Geger Di Telaga Warna - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GEGER DI TELAGA WARNA

SATU

CUACA malam ini agaknya tak begitu bersahabat. Angin bertiup kencang, membawa titik-titik air. Walaupun hanya hujan gerimis, namun sudah membuat Desa Awi Pitung mulai sepi.

Temaramnya cahaya lampu minyak, tak kuasa mengusir gelap malam ini. Nyanyian binatang malam seolah-olah menertawakan manusia yang memilih berlindung di balik selimut. Apalagi suara lolongan anjing di kejauhan, ditingkahi kepak sayap kelelawar di atas pohon.

Para penduduk lebih suka tenggelam dalam selimutnya daripada berkeluyuran. Dalam suasana yang begitu mencekam dua orang peronda masih terus berkeliling menunaikan tugasnya.

"Kakang Jalma.... Malam ini tidak seperti biasanya...! Perasaanku selalu tidak menentu dan was-was...!" ungkap salah seorang peronda yang bertubuh kurus sambil melangkah.

"Perasaanku juga begitu, Waspati! Tetapi, apa sebabnya...? Mungkin karena cuaca yang buruk ini...?!" jawab jaki-Iaki berusia dua puluh delapan tahun yang dipanggil Jalma dengan suata sedikit sengau. Sementara dadanya berdebar keras. Belum juga pertanyaan Jalma terjawab, mendadak....

"Kuaaarkh...!"

"Hah...? Suara apa itu...?!" sentak Jalma langsung menghentikan langkahnya sambil menoleh ke arah datangnya suara tadi.

"Entahlah. Mungkin suara hantu yang kelaparan dan haus darah...," sahut laki-laki kurus yang dipanggil Waspati sambil merapatkan tubuhnya pada Jalma.

"Kau..., kau..., jangan berkata sembarangan, Waspati...," ujar Jalma, sedikit tergagap karena tercekam hawa takut.

"Kuaaarkh...!"

Kembali suara yang menyeramkan terdengar. Dengan serentak Jalma dan Waspati mencabut senjata masing-masing. Lalu mereka segera saling beradu pandang untuk menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak lama, Jalma menunjuk ke sebuah pohon.

"Dengar.... Suara itu berasal dari atas pohon itu...," tunjuk Jalma.

"Biar kulihat, ada apa di pohon itu...!"

Waspati segera mendekati pohon. Langsung dipanjatnya pohon itu. Setelah sampai, ternyata suara-suara tadi berasal dari burung hantu dengan kedua anaknya. Tanpa memakan waktu lama, burung-burung itu berhasil dipukul jatuh oleh Waspati.

"Kuk! Kuk! Kuk...!"

Plug! Bug! Buug!

Begitu tiga burung naas itu jatuh ke atas tanah, dengan geram Jalma menumbuk burung-burung dengan batu. Ketika tiga burung itu binasa dengan tubuh remuk, Waspati yang telah meloncat turun ikut menghantami sampai puas.

"Huh...! Mampuslah kalian.... Siapa suruh berani menakut-nakuti kami...!" dengus Jalma sambil melempar batu yang berada di tangannya ke semak-semak rimbun. Perbuatannya dituruti Waspati.

Prass! Srakkk!

Batu-batu sebesar dua kali kepalan tangan itu bagaikan hilang ditelan bumi. Namun belum lagi kedua peronda itu beranjak, tiba-tiba....

Sret! Serr!

Dari balik semak mendadak meluncur dua batu yang tadi dilemparkan.

Pletuk! Tukkk!

"Wuaaa...!"

"Heekh...!"

Entah bagaimana tahu-tahu batu-batu itu tepat mengenai kening mereka berdua. Akibatnya kedua peronda itu kini timbul benjolan yang cukup besar di kening, yang membuat kepala pusing.

"Keparat...! Siapa yang berani main-main dengan kami...?!" bentak Waspati sambil memegangi keningnya. Sedang matanya jelalatan ke sana kemari.

Tiba-tiba di belakang kedua peronda itu terdengar suara yang mencurigakan. Begitu Waspati dan Jalma berbalik, tampak sesosok tubuh terbungkus kain hijau. Yang cukup menggetarkan nyali, wajah orang yang baru muncul berbentuk tengkorak. Matanya memancarkan sinar merah menyala, sehingga tampak makin menyeramkan.

"Ah.... Setan Tengkorak! Wuaaa.... Tolong...," sentak Jalma sambil loncat ke belakang dengan wajah pucat.

"Hantu kuburan.... Dddd..., dari mana ini...?" tukas Waspati tergagap. Tanpa disadari celananya basah. Rupanya saking takutnya, Waspati sampai terkencing-kencing. Lututnya saling beradu, sehingga menimbulkan suara keras.

"Hik hik hik...! Hari ini kalian harus mati...!" deas sosok berwajah tengkorak sambil menghentak kedua tangannya.

Dess...! Desss...!

"Aaakh...! Aaakh...!"

Walaupun sudah berusaha menghindar, tetap saja Jalma dan Waspati terhantam pada dadanya. Mereka kontan roboh ke tanah disertai teriakan menyayat. Baju pada dada tampak mengepulkan asap. Rupanya pada bagian itu telah terbakar hangus. Pukulan manusia berwajah tengkorak itu jelas mengandung racun ganas!

Dalam waktu singkat, Waspati dan Jalma berkelojotan, lalu diam kaku. Yang lebih mengenaskan lagi, kulit dan daging mereka meleleh menjadi cairan berbau busuk. Kemudian yang tersisa hanyalah tulang belulang saja.

"Ha ha ha...! Aku berhasil menguasai ilmu 'Pukulan Racun Api'.... Aku pasti akan menguasai dunia persilatan ini.... Ha ha ha...," teriak manusia berwajah tengkorak dengan tawa terbahak-bahak melihat hasil pukulannya.

Peristiwa kematian dua peronda sangat menggemparkan para penduduk Desa Awi Pitung. Penjagaan semakin diperketat, namun si pembunuh berdarah dingin itu tidak terdengar lagi kabar beritanya.

Belum juga si pembunuh diketahui, penduduk desa itu mendapat penyakit mengerikan. Pada kulit mereka timbul bisul-bisul. Setelah pecah, akan keluar nanah. Kemudian menjalar ke seluruh kulit dan daging. Kemudian meleleh dan mencair. Bau dan sakitnya tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Tidak seorang tabib pun yang dapat menyenbuhkan penyakit yang kian mewabah itu.

Siapa saja yang menyentuh orang yang terkena penyakit itu, pasti akan terjangkit dan tertular pula. Sehingga semakin lama keadaan Desa Awi Pitung jadi semakin sepi dan jadi desa mati. Tak ada yang tahu, Siapa biang keladi peristiwa mengenaskan ini. Yang jelas, setiap penduduk yang memanfaatkan sumber-sumber air di desa ini akan terkena penyakit mengidikkan itu. Sebuah penyakit yang berasal dari sejenis racun mematikan.

Maka dalam waktu tidak terlalu lama, seluruh penduduk telah jadi mayat. Yang ada tinggal tulang belulangnya saja. Begitu juga binatang peliharaan yang tidak luput jadi korban juga.

********************

Di jalan utama Desa Karang Sekalor yang cukup ramai, seorang laki-laki berambut putih berjalan sambil sesekali meneguk tuak dari guci. Di pundaknya bertengger seekor kera berbulu hitam sambil memakan pisang. Tidak seorang penduduk pun yang mau peduli terhadap orang tua itu. Mereka juga sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.

Di bawah pohon yang besar dan terlindung dari sengatan matahari, laki-laki tua ini duduk sambil terus menenggak tuak merah dari gucinya. Sedangkan kera hitam miliknya sibuk mencari kutu di kepala orang tua yang tampaknya mulai mabuk. Matanya meram-melek terkena hembusan angin yang bertiup semilir.

Tidak lama, terdengar dengkuran keras laki-laki tua ini. Dan orang yang berlalu-lalang pun hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum.

Baru beberapa tarikan napas orang tua itu tidur tiga orang bertubuh kekar berjalan dengan langkah lebar-lebar. Dari wajah tampak ketiganya sedang marah. Mereka berjalan menuju sebuah rumah yang paling indah di tempat itu, yang dikenal sebagai rumah Kepala Desa Karang Sekalor.

"Keparat, si tua itu! Berani benar dia membantah atasan kita!" dengus salah seorang dari tiga laki-laki ini, yang berkumis tebal.

"Rupanya dia sudah bosan hidup...! Kita tidak perlu kasihan lagi pada orang bodoh itu...! Agaknya, dia lebih sayang harta daripada jiwanya sendiri...," desis laki-laki yang bertubuh kekar dengan kepala botak sambil mengepalkan jari jemarinya.

Sementara laki-laki satunya tidak memberi tanggapan. Dia hanya mengeluarkan geraman di hidung. Wajahnya panjang dan pucat. Sifatnya agaknya memang pendiam. Tetapi dari wajahnya menyiratkan kekejaman.

Kebetulan ketiga laki-laki bertampang telengas ini lewat di depan orang tua yang sedang mabuk dan kera hitamnya yang masih tetap mencari kutu. Entah disengaja atau tidak, laki-laki tua pemabuk itu membalikkan tubuhnya. Dan akibatnya kaki laki-laki botak yang kebetulan berjalan paling dekat dengan pemabuk itu tergaet. Hingga....

Blug!

"Aduh...!" Laki-laki botak yang membawa golok di pinggang langsung jatuh mencium tanah. Tentu saja dia jadi gusar dan marah bukan main. Sambil mendengus gusar dia beringsut bangun. Dipandanginya laki-laki tua pemabuk dari ujung rambut kepala sampai kaki. Dia berpikir, tidak mungkin itu terjadi secara kebetulan.

"Bangsat... Jangan berpura-pura kau, Tua Bangka...," teriak laki-laki botak.

"Hiih...!" Seketika laki-laki botak ini menendang iga orang tua pemabuk itu. Namun seperti tak sengaja pemabuk itu berbalik kembali. Dan gucinya tepat dihantam ke tulang kering laki-laki botak.

Tak!

"Aduuuhhh...!" Bagaikan kesetanan, laki-laki botak ini berjingkrak sambil memegangi tulang keringnya yang terasa retak. Sedangkan mulutnya tidak hentinya meringis menahan rasa sakit. Sementara kera hitam yang tadi mencari kutu di kepala pemabuk lompat menjauhi sambil berbunyi terus, seakan-akan mengejek.

Kali ini laki-laki botak tidak dapat lagi menahan amarahnya. Disadari, kalau dirinya sedang dipermainkan oleh si pemabuk. Dengan gerakan cepat golok yang terselip di pinggangnya dicabut. Lalu tanpa banyak bicara lagi dibabatnya pinggang laki-laki tua yang masih bersandar dengan mata terpejam.

Pada saat yang sama, laki-laki yang berwajah panjang dan pucat sudah mencabut pisau yang terselip di pinggangnya. Bahkan seketika dilontarkan ke arah laki-laki tua pemabuk itu.

Set! Set!

Dengan mata tetap terpejam pemabuk ini bergulingan untuk menghindari serangan golok. Dan ketika melihat pisau yang melesat dengan kecepatan kilat, guci di tangannya diputar capat laksana baling-baling.

Trang!

"Hait... Aduh! Ada orang galak! Ampun..., tolooong...!"

Begitu matanya terbuka, laki-laki pemabuk itu cepat bangkit. Dia langsung berteriak sambil berlari ke sana kemari. Mengetahui kalau dipermainkan laki-laki tua pemabuk, ketiga laki-laki bertampang telengas itu segera mengeroyok.

Di luar dugaan pemabuk itu mampu bergerak cepat dan lincah. Walaupun tubuhnya terhuyung-huyung tidak menentu, tidak ada satu serangan pun mengenai dirinya. Bahkan dengan seenaknya tuak merah dalam mulut disemburkannya.

"Fruuhhh...!" Pras...!

"Aaa...!" Karena tidak menyangka, kontan ketiga pengeroyok menjerit-jerit begitu tersembur tuak merah.

