berkacak pinggang.

"Kurang ajar!" Ki Tejareksa menggeram. Matanya memandang buas kepada Setan Gembel.

Dan sekali menyentak garang, si Pedang Kayu telah kembali bangkit berdiri. Seketika dia melompat menerjang.

"Yeaaa...!"

"Huh! Setan Gembel hanya mendengus dingin. Kemudian sekali berkelebat, tangannya memapaki serangan.

Tubuh si Pedang Kayu terjajar beberapa langkah. Sedangkan Respati tak bergeming sama sekali. Kini baru Ki Tejareksa menyadari kalau tenaga dalamnya masih kalah dua tingkat dibanding pemuda itu. Dan sebelum si Pedang Kayu membuka serangan, tubuh Setan Gembel telah meluruk cepat dengan satu tendangan berisi tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Tejareksa tak mampu menghindar lagi.

Kraaakkk....!

"Aaakh...!" Si Pedang Kayu memekik kesakitan begitu tendangan Setan Gembel mendarat telak di dadanya. Seketika terdengar suara berderak dari tulang yang patah. Tubuh laki-laki itu kontan terlempar seperti selembar daun kering. Tulang dadanya patah. Dan kelihatannya Ki Tejareksa susah sekali bangkit. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit hebat.

"Aku tidak pernah meninggalkan musuhku hidup-hidup. Aku akan menjemput mautmu sekarang juga!" desis Setan Gembel.

"Huh! Kau kira aku sebangsa pengecut yang takut mati? Bunuhlah aku cepat!" sentak Ki Tejareksa.

"Ha ha ha...! Kau akan mampus sekarang, Iblis Tua!"

Setelah mengumbar tawanya, tiba-tiba saja Setan Gembel berubah garang. Di pandanginya laki-laki setengah baya dengan tajam. Kedua tangannya terangkat pelan-pelan. Tapi pada saat yang paling gawat buat si Pedang Kayu....

"Heh...?!" Setan Gembel langsung berbalik saat terdengar derap kaki kuda. Agaknya, kuda-kuda itu segera akan melewati tempat ini, sehingga membuatnya menjadi gusar.

"Hhh...!" Respati mendengus saat melihat pasukan prajurit berkuda mendekati tempat ini. Dari umbul-umbul yang dibawa, jelas kalau pasukan prajurit berkuda itu berasal dari Kerajaan Linggapura. Maka sebelum pasukan prajurit itu berada pada jarak sepuluh tombak, Respati menghentakkan tangannya.

"Hiih!" Serangkum angin kencang berhawa panas meluruk ke arah pasukan prajurit.

"Uts! Kurang ajar!"

Seorang prajurit yang berada paling depan cepat melompat sambil membuat gerakan jungkir balik. Lalu kakinya jatuh dengan mulus di tanah, tidak jauh dari Setan Gembel. Namun....

Blarrr...!

"Aaakh...!" Ketika prajurit berpangkat panglima yang tadi melompat memandang ke arah kawan-kawannya, dua orang prajurit yang tadi persis di belakangnya telah terbujur tewas karena tak sempat menyelamatkan diri. Sementara tiga orang lainnya ikut terjungkal, meski tidak sampai terluka parah. Tapi itu sudah cukup membuat amarah panglima itu terbangkit.

"Kurang ajar! Kau telah membunuh prajurit Kerajaan Linggapura! Aku, Panglima Rukmana akan menghukummu, Gembel!" bentak panglima yang bernama Rukmana. Melihat gerak-geriknya, tampaknya Panglima Rukmana tengah memimpin pasukan yang berjumlah sekitar dua puluh orang ini.

Setan Gembel tidak langsung menjawab. Melainkan, berdiri tegak memandangi mereka untuk sesaat. "Pergilah! Aku tidak ingin berurusan dengan kalian...!" ujar Respati dingin.

"Bedebah! Kau berani mengusir kami seenaknya?! Gembel busuk! Kau betul-betul tidak tahu penyakit! Tidak tahukah kau, bahwa saat ini tengah berhadapan dengan para prajurit kerajaan?! Kau akan dihukum pancung karena berani membunuh dua prajurit!" sahut Panglima Rukmana geram.

"Hukum pancung? Ha ha ha...!" Setan Gembel tertawa geli mendengar amarah panglima itu.

"Setan! Dasar gembel gila! Kau tidak tahu bahwa sebentar lagi akan mampus. Tapi, masih juga bisa tertawa! Serang dia!" teriak Panglima Rukmana memberi perintah pada anak buahnya.

Begitu mencabut pedang, para prajurit mengangkatnya tinggi-tinggi. "Yeaaa...!"

Serentak para prajurit Kerajaan Linggapura mengurung Setan Gembel. Dan secepat itu beberapa orang langsung meluruk maju dengan sambaran pedang. Dalam waktu singkat Setan Gembel telah berada dalam kelebatan pedang-pedang. Rasanya sulit untuk mencari jalan keluar dari kepungan.

"Hup! Heaaa...!"

Namun dengan enaknya, Respati meliuk-liukkan tubuhnya. Sehingga tak satu pedang pun yang menyentuh tubuhnya. Bahkan tiba-tiba, Setan Gembel melakukan serangan balik dengan melakukan tendangan beruntun dan bertenaga dalam tinggi.

Des! Des! Des!

"Aaakh...!" Tiga prajurit kontan terjungkal roboh, tidak bangkit lagi terhantam tendangan Respati. Sedang yang seorang hanya terjungkal, dan masih sempat bangkit meski dengan wajah meringis menahan sakit pada bahunya.

"Kurang ajar! Pantas saja kau berlagak! Rupanya ada sesuatu yang kau banggakan, he?!" dengus Panglima Rukmana.

Panglima ini langsung bergerak maju dengan langkah lebar. "Minggir!" perintahnya pada anak buahnya.

Serentak para prajurit kerajaan itu menghentikan serangan, mundur teratur. Namun begitu, mereka tetap membuat bentuk lingkaran untuk mengurung Setan Gembel. Panglima Rukmana mendekat perlalan-lahan. Sorot matanya tajam memandang Respati. Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang bertubuh tegap ini amat terkenal di kalangan prajurit sebagai seorang yang memiliki kepandaian hebat.

"Aku telah memberi kesempatan padamu untuk menyerah. Tapi, kau menolak. Maka jangan salahkan bila aku akan membunuhmu sekarang juga!" lanjut Panglima Rukmana mendengus sinis.

"Membunuhku? Seekor kecoa sepertimu ingin membunuhku?! Ha ha ha...! Sungguh menggelikan!" ejek Setan Gembel seraya tertawa nyaring.

Suara tawa Setan Gembel agaknya bukan sembarangan karena disertai pengarahan tenaga dalam. Buktinya beberapa prajurit yang memiliki tenaga dalam rendah buru-buru mendekap kedua telinga dengan wajah berkerut menahan sakit.

"Tertawalah sesuka hatimu, Keparat!" desis Panglima Rukmana. Bersamaan dengan itu, panglima ini melompat menerjang dengan pedang siap dikibaskan.

"Uts!" Ujung pedang panglima itu menyambar cepat. Tapi Setan Gembel ternyata bukan lawan enteng. Pemuda gembel yang wajahnya selalu tertutup rambut panjangnya itu bergerak amat lincah menghindari setiap serangan.

"Ha ha ha...! Hanya seginikah kebisaanmu? Kau hanya membuang-buang waktu menghadapi Setan Gembel!" ejek Respati.

"Keparat! Jangan berbangga diri dulu. Kau belum merasakan ilmuku yang Iain. Dan kau akan menjerit sampai ke neraka sana!" teriak Panglima Rukmana kalap.

"Ha ha ha...!" Setan Gembel hanya tertawa mendengar kata-kata lawan. Tapi tawanya lebih tepat merupakan ejekan. Sepertinya, dia memang betul-betul menganggap enteng panglima itu.

"Heaaa...!" Disertai bentakan nyaring tubuh Panglima Rukmana berkelebat. Kali ini dia merubah gerakan, sehingga terlihat lebih cepat dan memiliki gerakan-gerakan beragam.

Tapi sekali pandang saja Setan Gembel tahu, kalau gerakan-gerakan panglima itu masih mentah. Sehingga masih banyak lubang-lubang lowong yang bisa dijadikan sasaran empuk.

"Huh! Kau akan mampus sekarang juga!" dengus Respati.

"Cobalah buktikan!" balas Panglima Rukmana tidak kalah garang.

"Hiyaaa...!" Disertai bentakan garang, Setan Gembel berkelebat cepat mendekat. Panglima Rukmana pun tidak kalah sigap. Cepat disambutnya luncuran tubuh Respati dengan ayunan pedangnya.

Pedang Panglima Rukmana jelas menghantam dada. Namun tidak berakibat apa pun terhadap Setan Gembel. Jangankan terluka. Bahkan tergores pun tidak. Dan sebelum panglima itu bisa menghapus rasa herannya, satu tendangan keras telah menggedor dadanya.

Desss...!

"Aaaa...!" Panglima itu kontan memekik keras. Tubuhnya terpental ke belakang disertai semburan darah segar.

"Panglima...!" desis prajurit-prajurit yang menyaksikan kejadian itu.

Serentak mereka memburu pimpinannya. Terlihat mulut Panglima Rukmana bergerak-gerak sebentar. Sementara, darah terus berlelehan. Tidak ada suara yang terdengar. Bahkan kemudian kepalanya terkulai lemah, dan jantungnya berhenti berdenyut.

"Keparat! Kau harus membalas kematiannya!" bentak salah seorang prajurit, seraya melompat ke depan Setan Gembel. Prajurit lain pun mengikuti. Wajah mereka kelihatan garang dan penuh dendam.

"Kalian bukan tandinganku. Pergilah!" ujar Setan Gembel dingin.

"Setan! Kami harus membunuhmu sekarang juga. Hutang nyawa bayar nyawa!" desis prajurit itu, seraya melompat menerjang bersama kawan-kawannya.

"Hm, bandel!" gumam Setan Gembel, dingin. Dan tiba-tiba sebelah telapak tangan Respati menghentak ke depan. Dan dari telapak tangannya seketika melesat serangkum angin kencang berhawa panas ke arah para prajurit.

"Aaakh...!" Beberapa prajurit terpental disertai pekik kesakitan. Mereka roboh bermandikan darah, dan tidak bangkit lagi. Melihat keadaan itu bukan main geramnya para prajurit yang selamat. Mereka kembali menyerang serentak. Namun kali ini, Setan Gembel berbuat seperti tadi. Sehingga, korban yang jatuh semakin bertambah.

Dan sisa lima prajurit segera memutuskan untuk melarikan diri saja. Memang, agaknya Setan Gembel tidak berselera bermain-main dengan mereka. Dia hanya memperhatikan saja dengan senyum dingin.

"Dasar tikus-tikus busuk!" umpat Respati.

Kemunculan pemuda berbaju compang-camping itu menoleh pada sosok si Pedang Kayu yang tadi terluka parah. Ternyata Ki Tejareksa telah diam tidak bergerak. Setelah yakin kalau laki-laki itu sudah tidak bernyawa lagi, Respati segera menghampiri peti matinya.

Srek! Srek..!

Suara gesekan peti mati dengan tanah terdengar saat Setan Gembel melangkah.

********************

LIMA

"Hooop...!" Seorang penunggang kuda menghentikan laju kudanya di depan seorang gadis berbaju serba putih yang tidak menoleh sedikit pun atas kehadirannya. Di sebelah gadis itu tampak kuda lain yang tengah merumput.

"Hup!" Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun dan bertubuh tegap itu langsung melompat dari tunggangannya. Begitu mendarat, dia langsung berlutut memberi hormat.

"Maafkan aku karena membuat Nona Lembayung menunggu terlalu lama...!" ucap pemuda berpakaian ketat warna hitam ini.

"Apa yang kau bawa, Mayong?" tanya gadis itu masih belum berbalik.

"Sepertinya aku telah menemukannya... kata pemuda yang dipanggil Mayong, agak merayu. Gadis bernama Lembayung berbalik. Matanya langsung memandang tajam kepada Mayong.

"Kau telah menemukannya, Mayong! Di mana dia?!" kejar Lembayung dengan wajah bersemangat.

Pemuda berpakaian ketat warna hitam itu tidak langsung menjawab. Dia diam sejurus lamanya. Sikapnya kelihatan bingung sekali. "Katakan padaku, Mayong! Di mana kau temukan dia...!" desak Lembayung.

"Amat berbahaya mendekatinya, Nona...."

"Aku tidak peduli! Katakan padaku! Di mana dia sekarang?!"

"Dia menjadi tokoh yang amat berbahaya, Nona. Buas dan tidak kenal ampun...."

"Apa maksudmu?!" desis Lembayung dengan wajah kaget.

Respati telah berubah. Dia menjadi seseorang yang lain daripada yang dulu pernah kita kenal...," desah Mayong.

"Katakan padaku terus terang, Mayong! Jangan berbelit-belit!" sentak Lembayung.

"Aku..., aku...."

"Mayong! Kepada siapakah kau mengabdi?!" tukas gadis ini menghardik.

Kepada Nona tentunya..," sahut Mayong, mantap.

"Lalu, kenapa kau mulai membangkang?"

"Maaf, Nona. Tak sekali-sekali aku bermaksud demikian...," ucap Mayong.

"Lalu, kenapa seolah kau mencoba mengajariku?" cibir Lembayung.

Mayong terdiam. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam. Dia tidak berani bicara lagi mendengar kata-kata gadis ini yang ketus bercampur marah.

"Maafkan aku, Nona...," ulang Mayong, lirih.

Gadis itu terdiam. Wajahnya kelihatan masih menyimpan kesal. Dipandanginya pemuda itu sekilas, lalu membuang pandang ke arah lain. Di mana kau temukan dia?" tanya Lembayung kemudian.

"Terakhir kulihat dia berada di Desa Ganter. Kelihatannya dia akan ke ibukota kerajaan, Nona...," jelas Mayong.

"Hm.... Dia hanya akan mengantarkan nyawa percuma. Kita harus mencegahnya," gumam Lembayung.

"Nona.... Dia telah membunuh banyak prajurit kerajaan. Panglima utama tentu tidak akan membiarkan begitu saja perbuatannya. Apalagi dia telah membunuh Panglima Rukmana."

"Kemajuan ilmunya demikian pesat. Panglima Rukmana temasuk salah satu panglima kerajaan yang berilmu tinggi...," gumam gadis itu lagi.

"Aku melihat sendiri, Nona. Kepandaiannya sungguh tidak masuk akal!" jelas Mayong dengan suara sedikit tinggi.

Gadis itu kembali terdiam sesaat. "Antarkan aku kepadanya!" ujar gadis itu datar.

"Sekarang..., eh! Maksudku, apakah Nona tidak berpamitan dulu pada...."

Mayong! Jangan banyak tanya!" potong Lembayung. "Naik ke kudamu. Dan, kita berangkat sekarang!"

"Eh! Baiklah, Nona!" Mayong langsung melompat ke punggung kudanya, setelah-menjura hormat. Lalu perlahan-lahan kudanya digebah.

Sementara Lembayung segera mengenakan topi caping lebar dari bambu yang tadi tergolek di tanah. Caping itu untuk menghalangi wajahnya dari pandangan orang. Dan dengan gerakan ringan, gadis ini melompat ke punggung kuda berbulu putih yang tertambat di dekatnya. Segera diikutinya pemuda itu, dan cepat menjajari di sampingnya.

Lama mereka berdiam diri tanpa banyak bicara, sambil menjalankan kuda perlahan-lahan. Sampai suatu ketika Mayong memberi isyarat agar mereka berhenti, lalu membelokkan langkah kudanya.

"Di depan sana ada beberapa prajurit kerajaan, Nona...!" tunjuk Mayong.

"Ya, aku tahu...," sahut Lembayung.

"Bagaimana kalau mereka menemukan kita di sini?"

"Diamlah! Tidak usah kau banyak bicara. Kita harus menghindari siapa pun yang punya hubungan dengan kerajaan!"

"Baik, Nona!"

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Desa Jenang merupakan salah satu desa yang biasa dilalui orang bila hendak ke timur maupun hendak ke barat. Tidak mengherankan bila selain penduduk setempat, orang-orang asing pun sering singgah barang sesaat. Atau bermalam barang beberapa hari. Dan bagi para pedagang, hal ini justru dipergunakan untuk berniaga bila keadaan memang cukup ramai.

Bila orang berpakaian gembel biasa yang melintasi jalan utama di desa ini, mungkin hal itu adalah pemandangan biasa. Tapi bila gembel itu membawa-bawa peti mati dan berjalan tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, tentu saja hal itu cepat menarik perhatian orang di Desa Jenang ini. Apalagi bila gembel itu ternyata tokoh yang belakangan ini menjadi bahan pembicaraan. Bukan saja di kalangan persilatan, tetapi juga bagi semua orang!

"Setan Gembel...!" desis salah seorang pengunjung kedai yang melihat kehadiran laki-laki berbaju compang-camping itu dari jendela.

"Heh?!" Pengunjung kedai lainnya terkesiap mendengar kata-kata orang itu. Dan tanpa sadar semua orang yang berada di dalam kedai memalingkan muka memperhatikan gembel yang menarik peti di jalan utama desa.

"Mau apa dia ke sini? Apakah ada yang dicarinya?" tanya seorang laki-laki bermuka bulat dan bertubuh agak kecil.

"Di sini banyak tokoh-tokoh persilatan. Mungkin salah satu di antara mereka ada yang diincarnya!" sahut yang lain.

"Ya, mungkin saja..."

Dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun menghadang gembel yang tak lain memang Respati alias Setan Gembel.

"Berhenti kau! Aku akan membuat perhitungan denganmu, Setan Gembel!" bentak pemuda berpakaian ketat warna kuning gading.

"Respati tidak langsung menjawab. Langkahnya berhenti dan terdiam sejurus lamanya.

"Setan Gembel! Kau telah membunuh ayahku si Pedang Kayu! aku akan membuat perhitungan denganmu!" bentak pemuda bertubuh tegap dengan wajah lebar itu lagi seraya mencabut pedang.

Sring...!

"Ayo, keluarkan senjatamu! Hadapi Wisesa, anak tunggal si Pedang Kayu! Kita bertarung secara ksatria!" lanjut pemuda bernama Wisesa dengan suara garang.

"Anak muda.... Pergilah. Dan, jangan menghalang-halangi langkahku. Kau akan mati percuma..." ujar Setan Gembel datar.

"Bedebah! Kau kira aku anak kecil yang bisa ditakut-takuti dengan cara begitu? Huh! Aku tidak peduli, apakah kau bersenjata atau tidak. Lihat seranganku, Setan Gembel! Heaaa...!"

Dengan teriakan membahana, Wisesa melompat. Pedangnya langsung diayunkan, menyambar leher gembel di depannya.

"Hup!" Setan Gembel melompat ke belakang. Sehingga serangan Wisesa luput dari sasaran. Tapi anak tunggal Ki Tejareksa ini tidak berhenti sampai di situ. Dia kembali mencelat dan menyerang dengan membabi-buta.

"Heaaa! Heaaa...!"

Pedang di tangan Wisesa berkelebat-kelebat seperti hendak mencincang tubuh Respati menjadi beberapa potong. Tapi sekali lagi, Setan Gembel mampu menghindarinya dengan gesit. Tubuhnya bergerak ke atas, lalu tiba-tiba meluruk ke bawah, siap mengayunkan tendangan.

"Uts!" Dan itu membuat Wisesa terkesiap. Untung dia buru-buru membuang diri ke samping sambil bergulingan.

Tapi Setan Gembel memang bukan orang yang sabar. Sekali atau dua kali mungkin dia masih mau mengalah. Namun selanjutnya, tahu-tahu dia telah membuka serangan balasan.

"Heaaa...!" Dengan satu gerakan kilat, Setan Gembel mencelat melepas serangan tangan bertubi-tubi. Wisesa gelagapan. Dia mencoba memapak dengan kelebatan pedangnya.

Tapi, tidak sedikit pun pedang itu mampu mengenai Respati. Bahkan tiba-tiba kepalan Setan Gembel menghantam dari arah kiri menuju pelipis. Dengan sigap, Wisesa menangkis kepalan dengan tangan kirinya. Dan pada saat tubuh Wisesa terjajar, justru satu tendangan keras Setan Gembel menghantam perutnya.

Desss...!

"Aaakh...!" Wisesa jatuh tersungkur sambil memekik kesakitan. Dari mulutnya meleleh darah kental. Dia berusaha bangkit dengan kepayahan. Wajahnya tampak berkerut menahan rasa sakit hebat. Sesaat dia mengejang sambil berteriak lepas, lalu ambruk dan diam tidak bergerak lagi.

Beberapa orang yang menonton pertarungan menatap tak percaya. Dan salah seorang memberanikan diri memeriksa nadi Wisesa saat Setan Gembel berlalu begitu saja sambil menarik peti matinya.

"Dia telah mati..." desah orang yang memeriksa itu, lirih.

"Kejam! Manusia itu betul-betul biadab!"

Baru saja mereka berkata seperti itu, mendadak... "Berhenti kau, Manusia Laknat!"

Sebuah bentakan keras terdengar, membuat semua mata berpaling ke arah sumbernya. Ternyata Setan Gembel tengah dihadang oleh dua laki-laki bertubuh gemuk, terbungkus pakaian merah tua. Wajah, bentuk tubuh, dan penampilan kedua orang gemuk itu sama persis, bagai pinang dibelah dua. Kepala mereka sama-sama botak. Perbedaan mereka hanya pada letak tahi lalat.

Kedua orang kembar ini memandang Respati penuh kebencian dan dendam mendalam. "Siapa kalian? Dan mau apa dariku?" tanya Setan Gembel, pelan.

"Kami si Kembar dari Gunung Lawu. Aku Raswita! Dan saudaraku Raswata. Kami tidak bisa membiarkan kau pergi begitu saja, setelah membunuh pemuda tadi! sahut laki-laki kembar yang bertahi lalat di dagu yang bernama Raswita.

"He he he...! Apakah bocah itu, anakmu?"

"Dia masih terhitung keponakan kami!" jawab Raswita, mantap.

"Keponakanmu? He he he...! Pergilah! Dan jangan coba-coba menantangku. Kalau keponakanmu saja mampus di tanganku, maka kalian bukan tandinganku," ujar Respati.

"Kurang ajar! Kau merendahkan kami, he?!" maki laki-laki kembar yang bertahi lalat di hidung. Namanya, Raswata.

"Apa yang bisa kupandang hebat dari kalian? Perut yang buncit itu atau pedang besar yang kalian sandang? He he he...! Itu semua amat menggelikan buatku," sahut Setar Gembel tenang bernada mengejek.

"Keparat!" Kedua orang kembar itu memaki geram. Dan serentak mereka mencabut pedang, lalu melompat menyerang.

"Ha ha ha...!" Setan Gembel hanya terkekeh menyambut serangan. Tidak terlihat sedikit pun kalau hatinya gentar. Bahkan dengan sikapnya, kelihatan kalau dia betul-betul menganggap enteng kedua lawannya.

"Uts! Hup...!" Pedang besar si Kembar dari Gunung Lawu itu berkelebat dari dua arah. Dan dengan gerakan kompak, mereka mulai mengurung Respati dengan ketat.

Setan Gembel mencelat ke samping. Dan seketika itu juga, kedua lawannya mengikuti. Serangan si Kembar dari Gunung Lawu bertubi-tubi. Bukan saja amat cepat, bahkan juga di-dukung oleh kekompakan. Sehingga untuk sesaat terlihat kalau Setan Gembel tidak mampu berbuat apa-apa.

"He he he...! Baru kau rasakan sekarang keadaan dirimu. Sebentar lagi kau akan mampus, Keparat!" desis Raswita.

"Dan riwayatmu akan tamat untuk selamanya!" timpal Raswata.

"Riwayatku tamat? Oleh kalian? Ha ha ha...!" Respati tertawa mengejek.

Saat itu juga, Setan Gembel segera melompat. Dipapaknya kedua serangan yang saat itu sudah meluncur datang dari depan. Si Kembar dari Gunung Lawu sama sekali tidak menyangka kalau kedua belah tangan pemuda itu bermaksud menangkis senjata. Karena bisa dipastikan kedua tangannya akan putus dalam sekejap mata. Tapi yang terjadi justru sangat mengejutkan! Pedang mereka bagai menghantam batang besi. Dan belum lagi keduanya sempat tersadar, tendangan Setan Gembel yang keras dan beruntun telah meluncur datang. Sehingga....

Des! Des!

"Aaakh...!" Si Kembar dari Gunung Lawu jatuh tersungkur dengan isi dada seperti mau pecah. Sebelum mereka sempat bangkit, Respati telah mencelat. Langsung diinjaknya dada salah satu orang kembar itu disertai tenaga dalam tinggi.

"Aaakh...!"

"Raswitaaa...! Terdengar suara berderak tulang patah yang diiringi pekikan setinggi langit. Dan itu masih ditingkahi jeritan kaget Raswata yang memanggil saudara kembarnya.

"Heh?!" Kejadian itu menyentak orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka seperti terbangun dari mimpi. Dan ketika beberapa orang mendekati Setan Gembel, maka yang lain menyusul dengan berbondong-bondong mengepung.

"Iblis terkutuk! Perbuatanmu sungguh biadab...!" teriak seseorang.

"Iblis jahanam! Bunuh dia! Bunuh dia...!" timpal yang lain.

Serentak mereka mengeluarkan senjata masing-masing, dan berlompatan menyerang Setan Gembel. "Heaaa...!"

"Habisi dia...!"

Namun Setan Gembel sama sekali tidak terpengaruh. Hatinya benar-benar tegar sekokoh batu karang. Tidak terlihat sedikit pun merasa gentar oleh keroyokan banyak orang yang bersenjata beraneka ragam. Padahal orang-orang itu bukan hanya terdiri dari penduduk desa, tapi juga tokoh-tokoh persilatan yang kebetulan berada di desa ini. Mereka memang telah muak mendengar sepak terjang Setan Gembel.

"Heaaa...!" Respati menarik napas dalam-dalam. Dan seketika kedua telapak tangannya didorong ke depan. Maka seketika meluncur angin menderu kencang menghantam para pengeroyok.

Desss...!

"Aaa...!" Beberapa orang yang tidak sempat menghindar langsung terjungkal roboh ke belakang dengan nyawa putus seketika. Tapi yang lainnya masih mampu menghindar. Lantas dengan penuh amarah, mereka kembali menyerang Setan Gembel.

