Asmara Berdarah Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CIA SUN mengingat-ingat. Para suheng-nya, yaitu murid-murid Pek-liong-pang yang sudah menjadi pendekar dan mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw, dahulu pernah menceritakan kepadanya tentang dunia kang-ouw, tentang tokoh-tokoh penting baik dari golongan putih mau pun golongan hitam. Dia pernah mendengar akan Cap-sha-kui dan di antara tiga belas orang tokoh sesat itu kabarnya terdapat seorang nenek yang berjuluk Kiu-bwee Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan).

Dia telah mendengar betapa lihainya nenek ini, kalau benar Kiu-bwee Coa-li. Menurut apa yang didengarnya, di antara Tiga Belas Iblis itu yang paling tinggi ilmunya adalah empat orang dan di antaranya adalah nenek ini, maka dia cepat bersikap tenang dan waspada. Dia tidak mengkhawatirkan ular-ular itu, akan tetapi dia harus berhati-hati terhadap nenek yang menjadi pawang atau penggembala ular itu.

"Hemm, apakah engkau Kiu-bwee Coa-li?" tanyanya, suaranya tetap tenang.

"Heh-heh-heh, engkau masih muda telah mengenalku, dan sekali pukul dapat membunuh ular kembang. Engkau tentu seorang pendekar, ya? Seorang tokoh muda golongan putih? Hik-hik, aku paling suka darah pendekar dan ular-ularku ini paling suka daging pendekar, heh-heh-heh!”

“Tar-tar-tar-tarrr...!" Cambuk berekor sembilan itu bergerak dan meledak-ledak.

Cia Sun mengelak dari sambaran empat ekor ujung cambuk itu. Akan tetapi dia melihat bahwa nenek itu bukan hanya menyerangnya, melainkan juga memberi aba-aba kepada ular-ularnya karena sambil mengeluarkan suara berdesis-desis, binatang-binatang yang mengerikan itu kini mulai menyerangnya dari segala penjuru!

Cia Sun lalu menggerakkan kaki tangannya. Kakinya terayun, menendangi ular-ular yang berani mendekatinya, sedangkan kedua tangannya bergerak mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang. Angin yang kuat menyambar ke arah ular-ular itu dan belasan ekor ular berhamburan seperti daun kering dilanda angin.

Melihat kehebatan pemuda ini, nenek itu lantas meringkik, setengah menangis setengah terkekeh dan pecutnya meledak-ledak semakin gencar, bukan hanya menghujani tubuh Cia Sun dengan serangan cambuknya yang berujung sembilan, akan tetapi juga untuk memberi komando kepada ular-ularnya yang menjadi semakin nekat menyerbu ke arah Cia Sun. Bahkan di antara ular-ular itu terdapat ular-ular cobra yang berdiri dengan leher berkembang, ada pula ular yang seperti dapat terbang karena ular-ular ini kecil-kecil dan ada yang kemerahan, meloncat dan menerkam seperti terbang ke arah leher dan tubuh Cia Sun!

"Hemmm!" Pemuda itu mendengus.

Ketika tangannya dikibaskan, ular-ular yang berani terbang menyerangnya itu terbanting hancur. Terpaksa Cia Sun berloncatan menjauh. Berbahaya juga kalau dia harus menjaga semua serangan itu. Dari atas sambaran sembilan ujung cambuk si nenek iblis, dan dari bawah patukan ular-ular yang mengurungnya.

Kembali terdengar ledakan pada waktu dia merobohkan ular-ular terbang, lantas sebuah di antara ujung-ujung cambuk itu menyambar ke arah pelipisnya dengan tenaga totokan yang amat berbahaya! Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, dan karena ujung cambuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh, maka menangkis dengan lengan pun membuka kesempatan bagi lawan untuk menotok ke arah jalan darah pada bagian lengan dan hal itu pun cukup berbahaya. Maka, satu-satunya jalan bagi Cia Sun hanyalah menggerakkan tangannya dan jari telunjuknya mencuat untuk menyambut ujung cambuk lawan itu.

"Tukkk...!"

Bagai seekor ular hidup saja, begitu bertemu dengan telunjuk kiri Cia Sun, ujung cambuk itu membalik lantas melingkar, dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget karena melalui cambuknya dia dapat merasakan getaran yang amat kuat muncul dari sambutan tusukan jari itu.

Dia tidak tahu bahwa itulah satu di antara ilmu-ilmu yang hebat milik pemuda itu, yang disebut It-sin-ci (Satu Jari Sakti), sejenis ilmu menotok jalar darah yang lihai sekali karena ilmu ini khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kebal, juga untuk menghadapi ilmu sakti Thi-khi I-beng, yaitu tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan.

Nenek itu bertindak mundur dan merasa agak gentar, maklum betapa lihainya pemuda ini dan dia pun bersikap lebih hati-hati. Cambuknya meledak-ledak dan ular-ularnya menjadi semakin ganas menyerbu ke arah Cia Sun. Cia Sun merasa kewalahan apa bila harus menghadapi demikian banyaknya ular, apa lagi banyak di antara ular-ular itu berbisa dan semburan-semburan yang mengandung racun membuat dia merasa muak dan pening.

Sementara itu, sambil mendekati sebuah gubuk reyot yang terdapat di dekat tempat itu, nenek pawang ular tadi terkekeh ketika melihat pemuda itu mulai kewalahan dan dia tetap membunyikan cambuknya yang menjadi komando bagi ular-ular itu.

"Heh-heh-heh, anak-anakku, serang dia, robohkan dia dan gerogoti dagingnya. Ha-ha-ha, daging pendekar memang liat akan tetapi sedap!"

Tiba-tiba muncul seorang gadis yang menunggang seekor kuda cebol. Gadis itu menahan kudanya dan memandang ke depan, tersenyum melihat Cia Sun yang sibuk dikepung dan dikeroyok ular-ular itu. Akan tetapi ketika ia melihat Kiu-bwee Coa-li yang terkekeh sambil membunyikan cambuknya untuk memberi semangat dan komando kepada ular-ularnya, gadis itu menjadi marah.

Gadis itu adalah Ceng Sui Cin yang sudah dapat menyusul Cia Sun. Tadinya dia merasa geli melihat Cia Sun di dalam hutan itu dikeroyok ular, akan tetapi begitu melihat si nenek yang menyeramkan, ia segera mengenalnya. Ayah ibunya telah menceritakan kepadanya tentang nenek ini yang selain lihai juga amat kejam dan jahat.

Sui Cin menggerakkan pinggulnya dan tubuhnya melayang ke atas, tangannya meraih ke arah ranting-ranting pohon. Terdengar suara ranting patah dan ketika dia meloncat turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting yang masih penuh dengan daun hijau.

"Hei, Kiu-bwee Coa-li nenek iblis! Engkau lebih menjijikkan dari pada ular-ularmu!" Sui Cin berseru dan dia pun segera menerjang ke depan, menggerakkan senjatanya yang aneh, yaitu ranting penuh daun itu.

Sebagai puteri suami isteri pendekar sakti yang sejak kecil telah digembleng mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi, Sui Cin tidak pernah membawa senjata. Memang, senjata tak begitu dibutuhkan lagi bagi orang yang sudah memiliki tingkat ilmu silat seperti gadis ini. Kedua kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang sangat ampuh dan juga di mana saja, benda apa saja dapat dipergunakannya sebagai senjata kalau perlu.

Kalau kini dia menggunakan ranting itu sebagai senjata adalah karena dia melihat betapa nenek itu memegang cambuk berekor sembilan, senjata yang lemas dan panjang, maka amat berbahaya kalau dilawan dengan tangan kosong saja dan senjata yang paling tepat untuk menghadapinya adalah sebatang ranting.

"Syuuuuttttt...! Wirrrrrrr...!" Ranting yang mempunyai banyak anak ranting penuh daun itu menyambar dengan dahsyat.

Kiu-bwee Coa-li tentu akan memandang rendah kepada gadis ini kalau saja tadi dia tidak mendengar betapa gadis itu begitu saja mengejeknya dan menyebut namanya. Seorang gadis yang dapat mengenalnya begitu berjumpa, tentu bukan gadis biasa dan karena saat ini memang waktunya bagi para pendekar untuk berkumpul di tempat itu, maka dapatlah diduga bahwa seperti si pemuda lihai itu, gadis ini pun tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka, ketika ranting penuh daun itu menyambar ia pun menggerakkan cambuknya sambil mengerahkan tenaganya.

"Tarrr...! Pyuuurrr...!"

Nenek itu kaget bukan main. Bukan hanya dia dapat merasakan adanya tenaga kuat yang tidak lumrah bagi seorang gadis remaja di dalam ranting itu, juga tangkisannya membuat banyak daun di ranting itu rontok, akan tetapi hebatnya, rontoknya daun itu beterbangan seperti senjata rahasia piauw yang meluncur ke arah muka dan tubuhnya! Tentu saja dia menjadi kerepotan mengelak ke sana-sini sambil menyumpah-nyumpah sebab mendengar gadis itu mentertawakannya.

"Hi-hik, julukanmu dirubah saja menjadi Kiu-bwee Hek-wan (Lutung Hitam Ekor Sembilan), nenek iblis. Kalau engkau menari-nari seperti itu, persis lutung deh!"

Sui Cin maklum bahwa nenek itu lihai sekali. Walau pun mentertawakan dan mengejek, namun dia sama sekali tak berani main-main. Sambil tertawa dia pun telah menerjang lagi dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan dua tangannya karena dia sudah menyimpan rantingnya di bawah lengan. Dengan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang dipelajarinya dari ibunya, dara ini melakukan penekanan.

Kembali Kiu-bwee Coa-li terkejut ketika mengenali ilmu silat yang sangat aneh, indah dan juga ganas ini, mirip ilmu kaum sesat! Tentu saja dia tidak tahu bahwa ibu kandung gadis ini pernah menjadi datuk selatan kaum sesat yang berjulukan Lam-sin (Malaikat Selatan) maka tentu saja ilmu silatnya ganas!

Terjadilah perkelahian yang seru antara Sui Cin dan Kiu-bwee Coa-li dan sesudah nenek itu kini mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya, perlahan-lahan Sui Cin mulai terdesak juga. Akan tetapi gadis ini menggerakkan rantingnya untuk melindungi tubuh dan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan ampuh.

Sementara itu, ketika Cia Sun sedang menghadapi pengeroyokan banyak ular, pemuda ini melihat munculnya Sui Cin. Dia terkejut dan merasa khawatir sekali ketika mengenal gadis yang pernah menyamar sebagai pemuda dan pernah ditolongnya lari dari tahanan itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget, khawatir dan juga heran rasa hatinya ketika dia melihat gadis itu menyerang Kiu-bwee Coa-li dengan beraninya, juga semakin heran bagaimana gadis aneh itu mengenal pula si nenek iblis. Akan tetapi keheranannya memuncak ketika dia melihat betapa gadis itu ternyata lihai bukan main dan dapat mengimbangi kepandaian Kiu-bwee Coa-li! Kalau dia tidak melihat sendiri, hanya mendengar cerita orang saja, tentu dia tidak akan mau percaya.

Ketika ditangkap sebagai seorang gadis jembel yang menyamar pemuda, gadis itu adalah seorang gadis yang lemah biar pun memiliki keberanian amat besar. Buktinya, ditangkap tidak dapat melawan dan ketika ditahan pun tidak mau membebaskan dirinya. Jika bukan dia datang menolong, tentu gadis itu akan celaka.

Akan tetapi bagaimana kini dia tiba-tiba muncul dalam pakaian yang tidak karuan pula, penuh tambalan dan potongannya lucu, membayangkan kemiskinan, akan tetapi memiliki kepandaian yang tinggi sehingga mampu menandingi seorang datuk sesat lihai semacam Kiu-bwee Coa-li?

Tiba-tiba saja wajahnya berubah merah. Dialah yang tolol! Tentu gadis itu berpura-pura ketika menyamar sebagai pria. Pura-pura tolol, pura-pura bodoh tidak pandai silat. Akan tetapi benarkah demikian? Bagaimana kalau yang muncul ini ternyata seorang gadis lain yang memiliki wajah mirip dengan gadis yang pernah ditolongnya itu? Akan tetapi, suara itu sama benar dan bengalnya juga sama ketika gadis itu mengejek Kiu-bwee Coa-li.

Bagaimana pun juga, kemunculan Sui Cin menggembirakan hatinya, apa lagi melihat dara itu kini berkelahi dengan menggunakan ranting. Baru dia seperti diingatkan bahwa untuk menghadapi pengeroyokan ular-ular itu, senjata ranting seperti yang digunakan oleh gadis itulah yang paling tepat.

Dia pun cepat berloncatan, dikejar oleh ular-ular itu dan setelah tiba di bawah pohon, dia meloncat dan mematahkan sebatang ranting panjang. Kemudian mengamuklah Cia Sun! Dengan rantingnya, dia lalu menghajar ular-ular itu dan setiap kali rantingnya menyambar tubuh ular, ular yang kena disabet lantas melingkar-lingkar kesakitan karena sambungan tulangnya patah-patah dan hal ini membuat binatang itu tidak mampu merayap lagi.

Amukan Cia Sun membuat ular-ular itu menjadi gentar, apa lagi karena kini tidak ada lagi komando dari suara cambuk Kiu-bwee Coa-li yang sedang mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatian untuk menghadapi gadis yang lihai itu. Maka ular-ular itu menjadi panik dan akhirnya ketakutan, berlarian meninggalkan bangkai teman-teman mereka dan teman-teman yang melingkar-lingkar terluka tak mampu melarikan diri lagi itu.

Setelah ular-ular itu pergi menjauh, Cia Sun segera membalikkan tubuhnya dan menonton perkelahian antara gadis jembel dan nenek iblis. Dan dia tertegun, malah terbelalak ketika melihat ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu. Tentu saja dia amat mengenal Thai-kek Sin-kun!

Itulah ilmu dasar yang diberikan ayahnya kepadanya dan ilmu ini memang sangat tepat digunakan untuk mempertahankan diri terhadap tekanan lawan yang lebih lihai! Dan gadis itu memainkannya sedemikian indahnya. Begitu asli dan itulah dia Thai-kek Sin-kun yang tulen. Siapakah gadis yang pandai memainkan Thai-kek Sin-kun seindah itu?

Akan tetapi pada saat itu Cia Sun tidak mau memusingkan hal ini. Bagaimana pun juga, dia merasa yakin bahwa tentu ada hubungan dekat antara gadis itu dengan keluarganya, atau setidaknya dengan Cin-ling-pai, maka tanpa banyak bicara lagi dia sudah langsung menyerbu dengan senjata rantingnya.

Kini dua batang ranting yang digerakkan dengan cepat dan kuat mengeroyok Kiu-bwee Coa-li yang langsung terdesak hebat. Baru menghadapi gadis remaja itu saja dia sudah merasa penasaran dan pusing karena sedemikian lamanya belum juga dapat merobohkan dara itu, hanya mampu mendesak saja. Apa lagi kalau pemuda yang lihai ini maju pula. Bisa berbahaya bagi dirinya.

Bagi seorang tokoh sesat, tidak ada rasa malu bagi Kiu-bwee Coa-li. Yang penting dalam perkelahian dia harus menang dan jika keadaan berbahaya, dia tentu akan lari. Maka dia pun mengeluarkan teriakan-teriakan panjang, lantas dari ujung cambuk itu meluncurlah jarum-jarum halus beracun. Sembilan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun dan Sui Cin.

"Awas senjata rahasia beracun!" seru Cia Sun memperingatkan gadis itu.

Akan tetapi Sui Cin tidak perlu diperingatkan. Seorang gadis yang sudah memiliki tingkat kepandaian seperti Sui Cin akan selalu waspada sehingga serangan mendadak itu tentu saja dapat dihindarkannya dengan baik. Rantingnya membentuk gulungan sinar hijau dan jarum-jarum yang menyambar ke arahnya tertangkis, bukan runtuh begitu saja melainkan langsung membalik dan meluncur mengejar pemiliknya, yaitu Kiu-bwee Coa-li yang mulai melarikan diri. Nenek itu dapat menghindar dengan lompatan dan terus melarikan diri.

Sedangkan Cia Sun telah meloncat ke samping menghindarkan diri dari jarum-jarum yang menyambar ke arahnya. Ketika mereka memandang ke depan, ternyata nenek itu sudah lenyap, sudah lari jauh sekali maka mereka berdua pun tidak mengejar.

Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Sui Cin tersenyum dan berkata, "Kita sudah lunas, ya? Engkau pernah menolongku satu kali dan kini aku pun sudah membantu satu kali. Jadi satu-satu, lunas, bukan?"

Cia Sun semakin tertarik. Jantungnya terasa laksana disedot dan dia memandang wajah yang lucu itu dengan senyum kagum. Biasanya Cia Sun berwatak pendiam, serius, tidak suka berkelakar, dan sedikit bicara. Akan tetapi, berhadapan dengan gadis ini, dia merasa gembira sekali dan dia pun menanggapi.

"Nona, ketika aku menolongmu, ternyata engkau hanya pura-pura bodoh saja sehingga hal itu bukan merupakan pertolongan. Akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak muncul dan membantuku menghadapi nenek iblis itu, tentu diriku akan terancam bahaya besar. Maka sudah sepatutnya apa bila aku menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu tadi."

"Hemmm... siapa bicara tentang budi pertolongan? Engkau kebetulan melihat aku dalam kesukaran lantas menolong tanpa sengaja, dan sekarang aku pun tanpa sengaja melihat engkau dikeroyok ular kemudian turun tangan membantu. Tidak ada budi. Aku tak pernah hutang budi atau melepas budi."

Ucapan seorang pendekar sejati, pikir Cia Sun yang menjadi makin kagum. Begitu kagum hatinya sampai dia tidak mampu berbicara lagi, hanya memandang kepada wajah dara itu bagaikan orang terpesona. Melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan bengong seperti orang bingung, Sui Cin pun tersenyum geli.

"Heiii, apa yang kau pandang?" tanyanya tiba-tiba sehingga mengejutkan Cia Sun.

"Ehh, tidak apa-apa... aku... hanya heran..."

