Gadis Srigala - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GADIS SRIGALA

SATU

MATAHARI hampir kembali ke tempat peraduannya. Sinarnya yang berwarna merah jingga, menciptakan bayangan-bayangan panjang ketika saat lima orang prajurit bersenjata lengkap dan seorang laki-laki tegap berpakaian perwira, menghentikan laju kuda masing-masing di sekitar Lembah Bukit Setan. Dari lambang kerajaan yang dibawa, jelas kalau mereka berasal dari Kerajaan Lima Laras. Lantas, apa yang mereka lakukan di sini?

"Kita hampir sampai, Tuan Perwira Jaranta. Sebaiknya kita nyalakan obor!" cetus seorang prajurit, pelan.

"Nyala api hanya akan mengundang perhatian tamu-tamu tidak diundang, Prajurit. Lagi pula, malam ini mustahil kita bisa mencari bunga itu. Mungkin besok pagi jika tidak ada halangan kita bisa mendapatkannya!" sahut Perwira Kerajaan Lima Laras yang dipanggil Perwira Jaranta.

Perwira berwajah kokoh dengan kumis lebat itu kemudian mengawasi keadaan di sekelilingnya dengan teliti. Bukit Setan memang terasa sangat sepi. Terlebih-lebih pada malam hari seperti sekarang ini.

"Kita dirikan saja tenda darurat dulu!" perintah Perwira Jaranta dengan suara penuh wibawa.

"Tetapi, bagaimana dengan Gusti Prabu yang tengah menderita sakit, Tuan Perwira?" tanya prajurit yang bertubuh kurus.

"Prajurit! Kau jangan banyak membantah! Siapa pun merasa prihatin melihat Gusti Prabu Sida Brata, Tapi, tidak mungkin kita mencari Bunga Arum Dalu malam ini!" sergah Perwira Jaranta, tandas.

Kelima prajurit Kerajaan Lima Laras itu sadar, Perwira Jaranta tidak suka dibantah. Apalagi, mengingat akhir-akhir ini tugasnya begitu banyak dan menyita perhatian. Sehingga tak heran kalau laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu kurang istirahat. Tanpa berani bicara apa-apa lagi, kelima prajurit itu segera mendirikan tenda.

"Auuung...!"

Belum selesai mereka memasang tenda, di kejauhan tiba-tiba saja terdengar lolongan serigala. Mula-mula hanya satu dua yang terdengar. Namun semakin lama bertambah ramai dan saling bersahut-sahutan. Bahkan makin lama makin terasa dekat saja, ke arah para prajurit itu. Para prajurit tampak saling berpandang-pandangan. Kemudian....

"Lihat! Serigala-serigala itu menuju kemari!" teriak salah seorang prajurit dengan suara bergetar bernada ketakutan.

"Diam! Seorang prajurit sejati tidak pengecut sepertimu!" dengus Perwira Jaranta marah. "Kau hanya menakut-nakuti kawan sendiri. Jika takut dengan kawanan serigala, sebaiknya berhenti menjadi prajurit!"

Walaupun prajurit itu sadar kalau atasannya sedang marah, tetapi tidak bisa menutupi rasa takut yang dirasakannya.

"Perwira! Tapi..!"

Plak! Plakkk!

"Auukh...!" Kata-kata prajurit itu terpenggal oleh keluh kesakitan saat Perwira Jaranta menampar wajahnya. Kepalanya langsung tersentak ke samping. Dari sudut bibirnya tampak darah menetes.
"Pengecut sialan! Chuhhh...!" maki Perwira Jaranta sambil meludah.

Baru saja perwira itu berbalik, serigala-serigala yang ditakutkan telah mengelilingi tenda dalam jumlah yang sangat banyak. Berpasang-pasang mata mereka yang kemerah-merahan, terus memandangi para prajurit dan perwira itu.

"Bentuk pertahanan!" perintah Perwira Jaranta tegas.

Kelima prajurit Kerajaan Lima Laras segera membentuk pertahanan saling memunggungi.

"Auuung..!"

Terdengar lolongan panjang mendirikan bulu roma. Sekejap kemudian, tampak sebuah bayangan hitam berkelebat, lalu berhenti diantara serigala-serigala buas itu. Perwira Jaranta segera memperhatikan kehadiran sosok yang hanya memakai cawat dan penutup dada di tengah-tengah serigala-serigala itu. Ternyata dia adalah seorang gadis berwajah tidak begitu cantik. Rambut panjang tidak terurus. Sekujur tubuhnya kotor dengan kuku-kuku panjang berwarna hitam. Tatapan matanya liar, dengan bibir meneteskan darah.

"Bagaimana gadis ini bisa hidup di tengah-tengah kawanan binatang?" pikir Perwira Jaranta heran.

"Perwira, lihatlah!" seru salah seorang prajurit. Suaranya bergetar.

"Aku sudah melihatnya!" sahut Perwira Jaranta.

"Auuung...!"

Tiba-tiba saja, gadis itu melolong panjang. Suara lolongannya mirip dengan lolongan serigala. Bahkan makhluk-makhluk buas sekelilingnya kemudian menyahuti dengan lolongan saiing susul. Belum habis gema lolongan mereka, tanpa diduga makhluk-makhluk buas itu menyerbu para prajurit dengan buas.

Lima prajurit yang telah siap siaga dengan senjata lengkap tidak tinggal diam. Mereka segera menyambut serangan kawanan serigala dengan kibasan pedang maupun tusukan tombak di tangan. Maka hanya dalam waktu singkat terjadi perkelahian sengit antara para prajurit melawan kawanan serigala.

Beberapa ekor serigala berhasil dibunuh. Namun begitu melihat kawan-kawannya mati, serigala-serigala yang lain langsung menggantikannya. Tampaknya kawanan makhluk buas yang sangat besar jumlahnya ini semakin bertambah marah.

Sementara itu gadis yang menyertai kawanan serigala berteriak keras dengan suara khas seperti serigala. Bahkan kemudian ikut menyerang bersama serigala-serigala itu.

Menghadapi kawanan serigala yang sangat besar jumlahnya, Perwira Jaranta dan kelima bawahannya sudah kewalahan. Apalagi gadis liar itu kini ikut ambil bagian!

"Hiyaaa...!" Perwira Kerajaan Lima Laras berteriak keras. Tiba-tiba saja tubuhnya melesat ke udara. Dan ketika meluncur deras ke bawah, pedang di tangannya langsung dikibaskan.

"Haiiit...!"

Lincah sekali gadis serigala itu melompat ke samping menghindar. Lalu tubuhnya meluruk dengan jemari tangan yang berkuku panjang bergerak cepat.

Seet! Creeess!

"Auukh...!" Perwira Jaranta kontan menjerit keras ketika tubuhnya terkena sambaran kuku-kuku gadis serigala itu. Darah segera mengucur dari lukanya. Sementara gadis liar itu tampak berbinar matanya, melihat tetesan darah lawan. Bahkan tenggorokannya turun naik pertanda begitu berhasrat dengan darah perwira ini.

Sementara itu, kelima prajurit sedikitnya telah berhasil membunuh sepuluh ekor serigala. Namun kawanan serigala yang jumlahnya mencapai ratusan ekor tampaknya menjadi semakin ganas melihat kematian kawan-kawannya. Mereka mengamuk secara membabi-buta. Akibatnya walaupun rata-rata memiliki tingkat kepandaian lumayan, lima prajurit itu tampak mulai terdesak. Bahkan....

Crabbb!

"Akh..., kakiku...! Aaakh...!"

Salah seorang prajurit bersenjata tombak kakinya tergigit oleh salah satu serigala. Prajurit malang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terbanting ke tanah. Dan hanya dalam waktu singkat, dia telah tewas dicabik-cabik kawanan serigala.

"Aaakh...!"

Keempat orang prajurit sisanya juga tidak dapat bertahan lama. Satu demi satu mereka tergelimpang roboh disertai jeritan menyayat. Begitu menyentuh tanah, tubuh mereka langsung disambut terkaman serigala-serigala yang langsung mencabik-cabik!

Nasib buruk yang menimpa para prajurit, tentu tidak lepas dari perhatian Perwira Jaranta. Namun, dia sendiri tidak dapat berbuat banyak untuk menolong anak buahnya. Apalagi saat ini sedang menghadapi serangan gadis liar yang ternyata sangat tangguh.

"Gadis liar! Kau harus bayar nyawa anak buahku!" dengus Perwira Jaranta geram.

Kemudian laki-laki bertubuh kekar itu melompat mundur. Sementara kawanan serigala telah mengepung dengan jarak cukup dekat.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba Perwira Jaranta memutar pedang di tangannya. Senjata itu tampak meliuk-liuk, seakan telah berubah menjadi banyak disertai suara menderu-deru tajam. Dan hanya dalam waktu sekejap, tubuhnya telah melesat ke depan. Pedang di tangannya meluncur mengancam dada gadis serigala.

Sambil mendengus-dengus tidak jelas, gadis yang hanya memakai cawat dari kulit kayu dan penutup dada seadanya ini menundukkan kepalanya. Sehingga serangan Perwira Jaranta hanya mengenai tempat kosong. Dan secara menakjubkan, tubuhnya berputar sambil mengibaskan kedua tangannya yang berkuku hitam panjang dan runcing.

Perwira itu jadi terkesiap. Sama sekali tidak disangka kalau gadis itu mampu melakukan gerakan yang sangat sulit. Tanpa dapat dihindari lagi....

Cras! Cras!

"Aaakh...!" Terdengar jeritan tertahan saat perut Perwira Jaranta tersambar kuku-kuku gadis itu hingga robek mengeluarkan darah. Tubuhnya kontan terpelanting. Celakanya begitu tubuhnya menyentuh tanah, kawanan serigala yang telah mengepung langsung menerkamnya. Perwira Jaranta berusaha membebaskan diri dari amukan binatang-binatang buas dengan meronta-ronta. Tapi, tetap saja dia tidak berdaya.

"Aaagkh...!" Jeritan Perwira Jaranta akhirnya lenyap ketika tenggorokannya tercabik-cabik taring serigala buas.

"Huuung...!" Gadis itu berteriak aneh seperti memberi perintah. Maka kawanan serigala itu seakan mengerti. Mereka langsung bergerak mundur, dan menguik lemah. Di depan gadis ini, mereka tidak seliar dan seberingas ketika menghadapi lawan-lawannya tadi. Malah diantara mereka ada yang merebahkan diri, seakan menunggu perintah selanjutnya.

"Jantung laki-laki adalah makanan kesukaanku sejak dulu! Kalian boleh memakan mayat-mayat ini, bila aku telah mengambil jantung mereka! Hi hi hi...!" desis gadis itu dengan suara sember, mendirikan bulu kuduk.

Gadis berambut riap-riapan yang ternyata dapat berbicara ini kemudian menghampiri mayat Perwira Jaranta. Baju perwira itu dicabik-cabiknya, dan kuku-kukunya langsung menghujam dada.

Jrosss! Breeet!

Mengerikan sekali nasib Perwira Jaranta. Jantungnya tiba-tiba ditarik keluar oleh gadis pemimpin kawanan serigala ini. Dengan rakus gadis itu memakan jantung yang masih dilumuri darah. Enak sekali dia mengunyah tanpa rasa risih sedikit pun. Perbuatan yang sama pun dilakukan terhadap lima prajurit yang telah menjadi mayat.

Setelah puas, gadis ini memerintahkan kawanan serigala untuk menyantap jenazah perwira dan prajurit yang telah diambil jantungnya. Maka hanya dalam waktu singkat, mayat-mayat itu hanya tinggal tulang-belulang saja.

********************

Sudah dua hari rombongan yang dipimpin Perwira Jaranta tidak terdengar kabar beritanya. Berarti sudah ketiga kalinya pencarian Bunga Arum Dalu mengalami kegagalan. Padahal saat ini Kerajaan Lima Laras tengah dirundung mendung duka. Penyakit Gusti Prabu Sida Brata sudah semakin parah. Menurut tabib, hanya Bunga Arum Dalu sajalah yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Dan sampai sekarang ini sudah tiga kali pihak kerajaan mengirim prajurit-prajurit untuk mencari bunga itu yang konon tumbuh di sekitar Bukit Setan.

Namun, kesemuanya sama sekali tak ada kabar. Para prajurit itu bagai hilang ditelan bumi. Semua keluarga istana menjadi sangat prihatin melihat keadaan Gusti Prabu. Terlebih-lebih putri tunggal Penguasa Kerajaan Lima Laras itu yang hampir tidak pernah meninggalkan peraduan ayahandanya. Sampai hari ini, berarti sudah lima belas hari Gusti Prabu Sida Brata terbaring sakit. Dan untuk menjalankan roda pemerintahan, terpaksa putri tunggalnya yang menggantikan.

Sementara, sakit sang Prabu kian bertambah parah. Apalagi akhir-akhir ini sudah tidak mau makan sedikit pun. Tak heran kalau badannya kini menjadi kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Sentika Sari yang merupakan keturunan satu-satunya Gusti Prabu Sida Brata kini memerintahkan pembesar-pembesar kerajaan untuk berkumpul di ruang balairung. Sentika Sari yang hadir belakangan segera duduk diatas singgasana yang biasa diperuntukkan ayahandanya. Para pembesar kerajaan serentak menjura dalam-dalam, lalu duduk kembali di tempat masing-masing.

"Kita mulai saja pertemuan ini!" ujar seorang laki-laki tua berpakaian bebas warna kuning. Sebuah tasbih dari batu pilihan, hampir tak pernah lepas dari tangannya. Di kerajaan ini, dia menjabat sebagai penasihat kerajaan.

"Benar, Eyang Kinta Manik!" sambung Sentika Sari. Tatapannya segera beralih pada para pembesar kerajaan lainnya. "Seperti yang Paman ketahui, keadaan ayahku semakin bertambah parah. Sekarang aku ingin bertanya, mengapa utusan kita yang pergi ke Bukit Setan tidak pernah kembali?"

"Ampun, Gusti Putri," ucap seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun. Dari pakaiannya bisa ditebak kalau dia adalah seorang patih. "Kami baru saja berencana ingin pergi ke Bukit Setan bersama panglima perang dan juga prajurit kerajaan. Kami ingin mencari Bunga Arum Dalu sekaligus mencari tahu tentang prajurit dan perwira kita yang hilang!"

"Jika pergi semua, lalu siapa yang berada di istana, Paman Luntaka? Firasatku mengatakan ada sesuatu yang sangat besar akan terjadi di kerajaan ini...!" kata Putri Sentika Sari.

"Putri...!" potong seorang laki-laki berpakaian panglima.

"Jangan sangkal ucapanku, Panglima Layung Seta! Di balik penyakit yang diderita, tampaknya seperti ada sesuatu yang dirahasiakan oleh beliau. Dulu ketika aku masih kecil kuingat Ayah sering pergi ke Bukit Setan untuk berburu manjangan. Sekarang ketika pengawal-pengawal dan perwira tinggi kerajaan hilang di Bukit Setan, mengapa Ayah menyatakan tidak tahu apa yang telah terjadi di Sana?"

"Tentu saja Gusti Prabu tidak tahu, Gusti Putri. Sebab beliau dalam keadaan sakit. Dan mungkin sekarang di Bukit Setan telah begitu banyak mengalami perubahan," tukas panglima bemama Layung Seta.

Putri Sentika Sari langsung terdiam. Gadis berusia dua puluh tiga tahun ini jadi teringat ayahnya yang menderita penyakit aneh. Tidak seorang tabib pun yang mampu menyembuhkannya. Celakanya lagi, obat yang mungkin dapat menyembuhkan penyakit Gusti Prabu Sida Brata hanyalah Bunga Arum Dalu yang terdapat di Bukit Setan. Dan untuk mencarinya. Pihak kerajaan telah mengorbankan para prajurit dan perwira. Namun sampai sejauh ini belum juga berhasil mendapatkannya.

"Seingatku, ketika masih kecil dulu, panglima sering berburu ke Bukit Setan bersama Ayahanda. Kurasa paling tidak panglima tahu, apa yang telah dilakukan Ayahanda di sana?" tanya Putri Sentika Sari.

"Prabu tidak melakukan apa-apa, terkecuali berburu," tegas Panglima Layung Seta.

"Baiklah! Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tidak ingin berdebat. Kita kembali kepada persoalan penyakit ayahku!" ujar Putri Sentika Sari. "Menurutku, lebih baik kita sebarkan pengumuman di seluruh pelosok negeri. Siapa pun yang bisa mendapatkan Bunga Arum Dalu dalam waktu yang sangat cepat akan diberi imbalan sangat besar!"

"Putri! Bukankah kami di sini sanggup mencari bunga itu?! Mengapa kita harus menyewa orang-orang dunia persilatan yang kebanyakan tidak tahu tata krama?!" sergah Eyang Kinta Manik.

Putri Sentika Sari memperhatikan laki-laki berpakaian bebat berwarna kuning gading itu. Lalu bibirnya melepas senyum. Amat getir. "Aku bukan tidak percaya pada kesetiaan dan kesanggupan kalian semuanya. Tetapi bagiku, ada yang aneh di Bukit Setan. Aku tidak ingin kalian menjadi korban sia-sia. Bagaimana jadinya nanti jika Kerajaan Lima Laras ini tanpa kalian?" tukas wanita berparas cantik ini.

Tidak seorang pun yang berani membantah. Mereka sadar betul Putri Sentika sangat sayang kepada seluruh pembesar kerajaan.

"Lalu, apa yang harus kami lakukan, Putri?" tanya Patih Luntaka.

"Untuk sekarang ini, sebaiknya kalian segera sebarkan berita. Nanti jika orang-orang rimba persilatan tidak sanggup mendapatkan bunga itu, baru kita pikirkan jalan selanjutnya. Mudah-mudahan saja Ayahanda dapat bertahan lebih lama lagi!" desah Putri Sentika Sari.

"Baiklah, Gusti Putri. Perintah segera kami laksanakan!" ucap Eyang Kinta Manik.

Tidak lama kemudian laki-laki berpakaian bebat warna kuning gading segera bangkit seraya merapatkan tangan di depan hidung. Dan bersama Patih Luntaka dia keluar untuk mengatur pelaksanaan apa yang diperintah Putri Sentika Sari.

Sementara itu Panglima Layung Seta dan Putri Sentika Sari sudah beranjak dari balairung. Mereka langsung menuju ruang utama. Dari situ mereka berbelok ke kanan, langsung menuju kamar pribadi Gusti Prabu Sida Brata.

Tanpa menyentuh pintu lagi, mereka segera masuk dan menghampiri peraduan Gusti Prabu, setelah terlebih dulu merangkapkan tangan di depan hidung. Kebetulan Gusti Prabu Sida Brata sudah terjaga dari tidurnya.

"Anakku! Mengapa kau tadi tidak berada di sini?" tanya laki-laki setengah baya berbadan jangkung yang tergolek di atas peraduan.

"Maafkan aku, Ayahanda. Baru saja kami mengadakan pertemuan untuk mencari Bunga Arum Dalu," jelas Sentika Sari.

"Bukankah kemarin perwira dan prajurit telah pergi ke Bukit Setan? Lalu, sekarang ke mana mereka?"

"Entah apa yang terjadi pada mereka. Sampai hari ini, tidak seorang pun yang kembali!" jelas Putri Sentikan Sari, masygul.

"Ohh...!" rintih Gusti Prabu mendesah. "Kurasa mereka tidak akan pernah kembali. Kenyataan ini benar-benar membuatku sedih!"

"Sudahlah, Ayah. Jangan memikirkan yang bukan-bukan. Kami selalu berdoa agar Ayah cepat sembuh!" ujar Putri Sentika Sari.

"Kau memang anak yang selalu berbakti pada orang tua, Sentika!" puji Gusti Prabu Sida Brata, sambil memeluk putrinya.

********************

DUA

Ternyata pengumuman yang disebarkan pihak Kerajaan Lima Laras mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Terutama, dari kalangan dunia persilatan. Tidak kurang dari lima belas tokoh dari golongan hitam dan putih ini telah berkumpul di halaman kerajaan.

Puluhan orang prajurit tampak mengawal untuk menghindari terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Di antara para tokoh dunia persilatan yang hadir, tampak pula seorang laki-laki berpakaian hitam. Tubuhnya tegap tinggi. Wajahnya yang angker, ditumbuhi. cambang dan brewok. Walaupun tidak pernah berhadapan langsung, namun pihak kerajaan sudah sering mendengar ciri-ciri maupun sepak terjangnya. Tokoh yang tinggal di daerah ujung barat tanah Jawa ini dikenal bernama Suta Soma. Namun di kalangan persilatan berjuluk Iblis Pemabuk.

Sementara tokoh aliran putih juga terlihat hadir. Namun mereka lebih banyak berdiam diri dengan sikap tenang, penuh percaya diri. Tanpa mempedulikan lagak jumawa tokoh-tokoh hitam yang banyak sesumbar, mereka terus memperhatikan sebuah panggung setinggi satu tombak yang didirikan tepat didepan pintu masuk istana.

Dan dari dalam pintu istana, muncul Putri Sentika Sari yang didampingi Panglima Layung Seta, serta Patih Luntaka. Mereka langsung menaiki panggung, dan duduk berjejeran. Putri Sentika Sari berada di tengah-tengah. Ketika Putri Sentika Sari yang memang cantik ini tersenyum, orang-orang persilatan berdecak kagum.

"Tidak mendapat hadiah emas pun tidak apa-apa! Asal Putri yang cantik itu menjadi milikku!" celetuk salah seorang tokoh persilatan.

"Aku juga...!" timpal yang lain.

Saat itu juga suasana menjadi hingar-bingar diwarnai tawa. Panglima Layung Seta segera bangkit. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.

"Hadirin sekalian harap tenang sebentar!" sergah Panglima Layung Seta. "Sekarang Gusti Putri akan menjelaskan pokok persoalan yang sebenarnya!"

Begitu suasana mereda, Panglima Layung Seta segera mempersilakan Putri Sentika Sari maju ke depan. Dengan tenang gadis cantik yang juga mempunyai ilmu olah kanuragan ini berdiri. Langkahnya gemulai sambil mengedarkan pandangan, menyapu para hadirin.

"Aku mewakili ayahandaku yang sedang sakit. Sekarang ini aku bukan sedang mengadakan sayembara. Tapi aku ingin minta bantuan kalian untuk mencari Bunga Arum Dalu di Bukit Setan. Siapa pun yang berhasil mendapatkannya, akan mendapat hadiah satu peti emas permata," jelas Sentika Sari.

Semua yang hadir berdecak kagum mendengar hadiah yang dijanjikan. Tetapi, rupanya Suta Soma alias Iblis Pemabuk merasa kurang puas.

"Hadiah itu memang sangat besar! Tetapi mengingat bahaya yang ada di Bukit Setan, aku meminta hadiahnya ditambah dengan Putri!" teriak laki-laki berwajah angker itu sambil meneguk arak kerasnya.

Wajah Putri Sentika Sari berubah merah karena menahan amarah. Sedangkan Panglima Layung Seta yang tadi, sudah duduk di kursinya, langsung berdiri. Bahkan hampir saja dia bertindak, jika tidak dicegah Patih Luntaka.

"Jaga mulutmu, Kisanak! Jangan keterlaluan. Putri bukan untuk diperebutkan. Jika kau yang mendapatkan Bunga Arum Dalu tentu kami dengan senang hati menambah hadiah berupa emas pula!" tegas Patih Layung Seta dengan wajah memerah.

"Sayang, emas tak ada artinya buatku! Tapi kalau wanita, he he he...," kekeh Iblis Pemabuk.

"Mumpung segala sesuatunya belum telanjur, silakan pergi dari sini!" bentak Panglima Luntaka yang kali ini juga ikut angkat bicara, karena merasa kewibawan kerajaan direndahkan oleh tokoh itu.

"Ha ha ha...! Tidak seorang pun yang berhak mengusirku. Kalau mau, tentu sekarang aku dapat melarikan Putri Sentika Sari tanpa ada yang mampu mencegahku!" teriak Iblis Pemabuk disertai tawa menyeramkan.

Ucapan Suta Soma tentu membuat suasana kian memanas. Tetapi....

"Bicaramu kelewat sombong, Iblis Pemabuk! Mestinya kau sadar di atas langit masih ada langit!"

Mendadak terdengar sahutan dari samping Iblis Pemabuk. Dan semua orang pun langsung memandang ke arah datangnya suara. Ternyata yang bicara barusan seorang pemuda tampan berbaju ketat warna biru dari sutera halus. Di tangannya tergenggam sebuah busur panah. Sementara di punggungnya tersampir beberapa anak panah.

"Pendekar Lima Lautan...," sebut Iblis Pemabuk alias Suta Soma dengan wajah berubah tegang penuh keterkejutan.

Memang, Iblis Pemabuk kenal betul dengan Pendekar Lima Lautan. Mereka sudah pernah bentrok beberapa kali, dan kekalahan selalu menimpa Suta Soma. Inilah yang membuatnya tergetar begitu melihat Pendekar Lima Lautan. Mereka mempunyai ilmu olah kanuragan hampir seimbang. Hanya yang menakutkan Iblis Pemabuk adalah busur panah yang bila dipasang sebuah anak panah, akan berubah jumlahnya menjadi berlipat ganda. Jangan tubuh manusia. Batu karang yang paling keras sekali pun, akan hancur berkeping-keping terhantam anak panah tokoh berkepandaian tinggi berjuluk Pendekar Lima Lautan itu.

"Maafkan aku, Kala Sakti. Tidak kusangka berita tentang hadiah besar ini sampai padamu juga. Padahal Lima Lautan sangat jauh jaraknya dari sini, " ucap Iblis Pemabuk, memanggil nama asli Pendekar Lima Lautan.

Wajahnya diatur sedemikian rupa, agar rasa malunya tak tampak. Diam-diam hati Suta Soma dongkol bukan main melihat kehadiran pendekar itu. Dan ini berarti, harapannya untuk mendapatkan Putri Sentika Sari lenyap. Namun dia berharap, hadiah satu peti emas bisa diraihnya.

"Kurasa sudah tidak ada yang perlu ditunggu di sini. Mudah-mudahan saja peruntungan baik berada di tanganku. Sekarang aku akan pergi mencari bunga itu!" kata Iblis Pemabuk, seraya berbalik dan berkelebat meninggalkan tempat ini.

Hanya sekejap saja tubuh Iblis Pembuk telah lenyap dari pandangan. Melihat Suta Soma pergi, maka tokoh-tokoh dunia persilatan lainnya segera mengikuti jejaknya. Kini di halaman istana hanya tinggal Pendekar Lima Lautan.

"Kalau tidak salah bukankah Kisanak yang berjuluk Pendekar Lima Lautan?" tanya Patih Luntaka.

Kala Sakti menganggukkan kepalanya. Bibirnya mengulas senyum kemudian merangkapkan kedua tangan di depan hidung. "Memang benar, Patih. Tapi itu hanya julukan kosong belaka," sahut Pendekar Lima Lautan, merendah.

"Apakah kau berniat mendapatkan hadiah itu?" tanya Panglima Layung Seta.

"Sedikit pun aku tak berminat mendapatkan harta. Aku hanya ingin agar Gusti Prabu cepat sembuh dari penyakitnya. Sekaligus, mengawasi kemungkinan terjadinya kerusuhan di sini. Sebab yang ikut ambil bagian dalam mencari Bunga Arum Dalu di Bukit Setan bukan tokoh-tokoh golongan putih saja. Kulihat golongan hitam juga ikut serta. Sudahlah, sekarang aku ingin ke Bukit Setan, Sampaikan salamku pada Gusti Prabu Sida Brata!" kata Pendekar Lima Lautan.

"Berhati-hatilah, Pendekar!" pesan Patih Luntaka.

Pendekar Lima Lautan merangkapkan tangannya di depan hidung, lalu berkelebat cepat dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah cukup tinggi. Sebentar saja, tubuhnya sudah tidak kelihatan dari pandangan.

********************

Waktu terus bergulir sesuai garis edarnya. Dan di siang yang sangat terik, ini tampak seorang pemuda tampan berbaju rompi turun dari kudanya di dekat sebuah sungai. Kuda berbulu hitam berkilat ini segera menghampiri permukaan air sungai yang jernih itu.

"Minumlah sepuasmu, Dewa Bayu. Kurasa perjalanan kita ke Kerajaan Lima Laras masih cukup jauh dari sini!" ujar pemuda tampan yang dipunggungnya terdapat sebilah pedang bergagang kepala burung rajawali, pada kuda tunggangannya.

Pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Rangga yang dirimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti kemudian merebahkan badannya di bawah sebatang pohon berdaun lebat. Suasana di bawah pohon yang teduh, ditambah usapan angin sepoi-sepoi membuat Rangga terkantuk-kantuk. Namun tiba-tiba saja...

Ser! Ser!

"Heh?!" Pendekar-Rajawali Sakti tersentak kaget ketika mendengar suara desir halus dari pohon yang berada di sebelahnya. Ketika memandang ke arah datangnya suara, tampak tiga buah benda berwarna putih berkilatan meluncur cepat ke arahnya.

"Hup!" Dengan cepat sekali Rangga berguling-guling menjauh. Maka benda-benda yang meluncur deras ke arahnya yang ternyata senjata rahasia berupa paku beracun berwarna putih keperakan hanya menghantam pohon yang tadi disandari.

"Sial! Hampir saja aku tidur selama-lamanya!" gerutu Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Kakinya langsung melangkah mendekati pohon tempatnya berteduh tadi. Dicabutnya salah satu paku yang menancap di batang pohon, kemudian memperhatikannya dengan seksama. Lalu tatapannya kembali ke pohon. Dahsyat sekali! Perlahan-lahan, daun-daun pohon itu berguguran. Bagian yang tertancap langsung menghangus! Dan akhirnya, pohon itu kering kerontang tanpa daun, dalam keadaan jadi arang! Lalu.... Brukkk! Pohon itu langsung ambruk tanpa bisa dicegah lagi.

"Ternyata paku ini mengandung racun paling keji yang pernah aku jumpai selama ini!" gumam Rangga. Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti berbuat sesuatu, tiba-tiba saja....

Ser! Ser!

"Hup!" Terdengar suara desir angin halus kembali. Tanpa menunggu lebih lama, Rangga segera melenting ke udara. Sehingga serangan paku-paku beracun itu hanya setengah jengkal saja melesat di bawah kakinya. Dan begitu tubuhnya meluncur deras ke bawah, dilemparkannya sebuah paku beracun yang digenggam tadi ke arah datangnya serangan gelap barusan. Paku beracun meluncur deras ke dalam semak-semak.

Krosak!

"Bangsat sialan! Ternyata kau mempunyai kebisaan juga!"

Terdengar makian yang disertai melesatnya sesosok tubuh dari dalam semak belukar. Hanya dalam waktu singkat sosok itu telah mendarat di tanah. Di depan Rangga, kini berdiri seorang perempuan berwajah tirus. Matanya yang cekung menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya yang sumbing mengulas senyum. Namun yang tampak malah sebuah seringai. Tangan kanannya lebih kecil dari tangan kiri. Demikian juga kaki kanannya. Usianya sudah cukup tua. Mungkin sekitar enam puluh tahun. Di pinggangnya, melilit sebuah cambuk dari buntut ikan pari, dengan tengkorak kepala serigala sebagai ujungnya.

"Apa kesalahanku, Nyisanak? Mengapa tiba-tiba saja menyerangku?" tanya Rangga. Nada suaranya terdengar halus, penuh perbawa.

"Hik hik hik...!" Nenek berbibir sumbing malah tertawa mengikik. Bahkan tanpa diduga-duga kembali menyerang dengan pukulan bertubi-tubi ke arah Rangga.

Zeb! Zeb!

Pemuda ini segera mengerahkan jurus sembilan Langkah Ajaib untuk menghindari serangan. Tubuhnya meliuk-liuk indah, ditopang oleh gerakan kaki yang lincah. Sehingga serangan-serangan yang dilancarkan nenek sumbing ini tidak mengenai sasarannya. Bahkan menyentuhnya pun tidak.

"Heh...?!" Nenek berbibir sumbing dan berpakaian ringkas ini terkejut sekaligus heran, karena serangannya mudah sekali dihindari. Secepatnya serangannya dihentikan, dan kembali memandang pemuda berbaju rompi putih itu dengan sinar mata menyiratkan ketidakpercayaan.

"Siapa kau?!" bentak perempuan tua ini dengan mata melotot. Karena bibirnya sumbing maka suara nenek ini terdengar sengau.

Namun Pendekar Rajawali Sakti masih dapat mendengarkannya. "Aku Rangga!" jawab pemuda itu singkat.

"Jelaskan apa tujuanmmu datang kemari?" tanya perempuan tua itu lagi.

"Hanya kebetulan saja aku melewati tempat ini."

"Hi hi hi...! Di depan Nini Sumbing kau hendak berdusta? Hmm.... Kau pasti punya tujuan yang sama dengan orang-orang konyol itu. Kau ingin mencari Bunga Arum Dalu, bukan?" tebak perempuan berbibir sumbing yang bernama Nini Sumbing itu.

"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, Nini? Aku baru saja sampai ke tempat ini, dan hendak meneruskan perjalanan ke suatu tempat," kilah Rangga. Rupanya Rangga sengaja tidak menyebut Kerajaan Lima Laras yang ingin ditujunya. Sebab, dia tidak tahu Nini Sumbing berdiri di pihak mana?

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Sungai Citandui ini masih termasuk wilayah Bukit Setan. Berarti dalam kekuasaan ketua kami yang bernama Nini Baji Setan. Kalau benar kau bukan menginginkan Bunga Arum Dalu, maka sebaiknya serahkan senjatamu berikut kuda milikmu. Setelah itu, cepat pergi dari sini!" dengus Nini Sumbing.

Rupanya sejak melihat Rangga pertama kali, Nini Sumbing tertarik dengan pedang berhulu kepala burung rajawali yang tersampir di punggung Rangga. Tentu saja, tak mungkin pedang dan kudanya diserahkan begitu saja.

"Begitu mudahnyakah, Nini? Keduanya adalah bagian dari jiwaku. Jadi, maaf. Permintaanmu terpaksa kutolak," tegas Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat! Kau membantah perintah! Tahukah kau, apa yang akan terjadi pada dirimu?!" tanya Nini Sumbing berang.

Rangga hanya menggeleng pelan sambil tersenyum kalem

"Aku akan memotong kepalamu! Hiyaaa...!"

Disertai bentakan menggelegar, tubuh Nini Sumbing meluruk deras ke depan. Sedangkan kedua tangannya bergerak bersilangan. Mulutnya terbuka lebar, sehingga memperdengarkan suara menggembor seperti serigala kelaparan.

"Uts...!" Melihat serangan itu, Rangga langsung menggeser kaki kirinya. Lalu tubuhnya agak dimiringkan, sehingga serangan Nini Sumbing hanya menyambar sejengkal di atas kepalanya.

Karena serangannya dapat dielakkan sambil terus bergerak ke depan Nini Sumbing melepaskan tendangan kaki kiri.

"Haiiit...!" Pendekar Rajawali Sakti dengan gesit melompat ke belakang. Mendapat kenyataan ini, Nini Sumbing menjadi gusar. Lagi-lagi serangannya dapat dihindari. Maka dengan bertumpu pada kaki kanan yang kecil, kaki kirinya diangkat tinggi-tinggi. Sehingga, tampaklah bagian pahanya. Rangga menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah memerah karena malu.

"Mengangkat kaki jangan terlalu tinggi, Nini!" kata Rangga seraya berpaling.

"Pemuda setan! Makanlah tanganku ini! Heaaa...!" Belum juga gema teriakannya hilang, Nini Sumbing sudah memutar tubuhnya, Tangannya sudah terentang setinggi bahu. Tampak jelas kedua tangan berkuku runcing itu telah berubah warnanya menjadi hitam seperti arang.

Jelas sekali kalau perempuan tua ini hendak mengerahkan serangan beracun. Dan walaupun Pendekar Rajawali Sakti kebal racun, tentu tidak bisa tinggal diam. Bisa jadi kuku runcing itu bisa menyayat kulit tubuhnya. Maka segera dikerahkannya jurus Sayap Rajawali Menyambar Mega. Pendekar Rajawali Sakti kemudian melompat ke depan. Kedua tangannya berkelebat, menyambut sambaran tangan Nini Sumbing.

Wuttt...!

Ketika tangan masing-masing hampir bersentuhan, nenek berbibir sumbing itu menyeringai. Harapannya, begitu tangan Rangga tertangkap akan langsung diremasnya sampai hancur. Namun di luar dugaan, Rangga tiba-tiba membelokkan tangannya kebawah, langsung menghantam tulang rusuknya.

Duuk!

"Huaaakh...!" Perempuan tua itu terdorong mundur sambil meringis kesakitan. Tanpa menghiraukan sakit yang diderita, kembali diserangnya Pendekar Rajawali Sakti. Dalam hati, Rangga memuji daya tahan tubuh lawannya. Padahal tenaga dalamnya yang dikerahkan tadi cukup kuat.

"Aku benar-benar segera membunuhmu!" dengus nenek berbibir sumbing. Serangan yang dilakukan Nini Sumbing benar-benar sangat cepat dan mengandung gerak tipu.

Rangga segera meliukkan tubuhnya ke samping, lalu berputar. Seketika kakinya melepaskan tendangan setengah melingkar. Tetapi Nini Sumbing memapakinya dengan telapak tangan.

Plak!

"Aakh...!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan, dan langsung jatuh terduduk. Kakinya yang sempat membentur tangan perempuan itu terasa dingin dan seperti kaku. Segera tenaga dalamnya dikerahkan ke bagian kaki, sehingga sebentar kemudian rasa sakitnya sudah agak berkurang. Baru kemudian pemuda ini bangkit berdiri dengan sikap waspada penuh perhitungan.

"Huh! Ternyata kau cukup kuat. Tapi jangan bangga dulu. Sebentar lagi, seluruh tubuhmu akan lumpuh!" geram Nini Sumbing. Secara diam-diam, perempuan tua ini mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Tampak tangannya bergetar hebat, lalu tercium bau yang sangat amis. Ketika kedua tangannya dikibaskan, maka tampak selarik sinar hitam berbau amis meluncur deras ke arah Rangga.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti cepat bertindak. Cepat dipasangnya kuda-kuda kokoh. Tenaga dalamnya pun telah disalurkan ke tangan. "Aji 'Guntur Geni'! Hiyaaa...!" teriak Rangga.

Begitu setengah tombak lagi selarik sinar hitam itu tiba, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Saat itu juga dari kedua telapak tangannya meluncur selarik sinar merah, memapak sinar hitam yang melesat dari tangan Nini Sumbing.

Glar! Glarrr!

"Aaakh...!" Sungguh tidak disangka oleh Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda ini memang tak mau mencelakai perempuan tua itu tanpa alasan jelas. Maka dia hanya mengerahkan setengah dari tenaga dalamnya. Tetapi ternyata perempuan tua itu justru benar-benar ingin membunuhnya. Sehingga tenaga dalamnya yang dikerahkan benar-benar tinggi. Akibatnya tubuh pemuda itu terlempar, dan jadih berguling-gulingan. Dari bibirnya menetes darah kental.

"Cepat serahkan pedang itu padaku!" Merasa berada di atas angin, Nini Sumbing kembali memerintahkan Rangga agar kembali menyerahkan pedang di punggungnya yang telah menarik perhatiannya.

"Pedang Rajawali Sakti ini adalah bagian dari hidupku! Selama aku masih hidup, pedang ini tidak pernah akan kuberikan pada siapa pun!" dengus Rangga mulai bangkit amarahnya.

Sebaliknya Nini Sumbing sempat tersentak kaget seperti disengat binatang berbisa saat mendengar nama pedang itu. Berarti pemiliknya adalah.... Ketuanya yang bernama Nini Baji Setan pernah bercerita tentang kehebatan seorang pemuda berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Mengingat hal itu rasanya dia yakin kalau pemuda yang dihadapinya adalah pendekar yang dimaksud ketuanya di Bukit Setan.

"Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Nini Sumbing.

"Hanya sebuah julukan kosong yang tak ada artinya...," sahut Rangga, berkesan merendah namun memiliki tekanan menggetarkan.

Tidak disangka-sangka. Nini Sumbing tertawa lebar. Sampai-sampai, tubuhnya yang kurus kering tergetar. Rangga jadi menatap heran. Begitu tawanya berhenti, perempuan tua itu menatap Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya kini tampak meremehkan.