"Heaaa...!"

"Huh!" Setan Gembel menggeram. Wajahnya tampak kelam ketika mencibir sinis. Kemudian kedua tangannya disilangkan di dada, dan digerak-gerakkan barang sesaat. Maka dalam waktu singkat, kedua telapak tangannya sampai sebatas siku terlihat bercahaya merah.

"Hei? Bukankah itu pukulan Tapak Setan" seru salah seorang dengan wajah kaget.

"Ya! Mungkinkah dia ada hubungannya dengan Iblis Gembel?" sahut yang lain.

Namun belum sempat mereka menghubung-hubungkan pemuda itu dengan seorang tokoh sesat yang telah puluhan tahun menghilang dari dunia persilatan, mendadak...

"Heaaa...!" Disertai teriakan keras menggelegar, Respati menghentakkan kedua tangannya yang telah bercahaya merah ke depan. Maka seketika meluncur sinar yang bagaikan lidah api menyambar orang-orang di depannya.

Wuusss...! Glarrr...!

"Aaa...! Seketika terdengar pekikan kematian. Beberapa orang roboh dengan tubuh hangus seperti terbakar.

Dan ketika Setan Gembel kembali mengumbar pukulannya, korban kembali berjatuhan. Orang-orang yang mengeroyok kini mulai gentar. Dan di antaranya ada yang lari ketakutan. Sementara beberapa tokoh persilatan menggabungkan kekuatan mereka, langsung membalas pukulan yang bernama Tapak Setan itu.

"Heaaa...!"

Wusss...!

Namun Setan Gembel tidak tinggal diam. Langsung kedua tangannya menghentak kembali, memapak. Terdengar suara keras ketika terjadi benturan keras beberapa tenaga dalam tinggi. Lima orang tokoh silat tadi terpental ke belakang. Dan dari mulut mereka meleleh darah segar akibat benturan tadi. Sedang Setan Gembel sedikit terhuyung-huyung ke belakang. Napasnya turun naik sesaat, namun dalam waktu singkat telah kembali seperti biasa.

"Sekarang kalian rasakan pembalasanku!" desis Respati geram, siap menghabisi kelima lawannya.

Tapi baru saja pemuda itu hendak mengangkat sebelah tangan untuk mengerahkan pukulan Tapak Setan kembali, mendadak...

"Kisanak! Cukup sudah sepak terjangmu. Dan, jangan lagi kau membuat korban!"

"Hmm...!" Respati menggumam tak jelas ketika terdengar suara teguran dari belakangnya.

ENAM

Setan Gembel berbalik. Matanya langsung menyorot tajam pada pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung yang telah berdiri di hadapannya. Pergilah, Kisanak! Jangan ikut campur urusan orang! Apakah kau tidak sayang jiwamu? ujar Respati tanpa tekanan.

Pemuda tampan berbaju rompi putih yang tak lain Rangga yang di kalangan persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum kecut.

"Kisanak pun tak perlu merisaukan diriku. Aku tahu, bagaimana menjaga diriku sendiri. Tapi alangkah baiknya bila kau menghentikan sepak terjangmu. Dengan apa yang kau perbuat hari ini, jelas semua orang akan berusaha untuk membunuhmu," sahut Rangga tenang.

Pendekar Rajawali Sakti yang telah mendengar sepak terjang Setan Gembel setelah diberi tahu Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin memang merasa berkewajiban untuk menghentikannya. Dan dari bicara serta tatapan Setan Gembel, Rangga telah menarik kesimpulan kalau pemuda itu selalu meremehkan lawan bicaranya. Dan hal itu tidak lain karena Respati merasa sebagai seorang tokoh yang tidak terkalahkan.

"He he he...! Pintar juga bicaramu. Tapi aku yakin, kau lebih pintar memilih keselamatan dirimu sendiri. Sebab bila coba mengusikku, maka nasibmu tidak akan lebih baik ketimbang mereka!" ancam Respati, yakin.

"Setan Gembel! Aku hanya memberi kesempatan sekali saja. Sudah cukup korban berjatuhan karena ulahmu. Dan jangan ditambah lagi. Kau harus menyerahkan diri menerima hukuman. Kalau tidak, terpaksa aku yang harus menangkapmu?" jelas Rangga tak kalah gertak.

"Kau ingin menangkapku? Ha ha ha...!" Setan Gembel tertawa mengejek.

"Kalau begitu..., heaaa...!"

Dengan teriakan keras, Respati melayangkan satu tendangan keras ke wajah. Namun dengan sigap, Pendekar Rajawali Sakti menarik kaki kanannya ke belakang dengan tangan mengibas ke atas.

"Baru saja benturan terjadi, kaki Setan Gembel yang terpapak telah kembali meluncur. Kali ini sasarannya tulang rusuk Pendekar Rajawali Sakti. Namun cepat sekali Pendekar Rajawali sakti menurunkan tangannya dan mengibaskannya ke samping.

Begitu kembali terjadi benturan, Rangga memutar tubuhnya. Lalu dengan satu kemposan, kaki kirinya sudah melayang melepas tendangan setengah lingkaran.

"Uts!" Tendangan itu lewat di atas kepala ketika Setan Gembel merendahkan tubuhnya dengan gerakan cepat sekali.

"He he he...! Boleh juga kepandaianmu. Tapi jangan kira dengan begitu kau sudah merasa menang!" leceh Setan Gembel.

"Aku tidak butuh kemenangan darimu, Setan Gembel. Aku hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu pada orang yang pantas untuk memberi hukuman," tandas Pendekar Rajawali Sakti, mantap.

"He he he...! Kau betul-betul bodoh dan menyia-nyiakan kehidupanmu sendiri, Kisanak!"

"Akan kita lihat, siapa sebenarnya yang menyia-nyiakan hidupnya. Kau ataukah aku!" sahut Rangga tenang.

"Huh!" Setan Gembel mendengus geram. Kedua tangannya cepat disilangkan di dada. Wajahnya tampak geram penuh amarah.

"Kau akan mampus, Kisanak!" desis Respati.

"Apakah dengan menggunakan pukulan Tapak Setan kau kira bisa lolos dari incaranku?" kata Rangga.

"Kau akan tahu setelah nanti sampai di akhirat!" Setelah berkata begitu, Setan Gembel melompat menerjang.

"Heaaat...!" Tidak seperti menghadapi keroyokan tadi, kali ini Respati tidak mengumbar pukulan. Agaknya dia hendak menyerang dari jarak dekat, karena menyadari kalau pemuda ini memiliki gerakan gesit. Sehingga mudah sekali pukulannya dihindari.

Rangga yang menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib mulai merasakan tekanan yang dilancarkan Setan Gembel. Dan dia merasa tidak boleh gegabah. Malah sebisa mungkin menghindari setiap pukulan serta tendangan yang dilancarkan lawan.

He he he...! Kau mulai ketakutan, Kisanak! Kematianmu sebentar lagi. Maka, berdoalah sebelum aku mencabutnya!" ejek Setan Gembel.

"Tak ada yang bisa menentukan kematianku, kecuali Yang Maha Kuasa. Dan aku jadi khawatir, ucapanmu malah sebaliknya," balas Pendekar Rajawali Sakti.

"Huh! Kau akan mampus sekarang juga!" dengus Setan Gembel.

"Heaaa...!" Diiringi satu bentakan keras, kedua telapak tangan Respati menghentak ke arah Rangga pada jarak kurang dari tiga langkah. Gerakannya cepat bukan main.

Tapi yang dihadapi adalah Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar berkepandaian tinggi yang sudah banyak makan asam garam. Tak heran kalau sejak tadi Rangga telah bersiap dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan. Maka begitu melihat lidah api meluncur dari telapak Setan Gembel. Pendekar Rajawali Sakti cepat menghentakkan tangannya, memapaki.

"Aji Guntur Geni! Heaaa.?!"

"Aaakh...!"

Rangga dan Respati sama-sama terlempar ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti mampu bangkit dengan sigap mesti kedua bahunya turun naik menandakan bahwa pernapasannya tengah tersengal. Mukanya sesekali berkerut menahan rasa sakit. Dan dari sudut bibirnya menetes darah segar.

Sebaliknya Setan Gembel menderita luka yang cukup parah. Pemuda itu jatuh berguling-gulingan sambil berteriak kesakitan. Dari mulutnya beberapa kali memuntahkan darah kental bercampur kehitam-hitaman. Dia berusaha bangkit, namun kembali terjatuh.

Sementara itu, orang-orang yang melihat kejadian ini terkesiap. Mula-mula mereka takut-takut. Tapi setelah mengetahui kalau Setan Gembel tengah tidak berdaya, salah seorang berteriak pada yang lainnya.

"Bunuh Setan Gembel! Ini kesempatan baik. Dia tengah tidak berdaya!"

Teriakan itu disambut yang lain dengan penuh semangat. Maka mereka yang tadi lari pontang panting ketika Setan Gembel mengamuk, seperti punya kesempatan untuk melampiaskan sakit hatinya.

Respati memang tidak berdaya. Namun pemuda itu sepertinya tidak gentar menghadapi keroyokan. Dia berusaha untuk duduk bersila dengan kepala tertunduk. Gerakannya lemah, seperti tidak bertenaga.

"Heaaa...!"

"Awas...! Minggiiir...!"

Pada saat yang gawat bagi Setan Gembel, mendadak terdengar derap langkah kaki kuda disertai teriakan keras. Orang-orang yang hendak menghabisi Respati seketika buyar, menyelamatkan diri. Kalau tak ingin dilanggar seekor kuda yang ditunggangi satu sosok tubuh berpakaian ketat warna hitam! Kuda itu terus berlari kencang, menuju sosok Setan Gembel.

Begitu penunggang kuda itu melewati Respati, pununggang kuda itu segera menambah lari kudanya. Dan saat itu juga, tubuh Setan Gembel telah raib dari tempatnya semula.

"Heh?! Ke mana dia?!"

"Hilang? Tidak mungkin...!"

Orang-orang yang ada di tempat ini kaget dan mulai sibuk mencari-cari. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri pada tempatnya, dengan pandangan tetap tertuju ke arah Setan Gembel lenyap tadi. Baru kemudian pandangannya berbalik pada mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan utama. Diam-diam dia mengerahkan aji Tatar Netra untuk mengenali sosok penunggang kuda tadi yang telah menyelamatkan Setan Gembel.

"Kisanak... Aku atas nama kawan-kawan mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan...."

Pendekar Rajawali Sakti menoleh saat mendengar suara dari belakangnya. Tampak kelima orang yang tadi sempat dihajar Setan Gembel.

"Namaku Setiaji..." lanjut yang bicara tadi.

Rangga menaksir usia laki-laki ini mungkin sebaya dengannya. Tapi empat orang lainnya berusia paling tidak, sudah kepala empat.

"Aku Rangga...."

"Ya! Kami tahu, kau adalah Pendekar Rajawali Sakti...!" tukas Setiaji.


"Terima kasih. Tapi aku...."

"Harap jangan menolak! Kau harus istirahat barang beberapa waktu untuk menyembuhkan luka dalam yang kau derita saat ini!" tukas salah seorang.

"Benar! Lebih baik ikut kami sebelum luka yang kau derita semakin parah!" timpal Setiaji.

Rangga berpikir beberapa saat sebelum menyatakan persetujuannya lewat anggukan. Baru saja mereka melangkah beberapa tindak, mendadak beberapa orang bergerak mengerumuni peti mati yang tertinggal di jalan utama. Peti mati dari kayu jati, milik Setan Gembel.

"Kuburkan saja peti ini!" teriak salah seorang.

"Tidak! Sebaiknya bakar. Barangkali, setelah dibakar Setan Gembel akan terus sial!"

"Ya, betul! Sebaiknya dibakar saja!"

Rangga kembali melanjutkan langkah diiringi Setiaji dan tiga orang kawannya. Mereka tak ingin memusingkan soal peti mati. Biarlah para penduduk yang mengurusnya.

********************

"Ohh...!" Suara keluhan terdengar saat Respati tersadar. Matanya terbuka namun pandangannya masih samar-samar. Beberapa saat setelah mengerjap-ngerjapkan mata, mulai terlihat batu-batu karang yang mencuat dari permukaan bumi ataupun yang menjorok ke bawah dari langit-langit ruangan.

Pemuda itu mencoba bangkit berdiri namun kepalanya terasa berat. Dan pandangannya kembali berkunang-kunang. Namun sebelum tubuhnya sempat jatuh terhempas kembali seseorang telah menahannya.

"Jangan bangkit dulu, Kakang. Kau tengah terluka parah...!" ujar orang yang menahannya dengan suara merdu.

"Siapa kau?" tanya Respati, penuh tatapan menyelidik.

Setan Gembel memutar pandangan. Lalu matanya mengerjap-ngerjap untuk menegaskan pandangan.

"Kau..., kau...."

"Kau masih mengenaliku, Kakang?" tukas suara itu lembut.

Laki-laki berbaju compang-camping dan penuh tambal itu memalingkan muka sambil mendesah pelan. "Kaukah yang menolongku, Lembayung...?"

"Betul, Kakang Respati!"

"Kenapa kau lakukan itu? Bukankah sebenarnya kau senang kalau melihatku mati?" desis Respati dengan senyum kecut.

"Kakang, jangan berkata begitu! Siapa bilang aku menghendaki kematianmu?!" seru gadis yang dipanggil Lembayung cepat.

Pemuda itu terdiam beberapa saat. Pandangan matanya lurus ke arah langit-langit ruangan yang kusam. Di beberapa tempat terlihat sarang laba-laba.

"Tapi kau sangat menghendaki kematian Kemala..." gumam Respati, suaranya terdengar galau.

"Aku tahu, dia kakakmu, Kakang! Tapi kenyataannya, Kak Kemala terlalu mengumbar nafsunya. Gampang tergoda oleh rayuan laki-laki."

"Cabut kata-katamu, Lembayung! Kakakku Kemala kini telah mati akibat sering dikhianati. Dia mati bunuh diri! Dan aku harus membalas pada orang-orang yang mengkhianatinya!" teriak Respati, dengan nada tinggi.

"Tapi sekarang, tindakanmu sudah terlalu jauh..." desah Lembayung.

"Mereka sendiri yang menginginkan kematiannya. Lantas, apa aku salah kalau harus membela diri?" tukas Respati.

"Tapi kau terlalu kejam dan jumawa."

"Itu urusanku!"

Lembayung langsung terdiam mendengar bentakan Respati. Sungguh dia tak mengira kalau pemuda ini telah benar-benar berubah. Sepuluh tahun yang lalu dia mengenal Respati sebagai pemuda ramah, lembut, sopan, dan penuh tata krama. Tapi sekarang? Respati kini tak lebih dari seorang pemuda brangasan dan jumawa.

Gadis ini dulu mengenal Respati dan Kemala sebagai anak seorang adipati dari Kadipaten Sega-rawedi yang termasuk wilayah Kerajaan Linggapura. Mereka bertiga sama-sama menimba ilmu olah kanuragan di perguruan yang sama. Perguman Kilat Kencana.

Sejak itu hubungan mereka kian akrab. Bahkan antara Respati dan Lembayung telah tertanam benih-benih cinta. Sementara Kemala hanya berguru selama dua tahun saja, karena menikah dengan seorang tokoh persilatan.

Namun sejak Kemala diketahui telah bunuh diri akibat ditinggal suaminya, hubungan cinta Respati dan Lembayung terpenggal di tengah jalan. Respati yang amat mencintai kakaknya, menjadi marah terhadap orang-orang yang mengkhianati kakaknya. Dia merasa orang-orang itu harus bertanggung jawab. Oleh sebab itu pemuda ini berniat membalas dendam.

Tentu saja dengan kepandaian yang belum se-berapa Respati merasa belum mampu mengalahkan mereka. Maka sejak itu Respati pamit pada Lembayung untuk pergi ke Hutan Rogo Jembangan, yang katanya akan berguru pada Iblis Gembel.

Semula Lembayung tak mengizinkan. Tetapi, tekad Respati telah bulat tanpa bisa digugat. Akhirnya dengan berat hati, Lembayung mengizinkannya. Sambil terus berlatih ilmu kadigdayaan di Perguruan Kilat Kencana, Lembayung bertekad menunggunya.

Lembayung yang merupakan anak seorang kepala desa yang berada di wilayah Kadipaten Segarawedi, akhirnya tak kuasa menunggu Respati. Apalagi sejak sepuluh tahun kepergian Respati, hampir tak ada kabar berita. Maka ketika ada pinangan dari Gusti Pangeran Kerajaan Linggapura, atas desakan orangtuanya, Lembayung meneriman pinangan itu. Walaupun, sebenarnya gadis itu masih mencintai Respati.

Dan baru beberapa hari Lembayung menikah, terdengar kabar kalau saat ini terjadi keresahan di mana-mana oleh munculnya seorang tokoh berjuluk Setan Gembel. Mendengar nama itu, Lembayung teringat pada Iblis Gembel. Mengingat Iblis Gembel, gadis ini langsung teringat Respati. Maka dengan menyuruh pembantunya yang bernama Mayong, Lembayung terus memata-matai Respati alias Setan Gembel.

"Apa ini...?" tanya Respati dengan nada curiga, ketika Lembayung mengangsurkan cawan berisi ramuan.

"Kau curiga padaku? Kau menyangka aku meracunimu? Kalau memang aku menginginkan kematianmu, telah sejak tadi kulakukan," tukas Lembayung.

"Maaf, aku tidak bermaksud begitu...."

"Minumlah. Ramuan obat ini akan memulihkan luka dalammu...." Tanpa banyak bicara Respati menenggak ramuan obat itu sampai habis.

"Duduklah bersila. Akan kubantu kau mem-bangkitkan tenaga dalammu kembali," lanjut gadis itu seraya duduk bersila di belakang Respati.

Tanpa banyak bicara pemuda itu mematuhi-nya. Sementara Lembayung segera menarik napas panjang. Lalu kedua telapak tangannya ditempelkan erat-erat ke punggung Respati. Beberapa saat lamanya mereka dalam keadaan demikian. Wajah pemuda itu beberapa kali berkerut. Keringat sebesar butiran jagung keluar dari seluruh pori-pori di tubuhnya. Demikian pula halnya Lembayung.

"Hufff...!" Gadis itu menghela napas panjang ketika me-nyudahi penyaluran tenaga dalam ke tubuh Respati. Mukanya sedikit pucat. Dan sesaat dia mengatur pernapasan. Sementara Respati batuk-batuk kecil disertai percikan cairan merah agak kehitam-hitaman.

"Kurang ajar! Pukulan orang itu ternyata hebat sekali!" maki Respati geram.

"Sudahlah, Kakang. Tidak lama lagi kau akan sembuh..." hibur gadis itu.

"Terkutuk! Tidak semudah itu. Si keparat itu telah memunahkan ilmu kebalku. Sehingga, kini aku sama dengan yang lainnya!" maki Respati lagi.

"Masih untung ilmu kebalmu hebat. Sebab kalau bukan karena itu, kau sudah binasa...."

Kau memang benar. Siapa sebenarnya orang itu...?"

"Apakah kau benar-benar tidak mengenalnya?"

Respati menggeleng lemah.

"Dialah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti."

"Pendekar Rajawali Sakti? Hm, pantas! Namanya selama ini sering dibicarakan orang. Dan kepandaiannya ternyata tidak jauh berbeda dari yang pernah kudengar...."

"Dia memang hebat, Kakang. Untuk saat ini memang sulit mencari tandingannya...."

Mendengar itu Respati tersenyum. "Kau kira begitu? Aku belum merasa kalah olehnya. Dia akan mati olehku!" desis Respati.

"Apa maksudmu, Kakang? Kau ingin membunuhnya?" wajah gadis itu tampak cemas mendengar tekad Respati.

"Dia harus mati di tangan Setan Gembel!" desis pemuda ini seraya mengepalkan kedua tangan.

"Kakang! Lebih baik kau urungkan niatmu itu. Kau akan tewas di tangannya...!" seru Lembayung dengan wajah cemas.

"He, bicara apa kau?!" dengus Respati dengan wajah geram.

"Kakang! Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh sembarangan! Lebih baik jangan berurusan dengannya...," pinta Lembayung dengan suara penuh harap.

"Tutup mulutmu! Aku bukan Respati yang dulu. Aku si Setan Gembel murid Iblis Gembel! Mana mungkin bisa dikalahkannya. Kau tidak usah menguruaku!" dengus pemuda ini seraya bangkit dan bergegas keluar dari tempat itu.

"Kakang! Mau ke mana kau?! Kau masih terluka! Jangan terlalu banyak bergerak!" seru Lembayung, segera mengejarnya keluar dengan wajah khawatir.

"Lembayung! Jangan campuri urusanku! Pergi kau!" bentak Respati seraya berlari cepat meninggalkan gua yang tadi ditempati.

Lembayung berdiri di mulut gua seraya memandangi kepergian pemuda itu dengan pandangan sayu. Respati memang telah berubah. Tidak lagi seperti dulu. Sekarang dia kelihatan kasar, sombong, dan tidak tahu berterima kasih. Beda betul dengan Respati yang pendiam, rendah hati, dengan tutur kata penuh sopan santun.

********************

TUJUH

Seorang pemuda berpakaian ketat warna hitam melompat turun dari kudanya dan langsung menjura hormat pada Lembayung.

"Hormat hamba, Tuan Putri..." ucap pemuda itu.

"Mayong! Kita berada dalam penyamaran! Tinggalkan segala peradatan istana! Panggil aku seperti yang telah kuperintahkan," ujar Lembayung mengingatkan.

"Baik, Tu..., eh! Nona Lembayung" sahut pemuda yang tak lain Mayong, pengawal sekaligus mata-mata Lembayung.

"Aku telah membawa obat-obat yang Nona Lembayung perintahkan."

"Percuma saja kau bersusah payah mencari obat itu, Mayong" desah Lembayung, wajahnya berubah mendung seketika.

"Kenapa, Nona?"

"Dia telah pergi...."

"Respati?

Gadis itu mengangguk. Lalu dia melangkah untuk mengambil caping bambunya. "Sudahlah. Ayo!" ujar Lembayung seraya mengenakan capingnya.

"Baik, Nona!"

"Bagaimana keadaan di luaran sana?" tanya gadis bercaping ini seraya beranjak ke dalam gua.

Mayong mengikuti setelah menambatkan kudanya di tempat yang tersembunyi. "Prajurit-prajurit kerajaan dikerahkan untuk mencari Nona...."

"Gusti Pangeran juga turut mencari?" tanya Lembayung khawatir.

"Benar, Nona!"

Gadis itu terdiam seraya membenahi barang-barangnya yang ada di dalam ruangan gua.

"Apakah Nona tidak berkenan di tempat ini?" tanya Mayong.

"Ya. Kita akan pindah, Mayong."

"Ke mana lagi, Nona?"

Gadis itu menoleh dan tersenyum getir. "Apakah kau tidak suka kalau aku kembali ke istana?"

"Oh! Nona hendak kembali?! Tentu saja aku senang! Aku senang sekali, Nona!" seru Mayong. Gadis itu mengangguk pelan. "Gusti Pangeran tentu akan senang sekali! Tapi..., tapi apa alasan kita bila bertemu beliau?" tanya Mayong, dengan suara ragu seraya memandang majikannya.

"Katakan saja kalau kita diculik seseorang...."

"Diculik seseorang? Bagaimana mungkin, Nona? Istana keputren dijaga ketat. Bagaimana mungkin seorang penculik bisa masuk tanpa diketahui prajurit? Lalu, untuk apa dia menculik Nona?"

"Gadis itu tersenyum melihat wajah Mayong yang kelihatan kusut karena pikirannya berkecamuk.

"Itu soal mudah. Serahkan saja padaku."

"Tapi..., tapi bagaimana kalau aku pun ditanya?" tanya Mayong lagi.

"Mayong! Aku akan katakan bahwa kita diculik Setan Gembel...."

"Respati? Apakah Nona hendak mencelakainya? Ah, aku jadi pusing sendiri memikirkan semua itu. Nona lari dari istana karena ingin bertemu dengannya. Dan kini tiba-tiba menginginkan orang itu ditangkap," keluh Mayong dengan dahi berkerut, memikirkan jalan pikiran majikannya.

"Itu dulu, Mayong. Kau mungkin benar, bahwa Respati kini telah banyak berubah. Dia bukan lagi Respati yang kita kenal dulu saat di Perguruan Kilat Kencana. Kau pun dulu tahu, bagaimana sifatnya. Tapi sekarang? Dia tak lebih dari manusia pongah berhati batu. Dia harus ditangkap dan dihukum mati!" desis gadis itu.

"Oh, begitukah? Syukurlah kalau memang Nona telah sadar..." sahut Mayong lagi. Bibirnya bisa menyungging senyum setelah mengerti sedikit, kenapa tiba-tiba majikannya yang dulu juga teman seperguruannya berubah pikiran.

"Aku ingin agar kau menghubungi Pendekar Rajawali Sakti nanti...," lanjut gadis itu seraya beranjak keluar.

"Untuk apa?" tanya Mayong sambil mengikuti majikannya.

"Bujuk dia agar mau membunuh Setan Gembel! Berikan apa pun yang dimintanya sebagai imbalan!"

"Baiklah, Nona. Akan kutemui dia nanti...."

********************

Telah semalaman Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila di atas dipan beralaskan tikar pandan, ditemani lima orang penduduk Desa Jenang yang selalu melayani kebutuhannya dengan telaten. Bahkan sambil terkantuk-kantuk mereka tetap setia menunggu dan menjaga tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga tersenyum. Pagi telah tiba. Dan hawa dingin segar telah menyeruak ke dalam ruangan. Sementara itu kelima penduduk desa itu kelihatan tidur pulas. Dua orang terlelap di kursi. Dan dua lagi berdesak-desakan di dipan kayu yang berada di dekatnya. Sementara yang seorang terlelap dengan kedua tangan bertelekan pada tepi dipan yang didudukinya saat ini.

Pendekar Rajawali Sakti merasa tubuhnya lebih segar setelah beberapa kali memuntahkan darah kental sedikit kehitaman. Untungnya Setiaji telah membuat ramuan obat yang bisa memulihkan peredaran darah serta menyembuhkan luka dalamnya dengan cepat. Masih untungnya lagi, Rangga memiliki tenaga dalam tinggi sehingga mampu bertahan dari hantaman pukulan yang menghajar dadanya.

Tengah larut dalam lamunannya, Setiaji terjaga dan menguap panjang. "Astaga! Kau tidak tidur semalaman, Sobat?" seru Setiaji kaget.