Wajah mereka terasa panas bukan main, bagai ditusuk puluhan jarum. Untung saja semburan tuak merah dari pemabuk tadi, hanya sedikit disertai tenaga dalam. Sehingga wajah ketiga laki-laki itu tidak sampai terluka.

Sementara itu, si pemabuk langsung melesat pergi ketika tiga laki-laki yang mengeroyoknya masih merasakan sakit pada wajahnya.

Para penduduk Desa Karang Sekalor yang menyaksikan kejadian barusan, hanya menatap kepergian laki-laki tua pemabuk sampai hilang dari pandangan. Mereka tak berani bertindak apa-apa. Tiga laki-laki bertampang telengas itu saja mampu dibuat tak berkutik oleh pemabuk tadi, apa lagi mereka?

Hampir semua penduduk desa ini tahu, siapa ketiga laki-laki itu. Mereka adalah para begundal desa yang selalu membuat kerusuhan. Kepandaian mereka cukup tinggi, membuat satu persatu para penduduk meninggalkan tempat ini, karena tidak mau menjadi sasaran pelampiasan kemarahan mereka.

Baru setelah bisa meredakan rasa sakit, ketiga begundal ini melangkah pergi, menuju rumah Kepala Desa Karang Sekalor, yang tak begitu jauh lagi.

"Sialan! Ke mana laki-laki tua bangka tadi?!" dengus laki-laki yang berkepala botak, seperti tak puas atas kekalahannya tadi.

"Biarlah, Gumilang! Suatu saat nanti kita bisa menuntut balas!" ujar laki-laki yang berkumis lebat.

"Huh! Kalau kita tidak ada urusan dengan Ki Waredeng, aku akan menghajarnya, Boksa!" timpal yang berwajah panjang dan pucat.

"Kaupun yang kukenal pendiam, tampaknya tak bisa lagi menahan amarah, Cudra?" tukas laki-laki botak yang bernama Gumilang.

"Tak selamanya orang harus diam, Gumilang!" sahut laki-laki berwajah panjang dan pucat yang dipanggil Cudra.

Tanpa terasa, mereka telah tiba di halaman sebuah rumah yang paling indah di desa ini. Rumah milik kepala desa yang bernama Ki Waredeng tampak dijaga beberapa orang laki-laki.

"Maaf, Kisanak semua. Ada keperluan apa datang ke sini?" tegur salah seorang penjaga.

"Katakan pada Ki Waredeng! Kami Gumilang, Boksa, dan Cudra datang ke sini! Cepat...!" ujar laki-laki botak itu sambil berkacak pinggang.

Penjaga bertampang tenang ini memberi isyarat kepada temannya yang segera berlari ke dalam rumah itu.

Beberapa saat kemudian, orang itu muncul kembali, mengiringi seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh satu tahun berpakaian indah dengan keris terselip di belakang. Sementara sepuluh orang pengawal bersenjata lengkap mengiringi di belakangnya.

"Rupanya para begundal yang datang ke sini.... Ada kabar dan keperluan apa...?" tanya Ki Waredeng tenang. Agaknya, dia sudah tahu siapa ketiga laki-laki ini.

"Kedatangan kami ke sini atas perintah majikan kami, si Manusia Tengkorak!" sahut Cudra, dingin.

"Hm.... Jadi kalian sekarang punya majikan. Bagus.... Jadi kalian tak perlu memeras penduduk disekitar Kadipaten Ungaran lagi. Hm.... Lantas, apa yang diperintah majikan kalian hingga sampai di sini?"

"Setan...! Lekas serahkan tiga perempat harta kekayaanmu pada si Manusia Tengkorak...! Atau kau akan terkapar jadi mayat di rumahmu sendiri berikut para pengawalmu...!" ancam Gumilang.

Sementara wajah Cudra jadi bertambah pucat karena kemarahannya. Sedangkan tangannya seperti biasa membersihkan janggutnya yang sudah tidak berbulu dan bersih dengan pisaunya. Agaknya hal itu sudah menjadi kebiasaan, dan selalu dilakukan bila sedang marah.

Sedangkan laki-laki berkumis lebat yang bernama Boksa, mempunyai kebiasaan menggaruk-garuk kepalanya yang memang tampak kotor sekali. Tangan kirinya mengelus-elus gagang golok. Agaknya dia memang kidal.

Sambil tersenyum, Ki Waredeng menggelengkan kepalanya. "Kalian jangan coba-coba main kasar di desa ini. Sebelum kedatangan kalian keadaan di sini sudah tenang dan aman. Jangan sampai karena ketamakan kalian, di sini terjadi pertumpahan darah yang tidak diinginkan...," ujar Kepala Desa Karang Sekalor ini tenang, namun penuh kewaspadaan.

"He he he...! Kalau tidak mau terjadi banjir darah, lekas turuti perintah kami ini...!" hardik Boksa sambil berkacak pinggang.

Sementara semua pengawal kepala desa ini segera mempersiapkan diri dengan senjata terhunus. Agaknya mereka siap menghadapi para pengacau ini.

Menyaksikan tingkah pengawal itu, pandangan Cudra semakin bertambah tajam menusuk. Tiba-tiba, laki-laki itu memasukkan tangannya ke balik baju. Dan seketika itu pula mengibaskannya.

Set! Set!

"Awaaas...!" Ki Waredeng berteriak memperingatkan dan langsung merunduk ke samping begitu melesat dua buah sinar keperakan.

Crab! Crab!

"Aaa...! Aaa...!"

Kepala Desa Karang Sekalor memang berhasil menyelamatkan diri. Tapi dua pengawalnya yang tak sempat menghindar kontan jadi korban. Disertai teriakan menyayat mereka kontan ambruk dengan leher masing-masing tertancap sebuah pisau.

Sebentar kedua pengawal itu kelojotan, lalu diam tak berkutik. Tampak darah meleleh dari leher yang tertancap pisau yang dilemparkan Cudra.

DUA

"Biadab...! Kalian benar-benar ingin menyebar maut di sini?! Hm.... Terpaksa aku harus mempertahankan diri...!" desis Ki Waredeng setelah mencabut keris dari balik pinggang.

Sementara para pengawal segera membentengi kepala desa yang dicintai itu. Semua pandangan mata tertuju pada para begundal yang mengaku bekerja untuk si Manusia Tengkorak.

"Sheaaat...!"

"Yeaaa...!"

Secara serentak, Boksa dan Cudra melesat melancarkan serangan. Begitu benteng hidup terpecah, Gumilang cepat membabatkan goloknya. Serangannya menimbulkan suara angin menderu keras, pertanda tenaga dalamnya sangat tinggi.

Cudra agaknya sangat berkeinginan untuk cepat menghabisi Ki Waredeng. Maka begitu mendapat kesempatan, tubuhnya melenting melewati kepala para penjaga, lalu meluruk ke arah kepala-desa itu.

Namun Ki Waredeng segera menyambuti serangan Cudra yang langsung membabatkan pisau pendek pada tangan kanan dan kiri. Serangannya sangat cepat dan berbahaya. Kedua pisaunya ber-kelebatan bagai kilat menyambar-nyambar ke seluruh tubuh laki-laki tua ini.

"Haiiit...!"

Trang! Tring!

Ki Waredeng ternyata memiliki kepandaian cukup tinggi. Terbukti dengan kerisnya, dia sanggup bertahan dari serangan pisau pendek yang bergerak bagaikan sambaran kilat.

Cudra sendiri tidak menyangka, kalau kepala desa itu memiliki kepandaian yang tangguh dan sulit ditembus. Sementara itu, Boksa yang bersenjata golok di tangan kiri dilayani oleh seorang pengawal tua berkepandaian lumayan. Tombak pengawal itu bergulung-gulung mengurung tubuh Boksa. Mereka segera terlibat pertarungan sengit dan memanas.

Sementara Gumilang kini dikeroyok para pengawal yang berkepandaian lumayan dan tidak dapat dianggap remeh. Sehingga walaupun kepandaiannya tinggi tetap tampak kewalahan juga menghadapi keroyokan.

Menghadapi puluhan senjata tajam yang mengancam, Gumilang memainkan jurus-jurus bertahan. Setiap senjata tajam yang mendekat ke arahnya, selalu mampu dipapak dengan golok yang digerakkan dengan tenaga dalam tinggi.

Trang!

Akibat benturan beberapa buah senjata para pengawal terlepas dan terlempar dari genggaman. Tetapi pengawal yang lain segera menutup dan menggantikan temannya yang sudah tidak bersenjata itu. Sehingga, Gumilang tidak mempunyai kesempatan untuk mencelakai para pengawal Kepala Desa Karang Sekalor ini.

Serangan para pengawal yang berjumlah besar memang terlihat dahsyat. Sehingga dalam waktu singkat saja, Gumilang hanya dapat bermain mundur saja. Ketika dia menangkis serangan yang membabat leher, satu sodokan tombak meluncur ke dada. Cepat tubuhnya bergeser ke kiri, namun terlambat.

Crasss...!

"Aaakh...!" Sambil mengeluarkan teriakan tertahan, melirik ke bahu kanannya yang sempat terserempet tombak. Tampak darah mulai membasahi bajunya.

Dengan kemarahan yang sudah di ubun-ubun, Gumilang bertindak nekat. Tubuhnya cepat berkelebat mencecar orang yang melukainya sambil membabatkan golok. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Cras!

"Wuaaak!"

Pengawal itu roboh ketika golok Gumilang berhasil membabat leher. Kenekatan Gumilang harus dibayar malah. Tepat ketika berhasil membabatkan golok pada saat yang sama tiga tombak meluruk cepat tak tertahankan, sehingga....

Jreb...! Crap! Blesss...!

"Aaa...!" Teriakan kesakitan berkepanjangan segera menggema, ketika tubuh Gumilang tertancap beberapa tombak. Begitu ambruk, tubuhnya langsung melejang-lejang, meregang nyawa.

Melihat kematian Gumilang, Boksa mulai gentar hatinya. Matanya sebentar-sebentar melirik, seperti mencari celah untuk melarikan diri.

"Jangan biarkan mereka lolos.... Yang coba-coba kabur, bunuh saja...!" Terdengar suara bernada perintah, seperti bisa membaca gerak-gerak Boksa.

Boksa yang merasa rencananya telah terbaca, segera mengamuk sejadi-jadinya. Untuk sesaat, dia masih dapat bertahan. Tetapi lima belas jurus kemudian, keadaannya mulai terdesak. Apalagi jumlah para pengeroyok termasuk banyak.

Shaaat!

Trang! Tring...!"

Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Boksa masih tetap berusaha bertahan. Namun tenaga manusia tetap terbatas. Memasuki jurus kedua puluh, tenaganya semakin lemah dan berkurang. Ketika tubuhnya berjumpalitan untuk menghindari serangan, beberapa tombak langsung dilemparkan para pengawal.

Ser! Ser! Serrr!

"Haiiit!"

Crang! Cring...!

Beberapa tombak berhasil ditangkis Boksa. Tetapi, ada dua buah yang luput.

Cras! Crab!

"Aaa...!" Sebuah tombak menancap tepat di dada Boksa sambil berteriak laki-laki berkumis lebat itu berusaha mencabut tombak yang menancap di dada dan perut. Namun begitu tubuhnya jatuh ke tanah, Boksa tidak dapat bergerak lagi untuk selamanya.

Kini yang tinggal hanya Cudra. Bahkan kini pengawal tua telah ikut membantu Ki Waredeng. Dengan demikian Cudra kini dikeroyok dua orang. Akibatnya, dia tidak dapat berbuat banyak. Lemparan pisaunya selalu dapat dielakkan kedua orang tangguh itu. Bahkan keris di tangan Kepala Desa Karang Sekalor itu berkali-kali telah mengancam keselamatannya.

"Ciaaat!"

Ke mana saja Cudra bergerak, keris itu selalu memburunya. Hal itu membuat Cudra jadi berkeringat dingin dengan tubuh gemetar. Belum lagi serangan pedang pengawal tua yang bagaikan hujan angin cepatnya. "

"Ki Patisena! Kerahkan jurus pamungkasnya!" teriak Ki Waredeng.

