Pesanggrahan Telaga Warna - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PESANGGRAHAN TELAGA WARNA

SATU

SAAT ini cuaca cukup baik. Angin bertiup tenang, membawa hawa hangat siang hari. Kawasan Bukit Ungaran tampak ramai oleh para tokoh persilatan yang ingin mendapatkan bunga langkah yang dikenal bernama Bunga Nirwana.

Menurut berita yang terdengar saat ini, barang siapa yang memakan Bunga Nirwana tenaganya akan bertambah puluhan kali lipat. Lagi pula dapat membersihkan darah dan menguatkan tulang, sehingga tidak mudah rapuh. Dengan demikian daya tahan tubuh pun semakin meningkat.

Karena itulah, Pesanggrahan Telaga warna yang terletak di tengah telaga warna, ramai dikunjungi orang persilatan. Di antara sekian banyak tokoh persilatan, tampak seorang tua. Rambutnya yang putih tergerai, bertebaran ditiup angin. Dia berjalan seenaknya dengan mata memandang ke sana kemari bagaikan tengah mencari sesuatu. Tingkahnya terkesan santai dan seenaknya saja. Sesekali ditenggaknya tuak merah dari guci yang dibawa.

Di sampingnya berjalan seorang pemuda bertubuh tinggi besar dengan pakaian merah tanpa lengan. Wajah pemuda itu cukup tampan. Di pinggangnya tergantung clurit berwarna perak. Pemuda itu terus mengikuti ke mana saja orang tua itu pergi.

Saat seperti sekarang ini, ketegangan telah mencapai puncaknya. Sikap tokoh persilatan sepertinya saling curiga dan tidak percaya satu sama lain. Mereka merasa ada yang main kayu dalam persaingan mencari Bunga Nirwana.

"Jalapati terbunuh...! Jalapati terbunuh!" Mendadak kesunyian siang itu dipecahkan oleh teriakan seorang pemuda berpakaian serba putih.

Mendengar teriakan barusan dengan cepat murid-murid perguruan itu memburu ke tempat yang ditunjuk pemuda tadi. Tampak sosok tubuh rekan mereka telah membujur kaku menjadi mayat. Mereka menjadi berang bukan main.

"Keparat...! Laporkan kejadian ini pada Eyang Tantular! Ini pasti perbuatan murid-murid Ki Ronggojati dari Perguruan Harimau Besi! Kita harus menebus kematian rekan kita dengan darah....'" desis salah seorang murid dengan gigi gemeletuk menahan marah.

"Benar... Balaga! Kita hancurkan mereka yang merasa paling jago dan tidak memandang perguruan kita sama sekali...," timpal murid lain dengan mengepalkan tinju sampai berbunyi berkerotokan.

"Aaaaaa...!"

Pada saat yang sama, terdengar pula dua kali teriakan menyayat. Beberapa orang berpakaian serba kuning dengan lambang bergambar seeekor harimau di dada segera memburu ke tempat datangnya teriakan tadi. Begitu mereka tiba, tampak dua sosok mayat telah terbujur kaku. Dekat mayat itu terlihat dua ekor kelabang yang sedang merayap.

"Bangsat...! Ini pasti perbuatan murid-murid Perguruan Gelang Terbang...! Kalau ingin pamer kepandaian, mengapa tidak langsung saja...? Mengapa harus menggunakan cara licik?" desis pemuda bertubuh kekar yang dikenal sebagai murid Perguruan Harimau Besi seraya mencabut pedang dan membunuh kedua binatang beracun itu.

"Kalau begitu, mereka sudah membuka tantangan pada kita...! Menghadapi manusia licik, kita tidak perlu menggunakan perasaan.... Cepat laporkan pada Eyang Ronggojati!" sambut murid lain.

Dua orang murid Perguruan Harimau Besi segera kembali ke perkemahan, untuk melaporkan kejadian ini pada Eyang Guru mereka. Sementara yang lain segera mengurusi dua mayat yang telah membiru.

Tepat ketika kedua mayat itu hendak disemayamkan di kemah, seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dengan pakaian jubah kuning telah muncul bersama dua orang murid yang melaporkan tadi.

Laki-laki tua yang tak lain dari Eyang Ronggojati, Ketua Perguruan Harimau Besi nampak penuh kemurkaan. Itu bisa dilihat dari raut wajahnya yang membesi. Sinar matanya berkilauan dengan kedua tangan terkepal.

Setelah Eyang Ronggojati memberi isyarat pada murid-muridnya, mereka pun berangkat untuk mendatangi perkemahan Perguruan Gelang Terbang. Dengan langkah lebar, Eyang Ronggojati berjalan paling depan.

Belum berapa jauh orang-orang Perguruan Harimau Besi melangkah, telah berpapasan dengan orang-orang Perguruan Gelang Terbang yang memang sedang menuju ke tempat mereka.

Berjalan paling depan adalah seorang laki-laki tua berbaju jubah putih. Di belakangnya tampak murid-murid Perguruan Gelang Terbang yang rata-rata sedang menahan marah. Laki-laki tua berjubah putih itu tak lain dari Eyang Tantular.

"Bangsat...! Berani benar mereka mendatangi kita...! Tetapi, kebetulan! Kita tidak perlu susah payah ke tempat mereka!" desis Eyang Tantular.

Eyang Ronggojati yang memimpin Perguruan Harimau Besi memandang Eyang Tantular dengan sorot mata tajam, ketika rombongan masing-masing berhenti pada jarak lima tombak.

Eyang Tantular sendiri yang memimpin Perguruan Gelang Terbang, maju ke muka beberapa langkah dengan senjata siap di tangan. Demikian pula Eyang Ronggojati. Bahkan dia telah meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang.

"Hei..., Tantular! Sebagai Ketua Perguruan yang cukup ternama, apakah tidak malu melakukan perbuatan rendah...?" tegur Eyang Ronggojati dengan suara penuh tekanan.

"Apa maksudmu, Ronggojati...?!"

"Jangan pura-pura...!" sentak Eyang Tantular keras menggelegar. "Mengapa kau bunuh muridku dengan binatang beracun...?!"

"Keparat...! Pandai benar kaku memutar balik kenyataan. Kau sendirilah yang membunuh muridku mengyunakan binatang beracun. Huh! Maling teriak maling...," balas Eyang Tantular dengan suara menggelegar.

"Huh...! Di mana pun tidak ada orang yang bersalah mengaku. Kalaupun ada, hanya beberapa gelintir saja.... Yang jelas, bukan kau orangnya...," ejek Eyang Ronggojati melecehkan.

Mendapat jawaban seperti itu Eyang Tantular jadi berang. Cepat bagaikan kilat, tangannya bergerak.

Zing! Zing!

Beberapa buah gelang dari besi langsung berterbangan menimbulkan suara berdesingan ke arah Eyang Ronggojati. Namun dengan cepat pula Ketua Perguruan Harimau Besi mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Lalu dengan gerakan tidak kalah cepat, pedangnya diputar bagaikan baling-baling.

Trang! Trang! Trang!

Berkali-kali terdengar suara berdenting nyaring ketika senjata gelang terbang milik Eyang Tantular beradu dengan pedang Eyang Ronggojati.

Eyang Tantular berhasil menangkap kembali gelang terbangnya. Dan dengan memutar tubuhnya, kembali gelang terbang itu dilepaskan menyambar ke arah leher dan perut. Serangan kali ini sangat berbahya dan mematikan.

"Heaaa...!" Sambil berteriak keras, Eyang Ronggojati melenting dan berjumpalitan di udara. Pedangnya langsung menyabet dua senjata maut yang mengancam dirinya.

Trang! Trang!

Dari gebrakan tadi, jelas kepandaian dua tokoh itu tidak terpaut jauh. Sehingga dalam waktu singkat, sulit untuk mengatakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Melihat Eyang Guru masing-masing sudah saling serang, para murid kedua perguruan itu tidak mau kalah. Serentak mereka saling serang tanpa kenal kasihan lagi.

Tidak lama, terdengarlah teriakan-teriakan kematian yang menggiriskan. Bahkan sebentar kemudian, dari kedua perguruan telah jatuh banyak korban. Darah mulai menganak sungai. Hawa kematian mulai menyebar di tempat itu.

Para tokoh persilatan dan murid-murid dari perguruan lain memperhatikan pertarungan dengan wajah menyesalkan. Semuanya tidak mengerti, mengapa kedua perguruan itu harus saling tempur hanya untuk sesuatu yang belum jelas buktinya. Bukankah dengan jalan lain kemungkinan jatuhnya korban bisa dihindari!

Sementara pertarungan semakin lama jadi semakin seru. Tampak Ki Demong yang berjuluk Pemabuk Dari Gunung Kidul dan Wisnupati memperhatikan jalannya pertarungan. Sambil terhuyung-huyung karena kebanyakan minum tuak, malah dihampirinya pertempuran itu.

"He he he...! Kalau ada keramaian ajak-ajak aku, dong.... Mengapa kalian berpesta seenaknya saja...?!" oceh Ki Demong dengan langkah terseok-seok.

"Hei..! Kau mau ke mana, Ki...?" tanya Wisnupati heran.

"Kau diam saja di pinggir.... Aku hendak ikut main-main sebentar dengan mereka...," jawab Pemabuk Dari Gunung Kidul seenaknya.

Melihat ada orang lain memasuki pertarungan seenaknya saja, kedua murid perguruan yang sedang berkelahi langsung menyerang dari kiri dan kanan. Namun dengan memiringkan tubuh ke kiri dan ke kanan, serangan dari kedua perguruan itu tak satu pun yang berhasil menyentuh Ki Demong.

Bahkan serangan balik Pemabuk Dari Gunung Kidul yang menggunakan guci tuak, telah menghantam dada dan kepala mereka dengan telak. Walaupun tidak mematikan karena tidak disertai tenaga dalam, tetapi serangan itu cukup menyakitkan.

"Fruhhh...!" Ki Demong yang kini dikeroyok murid-murid Perguruan Gelang Terbang dan Perguruan Harimau Besi, mulai menyemburkan tuak merah yang disertai kobaran api menyambar-nyambar. Sedangkan kaki dan tangannya menyambar ke kiri dan kanan.

Desss...! Desss...!

Rupanya tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul tak lepas dari perhatian kedua pemimpin dari dua perguruan yang sedang berseteru. Mereka segera menghentikan pertarungan. Bahkan Eyang Ronggojati langsung meluruk ke arah Ki Demong.

"Bangsat tua...! Rupanya kau yang telah membinasakan anak muridku...?" hardik Eyang Ronggojati!

Begitu tiba, Eyang Ronggojati menyabetkan pedangnya ke arah leher. Walaupun dalam keadaan setengah mabuk, Ki Demong masih tetap tangguh. Serangan yang mengarah ke leher ditangkis dengan guci tuak.

Baru saja Ki Demong menangkis sabetan pedang Eyang Ronggojati, sambaran gelang terbang Eyang Tantular telah meluruk datang. Namun dengan enaknya, pemabuk tua ini melenting indah ke atas, membuat gelang terbang itu hanya menyambar angin.

Walaupun dikeroyok dua, Pemabuk Dari Gunung Kidul tidak mengalami kesulitan. Permainan guci tuaknya sangat aneh dan luar biasa. Bahkan kedua lawannya dibuat bingung dan kelabakan.

Apa lagi lelaki pemabuk itu sangat jahil. Bila diserang di depan, tubuhnya menyelinap ke belakang. Dan bila diserang ke belakang, tubuhnya ada di samping. Yang diserangnya juga bagian bawah pusar. Dan terkadang menjentik telinga sampai merah dan berdenging.

Tentu saja perbuatan Pemabuk Dari Gunung Kidul membuat Eyang Ronggojati dan Eyang Tantular jadi semakin berang. Secara membabi buta, mereka menerjang. Puluhan gelang terbang Eyang Tantular meluncur mencari mangsa. Sedangkan pedang Eyang Ronggojati bersiutan mengurung jalan keluar Ki Demong.

Sungguh mereka tidak sadar kalau laki-laki tua pemabukan itu sedang mempermainkan mereka. Pemabuk Dari Gunung Kidul sebenarnya tidak ingin ada pertumpahan darah antara dua perguruan itu.

"He he he...! Segala ayam kampung mau pamer kepandaian dalam perebutan Bunga Nirwana.... Lebih baik kalian kembali dan jangan mengorbankan jiwa sia-sia...," ejek Ki Demong.

"Keparat...! Walaupun kau memiliki kepandaian tinggi, jangan harap aku takut menghadapimu...!" bentak Eyang Ronggojati sambil memutar-mutar pedangnya hingga berbunyi berkesiutan.

"Hei, Setan Tua! Aku juga ingin mengadu jiwa denganmu...!" timpal Eyang Tantular sambil menggenggam erat gelang-gelang terbangnya yang bisa meluncur balik, bila tak mengenai sasaran.

"Setan kalian semua.,.! Mengapa malah mengeroyok Pemabuk Dari Gunung Kidul yang tidak tahu apa-apa...?!" dengus Wisnupati. Tubuhnya langsung meluruk dengan clurit perak dikibas-kibaskan.

"Heaaat!"

Melihat ada yang memasuki kancah pertarungan lagi, para murid dari kedua perguruan langsung bergerak. Mereka mengeroyok Wisnupati beramai-ramai.

Wisnupati mengerti, kalau Pemabuk Dari Gunung Kidul bermaksud mencegah kedua perguruan itu dari kematian sia-sia. Karena kalau dibiarkan terus bisa dibayangkan, berapa banyak jiwa yang akan melayang kalau terus saling serang tanpa berhenti.

Hal itulah yang menyebabkan si Pemabuk Dari Gunung Kidul ikut terjun dalam pertarungan. Tetapi tindakan Ki Demong malah membuatnya dituduh sebagai si penyebar maut dengan binatang berbisa. Melihat hal itu, Wisnupati pun ikut terjun dalam pertarungan. Apalagi, melihat Ki Demong dikeroyok beramai-ramai.

Belum beberapa jurus Wisnupati bertarung, berkelebat sesosok tubuh berpakaian hijau dengan wajah tengkorak. Gerakannya bagaikan seekor kucing yang menyelinap ke sana kemari.

Bahkan sosok itu berkelebat sambil melempar benda-benda sebesar melinjo ke arah murid-murid kedua perguruan ini. Untung saja, pertarungan Ki Demong melawan Eyang Ronggopati dan Eyang Tantular berjarak cukup

Dar! Dar!

Ternyata benda bulat itu langsung meledak begitu menyentuh tanah. Asap tebal yang berbau harum segera memenuhi tempat perkelahian.

"Ugkh...!" "Uhhh...!"

Kontan murid-murid Perguruan Gelang Terbang dan Perguruan Harimau Besi jadi terhuyung-huyung. Rupanya asap itu mengandung pembius yang memabukkan.

Sementara, Wisnupati cepat menahan napasnya. Tubuhnya segera berkelebat cepat, seraya melepas totokan ke arah murid-murid kedua perguruan itu. Tanpa harus membunuh, dia bisa menghentikan pertarungan. Setelah melakukan serangan gelap, sosok yang tak lain si Manusia Tengkorak menghilang dari pandangan.

Sedang Ronggojati saat itu sedang menusukkan pedangnya. Namun dengan gerakan luar biasa, Ki Demong mengelak ke samping sambil melepas totokan ke punggung disertai tenaga dalam tinggi.

"Uhhh...!" Eyang Ronggojati melenguh tertahan ketika tubuhnya lemas tak bisa digerakkan lagi. Sehingga pedangnya terlepas dari tangannya.

Lalu, dengan konyol Ki Demong bergerak ke belakang, seraya menahan tubuh Eyang Ronggojati. Dan secepat itu pula, tuak merah yang tergolong sangat keras itu diminumkan pada mulut Ketua Padepokan Harimau Besi.

"Uh... hegh?! Glug... ceglugh...!"

Masuknya tuak merah yang keras dengan paksa ke perut, sebentar saja telah membuat Eyang Ronggojati mabuk. Begitu Ki Demong melepaskan tubuhnya, Eyang Ronggojati ambruk sambil mengoceh tak karuan.

Melihat tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul, Eyang Tantular segera melemparkan tujuh buah gelang terbangnya sekaligus. Namun dengan cepat, Pemabuk Dari Gunung Kidul memutar guci tuaknya bagai kincir angin.

Tang! Tang!

Seketika gelang terbang milik Eyang Tantular mental tak tentu arah. Bersamaan mentalnya senjata gelang terbang, Ki Demong bergerak cepat menjatuhkan diri. Langsung diserang Eyang Tantular dengan tendangan seperti baling-baling.

Bed! Bed!

"Hiaaa...!"

Sambil berteriak keras, Ketua Perguruan Gelang Terbang berjumpalitan ke udara. Tetapi, Ki Demong terus memburunya. Baru saja Eyang Tantular mendarat, sebuah totokan bertenaga dalam tinggi menghantam punggung.

Tidak ampun lagi, Ketua Perguruan Gelang Terbang ambruk dan jatuh telentang di tanah. Seperti Eyang Ronggojati, dia juga dicekoki. Entah tidak biasa minum atau memang tuak merah itu sangat keras. Eyang Tantular jadi pening dan mabuk.

"Setelah kusadarkan nanti, kuharap kalian pergi.... Tidak ada maksudku mencelakai kalian! Menghadapi aku saja, tidak berdaya. Apalagi terhadap mereka yang memiliki kepandaian tinggi dan berwatak kejam. Kalau kalian tidak dapat kunasihati, terserah. Barangkali kalian memang menghendaki banyak jiwa terbunuh secara sia-sia!" ujar si Pemabuk Dari Gunung Kidul secara sembarangan, seolah-olah tidak ditujukan pada kedua ketua perguruan itu.

Semakin hari, semakin sedikit orang persilatan yang mengepung Pesanggrahan Telaga Warna. Terutama, setelah Eyang Ronggojati dan Eyang Tantular menuruti kata-kata Pemabuk Dari Gunung Kidul. Mereka yang merasa berkepandaian di bawah kedua ketua perguruan itu mengundurkan diri.

Namun tidak sedikit yang merasa jumawa, dan menganggap paling unggul sendiri. Mereka masih merasa enggan meninggalkan tempat itu, karena tergiur pada benda langka yang luar biasa dan hanya muncul seratus lima puluh tahun sekali.

"Shet...! Wisnupati! Tadi kulihat ada bayangan yang sudah kukenal baik.... Tetapi, sekarang tidak tampak lagi...," bisik Ki Demong pada Wisnupati sambil celingukan ke sana kemari bagai anak ayam kehilangan induk.

"Bayangan siapa itu, Ki...?" tanya Wisnupati keheranan, karena tidak melihat apa-apa.

"Bayangan si Manusia Tengkorak! Dialah yang tadi melemparkan bom asap...," sahut Ki Demong.

"Kalau begitu mari kita cari dia.... Siapa tahu masih ada di sekitar sini...!" ajak Wisnupati, penuh semangat.

Lalu dengan cepat pemuda tinggi besar itu berkelebat mencari ke sekitar tempat ini. Dengan kesal, terpaksa orang tua urakan itu ikut mengejar dari belakang.

"Hei..., tunggu dulu! Mau ke mana kau...?" teriak Ki Demong.

"Mencari si Manusia Tengkorak...," sahut Wisnupati sambil terus berlari.

"Berhenti kau, Dungu...! Mana mungkin dia masih di tempat ini. Kalaupun ada, dia sudah pasti telah menanggalkan kedoknya...!"

Mendengar teriakan itu, Wisnupati terpaksa menghentikan larinya. Tubuhnya lantas berbalik, menghampiri Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan...?" tanya Wisnupati.

"Kita diam saja, seolah-olah tidak tahu. Bila dia muncul kembali baru kita gebrak...," jelas Ki Demong.

Selesai berkata demikian, Ki Demong melangkah terhuyung-huyung. Langkahnya berhenti tepat di bawah pohon. Direbahkan tubuhnya di situ. Sebentar saja, terdengar dengkurnya yang keras.

Wisnupati yang menyertai ikut merebahkan diri. Pemuda itu juga tidak mau peduli dengan keadaan di sekitarnya. Sesaat kemudian, dia tertidur juga di samping orang tua pemabukan itu.

DUA

Belum lama Ki Demong dan Wisnupati tertidur, seorang pemuda berpakaian indah dari sutera berwarna ungu tampak mendatangi dengan langkah lebar. Dengan seenaknya, pemuda itu menendang lambung Ki Demong.

Wuttt...!

Entah sengaja atau tidak, kaki Pemabuk Dari Gunung Kidul naik ke atas menahan tendangan. Kemudian Ki Demong membalikkan tubuhnya dengan mendadak. Bahkan kemudian kaki yang satu lagi menghantam kaki pemuda yang berwajah garang itu.

Dugkh!

"Aaakh...!" Tubuh pemuda yang juga mengenakan bebat kain sarung kotak-kotak seperti catur itu jatuh mencium tanah. Namun dengan cepat dia bangkit kembali disertai wajah berang.

Sementara Pemabuk Dari Gunung Kidul sudah membuka matanya. Sambil mengucak-ngucak, diawasinya pemuda yang tengah melotot dengan mata merah.

"Eh...?! Ada apa ini...? Siapa pula kau ini? Mengapa menatapku seperti itu...?" tanya Ki Demong dengan wajah bodoh.

Mendengar ribut-ribut, Wisnupati terbangun pula dan bangkit seraya hendak mengirimkan sebuah pukulan. Tetapi, tanpa disangka ternyata Ki Demong telah mencegah dengan menotok lambungnya.

"Aaakh...!" Tanpa dapat ditahan lagi, pemuda putra Kepala Desa karang Sekalor itu jatuh kembali tanpa dapat berbuat sesuatu apa pun. Hanya matanya saja mendelik tak suka pada Ki Demong yang tersenyum-senyum mengawasi dengan sikap lucu.

"Kalau tidak salah lihat, kau adalah Ki Demong yang berjuluk Pemabuk Dari Gunung Kidul...?" tegur pemuda yang agaknya berasal dari Pulau Bali itu.

"He he he...! Kalau benar, ada apa dengan nama itu...?" Ki Demong malah balik bertanya.

"Kau harus membayar hutang nyawa saudara angkatku yang telah kau binasakan beberapa waktu yang lalu...! Namaku I Wayan Gulem, dari tanah Bali! Bersiaplah kau...!" desis pemuda yang mengaku bernama I Wayan Gulem.

"Tunggu dulu...! Ada banyak sekali yang binasa di tanganku. Siapa nama saudara angkatmu itu...?" cegah Ki Demong.

"Namanya, Salya Pati. Dia berjuluk Iblis Pemetik Bunga...," jawab I Wayan Gulem dengan suara berat.

"Oh...! Kalau dia memang patut mati. Banyak sudah wanita yang jadi korban nafsu bejadnya...!" tukas Ki Demong, tandas.

"Huh...! Boleh jadi orang lain gentar mendengar nama besarmu. Tetapi bagiku, kau sama dengan jago kelas kambing.... Lagi pula, jangan samakan aku dengan Iblis Pemetik Bunga.... Maka, bersiaplah kalau tidak ingin mati penasaran...!" bentak I Wayan Gulem sambil mencabut keris dipunggungnya, dan langsung menusuknya ke leher Ki Demong.

"Sheaaat...!"

Trang...!

Ujung keris yang mengancam tenggorokan dapat ditahan Ki Demong dengan ayunan guci tuak yang keras, sehingga menimbulkan suara nyaring. Namun serangan I Wayan Gulem tidak berhenti sampai di situ saja. Kerisnya berputar cepat mengarah dada. Sedangkan tangannya yang membentuk cakar, mengancam kepala Pemabuk Dari Gunung Kidul.

Menghadapi serangan berbahaya itu, Ki Demong terkekeh sambil menenggak tuak merah dari guci. Kemudian, secepat itu pula orang tua pemabukan itu memiringkan tubuhnya. Dan begitu serangan keris lewat di dada, disemburkannya tuak dalam mulut kearah lengan yang mencengkeram kepala.

"Fruhhh...!"

"Aaakh...!" Karena tidak menyangka, I Wayan Gulem kena semburan tuak. Sambil berjingkrakan dia melompat mundur. Tangannya kontan terasa sakit, bagaikan ditusuki ratusan jarum. "Bangsat...! Kubunuh kau setan tua...!" bentak I Wayan Gulem.

Saat itu juga, pemuda dari tanah Bali ini melancarkan tendangan beruntun. Namun dengan lincah Ki Demong berkelit-kelit. Melihat serangannya gagal, keris di tangan I Wayan Gulem segera meliuk-liuk bagaikan ular, mencari lubang kelemahan pada pertahanan Pemabuk Dari Gunung Kidul.

Ki Demong langsung melenting ke belakang. Begitu mendarat, kedua tangannya langsung menghentak. Pukulan jarak jauh Pemabuk Dari Gunung Kidul membuat pasir dan dedaunan terangkat naik. Namun, I Wayan Gulem segera menyambuti dengan pukulan jarak jauh pula.

Blarrr...!

Keduanya kontan bergetar mundur dengan tangan terasa sakit begitu terjadi benturan tenaga dalam. Belum juga Ki Demong bersiap, pemuda Bali itu telah meluruk cepat dengan kaki terjulur ke arah perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss...!

"Hugkh...! Fhruuuh...!"

"Aduuhh...!" Entah sengaja atau kebetulan, tuak dalam mulut Pemabuk Dari Gunung Kidul kontan tersembur keluar dan mengenai muka I Wayan Gulem.

Tentu saja pemuda Bali itu jadi kelabakan, karena ada beberapa tetes tuak yang berhasil masuk mata kanannya. Tanpa malu-malu lagi, I Wayan Gulem mengaduh-aduh kesakitan. Ki Demong hanya tertawa saja melihat tingkah lawan seperti itu. Namun tiba-tiba....

"Leak Murka...!" Secara tak terduga I Wayan Gulem berteriak keras sekali dengan lidah terjulur panjang-panjang.

Bersamaan dengan berakhirnya teriakan, kepala I Wayan Gulem terlepas dari tubuhnya dengan membawa seluruh isi perutnya! Jelas, inilah ilmu 'Leak' yang biasa dimiliki tokoh hitam dari tanah Bali. Saat itu juga, kepala I Wayan Gulem yang masih meneteskan darah dengan membawa seluruh isi perut itu melayang menerjang Ki Demong dengan ganas.

Sementara, Pemabuk Dari Gunung Kidul masih terpaku tak percaya melihat keanehan itu. Akibatnya, dia jadi lengah. Maka kepala tanpa tubuh yang telah memiliki taring pada mulutnya itu mendadak menempel pada lehernya.

"Wuaaa...!" Tentu saja hal itu membuat Pemabuk Dari Gunung Kidul kelabakan. Bagai kilat tangan kirinya menarik rambut di kepala tanpa tubuh yang menempel di lehernya. Kemudian kepala itu dibanting ke atas tanah.

Wuuttt...!

Tetapi sebelum menyentuh bumi, kepala itu melayang kembali ke udara. Dengan lidah yang terjulur menjijikkan, kembali kepala itu meluruk ke arah Ki Demong. Untuk menghindari serangan berbahaya ini, Pemabuk Dari Gunung Kidul kembali menyemburkan tuak merah ke kepala yang menjijikkan dengan tetesan darah dan lidah yang menjulur-julur.

"Fruhhh...!" Wussst...!

Semburan tuak yang disertai nyala api menyambut datangnya kepala mengerikan itu. Tetapi dengan cepat kepala itu menghindarinya. Bahkan dengan tak terduga, mulut kepala I Wayan Gulem terbuka semakin lebar. Dan dari mulut itu menyemburkan nyala api yang lebih besar.

Si Pemabuk Dari Gunung Kidul jadi semakin kalang kabut. Terpaksa dia melenting ke belakang menjauhi lawan. Namun walau ke mana pun dia berlari, kepala yang telah bembah menjadi Leak itu terus mengejar. Kembali terjadi tontonan menarik. Ki Demong dengan terhuyung-huyung terus dikejar kepala Leak yang membuntuti ke mana saja dia pergi.

Para tokoh persilatan yang menyaksikan juga sampai bergidik. Baru sekali ini mereka menyak-sikan ilmu luar biasa yang menakutkan itu. Mereka juga pernah mendengar kehebatan Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tetapi, kini mereka melihat laki-laki pemabukan itu tidak berdaya menghadapi ilmu 'Leak Murka' milik I Wayan Gulem.

Sedangkan Wisnupati yang sedang tertotok tidak dapat membantu. Hanya matanya saja yang mengawasi dengan hati berdebar-debar keras. Sementara itu Ki Demong secara tiba-tiba menghentikan larinya seraya mengebutkan gucinya. Dan....

"Chiaaat...!" Bletakkk!

Guci di tangan Ki Demong bergerak cepat berhasil menghantam kepala hingga tertahan dan terpental balik menghantam pohon. Dengan menimbulkan suara keras, pohon itu roboh.

Tetapi, kepala itu sendiri tidak hancur. Bahkan kembali menerjang lebih dahsyat lagi. Dan Ki Demong pun terpaksa main kejar-kejaran lagi.

"Hust...! Hust..,! Pergi sana.... Ayo pergi...! Jangan mengikuti aku terus! Pergi..., pergi...!" teriak Ki Demong.

Walau Pemabuk Dari Gunung Kidul telah berteriak-teriak, tetap saja Leak itu menerjangnya. Dalam suatu kesempatan, laki-laki tua pemabuk itu berjumpalitan di udara, menghindari serangan ke arah kakinya. Namun tiba-tiba kepala tanpa tubuh itu meluncur ke atas menghantam kepala dengan keras.

"Aaakh...!" Akibat benturan keras, Ki Demong merasa pening luar biasa. Dan tak ampun lagi tubuhnya jatuh telentang ke tanah disertai keluhan tertahan. Dan baru saja dia bangkit kembali, kepala itu menggigitnya dengan kuat.

Dengan kalang kabut, Ki Demong memukuli kepala itu dengan guci dan tangannya. Tetapi, kepala itu tidak pernah lepas dan terus menggigit perut Ki Demong. Darah mulai menetes dari perut. Bahkan kepala itu mulai menghisap darah melalui perut Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Setan keparat...! Lepaskan perutku.... Lepaskan...!" teriak Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil berjingkrakan bagai cacing kepanasan.

Saat itu hilanglah kekonyolan Ki Demong. Keadaannya sangat berbahaya. Bila dibiarkan terus, tentu darahnya akan terhisap habis. Di saat yang gawat, mendadak berkelebat sesosok bayangan putih yang langsung mendekati tubuh I Wayang Gulem yang tidak berkepala lagi.

Tetapi, begitu mendekat, tubuh itu langsung menerjang bayangan putih. Sosok putih yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti, cepat mengelak ke samping. Tangannya langsung mengibas, melepaskan pukulan ke arah tubuh tanpa kepala.

Suatu keanehan terjadi. Tangan I Wayan Gulem yang tanpa kepala itu mampu bergerak menangkis. Bahkan mampu mengirimkan serangan balasan berupa tendangan berantai yang mematikan. Dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga berhasil mengelakkan serangan manusia siluman berwujud Leak itu.

Tubuhnya meliuk-liuk bagai orang mabuk, sehingga tak satu serangan pun yang bisa mengenainya. Bahkan mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya ke dada, disertai tenaga dalam cukup tinggi.

Desss...!

Telak sekali pukulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dada I Wayan Gulem hingga terlempar keras. Tetapi itu ternyata tidak berpengaruh sama sekali bagi tubuh I Wayan Gulem. Bahkan mampu bangkit kembali, seolah-olah tidak terjadi sesuatu apa pun.

"Sheaaa...!"

Tetapi, kesempatan itu tidak disia-siakan Rangga. Cepat diraupnya tanah berpasir. Lalu, tubuhnya meluruk dengan kecepatan kilat, mendekati tubuh tanpa kepala itu.

Werrrt...!

Begitu dekat, Rangga membuat lentingan ke atas. Tangannya langsung melemparkan pasir yang tepat masuk ke lubang leher. Begitu mendarat di tanah, Rangga kebetulan berada tak jauh dari sebuah pohon kering yang bercabang banyak. Segera dipatahkannya cabang pohon yang sebesar tongkat.

Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti berbalik dan kembali melenting ke atas. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk seraya menancapkan batang kayu itu ke rongga leher I Wayan Gulem.

Ujung kayu itu dibiarkan tersembul pada ujungnya. Akibatnya, tubuh itu bergetar keras dan bergoyang-goyang bagaikan hendak roboh. Beberapa pohon yang tertabrak kontan roboh bagaikan diterjang gajah-gajah liar yang sedang mengamuk.

"Greeengh...!"

Sementara itu kepala yang berada di perut Ki Demong kontan melepaskan gigitannya disertai teriakan keras sampai merontokkan daun-daun kuning di atas pohon. Saat itu juga kepala itu berusaha menempel kembali ke tubuhnya.

"Aaaghrrrh!"

Namun ketika kepala Leak itu menyentuh leher, kembali berteriak dan melepaskan diri kembali. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal di leher. Bahkan merasa ada benda kasar yang menghalangi.

"Ilmu setan...," desis Ki Demong sambil memperhatikan semua kejadian dengan seksama.

"Kau baik-baik saja, Ki...?" tanya Rangga, begitu dekat kembali dengan Ki Demong.

"Kalau tidak baik, mana mungkin aku berjumpa lagi denganmu, Pendekar Rajawali Sakti...?" sahut Ki Demong sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

Sementara itu, I Wayan Gulem yang menggunakan ilmu 'Leak Murka' terus berusaha menempelkan kepalanya kembali pada tubuhnya. Tetapi, semua usaha yang dilakukan sia-sia belaka. Kejadian yang aneh dan cukup menyeramkan berlangsung sampai sepenanakan nasi lamanya. Semakin lama, usaha I Wayan Gulem jadi semakin melemah. Dan beberapa saat kemudian, kepalanya jatuh ke tanah setelah mengeluarkan teriakan mendirikan bulu roma.

"Huh...! Rupanya disitu letak kelemahan ilmu 'Leak Murka'! Untung kau datang tepat pada waktunya, Pendekar Rajawali Sakti! Kalau tidak, aku sudah kehabisan darah...!" dengus si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Sudahlah.... Cepat tolong Wisnupati., Kasihan dia dari tadi hanya telentang saja bagai bayi...," ujar Rangga, memotong pembicaraan Ki Demong.

"Baiklah....."

"Uh...? Ke mana lagi pendekar itu...?" tanya Ki Demong, setelah melepaskan totokan pada tubuh Wisnupati.

"Tadi kulihat dia di situ...," sahut Wisnupati sambil menunjuk ke suatu tempat.

"Dia dapat datang dan pergi sesuka hati. Kita memang bukan apa-apa bila dibandingkan dengannya...," desah Ki Demong perlahan. Baru saja Pemabuk Dari Gunung Kidul berkata demikian...

"Aaakh...!" "Aaa...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan saling susul. Ki Demong dan Wisnupati tersentak kaget. Mereka langsung menoleh ke arah sumber suara. Tampak sesosok tubuh berpakaian serba hijau dengan wajah ditutup topeng berbentuk tengkorak, tengah dikeroyok beberapa orang. Namun gerakan sosok berwajah tengkorak itu sangat cepat dan kejam. Tangannya tampak melemparkan sesuatu yang ternyata kelabang dan kalajengking beracun!

Cras! Cras!

"Aaakh...!

Beberapa orang yang semuanya mengenakan pakaian bebat warna merah itu berhasil menebas putus tubuh binatang beracun itu. Tetapi, banyak juga yang kena sengat. Mereka langsung ambruk dan berkelojotan. Sebentar saja, mereka mati dengan tubuh membiru dan keracunan. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya racun binatang itu. Ketika beberapa orang menyerbu, sosok yang tak lain si Manusia Tengkorak mengebutkan lengan bajunya. Maka mengepullah serbuk putih yang memabukan.

Wusss...!

"Aaakh...!"

Mudah sekali bagi si Manusia Tengkorak melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang dikenali berasal dari Perguruan Walet Merah itu. Karena sebagian besar telah terpengaruh oleh serbuk beracun. Yang tampak bertahan hanyalah seorang laki-laki setengah baya berpakaian jubah merah.

Laki-laki yang tak lain Ketua Perguruan Walet Merah itu memutar pedangnya. Si Manusia Tengkorak tidak kehilangan akal untuk menjatuhkan laki-laki setengah baya itu. Segera dilemparkannya beberapa binatang beracun ke arah Ketua Perguruan Walet merah

Set! Set!