"Ketuaku mengatakan, kau seorang pendekar yang hebat. Tidak tahunya kau lebih buruk lagi daripada kecoa busuk!" ejek Nini Sumbing.

"Mungkin aku memang hanya kecoa busuk. Tapi bisa jadi aku bisa membuka matamu lebar-lebar. Hiaaa...!" Rangga berteriak keras. Tiba-tiba saja, tubuhnya berkelebat cepat sekali sambil melepas serangan dengan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.

Nini Sumbing tercekat. Cepat dia melompat ke belakang untuk menghindar. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar. Bahkan tiba-tiba kakinya terangkat ke atas cepat sekali. Sehingga....

Bukkk...!

"Aaakh...!" Nini Sumbing terjengkang disertai teriakan keras. Hidungnya mengucurkan darah. Begitu bangkit dia langsung menyeka darah yang terus keluar dari hidung. Matanya kini mendelik, pertanda amarahnya telah sampai pada puncaknya.

"Keparat! Tahan jurus 'Serigala Memburu Mangsa'ku!" maki Nini Sumbing. Tiba-tiba saja perempuan tua itu melompat ke depan. Rupanya nenek berbibir sumbing ini sekarang telah mempergunakan jurus andalannya. Gerakannya yang dilakukannya pun seperti gerakan menerkam. Pada jarak tertentu tubuhnya bersalto di udara. Pada saat bergerak seperti itu, tangannya berusaha mencengkeram leher Rangga.

"Uts!".Pendekar Rajawali Sakti menundukkan kepalanya. Sehingga cengkeraman nenek itu hanya menyambar rambut. Namun, Nini Sumbing langsung membetotnya.

Brettt...!

"Aduuuhh...!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan. Kepalanya terasa sakit berdenyut-denyut. Tetapi memang tidak ada kesempatan lagi untuk menyia-nyiakan waktu yang ada. Karena saat yang sama perempuan tua itu telah menyerang lagi dengan cakaran kukunya yang tajam.

"Hiaaa...!" Dengan gerakan yang gesit sekali Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke samping, lalu mundur ke belakang. Dan tanpa disangka-sangka, dilepaskannya serangkaian tendangan menggeledek.

Desss...! Desss...!

"Auuukh...!" Nenek berbibir sumbing itu menjerit keras. Bahunya beberapa kali terhantam telak kaki Rangga yang berisi tenaga dalam tinggi. Sehingga membuatnya jatuh terguling-guling. Meskipun akhirnya dapat berdiri lagi, namun jalannya tampak miring.

Kini dia baru percaya dengan ucapan ketuanya, bahwa Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa dianggap enteng. Tanpa berkata apa-apa lagi, segera ditinggalkannya tempat itu.

Rangga menarik nafas dalam-dalam. Segera dihampirinya Dewa Bayu yang tampak sedang memakan rumput di pinggir sungai.

********************

TIGA

Bukit Setan. Sebuah bukit yang masuk wilayah Kerajaan Lima Laras, dan kini jadi tujuan utama kaum rimba persilatan untuk mendapatkan Bunga Arum Dalu. Tak mudah untuk menuju bukit itu. Selain tebingnya terjal, juga adanya sekawanan serigala yang memangsa setiap orang yang mengunjunginya. Kalau hanya berkepandaian rendah, rasanya mustahil untuk dapat menjejakkan kakinya di sana.

Matahari saat ini tepat berada di atas ubun-ubun. Sinarnya seolah hendak memanggang Bukit Setan yang terlihat indah dari kejauhan. Namun kenyataannya justru di bukit itu sendiri malah terasa sejuk, dengan pepohonan cukup besar memayungi. Di salah satu tebing bukit, seorang perempuan tua berpakaian compang-camping tampak tengah menatap ke satu arah. Pandangan matanya tajam, dingin dan menggetarkan.

Dibelakangnya sejauh satu tombak, terdapat mulut sebuah gua yang tersamar oleh semak belukar dan pohon-pohon merambat. Di sebelah gua itu pula, terdapat gua lain yang sama sekali tak tertutup apa-apa. Hanya sesekali, terdengar gerengan dan salakan serigala. Perempuan itu memang sudah cukup tua. Paling tidak usianya sekitar delapan puluh tahun. Namun sedikit pun tak terlihat ada keriput di kulit tubuhnya. Malah tubuhnya terlihat padat dan sehat, dengan kulit putih berkilat. Kendati demikian rambut putihnya yang digelung ke atas dan alisnya yang juga berwarna putih, tak dapat menutupi ketuaannya.

Di dalam gua tidak jauh dari tempat perempuan tua ini berdiri, tampak seorang gadis berambut panjang sepinggang. Rambutnya yang riap-riapan, tampak tak terurus. Sekujur tubuhnya kotor berselimut daki. Dia hanya memakai kulit kayu untuk menutupi bagian terlarang di tubuhnya, dan beberapa lembar daun sebagai penutup buah dadanya. Di pangkuan gadis itu terbaring seekor serigala yang terluka. Sementara tak jauh dari situ, berbaring beberapa ekor serigala yang terluka. Agaknya gadis ini tengah merawat binatang-binatang buas itu yang tampak jinak di tangannya.

"Seharusnya dia sudah pulang, Kuntalini! Main-main ke mana lagi si jelek sumbing itu...?!" gerutu perempuan tua berpakaian compang-camping tanpa menoleh.

"Jangan pikirkan. Guru! Orang tua pikun itu memang suka melantur ke mana-mana bila sedang diberi tugas!" sahut gadis yang sedang mengurus serigala dengan tenangnya.

Rupanya gadis yang bernama Kuntalini adalah murid dari perempuan berpakaian compang-camping. Sehingga kata-katanya tidak membawa pengaruh apa-apa bagi gurunya.

"Keadaan sudah sangat mendesak! Tamu-tamu yang tidak diundang harus segera dibereskan! Setelah itu, rencana kita tetap pada tujuan semula," desis perempuan tua ini.

"Aku tidak akan pernah lupa, Guru! Mengenai tamu-tamu yang tidak diundang itu sudah menjadi tugasku untuk membereskannya. Tentu saja berkat bantuan pasukan serigala kita!" sahut Kuntalini. Sesekali gadis yang bau dan keadaan tubuhnya bagai serigala ini kemudian menyeringai. Dari mulutnya keluar suara menggereng seperti suara serigala.

"Aku yakin dengan kemampuanmu, Kuntalini! Racun Bunga Bisa telah bekerja sebagaimana yang kita harapkan. Hidup matinya Sida Brata keparat itu hanya tergantung Bunga Arum Dalu. Padahal, bunga itu milik kita!" desis perempuan tua itu lagi, setelah berbalik menatap murid tunggalnya.

"Semua sifat Guru telah menurun padaku. Demikian juga ilmu yang diberikan Guru telah kukuasai. Nasibku yang buruk tentu segera terbalaskan. Kelak di kemudian hari kita dapat mendirikan sebuah kerajaan. Yaitu, Kerajaan Serigala!"

"Benar! Kau telah mewarisi segala-galanya, Kuntalini! Tetapi sejak dulu kau punya dasar yang kuat untuk menjadi Ratu Serigala. Percayalah! Selain Bunga Arum Dalu, tabib-tabib tolol kerajaan tidak mungkin sanggup menyembuhkan penyakitnya! Hik hik hik...!"

"Hi hi hi...! Guru benar! Segala-galanya sudah berada di ambang mata. Hanya sekali bergerak, maka tercapailah cita-cita kita!" sahut Kuntalini, tersenyum gembira.

"Ketua, aku datang!" Mendadak terdengar suara dari kejauhan.

Perempuan tua guru Kuntalini segera berbalik. Matanya langsung memandang ke arah datangnya suara. Sedangkan muridnya bersikap acuh tak acuh saja. Tidak lama tampak muncul seorang perempuan tua berbibir sumbing bergerak mendekati gua.

"Cuh...!" perempuan tua guru Kuntalini yang dipanggil 'Ketua' meludah. Air ludahnya membuat dinding pintu gua yang jadi sasaran berlubang dan mengepulkan asap tipis berbau sangit. "Lama kau pergi! Mengapa sekarang baru muncul? Jalanmu miring seperti orang sinting. Apa yang telah terjadi denganmu, Nini Sumbing?!"

Perempuan sumbing yang ternyata Nini Sumbing menjura dalam-dalam. Matanya dipejamkan, lalu menarik napas dalam-dalam. Setelah napasnya teratur kembali, wajahnya langsung menghadap pada perempuan tua yang dikenal sebagai Nini Baji Setan.

"Ceritakan! Apa yang terjadi padamu?!" bentak perempuan tua berpakaian compang-camping ini gusar.

"Ketika mengadakan penyelidikan, aku bertemu seorang pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak bisa percaya begitu saja. Sehingga, kami bentrok. Tetapi seperti yang pernah Ketua katakan, ternyata Pendekar Rajawali Sakti cukup tangguh. Sebenarnya aku hampir menang. Tetapi...!"

"Akhirnya kau kalah!" sambar Nini Baji Setan sengit". Bagaimana mungkin pemuda itu sampai berkeliaran di Bukit Setan ini? Apakah kau tidak mencari tahu?"

Diam-diam sebenarnya Nini Baji Setan terkejut juga. Berhadapan secara langsung dengan Pendekar Rajawali Sakti, dia memang tidak pernah. Namun menurut kabar, Pendekar Rajawali Sakti sangat tangguh.

"Menurutnya, dia akan pergi ke suatu tempat. Aku tidak tahu tempat mana yang dituju!" jelas Nini Sumbing lagi.

Cukup lama juga Nini Baji Setan terdiam. Sedangkan Kuntalini murid kesayangannya lebih banyak bermain-main dengan serigala yang selama ini selalu membantu sepak terjangnya.

"Bagaimana laporanmu yang lain?" tanya perempuan beralis putih itu ingin tahu.

"Sekarang ini orang-orang rimba persilatan yang disewa Kerajaan Lima Laras berada disebelah selatan Bukit Setan. Tampaknya mereka juga ingin mendapatkan Bunga Arum Dalu. Untuk mencegah mereka sampai di bukit sebelah timur, aku menunggu perintah Ketua," jawab Nini Sumbing.

"Tugas ini tidak akan kuberikan padamu!" kata Nini Baji Setan tegas. Kemudian kepalanya berpaling pada Kuntalini. "Muridku! Sekarang, kau sudah boleh berangkat menghadang orang-orang itu di selatan. Bawa seluruh anak buahmu! Jika merasa perlu bantuan, kau cukup memberikan isyarat padaku!"

"Hi hi hi...! Aku mendapat tugas lagi! Berarti, aku akan mendapatkan jantung-jantung segar yang, lezat!" sahut Kuntalini. Gadis yang hanya memakai cawat dan penutup dada itu kemudian melangkah kepintu gua. Lalu....

"Auuung! Hung! Huuung...!" Kuntalini melolong panjang sebanyak tiga kali. Maka dari pintu gua yang berada di sebelah gua induk muncul barisan serigala menuju ke arah gadis itu, hingga berjumlah ratusan.

"Guru, aku berangkat!" pamit Kuntalini.

"Ya,.., jangan lupa bunuh mereka semuanya!" pesan Nini Baji Setan.

Gadis serigala menganggukkan kepala. Sebentar saja tubuhnya sudah bergerak cepat meninggalkan gua. Ratusan ekor serigala segera mengikuti ke mana pun dia pergi.

Sementara itu di sebelah selatan Bukit Setan, tampak belasan laki-laki sedang menjelajahi daerah sekitarnya untuk mencari-cari Bunga Arum Dalu. Sudah hampir dua hari mereka berada di sana. Namun tanda-tanda untuk menemukan bunga mukjizat itu belum kelihatan. Di antara wajah-wajah letih itu, tergambar keputusasaan.

"Kita semua memang sudah gila! Gila hadiah! Mencari sesuatu yang tidak jelas letak dan tempatnya, sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami," dengus seorang laki-laki berbadan kurus sambil menyeringai.

Ucapan ini sempat mengundang tawa kawan-kawannya. Namun, banyak juga yang bersikap acuh tak acuh.

"Bunga Arum Dalu entah di mana tumbuhnya. Sejak tadi aku hanya menemukan Bunga Tahi Ayam, Bunga Cocor Bebek, Bunga Matahari dan Bunga Kehidupan!" gerutu seorang laki-laki berbadan pendek.

"Mencari sesuatu harus bersabar. Bukit Setan ini luas. Kita belum mencari yang di sebelah timur, barat, dan utara."

"Lama-lama aku bisa gila!" teriak laki-laki berbaju hitam yang agak jauh dari kawan-kawannya. "Aku menemukan tulang-belulang di mana-mana. Apakah bukit ini ada penunggunya yang memangsa manusia?"

"Jangan bicara ngaco, Subali! Sekali lagi kudengar kau bicara seperti itu, kupenggal kepalamu...!" bentak laki-laki berbaju putih.

Laki-laki berbaju hitam yang bernama Subali langsung terdiam. Dan kini perhatian mereka terpusat untuk mencari Bunga Arum Dalu. Sehingga tanpa disadari....

"Hantu.... Aaakh...!" Jeritan Subali tentu saja membuat terkejut dua belas orang lain yang sedang sibuk mencari Bunga Arum Dalu.

"Ada apa dengan Subali?" tanya laki-laki berbadan tegap.

"Mana kami tahu, Kasa Raga?" jawab laki-laki berbaju putih.

"Tolol! Kita sudah berjanji untuk bahu-membahu. Kesulitan yang dihadapi merupakan kesulitan kita juga. Ayo kita cari...!" ujar laki-laki tegap bernama Kasa Raga.

Dengan tergesa-gesa, kedua belas laki-laki yang terdiri dari golongan hitam dan putih yang telah menyatu mendatangi Subali. Mereka mulai memanggil-manggil nama Subali. Tetapi setelah gema suara mereka lenyap, suasana lembah sunyi kembali.

"Subali! Jangan mempermainkan kami! Katakan, apakah kau menemukan Bunga Arum Dalu?! Kita harus bersama-sama mengantarnya ke kotaraja. Seperti sama-sama kita sepakati, hadiah itu harus dibagi adil!" teriak Kasa Raga lantang.

Karena tidak ada jawaban, maka orang-orang itu terus mencari. Sampai kemudian....

"Lihat! Ada darah di sini!" teriak salah seorang.

Seruan itu menarik perhatian yang lain. Seketika mereka berduyun-duyun mendatangi. Begitu sampai, Kasa Raga segera memeriksa. Benar saja! Darah yang mereka lihat itu darah manusia dan belum beku pula. Pertanda, kejadiannya baru saja. Dengan hati was-was, Kasa Raga diikuti beberapa orang laki-laki lainnya terus mengikuti ceceran darah ditanah.

Sampai akhirnya, mata Kasa Raga melotot dengan mulut ternganga. Orang-orang yang mengikuti laki-laki tegap itu juga sama kagetnya. Mereka melihat Subali dalam keadaan terkapar. Sekujur tubuhnya berlumuran darah. Tenggorokannya putus seperti dicabik binatang buas. Dadanya berlubang. Tampaknya, jantungnya telah dirogoh. Entah oleh binatang buas, atau manusia. Tetapi bila melihat luka-lukanya, yang membunuh Subali pastilah binatang buas.

"Satu teman kita tewas. Bukan mustahil kalau yang lainnya segera menyusul. Bukit Setan ini benar-benar sarang iblis! Keparat... Kita telah datang ke tempat yang salah!" dengus Kasa Raga sambil mengepalkan tinjunya. "Para iblis penghuni bukit ini! Kuharap mau menunjukkan diri dan berhadapan langsung dengan kami!" teriak laki-laki tegap itu lantang.

"Hauuung...!"

Sebagai jawabannya, tiba-tiba terdengar lolongan panjang mendirikan bulu roma. Untung saat ini adalah siang hari. Jika malam, mungkin beberapa orang yang bernyali kecil sudah lari tunggang langgang. Suara lolongan kemudian bersahut-sahutan. Yang lebih mengejutkan lagi, jarak antara suara yang terdengar dengan keberadaan mereka sangat dekat! Sehingga, membuat Kasa Raga dan kawan-kawannya jadi tegang.

"Kita telah terkepung!" teriak salah seorang.

Semua orang langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang, di antara rimbunnya bunga-bunga liar tidak terlihat apa-apa. Tetapi, pohon bunga itu bergoyang-goyang seperti dihempas angin kencang.

"Auuung! Uuung...!"

Dikejauhan terdengar suara rintih serigala mendayu-dayu. Sementara di bawah rumpun bunga-bunga liar, tampak sebuah gerakan. Lalu mendadak, muncul kawanan serigala yang sangat luar biasa jumlahnya, langsung menyerang Kasa Raga dan belasan laki-laki lainnya. Binatang-binatang buas itu seperti berpesta pora. Mereka mencabik-cabik mangsanya.

Tetapi para pencari Bunga Arum Dalu juga tidak tinggal diam. Dengan geram mereka mencabut senjata dan langsung melakukan serangan balasan. Mereka yang berbadan besar dan tegap seperti Kasa Raga, lebih suka tidak mempergunakan senjata. Dengan tangan-tangannya yang kokoh serigala-serigala itu ditangkapi kemudian dibanting ke batang pohon.

Tetapi serigala-serigala itu seperti sudah sangat terlatih saja. Mereka yang selamat dari benturan pohon, segera berbalik dan menyerang secara ganas. Walaupun para tokoh persilatan itu mempunyai kepandaian tinggi, namun menghadapi kawanan serigala yang jumlahnya mencapai ratusan, lambat laun mulai terdesak juga. Kasa Raga sadar betul dengan keadaan ini.

"Cincang makhluk-makhluk sialan yang berani mendekati kalian!" teriak Kasa Raga memberi semangat. Belum lenyap gaung suara laki-laki tegap itu, tiba-tiba saja....

"Akh..., aku kena...!" jerit salah seorang.

Perut laki-laki itu robek dicabik-cabik kuku serigala yang mengeroyoknya. Begitu tubuhnya ambruk, langsung menjadi sasaran serigala-serigala yang lain. Melihat keadaan ini, beberapa tokoh persilatan melepaskan pukulan jarak jauh ke arah serigala-serigala yang tengah mencabik-cabik orang yang roboh barusan. Dua larik sinar-sinar hijau melesat, langsung menghantam serigala-serigala itu.

Glarrr...!

"Ngukk!" Serigala yang terkena pukulan menguik keras. Satu-dua ekor mati. Namun yang datang kemudian berlipat ganda. Bahkan kali ini tampak pula sesosok tubuh berkelebat ketengah kancah pertarungan. Begitu berdiri ditengah-tengah ratusan serigala, tampak jelas kalau sosok yang baru datang adalah seorang gadis yang hanya memakai cawat dan penutup dada. Badannya kotor tidak terurus. Tatapan matanya liar, seolah haus darah.

"Hi hi hi...! Kalian datang kemari hanya ingin mencari mati. Suatu kebetulan bagiku aku sangat membutuhkan jantung kalian!" kata gadis yang tak lain Kuntalini.

"Siapa kau?!" bentak Kasa Raga, kaget.

"Aku Gadis Serigala pemakan jantung laki-laki!" sahut Kuntalini.

Gadis yang sesungguhnya berwajah cantik ini menyeringai. Tanpa bicara lagi segera diberinya isyarat pada kawanan serigala untuk menghabisi lawan-lawannya. Sementara, Kuntalini sendiri langsung menyerang Kasa Raga dengan jurus-jurus sangat berbahaya.

Kasa Raga terkesiap melihat gadis itu sangat cepat dalam melakukan terkaman. Laki-laki tegap itu langsung berkelit menghindar, saat tangan Kuntalini yang terpentang dan berkuku runcing menyambar tenggorokannya. Begitu serangan gadis itu tidak mengenai sasaran, maka dilepaskannya tendangan cepat bertenaga dalam tinggi.

Buukk!

"Huaaakh...!" Bukan main telaknya tendangan itu, sehingga membuat gadis serigala ini terpelanting roboh. Sambil menggeram seperti serigala, Kuntalini bangkit berdiri. Tampak nyata darah menetes dari sudut-sudut bibirnya.

"Graunghr!" Sambil meraung keras, gadis serigala ini menyerang Kasa Raga. Serangan-serangannya lebih ganas dan sangat berbahaya.

Sementara itu korban di kedua belah pihak terus berjatuhan. Lebih dari itu dua puluh ekor serigala mati oleh pukulan maupun senjata para tokoh rimba persilatan. Sebaliknya di pihak pencari Bunga Amm Dalu itu semakin sedikit. Mereka yang berusaha mati-matian mempertahankan diri, akhirnya tewas terkapar dengan luka-luka mengerikan.

Binatang-binatang buas yang sudah sangat terlatih ini segera mengepung Kasa Raga saat tidak ada lawan lagi. Laki-laki tegap ini tentu semakin terdesak. Ternyata, gadis ini selain mempunyai ilmu olah kanuragan tinggi, juga sangat ganas. Malah keganasannya melebihi serigala. Sehingga Kasa Raga terpaksa mencabut pedangnya.

Pada saat yang sama, lima puluh ekor serigala langsung menyerang laki-laki tegap itu dengan ganas. Tentu saja. Setangguh apa pun, menghadapi serangan serentak yang datang dari seluruh penjuru, Kasa Raga tidak dapat berbuat banyak. Apalagi empat ekor serigala telah menggigit tangannya. Delapan ekor menggigit kaki. Sedangkan sisanya menyerang anggota tubuh lainnya. Kasa Raga tidak kuasa lagi. Dan....

"Aaa...!" Jeritan keras terdengar dari mulut Kasa Raga.yang sudah hampir tidak berbentuk, karena cakaran dan gigitan serigala yang mengeroyoknya. Tubuhnya pun akhirnya ambruk, menyusul kawan-kawannya di akhirat.

********************

EMPAT

Dua orang prajurit yang bertugas di pintu gerbang utama menuju ke Istana Kerajaan Lima Laras langsung menghadang Pendekar Rajawali Sakti yang mengendarai kuda Dewa Bayu dengan perlahan-lahan. Rangga terpaksa menghentikan kudanya. Bibirnya tersenyum dengan kepala mengangguk pada kedua prajurit itu.

"Hendak ke mana, Kisanak?" tanya salah seorang pengawal berbadan tegap.

"Aku ingin bertemu Patih Luntaka!" jawab Pendekar Rajawali Sakti halus dan penuh kesopanan.

"Kalau begitu kau harus menunggu sebentar!" Pengawal berbadan tegap itu lantas memberi isyarat pada kawannya untuk segera melapor ke istana. Dengan berlari cepat, pengawal yang berbadan lebih pendek itu bergegas menuju ke istana.

Sementara Rangga sudah turun dari kudanya. Pandangannya beredar kesekeliling, dengan kepala terangguk-angguk. Suasana di sekitar istana terlihat sedikit hening. Nyaris tak ada seorang pun yang terlihat memancarkan wajah gembira. Semuanya seperti tengah berduka atas sakitnya Gusti Prabu.

"Kisanak, mari ikut aku!"

Rangga berbalik saat pengawal yang tadi melapor telah kembali. Dengan senyum manis Pendekar Rajawali Sakti segera mengikuti langkah pengawal bertubuh pendek, setelah menyerahkan kuda Dewa Bayu pada seorang pengurus kuda istana, untuk dibawa ke istal. Pendekar Rajawali Sakti diantar sampai pintu utama balairung istana. Dan tepat di ambang pintu telah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun. Bibirnya mengulas senyum gembira menyambut kedatangan Rangga.

"Pendekar Rajawali Sakti!" sambut laki-laki setengah baya itu, langsung memeluk Rangga.

"Apa kabarmu, Paman Patih Luntaka?" tanya Rangga, halus.

"Yah, beginilah aku. Kau sendiri bagaimana?"

"Berkat doamu, Paman Patih."

Sementara itu Putri Sentika Sari dan Panglima Layung Seta yang hadir di ruang balairung ini sudah bangkit berdiri. Dan begitu nama Pendekar Rajawali Sakti disebut, mereka tidak dapat menutupi rasa kagetnya.

"Oh, ya. Aku sampai lupa!" kata Patih Luntaka, seraya melepas pelukan.

"Putri, pemuda ini adalah orang yang telah menolong hamba ketika terjebak di Lembah Nestapa. Dia Pendekar Rajawali Sakti!" jelas Patih Luntaka.

Semua pembesar di Kerajaan Lima Lantas jelas pernah mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti dalam membasmi kejahatan. Tentu mereka tidak menyangka hari ini bakal bertemu orangnya secara langsung.

"Suatu kehormatan bagi kami, kau datang kemari, Pendekar Rajawali Sakti. Sayang ayahku dalam keadaan sakit. Sehingga beliau tidak dapat menjumpaimu!" ucap Putri Sentika Sari.

"Terima kasih. Maaf, panggil saja aku Rangga," ucap Pendekar Rajawali Sakti, dengan tata bahasa yang halus, seolah-olah sudah paham betul dengan tata krama istana. Memang tak ada yang tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya adalah seorang raja yang memerintah Kerajaan Karang Setra.

"Apakah penyakit yang diderita Gusti Prabu?" tanya Rangga ingin tahu.

Kemudian secara singkat dan jelas, Putri Sentika Sari menceritakan segala yang terjadi pada ayahandanya.

"Maaf. Sepertinya, Gusti Prabu Sida Brata menyimpan rahasia yang sangat besar. Penyakit yang dideritanya juga penuh teka-teki," gumam Rangga.

"Sanggupkah kau menyembuhkan penyakit Gusti Prabu, Pendekar, eh! Rangga?" tanya Patih Luntakan, meralat panggilan pada Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga tersenyum. "Sayang, aku bukan seorang tabib, Paman Patih. Tetapi alangkah lebih baik lagi jika aku melihatnya dulu!" desah Rangga.

Didampingi Patih Luntaka dan Panglima Layung Seta, Putri Sentika Sari mengantar Rangga menuju ke tempat peraduan Gusti Prabu Sida Brata.

Pendekar Rajawali Sakti menatap penuh keprihatinan pada seorang laki-laki berbadan kurus kering yang tergeletak tidak berdaya di peraduan. Tanpa diminta Rangga langsung memeriksa nadi Gusti Prabu. Nadinya ternyata lemah.

"Kurasa Gusti Prabu terkena Racun Bunga Bisa! Tidak salah kalau obat yang dapat menyembuhkannya hanya Bunga Arum Dalu," gumam Rangga.

Tentu saja semua orang yang berada di dalam ruangan ini jadi terkejut. Mereka tidak menyangka Pendekar Rajawali Sakti mengetahui penyakit yang diderita raja mereka.

"Dapatkah kau menolongnya?" tanya Putri Sentika Sari.

"Untuk mencegah sesuatu yang tidak terduga, kurasa aku perlu menyalurkan hawa murni, dulu. Tetapi terus terang, ada orang luar yang telah meracuninya dengan serbuk beracun Bunga Bisa!" duga Rangga, bernada yakin.

"Siapa?" tanya Panglima Layung Seta dan Patih Luntaka hampir bersamaan.

"Nanti kita selidiki!" sahut Rangga.

Setelah meminta persetujuan Putri Sentika Sari, Pendekar Rajawali Sakti segera duduk di samping Gusti Prabu Sida Brata. Kemudian matanya dipejamkan. Tidak lama, kedua telapak tangannya diletakkan di atas dada laki-laki setengah baya yang tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang itu. Secara perlahan dan sangat hati-hati sekali, mulai dikerahkan hawa murni ke bagian telapak tangan, lalu langsung disalurkan ke dada Gusti Prabu Sida Brata.

Tubuh yang dingin seperti membeku itu tampak mulai bergetar. Tubuh Rangga sendiri mulai bergetar saat hawa murninya yang ditunjang tenaga dalam tinggi mulai mengalir. Keringat mengucur deras. Semakin lama getaran semakin bertambah hebat. Dan dari ubun-ubun pemuda itu keluar asap tipis berwarna putih. Lalu...

"Hoeeekh...!" Gusti Prabu Sida Brata muntahkan darah kental berwarna hitam yang menebarkan bau teramat busuk. Saat itu juga Putri Sentika Sari menghampiri, dan membersihkan muntahan darah dengan kain.

Secara perlahan Pendekar Rajawali Sakti menarik tangannya sambil membuka matanya. Rompi putihnya basah. Sekarang setelah menyalurkan hawa murni yang disertai tenaga dalam tinggi ke tubuh Gusti Prabu tubuhnya terasa menjadi lemas seperti kehabisan tenaga.

"Apa yang kulakukan hanya sedikit mengurangi penderitaannya. Jika banyak darah beku yang keluar dari mulut paduka, akan lebih baik. Paling tidak, agar peredaran darahnya yang tersumbat dapat menjadi lancar kembali. Walaupun begitu ini hanya bersifat sementara. Dan Bunga Arum Dalu harus segera didapat. Terus terang aku tidak bisa pergi ke Bukit Setan sekarang ini, karena harus memulihkan tenaga beberapa saat saja," jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau memang perlu istirahat, Rangga. Biarkan aku akan mengantarmu kekamar peristirahatan...!" kata Patih Luntaka.

"Biarkan aku saja yang mengantarnya, Paman Patih!" sergah Putri Sentika Sari. Entah mengapa, begitu melihat sosok Pendekar Rajawali Sakti, Putri Sentika Sari merasa jantungnya berdebar-debar. Seolah kedukaannya selama ini lenyap begitu saja.

Patih Luntaka tentu saja tidak berani membantah. Padahal, sesungguhnya banyak yang ingin ditanyakannya tentang penyakit Penguasa Kerajaan Lima Laras ini.

Malam telah menghujam bumi. Suara serangga malam bagaikan tembang saling bersahut-sahutan memeriahkan suasana malam. Belasan orang prajurit bersenjata lengkap tampak berjaga-jaga di bagian depan Istana Kerajaan Lima Laras. Di samping bangunan istana juga terlihat beberapa pasukan pemanah yang bersiap-siap. Patih Luntaka, Panglima Layung Seta, dan Eyang Kinta Manik sedang berbincang-bincang di ruang pertemuan bersama Rangga dan Putri Sentika Sari.

Namun tak lama kemudian Pendekar Rajawali Sakti dan putri Gusti Prabu Sida Brata itu segera memasuki ruangan khusus yang terletak di sayap kiri bangunan.

"Mungkin aku segera meninggalkan kerajaan ini. Tetapi sebelum itu kulakukan, menurut Putri apakah ada orang asing dengan alasan apa pun pernah datang menjumpai Gusti Prabu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti setelah mereka duduk di kursi ruangan ini.

"Mengapa kau tanyakan hal itu?" Putri Sentika Sari malah balik bertanya.

"Serbuk racun Bunga Bisa hanya akan mengenai sasaran, bila pemiliknya berhadapan langsung dengan orang yang akan menjadi korbannya. Racun itu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh langka beraliran hitam," jelas Rangga, pelan.

Putri Sentika Sari terdiam. Dia tampak berusaha mengingat-ingat segala sesuatu yang terjadi sebelum ayahandanya jatuh sakit. Rasanya tidak banyak tamu yang datang ke Istana Lima Laras. Namun tiba-tiba saja gadis ini teringat tentang kehadiran dua orang perempuan tua memakai kerudung. Waktu itu, suasana dalam keadaan hujan lebat. Dan kedua perempuan yang mengaku datang dari sebuah tempat yang jauh tersebut, memaksa ingin bertemu Gusti Prabu.

Setelah kedua tamu itu diperkenankan bertemu Gusti Prabu, sepeminuman teh kemudian tamu-tamu itu pergi. Entah apa yang mereka bicarakan. Gusti Prabu Sida Brata sendiri tidak pernah mengatakan apa maksud kedatangan kedua orang asing itu. Namun yang jelas, setelah pertemuan itu, Putri Sentika Sari melihat wajah ayahnya agak pucat seperti orang yang kurang sehat. Apa yang diingat gadis ini lantas diceritakan pada Pendekar Rajawali Sakti secara lengkap.

"Rasanya kedua orang itulah yang telah membawa racun Bunga Bisa. Racun itu bekerja dalam waktu yang lama. Sehingga, sekarang kelihatan hasilnya. Bahkan racun itu dapat mencelakai orang lain melalui sentuhan tangan, udara, ataupun makanan. Selain itu kurasa ada rahasia besar yang disimpan ayahmu!" papar Rangga.

"Kalau begitu aku akan menanyakannya," kata Putri Sentika Sari.

"Jangan sekarang. Penyakit Gusti Prabu bisa semakin bertambah parah. Nanti saja bila Bunga Arum Dalu sudah kudapatkan!" saran Rangga.

"Tahukah kau ciri-ciri bunga itu?"

"Tentu! Bunga itu memang sangat langka, dan hanya dapat tumbuh di atas batu berlumut. Bunganya berwarna merah darah, menebarkan bau harum bila malam hari. Bila siang hari, akan menebarkan bau busuk seperti bangkai manusia! Sudahlah..., sekarang perintahkan pada Panglima Layung Seta untuk menyusun kekuatan. Kurasa kedatangan orang itu bukan hanya sekadar meracuni ayahandamu. Mereka pasti punya racun lain yang lebih besar lagi!" ujar Rangga. "Untuk itu, persiapkan segala sesuatunya sebelum benar-benar terlambat!" Pemuda berbaju rompi putih ini lalu bangkit dari tempat duduknya. Dipandanginya Putri Sentika Sari sesaat lamanya.

Mendapat tatapan yang sebenarnya menyejukkan, justru gadis cantik itu menundukkan kepala. Tak kuasa dia menentang tatapan pemuda itu yang begitu menghanyutkan. Memang patut diakui, pertemuan mereka boleh dibilang baru sebentar saja. Tetapi Putri Sentika Sari merasa cepat akrab. Apalagi, Rangga adalah seorang pemuda yang cukup menyenangkan serta mempunyai pengalaman luas.

"Nah, sekarang aku harus pergi. Nanti kita kembali ke ruang pertemuan untuk menemui yang lain," ajak Rangga.

Putri Sentika Sari kemudian mengantarkan Rangga ke ruang pertemuan kembali. Sementara Patih Luntaka, Panglima Layung Seta, dan Eyang Kinta Manik menunggu dengan setia.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Iblis Pemabuk yang juga ikut mencari Bunga Arum Dalu, sekarang telah berada di sebelah tenggara Bukit Setan. Siang dan malam dia memang hampir tidak pernah berhenti mencari. Namun kini rasa letih telah benar-benar menggerogoti tubuhnya.

"Keparat! Sampai kapan aku bisa bertahan?! Bunga celaka itu sampai hari ini masih belum juga kudapatkan. Dalam keadaan gelap begini, aku tidak bisa menentukan arah. Aku pernah mendengar Bunga Arum Dalu menebarkan bau wangi semerbak bila malam hari. Mudah-mudahan hanya aku yang mendapatkan bunga itu. Lagi pula, persaingan ini hanya antara aku dan Pendekar Lima Lautan. Semoga saja Pendekar Lima Lautan mampus dimangsa serigala seperti orang-orang tolol yang kutemukan di selatan bukit ini!" oceh laki-laki berpakaian serba hitam dengan wajah dipenuhi brewok itu.

Kemudian ia meneguk arak keras dari dalam guci, yang selalu dibawanya ke mana pun pergi. Lalu disekanya kumis yang berselemot arak.

"Malam-malam begini memang paling enak minum arak. Apalagi jika ditemani gadis cantik seperti Putri Sentika Sari. Tentu akan lebih menyenangkan lagi. Hmm.... Aku bersumpah bila Bunga Amm Dalu kudapatkan, aku bersikeras untuk meminta putri itu untuk menjadi milikku. Aku kurang begitu suka dengan harta, terkecuali wanita!"

Laki-laki berbaju serba hitam ini kemudian melanjutkan langkahnya kembali. Namun baru saja beberapa tindak kakinya terayun, tiba-tiba saja angin tenggara berhembus. Di tengah-tengah hembusan angin tercium bau harum menyengat hidung.

"Bunga..., bau bunga itu...?" desis Iblis Pemabuk, dengan mata melotot penuh suka cita.

Hidung laki-laki berwajah angker itu tampak kembang-kempis. Lalu kakinya terus bergerak ke arah sumber datangnya bau bunga tadi. Semakin lama baunya semakin menyengat. Dan jantung Iblis Pemabuk makin berdebar-debar saja. Sampai kemudian, sampailah laki-laki ini di pinggir tebing batu. Rasanya Bunga Arum Dalu sudah sangat dekat dengan dirinya. Akan tetapi di saat tinggal menentukan di mana letak bunga....

Wesss...!

"Heh?!" Tiba-tiba melayang tiga buah benda berwarna putih mengkilat dari belakang Iblis Pemabuk. Laki-laki ini jelas sangat merasakan ada desiran halus di belakangnya. Sehingga dengan cepat sekali dia membuang diri ke sebelah kiri. Sementara ketiga benda berwarna putih itu terus melayang, lalu menghujam batu.

Crep! Crep! Crep!

Benda berwarna putih itu langsung menancap di permukaan batu. Jika seseorang mampu melempar senjata rahasia sampai dapat menembus batu, tentu tenaga dalamnya sudah sangat tinggi. Dengan cepat, Iblis Pemabuk bangkit berdiri. Diperiksanya senjata rahasia itu dan dicabutnya dari permukaan batu. Ternyata senjata rahasia itu terbuat dari tulang-belulang manusia yang diruncingkan pada bagian ujungnya. Laki-laki berwajah angker ini terkesiap. Lalu kepalanya menoleh ke belakang. Suasana tetap sunyi, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di situ.

"Manusia setan! Jangan jadi pengecut dan beraninya main bokong! Ayo, tunjukkan diri!" teriak Iblis Pemabuk.

"Hik hik hik...! Kedatanganmu hanya membuang nyawa percuma! Tahukah kau, tidak seorang pun yang kuizinkan mengambil Bunga Arum Dalu. Terkecuali, orang-orang yang merelakan nyawanya ditukar dengan bunga itu!" Mendadak terdengar sebuah sahutan yang disertai tawa panjang mengikik.

"Siapa kau?" bentak Iblis Pemabuk.

"Aku adalah penghuni Bukit Setan! Bunga Arum Dalu hanya berbunga sekali dalam setahun. Lantas, apakah bunga langka harus kuberikan pada orang lain begitu saja? Padahal, untuk menikmati baunya yang harum aku harus menunggunya selama setahun," kata suara yang belum jelas wujudnya.

"Aku sangat membutuhkannya!" kata Iblis Pemabuk.

"Jangan berdusta! Aku tahu, bunga itu akan kau berikan pada Sida Brata keparat! Hm.... Kau adalah orang yang licik dan serakah! Tapi aku suka dengan sifatmu. Untuk itu, silakan pergi dari tempat ini!"

"Tapi...!"

"Jangan membantah! Aku adalah nenek moyangnya para iblis, tahu?! Aku tahu kau ingin mendapatkan bunga itu untuk mendapatkan Putri Sentika Sari! Padahal jika kau mau bergabung denganku, keinginan untuk memilikinya kemungkinan besar akan terkabul! Tanpa susah-susah mencari Bunga Arum Dalu!"

Karena Iblis Pemabuk pada dasarnya memang menginginkan Putri Sentika Sari daripada hadiah emas yang dijanjikan, mendengar tawaran itu semangatnya timbul kembali. Dan belum juga Iblis Pemabuk membuka suara, dari balik pohon berkelebat sosok bayangan. Dan tahu-tahu di depan laki-laki berpakaian serba hitam ini berdiri seorang perempuan tua berpakaian compang-camping. Rambutnya yang putih digelung ke atas. Alisnya pun telah berwarna putih. Dia tak lain dari Nini Baji Setan.

Melihat keadaan Nini Baji Setan, Maka timbul lagi keragu-raguan di hati Iblis Pemabuk. Kalau dia bergabung, sanggupkah perempuan tua ini menghadapi prajurit kerajaan yang cukup kuat?

"Hei?! Mengapa kau menatapku begitu?! Kau ragu dengan kemampuanku?! Aku Nini Baji Setan yang menguasai Bukit Setan! Apa kau ingin membuktikan kesaktianku? Bersiaplah...," sentak perempuan tua itu, mengagetkan Iblis Pemabuk yang tengah menimbang-nimbang keputusannya.

"Eh, tidak, tidak. Aku percaya denganmu, Nini. Perkenalkan aku Suta Soma alias Iblis Pemabuk. Oh, ya. Apakah Nini akan menyerang Kerajaan Lima Laras?"