"Mengapa heran? Apa rupaku tidak lumrah manusia?"

"Bukan begitu, tetapi tadi aku melihat nona memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bagai mana nona dapat mempelajari ilmu itu?"

"Hemm, dan engkau, bagaimana engkau dapat mengenal Ilmu Thai-kek Sin-kun yang tadi kumainkan?" Suara itu lebih heran dan lebih curiga.

"Karena aku heran sekali... ilmu itu adalah milik keturunan Cin-ling-pai..."

"Kalau begitu..."

"Siapakah nona yang pandai ilmu silat keluarga kami?"

"Dan siapa pula engkau ini yang mengaku-aku keluarga kami?"

"Ehhh... jadi nona memang memiliki hubungan dengan Cin-ling-pai...? Siapakah namamu, nona?"

"Namamu dulu."

"Baiklah, namaku Sun, aku she Cia..."

"Haiii...! Engkau Cia Sun dari Lembah Naga? Wah, wah...! Aku... aku she Ceng..."

"Astaga... kau... kau ini Sui Cin anak yang bengal dulu itu?"

Sui Cin cemberut dan menghardik, "Siapa yang bengal?"

Cia Sun tersenyum lebar dan menjura. "Maaf, maaf... jika membayangkan engkau ketika masih kecil, sukarlah dipercaya engkau sekarang sudah menjadi begini... besar dan lihai!"

"Memangnya aku disuruh terus menjadi anak kecil selamanya? Dan jangan katakan aku bengal!"

"Ha-ha-ha, siauw-moi, lupakah engkau kepada dahiku yang dulu membenjol sebesar telur ayam karena kau sambit dengan batu?"

Sui Cin tertawa sambil menutupi mulutnya walau pun suara ketawanya tetap bebas lepas, lalu disambungnya dengan ucapan, "Wah, tentu saja aku ingat. Ayah ibuku memarahiku dan hampir aku kena digebuk ayah! Gara-gara engkau. Kenapa dahimu membenjol, baru kena batu begitu saja. Dan sekarang, Sun-ko, jangan kau melapor lagi kepada ayah ibuku kalau bertemu dengan mereka, ya?"

"Melapor bahwa engkau menyamar sebagai jembel, bahkan sebagai pemuda jembel yang mencuri bakpao dan membiarkan dirimu ditangkap dan ditahan? Ahh, tidak, Cin-moi. Kita bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sungguh telah menjadi seorang gadis yang..."

"...bengal...?"

"Tidak! Tidak...! Engkau telah besar dan kepandaianmu sungguh hebat, bahkan Kiu-bwee Coa-li sampai kewalahan menandingimu. Thai-kek Sin-kun tadi kau mainkan sangat indah dan hebat."

"Sudah, jangan terlalu memuji. Bisa membengkak dan pecah kepala ini nanti. Kalau tadi tidak kau bantu, apa kau kira aku dapat menang menghadapi nenek ular itu? Benar-benar mengherankan sekali, apakah benar-benar Cap-sha-kui sudah keluar dari sarangnya dan mengapa mereka bahkan datang ke tempat ini di mana para pendekar akan mengadakan pertemuan?"

"Bukankah baru seorang saja Kiu-bwee Coa-li tadi yang muncul?"

"Sudah tiga bersama nenek itu! Sebelumnya aku sudah bertemu dengan dua orang lain di antara mereka, di kuil Dewi Laut, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo."

Cia Sun mengangguk-angguk. "Ahh, kalau begitu agaknya benar mereka itu sudah keluar dari sarang. Bahkan baik untuk memperingatkan para sahabat dalam pertemuan nanti."

"Kalau begitu engkau hendak pergi menghadiri pertemuan para pendekar itu, Sun-ko?"

Sikap dan suara Sui Cin demikian akrab, seolah-olah selama ini Cia Sun selalu bergaul dengannya. Padahal, selama hidupnya baru satu kali dia berjumpa dengan Cia Sun, yaitu pada saat dia diajak ayah bundanya mengunjungi Lembah Naga, kira-kira sembilan tahun yang lalu.

Ketika itu ia baru berusia enam tahun dan Cia Sun berusia tiga belas tahun. Ia bersama orang tuanya tinggal setengah bulan di Lembah Naga dan setelah mereka pulang, ia tidak pernah berjumpa dengan Cia Sun lagi. Akan tetapi, karena memang gadis ini mempunyai pembawaan riang dan ramah jenaka, maka dia mudah akrab dengan siapa saja. Cia Sun sendiri yang biasanya pendiam dan serius, juga agak malu apa bila berdekatan dengan wanita, sekali ini kehilangan rasa canggungnya berkat sikap Sui Cin yang ramah itu.

"Benar, dan engkau sendiri, Cin-moi?"

“Aku pun hendak berkunjung ke sana."

"Mewakili orang tuamu?"

"Tidak. Sudah setengah tahun aku meninggalkan Pulau Teratai Merah. Hanya kebetulan di dalam perjalanan aku mendengar mengenai rencana pertemuan itu maka aku sengaja hendak menonton. Dan engkau?"

"Aku mewakili Pek-liong-pang, mewakili ayah."

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak enak jika kemalaman di dalam hutan. Apa lagi bau bangkai ular-ular itu amat busuk."

"Baiklah, Cin-moi. Kau naiki saja kudamu, biar aku jalan kaki. Kita dapat bercakap-cakap di perjalanan."

Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sui Cin menunggang kudanya, sementara Cia Sun berjalan di sebelahnya. Malam sudah tiba dan cuaca mulai gelap ketika mereka keluar dari dalam hutan. Karena tidak nampak dusun di dekat sana, keduanya terpaksa melewatkan malam di tepi hutan.

Mereka membuat api unggun lalu Sui Cin mengeluarkan bekal roti dan daging keringnya, ada pun Cia Sun mengeluarkan bekal araknya yang masih seguci penuh. Setelah makan sekedarnya untuk menghilangkan rasa lapar dan haus, keduanya duduk menghadapi api unggun dan melanjutkan percakapan mereka.

"Sun-ko, aku telah mendengar banyak sekali mengenai orang tuamu, dan terutama sekali mengenai ayahmu. Ayahku tiada bosannya mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar terbesar di dunia ini dan ayahmulah satu-satunya orang yang amat dihormati ayahku."

Cia Sun menghela napas. "Di antara ayah kita berdua memang terjalin tali persaudaraan yang amat kuat, melebihi saudara sekandung. Ayahku pun tiada bosannya membicarakan ayahmu dan sering kali dia mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar yang paling lihai dan satu-satunya orang yang amat disayang oleh ayahku."

"Kalau begitu, orang tua kita memiliki pertalian persaudaraan yang amat erat, dan dengan sendirinya kita pun dapat dibilang masih keluarga sendiri, bukan?"

"Begitulah, siauw-moi."

"Ihh, jangan sebuat aku siauw-moi (adik kecil), aku tidak kecil lagi, Sun-ko. Usiaku sudah lima belas tahun!"

"Lima belas tahun masih kecil namanya."

"Siapa bilang? Bagi seorang wanita, usia itu sudah berarti dewasa."

"Baiklah, maafkan aku. Aku akan menyebutmu Cin-moi saja."

"Maaf-maafan segala, engkau terlalu sungkan, Sun-ko. Jika aku tidak salah ingat, engkau lebih tua lima tahun dari pada aku."

"Tujuh tahun. Usiaku sekarang sudah dua puluh dua tahun."

"Engkau tentu sudah menikah..."

Perkataan ini membuat Cia Sun terkejut dan tertegun sejenak tak dapat menjawab karena bagi seorang pendiam dan sopan serta serius seperti dia, tak pernah terbayangkan akan menerima pertanyaan seperti itu dari seorang gadis yang pernah membuat dia tak mampu tidur nyenyak semalam suntuk.

Akan tetapi, ketika dia memandang sehingga mereka bertemu pandang, dia tidak melihat sesuatu di dalam sinar mata gadis itu selain kejujuran dan pertanyaan yang terbuka tanpa perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Maka dia pun menggeleng.

"Kenapa engkau menyangka demikian?"

"Karena usiamu sudah dua puluh dua tahun."

"Siapa yang mau menjadi isteri orang seperti aku ini, Cin-moi?"

Sui Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu, melihat betapa wajah itu tiba-tiba saja dibayangi kemurungan. Wajah yang gagah, biar pun tidak terlampau tampan, akan tetapi wajah itu berwibawa, gagah dan membayangkan kejujuran. Wajah seorang pendekar yang perkasa.

Akan tetapi, pada saat itu kegagahannya tertutup awan mendung sehingga menggelikan hatinya dan tiba-tiba Sui Cin tertawa, sekali ini lupa menutupi mulutnya hingga nampaklah deretan gigi putih dan rongga mulut yang merah sekali seperti dibakar warna api unggun, dan ujung lidahnya nampak sebentar. Mulut itu tertutup kembali dan Sui Cin memandang kepada api unggun.

Cia Sun kebingungan, merasa ditertawakan, mencari-cari kesalahan apa yang terkandung di dalam ucapannya, ada kelucuan apa sehingga gadis itu tertawa. Karena tidak berhasil menemukan, dia pun bertanya, "Cin-moi, kenapa engkau tertawa?"

Sui Cin masih kelihatan termenung sambil menatap api unggun, kemudian bicara, seperti berbicara kepada api unggun, suaranya lirih, satu-satu dan jelas, "Dia seorang pendekar perkasa berkepandaian tinggi, putera ketua Pek-liong-pang penghuni Lembah Naga yang sangat terkenal, disegani kawan ditakuti lawan dan dia bertanya siapa yang mau menjadi isteri seorang semacam dia! Padahal, gadis-gadis dari semua penjuru akan berbondong-bondong datang berlomba untuk dapat menjadi jodohnya."

Wajah pendekar itu berubah merah. "Ahh, Cin-moi, harap jangan memperolok..."

"Siapa berolok-olok? Sun-ko, engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, hanya ada yang tidak menyenangkan hatiku... yaitu... hemmm... engkau terlalu sopan, terlalu lemah dan halus, engkau terlalu canggung, hemm... sudahlah, aku mau tidur," berkata demikian, dara itu lantas merebahkan diri di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu di bawah pohon bertilamkan rumput kering.

Ia rebah miring dan tidak bergerak lagi. Tak lama kemudian pernapasannya menunjukkan bahwa ia memang sudah pulas.

********************

Malam itu kembali Cia Sun tidak dapat tidur. Kata-kata dan sikap Sui Cin yang membuat dia duduk bengong menghadapi api unggun dengan alis berkerut. Juga dia harus berjaga, siapa tahu nenek pawang ular itu muncul lagi. Sesudah melakukan perjalanan bersama Sui Cin, dia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan dara ini.

Dia benar-benar bingung menghadapi sikap Sui Cin. Kenapa hatinya tidak senang karena dia... hemmm, dianggap sopan, lemah, halus dan canggung? Apa maksudnya? Dia tidak marah disebut demikian, hanya dia ingin sekali tahu mengapa hati gadis itu menjadi tidak senang.

Akan tetapi dia tidak berani bertanya, takut kalau-kalau pertanyaannya atau desakannya akan membuat Sui Cin menjadi makin marah. Padahal dia sama sekali tak menghendaki gadis itu marah-marah. Sama sekali tidak, bahkan sebaliknya dia ingin membuat gadis itu bergembira. Akan tetapi bagaimana?

Ada sesuatu di dalam diri gadis ini yang membuatnya tertarik untuk menyelidikinya, untuk mengenalnya lebih baik. Dan sesudah ternyata bahwa gadis yang tadinya disangka gadis jembel aneh itu adalah puteri Pendekar Sadis, pamannya sendiri, kesan dalam batinnya menjadi semakin mendalam!

Ketika pada keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan, di sepanjang perjalanan Cia Sun dengan hati-hati sekali menjaga diri supaya jangan sampai membuat adik sepupu itu menjadi tidak senang hatinya. Hubungan antara dia dan Sui Cin memang dekat sekali. Dilihat dari sumber perguruan silat, mereka masih terhitung saudara seperguruan. Diingat akan hubungan antara ayah mereka yang mengangkat saudara, mereka masih terhitung saudara sepupu angkat.

Akan tetapi Cia Sun menemui kesulitan untuk dapat menyesuaikan diri dengan gadis itu, atau mengikuti gerak-geriknya. Ibarat seekor burung, Sui Cin adalah seekor burung walet yang amat gesit dan tidak pernah mau diam. Ibarat bunga, dia mirip bunga hutan yang liar dan kuat, tidak takut akan badai dan panas.

Wataknya lincah gembira, kadang kala seperti kanak-kanak, kadang-kadang telah matang dewasa, tetapi ada kalanya bengal suka menggoda orang. Pendeknya, amat berlawanan dengan watak Cia Sun yang pendiam, serius, dan tidak banyak cakap.

Namun, suatu keanehan sudah terjadi di dalam batin pemuda itu. Biar pun watak mereka bertolak belakang, dia merasa sangat tertarik. Dan kalau biasanya dia tidak suka melihat seseorang dengan sikap seperti Sui Cin, akan tetapi pada diri gadis itu, baginya nampak demikian memikat dan menyenangkan!

Asmara memang merupakan suatu kekuasaan yang amat jahil dan suka menggoda hati manusia! Demikian kuatnya asmara sehingga tidak ada seorang pun manusia yang kebal atau mampu melawan kekuasaannya. Tanpa pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah melewati masa remaja, asmara mulai mengintai dan mencari korban di antara manusia. Dan sekali orang terkena panah asmara, maka dia akan menjadi seperti linglung dan terjadilah perubahan besar-besaran dalam dirinya.

Hebatnya, asmara dapat mendatangkan sorga pada seseorang hingga batinnya merasa gembira, segalanya kelihatan indah, hidup penuh arti yang menyenangkan. Di lain saat, asmara dapat meruntuhkan semuanya itu dan menyulap sorga berubah menjadi neraka, penuh derita batin, penuh kekecewaan, penuh sengsara. Yang lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil!


Dan Cia Sun, untuk yang pertama kali selama hidupnya, terkena panah asmara tanpa dia sendiri menyadarinya! Dia jatuh hati kepada Sui Cin. Namun, karena sejak kecil pemuda ini digembleng oleh kedua orang tuanya menjadi seorang pendekar yang budiman, sopan dan memegang teguh peraturan, sesuai dengan sifat seorang kuncu (budiman) seperti yang disebutkan oleh para guru besar dan para cerdik pandai, maka dia pun diam saja dan hanya menyimpan perasaan itu di lubuk hatinya.

Pada suatu siang tibalah mereka di kaki bukit itu. Puncak Bukit Perahu telah nampak dari situ. Bukit itu memang berbentuk sebuah perahu yang terbalik, tertelungkup. Oleh karena bentuknya itulah maka dinamakan Puncak Bukit Perahu. Puncaknya tidak runcing, akan tetapi seperti dasar perahu yang terbalik. Dari jauh nampak hutan-hutan yang amat subur karena bukit itu terletak di daerah lembah Sungai Huang-ho yang terkenal subur.

Selagi keduanya melanjutkan perjalanan, Sui Cin di atas punggung kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah kirinya, tiba-tiba gadis itu menunjuk ke depan. "Ehh, siapa itu tidur di tepi jalan?"

Mereka berdua lalu mempercepat jalan ke depan dan Sui Cin yang melihat bahwa yang menggeletak di tepi jalan itu adalah seorang wanita, segera meloncat turun dan sebentar saja dia sudah berlutut di dekat mayat itu.

Mayat seorang gadis yang usianya sebaya dengannya, mayat yang setengah telanjang, mayat yang diperkosa dan dibunuh secara kejam. Kejam karena tubuh itu tidak terluka, akan tetapi setelah diperiksa, di pelipisnya ada tanda jari hitam. Tahulah Sui Cin bahwa gadis ini dibunuh oleh orang yang mempunyai ilmu pukulan ganas dan kejam sekali, yang memiliki jari tangan yang mampu membunuh orang hanya dengan satu kali tusukan atau bahkan pijatan saja seperti yang dialami oleh gadis yang sudah mati itu.

Dengan muka merah karena marah sekali, Sui Cin menoleh ke arah Cia Sun dan melihat betapa pemuda itu telah berdiri dekat akan tetapi pemuda itu membuang muka, tentu saja karena melihat mayat setengah telanjang itu. Sui Cin cepat menutupi bagian-bagian yang biasanya tertutup dengan sisa pakaian yang masih ada sambil menghela napas panjang untuk menekan perasaannya yang dibakar api kemarahan.

"Kenapa dia?" tanya Cia Sun mendengar helaan napas gadis itu.

"Diperkosa kemudian dibunuh. Lihatlah sendiri betapa kejamnya pembunuh itu. Tak perlu sungkan, tubuhnya sudah kututupi."

Sebenarnya, andai kata di situ tidak ada Sui Cin, tentu Cia Sun tak begitu sungkan untuk memeriksa karena bagaimana pun juga, yang terbujur di atas tanah itu adalah tubuh yang sudah tak bernyawa lagi. Akan tetapi, dengan hadirnya gadis itu dia merasa tidak sampai hati untuk memandang ketika dilihatnya tubuh gadis itu terbuka telanjang.

Mendengar ucapan Sui Cin, Cia Sun berlutut dan atas petunjuk Sui Cin, dengan mudah dia menemukan sebab kematian. Totokan jari tangan yang amat ganas pada pelipis gadis itu sudah merusakkan otak dan menghentikan aliran darah, mendatangkan kematian yang amat menyiksa karena gadis itu mati perlahan-lahan sesudah mengalami rasa nyeri yang hebat tanpa dapat berkutik!

"Bedebah! Seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!" kata Cia Sun.

"Dan gadis ini pun bukan seorang gadis biasa, namun seorang yang memiliki kepandaian silat. Lihat, di pinggangnya masih terdapat kantung piauw yang belum habis dia gunakan, dan pada lengan kirinya ada cacat goresan pedang yang sudah lama."

“Ahh, ini berarti bahwa jai-hwa-cat itu adalah satu di antara golongan hitam yang sengaja hendak mengacau pertemuan para pendekar, seperti juga tiga orang iblis dari Cap-sha-kui yang telah kau jumpai itu, Cin-moi."