Dengan memutar pedang bagaikan baling-baling, laki-laki setengah baya itu berusaha membabati binatang beracun. Bahkan tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas. Setelah membuat putaran beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan pedang menderu-deru mengancam ke seluruh tubuh si Manusia Tengkorak. Walau mendapat serangan berbahaya, si Manusia Tengkorak yang sebenarnya bernama Rara Wulan itu masih dapat menangkis dengan melecutkan selendang hijau yang sebelumnya melilit pinggang.

Ctar! Ctar!

Kedua tokoh yang sama-sama tangguh itu segera saling libat kembali. Hingga pertarungan genap memasuki jurus ke tujuh puluh empat, mendadak berkelebat sesosok tubuh disertai bau tuak menyebar ke sekeliling. Dengan guci tuak di tangan sosok yang tak lain Pemabuk Dari Gunung Kidul segera menghalangi selendang hijau yang digunakan untuk cambuk. Tanpa terasa, si Manusia Tengkorak telah dikeroyok dua. Karuan saja hal ini membuatnya terkejut dan terdesak.

"Chiaaat...!" Sambil berteriak keras, Rara Wulan menyebarkan binatang beracun dan asap beracun yang berbahaya kepada pengeroyoknya.

"Fruhhh...!" Disinilah letak keistimewaan Ki Demong. Dengan cepat, disemburkannya tuak yang berada di mulut ke arah binatang berbisa hingga terbakar hangus.

Sedangkan Ketua Perguruan Walet Merah menghentakkan tangannya dengan tenaga dalam tinggi. Sehingga, asap itu jadi buyar dan musnah tertiup angin. Ki Demong yang sangat membenci si Manusia Tengkorak terus mendesak dengan serangan gencar dan mematikan. Akibatnya, jadi terdesak hebat.

"Yeaaat!"

"Mampuslah kau, Manusia Licik!" bentak Ki Demong sambil memukulkan guci tuaknya. Pada saat yang sama, Ketua Perguruan Walet Merah menusukkan pedang kearah punggung.

"Perkenalkan, Orang Tua. Aku Sangaji, Ketua Perguruan Walet Merah...."

"Kau siapa, Orang Tua...? Mengapa ikut campur dan membantu menempur si Manusia Tengkorak yang keji ini...?" tanya Ketua Perguruan Walet Merah yang ternyata bernama Sangaji, sambil melancarkan serangan kearah Manusia Tengkorak.

"Siapa yang membantu... ? Aku punya dendam yang besar pada si Manusia Tengkorak ini...! Kalau keberatan, kau boleh menepi saja!" sahut si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Apakah tidak malu? Kita kaum lurus kenapa main keroyok terhadap manusia bermuka tengkorak itu...?" tukas Ki Sengaji, penasaran.

"Kenapa harus malu...? Mereka tidak pernah merasa malu walau harus membokong dan membunuh secara licik...!" potong Ki Demong.

Sadarlah Ki Sangaji kalau orang tua pemabukan itu memang susah diurus dan berwatak angin-anginan. Maka didiamkannya saja tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul. Bahkan Ki Sangaji sendiri terus mendesak dengan pedangnya.

Wisnupati yang berangasan tidak dapat tinggal diam. Dengan segera diterjangnya si Manusia Tengkorak dengan clurit peraknya yang berkilatan. Dikeroyok tiga, tentu saja si Manusia Tengkorak jadi semakin terdesak. Dia hanya dapat bermain mundur dan menahan serangan tanpa dapat mengadakan serangan balasan.

"Hiaaa...!" Tiba-tiba sambil berteriak keras, si Manusia Tengkorak menyebarkan binatang berbisa dan asap beracun secara habis-habisan.

Tetapi, ketiga lawannya segera menutup pernapasan dan loncat menjauhi. Menggunakan kesempatan baik itu, si Manusia Tengkorak segera berkelebat pergi dari tempat ini. Dalam waktu sekejap saja, tubuhnya hilang, dari pandangan mata.

TIGA

Pemabuk Dari Gunung Kidul mengendus-ngendus ketika tercium bau harum daging kelinci bakar yang sedang dibolak-balik di atas api oleh Wisnupati. Bau harum itu cukup menyengat hidung Ki Demong. Sekeika orang tua yang urakan ini segera melompat bangun dari berbaringnya. Hidungnya terus saja kembang-kempis bagaikan kucing mencium ikan asin.

"Uuuhh...! Harumnya bukan main...! Boleh juga, nih...?" kata Ki Demong dengan jakun turun

"Kalau kau mau makan, silakan ambil.... Seorang dapat satu, adil rasanya...," ujar Wisnupati dari balik pohon.

"Kau memang seorang pemuda yang baik, Wisnu. Terima kasih atas pemberianmu ini...," ucap Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil menjulurkan tangan hendak mengambil kelinci bakar yang mengundang selera.

"Tunggu dulu...!" cegah Wisnupati. "Kau boleh saja mengambil daging bakar itu. Tapi, harus memenuhi dulu satu syarat yang kuajukan...!"

"Jadi pemberianmu ini dengan pamrih...?" tukas laki-laki tua pemabuk itu dengan mata mendelik.

"Bukannya pamrih.... Dari dulu kau selalu mengulur-ulur waktu kalau aku menginginkan jadi muridmu...," sahut Wisnupati seenaknya.

"Kau selalu ingin jadi muridku saja...! Bodohnya kau ini! Aku ini hanya orang pemabukan yang tidak memiliki apa-apa.... Apa yang kau harap dariku....? Ilmu yang kumiliki hanya pas-pasan. Cari guru yang lain saja, supaya kau jadi orang besar kelak...," ujar Pemabuk Dari Gunung Kidul santai.

"Aku tidak perlu guru lain! Yang aku inginkan hanyalah kau...!" jawab Wisnupati membandel.

"Kau tidak menyesal punya guru tukang mabuk seperti aku...?" tanya laki-laki pemabuk sambil memandang tajam.

"Walaupun aku berangasan dan tidak mau berpikir yang sulit-sulit, untuk soal yang satu ini aku telah berpikir masak-masak...," tegas Wisnupati sambil menekan suaranya.

Si Pemabuk Dari Gunung Kidul mengawasi pemuda tinggi besar itu sambil tersenyum. "Baiklah.... Sebenarnya baru sekali ini aku mempunyai murid. Aku percaya pada kejujuran dan kesetiaanmu untuk membela kebenaran.... Tapi bila menyimpang dari jalur lurus kelak, kau akan kubakar dengan tuak merahku. Mengerti...?!"

Wisnupati mengangguk. Dia bangkit lalu menjura memberi hormat.

"Ha ha ha...! Untuk merayakan semua ini, mari kita minum-minum sampai mabuk.... Kita harus merayakan hari yang bersejarah ini dengan semeriah mungkin. Ayo ikut aku...!" ajak Ki Demong.

Mereka pun segera berlari ke desa terdekat, mencari kedai untuk merayakan hari yang tidak akan terlupakan selamanya.

Si Pemabuk Dari Gunung Kidul berlari cepat, diikuti Wisnupati dari belakang. Ketika sampai di dataran cukup luas, mereka melihat seorang laki-laki tua berambut putih sampai bahu tengah bermain catur dengan seorang pemuda tampan di bawah pohon. Sesekali orang tua itu membenahi riap-riap rambutnya yang menutupi wajahnya.

"Sialan kau, Jaka Tawang! Jalan ini, mati.... Yang itu, mati juga...," omel laki-laki tua itu.

"Bagaimana, Guru...?" tanya pemuda tampan yang dipanggil Jaka Tawang sambil cengar-cengir mengawasi orang tua yang dipanggil guru di depannya.

"Bagaimana, apanya...?!" semprot laki-laki tua yang tak lain Ki Sabda Gendeng sambil mendelikkan matanya. (Mengenai kedua tokoh ini, silakan baca Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Siluman Tengkorak Gantung)

"Masa Guru tidak tahu...? Kalau tidak ada jalan. lagi, sebaiknya menyerah sajalah...," ujar Jaka Tawang sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Tunggu dulu! Aku masih mengusahakan jalan untuk menghindar dari kematian..... Kau diamlah jangan mengganggu jalan otakku. Kalau kau berteriak terus, aku tidak mau jalankan biji caturku...," ancam Ki Sabda Gendeng sambil memejamkan matanya.

Setelah ditunggu sampai sekian lama, ternyata Ki Sabda Gendeng tidak bergerak dan tidak jalankan biji catur di hadapannya. Ketika diamati lebih lanjut, ternyata laki-laki tua yang sebenarnya berilmu tinggi itu tertidur sambil duduk.

Jaka Tawang hanya dapat tersenyum nyengir. "Sampai hari gelap pun tidak akan dia menjalankan anak caturnya. Dasar orang tua tidak mau kalah.... Ada-ada saja akalnya! Biar kuuji dulu dia...," gumam Jaka Tawang dalam hati.

Sambil menahan napas, tangan pemuda yang sama brengsek dengan gurunya itu berusaha mengambil bumbung tuak yang terbuak dari bambu milik Ki Sabda Gendeng. Tetapi, sebelum tangan itu sampai, tangan Ki Sabda Gendeng telah mencengkeram kuat. Kemudian....

"Cacing kerempeng...! Sudah kuperingatkan berkali-kali, bila ingin sesuatu harus bicara dan lapor dahulu! Mengerti...?! Atau kau ingin kuhajar dengan tongkat bambu ini...?" bentak Ki Sabda Gendeng.

"Kau sendiri tidur. Aku telah menunggumu menjalankan biji catur.... Eh..., yang ditunggu malah enak-enakkan tidur...! Kalau kutinggal pergi mencari minum, kau pasti marah. Minta minum dari tempatmu, tidak boleh.... Habis aku harus bagaimana...?" tukas Jaka Tawang mencoba mengakali gurunya.

"Kau mau menipu aku, he...?! Jangan mimpi kau, Bocah sableng!" dengus Ki Sabda Gendeng.

"Habis aku harus bagaamana...? Guru yang lebih dahulu mengakali aku. Pakai pura-pura tidur lagi"

"Baiklah aku mau jalan. Awas jangan ganggu"

Laki-laki tua itu memang sudah seharusnya menyerang dan mati dalam bermain catur. Tetapi, Ki Sabda Gendeng tidak mau menerima hal itu. Pokoknya ia harus menang. Entah harus menggunakan cara apa. Namun Ki Sabda Gendeng jadi mati akal. Karena, muridnya mendesak terus dan menyuruhnya jalan.

"Ayo cepat jalan. Masa hanya diawasi terus.... Kapan selesai kalau begini terus...?" desak Jaka Tawang.

"Sabarlah barang sedikit, brengsek...!" gerutu orang tua itu.

Pada saat Sabda Gendeng kehilangan akal, terdengar dua sosok tengah berlari sambil tertawa-tawa. Yang seorang laki-laki tua dengan sebuah guci arak. Di belakangnya, mengikuti seorang pemuda bertubuh tinggi besar dengan senjata clurit perak di pinggang.

Mata Ki Sabda Gendeng terbelalak seakan-akan tidak percaya pada penglihatan sendiri. Dengan cepat dia bangkit dan melesat. Langsung dihadangnya lari orang tua yang tak lain Ki Demong bersama muridnya yang bemama Wisnupati.

"Guru...! Mau lari ke mana kau...? Ayo jalan dulu...!" teriak Jaka Tawang sambil mengejar gurunya.

"Permainan kita tunda dulu...! Aku ada urusan.... Nanti kita sambung lagi...!" teriak Ki Sabda Gendeng sambil terus berlari.

"Hoi.... Hoi.... Jangan lari Guru...!" teriak Jaka Tawang sambil mengejar gurunya.

"Bocah gendeng...! Bereskan saja dulu biji-buji caturnya, lalu susul aku...," teriak Ki Sabda Gendeng, terus saja berlari.

Sambil menggaruk-garuk kepala, terpaksa Jaka Tawang kembali untuk membereskan catur yang ditinggalkan gurunya.

"Hweeei...! Demong...! Berhenti dulu...! Ini aku Sabda Gendeng!" teriak laki-laki tua gila catur itu.

Mendengar teriakan, Ki Demong segera menghentikan larinya dan menoleh. Ketika melihat siapa yang berteriak, cepat bagai kilat tubuhnya melesat dengan kedua tangan terbuka lebar-lebar. Ki Sabda Gendeng juga melakukan gerakan sama.

"Ha ha ha...! Angin apa yang membawamu ke tempat ini, Sabda Gendeng...?" sambut Ki Demong, gembira.

Karena terlalu gembira kedua tokoh urakan ini berlari bagaikan dikejar setan. Dari kejauhan, keduanya hanya tampak bayangan yang melesat cepat saling menghampiri. Karena terlalu bernafsu, akhirnya....

Bletaks!

"Adhauuu...!"

"Hadaaawww...!"

Kedua tokoh yang sama-sama sableng ini kontan tertolak balik karena kepalanya saling bentur dengan keras. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka jatuh duduk dengan kepala berdenyut keras dan mata berkunang-kunang. Hal itu tidak berlangsung lama. Sesaat kemudian, keduanya telah berdiri berhadapan. Dan....

"Dasar Gendeng...! Baru bertemu, sudah mencari ribut...! Kuhajar kau dengan guci tuak ini...!" maki Ki Demong seraya mengebutkan guci tuaknya.

"Kau yang salah, malah aku yang disalahkan.... Dasar pemabuk! Sudah tahu aku ada di depan malah ditabrak kuat-kuat. Brengsek kau!" balas Ki Sabda Gendeng sambil menangkis dengan tongkat yang berwarna hitam legam.

Kedua tokoh ini saling terjajar mundur, seperti habis terjadi benturan senjata.

"Setan tua! Jaga seranganku ini...!" bentak Ki Sabda Gendeng.

Seketika laki-laki aneh ini menggetarkan ujung tongkat hitamnya, sehingga tampak jadi banyak. Bahkan mengarah ke seluruh jalan darah Ki Demong.

"Huh...! Aku ingin tahu, sampai di mana kemajuanmu...? Sombong benar kau...?" desis Ki Demong sambil memutar guci tuaknya bagaikan baling-baling.

Trak! Trak! Bletak...!

Beberapa bentrokan guci dengan tongkat terjadi. Suaranya terdengar keras hingga memekakkan telinga. Tampak kedua orang tua itu sama-sama ngotot dan tak ada yang mau mengalah. Tetapi sampai sejauh itu, mereka berdua tak ada yang terdesak. Tampaknya satu sama lain sudah saling mengenal jurus masing-masing dengan baik.

"Geglug..!"

"Fruuhhh...!"

Semburan tuak yang disertai api panas membara menerjang Ki Sabda Gendeng. Namun dengan sebuah dorongan kedua tangan yang berisi tenaga dalam kuat, semburan api itu dapat dibuat meleset arahnya oleh laki-laki gila catur itu. Bahkan kemudian tongkat hitamnya mendadak membabat kaki Ki Demong.

Dengan langkah terhuyung-huyung, Pemabuk Dari Gunung Kidul berhasil mengelakkan serangan dahsyat Ki Sabda Gendeng. Sementara Wisnupati yang melihat gurunya saling hantam, segera mencabut clurit peraknya. Tubuhnya langsung meluruk seraya membabatkari senjatanya pada leher Ki Sabda Gendeng yang membelakanginya.

Wuuuttt!

Mendapat serangan mendadak, orang tua sableng ini menundukkan kepala. Dan tiba-tiba bagai kuda kakinya menendang ke belakang. Untung Wisnupati cepat melompat mundur. Kalau tidak, perutnya pasti terhantam tendangan itu.

"Kuya bau...! Tikus cilik ini ikut-ikutan menyerangku juga! Ingin kupatahkan tangannya barang kali...?!" dengus Ki Sabda Gendeng begitu memutar tubuhnya.

Tongkat hitamnya langsung dibabatkan kearah pinggang. Mendapat serangan kilat yang tidak terduga, Wisnupati jadi kelabakan. Untung saja Pemabuk Dari Gunung Kidul lebih cepat melenting dan menghadang tongkat hitam itu. Sehingga, Wisnupati terhindar dari malapetaka.

"Hiat! Enak saja kau memukul muridku! Lawan sajalah aku yang sama tuanya denganmu...!" hardik Ki Demong seraya menyemburkan tuak merah dari mulutnya.

"He he he...! Boleh saja.... Dasar pemabukan lagaknya bukan main...," ejek Ki Sabda Gendeng sambil tertawa cengengesan.

"Ho ho ho...! Dari dulu juga kau tidak pernah dapat mengalahkan aku.... Orang gendeng mana mungkin dapat mengalahkan aku...?" balas Ki Demong.

"Ciat...!" Ketika tongkat hitam menyabet kaki, Ki Demong loncat ke atas bagaikan bola karet, seraya berputaran. Begitu mendarat, dia telah berdiri tepat di belakang Ki Sabda Gendeng. Seketika gucinya bergerak cepat.

Wuuttt..!

Ki Sabda Gendeng yang merasa desir angin tajam mengarah ke punggung, berusaha menghindar. Tetapi terlambat. Karena....

Begkh...!

"Adaaauw...!" Tubuh Ki Sabda Gendeng terdorong ke depan dua langkah disertai teriakan kesakitan.

Sementara Ki Demong terus mengangkat tuak merahnya sambil tertawa-tawa penuh ejekan. Tapi, secara tak terduga Ki Sabda Gendeng menjatuhkan diri. Dalam waktu yang bersamaan, tangannya melemparkan sesuatu.

Ser! Ser! Pletsak..!

"Wadauuh...!"

Rupanya, Ki Sabda Gendeng melemparkan biji catur yang tepat mengenai tulang kering Ki Demong. Mau tak mau, Pemabuk Dari Gunung Kidul jadi berjingkrakan sambil mengusap-usap tulang kering yang terasa nyeri bukan main.

"He he he...!" Ki Sabda Gendeng balik menertawai sampai mengeluarkan air mata.

Jaka Tawang yang telah selesai membereskan biji catur jadi tak habis pikir, mengapa gurunya berkelahi dengan orang tua yang dikatakan sebagai teman karibnya tadi. Tetapi, pemuda yang sama gendeng dengan gurunya itu tidak mau pusing. Segera diterjangnya Ki Demong yang sedang meringis-ringis karena tulang keringnya terhantam biji catur.

"Ciaaat!" Jaka Tawang langsung mengebutkan tongkat merahnya ke arah kaki si Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tapi dengan hanya bergerak meliuk-liuk ke sana kemari serangan pemuda itu luput dari sasaran.

"Seribu Tongkat Menggebuk Ular...! Heaaa...!" Kembali Ki Sabda Gendeng melesat dengan teriakan membahana, ujung tongkat hitam ditangannya tiba-tiba bergetar, sehingga terlihat jadi banyak mengarah ke seluruh jalan darah di tubuh Ki Demong. Itulah jurus andalan Ki Sabda Gendeng yang paling ditakuti. Ke mana saja Pemabuk Dari Gunung Kidul menghindar, ujung tongkat selalu menunggu dengan tusukan maut.

Wisnupati yang menyaksikan gurunya dikeroyok segera ikut masuk ke dalam kancah pertarungan menahan gerakan Jaka Tawang. Clurit peraknya berkesiutan mengancam ke seluruh tubuh pemuda itu. Tentu saja Jaka Tawang tidak mau jadi korban. Cepat disambutnya serangan itu dengan putaran tongkat merahnya.

Kini pertarungan terbagi menjadi dua. Semakin lama jadi semakin seru. Terutama, kedua orang tua yang sama-sama sableng itu. Sepuluh jurus kemudian, kedua orang tua itu menghentikan gerakan.

"Ha ha ha...! Dari dulu kau tetap saja tidak dapat mengalahkan aku orang tua gendeng...," seru si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"He he he...! Setali tiga uang. Bangsa pemabukan, tidak akan pernah dapat melewati aku...," ejek Ki Sabda Gendeng.

Kemudian mereka berdua berjalan menuju ke bawah pohon yang rindang sambil bergandengan tangan. Tidak tampak lagi wajah-wajah seram dari mereka berdua. Keduanya tertawa-tawa ceria. Memang kedua orang tua itu adalah sepasang sahabat, yang telah lama tidak bertemu.

Keduanya mempunyai tabiat aneh yang tak mau diatur oleh peraturan mana pun. Mereka terus tertawa sambil menceritakan pengalaman, dan apa saja telah terjadi selama tidak bertemu. Padahal kedua murid mereka saat itu sedang saling terjang dengan sengit.

Kedua pemuda itu tidak ada yang mengalah. Di sini terlihat Wisnupati sangat bernafsu dan terkesan berangasan. Sedangkan Jaka Tawang selalu mengejek, membuat lawannya marah.

"Heyaaat!"

Tang! Tang!

Berkali-kali bentrokan keras terjadi. Tapi belum tampak ada yang terdesak. Sampai suatu ketika, benturan dua tangan yang berisi tenaga dalam kuat terjadi.

Gdebuk! Blugk!

Kedua pemuda itu tertolak balik ke belakang dan jatuh duduk. Ketika hendak bangkit kembali....

"Berhenti dulu, tolol...!"

Kedua pemuda itu terkejut mendengar bentakan keras menggelegar. Mereka langsung loncat mundur dengan wajah terheran-heran ketika melihat guru mereka masing-masing duduk berjejer sambil minum tuak dari tempat masing-masing. Cepat mereka menghampiri dengan perasaan tidak mengerti.

"Mengapa Guru menghentikan kami...?" tanya Jaka Tawang.

"Lho...? Kok Guru sudah baikan?" tanya Wisnupati dengan wajah dungu.

"Bodoh.... Ayo kalian saling memberi hormat pada Paman Guru. Kalian ini...," seru si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Kenapa bengong...?! Cepat beri hormat, tolol...!" hardik Ki Sabda Gendeng, melotot.

Wisnupati cepat memberi hormat pada Ki Sabda Gendeng. Sedangkan Jaka Tawang memberi hormat pada Ki Demong. Namun kedua orang tua urakan ini malah tertawa terbahak-bahak, sampai keluar air matanya. Tentu saja hal ini membuat kedua pemuda ini menggaruk-garuk kepala karena heran. Mereka bingung, tidak habis pikir.

"Hei, Demong! Pemuda tinggi besar inikah yang menjadi murid kesayangan...? Tubuhnya bolehlah. Tetapi aku tidak tahu isi dalamnya," kata Ki Sabda Gendeng sambil memperhatikan Wisnupati seakan-akan tengah menaksir ayam yang hendak dibeli.

"Wisnupati baru saja kuterima menjadi murid. Jadi, belum mendapat pelajaran dariku...," jelas si Pemabuk Dari Gunung Kidul, terus terang.

Tak lama kedua pemuda itu sudah saling bersalaman dan tampak akrab. Tak ada lagi tanda-tanda mereka habis berkelahi. Kini keduanya sadar kalau semua itu adalah hasil perbuatan kedua orang tua yang aneh dan tidak pernah bisa diatur.

********************

EMPAT

Hari terus bergulir menyeret sang waktu. Di tepi Telaga Warna yang penuh oleh para tokoh persilatan tampak beberapa buah perahu diturunkan ke dalam air. Tapi baru saja perahu-perahu kecil itu menyentuh permukaan air.

"Berhenti...! Jangan lakukan itu...! Air telaga itu masih berbahaya, bagi kalian! Kalau mau besok saja kalian menurunkan perahu, karena besok air itu tidak menghisap darah lagi!"

Terdengar sebuah teriakan yang disusul berlarinya seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Ternyata dia adalah Pendekar Rajawali

"Hei...? Bagaimana dia bisa tahu rahasia tempat ini...?! Jangan-jangan, dia orang dalam Pesanggrahan Telaga Warna.... Awas jangan sampai tertipu...! Lebih baik kita ringkus, dan tanyai dia.... Kalau tidak mau mengaku, bunuh saja!" kata salah seorang tokoh persilatan yang hendak naik perahu, memandang curiga pada Rangga.

"Kalian jangan salah mengerti.... Aku berbuat ini, karena tidak mau melihat korban berjatuhan. Dan ini juga karena kecerobohan kalian sendiri...." Tapi jawaban yang diterima Rangga malah sebaliknya....

"Jelas dia menghalangi kita.... Mari singkirkan saja...," ajak tokoh persilatan lain. Maka....

"Sheaat...?!"

"Yeaaat...!"

Puluhan senjata tajam langsung meluruk kearah Pendekar Rajawali Sakti. Tetapi Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya melenggak-lenggok kian kemari bagai orang mabuk. Namun tak satu serangan pun yang bisa menyentuh tubuhnya. Bahkan ketika tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak, banyak senjata yang berhasil dirampas dan dilemparkan ke tengah telaga.

Walaupun merasa kesal karena maksud baiknya malah diterima salah, Rangga berusaha membatasi diri untuk tidak membunuh. Dia yakin, mereka salah sangka dan tidak mengerti terhadap keadaan telaga yang mengandung hawa maut itu. Pendekar Rajawali Sakti hanya memukul dan menendang untuk menjatuhkan mereka yang terlalu dekat, dan dapat membahayakan keselamatan dirinya.

"Hiaaat...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebatan seraya mengibaskan tangan, mencerai-beraikan gerombolan manusia yang mengurung dirinya.

Des...! Desss...!

"Aaakh...!"

Akibatnya, para tokoh persilatan itu berpelantingan kesana kemari bagaikan daun kering dihempas badai. Beberapa tokoh kelas tinggi yang menyaksikan sampai berdecak kagum.

Menggunakan kesempatan baik itu Rangga segera melesat kabur dari tempat itu. Bukannya takut, tetapi untuk menghindari salah sangka.

"Bedebah...! Dia berhasil melarikan diri! Ayo kita terus menuju ke Pesanggrahan Telaga Warna...! Jangan pedulikan segala ocehan pendekar kampungan itu," ajak salah seorang tokoh persilatan membakar semangat yang hampir padam.

Beberapa orang segera berloncatan ke dalam perahu. Segera mereka mendayung ke tengah telaga menuju Pesanggrahan Telaga Warna. Ternyata, apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti terbukti. Baru saja mereka mencapai pertengahan, gelombang telaga kembali muncul. Suatu keajaiban alam yang tidak dapat dilawan oleh kekuasan manusia.

Air telaga yang berwarna merah dan tampak kental telah mengelilingi perahu dan mulai bercipratan, seolah-olah ada makhluk hidup di dalamnya dan berusaha naik ke perahu (Untuk lebih jelas tentang kejadian alam di Telaga Warna, baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Geger Di Telaga Warna).

"Hei...?! Apa pula ini...?"

"Entahlah.... Mungkin inilah yang dikatakan pemuda tadi...."

"Putar haluan dan kembali ke tepi.... Cepat!"

Mereka mulai ragu dan memikirkan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tapi, terlambat sudah. Air telaga mulai memasuki perahu dan mengenai kaki para tokoh persilatan. Karena membaui darah, air itu jadi beringas kembali. Perahu-perahu yang lain juga mengalami nasib sama. Mereka akhirnya saling berteriak penuh kengerian.

Satu demi satu mereka terseret ke dalam air telaga dan mati mengenaskan. Bagaimanapun Rangga sudah berusaha memperingatkan. Kalau mereka akhirnya binasa, itu adalah kesalahan mereka sendiri. Memang banyak juga yang menurut kata-kata Rangga. Ada juga yang karena takut pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Namun, lain halnya para tokoh ternama yang bertindak tanpa tergesa-gesa. Mereka justru menanti saat yang tepat.

Bagaimana Pendekar Rajawali Sakti dapat mengetahui kalau hari ini air telaga masih minta korban lagi...?

Sedangkan dia sendiri bukan orang dari Pesanggrahan Telaga Warna. Semua itu karena usaha Rangga yang melakukan tapa, untuk menyatukan alam pikirannya dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Dalam tapanya, Rangga mendapat petunjuk kalau air telaga itu akan minta korban selama tiga minggu. Dan hari ini, adalah hari terakhir. Besok air telaga sudah tidak menunjukkan keberingasannya lagi. Itu pun hanya berlangsung selama tiga minggu pula.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Waktu terus merambat dan berputar sesuai kodrat dan kehendak Yang Maha Kuasa. Tidak terasa hari telah berganti malam, dan malam pun berganti pagi. Pada saat itu, tampak beberapa perahu memasuki telaga. Para tokoh persilatan yang menunggu berloncatan ke dalam perahu masing-masing.

"Ayo kita dayung perahu itu kuat-kuat. Awas jangan sampai didahului yang lain...," ujar seorang tokoh dari dalam perahu.

"Cepat...! Kita harus sampai lebih dahulu...," seru yang lain.

Bagaikan sedang berlomba, beberapa perahu melesat cepat laksana anak panah lepas dari busur. Sedangkan para tokoh ternama dalam satu perahu hanya diisi satu atau dua orang saja.

Sebentar saja, Telaga Warna telah ramai dan gaduh oleh teriakan para tokoh persilatan dan murid-murid dari berbagai perguruan. Sampai di tengah telaga, ternyata memang tidak terjadi sesuatu. Namun yang terjadi malah sebuah persaingan.

Dalam pikiran mereka timbul niat untuk menyingkirkan satu sama lain dengan suatu rencana jahat dan licik. Bahkan diam-diam ada yang mengambil sebuah benda bulat dari dalam kantung, langsung melemparkannya ke perahu yang agak jauh.

Ser! Ser! Ser!

Blammm...!

"Aaa...!"

Dua buah perahu kontan terpecah belah oleh hantaman benda bulat kecil yang ternyata bahan peledak yang cukup dahsyat. Penumpangnya langsung terlempar tanpa bernyawa lagi dalam keadaan sangat menyedihkan. Tubuh mereka hancur berkeping-keping. Air telaga seketika berubah merah.

Wajah para tokoh persilatan kontan berubah bengis dan menyeramkan. Tak ada rasa kasihan lagi di hati orang-orang itu. Tanpa dapat dicegah lagi, pertempuran terjadi di tengah telaga yang telah banyak meminta korban nyawa.

Sementara itu Ki Demong dan Wisnupati menyeberang menggunakan batang pohon. Begitu juga Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang yang juga sudah berada di situ. Jarang ada yang dapat melakukan, seperti yang dilakukan mereka.

Sedangkan Rangga sendiri menggunakan dua bilah papan kecil pada telapak kakinya. Tubuhnya meluncur di atas air dengan cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat tinggi.

LIMA

Tanpa setahu para tokoh persilatan yang tengah berperahu, para penghuni Pesanggrahan Telaga Warna saat ini telah bersiap-siap menyambut kedatangan mereka. Hari ini mereka tak dapat lagi mengandalkan air telaga disekitar pesanggrahan. Karena mereka lebih tahu, kalau hari ini air telaga mulai tenang kembali, tidak meminta korban seperti hari-hari kemarin.

Laki-laki tua berpakaian serba kuning yang bernama Samba dan berjuluk si Lutung Pancasona, memandang dengan tatapan tajam. Sepasang pedang pendek tampak tersembul di punggungnya. Rambutnya putih dikuncir ke atas. Kumis dan jenggotnya berwarna putih juga. Sikapnya benar-benar penuh perbawa.

Di sebelah Lutung Pancasona berdiri istrinya yang bernama Rukmini. Senjatanya berupa tongkat berwana hijau. Sehingga, dia dijuluki Bidadari Tongkat Hijau. Rambutnya yang berwarna hitam bercampur putih digelung rapi ke atas. Pada wajahnya masih tersisa kecantikan di waktu muda dulu, Wanita tua ini mengenakan pakaian serba biru.

Sedangkan ketiga anak gadis mereka yang cantik bersiaga di tiga penjuru. Sehingga mereka yang berjumlah lima orang ini bersiaga di lima penjuru. Mereka yakin, kedatangan orang-orang persilatan untuk mengambil Bunga Nirwana yang sangat langka yang terdapat di halaman Pesanggrahan Telaga Warna. Jangankan orang luar, pemiliknya sendiri baru akan melihat kemunculannya saat ini.

Saat itu Ki Demong dan Wisnupati tengah dihadang dan diancam oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dari atas perahu. Melihat lambang di dada yang bergambar seekor kucing dengan mata mencorong tajam, jelas kalau mereka berasal dari Perguruan Kucing Hitam. Tetapi, guru dan murid ini tampak tenang-tenang saja. Bahkan....

"Mau apa kalian semua...? Jangan coba main gila denganku! Menyingkirlah sebelum aku marah...!" ancam Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Ha ha ha...! Lucu sekali orang tua pikun ini.... Dia agaknya belum kenal siapa kita...," ejek salah seorang.

"Tidak perlu banyak cakap...! Singkirkan saja orang tua tak tahu diri itu...!" seru seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba hitam sambil menuding Ki Demong dengan pedangnya.

"Heaaat!"

"Ciaaat!"

Beberapa pemuda berpakaian serba hitam itu langsung melempar tombak ke arah Ki Demong dan Wisnupati yang berada di atas batang pohon. Namun dengan gerakan seadanya, tombak-tombak itu ditangkap dan ditarik guru dan murid itu dengan kekuatan tinggi. Tak ampun lagi, mereka tertarik ke depan. Dan....

"Wuaaa...!"

Byur! Jebyurr!

Kontan murid-murid Perguruan Kucing Hitam kelabakan, karena masih takut terhadap peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Walaupun tidak terjadi apa-apa, namun yang tidak dapat berenang termegap-megap sambil berteriak minta tolong. Yang dapat bermain di air segera menyeret kawannya ke perahu. Kini mereka tidak berani berlaku sembarangan lagi.

"He he he,..! Ada tikus dapur main di air...! Hi hi hi...! Lucu sekali.,.. Lihat kepalanya basah kuyup...," ejek si Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil memegangi perut.

Diejek sedemikian rupa, tentu saja Ketua Perguruan Kucing Hitam jadi berang.

"Serbuuu...!"

Serentak murid-murid perguruan itu menerjang kembali begitu mendapat perintah dari gurunya. Tombak dan pedang langsung berseliweran mengancam Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tetapi dengan sekali meneguk tuak merah....

"Fruuhhh...!"

"Wuayaaa...!"

Secepat kilat murid-murid Perguruan Kucing Hitam menarik kembali serangan. Mereka tidak tahan terhadap semburan tuak yang teramat panas luar biasa. Bahkan dengan gerakan tidak terduga, tangan Ki Demong berhasil merampas sebuah tombak, Lalu, sekuat tenaga ditancapkan di pinggiran perahu.

Crap...!

"Awasss...! Orang tua gila itu hendak melubangi perahu kita...!" teriak Ketua Perguruan Kucing Hitam itu, kalap.

Beberapa orang hendak memapak batang tombak. Tapi, gerakan Ki Demong lebih cepat lagi mencabutnya. Maka air telaga mulai memasuki lubang pada lambung perahu dengan deras.

"Heaaa...!" Ketua Perguruan Kucing Hitam, segera mencabut pedang dan loncat ke batang pohon yang dinaiki Ki Demong dan Wisnupati.

Namun Wisnupati yang berangasan segera menyambuti dengan babatan clurit perak yang tajam luar biasa.

Trang!

Terjadi benturan membuat mereka terjajar. Akibatnya, batang pohon jadi bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Sementara Ki Demong malah berloncat-loncatan di atas batang pohon bagaikan kera baru mendapat pisang.

"Hoi..., hoi..., hoi.... Kira-kira kalau menggunakan tenaga! Kita bertiga bisa masuk ke dalam air telaga...! Kalau mau mandi, jangan minta ditemani...," seru Ki Demong. Sambil berkata, Pemabuk Dari Gunung Kidul melancarkan tendangan geledek ke arah kaki.

Namun tiba-tiba, tubuh Ketua Perguruan Kucing Hitam melenting ke atas. Sambil berjumpalitan di udara, pedangnya menangkis clurit perak di tangan Wisnupati.

Trang!

Gerakan laki-laki setengah baya itu sangat gesit. Mirip gerakan seekor kucing, ringan dan tidak menimbulkan suara. Baru saja terjadi benturan senjata, Pemabuk Dari Gunung Kidul menyemburkan tuaknya lagi.

Mendapat semburan tuak panas, Ketua Perguruan Kucing Hitam yang baru saja mendarat di kayu berjumpalitan dan kembali ke atas perahunya. Tapi, air yang masuk ke dalam perahu sudah terlalu banyak. Maka ketika ditambah seorang lagi, perahu itu jadi miring dan terbalik. Akibatnya, sepuluh orang murid pilihan tercebur ke dalam air.

Byurrr...!

Maka ramailah keadaan di tempat itu. Untung saja Ketua Perguruan Kucing Hitam ini sempat loncat kembali ke udara. Sebuah gerakan indah telah dipertunjukkan ketua perguruan yang cukup termashyur ini.

"Shaaat!"

