Pusaka Lidah Setan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PUSAKA LIDAH SETAN

SATU

“Ampun Tuan... ampun... jangan bunuh kami." Ratapan memelas ini meluncur dari dua orang laki-laki berpakaian bangsawan. Sambil berkata demikian, mereka berlutut dan menyembah-nyembah pada seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba hitam. Tak jauh dari mereka, sebuah kereta kuda tampak hancur berantakan. Masih di sekitar tempat itu, seorang gadis dalam keadaan tak berdaya didekap seorang laki-laki bertampang bengis.

“Percayalah, Tuan. Kami tidak punya apa-apa lagi, selain yang berada dalam kotak itu...!” tegas salah seorang berpakaian bangsawan itu dengan suara mantap.

“Ha ha ha....! Aku Kaswa Tama, Kepala Gerombolan Singo Garong tentu saja percaya dengan ucapanmu, Orang Kaya. Ha ha ha...!” sahut laki-laki berpakaian hitam, dengan tubuh tinggi tegap.

Wajahnya angker dan hanya mempunyai sebelah mata. Dia tadi mengaku bernama Kaswa Tama.

“Cambuk mereka!”

Tiga orang serentak maju ke depan begitu mendapat perintah Ketua Gerombolan Singo Garong ini. Cambuk mereka langsung terayun, dan menghantam kedua bangsawan ini.

Ctar! Ctarrr...!

“Aaakh...!”

“Jangan..., jangan kalian sakiti saudara-saudaraku...!” ratap gadis yang berada dalam dekapan seorang anggota Gerombolan Singo Garong penuh permohonan.

Kaswa Tama tersenyum dingin. Matanya jelalatan ketika melihat gadis itu. Segera dihampirinya gadis itu, langsung dicium pipinya dengan kasar.

“Jangan kau pikirkan saudara-saudaramu yang bodoh! Mereka memang tidak pantas hidup lebih lama...!” desis Kaswa Tama.

“Kalian adalah iblis keji!” teriak gadis berpakaian indah dan mewah itu penuh marah. Namun teriakan maupun caci maki gadis ini sama sekali tidak digubris Kaswa Tama dan anggotanya. Bahkan Kepala Gerombolan Singo Garong ini segera memberi aba-aba dengan menjentikkan ibu jari dan jari tengah.

Tak! Set!

Begitu terdengar jentikan, seorang anggota Gerombolan Singo Garong ini mencabut sebuah golok besar. Dan senjata yang berkilatan tertimpa sinar matahari tiba-tiba berkelebat, menyambar kepala kedua laki-laki malang ini. Lalu....

Cras!

“Aaa...!” Jerit kematian terdengar disusul menyemburnya darah dari batang leher mereka. Melihat nasib dua saudaranya yang mengenaskan, tangis gadis bangsawan ini kontan meledak bagai bendungan jebol. Saat itu juga, dia tidak sadarkan diri. Pingsan!

“Ha ha ha...!” Kaswa Tama tertawa tanpa ada rasa kasihan sedikit pun. Wajahnya tetap dingin, ketika memberi isyarat untuk bergegas pergi menuju tempat persembunyian yang terletak di Bukit Kapur.

Meninggalkan dua sosok mayat dengan kepala terpisah, di pinggiran kota Kerajaan Prabu Mulih. Sebuah Kerajaan yang semula aman tenteram, gemah ripah lok jinawi, kini berubah menjadi kerajaan semrawut, penuh kebengisan, kekuasaan, kelicikan, dan kesewenang-wenangan.

********************

Semula, Kerajaan Prabu Mulih diperintah Gusti Prabu Siwanada, seorang raja yang adil dan bijaksana. Tak heran kalau rakyatnya merasa tenteram penuh kesejahteraan. Namun setelah terjadi pemberontakan berdarah oleh seorang patih bernama Antasena yang kemudian menikahi Permaisuri Dewi Trijata, keadaan berubah tak menentu.

Begitu Gusti Prabu Siwanada dikabarkan tewas setelah terjadi pemberontakan, kesengsaraan mulai menggerogoti kesejahteraan rakyat. Kejahatan timbul di mana-mana. Keselamatan dan keamanan rakyat mulai terancam. Apalagi, Gusti Prabu Antasena yang berkuasa sekarang, seperti tak mempedulikan rakyatnya.

Bahkan konon, raja itu lebih suka hidup bermewah-mewah bersama para pembesar kerajaan yang berjiwa penjilat. Mereka lebih suka berasyik ria bersama gadis-gadis pemuas nafsu, serta minum-minuman keras. Keadaan semakin tak menentu, setelah puluhan prajurit kerajaan dikabarkan hilang secara aneh.

Kendati demikian, banyak pembesar istana yang seperti tak mempedulikan. Mereka seakan pasrah terseret nafsu kekuasaan serta gelimang harta. Tapi tentu saja, tak semua pembesar istana yang bersikap pasrah seperti itu. Seorang patih yang dikenal bernama Ki Kusuma, agak termasuk orang yang peduli pada kesengsaraan rakyat Kerajaan Prabu Mulih.

Bila untuk melawan raja sudah tak mungkin, maka kepeduliannya diungkapkan lewat penyambungnya ke rumah-rumah penduduk yang tergolong miskin sambil berderma. Di samping itu, Ki Kusuma juga merasa tertarik dengan hilangnya para prajurit Kerajaan Prabu Mulih. Maka dia pun berniat menyelidikinya. Ke manakah hilangnya para prajurit itu?

********************

Senja terasa hangat. Siang tadi, matahari bersinar terik sekali. Sehingga saat-saat seperti ini, yang tertinggal adalah suasana hangat. Dan itu sangat dirasakan betul oleh seorang laki-laki tua berpakaian kebesaran kerajaan, yang tengah memacu kudanya meninggalkan benteng Kerajaan Prabu Mulih.

Tak ada yang begitu memperhatikan laki-laki tua itu. Sementara suasana kota Kerajaan Prabu Mulih tampak lengang. Memang harus diakui, sejak tewasnya Gusti Prabu Siwanada ditangan Antasena saat terjadi pemberontakan, suasana kota tidak seramai dulu.

Bahkan boleh dikatakan sangat sunyi. Penduduk kota yang masih tetap tinggal dan bertahan jarang yang berani keluar rumah kalau tidak ada keperluan yang mendesak. Karena, begitu banyak kejadian yang tidak terduga dapat mengancam keselamatan.

“Hiya! Hiyaaa...!”

Tiba di luar batas kota, laki-laki tua berpakaian kerajaan dengan pangkat patih ini menghentikan lari kudanya di depan sebuah bangunan yang tampak porak-poranda.

“Hm.... Aku tadi seperti melihat ada orang lewat sini! Mengapa begitu cepat menghilang dari pandanganku?” Baru saja gumaman laki-laki tua berpakaian kerajaan ini menghilang....

Buk!

Tiba-tiba saja suatu benda jatuh terhempas didepan kaki kuda patih Kerajaan Prabu Mulih itu. Ketika memperhatikan dengan teliti, dia tampak terlihat terkejut dengan mata melotot. Tampak kepala manusia yang masih berlumuran darah seperti sengaja dilemparkan seseorang padanya.

Set! Set!

Belum habis keterkejutan patih itu, dari atas bangunan yang porak-poranda meluncur benda-benda yang sama ke arah pati itu. Laki-laki tua ini cepat berusaha menghindari dengan melenting ke belakang dan langsung berkelit lincah.

“Gila! Siapa yang telah berbuat begini kejam?! Apakah mungkin ada manusia memakan manusia?!” dengus patih itu.

“Grauung...!”

Belum terjawab pertanyaan patih itu, terdengar sebuah raungan panjang seperti suara auman harimau. Dan itu seakan menjawab pertanyaan yang menggganjal hati patih kerajaan ini. Tanpa menunggu lebih lama, patih ini berkelebat ke arah datangnya suara tadi.

“Aku harus melihat, apakah itu suara binatang buas atau manusia yang sengaja menakut-nakuti aku!” gumam patih itu pelan sambil berkelebat.

Sampai di dalam bangunan yang kosong, laki-laki tua ini melihat tulang-belulang berserakan dalam jumlah lebih besar lagi. Dia terkejut sekali, karena juga melihat pakaian prajurit-prajurit Kerajaan Prabu Mulih berserakan disitu.

“Siapakah yang telah melakukan perbuatan gila ini?! Mustahil ada harimau berkeliaran dikota ini?!” desisnya.

Tanpa disadari, bulu tengkuk laki-laki tua ini meremang berdiri. Sekujur tubuhnya terasa tegang. Jelas sudah banyak kejadian ganjil dikota Kerajaan Prabu Mulih.

“Hauuummm...!”

Sekali lagi terdengar suara raungan. Dinding-dinding ruangan bergetar. Dari kegelapan didalam ruangan, orang tua ini melihat dua pasang mata berwarna merah bagaikan nyala api yang tengah memperhatikannya diwarnai nafsu membunuh.

“Hm.... Sebaiknya aku kembali dulu, untuk memberi laporan pada Gusti Prabu...,” gumam patih ini.

Tanpa membuang-buang waktu lagi patih Kerajaan Prabu Mulih ini berbalik dan berkelebat keluar dari bangunan yang porak-poranda ini. Baru saja beberapa tombak laki-laki ini keluar bangunan, dari kanan-kiri bermunculan tidak kurang dari lima orang prajurit kerajaan.

Patih ini segera mengenali kalau prajuti yang menghadangnya tidak lain adalah yang menghilang beberapa hari lalu. Hanya yang menjadi pertanyaan, tampaknya ada sesuatu yang tidak wajar pada diri mereka. Para prajurit ini tampak tidak hormat. Bahkan terkesan dingin, dengan maksud tak baik.

“Kalian mengapa di sini?” tanya patih itu.

“Ha ha ha...! Raja memberi perintah agar kami bertugas di sini, Kusuma!” tegas salah seorang prajurit, mewakili kawan-kawannya.

“Heh...?!” Patih Kerajaan Prabu Mulih yang tak lain Ki Kusuma terkejut melihat cara para prajurit yang sama sekali tidak mengenal tata krama dan peradatan sama sekali saat berhadapan dengannya. Sikapnya tidak hormat pada atasan. Anehnya lagi, mereka tetap tersenyum dingin!

“Raja tidak pernah memberi perintah pada kalian supaya berjaga-jaga di sini. Kalian harus kembali ke istana, kalau tidak ingin mendapat hukuman berat!” perintah Patih Kusuma tegas.

Prajurit-prajurit itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka menggelengkan kepala berulang-ulang.

“Kami memang sudah ditempatkan di sini. Jadi tidak mungkin kalau menyalahi peraturan!” sergah prajurit yang berbadan kekar.

“Peraturan mana yang mengharuskan kalian berada di sini?” tukas Patih Kusuma, semakin heran.

“Peraturan mana saja yang kami suka!” jawab prajurit itu, seenaknya.

Patih Kusuma menjadi berang dibuatnya. Jelas ada yang tidak beres telah terjadi pada mereka. Apa sebabnya, patih ini tidak tahu.

“Kalian sudah pada gila rupanya!” bentak Patih Kusuma, marah.

“Heh..., Kusuma! Jangan berani kurang ajar kepada kami, ya? Nanti kupatahkan batang lehermu!”

“Kurang ajar! Seharusnya kalian yang menghormat padaku! Bahkan sebaliknya!” geram Patih Kusuma.

Tanpa diduga-duga para prajurit itu langsung mencabut pedang. “Bunuh dia!” perintah prajurit yang berbadan tegap sambil menudingkan pedangnya.

“Hiyaaa!”

Serentak para prajurit menyerang Patih Kusuma dari semua penjuru. Pedang dan tombak di tangan mereka menderu, mencari sasaran.

Patih Kusuma tidak tinggal diam. Dia merasa yakin prajurit-prajurit yang telah berubah menjadi liar ini memang sulit diajak bicara lagi. Maka langsung disambutnya serangan dengan jurus-jurus tangan kosong.

Tentu saja Patih Kusuma bukan tandingan prajurit-prajurit yang berkepandaian pas-pasan ini. Terbukti ketika senjata-senjata mereka meluncur deras ke bagian-bagian yang mematikan, dengan gerakan ringan Patih Kusuma mampu menghindar sekaligus menangkis.

“Huup!”

Trak! Trak!

Tiga orang prajurit terdorong mundur. Senjata mereka ada yang berpelantingan. Tapi anehnya, mereka cepat meluruk kembali ke arah Patih Kusuma. Luncuran senjata mereka lebih cepat Bahkan dirasakan Patih Kusuma sebagai sesuatu yang tidak wajar. Para prajurit itu sekarang seperti mempunyai kekuatan berlipat ganda.

“Heaaa...!” Patih Kusuma tiba-tiba saja mengibaskan tangannya ke empat penjuru.

Wusss...!

Seketika bertiup angin kencang menderu disertai hawa panas bukan main. Sementara para prajurit itu sudah tidak menyelamatkan diri lagi. Maka....

Glarrr!

“Wuaakh...!”

Lima orang prajurit kontan menjerit keras. Tubuh mereka berpelantingan dalam keadaan hangus. Patih Kusuma melihat kelima prajurit itu tidak bangun-bangun lagi.

“Aku harus melaporkan kejadian ini pada raja secepatnya!” kata Patih Kusuma.

Saat itu juga Patih Kusuma berkelebat, menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan, dia melompat ke punggung kuda dan langsung menggebahnya. Di luar pengetahuan laki-laki tua itu, kiranya para prajurit yang dalam keadaan hangus dan tidak bernyawa bangkit kembali. Mereka dengan seenaknya berjalan menuju ke satu tempat di sudut kota.

********************

DUA

Seorang laki-laki tua bertopi caping berjalan santai di jalan utama menuju kota Kerajaan Prabu Mulih. Umurnya kira-kira sudah delapan puluh tahun. Wajahnya bulat. Rambutnya putih. Perutnya besar, cocok dengan badannya yang tegap tinggi. Bibirnya selalu tersenyum dengan mata bulat, penampilannya jadi terkesan lucu.

Di bahu laki-laki tua berperut besar ini tersampir dua buah rantai baja yang selalu bergemerincingan. Satu hal yang menjadi kebiasaannya, dia selalu mengusap-usap perutnya yang bundar. Udara terasa penat siang ini. Kegersangan disekelilingnya membuat laki-laki tua itu cepat bosan. Untuk menghilangkan kebosanan, mulutnya mendendangkan tembang dengan kacau dan tidak sedap didengar. Baru beberapa kejap kakek gendut ini menembang....

“Berhenti...!”

Terdengar bentakan keras yang disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari kiri dan kanan jalan yang ditumbuhi semak. Namun kakek gendut itu bersikap acuh. Dia terus saja menembang tanpa menghentikan langkahnya. Seorang laki-laki berbaju hitam yang agaknya jadi pemimpin melompat ketengah jalan.

“Berhenti kataku!” bentak laki-laki berbaju hitam ini marah.

Kakek perut gendut ini menghentikan langkahnya dengan kening berkerut. Diperhatikannya orang di depan dengan bibir tetap menghiaskan senyum.

“Siapa kau? Mengapa lancang benar menghentikan langkah si Candra Kirana...?” tanya kakek gendut yang mengaku bernama Candra Kirana tidak senang.

“Ha ha ha...! Orang tua berperut besar! Kalau kau mau tahu, akulah Kaswa Tama, Ketua Gerombolan Singo Garong,” jelas laki-laki berbaju hitam yang tak lain Kaswa Tama.

“O, hanya tikus comberan yang kuhadapi. Kukira kau raja yang patut kuhormati. Tidak tahunya, hanya maling pasar yang berani mementang kumis di depan Candra Kirana! Ho ho ho...! Mimpi apa kau semalam? Apa yang dapat kuberikan padamu, Singo?” tukas Candra Kirana, masih tetap tersenyum.

“Jika kau bermaksud ke kotaraja, sebaiknya tinggalkan barang berharga pada ketua kami. Dengan demikian, keselamatanmu dijamin...?” ujar salah seorang anak buah Kaswa Tama.

“Begitu?” tukas Candra Kirana sambil tetap mengumbar senyum.

“Ya...! Hanya itu satu-satunya cara jika perjalananmu tak ingin terganggu!” tegas Kaswa Tama.

“Aku tahu, kalian adalah pemeras tengik. Kalau kalian punya satu cara, maka aku punya banyak cara untuk menyingkirkan kalian! Cepat enyahlah! Aku tidak punya barang apa-apa, kecuali pakaian yang melekat di badanku. Juga, rantai baja yang pasti kalian tidak menyukainya!” ujar Candra Kirana, tegas.

Merasa disepelekan, Kaswa Tama kontan melotot dengan gigi bergemelutuk. Amarahnya telah naik sampai ubun-ubun. Segera diberinya isyarat pada kedua anak buahnya untuk melakukan penggeledahan. Dengan patuh pula dua dari kelima anggota Gerombolan Singo Garong bermaksud melakukan pemeriksaan.

Namun mana sudi Candra Kirana diperlakukan begitu rupa? Saat tangan kedua pemuda anak buah Kaswa Tama mulai memeriksa, dengan gerakan cepat luar biasa kedua tangannya mengibas.

Plak! Plak!

“Wuaagkh...!”

Kedua pemuda itu kontan menjerit keras dan melompat ke belakang sejauh dua tombak. Mereka segera memeriksa tangan masing-masing.

“Tanganku...!” pekik keduanya hampir bersamaan. Ternyata kedua tangan mereka tak bisa digerakkan lagi. Tulang mereka hancur. Kejadian yang berlangsung singkat ini tentu saja sangat sulit dipercaya Kaswa Tama.

“Kurang ajar! Kau telah membuat cedera kawan-kawanku, Keparat!” maki Ketua Gerombolan Singo Garong dengan mata melotot.

“Siapa berani mendekat, berarti cari penyakit Kalian manusia kurang ajar yang tidak tahu bagaimana menghormati orang tua sepertiku...!” balas Candra Kirana seenaknya.

“Gendut gila! Bunuh dia...!” teriak Kaswa Tama, sambil memberi aba-aba pada anak buahnya.

Serentak tiga anggota Gerombolan Singo Garong menyerbu. Berbagai macam senjata segera menghujani Candra Kirana. Namun kakek berperut gendut ini melayani serangan sambil tertawa-tawa.

“Hiyaaa...!”

Wut!

Tiga buah senjata meluncur deras ke arah Candra Kirana. Dengan gerakan ringan sekali, kakek berperut gendut melenting keudara seraya berjumpalitan. Maka, senjata-senjata itu hanya membabat angin kosong setengah jengkal di bawah kaki. Ketika meluncur deras ke bawah, tangan kakek berperut gendut ini menjulur ke bagian kepala salah seorang pengeroyok. Dan....

Prak!

“Aaa...!” Seorang anggota Gerombolan Singo Garong ini menjerit keras.Tubuhnya terpelanting, dan roboh ke tanah dengan kepala pecah mengucurkan darah.

“Ho ho ho...! Siapa yang sudah bosan hidup, cepat maju! Malim Jenaka dengan senang hati aku bersedia mengirim kalian ke lubang kubur!” ejek Candra Kirana yang ternyata berjuluk Malim Jenaka ini sambil tertawa-tawa.

Tangan anak buahnya dibuat remuk saja Kaswa Tama marahnya bukan main, apalagi sekarang melihat salah satu anak buahnya tewas dengan kepala pecah mengerikan. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuhnya meluruk ke depan disertai teriakan keras. Tinju kanan-kiri menjulur ke arah perut Candra Kirana.

Malim Jenaka membiarkan luncuran tinju itu. Sementara tangannya menghantam dua lawan di depan. Tidak diduga-duga salah seorang lawan menyabetkan goloknya ke bagian tangan. Sehingga terpaksa kakek berambut putih ini menarik kembali tangannya. Sedangkan tinju Kaswa Tama tanpa ampun lagi menghantam perutnya.

Buk!

“Ho ho ho...!”

Bukannya terjajar, Candra Kirana malah mengusap-usap perutnya yang terkena tinju Kaswa Tama sambil tertawa-tawa kegelian. Ini sungguh membuat kaget Ketua Gerombolan Singo Garong ini. Padahal setengah dari tenaga dalamnya telah dikerahkan. Namun, justru dirinya sendiri yang terjajar.

“Gelitikanmu sungguh membuatku geli, Singo Jelek. Coba gelitik aku lagi. Tapi, aku harus membuat mampus kawan-kawanmu dulu. Barulah setelah itu, kita bebas berbuat apa saja!” ejek Malim Jenaka lantang.

Selesai Candra Kirana berkata, tubuhnya yang gemuk meluruk ke depan. Gerakannya ringan, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat sempurna. Dua anak buah Gerombolan Singo Garong terkejut, tetapi juga merasa senang karena sekarang dengan leluasa dapat menyodokkan golok ke tubuh laki-laki tua gendut itu.

Buk! Buk!

“Heh...?!”

Dua anak buah Kaswa T^ma terkejut setengah mati. Karena senjata mereka sama sekali tidak dapat menembus atau melukai tubuh Candra Kirana. Dalam keadaan terperangah begitu, tiba-tiba Malim Jenaka menjulurkan kedua tangannya kearah mereka.

Tap! Tap!

Dalam waktu yang sekedipan mata, dua anak buah Kaswa Tama telah berada dalam cengkeraman Candra Kirana. Saat itu juga, laki-laki tua gemuk ini membenturkan dua tubuh itu satu sama lain. Dan....

Prak! Proook!

“Wuagkh!”

Wajah kedua anak buah Kaswa Tama kontan hancur akibat benturan satu sama lain. Begitu Candra Kirana melepaskannya, maka kedua pemuda ini jatuh terduduk tidak bangun-bangun lagi.

“Orang tua gila! Matilah kau! Heaaa...!” teriak Ketua Gerombolan Singo Garong dengan mata melotot.

Kaswa Tama tiba-tiba saja mencabut tombak pendek bermata ganda dari pinggangnya. Tindakannya ini disertai lesatan tubuhnya kearah Candra Kirana. Tombaknya meluncur deras menusuk ke bagian lambung. Malim Jenaka tentu tidak tinggal diam. Langkahnya cepat bergeser ke samping kiri sejauh dua tindak.

Sehingga, mata tombak membeset tempat kosong. Sementara Kaswa Tama sendiri terbawa luncuran senjatanya yang cukup berat. Melihat kesempatan baik ini, Malim Jenaka jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tangannya seketika berkelebat. Dan....

Krak!

“Aaa...!” Kaswa Tama kontan menjerit sekeras-kerasnya. Pinggangnya tahu-tahu terhantam tinju Candra Kirana hingga patah. Saat itu juga. Kaswa Tama ambruk, tanpa mampu melakukan perlawanan lagi. Melihat ketuanya tidak berdaya, dua orang anak buah Kaswa Tama yang tangannya hancur langsung berlutut di depan Candra Kirana.

“Ampun.... Kami mengaku kalah!” ucap kedua pemuda itu ketakutan.

“Kalian sudah kalah. Ha ha ha...! Lalu kalian menginginkan apa lagi dariku?” tanya kakek berwatak jenaka ini sambil mengusap perutnya yang bundar.

“Ka..., kami hanya ingin selamat saja. Beri kami keselamatan hidup agar dapat memperbaiki segala kesalahan yang pernah kami lakukan!” ratap salah seorang pemuda penuh permohonan.

“Kalian memang tikus pengecut! Aku mana mungkin dapat melepaskan tawananku begitu saja? Semua harus ada syaratnya,” sahut kakek bercaping ini tanpa menghilangkan senyumnya.

“Apa syaratmu, Tuan...?” tanya Ketua Gerombolan Singo Garong sambil menahan sakit luar biasa di pinggang.

“Ha ha ha. Bagus! Kiranya kau masih dapat bicara. Jawaban yang jujur turut menjadi pertimbanganku, apakah aku harus mematahkan lehermu atau tidak!” tegas Candra Kirana, bernada mengancam.

“Baik! Kalau aku tahu tentu aku segera menjawab dengan jujur,” sahut Kaswa Tama pasrah.

“Hm.... Apakah kalian tahu, siapa saja yang telah mengadakan kekacauan di Prabu Mulih?” tanya Candra Kirana.

“Kami sama sekali tidak tahu. Akhir-akhir ini, kota Prabu Mulih yang menjadi pusat kerajaan memang dalam keadaan tidak aman. Kotaraja yang telah berubah menjadi kota menyeramkan. Banyak orang yang hilang di sana. Beberapa pendatang juga tidak kembali. Kota itu telah berubah menjadi kota hantu. Kalau Tuan sudi mendengarkan aku, sebaiknya jangan coba-coba pergi ke sana!” saran Kaswa Tama, yang kini memanggil Candra Kirana dengan sebutan Tuan.

“Ho ho ho...! Mana mungkin aku membatalkan niatku? Aku punya tugas khusus di sana,” sahut Candra Kirana.

“Terserahlah. Sebagai pecundang, tentu kami tidak dapat melarangmu. Aku telah memberi peringatan yang terbaik!”

“Ya..., bagus! Kalian telah memberi peringatan padaku. Lain hari, kalau kulihat kalian menempuh jalan sesat lagi, maka aku tidak segan-segan menghabisi kalian bertiga!” ancam Candra Kirana, bersungguh-sungguh.

“Mana kami berani melakukan kejahatan lagi?”sahut Kaswa Tama sambil menundukkan kepala.

Ketika ketiga laki-laki itu mengangkat wajah kembali. Namun Malim Jenaka sudah tidak berada di situ lagi. Dia telah berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

********************

Di atas singgasana, Gusti Prabu Antasena duduk angkuh. Kecongkakan dan ketamakannya jelas tercermin di matanya yang beredar ke sekitarnya. Sedangkan di sampingnya duduk Permaisuri Dewi Trijata. Permaisuri bekas istri almarhum Gusti Prabu Siwanada ini memang lebih banyak diam.

Wajahnya selalu murung. Sehingga penampilannya beberapa tahun lebih tua dari usia yang sebenarnya. Permaisuri Dewi Trijata memang tidak pernah cinta pada raja yang dulunya adalah patih ini. Dia menjadi istri Gusti Prabu Antasena karena terpaksa. Dan memang tidak ada pilihan lain baginya.

Sebab Gusti Prabu Antasena yang congkak ini pernah mengancamnya. Jika wanita ini tidak mau menjadi permaisuri, maka Gusti Prabu Antasena akan menghukumnya dengan cara merusakkan wajah yang cantik itu.

Jika ancaman itu berupa hukuman pancung, Permaisuri Dewi Trijata tidak takut mati. Tapi jika harus cacat sepanjang sisa hidupnya, maka dengan terpaksa pilihan kedua diterimanya. Dan sebenarnya pada dasar lubuk hatinya dia menyimpan dendam pada Gusti Prabu Antasena.

Di hadapan Gusti Prabu Antasena, duduk bersila Patih Kusuma yang menghadap untuk melaporkan kejadian yang menimpa prajurit-prajurit Prabu Mulih. Selain laki-laki tua itu, hadir pula panglima perang yang baru.

Namanya Panglima Ubudana. Laki-laki muda yang satu ini diakui kalau mempunyai ilmu olah kanuragan cukup tinggi. Itu terlihat dari sorot matanya yang tajam mengandung kekuatan kasat mata.

“Apa yang ingin kau sampaikan padaku, Patih?” tanya Gusti Prabu Antasena.

“Ampun, Gusti Prabu. Hamba ingin menyampaikan kabar tentang hilangnya prajurit-prajurit kita selama ini. Setelah hamba mengadakan penyelidikan, ternyata setelah ditemukan mereka telah berubah aneh. Saat ini mereka berada di pinggiran kota Prabu Mulih. Selain itu hamba juga melihat tulang-belulang berserakan dan beberapa pakaian prajurit. Seakan, kota ini telah dipenuhi binatang buas!” lapor Patih Kusuma, panjang lebar.

Mendengar laporan Patih Kusuma, Panglima Ubudana tampak terkesiap. Selama ini, dia memang kurang peduli terhadap hilangnya para prajurit yang sangat aneh ini. Di luar perhitungannya, rupanya Patih Kusuma telah melakukan penyelidikan!

“Benarkah prajurit-prajurit Kerajaan Prabu Mulih ini hilang, Panglima?” tanya Prabu Antasena sambil memandang Panglima Ubudana.

“Hamba kira berita ini terlalu dibesar-besarkan, Baginda. Memang hamba akui, ada beberapa prajurit dan perwira kerajaan yang tewas. Namun semua itu terjadi karena mereka berjuang membela keutuhan kerajaan ini dari rongrongan pihak pemberontak!” sanggah Panglima Ubudana.

Gusti Prabu Antasena tersenyum. Sebuah senyum penuh arti. Apalagi dia sadar betul kalau selama naik takhta, Patih Kusuma kurang menyukainya. Patih tua ini masih merupakan orang-orangnya Gusti Prabu Siwanada. Bagaimanapun, sudah tentu bisa menjadi duri dalam daging, jika Gusti Prabu Antasena tidak menyingkirkannya.

“Paman Patih! Kusesalkan tindakanmu yang terlalu tergesa-gesa memberi laporan. Sangat mustahil kota Prabu Mulih ini telah kedatangan penyusup! Apalagi, binatang buas pemakan manusia!” kata Gusti Prabu Antasena, seakan-akan mendukung penyataan Panglima Ubudana.

“Hamba tidak pernah mengada-ada. Apa yang hamba lihat, terbukti kebenarannya. Jika Baginda kurang percaya, dapat melakukan penyelidikan!” saran Patih Kusuma dengan suara tegas.

“Ampun, Gusti Prabu. Hambalah yang akan melakukan penyelidikan langsung! Gusti Prabu cukup menunggu hasil penyelidikan dari kami!” serobot Panglima Ubudana mencari muka.

“Bagus, Panglima. Sekarang kau boleh pergi. Lakukan penyelidikan sekarang,” sambut Gusti Prabu Antasena.

“Sendika, Gusti Prabu. Hamba berangkat sekarang,” sahut Panglima Ubudana, seraya menghormat dengan merapatkan telapak tangan di depan hidung. Lalu dia bangkit dan beranjak pergi.

Diam-diam Permaisuri Dewi Trijata tidak suka dengan sikap panglima perang yang suka mencari muka itu. Matanya sempat melirik, saat panglima itu menghilang dari ruangan ini. Sekarang, di dalam ruangan itu hanya tinggal beberapa orang saja.

“Patih! Lain kali berhati-hatilah dalam memberikan laporan. Di lingkungan kerajaan ini, masih banyak orang yang kucurigai. Bahkan bisa-bisa kumasukkan ke dalam penjara,” sindir Gusti Prabu Antasena.

Diam-diam Patih Kusuma terkejut juga. Hanya perasaannya itu berusaha disembunyikan. Dari awal, patih ini mencium ketidak beresan, termasuk bagaimana tiba-tiba Gusti Prabu Antasena punya senjata yang sangat ampuh. Sehingga, mampu mengalahkan senjata pusaka milik Gusti Prabu Siwanada.

“Hamba akan mengingatnya, Gusti Prabu. Hal-hal seperti ini hamba berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” sahut Patih Kusuma sambil menundukkan kepala dalam-dalam. “Sekarang hamba mohon diri....”

Patih Kusuma merapatkan telapak tangan didepan hidung, lalu mengundurkan diri dari hadapan Gusti Prabu Antasena. Sementara Gusti Antasena memandangi kepergiannya sampai patih itu hilang dari pandangan.

“Kanda terlalu menyudutkan Paman Patih Kusuma,” kata Permaisuri Dewi Trijata.

“Menyudutkan bagaimana, Dinda?” tanya Gusti Prabu Antasena.

“Semestinya Kanda tidak bicara begitu. Siapa tahu laporan Paman Patih Kusuma benar.”

“Semuanya akan kita ketahui dari Panglima Ubudana nanti. Jadi, Kanda harap Dinda tidak usah turut campur dalam hal pemerintahan!” sergah Gusti Prabu Antasena tidak senang

Permaisuri Dewi Trijata hanya diam membisu. Dia memang tidak pernah sependapat dengan laki-laki ini yang telah membunuh suaminya terdahulu. Dalam hati, dia selalu berdoa semoga perubahan segera terjadi. Sebab walau bagaimanapun, di luar sepengetahuan Gusti Prabu Antasena, Patih Kusuma sesungguhnya masih saudara kandung Gusti Prabu Siwanada.

********************

TIGA

Seorang pemuda berwajah tampan berbajurompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung menginjakkan kakinya di gerbang kota Prabu Mulih di pagi ini. Suasana kota yang terasa sunyi menimbulkan berbagai pertanyaan di benaknya sekaligus kecurigaan.

Biasanya sebuah kotaraja, di pagi buta sudah dipenuhi para pedagang, petukang, maupun para penduduk itu sendiri yang mencari nafkah. Tapi di sini?

Kecurigan pemuda ini makin bertambah, ketika semakin memasuki jantung kota yang tak terlalu besar ini. Ternyata, rumah-rumah kedai dan penginapan di kota Prabu Mulih banyak yang tertutup. Sulitnya, tidak ada orang untuk disapa. Kotapraja Prabu Mulih telah berubah seperti kota tanpa penghuni. Di jalan-jalan sepi yang dijumpainya hanya tulang-belulang berserakan.

Walau begitu pemuda yang tak lain Rangga yang terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti ini sadar betul ada beberapa pasang mata yang terus memperhatikan gerak-geriknya dari tempat-tempat tertentu.

Setelah agak lama berjalan menelusuri suasana kota yang terasa menyeramkan, Rangga menghampiri sebuah penginapan. Tempat ini walau tidak ramai betul, tapi masih ada juga orang yang lalu-lalang. Segera dimasukinya penginapan itu. Pendekar Rajawali Sakti langsung menghampiri seorang pelayan yang bertugas pada bagian penerimaan tamu.

“Masih ada kamar kosong, Kisanak?” tanya Rangga, ramah.

Laki-laki setengah baya ini tidak langsung menjawab. Matanya malah memperhatikan Rangga dengan alis berkerut.

“Kamar satu-satunya terletak dekat gudang. Kalau berkenan, boleh memesan. Biayanya dua keping perak!” jelas pelayan ini. Nada suaranya terdengar angkuh.

Tanpa tawar-menawar lagi, Pendekar Rajawali.Sakti langsung mengeluarkan dua keping perak dari balik celana.

“Apakah mau tidur sekarang?” tanya pelayan.

“Hari masih pagi. Rasanya, aku belum mau tidur. Mungkin nanti sore baru kemari lagi,” sahut Rangga.

“Sekarang mau ke mana?” tanya si pelayan lagi.

Rangga memperhatikan pelayan itu dengan pandangan menyelidik. Dia merasa heran, mengapa pelayan penginapan di kota ini serba ingin tahu urusan orang lain?

“Maaf, Kisanak. Kami selalu menghormati tamu-tamu. Kota ini sangat berbahaya bagi pendatang, maupun penduduk sini. Kalau boleh aku sarankan, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya jangan pergi ke mana-mana!” ucap pelayan ini, seperti bisa membaca pikiran Rangga.

“Terima kasih atas peringatanmu. Aku hanya ingin melihat-lihat suasana di sini tanpa maksud apa-apa,” jawab Rangga.

Pelayan penginapan tidak bicara apa-apa lagi dan segera mengantarkan Rangga ke kamar yang akan ditempati. Setelah itu, dia pergi kembali ke tempat tugasnya.

Pendekar Rajawali Sakti segera memeriksa kamarnya. Ruangan yang akan ditempatinya cukup terawat walaupun sempat tercium bau cukup aneh. Punggungnya segera direbahkan di atas ranjang kayu. Namun dia segera bangkit berdiri ketika teringat sesuatu yang mengganggu pikirannya begitu menginjakkan kaki di kota ini.

“Hmm.... Sebaiknya aku segera melakukan penyelidikan. Jika malam hari, kurasa semakin sulit bagiku untuk mengetahui apa yang terjadi di Prabu Mulih ini,” gumam Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti memilih jalan belakang untuk keluar dari penginapan agar tidak diketahui penjaga di depan. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna, tubuhnya melompat ke atas atap bangunan di samping penginapan. Hanya dalam waktu sebentar saja, dia telah berada dijalan.

Tetapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kaki di jalan yang sepi, dari balik pepohonan dari semak berlompatan beberapa sosok tubuh mengepungnya. Rangga sedikit terkejut. Para pengepungnya ternyata terdiri dari prajurit-prajurit kerajaan, dan juga orang-orang biasa yang tampaknya dari golongan persilatan.

“Orang asing! Sebaiknya menyerah pada kami untuk menghadap pimpinan kami!” bentak seorang prajurit yang bertubuh tinggi tegap.

“Kalian memerintahkan aku menyerah? Rasanya, aku merasa tidak berbuat kesalahan apa-apa?” tukas Rangga, kalem.

“Jangan bodoh! Kau telah memasuki Prabu Mulih tanpa seizin raja kami. Ini merupakan pelanggaran yang tidak bisa dimaafkan!” tegas laki-laki yang berpakaian sebagaimana orang persilatan.

“Siapakah raja kalian?” tanya Rangga menyelidik.

“Huh...! Antasena bukan raja kami! Dia hanya budak! Dan pimpinan kamilah yang berkuasa...!” dengus prajurit tinggi tegap.

Tanpa disadari prajurit itu telah kelepasan bicara. Sedikit banyaknya, Rangga mulai mengerti.

“Aku tidak mungkin menuruti perintah kalian. Kota ini terbuka bagi siapa saja. Mengapa sekarang ada larangan?” tolak Rangga, tenang

“Dulu memang begitu. Tapi sekarang, siapa pun yang berani memasuki kota ini harus ditangkap dan diadili!” tegas prajurit itu semakin tidak sabar.

“Larangan kalian benar-benar tidak masuk akal. Maaf, aku tidak dapat memenuhi keinginan kalian!” jawab Rangga disertai senyum.

Para prajurit dan orang-orang persilatan yang tergabung menjadi satu saling pandang sebentar. Tetapi kemudian salah seorang langsung memberi isyarat untuk menyerang pemuda berbaju rompi putih ini.

“Heaaa...!”

Tidak dapat dihindari lagi, pertarungan sengit terjadi. Para prajurit maupun orang-orang berpakaian persilatan menghujani Pendekar Rajawali Sakti dengan berbagai macan senjata. Dan walaupun mereka mempunyai ilmu olah kanuragan tidak seberapa tinggi, namun karena jumlah mereka cukup besar dalam waktu sekejap Rangga telah berada dalam kepungan.