"Kurasa begitu. Kasihan gadis yang masih begini muda tapi harus tewas dalam keadaan begini menyedihkan. Kenapa dia melakukan perjalanan seorang diri ke tempat berbahaya ini?"

"Ingat, Cin-moi, bukankah engkau pun seorang gadis muda yang melakukan perjalanan sendirian saja sebelum bertemu denganku? Kurasa ia pun mengandalkan kepandaiannya maka berani melakukan perjalanan sendiri, sungguh kasihan sekali."

"Atau dia terpisah dari rombongannya, siapa tahu..."

"Mungkin juga. Mari kita cepat mengubur mayatnya."

Dua orang pendekar muda itu segera menggali lubang dan mengubur jenazah itu secara sederhana sekali, lantas memberi tanda di atas kuburan itu dengan sebongkah batu yang berbentuk tinggi lurus. Setelah selesai mereka maju lagi dan mulai mendaki bukit.

Ketika memasuki hutan pertama yang kecil, mereka dikejutkan oleh penemuan kedua. Sekali ini mereka melihat tiga orang laki-laki muda yang sudah menjadi mayat dan tubuh mereka berserakan di tepi jalan. Seperti mayat gadis pertama tadi, jenazah mereka pun tidak terdapat cacat, tidak ada luka, hanya ada tanda satu jari hitam saja di bagian-bagian yang mematikan. Seorang di tengkuk, seorang lagi di ulu hati dan seorang lagi di kepala. Jelaslah bahwa mereka itu terbunuh hanya dengan satu kali serangan sebuah jari tangan saja yang meninggalkan bekas hitam!

"Jahanam, aku harus membasmi Si Jari Hitam yang kejam ini!" Cia Sun mengepal tinju. Di dekat ketiga mayat itu dia menemukan tiga batang pedang. Agaknya tentu senjata mereka yang terlepas dari tangan.

"Tentu ada hubungannya dengan kematian gadis yang diperkosa," kata Sui Cin. "Engkau tadi menduga benar, Sun-ko. Gadis itu tadi tentu serombongan dengan mereka ini."

Kembali mereka menggali lubang, kini cukup besar untuk mengubur ketiga buah mayat itu sekaligus. Mereka berkeringat juga setelah selesai meletakkan batu besar di atas makam baru ini. Matahari telah condong ke barat ketika mereka melanjutkan perjalanan dengan hati terasa semakin panas terhadap pelaku pembunuhan-pembunuban kejam itu.

Menjelang senja mereka sampai di lereng bukit itu dan tiba-tiba mereka melihat dua orang lelaki sedang berkelahi dengan serunya. Keduanya cepat-cepat menghampiri dan Sui Cin segera meloncat turun dari atas kudanya. Bersama Cia Sun ia memperhatikan dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.

Orang pertama yang melakukan serangan membabi-buta adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar, bercambang bauk dan jelas memiliki potongan penjahat yang serba kasar dan sudah biasa menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Orang ini menggunakan sebatang golok besar yang tebal dan berat untuk menyerang lawan. Goloknya membentuk gulungan sinar yang berkilauan akibat tertimpa cahaya matahari senja yang kemerahan.

Orang kedua yang menjadi lawannya amat menarik perhatian Sui Cin dan Cia Sun. Orang itu masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan lincah gembira karena ketika menghadapi serangan bertubi-tubi dari lawannya itu dia masih bisa tersenyum-senyum!

Pakaiannya amat rapi dan malah agak mewah dan indah, pantas sekali dengan tubuhnya yang tegap serta wajahnya yang tampan. Benar-benar potongan seorang pendekar tulen, pendekar yang halus dan agaknya terpelajar, menilik dari pakaian dan gerak-geriknya.

Pemuda ini bertangan kosong dan pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata, hanya di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian. Rambutnya yang hitam lebat itu digelung ke atas, kemudian kepalanya dilindungi oleh sebuah caping bulat yang amat lebar. Begitu seenaknya dia menghadapi lawan sehingga topi lebar itu pun tidak dilepasnya dan caping itu mengangguk-angguk dan melambai-lambai mengikuti gerakan-gerakannya.

Sui Cin dan Cia Sun memperhatikan gerakan pemuda itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Sungguh pun sambaran golok itu cukup dahsyat, namun tubuh pemuda itu seperti kapas saja yang sukar disentuh golok, seakan-akan sambaran golok itu cukup membuat tubuhnya terdorong menghindar sehingga sebelum goloknya tiba, tubuhnya sudah lebih dulu menyingkir.

Tentu saja Sui Cin dan Cia Sun kagum dan mengerti bahwa pemuda bercaping lebar itu merupakan seorang ahli ginkang yang hebat. Sui Cin sendiri telah mewarisi ginkang yang hebat dari ibu kandungnya, akan tetapi melihat gerakan pemuda bercaping itu, dia pun merasa kagum dan diam-diam ia ingin sekali mencoba ginkang-nya melawan pemuda itu! Karena mereka tidak tahu urusannya, maka tentu saja mereka hanya menonton dan tidak berani sembarangan turun tangan.

Sementara itu, pemuda bercaping agaknya tidak pernah melihat kedatangan Sui Cin dan Cia Sun, karena dia terus didesak dan diserang secara bertubi-tubi oleh lawannya. Tetapi semua serangan mampu dihindarkannya dengan baik dan tiba-tiba dia membuat gerakan cepat sekali dengan kakinya.

"Hyaaat! Robohlah!"

Dan bagaikan mentaati perintah pemuda bercaping itu, tiba-tiba saja lawannya itu roboh terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena tendangan si pemuda sudah membuat sambungan lutut kanannya terlepas.

Tendangan yang hebat tadi dapat dilihat jelas oleh Cia Sun dan Sui Cin sehingga mereka kembali merasa kagum. Itu adalah semacam ilmu tendangan yang amat berbahaya, pikir mereka. Kini pemuda itu melangkah maju menghampiri.

Tiba-tiba Sui Cin hampir menjerit melihat betapa laki-laki tinggi besar yang sudah roboh itu secara mendadak menggerakkan goloknya membabat ke arah kaki, lantas serangan ini dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut. Sungguh merupakan serangan amat berbahaya dan dilakukan dengan mendadak selagi pemuda itu menghampirinya dan sama sekali tak menduganya.

Tetapi Sui Cin dan Cia Sun kembali terkejut kagum melihat betapa mudahnya pemuda itu menghadapi serangan yang cukup berbahaya itu. Ketika golok membabat kaki, tubuhnya meloncat ke atas dan ketika golok itu menyambar ke arah perutnya, enak saja tubuhnya miring dan dari samping, tangannya bergerak ke arah pundak kanan lawan yang berada dalam keadaan terbuka.

"Krekkk!"

Golok terlepas jatuh ke dekat tubuh orang tinggi besar itu dan lengan kanannya terkulai karena tulang pundaknya sudah patah. Si tinggi besar memandang beringas, akan tetapi agaknya dia pun maklum bahwa kini dia menghadapi lawan yang lebih kuat maka hanya menundukkan mukanya.

"Hemm, penjahat busuk dan hina! Engkau masih tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa dan membunuh wanita itu?"

"Aku... aku mengaku, tapi..."

"Hemm, tidak ada tapi lagi. Setelah engkau mengaku menjadi pemerkosa dan pembunuh, sekarang boleh kau pilih, ingin menamatkan riwayat hidupmu sendiri ataukah engkau ingin aku membantumu dan membiarkan engkau mati perlahan-lahan dengan menderita? Nah, itu golokmu masih di situ dan engkau harus berterima kasih kepadaku yang membiarkan engkau masih dapat memilih." Pemuda itu tersenyum di bawah capingnya.

Dari jauh, yang nampak oleh Cia Sun hanya senyum itu saja dan dia merasa tidak suka dengan senyum ini. Senyum ini membayangkan kekejaman biar pun hanya sekilas saja.

Si tinggi besar menarik napas panjang. "Aku sudah kalah, siapa takut mati?" Dan tangan kirinya mengambil goloknya sendiri lalu dengan gerakan yang kuat, golok itu digerakkan menyambar leher sendiri.

Cia Sun dan Sui Cin terkejut sekali, hendak mencegah namun terlambat. Darah muncrat-muncrat dan orang tinggi besar yang tadinya duduk itu kini terjengkang dengan leher yang terkuak lebar hampir putus.

Pemuda bercaping lebar itu masih berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, mengangguk-angguk melihat bekas lawannya tewas. Lalu dengan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Sui Cin dan Cia Sun. Wajahnya yang putih halus itu berseri-seri dan mulutnya tersenyum manis dan ramah sekali. Bahkan dia cepat menjura dengan sikap hormat kepada Sui Cin dan Cia Sun yang tentu saja segera membalasnya.

"Ahh, kiranya ada dua orang gagah perkasa yang ikut menyaksikan tewasnya jai-hwa-cat yang kejam ini. Saya dapat menduga bahwa ji-wi (anda berdua) tentu hendak menghadiri pertemuan para pendekar seperti saya juga, bukan?"

Ucapan ini makin meyakinkan hati Sui Cin bahwa pemuda tampan dan perkasa ini adalah seorang pendekar, maka ia pun cepat balas menjura dan memuji, "Caramu memaksa dia membunuh diri tadi sungguh cerdik sekali!"

"Begitukah, nona? Sebenarnya orang macam dia layak mampus, akan tetapi aku selalu merasa tidak tega untuk membunuh orang, betapa pun jahatnya. Kecuali kalau terpaksa sekali. Kalau bisa, aku lebih senang membiarkan dia membunuh diri sendiri."

"Maaf, saudara tadi mengatakan bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat. Apakah telah ada buktinya dia memperkosa wanita dan membunuh orang?" tiba-tiba Cia Sun bertanya dan matanya memandang penuh selidik.

Pemuda bercaping itu memandang kepadanya hingga sejenak dua orang muda itu saling pandang dengan tajam. Akan tetapi, pemuda bercaping itu lalu tertawa, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, mendatangkan rasa suka di hati Sui Cin. Selain gagah juga jujur dan gembira, pemuda ini tentu lebih menyenangkan sebagai sahabat seperjalanan dari pada Cia Sun yang pendiam sekali itu.

"Ha-ha-ha, saudara berpakaian putih sederhana, pantas dijuluki Pek-i Taihiap (Pendekar Besar Baju Putih), dan pertanyaanmu tadi menunjukkan bahwa engkau adalah seorang yang sangat teliti dan bijaksana. Memang, sebelum kita bersahabat, seyogianyalah kalau kalian berdua lebih dulu mengenal orang macam apa aku yang hendak dijadikan kenalan, bukan?" Orang itu tersenyum dan melirik ke arah Sui Cin yang juga tersenyum karena dia menganggap bahwa orang ini pandai bicara pandai pula membawa diri. "Namaku Thian Bu, she Sim. Sim Thian Bu, ya, itu nama yang mudah diingat, bukan? Aku tidak datang dari satu golongan atau partai persilatan tertentu, hidupku sendirian dan suka merantau di dunia yang luas. Karena sejak kecil aku sudah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, maka sesudah mendengar akan diadakannya pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu, aku segera bermaksud menghadirinya untuk berkenalan dengan para pendekar dan meluaskan pengalaman. Ketika melewati hutan di bawah, aku melihat mayat seorang wanita diperkosa. Aku lalu mengejar ke atas dan melihat tiga orang pendekar mengeroyok penjahat ini. Sayang aku terlambat sehingga tiga orang pendekar itu telah roboh. Aku lalu mengejar lagi dan akhirnya berhasil menyusulnya di tempat ini."

Mendengar cerita itu, Sui Cin tersenyum dan memuji, "Sungguh engkau dapat bergerak cepat sekali hingga berhasil merobohkan penjahat keji itu, saudara Sim. Kami pun sedang mencari-carinya dan agaknya akan sukarlah mengetahui siapa pelaku kejahatan itu kalau dia dapat meloloskan diri."

"Nona terlalu memuji." Sim Thian Bu tersenyum dan menjura. "Setelah aku menceritakan semua tentang diriku, bolehkah aku mengenal nama ji-wi yang mulia?"

Sui Cin melihat betapa Cia Sun diam saja dan hanya memandang tajam kepada pemuda tampan itu, maka dia merasa tidak enak jika tidak menjawab. "Namaku Ceng Sui Cin dan ini adalah kakak misanku bernama Cia Sun."

Mendengar nama kedua orang muda itu, Sim Thian Bu nampak tercengang, akan tetapi hanya sebentar saja dan hanya Cia Sun yang melihatnya karena memang semenjak tadi dia terus memperhatikan orang itu.

"Di dalam dunia persilatan ada dua orang locianpwe yang memiliki she Ceng dan Cia yang paling terkenal, yaitu Ceng-locianpwe yang berjuluk Pendekar Sadis serta Cia-locianpwe sebagai ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga..."

"Mereka adalah ayah-ayah kami." Baru sekarang ini Cia Sun berkata, memotong ucapan pemuda she Sim itu.

"Ahh, ternyata ji-wi adalah putera dan puteri dua orang locianpwe yang sangat terkenal. Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat. Maaf, aku tak berani mengganggu lebih lama lagi. Sampai jumpa di tempat pertemuan!" Sim Thian Bu menjura dengan sikap hormat, kemudian dia menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dari tempat itu, menyelinap di antara pepohonan. Gerakannya memang cepat sekali dan agaknya dia memang sengaja memamerkan ilmu ginkang-nya sehingga mau tidak mau, dua orang pendekar muda itu pun merasa kagum.

"Dia lihai, sayang kita tidak dapat berkenalan lebih baik dan tahu siapa dia sebetulnya," kata Sui Cin.

Akan tetapi Cia Sun tidak memberi komentar dan pemuda ini segera menghampiri mayat penjahat tinggi besar tadi, memandang sejenak lalu mulal menggali tanah.

"Apa yang kau lakukan, Sun-ko?"

"Mengubur jenazah ini," jawabnya singkat.

"Wah, kita mengubur lagi?"

"Mayat-mayat yang tadi pun kita kubur."

"Mereka adalah pendekar-pendekar, sedangkan yang ini adalah penjahat. Jika kita harus mengubur setiap mayat termasuk mayat penjahat juga, kita bisa menjadi tukang pengubur jenazah!"

"Cin-moi, apa bedanya? Baik buruk, pandai bodoh, kaya miskin, mulia hina, kalau sudah menjadi jenazah begini apa bedanya?" Cia Sun bekerja terus.

Sui Cin mengangkat pundak kemudian membantu pekerjaan itu tanpa banyak cakap lagi. Mereka bekerja keras, maka sebentar saja mereka sudah mengubur jenazah itu. Sambil membersihkan kedua tangannya, Sui Cin mengomel kepada gundukan tanah kuburan itu,

"Hemm, jai-hwa-cat, entah kebaikan apa yang telah kau lakukan sewaktu hidupmu hingga ketika mati engkau mendapat kehormatan dikubur oleh kami?"

"Cin-moi, aku masih belum percaya bahwa orang inilah yang membunuh dan memperkosa gadis yang kita kubur itu. Juga belum tentu dia yang membunuh tiga orang itu."

"Hemm, kenapa kau berkata demikian, Sun-ko? Bukankah sudah jelas..."

"Sama sekali belum jelas! Cin-moi, ingatkah engkau bagaimana matinya keempat orang pendekar muda itu? Mereka semua mati karena pukulan atau totokan jari tangan yang amat dahsyat. Akan tetapi orang yang kita kubur ini, dia berkelahi mempergunakan golok. Kenapa dia tidak mempergunakan jarinya yang lihai, seperti ketika dia membunuh empat orang itu?"

Sui Cin mengerutkan alisnya, terkejut karena baru sekarang dia teringat akan hal itu dan otaknya yang cerdik itu langsung bekerja. "Memang aneh..." katanya, "akan tetapi, kita harus mengakui bahwa permainan goloknya hebat sehingga bukan tak mungkin kalau dia menguasai pula ilmu totok yang sangat jahat itu. Mungkin saja, karena pemuda she Sim itu memang lihai dan lebih pandai dari padanya, maka dia tidak lagi mengandalkan ilmu totoknya dan menggunakan golok."

Pemuda itu menggelengkan kepala. "Meragukan sekali. Biar pun permainan goloknya tadi memang cukup lihai, akan tetapi kurasa tingkatnya belum mencapai tingkat Si Jari Hitam. Penjahat itu, kalau memang penjahat, adalah penjahat yang kasar dan tingkatnya belum tinggi."

"Akan tetapi, Sun-ko, bukankah dia sendiri sudah mengaku bahwa dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan? Kita berdua mendengar sendiri pengakuannya tadi sebelum dia membunuh diri."

"Itulah yang amat membingungkan hatiku, Cin-moi. Akan tetapi, walau pun dia mengaku memperkosa dan membunuh, dia tidak pernah mengatakan siapa yang diperkosanya dan dibunuhnya itu. Apakah gadis yang kita temui dan tiga orang pendekar muda itu? Ataukah orang lain yang dia maksudkan? Sayang orang she Sim itu tergesa-gesa mendesaknya membunuh diri sehingga aku tidak sempat mencegah untuk menanyainya secara teliti."

"Kini aku pun menjadi ragu, Sun-ko. Andai kata bukan dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan atas diri gadis dan tiga orang pemuda itu berarti..."

"Berarti bahwa seorang pemerkosa dan pembunuh yang amat lihai masih berkeliaran dan mengancam keselamatan banyak orang, terutama kaum pendekar."

Mereka melanjutkan perjalanan mendaki lereng bukit, tetapi Sui Cin mengomel, "Sun-ko, kenapa engkau memperkenalkan aku sebagai puteri Pendekar Sadis?"

"Ehh, apa salahnya karena memang kenyataannya begitu?"

"Aku tidak suka! Aku ingin hidup bebas, tidak mau membonceng nama besar ayahku. Kau lihat, aku suka menyamar, berarti aku hendak menyembunyikan keadaan diriku sebagai puteri Pendekar Sadis."