"Baik, Ki! Heaaa...!"

Saat itu juga pengawal tua yang dipanggil Patisena mengerahkan jurus pamungkasnya dalam permainan pedang. Tubuhnya langsung berkelebat sambil membabatkan pedang. Sementara itu Ki Waredeng sendiri langsung berkelebat dengan sabetan-sabetan kerisnya yang seolah-olah berubah menjadi banyak.

"Hup!" Cudra cepat melompat ke belakang, menghindari babatan pedang Ki Patisena.

Sementara pisau di tangannya segera menggunting secara menyilang keris yang terus meluncur di tangan Ki Waredeng.

Trang!

Begitu terjadi benturan senjata, Cudra melepas tendangan melingkar ke arah pergelangan tangan Ki Patisena.

"Haaa...!" Namun Ki Patisena cepat membalikkan tangannya. Bahkan seketika pedang di tangannya berputar menuju betis. Begitu cepat serangan itu, membuat Cudra tak sempat menarik pulang kakinya. Hingga....

Crasss...!

"Aaa...!" Tidak dapat dihindari lagi, betis kaki Cudra terbabat pedang Ki Patisena hingga buntung. Rasa sakit yang menyengat membuatnya menjerit setinggi langit. Tak ada lagi keseimbangan tubuhnya. Dia langsung jatuh ke tanah tanpa mampu berbuat apa-apa.

Melihat kesempatan baik, para pengawal meluruk ke arah Cudra. Puluhan senjata tajam, kini mengancam keselamatan laki-laki berdarah dingin ini. Sungguh tidak disangka kalau kepala desa itu memiliki pengawal tangguh dan kepandaian tinggi.

"Matilah aku sekali ini...," desah Cudra dalam hati. Cudra sudah pasrah dan putus asa. Keadaannya bagai telur di ujung tanduk. Tetapi dalam keadaan yang gawat...

"Hi hi hi...!"

Mendadak terdengar sebuah suara tawa yang mengikik dan melengking. Semakin lama, suara yang terdengar makin meninggi dan menusuk telinga. Seketika dada semua yang berada di tempat itu bergetar. Bahkan sekujur tubuh menjadi lemas. Jelas itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Cudra segera bergulingan, ketika para pengeroyok berjatuhan tak kuasa menahan kekuatan tenaga dalam lewat suara tawa itu. Walau begitu dia tetap berusaha mengerahkan hawa murni, agar tak terluka akibat getaran suara tawa yang masih terasa menembus telinga dan mengguncangkan dada.

Aneh.... Walaupun juga menerima serangan tawa yang disertai tenaga dalam, namun akibat yang diterima Cudra tidak separah yang diterima para pengeroyoknya. Mungkin si pengirim suara hanya menunjukkan serangan tawanya pada para pengeroyok, sehingga Cudra hanya mendapat pengaruhnya saja.

"Celaka...! Cepat kerahkan hawa murni dan atur pernapasan kalian...," seru Ki Waredeng, memperingatkan.

"Hik hik hik...!"

Walau mereka sudah berusaha sekuat mungkin, namun suara tawa yang mengandung tenaga dalam ini semakin lama semakin meninggi saja. Para pengawal yang berjatuhan mulai tampak gemetar dengan wajah pucat pasi. Dari telinga, hidung, dan mulut mulai meneteskan darah.

"Aaa...!"

"Wuaaa...!"

Tak lama, teriakan kematian terdengar saling susul, kini yang masih dapat bertahan hanya tinggal beberapa orang saja. Memang mengenaskan nasib para pengawal yang berkepandaian pas-pasan. Mereka yang masih bertahan hidup sudah mulai menggigil dan gemetar. Kini yang masih hidup hanyalah dua orang pengawal berkepandaian agak tinggi, Ki Patisena, dan Ki Waredeng. Dan mereka terus berusaha mengimbangi suara tawa yang membawa maut itu.

Namun, keadaan mereka semakin bagai telur di ujung tanduk. Mereka sudah pasrah dan tinggal tunggu nasib saja. Di saat-saat yang genting itu....

"Hua hak hak hak...! Kalau sedang bermain-main ajak-ajak aku...! Kalian jangan mau enak sendiri...!"

Terdengar sebuah suara yang disertai tenaga dalam tinggi. Dan anehnya suara tawa besar itu langsung memunahkan tawa mengikik yang menggetarkan dada.

Semua yang berada di situ menarik napas lega. Bersamaan dengan itu, tercium wangi tuak yang menyengat hidung. Tak lama, muncul seorang laki-laki tua berambut putih sampai ke bahu. Kedatangannya sambil tetap menenggak tuak dari gucinya.

"Hak hak hak hak...! Selamat jumpa.... Selamat jumpa dengan Pemabuk Dari Gunung Kidul...!"

Dengan lagak ugal-ugalan, laki-laki tua yang ternyata Pemabuk Dari Gunung Kidul melangkah mendekati Ki Waredeng. Walaupun lagaknya demikian, namun yang pasti kemunculannya telah menyelamatkan banyak nyawa, berhenti.

Tepat ketika Pemabuk Dari Gunung Kidul berhenti tiga tombak di hadapan Ki Waredeng, berkelebat sesosok bayangan hijau. Tidak lama, di depan laki-laki pemabuk itu, berdiri satu sosok berpakaian serba hijau dengan wajah berbentuk tengkorak. Tatapannya begitu menusuk pada laki-laki pemabuk yang bernama asli Ki.Demong.

"Tua bangka keparat... Berani benar kaumencampuri urusanku...? Apa hubunganmu dengan kepala desa itu...?!" tegur sosok yang tak lain si Manusia Tengkorak dengan nada tinggi.

"Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa.... Tetapi, aku tidak suka dengan tindak kejahatan...! Sayang, aku datang terlambat. Kalau tidak, korban tidak akan jatuh sebanyak ini...!" sahut Ki Demong, enteng.

"Bangsat! Kalau begitu kau hanya ingin pamer kepandaian di depanku...? Kali ini kau mengalami hari naas, Tua Bangka!" desis si Manusia Tengkorak bertambah geram.

"Ah.... Yang benar saja? Aku masih ingin hidup lama di dunia ini.... Jadi, tolong jangan bunuh aku...," sahut Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil tersenyum meledek. Agaknya dia tidak mengacuhkan semua ancaman si Manusia Tengkorak.

Ketika terjadi adu mulut, Cudra menggunakan kesempatan itu untuk menotok luka di kakinya yang buntung untuk menghentikan darah yang keluar. Setelah ditaburi ramuan yang selalu dibawa, lukanya diikat dengan sobekan bajunya sendiri.

"Heaaa...!"

Merasa dirinya tidak dipandang sebelah mata, si Manusia Tengkorak berteriak melengking sambil menghentakkan kedua tangannya melepaskan pukulan jarak jauh.

Wusss...!

Seketika angin menderu yang terasa panas menyengat, meluruk ke arah Ki Demong. Namun dengan enaknya Pemabuk Dari Gunung Kidul melompat menghindar. Sekaligus mencari tempat yang lebih luas di halaman rumah kepala desa ini.

"Haiiit!"

"Sheaaat!"

Si Manusia Tengkorak terus mengejar sambil melancarkan serangan gencar. Untuk mengimbangi, Ki Demong meneguk tuak merahnya berkali-kali, lalu disemburkan.

"Fruhhh...!"

Bau tuak segera menyebar ke mana-mana. Dan akibat semburan yang menggunakan tenaga dalam kuat, adalah api yang menyembur-nyembur dari mulut Ki Demong.

Semburan tuak yang mengandung api itu sangat merepotkan si Manusia Tengkorak. Sambil berteriak gusar, segenap kemampuannya segera dikerahkan untuk menyerang secara habis-habisan.

"Ciaaat!"

Wuuut!

Guci di tangan Ki Demong berputar cepat laksana baling-baling. Sedangkan tangan kirinya, bila ada kesempatan mengirimkan serangan jarak jauh. Akibatnya pertarungan kedua tokoh sakti ini jadi semakin terlihat dahsyat dan mengagumkan. Bahkan batu dan dedaunan terbawa angin ke udara, ikut berputar-putar bagaikan ada angin puyuh.

Semakin lama perkelahian jadi semakin sengit. Kepala Desa Karang Sekalor dan para pengawalnya tidak ada yang berani mendekat. Mereka menyadari bahaya maut bisa merenggut sewaktu-waktu.

Sementara itu pandangan Ki Patisena beralih pada Cudra, yang baru saja bangkit dengan terpincang-pincang sehabis mengobati lukanya. Melihat si Manusia Tengkorak belum dapat mengalahkan laki-laki tua pemabukan, sadarlah Cudra kalau belum lama berselang telah dipermainkan oleh seorang tua urakan itu (Untuk ingin tahu lebih jelas tentang Ki Demong, bacalah kisah yang berjudul Satria Pondok Ungu).

Tindak-tanduk Cudra, tak luput dari perhatian Ki Waredeng. Begitu menyadari sedang diawasi, Cudra jadi gemetar. Dengan terpincang-pincang mundur teratur tanpa terasa. Namun kedua laki-laki tua itu terus maju selangkah demi selangkah. Untuk menjaga segala kemungkinan, Cudra mencabut pisau.

"Yeaaa!"

Disertai teriakan keras, Cudra mengibaskan tangannya. Seketika dua pisau melayang dengan kecepatan kilat. Tetapi Ki Waredeng dan Ki Patisena cepat melenting tinggi bersama. Lalu dengan gerakan hampir bersamaan pula, mereka meluruk ke arah Cudra yang tak sempat menyerang kembali.

Dalam waktu singkat, Cudra yang kakinya buntung jadi terdesak. Dia pontang-panting dikeroyok dua orang tangguh ini. Kini Cudra hanya dapat mundur. Tak ada kesempatan lagi untuk melempar pisaunya. Karena Ki Waredeng dan Ki Patisena terus menekan dengan pertarungan jarak pendek.

"Yeaaat!"

"Uts...!" Dalam satu serangan, Cudra harus meloncat ke atas menghindari babatan pedang Ki Patisena. Tetapi, malang. Dari belakang Ki Waredeng juga meloncat ke atas dengan satu tusukan ke punggung.

Crab!

"Aaakh...!" Dengan teriakan keras, Cudra berusaha mendarat kokoh di tanah. Tubuhnya langsung berbalik, seraya menyabetkan pisaunya ke tubuh Ki Waredeng yang telah mendarat lebih dulu. Sayang, kali ini pun Cudra kalah cepat. Karena mendadak Ki Waredeng telah menghujamkan kerisnya ke dada. Dan....

Crap!

"Aaa...!" Keris kepala desa itu menancap tepat di dada Cudra. Belum hilang rasa sakit, pedang Ki Patisena menusuk perut hingga tembus ke punggung.

Clap!

"Aaa...!" Ketika dicabut, Cudra ambruk dengan satu teriakan menyayat. Ususnya tampak terburai, dengan darah membanjiri tanah.

Melihat kejadian yang menimpa anak buahnya, si Manusia Tengkorak segera menghentikan serangan. Seketika dia membuat lentingan ke belakang, lalu berkelebat cepat melarikan diri dari tempat ini.

********************

TIGA

Tanpa setahu si Manusia Tengkorak, Ki Demong bergerak mengejar. Sedikit pun Pemabuk Dari Gunung Kidul ini tidak peduli pada Ki Waredeng dan Ki Patisena yang hendak mengucapkan terima kasih.

"Toloong..., tolooong...!"

"Heh?!"

Pemabuk Dari Gunung Kidul tersentak kaget dan langsung menghentikan larinya, begitu mendengar suara minta tolong. Kepalanya langsung menoleh ke arah kanan, tempat sumber suara yang diyakini dari mulut seorang wanita.

Saat itu juga, Ki Demong berkelebat ke kanan ke arah jalan menanjak. Dan ketika menemukan jalan yang kembali menurun, di bawah, tampak tergolek satu sosok ramping terbungkus pakaian hijau.