Dalam menghadapi serangan-serangan cukup ganas ini, Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Dengan gerakan-gerakan kaki yang begitu lincah sambil meliuk-liukkan tubuhnya, setiap serangan yang datang berhasil dihindari.

Melihat tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh jubah pemuda tampan berbaju rompi putih ini, maka para pengeroyok semakin bertambah marah. Mereka segera mulai meningkatkan serangan.

Dari gerakan-gerakan yang kaku, Rangga menduga kalau orang-orang yang menyerangnya memang seperti ada yang mengendalikan. Bahkan serangan-serangan mereka tampak membabi buta. Dan Pendekar Rajawali Sakti jelas tidak mungkin menghindar terus. Tiba-tiba....

“Hiyaaa...!” Dibarengi teriakan keras, Rangga melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk seraya mempergunakan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Saat itu juga, kakinya menyambar ke bagian kepala lawan-lawannya.

Prak! Prak!

“Aaa...!”

Tiga orang prajurit dan satu dari rimba persilatan kontan menjerit keras, ketika kaki Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung tenaga dalam tinggi menghantam remuk kepala mereka. Darah langsung mengucur bercampur otak yang berhamburan.

Melihat hal ini, para pengeroyok yang lain tampak terkejut Tetapi itu terjadi tidak lama. Dua orang prajurit yang mempunyai tingkat kepandaian lebih tinggi segera meluruk deras ke arah Rangga. Tombak salah seorang meluncur deras ke bagian dada. Sedangkan yang satu lagi mengancam bagian selangkangan. Pendekar Rajawali Sakti cepat menggeser langkahnya kesamping. Tubuhnya dimiringkan, tanpa sempat diketahui lawan.

Wut! Wut!

Begitu serangan kedua prajurit luput, Rangga melihat sebuah peluang cukup baik. Sebelum mereka sempat berbalik dan melakukan serangan lagi, kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang terkepal sudah menjulur menghantam punggung.

Buk! Buk

“Hugkh...!”

Kedua orang itu kontan jatuh tersungkur disertai semburan darah segar. Jelas sekali prajurit kerajaan ini menderita luka dalam yang tidak ringan.

“Heaaa...!

Melihat dua orang roboh yang lainnya bukan menjadi jera, bahkan berubah beringas. Kembali berbagai senjata menghujani Rangga. Sementara itu, lama-kelamaan Pendekar Rajawali Sakti menjadi jengkel juga. Habis sudah kesabarannya.

“Kalian memang sulit mengerti rupanya. Baiklah.... Kalau ini memang maunya kalian, jangan salahkan aku jika terpaksa harus membunuh!” desis Rangga dingin.

Dengan cepat Rangga melenting ke belakang. Begitu mendarat tenaga dalamnya disalurkan ke bagian tangannya dengan kuda-kuda kokoh. Saat itu juga Rangga berputaran sambil menghentakkan kedua tangan ke seluruh penjuru.

“Aji ‘Bayu Bajra’! Heaaa...!”

Segulung angin kencang langsung menghantam prajurit dan orang-orang persilatan, hingga berpentalan jauh bagai tersapu angin topan.

Duk! Duk!

“Aaa...!”

Terdengar jeritan di sana-sini, begitu tubuh para pengeroyok menghantam pohon hingga roboh. Mereka tak bangun-bangun lagi dengan bagian dalam tubuh remuk.

********************

Seorang laki-laki tua berbadan tinggi besar dengan perut bundar berjalan sambil terus menggerutu. Terkadang mempermainkan caping bambunya atau mengipas-ngipasnya kebagian kepala yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut putih.

“Banyak orang sengsara di kota mati ini. Semua ini karena ulah orang gila. Gila harta, gila kedudukan, dan gila perempuan! Karena ulahnya, aku terpaksa meninggalkan Lembah Tengkorak. Mana mungkin kubiarkan semua ini? Mereka setengah manusia setengah binatang...!” gumam laki-laki tua berperut bundar yang tidak lain Candra Kirana atau lebih dikenal sebagai Malim Jenaka.

Malim Jenaka termasuk sesepuh rimba persilatan. Hanya saja tak ada seorang pun yang tahu berada di mana golongannya. Kadang ikut membantu melenyapkan tokoh sesat. Tapi di lain waktu bentrok dengan tokoh lurus. Tingkahnya konyol dan lucu. Wataknya angin-anginan.

Sementara itu tidak jauh di depan jalan yang dilalui Candra Kirana, berjalan seorang pemuda berbaju rompi putih dengan arah berlawanan. Melihat pedang berhulu kepala burung rajawali, Candra Kirana langsung menggelengkan kepala.

“Ho ho ho...! Rupanya begini besar urusan diPrabu Mulih ini. Sehingga aku hari ini bertemu pendekar besar sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti?!”

Rupanya walaupun belum pernah bertemu. Candra Kirana telah mengenalinya. Dia sering mendengar kehebatan pemuda ini dalam membasmi kejahatan di rimba persilatan.

Rangga yang telah sampai di depan Malim Jenaka jelas tidak mampu menyembunyikan rasa kagetnya. Rangga memang belum pernah bertemu dengan kakek tinggi besar berperut bundar ini sebelumnya. Bagaimana mungkin orang tua ini mengenalinya?

“Maaf... Siapa kau ini, Orang Tua? Kalau boleh tahu apa nama besarmu?” tanya Rangga ramah sambil menjura dalam-dalam.

“Ha ha ha...! Pendekar Rajawali Sakti memang manusia rendah hati. Aku tak memiliki nama besar. Hanya orang mengenaliku sebagai Malim Jenaka...!” sahut Candra Kirana memperkenalkan diri dengan sikap merendah pula.

Rangga lebih terkejut lagi mendengar pengakuan Candra Kirana. Seingatnya, tokoh sakti yang jenaka ini tinggal di Lembah Tengkorak. Lantas, ada urusan apa dia sampai datang ke Prabu Mulih?

“Hmm.... Tidak kusangka hari ini aku bertemu seorang tokoh besar rimba persilatan. Maaf, apakah ada sesuatu yang ingin diselesaikan di sini?” tanya Rangga.

Malim Jenaka mengusap-usap perutnya yang bundar. Matanya berkedip-kedip, seakan sedang memikirkan sesuatu.

“Pendekar Rajawali Sakti.... Entah, bagaimana aku harus mengatakannya padamu. Mungkin aku tidak pernah mengatakannya. Aku malu untuk berterus-terang padamu. Aku hanya dapat memberi peringatan padamu kalau ada tiga bahaya besar yang sedang mengancam. Maksudku, mengancam keselamatan orang banyak!” jelas Candra Kirana.

Kening Rangga berkerut dalam. Sama sekali tidak dapat dipahami kata-kata Malim Jenaka. Entah, apa yang dimaksudkan dengan tiga bahaya besar itu?

“Dapatkah kau menjelaskannya padaku, Kakek Malim Jenaka?” tanya Rangga penasaran.

“Sudah kukatakan, aku sulit mengatakannya. Bahaya ini akibat ulah seseorang. Jadi, bukan kehendak siapa-siapa. Dan kalau bisa, tanganilah masalah Gusti Prabu Antasena. Sedangkan aku yang menyelesaikan dua persoalan lainnya,” tegas Malim Jenaka.

“Aku semakin tidak mengerti maksud ucapanmu, Kek,” sergah Rangga berterus terang.

Malim Jenaka bukannya menjawab pertanyaan Rangga, tapi malah tertawa-tawa. Perutnya terguncang. Air matanya sampai bercucuran. Di lain kejap dia malah menangis tersedu-sedu. Pendekar Rajawali Sakti jadi bingung melihat perubahan yang mendadak ini.

“Semua ini bukan salahku, Pendekar Rajawali Sakti. Tolong kau ringkus si Antasena itu demi aku. Demi keselamatan semua orang di Prabu Mulih ini,” pinta Malim Jenaka, setelah tangisnya berhenti.

“Apa kesalahannya?” tanya Rangga. “Dan kau sendiri, apa yang akan kau lakukan?” tanya Rangga.

“Antasena punya dosa tujuh lapis langit! Kau boleh menanyakannya pada orang yang tepat. Sedangkan urusanku sendiri, untuk sementara tidak dapat kukatakan padamu...!” jawab Candra Kirana tegas.

“Baiklah.... Aku tidak bisa memaksa. Aku akan menyelidiki keanehan keanehan yang terjadi dikotaraja ini,” desah Rangga tak begitu menjanjikan.

“Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti....” Setelah berkata demikian, Malim Jekana berkelebat melanjutkan perjalanannya.

Rasanya Rangga harus mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri, tentang keanehan-keanehan yang terjadi di kota Prabu Mulih ini. Malim Jenaka yang dijumpainya ternyata tidak mau berterus-terang. Di dalam kamar penginapan yang ditempatinya, hingga menjelang larut malam Pendekar Rajawali Sakti baru saja pulas.

Namun baru beberapa kejapan tertidur, sayup-sayup telinga Rangga yang tajam mendengar suara langkah kaki mendekati kamarnya. Rangga yang memang telah mematikan lampu segera mengerahkan aji ‘Tatar Netra’. Sebuah ajian yang dapat dipergunakan untuk melihat dalam kegelapan.

Ketika pintu perlahan-lahan terbuka, Pendekar Rajawali Sakti tetap berbaring sambil bersiap. Tampak sesosok berbaju hitam sedang mendekatinya perlahan-lahan dengan golok terhunus. Lalu...

“Hup!”

Mendadak Pendekar Rajawali Sakti bangkit. Tetapi, sosok yang menghampiri cepat melancarkan serangan dengan golok.

“Aku harus dapat menangkapnya, siapa pun dia!” desis Rangga sambil berkelit dan langsung melancarkan serangan balasan.

Sosok berbaju serba hitam itu hanya mendengus, serangannya semakin diperhebat. Namun, Rangga sudah tidak ingin mengulur waktu lagi.

“Hiyaaa...!” Tiba-tiba Rangga melompat ke depan. Kakinya bergerak menghantam kebagian wajah lawannya.

“Hup...!”

Tetapi sosok berbaju hitam ini cepat melompat mundur, sehingga tendangan Rangga hanya mengenai tempat kosong. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti berusaha melanjutkan serangan dengan hantaman tangan kanan, golok orang itu menyodok ke bagian dada.

“Uts!” Pendekar Rajawali Sakti terpaksa membuang diri ke samping, lalu berguling-guling. Dan baru saja Rangga bangkit, sosok serba hitam itu telah meluruk kembali dengan serangan mematikan. Dalam keadaan terdesak seperti ini, Pendekar Rajawali Sakti jelas tidak punya pilihan lain lagi.

Seketika tangannya membentuk paruh rajawali disertai tenaga dalam tinggi. Akibatnya, kedua tangannya berubah merah membara. Begitu serangan datang, Rangga mengegos sambil berputar ke kanan dengan kaki kiri sedikit terangkat. Dan tiba-tiba tangan kirinya mengibas ke belakang. Lalu....

Desss...!

“Aaa...!”

Tidak ampun lagi, tubuh orang itu terguling-guling disertai jerit kematian. Rupanya, Rangga telah mempergunakan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ untuk menghentikan perlawanan yang hampir saja membuatnya celaka.

EMPAT

Rangga segera memeriksa sosok yang menyerangnya. Sulit dikenali, karena tubuhnya telah berubah hangus. Segera diperiksanya bagian-bagian lain untuk mencari petunjuk. Dan ternyata pada salah satu saku sosok mayat ini ditemukan sebuah benda berbentuk kepala serigala terbuat dari perak berwarna putih. Rangga segera membawanya ke tempat yang terang untuk menelitinya lebih seksama.

“Ini semacam perkumpulan. Atau, boleh jadi gerombolan tertentu. Kurasa mereka berada dikota Prabu Mulih ini juga. Mungkin inilah salah satu ancaman berbahaya yang dimaksudkan Malim Jenaka. Tetapi mengapa Malim Jenaka sampai mau bersusah payah turun tangan?” gumam Rangga pelan.

Setelah memasukkan lambang serigala itu, Rangga segera menuju tempat pelayan bagian penerima tamu. Tetapi, betapa terkejutnya pemuda berbaju rompi putih ini ketika melihat pelayan itu telah jadi mayat, tergolek di atas meja kerjanya. Tubuhnya koyak berlumur darah, nyaris tinggal tulang-belulang saja!

Geram bukan main Rangga melihat pemandangan yang sangat mengerikan, sekaligus mengenaskan ini. Wajahnya sempat berubah tegang. Segera matanya beredar ke sekelilingnya.

“Hei..., berhenti...!” teriak Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba, begitu melihat satu sosok tubuh berkelebat di bagian depan penginapan.

Rangga segera berkelebat mengejar keluar. Namun begitu tiba di luar, dia kehilangan jejak. Sosok bayangan yang baru dilihatnya barusan menghilang begitu saja dalam kegelapan. Bahkan ketika Rangga mengerahkan aji ‘Tatar Netra’ tak ada sesuatu pun yang terlihat, kecuali pepohonan dan rumah-rumah penduduk.

Sekejap tadi, Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat sepasang mata berwarna merah menyala dari sosok yang bertubuh tinggi besar. Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah apa yang dilihatnya barusan tadi ada hubungannya dengan laki-laki yang tewas di tangannya? Lalu, siapa yang telah memangsa pelayan penginapan?

Melihat tubuhnya yang nyaris tinggal tulang-belulang, pastilah yang memangsa pelayan penginapan adalah binatang buas yang sangat besar. Kalau tidak harimau. Ya beruang!

Semakin dalam saja Rangga terhanyut dalam persoalan-persoalan yang masih diselubungi teka-teki,sejak kedatangannya di kota Prabu Mulih. Begitu banyak keanehan demi keanehan yang terjadi. Namun paling tidak Rangga sudah dapat mengambil kesimpulan, apa yang harus dilakukannya.

“Bunuh! Cincang Patih Kusuma yang gila itu!”

Pada saat Rangga tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba terdengar teriaka-teriakan keras yang diwarnai munculnya cahaya obor di sana-sini. Juga terdengar derap langkah kaki kuda.

“Jangan beri kesempatan meloloskan diri! Dia bisa mendatangkan penyakit di kemudian hari!” teriak seorang laki-laki berpakaian kebesaran kerajaan dengan pangkat panglima yang berada di punggung kuda.

Laki-laki di atas kuda berbulu putih itu tidak lain dari Panglima Ubudana. Rupanya panglima licik ini sedang mengejar Patih Kusuma. Dia dibantu oleh perwira tinggi kerajaan dan prajurit-prajurit bersenjata lengkap.

Sementara di depan para pengejar, Patih Kusuma dalam keadaan terluka parah. Dia terus berusaha menyelamatkan diri. Namun karena telah kehilangan tenaga dan darah yang mengalir dari luka-lukanya, maka gerakannya menjadi semakin lemah. Rangga melihat pemandangan yang sungguh menyedihkan ini. Tanpa pikir panjang lagi, tiba-tiba tubuhnya melesat ke arah Patih Kusuma dengan kecepatan luar biasa.

Bet!

Langsung Pendekar Rajawali Sakti menyambar sekaligus memondong patih yang terluka itu. Selanjutnya tubuhnya terus berkelebat membawa Patih Kusuma ke tempat yang aman dengan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat tinggi. Melihat buruannya diselamatkan seseorang yang tidak dikenal, Panglima Ubudana menjadi marah sekali.

“Kejar! Bunuh kedua-duanya...!” teriak panglima itu memberi perintah.

Sangat disayangkan orang yang dikejar terus berkelebat secepat terbang. Hingga dalam waktu yang tidak lama, Panglima Ubudana beserta anak buahnya telah kehilangan jejak.

“Celaka! Kalau patih keparat itu dapat menyelamatkan diri, suatu saat pasti akan menjadi ancaman!” pikir Panglima Ubudana cemas. Dalam pada itu, salah seorang perwira tinggi kerajaan sudah datang memberi laporan.

“Ampun, Panglima. Buruan kita berhasil meloloskan diri. Hamba kira dia hampir tertangkap. Tapi, seseorang tidak dikenal telah menyelamatkannya!”

Panglima Ubudana berusaha menyembunyikan kekesalan dan rasa kecewanya. Rahangnya bertonjolan pertanda ia sedang menahan amarah.

“Sudahlah....Kita harus memberi laporan pada Gusti Prabu secepatnya. Semua pasukan kembali ke benteng istana!” bentak Panglima Ubudana geram.

********************

Pendekar Rajawali Sakti dengan telaten membersihkan luka-luka di tubuh Patih Kusuma. Terpaksa beberapa bagian luka dibalut. Setelah diobati dengan daun-daunan yang mempunyai khasiat tinggi. Matahari sudah mulai tinggi. Embun di ujung daun perlahan-lahan menguap.

Di bawah sebuah pohon rindang, tubuh lemah Patih Kusuma terbaring tidak berdaya. Sesekali terdengar suara erangannya yang lemah. Tampaknya, laki-laki tua ini memang menderita lahir dan batin. Masih untung Rangga dapat menyelamatkan, sehingga jiwanya sempat tertolong.

Sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh Patih Kusuma. Ini dilakukannya semata-mata adalah untuk mempercepat kesembuhan.

“Oh...!” Terdengar desahan Patih Kusuma. Agaknya dia mulai sadarkan diri. Perlahan-lahan matanya terbuka. Mula-mula yang dilihatnya samar-samar adalah seorang pemuda berbaju rompi putih berwajah tampan.

Tampak pedang berhulu kepala burung rajawali tersembul di balik punggungnya. Patih Kusuma segera dapat menduga pemuda berompi putih inilah yang telah menyelamatkan jiwanya.

“Oh..., dimana aku? Siapakah kau, Anak Muda?” tanya Patih Kusuma dengan suara perlahan.

“Paman patih berada di tempat aman. Namaku Rangga,” jelas pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti.

“Sebaiknya Paman jangan banyak bergerak dulu. Luka-lukamu memerlukan penyembuhan secepatnya!” Patih Kusuma terkejut.

Karena, ternyata pemuda berbaju rompi putih di depannya mengetahui dirinya yang sebenarnya. Namun hatinya merasa bersyukur, karena pemuda yang tidak dikenalinya telah menyelamatkan selembar jiwanya.

“Bagaimana kau mengetahui siapa aku, Rangga?” tanya Patih Kusuma heran. Rangga tersenyum, tidak langsung menjawab pertanyaan Patih Kusuma. Diperhatikannya patih itu dengan perasaan iba.

“Aku melihat paman dikejar-kejar panglima kerajaan dan bala tentaranya. Apa sebenarnya yang terjadi? Padahal, Paman sendiri adalah patih kerajaan pula?” tanya Rangga, penuh rasa ingin tahu.

“Banyak kejadian mengerikan berlangsung setelah Gusti Prabu Siwanada yang bijaksana tewas ditangan Antasena keparat itu!” geram Patih Kusuma.

“Jadi, Antasena menjadi raja setelah membunuh Gusti Prabu Siwanada?” desis Rangga dengan kening berkerut.

Patih Kusuma akhirnya menceritakan segalanya pada Rangga. Karena dia merasa yakin, pemuda itu pasti bersedia membantunya. Juga tidak lupa diceritakan tentang Raja Antasena yang sungguh menjijikkan. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti sendiri terus mendengarkan dengan seksama.

“Begitulah, Rangga. Tidak ada tempat yang aman di Prabu Mulih ini. Kotaraja telah berubah menjadi kota mati. Penduduk telah lama meninggalkannya, karena dihantui ketakutan!” tutur patih ini, mengakhiri ceritanya.

“Sejak kapan Paman menemukan orang-orang dimangsa makhluk yang sempat kulihat itu?” tanya Rangga.

“Sejak Antasena menjadi raja. Makhluk pemakan manusia itu apa pun namanya, mulai mencari sasaran. Bahkan tidak pernah berhenti memangsa siapa saja yang dijumpainya.”

“Aku sendiri melihat apa yang Paman katakana di penginapan. Satu hal lagi, aku pernah dikeroyok prajurit kerajaan yang bergabung dengan orang-orang dari persilatan. Mereka kuanggap aneh, karena katanya Raja Antasena hanya Raja Boneka! Ini sama artinya bahwa mereka mempunyai pimpinan sendiri!” urai Rangga.

“Ya...! Dua kekuatan yang tidak terlihat ini datang pada waktu hampir bersamaan. Kerajaan Prabu Mulih dalam bahaya besar, Rangga. Raja Antasena tidak bisa dibiarkan berkuasa terus. Aku mencium gelagat kalau senjata ampuhnya yang bernama Lidah Setan itu pasti ada hubunganya dengan kehadirandua kekuatan yang kukatakan tadi,” tambah Patih Kusuma.

“Apakah Paman sendiri masih punya pengikut-pengikut yang setia?” tanya Pendekar Rajawali Sakti ingin tahu.

“Sebagian prajurit yang tergabung dalam pasukan Antasena ada yang berada di pihakku. Aku sendiri sebenarnya adalah adik Gusti Prabu Siwanada. Untungnya sejak dulu aku selalu merahasiakannya. Hanya beberapa orang yang tahu. Jadi para pengkhianat itu tidak tahu siapa aku yang sebenarnya. Dalam keadaan begini, tentu saja aku mencemaskan keselamatan Gusti Ratu. Aku ingin menyelamatkannya!” tandas Patih Kusuma.

“Untuk saat sekarang, sebaiknya jangan dulu. Kita perlu mengatur siasat untuk merebut takhta Kerajaan Prabu Mulih. Kalau mungkin, tanpa harus mengorbankan nyawa!” sergah Rangga.

“Usulmu memang baik. Tapi, kita tidak mungkin dapat mengalahkannya tanpa menghancurkan senjatanya Lidah Setan!” tukas Patih Kusuma khawatir.

“Nanti akan kita pikirkan semua itu. Sekarang yang terpenting adalah keselamatan Paman dulu. Jika Paman sudah sembuh, tentu tidak ada halangan lagi bagi kita untuk menyusun rencana yang lebih baik!”

********************

Di pinggiran kota Prabu Mulih sebelah timur, Malim Jenaka tiba di sebuah bangunan besar yang sudah tak terawat lagi. Semak belukar tumbuh di mana-mana. Lumut-lumut menutupi dinding bangunan ini. Satu langkah laki-laki tinggi besar berperut gendut itu mundur, seperti mengambil ancang-ancang di depan pintu. Lalu....

Brakkk!

Dan pintu kayu jati pun terbuka lebar begitu Candra Kirana menendangnya. Dari dalamnya menebarkan bau busuk yang sangat mengganggu pernapasan. Kakek bercaping ini terpaksa menutup jalan napasnya. Rumah besar seperti yang telah ditinggalkan pemiliknya ini dalam keadaan gelap sama sekali. Sehingga, Candra Kirana alias Malim Jenaka terpaksa menyesuaikan penglihatannya.

Namun, sedikit pun Candra Kirana tidak menggeser tubuhnya dari depan pintu yang terbuka. Sehingga bila dilihat dari dalam ruangan, sosoknya tidak jauh berbeda dengan malaikat pencabut nyawa. Setelah lama memperhatikan ruangan yang gelap di depannya, tiba-tiba....

“Boma...!” teriak Malim Jenaka dengan suara lantang. “Aku tahu, kau berada di sini. Aku tahu, kau mendengarku! Aku datang memberi peringatan kepadamu, agar segera meninggalkan kota Prabu Mulih. Kuharap kau berhenti memangsa manusia. Kau harus pulang ke Lembah Tengkorak secepatnya, untuk menjalani masa hukuman yang dijatuhkan Guru padamu! Aku datang membawa perintah yang tidak bisa ditawar. Dari sekarang, waktumu tinggal sepekan lagi. Kalau dalam waktu yang kutentukan tidak juga menyerahkan diri secara sukarela, maka jangan salahkan, jika aku terpaksa bertindak kasar!”

Suara Malim Jenaka menggema ke seluruh ruangan yang sangat besar. Setelah gema suaranya menghilang, keadaan di sekelilingnya berubah sunyi kembali. Hanya beberapa saat saja keheningan berlangsung. Setelah itu....

“Ha ha ha...!”

Terdengar suara tawa seperti rentetan halilintar. Bangunan itu pun tergetar. Jelas, tawa itu disertai tenaga dalam tinggi. Hebatnya, Malim Jenaka sama sekali tidak terpengaruh. Bibirnya malah tersenyum-senyum.

“Kakang Malim Jenaka! Sekarang aku sudah berada di dunia bebas, bukan di Lembah Tengkorak lagi. Kakang tidak bisa memerintah seperti itu. Di sini aku punya janji. Di sini pula banyak makanan yang sangat kusukai. Mana mungkin aku meninggalkan kesenangan ini? Ha ha ha...!”

Begitu suara tawa itu lenyap, terdengar kata-kata keras, sehingga bergema. Suaranya bagai datang dari segala penjuru. Begitu angker dan mendirikan bulu kuduk.

“Mungkin apa yang kau katakan memang betul. Tapi masa hukumanmu di dalam penjara Kutukan belum berakhir. Kau harus kembali sesuai yang Guru pesankan kepadaku!” sahut Malim Jenaka, tak kalah keras.

Suatu hal yang sangat aneh. Jika Malim Jenaka saja pada saat ini telah berumur delapan puluh tahun, dapat dibayangkan usia gurunya. Mungkin telah berumur lebih dari seratus dua puluh tahun.

“Ha ha ha...! Mana bisa, Kakang Candra Kirana! Jika Kakang tetap memaksaku untuk kembali ke Lembah Tengkorak yang paling sangat kubenci, lebih baik aku bertarung denganmu sampai seribu jurus...!” sergah suara yang dikenali Candra Kirana sebagai suara adik seperguruannya yang bernama Boma.

“Kau mau melawanku, Serigala Putih? Kau pikir walaupun kau memakan daging manusia, aku takut padamu? Sekali-kali tidak, Serigala Putih. Aku tahu asal-usulmu. Kau manusia terkutuk, dari keturunan terkutuk pula. Dulu Guru telah berkenan mengambilmu sebagai seorang murid, semata-mata untuk menghilangkan kutukan yang telah menimpa keluargamu. Tapi kau ingkar janji...!” tukas Malim Jenaka, memanggil julukan Serigala Putih pada Boma.

“Cukup!” teriak Serigala Putih di kejauhan.

“Aku tidak suka mendengar segala ocehanmu. Datanglah beberapa pekan lagi kemari, jika ingin menjemputku. Semoga keputusanku tidak terlalu buruk bagimu...!” tukas Boma.

Candra Kirana tersenyum kecut. Tangannya mengusap-usap perut beberapa kali. Tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya berbalik dan melangkah ke pintu yang terbuka. Pintu jati menutup sendiri dengan hempasan yang sangat keras. Seakan ada kekuatan tidak terlihat yang telah mendorongnya.

Malim Jenaka sendiri tanpa menghiraukan apa yang terjadi di belakangnya segera berkelebat pergi. Hanya dalam waktu sekejap, Candra Kirana telah sampai di sebuah bangunan lain yang berukuran lebih besar dari yang didatanginya pertama tadi. Segera dihampirinya pintu yang tertutup. Namun belum sampai di depan pintu, beberapa sosok tubuh telah berkelebat kearahnya dan langsung mengepung dari seluruh penjuru.

“Ha ha ha...! Pedut Ireng! Aku tahu, kau bersembunyi di dalam rumah itu. Satu pertanyaanku, untuk apa kau mengumpulkan prajurit kerajaan dan orang-orang persilatan di sini? Apakah kau ingin membangun pasukan?” Sambil berkata demikian, Malim Jenaka, mengedarkan pandangan. Seolah-olah, dia tahu kalau ada sosok lain yang dicarinya ditempat ini.

“Ha ha ha...! Ternyata Kakang Candra Kirana menyusulku kemari. Pasti Guru yang telah memerintahmu ke sini, bukan?” Benar saja, tak lama dari dalam bangunan terdengar suara sahutan.

“Memang benar! Apa tanggapanmu jika aku mengajakmu kembali ke Lembah Tengkorak, Pedut Ireng?” tanya Malim Jenaka tegas.

“Aku jelas tidak mau. Aku bosan menjalani hukuman diLembah Tengkorak. Aku ingin bebas seperti sekarang ini. Akan kutunjukkan padamu, bahwa aku telah dijanjikan Raja Antasena untuk medirikan sebuah kerajaan berdampingan dengan Kerajaan Prabu Mulih!” sahut suara yang dikenali Candra Kirana sebagai suara adik seperguruannya yang bernama Pedut Ireng.

“Kau titisan iblis yang lugu. Janji manusia adalah janji pura-pura. Rupanya, kau telah bekerja sama dengan Antasena yang lalim itu dengan meminjamkan Pusaka Lidah Setan!” tebak Malim Jenaka.

“Kakang cukup cerdik! Antara aku dengan Antasena telah terjalin persahabatan cukup lama. Tidak ada salahnya kami saling percaya...!”

“Sebaiknya kau hentikan rencana gilamu, Pedut Ireng!” bentak Malim Jenaka.

“Mana bisa?! Semuanya telah kususun rapi. Mustahil aku menarik diri dari semua rencana yang telah kujalankan,” bantah Pedut Ireng.

“Baiklah.... Aku memberimu waktu dua pekan. Nanti, aku akan datang kemari lagi untuk membawamu kembali ke Lembah Tengkorak!” tegas Malim Jenaka.

Candra Kirana berbalik dan bermaksud berlalu dari tempat itu. Tapi tiba-tiba....

“Semua bawahanku! Beri pelajaran pada orang yang berani memberi perintah pada ketua kalian! Bunuh dia...!” perintah Pedut Ireng.

Malim Jenaka tertawa-tawa melihat belasan pengawal yang telah berhasil dipengaruhi titisan iblis ini menyerang secara serentak. “Kau telah berani melawanku, Titisan Siluman?! Hal ini hanya membuat hukumanmu di penjara bertambah panjang!” seru Candra Kirana lantang.

“Sudah, jangan banyak bicara! Bunuh orang tua gendut itu...!”

Sekali lagi terdengar ucapan bernada perintah Pedut Ireng dari dalam rumah. Berlomba-lomba para prajurit dan orang-orang persilatan menyerang Malim Jenaka. Kakek bercaping bambu ini tiba-tiba berjumpalitan diudara.

“Hiyaaa!”

Sing!

Dalam keadaan berjumpalitan, capingnya cepat dilemparkan ke arah penyerang. Para pengeroyok berusaha menghindari sambaran caping Malim Jenaka yang dapat bergerak aneh. Tetapi usaha yang dilakukan rupanya sia-sia saja. Buktinya caping bambu itu seperti mempunyai mata saja, menyambar wajah dan leher. Dan....

Cras!

“Wuaagkh!”

Beberapa prajurit berpelantingan dengan leher hampir putus disertai darah yang terus mengucur. Melihat kawan-kawannya tewas ditangan kakek berperut bundar ini, yang lainnya bukan menjadi jera, tapi mulai melancarkan serangan dengan kekuat an berlipat ganda.

LIMA

Candra Kirana malah tertawa-tawa mendapat serangan yang semakin menghebat. Namun tiba-tiba tubuhnya meluruk deras ke depan dengan tangan terjulur untuk menangkis senjata lawan-lawannya. Sedangkan kakinya berputar, sekaligus melepaskan tendangan berantai.

Plak! Buk! Buk! Buk!

“Wuaaagkh...!”

Kembali prajurit-prajurit yang telah berada dibawah pengaruh iblis bernama Pedut Ireng itu terpelanting roboh. Mereka menjadi kocar-kacir. Namun karena setan telah menguasai hati dan jiwa mereka, maka sedikit pun tidak mengenal rasa takut.

“Pedut Ireng! Kalau kaki tanganmu kubunuh semua dengan pukulan ‘Penakluk Iblis’, kau tidak akan dapat membangkitkan mereka lagi. Mereka mati dan tidak ada kebangkitan kedua. Cepat perintahkan mereka mundur. Atau, kau akan menyesal!” dengus Malim Jenaka lantang.

“Kakang Candra Kirana! Banyak yang dapat kau lakukan dengan ilmumu yang segudang itu. Tetapi kau tidak bisa menakut-nakuti aku!” sahut Pedut Ireng, dari tempat persembunyiannya.

Malim Jenaka merasa tidak punya pilihan lagi. Tiba-tiba dia melompat mundur sejauh dua batang tombak. Kedua tangannya langsung dirangkapkan kedepan dada. Tubuhnya kemudian bergetar. Perlahan-lahan keringat mulai membasahi pakaiannya.

“Hiyaaa....!” teriak Malim Jenaka, seraya mengeluarkan pukulan ‘Penakluk Iblis’nya ke segala arah.

Blar! Blarrr!

“Aaakh...!”

Bukan main dahsyat serangan Candra Kirana. Prajurit-prajurit beserta orang-orang persilatan yang berada di dalam kekuasaan Pedut Ireng langsung berpelantingan roboh, bagaikan daun-daun hijau diterjang topan. Dan mereka tidak mampu bangkit lagi.

“Biarkan aku yang menghadapi si gendut, Ketua!” Terdengar suara lain dari dalam bangunan.

“Jangan, Algojo. Biarkan dia pergi. Belum waktunya bagi kita untuk membunuhnya. Dan pekan nanti, dia akan menerima giliran dari kita!” sahut Pedut Ireng.

“Jangan coba-coba menggertakku! Aku segera datang menepati janji bila sudah sampai waktunya nanti!” dengus Malim Jenaka, seraya berkelebat dari tempat ini.

*** Di Istana Kerajaan Prabu Mulih, Panglima Ubudana sedang menghadap Gusti Prabu Antasena. Pertemuan singkat itu berlangsung cukup tegang. Gusti Prabu Antasena bahkan berulang kali menggeleng-gelengkan kepala seakan tidak percaya.

“Jadi, kau gagal menangkap Patih Kusuma?” tanya Gusti Prabu Antasena, seperti ingin penegasan.

“Ampun, Gusti Prabu. Sebenarnya kami hampir berhasil menangkapnya. Malah dia telah teriuka. Tetapi, seseorang yang tidak kami kenal tiba-tiba saja muncul menyelamatkan patih itu,” jelas Panglima Ubudana dengan wajah tertunduk dalam.

“Kau tahu siapa orang itu, Panglima?” tukas Gusti Prabu Antasena mendengus curiga.

“Hamba sama sekali tidak mengenalnya!” jawab Panglima Ubudana, tegas.

Untuk yang pertama kalinya, Gusti Prabu Antasena merasa ada sebuah kekuatan yang mengancamnya. Baginya, Panglima Ubudana bukan orang lemah. Kepandaiannya tinggi. Ilmu olah kanuragan yang dimilikinya juga tidak sembarangan. Jika seseorang mampu menyelamatkan Patih Kusuma dari maut, berarti orang itu mempunyai kepandaian jauh lebih tinggi dari panglima perangnya.

“Panglima...!” panggil Gusti Prabu Antasena.

“Hamba, Paduka.”

“Aku menginginkan Patih Kusuma hidup atau mati. Dan, cari pemuda yang telah menyelamatkannya. Kalau perlu, bunuh kedua-duanya!” tegas Gusti Prabu Antasena.

“Perintah segera hamba laksanakan, Gusti. Hamba mohon diri!” Setelah menghaturkan sembah, panglima perang ini segera berlalu dari hadapan rajanya.

Kini Gusti Prabu Antasena termenung sendirian, memikirkan apa yang bakal dihadapinya. Sesungguhnya, dia tidak takut dengan ancaman apa pun. Hatinya selalu yakin dengan kemampuan diri sendiri. Apalagi kini mempunyai Pusaka Lidah Setan yang telah dipinjam dari dua titisan iblis Pedut Ireng dan Serigala Putih.

Senjata maut ini telah membuktikan keampuhannya saat melakukan pemberontakan beberapa purnama yang lalu. Dan bahkan Gusti Prabu Siwanada yang terkenal kesaktiannya tewas di tangannya berkat Pusaka Lidah Setan.

Itu sebabnya, laki-laki setengah baya ini terpaksa harus memutuskan untuk melenyapkan Patih Kusuma ketika melaporkan adanya binatang buas yang telah membantai penduduk. Juga kabar tentang prajurit-prajurit yang hilang dan dijumpai lagi dalam keadaan buas.

Secara tidak langsung, Gusti Prabu Antasena merasa ditolong oleh kedua titisan iblis itu. Tidak heran sebagai imbalannya, dia membebaskan mereka dari hukuman kutukan di Lembah Tengkorak. Bahkan mengizinkan Pedut Ireng dan Serigala Putih tinggal di Prabu Mulih.

Tetapi, kini datang lagi persoalan baru. Pemuda berbaju rompi putih yang telah menyelamatkan Patih Kusuma itu secara tidak langsung menjadi ancaman. Terutama jika Patih Kusuma membeberkan seluruh peristiwa yang terjadi di Prabu Mulih. Mau tidak mau, demi mempertahankan takhta yang telah didudukinya selama ini. Raja ini harus bersikap waspada.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Pendekar Rajawali Sakti dengan setia menunggu kedatangan Malim Jenaka yang diketahuinya tinggal di sudut kota Prabu Mulih. Cukup lama juga dia duduk termenung di situ, sampai akhirnya merasa bosan sendiri. Ingin rasanya Rangga meninggalkan tempat itu. Namun baru saja hendak beranjak...

“Siapa yang telah berani memasuki tempat tinggalku? Lancang betul!”

Terdengar sebuah suara keras, membuat. Rangga tersentak. Dan ketika berbalik di depan Pendekar Rajawali Sakti tahu-tahu telah berdiri seorang kakek bercaping bambu. Wajahnya yang selalu tersenyum tampak lebih tegang. Tapi, laki-laki tua yang tak lain Candra Kirana langsung tertawa ketika melihat siapa yang telah memasuki gubuknya.

“Kau datang tak diundang dan masuk tanpa permisi. Dua kesalahan ini, seharusnya harus ditebus dengan kepalamu!” tegur Malim Jenaka.

“Maaf, Kek. Aku tergesa-gesa. Lagi pula, kau tidak terlihat berada di tempat ketika aku datang. Jadi, aku terpaksa masuk begitu saja,” jelas Rangga

“Hm...,” gumam Candra Kirana tidak jelas.