"Tidak. Dalam keadaan begini, sama artinya tidur..." sahut Rangga.

"Bagaimana keadaan lukamu?" tanya Setiaji kembali seraya membangunkan keempat kawannya.

"Sudah agak lebih baik..."

"Syukurlah. Akan kusuruh istriku membuat ramuan lagi. Setelah sarapan, kau harus meminumnya agar lukamu cepat sembuh."

"Terima kasih, Sobat"

Setiaji beranjak ke dalam. Sementara keempat kawannya menyusul satu persatu. Rumah ini sebenarnya milik Setiaji. Dia hanya tinggal berdua bersama istrinya. Adapun keempat kawannya itu tinggal tidak begitu jauh. Namun, mereka sering berkumpul di sini. Bahkan pada malam-malam tertentu mereka berlatih ilmu olah kanuragan bersama. Semua itu diceritakannya pada Rangga tadi malam. Dan dengan penuh harap, Setiaji meminta agar pemuda ini sudi menurunkan ilmunya sedikit kepada mereka.

Setiaji dan keempat kawannya telah kembali ke tempat Rangga berada. Masing-masing di tangan mereka membawa kopi dan penganan kecil. Mereka kini telah berkumpul di ruang depan. Wajah Pendekar Rajawali Sakti itu kelihatan lebih segar daripada semalam.

"Bagaimana dengan permintaan kami semalam, Sobat? Bersediakah kau mengabulkannya?" ulang Setiaji.

Empat orang lainnya yang ada di tempat ini mengangguk-angguk seraya memandang penuh harap pada Rangga.

"Kami seperti murid-murid yang berlatih tanpa petunjuk seorang guru. Jangan-jangan malah bukan kemajuan yang diperoleh, tapi kemunduran," sahut salah seorang.

"Benar apa yang dikatakan Kang Kari, Sobat. Selama ini kami malah sering bingung, tapi tidak tahu kepada siapa harus bertanya," timpal Setiaji.

Rangga tersenyum. "Aku senang sekali mendengar kalian percaya padaku. Tapi, maaf. Dan kuharap kalian semua tidak salah paham. Aku bukanlah guru yang baik Lagipula, kehadiranku di sini tidak lama. Bagaimana mungkin bisa membimbing kalian?" jelas Rangga.

"Memang sangat disayangkan. Tapi sebagai tokoh persilatan ternama, kau pasti bisa menunjukkan barang satu atau dua jurus kesalahan-kesalahan yang kami perbuat. Dan, bagaimana seharusnya perbaikan yang harus kami lakukan..." sahut Setiaji berharap.

"Benar, Sobat. Meski seujung kuku sekalipun, kami berharap betul kau sudi membimbing!" timpal yang lain.

Rangga kembali terdiam sambil tersenyum. Dipandanginya mereka satu persatu. Wajah-wajah itu kelihatan penuh harap kepadanya. "Baiklah..." sahut Pendekar Rajawali Sakti pendek.

Serentak wajah mereka berseri mendengar jawaban pemuda itu.

"Kalian berlima memiliki ilmu silat berbeda. Apabila hal itu digabung, maka akan terlihat jurus-jurus yang saling melengkapi. Yang kurang akan ditambah oleh jurus yang lain. Nah! Sebelum kucari di mana kekurangan serta kelebihannya, maka perlihatkan padaku jurus-jurus yang kalian miliki," lanjut Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Baiklah. Kalau begitu mari kita ke belakang!" sahut Setiaji, langsung mengajak kawan-kawannya.

Tapi baru saja mereka hendak beranjak, tiba-tiba pintu depan diketuk dari luar. Buru-buru Setiaji membukakan pintu. Di situ berdiri dua sosok tubuh. Yang seorang berusia lanjut. Dan dia kenal betul, sebab orang tua itu adalah tetangganya. Sedang di sebelah orang tua itu seorang pemuda yang sama sekali asing.

"Ada apa, Ki Projo?" tanya Setiaji.

"Aduh.... Maaf, Setiaji. Tuan ini ingin bertemu denganmu," sahut laki-laki bernama Ki Projo.

"Oh, silakan masuk, Ki. Dan kau, Kisanak."

"Kalau aku langsung saja, Setiaji. Masih ada urusan lain." Setelah berkata demikian, Ki Projo segera berlalu. Setiaji tak menahannya, dan segera mengantarkan tamunya masuk.

"Menurutnya, dia ada keperluan lain..." jelas tamu yang diantar Ki Projo.

"Oh, ya? Hm.... Kisanak siapa? Dan, ada keperluan apa mencariku?" tanya Setiaji begitu mereka duduk di mangan.

"Namaku Mayong. Dan sebenarnya aku ingin bicara dengan..." Pemuda itu tidak meneruskan kata-katanya, melainkan tersenyum seraya menunjuk Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di ruangan ini bersama yang lain.

"Rangga?"

Mayong mengangguk."

"O, silakan kalau begitu!" sahut Setiaji.

Setiaji bangkit. Langsung dipersilakannya Rangga untuk duduk di dekatnya. "Apakah dia kawanmu, Sobat?" tanya Setiaji sambil tersenyum.

Rangga menggeleng perlahan. "Tidak..."

"Hm.... Kalau begitu, di mana kau kenal Rangga?" tanya Setiaji kepada tamunya.

"Aku belum pernah kenal dengannya. Ada sesuatu yang harus kubicarakan berdua dengannya. Bolehkan?" tanya Mayong sopan.

"Kenapa aku mesti percaya padamu?" sahut Setiaji, bernada curiga.

"Aku utusan kerajaan..." sahut Mayong seraya mengeluarkan lencana lambang Kerajaan Linggapura.

Melihat itu Setiaji dan keempat kawannya serentak menjura hormat. "Maafkan kami, Tuan...!" Satu persatu mereka meninggalkan ruangan ini.

"Nah, katakanlah padaku. Kepentingan apakah sehingga pihak kerajaan mengutusmu untuk menemuiku?" tanya Rangga.

"Aku adalah pengawal pribadi Kanjeng Gusti Lembayung, calon permaisuri kerajaan ini. Beliau menginginkan agar kau menangkap Setan Gembel. Hidup atau mati...."

"Menangkap Setan Gembel. Hm.... Apa urusannya dengan junjunganmu?" tanya Rangga dengan dahi berkerut.

"Harap kau tak bertanya-tanya soal ini...!" sergah Mayong.

"O, begitu...."

"Junjunganku bersedia memberi hadiah besar padamu!"

"Hadiah? Apa hadiahnya?"

"Apa saja yang kau inginkan! Harta ditambah wanita, atau kesenangan. Pokoknya, apa saja yang kau inginkan!" sahut Mayong, cepat, berharap Pendekar Rajawali Sakti tertarik untuk menyanggupi. "Asal saja kau berjanji bisa menangkap Setan Gembel. Jika kau bawa dia menghadap junjunganku dalam keadaan hidup, maka mungkin akan ada hadiah tambahan."

Rangga tersenyum tipis. Hambar sekali. Mayong memang terlalu bersemangat bercerita soal hadiah. Seolah-olah Rangga akan tertarik. Padahal yang dipikirkannya bukan itu, melainkan karena dirinya disamakan dengan pemburu hadiah yang selalu bersemangat bila mendengar iming-iming hadiah besar.

"Bagaimana, Rangga?"

"Maaf, kau salah menilai orang. Aku bukan orang yang tepat. Jika kau melihatku bertarung dengan Setan Gembel, itu semata-mata memerangi kekejamannya...."

"Ah! Kalau demikian berarti kau sependirian dengan junjunganku! Beliau pun menginginkan kematian Setan Gembel demi ketenteraman dan keamanan rakyat!" seru Mayong dengan wajah gembira.

"Begitukah? Lalu, mengapa junjunganmu harus mengiming-imingi dengan hadiah segala?" tukas Rangga.

"Tak ada seorang pun di negeri ini yang mampu mengalahkan Setan Gembel. Sedangkan kau telah terbukti nyata mampu mengalahkannya. Jika junjunganku sekadar meminta, mungkin rasanya tidak pantas. Dan hadiah itu diberikan sebagai tanda terima kasih atas kesedianmu menerima tawarannya," sahut Mayong berkelit.

Rangga tersenyum hanya dengan menarik ujung bibirnya sedikit. Dan dia bisa menilai kalau Mayong pintar bicara dan sulit dipojokkan. Dia seperti punya segudang alasan untuk menjawab semua pertanyaannya.

"Kau bersedia bukan, Rangga?" desak Mayong.

"Ada satu hal yang mengganjal pikiranku..." gumam Rangga.

"Apa itu?"

"Jika sudah mendapatkannya, kenapa malah menyuruh orang lain untuk mencarinya? Apakah ini bukan pancingan yang ditujukan padaku?" tanya Rangga seperti ditujukan pada diri sendiri.

"Hm.... Apa maksudmu, Rangga?" tanya Mayong, sedikit kaget.

"Maksudku tentu saja kalian!" tuding Pendekar Rajawali Sakti, langsung.

"Aku jadi semakin tidak mengerti...?" Mayong menggeleng dengan wajah bingung.

"Mayong! Ada kalanya kita bisa menipu seseorang dengan menunjukkan wajah palsu dan bicara yang manis. Sebagian orang akan silau melihatnya. Sedang sebagian lagi tidak. Dan aku termasuk di antara yang tidak. Kenapa kukatakan begitu? Sebab, aku mengetahui bahwa kaulah penunggang kuda kemarin. Kau membubarkan orang-orang yang hendak menghabisi Setan Gembel dengan melarikan kudamu kencang-kencang. Padahal ada jalan lain yang bisa kau tempuh..." papar Rangga dengan nada datar.

Wajah Mayong berusaha untuk tidak terkejut. Dan buru-buru dia tersenyum. "Kau tentu bercanda, Rangga! Sebab mana mungkin aku melakukan hal itu...!"

"Aku tidak bercanda. Dan untuk membuktikan bahwa aku tidak main-main, baju yang kau gunakan masih seperti kemarin. Aku pun sempat melihat rupa wajahmu...."

"Mungkin kau salah lihat, Rangga. Dan lagi ada beberapa banyak baju sepertiku di kerajaan ini...?" kilah Mayong.

Rangga tersenyum. "Aku biasa bekerja dengan orang jujur. Dan belum apa-apa, kau coba berbohong di depanku. Bagaimana mungkin aku bisa percaya padamu? Maaf, aku tidak bisa membantu kalian...!" sahut Rangga.

"Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kau tidak memandang muka sama sekali kepada junjunganku?" nada suara Mayong agak meninggi.

"Apa maksudmu?" tukas Rangga dengan dahi berkerut.

"Beliau adalah calon permaisuri di kerajaan ini. Dan kau sama sekali tidak menaruh perhatian kepada keinginannya. Perintah beliau harus bisa dilakukan. Dan bila kau membangkang, sama artinya menolak perintah. Menolak perintah Kanjeng Gusti Putri Lembayung sama artinya melanggar larangan. Dan hukumannya berat!" gertak Mayong dengan suara semakin bersemangat untuk menjatuhkan nyali Pendekar Rajawali Sakti.

"Ketahuilah, aku bukan rakyat negeri ini. Aku hanya seorang pengembara. Sebentar atau saat ini juga, aku bisa angkat kaki dari negeri ini. Jadi, jangan menakut-nakutiku dengan segala macam hukuman. Nah! Sekarang, kuminta padamu. Tinggalkan tempat ini! Jika kesabaranku habis, aku bisa berbuat kasar padamu. Tak peduli kau siapa dan dari mana!" sahut Rangga penuh tekanan.

Mayong mendengus geram. Segera dia bangkit dan keluar dari rumah ini. Masih sempat matanya menatap tajam. "Asal tahu saja! Siap-siaplah menanggung akibatnya!" ancam Mayong.

DELAPAN

"Rangga...!"

"O, kalian. Ada apa?" tanya Rangga tenang, ketika melihat Setiaji telah berdiri di depannya bersama keempat kawannya.

"Maaf kalau kami menguping pembicaraan kalian..." sahut Setiaji dengan suara lirih.

"Ah! Pembicaraan itu sendiri sifatnya bukan pribadi. Bahkan sebetulnya kalian tidak apa-apa mendengarnya."

"Tapi..."

"Tapi kenapa, Sobat? Kalian kelihatan ketakutan. Ada apa?" tanya Rangga heran.

"Rangga.... Kau tidak bersungguh-sungguh untuk menolak permintaannya, bukan?" tanya Setiaji dengan wajah cemas.

"Kalian dengar sendiri pembicaraan kami, bukan? Mula-mula dia bersikap baik dan sopan. Tapi ketika mengetahui keinginannya mulai tidak terkabul, dia menunjukkan watak aslinya. Orang itu mulai mengancam. Dan aku paling tidak suka diancam," tegas Rangga.

"Tapi..., bagaimana dengan kami? Bila kau di sini mungkin kami merasa sedikit aman. Tapi mana bisa kami menahanmu lama-lama di sini? Dan setelah kau pergi, para prajurit kerajaan pasti ke sini untuk menangkap kami...!" keluh Setiaji.

"O, jadi itukah yang kalian takutkan?" tanya Rangga sambil tersenyum. Kelima orang itu mengangguk cepat. "Tidak usah khawatir. Aku kenal penguasa di negeri ini. Biar kutulis surat. Dan salah seorang dari kalian harap menyampaikannya."

"Oh, betulkah?!" seru Setiaji dan keempat kawannya dengan wajah kaget.

Mereka memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah tidak percaya. Tapi Rangga tidak banyak berkata apa-apa lagi. Dimintanya alat-alat tulis. Lalu pemuda ini mulai menulis sepucuk surat.

Baru saja Rangga selesai menulis surat, mendadak pendengarannya yang tajam merasakan desir angin kencang yang menerobos dari jendela ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Sambil menarik badannya ke belakang, tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak lincah ke depan.

"Rangga...! Ah, untung saja!" seru Setiaji kaget.

Tahu-tahu di antara jari telunjuk dan tangan Pendekar Rajawali Sakti, terselip sebatang anak panah yang menerobos lewat jendela rumah ini.

"Kurang ajar!" Salah seorang teman Setiaji langsung melompat keluar. Sementara dua kawannya segera mengikuti.

"Tidak perlu! Orang itu pasti telah kabur. Dia hanya ingin menyampaikan ini padaku...," ujar Rangga, seraya membuka gulungan surat pada batang panah itu.

"Apa isi surat itu, Rangga?" tanya Setiaji dengan wajah penasaran.

"Tantangan..."

"Tantangan dari siapa?"

Rangga tidak menjawab. Tapi, diserahkannya surat itu pada Setiaji. Dan Setiaji serta seorang kawannya membaca isi surat itu dengan cepat.

Temui aku di lereng Bukit Gamus pada tengah malam. Kita selesaikan urusan yang tertunda.

Setan Gembel


"Setan Gembel?!" desis Setiaji memandang tajam kepada pemuda di depannya.

"Ya...," sahut Rangga, pendek.

"Tapi luka dalam yang kau derita belum sembuh benar, Sobat?"

"Tidak usah cemas. Sebelum tengah malam, aku akan merasa lebih baik. Dan, jangan lupa! Dia pun terluka lebih parah ketimbang aku," ingat pemuda itu seraya tersenyum manis.

"Jadi kau betul-betul ingin memenuhi tantangannya?" tanya Setiaji.

"Aku pantang menolak tantangan seseorang!"

Wajah Setiaji dan kawannya kelihatan masyghul. Dan ini dapat dirasakan Pendekar Rajawali Sakti kalau mereka mencemaskan dirinya. Sementara itu ketiga kawan Setiaji kembali masuk dengan wajah kecewa.

"Sudah kami cari-cari, tapi tidak ada seorang pun yang mencurigakan...," lapor salah seorang.

Setiaji tidak menyahut, melainkan menyerahkan isi surat dalam anak panah itu tadi pada kawan-kawannya. Mereka membaca dengan dahi berkerut, lalu memandang Pendekar Rajawali Sakti.

"Apakah kau akan menerima tantangannya, Rangga?" tanya yang berpakaian hijau.

Rangga mengangguk.

"Tapi kau masih terluka dalam...?" lanjut laki-laki berpakaian hijau.

"Tidak apa, Jureng! Nanti juga akan sembuh...," sahut Rangga, tenang.

Rangga mengambil surat yang tadi baru saja selesai dibuatnya, kemudian mengacungkannya ke atas. "Siapa di antara kalian yang bersedia memberikan surat ini kepada Gusti Prabu Jatranta?"

"Biar aku saja!" sahut yang berbaju merah.

"Terima kasih, Barin! Sampaikan salam hormatku pada beliau," ujar Rangga seraya menyerahkan surat itu.

"Baiklah...." Laki-laki berbaju merah yang dipanggil Barin segera bergegas keluar dari ruangan ini.

Sementara itu Rangga segera mengajak yang lainnya ke belakang. Mereka hendak melanjutkan rencana yang tadi sempat tertunda. Pemuda itu kelihatan tenang-tenang saja seperti tidak ada kejadian apa-apa. Padahal Setiaji dan kawan-kawannya sudah tidak merasa tenang oleh dua kejadian berturut-turut yang dialami tadi.

********************

Malam ini tepat bersamaan dengan pertengahan bulan. Kini purnama muncul perlahan, memantulkan cahayanya ke bumi. Bagi sebagian tempat lain mungkin pemandangan ini terasa indah dan menyejukkan hati. Namun di lereng Bukit Gamus tetap saja menyeramkan. Selain alamnya tak ramah, juga banyak dihuni ular-ular berbisa dan hewan buas lainnya.

Pendekar Rajawali Sakti periahan-lahan mendaki lereng bukit ini dengan menajamkan pandangan serta pendengaran. Tiba di suatu tempat yang agak lapang, Rangga berhenti dan berdiri tegak sambil melipat kedua tangan di dada. Cahaya bulan menerangi sebelah tubuhnya. Dengan begitu dia berharap Setan Gembel tidak kesulitan menemukannya.

"Ha ha ha...! Kau memang pemberani, Pendekar Rajawali Sakti!"

"Hmm...!" Rangga bergumam tak jelas ketika terdengar suara yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan hitam. Dan tahu-tahu di depannya para jarak enam langkah berdiri satu sosok tubuh berpakaian compang-camping. Rambutnya panjang kusut masai. Tatapannya dingin menggetarkan.

"Kenapa aku mesti merasa takut padamu, Setan Gembel?" sahut Rangga seraya memperhatikan sosok yang tak lain memang Setan Gembel.

Diam-diam Rangga sedikit terkejut melihat keadaan Setan Gembel. Menurut perhitungannya tentu, pemuda itu masih menderita luka dalam yang cukup berat. Dan itu akan terpancar di wajah serta sorot matanya. Sebagai tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja Rangga bisa menilai.

"Bagaimana, Pendekar Rajawali Sakti? Jadi kita melakukan pertarungan?" tanya Respati, menantang.

"Setan Gembel! Aku punya beberapa pertanyaan. Bersediakah kau menjawabnya sebelum kita bertarung?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa itu?"

"Peti matimu kenapa kau tinggalkan di Desa Jenang?"

"Aku sudah tak membutuhkannya lagi!"

"Kenapa?"

"Dendamku telah tuntas!"

"Bukankah peti mati itu berisi mayat kakakmu?" pancing Rangga. "Dan peti itu kini telah dibakar penduduk."

"Siapa bilang peti itu berisi mayat kakakku? Di dalamnya hanya berisi bangkai kambing."

"Kenapa mesti kau bawa-bawa?"

"Hanya untuk menggertak pada orang-orang yang telah berkhianat pada kakak perempuanku. Puas? Nah! Sekarang mari kita bertarung!"

"Apakah kau dalam keadaan sehat lahir batin?" tukas Rangga.

"Keparat sombong! Kematianmu telah di depan mata. Masih juga kau mengigau!" bentak Setan Gembel.

"Heaaa...!" Disertai bentakan nyaring, tubuh Respati berke-lebat melepas pukulan bertubi-tubi.

Rangga langsung mengerahkan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Tubuhnya meliuk-liuk indah, terkadang condong ke depan, terkadang ke belakang sejajar tanah. Semua gerakannya ditunjang oleh permainan kaki yang lincah. Sehingga tak satu pun serangan yang berhasil menyentuh tubuhnya. Kendati demikian, tubuhnya sempat merasakan satu pusaran angin kencang yang membuat panas kulitnya seperti tersengat.

Melihat serangan selalu gagal, Respati menjadi murka bukan kepalang. Dia menganggap Pendekar Rajawali Sakti telah meremehkan dirinya. "Bangsat! Apa kebisaanmu hanya menghindar?!"

Belum juga gema bentakannya hilang, Setan Gembel sudah kembali melanjutkan pertarungan. Kali ini serangannya lebih cepat dan berbahaya, mengancam tujuh jalan kematian di tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Melihat hal ini, Rangga tak mau ayal-ayalan lagi. Tubuhnya mencelat ke belakang. Begitu mendarat, jurusnya segera dirubah dengan gabungan dari lima rangkaian jurus Rajawali Sakti.

Kini pertarungan tingkat tinggi tak dapat ter-elakkan lagi. Berlangsung cepat dan mematikan. Masing-masing sudah menggelar jurus-jurus tingkat tinggi. Begitu cepat gerakan mereka, sehingga yang terlihat hanya kelebatan-kelebatan bayangan yang kadang saling terjang, lalu sama-sama terpental.

"Heaaa...!" Setan Gembel agaknya mulai mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan. Maka sebentar saja, kedua tangannya telah berwarna merah. Dan saat itu juga, kedua telapak tangannya menghentak ke depan.

Pendekar Rajawali Sakti cepat berkelit gesit ketika dari kedua telapak Setan Gembel meluncur lidah api. Pukulan yang diketahui Rangga bernama Tapak Setan itu langsung menghantam sebuah pohon hingga tumbang dalam keadaan hangus, menimbulkan suara berderak ribut. Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti memuji kedahsyatan pukulan Tapak Setan milik Setan Gembel. Namun bukan berarti nyalinya langsung ciut.

"Ayo, keluarkan pukulanmu! Atau kebisaanmu hanya main kucing-kucingan? Tunjukkan kehebatanmu, Pengecut!" teriak Setan Gembel dengan suara lantang.

"Jangan terlalu memaksaku, Setan Gembel. Masih ada kesempatan bagimu untuk bertobat. Ingat! Ini peringatanku yang terakhir..." sahut Pendekar Rajawali Sakti penuh tekanan.

"Bangsat! Telan kata-katamu ke dalam perut busukmu! Aku tak butuh nasihat dari orang-orang yang sok pahlawan! Heaaa...!" Setan Gembel terus mengumbar seluruh kemampuannya untuk menghabisi Pendekar Rajawali Sakti secepat mungkin.

Namun dengan kelincahannya Rangga selalu saja mampu menghindar. Bahkan diam-diam tenaga dalamnya mulai dikerahkan, mengingat Setan Gembel sepertinya memang menginginkan kematiannya.

"Heaaaa...!"

"Hup...!" Baru saja Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari serangan dengan melenting ke belakang dan mendarat manis di tanah, Setan Gembel telah menghentakkan kedua tangannya, menyerang dengan kekuatan penuh.

Rangga cepat merenggangkan kedua kakinya. Langsung dibuatnya beberapa gerakan tubuh dan tangan, ke kiri kanan. Tepat ketika tubuh Pendekar Rajawali Sakti tegak, kedua tangannya telah terselubung sinar biru berkilau. Dan setengah tombak lagi sinar merah yang keluar dari telapak Setan Gembel menghantam...

"Aji Cakra Buana Sukma" bentak Pendekar Rajawali Sakti nyaring, sambil menghentakkan kedua tangannya.

Blaarrrr...!

Suara ledakan dahsyat terdengar disertai bongkahan api tercipta, saat sinar biru dari telapak Pendekar Rajawali Sakti menghantam sinar merah milik Setan Gembel. Seketika tempat itu dipenuhi asap tebal. Sinar merah langsung pecah ke segala arah. Namun sinar biru terus meluncur dahsyat ke arah Setan Gembel. Dalam lingkaran asap tebal, masih bisa terlihat kalau sinar biru itu tak ampun lagi menghajar pemuda bernama Respati. Dan....

Blaaarrrrr...!

"Aaa...!" Terdengar suara jeritan menyayat. Sesaat Respati berdiri tegak, lalu terlihat ambruk tak berdaya. Sebagian tubuhnya terlihat hitam laksana arang. Sebenarnya keadaan itu masih bagus. Karena bagi orang yang memiliki tenaga dalam tak setangguh Respati, pasti tubuhnya akan hancur berkeping-keping dalam keadaan gosong.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti jatuh berlutut. Kelihatan terkulai seperti tidak bertenaga. Dari lubang hidung dan bibirnya meleleh darah kental sedikit kehitam-hitaman. Untuk sesaat tempat itu terasa sunyi. Unggas malam seperti enggan bernyanyi. Mereka seperti menjadi saksi atas kejadian mengerikan yang berlangsung di sini.

"Rangga...! Rangga...!"

Mendadak terdengar beberapa suara teriakan bernada memanggil. Dan dari kejauhan terlihat beberapa obor mendekati. Rangga menghela napas dengan kepala tertunduk. Namun begitu telinganya masih mendengar keadaan di sekitarnya. Termasuk derap langkah memburu yang mendekatinya!

"Rangga! Kau tidak apa-apa?!" tanya sese-orang bernada khawatir.

Orang yang bertanya ini mendekatkan cahaya obor untuk melihat luka yang diderita pemuda itu. Sementara, tiga orang lain ikut berjongkok di dekatnya.

"Setiaji.... Kenapa kalian ke sini? Bukankah aku telah melarang?" tanya Rangga, perlahan.

"Sudah, jangan banyak bicara dulu! Luka dalammu kelihatan kambuh. Malah bertambah. Kami akan menggotongmu pulang" ujar sosok yang ternyata Setiaji.

"Terima kasih. Aku tidak apa-apa...," ucap Rangga, menolak halus.

"Jangan berkeras, Sobat! Kami akan membantumu. Dan kau tidak boleh membantah!"

"Setan Gembel mati!" Terdengar seruan dari sosok lainnya saat melihat mayat Setan Gembel yang tergeletak tidak jauh dari situ.

"Kau berhasil membunuhnya, Sobat?" tanya Setiaji dengan wajah cerah.

Rangga tersenyum getir. "Aku terpaksa melakukannya...."