Dengan cepat, Ki Demong melesat ke arah sosok yang ternyata seorang wanita. Begitu tiba, Pemabuk Dari Gunung Kidul melihat di tangan wanita itu masih menempel seekor kelabang berwarna merah. Wajahnya yang cantik itu tampak pucat, dan mulai berwarna kebiruan. Tubuhnya pun mulai menggigil. Jelas sekali kelabang merah itu sangat beracun dan mematikan.

"Tenang, Nisanak.... Jangan banyak bergerak.... Binatang celaka itu akan segera kubunuh...," ujar Ki Demong.

Lalu dengan sekali pencet dan banting, binatang itu mati seketika. Dengan gerakkan cepat, Ki Demong menotok wanita cantik itu pada beberapa tempat yang dapat menghambat racun.

Kini Pemabuk Dari Gunung Kidul mengurut-urut tangan yang tergigit kelabang untuk mengeluarkan darah yang telah bercampur racun. Berkat tenaga dalamnya yang telah mencapai tingkat tinggi, sebagian racun kelabang merah itu berhasil didorong keluar dari tubuh wanita cantik yang terus mengaduh-aduh kesakitan.

Sigap sekali Ki Demong mengambil beberapa obat dari saku bajunya. Seketika dibalurinya luka bekas gigitan itu. Baru kemudian menjejali mulut wanita cantik ini dengan obat pulung. Pemabuk Dari Gunung Kidul segera mendudukkan wanita cantik ini. Dia sendiri lantas duduk di depanya seraya memegang kepala wanita berbaju hijau itu. Perlahan-lahan, mata Ki Demong terpejam, untuk menyalurkan hawa murni lewat kepala.

Ketika Pemabuk Dari Gunung Kidul memejamkan matanya, wanita itu justru membuka matanya seraya tersenyum dingin. Sementara Pemabuk Dari Gunung Kidul tidak menyadarinya.

Tiba-tiba, dengan gerakan tak terduga, wanita cantik berpakaian serba hijau itu merogoh sakunya. Begitu tercabut, langsung ditaruhnya benda yang diambil dari saku pada leher dan tangan Ki Demong yang masih memejamkan matanya. Ternyata benda yang tak lain kelabang merah dan kalajengking langsung saja menggigit.Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Wuaaa...!"

Begitu laki-laki tua pemabuk itu berteriak, wanita ini melepas sebuah pukulan telak ke arah dada.

Des...!

"Ugkh...!" Karena tidak bersiaga dan tidak menduga siasat licik itu, Ki Demong jatuh terjengkang disertai muntahan darah. Namun, dengan cepat laki-laki tua ini berusaha bangkit.

"Kau.... Kau iblis keparat...! Licik!" desis Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan suara terputus.

"Hik hik hik...! Tahu rasa kau sekarang, Tua Bangka Keparat...!" ejek wanita cantik ini seraya bangkit bediri.

"Bangsat...! Aku akan adu jiwa denganmu, Wanita Jalang," maki Pemabuk Dari Gunung Kidul. Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya yang terakhir, orang tua ini menerjang dengan guci araknya.

"Hik hik hik...! Orang lumpuh macam kau, jangan harap dapat menyentuhku.... Kalau ingin membunuhmu saat ini semudah aku meludah ke tanah. Tetapi, terlalu enak kalau kau mati.... Biarlah kau mati sendiri, Hik hik hik...!"

Apa yang dikatakan wanita cantik itu benar. Ki Demong hanya dapat bertahan dua jurus saja begitu racun ganas segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Pandangan matanya jadi gelap. Napasnya menyesak. Tubuhnya pun limbung ke sana kemari. Tenaganya seolah-olah lenyap, tidak dapat dipergunakan lagi. Akhirnya....

Blug!

Tubuh Ki Demong jatuh ke tanah tanpa sempat mengerahkan hawa murni untuk mengusir racun. Napasnya tinggal satu-satu. Hanya matanya saja yang mengawasi dengan pandangan tajam. Wanita cantik berpakaian serba hijau itu hanya tersenyum, mengawasi dengan sorot mata menghina.

"Bagaimana sekarang...? Kau pasti ingin mati, bukan...? Tetapi jangan sekarang. Biarlah kau mati secara perlahan-lahan.... Nah, selamat menikmati perjalanan menuju ke neraka, Orang Tua Lumpuh...," ejek wanita cantik ini.

Setelah berkata demikian, wanita cantik ini berkelebat cepat, meninggalkan tempat ini. Sementara keadaan orang tua pemabukan itu bagaikan telur di ujung tanduk. Kematian tinggal menunggu saatnya saja.

Walau orang tua itu berusaha menyalurkan hawa murni, namun semua itu tidak ada gunanya. Kini dia sudah pasrah dan tinggal menunggu nasib.

"Kreaakh!"

"Turunlah, Rajawali Putih! Aku melihat sesuatu di bawah sana...."

"Kroaaakh!"

Seekor rajawali berwarna putih keperakan langsung menukik tajam dari angkasa disertai suara memekakkan telinga. Kecepatannya sungguh dahsyat, sehingga sebentar saja telah beberapa tombak dari permukaan tanah yang cukup lapang untuk ukuran tubuhnya yang luar biasa besar.

Banyak batu-batu kecil dan daun-daunan berterbangan terkena hempasan sayap burung rajawali itu. Dari punggungnya meloncat seorang pemuda berbaju rompi putih. Di punggungnya bertengger sebilah pedang bergagang kepala burung.

"Cepat tunggu aku di angkasa, Rajawali Putih!" ujar pemuda itu.

Dengan cepat burung raksasa itu mengepakkan sayapnya dan kembali melesat ke udara. Sementara, pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti segera menghampiri sosok yang dilihatnya dari udara tadi.

Segera disandarkannya sosok yang tak lain Pemabuk Dari Gunung Kidul di paha kirinya. Setelah memeriksa luka Ki Demong, Rangga segera menyalurkan hawa murninya. Seketika dari setiap lubang bekas gigitan binatang berbisa itu mengucur darah berwarna kehitaman. Sedangkan dari kepala Rangga tampak mengepulkan asap putih tipis.

Semakin lama wajah Ki Demong tampak semakin bersemu merah. Dan napasnya mulai teratur kembali. Semakin lama keadaan si Pemabuk Dari Gunung Kidul semakin membaik. Bahkan tak lama matanya mulai membuka. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Tinggal memulihkan kesehatan saja. Rangga lantas mengambil sebutir obat pulung dari balik bajunya. Segera dijejalkannya ke mulut Ki Demong.

"Ohhh...! Kiranya kau lagi yang menolongku, Rangga. Terima kasih banyak...," ucap Ki Demong lirih sambil memandang tajam pada Rangga.

"Sudahlah, Ki. Coba ceritakan apa yang telah terjadi...? Dan siapa pula yang mencelakaimu...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, seraya bangkit berdiri.

Secara singkat dan jelas, Ki Demong menceritakan segala apa yang telah terjadi pada Rangga. Mendengar cerita itu, Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaknya ada sesuatu yang dipikirkannya. Belum sempat Ki Demong bercerita lagi, mendadak....

"Heaat...!"

Terdengar teriakan membahana yang diikuti berkelebatnya seorang pemuda bertubuh tinggi besar. Otot lengannya bertonjolan keluar dengan sebuah senjata clurit siap dikebutkan. Wajahnya tampak tampan dan gagah.

Rangga memandang dengan kening berkerut. Apalagi ketika pemuda itu menerjang ke arahnya. Dengan mudah sekali, Rangga berkelit ke samping mengelakkan serangan. Lalu seketika tangannya bergerak memapak.

Plak!

Pemuda bertubuh tinggi besar itu kontan terhuyung-huyung mundur dua tindak ke belakang. Cluritnya langsung terlepas dari tangan. Dengan sinar mata tajam, dia mengawasi Pendekar Rajawali Sakti.

"Hei... hei.... Ada apa, Kisanak? Mengapa tiba-tiba kau menyerang ku? Rasanya, baru sekali ini aku melihatmu...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau pasti yang mencelakai kakek itu?" tunjuk pemuda itu, langsung.

"Sabar, Kisanak. Tanyakanlah sendiri pada Pemabuk Dari Gunung Kidul," ujar Rangga kalem.

Pemuda itu segera menoleh pada Ki Demong.

"Benar, Anak Muda. Pendekar Rajawali Sakti justru yang menyelamatkan aku dari kematian...," kata Ki Demong lirih.

"Oh...?! Jadi..., jadi kau Pendekar Rajawali Sakti...? Maafkan aku, Tuan Pendekar. Perkenalkan, aku putra Ki Waredeng, Kepala Desa Karang Sekalor. Namaku Wisnupati. Ayahku menceritakan padaku, kalau kakek yang memegang guci tuak itu telah menyelamatkan nyawa ayah dan para pengawal.... Sayang, aku terlambat pulang ke rumah. Bila tidak peristiwa berdarah itu takkan terjadi di tempatku," ucap Wisnupati, sambil menjura hormat setelah tahu siapa yang diserangnya tadi.

"Lalu, mengapa kau main serang seenaknya tanpa tanya lebih dulu?" tegur Rangga.

"Sekali lagi maafkanlah.... Kukira kau yang telah mencelakai kakek itu. Maka aku langsung menyerangmu..."

Ki Demong mengawasi sambil tersenyum. Kiranya putra kepala desa itu telah salah paham. "Terima kasih, Anak Muda...! Lain kali kalau mau berbuat sesuatu jangan main hantam saja.... Bertanyalah dulu, walau kuakui kepandaianmu cukup bisa diandalkan...," ujar si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Ya..., ya.... Kau benar, Ki. Adatku memang sedikit berangasan.... Aku juga ingin mengucapkan terima kasih padamu, Ki. Siapakah namamu...?" tanya Wisnupati.

"He he he...! Kurasa kau pura-pura tidak tahu. Coba terka, siapa aku...?" tukas Ki Demong.

"Menurut Ki Patisena kau adalah tokoh tua sakti yang bergelar si Pemabuk Dari Gunung Kidul... Dan maafkanlah bila aku salah terka...," sahut Wisnupati.

"He he he...! Ternyata pengawal itu memiliki wawasan yang cukup luas. Aku memang orang yang dimaksud...," jawab Ki Demong, terkekeh.

"Kalau begitu, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu pada keluarga kami...."

"Itu soal biasa.... Orang jahat harus ada musuhnya. Tetapi, aku bukan orang sakti.... Salah besar kalau kau menganggapku begitu. Yang tepat, aku hanyalah seorang pemabukan...," sergah Ki Demong, merendah.

Wisnupati lantas menoleh ke arah Rangga dan menatapnya dengan sinar mata berbinar-binar.

"Mengapa kau memandangku seperti itu...?" tanya Rangga.

"Kau hebat sekali, Pendekar Rajawali Sakti...," puji Wisnupati sambil memberi hormat.

"Sudahlah.... Lain kali kau harus hati-hati dalam bertindak. Oh, ya.... Aku masih ada urusan. Sampai jumpa lagi...."

Habis berkata demikian, Rangga melesat cepat meninggalkan tempat ini. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sempurna, Rangga melesat bagai anak panah lepas dari busur. Sehingga dalam waktu singkat saja telah lenyap dari pandangan.

"Ki.... Ayahku mengajakmu mampir ke rumah, untuk mengucapkan terima kasih...," ajak Wisnupati, ketika Pendekar Rajawali Sakti tak terlihat lagi.

"Mestinya ayahmu tidak perlu menyibukkan diri hanya untuk menjamu diriku. Lagi pula, aku sedang tak berselera mampir ke rumah orang...," tolak Ki Demong sambil menggeleng-geleng.

"Tetapi, ayah juga telah menyediakan tuak wangi yang telah disimpan lama.... Kurasa kau akan suka, Ki.... Ayolah, jangan mengecewakan harapan kami...," bujuk Wisnupati setengah memaksa.

"Apa.... Apa kau bilang...? Kau mempunyai tuak wangi yang telah disimpan lama? Kau tidak bohong, bukan...?!" sentak si Pemabuk Dari Gunung Kidul, kontan kegirangan.