Laki-laki tua ini kemudian merebahkan tubuhnya di balai-balai bambu. Matanya berkedip-kedip, seakan sedang menghadapi sebuah persoalan yang cukup memusingkan kepala.

“Berita apa yang kau bawa, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Malim Jenaka, acuh.

“Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu, Kek. Kuharap, kau suka berterus terang!” sahut Rangga.

“Kepalaku sedang pusing. Aku tidak mau mendengar segala macam pertanyaan yang hanya membuatku tidak bisa tertawa,” tolak Malim Jenaka, seenaknya saja.

“Aku melakukan semua ini demi keselamatan orang lain, Kek. Sebab aku yakin, apa yang terjadi Prabu Mulih ini ada kaitannya satu sama lain,” jelas Rangga.

Barulah Malim Jenaka bangkit dari tidurnya. Diperhatikannya Rangga. Tatapan matanya seolah-olah ingin menembus dasar lubuk hati pemuda berbaju rompi putih ini.

“Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Tentang sesosok makhluk buas yang memakan manusia. Juga, tentang manusia hitam, setinggi kakek,” sahut Rangga.

Malim Jenaka mengusap-usap perutnya. Hanya wajahnya tidak lagi secerah tadi.

“Apakah ini yang kau maksudkan dengan tiga bahaya besar?” desak Rangga.

“Aku tidak mungkin berperang melawan raja, tanpa dukungan dan penjelasan darimu. Sebaliknya, kau juga tidak mungkin dapat mengatasi persoalan tanpa dukunganku.”

“Maksudmu kita saling terikat, bukan?” tebak Malim Jenaka.

“Ya.... Itulah sebabnya, kuharap Kakek mau menjelaskan siapa kedua makhluk aneh yang telah bergentayangan di kota ini!”

“Baiklah. Aku akan mengatakannya padamu...,” desah kakek bercaping bambu ini.

“Aku senang mendengarnya.”

“Sebenarnya masalah ini adalah masalah yang sangat pribadi. Namun karena menyangkut keterlibatan si Antasena yang sekarang menguasai Kerajaan Prabu Mulih secara licik, maka mau tidak mau aku terpaksa turun tangan untuk menghentikan mereka....”

“Apakah ini menyangkut makhluk pemakan daging manusia itu?” potong Rangga.

“Tepat! Sebenarnya, dia bukan binatang. Namanya, Boma! Wujudnya setengah manusia setengah serigala. Darah iblis telah menitis ditubuhnya. Dia dan Pedut Ireng telah melarikan diri dari penjara kutukan di Lembah Tengkorak,” jelas Malim Jenaka.

“Lalu, apa hubungannya dengan Antasena?” tanya Rangga.

“Antasena telah meminjam Pusaka Lidah Setan pada mereka berdua. Sebagai imbalannya, Antasena membebaskan kedua titisan iblis bersaudara itu dari penjara...,” tutur Malim Jenaka.

“Siapa yang memenjarakan mereka?” serobot Rangga penuh selidik.

“Guruku, Dewa Langit. Ibu mereka sendiri dulu adalah seorang perempuan cantik yang disukai Iblis Larantuka. Sampai akhirnya, perempuan itu hamil dan melahirkan anak kembar dengan wujud cukup mengerikan. Titisan iblis ini entah mengapa, membunuh ibu kandungnya sendiri. Sampai akhirnya guruku Dewa Langit menemukan mereka. Menurut guruku, mereka bisa menjadi manusia biasa bila selesai menjalani hukuman kutukan. Tetapi, campur tangan Antasena telah membuat niat luhur guruku berantakan. Ini terjadi karena mereka sesungguhnya tidak pintar seperti manusia yang sebenarnya,” sesal Malim Jenaka dengan wajah murung.

“Lalu apa kehebatan Pusaka Lidah Setan?” tanya Rangga ingin tahu.

“Pusaka Lidah Setan sudah ada sejak mereka dilahirkan. Senjata itu mengandung racun keji. Siapa pun yang terkena tubuhnya menjadi hangus dan tidak tertolong. Pusaka itu selalu tersimpan di dalam mulut pemiliknya secara tak sengaja, Antasena menemukan penjara mereka di Lembah Tengkorak. Di situ mungkin terjadi kesepakatan. Sehingga, baik Boma maupun Pedut Ireng meminjamkan dua senjata itu. Sekarang sudah jelas bagimu kalau mereka bekerja sama. Tetapi mereka tidak mungkin bersatu. Boma titisan iblis berwujud serigala akan meminta korban lebih banyak lagi. Sedang Antasena tenang-tenang saja.”

“Jadi, Boma lebih berbahaya daripada Pedut Ireng?” tanya Rangga perlahan.

“Benar. Tetapi Pedut Ireng sewaktu-waktu dapat menjadi buas. Dia suka meminum darah manusia.”

“Gila! Kalau begitu kita harus cepat bertindak. Pertama yang harus kita singkirkan adalah Antasena dan panglima perangnya. Senjata itu harus kita rampas!” tegas Rangga.

“Aku setuju,” sahut Candra Kirana. “Boma dan Pedut Ireng hanya takut pada senjatanya sendiri. Karena, kematian mereka memang ditentukan Pusaka Lidah Setan. Maaf, bukan berarti aku mengecilkan kehebatan senjatamu, Rangga.”

“Tidak apa-apa,” balas Rangga disertai senyum. Kita nanti akan berkumpul di pinggir benteng istana. Sekarang, aku harus kembali menjumpai Patih Kusuma yang bersembunyi di sebuah tempat,” Rangga lantas memohon pamit.

Malim Jenaka mengangguk. Setelah Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan pondoknya yang acak-acakan, murid Dewa Langit yang paling jenaka ini merebahkan tubuhnya. Sebentar saja sudah terdengar dengkurnya yang seperti seekor kuda kelelahan.

********************

Panglima Ubudana bersama sepuluh perwira tinggi disertai seratus prajurit bersenjata lengkap terus melakukan pelacakan. Semua tempat yang mencurigakan tidak lepas dari pemeriksaan. Namun, tanda-tanda ditemukannya Patih Kusuma masih belum jelas. Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk mencari buronan itu keluar dari kota Prabu Mulih.

Para prajurit diperintahkan menyebar. Sedangkan panglima penjilat itu sendiri dengan dikawal sepuluh perwira berkuda, segera menelusuri tempat-tempat yang dicurigai. Tidak lama mereka menelusuri bukit kapur tersebut Tiba-tiba...

“Tangkap! Bunuh Patih Kusuma...!” Terdengar teriakan teriakan membahana

“Kepung dengan rapat! Jangan kasih kesempatan meloloskan diri untuk yang kedua kalinya!” perintah salah seorang perwira kerajaan sambil melolos pedangnya.

Laki-laki tua yang memang Patih Kusuma. Segera bersiap, setelah tempat persembunyiannya diketahui. Dia tentu saja tidak tinggal diam. Senjatanya segera diloloskan. Karena luka-luka yang diderita memang sudah sembuh, maka dengan leluasa dia berusaha membalas. Senjata di tangannya diputar cepat

Trang! Trang!

Cras!

“Aaa...!”

Jerit kesakitan terdengar silih berganti, ditingkahi denting pedang beradu. Satu dua orang prajurit roboh menjadi korban ketajaman pedang di tangan patih itu. Mereka tewas dengan luka-luka di dada maupun pada bagian perut.

Satu-dua orang prajurit mati. Tapi yang datang menyerbu puluhan. Mau tidak mau, Patih Kusuma terpaksa menguras seluruh tenaga untuk menghalau setiap serangan. Namun serangan para prajurit yang dipimpin Panglima Ubudana bagaikan air bah. Mereka tidak pernah surut. Sebaliknya hujan berbagai jenis senjata terhadap Patih Kusuma tak pernah berhenti.

“Hiyaaa!”

Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, Patih Kusuma bergerak cepat kian kemari. Senjatanya terus meluncur deras, mencari sasaran. Setiap itu pula terdengar teriakan menyayat.

“Perwira! Bantu prajurit-prajurit itu!” teriak Panglima Ubudana memberi aba-aba.

Sepuluh perwira tinggi yang menyertai Panglima Ubudana langsung berlompatan dari punggung kuda tunggangan masing-masing. Dengan turunnya sepuluh perwira tinggi yang rata-rata mempunyai kepandaian lumayan, maka Patih Kusuma dalam waktu tiga puluh lima jurus tampak mulai kerepotan.

Sekarang laki-laki tua ini hanya dapat menangkis setiap serangan yang datang tanpa pernah sempat membalas. Demi mempertahankan keselamatannya, terpaksa seluruh kekuatan yang dimilikinya dikerahkan.

“Manusia keparat! Bangsat tengik! Enyahlah kalian di neraka! Hiyaaa...!” teriak Patih Kusuma.

Dengan kecepatan laksana kilat tubuh patih ini meluruk deras ke depan. Pedang di tangannya meluncur deras ke arah lawan-lawannya.

Cras!

“Wuaagkh...!”

Sambil mendekap leher, dua prajurit menjerit kesakitan. Mereka tersungkur roboh tanpa dapat bergerak lagi. Melihat korban terus berjatuhan, para perwira kerajaan sudah tidak sabar lagi. Mereka saling berebut untuk mencincangnya. Ternyata serangan gencar ini cukup berbahaya. Karena, ujung pedang mereka menyambar-nyambar ke bagian-bagian yang sangat mematikan di tubuh Patih Kusuma.

“Heaaa...!”

Salah satu perwira berhasil menyusup ke dalam pertahanan Patih Kusuma. Senjatanya yang berbentuk trisula, menusuk ke arah pinggang. Serangan ini tentu sangat berbahaya, karena di luar sepengetahuan Patih Kusuma yang sedang berusaha menghalau serangan yang datang dari bagian depan.

“Hiaaat...!”

Pada saat keselamatan Patih Kusuma benar-benar dalam keadaan terancam, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat. Seketika disambarnya Patih Kusuma yang terkepung. Sosok berbaju rompi putih ini bukan saja dapat membebaskan patih dari kepungan. Bahkan sambil melesat, segera dilancarkannya jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Kakinya dengan cepat bergerak mengibas menghantam kepala dua orang perwira dan tiga prajurit kerajaan....

Prak!

“Aaa...!”

Dua perwira dan prajurit itu melolong kesakitan dengan kepala pecah. Tubuh mereka kontan tersungkur ke tanah, dan tewas seketika dengan luka cukup mengerikan.

Mempergunakan kesempatan yang singkat, sosok bayangan putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat membawa Patih Kusuma dari kepungan. Laki-laki tua itu merasa lega, karena Rangga telah menyelamatkan nyawanya untuk yang kedua kalinya. Dari ketinggian bukit, Rangga memandang Panglima Ubudana dengan sorot mata dingin penuh kebencian.

“Kau pengecut! Sebaiknya hari ini menyerahkan diri pada kerajaan! Dosa-dosamu mungkin dapat diampuni raja, jika bersedia menyerahkan Patih Kusuma pada kami!” bujuk Panglima Ubudana.

“Huh...! Siapa yang mau mendengar omong kosongmu, Panglima! Malah, hari ini aku akan mengadilimu, karena fitnahmu pada Patih Kusuma,” balas Rangga, tidak kalah sengit.

Mendengar ucapan Pendekar Rajawali Sakti didepan para prajurit dan perwiranya, tentu Panglima Ubudana merasa terhina. Wajahnya seketika berubah merah padam.

“Manusia keparat! Panah dia...!” teriak Panglima Ubudana memberi aba-aba pada sepuluh orang pasukan pemanah. Rangga bersikap tenang-tenang saja. Sebaliknya, Patih Kusuma langsung mencabut pedang untuk melindungi diri dari serangan anak panah.

Twang! Twang! Twang...!

Puluhan batang anak panah segera melesat cepat dari busur. Patih Kusuma memutar pedangnya. Sedangkan Rangga dengan mempergunakan tenaga dalam tingkat tinggi, menghalau serangan dengan mengibaskan tangannya.

Wusss...!

Segulung angin keluar dari tangan Rangga, membuat anak-anak panah itu tersapu habis. Sisanya ditangkap dengan tepat. Dan....

Tap! Tap!

Ser! Ser! Ser!

Secepat Rangga menangkap, maka secepat itu pula melemparkan kembali anak panah itu kearah pemiliknya.

“Aaakh...!”

Anak-anak panah kontan menembus pemiliknya dari dada sampai punggung. Mereka hanya sempat menjerit kesakitan. Tubuh mereka kontan terjengkang roboh untuk selama-lamanya.

ENAM

Apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti jelas membuat Panglima Ubudana menjadi marah bukan main. Tiba-tiba dia memberi isyarat pada seluruh pasukannya untuk menyerbu ke atas bukit, dengan tangannya mengibas ke depan.

“Bunuh mereka berdua!” teriak panglima itu lantang.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, prajurit-prajurit itu berserta perwira tinggi kerajaan langsung menyerbu ke atas bukit.

“Aku tidak menghendaki hal ini, Paman Patih! Kalau ada kesempatan, sebaiknya tangkap Panglima Ubudana. Setelah itu, baru kita kuasai prajurit-prajurit ini!” ujar Rangga, menjelaskan rencananya.

Patih Kusuma mengangguk tanda mengerti. Mereka segera menyambut datangnya serangan. Memang, Rangga sebenarnya tidak ingin membunuh prajurit-prajurit itu. Karena, mereka hanyalah alat. Maka dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, Rangga berkelebat cepat ke sana kemari. Langsung dilepaskanya totokan-totokan ke tubuh para prajurit.

Tuk! Tuk!

Walaupun beberapa orang telah roboh tertotok, namun lama kelamaan gelombang serangan semakin menggila. Sehingga Pendekar Rajawali Sakti dan Patih Kusuma dalam keadaan terdesak.

“Kita tidak mungkin terus bertahan seperti ini, Rangga! Kita bisa celaka di tangan mereka!” bisik Patih Kusuma.

“Lalu...?” tanya Rangga dengan suara perlahan.

“Kita harus membunuh, atau kita yang terbunuh!” desis patih ini sambil terus menangkis tusukan senjata lawan-lawannya. Kalau dipikir apa yang dikatakan Patih Kusuma memang masuk akal. Walau rata-rata mempunyai kepandaian biasa-biasa saja, namun jumlah mereka cukup banyak. Maka kini, Rangga terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan. Dan tiba-tiba saja, dia membuat kuda-kuda kokoh. Lalu....

“Aji ‘Bayu Bajra’! Hiyaaa...!”

Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Maka saat itu juga meluncur angin topan dahsyat ke arah para pengeroyok. Serangan yang mengandung kekuatan sangat dahsyat ini langsung melempar jauh para prajurit.

“Aaa...! Aaa...!”

Belasan para prajurit kontan menemui ajal begitu terhempas menabrak pohon hingga bertumbangan. Bukan hanya Patih Kusuma saja yang sangat tertegun. Tapi Panglima Ubudana sendiri sempat terkesiap dengan mata melotot.

Untung panglima ini mempunyai tenaga dalam tinggi, hingga tidak ikut terhempas. Dengan kekuatan tenaga dalamnya, dia membuat kaki-kaki kudanya seperti terpatri ke tanah. Walaupun tak urung terseret beberapa tombak. Panglima Ubudana seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dua puluh orang prajurit binasa dalam waktu yang sekejap saja!

Sementara itu, melihat kematian kawan-kawannya, baik prajurit yang tersisa maupun perwira kerajaan jadi ciut nyalinya. Mereka tidak lagi berani bertindak gegabah. Tetapi, tetap mengurung rapat kedua lawannya.

“Jika kalian sudah bosah hidup, sebaiknya cepat maju ke depan. Tetapi kalau takut mati. Sebaiknya menyingkir dari sini! Aku hanya menginginkan Panglima Ubudana. Kaki tangan pemberontak itu harus mati ditanganku!” ancam Rangga, lantang.

Panglima Ubudana jelas menjadi gusar mendengar ucapan Pendekar Rajawali Sakti. “Tangkap dia!” perintah panglima ini pada seluruh pasukannya yang tersisa.

Namun, tidak satu pun dari para prajurit maupun perwira tinggi kerajaan yang bergerak mematuhi perintah Panglima Ubudana.

“Kurang ajar kalian semua! Jangan coba-coba membantah perintahku, kalau tidak ingin kuhukum gantung!” dengus panglima ini.

“Siapa yang mau mendengar Patih Kusuma, maka kalian akan selamat dari kematian! Lebih baik kalian menyerah. Dan, patih akan mengampuni jiwa kalian!” kata Rangga, memberi peringatan.

Tampaknya para prajurit itu seperti yang pernah dikatakan Patih Kusuma, memang cenderung berpihak kepadanya. Terbukti mereka tetap tidak bergerak melakukan sesuatu, sebagaimana yang diperintahkan panglima perangnya.

Panglima Ubudana menjadi gusar melihat pasukannya mogok. Dengan penuh kegeraman, pedangnya dicabut. Sebentar saja, dia sudah menggebah kudanya. Sedangkan di tangannya diayunkan ke segenap penjuru arah hendak menghantam prajurit-prajuritnya sendiri.

Perbuatan Panglima Ubudana ini tentu tidak dibiarkan Rangga. Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Dan laksana kilat, Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabutnya.

“Aku akan menghentikanmu, Orang Gila! Hiyaaa...!” teriak Rangga, seraya melesat memapak serangan Panglima Ubudana.

Panglima Ubudana terkesiap melihat sinar biru yang memancar dari batang pedang pemuda itu. Dengan cepat, tubuhnya melenting meninggalkan kudanya.

Cras!

Begitu cepatnya serangan Pendekar Rajawali Sakti ini, sehingga tidak ampun lagi pedang berhulu kepala burung rajawali di tangannya menghantam leher kuda. Kuda berbulu putih ini kontan tersungkur dengan leher putus tersambar pedang ditangan Rangga. Sementara begitu mendarat, Panglima Ubudana terkesiap melihat semua ini.

Sementara Rangga yang bertekad menyudahi pertempuran sudah berbalik. Dan seketika tubuhnya meluruk deras. Pedang di tangannya berkelebat membelah angin dan mengancam dada. Panglima Ubudana melihat bahaya besar mengancam keselamatannya. Sedapatnya, pedangnya menangkis. Akibatnya....

Trak!

Pedang Panglima Ubudana kontan patah menjadi dua ketika terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara secepat kilat, Rangga memutar pedangnya. Dan kali ini luncuran pedangnya sudah tidak dapat ditahan lagi. Maka tidak ampun lagi....

Blesss!

“Aaakh...!”

Tepat sekali pedang Pendekar Rajawali Sakti menembus dada Panglima Ubudana hingga berteriak menyayat, panglima itu kontan terbeliak. Darah mengucur deras dari lukanya. Begitu ambruk Panglima Ubudana tewas seketika. Melihat kematian panglima perangnya, para prajurit malah berteriak-teriak kegirangan.

“Hidup Patih Kusuma...!” teriak mereka sambil melonjak-lonjak kegirangan.

“Kita harus mengabdi pada Paman Patih!” ujar perwira tinggi kerajaan yang sesungguhnya masih berpihak pada bekas pimpinan yang lama.

Rangga segera menghampiri Patih Kusuma yang terus memandangi penuh rasa terima kasih mendalam. “Lihat, Paman. Mereka ternyata masih tetap setia pada pemerintahan yang lama. Sekarang pimpin mereka menuju kotaraja. Biarkan aku yang berusaha memancing Antasena keluar dari singgasananya!”

“Hati-hati, Rangga. Dan, tolong lindungi Gusti Ratu Dewi Trijata dari kekejaman Antasena!” pesan Patih Kusuma penuh harap.

“Jangan khawatir, Paman,” sahut Rangga menyanggupi.

********************

Malim Jenaka terus mengitari benteng istana. Tampak beberapa tempat dijaga ketat oleh pengawal bersenjata lengkap. Malim Jenaka merasa, sekaranglah saatnya turun tangan. Tetapi bila teringat Rangga yang tidak muncul-muncul, dia jadi tidak sabar saja.

“Aku bisa disalahkan jika aku mengambil tindakan sendirian!” pikir Candra Kirana.

Malim Jenaka mengusap-usap perutnya yang bundar. Dan dengan gerakan ringan sekali, tubuhnya segera melesat ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, kedua kakinya menjejak di atas tembok benteng. Lalu tubuhnya meluruk turun dan menyelinap di kelebatan pohon tidak jauh dari benteng istana.

Dari tempat itu, diawasinya suasana di dalam benteng. Jumlah prajurit-prajurit dalam benteng sudah tidak banyak lagi. Mungkin jumlahnya hanya tinggal delapan puluh orang. Malim Jenaka tahu benar, apa sebabnya.

Sebagian prajurit itu pasti telah bergabung dengan Pedut Ireng. Mereka telah berada di bawah pengaruh makhluk titisan iblis itu. Sedangkan sebagian lagi tentu sedang mencari patih mereka yang telah melarikan diri.

Berarti jika sekarang kakek tinggi besar ini melakukan penyerbuan, kekuatan yang akan dihadapi tidak seberapa besar. Walaupun begitu, dia tetap setia menunggu kedatangan Pendekar Rajawali Sakti. Mengingat, betapa berbahayanya Pusaka Lidah Setan yang sekarang berada di tangan Gusti Prabu Antasena.

********************

Sementara itu di atas singgasananya, Gusti Prabu Antasena yang saat itu didampingi Permaisuri Dewi Trijata kelihatan gelisah. Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke pintu utama. Dia sendiri sudah menanyakan kehadiran panglima perangnya pada pengawal di pintu gerbang utama. Tetapi mereka melaporkan, bahwa Panglima Ubudana dan pasukan belum kembali.

“Sudah dua hari mereka melakukan pengejaran. Masa, mengejar satu orang penjahat saja tidak mampu melakukannya?” gerutu Gusti Prabu Antasena.

“Patih Kusuma penjahat! Dia orang terbaik dinegeri ini!” sergah Permaisuri Dewi Trijata tidak sependapat.

Gusti Prabu Antasena langsung memandang tajam Permaisuri Dewi Trijata dengan mata melotot tidak suka. “Jangan sekali-kali membela patih gila itu, Dewi. Aku bisa membuatmu sengsara!” ancam Gusti Prabu Antasena gusar.

“Huh...! Mana yang lebih baik antara patih dengan panglima perangmu yang penjilat itu? Dia bilang, di kotaraja tidak ada kejahatan. Padahal, setiap hari tulang-belulang rakyat yang tidak berdosa bertimbun di sudut kota. Lantas, apa itu namanya? Berapa banyak pula prajurit yang hilang tanpa diketahui?” dengus Permaisuri Dewi Trijata, kehilangan kesabarannya.

“Diam...! Kau tidak usah mengguruiku. Dengan dua senjata Pusaka Lidah Setan, tidak seorang pun berani menentangku! Ingatlah itu...!” bentak Gusti Prabu Antasena, tidak dapat menahan marahnya.

“Aku tidak peduli dengan segala macam senjata yang kau miliki, Kanda. Aku juga tidak peduli dengan nasibku sendiri. Prabu Mulih sekarang telah menjadi kota mati. Penduduk tidak ada yang berani pulang ke rumahnya. Sedangkan Kanda hampir setiap hari hanya berjudi, mabuk, dan main perempuan. Tidak takutkah Kanda kerajaan ini sewaktu-waktu bisa runtuh?”

“Tidak ada yang harus kutakutkan! Cita-citaku menjadi raja sudah terkabul. Jadi, mau apa lagi?” jawab Gusti Prabu Antasena bangga.

Jawaban Gusti Prabu Antasena hanya membuat permaisuri ini menjadi naik pitam. Dia bangkit berdiri sambil memandang tajam. “Ingatlah! Kanda dulu hanya prajurit biasa. Kemudian, diangkat Gusti Prabu Siwanada menjadi panglima perang. Lalu, kenapa diangkat lagi menjadi patih kerajaan. Padahal, jabatan patih ini sesungguhnya milik Patih Kusuma yang sekarang....”

“Tentu saja aku mengingatnya. Tetapi, kedudukan itu akhirnya kuberikan juga pada Patih Kusuma bukan? Paling tidak, waktu itu dia tidak menjadi perintangku. Setelah aku menjadi raja, mengingat kebaikannya aku mengangkatnya menjadi seorang patih kerajaan. Tetapi sekarang, suasana telah berubah. Dia terlalu banyak mencampuri urusanku. Itu sebabnya, aku merasa perlu menyingkirkannya! Ha ha ha...!”

“Manusia busuk! Arwah suamiku pasti tidak akan senang melihat langkahmu yang sesat ini!” teriak Permaisuri Dewi Trijata.

Diingatkan tentang Gusti Prabu Siwanada yang telah mati di tangannya, Gusti Prabu Antasena menjadi sangat marah. Dihampirinya Permaisuri Dewi Trijata. Namun langkahnya tiba-tiba tertahan saat...

“Heaaa...!”

Trang!

Mendadak terdengar teriakan-teriakan disertai denting senjata beradu di halaman istana. Dengan cepat Gusti Prabu Antasena bergegas keluar. Sampai di depan pintu utama, tampak seorang kakek bercaping bambu sedang mengamuk membantai para prajurit yang mengepungnya. Bahkan prajurit-prajurit kerajaan tampak bertarung dengan sesama prajurit pula.

Tentu saja laki-laki setengah baya ini menjadi heran sendiri. Apalagi, di tempat ini terlihat seorang pemuda berompi putih dengan pedang dipunggung yang berhulu kepala burung rajawali. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?

Rupanya ketika pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti tiba didepan pintu gerbang Istana Kerajaan Prabu Mulih, Patih Kusuma datang pula bersama prajurit-prajurit kerajaan yang kini telah berbalik membantunya.

Karena Rangga belum mengenal Permaisuri Dewi Trijata, maka Patih Kusuma diperintahkan untuk menyelamatkannya. Sedangkan Rangga sendiri mengambil alih pimpinan dalam penyerbuan.

Dengan dibantu Malim Jenaka yang memang telah sampai di tempat itu lebih awal, mereka beramai-ramai menyerang prajurit-prajurit kerajaan yang jumlahnya tidak lebih besar dibanding prajurit-prajurit yang telah berpihak pada Patih Kusuma.

Rupanya kenyataan ini yang membuat Gusti Prabu Antasena menjadi kaget. “Berhenti,” teriak laki-laki setengah baya itu dengan suara keras.

Mereka yang sedang terlibat dalam pertarungan pun serentak menghentikan senjata masing-masing.

“Apakah kalian sudah gila bertarung dengan kawan sendiri! Bunuh dua pengacau itu!” perintah Gusti Prabu Antasena.

“Kami tetap setia pada raja yang telah kau bunuh, Antasena! Sekarang, sebaiknya kaulah yang menyerah pada kami! Kepada kawan-kawan sesama prajurit! Sebaiknya, kita tidak usah saling bunuh! Kita pantas bahu membahu mengenyahkan raja keparat itu!” teriak salah seorang perwira tinggi kerajaan, benar-benar mengejutkan Gusti Prabu Antasena.

Pernyataan ini sangat meragukan prajurit yang berada dalam benteng istana. Namun sebagian kecil yang masih setia pada Gusti Prabu Antasena ternyata pantang menyerah. Kembali mereka melakukan perlawanan sengit. Jumlah mereka yang cuma sepertiga dari seluruh jumlah prajurit yang ada, tentu tidak ada artinya menghadapi prajurit-prajurit yang masih setia pada almarhum Gusti Prabu Siwanada.

Maka kini kembali terdengar denting senjata berbaur jerit kematian prajurit yang berpihak pada Gusti Prabu Antasena. Hanya dalam waktu singkat, mereka tewas secara mengenaskan. Setelah pengikut Gusti Prabu Antasena tidak tersisa, maka para prajurit yang tetap setia pada raja terdahulu serentak mundur membentuk lingkaran.

Kini, di tengah-tengah lingkaran berdiri Pendekar Rajawali Sakti, Malim Jenaka, dan juga Gusti Prabu Antasena. Mereka tampak tegang. Hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang kelihatan agak tenang.

“Aku datang kemari ingin minta Pusaka Lidah Setan yang telah kau pinjam dari Pedut Ireng dan Boma!” kata, Candra Kirana, membuka suara.

“Ha ha ha...!” Gusti Prabu Antasena yang telah kehilangan seluruh prajuritnya malah tertawa-tawa.

“Kau tidak punya hak apa-apa meminta pusaka itu, Gendut! Sedangkan pemiliknya yang sah saja tidak pernah mempersoalkannya!” desis Gusti Prabu Antasena, sengit.

“Ya..., karena pemiliknya adalah titipan iblis yang bodoh! Sehingga, dengan mudah kau perdayai untuk menjalankan cita-cita busukmu!” geram Malim Jenaka berang.

“Sampai kapanpun, pusaka itu tidak akan kuserahkan pada pemiliknya. Apalagi, pada manusia jelek sepertimu. Dan juga seperti pemuda usilan itu. Lalu, kau mau apa?” tantang Gusti Prabu Antasena begitu angkuhnya.

Rangga terdiam. Sedang, Malim Jenaka mengipas-ngipaskan caping bambunya kebagian dadanya yang bidang. Matanya berkedap-kedip. Sehingga walau bersikap sungguh-sungguh, raut wajahnya tetap lucu.

Sementara itu Patih Kusuma yang ditugaskan menyelamatkan Permaisuri Dewi Trijata sudah sampai di depan singgasana yang biasa dipergunakan sebagai ruangan pertemuan. Beberapa pengawal yang mencoba menghalanginya, tanpa hambatan berarti dapat disingkirkanya.

“Gusti Permaisuri,..! Dimanakah, Gusti?” panggil Patih Kusuma sambil mencari-cari.

Namun yang dicari-cari patih ini tidak kelihatan. Malah dari pintu samping muncul dua orang prajurit pengikuat Gusti Prabu Antasena dengan tombak terhunus.

“Mundur! Atau, lebih baik kalian menyerah padaku. Niscaya, hukuman kalian menjadi ringan!” perintah Patih Kusuma tegas.

Ternyata kedua prajurit ini sama sekali tidak mengindahkan peringatan Patih Kusuma. Mereka malah menyerang cepat sekali. Tentu saja patih ini tidak membiarkannya begitu saja. Pedangnya yang selalu tergantung di pinggang segera diloloskan. Dan ketika dua mata tombak meluncur deras ke bagian dada dan perut, dia melompat mundur seraya mengibaskan senjatanya.

Trang!

Kedua tombak kontan terpental. Tangan patih itu sendiri sempat bergetar. Tetapi dia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kembali pedangnya mengibas hingga meluncur cepat kedua arah. Sementara kedua prajurit itu sudah tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....

Cras! Cras!

“Aaa...!” Kedua prajurit itu kontan menjerit keras dengan tubuh ambruk. Leher mereka terkena tebasan pedang Patih Kusuma. Darah tampak mengucur membasahi lantai.

Patih Kusuma kembali memperhatikan keadaan sekelilingnya. Namun Permaisuri Dewi Trijata tetap tidak kelihatan. Segera dia berlari menuju kamar permaisuri. Sampai di pintu kamar, Patih Kusuma segera mendorong dengan keras. Dia terkejut melihat permaisuri sedang sibuk mengobrak-abrik peraduannya. Tampaknya, dia sedang mencari-cari sesuatu.

“Gusti Permaisuri! Sebaiknya cepat menyingkir, sebelum Antasena menemukan kita di sini!” ajak Patih Kusuma tergesa-gesa.

Permaisuri Dewi Trijata terkejut karena tidak menyangka ternyata adik almarhum suaminya masih selamat. “Adik ipar! Puji syukur pada Tuhan, ternyata kau dalam keadaan segar bugar. Tunggu sebentar! Aku sedang mencari Pusaka Lidah Setan yang disembunyikan Antasena di sini!”

“Apakah Gusti Permaisuri sudah menemukanya?” tanya Patih Kusuma.

“Hanya yang satunya saja!” sahut Permaisuri Dewi Trijata.

“Berarti yang satunya lagi ada pada Antasena! Mari kita pergi sekarang juga!” ajak Patih Kusuma.

Permaisuri Dewi Trijata walaupun masih penasaran akhirnya terpaksa menuruti perintah Patih Kusuma. Mereka keluar dari pintu belakang,tanpa mengalami hambatan berarti. Setelah itu, mereka menuju ke halaman depan tempat terjadinya pertempuran.

TUJUH

Pendekar Rajawali Sakti yang memang tidak ingin main keroyok, memberi kesempatan pada Candra Kirana untuk maju menghadapi Gusti Prabu. Maka, Malim Jenaka yang memang menaruh kemarahan tersendiri, tidak memberi kesempatan lagi. Tubuhnya langsung meluncur deras dengan kedua tangan terjulur ke arah kepala Gusti Prabu Antasena.

Tentu saja Gusti Prabu Antasena tidak membiarkan kepalanya menjadi sasaran. Cepat dia merunduk. Tapi walau serangannya luput, tangan lain milik tokoh jenaka itu melakukan serangan susulan. Dengan cepat Gusti Prabu Antasena menjatuhkan diri dan terus berguling-guling, disertai makian panjang pendek.

“Ufs...!”

“Heaaa...!” Sambil berteriak keras, Malim Jenaka tiba-tiba saja merubah jurus-jurus silatnya. Tubuhnya terhuyung ke kiri dan ke kanan. Sedangkan kakinya terus bergerak lincah. Didahului tawa aneh, tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara. Dalam keadaan berjumpalitan itu, tiba-tiba Candra Kirana mendorongkan kedua tangannya ke arah Gusti Prabu Antasena.

"Wusss...!”

Segulung angin berhawa panas kontan menghantam raja lalim itu. Dan....

Blarrr!

“Wuaagkh!”

Laki-laki setengah baya itu jatuh terguling-guling. Tetapi anehnya, tubuhnya tidak mengalami luka sedikit pun. Padahal, pukulan yang menghantamnya tadi termasuk pukulan sangat berbahaya, mengandung tenaga dalam tinggi. Jika tokoh biasa yang terkena pukulan tadi, mungkin sudah binasa. Kini, mengertilah Malim Jenaka kalau yang membuat kebal raja lalim itu adalah senjata Pusaka Lidah Setan!

Sementara itu Gusti Prabu Antasena sendiri menjadi marah bukan main. Segera pedangnya dicabut. Tampaknya jurus-jurus pedangnya yang cukup handal memang sengaja ingin ditujukannya.

“Heaaa...!” Disertai teriakan keras, Gusti Prabu Antasena meluruk kedepan. Senjatanya meluncur deras menusuk pada bagian leher. Namun kakek bercaping yang jadi sasaran cepat menggeser tubuhnya ke samping. Maka senjata itu hanya lewat di depan hidung saja.

Pada saat itu, Malim Jenaka melihat kesempatan cukup baik. Tanpa membuang waktu lagi, tangan kanannya menghantam dada Gusti Prabu Antasena.

Buk!

“Hugkh!” Sekali lagi pukulan Candra Kirana menghantam telak dada Gusti Prabu Antasena. Sambil mengeluh untuk kedua kalinya, laki-laki setengah baya itu jatuh terguling-guling. Anehnya, sama sekali tidak mengalami luka sedikit pun. Malah kini keanehan terjadi. Begitu Gusti Prabu Antasena meraba pinggangnya, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi dua. Seterusnya, menjadi tiga, empat, sampai akhirnya telah berubah menjadi enam orang.

Perubahan itu semula hanya seperti bayangan semu tembus pandang. Sosok dan penampilannya, mirip dengan Gusti Prabu Antasena. Bagaikan saudara kembar. Dan lama kelamaan, bayangan semua tembus pandang itu berubah menjadi jasad kasar.

Malim Jenaka sempat kaget juga melihat kenyataan ini. Tetapi segera disadari kalau semua itu karena Pusaka Lidah Setan. Mau tak mau, Malim Jenaka sekarang harus mencari Gusti Prabu Antasena yang sebenarnya. Ini termasuk pilihan sulit. Karena seluruh tenaga dan pikirannya harus dipusatkan. Sementara, Gusti Prabu Antasena dengan lima kembarannya telah menyerangnya dari empat penjuru arah.

“Kau segera mati ditanganku! Hiyaaa...!” teriak Gusti Prabu Antasena nyaring.

Pedang di tangan enam Gusti Prabu Antasena menderu-deru cepat. Mendapat serangan dari enam penjuru, Malim Jenaka segera melemparkan caping bambunya.

Wuuut!

Senjata andalan itu langsung meluncur kearah sasaran. Gusti Prabu Antasena dan kembarannya tampak terkesiap. Namun setelah itu salah seorang langsung menyambut luncuran caping dengan pedangnya.

Trak!

“Heh...?!” Gusti Prabu Antasena terkejut. Karena, ternyata senjata yang terkandung dalam luncuran caping sangat besar, sehingga membuat tangannya bergetar dan kesemutan. Tetapi, rupanya Gusti Prabu Antasena tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi.

Tiba-tiba saja dicabutnya Pusaka Lidah Setan dari pinggangnya. Namun, daim-diam dia terkejut juga ketika teringat kalau salah satu senjata itu tertinggal di kamar permaisurinya. Dengan Pusaka Lidah Setan berada di tangannya, maka sekarang sosok-sosok Gusti Prabu Antasena menyatu kembali.

“Aku tidak mungkin unggul menghadapi bangsat ini. Pusaka Lidah Setan adalah senjata yang tidak dapat dianggap main-main,” gumam Malim Jenaka.

Apa yang dipikirkan Malim Jenaka segera menjadi kenyataan. Saat Gusti Prabu Antasena mengacungkan Pusaka Lidah Setan, maka kilatan api langsung melesat dari ujung pusaka berbentuk mata tombak itu. Cahaya merah membara itu menyambar Malim Jenaka.

“Heaaa...!” teriak Malim Jenaka, seraya menggunakan aji ‘Pancasona’ dengan mendorongkan tangannya ke depan. Kakek berperut bundar ini terpaksa pergunakan pukulan andalannya.

Glarrr!

“Aaagkh...!” Malim Jenaka menjerit kesakitan. Aji Pancasona yang dilepaskannya ternyata tergulung kekuatan dahsyat yang keluar dari Pusaka Lidah Setan.

Bayangkan! Kakek bercaping bambu yang memiliki kesaktian tinggi ini tidak mampu membendung kedahsyatan pusaka itu. Ini merupakan pertanda kalau pusaka di tangan Gusti Prabu Antasena benar-benar hebat!