"Mengapa, Cin-moi? Seharusnya engkau merasa bangga mempunyai ayah seperti paman Ceng Thian Sin."

"Hemm, ayahku Pendekar Sadis dan ibuku Lam-sin, keduanya adalah tokoh-tokoh besar yang namanya menjulang tinggi. Apakah hal itu harus kupergunakan untuk mengangkat diriku sendiri? Tidak, aku tidak suka. Kalau orang mengenalku, maka dia boleh mengenal pribadiku sendiri, bukan suka berkenalan denganku karena aku puteri ayah bundaku yang terkenal itu." Gadis itu cemberut.

Kembali Cia Sun terheran-heran dan merasa bingung. Dia semakin tidak dapat menyelami watak gadis ini.

Di tengah malam itu mereka terpaksa berhenti pada sebuah lereng untuk beristirahat dan pada keesokan harinya, tiba-tiba Sui Cin berkata,

"Sun-ko, di sini terpaksa kita harus berpisah."

Ucapan ini sungguh tidak pernah disangka oleh Cia Sun yang menjadi terkejut sekali. Dan di dalam kekagetannya itu dia merasa heran mengapa hatinya menjadi begini. Apa artinya perpisahan? Setiap pertemuan pasti harus diakhiri dengan perpisahan dan biasanya, dia bertemu dan berpisah dari orang-orang tanpa kesan. Mengapa sekarang hatinya merasa seperti disayat ketika mendengar gadis itu mengusulkan perpisahan?

"Tetapi mengapa, Cin-moi? Bukankah kita berdua sama-sama hendak pergi mengunjungi pertemuan para pendekar? Tujuan perjalanan kita sama dan puncak itu telah nampak dari sini, juga hari inilah hari pertemuan itu."

"Sun-ko, engkau adalah wakil dari Lembah Naga, wakil Pek-liong-pang, sedangkan aku hanya seorang penonton saja. Biarlah kita bertemu saja di sana nanti. Selamat berpisah!"

Tanpa menunggu bantahan lagi, Sui Cin langsung membedal kudanya yang segera berlari congklang ke depan, kemudian membalap mendaki lereng terakhir. Cia Sun hanya dapat memandang dan menarik napas panjang. Semangatnya seperti terbawa pergi oleh gadis itu, dan kaki kuda yang bercongklang itu laksana menginjak-injak dan menyepak-nyepak hatinya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Beberapa belas li jauhnya dari Puncak Bukit Perahu ada sebuah daerah liar yang sangat jarang didatangi manusia kerena tempat itu sukar dicapai dengan cara biasa. Tempat itu merupakan sebuah lereng yang penuh dengan jurang yang amat curam, juga merupakan daerah yang berbatu-batu, penuh dengan goa-goa gelap dan kabarnya tempat ini menjadi sarang binatang-binatang buas serta binatang-binatang beracun, juga penjahat-penjahat yang menjadi buruan banyak yang lenyap setelah memasuki daerah ini.

Akan tetapi, sehari sebelum pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu dimulai, di sebuah tanah datar yang dikelilingi oleh batu-batu dan goa-goa nampak didatangi banyak orang. Jika melihat keadaan pakaian dan sikap orang-orang ini, juga wajah mereka yang rata-rata amat menyeramkan, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan hitam. Para pendekar menamakan golongan ini sebagai kaum sesat.

Memang sangat menyedihkan melihat betapa manusia sudah dipecah-pecah dan dipisah-pisahkan menjadi berbagai macam golongan. Karena dipisah dan menjadi anggota dari masing-masing golongan, tentu saja kepentingan masing-masing telah membuat mereka kadang-kadang saling bentrok dan setiap golongan membenarkan golongannya sendiri.

Tidak ada manusia dilahirkan jahat! Setiap keadaan sudah pasti mengandung sebab dan kalau ada orang yang menjadi sesat lalu melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan yang lajimnya disebut jahat, maka keadaannya itu bukanlah terbawa dari kelahiran, melainkan diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu. Bahkan orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat sekali pun, sudah pasti ada sebab-sebab yang terjadi sebelum dia dilahirkan, sehingga keadaannya saat dilahirkan itu pun menjadi akibat dari suatu sebab.

Banyaklah sebab yang menjadikan manusia seperti yang banyak kita lihat sekarang ini. Pada umumnya dinamakan jahat sebab merugikan orang lain, berwatak buruk dan kejam dan sebagainya. Kebencian, keserakahan, pengejaran kesenangan, dendam iri hati, rasa takut, semua ini dapat membentuk watak yang kejam dan ganas.

Dan setiap orang manusia tentu pernah atau akan merasakan itu. Hubungannya sangat erat dengan kesenangan dan sekali orang melakukannya, tanpa disertai oleh kesadaran, maka akan menjadi berlarut-larut kemudian menjadi semacam kebiasaan yang mendarah daging atau yang membuat orang mencandu dan condong untuk mengulang-ulang lagi.

Orang yang sedang tersesat ini disebut penjahat dan dibenci, dimaki, dihindari. Hal inilah yang akhirnya membuat mereka merasa terancam sehingga mereka pun lantas memilih kawan, berkelompok maka terjadilah penggolongan. Mereka lalu dinamakan kaum sesat, golongan hitam atau kotor.

Tentu saja golongan ini membalas kebencian yang dilontarkan oleh para pendekar kepada mereka. Mereka menganggap para pendekar sebagai golongan lawan yang mengancam keselamatan mereka dan sebagai balasan, mereka pun lalu menamakan golongan para pendekar itu sebagai golongan sombong, golongan besar kepala, bahkan ada pula yang menamakannya kaum munafik!

Demikianlah, ketika mendengar bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, mereka yang dinamakan golongan sesat itu pun langsung bergerak dan mendahului pertemuan itu dengan mengadakan pertemuan rahasia di tempat liar itu, hanya belasan li jauhnya dari tempat yang akan dijadikan balai pertemuan para pendekar! Dan pertemuan rahasia ini tidak tanggung-tanggung sebab yang menjadi pengundangnya adalah Cap-sha-kui.

Maka, mereka yang merasa dirinya sudah ‘tokoh’ langsung berbondong-bondong datang untuk menghadiri pertemuan rahasia itu. Memang sesungguhnyalah, kalau tidak memiliki kepandaian tinggi maka jangan harap akan dapat mendatangi tempat pertemuan rahasia yang ditentukan itu dan agaknya dalam hal ini memang Cap-sha-kui hendak menguji dan menyaring para tokoh sesat. Mereka yang tidak tinggi tingkat kepandaiannya tidak akan berani atau dapat datang.

Para tokoh besar kaum sesat banyak yang memiliki kebiasaan dan watak yang aneh dan tidak lumrah manusia pada umumnya. Karena kepandaian mereka yang tinggi dan watak mereka yang ganas, mereka kadang-kadang bukan seperti manusia lagi.

Biasanya mereka tak pernah mempedulikan orang lain, yang terpenting adalah diri sendiri. Akan tetapi kali ini, agaknya karena tuntutan keadaan dan karena kekhawatiran terhadap keamanan diri sendiri, mereka benar-benar berusaha untuk mengadakan pertemuan dan untuk bersatu. Demikian anehnya mereka sehingga pertemuan rahasia itu pun diadakan di waktu tengah malam! Demikian bunyi undangannya dan pada malam yang ditentukan, ternyata tepat malam bulan purnama.

Malam itu bulan yang bulat amat terangnya. Tidak ada awan hitam yang gelap, yang ada hanyalah awan-awan putih tipis yang terbang lalu dengan begitu lembutnya. Suasana di tanah lapang dekat dinding goa-goa itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apa pun, sepi dan lengang.

Tetapi, menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengerikan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin keras, menyayat hati seperti anak yang sedang dalam kesakitan.

Setelah tangis yang makin meninggi itu sampai pada titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti, suaranya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan menakutkan, sampai beberapa lamanya.

Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak terdengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itu pun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, seperti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu terhenti dan kembali lengang. Sungguh menegangkan dan mengerikan sekali!

Dan di dalam suasana yang amat menegangkan itu, tiba-tiba saja terlihat dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seakan-akan pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan, hanya akibat gerakan mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ.

Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Apa bila didekati, memang mereka itu sangat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang sedang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah!

Jika dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Kedua mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya. Siapa yang berjumpa dengan mereka di malam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia.

Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah sangat tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput. Demikian kurus muka itu, seolah-olah hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala!

Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa pada waktu mudanya nenek ini adalah seorang wanita yang cantik. Akan tetapi mukanya amat pucat, bahkan bibirnya agak kebiruan, dan dengan sepasang mata yang mencorong itu dia mirip siluman. Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat.

Dan mereka itu pun sesungguhnya demikian. Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok (Lembah Iblis), yaitu sebuah tempat di Pegunungan Hong-san yang sungguh berbahaya sehingga jarang ada orang, betapa pun pandainya, berani lancang memasuki daerah itu di mana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya.

Mereka itu tidak pernah memakai julukan, akan tetapi orang-orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lo-mo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lo-bo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mereka tak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang sekaligus juga adalah murid-murid mereka. Perkumpulan milik mereka itu pun dinamakan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggota atau muridnya berpakaian putih berkabung.

"Hemm, belum nampak ada seorang pun yang datang," kata Kui-kok Lo-mo dengan suara mengomel.

"Mereka itu memang bermalas-malasan kalau ada tugas pekerjaan, coba diberi tahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan datang," omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali. Suami-isteri ini adalah dua di antara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian dari tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu.

Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam, terdengar dari jauh sekali. Suami isteri yang tua ini saling pandang dan di wajah mereka yang seperti mayat itu tak nampak perubahan apa pun, akan tetapi mata mereka bersinar-sinar.

"Si raksasa rakus sudah datang," kata Lo-bo.

"Huh, memuakkan. Ke sini membawa korbannya, menjijikkan!" sambung Lo-mo.

Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara langkah kaki yang amat berat. Dari balik goa muncul seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali ukuran manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng.

Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tidak terpelihara dan pakaian seperti jembel ini, sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. Akan tetapi sungguh sangat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias pada kedua pergelangan tangannya. Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya apa bila diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang!

Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar, sedangkan tubuhnya kelihatan kokoh kuat bagaikan batu karang. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya dan dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Orang ini makan daging anak-anak mentah-mentah!

Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Bila tadi kakek dan nenek ini datang seperti bayang-bayang setan, dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapatlah dibayangkan betapa besar tenaganya.

Secara diam-diam kakek dan nenek itu merasa kagum bukan main. Harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwakang (tenaga luar) yang sedemikian hebatnya.

Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini? Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti.

Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia sangat kejam dan amat ditakuti, maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya. Seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi ini pun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

Dia peranakan Nepal dan pada waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Karena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu-ilmu sesat dan ilmu hitam sampai akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui.

Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke bawah jurang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai, dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.

"Heh-heh, Lo-bo, apanya yang memuakkan dan menjijikkan?" tanyanya, suaranya besar parau.

"Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?" Kui-kok Lo-bo pun mengejek. "Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!" tambahnya.

"Ha-ha-ha, Lo-mo, apakah engkau tak dapat mengendalikan mulut binimu? Lo-bo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?" Raksasa itu tertawa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.

"Apa? Aku pemakan bangkai? Jaga mulutmu!" bentak Lo-bo marah.

"Segala macam daging yang pernah kau makan itu apa bukan bangkai namanya? Yang kau makan adalah bangkai binatang, sedangkan aku makan bangkai orang, heh-heh, aku lebih unggul!"

"Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?" Lo-bo berteriak.

"Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai di mana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walau pun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lo-bo."

Kui-kok Lo-bo menoleh kepada suaminya. Bagaimana pun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan terhadap suaminya. Lo-mo mengangguk kemudian berkata, "Karena yang lainnya belum datang, boleh saja engkau main-main melawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita."

Kalau tidak melihat wajahnya yang seperti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lo-mo adalah seorang kakek yang halus budi bahasanya.

Sesudah mendapat persetujuan suaminya, dengan gerakan yang sangat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di depan raksasa itu. "Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!" katanya.

Secepat kilat nenek itu langsung menggerakkan tangannya ke depan. Terdengarlah suara mencicit bagaikan suara kelelawar pada waktu jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.

"Hehh!" Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa ada hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyambar ke arah perutnya. Itulah semacam ilmu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Maka dia pun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biar pun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata dia pun dapat bergerak sigap.

Dia meloncat ke belakang, lalu lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk menangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia langsung membarengi dengan uluran lengan kiri yang menghantam dari samping ke arah kepala si nenek. Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibar-kibar. Namun, gesit sekali gerakan Lo-bo yang sudah dapat menghindar pula.

Sebetulnya pertandingan itu hanya semacam ujian saja karena lama mereka tidak saling jumpa sehingga mereka ingin sekali mengukur kepandaian dan kemajuan masing-masing. Akan tetapi dasar watak mereka yang aneh dan ganas, maka biar pun hanya merupakan pertandingan saja dan bukan perkelahian karena dendam, tetapi keduanya tidak menahan gerakan mereka dalam menyerang, setiap serangan mereka adalah pukulan-pukulan maut dan begitu bergebrak mereka sudah mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Hal ini adalah karena mereka tahu bahwa kalau mereka mengeluarkan ilmu-ilmu lama tentu akan percuma saja karena pihak lawan sudah mengenalnya dan akan dengan mudah mampu memecahkannya.

Bukan main terkejutnya hati Tho-tee-kwi menghadapi serangkaian pukulan nenek itu yang mengeluarkan suara mencicit nyaring dan mengandung hawa panas, juga hawa pukulan itu mampu merobek ujung bajunya.

"Ehh, ehh, ilmu setan apakah itu?" bentaknya.

Nenek itu mendengus. "Ilmu untuk mengalahkanmu. Hayo lekas berlutut mengaku kalah jika engkau tak ingin perutmu yang penuh mayat itu terobek dan ususmu terburai keluar!"

Raksasa baju hijau itu tertawa besar. "Ha-ha-ha, enaknya buka mulut membual! Lihat ini!"

Dan tiba-tiba kedua kakinya dihentakkan di atas tanah sedemikian kerasnya hingga tanah itu terguncang bagaikan ada gempa bumi. Tubuh nenek itu turut pula tergetar dan dalam keadaan demikian, raksasa itu langsung menyerang dan kini pukulannya sama antepnya dengan hentakan kakinya tadi, begitu penuh mengandung tenaga raksasa! Memang ilmu ini amat hebat. Ketika pertama muncul tadi, agaknya si raksasa juga sudah memamerkan ilmu barunya itu.

Lo-bo cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari rangkaian serangan pertama. Akan tetapi si raksasa berkali-kali menghentakkan kakinya, kemudian menyusulinya dengan serangan-serangan yang sangat dahsyat hingga tempat itu dilanda angin-angin pukulannya, membuat daun-daun di pohon yang agak jauh tergoyang-goyang.

Sekarang nenek itu mulai terdesak! Dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk dapat membalas serangan lawan. Akan tetapi, dengan mengandalkan ginkang yang jauh lebih lihai, dia masih mampu menyelamatkan diri dari semua serangan ganas itu.

Melihat betapa isterinya terdesak dan jika terus dilanjutkan agaknya isterinya akan kalah, Lo-mo lalu melompat ke depan. Dia telah memperhatikan gerakan lawan tadi dan maklum bahwa tanpa mempelajari dulu ilmu baru itu dan menangkap intinya, akan sukarlah untuk mengatasinya.

"Mundurlah, biar aku yang mencoba ilmu baru Tho-tee-kong!" katanya.

Nenek itu pun tahu diri. Akan tetapi dia tidak mau mengakui keunggulan lawannya, maka sambil meloncat mundur dia pun berseru mengejek. "Mulut dan badanmu bau mayat, aku tidak tahan melayanimu lebih lama lagi!"

"Ha-ha-ha!" kakek raksasa tertawa. Akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika Lo-mo sudah menggeser kakinya ke depan.

"Tho-tee-kong, mari kita main-main sebentar!"

Lagak kakek bermuka mayat ini memang berbeda dengan lagak isterinya atau raksasa itu, bahkan berbeda dengan lagak dan sifat para datuk sesat pada umumnya. Kalau para datuk sesat biasanya berlagak aneh, kasar dan tidak mempedulikan sopan santun, kakek ini sebaliknya bersikap halus dan berwibawa, malah lebih mendekati sikap seorang tokoh pendekar dari pada seorang tokoh sesat.

Hal ini adalah karena dia berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat, dan pada waktu kecilnya, dia terdidik baik-baik. Maka, biar pun kini menjadi tokoh utama dari kaum sesat, dia tidak dapat melupakan sikap halus yang sudah ditanamkan pada dirinya sejak kecil.

"Ha-ha, Lo-mo, binimu maju pesat, engkau tentu lebih hebat lagi!" raksasa itu mengejek.

"Sambutlah!" kata Lo-mo dan dia pun mulai menyerang. Serangannya tampak ringan saja, akan tetapi karena gerakannya cepat bukan main maka tahu-tahu telapak tangannya telah menyambar ke arah leher Tho-tee-kwi.

Raksasa ini melempar tubuh ke belakang dan terkejut sekali. Dari telapak tangan kakek mayat itu menyambar hawa panas yang disertai uap putih berbau amis! Kemudian kakek itu menyerang untuk kedua dan ketiga kalinya, dan maklumlah raksasa itu bahwa Lo-mo menggunakan ilmu yang sama dengan Lo-bo tadi, hanya tingkat Lo-mo sudah lebih tinggi sehingga telapak tangan itu bukan hanya mengeluarkan suara dan hawa panas, namun juga mengeluarkan uap putih yang berbau amis.

Maka dia pun cepat menggereng dan mengeluarkan ilmunya yang tadi. Kakinya dihentak-hentakkan sehingga bumi seperti terguncang-guncang dan kedua lengannya secara aneh menyambar ke depan, memukul, menampar, atau mencengkeram, akan tetapi di balik semua pukulannya itu terkandung tenaga yang benar-benar sangat mengerikan sehingga baru angin pukulannya saja demikian kuat, laksana angin badai dan mengeluarkan suara bersuitan.