"Aku bukan maling kecil pengecut. Jika aku bergerak bersama murid dan pasukan serigalaku, maka habislah riwayat Kerajaan Lima Laras. Lagi pula percuma bila pihak kerajaan melawan kita. Sebab satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit Sida Brata ada di tanganku. Aku yang meracuninya. Tentu, aku pula yang dapat menyembuhkannya!" sahut Nini Baji Setan, mendesis.

"Kapan Nini akan menyerang Kerajaan Lima Laras?" tanya Iblis Pemabuk.

"Tunggu saja. Tahap pertama baru sampai pada tingkat meracuni Sida Brata dengan serbuk racun Bunga Bisa. Untuk sekarang ini belum bisa kujelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Sekarang aku ingin bertanya padamu, apakah kau bersedia bergabung denganku atau tetap bersikeras ingin mendapatkan Bunga Arum Dalu?"

Suta Soma berpikir sejenak. Mendengar penjelasan perempuan di depannya yang katanya memiliki pasukan serigala, Iblis Pemabuk jadi tertarik untuk bergabung. Dengan menguasai serigala, dia yakin Nini Baji Setan adalah tokoh yang dapat diandalkan untuk dijadikan pemimpin. Dengan begitu, bukan mustahil keinginannya untuk mendapatkan Putri Sentika Sari akan terkabul, tanpa susah payah mencari Bunga Arum Dalu.

"Baiklah aku mau bergabung denganmu. Asal, kau mau berjanji. Jika serangan kita nanti berhasil, Putri Sentika Sari harus jadi milikku!"

"Serangan ke sana masih dua hari lagi. Sekarang masih ada waktu buat kita untuk mengatur siasat. Tempat ini untuk sementara biar dijaga Nini Sumbing. Mari ikut aku!" jelas Nini Baji Setan.

Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, Iblis Pemabuk segera mengikuti perempuan tua itu. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasi. Dan pemilik sepasang mata itu baru keluar dari persembunyiannya di balik sebuah pohon besar setelah Iblis Pemabuk dan Nini Baji Setan tak terlihat lagi.

********************

LIMA

"Jagat Dewa Batara...! Itukah Bunga Arum Dalu...?" desah Pendekar Lima Lautan langsung larut dalam kegembiraan.

Rupanya di hari yang masih sangat pagi ini pemuda berjuluk Pendekar Lima Lautan itu secara tak terduga sampai di pinggir tebing, tempat Bunga Arum Dalu yang sedang mekar itu tumbuh! Karena matahari belum lagi kelihatan di langit sebelah timur, maka bunga berwarna merah darah yang hanya setangkai ini masih menyisakan bau harum semerbak.

Semalam, Pendekar Lima Lautan juga mencium harum semerbak Bunga Arum Dalu. Makanya, kakinya segera melangkah ke arah sumber bau harum. Kedatangannya hanya berselisih tak lama dengan kedatangan Iblis Pemabuk dan Nini Baji Setan. Jadi diam-diam dia sempat mencuri dengar pembicaraan mereka. Baru setelah itu Kala Sakti melanjutkan pencarian.

Pendekar Lima Lautan langsung memetik kuntum Bunga Amm Dalu, lalu menyimpannya dibalik pakaiannya. Begitu bunga dipetik, beberapa kejap setelahnya, pohon bunga yang menempel pada permukaan batu itu langsung layu. Namun tiba-tiba.....

"Heh?!" Pendekar Lima Lautan terkejut bukan main dan langsung melompat mundur, ketika tiba-tiba dinding tebing runtuh. Pendekar yang mempunyai nama asli Kala Sakti ini segera berkelebat ke arah bagian dinding batu yang tak runtuh. Namun baru saja mendapat tempat yang aman....

"Pencuri busuk! Kembalikan Bunga Arum Dalu!"

Terdengar bentakan keras yang disertai berkelebatnya satu sosok tubuh ramping ke arah Kala Sakti. Bahkan sebelum pemuda itu berbalik, tiba-tiba telah meluncur serangkum angin berhawa dingin ke arahnya. Kala Sakti tanpa buang-buang waktu lagi segera membuang tubuhnya ke tanah. Namun....

Glaaar...!

"Aaakh...!" Pendekar Lima Lautan terlambat sedikit, sehingga kaki kanannya sempat tersambar angin pukulan jarak jauh dari sosok ramping yang berkelebat itu. Pemuda ini, menjerit kesakitan. Tubuhnya terhempas. Sedangkan kaki kanannya terasa kaku, seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum. Sebagai pendekar yang cukup berpengalaman, segera dikerahkannya tenaga dalam ke bagian kaki yang terkena pukulan. Sehingga sebentar saja rasa sakit yang mendera kakinya agak berkurang. Dengan terpincang-pincang Pendekar Lima Lautan bangkit berdiri.

Ketika memandang kedepan, tampak seorang perempuan tua yang tangan kanannya lebih kecil daripada tangan kiri. Demikian pula kaki kanannya. Nenek berambut putih itu selain cacat anggota badannya, juga berbibir sumbing. Namun melihat tenaga yang terkandung dalam pukulannya tadi, tampaknya kepandaiannya sangat tinggi. Dan keangkerannya makin bertambah bila melihat sebuah cambuk yang berujung tengkorak kepala serigala yang melilit pinggangnya.

"Siapa Nisanak ini? Mengapa menyerangku?" tanya Kala Sakti dalam hati.

"Cuih!" Nenek berbibir sumbing yang berdiri agak miring ke kanan dengan bertolak pinggang ini meludah ke tanah. Karena bibir atasnya sumbing, maka ludahnya pun berhamburan. "Pencuri sialan! Aku adalah penjaga Bunga Arum Dalu. Sekarang kembalikan bunga itu! Atau, kau memilih mati di tanganku!" bentak perempuan tua yang tak lain Nini Sumbing berang.

"Maaf, Nek. Bunga ini tumbuh liar begitu saja. Jadi siapa pun berhak memilikinya. Lagi pula wilayah ini adalah termasuk Kerajaan Lima Laras. Jadi kalaupun ada pemiliknya, maka Gusti Prabu Sida Bratalah yang berhak," jawab Kala Sakti, tenang.

"Keparat! Kau sekarang sedang berhadapan dengan Nini Sumbing tahu?! Jika kau tidak mau mengembalikan bunga yang kau curi, maka aku segera membunuhmu!" teriak perempuan tua itu berang.

"Terus terang. Bunga Arum Dalu saat ini dibutuhkan Gusti Prabu Sida Brata untuk menyembuhkan penyakit. Jadi aku tidak bisa mengembalikannya!" tegas Kala Sakti.

Jawabannya ini jelas-jelas merupakan sebuah penghinaan bagi Nini Sumbing. Sehingga amarahnya tidak dapat lagi dikendalikan. Maka disertai teriakan keras, tiba-tiba saja tubuhnya meluruk dengan jemari tangan terkembang.

Melihat tangan perempuan tua itu mencengkeram ke bagian leher dan matanya, Pendekar Li-ma Lautan menggeser kakinya sejauh tiga langkah ke belakang dengan kepala dimiringkan ke kiri. Dengan begitu, serangan ganas Nini Sumbing meluncur diatas kepala Kala Sakti. Melihat kesempatan baik ini, pemuda berbaju putih itu melepaskan tinjunya ke bagian iga. Serangan kilat ini benar-benar tak terduga. Tidak ampun lagi....

Duuuk...!

"Heegkh...!" Nenek berbibir sumbing itu terdorong mundur dengan dada terasa sesak dan sulit bernapas. Merah padam wajah Nini Sumbing seketika. Langsung tinjunya dikepalkan. Tangan yang tinggal kulit pembalut tulang itu diputar-putar sehingga menimbulkan suara menderu-deru. Beberapa saat setelah itu, kedua tangan Nini Sumbing telah berubah hitam seperti arang. Lalu tubuhnya yang ramping segera melenting ke udara. Ketika meluncur kembali, kedua tangannya itu didorongkan ke arah Kala Sakti.

Wuussss...!

Seketika selarik sinar berwarna hitam meluncur deras ke arah Pendekar Lima Lautan. Pemuda itu tentu menyadari datangnya bahaya ini. Maka dengan cepat pula tangannya mengibas. Segulung angin kencang menderu disertai menebarnya hawa panas luar biasa meluncur dari kibasan tangan Kala Sakti. Tidak dapat, dihindari kedua pukulan itu akhirnya bertemu di tengah-tengah.

Blam...! "Aaaukh...!"

Tampak dua sosok tubuh terlempar ketika ledakan dahsyat terjadi. Ternyata, Nini Sumbing dengan gerakan manis masih dapat menjejakkan kakinya diatas tanah. Sedangkan Pendekar Lima Lautan tampak terguling-guling sambil muntahkan darah segar. Walaupun begitu, Kala Sakti segera bangkit berdiri. Wajahnya tampak pucat, pertanda luka dalam yang diderita cukup parah.

Sriing...!

Pendekar Lima Lautan segera mencabut sebilah lempengan logam yang panjangnya sekitar dua jengkal berwarna putih keperakan. Dengan kelincahan jarinya, lempeng logam yang ternyata berlapis dua dicentilnya pada lapisan pertama. Sehingga ketika mengembang, bentuknya seperti baling-baling saja. Tanpa banyak bicara lagi Kala Sakti langsung melempar senjatanya ke arah Nini Sumbing. Senjata baling-baling yang mempunyai ketajaman seperti pedang pada keempat sisinya itu berputar dan terus meluncur bagaikan bermata.

Semula perempuan tua ini menganggap enteng senjata itu dengan menghindari seenaknya. Tetapi setelah melihat keganasan senjata yang terus memburunya ke mana pun bergerak, mau tidak mau matanya mulai terbuka. Maka segera diloloskannya cambuk terbuat dari buntut ikan pari yang bagian ujungnya tergantung tengkorak kepala serigala dari pinggangnya. Dan saat itu juga, cambuknya dilecutkan.

Ctar...! Ctarrr...!

Suara lecutan cambuk yang memekakkan telinga mengiringi meliuknya mata cambuk ke arah senjata milik Pendekar Lima Lautan. Namun senjata baling-baling yang dapat dikendalikan dari jarak tertentu ini, tiba-tiba bergerak ke atas. Nini Sumbing terus berusaha meruntuhkan senjata itu dengan lecutan cambuknya.

Ctar! Ctar! Ctar!

"Heh?!" Dikejar keatas, senjata yang menyerupai baling-baling ini malah meluncur ke bawah menyambar kepala. "Kurang ajar!" maki Nini Sumbing sambil menghindar dengan memiringkan tubuhnya. Namun, tidak urung senjata itu masih sempat menyambar bahunya.

Cresss...!

"Akh...!" Jeritan keras langsung terdengar dari mulut Nini Sumbing. Bahunya yang tergores senjata baling-baling tampak mengucur darah.

Sementara, senjata baling-baling itu telah meluncur kembali ke arah pemiliknya. Lincah dan mantap sekali Pendekar Lima Lautan menangkap senjatanya.

"Bangsat kurang ajar! Aku tidak akan pernah berhenti sebelum mencincang tubuhmu dengan cambukku ini!" teriak Nini Sumbing.

Tiba-tiba saja perempuan tua itu menerjang ke depan. Sedangkan cambuk di tangannya tampak berputar-putar, lalu meluncur ke depan bagaikan seekor ular yang ingin mematuk mangsa. Serangan cambuk itu datangnya terlalu cepat.

Pendekar Lima Lautan terpaksa membuang tubuhnya ke samping, lalu berguling-guling menghindar. Dan begitu bangkit berdiri segera tenaga dalamnya dikerahkan kebagian telapak tangan. Lalu....

"Pukulan 'Badai Laut Bergelora'! Hiyaaa...!" Disertai teriakan keras, pemuda berbaju putih ini mengibaskan tangan kanannya ke arah perempuan tua itu. Seketika selarik sinar biru meluncur deras ke arah Nini Sumbing. Suasana di sekelilingnya langsung berubah menjadi dingin sekali.

Namun nenek berbibir sumbing itu segera menggerakkan cambuk di tangan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dari lecutan itu meluruk angin menderu, memapak serangan Pendekar Lima Lautan. Sehingga....

Glarrr...!

"Huaaakh...!" Pendekar Lima Lautan kontan terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Rupanya sebagian pukulan yang dilepaskannya membalik, karena membentur angin dari lecutan cambuk. Walaupun tubuh kurus nenek itu bergetar, tetapi luka dalam yang diderita Kala Sakti semakin bertambah parah saja.

"Hik hik hik...! Sebentar lagi ajalmu segera tiba. Hiyaaa...!"

Nini Sumbing tampaknya tak ingin membuang-buang waktu lagi untuk menghabisi pemuda itu. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah Kala Sakti. Sambil melecutkan cambuk di tangan kanannya, tangan kirinya menghentak ke depan. Segulung angin dingin menebarkan bau busuk meluncur ke arah Pendekar Lima Lautan.

Pemuda itu terpaksa melempar senjata yang berada di tangan kiri untuk menghadang serangan cambuk. Sedangkan tangan kanannya segera mendorong ke depan.

Trang! Blarrr!

"Aaakh...!" Senjata membentur senjata. Sedangkan pukulan yang dilepaskan satu sama lain beradu pula. Semuanya terjadi dalam waktu yang bersamaan. Kala Sakti menjerit keras. Tubuhnya kontan terjengkang. Sedangkan dari mulut serta hidungnya, telah mengeluarkan darah. Tampak jelas kalau tenaga dalamnya satu tingkat di bawah Nini Sumbing.

"Benar seperti apa yang kukatakan! Kau bakal mati di tanganku!" dengus Nini Sumbing yang hanya terjajar beberapa langkah. Saat itu juga perempuan tua itu kembali menyalurkan tenaga dalam tinggi ke tangannya. Lalu.....

"Pukulan 'Serigala Bermandi Bisa'! Heaaa...!" Dengan teriakan keras, Nini Sumbing mendorong tangan kanannya ke arah pemuda ini. Serangan ini justru yang paling berbahaya. Karena Nini Sumbing melepaskan pukulan beracun yang sangat ganas!

Sinar hitam berbau amis meluncur ke arah Kala Sakti. Pemuda ini hendak menghindar dengan berguling-guling. Namun celaka sekujur tubuhnya sulit digerakkan. Saat itu juga dia merasa sekaranglah ajalnya akan tiba. Matanya sudah terpejam, menunggu ajal menjemput dengan pasrah.

Akan tetapi kiranya Tuhan belum menghendaki kematian Pendekar Lima Lautan ini. Karena pada saat yang sama melesat cepat bayangan putih ke arah Kala Sakti. Langsung disambarnya tubuh Pendekar Lima Lautan setelah dengan kecepatan luar biasa tangannya menghentak ke arah Nini Sumbing.

Wuuut...!

Sinar merah bagaikan bara meluncur ke arah Nini Sumbing. Perempuan tua itu sama sekali tak menduga pukulannya ada yang memapaki. Sehingga dengan mata melotot dia terjingkat kaget. Lalu....

Glarrr...!

"Wuaaakh...!" Nini Sumbing menjerit keras dan jatuh terduduk ketika benturan keras terjadi. Pantatnya yang tepos menghantam batu sehingga membuatnya menggeliat kesakitan. Selain itu dadanya terasa sakit bukan main. Jalan darahnya jadi kacau. Terpaksa wanita ini duduk bersila, kemudian memejamkan matanya untuk mengerahkan hawa murni. Sementara bayangan putih tadi telah berkelebat, membawa tubuh Pendekar Lima Lautan.

"Inilah yang dinamakan celaka! Segala sesuatunya yang kukerjakan semuanya tidak ada yang benar!" dengus Nini Sumbing ketika telah menyelesaikan semadinya. "Apa lagi alasan yang dapat kuberikan pada Ketua? Lalu siapa yang telah menyelamatkannya?'' Dengan hati diliputi rasa was-was, Nini Sumbing bangkit dan melangkah pergi.

********************

Sosok bayangan putih yang telah menyelamatkan Pendekar Lima Lautan terus berkelebat menjauhi Bukit Setan. Dan begitu sampai di sebuah tempat di mana ada seekor kuda hitam berkilat, barulah dia berhenti. Kini, tampak kalau sosok bayangan putih itu adalah seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung rajawali bertengger di punggung. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku harus memeriksa keadaannya!" gumam Rangga. Pendekar Rajawali Sakti lantas menurunkan tubuh Kala Sakti dari atas bahunya. Setelah membaringkan tubuh Pendekar Lima Lautan di tempat yang teduh, segera dilakukannya pemeriksaan.

"Uhuk..., huk... huk...!" Kala Sakti terbatuk-batuk, sehingga membuat darahnya keluar dari mulut.

"Jangan terlalu banyak bergerak, Kisanak. Kau terluka dalam," ujar Rangga, halus.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian menempelkan kedua tangannya di dada Pendekar Lima Lautan untuk mengerahkan hawa murni dan tenaga dalam sedikit demi sedikit. Tubuh Pendekar Lima Lautan tampak terguncang. Dari mulutnya semakin banyak saja darah yang keluar. Sampai akhirnya, pemuda berpakaian serba putih itu berusaha duduk. Pendekar Rajawali Sakti menarik tangannya, membantu duduk.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Rangga.

"Sudah agak baikan, Kisanak. Kau telah menyelamatkan aku dari maut. Aku berhutang nyawa padamu!" ucap Kala Sakti.

"Lupakanlah. Oh ya.... Namaku Rangga. Kalau tidak salah, bukankah kau yang bernama Kala Sakti?" tebak Rangga.

Pendekar Lima Lautan tentu saja terkejut. Dia tidak menyangka pemuda berbaju rompi putih itu mengenalinya.

"Bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanya Kala Sakti heran.

"Putri Sentika Sari bercerita tentangmu sebelum aku datang ke istananya," jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Bagaimana keadaan Gusti Prabu?" tanya Pendekar Lima Lautan lebih lanjut.

"Kurasa membutuhkan Bunga Arum Dalu untuk menyembuhkannya!" sahut Rangga.

"Kebetulan aku telah berhasil mengambilnya," kata Kala Sakti. Kemudian secara jelas Pendekar Lima Lautan menceritakan tentang usahanya untuk mendapatkan Bunga Arum Dalu. Sampai akhirnya, dia bentrok dengan Nini Sumbing.

"Usahamu sangat terpuji, Pendekar Lima Lautan. Aku akan mengusulkan pada putri agar memberimu jabatan di kerajaan," puji Rangga, tulus.

"Aku bukan orang yang gila harta atau jabatan. Sudahlah.... Sebaiknya kita kembali ke Kerajaan Lima Laras secepatnya!" saran Kala Sakti. Pendekar Rajawali Sakti mengangguk setuju.

"Pergilah kau lebih dulu. Kau bisa mempergunakan kudaku. Lukamu belum sembuh benar," ujar Rangga.

"Dan, kau sendiri bagaimana?" tanya Kala Sakti.

"Aku bisa mengikutimu dari belakang. Lagi pula, jangan terlalu memikirkan aku!"

Rangga kemudian segera memapah Pendekar Lima Lautan ke arah Dewa Bayu. Setelah menaikkan Kala Sakti ke atas punggungnya, Pendekar Rajawali Sakti mengusap-usap leher Dewa Bayu.

"Bawa temanku ini ke Kerajaan Lima Laras, Dewa Bayu!"

"Hieeekh...!"

"Graunngg...!"

"Heh?!" Baru saja kuda hitam itu meringkik, tiba-tiba dari semak belukar bermunculan puluhan ekor serigala. Dewa Bayu kontan berubah liar. Untung Kala Sakti dapat menjaga keseimbangan. Kalau tidak, tentu sudah terlempar dari punggung kuda.

"Cepat tinggalkan tempat ini, Dewa Bayu!" teriak Rangga.

Secepat kilat, Dewa Bayu berlari membawa tubuh Pendekar Lima Lautan. Melihat Rangga dalam keadaan terkepung oleh kawanan serigala itu, sebenarnya Pendekar Lima Lautan jadi merasa tak enak. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa di atas punggung Dewa Bayu yang melesat bagai anak panah lepas dari busur.

Tinggallah Pendekar Rajawali Sakti berada di tengah-tengah kepungan kawanan serigala. Pemuda itu mengedarkan pandangan, mengawasi keadaan sekeliling.

"Hm.... Kalau tidak salah, biasanya bila serigala-serigala ini muncul, tentu majikannya selalu menyertai. Lagi pula mengapa jumlah makhluk ini sangat sedikit? Persetan! Aku harus menghadapi mereka sebelum mereka bergerak mencabik-cabik tubuhku!" desis Rangga.

"Auuung...!" Serigala yang bertubuh paling besar tiba-tiba saja melolong panjang. Rupanya suara lolongan itu merupakan isyarat untuk menyerang. Terbukti beberapa saat kemudian, kawan-kawannya langsung menyerang dalam waktu hampir bersamaan.

"Auuung...!" Suara serigala itu terdengar di sana-sini. Mereka menerkam dengan kuku-kukunya yang mencuat panjang. Sedangkan mulutnya yang menganga dengan taring runcing, berusaha merobek-robek tubuh Rangga.

Melihat serangan yang datang, tak ada pilihan lain bagi Rangga untuk segera membuat kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya langsung dialirkan tenaga dalam tinggi. Lalu....

"Aji 'Bayu Bajra'...! Heaaa...!" Disertai teriakan keras Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke arah empat mata angin. Seketika dari kedua telapaknya meluruk angin topan berkekuatan dahsyat, menyapu serigala-serigala itu. Begitu kuatnya angin topan itu, membuat debu dan bebatuan beterbangan. Pohon-pohon pun bertumbangan tak tentu arah.

"Ngiikk...!" Sementara serigala-serigala itu berpelantingan tersapu angin topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti. Di antaranya tewas seketika dengan tubuh hancur, karena menabrak batu atau pohon-pohon yang banyak tumbuh di sekitarnya. Namun yang masih bisa bertahan segera lari terbirit-birit meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga segera menarik napas lega saat tak ada lagi serigala yang menyerangnya. Seraya kemudian segera melangkah pergi meninggalkan tempat itu.

********************

ENAM

Pendekar Lima Lautan langsung menjura hormat begitu melihat kehadiran Putri Sentika Sari dan Patih Luntaka. Dengan ramah wanita itu mempersilakan Kala Sakti duduk diatas permadani setelah dia sendiri duduk disinggasananya. Sementara, Patih Luntaka mendampingi di sisinya.

"Bagaimana hasilnya, Pendekar Lima Lautan?" tanya Patih Luntaka langsung pada pokok persoalan.

"Aku berhasil membawa Bunga Arum Dalu, Paman Patih!" sahut Kala Sakti dengan senyum gembira.

Pendekar Lima Lautan mengeluarkan sekuntum bunga berwarna merah darah dari balik bajunya. Kemudian segera menyerahkannya pada Putri Sentika Sari. Gadis itu tampak berbinar matanya. Wajahnya pun berseri-seri. Diperhatikannya bunga ditangan dengan tatapan seakan tidak percaya.

"Kau benar-benar telah mendapatkannya! Puji syukur kepada Tuhan!" Putri Sentika Sari bersorak kegirangan setelah bangkit berdiri dari singgasananya.

"Paman Patih! Tolong berikan hadiah yang telah kita janjikan. Oh, ya.... Sediakan sebuah kamar untuk melepas lelah buat Pendekar Lima Lautan!" perintah wanita cantik itu.

"Jangan...! Terus terang aku mencari Bunga Arum Dalu semata-mata bukan karena ingin mendapatkan hadiah. Lagi pula, jika tidak ditolong Rangga, mungkin aku tidak sampai ke kerajaan ini lagi!" ujar Kala Sakti.

"Jadi kau bertemu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Patih Luntaka.

Pendekar Lima Lautan tentu terkejut mendengar ucapan Patih Luntaka. Sama sekali tidak disangka bahwa Rangga pemuda yang telah menyelamatkan jiwanya, tidak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti yang terkenal itu.

"Jadi..., jadi Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti...? Sungguh tidak kuduga kalau dia orangnya. Tapi terus terang Rangga telah menolongku. Dia Bahkan telah meminjamkan kudanya agar aku cepat sampai ke sini. Tetapi aku tak tahu, bagaimana nasibnya. Sebab ketika kutinggalkan, dia dikepung sekawanan serigala," jelas Kala Sakti khawatir.

Wajah Putri Sentika Sari tampak berubah mendung. Seolah dia benar-benar mengkhawatirkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan entah mengapa hatinya jadi cemas memikirkan keselamatan pemuda itu. Sungguh, sejak pertama kali bertemu Rangga, Putri Sentika Sari merasa ada sesuatu yang lain pada dirinya. Sesuatu yang membuat hatinya berdebar-debar.

"Aku yakin Rangga bisa menjaga diri! Sebaiknya, bunga ini langsung diolah, baru kemudian diberikan pada Gusti Prabu!" cetus Patih Luntaka, membuyarkan lamunan wanita itu.

Mengingat penyakit ayahandanya yang memang semakin bertambah gawat, untuk sementara Putri Sentika Sari terpaksa mengesampingkan ingatannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka segera ditinggalkannya ruangan utama. Sementara itu Patih Luntaka tetap menemani Pendekar Lima Lautan.

"Bagaimana kabar tentang Iblis Pemabuk?" tanya Patih Luntaka.

"Kurasa sekarang dia telah bergabung dengan Nini Baji Setan!" jawab Kala Sakti, menjelaskan.

"Siapa Nini Baji Setan? Dan mengapa pula Iblis Pemabuk memilih bergabung dengan orang itu?" tanya laki-laki setengah baya itu ingin tahu.

"Nini Baji Setan adalah Penguasa Bukit Setan. Iblis Pemabuk bergabung dengannya, karena Nini Baji Setan punya rencana untuk menyerang kerajaan ini. Dia berjanji jika berhasil menguasai kerajaan ini, maka Putri Sentika Sari akan diberikan pada Iblis Pemabuk!" papar Kala Sakti. "Maaf, kuceritakan semua ini. Karena malam itu aku sempat mendengar pembicarakan mereka. Dan sesungguhnya, Iblis Pemabuk tetap menghendaki Putri Sentika Sari. Jadi dia bukan tertarik pada emas yang dijanjikan!"

Kening Patih Luntaka berkerut dalam. Dia tidak habis mengerti, mengapa Nini Baji Setan berniat menyerang Kerajaan Lima Laras. Padahal seingatnya, Gusti Prabu tidak punya persoalan dengan Penguasa Bukit Setan. Lagi pula baru sekarang ini dia tahu kalau Bukit Setan ada penghuninya. Mungkinkah Gusti Prabu mengetahui sesuatu di balik semua peristiwa yang terjadi? Sebab sepengetahuan Patih Luntaka, beberapa belas tahun yang lalu Gusti Prabu Sida Brata selalu pergi berburu manjangan ke bukit itu.

"Kalau begitu, Putri Sentika Sari segera diberitahu tentang kabar ini!" cetus Patih Luntaka.

"Memang sebaiknya begitu!" sahut Kala Sakti ikut memberi dukungan.

"Pendekar Lima Lautan! Sebaiknya kau istirahat dulu. Kuharap kau tidak cepat pergi dari sini. Terus terang, tenagamu sangat dibutuhkan!" pinta Patih Luntaka penuh harap.

"Kalau itu keinginanmu, dengan senang hati aku akan membantu!" janji Pendekar Lima Lautan, mantap. "Tapi aku periu memulihkan kesehatanku."

Senang rasanya hati Patih Luntaka mendengar keputusan Pendekar Lima Lautan. Kemudian diantarnya Kala Sakti menuju kamar yang telah disediakan. "Istirahatlah, Pendekar! Tentu kau sangat lelah setelah bersusah payah mendapatkan Bunga Arum Dalu," ucap patih ini.

"Aku ingin semadi dulu, Paman Patih. Terima kasih atas perhatianmu!" balas Kala Sakti.

Pintu kamar ditutup. Patih Luntaka segera meninggalkan kamar yang ditempati tamunya. Dia bermaksud kembali ke tempat peraduan Gusti Prabu. Tetapi sampai di dalam ruangan pertemuan, langkahnya terhenti. Di sana Pendekar Rajawali Sakti tengah berdiri ditemani seorang prajurit.

"Rangga...! Kiranya kau telah kembali...!" seru Patih Luntaka sambil menghampiri. Langsung dipeluknya pemuda itu dengan hangat.

"Ya.... Apakah Kala Sakti sudah sampai?" tanya pemuda berbaju rompi putih ini ingin tahu.

"Sudah. Belum lama dia istirahat. Kurasa sekarang dia sudah tidur. Sebaiknya kita menjumpai Gusti Prabu," ajak Patih Luntaka.

"Mari..." sahut Rangga langsung setuju.

Bunga Arum Dalu yang telah diolah menjadi ramuan cair, sudah diminumkan pada Gusti Prabu Sida Brata. Dan nyatanya ramuan itu memang manjur. Begitu Gusti Prabu meminumnya, perubahan segera terjadi. Wajah yang pucat berangsur-angsur tampak kemerah-merahan. Matanya yang terpejam terbuka pula. Denyut jantungnya juga sudah mulai teratur.

Mendapati kenyataan itu jelas membuat lega semua orang termasuk seluruh kerabat dan keluarga istana. Hanya pada saat itu, Gusti Prabu belum bisa diajak bicara. Kendati demikian, tampaknya Gusti Prabu Sida Brata terkejut juga melihat kehadiran Rangga. Namun apa yang dilakukannya hanya sebatas memandang, tanpa dapat berbuat apa-apa.

Barulah setelah keesokan harinya, kesehatan Raja Lima Laras itu semakin bertambah membaik. Bahkan beliau makan cukup banyak. Kenyataan ini semakin membesarkan hati para kerabat kerajaan. Namun yang paling bahagia melihat kesembuhan Gusti Prabu tentu saja Putri Sentika Sari.

"Oh.... Tahukah kau, betapa bahagianya hatiku, Rangga!" desah Putri Sentika Sari ketika bersama tamu-tamunya berkumpul di ruang utama. "Semua ini karena jasa kalian, Pendekar-pendekar Budiman!"

"Yang mendapatkan Bunga Arum Dalu adalah Pendekar Lima Lautan! Bukankah begitu, Kala Sakti?" tukas Rangga ditujukan pada pemuda yang duduk di sampingnya.

"Tidak juga. Walaupun aku telah mendapatkan Bunga Arum Dalu, tapi kalau bukan karena pertolonganmu, mungkin aku sudah mati di tangan Nini Sumbing," kilah Kala Sakti.

"Kita semua saling tolong-menolong. Tentu saja aku wajib berterima kasih atas jasa-jasa kalian," ujar Putri Sentika Sari.

"Sudahlah, lupakan masalah ini. Yang terpenting sekarang ini Gusti Prabu telah pulih kembali seperti sedia kala," sergah Pendekar Lima Lautan.

"Sebaiknya memang begitu. Hanya yang membuatku heran, mengapa Nini Baji Setan sangat berhasrat sekali menyerang kerajaan ini? Lagi pula, apa tujuannya meracuni Gusti Prabu dengan serbuk racun Bunga Bisa?"

"Kurasa Ayahanda merahasiakan sesuatu. Nanti aku akan tanyakan hal ini pada beliau," janji Putri Sentika Sari.

"Kurasa memang ada baiknya kau menanyakannya, Putri," timpal Kala Sakti.

Pembicaraan mereka langsung terhenti ketika Eyang Kinta Manik datang menghampiri. "Putri Sentika Sari, Pendekar Rajawali Sakti, dan Pendekar Lima Lautan, Gusti Prabu mengharapkan kedatangan kalian semua di ruangan pertemuan. Tampaknya ada beberapa hal penting yang akan disampaikan oleh beliau!" ujar penasihat kerajaan itu.

"Kami segera menghadap!" sahut Putri Sentika Sari.

Lalu mereka pun berjalan beriringan menuju ke ruangan pertemuan. Jarak dua ruangan itu hanya dibatasi lorong saja. Sehingga dalam beberapa langkah saja sudah sampai di sana. Terlihat Gusti Prabu Sida Brata, Patih Luntaka, dan Panglima Layung Seta telah duduk di tempat masing-masing. Tiga orang pengawal yang selalu mendampingi Gusti Prabu segera meninggalkan ruangan yang cukup luas itu.

"Silakan duduk kalian semuanya!" perintah Gusti Prabu Sida Brata dengan suara serak.

Mereka segera menempati bangku-bangku mewah yang masih kosong. Sedangkan Gusti Prabu Sida Brata terus memperhatikan Rangga dan Kala Sakti silih berganti.

"Aku telah mendengar jasa kalian dari Paman Kinta Manik. Aku sadar, pendekar seperti kalian tidak pernah mengenai pamrih. Rasanya tidak ada barang berharga yang pantas kuberikan sebagai rasa terima kasihku atas usaha kalian dalam menyembuhkan aku," kata laki-laki setengah baya itu memulai.

Rangga menjura hormat. "Salam sejahtera untuk Gusti Prabu. Hamba dan Kala Sakti sudah merasa senang melihat Gusti Prabu dapat pulih seperti sediakala. Satu hal yang perlu hamba ketahui, mengapa Nini Baji Setan ingin menghancurkan kerajaan ini? Dan mengapa pula dia meracuni Gusti Prabu?" tanya Rangga ingin tahu.

Raja Sida Brata menarik napas dalam-dalam. Matanya menerawang jauh ke depan. Seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Rasanya mustahil dia menutupi keburukannya sendiri. Tetapi jika tidak berterus terang, toh lama-kelamaan pula Nini Baji Setan menyerbu ke istana. Dengan demikian segala apa yang dirahasiakan akan terbongkar juga. Rasanya lebih baik berterus terang pada semua yang hadir di dalam ruangan pertemuan itu.

"Baiklah.... Aku ingin berterus terang pada kalian semua. Orang yang belum mengetahui kejadian sebenarnya adalah Sentika Sari, Patih Luntaka. Juga, kalian Rangga dan Kala Sakti yang telah menolongku. Dengarkanlah baik-baik."

Sejenak Gusti Prabu Sida Brata menarik napas panjang kembali, untuk melegakan dadanya yang terasa sesak. Sekaligus mengembalikan semua ingatannya.

"Dua puluh tahun yang lalu, istriku melahirkan dua anak perempuan kembar. Yang cantik dan mungil. Namun..., sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sepekan setelah melahirkan, istriku tewas. Darahnya tersedot habis. Dadanya berlubang dengan jantung hilang. Yang membuat aku heran puting susunya pun putus. Tidak setetes pun darah yang tersisa ditubuhnya. Kedua putriku yang baru berumur dua minggu kemudian diasuh oleh beberapa orang dayang. Namun, mereka pun ditemukan tewas pada suatu malam."

Kembali Gusti Prabu Sida Brata terdiam. Ada kegalauan dalam dadanya, mengingat semua itu. Namun, semuanya harus diutarakan.

"Kami langsung mengadakan penyelidikan. Dan ternyata, kami memergoki putriku yang bernama Kuntalini sedang melakukan pembunuhan atas dayang lainnya. Aku hampir tidak percaya jika tidak melihat dengan mata kepala sendiri. Kemudian Kuntalini kupisahkan dari Sentika Sari. Karena, aku takut dia membunuh saudara kembar sendiri untuk dimakan jantungnya. Beberapa hari kemudian dua orang dayang tewas pula. Tenggorokan mereka seperti dicabik-cabik serigala. Juga jantung mereka hilang. Ada luka mengerikan di dada para dayang malang itu. Pada saat itu, Kuntalini tidak ada di tempatnya. Setelah kami periksa, ternyata Kuntalini bersembunyi di kolong ranjang sambil memakan jantung para dayang. Dapat kalian bayangkan, betapa hancurnya hati seorang ayah melihat semua ini...," desah Sida Brata lirih dengan pandangan sendu.

Putri Sentika Sari sendiri tidak percaya ternyata punya saudara kembar. Dan saudaranya itu pula yang telah membunuh ibunya sendiri! Betapa sulit melukiskan, bagaimana perasaannya ketika mendengar penuturan Gusti Prabu Sida Brata.

"Lalu, apakah Putri Kuntalini kemudian dibunuh?" tanya Kala Sakti.

"Siapa tega membunuh darah daging sendiri?" sahut Gusti Prabu. "Aku dan Panglima Layung Seta lantas membawanya ke Bukit Setan. Di sana kukirim prajurit penjaga, dan dayang pengasuh. Lengkap dengan perbekalan dan pondok. Tetapi ketika sepekan kemudian kami datang ke sana, Kuntalini hilang. Sedang prajurit penjaga serta dayang pengasuh tewas semuanya!"

"Gusti Prabu tidak mencarinya?" tanya Rangga ingin tahu.

Raja Sida Brata langsung terdiam. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. Tampaknya, dia tengah mengalami guncangan batin karena terkenang masa lalu.

"Aku dan panglima mencarinya ke sekeliling Bukit Setan sampai berhari-hari. Tetapi kami tidak menemukannya! Dugaanku, seseorang telah membawanya pergi dari Bukit Setan!" lanjut Gusti Prabu Sida Brata.

Apa yang dikatakan laki-laki setengah baya itu tentu menarik perhatian Rangga. Seorang anak manusia biasa, mengapa tiba-tiba saja berubah menjadi buas seperti serigala? Apakah tidak ada sesuatu yang melatar belakanginya?

"Maaf, Gusti Prabu," ucap Rangga sambil menjura hormat.

"Ya, silakan!" sahut Gusti Prabu Sida Brata. "Kalau ada sesuatu yang ingin kau tanyakan, dengan senang hati aku akan menjawabnya!"

"Begini.... Apakah ketika permaisuri mengandung, tidak ada sesuatu yang ganjil?" tanya Rangga.

"Hmm," gumam Gusti Prabu tidak jelas. Tampak jelas kalau laki-laki itu sedang berusaha mengingat sesuatu yang mungkin sempat terlupakan. Sampai kemudian Gusti Prabu tersenyum pahit.

"Memang ada. Ketika permaisuri hamil muda, aku sering berburu serigala ke Bukit Setan bersama Panglima Layung Seta. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku gemar berburu serigala. Padahal, sebelumnya hal itu tidak pernah kulakukan. Serigala-serigala hasil buruan hanya diambil kulitnya untuk dijadikan baju atau penghias dinding. Lalu pada suatu malam, aku bermimpi bertemu seorang perempuan tua yang katanya tidak terima karena rakyatnya telah kubunuh. Dia mengutukku. Menurutnya, diantara keturunanku akan terlahir seorang perempuan dengan tingkah laku seperti serigala. Dialah yang kelak di kemudian hari akan menjadi musuhku sendiri. Semula, aku menyangka semua itu hanya bunga tidur saja. Dan kenyataannya yang terjadi pada salah seorang putriku telah kuceritakan pada kalian!"

"Hamba yakin, perempuan tua yang Gusti Prabu ceritakan dan bertemu dalam mimpi itu, tidak lain adalah Nini Baji Setan! Dia bukan manusia biasa, tetapi setengah siluman," duga Kala Sakti, yakin.

"Sekarang segala-galanya telah jelas bagi kita. Nini Baji Setan meracun Gusti Prabu tentu demi kepentingan Kuntalini, Sayang, aku belum pernah bertemu Kuntalini atau Nini Baji Setan sendiri!" desah Rangga, menyesalkan.

"Lalu tindakan apa yang kita ambil jika mereka menyerang kemari?" tanya Patih Luntaka.

"Ayahanda! Apakah Nini Baji Setan mempunyai prajurit sebagaimana halnya kerajaan ini?" tanya Putri Sentika Sari.

"Dari semua cerita yang telah kudengar dari Paman Kinta Manik, aku menyimpulkan kalau dia, mempunyai ratusan ekor serigala yang sudah sangat terlatih. Binatang-binatang buas itu lebih berbahaya daripada prajurit," kata Gusti Prabu Sida Brata.

"Tidak ada jalan lain bagi kita terkecuali melawan mereka. Kuharap Pendekar Rajawali Sakti dan Kala Sakti bersedia membantu kami dalam mempertahankan kerajaan ini. Tidak terbayang olehku, bagaimana jadinya jika sampai Kerajaan Lima Laras ini dipimpin oleh perempuan tua itu."

"Mengenai hal itu Paduka tidak usah ragu! Kami tentu akan membantu dengan segenap kemampuan! Untuk itu mulai saat ini kita harus mengatur siasat!" tegas Rangga, yang diikuti anggukan kepala Kala Sakti.

"Kuucapkan terima kasih atas perhatian kalian. Mulai saat ini, kalian berdua bisa bekerja sama dengan panglima, patih, dan juga Paman Penasihat Kerajaan," putus Gusti Prabu.