Candra Kirana yang berasal dari Lembah Tengkorak jatuh terguling-guling sambil muntahkan darah kental. Sedangkan Rangga yang baru saja bicara dengan Patih Kusuma, segera menerima pemberian Pusaka Lidah Setan yang satunya lagi dari Permaisuri Dewi Trijata.

Saat Gusti Prabu Antasena bermaksud membunuh Malim Jenaka itulah Pendekar Rajawali Sakti bertindak. Tubuhnya seketika meluruk deras ke arah cahaya merah yang meluncur deras menuju Malim Jenaka, seraya menghentakkan kedua tangannya.

“Heaaa...!” Saat itu juga meluruk segelombang angin topan memapak luncuran lidah api yang berwarna merah membara dari jurus aji ‘Bayu Bajra’. Akibatnya....

Blarrr!

“Heh...!” Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terguling-guling. Dari sudut-sudut bibirnya meneteskan darah kental. Jelas, Rangga menderita luka dalam. Segera dia mengambil sikap semadi, mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka yang diderita.

Pada saat itu pula Gusti Prabu Antasena mengacungkan kembali Pusaka Lidah Setan ke arah Rangga. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti bangkit, dan kembali menjatuhkan diri untuk menghindari serangan maut itu.

Namun, jilatan-jilatan api terus mengejar-ngejar Pendekar Rajawali Sakti. Rangga bergerak bangkit dengan cepat. Tubuhnya segera meliuk-liuk menghindarinya. Namun akhirnya Rangga terpaksa berjumpalitan sambil mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.

“Hiyaaa...!” Tangan Rangga yang telah berubah memerah itu dikibaskan ke depan. Seketika sinar merah melesat, memapak sinar merah dari Pusaka Lidah Setan.

Blarrr...!

Benturan keras terdengar, ketika dua kekuatan besar bertemu pada satu titik. Sementara, Rangga kembali terlempar. Sedangkan Gusti Prabu Antasena terus menyerangnya tanpa ampun. Keselamatan Rangga benar-benar terancam. Namun pada saat yang menegangkan, Pendekar Rajawali Sakti mencabut senjata yang sama pemberian Permaisuri Dewi Trijata.

Senjata Lidah Setan ditangan Pendekar Rajawali Sakti langsung diacungkan ke arah Gusti Prabu Antasena. Tidak bisa dicegah lagi, jilatan lidah api meluruk deras memapak kilatan lidah api dari Pusaka Lidah Setan di tangan Gusti Prabu Antasena.

Blarrr!

“Aaa...!” Gusti Prabu Antasena menjerit keras ketika dua kekuatan yang sama bertemu. Tubuhnya terpelanting. Sedangkan Pusaka Lidah Setan di tangannya terpental cukup jauh. Jelaslah, dengan senjata pusaka itu pula Gusti Prabu Antasena ternyata dapat dilukai.

Rangga tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Pedangnya segera dicabut, seketika tubuhnya meluncur deras kearah Gusti Prabu Antasena dengan pedang yang bersinar biru berkilauan dikelebatkan.

Sementara, Penguasa Kerajaan Prabu Mulih itu berusaha meraih senjatanya yang terlempar. Tetapi luncuran Pedang Pusaka Rajawali Sakti ternyata jauh lebih cepat dari gerakannya. Dan...

Cras!

“Hugkh...!” Mata Gusti Prabu Antasena kontan melotot disertai keluhan tertahan. Tangannya berusaha menggapai pedang yang menembus dadanya. Namun gerakannya hanya membuat darah semakin banyak mengucur dari lukanya. Begitu Rangga mencabut senjatanya, nyawa Gusti Prabu Antasena telah melayang.

“Horeee...!”

Suara sorak-sorai terdengar dari prajurit-prajurit maupun perwira tinggi kerajaan yang masih tetap setia pada Patih Kusuma dan almarhum Gusti Prabu Siwanada. Mereka merasa bebas dari belenggu ketakutan yang menekan selama ini.

Sementara itu, Rangga sudah memungut Pusaka Lidah Setan yang telah dipergunakan Gusti Prabu Antasena tadi.

“Hei..., Pendekar Rajawali Sakti! Kedua senjata itu jangan kau simpan. Aku harus membawanya kembali ke Lembah Tengkorak, bersama dua momonganku!”

Pada saat yang bersamaan terdengar suara seruan Malim Jenaka. Rangga tersenyum. Sedangkan Patih Kusuma maupun Permaisuri Dewi Trijata tampak kaget. Mereka tidak menyangka kalau pemuda rompi putih yang bernama Rangga itu tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

“Jangan khawatir, Kek. Aku tidak butuh pusaka yang menjadikan malapetaka ini. Aku tetap akan menyerahkannya padamu. Tapi, nanti setelah aku bicara dengan Patih Kusuma!” sahut Rangga, tegas.

“Sebaiknya kakek gendut dan Rangga masuk dulu ke tempat pertemuan. Kalian adalah tamu-tamu yang paling kami hormati!” serobot Patih Kusuma yang diikuti anggukan setuju Permaisuri Dewi Trijata.

“Ho ho ho...! Kalau menyangkut soal makanan, aku setuju saja. Apalagi ada arak wanginya,” sahut Malim Jenaka sambil menelan ludah.

Pendekar Rajawali Sakti, Malim Jenaka, Patih Kusuma, dan Permaisuri Dewi Trijata berkumpul di dalam ruangan pertemuan. Berbagai jenis hidangan tersedia untuk memeriahkan rasa syukur atas keberhasilan mereka menegakkan keadilan kembali di Kerajaan Prabu Mulih. Malim Jenaka bagai tidak mengenal rasa kenyang terus melahap semua jenis hidangan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan sambil tersenyum-senyum.

“Ayo, Rangga! Tunggu apa lagi? Semua hidangan ini khusus untuk orang yang hidup. Sedangkan yang bosan hidup seperti si Antasena itu, memang tidak suka lagi makanan enak! Ayo..., sikat saja...!” ujar Malim Jenaka, sehingga membuat Permasuri Dewi Trijata tersenyum.

“Kami pihak kerajaan merasa berterima kasih pada Pendekar Rajawali Sakti dan pada Kakek Malim Jenaka. Tanpa bantuan kalian semua, kerajaan ini pasti akan hancur. Syukurlah keadilan dapat ditegakkan kembali. Kalau bersedia, kau bisa menjadi panglima perang disini, Rangga...!” ucap Permaisuri Dewi Trijata penuh harap.

Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Sama sekali tidak disangka kalau permaisuri ini memberi keputusan seperti itu. “Maaf, Gusti Ratu. Hamba bukan bermaksud menolak jabatan terhormat itu. Tetapi, begitu banyak tugas yang harus diselesaikan di rimba persilatan. Gusti Ratu dan Paman Patih Kusuma tentu dapat mengembalikan kepercayaan rakyat yang hampir musnah, sekaligus membangun kerajaan ini!” tolak Rangga, halus. “Hamba yakin, semuanya akan kembali seperti sediakala.”

“Betul,” sahut Malim Jenaka, “Lagi pula, Patih Kusuma dengan almarhum masih bersaudara. Tidak ada salahnya jika ada kecocokan patih, mendampingi Gusti Ratu menjadi pasangan. Bukan begitu, Rangga...?” saran kakek berbadan besar ini.

Permaisuri Dewi Trijata menundukkan kepala. Sedangkan Patih Kusuma tampak merah wajahnya. Sementara, Malim Jenaka mengusap-usap perutnya yang kekenyangan.

“Urusan hati, kita serahkan pada yang bersangkutan,” Rangga menengahi. “Hamb yakin, semuanya dapat diselesaikan dengan baik. Dengan begitu urusan kerajaan sudah selesai. Sekarang, hamba harus menyelesaikan apa yang menjadi tugas Kakek Malim Jenaka. Boma dan Pedut Ireng harus ditangkap untuk dikembalikan kepenjara kutukan di Lembah Tengkorak.”

“Betul! Tapi serahkan dulu Pusaka Lidah Setan padakku. Hanya dengan pusaka itu, mereka pasti takut, dan membuat mereka binasa,” pinta Malim Jenaka.

“Jangan takut. Ini kukembalikan padamu, Kek!” ujar Rangga sambil menjulurkan tangannya.

Candra Kirana menerima kedua senjata pusaka ini, lalu menyelipkannya di balik pinggang.

“Secepat itukah kalian hendak pergi?” tanya Permaisuri Dewi Trijata keberatan.

“Bukankah semua urusan harus segera diselesaikan, Gusti Ratu? Lagi pula kedua titisan iblis itu harus cepat ditangkap. Aku takut guruku marah-marah nanti!” sahut Malim Jenaka.

“Kalau kalian butuh pasukan, bisa membawa beberapa prajurit untuk membantu!” Patih Kusuma mengajukan tawaran.

“Tidak! Terima kasih, Paman. Biarkan urusan ini kami yang akan menyelesaikannya berdua. Kami mohon diri!” pamit Rangga.

********************

Rangga dan Candra Kirana terus menelusuri jalan pintas menuju tempat persembunyian Pedut Ireng. Menjelang senja, barulah mereka berdua sampai di tempat tujuan. Namun, rumah besar itu tampak lebih sunyi dari biasanya.

“Kakek yakin dia bersembunyi di rumah ini?” tanya Rangga perlahan.

“Ho ho ho...! Aku yakin, seyakin-yakinnya. Bau mereka saja masih tercium olehku...!” jawab Candra Kirana, enteng.

“Bagaimana bau Pedut Ireng itu, Kek?” pancing Rangga.

“Baunya? Hmm.... Seperti bau api neraka. Ha ha ha...!” sahut kakek berperut buncit disertai tawa.

“Kalau begitu, Kakek pernah pergi ke neraka. Bagaimana keadaan di sana?” tanya Rangga berkelakar.

“Pokoknya serba sedih dan mengerikan. Aku memang pernah datang ke sana. Tapi, baru dalam mimpi saja,” sahut Candra Kirana, seenaknya.

Rangga terdiam. Sikapnya kembali bersungguh-sungguh. Diperhatikannya bangunan sederhana didepannya. Naluri kependekarannya mengatakan, ada yang memperhatikan kehadiran mereka sejak tadi.

“Perintahkan pada tahanan itu untuk menyerahkan diri, Kek!” seru Rangga.

“Kusarankan, kau saja yang masuk ke dalam. Atau kalau perlu, kita masuk bersama-sama,” usul Candra Kirana.

“Mari!” sahut Pendekar Rajawali Sakti, langsung menyetujui.

Selanjutnya mereka berdua menghampiri pintu didepan. Ketika Rangga mendorong pintu sampai terbuka, tiba-tiba....

“Graungrr...!”

Terdengar suara menggeram disertai berkelebatnya sesosok tubuh berkepala botak. Sosok berpakaian hitam ini langsung melepaskan sebuah pukulan ke arah mereka berdua.

“Uts...!” Untung Rangga dan Candra Kirana telah bersikap siaga sejak semula. Mereka melompat ke kiri dan kanan dengan gerakan indah, sehingga berhasil menghindari serangan sosok bertubuh tinggi besar bagai raksasa, kaki tangan Pedut Ireng.

Kini baru terlihat jelas rupa sosok raksasa ini. Wajahnya kasar dengan hidung lebar. Mulutnya pun lebar, dengan taring pada sudut bibirnya. Matanya bulat nyalang, menyorot tajam.

“Graunggrrr...!”

“Tidak ada gunanya kau melawan kami! Suruh keluar Pedut Ireng untuk dibawa kembali keLembah Tengkorak!” perintah Pendekar Rajawali Sakti.

Perintah pemuda berbaju rompi putih tersebut sama sekali tidak ditanggapi sosok raksasa berwajah mengerikan. Malah tubuhnya meluruk ke depan menyerang Rangga. Pemuda ini tidak tinggal diam ketika merasakan sambaran tangan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. Segera dipasangnya kuda-kuda, lalu membuat gerakan-gerakan aneh. Badannya condong ke kiri, dan condong ke kanan. Lalu tubuhnya berputar.

Begitu serangan raksasa ini lewat, Rangga meluncurkan kakinya begitu cepat, sehingga tidak dapat dihentikan lagi. Tidak ampun lagi....

Duk!

“Wuaaakh...!”

Tubuh raksasa itu jatuh berdebum disertai erangan keras. Tetapi tendangan Rangga yang mengandung tenaga dalam tinggi tadi tidak berakibat apa-apa bagi sosok mengerikan ini. Bahkan langsung bangkit berdiri.

“Graungggrrr...!”

Disertai teriakan marah, raksasa itu membalas serangan dengan tidak kalah hebatnya. Pemuda berbaju rompi putih segera mempergunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk mengelakkan serangan. Sedangkan Malim Jenaka yang mengawasi perkelahian seru bertepuk tangan.

“Pukul anunya, Rangga! Kelemahannya terletak di anunya itu! Kalau tidak, kau bisa hancur diinjak-injaknya...!” teriak Malim Jenaka, memberi petunjuk.

“Tenang saja, Kek!” sahut Rangga.

Rangga tiba-tiba saja meluruk. Tangannya meluncur deras ke bagian terlarang dan juga ke wajah. Tetapi raksasa itu sekarang membuat gerakan-gerakan kacau. Tangan kanannya terpentang ke depan.

“Heaaa...!” teriak raksasa itu seraya menghantamkan tangannya menggunakan pukulan Geledek.

Demikian cepat serangan itu, membuat Rangga gugup. Namun secepat kilat dia berusaha menghindar ke samping. Akan tetapi hawa dingin tetap menyambar sebagian kakinya.

Blarrr!

“Oh...!” Rangga jatuh terguling-guling. Kakinya terasa membeku. Dengan terpincang-pincang, pemuda berompi putih ini bangkit berdiri. Namun belum lagi siap dengan kuda-kudanya, raksasa itu telah menyerangnya kembali penuh nafsu.

Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam. Segera dikerahkannya jurus ‘Seribu Rajawali’. Rangga seketika berkelebat sedemikian cepatnya, mengitari raksasa itu. Gerakan yang sangat gesit ini, membuat tubuhnya tampak berubah banyak.

Sehingga, membingungkan lawannya. Namun tidak kalah cepatnya, raksasa itu melepaskan serangan bertubi-tubi dengan menghentakkan tangannya. Tetapi, serangannya tetap mengenai tempat kosong. Sementara Kirana tampak melonjak kegirangan.

“Bagus! Gajah bengkak berkepala gundul mulai bingung, Rangga!” kelakar Malim Jenaka.

Rangga sama sekali tidak menghiraukan ocehan kakek itu. Tubuhnya terus berputar-putar beberapa kali. Dan mendadak kakinya meluncur ke selangkangan. Sedangkan tangannya menghantam ke wajah.

Wuttt!

Serangan cepat ini membuat bingung. Namun raksasa itu mencoba melompat mundur, sambil menarik wajahnya ke belakang. Wajahnya yang bundar memang dapat diselamatkan dari kehancuran. Namun luncuran kaki Rangga tidak dapat dicegah lagi. Sehingga....

Jrottt!

“Auaaa...!”

Disertai jerit kesakitan, raksasa tangan kanan Pedut ireng jatuh terguling-guling. Tubuhnya berkelojotan seperti orang kesetanan. Apa yang dikatakan Candra Kirana memang benar. Setelah bagian rahasianya hancur, raksasa ini meregang nyawa.

“Ho ho ho...! Betul, bolanya pecah. Nyawanya di situ. Dan sekarang dia telah mati. Pekerjaan yang bagus, Rangga,” puji Candra Kirana disertai tawa.

DELAPAN

“Heh...?!” Tawa Malim Jenaka seketika lenyap, berganti keterkejutan, saat terdengar deru angin topan dari dalam rumah. Candra Kirana memberi isyarat pada Rangga untuk mundur.

Selanjutnya, terdengar suara langkah-langkah kaki menggetarkan tanah yang dipijak. Tak lama, di ambang pintu muncul sosok berbulu hitam. Wujudnya sepintas lalu memang sangat mirip monyet raksasa. Begitu besar dan tinggi.

Rupanya angin yang menderu-deru tadi berasal dari mulut sosok setengah binatang dan setengah manusia ini. Mulut makhluk berbulu hitam ini kembali membulat. Dan....

“Puuuh...!”

Pendekar Rajawali Sakti bergetar tubuhnya, ketika gelombang angin keras yang keluar dari mulut makhluk itu, menghantam dirinya. Untung Rangga sudah mengerahkan tenaga dalam ke bagian kakinya. Sehingga sepasang kakinya seperti terpantek ke bumi.

Sementara Malim Jenaka tertawa-tawa sambil mengusap perutnya yang bundar. Caping bambunya telah melayang jatuh, sehingga rambutnya yang putih berkibar-kibar ditiup angin. Rangga menyadari, sesungguhnya Candra Kirana mengerahkan tenaga dalam juga untuk melindungi diri.

“Hentikan permainanmu ini, Pedut Ireng! Aku datang menagih janji. Sudah kubawa pula rantai neraka untuk membelenggumu. Bagaimana? Apakah kau sudah bersedia pulang bersamaku ke Lembah Tengkorak?” tanya Candra Kirana tegas.

Manusia berwujud monyet raksasa yang ternyata Pedut Ireng ini tidak segera menjawab, melainkan memperhatikan pemuda berompi putih yang telah membunuh raksasa peliharaannya. Kemudian tatapannya beralih pada Candra Kirana. Matanya yang merah memandang penuh murka.

“Aku merasa senang tinggal di dunia bebas! Lembah Tengkorak tidak beda dengan penjara neraka bagiku!” dengus Pedut Ireng, tidak suka.

“Kau di sana hanya untuk menjalani hukuman kutukan. Setelah itu berlalu, kau bebas pergi ke mana saja. Percayalah! Guru memilihkan yang terbaik buatmu!” bujuk Candra Kirana.

“Siapa tahan? Serigala Putih saja tidak tahan. Lagi pula, kesalahanku tidak besar. Salahkah aku jika ingin punya pasukan yang hebat? Coba katakan sejujurnya, Kakang Candra Kirana!” tukas Pedut Ireng tidak sabar.

“Tentu tidak salah. Tetapi, kau harus menjalani apa yang menjadi kewajibanmu dulu!” tegas Candra Kirana.

“Betul. Kau harus menjalani apa yang menjadi hukumanmu,” Rangga ikut menimpali.

“Diam kau! Aku tidak ada urusan denganmu!” dengus Pedut Ireng marah. Rangga tersenyum dingin.

“Akan menjadi urusanku jika kau tidak menuruti perintah kakek gendut ini!”

“Kalau begitu, aku memilih tidak patuh pada siapa pun! Ilmu olah kanuraganku juga tinggi. Kakang Candra Kirana pasti tidak mampu menangkapku!” teriak Pedut Ireng, tanpa mengenal rasa takut.

“Bagaimana kalau aku mempergunakan Lidah Setan? Apakah ini bukan jalan kematian bagimu?” desis Candra Kirana setengah mengancam.

Pedut Ireng memang sempat tertegun. Tapi, walaupun otaknya tidak begitu cerdas, namun dia ingat kalau Pusaka Lidah Setan sekarang sedang dipinjam Antasena. Jadi mustahil Candra Kirana punya dua senjata yang sama.

“Kau hanya bergurau, Kakang. Lidah Setan hanya milik titisan iblis seperti kami. Dan kami tahu, di mana pusaka-pusaka itu sekarang berada. Manusia sejati memang selalu berbohong! Kubunuh kalian berdua!” teriak Pedut Ireng gusar, seraya meluruk dengan serangan dahsyat.

Pendekar Rajawali Sakti mencoba menghadang serangan Pedut Ireng yang ganas. Namun Candra Kirana cepat menahan Rangga agar mundur. “Sekarang giliranku, Rangga. Kau hanya boleh membantu jika aku benar-benar terdesak!”

Rangga terpaksa melompat mundur. Sedangkan perkelahian sengit mulai berlangsung.

“Kau akan menjadi gading busuk kalau tidak suka menurut perintahku! Heaaa...!” seru Candra Kirana.

“Hhhrrrt!” Pedut Ireng menggeram. Mulutnya menggembung. Sedangkan bibirnya membentuk bulatan. Lalu.... “Puuuh!”

Dari mulut Pedut Ireng menyembur hawa panas menyengat, meluruk deras ke tubuh Candra Kirana. Bukan main cepat luncuran serangan itu. Namun tidak kalah cepatnya Candra Kirana langsung berjumpalitan menghindarinya.

Serangan makhluk berwujud menyeramkan ini luput. Namun di dalam kesempatan lain, tiba-tiba kedua tangannya mendorong ke arah Candra Kirana.

Wusss...!

Segulung angin berhawa dingin meluncur deras ke arah Malim Jenaka. Kali ini kakek bercaping bambu ini tidak tinggal diam. Cepat tangannya mengibas ke arah gundukan angin yang menyerangnya.

Wusss!

Sungguh aneh! Serangan balasan yang dilancarkan Candra Kirana seperti mengenai ruangan kosong. Sebaliknya, segulung angin milik Pedut Ireng terus meluncur dan membungkus Candra Kirana.

Rangga jelas dapat melihat kakek berperut bundar itu berusaha membebaskan diri dari kepungan api yang mengurungnya. Tampaknya, usaha itu mengalami kesulitan.

Sementara, Pedut Ireng telah bersiap-siap membunuhnya. Pedut Ireng mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Kedua tangannya yang berwarna hitam semakin berubah hitam saat mengerahkan tenaga dalamnya.

Melihat bahaya yang mengancam, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat diam lebih lama. Tubuhnya meluruk deras ke depan dengan kedua tangan menghentak.

“Hiyaaa...!”

“Wuaaagkh...!”

Sungguh tidak disangka. Aji ‘Bayu Bajra yang dilepaskan Rangga hanya membuat Pedut Ireng jatuh terguling-guling saja. Rangga memperbaiki sikap kuda-kudanya. Sebelum Pedut Ireng sempat berdiri, Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati Candra Kirana. Namun, orang yang baru saja hendak ditolongnya telah berhasil membuyarkan kabut yang membungkusnya.

“Bagaimana keadaanmu, Kek?” tanya Rangga perlahan, begitu berada di samping Malim Jenaka.

“Hampir mampus!” sahut Candra Kirana dengan napas megap-megap. “Kalaupun Pedut Ireng dapat kau lukai, dia bukan manusia sewajarnya, Rangga. Dia tidak pernah mati, walaupun tubuhnya ditusuk seribu kali. Aku baru ingat untuk mempergunakan Lidah Setan, senjata pamungkas pemiliknya sendiri!”

“Kalau begitu, jangan mengulur-ulur waktu, Kek,” sahut Rangga.

Candra Kirana mengangguk perlahan. Kini kakek berperut bundar ini memasang kuda-kuda, seakan bersiap-siap melakukan serangan balasan. Kedua tangannya meraba bagian pinggang.

“Pedut Ireng! Jika kau tidak menginginkan kebinasaanmu sendiri, kuperingatkan padamu untuk menyerah. Pusaka Lidah Setan milikmu dan milik Serigala Putih sekarang berada ditanganku...!” teriak Malim Jenaka memperingatkan.

“Siapa yang percaya ucapanmu, Kakang?! Kalau senjataku ada padamu, mengapa sejak tadi tidak dikeluarkan untuk menghadapi aku?” Tanya Pedut Ireng tidak percaya.

“Aku lupa...,” sahut Candra Kirana apa adanya.

“Nyawa sudah hampir sampai di tenggorokan, masa kau lupa?” dengus makhluk berwujud monyet ini mengejek.

“Baru sekarang aku akan mempergunakannya untuk menghancurkan dirimu, jika tidak menuruti apa kataku!” ancam Malim Jenaka.

Tentu saja Pedut Ireng menyangka apa yang dikatakan Candra Kirana hanya omong kosong saja. Sehingga hanya menganggap remeh. Pedut Ireng yang setengah manusia nekat hendak menyerang Candra Kirana. Namun, tiba-tiba Malim Jenaka telah mencabut dua Pusaka Lidah Setan sekaligus yang langsung disilangkan di depan dada. Sehingga, memancarkan cahaya berwarna merah.

Pedut Ireng langsung menutupi matanya. Tampaknya, dia tidak tahan melihat pancaran cahaya di tangan Candra Kirana yang sebenarnya merupakan senjatanya sendiri. Padahal bila berada di tangannya sendiri, pusaka itu bagai saudara kandungnya!

“Ampun.... wuaah..., tobat! Hentikan! Aku tidak sanggup! Ampun!” teriak Pedut Ireng seperti orang kesakitan.

“Kau masih belum percaya juga padaku, Pedut Ireng?” tanya Malim Jenaka.

“Sekarang, aku percaya!” sahut Pedut Ireng.

“Nah, merangkaklah kedepanku. Tanganmu harus diikat dengan rantai neraka...!” perintah Malim Jenaka tegas.

Pedut Ireng tampak ragu-ragu. Jika telah diikat rantai tersebut, berarti tidak ada kesempatan baginya dapat berkeliaran bebas lagi seperti hari-hari yang lalu.

“Mengapa kau tidak segera melakukannya, Titisan Iblis! Apakah kau lebih memilih kebebasanmu?” desak Malim Jenaka.

“Rasanya tidak adil jika aku saja yang dibawa kembali ke penjara kutukan. Aku tidak terima!” sergah Pedut Ireng.

“Kau merasa iri.... aku tahu itu. Tapi, jangan khawatir. Boma juga akan mendapat giliran!”

Pedut Ireng memang tidak punya pilihan lain, jika tidak ingin binasa oleh senjatanya sendiri. Dia memang harus merelakan kedua tangannya diikat rantai neraka. Dengan agak ragu-ragu, Pedut Ireng mendekati Malim Jenaka. Kakek berperut bundar ini menyimpan senjatanya lagi. Lalu diambilnya salah satu rantai yang tersampir di bahunya. Dengan rantai itu pula, tangan Pedut Ireng diikat ke belakang.

“Sekarang kita tinggal mencari Boma, Rangga. Apakah kau tidak keberatan membantuku sekali lagi?” pinta Malim Jenaka.

“Aku tentu saja bersedia, Kek. Tetapi, apakah Pedut Ireng harus dibawa serta?” tukas Rangga.

“Tentu saja. Aku tidak ingin dia melarikan diri. Rasanya aku sudah ingin cepat-cepat kembali ke Lembah Tengkorak. Terlambat sedikit, guruku yang berjuluk Dewa Langit bisa mengemplang kepalaku!” gerutu kakek bercaping bambu ini sambil menyeret rantai baja yang dipergunakan untuk mengikat makhluk titisan iblis bernama Pedut Ireng.

********************

Candra Kirana yang memang telah mengetahui tempat persembunyian Serigala Putih langsung memasuki pintu yang terbuka. Tiba di dalam ruangan yang cukup luas, baik Rangga maupun Candra Kirana dengan jeli melakukan pemeriksaan. Bau busuk di dalamnya sudah tidak terkatakan lagi.

Tulang-belulang manusia korban Serigala Putih sudah tidak dihiraukan lagi. Setelah melakukan pemeriksaan di segenap kamar yang ada, ternyata orang yang dicari sudah tidak berada di situ lagi.

“Tampaknya, buruanmu telah melarikan diri, Kek?” duga Rangga.

“Dia tidak bisa jauh dariku. Karena, aku akan terus mencarinya sampai dapat” sahut Malim Jenaka, dengan wajah cemberut.

“Ha ha ha...!” Pedut Ireng tiba-tiba saja tertawa.

“Mengapa kau tertawa?!” bentak Malim Jenaka.

“Boma adalah manusia licik. Dia titisan iblis yang cerdik. Mana mau dia dibawa kembali keLembah Tengkorak? Tidak adil sebenarnya bila mau berpikir lebih luas.”

“Kok tidak adil?” tukas Malim Jenaka tidak mengerti.

“Tentu saja! Boma telah banyak melakukan pembunuhan dan memakan daging manusia. Sedangkan aku, sekalipun belum pernah. Seharusnya dialah yang dipenjarakan di Lembah Tengkorak. Bukan aku! Karena, dosa-dosaku masih sedikit!” tandas Pedut Ireng.

“Pandai juga kau berkelakar. Kalian berdua sama saja! Mari kita cari manusia buas itu ke tempat lain, Rangga!” ajak Malim Jenaka.

Mereka keluar lagi dari bangunan yang tidak terurus itu. Baru saja sampai di mulut pintu keluar, Rangga melihat sebuah bayangan hitam berkelebat menjauhi mereka.

“Itu dia...!” seru Rangga, langsung.

Sambil menyeret Pedut Ireng, Rangga dan Candra Kirana segera melakukan pengejaran ke arah bangunan yang terletak di seberang jalan. Begitu cepat mereka berkelebat, sehingga sebentar saja telah sampai di situ. Segera kedua orang ini melakukan pemeriksaan. Tetapi orang yang dicari tidak ditemukan lagi. Padahal, tadi orang itu tampak membelok memasuki salah satu pintu yang terbuka.

“Dia pasti bersembunyi di sekitar sini,” bisik Candra Kirana. Suaranya hampir tidak terdengar.

“Katanya, kau mampu mengendus bau siluman itu, Kek? Mengapa sekarang tidak dilakukan?” ejek Rangga.

“Semua siluman memang bau. Tetapi, aku sulit melakukannya karena di sini ada titisan iblis juga,” sahut kakek bercaping bambu tersebut seenaknya.

“Siapa? Kau...?” tebak Rangga.

“Pedut Ireng!”

Pendekar Rajawali Sakti menjadi maklum. Segera mereka berpencar dan mencari buruan di dalam bangunan lainnya. Sementara itu, Malim Jenaka terus berputar-putar memeriksa setiap ruangan.

Lama kelamaan Pendekar Rajawali Sakti menjadi tidak sabar juga. Dia terus berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Sampai akhirnya, mengendus bau bangkai manusia yang menusuk hidung. Tengkuk Rangga meremang berdiri.

“Aku tahu, kau bersembunyi di rumah ini, Serigala Putih! Tidak ada jalan bagimu untuk meloloskan diri, terkecuali bersedia kembali ke Lembah Tengkorak! Keluarlah. Dan, serahkan dirimu pada Candra Kirana! Semoga Dewa Langit mau meringankan hukumanmu!” teriak Rangga, keras.

Pendekar Rajawali Sakti menunggu sejenak. Suasana sepi terasa mencekam. Begitu sunyinya, sehingga pemuda berbaju rompi putih ini bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

“Titisan iblis! Keluarlah dari tempat persembunyianmu!” perintah Rangga lagi. Dari sebelah kiri Rangga terdengar suara menggeretak. Lalu terdengar dengusan napas binatang seperti sedang marah. Dan....

“Auuung...!”

Tiba-tiba terdengar lolongan panjang mendirikan bulu roma. Suara itu disusul melesatnya sebuah bayangan abu-abu ke arah Rangga. Pemuda berbaju rompi putih yang memang sudah bersikap waspada segera melompat menuju halaman. Ternyata, bayangan itu mengikutinya keluar.

Begitu bayangan itu mendarat, Rangga melihat sosok di depannya mempunyai wajah dan kepala seperti serigala. Matanya berwarna merah seperti bara. Lidahnya panjang terjulur. Di antara lidah itu terdapat dua pasang taring berwarna putih kemerah-merahan.

Sosok yang dihadapi Rangga memang tidak lebih dari manusia berwujud serigala, karena sosok satu ini berjalan dengan kedua kakinya. Hampir di sekujur badannya ditumbuhi bulu-bulu halus.

“Kau yang bernama, Boma?” tanya Rangga. Suaranya pelan, namun cukup jelas.

“Ya! Akulah Boma yang berjuluk Serigala Putih! Apakah kau menawarkan dagingmu untukku?” dengus Serigala Putih dengan suara menggiriskan.

Titisan iblis ini menjulurkan lidahnya yang menebarkan bau busuk. Namun Rangga hanya tersenyum. Makhluk yang satu ini besarnya memang luar biasa. Bahkan lebih besar dan lebih tinggi daripada Candra Kirana. Tapi yang jelas, Rangga tidak mau mengulur-ulur waktu lagi.

“Aku sengaja mencarimu bukan untuk menyerahkan diri. Melainkan, membantu Candra Kirana untuk memulangkanmu kepenjara di Lembah Tengkorak,” tegas Rangga.

“Kau boleh bermimpi! Tapi, jangan harap aku mau menuruti perintah Candra Kirana. Apalagi perintahmu!” desis Serigala Putih.

“Heh..., begitu? Kalau itu yang kau tempuh, berarti tidak ada cara lagi, selain jalan kekerasan,” tukas Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa pun kau, kuperingatkan padamu! Tidak ada senjata atau ajian apa pun yang dapat menghancurkan aku!” dengus Boma, jumawa.

“Jangan sombong! Di atas langit masih ada langit. Kau ingat-ingatlah itu!”

Serigala putih hanya mendengus. Sambil menggeram hebat, tubuhnya meluruk menyerang Rangga dengan buas. Melihat caranya melakukan serangan saja, Rangga sudah dapat merasakan betapa hebatnya titisan iblis satu ini. Untuk itu, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau bersikap setengah-setengah.

Rangga segera mengerahkan jurus-jurus andalan dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’. Dan perkelahian kedua tokoh ini pun berlangsung seru dan cukup menegangkan. Apalagi, Serigala Putih memang bermaksud memangsa Rangga!

“Terimalah kebinasaanmu! Heaaa...!” teriak Boma lantang.

Kembali tubuh Serigala Putih meluruk ke arah Rangga. Tangannya yang berkuku panjang menyambar wajah. Sedangkan mulutnya yang terbuka meluncur deras mengincar bagian leher.

“Uts!” Rangga cepat menghindar ke samping kiri. Dan belum lagi dia sempat bertindak lebih lanjut, Serigala Putih telah melesat kembali. Sekali lagi pemuda berompi putih berjumpalitan. Walau begitu, kuku Boma masih sempat menyambar bagian dada.

Bret!

“Aaakh...!” Rangga kontan terhuyung-huyung. Darah menetes dari bagian dada yang mengalami luka memanjang. Melihat darah di tubuh lawannya, Boma semakin bersemangat dan berubah menjadi liar.

“Hauung...!”

Disertai raungan keras, Boma meluruk kedepan. Tangannya kembali meluncur deras menghantam leher. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menghindari serangan ganas ini. Begitu serangan tiba, tubuhnya meliuk-liuk indah.

Kadang condong ke depan atau ke belakang, dengan gerakan kaki lincah. Sampai sejauh ini belum ada satu serangan pun yang mendarat di tubuhnya. Tiba-tiba Rangga membuat gerakan berputar. Kakinya seketika melepas tanpa dapat ditahan lagi.

Buk!

“Grrrghh...!”

Hebatnya, Serigala Putih hanya terhuyung-huyung saja. Padahal, tendangan Rangga mengandung tenaga dalam tinggi.

Buk!

“Aaakh...!”

Sebaliknya, ketika Boma berbalik melakukan serangan, tanpa ampun lagi Rangga jatuh terjengkang. Tinju Serigala Putih telak sekali menghantam perutnya. Darah mengucur dari sudut-sudut bibir Pendekar Rajawali Sakti. Namun secepatnya dia bangkit berdiri. Kini wajahnya berubah dingin. Tatapan matanya tajam menusuk.

Beberapa gerakan dilakukan. Kedua kakinya membentuk kuda-kuda kokoh. Begitu tenaga dalamnya disalurkan pada kedua tangan, sinar biru langsung membungkus sampai sebatas siku. Dan tiba-tiba Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan.

“Heaaa...!”

Saat itu juga meluncur sinar biru dengan pengerahan aji ‘Cakra Buana Sukma’ ke arah Serigala Putih. Boma terkejut melihat apa yang dilakukan lawannya. Tanpa ampun lagi, sinar biru itu menghantam dadanya.

Blarrr!

“Aaa...!”

Walau telak sekali sinar biru itu menghantam Serigala Putih, anehnya tubuh titisan iblis itu hanya terbanting saja. Kendati demikian, lukanya cukup parah. Padahal, aji ‘Cakra Buana Sukma’ adalah ajian terdahsyat yang dimiliki Rangga!

Selama ini, setiap lawan yang terkena ajian ini pasti hancur berkeping-keping tubuhnya. Saat itu Boma sudah berdiri lagi, walaupun tubuhnya dipenuhi luka. Tampaknya dia seperti tidak merasakan akibat apa-apa. Dengan lidah menjulur-julur, kedua tangan disilangkannya ke depan dada. Tampaknya dia memang bermaksud melepaskan pukulan yang sangat dahsyat. Terbukti, dari kedua tangannya mengepul kabut tipis berwarna hitam.

Rangga tentu tidak tinggal diam. Dengan sikap waspada, kembali disiapkan ajiannya. Tetapi sebelum niatnya kesampaian....

Set!

Mendadak selarik sinar merah melesat ke arah Boma, tanpa seorang pun mampu menghalanginya. Dan....

Glarrr!

“Aaagkh...!” Ledakan keras disertai jerit menyayat terdengar, ketika sinar merah itu menghantam Boma. Tubuh Serigala Putih kontan terlempar sejauh tiga tombak. Dia tewas seketika begitu tubuhnya menyentuh tanah. Pendekar Rajawali Sakti cepat menoleh ke arah datangnya sinar merah tadi. Ternyata, di sana telah berdiri Candra Kirana.

“Aku terpaksa membunuhnya, Rangga! Dia tadi hendak melepaskan pukulan paling keji di muka bumi ini. Aku yakin dia tidak pernah menyerah!” tegas Candra Kirana. “Pusaka Lidah Setan ini yang membunuhnya.”

Rangga menarik napas lega. Kembali diperhatikannya mayat Boma. Tapi, ternyata mayat tersebut sudah lenyap dari pandangan mata.

“Ingat! Dia titisan! Mayatnya tentu raib begitu saja!” Sekali lagi Candra Kirana menjelaskan.

“Kuucapkan terima kasih atas bantuanmu, Rangga. Sekarang aku harus kembali keLembah Tengkorak!” lanjut Malim Jenaka.

“Baiklah, Kek. Kuucapkan selamat jalan,” sahut Rangga.

“Selamat bertugas, Rangga.”

