Siluman Pemburu Perawan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SILUMAN PEMBURU PERAWAN

SATU

SENJA baru saja berlalu, dan kegelapan pun menyergap Kadipaten Welirang. Termasuk, Desa Cendanu yang kelihatan sepi. Tak seorang pun yang terlihat berada di luar rumah. Kabut tebal dan udara dingin setelah tadi turun hujan agaknya yang jadi penyebab kesunyian ini. Namun keheningan itu mendadak pecah oleh....

"Tolong...! Tolooong.... Aaa...!"

Terdengar jeritan minta tolong yang diikuti teriakan kesakitan. Pada saat yang sama dari atap sebuah rumah tempat asal jeritan, tampak berkelebat sebuah bayangan sambil memondong satu sosok tubuh ramping terkulai tak berdaya.

"Eh! Apa?! Oh!"

Dua penjaga yang tengah terlelap tersentak kaget, mendengar teriakan barusan. Sesaat mereka mondar-mandir tak tahu tujuan. Namun salah seorang langsung sempat melihat sesosok bayangan yang tengah berkelebat di atap rumah.

"Hei?! Itu dia! Berhenti! Berhenti...!"

"Berhenti atau kubunuh kau!" sambut yang lain.

Sosok berpakaian serta hitam itu berhenti sebentar. Dan tiba-tiba dia mengebutkan tangannya, ke arah para penjaga.

Wusss!

Terdengar desir angin berhawa panas dari telapak tangan sosok berpakaian serba hitam itu, langsung melesat ke arah dua penjaga.

Desss...! Desss...!

"Aaa...!"

Keduanya terpental ke belakang sambil menjerit menyayat. Begitu ambruk di tanah, di dada mereka terlihat tanda hitam seperti daging terbakar. Keduanya tergeletak tanpa nyawa lagi.

Sedangkan sosok berpakaian serba hitam, begitu melepas serangan mendadak langsung berkelebat kembali dari satu atap ke atap rumah lainnya. Sebentar saja, tubuhnya telah lenyap dalam kegelapan. Memang begitu cepat dan ringan sekali gerakannya, pertanda bukan orang sembarangan.

Sementara itu, teriakan dari rumah yang disatroni sosok berpakaian hitam tadi, mendapat sambutan. Beberapa orang penduduk langsung keluar, membawa obor dan berbagai macam senjata. Dalam waktu singkat di halaman depan bangunan rumah besar itu keadaan jadi terang benderang oleh para penduduk yang berkumpul.

"Tolong! Tolong...! Seseorang menculik anak-ku! Dan dia juga membunuh suamiku! Tolooong...!" teriak seorang wanita setengah baya yang tergopoh-gopoh keluar.

Wajah wanita ini tampak pucat. Airmatanya tumpah tak karuan. Bias kecemasan terlihat jelas pada wajahnya, yang bercampur ketakutan.

"Ke mana larinya penculik itu, Nyi Sati?" tanya seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun.

"Keatas, Ki Langser!" tunjuk perempuan setengah baya yang dipanggil Nyi Sati cepat.

"Hei, lihat! Dua orang penjaga rumah Ki Nyamat mati!" teriak seorang penduduk.

Orang-orang segera mengerubungi kedua penjaga rumah Ki Nyamat, seorang saudagar kaya di desa ini. Mereka menggotong mayat itu ke beranda depan. Sementara Nyi Sati, istri Ki Nyamat tak bisa berbuat apa-apa lagi melihat itu. Didampingi beberapa orang pelayannya, wanita ini cuma menangis sesegukan.

"Ayo menyebar dan buat kelompok! Kita cari penculik itu!" teriak laki-lald tua yang bernama Langser, memberi perintah.

Ki Langser yang di Desa Cendanu ini menjabat sebagai kepala desa, kelihatan geram dan marah. Selama beberapa tahun tinggal di sini, bahkan sejak kecil, belum pernah terjadi peristiwa penculikan.

Tidak tanggung-tanggung. Karena yang diculik bukan harta benda, melainkan anak perawan Ki Nyamat. Seorang gadis yang terkenal cantik dan menjadi kembang desa ini.

Tanpa diperintah dua kali, orang-orang desa yang tengah berkumpul langsung membentuk kelompok dan melakukan pengejaran. Apalagi para pemudanya. Mereka kelihatan bersemangat melakukan pengejaran.

Ki Nyamat bukan orang sombong di desa ini. Dia tergolong kaya. Tak heran kalau kematiannya yang mengenaskan serta kematian dua penjaga rumahnya, banyak dikunjungi penduduk desa.

Sementara Nyi Sati tampak masih kelihatan belum sempurna keadaannya, meski pemakaman telah usai. Beberapa kali dia terpaksa dipapah para pelayan saat pergi dan pulang dari pekuburan.

Keadaan ini membuat Kepala Desa Cendanu segera bertindak. Para penduduk desa dikumpulkan. Dan mereka mulai membicarakan persoalan itu.

"Kisanak semua.... Kejadian ini tidak bisa kita pandang sebelah mata. Si penculik mungkin akan kembali untuk mencari korban lagi. Maka kita mesti waspada...!" kata Ki Langser ketika membuka musyawarah di beranda rumahnya.

"Lalu apa yang mesti kita lakukan, Ki Langser?" tanya seorang penduduk berusia sekitar empat puluh lima tahun. Dia dikenal dengan nama Ki Sabrang.

"Ya, apa yang mesti kita lakukan sekarang?" sambung seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Badannya tegap, dengan kumis lipis menghias wajahnya. "Bukankah beberapa waktu lalu kami telah memberi tahu akan datangnya bahaya seperti ini? Tapi ketika itu Ki Langser seperti tak percaya. Bahkan meremehkannya."

"Sudahlah. Jangan permasalahkan hal itu, Panca! Yang berlalu biarkan berlalu. Yang terpenting sekarang, kita bahas dulu soal ini," sahut salah seorang laki-laki tua berpakaian serba putih.

"Ya.... Aku tahu, dan mengaku salah," sahut Ki Langser dengan suara lirih penuh penyesalan. "Mestinya aku mendengarkan keluhan warga yang mendengar berita ini dari desa tetangga...."

"Sudahlah.... Tak apa, Ki," sambung laki-laki yang dipanggil Panca. "Aku juga tidak bermaksud menyalahkan."

"Iya. Yang penting kita cari tahu dulu, siapa penculik itu," lanjut laki-laki tua berpakaian serba putih, yang berwajah lembut menampakkan kearifan dan perbawa kuat. Tak heran kalau oleh penduduk desa ini dia diangkat sebagai ketua desa. Para penduduk sering memanggilnya dengan nama Ki Tambika.

"Baiklah. Apakah di antara kita ada yang bisa menduga siapa penculik itu sebenarnya?" tanya Ki Langser.

"Tidak seorang pun yang bisa mengetahuinya. Yang jelas, dia bukan warga desa sini, atau desa tetangga," sahut Panca ketika yang lain terdiam.

"Berarti kita tidak tahu ke mana mesti mencarinya?"

"Orang itu berilmu tinggi. Dan rasanya mustahil bisa dilacak oleh kita...."

"Apa maksudmu, Panca?" tanya seorang penduduk.

"Dua desa tetangga kita telah mengalami nasib yang sama seperti yang dialami Ki Nyamat. Yaitu, anak gadisnya diculik. Namun tak seorang pun yang pernah melihat atau mengetahui, siapa penculiknya. Dia datang dan pergi bagai setan," jelas Panca.

"Jangan-jangan memang hantu!" desis penduduk lainnya, takut-takut.

"Bisa jadi! Sebab, beberapa orang menjulukinya sebagai Siluman Pemburu Perawan. Hal itu jelas, karena yang diincar bukan harta benda, tapi seorang perawan belasan tahun dan berparas cantik!" jelas Panca.

"Apa maksud penculik itu sebenarnya?" gumam beberapa penduduk yang ada di ruang itu.

"Kalau dia seorang laki-laki, maksudnya mungkin lebih jelas. Yaitu....," Ki Langser tidak melanjutkan kata-katanya karena yakin, bahwa mereka semua mengerti. "Tapi kalau dia wanita? Apa yang dicarinya?"

"Ada beberapa orang penganut ilmu sesat yang menjadikan gadis perawan sebagai tumbal," sahut Ki Tambika.

"Siapa kira-kira penganut ilmu sesat itu?" tanya Panca.

Untuk sesaat ruangan serambi Kepala Desa Cendanu seperti pekuburan. Suasana hening mencekam bercampur wajah-wajah berkerut yang menyimpan amarah, kesal, namun tak tahu mesti berbuat apa. Mereka tengah berpikir, atau juga mengingat-ingat. Siapa gerangan yang pernah mendalami ilmu sesat seperti yang dikatakan Ki Tambika tadi.

"Rasanya, di desa ini belum ada terdengar ada orang yang menganut ilmu sesat...," cetus seseorang.

"Ya. Kurasa, begitu juga di desa tetangga kita," timpal Panca.

"Kurasa orang asing yang sengaja mencari kor-ban di desa-desa sekitar sini. Dengan begitu, jejaknya tidak tercium...," duga Ki Tambika.

"Lepas dari itu semua, kita tetap mesti waspada. Tingkatkan keamanan di wilayah masing-masing. Jangan sampai kita kecolongan lagi seperti semalam. Juga ada hal yang terpenting. Yaitu, kita mesti waspada pada setiap orang asing yang lewat dan singgah di desa ini!" lanjut Ki Langser, memberi pengarahan.

"Ya. Itu usul yang bagus!" dukung Ki Sabrang.

Sementara yang lain mengangguk-angguk sebagai tanda mendukung pendapat itu. Tapi baru saja pertemuan itu akan bubar, mendadak seorang pemuda bertubuh kurus memasuki serambi rumah kepala desa ini.

"Maaf, Ki...," ucap pemuda ini

"Ada apa, Gandung?" tanya Kepala Desa Cendanu.

"Seseorang melewati desa kita," lapor pemuda bertubuh kurus yang dipanggil Gandung.

"Apa maksudmu?" kejar Ki Langser dengan kening berkerut tajam.

"Orang asing! Aku belum pernah melihat sebelumnya," jelas Gandung.

"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Ki Tambika.

"Seorang pemuda tampan barbaju rompi putih. Di punggungnya terselip sebatang pedang bergagang kepala burung. Dia menunggang kuda hitam," jelas Gandung.

"Hm.... Kalau begitu, beritahu semua penduduk! Kita cegat pemuda itu. Aku punya dugaan kuat, dialah penculik yang tengah kita cari!" ujar Ki Langser.

Ki Tambika baru saja akan menimpali, tapi suaranya tenggelam di antara semangat kemarahan penduduk desa yang berada di serambi ini. Mereka semua menyambut ajakan Ki Langser penuh semangat. Bahkan segera angkat kaki dari ruangan ini.

Pada akhirnya, mau tak mau Ki Tambika terpaksa mengikuti. "Dasar orang-orang tak sabar...!" umpat Ki Tambika dalam hati.

********************

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tampak tenang-tenang saja menjalankan kudanya di jalan utama Desa Cendanu ini. Bola matanya beredar ke sekeliling memperhatikan tiap-tiap sudut. Keningnya tampak berkerut dengan mata agak menyipit. Sepertinya, dia menangkap gejala keanehan yang terjadi di desa ini.

Pada sebuah rumah yang paling besar di desa ini terlihat tanda-tanda bahwa penghuninya tengah berduka, tapi keadaannya sepi. Sementara penduduk desa ini jarang yang berkeliaran di depan rumah atau di jalan. Boleh dikatakan, desa ini seperti hampir mati. Padahal dari jumlah rumahnya, mestinya penduduknya ramai.

Dan mendadak saja pemuda itu menghentikan kudanya dengan sikap terkejut. Karena tahu-tahu beberapa penduduk desa keluar dari segala penjuru dengan senjata terhunus. Sikap mereka yang mengancam jelas ditujukan padanya. Wajah-wajah mereka menunjukkan permusuhan.

Pemuda itu memandang pada seorang laki-laki setengah baya yang berada paling depan pada jarak sepuluh langkah. "Kisanak.... Kenapa tiba-tiba orang-orang ini berkumpul mengerubungiku?" tanya pemuda itu berusaha bersikap ramah.

"Jangan berpura-pura, Penculik Terkutuk! Serahkan putri Ki Nyamat! Juga, serahkan dirimu untuk kami adili!" bentak laki-laki setengah baya yang tak lain Ki Langser, Kepala Desa Cendanu ini.

Pemuda berbaju rompi putih ini bukan main kagetnya mendengar tuduhan itu. Dari mana mereka bisa berkata seperti itu, padahal baru pertama kali menginjakkan kaki di desa ini?

"Maaf, Ki! Ini salah paham. Aku Rangga, seorang pengembara. Dan aku sama sekali tidak mengerti tuduhan itu...," sahut pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, berusaha menjelaskan.

"Tidak usah banyak bicara! Serahkan dirimu. Dan, serahkan pula putri Ki Nyamat yang kau culik semalam?!" bentak Ki Langser lagi.

"Aku tidak pernah menculik siapa pun, Ki. Dan aku juga tidak kenal Ki Nyamat yang kau sebutkan tadi. Ini salah paham. Dan kalian salah menuduh orang," kilah Pendekar Rajawali Sakti.

Agaknya percuma saja Rangga berusaha menjelaskan. Mereka bukannya mengerti, malah mengurungnya semakin dekat.

"Kau lihat mereka, bukan? Kalau kau masih membangkang, maka jangan salahkan kalau kami bertindak keras. Kau telah membunuh tiga orang dalam semalam. Maka jangan harap kebaikan kami untuk mengampunimu!" lanjut Kepala Desa Cendanu ini.

Pendekar Rajawali Sakti hanya menarik napas panjang. Lalu perlahan-lahan dia turun dari punggung kudanya. Kejengkelannya mulai naik ke kepala, melihat tingkah orang-orang desa yang tidak bisa diajak bicara baik-baik. Dan dia telah mempersiapkan diri, jika sewaktu-waktu mereka mengamuk tiba-tiba.

"Bagus kalau kau menyerahkan dirimu dengan baik-baik!" sambut Ki Langser.

Rangga tersenyum sambil menggeleng-geleng. Sorot matanya berusaha dibuat selembut mungkin. "Jangan salah sangka, Ki. Aku tidak ingin terjadi apa-apa di antara kita. Tapi kalau kau memaksa, aku terpaksa mempertahankan diri," desah Rangga tetap dengan senyum.

"Kurang ajar! Kalau begitu kau mencari penyakit!" hardik Ki Langser.

Seketika Ki Langser menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada penduduk desa yang telah nengepung. "Tangkap dan habisi dia! Pemuda ini menolak kita adili secara baik-baik!" perintah Ki Langser.

"Beres, Ki!"

"Yeaaa...!"

"Uts!" Sambil mendesah panjang Pendekar Rajawali Sakti mengegos ke kiri ketika seorang pemuda telah merangsek lebih dulu dengan ayunan goloknya ke perut. Sebelah tangannya cepat menangkap pergelangan tangan yang memegang golok.

Tap!

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti merampas senjata tajam itu, lalu sebelah kakinya menyodok perut.

Duk!

"Aaakh...!" Tidak keras, namun sudah membuat pemuda itu menjerit kesakitan.

Namun belum lagi Rangga menarik napas lega, dua orang telah kembali meluruk dengan senjata terhunus dari belakang.

Wuttt!

Wuttt!

Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Lalu golok rampasan, dihantamkan ke senjata-senjata yang meluruk tajam hampir bersamaan.

Tras! Tak!

"Hei?!"

Senjata berupa cangkul dan golok, mendadak patah dan terpental ditebas golok Rangga. Dan belum sempat mereka menyerang lebih lanjut, satu sapuan tendangan Pendekar Rajawali Sakti sudah meluruk deras.

Desss...!

Diegkh...!

"Aaakh...!"

Dua orang kontan terjengkang ambruk, disertai jerit kesakitan begitu tendangan Rangga mendarat tepat di sasaran.

"Hei?! Kurang ajar!"

"Bunuh dia...!" teriak Ki Langser.

Rangga benar-benar hanya bisa menggeleng lemah. Dia sudah berusaha membuktikan kalau dirinya bukan pembunuh. Bahkan para penduduknya hanya dibuat pingsan. Pemuda ini memang hanya sekadar memberi pelajaran saja pada manusia-manusia berkepala batu.

Namun, agaknya dengan tindakan Rangga, hal ini membuat para penduduk lainnya marah. Dan tanpa kenal takut, mereka menyerbu ke arah Rangga secara bersamaan dari segala penjuru.

"Heaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti mendadak berkelebat cepat sambil melepaskan kibasan tangan ke setiap orang yang mendekatinya.

Des..., diegkh..., dug...!

"Aaa...!"

Disertai jerit hampir berbarengan, tujuh orang langsung berpentalan tak tentu arah. Dan ini cepat menyadarkan Ki Langser, kalau pemuda yang dituduhnya sebagai penculik tidak bisa dianggap sembarangan.

Sementara para penduduk mulai ciut nyalinya. Mereka tak gegabah menyerang lagi setelah melihat kedigdayaan pemuda berbaju rompi putih ini. Terlebih lagi, karena Ki Langser telah memberi isyarat agar menghentikan penyerangan. Kepala Desa Cendanu kini memandang pemuda itu dengan seksama. Namun, tidak berarti kemarahannya telah surut.

"Kisanak! Kenapa kau tega membunuh penduduk desa ini dan menculik putri Ki Nyamat?!"

"Jadi kau masih menduga kalau aku adalah penculik gadis yang tidak kukenal?" tanya Rangga, kalem.

"Siapa lagi kalau bukan kau?! Kau datang untuk mengejek kami, karena kami tak mampu meringkusmu semalam!" sentak Ki Langser.

"Sadarlah, Ki. Kau lihat orang-orang itu. Mereka menderita akibat tuduhanmu. Dan aku terpaksa membela diri," kilah Rangga kalem.

DUA

Ki Langser memandang Rangga dengan dahi berkerut. Dia belum sepenuhnya mengerti. "Apa maksudmu?" tanya kepala desa ini.

"Kesempatan untuk membunuh kalian banyak. Namun tidak kulakukan, karena kuanggap ini salah paham," jelas Rangga.

"Jadi, apa maksudmu ke desa ini?"

"Telah kujelaskan, aku hanyalah seorang pengembara. Dan tujuanku bukan desa ini. Jadi kalau kalian menyerangku, tentu saja aku akan membela diri. Maaf, kalau orang-orang itu kubuat pingsan sementara," kata Rangga, seraya melirik beberapa penduduk desa ini yang dibuat pingsan.

Kepala desa itu jadi ragu. Hatinya sedikit mulai condong, tidak sekeras tadi seperti pertama kali.

"Anak muda.... Kelihatannya kau memang bukan sembarang orang. Melihat gerak-gerikmu, pastilah kau seorang pendekar. Kalau boleh kami tahu, siapakah kau sebenarnya?" tanya Ki Tambika yang juga telah berada di tempat ini.

"Namaku Rangga. Aku memang mempunyai julukan tak berarti. Orang-orang persilatan memanggilku Pendekar Rajawali Sakti...," jelas Rangga berusaha merendah.

"Pendekar Rajawali Sakti?!" sentak Ki Tambika, terkejut.

Bagi penduduk yang jarang bepergian dan hanya menghabiskan sebagian besar usianya di desa ini, tentu tidak akan pernah mendengar julukan itu. Beda halnya Ki Tambika. Meski dalam usia setua sekarang, dia masih suka bepergian. Entah itu mengunjungi sanak saudara di tempat lain, atau berdagang ke tempat-tempat yang jauh. Dengan demikian perjalanan dan pengetahuan laki-laki tua ini tentang tokoh persilatan, tidak tertinggal. Dan julukan itu pernah didengarnya.

"Benarkah kau pendekar termasyhur itu?!" tanya Ki Tambika, ingin meyakinkan.

"Bagaimana aku harus membuktikannya, Ki? Tapi yang jelas, Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pendekar termasyhur. Mungkin kau terlalu melebih-lebihkan," sahut Rangga, tetap merendah.

"Oh, terimalah salam hormatku, Pendekar Rajawali Sakti.... Dan aku tidak bisa menganggapmu sebagai orang biasa. Namamu amat terkenal, Aku amat yakin. Sebab sepanjang aku melakukan perjalanan jauh, banyak kudengar tentang sepak terjang serta kehebatanmu. Pendekar Rajawali Sakti.... Perkenalkan, aku sering dipanggil Ki Tambika. Atas nama warga desa ini, aku meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi. Mudah-mudahan kau sudi memaafkan kekeliruan kami!" kata Ki Tambika, nyerocos seraya menjura memberi hormat.

"Sudah biasa dalam pengembaraanku akan selalu menemukan kesalahpahaman, Ki. Sudahlah! Kau tak perlu sungkan-sungkan padaku," sahut Rangga, setelah membalas salam hormat Ki Tambika.

Sementara itu, para penduduk Desa Cendanu hanya terlongong bengong melihat Ki Tambika bersikap ramah pada Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi, Ki Langser yang semula begitu marah pada Rangga.

"Ki Langser!" panggil Ki Tambika yang merupakan tetua desa, seraya menoleh ke arah Kepala Desa Cendanu itu. "Kita telah salah paham menuduh pemuda ini sebagai penculik putri Ki Nyamat. Apalagi membunuh Ki Nyamat dan dua orang penjaga rumahnya!"

"Tapi, Ki...."

"Sudahlah. Jika pemuda ini berbuat yang tidak-tidak, aku yang bertanggung jawab. Kau boleh menghukumku, jika pernyataanku salah!" potong Ki Tambika, meyakinkan.

Sebagai tetua di desa ini, apalagi Ki Tambika menjaminkan dirinya sebagai jaminan, Ki Langser dan para penduduk mematuhinya.

"Pendekar Rajawali Sakti, kalau tidak keberatan sudilah kiranya mampir ke pondokku? Sekadar mencicipi seteguk dua teguk teh hangat dan membicarakan persoalan yang menimpa desa kami," ajak Ki Tambika.

"Maaf, Ki! Panggilah aku dengan nama saja. Jangan julukanku...."

"Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti. Eh, Rangga. Bagaimana? Kau bersedia," ulang Ki Tambika.

Rangga berpikir sebentar, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. Kemudian, didampingi Ki Langser dan beberapa penduduk lain yang berjumlah sekitar tujuh orang, mereka beranjak ke rumah Ki Tambika. Sementara yang masih pingsan segera ditolong penduduk lain.

Setiba di rumah Ki Tambika, Rangga mendapat penjelasan mengenai kejadian yang menimpa desa ini, dengan peristiwa yang terjadi di Desa Cendanu ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya manggut-manggut mendengarkan sampai penuturan itu tuntas.

"O.... Jadi, karena itu makanya kalian mencurigai aku sebagai orang asing?" tanya Rangga kemudian.

"Ya.... Kami kira kau adalah penculik itu yang datang siang hari untuk mengejek, bahwa kami tak mampu menangkapmu malam hari," jelas Ki Tambika seraya melirik sekilas pada Ki Langser yang sesekali tertunduk malu.

"Tidak apa.... Aku bisa memaklumi...," desah Rangga.

"Syukurlah. Kami berterima kasih atas kelapangan hatimu, Rangga," ucap Ki Tambika.

"Sebenarnya aku pun tengah mengadakan perjalanan untuk mencari seseorang. Dan, kurasa tidak ada hubungannya dengan penculik ini. Dia bukan menculik para gadis, tapi malah sebaliknya," papar Pendekar Rajawali Sakti.

"Para pemuda?"

Rangga mengangguk.

"Jadi yang kau cari seorang wanita?"

"Benar. Dia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang tokoh hebat yang berkepandaian tinggi. Orang-orang menyebutnya Bidadari Penakluk!"

"Ya, ya. Nama itu memang pernah kudengar sekilas," kata Ki Tambika, mengangguk-angguk.

"Kurasa penculik para gadis itu bukan dia. Tapi dalam pencarian dan perjalananku, biarlah kubantu kalian untuk menangkap penculik itu," lanjut Rangga menawarkan jasa baiknya.

"Benarkah, Rangga? Kami tak tahu, mesti bagaimana mengucapkan rasa terima kasih!" seru Ki Tambika.

"Ah! Tidak usah berlebihan! Aku hanya berusaha, belum tentu berhasil menangkapnya. Doakan saja!" sergah Rangga, merendah.

"Nama Pendekar Rajawali Sakti telah tersohor di delapan penjuru angin. Rasanya tanpa doa kami pun, kau bakal berhasil!"

Mendengar keyakinan itu Rangga tersenyum sendiri. "Tidak bisa begitu, Ki. Aku manusia biasa seperti yang lain. Bisa merasakan sakit dan bakal mati kelak. Soal keberhasilan, bukan menjadi urusanku. Tapi urusan Yang Maha Kuasa," tukas Rangga.

Ki Tambika dan yang lain mengangguk-angguk mendengar kata-kata pemuda ini yang merendah.

"Nah, kurasa aku tak bisa lama-lama. Makin cepat pencarian dilakukan, makin baik. Aku pamit dulu, Kisanak semua!" kata Rangga seraya bangkit berdiri.

"Ah! Pertemuan ini rasanya kelewat singkat, Rangga! Sudikah kau mampir ke sini lagi di lain kesempatan?" Kali ini Ki Langser yang buka mulut, setelah sejak tadi Ki Tambika yang lebih banyak bicara pada pemuda itu.

"Tentu saja kalau ada umur panjang. Kisanak semua, maafkan. Aku mohon diri sekarang juga!" sahut Pendekar Rajawali Sakti seraya membungkukkan tubuhnya memberi hormat, lalu angkat kaki dari rumah itu.

********************

Melewati batas Desa Cendanu, Rangga melambatkan lari kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu. Tujuannya tidak pasti, sebab jejak Bidadari Penakluk yang tengah dicari-carinya belum juga terlihat. Padahal pencarian yang dilakukannya telah memakan waktu lebih dari dua minggu.

"Ke mana dia? Apakah lenyap ditelan bumi?" gumam Pendekar Rajawali Sakti tak habis pikir.

Selama ini Rangga telah berkeliling di wilayah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Bidadari Penakluk. Namun segalanya nihil. Tidak ada jejak yang ditemuinya sedikit pun!

"Apakah ada gunanya pencarianku ini?" lanjut Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah lesu. Belum juga pertanyaan itu tetjawab mendadak....

"Tolooong...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan minta tolong dari arah kanan, membuat Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Sejenak pemuda itu menajamkan pendengarannya. Lalu....

"Ayo, Dewa Bayu! Kita lihat apa yang terjadi di sana!" teriak Rangga, langsung menggebah kudanya ke kanan.

"Hieee...!" Dewa Bayu meringkik halus, lalu berlari kencang mengikuti perintah Pendekar Rajawali Sakti.

Semakin Dewa Bayu mendekati sumbernya, suara itu sendiri jelas terdengar di telinga. Dan begitu tiba di tepian hutan, Rangga mengerutkan keningnya dengan pandangan tajam menyimpan kemarahan.

Kira-kira lima belas tombak di depan, Pendekar Rajawali Sakti melihat beberapa laki-laki bertampang kasar tengah mengurung seorang gadis yang menjerit-jerit ketakutan. Kelihatannya gadis itu tak berdaya karena dalam keadaan terikat. Sedangkan lima laki-laki yang mengelilinginya, agaknya hendak berbuat tidak senonoh.

"Kisanak! Kalian tidak pantas berbuat seperti itu pada seorang wanita!" teriak Rangga, keras menggelegar.

"Hei?!"

Lima laki-laki bertampang kasar itu tersentak kaget. Seketika mereka menoleh memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan geram karena merasa urusannya diganggu. Seorang yang berbadan besar dengan cambang bauk yang tidak rata, maju ke depan. Matanya mendelik sambil berkacak pinggang.

"Bocah! Boleh saja kau pentang bacot, tapi tidak di sini! Pergilah. Dan jangan campuri urusan orang! Kalau tidak, akan kupecahkan kepalamu!" bentak laki-laki ini.

Demi melihat siapa pemuda yang menunggang kuda hitam itu, gadis yang terikat itu berubah cerah. "Kisanak! Tolonglah aku! Mereka hendak berbuat kurang ajar kepadaku...!" teriak gadis ini.

"Hm, kau...." Rangga coba mengingat-ingat siapa gadis itu. Dan rasanya, dia memang pernah mengenalnya.

"Aku Kembang Harum, putri Ki Jagad Lor!" teriak gadis itu mengingatkan.

"Ah, betul!" sahut Rangga.

"Kurang ajar! Bocah keras kepala! Kau belum juga minggat dari hadapanku!" dengus laki-laki cambang bauk yang memandang penuh amarah meluap-luap.

"Kisanak.... Terus terang aku tidak bisa mendiamkan tindakan kalian begitu saja," sahut Rangga sambil menggeleng lemah.

"Kurang ajar! Rupanya kau belum kenal Ken-dung Belor, he?! Anak-anak! Coba beri pelajaranpada bocah ini supaya tahu diri!" perintah laki-laki bercambang bauk.

Serentak dua dari empat laki-laki bertampang kasar itu melompat sambil mencabut golok masing-masing.

Sret!

Begitu golok tercabut, mereka meluruk sambil membabatkan senjatanya. "Yeaaa...!"

"Hm!" Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus dingin. Lalu sekali melompat ke atas dua serangan itu luput dari sasaran.

Kedua laki-laki bertampang kasar itu cepat berbalik. Namun sebelum mereka melakukan serangan satu sapuan kaki Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat bagai kilat.

Duk! Des!

"Aaakh...!"

Kedua orang itu kontan terjungkal disertai jerit kesakitan, begitu dada mereka terhantam kaki Rangga.

"Kurang ajar! Bantu mereka!" desis laki-laki bercambang bauk yang mengaku bernama Kendung Belor.

Tanpa diperintah dua kali, serentak dua anak buah Kendung Belor mencabut golok. Bahkan seketika menyerang Rangga dengan garang.

"Yeaaa...!"

Rangga berbalik. Lalu tubuhnya kembali berputar, menyongsong serangan. Dan sebelum kedua orang itu membabatkan golok, kaki Rangga telah bergerak dengan kecepatan luar biasa.

Des! Des!

"Aaakh...! Aaakh...!"

Kembali dua orang terjungkal disertai jerit kesakitan ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di perut masing-masing. Bukan main geramnya Kendung Belor melihat anak buahnya dijatuhkan dengan sekali gebrak.

"Keparat! Rupanya kau mesti mendapat hajaran dari tanganku sendiri, Bocah Gendeng!" dengus Kendung Belor. Sambil mendengus geram, laki-laki bercambang bauk itu mencabut goloknya.

Sret!

"Mampus kau, Bocah!" Dengan gerakan cepat. Kendung Belor melabrak Pendekar Rajawali Sakti disertai sambaran goloknya.

Bet!

Namun Rangga cukup sedikit memiringkan tubuhnya, sehingga tebasan itu menyambar angin. Dalam hati, Rangga sempat memuji permainan silat Kendung Belor. Buktinya, baru saja Rangga menghindar, secepat itu pula golok di tangan laki-laki itu memapas pinggangnya.

Dengan gerakan mengagumkan Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil berputar. Dan tiba-tiba kedua belah kakinya melakukan tendangan beruntun.

Duk! Des!

"Aaakh...!" Kendung Belor terpekik. Tubuhnya kontan terjungkal roboh ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam muka dan dadanya. Kelihatan dari lobang hidungnya mengucurkan darah segar. Wajahnya tampak meringis, ketika berusaha bangkit.

"Aku bisa memberi hajaran yang lebih parah lagi!" desis Rangga seraya mendekati Kendung Belor dengan sikap mengancam.

Mendengar ancaman ini jantung Kendung Belor seperti mau copot. Dia tahu, percuma saja melawan. Karena, kepandaian pemuda di hadapannya jauh dibanding kemampuannya. Maka secepatnya dia berlutut!

"Oh, Tuan Pendekar. Ampuni, Tuan! Ampun...!"

"Maaf, aku sudah sering bertemu penjahat kambuhan macam kalian. Rasanya kalau tidak cepat dilenyapkan, dunia tak akan tenang," kata Rangga kalem, namun nadanya menakut-nakuti.

"Oh, ampun...! Kali ini aku sungguh-sungguh, Tuan! Sumpah! Aku berjanji!" seru Kendung Belor dengan tubuh menggigil dan wajah memelas.

Rangga tersenyum sinis. Wajahnya tampak masih terselimuti kegarangan. Namun lambat laun, berangsur-angsur cerah. "Baiklah. Kali ini kalian kuampuni. Tapi bila lain kali kudengar membuat kekacauan, maka aku akan datang serta membunuh kalian tanpa ampun!" ancam Rangga, tegas.

"Oh, terima kasih! Terima kasih, Tuan. Aku tak akan mengingkari janji!" sahut Kendung Belor dengan wajah cerah.

"Sudah, pergi sana!"

"Eh! Ba..., baik...!" Tanpa disuruh dua kali, Kendung Belor langsung ngeloyor dari tempat itu, diikuti keempat kawannya.

"Orang seperti mereka mestinya tidak boleh diampuni!" cibir gadis bernama Kembang Harum bersungut-sungut, ketika Rangga melepaskan belenggu pengikatnya.

"Mereka telah minta ampun. Dan mereka juga perlu hidup...," kilah Rangga.

"Hidup mereka hanya menimbulkan masalah bagi orang lain!" dengus Kembang Harum.

"Tidak ada yang tahu, apakah hidup mereka nanti merugikan atau membantu orang lain. Tapi aku berharap, setelah kejadian ini mereka bertobat," tegas Rangga.

"Orang seperti mereka rasanya jauh dari tobat!"

"Seperti yang kukatakan, tak seorang pun yang bisa mengetahui jalan hidup manusia selanjutnya. Sebab, semua itu telah diatur Yang Maha Kuasa...."

"Bagaimana kalau mereka tidak berubah?"

"Aku akan menagih janji. Atau paling tidak mereka akan menemukan balasannya. Bukankah tidak hanya kita yang membenci perbuatan-perbuatan buruk yang mereka lakukan?"

Gadis itu tidak menjawab lagi, karena kehabisan kata-kata untuk menumpahkan kekesalan hatinya kepada kelima begundal yang nyaris saja merenggut kehormatannya.

"Sudahlah.... Yang penting, saat ini kau telah selamat. Lalu bagaimana sampai kau bisa bertemu mereka, Kembang? Dan kenapa kepergianmu tidak disertai Ki Karmapala dan Ki Laron Nunggal?"

"Aku memang sengaja pergi seorang diri. Karmapala tidak lagi bekerja untukku. Demikian pula yang lainnya. Ki Laron Nunggal sementara ini tidak mau membantu. Padahal aku mesti membalaskan kematian orangtuaku," sahut gadis itu.

"Wanita itu memiliki kepandaian tinggi. Dengan cara apa kau hendak menuntut balas kematian orangtuamu?"

"Dengan cara apa saja!"

"Dia juga kembal. Kau bisa terbunuh, sebelum berhasil membalaskan dendammu padanya."

"Aku tak peduli!"

Rangga menggeleng lemah. "Aku tidak merendahkanmu. Tapi sudah dua minggu lebih aku mencarinya, namun hasilnya nihil. Wanita itu hilang seperti ditelan bumi. Banyak rintangan yang bisa terjadi. Apalagi kepada seorang gadis sepertimu. Contohnya seperti tadi."

"Apa pun akan kulakukan untuk membalaskan kematian ayahku. Aku punya uang untuk melakukannya," tegas Kembang Harum.

"Uang? Apa maksudmu?" tanya Rangga, dengan kening berkerut tajam.

"Aku bisa membayar seseorang untuk membunuh wanita itu. Apakah kau tertarik? Aku bisa membayar mahal untukmu!" jelas gadis itu mantap.

"Kau hanya buang-buang uang dan tenaga, Kembang! Sudahlah, aku tak perlu bayaranmu. Tapi yang jelas aku akan menangkap Bidadari Penakluk," sahut Rangga, kalem.

"Tidak! Aku harus membayarmu. Dan aku minta kepastian kalau kau benar-benar membunuh wanita itu. Dengan begitu, dendamku terbalas sudah. Dan kau tak berhak mencampuri urusanku!"

"Kepandaianku belum tentu setara dengannya, Kembang!" tukas Rangga berusaha merendah. "Lagi pula katamu barusan, aku memang tidak berhak ikut campur. Kalau begitu selamat tinggal!" Rangga cepat mendekati Dewa Bayu. Lalu dengan gerakan ringan dia melompat ke atas punggung kudanya.

"Heaaa...!"