"Mana berani aku berbohong pada orang tua sepertimu, Ki. Kalau kau suka tuak, ayo ikut aku.... Kita dapat minum sepuasnya sampai mabuk. Ayolah...! Aku bersedia menemanimu sampai pagi. Bagaimana...?" ujar Wisnupati memanasi.

"Baiklah.... Dengan memandang ayahmu, aku bersedia datang ke tempatmu...," desah Ki Demong sambil menelan ludah.

Kemudian, keduanya segera melesat menuju Desa Karang Sekalor yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat ini. Mereka sama-sama menggunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga lesatan tubuh mereka bagaikan iblis yang tengah berlari di siang hari.

********************

EMPAT

Bukit Ungaran berdiri megah bagaikan batu karang di tengah samudera, yang tidak akan hancur terkena panas dan hujan. Rumput dan ilalang tampak menghijau. Sungai yang jernih tampak berkelak-kelok bagaikan ular raksasa yang tengah berjalan. Di sebelah Bukit Ungaran, membentang sebuah telaga yang cukup luas..Namanya, Telaga Warna. Airnya berwarna-warni. Di telaga itu terdapat daratan cukup luas.

Di tengah pulau kecil telaga itu, berdiri sebuah bangunan besar. Kabarnya, bangunan itu dihuni oleh sepasang pendekar tua yang telah dikaruniai tiga anak yang telah tumbuh menjadi gadis-gadis cantik. Kalangan persilatan memberi nama rumah di tengah telaga itu dengan Pesanggrahan Telaga Warna.

Orang-orang persilatan pun tahu, siapa tokoh yang menghuni pesanggrahan itu. Dia adalah seorang laki-laki tua berkumis dan berjenggot putih. Namanya Samba. Dia dijuluki si Lutung Pancasona.

Ilmu tangan kosongnya yang menyerupai gerakan kera telah mengangkat namanya dalam kancah dunia persilatan. Senjatanya yang berupa sepasang pedang yang gagangnya diberi hiasan benang sutera berwarna-warni menjadi ciri khasnya di balik punggung.

Sedangkan istri Samba dikenal bernama Rukmini. Rambutnya telah putih keperakan digelung ke belakang. Wanita tua yang masih membayang-kan sisa kecantikannya sewaktu muda itu bersenjata tongkat berwarna hijau. Tak heran kalau dalam dunia persilatan dia dikenal sebagai Bidadari Tongkat Hijau. Walau jarang terjun dalam rimba persilatan, tetapi nama besarnya cukup disegani.

Sedangkan ketiga anak sepasang pendekar itu masing-masing bernama Sri Kundalini, Sri Agni Kumala, dan Sri Padmi. Sebagai anak pendekar, mereka bertiga tentu tidak dapat dipandang rendah. Sudah dipastikan kalau mereka mewarisi kepandaian kedua orangtua mereka.

Dalam rimba persilatan terdengar desas-desus bahwa didepan Pesanggrahan Telaga Warna terdapat sejenis bunga langka yang mengandung kekuatan luar biasa. Anehnnya, bunga itu hanya tumbuh dalam kurun waktu seratus lima puluh tahun.

Warna bunga itu biru dan merah. Konon kabarnya, siapa yang memakan bunga biru, akan mendapat tulang dan darah yang bersih. Di samping itu akan memiliki tenaga puluhan kali lipat disertai hawa dingin. Sedangkan bunga yang berwarna merah akan membuat pemakannya memiliki tenaga berhawa panas luar biasa.

Bagi kaum persilatan bunga langka itu sangat diidam-idamkan. Mereka sanggup mempertaruhkan jiwa untuk mendapatkannya. Namun mereka tak tahu kapan tepatnya bunga itu akan mekar.

Lutung Pancasona bergembira, karena dua purnama lagi kuncup bunga dari pohon langka itu akan merekah penuh, menyebarkan bau harum luar biasa. Saat itu pun bau harumnya mulai tercium ke mana-mana.

Entah bagaimana, berita tentang akan mekarnya bunga itu kini tersebar luas di dunia persilatan. Sehingga dari berbagai penjuru banyak berdatangan para tokoh persilatan yang tidak diundang menuju Pesanggrahan Telaga Warna. Baik itu golongan hitam, maupun golongan putih.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Saat ini cuaca sangat terik. Di tengah jalan menuju Bukit Ungaran, tampak sepuluh orang laki-laki berpakaian seperti orang persilatan pada umumnya. Dari wajahnya yang penuh debu dan berkeringat, jelas mereka sudah melakukan perjalanan cukup jauh.

Dari lambang perguruan berbentuk kepala tengkorak berwarna putih yang tersulam di dada, dapat diketahui kalau mereka dari Perguruan Tengkorak Putih yang cukup tersohor dalam sepak terjangnya yang liar. Perguruan itu memang beraliran hitam. Tindakan mereka sangat telengas dan kejam, sehingga sangat ditakuti dan dibenci masyarakat.

Kali ini kabar berita tentang adanya bunga aneh di Pesanggrahan Telaga Warna sampai juga di telinga mereka. Itulah sebabnya mereka keluar kandang untuk mengadu untung.

Kesepuluh orang itu menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan seorang wanita cantik berpakaian serba hijau. Melihat ada wanita cantik di tengah jalan, laki-laki yang berjalan paling depan terkekeh-kekeh seperti serigala melihat domba gemuk. Matanya yang hanya satu tampak berbinar-binar penuh nafsu. Jakunnya turun naik, menahan liur.

"He he he...! Pada hari sepanas ini hendak pergi ke mana, Nisanak...? Kalau tidak keberatan, marilah kita berjalan bersama-sama...," tegur laki-laki bermata satu itu yang rupanya bertindak sebagai pemimpin rombongan.

"Siapakah Kisanak ini? Hi hi hi.... Rasanya, tujuan kita berlainan?" tanya wanita cantik itu sambil mengikik genit.

"Hm.... Aku Bergawa, Ketua Perguruan Tengkorak Putih. He he he.... Rasanya tak ada salahnya kalau kita berjalan bersama. Aku toh bisa mengurungkan perjalananku, untuk berjalan bersamamu," sahut laki-laki bermata picak yang temyata bernama Bergawa.

"Ah.... Jangan begitu, Kisanak...," desah wanita cantik itu sambil melirik nakal dengan ujung matanya.

Melihat sikap liar wanita itu, Bergawa jadi lupa diri. Gairahnya makin menggelegak. Sambil tersenyum-senyum nakal didekatinya wanita itu. Tangannya langsung menjawil dada yang membukit indah itu. Herannya, wanita ini mendiamkan saja tingkah Ketua Perguruan Tengkorak Putih ini.

"Gleg...!"

Bergawa menelan ludah. Sementara para muridnya memandangi dengan mata melotot. Air liur mereka seperti hendak menetes dari sudut bibirnya.

Tanpa mempedulikan keadaan di tempat itu, Bergawa yang sudah dikuasai iblis segera menarik tangan wanita ini. Langsung diseretnya wanita itu ke semak-semak yang lebat tak jauh dari tempat ini.

Suasana hening dan sepi sesaat. Daun-daun tampak bergoyang keras bagaikan sedang diguncang-guncangkan. Tiba-tiba....

"Aaakh...! Mendadak terdengar teriakan keras, disusul melesatnya satu sosok tubuh dari dalam semak sambil memegangi daerah terlarangnya yang terlihat banyak mengucurkan darah. Sosok yang ternyata Bergawa segera menotok beberapa jalan darahnya.

"Bangsat...! Kuntilanak keparat! Apa..., maksudmu?!" rutuk Bergawa dengan gigi bergemeletuk menahan sakit dan marah.

"Hik hik hik...! Berkacalah dulu baik-baik, manusia jelek...! Apa kau pantas bermain cinta denganku...?" leceh wanita cantik itu balik bertanya, seraya keluar dari balik semak-semak. Langkahnya gemulai memancing birahi.

Melihat sang ketua dihina seperti itu, anak murid Perguruan Tengkorak Putih segera menerjang serentak. Ada yang menggunakan tangan kosong, ada pula yang memakai senjata tajam.

"Hi hi hi...!" Sambil tertawa keras wanita berpakaian serba hijau itu berkelit ke sana kemari dengan gerakan ringan. Gerakannya bagaikan sedang menari di antara gerombolan manusia yang haus darah. Namun tiba-tiba dia melakukan tendangan ke arah lawan-lawannya.

Zeb! Zeb!

Karena gerakan tendangan ini membuat pakaian dalam wanita cantik itu terlihat jelas. Akibatnya para pengeroyok jadi salah tingkah. Gerakan mereka tidak beraturan lagi. Sebenarnya ini memang disengaja oleh wanita itu. Ketika lawan-lawannya lengah cepat-cepat dilepaskannya serangan sesungguhnya yang berupa pukulan berisi tenaga dalam tinggi.

Dess...! Desss...!

"Aaakh...! Aaakh...!"

Disertai keluhan tertahan, dua orang berjatuhan dengan dada dan punggung hangus. Ketika dua orang menyerang lagi, langsung disambut kebutan selendang berwarna hijau yang berbau harum semerbak.

Werrr..!

"Uhhh...!" Walaupun keduanya sudah berusaha mengelak, tetap saja ujung selendang berhasil menghantam wajah.

Prak! Prak!

Terdengar suara kepala pecah disusul jatuhnya dua orang pengeroyok. Kini terbukalah mata para pengeroyok kalau gadis cantik berpakaian hijau itu memiliki kepandaian amat tinggi.

"Katakan sebenarnya, siapakah kau...? Apa maumu dengan segala tindakan ini...?" tanya Bergawa setelah berhasil mengobati lukanya.

"Walaupun kau adalah ketua perguruan, masih belum pantas mengetahui namaku.... Sekarang kuperintahkan, galilah kuburan sebanyak orang yang kau bawa...," hardik wanita cantik ini.

"Keparat...! Walaupun kau berilmu tinggi, jangan harap dapat menghina. Aku belum kalah! Mari kita adu jiwa...!" desis Bergawa menghentakkan kedua tangannya. Terimalah aji 'Tengkorak Putih'ku!"

Werrr...! Seketika melesat sinar putih dari kedua tangan Bergawa ke arah wanita cantik itu.

"Hup...!" Namun indah sekali wanita berpakaian serba hijau itu melenting, sehingga....

Blarrr...!

Sebuah pohon besar yang berada tepat di belakang wanita itu roboh dan hancur, terkena sinar putih yang dilepaskan Bergawa. Tetapi akibatnya, Bergawa meringis menahan sakit pada daerah terlarangnya.

Dalam keadaan terluka begitu, Bergawa memang tidak bisa mengeluarkan tenaga dalam secara berlebihan. Perut dan bawah pusarnya kontan terasa sakit dan mulas luar biasa.

Werrr...!

Menggunakan kesempatan wanita itu langsung mengibaskan selendang hijaunya ke leher Bergawa. Kontan Ketua Perguruan Tengkorak Putih jadi mendelik dan megap-megap karena tidak dapat bernapas. Sementara para muridnya, tidak ada yang berani maju. Mereka hanya mengawasi tanpa berdaya apa-apa.

"Hik hik hik...! Lekas suruh anak muridmu menggali kuburan beberapa buah! Kalau membangkang, lehermu akan kuputus saat ini juga...," ancam wanita cantik ini dingin.

"Anak-anak...! Gali beberapa lubang kubur yang besar. Cepat laksanakan perintah...!" seru Bergawa pada muridnya.

Tanpa banyak membantah lagi, murid-murid Perguruan Tengkorak Putih mulai menggali lubang kuburan beberapa buah. Karena dikerjakan beramai-ramai, sebentar saja tercipta tiga buah lubang besar.

Sementara napas Bergawa tersengal karena lehernya terjerat erat selendang milik wanita itu.

"Sekarang tiga orang dari kalian masuk ke dalam lubang itu. Sedang yang lain menimbuni dengan tanah...!" perintah wanita berbaju serba hijau itu.