Malim Jenaka sambil menuntun Pedut Ireng melambaikan tangannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga tersenyum sambil membalas lambaian tangan kakek gendut itu.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: DEWA SESAT

Pusaka Lidah Setan

PUSAKA LIDAH SETAN

SATU

“Ampun Tuan... ampun... jangan bunuh kami." Ratapan memelas ini meluncur dari dua orang laki-laki berpakaian bangsawan. Sambil berkata demikian, mereka berlutut dan menyembah-nyembah pada seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba hitam. Tak jauh dari mereka, sebuah kereta kuda tampak hancur berantakan. Masih di sekitar tempat itu, seorang gadis dalam keadaan tak berdaya didekap seorang laki-laki bertampang bengis.

“Percayalah, Tuan. Kami tidak punya apa-apa lagi, selain yang berada dalam kotak itu...!” tegas salah seorang berpakaian bangsawan itu dengan suara mantap.

“Ha ha ha....! Aku Kaswa Tama, Kepala Gerombolan Singo Garong tentu saja percaya dengan ucapanmu, Orang Kaya. Ha ha ha...!” sahut laki-laki berpakaian hitam, dengan tubuh tinggi tegap.

Wajahnya angker dan hanya mempunyai sebelah mata. Dia tadi mengaku bernama Kaswa Tama.

“Cambuk mereka!”

Tiga orang serentak maju ke depan begitu mendapat perintah Ketua Gerombolan Singo Garong ini. Cambuk mereka langsung terayun, dan menghantam kedua bangsawan ini.

Ctar! Ctarrr...!

“Aaakh...!”

“Jangan..., jangan kalian sakiti saudara-saudaraku...!” ratap gadis yang berada dalam dekapan seorang anggota Gerombolan Singo Garong penuh permohonan.

Kaswa Tama tersenyum dingin. Matanya jelalatan ketika melihat gadis itu. Segera dihampirinya gadis itu, langsung dicium pipinya dengan kasar.

“Jangan kau pikirkan saudara-saudaramu yang bodoh! Mereka memang tidak pantas hidup lebih lama...!” desis Kaswa Tama.

“Kalian adalah iblis keji!” teriak gadis berpakaian indah dan mewah itu penuh marah. Namun teriakan maupun caci maki gadis ini sama sekali tidak digubris Kaswa Tama dan anggotanya. Bahkan Kepala Gerombolan Singo Garong ini segera memberi aba-aba dengan menjentikkan ibu jari dan jari tengah.

Tak! Set!

Begitu terdengar jentikan, seorang anggota Gerombolan Singo Garong ini mencabut sebuah golok besar. Dan senjata yang berkilatan tertimpa sinar matahari tiba-tiba berkelebat, menyambar kepala kedua laki-laki malang ini. Lalu....

Cras!

“Aaa...!” Jerit kematian terdengar disusul menyemburnya darah dari batang leher mereka. Melihat nasib dua saudaranya yang mengenaskan, tangis gadis bangsawan ini kontan meledak bagai bendungan jebol. Saat itu juga, dia tidak sadarkan diri. Pingsan!

“Ha ha ha...!” Kaswa Tama tertawa tanpa ada rasa kasihan sedikit pun. Wajahnya tetap dingin, ketika memberi isyarat untuk bergegas pergi menuju tempat persembunyian yang terletak di Bukit Kapur.

Meninggalkan dua sosok mayat dengan kepala terpisah, di pinggiran kota Kerajaan Prabu Mulih. Sebuah Kerajaan yang semula aman tenteram, gemah ripah lok jinawi, kini berubah menjadi kerajaan semrawut, penuh kebengisan, kekuasaan, kelicikan, dan kesewenang-wenangan.

********************

Semula, Kerajaan Prabu Mulih diperintah Gusti Prabu Siwanada, seorang raja yang adil dan bijaksana. Tak heran kalau rakyatnya merasa tenteram penuh kesejahteraan. Namun setelah terjadi pemberontakan berdarah oleh seorang patih bernama Antasena yang kemudian menikahi Permaisuri Dewi Trijata, keadaan berubah tak menentu.

Begitu Gusti Prabu Siwanada dikabarkan tewas setelah terjadi pemberontakan, kesengsaraan mulai menggerogoti kesejahteraan rakyat. Kejahatan timbul di mana-mana. Keselamatan dan keamanan rakyat mulai terancam. Apalagi, Gusti Prabu Antasena yang berkuasa sekarang, seperti tak mempedulikan rakyatnya.

Bahkan konon, raja itu lebih suka hidup bermewah-mewah bersama para pembesar kerajaan yang berjiwa penjilat. Mereka lebih suka berasyik ria bersama gadis-gadis pemuas nafsu, serta minum-minuman keras. Keadaan semakin tak menentu, setelah puluhan prajurit kerajaan dikabarkan hilang secara aneh.

Kendati demikian, banyak pembesar istana yang seperti tak mempedulikan. Mereka seakan pasrah terseret nafsu kekuasaan serta gelimang harta. Tapi tentu saja, tak semua pembesar istana yang bersikap pasrah seperti itu. Seorang patih yang dikenal bernama Ki Kusuma, agak termasuk orang yang peduli pada kesengsaraan rakyat Kerajaan Prabu Mulih.

Bila untuk melawan raja sudah tak mungkin, maka kepeduliannya diungkapkan lewat penyambungnya ke rumah-rumah penduduk yang tergolong miskin sambil berderma. Di samping itu, Ki Kusuma juga merasa tertarik dengan hilangnya para prajurit Kerajaan Prabu Mulih. Maka dia pun berniat menyelidikinya. Ke manakah hilangnya para prajurit itu?

********************

Senja terasa hangat. Siang tadi, matahari bersinar terik sekali. Sehingga saat-saat seperti ini, yang tertinggal adalah suasana hangat. Dan itu sangat dirasakan betul oleh seorang laki-laki tua berpakaian kebesaran kerajaan, yang tengah memacu kudanya meninggalkan benteng Kerajaan Prabu Mulih.

Tak ada yang begitu memperhatikan laki-laki tua itu. Sementara suasana kota Kerajaan Prabu Mulih tampak lengang. Memang harus diakui, sejak tewasnya Gusti Prabu Siwanada ditangan Antasena saat terjadi pemberontakan, suasana kota tidak seramai dulu.

Bahkan boleh dikatakan sangat sunyi. Penduduk kota yang masih tetap tinggal dan bertahan jarang yang berani keluar rumah kalau tidak ada keperluan yang mendesak. Karena, begitu banyak kejadian yang tidak terduga dapat mengancam keselamatan.

“Hiya! Hiyaaa...!”

Tiba di luar batas kota, laki-laki tua berpakaian kerajaan dengan pangkat patih ini menghentikan lari kudanya di depan sebuah bangunan yang tampak porak-poranda.

“Hm.... Aku tadi seperti melihat ada orang lewat sini! Mengapa begitu cepat menghilang dari pandanganku?” Baru saja gumaman laki-laki tua berpakaian kerajaan ini menghilang....

Buk!

Tiba-tiba saja suatu benda jatuh terhempas didepan kaki kuda patih Kerajaan Prabu Mulih itu. Ketika memperhatikan dengan teliti, dia tampak terlihat terkejut dengan mata melotot. Tampak kepala manusia yang masih berlumuran darah seperti sengaja dilemparkan seseorang padanya.

Set! Set!

Belum habis keterkejutan patih itu, dari atas bangunan yang porak-poranda meluncur benda-benda yang sama ke arah pati itu. Laki-laki tua ini cepat berusaha menghindari dengan melenting ke belakang dan langsung berkelit lincah.

“Gila! Siapa yang telah berbuat begini kejam?! Apakah mungkin ada manusia memakan manusia?!” dengus patih itu.

“Grauung...!”

Belum terjawab pertanyaan patih itu, terdengar sebuah raungan panjang seperti suara auman harimau. Dan itu seakan menjawab pertanyaan yang menggganjal hati patih kerajaan ini. Tanpa menunggu lebih lama, patih ini berkelebat ke arah datangnya suara tadi.

“Aku harus melihat, apakah itu suara binatang buas atau manusia yang sengaja menakut-nakuti aku!” gumam patih itu pelan sambil berkelebat.

Sampai di dalam bangunan yang kosong, laki-laki tua ini melihat tulang-belulang berserakan dalam jumlah lebih besar lagi. Dia terkejut sekali, karena juga melihat pakaian prajurit-prajurit Kerajaan Prabu Mulih berserakan disitu.

“Siapakah yang telah melakukan perbuatan gila ini?! Mustahil ada harimau berkeliaran dikota ini?!” desisnya.

Tanpa disadari, bulu tengkuk laki-laki tua ini meremang berdiri. Sekujur tubuhnya terasa tegang. Jelas sudah banyak kejadian ganjil dikota Kerajaan Prabu Mulih.

“Hauuummm...!”

Sekali lagi terdengar suara raungan. Dinding-dinding ruangan bergetar. Dari kegelapan didalam ruangan, orang tua ini melihat dua pasang mata berwarna merah bagaikan nyala api yang tengah memperhatikannya diwarnai nafsu membunuh.

“Hm.... Sebaiknya aku kembali dulu, untuk memberi laporan pada Gusti Prabu...,” gumam patih ini.

Tanpa membuang-buang waktu lagi patih Kerajaan Prabu Mulih ini berbalik dan berkelebat keluar dari bangunan yang porak-poranda ini. Baru saja beberapa tombak laki-laki ini keluar bangunan, dari kanan-kiri bermunculan tidak kurang dari lima orang prajurit kerajaan.

Patih ini segera mengenali kalau prajuti yang menghadangnya tidak lain adalah yang menghilang beberapa hari lalu. Hanya yang menjadi pertanyaan, tampaknya ada sesuatu yang tidak wajar pada diri mereka. Para prajurit ini tampak tidak hormat. Bahkan terkesan dingin, dengan maksud tak baik.

“Kalian mengapa di sini?” tanya patih itu.

“Ha ha ha...! Raja memberi perintah agar kami bertugas di sini, Kusuma!” tegas salah seorang prajurit, mewakili kawan-kawannya.

“Heh...?!” Patih Kerajaan Prabu Mulih yang tak lain Ki Kusuma terkejut melihat cara para prajurit yang sama sekali tidak mengenal tata krama dan peradatan sama sekali saat berhadapan dengannya. Sikapnya tidak hormat pada atasan. Anehnya lagi, mereka tetap tersenyum dingin!

“Raja tidak pernah memberi perintah pada kalian supaya berjaga-jaga di sini. Kalian harus kembali ke istana, kalau tidak ingin mendapat hukuman berat!” perintah Patih Kusuma tegas.

Prajurit-prajurit itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka menggelengkan kepala berulang-ulang.

“Kami memang sudah ditempatkan di sini. Jadi tidak mungkin kalau menyalahi peraturan!” sergah prajurit yang berbadan kekar.

“Peraturan mana yang mengharuskan kalian berada di sini?” tukas Patih Kusuma, semakin heran.

“Peraturan mana saja yang kami suka!” jawab prajurit itu, seenaknya.

Patih Kusuma menjadi berang dibuatnya. Jelas ada yang tidak beres telah terjadi pada mereka. Apa sebabnya, patih ini tidak tahu.

“Kalian sudah pada gila rupanya!” bentak Patih Kusuma, marah.

“Heh..., Kusuma! Jangan berani kurang ajar kepada kami, ya? Nanti kupatahkan batang lehermu!”

“Kurang ajar! Seharusnya kalian yang menghormat padaku! Bahkan sebaliknya!” geram Patih Kusuma.

Tanpa diduga-duga para prajurit itu langsung mencabut pedang. “Bunuh dia!” perintah prajurit yang berbadan tegap sambil menudingkan pedangnya.

“Hiyaaa!”

Serentak para prajurit menyerang Patih Kusuma dari semua penjuru. Pedang dan tombak di tangan mereka menderu, mencari sasaran.

Patih Kusuma tidak tinggal diam. Dia merasa yakin prajurit-prajurit yang telah berubah menjadi liar ini memang sulit diajak bicara lagi. Maka langsung disambutnya serangan dengan jurus-jurus tangan kosong.

Tentu saja Patih Kusuma bukan tandingan prajurit-prajurit yang berkepandaian pas-pasan ini. Terbukti ketika senjata-senjata mereka meluncur deras ke bagian-bagian yang mematikan, dengan gerakan ringan Patih Kusuma mampu menghindar sekaligus menangkis.

“Huup!”

Trak! Trak!

Tiga orang prajurit terdorong mundur. Senjata mereka ada yang berpelantingan. Tapi anehnya, mereka cepat meluruk kembali ke arah Patih Kusuma. Luncuran senjata mereka lebih cepat Bahkan dirasakan Patih Kusuma sebagai sesuatu yang tidak wajar. Para prajurit itu sekarang seperti mempunyai kekuatan berlipat ganda.

“Heaaa...!” Patih Kusuma tiba-tiba saja mengibaskan tangannya ke empat penjuru.

Wusss...!

Seketika bertiup angin kencang menderu disertai hawa panas bukan main. Sementara para prajurit itu sudah tidak menyelamatkan diri lagi. Maka....

Glarrr!

“Wuaakh...!”

Lima orang prajurit kontan menjerit keras. Tubuh mereka berpelantingan dalam keadaan hangus. Patih Kusuma melihat kelima prajurit itu tidak bangun-bangun lagi.

“Aku harus melaporkan kejadian ini pada raja secepatnya!” kata Patih Kusuma.

Saat itu juga Patih Kusuma berkelebat, menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan, dia melompat ke punggung kuda dan langsung menggebahnya. Di luar pengetahuan laki-laki tua itu, kiranya para prajurit yang dalam keadaan hangus dan tidak bernyawa bangkit kembali. Mereka dengan seenaknya berjalan menuju ke satu tempat di sudut kota.

********************

DUA

Seorang laki-laki tua bertopi caping berjalan santai di jalan utama menuju kota Kerajaan Prabu Mulih. Umurnya kira-kira sudah delapan puluh tahun. Wajahnya bulat. Rambutnya putih. Perutnya besar, cocok dengan badannya yang tegap tinggi. Bibirnya selalu tersenyum dengan mata bulat, penampilannya jadi terkesan lucu.

Di bahu laki-laki tua berperut besar ini tersampir dua buah rantai baja yang selalu bergemerincingan. Satu hal yang menjadi kebiasaannya, dia selalu mengusap-usap perutnya yang bundar. Udara terasa penat siang ini. Kegersangan disekelilingnya membuat laki-laki tua itu cepat bosan. Untuk menghilangkan kebosanan, mulutnya mendendangkan tembang dengan kacau dan tidak sedap didengar. Baru beberapa kejap kakek gendut ini menembang....

“Berhenti...!”

Terdengar bentakan keras yang disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari kiri dan kanan jalan yang ditumbuhi semak. Namun kakek gendut itu bersikap acuh. Dia terus saja menembang tanpa menghentikan langkahnya. Seorang laki-laki berbaju hitam yang agaknya jadi pemimpin melompat ketengah jalan.

“Berhenti kataku!” bentak laki-laki berbaju hitam ini marah.

Kakek perut gendut ini menghentikan langkahnya dengan kening berkerut. Diperhatikannya orang di depan dengan bibir tetap menghiaskan senyum.

“Siapa kau? Mengapa lancang benar menghentikan langkah si Candra Kirana...?” tanya kakek gendut yang mengaku bernama Candra Kirana tidak senang.

“Ha ha ha...! Orang tua berperut besar! Kalau kau mau tahu, akulah Kaswa Tama, Ketua Gerombolan Singo Garong,” jelas laki-laki berbaju hitam yang tak lain Kaswa Tama.

“O, hanya tikus comberan yang kuhadapi. Kukira kau raja yang patut kuhormati. Tidak tahunya, hanya maling pasar yang berani mementang kumis di depan Candra Kirana! Ho ho ho...! Mimpi apa kau semalam? Apa yang dapat kuberikan padamu, Singo?” tukas Candra Kirana, masih tetap tersenyum.

“Jika kau bermaksud ke kotaraja, sebaiknya tinggalkan barang berharga pada ketua kami. Dengan demikian, keselamatanmu dijamin...?” ujar salah seorang anak buah Kaswa Tama.

“Begitu?” tukas Candra Kirana sambil tetap mengumbar senyum.

“Ya...! Hanya itu satu-satunya cara jika perjalananmu tak ingin terganggu!” tegas Kaswa Tama.

“Aku tahu, kalian adalah pemeras tengik. Kalau kalian punya satu cara, maka aku punya banyak cara untuk menyingkirkan kalian! Cepat enyahlah! Aku tidak punya barang apa-apa, kecuali pakaian yang melekat di badanku. Juga, rantai baja yang pasti kalian tidak menyukainya!” ujar Candra Kirana, tegas.

Merasa disepelekan, Kaswa Tama kontan melotot dengan gigi bergemelutuk. Amarahnya telah naik sampai ubun-ubun. Segera diberinya isyarat pada kedua anak buahnya untuk melakukan penggeledahan. Dengan patuh pula dua dari kelima anggota Gerombolan Singo Garong bermaksud melakukan pemeriksaan.

Namun mana sudi Candra Kirana diperlakukan begitu rupa? Saat tangan kedua pemuda anak buah Kaswa Tama mulai memeriksa, dengan gerakan cepat luar biasa kedua tangannya mengibas.

Plak! Plak!

“Wuaagkh...!”

Kedua pemuda itu kontan menjerit keras dan melompat ke belakang sejauh dua tombak. Mereka segera memeriksa tangan masing-masing.

“Tanganku...!” pekik keduanya hampir bersamaan. Ternyata kedua tangan mereka tak bisa digerakkan lagi. Tulang mereka hancur. Kejadian yang berlangsung singkat ini tentu saja sangat sulit dipercaya Kaswa Tama.

“Kurang ajar! Kau telah membuat cedera kawan-kawanku, Keparat!” maki Ketua Gerombolan Singo Garong dengan mata melotot.

“Siapa berani mendekat, berarti cari penyakit Kalian manusia kurang ajar yang tidak tahu bagaimana menghormati orang tua sepertiku...!” balas Candra Kirana seenaknya.

“Gendut gila! Bunuh dia...!” teriak Kaswa Tama, sambil memberi aba-aba pada anak buahnya.

Serentak tiga anggota Gerombolan Singo Garong menyerbu. Berbagai macam senjata segera menghujani Candra Kirana. Namun kakek berperut gendut ini melayani serangan sambil tertawa-tawa.

“Hiyaaa...!”

Wut!

Tiga buah senjata meluncur deras ke arah Candra Kirana. Dengan gerakan ringan sekali, kakek berperut gendut melenting keudara seraya berjumpalitan. Maka, senjata-senjata itu hanya membabat angin kosong setengah jengkal di bawah kaki. Ketika meluncur deras ke bawah, tangan kakek berperut gendut ini menjulur ke bagian kepala salah seorang pengeroyok. Dan....

Prak!

“Aaa...!” Seorang anggota Gerombolan Singo Garong ini menjerit keras.Tubuhnya terpelanting, dan roboh ke tanah dengan kepala pecah mengucurkan darah.

“Ho ho ho...! Siapa yang sudah bosan hidup, cepat maju! Malim Jenaka dengan senang hati aku bersedia mengirim kalian ke lubang kubur!” ejek Candra Kirana yang ternyata berjuluk Malim Jenaka ini sambil tertawa-tawa.

Tangan anak buahnya dibuat remuk saja Kaswa Tama marahnya bukan main, apalagi sekarang melihat salah satu anak buahnya tewas dengan kepala pecah mengerikan. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuhnya meluruk ke depan disertai teriakan keras. Tinju kanan-kiri menjulur ke arah perut Candra Kirana.

Malim Jenaka membiarkan luncuran tinju itu. Sementara tangannya menghantam dua lawan di depan. Tidak diduga-duga salah seorang lawan menyabetkan goloknya ke bagian tangan. Sehingga terpaksa kakek berambut putih ini menarik kembali tangannya. Sedangkan tinju Kaswa Tama tanpa ampun lagi menghantam perutnya.

Buk!

“Ho ho ho...!”

Bukannya terjajar, Candra Kirana malah mengusap-usap perutnya yang terkena tinju Kaswa Tama sambil tertawa-tawa kegelian. Ini sungguh membuat kaget Ketua Gerombolan Singo Garong ini. Padahal setengah dari tenaga dalamnya telah dikerahkan. Namun, justru dirinya sendiri yang terjajar.

“Gelitikanmu sungguh membuatku geli, Singo Jelek. Coba gelitik aku lagi. Tapi, aku harus membuat mampus kawan-kawanmu dulu. Barulah setelah itu, kita bebas berbuat apa saja!” ejek Malim Jenaka lantang.

Selesai Candra Kirana berkata, tubuhnya yang gemuk meluruk ke depan. Gerakannya ringan, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat sempurna. Dua anak buah Gerombolan Singo Garong terkejut, tetapi juga merasa senang karena sekarang dengan leluasa dapat menyodokkan golok ke tubuh laki-laki tua gendut itu.

Buk! Buk!

“Heh...?!”

Dua anak buah Kaswa T^ma terkejut setengah mati. Karena senjata mereka sama sekali tidak dapat menembus atau melukai tubuh Candra Kirana. Dalam keadaan terperangah begitu, tiba-tiba Malim Jenaka menjulurkan kedua tangannya kearah mereka.

Tap! Tap!

Dalam waktu yang sekedipan mata, dua anak buah Kaswa Tama telah berada dalam cengkeraman Candra Kirana. Saat itu juga, laki-laki tua gemuk ini membenturkan dua tubuh itu satu sama lain. Dan....

Prak! Proook!

“Wuagkh!”

Wajah kedua anak buah Kaswa Tama kontan hancur akibat benturan satu sama lain. Begitu Candra Kirana melepaskannya, maka kedua pemuda ini jatuh terduduk tidak bangun-bangun lagi.

“Orang tua gila! Matilah kau! Heaaa...!” teriak Ketua Gerombolan Singo Garong dengan mata melotot.

Kaswa Tama tiba-tiba saja mencabut tombak pendek bermata ganda dari pinggangnya. Tindakannya ini disertai lesatan tubuhnya kearah Candra Kirana. Tombaknya meluncur deras menusuk ke bagian lambung. Malim Jenaka tentu tidak tinggal diam. Langkahnya cepat bergeser ke samping kiri sejauh dua tindak.

Sehingga, mata tombak membeset tempat kosong. Sementara Kaswa Tama sendiri terbawa luncuran senjatanya yang cukup berat. Melihat kesempatan baik ini, Malim Jenaka jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tangannya seketika berkelebat. Dan....

Krak!

“Aaa...!” Kaswa Tama kontan menjerit sekeras-kerasnya. Pinggangnya tahu-tahu terhantam tinju Candra Kirana hingga patah. Saat itu juga. Kaswa Tama ambruk, tanpa mampu melakukan perlawanan lagi. Melihat ketuanya tidak berdaya, dua orang anak buah Kaswa Tama yang tangannya hancur langsung berlutut di depan Candra Kirana.

“Ampun.... Kami mengaku kalah!” ucap kedua pemuda itu ketakutan.

“Kalian sudah kalah. Ha ha ha...! Lalu kalian menginginkan apa lagi dariku?” tanya kakek berwatak jenaka ini sambil mengusap perutnya yang bundar.

“Ka..., kami hanya ingin selamat saja. Beri kami keselamatan hidup agar dapat memperbaiki segala kesalahan yang pernah kami lakukan!” ratap salah seorang pemuda penuh permohonan.

“Kalian memang tikus pengecut! Aku mana mungkin dapat melepaskan tawananku begitu saja? Semua harus ada syaratnya,” sahut kakek bercaping ini tanpa menghilangkan senyumnya.

“Apa syaratmu, Tuan...?” tanya Ketua Gerombolan Singo Garong sambil menahan sakit luar biasa di pinggang.

“Ha ha ha. Bagus! Kiranya kau masih dapat bicara. Jawaban yang jujur turut menjadi pertimbanganku, apakah aku harus mematahkan lehermu atau tidak!” tegas Candra Kirana, bernada mengancam.

“Baik! Kalau aku tahu tentu aku segera menjawab dengan jujur,” sahut Kaswa Tama pasrah.

“Hm.... Apakah kalian tahu, siapa saja yang telah mengadakan kekacauan di Prabu Mulih?” tanya Candra Kirana.

“Kami sama sekali tidak tahu. Akhir-akhir ini, kota Prabu Mulih yang menjadi pusat kerajaan memang dalam keadaan tidak aman. Kotaraja yang telah berubah menjadi kota menyeramkan. Banyak orang yang hilang di sana. Beberapa pendatang juga tidak kembali. Kota itu telah berubah menjadi kota hantu. Kalau Tuan sudi mendengarkan aku, sebaiknya jangan coba-coba pergi ke sana!” saran Kaswa Tama, yang kini memanggil Candra Kirana dengan sebutan Tuan.

“Ho ho ho...! Mana mungkin aku membatalkan niatku? Aku punya tugas khusus di sana,” sahut Candra Kirana.

“Terserahlah. Sebagai pecundang, tentu kami tidak dapat melarangmu. Aku telah memberi peringatan yang terbaik!”

“Ya..., bagus! Kalian telah memberi peringatan padaku. Lain hari, kalau kulihat kalian menempuh jalan sesat lagi, maka aku tidak segan-segan menghabisi kalian bertiga!” ancam Candra Kirana, bersungguh-sungguh.

“Mana kami berani melakukan kejahatan lagi?”sahut Kaswa Tama sambil menundukkan kepala.

Ketika ketiga laki-laki itu mengangkat wajah kembali. Namun Malim Jenaka sudah tidak berada di situ lagi. Dia telah berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

********************

Di atas singgasana, Gusti Prabu Antasena duduk angkuh. Kecongkakan dan ketamakannya jelas tercermin di matanya yang beredar ke sekitarnya. Sedangkan di sampingnya duduk Permaisuri Dewi Trijata. Permaisuri bekas istri almarhum Gusti Prabu Siwanada ini memang lebih banyak diam.

Wajahnya selalu murung. Sehingga penampilannya beberapa tahun lebih tua dari usia yang sebenarnya. Permaisuri Dewi Trijata memang tidak pernah cinta pada raja yang dulunya adalah patih ini. Dia menjadi istri Gusti Prabu Antasena karena terpaksa. Dan memang tidak ada pilihan lain baginya.

Sebab Gusti Prabu Antasena yang congkak ini pernah mengancamnya. Jika wanita ini tidak mau menjadi permaisuri, maka Gusti Prabu Antasena akan menghukumnya dengan cara merusakkan wajah yang cantik itu.

Jika ancaman itu berupa hukuman pancung, Permaisuri Dewi Trijata tidak takut mati. Tapi jika harus cacat sepanjang sisa hidupnya, maka dengan terpaksa pilihan kedua diterimanya. Dan sebenarnya pada dasar lubuk hatinya dia menyimpan dendam pada Gusti Prabu Antasena.

Di hadapan Gusti Prabu Antasena, duduk bersila Patih Kusuma yang menghadap untuk melaporkan kejadian yang menimpa prajurit-prajurit Prabu Mulih. Selain laki-laki tua itu, hadir pula panglima perang yang baru.

Namanya Panglima Ubudana. Laki-laki muda yang satu ini diakui kalau mempunyai ilmu olah kanuragan cukup tinggi. Itu terlihat dari sorot matanya yang tajam mengandung kekuatan kasat mata.

“Apa yang ingin kau sampaikan padaku, Patih?” tanya Gusti Prabu Antasena.

“Ampun, Gusti Prabu. Hamba ingin menyampaikan kabar tentang hilangnya prajurit-prajurit kita selama ini. Setelah hamba mengadakan penyelidikan, ternyata setelah ditemukan mereka telah berubah aneh. Saat ini mereka berada di pinggiran kota Prabu Mulih. Selain itu hamba juga melihat tulang-belulang berserakan dan beberapa pakaian prajurit. Seakan, kota ini telah dipenuhi binatang buas!” lapor Patih Kusuma, panjang lebar.

Mendengar laporan Patih Kusuma, Panglima Ubudana tampak terkesiap. Selama ini, dia memang kurang peduli terhadap hilangnya para prajurit yang sangat aneh ini. Di luar perhitungannya, rupanya Patih Kusuma telah melakukan penyelidikan!

“Benarkah prajurit-prajurit Kerajaan Prabu Mulih ini hilang, Panglima?” tanya Prabu Antasena sambil memandang Panglima Ubudana.

“Hamba kira berita ini terlalu dibesar-besarkan, Baginda. Memang hamba akui, ada beberapa prajurit dan perwira kerajaan yang tewas. Namun semua itu terjadi karena mereka berjuang membela keutuhan kerajaan ini dari rongrongan pihak pemberontak!” sanggah Panglima Ubudana.

Gusti Prabu Antasena tersenyum. Sebuah senyum penuh arti. Apalagi dia sadar betul kalau selama naik takhta, Patih Kusuma kurang menyukainya. Patih tua ini masih merupakan orang-orangnya Gusti Prabu Siwanada. Bagaimanapun, sudah tentu bisa menjadi duri dalam daging, jika Gusti Prabu Antasena tidak menyingkirkannya.

“Paman Patih! Kusesalkan tindakanmu yang terlalu tergesa-gesa memberi laporan. Sangat mustahil kota Prabu Mulih ini telah kedatangan penyusup! Apalagi, binatang buas pemakan manusia!” kata Gusti Prabu Antasena, seakan-akan mendukung penyataan Panglima Ubudana.

“Hamba tidak pernah mengada-ada. Apa yang hamba lihat, terbukti kebenarannya. Jika Baginda kurang percaya, dapat melakukan penyelidikan!” saran Patih Kusuma dengan suara tegas.

“Ampun, Gusti Prabu. Hambalah yang akan melakukan penyelidikan langsung! Gusti Prabu cukup menunggu hasil penyelidikan dari kami!” serobot Panglima Ubudana mencari muka.

“Bagus, Panglima. Sekarang kau boleh pergi. Lakukan penyelidikan sekarang,” sambut Gusti Prabu Antasena.

“Sendika, Gusti Prabu. Hamba berangkat sekarang,” sahut Panglima Ubudana, seraya menghormat dengan merapatkan telapak tangan di depan hidung. Lalu dia bangkit dan beranjak pergi.

Diam-diam Permaisuri Dewi Trijata tidak suka dengan sikap panglima perang yang suka mencari muka itu. Matanya sempat melirik, saat panglima itu menghilang dari ruangan ini. Sekarang, di dalam ruangan itu hanya tinggal beberapa orang saja.

“Patih! Lain kali berhati-hatilah dalam memberikan laporan. Di lingkungan kerajaan ini, masih banyak orang yang kucurigai. Bahkan bisa-bisa kumasukkan ke dalam penjara,” sindir Gusti Prabu Antasena.

Diam-diam Patih Kusuma terkejut juga. Hanya perasaannya itu berusaha disembunyikan. Dari awal, patih ini mencium ketidak beresan, termasuk bagaimana tiba-tiba Gusti Prabu Antasena punya senjata yang sangat ampuh. Sehingga, mampu mengalahkan senjata pusaka milik Gusti Prabu Siwanada.

“Hamba akan mengingatnya, Gusti Prabu. Hal-hal seperti ini hamba berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” sahut Patih Kusuma sambil menundukkan kepala dalam-dalam. “Sekarang hamba mohon diri....”

Patih Kusuma merapatkan telapak tangan didepan hidung, lalu mengundurkan diri dari hadapan Gusti Prabu Antasena. Sementara Gusti Antasena memandangi kepergiannya sampai patih itu hilang dari pandangan.

“Kanda terlalu menyudutkan Paman Patih Kusuma,” kata Permaisuri Dewi Trijata.

“Menyudutkan bagaimana, Dinda?” tanya Gusti Prabu Antasena.

“Semestinya Kanda tidak bicara begitu. Siapa tahu laporan Paman Patih Kusuma benar.”

“Semuanya akan kita ketahui dari Panglima Ubudana nanti. Jadi, Kanda harap Dinda tidak usah turut campur dalam hal pemerintahan!” sergah Gusti Prabu Antasena tidak senang

Permaisuri Dewi Trijata hanya diam membisu. Dia memang tidak pernah sependapat dengan laki-laki ini yang telah membunuh suaminya terdahulu. Dalam hati, dia selalu berdoa semoga perubahan segera terjadi. Sebab walau bagaimanapun, di luar sepengetahuan Gusti Prabu Antasena, Patih Kusuma sesungguhnya masih saudara kandung Gusti Prabu Siwanada.

********************

TIGA

Seorang pemuda berwajah tampan berbajurompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung menginjakkan kakinya di gerbang kota Prabu Mulih di pagi ini. Suasana kota yang terasa sunyi menimbulkan berbagai pertanyaan di benaknya sekaligus kecurigaan.

Biasanya sebuah kotaraja, di pagi buta sudah dipenuhi para pedagang, petukang, maupun para penduduk itu sendiri yang mencari nafkah. Tapi di sini?

Kecurigan pemuda ini makin bertambah, ketika semakin memasuki jantung kota yang tak terlalu besar ini. Ternyata, rumah-rumah kedai dan penginapan di kota Prabu Mulih banyak yang tertutup. Sulitnya, tidak ada orang untuk disapa. Kotapraja Prabu Mulih telah berubah seperti kota tanpa penghuni. Di jalan-jalan sepi yang dijumpainya hanya tulang-belulang berserakan.

Walau begitu pemuda yang tak lain Rangga yang terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti ini sadar betul ada beberapa pasang mata yang terus memperhatikan gerak-geriknya dari tempat-tempat tertentu.

Setelah agak lama berjalan menelusuri suasana kota yang terasa menyeramkan, Rangga menghampiri sebuah penginapan. Tempat ini walau tidak ramai betul, tapi masih ada juga orang yang lalu-lalang. Segera dimasukinya penginapan itu. Pendekar Rajawali Sakti langsung menghampiri seorang pelayan yang bertugas pada bagian penerimaan tamu.

“Masih ada kamar kosong, Kisanak?” tanya Rangga, ramah.

Laki-laki setengah baya ini tidak langsung menjawab. Matanya malah memperhatikan Rangga dengan alis berkerut.

“Kamar satu-satunya terletak dekat gudang. Kalau berkenan, boleh memesan. Biayanya dua keping perak!” jelas pelayan ini. Nada suaranya terdengar angkuh.

Tanpa tawar-menawar lagi, Pendekar Rajawali.Sakti langsung mengeluarkan dua keping perak dari balik celana.

“Apakah mau tidur sekarang?” tanya pelayan.

“Hari masih pagi. Rasanya, aku belum mau tidur. Mungkin nanti sore baru kemari lagi,” sahut Rangga.

“Sekarang mau ke mana?” tanya si pelayan lagi.

Rangga memperhatikan pelayan itu dengan pandangan menyelidik. Dia merasa heran, mengapa pelayan penginapan di kota ini serba ingin tahu urusan orang lain?

“Maaf, Kisanak. Kami selalu menghormati tamu-tamu. Kota ini sangat berbahaya bagi pendatang, maupun penduduk sini. Kalau boleh aku sarankan, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya jangan pergi ke mana-mana!” ucap pelayan ini, seperti bisa membaca pikiran Rangga.

“Terima kasih atas peringatanmu. Aku hanya ingin melihat-lihat suasana di sini tanpa maksud apa-apa,” jawab Rangga.

Pelayan penginapan tidak bicara apa-apa lagi dan segera mengantarkan Rangga ke kamar yang akan ditempati. Setelah itu, dia pergi kembali ke tempat tugasnya.

Pendekar Rajawali Sakti segera memeriksa kamarnya. Ruangan yang akan ditempatinya cukup terawat walaupun sempat tercium bau cukup aneh. Punggungnya segera direbahkan di atas ranjang kayu. Namun dia segera bangkit berdiri ketika teringat sesuatu yang mengganggu pikirannya begitu menginjakkan kaki di kota ini.

“Hmm.... Sebaiknya aku segera melakukan penyelidikan. Jika malam hari, kurasa semakin sulit bagiku untuk mengetahui apa yang terjadi di Prabu Mulih ini,” gumam Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti memilih jalan belakang untuk keluar dari penginapan agar tidak diketahui penjaga di depan. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna, tubuhnya melompat ke atas atap bangunan di samping penginapan. Hanya dalam waktu sebentar saja, dia telah berada dijalan.

Tetapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kaki di jalan yang sepi, dari balik pepohonan dari semak berlompatan beberapa sosok tubuh mengepungnya. Rangga sedikit terkejut. Para pengepungnya ternyata terdiri dari prajurit-prajurit kerajaan, dan juga orang-orang biasa yang tampaknya dari golongan persilatan.

“Orang asing! Sebaiknya menyerah pada kami untuk menghadap pimpinan kami!” bentak seorang prajurit yang bertubuh tinggi tegap.

“Kalian memerintahkan aku menyerah? Rasanya, aku merasa tidak berbuat kesalahan apa-apa?” tukas Rangga, kalem.

“Jangan bodoh! Kau telah memasuki Prabu Mulih tanpa seizin raja kami. Ini merupakan pelanggaran yang tidak bisa dimaafkan!” tegas laki-laki yang berpakaian sebagaimana orang persilatan.

“Siapakah raja kalian?” tanya Rangga menyelidik.

“Huh...! Antasena bukan raja kami! Dia hanya budak! Dan pimpinan kamilah yang berkuasa...!” dengus prajurit tinggi tegap.

Tanpa disadari prajurit itu telah kelepasan bicara. Sedikit banyaknya, Rangga mulai mengerti.

“Aku tidak mungkin menuruti perintah kalian. Kota ini terbuka bagi siapa saja. Mengapa sekarang ada larangan?” tolak Rangga, tenang

“Dulu memang begitu. Tapi sekarang, siapa pun yang berani memasuki kota ini harus ditangkap dan diadili!” tegas prajurit itu semakin tidak sabar.

“Larangan kalian benar-benar tidak masuk akal. Maaf, aku tidak dapat memenuhi keinginan kalian!” jawab Rangga disertai senyum.

Para prajurit dan orang-orang persilatan yang tergabung menjadi satu saling pandang sebentar. Tetapi kemudian salah seorang langsung memberi isyarat untuk menyerang pemuda berbaju rompi putih ini.

“Heaaa...!”

Tidak dapat dihindari lagi, pertarungan sengit terjadi. Para prajurit maupun orang-orang berpakaian persilatan menghujani Pendekar Rajawali Sakti dengan berbagai macan senjata. Dan walaupun mereka mempunyai ilmu olah kanuragan tidak seberapa tinggi, namun karena jumlah mereka cukup besar dalam waktu sekejap Rangga telah berada dalam kepungan.