Kembang Harum terpana, memandang pemuda itu yang telah menggebah kudanya sejurus lamanya. Dalam pikirannya, pemuda itu mungkin tengah mempertimbangkan tawarannya. Tapi siapa kira tawarannya sama sekali tidak dipedulikan. Bahkan meninggalkannya di tempat ini seorang diri.

"Huh! Pemuda sombong!" dengusnya kesal. Pada akhirnya Kembang Harum pun segera angkat kaki. Dan entah kenapa, tak terasa dia malah mengikuti jejak yang ditinggalkan Pendekar Rajawali Sakti!

********************

TIGA

Telaga kecil di kaki Gunung Karimun kelihatan tenang. Suasananya indah sejuk dan damai, jauh dari keramaian manusia. Tempatnya pun agak menjorok ke bawah, seperti sebuah lembah yang dipenuhi pohon-pohon berdaun rimbun. Bila dilihat dari kejauhan, maka tempat itu laksana sebuah rimba yang jarang dimasuki manusia, hingga berkesan angker!

"Pruuuaaah...!"

Mendadak ketenangan telaga itu terusik oleh munculnya sebentuk kepala dari dalamnya. Lalu, diikuti sesosok tubuh yang bergerak cepat. Lincah sekali tubuhnya berputaran beberapa kali di udara, kemudian mencelat ke tepi telaga. Dan ringan sekali kakinya mendarat di tepian telaga.

Sosok yang baru mendarat ini dari ujung ram-but sampai ke kaki bawah kuyup. Pakaiannya yang berukuran besar menempel ketat, membentuk tubuhnya yang indah. Sesosok tubuh ramping itu memang milik seorang gadis jelita. Tatapan matanya sayu. Bibirnya yang indah terkatup rapat.

"Eyang. Aku menghaturkan sembah padamu...!" Bibir sosok ini membuka suara dengan nada datar. Tubuhnya membungkuk ke satu arah.

Entah dari mana asalnya, mendadak angin lembut bertiup yang diiringi berkelebatnya satu sosok bayangan gelap ke arah gadis cantik ini. Dan tahu-tahu, disitu telah berdiri tegak seorang laki-laki tua pada jarak dua langkah di depan gadis ini. Usianya sekitar delapan puluh tahun. Pakaiannya agak kelabu dan lusuh. Rambutnya yang sebagian telah memutih dibiarkan tumbuh liar sampai punggung.

"Kau telah menyelesaikan semadimu dengan baik, Cucuku. Pakailah pakaian ini!" kata laki-laki tua ini seraya melempar seperangkat pakaian yang dibawa.

"Terima kasih, Eyang!" Cepat gadis ini mengambil pakaian yang teronggok di tanah. Dan sebentar saja, kakinya telah beranjak ke balik semak-semak.

Sementara gadis itu memakai pakaian yang diterima, kakek ini menatap tajam ke permukaan air telaga yang bergelembung tenang tertiup angin sepoi-sepoi. Sepertinya ada sesuatu yang ingin didapatkannya dari situ.

Laki-laki tua ini baru menoleh ketika terdengar suara langkah halus dari belakangnya. Rupanya, gadis tadi telah berubah lain dengan pakaian sederhana yang melekat di tubuhnya. Bibirnya tersenyum manis melihat laki-laki tua yang takjub memandanginya.

"Bagaimana aku sekarang, Eyang?" tanya gadis itu seraya berputar sebentar, seperti hendak menunjukkan pakaian yang diberikan.

"Begini lebih baik. Bagaimana keadaanmu sekarang, Suti?" orang tua itu malah balik bertanya sambil beranjak pelan ke sebuah batu besar yang beijarak sepuluh tombak di depannya.

"Baik, Eyang...," sahut gadis yang dipanggil Suti, langsung merendengi langkah orang tua itu.

"Perasaan-perasaan aneh itu?" tanya laki-laki tua ini lagi.

"Kurasa masih ada, Eyang. Hanya saja aku bisa menindasnya," jelas Suti.

"Syukurlah. Memang mestinya begitu. Dalam setiap kesempatan, kau harus melatih pernapasan seperti yang kuajarkan."

"Baik, Eyang...."

Sesaat kedua orang itu terdiam sambil sama-sama duduk dibatu sebesar kerbau.

"Eyang...," panggil Suti, seraya berpaling ke arah laki-laki tua itu.

"Hm..., apa?"

"Telah beberapa waktu Eyang membawaku ke sini. Apakah..., apakah aku akan mendapat hukuman?" tanya gadis itu dengan suara bergetar penuh ketakutan.

Orang tua itu tidak langsung menjawab. Kelihatan sikapnya begitu tenang. Padahal sebenarnya dia tengah berusaha menahan sesuatu yang cukup berat di hatinya.

"Mestinya aku menghukummu karena kelancanganmu, Suti Raswati," desah laki-laki tua ini, menyebut nama lengkap gadis itu.

Mendadak Suti menjatuhkan diri dan berlutut di depan orang tua itu. Memang gadis ini tak lain dari Suti Rasawati yang dijuluki orang-orang persilatan sebagai Bidadari Penakluk, karena tindakannya. Setelah bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti, gadis ini menderita luka dalam yang cukup parah. Untunglah seorang tokoh berjuluk Resi Jayadwipa yang juga guru gadis itu cepat menolongnya.

"Eyang, bunuhlah aku sekarang! Aku terima semua hukuman yang Eyang berikan!" ratap Suti Raswati.

"Berdirilah kau!" ujar Resi Jayadwipa, seraya bangkit dari duduknya.

"Tapi, Eyang...."

"Berdiri kataku!"

Gadis itu tak bisa membantah lagi. Kini mereka berdiri saling berhadapan. Namun Suti tidak berani memandang orang tua di depannya.

"Lihat ke arahku, Suti!" perintah Resi Jayadwipa.

"Eyang...." Lirih terdengar suara gadis itu, ketika mengangkat kepala. Jantungnya berdetak lebih cepat tatkala matanya melihat tatapan tajam laki-laki tua ini laksana sembilu yang mengiris jantung dan hatinya.

"Aku tidak menyalahkanmu...," desah Resi Jayadwipa lirih.

"Apa..., apa maksudmu, Eyang? Aku jelas-jelas bersalah. Hukumlah aku dengan hukuman yang paling berat, Eyang!" ratap Suti Raswati.

"Dengarlah kata-kataku," tegas Resi Jayadwipa.

"Baiklah, Eyang...."

Suti Raswati menunggu Resi Jayadvwpa melanjutkan kata-katanya. Namun untuk beberapa waktu tak terlihat kalau orang tua itu akan melanjutkan kata-katanya.

"Eyang...," panggil Suti Raswati, mengingatkan.

"Ya, aku tahu. Kejadian ini tidak terlepas dari tanggung jawab. Mestinya, aku tidak menyibukkan diri mencari Kitab 'Jagad Welung' yang hilang itu...," desah Resi Jayadwipa.

"Maksud, Eyang?"

"Mestinya aku melarangmu untuk mendekati ruang perpustakaan, dan juga melarangmu untuk membaca buku-buku yang tak patut. Apalagi dipelajari. Dan ternyata, hal itu menjadi kenyataan. Kau membaca Kitab 'Serat Biru'. Bahkan malah mempelajarinya. Akibatnya sungguh buruk bagimu, seperti yang kau alami beberapa waktu lalu...."

Resi Jayadwipa tidak langsung melanjutkan kata-katanya. Agaknya dia perlu melihat perubahan raut wajah gadis yang diajaknya bicara. Tapi wajah Suti Raswati belum menunjukkan perubahan berarti.

"Tahukah kau, Suti. Kau telah berurusan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Ini berarti, kau waktu itu berusaha mengeterapkan ilmu 'Serat Biru' pada pemuda itu. Untung saja, aku cepat datang dan menolongmu.... Dan yang lebih buruk lagi adalah, kau bermaksud menerapkan ilmu 'Serat Biru' kepadaku!" lanjut Resi Jayadwipa, membuat Suti Raswati tersentak.

"Eyang, ampuni salahku! Aku tahu, itu amat memalukan sekali" ratap gadis itu hendak kembali berlutut, namun sempat dicegah orang tua ini.

"Sudahlah. Itu hal yang telah lalu. Namun yang amat menyakitkan bagiku adalah...."

"Adakah sesuatu rahasia yang hendak Eyang katakan padaku?" selak Suti Raswati, ketika melihat Resi Jayadwipa kembali memutus kata-katanya.

"Ya...."

"Apa gerangan itu, Eyang?"

"Kau adalah cucuku, Suti."

"Bukankah itu bukan rahasia? Eyang telah menganggapku cucu sejak pertama kali memungutku ketika bayi!"

"Cerita itu tidak benar, Suti. Aku mengarang-ngarangnya saja, agar kau tidak bertanya-tanya tentang orangtuamu."

"Maksud, Eyang?!"

Kali ini baru mulai terlihat perubahan berarti pada paras Suti Raswati. Bola matanya memandang tajam kepada laki-laki tua ini. Dan dia berharap, Resi Jayadwipa mau melanjutkan ceritanya buru-buru.

"Ya! Kau adalah cucu kandungku sendiri!" jelas Resi Jayadwipa menegaskan.

"Eyang, berarti...?" Suara gadis itu tercekat, karena laki-laki tua itu langsung memeluknya dengan wajah haru, seperti hendak menumpahkan kesedihan karena tak mampu menjaga cucunya dengan baik. Suti Raswati terdiam. Untuk beberapa saat, dia tak tahu mesti berkata apa dan bersikap bagaimana.

"Eyang.... Mengapa kau menyembunyikan semua ini dariku?" tanya Suti Raswati ketika orang tua itu melepaskan pelukannya.

"Aku terpaksa berbuat begitu, agar kau tidak menanyakan orangtuamu. Maka, kukatakan saja kau kupungut sejak bayi. Serta kukatakan bahwa kedua orangtuamu telah tiada," jelas Resi Jayadwipa.

"Kenapa Eyang menyembunyikan aku? Apakah kedua orangtuaku masih ada?" desak Suti Raswati.

"Beberapa tahun berselang, mereka masih hidup. Namun belakangan kudengar kabar bahwa mereka telah tiada...," jelas laki-laki tua ini dengan wajah keruh penuh kedukaan.

"Oh...!" seru Suti Raswati kaget. Wajahnya seketika tertunduk sedih.

"Inilah yang menjadi pangkal persoalan...," lanjut orang tua itu, setelah kesedihan cucunya berkurang.

"Apa maksud, Eyang?"

"Pada waktu itu ayahmu membawa seorang saudaranya ke padepokan. Sejak itu, suasana yang tenteram perlahan berubah. Aku tahu, saudara ayahmu berhati culas. Lagi pula, dia suka menggoda ibumu. Namun aku tidak enak hati mengusirnya pergi. Segala isyarat yang kuberikan padanya agar meninggalkan padepokan, seperti tak digubrisnya. Dan ternyata, saudara ayahmu itu bermuka tembok. Dan untuk menekan perasaan karena kelakuannya, aku akhirnya sering bepergian. Namun tidak disangka kalau pada akhirnya, dia menghasut ayahmu untuk melanggar aturan...," tutur Resi Jayadwipa.

"Melanggar aturan bagaimana, Eyang?" tanya Suti.

"Aku melarang mereka masuk ruang perpustakaan. Namun saudara ayahmu itu terus membujuknya. Sampai akhirnya, mereka nekat masuk ke sana. Beberapa waktu kemudian ketika aku pulang, ayahmu memberitahukan persoalan yang menimpa padepokan. Beberapa buah kitab pusaka hilang dibawa kabur saudara ayahmu. Aku marah besar dan tak dapat mengendalikan diri. Meski saat itu ibumu baru saja melahirkanmu, mereka kuusir. Dan mereka tidak kuperbolehkan membawamu!" lanjut orang tua itu.

"Eyang sungguh kejam! Hehhh...! Bisa kurasakan kesedihan mereka kala itu...," desis Suti Raswati, seraya mendesah.

"Ya, aku memang kejam!" cetus orang tua itu.

"Bahkan mereka tidak kuizinkan menginjakkan kaki ke padepokan, dan kularang menjengukmu!"

"Mengapa? Mengapa Eyang bertindak begitu kejam kepada mereka?" tanya Suti.

"Jangan kau tanyakan hal itu."

"Aku patut mengetahui karena mereka orangtuaku!" tukas gadis itu cepat.

Resi Jayadwipa kelihatan bergetar entah karena apa. Namun bias wajahnya tidak menunjukkan apa-apa. Sepertinya, dia memang pandai menyembunyikan perasaan. Tidak peduli cucunya mulai menitikkan airmata sambil menangis terisak. Lirih.

"Kenakan topeng ini. Dan pergilah dari sini!"

Aneh! Bukannya menjawab, Resi Jayadwipa malah menyerahkan topeng kayu yang sejak tadi dipegangnya kepada gadis itu. Kemudian tubuhnya berbalik, meninggalkan tempat ini.

"Eyang mengusirku?" tanya gadis itu lirih.

"Kalau memang kau tak suka padaku, apa yang bisa kukatakan? Pergilah. Dalam pengembaraan, kuharap kau bisa berpikir dewasa dan mengerti keadaan. Setelah kau menguasai dirimu, maka carilah pembunuh orangtuamu!" lanjut orang tua itu, setelah menghentikan langkah. Namun begitu dia tetap membelakangi cucunya.

"Apa maksud, Eyang? Siapa pembunuh kedua orangtuaku?" ujar Suti.

"Saudara ayahmu itu!"

"Siapa namanya?!" seru gadis ini bersemangat Terasa ada bibit dendam di hatinya.

"Kau hendak membalas dendam kedua orangtuamu?" Resi Jayadwipa malah balik bertanya.

"Ya!" sahut gadis ini dengan mantap.

"Dia memiliki kepandaian tinggi. Dan kau akan menemui kesulitan."

"Aku tidak peduli! Katakan padaku Eyang, siapa orang itu?!"

"Orang itu bernama Bernawa."

"Terima kasih, Eyang. Akan kucari dia meski bersembunyi ke ujung langit sekali pun!" desis Suti.

"Kalau niatmu sudah keras, maka aku hanya bisa berpesan agar hati-hati. Gunakanlah topeng itu bila berada di keramaian. Dan bila bertemu Pendekar Rajawali Sakti, usahakan bersikap wajar-wajar saja. Satu hal lagi, jangan menarik perhatian orang seperti dulu. Nah, Cucuku. Selamat bertugas."

Setelah berkata begitu, Resi Jayadwipa berkelebat cepat bagai sapuan angin kencang. Gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana kakeknya berkelebat.

Untuk sesaat Suti Raswati terpaku merenungi pembicaraannya dengan kakeknya. Terasa ada sesuatu yang menyentak-nyentak di hati. Perasaan kesal, geram, lalu dendam, dan entah apa lagi. Kenapa dia baru tahu sekarang setelah selama ini tersembunyi? Kenapa pada saat dia tahu justru kedua orangtuanya telah tiada?

Suti Raswati memandang sayu pada topeng yang tadi diberikan kakeknya. Kenapa kakek memberikan topeng ini? Namun kemudian otaknya cepat berpikir, bahwa kehidupannya beberapa waktu lalu begitu banyak menimbulkan kebencian sebagian orang. Topeng kayu itu pasti sedikit banyak bisa menyembunyikan wajahnya di mata orang-orang yang ingin berurusan dengannya.

********************

EMPAT

Seorang laki-laki bertampang kasar tengah duduk tenang menyantap hidangannya tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Padahal, suasana di dalam kedai ini cukup ramai. Namun hal itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Kumisnya yang tebal tampak bergerak-gerak ketika kedua rahangnya yang kokoh mengunyah makanan. Sepasang alis tebal menaungi kelopak mata yang agak cekung. Pandangannya tajam. Tubuhnya agak besar dengan lengan berotot dan jari-jari kuat.

"Pelayan! Tolong beri aku lauk-pauk seperti tadi!" ujar laki-laki ini ketika seorang pelayan melintas di dekatnya.

"Baik, Tuan!" sahut pelayan kedai. Tanpa disuruh, pelayan ini cepat membereskan sisa-sisa makan di piring tamunya itu. Sebenarnya laki-laki bertampang seram itu sudah dua kali meminta hidangan yang sama sejak mulai makan. Berarti, tadi itu permintaan yang ketiga! Di samping itu dia juga menenggak beberapa telur ayam kampung dicampur cairan kental kekuningan yang dibawanya sendiri.

"Ada pesan yang lain, Tuan?" tanya pelayan tadi, ketika muncul kembali sambil membawa pesanan.

"Di mana penginapan terdekat?"

"Tuan hendak menginap? Hm.... Meski tidak terlalu bagus, kedai ini juga menyediakan penginapan!"

"Penginapan lengkap?"

"Tentu saja, Tuan! Sewanya juga murah."

Laki-laki bertampang seram itu tiba-tiba menarik bahu pelayan kedai. Mulutnya cepat didekatkan ke telinga. Berbisik.

"Ada...?" tanya laki-laki seram ini.

"Itu bisa diatur, Tuan! Mau yang bagaimana? Gemuk? Kurus, atau yang montok? Usianya muda? Tua? Atau yang sedang?" sahut pelayan kedai, cepat tanggap dengan bisikan tamunya.

"Tahukah kau selera yang pantas untukku?" laki-laki seram ini malah balik bertanya.

Pelayan kedai itu memandang tamunya beberapa saat dengan dahi pura-pura berkerut.

"Ah, aku tahu! Pokoknya Tuan tahu beres. Selesai bersantap, maka Tuan bisa menghubungiku. Sekarang juga, aku mohon pamit sebentar pada majikanku untuk mencarikan yang sesuai keinginan Tuan!" kata pelayan ini.

"Baik! Carikan aku tiga, ya!" ujar laki-laki seram ini.

"Tiga?" tanya pelayan kedai, tak jadi melangkah. Dipandangnya laki-laki seram ini dengan wajah heran.

"Iya, tiga. Kenapa?"

"Eh! Baik.., baik...."

Setelah berkata demikian, pelayan kedai itu beranjak pergi untuk mencari tiga sasaran bagi tamunya.

********************

Telah cukup lama laki-laki bertampang seram tadi masuk ke kamar bersama tiga gadis yang dipesan pelayan kedai. Dan kini tinggal pelayan kedai itu sendiri yang jadi kesal, menunggui. Masalahnya sejak tadi dia belum mendapat uang jasa dari tamunya. Dan dia berusaha membunuh waktu dengan berjalan mondar-mandir. Sesekali matanya memandang ke pintu dalam, tempat ruang penginapan berada. Dari situlah laki-laki bertampang kasar tadi masuk, sebentar-sebentar dari mulut dan hidungnya keluar desahan kesal.

Rupanya tindak-tanduk pelayan kedai ini tak luput dari perhatian laki-laki setengah baya, yang agaknya adalah pemilik kedai dan penginapan ini.

"Ada apa, Sampak?" sapa laki-laki setengah baya itu.

"Eh?! Tidak apa-apa, Ki Rambat...!" sahut pelayan kedai yang dipanggil Sampak, sedikit kikuk.

"Jangan pura-pura! Aku tahu, kau tengah menunggu upeti dari laki-laki angker itu, bukan?" cecar pemilik kedai yang bernama Ki Rambat.

Sampak hanya cengar-cengir. "Kenapa? Dia belum memberikannya? Kulihat tadi kau membawa tiga gadis?"

"Itu dia! Sudah kubawakan tiga orang, aku tidak dapat apa-apa!" gemtu Sampak.

"Mungkin nanti. Tapi ngomong-ngomong, gila juga itu orang. Dia mau melahap tiga perempuan sekaligus?!" seru Ki Rambat dengan wajah heran.

"Aku juga bingung, Ki. Tapi melihat apa yang disantapnya, dia mungkin telah mempersiapkan diri, jelas Sampak.

"Orang itu mungkin punya keanehan. Sejak tadi, dia belum juga keluar kamar."

"Apa perempuan-perempuan itu digilir bergantian? Satu orang mendapat giliran sepuluh kali!" seloroh Sampak sambil tertawa lebar.

"Hush! Bisa saja kau, Sampak!"

"Laki-laki itu rakus perempuan. Mungkin saja setelah ini, dia akan minta pesanan lagi. Bisa sepuluh atau dua puluh, aku tak peduli. Yang penting bayar uang lelah padaku!"

Pada saat itu juga kata-kata Sampak terhenti ketika terdengar ribut-ribut dari arah belakang. Serentak mereka menoleh ke arah sumber suara. Dengan langkah lebar-lebar, mereka menuju ke belakang.

Begitu tiba di ruang penginapan, beberapa penghuni kamar yang lain tengah melongokkan kepala keluar, ke arah sumber suara ribut-ribut tadi.

Memang keributan diduga keras berasal dari kamar lelaki bertampang seram yang baru saja dibicarakan. Benar saja, dari pintu itu keluar laki-laki berkumis tebal dengan rahang kokoh. Setelah menutup pintu, dia melangkah tegap.

Cepat Sampak menghampiri. Sementara laki-laki itu kelihatan melangkah tenang, seperti tak terjadi apa-apa.

"Eh! Ada apa, Tuan? Apakah semuanya beres?" tegur Sampak.

Laki-laki bertampang angker ini berhenti sebentar, lalu menatap Sampak. "Hm, tidak." Habis berkata demikian, laki-laki ini melangkah kembali meninggalkan Sampak.

"Eh, Tu..., an!"

"Apa?!"

Laki itu berhenti, dan berbalik. Matanya memandang Sampak dengan sorot tajam. Untuk sesaat darah Sampak berdesir. Begitu mengerikan sorot mata laki-laki yang berdiri di depannya. Penuh nafsu membunuh, laksana seekor harimau buas. Namun kepentingannya belum selesai. Maka dia memberanikan diri untuk menghampiri lagi.

"Eh, anu Tuan...," kata Sampak tergagap, ketika setengah tombak di depan laki-laki itu.

"Katakan saja! Jangan berbelit-belit! Aku mesti pergi ke suatu tempat malam ini juga!" bentak laki-laki itu.

"Mungkin Tuan melupakan sesuatu. Maksudku..., upah untukku dalam mencari tiga orang gadis belum dibayarkan kepadaku," jelas Sampak.

"O, kau minta persen lagi?"

"Bukan begitu Tuan. Tapi Tuan memang belum memberikan uang lelah...," kilah Sampak dengan kepala tertunduk, tak kuasa menatap sorot mata laki-laki di depannya.

"Kau ingin uang lelah?" Kata-kata laki-laki ini dikeluarkan dengan raut wajah marah. Kalimatnya ditekan sedemikian rupa menunjukkan hati yang geram.

"Eh! Ka..., kalau memang Tuan tidak keberatan...," sahut Sampak memberanikan diri.

"Ini, ambillah!" Bersamaan dengan kata-katanya, laki-laki berteimpang seram itu menghujamkan jari-jari tangannya ke perut Sampak. Begitu cepat dan tak terduga, sehingga....

Jrosss!

"Aaa...!" Sampak kontan terpekik. Tubuhnya limbung dengan tangan memegangi ususnya yang terburai. Darah berlepotan menggenangi bumi tempatnya berpijak. Ketika ambruk, tubuhnya langsung kelojotan meregang nyawa. Lalu, dia diam tak berkutik lagi.

"Hei?!"

Orang-orang yang ada di tempat ini menjadi terkejut setengah mati. Demikian pula Ki Rambat, pemilik kedai dan penginapan. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, laki-laki bertampang seram tadi telah berkelebat keluar lewat pintu belakang, lalu menghilang di kegelapan malam.

"Sampak...!" desis pemilik kedai itu dengan wajah masih membayangkan keterkejutan.

Laki-laki setengah baya ini memandangi Sampak bersama beberapa penghuni kamar-kamar yang berada di tempat itu. Salah seorang wanita mendekati Ki Rambat sambil berbisik lirih.

"Ketiga perempuan yang ada di kamar tadi mati, Ki...!"

"Mati? Astaga...!" sentak Ki Rambat, melotot kaget.

"Jidat mereka bolong dua seperti ditusuk dua batang besi!" lanjut wanita itu.

Dan Ki Rambat semakin terkejut saja. Tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengataa keterkejutan yang berturut-turut.

"Apa yang mesti kita lakukan, Ki?" tanya seseorang yang juga berada di dekatnya.

"Oh, apa?!"

"Sebaiknya kita urus mereka dulu!" timpal seseorang.

"Ya, kita akan urus mereka. Tapi salah seorang mesti memberitahukan kejadian ini kepada Ki Guteng," sahut Ki Rambat.

"Biar aku saja, Ki!" sahut seorang pemuda yang juga pelayan kedai.

Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun tiba di kedai Ki Rambat. Tubuhnya kecil dengan kulit hitam, terbungkus pakaian kuning gading. Dialah orang yang dimaksud Ki Rambat. Namanya, Ki Guteng. Dia menjabat keamanan Desa Kaligondang, yang masih terletak di Kadipaten Welirang. Kini, Ki Guteng tengah memeriksa keempat mayat itu sambil menggeleng dan mendesah lemah.

"Bagaimana, Ki?" tanya Ki Rambat.

"Ini betul-betul perbuatan iblis!" desis keamanan Desa Kaligondang ini, geram.

"Iblis? Tapi dia mirip sekali dengan manusia. Lagi pula, mana mungkin iblis doyan perempuan?!" tukas Ki Rambat

Ki Guteng melirik pemilik kedai ini. "Bukan begitu maksudku, Ki! Orang yang melakukan ini sifatnya sama dengan iblis," jelas Ki Guteng.

Baru Ki Rambat mengangguk. Mengerti. Kemudian dijelaskannya ciri-ciri laki-laki yang telah membunuh keempat orang itu.

"Apakah kira-kira Ki Guteng pernah mengenalnya?" tanya Ki Rambat.

Ki Guteng berpikir sebentar. Terlihat dari jidatnya yang sedikit berkerut. "Tidak.... Aku tak pernah melihat orang itu sebelumnya," kata keamanan desa itu menggeleng lemah. "Tapi melihat ciri-ciri korban, agaknya dia yang belakangan ini dihebohkan orang."

"Siapa yang kau maksudkan, Ki?" cecar Ki Rambat.

"Siluman Pemburu Perawan!"

"Eh?! Apakah itu berarti dia siluman betul?" tanya Ki Rambat dengan wajah ketar-ketir ketakutan.

"Tentu saja tidak. Itu julukan seseorang dalam dunia persilatan. Orang itu memang dikenal memiliki kesaktian hebat, jelas Ki Guteng, tersenyum hambar.

"Lalu apa yang mesti kita lakukan, Ki? Orang-tua mereka tentu tidak senang melihat kematian anaknya...," lanjut Ki Rambat dengan sikap lesu.

"Jelaskan saja apa yang terjadi."

"Jelaskan apa yang terjadi? Gila! Itu sama artinya membunuhku, Ki!" sentak Ki Rambat kaget.

"Apa maksudmu? Siapa yang akan membunuhmu?"

"Ya, orangtua mereka!"

Ki Guteng menggeleng lemah. "Itu salahmu sendiri, mengapa mengajak mereka ke sini?"

"Sampak yang bawa mereka...," kilah Ki Rambat.

"Telah berapa kali kuperingatkan padamu, agar jangan membuka kegiatan mesum di tempat ini. Tapi, kau tidak mau mendengarnya!" tandas Ki Guteng.

"Ya! Aku memang salah, Ki. Tapi, memang aku sudah tidak mengurusi soal-soal itu. Hanya Sampak dan anak buahnya suka mengambil kesempatan. Kalau ada tamu-tamu yang tanya," kilah Ki Rambat lagi.

"Ketiga orangtua gadis itu tahu, apa yang mereka lakukan?"

"Yang satu tahu. Tapi dua lainnya tidak. Tahunya, anak mereka bekerja pada seseorang," jelas Ki Rambat.

"Urusan ini jadi runyam!" desis Ki Guteng.

"Ya, karena itulah aku butuh pertolonganmu, Ki. Sekalian mencari pembunuh keji itu!"

"Biarlah nanti akan kucoba menjelaskan pada orangtua kedua gadis itu. Tapi soal mencari si pembunuh, aku angkat tangan."

"Apakah Ki Guteng tak mau membantu?"

"Bukan tidak mau. Tapi tepatnya tidak mampu!" jelas Ki Guteng, terus terang.

"Ki Guteng pesilat hebat yang bisa kupercaya." "Orang ini seperti bukan manusia, Ki! Apakah kau tidak mengerti? Sepuluh orang sepertiku bakal disapu dalam sekejap!"

Ki Rambat jadi bingung sendiri mendengar jawaban itu. Ditatapnya Ki Guteng untuk beberapa saat.

"Lalu, siapa yang bisa kumintai tolong lagi?"

"Cobalah mengerti. Aku tidak mungkin mengabulkan permintaanmu untuk mencari pembunuh itu. Nyawaku sendiri terancam, bila coba-coba mendekatinya."

"Lalu persoalan ini kita diamkan saja?" tanya, Ki Rambat dengan suara lemah.

"Kita tak punya pilihan, kalau ingin selamat..." desah Ki Guteng.

Pemilik kedai itu kembali terdiam. Entah merenungi kata-kata yang terlontar dari mulut keamanan desa itu, entah juga memikirkan yang lain.

Setelah kejadian semalam, pengunjung kedai Ki Rambat jadi jauh berkurang. Rata-rata mereka ngeri membayangkan korban-korban yang terjadi. Mereka menganggap kedai itu kini tempat yang tak aman.

Pengunjung yang ada cuma dua orang. Seorang laki-laki setengah baya, dan seorang pemuda berompi putih yang duduk di pojok ruangan. Kalau laki-laki setengah baya itu kelihatan sebagai seorang pedagang, maka pemuda ini tampaknya dari persilatan. Ini terlihat dari pakaian dan pedang bergagang kepala burung yang tersampir di balik punggung.

"Kisanak. Tolong bawakan lagi aku sayur seperti ini!" tunjuk pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, pada mangkuk sayurnya yang telah ludes.

"Eh? Baik, Tuan!" Seorang pelayan buru-buru menghampiri.

"Sebentar!" cegah pemuda itu ketika pelayan muda ini begitu berada di dekat Pendekar Rajawali Sakti.

"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan ini.

"Kenapa kedai ini kelihatan sepi?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, seraya memandang ke sekeliling.

Pelayan itu tidak langsung menjawab. Namun matanya melirik ke arah Ki Guteng. Tampak keamanan desa itu mengerling mata seperti melarang bicara. Mereka memang dilarang menceritakan peristiwa semalam, karena khawatir para tamu akan takut. Lalu, buru-buru meninggalkan kedai dan tidak akan pernah singgah lagi.

"Aku tidak tahu, Tuan..," kata pelayan itu.

Pendekar Rajawali Sakti memandang sekilas seperti hendak meyakini jawaban yang didengarnya. "O, maaf. Mungkin hanya perasaanku saja," ucap Rangga, halus.

"Tidak apa, Tuan."

"Boleh aku bertanya lagi tentang satu hal?"

"Silakan, Tuan. Kalau bisa kujawab, tentu dengan senang hati kuberitahu."

"Pernahkah kau melihat seorang wanita muda, agak tinggi dan ada tahi lalat didekat bibir atas?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Rasanya tidak pernah, Tuan," sahut pelayan ini.

"Ya, sudah kalau begitu."

Pelayan itu segera angkat kaki untuk memenuhi pesanan Rangga. Sementara dari pintu kedai, masuk seorang tamu bertubuh ramping. Dari bentuk tubuhnya, jelas dia adalah wanita. Pakaiannya sopan agak besar, berwarna merah muda. Hal yang paling aneh, wanita itu ternyata memakai topeng kayu yang melukiskan wajah seorang wanita cantik jelita lengkap dengan bibir merah merekah dan hidung mancung. Dia lantas duduk, tak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Pesan apa, Nisanak?" tanya pelayan kedai yang melayani Rangga, setelah menyelesaikan tugasnya.

Wanita bertopeng itu menyebutkan pesanannya. Suaranya keluar seperti dari perut. Pelan, namun cukup jelas. Duduknya saat itu membelakangi Rangga. Sikapnya tampak tenang-tenang saja saat menunggu pesanan. Sebentar kemudian, pelayan tadi datang membawa pesanan.

"Aku hendak bicara dengan majikanmu. Yang mana orangnya?" tanya wanita bertopeng ini.

"Tentang apa, Nisanak?" pelayan itu malah balik bertanya.

"Perlukah urusan penting kau ketahui?"

"Oh, maaf. Maaf, Nisanak. Sama sekali aku tidak bermaksud mencampuri urusan. Silakan saja. Itu pemilik kedai ini!" tunjuk pelayan itu kepada Ki Guteng.

Memang, penunjukan itu atas perintah Ki Rambat. Bila ada orang yang mencarinya, maka akan dipertemukan dengan Ki Guteng saja. Sementara, Ki Rambat akan ikut mendengarkan.

"Hmm...." Wanita itu bangkit sambil bergumam tak jelas. Dihampirinya laki-laki hitam bertubuh kurus itu.

"Kisanak pemilik kedai ini?" tanya wanita bertopeng.

"Ya. Ada keperluan apa?" sahut Ki Guteng.

"Aku mencari Siluman Pemburu Perawan. Apakah Kisanak pernah bertemu dengannya?" tanya wanita bertopeng itu tanpa basa-basi.

"Apa urusanmu dengannya?" balas, Ki Guteng, menyelidik.

"Hm.... Kurasa itu tidak penting kau ketahui."

"Aku yakin kau seorang wanita. Sebaiknya, hati-hati bila berurusan dengannya...," cetus Ki Guteng, mengingatkan.

"Terima kasih atas nasihatmu, Kisanak. Akan kuingat itu. Tapi untuk saat ini, aku mampu menjaga diri. Kau tak usah khawatir. Nah! Kudengar desas-desus bahwa semalam tempat ini didatangi Siluman Pembum Perawan. Dapatkah kau memberitahu padaku, bagaimana ciri-ciri orang tersebut?" cecar wanita bertopeng ini.

Mendengar itu Ki Guteng tak bisa mengelak lagi. Maka diceritakannya ciri-ciri orang yang dianggap sebagai Siluman Pemburu Perawan itu.

"Itu hanya dugaanku. Tapi, bukan merupakan jaminan kalau orang itu si Siluman Pemburu Perawan," tambah Ki Guteng, setelah menyelesaikan ceritanya.

"Tidak mengapa. Terima kasih atas penjelasanmu, Ki," ucap wanita bertopeng ini.

Kemudian wanita bertopeng itu berbalik. Kakinya melangkah kembali ke mejanya untuk menyantap hidangannya dengan lahap. Dibukanya topeng bagian bawah sedikit agar suapannya tepat masuk ke mulut. Semua itu dilakukannya sambil tertunduk. Seolah takut orang-orang akan melihat bagian wajahnya. Meskipun sedikit!

Agaknya wanita bertopeng itu tidak punya urusan lain, sesudah menyelesaikan makannya. Maka setelah membayar harga makanan, dia segera berlalu.

"Nisanak! Apakah kau sungguh-sungguh hendak mencari Siluman Pemburu Perawan?" tanya Ki Guteng penasaran, sebelum wanita itu keluar dari pintu kedai.

"Ya, kenapa?"

"Kau tahu bahwa orang itu memiliki kesaktian tinggi? Sebaiknya urungkan niatmu. Karena, kau akan celaka di tangannya," ujar Ki Guteng.

"Apakah menurutmu aku akan celaka di tangannya? Apa karena kau melihatku sebagai wanita? Percayalah! Aku bisa jaga diri!" sahut wanita itu tandas.

Setelah berkata begitu, wanita bertopeng ini buru-buru keluar dan melompat sigap ke punggung kudanya. Jarak tempatnya berdiri dengan kuda yang tengah ditambat, lebih kurang lima langkah. Namun tubuhnya enak saja melayang tanpa beban laksana kapas tertiup angin. Ki Guteng sempat terkesiap melihat ilmu meringankan tubuh wanita itu demikian hebat. Paling tidak membuatnya sedikit percaya kalau wanita bertopeng itu bukan orang sembarangan.

"Kau memang tidak boleh meremehkan orang, Kisanak!"

"Hei?!" Tiba-tiba terdengar suara teguran membuat Ki Guteng tersentak kaget. Dan bukan saja sapaan itu yang membuatnya terkejut, melainkan tepukan di pundaknya. Terasa berat luar biasa, seolah sebelah bahunya diganduli beban berat. Dan tak terasa, terpaksa dia memiringkan pundaknya sebentar

Setelah Ki Guteng berbalik, tampak si pemuda berbaju rompi di depannya tersenyum. Lalu kaki pemuda yang memang Rangga melangkah keluar dengan tenang menghampiri kuda berbulu hitam yang ditambat di depan kedai.