"Kau..., kau.... Apakah kami akan dikubur hidup-hidup...? Kau benar-benar wanita iblis! Kubunuh kau, Keparat...!" bentak salah seorang murid. Lalu tubuhnya meluruk dengan golok terhunus. Dibabatnya leher wanita itu.

"Hiaaat...!"

Hanya dengan mengegos sedikit, wanita itu berhasil menghindari serangan. Dan tiba-tiba tangan kanannya mengibas, melepas pukulan bertenaga dalam tinggi.

Buuug...!"

"Aaa...!" Pukulan keras itu mendarat tepat di dada murid itu. Tubuhnya kontan melayang, masuk ke dalam lubang kubur yang digali. Ketika dua orang murid lain hendak bantu menyerang, wanita itu menyambutinya dengan serangan jarak jauh.

"Hih...!"

Zeb! Zeb!

"Aaa...!"

Kedua murid Bergawa kembali terpental disertai semburan darah dari mulut. Entah kebetulan atau disengaja, jatuhnya tepat masuk ke dalam lubang tempat murid sebelumnya terjatuh. Sehingga mereka bertiga jadi saling tumpang tindih bagaikan ikan asin.

"Bagaimana...? Apakah kalian tidak mau menurut perintahku...? Atau kau ingin kusiksa lebih kejam lagi...?" tanya wanita itu, dingin.

Dengan terpaksa kedua murid Perguruan Tengkorak Putih menimbuni ketiga saudara seperguruan mereka sendiri yang sebenarnya masih hidup.

"Jangan...!"

Tentu saja ketiga orang yang sudah terluka dan tidak dapat bergerak di dalam lubang itu berteriak-teriak. Namun para murid Perguruan Tengkorak Putih terus menimbuni tanpa mau peduli lagi.

"Jangan.... Jangan bunuh kami seperti ini. Jangaaan...!"

Teriakan mereka menghilang ketika tanah mulai rapat menutup seluruh tubuh. Apalagi ketika kedua murid mulai menginjak-injak tanah galian sampai padat. Mereka binasa dalam keadaan yang menyedihkan.

"Ohh...!" Mendadak, tubuh Bergawa yang tercekik selendang terjajar maju ketika wanita berpakaian serba hijau itu menyentakkannya. Dan sebelum Bergawa bisa berbuat apa-apa, tangan wanita itu telah bergerak cepat ke punggung.

Tuk! Tuk!

Saat itu juga Bergawa merasakan tubuhnya lemas sekali. Bagai tak ada tulang, tubuhnya ambruk tak berdaya. Sementara wanita berpakaian serba hijau segera menyeret Ketua Perguruan Tengkorak Putih itu ke arah lubang yang masih kosong. Langsung dimasukkannya laki-laki ini ke dalam lubang.

"Bangsat...! Lepaskan totokan ini. Bunuh saja aku! Atau kita bertarung, mengadu jiwa! Cepat lepaskan! Keparattt...!"

Ketua Perguruan Tengkorak Putih yang sudah tertotok itu tidak dapat menggerakkan tubuhnya lagi. Dia hanya dapat berteriak-teriak dengan perasaan ngeri. Kemudian wanita itu berbalik. Di tangannya sudah tergenggam kalajengking dan kelabang merah yang sangat beracun.

"Sekarang, kubur gurumu baik-baik...! Kalau tidak, kalian akan jadi korban gigitan binatang beracun ini. Cepat laksanakan!" perintah wanita ini.

Tanpa banyak membantah lagi, kedua murid itu menimbuni tubuh guru mereka sendiri yang menyumpah-nyumpah tak ada habis-habisnya. Dalam waktu sekejap saja, tubuh Bergawa sudah tidak terlihat lagi. Suaranya juga sirna bersama rapatnya tanah menimbuni tubuhnya. Setelah tugas kedua murid itu selesai, wanita berpakaian serba hijau itu mengebutkan selendangnya.

Werrr...!

"Aaakh...!"

"Uhh...!"

Dengan sekali kebut, kedua murid itu jatuh ke dalam lubang terakhir yang mereka gali sendiri. Dan seketika, wanita kejam ini melemparkan binatang beracun ke dalam lubang.

"Hik hik hik...! Segala tokoh kampungan tidak pantas pergi ke Bukit Ungaran. Sebaiknya kalian jadi raja cacing saja di tempat ini...!" ejek wanita kejam itu.

Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat cepat. Sebentar saja, dia telah lenyap dari tempat itu.

********************

LIMA

Seiring bergulirnya waktu, maka keadaan di Bukit Ungaran makin ramai saja, setelah terdengar desas-desus tentang akan mekarnya bunga aneh yang memiliki warna merah dan biru. Mungkin kalau bunga biasa, berita itu tak akan menyita perhatian dunia persilatan. Karena kedua jenis bunga itu memiliki kemampuan dahsyat, tak heran kalau menjadi incaran para tokoh persilatan.

Maka tak heran pula kalau di sekitar Bukit Ungaran kini telah berkumpul beberapa tokoh persilatan. Mereka datang ada yang atas nama pribadi, dan ada pula yang mengatas namakan perguruan. Bahkan ada pula yang disertai pengiring yang membawa umbul-umbul lambang perguman. Di antara yang nampak adalah umbul-umbul yang bergambar seekor ikan pesut berwarna putih. Orang persilatan mengenai mereka dari Perguruan Pesut Baja, yang diketuai Gembili.

Perguruan lainnya adalah Perguruan Elang Putih. Itu terlihat dari umbul-umbul bergambar seekor elang berwarna putih. Para tokoh persilatan mengenai ketua perguruan itu dengan nama Ki Tambak Yoso.

Agaknya mereka ingin benar-benar mengadu nasib dengan tetap menunggu di tempat ini, sampai bunga yang dihebohkan itu mekar.

"Hik hik hik...! Segala kutu sayur mau ikut memperebutkan Bunga Nirwana.... Daripada membuat repot, lebih baik kembali saja ke akherat..."

Mendadak terdengar sebuah suara mengejek disertai tawa mengikik memecah kesunyian dan menggetarkan dada. Sehingga siapa saja yang mendengar kakinya menjadi lemas, dan seakan-akan tidak bertulang.

Mendengar suara tersebut, para tokoh persilatan langsung mengerahkan tenaga dalam. Karena terlambat sedikit saja mereka akan mendapat luka dalam. Namun baru saja mereka bertindak, melesat sebuah benda, dan....

Blarrr...!

Benda itu langsung meledak tepat di tengah-tengah para tokoh persilatan yang sedang berkumpul.

"Ugh!"

Para tokoh persilatan yang mengisap asap tersebut langsung sama-sama pening dan sesak napas. Pandangan mereka juga menjadi gelap. Bumi yang dipijak seakan berputar. Gepat mereka mengatur napas, agar tidak sampai menghisap asap beracun itu.

Set! Set! Set!

Pada saat yang berbahaya, kembali melayang puluhan benda yang ternyata kelabang dan kala-jengking. Tidak ampun lagi mereka jadi kalang kabut begjtu binatang-binatang itu langsung menyengat. Mereka kontan ambruk dengan tubuh kaku dan bersemu hitam. Binasa di tempat itu juga.

Kebetulan, kejadian mengenaskan terhadap para tokoh persilatan itu cukup jauh dari tempat rombongan Perguruan Pesut Baja dan Perguruan Elang Putih. Maka begitu terdengar teriakan menyayat, kedua ketua perguruan itu melesat ke tempat kejadian. Sedangkan para murid dari dua perguruan segera menyusul dari belakang, walaupun sudah tertinggal jauh.

Dan betapa tercekatnya Ki Gembili dan Ki Tambak Yoso melihat mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah, begitu tiba di tempat kejadian.

"Bangsat...! Keluarlah kau! Jangan main sembunyi, Pengecut!" teriak Ketua Perguruan Elang Putih sambil memutar pedang tipisnya bagai baling-baling. Suara babatan pedang terdengar bersiutan.

Sementara Perguruan Pesut Baja segera meloncat ke atas pohon sambil mengebutkan cambuk berdurinya berkali-kali. Matanya mengawasi ke sana kemari mencari orang yang mengeluarkan suara tawa tadi.

Tak lama dari balik semak yang rimbun melesat sesosok bayangan hijau. Gerakannya gesit sekali, bagaikan camar di lautan.

"Ciaaat!"

"Haaat!"

Begitu sosok itu mendarat, Ketua Perguruan Elang Putih dan Ketua Perguruan Pesut Baja segera menerjang. Pedang tipis yang tajam dan cambuk berduri yang mengerikan berdesingan ke arah tubuh sosok berwajah tengkorak yang tak lain si Manusia Tengkorak. Tetapi dengan gerakan cepat dan ringan sosok berwajah tengkorak masih dapat menghindari setiap serangan.

Menghadapi kedua orang yang berilmu cukup tinggi ini, si Manusia Tengkorak cukup kerepotan. Sambil berteriak keras, tangannya melempar ben-da-benda kecil sebesar melinjo yang dapat meledak dan mengepulkan asap beracun.

Siuuut! Blarrr!

"Hup...!"

Bagai kilat, kedua ketua perguruan itu melenting kebelakang dan berjumpalitan menjauhi lawannya. Begitu menyentuh tanah, mereka mengirimkan serangan jarak jauh dengan tenaga dalam penuh.

Namun kali ini si Manusia Tengkorak menyambutinya dengan pukulan jarak jauh pula. Sehingga, mereka jadi bergetar dan terjajar mundur beberapa langkah.

Untuk sementara waktu pertarungan terlihat semakin seru. Kelebihan kedua ketua perguruan itu lambat laun dapat diatasi si Manusia Tengkorak dengan lemparan binatang beracun yang mematikan. Sehingga dalam waktu yang cukup panjang, barulah manusia berwajah tengkorak itu berhasil mendesak.

Pada saat yang sama, para murid dua perguruan itu telah tiba di tempat pertarungan. Mereka langsung membuat lingkaran, mengelilingi pertarungan. Sepertinya mereka tak ingin membuat celah sedikit pun bagi si Manusia Tengkorak yang sudah terkenal kebiadabannya.

Pada suatu kesempatan, pedang tipis Ki Tambak Yoso membabat ke arah leher. Namun dengan cepat si Manusia Tengkorak menundukkan kepala. Dan tiba-tiba ditepisnya pergelangan tangan Ketua Perguruan Elang Putih itu.

Plak!

Begitu terjadi benturan, si Manusia Tengkorak menyodokkan kedua tangannya disertai tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss...!

"Huaaagkh!"

Tanpa dapat ditahan lagi tubuh Ki Tambak Yoso jatuh telentang begitu perutnya terhantam pukulan si Manusia Tengkorak. Dari sudut bibimya tampak mengucurkan darah berwarna kehitaman.

"Heaaa...!"

Di saat yang gawat para murid Perguruan Elang Putih menerjang secara serentak. Tetapi, terjangan mereka disambut lemparan binatang-binatang berbisa.

Set! Set!

"Aaa...!"

Karena jaraknya terlalu dekat, para murid ini tidak dapat mengelakkan serangan. Maka jeritan kematian segera menggema membelah langit.

Sementara Ketua Perguruan Pesut Baja kini menyadari, kalau pertarungan ini dilanjutkan pasti akan membuang nyawa percuma. Namun menyaksikan betapa kejamnya si Manusia Tengkorak itu akhirnya dia jadi nekat.

"Hiaaat!"

Ctar! Ctar!

Cambuk berduri di tangan Ki Gembili, bersiutan di sekeliling tubuh si Manusia Tengkorak. Ketika tokoh kejam ini membuang diri ke belakang, ujung cambuk berbunyi keras di samping telinganya. Kalau kurang cepat, tentu pelipisnya akan pecah terkena hantaman cambuk.

Cepat si Manusia Tengkorak menjatuhkan diri ke tanah. Setelah bergulingan, dilepaskannya tendangan melingkar ke arah kaki.

"Hup!"

Dengan melenting ke atas Ketua Perguruan Pesut Baja berhasil mengelakkan serangan. Namun baru saja mendarat, pukulan si Manusia Tengkorak bertubi-tubi menghujani.