********************

Malam ini suasana di kotaraja tidak seramai pada hari-hari sebelumnya. Terlebih-lebih dipusat pemerintahan Istana Lima Laras. Keadaan di sekelilingnya terasa lebih sunyi. Hanya di setiap sudut istana tampak beberapa prajurit bersenjata lengkap tems berjaga-jaga. Malam itu bahkan jumlah pasukan pemanah dilipat gandakan. Semua ini di lakukan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diingini.

Di luar sepengetahuan para prajurit penjaga, pada bagian luar benteng istana tampak sesosok tubuh berkelebat cepat melompati pagar benteng setinggi dua batang tombak. Gelapnya malam dengan langit tertutup mendung, merupakan keuntungan tersendiri bagi tamu yang tidak diundang itu. Setelah menjejakkan kakinya di atas tembok, sosok bayangan ini terus berkelebat ke arah atap dengan gerakan ringan bukan main. Namun tiba-tiba saja....

Set! Set!

Mendadak dari sudut bangunan terdengar suara desiran halus. Sosok bayangan itu mendengus, ketika tampak tiga batang anak panah meluncur deras ke arahnya. Dengan gerakan enak sekali, tangannya menyambut serangan anak-anak panah.

Tep! Tep! Tep!

Mudah sekali anak-anak panah yang meluncur ke arah sosok ini ditangkapnya. Bahkan secepat itu pula, dilemparkannya kembali ke arah datangnya.

Set! Crep! Crep! Crep!

"Aaa...!" Tiga orang prajurit pemanah kontan menjerit tertahan ketika tiga batang anak panah menembus jantung. Para prajurit langsung jatuh bergelimpangan dan tewas seketika.

Dan teriakan prajurit-prajurit tadi sempat didengar oleh prajurit-prajurit lain. Termasuk, yang berjaga-jaga di atas atap. Dengan serentak mereka bergerak mendatangi. Prajurit yang berada di sudut kiri sempat melihat kehadiran sosok bertubuh ramping yang menjadi biang keributan barusan. Maka secepatnya mereka melepaskan anak panah ke arah sasaran.

Twang! Twang!

Lima batang anak panah meluncur cepat ke arah sasaran. Dengan gesit, sosok ramping ini mengibaskan lengan jubahnya yang panjang sambil melakukan salto beberapa kali. Angin kencang laksana badai kontan menderu, membuat panah-panah berpentalan ke berbagai arah. Bahkan beberapa di antaranya ada yang berbalik, langsung menembus dada beberapa prajurit yang sial.

Crab...!

"Aaakh...!" Suara jerit kesakitan secara berturut-turut kembali terdengar. Dua orang prajurit terjengkang bersimbah darah.

Sedangkan prajurit lainnya terus melepaskan anak panah ke arah pendatang ini tanpa henti. Walaupun sosok bayangan ini dibuat repot oleh serangan anak-anak panah, tetapi masih sempat tertawa mengikik. Dari nada suaranya yang melengking menyeramkan, jelas kalau tamu tidak diundang itu adalah seorang perempuan.

"Manusia setan! Berani benar kau mencari mampus dengan datang ke sini!" dengus seorang prajurit yang baru saja datang.

"Kalian semua yang akan kubuat binasa! Lihat saja nanti! Hiyaaa...!"

Perempuan tua yang tidak lain Nini Baji Setan tiba-tiba saja mengebutkan jubahnya yang panjang. Dan sebelum prajurit yang membentaknya tadi sempat melepaskan anak panah, dari jubah Nini Baji Setan melesat beberapa buah benda berwarna putih keperakan ke arah prajurit.

"Hup!" Para prajurit berusaha mengelak, namun gerakannya masih kalah cepat dengan gerakan senjata rahasia perempuan tua itu yang berupa paku-paku beracun.

Jeb! Jeb!

"Huaakh! Auugh...!" Para prajurit berteriak melengking tinggi, terhantam paku-paku beracun milik Nini Baji Setan.

Atap genteng bersimbah darah prajurit. Korban demi korban terus berjatuhan. Sehingga dalam waktu tidak sampai sepemakan sirih, sudah dua puluh orang prajurit kerajaan yang tewas di tangan Nini Baji Setan.

"Hik hik hik...! Anjing-anjing kerajaan adalah keledai-keledai dungu yang tidak mempunyai arti sama sekali!" desis Nini Baji Setan. Dan baru saja perempuan tua ini hendak bergerak ke tempat lain, tiba-tiba dari bagian genteng depan tampak berkelebat satu bayangan kuning.

TUJUH

"Kau datang seperti setan! Mengapa kau membunuhi prajurit-prajurit itu?" bentak sosok bayangan kuning gading, begitu mendarat di atap. Kini jelas, sosok bayangan kuning itu tak lain dari Eyang Kinta Manik, Penasihat Kerajaan Lima Laras.

"Hik hik hik...! Aku memang setan! Akulah Nini Baji Setan yang berjuluk Ratu Serigala! Huh! Bukan prajurit yang tidak berguna ini saja yang akan kubunuh. Tetapi, seluruh penghuni istana ini harus mati demi kejayaan bangsa serigala!" dengus Nini Baji Setan yang ternyata berjuluk Ratu Serigala.

Mengertilah Penasihat Kerajaan itu, siapa yang sedang dihadapinya saat ini. Tanpa bicara lagi langsung dicabutnya keris lekuk tujuh yang selalu terselip di pinggang. Walaupun Eyang Kinta Manik mempunyai kepandaian tidak seberapa, namun dengan nekat menyerang Ratu Serigala.

"Hiyaaa...!" Eyang kinta Manik melumk ke depan. Keris ditangannya disodokkan ke dada lawannya. Sambil mendengus, Ratu Serigala menghindar ke samping. Lalu dilepaskannya tendangan beruntun.

"Uts...!" Eyang Kinta Manik dengan segala daya berusaha menghindar dengan melompat kesamping. Sesekali keris di tangannya dikibaskan untuk menghalau serangan. Tetapi lagi-lagi dengan gerakan ringan dan gesit, Nini Baji Setan berhasil menghindarinya.

"Aku hanya memberimu kesempatan dua jurus saja! Setelah itu, kau segera berangkat keneraka menyusul prajurit-prajurit yang sial itu!" desis Ratu Serigala.

"Bangsat sial! Hiyaaa...!" Dengan teriakan keras, Eyang Kinta Manik menerjang ke arah Ratu Serigala. Dua tusukan dilakukan sangat mematikan. Namun, tampaknya Nini Baji Setan tidak berusaha menghindarinya. Dan begitu ujung keris hampir merobek lambungnya, badannya digerakkan sedikit saja. Sehingga serangan itu meluncur lewat dibawah keteknya yang bau apek. Dan tiba-tiba saja tangannya menyambar tangan Eyang Kinta Manik.

Tangan penasihat kerajaan itu tercekal kuat. Keris di tangannya mendadak dirampas perempuan tua itu. Dan dengan mempergunakan keris itu, Nini Baji Setan menusuk dada Eyang Kinta Manik Laki-laki tua itu sebenarnya menyadari bahaya yang mengancam jiwanya. Namun walaupun berusaha meronta, apa yang dilakukannya hanya sia-sia saja. Karena tusukan keris datangnya sangat cepat. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi....

Cresss...!

"Aaa...!" Penasihat Kerajaan Lima Laras menjerit menyayat merobek angkasa. Darah mengucur deras dari luka di tangannya. Saat itu juga dia roboh di atas genteng, dengan nyawa melayang.

Sementara itu tampak semakin banyak saja prajurit kerajaan yang naik ke atas genteng. Nini Baji Setan tersenyum dingin, melihat kedatangan mereka.

"Kalian semua harus mati di tanganku!" dengus perempuan tua itu. Tiba-tiba saja Ratu Serigala mengibaskan tangannya ke arah prajurit yang berusaha menyerangnya. Seketika seleret sinar merah melesat dari telapak tangannya langsung menghantam para prajurit yang berada didepannya.

Glarrr...!

"Aaakh...!" Tiga orang prajurit kembali menemui ajal terpanggang hawa panas yang keluar dari telapak tangan perempuan tua itu.

Melihat kawan-kawannya bergelimpangan, maka yang lain menjadi bertambah marah. Mereka baru saja hendak melakukan serangan secara serentak, namun pada saat itu berkelebat sosok bayangan yang langsung menjejakkan kakinya di depan Nini Baji Setan.

"Mundur kalian semua! Iblis ini bukan tandingan kalian!" perintah sosok yang tidak lain Pendekar Lima Lautan tanpa menoleh sedikit pun.

Begitu mengenali siapa yang datang, para prajurit segera menuruti. Mereka segera berlompatan mundur.

"Huh! Kau berlagak menjadi pahlawan di sini?! Kesalahanmu sudah bertumpuk. Kau mencuri Bunga Arum Dalu. Dan kini, berkomplot pada si keparat Sida Brata pula!" dengus Nini Baji Setan dengan geram.

"Aku bukan berpihak pada siapa-siapa. Aku hanya ingin membela orang yang kuanggap memegang kebenaran. Kulihat, kekejamanmu telah melewati takaran. Aku jadi ingin tahu, apakah tubuhmu kebal terhadap Busur Panahku!" dengus Kala Sakti sengit.

Selanjutnya tanpa basa-basi lagi, Pendekar Lima Lautan yang dikenal karena kehebatan panahnya langsung mengambil anak panah yang tergantung di bahunya. Kemudian anak panah itu dipasang di busurnya. Lalu...

Twang...!

Saat itu juga sebatang anak panah berwarna kuning keemasan melesat ke arah Nini Baji Setan. Ketika sedang melesat membelah udara itulah sebuah perubahan yang tak disangka-sangka terjadi! Anak panah yang tadinya hanya satu, sekarang berubah menjadi banyak. Anak panah yang telah berlipat ganda jumlahnya ini langsung memecah ke segala arah, namun dengan satu tujuan. Tubuh Ratu Serigala!

Nini Baji Setan terkejut bukan main. Dia berusaha merontokkan anak-anak panah dengan mengibaskan jubah sambil memutar tubuhnya.

Wuutt! Tak! Tak!

Usaha perempuan tua itu memang mendatangkan hasil. Terbukti, anak-anak panah itu sempat terpental. Namun beberapa saat setelah itu, seperti ada kekuatan tidak tampak yang mengendalikannya, anak panah yang telah terombang-ambing di udara kemudian membalik. Bahkan kembali meluncur ke arah perempuan tua ini.

"Heh?!" Nini Baji Setan terkejut bukan main. Kemudian tubuhnya melenting ke udara. Saat meluncur lag ke bawah, sekuat tenaga kedua tangannya mendorong ke arah anak panah yang berjumlah mencapai sepuluh batang dan dikendalikan dengan tenaga dalam tinggi. Lalu....

Blarrr...!

Terjadi ledakan keras ketika pukulan yang dilepaskan Nini Baji Setan menghantam anak panah yang dapat berubah banyak secara gaib. Anak-anak panah langsung jatuh diatas genteng, mengeluarkan suara berdenting. Namun baru saja Ratu Serigala menjejakkan kakinya di atas genteng, tahu-tahu Pendekar Lima Lautan menarik busurnya lagi. Kali ini sebuah anak panah berwarna merah darah melesat seperti kilat. Setelah berada diudara, maka anak panah itu kembali mengembang menjadi banyak.

Nini Baji Setan kembali terperangah. Apalagi kelihatannya anak-anak panah berwarna merah darah ini mempunyai kekuatan tenaga dalam lebih besar daripada anak panah yang berwarna kuning tadi. Maka kembali dilepaskannya pukulan ke arah anak-anak panah itu. Ketika kedua tangannya didorongkan ke arah depan, segulung angin kencang menebarkan hawa panas meluncur cepat ke arah sasaran.

Di luar dugaan, anak-anak panah itu membelok seperti menghindari serangan. Sedangkan pukulan Nini Baji Setan terus meluncur, langsung menghantam beberapa prajurit yang berada di belakangnya.

Blarrr...!

"Aaa...!" Dua orang prajurit kontan tersungkur roboh. Sementara, anak panah berwarna merah tadi kembali berbalik menyerang Nini Baji Setan.

"Hmhhh!" Nenek renta ini menjadi geram bukan main. Pada saat itu kedua matanya telah berubah merah seperti darah. Kemudian....

"Runtuh...!" teriak Ratu Serigala, mirip dengan suara lolongan. Dan seperti ada sebuah kekuatan yang tidak terlihat, sesuai kata bernada perintah dari Nini Baji Setan alias Ratu Serigala, maka anak-anak panah tadi runtuh. Setelah jatuh diatas genteng, anak-anak panah yang berserakan tadi kembali menjadi satu.

"Edan!" Pendekar Lima Lautan tentu saja menjadi sangat kaget. Sungguh tidak disangka Ratu Serigala mampu menjatuhkan anak-anak panahnya hanya dengan mengucapkan sepatah kata. Sekali ini Kala Sakti kembali merentangkan busurnya.

Namun pada saat pemuda ini berniat melepaskan anak panahnya, mendadak melesat dua bayangan yang langsung mendarat di sebelahnya. Yang satu pemuda berbaju rompi putih. Sedangkan yang satunya lagi berpakaian kebesaran kerajaan.

"Tahan...!" seru pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Sedang di sebelahnya berdiri Panglima Layung Seta.

"Diakah pengacau itu, Kala Sakti?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Benar! Dialah Iblis Penghuni Bukit Setan yang sengaja ingin mengacaukan kerajaan ini!" sahut Pendekar Uma Lautan, mantap.

"Mengapa kau mengacau di tempat ini, Nini?" tanya Rangga, penuh tekanan suaranya.

"Kalian bukan apa-apa, bagiku!" sahut Ratu Serigala.

Rupanya melihat gelagat yang tidak baik, Nini Baji Setan tidak ingin muridnya kecewa. Kalaupun menempur ketiga laki-laki didepannya belum tentu kalah, namun bukankah kedatangannya malam ini bukan untuk melakukan penyerangan secara besar-besaran? Ratu Serigala memang cerdik sebelum menyerang secara besar-besaran, dia menyusup ke kerajaan ini.

Tujuannya jelas, yakni ingin membuat kekacauan, mengurangi jumlah prajurit yang ada, sekaligus menjajaki kekuatan pihak kerajaan. Dan tampaknya setelah mencoba, kekuatan pihak kerajaan menurutnya tidak seberapa hebat. Sekarang baginya, alangkah lebih baik mengundurkan diri dulu. Untuk itu dengan gerakan cepat diambil sesuatu dari balik bajunya. Kemudian tangannya dikibaskan...

Buummm...!

Suasana di atas atap genteng pun berubah menjadi gelap gulita. Asap tebal menutupi pemandangan.

"Celaka! Asap penghilang jejak!" desis Kala Sakti. Hampir bersamaan, ketiga laki-laki itu melompat mundur. Setelah asap berkurang, mereka mencari-cari. Akan tetapi sampai asap benar-benar menghilang tertiup angin malam ini, Nini Baji Setan sudah tak terlihat lagi batang hidungnya.

"Sebaiknya kita kejar! Kurasa dia belum jauh dari sini!" usul Pendekar Lima Lautan.

"Jangan!" cegah Rangga. "Percuma kita mengejarnya. Dia pasti kembali ke Bukit Setan!"

"Lalu....?"

"Korban di pihak kita sudah cukup banyak! Sekarang, kita urus dulu mayat-mayat ini. Besok baru kita susun rencana selanjutnya!"

Panglima Layung Seta kemudian memerintahkan para prajurit yang selamat untuk menurunkan prajurit-prajurit yang tewas dari atas genteng. Dan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk lagi, dia juga memerintahkan untuk melipatgandakan penjagaan.

Keesokan harinya setelah selesai menguburkan jenazah para prajurit kerajaan, Gusti Prabu Sida Brata mengumpulkan para pembantunya. Tidak kurang Pendekar Rajawali Sakti dan Pendekar Lima Lautan juga hadir di ruang balairung.

"Sangat kusesalkan banyak prajurit yang menjadi korban keganasan Ratu Serigala! Kurasa perempuan itu ingin membantai kita sedikit demi sedikit. Terbukti sampai hari ini mereka tidak melakukan penyerangan secara langsung!" kata Gusti Prabu Sida Brata, memulai pembicaraan.

"Eyang Kinta Manik telah terbunuh dalam peristiwa tadi malam. Lalu, tindakan apa yang akan kita lakukan?" tanya Patih Luntaka.

"Menurutmu bagaimana, Panglima?" tanya Gusti Prabu Sida Brata.

"Ampun, Gusti. Menumt hemat hamba, sebaiknya kita tetap bertahan di sini sambil menunggu perkembangan selanjutnya!" sahut Panglima Layung Seta dengan wajah tertunduk.

"Maaf... Bukan aku mencela pendapat Paman Panglima. Tetapi menurut pikiran hamba, jika kita tetap bertahan menunggu serangan, hal ini akan berakibat lebih buruk bagi kerajaan. Jika mereka benar melakukan serangan secara besar-besaran dengan menggunakan kawanan serigala, korban yang akan berjatuhan di sini semakin bertambah besar. Terutama, rakyat yang berdiam di sekitar istana. Lagi pula keselamatan keluarga kerajaan terancam?!" cetus Rangga.

"Lalu bagaimana?" tanya Putri Sentika Sari.

"Apakah kita harus menyerang Bukit Setan?"

"Keputusan itu Gusti Prabulah yang berhak menentukannya..." timpal Kala Sakti.

"Aku sendiri tidak mempedulikan nasib diriku. Yang membuatku cemas, bagaimana jika seandainya kerajaan ini diperintah Ratu Serigala? Jika benar Kuntalini dalam asuhan Ratu Serigala, berarti sekarang telah menjadi gadis serigala yang buas!" desah Gusti Prabu lirih.

"Kemudian apa yang harus kita lakukan?" tanya Patih Luntaka.

"Berapa jumlah prajurit yang ada sekarang ini?" tanya Gusti Prabu Sida Brata, ingin tahu.

"Mungkin hanya sekitar seratus lima puluh orang lagi!" sahut Panglima Layung Seta.

Jumlah tersebut tentu terbilang sedikit dari jumlah yang seharusnya. Sebab Kerajaan Lima Laras adalah sebuah kerajaan cukup besar.

"Panglima! Siapkan seluruh pasukan yang ada. Pagi ini juga kita segera berangkat ke Bukit Setan!" perintah Gusti Prabu tegas.

"Ayahanda Prabu? Ayah belum sembuh benar...!' sentak Putri Sentika Sari khawatir.

Gusti Prabu Sida Brata tersenyum. "Kita harus melakukan sesuatu, Anakku. Kini sudah saatnya menghentikan saudara kembarmu, dan juga gurunya! Kau tidak perlu cemas. Ayahandamu ini tak akan apa-apa," tandas lelaki setengah baya itu penuh rasa belas kasih pada anaknya.

Dan sebelum ada yang bersuara kembali, mendadak terdengar suara ribut-ribut di luar. Sebelum mereka beranjak untuk melihat apa yang terjadi, telah muncul seorang prajurit dengan tangan berlumuran darah.

"Ada apa Prajurit...!" sentak Gusti Prabu.

"Ampun, Gusti! Serombongan serigala telah mengepung kerajaan. Kami diluar sana rasanya tidak sanggup membendung mereka. Jumlahnya sangat banyak sekali!" lapor prajurit itu dengan suara terbata-bata.

"Apakah ada perempuan yang menyertai serigala-serigala itu...?" tanya Panglima Layung Seta.

"Tidak, Panglima. Kami tidak melihat ada orang lain selain serigala-serigala itu!" jawab prajurit ini.

Tanpa bicara lagi panglima Layung Seta dan Patih Luntaka berlari keluar halaman istana. "Kala Sakti! Tetaplah berada di sini! Lindungi Gusti Prabu dan Putri Sentika Sari! Bunuh siapa saja yang berani datang ke sini!" pesan Rangga.

"Baik, Rangga!" jawab Pendekar Lima Lautan. Tanpa menunggu lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera berkelebat cepat. Sebentar saja dia telah sampai di halaman depan. Dan kini dia melihat belasan prajurit kerajaan bergelimpangan tanya nyawa. Sedangkan prajurit lainnya yang masih bertahan hidup tampak berjuang habis-habisan, melakukan perlawanan.

Panglima Layung Seta dan Patih Luntaka sendiri sudah mencabut senjatanya. Bahkan mulai membantai kawanan serigala ganas yang tampaknya sudah sangat terlatih. Melihat keganasan kawanan serigala itu, Rangga segera bergerak ke arah binatang-binatang buas itu. Seketika kedua tangannya menghentak ke depan disertai tenaga dalam tinggi.

"Aji Guntur Geni..! Heaaa...!"

Dua buah sinar merah yang keluar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung menghantam kawanan serigala. Dua ekor serigala terpelanting dengan tubuh hangus. Tetapi kawan-kawannya tampaknya tidak mengenai rasa takut. Mereka segera menyerang dengan lebih ganas lagi.

Pemuda itu melenting sambil berputaran di udara. Kedua tangannya mengibas-ngibas cepat disertai tenaga dalam tinggi. Dengan lincah serigala-serigala itu berkelit menghindar, membuat serangan Rangga tidak mengenai sasaran. Dua ekor serigala yang berada di belakang menggigit celana. Namun pemuda berbaju rompi putih itu segera menggerakkan kakinya, membuat kedua serigala itu terpelanting sambil menguik keras.

"Binatang-binatang ini seperti mengerti gerakan silat! Hm... benar-benar hebat orang yang mengendalikannya!" gumam Pendekar Rajawali Sakti. Begitu repotnya Rangga menghindari serangan, sehingga terpaksa mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari gigitan maupun cakaran serigala-serigala itu.

DELAPAN

Jeritan prajurit-prajurit yang menjadi korban serta suara lolongan serigala di sana-sini, membuat suasana di halaman Istana Lima Laras menjadi hingar-bingar. Di pihak kerajaan sendiri juga tampak sudah kewalahan menghadapi serangan. Panglima Layung Seta dan Patih Luntaka berusaha memutar senjatanya untuk membasmi serigala-serigala yang menyerangnya. Tiga empat ekor serigala memang dapat dibunuh. Tetapi yang menggantikan jumlahnya berlipat ganda.

Dalam keadaan kacau begitu, Panglima Layung Seta mendadak menemukan pemecahan terbaik. Ya! Bukankah serigala takut api?! Sentak panglima dalam hati. Secepat kilat, Panglima Layung Seta melenting menjauh kebelakang. Begitu mendarat, tubuhnya langsung berkelebat cepat. Diambilnya dua buah batang obor dan segera dinyalakan. Kemudian dengan gerakan yang cepat pula, Panglima Layung Seta berkelebat kembali ke tengah kancah pertarungan.

"Patih, tangkap!" teriak panglima? itu seraya melempar obor yang menyala, dan langsung ditangkap Patih Luntaka.

Dengan mempergunakan obor, mereka kini menyerang kawanan serigala itu. Ternyata benar. Binatang-binatang buas ini takut pada api. Terbukti mereka bergerak mundur sambil menunggu kesempatan yang baik untuk melakukan serangan. Kiranya di luar sepengetahuan mereka ada belasan serigala yang berhasil menerobos masuk ke dalam istana.

Prajurit-prajurit yang berjaga di setiap sudut pintu berhasil dibunuh. Hanya dalam waktu yang sangat singkat kawanan serigala ini telah berhasil mendekati pintu pertemuan tempat persembunyian Gusti Prabu dan putrinya. Kawanan serigala itu membunuh para prajurit yang berjaga-jaga di depan pintu ruangan pertemuan. Merasa tidak ada lagi penghalang, sebelas ekor serigala segera menyerbu masuk kedalam ruangan pertemuan.

"Gusti Prabu dan Putri Sentika! Bertahanlah dibelakangku!" seru Pendekar Lima Lautan.

Gusti Prabu Sida Brata yang sedikit banyaknya mempunyai ilmu olah kanuragan cukup lumayan, begitu melihat Kala Sakti mencabut senjata yang berbentuk baling-baling segera pula mencabut pedangnya. Pendekar Lima Lautan segera melemparkan senjatanya ke arah kawanan serigala yang menyerangnya. Senjata baling-baling itu berputar-putar dengan kecepatan laksana kilat.

Cras! Cras!

"Haung... Haungngng...!" Beberapa ekor serigala yang berada di bagian depan langsung melolong ketika perutnya robek tersambar senjata Kala Sakti. Sementara serigala yang menyerang dari samping kanan langsung disambut dengan pedang Gusti Prabu Sida Brata. Serigala itu melompat mundur ketika melihat pedang Gusti Prabu meluncur deras kearahnya.

"Jangan beri kesempatan pada binatang itu mendekat!" teriak Kala Sakti.

Kala Sakti begitu senjatanya berbalik ke tangannya, segera melemparkan kembali ke arah serigala-serigala itu. Lima ekor serigala terbabat putus bagan tenggorokannya. Sedangkan sisanya terus menyerang ganas.

Melihat serigala-serigala yang berada di dalam ruangan pertemuan hanya tinggal beberapa ekor lagi, Gusti Prabu Sida Brata menjadi nekat. Dia melompat ke depan sambil mengibaskan pedangnya. Serigala itu berkelit menghindar. Dan seekor mendadak melompat menggigit pergelangan tangan Gusti Prabu.

Crab...!

"Aaakh...!" Gusti Prabu Sida Brata menjerit keras. Tangannya yang digigit serigala dikibaskan, membuat pedangnya terpental. Tetapi gigtan itu rupanya terlalu kuat, sehingga tangannya tidak bisa dilepaskan.

Melihat kenyataan itu, Kala Sakti melompat kedepan. Diambilnya pedang yang terpental. Lalu ditusukkannya ke perut serigala itu. Kini serigala yang tersisa di dalam ruangan itu hanya tinggal satu ekor saja. Kala Sakti langsung melempar senjata baling-balingnya.

Cres...!

"Ngiiikk!" Serigala itu kontan menguik keras, ketika tersambar senjata Pendekar Lima Lautan. Pemuda memakai baju putih ini menarik napas dalam-dalam. Lalu secepatnya dia menghampiri Gusti Prabu.

"Gusti, apakah tidak ada ruangan rahasia disini?" tanya Kala Sakti.

"Ada! Di sudut kamar putriku, di balik lemari!" sahut Gusti Prabu Sida Brata.

"Sebaiknya Gusti dan Putri Sentika Sari bersembunyi di sana saja. Orang-orang diluar sana paling tidak membutuhkan aku sebagai tenaga tambahan!" saran pemuda itu.

Berhubung karena tangannya telah terluka, Gusti Prabu Sida Brata terpaksa menuruti saran Kala Sakti. Mereka segera bergegas menuju ke kamar Putri Sentika Sari yang bersebelahan dengan ruang pertemuan. Secepatnya mereka menggeser lemari yang dimaksud.

"Tetaplah berada di sini, sampai kami semua menyelesaikan segala urusan di luar sana!" ujar Pendekar Lima Lautan.

"Baiklah, Kala Sakti!" sahut Gusti Prabu Sida Brata.

Setelah menutup lemari yang menuju ruang rahasia, Kala Sakti segera pergi ke halaman depan. Begitu cepat gerakannya, sehingga sebentar saja telah tiba di sana. Kala Sakti melihat ratusan prajurit kerajaan telah tewas bermandikan darah. Mayat mereka bercampur serigala-serigala yang sudah binasa. Yang terlihat ketika itu adalah pertarungan antara Rangga dengan seorang perempuan tua yang sempat bentrok dengannya tadi malam.

Di bagian lain, tampak pula Panglima Layung Seta sedang berusaha mati-matian mempertahankan diri. Lawan yang dihadapinya adalah seorang gadis bercawat dari kulit kayu dan memakai penutup dari dedaunan.

Tidak jauh dari panglima itu, Patih Luntaka sedang bertarung melawan seorang perempuan tua berbibir sumbing. Itulah Nini Sumbing yang beberapa hari lalu hampir membunuh Kala Sakti. Kelihatannya Patih Luntaka sudah terluka parah. Dadanya bersimbah darahnya sendiri. Di lengannya juga terlihat sebuah luka mengerikan.

"Paman Patih! Betina jelek yang satu ini menjadi bagianku!" teriak Kala Sakti.

Melihat kedatangan Kala Sakti, Patih Luntaka yang sudah terluka parah ini segera mundur. Sebaliknya, Nini Sumbing tersenyum sinis sambil bertolak pinggang.

"Beberapa hari yang lalu kematianmu sempat tertunda! Tetapi kini tidak ada yang menghalangiku lagi untuk membunuhmu!" dengus Nini Sumbing sengit.

"Hei, Nenek Sumbing! Katanya kalian punya pembantu yang bernama Iblis Pemabuk? Kenapa dia tak terlihat?" tanya Kala Sakti, mencoba mengobati keherannya. Sebab, saingannya yang kini bergabung dengan Penguasa Bukit Setan tak terlihat batang hidungnya.

"Kau bertanya tentang laki-laki keparat itu?! Huh! Dia telah tewas menjadi santapan serigala, setelah pada suatu malam hendak memperkosa Kuntalini. Dasar sedang mabuk, dia tak tahu kalau Kuntalini bukan gadis sembarangan! Nah, sekarang giliranmu yang harus mati di tanganku, setelah tertunda beberapa waktu!" sahut Nini Sumbing, dengan nada sengit.

"Maaf saja. Nek! Waktu itu aku hanya menggunakan Baling-baling Sakti. Tetapi hari ini Busur Panahku ikut bicara!" sahut Kala Sakti tidak kalah sengitnya.

Tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Lima Lautan segera mengangkat busurnya. Diambilnya anak panah yang berwarna merah. Seperti diketahui, anak panah berwarna merah ini lebih ampuh daripada anak panah yang berwarna kuning. Nini Sumbing yang tidak mengetahui kehebatan anak panah ini hanya tersenyum sinis. Semetara Pendekar Lima Lautan segera merentangkan busurnya. Lalu....

Twang...!

Anak panah kini melesat ke arah Nini Sumbing. Selagi berada di udara, anak panah itu berubah menjadi banyak. Nenek berbibir sumbing itu terkesiap melihat kenyataan ini. Sambil melenting ke udara, kedua tangannya menghentak ke arah anak-anak panah itu.

Segulung angin dingin melesat dari telapak tangan Nini Sumbing. Tetapi seperti ada kekuatan yang tak tampak, anak-anak panah itu membelok. Sehingga pukulan yang dilepaskan Nini Sumbing tidak mengenai sasaran.

Semakin besar sajalah rasa kaget di hati Nini Sumbing. Sementara puluhan batang anak panah tadi kini telah menyerangnya dari segala arah. Perempuan tua ini terkejut bukan kepalang. Cepat diloloskannya cambuk buntut ikan pari yang bagian ujungnya terdapat tengkorak serigala. Namun, gerakannya ini kalah cepat dengan lesatan anak panah yang menyerang dari belakang. Tanpa ampun lagi....

Crep...!

"Aaaaakh...!" Dengan telak anak panah menghujam di punggung Nini Sumbing, hingga langsung menjerit setinggi langit. Matanya melotot dengan mulut ternganga. Langsung tubuhnya roboh dan tewas seketika.

"Panah Srikandi adalah senjataku paling dahsyat. Kau tidak mungkin mampu menahannya!" desis Pendekar Lima Lautan dingin.

Sekejap kemudian Kala Sakti memandang ke arah Panglima Layung Seta. Tampaknya laki-laki itu sudah terluka pula. Gadis serigala yang menjadi lawannya memang cukup hebat dan ganas. Terbukti, dia terus mendesak panglima itu. Namun sebelum nasib buruk menimpa diri panglima, Kala Sakti langsung datang memberi bantuan. Kini hanya dalam waktu singkat, gadis serigala yang tak lain Kuntalini telah dikeroyok dari dua arah.

Di pertarungan lain Rangga dan Nini Baji Setan tampak sedang mengerahkan jurus-jurus andalan. Sesungguhnya perkelahian di antara mereka sudah berlangsung hampir sembilan puluh jurus. Namun sampai sejauh itu, masih belum ada tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

"Hiyaaa...!" Nini Baji Setan alias Ratu Serigala melompat ke depan disertai teriakan keras. Jemari tangannya yang berkuku panjang menyambar ganas kelima bagian mematikan di tubuh Rangga. Cepat sekali, serangannya, membuat Pendekar Rajawali Sakti! harus berkelit dengan menundukkan kepala. Empat serangan berhasil dihindari Rangga. Tetapi salah satu di antaranya lolos dari perhatian. Sehingga....

Bret...!

Aaakh...!" Pendekar Rajawali Sakti terpekik dengan tubuh terhuyung-huyung. Lima jari tangan lawan telah menggores dadanya. Tampak darah menetes dari luka akibat cakaran kuku perempuan tua itu. Dan belum Rangga dapat menegakkan tubuhnya lagi, Ratu Serigala telah melepaskan tendangan ke perut.

Diegkh...!

"Huuugkh...!" Pendekar Rajawali Sakti jatuh terduduk. Perutnya seperti hancur, menimbulkan sakit luar biasa! Segera ditariknya napas dalam-dalam. Dengan terhuyung-huyung, Rangga bangkit berdiri. Pada saat yang sama, Ratu Serigala telah melancarkan serangan kembali.

"Hup...!" Pendekar Rajawali Sakti terpaksa melenting ke udara untuk menghindari cakaran. Tubuhnya berjumpalitan di udara beberapa kali. Lalu ketika tubuhnya meluncur deras ke bawah, kakinya bergerak cepat ke bagian kepala dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

Nini Baji Setan jelas tidak menyangka kalau pemuda itu masih mampu melakukan serangan disaat tubuhnya masih mengambang di udara. Sehingga....

Duukkk...!

"Akh...!" Nini Baji Setan terjengkang. Rangga terkejut karena lawannya tidak mengalami cidera yang berarti. Malah kakinya terasa sakit. Tadi dia seperti menendang karung berisi pasir saja. Padahal biasanya orang yang terhantam akan hancur kepalanya. Perempuan tua itu segera bangkit berdiri. Kepalanya berdenyut-denyut sakit akibat tendangan tadi. Kepalanya digelengkan agar rasa sakit di kepalanya agak berkurang.

"Pemuda keparat! Mampuslah...!" teriak Nini Baji Setan.

Ratu Serigala menerkam ke depan dengan kecepatan luar biasa. Matanya yang telah berubah merah seperti bara, memandang penuh kebencian. Dalam penglihatan Rangga, tiba-tiba saja Nini Baji Setan telah berubah menjadi seekor serigala putih yang sangat besar sekali, yang menerkam dengan mulut terbuka.

"Sekarang tamatlah riwayatmu, Pendekar Usilan! Terimalah pukulan Serigala Putih! Hiaaa...!" teriak Ratu Serigala sambil mengibaskan tangannya. Saat itu juga selarik sinar putih berkilau meluncur deras dari tangan Ratu Serigala.

Rangga yang melihat bahaya mengancam jiwanya segera mengerahkan tenaga dalamnya dengan kuda-kuda kokoh. Ketika tangannya telah berubah menjadi biru berkilau setelah membuat gerakan di depan dada, seketika dihentakkannya ke depan.

"Aji Cakra Buana Sukma! Hiyaaa...!" Selarik sinar biru berkilau meluncur deras dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, langsung memapak sinar putih serangan Ratu Serigala. Sehingga....

Blarrr...!

"Aaa...!" Dua sosok tubuh terlempar dengan arah berlawanan, ketika terjadi benturan dahsyat yang menghasilkan ledakan amat keras disertai bunga api seperti asap yang menutupi sekitarnya.

Ketika asap menghilang, salah seorang langsung bangkit dan segera mengambil sikap semadi. Yang seorang lagi terbaring dengan tubuh hancur berkeping-keping berbau gosong. Yang tengah bersemadi untuk memulihkan kekuatannya adalah pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu segera bangkit berdiri, untuk memperhatikan pertarungan lainnya.

Di saat itulah Pendekar Rajawali Sakti mendengar suara jeritan keras tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dan pemuda itu langsung melihat dengan wajah kaget saat Panglima Layung Seta roboh bermandikan darah. Rupanya, Kuntalini berhasil membunuh Panglima Perang Kerajaan Lima laras.

Satu-satunya yang masih bertahan adalah Pendekar Lima Lautan yang terus melepaskan anak-anak panahnya. Tetapi, pemuda itu juga telah menderita luka-luka di dada serta pahanya. Dengan cepat Rangga segera bergerak mendatangi. Diberinya isyarat pada Kala Sakti untuk mundur. Pendekar Lima Lautan segera mematuhi.

"Kau telah begitu berani mencampuri urusan pribadiku dengan Sida Brata, laki-laki yang membuang anaknya. Lebih celakanya lagi kau bunuh orang yang telah memberiku kehidupan! Aku tidak akan puas sebelum mencincang dan memakan jantungmu!" dengus Kuntalini.

"Sadarlah, Kuntalini. Kau adalah manusia waras yang masih punya nurani! Masih ada waktu buatmu untuk bertobat!" desis Rangga tidak kalah dinginnya.

"Keparat! Jangan berkhotbah di depanku!" Dengan teriakan keras, tiba-tiba saja Kuntalini meluruk deras ke arah Rangga.

Menyadari kehebatan yang dimiliki Kuntalini, Rangga segera mempergunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib untuk menghindari serangan. Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat. Tubuhnya melenting ke belakang untuk membuat jarak.

"Bangsat! Terimalah pukulan Serigala Putih! Heaaa...!" Kuntalini mengibaskan tangannya cepat. Seketika dari telapaknya meluncur sinar putih, seperti yang dimiliki gurunya.

Rangga yang telah membaca keadaan, segera mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian telapak tangan. Dibuatnya kembali beberapa gerakan tangan dan badan. Tepat ketika tubuhnya telah tegak dengan kuda-kuda kokoh, kedua tangannya sudah terselimut cahaya biru berkilauan sebesar kepala bayi. Lalu....

"Aji Cakra Buana Sukma! Hiyaaa...!" Rangga menghentakkan kedua tangannya ke arah cahaya putih. Maka tidak dapat dihindari lagi, kedua pukulan itu saling membentur diudara.

Blarrr...!

"Aaakh...!" Ledakan dahsyat kembali terdengar disertaibongkahan bunga api di udara. Pada saat yang sama juga terdengar jeritan menyayat dari tubuh yang terpental dalam keadaan hangus. Tubuh Kuntalini!

Rangga memang tak punya pilihan lagi. Gadis itu agaknya memang tak mungkin bisa disadarkan lagi. Setelah menghela napas sesak, segera dihampirinya Kala Sakti.

"Bagaimana luka-lukamu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti pelan.

"Kurasa aku masih bisa sembuh. Tapi..., Patih dan Panglima tewas di tangan mereka," sahut Kala Sakti, menyesalkan.

"Kurasa kau dapat membantu mereka. Aku akan mengusulkan pada Gusti Prabu agar kau menjadi Panglima Perang Kerajaan Lima Laras!" kata Rangga bersungguh-sungguh.

"Kau sendiri?" tanya Pendekar Lima Lautan.

"Aku adalah seorang pengembara yang tidak suka berada di satu tempat!" sahut Rangga.

Kala Sakti hanya diam saja mendengar ucapan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka segera masuk ke dalam istana.

********************

"Terima kasih atas bantuan yang kalian berikan!" ucap Gusti Prabu Sida Brata penuh rasa haru ketika telah bertemu Pendekar Rajawali Sakti dan Kala Sakti. "Kala Sakti! Biarkan putriku yang merawat luka-lukamu!"

Dengan diantar Putri Sentika Sari, PendekarLima Lautan segera pergi ke ruangan lain untuk diberi pengobatan.

"Sekarang aku mohon pamit, Gusti Prabu!" ujar Rangga setelah Kala Sakti tak terlihat lagi. "Tetapi sebelum aku pergi, sebaiknya Gusti Prabu sudi mengangkat Kala Sakti menjadi panglima kerajaan. Kalau mungkin menjadi mantu sekalian."

Sementara Gusti Prabu Sida Brata menanggapinya dengan sungguh-sungguh. "Tentu saja aku tidak keberatan. Semula, aku ingin menjodohkanmu dengan putriku. Tetapi karena kau berkeras hendak pergi, maka biarlah selain menjadi panglima kerajaan, Kala Sakti juga mendampingi putriku!" sahut laki-laki setengah baya itu.