Asmara Berdarah Jilid 03

CIA SUN mengingat-ingat. Para suheng-nya, yaitu murid-murid Pek-liong-pang yang sudah menjadi pendekar dan mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw, dahulu pernah menceritakan kepadanya tentang dunia kang-ouw, tentang tokoh-tokoh penting baik dari golongan putih mau pun golongan hitam. Dia pernah mendengar akan Cap-sha-kui dan di antara tiga belas orang tokoh sesat itu kabarnya terdapat seorang nenek yang berjuluk Kiu-bwee Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan).

Dia telah mendengar betapa lihainya nenek ini, kalau benar Kiu-bwee Coa-li. Menurut apa yang didengarnya, di antara Tiga Belas Iblis itu yang paling tinggi ilmunya adalah empat orang dan di antaranya adalah nenek ini, maka dia cepat bersikap tenang dan waspada. Dia tidak mengkhawatirkan ular-ular itu, akan tetapi dia harus berhati-hati terhadap nenek yang menjadi pawang atau penggembala ular itu.

"Hemm, apakah engkau Kiu-bwee Coa-li?" tanyanya, suaranya tetap tenang.

"Heh-heh-heh, engkau masih muda telah mengenalku, dan sekali pukul dapat membunuh ular kembang. Engkau tentu seorang pendekar, ya? Seorang tokoh muda golongan putih? Hik-hik, aku paling suka darah pendekar dan ular-ularku ini paling suka daging pendekar, heh-heh-heh!”

“Tar-tar-tar-tarrr...!" Cambuk berekor sembilan itu bergerak dan meledak-ledak.

Cia Sun mengelak dari sambaran empat ekor ujung cambuk itu. Akan tetapi dia melihat bahwa nenek itu bukan hanya menyerangnya, melainkan juga memberi aba-aba kepada ular-ularnya karena sambil mengeluarkan suara berdesis-desis, binatang-binatang yang mengerikan itu kini mulai menyerangnya dari segala penjuru!

Cia Sun lalu menggerakkan kaki tangannya. Kakinya terayun, menendangi ular-ular yang berani mendekatinya, sedangkan kedua tangannya bergerak mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang. Angin yang kuat menyambar ke arah ular-ular itu dan belasan ekor ular berhamburan seperti daun kering dilanda angin.

Melihat kehebatan pemuda ini, nenek itu lantas meringkik, setengah menangis setengah terkekeh dan pecutnya meledak-ledak semakin gencar, bukan hanya menghujani tubuh Cia Sun dengan serangan cambuknya yang berujung sembilan, akan tetapi juga untuk memberi komando kepada ular-ularnya yang menjadi semakin nekat menyerbu ke arah Cia Sun. Bahkan di antara ular-ular itu terdapat ular-ular cobra yang berdiri dengan leher berkembang, ada pula ular yang seperti dapat terbang karena ular-ular ini kecil-kecil dan ada yang kemerahan, meloncat dan menerkam seperti terbang ke arah leher dan tubuh Cia Sun!

"Hemmm!" Pemuda itu mendengus.

Ketika tangannya dikibaskan, ular-ular yang berani terbang menyerangnya itu terbanting hancur. Terpaksa Cia Sun berloncatan menjauh. Berbahaya juga kalau dia harus menjaga semua serangan itu. Dari atas sambaran sembilan ujung cambuk si nenek iblis, dan dari bawah patukan ular-ular yang mengurungnya.

Kembali terdengar ledakan pada waktu dia merobohkan ular-ular terbang, lantas sebuah di antara ujung-ujung cambuk itu menyambar ke arah pelipisnya dengan tenaga totokan yang amat berbahaya! Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, dan karena ujung cambuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh, maka menangkis dengan lengan pun membuka kesempatan bagi lawan untuk menotok ke arah jalan darah pada bagian lengan dan hal itu pun cukup berbahaya. Maka, satu-satunya jalan bagi Cia Sun hanyalah menggerakkan tangannya dan jari telunjuknya mencuat untuk menyambut ujung cambuk lawan itu.

"Tukkk...!"

Bagai seekor ular hidup saja, begitu bertemu dengan telunjuk kiri Cia Sun, ujung cambuk itu membalik lantas melingkar, dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget karena melalui cambuknya dia dapat merasakan getaran yang amat kuat muncul dari sambutan tusukan jari itu.

Dia tidak tahu bahwa itulah satu di antara ilmu-ilmu yang hebat milik pemuda itu, yang disebut It-sin-ci (Satu Jari Sakti), sejenis ilmu menotok jalar darah yang lihai sekali karena ilmu ini khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kebal, juga untuk menghadapi ilmu sakti Thi-khi I-beng, yaitu tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan.

Nenek itu bertindak mundur dan merasa agak gentar, maklum betapa lihainya pemuda ini dan dia pun bersikap lebih hati-hati. Cambuknya meledak-ledak dan ular-ularnya menjadi semakin ganas menyerbu ke arah Cia Sun. Cia Sun merasa kewalahan apa bila harus menghadapi demikian banyaknya ular, apa lagi banyak di antara ular-ular itu berbisa dan semburan-semburan yang mengandung racun membuat dia merasa muak dan pening.

Sementara itu, sambil mendekati sebuah gubuk reyot yang terdapat di dekat tempat itu, nenek pawang ular tadi terkekeh ketika melihat pemuda itu mulai kewalahan dan dia tetap membunyikan cambuknya yang menjadi komando bagi ular-ular itu.

"Heh-heh-heh, anak-anakku, serang dia, robohkan dia dan gerogoti dagingnya. Ha-ha-ha, daging pendekar memang liat akan tetapi sedap!"

Tiba-tiba muncul seorang gadis yang menunggang seekor kuda cebol. Gadis itu menahan kudanya dan memandang ke depan, tersenyum melihat Cia Sun yang sibuk dikepung dan dikeroyok ular-ular itu. Akan tetapi ketika ia melihat Kiu-bwee Coa-li yang terkekeh sambil membunyikan cambuknya untuk memberi semangat dan komando kepada ular-ularnya, gadis itu menjadi marah.

Gadis itu adalah Ceng Sui Cin yang sudah dapat menyusul Cia Sun. Tadinya dia merasa geli melihat Cia Sun di dalam hutan itu dikeroyok ular, akan tetapi begitu melihat si nenek yang menyeramkan, ia segera mengenalnya. Ayah ibunya telah menceritakan kepadanya tentang nenek ini yang selain lihai juga amat kejam dan jahat.

Sui Cin menggerakkan pinggulnya dan tubuhnya melayang ke atas, tangannya meraih ke arah ranting-ranting pohon. Terdengar suara ranting patah dan ketika dia meloncat turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting yang masih penuh dengan daun hijau.

"Hei, Kiu-bwee Coa-li nenek iblis! Engkau lebih menjijikkan dari pada ular-ularmu!" Sui Cin berseru dan dia pun segera menerjang ke depan, menggerakkan senjatanya yang aneh, yaitu ranting penuh daun itu.

Sebagai puteri suami isteri pendekar sakti yang sejak kecil telah digembleng mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi, Sui Cin tidak pernah membawa senjata. Memang, senjata tak begitu dibutuhkan lagi bagi orang yang sudah memiliki tingkat ilmu silat seperti gadis ini. Kedua kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang sangat ampuh dan juga di mana saja, benda apa saja dapat dipergunakannya sebagai senjata kalau perlu.

Kalau kini dia menggunakan ranting itu sebagai senjata adalah karena dia melihat betapa nenek itu memegang cambuk berekor sembilan, senjata yang lemas dan panjang, maka amat berbahaya kalau dilawan dengan tangan kosong saja dan senjata yang paling tepat untuk menghadapinya adalah sebatang ranting.

"Syuuuuttttt...! Wirrrrrrr...!" Ranting yang mempunyai banyak anak ranting penuh daun itu menyambar dengan dahsyat.

Kiu-bwee Coa-li tentu akan memandang rendah kepada gadis ini kalau saja tadi dia tidak mendengar betapa gadis itu begitu saja mengejeknya dan menyebut namanya. Seorang gadis yang dapat mengenalnya begitu berjumpa, tentu bukan gadis biasa dan karena saat ini memang waktunya bagi para pendekar untuk berkumpul di tempat itu, maka dapatlah diduga bahwa seperti si pemuda lihai itu, gadis ini pun tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka, ketika ranting penuh daun itu menyambar ia pun menggerakkan cambuknya sambil mengerahkan tenaganya.

"Tarrr...! Pyuuurrr...!"

Nenek itu kaget bukan main. Bukan hanya dia dapat merasakan adanya tenaga kuat yang tidak lumrah bagi seorang gadis remaja di dalam ranting itu, juga tangkisannya membuat banyak daun di ranting itu rontok, akan tetapi hebatnya, rontoknya daun itu beterbangan seperti senjata rahasia piauw yang meluncur ke arah muka dan tubuhnya! Tentu saja dia menjadi kerepotan mengelak ke sana-sini sambil menyumpah-nyumpah sebab mendengar gadis itu mentertawakannya.

"Hi-hik, julukanmu dirubah saja menjadi Kiu-bwee Hek-wan (Lutung Hitam Ekor Sembilan), nenek iblis. Kalau engkau menari-nari seperti itu, persis lutung deh!"

Sui Cin maklum bahwa nenek itu lihai sekali. Walau pun mentertawakan dan mengejek, namun dia sama sekali tak berani main-main. Sambil tertawa dia pun telah menerjang lagi dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan dua tangannya karena dia sudah menyimpan rantingnya di bawah lengan. Dengan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang dipelajarinya dari ibunya, dara ini melakukan penekanan.

Kembali Kiu-bwee Coa-li terkejut ketika mengenali ilmu silat yang sangat aneh, indah dan juga ganas ini, mirip ilmu kaum sesat! Tentu saja dia tidak tahu bahwa ibu kandung gadis ini pernah menjadi datuk selatan kaum sesat yang berjulukan Lam-sin (Malaikat Selatan) maka tentu saja ilmu silatnya ganas!

Terjadilah perkelahian yang seru antara Sui Cin dan Kiu-bwee Coa-li dan sesudah nenek itu kini mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya, perlahan-lahan Sui Cin mulai terdesak juga. Akan tetapi gadis ini menggerakkan rantingnya untuk melindungi tubuh dan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan ampuh.

Sementara itu, ketika Cia Sun sedang menghadapi pengeroyokan banyak ular, pemuda ini melihat munculnya Sui Cin. Dia terkejut dan merasa khawatir sekali ketika mengenal gadis yang pernah menyamar sebagai pemuda dan pernah ditolongnya lari dari tahanan itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget, khawatir dan juga heran rasa hatinya ketika dia melihat gadis itu menyerang Kiu-bwee Coa-li dengan beraninya, juga semakin heran bagaimana gadis aneh itu mengenal pula si nenek iblis. Akan tetapi keheranannya memuncak ketika dia melihat betapa gadis itu ternyata lihai bukan main dan dapat mengimbangi kepandaian Kiu-bwee Coa-li! Kalau dia tidak melihat sendiri, hanya mendengar cerita orang saja, tentu dia tidak akan mau percaya.

Ketika ditangkap sebagai seorang gadis jembel yang menyamar pemuda, gadis itu adalah seorang gadis yang lemah biar pun memiliki keberanian amat besar. Buktinya, ditangkap tidak dapat melawan dan ketika ditahan pun tidak mau membebaskan dirinya. Jika bukan dia datang menolong, tentu gadis itu akan celaka.

Akan tetapi bagaimana kini dia tiba-tiba muncul dalam pakaian yang tidak karuan pula, penuh tambalan dan potongannya lucu, membayangkan kemiskinan, akan tetapi memiliki kepandaian yang tinggi sehingga mampu menandingi seorang datuk sesat lihai semacam Kiu-bwee Coa-li?

Tiba-tiba saja wajahnya berubah merah. Dialah yang tolol! Tentu gadis itu berpura-pura ketika menyamar sebagai pria. Pura-pura tolol, pura-pura bodoh tidak pandai silat. Akan tetapi benarkah demikian? Bagaimana kalau yang muncul ini ternyata seorang gadis lain yang memiliki wajah mirip dengan gadis yang pernah ditolongnya itu? Akan tetapi, suara itu sama benar dan bengalnya juga sama ketika gadis itu mengejek Kiu-bwee Coa-li.

Bagaimana pun juga, kemunculan Sui Cin menggembirakan hatinya, apa lagi melihat dara itu kini berkelahi dengan menggunakan ranting. Baru dia seperti diingatkan bahwa untuk menghadapi pengeroyokan ular-ular itu, senjata ranting seperti yang digunakan oleh gadis itulah yang paling tepat.

Dia pun cepat berloncatan, dikejar oleh ular-ular itu dan setelah tiba di bawah pohon, dia meloncat dan mematahkan sebatang ranting panjang. Kemudian mengamuklah Cia Sun! Dengan rantingnya, dia lalu menghajar ular-ular itu dan setiap kali rantingnya menyambar tubuh ular, ular yang kena disabet lantas melingkar-lingkar kesakitan karena sambungan tulangnya patah-patah dan hal ini membuat binatang itu tidak mampu merayap lagi.

Amukan Cia Sun membuat ular-ular itu menjadi gentar, apa lagi karena kini tidak ada lagi komando dari suara cambuk Kiu-bwee Coa-li yang sedang mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatian untuk menghadapi gadis yang lihai itu. Maka ular-ular itu menjadi panik dan akhirnya ketakutan, berlarian meninggalkan bangkai teman-teman mereka dan teman-teman yang melingkar-lingkar terluka tak mampu melarikan diri lagi itu.

Setelah ular-ular itu pergi menjauh, Cia Sun segera membalikkan tubuhnya dan menonton perkelahian antara gadis jembel dan nenek iblis. Dan dia tertegun, malah terbelalak ketika melihat ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu. Tentu saja dia amat mengenal Thai-kek Sin-kun!

Itulah ilmu dasar yang diberikan ayahnya kepadanya dan ilmu ini memang sangat tepat digunakan untuk mempertahankan diri terhadap tekanan lawan yang lebih lihai! Dan gadis itu memainkannya sedemikian indahnya. Begitu asli dan itulah dia Thai-kek Sin-kun yang tulen. Siapakah gadis yang pandai memainkan Thai-kek Sin-kun seindah itu?

Akan tetapi pada saat itu Cia Sun tidak mau memusingkan hal ini. Bagaimana pun juga, dia merasa yakin bahwa tentu ada hubungan dekat antara gadis itu dengan keluarganya, atau setidaknya dengan Cin-ling-pai, maka tanpa banyak bicara lagi dia sudah langsung menyerbu dengan senjata rantingnya.

Kini dua batang ranting yang digerakkan dengan cepat dan kuat mengeroyok Kiu-bwee Coa-li yang langsung terdesak hebat. Baru menghadapi gadis remaja itu saja dia sudah merasa penasaran dan pusing karena sedemikian lamanya belum juga dapat merobohkan dara itu, hanya mampu mendesak saja. Apa lagi kalau pemuda yang lihai ini maju pula. Bisa berbahaya bagi dirinya.

Bagi seorang tokoh sesat, tidak ada rasa malu bagi Kiu-bwee Coa-li. Yang penting dalam perkelahian dia harus menang dan jika keadaan berbahaya, dia tentu akan lari. Maka dia pun mengeluarkan teriakan-teriakan panjang, lantas dari ujung cambuk itu meluncurlah jarum-jarum halus beracun. Sembilan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun dan Sui Cin.

"Awas senjata rahasia beracun!" seru Cia Sun memperingatkan gadis itu.

Akan tetapi Sui Cin tidak perlu diperingatkan. Seorang gadis yang sudah memiliki tingkat kepandaian seperti Sui Cin akan selalu waspada sehingga serangan mendadak itu tentu saja dapat dihindarkannya dengan baik. Rantingnya membentuk gulungan sinar hijau dan jarum-jarum yang menyambar ke arahnya tertangkis, bukan runtuh begitu saja melainkan langsung membalik dan meluncur mengejar pemiliknya, yaitu Kiu-bwee Coa-li yang mulai melarikan diri. Nenek itu dapat menghindar dengan lompatan dan terus melarikan diri.

Sedangkan Cia Sun telah meloncat ke samping menghindarkan diri dari jarum-jarum yang menyambar ke arahnya. Ketika mereka memandang ke depan, ternyata nenek itu sudah lenyap, sudah lari jauh sekali maka mereka berdua pun tidak mengejar.

Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Sui Cin tersenyum dan berkata, "Kita sudah lunas, ya? Engkau pernah menolongku satu kali dan kini aku pun sudah membantu satu kali. Jadi satu-satu, lunas, bukan?"

Cia Sun semakin tertarik. Jantungnya terasa laksana disedot dan dia memandang wajah yang lucu itu dengan senyum kagum. Biasanya Cia Sun berwatak pendiam, serius, tidak suka berkelakar, dan sedikit bicara. Akan tetapi, berhadapan dengan gadis ini, dia merasa gembira sekali dan dia pun menanggapi.

"Nona, ketika aku menolongmu, ternyata engkau hanya pura-pura bodoh saja sehingga hal itu bukan merupakan pertolongan. Akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak muncul dan membantuku menghadapi nenek iblis itu, tentu diriku akan terancam bahaya besar. Maka sudah sepatutnya apa bila aku menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu tadi."

"Hemmm... siapa bicara tentang budi pertolongan? Engkau kebetulan melihat aku dalam kesukaran lantas menolong tanpa sengaja, dan sekarang aku pun tanpa sengaja melihat engkau dikeroyok ular kemudian turun tangan membantu. Tidak ada budi. Aku tak pernah hutang budi atau melepas budi."

Ucapan seorang pendekar sejati, pikir Cia Sun yang menjadi makin kagum. Begitu kagum hatinya sampai dia tidak mampu berbicara lagi, hanya memandang kepada wajah dara itu bagaikan orang terpesona. Melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan bengong seperti orang bingung, Sui Cin pun tersenyum geli.

"Heiii, apa yang kau pandang?" tanyanya tiba-tiba sehingga mengejutkan Cia Sun.

"Ehh, tidak apa-apa... aku... hanya heran..."