Sejenak Ki Gembili terkesiap. Namun dengan cepat mengegos ke kiri dan kanan. Akibatnya, setiap pohon yang terhantam pukulan nyasar langsung roboh dengan batang hangus.

Yeaaa!"

Ctarrr!

Sambil mengelakkan serangan, Ketua Perguruan Pesut Baja ini cepat menyabetkan pecutnya.

Set! Set!

Pada saat yang sama segenggam binatang beracun terlontar ke arah pecutnya. Namun sebagian lagi langsung mendarat di tubuhnya.

"Wuaaakh...!"

Ki Gembili berteriak keras begitu binatang-binatang beracun itu menyengat. Cepat Ketua Perguruan Pesut Baja ini menyalurkan hawa murni untuk menahan menjalamya racun yang masuk ke dalam tubuh. Namun hasilnya nihil. Tetap saja Ki Gembili ambruk, walaupun nyawanya masih tetap bersemayam di badan.

Si Manusia Tengkorak hanya mengawasi dengan sinar mata dingin menyiratkan kekejamannya.

"Hik hik hik...! Sekarang buat beberapa buah lubang! Cepat laksanakan perintahku...!" ujar si Manusia Tengkorak.

"Manusia iblis...! Siapa yang mau menuruti perintahmu...?!" tolak salah seorang murid Perguruan Pesut Baja sambil menudingkan pedangnya.

Sebelum gema suara itu lenyap, si Manusia Tengkorak langsung melemparkan kelabang merah dan kalajengking.

Set! Set!

"Aaa...!"

Dengan teriakan menyayat, tahu-tahu murid Perguman Pesut Baja yang bemsaha membantah itu sudah memegangi tenggorokannya yang tersengat binatang-binatang berbisa itu. Melihat hal ini tak seorang murid pun yang berani bergerak lagi.

"Baiklah.... Kau menang.....Apa yang harus kami lakukan.,.?!" tanya salah seorang murid dengan wajah agak pucat.

"Hik hik hik...! Bila kalian tidak membantah, tentu tidak akan jadi korban lagi...! Sekarang cepat gali lubang yang besar dan cukup untuk beberapa orang...!" perintah si Manusia Tengkorak.

"Untuk apa kami menggali lubang kubur...?" sela salah seorang murid dengan perasaan curiga.

"Kalian terlalu cerewet! Aku tidak suka orang macam kalian. Lebih baik, kembali saja ke akherat...!" desis si Manusia Tengkorak.

"Hiih...!"

Cepat sekali gerakan si Manusia Tengkorak ketika menyabetkan tangannya. Seketika bertaburan bubuk berwarna hijau yang berbau busuk ke arah orang yang membantah tadi.

Werrr...!

"Aaa...!" Orang itu kontan berteriak dengan mata terbelalak. Kedua tangannya memegangi leher, seakan-akan napasnya tersumbat. Dalam waktu singkat saja tubuhnya ambruk dengan wajah berubah kehitaman. Dia mati secara mengenaskan.

"Coba katakan, siapa yang mau mati seperti itu...?!" desis si Manusia Tengkorak.

"Baik.... Baiklah! Kau menang.... Kami akan menuruti perintahmu...!" kata salah seorang murid dengan suara bergetar.

Kemudian tanpa banyak cakap lagi, para murid Perguruan Pesut Baja mulai menggali dengan peralatan seadanya. Karena mereka memiliki tenaga lumayan dan dikerjakan beramai-ramai, maka tiga kuburan besar telah tergali rapi.

Si Manusia Tengkorak telah menotok Ketua Perguruan Pesut Baja yang memang sudah tak berdaya. Kini tubuh Ki Gembili jadi kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Lalu dengan sekali dorong, tubuh laki-laki berusia lima puluh lima tahun itu jatuh ke dalam lubang besar yang dibuat murid-muridnya sendiri.

"Timbuni dia dengan tanah, cepat! Atau, kalian akan kusiksa seperti dia...!" hardik si Manusia Tengkorak, menunjuk ke arah Ki Gembili.

"Heaaat...!"

Menyaksikan kekejaman si Manusia Tengkorak, Ketua Perguruan Elang Putih yang sudah terluka segera menerjang dengan maksud mengadu jiwa. Pedang tipisnya disabetkan menyilang.

Mendapat serangan, si Manusia Tengkorak tetap tenang saja. Namun begitu serangan dekat, tubuhnya meliuk seperti menggeliat ke kiri dan kanan.

Serangan pedang itu luput dari sasaran. Bersamaan dengan lewatnya serangan Ki Tambak Yoso, tangan si Manusia Tengkorak menyodok iga.

Desss...!

"Aaakh...!" Tak ampun lagi, Ki Tambak Yoso jatuh persis ke dalam lubang, dan bersatu dengan Ketua Perguruan Pesut Baja.

"Cepat timbuni! Atau kubuktikan dulu ancamanku tadi," desis si Manusia Tengkorak, dingin.

Dengan terpaksa, murid-murid dari kedua perguruan itu mulai menimbuni guru mereka. Dalam hati mereka merintih pedih. Tetapi apa daya untuk melawan perintah si Manusia Tengkorak yang berkepandaian amat tinggi.

"Jangan..., jangan lakukan itu.... Kalian benar-benar hendak jadi pengkhianat rupanya...," teriak kedua ketua perguruan ini. Mereka pun rupanya merasa ngeri bila harus mati secara menyedihkan ini. Keduanya lebih suka mati dalam pertempuran daripada harus mati seperti itu. Dalam keadaan yang gawat bagi kedua ketua perguruan itu, mendadak....

"Ha ha ha...! Rasanya dunia ini sangat sempit. Walaupun berada di mana pun, selalu berjumpa denganku...! Memang manusia telengas tidak pantas hidup dalam dunia ini."

Terdengar suara mengejek yang disusul dengan terciumnya bau tuak. Begitu si Manusia Tengkorak menoleh, tak jauh di depannya telah berdiri seorang laki-laki tua berambut putih dengan guci arak di tangan. Ternyata dia adalah si Pemabuk Dari Gunung Kidul yang terkenal suka bertindak ugal-ugalan.

Saat itu juga para murid dari kedua perguruan menghentikan pekerjaannya, menimbuni kedua guru masing-masing.

"Keparat...! Kiranya kau lagi yang mencampuri urusanku! Kali ini kau tidak akan kubiarkan lolos dalam keadaan hidup-hidup," "desis si Manusia Tengkorak dengan geram.

"Aaah...! Yang benar saja? Masa' aku yang sudah setua ini hendak ditamatkan dari dunia ini...?" sahut Ki Demong. Lalu kepalanya menoleh ke arah murid-murid Perguruan Pesut Baja dan Perguruan Elang Putih. "Hei...! Kalian mengapa diam saja macam ayam sakit? Lekas keluarkan guru kalian.... Apa kalian suka guru kalian jadi raja cacing?! Cepat kerjakan! Jangan takut ada aku di sini...!"

Bagai disadarkan para murid kedua perguruan itu beramai-ramai segera mengeluarkan guru mereka dari lubang yang baru sebagian tertimbun. Melihat keadaan itu sambil menggerung gusar si Manusia Tengkorak menerjang.

"Heaaa...!" Namun dengan tak kalah sigap, Ki Demong segera meluruk berusaha memapak.

Dar! Dar!

Benturan dahsyat terdengar berkali-kali. Keduanya tergetar mundur beberapa langkah. Sambil memaki kalang kabut, si Manusia Tengkorak melemparkan beberapa binatang beracun kearah si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Fhruuhhh...!"

Namun dengan sekali sembur, tuak merah Ki Demong berhasil merontokan binatang-binatang berbisa itu.

Set! Set!

"Fruuuhh...!"

Ketika beberapa binatang beracun kembali menyerbu, Ki Demong menyemburkan tuaknya kembali. Kali ini semburannya menimbulkan api yang berkobar-kobar dan langsung membakar hangus binatang beracun itu.

"Ha ha ha...! Lagu lama macam itu tidak perlu dipamerkan di depanku.... Coba cari yang lebih dahsyat dari itu," ejek si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Ciaaat....!"

Begitu kata-kata Ki Demong tuntas, si Manusia Tengkorak kembali meluruk dengan pukulan bertubi-tubi.

Zeb! Zeb! Zeb!

Tetapi dengan langkah tidak beraturan bagaikan orang mabuk, Ki Demong berhasil mengelak-kan serangan. Bahkan dengan serakan memutar, guci tuaknya berkelebat cepat, tak tertahankan lagi. Hingga....

Buuug!

"Aaakh!"

Telak sekali dada si Manusia Tengkorak terhajar guci. Walaupun tidak sampai jatuh, tetapi dari bibirnya menetes darah kental pertanda terluka dalam cukup parah. Menyadari tak bakal menandingi pemabuk itu, dilemparkannya benda sebesar melinjo dari tangannya.

Blusss!

Ki Demong segera loncat mundur begitu benda itu meledak, menimbulkan asap pekat berbau wangi. Pemabuk Dari Gunung Kidul tahu, asap itu mengandung racun jahat.

Mendapat kesempatan baik, si Manusia Tengkorak capat memanfaatkannya dengan melesat pergi. Dalam sekejap mata saja, tubuhnya telah hilang dari pandangan mata.

Setelah yakin lawannya pergi, Ki Demong segera menghampiri kedua ketua perguruan yang mendapat luka untuk diobati.

********************

ENAM

Di langit bulan setengah lingkaran tertutup awan. Malam yang gelap jadi bertambah gelap. Angin bertiup keras membuat udara bertambah dingin. Di dalam pondok kayu di ujung jalan yang mendaki tak begitu jauh dari Bukit Ungaran, si Manusia Tengkorak duduk berhadapan dengan seorang wanita tua berdandan bagai seorang gadis saja. Sikap perempuan tua itu tampak genit. Wajahnya dihiasi pupur dan gincu.

"Kau memang pantas menjadi murid keponakanku.... Kau berhasil membawakan aku sekotak permata yang sangat berharga.... Di samping itu, kau berhasil membawa seorang pemuda tampan untukku...," puji wanita tua genit ini sambil mempermainkan seekor ular berbisa yang berwarna merah keemasan di tangannya.

"Apa pun yang menjadi kesenangan Bibi Guru, akan kubawakan kemari.... Asalkan, kau mau membantuku menghadapi lawan-lawanku yang rata-rata berilmu tinggi...," tukas si Manusia Tengkorak itu.

"Bagus..., bagus...! Kau taruh di mana pemuda itu, Rara Wulan?"

"Di kamar sebelah Bibi...," sahut si Manusia Tengkorak yang ternyata bernama asli Rara Wulan. Jelas, dia adalah seorang wanita.

"Apakah dia telah kau berikan obat 'Api Surga'...?" tanya wanita tua ini penuh gairah.

"Pokoknya, Bibi Guru tinggal masuk saja...," jawab si Manusia Tengkorak sambil membuka topeng berbentuk tengkorak.

"Hik hik hik...! Kalau begitu tunggulah di luar, Rara Wulan. Biar kunikmati dulu pemuda itu...."

Setelah si Manusia Tengkorak keluar, perempuan tua itu segera masuk ke dalam kamar, cepat ditutupnya pintu kayu kamar ini. Perempuan tua ini berbinar-binar melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar sedang duduk di atas balai-balai kayu. Wajah pemuda itu tampan, sehingga membangkitkan gairah perempuan tua ini.

"Siapa namamu, Cah Bagus?" tanya perempuan tua ini, seraya menghampiri.

"Oh...? Aku..., aku.... Wisnupati, Nek," sahut pemuda gagah yang ternyata Wisnupati, putra Ki Waredeng Kepala Desa Karang Sekalor.

"Bagus, bagus. Mendekatlah, Sayang.... Mari kita reguk kenikmatan ini. Hi hi hi...!"

Seperti terkena sihir, Wisnupati mendadak jadi beringasan. Dan tanpa malu-malu lagi, langsung ditubruk dan dipeluknya perempuan tua itu bagaikan sedang menghadapi kekasihnya yang telah lama tidak bertemu.