Ketika tubuh laki-laki setengah baya itu melayang diudara, Ki Demong menghentakkan tangan kirinya, melepas sebuah pukulan jarak jauh.

Wusss...!

Karena tidak ada jalan lain, terpaksa laki-laki setengah baya itu menyambuti. Tangan kanannya langsung menghentak. Dan....

Blarrr...!

Suara bentrokan dua tenaga dalam terdengar memekakkan telinga. Air telaga sampai bercipratan ke empat penjuru. Sementara satu sosok tubuh tampak terlontar, dan tercebur ke dalam telaga.

Byurrr...!

Ketika muncul kembali ternyata yang terlontar adalah Ketua Perguruan Kucing Hitam. Tubuhnya basah kuyup, dengan napas turun naik. Mulutnya meringis menahan sakit di dada. Jelas, pertemuan dua tenaga dalam tadi begitu dahsyat.

"Kembalilah kau ke perguruan kalian.... Jangan mencari sesuatu yang belum pasti. Apalagi, sampai mengorbankan banyak jiwa...," ujar Ki Demong, kalem namun berwibawa.

Merasa tak unggulan melawan Pemabuk Dari Gunung Kidul, Ketua Perguruan Kucing Hitam berenang menuju ke tepian kembali, tanpa banyak suara lagi. Sementara murid-muridnya segera mengikuti dari belakang.

Di lain tempat Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang terus melaju dengan batang pohon yang dinaikinya. Tampaknya perjalanan mereka lebih mulus. Namun sekitar sepuluh tombak lagi akan mencapai tepian Pesanggrahan Telaga Warna berada, Sebuah perahu tampak meluncur cepat ke arah mereka. Agaknya perahu itu bermaksud menabrak batang pohon untuk menjatuhkan penumpangnya.

Brakkk..!

Maksud penumpang perahu yang rata-rata berpakaian serba coklat itu memang berhasil. Tapi, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang telah lebih dulu melenting ke udara dan berjumpalitan.

Tap! Tap!

Guru dan murid itu berhasil mendarat di ujung perahu dengan mantap. Namun para penumpangnya segera menyerang kalang-kabut disertai makian. Karena perahu yang dinaiki jadi oleng dan berat ke belakang.

Wuttt!

Sebuah tombak menusuk ke arah tenggorokan Jaka Tawang. Namun dengan cepat pemuda ini menundukkan kepala, sehingga ujung tombak jadi mengarah Ki Sabda Gendeng yang kebetulan berada di belakangnya.

"Hei...! Jangan mengelak seenaknya, Bocah Gendeng! Hampir saja kepalaku kena tertusuk...," maki Ki Sabda Gendeng sambil menyampok tombak yang hampir memangsanya.

Baru saja kata-katanya selesai, kembali sebuah pedang menusuk perut orang tua urakan itu. Tapi Ki Sabda Gendeng cepat berkelebat dengan gerakan sulit diikuti mata. Bahkan tiba-tiba tangan penyerangnya berhasil ditangkap.

Tap!

Dengan sekali sentak, Ki Sabda Gendeng berhasil membuat tubuh penyerangnya melayang masuk ke dalam telaga. Kejadian itu terus berlanjut. Dan itu hasil perbuatan Jaka Tawang yang mengikuti tingkah gurunya.

Byurr! Byuuurrr!

"Ha ha ha...!"

Guru dan murid yang sama sablengnya ini tertawa terbahak-bahak. Kemudian mereka berkelebatan cepat ke sana kemari, menyeburkan para penumpang perahu sampai berkali-kali. Bahkan kemudian Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang meneruskan dengan lemparan biji-biji catur, membuat para penyerang berjatuhan ke dalam air.

Hingga tak satu penyerang pun yang masih bertahan di perahu. Mau tak mau, mereka harus meninggalkan perahu dan kembali ke tepi. Mereka tak habis pikir, mengapa dapat dikalahkan begitu mudah?

"He he he...! Tanpa modal, kita telah memiliki sebuah perahu yang cukup baik keadaannya...," kata Ki Sabda Gendeng sambil nyengir.

"Ha ha ha...! Hitung-hitung, dapat hadiah...," sahut Jaka Tawang.

"Hadiah jidatmu! Kita dapat merampok, tahu...?!" tukas Ki Sabda Gendeng dengan mata melotot.

********************

Walaupun banyak yang kembali, tapi banyak pula yang berhasil mencapai ke Pesanggrahan Telaga Warna yang berupa bangunan besar dan megah. Usia bangunan itu sendiri telah ratusan tahun. Kesan angker dan seram seperti melingkupi suasana di tempat ini. Saat ini di belakang pesanggrahan itu si Lutung Pancasona tengah dikurung oleh sepuluh orang laki-laki berwajah seram yang semuanya berpakaian dari kulit macan.

"Kisanak.... Ada urusan apa datang ke tempat kami...? Kalau penyambutan kami kurang layak, harap dimaafkan...," sindir Ki Samba tenang.

"Kau tidak perlu berpura-pura di hadapan Gerombolan Cakar Macan, Lutung Pancasona.... Orang lain boleh segan padamu. Tapi bagi kami, nama besarmu tak ada artinya...! Lekas serahkan Bunga Nirwana pada kami. Mungkin, kami semua akan mengampuni jiwamu yang tua itu...," gertak laki-laki yang berwajah penuh brewok dengan bekas luka menyilang dari hidung hingga ke pipi. Agaknya, dialah yang menjadi pemimpin gerombolan ini.

"Kalau soal itu, kami tidak dapat mengabulkan... Karena, sesungguhnya Bunga Nirwana belum berbunga saat ini. Kami sendiri tidak mengerti, apa sebabnya...," jelas Ki Samba.

"Kalau begitu ajaklah kami ke tempat Bunga Nirwana itu tumbuh, agar tidak penasaran lagi...!" desaknya.

"Kami tidak berkata dusta dan telah berbicara apa adanya. Tapi kalau tempat kami harus diacak-acak untuk apa menghargai kalian...? Pergilah, sebelum aku marah dan menggunakan kekerasan... Jangan kalian pikir di tempat kami ini dapat dibuat sesukanya...!" ujar Ki Samba dengan suara berat dan dalam, pertanda telah marah.

"Bangsat...! Kau tak memandang Tosa, Pemimpin Gerombolan Cakar Macan! Baiklah bila itu yang kalian kehendaki. Ayo anak-anak, bunuh saja orang tua tidak tahu diri ini...!" perintah Ketua Gerombolan Cakar Macan yang mengaku bernama Tosa.

"Heaaat...!"

Begitu mendapat perintah, sembilan orang anggota gerombolan itu meluruk, menyerang si Lutung Pancasona.

"Chiyaaat!" Namun Ki Samba alias si Lutung Pancasona mencabut sepasang pedangnya. Langsung dipapaknya serangan itu.

Trang! Trang!

Beberapa bentrokan keras terjadi. Ada dua bilah pedang yang terlepas dari genggaman pemiliknya. Bisa dibayangkan, betapa besar tenaga dalam si Lutung Pancasona. Sebelum mereka sadar, dua bilah pedang pendek yang tajam milik Ki Samba telah berkelebat cepat menemui sasaran.

Bret! Bret!

"Wuaaa...!"

Tiga orang anggota Gerombolan Cakar Macan kontan berteriak menyayat, begitu pemt mereka terkoyak dan usus terburai keluar terbabat senjata Ki Samba. Darah segar pun mulai menganak sungai, menebarkan bau anyir dan memualkan.

"Bangsat! Bersiaplah. Hadapi jurus 'Cakar Macan'ku...!"

Melihat pengikutnya berjatuhan, Tosa berteriak sambil menerjang dengan jurus-jurus andalannya. Angin pukulan dan cakaran tangannya menimbulkan angin keras dalam jurus 'Cakar Macan' miliknya.

Dalam waktu singkat terjadilah perkelahian sengit dan seru. Kini mereka segera mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi. Sedikit lengah saja, nyawa taruhannya. Ki Samba tiba-tiba membabatkan pedang pendeknya ke dada. Namun lincah sekali Tosa berkelit ke samping seraya menangkap pergelangan tangan si Lutung Pancasona yang baru saja membabatkan pedang pendeknya.

Tap!

Sayang, justru gerakan itu ternyata hanya tipuan dari Ki Samba. Karena mendadak saja pedang pendeknya yang satu lagi berkelebat dari bawah menuju sikut tangan Tosa yang tengah mencengkeram tangan Ki Samba. Dan....

Crasss...!

"Aaa...!" Tangan kiri Tosa kontan tertebas putus sampai sebatas siku. Dia menjerit merasakan sakit bukan main.

Di sini jelas, kepandaian si Lutung Pancasona jauh lebih tinggi daripada ketua gerombolan itu. Tapi Tosa tidak mau peduli. Setelah menotok beberapa urat agar darahnya berhenti mengalir, dengan nekat dia menerjang. Tangannya yang masih utuh dikibaskan, hendak mencengkeram kepala Ki Samba.

"Ciaaat!"

Namun lincah sekali, si Lutung Pancasona merunduk ke bawah dengan pedang pendek berkelebat ke atas. Sehingga....

Crasss...!

"Waaa...?!" Kali ini tangan kanan Tosa terbabat putus. Disertai raungan kesakitan, Ketua Gerombolan Cakar Macan itu mundur beberapa langkah.

Kala itu, seorang pengikutnya menerjang dari belakang. Namun tanpa terduga, Ki Samba meloncat mundur sambil menusukkan pedang ke belakang.

Blesss...!

"Aaa...!" Dan tanpa dapat dicegah lagi, pedang pendek itu menembus dada penyerangnya yang kontan ambruk di belakang Lutung Pancasona. Ketika pedang dicabut kembali, pembokong itu jatuh bermandikan darahnya sendiri.

"Lariii...!" Merasa sudah tak bakal unggul lagi, Tosa berteriak menyuruh anak buahnya melarikan diri. Dia sendiri segera berbalik dan lari dari tempat itu dengan langkah terhuyung-huyung. Namun, si Lutung Pancasona tidak membiarkan begitu saja. Cepat dilemparkan salah satu pedang pendeknya.

Zing...! Creb...!

"Aaa...!" Disertai lengkingan panjang, langkah Tosa tersentak ke depan ketika pedang pendek Ki Samba menancap di punggungnya. Tubuhnya langsung ambruk, tanpa dipedulikan sisa anak buahnya yang terus melarikan diri. Setelah berkelojotan sejenak, dia mati meninggalkan rasa penasaran.

Di sisi Pesanggrahan Telaga Warna Rukmini sedang dikeroyok puluhan orang yang juga menghendaki Bunga Nirwana. Mereka juga tidak percaya kalau bunga itu belum mekar, dan bermaksud melihatnya sendiri. Tentu saja Bidadari Tongkat Hijau jadi gusar.

"Keparat...! Kalian pikir aku ini apa?! Di tempatku kalian tidak dapat berbuat semaunya.... Lekas tinggalkan tempat ini. Atau, terpaksa kalian kukirim ke neraka jahanam...!" bentak BidadariTongkat Hijau.

"Ha ha ha...! Boleh saja kau membual. Bagi Jagabaya, Ketua Perguruan Waringin Pitu, penghuni Pesanggrahan Telaga Warna tidak ada artinya sama sekali...!" ejek laki-laki berkepala botak yang bernama Jagabaya sambil memutar-mutar senjatanya yang berupa gada berduri.

"Hiaaa...!" Mendapat ejekan Jagabaya yang berkepala botak, Rukmini jadi berang. Dengan tongkatnya, yang berwarna hijau, diterjangnya laki-laki itu dengan tenaga penuh.

Trang!

Tapi, gada berduri yang berat milik Jagabaya mampu menangkisnya. Kedua senjata itu sama-sama tertolak balik. Rupanya kedua tokoh ini menggunakan tenaga dalam berimbang. Begitu tubuh Rukmini terjajar, saat itulah berbagai senjata tajam meluruk ke arahnya. Namun dengan jurus-jurus silatnya yang jarang terlihat, Bidadari Tongkat Hijau berhasil membendung serangan. Tongkatnya menderu-deru bagaikan angin topan. Siapa saja yang berusaha mendekat pasti akan terhajar.

"Ciaaat...!"

Memasuki jurus ke sepuluh, Bidadari Tongkat Hijau telah berhasil mendesak Jagabaya. Tetapi karena para pengeroyok semakin banyak, Bidadari Tongkat Hijau jadi kerepotan. Apalagi, mereka rata-rata berkepandaian tinggi dan bertabiat licik.

Begitu juga keadaan si Lutung Pancasona. Dia saat ini sedang dikeroyok para tokoh aliran hitam berkepandaian tinggi. Mereka tidak malu melakukan keroyokan pada lawan yang dianggap mempunyai kepandaian tinggi. Bahkan ketiga putri suami istri itu juga mendapat nasib serupa. Hanya saja keadaan mereka bertiga lebih parah lagi. Karena wajah mereka cantik, para pengeroyok jadi semakin kurang ajar dalam melakukan serangan. Bahkan banyak yang melampaui batas dalam mengejek dengan mengumbar kata-kata kotor.

Tetapi sebagai anak-anak pendekar kenamaan, mereka telah ditempa untuk bertindak gagah dan tegar dalam menghadapi segala cobaan. Walaupun tahu keadaan sangat berbahaya, tetapi mereka tetap bertahan dengan segala kemampuan.

Pada saat yang gawat bagi Sri Kundalini, Sri Agni Kumala, Sri Padmi, tahu-tahu muncul laki-laki tua dengan senjata guci dan seorang pemuda bersenjata clurit perak. Dua orang yang tak lain Ki Demong dan Wisnupati membantu gadis-gadis ini menahan serangan orang-orang persilatan golongan hitam. Dengan bantuan guru dan murid itu keadaan jadi berimbang kembali. Bahkan ketiga gadis itu mengamuk dengan pedang di tangan.

"Yeaaat!"

Brebet!

"Aaa...!"

Kembali korban jatuh dari tokoh persilatan golongan hitam. Sementara para tokoh sesat dihadang Ki Demong dengan guci dan semburan tuaknya. Sedangkan Wisnupati juga mengamuk. Clurit peraknya berseliweran mencari mangsa. Tiga orang yang memandang rendah Pemabuk Dari Gunung Kidul menyerang dari belakang. Tetapi... Mendadak Ki Demong berbalik, seraya menyemburkan tuaknya.

"Fruhhh...!"

Wusss!

"Waaa...!"

Ketiga orang itu kontan berteriak kesakitan dengan tubuh terbakar. Dengan kalang kabut, mereka berlari ke tepi telaga dan menceburkan diri. Melihat kejadian itu, Ki Demong dan Wisnupati tertawa terbahak-bahak.

"Kisanak berdua.... Kami mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian...," ucap Sri Kundalini gadis yang tertua.

"Sudahlah. Hajar mereka yang tidak punya malu itu.... Aku dan muridku akan melindungi kalian bertiga...," ujar Ki Demong.

ENAM

Ki Samba alias si Lutung Pancasona tengah berhadapan dengan tiga datuk sesat. Dua orang berwajah kembar. Mereka berasal dari Gunung Merapi dan mengaku bernama Kudapaksi dan Kudapaksa. Namun yang paling berbahaya adalah seorang laki-laki tua berhidung bengkok bagaikan paruh burung. Senjatanya tongkat yang berujung seperti burung, lengkap dengan sayap terkembang dan paruh tajam. Dia sebelumnya mengaku bernama Petet Buluk alias si Burung Mayat.

Saat ini Kudapaksi dan Kupaksa tems mendesak si Lutung Pancasona. Golok besar di tangan kedua orang kembar itu berseliweran mencari mangsa. Tetapi sampai sejauh itu, Ki Samba masih dapat bertahan dengan sepasang pedang pendek yang dimainkan sedemikian rupa.

Mendapati serangannya selalu gagal, tentu saja Kudapaksi dan Kudapaksa jadi geram. Dengan golok mereka terus mendesak si Lutung Pancasona. Bila yang satu menyerang kaki, yang seorang lagi menyerang leher. Suatu kerja sama yang sangat baik dan membahayakan.

Namun sambil berloncatan, Ki Samba berhasil menjauhi kedua lawannya. Bahkan dalam keadaan demikian, sepasang pedang di tangannya berusaha membalas serangan pada dua orang kembar itu sekaligus. Namun sebelum niatnya terlaksana, satu sosok bayangan telah melesat dan langsung memapak serangannya.

"Ciaaat...!"

Trang! Trang!

Lutung Pancasona merasa tangan yang memegang pedang bergetar hebat. Hampir saja kedua pedangnya lepas. Ketika dia berhasil menguasai diri, matanya langsung menatap tajam sosok yang memapak serangannya. Ternyata dia adalah orang tua berhidung bengkok, yang berjuluk si Burung Mayat yang kembali turun tangan.

Lutung Pancasona segera mengerahkan tenaga dalam sampai puncak kemampuannya. Kemudian dengan jurus andalannya, mulai diserangnya Petet Buluk. Sepasang pedang di tangannya, terus mencecar dan mengurung jalan keluar laki-laki berjuluk si Burung Mayat.

"Haaat!"

Tongkat berkepala burung di tangan Petet Buluk bergerak menyodok dada Ki Samba. Secepat kilat, Lutung Pancasona menyilangkan pedangnya. Namun si Burung Mayat menarik kembali serangannya. Bahkan cepat merubahnya menjadi sodokan ke arah perut.

"Haaat!"

Trang!

Dengan sekuat tenaga, kedua pedang pendek Lutung Pancasona menggunting tongkat si Burung Mayat. Namun akibatnya, tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Pada saat yang sama Kudapaksa dan Kudapaksi berkelebat berbarengan sambil menyabetkan golok dari belakang. Dari....

Cras! Cras!

"Aaakh...!"

Kedua orang kembar itu berhasil melukai punggung Lutung Pancasona. Tapi pada saat itu juga Ki Samba memutar tubuhnya sambil menusukkan pedangnya.

Crasss...!

"Aaa...!" Terdengar teriakan menyayat dari mulut Kudapaksi ketika salah satu pedang pendek Ki Samba menancap di dada hingga tembus ke punggung.

Sementara Kudapaksa berhasil melemparkan tubuhnya ke kiri, hingga luput dari serangan mendadak Ki Samba.

Sambil meringis kesakitan karena punggungnya tergores, si Lutung Pancasona mencabut pedangnya yang masih menancap. Tepat ketika pedang pendek itu tercabut, Kudapaksi ambruk dengan darah berhamburan.

Melihat saudara kembarnya tewas, Kudapaksa bergegas bangkit. Lalu disertai amarah membludak, tubuhnya berkelebat, mencecar Lutung Pancasona dengan goloknya.

Bersamaan dengan serangan berbahaya dari Kudapaksa, Petet Buluk meluruk sambil menghantamkan tongkatnya pada kepala Ki Samba. Keadaan si Lutung Pancasona sangat berbahaya. Nyawanya bagai telur di ujung tanduk. Namun....

"Hiaaa...!"

Saat yang menentukan ini, dipecahkan sebuah teriakan menggeledek yang disertai berkelebatnya sesosok bayangan putih. Yang langsung memapak serangan Petet Buluk.

Trang!

Pedang milik sosok bayangan putih yang dipakai menangkis tongkat berkepala burung milik Petet Buluk kontan patah menjadi tiga bagian. Tetapi paling tidak, kedatangan sosok itu tepat pada waktunya.

Si Burung Mayat tersentak mundur. Sedang sosok yang menangkis serangan tetap di tempat. Pedangnya yang patah menjadi tiga bagian dibuangnya.

Ki Samba sendiri begitu berhasil menangkis serangan Kudapaksa, cepat memutar tubuhnya. Pedang di tangannya seketika berkelebat ke leher. Dan....

Wuuut! Crasss...! Blug!

Kepala Kudapaksa kontan jatuh menggelinding di atas tanah begitu berhasil ditebas Ki Samba. Lalu si Lutung Pancasona segera menatap sosok yang membantunya dan ternyata seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan sinar mata menyiratkan rasa terima kasih.

Sementara itu Petet Buluk segera menatap tajam pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti dengan mata mengecil, pertanda tengah marah besar. Tongkat di tangan kanannya bergetar. Tulang belulang ditubuhnya sampai berbunyi berkerotokan.

"Bocah buduk...! Siapakah kau...?! Mengapa ikut campur dalam urusanku...?.'" bentak si Burung Mayat dengan suara serak.

"Aku Rangga, yang tak akan membiarkan orang-orang telengas berkeliaran di sini. Kalian bukan orang sini.... Mengapa hendak menyebar petaka di tempat terpencil yang tidak pernah berurusan dengan dunia luar...?" Rangga balik bertanya penuh perbawa.

"He he he...! Kurasa kau telah tahu.... Untuk apa bertanya dan berpura-pura segala...? Aku sendiri tidak tahu, mengapa kau berada di sini...? Kurasa anak kecil pun tahu, kalau kau mempunyai tujuan sama. Hanya caranya saja yang berbeda...," sindir si Burung Mayat sambil tersenyum.

"Terserah anggapanmu... Yang jelas, aku tidak akan membiarkan orang licik mengganggu orang yang tidak bersalah. Apalagi sampai menimbulkan banjir darah" sahut Pendekar Rajawali Sakti mantap.

"Anak muda..., biarkanlah aku mengusir manusia itu...," ujar Ki Samba.

"Lindungi saja anak gadismu, Ki Samba... Biar iblis ini aku yang mengurusi," ujar Rangga, tanpa maksud merendahkan Ki Samba.

"Baiklah kalau begitu. Sekali lagi kuucapkan terima kasih...." Si Lutung Pancasona seketika berlari cepat guna membantu ketiga anak gadisnya.

"Heaaa...!"

Sementara itu, Petet Buluk merasa tidak dipandang sebelah mata menjadi marah. Disertai teriakan nyaring, tongkatnya diputar sedemikian rupa sampai menimbulkan suara mengaung. Dan tiba-tiba dihantamkannya pada pinggang.

Menghadapi serangan dahsyat ini, Rangga meloncat mundur untuk mengatur jarak. Tapi Petet Buluk terus mendesaknya. Tongkatnya kembali diputar bagaikan kitiran. Serangannya mengarah ke atas dan ke bawah. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus melenting beberapa kali ke belakang untuk menghindari serangan.

Wuuut! Wuuut!

"Uts...!" Rangga segera mengeluarkan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Tubuhnya terhuyung-huyung ke Sana kemari menghindari serangan beruntun dari tongkat si Burung Mayat. Maka tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.

Dengan perasaan heran dan terselip rasa kagum, si Burung Mayat terus mencecar dengan tongkat mautnya. Begitu habis membuat gerakan meliuk, Rangga menjulurkan tangannya dengan tenaga dalam tinggi untuk menggedor dada Petet Buluk. Namun dengan tangkas, si Burung Mayat meloncat selangkah seraya menahan gedoran Rangga dengan telapak tangannya.

Plak!

Bentrokan dua tenaga dalam tinggi terjadi, menimbulkan suara keras. Pendekar Rajawali Sakti merasa tangannya bergetar. Sedangkan Petet Buluk terdorong kebelakang.

Terbuktilah kini, tenaga Rangga lebih kuat beberapa tingkat. Si Burung Mayat langsung mengawasi Pendekar Rajawali Sakti dari kepala sampai kaki.

"Pantas, kau berani banyak tingkah didepanku. Kiranya kau mempunyai sedikit kepandaian...! Tapi hari ini adalah batas ajalmu, Bocah Sombong.... Bersiaplah kau...!" desis Petet Buluk. "Yeaaa...!"

Belum sempat Rangga menjawab, tongkat berkepala burung milik si Burung Mayat telah meluruk menghantam kepala. Cepat Rangga menunduk dengan tangan bergerak cepat mengambil golok yang tergeletak di tanah dan langsung menangkisnya.

Tring...!

Dengan hati terkejut si Burung Mayat terjajar ke belakang beberapa langkah. Kini disadari kalau dirinya sedang berhadapan dengan lawan tangguh dan memiliki kepandaian tinggi. Belum hilang rasa terkejut laki-laki berhidung bengkok itu, Pendekar Rajawali Sakti telah kembali meluruk menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' sambil mengebut-ngebutkan golok. Melihat serangan dahsyat ini, Petet Buluk cepat memutar tongkatnya seperti baling-baling.

Trang! Trang! Trang!

Bentrokan senjata terdengar berkali-kali. Tubuh Petet Buluk kembali terjajar. Tangannya bergetar dan sampai lecet-lecet saat menangkis serangan Rangga tadi. Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat di tanah dengan mantap. Matanya tajam menatap si Burung Mayat.

"Kudengar, kau sering menyebar petaka dalam dunia persilatan yang membuat kaum persilatan resah. Karena itu, terpaksa aku tak bisa membiarkan kaummu berkeliaran," kata Rangga penuh tekanan, sambil membuang golok di tangannya.

Sehabis berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat mengerahkan gabungan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Menghadapi jurus ampuh ini, si Burung Mayat jadi kelabakan dan terdesak hebat. Apalagi Rangga mengajak bertarung dalam jarak pendek. Sehingga sulit bagi tongkat di tangan si Burung Mayat membendung serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pada jarak yang memungkinkan Rangga melepaskan serangan tangan kosong dalam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Wuuuttt...!

Tangan Rangga yang telah merah membara menderu cepat menjarah ke dada. Dengan cepat si Burung Mayat melenting ke atas menghindari serangan. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus memburunya setelah mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kibasan tangan Rangga yang bagai kepakan sayap rajawali meluruk cepat ke perut Petet Buluk.

Desss...!

"Aaakh...!" Si Burung Mayat kontan terlontar deras ke belakang.

Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah meluruk mengejar dengan mengganti jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu dekat, dihantamnya kepala Petet Buluk dengan kedua tangan yang berisi tenaga dalam amat tinggi. Hingga...

Prakkk...!

"Aaa...!" Begitu menyentuh tanah, kepala si Burung Mayat telah retak dengan darah menggenangi kepalanya. Sebentar tubuhnya meregang nyawa, lalu diam tidak berkutik lagi. Mati!

Sementara itu si Bidadari Tongkat Hijau tengah dalam keadaan mengkhawatirkan. Dia dikeroyok sosok ramping berpakaian serba hijau dengan wajah tengkorak, dan dua orang laki-laki bertubuh kerdil yang bersenjatakan rantai berujung bola berduri. Putaran senjata itu menimbulkan angin dan suara yang menyeramkan.

Menghadapi serangan dahsyat yang mematikan, Bidadari Tongkat Hijau menggunakan jurus andalannya. Tongkatnya diputar bergulung-gulung menyerang dan membentuk pertahanan diri. Tapi serangan istri Ki Samba itu selalu berhenti di tengah jalan, karena sosok berwajah tengkorak itu terus mengganggunya. Lemparan binatang beracun sangat mengganggunya.

"Yeaaa...!"

Mendadak kedua orang cebol mengayunkan rantainya, membuat bola berduri itu meluruk deras. Namun dengan tangkas, Bidadari Tongkat Hijau memapak serangan tongkatnya.

Trak! Trak!

Pada saat itu pula, sosok berwajah tengkorak yang memang si Manusia Tengkorak meluruk dari belakang dengan satu hantaman kuat. Dan...

Desss...!

"Aaakh...!"

Satu pukuan tangan si Manusia Tengkorak menghantam pundak Rukmini hingga terhuyung-huyung ke depan beberapa langkah. Pundaknya yang terkena pukulan langsung hangus mengeluarkan bau sangit. Baru saja Bidadari Tongkat Hijau berbalik, si Manusia Tengkorak melemparkan beberapa binatang berbisa.

Set! Set!

Bersamaan dengan itu, sepasang orang cebol kembali mengayunkan rantai bola berdurinya. Bidadari Tongkat Hijau memang bisa menghindari binatang-binatang beracun itu dengan melompat mundur. Tapi bola berduri dua orang cebol itu terus mengejamya. Sehingga....

Cras! Crass...!

"Aaakh..,!"

Ujung rantai yang merupakan bola berduri itu menghantam kaki dan pinggang Rukmini dengan tepat. Tak ampun lagi, Bidadari Tongkat Hijau terlempar dengan mendapat luka lumayan parah. Darah pun mulai membasahi pakaiannya.

Saat itu pula tiga tokoh hitam itu menerjang dengan serangan-serangan maut. Bidadari Tongkat Hijau jadi nekat, Dengan sekuat tenaga disambutinya serangan itu.

Pada saat yang mengkhawatirkan, berkelebat dua sosok bayangan yang satu memegang tongkat berwarna hitam, Sedangkan yang satu lagi memegang tongkat berwarna merah, Dengan tongkat, kedua sosok ini menahan serangan rantai berduri milik kedua orang cebol.

Trak! Trak!

Terhindarlah Rukmini dari kematian, Sementara kedua orang cebol itu terjajar mundur, Sedangkan serangan si Manusia Tengkorak berhasil ditahan tongkat hijau milik istri Ki Samba itu.

"Ah...?! Kiranya Sepasang Iblis Cebol berhadapan dengan Sabda Gendeng dan muridnya.... Pantas seranganku dapat ditahan...," kata salah seorang cebol yang bersama cebol satunya memiliki julukan Sepasang Iblis Cebol.

"Ha ha ha...! Syukurlah kalau kau sudah tahu... Aku paling tidak suka ikut campur urusan orang lain. Tetapi, kalau urusannya tidak benar, terpaksa aku harus ikut campur...! Tidak peduli walau harus berkorban nyawa sekalipun...," balas sosok yang baru datang yang ternyata Ki Sabda Gendeng.

"Tua bangka tidak tahu diri...! Mampuslah kau...!" seru salah satu orang cebol dengan wajah merah.

Saat itu juga rantainya menderu menerjang kedua guru dan murid ini. Gerakannya diikuti cebol yang satunya. Sambil tertawa-tawa, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang meladeni kehendak Sepasang Iblis Cebol.

Gerakan guru dan murid yang acak-acakan dan lucu ini telah membuat kedua orang cebol itu jadi hilang akal. Nyatanya memang kepandaian Sepasang Iblis Cebol itu masih di bawah Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang.

Lima belas jurus kemudian, guru dan murid itu berhasil mendesak Sepasang Iblis Cebol habis-habisan. Jatuhnya kedua orang cebol ini tinggal menunggu waktu saja.

Benar saja. Ketika kedua orang cebol itu loncat ke atas menghindari sabetan tongkat Ki Sabda Gendeng yang mengarah ke kaki, tiba-tiba tongkat itu bergerak mengejarnya.

Creb!

"Wuaaa...!"

Satu dari Sepasang Iblis Cebol berteriak menyayat ketika tongkat Ki Sabda Gendeng berhasil menembus perutnya. Ketika dicabut, darah menyembur dari lubang lukanya. Tubuhnya langsung jatuh ke bumi. Dia berkelojotan sejenak, lalu diam untuk selama-lamanya.

"Aaa...!"

Belum juga sekejapan salah satu cebol tewas, cebol yang lain mengalami nasib yang sama. Tongkat Jaka Tawang ternyata berhasil menghujam dadanya hingga tembus ke jantung. Tamat sudah riwayat Sepasang Iblis Cebol dengan membawa dendam yang dalam.

Sementara itu si Manusia Tengkorak telah melepas selendang hijaunya. Dengan senjata ini dia berusaha mendesak Bidadari Tongkat Hijau. Bagaikan ular hidup, selendang hijau yang berbau harum ini mendesak Rukmini.

Set! Set!

Dalam keadaan terdesak oleh selendang hijau, Bidadari Tongkat Hijau terus disusuli lemparan binatang-binatang beracun si Manusia Tengkorak yang mematikan.

"Hiih...!"

Wuttt...!

Tes! Tesss...!

Dengan memutar tongkat hijaunya, Rukmini mencoba mematahkan serangan binatang-binatang beracun. Tapi pada saat yang sama selendang hijau si Manusia Tengkorak berkelebat cepat ke arahnya. Dan...

Ctar!

"Aaargh...!" Bidadari Tongkat Hijau kontan berteriak menyayat begitu selendang hijau menghantam dada-nya. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sambil menekap dada. Sedang dari mulutnya memuntahkan darah segar. Napasnya terasa menyesak. Jelas, sabetan itu disertai tenaga dalam tinggi.

Set! Set!

Mendapat kesempatan baik, si Manusia Tengkorak kembali melemparkan segenggam binatang beracun. Dalam keadaan demikian. Rukmini tak bisa mengelak lagi. beberapa kelabang dan kalajengking langsung menyengatnya.

"Aaakh...!" Bidadari Tongkat Hijau mengeluh tertahan. Tubuhnya bergetar hebat. Sebentar saja wajahnya pucat, lalu membiru. Dia berusaha mengerahkan hawa murninya.

"Keparat...! Mari kita mengadu jiwa...!" teriak Bidadari Tongat Hijau seraya mengempos semangatnya. "Hiaaa...!"

Blug! "Hegh...!"

Sebelum serangannya sampai, Rukmini telah ambruk ke tanah dengan jiwa melayang. Ki Sabda Gendeng dan muridnya tidak dapat berbuat apa-apa, karena kejadian itu sendiri hanya berlangsung beberapa gebrakan saja.

"Chiaaat...!" Dengan berteriak murka, Ki Sabda Gendeng menerjang. Jaka Tawang yang sama urakan dengan gurunya tidak mau peduli soal main keroyok atau tidak. Dia pun ikut bantu menyerang.

Menghadapi kedua orang konyol ini, si Manusia Tengkorak tak dapat berkutik. Lemparan binatang berbisanya, disambut lemparan biji-biji catur. Selendang hijaunya dilayani dua tongkat yang mampu bekerja sama baik sekali. Bila yang satu menyerang, yang satunya melindungi.

TUJUH

"Hiaaat...!" Sambil menggulingkan tubuhnya, tongkat Ki Sabda Gendeng menyerang kaki si Manusia Tengkorak.

"Hup!" Si Manusia Tengkorak yang bernama asli Rara Wulan berloncatan bagai katak, menyelamatkan kakinya dari kejaran tongkat. Pada saat yang sama, Jaka Tawang membabatkan tongkatnya ke arah pinggang. Namun serangan pemuda itu luput, karena Rara Wulan telah berjumpalitan ke udara.

"Huuup...!" Ki Sabda Gendeng tak sudi membiarkan lawannya lolos. Tubuhnya langsung melenting sambil menyambarkan tongkatnya. Bret! Baju hijau si Manusia Tengkorak koyak besar pada bagian dada, tersambar tongkat Ki Sabda Gendeng, Sehingga, sebagian dadanya yang membusung indah dan berlapis kulit mulus terlihat.

Dengan terkejut wanita yang memakai topeng tengkorak ini loncat kembali, menjauhi guru dan murid yang terus mendesaknya.

"Setan alas...! Mampuslah kau...!" dengus si Manusia Tengkorak, merasa malu bukan main. Seketika, si Manusia Tengkorak meluruk sambil mengebutkan selendang hijaunya. Suara ledakan selendang terdengar berkali-kali.

Namun dengan tingkahnya yang tak beraturan, guru dan murid ini berjingkrakan sambil mengitari si Manusia Tengkorak. Lama kelamaan, wanita bertopeng ini jadi kelabakan. Dia benar-benar mati kutu menghadapi kedua orang gendeng ini.

"Ciaaat...!" Tiba-tiba dengan tak terduga, Ki Sabda Gendeng melenting ke udara. Dan ketika menukik turun, tongkatnya digetarkan keras. Sehingga ujungnya jadi tampak banyak. Dan ini membuat si Manusia Tengkorak bingung. Akibatnya...

Bret!

"Aaakh...!" Topeng penutup wajah yang berbentuk tengkorak kontan koyak dan tanggal dari wajahnya. Maka, tampaklah seraut wajah cantik seorang wanita mengenakan pakaian serba hijau dengan selendang berwarna hijau juga. Guru dan murid yang tidak menyangka akan hal itu, jadi bengong dan termangu-mangu di tempatnya.

"Sheaaat...!"

Secara tak terduga, wanita cantik bernama Rara Wulan itu melompat, melakukan tendangan kilat. Karena sedang terpaku melihat kejadian tadi, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang jadi terkesiap. Dan....

Des...! Desss...!

"Aaakh...!"

"Adauuwww...!"

Guru dan murid itu kena tendangan keras, hingga jatuh di atas tanah. Tapi, secepat itu pula mereka bangkit dan menyerang kembali. Kini kembali terjadi perkelahian sengit. Jurus demi jurus terus dilalui penuh ketegangan.

Pada kesempatan itu, tampak berkelebat sosok dengan sebuah guci tuak. Sambil tertawa-tawa, sosok yang tak lain Ki Demong meneguk tuak merah yang menimbulkan bau harum. Kemudian dengan seenaknya, tuak yang berada di mulut disemburkan pada wanita berpakaian serba hijau.