Dalam menghadapi serangan-serangan cukup ganas ini, Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Dengan gerakan-gerakan kaki yang begitu lincah sambil meliuk-liukkan tubuhnya, setiap serangan yang datang berhasil dihindari.

Melihat tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh jubah pemuda tampan berbaju rompi putih ini, maka para pengeroyok semakin bertambah marah. Mereka segera mulai meningkatkan serangan.

Dari gerakan-gerakan yang kaku, Rangga menduga kalau orang-orang yang menyerangnya memang seperti ada yang mengendalikan. Bahkan serangan-serangan mereka tampak membabi buta. Dan Pendekar Rajawali Sakti jelas tidak mungkin menghindar terus. Tiba-tiba....

“Hiyaaa...!” Dibarengi teriakan keras, Rangga melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk seraya mempergunakan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Saat itu juga, kakinya menyambar ke bagian kepala lawan-lawannya.

Prak! Prak!

“Aaa...!”

Tiga orang prajurit dan satu dari rimba persilatan kontan menjerit keras, ketika kaki Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung tenaga dalam tinggi menghantam remuk kepala mereka. Darah langsung mengucur bercampur otak yang berhamburan.

Melihat hal ini, para pengeroyok yang lain tampak terkejut Tetapi itu terjadi tidak lama. Dua orang prajurit yang mempunyai tingkat kepandaian lebih tinggi segera meluruk deras ke arah Rangga. Tombak salah seorang meluncur deras ke bagian dada. Sedangkan yang satu lagi mengancam bagian selangkangan. Pendekar Rajawali Sakti cepat menggeser langkahnya kesamping. Tubuhnya dimiringkan, tanpa sempat diketahui lawan.

Wut! Wut!

Begitu serangan kedua prajurit luput, Rangga melihat sebuah peluang cukup baik. Sebelum mereka sempat berbalik dan melakukan serangan lagi, kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang terkepal sudah menjulur menghantam punggung.

Buk! Buk

“Hugkh...!”

Kedua orang itu kontan jatuh tersungkur disertai semburan darah segar. Jelas sekali prajurit kerajaan ini menderita luka dalam yang tidak ringan.

“Heaaa...!

Melihat dua orang roboh yang lainnya bukan menjadi jera, bahkan berubah beringas. Kembali berbagai senjata menghujani Rangga. Sementara itu, lama-kelamaan Pendekar Rajawali Sakti menjadi jengkel juga. Habis sudah kesabarannya.

“Kalian memang sulit mengerti rupanya. Baiklah.... Kalau ini memang maunya kalian, jangan salahkan aku jika terpaksa harus membunuh!” desis Rangga dingin.

Dengan cepat Rangga melenting ke belakang. Begitu mendarat tenaga dalamnya disalurkan ke bagian tangannya dengan kuda-kuda kokoh. Saat itu juga Rangga berputaran sambil menghentakkan kedua tangan ke seluruh penjuru.

“Aji ‘Bayu Bajra’! Heaaa...!”

Segulung angin kencang langsung menghantam prajurit dan orang-orang persilatan, hingga berpentalan jauh bagai tersapu angin topan.

Duk! Duk!

“Aaa...!”

Terdengar jeritan di sana-sini, begitu tubuh para pengeroyok menghantam pohon hingga roboh. Mereka tak bangun-bangun lagi dengan bagian dalam tubuh remuk.

********************

Seorang laki-laki tua berbadan tinggi besar dengan perut bundar berjalan sambil terus menggerutu. Terkadang mempermainkan caping bambunya atau mengipas-ngipasnya kebagian kepala yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut putih.

“Banyak orang sengsara di kota mati ini. Semua ini karena ulah orang gila. Gila harta, gila kedudukan, dan gila perempuan! Karena ulahnya, aku terpaksa meninggalkan Lembah Tengkorak. Mana mungkin kubiarkan semua ini? Mereka setengah manusia setengah binatang...!” gumam laki-laki tua berperut bundar yang tidak lain Candra Kirana atau lebih dikenal sebagai Malim Jenaka.

Malim Jenaka termasuk sesepuh rimba persilatan. Hanya saja tak ada seorang pun yang tahu berada di mana golongannya. Kadang ikut membantu melenyapkan tokoh sesat. Tapi di lain waktu bentrok dengan tokoh lurus. Tingkahnya konyol dan lucu. Wataknya angin-anginan.

Sementara itu tidak jauh di depan jalan yang dilalui Candra Kirana, berjalan seorang pemuda berbaju rompi putih dengan arah berlawanan. Melihat pedang berhulu kepala burung rajawali, Candra Kirana langsung menggelengkan kepala.

“Ho ho ho...! Rupanya begini besar urusan diPrabu Mulih ini. Sehingga aku hari ini bertemu pendekar besar sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti?!”

Rupanya walaupun belum pernah bertemu. Candra Kirana telah mengenalinya. Dia sering mendengar kehebatan pemuda ini dalam membasmi kejahatan di rimba persilatan.

Rangga yang telah sampai di depan Malim Jenaka jelas tidak mampu menyembunyikan rasa kagetnya. Rangga memang belum pernah bertemu dengan kakek tinggi besar berperut bundar ini sebelumnya. Bagaimana mungkin orang tua ini mengenalinya?

“Maaf... Siapa kau ini, Orang Tua? Kalau boleh tahu apa nama besarmu?” tanya Rangga ramah sambil menjura dalam-dalam.

“Ha ha ha...! Pendekar Rajawali Sakti memang manusia rendah hati. Aku tak memiliki nama besar. Hanya orang mengenaliku sebagai Malim Jenaka...!” sahut Candra Kirana memperkenalkan diri dengan sikap merendah pula.

Rangga lebih terkejut lagi mendengar pengakuan Candra Kirana. Seingatnya, tokoh sakti yang jenaka ini tinggal di Lembah Tengkorak. Lantas, ada urusan apa dia sampai datang ke Prabu Mulih?

“Hmm.... Tidak kusangka hari ini aku bertemu seorang tokoh besar rimba persilatan. Maaf, apakah ada sesuatu yang ingin diselesaikan di sini?” tanya Rangga.

Malim Jenaka mengusap-usap perutnya yang bundar. Matanya berkedip-kedip, seakan sedang memikirkan sesuatu.

“Pendekar Rajawali Sakti.... Entah, bagaimana aku harus mengatakannya padamu. Mungkin aku tidak pernah mengatakannya. Aku malu untuk berterus-terang padamu. Aku hanya dapat memberi peringatan padamu kalau ada tiga bahaya besar yang sedang mengancam. Maksudku, mengancam keselamatan orang banyak!” jelas Candra Kirana.

Kening Rangga berkerut dalam. Sama sekali tidak dapat dipahami kata-kata Malim Jenaka. Entah, apa yang dimaksudkan dengan tiga bahaya besar itu?

“Dapatkah kau menjelaskannya padaku, Kakek Malim Jenaka?” tanya Rangga penasaran.

“Sudah kukatakan, aku sulit mengatakannya. Bahaya ini akibat ulah seseorang. Jadi, bukan kehendak siapa-siapa. Dan kalau bisa, tanganilah masalah Gusti Prabu Antasena. Sedangkan aku yang menyelesaikan dua persoalan lainnya,” tegas Malim Jenaka.

“Aku semakin tidak mengerti maksud ucapanmu, Kek,” sergah Rangga berterus terang.

Malim Jenaka bukannya menjawab pertanyaan Rangga, tapi malah tertawa-tawa. Perutnya terguncang. Air matanya sampai bercucuran. Di lain kejap dia malah menangis tersedu-sedu. Pendekar Rajawali Sakti jadi bingung melihat perubahan yang mendadak ini.

“Semua ini bukan salahku, Pendekar Rajawali Sakti. Tolong kau ringkus si Antasena itu demi aku. Demi keselamatan semua orang di Prabu Mulih ini,” pinta Malim Jenaka, setelah tangisnya berhenti.

“Apa kesalahannya?” tanya Rangga. “Dan kau sendiri, apa yang akan kau lakukan?” tanya Rangga.

“Antasena punya dosa tujuh lapis langit! Kau boleh menanyakannya pada orang yang tepat. Sedangkan urusanku sendiri, untuk sementara tidak dapat kukatakan padamu...!” jawab Candra Kirana tegas.

“Baiklah.... Aku tidak bisa memaksa. Aku akan menyelidiki keanehan keanehan yang terjadi dikotaraja ini,” desah Rangga tak begitu menjanjikan.

“Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti....” Setelah berkata demikian, Malim Jekana berkelebat melanjutkan perjalanannya.

Rasanya Rangga harus mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri, tentang keanehan-keanehan yang terjadi di kota Prabu Mulih ini. Malim Jenaka yang dijumpainya ternyata tidak mau berterus-terang. Di dalam kamar penginapan yang ditempatinya, hingga menjelang larut malam Pendekar Rajawali Sakti baru saja pulas.

Namun baru beberapa kejapan tertidur, sayup-sayup telinga Rangga yang tajam mendengar suara langkah kaki mendekati kamarnya. Rangga yang memang telah mematikan lampu segera mengerahkan aji ‘Tatar Netra’. Sebuah ajian yang dapat dipergunakan untuk melihat dalam kegelapan.

Ketika pintu perlahan-lahan terbuka, Pendekar Rajawali Sakti tetap berbaring sambil bersiap. Tampak sesosok berbaju hitam sedang mendekatinya perlahan-lahan dengan golok terhunus. Lalu...

“Hup!”

Mendadak Pendekar Rajawali Sakti bangkit. Tetapi, sosok yang menghampiri cepat melancarkan serangan dengan golok.

“Aku harus dapat menangkapnya, siapa pun dia!” desis Rangga sambil berkelit dan langsung melancarkan serangan balasan.

Sosok berbaju serba hitam itu hanya mendengus, serangannya semakin diperhebat. Namun, Rangga sudah tidak ingin mengulur waktu lagi.

“Hiyaaa...!” Tiba-tiba Rangga melompat ke depan. Kakinya bergerak menghantam kebagian wajah lawannya.

“Hup...!”

Tetapi sosok berbaju hitam ini cepat melompat mundur, sehingga tendangan Rangga hanya mengenai tempat kosong. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti berusaha melanjutkan serangan dengan hantaman tangan kanan, golok orang itu menyodok ke bagian dada.

“Uts!” Pendekar Rajawali Sakti terpaksa membuang diri ke samping, lalu berguling-guling. Dan baru saja Rangga bangkit, sosok serba hitam itu telah meluruk kembali dengan serangan mematikan. Dalam keadaan terdesak seperti ini, Pendekar Rajawali Sakti jelas tidak punya pilihan lain lagi.

Seketika tangannya membentuk paruh rajawali disertai tenaga dalam tinggi. Akibatnya, kedua tangannya berubah merah membara. Begitu serangan datang, Rangga mengegos sambil berputar ke kanan dengan kaki kiri sedikit terangkat. Dan tiba-tiba tangan kirinya mengibas ke belakang. Lalu....

Desss...!

“Aaa...!”

Tidak ampun lagi, tubuh orang itu terguling-guling disertai jerit kematian. Rupanya, Rangga telah mempergunakan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ untuk menghentikan perlawanan yang hampir saja membuatnya celaka.

EMPAT

Rangga segera memeriksa sosok yang menyerangnya. Sulit dikenali, karena tubuhnya telah berubah hangus. Segera diperiksanya bagian-bagian lain untuk mencari petunjuk. Dan ternyata pada salah satu saku sosok mayat ini ditemukan sebuah benda berbentuk kepala serigala terbuat dari perak berwarna putih. Rangga segera membawanya ke tempat yang terang untuk menelitinya lebih seksama.

“Ini semacam perkumpulan. Atau, boleh jadi gerombolan tertentu. Kurasa mereka berada dikota Prabu Mulih ini juga. Mungkin inilah salah satu ancaman berbahaya yang dimaksudkan Malim Jenaka. Tetapi mengapa Malim Jenaka sampai mau bersusah payah turun tangan?” gumam Rangga pelan.

Setelah memasukkan lambang serigala itu, Rangga segera menuju tempat pelayan bagian penerima tamu. Tetapi, betapa terkejutnya pemuda berbaju rompi putih ini ketika melihat pelayan itu telah jadi mayat, tergolek di atas meja kerjanya. Tubuhnya koyak berlumur darah, nyaris tinggal tulang-belulang saja!

Geram bukan main Rangga melihat pemandangan yang sangat mengerikan, sekaligus mengenaskan ini. Wajahnya sempat berubah tegang. Segera matanya beredar ke sekelilingnya.

“Hei..., berhenti...!” teriak Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba, begitu melihat satu sosok tubuh berkelebat di bagian depan penginapan.

Rangga segera berkelebat mengejar keluar. Namun begitu tiba di luar, dia kehilangan jejak. Sosok bayangan yang baru dilihatnya barusan menghilang begitu saja dalam kegelapan. Bahkan ketika Rangga mengerahkan aji ‘Tatar Netra’ tak ada sesuatu pun yang terlihat, kecuali pepohonan dan rumah-rumah penduduk.

Sekejap tadi, Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat sepasang mata berwarna merah menyala dari sosok yang bertubuh tinggi besar. Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah apa yang dilihatnya barusan tadi ada hubungannya dengan laki-laki yang tewas di tangannya? Lalu, siapa yang telah memangsa pelayan penginapan?

Melihat tubuhnya yang nyaris tinggal tulang-belulang, pastilah yang memangsa pelayan penginapan adalah binatang buas yang sangat besar. Kalau tidak harimau. Ya beruang!

Semakin dalam saja Rangga terhanyut dalam persoalan-persoalan yang masih diselubungi teka-teki,sejak kedatangannya di kota Prabu Mulih. Begitu banyak keanehan demi keanehan yang terjadi. Namun paling tidak Rangga sudah dapat mengambil kesimpulan, apa yang harus dilakukannya.

“Bunuh! Cincang Patih Kusuma yang gila itu!”

Pada saat Rangga tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba terdengar teriaka-teriakan keras yang diwarnai munculnya cahaya obor di sana-sini. Juga terdengar derap langkah kaki kuda.

“Jangan beri kesempatan meloloskan diri! Dia bisa mendatangkan penyakit di kemudian hari!” teriak seorang laki-laki berpakaian kebesaran kerajaan dengan pangkat panglima yang berada di punggung kuda.

Laki-laki di atas kuda berbulu putih itu tidak lain dari Panglima Ubudana. Rupanya panglima licik ini sedang mengejar Patih Kusuma. Dia dibantu oleh perwira tinggi kerajaan dan prajurit-prajurit bersenjata lengkap.

Sementara di depan para pengejar, Patih Kusuma dalam keadaan terluka parah. Dia terus berusaha menyelamatkan diri. Namun karena telah kehilangan tenaga dan darah yang mengalir dari luka-lukanya, maka gerakannya menjadi semakin lemah. Rangga melihat pemandangan yang sungguh menyedihkan ini. Tanpa pikir panjang lagi, tiba-tiba tubuhnya melesat ke arah Patih Kusuma dengan kecepatan luar biasa.

Bet!

Langsung Pendekar Rajawali Sakti menyambar sekaligus memondong patih yang terluka itu. Selanjutnya tubuhnya terus berkelebat membawa Patih Kusuma ke tempat yang aman dengan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat tinggi. Melihat buruannya diselamatkan seseorang yang tidak dikenal, Panglima Ubudana menjadi marah sekali.

“Kejar! Bunuh kedua-duanya...!” teriak panglima itu memberi perintah.

Sangat disayangkan orang yang dikejar terus berkelebat secepat terbang. Hingga dalam waktu yang tidak lama, Panglima Ubudana beserta anak buahnya telah kehilangan jejak.

“Celaka! Kalau patih keparat itu dapat menyelamatkan diri, suatu saat pasti akan menjadi ancaman!” pikir Panglima Ubudana cemas. Dalam pada itu, salah seorang perwira tinggi kerajaan sudah datang memberi laporan.

“Ampun, Panglima. Buruan kita berhasil meloloskan diri. Hamba kira dia hampir tertangkap. Tapi, seseorang tidak dikenal telah menyelamatkannya!”

Panglima Ubudana berusaha menyembunyikan kekesalan dan rasa kecewanya. Rahangnya bertonjolan pertanda ia sedang menahan amarah.

“Sudahlah....Kita harus memberi laporan pada Gusti Prabu secepatnya. Semua pasukan kembali ke benteng istana!” bentak Panglima Ubudana geram.

********************

Pendekar Rajawali Sakti dengan telaten membersihkan luka-luka di tubuh Patih Kusuma. Terpaksa beberapa bagian luka dibalut. Setelah diobati dengan daun-daunan yang mempunyai khasiat tinggi. Matahari sudah mulai tinggi. Embun di ujung daun perlahan-lahan menguap.

Di bawah sebuah pohon rindang, tubuh lemah Patih Kusuma terbaring tidak berdaya. Sesekali terdengar suara erangannya yang lemah. Tampaknya, laki-laki tua ini memang menderita lahir dan batin. Masih untung Rangga dapat menyelamatkan, sehingga jiwanya sempat tertolong.

Sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh Patih Kusuma. Ini dilakukannya semata-mata adalah untuk mempercepat kesembuhan.

“Oh...!” Terdengar desahan Patih Kusuma. Agaknya dia mulai sadarkan diri. Perlahan-lahan matanya terbuka. Mula-mula yang dilihatnya samar-samar adalah seorang pemuda berbaju rompi putih berwajah tampan.

Tampak pedang berhulu kepala burung rajawali tersembul di balik punggungnya. Patih Kusuma segera dapat menduga pemuda berompi putih inilah yang telah menyelamatkan jiwanya.

“Oh..., dimana aku? Siapakah kau, Anak Muda?” tanya Patih Kusuma dengan suara perlahan.

“Paman patih berada di tempat aman. Namaku Rangga,” jelas pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti.

“Sebaiknya Paman jangan banyak bergerak dulu. Luka-lukamu memerlukan penyembuhan secepatnya!” Patih Kusuma terkejut.

Karena, ternyata pemuda berbaju rompi putih di depannya mengetahui dirinya yang sebenarnya. Namun hatinya merasa bersyukur, karena pemuda yang tidak dikenalinya telah menyelamatkan selembar jiwanya.

“Bagaimana kau mengetahui siapa aku, Rangga?” tanya Patih Kusuma heran. Rangga tersenyum, tidak langsung menjawab pertanyaan Patih Kusuma. Diperhatikannya patih itu dengan perasaan iba.

“Aku melihat paman dikejar-kejar panglima kerajaan dan bala tentaranya. Apa sebenarnya yang terjadi? Padahal, Paman sendiri adalah patih kerajaan pula?” tanya Rangga, penuh rasa ingin tahu.

“Banyak kejadian mengerikan berlangsung setelah Gusti Prabu Siwanada yang bijaksana tewas ditangan Antasena keparat itu!” geram Patih Kusuma.

“Jadi, Antasena menjadi raja setelah membunuh Gusti Prabu Siwanada?” desis Rangga dengan kening berkerut.

Patih Kusuma akhirnya menceritakan segalanya pada Rangga. Karena dia merasa yakin, pemuda itu pasti bersedia membantunya. Juga tidak lupa diceritakan tentang Raja Antasena yang sungguh menjijikkan. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti sendiri terus mendengarkan dengan seksama.

“Begitulah, Rangga. Tidak ada tempat yang aman di Prabu Mulih ini. Kotaraja telah berubah menjadi kota mati. Penduduk telah lama meninggalkannya, karena dihantui ketakutan!” tutur patih ini, mengakhiri ceritanya.

“Sejak kapan Paman menemukan orang-orang dimangsa makhluk yang sempat kulihat itu?” tanya Rangga.

“Sejak Antasena menjadi raja. Makhluk pemakan manusia itu apa pun namanya, mulai mencari sasaran. Bahkan tidak pernah berhenti memangsa siapa saja yang dijumpainya.”

“Aku sendiri melihat apa yang Paman katakana di penginapan. Satu hal lagi, aku pernah dikeroyok prajurit kerajaan yang bergabung dengan orang-orang dari persilatan. Mereka kuanggap aneh, karena katanya Raja Antasena hanya Raja Boneka! Ini sama artinya bahwa mereka mempunyai pimpinan sendiri!” urai Rangga.

“Ya...! Dua kekuatan yang tidak terlihat ini datang pada waktu hampir bersamaan. Kerajaan Prabu Mulih dalam bahaya besar, Rangga. Raja Antasena tidak bisa dibiarkan berkuasa terus. Aku mencium gelagat kalau senjata ampuhnya yang bernama Lidah Setan itu pasti ada hubunganya dengan kehadirandua kekuatan yang kukatakan tadi,” tambah Patih Kusuma.

“Apakah Paman sendiri masih punya pengikut-pengikut yang setia?” tanya Pendekar Rajawali Sakti ingin tahu.

“Sebagian prajurit yang tergabung dalam pasukan Antasena ada yang berada di pihakku. Aku sendiri sebenarnya adalah adik Gusti Prabu Siwanada. Untungnya sejak dulu aku selalu merahasiakannya. Hanya beberapa orang yang tahu. Jadi para pengkhianat itu tidak tahu siapa aku yang sebenarnya. Dalam keadaan begini, tentu saja aku mencemaskan keselamatan Gusti Ratu. Aku ingin menyelamatkannya!” tandas Patih Kusuma.

“Untuk saat sekarang, sebaiknya jangan dulu. Kita perlu mengatur siasat untuk merebut takhta Kerajaan Prabu Mulih. Kalau mungkin, tanpa harus mengorbankan nyawa!” sergah Rangga.

“Usulmu memang baik. Tapi, kita tidak mungkin dapat mengalahkannya tanpa menghancurkan senjatanya Lidah Setan!” tukas Patih Kusuma khawatir.

“Nanti akan kita pikirkan semua itu. Sekarang yang terpenting adalah keselamatan Paman dulu. Jika Paman sudah sembuh, tentu tidak ada halangan lagi bagi kita untuk menyusun rencana yang lebih baik!”

********************

Di pinggiran kota Prabu Mulih sebelah timur, Malim Jenaka tiba di sebuah bangunan besar yang sudah tak terawat lagi. Semak belukar tumbuh di mana-mana. Lumut-lumut menutupi dinding bangunan ini. Satu langkah laki-laki tinggi besar berperut gendut itu mundur, seperti mengambil ancang-ancang di depan pintu. Lalu....

Brakkk!

Dan pintu kayu jati pun terbuka lebar begitu Candra Kirana menendangnya. Dari dalamnya menebarkan bau busuk yang sangat mengganggu pernapasan. Kakek bercaping ini terpaksa menutup jalan napasnya. Rumah besar seperti yang telah ditinggalkan pemiliknya ini dalam keadaan gelap sama sekali. Sehingga, Candra Kirana alias Malim Jenaka terpaksa menyesuaikan penglihatannya.

Namun, sedikit pun Candra Kirana tidak menggeser tubuhnya dari depan pintu yang terbuka. Sehingga bila dilihat dari dalam ruangan, sosoknya tidak jauh berbeda dengan malaikat pencabut nyawa. Setelah lama memperhatikan ruangan yang gelap di depannya, tiba-tiba....

“Boma...!” teriak Malim Jenaka dengan suara lantang. “Aku tahu, kau berada di sini. Aku tahu, kau mendengarku! Aku datang memberi peringatan kepadamu, agar segera meninggalkan kota Prabu Mulih. Kuharap kau berhenti memangsa manusia. Kau harus pulang ke Lembah Tengkorak secepatnya, untuk menjalani masa hukuman yang dijatuhkan Guru padamu! Aku datang membawa perintah yang tidak bisa ditawar. Dari sekarang, waktumu tinggal sepekan lagi. Kalau dalam waktu yang kutentukan tidak juga menyerahkan diri secara sukarela, maka jangan salahkan, jika aku terpaksa bertindak kasar!”

Suara Malim Jenaka menggema ke seluruh ruangan yang sangat besar. Setelah gema suaranya menghilang, keadaan di sekelilingnya berubah sunyi kembali. Hanya beberapa saat saja keheningan berlangsung. Setelah itu....

“Ha ha ha...!”

Terdengar suara tawa seperti rentetan halilintar. Bangunan itu pun tergetar. Jelas, tawa itu disertai tenaga dalam tinggi. Hebatnya, Malim Jenaka sama sekali tidak terpengaruh. Bibirnya malah tersenyum-senyum.

“Kakang Malim Jenaka! Sekarang aku sudah berada di dunia bebas, bukan di Lembah Tengkorak lagi. Kakang tidak bisa memerintah seperti itu. Di sini aku punya janji. Di sini pula banyak makanan yang sangat kusukai. Mana mungkin aku meninggalkan kesenangan ini? Ha ha ha...!”

Begitu suara tawa itu lenyap, terdengar kata-kata keras, sehingga bergema. Suaranya bagai datang dari segala penjuru. Begitu angker dan mendirikan bulu kuduk.

“Mungkin apa yang kau katakan memang betul. Tapi masa hukumanmu di dalam penjara Kutukan belum berakhir. Kau harus kembali sesuai yang Guru pesankan kepadaku!” sahut Malim Jenaka, tak kalah keras.

Suatu hal yang sangat aneh. Jika Malim Jenaka saja pada saat ini telah berumur delapan puluh tahun, dapat dibayangkan usia gurunya. Mungkin telah berumur lebih dari seratus dua puluh tahun.

“Ha ha ha...! Mana bisa, Kakang Candra Kirana! Jika Kakang tetap memaksaku untuk kembali ke Lembah Tengkorak yang paling sangat kubenci, lebih baik aku bertarung denganmu sampai seribu jurus...!” sergah suara yang dikenali Candra Kirana sebagai suara adik seperguruannya yang bernama Boma.

“Kau mau melawanku, Serigala Putih? Kau pikir walaupun kau memakan daging manusia, aku takut padamu? Sekali-kali tidak, Serigala Putih. Aku tahu asal-usulmu. Kau manusia terkutuk, dari keturunan terkutuk pula. Dulu Guru telah berkenan mengambilmu sebagai seorang murid, semata-mata untuk menghilangkan kutukan yang telah menimpa keluargamu. Tapi kau ingkar janji...!” tukas Malim Jenaka, memanggil julukan Serigala Putih pada Boma.

“Cukup!” teriak Serigala Putih di kejauhan.

“Aku tidak suka mendengar segala ocehanmu. Datanglah beberapa pekan lagi kemari, jika ingin menjemputku. Semoga keputusanku tidak terlalu buruk bagimu...!” tukas Boma.

Candra Kirana tersenyum kecut. Tangannya mengusap-usap perut beberapa kali. Tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya berbalik dan melangkah ke pintu yang terbuka. Pintu jati menutup sendiri dengan hempasan yang sangat keras. Seakan ada kekuatan tidak terlihat yang telah mendorongnya.

Malim Jenaka sendiri tanpa menghiraukan apa yang terjadi di belakangnya segera berkelebat pergi. Hanya dalam waktu sekejap, Candra Kirana telah sampai di sebuah bangunan lain yang berukuran lebih besar dari yang didatanginya pertama tadi. Segera dihampirinya pintu yang tertutup. Namun belum sampai di depan pintu, beberapa sosok tubuh telah berkelebat kearahnya dan langsung mengepung dari seluruh penjuru.

“Ha ha ha...! Pedut Ireng! Aku tahu, kau bersembunyi di dalam rumah itu. Satu pertanyaanku, untuk apa kau mengumpulkan prajurit kerajaan dan orang-orang persilatan di sini? Apakah kau ingin membangun pasukan?” Sambil berkata demikian, Malim Jenaka, mengedarkan pandangan. Seolah-olah, dia tahu kalau ada sosok lain yang dicarinya ditempat ini.

“Ha ha ha...! Ternyata Kakang Candra Kirana menyusulku kemari. Pasti Guru yang telah memerintahmu ke sini, bukan?” Benar saja, tak lama dari dalam bangunan terdengar suara sahutan.

“Memang benar! Apa tanggapanmu jika aku mengajakmu kembali ke Lembah Tengkorak, Pedut Ireng?” tanya Malim Jenaka tegas.

“Aku jelas tidak mau. Aku bosan menjalani hukuman diLembah Tengkorak. Aku ingin bebas seperti sekarang ini. Akan kutunjukkan padamu, bahwa aku telah dijanjikan Raja Antasena untuk medirikan sebuah kerajaan berdampingan dengan Kerajaan Prabu Mulih!” sahut suara yang dikenali Candra Kirana sebagai suara adik seperguruannya yang bernama Pedut Ireng.

“Kau titisan iblis yang lugu. Janji manusia adalah janji pura-pura. Rupanya, kau telah bekerja sama dengan Antasena yang lalim itu dengan meminjamkan Pusaka Lidah Setan!” tebak Malim Jenaka.

“Kakang cukup cerdik! Antara aku dengan Antasena telah terjalin persahabatan cukup lama. Tidak ada salahnya kami saling percaya...!”

“Sebaiknya kau hentikan rencana gilamu, Pedut Ireng!” bentak Malim Jenaka.

“Mana bisa?! Semuanya telah kususun rapi. Mustahil aku menarik diri dari semua rencana yang telah kujalankan,” bantah Pedut Ireng.

“Baiklah.... Aku memberimu waktu dua pekan. Nanti, aku akan datang kemari lagi untuk membawamu kembali ke Lembah Tengkorak!” tegas Malim Jenaka.

Candra Kirana berbalik dan bermaksud berlalu dari tempat itu. Tapi tiba-tiba....

“Semua bawahanku! Beri pelajaran pada orang yang berani memberi perintah pada ketua kalian! Bunuh dia...!” perintah Pedut Ireng.

Malim Jenaka tertawa-tawa melihat belasan pengawal yang telah berhasil dipengaruhi titisan iblis ini menyerang secara serentak. “Kau telah berani melawanku, Titisan Siluman?! Hal ini hanya membuat hukumanmu di penjara bertambah panjang!” seru Candra Kirana lantang.

“Sudah, jangan banyak bicara! Bunuh orang tua gendut itu...!”

Sekali lagi terdengar ucapan bernada perintah Pedut Ireng dari dalam rumah. Berlomba-lomba para prajurit dan orang-orang persilatan menyerang Malim Jenaka. Kakek bercaping bambu ini tiba-tiba berjumpalitan diudara.

“Hiyaaa!”

Sing!

Dalam keadaan berjumpalitan, capingnya cepat dilemparkan ke arah penyerang. Para pengeroyok berusaha menghindari sambaran caping Malim Jenaka yang dapat bergerak aneh. Tetapi usaha yang dilakukan rupanya sia-sia saja. Buktinya caping bambu itu seperti mempunyai mata saja, menyambar wajah dan leher. Dan....

Cras!

“Wuaagkh!”

Beberapa prajurit berpelantingan dengan leher hampir putus disertai darah yang terus mengucur. Melihat kawan-kawannya tewas ditangan kakek berperut bundar ini, yang lainnya bukan menjadi jera, tapi mulai melancarkan serangan dengan kekuat an berlipat ganda.

LIMA

Candra Kirana malah tertawa-tawa mendapat serangan yang semakin menghebat. Namun tiba-tiba tubuhnya meluruk deras ke depan dengan tangan terjulur untuk menangkis senjata lawan-lawannya. Sedangkan kakinya berputar, sekaligus melepaskan tendangan berantai.

Plak! Buk! Buk! Buk!

“Wuaaagkh...!”

Kembali prajurit-prajurit yang telah berada dibawah pengaruh iblis bernama Pedut Ireng itu terpelanting roboh. Mereka menjadi kocar-kacir. Namun karena setan telah menguasai hati dan jiwa mereka, maka sedikit pun tidak mengenal rasa takut.

“Pedut Ireng! Kalau kaki tanganmu kubunuh semua dengan pukulan ‘Penakluk Iblis’, kau tidak akan dapat membangkitkan mereka lagi. Mereka mati dan tidak ada kebangkitan kedua. Cepat perintahkan mereka mundur. Atau, kau akan menyesal!” dengus Malim Jenaka lantang.

“Kakang Candra Kirana! Banyak yang dapat kau lakukan dengan ilmumu yang segudang itu. Tetapi kau tidak bisa menakut-nakuti aku!” sahut Pedut Ireng, dari tempat persembunyiannya.

Malim Jenaka merasa tidak punya pilihan lagi. Tiba-tiba dia melompat mundur sejauh dua batang tombak. Kedua tangannya langsung dirangkapkan kedepan dada. Tubuhnya kemudian bergetar. Perlahan-lahan keringat mulai membasahi pakaiannya.

“Hiyaaa....!” teriak Malim Jenaka, seraya mengeluarkan pukulan ‘Penakluk Iblis’nya ke segala arah.

Blar! Blarrr!

“Aaakh...!”

Bukan main dahsyat serangan Candra Kirana. Prajurit-prajurit beserta orang-orang persilatan yang berada di dalam kekuasaan Pedut Ireng langsung berpelantingan roboh, bagaikan daun-daun hijau diterjang topan. Dan mereka tidak mampu bangkit lagi.

“Biarkan aku yang menghadapi si gendut, Ketua!” Terdengar suara lain dari dalam bangunan.

“Jangan, Algojo. Biarkan dia pergi. Belum waktunya bagi kita untuk membunuhnya. Dan pekan nanti, dia akan menerima giliran dari kita!” sahut Pedut Ireng.

“Jangan coba-coba menggertakku! Aku segera datang menepati janji bila sudah sampai waktunya nanti!” dengus Malim Jenaka, seraya berkelebat dari tempat ini.

*** Di Istana Kerajaan Prabu Mulih, Panglima Ubudana sedang menghadap Gusti Prabu Antasena. Pertemuan singkat itu berlangsung cukup tegang. Gusti Prabu Antasena bahkan berulang kali menggeleng-gelengkan kepala seakan tidak percaya.

“Jadi, kau gagal menangkap Patih Kusuma?” tanya Gusti Prabu Antasena, seperti ingin penegasan.

“Ampun, Gusti Prabu. Sebenarnya kami hampir berhasil menangkapnya. Malah dia telah teriuka. Tetapi, seseorang yang tidak kami kenal tiba-tiba saja muncul menyelamatkan patih itu,” jelas Panglima Ubudana dengan wajah tertunduk dalam.

“Kau tahu siapa orang itu, Panglima?” tukas Gusti Prabu Antasena mendengus curiga.

“Hamba sama sekali tidak mengenalnya!” jawab Panglima Ubudana, tegas.

Untuk yang pertama kalinya, Gusti Prabu Antasena merasa ada sebuah kekuatan yang mengancamnya. Baginya, Panglima Ubudana bukan orang lemah. Kepandaiannya tinggi. Ilmu olah kanuragan yang dimilikinya juga tidak sembarangan. Jika seseorang mampu menyelamatkan Patih Kusuma dari maut, berarti orang itu mempunyai kepandaian jauh lebih tinggi dari panglima perangnya.

“Panglima...!” panggil Gusti Prabu Antasena.

“Hamba, Paduka.”

“Aku menginginkan Patih Kusuma hidup atau mati. Dan, cari pemuda yang telah menyelamatkannya. Kalau perlu, bunuh kedua-duanya!” tegas Gusti Prabu Antasena.

“Perintah segera hamba laksanakan, Gusti. Hamba mohon diri!” Setelah menghaturkan sembah, panglima perang ini segera berlalu dari hadapan rajanya.

Kini Gusti Prabu Antasena termenung sendirian, memikirkan apa yang bakal dihadapinya. Sesungguhnya, dia tidak takut dengan ancaman apa pun. Hatinya selalu yakin dengan kemampuan diri sendiri. Apalagi kini mempunyai Pusaka Lidah Setan yang telah dipinjam dari dua titisan iblis Pedut Ireng dan Serigala Putih.

Senjata maut ini telah membuktikan keampuhannya saat melakukan pemberontakan beberapa purnama yang lalu. Dan bahkan Gusti Prabu Siwanada yang terkenal kesaktiannya tewas di tangannya berkat Pusaka Lidah Setan.

Itu sebabnya, laki-laki setengah baya ini terpaksa harus memutuskan untuk melenyapkan Patih Kusuma ketika melaporkan adanya binatang buas yang telah membantai penduduk. Juga kabar tentang prajurit-prajurit yang hilang dan dijumpai lagi dalam keadaan buas.

Secara tidak langsung, Gusti Prabu Antasena merasa ditolong oleh kedua titisan iblis itu. Tidak heran sebagai imbalannya, dia membebaskan mereka dari hukuman kutukan di Lembah Tengkorak. Bahkan mengizinkan Pedut Ireng dan Serigala Putih tinggal di Prabu Mulih.

Tetapi, kini datang lagi persoalan baru. Pemuda berbaju rompi putih yang telah menyelamatkan Patih Kusuma itu secara tidak langsung menjadi ancaman. Terutama jika Patih Kusuma membeberkan seluruh peristiwa yang terjadi di Prabu Mulih. Mau tidak mau, demi mempertahankan takhta yang telah didudukinya selama ini. Raja ini harus bersikap waspada.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Pendekar Rajawali Sakti dengan setia menunggu kedatangan Malim Jenaka yang diketahuinya tinggal di sudut kota Prabu Mulih. Cukup lama juga dia duduk termenung di situ, sampai akhirnya merasa bosan sendiri. Ingin rasanya Rangga meninggalkan tempat itu. Namun baru saja hendak beranjak...

“Siapa yang telah berani memasuki tempat tinggalku? Lancang betul!”

Terdengar sebuah suara keras, membuat. Rangga tersentak. Dan ketika berbalik di depan Pendekar Rajawali Sakti tahu-tahu telah berdiri seorang kakek bercaping bambu. Wajahnya yang selalu tersenyum tampak lebih tegang. Tapi, laki-laki tua yang tak lain Candra Kirana langsung tertawa ketika melihat siapa yang telah memasuki gubuknya.

“Kau datang tak diundang dan masuk tanpa permisi. Dua kesalahan ini, seharusnya harus ditebus dengan kepalamu!” tegur Malim Jenaka.

“Maaf, Kek. Aku tergesa-gesa. Lagi pula, kau tidak terlihat berada di tempat ketika aku datang. Jadi, aku terpaksa masuk begitu saja,” jelas Rangga

“Hm...,” gumam Candra Kirana tidak jelas.