"Sudahlah, jangan salahkan dirimu. Dia toh manusia jahat yang banyak dibenci orang. Ayo, mari kubantu!" ujar Setiaji seraya menggendong Rangga di punggungnya.

Rangga tidak menolak dan hanya menurut saja. Perlahan-lahan mereka meninggalkan lereng bukit ini. Seiring perjalanan mereka, alam pun kembali sunyi. Bahkan lebih sunyi dibanding semula!

S E L E S A I


Petualangan Pendekar Rajawali Sakti terhenti pada episode Setan Gembel. Sampai jumpa pada cerita silat lainnya. Semoga terhibur. Terima kasih...




Setan Gembel

SETAN GEMBEL

SATU

DI BAWAH udara siang yang tidak terlalu terik, beberapa penduduk Desa Beji yang semula tenang-tenang saja, mendadak seperti tersirap. Mereka yang semula sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung menghentikan kegiatan, begitu di tempat jalan utama desa ini berjalan seorang laki-laki asing berusia sekitar dua puluh delapan tahun dengan pakaian compang-camping.

Yang membuat kening para penduduk desa itu berkerut keheranan, orang asing yang masih muda itu tengah menarik sebuah peti mati usang terbuat dari kayu jati dengan seutas tambang. Tubuhnya kurus. Rambutnya panjang dan kusut masai. Sebagian malah menutupi wajah. Kulitnya kusam dan dekil seperti tidak pernah terurus.

Pemandangan aneh itu, membuat beberapa penduduk saling berbisik. Sementara itu anak-anak kecil yang sejak tadi menakuti pemuda itu terus berteriak-teriak. Dan sebenarnya memang ada keanehan lain. Karena, peti mati itu terlihat berat. Sementara pemuda yang menariknya hanya menggunakan sebelah tangan. Tidak terlihat sedikit pun kalau mengalami kesulitan.

Orang gila! Ada orang gila, woooiii...!" teriak anak-anak kecil itu.

Pemuda berpakaian compang-camping itu diam saja. Bahkan ketika para bocah itu melempari kerikil, dia tidak bergeming. Beberapa buah sempat menyambar punggung dan batok kepalanya. Tapi, dia sama sekali tidak merasa sakit. Sehingga membuat beberapa orang penduduk yang tadi melihatnya, kini menaruh iba.

"Hei, anak-anak! Pergi sana! Pergi! Jangan mengganggu dia...!" teriak seorang penduduk yang mungkin merasa kasihan melihat pemuda berpakaian gembel.

Walaupun sambil berlari bocah-bocah itu tetap mengejek seraya menjulurkan lidah. Sementara laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengusir anak-anak kecil tadi menghampiri pemuda gembel yang menyeret peti mati.

"Kau tidak apa-apa, Kisanak...?" sapa laki-laki itu ramah.

Pemuda berpakaian compang-camping itu diam saja. Bahkan tidak menghentikan langkah. Apalagi menoleh!

"Kasihan.... Mungkin kau tuli...," gumam laki-laki penduduk desa ini, lirih.

Tapi, tiba-tiba pemuda gembel ini berhenti, dan langsung berbalik. Dipandanginya orang itu sekilas. Yang dipandang langsung bergidik ngeri, melihat sinar mata laki-laki gembel yang berkilat tajam, seperti menusuk langsung ke jantungnya.

"Eh! Ma..., maaf...," ucap penduduk desa ini pelan, lalu buru-buru menjauh.

Pemuda berpakaian gembel itu tidak mempedulikannya. Dia kembali berjalan. Sementara beberapa pemuda penduduk desa ini mulai tertarik. Diam-diam mereka mengikuti ke mana arah tujuan gembel itu.

"Hei? Lihat, Lanang, Tambuk! Dia menuju rumah Ki Jaban!" kata seorang pemuda berpakaian merah, yang berjalan bersama dua orang kawannya. Kepalanya sedikit dimiringkan ke arah dua pemuda yang dipanggil Lanang dan Tambuk.

"Mau apa dia ke sana, Kojar? Ki Jaban itu tokoh hebat? Apa dia mau can gara-gara?" tanya pemuda berpakaian putih bernama Lanang.

"Mungkin musuhnya barangkali...," timpal yang bernama Tambuk.

"Hush! Sembarangan kau bicara, Tambuk!" sentak pemuda yang bernama Kojar.

"Siapa yang berani melawan Ki Jaban? Gembel itu kelihatan lemah. Pasti dengan sekali tiup, tubuhnya akan terpelanting!"

"Eee.... Jangan sembarang menilai kau, Kojar! Coba tadi perhatikan! Gembel itu dilempari batu oleh anak-anak kecil. Tapi, dia tidak mengelak. Dan sama sekali tidak merasakan sakit. Apa namanya itu? Dia juga tidak berdarah. Orang seperti dia harus dicurigai! Jangan-jangan, dia malah tokoh hebat!" sergah Lanang.

"Apa iya...?" Kojar mulai terpengaruh.
Pemuda berpakaian merah itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sementara mereka terus melangkah, membuntuti gembel yang telah tiba di depan rumah orang yang disebut-sebut sebagai Ki Jaban. Agaknya mereka tidak puas kalau tidak melihat apa yang akan dilakukan pemuda gembel itu dari dekat.

"Betul! Dia menuju rumah Ki Jaban!" seru Tambuk.

"Gila!, Aku tidak habis pikir, mau apa dia ke sana?!" desis Lanang.

"Mau mampus barangkali!" timpal Kojar.

"Sudah, diam! Kita lihat saja apa maunya" tukas Tambuk.

Kini tidak ada yang bicara lagi. Hati mereka masih penasaran, dengan apa yang hendak dilakukan gembel itu.

Memang tak seorang pun penduduk Desa Beji yang tak mengenal Ki Jaban. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu memang cukup disegani di desanya. Ciri khas untuk mengenalinya adalah surjan dan blangkon yang dikenakannya. Juga, pipa rokok yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Konon, Ki Jaban adalah salah seorang tokoh persilatan yang memiliki lebih dari sepuluh buah keris pusaka.

Srek! Srek..!

Perlahan tapi pasti, pemuda gembel itu mema-suki halaman rumah Ki Jaban. Lalu dia berhenti ketika telah tiba persis di depan pintu. Sesaat dia berdiri tegak. Entah apa yang hendak dilakukannya. Sementara itu dari tempat-tempat tersembunyi, para penduduk desa memperhatikan keadaan dengan hati tegang.

Mendadak, pemuda berpakaian compang-camping ini mengangkat kepalan kirinya. Begitu tangannya bergerak mengibas....

Brakkk!

"Hei?!" Pintu itu kontan hancur berantakan, dihantam laki-laki gembel ini. Sementara dari dalam terdengar bentakan bernada terkejut. Tidak lama, dari pintu yang telah jebol berdiri tegak seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dengan muka garang. Sepasang matanya melotot lebar. Jakun di lehernya turun naik begitu melihat sosok di depannya.

"Kurang ajar! Gembel sialan! Apa maksudmu membuat keributan di sini?!" bentak laki-laki berpakaian surjan, yang tak lain Ki Jaban.

Sementara, pemuda gembel itu tidak langsung menjawab. Ditatapnya tajam-tajam Ki Jaban. Sinar matanya begitu menusuk, seolah hendak meruntuhkan nyali Ki Jaban.

"Kau yang bernama Ki Jaban?" tanya pemuda gembel ini dingin.

"Kalau iya, kau mau apa?!" tantang Ki Jaban dengan pandangan tak kalah tajam.

"Kalau benar, aku akan membunuhmu. Sebab, arwah sosok dalam peti mati yang kubawa ini, merasa belum tenang, sebelum aku menuntaskan dendamnya!" desis pemuda gembel itu.

"Jangan main-main, Kisanak! Aku tak mengerti apa maksudmu?!"

"Ingatkah kau pada Kemala? Sepuluh tahun yang lalu, gadis itu adalah kembangnya Desa Jambe Wetan. Kau waktu itu berniat memilikinya. Tapi setelah kau perawani dia, kau tinggalkan begitu saja...," papar pemuda gembel itu.

Ki Jaban kontan terjingkat. Ingatannya langsung berbalik ke masa sepuluh tahun lalu. Ya, dia dulu pernah mencintai Kemala. Namun karena suatu ketika Kemala dikunjungi seorang pemuda, Ki Jaban yang waktu itu berusia tiga puluh tahun, meninggalkannya. Cemburu butanya membuatnya harus meninggalkan Desa Jambe Wetan, sekaligus meninggalkan Kemala.

"Kau sendiri siapa?" tanya Ki Jaban dengan pandangan menyelidik.

"Kau lupa padaku? Hm.... Ternyata waktu sepuluh tahun cukup membuatmu jadi pikun.... Baiklah. Aku Respati, adik Kemala" sahut pemuda gembel itu.

"Lantas, mana kakakmu Kemala?" tanya KI Jaban lagi.

"Dia ada di dalam peti" sahut pemuda gembel yang ternyata bernama Respati.

"Kau jangan main-main, Respati!"

"Aku tidak main-main. Justru kau yang main-main dengan kakakku, sehingga dia terbaring di dalam peti! Kaulah awal bencana itu! Kau telah berhutang pada kakakku. Dan kini aku menagihnya!"

"Kurang ajar...!" Merasa kelakuannya terbongkar, Ki Jaban langsung naik darah. Seketika kaki kanannya melayang ke dada Respati.

Namun Respati yang dulu pemuda tak punya kepandaian apa-apa, mendadak mengibaskan tangannya ke bawah. Ditangkisnya serangan itu secepat kilat. Dan sebelum Ki Jaban menyerang kembali, Respati telah menghantamkan tangan kanannya ke perut.

Desss...!

"Aaakh...! Ki Jaban terjajar dengan muka berkerut geram menahan rasa sakit bercampur dendam. Dia segera memasang kuda-kuda, langsung membuka jurus. Sungguh dia tidak mau kecolongan dua kali dengan menganggap remeh pemuda yang sebelumnya diketahui tidak punya kepandaian apa-apa.

"He he he...! Kudengar kau sekarang menjadi tokoh hebat, Jaban. He he he...! Inikah orang hebat itu?!" ejek Respati sambil tertawa. Kakinya mundur perlahan ke halaman. Agaknya pemuda ini hendak mencari tempat yang lebih lega, ketimbang di depan pintu rumah Ki Jaban.

"Keparat! Kau sengaja cari mampus, he?!" Begitu kata-katanya habis, Ki Jaban melompat dengan sebuah tendangan keras.

"Heaaa...!"

Namun, pemuda gembel itu bersikap tenang-tenang saja. Begitu serangan tinggal sejengkal lagi, tangan kirinya bergerak menangkis. Lalu kaki kanan pemuda ini cepat terangkat tinggi menyodok dada.

Desss!

"Aaakh...!" Kembali laki-laki bersurjan itu memekik kesa-kitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang. Dan kali ini, dari mulutnya tampak menetes darah segar

"Hm.... Ternyata hanya begitu saja kepandai-anmu, Jaban!" leceh Respati.

"Jahanam!" Ki Jaban menggeram. Dan seketika dicabutnya keris yang terselip di pinggang.

Perlahan-lahan laki-laki ini mendekati Respati dengan sorot mata setajam elang. Sementara itu para penduduk desa yang mengintip semakin tegang saja. Dan perlahan-lahan jumlah mereka semakin bertambah.

"Heaaat...!" Dengan bernafsu Ki Jaban menikam ujung kerisnya ke dada lawan. Dan anehnya, Respati sama sekali tidak berusaha menghindar. Akibatnya.....

"Heh?!" Ujung keris Ki Jaban tepat menyentuh dada kiri pemuda itu. Namun, tidak mampu melukai kulit dadanya. Apalagi sampai menembus. Sudah barang tentu hal itu bukan saja membuat Ki Jaban terkejut. Bahkan mereka yang melihat kejadian itu sama-sama melotot tak percaya. Dan belum lagi keterkejutan Ki Jaban lenyap, Respati telah meluruk maju dengan satu hantaman bertenaga dalam amat tinggi. Maka tak dapat dihindari lagi....

Desss...!

"Aaa...!" Ki Jaban memekik setinggi langit. Tubuhnya terjungkal roboh beberapa langkah ke belakang sambil memuntahkan darah segar. Dia hanya mampu bergerak-gerak sebentar, kemudian diam seketika!

Sejenak Respati memandang mayat Ki Jaban. Lalu kepalanya mendongak ke langit. "Kakak! Dendammu telah kubalaskan! Tenanglah kau di alam sana! Aku tahu, masih ada beberapa orang yang menyakitimu! Dan mereka semua harus mempertanggungjawabkannya...!"

Sehabis mendesah lirih begitu, Respati dengan tenang meninggalkan halaman ini seperti tidak ada kejadian apa-apa. Peti matinya kembali diseret-seret, seolah tak ingin terpisahkan. Orang-orang desa yang melihat kejadian tadi, tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka seperti tidak tahu, apa yang harus dilakukan untuk sesaat. Tapi tidak lama kemudian satu persatu mendekati mayat Ki Jaban.

DUA

Sambil menyeret peti mati yang berisi mayat kakaknya, Respati terus melangkah. Begitu sayangnya pemuda berpakaian compang-camping ini pada kakaknya, sehingga ke mana pun pergi peti mati itu selalu dibawanya. Dan kini pemuda itu tiba di depan sebuah bangunan besar dengan pagar kayu mengelilingi. Di pintu gerbang tertulis,

PERGURUAN TOMBAK SAKTI

Sebentar pemuda itu memandangi tulisan, lalu melanjutkan langkah memasuki perguruan itu. Namun baru beberapa langkah....

"Tahan!" Terdengar bentakan dari depan. Respati menghentikan langkahnya. Ditatapnya sosok pemuda yang membentaknya. Sepasang matanya begitu tajam, seolah hendak menusuk jantung pemuda di depannya.

"Aku tidak ada urusan denganmu. Pergilah!" desis Respati, dingin.

Pemuda yang agaknya murid Perguruan Tombak Sakti terkesiap. Dan dia tidak mampu berbuat apa-apa ketika Respati melangkah maju. Di halaman ini, beberapa murid yang tengah berlatih langsung berhenti. Sementara seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang tengah melatih pun sudah melangkah menghampiri Respati, setelah memberi isyarat.

"Siapa kau, Kisanak? Dan apa yang kau ingin-kan di sini?" tanya laki-laki berpakaian jubah warna coklat itu, penuh wibawa.

"Kaukah Gautama alias si Tombak Sakti?" Respati malah bertanya, setelah meletakkan tali penarik peti.

"Benar...!"

"Aku Respati, alias Setan Gembel.

"Belum pernah kudengar sebelumnya nama itu...?" kata laki-laki berjuluk si Tombak Sakti dengan dahi berkernyit. "Tapi kau mengenal Kemala bukan?" tukas Respati yang ternyata berjuluk Setan Gembel.

Gautama tercekat. Nama Kemala memang tak asing lagi di telinganya. Namun sembilan tahun yang lalu dia terpaksa meninggalkannya, karena gadis itu dipergoki main gila dengan laki-laki lain. Mereka memang sempat menikah beberapa bulan. Sebenarnya si Tombak Sakti bukannya tak mengenal Respati. Namun karena keadaan dan penampilan pemuda itu telah jauh berubah, sehingga membuatnya pangling. Begitu pula Respati.

Dia pun bukannya tak mengenali si Tombak Sakti. Hanya karena masalah ini urusan pribadi, tindakannya terlihat hati-hati. Karena sejak kakaknya menikah, Respati hanya sekali saja melihat tampang si Tombak Sakti. Setelah itu dia pergi berguru di Gunung Rogo Sembangan pada seorang tokoh hitam berjuluk Iblis Gembel. Tak heran kalau dia perlu menanyakan nama dulu, sebelum menuntaskan dendam kakaknya.

"Hm.... Apa yang kau inginkan, Respati?" tanya si Tombak Sakti yang bernama asli Gautama.

"Tentu saja mengajakmu ke akhirat untuk menemani kakakku yang kau tinggalkan begitu saja pada sembilan tahun yang lalu," sahut Respati. Kau adalah suami Kemala. Dan setelah menikmati madunya, kau tinggalkan begitu saja!"

"Brengsek!" desis si Tombak Sakti menggeram, merasa rahasianya terbongkar.

"Guru! Orang ini telah lancang menuduh yang bukan-bukan! Lebih baik, biar aku yang menghajarnya!" teriak salah seorang murid.

"He he he...! Kau bocah bau kencur! Apa yang bisa kau perbuat padaku?" tantang Setan Gembel, melecehkan.

"Keparat! Rupanya kau memang benar-benar kepingin dihajar!"

Setelah berkata begitu, murid yang bertubuh tegap itu langsung meluruk menyerang Respati. Namun tidak disangka-sangka, pemuda gembel itu berkelit gesit ke samping. Dan tiba-tiba saja, Respati memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangan. Lalu....

Begkh...!

"Aaakh...!" Tahu-tahu murid Perguruan Tombak Sakti itu terpental ke belakang sambil memekik kesakitan. Begitu jatuh di tanah, dia tak bangun-bangun lagi.

"Hah?! Si Sarwa mati!" desis salah seorang murid yang langsung memeriksa keadaan pemuda yang jadi sasaran pukulan Respati.

"Iya, dia mati!" timpal yang lain.

Gautama memandang geram pada Setan Gembel. Terbayang amarah memuncak dari wajahnya. Begitu juga murid-muridnya. Bahkan sebagian telah ada yang bergerak.

"Jangan!" cegah si Tombak Sakti ketika melihat murid-muridnya hendak mengeroyok Setan Gembel.

"Tapi, Guru...."

Ini urusan pribadiku! Bukan urusan perguruan. Oleh sebab itu akulah yang bertanggung jawab!" tegas Gautama seraya memandang Setan Gembel.

"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Kuhargai tanggung jawabmu! Tapi sayang, sudah terlambat! Kemala sudah terbaring di peti yang kubawa. Jadi tanggung jawabmu sudah tak berharga lagi di depanku!"

"Tapi Kemala mengkhianatiku, Respati! Kakakmu kupergoki telah menerima laki-laki lain. Itulah sebabnya aku meninggalkannya!" kilah Gautama.

"Tapi, biar bagaimanapun dia tetap kakakku. Orang yang amat kusayang dan kukasihi. Tak akan kubiarkan kakakku dihina begitu rupa!"

"Hm.... Percuma bicara denganmu!" dengus si Tombak Sakti.

Bersamaan dengan itu, laki-laki yang juga Ketua Perguruan Tombak Sakti ini mengibaskan tombaknya. Ujung tombak Gautama menyambar-nyambar ke leher dan dada Setan Gembel. Namun dengan lincahnya Respati meliuk-liukkan tubuhnya. Dan itu membuat si Tombak Sakti semakin gemas saja. Geraham Gautama bergemelutuk. Seketika permainan ilmu tombaknya semakin cepat dan ganas. Namun begitu, tetap saja belum mampu mendesak Respati. Setan Gembel terus saja menghindar dengan meliuk-liukkan tubuhnya sambil tertawa mengejek.

"He he he...! Tombak Sakti adalah nama yang kesohor. Tapi yang kulihat tidak lebih dari seorang tokoh yang tengah belajar ilmu silat satu dua jurus!"

"Kurang ajar! dengus Gautama, menggeram marah.

"Ha ha ha...! Kenapa mesti marah? Seharusnya aku yang marah, karena kau membuat kakakku putus asa, dan akhirnya bunuh diri!"

Memang aneh watak Respati, setelah berguru beberapa tahun di Gunung Rogo Sembangan. Dulu pemuda ini dikenal pendiam dan ramah. Tapi entah mengapa, sifatnya jadi penuh dendam dan berkesan brangasan. Mungkinkah itu akibat tempaan Iblis Gembel?

Ujung tombak Gautama terus mengejar ke mana saja Respati bergerak. Namun sejauh itu belum juga mampu mengenai sasaran. Apalagi hanya untuk menyentuh Setan Gembel.

"Apa kebisaanmu hanya menghindar, Respati?!" bentak si Tombak Sakti.

"Hm, agaknya kau sudah tidak sabar untuk mati? Baiklah. Akan kukabulkan keinginanmu! sahut Setan Gembel.

Begitu kata-katanya habis, Respati bergerak amat cepat mendekati si Tombak Sakti. Gautama terkesiap, tidak menyangka kalau pemuda itu mampu bergerak secepat ini. Dan sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Setan Gembel melepas satu gedoran amat cepat bertenaga dalam tinggi.

"Deessst...!

"Aaakh...! Telak sekali gedoran Respati mendarat di dada Gautama. Disertai teriakan keras, Ketua Perguruan Tombak Sakti itu terjungkal ke belakang. Begitu mencium tanah, si Tombak Sakti tak bangun-bangun lagi.

"Guru...!" Murid-murid Perguruan Tombak Sakti tersentak kaget. Mereka menyerbu tubuh Gautama yang dikira hanya pingsan saja. Namun ketika salah seorang menempelkan telinganya ke dada, jantung laki-laki Ketua Perguruan Tombak Sakti itu tak bergerak lagi. Darah tampak meleleh pada mulut, hidung, dan kelopak matanya. Jelas si Tombak Sakti terluka dalam dengan jantungnya pecah!

Sebentar Respati memandang mayat si Tombak Sakti, lalu berbalik menuju peti mati yang dibawanya. Diambilnya tali penarik, lalu kakinya melangkah perlahan. Namun baru beberapa tombak melangkah...

"Hei?! Berhenti...!

"Hm,...!" Respati alias Setan Gembel menggumam tak jelas seraya menghentikan langkah ketika terdengar bentakan keras. Dan sebelum dia berbalik, murid-murid Perguruan Tombak Sakti telah berlompatan. Mereka mengurung Setan Gembel sambil menghunus tombak.

"Kau telah membunuh Guru kami! Jangan seenaknya pergi, Keparat!" dengus murid yang bertubuh gemuk.

"Apa maumu?" tanya Setan Gembel, tenang.

"Kau harus mati, Gembel Busuk!"

"Mati di tangan kalian? Ha ha ha...! Gurumu saja tidak mampu mengalahkanku. Apalagi kalian?"

"Kau jangan takabur, Keparat! Meski kepandaianmu tinggi, tapi kami tidak takut!"

Setan Gembel memutar tubuhnya perlahan-lahan. Pandangan matanya tajam menusuk, menyapu orang-orang yang mengepungnya. "Begitukah menurut kalian?" tanya Respati dingin.

"Habisi dia! Bentuk barisan Tujuh Bintang, seru murid bertubuh gemuk kepada kawan-kawannya.

"Yaaap...!

Mereka membentuk barisan seperti huruf S. Dan salah satu ujung barisan bergerak ke arah Setan Gembel. Namun dengan gesit Respati mencelat ke atas. Begitu menjejak tanah kembali, barisan murid-murid itu terus mengejar. Namun kegesitan Setan Gembel tidak bisa diimbangi. Di mata Respati ge-rakan mereka terasa lambat. Sehingga dengan mudah pemuda ini mengobrak-abrik hingga mereka tercerai-berai.

Dua tombak mendadak meluncur deras ke tubuh Respati. Namun dengan sigapnya, dia berhasil menangkap. Dan dengan sekali sentak, tombak yang satu lepas dari genggaman. Sementara pemiliknya sendiri terjungkal ke depan. Saat itulah Respati melepas tendangan bertenaga dalam tinggi.

Desss...!

"Aaakh...!" Seorang yang tadi menghujamkan tombak kontan roboh dengan dada hancur. Darah kontan termuntah dari mulutnya.

"Sial! Si Jaka mati!" teriak seorang murid si Tombak Sakti.

Belum lagi habis rasa kaget, mendadak tombak yang satu lagi di tangan Setan Gembel berputaran cepat. Beberapa senjata para murid itu terpental. Maka saat itu pula korbannya mulai berjatuhan dalam waktu singkat. Setan Gembel tidak berhenti sampai di situ. Ujung tombaknya terus bergerak, menyambar-nyambar. Tiap sambaran tombaknya, beberapa korban kembali jatuh. Baru ketika korban berjatuhan semakin banyak, murid-murid yang masih sayang nyawa segera mundur teratur.

"Ha ha ha...!" Setan Gembel terbahak-bahak dengan kepala mendongak ke atas. Kemudian perlahan-lahan matanya memandang para murid satu persatu.

"Pergilah kalian! Aku tidak berselera melawan orang-orang yang sok pahlawan!" ujar Respati datar.

Setelah berkata begitu, Setan Tombak berbalik, lalu melangkah kembali ke arah peti matinya. Dan tombaknya dilempar ke tanah begitu saja. Perlahan-lahan dia meninggalkan tempat ini sambil menyeret peti mati.

********************

Kabar tentang kematian Ki Jaban dan Gautama yang terjadi beberapa minggu yang lalu cepat tersebar luas di kalangan persilatan. Maka saat itu juga nama Setan Gembel langsung jadi buah bibir. Karena selama ini, memang tak ada orang yang menyangsikan kepandaian Ki Jaban dan si Tombak Sakti yang dikenal sebagai tokoh atas dunia persilatan. Namun dengan mudahnya mereka tewas di tangan Setan Gembel. Bahkan kematian mereka, diikuti dengan kematian-kematian para tokoh persilatan lainnya.

Orang-orang mulai bertanya-tanya, siapa itu Setan Gembel? Mengapa membunuhi tokoh persilatan yang termasuk golongan putih itu. Konon menurut kabar, Setan Gembel adalah seorang pemuda berpakaian compang-camping dengan badan lusuh tak terurus. Rambutnya kusut masai. Dan yang paling khas adalah, selalu menyeret-nyeret sebuah peti mati.

Namun rupanya peristiwa itu belum sampai di telinga seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang tengah berjalan tenang memasuki Desa Kalianget. Pemuda berambut sebahu dengan pedang bergagang kepala burung rajawali di punggung ini tampak begitu menikmati keramaian di desa itu.

Ketika pemuda yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Rangga atau lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti ini melintasi sebuah pohon di jalan utama desa, mendadak...

"Sedekah, Tuan...!"

Rangga menoleh, melihat seseorang menadahkan tangan di dekatnya sambil terns mengikuti langkahnya. Sambil tersenyum, Pendekar Rajawali Sakti merogoh saku di pinggangnya. Lalu dilemparkannya beberapa keping uang perak.

"Ambillah...!"

"Terima kasih, Tuan! Terima kasih...!" sahut pengemis berusia lanjut itu dengan wajah haru. Lalu dia berlari-lari kecil meninggalkan tempat itu.