"Fruuhhh...!"

Semburan tuak yang disertai kobaran api, menerjang Rara Wulan. Sejenak wanita itu terkejut. Namun dia sudah hafal dengan musuh bebuyutannya ini. Maka....

"Tarian Dewi Selendang...!" Sejenak si Manusia Tengkorak membuat gerakan dengan selendangnya. Rupanya, dia tengah memainkan jurus andalannya yang diberi nama Tarian Dewi Selendang'.

Gerakan selendangnya sebentar lemas bagaikan ular, sesaat kemudian kaku bagaikan besi. Lalu, seketika selendangnya berkelebat, mematahkan semburan tuak.

Prat! Prat!

"Ha ha ha...! Ayo habiskan semua simpanan yang kau miliki...! Kali ini kau tidak akan kulepaskan lagi...! Sudah cukup kau menipu dan mencelakai aku...!" tantang si Pemabuk Dari Gunung Kidul, mengejek.

Sambil berkata demikian, tubuh Ki Demong meluruk dengan guci terus mencecar. Serangannya yang kacau balau bagaikan orang sedang mabuk. Namun sesunguhnya itu adalah serangan maut dari jurus 'Dewa Gila Mabuk Tuak' yang dahsyat.

Melihat Ki Demong turun tangan membantu, Ki Sabda Gendeng jadi berteriak-teriak mencegahnya. "Whei..., hei...! Kau tidak boleh ikut campur, Demong.... Lebih baik menonton saja di pinggiran...," ujar Ki Sabda Gendeng.

"Kau yang harus minggir.... Setan ini punya hutang padaku. Jadi, aku sendirilah yang berhak menagihnya...! Kau dan muridmu menonton saja di pinggiran...," balas Ki Demong sambil menyemburkan tuaknya.

Tetapi, orang tua yang gila catur itu tidak akan mau diatur. Dengan berteriak keras, serangannya malah diperhebat. Dikeroyok tiga orang yang memiliki kepandaian tinggi. Rara Wulan jadi terdesak hebat. Permainan selendangnya tidak dapat berkembang. Malah semakin lama jangkauan serangannya jadi semakin kecil.

"Yaaat!" Pada satu kesempatan tongkat Ki Sabda Gendeng dan semburan tuak Ki Demong yang semuanya berisi tenaga dalam tinggi, menghantam selendang hijau si Manusia Tengkorak.

Brebet!

"Bangsat...! Kalian telah merusak selendangku...!" dengus Rara Wulan sengit. Saat itu juga tangannya melemparkan segenggam kelabang dan kalajengking beracun.

"Awas, Demong...!" teriak Ki Sabda Gendeng.

"Fruhhh...! Kau tak perlu khawatir... Binatang beracun ini makananku sejak beberapa waktu berselang...," tukas Ki Demong setelah menyemburkan tuak dari mulutnya.

Binatang-binatang beracun itu berjatuhan dalam keadaan hangus. Tidak sampai di situ saja. Guci tuak si Pemabuk Dari Gunung Kidul tiba-tiba menghantam kaki Rara Wulan.

Diegkh...!

"Aaakh...!" Akibat rasa sakit yang menyengat sampai ke ulu hati, Rara Wulan berjingkrakan sambil mengaduh-aduh.

"He he he...! Ada monyet wanita sedang menari... Lihat wajahnya... Lucu sekali...," ejek Ki Sabda Gendeng sambil memegang perutnya.

Diejek seperti itu, Rara Wulan jadi kalap. Dia juga sadar, walaupun ingin lari, jalan keluar telah tertutup. Maka bagaikan seekor harimau yang terpojok, si Manusia Tengkorak ini mengamuk dengan terpincang-pincang. Ditepaskannya satu tendangan lurus ke arah Ki Demong. Namun....

Crab!

"Aaakh...!"

Pada saat yang sama Ki Sabda Gendeng meluruk sambil menusukkan tongkatnya ke paha. Kontan Rara Wulan terpekik dengan tubuh berputar. Dalam keadaan demikian, mendadak tongkat Jaka Tawang menyambar deras.

Cras...!

"Aaakh...!" Kembali Rara Wulan terpekik, ketika punggungnya tersambar tongkat.

Dalam waktu singkat, si Manusia Tengkorak telah mandi darah. Wajahnya berubah pucat. Dan pandangan matanya mulai berkunang-kunang. Namun dengan terhuyung-huyung, Rara Wulan terus berusaha mengajak mati bersama. Hanya saja serangannya tidak berbahaya lagi karena telah banyak darah yang keluar dari luka di sana sini.

"Hiaaa...!" Disertai teriakan menggelegar, Pemabuk Dari Gunung Kidul meluruk deras disertai hantaman guci tuaknya.

Bug!

"Auuu...!" Sebuah pukulan telak bersarang di punggung Rara Wulan. Tubuhnya kontan bergulingan disertai muntahan darah segar. Belum lagi dia dapat berdiri tegak. Kembali sebuah tendangan berisi tenaga dalam Ki Sabda Gendeng menghujam perut.

Desss...!

"Ughhh...!" Tak dapat ditahan lagi, tubuh Rara Wulan kembali jatuh terjengkang dan langsung pingsan. Ki Demong yang mempunyai dendam, bermaksud menghabisinya. Namun...

"Tahaaan...!"

Pada saat yang berbahaya bagi Rara Wulan, terdengar sebuah teriakan keras menggelegar yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan putih. Bahkan bayangan itu langsung menangkis guci Ki Demong dengan sentilan jarinya.

Ctrakk!

"Aaakkh...!" Hampir saja guci tuak itu terlepas dari tangan Ki Demong. Sejenak Pemabuk Dari Gunung Kidul terjajar, kemudian matanya menatap sosok yang menahan serangannya. Ternyata sosok itu tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

Sambil berdiri, Rangga mengawasi mereka. "Maaf, Ki. Bukan aku hendak ikut campur tangan.... Wanita ini sudah tak berdaya. Tak layak bagi tokoh ksatria menghabisi musuh tak berdaya. Lagipula, dia punya urusan denganku.... Bahkan kurasa, urusanku dengannya lebih penting daripada urusan kalian...." ucap Rangga, perlahan.

"Wah..., wah...! Biasanya kau selalu benar dan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti! Tetapi kali ini tindakanmu tidak dapat kubenarkan... Apalagi kau bilang urusanmu lebih penting daripada urusan kami berdua. Coba katakan, urusan apa itu...?" tanya Ki Demong dengan mata mendelik.

Rangga memejamkan matanya. Kepala menggeleng-geleng. Lalu menarik napas panjang. Tampaknya Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir keras. "Baiklah, karena kalian memaksa terpaksa hal ini harus kujelaskan pada kalian...." Lemah sekali kata-kata Rangga kali ini.

Kemudian diceritakannya segala yang dialaminya dengan wanita bernama Rara Wulan itu. Semua itu disambung dengan hilangnya pedang pusaka miliknya yang terampas oleh wanita cantik ini (Untuk jelasnya baca Pendekar Rajawali Sakti yang berjudul Gerger Di Telaga Warna)

Setelah mendengar kisah Rangga, Ki Demong tampak memerah mukanya. Dia tampak menyesali kata-katanya tadi. Sambil menunduk, orang tua pemabukan yang bandel itu meminta maaf pada Rangga.

"Sudahlah, Ki.... Asal kau mau mengerti, aku sudah bersyukur dan berterima kasih padamu."

Setelah selesai menjelaskan semuanya, Rangga menghampiri Rara Wulan yang masih tergeletak tidak sadarkan diri. Segera ditotok dan diurutnya beberapa jalan darah di tubuh wanita itu.

"Ohhh...!"

Selang sesaat, Rara Wulan yang cantik ini membuka matanya disertai desahan halus. Setelah tahu siapa yang berada di sampingnya, dia berusaha bangkit. Tetapi, wanita yang terluka parah ini jatuh kembali.

"Tenanglah, Nisanak.... Aku hanya ingin bertanya sedikit. Setelah itu, aku akan berusaha menolongmu karena kau punya urusan denganku...," ujar Rangga, perlahan.

"Tidak perlu.... Semua akan sia-sia saja...," tolak Rara Wulan.

"Mengapa...?"

"Aku telah mendapat luka dalam parah. Isi perutku serasa hancur semua.... Kurasa, hanya tinggal menunggu waktu saja. Lebih baik bunuh saja aku sekarang.

"Kalau begitu, mengapa kau datang kemari dan menghendaki Bunga Nirwana yang bukan milikmu...?" tanya Rangga.

"Kedatanganku kemari demi untukmu, Kisanak...."

"Untukku...?" Rangga balik bertanya dengan perasaan heran.

"Yah...! Aku merasa bersalah karena pedang pusakamu telah dirampas seorang tokoh persilatan dari dataran Cina. Untuk mendapatkannya kembali, aku harus memiliki kepandaian lebih tinggi lagi.... Tapi, itu tak mungkin! Jalan satu-satunya, aku harus memiliki tenaga dalam yang lebih kuat. Sebab, aku akan menyusulnya ke daratan Cina.... Dan bila kudapat, pedang itu akan kukembalikan padamu. Selama aku memegang pedang itu, sebenarnya aku telah menyadari kalau aku berada di jalan sesat. Bisakah aku bertobat? Hah.... Korban akibat nafsu serakahku telah cukup banyak. Ini karena aku berguru pada orang yang salah....! Dendamku pada beberapa tokoh persilatan yang telah membunuh kedua orang tuaku, ternyata hanya dendam buta.... Aku rupanya selama ini hanya menjadi boneka Bibi Guruku sendiri, yang ternyata dari golongan sesat. Rupanya yang membunuh kedua orang tuaku adalah Bigi Guruku, dengan memfitnah para tokoh persilatan dari golongan putih. Hal itu kuketahui dari seorang kerabatku yang berjuluk Pendekar Tangan Satu.... Itulah sebabnya, aku berubah pikiran sekarang...."

Sejenak Rara Wulan menghentikan ceritanya. Napasnya makin tersengal. Darah kembali meleleh di sudut bibirnya.

"Karena rasa bersalahku padamu, maka aku bertekad untuk mencari tokoh dari daratan Cina itu dengan terlebih dahulu mencari Bunga Nirwana. Tapi sayang, keinginanku tak terwujud, karena dihadang Pemabuk Dari Gunung Kidul yang memang mempunyai dendam padaku, dibantu kawan-kawannya. Tapi aku ikhlas.... Mereka memang berhak melampiaskan dendam padaku yang telah kotor dan hina dina ini...." Rara Wulan memberi penjelasan secara panjang lebar, napasnya semakin melemah.

"Demi kepentinganku, kau pun telah melakukan pembunuhan kembali.... Itu pun salah," sela Rangga menjadi kasihan melihat wanita itu.

"Ak..., ku..., menger... ti.... Tetapi itu kulakukan karena mereka menghalangi dan menyerangku. Aku hanya ingin menggembalikan pedang pusaka itu, lain tidak..."

"Yah.... Sudahlah.... Semua telah terjadi. Biar kucoba untuk menyembuhkan lukamu...."

"Tidak perlu.... Itu hanya membuang tenaga saja. Aku puas mati di tangan mereka.... Kakang Rangga, peluklah aku di saat terakhirku ini..... Dan, bolehkah aku memanggilmu 'kakang'...?" tanya Rara Wulan lemah.

Sementara napasnya tinggal satu-satu. Pendekar Rajawali Sakti tahu wanita di hadapannya ini sebentar lagi akan dijemput maut. Maka tanpa pikir panjang lagi, dipeluknya Rara Wulan erat-erat.

"Kakang..!" Sekali lagi wanita cantik itu memanggil Rangga dengan sebutan kakang, kemudian kepalanya terkulai. Rara Wulan mati dalam pelukan Rangga.

Yang hadir sama menarik napas. Mereka tidak menyangka kalau wanita yang kejam luar biasa itu pada akhirnya dapat insyaf dan menemui ajal dalam pelukan pendekar yang memiliki nama besar.

********************

Beberapa tokoh persilatan golongan lurus beramai-ramai terus membantu Ki Samba mengusir orang-orang golongan sesat yang tidak diundang. Dengan kepandaian yang lebih tinggi, mereka berhasil mengusir semua tokoh-tokoh sesat itu.

Sebagian tokoh yang penasaran, setelah pertarungan usai dipersilakan untuk melihat Bunga Nirwana yang memang masih kuncup. Karena kecilnya bunga itu, sehingga tak akan terlihat bila tidak diperhatikan dengan seksama, letaknya pun di antara baris-baris rerumputan.

Sehingga ketika pertarungan terjadi, tak seorang tokoh persilatan pun yang menyadari kalau bunga itu terletak di halaman pesanggrahan ini, Memang tak ada yang menyangka kalau bunga-bunga itu hanya sebesar bunga pohon putri malu.

Yang jelas manusia boleh berusaha dan mengira-ngira. Tetapi, kehendak Yang Maha Kuasa jugalah yang menjadi penentu. Rupanya takdir itu terjadi di Pesanggrahan Telaga Warna ini.

Setelah para tokoh persilatan kembali, tuan rumah menyatakan terima kasih walau bersedih telah kehilangan Bidadari Tongkat Hijau. Memang tidak ada perjuangan tanpa korban. Setelah merapikan segalanya dan mengebumikan Bidadari Tongkat Hijau, mereka dipersilakan menginap dan beristirahat di Pesanggrahan Telaga Warna.

Selama menginap, tampaknya Jaka Tawang dan Wisnupati sangat akrab dengan Sri Kundalini dan Sri Agni Kumala. Sedangkan Sri Padmi yang masih kecil selalu menggoda mereka, sehingga kesedihan sedikit terhapus.

Karena kedua muridnya masih kerasan tinggal di tempat itu, Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng tidak dapat pergi. Untung kedua orang tua yang sama-sama gendeng dan urakan tidak bosan. Apalagi mereka selalu bermain catur.

Pendekar Rajawali Sakti yang masih punya urusan mencari pedang pusakanya segera minta diri pada tuan rumah. Kepergiannya segera diantar para pendekar yang ada di tempat itu. Kemudian, dengan menggunakan papan seperti sebelumnya, Rangga melesat ke tengah telaga. Dan sebentar saja tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.

"Mudah-mudahan tokoh dari negeri Cina itu belum kembali ke negerinya. Sehingga, aku tidak dibuat repot karenanya...," gumam Rangga.

********************

Setelah sekian hari menempuh perjalanan, Rangga tersentak ketika dua orang berkerudung berjalan tergesa-gesa. Dari arah yang dituju, jelas mereka hendak ke Desa Waru Nunggal. Yang membuat Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan mereka adalah, pada punggung salah seorang berkerudung terdapat gagang pedang berkepala burung rajawali!

Karena merasa curiga, Pendekar Rajawali Sakti segera membuntuti kedua orang itu. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai kesempumaan, mudah bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk mengikuti kedua orang yang dicurigainya tanpa bersuara sedikit pun.

"Kakang Wismoyo. Di depan kita bisa beristirahat dulu sebentar...," usul salah seorang berkerudung dengan suara perlahan, tapi masih terus berlari.

"Maksudmu di depan mana? Apa di Desa Waru Nunggal...?" tanya orang yang dipanggil Wismoyo.

"Jangan, Kang.... Nanti bisa mencurigakan orang yang mengincar kita...," ujar orang yang bernama Panjalu.

"Kalau begitu kita beristirahat di sini saja. Tapi, jangan lama-lama.... Kasihan mereka yang menunggu kita di sana...," kata Wismoyo.

Kedua orang berkerudung itu segera melepaskan lelah sambil makan makanan yang dibawa. Dari tingkah yang sering menghapus keringat pada wajah di balik kerudung, jelas mereka habis melakukan perjalanan jauh dan melelahkan.

"Begitu hari gelap, kita langsung berangkat...," kata Wismoyo.

"Kupikir sebaiknya begitu...," sambut Panjalu.

Baru saja kata-kata Panjalu habis, berkelebat satu bayangan putih di hadapan mereka. Dengan terkejut kedua orang bertopeng ini segera bangkit. Sedang bayangan yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti melangkah tenang.

"Maaf, Kisanak. Bolehkan aku melihat pedang yang berada di punggungmu...?" tanya Rangga tenang sambil memperhatikan pedang di punggung Wismoyo.

"Siapa kau...?! Mengapa ingin melihat pedang ini? Ada urusan apa kau dengan kami...?" tanya Wismoyo menatap penuh curiga.

"Aku tidak bermaksud jahat. Hanya ingin melihat saja. Kalau bukan pedang yang kumaksud, aku akan pergi dan minta maaf...," ujar Rangga.

Walau bagaimana, kedua orang bertopeng itu harus mempertahankan pedangnya. Mereka berpendapat, pemuda berbaju rompi putih itu sebenarnya seorang perampok. Dengan cepat mereka bersiap.

"Kau ternyata perampok murahan! Alasan saja ingin melihat pedang ini.... Tapi, jangan harap akan berhasil...," desis Panjalu sambil menghentakkan kedua tangannya melancarkan serangan jarak jauh.

Wuuttt...!

Rangga cepat berkelit, dan balik menyerang. Maka perkelahian segera terjadi. Yang membuat Rangga penasaran, mereka berdua menutupi kepala pedang dan menyimpannya di balik baju.

DELAPAN

Perkelahian terus berlangsung seru. Tetapi lima jurus kemudian baru terlihat kalau dua laki-laki, berkerudung itu bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti. Ketika Rangga melancarkan serangan agak keras, mereka jadi terdesak. Dan dengan beberapa kali menggunakan jurus pancingan, Rangga berhasil menjambret kerudung kedua orang itu sampai terlepas dari wajah.

Brebet...!

"Waaa...!"

"Aaah...!"

Ketika kerudung terlepas, keduanya berteriak kaget. Begitu juga Rangga sendiri. Sambil mendesah, Pendekar Rajawali Sakti terjingkat mundur beberapa langkah ke belakang. Apakah yang terlihat...? Ternyata wajah di balik kerudung itu sangat menyeramkan. Penuh luka membusuk, mengeluarkan nanah! Baunya busuk bukan main.

"Perampok jahat...! Sudah puaskah kau sekarang...? Kalau mau lihat pedang ini, silakan. Nah, lihatlah...! Aku ingin tahu, apa sih sebenarnya maumu...? Ini pedang pusaka dari perguruan kami yang bernama 'Rajawali Perak'. Kami membawanya, untuk diperlihatkan pada seorang tabib sakti Kwe Ceng Kian dari negeri Cina yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit termasuk penyakit di wajah kami ini! Kawan-kawan kami telah sampai di tempat tabib sakti itu. Tetapi si tabib tidak mau menyembuhkannya tanpa mendapat imbalan pusaka lambang perguruan kami...," jelas Wismoyo, pasrah.

Rangga tersentak mendengar penjelasan Wismoyo. Jangan-jangan... tabib bernama Kwe Ceng Kian adalah seorang tokoh persilatan dari negeri Cina yang dikatakan Rara Wulan sebelum ajal.

"Jadi ketua kalian rela mempersembahkah pusaka lambang perguruannya pada tabib itu...?" cecar Rangga.

Sikap Pendekar Rajawali Sakti tampak serba salah. Dia menyesal dan merasa bersalah, karena ternyata pedang itu bukan pedang pusaka miliknya. Namun paling tidak hatinya merasa gembira, karena mendapat keterangan berharga dari kedua orang berkerudung itu.

"Kami berdua, juga teman-teman di sana mendapat penyakit yang serupa. Kalau terlambat, tentu kami semua akan mati dengan tubuh meleleh bagaikan lilin kena api.... Ketua kami orang paling bijaksana. Dia rela menyerahkan lambang perguruan, asal murid-muridnya dapat hidup. Itulah sebabnya dia sangat kami cintai...," kali ini Panjalu yang menjelaskan.

"Apa yang menyebabkan kalian menderita penyakit ini? Apa karena kehendak alam, atau hasil perbuatan seseorang...?" tanya Rangga.

"Kelihatanya, hasil perbuatan seseorang. Waktu itu, kami bentrok dengan seseorang yang mengenakan topeng. Tetapi kami tidak berhasil membunuhnya. Begitu juga dia. Setelah itu, seorang demi seorang dari pihak kami terjangkit penyakit yang menjijikkan seperti yang kau lihat ini...," jelas Wismoyo sambil menutup wajahnya kembali.

"Maafkanlah kesalahanku. Aku tidak bermaksud mempermalukan kalian. Tetapi, aku telah kehilangan pedang pusaka yang mirip dengan milik perguruan kalian.... Itulah sebabnya, aku memaksa hendak melihat. Kuharap, kalian bisa memakluminya.... Kalau kalian tidak keberatan, bolehkah aku ikut serta menemui tabib sakti dari Cina itu...?" tanya Rangga sambil menatap kedua orang yang mengaku dari Perguruan Rajawali Perak.

"Silakan saja kalau kau mau...," sambut Wismoyo.

Setelah mendapat persetujuan, mereka segera berlari mencari jalan sepi. Mereka tidak menunggu sampai hari gelap, karena khawatir akan terlambat tiba di tempat tujuan.

"Apakah tempat yang dituju sangat jauh...??" tanya Rangga, sambil mengimbangi ilmu meringankan tubuh Wismoyo dan Panjalu yang terasa lambat itu.

"Lumayanlah.... Kurang lebih tiga malam lagi...," jawab Panjalu.

"Apakah kalian tidak merasa lelah...?" kembali Rangga bertanya.

"Tidak...!"

"Jangan tertalu memaksakan diri. Kalau lelah, biar kita istirahat dulu...," ujar Rangga.

"Kita tunggu saja sampai hari gelap. Baru kita beristirahat di tepi hutan kecil yang ada di muka sana...!" tunjuk Panjalu.

Menjelang fajar, Rangga, Wismoyo, dan Panjalu tiba di sebuah dataran tinggi bernama Bukit Pugel. Di tempat itulah Tabib Kwe Ceng Kian tinggal.

"Di mana rumahnya...?" tanya Rangga tidak sabar.

"Di atas itu...," tunjuk Wismoyo.

Kembali mereka bertiga melangkah naik. Bukit Pugel tenyata memiliki pemandangan cukup indah. Terutama, hawanya yang sejuk membuat orang kerasan tinggal di tempat ini. Beberapa saat kemudian, tampaklah dari kejauhan sebuah rumah sederhana. Pada halaman muka dan sampingnya terdapat bermacam-macam tumbuhan. Terutama, pohon dan tumbuhan obat-obatan.

Rangga, Wismoyo, dan Panjalu semakin melangkah mendekati rumah itu. Di halaman, terlihat dua orang pelayan tengah memetik daun obat. Melihat kedatangan ketiga orang itu, kedua pelayan ini menghentikan kegiatannya. Agak lama keduanya memperhatikan tamu-tamu yang baru datang ini.

"Selamat siang, Kisanak semua.... Apakah Tabib Kwe Ceng Kian ada di dalam...?" tanya Wismoyo.

Kedua orang pelayan itu tidak langsung menjawab. Mereka masih menatap tajam dengan sinar mata curiga. "Apakah Kisanak ini, teman orang-orang yang di dalam...?" tanya salah seorang pemetik bunga obat itu.

"Kalau orang-orang itu mendapat luka busuk dan mengeluarkan nanah, tentu mereka teman-temanku...."

"Apakah Kisanak telah membawa pesanan Tuan Tabib...?" tanya pelayan itu lagi.

"Sudah! Ini ada di dalam baju...," tukas Rangga sambil menunjuk ke balik bajunya. Ternyata Pedang Rajawali Perak, disimpan Pendekar Rajawali Sakti. Tampaknya mereka bertiga tengah menyusun suatu rencana.

"Kalau begitu, silakan masuk...," kata pelayan yang satunya.

Sambil mengangguk, mereka bertiga masuk ke dalam. Tampak teman mereka yang berjumlah lima orang tengah berbaring lemah. Jelas mereka belum diobati dan masih menunggu pedang pusaka lambang Perguruan Rajawali Perak yang digunakan sebagai imbalan untuk mengobati penyakit.

Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti membatin. Jelas tabib ini dari golongan hitam. Sebab dari tindakan yang diambil, telah menggambarkan hatinya yang tamak. Entah, apa yang tersembunyi di balik semua ini?

"Hei.... Kalian sudah datang rupanya! Mana Pedang Rajawali Perak yang harus kalian bawa...?"

Sebuah pertanyaan terlontar ketika dari balik kamar muncul seorang laki-laki tua dengan rambut digelung ke atas. Tangannya memegang tongkat bambu.

"Hm.... Kaukah tabib yang terkenal dari Cina itu...?" tanya Rangga.

"Ho ho ho...! Aku tidak pernah mengatakan terkenal. Tapi orang lainlah yang telah mengatakan dan telah membuktikan kemampuanku yang tidak ada duanya ini...," tukas Tabib Kwe Ceng Kian sombong.

"Kami sudah datang membawa Pedang Rajawali Perak.... Harap kau cepat menyembuhkan teman-teman kami yang menderita itu...," lanjut Rangga.

"Kau siapa...? Aku baru pernah melihatmu. Lagi pula, tampaknya kau tidak sakit seperti yang lain...," tanya Tabib Kwe Ceng Kian.

"Aku memang tidak sakit. Tentu saja kau tidak kenal aku, karena aku murid baru.... Kedua saudara kami inilah yang sakit...," sahut Rangga sambil menepuk bahu Wismoyo dan Panjalu.

"Serahkan dulu pedang pusaka lambang perguruan kalian. Baru mereka aku sembuhkan...," ujar si tabib itu, mendesis.

"Bagaimana bisa begitu? Sebaiknya sembuhkan dulu mereka, baru pedang ini kuserahkan...," tukas Rangga.

"Ha ha ha...! Aku yang harus membuat peraturan, bukan kalian! Lagi pula, kalian dapat berbuat apa di sini...? Tempat ini seluruhnya telah dipenuhi racun. Lekas, serahkan pedang itu kalau masih ingin hidup...!" gertak tabib itu, disertai tawa menggetarkan.

Tiba-tiba Wismoyo dan Panjalu membuka kerudung. Maka terlihatlah seraut wajah menjijikkan penuh luka membusuk dan nanah. Dengan pandangan tajam kedua orang itu memperhatikan tabib yang ternyata seorang pemeras licik.

"Sudah kuduga, kau ingin menguasai pusaka-pusaka para perguruan yang ada di tanah Jawa ini. Tapi, kali ini kedokmu terbongkar.... Karena, sebenarnya kami tidak terkena penyakit. Lihatlah ini...," desis Wismoyo dan Panjalu sambil mengupas wajahnya.

Ternyata kedua orang Perguruan Rajawali Perak itu menggunakan topeng yang dibaluri daging-daging busuk. Setelah topeng itu terbuka, wajah mereka tidak ada cacatnya. Mereka cukup tampan dan berusia muda.

"Ho ho ho...! Kalian pikir aku orang bodoh! Lihatlah kelima orang yang disangka saudara seperguruan kalian itu...!" ujar tabib itu sambil menunjuk kelima orang yang tengah membuka kedok samarannya.

Ternyata, mereka sehat walafiat. Wajah mereka kuning dengan mata sipit. Jelas, mereka pun dari dataran Cina.

"Keparat...! Kau kemanakan lima saudara kami?!" dengus Panjalu.

"Ho ho ho...! Mereka sudah terlalu lama menunggu. Jadi, sudah tidak tertolong lagi. Daripada merepotkan, lebih baik dimusnahkan saja. Sekarang, sudah jelas. Tidak ada jalan lolos bagi kalian. Sebaiknya, serahkan pedang itu...!" ancam Tabib Kwe Ceng Kian.

Sementara itu kedua pelayan yang tadi sedang memetik daun obat sekarang telah berada di tempat ini. Ternyata mata mereka pun sipit pula. Kini mereka bertujuh mengepung dan mengurung Rangga, Wismoyo, dan Panjalu dengan senjata terhunus.

"Apa tujuanmu dengan mengumpulkan senjata-senjata pusaka dari tanah Jawa ini...??" tanya Rangga dengan pandangan tajam.

"Karena sebentar lagi kalian akan mati, biarlah kuberitahu. Aku bermaksud mendirikan sebuah perguruan yang tidak tertandingi di negeri asalku. Untuk itu, aku membutuhkan banyak senjata pusaka yang ampuh. Dengan senjata-senjata itu kami dapat mengadakan pemberontakan terhadap kerajaan. Dan aku akan mengangkat diriku sebagai Kaisar. Sebuah cita-cita yang luhur, bukan? Sekarang, aku telah berhasil mengumpulkan pusaka tanah Jawa. Berarti langkahku tinggal sedikit lagi.... Kurasa, cukup sudah penjelasanku ini...."

"Sebuah cita-cita gila. Kau pantas dilenyapkan dari muka bumi ini...!" desis Rangga sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.

"Ayo, calon pengawalku! Binasakan mereka bertiga. Dan ambil pedang pusakanya...!" perintah Tabib Kwe Ceng Kian.

Setelah mengetahui maksud jahat tabib aneh ini, Rangga memberi isyarat pada Wismoyo dan Panjalu yang sudah marah luar biasa itu.

"Heaat...!"

"Ciaaat!"

Kedua orang Perguruan Rajawali Perak menyerang sekuat tenaga pada Tabib Kwe Ceng Kian. Tetapi, ketujuh pengawal tabib itu segera melindungi dengan jalan menahan semua serangan. Bahkan mereka mengadakan serangan balik.

Perkelahian segera terjadi. Dan dalam ruangan sempit ini, keadaan tidak menguntungkan bagi pihak Rangga. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tenaga dalam yang dipusatkan pada kedua telapak tangannya. Dan....

"Aji Bayu Bajra! Heaaa...!" Disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya.

Wusss...!

Bruakkk...!

Ruangan itu seakan dilanda gempa. Dinding dan bagian lain rumah itu hancur berantakan bagaikan habis dilanda badai dahsyat. Rangga bersama kedua temannya segera melesat keluar mencari tempat luas.

"Keparat! Mau lari ke mana kau...?!" teriak Tabib Kwe Ceng Kian, seraya mengejar.

"Siapa yang mau lari...? Kau memang bagianku, Tabib Sesat...!" seru Rangga.

Begitu mendarat, Rangga langsung menyerang dengan tangan kosong. Tetapi gerakan tabib itu gesit luar biasa. Ilmu meringankan tubuhnya sangat mengagumkan. Dengan sebuah toya berwarna kebiruan, dia pun mulai menyerang Rangga.

Yang sangat berbahaya adalah keadaan Wismoyo dan Panjalu. Mereka terdesak oleh keroyokan tujuh orang asing itu. Tapi, mereka tetap bertahan mati-matian. Namun naas menimpa mereka. Keduanya jatuh terpeleset. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawan.

Cras! Bret!

"Waaa..!"

Beberapa luka yang cukup parah tampak tertoreh di sekujur tubuh mereka. Dengan mati-matian Wismoyo dan Panjalu mencoba bertahan. Tetapi, orang-orang asing ini malah terus menyerang ganas. Pada saat yang gawat itu, Rangga mendadak berkelebat meninggalkan Tabib Kwe Ceng Kian. Langsung kedua tangannya menghentak.

"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"

Werrr!

"Wuaaa...!"

Tiga orang terpelanting saat itu juga, terhantam ajian 'Bayu Bajra' yang bagaikan topan dahsyat. Saat itu Wismoyo dan Panjalu melihat si tabib dengan toya birunya. Dan mereka teringat pada orang bertopeng yang telah membuat onar di Perguruan Rajawali Perak. Maka mantaplah hati mereka....

"Kisanak...! Orang itulah yang telah bentrok dan membuat onar di perguruan kami tempo hari...!" teriak Wismoyo.

Mendengar teriakan mereka, cepat Tabib Kwe Ceng Kian menyimpan toya birunya dan mengeluarkan tongkat bambu sebagai gantinya.

Rangga kembali berkelebat dan segera menahan tabib itu dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

Pertarungan sengit kembali terjadi. Ketika ada kesempatan, Rangga menyerang dengan tangannya yang membentuk paruh rajawali. Tetapi, tabib itu cepat menangkisnya.

Plak! Trak!

Ternyata tangan Rangga pedih bergetar hebat. Rangga heran, dan menduga ada sesuatu dalam batang bambu itu. Segera dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', sehingga kedua tangannya berubah merah membara karena disertai tenaga dalam tinggi.

Namun serangan Rangga yang biasanya selalu berhasil, kali ini luput dari sasaran. Karena Tabib Kwe Ceng Kian memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa.

"Hm.... Hebat juga orang ini. Dan dapat mencuri kelemahan jurusku dalam waktu sesingkat ini...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.

"Aaa...!"

"Heh?!" Rangga terkejut begitu mendengar teriakan menyayat. Ketika menoleh dia melihat Panjalu tertusuk pedang sampai tembus ke punggung. Ketika dicabut darah menyembur dari bekas lukanya. Keempat orang Cina itu, menerjang kembali pada Wismoyo yang sudah kewalahan.

"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"

Werrr...!

Dengan geram Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya mengirimkan aji 'Bayu Bajra'. Angin keras bergulung-gulung kontan menerjang keempat pengeroyok Wismoyo.

Tak ampun lagi, mereka berpelantingan dengan tubuh hancur tidak karuan. Wismono sendiri sampai mendecah kagum melihat kesaktian teman seperjalanannya yang tidak disangka memiliki kepandaian begitu luar biasa. Namun tak lama Wismoyo ambruk terduduk, saking lemas dan banyak mengeluarkan darah.

Sementara melihat kematian anak buahnya Tabib Kwe Ceng Kian jadi ciut nyalinya. Cepat dia berbalik dan mengambil jurus langkah seribu.

Namun Rangga telah membaca niat tabib itu. Cepat tubuhnya berkelebat, menghadang di depannya. Mau tidak mau tabib itu nekat. Diserangnya Rangga penuh kemarahan.

"Haaat!"

Rangga berkelit-kelit indah, menggunakan gabungan jurus lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Bahkan tiba-tiba tangannya terjulur ke wajah, begitu cepat sekali. Dan...

Bret!

"Aaakh...!"

Rangga berhasil menyambar wajah tabib itu. Ternyata wajah Tabib Kwe Ceng Kian menggunakan topeng karet. Tampak wajahnya yang masih muda dengan mata sipit. Rangga semakin yakin dengan dugaannya kalau Tabib Kwe Ceng Kian adalah tokoh persilatan dari daratan Cina. Melihat ini, Rangga teringat kata-kata Rara Wulan, tentang orang yang telah mencuri pedang pusaka miliknya.

"Hm.... Kau pasti yang berjuluk si Kuda Terbang. ..!" gumam Rangga penuh tekanan.

"Hei...?! Dari mana kau tahu julukanku? Siapakah kau sebenarnya...?" tanya Tabib Kwe Ceng Kian.

"Aku Rangga.... Aku tahu nama dan julukanmu dari seorang wanita berpakaian serba hijau yang telah kau curi pedang pusakanya...," sahut Rangga, bersiap-siap.

Merasa tidak ada gunanya lari, Kwe Ceng Kian mencabut pedang pusaka miliknya sendiri yang ternyata juga bergagang kepala burung. Lalu dengan sekuat tenaga dan kemampuan, diserangnya Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti kembali mengerahkan jurus gabungan dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Sehingga tubuhnya bisa menghindar, sekaligus melepas serangan.

"Hm.... Aku tidak perlu berlama-lama...," pikir Rangga. "Yeaaa...!" Saat itu juga, Rangga melesat ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

"Hiaaat..!" Kwe Ceng Kian tak mau kalah. Pedangnya langsung dikebutkan dengan cepat.

Dalam kemarahannya, Rangga mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Cepat dipapaknya sabetan pedang itu dengan tangannya.

Tak!

Pedang Kwe Ceng Kian kontan putus. Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Tangannya terus berkelebat sambil meluruk deras. Dan....

"Aaa...!" Telak sekali kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang membentuk paruh menghantam kepala Kwe Ceng Kian hingga pecah. Tokoh persilatan dari Cina itu kontan ambruk, bergelimang darahnya sendiri. Tongkat bambu di tangan kirinya masih tergenggam. Sedang toya biru masih terselip di pinggang.

Rangga menatap Kwe Ceng Kian yang masih kelojotan, lalu menghampirinya. Diambilnya tongkat bambu itu, dan dihantamnya kuat-kuat.

Prak!