"Mengapa heran? Apa rupaku tidak lumrah manusia?"

"Bukan begitu, tetapi tadi aku melihat nona memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bagai mana nona dapat mempelajari ilmu itu?"

"Hemm, dan engkau, bagaimana engkau dapat mengenal Ilmu Thai-kek Sin-kun yang tadi kumainkan?" Suara itu lebih heran dan lebih curiga.

"Karena aku heran sekali... ilmu itu adalah milik keturunan Cin-ling-pai..."

"Kalau begitu..."

"Siapakah nona yang pandai ilmu silat keluarga kami?"

"Dan siapa pula engkau ini yang mengaku-aku keluarga kami?"

"Ehhh... jadi nona memang memiliki hubungan dengan Cin-ling-pai...? Siapakah namamu, nona?"

"Namamu dulu."

"Baiklah, namaku Sun, aku she Cia..."

"Haiii...! Engkau Cia Sun dari Lembah Naga? Wah, wah...! Aku... aku she Ceng..."

"Astaga... kau... kau ini Sui Cin anak yang bengal dulu itu?"

Sui Cin cemberut dan menghardik, "Siapa yang bengal?"

Cia Sun tersenyum lebar dan menjura. "Maaf, maaf... jika membayangkan engkau ketika masih kecil, sukarlah dipercaya engkau sekarang sudah menjadi begini... besar dan lihai!"

"Memangnya aku disuruh terus menjadi anak kecil selamanya? Dan jangan katakan aku bengal!"

"Ha-ha-ha, siauw-moi, lupakah engkau kepada dahiku yang dulu membenjol sebesar telur ayam karena kau sambit dengan batu?"

Sui Cin tertawa sambil menutupi mulutnya walau pun suara ketawanya tetap bebas lepas, lalu disambungnya dengan ucapan, "Wah, tentu saja aku ingat. Ayah ibuku memarahiku dan hampir aku kena digebuk ayah! Gara-gara engkau. Kenapa dahimu membenjol, baru kena batu begitu saja. Dan sekarang, Sun-ko, jangan kau melapor lagi kepada ayah ibuku kalau bertemu dengan mereka, ya?"

"Melapor bahwa engkau menyamar sebagai jembel, bahkan sebagai pemuda jembel yang mencuri bakpao dan membiarkan dirimu ditangkap dan ditahan? Ahh, tidak, Cin-moi. Kita bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sungguh telah menjadi seorang gadis yang..."

"...bengal...?"

"Tidak! Tidak...! Engkau telah besar dan kepandaianmu sungguh hebat, bahkan Kiu-bwee Coa-li sampai kewalahan menandingimu. Thai-kek Sin-kun tadi kau mainkan sangat indah dan hebat."

"Sudah, jangan terlalu memuji. Bisa membengkak dan pecah kepala ini nanti. Kalau tadi tidak kau bantu, apa kau kira aku dapat menang menghadapi nenek ular itu? Benar-benar mengherankan sekali, apakah benar-benar Cap-sha-kui sudah keluar dari sarangnya dan mengapa mereka bahkan datang ke tempat ini di mana para pendekar akan mengadakan pertemuan?"

"Bukankah baru seorang saja Kiu-bwee Coa-li tadi yang muncul?"

"Sudah tiga bersama nenek itu! Sebelumnya aku sudah bertemu dengan dua orang lain di antara mereka, di kuil Dewi Laut, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo."

Cia Sun mengangguk-angguk. "Ahh, kalau begitu agaknya benar mereka itu sudah keluar dari sarang. Bahkan baik untuk memperingatkan para sahabat dalam pertemuan nanti."

"Kalau begitu engkau hendak pergi menghadiri pertemuan para pendekar itu, Sun-ko?"

Sikap dan suara Sui Cin demikian akrab, seolah-olah selama ini Cia Sun selalu bergaul dengannya. Padahal, selama hidupnya baru satu kali dia berjumpa dengan Cia Sun, yaitu pada saat dia diajak ayah bundanya mengunjungi Lembah Naga, kira-kira sembilan tahun yang lalu.

Ketika itu ia baru berusia enam tahun dan Cia Sun berusia tiga belas tahun. Ia bersama orang tuanya tinggal setengah bulan di Lembah Naga dan setelah mereka pulang, ia tidak pernah berjumpa dengan Cia Sun lagi. Akan tetapi, karena memang gadis ini mempunyai pembawaan riang dan ramah jenaka, maka dia mudah akrab dengan siapa saja. Cia Sun sendiri yang biasanya pendiam dan serius, juga agak malu apa bila berdekatan dengan wanita, sekali ini kehilangan rasa canggungnya berkat sikap Sui Cin yang ramah itu.

"Benar, dan engkau sendiri, Cin-moi?"

“Aku pun hendak berkunjung ke sana."

"Mewakili orang tuamu?"

"Tidak. Sudah setengah tahun aku meninggalkan Pulau Teratai Merah. Hanya kebetulan di dalam perjalanan aku mendengar mengenai rencana pertemuan itu maka aku sengaja hendak menonton. Dan engkau?"

"Aku mewakili Pek-liong-pang, mewakili ayah."

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak enak jika kemalaman di dalam hutan. Apa lagi bau bangkai ular-ular itu amat busuk."

"Baiklah, Cin-moi. Kau naiki saja kudamu, biar aku jalan kaki. Kita dapat bercakap-cakap di perjalanan."

Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sui Cin menunggang kudanya, sementara Cia Sun berjalan di sebelahnya. Malam sudah tiba dan cuaca mulai gelap ketika mereka keluar dari dalam hutan. Karena tidak nampak dusun di dekat sana, keduanya terpaksa melewatkan malam di tepi hutan.

Mereka membuat api unggun lalu Sui Cin mengeluarkan bekal roti dan daging keringnya, ada pun Cia Sun mengeluarkan bekal araknya yang masih seguci penuh. Setelah makan sekedarnya untuk menghilangkan rasa lapar dan haus, keduanya duduk menghadapi api unggun dan melanjutkan percakapan mereka.

"Sun-ko, aku telah mendengar banyak sekali mengenai orang tuamu, dan terutama sekali mengenai ayahmu. Ayahku tiada bosannya mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar terbesar di dunia ini dan ayahmulah satu-satunya orang yang amat dihormati ayahku."

Cia Sun menghela napas. "Di antara ayah kita berdua memang terjalin tali persaudaraan yang amat kuat, melebihi saudara sekandung. Ayahku pun tiada bosannya membicarakan ayahmu dan sering kali dia mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar yang paling lihai dan satu-satunya orang yang amat disayang oleh ayahku."

"Kalau begitu, orang tua kita memiliki pertalian persaudaraan yang amat erat, dan dengan sendirinya kita pun dapat dibilang masih keluarga sendiri, bukan?"

"Begitulah, siauw-moi."

"Ihh, jangan sebuat aku siauw-moi (adik kecil), aku tidak kecil lagi, Sun-ko. Usiaku sudah lima belas tahun!"

"Lima belas tahun masih kecil namanya."

"Siapa bilang? Bagi seorang wanita, usia itu sudah berarti dewasa."

"Baiklah, maafkan aku. Aku akan menyebutmu Cin-moi saja."

"Maaf-maafan segala, engkau terlalu sungkan, Sun-ko. Jika aku tidak salah ingat, engkau lebih tua lima tahun dari pada aku."

"Tujuh tahun. Usiaku sekarang sudah dua puluh dua tahun."

"Engkau tentu sudah menikah..."

Perkataan ini membuat Cia Sun terkejut dan tertegun sejenak tak dapat menjawab karena bagi seorang pendiam dan sopan serta serius seperti dia, tak pernah terbayangkan akan menerima pertanyaan seperti itu dari seorang gadis yang pernah membuat dia tak mampu tidur nyenyak semalam suntuk.

Akan tetapi, ketika dia memandang sehingga mereka bertemu pandang, dia tidak melihat sesuatu di dalam sinar mata gadis itu selain kejujuran dan pertanyaan yang terbuka tanpa perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Maka dia pun menggeleng.

"Kenapa engkau menyangka demikian?"

"Karena usiamu sudah dua puluh dua tahun."

"Siapa yang mau menjadi isteri orang seperti aku ini, Cin-moi?"

Sui Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu, melihat betapa wajah itu tiba-tiba saja dibayangi kemurungan. Wajah yang gagah, biar pun tidak terlampau tampan, akan tetapi wajah itu berwibawa, gagah dan membayangkan kejujuran. Wajah seorang pendekar yang perkasa.

Akan tetapi, pada saat itu kegagahannya tertutup awan mendung sehingga menggelikan hatinya dan tiba-tiba Sui Cin tertawa, sekali ini lupa menutupi mulutnya hingga nampaklah deretan gigi putih dan rongga mulut yang merah sekali seperti dibakar warna api unggun, dan ujung lidahnya nampak sebentar. Mulut itu tertutup kembali dan Sui Cin memandang kepada api unggun.

Cia Sun kebingungan, merasa ditertawakan, mencari-cari kesalahan apa yang terkandung di dalam ucapannya, ada kelucuan apa sehingga gadis itu tertawa. Karena tidak berhasil menemukan, dia pun bertanya, "Cin-moi, kenapa engkau tertawa?"

Sui Cin masih kelihatan termenung sambil menatap api unggun, kemudian bicara, seperti berbicara kepada api unggun, suaranya lirih, satu-satu dan jelas, "Dia seorang pendekar perkasa berkepandaian tinggi, putera ketua Pek-liong-pang penghuni Lembah Naga yang sangat terkenal, disegani kawan ditakuti lawan dan dia bertanya siapa yang mau menjadi isteri seorang semacam dia! Padahal, gadis-gadis dari semua penjuru akan berbondong-bondong datang berlomba untuk dapat menjadi jodohnya."

Wajah pendekar itu berubah merah. "Ahh, Cin-moi, harap jangan memperolok..."

"Siapa berolok-olok? Sun-ko, engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, hanya ada yang tidak menyenangkan hatiku... yaitu... hemmm... engkau terlalu sopan, terlalu lemah dan halus, engkau terlalu canggung, hemm... sudahlah, aku mau tidur," berkata demikian, dara itu lantas merebahkan diri di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu di bawah pohon bertilamkan rumput kering.

Ia rebah miring dan tidak bergerak lagi. Tak lama kemudian pernapasannya menunjukkan bahwa ia memang sudah pulas.

********************

Malam itu kembali Cia Sun tidak dapat tidur. Kata-kata dan sikap Sui Cin yang membuat dia duduk bengong menghadapi api unggun dengan alis berkerut. Juga dia harus berjaga, siapa tahu nenek pawang ular itu muncul lagi. Sesudah melakukan perjalanan bersama Sui Cin, dia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan dara ini.

Dia benar-benar bingung menghadapi sikap Sui Cin. Kenapa hatinya tidak senang karena dia... hemmm, dianggap sopan, lemah, halus dan canggung? Apa maksudnya? Dia tidak marah disebut demikian, hanya dia ingin sekali tahu mengapa hati gadis itu menjadi tidak senang.

Akan tetapi dia tidak berani bertanya, takut kalau-kalau pertanyaannya atau desakannya akan membuat Sui Cin menjadi makin marah. Padahal dia sama sekali tak menghendaki gadis itu marah-marah. Sama sekali tidak, bahkan sebaliknya dia ingin membuat gadis itu bergembira. Akan tetapi bagaimana?

Ada sesuatu di dalam diri gadis ini yang membuatnya tertarik untuk menyelidikinya, untuk mengenalnya lebih baik. Dan sesudah ternyata bahwa gadis yang tadinya disangka gadis jembel aneh itu adalah puteri Pendekar Sadis, pamannya sendiri, kesan dalam batinnya menjadi semakin mendalam!

Ketika pada keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan, di sepanjang perjalanan Cia Sun dengan hati-hati sekali menjaga diri supaya jangan sampai membuat adik sepupu itu menjadi tidak senang hatinya. Hubungan antara dia dan Sui Cin memang dekat sekali. Dilihat dari sumber perguruan silat, mereka masih terhitung saudara seperguruan. Diingat akan hubungan antara ayah mereka yang mengangkat saudara, mereka masih terhitung saudara sepupu angkat.

Akan tetapi Cia Sun menemui kesulitan untuk dapat menyesuaikan diri dengan gadis itu, atau mengikuti gerak-geriknya. Ibarat seekor burung, Sui Cin adalah seekor burung walet yang amat gesit dan tidak pernah mau diam. Ibarat bunga, dia mirip bunga hutan yang liar dan kuat, tidak takut akan badai dan panas.

Wataknya lincah gembira, kadang kala seperti kanak-kanak, kadang-kadang telah matang dewasa, tetapi ada kalanya bengal suka menggoda orang. Pendeknya, amat berlawanan dengan watak Cia Sun yang pendiam, serius, dan tidak banyak cakap.

Namun, suatu keanehan sudah terjadi di dalam batin pemuda itu. Biar pun watak mereka bertolak belakang, dia merasa sangat tertarik. Dan kalau biasanya dia tidak suka melihat seseorang dengan sikap seperti Sui Cin, akan tetapi pada diri gadis itu, baginya nampak demikian memikat dan menyenangkan!

Asmara memang merupakan suatu kekuasaan yang amat jahil dan suka menggoda hati manusia! Demikian kuatnya asmara sehingga tidak ada seorang pun manusia yang kebal atau mampu melawan kekuasaannya. Tanpa pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah melewati masa remaja, asmara mulai mengintai dan mencari korban di antara manusia. Dan sekali orang terkena panah asmara, maka dia akan menjadi seperti linglung dan terjadilah perubahan besar-besaran dalam dirinya.

Hebatnya, asmara dapat mendatangkan sorga pada seseorang hingga batinnya merasa gembira, segalanya kelihatan indah, hidup penuh arti yang menyenangkan. Di lain saat, asmara dapat meruntuhkan semuanya itu dan menyulap sorga berubah menjadi neraka, penuh derita batin, penuh kekecewaan, penuh sengsara. Yang lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil!


Dan Cia Sun, untuk yang pertama kali selama hidupnya, terkena panah asmara tanpa dia sendiri menyadarinya! Dia jatuh hati kepada Sui Cin. Namun, karena sejak kecil pemuda ini digembleng oleh kedua orang tuanya menjadi seorang pendekar yang budiman, sopan dan memegang teguh peraturan, sesuai dengan sifat seorang kuncu (budiman) seperti yang disebutkan oleh para guru besar dan para cerdik pandai, maka dia pun diam saja dan hanya menyimpan perasaan itu di lubuk hatinya.

Pada suatu siang tibalah mereka di kaki bukit itu. Puncak Bukit Perahu telah nampak dari situ. Bukit itu memang berbentuk sebuah perahu yang terbalik, tertelungkup. Oleh karena bentuknya itulah maka dinamakan Puncak Bukit Perahu. Puncaknya tidak runcing, akan tetapi seperti dasar perahu yang terbalik. Dari jauh nampak hutan-hutan yang amat subur karena bukit itu terletak di daerah lembah Sungai Huang-ho yang terkenal subur.

Selagi keduanya melanjutkan perjalanan, Sui Cin di atas punggung kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah kirinya, tiba-tiba gadis itu menunjuk ke depan. "Ehh, siapa itu tidur di tepi jalan?"

Mereka berdua lalu mempercepat jalan ke depan dan Sui Cin yang melihat bahwa yang menggeletak di tepi jalan itu adalah seorang wanita, segera meloncat turun dan sebentar saja dia sudah berlutut di dekat mayat itu.

Mayat seorang gadis yang usianya sebaya dengannya, mayat yang setengah telanjang, mayat yang diperkosa dan dibunuh secara kejam. Kejam karena tubuh itu tidak terluka, akan tetapi setelah diperiksa, di pelipisnya ada tanda jari hitam. Tahulah Sui Cin bahwa gadis ini dibunuh oleh orang yang mempunyai ilmu pukulan ganas dan kejam sekali, yang memiliki jari tangan yang mampu membunuh orang hanya dengan satu kali tusukan atau bahkan pijatan saja seperti yang dialami oleh gadis yang sudah mati itu.

Dengan muka merah karena marah sekali, Sui Cin menoleh ke arah Cia Sun dan melihat betapa pemuda itu telah berdiri dekat akan tetapi pemuda itu membuang muka, tentu saja karena melihat mayat setengah telanjang itu. Sui Cin cepat menutupi bagian-bagian yang biasanya tertutup dengan sisa pakaian yang masih ada sambil menghela napas panjang untuk menekan perasaannya yang dibakar api kemarahan.

"Kenapa dia?" tanya Cia Sun mendengar helaan napas gadis itu.

"Diperkosa kemudian dibunuh. Lihatlah sendiri betapa kejamnya pembunuh itu. Tak perlu sungkan, tubuhnya sudah kututupi."

Sebenarnya, andai kata di situ tidak ada Sui Cin, tentu Cia Sun tak begitu sungkan untuk memeriksa karena bagaimana pun juga, yang terbujur di atas tanah itu adalah tubuh yang sudah tak bernyawa lagi. Akan tetapi, dengan hadirnya gadis itu dia merasa tidak sampai hati untuk memandang ketika dilihatnya tubuh gadis itu terbuka telanjang.

Mendengar ucapan Sui Cin, Cia Sun berlutut dan atas petunjuk Sui Cin, dengan mudah dia menemukan sebab kematian. Totokan jari tangan yang amat ganas pada pelipis gadis itu sudah merusakkan otak dan menghentikan aliran darah, mendatangkan kematian yang amat menyiksa karena gadis itu mati perlahan-lahan sesudah mengalami rasa nyeri yang hebat tanpa dapat berkutik!

"Bedebah! Seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!" kata Cia Sun.

"Dan gadis ini pun bukan seorang gadis biasa, namun seorang yang memiliki kepandaian silat. Lihat, di pinggangnya masih terdapat kantung piauw yang belum habis dia gunakan, dan pada lengan kirinya ada cacat goresan pedang yang sudah lama."