Namun tidak berapa lama, muncul beberapa orang pengemis mendekati Rangga. Dalam hati, pemuda ini menghitung. Jumlah mereka lebih sepuluh orang. Semuanya menadahkan tangan minta sedekah. Sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti bingung.

"Kasihan, Tuan...! Sedekahnya...."

"Hm, "Pemuda tampan berbaju rompi putih menggumam sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Namun tanpa terduga, salah seorang menubruk tubuhnya sambil merogoh ke balik ikat pinggangnya.

"He, apa yang kau lakukan?!" bentak Rangga garang.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menangkap pergelangan tangan pengemis yang merogohnya. Namun pengemis berusia muda dengan tubuh kurus itu mencoba melepaskan diri.

"Lepaskan aku! Lepaskan...! Tolong, orang ini memukulku! Orang ini memukulku!" teriak pengemis muda itu.

"He, lepaskan dia!" teriak pengemis yang lain.

Dan agaknya bukan hanya kawan-kawan pengemis itu yang hendak membantu. Tapi, juga orang-orang yang berada di dekat situ. Mereka mendekati Pendekar Rajawali Sakti beramai-ramai.

"Orang asing kurang ajar! Kau telah mencelakai kawan kami sampai terluka! Kau harus mengganti kerugiannya. Atau, akan kami seret ke balai desa!" bentak salah seorang pengemis lain dengan suara lantang.

"Kisanak! Jangan mengada-ada. Kau sendiri mengetahui kalau dia bemsaha mencuri uangku! Dan aku sama sekali tidak menyakitinya!" kilah Pendekar Rajawali Sakti berusaha membela diri.

"Bohong! Aku lihat sendiri kau memukulnya. Yang lain juga melihat!" seru pengemis yang berusia sekitar tiga puluh tahun seraya mempengaruhi kawan-kawarnya.

"Ya! Kau telah memukul kawan kami...!" sahut yang lain, saling menimpali.

Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung mengerubuti Pendekar Rajawali Sakti.

"Tangkap dia! Heaaa...!"

"Sial!" dengus Rangga kesal.

Pendekar Rajawali Sakti yang tak ingin menyakiti mereka segera melenting ke atas. Setelah berputaran dua kali, tubuhnya mendarat dua tombak dari keroyokan para pengemis. Karuan saja, hal itu membuat para pengemis terkejut. Dan belum mereka menyerang, Rangga segera berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

Tapi baru saja kira-kira sepuluh tombak dari tempat tadi, mendadak di depannya berdiri dua sosok tubuh yang menghadang sambil menghentakkan kedua tangan mereka.

"Heaaa...!" Serangkum angin bertenaga dahsyat meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Celaka...!" Rangga mendesis pelan. Namun secepat kilat tubuhnya dibuang ke kiri, langsung berguling-guling. Sehingga pukulan jarak jauh yang dilepaskan kedua orang itu berhasil dihindari.

Rangga bangkit berdiri dengan gerakan indah. Matanya memperhatikan kedua orang yang menyerangnya. Di depannya berdiri dua sosok pengemis berbaju dekil dan penuh tambalan. Yang seorang berusia muda, memiliki kumis tebal. Sedang seorang lagi bertubuh pendek, dengan rambut telah memutih.

"He he he...! Boleh juga kepandaianmu, Bocah. Tapi bukan berarti kau boleh berbuat seenak jidatmu terhadap anak buahku!" ujar pengemis tua.

"Aku tidak tahu ke mana arah bicaramu, Ki?" kilah Pendekar Rajawali Sakti, tenang.

"Tidak usah pura-pura! Baru saja kau memukul salah seorang anak buahku!" sahut pengemis tua itu dengan suara keras.

Rangga tidak langsung menjawab. Pandangannya beredar ke sekitamya. Dalam waktu singkat. tempat ini telah dipenuhi pengemis berbaju dekil dan penuh tambalan. Rangga tersenyum kecut. Dan dia mulai mengerti, siapa yang dihadapinya kini. Kemudian matanya memandang kepada pengemis tua itu.

"Apa yang kau inginkan dariku, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti datar.

"Kau telah memukul salah seorang anak buahku. Semestinya, kau harus dihukum. Tapi kami bisa bertindak lebih adil. Maka sebagai gantinya, kau boleh membayar tebusan sejumlah sepuluh keping uang emas!" jelas pengemis tua itu tanpa tedeng aling-aling.

"Sebelum kuterima atau kutolak permintaanmu itu, bolehkah aku tahu dengan siapa berhadapan?" tanya Rangga lagi.

"Kau berhadapan dengan Ki Surati, Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin!" sahut pengemis tua bernama Surati.

"Ki Surati! Aku tidak tahu, apakah kau bijaksana atau tidak. Namun dengan caramu, kini aku bisa menilai bahwa kelakuanmu sama buruknya dengan anak buahmu tadi! Dia penipu dan tukang fitnah. Kalau anak buahmu mau jujur, mereka pasti akan mengatakan kalau pemuda kurus itulah yang mencoba mencuri uangku. Dan aku tidak sedikit pun memukulnya."

"Huh! Kau kira bisa mungkir dengan jawabanmu itu?! Kau menambah satu kesalahan lagi, Bocah. Menghina diriku, sama artinya menghina mereka semua. Dan jelas, kami tidak terima. Maka tidak ada pilihan bagimu jika ingin selamat. Yaitu, membayar denda seratus keping uang emas ditambah pedangmu itu!" sahut Ki Surati dengan suara lantang.

"Ki Surati!" bentak Rangga mulai kesal melihat tingkah mereka. "Kalau aku bersalah, akan kubayar denda meski seribu keping emas. Tapi aku tidak bersalah. Maka jangankan seratus. Bahkan sekeping pun jangan harap kuberikan!"

TIGA

"Keparat! Serang dia!" teriak Ki Surati memberi perintah.

"Heaaaa....!" Saat itu juga tanpa basa-basi lagi, semua pengemis berlompatan menyerang Rangga dengan kibasan tongkat kayu.

"Uts!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat di antara sambaran tongkat. Segera dikerahkannya jurus Sembilan Langkah Ajaib. Seketika tubuhnya meliuk-liuk indah, ditunjang dengan gerakan kaki yang lincah. Kadang tubuhnya condong ke depan, kadang ke belakang, hampir sejajar tanah. Sehingga tak satu pun serangan yang bisa menyentuh tubuhnya.

Melihat keadaan ini, Ki Surati jadi geram. "Jawul! Bantu bawahanmu!" ujar Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin ini pada pemuda pengemis di sebelahnya.

"Baik, Ketua!" Sahut pemuda berkumis tebal yang dipanggil Jawul.

"Heaaa...!" Jawul langsung meluruk, menyelip di antara kawan-kawannya. Seketika tongkatnya disabetkan dari atas ke bawah.

"Hiih!" Tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat diangkat ke atas, memapak tongkat Jawul.

Pemuda pengemis itu kaget bukan main melihat tongkatnya malah patah, saat menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum hilang rasa kaget Jawul, Rangga cepat melepas satu tendangan menggeledek yang begitu cepat tak tertahankan.

Desss...!

"Aaah...!" Tendangan kaki Rangga membuat Jawul terlempar ke belakang sambil menjerit kesakitan.

"Keparat!" Ki Surati menyumpah geram.

Sementara itu Jawul telah bangkit kembali. Segera didekatinya Ki Surati. Wajahnya tampak gusar penuh amarah. "Bagaimana, Ki? Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Jawul seraya memperhatikan sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang tengah dikeroyok para pengemis lain dan dibantu beberapa penduduk.

"Apa yang kita lakukan? Dasar tolol! Kita harus membekuknya! Orang itu harus mampus di tanganku!" desis Ki Surati geram seraya mengepalkan buku jari-jarinya.

"Tapi, Ki.... Dia berkepandaian tinggi...."

"Tutup mulutmu! Dasar pengecut! Ayo cepat kau bantu mereka lagi...!" hardik Ki Surati.

"Baik, Ki!" sahut Jawul.

Dengan langkah terburu-buru pemuda itu bergabung kembali dengan kawan-kawannya untuk ikut mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti. Sedang Ki Surati masih tenang-tenang saja memperhatikan. Serangan para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin ini sebenarnya hebat.

Namun agaknya mereka kurang kompak, sehingga dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti menghindarinya. Bahkan sambil berkelebat Rangga sempat membalas dengan pukulan yang tak dialiri tenaga dalam. Karena pada dasarnya, dia tak ingin menyakiti. Apalagi Rangga melihat di antara pengeroyoknya terdapat beberapa penduduk yang sebenarnya tak tahu apa-apa.

Bukk...!

"Akh...!" Setiap tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak maka seketika terdengar jeritan yang susul-menyusul disertai robohnya para pengemis itu satu persatu. Padahal para pengemis itu berusaha mati-matian untuk menjatuhkan Rangga secepat mungkin, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

"Kurang ajar!" maki Jawul kalap, melihat kawan-kawannya berjatuhan.

Saat itu juga, pemuda berkumis lebat ini melompat menerjang sambil melepaskan pukulan bertubi-tubi. Namun Pendekar Rajawali Sakti kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan mampu menghindar dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan dan kiri. Hal ini membuat Jawul semakin gemas. Serangannya makin kacau dan tak karuan. Kesempatan itu tidak disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti. Sambil memutar tubuhnya, tangannya mengibas cepat. Lalu....

"Wuaaa...!" Jawul menjerit keras ketika dadanya terhantam kepalan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berkumis lebat itu kembali terlempar sejauh dua tombak. Begitu jatuh di tanah, kedua tangannya langsung memegangi dadanya yang terasa nyeri dan sesak. Sementara mulutnya meringis dengan mata menatap sendu pada Ki Surati.

"Brengsek! Dasar tidak becus...!" umpat Ki Surati. Pengemis tua itu langsung meluruk cepat melepas serangan saat Pendekar Rajawali Sakti disibukkan oleh kerubutan para pengemis dan para penduduk yang masih bertahan. Tapi, agaknya percuma saja Ki Surati berusaha membokong. Sebab meski cukup sibuk menghadapi serangan-serangan, namun kewaspadaan Pendekar Rajawali Sakti ternyata tidak lenyap begitu saja. Begitu terasa ada desir angin halus di belakangnya, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke samping. Dan akibatnya, tongkat di tangan Ki Surati malah mengenai kepala seorang anak buahnya.

"Bletak...!

"Adouw...!"

Brengsek! Kenapa kau ada di situ, goblok!" sembur Ki Surati.

"Aduh, Ki! Kira-kira kalau mau menyerang. Masa batok kepalaku yang dihantam..." rintih orang yang jadi sasaran dengan wajah meringis sambil mengusap-usap kepala yang terasa nyeri.

"Sudah! Diam kau...!" bentak Ki Surati.

Sementara itu, agaknya Rangga sudah mulai bosan berhadapan dengan mereka. Jelas para pengemis dan para penduduk itu tidak bisa membedakan mana yang harus dibela dan mana yang tidak. Mereka adalah kaum pengemis yang mungkin saja sering memeras korbannya dengan cara seperti ini. Sehingga, penduduk ikut terhasut oleh fitnah mereka. Bahkan ikut membantu mengeroyok. Dan kalau begini terus, tidak akan mungkin menyadarkan mereka meski dihajar sampai babak belur. Yang paling tepat adalah menangkap pemimpinnya.

"Heaaa...!" Maka disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke udara dengan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega. Setelah berputaran beberapa kali tubuhnya meluncur ke arah Ki Surati.

"Eeh...! Uts!" Ki Surati terkesiap. Secepat kilat tubuhnya dimiringkan seraya mengibaskan tongkatnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tak peduli, cepat tangannya berkelebat dengan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali

"Heh?!" Ki Surati tercekat melihat tongkatnya patah terhantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum keterkejutannya hilang, Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di udara kembali memutar tubuhnya dengan kedua kaki merapat, tertuju lurus ke dada Ki Surati. Dan....

Dessss...!

Aaakh...!" Ki Surati menjerit keras ketika kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di dadanya. Tubuh orang tua itu tersungkur jatuh ke tanah. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Tubuhnya yang telah mendarat segera melompat ke arah Ki Surati. Saat itu juga sebelah kakinya menginjak dada Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin itu, namun dengan perhitungan yang matang agar tidak sampai menyebabkan kematian.

"Hugkh...!" Ki Surati melenguh tertahan. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit saat dadanya ditekan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara anak buahnya jadi tercengang tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Ki?" ancam Rangga dingin seraya menekan dada Ki Surati dengan kakinya. Karena disertai tenaga dalam, Ki Surati merasa dadanya bagai ditindih batu sebesar kerbau.

"Am..., ampun! Aku akan membebaskan kau dari syarat tadi. Kau boleh pergi sesukamu sekarang juga!" sahut Ki Surati.

"Huh! Kau kira semudah itu?!" cibir Rangga.

"Lalu apa maumu?"

"Kau harus membayar denda padaku!"

"Eh! Mana mungkin? Aku hanya pengemis. Dan, tidak mungkin punya uang banyak"

"Aku tidak katakan uang. Tapi kau harus bayar denda. Lagi pula apa dikira aku percaya kalau kau tidak punya uang?"

Maksudmu?" tanya Ki Surati dengan mulut tetap meringis.

"Kalian tentu sering. melakukan penipuan seperti ini, bukan?" tebak Rangga langsung.

"Eh, aku tidak mengerti. Kau yang bersalah... aaakh!" Pengemis tua itu tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena seketika itu juga Rangga menekan injakannya. Karuan saja, Ki Surati menjerit kesakitan.

"Jangan memutarbalikkan kenyataan! Atau, dadamu akan hancur sekarang juga!" gertak Rangga.

"Apa yang harus kukatakan kalau kenyataan-nya memang begitu?" tukas laki-laki tua itu, kembali berpura-pura setelah tekanan di dadanya dikendorkan.

"Sial!" dengus Rangga geram. Kembali Pendekar Rajawali Sakti menambah tekanan di dada, sampai Ki Surati gelagapan. Anak buah Ki Surati yang sejak tadi diam dan tak tahu apa yang harus dilakukan, coba-coba memberanikan diri dengan bergerak maju. Tapi baru saja beberapa langkah mendekat...

"Jangan coba-coba mendekat! Atau, pemimpin kalian akan tewas di tanganku?!" ancam Pendekar Rajawali Sakti dengan suara garang.

"Kalau kau bukan pengecut, lepaskan dia!" ujar Jawul.

"Aku tak peduli! Aku sudah muak melihat tingkah kalian!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.

"Dasar pengecut!" umpat Jawul.

"Ya, Pengecut Busuk!" timpal yang lain beramai-ramai.

"Kalian yang pengecut! Apa namanya main keroyokan kalau bukan perbuatan pengecut?"

Tak ada yang menjawab. Seolah mereka tersadar dengan apa yang telah diperbuat.

"Sekarang katakan padaku, mengapa kau mengemis secara paksa seperti ini?!" tanya Pendekar Rajawali Sakti lantang suaranya.

"Aku sebenarnya terpaksa melakukan hal ini..." desah Ki Surati, akhirnya melemah juga.

"Apa maksudmu?"

"Kami perlu uang banyak..."

"Untuk apa?"

"Untuk membayar seseorang...?" Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkernyit.

Sementara Ki Surati tahu kalau pemuda itu masih kebingungan dengan jawaban-jawabannya. "Kami bermaksud menyewa Iblis Api untuk membunuh seseorang. Tapi, harganya cukup mahal. Dan itu tidak terjangkau oleh kami..." jelas Ki Surati.

"Lalu kalian menggunakan cara menipu seperti yang dilakukan kepadaku?"

"Kami terpaksa, Anak Muda..." sahut Ki Surati, lirih.

Bangunlah, Ki. Maaf, ini terpaksa kulakukan agar kau jangan terlalu mengumbar kekuasaan demi memaksakan kehendak terhadap orang lain," ucap Pendekar Rajawali Sakti halus, seraya mengangkat kakinya dari dada Ki Surati. Dia yakin, laki-laki tua ini berkata jujur. Dan itu terlihat dari sorot matanya yang memancarkan kesungguhan.

"Tak apa, Anak...

"Panggil aku Rangga, Ki!" potong Pendekar Rajawali Sakti.

"Baik, Rangga. Aku sebenarnya jadi malu padamu desah Ki Surati setelah bangkit berdiri, walaupun masih meringis merasakan nyeri pada dadanya.

Rangga menarik napas panjang seraya menatap lembut laki-laki tua itu. Ki Surati jadi tertunduk malu. Dia tahu apa yang tengah dipikirkan pemuda itu mengenai mereka. Dan khususnya mengenai dirinya. Perbuatan itu memang tidak pantas dilakukan.

"Sebenarnya untuk apa kau bermaksud menyewa Iblis Api?" tanya Rangga.

"Agar dia membunuh Setan Gembel!" jelas Ki Surati, mendesis. Wajah laki-laki tua ini tampak geram ketika menyebut nama itu.

Dan Rangga pun merasakannya. "Setan Gembel? Siapa dia?" tanya Rangga.

"Apakah kau tidak mendengar berita yang baru tersebar beberapa hari ini?" Pemuda itu menggeleng. "Hm.... Setan Gembel sekarang mulai meresahkan tokoh-tokoh silat di belahan bumi ini," jelas Ki Surati.

"Apa salah Setan Gembel padamu sehingga kau begitu mendendam?" tanya Pendekar Rajawali Sakti lagi.

"Dia telah membunuh saudaraku. Ki Jaban, namanya."

"Itu hal biasa. Mungkin saja di antara mereka pernah terjadi permusuhan. Dan saat Ki Jaban mati, lalu kau mendendam padanya. Dan seandainya dia pun mati olehmu, tapi sahabatnya atau kerabatnya akan mendendam lagi padamu. Maka dendam tidak akan ada habis-habisnya."

"Tapi Setan Gembel juga membunuhi orang-orang yang tak ada sangkut pautnya dengan urusan pribadinya. Memang, dia terjun ke dunia persilatan untuk pertama kali hanya untuk urusan dendam. Tapi begitu namanya jadi buah bibir karena mampu membunuh saudaraku dan membunuh si Tongkat Sakti, dia jadi besar kepala! Segala tokoh yang menurutnya berkepandaian tinggi mulai didatanginya satu persatu," jelas Ki Surati.

Rangga mendesah sambil menggeleng lemah. Dia tak habis pikir, dalam setiap petualangannya, selalu saja ada peristiwa berdarah. "Hm.... Kalau boleh tahu, berapa bayaran yang diminta Iblis Api agar mau membantu kalian?" tanya Rangga.

"Sepuluh ribu keping uang perak, atau dua ribu lima ratus keping uang emas...," sahut Ki Surati.

"Hei?! Itu jumlah yang banyak sekali?!" Rangga tersentak kaget mendengar jumlah uang yang disebutkan Ki Surati.

"Ya, begitulah harganya...," desah laki-laki tua itu.

"Kenapa kau mesti menyewa dia? Bukankah dengan mengandalkan jumlah anak buahmu kalian dapat menaklukkan Setan Gembel?"

"Aku tak ingin mengorbankan nyawa anak buahku untuk mati sia-sia. Kepandaian Setan Gembel telah bisa ku ukur, setelah mampu membunuh si Tombak Sakti."

"Kau benar, Ki. Aku kagum dengan kasih sayangmu dengan anak buahmu. Kalau begitu ceritanya, kalian memang bukan tandingannya. Hm.... Kalau Setan Gembel sampai membantai tanpa alasan jelas, aku pun tak akan tinggal diam. Aku harus menyelidikinya!" tandas Pendekar Rajawali Sakti.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengajakmu untuk terlibat dalam urusan ini," desah Ki Surati dengan nada lirih.

"Sudahlah.... Itu sudah menjadi urusanku, bila tindakan Setan Gembel benar-benar sesat," ujar Rangga.

"Kalau begitu aku pamit dulu...!"

Setelah berkata begitu, Rangga berkelebat cepat dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Sehingga dalam sekejap mata dia telah jauh dari tempat tadi. Ki Surati hanya bisa memandang dengan tatapan bahagia.

********************

EMPAT

"Heaaa...!" Seekor kuda putih berlari cepat, seiring gebahan penunggangnya, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dengan pakaian jubah warna biru tua. Namun ketika berbelok ke kanan, saat itu pula dari kejauhan terlihat seseorang berjalan pelan dari arah yang berlawanan. Laki-laki penunggang kuda ini menggeram, dengan mata memandang tajam. Semakin dekat jarak mereka, semakin jelas terlihat kalau orang yang berjalan seenaknya di tengah jalan itu adalah seorang pemuda berbaju kumal penuh compang-camping. Sementara sebuah peti mati dari kayu diseret-seretnya di belakang.

"Hooop...!" Laki-laki penunggang kuda itu ini menghentikan tunggangan pada jarak dua tombak, ketika pemuda penghadangnya tak juga menyingkir. Dengan wajah kesal dia melompat turun. Dipandanginya pemuda gembel itu di depannya dengan seksama.

"Hm.... Ya! Aku tahu. Kau pasti Setan Gembel!" tebak laki-laki penunggang kuda itu.

Pemuda gembel yang tak lain memang Setan Gembel tidak menjawab. Perlahan-lahan mukanya diangkat sehingga mereka saling pandang.

"Hhh...! Rupanya kau telah tahu siapa diriku! Lantas kenapa? Kau punya dendam padaku?" sahut Respati, datar.

"Ya! Aku memang punya dendam denganmu. Aku Tejareksa alias si Pedang Kayu ingin agar kau bertanggung jawab atas kematian Gautama!" dengus laki-laki setengah baya yang berjuluk si Pedang Kayu.

"Dia memang pantas untuk mati!"

"Keparat!" Si Pedang Kayu yang bernama asli Tejareksa kontan kalap mendengar jawaban Setan Gembel. Kedua bola matanya mendelik lebar.

"Banyak yang mampus di tanganku. Tapi buat apa mengingat mereka?" lanjut Respati, dingin.

"Bedebah! Si Tombak Sakti masih terhitung keponakanku, tahu?!"

"Tapi apa urusannya denganmu? Dia mati karena dosa-dosanya. Dan itu harus ditebus dengan nyawanya sendiri," sahut Setan Gembel enteng tanpa beban perasaan.

"Kau memang tidak berperasaan sama sekali. Memang pantas kau mendapat julukan Setan Gembel! Jiwamu sendiri memang gembel! Gembel terkutuk..!" maki Tejareksa, kalap.

"Ha ha ha...! Apakah baru sekarang kau mengetahui? Aku sendiri yang menjuluki Setan Gembel. Bukan orang lain. Dan siapa yang berani mengusikku nyawa taruhannya!"

"Tapi hari ini aku yang akan mencabut nyawamu!" tegas si Pedang Kayu geram.

"Jangan terlalu yakin. Sebab menurutku kaulah yang kukirim ke liang kubur."

"Sebaiknya kita buktikan saja sekarang! Kalau kau punya senjata. Keluarkan!"

Begitu selesai berkata begitu, Ki Tejareksa mencabut pedangnya. Sambil maju selangkah, pedangnya ditusukkan ke dada Respati. Sebaliknya Setan Gembel kelihatan tenang-tenang saja. Tapi begitu sebilah pedang hampir mengenainya, tubuhnya melejit ke atas. Lalu sambil berjumpalitan beberapa kali, dia mencelat ke belakang.

"Yeaaa...!" Ki Tejareksa tidak mau membiarkan begitu saja. Tubuhnya langsung meluruk mengejar sambil berusaha menyarangkan senjatanya sebelum lawan menjejak tanah.

"Hiih!" Setan Gembel mengegoskan kepala, sehingga pedang itu luput, hanya menyambar angin kosong. Pada saat yang singkat, si Pedang Kayu melepas tendangan menggeledek. Maka cepat bagai kilat, Respati menangkis tendangan si Pedang Kayu dengan tangan kiri.

Ki Tejareksa kelihatan gemas karena serangannya berhasil dikandaskan. Padahal, dia ingin menghabisi pemuda itu secepatnya. Tapi Setan Gembel sendiri ternyata bukan tokoh sembarangan yang bisa dijatuhkan dengan mudah.

"Ha ha ha...! Senjatamu ternyata bukan pedang pusaka yang bisa diandalkan. Rasanya pedang mainan itu lebih pantas digunakan untuk bertarung dengan anak-anak!" ejek Setan Gembel.

"Tutup mulutmu, Bedebah! Sebentar lagi kau akan tahu, bagaimana enaknya kepalamu menggelinding oleh tebasan pedangku ini!" maki Ki Tejareksa.

Mendadak si Pedang Kayu mengamuk sejadi-jadinya. Ejekan Setan Gembel membuatnya geram. Dan kemarahannya memuncak laksana api berkobar-kobar. Pedangnya berkelebat menyambar ke mana saja pemuda itu bergerak.

"Hmm...!" Mula-mula Setan Gembel terkesiap melihat perubahan jurus-jurus yang diperlihatkan laki-laki setengah baya itu. Tapi begitu diperhatikannya dengan seksama, ternyata jurus-jurus yang tengah dimainkan si Pedang Kayu sangat ceroboh, karena terlalu mengumbar kemarahan. Sehingga dalam keadaan seperti sekarang malah jurus-jurusnya terlihat berantakan. Banyak sekali kelemahan, serta pertahanan terbuka.

"Heaaa...!" Dalam satu kesempatan Setan Gembel membentak nyaring. Tubuhnya bergerak cepat. Dan tahu-tahu dia telah menyelinap di antara sapuan pedang. Ki Tejareksa terkesiap. Sebelum menyadari kebodohannya sendiri tahu-tahu....

Dessss...!

"Aaakh...!" Satu tendangan Respati telah menghantam telak sekali. Si Pedang Kayu kontan terjungkal beberapa langkah ke belakang disertai pekik kesakitan. Dari mulutnya keluar darah segar.

"Ha ha ha...! Hanya segitukah kepandaian pendekar kesohor yang menamakan diri si Pedang Kayu?!" teriak Setan Gembel disertai tawa nyaring dan berkacak pinggang.

"Kurang ajar!" Ki Tejareksa menggeram. Matanya memandang buas kepada Setan Gembel.

Dan sekali menyentak garang, si Pedang Kayu telah kembali bangkit berdiri. Seketika dia melompat menerjang.

"Yeaaa...!"

"Huh! Setan Gembel hanya mendengus dingin. Kemudian sekali berkelebat, tangannya memapaki serangan.