Begitu bambu terbelah, tampak Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan ada di dalamnya. Dengan perasaan lega disimpannya pedang itu dan disampirkan pada punggungnya.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: PENGHUNI KUIL EMAS

Pesanggrahan Telaga Warna

PESANGGRAHAN TELAGA WARNA

SATU

SAAT ini cuaca cukup baik. Angin bertiup tenang, membawa hawa hangat siang hari. Kawasan Bukit Ungaran tampak ramai oleh para tokoh persilatan yang ingin mendapatkan bunga langkah yang dikenal bernama Bunga Nirwana.

Menurut berita yang terdengar saat ini, barang siapa yang memakan Bunga Nirwana tenaganya akan bertambah puluhan kali lipat. Lagi pula dapat membersihkan darah dan menguatkan tulang, sehingga tidak mudah rapuh. Dengan demikian daya tahan tubuh pun semakin meningkat.

Karena itulah, Pesanggrahan Telaga warna yang terletak di tengah telaga warna, ramai dikunjungi orang persilatan. Di antara sekian banyak tokoh persilatan, tampak seorang tua. Rambutnya yang putih tergerai, bertebaran ditiup angin. Dia berjalan seenaknya dengan mata memandang ke sana kemari bagaikan tengah mencari sesuatu. Tingkahnya terkesan santai dan seenaknya saja. Sesekali ditenggaknya tuak merah dari guci yang dibawa.

Di sampingnya berjalan seorang pemuda bertubuh tinggi besar dengan pakaian merah tanpa lengan. Wajah pemuda itu cukup tampan. Di pinggangnya tergantung clurit berwarna perak. Pemuda itu terus mengikuti ke mana saja orang tua itu pergi.

Saat seperti sekarang ini, ketegangan telah mencapai puncaknya. Sikap tokoh persilatan sepertinya saling curiga dan tidak percaya satu sama lain. Mereka merasa ada yang main kayu dalam persaingan mencari Bunga Nirwana.

"Jalapati terbunuh...! Jalapati terbunuh!" Mendadak kesunyian siang itu dipecahkan oleh teriakan seorang pemuda berpakaian serba putih.

Mendengar teriakan barusan dengan cepat murid-murid perguruan itu memburu ke tempat yang ditunjuk pemuda tadi. Tampak sosok tubuh rekan mereka telah membujur kaku menjadi mayat. Mereka menjadi berang bukan main.

"Keparat...! Laporkan kejadian ini pada Eyang Tantular! Ini pasti perbuatan murid-murid Ki Ronggojati dari Perguruan Harimau Besi! Kita harus menebus kematian rekan kita dengan darah....'" desis salah seorang murid dengan gigi gemeletuk menahan marah.

"Benar... Balaga! Kita hancurkan mereka yang merasa paling jago dan tidak memandang perguruan kita sama sekali...," timpal murid lain dengan mengepalkan tinju sampai berbunyi berkerotokan.

"Aaaaaa...!"

Pada saat yang sama, terdengar pula dua kali teriakan menyayat. Beberapa orang berpakaian serba kuning dengan lambang bergambar seeekor harimau di dada segera memburu ke tempat datangnya teriakan tadi. Begitu mereka tiba, tampak dua sosok mayat telah terbujur kaku. Dekat mayat itu terlihat dua ekor kelabang yang sedang merayap.

"Bangsat...! Ini pasti perbuatan murid-murid Perguruan Gelang Terbang...! Kalau ingin pamer kepandaian, mengapa tidak langsung saja...? Mengapa harus menggunakan cara licik?" desis pemuda bertubuh kekar yang dikenal sebagai murid Perguruan Harimau Besi seraya mencabut pedang dan membunuh kedua binatang beracun itu.

"Kalau begitu, mereka sudah membuka tantangan pada kita...! Menghadapi manusia licik, kita tidak perlu menggunakan perasaan.... Cepat laporkan pada Eyang Ronggojati!" sambut murid lain.

Dua orang murid Perguruan Harimau Besi segera kembali ke perkemahan, untuk melaporkan kejadian ini pada Eyang Guru mereka. Sementara yang lain segera mengurusi dua mayat yang telah membiru.

Tepat ketika kedua mayat itu hendak disemayamkan di kemah, seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dengan pakaian jubah kuning telah muncul bersama dua orang murid yang melaporkan tadi.

Laki-laki tua yang tak lain dari Eyang Ronggojati, Ketua Perguruan Harimau Besi nampak penuh kemurkaan. Itu bisa dilihat dari raut wajahnya yang membesi. Sinar matanya berkilauan dengan kedua tangan terkepal.

Setelah Eyang Ronggojati memberi isyarat pada murid-muridnya, mereka pun berangkat untuk mendatangi perkemahan Perguruan Gelang Terbang. Dengan langkah lebar, Eyang Ronggojati berjalan paling depan.

Belum berapa jauh orang-orang Perguruan Harimau Besi melangkah, telah berpapasan dengan orang-orang Perguruan Gelang Terbang yang memang sedang menuju ke tempat mereka.

Berjalan paling depan adalah seorang laki-laki tua berbaju jubah putih. Di belakangnya tampak murid-murid Perguruan Gelang Terbang yang rata-rata sedang menahan marah. Laki-laki tua berjubah putih itu tak lain dari Eyang Tantular.

"Bangsat...! Berani benar mereka mendatangi kita...! Tetapi, kebetulan! Kita tidak perlu susah payah ke tempat mereka!" desis Eyang Tantular.

Eyang Ronggojati yang memimpin Perguruan Harimau Besi memandang Eyang Tantular dengan sorot mata tajam, ketika rombongan masing-masing berhenti pada jarak lima tombak.

Eyang Tantular sendiri yang memimpin Perguruan Gelang Terbang, maju ke muka beberapa langkah dengan senjata siap di tangan. Demikian pula Eyang Ronggojati. Bahkan dia telah meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang.

"Hei..., Tantular! Sebagai Ketua Perguruan yang cukup ternama, apakah tidak malu melakukan perbuatan rendah...?" tegur Eyang Ronggojati dengan suara penuh tekanan.

"Apa maksudmu, Ronggojati...?!"

"Jangan pura-pura...!" sentak Eyang Tantular keras menggelegar. "Mengapa kau bunuh muridku dengan binatang beracun...?!"

"Keparat...! Pandai benar kaku memutar balik kenyataan. Kau sendirilah yang membunuh muridku mengyunakan binatang beracun. Huh! Maling teriak maling...," balas Eyang Tantular dengan suara menggelegar.

"Huh...! Di mana pun tidak ada orang yang bersalah mengaku. Kalaupun ada, hanya beberapa gelintir saja.... Yang jelas, bukan kau orangnya...," ejek Eyang Ronggojati melecehkan.

Mendapat jawaban seperti itu Eyang Tantular jadi berang. Cepat bagaikan kilat, tangannya bergerak.

Zing! Zing!

Beberapa buah gelang dari besi langsung berterbangan menimbulkan suara berdesingan ke arah Eyang Ronggojati. Namun dengan cepat pula Ketua Perguruan Harimau Besi mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Lalu dengan gerakan tidak kalah cepat, pedangnya diputar bagaikan baling-baling.

Trang! Trang! Trang!

Berkali-kali terdengar suara berdenting nyaring ketika senjata gelang terbang milik Eyang Tantular beradu dengan pedang Eyang Ronggojati.

Eyang Tantular berhasil menangkap kembali gelang terbangnya. Dan dengan memutar tubuhnya, kembali gelang terbang itu dilepaskan menyambar ke arah leher dan perut. Serangan kali ini sangat berbahya dan mematikan.

"Heaaa...!" Sambil berteriak keras, Eyang Ronggojati melenting dan berjumpalitan di udara. Pedangnya langsung menyabet dua senjata maut yang mengancam dirinya.

Trang! Trang!

Dari gebrakan tadi, jelas kepandaian dua tokoh itu tidak terpaut jauh. Sehingga dalam waktu singkat, sulit untuk mengatakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Melihat Eyang Guru masing-masing sudah saling serang, para murid kedua perguruan itu tidak mau kalah. Serentak mereka saling serang tanpa kenal kasihan lagi.

Tidak lama, terdengarlah teriakan-teriakan kematian yang menggiriskan. Bahkan sebentar kemudian, dari kedua perguruan telah jatuh banyak korban. Darah mulai menganak sungai. Hawa kematian mulai menyebar di tempat itu.

Para tokoh persilatan dan murid-murid dari perguruan lain memperhatikan pertarungan dengan wajah menyesalkan. Semuanya tidak mengerti, mengapa kedua perguruan itu harus saling tempur hanya untuk sesuatu yang belum jelas buktinya. Bukankah dengan jalan lain kemungkinan jatuhnya korban bisa dihindari!

Sementara pertarungan semakin lama jadi semakin seru. Tampak Ki Demong yang berjuluk Pemabuk Dari Gunung Kidul dan Wisnupati memperhatikan jalannya pertarungan. Sambil terhuyung-huyung karena kebanyakan minum tuak, malah dihampirinya pertempuran itu.

"He he he...! Kalau ada keramaian ajak-ajak aku, dong.... Mengapa kalian berpesta seenaknya saja...?!" oceh Ki Demong dengan langkah terseok-seok.

"Hei..! Kau mau ke mana, Ki...?" tanya Wisnupati heran.

"Kau diam saja di pinggir.... Aku hendak ikut main-main sebentar dengan mereka...," jawab Pemabuk Dari Gunung Kidul seenaknya.

Melihat ada orang lain memasuki pertarungan seenaknya saja, kedua murid perguruan yang sedang berkelahi langsung menyerang dari kiri dan kanan. Namun dengan memiringkan tubuh ke kiri dan ke kanan, serangan dari kedua perguruan itu tak satu pun yang berhasil menyentuh Ki Demong.

Bahkan serangan balik Pemabuk Dari Gunung Kidul yang menggunakan guci tuak, telah menghantam dada dan kepala mereka dengan telak. Walaupun tidak mematikan karena tidak disertai tenaga dalam, tetapi serangan itu cukup menyakitkan.

"Fruhhh...!" Ki Demong yang kini dikeroyok murid-murid Perguruan Gelang Terbang dan Perguruan Harimau Besi, mulai menyemburkan tuak merah yang disertai kobaran api menyambar-nyambar. Sedangkan kaki dan tangannya menyambar ke kiri dan kanan.

Desss...! Desss...!

Rupanya tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul tak lepas dari perhatian kedua pemimpin dari dua perguruan yang sedang berseteru. Mereka segera menghentikan pertarungan. Bahkan Eyang Ronggojati langsung meluruk ke arah Ki Demong.

"Bangsat tua...! Rupanya kau yang telah membinasakan anak muridku...?" hardik Eyang Ronggojati!

Begitu tiba, Eyang Ronggojati menyabetkan pedangnya ke arah leher. Walaupun dalam keadaan setengah mabuk, Ki Demong masih tetap tangguh. Serangan yang mengarah ke leher ditangkis dengan guci tuak.

Baru saja Ki Demong menangkis sabetan pedang Eyang Ronggojati, sambaran gelang terbang Eyang Tantular telah meluruk datang. Namun dengan enaknya, pemabuk tua ini melenting indah ke atas, membuat gelang terbang itu hanya menyambar angin.

Walaupun dikeroyok dua, Pemabuk Dari Gunung Kidul tidak mengalami kesulitan. Permainan guci tuaknya sangat aneh dan luar biasa. Bahkan kedua lawannya dibuat bingung dan kelabakan.

Apa lagi lelaki pemabuk itu sangat jahil. Bila diserang di depan, tubuhnya menyelinap ke belakang. Dan bila diserang ke belakang, tubuhnya ada di samping. Yang diserangnya juga bagian bawah pusar. Dan terkadang menjentik telinga sampai merah dan berdenging.

Tentu saja perbuatan Pemabuk Dari Gunung Kidul membuat Eyang Ronggojati dan Eyang Tantular jadi semakin berang. Secara membabi buta, mereka menerjang. Puluhan gelang terbang Eyang Tantular meluncur mencari mangsa. Sedangkan pedang Eyang Ronggojati bersiutan mengurung jalan keluar Ki Demong.

Sungguh mereka tidak sadar kalau laki-laki tua pemabukan itu sedang mempermainkan mereka. Pemabuk Dari Gunung Kidul sebenarnya tidak ingin ada pertumpahan darah antara dua perguruan itu.

"He he he...! Segala ayam kampung mau pamer kepandaian dalam perebutan Bunga Nirwana.... Lebih baik kalian kembali dan jangan mengorbankan jiwa sia-sia...," ejek Ki Demong.

"Keparat...! Walaupun kau memiliki kepandaian tinggi, jangan harap aku takut menghadapimu...!" bentak Eyang Ronggojati sambil memutar-mutar pedangnya hingga berbunyi berkesiutan.

"Hei, Setan Tua! Aku juga ingin mengadu jiwa denganmu...!" timpal Eyang Tantular sambil menggenggam erat gelang-gelang terbangnya yang bisa meluncur balik, bila tak mengenai sasaran.

"Setan kalian semua.,.! Mengapa malah mengeroyok Pemabuk Dari Gunung Kidul yang tidak tahu apa-apa...?!" dengus Wisnupati. Tubuhnya langsung meluruk dengan clurit perak dikibas-kibaskan.

"Heaaat!"

Melihat ada yang memasuki kancah pertarungan lagi, para murid dari kedua perguruan langsung bergerak. Mereka mengeroyok Wisnupati beramai-ramai.

Wisnupati mengerti, kalau Pemabuk Dari Gunung Kidul bermaksud mencegah kedua perguruan itu dari kematian sia-sia. Karena kalau dibiarkan terus bisa dibayangkan, berapa banyak jiwa yang akan melayang kalau terus saling serang tanpa berhenti.

Hal itulah yang menyebabkan si Pemabuk Dari Gunung Kidul ikut terjun dalam pertarungan. Tetapi tindakan Ki Demong malah membuatnya dituduh sebagai si penyebar maut dengan binatang berbisa. Melihat hal itu, Wisnupati pun ikut terjun dalam pertarungan. Apalagi, melihat Ki Demong dikeroyok beramai-ramai.

Belum beberapa jurus Wisnupati bertarung, berkelebat sesosok tubuh berpakaian hijau dengan wajah tengkorak. Gerakannya bagaikan seekor kucing yang menyelinap ke sana kemari.

Bahkan sosok itu berkelebat sambil melempar benda-benda sebesar melinjo ke arah murid-murid kedua perguruan ini. Untung saja, pertarungan Ki Demong melawan Eyang Ronggopati dan Eyang Tantular berjarak cukup

Dar! Dar!

Ternyata benda bulat itu langsung meledak begitu menyentuh tanah. Asap tebal yang berbau harum segera memenuhi tempat perkelahian.

"Ugkh...!" "Uhhh...!"

Kontan murid-murid Perguruan Gelang Terbang dan Perguruan Harimau Besi jadi terhuyung-huyung. Rupanya asap itu mengandung pembius yang memabukkan.

Sementara, Wisnupati cepat menahan napasnya. Tubuhnya segera berkelebat cepat, seraya melepas totokan ke arah murid-murid kedua perguruan itu. Tanpa harus membunuh, dia bisa menghentikan pertarungan. Setelah melakukan serangan gelap, sosok yang tak lain si Manusia Tengkorak menghilang dari pandangan.

Sedang Ronggojati saat itu sedang menusukkan pedangnya. Namun dengan gerakan luar biasa, Ki Demong mengelak ke samping sambil melepas totokan ke punggung disertai tenaga dalam tinggi.

"Uhhh...!" Eyang Ronggojati melenguh tertahan ketika tubuhnya lemas tak bisa digerakkan lagi. Sehingga pedangnya terlepas dari tangannya.

Lalu, dengan konyol Ki Demong bergerak ke belakang, seraya menahan tubuh Eyang Ronggojati. Dan secepat itu pula, tuak merah yang tergolong sangat keras itu diminumkan pada mulut Ketua Padepokan Harimau Besi.

"Uh... hegh?! Glug... ceglugh...!"

Masuknya tuak merah yang keras dengan paksa ke perut, sebentar saja telah membuat Eyang Ronggojati mabuk. Begitu Ki Demong melepaskan tubuhnya, Eyang Ronggojati ambruk sambil mengoceh tak karuan.

Melihat tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul, Eyang Tantular segera melemparkan tujuh buah gelang terbangnya sekaligus. Namun dengan cepat, Pemabuk Dari Gunung Kidul memutar guci tuaknya bagai kincir angin.

Tang! Tang!

Seketika gelang terbang milik Eyang Tantular mental tak tentu arah. Bersamaan mentalnya senjata gelang terbang, Ki Demong bergerak cepat menjatuhkan diri. Langsung diserang Eyang Tantular dengan tendangan seperti baling-baling.

Bed! Bed!

"Hiaaa...!"

Sambil berteriak keras, Ketua Perguruan Gelang Terbang berjumpalitan ke udara. Tetapi, Ki Demong terus memburunya. Baru saja Eyang Tantular mendarat, sebuah totokan bertenaga dalam tinggi menghantam punggung.

Tidak ampun lagi, Ketua Perguruan Gelang Terbang ambruk dan jatuh telentang di tanah. Seperti Eyang Ronggojati, dia juga dicekoki. Entah tidak biasa minum atau memang tuak merah itu sangat keras. Eyang Tantular jadi pening dan mabuk.

"Setelah kusadarkan nanti, kuharap kalian pergi.... Tidak ada maksudku mencelakai kalian! Menghadapi aku saja, tidak berdaya. Apalagi terhadap mereka yang memiliki kepandaian tinggi dan berwatak kejam. Kalau kalian tidak dapat kunasihati, terserah. Barangkali kalian memang menghendaki banyak jiwa terbunuh secara sia-sia!" ujar si Pemabuk Dari Gunung Kidul secara sembarangan, seolah-olah tidak ditujukan pada kedua ketua perguruan itu.

Semakin hari, semakin sedikit orang persilatan yang mengepung Pesanggrahan Telaga Warna. Terutama, setelah Eyang Ronggojati dan Eyang Tantular menuruti kata-kata Pemabuk Dari Gunung Kidul. Mereka yang merasa berkepandaian di bawah kedua ketua perguruan itu mengundurkan diri.

Namun tidak sedikit yang merasa jumawa, dan menganggap paling unggul sendiri. Mereka masih merasa enggan meninggalkan tempat itu, karena tergiur pada benda langka yang luar biasa dan hanya muncul seratus lima puluh tahun sekali.

"Shet...! Wisnupati! Tadi kulihat ada bayangan yang sudah kukenal baik.... Tetapi, sekarang tidak tampak lagi...," bisik Ki Demong pada Wisnupati sambil celingukan ke sana kemari bagai anak ayam kehilangan induk.

"Bayangan siapa itu, Ki...?" tanya Wisnupati keheranan, karena tidak melihat apa-apa.

"Bayangan si Manusia Tengkorak! Dialah yang tadi melemparkan bom asap...," sahut Ki Demong.

"Kalau begitu mari kita cari dia.... Siapa tahu masih ada di sekitar sini...!" ajak Wisnupati, penuh semangat.

Lalu dengan cepat pemuda tinggi besar itu berkelebat mencari ke sekitar tempat ini. Dengan kesal, terpaksa orang tua urakan itu ikut mengejar dari belakang.

"Hei..., tunggu dulu! Mau ke mana kau...?" teriak Ki Demong.

"Mencari si Manusia Tengkorak...," sahut Wisnupati sambil terus berlari.

"Berhenti kau, Dungu...! Mana mungkin dia masih di tempat ini. Kalaupun ada, dia sudah pasti telah menanggalkan kedoknya...!"

Mendengar teriakan itu, Wisnupati terpaksa menghentikan larinya. Tubuhnya lantas berbalik, menghampiri Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan...?" tanya Wisnupati.

"Kita diam saja, seolah-olah tidak tahu. Bila dia muncul kembali baru kita gebrak...," jelas Ki Demong.

Selesai berkata demikian, Ki Demong melangkah terhuyung-huyung. Langkahnya berhenti tepat di bawah pohon. Direbahkan tubuhnya di situ. Sebentar saja, terdengar dengkurnya yang keras.

Wisnupati yang menyertai ikut merebahkan diri. Pemuda itu juga tidak mau peduli dengan keadaan di sekitarnya. Sesaat kemudian, dia tertidur juga di samping orang tua pemabukan itu.

DUA

Belum lama Ki Demong dan Wisnupati tertidur, seorang pemuda berpakaian indah dari sutera berwarna ungu tampak mendatangi dengan langkah lebar. Dengan seenaknya, pemuda itu menendang lambung Ki Demong.

Wuttt...!

Entah sengaja atau tidak, kaki Pemabuk Dari Gunung Kidul naik ke atas menahan tendangan. Kemudian Ki Demong membalikkan tubuhnya dengan mendadak. Bahkan kemudian kaki yang satu lagi menghantam kaki pemuda yang berwajah garang itu.

Dugkh!

"Aaakh...!" Tubuh pemuda yang juga mengenakan bebat kain sarung kotak-kotak seperti catur itu jatuh mencium tanah. Namun dengan cepat dia bangkit kembali disertai wajah berang.

Sementara Pemabuk Dari Gunung Kidul sudah membuka matanya. Sambil mengucak-ngucak, diawasinya pemuda yang tengah melotot dengan mata merah.

"Eh...?! Ada apa ini...? Siapa pula kau ini? Mengapa menatapku seperti itu...?" tanya Ki Demong dengan wajah bodoh.

Mendengar ribut-ribut, Wisnupati terbangun pula dan bangkit seraya hendak mengirimkan sebuah pukulan. Tetapi, tanpa disangka ternyata Ki Demong telah mencegah dengan menotok lambungnya.

"Aaakh...!" Tanpa dapat ditahan lagi, pemuda putra Kepala Desa karang Sekalor itu jatuh kembali tanpa dapat berbuat sesuatu apa pun. Hanya matanya saja mendelik tak suka pada Ki Demong yang tersenyum-senyum mengawasi dengan sikap lucu.

"Kalau tidak salah lihat, kau adalah Ki Demong yang berjuluk Pemabuk Dari Gunung Kidul...?" tegur pemuda yang agaknya berasal dari Pulau Bali itu.

"He he he...! Kalau benar, ada apa dengan nama itu...?" Ki Demong malah balik bertanya.

"Kau harus membayar hutang nyawa saudara angkatku yang telah kau binasakan beberapa waktu yang lalu...! Namaku I Wayan Gulem, dari tanah Bali! Bersiaplah kau...!" desis pemuda yang mengaku bernama I Wayan Gulem.

"Tunggu dulu...! Ada banyak sekali yang binasa di tanganku. Siapa nama saudara angkatmu itu...?" cegah Ki Demong.

"Namanya, Salya Pati. Dia berjuluk Iblis Pemetik Bunga...," jawab I Wayan Gulem dengan suara berat.

"Oh...! Kalau dia memang patut mati. Banyak sudah wanita yang jadi korban nafsu bejadnya...!" tukas Ki Demong, tandas.

"Huh...! Boleh jadi orang lain gentar mendengar nama besarmu. Tetapi bagiku, kau sama dengan jago kelas kambing.... Lagi pula, jangan samakan aku dengan Iblis Pemetik Bunga.... Maka, bersiaplah kalau tidak ingin mati penasaran...!" bentak I Wayan Gulem sambil mencabut keris dipunggungnya, dan langsung menusuknya ke leher Ki Demong.

"Sheaaat...!"

Trang...!

Ujung keris yang mengancam tenggorokan dapat ditahan Ki Demong dengan ayunan guci tuak yang keras, sehingga menimbulkan suara nyaring. Namun serangan I Wayan Gulem tidak berhenti sampai di situ saja. Kerisnya berputar cepat mengarah dada. Sedangkan tangannya yang membentuk cakar, mengancam kepala Pemabuk Dari Gunung Kidul.

Menghadapi serangan berbahaya itu, Ki Demong terkekeh sambil menenggak tuak merah dari guci. Kemudian, secepat itu pula orang tua pemabukan itu memiringkan tubuhnya. Dan begitu serangan keris lewat di dada, disemburkannya tuak dalam mulut kearah lengan yang mencengkeram kepala.

"Fruhhh...!"

"Aaakh...!" Karena tidak menyangka, I Wayan Gulem kena semburan tuak. Sambil berjingkrakan dia melompat mundur. Tangannya kontan terasa sakit, bagaikan ditusuki ratusan jarum. "Bangsat...! Kubunuh kau setan tua...!" bentak I Wayan Gulem.

Saat itu juga, pemuda dari tanah Bali ini melancarkan tendangan beruntun. Namun dengan lincah Ki Demong berkelit-kelit. Melihat serangannya gagal, keris di tangan I Wayan Gulem segera meliuk-liuk bagaikan ular, mencari lubang kelemahan pada pertahanan Pemabuk Dari Gunung Kidul.

Ki Demong langsung melenting ke belakang. Begitu mendarat, kedua tangannya langsung menghentak. Pukulan jarak jauh Pemabuk Dari Gunung Kidul membuat pasir dan dedaunan terangkat naik. Namun, I Wayan Gulem segera menyambuti dengan pukulan jarak jauh pula.

Blarrr...!

Keduanya kontan bergetar mundur dengan tangan terasa sakit begitu terjadi benturan tenaga dalam. Belum juga Ki Demong bersiap, pemuda Bali itu telah meluruk cepat dengan kaki terjulur ke arah perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss...!

"Hugkh...! Fhruuuh...!"

"Aduuhh...!" Entah sengaja atau kebetulan, tuak dalam mulut Pemabuk Dari Gunung Kidul kontan tersembur keluar dan mengenai muka I Wayan Gulem.

Tentu saja pemuda Bali itu jadi kelabakan, karena ada beberapa tetes tuak yang berhasil masuk mata kanannya. Tanpa malu-malu lagi, I Wayan Gulem mengaduh-aduh kesakitan. Ki Demong hanya tertawa saja melihat tingkah lawan seperti itu. Namun tiba-tiba....

"Leak Murka...!" Secara tak terduga I Wayan Gulem berteriak keras sekali dengan lidah terjulur panjang-panjang.

Bersamaan dengan berakhirnya teriakan, kepala I Wayan Gulem terlepas dari tubuhnya dengan membawa seluruh isi perutnya! Jelas, inilah ilmu 'Leak' yang biasa dimiliki tokoh hitam dari tanah Bali. Saat itu juga, kepala I Wayan Gulem yang masih meneteskan darah dengan membawa seluruh isi perut itu melayang menerjang Ki Demong dengan ganas.

Sementara, Pemabuk Dari Gunung Kidul masih terpaku tak percaya melihat keanehan itu. Akibatnya, dia jadi lengah. Maka kepala tanpa tubuh yang telah memiliki taring pada mulutnya itu mendadak menempel pada lehernya.

"Wuaaa...!" Tentu saja hal itu membuat Pemabuk Dari Gunung Kidul kelabakan. Bagai kilat tangan kirinya menarik rambut di kepala tanpa tubuh yang menempel di lehernya. Kemudian kepala itu dibanting ke atas tanah.

Wuuttt...!

Tetapi sebelum menyentuh bumi, kepala itu melayang kembali ke udara. Dengan lidah yang terjulur menjijikkan, kembali kepala itu meluruk ke arah Ki Demong. Untuk menghindari serangan berbahaya ini, Pemabuk Dari Gunung Kidul kembali menyemburkan tuak merah ke kepala yang menjijikkan dengan tetesan darah dan lidah yang menjulur-julur.

"Fruhhh...!" Wussst...!

Semburan tuak yang disertai nyala api menyambut datangnya kepala mengerikan itu. Tetapi dengan cepat kepala itu menghindarinya. Bahkan dengan tak terduga, mulut kepala I Wayan Gulem terbuka semakin lebar. Dan dari mulut itu menyemburkan nyala api yang lebih besar.

Si Pemabuk Dari Gunung Kidul jadi semakin kalang kabut. Terpaksa dia melenting ke belakang menjauhi lawan. Namun walau ke mana pun dia berlari, kepala yang telah bembah menjadi Leak itu terus mengejar. Kembali terjadi tontonan menarik. Ki Demong dengan terhuyung-huyung terus dikejar kepala Leak yang membuntuti ke mana saja dia pergi.

Para tokoh persilatan yang menyaksikan juga sampai bergidik. Baru sekali ini mereka menyak-sikan ilmu luar biasa yang menakutkan itu. Mereka juga pernah mendengar kehebatan Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tetapi, kini mereka melihat laki-laki pemabukan itu tidak berdaya menghadapi ilmu 'Leak Murka' milik I Wayan Gulem.

Sedangkan Wisnupati yang sedang tertotok tidak dapat membantu. Hanya matanya saja yang mengawasi dengan hati berdebar-debar keras. Sementara itu Ki Demong secara tiba-tiba menghentikan larinya seraya mengebutkan gucinya. Dan....

"Chiaaat...!" Bletakkk!

Guci di tangan Ki Demong bergerak cepat berhasil menghantam kepala hingga tertahan dan terpental balik menghantam pohon. Dengan menimbulkan suara keras, pohon itu roboh.

Tetapi, kepala itu sendiri tidak hancur. Bahkan kembali menerjang lebih dahsyat lagi. Dan Ki Demong pun terpaksa main kejar-kejaran lagi.

"Hust...! Hust..,! Pergi sana.... Ayo pergi...! Jangan mengikuti aku terus! Pergi..., pergi...!" teriak Ki Demong.

Walau Pemabuk Dari Gunung Kidul telah berteriak-teriak, tetap saja Leak itu menerjangnya. Dalam suatu kesempatan, laki-laki tua pemabuk itu berjumpalitan di udara, menghindari serangan ke arah kakinya. Namun tiba-tiba kepala tanpa tubuh itu meluncur ke atas menghantam kepala dengan keras.

"Aaakh...!" Akibat benturan keras, Ki Demong merasa pening luar biasa. Dan tak ampun lagi tubuhnya jatuh telentang ke tanah disertai keluhan tertahan. Dan baru saja dia bangkit kembali, kepala itu menggigitnya dengan kuat.

Dengan kalang kabut, Ki Demong memukuli kepala itu dengan guci dan tangannya. Tetapi, kepala itu tidak pernah lepas dan terus menggigit perut Ki Demong. Darah mulai menetes dari perut. Bahkan kepala itu mulai menghisap darah melalui perut Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Setan keparat...! Lepaskan perutku.... Lepaskan...!" teriak Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil berjingkrakan bagai cacing kepanasan.

Saat itu hilanglah kekonyolan Ki Demong. Keadaannya sangat berbahaya. Bila dibiarkan terus, tentu darahnya akan terhisap habis. Di saat yang gawat, mendadak berkelebat sesosok bayangan putih yang langsung mendekati tubuh I Wayang Gulem yang tidak berkepala lagi.

Tetapi, begitu mendekat, tubuh itu langsung menerjang bayangan putih. Sosok putih yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti, cepat mengelak ke samping. Tangannya langsung mengibas, melepaskan pukulan ke arah tubuh tanpa kepala.

Suatu keanehan terjadi. Tangan I Wayan Gulem yang tanpa kepala itu mampu bergerak menangkis. Bahkan mampu mengirimkan serangan balasan berupa tendangan berantai yang mematikan. Dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga berhasil mengelakkan serangan manusia siluman berwujud Leak itu.

Tubuhnya meliuk-liuk bagai orang mabuk, sehingga tak satu serangan pun yang bisa mengenainya. Bahkan mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya ke dada, disertai tenaga dalam cukup tinggi.

Desss...!

Telak sekali pukulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dada I Wayan Gulem hingga terlempar keras. Tetapi itu ternyata tidak berpengaruh sama sekali bagi tubuh I Wayan Gulem. Bahkan mampu bangkit kembali, seolah-olah tidak terjadi sesuatu apa pun.

"Sheaaa...!"

Tetapi, kesempatan itu tidak disia-siakan Rangga. Cepat diraupnya tanah berpasir. Lalu, tubuhnya meluruk dengan kecepatan kilat, mendekati tubuh tanpa kepala itu.

Werrrt...!

Begitu dekat, Rangga membuat lentingan ke atas. Tangannya langsung melemparkan pasir yang tepat masuk ke lubang leher. Begitu mendarat di tanah, Rangga kebetulan berada tak jauh dari sebuah pohon kering yang bercabang banyak. Segera dipatahkannya cabang pohon yang sebesar tongkat.

Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti berbalik dan kembali melenting ke atas. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk seraya menancapkan batang kayu itu ke rongga leher I Wayan Gulem.

Ujung kayu itu dibiarkan tersembul pada ujungnya. Akibatnya, tubuh itu bergetar keras dan bergoyang-goyang bagaikan hendak roboh. Beberapa pohon yang tertabrak kontan roboh bagaikan diterjang gajah-gajah liar yang sedang mengamuk.

"Greeengh...!"

Sementara itu kepala yang berada di perut Ki Demong kontan melepaskan gigitannya disertai teriakan keras sampai merontokkan daun-daun kuning di atas pohon. Saat itu juga kepala itu berusaha menempel kembali ke tubuhnya.

"Aaaghrrrh!"

Namun ketika kepala Leak itu menyentuh leher, kembali berteriak dan melepaskan diri kembali. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal di leher. Bahkan merasa ada benda kasar yang menghalangi.

"Ilmu setan...," desis Ki Demong sambil memperhatikan semua kejadian dengan seksama.

"Kau baik-baik saja, Ki...?" tanya Rangga, begitu dekat kembali dengan Ki Demong.

"Kalau tidak baik, mana mungkin aku berjumpa lagi denganmu, Pendekar Rajawali Sakti...?" sahut Ki Demong sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

Sementara itu, I Wayan Gulem yang menggunakan ilmu 'Leak Murka' terus berusaha menempelkan kepalanya kembali pada tubuhnya. Tetapi, semua usaha yang dilakukan sia-sia belaka. Kejadian yang aneh dan cukup menyeramkan berlangsung sampai sepenanakan nasi lamanya. Semakin lama, usaha I Wayan Gulem jadi semakin melemah. Dan beberapa saat kemudian, kepalanya jatuh ke tanah setelah mengeluarkan teriakan mendirikan bulu roma.

"Huh...! Rupanya disitu letak kelemahan ilmu 'Leak Murka'! Untung kau datang tepat pada waktunya, Pendekar Rajawali Sakti! Kalau tidak, aku sudah kehabisan darah...!" dengus si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Sudahlah.... Cepat tolong Wisnupati., Kasihan dia dari tadi hanya telentang saja bagai bayi...," ujar Rangga, memotong pembicaraan Ki Demong.

"Baiklah....."

"Uh...? Ke mana lagi pendekar itu...?" tanya Ki Demong, setelah melepaskan totokan pada tubuh Wisnupati.

"Tadi kulihat dia di situ...," sahut Wisnupati sambil menunjuk ke suatu tempat.

"Dia dapat datang dan pergi sesuka hati. Kita memang bukan apa-apa bila dibandingkan dengannya...," desah Ki Demong perlahan. Baru saja Pemabuk Dari Gunung Kidul berkata demikian...

"Aaakh...!" "Aaa...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan saling susul. Ki Demong dan Wisnupati tersentak kaget. Mereka langsung menoleh ke arah sumber suara. Tampak sesosok tubuh berpakaian serba hijau dengan wajah ditutup topeng berbentuk tengkorak, tengah dikeroyok beberapa orang. Namun gerakan sosok berwajah tengkorak itu sangat cepat dan kejam. Tangannya tampak melemparkan sesuatu yang ternyata kelabang dan kalajengking beracun!

Cras! Cras!

"Aaakh...!

Beberapa orang yang semuanya mengenakan pakaian bebat warna merah itu berhasil menebas putus tubuh binatang beracun itu. Tetapi, banyak juga yang kena sengat. Mereka langsung ambruk dan berkelojotan. Sebentar saja, mereka mati dengan tubuh membiru dan keracunan. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya racun binatang itu. Ketika beberapa orang menyerbu, sosok yang tak lain si Manusia Tengkorak mengebutkan lengan bajunya. Maka mengepullah serbuk putih yang memabukan.

Wusss...!

"Aaakh...!"

Mudah sekali bagi si Manusia Tengkorak melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang dikenali berasal dari Perguruan Walet Merah itu. Karena sebagian besar telah terpengaruh oleh serbuk beracun. Yang tampak bertahan hanyalah seorang laki-laki setengah baya berpakaian jubah merah.

Laki-laki yang tak lain Ketua Perguruan Walet Merah itu memutar pedangnya. Si Manusia Tengkorak tidak kehilangan akal untuk menjatuhkan laki-laki setengah baya itu. Segera dilemparkannya beberapa binatang beracun ke arah Ketua Perguruan Walet merah

Set! Set!