Laki-laki tua ini kemudian merebahkan tubuhnya di balai-balai bambu. Matanya berkedip-kedip, seakan sedang menghadapi sebuah persoalan yang cukup memusingkan kepala.

“Berita apa yang kau bawa, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Malim Jenaka, acuh.

“Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu, Kek. Kuharap, kau suka berterus terang!” sahut Rangga.

“Kepalaku sedang pusing. Aku tidak mau mendengar segala macam pertanyaan yang hanya membuatku tidak bisa tertawa,” tolak Malim Jenaka, seenaknya saja.

“Aku melakukan semua ini demi keselamatan orang lain, Kek. Sebab aku yakin, apa yang terjadi Prabu Mulih ini ada kaitannya satu sama lain,” jelas Rangga.

Barulah Malim Jenaka bangkit dari tidurnya. Diperhatikannya Rangga. Tatapan matanya seolah-olah ingin menembus dasar lubuk hati pemuda berbaju rompi putih ini.

“Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Tentang sesosok makhluk buas yang memakan manusia. Juga, tentang manusia hitam, setinggi kakek,” sahut Rangga.

Malim Jenaka mengusap-usap perutnya. Hanya wajahnya tidak lagi secerah tadi.

“Apakah ini yang kau maksudkan dengan tiga bahaya besar?” desak Rangga.

“Aku tidak mungkin berperang melawan raja, tanpa dukungan dan penjelasan darimu. Sebaliknya, kau juga tidak mungkin dapat mengatasi persoalan tanpa dukunganku.”

“Maksudmu kita saling terikat, bukan?” tebak Malim Jenaka.

“Ya.... Itulah sebabnya, kuharap Kakek mau menjelaskan siapa kedua makhluk aneh yang telah bergentayangan di kota ini!”

“Baiklah. Aku akan mengatakannya padamu...,” desah kakek bercaping bambu ini.

“Aku senang mendengarnya.”

“Sebenarnya masalah ini adalah masalah yang sangat pribadi. Namun karena menyangkut keterlibatan si Antasena yang sekarang menguasai Kerajaan Prabu Mulih secara licik, maka mau tidak mau aku terpaksa turun tangan untuk menghentikan mereka....”

“Apakah ini menyangkut makhluk pemakan daging manusia itu?” potong Rangga.

“Tepat! Sebenarnya, dia bukan binatang. Namanya, Boma! Wujudnya setengah manusia setengah serigala. Darah iblis telah menitis ditubuhnya. Dia dan Pedut Ireng telah melarikan diri dari penjara kutukan di Lembah Tengkorak,” jelas Malim Jenaka.

“Lalu, apa hubungannya dengan Antasena?” tanya Rangga.

“Antasena telah meminjam Pusaka Lidah Setan pada mereka berdua. Sebagai imbalannya, Antasena membebaskan kedua titisan iblis bersaudara itu dari penjara...,” tutur Malim Jenaka.

“Siapa yang memenjarakan mereka?” serobot Rangga penuh selidik.

“Guruku, Dewa Langit. Ibu mereka sendiri dulu adalah seorang perempuan cantik yang disukai Iblis Larantuka. Sampai akhirnya, perempuan itu hamil dan melahirkan anak kembar dengan wujud cukup mengerikan. Titisan iblis ini entah mengapa, membunuh ibu kandungnya sendiri. Sampai akhirnya guruku Dewa Langit menemukan mereka. Menurut guruku, mereka bisa menjadi manusia biasa bila selesai menjalani hukuman kutukan. Tetapi, campur tangan Antasena telah membuat niat luhur guruku berantakan. Ini terjadi karena mereka sesungguhnya tidak pintar seperti manusia yang sebenarnya,” sesal Malim Jenaka dengan wajah murung.

“Lalu apa kehebatan Pusaka Lidah Setan?” tanya Rangga ingin tahu.

“Pusaka Lidah Setan sudah ada sejak mereka dilahirkan. Senjata itu mengandung racun keji. Siapa pun yang terkena tubuhnya menjadi hangus dan tidak tertolong. Pusaka itu selalu tersimpan di dalam mulut pemiliknya secara tak sengaja, Antasena menemukan penjara mereka di Lembah Tengkorak. Di situ mungkin terjadi kesepakatan. Sehingga, baik Boma maupun Pedut Ireng meminjamkan dua senjata itu. Sekarang sudah jelas bagimu kalau mereka bekerja sama. Tetapi mereka tidak mungkin bersatu. Boma titisan iblis berwujud serigala akan meminta korban lebih banyak lagi. Sedang Antasena tenang-tenang saja.”

“Jadi, Boma lebih berbahaya daripada Pedut Ireng?” tanya Rangga perlahan.

“Benar. Tetapi Pedut Ireng sewaktu-waktu dapat menjadi buas. Dia suka meminum darah manusia.”

“Gila! Kalau begitu kita harus cepat bertindak. Pertama yang harus kita singkirkan adalah Antasena dan panglima perangnya. Senjata itu harus kita rampas!” tegas Rangga.

“Aku setuju,” sahut Candra Kirana. “Boma dan Pedut Ireng hanya takut pada senjatanya sendiri. Karena, kematian mereka memang ditentukan Pusaka Lidah Setan. Maaf, bukan berarti aku mengecilkan kehebatan senjatamu, Rangga.”

“Tidak apa-apa,” balas Rangga disertai senyum. Kita nanti akan berkumpul di pinggir benteng istana. Sekarang, aku harus kembali menjumpai Patih Kusuma yang bersembunyi di sebuah tempat,” Rangga lantas memohon pamit.

Malim Jenaka mengangguk. Setelah Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan pondoknya yang acak-acakan, murid Dewa Langit yang paling jenaka ini merebahkan tubuhnya. Sebentar saja sudah terdengar dengkurnya yang seperti seekor kuda kelelahan.

********************

Panglima Ubudana bersama sepuluh perwira tinggi disertai seratus prajurit bersenjata lengkap terus melakukan pelacakan. Semua tempat yang mencurigakan tidak lepas dari pemeriksaan. Namun, tanda-tanda ditemukannya Patih Kusuma masih belum jelas. Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk mencari buronan itu keluar dari kota Prabu Mulih.

Para prajurit diperintahkan menyebar. Sedangkan panglima penjilat itu sendiri dengan dikawal sepuluh perwira berkuda, segera menelusuri tempat-tempat yang dicurigai. Tidak lama mereka menelusuri bukit kapur tersebut Tiba-tiba...

“Tangkap! Bunuh Patih Kusuma...!” Terdengar teriakan teriakan membahana

“Kepung dengan rapat! Jangan kasih kesempatan meloloskan diri untuk yang kedua kalinya!” perintah salah seorang perwira kerajaan sambil melolos pedangnya.

Laki-laki tua yang memang Patih Kusuma. Segera bersiap, setelah tempat persembunyiannya diketahui. Dia tentu saja tidak tinggal diam. Senjatanya segera diloloskan. Karena luka-luka yang diderita memang sudah sembuh, maka dengan leluasa dia berusaha membalas. Senjata di tangannya diputar cepat

Trang! Trang!

Cras!

“Aaa...!”

Jerit kesakitan terdengar silih berganti, ditingkahi denting pedang beradu. Satu dua orang prajurit roboh menjadi korban ketajaman pedang di tangan patih itu. Mereka tewas dengan luka-luka di dada maupun pada bagian perut.

Satu-dua orang prajurit mati. Tapi yang datang menyerbu puluhan. Mau tidak mau, Patih Kusuma terpaksa menguras seluruh tenaga untuk menghalau setiap serangan. Namun serangan para prajurit yang dipimpin Panglima Ubudana bagaikan air bah. Mereka tidak pernah surut. Sebaliknya hujan berbagai jenis senjata terhadap Patih Kusuma tak pernah berhenti.

“Hiyaaa!”

Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, Patih Kusuma bergerak cepat kian kemari. Senjatanya terus meluncur deras, mencari sasaran. Setiap itu pula terdengar teriakan menyayat.

“Perwira! Bantu prajurit-prajurit itu!” teriak Panglima Ubudana memberi aba-aba.

Sepuluh perwira tinggi yang menyertai Panglima Ubudana langsung berlompatan dari punggung kuda tunggangan masing-masing. Dengan turunnya sepuluh perwira tinggi yang rata-rata mempunyai kepandaian lumayan, maka Patih Kusuma dalam waktu tiga puluh lima jurus tampak mulai kerepotan.

Sekarang laki-laki tua ini hanya dapat menangkis setiap serangan yang datang tanpa pernah sempat membalas. Demi mempertahankan keselamatannya, terpaksa seluruh kekuatan yang dimilikinya dikerahkan.

“Manusia keparat! Bangsat tengik! Enyahlah kalian di neraka! Hiyaaa...!” teriak Patih Kusuma.

Dengan kecepatan laksana kilat tubuh patih ini meluruk deras ke depan. Pedang di tangannya meluncur deras ke arah lawan-lawannya.

Cras!

“Wuaagkh...!”

Sambil mendekap leher, dua prajurit menjerit kesakitan. Mereka tersungkur roboh tanpa dapat bergerak lagi. Melihat korban terus berjatuhan, para perwira kerajaan sudah tidak sabar lagi. Mereka saling berebut untuk mencincangnya. Ternyata serangan gencar ini cukup berbahaya. Karena, ujung pedang mereka menyambar-nyambar ke bagian-bagian yang sangat mematikan di tubuh Patih Kusuma.

“Heaaa...!”

Salah satu perwira berhasil menyusup ke dalam pertahanan Patih Kusuma. Senjatanya yang berbentuk trisula, menusuk ke arah pinggang. Serangan ini tentu sangat berbahaya, karena di luar sepengetahuan Patih Kusuma yang sedang berusaha menghalau serangan yang datang dari bagian depan.

“Hiaaat...!”

Pada saat keselamatan Patih Kusuma benar-benar dalam keadaan terancam, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat. Seketika disambarnya Patih Kusuma yang terkepung. Sosok berbaju rompi putih ini bukan saja dapat membebaskan patih dari kepungan. Bahkan sambil melesat, segera dilancarkannya jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Kakinya dengan cepat bergerak mengibas menghantam kepala dua orang perwira dan tiga prajurit kerajaan....

Prak!

“Aaa...!”

Dua perwira dan prajurit itu melolong kesakitan dengan kepala pecah. Tubuh mereka kontan tersungkur ke tanah, dan tewas seketika dengan luka cukup mengerikan.

Mempergunakan kesempatan yang singkat, sosok bayangan putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat membawa Patih Kusuma dari kepungan. Laki-laki tua itu merasa lega, karena Rangga telah menyelamatkan nyawanya untuk yang kedua kalinya. Dari ketinggian bukit, Rangga memandang Panglima Ubudana dengan sorot mata dingin penuh kebencian.

“Kau pengecut! Sebaiknya hari ini menyerahkan diri pada kerajaan! Dosa-dosamu mungkin dapat diampuni raja, jika bersedia menyerahkan Patih Kusuma pada kami!” bujuk Panglima Ubudana.

“Huh...! Siapa yang mau mendengar omong kosongmu, Panglima! Malah, hari ini aku akan mengadilimu, karena fitnahmu pada Patih Kusuma,” balas Rangga, tidak kalah sengit.

Mendengar ucapan Pendekar Rajawali Sakti didepan para prajurit dan perwiranya, tentu Panglima Ubudana merasa terhina. Wajahnya seketika berubah merah padam.

“Manusia keparat! Panah dia...!” teriak Panglima Ubudana memberi aba-aba pada sepuluh orang pasukan pemanah. Rangga bersikap tenang-tenang saja. Sebaliknya, Patih Kusuma langsung mencabut pedang untuk melindungi diri dari serangan anak panah.

Twang! Twang! Twang...!

Puluhan batang anak panah segera melesat cepat dari busur. Patih Kusuma memutar pedangnya. Sedangkan Rangga dengan mempergunakan tenaga dalam tingkat tinggi, menghalau serangan dengan mengibaskan tangannya.

Wusss...!

Segulung angin keluar dari tangan Rangga, membuat anak-anak panah itu tersapu habis. Sisanya ditangkap dengan tepat. Dan....

Tap! Tap!

Ser! Ser! Ser!

Secepat Rangga menangkap, maka secepat itu pula melemparkan kembali anak panah itu kearah pemiliknya.

“Aaakh...!”

Anak-anak panah kontan menembus pemiliknya dari dada sampai punggung. Mereka hanya sempat menjerit kesakitan. Tubuh mereka kontan terjengkang roboh untuk selama-lamanya.

ENAM

Apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti jelas membuat Panglima Ubudana menjadi marah bukan main. Tiba-tiba dia memberi isyarat pada seluruh pasukannya untuk menyerbu ke atas bukit, dengan tangannya mengibas ke depan.

“Bunuh mereka berdua!” teriak panglima itu lantang.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, prajurit-prajurit itu berserta perwira tinggi kerajaan langsung menyerbu ke atas bukit.

“Aku tidak menghendaki hal ini, Paman Patih! Kalau ada kesempatan, sebaiknya tangkap Panglima Ubudana. Setelah itu, baru kita kuasai prajurit-prajurit ini!” ujar Rangga, menjelaskan rencananya.

Patih Kusuma mengangguk tanda mengerti. Mereka segera menyambut datangnya serangan. Memang, Rangga sebenarnya tidak ingin membunuh prajurit-prajurit itu. Karena, mereka hanyalah alat. Maka dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, Rangga berkelebat cepat ke sana kemari. Langsung dilepaskanya totokan-totokan ke tubuh para prajurit.

Tuk! Tuk!

Walaupun beberapa orang telah roboh tertotok, namun lama kelamaan gelombang serangan semakin menggila. Sehingga Pendekar Rajawali Sakti dan Patih Kusuma dalam keadaan terdesak.

“Kita tidak mungkin terus bertahan seperti ini, Rangga! Kita bisa celaka di tangan mereka!” bisik Patih Kusuma.

“Lalu...?” tanya Rangga dengan suara perlahan.

“Kita harus membunuh, atau kita yang terbunuh!” desis patih ini sambil terus menangkis tusukan senjata lawan-lawannya. Kalau dipikir apa yang dikatakan Patih Kusuma memang masuk akal. Walau rata-rata mempunyai kepandaian biasa-biasa saja, namun jumlah mereka cukup banyak. Maka kini, Rangga terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan. Dan tiba-tiba saja, dia membuat kuda-kuda kokoh. Lalu....

“Aji ‘Bayu Bajra’! Hiyaaa...!”

Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Maka saat itu juga meluncur angin topan dahsyat ke arah para pengeroyok. Serangan yang mengandung kekuatan sangat dahsyat ini langsung melempar jauh para prajurit.

“Aaa...! Aaa...!”

Belasan para prajurit kontan menemui ajal begitu terhempas menabrak pohon hingga bertumbangan. Bukan hanya Patih Kusuma saja yang sangat tertegun. Tapi Panglima Ubudana sendiri sempat terkesiap dengan mata melotot.

Untung panglima ini mempunyai tenaga dalam tinggi, hingga tidak ikut terhempas. Dengan kekuatan tenaga dalamnya, dia membuat kaki-kaki kudanya seperti terpatri ke tanah. Walaupun tak urung terseret beberapa tombak. Panglima Ubudana seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dua puluh orang prajurit binasa dalam waktu yang sekejap saja!

Sementara itu, melihat kematian kawan-kawannya, baik prajurit yang tersisa maupun perwira kerajaan jadi ciut nyalinya. Mereka tidak lagi berani bertindak gegabah. Tetapi, tetap mengurung rapat kedua lawannya.

“Jika kalian sudah bosah hidup, sebaiknya cepat maju ke depan. Tetapi kalau takut mati. Sebaiknya menyingkir dari sini! Aku hanya menginginkan Panglima Ubudana. Kaki tangan pemberontak itu harus mati ditanganku!” ancam Rangga, lantang.

Panglima Ubudana jelas menjadi gusar mendengar ucapan Pendekar Rajawali Sakti. “Tangkap dia!” perintah panglima ini pada seluruh pasukannya yang tersisa.

Namun, tidak satu pun dari para prajurit maupun perwira tinggi kerajaan yang bergerak mematuhi perintah Panglima Ubudana.

“Kurang ajar kalian semua! Jangan coba-coba membantah perintahku, kalau tidak ingin kuhukum gantung!” dengus panglima ini.

“Siapa yang mau mendengar Patih Kusuma, maka kalian akan selamat dari kematian! Lebih baik kalian menyerah. Dan, patih akan mengampuni jiwa kalian!” kata Rangga, memberi peringatan.

Tampaknya para prajurit itu seperti yang pernah dikatakan Patih Kusuma, memang cenderung berpihak kepadanya. Terbukti mereka tetap tidak bergerak melakukan sesuatu, sebagaimana yang diperintahkan panglima perangnya.

Panglima Ubudana menjadi gusar melihat pasukannya mogok. Dengan penuh kegeraman, pedangnya dicabut. Sebentar saja, dia sudah menggebah kudanya. Sedangkan di tangannya diayunkan ke segenap penjuru arah hendak menghantam prajurit-prajuritnya sendiri.

Perbuatan Panglima Ubudana ini tentu tidak dibiarkan Rangga. Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Dan laksana kilat, Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabutnya.

“Aku akan menghentikanmu, Orang Gila! Hiyaaa...!” teriak Rangga, seraya melesat memapak serangan Panglima Ubudana.

Panglima Ubudana terkesiap melihat sinar biru yang memancar dari batang pedang pemuda itu. Dengan cepat, tubuhnya melenting meninggalkan kudanya.

Cras!

Begitu cepatnya serangan Pendekar Rajawali Sakti ini, sehingga tidak ampun lagi pedang berhulu kepala burung rajawali di tangannya menghantam leher kuda. Kuda berbulu putih ini kontan tersungkur dengan leher putus tersambar pedang ditangan Rangga. Sementara begitu mendarat, Panglima Ubudana terkesiap melihat semua ini.

Sementara Rangga yang bertekad menyudahi pertempuran sudah berbalik. Dan seketika tubuhnya meluruk deras. Pedang di tangannya berkelebat membelah angin dan mengancam dada. Panglima Ubudana melihat bahaya besar mengancam keselamatannya. Sedapatnya, pedangnya menangkis. Akibatnya....

Trak!

Pedang Panglima Ubudana kontan patah menjadi dua ketika terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara secepat kilat, Rangga memutar pedangnya. Dan kali ini luncuran pedangnya sudah tidak dapat ditahan lagi. Maka tidak ampun lagi....

Blesss!

“Aaakh...!”

Tepat sekali pedang Pendekar Rajawali Sakti menembus dada Panglima Ubudana hingga berteriak menyayat, panglima itu kontan terbeliak. Darah mengucur deras dari lukanya. Begitu ambruk Panglima Ubudana tewas seketika. Melihat kematian panglima perangnya, para prajurit malah berteriak-teriak kegirangan.

“Hidup Patih Kusuma...!” teriak mereka sambil melonjak-lonjak kegirangan.

“Kita harus mengabdi pada Paman Patih!” ujar perwira tinggi kerajaan yang sesungguhnya masih berpihak pada bekas pimpinan yang lama.

Rangga segera menghampiri Patih Kusuma yang terus memandangi penuh rasa terima kasih mendalam. “Lihat, Paman. Mereka ternyata masih tetap setia pada pemerintahan yang lama. Sekarang pimpin mereka menuju kotaraja. Biarkan aku yang berusaha memancing Antasena keluar dari singgasananya!”

“Hati-hati, Rangga. Dan, tolong lindungi Gusti Ratu Dewi Trijata dari kekejaman Antasena!” pesan Patih Kusuma penuh harap.

“Jangan khawatir, Paman,” sahut Rangga menyanggupi.

********************

Malim Jenaka terus mengitari benteng istana. Tampak beberapa tempat dijaga ketat oleh pengawal bersenjata lengkap. Malim Jenaka merasa, sekaranglah saatnya turun tangan. Tetapi bila teringat Rangga yang tidak muncul-muncul, dia jadi tidak sabar saja.

“Aku bisa disalahkan jika aku mengambil tindakan sendirian!” pikir Candra Kirana.

Malim Jenaka mengusap-usap perutnya yang bundar. Dan dengan gerakan ringan sekali, tubuhnya segera melesat ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, kedua kakinya menjejak di atas tembok benteng. Lalu tubuhnya meluruk turun dan menyelinap di kelebatan pohon tidak jauh dari benteng istana.

Dari tempat itu, diawasinya suasana di dalam benteng. Jumlah prajurit-prajurit dalam benteng sudah tidak banyak lagi. Mungkin jumlahnya hanya tinggal delapan puluh orang. Malim Jenaka tahu benar, apa sebabnya.

Sebagian prajurit itu pasti telah bergabung dengan Pedut Ireng. Mereka telah berada di bawah pengaruh makhluk titisan iblis itu. Sedangkan sebagian lagi tentu sedang mencari patih mereka yang telah melarikan diri.

Berarti jika sekarang kakek tinggi besar ini melakukan penyerbuan, kekuatan yang akan dihadapi tidak seberapa besar. Walaupun begitu, dia tetap setia menunggu kedatangan Pendekar Rajawali Sakti. Mengingat, betapa berbahayanya Pusaka Lidah Setan yang sekarang berada di tangan Gusti Prabu Antasena.

********************

Sementara itu di atas singgasananya, Gusti Prabu Antasena yang saat itu didampingi Permaisuri Dewi Trijata kelihatan gelisah. Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke pintu utama. Dia sendiri sudah menanyakan kehadiran panglima perangnya pada pengawal di pintu gerbang utama. Tetapi mereka melaporkan, bahwa Panglima Ubudana dan pasukan belum kembali.

“Sudah dua hari mereka melakukan pengejaran. Masa, mengejar satu orang penjahat saja tidak mampu melakukannya?” gerutu Gusti Prabu Antasena.

“Patih Kusuma penjahat! Dia orang terbaik dinegeri ini!” sergah Permaisuri Dewi Trijata tidak sependapat.

Gusti Prabu Antasena langsung memandang tajam Permaisuri Dewi Trijata dengan mata melotot tidak suka. “Jangan sekali-kali membela patih gila itu, Dewi. Aku bisa membuatmu sengsara!” ancam Gusti Prabu Antasena gusar.

“Huh...! Mana yang lebih baik antara patih dengan panglima perangmu yang penjilat itu? Dia bilang, di kotaraja tidak ada kejahatan. Padahal, setiap hari tulang-belulang rakyat yang tidak berdosa bertimbun di sudut kota. Lantas, apa itu namanya? Berapa banyak pula prajurit yang hilang tanpa diketahui?” dengus Permaisuri Dewi Trijata, kehilangan kesabarannya.

“Diam...! Kau tidak usah mengguruiku. Dengan dua senjata Pusaka Lidah Setan, tidak seorang pun berani menentangku! Ingatlah itu...!” bentak Gusti Prabu Antasena, tidak dapat menahan marahnya.

“Aku tidak peduli dengan segala macam senjata yang kau miliki, Kanda. Aku juga tidak peduli dengan nasibku sendiri. Prabu Mulih sekarang telah menjadi kota mati. Penduduk tidak ada yang berani pulang ke rumahnya. Sedangkan Kanda hampir setiap hari hanya berjudi, mabuk, dan main perempuan. Tidak takutkah Kanda kerajaan ini sewaktu-waktu bisa runtuh?”

“Tidak ada yang harus kutakutkan! Cita-citaku menjadi raja sudah terkabul. Jadi, mau apa lagi?” jawab Gusti Prabu Antasena bangga.

Jawaban Gusti Prabu Antasena hanya membuat permaisuri ini menjadi naik pitam. Dia bangkit berdiri sambil memandang tajam. “Ingatlah! Kanda dulu hanya prajurit biasa. Kemudian, diangkat Gusti Prabu Siwanada menjadi panglima perang. Lalu, kenapa diangkat lagi menjadi patih kerajaan. Padahal, jabatan patih ini sesungguhnya milik Patih Kusuma yang sekarang....”

“Tentu saja aku mengingatnya. Tetapi, kedudukan itu akhirnya kuberikan juga pada Patih Kusuma bukan? Paling tidak, waktu itu dia tidak menjadi perintangku. Setelah aku menjadi raja, mengingat kebaikannya aku mengangkatnya menjadi seorang patih kerajaan. Tetapi sekarang, suasana telah berubah. Dia terlalu banyak mencampuri urusanku. Itu sebabnya, aku merasa perlu menyingkirkannya! Ha ha ha...!”

“Manusia busuk! Arwah suamiku pasti tidak akan senang melihat langkahmu yang sesat ini!” teriak Permaisuri Dewi Trijata.

Diingatkan tentang Gusti Prabu Siwanada yang telah mati di tangannya, Gusti Prabu Antasena menjadi sangat marah. Dihampirinya Permaisuri Dewi Trijata. Namun langkahnya tiba-tiba tertahan saat...

“Heaaa...!”

Trang!

Mendadak terdengar teriakan-teriakan disertai denting senjata beradu di halaman istana. Dengan cepat Gusti Prabu Antasena bergegas keluar. Sampai di depan pintu utama, tampak seorang kakek bercaping bambu sedang mengamuk membantai para prajurit yang mengepungnya. Bahkan prajurit-prajurit kerajaan tampak bertarung dengan sesama prajurit pula.

Tentu saja laki-laki setengah baya ini menjadi heran sendiri. Apalagi, di tempat ini terlihat seorang pemuda berompi putih dengan pedang dipunggung yang berhulu kepala burung rajawali. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?

Rupanya ketika pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti tiba didepan pintu gerbang Istana Kerajaan Prabu Mulih, Patih Kusuma datang pula bersama prajurit-prajurit kerajaan yang kini telah berbalik membantunya.

Karena Rangga belum mengenal Permaisuri Dewi Trijata, maka Patih Kusuma diperintahkan untuk menyelamatkannya. Sedangkan Rangga sendiri mengambil alih pimpinan dalam penyerbuan.

Dengan dibantu Malim Jenaka yang memang telah sampai di tempat itu lebih awal, mereka beramai-ramai menyerang prajurit-prajurit kerajaan yang jumlahnya tidak lebih besar dibanding prajurit-prajurit yang telah berpihak pada Patih Kusuma.

Rupanya kenyataan ini yang membuat Gusti Prabu Antasena menjadi kaget. “Berhenti,” teriak laki-laki setengah baya itu dengan suara keras.

Mereka yang sedang terlibat dalam pertarungan pun serentak menghentikan senjata masing-masing.

“Apakah kalian sudah gila bertarung dengan kawan sendiri! Bunuh dua pengacau itu!” perintah Gusti Prabu Antasena.

“Kami tetap setia pada raja yang telah kau bunuh, Antasena! Sekarang, sebaiknya kaulah yang menyerah pada kami! Kepada kawan-kawan sesama prajurit! Sebaiknya, kita tidak usah saling bunuh! Kita pantas bahu membahu mengenyahkan raja keparat itu!” teriak salah seorang perwira tinggi kerajaan, benar-benar mengejutkan Gusti Prabu Antasena.

Pernyataan ini sangat meragukan prajurit yang berada dalam benteng istana. Namun sebagian kecil yang masih setia pada Gusti Prabu Antasena ternyata pantang menyerah. Kembali mereka melakukan perlawanan sengit. Jumlah mereka yang cuma sepertiga dari seluruh jumlah prajurit yang ada, tentu tidak ada artinya menghadapi prajurit-prajurit yang masih setia pada almarhum Gusti Prabu Siwanada.

Maka kini kembali terdengar denting senjata berbaur jerit kematian prajurit yang berpihak pada Gusti Prabu Antasena. Hanya dalam waktu singkat, mereka tewas secara mengenaskan. Setelah pengikut Gusti Prabu Antasena tidak tersisa, maka para prajurit yang tetap setia pada raja terdahulu serentak mundur membentuk lingkaran.

Kini, di tengah-tengah lingkaran berdiri Pendekar Rajawali Sakti, Malim Jenaka, dan juga Gusti Prabu Antasena. Mereka tampak tegang. Hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang kelihatan agak tenang.

“Aku datang kemari ingin minta Pusaka Lidah Setan yang telah kau pinjam dari Pedut Ireng dan Boma!” kata, Candra Kirana, membuka suara.

“Ha ha ha...!” Gusti Prabu Antasena yang telah kehilangan seluruh prajuritnya malah tertawa-tawa.

“Kau tidak punya hak apa-apa meminta pusaka itu, Gendut! Sedangkan pemiliknya yang sah saja tidak pernah mempersoalkannya!” desis Gusti Prabu Antasena, sengit.

“Ya..., karena pemiliknya adalah titipan iblis yang bodoh! Sehingga, dengan mudah kau perdayai untuk menjalankan cita-cita busukmu!” geram Malim Jenaka berang.

“Sampai kapanpun, pusaka itu tidak akan kuserahkan pada pemiliknya. Apalagi, pada manusia jelek sepertimu. Dan juga seperti pemuda usilan itu. Lalu, kau mau apa?” tantang Gusti Prabu Antasena begitu angkuhnya.

Rangga terdiam. Sedang, Malim Jenaka mengipas-ngipaskan caping bambunya kebagian dadanya yang bidang. Matanya berkedap-kedip. Sehingga walau bersikap sungguh-sungguh, raut wajahnya tetap lucu.

Sementara itu Patih Kusuma yang ditugaskan menyelamatkan Permaisuri Dewi Trijata sudah sampai di depan singgasana yang biasa dipergunakan sebagai ruangan pertemuan. Beberapa pengawal yang mencoba menghalanginya, tanpa hambatan berarti dapat disingkirkanya.

“Gusti Permaisuri,..! Dimanakah, Gusti?” panggil Patih Kusuma sambil mencari-cari.

Namun yang dicari-cari patih ini tidak kelihatan. Malah dari pintu samping muncul dua orang prajurit pengikuat Gusti Prabu Antasena dengan tombak terhunus.

“Mundur! Atau, lebih baik kalian menyerah padaku. Niscaya, hukuman kalian menjadi ringan!” perintah Patih Kusuma tegas.

Ternyata kedua prajurit ini sama sekali tidak mengindahkan peringatan Patih Kusuma. Mereka malah menyerang cepat sekali. Tentu saja patih ini tidak membiarkannya begitu saja. Pedangnya yang selalu tergantung di pinggang segera diloloskan. Dan ketika dua mata tombak meluncur deras ke bagian dada dan perut, dia melompat mundur seraya mengibaskan senjatanya.

Trang!

Kedua tombak kontan terpental. Tangan patih itu sendiri sempat bergetar. Tetapi dia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kembali pedangnya mengibas hingga meluncur cepat kedua arah. Sementara kedua prajurit itu sudah tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....

Cras! Cras!

“Aaa...!” Kedua prajurit itu kontan menjerit keras dengan tubuh ambruk. Leher mereka terkena tebasan pedang Patih Kusuma. Darah tampak mengucur membasahi lantai.

Patih Kusuma kembali memperhatikan keadaan sekelilingnya. Namun Permaisuri Dewi Trijata tetap tidak kelihatan. Segera dia berlari menuju kamar permaisuri. Sampai di pintu kamar, Patih Kusuma segera mendorong dengan keras. Dia terkejut melihat permaisuri sedang sibuk mengobrak-abrik peraduannya. Tampaknya, dia sedang mencari-cari sesuatu.

“Gusti Permaisuri! Sebaiknya cepat menyingkir, sebelum Antasena menemukan kita di sini!” ajak Patih Kusuma tergesa-gesa.

Permaisuri Dewi Trijata terkejut karena tidak menyangka ternyata adik almarhum suaminya masih selamat. “Adik ipar! Puji syukur pada Tuhan, ternyata kau dalam keadaan segar bugar. Tunggu sebentar! Aku sedang mencari Pusaka Lidah Setan yang disembunyikan Antasena di sini!”

“Apakah Gusti Permaisuri sudah menemukanya?” tanya Patih Kusuma.

“Hanya yang satunya saja!” sahut Permaisuri Dewi Trijata.

“Berarti yang satunya lagi ada pada Antasena! Mari kita pergi sekarang juga!” ajak Patih Kusuma.

Permaisuri Dewi Trijata walaupun masih penasaran akhirnya terpaksa menuruti perintah Patih Kusuma. Mereka keluar dari pintu belakang,tanpa mengalami hambatan berarti. Setelah itu, mereka menuju ke halaman depan tempat terjadinya pertempuran.

TUJUH

Pendekar Rajawali Sakti yang memang tidak ingin main keroyok, memberi kesempatan pada Candra Kirana untuk maju menghadapi Gusti Prabu. Maka, Malim Jenaka yang memang menaruh kemarahan tersendiri, tidak memberi kesempatan lagi. Tubuhnya langsung meluncur deras dengan kedua tangan terjulur ke arah kepala Gusti Prabu Antasena.

Tentu saja Gusti Prabu Antasena tidak membiarkan kepalanya menjadi sasaran. Cepat dia merunduk. Tapi walau serangannya luput, tangan lain milik tokoh jenaka itu melakukan serangan susulan. Dengan cepat Gusti Prabu Antasena menjatuhkan diri dan terus berguling-guling, disertai makian panjang pendek.

“Ufs...!”

“Heaaa...!” Sambil berteriak keras, Malim Jenaka tiba-tiba saja merubah jurus-jurus silatnya. Tubuhnya terhuyung ke kiri dan ke kanan. Sedangkan kakinya terus bergerak lincah. Didahului tawa aneh, tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara. Dalam keadaan berjumpalitan itu, tiba-tiba Candra Kirana mendorongkan kedua tangannya ke arah Gusti Prabu Antasena.

"Wusss...!”

Segulung angin berhawa panas kontan menghantam raja lalim itu. Dan....

Blarrr!

“Wuaagkh!”

Laki-laki setengah baya itu jatuh terguling-guling. Tetapi anehnya, tubuhnya tidak mengalami luka sedikit pun. Padahal, pukulan yang menghantamnya tadi termasuk pukulan sangat berbahaya, mengandung tenaga dalam tinggi. Jika tokoh biasa yang terkena pukulan tadi, mungkin sudah binasa. Kini, mengertilah Malim Jenaka kalau yang membuat kebal raja lalim itu adalah senjata Pusaka Lidah Setan!

Sementara itu Gusti Prabu Antasena sendiri menjadi marah bukan main. Segera pedangnya dicabut. Tampaknya jurus-jurus pedangnya yang cukup handal memang sengaja ingin ditujukannya.

“Heaaa...!” Disertai teriakan keras, Gusti Prabu Antasena meluruk kedepan. Senjatanya meluncur deras menusuk pada bagian leher. Namun kakek bercaping yang jadi sasaran cepat menggeser tubuhnya ke samping. Maka senjata itu hanya lewat di depan hidung saja.

Pada saat itu, Malim Jenaka melihat kesempatan cukup baik. Tanpa membuang waktu lagi, tangan kanannya menghantam dada Gusti Prabu Antasena.

Buk!

“Hugkh!” Sekali lagi pukulan Candra Kirana menghantam telak dada Gusti Prabu Antasena. Sambil mengeluh untuk kedua kalinya, laki-laki setengah baya itu jatuh terguling-guling. Anehnya, sama sekali tidak mengalami luka sedikit pun. Malah kini keanehan terjadi. Begitu Gusti Prabu Antasena meraba pinggangnya, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi dua. Seterusnya, menjadi tiga, empat, sampai akhirnya telah berubah menjadi enam orang.

Perubahan itu semula hanya seperti bayangan semu tembus pandang. Sosok dan penampilannya, mirip dengan Gusti Prabu Antasena. Bagaikan saudara kembar. Dan lama kelamaan, bayangan semua tembus pandang itu berubah menjadi jasad kasar.

Malim Jenaka sempat kaget juga melihat kenyataan ini. Tetapi segera disadari kalau semua itu karena Pusaka Lidah Setan. Mau tak mau, Malim Jenaka sekarang harus mencari Gusti Prabu Antasena yang sebenarnya. Ini termasuk pilihan sulit. Karena seluruh tenaga dan pikirannya harus dipusatkan. Sementara, Gusti Prabu Antasena dengan lima kembarannya telah menyerangnya dari empat penjuru arah.

“Kau segera mati ditanganku! Hiyaaa...!” teriak Gusti Prabu Antasena nyaring.

Pedang di tangan enam Gusti Prabu Antasena menderu-deru cepat. Mendapat serangan dari enam penjuru, Malim Jenaka segera melemparkan caping bambunya.

Wuuut!

Senjata andalan itu langsung meluncur kearah sasaran. Gusti Prabu Antasena dan kembarannya tampak terkesiap. Namun setelah itu salah seorang langsung menyambut luncuran caping dengan pedangnya.

Trak!

“Heh...?!” Gusti Prabu Antasena terkejut. Karena, ternyata senjata yang terkandung dalam luncuran caping sangat besar, sehingga membuat tangannya bergetar dan kesemutan. Tetapi, rupanya Gusti Prabu Antasena tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi.

Tiba-tiba saja dicabutnya Pusaka Lidah Setan dari pinggangnya. Namun, daim-diam dia terkejut juga ketika teringat kalau salah satu senjata itu tertinggal di kamar permaisurinya. Dengan Pusaka Lidah Setan berada di tangannya, maka sekarang sosok-sosok Gusti Prabu Antasena menyatu kembali.

“Aku tidak mungkin unggul menghadapi bangsat ini. Pusaka Lidah Setan adalah senjata yang tidak dapat dianggap main-main,” gumam Malim Jenaka.

Apa yang dipikirkan Malim Jenaka segera menjadi kenyataan. Saat Gusti Prabu Antasena mengacungkan Pusaka Lidah Setan, maka kilatan api langsung melesat dari ujung pusaka berbentuk mata tombak itu. Cahaya merah membara itu menyambar Malim Jenaka.

“Heaaa...!” teriak Malim Jenaka, seraya menggunakan aji ‘Pancasona’ dengan mendorongkan tangannya ke depan. Kakek berperut bundar ini terpaksa pergunakan pukulan andalannya.

Glarrr!

“Aaagkh...!” Malim Jenaka menjerit kesakitan. Aji Pancasona yang dilepaskannya ternyata tergulung kekuatan dahsyat yang keluar dari Pusaka Lidah Setan.

Bayangkan! Kakek bercaping bambu yang memiliki kesaktian tinggi ini tidak mampu membendung kedahsyatan pusaka itu. Ini merupakan pertanda kalau pusaka di tangan Gusti Prabu Antasena benar-benar hebat!