Rangga tersenyum lega. Sebab apa yang menjadi tujuannya tercapai tanpa menyinggung perasaan Gusti Prabu Sida Brata.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: SETAN GEMBEL

Gadis Srigala

GADIS SRIGALA

SATU

MATAHARI hampir kembali ke tempat peraduannya. Sinarnya yang berwarna merah jingga, menciptakan bayangan-bayangan panjang ketika saat lima orang prajurit bersenjata lengkap dan seorang laki-laki tegap berpakaian perwira, menghentikan laju kuda masing-masing di sekitar Lembah Bukit Setan. Dari lambang kerajaan yang dibawa, jelas kalau mereka berasal dari Kerajaan Lima Laras. Lantas, apa yang mereka lakukan di sini?

"Kita hampir sampai, Tuan Perwira Jaranta. Sebaiknya kita nyalakan obor!" cetus seorang prajurit, pelan.

"Nyala api hanya akan mengundang perhatian tamu-tamu tidak diundang, Prajurit. Lagi pula, malam ini mustahil kita bisa mencari bunga itu. Mungkin besok pagi jika tidak ada halangan kita bisa mendapatkannya!" sahut Perwira Kerajaan Lima Laras yang dipanggil Perwira Jaranta.

Perwira berwajah kokoh dengan kumis lebat itu kemudian mengawasi keadaan di sekelilingnya dengan teliti. Bukit Setan memang terasa sangat sepi. Terlebih-lebih pada malam hari seperti sekarang ini.

"Kita dirikan saja tenda darurat dulu!" perintah Perwira Jaranta dengan suara penuh wibawa.

"Tetapi, bagaimana dengan Gusti Prabu yang tengah menderita sakit, Tuan Perwira?" tanya prajurit yang bertubuh kurus.

"Prajurit! Kau jangan banyak membantah! Siapa pun merasa prihatin melihat Gusti Prabu Sida Brata, Tapi, tidak mungkin kita mencari Bunga Arum Dalu malam ini!" sergah Perwira Jaranta, tandas.

Kelima prajurit Kerajaan Lima Laras itu sadar, Perwira Jaranta tidak suka dibantah. Apalagi, mengingat akhir-akhir ini tugasnya begitu banyak dan menyita perhatian. Sehingga tak heran kalau laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu kurang istirahat. Tanpa berani bicara apa-apa lagi, kelima prajurit itu segera mendirikan tenda.

"Auuung...!"

Belum selesai mereka memasang tenda, di kejauhan tiba-tiba saja terdengar lolongan serigala. Mula-mula hanya satu dua yang terdengar. Namun semakin lama bertambah ramai dan saling bersahut-sahutan. Bahkan makin lama makin terasa dekat saja, ke arah para prajurit itu. Para prajurit tampak saling berpandang-pandangan. Kemudian....

"Lihat! Serigala-serigala itu menuju kemari!" teriak salah seorang prajurit dengan suara bergetar bernada ketakutan.

"Diam! Seorang prajurit sejati tidak pengecut sepertimu!" dengus Perwira Jaranta marah. "Kau hanya menakut-nakuti kawan sendiri. Jika takut dengan kawanan serigala, sebaiknya berhenti menjadi prajurit!"

Walaupun prajurit itu sadar kalau atasannya sedang marah, tetapi tidak bisa menutupi rasa takut yang dirasakannya.

"Perwira! Tapi..!"

Plak! Plakkk!

"Auukh...!" Kata-kata prajurit itu terpenggal oleh keluh kesakitan saat Perwira Jaranta menampar wajahnya. Kepalanya langsung tersentak ke samping. Dari sudut bibirnya tampak darah menetes.
"Pengecut sialan! Chuhhh...!" maki Perwira Jaranta sambil meludah.

Baru saja perwira itu berbalik, serigala-serigala yang ditakutkan telah mengelilingi tenda dalam jumlah yang sangat banyak. Berpasang-pasang mata mereka yang kemerah-merahan, terus memandangi para prajurit dan perwira itu.

"Bentuk pertahanan!" perintah Perwira Jaranta tegas.

Kelima prajurit Kerajaan Lima Laras segera membentuk pertahanan saling memunggungi.

"Auuung..!"

Terdengar lolongan panjang mendirikan bulu roma. Sekejap kemudian, tampak sebuah bayangan hitam berkelebat, lalu berhenti diantara serigala-serigala buas itu. Perwira Jaranta segera memperhatikan kehadiran sosok yang hanya memakai cawat dan penutup dada di tengah-tengah serigala-serigala itu. Ternyata dia adalah seorang gadis berwajah tidak begitu cantik. Rambut panjang tidak terurus. Sekujur tubuhnya kotor dengan kuku-kuku panjang berwarna hitam. Tatapan matanya liar, dengan bibir meneteskan darah.

"Bagaimana gadis ini bisa hidup di tengah-tengah kawanan binatang?" pikir Perwira Jaranta heran.

"Perwira, lihatlah!" seru salah seorang prajurit. Suaranya bergetar.

"Aku sudah melihatnya!" sahut Perwira Jaranta.

"Auuung...!"

Tiba-tiba saja, gadis itu melolong panjang. Suara lolongannya mirip dengan lolongan serigala. Bahkan makhluk-makhluk buas sekelilingnya kemudian menyahuti dengan lolongan saiing susul. Belum habis gema lolongan mereka, tanpa diduga makhluk-makhluk buas itu menyerbu para prajurit dengan buas.

Lima prajurit yang telah siap siaga dengan senjata lengkap tidak tinggal diam. Mereka segera menyambut serangan kawanan serigala dengan kibasan pedang maupun tusukan tombak di tangan. Maka hanya dalam waktu singkat terjadi perkelahian sengit antara para prajurit melawan kawanan serigala.

Beberapa ekor serigala berhasil dibunuh. Namun begitu melihat kawan-kawannya mati, serigala-serigala yang lain langsung menggantikannya. Tampaknya kawanan makhluk buas yang sangat besar jumlahnya ini semakin bertambah marah.

Sementara itu gadis yang menyertai kawanan serigala berteriak keras dengan suara khas seperti serigala. Bahkan kemudian ikut menyerang bersama serigala-serigala itu.

Menghadapi kawanan serigala yang sangat besar jumlahnya, Perwira Jaranta dan kelima bawahannya sudah kewalahan. Apalagi gadis liar itu kini ikut ambil bagian!

"Hiyaaa...!" Perwira Kerajaan Lima Laras berteriak keras. Tiba-tiba saja tubuhnya melesat ke udara. Dan ketika meluncur deras ke bawah, pedang di tangannya langsung dikibaskan.

"Haiiit...!"

Lincah sekali gadis serigala itu melompat ke samping menghindar. Lalu tubuhnya meluruk dengan jemari tangan yang berkuku panjang bergerak cepat.

Seet! Creeess!

"Auukh...!" Perwira Jaranta kontan menjerit keras ketika tubuhnya terkena sambaran kuku-kuku gadis serigala itu. Darah segera mengucur dari lukanya. Sementara gadis liar itu tampak berbinar matanya, melihat tetesan darah lawan. Bahkan tenggorokannya turun naik pertanda begitu berhasrat dengan darah perwira ini.

Sementara itu, kelima prajurit sedikitnya telah berhasil membunuh sepuluh ekor serigala. Namun kawanan serigala yang jumlahnya mencapai ratusan ekor tampaknya menjadi semakin ganas melihat kematian kawan-kawannya. Mereka mengamuk secara membabi-buta. Akibatnya walaupun rata-rata memiliki tingkat kepandaian lumayan, lima prajurit itu tampak mulai terdesak. Bahkan....

Crabbb!

"Akh..., kakiku...! Aaakh...!"

Salah seorang prajurit bersenjata tombak kakinya tergigit oleh salah satu serigala. Prajurit malang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terbanting ke tanah. Dan hanya dalam waktu singkat, dia telah tewas dicabik-cabik kawanan serigala.

"Aaakh...!"

Keempat orang prajurit sisanya juga tidak dapat bertahan lama. Satu demi satu mereka tergelimpang roboh disertai jeritan menyayat. Begitu menyentuh tanah, tubuh mereka langsung disambut terkaman serigala-serigala yang langsung mencabik-cabik!

Nasib buruk yang menimpa para prajurit, tentu tidak lepas dari perhatian Perwira Jaranta. Namun, dia sendiri tidak dapat berbuat banyak untuk menolong anak buahnya. Apalagi saat ini sedang menghadapi serangan gadis liar yang ternyata sangat tangguh.

"Gadis liar! Kau harus bayar nyawa anak buahku!" dengus Perwira Jaranta geram.

Kemudian laki-laki bertubuh kekar itu melompat mundur. Sementara kawanan serigala telah mengepung dengan jarak cukup dekat.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba Perwira Jaranta memutar pedang di tangannya. Senjata itu tampak meliuk-liuk, seakan telah berubah menjadi banyak disertai suara menderu-deru tajam. Dan hanya dalam waktu sekejap, tubuhnya telah melesat ke depan. Pedang di tangannya meluncur mengancam dada gadis serigala.

Sambil mendengus-dengus tidak jelas, gadis yang hanya memakai cawat dari kulit kayu dan penutup dada seadanya ini menundukkan kepalanya. Sehingga serangan Perwira Jaranta hanya mengenai tempat kosong. Dan secara menakjubkan, tubuhnya berputar sambil mengibaskan kedua tangannya yang berkuku hitam panjang dan runcing.

Perwira itu jadi terkesiap. Sama sekali tidak disangka kalau gadis itu mampu melakukan gerakan yang sangat sulit. Tanpa dapat dihindari lagi....

Cras! Cras!

"Aaakh...!" Terdengar jeritan tertahan saat perut Perwira Jaranta tersambar kuku-kuku gadis itu hingga robek mengeluarkan darah. Tubuhnya kontan terpelanting. Celakanya begitu tubuhnya menyentuh tanah, kawanan serigala yang telah mengepung langsung menerkamnya. Perwira Jaranta berusaha membebaskan diri dari amukan binatang-binatang buas dengan meronta-ronta. Tapi, tetap saja dia tidak berdaya.

"Aaagkh...!" Jeritan Perwira Jaranta akhirnya lenyap ketika tenggorokannya tercabik-cabik taring serigala buas.

"Huuung...!" Gadis itu berteriak aneh seperti memberi perintah. Maka kawanan serigala itu seakan mengerti. Mereka langsung bergerak mundur, dan menguik lemah. Di depan gadis ini, mereka tidak seliar dan seberingas ketika menghadapi lawan-lawannya tadi. Malah diantara mereka ada yang merebahkan diri, seakan menunggu perintah selanjutnya.

"Jantung laki-laki adalah makanan kesukaanku sejak dulu! Kalian boleh memakan mayat-mayat ini, bila aku telah mengambil jantung mereka! Hi hi hi...!" desis gadis itu dengan suara sember, mendirikan bulu kuduk.

Gadis berambut riap-riapan yang ternyata dapat berbicara ini kemudian menghampiri mayat Perwira Jaranta. Baju perwira itu dicabik-cabiknya, dan kuku-kukunya langsung menghujam dada.

Jrosss! Breeet!

Mengerikan sekali nasib Perwira Jaranta. Jantungnya tiba-tiba ditarik keluar oleh gadis pemimpin kawanan serigala ini. Dengan rakus gadis itu memakan jantung yang masih dilumuri darah. Enak sekali dia mengunyah tanpa rasa risih sedikit pun. Perbuatan yang sama pun dilakukan terhadap lima prajurit yang telah menjadi mayat.

Setelah puas, gadis ini memerintahkan kawanan serigala untuk menyantap jenazah perwira dan prajurit yang telah diambil jantungnya. Maka hanya dalam waktu singkat, mayat-mayat itu hanya tinggal tulang-belulang saja.

********************

Sudah dua hari rombongan yang dipimpin Perwira Jaranta tidak terdengar kabar beritanya. Berarti sudah ketiga kalinya pencarian Bunga Arum Dalu mengalami kegagalan. Padahal saat ini Kerajaan Lima Laras tengah dirundung mendung duka. Penyakit Gusti Prabu Sida Brata sudah semakin parah. Menurut tabib, hanya Bunga Arum Dalu sajalah yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Dan sampai sekarang ini sudah tiga kali pihak kerajaan mengirim prajurit-prajurit untuk mencari bunga itu yang konon tumbuh di sekitar Bukit Setan.

Namun, kesemuanya sama sekali tak ada kabar. Para prajurit itu bagai hilang ditelan bumi. Semua keluarga istana menjadi sangat prihatin melihat keadaan Gusti Prabu. Terlebih-lebih putri tunggal Penguasa Kerajaan Lima Laras itu yang hampir tidak pernah meninggalkan peraduan ayahandanya. Sampai hari ini, berarti sudah lima belas hari Gusti Prabu Sida Brata terbaring sakit. Dan untuk menjalankan roda pemerintahan, terpaksa putri tunggalnya yang menggantikan.

Sementara, sakit sang Prabu kian bertambah parah. Apalagi akhir-akhir ini sudah tidak mau makan sedikit pun. Tak heran kalau badannya kini menjadi kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Sentika Sari yang merupakan keturunan satu-satunya Gusti Prabu Sida Brata kini memerintahkan pembesar-pembesar kerajaan untuk berkumpul di ruang balairung. Sentika Sari yang hadir belakangan segera duduk diatas singgasana yang biasa diperuntukkan ayahandanya. Para pembesar kerajaan serentak menjura dalam-dalam, lalu duduk kembali di tempat masing-masing.

"Kita mulai saja pertemuan ini!" ujar seorang laki-laki tua berpakaian bebas warna kuning. Sebuah tasbih dari batu pilihan, hampir tak pernah lepas dari tangannya. Di kerajaan ini, dia menjabat sebagai penasihat kerajaan.

"Benar, Eyang Kinta Manik!" sambung Sentika Sari. Tatapannya segera beralih pada para pembesar kerajaan lainnya. "Seperti yang Paman ketahui, keadaan ayahku semakin bertambah parah. Sekarang aku ingin bertanya, mengapa utusan kita yang pergi ke Bukit Setan tidak pernah kembali?"

"Ampun, Gusti Putri," ucap seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun. Dari pakaiannya bisa ditebak kalau dia adalah seorang patih. "Kami baru saja berencana ingin pergi ke Bukit Setan bersama panglima perang dan juga prajurit kerajaan. Kami ingin mencari Bunga Arum Dalu sekaligus mencari tahu tentang prajurit dan perwira kita yang hilang!"

"Jika pergi semua, lalu siapa yang berada di istana, Paman Luntaka? Firasatku mengatakan ada sesuatu yang sangat besar akan terjadi di kerajaan ini...!" kata Putri Sentika Sari.

"Putri...!" potong seorang laki-laki berpakaian panglima.

"Jangan sangkal ucapanku, Panglima Layung Seta! Di balik penyakit yang diderita, tampaknya seperti ada sesuatu yang dirahasiakan oleh beliau. Dulu ketika aku masih kecil kuingat Ayah sering pergi ke Bukit Setan untuk berburu manjangan. Sekarang ketika pengawal-pengawal dan perwira tinggi kerajaan hilang di Bukit Setan, mengapa Ayah menyatakan tidak tahu apa yang telah terjadi di Sana?"

"Tentu saja Gusti Prabu tidak tahu, Gusti Putri. Sebab beliau dalam keadaan sakit. Dan mungkin sekarang di Bukit Setan telah begitu banyak mengalami perubahan," tukas panglima bemama Layung Seta.

Putri Sentika Sari langsung terdiam. Gadis berusia dua puluh tiga tahun ini jadi teringat ayahnya yang menderita penyakit aneh. Tidak seorang tabib pun yang mampu menyembuhkannya. Celakanya lagi, obat yang mungkin dapat menyembuhkan penyakit Gusti Prabu Sida Brata hanyalah Bunga Arum Dalu yang terdapat di Bukit Setan. Dan untuk mencarinya. Pihak kerajaan telah mengorbankan para prajurit dan perwira. Namun sampai sejauh ini belum juga berhasil mendapatkannya.

"Seingatku, ketika masih kecil dulu, panglima sering berburu ke Bukit Setan bersama Ayahanda. Kurasa paling tidak panglima tahu, apa yang telah dilakukan Ayahanda di sana?" tanya Putri Sentika Sari.

"Prabu tidak melakukan apa-apa, terkecuali berburu," tegas Panglima Layung Seta.

"Baiklah! Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tidak ingin berdebat. Kita kembali kepada persoalan penyakit ayahku!" ujar Putri Sentika Sari. "Menurutku, lebih baik kita sebarkan pengumuman di seluruh pelosok negeri. Siapa pun yang bisa mendapatkan Bunga Arum Dalu dalam waktu yang sangat cepat akan diberi imbalan sangat besar!"

"Putri! Bukankah kami di sini sanggup mencari bunga itu?! Mengapa kita harus menyewa orang-orang dunia persilatan yang kebanyakan tidak tahu tata krama?!" sergah Eyang Kinta Manik.

Putri Sentika Sari memperhatikan laki-laki berpakaian bebat berwarna kuning gading itu. Lalu bibirnya melepas senyum. Amat getir. "Aku bukan tidak percaya pada kesetiaan dan kesanggupan kalian semuanya. Tetapi bagiku, ada yang aneh di Bukit Setan. Aku tidak ingin kalian menjadi korban sia-sia. Bagaimana jadinya nanti jika Kerajaan Lima Laras ini tanpa kalian?" tukas wanita berparas cantik ini.

Tidak seorang pun yang berani membantah. Mereka sadar betul Putri Sentika sangat sayang kepada seluruh pembesar kerajaan.

"Lalu, apa yang harus kami lakukan, Putri?" tanya Patih Luntaka.

"Untuk sekarang ini, sebaiknya kalian segera sebarkan berita. Nanti jika orang-orang rimba persilatan tidak sanggup mendapatkan bunga itu, baru kita pikirkan jalan selanjutnya. Mudah-mudahan saja Ayahanda dapat bertahan lebih lama lagi!" desah Putri Sentika Sari.

"Baiklah, Gusti Putri. Perintah segera kami laksanakan!" ucap Eyang Kinta Manik.

Tidak lama kemudian laki-laki berpakaian bebat warna kuning gading segera bangkit seraya merapatkan tangan di depan hidung. Dan bersama Patih Luntaka dia keluar untuk mengatur pelaksanaan apa yang diperintah Putri Sentika Sari.

Sementara itu Panglima Layung Seta dan Putri Sentika Sari sudah beranjak dari balairung. Mereka langsung menuju ruang utama. Dari situ mereka berbelok ke kanan, langsung menuju kamar pribadi Gusti Prabu Sida Brata.

Tanpa menyentuh pintu lagi, mereka segera masuk dan menghampiri peraduan Gusti Prabu, setelah terlebih dulu merangkapkan tangan di depan hidung. Kebetulan Gusti Prabu Sida Brata sudah terjaga dari tidurnya.

"Anakku! Mengapa kau tadi tidak berada di sini?" tanya laki-laki setengah baya berbadan jangkung yang tergolek di atas peraduan.

"Maafkan aku, Ayahanda. Baru saja kami mengadakan pertemuan untuk mencari Bunga Arum Dalu," jelas Sentika Sari.

"Bukankah kemarin perwira dan prajurit telah pergi ke Bukit Setan? Lalu, sekarang ke mana mereka?"

"Entah apa yang terjadi pada mereka. Sampai hari ini, tidak seorang pun yang kembali!" jelas Putri Sentikan Sari, masygul.

"Ohh...!" rintih Gusti Prabu mendesah. "Kurasa mereka tidak akan pernah kembali. Kenyataan ini benar-benar membuatku sedih!"

"Sudahlah, Ayah. Jangan memikirkan yang bukan-bukan. Kami selalu berdoa agar Ayah cepat sembuh!" ujar Putri Sentika Sari.

"Kau memang anak yang selalu berbakti pada orang tua, Sentika!" puji Gusti Prabu Sida Brata, sambil memeluk putrinya.

********************

DUA

Ternyata pengumuman yang disebarkan pihak Kerajaan Lima Laras mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Terutama, dari kalangan dunia persilatan. Tidak kurang dari lima belas tokoh dari golongan hitam dan putih ini telah berkumpul di halaman kerajaan.

Puluhan orang prajurit tampak mengawal untuk menghindari terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Di antara para tokoh dunia persilatan yang hadir, tampak pula seorang laki-laki berpakaian hitam. Tubuhnya tegap tinggi. Wajahnya yang angker, ditumbuhi. cambang dan brewok. Walaupun tidak pernah berhadapan langsung, namun pihak kerajaan sudah sering mendengar ciri-ciri maupun sepak terjangnya. Tokoh yang tinggal di daerah ujung barat tanah Jawa ini dikenal bernama Suta Soma. Namun di kalangan persilatan berjuluk Iblis Pemabuk.

Sementara tokoh aliran putih juga terlihat hadir. Namun mereka lebih banyak berdiam diri dengan sikap tenang, penuh percaya diri. Tanpa mempedulikan lagak jumawa tokoh-tokoh hitam yang banyak sesumbar, mereka terus memperhatikan sebuah panggung setinggi satu tombak yang didirikan tepat didepan pintu masuk istana.

Dan dari dalam pintu istana, muncul Putri Sentika Sari yang didampingi Panglima Layung Seta, serta Patih Luntaka. Mereka langsung menaiki panggung, dan duduk berjejeran. Putri Sentika Sari berada di tengah-tengah. Ketika Putri Sentika Sari yang memang cantik ini tersenyum, orang-orang persilatan berdecak kagum.

"Tidak mendapat hadiah emas pun tidak apa-apa! Asal Putri yang cantik itu menjadi milikku!" celetuk salah seorang tokoh persilatan.

"Aku juga...!" timpal yang lain.

Saat itu juga suasana menjadi hingar-bingar diwarnai tawa. Panglima Layung Seta segera bangkit. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.

"Hadirin sekalian harap tenang sebentar!" sergah Panglima Layung Seta. "Sekarang Gusti Putri akan menjelaskan pokok persoalan yang sebenarnya!"

Begitu suasana mereda, Panglima Layung Seta segera mempersilakan Putri Sentika Sari maju ke depan. Dengan tenang gadis cantik yang juga mempunyai ilmu olah kanuragan ini berdiri. Langkahnya gemulai sambil mengedarkan pandangan, menyapu para hadirin.

"Aku mewakili ayahandaku yang sedang sakit. Sekarang ini aku bukan sedang mengadakan sayembara. Tapi aku ingin minta bantuan kalian untuk mencari Bunga Arum Dalu di Bukit Setan. Siapa pun yang berhasil mendapatkannya, akan mendapat hadiah satu peti emas permata," jelas Sentika Sari.

Semua yang hadir berdecak kagum mendengar hadiah yang dijanjikan. Tetapi, rupanya Suta Soma alias Iblis Pemabuk merasa kurang puas.

"Hadiah itu memang sangat besar! Tetapi mengingat bahaya yang ada di Bukit Setan, aku meminta hadiahnya ditambah dengan Putri!" teriak laki-laki berwajah angker itu sambil meneguk arak kerasnya.

Wajah Putri Sentika Sari berubah merah karena menahan amarah. Sedangkan Panglima Layung Seta yang tadi, sudah duduk di kursinya, langsung berdiri. Bahkan hampir saja dia bertindak, jika tidak dicegah Patih Luntaka.

"Jaga mulutmu, Kisanak! Jangan keterlaluan. Putri bukan untuk diperebutkan. Jika kau yang mendapatkan Bunga Arum Dalu tentu kami dengan senang hati menambah hadiah berupa emas pula!" tegas Patih Layung Seta dengan wajah memerah.

"Sayang, emas tak ada artinya buatku! Tapi kalau wanita, he he he...," kekeh Iblis Pemabuk.

"Mumpung segala sesuatunya belum telanjur, silakan pergi dari sini!" bentak Panglima Luntaka yang kali ini juga ikut angkat bicara, karena merasa kewibawan kerajaan direndahkan oleh tokoh itu.

"Ha ha ha...! Tidak seorang pun yang berhak mengusirku. Kalau mau, tentu sekarang aku dapat melarikan Putri Sentika Sari tanpa ada yang mampu mencegahku!" teriak Iblis Pemabuk disertai tawa menyeramkan.

Ucapan Suta Soma tentu membuat suasana kian memanas. Tetapi....

"Bicaramu kelewat sombong, Iblis Pemabuk! Mestinya kau sadar di atas langit masih ada langit!"

Mendadak terdengar sahutan dari samping Iblis Pemabuk. Dan semua orang pun langsung memandang ke arah datangnya suara. Ternyata yang bicara barusan seorang pemuda tampan berbaju ketat warna biru dari sutera halus. Di tangannya tergenggam sebuah busur panah. Sementara di punggungnya tersampir beberapa anak panah.

"Pendekar Lima Lautan...," sebut Iblis Pemabuk alias Suta Soma dengan wajah berubah tegang penuh keterkejutan.

Memang, Iblis Pemabuk kenal betul dengan Pendekar Lima Lautan. Mereka sudah pernah bentrok beberapa kali, dan kekalahan selalu menimpa Suta Soma. Inilah yang membuatnya tergetar begitu melihat Pendekar Lima Lautan. Mereka mempunyai ilmu olah kanuragan hampir seimbang. Hanya yang menakutkan Iblis Pemabuk adalah busur panah yang bila dipasang sebuah anak panah, akan berubah jumlahnya menjadi berlipat ganda. Jangan tubuh manusia. Batu karang yang paling keras sekali pun, akan hancur berkeping-keping terhantam anak panah tokoh berkepandaian tinggi berjuluk Pendekar Lima Lautan itu.

"Maafkan aku, Kala Sakti. Tidak kusangka berita tentang hadiah besar ini sampai padamu juga. Padahal Lima Lautan sangat jauh jaraknya dari sini, " ucap Iblis Pemabuk, memanggil nama asli Pendekar Lima Lautan.

Wajahnya diatur sedemikian rupa, agar rasa malunya tak tampak. Diam-diam hati Suta Soma dongkol bukan main melihat kehadiran pendekar itu. Dan ini berarti, harapannya untuk mendapatkan Putri Sentika Sari lenyap. Namun dia berharap, hadiah satu peti emas bisa diraihnya.

"Kurasa sudah tidak ada yang perlu ditunggu di sini. Mudah-mudahan saja peruntungan baik berada di tanganku. Sekarang aku akan pergi mencari bunga itu!" kata Iblis Pemabuk, seraya berbalik dan berkelebat meninggalkan tempat ini.

Hanya sekejap saja tubuh Iblis Pembuk telah lenyap dari pandangan. Melihat Suta Soma pergi, maka tokoh-tokoh dunia persilatan lainnya segera mengikuti jejaknya. Kini di halaman istana hanya tinggal Pendekar Lima Lautan.

"Kalau tidak salah bukankah Kisanak yang berjuluk Pendekar Lima Lautan?" tanya Patih Luntaka.

Kala Sakti menganggukkan kepalanya. Bibirnya mengulas senyum kemudian merangkapkan kedua tangan di depan hidung. "Memang benar, Patih. Tapi itu hanya julukan kosong belaka," sahut Pendekar Lima Lautan, merendah.

"Apakah kau berniat mendapatkan hadiah itu?" tanya Panglima Layung Seta.

"Sedikit pun aku tak berminat mendapatkan harta. Aku hanya ingin agar Gusti Prabu cepat sembuh dari penyakitnya. Sekaligus, mengawasi kemungkinan terjadinya kerusuhan di sini. Sebab yang ikut ambil bagian dalam mencari Bunga Arum Dalu di Bukit Setan bukan tokoh-tokoh golongan putih saja. Kulihat golongan hitam juga ikut serta. Sudahlah, sekarang aku ingin ke Bukit Setan, Sampaikan salamku pada Gusti Prabu Sida Brata!" kata Pendekar Lima Lautan.

"Berhati-hatilah, Pendekar!" pesan Patih Luntaka.

Pendekar Lima Lautan merangkapkan tangannya di depan hidung, lalu berkelebat cepat dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah cukup tinggi. Sebentar saja, tubuhnya sudah tidak kelihatan dari pandangan.

********************

Waktu terus bergulir sesuai garis edarnya. Dan di siang yang sangat terik, ini tampak seorang pemuda tampan berbaju rompi turun dari kudanya di dekat sebuah sungai. Kuda berbulu hitam berkilat ini segera menghampiri permukaan air sungai yang jernih itu.

"Minumlah sepuasmu, Dewa Bayu. Kurasa perjalanan kita ke Kerajaan Lima Laras masih cukup jauh dari sini!" ujar pemuda tampan yang dipunggungnya terdapat sebilah pedang bergagang kepala burung rajawali, pada kuda tunggangannya.

Pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Rangga yang dirimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti kemudian merebahkan badannya di bawah sebatang pohon berdaun lebat. Suasana di bawah pohon yang teduh, ditambah usapan angin sepoi-sepoi membuat Rangga terkantuk-kantuk. Namun tiba-tiba saja...

Ser! Ser!

"Heh?!" Pendekar-Rajawali Sakti tersentak kaget ketika mendengar suara desir halus dari pohon yang berada di sebelahnya. Ketika memandang ke arah datangnya suara, tampak tiga buah benda berwarna putih berkilatan meluncur cepat ke arahnya.

"Hup!" Dengan cepat sekali Rangga berguling-guling menjauh. Maka benda-benda yang meluncur deras ke arahnya yang ternyata senjata rahasia berupa paku beracun berwarna putih keperakan hanya menghantam pohon yang tadi disandari.

"Sial! Hampir saja aku tidur selama-lamanya!" gerutu Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Kakinya langsung melangkah mendekati pohon tempatnya berteduh tadi. Dicabutnya salah satu paku yang menancap di batang pohon, kemudian memperhatikannya dengan seksama. Lalu tatapannya kembali ke pohon. Dahsyat sekali! Perlahan-lahan, daun-daun pohon itu berguguran. Bagian yang tertancap langsung menghangus! Dan akhirnya, pohon itu kering kerontang tanpa daun, dalam keadaan jadi arang! Lalu.... Brukkk! Pohon itu langsung ambruk tanpa bisa dicegah lagi.

"Ternyata paku ini mengandung racun paling keji yang pernah aku jumpai selama ini!" gumam Rangga. Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti berbuat sesuatu, tiba-tiba saja....

Ser! Ser!

"Hup!" Terdengar suara desir angin halus kembali. Tanpa menunggu lebih lama, Rangga segera melenting ke udara. Sehingga serangan paku-paku beracun itu hanya setengah jengkal saja melesat di bawah kakinya. Dan begitu tubuhnya meluncur deras ke bawah, dilemparkannya sebuah paku beracun yang digenggam tadi ke arah datangnya serangan gelap barusan. Paku beracun meluncur deras ke dalam semak-semak.

Krosak!

"Bangsat sialan! Ternyata kau mempunyai kebisaan juga!"

Terdengar makian yang disertai melesatnya sesosok tubuh dari dalam semak belukar. Hanya dalam waktu singkat sosok itu telah mendarat di tanah. Di depan Rangga, kini berdiri seorang perempuan berwajah tirus. Matanya yang cekung menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya yang sumbing mengulas senyum. Namun yang tampak malah sebuah seringai. Tangan kanannya lebih kecil dari tangan kiri. Demikian juga kaki kanannya. Usianya sudah cukup tua. Mungkin sekitar enam puluh tahun. Di pinggangnya, melilit sebuah cambuk dari buntut ikan pari, dengan tengkorak kepala serigala sebagai ujungnya.

"Apa kesalahanku, Nyisanak? Mengapa tiba-tiba saja menyerangku?" tanya Rangga. Nada suaranya terdengar halus, penuh perbawa.

"Hik hik hik...!" Nenek berbibir sumbing malah tertawa mengikik. Bahkan tanpa diduga-duga kembali menyerang dengan pukulan bertubi-tubi ke arah Rangga.

Zeb! Zeb!

Pemuda ini segera mengerahkan jurus sembilan Langkah Ajaib untuk menghindari serangan. Tubuhnya meliuk-liuk indah, ditopang oleh gerakan kaki yang lincah. Sehingga serangan-serangan yang dilancarkan nenek sumbing ini tidak mengenai sasarannya. Bahkan menyentuhnya pun tidak.

"Heh...?!" Nenek berbibir sumbing dan berpakaian ringkas ini terkejut sekaligus heran, karena serangannya mudah sekali dihindari. Secepatnya serangannya dihentikan, dan kembali memandang pemuda berbaju rompi putih itu dengan sinar mata menyiratkan ketidakpercayaan.

"Siapa kau?!" bentak perempuan tua ini dengan mata melotot. Karena bibirnya sumbing maka suara nenek ini terdengar sengau.

Namun Pendekar Rajawali Sakti masih dapat mendengarkannya. "Aku Rangga!" jawab pemuda itu singkat.

"Jelaskan apa tujuanmmu datang kemari?" tanya perempuan tua itu lagi.

"Hanya kebetulan saja aku melewati tempat ini."

"Hi hi hi...! Di depan Nini Sumbing kau hendak berdusta? Hmm.... Kau pasti punya tujuan yang sama dengan orang-orang konyol itu. Kau ingin mencari Bunga Arum Dalu, bukan?" tebak perempuan berbibir sumbing yang bernama Nini Sumbing itu.

"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, Nini? Aku baru saja sampai ke tempat ini, dan hendak meneruskan perjalanan ke suatu tempat," kilah Rangga. Rupanya Rangga sengaja tidak menyebut Kerajaan Lima Laras yang ingin ditujunya. Sebab, dia tidak tahu Nini Sumbing berdiri di pihak mana?

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Sungai Citandui ini masih termasuk wilayah Bukit Setan. Berarti dalam kekuasaan ketua kami yang bernama Nini Baji Setan. Kalau benar kau bukan menginginkan Bunga Arum Dalu, maka sebaiknya serahkan senjatamu berikut kuda milikmu. Setelah itu, cepat pergi dari sini!" dengus Nini Sumbing.

Rupanya sejak melihat Rangga pertama kali, Nini Sumbing tertarik dengan pedang berhulu kepala burung rajawali yang tersampir di punggung Rangga. Tentu saja, tak mungkin pedang dan kudanya diserahkan begitu saja.

"Begitu mudahnyakah, Nini? Keduanya adalah bagian dari jiwaku. Jadi, maaf. Permintaanmu terpaksa kutolak," tegas Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat! Kau membantah perintah! Tahukah kau, apa yang akan terjadi pada dirimu?!" tanya Nini Sumbing berang.

Rangga hanya menggeleng pelan sambil tersenyum kalem

"Aku akan memotong kepalamu! Hiyaaa...!"

Disertai bentakan menggelegar, tubuh Nini Sumbing meluruk deras ke depan. Sedangkan kedua tangannya bergerak bersilangan. Mulutnya terbuka lebar, sehingga memperdengarkan suara menggembor seperti serigala kelaparan.

"Uts...!" Melihat serangan itu, Rangga langsung menggeser kaki kirinya. Lalu tubuhnya agak dimiringkan, sehingga serangan Nini Sumbing hanya menyambar sejengkal di atas kepalanya.

Karena serangannya dapat dielakkan sambil terus bergerak ke depan Nini Sumbing melepaskan tendangan kaki kiri.

"Haiiit...!" Pendekar Rajawali Sakti dengan gesit melompat ke belakang. Mendapat kenyataan ini, Nini Sumbing menjadi gusar. Lagi-lagi serangannya dapat dihindari. Maka dengan bertumpu pada kaki kanan yang kecil, kaki kirinya diangkat tinggi-tinggi. Sehingga, tampaklah bagian pahanya. Rangga menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah memerah karena malu.

"Mengangkat kaki jangan terlalu tinggi, Nini!" kata Rangga seraya berpaling.

"Pemuda setan! Makanlah tanganku ini! Heaaa...!" Belum juga gema teriakannya hilang, Nini Sumbing sudah memutar tubuhnya, Tangannya sudah terentang setinggi bahu. Tampak jelas kedua tangan berkuku runcing itu telah berubah warnanya menjadi hitam seperti arang.

Jelas sekali kalau perempuan tua ini hendak mengerahkan serangan beracun. Dan walaupun Pendekar Rajawali Sakti kebal racun, tentu tidak bisa tinggal diam. Bisa jadi kuku runcing itu bisa menyayat kulit tubuhnya. Maka segera dikerahkannya jurus Sayap Rajawali Menyambar Mega. Pendekar Rajawali Sakti kemudian melompat ke depan. Kedua tangannya berkelebat, menyambut sambaran tangan Nini Sumbing.

Wuttt...!

Ketika tangan masing-masing hampir bersentuhan, nenek berbibir sumbing itu menyeringai. Harapannya, begitu tangan Rangga tertangkap akan langsung diremasnya sampai hancur. Namun di luar dugaan, Rangga tiba-tiba membelokkan tangannya kebawah, langsung menghantam tulang rusuknya.

Duuk!

"Huaaakh...!" Perempuan tua itu terdorong mundur sambil meringis kesakitan. Tanpa menghiraukan sakit yang diderita, kembali diserangnya Pendekar Rajawali Sakti. Dalam hati, Rangga memuji daya tahan tubuh lawannya. Padahal tenaga dalamnya yang dikerahkan tadi cukup kuat.

"Aku benar-benar segera membunuhmu!" dengus nenek berbibir sumbing. Serangan yang dilakukan Nini Sumbing benar-benar sangat cepat dan mengandung gerak tipu.

Rangga segera meliukkan tubuhnya ke samping, lalu berputar. Seketika kakinya melepaskan tendangan setengah melingkar. Tetapi Nini Sumbing memapakinya dengan telapak tangan.

Plak!

"Aakh...!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan, dan langsung jatuh terduduk. Kakinya yang sempat membentur tangan perempuan itu terasa dingin dan seperti kaku. Segera tenaga dalamnya dikerahkan ke bagian kaki, sehingga sebentar kemudian rasa sakitnya sudah agak berkurang. Baru kemudian pemuda ini bangkit berdiri dengan sikap waspada penuh perhitungan.

"Huh! Ternyata kau cukup kuat. Tapi jangan bangga dulu. Sebentar lagi, seluruh tubuhmu akan lumpuh!" geram Nini Sumbing. Secara diam-diam, perempuan tua ini mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Tampak tangannya bergetar hebat, lalu tercium bau yang sangat amis. Ketika kedua tangannya dikibaskan, maka tampak selarik sinar hitam berbau amis meluncur deras ke arah Rangga.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti cepat bertindak. Cepat dipasangnya kuda-kuda kokoh. Tenaga dalamnya pun telah disalurkan ke tangan. "Aji 'Guntur Geni'! Hiyaaa...!" teriak Rangga.

Begitu setengah tombak lagi selarik sinar hitam itu tiba, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Saat itu juga dari kedua telapak tangannya meluncur selarik sinar merah, memapak sinar hitam yang melesat dari tangan Nini Sumbing.

Glar! Glarrr!

"Aaakh...!" Sungguh tidak disangka oleh Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda ini memang tak mau mencelakai perempuan tua itu tanpa alasan jelas. Maka dia hanya mengerahkan setengah dari tenaga dalamnya. Tetapi ternyata perempuan tua itu justru benar-benar ingin membunuhnya. Sehingga tenaga dalamnya yang dikerahkan benar-benar tinggi. Akibatnya tubuh pemuda itu terlempar, dan jadih berguling-gulingan. Dari bibirnya menetes darah kental.

"Cepat serahkan pedang itu padaku!" Merasa berada di atas angin, Nini Sumbing kembali memerintahkan Rangga agar kembali menyerahkan pedang di punggungnya yang telah menarik perhatiannya.

"Pedang Rajawali Sakti ini adalah bagian dari hidupku! Selama aku masih hidup, pedang ini tidak pernah akan kuberikan pada siapa pun!" dengus Rangga mulai bangkit amarahnya.

Sebaliknya Nini Sumbing sempat tersentak kaget seperti disengat binatang berbisa saat mendengar nama pedang itu. Berarti pemiliknya adalah.... Ketuanya yang bernama Nini Baji Setan pernah bercerita tentang kehebatan seorang pemuda berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Mengingat hal itu rasanya dia yakin kalau pemuda yang dihadapinya adalah pendekar yang dimaksud ketuanya di Bukit Setan.

"Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Nini Sumbing.

"Hanya sebuah julukan kosong yang tak ada artinya...," sahut Rangga, berkesan merendah namun memiliki tekanan menggetarkan.

Tidak disangka-sangka. Nini Sumbing tertawa lebar. Sampai-sampai, tubuhnya yang kurus kering tergetar. Rangga jadi menatap heran. Begitu tawanya berhenti, perempuan tua itu menatap Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya kini tampak meremehkan.