Dengan memutar pedang bagaikan baling-baling, laki-laki setengah baya itu berusaha membabati binatang beracun. Bahkan tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas. Setelah membuat putaran beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan pedang menderu-deru mengancam ke seluruh tubuh si Manusia Tengkorak. Walau mendapat serangan berbahaya, si Manusia Tengkorak yang sebenarnya bernama Rara Wulan itu masih dapat menangkis dengan melecutkan selendang hijau yang sebelumnya melilit pinggang.

Ctar! Ctar!

Kedua tokoh yang sama-sama tangguh itu segera saling libat kembali. Hingga pertarungan genap memasuki jurus ke tujuh puluh empat, mendadak berkelebat sesosok tubuh disertai bau tuak menyebar ke sekeliling. Dengan guci tuak di tangan sosok yang tak lain Pemabuk Dari Gunung Kidul segera menghalangi selendang hijau yang digunakan untuk cambuk. Tanpa terasa, si Manusia Tengkorak telah dikeroyok dua. Karuan saja hal ini membuatnya terkejut dan terdesak.

"Chiaaat...!" Sambil berteriak keras, Rara Wulan menyebarkan binatang beracun dan asap beracun yang berbahaya kepada pengeroyoknya.

"Fruhhh...!" Disinilah letak keistimewaan Ki Demong. Dengan cepat, disemburkannya tuak yang berada di mulut ke arah binatang berbisa hingga terbakar hangus.

Sedangkan Ketua Perguruan Walet Merah menghentakkan tangannya dengan tenaga dalam tinggi. Sehingga, asap itu jadi buyar dan musnah tertiup angin. Ki Demong yang sangat membenci si Manusia Tengkorak terus mendesak dengan serangan gencar dan mematikan. Akibatnya, jadi terdesak hebat.

"Yeaaat!"

"Mampuslah kau, Manusia Licik!" bentak Ki Demong sambil memukulkan guci tuaknya. Pada saat yang sama, Ketua Perguruan Walet Merah menusukkan pedang kearah punggung.

"Perkenalkan, Orang Tua. Aku Sangaji, Ketua Perguruan Walet Merah...."

"Kau siapa, Orang Tua...? Mengapa ikut campur dan membantu menempur si Manusia Tengkorak yang keji ini...?" tanya Ketua Perguruan Walet Merah yang ternyata bernama Sangaji, sambil melancarkan serangan kearah Manusia Tengkorak.

"Siapa yang membantu... ? Aku punya dendam yang besar pada si Manusia Tengkorak ini...! Kalau keberatan, kau boleh menepi saja!" sahut si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Apakah tidak malu? Kita kaum lurus kenapa main keroyok terhadap manusia bermuka tengkorak itu...?" tukas Ki Sengaji, penasaran.

"Kenapa harus malu...? Mereka tidak pernah merasa malu walau harus membokong dan membunuh secara licik...!" potong Ki Demong.

Sadarlah Ki Sangaji kalau orang tua pemabukan itu memang susah diurus dan berwatak angin-anginan. Maka didiamkannya saja tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul. Bahkan Ki Sangaji sendiri terus mendesak dengan pedangnya.

Wisnupati yang berangasan tidak dapat tinggal diam. Dengan segera diterjangnya si Manusia Tengkorak dengan clurit peraknya yang berkilatan. Dikeroyok tiga, tentu saja si Manusia Tengkorak jadi semakin terdesak. Dia hanya dapat bermain mundur dan menahan serangan tanpa dapat mengadakan serangan balasan.

"Hiaaa...!" Tiba-tiba sambil berteriak keras, si Manusia Tengkorak menyebarkan binatang berbisa dan asap beracun secara habis-habisan.

Tetapi, ketiga lawannya segera menutup pernapasan dan loncat menjauhi. Menggunakan kesempatan baik itu, si Manusia Tengkorak segera berkelebat pergi dari tempat ini. Dalam waktu sekejap saja, tubuhnya hilang, dari pandangan mata.

TIGA

Pemabuk Dari Gunung Kidul mengendus-ngendus ketika tercium bau harum daging kelinci bakar yang sedang dibolak-balik di atas api oleh Wisnupati. Bau harum itu cukup menyengat hidung Ki Demong. Sekeika orang tua yang urakan ini segera melompat bangun dari berbaringnya. Hidungnya terus saja kembang-kempis bagaikan kucing mencium ikan asin.

"Uuuhh...! Harumnya bukan main...! Boleh juga, nih...?" kata Ki Demong dengan jakun turun

"Kalau kau mau makan, silakan ambil.... Seorang dapat satu, adil rasanya...," ujar Wisnupati dari balik pohon.

"Kau memang seorang pemuda yang baik, Wisnu. Terima kasih atas pemberianmu ini...," ucap Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil menjulurkan tangan hendak mengambil kelinci bakar yang mengundang selera.

"Tunggu dulu...!" cegah Wisnupati. "Kau boleh saja mengambil daging bakar itu. Tapi, harus memenuhi dulu satu syarat yang kuajukan...!"

"Jadi pemberianmu ini dengan pamrih...?" tukas laki-laki tua pemabuk itu dengan mata mendelik.

"Bukannya pamrih.... Dari dulu kau selalu mengulur-ulur waktu kalau aku menginginkan jadi muridmu...," sahut Wisnupati seenaknya.

"Kau selalu ingin jadi muridku saja...! Bodohnya kau ini! Aku ini hanya orang pemabukan yang tidak memiliki apa-apa.... Apa yang kau harap dariku....? Ilmu yang kumiliki hanya pas-pasan. Cari guru yang lain saja, supaya kau jadi orang besar kelak...," ujar Pemabuk Dari Gunung Kidul santai.

"Aku tidak perlu guru lain! Yang aku inginkan hanyalah kau...!" jawab Wisnupati membandel.

"Kau tidak menyesal punya guru tukang mabuk seperti aku...?" tanya laki-laki pemabuk sambil memandang tajam.

"Walaupun aku berangasan dan tidak mau berpikir yang sulit-sulit, untuk soal yang satu ini aku telah berpikir masak-masak...," tegas Wisnupati sambil menekan suaranya.

Si Pemabuk Dari Gunung Kidul mengawasi pemuda tinggi besar itu sambil tersenyum. "Baiklah.... Sebenarnya baru sekali ini aku mempunyai murid. Aku percaya pada kejujuran dan kesetiaanmu untuk membela kebenaran.... Tapi bila menyimpang dari jalur lurus kelak, kau akan kubakar dengan tuak merahku. Mengerti...?!"

Wisnupati mengangguk. Dia bangkit lalu menjura memberi hormat.

"Ha ha ha...! Untuk merayakan semua ini, mari kita minum-minum sampai mabuk.... Kita harus merayakan hari yang bersejarah ini dengan semeriah mungkin. Ayo ikut aku...!" ajak Ki Demong.

Mereka pun segera berlari ke desa terdekat, mencari kedai untuk merayakan hari yang tidak akan terlupakan selamanya.

Si Pemabuk Dari Gunung Kidul berlari cepat, diikuti Wisnupati dari belakang. Ketika sampai di dataran cukup luas, mereka melihat seorang laki-laki tua berambut putih sampai bahu tengah bermain catur dengan seorang pemuda tampan di bawah pohon. Sesekali orang tua itu membenahi riap-riap rambutnya yang menutupi wajahnya.

"Sialan kau, Jaka Tawang! Jalan ini, mati.... Yang itu, mati juga...," omel laki-laki tua itu.

"Bagaimana, Guru...?" tanya pemuda tampan yang dipanggil Jaka Tawang sambil cengar-cengir mengawasi orang tua yang dipanggil guru di depannya.

"Bagaimana, apanya...?!" semprot laki-laki tua yang tak lain Ki Sabda Gendeng sambil mendelikkan matanya. (Mengenai kedua tokoh ini, silakan baca Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Siluman Tengkorak Gantung)

"Masa Guru tidak tahu...? Kalau tidak ada jalan. lagi, sebaiknya menyerah sajalah...," ujar Jaka Tawang sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Tunggu dulu! Aku masih mengusahakan jalan untuk menghindar dari kematian..... Kau diamlah jangan mengganggu jalan otakku. Kalau kau berteriak terus, aku tidak mau jalankan biji caturku...," ancam Ki Sabda Gendeng sambil memejamkan matanya.

Setelah ditunggu sampai sekian lama, ternyata Ki Sabda Gendeng tidak bergerak dan tidak jalankan biji catur di hadapannya. Ketika diamati lebih lanjut, ternyata laki-laki tua yang sebenarnya berilmu tinggi itu tertidur sambil duduk.

Jaka Tawang hanya dapat tersenyum nyengir. "Sampai hari gelap pun tidak akan dia menjalankan anak caturnya. Dasar orang tua tidak mau kalah.... Ada-ada saja akalnya! Biar kuuji dulu dia...," gumam Jaka Tawang dalam hati.

Sambil menahan napas, tangan pemuda yang sama brengsek dengan gurunya itu berusaha mengambil bumbung tuak yang terbuak dari bambu milik Ki Sabda Gendeng. Tetapi, sebelum tangan itu sampai, tangan Ki Sabda Gendeng telah mencengkeram kuat. Kemudian....

"Cacing kerempeng...! Sudah kuperingatkan berkali-kali, bila ingin sesuatu harus bicara dan lapor dahulu! Mengerti...?! Atau kau ingin kuhajar dengan tongkat bambu ini...?" bentak Ki Sabda Gendeng.

"Kau sendiri tidur. Aku telah menunggumu menjalankan biji catur.... Eh..., yang ditunggu malah enak-enakkan tidur...! Kalau kutinggal pergi mencari minum, kau pasti marah. Minta minum dari tempatmu, tidak boleh.... Habis aku harus bagaimana...?" tukas Jaka Tawang mencoba mengakali gurunya.

"Kau mau menipu aku, he...?! Jangan mimpi kau, Bocah sableng!" dengus Ki Sabda Gendeng.

"Habis aku harus bagaamana...? Guru yang lebih dahulu mengakali aku. Pakai pura-pura tidur lagi"

"Baiklah aku mau jalan. Awas jangan ganggu"

Laki-laki tua itu memang sudah seharusnya menyerang dan mati dalam bermain catur. Tetapi, Ki Sabda Gendeng tidak mau menerima hal itu. Pokoknya ia harus menang. Entah harus menggunakan cara apa. Namun Ki Sabda Gendeng jadi mati akal. Karena, muridnya mendesak terus dan menyuruhnya jalan.

"Ayo cepat jalan. Masa hanya diawasi terus.... Kapan selesai kalau begini terus...?" desak Jaka Tawang.

"Sabarlah barang sedikit, brengsek...!" gerutu orang tua itu.

Pada saat Sabda Gendeng kehilangan akal, terdengar dua sosok tengah berlari sambil tertawa-tawa. Yang seorang laki-laki tua dengan sebuah guci arak. Di belakangnya, mengikuti seorang pemuda bertubuh tinggi besar dengan senjata clurit perak di pinggang.

Mata Ki Sabda Gendeng terbelalak seakan-akan tidak percaya pada penglihatan sendiri. Dengan cepat dia bangkit dan melesat. Langsung dihadangnya lari orang tua yang tak lain Ki Demong bersama muridnya yang bemama Wisnupati.

"Guru...! Mau lari ke mana kau...? Ayo jalan dulu...!" teriak Jaka Tawang sambil mengejar gurunya.

"Permainan kita tunda dulu...! Aku ada urusan.... Nanti kita sambung lagi...!" teriak Ki Sabda Gendeng sambil terus berlari.

"Hoi.... Hoi.... Jangan lari Guru...!" teriak Jaka Tawang sambil mengejar gurunya.

"Bocah gendeng...! Bereskan saja dulu biji-buji caturnya, lalu susul aku...," teriak Ki Sabda Gendeng, terus saja berlari.

Sambil menggaruk-garuk kepala, terpaksa Jaka Tawang kembali untuk membereskan catur yang ditinggalkan gurunya.

"Hweeei...! Demong...! Berhenti dulu...! Ini aku Sabda Gendeng!" teriak laki-laki tua gila catur itu.

Mendengar teriakan, Ki Demong segera menghentikan larinya dan menoleh. Ketika melihat siapa yang berteriak, cepat bagai kilat tubuhnya melesat dengan kedua tangan terbuka lebar-lebar. Ki Sabda Gendeng juga melakukan gerakan sama.

"Ha ha ha...! Angin apa yang membawamu ke tempat ini, Sabda Gendeng...?" sambut Ki Demong, gembira.

Karena terlalu gembira kedua tokoh urakan ini berlari bagaikan dikejar setan. Dari kejauhan, keduanya hanya tampak bayangan yang melesat cepat saling menghampiri. Karena terlalu bernafsu, akhirnya....

Bletaks!

"Adhauuu...!"

"Hadaaawww...!"

Kedua tokoh yang sama-sama sableng ini kontan tertolak balik karena kepalanya saling bentur dengan keras. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka jatuh duduk dengan kepala berdenyut keras dan mata berkunang-kunang. Hal itu tidak berlangsung lama. Sesaat kemudian, keduanya telah berdiri berhadapan. Dan....

"Dasar Gendeng...! Baru bertemu, sudah mencari ribut...! Kuhajar kau dengan guci tuak ini...!" maki Ki Demong seraya mengebutkan guci tuaknya.

"Kau yang salah, malah aku yang disalahkan.... Dasar pemabuk! Sudah tahu aku ada di depan malah ditabrak kuat-kuat. Brengsek kau!" balas Ki Sabda Gendeng sambil menangkis dengan tongkat yang berwarna hitam legam.

Kedua tokoh ini saling terjajar mundur, seperti habis terjadi benturan senjata.

"Setan tua! Jaga seranganku ini...!" bentak Ki Sabda Gendeng.

Seketika laki-laki aneh ini menggetarkan ujung tongkat hitamnya, sehingga tampak jadi banyak. Bahkan mengarah ke seluruh jalan darah Ki Demong.

"Huh...! Aku ingin tahu, sampai di mana kemajuanmu...? Sombong benar kau...?" desis Ki Demong sambil memutar guci tuaknya bagaikan baling-baling.

Trak! Trak! Bletak...!

Beberapa bentrokan guci dengan tongkat terjadi. Suaranya terdengar keras hingga memekakkan telinga. Tampak kedua orang tua itu sama-sama ngotot dan tak ada yang mau mengalah. Tetapi sampai sejauh itu, mereka berdua tak ada yang terdesak. Tampaknya satu sama lain sudah saling mengenal jurus masing-masing dengan baik.

"Geglug..!"

"Fruuhhh...!"

Semburan tuak yang disertai api panas membara menerjang Ki Sabda Gendeng. Namun dengan sebuah dorongan kedua tangan yang berisi tenaga dalam kuat, semburan api itu dapat dibuat meleset arahnya oleh laki-laki gila catur itu. Bahkan kemudian tongkat hitamnya mendadak membabat kaki Ki Demong.

Dengan langkah terhuyung-huyung, Pemabuk Dari Gunung Kidul berhasil mengelakkan serangan dahsyat Ki Sabda Gendeng. Sementara Wisnupati yang melihat gurunya saling hantam, segera mencabut clurit peraknya. Tubuhnya langsung meluruk seraya membabatkari senjatanya pada leher Ki Sabda Gendeng yang membelakanginya.

Wuuuttt!

Mendapat serangan mendadak, orang tua sableng ini menundukkan kepala. Dan tiba-tiba bagai kuda kakinya menendang ke belakang. Untung Wisnupati cepat melompat mundur. Kalau tidak, perutnya pasti terhantam tendangan itu.

"Kuya bau...! Tikus cilik ini ikut-ikutan menyerangku juga! Ingin kupatahkan tangannya barang kali...?!" dengus Ki Sabda Gendeng begitu memutar tubuhnya.

Tongkat hitamnya langsung dibabatkan kearah pinggang. Mendapat serangan kilat yang tidak terduga, Wisnupati jadi kelabakan. Untung saja Pemabuk Dari Gunung Kidul lebih cepat melenting dan menghadang tongkat hitam itu. Sehingga, Wisnupati terhindar dari malapetaka.

"Hiat! Enak saja kau memukul muridku! Lawan sajalah aku yang sama tuanya denganmu...!" hardik Ki Demong seraya menyemburkan tuak merah dari mulutnya.

"He he he...! Boleh saja.... Dasar pemabukan lagaknya bukan main...," ejek Ki Sabda Gendeng sambil tertawa cengengesan.

"Ho ho ho...! Dari dulu juga kau tidak pernah dapat mengalahkan aku.... Orang gendeng mana mungkin dapat mengalahkan aku...?" balas Ki Demong.

"Ciat...!" Ketika tongkat hitam menyabet kaki, Ki Demong loncat ke atas bagaikan bola karet, seraya berputaran. Begitu mendarat, dia telah berdiri tepat di belakang Ki Sabda Gendeng. Seketika gucinya bergerak cepat.

Wuuttt..!

Ki Sabda Gendeng yang merasa desir angin tajam mengarah ke punggung, berusaha menghindar. Tetapi terlambat. Karena....

Begkh...!

"Adaaauw...!" Tubuh Ki Sabda Gendeng terdorong ke depan dua langkah disertai teriakan kesakitan.

Sementara Ki Demong terus mengangkat tuak merahnya sambil tertawa-tawa penuh ejekan. Tapi, secara tak terduga Ki Sabda Gendeng menjatuhkan diri. Dalam waktu yang bersamaan, tangannya melemparkan sesuatu.

Ser! Ser! Pletsak..!

"Wadauuh...!"

Rupanya, Ki Sabda Gendeng melemparkan biji catur yang tepat mengenai tulang kering Ki Demong. Mau tak mau, Pemabuk Dari Gunung Kidul jadi berjingkrakan sambil mengusap-usap tulang kering yang terasa nyeri bukan main.

"He he he...!" Ki Sabda Gendeng balik menertawai sampai mengeluarkan air mata.

Jaka Tawang yang telah selesai membereskan biji catur jadi tak habis pikir, mengapa gurunya berkelahi dengan orang tua yang dikatakan sebagai teman karibnya tadi. Tetapi, pemuda yang sama gendeng dengan gurunya itu tidak mau pusing. Segera diterjangnya Ki Demong yang sedang meringis-ringis karena tulang keringnya terhantam biji catur.

"Ciaaat!" Jaka Tawang langsung mengebutkan tongkat merahnya ke arah kaki si Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tapi dengan hanya bergerak meliuk-liuk ke sana kemari serangan pemuda itu luput dari sasaran.

"Seribu Tongkat Menggebuk Ular...! Heaaa...!" Kembali Ki Sabda Gendeng melesat dengan teriakan membahana, ujung tongkat hitam ditangannya tiba-tiba bergetar, sehingga terlihat jadi banyak mengarah ke seluruh jalan darah di tubuh Ki Demong. Itulah jurus andalan Ki Sabda Gendeng yang paling ditakuti. Ke mana saja Pemabuk Dari Gunung Kidul menghindar, ujung tongkat selalu menunggu dengan tusukan maut.

Wisnupati yang menyaksikan gurunya dikeroyok segera ikut masuk ke dalam kancah pertarungan menahan gerakan Jaka Tawang. Clurit peraknya berkesiutan mengancam ke seluruh tubuh pemuda itu. Tentu saja Jaka Tawang tidak mau jadi korban. Cepat disambutnya serangan itu dengan putaran tongkat merahnya.

Kini pertarungan terbagi menjadi dua. Semakin lama jadi semakin seru. Terutama, kedua orang tua yang sama-sama sableng itu. Sepuluh jurus kemudian, kedua orang tua itu menghentikan gerakan.

"Ha ha ha...! Dari dulu kau tetap saja tidak dapat mengalahkan aku orang tua gendeng...," seru si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"He he he...! Setali tiga uang. Bangsa pemabukan, tidak akan pernah dapat melewati aku...," ejek Ki Sabda Gendeng.

Kemudian mereka berdua berjalan menuju ke bawah pohon yang rindang sambil bergandengan tangan. Tidak tampak lagi wajah-wajah seram dari mereka berdua. Keduanya tertawa-tawa ceria. Memang kedua orang tua itu adalah sepasang sahabat, yang telah lama tidak bertemu.

Keduanya mempunyai tabiat aneh yang tak mau diatur oleh peraturan mana pun. Mereka terus tertawa sambil menceritakan pengalaman, dan apa saja telah terjadi selama tidak bertemu. Padahal kedua murid mereka saat itu sedang saling terjang dengan sengit.

Kedua pemuda itu tidak ada yang mengalah. Di sini terlihat Wisnupati sangat bernafsu dan terkesan berangasan. Sedangkan Jaka Tawang selalu mengejek, membuat lawannya marah.

"Heyaaat!"

Tang! Tang!

Berkali-kali bentrokan keras terjadi. Tapi belum tampak ada yang terdesak. Sampai suatu ketika, benturan dua tangan yang berisi tenaga dalam kuat terjadi.

Gdebuk! Blugk!

Kedua pemuda itu tertolak balik ke belakang dan jatuh duduk. Ketika hendak bangkit kembali....

"Berhenti dulu, tolol...!"

Kedua pemuda itu terkejut mendengar bentakan keras menggelegar. Mereka langsung loncat mundur dengan wajah terheran-heran ketika melihat guru mereka masing-masing duduk berjejer sambil minum tuak dari tempat masing-masing. Cepat mereka menghampiri dengan perasaan tidak mengerti.

"Mengapa Guru menghentikan kami...?" tanya Jaka Tawang.

"Lho...? Kok Guru sudah baikan?" tanya Wisnupati dengan wajah dungu.

"Bodoh.... Ayo kalian saling memberi hormat pada Paman Guru. Kalian ini...," seru si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Kenapa bengong...?! Cepat beri hormat, tolol...!" hardik Ki Sabda Gendeng, melotot.

Wisnupati cepat memberi hormat pada Ki Sabda Gendeng. Sedangkan Jaka Tawang memberi hormat pada Ki Demong. Namun kedua orang tua urakan ini malah tertawa terbahak-bahak, sampai keluar air matanya. Tentu saja hal ini membuat kedua pemuda ini menggaruk-garuk kepala karena heran. Mereka bingung, tidak habis pikir.

"Hei, Demong! Pemuda tinggi besar inikah yang menjadi murid kesayangan...? Tubuhnya bolehlah. Tetapi aku tidak tahu isi dalamnya," kata Ki Sabda Gendeng sambil memperhatikan Wisnupati seakan-akan tengah menaksir ayam yang hendak dibeli.

"Wisnupati baru saja kuterima menjadi murid. Jadi, belum mendapat pelajaran dariku...," jelas si Pemabuk Dari Gunung Kidul, terus terang.

Tak lama kedua pemuda itu sudah saling bersalaman dan tampak akrab. Tak ada lagi tanda-tanda mereka habis berkelahi. Kini keduanya sadar kalau semua itu adalah hasil perbuatan kedua orang tua yang aneh dan tidak pernah bisa diatur.

********************

EMPAT

Hari terus bergulir menyeret sang waktu. Di tepi Telaga Warna yang penuh oleh para tokoh persilatan tampak beberapa buah perahu diturunkan ke dalam air. Tapi baru saja perahu-perahu kecil itu menyentuh permukaan air.

"Berhenti...! Jangan lakukan itu...! Air telaga itu masih berbahaya, bagi kalian! Kalau mau besok saja kalian menurunkan perahu, karena besok air itu tidak menghisap darah lagi!"

Terdengar sebuah teriakan yang disusul berlarinya seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Ternyata dia adalah Pendekar Rajawali

"Hei...? Bagaimana dia bisa tahu rahasia tempat ini...?! Jangan-jangan, dia orang dalam Pesanggrahan Telaga Warna.... Awas jangan sampai tertipu...! Lebih baik kita ringkus, dan tanyai dia.... Kalau tidak mau mengaku, bunuh saja!" kata salah seorang tokoh persilatan yang hendak naik perahu, memandang curiga pada Rangga.

"Kalian jangan salah mengerti.... Aku berbuat ini, karena tidak mau melihat korban berjatuhan. Dan ini juga karena kecerobohan kalian sendiri...." Tapi jawaban yang diterima Rangga malah sebaliknya....

"Jelas dia menghalangi kita.... Mari singkirkan saja...," ajak tokoh persilatan lain. Maka....

"Sheaat...?!"

"Yeaaat...!"

Puluhan senjata tajam langsung meluruk kearah Pendekar Rajawali Sakti. Tetapi Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya melenggak-lenggok kian kemari bagai orang mabuk. Namun tak satu serangan pun yang bisa menyentuh tubuhnya. Bahkan ketika tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak, banyak senjata yang berhasil dirampas dan dilemparkan ke tengah telaga.

Walaupun merasa kesal karena maksud baiknya malah diterima salah, Rangga berusaha membatasi diri untuk tidak membunuh. Dia yakin, mereka salah sangka dan tidak mengerti terhadap keadaan telaga yang mengandung hawa maut itu. Pendekar Rajawali Sakti hanya memukul dan menendang untuk menjatuhkan mereka yang terlalu dekat, dan dapat membahayakan keselamatan dirinya.

"Hiaaat...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebatan seraya mengibaskan tangan, mencerai-beraikan gerombolan manusia yang mengurung dirinya.

Des...! Desss...!

"Aaakh...!"

Akibatnya, para tokoh persilatan itu berpelantingan kesana kemari bagaikan daun kering dihempas badai. Beberapa tokoh kelas tinggi yang menyaksikan sampai berdecak kagum.

Menggunakan kesempatan baik itu Rangga segera melesat kabur dari tempat itu. Bukannya takut, tetapi untuk menghindari salah sangka.

"Bedebah...! Dia berhasil melarikan diri! Ayo kita terus menuju ke Pesanggrahan Telaga Warna...! Jangan pedulikan segala ocehan pendekar kampungan itu," ajak salah seorang tokoh persilatan membakar semangat yang hampir padam.

Beberapa orang segera berloncatan ke dalam perahu. Segera mereka mendayung ke tengah telaga menuju Pesanggrahan Telaga Warna. Ternyata, apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti terbukti. Baru saja mereka mencapai pertengahan, gelombang telaga kembali muncul. Suatu keajaiban alam yang tidak dapat dilawan oleh kekuasan manusia.

Air telaga yang berwarna merah dan tampak kental telah mengelilingi perahu dan mulai bercipratan, seolah-olah ada makhluk hidup di dalamnya dan berusaha naik ke perahu (Untuk lebih jelas tentang kejadian alam di Telaga Warna, baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Geger Di Telaga Warna).

"Hei...?! Apa pula ini...?"

"Entahlah.... Mungkin inilah yang dikatakan pemuda tadi...."

"Putar haluan dan kembali ke tepi.... Cepat!"

Mereka mulai ragu dan memikirkan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tapi, terlambat sudah. Air telaga mulai memasuki perahu dan mengenai kaki para tokoh persilatan. Karena membaui darah, air itu jadi beringas kembali. Perahu-perahu yang lain juga mengalami nasib sama. Mereka akhirnya saling berteriak penuh kengerian.

Satu demi satu mereka terseret ke dalam air telaga dan mati mengenaskan. Bagaimanapun Rangga sudah berusaha memperingatkan. Kalau mereka akhirnya binasa, itu adalah kesalahan mereka sendiri. Memang banyak juga yang menurut kata-kata Rangga. Ada juga yang karena takut pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Namun, lain halnya para tokoh ternama yang bertindak tanpa tergesa-gesa. Mereka justru menanti saat yang tepat.

Bagaimana Pendekar Rajawali Sakti dapat mengetahui kalau hari ini air telaga masih minta korban lagi...?

Sedangkan dia sendiri bukan orang dari Pesanggrahan Telaga Warna. Semua itu karena usaha Rangga yang melakukan tapa, untuk menyatukan alam pikirannya dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Dalam tapanya, Rangga mendapat petunjuk kalau air telaga itu akan minta korban selama tiga minggu. Dan hari ini, adalah hari terakhir. Besok air telaga sudah tidak menunjukkan keberingasannya lagi. Itu pun hanya berlangsung selama tiga minggu pula.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Waktu terus merambat dan berputar sesuai kodrat dan kehendak Yang Maha Kuasa. Tidak terasa hari telah berganti malam, dan malam pun berganti pagi. Pada saat itu, tampak beberapa perahu memasuki telaga. Para tokoh persilatan yang menunggu berloncatan ke dalam perahu masing-masing.

"Ayo kita dayung perahu itu kuat-kuat. Awas jangan sampai didahului yang lain...," ujar seorang tokoh dari dalam perahu.

"Cepat...! Kita harus sampai lebih dahulu...," seru yang lain.

Bagaikan sedang berlomba, beberapa perahu melesat cepat laksana anak panah lepas dari busur. Sedangkan para tokoh ternama dalam satu perahu hanya diisi satu atau dua orang saja.

Sebentar saja, Telaga Warna telah ramai dan gaduh oleh teriakan para tokoh persilatan dan murid-murid dari berbagai perguruan. Sampai di tengah telaga, ternyata memang tidak terjadi sesuatu. Namun yang terjadi malah sebuah persaingan.

Dalam pikiran mereka timbul niat untuk menyingkirkan satu sama lain dengan suatu rencana jahat dan licik. Bahkan diam-diam ada yang mengambil sebuah benda bulat dari dalam kantung, langsung melemparkannya ke perahu yang agak jauh.

Ser! Ser! Ser!

Blammm...!

"Aaa...!"

Dua buah perahu kontan terpecah belah oleh hantaman benda bulat kecil yang ternyata bahan peledak yang cukup dahsyat. Penumpangnya langsung terlempar tanpa bernyawa lagi dalam keadaan sangat menyedihkan. Tubuh mereka hancur berkeping-keping. Air telaga seketika berubah merah.

Wajah para tokoh persilatan kontan berubah bengis dan menyeramkan. Tak ada rasa kasihan lagi di hati orang-orang itu. Tanpa dapat dicegah lagi, pertempuran terjadi di tengah telaga yang telah banyak meminta korban nyawa.

Sementara itu Ki Demong dan Wisnupati menyeberang menggunakan batang pohon. Begitu juga Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang yang juga sudah berada di situ. Jarang ada yang dapat melakukan, seperti yang dilakukan mereka.

Sedangkan Rangga sendiri menggunakan dua bilah papan kecil pada telapak kakinya. Tubuhnya meluncur di atas air dengan cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat tinggi.

LIMA

Tanpa setahu para tokoh persilatan yang tengah berperahu, para penghuni Pesanggrahan Telaga Warna saat ini telah bersiap-siap menyambut kedatangan mereka. Hari ini mereka tak dapat lagi mengandalkan air telaga disekitar pesanggrahan. Karena mereka lebih tahu, kalau hari ini air telaga mulai tenang kembali, tidak meminta korban seperti hari-hari kemarin.

Laki-laki tua berpakaian serba kuning yang bernama Samba dan berjuluk si Lutung Pancasona, memandang dengan tatapan tajam. Sepasang pedang pendek tampak tersembul di punggungnya. Rambutnya putih dikuncir ke atas. Kumis dan jenggotnya berwarna putih juga. Sikapnya benar-benar penuh perbawa.

Di sebelah Lutung Pancasona berdiri istrinya yang bernama Rukmini. Senjatanya berupa tongkat berwana hijau. Sehingga, dia dijuluki Bidadari Tongkat Hijau. Rambutnya yang berwarna hitam bercampur putih digelung rapi ke atas. Pada wajahnya masih tersisa kecantikan di waktu muda dulu, Wanita tua ini mengenakan pakaian serba biru.

Sedangkan ketiga anak gadis mereka yang cantik bersiaga di tiga penjuru. Sehingga mereka yang berjumlah lima orang ini bersiaga di lima penjuru. Mereka yakin, kedatangan orang-orang persilatan untuk mengambil Bunga Nirwana yang sangat langka yang terdapat di halaman Pesanggrahan Telaga Warna. Jangankan orang luar, pemiliknya sendiri baru akan melihat kemunculannya saat ini.

Saat itu Ki Demong dan Wisnupati tengah dihadang dan diancam oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dari atas perahu. Melihat lambang di dada yang bergambar seekor kucing dengan mata mencorong tajam, jelas kalau mereka berasal dari Perguruan Kucing Hitam. Tetapi, guru dan murid ini tampak tenang-tenang saja. Bahkan....

"Mau apa kalian semua...? Jangan coba main gila denganku! Menyingkirlah sebelum aku marah...!" ancam Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Ha ha ha...! Lucu sekali orang tua pikun ini.... Dia agaknya belum kenal siapa kita...," ejek salah seorang.

"Tidak perlu banyak cakap...! Singkirkan saja orang tua tak tahu diri itu...!" seru seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba hitam sambil menuding Ki Demong dengan pedangnya.

"Heaaat!"

"Ciaaat!"

Beberapa pemuda berpakaian serba hitam itu langsung melempar tombak ke arah Ki Demong dan Wisnupati yang berada di atas batang pohon. Namun dengan gerakan seadanya, tombak-tombak itu ditangkap dan ditarik guru dan murid itu dengan kekuatan tinggi. Tak ampun lagi, mereka tertarik ke depan. Dan....

"Wuaaa...!"

Byur! Jebyurr!

Kontan murid-murid Perguruan Kucing Hitam kelabakan, karena masih takut terhadap peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Walaupun tidak terjadi apa-apa, namun yang tidak dapat berenang termegap-megap sambil berteriak minta tolong. Yang dapat bermain di air segera menyeret kawannya ke perahu. Kini mereka tidak berani berlaku sembarangan lagi.

"He he he,..! Ada tikus dapur main di air...! Hi hi hi...! Lucu sekali.,.. Lihat kepalanya basah kuyup...," ejek si Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil memegangi perut.

Diejek sedemikian rupa, tentu saja Ketua Perguruan Kucing Hitam jadi berang.

"Serbuuu...!"

Serentak murid-murid perguruan itu menerjang kembali begitu mendapat perintah dari gurunya. Tombak dan pedang langsung berseliweran mengancam Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tetapi dengan sekali meneguk tuak merah....

"Fruuhhh...!"

"Wuayaaa...!"

Secepat kilat murid-murid Perguruan Kucing Hitam menarik kembali serangan. Mereka tidak tahan terhadap semburan tuak yang teramat panas luar biasa. Bahkan dengan gerakan tidak terduga, tangan Ki Demong berhasil merampas sebuah tombak, Lalu, sekuat tenaga ditancapkan di pinggiran perahu.

Crap...!

"Awasss...! Orang tua gila itu hendak melubangi perahu kita...!" teriak Ketua Perguruan Kucing Hitam itu, kalap.

Beberapa orang hendak memapak batang tombak. Tapi, gerakan Ki Demong lebih cepat lagi mencabutnya. Maka air telaga mulai memasuki lubang pada lambung perahu dengan deras.

"Heaaa...!" Ketua Perguruan Kucing Hitam, segera mencabut pedang dan loncat ke batang pohon yang dinaiki Ki Demong dan Wisnupati.

Namun Wisnupati yang berangasan segera menyambuti dengan babatan clurit perak yang tajam luar biasa.

Trang!

Terjadi benturan membuat mereka terjajar. Akibatnya, batang pohon jadi bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Sementara Ki Demong malah berloncat-loncatan di atas batang pohon bagaikan kera baru mendapat pisang.

"Hoi..., hoi..., hoi.... Kira-kira kalau menggunakan tenaga! Kita bertiga bisa masuk ke dalam air telaga...! Kalau mau mandi, jangan minta ditemani...," seru Ki Demong. Sambil berkata, Pemabuk Dari Gunung Kidul melancarkan tendangan geledek ke arah kaki.

Namun tiba-tiba, tubuh Ketua Perguruan Kucing Hitam melenting ke atas. Sambil berjumpalitan di udara, pedangnya menangkis clurit perak di tangan Wisnupati.

Trang!

Gerakan laki-laki setengah baya itu sangat gesit. Mirip gerakan seekor kucing, ringan dan tidak menimbulkan suara. Baru saja terjadi benturan senjata, Pemabuk Dari Gunung Kidul menyemburkan tuaknya lagi.

Mendapat semburan tuak panas, Ketua Perguruan Kucing Hitam yang baru saja mendarat di kayu berjumpalitan dan kembali ke atas perahunya. Tapi, air yang masuk ke dalam perahu sudah terlalu banyak. Maka ketika ditambah seorang lagi, perahu itu jadi miring dan terbalik. Akibatnya, sepuluh orang murid pilihan tercebur ke dalam air.

Byurrr...!

Maka ramailah keadaan di tempat itu. Untung saja Ketua Perguruan Kucing Hitam ini sempat loncat kembali ke udara. Sebuah gerakan indah telah dipertunjukkan ketua perguruan yang cukup termashyur ini.

"Shaaat!"