Candra Kirana yang berasal dari Lembah Tengkorak jatuh terguling-guling sambil muntahkan darah kental. Sedangkan Rangga yang baru saja bicara dengan Patih Kusuma, segera menerima pemberian Pusaka Lidah Setan yang satunya lagi dari Permaisuri Dewi Trijata.

Saat Gusti Prabu Antasena bermaksud membunuh Malim Jenaka itulah Pendekar Rajawali Sakti bertindak. Tubuhnya seketika meluruk deras ke arah cahaya merah yang meluncur deras menuju Malim Jenaka, seraya menghentakkan kedua tangannya.

“Heaaa...!” Saat itu juga meluruk segelombang angin topan memapak luncuran lidah api yang berwarna merah membara dari jurus aji ‘Bayu Bajra’. Akibatnya....

Blarrr!

“Heh...!” Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terguling-guling. Dari sudut-sudut bibirnya meneteskan darah kental. Jelas, Rangga menderita luka dalam. Segera dia mengambil sikap semadi, mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka yang diderita.

Pada saat itu pula Gusti Prabu Antasena mengacungkan kembali Pusaka Lidah Setan ke arah Rangga. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti bangkit, dan kembali menjatuhkan diri untuk menghindari serangan maut itu.

Namun, jilatan-jilatan api terus mengejar-ngejar Pendekar Rajawali Sakti. Rangga bergerak bangkit dengan cepat. Tubuhnya segera meliuk-liuk menghindarinya. Namun akhirnya Rangga terpaksa berjumpalitan sambil mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.

“Hiyaaa...!” Tangan Rangga yang telah berubah memerah itu dikibaskan ke depan. Seketika sinar merah melesat, memapak sinar merah dari Pusaka Lidah Setan.

Blarrr...!

Benturan keras terdengar, ketika dua kekuatan besar bertemu pada satu titik. Sementara, Rangga kembali terlempar. Sedangkan Gusti Prabu Antasena terus menyerangnya tanpa ampun. Keselamatan Rangga benar-benar terancam. Namun pada saat yang menegangkan, Pendekar Rajawali Sakti mencabut senjata yang sama pemberian Permaisuri Dewi Trijata.

Senjata Lidah Setan ditangan Pendekar Rajawali Sakti langsung diacungkan ke arah Gusti Prabu Antasena. Tidak bisa dicegah lagi, jilatan lidah api meluruk deras memapak kilatan lidah api dari Pusaka Lidah Setan di tangan Gusti Prabu Antasena.

Blarrr!

“Aaa...!” Gusti Prabu Antasena menjerit keras ketika dua kekuatan yang sama bertemu. Tubuhnya terpelanting. Sedangkan Pusaka Lidah Setan di tangannya terpental cukup jauh. Jelaslah, dengan senjata pusaka itu pula Gusti Prabu Antasena ternyata dapat dilukai.

Rangga tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Pedangnya segera dicabut, seketika tubuhnya meluncur deras kearah Gusti Prabu Antasena dengan pedang yang bersinar biru berkilauan dikelebatkan.

Sementara, Penguasa Kerajaan Prabu Mulih itu berusaha meraih senjatanya yang terlempar. Tetapi luncuran Pedang Pusaka Rajawali Sakti ternyata jauh lebih cepat dari gerakannya. Dan...

Cras!

“Hugkh...!” Mata Gusti Prabu Antasena kontan melotot disertai keluhan tertahan. Tangannya berusaha menggapai pedang yang menembus dadanya. Namun gerakannya hanya membuat darah semakin banyak mengucur dari lukanya. Begitu Rangga mencabut senjatanya, nyawa Gusti Prabu Antasena telah melayang.

“Horeee...!”

Suara sorak-sorai terdengar dari prajurit-prajurit maupun perwira tinggi kerajaan yang masih tetap setia pada Patih Kusuma dan almarhum Gusti Prabu Siwanada. Mereka merasa bebas dari belenggu ketakutan yang menekan selama ini.

Sementara itu, Rangga sudah memungut Pusaka Lidah Setan yang telah dipergunakan Gusti Prabu Antasena tadi.

“Hei..., Pendekar Rajawali Sakti! Kedua senjata itu jangan kau simpan. Aku harus membawanya kembali ke Lembah Tengkorak, bersama dua momonganku!”

Pada saat yang bersamaan terdengar suara seruan Malim Jenaka. Rangga tersenyum. Sedangkan Patih Kusuma maupun Permaisuri Dewi Trijata tampak kaget. Mereka tidak menyangka kalau pemuda rompi putih yang bernama Rangga itu tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

“Jangan khawatir, Kek. Aku tidak butuh pusaka yang menjadikan malapetaka ini. Aku tetap akan menyerahkannya padamu. Tapi, nanti setelah aku bicara dengan Patih Kusuma!” sahut Rangga, tegas.

“Sebaiknya kakek gendut dan Rangga masuk dulu ke tempat pertemuan. Kalian adalah tamu-tamu yang paling kami hormati!” serobot Patih Kusuma yang diikuti anggukan setuju Permaisuri Dewi Trijata.

“Ho ho ho...! Kalau menyangkut soal makanan, aku setuju saja. Apalagi ada arak wanginya,” sahut Malim Jenaka sambil menelan ludah.

Pendekar Rajawali Sakti, Malim Jenaka, Patih Kusuma, dan Permaisuri Dewi Trijata berkumpul di dalam ruangan pertemuan. Berbagai jenis hidangan tersedia untuk memeriahkan rasa syukur atas keberhasilan mereka menegakkan keadilan kembali di Kerajaan Prabu Mulih. Malim Jenaka bagai tidak mengenal rasa kenyang terus melahap semua jenis hidangan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan sambil tersenyum-senyum.

“Ayo, Rangga! Tunggu apa lagi? Semua hidangan ini khusus untuk orang yang hidup. Sedangkan yang bosan hidup seperti si Antasena itu, memang tidak suka lagi makanan enak! Ayo..., sikat saja...!” ujar Malim Jenaka, sehingga membuat Permasuri Dewi Trijata tersenyum.

“Kami pihak kerajaan merasa berterima kasih pada Pendekar Rajawali Sakti dan pada Kakek Malim Jenaka. Tanpa bantuan kalian semua, kerajaan ini pasti akan hancur. Syukurlah keadilan dapat ditegakkan kembali. Kalau bersedia, kau bisa menjadi panglima perang disini, Rangga...!” ucap Permaisuri Dewi Trijata penuh harap.

Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Sama sekali tidak disangka kalau permaisuri ini memberi keputusan seperti itu. “Maaf, Gusti Ratu. Hamba bukan bermaksud menolak jabatan terhormat itu. Tetapi, begitu banyak tugas yang harus diselesaikan di rimba persilatan. Gusti Ratu dan Paman Patih Kusuma tentu dapat mengembalikan kepercayaan rakyat yang hampir musnah, sekaligus membangun kerajaan ini!” tolak Rangga, halus. “Hamba yakin, semuanya akan kembali seperti sediakala.”

“Betul,” sahut Malim Jenaka, “Lagi pula, Patih Kusuma dengan almarhum masih bersaudara. Tidak ada salahnya jika ada kecocokan patih, mendampingi Gusti Ratu menjadi pasangan. Bukan begitu, Rangga...?” saran kakek berbadan besar ini.

Permaisuri Dewi Trijata menundukkan kepala. Sedangkan Patih Kusuma tampak merah wajahnya. Sementara, Malim Jenaka mengusap-usap perutnya yang kekenyangan.

“Urusan hati, kita serahkan pada yang bersangkutan,” Rangga menengahi. “Hamb yakin, semuanya dapat diselesaikan dengan baik. Dengan begitu urusan kerajaan sudah selesai. Sekarang, hamba harus menyelesaikan apa yang menjadi tugas Kakek Malim Jenaka. Boma dan Pedut Ireng harus ditangkap untuk dikembalikan kepenjara kutukan di Lembah Tengkorak.”

“Betul! Tapi serahkan dulu Pusaka Lidah Setan padakku. Hanya dengan pusaka itu, mereka pasti takut, dan membuat mereka binasa,” pinta Malim Jenaka.

“Jangan takut. Ini kukembalikan padamu, Kek!” ujar Rangga sambil menjulurkan tangannya.

Candra Kirana menerima kedua senjata pusaka ini, lalu menyelipkannya di balik pinggang.

“Secepat itukah kalian hendak pergi?” tanya Permaisuri Dewi Trijata keberatan.

“Bukankah semua urusan harus segera diselesaikan, Gusti Ratu? Lagi pula kedua titisan iblis itu harus cepat ditangkap. Aku takut guruku marah-marah nanti!” sahut Malim Jenaka.

“Kalau kalian butuh pasukan, bisa membawa beberapa prajurit untuk membantu!” Patih Kusuma mengajukan tawaran.

“Tidak! Terima kasih, Paman. Biarkan urusan ini kami yang akan menyelesaikannya berdua. Kami mohon diri!” pamit Rangga.

********************

Rangga dan Candra Kirana terus menelusuri jalan pintas menuju tempat persembunyian Pedut Ireng. Menjelang senja, barulah mereka berdua sampai di tempat tujuan. Namun, rumah besar itu tampak lebih sunyi dari biasanya.

“Kakek yakin dia bersembunyi di rumah ini?” tanya Rangga perlahan.

“Ho ho ho...! Aku yakin, seyakin-yakinnya. Bau mereka saja masih tercium olehku...!” jawab Candra Kirana, enteng.

“Bagaimana bau Pedut Ireng itu, Kek?” pancing Rangga.

“Baunya? Hmm.... Seperti bau api neraka. Ha ha ha...!” sahut kakek berperut buncit disertai tawa.

“Kalau begitu, Kakek pernah pergi ke neraka. Bagaimana keadaan di sana?” tanya Rangga berkelakar.

“Pokoknya serba sedih dan mengerikan. Aku memang pernah datang ke sana. Tapi, baru dalam mimpi saja,” sahut Candra Kirana, seenaknya.

Rangga terdiam. Sikapnya kembali bersungguh-sungguh. Diperhatikannya bangunan sederhana didepannya. Naluri kependekarannya mengatakan, ada yang memperhatikan kehadiran mereka sejak tadi.

“Perintahkan pada tahanan itu untuk menyerahkan diri, Kek!” seru Rangga.

“Kusarankan, kau saja yang masuk ke dalam. Atau kalau perlu, kita masuk bersama-sama,” usul Candra Kirana.

“Mari!” sahut Pendekar Rajawali Sakti, langsung menyetujui.

Selanjutnya mereka berdua menghampiri pintu didepan. Ketika Rangga mendorong pintu sampai terbuka, tiba-tiba....

“Graungrr...!”

Terdengar suara menggeram disertai berkelebatnya sesosok tubuh berkepala botak. Sosok berpakaian hitam ini langsung melepaskan sebuah pukulan ke arah mereka berdua.

“Uts...!” Untung Rangga dan Candra Kirana telah bersikap siaga sejak semula. Mereka melompat ke kiri dan kanan dengan gerakan indah, sehingga berhasil menghindari serangan sosok bertubuh tinggi besar bagai raksasa, kaki tangan Pedut Ireng.

Kini baru terlihat jelas rupa sosok raksasa ini. Wajahnya kasar dengan hidung lebar. Mulutnya pun lebar, dengan taring pada sudut bibirnya. Matanya bulat nyalang, menyorot tajam.

“Graunggrrr...!”

“Tidak ada gunanya kau melawan kami! Suruh keluar Pedut Ireng untuk dibawa kembali keLembah Tengkorak!” perintah Pendekar Rajawali Sakti.

Perintah pemuda berbaju rompi putih tersebut sama sekali tidak ditanggapi sosok raksasa berwajah mengerikan. Malah tubuhnya meluruk ke depan menyerang Rangga. Pemuda ini tidak tinggal diam ketika merasakan sambaran tangan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. Segera dipasangnya kuda-kuda, lalu membuat gerakan-gerakan aneh. Badannya condong ke kiri, dan condong ke kanan. Lalu tubuhnya berputar.

Begitu serangan raksasa ini lewat, Rangga meluncurkan kakinya begitu cepat, sehingga tidak dapat dihentikan lagi. Tidak ampun lagi....

Duk!

“Wuaaakh...!”

Tubuh raksasa itu jatuh berdebum disertai erangan keras. Tetapi tendangan Rangga yang mengandung tenaga dalam tinggi tadi tidak berakibat apa-apa bagi sosok mengerikan ini. Bahkan langsung bangkit berdiri.

“Graungggrrr...!”

Disertai teriakan marah, raksasa itu membalas serangan dengan tidak kalah hebatnya. Pemuda berbaju rompi putih segera mempergunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk mengelakkan serangan. Sedangkan Malim Jenaka yang mengawasi perkelahian seru bertepuk tangan.

“Pukul anunya, Rangga! Kelemahannya terletak di anunya itu! Kalau tidak, kau bisa hancur diinjak-injaknya...!” teriak Malim Jenaka, memberi petunjuk.

“Tenang saja, Kek!” sahut Rangga.

Rangga tiba-tiba saja meluruk. Tangannya meluncur deras ke bagian terlarang dan juga ke wajah. Tetapi raksasa itu sekarang membuat gerakan-gerakan kacau. Tangan kanannya terpentang ke depan.

“Heaaa...!” teriak raksasa itu seraya menghantamkan tangannya menggunakan pukulan Geledek.

Demikian cepat serangan itu, membuat Rangga gugup. Namun secepat kilat dia berusaha menghindar ke samping. Akan tetapi hawa dingin tetap menyambar sebagian kakinya.

Blarrr!

“Oh...!” Rangga jatuh terguling-guling. Kakinya terasa membeku. Dengan terpincang-pincang, pemuda berompi putih ini bangkit berdiri. Namun belum lagi siap dengan kuda-kudanya, raksasa itu telah menyerangnya kembali penuh nafsu.

Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam. Segera dikerahkannya jurus ‘Seribu Rajawali’. Rangga seketika berkelebat sedemikian cepatnya, mengitari raksasa itu. Gerakan yang sangat gesit ini, membuat tubuhnya tampak berubah banyak.

Sehingga, membingungkan lawannya. Namun tidak kalah cepatnya, raksasa itu melepaskan serangan bertubi-tubi dengan menghentakkan tangannya. Tetapi, serangannya tetap mengenai tempat kosong. Sementara Kirana tampak melonjak kegirangan.

“Bagus! Gajah bengkak berkepala gundul mulai bingung, Rangga!” kelakar Malim Jenaka.

Rangga sama sekali tidak menghiraukan ocehan kakek itu. Tubuhnya terus berputar-putar beberapa kali. Dan mendadak kakinya meluncur ke selangkangan. Sedangkan tangannya menghantam ke wajah.

Wuttt!

Serangan cepat ini membuat bingung. Namun raksasa itu mencoba melompat mundur, sambil menarik wajahnya ke belakang. Wajahnya yang bundar memang dapat diselamatkan dari kehancuran. Namun luncuran kaki Rangga tidak dapat dicegah lagi. Sehingga....

Jrottt!

“Auaaa...!”

Disertai jerit kesakitan, raksasa tangan kanan Pedut ireng jatuh terguling-guling. Tubuhnya berkelojotan seperti orang kesetanan. Apa yang dikatakan Candra Kirana memang benar. Setelah bagian rahasianya hancur, raksasa ini meregang nyawa.

“Ho ho ho...! Betul, bolanya pecah. Nyawanya di situ. Dan sekarang dia telah mati. Pekerjaan yang bagus, Rangga,” puji Candra Kirana disertai tawa.

DELAPAN

“Heh...?!” Tawa Malim Jenaka seketika lenyap, berganti keterkejutan, saat terdengar deru angin topan dari dalam rumah. Candra Kirana memberi isyarat pada Rangga untuk mundur.

Selanjutnya, terdengar suara langkah-langkah kaki menggetarkan tanah yang dipijak. Tak lama, di ambang pintu muncul sosok berbulu hitam. Wujudnya sepintas lalu memang sangat mirip monyet raksasa. Begitu besar dan tinggi.

Rupanya angin yang menderu-deru tadi berasal dari mulut sosok setengah binatang dan setengah manusia ini. Mulut makhluk berbulu hitam ini kembali membulat. Dan....

“Puuuh...!”

Pendekar Rajawali Sakti bergetar tubuhnya, ketika gelombang angin keras yang keluar dari mulut makhluk itu, menghantam dirinya. Untung Rangga sudah mengerahkan tenaga dalam ke bagian kakinya. Sehingga sepasang kakinya seperti terpantek ke bumi.

Sementara Malim Jenaka tertawa-tawa sambil mengusap perutnya yang bundar. Caping bambunya telah melayang jatuh, sehingga rambutnya yang putih berkibar-kibar ditiup angin. Rangga menyadari, sesungguhnya Candra Kirana mengerahkan tenaga dalam juga untuk melindungi diri.

“Hentikan permainanmu ini, Pedut Ireng! Aku datang menagih janji. Sudah kubawa pula rantai neraka untuk membelenggumu. Bagaimana? Apakah kau sudah bersedia pulang bersamaku ke Lembah Tengkorak?” tanya Candra Kirana tegas.

Manusia berwujud monyet raksasa yang ternyata Pedut Ireng ini tidak segera menjawab, melainkan memperhatikan pemuda berompi putih yang telah membunuh raksasa peliharaannya. Kemudian tatapannya beralih pada Candra Kirana. Matanya yang merah memandang penuh murka.

“Aku merasa senang tinggal di dunia bebas! Lembah Tengkorak tidak beda dengan penjara neraka bagiku!” dengus Pedut Ireng, tidak suka.

“Kau di sana hanya untuk menjalani hukuman kutukan. Setelah itu berlalu, kau bebas pergi ke mana saja. Percayalah! Guru memilihkan yang terbaik buatmu!” bujuk Candra Kirana.

“Siapa tahan? Serigala Putih saja tidak tahan. Lagi pula, kesalahanku tidak besar. Salahkah aku jika ingin punya pasukan yang hebat? Coba katakan sejujurnya, Kakang Candra Kirana!” tukas Pedut Ireng tidak sabar.

“Tentu tidak salah. Tetapi, kau harus menjalani apa yang menjadi kewajibanmu dulu!” tegas Candra Kirana.

“Betul. Kau harus menjalani apa yang menjadi hukumanmu,” Rangga ikut menimpali.

“Diam kau! Aku tidak ada urusan denganmu!” dengus Pedut Ireng marah. Rangga tersenyum dingin.

“Akan menjadi urusanku jika kau tidak menuruti perintah kakek gendut ini!”

“Kalau begitu, aku memilih tidak patuh pada siapa pun! Ilmu olah kanuraganku juga tinggi. Kakang Candra Kirana pasti tidak mampu menangkapku!” teriak Pedut Ireng, tanpa mengenal rasa takut.

“Bagaimana kalau aku mempergunakan Lidah Setan? Apakah ini bukan jalan kematian bagimu?” desis Candra Kirana setengah mengancam.

Pedut Ireng memang sempat tertegun. Tapi, walaupun otaknya tidak begitu cerdas, namun dia ingat kalau Pusaka Lidah Setan sekarang sedang dipinjam Antasena. Jadi mustahil Candra Kirana punya dua senjata yang sama.

“Kau hanya bergurau, Kakang. Lidah Setan hanya milik titisan iblis seperti kami. Dan kami tahu, di mana pusaka-pusaka itu sekarang berada. Manusia sejati memang selalu berbohong! Kubunuh kalian berdua!” teriak Pedut Ireng gusar, seraya meluruk dengan serangan dahsyat.

Pendekar Rajawali Sakti mencoba menghadang serangan Pedut Ireng yang ganas. Namun Candra Kirana cepat menahan Rangga agar mundur. “Sekarang giliranku, Rangga. Kau hanya boleh membantu jika aku benar-benar terdesak!”

Rangga terpaksa melompat mundur. Sedangkan perkelahian sengit mulai berlangsung.

“Kau akan menjadi gading busuk kalau tidak suka menurut perintahku! Heaaa...!” seru Candra Kirana.

“Hhhrrrt!” Pedut Ireng menggeram. Mulutnya menggembung. Sedangkan bibirnya membentuk bulatan. Lalu.... “Puuuh!”

Dari mulut Pedut Ireng menyembur hawa panas menyengat, meluruk deras ke tubuh Candra Kirana. Bukan main cepat luncuran serangan itu. Namun tidak kalah cepatnya Candra Kirana langsung berjumpalitan menghindarinya.

Serangan makhluk berwujud menyeramkan ini luput. Namun di dalam kesempatan lain, tiba-tiba kedua tangannya mendorong ke arah Candra Kirana.

Wusss...!

Segulung angin berhawa dingin meluncur deras ke arah Malim Jenaka. Kali ini kakek bercaping bambu ini tidak tinggal diam. Cepat tangannya mengibas ke arah gundukan angin yang menyerangnya.

Wusss!

Sungguh aneh! Serangan balasan yang dilancarkan Candra Kirana seperti mengenai ruangan kosong. Sebaliknya, segulung angin milik Pedut Ireng terus meluncur dan membungkus Candra Kirana.

Rangga jelas dapat melihat kakek berperut bundar itu berusaha membebaskan diri dari kepungan api yang mengurungnya. Tampaknya, usaha itu mengalami kesulitan.

Sementara, Pedut Ireng telah bersiap-siap membunuhnya. Pedut Ireng mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Kedua tangannya yang berwarna hitam semakin berubah hitam saat mengerahkan tenaga dalamnya.

Melihat bahaya yang mengancam, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat diam lebih lama. Tubuhnya meluruk deras ke depan dengan kedua tangan menghentak.

“Hiyaaa...!”

“Wuaaagkh...!”

Sungguh tidak disangka. Aji ‘Bayu Bajra yang dilepaskan Rangga hanya membuat Pedut Ireng jatuh terguling-guling saja. Rangga memperbaiki sikap kuda-kudanya. Sebelum Pedut Ireng sempat berdiri, Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati Candra Kirana. Namun, orang yang baru saja hendak ditolongnya telah berhasil membuyarkan kabut yang membungkusnya.

“Bagaimana keadaanmu, Kek?” tanya Rangga perlahan, begitu berada di samping Malim Jenaka.

“Hampir mampus!” sahut Candra Kirana dengan napas megap-megap. “Kalaupun Pedut Ireng dapat kau lukai, dia bukan manusia sewajarnya, Rangga. Dia tidak pernah mati, walaupun tubuhnya ditusuk seribu kali. Aku baru ingat untuk mempergunakan Lidah Setan, senjata pamungkas pemiliknya sendiri!”

“Kalau begitu, jangan mengulur-ulur waktu, Kek,” sahut Rangga.

Candra Kirana mengangguk perlahan. Kini kakek berperut bundar ini memasang kuda-kuda, seakan bersiap-siap melakukan serangan balasan. Kedua tangannya meraba bagian pinggang.

“Pedut Ireng! Jika kau tidak menginginkan kebinasaanmu sendiri, kuperingatkan padamu untuk menyerah. Pusaka Lidah Setan milikmu dan milik Serigala Putih sekarang berada ditanganku...!” teriak Malim Jenaka memperingatkan.

“Siapa yang percaya ucapanmu, Kakang?! Kalau senjataku ada padamu, mengapa sejak tadi tidak dikeluarkan untuk menghadapi aku?” Tanya Pedut Ireng tidak percaya.

“Aku lupa...,” sahut Candra Kirana apa adanya.

“Nyawa sudah hampir sampai di tenggorokan, masa kau lupa?” dengus makhluk berwujud monyet ini mengejek.

“Baru sekarang aku akan mempergunakannya untuk menghancurkan dirimu, jika tidak menuruti apa kataku!” ancam Malim Jenaka.

Tentu saja Pedut Ireng menyangka apa yang dikatakan Candra Kirana hanya omong kosong saja. Sehingga hanya menganggap remeh. Pedut Ireng yang setengah manusia nekat hendak menyerang Candra Kirana. Namun, tiba-tiba Malim Jenaka telah mencabut dua Pusaka Lidah Setan sekaligus yang langsung disilangkan di depan dada. Sehingga, memancarkan cahaya berwarna merah.

Pedut Ireng langsung menutupi matanya. Tampaknya, dia tidak tahan melihat pancaran cahaya di tangan Candra Kirana yang sebenarnya merupakan senjatanya sendiri. Padahal bila berada di tangannya sendiri, pusaka itu bagai saudara kandungnya!

“Ampun.... wuaah..., tobat! Hentikan! Aku tidak sanggup! Ampun!” teriak Pedut Ireng seperti orang kesakitan.

“Kau masih belum percaya juga padaku, Pedut Ireng?” tanya Malim Jenaka.

“Sekarang, aku percaya!” sahut Pedut Ireng.

“Nah, merangkaklah kedepanku. Tanganmu harus diikat dengan rantai neraka...!” perintah Malim Jenaka tegas.

Pedut Ireng tampak ragu-ragu. Jika telah diikat rantai tersebut, berarti tidak ada kesempatan baginya dapat berkeliaran bebas lagi seperti hari-hari yang lalu.

“Mengapa kau tidak segera melakukannya, Titisan Iblis! Apakah kau lebih memilih kebebasanmu?” desak Malim Jenaka.

“Rasanya tidak adil jika aku saja yang dibawa kembali ke penjara kutukan. Aku tidak terima!” sergah Pedut Ireng.

“Kau merasa iri.... aku tahu itu. Tapi, jangan khawatir. Boma juga akan mendapat giliran!”

Pedut Ireng memang tidak punya pilihan lain, jika tidak ingin binasa oleh senjatanya sendiri. Dia memang harus merelakan kedua tangannya diikat rantai neraka. Dengan agak ragu-ragu, Pedut Ireng mendekati Malim Jenaka. Kakek berperut bundar ini menyimpan senjatanya lagi. Lalu diambilnya salah satu rantai yang tersampir di bahunya. Dengan rantai itu pula, tangan Pedut Ireng diikat ke belakang.

“Sekarang kita tinggal mencari Boma, Rangga. Apakah kau tidak keberatan membantuku sekali lagi?” pinta Malim Jenaka.

“Aku tentu saja bersedia, Kek. Tetapi, apakah Pedut Ireng harus dibawa serta?” tukas Rangga.

“Tentu saja. Aku tidak ingin dia melarikan diri. Rasanya aku sudah ingin cepat-cepat kembali ke Lembah Tengkorak. Terlambat sedikit, guruku yang berjuluk Dewa Langit bisa mengemplang kepalaku!” gerutu kakek bercaping bambu ini sambil menyeret rantai baja yang dipergunakan untuk mengikat makhluk titisan iblis bernama Pedut Ireng.

********************

Candra Kirana yang memang telah mengetahui tempat persembunyian Serigala Putih langsung memasuki pintu yang terbuka. Tiba di dalam ruangan yang cukup luas, baik Rangga maupun Candra Kirana dengan jeli melakukan pemeriksaan. Bau busuk di dalamnya sudah tidak terkatakan lagi.

Tulang-belulang manusia korban Serigala Putih sudah tidak dihiraukan lagi. Setelah melakukan pemeriksaan di segenap kamar yang ada, ternyata orang yang dicari sudah tidak berada di situ lagi.

“Tampaknya, buruanmu telah melarikan diri, Kek?” duga Rangga.

“Dia tidak bisa jauh dariku. Karena, aku akan terus mencarinya sampai dapat” sahut Malim Jenaka, dengan wajah cemberut.

“Ha ha ha...!” Pedut Ireng tiba-tiba saja tertawa.

“Mengapa kau tertawa?!” bentak Malim Jenaka.

“Boma adalah manusia licik. Dia titisan iblis yang cerdik. Mana mau dia dibawa kembali keLembah Tengkorak? Tidak adil sebenarnya bila mau berpikir lebih luas.”

“Kok tidak adil?” tukas Malim Jenaka tidak mengerti.

“Tentu saja! Boma telah banyak melakukan pembunuhan dan memakan daging manusia. Sedangkan aku, sekalipun belum pernah. Seharusnya dialah yang dipenjarakan di Lembah Tengkorak. Bukan aku! Karena, dosa-dosaku masih sedikit!” tandas Pedut Ireng.

“Pandai juga kau berkelakar. Kalian berdua sama saja! Mari kita cari manusia buas itu ke tempat lain, Rangga!” ajak Malim Jenaka.

Mereka keluar lagi dari bangunan yang tidak terurus itu. Baru saja sampai di mulut pintu keluar, Rangga melihat sebuah bayangan hitam berkelebat menjauhi mereka.

“Itu dia...!” seru Rangga, langsung.

Sambil menyeret Pedut Ireng, Rangga dan Candra Kirana segera melakukan pengejaran ke arah bangunan yang terletak di seberang jalan. Begitu cepat mereka berkelebat, sehingga sebentar saja telah sampai di situ. Segera kedua orang ini melakukan pemeriksaan. Tetapi orang yang dicari tidak ditemukan lagi. Padahal, tadi orang itu tampak membelok memasuki salah satu pintu yang terbuka.

“Dia pasti bersembunyi di sekitar sini,” bisik Candra Kirana. Suaranya hampir tidak terdengar.

“Katanya, kau mampu mengendus bau siluman itu, Kek? Mengapa sekarang tidak dilakukan?” ejek Rangga.

“Semua siluman memang bau. Tetapi, aku sulit melakukannya karena di sini ada titisan iblis juga,” sahut kakek bercaping bambu tersebut seenaknya.

“Siapa? Kau...?” tebak Rangga.

“Pedut Ireng!”

Pendekar Rajawali Sakti menjadi maklum. Segera mereka berpencar dan mencari buruan di dalam bangunan lainnya. Sementara itu, Malim Jenaka terus berputar-putar memeriksa setiap ruangan.

Lama kelamaan Pendekar Rajawali Sakti menjadi tidak sabar juga. Dia terus berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Sampai akhirnya, mengendus bau bangkai manusia yang menusuk hidung. Tengkuk Rangga meremang berdiri.

“Aku tahu, kau bersembunyi di rumah ini, Serigala Putih! Tidak ada jalan bagimu untuk meloloskan diri, terkecuali bersedia kembali ke Lembah Tengkorak! Keluarlah. Dan, serahkan dirimu pada Candra Kirana! Semoga Dewa Langit mau meringankan hukumanmu!” teriak Rangga, keras.

Pendekar Rajawali Sakti menunggu sejenak. Suasana sepi terasa mencekam. Begitu sunyinya, sehingga pemuda berbaju rompi putih ini bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

“Titisan iblis! Keluarlah dari tempat persembunyianmu!” perintah Rangga lagi. Dari sebelah kiri Rangga terdengar suara menggeretak. Lalu terdengar dengusan napas binatang seperti sedang marah. Dan....

“Auuung...!”

Tiba-tiba terdengar lolongan panjang mendirikan bulu roma. Suara itu disusul melesatnya sebuah bayangan abu-abu ke arah Rangga. Pemuda berbaju rompi putih yang memang sudah bersikap waspada segera melompat menuju halaman. Ternyata, bayangan itu mengikutinya keluar.

Begitu bayangan itu mendarat, Rangga melihat sosok di depannya mempunyai wajah dan kepala seperti serigala. Matanya berwarna merah seperti bara. Lidahnya panjang terjulur. Di antara lidah itu terdapat dua pasang taring berwarna putih kemerah-merahan.

Sosok yang dihadapi Rangga memang tidak lebih dari manusia berwujud serigala, karena sosok satu ini berjalan dengan kedua kakinya. Hampir di sekujur badannya ditumbuhi bulu-bulu halus.

“Kau yang bernama, Boma?” tanya Rangga. Suaranya pelan, namun cukup jelas.

“Ya! Akulah Boma yang berjuluk Serigala Putih! Apakah kau menawarkan dagingmu untukku?” dengus Serigala Putih dengan suara menggiriskan.

Titisan iblis ini menjulurkan lidahnya yang menebarkan bau busuk. Namun Rangga hanya tersenyum. Makhluk yang satu ini besarnya memang luar biasa. Bahkan lebih besar dan lebih tinggi daripada Candra Kirana. Tapi yang jelas, Rangga tidak mau mengulur-ulur waktu lagi.

“Aku sengaja mencarimu bukan untuk menyerahkan diri. Melainkan, membantu Candra Kirana untuk memulangkanmu kepenjara di Lembah Tengkorak,” tegas Rangga.

“Kau boleh bermimpi! Tapi, jangan harap aku mau menuruti perintah Candra Kirana. Apalagi perintahmu!” desis Serigala Putih.

“Heh..., begitu? Kalau itu yang kau tempuh, berarti tidak ada cara lagi, selain jalan kekerasan,” tukas Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa pun kau, kuperingatkan padamu! Tidak ada senjata atau ajian apa pun yang dapat menghancurkan aku!” dengus Boma, jumawa.

“Jangan sombong! Di atas langit masih ada langit. Kau ingat-ingatlah itu!”

Serigala putih hanya mendengus. Sambil menggeram hebat, tubuhnya meluruk menyerang Rangga dengan buas. Melihat caranya melakukan serangan saja, Rangga sudah dapat merasakan betapa hebatnya titisan iblis satu ini. Untuk itu, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau bersikap setengah-setengah.

Rangga segera mengerahkan jurus-jurus andalan dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’. Dan perkelahian kedua tokoh ini pun berlangsung seru dan cukup menegangkan. Apalagi, Serigala Putih memang bermaksud memangsa Rangga!

“Terimalah kebinasaanmu! Heaaa...!” teriak Boma lantang.

Kembali tubuh Serigala Putih meluruk ke arah Rangga. Tangannya yang berkuku panjang menyambar wajah. Sedangkan mulutnya yang terbuka meluncur deras mengincar bagian leher.

“Uts!” Rangga cepat menghindar ke samping kiri. Dan belum lagi dia sempat bertindak lebih lanjut, Serigala Putih telah melesat kembali. Sekali lagi pemuda berompi putih berjumpalitan. Walau begitu, kuku Boma masih sempat menyambar bagian dada.

Bret!

“Aaakh...!” Rangga kontan terhuyung-huyung. Darah menetes dari bagian dada yang mengalami luka memanjang. Melihat darah di tubuh lawannya, Boma semakin bersemangat dan berubah menjadi liar.

“Hauung...!”

Disertai raungan keras, Boma meluruk kedepan. Tangannya kembali meluncur deras menghantam leher. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menghindari serangan ganas ini. Begitu serangan tiba, tubuhnya meliuk-liuk indah.

Kadang condong ke depan atau ke belakang, dengan gerakan kaki lincah. Sampai sejauh ini belum ada satu serangan pun yang mendarat di tubuhnya. Tiba-tiba Rangga membuat gerakan berputar. Kakinya seketika melepas tanpa dapat ditahan lagi.

Buk!

“Grrrghh...!”

Hebatnya, Serigala Putih hanya terhuyung-huyung saja. Padahal, tendangan Rangga mengandung tenaga dalam tinggi.

Buk!

“Aaakh...!”

Sebaliknya, ketika Boma berbalik melakukan serangan, tanpa ampun lagi Rangga jatuh terjengkang. Tinju Serigala Putih telak sekali menghantam perutnya. Darah mengucur dari sudut-sudut bibir Pendekar Rajawali Sakti. Namun secepatnya dia bangkit berdiri. Kini wajahnya berubah dingin. Tatapan matanya tajam menusuk.

Beberapa gerakan dilakukan. Kedua kakinya membentuk kuda-kuda kokoh. Begitu tenaga dalamnya disalurkan pada kedua tangan, sinar biru langsung membungkus sampai sebatas siku. Dan tiba-tiba Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan.

“Heaaa...!”

Saat itu juga meluncur sinar biru dengan pengerahan aji ‘Cakra Buana Sukma’ ke arah Serigala Putih. Boma terkejut melihat apa yang dilakukan lawannya. Tanpa ampun lagi, sinar biru itu menghantam dadanya.

Blarrr!

“Aaa...!”

Walau telak sekali sinar biru itu menghantam Serigala Putih, anehnya tubuh titisan iblis itu hanya terbanting saja. Kendati demikian, lukanya cukup parah. Padahal, aji ‘Cakra Buana Sukma’ adalah ajian terdahsyat yang dimiliki Rangga!

Selama ini, setiap lawan yang terkena ajian ini pasti hancur berkeping-keping tubuhnya. Saat itu Boma sudah berdiri lagi, walaupun tubuhnya dipenuhi luka. Tampaknya dia seperti tidak merasakan akibat apa-apa. Dengan lidah menjulur-julur, kedua tangan disilangkannya ke depan dada. Tampaknya dia memang bermaksud melepaskan pukulan yang sangat dahsyat. Terbukti, dari kedua tangannya mengepul kabut tipis berwarna hitam.

Rangga tentu tidak tinggal diam. Dengan sikap waspada, kembali disiapkan ajiannya. Tetapi sebelum niatnya kesampaian....

Set!

Mendadak selarik sinar merah melesat ke arah Boma, tanpa seorang pun mampu menghalanginya. Dan....

Glarrr!

“Aaagkh...!” Ledakan keras disertai jerit menyayat terdengar, ketika sinar merah itu menghantam Boma. Tubuh Serigala Putih kontan terlempar sejauh tiga tombak. Dia tewas seketika begitu tubuhnya menyentuh tanah. Pendekar Rajawali Sakti cepat menoleh ke arah datangnya sinar merah tadi. Ternyata, di sana telah berdiri Candra Kirana.

“Aku terpaksa membunuhnya, Rangga! Dia tadi hendak melepaskan pukulan paling keji di muka bumi ini. Aku yakin dia tidak pernah menyerah!” tegas Candra Kirana. “Pusaka Lidah Setan ini yang membunuhnya.”

Rangga menarik napas lega. Kembali diperhatikannya mayat Boma. Tapi, ternyata mayat tersebut sudah lenyap dari pandangan mata.

“Ingat! Dia titisan! Mayatnya tentu raib begitu saja!” Sekali lagi Candra Kirana menjelaskan.

“Kuucapkan terima kasih atas bantuanmu, Rangga. Sekarang aku harus kembali keLembah Tengkorak!” lanjut Malim Jenaka.

“Baiklah, Kek. Kuucapkan selamat jalan,” sahut Rangga.

“Selamat bertugas, Rangga.”

Malim Jenaka sambil menuntun Pedut Ireng melambaikan tangannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga tersenyum sambil membalas lambaian tangan kakek gendut itu.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: DEWA SESAT