"Apa maksudmu, Anak Muda?" tanya Ki Guteng penasaran, ketika Pendekar Rajawali Sakti hendak melompat ke punggung kudanya.

"Kau berdusta padanya. Juga berdusta padaku. Apakah kau kira aku tak tahu, bahwa kau bukan pemilik kedai ini? Kau pun melarang pelayanmu untuk menceritakan kejadian semalam. Entah, apa maksudmu. Tapi itu urusanmu. Dan aku tak berminat ikut campur," sahut Rangga, kalem.

"Eh! Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu...," kilah Ki Guteng.

"Sudahlah. Tidak apa-apa. Kau lakukan hal itu untuk melindungi kedai ini, bukan?" tukas Rangga.

Lalu tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera menggebah kudanya dan segera berlalu dari kedai itu diikuti tatapan Ki Guteng. Entah kenapa, dia merasa menyesal atas dugaannya yang salah tentang kedua orang itu. Keduanya pasti memiliki kesaktian yang bisa diandalkan!

LIMA

"Heaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti cepat menggebah Dewa Bayu, ke arah wanita bertopeng berlalu tadi. Begitu cepat lari kuda hitamnya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan hitam dan putih saja. Maka tak heran kalau tak lama, Pendekar Rajawali Sakti telah melihat sosok berwarna merah muda di atas punggung kuda coklat, berjarak lima puluh tombak.

Sementara sosok wanita di depan sana tampak memperlambat jalan kudanya ketika merasa ada yang mengikuti dari belakang. Kelihatannya tidak sembunyi-sembunyi.

Kini makin lama jarak mereka semakin dekat Persis setelah beberapa saat melewati batas Desa Kaligondang. Sengaja sosok yang ternyata seorang wanita itu menghentikan laju kudanya, seperti menunggu Pendekar Rajawali Sakti yang telah memperlambat lari kudanya.

"Kisanak! Ada urusan apa kau mengikutiku?" tanya wanita bertopeng itu, seraya membalikkan arah kudanya. Dan kini dia berhadapan denganPendekar Rajawali Sakti yang telah menghentikan kudanya.

Seperti juga saat bicara dengan Ki Guteng, wanita bertopeng ini menggunakan suara perut. Sehingga suaranya terdengar sengau dan mirip suara bocah perempuan.

"Mendengar pembicaraanmu di kedai tadi, kurasa kita memiliki tujuan sama...," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa maksudmu?" tanya wanita bertopeng itu.

"Bukankah kau tengah mencari Siluman Pemburu Perawan?" tegas Rangga.

"Apa urusanmu dengannya?"

"Tidak ada. Hanya saja aku mengemban janji kepada beberapa orang yang keluarganya menjadi korban Siluman Pemburu Perawan...."

"Apakah keluargamu yang menjadi korbannya?"

"Bukan. Aku bahkan baru mengenal keluarga si korban."

"Hm, mulia sekali hatimu? Tahukah kau, bahwa Siluman Pemburu Perawan adalah tokoh sakti yang tidak bisa dipandang sebelah mata? Kau membahayakan dirimu sendiri untuk persoalan yang tidak ada untungnya bagimu."

"Terima kasih, Nisanak. Sayang sekali, aku bukan pedagang yang mementingkan untung rugi. Kejahatan mesti diperangi. Di mana dan dalam bentuk apa pun," sahut Pendekar Rajawali Sakti mantap.

"Lalu, kenapa kau mengikutiku?" cecar wanita bertopeng.

"Kudengar sedikit banyak kau mengenai buruanmu. Sedangkan bagiku, orang itu masih kabur," sahut Rangga terus terang.

Wanita itu tertawa kecil. "Jadi kau seperti hendak mencari jarum di tumpukan jerami? Tidak bisa membedakan, mana jarum dan mana jerami?"

Rangga tersenyum. "Sepertinya memang begitu. Tapi kurasa ada hal lain...."

"Apa maksudmu?"

"Aku seperti pernah mengenalmu!"

Mendengar itu, wanita bertopeng ini kelihatan gugup. Dia tidak langsung menjawab. Kalau saja topengnya tersingkap, niscaya pemuda itu akan melihat perubahan raut wajahnya. Namun begitu, agaknya Rangga bisa merasakan sedikit lewat pancaran sinar mata yang menyorot dari lubang pada topeng.

"Hm.... Kau tentu hanya berkelakar. Mana mungkin kau mengenalku, karena baru sekali ini aku keluar rumah!" sahut wanita itu menghapus kegugupannya.

"Di mana rumahmu?" desak Rangga.

"Cukup jauh dari sini!"

"Seorang wanita berjalan seorang diri tanpa berbekal senjata untuk mengejar Siluman Pembum Perawan. Hm..., apa artinya ini?"

"Kenapa?! Apakah kau pun meremehkanku?! Aku cukup mampu menjaga diriku!" sentak wanita bertopeng itu.

"Maukah kau membuktikannya di depanku?"

"Apa maksudmu?" Mendadak wanita bertopeng ini sadar kalau terkena pancingan Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku akan menyerangmu beberapa jurus. Akan kulihat, apakah kau memang bisa menjaga diri seperti katamu," jelas Rangga.

"Aku tidak biasa pamer kepandaian...," kilah wanita ini.

"Ini bukan pamer kepandaian. Tapi, sekadar membuktikan kata-katamu. Apakah kau seorang pembohong atau tidak."

"Terserah apa pendapatmu. Tapi aku tidak suka memperlihatkan kepandaianku depan orang lain," sahut wanita itu, menegaskan.

"Kenapa? Kau takut jurus-jurusmu dikenali, dan dengan begitu penyamaranmu terungkap?" sindir Rangga.

"Aku tidak mengerti maksudmu. Dan kurasa, urusan kita tidak ada sangkut-pautnya. Aku permisi dulu!" lanjut wanita bertopeng itu, seraya berbalik. Cepat kudanya digebah agak kencang.

"Tunggu!" cegah Rangga. Tapi wanita itu tak mempedulikannya. Sehingga terpaksa Rangga menggebah kudanya untuk mengejar.

"Jangan katakan bahwa di antara kita tidak ada urusan! Aku kenal siapa kau!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, ketika telah menjajari kudanya di samping wanita bertopeng ini.

"Kau mengigau. Jangan ganggu aku. Uruslah persoalanmu sendiri!" balas wanita bertopeng.

"Persoalanku memang menyangkut seseorang...," kata Rangga.

"Bagus! Kalau begitu tak ada sangkut-pautnya denganku," sahut wanita ini.

"Kau salah. Justru kaulah yang menjadi persoalanku!" tuding Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa maksudmu?" tanya wanita bertopeng itu. Nyata sekali kalau kata-kata wanita itu dikeluarkan karena perasaan tidak senang atas desakan pemuda berbaju rompi putih ini.

"Selama beberapa minggu ini, aku berkeliling tempat menghabiskan waktu untuk mencarinya...," lanjut Pendekar Rajawali Sakti tak peduli sikap wanita itu.

"Siapa yang kau cari?" tanya wanita ini dengan suara bergetar, seraya menghentikan laju kudanya kembali.

"Orang itu bernama Suti Raswati. Namun, lebih dikenal sebagai Bidadari Penakluk!" jawab Rangga, juga menghentikan kudanya.

"Hm.... Aku tidak kenal orang itu...," sahut wanita bertopeng itu dengan suara bergetar.

"Tidak. Kau pasti mengenalnya!" sergah Rangga.

"Jangan memaksaku!" sentak wanita ini.

Pendekar Rajawali Sakti memandang tajam kearah wanita bertopeng ini seperti hendak mengorek jauh ke lubuk hati melalui sepasang matanya. Dan belum ada yang berbicara....

Wesss...!

Mendadak melesat sebuah bayangan laksana sapuan angin kencang.

"Heh?!" Hup!" Sejenak Pendekar Rajawali Sakti kaget, namun cepat mencelat dari punggung kudanya. Dan seketika disongsongnya sosok yang berkelebat.

Plak! Plak!

"Aaakh...!" Rangga mengeluh tertahan ketika terjadi benturan keras. Dia kaget bukan main merasakan ada tenaga dorongan kuat yang membuatnya terhempas ke belakang dengan keras. Pemuda itu terpelanting, meski mampu menjejakkan kedua kaki ke tanah.

"Hiiih!"

Wesss...!

Pada saat itu juga sosok bayangan ini kembali menerkam ke arah Rangga. Kecepatannya sama seperti tadi.

"Celaka...!" keluh Rangga. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti tak habis pikir, bagaimana sosok ini mampu berbuat seperti itu?

Mestinya Rangga mempersiapkan diri barang sesaat. Namun entah kenapa dia seperti belum bisa berbuat sesuatu untuk menghadapi serangan. Apalagi, sosok itu seperti memiliki kekuatan luar biasa. Dan dalam keadaan demikian tentu saja, Rangga bisa celaka.

"Kisanak! Biar aku coba membantumu!" Begitu habis kata-katanya, wanita bertopeng itu cepat mencelat dari kuda sambil mengayunkan pukulan ke arah sosok yang tengah menyerang Rangga.

Wuuus!

"Hei?!" Sosok yang tengah mencelat ke arah Pendekar Rajawali Sakti terkejut melihat tenaga pukulan wanita bertopeng itu. Seketika dia menjatuhkan diri dan cepat bergulingan untuk menghindari.

"Uhh...!" Kesempatan itu tidak disia-siakan Rangga. Secepat kilat tubuhnya berkelebat sambil menghantamkan pukulan bertenaga dalam tinggi, ketika sosok itu baru saja berdiri.

"Hiyaaa!"

"Hup!"

Namun sosok yang dihadapi sungguh hebat. Meski dalam keadaan tak siap, namun masih mampu menjatuhkan diri kembali dan bergulingan menghindari hantaman. Lalu tiba-tiba tubuhnya melenting laksana seekor ikan yang berada di tanah hendak mencari air. Kemudian merasa tidak mampu menghadapi gabungan kedua lawannya, dia mencelat jauh dan cepat menghilang.

"Edan! Orang gila dari mana pamer kepandaian di sini!" rutuk Pendekar Rajawali Sakti kelihatan penasaran sekali, seraya hendak berkelebat.

"Jangan dikejar!" cegah wanita bertopeng itu.

"Apa maksudmu?" tanya Rangga, begitu menghentikan gerakannya.

"Tidak perlu. Tapi, terserahmu saja. Dia akan datang lagi untuk menangkapku," sahut wanita itu, agak ragu.

"Ada urusan apa? Sepertinya kau begitu yakin kalau dia akan datang?" tanya Rangga, memandang curiga.

"Kenapa memandangku begitu rupa? Tidak ada yang aneh, bukan? Apakah kau tidak mengenali orang itu?" Rangga menggeleng lemah. "Pantas! Nah! Bukalah matamu lebar-lebar. Orang itulah yang kau cari-cari!" ujar wanita bertopeng.

"Apa? Maksudmu dia Siluman Pemburu Perempuan?!" sentak Rangga.

Wanita bertopeng itu mengangguk. "Katamu kau mencari-carinya. Lalu kenapa diam saja saat dia kabur?"

"Untuk apa? Hanya buang-buang waktu. Aku cukup sekadar mengetahui kalau dia ada di wilayah ini. Dia akan datang padaku tanpa kuminta. Aku cukup berbekal kewaspadaan saja," jelas wanita bertopeng itu, tenang.

Untuk sesaat Rangga terdiam. Tak tahu mesti berkata apa.

"Kau sudah tahu buruanmu, bukan? Kini kita tak perlu jalan beriringan lagi. Dan kau pun tak perlu membuntutiku. Kita punya cara sendiri untuk memburunya," lanjut wanita bertopeng itu.

Kembali Rangga tak tahu harus berkata apa. Dia tak punya alasan kuat untuk terus membuntuti. Tapi apa yang dikatakan wanita bertopeng itu rasanya masuk diakal. Siluman Pemburu Perawan pasti akan memburunya. Jadi, wanita itu tidak perlu repot-repot mencarinya. Kalaupun tadi kabur, hanya karena merasa tidak mampu menghadapi mereka berdua. Tapi begitu mereka berpisah, maka siluman itu bisa saja muncul. Bahkan menangkap wanita bertopeng ini.

"Urusan kita belum selesai." Akhirnya hanya itu yang bisa keluar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti.

"Urusan apa?" tanya wanita bertopeng ini.

"Kau membuatku curiga."

Wanita itu tertawa kecil. "Sudah kukatakan, kau mencari orang yang salah. Tidak ada gunanya mendesakku," kilah wanita ini.

"Kalau saja kau menanggalkan topengmu, tentu saja urusan kita selesai. Karena aku bisa mengenalmu."

"Itu tidak mungkin!"

"Kenapa? Kau takut dikenali?"

"Tidak. Tapi ini soal harga diri. Aku tidak sudi menyenangkan hatimu dengan menuruti apa yang kau inginkan!" sergah wanita itu, tegas.

"Kalau begitu aku akan membukanya dengan paksa," balas Rangga, mantap.

"Gila! Jangan memaksaku!" desis wanita itu agak kesal.

"Yang membuatku terpaksa adalah kau sendiri. "

"Jangan cari gara-gara, Kisanak. Aku tidak akan memaafkanmu untuk hal itu!" ancam wanita bertopeng ini.

"Sekian lama aku mencarinya. Dan tidak akan kubiarkan kau pergi begitu saja, meski apa pun yang terjadi!" sahut Pendekar Rajawali Sakti keras kepala.

"Jangan paksa aku. Pergilah!"

"Tidak! Bersiaplah!" tegas Rangga. Kemudian secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke arah wanita bertopeng itu sambil mengayunkan tangan kanan untuk menyambar topeng.

"Hiiih!" Tapi, agaknya wanita itu tidak tinggal diam. Telapak tangan kirinya cepat menghantam ke depan.

Wuuut...!

Rangga langsung berkelit, sambil berputar. Kemudian dilepaskannya tendangan kilat ke perut. Namun wanita itu cepat menangkis tendangan dengan kaki kanan.

Plak!

Baru saja terjadi benturan kaki kiri, wanita ini meluncur ke muka Pendekar Rajawali Sakti.

Wuttt..!

"Uhh...!" Rangga cepat melompat ke belakang. Dan baru saja kakinya mendarat di tanah.....

Wesss...!

"Heh?!" Mendadak saja, sebuah benda sebesar kepalan bayi melesat secepat kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun hatinya terkejut Pendekar Rajawali Sakti cepat menjatuhkan diri dan bergulingan menjauh.

Jder!

Benda itu langsung meledak, menebarkan asap hitam tebal yang cepat mengembang dan menutupi pemandangan. Rangga hanya bisa memaki kesal, ketika bangkit. Dan tiba-tiba, kedua tangannya menghentak ke depan.

"Aji Bayu Bajra! Heaaa...!"

Wusss...!

Angin kencang laksana topeng dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menghentak menyapu tempat itu. Kabut hitam seketika sirna. Dan seperti yang telah diduga, wanita bertopeng itu telah lenyap, meninggalkan kudanya begitu saja.

"Hm.... Dia sungguh cerdik!" gumam Rangga. "Kalau menggunakan kuda pasti geraknya tidak leluasa dan bisa terkejar olehku."

Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekeliling tempat, mengawasi dengan seksama. Bagai-manapun, dia tidak begitu yakin kalau wanita itu mampu menghilang secepat ini.

"Aku yakin dia masih berada di sekitar tempat ini. Mungkin bersembunyi di suatu tempat," pikir Rangga.

Berpikir begitu, Rangga melompat ke punggung kudanya. Sambil menggebah Dewa Bayu pelan-pelan, mulai mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Dengan menggunakan ajian itu, telinganya bisa mendengar sehelai daun jauh sekali pun.

"Hm...!" Rangga bergumam pendek. Telinganya mendengar perbedaan suara dan detak jantung yang amat halus tidak jauh darinya. Pendekar Rajawali Sakti merasakan desir angin berbelok. Padahal batang pohon yang menghalanginya tidak terlalu besar. Namun belokan angin itu terasa bergeser jauh. Itu berarti ada sesuatu yang membuat batang pohon itu melebar, yaitu seseorang bersembunyi di belakang batangnya.

Namun hal yang membuat Rangga takjub adalah, kemampuan orang itu dalam mengatur pernapasannya, sehingga terdengar halus sekali. Bahkan nyaris samar. Sehingga sedikit menyulitkan bagi pemuda itu mengenalinya.

Perbedaan napas atau halusnya napas orang yang didengar Rangga yang membuat dugaannya membingungkan. Wanita itu, atau orang lain?

Rangga menghentikan langkah kudanya. Matanya, langsung memandang ke batang pohon yang dicurigainya. Kali ini dikerahkannya aji 'Tatar Netra' untuk bisa melihat jelas, siapa gerangan manusia yang bersembunyi di balik batang pohon itu. Sesaat dahinya berkerut setelah menangkap pakaian orang yang bersembunyi di balik gerumbulan cabang-cabang pohon yang berdaun lebat. Kelihatan rapi sekali. Dan bagi mereka yang tidak memiliki penglihatan tajam, akan sulit menemukannya.

"Kisanak! Tak ada gunanya bersembunyi. Keluarlah! Dan, tunjukkan dirimu didepanku!" teriak pemuda itu lantang.

"Ha ha ha...! Sungguh tajam pendengaran dan penglihatanmu, Bocah!"

Terdengar sahutan yang disusul berkelebatnya satu sosok dari gerumbulan semak pohon yang sejak tadi diperhatikan Pendekar Rajawali Sakti. Sosok itu langsung melayang ringan, melewati atas kepala Rangga lalu mendarat pada jarak lima langkah dengan sikap membelakangi.

"Hm.... Kau penyerang tadi rupanya. Apa maksudmu berkeliaran di sini?" tanya Rangga, dingin.

"He he he...! Kudengar kau mencari-cariku. Apakah nyalimu sudah demikian hebat, sehingga berani mencari urusan denganku?" tanya sosok bertubuh tinggi tegap.

"Siluman Pemburu Perawan! Kau tidak perlu mempersoalkan nyaliku segala. Perbuatan yang kau lakukan selama ini amat terkutuk. Dan sudah sepantasnya orang sepertimu mati!" kata Rangga, mantap.

"Hua ha ha...! Bocah! Sungguh hebat bicaramu. Tapi aku khawatir, karena orang yang selalu bicara besar biasanya yang bakal cepat mampus!"

"Akan kita lihat hari ini!" sahut Rangga tenang.

Dengan kata-kata itu, berarti Pendekar Rajawali Sakti memang berusaha memancing kemarahan. Karena selesai bicara begitu, sosok ini berbalik. Tampak wajahnya yang ditumbuhi kumis lebat dengan sorot mata tajam.

"Hm.... Akan kulihat, sampai di mana kesombonganmu!" dengus sosok yang ternyata berjuluk Siluman Pemburu Perawan.

"Heaaa...!"

Seketika tubuh Siluman Pemburu Perawan berkelebat sambil memutar-mutar tangannya yang kokoh.

Bet! Bet!

Rangga tak kalah sigap. Cepat tubuhnya meluruk, berusaha memapak serangan.

Plak! Plak!

Terjadi benturan berkali-kali, Rangga tampak terjajar beberapa langkah. Sementara Siluman Pemburu Perawan telah kembali berkelebat sambil menyambarkan tangan kanannya. Dengan gerakan dahsyat, Rangga menangkis menggunakan telapak tangan kiri.

Plak!

Sehabis menangkis, Rangga memutar tubuhnya dengan tangan kanan menghantam ke leher.

Wuttt...!

Namun Siluman Pembum Perawan telah merunduk, seraya menyarangkan kepalan tangan ke dada.

"Hup!"

Untung Pendekar Rajawali Sakti segera mencelat ke atas, lalu membuat putaran beberapa kali di udara.

"Heaaa...!"

Baru saja Rangga mendarat, Siluman Pemburu Perawan mengejar. Di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti mengegos ke kiri seraya melepaskan tendangan berputar yang cepat dan dahsyat.

Wuuut!

Desss...!

"Aaakh...!"

Siluman Pemburu Perawan mengeluh tertahan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah. Namun dengan cepat dia bisa menguasai diri dan kembali meluruk menyerang.

Rangga pun segera melayani. Ketika Siluman Pemburu Perawan melepaskan gedoran dengan kedua tangan, cepat disambutnya dengan kedua tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Dan....

Derrr...!

"Aaakh...!"

"Aaakh...!"

Pendekar Rajawali Sakti dan Siluman Pemburu Perawan sama-sama terhuyung ke belakang. Rangga cepat belajar dari pengalaman tadi. Dan betul saja. Pada saat dia belum bersiap, laki-laki bertampang seram itu telah kembali menyerang, seolah memiliki tenaga ganda.

"Uts!" Pendekar Rajawali Sakti cepat membuang tubuhnya dan langsung bergulingan menghindari terkaman Siluman Pemburu Perawan yang bertubi-tubi. Serangannya silih berganti antara tendangan dan pukulan.

ENAM

Pada satu kesempatan Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas, hendak melewati kepalan Siluman Pemburu Perawan dengan tubuh berputaran.

Namun tanpa disangka, Siluman Pemburu Perawan melesatkan tubuhnya, tepat ketika Rangga berada di atas kepala. Saat itu juga, dilepaskannya satu hantaman keras.

Desss...!

"Aaakh...!" Pendekar Rajawali Sakti menjerit kesakitan dengan tubuh terlempar agak jauh. Begitu jatuh di tanah, dari mulutnya terlihat darah menetes pelan. Perlahan-lahan Rangga merangkak bangkit sambil meringis menahan sakit.

"Yeaaa...!"

Baru saja menjejak tanah, Siluman Pemburu Perawan yang menyadari kalau Pendekar Rajawali Sakti terluka karena pukulannya, kembali melompat. Agaknya dia bermaksud menghabisi Rangga saat itu juga.

"Celaka...!" desis Rangga dalam hati. Dalam keadaan demikian, bagi Pendekar Rajawali Sakti agaknya sulit untuk berbuat banyak. Maka dengan cepat tangannya bergerak ke punggung. Lalu....

Sriiing!

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti meloloskan Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang langsung memancarkan sinar biru berkilau.

Wuttt...!

Siluman Pemburu Perawan terkesiap ketika Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya. Saat itu juga serangannya diurungkan. Tubuhnya langsung bergulingan di tanah, lalu kembali melenting bangkit. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti melakukan serangan, laki-laki bertampang seram ini sudah kembali meluruk dengan sambaran-sambaran tangannya yang kokoh.

"Uts!" Rangga cepat mengegoskan tubuhnya ke kanan. Namun di luar dugaan, pada saat itu kaki kanan Siluman Pemburu Perawan menerjang ke dada. Dengan sebisanya, Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan pedangnya ke kaki.

Wuttt...!

Namun Siluman Pemburu Perawan tanpa sengaja malah berusaha menangkis dengan tangan kiri. Dan....

Desss...!

Crasss...!

"Aaakh...!"

"Aaakh...!"

Terdengar dua pekikan saling susul. Pedang Pendekar Rajawali Sakti tepat menebas pergelangan tangan kiri Siluman Pemburu Perawan sampai putus. Sementara kaki laki-laki bertampang seram itu bersarang telak di dada Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti merasa isi dadanya bagai mau pecah menerima hantaman yang keras bukan main. Sebaliknya Siluman Pemburu Perawan hanya merasakan sakit akibat tangan yang putus. Tapi, luka itu panas menyengat, bergerak cepat menjalar ke jantung.

"Uhh...!" Dengan langkah limbung, Siluman Pemburu Perawan buru-buru menotok pergelangan tangannya yang buntung agar darah yang mengalir terhenti.

Tuk! Tuk!

Kemudian buru-buru laki-laki ini berkelebat meninggalkan tempat itu, setelah melirik sekilas pada Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara itu, wajah Rangga kelihatan pucat. Darah tampak meleleh terus dari mulutnya. Namun begitu, dia berusaha bersikap tegar dengan tetap berdiri tegak berdiri. Pedangnya masih tergenggam erat di tangan.

Kalau saja Siluman Pemburu Perawan tahu keadaannya saat itu, mungkin tidak akan buru-buru pergi. Karena Pendekar Rajawali Sakti saat ini memang memaksakan diri bersikap tegar, agar lawannya masih memandang tinggi padanya. Kalau keadaannya terlihat kepayahan, Siluman Pemburu Perawan tentu akan menghabisinya saat ini juga.

"Pmuufhh...! Hoaakh...!"

Sepeninggal Siluman Pemburu Perawan, Pendekar Rajawali Sakti menyemburkan darah kental yang sejak tadi ditahan di mulutnya. Isi perutnya secepat kilat naik ke atas. Dan kembali pemuda itu menyemburkan darah kental kehitam-hitaman.

"Ohh...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti limbung, lalu ambruk seperti tak bertenaga. Pandangannya ber-kunang-kunang, ketika mencoba bangkit mendekati kudanya.

"Dewa Bayu! Coba ke sini, Sobat..!" panggil Pendekar Rajawali Sakti lirih.

Dewa Bayu meringkik halus, lalu mendengus kasar seperti menciumi wajah majikannya. Beberapa kali dia meringkik halus, seperti hendak menyatakan kesedihan atas penderitaan yang dialami majikannya.

Pendekar Rajawali Sakti berusaha naik ke pelana kuda. Sementara tenaganya sudah terlalu sangat lemah sekali. Dan dadanya terasa nyeri kalau bergerak terlalu banyak. Namun akhirnya dia mengikat pergelangan tangan pada tali kekang kuda.

"Dewa Bayu.... Bawa aku pergi dari tempat ini. Cari tempat aman," ujar Rangga lirih.

"Hieee...!" Kuda hitam itu kembali meringkik halus, dan mulai membawa majikannya perlahan-lahan meninggalkan tempat ini.

Untuk beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti masih mampu bertahan dan berusaha mengerjap-ngerjapkan pandangannya yang kabur. Tapi semakin lama terasa semakin gelap. Dan pada akhirnya, semua kelihatan gelap. Pendengarannya pun tuli. Alam sekitarnya hening!

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Entah sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti tak sadarkan diri. Namun ketika matanya bergerak-gerak, yang pertama kali dilihatnya adalah sebuah ruangan yang tertata rapi. Di dindingnya terdapat banyak hiasan. Dan di dekatnya, terdapat sebuah meja yang di atasnya terdapat sebuah guci dan dua buah cangkir kecil. Dia sendiri berada di sebuah tempat tidur yang beralaskan seprai bersulam indah.

"Oh, di mana aku...? Tempat siapa ini?" desah Pendekar Rajawali Sakti perlahan.

Wajah Rangga cepat berubah meringis, ketika mencoba bangkit. Masih terasa sakit yang hebat di dadanya. Begitu juga isi perutnya. Tak terasa dia kembali merebahkan diri di balik selimut tebal.

"Pedangku? Di mana pedangku...?!" sentak Rangga kaget ketika merasakan pedang pusaka tidak berada di punggungnya. Baju yang dikenakannya pun bukan miliknya.

Mendadak Pendekar Rajawali Sakti merasa aneh pada dirinya. Dia coba mengingat-ingat kejadian yang menimpanya. Tapi ingatannya masih waras. Dia tidak sadarkan diri, setelah terluka karena bertarung melawan Siluman Pemburu Perawan.

"Apakah dia kembali dan mengikutiku, lalu mengambil pedang pusakaku?" pikir Rangga dengan wajah lesu tak bersemangat.

Pada saat itu juga, pintu kamar terbuka. Tampak sosok tubuh ramping menyeruak masuk ke dalam dengan membawa nampan berisi masakan hangat.

Rangga terkesiap. Dan wajahnya langsung menunjukkan kekesalan ketika mengetahui siapa yang muncul. Ternyata, yang baru masuk adalah seorang wanita berpakaian merah muda. Hanya anehnya wajahnya selalu tertutup topeng.

"Kau rupanya! Apa yang kau lakukan padaku?!" tegur Pendekar Rajawali Sakti dengan sikap dingin.

"Kenapa? Apakah kau tidak suka aku menolongmu?" tanya wanita bertopeng itu seraya meletakkan nampan berisi masakan ke atas meja. Lalu disodorkannya sebilah pedang milik Pendekar Rajawali Sakti yang dikepit di ketiak kirinya.

"Aku tahu pedang ini amat berarti bagimu. Oleh sebab itu, kujaga sebaik mungkin. Aku khawatir tertukar atau dicuri orang," lanjut wanita bertopeng. "

Rangga menyambar senjatanya secepat kilat. Lalu diamatinya dengan seksama.

"Jangan khawatir. Aku sama sekali tidak tertarik menukar pedangmu itu...," ujar wanita bertopeng itu, seperti hendak meyakinkan Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti memandang sekilas, lalu meletakkan pedangnya di samping kanannya.

"Kenapa kau menolongku? Padahal kau punya kesempatan untuk membunuhku?" tanya Rangga, menyelidik.

"Kita tidak bermusuhan. Apa gunanya aku membunuhmu?" sahut wanita bertopeng ini.

"Kau tahu, aku tidak mempercayaimu!" pancing Rangga.

"Itu bukan alasan untuk tidak menolongmu," tukas wanita ini.

"Atau kau ingin pamrih dariku?" Wanita bertopeng itu tersenyum. "Apa yang bisa kau berikan padaku sebagai balasan atas pertolonganku?"

"Kalau kau mau uang, aku bisa memberimu banyak. Kalau kau ingin emas atau permata, aku bisa memberikan sebanyak yang kau suka," kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Sungguh? Hm.... Kalau begitu, kau orang terpandang juga," sahut wanita itu seperti tak percaya.

"Mungkin saja kau tak percaya. Tapi sebutkan harga pertolonganmu. Dan aku akan membayarnya."

"Benarkah kau mampu membayarnya?"

"Tentu saja!"

"Kau tidak akan mampu."

"Katakan saja!"

Wanita itu terdiam sesaat. "Aku tidak butuh uangmu. Juga tak butuh emas atau permatamu. Hanya yang kuinginkan, yaitu jangan berprasangka buruk terhadapku. Dan kemudian, hilangkan kecurigaanmu yang berlebihan kepadaku," jelas wanita ini.

Rangga terdiam untuk beberapa saat.

"Kau tak akan sanggup, bukan?"

"Aku penasaran sebelum membuktikan, apakah kau wanita yang kucari atau tidak...," sahut Rangga dengan suara lirih seperti mengharapkan pengertian wanita itu.

"Siapa yang kau maksud...?" tanya wanita bertopeng ini.

"Kau tahu..., tentu saja Bidadari Penakluk!"

Terasa kalau wanita bertopeng ini menghela napas sesak, dan terdiam beberapa saat lamanya. "Kenapa kau begitu membencinya?" tanya wanita ini.

"Semestinya kau mengerti...," sahut Rangga kalem.

"Apa maksudmu?!"

"Kaulah wanita yang kucari-cari itu!" tuding Rangga, terang-terangan.

Wanita bertopeng itu kembali terdiam. Kemudian dipandanginya pemuda itu dengan tajam lewat pandangan mata di balik lubang topengnya.

"Kalau memang benar wanita itu adalah aku, apa yang hendak kau lakukan? Membunuhku? Nah! Pedangmu telah berada di sisimu. Bunuhlah aku, kalau memang demikian yang kau kehendaki!" ujar wanita bertopeng itu seraya berdiri dekat Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti terdiam. Dipandanginya sepasang mata di balik topeng kayu itu, seakan hendak meraba seluruh wajah yang tersembunyi.

"Kenapa kau begitu kukuh? Padahal aku hanya sekadar hendak mengetahui, apakah kau wanita itu atau bukan?" tanya Rangga, lemah.

"Tidak ada gunanya bagimu! Toh meski bagaimanapun, aku tak akan membuka topeng ini di hadapanmu!" tukas wanita bertopeng.

"Kenapa?"

"Karena aku tidak ingin!" tandas wanita itu sejadi-jadinya.

"Bukan karena itu. Tapi karena kau tak ingin kukenali, bukan?"

Wanita bertopeng itu tak menyahut. Dipandangnya sebentar paras pemuda itu, lalu melengos pergi tanpa berkata apa-apa.

Rangga terpaku di tempatnya memandang kepergian wanita bertopeng itu tanpa berusaha mencegahnya. Tak tahu apa yang tengah dipikirkan saat itu. Dugaannya kuat kalau wanita itu adalah si Bidadari Penakluk. Tapi kenapa ada perasaan tak tega untuk membuktikannya. Aneh! Padahal sebelum bertemu tekadnya menggebu-gebu untuk menangkap wanita itu. Tapi ini setelah berada di depannya, dia tak mampu berbuat apa-apa. Tapi..., apakah benar wanita itu adalah Bidadari Penakluk? Bagaimana kalau bukan?

Suasana di luar jendela kelihatan mulai gelap ketika Rangga melirik ke sana. Sejak tadi, wanita bertopeng itu belum juga muncul menjenguknya lagi, Rangga memang kini berada di penginapan, setelah wanita bertopeng menemukannya tergeletek pingsan di atas punggung Dewa Bayu. Pendekar Rajawati Sakti lantas dibawa ke tempat ini sampai akhirnya baru disadari setelah siuman.

"Ke mana dia? Apakah pergi begitu saja?" gumam Rangga. "Hm, perlu apa aku mengurusinya segala?!"

Cukup lama juga dia terlelap. Dan masakan yang tadi dibawakan wanita itu telah dingin. Rangga berusaha bangkit, sambil menahan nyeri di dada. Lalu dia duduk bersila di lantai.

"Hup!" Rangga mulai mengatur pernapasan untuk mengerahkan hawa murni ke bawah perutnya dan melancarkan peredaran darahnya.

"Oh, apa ini? Kenapa begini?" keluh Pendekar Rajawali Sakti kaget, ketika tidak merasakan apa-apa dari bawah perutnya.

Rangga kembali mencoba, dan hasilnya tetap nihil. Beberapa kali pemuda ini mencoba lagi, namun hasilnya tetap sama. Sampai akhirnya Rangga mulai putus asa. Dia bangkit dan berdiri merenung memandang jauh ke depan jendela kamar.

Tok! Tok...!

Terdengar suara pintu diketuk dari luar.

"Siapa?" tanya Rangga.

"Aku, Tuan...!" sahut suara dari balik pintu.

"Masuklah!"

Begitu pintu terbuka, tampak seorang wanita muda masuk sambil membawa nampan berisi pakaiannya yang telah bersih. Beberapa buah guci kecil dan selembar surat.

"Apa ini?" tanya Rangga.

"Nona bertopeng itu yang menitipkan ini untuk disampaikan kepada Tuan," jawab pelayan penginapan itu.

"Di mana dia sekarang?"

"Dia telah pergi, Tuan..."

Ada perasaan kecewa di hati Pendekar Rajawali Sakti mendengar jawaban itu. Tapi tentu saja tidak diperlihatkannya kepada wanita ini.

"Pergi ke mana?"

"Dia tidak bilang, Tuan. Hanya menyerahkan ini," sahut pelayan itu, segera menyerahkan nampan yang dibawa.

Rangga kembali meneliti. Dan kini juga terlihat pundi-pundinya yang berisi uang sebagai bekal perjalanan. Dia menerima nampan itu dan yang pertama kali dibuka adalah secarik kertas yang terdapat di situ.

Pakaianmu sudah bersih kucuci. Dan ini ada sedikit obat untuk melancarkan peredaran darahmu serta merangsang tenaga dalammu untuk kembali. Jangan khawatir, ini bukan racun. Kalau aku berniat membunuh, tentu sudah sejak semula kulakukan.

Rangga membaca surat ini perlahan-lahan. Surat itu tidak meninggalkan nama penulisnya. Dan ini membuat dahinya berkerut.

"Dia betul-betul hendak merahasiakan dirinya...," gumam Rangga.

Sesaat Rangga sadar kalau pelayan itu masih ada di kamar ini. Cepat kantong uangnya dirogoh. Dikeluarkannya dua keping uang perak untuk diberikan kepada wanita itu.

"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan ini.

"Sebentar!" cegah Rangga ketika pelayan itu hendak berlalu.

"Ada lagi yang bisa kubantu, Tuan?"

"Tahukah kau, ke arah mana wanita bertopeng itu pergi?"

"Sepertinya ke selatan...."

"Ya, sudah. Terima kasih."

"Tuan...," panggil pelayan itu, sebelum melangkah.

"Hm, ada apa?" tanya Rangga, sedikit bergumam.

"Maaf, bukan bermaksud mencampuri urusan Tuan dengannya...," lanjut pelayan itu agak ragu.