“Ahh, ini berarti bahwa jai-hwa-cat itu adalah satu di antara golongan hitam yang sengaja hendak mengacau pertemuan para pendekar, seperti juga tiga orang iblis dari Cap-sha-kui yang telah kau jumpai itu, Cin-moi."

"Kurasa begitu. Kasihan gadis yang masih begini muda tapi harus tewas dalam keadaan begini menyedihkan. Kenapa dia melakukan perjalanan seorang diri ke tempat berbahaya ini?"

"Ingat, Cin-moi, bukankah engkau pun seorang gadis muda yang melakukan perjalanan sendirian saja sebelum bertemu denganku? Kurasa ia pun mengandalkan kepandaiannya maka berani melakukan perjalanan sendiri, sungguh kasihan sekali."

"Atau dia terpisah dari rombongannya, siapa tahu..."

"Mungkin juga. Mari kita cepat mengubur mayatnya."

Dua orang pendekar muda itu segera menggali lubang dan mengubur jenazah itu secara sederhana sekali, lantas memberi tanda di atas kuburan itu dengan sebongkah batu yang berbentuk tinggi lurus. Setelah selesai mereka maju lagi dan mulai mendaki bukit.

Ketika memasuki hutan pertama yang kecil, mereka dikejutkan oleh penemuan kedua. Sekali ini mereka melihat tiga orang laki-laki muda yang sudah menjadi mayat dan tubuh mereka berserakan di tepi jalan. Seperti mayat gadis pertama tadi, jenazah mereka pun tidak terdapat cacat, tidak ada luka, hanya ada tanda satu jari hitam saja di bagian-bagian yang mematikan. Seorang di tengkuk, seorang lagi di ulu hati dan seorang lagi di kepala. Jelaslah bahwa mereka itu terbunuh hanya dengan satu kali serangan sebuah jari tangan saja yang meninggalkan bekas hitam!

"Jahanam, aku harus membasmi Si Jari Hitam yang kejam ini!" Cia Sun mengepal tinju. Di dekat ketiga mayat itu dia menemukan tiga batang pedang. Agaknya tentu senjata mereka yang terlepas dari tangan.

"Tentu ada hubungannya dengan kematian gadis yang diperkosa," kata Sui Cin. "Engkau tadi menduga benar, Sun-ko. Gadis itu tadi tentu serombongan dengan mereka ini."

Kembali mereka menggali lubang, kini cukup besar untuk mengubur ketiga buah mayat itu sekaligus. Mereka berkeringat juga setelah selesai meletakkan batu besar di atas makam baru ini. Matahari telah condong ke barat ketika mereka melanjutkan perjalanan dengan hati terasa semakin panas terhadap pelaku pembunuhan-pembunuban kejam itu.

Menjelang senja mereka sampai di lereng bukit itu dan tiba-tiba mereka melihat dua orang lelaki sedang berkelahi dengan serunya. Keduanya cepat-cepat menghampiri dan Sui Cin segera meloncat turun dari atas kudanya. Bersama Cia Sun ia memperhatikan dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.

Orang pertama yang melakukan serangan membabi-buta adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar, bercambang bauk dan jelas memiliki potongan penjahat yang serba kasar dan sudah biasa menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Orang ini menggunakan sebatang golok besar yang tebal dan berat untuk menyerang lawan. Goloknya membentuk gulungan sinar yang berkilauan akibat tertimpa cahaya matahari senja yang kemerahan.

Orang kedua yang menjadi lawannya amat menarik perhatian Sui Cin dan Cia Sun. Orang itu masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan lincah gembira karena ketika menghadapi serangan bertubi-tubi dari lawannya itu dia masih bisa tersenyum-senyum!

Pakaiannya amat rapi dan malah agak mewah dan indah, pantas sekali dengan tubuhnya yang tegap serta wajahnya yang tampan. Benar-benar potongan seorang pendekar tulen, pendekar yang halus dan agaknya terpelajar, menilik dari pakaian dan gerak-geriknya.

Pemuda ini bertangan kosong dan pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata, hanya di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian. Rambutnya yang hitam lebat itu digelung ke atas, kemudian kepalanya dilindungi oleh sebuah caping bulat yang amat lebar. Begitu seenaknya dia menghadapi lawan sehingga topi lebar itu pun tidak dilepasnya dan caping itu mengangguk-angguk dan melambai-lambai mengikuti gerakan-gerakannya.

Sui Cin dan Cia Sun memperhatikan gerakan pemuda itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Sungguh pun sambaran golok itu cukup dahsyat, namun tubuh pemuda itu seperti kapas saja yang sukar disentuh golok, seakan-akan sambaran golok itu cukup membuat tubuhnya terdorong menghindar sehingga sebelum goloknya tiba, tubuhnya sudah lebih dulu menyingkir.

Tentu saja Sui Cin dan Cia Sun kagum dan mengerti bahwa pemuda bercaping lebar itu merupakan seorang ahli ginkang yang hebat. Sui Cin sendiri telah mewarisi ginkang yang hebat dari ibu kandungnya, akan tetapi melihat gerakan pemuda bercaping itu, dia pun merasa kagum dan diam-diam ia ingin sekali mencoba ginkang-nya melawan pemuda itu! Karena mereka tidak tahu urusannya, maka tentu saja mereka hanya menonton dan tidak berani sembarangan turun tangan.

Sementara itu, pemuda bercaping agaknya tidak pernah melihat kedatangan Sui Cin dan Cia Sun, karena dia terus didesak dan diserang secara bertubi-tubi oleh lawannya. Tetapi semua serangan mampu dihindarkannya dengan baik dan tiba-tiba dia membuat gerakan cepat sekali dengan kakinya.

"Hyaaat! Robohlah!"

Dan bagaikan mentaati perintah pemuda bercaping itu, tiba-tiba saja lawannya itu roboh terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena tendangan si pemuda sudah membuat sambungan lutut kanannya terlepas.

Tendangan yang hebat tadi dapat dilihat jelas oleh Cia Sun dan Sui Cin sehingga mereka kembali merasa kagum. Itu adalah semacam ilmu tendangan yang amat berbahaya, pikir mereka. Kini pemuda itu melangkah maju menghampiri.

Tiba-tiba Sui Cin hampir menjerit melihat betapa laki-laki tinggi besar yang sudah roboh itu secara mendadak menggerakkan goloknya membabat ke arah kaki, lantas serangan ini dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut. Sungguh merupakan serangan amat berbahaya dan dilakukan dengan mendadak selagi pemuda itu menghampirinya dan sama sekali tak menduganya.

Tetapi Sui Cin dan Cia Sun kembali terkejut kagum melihat betapa mudahnya pemuda itu menghadapi serangan yang cukup berbahaya itu. Ketika golok membabat kaki, tubuhnya meloncat ke atas dan ketika golok itu menyambar ke arah perutnya, enak saja tubuhnya miring dan dari samping, tangannya bergerak ke arah pundak kanan lawan yang berada dalam keadaan terbuka.

"Krekkk!"

Golok terlepas jatuh ke dekat tubuh orang tinggi besar itu dan lengan kanannya terkulai karena tulang pundaknya sudah patah. Si tinggi besar memandang beringas, akan tetapi agaknya dia pun maklum bahwa kini dia menghadapi lawan yang lebih kuat maka hanya menundukkan mukanya.

"Hemm, penjahat busuk dan hina! Engkau masih tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa dan membunuh wanita itu?"

"Aku... aku mengaku, tapi..."

"Hemm, tidak ada tapi lagi. Setelah engkau mengaku menjadi pemerkosa dan pembunuh, sekarang boleh kau pilih, ingin menamatkan riwayat hidupmu sendiri ataukah engkau ingin aku membantumu dan membiarkan engkau mati perlahan-lahan dengan menderita? Nah, itu golokmu masih di situ dan engkau harus berterima kasih kepadaku yang membiarkan engkau masih dapat memilih." Pemuda itu tersenyum di bawah capingnya.

Dari jauh, yang nampak oleh Cia Sun hanya senyum itu saja dan dia merasa tidak suka dengan senyum ini. Senyum ini membayangkan kekejaman biar pun hanya sekilas saja.

Si tinggi besar menarik napas panjang. "Aku sudah kalah, siapa takut mati?" Dan tangan kirinya mengambil goloknya sendiri lalu dengan gerakan yang kuat, golok itu digerakkan menyambar leher sendiri.

Cia Sun dan Sui Cin terkejut sekali, hendak mencegah namun terlambat. Darah muncrat-muncrat dan orang tinggi besar yang tadinya duduk itu kini terjengkang dengan leher yang terkuak lebar hampir putus.

Pemuda bercaping lebar itu masih berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, mengangguk-angguk melihat bekas lawannya tewas. Lalu dengan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Sui Cin dan Cia Sun. Wajahnya yang putih halus itu berseri-seri dan mulutnya tersenyum manis dan ramah sekali. Bahkan dia cepat menjura dengan sikap hormat kepada Sui Cin dan Cia Sun yang tentu saja segera membalasnya.

"Ahh, kiranya ada dua orang gagah perkasa yang ikut menyaksikan tewasnya jai-hwa-cat yang kejam ini. Saya dapat menduga bahwa ji-wi (anda berdua) tentu hendak menghadiri pertemuan para pendekar seperti saya juga, bukan?"

Ucapan ini makin meyakinkan hati Sui Cin bahwa pemuda tampan dan perkasa ini adalah seorang pendekar, maka ia pun cepat balas menjura dan memuji, "Caramu memaksa dia membunuh diri tadi sungguh cerdik sekali!"

"Begitukah, nona? Sebenarnya orang macam dia layak mampus, akan tetapi aku selalu merasa tidak tega untuk membunuh orang, betapa pun jahatnya. Kecuali kalau terpaksa sekali. Kalau bisa, aku lebih senang membiarkan dia membunuh diri sendiri."

"Maaf, saudara tadi mengatakan bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat. Apakah telah ada buktinya dia memperkosa wanita dan membunuh orang?" tiba-tiba Cia Sun bertanya dan matanya memandang penuh selidik.

Pemuda bercaping itu memandang kepadanya hingga sejenak dua orang muda itu saling pandang dengan tajam. Akan tetapi, pemuda bercaping itu lalu tertawa, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, mendatangkan rasa suka di hati Sui Cin. Selain gagah juga jujur dan gembira, pemuda ini tentu lebih menyenangkan sebagai sahabat seperjalanan dari pada Cia Sun yang pendiam sekali itu.

"Ha-ha-ha, saudara berpakaian putih sederhana, pantas dijuluki Pek-i Taihiap (Pendekar Besar Baju Putih), dan pertanyaanmu tadi menunjukkan bahwa engkau adalah seorang yang sangat teliti dan bijaksana. Memang, sebelum kita bersahabat, seyogianyalah kalau kalian berdua lebih dulu mengenal orang macam apa aku yang hendak dijadikan kenalan, bukan?" Orang itu tersenyum dan melirik ke arah Sui Cin yang juga tersenyum karena dia menganggap bahwa orang ini pandai bicara pandai pula membawa diri. "Namaku Thian Bu, she Sim. Sim Thian Bu, ya, itu nama yang mudah diingat, bukan? Aku tidak datang dari satu golongan atau partai persilatan tertentu, hidupku sendirian dan suka merantau di dunia yang luas. Karena sejak kecil aku sudah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, maka sesudah mendengar akan diadakannya pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu, aku segera bermaksud menghadirinya untuk berkenalan dengan para pendekar dan meluaskan pengalaman. Ketika melewati hutan di bawah, aku melihat mayat seorang wanita diperkosa. Aku lalu mengejar ke atas dan melihat tiga orang pendekar mengeroyok penjahat ini. Sayang aku terlambat sehingga tiga orang pendekar itu telah roboh. Aku lalu mengejar lagi dan akhirnya berhasil menyusulnya di tempat ini."

Mendengar cerita itu, Sui Cin tersenyum dan memuji, "Sungguh engkau dapat bergerak cepat sekali hingga berhasil merobohkan penjahat keji itu, saudara Sim. Kami pun sedang mencari-carinya dan agaknya akan sukarlah mengetahui siapa pelaku kejahatan itu kalau dia dapat meloloskan diri."

"Nona terlalu memuji." Sim Thian Bu tersenyum dan menjura. "Setelah aku menceritakan semua tentang diriku, bolehkah aku mengenal nama ji-wi yang mulia?"

Sui Cin melihat betapa Cia Sun diam saja dan hanya memandang tajam kepada pemuda tampan itu, maka dia merasa tidak enak jika tidak menjawab. "Namaku Ceng Sui Cin dan ini adalah kakak misanku bernama Cia Sun."

Mendengar nama kedua orang muda itu, Sim Thian Bu nampak tercengang, akan tetapi hanya sebentar saja dan hanya Cia Sun yang melihatnya karena memang semenjak tadi dia terus memperhatikan orang itu.

"Di dalam dunia persilatan ada dua orang locianpwe yang memiliki she Ceng dan Cia yang paling terkenal, yaitu Ceng-locianpwe yang berjuluk Pendekar Sadis serta Cia-locianpwe sebagai ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga..."

"Mereka adalah ayah-ayah kami." Baru sekarang ini Cia Sun berkata, memotong ucapan pemuda she Sim itu.

"Ahh, ternyata ji-wi adalah putera dan puteri dua orang locianpwe yang sangat terkenal. Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat. Maaf, aku tak berani mengganggu lebih lama lagi. Sampai jumpa di tempat pertemuan!" Sim Thian Bu menjura dengan sikap hormat, kemudian dia menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dari tempat itu, menyelinap di antara pepohonan. Gerakannya memang cepat sekali dan agaknya dia memang sengaja memamerkan ilmu ginkang-nya sehingga mau tidak mau, dua orang pendekar muda itu pun merasa kagum.

"Dia lihai, sayang kita tidak dapat berkenalan lebih baik dan tahu siapa dia sebetulnya," kata Sui Cin.

Akan tetapi Cia Sun tidak memberi komentar dan pemuda ini segera menghampiri mayat penjahat tinggi besar tadi, memandang sejenak lalu mulal menggali tanah.

"Apa yang kau lakukan, Sun-ko?"

"Mengubur jenazah ini," jawabnya singkat.

"Wah, kita mengubur lagi?"

"Mayat-mayat yang tadi pun kita kubur."

"Mereka adalah pendekar-pendekar, sedangkan yang ini adalah penjahat. Jika kita harus mengubur setiap mayat termasuk mayat penjahat juga, kita bisa menjadi tukang pengubur jenazah!"

"Cin-moi, apa bedanya? Baik buruk, pandai bodoh, kaya miskin, mulia hina, kalau sudah menjadi jenazah begini apa bedanya?" Cia Sun bekerja terus.

Sui Cin mengangkat pundak kemudian membantu pekerjaan itu tanpa banyak cakap lagi. Mereka bekerja keras, maka sebentar saja mereka sudah mengubur jenazah itu. Sambil membersihkan kedua tangannya, Sui Cin mengomel kepada gundukan tanah kuburan itu,

"Hemm, jai-hwa-cat, entah kebaikan apa yang telah kau lakukan sewaktu hidupmu hingga ketika mati engkau mendapat kehormatan dikubur oleh kami?"

"Cin-moi, aku masih belum percaya bahwa orang inilah yang membunuh dan memperkosa gadis yang kita kubur itu. Juga belum tentu dia yang membunuh tiga orang itu."

"Hemm, kenapa kau berkata demikian, Sun-ko? Bukankah sudah jelas..."

"Sama sekali belum jelas! Cin-moi, ingatkah engkau bagaimana matinya keempat orang pendekar muda itu? Mereka semua mati karena pukulan atau totokan jari tangan yang amat dahsyat. Akan tetapi orang yang kita kubur ini, dia berkelahi mempergunakan golok. Kenapa dia tidak mempergunakan jarinya yang lihai, seperti ketika dia membunuh empat orang itu?"

Sui Cin mengerutkan alisnya, terkejut karena baru sekarang dia teringat akan hal itu dan otaknya yang cerdik itu langsung bekerja. "Memang aneh..." katanya, "akan tetapi, kita harus mengakui bahwa permainan goloknya hebat sehingga bukan tak mungkin kalau dia menguasai pula ilmu totok yang sangat jahat itu. Mungkin saja, karena pemuda she Sim itu memang lihai dan lebih pandai dari padanya, maka dia tidak lagi mengandalkan ilmu totoknya dan menggunakan golok."

Pemuda itu menggelengkan kepala. "Meragukan sekali. Biar pun permainan goloknya tadi memang cukup lihai, akan tetapi kurasa tingkatnya belum mencapai tingkat Si Jari Hitam. Penjahat itu, kalau memang penjahat, adalah penjahat yang kasar dan tingkatnya belum tinggi."

"Akan tetapi, Sun-ko, bukankah dia sendiri sudah mengaku bahwa dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan? Kita berdua mendengar sendiri pengakuannya tadi sebelum dia membunuh diri."

"Itulah yang amat membingungkan hatiku, Cin-moi. Akan tetapi, walau pun dia mengaku memperkosa dan membunuh, dia tidak pernah mengatakan siapa yang diperkosanya dan dibunuhnya itu. Apakah gadis yang kita temui dan tiga orang pendekar muda itu? Ataukah orang lain yang dia maksudkan? Sayang orang she Sim itu tergesa-gesa mendesaknya membunuh diri sehingga aku tidak sempat mencegah untuk menanyainya secara teliti."

"Kini aku pun menjadi ragu, Sun-ko. Andai kata bukan dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan atas diri gadis dan tiga orang pemuda itu berarti..."

"Berarti bahwa seorang pemerkosa dan pembunuh yang amat lihai masih berkeliaran dan mengancam keselamatan banyak orang, terutama kaum pendekar."

Mereka melanjutkan perjalanan mendaki lereng bukit, tetapi Sui Cin mengomel, "Sun-ko, kenapa engkau memperkenalkan aku sebagai puteri Pendekar Sadis?"

"Ehh, apa salahnya karena memang kenyataannya begitu?"

"Aku tidak suka! Aku ingin hidup bebas, tidak mau membonceng nama besar ayahku. Kau lihat, aku suka menyamar, berarti aku hendak menyembunyikan keadaan diriku sebagai puteri Pendekar Sadis."