Tubuh si Pedang Kayu terjajar beberapa langkah. Sedangkan Respati tak bergeming sama sekali. Kini baru Ki Tejareksa menyadari kalau tenaga dalamnya masih kalah dua tingkat dibanding pemuda itu. Dan sebelum si Pedang Kayu membuka serangan, tubuh Setan Gembel telah meluruk cepat dengan satu tendangan berisi tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Tejareksa tak mampu menghindar lagi.

Kraaakkk....!

"Aaakh...!" Si Pedang Kayu memekik kesakitan begitu tendangan Setan Gembel mendarat telak di dadanya. Seketika terdengar suara berderak dari tulang yang patah. Tubuh laki-laki itu kontan terlempar seperti selembar daun kering. Tulang dadanya patah. Dan kelihatannya Ki Tejareksa susah sekali bangkit. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit hebat.

"Aku tidak pernah meninggalkan musuhku hidup-hidup. Aku akan menjemput mautmu sekarang juga!" desis Setan Gembel.

"Huh! Kau kira aku sebangsa pengecut yang takut mati? Bunuhlah aku cepat!" sentak Ki Tejareksa.

"Ha ha ha...! Kau akan mampus sekarang, Iblis Tua!"

Setelah mengumbar tawanya, tiba-tiba saja Setan Gembel berubah garang. Di pandanginya laki-laki setengah baya dengan tajam. Kedua tangannya terangkat pelan-pelan. Tapi pada saat yang paling gawat buat si Pedang Kayu....

"Heh...?!" Setan Gembel langsung berbalik saat terdengar derap kaki kuda. Agaknya, kuda-kuda itu segera akan melewati tempat ini, sehingga membuatnya menjadi gusar.

"Hhh...!" Respati mendengus saat melihat pasukan prajurit berkuda mendekati tempat ini. Dari umbul-umbul yang dibawa, jelas kalau pasukan prajurit berkuda itu berasal dari Kerajaan Linggapura. Maka sebelum pasukan prajurit itu berada pada jarak sepuluh tombak, Respati menghentakkan tangannya.

"Hiih!" Serangkum angin kencang berhawa panas meluruk ke arah pasukan prajurit.

"Uts! Kurang ajar!"

Seorang prajurit yang berada paling depan cepat melompat sambil membuat gerakan jungkir balik. Lalu kakinya jatuh dengan mulus di tanah, tidak jauh dari Setan Gembel. Namun....

Blarrr...!

"Aaakh...!" Ketika prajurit berpangkat panglima yang tadi melompat memandang ke arah kawan-kawannya, dua orang prajurit yang tadi persis di belakangnya telah terbujur tewas karena tak sempat menyelamatkan diri. Sementara tiga orang lainnya ikut terjungkal, meski tidak sampai terluka parah. Tapi itu sudah cukup membuat amarah panglima itu terbangkit.

"Kurang ajar! Kau telah membunuh prajurit Kerajaan Linggapura! Aku, Panglima Rukmana akan menghukummu, Gembel!" bentak panglima yang bernama Rukmana. Melihat gerak-geriknya, tampaknya Panglima Rukmana tengah memimpin pasukan yang berjumlah sekitar dua puluh orang ini.

Setan Gembel tidak langsung menjawab. Melainkan, berdiri tegak memandangi mereka untuk sesaat. "Pergilah! Aku tidak ingin berurusan dengan kalian...!" ujar Respati dingin.

"Bedebah! Kau berani mengusir kami seenaknya?! Gembel busuk! Kau betul-betul tidak tahu penyakit! Tidak tahukah kau, bahwa saat ini tengah berhadapan dengan para prajurit kerajaan?! Kau akan dihukum pancung karena berani membunuh dua prajurit!" sahut Panglima Rukmana geram.

"Hukum pancung? Ha ha ha...!" Setan Gembel tertawa geli mendengar amarah panglima itu.

"Setan! Dasar gembel gila! Kau tidak tahu bahwa sebentar lagi akan mampus. Tapi, masih juga bisa tertawa! Serang dia!" teriak Panglima Rukmana memberi perintah pada anak buahnya.

Begitu mencabut pedang, para prajurit mengangkatnya tinggi-tinggi. "Yeaaa...!"

Serentak para prajurit Kerajaan Linggapura mengurung Setan Gembel. Dan secepat itu beberapa orang langsung meluruk maju dengan sambaran pedang. Dalam waktu singkat Setan Gembel telah berada dalam kelebatan pedang-pedang. Rasanya sulit untuk mencari jalan keluar dari kepungan.

"Hup! Heaaa...!"

Namun dengan enaknya, Respati meliuk-liukkan tubuhnya. Sehingga tak satu pedang pun yang menyentuh tubuhnya. Bahkan tiba-tiba, Setan Gembel melakukan serangan balik dengan melakukan tendangan beruntun dan bertenaga dalam tinggi.

Des! Des! Des!

"Aaakh...!" Tiga prajurit kontan terjungkal roboh, tidak bangkit lagi terhantam tendangan Respati. Sedang yang seorang hanya terjungkal, dan masih sempat bangkit meski dengan wajah meringis menahan sakit pada bahunya.

"Kurang ajar! Pantas saja kau berlagak! Rupanya ada sesuatu yang kau banggakan, he?!" dengus Panglima Rukmana.

Panglima ini langsung bergerak maju dengan langkah lebar. "Minggir!" perintahnya pada anak buahnya.

Serentak para prajurit kerajaan itu menghentikan serangan, mundur teratur. Namun begitu, mereka tetap membuat bentuk lingkaran untuk mengurung Setan Gembel. Panglima Rukmana mendekat perlalan-lahan. Sorot matanya tajam memandang Respati. Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang bertubuh tegap ini amat terkenal di kalangan prajurit sebagai seorang yang memiliki kepandaian hebat.

"Aku telah memberi kesempatan padamu untuk menyerah. Tapi, kau menolak. Maka jangan salahkan bila aku akan membunuhmu sekarang juga!" lanjut Panglima Rukmana mendengus sinis.

"Membunuhku? Seekor kecoa sepertimu ingin membunuhku?! Ha ha ha...! Sungguh menggelikan!" ejek Setan Gembel seraya tertawa nyaring.

Suara tawa Setan Gembel agaknya bukan sembarangan karena disertai pengarahan tenaga dalam. Buktinya beberapa prajurit yang memiliki tenaga dalam rendah buru-buru mendekap kedua telinga dengan wajah berkerut menahan sakit.

"Tertawalah sesuka hatimu, Keparat!" desis Panglima Rukmana. Bersamaan dengan itu, panglima ini melompat menerjang dengan pedang siap dikibaskan.

"Uts!" Ujung pedang panglima itu menyambar cepat. Tapi Setan Gembel ternyata bukan lawan enteng. Pemuda gembel yang wajahnya selalu tertutup rambut panjangnya itu bergerak amat lincah menghindari setiap serangan.

"Ha ha ha...! Hanya seginikah kebisaanmu? Kau hanya membuang-buang waktu menghadapi Setan Gembel!" ejek Respati.

"Keparat! Jangan berbangga diri dulu. Kau belum merasakan ilmuku yang Iain. Dan kau akan menjerit sampai ke neraka sana!" teriak Panglima Rukmana kalap.

"Ha ha ha...!" Setan Gembel hanya tertawa mendengar kata-kata lawan. Tapi tawanya lebih tepat merupakan ejekan. Sepertinya, dia memang betul-betul menganggap enteng panglima itu.

"Heaaa...!" Disertai bentakan nyaring tubuh Panglima Rukmana berkelebat. Kali ini dia merubah gerakan, sehingga terlihat lebih cepat dan memiliki gerakan-gerakan beragam.

Tapi sekali pandang saja Setan Gembel tahu, kalau gerakan-gerakan panglima itu masih mentah. Sehingga masih banyak lubang-lubang lowong yang bisa dijadikan sasaran empuk.

"Huh! Kau akan mampus sekarang juga!" dengus Respati.

"Cobalah buktikan!" balas Panglima Rukmana tidak kalah garang.

"Hiyaaa...!" Disertai bentakan garang, Setan Gembel berkelebat cepat mendekat. Panglima Rukmana pun tidak kalah sigap. Cepat disambutnya luncuran tubuh Respati dengan ayunan pedangnya.

Pedang Panglima Rukmana jelas menghantam dada. Namun tidak berakibat apa pun terhadap Setan Gembel. Jangankan terluka. Bahkan tergores pun tidak. Dan sebelum panglima itu bisa menghapus rasa herannya, satu tendangan keras telah menggedor dadanya.

Desss...!

"Aaaa...!" Panglima itu kontan memekik keras. Tubuhnya terpental ke belakang disertai semburan darah segar.

"Panglima...!" desis prajurit-prajurit yang menyaksikan kejadian itu.

Serentak mereka memburu pimpinannya. Terlihat mulut Panglima Rukmana bergerak-gerak sebentar. Sementara, darah terus berlelehan. Tidak ada suara yang terdengar. Bahkan kemudian kepalanya terkulai lemah, dan jantungnya berhenti berdenyut.

"Keparat! Kau harus membalas kematiannya!" bentak salah seorang prajurit, seraya melompat ke depan Setan Gembel. Prajurit lain pun mengikuti. Wajah mereka kelihatan garang dan penuh dendam.

"Kalian bukan tandinganku. Pergilah!" ujar Setan Gembel dingin.

"Setan! Kami harus membunuhmu sekarang juga. Hutang nyawa bayar nyawa!" desis prajurit itu, seraya melompat menerjang bersama kawan-kawannya.

"Hm, bandel!" gumam Setan Gembel, dingin. Dan tiba-tiba sebelah telapak tangan Respati menghentak ke depan. Dan dari telapak tangannya seketika melesat serangkum angin kencang berhawa panas ke arah para prajurit.

"Aaakh...!" Beberapa prajurit terpental disertai pekik kesakitan. Mereka roboh bermandikan darah, dan tidak bangkit lagi. Melihat keadaan itu bukan main geramnya para prajurit yang selamat. Mereka kembali menyerang serentak. Namun kali ini, Setan Gembel berbuat seperti tadi. Sehingga, korban yang jatuh semakin bertambah.

Dan sisa lima prajurit segera memutuskan untuk melarikan diri saja. Memang, agaknya Setan Gembel tidak berselera bermain-main dengan mereka. Dia hanya memperhatikan saja dengan senyum dingin.

"Dasar tikus-tikus busuk!" umpat Respati.

Kemunculan pemuda berbaju compang-camping itu menoleh pada sosok si Pedang Kayu yang tadi terluka parah. Ternyata Ki Tejareksa telah diam tidak bergerak. Setelah yakin kalau laki-laki itu sudah tidak bernyawa lagi, Respati segera menghampiri peti matinya.

Srek! Srek..!

Suara gesekan peti mati dengan tanah terdengar saat Setan Gembel melangkah.

********************

LIMA

"Hooop...!" Seorang penunggang kuda menghentikan laju kudanya di depan seorang gadis berbaju serba putih yang tidak menoleh sedikit pun atas kehadirannya. Di sebelah gadis itu tampak kuda lain yang tengah merumput.

"Hup!" Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun dan bertubuh tegap itu langsung melompat dari tunggangannya. Begitu mendarat, dia langsung berlutut memberi hormat.

"Maafkan aku karena membuat Nona Lembayung menunggu terlalu lama...!" ucap pemuda berpakaian ketat warna hitam ini.

"Apa yang kau bawa, Mayong?" tanya gadis itu masih belum berbalik.

"Sepertinya aku telah menemukannya... kata pemuda yang dipanggil Mayong, agak merayu. Gadis bernama Lembayung berbalik. Matanya langsung memandang tajam kepada Mayong.

"Kau telah menemukannya, Mayong! Di mana dia?!" kejar Lembayung dengan wajah bersemangat.

Pemuda berpakaian ketat warna hitam itu tidak langsung menjawab. Dia diam sejurus lamanya. Sikapnya kelihatan bingung sekali. "Katakan padaku, Mayong! Di mana kau temukan dia...!" desak Lembayung.

"Amat berbahaya mendekatinya, Nona...."

"Aku tidak peduli! Katakan padaku! Di mana dia sekarang?!"

"Dia menjadi tokoh yang amat berbahaya, Nona. Buas dan tidak kenal ampun...."

"Apa maksudmu?!" desis Lembayung dengan wajah kaget.

Respati telah berubah. Dia menjadi seseorang yang lain daripada yang dulu pernah kita kenal...," desah Mayong.

"Katakan padaku terus terang, Mayong! Jangan berbelit-belit!" sentak Lembayung.

"Aku..., aku...."

"Mayong! Kepada siapakah kau mengabdi?!" tukas gadis ini menghardik.

Kepada Nona tentunya..," sahut Mayong, mantap.

"Lalu, kenapa kau mulai membangkang?"

"Maaf, Nona. Tak sekali-sekali aku bermaksud demikian...," ucap Mayong.

"Lalu, kenapa seolah kau mencoba mengajariku?" cibir Lembayung.

Mayong terdiam. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam. Dia tidak berani bicara lagi mendengar kata-kata gadis ini yang ketus bercampur marah.

"Maafkan aku, Nona...," ulang Mayong, lirih.

Gadis itu terdiam. Wajahnya kelihatan masih menyimpan kesal. Dipandanginya pemuda itu sekilas, lalu membuang pandang ke arah lain. Di mana kau temukan dia?" tanya Lembayung kemudian.

"Terakhir kulihat dia berada di Desa Ganter. Kelihatannya dia akan ke ibukota kerajaan, Nona...," jelas Mayong.

"Hm.... Dia hanya akan mengantarkan nyawa percuma. Kita harus mencegahnya," gumam Lembayung.

"Nona.... Dia telah membunuh banyak prajurit kerajaan. Panglima utama tentu tidak akan membiarkan begitu saja perbuatannya. Apalagi dia telah membunuh Panglima Rukmana."

"Kemajuan ilmunya demikian pesat. Panglima Rukmana temasuk salah satu panglima kerajaan yang berilmu tinggi...," gumam gadis itu lagi.

"Aku melihat sendiri, Nona. Kepandaiannya sungguh tidak masuk akal!" jelas Mayong dengan suara sedikit tinggi.

Gadis itu kembali terdiam sesaat. "Antarkan aku kepadanya!" ujar gadis itu datar.

"Sekarang..., eh! Maksudku, apakah Nona tidak berpamitan dulu pada...."

Mayong! Jangan banyak tanya!" potong Lembayung. "Naik ke kudamu. Dan, kita berangkat sekarang!"

"Eh! Baiklah, Nona!" Mayong langsung melompat ke punggung kudanya, setelah-menjura hormat. Lalu perlahan-lahan kudanya digebah.

Sementara Lembayung segera mengenakan topi caping lebar dari bambu yang tadi tergolek di tanah. Caping itu untuk menghalangi wajahnya dari pandangan orang. Dan dengan gerakan ringan, gadis ini melompat ke punggung kuda berbulu putih yang tertambat di dekatnya. Segera diikutinya pemuda itu, dan cepat menjajari di sampingnya.

Lama mereka berdiam diri tanpa banyak bicara, sambil menjalankan kuda perlahan-lahan. Sampai suatu ketika Mayong memberi isyarat agar mereka berhenti, lalu membelokkan langkah kudanya.

"Di depan sana ada beberapa prajurit kerajaan, Nona...!" tunjuk Mayong.

"Ya, aku tahu...," sahut Lembayung.

"Bagaimana kalau mereka menemukan kita di sini?"

"Diamlah! Tidak usah kau banyak bicara. Kita harus menghindari siapa pun yang punya hubungan dengan kerajaan!"

"Baik, Nona!"

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Desa Jenang merupakan salah satu desa yang biasa dilalui orang bila hendak ke timur maupun hendak ke barat. Tidak mengherankan bila selain penduduk setempat, orang-orang asing pun sering singgah barang sesaat. Atau bermalam barang beberapa hari. Dan bagi para pedagang, hal ini justru dipergunakan untuk berniaga bila keadaan memang cukup ramai.

Bila orang berpakaian gembel biasa yang melintasi jalan utama di desa ini, mungkin hal itu adalah pemandangan biasa. Tapi bila gembel itu membawa-bawa peti mati dan berjalan tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, tentu saja hal itu cepat menarik perhatian orang di Desa Jenang ini. Apalagi bila gembel itu ternyata tokoh yang belakangan ini menjadi bahan pembicaraan. Bukan saja di kalangan persilatan, tetapi juga bagi semua orang!

"Setan Gembel...!" desis salah seorang pengunjung kedai yang melihat kehadiran laki-laki berbaju compang-camping itu dari jendela.

"Heh?!" Pengunjung kedai lainnya terkesiap mendengar kata-kata orang itu. Dan tanpa sadar semua orang yang berada di dalam kedai memalingkan muka memperhatikan gembel yang menarik peti di jalan utama desa.

"Mau apa dia ke sini? Apakah ada yang dicarinya?" tanya seorang laki-laki bermuka bulat dan bertubuh agak kecil.

"Di sini banyak tokoh-tokoh persilatan. Mungkin salah satu di antara mereka ada yang diincarnya!" sahut yang lain.

"Ya, mungkin saja..."

Dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun menghadang gembel yang tak lain memang Respati alias Setan Gembel.

"Berhenti kau! Aku akan membuat perhitungan denganmu, Setan Gembel!" bentak pemuda berpakaian ketat warna kuning gading.

"Respati tidak langsung menjawab. Langkahnya berhenti dan terdiam sejurus lamanya.

"Setan Gembel! Kau telah membunuh ayahku si Pedang Kayu! aku akan membuat perhitungan denganmu!" bentak pemuda bertubuh tegap dengan wajah lebar itu lagi seraya mencabut pedang.

Sring...!

"Ayo, keluarkan senjatamu! Hadapi Wisesa, anak tunggal si Pedang Kayu! Kita bertarung secara ksatria!" lanjut pemuda bernama Wisesa dengan suara garang.

"Anak muda.... Pergilah. Dan, jangan menghalang-halangi langkahku. Kau akan mati percuma..." ujar Setan Gembel datar.

"Bedebah! Kau kira aku anak kecil yang bisa ditakut-takuti dengan cara begitu? Huh! Aku tidak peduli, apakah kau bersenjata atau tidak. Lihat seranganku, Setan Gembel! Heaaa...!"

Dengan teriakan membahana, Wisesa melompat. Pedangnya langsung diayunkan, menyambar leher gembel di depannya.

"Hup!" Setan Gembel melompat ke belakang. Sehingga serangan Wisesa luput dari sasaran. Tapi anak tunggal Ki Tejareksa ini tidak berhenti sampai di situ. Dia kembali mencelat dan menyerang dengan membabi-buta.

"Heaaa! Heaaa...!"

Pedang di tangan Wisesa berkelebat-kelebat seperti hendak mencincang tubuh Respati menjadi beberapa potong. Tapi sekali lagi, Setan Gembel mampu menghindarinya dengan gesit. Tubuhnya bergerak ke atas, lalu tiba-tiba meluruk ke bawah, siap mengayunkan tendangan.

"Uts!" Dan itu membuat Wisesa terkesiap. Untung dia buru-buru membuang diri ke samping sambil bergulingan.

Tapi Setan Gembel memang bukan orang yang sabar. Sekali atau dua kali mungkin dia masih mau mengalah. Namun selanjutnya, tahu-tahu dia telah membuka serangan balasan.

"Heaaa...!" Dengan satu gerakan kilat, Setan Gembel mencelat melepas serangan tangan bertubi-tubi. Wisesa gelagapan. Dia mencoba memapak dengan kelebatan pedangnya.

Tapi, tidak sedikit pun pedang itu mampu mengenai Respati. Bahkan tiba-tiba kepalan Setan Gembel menghantam dari arah kiri menuju pelipis. Dengan sigap, Wisesa menangkis kepalan dengan tangan kirinya. Dan pada saat tubuh Wisesa terjajar, justru satu tendangan keras Setan Gembel menghantam perutnya.

Desss...!

"Aaakh...!" Wisesa jatuh tersungkur sambil memekik kesakitan. Dari mulutnya meleleh darah kental. Dia berusaha bangkit dengan kepayahan. Wajahnya tampak berkerut menahan rasa sakit hebat. Sesaat dia mengejang sambil berteriak lepas, lalu ambruk dan diam tidak bergerak lagi.

Beberapa orang yang menonton pertarungan menatap tak percaya. Dan salah seorang memberanikan diri memeriksa nadi Wisesa saat Setan Gembel berlalu begitu saja sambil menarik peti matinya.

"Dia telah mati..." desah orang yang memeriksa itu, lirih.

"Kejam! Manusia itu betul-betul biadab!"

Baru saja mereka berkata seperti itu, mendadak... "Berhenti kau, Manusia Laknat!"

Sebuah bentakan keras terdengar, membuat semua mata berpaling ke arah sumbernya. Ternyata Setan Gembel tengah dihadang oleh dua laki-laki bertubuh gemuk, terbungkus pakaian merah tua. Wajah, bentuk tubuh, dan penampilan kedua orang gemuk itu sama persis, bagai pinang dibelah dua. Kepala mereka sama-sama botak. Perbedaan mereka hanya pada letak tahi lalat.

Kedua orang kembar ini memandang Respati penuh kebencian dan dendam mendalam. "Siapa kalian? Dan mau apa dariku?" tanya Setan Gembel, pelan.

"Kami si Kembar dari Gunung Lawu. Aku Raswita! Dan saudaraku Raswata. Kami tidak bisa membiarkan kau pergi begitu saja, setelah membunuh pemuda tadi! sahut laki-laki kembar yang bertahi lalat di dagu yang bernama Raswita.

"He he he...! Apakah bocah itu, anakmu?"

"Dia masih terhitung keponakan kami!" jawab Raswita, mantap.

"Keponakanmu? He he he...! Pergilah! Dan jangan coba-coba menantangku. Kalau keponakanmu saja mampus di tanganku, maka kalian bukan tandinganku," ujar Respati.

"Kurang ajar! Kau merendahkan kami, he?!" maki laki-laki kembar yang bertahi lalat di hidung. Namanya, Raswata.

"Apa yang bisa kupandang hebat dari kalian? Perut yang buncit itu atau pedang besar yang kalian sandang? He he he...! Itu semua amat menggelikan buatku," sahut Setar Gembel tenang bernada mengejek.

"Keparat!" Kedua orang kembar itu memaki geram. Dan serentak mereka mencabut pedang, lalu melompat menyerang.

"Ha ha ha...!" Setan Gembel hanya terkekeh menyambut serangan. Tidak terlihat sedikit pun kalau hatinya gentar. Bahkan dengan sikapnya, kelihatan kalau dia betul-betul menganggap enteng kedua lawannya.

"Uts! Hup...!" Pedang besar si Kembar dari Gunung Lawu itu berkelebat dari dua arah. Dan dengan gerakan kompak, mereka mulai mengurung Respati dengan ketat.

Setan Gembel mencelat ke samping. Dan seketika itu juga, kedua lawannya mengikuti. Serangan si Kembar dari Gunung Lawu bertubi-tubi. Bukan saja amat cepat, bahkan juga di-dukung oleh kekompakan. Sehingga untuk sesaat terlihat kalau Setan Gembel tidak mampu berbuat apa-apa.

"He he he...! Baru kau rasakan sekarang keadaan dirimu. Sebentar lagi kau akan mampus, Keparat!" desis Raswita.

"Dan riwayatmu akan tamat untuk selamanya!" timpal Raswata.

"Riwayatku tamat? Oleh kalian? Ha ha ha...!" Respati tertawa mengejek.

Saat itu juga, Setan Gembel segera melompat. Dipapaknya kedua serangan yang saat itu sudah meluncur datang dari depan. Si Kembar dari Gunung Lawu sama sekali tidak menyangka kalau kedua belah tangan pemuda itu bermaksud menangkis senjata. Karena bisa dipastikan kedua tangannya akan putus dalam sekejap mata. Tapi yang terjadi justru sangat mengejutkan! Pedang mereka bagai menghantam batang besi. Dan belum lagi keduanya sempat tersadar, tendangan Setan Gembel yang keras dan beruntun telah meluncur datang. Sehingga....

Des! Des!

"Aaakh...!" Si Kembar dari Gunung Lawu jatuh tersungkur dengan isi dada seperti mau pecah. Sebelum mereka sempat bangkit, Respati telah mencelat. Langsung diinjaknya dada salah satu orang kembar itu disertai tenaga dalam tinggi.

"Aaakh...!"

"Raswitaaa...! Terdengar suara berderak tulang patah yang diiringi pekikan setinggi langit. Dan itu masih ditingkahi jeritan kaget Raswata yang memanggil saudara kembarnya.

"Heh?!" Kejadian itu menyentak orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka seperti terbangun dari mimpi. Dan ketika beberapa orang mendekati Setan Gembel, maka yang lain menyusul dengan berbondong-bondong mengepung.

"Iblis terkutuk! Perbuatanmu sungguh biadab...!" teriak seseorang.

"Iblis jahanam! Bunuh dia! Bunuh dia...!" timpal yang lain.

Serentak mereka mengeluarkan senjata masing-masing, dan berlompatan menyerang Setan Gembel. "Heaaa...!"

"Habisi dia...!"

Namun Setan Gembel sama sekali tidak terpengaruh. Hatinya benar-benar tegar sekokoh batu karang. Tidak terlihat sedikit pun merasa gentar oleh keroyokan banyak orang yang bersenjata beraneka ragam. Padahal orang-orang itu bukan hanya terdiri dari penduduk desa, tapi juga tokoh-tokoh persilatan yang kebetulan berada di desa ini. Mereka memang telah muak mendengar sepak terjang Setan Gembel.

"Heaaa...!" Respati menarik napas dalam-dalam. Dan seketika kedua telapak tangannya didorong ke depan. Maka seketika meluncur angin menderu kencang menghantam para pengeroyok.

Desss...!

"Aaa...!" Beberapa orang yang tidak sempat menghindar langsung terjungkal roboh ke belakang dengan nyawa putus seketika. Tapi yang lainnya masih mampu menghindar. Lantas dengan penuh amarah, mereka kembali menyerang Setan Gembel.

"Heaaa...!"

"Huh!" Setan Gembel menggeram. Wajahnya tampak kelam ketika mencibir sinis. Kemudian kedua tangannya disilangkan di dada, dan digerak-gerakkan barang sesaat. Maka dalam waktu singkat, kedua telapak tangannya sampai sebatas siku terlihat bercahaya merah.

"Hei? Bukankah itu pukulan Tapak Setan" seru salah seorang dengan wajah kaget.

"Ya! Mungkinkah dia ada hubungannya dengan Iblis Gembel?" sahut yang lain.