"Ada apa?" ulang Rangga dengan kening berkerut.

"Tadi sepertinya wanita itu menangis setelah keluar dari kamar ini...," jelas pelayan itu.

"Kapan?" tanya Rangga, makin tajam kerutan di keningnya.

"Sebelum Tuan Bangun, dia sempat menjenguk sebentar. Lalu terus keluar lagi."

"Dia memakai topeng. Bagaimana kau tahu kalau dia menangis?" tukas Rangga.

"Dia membuka topengnya sebentar, untuk menyeka airmatanya...," jawab pelayan itu.

"Kau melihat wajahnya?!" tanya Rangga bersemangat.

"Tidak. Dia membelakangiku. Tapi..., kenapa Tuan tanyakan hal itu? Apakah kekasih Tuan itu memiliki wajah buruk?"

"Tidak. Wajahnya cantik.... Tapi, dia bukan kekasihku." Entah kenapa Rangga bicara seperti itu. "Ah, lupakan saja!"

"Tapi sepertinya dia menaruh perhatian besar pada Tuan."

"Sudahlah. Bila nanti kuperlukan, kau kupanggil."

"Baiklah...," sahut pelayan ini, lantas bergegas melangkah keluar kamar ini.

Sepeninggal pelayan itu. Rangga termenung beberapa saat. Pandanganny tertuju pada obat-obatan dalam guci kecil yang diberikan wanita bertopeng itu.

"Dia mesti meyakiniku, bahwa obat-obatannya ini bukan racun? Ya, dia pasti menduga hal itu karena takut kucurigai," gumam Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti mengambil beberapa butir ramuan obat yang dibentuk seperti tahi kambing. Baunya sangit, namun sepertinya memang tidak mengandung racun. Ditimang-timang, sebentar sebelum memutuskan.

"Sebenarnya dia baik. Atau paling tidak, berusaha bersikap baik kepadaku. Hanya saja aku tidak mengerti, apakah di balik semua kebaikannya tersembunyi niat terpendam? Tapi, niat apa? Kalau hendak mengakali hartaku, tentu pundi uang itu tidak dikembalikannya. Jadi apa maksud sebenarnya? Apakah dia hendak memasang perangkap seperti dulu lagi? Ah, entahlah...," desah Rangga, tak habis pikir.

Rangga kini menenggak obat-obatan itu satu persatu. Tidak sulit baginya untuk memilih obat pertama yang mesti ditelan, sebab wanita itu telah membubuhkan angka pada setiap guci kecil. Dari angka satu sampai lima.

Setiap obat yang ditelan, membutuhkan waktu beberapa saat untuk melihat pengaruh apa yang ditimbulkannya. Pada obat pertama terasa perutnya mual dan bergolak seperti hendak muntah.

"Hoeeekh...!"

Laksana letusan gunung api, dari dada Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke atas dan menyembur lewat mulut gumpalan darah kental yang telah membeku sebesar lebih kurang kelingking anak kecil. Tiga kali Rangga memuntahkan darah beku dari perut dan dada. Kini tubuhnya terasa lebih enak. Rangga menarik napas panjang dan memenuhi isi dadanya dengan udara segar.

Kembali Rangga menenggak obat kedua. Dan pengaruh yang ditimbulkan adalah hawa hangat di sekitar dada. Kembali Rangga menarik napas panjang, dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Setelah merasakan isi dadanya semakin lega setelah melakukan pernapasan beberapa saat, Rangga melanjutkan dengan menenggak obat ketiga. Dan begitu seterusnya, sampai keadaannya semakin baik.

********************

TUJUH

Sepak terjang Siluman Pemburu Perawan makin menggemaskan orang-orang persilatan golongan putih. Tidak hanya mereka yang anak gadisnya menjadi korban, tapi juga karena tersentuh sifat kependekaran mereka untuk membasmi kelaliman.

Seperti tak kenal kata menyerah, tokoh-tokoh persilatan golongan putih terus memburu Siluman Pemburu Perawan. Pucuk dicinta ulam tiba. Ketika berusaha menjarah seorang gadis di Desa Kaliwungu pada petang hari ini Siluman Pemburu Perawan kepergok oleh beberapa tokoh persilatan yang sudah mengepungnya.

Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu memandang tiga orang tokoh persilatan ini dengan sorot mata tajam dan senyum mengejek. Di dekatnya tergeletak sesosok gadis yang tengah tak sadarkan diri.

"Siluman Pemburu Perawan! Kau tidak bisa lolos lagi kali ini!" dengus seorang tokoh yang berusia sekitar lima puluh tahun.

Di dunia persilatan tokoh itu dikenal sebagai Pendekar Pedang Neraka. Dengan ilmu permainan pedangnya yang amat terkenal, membuat tokoh yang bernama asli Ki Jembira itu amat disegani oleh lawan maupun kawan.

"Tidak jauh dari Ki Jembira, berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap, walaupun usianya sudah tergolong tua. Itu terlihat dari kerut-kerut di wajahnya. Demikian pula kulitnya yang telah keriput. Pakaiannya jubah panjang berwarna coklat muda. Di tangannya tergenggam sebuah kipas dari kayu cendana yang menebarkan bau harum. Karena kedahsyatan dalam permainan kipasnya, tokoh ini dijuluki Pendekar Kipas Sakti. Namun sayang, nama aslinya tak seorang pun yang tahu. Bahkan Pendekar Kipas Sakti sendiri sudah lupa nama aslinya.

Sementara yang seorang lagi adalah seorang laki-laki setengah baya berpakaian surjan. Ce-lananya pangsi berwarna hitam. Pada pinggangnya melibat kain batik lurik. Di tangannya tergenggam sebilah keris yang masih tersimpan dalam warangka. Tokoh-tokoh persilatan mengenalnya sebagai Ki Kumbayan. Tokoh ini tak mempunyai julukan, karena memang tak menginginkannya. Entah, apa alasannya.

"He he he...! Tua bangka tak tahu diri. Kau kira bisa berbuat apa kepadaku?!" leceh Siluman Pembum Perawan.

"Siluman terkutuk! Dosamu kelewat batas. Kami bertiga bersumpah tidak akan membiarkanmu terus berkeliaran di muka bumi!" bentak Pendekar Pedang Neraka.

"Lebih baik kau menyerah. Dan dengan begitu, siapa tahu kami bisa mengurangi dosa-dosamu!" timpal Ki Kumbangan.

"Hua ha ha...! Kerbau-kerbau dungu yang tidak punya otak! Apa kalian kira semudah itu membunuhku?!" ejek Siluman Pemburu Perawan, pongah.

"Huh! Akan kita lihat! Siapa sebenarnya kerbau dungu itu. Kau atau kami!" dengus Pendekar Kipas Sakti.

Setelah berkata begitu Pendekar Rajawali Sakti meluruk cepat sambil mengebutkan kipas kayu cendananya yang telah teraliri tenaga dalam tinggi.

"Yeaaat..!" Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pedang Neraka dan Ki Kumbayan ikut berkelebat sambil menghunuskan senjata masing-masing.

Mereka memang mempakan pendekar-pendekar terkenal dan memiliki kepandaian hebat. Namun, agaknya mereka menyadari kalau lawan yang dihadapi mempunyai kesaktian tinggi. Sehingga, mereka tidak mau gegabah dengan menghadapi satu lawan satu. Namun tanpa disadari, justru hal itu akan memudahkan Siluman Pemburu Perawan untuk menumpas mereka dengan cepat.

"Hup!"

Ketika senjata-senjata itu hampir merancah tubuhnya, Siluman Pemburu Perawan bergerak lincak. Tubuhnya meliuk-liuk di antara sambaran pedang, kipas, serta keris di tangan lawan-lawannya. Dan tiba-tiba sebelah kakinya menyembul cepat ke dada Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts!" Pendekar Kipas Sakti terkejut, namun cepat menghindar dengan menggeser tubuhnya ke kiri. Namun tiba-tiba Siluman Pemburu Perawan melepaskan hantaman tangan kanannya ke kepala. Cepat bagai kilat, laki-laki tua berjubah coklat ini menghadang dengan kipasnya.

Krak!

"Heh?!" Betapa terkejutnya Pendekar Kipas Sakti, melihat kipasnya hancur berantakan terhantam tangan Siluman Pembum Perawan yang membentuk kepala ular. Dan belum juga rasa kagetnya hilang, tangan Siluman Pemburu Perawan telah menerobos, langsung mematuk ke arah pelipis.

Crok!

"Aaa...!"

"Pendekar Kipas Sakti...!"

Pendekar Kipas Sakti menjerit setinggi langit, begitu pelipisnya terhantam patukan tangan Siluman Pemburu Perawan yang membentuk kepala ular. Tubuhnya limbung dengan tangan memegangi kepalanya yang retak mengeluarkan darah, sebentar saja tubuhnya ambruk disertai seruan kaget dari mulut Pendekar Pedang Neraka dan Ki Kumbayan.

"Yeaaa..,!"

Melihat Pendekar Kipas Sakti tewas, kemarahan Pendekar Pedang Neraka dan Ki Kumbayan makin menjadi-jadi. Mereka langsung menyerang dari samping kanan dan kiri.

Namun tubuh Siluman Pemburu Perawan cepat mencelat ke atas. Setelah membuat putaran beberapa kali dilepaskannya tendangan sambil melipat tubuh. Kali ini rasanya Ki Kumbayan, yang pertahanannya selalu terbuka. Sehingga....

Prakkk!

"Aaakh...!" Ki Kumbayan kontan terlempar disertai jerit kesakitan ketika tendangan menghajar kepalanya. Laki-laki itu langsung memegangi kepalanya yang retak. Dari sela-sela jarinya tampak mengalir darah segar. Sebentar Ki Kumbayan terhuyung, lalu ambruk di tanah tak bangun-bangun lagi, terhantam tendangan yang dialiri tenaga dalam tinggi.

"Keparat!" Ki Jembira yang tak menduga kalau serangan terhadap kawannya begitu cepat, dia hanya dapat mendengus geram. Dan dia kembali siap menyerang, ketika Siluman Pemburu Perawan menjejak tanah sejauh dua tombak di depannya.

"Yeaaa...!"

Seketika tokoh berjuluk Pendekar Pedang Neraka ini meluruk deras sambil menyambar-nyambarkan pedangnya yang dahsyat dan mengurung dengan ketat. Angin sambaran pedangnya terasa panas, mengurung ruang gerak Siluman Pemburu Perawan.

"He he he...! Inikah permainan pedang yang kau banggakan itu?!" kata Siluman Pemburu Perawan, malah, mengejek.

"Huh! Tertawalah sepuasmu, Jahanam! Jurus 'Pedang Membelah Bumi' ini jarang luput menunaikan tugasnya!" desis Ki Jembira.

"Hari ini bukan saja dia akan luput. Tapi juga akan berhenti selamanya!" sahut Siluman Pemburu Perawan, enteng.

Begitu habis kata-katanya, Siluman Pemburu Perawan membuat salto ke depan, setelah pedang Ki Jembira lewat menebas angin di depan dada. Gerakannya demikian cepat, membuat Pendekar Pedang Neraka terkesiap. Dan tiba-tiba kedua kali Siluman Pemburu Perawan telah menghantam dadanya.

Desss...!

"Aaakh...!" Ki Jembira melenguh tertahan, dengan tubuh terjajar beberapa langkah. Namun dengan cepat dia meluruk sambil menyabetkan pedangnya, tatkala Siluman Pemburu Perawan berdiri tegak kembali.

"Uts!" Dengan gesit Siluman Pemburu Perawan menggeser tubuhnya ke samping, sehingga sambaran pedang Pendekar Pedang Neraka menebas angin. Dan tanpa diduga sama sekali, mendadak Siluman Pemburu Perawan melepaskan tendangan sambil memutar tubuhnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss!

"Aaakh...!"

Tepat sekali sebelah kaki Siluman Pemburu Perawan menyodok dada, membuat Ki Jembira kembali terpekik kesakitan. Tubuhnya kontan terlempar beberapa langkah ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah dalam keadaan telentang.

"Heaaa...!"

Mendapat kesempatan baik, dengan gerakan seperti menerkam Siluman Pemburu Perawan cepat melenting ke atas. Lalu tiba-tiba tubuhnya meluruk deras dengan kedua kaki siap terhujam. Dan....

Jrottt!

"Aaa...!" Diiringi jerit kematian, tubuh Ki Jembira mengejang kaku dengan mata melotot, ketika kedua kaki Siluman Pemburu Perawan mendarat di perut dan dadanya. Darah langsung menyembur dari mulut dan perutnya yang pecah.

"Rasakan oleh kalian, kerbau-kerbau tidak tahu diri!" dengus Siluman Pemburu Perawan sambil memandangi tiga mayat lawan-lawannya.

"Hem, permainan bagus!"

Mendadak terdengar sebuah suara, membuat Siluman Pemburu Perawan menoleh. Namun dia sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, melihat kehadiran seorang wanita bertopeng di samping kirinya.

"Pucuk dicinta ulam tiba! Siapa sangka, akhir-nya kau datang untuk menyerahkan diri!" sambut Siluman Pemburu Perawan.

"Aku datang untuk menagih nyawa kedua orangtuaku!" desis wanita bertopeng itu, dingin.

"Apa maksudmu!" tanya Siluman Pemburu Perawan.

"Kau pembunuh licik! Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Bernawa!"

Mendengar nama Bernawa disebut, Siluman Pemburu Perawan terkejut. Dipandanginya wanita bertopeng itu dengan sorot mata tajam.

"Siapa kau sebenarnya?! Cepat katakan!" bentak Siluman Pemburu Perawan yang ternyata tak lain adalah Bernawa, saudara dari ayah Suti Raswati.

"Aku keponakanmu sendiri. Apakah kau tidak mengenalnya?!" sahut wanita bertopeng itu.

"Pendusta! Kau coba-coba mengecohku, he?!" dengus Bernawa.

"Aku cucu Eyang Jayadwipa!"

"Heh?!" Mendengar nama itu seketika paras Siluman Pemburu Perawan berubah. Seperti ketakutan, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.

"Kenapa? Kelihatannya kau ketakutan sekali?" ejek wanita bertopeng yang tak lain Suti Raswati, alias Bidadari Penakluk.

"Keparat! Ke mana si tua itu?! Dia pasti mendampingimu?! Suruh dia keluar!" bentak Bemawa.

"Hi hi hi...! Kau hanya menggertakku, Paman. Padahal sesungguhnya kau amat takut kepergok Eyang Jayadwipa, bukan? Kau telah berbuat kesalahan padanya. Dan selama ini, kau cukup rapi menyembunyikan diri. Tapi suatu saat, Eyang yakin kau akan keluar. Sebab jika hendak mempelajari Kitab 'Jagad Welung' yang kau curi, maka kau membutuhkan korban. Yaitu, gadis-gadis yang selama ini mati di tanganmu!" dengus Suti Raswati dengan senyum sinis.

"Bocah nakal! Menjauhlah dariku kalau ingin selamat! Kalau benar kau masih terhitung kepo-nakanku, maka sebaiknya lupakan saja uusanmu padaku!" ujar Bernawa.

"Tidak semudah itu, Keparat! Kau bunuh orangtuaku setelah memperdayai mereka untuk mencuri kitab itu, sehingga mereka terusir. Aku bersumpah akan membunuhmu!" dengus wanita bertopeng itu.

"Anak bengal! Tidakkah kau lihat mayat ketiga orang ini?! Jangan membuatku marah, sehingga kau akan menemani mereka ke akherat!" ancam Siluman Pemburu Perawan.

"Keparat rendah! Tak perlu menakut-nakuti aku! Aku tahu tenagamu belum pulih betul. Kau sengaja memasang lengan palsu, untuk menutupi kekuranganmu. Apakah kau kira aku tidak tahu?!" ejek Suti Raswati.

"Bocah busuk! Rupanya kau telah bertemu gendakmu, he?! Bagaimana kabarnya? Mudah-mudahan kau senang setelah kukirim dia ke akherat!" ejek Bernawan.

"Kau salah! Dia sehat-sehat saja tak kurang suatu apa pun. Mungkin sebentar lagi dia akan ke sini. Dan setelah itu, maka riwayatmu akan tamat!"

"Omong kosong! Kau pendusta besar!"

"Apakah kau kira aku tidak mengerti pukulan yang terdapat dalam Kitab 'Jagad Welung'? Aku tahu. Dan, tahu pula bagaimana memunahkan pukulanmu!"

Barulah Bernawa sedikit terperangah mendengar penuturan Suti Raswati. Mau tak mau dia semakin percaya kalau wanita bertopeng ini memang cucu Eyang Jayadwipa. Tapi kalau mengaku tahu tentang Kitab 'Jagad Wulung', rasanya hal itu mesti dibuktikannya dulu. Lagi pula, mana dia mau menunjukkan perasaannya kalau dirinya takut pada Eyang Jayadwipa, atau siapa pun yang punya hubungan dekat dengan orang tua itu?

"Baik! Ingin kulihat, apakah kau memang mengerti isi Kitab 'Jagad Welung'."

"Yeaaa...!"

Suti Raswati agaknya tidak mau berlama-lama. Begitu mendengar tantangan maka secepat kilat kedua tangannya menghentak melepaskan pukulan jarak jauh.

Wesss...!

Dari kedua telapak tangan Suti Raswati meluruk sinar merah kekuning-kuningan mengancam keselamatan Bernawa.

"Uts!" Bernawa berkelit ke samping. Lalu tubuhnya bergerak memutar seraya melakukan tendangan geledek ke pinggang.

Wuuut!

Namun Suti Raswati cepat melompat ke atas sehingga tendangan itu hanya menghantam angin kosong. Sementara, Bernawa segera mengejar seperti kesurupan setan ketika Suti Raswati mendarat di tanah.

"Yeaaa...!"

Dengan gerakan menawan, Suti Raswati memapak serangan bertubi-tubi tangan Bernawa yang membentuk kepala ular.

Plak! Plak!

Masing-masing kontan terjajar beberapa langkah dengan kedua tangan bergetar.

"Huh! Kau menggunakan cadangan tenaga aji 'Pengumpul Angin' rupanya! Tapi kuharap tidak akan berhasil, sebab aku telah mengetahui kelemahannya!" ejek wanita bertopeng itu.

"Yeaaa...!" Kata-kata Suti Raswati dijawab dengan luncuran tubuh Siluman Pemburu Perawan yang tidak mau memberi kesempatan. Laki-laki itu terus menerjang dengan serangan gencar dan bertubi-tubi, menggunakan kedua tangannya.

"He he he...! Belum kulihat kalau kau menguasai isi Kitab 'Jagad Welung'!" ejek Bernawa ketika wanita itu belum juga mampu berbuat banyak untuk mematahkan serangannya.

DELAPAN

Memang serangan itu telah membuktikan, bila wanita bertopeng itu mengetahui isi kitab pusaka yang dicuri Bernawa beberapa puluh tahun lalu, tentu dengan mudah dapat memunahkan serangan. Namun yang dilakukan hanya sebatas menangkis dan menghindar.

Apa yang dikatakan Bernawa memang tidak salah. Suti Raswati yang merupakan cucu Eyang Jayadwipa itu memang mengenal nama Kitab 'Jagad Welung'. Juga, sedikit mengerti bagaimana sifat serangan jurus-jurus yang terdapat di dalamnya. Namun itu sebatas pada gambaran umum yang tidak terperinci. Sehingga jangankan untuk memunahkan, bahkan serangan jurus-jurus itu pun baru dilihat nyata pada saat ini.

"Yeaaa...!" Mendadak Bernawa meluruk deras sambil memutar-mutar kedua tangannya. Angin putarannya saja, laksana sapuan angin topan. Dan ini membuat Suti Raswati bergetar. Untuk sesaat wanita ini kehilangan keseimbangan. Pada saat itulah tiba-tiba satu tendangan melayang deras. Dan....

Duk!

"Aaakh...!" Suti Raswati kontan menjerit kesakitan begitu perutnya terhantam tendangan Siluman Pemburu Perawan. Tubuhnya terpental, lalu bergulingan. Untung saja, wanita ini telah melapisinya dengan tenaga dalam tinggi. Padahal bila seekor kerbau yang terkena niscaya akan remuk tulang-belulangnya dengan isi perut akan pecah berantakan. Kendati demikian, wanita bertopeng ini cepat berusaha bangkit. Di balik topeng, mulutnya menyeringai menahan sakit.

"Yeaaa...!" Dengan mengerahkan aji 'Pengumpul Angin', Bernawa yang memiliki tenaga cadangan yang dapat digunakan untuk menghabisi lawannya selagi belum siap, sudah meluruk kembali.

Tapi, wanita bertopeng itu telah memperhitungkannya. Maka meski dalam keadaan terluka dalam, dinantinya serangan.

"Hiiih!"

Begitu serangan hampir tiba, buru-buru Suti Raswati menjatuhkan diri sambil berputar. Sedangkan kakinya cepat menyangket lutut belakang Siluman Pemburu Perawan.

Duk!

Brukkk!

Bernawa jatuh telentang. Sementara sambil berputar di atas tanah, sebelah kaki Suti Raswati menghantam perut Bernawa.

Des!

"Aaakh...!" Bernawa menjerit kesakitan, namun cepat menggulingkan tubuhnya. Secepatnya dia bangkit kembali, dan siap menyambut serangan berikut.

"Hm.... Boleh juga kau rupanya!" desis Siluman Pemburu Perawan sambil tersenyum mengejek Suti Raswati yang baru saja melenting bangkit.

"Yeaaa...!" Wanita bertopeng itu tidak menyahut tapi melompat menyerang lewat tendangan geledek.

Wut!

"Uts...!" Bernawa bergerak sedikit ke samping, sehingga tendangan itu luput dari sasaran. Namun tiba-tiba wanita bertopeng itu mengibaskan sebelah kakinya yang lain, menyambar leher.

"Hiiih!" Dengan gerakan cepat Siluman Pemburu Pe-rawan menangkis dengan tangan kiri yang terbuat dari kayu keras.

Plak!

Setelah menangkis, kaki kanan Bernama langsung menyodok ke perut wanita bertopeng itu.

Wuttt...!

Untungnya, Suti Raswati bertindak cepat, telapak tangan kirinya langsung menangkis.

Plak!

Dan mendadak tubuh wanita ini berputar. Dia bermaksud mengirim tendangan ke batok kepala Bernawa. Tapi sebelum dilakukan, Siluman Pemburu Perawan telah lebih dulu memutar tubuhnya. Langsung dilepaskannya satu tendangan dahsyat ke dada.

Des!

"Aaakh...!" Wanita bertopeng itu menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung terlempar agak jauh dengan mulut menyemburkan darah segar.

"Yeaaa...!"

Baru saja tubuh Suti Raswati mencium tanah, Bernawa melenting ke atas. Lalu tiba-tiba tubuhnya meluruk dengan kedua kaki siap menghabisi riwayat wanita bertopeng ini.

Namun saat yang gawat bagi wanita itu, mendadak berkelebat satu bayangan putih yang langsung memapaki serangan Siluman Pemburu Perawan.

Plak!

"Uhhh...!" Bernawa kontan terlempar ke belakang. Namun demikian, dia cepat membuat putaran, untuk mematahkan daya dorong yang teramat kuat. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah. Demikian pula halnya sosok yang baru muncul. Kini, sosok yang ternyata seorang pemuda tampan berbaju rompi putih telah tegak berdiri dengan mantap.

"Hem, kau rupanya!" desis Bernawa, menyembunyikan perasaan kecutnya melihat siapa yang telah menghalangi serangannya.

"Ya, aku. Kau tentu kaget, bukan?!" sahut pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

"Huh! Untuk apa kaget? Aku telah menduga kemunculanmu di tempat ini!" tukas Siluman Pemburu Perawan.

"Syukurlah kalau begitu. Dan kita bisa melanjutkan pertarungan kita yang tertunda," sahut Rangga tenang.

"Kali ini akan kupastikan kematianmu, Bocah!" bentak Bemawa.

"Boleh juga gertakanmu. Mungkin saja kau berani melihat lengan kirimu yang palsu. Kalau saja lengan itu dibiarkan buntung, kau tentu akan terbayang-bayang terus padaku dengan membawa dendam," sahut Rangga, memanasi.

"Setan!" Siluman Pemburu Perawan langsung menerjang. Sementara Rangga yang sudah tahu bagaimana hebatnya tokoh sesat ini tidak mau bertindak sembarangan. Maka cepat tangannya bergerak ke punggung. Lalu....

Sring!

Begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut, terpendarlah cahaya biru berkilau. Dan ketika serangan Bernawa hampir dekat, cepat pedangnya dikebutkan disertai tenaga dalam tinggi, dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.

Bet! Wuttt!

"Uhh...!" Bernawa cepat membatalkan serangannya. Tubuhnya langsung melenting tinggi ke atas, melewati kepala Pendekar Rajawali Sakti. Setelah berputaran beberapa kali, dia mendarat mantap di tanah, dan langsung berbalik. Siluman Pemburu Perawan memang tak bisa gegabah. Melihat pedang itu, lengan kirinya masih terasa nyeri dan berdenyut-denyut sampai ke jantung. Kini pedang itu kembali mengancam keselamatannya."

"Hiaaa...!"

Kali ini Rangga yang membuka serangan. Tubuhnya berkelebat sambil mengebut-ngebutkan pedangnya, tetap dalam jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.

"Ohhh...!" Mendadak Bernawa mendesah pelan sambil terus berkelit menghindari tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Lebih gawat lagi, tiba-tiba semangat bertarungnya jadi kendor. Pikirannya mendadak kacau, tak tahu harus berbuat apa. Jiwanya seperti terpecah-pecah, tanpa dapat dikendalikan lagi.

Memang, jurus 'Pedang Pemecah Sukma yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti telah membawa pengaruh bagi Bernawa. Jurus ini memang ditujukan untuk memilah-milah jiwa musuh. Dan Bernawa kini merasakan pengaruhnya.

Wuttt...!

Sekali lagi Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya. Masih sempat Siluman Pemburu Perawan berkelit, dengan menggeser tubuhnya. Namun di luar dugaan, Rangga cepat memutar tubuhnya sambil melepaskan tendangan menggeledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Des!

"Aaakh...!" Bernawa terlempar ke belakang sambil terhu-yung-huyung kesakitan, begitu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di dadanya. Kebetulan sekali dia berada dekat dengan wanita bertopeng itu.

Suti Raswati tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya bergeser sedikit, lalu sebelah kakinya menghantam ke bagian pinggang.

Des!

"Aaakh...!" Kembali Siluman Pemburu Perawan terpekik, ketika tulang pinggangnya terasa patah menerima tendangan yang berisi tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa!" Begitu tubuh Bernawa terhuyung-huyung ke depan, Rangga langsung menyongsong dengan sabetan pedang.

"Hiiih!"

Wuttt...!

"Uts!" Namun Siluman Pembum Perawan agaknya masih sempat menyelamatkan diri. Tubuhnya cepat mencelat ke atas, lalu berputaran diudara melewati kepala Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga cepat merunduk. Lalu begitu melihat Siluman Pemburu Perawan hendak mendarat, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat sambil melepaskan tendangan terbang dua kali berturut-turut.

Duk! Des!

"Aaakh...!" Dua tendangan berturut-turut menghantam dada Bernawa. Disertai pekikan, tubuhnya terjungkal roboh bagai selembar daun kering tertiup angin dalam keadaan telentang. Dari mulutnya menyembur darah segar.

"Hup!" Kesempatan itu tidak disia-siakan Suti Raswati. Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki, wanita bertopeng itu melompat kearah Siluman Pemburu Perawan. Dan...

Begkh! Des!

"Aaa...!" Keras sekali kedua telapak kaki wanita itu tepat menghantam dada serta perut Bernawa yang kontan memekik kesakitan.

Sepasang mata Siluman Pemburu Perawan melotot dengan mulutnya terbuka lebar. Dari situ meleleh darah kental kemerahan bercampur warna hitam. Tubuhnya menggelepar sesaat, sebelum akhirnya diam tidak berkutik. Mati!

Sementara Suti Raswati yang telah berpindah tempat, hanya memandangi mayat yang sebenarnya masih pamannya.

"Ohhh...!" Mendadak wanita bertopeng itu mengeluh tertahan, lalu duduk bersila dengan tubuh gemetar. Dia telah mengeluarkan tenaga cukup banyak dalam keadaan terluka dalam. Jelas, ini amat membahayakan, karena akan membuat luka dalamnya semakin parah.

"Biar kubantu" kata Rangga, seraya membimbing wanita itu duduk bersandar di bawah pohon.

"Terima kasih. Tidak usah merepotkan. Aku bisa mengurus diriku sendiri," tolak Suti Raswati lemah.

"Kau terluka dalam...," Rangga bersikeras.

"Tidak apa. Percayalah.... Aku bisa membantu diriku sendiri," sahut wanita bertopeng itu meyakinkan.

Rangga merasa tidak enak hati. Dan dia diam saja memperhatikan apa yang dilakukan wanita itu. Dia percaya kalau apa yang dikatakan wanita itu benar. Soalnya, Rangga juga melihat kalau wanita itu menelan obat pulung seperti yang pemah ditelannya. Dan dia merasa tak ada masalah dengan luka yang diderita wanita bertopeng itu.

"Hoeeekh...!" Wanita itu membuka bagian bawah topengnya sedikit, sehingga muntahnya bisa keluar tanpa hambatan.

"Kau tak apa-apa?!" tanya Rangga sedikit cemas.

Suti Raswati tersenyum. Tapi jelas, Rangga tak bisa melihatnya karena terhalang topeng. Namun bisa dirasakan dari pancaran sinar mata wanita itu, lewat lubang topeng.

"Tidak," sahut Suti Raswati, pendek.

"Biar kubantu agar tenagamu cepat pulih!"

"Tidak usah. Terlalu merepotkan. Aku sudah terbiasa mengalami keadaan seperti ini. Jangan khawatir. Sebentar lagi pun akan beres."

Rangga memandang wanita itu sebentar, lalu bangkit berdiri. Kepalanya langsung menengadah memandang langit hitam yang diselingi bintang-bintang. Malam telah semakin larut. Mungkin sebentar lagi, pagi akan tiba. Udara dingin baru terasa kini. Dan hal itu membuat Rangga tergerak untuk mengumpulkan ranting, membuat api unggun. Sementara, wanita itu duduk bersila mengatur pernapasannya.

Beberapa saat setelah api menyala, Suti Raswati menghentikan pengobatannya. Dari cahaya jilatan api terlihat pancaran matanya agak segar.

"Kau masih marah padaku?" tanya wanita itu lirih.

Rangga diam saja tak menjawab. Pandangan matanya lurus pada nyala api. Sebenarnya dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau wanita di dekatnya ini adalah Suti Raswati alias Bidadari Penakluk. Tapi entah kenapa, hatinya tak tergerak untuk menangkapnya. Mungkin karena jasa wanita itu yang telah mengobatinya, ketika terluka dalam setelah bertarung melawan Siluman Pemburu Perawan sebelumnya. Atau juga Rangga merasa yakin kalau tindakan Bidadari Penakluk di hadapannya beberapa waktu yang lalu di luar kesadaran wanita itu sendiri.

Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti berusaha menyingkirkan kemarahannya pada Bidadari Penakluk. Yang jelas justru saat ini di hatinya timbul rasa kasihan pada wanita itu.

"Kau penasaran sebelum melihat wajahku, bukan? Kenapa tidak kau buka topengku? Padahal, kesempatan untuk itu ada," usik Suti Raswati.

"Aku ingin kau membukanya sendiri. Tapi kalau kau keberatan, sebaiknya tidak usah. Karena, aku pun kini bisa mendengar suara aslimu...."

Wanita itu terdiam. Rangga pun demikian. Untuk sesaat mereka memandang nyala api di depannya.

"Kenapa kau begitu membenciku?" tanya Suti Raswati kembali. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar.

"Entahlah. Kejadian itu tidak bisa kulupakan begitu saja...."

"Maaf.... Aku tidak bermaksud..., ah! Sungguh itu diluar kesadaranku sebagai seorang wanita Mungkin pengaruh kitab yang kupelajari, ini memang salahku sendiri. Jangankan dirimu. Bahkan kakekku saja nyaris jadi sasaranku. Baru setelah diobati, aku sadar. Aku benar-benar amat menyesal...!" keluh Suti Raswati.

"Sudahlah.... Toh waktu itu kita tak sempat berbuat, karena aku mendengar suara burung rajawali yang amat keras...," ujar Rangga, mendesah.

Mereka kembali terdiam. Percakapan itu terasa canggung, namun masing-masing seperti tidak ingin menyudahinya begitu saja.

"Lalu..., kenapa kini kau menutupi wajahmu dengan topeng? Apa maksudnya?" lanjut Rangga, ingin memancing wanita itu.

"Aku ingin mengubur masa itu dalam-dalam...," desah Suti Raswati.

"Apa maksudmu?" desah Rangga.

"Perjalanan hidupku di masa lampau terasa kotor dan menyesatkan. Untunglah Eyang Jayadwipa masih memaafkan dan membimbingku ke jalan benar...."

"Eyang Jayadwipa...?!"

"Ya, Eyang Jayadwipa. Dia adalah kakekku," jelas wanita itu.

Kemudian tanpa diminta, Suti Raswati mulai menceritakan perjalanan hidupnya, sampai masalah terakhir yang diceritakan kakeknya.

Rangga terkesiap, memandang wanita itu. Entah apa yang dirasanya saat ini. Perasaan sedih, terharu, kasihan, atau juga jijik bercampur jadi satu. Dan dia tak tahu harus mulai bicara dari mana, setelah wanita itu menyelesaikan ceritanya.

"Aku jadi prihatin atas derita yang kau alami selama ini...," ucap pemuda itu pada akhirnya.

"Terima kasih...," desah Suti Raswati.

"Ng..., jadi Siluman Pemburu Perawan itu pamanmu?" tanya Rangga lagi.

"Begitulah. Kalau dulu orang-orang menyalahkan karena kelakuanku yang tidak senonoh, maka setelah kematian Paman Bernawa, kuharap bisa mengikis semua pengaruh ilmu 'Serat Biru' yang pernah kuperdalami...."

"Kalau punya kemauan, segalanya akan mudah," tegas Rangga, memberi semangat.

"Ya."

"Eh! Aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Terima kasih," ucap Rangga.

"Tak apa. Tidak usah dipikirkan soal itu," elak Suti Raswati, kaku.

"Suatu saat kalau umur panjang, aku akan berusaha membalas budimu itu," kata Rangga.

"Jangan bebani pikiranmu tentang itu. Karena aku menolong tanpa pamrih apa-apa."

Mereka kembali terdiam. Dari kejauhan terdengar ayam jantan mulai berkokok satu persatu.

"Lalu setelah ini kau hendak ke mana?" lanjut Rangga.

"Entahlah. Kurasa aku akan ke pondok saja bersama Eyang. Keadaanku belum pulih betul. Terkadang pengaruh ilmu 'Serat Biru' untuk melakukan perbuatan terkutuk itu masih ada. Dan aku berusaha menindasnya sekuat tenaga. Bila dekat dengan kakekku, beliau bisa membimbingku lebih baik," jelas Bidadari Penakluk.

"Ya, Itu mungking jalan yang terbaik...," sambut Rangga.

"Kau sendiri hendak ke mana?" tanya Suti Raswati.

"Entahlah. Kurasa aku akan terus mengembara mengikuti ke mana saja kakiku melangkah...."

"Apakah kau tak punya tempat tinggal tetap?"

"Ada."

"Di mana?"

"Sebuah negeri yang cukup jauh dari sini. Namanya Karang Setra."

"Kalau kau lama mengembara, istrimu tentu akan terus kesepian?" usik Suti Raswati.

Mendengar kata-kata itu, Rangga teringat Pandan Wangi. Ya! Pandan Wangi pasti kesepian. Gumam Rangga di hati. Pemuda itu tersenyum hambar, lalu bangkit berdiri.

"Aku harus pergi sekarang" kata PendekarRajawali Sakti seraya berjalan mendekati kudanya dan langsung melompat ke punggung Dewa Bayu.

Suti Raswati mengikuti dari belakang. "Kau yakin tidak ingin melihat wajah di balik topeng ini?" tanya Bidadari Penakluk.

Rangga terdiam sebentar, lalu menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku khawatir hal itu masih menimbulkan perasaan tidak enak. Mungkin kapan-kapan kalau kita bertemu lagi. Nah, aku pergi dulu!" pamit Rangga.

"Heaaa...!"

Suti Raswati mengangguk pelan memandangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti sambil membuka topengnya perlahan-lahan!