"Ketuaku mengatakan, kau seorang pendekar yang hebat. Tidak tahunya kau lebih buruk lagi daripada kecoa busuk!" ejek Nini Sumbing.

"Mungkin aku memang hanya kecoa busuk. Tapi bisa jadi aku bisa membuka matamu lebar-lebar. Hiaaa...!" Rangga berteriak keras. Tiba-tiba saja, tubuhnya berkelebat cepat sekali sambil melepas serangan dengan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.

Nini Sumbing tercekat. Cepat dia melompat ke belakang untuk menghindar. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar. Bahkan tiba-tiba kakinya terangkat ke atas cepat sekali. Sehingga....

Bukkk...!

"Aaakh...!" Nini Sumbing terjengkang disertai teriakan keras. Hidungnya mengucurkan darah. Begitu bangkit dia langsung menyeka darah yang terus keluar dari hidung. Matanya kini mendelik, pertanda amarahnya telah sampai pada puncaknya.

"Keparat! Tahan jurus 'Serigala Memburu Mangsa'ku!" maki Nini Sumbing. Tiba-tiba saja perempuan tua itu melompat ke depan. Rupanya nenek berbibir sumbing ini sekarang telah mempergunakan jurus andalannya. Gerakannya yang dilakukannya pun seperti gerakan menerkam. Pada jarak tertentu tubuhnya bersalto di udara. Pada saat bergerak seperti itu, tangannya berusaha mencengkeram leher Rangga.

"Uts!".Pendekar Rajawali Sakti menundukkan kepalanya. Sehingga cengkeraman nenek itu hanya menyambar rambut. Namun, Nini Sumbing langsung membetotnya.

Brettt...!

"Aduuuhh...!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan. Kepalanya terasa sakit berdenyut-denyut. Tetapi memang tidak ada kesempatan lagi untuk menyia-nyiakan waktu yang ada. Karena saat yang sama perempuan tua itu telah menyerang lagi dengan cakaran kukunya yang tajam.

"Hiaaa...!" Dengan gerakan yang gesit sekali Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke samping, lalu mundur ke belakang. Dan tanpa disangka-sangka, dilepaskannya serangkaian tendangan menggeledek.

Desss...! Desss...!

"Auuukh...!" Nenek berbibir sumbing itu menjerit keras. Bahunya beberapa kali terhantam telak kaki Rangga yang berisi tenaga dalam tinggi. Sehingga membuatnya jatuh terguling-guling. Meskipun akhirnya dapat berdiri lagi, namun jalannya tampak miring.

Kini dia baru percaya dengan ucapan ketuanya, bahwa Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa dianggap enteng. Tanpa berkata apa-apa lagi, segera ditinggalkannya tempat itu.

Rangga menarik nafas dalam-dalam. Segera dihampirinya Dewa Bayu yang tampak sedang memakan rumput di pinggir sungai.

********************

TIGA

Bukit Setan. Sebuah bukit yang masuk wilayah Kerajaan Lima Laras, dan kini jadi tujuan utama kaum rimba persilatan untuk mendapatkan Bunga Arum Dalu. Tak mudah untuk menuju bukit itu. Selain tebingnya terjal, juga adanya sekawanan serigala yang memangsa setiap orang yang mengunjunginya. Kalau hanya berkepandaian rendah, rasanya mustahil untuk dapat menjejakkan kakinya di sana.

Matahari saat ini tepat berada di atas ubun-ubun. Sinarnya seolah hendak memanggang Bukit Setan yang terlihat indah dari kejauhan. Namun kenyataannya justru di bukit itu sendiri malah terasa sejuk, dengan pepohonan cukup besar memayungi. Di salah satu tebing bukit, seorang perempuan tua berpakaian compang-camping tampak tengah menatap ke satu arah. Pandangan matanya tajam, dingin dan menggetarkan.

Dibelakangnya sejauh satu tombak, terdapat mulut sebuah gua yang tersamar oleh semak belukar dan pohon-pohon merambat. Di sebelah gua itu pula, terdapat gua lain yang sama sekali tak tertutup apa-apa. Hanya sesekali, terdengar gerengan dan salakan serigala. Perempuan itu memang sudah cukup tua. Paling tidak usianya sekitar delapan puluh tahun. Namun sedikit pun tak terlihat ada keriput di kulit tubuhnya. Malah tubuhnya terlihat padat dan sehat, dengan kulit putih berkilat. Kendati demikian rambut putihnya yang digelung ke atas dan alisnya yang juga berwarna putih, tak dapat menutupi ketuaannya.

Di dalam gua tidak jauh dari tempat perempuan tua ini berdiri, tampak seorang gadis berambut panjang sepinggang. Rambutnya yang riap-riapan, tampak tak terurus. Sekujur tubuhnya kotor berselimut daki. Dia hanya memakai kulit kayu untuk menutupi bagian terlarang di tubuhnya, dan beberapa lembar daun sebagai penutup buah dadanya. Di pangkuan gadis itu terbaring seekor serigala yang terluka. Sementara tak jauh dari situ, berbaring beberapa ekor serigala yang terluka. Agaknya gadis ini tengah merawat binatang-binatang buas itu yang tampak jinak di tangannya.

"Seharusnya dia sudah pulang, Kuntalini! Main-main ke mana lagi si jelek sumbing itu...?!" gerutu perempuan tua berpakaian compang-camping tanpa menoleh.

"Jangan pikirkan. Guru! Orang tua pikun itu memang suka melantur ke mana-mana bila sedang diberi tugas!" sahut gadis yang sedang mengurus serigala dengan tenangnya.

Rupanya gadis yang bernama Kuntalini adalah murid dari perempuan berpakaian compang-camping. Sehingga kata-katanya tidak membawa pengaruh apa-apa bagi gurunya.

"Keadaan sudah sangat mendesak! Tamu-tamu yang tidak diundang harus segera dibereskan! Setelah itu, rencana kita tetap pada tujuan semula," desis perempuan tua ini.

"Aku tidak akan pernah lupa, Guru! Mengenai tamu-tamu yang tidak diundang itu sudah menjadi tugasku untuk membereskannya. Tentu saja berkat bantuan pasukan serigala kita!" sahut Kuntalini. Sesekali gadis yang bau dan keadaan tubuhnya bagai serigala ini kemudian menyeringai. Dari mulutnya keluar suara menggereng seperti suara serigala.

"Aku yakin dengan kemampuanmu, Kuntalini! Racun Bunga Bisa telah bekerja sebagaimana yang kita harapkan. Hidup matinya Sida Brata keparat itu hanya tergantung Bunga Arum Dalu. Padahal, bunga itu milik kita!" desis perempuan tua itu lagi, setelah berbalik menatap murid tunggalnya.

"Semua sifat Guru telah menurun padaku. Demikian juga ilmu yang diberikan Guru telah kukuasai. Nasibku yang buruk tentu segera terbalaskan. Kelak di kemudian hari kita dapat mendirikan sebuah kerajaan. Yaitu, Kerajaan Serigala!"

"Benar! Kau telah mewarisi segala-galanya, Kuntalini! Tetapi sejak dulu kau punya dasar yang kuat untuk menjadi Ratu Serigala. Percayalah! Selain Bunga Arum Dalu, tabib-tabib tolol kerajaan tidak mungkin sanggup menyembuhkan penyakitnya! Hik hik hik...!"

"Hi hi hi...! Guru benar! Segala-galanya sudah berada di ambang mata. Hanya sekali bergerak, maka tercapailah cita-cita kita!" sahut Kuntalini, tersenyum gembira.

"Ketua, aku datang!" Mendadak terdengar suara dari kejauhan.

Perempuan tua guru Kuntalini segera berbalik. Matanya langsung memandang ke arah datangnya suara. Sedangkan muridnya bersikap acuh tak acuh saja. Tidak lama tampak muncul seorang perempuan tua berbibir sumbing bergerak mendekati gua.

"Cuh...!" perempuan tua guru Kuntalini yang dipanggil 'Ketua' meludah. Air ludahnya membuat dinding pintu gua yang jadi sasaran berlubang dan mengepulkan asap tipis berbau sangit. "Lama kau pergi! Mengapa sekarang baru muncul? Jalanmu miring seperti orang sinting. Apa yang telah terjadi denganmu, Nini Sumbing?!"

Perempuan sumbing yang ternyata Nini Sumbing menjura dalam-dalam. Matanya dipejamkan, lalu menarik napas dalam-dalam. Setelah napasnya teratur kembali, wajahnya langsung menghadap pada perempuan tua yang dikenal sebagai Nini Baji Setan.

"Ceritakan! Apa yang terjadi padamu?!" bentak perempuan tua berpakaian compang-camping ini gusar.

"Ketika mengadakan penyelidikan, aku bertemu seorang pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak bisa percaya begitu saja. Sehingga, kami bentrok. Tetapi seperti yang pernah Ketua katakan, ternyata Pendekar Rajawali Sakti cukup tangguh. Sebenarnya aku hampir menang. Tetapi...!"

"Akhirnya kau kalah!" sambar Nini Baji Setan sengit". Bagaimana mungkin pemuda itu sampai berkeliaran di Bukit Setan ini? Apakah kau tidak mencari tahu?"

Diam-diam sebenarnya Nini Baji Setan terkejut juga. Berhadapan secara langsung dengan Pendekar Rajawali Sakti, dia memang tidak pernah. Namun menurut kabar, Pendekar Rajawali Sakti sangat tangguh.

"Menurutnya, dia akan pergi ke suatu tempat. Aku tidak tahu tempat mana yang dituju!" jelas Nini Sumbing lagi.

Cukup lama juga Nini Baji Setan terdiam. Sedangkan Kuntalini murid kesayangannya lebih banyak bermain-main dengan serigala yang selama ini selalu membantu sepak terjangnya.

"Bagaimana laporanmu yang lain?" tanya perempuan beralis putih itu ingin tahu.

"Sekarang ini orang-orang rimba persilatan yang disewa Kerajaan Lima Laras berada disebelah selatan Bukit Setan. Tampaknya mereka juga ingin mendapatkan Bunga Arum Dalu. Untuk mencegah mereka sampai di bukit sebelah timur, aku menunggu perintah Ketua," jawab Nini Sumbing.

"Tugas ini tidak akan kuberikan padamu!" kata Nini Baji Setan tegas. Kemudian kepalanya berpaling pada Kuntalini. "Muridku! Sekarang, kau sudah boleh berangkat menghadang orang-orang itu di selatan. Bawa seluruh anak buahmu! Jika merasa perlu bantuan, kau cukup memberikan isyarat padaku!"

"Hi hi hi...! Aku mendapat tugas lagi! Berarti, aku akan mendapatkan jantung-jantung segar yang, lezat!" sahut Kuntalini. Gadis yang hanya memakai cawat dan penutup dada itu kemudian melangkah kepintu gua. Lalu....

"Auuung! Hung! Huuung...!" Kuntalini melolong panjang sebanyak tiga kali. Maka dari pintu gua yang berada di sebelah gua induk muncul barisan serigala menuju ke arah gadis itu, hingga berjumlah ratusan.

"Guru, aku berangkat!" pamit Kuntalini.

"Ya,.., jangan lupa bunuh mereka semuanya!" pesan Nini Baji Setan.

Gadis serigala menganggukkan kepala. Sebentar saja tubuhnya sudah bergerak cepat meninggalkan gua. Ratusan ekor serigala segera mengikuti ke mana pun dia pergi.

Sementara itu di sebelah selatan Bukit Setan, tampak belasan laki-laki sedang menjelajahi daerah sekitarnya untuk mencari-cari Bunga Arum Dalu. Sudah hampir dua hari mereka berada di sana. Namun tanda-tanda untuk menemukan bunga mukjizat itu belum kelihatan. Di antara wajah-wajah letih itu, tergambar keputusasaan.

"Kita semua memang sudah gila! Gila hadiah! Mencari sesuatu yang tidak jelas letak dan tempatnya, sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami," dengus seorang laki-laki berbadan kurus sambil menyeringai.

Ucapan ini sempat mengundang tawa kawan-kawannya. Namun, banyak juga yang bersikap acuh tak acuh.

"Bunga Arum Dalu entah di mana tumbuhnya. Sejak tadi aku hanya menemukan Bunga Tahi Ayam, Bunga Cocor Bebek, Bunga Matahari dan Bunga Kehidupan!" gerutu seorang laki-laki berbadan pendek.

"Mencari sesuatu harus bersabar. Bukit Setan ini luas. Kita belum mencari yang di sebelah timur, barat, dan utara."

"Lama-lama aku bisa gila!" teriak laki-laki berbaju hitam yang agak jauh dari kawan-kawannya. "Aku menemukan tulang-belulang di mana-mana. Apakah bukit ini ada penunggunya yang memangsa manusia?"

"Jangan bicara ngaco, Subali! Sekali lagi kudengar kau bicara seperti itu, kupenggal kepalamu...!" bentak laki-laki berbaju putih.

Laki-laki berbaju hitam yang bernama Subali langsung terdiam. Dan kini perhatian mereka terpusat untuk mencari Bunga Arum Dalu. Sehingga tanpa disadari....

"Hantu.... Aaakh...!" Jeritan Subali tentu saja membuat terkejut dua belas orang lain yang sedang sibuk mencari Bunga Arum Dalu.

"Ada apa dengan Subali?" tanya laki-laki berbadan tegap.

"Mana kami tahu, Kasa Raga?" jawab laki-laki berbaju putih.

"Tolol! Kita sudah berjanji untuk bahu-membahu. Kesulitan yang dihadapi merupakan kesulitan kita juga. Ayo kita cari...!" ujar laki-laki tegap bernama Kasa Raga.

Dengan tergesa-gesa, kedua belas laki-laki yang terdiri dari golongan hitam dan putih yang telah menyatu mendatangi Subali. Mereka mulai memanggil-manggil nama Subali. Tetapi setelah gema suara mereka lenyap, suasana lembah sunyi kembali.

"Subali! Jangan mempermainkan kami! Katakan, apakah kau menemukan Bunga Arum Dalu?! Kita harus bersama-sama mengantarnya ke kotaraja. Seperti sama-sama kita sepakati, hadiah itu harus dibagi adil!" teriak Kasa Raga lantang.

Karena tidak ada jawaban, maka orang-orang itu terus mencari. Sampai kemudian....

"Lihat! Ada darah di sini!" teriak salah seorang.

Seruan itu menarik perhatian yang lain. Seketika mereka berduyun-duyun mendatangi. Begitu sampai, Kasa Raga segera memeriksa. Benar saja! Darah yang mereka lihat itu darah manusia dan belum beku pula. Pertanda, kejadiannya baru saja. Dengan hati was-was, Kasa Raga diikuti beberapa orang laki-laki lainnya terus mengikuti ceceran darah ditanah.

Sampai akhirnya, mata Kasa Raga melotot dengan mulut ternganga. Orang-orang yang mengikuti laki-laki tegap itu juga sama kagetnya. Mereka melihat Subali dalam keadaan terkapar. Sekujur tubuhnya berlumuran darah. Tenggorokannya putus seperti dicabik binatang buas. Dadanya berlubang. Tampaknya, jantungnya telah dirogoh. Entah oleh binatang buas, atau manusia. Tetapi bila melihat luka-lukanya, yang membunuh Subali pastilah binatang buas.

"Satu teman kita tewas. Bukan mustahil kalau yang lainnya segera menyusul. Bukit Setan ini benar-benar sarang iblis! Keparat... Kita telah datang ke tempat yang salah!" dengus Kasa Raga sambil mengepalkan tinjunya. "Para iblis penghuni bukit ini! Kuharap mau menunjukkan diri dan berhadapan langsung dengan kami!" teriak laki-laki tegap itu lantang.

"Hauuung...!"

Sebagai jawabannya, tiba-tiba terdengar lolongan panjang mendirikan bulu roma. Untung saat ini adalah siang hari. Jika malam, mungkin beberapa orang yang bernyali kecil sudah lari tunggang langgang. Suara lolongan kemudian bersahut-sahutan. Yang lebih mengejutkan lagi, jarak antara suara yang terdengar dengan keberadaan mereka sangat dekat! Sehingga, membuat Kasa Raga dan kawan-kawannya jadi tegang.

"Kita telah terkepung!" teriak salah seorang.

Semua orang langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang, di antara rimbunnya bunga-bunga liar tidak terlihat apa-apa. Tetapi, pohon bunga itu bergoyang-goyang seperti dihempas angin kencang.

"Auuung! Uuung...!"

Dikejauhan terdengar suara rintih serigala mendayu-dayu. Sementara di bawah rumpun bunga-bunga liar, tampak sebuah gerakan. Lalu mendadak, muncul kawanan serigala yang sangat luar biasa jumlahnya, langsung menyerang Kasa Raga dan belasan laki-laki lainnya. Binatang-binatang buas itu seperti berpesta pora. Mereka mencabik-cabik mangsanya.

Tetapi para pencari Bunga Arum Dalu juga tidak tinggal diam. Dengan geram mereka mencabut senjata dan langsung melakukan serangan balasan. Mereka yang berbadan besar dan tegap seperti Kasa Raga, lebih suka tidak mempergunakan senjata. Dengan tangan-tangannya yang kokoh serigala-serigala itu ditangkapi kemudian dibanting ke batang pohon.

Tetapi serigala-serigala itu seperti sudah sangat terlatih saja. Mereka yang selamat dari benturan pohon, segera berbalik dan menyerang secara ganas. Walaupun para tokoh persilatan itu mempunyai kepandaian tinggi, namun menghadapi kawanan serigala yang jumlahnya mencapai ratusan, lambat laun mulai terdesak juga. Kasa Raga sadar betul dengan keadaan ini.

"Cincang makhluk-makhluk sialan yang berani mendekati kalian!" teriak Kasa Raga memberi semangat. Belum lenyap gaung suara laki-laki tegap itu, tiba-tiba saja....

"Akh..., aku kena...!" jerit salah seorang.

Perut laki-laki itu robek dicabik-cabik kuku serigala yang mengeroyoknya. Begitu tubuhnya ambruk, langsung menjadi sasaran serigala-serigala yang lain. Melihat keadaan ini, beberapa tokoh persilatan melepaskan pukulan jarak jauh ke arah serigala-serigala yang tengah mencabik-cabik orang yang roboh barusan. Dua larik sinar-sinar hijau melesat, langsung menghantam serigala-serigala itu.

Glarrr...!

"Ngukk!" Serigala yang terkena pukulan menguik keras. Satu-dua ekor mati. Namun yang datang kemudian berlipat ganda. Bahkan kali ini tampak pula sesosok tubuh berkelebat ketengah kancah pertarungan. Begitu berdiri ditengah-tengah ratusan serigala, tampak jelas kalau sosok yang baru datang adalah seorang gadis yang hanya memakai cawat dan penutup dada. Badannya kotor tidak terurus. Tatapan matanya liar, seolah haus darah.

"Hi hi hi...! Kalian datang kemari hanya ingin mencari mati. Suatu kebetulan bagiku aku sangat membutuhkan jantung kalian!" kata gadis yang tak lain Kuntalini.

"Siapa kau?!" bentak Kasa Raga, kaget.

"Aku Gadis Serigala pemakan jantung laki-laki!" sahut Kuntalini.

Gadis yang sesungguhnya berwajah cantik ini menyeringai. Tanpa bicara lagi segera diberinya isyarat pada kawanan serigala untuk menghabisi lawan-lawannya. Sementara, Kuntalini sendiri langsung menyerang Kasa Raga dengan jurus-jurus sangat berbahaya.

Kasa Raga terkesiap melihat gadis itu sangat cepat dalam melakukan terkaman. Laki-laki tegap itu langsung berkelit menghindar, saat tangan Kuntalini yang terpentang dan berkuku runcing menyambar tenggorokannya. Begitu serangan gadis itu tidak mengenai sasaran, maka dilepaskannya tendangan cepat bertenaga dalam tinggi.

Buukk!

"Huaaakh...!" Bukan main telaknya tendangan itu, sehingga membuat gadis serigala ini terpelanting roboh. Sambil menggeram seperti serigala, Kuntalini bangkit berdiri. Tampak nyata darah menetes dari sudut-sudut bibirnya.

"Graunghr!" Sambil meraung keras, gadis serigala ini menyerang Kasa Raga. Serangan-serangannya lebih ganas dan sangat berbahaya.

Sementara itu korban di kedua belah pihak terus berjatuhan. Lebih dari itu dua puluh ekor serigala mati oleh pukulan maupun senjata para tokoh rimba persilatan. Sebaliknya di pihak pencari Bunga Amm Dalu itu semakin sedikit. Mereka yang berusaha mati-matian mempertahankan diri, akhirnya tewas terkapar dengan luka-luka mengerikan.

Binatang-binatang buas yang sudah sangat terlatih ini segera mengepung Kasa Raga saat tidak ada lawan lagi. Laki-laki tegap ini tentu semakin terdesak. Ternyata, gadis ini selain mempunyai ilmu olah kanuragan tinggi, juga sangat ganas. Malah keganasannya melebihi serigala. Sehingga Kasa Raga terpaksa mencabut pedangnya.

Pada saat yang sama, lima puluh ekor serigala langsung menyerang laki-laki tegap itu dengan ganas. Tentu saja. Setangguh apa pun, menghadapi serangan serentak yang datang dari seluruh penjuru, Kasa Raga tidak dapat berbuat banyak. Apalagi empat ekor serigala telah menggigit tangannya. Delapan ekor menggigit kaki. Sedangkan sisanya menyerang anggota tubuh lainnya. Kasa Raga tidak kuasa lagi. Dan....

"Aaa...!" Jeritan keras terdengar dari mulut Kasa Raga.yang sudah hampir tidak berbentuk, karena cakaran dan gigitan serigala yang mengeroyoknya. Tubuhnya pun akhirnya ambruk, menyusul kawan-kawannya di akhirat.

********************

EMPAT

Dua orang prajurit yang bertugas di pintu gerbang utama menuju ke Istana Kerajaan Lima Laras langsung menghadang Pendekar Rajawali Sakti yang mengendarai kuda Dewa Bayu dengan perlahan-lahan. Rangga terpaksa menghentikan kudanya. Bibirnya tersenyum dengan kepala mengangguk pada kedua prajurit itu.

"Hendak ke mana, Kisanak?" tanya salah seorang pengawal berbadan tegap.

"Aku ingin bertemu Patih Luntaka!" jawab Pendekar Rajawali Sakti halus dan penuh kesopanan.

"Kalau begitu kau harus menunggu sebentar!" Pengawal berbadan tegap itu lantas memberi isyarat pada kawannya untuk segera melapor ke istana. Dengan berlari cepat, pengawal yang berbadan lebih pendek itu bergegas menuju ke istana.

Sementara Rangga sudah turun dari kudanya. Pandangannya beredar kesekeliling, dengan kepala terangguk-angguk. Suasana di sekitar istana terlihat sedikit hening. Nyaris tak ada seorang pun yang terlihat memancarkan wajah gembira. Semuanya seperti tengah berduka atas sakitnya Gusti Prabu.

"Kisanak, mari ikut aku!"

Rangga berbalik saat pengawal yang tadi melapor telah kembali. Dengan senyum manis Pendekar Rajawali Sakti segera mengikuti langkah pengawal bertubuh pendek, setelah menyerahkan kuda Dewa Bayu pada seorang pengurus kuda istana, untuk dibawa ke istal. Pendekar Rajawali Sakti diantar sampai pintu utama balairung istana. Dan tepat di ambang pintu telah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun. Bibirnya mengulas senyum gembira menyambut kedatangan Rangga.

"Pendekar Rajawali Sakti!" sambut laki-laki setengah baya itu, langsung memeluk Rangga.

"Apa kabarmu, Paman Patih Luntaka?" tanya Rangga, halus.

"Yah, beginilah aku. Kau sendiri bagaimana?"

"Berkat doamu, Paman Patih."

Sementara itu Putri Sentika Sari dan Panglima Layung Seta yang hadir di ruang balairung ini sudah bangkit berdiri. Dan begitu nama Pendekar Rajawali Sakti disebut, mereka tidak dapat menutupi rasa kagetnya.

"Oh, ya. Aku sampai lupa!" kata Patih Luntaka, seraya melepas pelukan.

"Putri, pemuda ini adalah orang yang telah menolong hamba ketika terjebak di Lembah Nestapa. Dia Pendekar Rajawali Sakti!" jelas Patih Luntaka.

Semua pembesar di Kerajaan Lima Lantas jelas pernah mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti dalam membasmi kejahatan. Tentu mereka tidak menyangka hari ini bakal bertemu orangnya secara langsung.

"Suatu kehormatan bagi kami, kau datang kemari, Pendekar Rajawali Sakti. Sayang ayahku dalam keadaan sakit. Sehingga beliau tidak dapat menjumpaimu!" ucap Putri Sentika Sari.

"Terima kasih. Maaf, panggil saja aku Rangga," ucap Pendekar Rajawali Sakti, dengan tata bahasa yang halus, seolah-olah sudah paham betul dengan tata krama istana. Memang tak ada yang tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya adalah seorang raja yang memerintah Kerajaan Karang Setra.

"Apakah penyakit yang diderita Gusti Prabu?" tanya Rangga ingin tahu.

Kemudian secara singkat dan jelas, Putri Sentika Sari menceritakan segala yang terjadi pada ayahandanya.

"Maaf. Sepertinya, Gusti Prabu Sida Brata menyimpan rahasia yang sangat besar. Penyakit yang dideritanya juga penuh teka-teki," gumam Rangga.

"Sanggupkah kau menyembuhkan penyakit Gusti Prabu, Pendekar, eh! Rangga?" tanya Patih Luntakan, meralat panggilan pada Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga tersenyum. "Sayang, aku bukan seorang tabib, Paman Patih. Tetapi alangkah lebih baik lagi jika aku melihatnya dulu!" desah Rangga.

Didampingi Patih Luntaka dan Panglima Layung Seta, Putri Sentika Sari mengantar Rangga menuju ke tempat peraduan Gusti Prabu Sida Brata.

Pendekar Rajawali Sakti menatap penuh keprihatinan pada seorang laki-laki berbadan kurus kering yang tergeletak tidak berdaya di peraduan. Tanpa diminta Rangga langsung memeriksa nadi Gusti Prabu. Nadinya ternyata lemah.

"Kurasa Gusti Prabu terkena Racun Bunga Bisa! Tidak salah kalau obat yang dapat menyembuhkannya hanya Bunga Arum Dalu," gumam Rangga.

Tentu saja semua orang yang berada di dalam ruangan ini jadi terkejut. Mereka tidak menyangka Pendekar Rajawali Sakti mengetahui penyakit yang diderita raja mereka.

"Dapatkah kau menolongnya?" tanya Putri Sentika Sari.

"Untuk mencegah sesuatu yang tidak terduga, kurasa aku perlu menyalurkan hawa murni, dulu. Tetapi terus terang, ada orang luar yang telah meracuninya dengan serbuk beracun Bunga Bisa!" duga Rangga, bernada yakin.

"Siapa?" tanya Panglima Layung Seta dan Patih Luntaka hampir bersamaan.

"Nanti kita selidiki!" sahut Rangga.

Setelah meminta persetujuan Putri Sentika Sari, Pendekar Rajawali Sakti segera duduk di samping Gusti Prabu Sida Brata. Kemudian matanya dipejamkan. Tidak lama, kedua telapak tangannya diletakkan di atas dada laki-laki setengah baya yang tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang itu. Secara perlahan dan sangat hati-hati sekali, mulai dikerahkan hawa murni ke bagian telapak tangan, lalu langsung disalurkan ke dada Gusti Prabu Sida Brata.

Tubuh yang dingin seperti membeku itu tampak mulai bergetar. Tubuh Rangga sendiri mulai bergetar saat hawa murninya yang ditunjang tenaga dalam tinggi mulai mengalir. Keringat mengucur deras. Semakin lama getaran semakin bertambah hebat. Dan dari ubun-ubun pemuda itu keluar asap tipis berwarna putih. Lalu...

"Hoeeekh...!" Gusti Prabu Sida Brata muntahkan darah kental berwarna hitam yang menebarkan bau teramat busuk. Saat itu juga Putri Sentika Sari menghampiri, dan membersihkan muntahan darah dengan kain.

Secara perlahan Pendekar Rajawali Sakti menarik tangannya sambil membuka matanya. Rompi putihnya basah. Sekarang setelah menyalurkan hawa murni yang disertai tenaga dalam tinggi ke tubuh Gusti Prabu tubuhnya terasa menjadi lemas seperti kehabisan tenaga.

"Apa yang kulakukan hanya sedikit mengurangi penderitaannya. Jika banyak darah beku yang keluar dari mulut paduka, akan lebih baik. Paling tidak, agar peredaran darahnya yang tersumbat dapat menjadi lancar kembali. Walaupun begitu ini hanya bersifat sementara. Dan Bunga Arum Dalu harus segera didapat. Terus terang aku tidak bisa pergi ke Bukit Setan sekarang ini, karena harus memulihkan tenaga beberapa saat saja," jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau memang perlu istirahat, Rangga. Biarkan aku akan mengantarmu kekamar peristirahatan...!" kata Patih Luntaka.

"Biarkan aku saja yang mengantarnya, Paman Patih!" sergah Putri Sentika Sari. Entah mengapa, begitu melihat sosok Pendekar Rajawali Sakti, Putri Sentika Sari merasa jantungnya berdebar-debar. Seolah kedukaannya selama ini lenyap begitu saja.

Patih Luntaka tentu saja tidak berani membantah. Padahal, sesungguhnya banyak yang ingin ditanyakannya tentang penyakit Penguasa Kerajaan Lima Laras ini.

Malam telah menghujam bumi. Suara serangga malam bagaikan tembang saling bersahut-sahutan memeriahkan suasana malam. Belasan orang prajurit bersenjata lengkap tampak berjaga-jaga di bagian depan Istana Kerajaan Lima Laras. Di samping bangunan istana juga terlihat beberapa pasukan pemanah yang bersiap-siap. Patih Luntaka, Panglima Layung Seta, dan Eyang Kinta Manik sedang berbincang-bincang di ruang pertemuan bersama Rangga dan Putri Sentika Sari.

Namun tak lama kemudian Pendekar Rajawali Sakti dan putri Gusti Prabu Sida Brata itu segera memasuki ruangan khusus yang terletak di sayap kiri bangunan.

"Mungkin aku segera meninggalkan kerajaan ini. Tetapi sebelum itu kulakukan, menurut Putri apakah ada orang asing dengan alasan apa pun pernah datang menjumpai Gusti Prabu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti setelah mereka duduk di kursi ruangan ini.

"Mengapa kau tanyakan hal itu?" Putri Sentika Sari malah balik bertanya.

"Serbuk racun Bunga Bisa hanya akan mengenai sasaran, bila pemiliknya berhadapan langsung dengan orang yang akan menjadi korbannya. Racun itu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh langka beraliran hitam," jelas Rangga, pelan.

Putri Sentika Sari terdiam. Dia tampak berusaha mengingat-ingat segala sesuatu yang terjadi sebelum ayahandanya jatuh sakit. Rasanya tidak banyak tamu yang datang ke Istana Lima Laras. Namun tiba-tiba saja gadis ini teringat tentang kehadiran dua orang perempuan tua memakai kerudung. Waktu itu, suasana dalam keadaan hujan lebat. Dan kedua perempuan yang mengaku datang dari sebuah tempat yang jauh tersebut, memaksa ingin bertemu Gusti Prabu.

Setelah kedua tamu itu diperkenankan bertemu Gusti Prabu, sepeminuman teh kemudian tamu-tamu itu pergi. Entah apa yang mereka bicarakan. Gusti Prabu Sida Brata sendiri tidak pernah mengatakan apa maksud kedatangan kedua orang asing itu. Namun yang jelas, setelah pertemuan itu, Putri Sentika Sari melihat wajah ayahnya agak pucat seperti orang yang kurang sehat. Apa yang diingat gadis ini lantas diceritakan pada Pendekar Rajawali Sakti secara lengkap.

"Rasanya kedua orang itulah yang telah membawa racun Bunga Bisa. Racun itu bekerja dalam waktu yang lama. Sehingga, sekarang kelihatan hasilnya. Bahkan racun itu dapat mencelakai orang lain melalui sentuhan tangan, udara, ataupun makanan. Selain itu kurasa ada rahasia besar yang disimpan ayahmu!" papar Rangga.

"Kalau begitu aku akan menanyakannya," kata Putri Sentika Sari.

"Jangan sekarang. Penyakit Gusti Prabu bisa semakin bertambah parah. Nanti saja bila Bunga Arum Dalu sudah kudapatkan!" saran Rangga.

"Tahukah kau ciri-ciri bunga itu?"

"Tentu! Bunga itu memang sangat langka, dan hanya dapat tumbuh di atas batu berlumut. Bunganya berwarna merah darah, menebarkan bau harum bila malam hari. Bila siang hari, akan menebarkan bau busuk seperti bangkai manusia! Sudahlah..., sekarang perintahkan pada Panglima Layung Seta untuk menyusun kekuatan. Kurasa kedatangan orang itu bukan hanya sekadar meracuni ayahandamu. Mereka pasti punya racun lain yang lebih besar lagi!" ujar Rangga. "Untuk itu, persiapkan segala sesuatunya sebelum benar-benar terlambat!" Pemuda berbaju rompi putih ini lalu bangkit dari tempat duduknya. Dipandanginya Putri Sentika Sari sesaat lamanya.

Mendapat tatapan yang sebenarnya menyejukkan, justru gadis cantik itu menundukkan kepala. Tak kuasa dia menentang tatapan pemuda itu yang begitu menghanyutkan. Memang patut diakui, pertemuan mereka boleh dibilang baru sebentar saja. Tetapi Putri Sentika Sari merasa cepat akrab. Apalagi, Rangga adalah seorang pemuda yang cukup menyenangkan serta mempunyai pengalaman luas.

"Nah, sekarang aku harus pergi. Nanti kita kembali ke ruang pertemuan untuk menemui yang lain," ajak Rangga.

Putri Sentika Sari kemudian mengantarkan Rangga ke ruang pertemuan kembali. Sementara Patih Luntaka, Panglima Layung Seta, dan Eyang Kinta Manik menunggu dengan setia.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Iblis Pemabuk yang juga ikut mencari Bunga Arum Dalu, sekarang telah berada di sebelah tenggara Bukit Setan. Siang dan malam dia memang hampir tidak pernah berhenti mencari. Namun kini rasa letih telah benar-benar menggerogoti tubuhnya.

"Keparat! Sampai kapan aku bisa bertahan?! Bunga celaka itu sampai hari ini masih belum juga kudapatkan. Dalam keadaan gelap begini, aku tidak bisa menentukan arah. Aku pernah mendengar Bunga Arum Dalu menebarkan bau wangi semerbak bila malam hari. Mudah-mudahan hanya aku yang mendapatkan bunga itu. Lagi pula, persaingan ini hanya antara aku dan Pendekar Lima Lautan. Semoga saja Pendekar Lima Lautan mampus dimangsa serigala seperti orang-orang tolol yang kutemukan di selatan bukit ini!" oceh laki-laki berpakaian serba hitam dengan wajah dipenuhi brewok itu.

Kemudian ia meneguk arak keras dari dalam guci, yang selalu dibawanya ke mana pun pergi. Lalu disekanya kumis yang berselemot arak.

"Malam-malam begini memang paling enak minum arak. Apalagi jika ditemani gadis cantik seperti Putri Sentika Sari. Tentu akan lebih menyenangkan lagi. Hmm.... Aku bersumpah bila Bunga Amm Dalu kudapatkan, aku bersikeras untuk meminta putri itu untuk menjadi milikku. Aku kurang begitu suka dengan harta, terkecuali wanita!"

Laki-laki berbaju serba hitam ini kemudian melanjutkan langkahnya kembali. Namun baru saja beberapa tindak kakinya terayun, tiba-tiba saja angin tenggara berhembus. Di tengah-tengah hembusan angin tercium bau harum menyengat hidung.

"Bunga..., bau bunga itu...?" desis Iblis Pemabuk, dengan mata melotot penuh suka cita.

Hidung laki-laki berwajah angker itu tampak kembang-kempis. Lalu kakinya terus bergerak ke arah sumber datangnya bau bunga tadi. Semakin lama baunya semakin menyengat. Dan jantung Iblis Pemabuk makin berdebar-debar saja. Sampai kemudian, sampailah laki-laki ini di pinggir tebing batu. Rasanya Bunga Arum Dalu sudah sangat dekat dengan dirinya. Akan tetapi di saat tinggal menentukan di mana letak bunga....

Wesss...!

"Heh?!" Tiba-tiba melayang tiga buah benda berwarna putih mengkilat dari belakang Iblis Pemabuk. Laki-laki ini jelas sangat merasakan ada desiran halus di belakangnya. Sehingga dengan cepat sekali dia membuang diri ke sebelah kiri. Sementara ketiga benda berwarna putih itu terus melayang, lalu menghujam batu.

Crep! Crep! Crep!

Benda berwarna putih itu langsung menancap di permukaan batu. Jika seseorang mampu melempar senjata rahasia sampai dapat menembus batu, tentu tenaga dalamnya sudah sangat tinggi. Dengan cepat, Iblis Pemabuk bangkit berdiri. Diperiksanya senjata rahasia itu dan dicabutnya dari permukaan batu. Ternyata senjata rahasia itu terbuat dari tulang-belulang manusia yang diruncingkan pada bagian ujungnya. Laki-laki berwajah angker ini terkesiap. Lalu kepalanya menoleh ke belakang. Suasana tetap sunyi, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di situ.

"Manusia setan! Jangan jadi pengecut dan beraninya main bokong! Ayo, tunjukkan diri!" teriak Iblis Pemabuk.

"Hik hik hik...! Kedatanganmu hanya membuang nyawa percuma! Tahukah kau, tidak seorang pun yang kuizinkan mengambil Bunga Arum Dalu. Terkecuali, orang-orang yang merelakan nyawanya ditukar dengan bunga itu!" Mendadak terdengar sebuah sahutan yang disertai tawa panjang mengikik.

"Siapa kau?" bentak Iblis Pemabuk.

"Aku adalah penghuni Bukit Setan! Bunga Arum Dalu hanya berbunga sekali dalam setahun. Lantas, apakah bunga langka harus kuberikan pada orang lain begitu saja? Padahal, untuk menikmati baunya yang harum aku harus menunggunya selama setahun," kata suara yang belum jelas wujudnya.

"Aku sangat membutuhkannya!" kata Iblis Pemabuk.

"Jangan berdusta! Aku tahu, bunga itu akan kau berikan pada Sida Brata keparat! Hm.... Kau adalah orang yang licik dan serakah! Tapi aku suka dengan sifatmu. Untuk itu, silakan pergi dari tempat ini!"

"Tapi...!"

"Jangan membantah! Aku adalah nenek moyangnya para iblis, tahu?! Aku tahu kau ingin mendapatkan bunga itu untuk mendapatkan Putri Sentika Sari! Padahal jika kau mau bergabung denganku, keinginan untuk memilikinya kemungkinan besar akan terkabul! Tanpa susah-susah mencari Bunga Arum Dalu!"

Karena Iblis Pemabuk pada dasarnya memang menginginkan Putri Sentika Sari daripada hadiah emas yang dijanjikan, mendengar tawaran itu semangatnya timbul kembali. Dan belum juga Iblis Pemabuk membuka suara, dari balik pohon berkelebat sosok bayangan. Dan tahu-tahu di depan laki-laki berpakaian serba hitam ini berdiri seorang perempuan tua berpakaian compang-camping. Rambutnya yang putih digelung ke atas. Alisnya pun telah berwarna putih. Dia tak lain dari Nini Baji Setan.

Melihat keadaan Nini Baji Setan, Maka timbul lagi keragu-raguan di hati Iblis Pemabuk. Kalau dia bergabung, sanggupkah perempuan tua ini menghadapi prajurit kerajaan yang cukup kuat?

"Hei?! Mengapa kau menatapku begitu?! Kau ragu dengan kemampuanku?! Aku Nini Baji Setan yang menguasai Bukit Setan! Apa kau ingin membuktikan kesaktianku? Bersiaplah...," sentak perempuan tua itu, mengagetkan Iblis Pemabuk yang tengah menimbang-nimbang keputusannya.

"Eh, tidak, tidak. Aku percaya denganmu, Nini. Perkenalkan aku Suta Soma alias Iblis Pemabuk. Oh, ya. Apakah Nini akan menyerang Kerajaan Lima Laras?"