Ketika tubuh laki-laki setengah baya itu melayang diudara, Ki Demong menghentakkan tangan kirinya, melepas sebuah pukulan jarak jauh.

Wusss...!

Karena tidak ada jalan lain, terpaksa laki-laki setengah baya itu menyambuti. Tangan kanannya langsung menghentak. Dan....

Blarrr...!

Suara bentrokan dua tenaga dalam terdengar memekakkan telinga. Air telaga sampai bercipratan ke empat penjuru. Sementara satu sosok tubuh tampak terlontar, dan tercebur ke dalam telaga.

Byurrr...!

Ketika muncul kembali ternyata yang terlontar adalah Ketua Perguruan Kucing Hitam. Tubuhnya basah kuyup, dengan napas turun naik. Mulutnya meringis menahan sakit di dada. Jelas, pertemuan dua tenaga dalam tadi begitu dahsyat.

"Kembalilah kau ke perguruan kalian.... Jangan mencari sesuatu yang belum pasti. Apalagi, sampai mengorbankan banyak jiwa...," ujar Ki Demong, kalem namun berwibawa.

Merasa tak unggulan melawan Pemabuk Dari Gunung Kidul, Ketua Perguruan Kucing Hitam berenang menuju ke tepian kembali, tanpa banyak suara lagi. Sementara murid-muridnya segera mengikuti dari belakang.

Di lain tempat Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang terus melaju dengan batang pohon yang dinaikinya. Tampaknya perjalanan mereka lebih mulus. Namun sekitar sepuluh tombak lagi akan mencapai tepian Pesanggrahan Telaga Warna berada, Sebuah perahu tampak meluncur cepat ke arah mereka. Agaknya perahu itu bermaksud menabrak batang pohon untuk menjatuhkan penumpangnya.

Brakkk..!

Maksud penumpang perahu yang rata-rata berpakaian serba coklat itu memang berhasil. Tapi, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang telah lebih dulu melenting ke udara dan berjumpalitan.

Tap! Tap!

Guru dan murid itu berhasil mendarat di ujung perahu dengan mantap. Namun para penumpangnya segera menyerang kalang-kabut disertai makian. Karena perahu yang dinaiki jadi oleng dan berat ke belakang.

Wuttt!

Sebuah tombak menusuk ke arah tenggorokan Jaka Tawang. Namun dengan cepat pemuda ini menundukkan kepala, sehingga ujung tombak jadi mengarah Ki Sabda Gendeng yang kebetulan berada di belakangnya.

"Hei...! Jangan mengelak seenaknya, Bocah Gendeng! Hampir saja kepalaku kena tertusuk...," maki Ki Sabda Gendeng sambil menyampok tombak yang hampir memangsanya.

Baru saja kata-katanya selesai, kembali sebuah pedang menusuk perut orang tua urakan itu. Tapi Ki Sabda Gendeng cepat berkelebat dengan gerakan sulit diikuti mata. Bahkan tiba-tiba tangan penyerangnya berhasil ditangkap.

Tap!

Dengan sekali sentak, Ki Sabda Gendeng berhasil membuat tubuh penyerangnya melayang masuk ke dalam telaga. Kejadian itu terus berlanjut. Dan itu hasil perbuatan Jaka Tawang yang mengikuti tingkah gurunya.

Byurr! Byuuurrr!

"Ha ha ha...!"

Guru dan murid yang sama sablengnya ini tertawa terbahak-bahak. Kemudian mereka berkelebatan cepat ke sana kemari, menyeburkan para penumpang perahu sampai berkali-kali. Bahkan kemudian Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang meneruskan dengan lemparan biji-biji catur, membuat para penyerang berjatuhan ke dalam air.

Hingga tak satu penyerang pun yang masih bertahan di perahu. Mau tak mau, mereka harus meninggalkan perahu dan kembali ke tepi. Mereka tak habis pikir, mengapa dapat dikalahkan begitu mudah?

"He he he...! Tanpa modal, kita telah memiliki sebuah perahu yang cukup baik keadaannya...," kata Ki Sabda Gendeng sambil nyengir.

"Ha ha ha...! Hitung-hitung, dapat hadiah...," sahut Jaka Tawang.

"Hadiah jidatmu! Kita dapat merampok, tahu...?!" tukas Ki Sabda Gendeng dengan mata melotot.

********************

Walaupun banyak yang kembali, tapi banyak pula yang berhasil mencapai ke Pesanggrahan Telaga Warna yang berupa bangunan besar dan megah. Usia bangunan itu sendiri telah ratusan tahun. Kesan angker dan seram seperti melingkupi suasana di tempat ini. Saat ini di belakang pesanggrahan itu si Lutung Pancasona tengah dikurung oleh sepuluh orang laki-laki berwajah seram yang semuanya berpakaian dari kulit macan.

"Kisanak.... Ada urusan apa datang ke tempat kami...? Kalau penyambutan kami kurang layak, harap dimaafkan...," sindir Ki Samba tenang.

"Kau tidak perlu berpura-pura di hadapan Gerombolan Cakar Macan, Lutung Pancasona.... Orang lain boleh segan padamu. Tapi bagi kami, nama besarmu tak ada artinya...! Lekas serahkan Bunga Nirwana pada kami. Mungkin, kami semua akan mengampuni jiwamu yang tua itu...," gertak laki-laki yang berwajah penuh brewok dengan bekas luka menyilang dari hidung hingga ke pipi. Agaknya, dialah yang menjadi pemimpin gerombolan ini.

"Kalau soal itu, kami tidak dapat mengabulkan... Karena, sesungguhnya Bunga Nirwana belum berbunga saat ini. Kami sendiri tidak mengerti, apa sebabnya...," jelas Ki Samba.

"Kalau begitu ajaklah kami ke tempat Bunga Nirwana itu tumbuh, agar tidak penasaran lagi...!" desaknya.

"Kami tidak berkata dusta dan telah berbicara apa adanya. Tapi kalau tempat kami harus diacak-acak untuk apa menghargai kalian...? Pergilah, sebelum aku marah dan menggunakan kekerasan... Jangan kalian pikir di tempat kami ini dapat dibuat sesukanya...!" ujar Ki Samba dengan suara berat dan dalam, pertanda telah marah.

"Bangsat...! Kau tak memandang Tosa, Pemimpin Gerombolan Cakar Macan! Baiklah bila itu yang kalian kehendaki. Ayo anak-anak, bunuh saja orang tua tidak tahu diri ini...!" perintah Ketua Gerombolan Cakar Macan yang mengaku bernama Tosa.

"Heaaat...!"

Begitu mendapat perintah, sembilan orang anggota gerombolan itu meluruk, menyerang si Lutung Pancasona.

"Chiyaaat!" Namun Ki Samba alias si Lutung Pancasona mencabut sepasang pedangnya. Langsung dipapaknya serangan itu.

Trang! Trang!

Beberapa bentrokan keras terjadi. Ada dua bilah pedang yang terlepas dari genggaman pemiliknya. Bisa dibayangkan, betapa besar tenaga dalam si Lutung Pancasona. Sebelum mereka sadar, dua bilah pedang pendek yang tajam milik Ki Samba telah berkelebat cepat menemui sasaran.

Bret! Bret!

"Wuaaa...!"

Tiga orang anggota Gerombolan Cakar Macan kontan berteriak menyayat, begitu pemt mereka terkoyak dan usus terburai keluar terbabat senjata Ki Samba. Darah segar pun mulai menganak sungai, menebarkan bau anyir dan memualkan.

"Bangsat! Bersiaplah. Hadapi jurus 'Cakar Macan'ku...!"

Melihat pengikutnya berjatuhan, Tosa berteriak sambil menerjang dengan jurus-jurus andalannya. Angin pukulan dan cakaran tangannya menimbulkan angin keras dalam jurus 'Cakar Macan' miliknya.

Dalam waktu singkat terjadilah perkelahian sengit dan seru. Kini mereka segera mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi. Sedikit lengah saja, nyawa taruhannya. Ki Samba tiba-tiba membabatkan pedang pendeknya ke dada. Namun lincah sekali Tosa berkelit ke samping seraya menangkap pergelangan tangan si Lutung Pancasona yang baru saja membabatkan pedang pendeknya.

Tap!

Sayang, justru gerakan itu ternyata hanya tipuan dari Ki Samba. Karena mendadak saja pedang pendeknya yang satu lagi berkelebat dari bawah menuju sikut tangan Tosa yang tengah mencengkeram tangan Ki Samba. Dan....

Crasss...!

"Aaa...!" Tangan kiri Tosa kontan tertebas putus sampai sebatas siku. Dia menjerit merasakan sakit bukan main.

Di sini jelas, kepandaian si Lutung Pancasona jauh lebih tinggi daripada ketua gerombolan itu. Tapi Tosa tidak mau peduli. Setelah menotok beberapa urat agar darahnya berhenti mengalir, dengan nekat dia menerjang. Tangannya yang masih utuh dikibaskan, hendak mencengkeram kepala Ki Samba.

"Ciaaat!"

Namun lincah sekali, si Lutung Pancasona merunduk ke bawah dengan pedang pendek berkelebat ke atas. Sehingga....

Crasss...!

"Waaa...?!" Kali ini tangan kanan Tosa terbabat putus. Disertai raungan kesakitan, Ketua Gerombolan Cakar Macan itu mundur beberapa langkah.

Kala itu, seorang pengikutnya menerjang dari belakang. Namun tanpa terduga, Ki Samba meloncat mundur sambil menusukkan pedang ke belakang.

Blesss...!

"Aaa...!" Dan tanpa dapat dicegah lagi, pedang pendek itu menembus dada penyerangnya yang kontan ambruk di belakang Lutung Pancasona. Ketika pedang dicabut kembali, pembokong itu jatuh bermandikan darahnya sendiri.

"Lariii...!" Merasa sudah tak bakal unggul lagi, Tosa berteriak menyuruh anak buahnya melarikan diri. Dia sendiri segera berbalik dan lari dari tempat itu dengan langkah terhuyung-huyung. Namun, si Lutung Pancasona tidak membiarkan begitu saja. Cepat dilemparkan salah satu pedang pendeknya.

Zing...! Creb...!

"Aaa...!" Disertai lengkingan panjang, langkah Tosa tersentak ke depan ketika pedang pendek Ki Samba menancap di punggungnya. Tubuhnya langsung ambruk, tanpa dipedulikan sisa anak buahnya yang terus melarikan diri. Setelah berkelojotan sejenak, dia mati meninggalkan rasa penasaran.

Di sisi Pesanggrahan Telaga Warna Rukmini sedang dikeroyok puluhan orang yang juga menghendaki Bunga Nirwana. Mereka juga tidak percaya kalau bunga itu belum mekar, dan bermaksud melihatnya sendiri. Tentu saja Bidadari Tongkat Hijau jadi gusar.

"Keparat...! Kalian pikir aku ini apa?! Di tempatku kalian tidak dapat berbuat semaunya.... Lekas tinggalkan tempat ini. Atau, terpaksa kalian kukirim ke neraka jahanam...!" bentak BidadariTongkat Hijau.

"Ha ha ha...! Boleh saja kau membual. Bagi Jagabaya, Ketua Perguruan Waringin Pitu, penghuni Pesanggrahan Telaga Warna tidak ada artinya sama sekali...!" ejek laki-laki berkepala botak yang bernama Jagabaya sambil memutar-mutar senjatanya yang berupa gada berduri.

"Hiaaa...!" Mendapat ejekan Jagabaya yang berkepala botak, Rukmini jadi berang. Dengan tongkatnya, yang berwarna hijau, diterjangnya laki-laki itu dengan tenaga penuh.

Trang!

Tapi, gada berduri yang berat milik Jagabaya mampu menangkisnya. Kedua senjata itu sama-sama tertolak balik. Rupanya kedua tokoh ini menggunakan tenaga dalam berimbang. Begitu tubuh Rukmini terjajar, saat itulah berbagai senjata tajam meluruk ke arahnya. Namun dengan jurus-jurus silatnya yang jarang terlihat, Bidadari Tongkat Hijau berhasil membendung serangan. Tongkatnya menderu-deru bagaikan angin topan. Siapa saja yang berusaha mendekat pasti akan terhajar.

"Ciaaat...!"

Memasuki jurus ke sepuluh, Bidadari Tongkat Hijau telah berhasil mendesak Jagabaya. Tetapi karena para pengeroyok semakin banyak, Bidadari Tongkat Hijau jadi kerepotan. Apalagi, mereka rata-rata berkepandaian tinggi dan bertabiat licik.

Begitu juga keadaan si Lutung Pancasona. Dia saat ini sedang dikeroyok para tokoh aliran hitam berkepandaian tinggi. Mereka tidak malu melakukan keroyokan pada lawan yang dianggap mempunyai kepandaian tinggi. Bahkan ketiga putri suami istri itu juga mendapat nasib serupa. Hanya saja keadaan mereka bertiga lebih parah lagi. Karena wajah mereka cantik, para pengeroyok jadi semakin kurang ajar dalam melakukan serangan. Bahkan banyak yang melampaui batas dalam mengejek dengan mengumbar kata-kata kotor.

Tetapi sebagai anak-anak pendekar kenamaan, mereka telah ditempa untuk bertindak gagah dan tegar dalam menghadapi segala cobaan. Walaupun tahu keadaan sangat berbahaya, tetapi mereka tetap bertahan dengan segala kemampuan.

Pada saat yang gawat bagi Sri Kundalini, Sri Agni Kumala, Sri Padmi, tahu-tahu muncul laki-laki tua dengan senjata guci dan seorang pemuda bersenjata clurit perak. Dua orang yang tak lain Ki Demong dan Wisnupati membantu gadis-gadis ini menahan serangan orang-orang persilatan golongan hitam. Dengan bantuan guru dan murid itu keadaan jadi berimbang kembali. Bahkan ketiga gadis itu mengamuk dengan pedang di tangan.

"Yeaaat!"

Brebet!

"Aaa...!"

Kembali korban jatuh dari tokoh persilatan golongan hitam. Sementara para tokoh sesat dihadang Ki Demong dengan guci dan semburan tuaknya. Sedangkan Wisnupati juga mengamuk. Clurit peraknya berseliweran mencari mangsa. Tiga orang yang memandang rendah Pemabuk Dari Gunung Kidul menyerang dari belakang. Tetapi... Mendadak Ki Demong berbalik, seraya menyemburkan tuaknya.

"Fruhhh...!"

Wusss!

"Waaa...!"

Ketiga orang itu kontan berteriak kesakitan dengan tubuh terbakar. Dengan kalang kabut, mereka berlari ke tepi telaga dan menceburkan diri. Melihat kejadian itu, Ki Demong dan Wisnupati tertawa terbahak-bahak.

"Kisanak berdua.... Kami mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian...," ucap Sri Kundalini gadis yang tertua.

"Sudahlah. Hajar mereka yang tidak punya malu itu.... Aku dan muridku akan melindungi kalian bertiga...," ujar Ki Demong.

ENAM

Ki Samba alias si Lutung Pancasona tengah berhadapan dengan tiga datuk sesat. Dua orang berwajah kembar. Mereka berasal dari Gunung Merapi dan mengaku bernama Kudapaksi dan Kudapaksa. Namun yang paling berbahaya adalah seorang laki-laki tua berhidung bengkok bagaikan paruh burung. Senjatanya tongkat yang berujung seperti burung, lengkap dengan sayap terkembang dan paruh tajam. Dia sebelumnya mengaku bernama Petet Buluk alias si Burung Mayat.

Saat ini Kudapaksi dan Kupaksa tems mendesak si Lutung Pancasona. Golok besar di tangan kedua orang kembar itu berseliweran mencari mangsa. Tetapi sampai sejauh itu, Ki Samba masih dapat bertahan dengan sepasang pedang pendek yang dimainkan sedemikian rupa.

Mendapati serangannya selalu gagal, tentu saja Kudapaksi dan Kudapaksa jadi geram. Dengan golok mereka terus mendesak si Lutung Pancasona. Bila yang satu menyerang kaki, yang seorang lagi menyerang leher. Suatu kerja sama yang sangat baik dan membahayakan.

Namun sambil berloncatan, Ki Samba berhasil menjauhi kedua lawannya. Bahkan dalam keadaan demikian, sepasang pedang di tangannya berusaha membalas serangan pada dua orang kembar itu sekaligus. Namun sebelum niatnya terlaksana, satu sosok bayangan telah melesat dan langsung memapak serangannya.

"Ciaaat...!"

Trang! Trang!

Lutung Pancasona merasa tangan yang memegang pedang bergetar hebat. Hampir saja kedua pedangnya lepas. Ketika dia berhasil menguasai diri, matanya langsung menatap tajam sosok yang memapak serangannya. Ternyata dia adalah orang tua berhidung bengkok, yang berjuluk si Burung Mayat yang kembali turun tangan.

Lutung Pancasona segera mengerahkan tenaga dalam sampai puncak kemampuannya. Kemudian dengan jurus andalannya, mulai diserangnya Petet Buluk. Sepasang pedang di tangannya, terus mencecar dan mengurung jalan keluar laki-laki berjuluk si Burung Mayat.

"Haaat!"

Tongkat berkepala burung di tangan Petet Buluk bergerak menyodok dada Ki Samba. Secepat kilat, Lutung Pancasona menyilangkan pedangnya. Namun si Burung Mayat menarik kembali serangannya. Bahkan cepat merubahnya menjadi sodokan ke arah perut.

"Haaat!"

Trang!

Dengan sekuat tenaga, kedua pedang pendek Lutung Pancasona menggunting tongkat si Burung Mayat. Namun akibatnya, tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Pada saat yang sama Kudapaksa dan Kudapaksi berkelebat berbarengan sambil menyabetkan golok dari belakang. Dari....

Cras! Cras!

"Aaakh...!"

Kedua orang kembar itu berhasil melukai punggung Lutung Pancasona. Tapi pada saat itu juga Ki Samba memutar tubuhnya sambil menusukkan pedangnya.

Crasss...!

"Aaa...!" Terdengar teriakan menyayat dari mulut Kudapaksi ketika salah satu pedang pendek Ki Samba menancap di dada hingga tembus ke punggung.

Sementara Kudapaksa berhasil melemparkan tubuhnya ke kiri, hingga luput dari serangan mendadak Ki Samba.

Sambil meringis kesakitan karena punggungnya tergores, si Lutung Pancasona mencabut pedangnya yang masih menancap. Tepat ketika pedang pendek itu tercabut, Kudapaksi ambruk dengan darah berhamburan.

Melihat saudara kembarnya tewas, Kudapaksa bergegas bangkit. Lalu disertai amarah membludak, tubuhnya berkelebat, mencecar Lutung Pancasona dengan goloknya.

Bersamaan dengan serangan berbahaya dari Kudapaksa, Petet Buluk meluruk sambil menghantamkan tongkatnya pada kepala Ki Samba. Keadaan si Lutung Pancasona sangat berbahaya. Nyawanya bagai telur di ujung tanduk. Namun....

"Hiaaa...!"

Saat yang menentukan ini, dipecahkan sebuah teriakan menggeledek yang disertai berkelebatnya sesosok bayangan putih. Yang langsung memapak serangan Petet Buluk.

Trang!

Pedang milik sosok bayangan putih yang dipakai menangkis tongkat berkepala burung milik Petet Buluk kontan patah menjadi tiga bagian. Tetapi paling tidak, kedatangan sosok itu tepat pada waktunya.

Si Burung Mayat tersentak mundur. Sedang sosok yang menangkis serangan tetap di tempat. Pedangnya yang patah menjadi tiga bagian dibuangnya.

Ki Samba sendiri begitu berhasil menangkis serangan Kudapaksa, cepat memutar tubuhnya. Pedang di tangannya seketika berkelebat ke leher. Dan....

Wuuut! Crasss...! Blug!

Kepala Kudapaksa kontan jatuh menggelinding di atas tanah begitu berhasil ditebas Ki Samba. Lalu si Lutung Pancasona segera menatap sosok yang membantunya dan ternyata seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan sinar mata menyiratkan rasa terima kasih.

Sementara itu Petet Buluk segera menatap tajam pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti dengan mata mengecil, pertanda tengah marah besar. Tongkat di tangan kanannya bergetar. Tulang belulang ditubuhnya sampai berbunyi berkerotokan.

"Bocah buduk...! Siapakah kau...?! Mengapa ikut campur dalam urusanku...?.'" bentak si Burung Mayat dengan suara serak.

"Aku Rangga, yang tak akan membiarkan orang-orang telengas berkeliaran di sini. Kalian bukan orang sini.... Mengapa hendak menyebar petaka di tempat terpencil yang tidak pernah berurusan dengan dunia luar...?" Rangga balik bertanya penuh perbawa.

"He he he...! Kurasa kau telah tahu.... Untuk apa bertanya dan berpura-pura segala...? Aku sendiri tidak tahu, mengapa kau berada di sini...? Kurasa anak kecil pun tahu, kalau kau mempunyai tujuan sama. Hanya caranya saja yang berbeda...," sindir si Burung Mayat sambil tersenyum.

"Terserah anggapanmu... Yang jelas, aku tidak akan membiarkan orang licik mengganggu orang yang tidak bersalah. Apalagi sampai menimbulkan banjir darah" sahut Pendekar Rajawali Sakti mantap.

"Anak muda..., biarkanlah aku mengusir manusia itu...," ujar Ki Samba.

"Lindungi saja anak gadismu, Ki Samba... Biar iblis ini aku yang mengurusi," ujar Rangga, tanpa maksud merendahkan Ki Samba.

"Baiklah kalau begitu. Sekali lagi kuucapkan terima kasih...." Si Lutung Pancasona seketika berlari cepat guna membantu ketiga anak gadisnya.

"Heaaa...!"

Sementara itu, Petet Buluk merasa tidak dipandang sebelah mata menjadi marah. Disertai teriakan nyaring, tongkatnya diputar sedemikian rupa sampai menimbulkan suara mengaung. Dan tiba-tiba dihantamkannya pada pinggang.

Menghadapi serangan dahsyat ini, Rangga meloncat mundur untuk mengatur jarak. Tapi Petet Buluk terus mendesaknya. Tongkatnya kembali diputar bagaikan kitiran. Serangannya mengarah ke atas dan ke bawah. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus melenting beberapa kali ke belakang untuk menghindari serangan.

Wuuut! Wuuut!

"Uts...!" Rangga segera mengeluarkan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Tubuhnya terhuyung-huyung ke Sana kemari menghindari serangan beruntun dari tongkat si Burung Mayat. Maka tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.

Dengan perasaan heran dan terselip rasa kagum, si Burung Mayat terus mencecar dengan tongkat mautnya. Begitu habis membuat gerakan meliuk, Rangga menjulurkan tangannya dengan tenaga dalam tinggi untuk menggedor dada Petet Buluk. Namun dengan tangkas, si Burung Mayat meloncat selangkah seraya menahan gedoran Rangga dengan telapak tangannya.

Plak!

Bentrokan dua tenaga dalam tinggi terjadi, menimbulkan suara keras. Pendekar Rajawali Sakti merasa tangannya bergetar. Sedangkan Petet Buluk terdorong kebelakang.

Terbuktilah kini, tenaga Rangga lebih kuat beberapa tingkat. Si Burung Mayat langsung mengawasi Pendekar Rajawali Sakti dari kepala sampai kaki.

"Pantas, kau berani banyak tingkah didepanku. Kiranya kau mempunyai sedikit kepandaian...! Tapi hari ini adalah batas ajalmu, Bocah Sombong.... Bersiaplah kau...!" desis Petet Buluk. "Yeaaa...!"

Belum sempat Rangga menjawab, tongkat berkepala burung milik si Burung Mayat telah meluruk menghantam kepala. Cepat Rangga menunduk dengan tangan bergerak cepat mengambil golok yang tergeletak di tanah dan langsung menangkisnya.

Tring...!

Dengan hati terkejut si Burung Mayat terjajar ke belakang beberapa langkah. Kini disadari kalau dirinya sedang berhadapan dengan lawan tangguh dan memiliki kepandaian tinggi. Belum hilang rasa terkejut laki-laki berhidung bengkok itu, Pendekar Rajawali Sakti telah kembali meluruk menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' sambil mengebut-ngebutkan golok. Melihat serangan dahsyat ini, Petet Buluk cepat memutar tongkatnya seperti baling-baling.

Trang! Trang! Trang!

Bentrokan senjata terdengar berkali-kali. Tubuh Petet Buluk kembali terjajar. Tangannya bergetar dan sampai lecet-lecet saat menangkis serangan Rangga tadi. Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat di tanah dengan mantap. Matanya tajam menatap si Burung Mayat.

"Kudengar, kau sering menyebar petaka dalam dunia persilatan yang membuat kaum persilatan resah. Karena itu, terpaksa aku tak bisa membiarkan kaummu berkeliaran," kata Rangga penuh tekanan, sambil membuang golok di tangannya.

Sehabis berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat mengerahkan gabungan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Menghadapi jurus ampuh ini, si Burung Mayat jadi kelabakan dan terdesak hebat. Apalagi Rangga mengajak bertarung dalam jarak pendek. Sehingga sulit bagi tongkat di tangan si Burung Mayat membendung serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pada jarak yang memungkinkan Rangga melepaskan serangan tangan kosong dalam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Wuuuttt...!

Tangan Rangga yang telah merah membara menderu cepat menjarah ke dada. Dengan cepat si Burung Mayat melenting ke atas menghindari serangan. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus memburunya setelah mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kibasan tangan Rangga yang bagai kepakan sayap rajawali meluruk cepat ke perut Petet Buluk.

Desss...!

"Aaakh...!" Si Burung Mayat kontan terlontar deras ke belakang.

Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah meluruk mengejar dengan mengganti jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu dekat, dihantamnya kepala Petet Buluk dengan kedua tangan yang berisi tenaga dalam amat tinggi. Hingga...

Prakkk...!

"Aaa...!" Begitu menyentuh tanah, kepala si Burung Mayat telah retak dengan darah menggenangi kepalanya. Sebentar tubuhnya meregang nyawa, lalu diam tidak berkutik lagi. Mati!

Sementara itu si Bidadari Tongkat Hijau tengah dalam keadaan mengkhawatirkan. Dia dikeroyok sosok ramping berpakaian serba hijau dengan wajah tengkorak, dan dua orang laki-laki bertubuh kerdil yang bersenjatakan rantai berujung bola berduri. Putaran senjata itu menimbulkan angin dan suara yang menyeramkan.

Menghadapi serangan dahsyat yang mematikan, Bidadari Tongkat Hijau menggunakan jurus andalannya. Tongkatnya diputar bergulung-gulung menyerang dan membentuk pertahanan diri. Tapi serangan istri Ki Samba itu selalu berhenti di tengah jalan, karena sosok berwajah tengkorak itu terus mengganggunya. Lemparan binatang beracun sangat mengganggunya.

"Yeaaa...!"

Mendadak kedua orang cebol mengayunkan rantainya, membuat bola berduri itu meluruk deras. Namun dengan tangkas, Bidadari Tongkat Hijau memapak serangan tongkatnya.

Trak! Trak!

Pada saat itu pula, sosok berwajah tengkorak yang memang si Manusia Tengkorak meluruk dari belakang dengan satu hantaman kuat. Dan...

Desss...!

"Aaakh...!"

Satu pukuan tangan si Manusia Tengkorak menghantam pundak Rukmini hingga terhuyung-huyung ke depan beberapa langkah. Pundaknya yang terkena pukulan langsung hangus mengeluarkan bau sangit. Baru saja Bidadari Tongkat Hijau berbalik, si Manusia Tengkorak melemparkan beberapa binatang berbisa.

Set! Set!

Bersamaan dengan itu, sepasang orang cebol kembali mengayunkan rantai bola berdurinya. Bidadari Tongkat Hijau memang bisa menghindari binatang-binatang beracun itu dengan melompat mundur. Tapi bola berduri dua orang cebol itu terus mengejamya. Sehingga....

Cras! Crass...!

"Aaakh..,!"

Ujung rantai yang merupakan bola berduri itu menghantam kaki dan pinggang Rukmini dengan tepat. Tak ampun lagi, Bidadari Tongkat Hijau terlempar dengan mendapat luka lumayan parah. Darah pun mulai membasahi pakaiannya.

Saat itu pula tiga tokoh hitam itu menerjang dengan serangan-serangan maut. Bidadari Tongkat Hijau jadi nekat, Dengan sekuat tenaga disambutinya serangan itu.

Pada saat yang mengkhawatirkan, berkelebat dua sosok bayangan yang satu memegang tongkat berwarna hitam, Sedangkan yang satu lagi memegang tongkat berwarna merah, Dengan tongkat, kedua sosok ini menahan serangan rantai berduri milik kedua orang cebol.

Trak! Trak!

Terhindarlah Rukmini dari kematian, Sementara kedua orang cebol itu terjajar mundur, Sedangkan serangan si Manusia Tengkorak berhasil ditahan tongkat hijau milik istri Ki Samba itu.

"Ah...?! Kiranya Sepasang Iblis Cebol berhadapan dengan Sabda Gendeng dan muridnya.... Pantas seranganku dapat ditahan...," kata salah seorang cebol yang bersama cebol satunya memiliki julukan Sepasang Iblis Cebol.

"Ha ha ha...! Syukurlah kalau kau sudah tahu... Aku paling tidak suka ikut campur urusan orang lain. Tetapi, kalau urusannya tidak benar, terpaksa aku harus ikut campur...! Tidak peduli walau harus berkorban nyawa sekalipun...," balas sosok yang baru datang yang ternyata Ki Sabda Gendeng.

"Tua bangka tidak tahu diri...! Mampuslah kau...!" seru salah satu orang cebol dengan wajah merah.

Saat itu juga rantainya menderu menerjang kedua guru dan murid ini. Gerakannya diikuti cebol yang satunya. Sambil tertawa-tawa, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang meladeni kehendak Sepasang Iblis Cebol.

Gerakan guru dan murid yang acak-acakan dan lucu ini telah membuat kedua orang cebol itu jadi hilang akal. Nyatanya memang kepandaian Sepasang Iblis Cebol itu masih di bawah Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang.

Lima belas jurus kemudian, guru dan murid itu berhasil mendesak Sepasang Iblis Cebol habis-habisan. Jatuhnya kedua orang cebol ini tinggal menunggu waktu saja.

Benar saja. Ketika kedua orang cebol itu loncat ke atas menghindari sabetan tongkat Ki Sabda Gendeng yang mengarah ke kaki, tiba-tiba tongkat itu bergerak mengejarnya.

Creb!

"Wuaaa...!"

Satu dari Sepasang Iblis Cebol berteriak menyayat ketika tongkat Ki Sabda Gendeng berhasil menembus perutnya. Ketika dicabut, darah menyembur dari lubang lukanya. Tubuhnya langsung jatuh ke bumi. Dia berkelojotan sejenak, lalu diam untuk selama-lamanya.

"Aaa...!"

Belum juga sekejapan salah satu cebol tewas, cebol yang lain mengalami nasib yang sama. Tongkat Jaka Tawang ternyata berhasil menghujam dadanya hingga tembus ke jantung. Tamat sudah riwayat Sepasang Iblis Cebol dengan membawa dendam yang dalam.

Sementara itu si Manusia Tengkorak telah melepas selendang hijaunya. Dengan senjata ini dia berusaha mendesak Bidadari Tongkat Hijau. Bagaikan ular hidup, selendang hijau yang berbau harum ini mendesak Rukmini.

Set! Set!

Dalam keadaan terdesak oleh selendang hijau, Bidadari Tongkat Hijau terus disusuli lemparan binatang-binatang beracun si Manusia Tengkorak yang mematikan.

"Hiih...!"

Wuttt...!

Tes! Tesss...!

Dengan memutar tongkat hijaunya, Rukmini mencoba mematahkan serangan binatang-binatang beracun. Tapi pada saat yang sama selendang hijau si Manusia Tengkorak berkelebat cepat ke arahnya. Dan...

Ctar!

"Aaargh...!" Bidadari Tongkat Hijau kontan berteriak menyayat begitu selendang hijau menghantam dada-nya. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sambil menekap dada. Sedang dari mulutnya memuntahkan darah segar. Napasnya terasa menyesak. Jelas, sabetan itu disertai tenaga dalam tinggi.

Set! Set!

Mendapat kesempatan baik, si Manusia Tengkorak kembali melemparkan segenggam binatang beracun. Dalam keadaan demikian. Rukmini tak bisa mengelak lagi. beberapa kelabang dan kalajengking langsung menyengatnya.

"Aaakh...!" Bidadari Tongkat Hijau mengeluh tertahan. Tubuhnya bergetar hebat. Sebentar saja wajahnya pucat, lalu membiru. Dia berusaha mengerahkan hawa murninya.

"Keparat...! Mari kita mengadu jiwa...!" teriak Bidadari Tongat Hijau seraya mengempos semangatnya. "Hiaaa...!"

Blug! "Hegh...!"

Sebelum serangannya sampai, Rukmini telah ambruk ke tanah dengan jiwa melayang. Ki Sabda Gendeng dan muridnya tidak dapat berbuat apa-apa, karena kejadian itu sendiri hanya berlangsung beberapa gebrakan saja.

"Chiaaat...!" Dengan berteriak murka, Ki Sabda Gendeng menerjang. Jaka Tawang yang sama urakan dengan gurunya tidak mau peduli soal main keroyok atau tidak. Dia pun ikut bantu menyerang.

Menghadapi kedua orang konyol ini, si Manusia Tengkorak tak dapat berkutik. Lemparan binatang berbisanya, disambut lemparan biji-biji catur. Selendang hijaunya dilayani dua tongkat yang mampu bekerja sama baik sekali. Bila yang satu menyerang, yang satunya melindungi.

TUJUH

"Hiaaat...!" Sambil menggulingkan tubuhnya, tongkat Ki Sabda Gendeng menyerang kaki si Manusia Tengkorak.

"Hup!" Si Manusia Tengkorak yang bernama asli Rara Wulan berloncatan bagai katak, menyelamatkan kakinya dari kejaran tongkat. Pada saat yang sama, Jaka Tawang membabatkan tongkatnya ke arah pinggang. Namun serangan pemuda itu luput, karena Rara Wulan telah berjumpalitan ke udara.

"Huuup...!" Ki Sabda Gendeng tak sudi membiarkan lawannya lolos. Tubuhnya langsung melenting sambil menyambarkan tongkatnya. Bret! Baju hijau si Manusia Tengkorak koyak besar pada bagian dada, tersambar tongkat Ki Sabda Gendeng, Sehingga, sebagian dadanya yang membusung indah dan berlapis kulit mulus terlihat.

Dengan terkejut wanita yang memakai topeng tengkorak ini loncat kembali, menjauhi guru dan murid yang terus mendesaknya.

"Setan alas...! Mampuslah kau...!" dengus si Manusia Tengkorak, merasa malu bukan main. Seketika, si Manusia Tengkorak meluruk sambil mengebutkan selendang hijaunya. Suara ledakan selendang terdengar berkali-kali.

Namun dengan tingkahnya yang tak beraturan, guru dan murid ini berjingkrakan sambil mengitari si Manusia Tengkorak. Lama kelamaan, wanita bertopeng ini jadi kelabakan. Dia benar-benar mati kutu menghadapi kedua orang gendeng ini.

"Ciaaat...!" Tiba-tiba dengan tak terduga, Ki Sabda Gendeng melenting ke udara. Dan ketika menukik turun, tongkatnya digetarkan keras. Sehingga ujungnya jadi tampak banyak. Dan ini membuat si Manusia Tengkorak bingung. Akibatnya...

Bret!

"Aaakh...!" Topeng penutup wajah yang berbentuk tengkorak kontan koyak dan tanggal dari wajahnya. Maka, tampaklah seraut wajah cantik seorang wanita mengenakan pakaian serba hijau dengan selendang berwarna hijau juga. Guru dan murid yang tidak menyangka akan hal itu, jadi bengong dan termangu-mangu di tempatnya.

"Sheaaat...!"

Secara tak terduga, wanita cantik bernama Rara Wulan itu melompat, melakukan tendangan kilat. Karena sedang terpaku melihat kejadian tadi, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang jadi terkesiap. Dan....

Des...! Desss...!

"Aaakh...!"

"Adauuwww...!"

Guru dan murid itu kena tendangan keras, hingga jatuh di atas tanah. Tapi, secepat itu pula mereka bangkit dan menyerang kembali. Kini kembali terjadi perkelahian sengit. Jurus demi jurus terus dilalui penuh ketegangan.

Pada kesempatan itu, tampak berkelebat sosok dengan sebuah guci tuak. Sambil tertawa-tawa, sosok yang tak lain Ki Demong meneguk tuak merah yang menimbulkan bau harum. Kemudian dengan seenaknya, tuak yang berada di mulut disemburkan pada wanita berpakaian serba hijau.