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: SATRIA PONDOK UNGU

Siluman Pemburu Perawan

SILUMAN PEMBURU PERAWAN

SATU

SENJA baru saja berlalu, dan kegelapan pun menyergap Kadipaten Welirang. Termasuk, Desa Cendanu yang kelihatan sepi. Tak seorang pun yang terlihat berada di luar rumah. Kabut tebal dan udara dingin setelah tadi turun hujan agaknya yang jadi penyebab kesunyian ini. Namun keheningan itu mendadak pecah oleh....

"Tolong...! Tolooong.... Aaa...!"

Terdengar jeritan minta tolong yang diikuti teriakan kesakitan. Pada saat yang sama dari atap sebuah rumah tempat asal jeritan, tampak berkelebat sebuah bayangan sambil memondong satu sosok tubuh ramping terkulai tak berdaya.

"Eh! Apa?! Oh!"

Dua penjaga yang tengah terlelap tersentak kaget, mendengar teriakan barusan. Sesaat mereka mondar-mandir tak tahu tujuan. Namun salah seorang langsung sempat melihat sesosok bayangan yang tengah berkelebat di atap rumah.

"Hei?! Itu dia! Berhenti! Berhenti...!"

"Berhenti atau kubunuh kau!" sambut yang lain.

Sosok berpakaian serta hitam itu berhenti sebentar. Dan tiba-tiba dia mengebutkan tangannya, ke arah para penjaga.

Wusss!

Terdengar desir angin berhawa panas dari telapak tangan sosok berpakaian serba hitam itu, langsung melesat ke arah dua penjaga.

Desss...! Desss...!

"Aaa...!"

Keduanya terpental ke belakang sambil menjerit menyayat. Begitu ambruk di tanah, di dada mereka terlihat tanda hitam seperti daging terbakar. Keduanya tergeletak tanpa nyawa lagi.

Sedangkan sosok berpakaian serba hitam, begitu melepas serangan mendadak langsung berkelebat kembali dari satu atap ke atap rumah lainnya. Sebentar saja, tubuhnya telah lenyap dalam kegelapan. Memang begitu cepat dan ringan sekali gerakannya, pertanda bukan orang sembarangan.

Sementara itu, teriakan dari rumah yang disatroni sosok berpakaian hitam tadi, mendapat sambutan. Beberapa orang penduduk langsung keluar, membawa obor dan berbagai macam senjata. Dalam waktu singkat di halaman depan bangunan rumah besar itu keadaan jadi terang benderang oleh para penduduk yang berkumpul.

"Tolong! Tolong...! Seseorang menculik anak-ku! Dan dia juga membunuh suamiku! Tolooong...!" teriak seorang wanita setengah baya yang tergopoh-gopoh keluar.

Wajah wanita ini tampak pucat. Airmatanya tumpah tak karuan. Bias kecemasan terlihat jelas pada wajahnya, yang bercampur ketakutan.

"Ke mana larinya penculik itu, Nyi Sati?" tanya seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun.

"Keatas, Ki Langser!" tunjuk perempuan setengah baya yang dipanggil Nyi Sati cepat.

"Hei, lihat! Dua orang penjaga rumah Ki Nyamat mati!" teriak seorang penduduk.

Orang-orang segera mengerubungi kedua penjaga rumah Ki Nyamat, seorang saudagar kaya di desa ini. Mereka menggotong mayat itu ke beranda depan. Sementara Nyi Sati, istri Ki Nyamat tak bisa berbuat apa-apa lagi melihat itu. Didampingi beberapa orang pelayannya, wanita ini cuma menangis sesegukan.

"Ayo menyebar dan buat kelompok! Kita cari penculik itu!" teriak laki-lald tua yang bernama Langser, memberi perintah.

Ki Langser yang di Desa Cendanu ini menjabat sebagai kepala desa, kelihatan geram dan marah. Selama beberapa tahun tinggal di sini, bahkan sejak kecil, belum pernah terjadi peristiwa penculikan.

Tidak tanggung-tanggung. Karena yang diculik bukan harta benda, melainkan anak perawan Ki Nyamat. Seorang gadis yang terkenal cantik dan menjadi kembang desa ini.

Tanpa diperintah dua kali, orang-orang desa yang tengah berkumpul langsung membentuk kelompok dan melakukan pengejaran. Apalagi para pemudanya. Mereka kelihatan bersemangat melakukan pengejaran.

Ki Nyamat bukan orang sombong di desa ini. Dia tergolong kaya. Tak heran kalau kematiannya yang mengenaskan serta kematian dua penjaga rumahnya, banyak dikunjungi penduduk desa.

Sementara Nyi Sati tampak masih kelihatan belum sempurna keadaannya, meski pemakaman telah usai. Beberapa kali dia terpaksa dipapah para pelayan saat pergi dan pulang dari pekuburan.

Keadaan ini membuat Kepala Desa Cendanu segera bertindak. Para penduduk desa dikumpulkan. Dan mereka mulai membicarakan persoalan itu.

"Kisanak semua.... Kejadian ini tidak bisa kita pandang sebelah mata. Si penculik mungkin akan kembali untuk mencari korban lagi. Maka kita mesti waspada...!" kata Ki Langser ketika membuka musyawarah di beranda rumahnya.

"Lalu apa yang mesti kita lakukan, Ki Langser?" tanya seorang penduduk berusia sekitar empat puluh lima tahun. Dia dikenal dengan nama Ki Sabrang.

"Ya, apa yang mesti kita lakukan sekarang?" sambung seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Badannya tegap, dengan kumis lipis menghias wajahnya. "Bukankah beberapa waktu lalu kami telah memberi tahu akan datangnya bahaya seperti ini? Tapi ketika itu Ki Langser seperti tak percaya. Bahkan meremehkannya."

"Sudahlah. Jangan permasalahkan hal itu, Panca! Yang berlalu biarkan berlalu. Yang terpenting sekarang, kita bahas dulu soal ini," sahut salah seorang laki-laki tua berpakaian serba putih.

"Ya.... Aku tahu, dan mengaku salah," sahut Ki Langser dengan suara lirih penuh penyesalan. "Mestinya aku mendengarkan keluhan warga yang mendengar berita ini dari desa tetangga...."

"Sudahlah.... Tak apa, Ki," sambung laki-laki yang dipanggil Panca. "Aku juga tidak bermaksud menyalahkan."

"Iya. Yang penting kita cari tahu dulu, siapa penculik itu," lanjut laki-laki tua berpakaian serba putih, yang berwajah lembut menampakkan kearifan dan perbawa kuat. Tak heran kalau oleh penduduk desa ini dia diangkat sebagai ketua desa. Para penduduk sering memanggilnya dengan nama Ki Tambika.

"Baiklah. Apakah di antara kita ada yang bisa menduga siapa penculik itu sebenarnya?" tanya Ki Langser.

"Tidak seorang pun yang bisa mengetahuinya. Yang jelas, dia bukan warga desa sini, atau desa tetangga," sahut Panca ketika yang lain terdiam.

"Berarti kita tidak tahu ke mana mesti mencarinya?"

"Orang itu berilmu tinggi. Dan rasanya mustahil bisa dilacak oleh kita...."

"Apa maksudmu, Panca?" tanya seorang penduduk.

"Dua desa tetangga kita telah mengalami nasib yang sama seperti yang dialami Ki Nyamat. Yaitu, anak gadisnya diculik. Namun tak seorang pun yang pernah melihat atau mengetahui, siapa penculiknya. Dia datang dan pergi bagai setan," jelas Panca.

"Jangan-jangan memang hantu!" desis penduduk lainnya, takut-takut.

"Bisa jadi! Sebab, beberapa orang menjulukinya sebagai Siluman Pemburu Perawan. Hal itu jelas, karena yang diincar bukan harta benda, tapi seorang perawan belasan tahun dan berparas cantik!" jelas Panca.

"Apa maksud penculik itu sebenarnya?" gumam beberapa penduduk yang ada di ruang itu.

"Kalau dia seorang laki-laki, maksudnya mungkin lebih jelas. Yaitu....," Ki Langser tidak melanjutkan kata-katanya karena yakin, bahwa mereka semua mengerti. "Tapi kalau dia wanita? Apa yang dicarinya?"

"Ada beberapa orang penganut ilmu sesat yang menjadikan gadis perawan sebagai tumbal," sahut Ki Tambika.

"Siapa kira-kira penganut ilmu sesat itu?" tanya Panca.

Untuk sesaat ruangan serambi Kepala Desa Cendanu seperti pekuburan. Suasana hening mencekam bercampur wajah-wajah berkerut yang menyimpan amarah, kesal, namun tak tahu mesti berbuat apa. Mereka tengah berpikir, atau juga mengingat-ingat. Siapa gerangan yang pernah mendalami ilmu sesat seperti yang dikatakan Ki Tambika tadi.

"Rasanya, di desa ini belum ada terdengar ada orang yang menganut ilmu sesat...," cetus seseorang.

"Ya. Kurasa, begitu juga di desa tetangga kita," timpal Panca.

"Kurasa orang asing yang sengaja mencari kor-ban di desa-desa sekitar sini. Dengan begitu, jejaknya tidak tercium...," duga Ki Tambika.

"Lepas dari itu semua, kita tetap mesti waspada. Tingkatkan keamanan di wilayah masing-masing. Jangan sampai kita kecolongan lagi seperti semalam. Juga ada hal yang terpenting. Yaitu, kita mesti waspada pada setiap orang asing yang lewat dan singgah di desa ini!" lanjut Ki Langser, memberi pengarahan.

"Ya. Itu usul yang bagus!" dukung Ki Sabrang.

Sementara yang lain mengangguk-angguk sebagai tanda mendukung pendapat itu. Tapi baru saja pertemuan itu akan bubar, mendadak seorang pemuda bertubuh kurus memasuki serambi rumah kepala desa ini.

"Maaf, Ki...," ucap pemuda ini

"Ada apa, Gandung?" tanya Kepala Desa Cendanu.

"Seseorang melewati desa kita," lapor pemuda bertubuh kurus yang dipanggil Gandung.

"Apa maksudmu?" kejar Ki Langser dengan kening berkerut tajam.

"Orang asing! Aku belum pernah melihat sebelumnya," jelas Gandung.

"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Ki Tambika.

"Seorang pemuda tampan barbaju rompi putih. Di punggungnya terselip sebatang pedang bergagang kepala burung. Dia menunggang kuda hitam," jelas Gandung.

"Hm.... Kalau begitu, beritahu semua penduduk! Kita cegat pemuda itu. Aku punya dugaan kuat, dialah penculik yang tengah kita cari!" ujar Ki Langser.

Ki Tambika baru saja akan menimpali, tapi suaranya tenggelam di antara semangat kemarahan penduduk desa yang berada di serambi ini. Mereka semua menyambut ajakan Ki Langser penuh semangat. Bahkan segera angkat kaki dari ruangan ini.

Pada akhirnya, mau tak mau Ki Tambika terpaksa mengikuti. "Dasar orang-orang tak sabar...!" umpat Ki Tambika dalam hati.

********************

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tampak tenang-tenang saja menjalankan kudanya di jalan utama Desa Cendanu ini. Bola matanya beredar ke sekeliling memperhatikan tiap-tiap sudut. Keningnya tampak berkerut dengan mata agak menyipit. Sepertinya, dia menangkap gejala keanehan yang terjadi di desa ini.

Pada sebuah rumah yang paling besar di desa ini terlihat tanda-tanda bahwa penghuninya tengah berduka, tapi keadaannya sepi. Sementara penduduk desa ini jarang yang berkeliaran di depan rumah atau di jalan. Boleh dikatakan, desa ini seperti hampir mati. Padahal dari jumlah rumahnya, mestinya penduduknya ramai.

Dan mendadak saja pemuda itu menghentikan kudanya dengan sikap terkejut. Karena tahu-tahu beberapa penduduk desa keluar dari segala penjuru dengan senjata terhunus. Sikap mereka yang mengancam jelas ditujukan padanya. Wajah-wajah mereka menunjukkan permusuhan.

Pemuda itu memandang pada seorang laki-laki setengah baya yang berada paling depan pada jarak sepuluh langkah. "Kisanak.... Kenapa tiba-tiba orang-orang ini berkumpul mengerubungiku?" tanya pemuda itu berusaha bersikap ramah.

"Jangan berpura-pura, Penculik Terkutuk! Serahkan putri Ki Nyamat! Juga, serahkan dirimu untuk kami adili!" bentak laki-laki setengah baya yang tak lain Ki Langser, Kepala Desa Cendanu ini.

Pemuda berbaju rompi putih ini bukan main kagetnya mendengar tuduhan itu. Dari mana mereka bisa berkata seperti itu, padahal baru pertama kali menginjakkan kaki di desa ini?

"Maaf, Ki! Ini salah paham. Aku Rangga, seorang pengembara. Dan aku sama sekali tidak mengerti tuduhan itu...," sahut pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, berusaha menjelaskan.

"Tidak usah banyak bicara! Serahkan dirimu. Dan, serahkan pula putri Ki Nyamat yang kau culik semalam?!" bentak Ki Langser lagi.

"Aku tidak pernah menculik siapa pun, Ki. Dan aku juga tidak kenal Ki Nyamat yang kau sebutkan tadi. Ini salah paham. Dan kalian salah menuduh orang," kilah Pendekar Rajawali Sakti.

Agaknya percuma saja Rangga berusaha menjelaskan. Mereka bukannya mengerti, malah mengurungnya semakin dekat.

"Kau lihat mereka, bukan? Kalau kau masih membangkang, maka jangan salahkan kalau kami bertindak keras. Kau telah membunuh tiga orang dalam semalam. Maka jangan harap kebaikan kami untuk mengampunimu!" lanjut Kepala Desa Cendanu ini.

Pendekar Rajawali Sakti hanya menarik napas panjang. Lalu perlahan-lahan dia turun dari punggung kudanya. Kejengkelannya mulai naik ke kepala, melihat tingkah orang-orang desa yang tidak bisa diajak bicara baik-baik. Dan dia telah mempersiapkan diri, jika sewaktu-waktu mereka mengamuk tiba-tiba.

"Bagus kalau kau menyerahkan dirimu dengan baik-baik!" sambut Ki Langser.

Rangga tersenyum sambil menggeleng-geleng. Sorot matanya berusaha dibuat selembut mungkin. "Jangan salah sangka, Ki. Aku tidak ingin terjadi apa-apa di antara kita. Tapi kalau kau memaksa, aku terpaksa mempertahankan diri," desah Rangga tetap dengan senyum.

"Kurang ajar! Kalau begitu kau mencari penyakit!" hardik Ki Langser.

Seketika Ki Langser menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada penduduk desa yang telah nengepung. "Tangkap dan habisi dia! Pemuda ini menolak kita adili secara baik-baik!" perintah Ki Langser.

"Beres, Ki!"

"Yeaaa...!"

"Uts!" Sambil mendesah panjang Pendekar Rajawali Sakti mengegos ke kiri ketika seorang pemuda telah merangsek lebih dulu dengan ayunan goloknya ke perut. Sebelah tangannya cepat menangkap pergelangan tangan yang memegang golok.

Tap!

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti merampas senjata tajam itu, lalu sebelah kakinya menyodok perut.

Duk!

"Aaakh...!" Tidak keras, namun sudah membuat pemuda itu menjerit kesakitan.

Namun belum lagi Rangga menarik napas lega, dua orang telah kembali meluruk dengan senjata terhunus dari belakang.

Wuttt!

Wuttt!

Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Lalu golok rampasan, dihantamkan ke senjata-senjata yang meluruk tajam hampir bersamaan.

Tras! Tak!

"Hei?!"

Senjata berupa cangkul dan golok, mendadak patah dan terpental ditebas golok Rangga. Dan belum sempat mereka menyerang lebih lanjut, satu sapuan tendangan Pendekar Rajawali Sakti sudah meluruk deras.

Desss...!

Diegkh...!

"Aaakh...!"

Dua orang kontan terjengkang ambruk, disertai jerit kesakitan begitu tendangan Rangga mendarat tepat di sasaran.

"Hei?! Kurang ajar!"

"Bunuh dia...!" teriak Ki Langser.

Rangga benar-benar hanya bisa menggeleng lemah. Dia sudah berusaha membuktikan kalau dirinya bukan pembunuh. Bahkan para penduduknya hanya dibuat pingsan. Pemuda ini memang hanya sekadar memberi pelajaran saja pada manusia-manusia berkepala batu.

Namun, agaknya dengan tindakan Rangga, hal ini membuat para penduduk lainnya marah. Dan tanpa kenal takut, mereka menyerbu ke arah Rangga secara bersamaan dari segala penjuru.

"Heaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti mendadak berkelebat cepat sambil melepaskan kibasan tangan ke setiap orang yang mendekatinya.

Des..., diegkh..., dug...!

"Aaa...!"

Disertai jerit hampir berbarengan, tujuh orang langsung berpentalan tak tentu arah. Dan ini cepat menyadarkan Ki Langser, kalau pemuda yang dituduhnya sebagai penculik tidak bisa dianggap sembarangan.

Sementara para penduduk mulai ciut nyalinya. Mereka tak gegabah menyerang lagi setelah melihat kedigdayaan pemuda berbaju rompi putih ini. Terlebih lagi, karena Ki Langser telah memberi isyarat agar menghentikan penyerangan. Kepala Desa Cendanu kini memandang pemuda itu dengan seksama. Namun, tidak berarti kemarahannya telah surut.

"Kisanak! Kenapa kau tega membunuh penduduk desa ini dan menculik putri Ki Nyamat?!"

"Jadi kau masih menduga kalau aku adalah penculik gadis yang tidak kukenal?" tanya Rangga, kalem.

"Siapa lagi kalau bukan kau?! Kau datang untuk mengejek kami, karena kami tak mampu meringkusmu semalam!" sentak Ki Langser.

"Sadarlah, Ki. Kau lihat orang-orang itu. Mereka menderita akibat tuduhanmu. Dan aku terpaksa membela diri," kilah Rangga kalem.

DUA

Ki Langser memandang Rangga dengan dahi berkerut. Dia belum sepenuhnya mengerti. "Apa maksudmu?" tanya kepala desa ini.

"Kesempatan untuk membunuh kalian banyak. Namun tidak kulakukan, karena kuanggap ini salah paham," jelas Rangga.

"Jadi, apa maksudmu ke desa ini?"

"Telah kujelaskan, aku hanyalah seorang pengembara. Dan tujuanku bukan desa ini. Jadi kalau kalian menyerangku, tentu saja aku akan membela diri. Maaf, kalau orang-orang itu kubuat pingsan sementara," kata Rangga, seraya melirik beberapa penduduk desa ini yang dibuat pingsan.

Kepala desa itu jadi ragu. Hatinya sedikit mulai condong, tidak sekeras tadi seperti pertama kali.

"Anak muda.... Kelihatannya kau memang bukan sembarang orang. Melihat gerak-gerikmu, pastilah kau seorang pendekar. Kalau boleh kami tahu, siapakah kau sebenarnya?" tanya Ki Tambika yang juga telah berada di tempat ini.

"Namaku Rangga. Aku memang mempunyai julukan tak berarti. Orang-orang persilatan memanggilku Pendekar Rajawali Sakti...," jelas Rangga berusaha merendah.

"Pendekar Rajawali Sakti?!" sentak Ki Tambika, terkejut.

Bagi penduduk yang jarang bepergian dan hanya menghabiskan sebagian besar usianya di desa ini, tentu tidak akan pernah mendengar julukan itu. Beda halnya Ki Tambika. Meski dalam usia setua sekarang, dia masih suka bepergian. Entah itu mengunjungi sanak saudara di tempat lain, atau berdagang ke tempat-tempat yang jauh. Dengan demikian perjalanan dan pengetahuan laki-laki tua ini tentang tokoh persilatan, tidak tertinggal. Dan julukan itu pernah didengarnya.

"Benarkah kau pendekar termasyhur itu?!" tanya Ki Tambika, ingin meyakinkan.

"Bagaimana aku harus membuktikannya, Ki? Tapi yang jelas, Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pendekar termasyhur. Mungkin kau terlalu melebih-lebihkan," sahut Rangga, tetap merendah.

"Oh, terimalah salam hormatku, Pendekar Rajawali Sakti.... Dan aku tidak bisa menganggapmu sebagai orang biasa. Namamu amat terkenal, Aku amat yakin. Sebab sepanjang aku melakukan perjalanan jauh, banyak kudengar tentang sepak terjang serta kehebatanmu. Pendekar Rajawali Sakti.... Perkenalkan, aku sering dipanggil Ki Tambika. Atas nama warga desa ini, aku meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi. Mudah-mudahan kau sudi memaafkan kekeliruan kami!" kata Ki Tambika, nyerocos seraya menjura memberi hormat.

"Sudah biasa dalam pengembaraanku akan selalu menemukan kesalahpahaman, Ki. Sudahlah! Kau tak perlu sungkan-sungkan padaku," sahut Rangga, setelah membalas salam hormat Ki Tambika.

Sementara itu, para penduduk Desa Cendanu hanya terlongong bengong melihat Ki Tambika bersikap ramah pada Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi, Ki Langser yang semula begitu marah pada Rangga.

"Ki Langser!" panggil Ki Tambika yang merupakan tetua desa, seraya menoleh ke arah Kepala Desa Cendanu itu. "Kita telah salah paham menuduh pemuda ini sebagai penculik putri Ki Nyamat. Apalagi membunuh Ki Nyamat dan dua orang penjaga rumahnya!"

"Tapi, Ki...."

"Sudahlah. Jika pemuda ini berbuat yang tidak-tidak, aku yang bertanggung jawab. Kau boleh menghukumku, jika pernyataanku salah!" potong Ki Tambika, meyakinkan.

Sebagai tetua di desa ini, apalagi Ki Tambika menjaminkan dirinya sebagai jaminan, Ki Langser dan para penduduk mematuhinya.

"Pendekar Rajawali Sakti, kalau tidak keberatan sudilah kiranya mampir ke pondokku? Sekadar mencicipi seteguk dua teguk teh hangat dan membicarakan persoalan yang menimpa desa kami," ajak Ki Tambika.

"Maaf, Ki! Panggilah aku dengan nama saja. Jangan julukanku...."

"Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti. Eh, Rangga. Bagaimana? Kau bersedia," ulang Ki Tambika.

Rangga berpikir sebentar, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. Kemudian, didampingi Ki Langser dan beberapa penduduk lain yang berjumlah sekitar tujuh orang, mereka beranjak ke rumah Ki Tambika. Sementara yang masih pingsan segera ditolong penduduk lain.

Setiba di rumah Ki Tambika, Rangga mendapat penjelasan mengenai kejadian yang menimpa desa ini, dengan peristiwa yang terjadi di Desa Cendanu ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya manggut-manggut mendengarkan sampai penuturan itu tuntas.

"O.... Jadi, karena itu makanya kalian mencurigai aku sebagai orang asing?" tanya Rangga kemudian.

"Ya.... Kami kira kau adalah penculik itu yang datang siang hari untuk mengejek, bahwa kami tak mampu menangkapmu malam hari," jelas Ki Tambika seraya melirik sekilas pada Ki Langser yang sesekali tertunduk malu.

"Tidak apa.... Aku bisa memaklumi...," desah Rangga.

"Syukurlah. Kami berterima kasih atas kelapangan hatimu, Rangga," ucap Ki Tambika.

"Sebenarnya aku pun tengah mengadakan perjalanan untuk mencari seseorang. Dan, kurasa tidak ada hubungannya dengan penculik ini. Dia bukan menculik para gadis, tapi malah sebaliknya," papar Pendekar Rajawali Sakti.

"Para pemuda?"

Rangga mengangguk.

"Jadi yang kau cari seorang wanita?"

"Benar. Dia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang tokoh hebat yang berkepandaian tinggi. Orang-orang menyebutnya Bidadari Penakluk!"

"Ya, ya. Nama itu memang pernah kudengar sekilas," kata Ki Tambika, mengangguk-angguk.

"Kurasa penculik para gadis itu bukan dia. Tapi dalam pencarian dan perjalananku, biarlah kubantu kalian untuk menangkap penculik itu," lanjut Rangga menawarkan jasa baiknya.

"Benarkah, Rangga? Kami tak tahu, mesti bagaimana mengucapkan rasa terima kasih!" seru Ki Tambika.

"Ah! Tidak usah berlebihan! Aku hanya berusaha, belum tentu berhasil menangkapnya. Doakan saja!" sergah Rangga, merendah.

"Nama Pendekar Rajawali Sakti telah tersohor di delapan penjuru angin. Rasanya tanpa doa kami pun, kau bakal berhasil!"

Mendengar keyakinan itu Rangga tersenyum sendiri. "Tidak bisa begitu, Ki. Aku manusia biasa seperti yang lain. Bisa merasakan sakit dan bakal mati kelak. Soal keberhasilan, bukan menjadi urusanku. Tapi urusan Yang Maha Kuasa," tukas Rangga.

Ki Tambika dan yang lain mengangguk-angguk mendengar kata-kata pemuda ini yang merendah.

"Nah, kurasa aku tak bisa lama-lama. Makin cepat pencarian dilakukan, makin baik. Aku pamit dulu, Kisanak semua!" kata Rangga seraya bangkit berdiri.

"Ah! Pertemuan ini rasanya kelewat singkat, Rangga! Sudikah kau mampir ke sini lagi di lain kesempatan?" Kali ini Ki Langser yang buka mulut, setelah sejak tadi Ki Tambika yang lebih banyak bicara pada pemuda itu.

"Tentu saja kalau ada umur panjang. Kisanak semua, maafkan. Aku mohon diri sekarang juga!" sahut Pendekar Rajawali Sakti seraya membungkukkan tubuhnya memberi hormat, lalu angkat kaki dari rumah itu.

********************

Melewati batas Desa Cendanu, Rangga melambatkan lari kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu. Tujuannya tidak pasti, sebab jejak Bidadari Penakluk yang tengah dicari-carinya belum juga terlihat. Padahal pencarian yang dilakukannya telah memakan waktu lebih dari dua minggu.

"Ke mana dia? Apakah lenyap ditelan bumi?" gumam Pendekar Rajawali Sakti tak habis pikir.

Selama ini Rangga telah berkeliling di wilayah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Bidadari Penakluk. Namun segalanya nihil. Tidak ada jejak yang ditemuinya sedikit pun!

"Apakah ada gunanya pencarianku ini?" lanjut Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah lesu. Belum juga pertanyaan itu tetjawab mendadak....

"Tolooong...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan minta tolong dari arah kanan, membuat Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Sejenak pemuda itu menajamkan pendengarannya. Lalu....

"Ayo, Dewa Bayu! Kita lihat apa yang terjadi di sana!" teriak Rangga, langsung menggebah kudanya ke kanan.

"Hieee...!" Dewa Bayu meringkik halus, lalu berlari kencang mengikuti perintah Pendekar Rajawali Sakti.

Semakin Dewa Bayu mendekati sumbernya, suara itu sendiri jelas terdengar di telinga. Dan begitu tiba di tepian hutan, Rangga mengerutkan keningnya dengan pandangan tajam menyimpan kemarahan.

Kira-kira lima belas tombak di depan, Pendekar Rajawali Sakti melihat beberapa laki-laki bertampang kasar tengah mengurung seorang gadis yang menjerit-jerit ketakutan. Kelihatannya gadis itu tak berdaya karena dalam keadaan terikat. Sedangkan lima laki-laki yang mengelilinginya, agaknya hendak berbuat tidak senonoh.

"Kisanak! Kalian tidak pantas berbuat seperti itu pada seorang wanita!" teriak Rangga, keras menggelegar.

"Hei?!"

Lima laki-laki bertampang kasar itu tersentak kaget. Seketika mereka menoleh memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan geram karena merasa urusannya diganggu. Seorang yang berbadan besar dengan cambang bauk yang tidak rata, maju ke depan. Matanya mendelik sambil berkacak pinggang.

"Bocah! Boleh saja kau pentang bacot, tapi tidak di sini! Pergilah. Dan jangan campuri urusan orang! Kalau tidak, akan kupecahkan kepalamu!" bentak laki-laki ini.

Demi melihat siapa pemuda yang menunggang kuda hitam itu, gadis yang terikat itu berubah cerah. "Kisanak! Tolonglah aku! Mereka hendak berbuat kurang ajar kepadaku...!" teriak gadis ini.

"Hm, kau...." Rangga coba mengingat-ingat siapa gadis itu. Dan rasanya, dia memang pernah mengenalnya.

"Aku Kembang Harum, putri Ki Jagad Lor!" teriak gadis itu mengingatkan.

"Ah, betul!" sahut Rangga.

"Kurang ajar! Bocah keras kepala! Kau belum juga minggat dari hadapanku!" dengus laki-laki cambang bauk yang memandang penuh amarah meluap-luap.

"Kisanak.... Terus terang aku tidak bisa mendiamkan tindakan kalian begitu saja," sahut Rangga sambil menggeleng lemah.

"Kurang ajar! Rupanya kau belum kenal Ken-dung Belor, he?! Anak-anak! Coba beri pelajaranpada bocah ini supaya tahu diri!" perintah laki-laki bercambang bauk.

Serentak dua dari empat laki-laki bertampang kasar itu melompat sambil mencabut golok masing-masing.

Sret!

Begitu golok tercabut, mereka meluruk sambil membabatkan senjatanya. "Yeaaa...!"

"Hm!" Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus dingin. Lalu sekali melompat ke atas dua serangan itu luput dari sasaran.

Kedua laki-laki bertampang kasar itu cepat berbalik. Namun sebelum mereka melakukan serangan satu sapuan kaki Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat bagai kilat.

Duk! Des!

"Aaakh...!"

Kedua orang itu kontan terjungkal disertai jerit kesakitan, begitu dada mereka terhantam kaki Rangga.

"Kurang ajar! Bantu mereka!" desis laki-laki bercambang bauk yang mengaku bernama Kendung Belor.

Tanpa diperintah dua kali, serentak dua anak buah Kendung Belor mencabut golok. Bahkan seketika menyerang Rangga dengan garang.

"Yeaaa...!"

Rangga berbalik. Lalu tubuhnya kembali berputar, menyongsong serangan. Dan sebelum kedua orang itu membabatkan golok, kaki Rangga telah bergerak dengan kecepatan luar biasa.

Des! Des!

"Aaakh...! Aaakh...!"

Kembali dua orang terjungkal disertai jerit kesakitan ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di perut masing-masing. Bukan main geramnya Kendung Belor melihat anak buahnya dijatuhkan dengan sekali gebrak.

"Keparat! Rupanya kau mesti mendapat hajaran dari tanganku sendiri, Bocah Gendeng!" dengus Kendung Belor. Sambil mendengus geram, laki-laki bercambang bauk itu mencabut goloknya.

Sret!

"Mampus kau, Bocah!" Dengan gerakan cepat. Kendung Belor melabrak Pendekar Rajawali Sakti disertai sambaran goloknya.

Bet!

Namun Rangga cukup sedikit memiringkan tubuhnya, sehingga tebasan itu menyambar angin. Dalam hati, Rangga sempat memuji permainan silat Kendung Belor. Buktinya, baru saja Rangga menghindar, secepat itu pula golok di tangan laki-laki itu memapas pinggangnya.

Dengan gerakan mengagumkan Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil berputar. Dan tiba-tiba kedua belah kakinya melakukan tendangan beruntun.

Duk! Des!

"Aaakh...!" Kendung Belor terpekik. Tubuhnya kontan terjungkal roboh ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam muka dan dadanya. Kelihatan dari lobang hidungnya mengucurkan darah segar. Wajahnya tampak meringis, ketika berusaha bangkit.

"Aku bisa memberi hajaran yang lebih parah lagi!" desis Rangga seraya mendekati Kendung Belor dengan sikap mengancam.

Mendengar ancaman ini jantung Kendung Belor seperti mau copot. Dia tahu, percuma saja melawan. Karena, kepandaian pemuda di hadapannya jauh dibanding kemampuannya. Maka secepatnya dia berlutut!

"Oh, Tuan Pendekar. Ampuni, Tuan! Ampun...!"

"Maaf, aku sudah sering bertemu penjahat kambuhan macam kalian. Rasanya kalau tidak cepat dilenyapkan, dunia tak akan tenang," kata Rangga kalem, namun nadanya menakut-nakuti.

"Oh, ampun...! Kali ini aku sungguh-sungguh, Tuan! Sumpah! Aku berjanji!" seru Kendung Belor dengan tubuh menggigil dan wajah memelas.

Rangga tersenyum sinis. Wajahnya tampak masih terselimuti kegarangan. Namun lambat laun, berangsur-angsur cerah. "Baiklah. Kali ini kalian kuampuni. Tapi bila lain kali kudengar membuat kekacauan, maka aku akan datang serta membunuh kalian tanpa ampun!" ancam Rangga, tegas.

"Oh, terima kasih! Terima kasih, Tuan. Aku tak akan mengingkari janji!" sahut Kendung Belor dengan wajah cerah.

"Sudah, pergi sana!"

"Eh! Ba..., baik...!" Tanpa disuruh dua kali, Kendung Belor langsung ngeloyor dari tempat itu, diikuti keempat kawannya.

"Orang seperti mereka mestinya tidak boleh diampuni!" cibir gadis bernama Kembang Harum bersungut-sungut, ketika Rangga melepaskan belenggu pengikatnya.

"Mereka telah minta ampun. Dan mereka juga perlu hidup...," kilah Rangga.

"Hidup mereka hanya menimbulkan masalah bagi orang lain!" dengus Kembang Harum.

"Tidak ada yang tahu, apakah hidup mereka nanti merugikan atau membantu orang lain. Tapi aku berharap, setelah kejadian ini mereka bertobat," tegas Rangga.

"Orang seperti mereka rasanya jauh dari tobat!"

"Seperti yang kukatakan, tak seorang pun yang bisa mengetahui jalan hidup manusia selanjutnya. Sebab, semua itu telah diatur Yang Maha Kuasa...."

"Bagaimana kalau mereka tidak berubah?"

"Aku akan menagih janji. Atau paling tidak mereka akan menemukan balasannya. Bukankah tidak hanya kita yang membenci perbuatan-perbuatan buruk yang mereka lakukan?"

Gadis itu tidak menjawab lagi, karena kehabisan kata-kata untuk menumpahkan kekesalan hatinya kepada kelima begundal yang nyaris saja merenggut kehormatannya.

"Sudahlah.... Yang penting, saat ini kau telah selamat. Lalu bagaimana sampai kau bisa bertemu mereka, Kembang? Dan kenapa kepergianmu tidak disertai Ki Karmapala dan Ki Laron Nunggal?"

"Aku memang sengaja pergi seorang diri. Karmapala tidak lagi bekerja untukku. Demikian pula yang lainnya. Ki Laron Nunggal sementara ini tidak mau membantu. Padahal aku mesti membalaskan kematian orangtuaku," sahut gadis itu.

"Wanita itu memiliki kepandaian tinggi. Dengan cara apa kau hendak menuntut balas kematian orangtuamu?"

"Dengan cara apa saja!"

"Dia juga kembal. Kau bisa terbunuh, sebelum berhasil membalaskan dendammu padanya."

"Aku tak peduli!"

Rangga menggeleng lemah. "Aku tidak merendahkanmu. Tapi sudah dua minggu lebih aku mencarinya, namun hasilnya nihil. Wanita itu hilang seperti ditelan bumi. Banyak rintangan yang bisa terjadi. Apalagi kepada seorang gadis sepertimu. Contohnya seperti tadi."

"Apa pun akan kulakukan untuk membalaskan kematian ayahku. Aku punya uang untuk melakukannya," tegas Kembang Harum.

"Uang? Apa maksudmu?" tanya Rangga, dengan kening berkerut tajam.

"Aku bisa membayar seseorang untuk membunuh wanita itu. Apakah kau tertarik? Aku bisa membayar mahal untukmu!" jelas gadis itu mantap.

"Kau hanya buang-buang uang dan tenaga, Kembang! Sudahlah, aku tak perlu bayaranmu. Tapi yang jelas aku akan menangkap Bidadari Penakluk," sahut Rangga, kalem.

"Tidak! Aku harus membayarmu. Dan aku minta kepastian kalau kau benar-benar membunuh wanita itu. Dengan begitu, dendamku terbalas sudah. Dan kau tak berhak mencampuri urusanku!"

"Kepandaianku belum tentu setara dengannya, Kembang!" tukas Rangga berusaha merendah. "Lagi pula katamu barusan, aku memang tidak berhak ikut campur. Kalau begitu selamat tinggal!" Rangga cepat mendekati Dewa Bayu. Lalu dengan gerakan ringan dia melompat ke atas punggung kudanya.

"Heaaa...!"