"Aku bukan maling kecil pengecut. Jika aku bergerak bersama murid dan pasukan serigalaku, maka habislah riwayat Kerajaan Lima Laras. Lagi pula percuma bila pihak kerajaan melawan kita. Sebab satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit Sida Brata ada di tanganku. Aku yang meracuninya. Tentu, aku pula yang dapat menyembuhkannya!" sahut Nini Baji Setan, mendesis.

"Kapan Nini akan menyerang Kerajaan Lima Laras?" tanya Iblis Pemabuk.

"Tunggu saja. Tahap pertama baru sampai pada tingkat meracuni Sida Brata dengan serbuk racun Bunga Bisa. Untuk sekarang ini belum bisa kujelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Sekarang aku ingin bertanya padamu, apakah kau bersedia bergabung denganku atau tetap bersikeras ingin mendapatkan Bunga Arum Dalu?"

Suta Soma berpikir sejenak. Mendengar penjelasan perempuan di depannya yang katanya memiliki pasukan serigala, Iblis Pemabuk jadi tertarik untuk bergabung. Dengan menguasai serigala, dia yakin Nini Baji Setan adalah tokoh yang dapat diandalkan untuk dijadikan pemimpin. Dengan begitu, bukan mustahil keinginannya untuk mendapatkan Putri Sentika Sari akan terkabul, tanpa susah payah mencari Bunga Arum Dalu.

"Baiklah aku mau bergabung denganmu. Asal, kau mau berjanji. Jika serangan kita nanti berhasil, Putri Sentika Sari harus jadi milikku!"

"Serangan ke sana masih dua hari lagi. Sekarang masih ada waktu buat kita untuk mengatur siasat. Tempat ini untuk sementara biar dijaga Nini Sumbing. Mari ikut aku!" jelas Nini Baji Setan.

Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, Iblis Pemabuk segera mengikuti perempuan tua itu. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasi. Dan pemilik sepasang mata itu baru keluar dari persembunyiannya di balik sebuah pohon besar setelah Iblis Pemabuk dan Nini Baji Setan tak terlihat lagi.

********************

LIMA

"Jagat Dewa Batara...! Itukah Bunga Arum Dalu...?" desah Pendekar Lima Lautan langsung larut dalam kegembiraan.

Rupanya di hari yang masih sangat pagi ini pemuda berjuluk Pendekar Lima Lautan itu secara tak terduga sampai di pinggir tebing, tempat Bunga Arum Dalu yang sedang mekar itu tumbuh! Karena matahari belum lagi kelihatan di langit sebelah timur, maka bunga berwarna merah darah yang hanya setangkai ini masih menyisakan bau harum semerbak.

Semalam, Pendekar Lima Lautan juga mencium harum semerbak Bunga Arum Dalu. Makanya, kakinya segera melangkah ke arah sumber bau harum. Kedatangannya hanya berselisih tak lama dengan kedatangan Iblis Pemabuk dan Nini Baji Setan. Jadi diam-diam dia sempat mencuri dengar pembicaraan mereka. Baru setelah itu Kala Sakti melanjutkan pencarian.

Pendekar Lima Lautan langsung memetik kuntum Bunga Amm Dalu, lalu menyimpannya dibalik pakaiannya. Begitu bunga dipetik, beberapa kejap setelahnya, pohon bunga yang menempel pada permukaan batu itu langsung layu. Namun tiba-tiba.....

"Heh?!" Pendekar Lima Lautan terkejut bukan main dan langsung melompat mundur, ketika tiba-tiba dinding tebing runtuh. Pendekar yang mempunyai nama asli Kala Sakti ini segera berkelebat ke arah bagian dinding batu yang tak runtuh. Namun baru saja mendapat tempat yang aman....

"Pencuri busuk! Kembalikan Bunga Arum Dalu!"

Terdengar bentakan keras yang disertai berkelebatnya satu sosok tubuh ramping ke arah Kala Sakti. Bahkan sebelum pemuda itu berbalik, tiba-tiba telah meluncur serangkum angin berhawa dingin ke arahnya. Kala Sakti tanpa buang-buang waktu lagi segera membuang tubuhnya ke tanah. Namun....

Glaaar...!

"Aaakh...!" Pendekar Lima Lautan terlambat sedikit, sehingga kaki kanannya sempat tersambar angin pukulan jarak jauh dari sosok ramping yang berkelebat itu. Pemuda ini, menjerit kesakitan. Tubuhnya terhempas. Sedangkan kaki kanannya terasa kaku, seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum. Sebagai pendekar yang cukup berpengalaman, segera dikerahkannya tenaga dalam ke bagian kaki yang terkena pukulan. Sehingga sebentar saja rasa sakit yang mendera kakinya agak berkurang. Dengan terpincang-pincang Pendekar Lima Lautan bangkit berdiri.

Ketika memandang kedepan, tampak seorang perempuan tua yang tangan kanannya lebih kecil daripada tangan kiri. Demikian pula kaki kanannya. Nenek berambut putih itu selain cacat anggota badannya, juga berbibir sumbing. Namun melihat tenaga yang terkandung dalam pukulannya tadi, tampaknya kepandaiannya sangat tinggi. Dan keangkerannya makin bertambah bila melihat sebuah cambuk yang berujung tengkorak kepala serigala yang melilit pinggangnya.

"Siapa Nisanak ini? Mengapa menyerangku?" tanya Kala Sakti dalam hati.

"Cuih!" Nenek berbibir sumbing yang berdiri agak miring ke kanan dengan bertolak pinggang ini meludah ke tanah. Karena bibir atasnya sumbing, maka ludahnya pun berhamburan. "Pencuri sialan! Aku adalah penjaga Bunga Arum Dalu. Sekarang kembalikan bunga itu! Atau, kau memilih mati di tanganku!" bentak perempuan tua yang tak lain Nini Sumbing berang.

"Maaf, Nek. Bunga ini tumbuh liar begitu saja. Jadi siapa pun berhak memilikinya. Lagi pula wilayah ini adalah termasuk Kerajaan Lima Laras. Jadi kalaupun ada pemiliknya, maka Gusti Prabu Sida Bratalah yang berhak," jawab Kala Sakti, tenang.

"Keparat! Kau sekarang sedang berhadapan dengan Nini Sumbing tahu?! Jika kau tidak mau mengembalikan bunga yang kau curi, maka aku segera membunuhmu!" teriak perempuan tua itu berang.

"Terus terang. Bunga Arum Dalu saat ini dibutuhkan Gusti Prabu Sida Brata untuk menyembuhkan penyakit. Jadi aku tidak bisa mengembalikannya!" tegas Kala Sakti.

Jawabannya ini jelas-jelas merupakan sebuah penghinaan bagi Nini Sumbing. Sehingga amarahnya tidak dapat lagi dikendalikan. Maka disertai teriakan keras, tiba-tiba saja tubuhnya meluruk dengan jemari tangan terkembang.

Melihat tangan perempuan tua itu mencengkeram ke bagian leher dan matanya, Pendekar Li-ma Lautan menggeser kakinya sejauh tiga langkah ke belakang dengan kepala dimiringkan ke kiri. Dengan begitu, serangan ganas Nini Sumbing meluncur diatas kepala Kala Sakti. Melihat kesempatan baik ini, pemuda berbaju putih itu melepaskan tinjunya ke bagian iga. Serangan kilat ini benar-benar tak terduga. Tidak ampun lagi....

Duuuk...!

"Heegkh...!" Nenek berbibir sumbing itu terdorong mundur dengan dada terasa sesak dan sulit bernapas. Merah padam wajah Nini Sumbing seketika. Langsung tinjunya dikepalkan. Tangan yang tinggal kulit pembalut tulang itu diputar-putar sehingga menimbulkan suara menderu-deru. Beberapa saat setelah itu, kedua tangan Nini Sumbing telah berubah hitam seperti arang. Lalu tubuhnya yang ramping segera melenting ke udara. Ketika meluncur kembali, kedua tangannya itu didorongkan ke arah Kala Sakti.

Wuussss...!

Seketika selarik sinar berwarna hitam meluncur deras ke arah Pendekar Lima Lautan. Pemuda itu tentu menyadari datangnya bahaya ini. Maka dengan cepat pula tangannya mengibas. Segulung angin kencang menderu disertai menebarnya hawa panas luar biasa meluncur dari kibasan tangan Kala Sakti. Tidak dapat, dihindari kedua pukulan itu akhirnya bertemu di tengah-tengah.

Blam...! "Aaaukh...!"

Tampak dua sosok tubuh terlempar ketika ledakan dahsyat terjadi. Ternyata, Nini Sumbing dengan gerakan manis masih dapat menjejakkan kakinya diatas tanah. Sedangkan Pendekar Lima Lautan tampak terguling-guling sambil muntahkan darah segar. Walaupun begitu, Kala Sakti segera bangkit berdiri. Wajahnya tampak pucat, pertanda luka dalam yang diderita cukup parah.

Sriing...!

Pendekar Lima Lautan segera mencabut sebilah lempengan logam yang panjangnya sekitar dua jengkal berwarna putih keperakan. Dengan kelincahan jarinya, lempeng logam yang ternyata berlapis dua dicentilnya pada lapisan pertama. Sehingga ketika mengembang, bentuknya seperti baling-baling saja. Tanpa banyak bicara lagi Kala Sakti langsung melempar senjatanya ke arah Nini Sumbing. Senjata baling-baling yang mempunyai ketajaman seperti pedang pada keempat sisinya itu berputar dan terus meluncur bagaikan bermata.

Semula perempuan tua ini menganggap enteng senjata itu dengan menghindari seenaknya. Tetapi setelah melihat keganasan senjata yang terus memburunya ke mana pun bergerak, mau tidak mau matanya mulai terbuka. Maka segera diloloskannya cambuk terbuat dari buntut ikan pari yang bagian ujungnya tergantung tengkorak kepala serigala dari pinggangnya. Dan saat itu juga, cambuknya dilecutkan.

Ctar...! Ctarrr...!

Suara lecutan cambuk yang memekakkan telinga mengiringi meliuknya mata cambuk ke arah senjata milik Pendekar Lima Lautan. Namun senjata baling-baling yang dapat dikendalikan dari jarak tertentu ini, tiba-tiba bergerak ke atas. Nini Sumbing terus berusaha meruntuhkan senjata itu dengan lecutan cambuknya.

Ctar! Ctar! Ctar!

"Heh?!" Dikejar keatas, senjata yang menyerupai baling-baling ini malah meluncur ke bawah menyambar kepala. "Kurang ajar!" maki Nini Sumbing sambil menghindar dengan memiringkan tubuhnya. Namun, tidak urung senjata itu masih sempat menyambar bahunya.

Cresss...!

"Akh...!" Jeritan keras langsung terdengar dari mulut Nini Sumbing. Bahunya yang tergores senjata baling-baling tampak mengucur darah.

Sementara, senjata baling-baling itu telah meluncur kembali ke arah pemiliknya. Lincah dan mantap sekali Pendekar Lima Lautan menangkap senjatanya.

"Bangsat kurang ajar! Aku tidak akan pernah berhenti sebelum mencincang tubuhmu dengan cambukku ini!" teriak Nini Sumbing.

Tiba-tiba saja perempuan tua itu menerjang ke depan. Sedangkan cambuk di tangannya tampak berputar-putar, lalu meluncur ke depan bagaikan seekor ular yang ingin mematuk mangsa. Serangan cambuk itu datangnya terlalu cepat.

Pendekar Lima Lautan terpaksa membuang tubuhnya ke samping, lalu berguling-guling menghindar. Dan begitu bangkit berdiri segera tenaga dalamnya dikerahkan kebagian telapak tangan. Lalu....

"Pukulan 'Badai Laut Bergelora'! Hiyaaa...!" Disertai teriakan keras, pemuda berbaju putih ini mengibaskan tangan kanannya ke arah perempuan tua itu. Seketika selarik sinar biru meluncur deras ke arah Nini Sumbing. Suasana di sekelilingnya langsung berubah menjadi dingin sekali.

Namun nenek berbibir sumbing itu segera menggerakkan cambuk di tangan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dari lecutan itu meluruk angin menderu, memapak serangan Pendekar Lima Lautan. Sehingga....

Glarrr...!

"Huaaakh...!" Pendekar Lima Lautan kontan terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Rupanya sebagian pukulan yang dilepaskannya membalik, karena membentur angin dari lecutan cambuk. Walaupun tubuh kurus nenek itu bergetar, tetapi luka dalam yang diderita Kala Sakti semakin bertambah parah saja.

"Hik hik hik...! Sebentar lagi ajalmu segera tiba. Hiyaaa...!"

Nini Sumbing tampaknya tak ingin membuang-buang waktu lagi untuk menghabisi pemuda itu. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah Kala Sakti. Sambil melecutkan cambuk di tangan kanannya, tangan kirinya menghentak ke depan. Segulung angin dingin menebarkan bau busuk meluncur ke arah Pendekar Lima Lautan.

Pemuda itu terpaksa melempar senjata yang berada di tangan kiri untuk menghadang serangan cambuk. Sedangkan tangan kanannya segera mendorong ke depan.

Trang! Blarrr!

"Aaakh...!" Senjata membentur senjata. Sedangkan pukulan yang dilepaskan satu sama lain beradu pula. Semuanya terjadi dalam waktu yang bersamaan. Kala Sakti menjerit keras. Tubuhnya kontan terjengkang. Sedangkan dari mulut serta hidungnya, telah mengeluarkan darah. Tampak jelas kalau tenaga dalamnya satu tingkat di bawah Nini Sumbing.

"Benar seperti apa yang kukatakan! Kau bakal mati di tanganku!" dengus Nini Sumbing yang hanya terjajar beberapa langkah. Saat itu juga perempuan tua itu kembali menyalurkan tenaga dalam tinggi ke tangannya. Lalu.....

"Pukulan 'Serigala Bermandi Bisa'! Heaaa...!" Dengan teriakan keras, Nini Sumbing mendorong tangan kanannya ke arah pemuda ini. Serangan ini justru yang paling berbahaya. Karena Nini Sumbing melepaskan pukulan beracun yang sangat ganas!

Sinar hitam berbau amis meluncur ke arah Kala Sakti. Pemuda ini hendak menghindar dengan berguling-guling. Namun celaka sekujur tubuhnya sulit digerakkan. Saat itu juga dia merasa sekaranglah ajalnya akan tiba. Matanya sudah terpejam, menunggu ajal menjemput dengan pasrah.

Akan tetapi kiranya Tuhan belum menghendaki kematian Pendekar Lima Lautan ini. Karena pada saat yang sama melesat cepat bayangan putih ke arah Kala Sakti. Langsung disambarnya tubuh Pendekar Lima Lautan setelah dengan kecepatan luar biasa tangannya menghentak ke arah Nini Sumbing.

Wuuut...!

Sinar merah bagaikan bara meluncur ke arah Nini Sumbing. Perempuan tua itu sama sekali tak menduga pukulannya ada yang memapaki. Sehingga dengan mata melotot dia terjingkat kaget. Lalu....

Glarrr...!

"Wuaaakh...!" Nini Sumbing menjerit keras dan jatuh terduduk ketika benturan keras terjadi. Pantatnya yang tepos menghantam batu sehingga membuatnya menggeliat kesakitan. Selain itu dadanya terasa sakit bukan main. Jalan darahnya jadi kacau. Terpaksa wanita ini duduk bersila, kemudian memejamkan matanya untuk mengerahkan hawa murni. Sementara bayangan putih tadi telah berkelebat, membawa tubuh Pendekar Lima Lautan.

"Inilah yang dinamakan celaka! Segala sesuatunya yang kukerjakan semuanya tidak ada yang benar!" dengus Nini Sumbing ketika telah menyelesaikan semadinya. "Apa lagi alasan yang dapat kuberikan pada Ketua? Lalu siapa yang telah menyelamatkannya?'' Dengan hati diliputi rasa was-was, Nini Sumbing bangkit dan melangkah pergi.

********************

Sosok bayangan putih yang telah menyelamatkan Pendekar Lima Lautan terus berkelebat menjauhi Bukit Setan. Dan begitu sampai di sebuah tempat di mana ada seekor kuda hitam berkilat, barulah dia berhenti. Kini, tampak kalau sosok bayangan putih itu adalah seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung rajawali bertengger di punggung. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku harus memeriksa keadaannya!" gumam Rangga. Pendekar Rajawali Sakti lantas menurunkan tubuh Kala Sakti dari atas bahunya. Setelah membaringkan tubuh Pendekar Lima Lautan di tempat yang teduh, segera dilakukannya pemeriksaan.

"Uhuk..., huk... huk...!" Kala Sakti terbatuk-batuk, sehingga membuat darahnya keluar dari mulut.

"Jangan terlalu banyak bergerak, Kisanak. Kau terluka dalam," ujar Rangga, halus.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian menempelkan kedua tangannya di dada Pendekar Lima Lautan untuk mengerahkan hawa murni dan tenaga dalam sedikit demi sedikit. Tubuh Pendekar Lima Lautan tampak terguncang. Dari mulutnya semakin banyak saja darah yang keluar. Sampai akhirnya, pemuda berpakaian serba putih itu berusaha duduk. Pendekar Rajawali Sakti menarik tangannya, membantu duduk.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Rangga.

"Sudah agak baikan, Kisanak. Kau telah menyelamatkan aku dari maut. Aku berhutang nyawa padamu!" ucap Kala Sakti.

"Lupakanlah. Oh ya.... Namaku Rangga. Kalau tidak salah, bukankah kau yang bernama Kala Sakti?" tebak Rangga.

Pendekar Lima Lautan tentu saja terkejut. Dia tidak menyangka pemuda berbaju rompi putih itu mengenalinya.

"Bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanya Kala Sakti heran.

"Putri Sentika Sari bercerita tentangmu sebelum aku datang ke istananya," jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Bagaimana keadaan Gusti Prabu?" tanya Pendekar Lima Lautan lebih lanjut.

"Kurasa membutuhkan Bunga Arum Dalu untuk menyembuhkannya!" sahut Rangga.

"Kebetulan aku telah berhasil mengambilnya," kata Kala Sakti. Kemudian secara jelas Pendekar Lima Lautan menceritakan tentang usahanya untuk mendapatkan Bunga Arum Dalu. Sampai akhirnya, dia bentrok dengan Nini Sumbing.

"Usahamu sangat terpuji, Pendekar Lima Lautan. Aku akan mengusulkan pada putri agar memberimu jabatan di kerajaan," puji Rangga, tulus.

"Aku bukan orang yang gila harta atau jabatan. Sudahlah.... Sebaiknya kita kembali ke Kerajaan Lima Laras secepatnya!" saran Kala Sakti. Pendekar Rajawali Sakti mengangguk setuju.

"Pergilah kau lebih dulu. Kau bisa mempergunakan kudaku. Lukamu belum sembuh benar," ujar Rangga.

"Dan, kau sendiri bagaimana?" tanya Kala Sakti.

"Aku bisa mengikutimu dari belakang. Lagi pula, jangan terlalu memikirkan aku!"

Rangga kemudian segera memapah Pendekar Lima Lautan ke arah Dewa Bayu. Setelah menaikkan Kala Sakti ke atas punggungnya, Pendekar Rajawali Sakti mengusap-usap leher Dewa Bayu.

"Bawa temanku ini ke Kerajaan Lima Laras, Dewa Bayu!"

"Hieeekh...!"

"Graunngg...!"

"Heh?!" Baru saja kuda hitam itu meringkik, tiba-tiba dari semak belukar bermunculan puluhan ekor serigala. Dewa Bayu kontan berubah liar. Untung Kala Sakti dapat menjaga keseimbangan. Kalau tidak, tentu sudah terlempar dari punggung kuda.

"Cepat tinggalkan tempat ini, Dewa Bayu!" teriak Rangga.

Secepat kilat, Dewa Bayu berlari membawa tubuh Pendekar Lima Lautan. Melihat Rangga dalam keadaan terkepung oleh kawanan serigala itu, sebenarnya Pendekar Lima Lautan jadi merasa tak enak. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa di atas punggung Dewa Bayu yang melesat bagai anak panah lepas dari busur.

Tinggallah Pendekar Rajawali Sakti berada di tengah-tengah kepungan kawanan serigala. Pemuda itu mengedarkan pandangan, mengawasi keadaan sekeliling.

"Hm.... Kalau tidak salah, biasanya bila serigala-serigala ini muncul, tentu majikannya selalu menyertai. Lagi pula mengapa jumlah makhluk ini sangat sedikit? Persetan! Aku harus menghadapi mereka sebelum mereka bergerak mencabik-cabik tubuhku!" desis Rangga.

"Auuung...!" Serigala yang bertubuh paling besar tiba-tiba saja melolong panjang. Rupanya suara lolongan itu merupakan isyarat untuk menyerang. Terbukti beberapa saat kemudian, kawan-kawannya langsung menyerang dalam waktu hampir bersamaan.

"Auuung...!" Suara serigala itu terdengar di sana-sini. Mereka menerkam dengan kuku-kukunya yang mencuat panjang. Sedangkan mulutnya yang menganga dengan taring runcing, berusaha merobek-robek tubuh Rangga.

Melihat serangan yang datang, tak ada pilihan lain bagi Rangga untuk segera membuat kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya langsung dialirkan tenaga dalam tinggi. Lalu....

"Aji 'Bayu Bajra'...! Heaaa...!" Disertai teriakan keras Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke arah empat mata angin. Seketika dari kedua telapaknya meluruk angin topan berkekuatan dahsyat, menyapu serigala-serigala itu. Begitu kuatnya angin topan itu, membuat debu dan bebatuan beterbangan. Pohon-pohon pun bertumbangan tak tentu arah.

"Ngiikk...!" Sementara serigala-serigala itu berpelantingan tersapu angin topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti. Di antaranya tewas seketika dengan tubuh hancur, karena menabrak batu atau pohon-pohon yang banyak tumbuh di sekitarnya. Namun yang masih bisa bertahan segera lari terbirit-birit meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga segera menarik napas lega saat tak ada lagi serigala yang menyerangnya. Seraya kemudian segera melangkah pergi meninggalkan tempat itu.

********************

ENAM

Pendekar Lima Lautan langsung menjura hormat begitu melihat kehadiran Putri Sentika Sari dan Patih Luntaka. Dengan ramah wanita itu mempersilakan Kala Sakti duduk diatas permadani setelah dia sendiri duduk disinggasananya. Sementara, Patih Luntaka mendampingi di sisinya.

"Bagaimana hasilnya, Pendekar Lima Lautan?" tanya Patih Luntaka langsung pada pokok persoalan.

"Aku berhasil membawa Bunga Arum Dalu, Paman Patih!" sahut Kala Sakti dengan senyum gembira.

Pendekar Lima Lautan mengeluarkan sekuntum bunga berwarna merah darah dari balik bajunya. Kemudian segera menyerahkannya pada Putri Sentika Sari. Gadis itu tampak berbinar matanya. Wajahnya pun berseri-seri. Diperhatikannya bunga ditangan dengan tatapan seakan tidak percaya.

"Kau benar-benar telah mendapatkannya! Puji syukur kepada Tuhan!" Putri Sentika Sari bersorak kegirangan setelah bangkit berdiri dari singgasananya.

"Paman Patih! Tolong berikan hadiah yang telah kita janjikan. Oh, ya.... Sediakan sebuah kamar untuk melepas lelah buat Pendekar Lima Lautan!" perintah wanita cantik itu.

"Jangan...! Terus terang aku mencari Bunga Arum Dalu semata-mata bukan karena ingin mendapatkan hadiah. Lagi pula, jika tidak ditolong Rangga, mungkin aku tidak sampai ke kerajaan ini lagi!" ujar Kala Sakti.

"Jadi kau bertemu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Patih Luntaka.

Pendekar Lima Lautan tentu terkejut mendengar ucapan Patih Luntaka. Sama sekali tidak disangka bahwa Rangga pemuda yang telah menyelamatkan jiwanya, tidak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti yang terkenal itu.

"Jadi..., jadi Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti...? Sungguh tidak kuduga kalau dia orangnya. Tapi terus terang Rangga telah menolongku. Dia Bahkan telah meminjamkan kudanya agar aku cepat sampai ke sini. Tetapi aku tak tahu, bagaimana nasibnya. Sebab ketika kutinggalkan, dia dikepung sekawanan serigala," jelas Kala Sakti khawatir.

Wajah Putri Sentika Sari tampak berubah mendung. Seolah dia benar-benar mengkhawatirkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan entah mengapa hatinya jadi cemas memikirkan keselamatan pemuda itu. Sungguh, sejak pertama kali bertemu Rangga, Putri Sentika Sari merasa ada sesuatu yang lain pada dirinya. Sesuatu yang membuat hatinya berdebar-debar.

"Aku yakin Rangga bisa menjaga diri! Sebaiknya, bunga ini langsung diolah, baru kemudian diberikan pada Gusti Prabu!" cetus Patih Luntaka, membuyarkan lamunan wanita itu.

Mengingat penyakit ayahandanya yang memang semakin bertambah gawat, untuk sementara Putri Sentika Sari terpaksa mengesampingkan ingatannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka segera ditinggalkannya ruangan utama. Sementara itu Patih Luntaka tetap menemani Pendekar Lima Lautan.

"Bagaimana kabar tentang Iblis Pemabuk?" tanya Patih Luntaka.

"Kurasa sekarang dia telah bergabung dengan Nini Baji Setan!" jawab Kala Sakti, menjelaskan.

"Siapa Nini Baji Setan? Dan mengapa pula Iblis Pemabuk memilih bergabung dengan orang itu?" tanya laki-laki setengah baya itu ingin tahu.

"Nini Baji Setan adalah Penguasa Bukit Setan. Iblis Pemabuk bergabung dengannya, karena Nini Baji Setan punya rencana untuk menyerang kerajaan ini. Dia berjanji jika berhasil menguasai kerajaan ini, maka Putri Sentika Sari akan diberikan pada Iblis Pemabuk!" papar Kala Sakti. "Maaf, kuceritakan semua ini. Karena malam itu aku sempat mendengar pembicarakan mereka. Dan sesungguhnya, Iblis Pemabuk tetap menghendaki Putri Sentika Sari. Jadi dia bukan tertarik pada emas yang dijanjikan!"

Kening Patih Luntaka berkerut dalam. Dia tidak habis mengerti, mengapa Nini Baji Setan berniat menyerang Kerajaan Lima Laras. Padahal seingatnya, Gusti Prabu tidak punya persoalan dengan Penguasa Bukit Setan. Lagi pula baru sekarang ini dia tahu kalau Bukit Setan ada penghuninya. Mungkinkah Gusti Prabu mengetahui sesuatu di balik semua peristiwa yang terjadi? Sebab sepengetahuan Patih Luntaka, beberapa belas tahun yang lalu Gusti Prabu Sida Brata selalu pergi berburu manjangan ke bukit itu.

"Kalau begitu, Putri Sentika Sari segera diberitahu tentang kabar ini!" cetus Patih Luntaka.

"Memang sebaiknya begitu!" sahut Kala Sakti ikut memberi dukungan.

"Pendekar Lima Lautan! Sebaiknya kau istirahat dulu. Kuharap kau tidak cepat pergi dari sini. Terus terang, tenagamu sangat dibutuhkan!" pinta Patih Luntaka penuh harap.

"Kalau itu keinginanmu, dengan senang hati aku akan membantu!" janji Pendekar Lima Lautan, mantap. "Tapi aku periu memulihkan kesehatanku."

Senang rasanya hati Patih Luntaka mendengar keputusan Pendekar Lima Lautan. Kemudian diantarnya Kala Sakti menuju kamar yang telah disediakan. "Istirahatlah, Pendekar! Tentu kau sangat lelah setelah bersusah payah mendapatkan Bunga Arum Dalu," ucap patih ini.

"Aku ingin semadi dulu, Paman Patih. Terima kasih atas perhatianmu!" balas Kala Sakti.

Pintu kamar ditutup. Patih Luntaka segera meninggalkan kamar yang ditempati tamunya. Dia bermaksud kembali ke tempat peraduan Gusti Prabu. Tetapi sampai di dalam ruangan pertemuan, langkahnya terhenti. Di sana Pendekar Rajawali Sakti tengah berdiri ditemani seorang prajurit.

"Rangga...! Kiranya kau telah kembali...!" seru Patih Luntaka sambil menghampiri. Langsung dipeluknya pemuda itu dengan hangat.

"Ya.... Apakah Kala Sakti sudah sampai?" tanya pemuda berbaju rompi putih ini ingin tahu.

"Sudah. Belum lama dia istirahat. Kurasa sekarang dia sudah tidur. Sebaiknya kita menjumpai Gusti Prabu," ajak Patih Luntaka.

"Mari..." sahut Rangga langsung setuju.

Bunga Arum Dalu yang telah diolah menjadi ramuan cair, sudah diminumkan pada Gusti Prabu Sida Brata. Dan nyatanya ramuan itu memang manjur. Begitu Gusti Prabu meminumnya, perubahan segera terjadi. Wajah yang pucat berangsur-angsur tampak kemerah-merahan. Matanya yang terpejam terbuka pula. Denyut jantungnya juga sudah mulai teratur.

Mendapati kenyataan itu jelas membuat lega semua orang termasuk seluruh kerabat dan keluarga istana. Hanya pada saat itu, Gusti Prabu belum bisa diajak bicara. Kendati demikian, tampaknya Gusti Prabu Sida Brata terkejut juga melihat kehadiran Rangga. Namun apa yang dilakukannya hanya sebatas memandang, tanpa dapat berbuat apa-apa.

Barulah setelah keesokan harinya, kesehatan Raja Lima Laras itu semakin bertambah membaik. Bahkan beliau makan cukup banyak. Kenyataan ini semakin membesarkan hati para kerabat kerajaan. Namun yang paling bahagia melihat kesembuhan Gusti Prabu tentu saja Putri Sentika Sari.

"Oh.... Tahukah kau, betapa bahagianya hatiku, Rangga!" desah Putri Sentika Sari ketika bersama tamu-tamunya berkumpul di ruang utama. "Semua ini karena jasa kalian, Pendekar-pendekar Budiman!"

"Yang mendapatkan Bunga Arum Dalu adalah Pendekar Lima Lautan! Bukankah begitu, Kala Sakti?" tukas Rangga ditujukan pada pemuda yang duduk di sampingnya.

"Tidak juga. Walaupun aku telah mendapatkan Bunga Arum Dalu, tapi kalau bukan karena pertolonganmu, mungkin aku sudah mati di tangan Nini Sumbing," kilah Kala Sakti.

"Kita semua saling tolong-menolong. Tentu saja aku wajib berterima kasih atas jasa-jasa kalian," ujar Putri Sentika Sari.

"Sudahlah, lupakan masalah ini. Yang terpenting sekarang ini Gusti Prabu telah pulih kembali seperti sedia kala," sergah Pendekar Lima Lautan.

"Sebaiknya memang begitu. Hanya yang membuatku heran, mengapa Nini Baji Setan sangat berhasrat sekali menyerang kerajaan ini? Lagi pula, apa tujuannya meracuni Gusti Prabu dengan serbuk racun Bunga Bisa?"

"Kurasa Ayahanda merahasiakan sesuatu. Nanti aku akan tanyakan hal ini pada beliau," janji Putri Sentika Sari.

"Kurasa memang ada baiknya kau menanyakannya, Putri," timpal Kala Sakti.

Pembicaraan mereka langsung terhenti ketika Eyang Kinta Manik datang menghampiri. "Putri Sentika Sari, Pendekar Rajawali Sakti, dan Pendekar Lima Lautan, Gusti Prabu mengharapkan kedatangan kalian semua di ruangan pertemuan. Tampaknya ada beberapa hal penting yang akan disampaikan oleh beliau!" ujar penasihat kerajaan itu.

"Kami segera menghadap!" sahut Putri Sentika Sari.

Lalu mereka pun berjalan beriringan menuju ke ruangan pertemuan. Jarak dua ruangan itu hanya dibatasi lorong saja. Sehingga dalam beberapa langkah saja sudah sampai di sana. Terlihat Gusti Prabu Sida Brata, Patih Luntaka, dan Panglima Layung Seta telah duduk di tempat masing-masing. Tiga orang pengawal yang selalu mendampingi Gusti Prabu segera meninggalkan ruangan yang cukup luas itu.

"Silakan duduk kalian semuanya!" perintah Gusti Prabu Sida Brata dengan suara serak.

Mereka segera menempati bangku-bangku mewah yang masih kosong. Sedangkan Gusti Prabu Sida Brata terus memperhatikan Rangga dan Kala Sakti silih berganti.

"Aku telah mendengar jasa kalian dari Paman Kinta Manik. Aku sadar, pendekar seperti kalian tidak pernah mengenai pamrih. Rasanya tidak ada barang berharga yang pantas kuberikan sebagai rasa terima kasihku atas usaha kalian dalam menyembuhkan aku," kata laki-laki setengah baya itu memulai.

Rangga menjura hormat. "Salam sejahtera untuk Gusti Prabu. Hamba dan Kala Sakti sudah merasa senang melihat Gusti Prabu dapat pulih seperti sediakala. Satu hal yang perlu hamba ketahui, mengapa Nini Baji Setan ingin menghancurkan kerajaan ini? Dan mengapa pula dia meracuni Gusti Prabu?" tanya Rangga ingin tahu.

Raja Sida Brata menarik napas dalam-dalam. Matanya menerawang jauh ke depan. Seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Rasanya mustahil dia menutupi keburukannya sendiri. Tetapi jika tidak berterus terang, toh lama-kelamaan pula Nini Baji Setan menyerbu ke istana. Dengan demikian segala apa yang dirahasiakan akan terbongkar juga. Rasanya lebih baik berterus terang pada semua yang hadir di dalam ruangan pertemuan itu.

"Baiklah.... Aku ingin berterus terang pada kalian semua. Orang yang belum mengetahui kejadian sebenarnya adalah Sentika Sari, Patih Luntaka. Juga, kalian Rangga dan Kala Sakti yang telah menolongku. Dengarkanlah baik-baik."

Sejenak Gusti Prabu Sida Brata menarik napas panjang kembali, untuk melegakan dadanya yang terasa sesak. Sekaligus mengembalikan semua ingatannya.

"Dua puluh tahun yang lalu, istriku melahirkan dua anak perempuan kembar. Yang cantik dan mungil. Namun..., sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sepekan setelah melahirkan, istriku tewas. Darahnya tersedot habis. Dadanya berlubang dengan jantung hilang. Yang membuat aku heran puting susunya pun putus. Tidak setetes pun darah yang tersisa ditubuhnya. Kedua putriku yang baru berumur dua minggu kemudian diasuh oleh beberapa orang dayang. Namun, mereka pun ditemukan tewas pada suatu malam."

Kembali Gusti Prabu Sida Brata terdiam. Ada kegalauan dalam dadanya, mengingat semua itu. Namun, semuanya harus diutarakan.

"Kami langsung mengadakan penyelidikan. Dan ternyata, kami memergoki putriku yang bernama Kuntalini sedang melakukan pembunuhan atas dayang lainnya. Aku hampir tidak percaya jika tidak melihat dengan mata kepala sendiri. Kemudian Kuntalini kupisahkan dari Sentika Sari. Karena, aku takut dia membunuh saudara kembar sendiri untuk dimakan jantungnya. Beberapa hari kemudian dua orang dayang tewas pula. Tenggorokan mereka seperti dicabik-cabik serigala. Juga jantung mereka hilang. Ada luka mengerikan di dada para dayang malang itu. Pada saat itu, Kuntalini tidak ada di tempatnya. Setelah kami periksa, ternyata Kuntalini bersembunyi di kolong ranjang sambil memakan jantung para dayang. Dapat kalian bayangkan, betapa hancurnya hati seorang ayah melihat semua ini...," desah Sida Brata lirih dengan pandangan sendu.

Putri Sentika Sari sendiri tidak percaya ternyata punya saudara kembar. Dan saudaranya itu pula yang telah membunuh ibunya sendiri! Betapa sulit melukiskan, bagaimana perasaannya ketika mendengar penuturan Gusti Prabu Sida Brata.

"Lalu, apakah Putri Kuntalini kemudian dibunuh?" tanya Kala Sakti.

"Siapa tega membunuh darah daging sendiri?" sahut Gusti Prabu. "Aku dan Panglima Layung Seta lantas membawanya ke Bukit Setan. Di sana kukirim prajurit penjaga, dan dayang pengasuh. Lengkap dengan perbekalan dan pondok. Tetapi ketika sepekan kemudian kami datang ke sana, Kuntalini hilang. Sedang prajurit penjaga serta dayang pengasuh tewas semuanya!"

"Gusti Prabu tidak mencarinya?" tanya Rangga ingin tahu.

Raja Sida Brata langsung terdiam. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. Tampaknya, dia tengah mengalami guncangan batin karena terkenang masa lalu.

"Aku dan panglima mencarinya ke sekeliling Bukit Setan sampai berhari-hari. Tetapi kami tidak menemukannya! Dugaanku, seseorang telah membawanya pergi dari Bukit Setan!" lanjut Gusti Prabu Sida Brata.

Apa yang dikatakan laki-laki setengah baya itu tentu menarik perhatian Rangga. Seorang anak manusia biasa, mengapa tiba-tiba saja berubah menjadi buas seperti serigala? Apakah tidak ada sesuatu yang melatar belakanginya?

"Maaf, Gusti Prabu," ucap Rangga sambil menjura hormat.

"Ya, silakan!" sahut Gusti Prabu Sida Brata. "Kalau ada sesuatu yang ingin kau tanyakan, dengan senang hati aku akan menjawabnya!"

"Begini.... Apakah ketika permaisuri mengandung, tidak ada sesuatu yang ganjil?" tanya Rangga.

"Hmm," gumam Gusti Prabu tidak jelas. Tampak jelas kalau laki-laki itu sedang berusaha mengingat sesuatu yang mungkin sempat terlupakan. Sampai kemudian Gusti Prabu tersenyum pahit.

"Memang ada. Ketika permaisuri hamil muda, aku sering berburu serigala ke Bukit Setan bersama Panglima Layung Seta. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku gemar berburu serigala. Padahal, sebelumnya hal itu tidak pernah kulakukan. Serigala-serigala hasil buruan hanya diambil kulitnya untuk dijadikan baju atau penghias dinding. Lalu pada suatu malam, aku bermimpi bertemu seorang perempuan tua yang katanya tidak terima karena rakyatnya telah kubunuh. Dia mengutukku. Menurutnya, diantara keturunanku akan terlahir seorang perempuan dengan tingkah laku seperti serigala. Dialah yang kelak di kemudian hari akan menjadi musuhku sendiri. Semula, aku menyangka semua itu hanya bunga tidur saja. Dan kenyataannya yang terjadi pada salah seorang putriku telah kuceritakan pada kalian!"

"Hamba yakin, perempuan tua yang Gusti Prabu ceritakan dan bertemu dalam mimpi itu, tidak lain adalah Nini Baji Setan! Dia bukan manusia biasa, tetapi setengah siluman," duga Kala Sakti, yakin.

"Sekarang segala-galanya telah jelas bagi kita. Nini Baji Setan meracun Gusti Prabu tentu demi kepentingan Kuntalini, Sayang, aku belum pernah bertemu Kuntalini atau Nini Baji Setan sendiri!" desah Rangga, menyesalkan.

"Lalu tindakan apa yang kita ambil jika mereka menyerang kemari?" tanya Patih Luntaka.

"Ayahanda! Apakah Nini Baji Setan mempunyai prajurit sebagaimana halnya kerajaan ini?" tanya Putri Sentika Sari.

"Dari semua cerita yang telah kudengar dari Paman Kinta Manik, aku menyimpulkan kalau dia, mempunyai ratusan ekor serigala yang sudah sangat terlatih. Binatang-binatang buas itu lebih berbahaya daripada prajurit," kata Gusti Prabu Sida Brata.

"Tidak ada jalan lain bagi kita terkecuali melawan mereka. Kuharap Pendekar Rajawali Sakti dan Kala Sakti bersedia membantu kami dalam mempertahankan kerajaan ini. Tidak terbayang olehku, bagaimana jadinya jika sampai Kerajaan Lima Laras ini dipimpin oleh perempuan tua itu."

"Mengenai hal itu Paduka tidak usah ragu! Kami tentu akan membantu dengan segenap kemampuan! Untuk itu mulai saat ini kita harus mengatur siasat!" tegas Rangga, yang diikuti anggukan kepala Kala Sakti.

"Kuucapkan terima kasih atas perhatian kalian. Mulai saat ini, kalian berdua bisa bekerja sama dengan panglima, patih, dan juga Paman Penasihat Kerajaan," putus Gusti Prabu.