"Mengapa, Cin-moi? Seharusnya engkau merasa bangga mempunyai ayah seperti paman Ceng Thian Sin."

"Hemm, ayahku Pendekar Sadis dan ibuku Lam-sin, keduanya adalah tokoh-tokoh besar yang namanya menjulang tinggi. Apakah hal itu harus kupergunakan untuk mengangkat diriku sendiri? Tidak, aku tidak suka. Kalau orang mengenalku, maka dia boleh mengenal pribadiku sendiri, bukan suka berkenalan denganku karena aku puteri ayah bundaku yang terkenal itu." Gadis itu cemberut.

Kembali Cia Sun terheran-heran dan merasa bingung. Dia semakin tidak dapat menyelami watak gadis ini.

Di tengah malam itu mereka terpaksa berhenti pada sebuah lereng untuk beristirahat dan pada keesokan harinya, tiba-tiba Sui Cin berkata,

"Sun-ko, di sini terpaksa kita harus berpisah."

Ucapan ini sungguh tidak pernah disangka oleh Cia Sun yang menjadi terkejut sekali. Dan di dalam kekagetannya itu dia merasa heran mengapa hatinya menjadi begini. Apa artinya perpisahan? Setiap pertemuan pasti harus diakhiri dengan perpisahan dan biasanya, dia bertemu dan berpisah dari orang-orang tanpa kesan. Mengapa sekarang hatinya merasa seperti disayat ketika mendengar gadis itu mengusulkan perpisahan?

"Tetapi mengapa, Cin-moi? Bukankah kita berdua sama-sama hendak pergi mengunjungi pertemuan para pendekar? Tujuan perjalanan kita sama dan puncak itu telah nampak dari sini, juga hari inilah hari pertemuan itu."

"Sun-ko, engkau adalah wakil dari Lembah Naga, wakil Pek-liong-pang, sedangkan aku hanya seorang penonton saja. Biarlah kita bertemu saja di sana nanti. Selamat berpisah!"

Tanpa menunggu bantahan lagi, Sui Cin langsung membedal kudanya yang segera berlari congklang ke depan, kemudian membalap mendaki lereng terakhir. Cia Sun hanya dapat memandang dan menarik napas panjang. Semangatnya seperti terbawa pergi oleh gadis itu, dan kaki kuda yang bercongklang itu laksana menginjak-injak dan menyepak-nyepak hatinya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Beberapa belas li jauhnya dari Puncak Bukit Perahu ada sebuah daerah liar yang sangat jarang didatangi manusia kerena tempat itu sukar dicapai dengan cara biasa. Tempat itu merupakan sebuah lereng yang penuh dengan jurang yang amat curam, juga merupakan daerah yang berbatu-batu, penuh dengan goa-goa gelap dan kabarnya tempat ini menjadi sarang binatang-binatang buas serta binatang-binatang beracun, juga penjahat-penjahat yang menjadi buruan banyak yang lenyap setelah memasuki daerah ini.

Akan tetapi, sehari sebelum pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu dimulai, di sebuah tanah datar yang dikelilingi oleh batu-batu dan goa-goa nampak didatangi banyak orang. Jika melihat keadaan pakaian dan sikap orang-orang ini, juga wajah mereka yang rata-rata amat menyeramkan, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan hitam. Para pendekar menamakan golongan ini sebagai kaum sesat.

Memang sangat menyedihkan melihat betapa manusia sudah dipecah-pecah dan dipisah-pisahkan menjadi berbagai macam golongan. Karena dipisah dan menjadi anggota dari masing-masing golongan, tentu saja kepentingan masing-masing telah membuat mereka kadang-kadang saling bentrok dan setiap golongan membenarkan golongannya sendiri.

Tidak ada manusia dilahirkan jahat! Setiap keadaan sudah pasti mengandung sebab dan kalau ada orang yang menjadi sesat lalu melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan yang lajimnya disebut jahat, maka keadaannya itu bukanlah terbawa dari kelahiran, melainkan diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu. Bahkan orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat sekali pun, sudah pasti ada sebab-sebab yang terjadi sebelum dia dilahirkan, sehingga keadaannya saat dilahirkan itu pun menjadi akibat dari suatu sebab.

Banyaklah sebab yang menjadikan manusia seperti yang banyak kita lihat sekarang ini. Pada umumnya dinamakan jahat sebab merugikan orang lain, berwatak buruk dan kejam dan sebagainya. Kebencian, keserakahan, pengejaran kesenangan, dendam iri hati, rasa takut, semua ini dapat membentuk watak yang kejam dan ganas.

Dan setiap orang manusia tentu pernah atau akan merasakan itu. Hubungannya sangat erat dengan kesenangan dan sekali orang melakukannya, tanpa disertai oleh kesadaran, maka akan menjadi berlarut-larut kemudian menjadi semacam kebiasaan yang mendarah daging atau yang membuat orang mencandu dan condong untuk mengulang-ulang lagi.

Orang yang sedang tersesat ini disebut penjahat dan dibenci, dimaki, dihindari. Hal inilah yang akhirnya membuat mereka merasa terancam sehingga mereka pun lantas memilih kawan, berkelompok maka terjadilah penggolongan. Mereka lalu dinamakan kaum sesat, golongan hitam atau kotor.

Tentu saja golongan ini membalas kebencian yang dilontarkan oleh para pendekar kepada mereka. Mereka menganggap para pendekar sebagai golongan lawan yang mengancam keselamatan mereka dan sebagai balasan, mereka pun lalu menamakan golongan para pendekar itu sebagai golongan sombong, golongan besar kepala, bahkan ada pula yang menamakannya kaum munafik!

Demikianlah, ketika mendengar bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, mereka yang dinamakan golongan sesat itu pun langsung bergerak dan mendahului pertemuan itu dengan mengadakan pertemuan rahasia di tempat liar itu, hanya belasan li jauhnya dari tempat yang akan dijadikan balai pertemuan para pendekar! Dan pertemuan rahasia ini tidak tanggung-tanggung sebab yang menjadi pengundangnya adalah Cap-sha-kui.

Maka, mereka yang merasa dirinya sudah ‘tokoh’ langsung berbondong-bondong datang untuk menghadiri pertemuan rahasia itu. Memang sesungguhnyalah, kalau tidak memiliki kepandaian tinggi maka jangan harap akan dapat mendatangi tempat pertemuan rahasia yang ditentukan itu dan agaknya dalam hal ini memang Cap-sha-kui hendak menguji dan menyaring para tokoh sesat. Mereka yang tidak tinggi tingkat kepandaiannya tidak akan berani atau dapat datang.

Para tokoh besar kaum sesat banyak yang memiliki kebiasaan dan watak yang aneh dan tidak lumrah manusia pada umumnya. Karena kepandaian mereka yang tinggi dan watak mereka yang ganas, mereka kadang-kadang bukan seperti manusia lagi.

Biasanya mereka tak pernah mempedulikan orang lain, yang terpenting adalah diri sendiri. Akan tetapi kali ini, agaknya karena tuntutan keadaan dan karena kekhawatiran terhadap keamanan diri sendiri, mereka benar-benar berusaha untuk mengadakan pertemuan dan untuk bersatu. Demikian anehnya mereka sehingga pertemuan rahasia itu pun diadakan di waktu tengah malam! Demikian bunyi undangannya dan pada malam yang ditentukan, ternyata tepat malam bulan purnama.

Malam itu bulan yang bulat amat terangnya. Tidak ada awan hitam yang gelap, yang ada hanyalah awan-awan putih tipis yang terbang lalu dengan begitu lembutnya. Suasana di tanah lapang dekat dinding goa-goa itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apa pun, sepi dan lengang.

Tetapi, menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengerikan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin keras, menyayat hati seperti anak yang sedang dalam kesakitan.

Setelah tangis yang makin meninggi itu sampai pada titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti, suaranya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan menakutkan, sampai beberapa lamanya.

Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak terdengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itu pun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, seperti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu terhenti dan kembali lengang. Sungguh menegangkan dan mengerikan sekali!

Dan di dalam suasana yang amat menegangkan itu, tiba-tiba saja terlihat dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seakan-akan pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan, hanya akibat gerakan mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ.

Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Apa bila didekati, memang mereka itu sangat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang sedang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah!

Jika dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Kedua mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya. Siapa yang berjumpa dengan mereka di malam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia.

Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah sangat tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput. Demikian kurus muka itu, seolah-olah hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala!

Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa pada waktu mudanya nenek ini adalah seorang wanita yang cantik. Akan tetapi mukanya amat pucat, bahkan bibirnya agak kebiruan, dan dengan sepasang mata yang mencorong itu dia mirip siluman. Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat.

Dan mereka itu pun sesungguhnya demikian. Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok (Lembah Iblis), yaitu sebuah tempat di Pegunungan Hong-san yang sungguh berbahaya sehingga jarang ada orang, betapa pun pandainya, berani lancang memasuki daerah itu di mana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya.

Mereka itu tidak pernah memakai julukan, akan tetapi orang-orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lo-mo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lo-bo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mereka tak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang sekaligus juga adalah murid-murid mereka. Perkumpulan milik mereka itu pun dinamakan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggota atau muridnya berpakaian putih berkabung.

"Hemm, belum nampak ada seorang pun yang datang," kata Kui-kok Lo-mo dengan suara mengomel.

"Mereka itu memang bermalas-malasan kalau ada tugas pekerjaan, coba diberi tahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan datang," omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali. Suami-isteri ini adalah dua di antara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian dari tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu.

Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam, terdengar dari jauh sekali. Suami isteri yang tua ini saling pandang dan di wajah mereka yang seperti mayat itu tak nampak perubahan apa pun, akan tetapi mata mereka bersinar-sinar.

"Si raksasa rakus sudah datang," kata Lo-bo.

"Huh, memuakkan. Ke sini membawa korbannya, menjijikkan!" sambung Lo-mo.

Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara langkah kaki yang amat berat. Dari balik goa muncul seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali ukuran manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng.

Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tidak terpelihara dan pakaian seperti jembel ini, sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. Akan tetapi sungguh sangat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias pada kedua pergelangan tangannya. Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya apa bila diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang!

Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar, sedangkan tubuhnya kelihatan kokoh kuat bagaikan batu karang. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya dan dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Orang ini makan daging anak-anak mentah-mentah!

Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Bila tadi kakek dan nenek ini datang seperti bayang-bayang setan, dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapatlah dibayangkan betapa besar tenaganya.

Secara diam-diam kakek dan nenek itu merasa kagum bukan main. Harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwakang (tenaga luar) yang sedemikian hebatnya.

Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini? Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti.

Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia sangat kejam dan amat ditakuti, maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya. Seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi ini pun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

Dia peranakan Nepal dan pada waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Karena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu-ilmu sesat dan ilmu hitam sampai akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui.

Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke bawah jurang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai, dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.

"Heh-heh, Lo-bo, apanya yang memuakkan dan menjijikkan?" tanyanya, suaranya besar parau.

"Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?" Kui-kok Lo-bo pun mengejek. "Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!" tambahnya.

"Ha-ha-ha, Lo-mo, apakah engkau tak dapat mengendalikan mulut binimu? Lo-bo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?" Raksasa itu tertawa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.

"Apa? Aku pemakan bangkai? Jaga mulutmu!" bentak Lo-bo marah.

"Segala macam daging yang pernah kau makan itu apa bukan bangkai namanya? Yang kau makan adalah bangkai binatang, sedangkan aku makan bangkai orang, heh-heh, aku lebih unggul!"

"Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?" Lo-bo berteriak.

"Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai di mana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walau pun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lo-bo."

Kui-kok Lo-bo menoleh kepada suaminya. Bagaimana pun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan terhadap suaminya. Lo-mo mengangguk kemudian berkata, "Karena yang lainnya belum datang, boleh saja engkau main-main melawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita."

Kalau tidak melihat wajahnya yang seperti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lo-mo adalah seorang kakek yang halus budi bahasanya.

Sesudah mendapat persetujuan suaminya, dengan gerakan yang sangat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di depan raksasa itu. "Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!" katanya.

Secepat kilat nenek itu langsung menggerakkan tangannya ke depan. Terdengarlah suara mencicit bagaikan suara kelelawar pada waktu jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.

"Hehh!" Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa ada hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyambar ke arah perutnya. Itulah semacam ilmu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Maka dia pun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biar pun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata dia pun dapat bergerak sigap.

Dia meloncat ke belakang, lalu lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk menangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia langsung membarengi dengan uluran lengan kiri yang menghantam dari samping ke arah kepala si nenek. Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibar-kibar. Namun, gesit sekali gerakan Lo-bo yang sudah dapat menghindar pula.

Sebetulnya pertandingan itu hanya semacam ujian saja karena lama mereka tidak saling jumpa sehingga mereka ingin sekali mengukur kepandaian dan kemajuan masing-masing. Akan tetapi dasar watak mereka yang aneh dan ganas, maka biar pun hanya merupakan pertandingan saja dan bukan perkelahian karena dendam, tetapi keduanya tidak menahan gerakan mereka dalam menyerang, setiap serangan mereka adalah pukulan-pukulan maut dan begitu bergebrak mereka sudah mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Hal ini adalah karena mereka tahu bahwa kalau mereka mengeluarkan ilmu-ilmu lama tentu akan percuma saja karena pihak lawan sudah mengenalnya dan akan dengan mudah mampu memecahkannya.

Bukan main terkejutnya hati Tho-tee-kwi menghadapi serangkaian pukulan nenek itu yang mengeluarkan suara mencicit nyaring dan mengandung hawa panas, juga hawa pukulan itu mampu merobek ujung bajunya.

"Ehh, ehh, ilmu setan apakah itu?" bentaknya.

Nenek itu mendengus. "Ilmu untuk mengalahkanmu. Hayo lekas berlutut mengaku kalah jika engkau tak ingin perutmu yang penuh mayat itu terobek dan ususmu terburai keluar!"

Raksasa baju hijau itu tertawa besar. "Ha-ha-ha, enaknya buka mulut membual! Lihat ini!"

Dan tiba-tiba kedua kakinya dihentakkan di atas tanah sedemikian kerasnya hingga tanah itu terguncang bagaikan ada gempa bumi. Tubuh nenek itu turut pula tergetar dan dalam keadaan demikian, raksasa itu langsung menyerang dan kini pukulannya sama antepnya dengan hentakan kakinya tadi, begitu penuh mengandung tenaga raksasa! Memang ilmu ini amat hebat. Ketika pertama muncul tadi, agaknya si raksasa juga sudah memamerkan ilmu barunya itu.

Lo-bo cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari rangkaian serangan pertama. Akan tetapi si raksasa berkali-kali menghentakkan kakinya, kemudian menyusulinya dengan serangan-serangan yang sangat dahsyat hingga tempat itu dilanda angin-angin pukulannya, membuat daun-daun di pohon yang agak jauh tergoyang-goyang.

Sekarang nenek itu mulai terdesak! Dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk dapat membalas serangan lawan. Akan tetapi, dengan mengandalkan ginkang yang jauh lebih lihai, dia masih mampu menyelamatkan diri dari semua serangan ganas itu.

Melihat betapa isterinya terdesak dan jika terus dilanjutkan agaknya isterinya akan kalah, Lo-mo lalu melompat ke depan. Dia telah memperhatikan gerakan lawan tadi dan maklum bahwa tanpa mempelajari dulu ilmu baru itu dan menangkap intinya, akan sukarlah untuk mengatasinya.

"Mundurlah, biar aku yang mencoba ilmu baru Tho-tee-kong!" katanya.

Nenek itu pun tahu diri. Akan tetapi dia tidak mau mengakui keunggulan lawannya, maka sambil meloncat mundur dia pun berseru mengejek. "Mulut dan badanmu bau mayat, aku tidak tahan melayanimu lebih lama lagi!"

"Ha-ha-ha!" kakek raksasa tertawa. Akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika Lo-mo sudah menggeser kakinya ke depan.

"Tho-tee-kong, mari kita main-main sebentar!"

Lagak kakek bermuka mayat ini memang berbeda dengan lagak isterinya atau raksasa itu, bahkan berbeda dengan lagak dan sifat para datuk sesat pada umumnya. Kalau para datuk sesat biasanya berlagak aneh, kasar dan tidak mempedulikan sopan santun, kakek ini sebaliknya bersikap halus dan berwibawa, malah lebih mendekati sikap seorang tokoh pendekar dari pada seorang tokoh sesat.

Hal ini adalah karena dia berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat, dan pada waktu kecilnya, dia terdidik baik-baik. Maka, biar pun kini menjadi tokoh utama dari kaum sesat, dia tidak dapat melupakan sikap halus yang sudah ditanamkan pada dirinya sejak kecil.

"Ha-ha, Lo-mo, binimu maju pesat, engkau tentu lebih hebat lagi!" raksasa itu mengejek.

"Sambutlah!" kata Lo-mo dan dia pun mulai menyerang. Serangannya tampak ringan saja, akan tetapi karena gerakannya cepat bukan main maka tahu-tahu telapak tangannya telah menyambar ke arah leher Tho-tee-kwi.

Raksasa ini melempar tubuh ke belakang dan terkejut sekali. Dari telapak tangan kakek mayat itu menyambar hawa panas yang disertai uap putih berbau amis! Kemudian kakek itu menyerang untuk kedua dan ketiga kalinya, dan maklumlah raksasa itu bahwa Lo-mo menggunakan ilmu yang sama dengan Lo-bo tadi, hanya tingkat Lo-mo sudah lebih tinggi sehingga telapak tangan itu bukan hanya mengeluarkan suara dan hawa panas, namun juga mengeluarkan uap putih yang berbau amis.

Maka dia pun cepat menggereng dan mengeluarkan ilmunya yang tadi. Kakinya dihentak-hentakkan sehingga bumi seperti terguncang-guncang dan kedua lengannya secara aneh menyambar ke depan, memukul, menampar, atau mencengkeram, akan tetapi di balik semua pukulannya itu terkandung tenaga yang benar-benar sangat mengerikan sehingga baru angin pukulannya saja demikian kuat, laksana angin badai dan mengeluarkan suara bersuitan.