Namun belum sempat mereka menghubung-hubungkan pemuda itu dengan seorang tokoh sesat yang telah puluhan tahun menghilang dari dunia persilatan, mendadak...

"Heaaa...!" Disertai teriakan keras menggelegar, Respati menghentakkan kedua tangannya yang telah bercahaya merah ke depan. Maka seketika meluncur sinar yang bagaikan lidah api menyambar orang-orang di depannya.

Wuusss...! Glarrr...!

"Aaa...! Seketika terdengar pekikan kematian. Beberapa orang roboh dengan tubuh hangus seperti terbakar.

Dan ketika Setan Gembel kembali mengumbar pukulannya, korban kembali berjatuhan. Orang-orang yang mengeroyok kini mulai gentar. Dan di antaranya ada yang lari ketakutan. Sementara beberapa tokoh persilatan menggabungkan kekuatan mereka, langsung membalas pukulan yang bernama Tapak Setan itu.

"Heaaa...!"

Wusss...!

Namun Setan Gembel tidak tinggal diam. Langsung kedua tangannya menghentak kembali, memapak. Terdengar suara keras ketika terjadi benturan keras beberapa tenaga dalam tinggi. Lima orang tokoh silat tadi terpental ke belakang. Dan dari mulut mereka meleleh darah segar akibat benturan tadi. Sedang Setan Gembel sedikit terhuyung-huyung ke belakang. Napasnya turun naik sesaat, namun dalam waktu singkat telah kembali seperti biasa.

"Sekarang kalian rasakan pembalasanku!" desis Respati geram, siap menghabisi kelima lawannya.

Tapi baru saja pemuda itu hendak mengangkat sebelah tangan untuk mengerahkan pukulan Tapak Setan kembali, mendadak...

"Kisanak! Cukup sudah sepak terjangmu. Dan, jangan lagi kau membuat korban!"

"Hmm...!" Respati menggumam tak jelas ketika terdengar suara teguran dari belakangnya.

ENAM

Setan Gembel berbalik. Matanya langsung menyorot tajam pada pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung yang telah berdiri di hadapannya. Pergilah, Kisanak! Jangan ikut campur urusan orang! Apakah kau tidak sayang jiwamu? ujar Respati tanpa tekanan.

Pemuda tampan berbaju rompi putih yang tak lain Rangga yang di kalangan persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum kecut.

"Kisanak pun tak perlu merisaukan diriku. Aku tahu, bagaimana menjaga diriku sendiri. Tapi alangkah baiknya bila kau menghentikan sepak terjangmu. Dengan apa yang kau perbuat hari ini, jelas semua orang akan berusaha untuk membunuhmu," sahut Rangga tenang.

Pendekar Rajawali Sakti yang telah mendengar sepak terjang Setan Gembel setelah diberi tahu Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin memang merasa berkewajiban untuk menghentikannya. Dan dari bicara serta tatapan Setan Gembel, Rangga telah menarik kesimpulan kalau pemuda itu selalu meremehkan lawan bicaranya. Dan hal itu tidak lain karena Respati merasa sebagai seorang tokoh yang tidak terkalahkan.

"He he he...! Pintar juga bicaramu. Tapi aku yakin, kau lebih pintar memilih keselamatan dirimu sendiri. Sebab bila coba mengusikku, maka nasibmu tidak akan lebih baik ketimbang mereka!" ancam Respati, yakin.

"Setan Gembel! Aku hanya memberi kesempatan sekali saja. Sudah cukup korban berjatuhan karena ulahmu. Dan jangan ditambah lagi. Kau harus menyerahkan diri menerima hukuman. Kalau tidak, terpaksa aku yang harus menangkapmu?" jelas Rangga tak kalah gertak.

"Kau ingin menangkapku? Ha ha ha...!" Setan Gembel tertawa mengejek.

"Kalau begitu..., heaaa...!"

Dengan teriakan keras, Respati melayangkan satu tendangan keras ke wajah. Namun dengan sigap, Pendekar Rajawali Sakti menarik kaki kanannya ke belakang dengan tangan mengibas ke atas.

"Baru saja benturan terjadi, kaki Setan Gembel yang terpapak telah kembali meluncur. Kali ini sasarannya tulang rusuk Pendekar Rajawali Sakti. Namun cepat sekali Pendekar Rajawali sakti menurunkan tangannya dan mengibaskannya ke samping.

Begitu kembali terjadi benturan, Rangga memutar tubuhnya. Lalu dengan satu kemposan, kaki kirinya sudah melayang melepas tendangan setengah lingkaran.

"Uts!" Tendangan itu lewat di atas kepala ketika Setan Gembel merendahkan tubuhnya dengan gerakan cepat sekali.

"He he he...! Boleh juga kepandaianmu. Tapi jangan kira dengan begitu kau sudah merasa menang!" leceh Setan Gembel.

"Aku tidak butuh kemenangan darimu, Setan Gembel. Aku hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu pada orang yang pantas untuk memberi hukuman," tandas Pendekar Rajawali Sakti, mantap.

"He he he...! Kau betul-betul bodoh dan menyia-nyiakan kehidupanmu sendiri, Kisanak!"

"Akan kita lihat, siapa sebenarnya yang menyia-nyiakan hidupnya. Kau ataukah aku!" sahut Rangga tenang.

"Huh!" Setan Gembel mendengus geram. Kedua tangannya cepat disilangkan di dada. Wajahnya tampak geram penuh amarah.

"Kau akan mampus, Kisanak!" desis Respati.

"Apakah dengan menggunakan pukulan Tapak Setan kau kira bisa lolos dari incaranku?" kata Rangga.

"Kau akan tahu setelah nanti sampai di akhirat!" Setelah berkata begitu, Setan Gembel melompat menerjang.

"Heaaat...!" Tidak seperti menghadapi keroyokan tadi, kali ini Respati tidak mengumbar pukulan. Agaknya dia hendak menyerang dari jarak dekat, karena menyadari kalau pemuda ini memiliki gerakan gesit. Sehingga mudah sekali pukulannya dihindari.

Rangga yang menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib mulai merasakan tekanan yang dilancarkan Setan Gembel. Dan dia merasa tidak boleh gegabah. Malah sebisa mungkin menghindari setiap pukulan serta tendangan yang dilancarkan lawan.

He he he...! Kau mulai ketakutan, Kisanak! Kematianmu sebentar lagi. Maka, berdoalah sebelum aku mencabutnya!" ejek Setan Gembel.

"Tak ada yang bisa menentukan kematianku, kecuali Yang Maha Kuasa. Dan aku jadi khawatir, ucapanmu malah sebaliknya," balas Pendekar Rajawali Sakti.

"Huh! Kau akan mampus sekarang juga!" dengus Setan Gembel.

"Heaaa...!" Diiringi satu bentakan keras, kedua telapak tangan Respati menghentak ke arah Rangga pada jarak kurang dari tiga langkah. Gerakannya cepat bukan main.

Tapi yang dihadapi adalah Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar berkepandaian tinggi yang sudah banyak makan asam garam. Tak heran kalau sejak tadi Rangga telah bersiap dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan. Maka begitu melihat lidah api meluncur dari telapak Setan Gembel. Pendekar Rajawali Sakti cepat menghentakkan tangannya, memapaki.

"Aji Guntur Geni! Heaaa.?!"

"Aaakh...!"

Rangga dan Respati sama-sama terlempar ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti mampu bangkit dengan sigap mesti kedua bahunya turun naik menandakan bahwa pernapasannya tengah tersengal. Mukanya sesekali berkerut menahan rasa sakit. Dan dari sudut bibirnya menetes darah segar.

Sebaliknya Setan Gembel menderita luka yang cukup parah. Pemuda itu jatuh berguling-gulingan sambil berteriak kesakitan. Dari mulutnya beberapa kali memuntahkan darah kental bercampur kehitam-hitaman. Dia berusaha bangkit, namun kembali terjatuh.

Sementara itu, orang-orang yang melihat kejadian ini terkesiap. Mula-mula mereka takut-takut. Tapi setelah mengetahui kalau Setan Gembel tengah tidak berdaya, salah seorang berteriak pada yang lainnya.

"Bunuh Setan Gembel! Ini kesempatan baik. Dia tengah tidak berdaya!"

Teriakan itu disambut yang lain dengan penuh semangat. Maka mereka yang tadi lari pontang panting ketika Setan Gembel mengamuk, seperti punya kesempatan untuk melampiaskan sakit hatinya.

Respati memang tidak berdaya. Namun pemuda itu sepertinya tidak gentar menghadapi keroyokan. Dia berusaha untuk duduk bersila dengan kepala tertunduk. Gerakannya lemah, seperti tidak bertenaga.

"Heaaa...!"

"Awas...! Minggiiir...!"

Pada saat yang gawat bagi Setan Gembel, mendadak terdengar derap langkah kaki kuda disertai teriakan keras. Orang-orang yang hendak menghabisi Respati seketika buyar, menyelamatkan diri. Kalau tak ingin dilanggar seekor kuda yang ditunggangi satu sosok tubuh berpakaian ketat warna hitam! Kuda itu terus berlari kencang, menuju sosok Setan Gembel.

Begitu penunggang kuda itu melewati Respati, pununggang kuda itu segera menambah lari kudanya. Dan saat itu juga, tubuh Setan Gembel telah raib dari tempatnya semula.

"Heh?! Ke mana dia?!"

"Hilang? Tidak mungkin...!"

Orang-orang yang ada di tempat ini kaget dan mulai sibuk mencari-cari. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri pada tempatnya, dengan pandangan tetap tertuju ke arah Setan Gembel lenyap tadi. Baru kemudian pandangannya berbalik pada mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan utama. Diam-diam dia mengerahkan aji Tatar Netra untuk mengenali sosok penunggang kuda tadi yang telah menyelamatkan Setan Gembel.

"Kisanak... Aku atas nama kawan-kawan mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan...."

Pendekar Rajawali Sakti menoleh saat mendengar suara dari belakangnya. Tampak kelima orang yang tadi sempat dihajar Setan Gembel.

"Namaku Setiaji..." lanjut yang bicara tadi.

Rangga menaksir usia laki-laki ini mungkin sebaya dengannya. Tapi empat orang lainnya berusia paling tidak, sudah kepala empat.

"Aku Rangga...."

"Ya! Kami tahu, kau adalah Pendekar Rajawali Sakti...!" tukas Setiaji.


"Terima kasih. Tapi aku...."

"Harap jangan menolak! Kau harus istirahat barang beberapa waktu untuk menyembuhkan luka dalam yang kau derita saat ini!" tukas salah seorang.

"Benar! Lebih baik ikut kami sebelum luka yang kau derita semakin parah!" timpal Setiaji.

Rangga berpikir beberapa saat sebelum menyatakan persetujuannya lewat anggukan. Baru saja mereka melangkah beberapa tindak, mendadak beberapa orang bergerak mengerumuni peti mati yang tertinggal di jalan utama. Peti mati dari kayu jati, milik Setan Gembel.

"Kuburkan saja peti ini!" teriak salah seorang.

"Tidak! Sebaiknya bakar. Barangkali, setelah dibakar Setan Gembel akan terus sial!"

"Ya, betul! Sebaiknya dibakar saja!"

Rangga kembali melanjutkan langkah diiringi Setiaji dan tiga orang kawannya. Mereka tak ingin memusingkan soal peti mati. Biarlah para penduduk yang mengurusnya.

********************

"Ohh...!" Suara keluhan terdengar saat Respati tersadar. Matanya terbuka namun pandangannya masih samar-samar. Beberapa saat setelah mengerjap-ngerjapkan mata, mulai terlihat batu-batu karang yang mencuat dari permukaan bumi ataupun yang menjorok ke bawah dari langit-langit ruangan.

Pemuda itu mencoba bangkit berdiri namun kepalanya terasa berat. Dan pandangannya kembali berkunang-kunang. Namun sebelum tubuhnya sempat jatuh terhempas kembali seseorang telah menahannya.

"Jangan bangkit dulu, Kakang. Kau tengah terluka parah...!" ujar orang yang menahannya dengan suara merdu.

"Siapa kau?" tanya Respati, penuh tatapan menyelidik.

Setan Gembel memutar pandangan. Lalu matanya mengerjap-ngerjap untuk menegaskan pandangan.

"Kau..., kau...."

"Kau masih mengenaliku, Kakang?" tukas suara itu lembut.

Laki-laki berbaju compang-camping dan penuh tambal itu memalingkan muka sambil mendesah pelan. "Kaukah yang menolongku, Lembayung...?"

"Betul, Kakang Respati!"

"Kenapa kau lakukan itu? Bukankah sebenarnya kau senang kalau melihatku mati?" desis Respati dengan senyum kecut.

"Kakang, jangan berkata begitu! Siapa bilang aku menghendaki kematianmu?!" seru gadis yang dipanggil Lembayung cepat.

Pemuda itu terdiam beberapa saat. Pandangan matanya lurus ke arah langit-langit ruangan yang kusam. Di beberapa tempat terlihat sarang laba-laba.

"Tapi kau sangat menghendaki kematian Kemala..." gumam Respati, suaranya terdengar galau.

"Aku tahu, dia kakakmu, Kakang! Tapi kenyataannya, Kak Kemala terlalu mengumbar nafsunya. Gampang tergoda oleh rayuan laki-laki."

"Cabut kata-katamu, Lembayung! Kakakku Kemala kini telah mati akibat sering dikhianati. Dia mati bunuh diri! Dan aku harus membalas pada orang-orang yang mengkhianatinya!" teriak Respati, dengan nada tinggi.

"Tapi sekarang, tindakanmu sudah terlalu jauh..." desah Lembayung.

"Mereka sendiri yang menginginkan kematiannya. Lantas, apa aku salah kalau harus membela diri?" tukas Respati.

"Tapi kau terlalu kejam dan jumawa."

"Itu urusanku!"

Lembayung langsung terdiam mendengar bentakan Respati. Sungguh dia tak mengira kalau pemuda ini telah benar-benar berubah. Sepuluh tahun yang lalu dia mengenal Respati sebagai pemuda ramah, lembut, sopan, dan penuh tata krama. Tapi sekarang? Respati kini tak lebih dari seorang pemuda brangasan dan jumawa.

Gadis ini dulu mengenal Respati dan Kemala sebagai anak seorang adipati dari Kadipaten Sega-rawedi yang termasuk wilayah Kerajaan Linggapura. Mereka bertiga sama-sama menimba ilmu olah kanuragan di perguruan yang sama. Perguman Kilat Kencana.

Sejak itu hubungan mereka kian akrab. Bahkan antara Respati dan Lembayung telah tertanam benih-benih cinta. Sementara Kemala hanya berguru selama dua tahun saja, karena menikah dengan seorang tokoh persilatan.

Namun sejak Kemala diketahui telah bunuh diri akibat ditinggal suaminya, hubungan cinta Respati dan Lembayung terpenggal di tengah jalan. Respati yang amat mencintai kakaknya, menjadi marah terhadap orang-orang yang mengkhianati kakaknya. Dia merasa orang-orang itu harus bertanggung jawab. Oleh sebab itu pemuda ini berniat membalas dendam.

Tentu saja dengan kepandaian yang belum se-berapa Respati merasa belum mampu mengalahkan mereka. Maka sejak itu Respati pamit pada Lembayung untuk pergi ke Hutan Rogo Jembangan, yang katanya akan berguru pada Iblis Gembel.

Semula Lembayung tak mengizinkan. Tetapi, tekad Respati telah bulat tanpa bisa digugat. Akhirnya dengan berat hati, Lembayung mengizinkannya. Sambil terus berlatih ilmu kadigdayaan di Perguruan Kilat Kencana, Lembayung bertekad menunggunya.

Lembayung yang merupakan anak seorang kepala desa yang berada di wilayah Kadipaten Segarawedi, akhirnya tak kuasa menunggu Respati. Apalagi sejak sepuluh tahun kepergian Respati, hampir tak ada kabar berita. Maka ketika ada pinangan dari Gusti Pangeran Kerajaan Linggapura, atas desakan orangtuanya, Lembayung meneriman pinangan itu. Walaupun, sebenarnya gadis itu masih mencintai Respati.

Dan baru beberapa hari Lembayung menikah, terdengar kabar kalau saat ini terjadi keresahan di mana-mana oleh munculnya seorang tokoh berjuluk Setan Gembel. Mendengar nama itu, Lembayung teringat pada Iblis Gembel. Mengingat Iblis Gembel, gadis ini langsung teringat Respati. Maka dengan menyuruh pembantunya yang bernama Mayong, Lembayung terus memata-matai Respati alias Setan Gembel.

"Apa ini...?" tanya Respati dengan nada curiga, ketika Lembayung mengangsurkan cawan berisi ramuan.

"Kau curiga padaku? Kau menyangka aku meracunimu? Kalau memang aku menginginkan kematianmu, telah sejak tadi kulakukan," tukas Lembayung.

"Maaf, aku tidak bermaksud begitu...."

"Minumlah. Ramuan obat ini akan memulihkan luka dalammu...." Tanpa banyak bicara Respati menenggak ramuan obat itu sampai habis.

"Duduklah bersila. Akan kubantu kau mem-bangkitkan tenaga dalammu kembali," lanjut gadis itu seraya duduk bersila di belakang Respati.

Tanpa banyak bicara pemuda itu mematuhi-nya. Sementara Lembayung segera menarik napas panjang. Lalu kedua telapak tangannya ditempelkan erat-erat ke punggung Respati. Beberapa saat lamanya mereka dalam keadaan demikian. Wajah pemuda itu beberapa kali berkerut. Keringat sebesar butiran jagung keluar dari seluruh pori-pori di tubuhnya. Demikian pula halnya Lembayung.

"Hufff...!" Gadis itu menghela napas panjang ketika me-nyudahi penyaluran tenaga dalam ke tubuh Respati. Mukanya sedikit pucat. Dan sesaat dia mengatur pernapasan. Sementara Respati batuk-batuk kecil disertai percikan cairan merah agak kehitam-hitaman.

"Kurang ajar! Pukulan orang itu ternyata hebat sekali!" maki Respati geram.

"Sudahlah, Kakang. Tidak lama lagi kau akan sembuh..." hibur gadis itu.

"Terkutuk! Tidak semudah itu. Si keparat itu telah memunahkan ilmu kebalku. Sehingga, kini aku sama dengan yang lainnya!" maki Respati lagi.

"Masih untung ilmu kebalmu hebat. Sebab kalau bukan karena itu, kau sudah binasa...."

Kau memang benar. Siapa sebenarnya orang itu...?"

"Apakah kau benar-benar tidak mengenalnya?"

Respati menggeleng lemah.

"Dialah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti."

"Pendekar Rajawali Sakti? Hm, pantas! Namanya selama ini sering dibicarakan orang. Dan kepandaiannya ternyata tidak jauh berbeda dari yang pernah kudengar...."

"Dia memang hebat, Kakang. Untuk saat ini memang sulit mencari tandingannya...."

Mendengar itu Respati tersenyum. "Kau kira begitu? Aku belum merasa kalah olehnya. Dia akan mati olehku!" desis Respati.

"Apa maksudmu, Kakang? Kau ingin membunuhnya?" wajah gadis itu tampak cemas mendengar tekad Respati.

"Dia harus mati di tangan Setan Gembel!" desis pemuda ini seraya mengepalkan kedua tangan.

"Kakang! Lebih baik kau urungkan niatmu itu. Kau akan tewas di tangannya...!" seru Lembayung dengan wajah cemas.

"He, bicara apa kau?!" dengus Respati dengan wajah geram.

"Kakang! Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh sembarangan! Lebih baik jangan berurusan dengannya...," pinta Lembayung dengan suara penuh harap.

"Tutup mulutmu! Aku bukan Respati yang dulu. Aku si Setan Gembel murid Iblis Gembel! Mana mungkin bisa dikalahkannya. Kau tidak usah menguruaku!" dengus pemuda ini seraya bangkit dan bergegas keluar dari tempat itu.

"Kakang! Mau ke mana kau?! Kau masih terluka! Jangan terlalu banyak bergerak!" seru Lembayung, segera mengejarnya keluar dengan wajah khawatir.

"Lembayung! Jangan campuri urusanku! Pergi kau!" bentak Respati seraya berlari cepat meninggalkan gua yang tadi ditempati.

Lembayung berdiri di mulut gua seraya memandangi kepergian pemuda itu dengan pandangan sayu. Respati memang telah berubah. Tidak lagi seperti dulu. Sekarang dia kelihatan kasar, sombong, dan tidak tahu berterima kasih. Beda betul dengan Respati yang pendiam, rendah hati, dengan tutur kata penuh sopan santun.

********************

TUJUH

Seorang pemuda berpakaian ketat warna hitam melompat turun dari kudanya dan langsung menjura hormat pada Lembayung.

"Hormat hamba, Tuan Putri..." ucap pemuda itu.

"Mayong! Kita berada dalam penyamaran! Tinggalkan segala peradatan istana! Panggil aku seperti yang telah kuperintahkan," ujar Lembayung mengingatkan.

"Baik, Tu..., eh! Nona Lembayung" sahut pemuda yang tak lain Mayong, pengawal sekaligus mata-mata Lembayung.

"Aku telah membawa obat-obat yang Nona Lembayung perintahkan."

"Percuma saja kau bersusah payah mencari obat itu, Mayong" desah Lembayung, wajahnya berubah mendung seketika.

"Kenapa, Nona?"

"Dia telah pergi...."

"Respati?

Gadis itu mengangguk. Lalu dia melangkah untuk mengambil caping bambunya. "Sudahlah. Ayo!" ujar Lembayung seraya mengenakan capingnya.

"Baik, Nona!"

"Bagaimana keadaan di luaran sana?" tanya gadis bercaping ini seraya beranjak ke dalam gua.

Mayong mengikuti setelah menambatkan kudanya di tempat yang tersembunyi. "Prajurit-prajurit kerajaan dikerahkan untuk mencari Nona...."

"Gusti Pangeran juga turut mencari?" tanya Lembayung khawatir.

"Benar, Nona!"

Gadis itu terdiam seraya membenahi barang-barangnya yang ada di dalam ruangan gua.

"Apakah Nona tidak berkenan di tempat ini?" tanya Mayong.

"Ya. Kita akan pindah, Mayong."

"Ke mana lagi, Nona?"

Gadis itu menoleh dan tersenyum getir. "Apakah kau tidak suka kalau aku kembali ke istana?"

"Oh! Nona hendak kembali?! Tentu saja aku senang! Aku senang sekali, Nona!" seru Mayong. Gadis itu mengangguk pelan. "Gusti Pangeran tentu akan senang sekali! Tapi..., tapi apa alasan kita bila bertemu beliau?" tanya Mayong, dengan suara ragu seraya memandang majikannya.

"Katakan saja kalau kita diculik seseorang...."

"Diculik seseorang? Bagaimana mungkin, Nona? Istana keputren dijaga ketat. Bagaimana mungkin seorang penculik bisa masuk tanpa diketahui prajurit? Lalu, untuk apa dia menculik Nona?"

"Gadis itu tersenyum melihat wajah Mayong yang kelihatan kusut karena pikirannya berkecamuk.

"Itu soal mudah. Serahkan saja padaku."

"Tapi..., tapi bagaimana kalau aku pun ditanya?" tanya Mayong lagi.

"Mayong! Aku akan katakan bahwa kita diculik Setan Gembel...."

"Respati? Apakah Nona hendak mencelakainya? Ah, aku jadi pusing sendiri memikirkan semua itu. Nona lari dari istana karena ingin bertemu dengannya. Dan kini tiba-tiba menginginkan orang itu ditangkap," keluh Mayong dengan dahi berkerut, memikirkan jalan pikiran majikannya.

"Itu dulu, Mayong. Kau mungkin benar, bahwa Respati kini telah banyak berubah. Dia bukan lagi Respati yang kita kenal dulu saat di Perguruan Kilat Kencana. Kau pun dulu tahu, bagaimana sifatnya. Tapi sekarang? Dia tak lebih dari manusia pongah berhati batu. Dia harus ditangkap dan dihukum mati!" desis gadis itu.

"Oh, begitukah? Syukurlah kalau memang Nona telah sadar..." sahut Mayong lagi. Bibirnya bisa menyungging senyum setelah mengerti sedikit, kenapa tiba-tiba majikannya yang dulu juga teman seperguruannya berubah pikiran.

"Aku ingin agar kau menghubungi Pendekar Rajawali Sakti nanti...," lanjut gadis itu seraya beranjak keluar.

"Untuk apa?" tanya Mayong sambil mengikuti majikannya.

"Bujuk dia agar mau membunuh Setan Gembel! Berikan apa pun yang dimintanya sebagai imbalan!"

"Baiklah, Nona. Akan kutemui dia nanti...."

********************

Telah semalaman Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila di atas dipan beralaskan tikar pandan, ditemani lima orang penduduk Desa Jenang yang selalu melayani kebutuhannya dengan telaten. Bahkan sambil terkantuk-kantuk mereka tetap setia menunggu dan menjaga tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga tersenyum. Pagi telah tiba. Dan hawa dingin segar telah menyeruak ke dalam ruangan. Sementara itu kelima penduduk desa itu kelihatan tidur pulas. Dua orang terlelap di kursi. Dan dua lagi berdesak-desakan di dipan kayu yang berada di dekatnya. Sementara yang seorang terlelap dengan kedua tangan bertelekan pada tepi dipan yang didudukinya saat ini.

Pendekar Rajawali Sakti merasa tubuhnya lebih segar setelah beberapa kali memuntahkan darah kental sedikit kehitaman. Untungnya Setiaji telah membuat ramuan obat yang bisa memulihkan peredaran darah serta menyembuhkan luka dalamnya dengan cepat. Masih untungnya lagi, Rangga memiliki tenaga dalam tinggi sehingga mampu bertahan dari hantaman pukulan yang menghajar dadanya.

Tengah larut dalam lamunannya, Setiaji terjaga dan menguap panjang. "Astaga! Kau tidak tidur semalaman, Sobat?" seru Setiaji kaget.

"Tidak. Dalam keadaan begini, sama artinya tidur..." sahut Rangga.

"Bagaimana keadaan lukamu?" tanya Setiaji kembali seraya membangunkan keempat kawannya.

"Sudah agak lebih baik..."

"Syukurlah. Akan kusuruh istriku membuat ramuan lagi. Setelah sarapan, kau harus meminumnya agar lukamu cepat sembuh."