********************

Malam ini suasana di kotaraja tidak seramai pada hari-hari sebelumnya. Terlebih-lebih dipusat pemerintahan Istana Lima Laras. Keadaan di sekelilingnya terasa lebih sunyi. Hanya di setiap sudut istana tampak beberapa prajurit bersenjata lengkap tems berjaga-jaga. Malam itu bahkan jumlah pasukan pemanah dilipat gandakan. Semua ini di lakukan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diingini.

Di luar sepengetahuan para prajurit penjaga, pada bagian luar benteng istana tampak sesosok tubuh berkelebat cepat melompati pagar benteng setinggi dua batang tombak. Gelapnya malam dengan langit tertutup mendung, merupakan keuntungan tersendiri bagi tamu yang tidak diundang itu. Setelah menjejakkan kakinya di atas tembok, sosok bayangan ini terus berkelebat ke arah atap dengan gerakan ringan bukan main. Namun tiba-tiba saja....

Set! Set!

Mendadak dari sudut bangunan terdengar suara desiran halus. Sosok bayangan itu mendengus, ketika tampak tiga batang anak panah meluncur deras ke arahnya. Dengan gerakan enak sekali, tangannya menyambut serangan anak-anak panah.

Tep! Tep! Tep!

Mudah sekali anak-anak panah yang meluncur ke arah sosok ini ditangkapnya. Bahkan secepat itu pula, dilemparkannya kembali ke arah datangnya.

Set! Crep! Crep! Crep!

"Aaa...!" Tiga orang prajurit pemanah kontan menjerit tertahan ketika tiga batang anak panah menembus jantung. Para prajurit langsung jatuh bergelimpangan dan tewas seketika.

Dan teriakan prajurit-prajurit tadi sempat didengar oleh prajurit-prajurit lain. Termasuk, yang berjaga-jaga di atas atap. Dengan serentak mereka bergerak mendatangi. Prajurit yang berada di sudut kiri sempat melihat kehadiran sosok bertubuh ramping yang menjadi biang keributan barusan. Maka secepatnya mereka melepaskan anak panah ke arah sasaran.

Twang! Twang!

Lima batang anak panah meluncur cepat ke arah sasaran. Dengan gesit, sosok ramping ini mengibaskan lengan jubahnya yang panjang sambil melakukan salto beberapa kali. Angin kencang laksana badai kontan menderu, membuat panah-panah berpentalan ke berbagai arah. Bahkan beberapa di antaranya ada yang berbalik, langsung menembus dada beberapa prajurit yang sial.

Crab...!

"Aaakh...!" Suara jerit kesakitan secara berturut-turut kembali terdengar. Dua orang prajurit terjengkang bersimbah darah.

Sedangkan prajurit lainnya terus melepaskan anak panah ke arah pendatang ini tanpa henti. Walaupun sosok bayangan ini dibuat repot oleh serangan anak-anak panah, tetapi masih sempat tertawa mengikik. Dari nada suaranya yang melengking menyeramkan, jelas kalau tamu tidak diundang itu adalah seorang perempuan.

"Manusia setan! Berani benar kau mencari mampus dengan datang ke sini!" dengus seorang prajurit yang baru saja datang.

"Kalian semua yang akan kubuat binasa! Lihat saja nanti! Hiyaaa...!"

Perempuan tua yang tidak lain Nini Baji Setan tiba-tiba saja mengebutkan jubahnya yang panjang. Dan sebelum prajurit yang membentaknya tadi sempat melepaskan anak panah, dari jubah Nini Baji Setan melesat beberapa buah benda berwarna putih keperakan ke arah prajurit.

"Hup!" Para prajurit berusaha mengelak, namun gerakannya masih kalah cepat dengan gerakan senjata rahasia perempuan tua itu yang berupa paku-paku beracun.

Jeb! Jeb!

"Huaakh! Auugh...!" Para prajurit berteriak melengking tinggi, terhantam paku-paku beracun milik Nini Baji Setan.

Atap genteng bersimbah darah prajurit. Korban demi korban terus berjatuhan. Sehingga dalam waktu tidak sampai sepemakan sirih, sudah dua puluh orang prajurit kerajaan yang tewas di tangan Nini Baji Setan.

"Hik hik hik...! Anjing-anjing kerajaan adalah keledai-keledai dungu yang tidak mempunyai arti sama sekali!" desis Nini Baji Setan. Dan baru saja perempuan tua ini hendak bergerak ke tempat lain, tiba-tiba dari bagian genteng depan tampak berkelebat satu bayangan kuning.

TUJUH

"Kau datang seperti setan! Mengapa kau membunuhi prajurit-prajurit itu?" bentak sosok bayangan kuning gading, begitu mendarat di atap. Kini jelas, sosok bayangan kuning itu tak lain dari Eyang Kinta Manik, Penasihat Kerajaan Lima Laras.

"Hik hik hik...! Aku memang setan! Akulah Nini Baji Setan yang berjuluk Ratu Serigala! Huh! Bukan prajurit yang tidak berguna ini saja yang akan kubunuh. Tetapi, seluruh penghuni istana ini harus mati demi kejayaan bangsa serigala!" dengus Nini Baji Setan yang ternyata berjuluk Ratu Serigala.

Mengertilah Penasihat Kerajaan itu, siapa yang sedang dihadapinya saat ini. Tanpa bicara lagi langsung dicabutnya keris lekuk tujuh yang selalu terselip di pinggang. Walaupun Eyang Kinta Manik mempunyai kepandaian tidak seberapa, namun dengan nekat menyerang Ratu Serigala.

"Hiyaaa...!" Eyang kinta Manik melumk ke depan. Keris ditangannya disodokkan ke dada lawannya. Sambil mendengus, Ratu Serigala menghindar ke samping. Lalu dilepaskannya tendangan beruntun.

"Uts...!" Eyang Kinta Manik dengan segala daya berusaha menghindar dengan melompat kesamping. Sesekali keris di tangannya dikibaskan untuk menghalau serangan. Tetapi lagi-lagi dengan gerakan ringan dan gesit, Nini Baji Setan berhasil menghindarinya.

"Aku hanya memberimu kesempatan dua jurus saja! Setelah itu, kau segera berangkat keneraka menyusul prajurit-prajurit yang sial itu!" desis Ratu Serigala.

"Bangsat sial! Hiyaaa...!" Dengan teriakan keras, Eyang Kinta Manik menerjang ke arah Ratu Serigala. Dua tusukan dilakukan sangat mematikan. Namun, tampaknya Nini Baji Setan tidak berusaha menghindarinya. Dan begitu ujung keris hampir merobek lambungnya, badannya digerakkan sedikit saja. Sehingga serangan itu meluncur lewat dibawah keteknya yang bau apek. Dan tiba-tiba saja tangannya menyambar tangan Eyang Kinta Manik.

Tangan penasihat kerajaan itu tercekal kuat. Keris di tangannya mendadak dirampas perempuan tua itu. Dan dengan mempergunakan keris itu, Nini Baji Setan menusuk dada Eyang Kinta Manik Laki-laki tua itu sebenarnya menyadari bahaya yang mengancam jiwanya. Namun walaupun berusaha meronta, apa yang dilakukannya hanya sia-sia saja. Karena tusukan keris datangnya sangat cepat. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi....

Cresss...!

"Aaa...!" Penasihat Kerajaan Lima Laras menjerit menyayat merobek angkasa. Darah mengucur deras dari luka di tangannya. Saat itu juga dia roboh di atas genteng, dengan nyawa melayang.

Sementara itu tampak semakin banyak saja prajurit kerajaan yang naik ke atas genteng. Nini Baji Setan tersenyum dingin, melihat kedatangan mereka.

"Kalian semua harus mati di tanganku!" dengus perempuan tua itu. Tiba-tiba saja Ratu Serigala mengibaskan tangannya ke arah prajurit yang berusaha menyerangnya. Seketika seleret sinar merah melesat dari telapak tangannya langsung menghantam para prajurit yang berada didepannya.

Glarrr...!

"Aaakh...!" Tiga orang prajurit kembali menemui ajal terpanggang hawa panas yang keluar dari telapak tangan perempuan tua itu.

Melihat kawan-kawannya bergelimpangan, maka yang lain menjadi bertambah marah. Mereka baru saja hendak melakukan serangan secara serentak, namun pada saat itu berkelebat sosok bayangan yang langsung menjejakkan kakinya di depan Nini Baji Setan.

"Mundur kalian semua! Iblis ini bukan tandingan kalian!" perintah sosok yang tidak lain Pendekar Lima Lautan tanpa menoleh sedikit pun.

Begitu mengenali siapa yang datang, para prajurit segera menuruti. Mereka segera berlompatan mundur.

"Huh! Kau berlagak menjadi pahlawan di sini?! Kesalahanmu sudah bertumpuk. Kau mencuri Bunga Arum Dalu. Dan kini, berkomplot pada si keparat Sida Brata pula!" dengus Nini Baji Setan dengan geram.

"Aku bukan berpihak pada siapa-siapa. Aku hanya ingin membela orang yang kuanggap memegang kebenaran. Kulihat, kekejamanmu telah melewati takaran. Aku jadi ingin tahu, apakah tubuhmu kebal terhadap Busur Panahku!" dengus Kala Sakti sengit.

Selanjutnya tanpa basa-basi lagi, Pendekar Lima Lautan yang dikenal karena kehebatan panahnya langsung mengambil anak panah yang tergantung di bahunya. Kemudian anak panah itu dipasang di busurnya. Lalu...

Twang...!

Saat itu juga sebatang anak panah berwarna kuning keemasan melesat ke arah Nini Baji Setan. Ketika sedang melesat membelah udara itulah sebuah perubahan yang tak disangka-sangka terjadi! Anak panah yang tadinya hanya satu, sekarang berubah menjadi banyak. Anak panah yang telah berlipat ganda jumlahnya ini langsung memecah ke segala arah, namun dengan satu tujuan. Tubuh Ratu Serigala!

Nini Baji Setan terkejut bukan main. Dia berusaha merontokkan anak-anak panah dengan mengibaskan jubah sambil memutar tubuhnya.

Wuutt! Tak! Tak!

Usaha perempuan tua itu memang mendatangkan hasil. Terbukti, anak-anak panah itu sempat terpental. Namun beberapa saat setelah itu, seperti ada kekuatan tidak tampak yang mengendalikannya, anak panah yang telah terombang-ambing di udara kemudian membalik. Bahkan kembali meluncur ke arah perempuan tua ini.

"Heh?!" Nini Baji Setan terkejut bukan main. Kemudian tubuhnya melenting ke udara. Saat meluncur lag ke bawah, sekuat tenaga kedua tangannya mendorong ke arah anak panah yang berjumlah mencapai sepuluh batang dan dikendalikan dengan tenaga dalam tinggi. Lalu....

Blarrr...!

Terjadi ledakan keras ketika pukulan yang dilepaskan Nini Baji Setan menghantam anak panah yang dapat berubah banyak secara gaib. Anak-anak panah langsung jatuh diatas genteng, mengeluarkan suara berdenting. Namun baru saja Ratu Serigala menjejakkan kakinya di atas genteng, tahu-tahu Pendekar Lima Lautan menarik busurnya lagi. Kali ini sebuah anak panah berwarna merah darah melesat seperti kilat. Setelah berada diudara, maka anak panah itu kembali mengembang menjadi banyak.

Nini Baji Setan kembali terperangah. Apalagi kelihatannya anak-anak panah berwarna merah darah ini mempunyai kekuatan tenaga dalam lebih besar daripada anak panah yang berwarna kuning tadi. Maka kembali dilepaskannya pukulan ke arah anak-anak panah itu. Ketika kedua tangannya didorongkan ke arah depan, segulung angin kencang menebarkan hawa panas meluncur cepat ke arah sasaran.

Di luar dugaan, anak-anak panah itu membelok seperti menghindari serangan. Sedangkan pukulan Nini Baji Setan terus meluncur, langsung menghantam beberapa prajurit yang berada di belakangnya.

Blarrr...!

"Aaa...!" Dua orang prajurit kontan tersungkur roboh. Sementara, anak panah berwarna merah tadi kembali berbalik menyerang Nini Baji Setan.

"Hmhhh!" Nenek renta ini menjadi geram bukan main. Pada saat itu kedua matanya telah berubah merah seperti darah. Kemudian....

"Runtuh...!" teriak Ratu Serigala, mirip dengan suara lolongan. Dan seperti ada sebuah kekuatan yang tidak terlihat, sesuai kata bernada perintah dari Nini Baji Setan alias Ratu Serigala, maka anak-anak panah tadi runtuh. Setelah jatuh diatas genteng, anak-anak panah yang berserakan tadi kembali menjadi satu.

"Edan!" Pendekar Lima Lautan tentu saja menjadi sangat kaget. Sungguh tidak disangka Ratu Serigala mampu menjatuhkan anak-anak panahnya hanya dengan mengucapkan sepatah kata. Sekali ini Kala Sakti kembali merentangkan busurnya.

Namun pada saat pemuda ini berniat melepaskan anak panahnya, mendadak melesat dua bayangan yang langsung mendarat di sebelahnya. Yang satu pemuda berbaju rompi putih. Sedangkan yang satunya lagi berpakaian kebesaran kerajaan.

"Tahan...!" seru pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Sedang di sebelahnya berdiri Panglima Layung Seta.

"Diakah pengacau itu, Kala Sakti?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Benar! Dialah Iblis Penghuni Bukit Setan yang sengaja ingin mengacaukan kerajaan ini!" sahut Pendekar Uma Lautan, mantap.

"Mengapa kau mengacau di tempat ini, Nini?" tanya Rangga, penuh tekanan suaranya.

"Kalian bukan apa-apa, bagiku!" sahut Ratu Serigala.

Rupanya melihat gelagat yang tidak baik, Nini Baji Setan tidak ingin muridnya kecewa. Kalaupun menempur ketiga laki-laki didepannya belum tentu kalah, namun bukankah kedatangannya malam ini bukan untuk melakukan penyerangan secara besar-besaran? Ratu Serigala memang cerdik sebelum menyerang secara besar-besaran, dia menyusup ke kerajaan ini.

Tujuannya jelas, yakni ingin membuat kekacauan, mengurangi jumlah prajurit yang ada, sekaligus menjajaki kekuatan pihak kerajaan. Dan tampaknya setelah mencoba, kekuatan pihak kerajaan menurutnya tidak seberapa hebat. Sekarang baginya, alangkah lebih baik mengundurkan diri dulu. Untuk itu dengan gerakan cepat diambil sesuatu dari balik bajunya. Kemudian tangannya dikibaskan...

Buummm...!

Suasana di atas atap genteng pun berubah menjadi gelap gulita. Asap tebal menutupi pemandangan.

"Celaka! Asap penghilang jejak!" desis Kala Sakti. Hampir bersamaan, ketiga laki-laki itu melompat mundur. Setelah asap berkurang, mereka mencari-cari. Akan tetapi sampai asap benar-benar menghilang tertiup angin malam ini, Nini Baji Setan sudah tak terlihat lagi batang hidungnya.

"Sebaiknya kita kejar! Kurasa dia belum jauh dari sini!" usul Pendekar Lima Lautan.

"Jangan!" cegah Rangga. "Percuma kita mengejarnya. Dia pasti kembali ke Bukit Setan!"

"Lalu....?"

"Korban di pihak kita sudah cukup banyak! Sekarang, kita urus dulu mayat-mayat ini. Besok baru kita susun rencana selanjutnya!"

Panglima Layung Seta kemudian memerintahkan para prajurit yang selamat untuk menurunkan prajurit-prajurit yang tewas dari atas genteng. Dan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk lagi, dia juga memerintahkan untuk melipatgandakan penjagaan.

Keesokan harinya setelah selesai menguburkan jenazah para prajurit kerajaan, Gusti Prabu Sida Brata mengumpulkan para pembantunya. Tidak kurang Pendekar Rajawali Sakti dan Pendekar Lima Lautan juga hadir di ruang balairung.

"Sangat kusesalkan banyak prajurit yang menjadi korban keganasan Ratu Serigala! Kurasa perempuan itu ingin membantai kita sedikit demi sedikit. Terbukti sampai hari ini mereka tidak melakukan penyerangan secara langsung!" kata Gusti Prabu Sida Brata, memulai pembicaraan.

"Eyang Kinta Manik telah terbunuh dalam peristiwa tadi malam. Lalu, tindakan apa yang akan kita lakukan?" tanya Patih Luntaka.

"Menurutmu bagaimana, Panglima?" tanya Gusti Prabu Sida Brata.

"Ampun, Gusti. Menumt hemat hamba, sebaiknya kita tetap bertahan di sini sambil menunggu perkembangan selanjutnya!" sahut Panglima Layung Seta dengan wajah tertunduk.

"Maaf... Bukan aku mencela pendapat Paman Panglima. Tetapi menurut pikiran hamba, jika kita tetap bertahan menunggu serangan, hal ini akan berakibat lebih buruk bagi kerajaan. Jika mereka benar melakukan serangan secara besar-besaran dengan menggunakan kawanan serigala, korban yang akan berjatuhan di sini semakin bertambah besar. Terutama, rakyat yang berdiam di sekitar istana. Lagi pula keselamatan keluarga kerajaan terancam?!" cetus Rangga.

"Lalu bagaimana?" tanya Putri Sentika Sari.

"Apakah kita harus menyerang Bukit Setan?"

"Keputusan itu Gusti Prabulah yang berhak menentukannya..." timpal Kala Sakti.

"Aku sendiri tidak mempedulikan nasib diriku. Yang membuatku cemas, bagaimana jika seandainya kerajaan ini diperintah Ratu Serigala? Jika benar Kuntalini dalam asuhan Ratu Serigala, berarti sekarang telah menjadi gadis serigala yang buas!" desah Gusti Prabu lirih.

"Kemudian apa yang harus kita lakukan?" tanya Patih Luntaka.

"Berapa jumlah prajurit yang ada sekarang ini?" tanya Gusti Prabu Sida Brata, ingin tahu.

"Mungkin hanya sekitar seratus lima puluh orang lagi!" sahut Panglima Layung Seta.

Jumlah tersebut tentu terbilang sedikit dari jumlah yang seharusnya. Sebab Kerajaan Lima Laras adalah sebuah kerajaan cukup besar.

"Panglima! Siapkan seluruh pasukan yang ada. Pagi ini juga kita segera berangkat ke Bukit Setan!" perintah Gusti Prabu tegas.

"Ayahanda Prabu? Ayah belum sembuh benar...!' sentak Putri Sentika Sari khawatir.

Gusti Prabu Sida Brata tersenyum. "Kita harus melakukan sesuatu, Anakku. Kini sudah saatnya menghentikan saudara kembarmu, dan juga gurunya! Kau tidak perlu cemas. Ayahandamu ini tak akan apa-apa," tandas lelaki setengah baya itu penuh rasa belas kasih pada anaknya.

Dan sebelum ada yang bersuara kembali, mendadak terdengar suara ribut-ribut di luar. Sebelum mereka beranjak untuk melihat apa yang terjadi, telah muncul seorang prajurit dengan tangan berlumuran darah.

"Ada apa Prajurit...!" sentak Gusti Prabu.

"Ampun, Gusti! Serombongan serigala telah mengepung kerajaan. Kami diluar sana rasanya tidak sanggup membendung mereka. Jumlahnya sangat banyak sekali!" lapor prajurit itu dengan suara terbata-bata.

"Apakah ada perempuan yang menyertai serigala-serigala itu...?" tanya Panglima Layung Seta.

"Tidak, Panglima. Kami tidak melihat ada orang lain selain serigala-serigala itu!" jawab prajurit ini.

Tanpa bicara lagi panglima Layung Seta dan Patih Luntaka berlari keluar halaman istana. "Kala Sakti! Tetaplah berada di sini! Lindungi Gusti Prabu dan Putri Sentika Sari! Bunuh siapa saja yang berani datang ke sini!" pesan Rangga.

"Baik, Rangga!" jawab Pendekar Lima Lautan. Tanpa menunggu lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera berkelebat cepat. Sebentar saja dia telah sampai di halaman depan. Dan kini dia melihat belasan prajurit kerajaan bergelimpangan tanya nyawa. Sedangkan prajurit lainnya yang masih bertahan hidup tampak berjuang habis-habisan, melakukan perlawanan.

Panglima Layung Seta dan Patih Luntaka sendiri sudah mencabut senjatanya. Bahkan mulai membantai kawanan serigala ganas yang tampaknya sudah sangat terlatih. Melihat keganasan kawanan serigala itu, Rangga segera bergerak ke arah binatang-binatang buas itu. Seketika kedua tangannya menghentak ke depan disertai tenaga dalam tinggi.

"Aji Guntur Geni..! Heaaa...!"

Dua buah sinar merah yang keluar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung menghantam kawanan serigala. Dua ekor serigala terpelanting dengan tubuh hangus. Tetapi kawan-kawannya tampaknya tidak mengenai rasa takut. Mereka segera menyerang dengan lebih ganas lagi.

Pemuda itu melenting sambil berputaran di udara. Kedua tangannya mengibas-ngibas cepat disertai tenaga dalam tinggi. Dengan lincah serigala-serigala itu berkelit menghindar, membuat serangan Rangga tidak mengenai sasaran. Dua ekor serigala yang berada di belakang menggigit celana. Namun pemuda berbaju rompi putih itu segera menggerakkan kakinya, membuat kedua serigala itu terpelanting sambil menguik keras.

"Binatang-binatang ini seperti mengerti gerakan silat! Hm... benar-benar hebat orang yang mengendalikannya!" gumam Pendekar Rajawali Sakti. Begitu repotnya Rangga menghindari serangan, sehingga terpaksa mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari gigitan maupun cakaran serigala-serigala itu.

DELAPAN

Jeritan prajurit-prajurit yang menjadi korban serta suara lolongan serigala di sana-sini, membuat suasana di halaman Istana Lima Laras menjadi hingar-bingar. Di pihak kerajaan sendiri juga tampak sudah kewalahan menghadapi serangan. Panglima Layung Seta dan Patih Luntaka berusaha memutar senjatanya untuk membasmi serigala-serigala yang menyerangnya. Tiga empat ekor serigala memang dapat dibunuh. Tetapi yang menggantikan jumlahnya berlipat ganda.

Dalam keadaan kacau begitu, Panglima Layung Seta mendadak menemukan pemecahan terbaik. Ya! Bukankah serigala takut api?! Sentak panglima dalam hati. Secepat kilat, Panglima Layung Seta melenting menjauh kebelakang. Begitu mendarat, tubuhnya langsung berkelebat cepat. Diambilnya dua buah batang obor dan segera dinyalakan. Kemudian dengan gerakan yang cepat pula, Panglima Layung Seta berkelebat kembali ke tengah kancah pertarungan.

"Patih, tangkap!" teriak panglima? itu seraya melempar obor yang menyala, dan langsung ditangkap Patih Luntaka.

Dengan mempergunakan obor, mereka kini menyerang kawanan serigala itu. Ternyata benar. Binatang-binatang buas ini takut pada api. Terbukti mereka bergerak mundur sambil menunggu kesempatan yang baik untuk melakukan serangan. Kiranya di luar sepengetahuan mereka ada belasan serigala yang berhasil menerobos masuk ke dalam istana.

Prajurit-prajurit yang berjaga di setiap sudut pintu berhasil dibunuh. Hanya dalam waktu yang sangat singkat kawanan serigala ini telah berhasil mendekati pintu pertemuan tempat persembunyian Gusti Prabu dan putrinya. Kawanan serigala itu membunuh para prajurit yang berjaga-jaga di depan pintu ruangan pertemuan. Merasa tidak ada lagi penghalang, sebelas ekor serigala segera menyerbu masuk kedalam ruangan pertemuan.

"Gusti Prabu dan Putri Sentika! Bertahanlah dibelakangku!" seru Pendekar Lima Lautan.

Gusti Prabu Sida Brata yang sedikit banyaknya mempunyai ilmu olah kanuragan cukup lumayan, begitu melihat Kala Sakti mencabut senjata yang berbentuk baling-baling segera pula mencabut pedangnya. Pendekar Lima Lautan segera melemparkan senjatanya ke arah kawanan serigala yang menyerangnya. Senjata baling-baling itu berputar-putar dengan kecepatan laksana kilat.

Cras! Cras!

"Haung... Haungngng...!" Beberapa ekor serigala yang berada di bagian depan langsung melolong ketika perutnya robek tersambar senjata Kala Sakti. Sementara serigala yang menyerang dari samping kanan langsung disambut dengan pedang Gusti Prabu Sida Brata. Serigala itu melompat mundur ketika melihat pedang Gusti Prabu meluncur deras kearahnya.

"Jangan beri kesempatan pada binatang itu mendekat!" teriak Kala Sakti.

Kala Sakti begitu senjatanya berbalik ke tangannya, segera melemparkan kembali ke arah serigala-serigala itu. Lima ekor serigala terbabat putus bagan tenggorokannya. Sedangkan sisanya terus menyerang ganas.

Melihat serigala-serigala yang berada di dalam ruangan pertemuan hanya tinggal beberapa ekor lagi, Gusti Prabu Sida Brata menjadi nekat. Dia melompat ke depan sambil mengibaskan pedangnya. Serigala itu berkelit menghindar. Dan seekor mendadak melompat menggigit pergelangan tangan Gusti Prabu.

Crab...!

"Aaakh...!" Gusti Prabu Sida Brata menjerit keras. Tangannya yang digigit serigala dikibaskan, membuat pedangnya terpental. Tetapi gigtan itu rupanya terlalu kuat, sehingga tangannya tidak bisa dilepaskan.

Melihat kenyataan itu, Kala Sakti melompat kedepan. Diambilnya pedang yang terpental. Lalu ditusukkannya ke perut serigala itu. Kini serigala yang tersisa di dalam ruangan itu hanya tinggal satu ekor saja. Kala Sakti langsung melempar senjata baling-balingnya.

Cres...!

"Ngiiikk!" Serigala itu kontan menguik keras, ketika tersambar senjata Pendekar Lima Lautan. Pemuda memakai baju putih ini menarik napas dalam-dalam. Lalu secepatnya dia menghampiri Gusti Prabu.

"Gusti, apakah tidak ada ruangan rahasia disini?" tanya Kala Sakti.

"Ada! Di sudut kamar putriku, di balik lemari!" sahut Gusti Prabu Sida Brata.

"Sebaiknya Gusti dan Putri Sentika Sari bersembunyi di sana saja. Orang-orang diluar sana paling tidak membutuhkan aku sebagai tenaga tambahan!" saran pemuda itu.

Berhubung karena tangannya telah terluka, Gusti Prabu Sida Brata terpaksa menuruti saran Kala Sakti. Mereka segera bergegas menuju ke kamar Putri Sentika Sari yang bersebelahan dengan ruang pertemuan. Secepatnya mereka menggeser lemari yang dimaksud.

"Tetaplah berada di sini, sampai kami semua menyelesaikan segala urusan di luar sana!" ujar Pendekar Lima Lautan.

"Baiklah, Kala Sakti!" sahut Gusti Prabu Sida Brata.

Setelah menutup lemari yang menuju ruang rahasia, Kala Sakti segera pergi ke halaman depan. Begitu cepat gerakannya, sehingga sebentar saja telah tiba di sana. Kala Sakti melihat ratusan prajurit kerajaan telah tewas bermandikan darah. Mayat mereka bercampur serigala-serigala yang sudah binasa. Yang terlihat ketika itu adalah pertarungan antara Rangga dengan seorang perempuan tua yang sempat bentrok dengannya tadi malam.

Di bagian lain, tampak pula Panglima Layung Seta sedang berusaha mati-matian mempertahankan diri. Lawan yang dihadapinya adalah seorang gadis bercawat dari kulit kayu dan memakai penutup dari dedaunan.

Tidak jauh dari panglima itu, Patih Luntaka sedang bertarung melawan seorang perempuan tua berbibir sumbing. Itulah Nini Sumbing yang beberapa hari lalu hampir membunuh Kala Sakti. Kelihatannya Patih Luntaka sudah terluka parah. Dadanya bersimbah darahnya sendiri. Di lengannya juga terlihat sebuah luka mengerikan.

"Paman Patih! Betina jelek yang satu ini menjadi bagianku!" teriak Kala Sakti.

Melihat kedatangan Kala Sakti, Patih Luntaka yang sudah terluka parah ini segera mundur. Sebaliknya, Nini Sumbing tersenyum sinis sambil bertolak pinggang.

"Beberapa hari yang lalu kematianmu sempat tertunda! Tetapi kini tidak ada yang menghalangiku lagi untuk membunuhmu!" dengus Nini Sumbing sengit.

"Hei, Nenek Sumbing! Katanya kalian punya pembantu yang bernama Iblis Pemabuk? Kenapa dia tak terlihat?" tanya Kala Sakti, mencoba mengobati keherannya. Sebab, saingannya yang kini bergabung dengan Penguasa Bukit Setan tak terlihat batang hidungnya.

"Kau bertanya tentang laki-laki keparat itu?! Huh! Dia telah tewas menjadi santapan serigala, setelah pada suatu malam hendak memperkosa Kuntalini. Dasar sedang mabuk, dia tak tahu kalau Kuntalini bukan gadis sembarangan! Nah, sekarang giliranmu yang harus mati di tanganku, setelah tertunda beberapa waktu!" sahut Nini Sumbing, dengan nada sengit.

"Maaf saja. Nek! Waktu itu aku hanya menggunakan Baling-baling Sakti. Tetapi hari ini Busur Panahku ikut bicara!" sahut Kala Sakti tidak kalah sengitnya.

Tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Lima Lautan segera mengangkat busurnya. Diambilnya anak panah yang berwarna merah. Seperti diketahui, anak panah berwarna merah ini lebih ampuh daripada anak panah yang berwarna kuning. Nini Sumbing yang tidak mengetahui kehebatan anak panah ini hanya tersenyum sinis. Semetara Pendekar Lima Lautan segera merentangkan busurnya. Lalu....

Twang...!

Anak panah kini melesat ke arah Nini Sumbing. Selagi berada di udara, anak panah itu berubah menjadi banyak. Nenek berbibir sumbing itu terkesiap melihat kenyataan ini. Sambil melenting ke udara, kedua tangannya menghentak ke arah anak-anak panah itu.

Segulung angin dingin melesat dari telapak tangan Nini Sumbing. Tetapi seperti ada kekuatan yang tak tampak, anak-anak panah itu membelok. Sehingga pukulan yang dilepaskan Nini Sumbing tidak mengenai sasaran.

Semakin besar sajalah rasa kaget di hati Nini Sumbing. Sementara puluhan batang anak panah tadi kini telah menyerangnya dari segala arah. Perempuan tua ini terkejut bukan kepalang. Cepat diloloskannya cambuk buntut ikan pari yang bagian ujungnya terdapat tengkorak serigala. Namun, gerakannya ini kalah cepat dengan lesatan anak panah yang menyerang dari belakang. Tanpa ampun lagi....

Crep...!

"Aaaaakh...!" Dengan telak anak panah menghujam di punggung Nini Sumbing, hingga langsung menjerit setinggi langit. Matanya melotot dengan mulut ternganga. Langsung tubuhnya roboh dan tewas seketika.

"Panah Srikandi adalah senjataku paling dahsyat. Kau tidak mungkin mampu menahannya!" desis Pendekar Lima Lautan dingin.

Sekejap kemudian Kala Sakti memandang ke arah Panglima Layung Seta. Tampaknya laki-laki itu sudah terluka pula. Gadis serigala yang menjadi lawannya memang cukup hebat dan ganas. Terbukti, dia terus mendesak panglima itu. Namun sebelum nasib buruk menimpa diri panglima, Kala Sakti langsung datang memberi bantuan. Kini hanya dalam waktu singkat, gadis serigala yang tak lain Kuntalini telah dikeroyok dari dua arah.

Di pertarungan lain Rangga dan Nini Baji Setan tampak sedang mengerahkan jurus-jurus andalan. Sesungguhnya perkelahian di antara mereka sudah berlangsung hampir sembilan puluh jurus. Namun sampai sejauh itu, masih belum ada tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

"Hiyaaa...!" Nini Baji Setan alias Ratu Serigala melompat ke depan disertai teriakan keras. Jemari tangannya yang berkuku panjang menyambar ganas kelima bagian mematikan di tubuh Rangga. Cepat sekali, serangannya, membuat Pendekar Rajawali Sakti! harus berkelit dengan menundukkan kepala. Empat serangan berhasil dihindari Rangga. Tetapi salah satu di antaranya lolos dari perhatian. Sehingga....

Bret...!

Aaakh...!" Pendekar Rajawali Sakti terpekik dengan tubuh terhuyung-huyung. Lima jari tangan lawan telah menggores dadanya. Tampak darah menetes dari luka akibat cakaran kuku perempuan tua itu. Dan belum Rangga dapat menegakkan tubuhnya lagi, Ratu Serigala telah melepaskan tendangan ke perut.

Diegkh...!

"Huuugkh...!" Pendekar Rajawali Sakti jatuh terduduk. Perutnya seperti hancur, menimbulkan sakit luar biasa! Segera ditariknya napas dalam-dalam. Dengan terhuyung-huyung, Rangga bangkit berdiri. Pada saat yang sama, Ratu Serigala telah melancarkan serangan kembali.

"Hup...!" Pendekar Rajawali Sakti terpaksa melenting ke udara untuk menghindari cakaran. Tubuhnya berjumpalitan di udara beberapa kali. Lalu ketika tubuhnya meluncur deras ke bawah, kakinya bergerak cepat ke bagian kepala dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

Nini Baji Setan jelas tidak menyangka kalau pemuda itu masih mampu melakukan serangan disaat tubuhnya masih mengambang di udara. Sehingga....

Duukkk...!

"Akh...!" Nini Baji Setan terjengkang. Rangga terkejut karena lawannya tidak mengalami cidera yang berarti. Malah kakinya terasa sakit. Tadi dia seperti menendang karung berisi pasir saja. Padahal biasanya orang yang terhantam akan hancur kepalanya. Perempuan tua itu segera bangkit berdiri. Kepalanya berdenyut-denyut sakit akibat tendangan tadi. Kepalanya digelengkan agar rasa sakit di kepalanya agak berkurang.

"Pemuda keparat! Mampuslah...!" teriak Nini Baji Setan.

Ratu Serigala menerkam ke depan dengan kecepatan luar biasa. Matanya yang telah berubah merah seperti bara, memandang penuh kebencian. Dalam penglihatan Rangga, tiba-tiba saja Nini Baji Setan telah berubah menjadi seekor serigala putih yang sangat besar sekali, yang menerkam dengan mulut terbuka.

"Sekarang tamatlah riwayatmu, Pendekar Usilan! Terimalah pukulan Serigala Putih! Hiaaa...!" teriak Ratu Serigala sambil mengibaskan tangannya. Saat itu juga selarik sinar putih berkilau meluncur deras dari tangan Ratu Serigala.

Rangga yang melihat bahaya mengancam jiwanya segera mengerahkan tenaga dalamnya dengan kuda-kuda kokoh. Ketika tangannya telah berubah menjadi biru berkilau setelah membuat gerakan di depan dada, seketika dihentakkannya ke depan.

"Aji Cakra Buana Sukma! Hiyaaa...!" Selarik sinar biru berkilau meluncur deras dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, langsung memapak sinar putih serangan Ratu Serigala. Sehingga....

Blarrr...!

"Aaa...!" Dua sosok tubuh terlempar dengan arah berlawanan, ketika terjadi benturan dahsyat yang menghasilkan ledakan amat keras disertai bunga api seperti asap yang menutupi sekitarnya.

Ketika asap menghilang, salah seorang langsung bangkit dan segera mengambil sikap semadi. Yang seorang lagi terbaring dengan tubuh hancur berkeping-keping berbau gosong. Yang tengah bersemadi untuk memulihkan kekuatannya adalah pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu segera bangkit berdiri, untuk memperhatikan pertarungan lainnya.

Di saat itulah Pendekar Rajawali Sakti mendengar suara jeritan keras tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dan pemuda itu langsung melihat dengan wajah kaget saat Panglima Layung Seta roboh bermandikan darah. Rupanya, Kuntalini berhasil membunuh Panglima Perang Kerajaan Lima laras.

Satu-satunya yang masih bertahan adalah Pendekar Lima Lautan yang terus melepaskan anak-anak panahnya. Tetapi, pemuda itu juga telah menderita luka-luka di dada serta pahanya. Dengan cepat Rangga segera bergerak mendatangi. Diberinya isyarat pada Kala Sakti untuk mundur. Pendekar Lima Lautan segera mematuhi.

"Kau telah begitu berani mencampuri urusan pribadiku dengan Sida Brata, laki-laki yang membuang anaknya. Lebih celakanya lagi kau bunuh orang yang telah memberiku kehidupan! Aku tidak akan puas sebelum mencincang dan memakan jantungmu!" dengus Kuntalini.

"Sadarlah, Kuntalini. Kau adalah manusia waras yang masih punya nurani! Masih ada waktu buatmu untuk bertobat!" desis Rangga tidak kalah dinginnya.

"Keparat! Jangan berkhotbah di depanku!" Dengan teriakan keras, tiba-tiba saja Kuntalini meluruk deras ke arah Rangga.

Menyadari kehebatan yang dimiliki Kuntalini, Rangga segera mempergunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib untuk menghindari serangan. Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat. Tubuhnya melenting ke belakang untuk membuat jarak.

"Bangsat! Terimalah pukulan Serigala Putih! Heaaa...!" Kuntalini mengibaskan tangannya cepat. Seketika dari telapaknya meluncur sinar putih, seperti yang dimiliki gurunya.

Rangga yang telah membaca keadaan, segera mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian telapak tangan. Dibuatnya kembali beberapa gerakan tangan dan badan. Tepat ketika tubuhnya telah tegak dengan kuda-kuda kokoh, kedua tangannya sudah terselimut cahaya biru berkilauan sebesar kepala bayi. Lalu....

"Aji Cakra Buana Sukma! Hiyaaa...!" Rangga menghentakkan kedua tangannya ke arah cahaya putih. Maka tidak dapat dihindari lagi, kedua pukulan itu saling membentur diudara.

Blarrr...!

"Aaakh...!" Ledakan dahsyat kembali terdengar disertaibongkahan bunga api di udara. Pada saat yang sama juga terdengar jeritan menyayat dari tubuh yang terpental dalam keadaan hangus. Tubuh Kuntalini!

Rangga memang tak punya pilihan lagi. Gadis itu agaknya memang tak mungkin bisa disadarkan lagi. Setelah menghela napas sesak, segera dihampirinya Kala Sakti.

"Bagaimana luka-lukamu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti pelan.

"Kurasa aku masih bisa sembuh. Tapi..., Patih dan Panglima tewas di tangan mereka," sahut Kala Sakti, menyesalkan.

"Kurasa kau dapat membantu mereka. Aku akan mengusulkan pada Gusti Prabu agar kau menjadi Panglima Perang Kerajaan Lima Laras!" kata Rangga bersungguh-sungguh.

"Kau sendiri?" tanya Pendekar Lima Lautan.

"Aku adalah seorang pengembara yang tidak suka berada di satu tempat!" sahut Rangga.

Kala Sakti hanya diam saja mendengar ucapan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka segera masuk ke dalam istana.

********************

"Terima kasih atas bantuan yang kalian berikan!" ucap Gusti Prabu Sida Brata penuh rasa haru ketika telah bertemu Pendekar Rajawali Sakti dan Kala Sakti. "Kala Sakti! Biarkan putriku yang merawat luka-lukamu!"

Dengan diantar Putri Sentika Sari, PendekarLima Lautan segera pergi ke ruangan lain untuk diberi pengobatan.

"Sekarang aku mohon pamit, Gusti Prabu!" ujar Rangga setelah Kala Sakti tak terlihat lagi. "Tetapi sebelum aku pergi, sebaiknya Gusti Prabu sudi mengangkat Kala Sakti menjadi panglima kerajaan. Kalau mungkin menjadi mantu sekalian."

Sementara Gusti Prabu Sida Brata menanggapinya dengan sungguh-sungguh. "Tentu saja aku tidak keberatan. Semula, aku ingin menjodohkanmu dengan putriku. Tetapi karena kau berkeras hendak pergi, maka biarlah selain menjadi panglima kerajaan, Kala Sakti juga mendampingi putriku!" sahut laki-laki setengah baya itu.

Rangga tersenyum lega. Sebab apa yang menjadi tujuannya tercapai tanpa menyinggung perasaan Gusti Prabu Sida Brata.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: SETAN GEMBEL