Kembang Harum terpana, memandang pemuda itu yang telah menggebah kudanya sejurus lamanya. Dalam pikirannya, pemuda itu mungkin tengah mempertimbangkan tawarannya. Tapi siapa kira tawarannya sama sekali tidak dipedulikan. Bahkan meninggalkannya di tempat ini seorang diri.

"Huh! Pemuda sombong!" dengusnya kesal. Pada akhirnya Kembang Harum pun segera angkat kaki. Dan entah kenapa, tak terasa dia malah mengikuti jejak yang ditinggalkan Pendekar Rajawali Sakti!

********************

TIGA

Telaga kecil di kaki Gunung Karimun kelihatan tenang. Suasananya indah sejuk dan damai, jauh dari keramaian manusia. Tempatnya pun agak menjorok ke bawah, seperti sebuah lembah yang dipenuhi pohon-pohon berdaun rimbun. Bila dilihat dari kejauhan, maka tempat itu laksana sebuah rimba yang jarang dimasuki manusia, hingga berkesan angker!

"Pruuuaaah...!"

Mendadak ketenangan telaga itu terusik oleh munculnya sebentuk kepala dari dalamnya. Lalu, diikuti sesosok tubuh yang bergerak cepat. Lincah sekali tubuhnya berputaran beberapa kali di udara, kemudian mencelat ke tepi telaga. Dan ringan sekali kakinya mendarat di tepian telaga.

Sosok yang baru mendarat ini dari ujung ram-but sampai ke kaki bawah kuyup. Pakaiannya yang berukuran besar menempel ketat, membentuk tubuhnya yang indah. Sesosok tubuh ramping itu memang milik seorang gadis jelita. Tatapan matanya sayu. Bibirnya yang indah terkatup rapat.

"Eyang. Aku menghaturkan sembah padamu...!" Bibir sosok ini membuka suara dengan nada datar. Tubuhnya membungkuk ke satu arah.

Entah dari mana asalnya, mendadak angin lembut bertiup yang diiringi berkelebatnya satu sosok bayangan gelap ke arah gadis cantik ini. Dan tahu-tahu, disitu telah berdiri tegak seorang laki-laki tua pada jarak dua langkah di depan gadis ini. Usianya sekitar delapan puluh tahun. Pakaiannya agak kelabu dan lusuh. Rambutnya yang sebagian telah memutih dibiarkan tumbuh liar sampai punggung.

"Kau telah menyelesaikan semadimu dengan baik, Cucuku. Pakailah pakaian ini!" kata laki-laki tua ini seraya melempar seperangkat pakaian yang dibawa.

"Terima kasih, Eyang!" Cepat gadis ini mengambil pakaian yang teronggok di tanah. Dan sebentar saja, kakinya telah beranjak ke balik semak-semak.

Sementara gadis itu memakai pakaian yang diterima, kakek ini menatap tajam ke permukaan air telaga yang bergelembung tenang tertiup angin sepoi-sepoi. Sepertinya ada sesuatu yang ingin didapatkannya dari situ.

Laki-laki tua ini baru menoleh ketika terdengar suara langkah halus dari belakangnya. Rupanya, gadis tadi telah berubah lain dengan pakaian sederhana yang melekat di tubuhnya. Bibirnya tersenyum manis melihat laki-laki tua yang takjub memandanginya.

"Bagaimana aku sekarang, Eyang?" tanya gadis itu seraya berputar sebentar, seperti hendak menunjukkan pakaian yang diberikan.

"Begini lebih baik. Bagaimana keadaanmu sekarang, Suti?" orang tua itu malah balik bertanya sambil beranjak pelan ke sebuah batu besar yang beijarak sepuluh tombak di depannya.

"Baik, Eyang...," sahut gadis yang dipanggil Suti, langsung merendengi langkah orang tua itu.

"Perasaan-perasaan aneh itu?" tanya laki-laki tua ini lagi.

"Kurasa masih ada, Eyang. Hanya saja aku bisa menindasnya," jelas Suti.

"Syukurlah. Memang mestinya begitu. Dalam setiap kesempatan, kau harus melatih pernapasan seperti yang kuajarkan."

"Baik, Eyang...."

Sesaat kedua orang itu terdiam sambil sama-sama duduk dibatu sebesar kerbau.

"Eyang...," panggil Suti, seraya berpaling ke arah laki-laki tua itu.

"Hm..., apa?"

"Telah beberapa waktu Eyang membawaku ke sini. Apakah..., apakah aku akan mendapat hukuman?" tanya gadis itu dengan suara bergetar penuh ketakutan.

Orang tua itu tidak langsung menjawab. Kelihatan sikapnya begitu tenang. Padahal sebenarnya dia tengah berusaha menahan sesuatu yang cukup berat di hatinya.

"Mestinya aku menghukummu karena kelancanganmu, Suti Raswati," desah laki-laki tua ini, menyebut nama lengkap gadis itu.

Mendadak Suti menjatuhkan diri dan berlutut di depan orang tua itu. Memang gadis ini tak lain dari Suti Rasawati yang dijuluki orang-orang persilatan sebagai Bidadari Penakluk, karena tindakannya. Setelah bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti, gadis ini menderita luka dalam yang cukup parah. Untunglah seorang tokoh berjuluk Resi Jayadwipa yang juga guru gadis itu cepat menolongnya.

"Eyang, bunuhlah aku sekarang! Aku terima semua hukuman yang Eyang berikan!" ratap Suti Raswati.

"Berdirilah kau!" ujar Resi Jayadwipa, seraya bangkit dari duduknya.

"Tapi, Eyang...."

"Berdiri kataku!"

Gadis itu tak bisa membantah lagi. Kini mereka berdiri saling berhadapan. Namun Suti tidak berani memandang orang tua di depannya.

"Lihat ke arahku, Suti!" perintah Resi Jayadwipa.

"Eyang...." Lirih terdengar suara gadis itu, ketika mengangkat kepala. Jantungnya berdetak lebih cepat tatkala matanya melihat tatapan tajam laki-laki tua ini laksana sembilu yang mengiris jantung dan hatinya.

"Aku tidak menyalahkanmu...," desah Resi Jayadwipa lirih.

"Apa..., apa maksudmu, Eyang? Aku jelas-jelas bersalah. Hukumlah aku dengan hukuman yang paling berat, Eyang!" ratap Suti Raswati.

"Dengarlah kata-kataku," tegas Resi Jayadwipa.

"Baiklah, Eyang...."

Suti Raswati menunggu Resi Jayadvwpa melanjutkan kata-katanya. Namun untuk beberapa waktu tak terlihat kalau orang tua itu akan melanjutkan kata-katanya.

"Eyang...," panggil Suti Raswati, mengingatkan.

"Ya, aku tahu. Kejadian ini tidak terlepas dari tanggung jawab. Mestinya, aku tidak menyibukkan diri mencari Kitab 'Jagad Welung' yang hilang itu...," desah Resi Jayadwipa.

"Maksud, Eyang?"

"Mestinya aku melarangmu untuk mendekati ruang perpustakaan, dan juga melarangmu untuk membaca buku-buku yang tak patut. Apalagi dipelajari. Dan ternyata, hal itu menjadi kenyataan. Kau membaca Kitab 'Serat Biru'. Bahkan malah mempelajarinya. Akibatnya sungguh buruk bagimu, seperti yang kau alami beberapa waktu lalu...."

Resi Jayadwipa tidak langsung melanjutkan kata-katanya. Agaknya dia perlu melihat perubahan raut wajah gadis yang diajaknya bicara. Tapi wajah Suti Raswati belum menunjukkan perubahan berarti.

"Tahukah kau, Suti. Kau telah berurusan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Ini berarti, kau waktu itu berusaha mengeterapkan ilmu 'Serat Biru' pada pemuda itu. Untung saja, aku cepat datang dan menolongmu.... Dan yang lebih buruk lagi adalah, kau bermaksud menerapkan ilmu 'Serat Biru' kepadaku!" lanjut Resi Jayadwipa, membuat Suti Raswati tersentak.

"Eyang, ampuni salahku! Aku tahu, itu amat memalukan sekali" ratap gadis itu hendak kembali berlutut, namun sempat dicegah orang tua ini.

"Sudahlah. Itu hal yang telah lalu. Namun yang amat menyakitkan bagiku adalah...."

"Adakah sesuatu rahasia yang hendak Eyang katakan padaku?" selak Suti Raswati, ketika melihat Resi Jayadwipa kembali memutus kata-katanya.

"Ya...."

"Apa gerangan itu, Eyang?"

"Kau adalah cucuku, Suti."

"Bukankah itu bukan rahasia? Eyang telah menganggapku cucu sejak pertama kali memungutku ketika bayi!"

"Cerita itu tidak benar, Suti. Aku mengarang-ngarangnya saja, agar kau tidak bertanya-tanya tentang orangtuamu."

"Maksud, Eyang?!"

Kali ini baru mulai terlihat perubahan berarti pada paras Suti Raswati. Bola matanya memandang tajam kepada laki-laki tua ini. Dan dia berharap, Resi Jayadwipa mau melanjutkan ceritanya buru-buru.

"Ya! Kau adalah cucu kandungku sendiri!" jelas Resi Jayadwipa menegaskan.

"Eyang, berarti...?" Suara gadis itu tercekat, karena laki-laki tua itu langsung memeluknya dengan wajah haru, seperti hendak menumpahkan kesedihan karena tak mampu menjaga cucunya dengan baik. Suti Raswati terdiam. Untuk beberapa saat, dia tak tahu mesti berkata apa dan bersikap bagaimana.

"Eyang.... Mengapa kau menyembunyikan semua ini dariku?" tanya Suti Raswati ketika orang tua itu melepaskan pelukannya.

"Aku terpaksa berbuat begitu, agar kau tidak menanyakan orangtuamu. Maka, kukatakan saja kau kupungut sejak bayi. Serta kukatakan bahwa kedua orangtuamu telah tiada," jelas Resi Jayadwipa.

"Kenapa Eyang menyembunyikan aku? Apakah kedua orangtuaku masih ada?" desak Suti Raswati.

"Beberapa tahun berselang, mereka masih hidup. Namun belakangan kudengar kabar bahwa mereka telah tiada...," jelas laki-laki tua ini dengan wajah keruh penuh kedukaan.

"Oh...!" seru Suti Raswati kaget. Wajahnya seketika tertunduk sedih.

"Inilah yang menjadi pangkal persoalan...," lanjut orang tua itu, setelah kesedihan cucunya berkurang.

"Apa maksud, Eyang?"

"Pada waktu itu ayahmu membawa seorang saudaranya ke padepokan. Sejak itu, suasana yang tenteram perlahan berubah. Aku tahu, saudara ayahmu berhati culas. Lagi pula, dia suka menggoda ibumu. Namun aku tidak enak hati mengusirnya pergi. Segala isyarat yang kuberikan padanya agar meninggalkan padepokan, seperti tak digubrisnya. Dan ternyata, saudara ayahmu itu bermuka tembok. Dan untuk menekan perasaan karena kelakuannya, aku akhirnya sering bepergian. Namun tidak disangka kalau pada akhirnya, dia menghasut ayahmu untuk melanggar aturan...," tutur Resi Jayadwipa.

"Melanggar aturan bagaimana, Eyang?" tanya Suti.

"Aku melarang mereka masuk ruang perpustakaan. Namun saudara ayahmu itu terus membujuknya. Sampai akhirnya, mereka nekat masuk ke sana. Beberapa waktu kemudian ketika aku pulang, ayahmu memberitahukan persoalan yang menimpa padepokan. Beberapa buah kitab pusaka hilang dibawa kabur saudara ayahmu. Aku marah besar dan tak dapat mengendalikan diri. Meski saat itu ibumu baru saja melahirkanmu, mereka kuusir. Dan mereka tidak kuperbolehkan membawamu!" lanjut orang tua itu.

"Eyang sungguh kejam! Hehhh...! Bisa kurasakan kesedihan mereka kala itu...," desis Suti Raswati, seraya mendesah.

"Ya, aku memang kejam!" cetus orang tua itu.

"Bahkan mereka tidak kuizinkan menginjakkan kaki ke padepokan, dan kularang menjengukmu!"

"Mengapa? Mengapa Eyang bertindak begitu kejam kepada mereka?" tanya Suti.

"Jangan kau tanyakan hal itu."

"Aku patut mengetahui karena mereka orangtuaku!" tukas gadis itu cepat.

Resi Jayadwipa kelihatan bergetar entah karena apa. Namun bias wajahnya tidak menunjukkan apa-apa. Sepertinya, dia memang pandai menyembunyikan perasaan. Tidak peduli cucunya mulai menitikkan airmata sambil menangis terisak. Lirih.

"Kenakan topeng ini. Dan pergilah dari sini!"

Aneh! Bukannya menjawab, Resi Jayadwipa malah menyerahkan topeng kayu yang sejak tadi dipegangnya kepada gadis itu. Kemudian tubuhnya berbalik, meninggalkan tempat ini.

"Eyang mengusirku?" tanya gadis itu lirih.

"Kalau memang kau tak suka padaku, apa yang bisa kukatakan? Pergilah. Dalam pengembaraan, kuharap kau bisa berpikir dewasa dan mengerti keadaan. Setelah kau menguasai dirimu, maka carilah pembunuh orangtuamu!" lanjut orang tua itu, setelah menghentikan langkah. Namun begitu dia tetap membelakangi cucunya.

"Apa maksud, Eyang? Siapa pembunuh kedua orangtuaku?" ujar Suti.

"Saudara ayahmu itu!"

"Siapa namanya?!" seru gadis ini bersemangat Terasa ada bibit dendam di hatinya.

"Kau hendak membalas dendam kedua orangtuamu?" Resi Jayadwipa malah balik bertanya.

"Ya!" sahut gadis ini dengan mantap.

"Dia memiliki kepandaian tinggi. Dan kau akan menemui kesulitan."

"Aku tidak peduli! Katakan padaku Eyang, siapa orang itu?!"

"Orang itu bernama Bernawa."

"Terima kasih, Eyang. Akan kucari dia meski bersembunyi ke ujung langit sekali pun!" desis Suti.

"Kalau niatmu sudah keras, maka aku hanya bisa berpesan agar hati-hati. Gunakanlah topeng itu bila berada di keramaian. Dan bila bertemu Pendekar Rajawali Sakti, usahakan bersikap wajar-wajar saja. Satu hal lagi, jangan menarik perhatian orang seperti dulu. Nah, Cucuku. Selamat bertugas."

Setelah berkata begitu, Resi Jayadwipa berkelebat cepat bagai sapuan angin kencang. Gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana kakeknya berkelebat.

Untuk sesaat Suti Raswati terpaku merenungi pembicaraannya dengan kakeknya. Terasa ada sesuatu yang menyentak-nyentak di hati. Perasaan kesal, geram, lalu dendam, dan entah apa lagi. Kenapa dia baru tahu sekarang setelah selama ini tersembunyi? Kenapa pada saat dia tahu justru kedua orangtuanya telah tiada?

Suti Raswati memandang sayu pada topeng yang tadi diberikan kakeknya. Kenapa kakek memberikan topeng ini? Namun kemudian otaknya cepat berpikir, bahwa kehidupannya beberapa waktu lalu begitu banyak menimbulkan kebencian sebagian orang. Topeng kayu itu pasti sedikit banyak bisa menyembunyikan wajahnya di mata orang-orang yang ingin berurusan dengannya.

********************

EMPAT

Seorang laki-laki bertampang kasar tengah duduk tenang menyantap hidangannya tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Padahal, suasana di dalam kedai ini cukup ramai. Namun hal itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Kumisnya yang tebal tampak bergerak-gerak ketika kedua rahangnya yang kokoh mengunyah makanan. Sepasang alis tebal menaungi kelopak mata yang agak cekung. Pandangannya tajam. Tubuhnya agak besar dengan lengan berotot dan jari-jari kuat.

"Pelayan! Tolong beri aku lauk-pauk seperti tadi!" ujar laki-laki ini ketika seorang pelayan melintas di dekatnya.

"Baik, Tuan!" sahut pelayan kedai. Tanpa disuruh, pelayan ini cepat membereskan sisa-sisa makan di piring tamunya itu. Sebenarnya laki-laki bertampang seram itu sudah dua kali meminta hidangan yang sama sejak mulai makan. Berarti, tadi itu permintaan yang ketiga! Di samping itu dia juga menenggak beberapa telur ayam kampung dicampur cairan kental kekuningan yang dibawanya sendiri.

"Ada pesan yang lain, Tuan?" tanya pelayan tadi, ketika muncul kembali sambil membawa pesanan.

"Di mana penginapan terdekat?"

"Tuan hendak menginap? Hm.... Meski tidak terlalu bagus, kedai ini juga menyediakan penginapan!"

"Penginapan lengkap?"

"Tentu saja, Tuan! Sewanya juga murah."

Laki-laki bertampang seram itu tiba-tiba menarik bahu pelayan kedai. Mulutnya cepat didekatkan ke telinga. Berbisik.

"Ada...?" tanya laki-laki seram ini.

"Itu bisa diatur, Tuan! Mau yang bagaimana? Gemuk? Kurus, atau yang montok? Usianya muda? Tua? Atau yang sedang?" sahut pelayan kedai, cepat tanggap dengan bisikan tamunya.

"Tahukah kau selera yang pantas untukku?" laki-laki seram ini malah balik bertanya.

Pelayan kedai itu memandang tamunya beberapa saat dengan dahi pura-pura berkerut.

"Ah, aku tahu! Pokoknya Tuan tahu beres. Selesai bersantap, maka Tuan bisa menghubungiku. Sekarang juga, aku mohon pamit sebentar pada majikanku untuk mencarikan yang sesuai keinginan Tuan!" kata pelayan ini.

"Baik! Carikan aku tiga, ya!" ujar laki-laki seram ini.

"Tiga?" tanya pelayan kedai, tak jadi melangkah. Dipandangnya laki-laki seram ini dengan wajah heran.

"Iya, tiga. Kenapa?"

"Eh! Baik.., baik...."

Setelah berkata demikian, pelayan kedai itu beranjak pergi untuk mencari tiga sasaran bagi tamunya.

********************

Telah cukup lama laki-laki bertampang seram tadi masuk ke kamar bersama tiga gadis yang dipesan pelayan kedai. Dan kini tinggal pelayan kedai itu sendiri yang jadi kesal, menunggui. Masalahnya sejak tadi dia belum mendapat uang jasa dari tamunya. Dan dia berusaha membunuh waktu dengan berjalan mondar-mandir. Sesekali matanya memandang ke pintu dalam, tempat ruang penginapan berada. Dari situlah laki-laki bertampang kasar tadi masuk, sebentar-sebentar dari mulut dan hidungnya keluar desahan kesal.

Rupanya tindak-tanduk pelayan kedai ini tak luput dari perhatian laki-laki setengah baya, yang agaknya adalah pemilik kedai dan penginapan ini.

"Ada apa, Sampak?" sapa laki-laki setengah baya itu.

"Eh?! Tidak apa-apa, Ki Rambat...!" sahut pelayan kedai yang dipanggil Sampak, sedikit kikuk.

"Jangan pura-pura! Aku tahu, kau tengah menunggu upeti dari laki-laki angker itu, bukan?" cecar pemilik kedai yang bernama Ki Rambat.

Sampak hanya cengar-cengir. "Kenapa? Dia belum memberikannya? Kulihat tadi kau membawa tiga gadis?"

"Itu dia! Sudah kubawakan tiga orang, aku tidak dapat apa-apa!" gemtu Sampak.

"Mungkin nanti. Tapi ngomong-ngomong, gila juga itu orang. Dia mau melahap tiga perempuan sekaligus?!" seru Ki Rambat dengan wajah heran.

"Aku juga bingung, Ki. Tapi melihat apa yang disantapnya, dia mungkin telah mempersiapkan diri, jelas Sampak.

"Orang itu mungkin punya keanehan. Sejak tadi, dia belum juga keluar kamar."

"Apa perempuan-perempuan itu digilir bergantian? Satu orang mendapat giliran sepuluh kali!" seloroh Sampak sambil tertawa lebar.

"Hush! Bisa saja kau, Sampak!"

"Laki-laki itu rakus perempuan. Mungkin saja setelah ini, dia akan minta pesanan lagi. Bisa sepuluh atau dua puluh, aku tak peduli. Yang penting bayar uang lelah padaku!"

Pada saat itu juga kata-kata Sampak terhenti ketika terdengar ribut-ribut dari arah belakang. Serentak mereka menoleh ke arah sumber suara. Dengan langkah lebar-lebar, mereka menuju ke belakang.

Begitu tiba di ruang penginapan, beberapa penghuni kamar yang lain tengah melongokkan kepala keluar, ke arah sumber suara ribut-ribut tadi.

Memang keributan diduga keras berasal dari kamar lelaki bertampang seram yang baru saja dibicarakan. Benar saja, dari pintu itu keluar laki-laki berkumis tebal dengan rahang kokoh. Setelah menutup pintu, dia melangkah tegap.

Cepat Sampak menghampiri. Sementara laki-laki itu kelihatan melangkah tenang, seperti tak terjadi apa-apa.

"Eh! Ada apa, Tuan? Apakah semuanya beres?" tegur Sampak.

Laki-laki bertampang angker ini berhenti sebentar, lalu menatap Sampak. "Hm, tidak." Habis berkata demikian, laki-laki ini melangkah kembali meninggalkan Sampak.

"Eh, Tu..., an!"

"Apa?!"

Laki itu berhenti, dan berbalik. Matanya memandang Sampak dengan sorot tajam. Untuk sesaat darah Sampak berdesir. Begitu mengerikan sorot mata laki-laki yang berdiri di depannya. Penuh nafsu membunuh, laksana seekor harimau buas. Namun kepentingannya belum selesai. Maka dia memberanikan diri untuk menghampiri lagi.

"Eh, anu Tuan...," kata Sampak tergagap, ketika setengah tombak di depan laki-laki itu.

"Katakan saja! Jangan berbelit-belit! Aku mesti pergi ke suatu tempat malam ini juga!" bentak laki-laki itu.

"Mungkin Tuan melupakan sesuatu. Maksudku..., upah untukku dalam mencari tiga orang gadis belum dibayarkan kepadaku," jelas Sampak.

"O, kau minta persen lagi?"

"Bukan begitu Tuan. Tapi Tuan memang belum memberikan uang lelah...," kilah Sampak dengan kepala tertunduk, tak kuasa menatap sorot mata laki-laki di depannya.

"Kau ingin uang lelah?" Kata-kata laki-laki ini dikeluarkan dengan raut wajah marah. Kalimatnya ditekan sedemikian rupa menunjukkan hati yang geram.

"Eh! Ka..., kalau memang Tuan tidak keberatan...," sahut Sampak memberanikan diri.

"Ini, ambillah!" Bersamaan dengan kata-katanya, laki-laki berteimpang seram itu menghujamkan jari-jari tangannya ke perut Sampak. Begitu cepat dan tak terduga, sehingga....

Jrosss!

"Aaa...!" Sampak kontan terpekik. Tubuhnya limbung dengan tangan memegangi ususnya yang terburai. Darah berlepotan menggenangi bumi tempatnya berpijak. Ketika ambruk, tubuhnya langsung kelojotan meregang nyawa. Lalu, dia diam tak berkutik lagi.

"Hei?!"

Orang-orang yang ada di tempat ini menjadi terkejut setengah mati. Demikian pula Ki Rambat, pemilik kedai dan penginapan. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, laki-laki bertampang seram tadi telah berkelebat keluar lewat pintu belakang, lalu menghilang di kegelapan malam.

"Sampak...!" desis pemilik kedai itu dengan wajah masih membayangkan keterkejutan.

Laki-laki setengah baya ini memandangi Sampak bersama beberapa penghuni kamar-kamar yang berada di tempat itu. Salah seorang wanita mendekati Ki Rambat sambil berbisik lirih.

"Ketiga perempuan yang ada di kamar tadi mati, Ki...!"

"Mati? Astaga...!" sentak Ki Rambat, melotot kaget.

"Jidat mereka bolong dua seperti ditusuk dua batang besi!" lanjut wanita itu.

Dan Ki Rambat semakin terkejut saja. Tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengataa keterkejutan yang berturut-turut.

"Apa yang mesti kita lakukan, Ki?" tanya seseorang yang juga berada di dekatnya.

"Oh, apa?!"

"Sebaiknya kita urus mereka dulu!" timpal seseorang.

"Ya, kita akan urus mereka. Tapi salah seorang mesti memberitahukan kejadian ini kepada Ki Guteng," sahut Ki Rambat.

"Biar aku saja, Ki!" sahut seorang pemuda yang juga pelayan kedai.

Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun tiba di kedai Ki Rambat. Tubuhnya kecil dengan kulit hitam, terbungkus pakaian kuning gading. Dialah orang yang dimaksud Ki Rambat. Namanya, Ki Guteng. Dia menjabat keamanan Desa Kaligondang, yang masih terletak di Kadipaten Welirang. Kini, Ki Guteng tengah memeriksa keempat mayat itu sambil menggeleng dan mendesah lemah.

"Bagaimana, Ki?" tanya Ki Rambat.

"Ini betul-betul perbuatan iblis!" desis keamanan Desa Kaligondang ini, geram.

"Iblis? Tapi dia mirip sekali dengan manusia. Lagi pula, mana mungkin iblis doyan perempuan?!" tukas Ki Rambat

Ki Guteng melirik pemilik kedai ini. "Bukan begitu maksudku, Ki! Orang yang melakukan ini sifatnya sama dengan iblis," jelas Ki Guteng.

Baru Ki Rambat mengangguk. Mengerti. Kemudian dijelaskannya ciri-ciri laki-laki yang telah membunuh keempat orang itu.

"Apakah kira-kira Ki Guteng pernah mengenalnya?" tanya Ki Rambat.

Ki Guteng berpikir sebentar. Terlihat dari jidatnya yang sedikit berkerut. "Tidak.... Aku tak pernah melihat orang itu sebelumnya," kata keamanan desa itu menggeleng lemah. "Tapi melihat ciri-ciri korban, agaknya dia yang belakangan ini dihebohkan orang."

"Siapa yang kau maksudkan, Ki?" cecar Ki Rambat.

"Siluman Pemburu Perawan!"

"Eh?! Apakah itu berarti dia siluman betul?" tanya Ki Rambat dengan wajah ketar-ketir ketakutan.

"Tentu saja tidak. Itu julukan seseorang dalam dunia persilatan. Orang itu memang dikenal memiliki kesaktian hebat, jelas Ki Guteng, tersenyum hambar.

"Lalu apa yang mesti kita lakukan, Ki? Orang-tua mereka tentu tidak senang melihat kematian anaknya...," lanjut Ki Rambat dengan sikap lesu.

"Jelaskan saja apa yang terjadi."

"Jelaskan apa yang terjadi? Gila! Itu sama artinya membunuhku, Ki!" sentak Ki Rambat kaget.

"Apa maksudmu? Siapa yang akan membunuhmu?"

"Ya, orangtua mereka!"

Ki Guteng menggeleng lemah. "Itu salahmu sendiri, mengapa mengajak mereka ke sini?"

"Sampak yang bawa mereka...," kilah Ki Rambat.

"Telah berapa kali kuperingatkan padamu, agar jangan membuka kegiatan mesum di tempat ini. Tapi, kau tidak mau mendengarnya!" tandas Ki Guteng.

"Ya! Aku memang salah, Ki. Tapi, memang aku sudah tidak mengurusi soal-soal itu. Hanya Sampak dan anak buahnya suka mengambil kesempatan. Kalau ada tamu-tamu yang tanya," kilah Ki Rambat lagi.

"Ketiga orangtua gadis itu tahu, apa yang mereka lakukan?"

"Yang satu tahu. Tapi dua lainnya tidak. Tahunya, anak mereka bekerja pada seseorang," jelas Ki Rambat.

"Urusan ini jadi runyam!" desis Ki Guteng.

"Ya, karena itulah aku butuh pertolonganmu, Ki. Sekalian mencari pembunuh keji itu!"

"Biarlah nanti akan kucoba menjelaskan pada orangtua kedua gadis itu. Tapi soal mencari si pembunuh, aku angkat tangan."

"Apakah Ki Guteng tak mau membantu?"

"Bukan tidak mau. Tapi tepatnya tidak mampu!" jelas Ki Guteng, terus terang.

"Ki Guteng pesilat hebat yang bisa kupercaya." "Orang ini seperti bukan manusia, Ki! Apakah kau tidak mengerti? Sepuluh orang sepertiku bakal disapu dalam sekejap!"

Ki Rambat jadi bingung sendiri mendengar jawaban itu. Ditatapnya Ki Guteng untuk beberapa saat.

"Lalu, siapa yang bisa kumintai tolong lagi?"

"Cobalah mengerti. Aku tidak mungkin mengabulkan permintaanmu untuk mencari pembunuh itu. Nyawaku sendiri terancam, bila coba-coba mendekatinya."

"Lalu persoalan ini kita diamkan saja?" tanya, Ki Rambat dengan suara lemah.

"Kita tak punya pilihan, kalau ingin selamat..." desah Ki Guteng.

Pemilik kedai itu kembali terdiam. Entah merenungi kata-kata yang terlontar dari mulut keamanan desa itu, entah juga memikirkan yang lain.

Setelah kejadian semalam, pengunjung kedai Ki Rambat jadi jauh berkurang. Rata-rata mereka ngeri membayangkan korban-korban yang terjadi. Mereka menganggap kedai itu kini tempat yang tak aman.

Pengunjung yang ada cuma dua orang. Seorang laki-laki setengah baya, dan seorang pemuda berompi putih yang duduk di pojok ruangan. Kalau laki-laki setengah baya itu kelihatan sebagai seorang pedagang, maka pemuda ini tampaknya dari persilatan. Ini terlihat dari pakaian dan pedang bergagang kepala burung yang tersampir di balik punggung.

"Kisanak. Tolong bawakan lagi aku sayur seperti ini!" tunjuk pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, pada mangkuk sayurnya yang telah ludes.

"Eh? Baik, Tuan!" Seorang pelayan buru-buru menghampiri.

"Sebentar!" cegah pemuda itu ketika pelayan muda ini begitu berada di dekat Pendekar Rajawali Sakti.

"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan ini.

"Kenapa kedai ini kelihatan sepi?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, seraya memandang ke sekeliling.

Pelayan itu tidak langsung menjawab. Namun matanya melirik ke arah Ki Guteng. Tampak keamanan desa itu mengerling mata seperti melarang bicara. Mereka memang dilarang menceritakan peristiwa semalam, karena khawatir para tamu akan takut. Lalu, buru-buru meninggalkan kedai dan tidak akan pernah singgah lagi.

"Aku tidak tahu, Tuan..," kata pelayan itu.

Pendekar Rajawali Sakti memandang sekilas seperti hendak meyakini jawaban yang didengarnya. "O, maaf. Mungkin hanya perasaanku saja," ucap Rangga, halus.

"Tidak apa, Tuan."

"Boleh aku bertanya lagi tentang satu hal?"

"Silakan, Tuan. Kalau bisa kujawab, tentu dengan senang hati kuberitahu."

"Pernahkah kau melihat seorang wanita muda, agak tinggi dan ada tahi lalat didekat bibir atas?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Rasanya tidak pernah, Tuan," sahut pelayan ini.

"Ya, sudah kalau begitu."

Pelayan itu segera angkat kaki untuk memenuhi pesanan Rangga. Sementara dari pintu kedai, masuk seorang tamu bertubuh ramping. Dari bentuk tubuhnya, jelas dia adalah wanita. Pakaiannya sopan agak besar, berwarna merah muda. Hal yang paling aneh, wanita itu ternyata memakai topeng kayu yang melukiskan wajah seorang wanita cantik jelita lengkap dengan bibir merah merekah dan hidung mancung. Dia lantas duduk, tak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Pesan apa, Nisanak?" tanya pelayan kedai yang melayani Rangga, setelah menyelesaikan tugasnya.

Wanita bertopeng itu menyebutkan pesanannya. Suaranya keluar seperti dari perut. Pelan, namun cukup jelas. Duduknya saat itu membelakangi Rangga. Sikapnya tampak tenang-tenang saja saat menunggu pesanan. Sebentar kemudian, pelayan tadi datang membawa pesanan.

"Aku hendak bicara dengan majikanmu. Yang mana orangnya?" tanya wanita bertopeng ini.

"Tentang apa, Nisanak?" pelayan itu malah balik bertanya.

"Perlukah urusan penting kau ketahui?"

"Oh, maaf. Maaf, Nisanak. Sama sekali aku tidak bermaksud mencampuri urusan. Silakan saja. Itu pemilik kedai ini!" tunjuk pelayan itu kepada Ki Guteng.

Memang, penunjukan itu atas perintah Ki Rambat. Bila ada orang yang mencarinya, maka akan dipertemukan dengan Ki Guteng saja. Sementara, Ki Rambat akan ikut mendengarkan.

"Hmm...." Wanita itu bangkit sambil bergumam tak jelas. Dihampirinya laki-laki hitam bertubuh kurus itu.

"Kisanak pemilik kedai ini?" tanya wanita bertopeng.

"Ya. Ada keperluan apa?" sahut Ki Guteng.

"Aku mencari Siluman Pemburu Perawan. Apakah Kisanak pernah bertemu dengannya?" tanya wanita bertopeng itu tanpa basa-basi.

"Apa urusanmu dengannya?" balas, Ki Guteng, menyelidik.

"Hm.... Kurasa itu tidak penting kau ketahui."

"Aku yakin kau seorang wanita. Sebaiknya, hati-hati bila berurusan dengannya...," cetus Ki Guteng, mengingatkan.

"Terima kasih atas nasihatmu, Kisanak. Akan kuingat itu. Tapi untuk saat ini, aku mampu menjaga diri. Kau tak usah khawatir. Nah! Kudengar desas-desus bahwa semalam tempat ini didatangi Siluman Pembum Perawan. Dapatkah kau memberitahu padaku, bagaimana ciri-ciri orang tersebut?" cecar wanita bertopeng ini.

Mendengar itu Ki Guteng tak bisa mengelak lagi. Maka diceritakannya ciri-ciri orang yang dianggap sebagai Siluman Pemburu Perawan itu.

"Itu hanya dugaanku. Tapi, bukan merupakan jaminan kalau orang itu si Siluman Pemburu Perawan," tambah Ki Guteng, setelah menyelesaikan ceritanya.

"Tidak mengapa. Terima kasih atas penjelasanmu, Ki," ucap wanita bertopeng ini.

Kemudian wanita bertopeng itu berbalik. Kakinya melangkah kembali ke mejanya untuk menyantap hidangannya dengan lahap. Dibukanya topeng bagian bawah sedikit agar suapannya tepat masuk ke mulut. Semua itu dilakukannya sambil tertunduk. Seolah takut orang-orang akan melihat bagian wajahnya. Meskipun sedikit!

Agaknya wanita bertopeng itu tidak punya urusan lain, sesudah menyelesaikan makannya. Maka setelah membayar harga makanan, dia segera berlalu.

"Nisanak! Apakah kau sungguh-sungguh hendak mencari Siluman Pemburu Perawan?" tanya Ki Guteng penasaran, sebelum wanita itu keluar dari pintu kedai.

"Ya, kenapa?"

"Kau tahu bahwa orang itu memiliki kesaktian tinggi? Sebaiknya urungkan niatmu. Karena, kau akan celaka di tangannya," ujar Ki Guteng.

"Apakah menurutmu aku akan celaka di tangannya? Apa karena kau melihatku sebagai wanita? Percayalah! Aku bisa jaga diri!" sahut wanita itu tandas.

Setelah berkata begitu, wanita bertopeng ini buru-buru keluar dan melompat sigap ke punggung kudanya. Jarak tempatnya berdiri dengan kuda yang tengah ditambat, lebih kurang lima langkah. Namun tubuhnya enak saja melayang tanpa beban laksana kapas tertiup angin. Ki Guteng sempat terkesiap melihat ilmu meringankan tubuh wanita itu demikian hebat. Paling tidak membuatnya sedikit percaya kalau wanita bertopeng itu bukan orang sembarangan.

"Kau memang tidak boleh meremehkan orang, Kisanak!"

"Hei?!" Tiba-tiba terdengar suara teguran membuat Ki Guteng tersentak kaget. Dan bukan saja sapaan itu yang membuatnya terkejut, melainkan tepukan di pundaknya. Terasa berat luar biasa, seolah sebelah bahunya diganduli beban berat. Dan tak terasa, terpaksa dia memiringkan pundaknya sebentar

Setelah Ki Guteng berbalik, tampak si pemuda berbaju rompi di depannya tersenyum. Lalu kaki pemuda yang memang Rangga melangkah keluar dengan tenang menghampiri kuda berbulu hitam yang ditambat di depan kedai.