"Terima kasih, Sobat"

Setiaji beranjak ke dalam. Sementara keempat kawannya menyusul satu persatu. Rumah ini sebenarnya milik Setiaji. Dia hanya tinggal berdua bersama istrinya. Adapun keempat kawannya itu tinggal tidak begitu jauh. Namun, mereka sering berkumpul di sini. Bahkan pada malam-malam tertentu mereka berlatih ilmu olah kanuragan bersama. Semua itu diceritakannya pada Rangga tadi malam. Dan dengan penuh harap, Setiaji meminta agar pemuda ini sudi menurunkan ilmunya sedikit kepada mereka.

Setiaji dan keempat kawannya telah kembali ke tempat Rangga berada. Masing-masing di tangan mereka membawa kopi dan penganan kecil. Mereka kini telah berkumpul di ruang depan. Wajah Pendekar Rajawali Sakti itu kelihatan lebih segar daripada semalam.

"Bagaimana dengan permintaan kami semalam, Sobat? Bersediakah kau mengabulkannya?" ulang Setiaji.

Empat orang lainnya yang ada di tempat ini mengangguk-angguk seraya memandang penuh harap pada Rangga.

"Kami seperti murid-murid yang berlatih tanpa petunjuk seorang guru. Jangan-jangan malah bukan kemajuan yang diperoleh, tapi kemunduran," sahut salah seorang.

"Benar apa yang dikatakan Kang Kari, Sobat. Selama ini kami malah sering bingung, tapi tidak tahu kepada siapa harus bertanya," timpal Setiaji.

Rangga tersenyum. "Aku senang sekali mendengar kalian percaya padaku. Tapi, maaf. Dan kuharap kalian semua tidak salah paham. Aku bukanlah guru yang baik Lagipula, kehadiranku di sini tidak lama. Bagaimana mungkin bisa membimbing kalian?" jelas Rangga.

"Memang sangat disayangkan. Tapi sebagai tokoh persilatan ternama, kau pasti bisa menunjukkan barang satu atau dua jurus kesalahan-kesalahan yang kami perbuat. Dan, bagaimana seharusnya perbaikan yang harus kami lakukan..." sahut Setiaji berharap.

"Benar, Sobat. Meski seujung kuku sekalipun, kami berharap betul kau sudi membimbing!" timpal yang lain.

Rangga kembali terdiam sambil tersenyum. Dipandanginya mereka satu persatu. Wajah-wajah itu kelihatan penuh harap kepadanya. "Baiklah..." sahut Pendekar Rajawali Sakti pendek.

Serentak wajah mereka berseri mendengar jawaban pemuda itu.

"Kalian berlima memiliki ilmu silat berbeda. Apabila hal itu digabung, maka akan terlihat jurus-jurus yang saling melengkapi. Yang kurang akan ditambah oleh jurus yang lain. Nah! Sebelum kucari di mana kekurangan serta kelebihannya, maka perlihatkan padaku jurus-jurus yang kalian miliki," lanjut Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Baiklah. Kalau begitu mari kita ke belakang!" sahut Setiaji, langsung mengajak kawan-kawannya.

Tapi baru saja mereka hendak beranjak, tiba-tiba pintu depan diketuk dari luar. Buru-buru Setiaji membukakan pintu. Di situ berdiri dua sosok tubuh. Yang seorang berusia lanjut. Dan dia kenal betul, sebab orang tua itu adalah tetangganya. Sedang di sebelah orang tua itu seorang pemuda yang sama sekali asing.

"Ada apa, Ki Projo?" tanya Setiaji.

"Aduh.... Maaf, Setiaji. Tuan ini ingin bertemu denganmu," sahut laki-laki bernama Ki Projo.

"Oh, silakan masuk, Ki. Dan kau, Kisanak."

"Kalau aku langsung saja, Setiaji. Masih ada urusan lain." Setelah berkata demikian, Ki Projo segera berlalu. Setiaji tak menahannya, dan segera mengantarkan tamunya masuk.

"Menurutnya, dia ada keperluan lain..." jelas tamu yang diantar Ki Projo.

"Oh, ya? Hm.... Kisanak siapa? Dan, ada keperluan apa mencariku?" tanya Setiaji begitu mereka duduk di mangan.

"Namaku Mayong. Dan sebenarnya aku ingin bicara dengan..." Pemuda itu tidak meneruskan kata-katanya, melainkan tersenyum seraya menunjuk Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di ruangan ini bersama yang lain.

"Rangga?"

Mayong mengangguk."

"O, silakan kalau begitu!" sahut Setiaji.

Setiaji bangkit. Langsung dipersilakannya Rangga untuk duduk di dekatnya. "Apakah dia kawanmu, Sobat?" tanya Setiaji sambil tersenyum.

Rangga menggeleng perlahan. "Tidak..."

"Hm.... Kalau begitu, di mana kau kenal Rangga?" tanya Setiaji kepada tamunya.

"Aku belum pernah kenal dengannya. Ada sesuatu yang harus kubicarakan berdua dengannya. Bolehkan?" tanya Mayong sopan.

"Kenapa aku mesti percaya padamu?" sahut Setiaji, bernada curiga.

"Aku utusan kerajaan..." sahut Mayong seraya mengeluarkan lencana lambang Kerajaan Linggapura.

Melihat itu Setiaji dan keempat kawannya serentak menjura hormat. "Maafkan kami, Tuan...!" Satu persatu mereka meninggalkan ruangan ini.

"Nah, katakanlah padaku. Kepentingan apakah sehingga pihak kerajaan mengutusmu untuk menemuiku?" tanya Rangga.

"Aku adalah pengawal pribadi Kanjeng Gusti Lembayung, calon permaisuri kerajaan ini. Beliau menginginkan agar kau menangkap Setan Gembel. Hidup atau mati...."

"Menangkap Setan Gembel. Hm.... Apa urusannya dengan junjunganmu?" tanya Rangga dengan dahi berkerut.

"Harap kau tak bertanya-tanya soal ini...!" sergah Mayong.

"O, begitu...."

"Junjunganku bersedia memberi hadiah besar padamu!"

"Hadiah? Apa hadiahnya?"

"Apa saja yang kau inginkan! Harta ditambah wanita, atau kesenangan. Pokoknya, apa saja yang kau inginkan!" sahut Mayong, cepat, berharap Pendekar Rajawali Sakti tertarik untuk menyanggupi. "Asal saja kau berjanji bisa menangkap Setan Gembel. Jika kau bawa dia menghadap junjunganku dalam keadaan hidup, maka mungkin akan ada hadiah tambahan."

Rangga tersenyum tipis. Hambar sekali. Mayong memang terlalu bersemangat bercerita soal hadiah. Seolah-olah Rangga akan tertarik. Padahal yang dipikirkannya bukan itu, melainkan karena dirinya disamakan dengan pemburu hadiah yang selalu bersemangat bila mendengar iming-iming hadiah besar.

"Bagaimana, Rangga?"

"Maaf, kau salah menilai orang. Aku bukan orang yang tepat. Jika kau melihatku bertarung dengan Setan Gembel, itu semata-mata memerangi kekejamannya...."

"Ah! Kalau demikian berarti kau sependirian dengan junjunganku! Beliau pun menginginkan kematian Setan Gembel demi ketenteraman dan keamanan rakyat!" seru Mayong dengan wajah gembira.

"Begitukah? Lalu, mengapa junjunganmu harus mengiming-imingi dengan hadiah segala?" tukas Rangga.

"Tak ada seorang pun di negeri ini yang mampu mengalahkan Setan Gembel. Sedangkan kau telah terbukti nyata mampu mengalahkannya. Jika junjunganku sekadar meminta, mungkin rasanya tidak pantas. Dan hadiah itu diberikan sebagai tanda terima kasih atas kesedianmu menerima tawarannya," sahut Mayong berkelit.

Rangga tersenyum hanya dengan menarik ujung bibirnya sedikit. Dan dia bisa menilai kalau Mayong pintar bicara dan sulit dipojokkan. Dia seperti punya segudang alasan untuk menjawab semua pertanyaannya.

"Kau bersedia bukan, Rangga?" desak Mayong.

"Ada satu hal yang mengganjal pikiranku..." gumam Rangga.

"Apa itu?"

"Jika sudah mendapatkannya, kenapa malah menyuruh orang lain untuk mencarinya? Apakah ini bukan pancingan yang ditujukan padaku?" tanya Rangga seperti ditujukan pada diri sendiri.

"Hm.... Apa maksudmu, Rangga?" tanya Mayong, sedikit kaget.

"Maksudku tentu saja kalian!" tuding Pendekar Rajawali Sakti, langsung.

"Aku jadi semakin tidak mengerti...?" Mayong menggeleng dengan wajah bingung.

"Mayong! Ada kalanya kita bisa menipu seseorang dengan menunjukkan wajah palsu dan bicara yang manis. Sebagian orang akan silau melihatnya. Sedang sebagian lagi tidak. Dan aku termasuk di antara yang tidak. Kenapa kukatakan begitu? Sebab, aku mengetahui bahwa kaulah penunggang kuda kemarin. Kau membubarkan orang-orang yang hendak menghabisi Setan Gembel dengan melarikan kudamu kencang-kencang. Padahal ada jalan lain yang bisa kau tempuh..." papar Rangga dengan nada datar.

Wajah Mayong berusaha untuk tidak terkejut. Dan buru-buru dia tersenyum. "Kau tentu bercanda, Rangga! Sebab mana mungkin aku melakukan hal itu...!"

"Aku tidak bercanda. Dan untuk membuktikan bahwa aku tidak main-main, baju yang kau gunakan masih seperti kemarin. Aku pun sempat melihat rupa wajahmu...."

"Mungkin kau salah lihat, Rangga. Dan lagi ada beberapa banyak baju sepertiku di kerajaan ini...?" kilah Mayong.

Rangga tersenyum. "Aku biasa bekerja dengan orang jujur. Dan belum apa-apa, kau coba berbohong di depanku. Bagaimana mungkin aku bisa percaya padamu? Maaf, aku tidak bisa membantu kalian...!" sahut Rangga.

"Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kau tidak memandang muka sama sekali kepada junjunganku?" nada suara Mayong agak meninggi.

"Apa maksudmu?" tukas Rangga dengan dahi berkerut.

"Beliau adalah calon permaisuri di kerajaan ini. Dan kau sama sekali tidak menaruh perhatian kepada keinginannya. Perintah beliau harus bisa dilakukan. Dan bila kau membangkang, sama artinya menolak perintah. Menolak perintah Kanjeng Gusti Putri Lembayung sama artinya melanggar larangan. Dan hukumannya berat!" gertak Mayong dengan suara semakin bersemangat untuk menjatuhkan nyali Pendekar Rajawali Sakti.

"Ketahuilah, aku bukan rakyat negeri ini. Aku hanya seorang pengembara. Sebentar atau saat ini juga, aku bisa angkat kaki dari negeri ini. Jadi, jangan menakut-nakutiku dengan segala macam hukuman. Nah! Sekarang, kuminta padamu. Tinggalkan tempat ini! Jika kesabaranku habis, aku bisa berbuat kasar padamu. Tak peduli kau siapa dan dari mana!" sahut Rangga penuh tekanan.

Mayong mendengus geram. Segera dia bangkit dan keluar dari rumah ini. Masih sempat matanya menatap tajam. "Asal tahu saja! Siap-siaplah menanggung akibatnya!" ancam Mayong.

DELAPAN

"Rangga...!"

"O, kalian. Ada apa?" tanya Rangga tenang, ketika melihat Setiaji telah berdiri di depannya bersama keempat kawannya.

"Maaf kalau kami menguping pembicaraan kalian..." sahut Setiaji dengan suara lirih.

"Ah! Pembicaraan itu sendiri sifatnya bukan pribadi. Bahkan sebetulnya kalian tidak apa-apa mendengarnya."

"Tapi..."

"Tapi kenapa, Sobat? Kalian kelihatan ketakutan. Ada apa?" tanya Rangga heran.

"Rangga.... Kau tidak bersungguh-sungguh untuk menolak permintaannya, bukan?" tanya Setiaji dengan wajah cemas.

"Kalian dengar sendiri pembicaraan kami, bukan? Mula-mula dia bersikap baik dan sopan. Tapi ketika mengetahui keinginannya mulai tidak terkabul, dia menunjukkan watak aslinya. Orang itu mulai mengancam. Dan aku paling tidak suka diancam," tegas Rangga.

"Tapi..., bagaimana dengan kami? Bila kau di sini mungkin kami merasa sedikit aman. Tapi mana bisa kami menahanmu lama-lama di sini? Dan setelah kau pergi, para prajurit kerajaan pasti ke sini untuk menangkap kami...!" keluh Setiaji.

"O, jadi itukah yang kalian takutkan?" tanya Rangga sambil tersenyum. Kelima orang itu mengangguk cepat. "Tidak usah khawatir. Aku kenal penguasa di negeri ini. Biar kutulis surat. Dan salah seorang dari kalian harap menyampaikannya."

"Oh, betulkah?!" seru Setiaji dan keempat kawannya dengan wajah kaget.

Mereka memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah tidak percaya. Tapi Rangga tidak banyak berkata apa-apa lagi. Dimintanya alat-alat tulis. Lalu pemuda ini mulai menulis sepucuk surat.

Baru saja Rangga selesai menulis surat, mendadak pendengarannya yang tajam merasakan desir angin kencang yang menerobos dari jendela ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Sambil menarik badannya ke belakang, tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak lincah ke depan.

"Rangga...! Ah, untung saja!" seru Setiaji kaget.

Tahu-tahu di antara jari telunjuk dan tangan Pendekar Rajawali Sakti, terselip sebatang anak panah yang menerobos lewat jendela rumah ini.

"Kurang ajar!" Salah seorang teman Setiaji langsung melompat keluar. Sementara dua kawannya segera mengikuti.

"Tidak perlu! Orang itu pasti telah kabur. Dia hanya ingin menyampaikan ini padaku...," ujar Rangga, seraya membuka gulungan surat pada batang panah itu.

"Apa isi surat itu, Rangga?" tanya Setiaji dengan wajah penasaran.

"Tantangan..."

"Tantangan dari siapa?"

Rangga tidak menjawab. Tapi, diserahkannya surat itu pada Setiaji. Dan Setiaji serta seorang kawannya membaca isi surat itu dengan cepat.

Temui aku di lereng Bukit Gamus pada tengah malam. Kita selesaikan urusan yang tertunda.

Setan Gembel


"Setan Gembel?!" desis Setiaji memandang tajam kepada pemuda di depannya.

"Ya...," sahut Rangga, pendek.

"Tapi luka dalam yang kau derita belum sembuh benar, Sobat?"

"Tidak usah cemas. Sebelum tengah malam, aku akan merasa lebih baik. Dan, jangan lupa! Dia pun terluka lebih parah ketimbang aku," ingat pemuda itu seraya tersenyum manis.

"Jadi kau betul-betul ingin memenuhi tantangannya?" tanya Setiaji.

"Aku pantang menolak tantangan seseorang!"

Wajah Setiaji dan kawannya kelihatan masyghul. Dan ini dapat dirasakan Pendekar Rajawali Sakti kalau mereka mencemaskan dirinya. Sementara itu ketiga kawan Setiaji kembali masuk dengan wajah kecewa.

"Sudah kami cari-cari, tapi tidak ada seorang pun yang mencurigakan...," lapor salah seorang.

Setiaji tidak menyahut, melainkan menyerahkan isi surat dalam anak panah itu tadi pada kawan-kawannya. Mereka membaca dengan dahi berkerut, lalu memandang Pendekar Rajawali Sakti.

"Apakah kau akan menerima tantangannya, Rangga?" tanya yang berpakaian hijau.

Rangga mengangguk.

"Tapi kau masih terluka dalam...?" lanjut laki-laki berpakaian hijau.

"Tidak apa, Jureng! Nanti juga akan sembuh...," sahut Rangga, tenang.

Rangga mengambil surat yang tadi baru saja selesai dibuatnya, kemudian mengacungkannya ke atas. "Siapa di antara kalian yang bersedia memberikan surat ini kepada Gusti Prabu Jatranta?"

"Biar aku saja!" sahut yang berbaju merah.

"Terima kasih, Barin! Sampaikan salam hormatku pada beliau," ujar Rangga seraya menyerahkan surat itu.

"Baiklah...." Laki-laki berbaju merah yang dipanggil Barin segera bergegas keluar dari ruangan ini.

Sementara itu Rangga segera mengajak yang lainnya ke belakang. Mereka hendak melanjutkan rencana yang tadi sempat tertunda. Pemuda itu kelihatan tenang-tenang saja seperti tidak ada kejadian apa-apa. Padahal Setiaji dan kawan-kawannya sudah tidak merasa tenang oleh dua kejadian berturut-turut yang dialami tadi.

********************

Malam ini tepat bersamaan dengan pertengahan bulan. Kini purnama muncul perlahan, memantulkan cahayanya ke bumi. Bagi sebagian tempat lain mungkin pemandangan ini terasa indah dan menyejukkan hati. Namun di lereng Bukit Gamus tetap saja menyeramkan. Selain alamnya tak ramah, juga banyak dihuni ular-ular berbisa dan hewan buas lainnya.

Pendekar Rajawali Sakti periahan-lahan mendaki lereng bukit ini dengan menajamkan pandangan serta pendengaran. Tiba di suatu tempat yang agak lapang, Rangga berhenti dan berdiri tegak sambil melipat kedua tangan di dada. Cahaya bulan menerangi sebelah tubuhnya. Dengan begitu dia berharap Setan Gembel tidak kesulitan menemukannya.

"Ha ha ha...! Kau memang pemberani, Pendekar Rajawali Sakti!"

"Hmm...!" Rangga bergumam tak jelas ketika terdengar suara yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan hitam. Dan tahu-tahu di depannya para jarak enam langkah berdiri satu sosok tubuh berpakaian compang-camping. Rambutnya panjang kusut masai. Tatapannya dingin menggetarkan.

"Kenapa aku mesti merasa takut padamu, Setan Gembel?" sahut Rangga seraya memperhatikan sosok yang tak lain memang Setan Gembel.

Diam-diam Rangga sedikit terkejut melihat keadaan Setan Gembel. Menurut perhitungannya tentu, pemuda itu masih menderita luka dalam yang cukup berat. Dan itu akan terpancar di wajah serta sorot matanya. Sebagai tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja Rangga bisa menilai.

"Bagaimana, Pendekar Rajawali Sakti? Jadi kita melakukan pertarungan?" tanya Respati, menantang.

"Setan Gembel! Aku punya beberapa pertanyaan. Bersediakah kau menjawabnya sebelum kita bertarung?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa itu?"

"Peti matimu kenapa kau tinggalkan di Desa Jenang?"

"Aku sudah tak membutuhkannya lagi!"

"Kenapa?"

"Dendamku telah tuntas!"

"Bukankah peti mati itu berisi mayat kakakmu?" pancing Rangga. "Dan peti itu kini telah dibakar penduduk."

"Siapa bilang peti itu berisi mayat kakakku? Di dalamnya hanya berisi bangkai kambing."

"Kenapa mesti kau bawa-bawa?"

"Hanya untuk menggertak pada orang-orang yang telah berkhianat pada kakak perempuanku. Puas? Nah! Sekarang mari kita bertarung!"

"Apakah kau dalam keadaan sehat lahir batin?" tukas Rangga.

"Keparat sombong! Kematianmu telah di depan mata. Masih juga kau mengigau!" bentak Setan Gembel.

"Heaaa...!" Disertai bentakan nyaring, tubuh Respati berke-lebat melepas pukulan bertubi-tubi.

Rangga langsung mengerahkan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Tubuhnya meliuk-liuk indah, terkadang condong ke depan, terkadang ke belakang sejajar tanah. Semua gerakannya ditunjang oleh permainan kaki yang lincah. Sehingga tak satu pun serangan yang berhasil menyentuh tubuhnya. Kendati demikian, tubuhnya sempat merasakan satu pusaran angin kencang yang membuat panas kulitnya seperti tersengat.

Melihat serangan selalu gagal, Respati menjadi murka bukan kepalang. Dia menganggap Pendekar Rajawali Sakti telah meremehkan dirinya. "Bangsat! Apa kebisaanmu hanya menghindar?!"

Belum juga gema bentakannya hilang, Setan Gembel sudah kembali melanjutkan pertarungan. Kali ini serangannya lebih cepat dan berbahaya, mengancam tujuh jalan kematian di tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Melihat hal ini, Rangga tak mau ayal-ayalan lagi. Tubuhnya mencelat ke belakang. Begitu mendarat, jurusnya segera dirubah dengan gabungan dari lima rangkaian jurus Rajawali Sakti.

Kini pertarungan tingkat tinggi tak dapat ter-elakkan lagi. Berlangsung cepat dan mematikan. Masing-masing sudah menggelar jurus-jurus tingkat tinggi. Begitu cepat gerakan mereka, sehingga yang terlihat hanya kelebatan-kelebatan bayangan yang kadang saling terjang, lalu sama-sama terpental.

"Heaaa...!" Setan Gembel agaknya mulai mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan. Maka sebentar saja, kedua tangannya telah berwarna merah. Dan saat itu juga, kedua telapak tangannya menghentak ke depan.

Pendekar Rajawali Sakti cepat berkelit gesit ketika dari kedua telapak Setan Gembel meluncur lidah api. Pukulan yang diketahui Rangga bernama Tapak Setan itu langsung menghantam sebuah pohon hingga tumbang dalam keadaan hangus, menimbulkan suara berderak ribut. Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti memuji kedahsyatan pukulan Tapak Setan milik Setan Gembel. Namun bukan berarti nyalinya langsung ciut.

"Ayo, keluarkan pukulanmu! Atau kebisaanmu hanya main kucing-kucingan? Tunjukkan kehebatanmu, Pengecut!" teriak Setan Gembel dengan suara lantang.

"Jangan terlalu memaksaku, Setan Gembel. Masih ada kesempatan bagimu untuk bertobat. Ingat! Ini peringatanku yang terakhir..." sahut Pendekar Rajawali Sakti penuh tekanan.

"Bangsat! Telan kata-katamu ke dalam perut busukmu! Aku tak butuh nasihat dari orang-orang yang sok pahlawan! Heaaa...!" Setan Gembel terus mengumbar seluruh kemampuannya untuk menghabisi Pendekar Rajawali Sakti secepat mungkin.

Namun dengan kelincahannya Rangga selalu saja mampu menghindar. Bahkan diam-diam tenaga dalamnya mulai dikerahkan, mengingat Setan Gembel sepertinya memang menginginkan kematiannya.

"Heaaaa...!"

"Hup...!" Baru saja Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari serangan dengan melenting ke belakang dan mendarat manis di tanah, Setan Gembel telah menghentakkan kedua tangannya, menyerang dengan kekuatan penuh.

Rangga cepat merenggangkan kedua kakinya. Langsung dibuatnya beberapa gerakan tubuh dan tangan, ke kiri kanan. Tepat ketika tubuh Pendekar Rajawali Sakti tegak, kedua tangannya telah terselubung sinar biru berkilau. Dan setengah tombak lagi sinar merah yang keluar dari telapak Setan Gembel menghantam...

"Aji Cakra Buana Sukma" bentak Pendekar Rajawali Sakti nyaring, sambil menghentakkan kedua tangannya.

Blaarrrr...!

Suara ledakan dahsyat terdengar disertai bongkahan api tercipta, saat sinar biru dari telapak Pendekar Rajawali Sakti menghantam sinar merah milik Setan Gembel. Seketika tempat itu dipenuhi asap tebal. Sinar merah langsung pecah ke segala arah. Namun sinar biru terus meluncur dahsyat ke arah Setan Gembel. Dalam lingkaran asap tebal, masih bisa terlihat kalau sinar biru itu tak ampun lagi menghajar pemuda bernama Respati. Dan....

Blaaarrrrr...!

"Aaa...!" Terdengar suara jeritan menyayat. Sesaat Respati berdiri tegak, lalu terlihat ambruk tak berdaya. Sebagian tubuhnya terlihat hitam laksana arang. Sebenarnya keadaan itu masih bagus. Karena bagi orang yang memiliki tenaga dalam tak setangguh Respati, pasti tubuhnya akan hancur berkeping-keping dalam keadaan gosong.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti jatuh berlutut. Kelihatan terkulai seperti tidak bertenaga. Dari lubang hidung dan bibirnya meleleh darah kental sedikit kehitam-hitaman. Untuk sesaat tempat itu terasa sunyi. Unggas malam seperti enggan bernyanyi. Mereka seperti menjadi saksi atas kejadian mengerikan yang berlangsung di sini.

"Rangga...! Rangga...!"

Mendadak terdengar beberapa suara teriakan bernada memanggil. Dan dari kejauhan terlihat beberapa obor mendekati. Rangga menghela napas dengan kepala tertunduk. Namun begitu telinganya masih mendengar keadaan di sekitarnya. Termasuk derap langkah memburu yang mendekatinya!

"Rangga! Kau tidak apa-apa?!" tanya sese-orang bernada khawatir.

Orang yang bertanya ini mendekatkan cahaya obor untuk melihat luka yang diderita pemuda itu. Sementara, tiga orang lain ikut berjongkok di dekatnya.

"Setiaji.... Kenapa kalian ke sini? Bukankah aku telah melarang?" tanya Rangga, perlahan.

"Sudah, jangan banyak bicara dulu! Luka dalammu kelihatan kambuh. Malah bertambah. Kami akan menggotongmu pulang" ujar sosok yang ternyata Setiaji.

"Terima kasih. Aku tidak apa-apa...," ucap Rangga, menolak halus.

"Jangan berkeras, Sobat! Kami akan membantumu. Dan kau tidak boleh membantah!"

"Setan Gembel mati!" Terdengar seruan dari sosok lainnya saat melihat mayat Setan Gembel yang tergeletak tidak jauh dari situ.

"Kau berhasil membunuhnya, Sobat?" tanya Setiaji dengan wajah cerah.

Rangga tersenyum getir. "Aku terpaksa melakukannya...."

"Sudahlah, jangan salahkan dirimu. Dia toh manusia jahat yang banyak dibenci orang. Ayo, mari kubantu!" ujar Setiaji seraya menggendong Rangga di punggungnya.

Rangga tidak menolak dan hanya menurut saja. Perlahan-lahan mereka meninggalkan lereng bukit ini. Seiring perjalanan mereka, alam pun kembali sunyi. Bahkan lebih sunyi dibanding semula!

S E L E S A I


Petualangan Pendekar Rajawali Sakti terhenti pada episode Setan Gembel. Sampai jumpa pada cerita silat lainnya. Semoga terhibur. Terima kasih...