"Fruuhhh...!"

Semburan tuak yang disertai kobaran api, menerjang Rara Wulan. Sejenak wanita itu terkejut. Namun dia sudah hafal dengan musuh bebuyutannya ini. Maka....

"Tarian Dewi Selendang...!" Sejenak si Manusia Tengkorak membuat gerakan dengan selendangnya. Rupanya, dia tengah memainkan jurus andalannya yang diberi nama Tarian Dewi Selendang'.

Gerakan selendangnya sebentar lemas bagaikan ular, sesaat kemudian kaku bagaikan besi. Lalu, seketika selendangnya berkelebat, mematahkan semburan tuak.

Prat! Prat!

"Ha ha ha...! Ayo habiskan semua simpanan yang kau miliki...! Kali ini kau tidak akan kulepaskan lagi...! Sudah cukup kau menipu dan mencelakai aku...!" tantang si Pemabuk Dari Gunung Kidul, mengejek.

Sambil berkata demikian, tubuh Ki Demong meluruk dengan guci terus mencecar. Serangannya yang kacau balau bagaikan orang sedang mabuk. Namun sesunguhnya itu adalah serangan maut dari jurus 'Dewa Gila Mabuk Tuak' yang dahsyat.

Melihat Ki Demong turun tangan membantu, Ki Sabda Gendeng jadi berteriak-teriak mencegahnya. "Whei..., hei...! Kau tidak boleh ikut campur, Demong.... Lebih baik menonton saja di pinggiran...," ujar Ki Sabda Gendeng.

"Kau yang harus minggir.... Setan ini punya hutang padaku. Jadi, aku sendirilah yang berhak menagihnya...! Kau dan muridmu menonton saja di pinggiran...," balas Ki Demong sambil menyemburkan tuaknya.

Tetapi, orang tua yang gila catur itu tidak akan mau diatur. Dengan berteriak keras, serangannya malah diperhebat. Dikeroyok tiga orang yang memiliki kepandaian tinggi. Rara Wulan jadi terdesak hebat. Permainan selendangnya tidak dapat berkembang. Malah semakin lama jangkauan serangannya jadi semakin kecil.

"Yaaat!" Pada satu kesempatan tongkat Ki Sabda Gendeng dan semburan tuak Ki Demong yang semuanya berisi tenaga dalam tinggi, menghantam selendang hijau si Manusia Tengkorak.

Brebet!

"Bangsat...! Kalian telah merusak selendangku...!" dengus Rara Wulan sengit. Saat itu juga tangannya melemparkan segenggam kelabang dan kalajengking beracun.

"Awas, Demong...!" teriak Ki Sabda Gendeng.

"Fruhhh...! Kau tak perlu khawatir... Binatang beracun ini makananku sejak beberapa waktu berselang...," tukas Ki Demong setelah menyemburkan tuak dari mulutnya.

Binatang-binatang beracun itu berjatuhan dalam keadaan hangus. Tidak sampai di situ saja. Guci tuak si Pemabuk Dari Gunung Kidul tiba-tiba menghantam kaki Rara Wulan.

Diegkh...!

"Aaakh...!" Akibat rasa sakit yang menyengat sampai ke ulu hati, Rara Wulan berjingkrakan sambil mengaduh-aduh.

"He he he...! Ada monyet wanita sedang menari... Lihat wajahnya... Lucu sekali...," ejek Ki Sabda Gendeng sambil memegang perutnya.

Diejek seperti itu, Rara Wulan jadi kalap. Dia juga sadar, walaupun ingin lari, jalan keluar telah tertutup. Maka bagaikan seekor harimau yang terpojok, si Manusia Tengkorak ini mengamuk dengan terpincang-pincang. Ditepaskannya satu tendangan lurus ke arah Ki Demong. Namun....

Crab!

"Aaakh...!"

Pada saat yang sama Ki Sabda Gendeng meluruk sambil menusukkan tongkatnya ke paha. Kontan Rara Wulan terpekik dengan tubuh berputar. Dalam keadaan demikian, mendadak tongkat Jaka Tawang menyambar deras.

Cras...!

"Aaakh...!" Kembali Rara Wulan terpekik, ketika punggungnya tersambar tongkat.

Dalam waktu singkat, si Manusia Tengkorak telah mandi darah. Wajahnya berubah pucat. Dan pandangan matanya mulai berkunang-kunang. Namun dengan terhuyung-huyung, Rara Wulan terus berusaha mengajak mati bersama. Hanya saja serangannya tidak berbahaya lagi karena telah banyak darah yang keluar dari luka di sana sini.

"Hiaaa...!" Disertai teriakan menggelegar, Pemabuk Dari Gunung Kidul meluruk deras disertai hantaman guci tuaknya.

Bug!

"Auuu...!" Sebuah pukulan telak bersarang di punggung Rara Wulan. Tubuhnya kontan bergulingan disertai muntahan darah segar. Belum lagi dia dapat berdiri tegak. Kembali sebuah tendangan berisi tenaga dalam Ki Sabda Gendeng menghujam perut.

Desss...!

"Ughhh...!" Tak dapat ditahan lagi, tubuh Rara Wulan kembali jatuh terjengkang dan langsung pingsan. Ki Demong yang mempunyai dendam, bermaksud menghabisinya. Namun...

"Tahaaan...!"

Pada saat yang berbahaya bagi Rara Wulan, terdengar sebuah teriakan keras menggelegar yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan putih. Bahkan bayangan itu langsung menangkis guci Ki Demong dengan sentilan jarinya.

Ctrakk!

"Aaakkh...!" Hampir saja guci tuak itu terlepas dari tangan Ki Demong. Sejenak Pemabuk Dari Gunung Kidul terjajar, kemudian matanya menatap sosok yang menahan serangannya. Ternyata sosok itu tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

Sambil berdiri, Rangga mengawasi mereka. "Maaf, Ki. Bukan aku hendak ikut campur tangan.... Wanita ini sudah tak berdaya. Tak layak bagi tokoh ksatria menghabisi musuh tak berdaya. Lagipula, dia punya urusan denganku.... Bahkan kurasa, urusanku dengannya lebih penting daripada urusan kalian...." ucap Rangga, perlahan.

"Wah..., wah...! Biasanya kau selalu benar dan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti! Tetapi kali ini tindakanmu tidak dapat kubenarkan... Apalagi kau bilang urusanmu lebih penting daripada urusan kami berdua. Coba katakan, urusan apa itu...?" tanya Ki Demong dengan mata mendelik.

Rangga memejamkan matanya. Kepala menggeleng-geleng. Lalu menarik napas panjang. Tampaknya Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir keras. "Baiklah, karena kalian memaksa terpaksa hal ini harus kujelaskan pada kalian...." Lemah sekali kata-kata Rangga kali ini.

Kemudian diceritakannya segala yang dialaminya dengan wanita bernama Rara Wulan itu. Semua itu disambung dengan hilangnya pedang pusaka miliknya yang terampas oleh wanita cantik ini (Untuk jelasnya baca Pendekar Rajawali Sakti yang berjudul Gerger Di Telaga Warna)

Setelah mendengar kisah Rangga, Ki Demong tampak memerah mukanya. Dia tampak menyesali kata-katanya tadi. Sambil menunduk, orang tua pemabukan yang bandel itu meminta maaf pada Rangga.

"Sudahlah, Ki.... Asal kau mau mengerti, aku sudah bersyukur dan berterima kasih padamu."

Setelah selesai menjelaskan semuanya, Rangga menghampiri Rara Wulan yang masih tergeletak tidak sadarkan diri. Segera ditotok dan diurutnya beberapa jalan darah di tubuh wanita itu.

"Ohhh...!"

Selang sesaat, Rara Wulan yang cantik ini membuka matanya disertai desahan halus. Setelah tahu siapa yang berada di sampingnya, dia berusaha bangkit. Tetapi, wanita yang terluka parah ini jatuh kembali.

"Tenanglah, Nisanak.... Aku hanya ingin bertanya sedikit. Setelah itu, aku akan berusaha menolongmu karena kau punya urusan denganku...," ujar Rangga, perlahan.

"Tidak perlu.... Semua akan sia-sia saja...," tolak Rara Wulan.

"Mengapa...?"

"Aku telah mendapat luka dalam parah. Isi perutku serasa hancur semua.... Kurasa, hanya tinggal menunggu waktu saja. Lebih baik bunuh saja aku sekarang.

"Kalau begitu, mengapa kau datang kemari dan menghendaki Bunga Nirwana yang bukan milikmu...?" tanya Rangga.

"Kedatanganku kemari demi untukmu, Kisanak...."

"Untukku...?" Rangga balik bertanya dengan perasaan heran.

"Yah...! Aku merasa bersalah karena pedang pusakamu telah dirampas seorang tokoh persilatan dari dataran Cina. Untuk mendapatkannya kembali, aku harus memiliki kepandaian lebih tinggi lagi.... Tapi, itu tak mungkin! Jalan satu-satunya, aku harus memiliki tenaga dalam yang lebih kuat. Sebab, aku akan menyusulnya ke daratan Cina.... Dan bila kudapat, pedang itu akan kukembalikan padamu. Selama aku memegang pedang itu, sebenarnya aku telah menyadari kalau aku berada di jalan sesat. Bisakah aku bertobat? Hah.... Korban akibat nafsu serakahku telah cukup banyak. Ini karena aku berguru pada orang yang salah....! Dendamku pada beberapa tokoh persilatan yang telah membunuh kedua orang tuaku, ternyata hanya dendam buta.... Aku rupanya selama ini hanya menjadi boneka Bibi Guruku sendiri, yang ternyata dari golongan sesat. Rupanya yang membunuh kedua orang tuaku adalah Bigi Guruku, dengan memfitnah para tokoh persilatan dari golongan putih. Hal itu kuketahui dari seorang kerabatku yang berjuluk Pendekar Tangan Satu.... Itulah sebabnya, aku berubah pikiran sekarang...."

Sejenak Rara Wulan menghentikan ceritanya. Napasnya makin tersengal. Darah kembali meleleh di sudut bibirnya.

"Karena rasa bersalahku padamu, maka aku bertekad untuk mencari tokoh dari daratan Cina itu dengan terlebih dahulu mencari Bunga Nirwana. Tapi sayang, keinginanku tak terwujud, karena dihadang Pemabuk Dari Gunung Kidul yang memang mempunyai dendam padaku, dibantu kawan-kawannya. Tapi aku ikhlas.... Mereka memang berhak melampiaskan dendam padaku yang telah kotor dan hina dina ini...." Rara Wulan memberi penjelasan secara panjang lebar, napasnya semakin melemah.

"Demi kepentinganku, kau pun telah melakukan pembunuhan kembali.... Itu pun salah," sela Rangga menjadi kasihan melihat wanita itu.

"Ak..., ku..., menger... ti.... Tetapi itu kulakukan karena mereka menghalangi dan menyerangku. Aku hanya ingin menggembalikan pedang pusaka itu, lain tidak..."

"Yah.... Sudahlah.... Semua telah terjadi. Biar kucoba untuk menyembuhkan lukamu...."

"Tidak perlu.... Itu hanya membuang tenaga saja. Aku puas mati di tangan mereka.... Kakang Rangga, peluklah aku di saat terakhirku ini..... Dan, bolehkah aku memanggilmu 'kakang'...?" tanya Rara Wulan lemah.

Sementara napasnya tinggal satu-satu. Pendekar Rajawali Sakti tahu wanita di hadapannya ini sebentar lagi akan dijemput maut. Maka tanpa pikir panjang lagi, dipeluknya Rara Wulan erat-erat.

"Kakang..!" Sekali lagi wanita cantik itu memanggil Rangga dengan sebutan kakang, kemudian kepalanya terkulai. Rara Wulan mati dalam pelukan Rangga.

Yang hadir sama menarik napas. Mereka tidak menyangka kalau wanita yang kejam luar biasa itu pada akhirnya dapat insyaf dan menemui ajal dalam pelukan pendekar yang memiliki nama besar.

********************

Beberapa tokoh persilatan golongan lurus beramai-ramai terus membantu Ki Samba mengusir orang-orang golongan sesat yang tidak diundang. Dengan kepandaian yang lebih tinggi, mereka berhasil mengusir semua tokoh-tokoh sesat itu.

Sebagian tokoh yang penasaran, setelah pertarungan usai dipersilakan untuk melihat Bunga Nirwana yang memang masih kuncup. Karena kecilnya bunga itu, sehingga tak akan terlihat bila tidak diperhatikan dengan seksama, letaknya pun di antara baris-baris rerumputan.

Sehingga ketika pertarungan terjadi, tak seorang tokoh persilatan pun yang menyadari kalau bunga itu terletak di halaman pesanggrahan ini, Memang tak ada yang menyangka kalau bunga-bunga itu hanya sebesar bunga pohon putri malu.

Yang jelas manusia boleh berusaha dan mengira-ngira. Tetapi, kehendak Yang Maha Kuasa jugalah yang menjadi penentu. Rupanya takdir itu terjadi di Pesanggrahan Telaga Warna ini.

Setelah para tokoh persilatan kembali, tuan rumah menyatakan terima kasih walau bersedih telah kehilangan Bidadari Tongkat Hijau. Memang tidak ada perjuangan tanpa korban. Setelah merapikan segalanya dan mengebumikan Bidadari Tongkat Hijau, mereka dipersilakan menginap dan beristirahat di Pesanggrahan Telaga Warna.

Selama menginap, tampaknya Jaka Tawang dan Wisnupati sangat akrab dengan Sri Kundalini dan Sri Agni Kumala. Sedangkan Sri Padmi yang masih kecil selalu menggoda mereka, sehingga kesedihan sedikit terhapus.

Karena kedua muridnya masih kerasan tinggal di tempat itu, Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng tidak dapat pergi. Untung kedua orang tua yang sama-sama gendeng dan urakan tidak bosan. Apalagi mereka selalu bermain catur.

Pendekar Rajawali Sakti yang masih punya urusan mencari pedang pusakanya segera minta diri pada tuan rumah. Kepergiannya segera diantar para pendekar yang ada di tempat itu. Kemudian, dengan menggunakan papan seperti sebelumnya, Rangga melesat ke tengah telaga. Dan sebentar saja tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.

"Mudah-mudahan tokoh dari negeri Cina itu belum kembali ke negerinya. Sehingga, aku tidak dibuat repot karenanya...," gumam Rangga.

********************

Setelah sekian hari menempuh perjalanan, Rangga tersentak ketika dua orang berkerudung berjalan tergesa-gesa. Dari arah yang dituju, jelas mereka hendak ke Desa Waru Nunggal. Yang membuat Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan mereka adalah, pada punggung salah seorang berkerudung terdapat gagang pedang berkepala burung rajawali!

Karena merasa curiga, Pendekar Rajawali Sakti segera membuntuti kedua orang itu. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai kesempumaan, mudah bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk mengikuti kedua orang yang dicurigainya tanpa bersuara sedikit pun.

"Kakang Wismoyo. Di depan kita bisa beristirahat dulu sebentar...," usul salah seorang berkerudung dengan suara perlahan, tapi masih terus berlari.

"Maksudmu di depan mana? Apa di Desa Waru Nunggal...?" tanya orang yang dipanggil Wismoyo.

"Jangan, Kang.... Nanti bisa mencurigakan orang yang mengincar kita...," ujar orang yang bernama Panjalu.

"Kalau begitu kita beristirahat di sini saja. Tapi, jangan lama-lama.... Kasihan mereka yang menunggu kita di sana...," kata Wismoyo.

Kedua orang berkerudung itu segera melepaskan lelah sambil makan makanan yang dibawa. Dari tingkah yang sering menghapus keringat pada wajah di balik kerudung, jelas mereka habis melakukan perjalanan jauh dan melelahkan.

"Begitu hari gelap, kita langsung berangkat...," kata Wismoyo.

"Kupikir sebaiknya begitu...," sambut Panjalu.

Baru saja kata-kata Panjalu habis, berkelebat satu bayangan putih di hadapan mereka. Dengan terkejut kedua orang bertopeng ini segera bangkit. Sedang bayangan yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti melangkah tenang.

"Maaf, Kisanak. Bolehkan aku melihat pedang yang berada di punggungmu...?" tanya Rangga tenang sambil memperhatikan pedang di punggung Wismoyo.

"Siapa kau...?! Mengapa ingin melihat pedang ini? Ada urusan apa kau dengan kami...?" tanya Wismoyo menatap penuh curiga.

"Aku tidak bermaksud jahat. Hanya ingin melihat saja. Kalau bukan pedang yang kumaksud, aku akan pergi dan minta maaf...," ujar Rangga.

Walau bagaimana, kedua orang bertopeng itu harus mempertahankan pedangnya. Mereka berpendapat, pemuda berbaju rompi putih itu sebenarnya seorang perampok. Dengan cepat mereka bersiap.

"Kau ternyata perampok murahan! Alasan saja ingin melihat pedang ini.... Tapi, jangan harap akan berhasil...," desis Panjalu sambil menghentakkan kedua tangannya melancarkan serangan jarak jauh.

Wuuttt...!

Rangga cepat berkelit, dan balik menyerang. Maka perkelahian segera terjadi. Yang membuat Rangga penasaran, mereka berdua menutupi kepala pedang dan menyimpannya di balik baju.

DELAPAN

Perkelahian terus berlangsung seru. Tetapi lima jurus kemudian baru terlihat kalau dua laki-laki, berkerudung itu bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti. Ketika Rangga melancarkan serangan agak keras, mereka jadi terdesak. Dan dengan beberapa kali menggunakan jurus pancingan, Rangga berhasil menjambret kerudung kedua orang itu sampai terlepas dari wajah.

Brebet...!

"Waaa...!"

"Aaah...!"

Ketika kerudung terlepas, keduanya berteriak kaget. Begitu juga Rangga sendiri. Sambil mendesah, Pendekar Rajawali Sakti terjingkat mundur beberapa langkah ke belakang. Apakah yang terlihat...? Ternyata wajah di balik kerudung itu sangat menyeramkan. Penuh luka membusuk, mengeluarkan nanah! Baunya busuk bukan main.

"Perampok jahat...! Sudah puaskah kau sekarang...? Kalau mau lihat pedang ini, silakan. Nah, lihatlah...! Aku ingin tahu, apa sih sebenarnya maumu...? Ini pedang pusaka dari perguruan kami yang bernama 'Rajawali Perak'. Kami membawanya, untuk diperlihatkan pada seorang tabib sakti Kwe Ceng Kian dari negeri Cina yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit termasuk penyakit di wajah kami ini! Kawan-kawan kami telah sampai di tempat tabib sakti itu. Tetapi si tabib tidak mau menyembuhkannya tanpa mendapat imbalan pusaka lambang perguruan kami...," jelas Wismoyo, pasrah.

Rangga tersentak mendengar penjelasan Wismoyo. Jangan-jangan... tabib bernama Kwe Ceng Kian adalah seorang tokoh persilatan dari negeri Cina yang dikatakan Rara Wulan sebelum ajal.

"Jadi ketua kalian rela mempersembahkah pusaka lambang perguruannya pada tabib itu...?" cecar Rangga.

Sikap Pendekar Rajawali Sakti tampak serba salah. Dia menyesal dan merasa bersalah, karena ternyata pedang itu bukan pedang pusaka miliknya. Namun paling tidak hatinya merasa gembira, karena mendapat keterangan berharga dari kedua orang berkerudung itu.

"Kami berdua, juga teman-teman di sana mendapat penyakit yang serupa. Kalau terlambat, tentu kami semua akan mati dengan tubuh meleleh bagaikan lilin kena api.... Ketua kami orang paling bijaksana. Dia rela menyerahkan lambang perguruan, asal murid-muridnya dapat hidup. Itulah sebabnya dia sangat kami cintai...," kali ini Panjalu yang menjelaskan.

"Apa yang menyebabkan kalian menderita penyakit ini? Apa karena kehendak alam, atau hasil perbuatan seseorang...?" tanya Rangga.

"Kelihatanya, hasil perbuatan seseorang. Waktu itu, kami bentrok dengan seseorang yang mengenakan topeng. Tetapi kami tidak berhasil membunuhnya. Begitu juga dia. Setelah itu, seorang demi seorang dari pihak kami terjangkit penyakit yang menjijikkan seperti yang kau lihat ini...," jelas Wismoyo sambil menutup wajahnya kembali.

"Maafkanlah kesalahanku. Aku tidak bermaksud mempermalukan kalian. Tetapi, aku telah kehilangan pedang pusaka yang mirip dengan milik perguruan kalian.... Itulah sebabnya, aku memaksa hendak melihat. Kuharap, kalian bisa memakluminya.... Kalau kalian tidak keberatan, bolehkah aku ikut serta menemui tabib sakti dari Cina itu...?" tanya Rangga sambil menatap kedua orang yang mengaku dari Perguruan Rajawali Perak.

"Silakan saja kalau kau mau...," sambut Wismoyo.

Setelah mendapat persetujuan, mereka segera berlari mencari jalan sepi. Mereka tidak menunggu sampai hari gelap, karena khawatir akan terlambat tiba di tempat tujuan.

"Apakah tempat yang dituju sangat jauh...??" tanya Rangga, sambil mengimbangi ilmu meringankan tubuh Wismoyo dan Panjalu yang terasa lambat itu.

"Lumayanlah.... Kurang lebih tiga malam lagi...," jawab Panjalu.

"Apakah kalian tidak merasa lelah...?" kembali Rangga bertanya.

"Tidak...!"

"Jangan tertalu memaksakan diri. Kalau lelah, biar kita istirahat dulu...," ujar Rangga.

"Kita tunggu saja sampai hari gelap. Baru kita beristirahat di tepi hutan kecil yang ada di muka sana...!" tunjuk Panjalu.

Menjelang fajar, Rangga, Wismoyo, dan Panjalu tiba di sebuah dataran tinggi bernama Bukit Pugel. Di tempat itulah Tabib Kwe Ceng Kian tinggal.

"Di mana rumahnya...?" tanya Rangga tidak sabar.

"Di atas itu...," tunjuk Wismoyo.

Kembali mereka bertiga melangkah naik. Bukit Pugel tenyata memiliki pemandangan cukup indah. Terutama, hawanya yang sejuk membuat orang kerasan tinggal di tempat ini. Beberapa saat kemudian, tampaklah dari kejauhan sebuah rumah sederhana. Pada halaman muka dan sampingnya terdapat bermacam-macam tumbuhan. Terutama, pohon dan tumbuhan obat-obatan.

Rangga, Wismoyo, dan Panjalu semakin melangkah mendekati rumah itu. Di halaman, terlihat dua orang pelayan tengah memetik daun obat. Melihat kedatangan ketiga orang itu, kedua pelayan ini menghentikan kegiatannya. Agak lama keduanya memperhatikan tamu-tamu yang baru datang ini.

"Selamat siang, Kisanak semua.... Apakah Tabib Kwe Ceng Kian ada di dalam...?" tanya Wismoyo.

Kedua orang pelayan itu tidak langsung menjawab. Mereka masih menatap tajam dengan sinar mata curiga. "Apakah Kisanak ini, teman orang-orang yang di dalam...?" tanya salah seorang pemetik bunga obat itu.

"Kalau orang-orang itu mendapat luka busuk dan mengeluarkan nanah, tentu mereka teman-temanku...."

"Apakah Kisanak telah membawa pesanan Tuan Tabib...?" tanya pelayan itu lagi.

"Sudah! Ini ada di dalam baju...," tukas Rangga sambil menunjuk ke balik bajunya. Ternyata Pedang Rajawali Perak, disimpan Pendekar Rajawali Sakti. Tampaknya mereka bertiga tengah menyusun suatu rencana.

"Kalau begitu, silakan masuk...," kata pelayan yang satunya.

Sambil mengangguk, mereka bertiga masuk ke dalam. Tampak teman mereka yang berjumlah lima orang tengah berbaring lemah. Jelas mereka belum diobati dan masih menunggu pedang pusaka lambang Perguruan Rajawali Perak yang digunakan sebagai imbalan untuk mengobati penyakit.

Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti membatin. Jelas tabib ini dari golongan hitam. Sebab dari tindakan yang diambil, telah menggambarkan hatinya yang tamak. Entah, apa yang tersembunyi di balik semua ini?

"Hei.... Kalian sudah datang rupanya! Mana Pedang Rajawali Perak yang harus kalian bawa...?"

Sebuah pertanyaan terlontar ketika dari balik kamar muncul seorang laki-laki tua dengan rambut digelung ke atas. Tangannya memegang tongkat bambu.

"Hm.... Kaukah tabib yang terkenal dari Cina itu...?" tanya Rangga.

"Ho ho ho...! Aku tidak pernah mengatakan terkenal. Tapi orang lainlah yang telah mengatakan dan telah membuktikan kemampuanku yang tidak ada duanya ini...," tukas Tabib Kwe Ceng Kian sombong.

"Kami sudah datang membawa Pedang Rajawali Perak.... Harap kau cepat menyembuhkan teman-teman kami yang menderita itu...," lanjut Rangga.

"Kau siapa...? Aku baru pernah melihatmu. Lagi pula, tampaknya kau tidak sakit seperti yang lain...," tanya Tabib Kwe Ceng Kian.

"Aku memang tidak sakit. Tentu saja kau tidak kenal aku, karena aku murid baru.... Kedua saudara kami inilah yang sakit...," sahut Rangga sambil menepuk bahu Wismoyo dan Panjalu.

"Serahkan dulu pedang pusaka lambang perguruan kalian. Baru mereka aku sembuhkan...," ujar si tabib itu, mendesis.

"Bagaimana bisa begitu? Sebaiknya sembuhkan dulu mereka, baru pedang ini kuserahkan...," tukas Rangga.

"Ha ha ha...! Aku yang harus membuat peraturan, bukan kalian! Lagi pula, kalian dapat berbuat apa di sini...? Tempat ini seluruhnya telah dipenuhi racun. Lekas, serahkan pedang itu kalau masih ingin hidup...!" gertak tabib itu, disertai tawa menggetarkan.

Tiba-tiba Wismoyo dan Panjalu membuka kerudung. Maka terlihatlah seraut wajah menjijikkan penuh luka membusuk dan nanah. Dengan pandangan tajam kedua orang itu memperhatikan tabib yang ternyata seorang pemeras licik.

"Sudah kuduga, kau ingin menguasai pusaka-pusaka para perguruan yang ada di tanah Jawa ini. Tapi, kali ini kedokmu terbongkar.... Karena, sebenarnya kami tidak terkena penyakit. Lihatlah ini...," desis Wismoyo dan Panjalu sambil mengupas wajahnya.

Ternyata kedua orang Perguruan Rajawali Perak itu menggunakan topeng yang dibaluri daging-daging busuk. Setelah topeng itu terbuka, wajah mereka tidak ada cacatnya. Mereka cukup tampan dan berusia muda.

"Ho ho ho...! Kalian pikir aku orang bodoh! Lihatlah kelima orang yang disangka saudara seperguruan kalian itu...!" ujar tabib itu sambil menunjuk kelima orang yang tengah membuka kedok samarannya.

Ternyata, mereka sehat walafiat. Wajah mereka kuning dengan mata sipit. Jelas, mereka pun dari dataran Cina.

"Keparat...! Kau kemanakan lima saudara kami?!" dengus Panjalu.

"Ho ho ho...! Mereka sudah terlalu lama menunggu. Jadi, sudah tidak tertolong lagi. Daripada merepotkan, lebih baik dimusnahkan saja. Sekarang, sudah jelas. Tidak ada jalan lolos bagi kalian. Sebaiknya, serahkan pedang itu...!" ancam Tabib Kwe Ceng Kian.

Sementara itu kedua pelayan yang tadi sedang memetik daun obat sekarang telah berada di tempat ini. Ternyata mata mereka pun sipit pula. Kini mereka bertujuh mengepung dan mengurung Rangga, Wismoyo, dan Panjalu dengan senjata terhunus.

"Apa tujuanmu dengan mengumpulkan senjata-senjata pusaka dari tanah Jawa ini...??" tanya Rangga dengan pandangan tajam.

"Karena sebentar lagi kalian akan mati, biarlah kuberitahu. Aku bermaksud mendirikan sebuah perguruan yang tidak tertandingi di negeri asalku. Untuk itu, aku membutuhkan banyak senjata pusaka yang ampuh. Dengan senjata-senjata itu kami dapat mengadakan pemberontakan terhadap kerajaan. Dan aku akan mengangkat diriku sebagai Kaisar. Sebuah cita-cita yang luhur, bukan? Sekarang, aku telah berhasil mengumpulkan pusaka tanah Jawa. Berarti langkahku tinggal sedikit lagi.... Kurasa, cukup sudah penjelasanku ini...."

"Sebuah cita-cita gila. Kau pantas dilenyapkan dari muka bumi ini...!" desis Rangga sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.

"Ayo, calon pengawalku! Binasakan mereka bertiga. Dan ambil pedang pusakanya...!" perintah Tabib Kwe Ceng Kian.

Setelah mengetahui maksud jahat tabib aneh ini, Rangga memberi isyarat pada Wismoyo dan Panjalu yang sudah marah luar biasa itu.

"Heaat...!"

"Ciaaat!"

Kedua orang Perguruan Rajawali Perak menyerang sekuat tenaga pada Tabib Kwe Ceng Kian. Tetapi, ketujuh pengawal tabib itu segera melindungi dengan jalan menahan semua serangan. Bahkan mereka mengadakan serangan balik.

Perkelahian segera terjadi. Dan dalam ruangan sempit ini, keadaan tidak menguntungkan bagi pihak Rangga. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tenaga dalam yang dipusatkan pada kedua telapak tangannya. Dan....

"Aji Bayu Bajra! Heaaa...!" Disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya.

Wusss...!

Bruakkk...!

Ruangan itu seakan dilanda gempa. Dinding dan bagian lain rumah itu hancur berantakan bagaikan habis dilanda badai dahsyat. Rangga bersama kedua temannya segera melesat keluar mencari tempat luas.

"Keparat! Mau lari ke mana kau...?!" teriak Tabib Kwe Ceng Kian, seraya mengejar.

"Siapa yang mau lari...? Kau memang bagianku, Tabib Sesat...!" seru Rangga.

Begitu mendarat, Rangga langsung menyerang dengan tangan kosong. Tetapi gerakan tabib itu gesit luar biasa. Ilmu meringankan tubuhnya sangat mengagumkan. Dengan sebuah toya berwarna kebiruan, dia pun mulai menyerang Rangga.

Yang sangat berbahaya adalah keadaan Wismoyo dan Panjalu. Mereka terdesak oleh keroyokan tujuh orang asing itu. Tapi, mereka tetap bertahan mati-matian. Namun naas menimpa mereka. Keduanya jatuh terpeleset. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawan.

Cras! Bret!

"Waaa..!"

Beberapa luka yang cukup parah tampak tertoreh di sekujur tubuh mereka. Dengan mati-matian Wismoyo dan Panjalu mencoba bertahan. Tetapi, orang-orang asing ini malah terus menyerang ganas. Pada saat yang gawat itu, Rangga mendadak berkelebat meninggalkan Tabib Kwe Ceng Kian. Langsung kedua tangannya menghentak.

"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"

Werrr!

"Wuaaa...!"

Tiga orang terpelanting saat itu juga, terhantam ajian 'Bayu Bajra' yang bagaikan topan dahsyat. Saat itu Wismoyo dan Panjalu melihat si tabib dengan toya birunya. Dan mereka teringat pada orang bertopeng yang telah membuat onar di Perguruan Rajawali Perak. Maka mantaplah hati mereka....

"Kisanak...! Orang itulah yang telah bentrok dan membuat onar di perguruan kami tempo hari...!" teriak Wismoyo.

Mendengar teriakan mereka, cepat Tabib Kwe Ceng Kian menyimpan toya birunya dan mengeluarkan tongkat bambu sebagai gantinya.

Rangga kembali berkelebat dan segera menahan tabib itu dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

Pertarungan sengit kembali terjadi. Ketika ada kesempatan, Rangga menyerang dengan tangannya yang membentuk paruh rajawali. Tetapi, tabib itu cepat menangkisnya.

Plak! Trak!

Ternyata tangan Rangga pedih bergetar hebat. Rangga heran, dan menduga ada sesuatu dalam batang bambu itu. Segera dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', sehingga kedua tangannya berubah merah membara karena disertai tenaga dalam tinggi.

Namun serangan Rangga yang biasanya selalu berhasil, kali ini luput dari sasaran. Karena Tabib Kwe Ceng Kian memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa.

"Hm.... Hebat juga orang ini. Dan dapat mencuri kelemahan jurusku dalam waktu sesingkat ini...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.

"Aaa...!"

"Heh?!" Rangga terkejut begitu mendengar teriakan menyayat. Ketika menoleh dia melihat Panjalu tertusuk pedang sampai tembus ke punggung. Ketika dicabut darah menyembur dari bekas lukanya. Keempat orang Cina itu, menerjang kembali pada Wismoyo yang sudah kewalahan.

"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"

Werrr...!

Dengan geram Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya mengirimkan aji 'Bayu Bajra'. Angin keras bergulung-gulung kontan menerjang keempat pengeroyok Wismoyo.

Tak ampun lagi, mereka berpelantingan dengan tubuh hancur tidak karuan. Wismono sendiri sampai mendecah kagum melihat kesaktian teman seperjalanannya yang tidak disangka memiliki kepandaian begitu luar biasa. Namun tak lama Wismoyo ambruk terduduk, saking lemas dan banyak mengeluarkan darah.

Sementara melihat kematian anak buahnya Tabib Kwe Ceng Kian jadi ciut nyalinya. Cepat dia berbalik dan mengambil jurus langkah seribu.

Namun Rangga telah membaca niat tabib itu. Cepat tubuhnya berkelebat, menghadang di depannya. Mau tidak mau tabib itu nekat. Diserangnya Rangga penuh kemarahan.

"Haaat!"

Rangga berkelit-kelit indah, menggunakan gabungan jurus lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Bahkan tiba-tiba tangannya terjulur ke wajah, begitu cepat sekali. Dan...

Bret!

"Aaakh...!"

Rangga berhasil menyambar wajah tabib itu. Ternyata wajah Tabib Kwe Ceng Kian menggunakan topeng karet. Tampak wajahnya yang masih muda dengan mata sipit. Rangga semakin yakin dengan dugaannya kalau Tabib Kwe Ceng Kian adalah tokoh persilatan dari daratan Cina. Melihat ini, Rangga teringat kata-kata Rara Wulan, tentang orang yang telah mencuri pedang pusaka miliknya.

"Hm.... Kau pasti yang berjuluk si Kuda Terbang. ..!" gumam Rangga penuh tekanan.

"Hei...?! Dari mana kau tahu julukanku? Siapakah kau sebenarnya...?" tanya Tabib Kwe Ceng Kian.

"Aku Rangga.... Aku tahu nama dan julukanmu dari seorang wanita berpakaian serba hijau yang telah kau curi pedang pusakanya...," sahut Rangga, bersiap-siap.

Merasa tidak ada gunanya lari, Kwe Ceng Kian mencabut pedang pusaka miliknya sendiri yang ternyata juga bergagang kepala burung. Lalu dengan sekuat tenaga dan kemampuan, diserangnya Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti kembali mengerahkan jurus gabungan dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Sehingga tubuhnya bisa menghindar, sekaligus melepas serangan.

"Hm.... Aku tidak perlu berlama-lama...," pikir Rangga. "Yeaaa...!" Saat itu juga, Rangga melesat ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

"Hiaaat..!" Kwe Ceng Kian tak mau kalah. Pedangnya langsung dikebutkan dengan cepat.

Dalam kemarahannya, Rangga mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Cepat dipapaknya sabetan pedang itu dengan tangannya.

Tak!

Pedang Kwe Ceng Kian kontan putus. Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Tangannya terus berkelebat sambil meluruk deras. Dan....

"Aaa...!" Telak sekali kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang membentuk paruh menghantam kepala Kwe Ceng Kian hingga pecah. Tokoh persilatan dari Cina itu kontan ambruk, bergelimang darahnya sendiri. Tongkat bambu di tangan kirinya masih tergenggam. Sedang toya biru masih terselip di pinggang.

Rangga menatap Kwe Ceng Kian yang masih kelojotan, lalu menghampirinya. Diambilnya tongkat bambu itu, dan dihantamnya kuat-kuat.

Prak!

Begitu bambu terbelah, tampak Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan ada di dalamnya. Dengan perasaan lega disimpannya pedang itu dan disampirkan pada punggungnya.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: PENGHUNI KUIL EMAS