"Apa maksudmu, Anak Muda?" tanya Ki Guteng penasaran, ketika Pendekar Rajawali Sakti hendak melompat ke punggung kudanya.

"Kau berdusta padanya. Juga berdusta padaku. Apakah kau kira aku tak tahu, bahwa kau bukan pemilik kedai ini? Kau pun melarang pelayanmu untuk menceritakan kejadian semalam. Entah, apa maksudmu. Tapi itu urusanmu. Dan aku tak berminat ikut campur," sahut Rangga, kalem.

"Eh! Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu...," kilah Ki Guteng.

"Sudahlah. Tidak apa-apa. Kau lakukan hal itu untuk melindungi kedai ini, bukan?" tukas Rangga.

Lalu tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera menggebah kudanya dan segera berlalu dari kedai itu diikuti tatapan Ki Guteng. Entah kenapa, dia merasa menyesal atas dugaannya yang salah tentang kedua orang itu. Keduanya pasti memiliki kesaktian yang bisa diandalkan!

LIMA

"Heaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti cepat menggebah Dewa Bayu, ke arah wanita bertopeng berlalu tadi. Begitu cepat lari kuda hitamnya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan hitam dan putih saja. Maka tak heran kalau tak lama, Pendekar Rajawali Sakti telah melihat sosok berwarna merah muda di atas punggung kuda coklat, berjarak lima puluh tombak.

Sementara sosok wanita di depan sana tampak memperlambat jalan kudanya ketika merasa ada yang mengikuti dari belakang. Kelihatannya tidak sembunyi-sembunyi.

Kini makin lama jarak mereka semakin dekat Persis setelah beberapa saat melewati batas Desa Kaligondang. Sengaja sosok yang ternyata seorang wanita itu menghentikan laju kudanya, seperti menunggu Pendekar Rajawali Sakti yang telah memperlambat lari kudanya.

"Kisanak! Ada urusan apa kau mengikutiku?" tanya wanita bertopeng itu, seraya membalikkan arah kudanya. Dan kini dia berhadapan denganPendekar Rajawali Sakti yang telah menghentikan kudanya.

Seperti juga saat bicara dengan Ki Guteng, wanita bertopeng ini menggunakan suara perut. Sehingga suaranya terdengar sengau dan mirip suara bocah perempuan.

"Mendengar pembicaraanmu di kedai tadi, kurasa kita memiliki tujuan sama...," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa maksudmu?" tanya wanita bertopeng itu.

"Bukankah kau tengah mencari Siluman Pemburu Perawan?" tegas Rangga.

"Apa urusanmu dengannya?"

"Tidak ada. Hanya saja aku mengemban janji kepada beberapa orang yang keluarganya menjadi korban Siluman Pemburu Perawan...."

"Apakah keluargamu yang menjadi korbannya?"

"Bukan. Aku bahkan baru mengenal keluarga si korban."

"Hm, mulia sekali hatimu? Tahukah kau, bahwa Siluman Pemburu Perawan adalah tokoh sakti yang tidak bisa dipandang sebelah mata? Kau membahayakan dirimu sendiri untuk persoalan yang tidak ada untungnya bagimu."

"Terima kasih, Nisanak. Sayang sekali, aku bukan pedagang yang mementingkan untung rugi. Kejahatan mesti diperangi. Di mana dan dalam bentuk apa pun," sahut Pendekar Rajawali Sakti mantap.

"Lalu, kenapa kau mengikutiku?" cecar wanita bertopeng.

"Kudengar sedikit banyak kau mengenai buruanmu. Sedangkan bagiku, orang itu masih kabur," sahut Rangga terus terang.

Wanita itu tertawa kecil. "Jadi kau seperti hendak mencari jarum di tumpukan jerami? Tidak bisa membedakan, mana jarum dan mana jerami?"

Rangga tersenyum. "Sepertinya memang begitu. Tapi kurasa ada hal lain...."

"Apa maksudmu?"

"Aku seperti pernah mengenalmu!"

Mendengar itu, wanita bertopeng ini kelihatan gugup. Dia tidak langsung menjawab. Kalau saja topengnya tersingkap, niscaya pemuda itu akan melihat perubahan raut wajahnya. Namun begitu, agaknya Rangga bisa merasakan sedikit lewat pancaran sinar mata yang menyorot dari lubang pada topeng.

"Hm.... Kau tentu hanya berkelakar. Mana mungkin kau mengenalku, karena baru sekali ini aku keluar rumah!" sahut wanita itu menghapus kegugupannya.

"Di mana rumahmu?" desak Rangga.

"Cukup jauh dari sini!"

"Seorang wanita berjalan seorang diri tanpa berbekal senjata untuk mengejar Siluman Pembum Perawan. Hm..., apa artinya ini?"

"Kenapa?! Apakah kau pun meremehkanku?! Aku cukup mampu menjaga diriku!" sentak wanita bertopeng itu.

"Maukah kau membuktikannya di depanku?"

"Apa maksudmu?" Mendadak wanita bertopeng ini sadar kalau terkena pancingan Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku akan menyerangmu beberapa jurus. Akan kulihat, apakah kau memang bisa menjaga diri seperti katamu," jelas Rangga.

"Aku tidak biasa pamer kepandaian...," kilah wanita ini.

"Ini bukan pamer kepandaian. Tapi, sekadar membuktikan kata-katamu. Apakah kau seorang pembohong atau tidak."

"Terserah apa pendapatmu. Tapi aku tidak suka memperlihatkan kepandaianku depan orang lain," sahut wanita itu, menegaskan.

"Kenapa? Kau takut jurus-jurusmu dikenali, dan dengan begitu penyamaranmu terungkap?" sindir Rangga.

"Aku tidak mengerti maksudmu. Dan kurasa, urusan kita tidak ada sangkut-pautnya. Aku permisi dulu!" lanjut wanita bertopeng itu, seraya berbalik. Cepat kudanya digebah agak kencang.

"Tunggu!" cegah Rangga. Tapi wanita itu tak mempedulikannya. Sehingga terpaksa Rangga menggebah kudanya untuk mengejar.

"Jangan katakan bahwa di antara kita tidak ada urusan! Aku kenal siapa kau!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, ketika telah menjajari kudanya di samping wanita bertopeng ini.

"Kau mengigau. Jangan ganggu aku. Uruslah persoalanmu sendiri!" balas wanita bertopeng.

"Persoalanku memang menyangkut seseorang...," kata Rangga.

"Bagus! Kalau begitu tak ada sangkut-pautnya denganku," sahut wanita ini.

"Kau salah. Justru kaulah yang menjadi persoalanku!" tuding Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa maksudmu?" tanya wanita bertopeng itu. Nyata sekali kalau kata-kata wanita itu dikeluarkan karena perasaan tidak senang atas desakan pemuda berbaju rompi putih ini.

"Selama beberapa minggu ini, aku berkeliling tempat menghabiskan waktu untuk mencarinya...," lanjut Pendekar Rajawali Sakti tak peduli sikap wanita itu.

"Siapa yang kau cari?" tanya wanita ini dengan suara bergetar, seraya menghentikan laju kudanya kembali.

"Orang itu bernama Suti Raswati. Namun, lebih dikenal sebagai Bidadari Penakluk!" jawab Rangga, juga menghentikan kudanya.

"Hm.... Aku tidak kenal orang itu...," sahut wanita bertopeng itu dengan suara bergetar.

"Tidak. Kau pasti mengenalnya!" sergah Rangga.

"Jangan memaksaku!" sentak wanita ini.

Pendekar Rajawali Sakti memandang tajam kearah wanita bertopeng ini seperti hendak mengorek jauh ke lubuk hati melalui sepasang matanya. Dan belum ada yang berbicara....

Wesss...!

Mendadak melesat sebuah bayangan laksana sapuan angin kencang.

"Heh?!" Hup!" Sejenak Pendekar Rajawali Sakti kaget, namun cepat mencelat dari punggung kudanya. Dan seketika disongsongnya sosok yang berkelebat.

Plak! Plak!

"Aaakh...!" Rangga mengeluh tertahan ketika terjadi benturan keras. Dia kaget bukan main merasakan ada tenaga dorongan kuat yang membuatnya terhempas ke belakang dengan keras. Pemuda itu terpelanting, meski mampu menjejakkan kedua kaki ke tanah.

"Hiiih!"

Wesss...!

Pada saat itu juga sosok bayangan ini kembali menerkam ke arah Rangga. Kecepatannya sama seperti tadi.

"Celaka...!" keluh Rangga. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti tak habis pikir, bagaimana sosok ini mampu berbuat seperti itu?

Mestinya Rangga mempersiapkan diri barang sesaat. Namun entah kenapa dia seperti belum bisa berbuat sesuatu untuk menghadapi serangan. Apalagi, sosok itu seperti memiliki kekuatan luar biasa. Dan dalam keadaan demikian tentu saja, Rangga bisa celaka.

"Kisanak! Biar aku coba membantumu!" Begitu habis kata-katanya, wanita bertopeng itu cepat mencelat dari kuda sambil mengayunkan pukulan ke arah sosok yang tengah menyerang Rangga.

Wuuus!

"Hei?!" Sosok yang tengah mencelat ke arah Pendekar Rajawali Sakti terkejut melihat tenaga pukulan wanita bertopeng itu. Seketika dia menjatuhkan diri dan cepat bergulingan untuk menghindari.

"Uhh...!" Kesempatan itu tidak disia-siakan Rangga. Secepat kilat tubuhnya berkelebat sambil menghantamkan pukulan bertenaga dalam tinggi, ketika sosok itu baru saja berdiri.

"Hiyaaa!"

"Hup!"

Namun sosok yang dihadapi sungguh hebat. Meski dalam keadaan tak siap, namun masih mampu menjatuhkan diri kembali dan bergulingan menghindari hantaman. Lalu tiba-tiba tubuhnya melenting laksana seekor ikan yang berada di tanah hendak mencari air. Kemudian merasa tidak mampu menghadapi gabungan kedua lawannya, dia mencelat jauh dan cepat menghilang.

"Edan! Orang gila dari mana pamer kepandaian di sini!" rutuk Pendekar Rajawali Sakti kelihatan penasaran sekali, seraya hendak berkelebat.

"Jangan dikejar!" cegah wanita bertopeng itu.

"Apa maksudmu?" tanya Rangga, begitu menghentikan gerakannya.

"Tidak perlu. Tapi, terserahmu saja. Dia akan datang lagi untuk menangkapku," sahut wanita itu, agak ragu.

"Ada urusan apa? Sepertinya kau begitu yakin kalau dia akan datang?" tanya Rangga, memandang curiga.

"Kenapa memandangku begitu rupa? Tidak ada yang aneh, bukan? Apakah kau tidak mengenali orang itu?" Rangga menggeleng lemah. "Pantas! Nah! Bukalah matamu lebar-lebar. Orang itulah yang kau cari-cari!" ujar wanita bertopeng.

"Apa? Maksudmu dia Siluman Pemburu Perempuan?!" sentak Rangga.

Wanita bertopeng itu mengangguk. "Katamu kau mencari-carinya. Lalu kenapa diam saja saat dia kabur?"

"Untuk apa? Hanya buang-buang waktu. Aku cukup sekadar mengetahui kalau dia ada di wilayah ini. Dia akan datang padaku tanpa kuminta. Aku cukup berbekal kewaspadaan saja," jelas wanita bertopeng itu, tenang.

Untuk sesaat Rangga terdiam. Tak tahu mesti berkata apa.

"Kau sudah tahu buruanmu, bukan? Kini kita tak perlu jalan beriringan lagi. Dan kau pun tak perlu membuntutiku. Kita punya cara sendiri untuk memburunya," lanjut wanita bertopeng itu.

Kembali Rangga tak tahu harus berkata apa. Dia tak punya alasan kuat untuk terus membuntuti. Tapi apa yang dikatakan wanita bertopeng itu rasanya masuk diakal. Siluman Pemburu Perawan pasti akan memburunya. Jadi, wanita itu tidak perlu repot-repot mencarinya. Kalaupun tadi kabur, hanya karena merasa tidak mampu menghadapi mereka berdua. Tapi begitu mereka berpisah, maka siluman itu bisa saja muncul. Bahkan menangkap wanita bertopeng ini.

"Urusan kita belum selesai." Akhirnya hanya itu yang bisa keluar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti.

"Urusan apa?" tanya wanita bertopeng ini.

"Kau membuatku curiga."

Wanita itu tertawa kecil. "Sudah kukatakan, kau mencari orang yang salah. Tidak ada gunanya mendesakku," kilah wanita ini.

"Kalau saja kau menanggalkan topengmu, tentu saja urusan kita selesai. Karena aku bisa mengenalmu."

"Itu tidak mungkin!"

"Kenapa? Kau takut dikenali?"

"Tidak. Tapi ini soal harga diri. Aku tidak sudi menyenangkan hatimu dengan menuruti apa yang kau inginkan!" sergah wanita itu, tegas.

"Kalau begitu aku akan membukanya dengan paksa," balas Rangga, mantap.

"Gila! Jangan memaksaku!" desis wanita itu agak kesal.

"Yang membuatku terpaksa adalah kau sendiri. "

"Jangan cari gara-gara, Kisanak. Aku tidak akan memaafkanmu untuk hal itu!" ancam wanita bertopeng ini.

"Sekian lama aku mencarinya. Dan tidak akan kubiarkan kau pergi begitu saja, meski apa pun yang terjadi!" sahut Pendekar Rajawali Sakti keras kepala.

"Jangan paksa aku. Pergilah!"

"Tidak! Bersiaplah!" tegas Rangga. Kemudian secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke arah wanita bertopeng itu sambil mengayunkan tangan kanan untuk menyambar topeng.

"Hiiih!" Tapi, agaknya wanita itu tidak tinggal diam. Telapak tangan kirinya cepat menghantam ke depan.

Wuuut...!

Rangga langsung berkelit, sambil berputar. Kemudian dilepaskannya tendangan kilat ke perut. Namun wanita itu cepat menangkis tendangan dengan kaki kanan.

Plak!

Baru saja terjadi benturan kaki kiri, wanita ini meluncur ke muka Pendekar Rajawali Sakti.

Wuttt..!

"Uhh...!" Rangga cepat melompat ke belakang. Dan baru saja kakinya mendarat di tanah.....

Wesss...!

"Heh?!" Mendadak saja, sebuah benda sebesar kepalan bayi melesat secepat kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun hatinya terkejut Pendekar Rajawali Sakti cepat menjatuhkan diri dan bergulingan menjauh.

Jder!

Benda itu langsung meledak, menebarkan asap hitam tebal yang cepat mengembang dan menutupi pemandangan. Rangga hanya bisa memaki kesal, ketika bangkit. Dan tiba-tiba, kedua tangannya menghentak ke depan.

"Aji Bayu Bajra! Heaaa...!"

Wusss...!

Angin kencang laksana topeng dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menghentak menyapu tempat itu. Kabut hitam seketika sirna. Dan seperti yang telah diduga, wanita bertopeng itu telah lenyap, meninggalkan kudanya begitu saja.

"Hm.... Dia sungguh cerdik!" gumam Rangga. "Kalau menggunakan kuda pasti geraknya tidak leluasa dan bisa terkejar olehku."

Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekeliling tempat, mengawasi dengan seksama. Bagai-manapun, dia tidak begitu yakin kalau wanita itu mampu menghilang secepat ini.

"Aku yakin dia masih berada di sekitar tempat ini. Mungkin bersembunyi di suatu tempat," pikir Rangga.

Berpikir begitu, Rangga melompat ke punggung kudanya. Sambil menggebah Dewa Bayu pelan-pelan, mulai mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Dengan menggunakan ajian itu, telinganya bisa mendengar sehelai daun jauh sekali pun.

"Hm...!" Rangga bergumam pendek. Telinganya mendengar perbedaan suara dan detak jantung yang amat halus tidak jauh darinya. Pendekar Rajawali Sakti merasakan desir angin berbelok. Padahal batang pohon yang menghalanginya tidak terlalu besar. Namun belokan angin itu terasa bergeser jauh. Itu berarti ada sesuatu yang membuat batang pohon itu melebar, yaitu seseorang bersembunyi di belakang batangnya.

Namun hal yang membuat Rangga takjub adalah, kemampuan orang itu dalam mengatur pernapasannya, sehingga terdengar halus sekali. Bahkan nyaris samar. Sehingga sedikit menyulitkan bagi pemuda itu mengenalinya.

Perbedaan napas atau halusnya napas orang yang didengar Rangga yang membuat dugaannya membingungkan. Wanita itu, atau orang lain?

Rangga menghentikan langkah kudanya. Matanya, langsung memandang ke batang pohon yang dicurigainya. Kali ini dikerahkannya aji 'Tatar Netra' untuk bisa melihat jelas, siapa gerangan manusia yang bersembunyi di balik batang pohon itu. Sesaat dahinya berkerut setelah menangkap pakaian orang yang bersembunyi di balik gerumbulan cabang-cabang pohon yang berdaun lebat. Kelihatan rapi sekali. Dan bagi mereka yang tidak memiliki penglihatan tajam, akan sulit menemukannya.

"Kisanak! Tak ada gunanya bersembunyi. Keluarlah! Dan, tunjukkan dirimu didepanku!" teriak pemuda itu lantang.

"Ha ha ha...! Sungguh tajam pendengaran dan penglihatanmu, Bocah!"

Terdengar sahutan yang disusul berkelebatnya satu sosok dari gerumbulan semak pohon yang sejak tadi diperhatikan Pendekar Rajawali Sakti. Sosok itu langsung melayang ringan, melewati atas kepala Rangga lalu mendarat pada jarak lima langkah dengan sikap membelakangi.

"Hm.... Kau penyerang tadi rupanya. Apa maksudmu berkeliaran di sini?" tanya Rangga, dingin.

"He he he...! Kudengar kau mencari-cariku. Apakah nyalimu sudah demikian hebat, sehingga berani mencari urusan denganku?" tanya sosok bertubuh tinggi tegap.

"Siluman Pemburu Perawan! Kau tidak perlu mempersoalkan nyaliku segala. Perbuatan yang kau lakukan selama ini amat terkutuk. Dan sudah sepantasnya orang sepertimu mati!" kata Rangga, mantap.

"Hua ha ha...! Bocah! Sungguh hebat bicaramu. Tapi aku khawatir, karena orang yang selalu bicara besar biasanya yang bakal cepat mampus!"

"Akan kita lihat hari ini!" sahut Rangga tenang.

Dengan kata-kata itu, berarti Pendekar Rajawali Sakti memang berusaha memancing kemarahan. Karena selesai bicara begitu, sosok ini berbalik. Tampak wajahnya yang ditumbuhi kumis lebat dengan sorot mata tajam.

"Hm.... Akan kulihat, sampai di mana kesombonganmu!" dengus sosok yang ternyata berjuluk Siluman Pemburu Perawan.

"Heaaa...!"

Seketika tubuh Siluman Pemburu Perawan berkelebat sambil memutar-mutar tangannya yang kokoh.

Bet! Bet!

Rangga tak kalah sigap. Cepat tubuhnya meluruk, berusaha memapak serangan.

Plak! Plak!

Terjadi benturan berkali-kali, Rangga tampak terjajar beberapa langkah. Sementara Siluman Pemburu Perawan telah kembali berkelebat sambil menyambarkan tangan kanannya. Dengan gerakan dahsyat, Rangga menangkis menggunakan telapak tangan kiri.

Plak!

Sehabis menangkis, Rangga memutar tubuhnya dengan tangan kanan menghantam ke leher.

Wuttt...!

Namun Siluman Pembum Perawan telah merunduk, seraya menyarangkan kepalan tangan ke dada.

"Hup!"

Untung Pendekar Rajawali Sakti segera mencelat ke atas, lalu membuat putaran beberapa kali di udara.

"Heaaa...!"

Baru saja Rangga mendarat, Siluman Pemburu Perawan mengejar. Di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti mengegos ke kiri seraya melepaskan tendangan berputar yang cepat dan dahsyat.

Wuuut!

Desss...!

"Aaakh...!"

Siluman Pemburu Perawan mengeluh tertahan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah. Namun dengan cepat dia bisa menguasai diri dan kembali meluruk menyerang.

Rangga pun segera melayani. Ketika Siluman Pemburu Perawan melepaskan gedoran dengan kedua tangan, cepat disambutnya dengan kedua tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Dan....

Derrr...!

"Aaakh...!"

"Aaakh...!"

Pendekar Rajawali Sakti dan Siluman Pemburu Perawan sama-sama terhuyung ke belakang. Rangga cepat belajar dari pengalaman tadi. Dan betul saja. Pada saat dia belum bersiap, laki-laki bertampang seram itu telah kembali menyerang, seolah memiliki tenaga ganda.

"Uts!" Pendekar Rajawali Sakti cepat membuang tubuhnya dan langsung bergulingan menghindari terkaman Siluman Pemburu Perawan yang bertubi-tubi. Serangannya silih berganti antara tendangan dan pukulan.

ENAM

Pada satu kesempatan Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas, hendak melewati kepalan Siluman Pemburu Perawan dengan tubuh berputaran.

Namun tanpa disangka, Siluman Pemburu Perawan melesatkan tubuhnya, tepat ketika Rangga berada di atas kepala. Saat itu juga, dilepaskannya satu hantaman keras.

Desss...!

"Aaakh...!" Pendekar Rajawali Sakti menjerit kesakitan dengan tubuh terlempar agak jauh. Begitu jatuh di tanah, dari mulutnya terlihat darah menetes pelan. Perlahan-lahan Rangga merangkak bangkit sambil meringis menahan sakit.

"Yeaaa...!"

Baru saja menjejak tanah, Siluman Pemburu Perawan yang menyadari kalau Pendekar Rajawali Sakti terluka karena pukulannya, kembali melompat. Agaknya dia bermaksud menghabisi Rangga saat itu juga.

"Celaka...!" desis Rangga dalam hati. Dalam keadaan demikian, bagi Pendekar Rajawali Sakti agaknya sulit untuk berbuat banyak. Maka dengan cepat tangannya bergerak ke punggung. Lalu....

Sriiing!

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti meloloskan Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang langsung memancarkan sinar biru berkilau.

Wuttt...!

Siluman Pemburu Perawan terkesiap ketika Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya. Saat itu juga serangannya diurungkan. Tubuhnya langsung bergulingan di tanah, lalu kembali melenting bangkit. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti melakukan serangan, laki-laki bertampang seram ini sudah kembali meluruk dengan sambaran-sambaran tangannya yang kokoh.

"Uts!" Rangga cepat mengegoskan tubuhnya ke kanan. Namun di luar dugaan, pada saat itu kaki kanan Siluman Pemburu Perawan menerjang ke dada. Dengan sebisanya, Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan pedangnya ke kaki.

Wuttt...!

Namun Siluman Pemburu Perawan tanpa sengaja malah berusaha menangkis dengan tangan kiri. Dan....

Desss...!

Crasss...!

"Aaakh...!"

"Aaakh...!"

Terdengar dua pekikan saling susul. Pedang Pendekar Rajawali Sakti tepat menebas pergelangan tangan kiri Siluman Pemburu Perawan sampai putus. Sementara kaki laki-laki bertampang seram itu bersarang telak di dada Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti merasa isi dadanya bagai mau pecah menerima hantaman yang keras bukan main. Sebaliknya Siluman Pemburu Perawan hanya merasakan sakit akibat tangan yang putus. Tapi, luka itu panas menyengat, bergerak cepat menjalar ke jantung.

"Uhh...!" Dengan langkah limbung, Siluman Pemburu Perawan buru-buru menotok pergelangan tangannya yang buntung agar darah yang mengalir terhenti.

Tuk! Tuk!

Kemudian buru-buru laki-laki ini berkelebat meninggalkan tempat itu, setelah melirik sekilas pada Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara itu, wajah Rangga kelihatan pucat. Darah tampak meleleh terus dari mulutnya. Namun begitu, dia berusaha bersikap tegar dengan tetap berdiri tegak berdiri. Pedangnya masih tergenggam erat di tangan.

Kalau saja Siluman Pemburu Perawan tahu keadaannya saat itu, mungkin tidak akan buru-buru pergi. Karena Pendekar Rajawali Sakti saat ini memang memaksakan diri bersikap tegar, agar lawannya masih memandang tinggi padanya. Kalau keadaannya terlihat kepayahan, Siluman Pemburu Perawan tentu akan menghabisinya saat ini juga.

"Pmuufhh...! Hoaakh...!"

Sepeninggal Siluman Pemburu Perawan, Pendekar Rajawali Sakti menyemburkan darah kental yang sejak tadi ditahan di mulutnya. Isi perutnya secepat kilat naik ke atas. Dan kembali pemuda itu menyemburkan darah kental kehitam-hitaman.

"Ohh...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti limbung, lalu ambruk seperti tak bertenaga. Pandangannya ber-kunang-kunang, ketika mencoba bangkit mendekati kudanya.

"Dewa Bayu! Coba ke sini, Sobat..!" panggil Pendekar Rajawali Sakti lirih.

Dewa Bayu meringkik halus, lalu mendengus kasar seperti menciumi wajah majikannya. Beberapa kali dia meringkik halus, seperti hendak menyatakan kesedihan atas penderitaan yang dialami majikannya.

Pendekar Rajawali Sakti berusaha naik ke pelana kuda. Sementara tenaganya sudah terlalu sangat lemah sekali. Dan dadanya terasa nyeri kalau bergerak terlalu banyak. Namun akhirnya dia mengikat pergelangan tangan pada tali kekang kuda.

"Dewa Bayu.... Bawa aku pergi dari tempat ini. Cari tempat aman," ujar Rangga lirih.

"Hieee...!" Kuda hitam itu kembali meringkik halus, dan mulai membawa majikannya perlahan-lahan meninggalkan tempat ini.

Untuk beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti masih mampu bertahan dan berusaha mengerjap-ngerjapkan pandangannya yang kabur. Tapi semakin lama terasa semakin gelap. Dan pada akhirnya, semua kelihatan gelap. Pendengarannya pun tuli. Alam sekitarnya hening!

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Entah sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti tak sadarkan diri. Namun ketika matanya bergerak-gerak, yang pertama kali dilihatnya adalah sebuah ruangan yang tertata rapi. Di dindingnya terdapat banyak hiasan. Dan di dekatnya, terdapat sebuah meja yang di atasnya terdapat sebuah guci dan dua buah cangkir kecil. Dia sendiri berada di sebuah tempat tidur yang beralaskan seprai bersulam indah.

"Oh, di mana aku...? Tempat siapa ini?" desah Pendekar Rajawali Sakti perlahan.

Wajah Rangga cepat berubah meringis, ketika mencoba bangkit. Masih terasa sakit yang hebat di dadanya. Begitu juga isi perutnya. Tak terasa dia kembali merebahkan diri di balik selimut tebal.

"Pedangku? Di mana pedangku...?!" sentak Rangga kaget ketika merasakan pedang pusaka tidak berada di punggungnya. Baju yang dikenakannya pun bukan miliknya.

Mendadak Pendekar Rajawali Sakti merasa aneh pada dirinya. Dia coba mengingat-ingat kejadian yang menimpanya. Tapi ingatannya masih waras. Dia tidak sadarkan diri, setelah terluka karena bertarung melawan Siluman Pemburu Perawan.

"Apakah dia kembali dan mengikutiku, lalu mengambil pedang pusakaku?" pikir Rangga dengan wajah lesu tak bersemangat.

Pada saat itu juga, pintu kamar terbuka. Tampak sosok tubuh ramping menyeruak masuk ke dalam dengan membawa nampan berisi masakan hangat.

Rangga terkesiap. Dan wajahnya langsung menunjukkan kekesalan ketika mengetahui siapa yang muncul. Ternyata, yang baru masuk adalah seorang wanita berpakaian merah muda. Hanya anehnya wajahnya selalu tertutup topeng.

"Kau rupanya! Apa yang kau lakukan padaku?!" tegur Pendekar Rajawali Sakti dengan sikap dingin.

"Kenapa? Apakah kau tidak suka aku menolongmu?" tanya wanita bertopeng itu seraya meletakkan nampan berisi masakan ke atas meja. Lalu disodorkannya sebilah pedang milik Pendekar Rajawali Sakti yang dikepit di ketiak kirinya.

"Aku tahu pedang ini amat berarti bagimu. Oleh sebab itu, kujaga sebaik mungkin. Aku khawatir tertukar atau dicuri orang," lanjut wanita bertopeng. "

Rangga menyambar senjatanya secepat kilat. Lalu diamatinya dengan seksama.

"Jangan khawatir. Aku sama sekali tidak tertarik menukar pedangmu itu...," ujar wanita bertopeng itu, seperti hendak meyakinkan Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti memandang sekilas, lalu meletakkan pedangnya di samping kanannya.

"Kenapa kau menolongku? Padahal kau punya kesempatan untuk membunuhku?" tanya Rangga, menyelidik.

"Kita tidak bermusuhan. Apa gunanya aku membunuhmu?" sahut wanita bertopeng ini.

"Kau tahu, aku tidak mempercayaimu!" pancing Rangga.

"Itu bukan alasan untuk tidak menolongmu," tukas wanita ini.

"Atau kau ingin pamrih dariku?" Wanita bertopeng itu tersenyum. "Apa yang bisa kau berikan padaku sebagai balasan atas pertolonganku?"

"Kalau kau mau uang, aku bisa memberimu banyak. Kalau kau ingin emas atau permata, aku bisa memberikan sebanyak yang kau suka," kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Sungguh? Hm.... Kalau begitu, kau orang terpandang juga," sahut wanita itu seperti tak percaya.

"Mungkin saja kau tak percaya. Tapi sebutkan harga pertolonganmu. Dan aku akan membayarnya."

"Benarkah kau mampu membayarnya?"

"Tentu saja!"

"Kau tidak akan mampu."

"Katakan saja!"

Wanita itu terdiam sesaat. "Aku tidak butuh uangmu. Juga tak butuh emas atau permatamu. Hanya yang kuinginkan, yaitu jangan berprasangka buruk terhadapku. Dan kemudian, hilangkan kecurigaanmu yang berlebihan kepadaku," jelas wanita ini.

Rangga terdiam untuk beberapa saat.

"Kau tak akan sanggup, bukan?"

"Aku penasaran sebelum membuktikan, apakah kau wanita yang kucari atau tidak...," sahut Rangga dengan suara lirih seperti mengharapkan pengertian wanita itu.

"Siapa yang kau maksud...?" tanya wanita bertopeng ini.

"Kau tahu..., tentu saja Bidadari Penakluk!"

Terasa kalau wanita bertopeng ini menghela napas sesak, dan terdiam beberapa saat lamanya. "Kenapa kau begitu membencinya?" tanya wanita ini.

"Semestinya kau mengerti...," sahut Rangga kalem.

"Apa maksudmu?!"

"Kaulah wanita yang kucari-cari itu!" tuding Rangga, terang-terangan.

Wanita bertopeng itu kembali terdiam. Kemudian dipandanginya pemuda itu dengan tajam lewat pandangan mata di balik lubang topengnya.

"Kalau memang benar wanita itu adalah aku, apa yang hendak kau lakukan? Membunuhku? Nah! Pedangmu telah berada di sisimu. Bunuhlah aku, kalau memang demikian yang kau kehendaki!" ujar wanita bertopeng itu seraya berdiri dekat Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti terdiam. Dipandanginya sepasang mata di balik topeng kayu itu, seakan hendak meraba seluruh wajah yang tersembunyi.

"Kenapa kau begitu kukuh? Padahal aku hanya sekadar hendak mengetahui, apakah kau wanita itu atau bukan?" tanya Rangga, lemah.

"Tidak ada gunanya bagimu! Toh meski bagaimanapun, aku tak akan membuka topeng ini di hadapanmu!" tukas wanita bertopeng.

"Kenapa?"

"Karena aku tidak ingin!" tandas wanita itu sejadi-jadinya.

"Bukan karena itu. Tapi karena kau tak ingin kukenali, bukan?"

Wanita bertopeng itu tak menyahut. Dipandangnya sebentar paras pemuda itu, lalu melengos pergi tanpa berkata apa-apa.

Rangga terpaku di tempatnya memandang kepergian wanita bertopeng itu tanpa berusaha mencegahnya. Tak tahu apa yang tengah dipikirkan saat itu. Dugaannya kuat kalau wanita itu adalah si Bidadari Penakluk. Tapi kenapa ada perasaan tak tega untuk membuktikannya. Aneh! Padahal sebelum bertemu tekadnya menggebu-gebu untuk menangkap wanita itu. Tapi ini setelah berada di depannya, dia tak mampu berbuat apa-apa. Tapi..., apakah benar wanita itu adalah Bidadari Penakluk? Bagaimana kalau bukan?

Suasana di luar jendela kelihatan mulai gelap ketika Rangga melirik ke sana. Sejak tadi, wanita bertopeng itu belum juga muncul menjenguknya lagi, Rangga memang kini berada di penginapan, setelah wanita bertopeng menemukannya tergeletek pingsan di atas punggung Dewa Bayu. Pendekar Rajawati Sakti lantas dibawa ke tempat ini sampai akhirnya baru disadari setelah siuman.

"Ke mana dia? Apakah pergi begitu saja?" gumam Rangga. "Hm, perlu apa aku mengurusinya segala?!"

Cukup lama juga dia terlelap. Dan masakan yang tadi dibawakan wanita itu telah dingin. Rangga berusaha bangkit, sambil menahan nyeri di dada. Lalu dia duduk bersila di lantai.

"Hup!" Rangga mulai mengatur pernapasan untuk mengerahkan hawa murni ke bawah perutnya dan melancarkan peredaran darahnya.

"Oh, apa ini? Kenapa begini?" keluh Pendekar Rajawali Sakti kaget, ketika tidak merasakan apa-apa dari bawah perutnya.

Rangga kembali mencoba, dan hasilnya tetap nihil. Beberapa kali pemuda ini mencoba lagi, namun hasilnya tetap sama. Sampai akhirnya Rangga mulai putus asa. Dia bangkit dan berdiri merenung memandang jauh ke depan jendela kamar.

Tok! Tok...!

Terdengar suara pintu diketuk dari luar.

"Siapa?" tanya Rangga.

"Aku, Tuan...!" sahut suara dari balik pintu.

"Masuklah!"

Begitu pintu terbuka, tampak seorang wanita muda masuk sambil membawa nampan berisi pakaiannya yang telah bersih. Beberapa buah guci kecil dan selembar surat.

"Apa ini?" tanya Rangga.

"Nona bertopeng itu yang menitipkan ini untuk disampaikan kepada Tuan," jawab pelayan penginapan itu.

"Di mana dia sekarang?"

"Dia telah pergi, Tuan..."

Ada perasaan kecewa di hati Pendekar Rajawali Sakti mendengar jawaban itu. Tapi tentu saja tidak diperlihatkannya kepada wanita ini.

"Pergi ke mana?"

"Dia tidak bilang, Tuan. Hanya menyerahkan ini," sahut pelayan itu, segera menyerahkan nampan yang dibawa.

Rangga kembali meneliti. Dan kini juga terlihat pundi-pundinya yang berisi uang sebagai bekal perjalanan. Dia menerima nampan itu dan yang pertama kali dibuka adalah secarik kertas yang terdapat di situ.

Pakaianmu sudah bersih kucuci. Dan ini ada sedikit obat untuk melancarkan peredaran darahmu serta merangsang tenaga dalammu untuk kembali. Jangan khawatir, ini bukan racun. Kalau aku berniat membunuh, tentu sudah sejak semula kulakukan.

Rangga membaca surat ini perlahan-lahan. Surat itu tidak meninggalkan nama penulisnya. Dan ini membuat dahinya berkerut.

"Dia betul-betul hendak merahasiakan dirinya...," gumam Rangga.

Sesaat Rangga sadar kalau pelayan itu masih ada di kamar ini. Cepat kantong uangnya dirogoh. Dikeluarkannya dua keping uang perak untuk diberikan kepada wanita itu.

"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan ini.

"Sebentar!" cegah Rangga ketika pelayan itu hendak berlalu.

"Ada lagi yang bisa kubantu, Tuan?"

"Tahukah kau, ke arah mana wanita bertopeng itu pergi?"

"Sepertinya ke selatan...."

"Ya, sudah. Terima kasih."

"Tuan...," panggil pelayan itu, sebelum melangkah.

"Hm, ada apa?" tanya Rangga, sedikit bergumam.

"Maaf, bukan bermaksud mencampuri urusan Tuan dengannya...," lanjut pelayan itu agak ragu.

"Ada apa?" ulang Rangga dengan kening berkerut.

"Tadi sepertinya wanita itu menangis setelah keluar dari kamar ini...," jelas pelayan itu.

"Kapan?" tanya Rangga, makin tajam kerutan di keningnya.

"Sebelum Tuan Bangun, dia sempat menjenguk sebentar. Lalu terus keluar lagi."

"Dia memakai topeng. Bagaimana kau tahu kalau dia menangis?" tukas Rangga.

"Dia membuka topengnya sebentar, untuk menyeka airmatanya...," jawab pelayan itu.

"Kau melihat wajahnya?!" tanya Rangga bersemangat.

"Tidak. Dia membelakangiku. Tapi..., kenapa Tuan tanyakan hal itu? Apakah kekasih Tuan itu memiliki wajah buruk?"

"Tidak. Wajahnya cantik.... Tapi, dia bukan kekasihku." Entah kenapa Rangga bicara seperti itu. "Ah, lupakan saja!"

"Tapi sepertinya dia menaruh perhatian besar pada Tuan."

"Sudahlah. Bila nanti kuperlukan, kau kupanggil."

"Baiklah...," sahut pelayan ini, lantas bergegas melangkah keluar kamar ini.

Sepeninggal pelayan itu. Rangga termenung beberapa saat. Pandanganny tertuju pada obat-obatan dalam guci kecil yang diberikan wanita bertopeng itu.

"Dia mesti meyakiniku, bahwa obat-obatannya ini bukan racun? Ya, dia pasti menduga hal itu karena takut kucurigai," gumam Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti mengambil beberapa butir ramuan obat yang dibentuk seperti tahi kambing. Baunya sangit, namun sepertinya memang tidak mengandung racun. Ditimang-timang, sebentar sebelum memutuskan.

"Sebenarnya dia baik. Atau paling tidak, berusaha bersikap baik kepadaku. Hanya saja aku tidak mengerti, apakah di balik semua kebaikannya tersembunyi niat terpendam? Tapi, niat apa? Kalau hendak mengakali hartaku, tentu pundi uang itu tidak dikembalikannya. Jadi apa maksud sebenarnya? Apakah dia hendak memasang perangkap seperti dulu lagi? Ah, entahlah...," desah Rangga, tak habis pikir.

Rangga kini menenggak obat-obatan itu satu persatu. Tidak sulit baginya untuk memilih obat pertama yang mesti ditelan, sebab wanita itu telah membubuhkan angka pada setiap guci kecil. Dari angka satu sampai lima.

Setiap obat yang ditelan, membutuhkan waktu beberapa saat untuk melihat pengaruh apa yang ditimbulkannya. Pada obat pertama terasa perutnya mual dan bergolak seperti hendak muntah.

"Hoeeekh...!"

Laksana letusan gunung api, dari dada Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke atas dan menyembur lewat mulut gumpalan darah kental yang telah membeku sebesar lebih kurang kelingking anak kecil. Tiga kali Rangga memuntahkan darah beku dari perut dan dada. Kini tubuhnya terasa lebih enak. Rangga menarik napas panjang dan memenuhi isi dadanya dengan udara segar.

Kembali Rangga menenggak obat kedua. Dan pengaruh yang ditimbulkan adalah hawa hangat di sekitar dada. Kembali Rangga menarik napas panjang, dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Setelah merasakan isi dadanya semakin lega setelah melakukan pernapasan beberapa saat, Rangga melanjutkan dengan menenggak obat ketiga. Dan begitu seterusnya, sampai keadaannya semakin baik.

********************

TUJUH

Sepak terjang Siluman Pemburu Perawan makin menggemaskan orang-orang persilatan golongan putih. Tidak hanya mereka yang anak gadisnya menjadi korban, tapi juga karena tersentuh sifat kependekaran mereka untuk membasmi kelaliman.

Seperti tak kenal kata menyerah, tokoh-tokoh persilatan golongan putih terus memburu Siluman Pemburu Perawan. Pucuk dicinta ulam tiba. Ketika berusaha menjarah seorang gadis di Desa Kaliwungu pada petang hari ini Siluman Pemburu Perawan kepergok oleh beberapa tokoh persilatan yang sudah mengepungnya.

Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu memandang tiga orang tokoh persilatan ini dengan sorot mata tajam dan senyum mengejek. Di dekatnya tergeletak sesosok gadis yang tengah tak sadarkan diri.

"Siluman Pemburu Perawan! Kau tidak bisa lolos lagi kali ini!" dengus seorang tokoh yang berusia sekitar lima puluh tahun.

Di dunia persilatan tokoh itu dikenal sebagai Pendekar Pedang Neraka. Dengan ilmu permainan pedangnya yang amat terkenal, membuat tokoh yang bernama asli Ki Jembira itu amat disegani oleh lawan maupun kawan.

"Tidak jauh dari Ki Jembira, berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap, walaupun usianya sudah tergolong tua. Itu terlihat dari kerut-kerut di wajahnya. Demikian pula kulitnya yang telah keriput. Pakaiannya jubah panjang berwarna coklat muda. Di tangannya tergenggam sebuah kipas dari kayu cendana yang menebarkan bau harum. Karena kedahsyatan dalam permainan kipasnya, tokoh ini dijuluki Pendekar Kipas Sakti. Namun sayang, nama aslinya tak seorang pun yang tahu. Bahkan Pendekar Kipas Sakti sendiri sudah lupa nama aslinya.

Sementara yang seorang lagi adalah seorang laki-laki setengah baya berpakaian surjan. Ce-lananya pangsi berwarna hitam. Pada pinggangnya melibat kain batik lurik. Di tangannya tergenggam sebilah keris yang masih tersimpan dalam warangka. Tokoh-tokoh persilatan mengenalnya sebagai Ki Kumbayan. Tokoh ini tak mempunyai julukan, karena memang tak menginginkannya. Entah, apa alasannya.

"He he he...! Tua bangka tak tahu diri. Kau kira bisa berbuat apa kepadaku?!" leceh Siluman Pembum Perawan.

"Siluman terkutuk! Dosamu kelewat batas. Kami bertiga bersumpah tidak akan membiarkanmu terus berkeliaran di muka bumi!" bentak Pendekar Pedang Neraka.

"Lebih baik kau menyerah. Dan dengan begitu, siapa tahu kami bisa mengurangi dosa-dosamu!" timpal Ki Kumbangan.

"Hua ha ha...! Kerbau-kerbau dungu yang tidak punya otak! Apa kalian kira semudah itu membunuhku?!" ejek Siluman Pemburu Perawan, pongah.

"Huh! Akan kita lihat! Siapa sebenarnya kerbau dungu itu. Kau atau kami!" dengus Pendekar Kipas Sakti.

Setelah berkata begitu Pendekar Rajawali Sakti meluruk cepat sambil mengebutkan kipas kayu cendananya yang telah teraliri tenaga dalam tinggi.

"Yeaaat..!" Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pedang Neraka dan Ki Kumbayan ikut berkelebat sambil menghunuskan senjata masing-masing.

Mereka memang mempakan pendekar-pendekar terkenal dan memiliki kepandaian hebat. Namun, agaknya mereka menyadari kalau lawan yang dihadapi mempunyai kesaktian tinggi. Sehingga, mereka tidak mau gegabah dengan menghadapi satu lawan satu. Namun tanpa disadari, justru hal itu akan memudahkan Siluman Pemburu Perawan untuk menumpas mereka dengan cepat.

"Hup!"

Ketika senjata-senjata itu hampir merancah tubuhnya, Siluman Pemburu Perawan bergerak lincak. Tubuhnya meliuk-liuk di antara sambaran pedang, kipas, serta keris di tangan lawan-lawannya. Dan tiba-tiba sebelah kakinya menyembul cepat ke dada Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts!" Pendekar Kipas Sakti terkejut, namun cepat menghindar dengan menggeser tubuhnya ke kiri. Namun tiba-tiba Siluman Pemburu Perawan melepaskan hantaman tangan kanannya ke kepala. Cepat bagai kilat, laki-laki tua berjubah coklat ini menghadang dengan kipasnya.

Krak!

"Heh?!" Betapa terkejutnya Pendekar Kipas Sakti, melihat kipasnya hancur berantakan terhantam tangan Siluman Pembum Perawan yang membentuk kepala ular. Dan belum juga rasa kagetnya hilang, tangan Siluman Pemburu Perawan telah menerobos, langsung mematuk ke arah pelipis.

Crok!

"Aaa...!"

"Pendekar Kipas Sakti...!"

Pendekar Kipas Sakti menjerit setinggi langit, begitu pelipisnya terhantam patukan tangan Siluman Pemburu Perawan yang membentuk kepala ular. Tubuhnya limbung dengan tangan memegangi kepalanya yang retak mengeluarkan darah, sebentar saja tubuhnya ambruk disertai seruan kaget dari mulut Pendekar Pedang Neraka dan Ki Kumbayan.

"Yeaaa..,!"

Melihat Pendekar Kipas Sakti tewas, kemarahan Pendekar Pedang Neraka dan Ki Kumbayan makin menjadi-jadi. Mereka langsung menyerang dari samping kanan dan kiri.

Namun tubuh Siluman Pemburu Perawan cepat mencelat ke atas. Setelah membuat putaran beberapa kali dilepaskannya tendangan sambil melipat tubuh. Kali ini rasanya Ki Kumbayan, yang pertahanannya selalu terbuka. Sehingga....

Prakkk!

"Aaakh...!" Ki Kumbayan kontan terlempar disertai jerit kesakitan ketika tendangan menghajar kepalanya. Laki-laki itu langsung memegangi kepalanya yang retak. Dari sela-sela jarinya tampak mengalir darah segar. Sebentar Ki Kumbayan terhuyung, lalu ambruk di tanah tak bangun-bangun lagi, terhantam tendangan yang dialiri tenaga dalam tinggi.

"Keparat!" Ki Jembira yang tak menduga kalau serangan terhadap kawannya begitu cepat, dia hanya dapat mendengus geram. Dan dia kembali siap menyerang, ketika Siluman Pemburu Perawan menjejak tanah sejauh dua tombak di depannya.

"Yeaaa...!"

Seketika tokoh berjuluk Pendekar Pedang Neraka ini meluruk deras sambil menyambar-nyambarkan pedangnya yang dahsyat dan mengurung dengan ketat. Angin sambaran pedangnya terasa panas, mengurung ruang gerak Siluman Pemburu Perawan.

"He he he...! Inikah permainan pedang yang kau banggakan itu?!" kata Siluman Pemburu Perawan, malah, mengejek.

"Huh! Tertawalah sepuasmu, Jahanam! Jurus 'Pedang Membelah Bumi' ini jarang luput menunaikan tugasnya!" desis Ki Jembira.

"Hari ini bukan saja dia akan luput. Tapi juga akan berhenti selamanya!" sahut Siluman Pemburu Perawan, enteng.

Begitu habis kata-katanya, Siluman Pemburu Perawan membuat salto ke depan, setelah pedang Ki Jembira lewat menebas angin di depan dada. Gerakannya demikian cepat, membuat Pendekar Pedang Neraka terkesiap. Dan tiba-tiba kedua kali Siluman Pemburu Perawan telah menghantam dadanya.

Desss...!

"Aaakh...!" Ki Jembira melenguh tertahan, dengan tubuh terjajar beberapa langkah. Namun dengan cepat dia meluruk sambil menyabetkan pedangnya, tatkala Siluman Pemburu Perawan berdiri tegak kembali.

"Uts!" Dengan gesit Siluman Pemburu Perawan menggeser tubuhnya ke samping, sehingga sambaran pedang Pendekar Pedang Neraka menebas angin. Dan tanpa diduga sama sekali, mendadak Siluman Pemburu Perawan melepaskan tendangan sambil memutar tubuhnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss!

"Aaakh...!"

Tepat sekali sebelah kaki Siluman Pemburu Perawan menyodok dada, membuat Ki Jembira kembali terpekik kesakitan. Tubuhnya kontan terlempar beberapa langkah ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah dalam keadaan telentang.

"Heaaa...!"

Mendapat kesempatan baik, dengan gerakan seperti menerkam Siluman Pemburu Perawan cepat melenting ke atas. Lalu tiba-tiba tubuhnya meluruk deras dengan kedua kaki siap terhujam. Dan....

Jrottt!

"Aaa...!" Diiringi jerit kematian, tubuh Ki Jembira mengejang kaku dengan mata melotot, ketika kedua kaki Siluman Pemburu Perawan mendarat di perut dan dadanya. Darah langsung menyembur dari mulut dan perutnya yang pecah.

"Rasakan oleh kalian, kerbau-kerbau tidak tahu diri!" dengus Siluman Pemburu Perawan sambil memandangi tiga mayat lawan-lawannya.

"Hem, permainan bagus!"

Mendadak terdengar sebuah suara, membuat Siluman Pemburu Perawan menoleh. Namun dia sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, melihat kehadiran seorang wanita bertopeng di samping kirinya.

"Pucuk dicinta ulam tiba! Siapa sangka, akhir-nya kau datang untuk menyerahkan diri!" sambut Siluman Pemburu Perawan.

"Aku datang untuk menagih nyawa kedua orangtuaku!" desis wanita bertopeng itu, dingin.

"Apa maksudmu!" tanya Siluman Pemburu Perawan.

"Kau pembunuh licik! Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Bernawa!"

Mendengar nama Bernawa disebut, Siluman Pemburu Perawan terkejut. Dipandanginya wanita bertopeng itu dengan sorot mata tajam.

"Siapa kau sebenarnya?! Cepat katakan!" bentak Siluman Pemburu Perawan yang ternyata tak lain adalah Bernawa, saudara dari ayah Suti Raswati.

"Aku keponakanmu sendiri. Apakah kau tidak mengenalnya?!" sahut wanita bertopeng itu.

"Pendusta! Kau coba-coba mengecohku, he?!" dengus Bernawa.

"Aku cucu Eyang Jayadwipa!"

"Heh?!" Mendengar nama itu seketika paras Siluman Pemburu Perawan berubah. Seperti ketakutan, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.

"Kenapa? Kelihatannya kau ketakutan sekali?" ejek wanita bertopeng yang tak lain Suti Raswati, alias Bidadari Penakluk.

"Keparat! Ke mana si tua itu?! Dia pasti mendampingimu?! Suruh dia keluar!" bentak Bemawa.

"Hi hi hi...! Kau hanya menggertakku, Paman. Padahal sesungguhnya kau amat takut kepergok Eyang Jayadwipa, bukan? Kau telah berbuat kesalahan padanya. Dan selama ini, kau cukup rapi menyembunyikan diri. Tapi suatu saat, Eyang yakin kau akan keluar. Sebab jika hendak mempelajari Kitab 'Jagad Welung' yang kau curi, maka kau membutuhkan korban. Yaitu, gadis-gadis yang selama ini mati di tanganmu!" dengus Suti Raswati dengan senyum sinis.

"Bocah nakal! Menjauhlah dariku kalau ingin selamat! Kalau benar kau masih terhitung kepo-nakanku, maka sebaiknya lupakan saja uusanmu padaku!" ujar Bernawa.

"Tidak semudah itu, Keparat! Kau bunuh orangtuaku setelah memperdayai mereka untuk mencuri kitab itu, sehingga mereka terusir. Aku bersumpah akan membunuhmu!" dengus wanita bertopeng itu.

"Anak bengal! Tidakkah kau lihat mayat ketiga orang ini?! Jangan membuatku marah, sehingga kau akan menemani mereka ke akherat!" ancam Siluman Pemburu Perawan.

"Keparat rendah! Tak perlu menakut-nakuti aku! Aku tahu tenagamu belum pulih betul. Kau sengaja memasang lengan palsu, untuk menutupi kekuranganmu. Apakah kau kira aku tidak tahu?!" ejek Suti Raswati.

"Bocah busuk! Rupanya kau telah bertemu gendakmu, he?! Bagaimana kabarnya? Mudah-mudahan kau senang setelah kukirim dia ke akherat!" ejek Bernawan.

"Kau salah! Dia sehat-sehat saja tak kurang suatu apa pun. Mungkin sebentar lagi dia akan ke sini. Dan setelah itu, maka riwayatmu akan tamat!"

"Omong kosong! Kau pendusta besar!"

"Apakah kau kira aku tidak mengerti pukulan yang terdapat dalam Kitab 'Jagad Welung'? Aku tahu. Dan, tahu pula bagaimana memunahkan pukulanmu!"

Barulah Bernawa sedikit terperangah mendengar penuturan Suti Raswati. Mau tak mau dia semakin percaya kalau wanita bertopeng ini memang cucu Eyang Jayadwipa. Tapi kalau mengaku tahu tentang Kitab 'Jagad Wulung', rasanya hal itu mesti dibuktikannya dulu. Lagi pula, mana dia mau menunjukkan perasaannya kalau dirinya takut pada Eyang Jayadwipa, atau siapa pun yang punya hubungan dekat dengan orang tua itu?

"Baik! Ingin kulihat, apakah kau memang mengerti isi Kitab 'Jagad Welung'."

"Yeaaa...!"

Suti Raswati agaknya tidak mau berlama-lama. Begitu mendengar tantangan maka secepat kilat kedua tangannya menghentak melepaskan pukulan jarak jauh.

Wesss...!

Dari kedua telapak tangan Suti Raswati meluruk sinar merah kekuning-kuningan mengancam keselamatan Bernawa.

"Uts!" Bernawa berkelit ke samping. Lalu tubuhnya bergerak memutar seraya melakukan tendangan geledek ke pinggang.

Wuuut!

Namun Suti Raswati cepat melompat ke atas sehingga tendangan itu hanya menghantam angin kosong. Sementara, Bernawa segera mengejar seperti kesurupan setan ketika Suti Raswati mendarat di tanah.

"Yeaaa...!"

Dengan gerakan menawan, Suti Raswati memapak serangan bertubi-tubi tangan Bernawa yang membentuk kepala ular.

Plak! Plak!

Masing-masing kontan terjajar beberapa langkah dengan kedua tangan bergetar.

"Huh! Kau menggunakan cadangan tenaga aji 'Pengumpul Angin' rupanya! Tapi kuharap tidak akan berhasil, sebab aku telah mengetahui kelemahannya!" ejek wanita bertopeng itu.

"Yeaaa...!" Kata-kata Suti Raswati dijawab dengan luncuran tubuh Siluman Pemburu Perawan yang tidak mau memberi kesempatan. Laki-laki itu terus menerjang dengan serangan gencar dan bertubi-tubi, menggunakan kedua tangannya.

"He he he...! Belum kulihat kalau kau menguasai isi Kitab 'Jagad Welung'!" ejek Bernawa ketika wanita itu belum juga mampu berbuat banyak untuk mematahkan serangannya.

DELAPAN

Memang serangan itu telah membuktikan, bila wanita bertopeng itu mengetahui isi kitab pusaka yang dicuri Bernawa beberapa puluh tahun lalu, tentu dengan mudah dapat memunahkan serangan. Namun yang dilakukan hanya sebatas menangkis dan menghindar.

Apa yang dikatakan Bernawa memang tidak salah. Suti Raswati yang merupakan cucu Eyang Jayadwipa itu memang mengenal nama Kitab 'Jagad Welung'. Juga, sedikit mengerti bagaimana sifat serangan jurus-jurus yang terdapat di dalamnya. Namun itu sebatas pada gambaran umum yang tidak terperinci. Sehingga jangankan untuk memunahkan, bahkan serangan jurus-jurus itu pun baru dilihat nyata pada saat ini.

"Yeaaa...!" Mendadak Bernawa meluruk deras sambil memutar-mutar kedua tangannya. Angin putarannya saja, laksana sapuan angin topan. Dan ini membuat Suti Raswati bergetar. Untuk sesaat wanita ini kehilangan keseimbangan. Pada saat itulah tiba-tiba satu tendangan melayang deras. Dan....

Duk!

"Aaakh...!" Suti Raswati kontan menjerit kesakitan begitu perutnya terhantam tendangan Siluman Pemburu Perawan. Tubuhnya terpental, lalu bergulingan. Untung saja, wanita ini telah melapisinya dengan tenaga dalam tinggi. Padahal bila seekor kerbau yang terkena niscaya akan remuk tulang-belulangnya dengan isi perut akan pecah berantakan. Kendati demikian, wanita bertopeng ini cepat berusaha bangkit. Di balik topeng, mulutnya menyeringai menahan sakit.

"Yeaaa...!" Dengan mengerahkan aji 'Pengumpul Angin', Bernawa yang memiliki tenaga cadangan yang dapat digunakan untuk menghabisi lawannya selagi belum siap, sudah meluruk kembali.

Tapi, wanita bertopeng itu telah memperhitungkannya. Maka meski dalam keadaan terluka dalam, dinantinya serangan.

"Hiiih!"

Begitu serangan hampir tiba, buru-buru Suti Raswati menjatuhkan diri sambil berputar. Sedangkan kakinya cepat menyangket lutut belakang Siluman Pemburu Perawan.

Duk!

Brukkk!

Bernawa jatuh telentang. Sementara sambil berputar di atas tanah, sebelah kaki Suti Raswati menghantam perut Bernawa.

Des!

"Aaakh...!" Bernawa menjerit kesakitan, namun cepat menggulingkan tubuhnya. Secepatnya dia bangkit kembali, dan siap menyambut serangan berikut.

"Hm.... Boleh juga kau rupanya!" desis Siluman Pemburu Perawan sambil tersenyum mengejek Suti Raswati yang baru saja melenting bangkit.

"Yeaaa...!" Wanita bertopeng itu tidak menyahut tapi melompat menyerang lewat tendangan geledek.

Wut!

"Uts...!" Bernawa bergerak sedikit ke samping, sehingga tendangan itu luput dari sasaran. Namun tiba-tiba wanita bertopeng itu mengibaskan sebelah kakinya yang lain, menyambar leher.

"Hiiih!" Dengan gerakan cepat Siluman Pemburu Pe-rawan menangkis dengan tangan kiri yang terbuat dari kayu keras.

Plak!

Setelah menangkis, kaki kanan Bernama langsung menyodok ke perut wanita bertopeng itu.

Wuttt...!

Untungnya, Suti Raswati bertindak cepat, telapak tangan kirinya langsung menangkis.

Plak!

Dan mendadak tubuh wanita ini berputar. Dia bermaksud mengirim tendangan ke batok kepala Bernawa. Tapi sebelum dilakukan, Siluman Pemburu Perawan telah lebih dulu memutar tubuhnya. Langsung dilepaskannya satu tendangan dahsyat ke dada.

Des!

"Aaakh...!" Wanita bertopeng itu menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung terlempar agak jauh dengan mulut menyemburkan darah segar.

"Yeaaa...!"

Baru saja tubuh Suti Raswati mencium tanah, Bernawa melenting ke atas. Lalu tiba-tiba tubuhnya meluruk dengan kedua kaki siap menghabisi riwayat wanita bertopeng ini.

Namun saat yang gawat bagi wanita itu, mendadak berkelebat satu bayangan putih yang langsung memapaki serangan Siluman Pemburu Perawan.

Plak!

"Uhhh...!" Bernawa kontan terlempar ke belakang. Namun demikian, dia cepat membuat putaran, untuk mematahkan daya dorong yang teramat kuat. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah. Demikian pula halnya sosok yang baru muncul. Kini, sosok yang ternyata seorang pemuda tampan berbaju rompi putih telah tegak berdiri dengan mantap.

"Hem, kau rupanya!" desis Bernawa, menyembunyikan perasaan kecutnya melihat siapa yang telah menghalangi serangannya.

"Ya, aku. Kau tentu kaget, bukan?!" sahut pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

"Huh! Untuk apa kaget? Aku telah menduga kemunculanmu di tempat ini!" tukas Siluman Pemburu Perawan.

"Syukurlah kalau begitu. Dan kita bisa melanjutkan pertarungan kita yang tertunda," sahut Rangga tenang.

"Kali ini akan kupastikan kematianmu, Bocah!" bentak Bemawa.

"Boleh juga gertakanmu. Mungkin saja kau berani melihat lengan kirimu yang palsu. Kalau saja lengan itu dibiarkan buntung, kau tentu akan terbayang-bayang terus padaku dengan membawa dendam," sahut Rangga, memanasi.

"Setan!" Siluman Pemburu Perawan langsung menerjang. Sementara Rangga yang sudah tahu bagaimana hebatnya tokoh sesat ini tidak mau bertindak sembarangan. Maka cepat tangannya bergerak ke punggung. Lalu....

Sring!

Begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut, terpendarlah cahaya biru berkilau. Dan ketika serangan Bernawa hampir dekat, cepat pedangnya dikebutkan disertai tenaga dalam tinggi, dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.

Bet! Wuttt!

"Uhh...!" Bernawa cepat membatalkan serangannya. Tubuhnya langsung melenting tinggi ke atas, melewati kepala Pendekar Rajawali Sakti. Setelah berputaran beberapa kali, dia mendarat mantap di tanah, dan langsung berbalik. Siluman Pemburu Perawan memang tak bisa gegabah. Melihat pedang itu, lengan kirinya masih terasa nyeri dan berdenyut-denyut sampai ke jantung. Kini pedang itu kembali mengancam keselamatannya."

"Hiaaa...!"

Kali ini Rangga yang membuka serangan. Tubuhnya berkelebat sambil mengebut-ngebutkan pedangnya, tetap dalam jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.

"Ohhh...!" Mendadak Bernawa mendesah pelan sambil terus berkelit menghindari tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Lebih gawat lagi, tiba-tiba semangat bertarungnya jadi kendor. Pikirannya mendadak kacau, tak tahu harus berbuat apa. Jiwanya seperti terpecah-pecah, tanpa dapat dikendalikan lagi.

Memang, jurus 'Pedang Pemecah Sukma yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti telah membawa pengaruh bagi Bernawa. Jurus ini memang ditujukan untuk memilah-milah jiwa musuh. Dan Bernawa kini merasakan pengaruhnya.

Wuttt...!

Sekali lagi Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya. Masih sempat Siluman Pemburu Perawan berkelit, dengan menggeser tubuhnya. Namun di luar dugaan, Rangga cepat memutar tubuhnya sambil melepaskan tendangan menggeledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Des!

"Aaakh...!" Bernawa terlempar ke belakang sambil terhu-yung-huyung kesakitan, begitu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di dadanya. Kebetulan sekali dia berada dekat dengan wanita bertopeng itu.

Suti Raswati tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya bergeser sedikit, lalu sebelah kakinya menghantam ke bagian pinggang.

Des!

"Aaakh...!" Kembali Siluman Pemburu Perawan terpekik, ketika tulang pinggangnya terasa patah menerima tendangan yang berisi tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa!" Begitu tubuh Bernawa terhuyung-huyung ke depan, Rangga langsung menyongsong dengan sabetan pedang.

"Hiiih!"

Wuttt...!

"Uts!" Namun Siluman Pembum Perawan agaknya masih sempat menyelamatkan diri. Tubuhnya cepat mencelat ke atas, lalu berputaran diudara melewati kepala Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga cepat merunduk. Lalu begitu melihat Siluman Pemburu Perawan hendak mendarat, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat sambil melepaskan tendangan terbang dua kali berturut-turut.

Duk! Des!

"Aaakh...!" Dua tendangan berturut-turut menghantam dada Bernawa. Disertai pekikan, tubuhnya terjungkal roboh bagai selembar daun kering tertiup angin dalam keadaan telentang. Dari mulutnya menyembur darah segar.

"Hup!" Kesempatan itu tidak disia-siakan Suti Raswati. Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki, wanita bertopeng itu melompat kearah Siluman Pemburu Perawan. Dan...

Begkh! Des!

"Aaa...!" Keras sekali kedua telapak kaki wanita itu tepat menghantam dada serta perut Bernawa yang kontan memekik kesakitan.

Sepasang mata Siluman Pemburu Perawan melotot dengan mulutnya terbuka lebar. Dari situ meleleh darah kental kemerahan bercampur warna hitam. Tubuhnya menggelepar sesaat, sebelum akhirnya diam tidak berkutik. Mati!

Sementara Suti Raswati yang telah berpindah tempat, hanya memandangi mayat yang sebenarnya masih pamannya.

"Ohhh...!" Mendadak wanita bertopeng itu mengeluh tertahan, lalu duduk bersila dengan tubuh gemetar. Dia telah mengeluarkan tenaga cukup banyak dalam keadaan terluka dalam. Jelas, ini amat membahayakan, karena akan membuat luka dalamnya semakin parah.

"Biar kubantu" kata Rangga, seraya membimbing wanita itu duduk bersandar di bawah pohon.

"Terima kasih. Tidak usah merepotkan. Aku bisa mengurus diriku sendiri," tolak Suti Raswati lemah.

"Kau terluka dalam...," Rangga bersikeras.

"Tidak apa. Percayalah.... Aku bisa membantu diriku sendiri," sahut wanita bertopeng itu meyakinkan.

Rangga merasa tidak enak hati. Dan dia diam saja memperhatikan apa yang dilakukan wanita itu. Dia percaya kalau apa yang dikatakan wanita itu benar. Soalnya, Rangga juga melihat kalau wanita itu menelan obat pulung seperti yang pemah ditelannya. Dan dia merasa tak ada masalah dengan luka yang diderita wanita bertopeng itu.

"Hoeeekh...!" Wanita itu membuka bagian bawah topengnya sedikit, sehingga muntahnya bisa keluar tanpa hambatan.

"Kau tak apa-apa?!" tanya Rangga sedikit cemas.

Suti Raswati tersenyum. Tapi jelas, Rangga tak bisa melihatnya karena terhalang topeng. Namun bisa dirasakan dari pancaran sinar mata wanita itu, lewat lubang topeng.

"Tidak," sahut Suti Raswati, pendek.

"Biar kubantu agar tenagamu cepat pulih!"

"Tidak usah. Terlalu merepotkan. Aku sudah terbiasa mengalami keadaan seperti ini. Jangan khawatir. Sebentar lagi pun akan beres."

Rangga memandang wanita itu sebentar, lalu bangkit berdiri. Kepalanya langsung menengadah memandang langit hitam yang diselingi bintang-bintang. Malam telah semakin larut. Mungkin sebentar lagi, pagi akan tiba. Udara dingin baru terasa kini. Dan hal itu membuat Rangga tergerak untuk mengumpulkan ranting, membuat api unggun. Sementara, wanita itu duduk bersila mengatur pernapasannya.

Beberapa saat setelah api menyala, Suti Raswati menghentikan pengobatannya. Dari cahaya jilatan api terlihat pancaran matanya agak segar.

"Kau masih marah padaku?" tanya wanita itu lirih.

Rangga diam saja tak menjawab. Pandangan matanya lurus pada nyala api. Sebenarnya dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau wanita di dekatnya ini adalah Suti Raswati alias Bidadari Penakluk. Tapi entah kenapa, hatinya tak tergerak untuk menangkapnya. Mungkin karena jasa wanita itu yang telah mengobatinya, ketika terluka dalam setelah bertarung melawan Siluman Pemburu Perawan sebelumnya. Atau juga Rangga merasa yakin kalau tindakan Bidadari Penakluk di hadapannya beberapa waktu yang lalu di luar kesadaran wanita itu sendiri.

Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti berusaha menyingkirkan kemarahannya pada Bidadari Penakluk. Yang jelas justru saat ini di hatinya timbul rasa kasihan pada wanita itu.

"Kau penasaran sebelum melihat wajahku, bukan? Kenapa tidak kau buka topengku? Padahal, kesempatan untuk itu ada," usik Suti Raswati.

"Aku ingin kau membukanya sendiri. Tapi kalau kau keberatan, sebaiknya tidak usah. Karena, aku pun kini bisa mendengar suara aslimu...."

Wanita itu terdiam. Rangga pun demikian. Untuk sesaat mereka memandang nyala api di depannya.

"Kenapa kau begitu membenciku?" tanya Suti Raswati kembali. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar.

"Entahlah. Kejadian itu tidak bisa kulupakan begitu saja...."

"Maaf.... Aku tidak bermaksud..., ah! Sungguh itu diluar kesadaranku sebagai seorang wanita Mungkin pengaruh kitab yang kupelajari, ini memang salahku sendiri. Jangankan dirimu. Bahkan kakekku saja nyaris jadi sasaranku. Baru setelah diobati, aku sadar. Aku benar-benar amat menyesal...!" keluh Suti Raswati.

"Sudahlah.... Toh waktu itu kita tak sempat berbuat, karena aku mendengar suara burung rajawali yang amat keras...," ujar Rangga, mendesah.

Mereka kembali terdiam. Percakapan itu terasa canggung, namun masing-masing seperti tidak ingin menyudahinya begitu saja.

"Lalu..., kenapa kini kau menutupi wajahmu dengan topeng? Apa maksudnya?" lanjut Rangga, ingin memancing wanita itu.

"Aku ingin mengubur masa itu dalam-dalam...," desah Suti Raswati.

"Apa maksudmu?" desah Rangga.

"Perjalanan hidupku di masa lampau terasa kotor dan menyesatkan. Untunglah Eyang Jayadwipa masih memaafkan dan membimbingku ke jalan benar...."

"Eyang Jayadwipa...?!"

"Ya, Eyang Jayadwipa. Dia adalah kakekku," jelas wanita itu.

Kemudian tanpa diminta, Suti Raswati mulai menceritakan perjalanan hidupnya, sampai masalah terakhir yang diceritakan kakeknya.

Rangga terkesiap, memandang wanita itu. Entah apa yang dirasanya saat ini. Perasaan sedih, terharu, kasihan, atau juga jijik bercampur jadi satu. Dan dia tak tahu harus mulai bicara dari mana, setelah wanita itu menyelesaikan ceritanya.

"Aku jadi prihatin atas derita yang kau alami selama ini...," ucap pemuda itu pada akhirnya.

"Terima kasih...," desah Suti Raswati.

"Ng..., jadi Siluman Pemburu Perawan itu pamanmu?" tanya Rangga lagi.

"Begitulah. Kalau dulu orang-orang menyalahkan karena kelakuanku yang tidak senonoh, maka setelah kematian Paman Bernawa, kuharap bisa mengikis semua pengaruh ilmu 'Serat Biru' yang pernah kuperdalami...."

"Kalau punya kemauan, segalanya akan mudah," tegas Rangga, memberi semangat.

"Ya."

"Eh! Aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Terima kasih," ucap Rangga.

"Tak apa. Tidak usah dipikirkan soal itu," elak Suti Raswati, kaku.

"Suatu saat kalau umur panjang, aku akan berusaha membalas budimu itu," kata Rangga.

"Jangan bebani pikiranmu tentang itu. Karena aku menolong tanpa pamrih apa-apa."

Mereka kembali terdiam. Dari kejauhan terdengar ayam jantan mulai berkokok satu persatu.

"Lalu setelah ini kau hendak ke mana?" lanjut Rangga.

"Entahlah. Kurasa aku akan ke pondok saja bersama Eyang. Keadaanku belum pulih betul. Terkadang pengaruh ilmu 'Serat Biru' untuk melakukan perbuatan terkutuk itu masih ada. Dan aku berusaha menindasnya sekuat tenaga. Bila dekat dengan kakekku, beliau bisa membimbingku lebih baik," jelas Bidadari Penakluk.

"Ya, Itu mungking jalan yang terbaik...," sambut Rangga.

"Kau sendiri hendak ke mana?" tanya Suti Raswati.

"Entahlah. Kurasa aku akan terus mengembara mengikuti ke mana saja kakiku melangkah...."

"Apakah kau tak punya tempat tinggal tetap?"

"Ada."

"Di mana?"

"Sebuah negeri yang cukup jauh dari sini. Namanya Karang Setra."

"Kalau kau lama mengembara, istrimu tentu akan terus kesepian?" usik Suti Raswati.

Mendengar kata-kata itu, Rangga teringat Pandan Wangi. Ya! Pandan Wangi pasti kesepian. Gumam Rangga di hati. Pemuda itu tersenyum hambar, lalu bangkit berdiri.

"Aku harus pergi sekarang" kata PendekarRajawali Sakti seraya berjalan mendekati kudanya dan langsung melompat ke punggung Dewa Bayu.

Suti Raswati mengikuti dari belakang. "Kau yakin tidak ingin melihat wajah di balik topeng ini?" tanya Bidadari Penakluk.

Rangga terdiam sebentar, lalu menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku khawatir hal itu masih menimbulkan perasaan tidak enak. Mungkin kapan-kapan kalau kita bertemu lagi. Nah, aku pergi dulu!" pamit Rangga.

"Heaaa...!"

Suti Raswati mengangguk pelan memandangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti sambil membuka topengnya perlahan-lahan!

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: SATRIA PONDOK UNGU