Suara tawa cekikikan dan napas memburu terdengar jelas sampai di luar pondok. Sementara si Manusia Tengkorak hanya tersenyum-senyum penuh arti. Setelah mengenakan topeng tengkoraknya laigi. Namun mendadak senyumnya lenyap ketika.....

"Heh?!" Si Manusia Tengkorak tersentak begitu tercium bau tuak yang menyebar ke tempat ini. Belum habis rasa terkejutnya....

"Ha ha ha...! Kembali kita bertemu, Iblis Betina.... Di mana saja kau berada, selalu membuat kejahatan. Kali ini, tak akan kubiarkan kau mengacau dunia persilatan lagi."

Si Manusia Tengkorak makin terkejut ketika tahu-tahu berkelebat satu sosok bayangan, dan berhenti dua tombak di depannya. Ternyata yang muncul adalah Pemabuk Dari Gunung Kidul yang selalu membuntuti kepergian si Manusia Tengkorak.

"Keparat...! Kau selalu usil dengan urusanku! Justru kali ini kau akan mati di tempat ini...!" Sehabis berkata demikian, tangan si Manusia Tengkorak menghentak ke depan.

Wesss...!

"Hei...! Dalam waktu sesingkat ini, dia telah berhasil menyembuhkan luka dalamnya? Tentu ada yang telah menolongnya...," gumam Ki Demong dalam hati, seraya melenting ke atas menghindari serangan angin berhawa panas.

Dalam waktu singkat kedua musuh bebuyutan sudah saling serang dengan mengerahkan tenaga penuh. Mereka bertamng dalam tempo cepat dan dahsyat. Lengah sedikit kematian akan menjemput.

"Ciaaat!"

"Haiiit!"

Blar!

Berkali-kali mereka beradu tenaga. Hasilnya selalu sama, karena tenaga dalam mereka tampaknya seimbang. Perkelahian jadi berlangsung seru dan menegangkan. Namun....

"Kreaaakh...!"

Mendadak terdengar sebuah suara menggelegar dari angkasa, yang disusul berkelebatnya satu bayangan besar. Bahkan tak lama, terasa angin keras menerpa dahsyat. Batu kecil dan dedaunan berterbangan terkena putaran angin yang kencang ini. Bahkan yang sedang berkelahi sampai bergetar dengan napas sesak. Sebelum bayangan itu hinggap di tanah, sesosok pemuda tampan meloncat turun dengan gerakan indah sekali.

"Rajawali Putih...! Robohkan pondok itu...!" seru pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.

Tanpa diminta dua kali, sosok bayangan besar yang ternyata seekor burung rajawali berukuran raksasa itu mengepakkan sayapnya. Begitu berada di udara, tubuhnya yang besar meluruk dengan cakar tertuju ke arah pondok. Langsung dicengkeramnya pondok itu, hingga porak poranda.

Sementara di dalam rumah tergeletak dua sosok tubuh. Yang seorang adalah pemuda bertubuh tinggi besar yang tak lain Wisnupati. Sedangkan yang seorang lagi perempuan tua yang memeluki pemuda itu. Tampaknya Wisnupati sudah tidak menyadari keadaannya lagi, hingga mau melayani keinginan perempuan tua yang memang mempunyai kelainan jiwa itu.

Putra Kepala Desa Karang Sekalor itu memang tertawan oleh si Manusia Tengkorak. Waktu itu, dia hendak menyusul Pemabuk Dari Gunung Kidul. Namun sialnya, dia bertemu si Manusia Tengkorak yang berhasil mengalahkannya lewat pertarungan sengit. Setelah berhasil ditotok, Wisnupati dijejali obat 'Api Surga', hingga sampai hilang kesadarannya. Baru kemudian dia dibawa ke hadapan perempuan tua itu untuk disuguhkan.

Menyadari kini berada di tempat terbuka, perempuan tua itu jadi gelagapan. Cepat bagai kilat disambarnya pakaian yang ada di situ guna untuk menutupi tubuhnya yang bugil. Setelah mengenakan pakaian, mata mencorong tajam, mengawasi Rangga dari atas sampai ke bawah.

"Hik hik hik...! Bocah tidak tahu diri.... Kau akan menyesal telah berani berbuat seperti ini pada Bidadari Pelahap Kumbang! Kecuali..."

"Kecuali apa...?!" potong Pendekar Rajawali Sakti.

"Kecuali kau bersedia menggantikan pemuda itu...," sahut perempuan tua yang ternyata berjuluk Bidadari Pelahap Kumbang.

Melihat keadaan Wisnupati, Rangga segera tahu apa yang dimaksud perempuan tua itu. Keadaan putra Kepala Desa Karang Sekalor itu bagaikan boneka hidup yang mudah dikendalikan. Bahkan dengan tidak tahu malu ditubruknya perempuan tua ini.

"Kau mau pergi kemana.... Bidadariku...? Kemarilah.... Sayang...."

Dengan terhuyung-huyung Wisnupati menghampiri Bidadari Pelahap Kumbang dan bermaksud memeluknya.

"Hiaaa...!" Mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat, menyambar tubuh Wisnupati. Dan seketika, ditotoknya urat gerak pemuda itu.

Tuk! Tuk!

Wisnupati mendesah lirih tanpa dapat bergerak lagi. Hanya matanya saja yang melirik ke sana kemari begitu diletakkan Rangga di tanah.

Melihat semua itu tangan Bidadari Pelahap Kumbang jadi bergetar, pertanda mulai berang. "Bangsat! Rupanya kau bosan hidup, Bocah...?!" desis perempuan tua ini.

Sambil berteriak memekakkan telinga, Bidadari Pelahap Kumbang menyerang Rangga dengan ular hidup berwarna merah keemasan. Ular yang dipegang pada ekornya itu ikut mematuk, bahkan menyemburkan racun. Sehingga Rangga seperti menghadapi dua serangan sekaligus.

"Haiiit!"

Zeb! Zeb!

Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghancurkan kepala ular beracun dengan hantaman tangannya. Namun ular hidup itu bergerak terus, sehingga sulit dihancurkan. Bahkan serangan balik yang tidak terduga hampir membuatnya celaka.

"Hup!" Rangga menggulingkan dirinya untuk menghindari patukan ular beracun ini. Begitu bangkit, Bidadari Pelahap Kumbang telah meluruk dengan ular beracun tertuju ke dada.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti cepat mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tubuhnya seketika melenting. Dan begitu meluruk, kakinya berputaran mengancam kepala Bidadari Pelahap Kumbang. Di luar dugaan perempuan tua itu merundukkan tubuhnya dengan tangan memapak kaki Rangga.

Plak!

"Uhh...!" Rangga meringis kesakitan. Kakinya seolah-olah membentur benda keras yang terbuat dari besi. Begitu mendarat Pendekar Rajawali Sakti mengusap-usap kakinya.

Pendekar Rajawali Sakli kini tak mau main-main lagi. Disadari kalau lawannya berkepandaian tinggi. Serangannya harus segera ditingkatkan. Pada saat yang sama, Bidadari Pelahap Kumbang yang ternyata memiliki ilmu tinggi ini kembali meluruk.

"Hiaaat...!" Bagaikan gelombang di lautan, mulut ular di tangan Bidadari Pelahap Kumbang mengikuti ke mana saja tubuhnya bergerak.

Rangga terpaksa mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan tangan kanannya menghentak dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ketika Bidadari Pelahap Kumbang telah melepaskan pukulan jarak jauhnya.

Darrr...!

Dua pukulan keras bertemu. Kali ini Bidadari Pelahap Kumbang terhuyung-huyung dengan tangan terasa ngilu dan panas bukan main. Dari bibirnya menetes darah kental. Jelas, dia telah mendapat luka dalam yang lumayan. Matanya tajam mengawasi Pendekar Rajawali Sakti yang hanya terjajar beberapa langkah.

"Keparat...! Kalau melihat pedangmu jelas kau adalah Pendekar Rajawali Sakti.... Tetapi, jangan menepuk dada dulu, Bocah! Karena, aku masih belum kalah.... Bersiaplah untuk mengadu jiwa...! Hiaaa...!"

Disertai teriakan membahana, Bidadari Pelahap Kumbang melesat dengan kecepatan tinggi. Dan seketika kedua telapak tangannya yang terbuka, menghentak kedepan.

Werrr...!

"Hup!" Rangga melenting ke atas, seraya membuat putaran beberapa kali. Dan inilah yang dikehendaki perempuan tua itu. Tanpa terduga, ular hidup di tangan kanannya dijulurkan ke atas.

Tuk!

"Aaa...!" Rangga terpekik tertahan begitu tangannya terpatuk ular. Begitu mendarat, ditotoknya tangan yang terluka agar darah berhenti mengalir.

Buat Rangga, racun ular seganas apa pun tak mempengaruhi dirinya. Karena, sejak kecil dia telah memakan sejenis jamur di Lembah Bangkai yang mampu membuat tubuhnya kebal racun.

"Ki Demong! Cepat bawa Wisnupati pergi dari tempat ini...! Biar kedua orang itu bagianku," ujar Rangga pada Ki Demong, begitu mendarat.

"Baiklah.... Jaga dirimu baik-baik! Mereka memang orang licik...!" jawab Ki Demong sambil menyambar tubuh Wisnupati yang masih tergeletak di tanah.

"Haiii.... Mau lari ke mana kau, Tua Bangka Busuk...?" teriak si Manusia Tengkorak sambil mengejar Ki Demong yang telah melesat.

Terpaksa laki-laki tua pemabukan itu menghentikan lesatannya. Tubuhnya berbalik, menyemburkan tuak merah.

"Fruuhhh...!"

Si Manusia Tengkorak terpaksa melenting ke belakang kalau tak ingin tersambar tuak merah yang berisi tenaga dalam tinggi ini.

Kesempatan itu digunakan Ki Demong untuk kembali melesat disertai ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Sehingga ketika si Manusia Tengkorak bisa menguasai keadaan, tubuh laki-laki tua pemabukan itu telah lenyap bersama Wisnupati.

Tinggalah si Manusia Tengkorak yang mendengus geram. Berkali-kali kakinya menghentak tanah, melampiaskan kekesalannya, karena buruannya hilang. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti benar-benar mendapat lawan tangguh. Disadari gerakan Bidadari Pelahap Kumbang cepat dan kuat luar biasa.

"Hik hik hik...! Kali ini kau bertemu hari naasmu, Pendekar Rajawali Sakti...," ejek Bidadari Pelahap Kumbang dengan tawa jumawa.

Pendekar Rajawali Sakti hanya menatap dingin dengan perbawa menggetarkan. Dia merasa, saat inilah waktunya untuk menyudahi pertarungan. Maka secepat kilat dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tersampir di punggung.

Sring!

Saat itu juga, sinar biru berkilauan memancar dari batang pedang yang memiliki pamor dahsyat. Bidadari Pelahap Kumbang sampai terpaku memandangi cahaya yang ditimbulkan pedangnya.

"Heaaat...!"

Setelah menekan kegentarannya dengan teriakan keras, Bidadari Pelahap Kumbang meluruk sambil memainkan jurus aneh yang menggunakan ular hidup. Serangannya mengarah ke seluruh tubuh Rangga. Pada saat yang sama, rupanya si Manusia Tengkorak tak ingin bibi gurunya celaka. Maka tubuhnya juga turut meluruk menggempur Pendekar Rajawali Sakti.

"Ciaaat!"

Semakin lama pertarungan jadi semakin sengit. Rangga segera mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Setiap kelebatan pedangnya, langsung menimbulkan hawa aneh yang membuat pikiran lawannya melayang.

"Shat!"

Bidadari Pelahap Kumbang dan si Manusia Tengkorak jadi terdesak. Apalagi jurus Pedang Pemecah Sukma khusus ditujukan pada perempuan tua itu. Akibatnya, Bidadari Pelahap Kumbang jiwanya bagai terpecah-pecah. Semangat bertarungnya kontan kendor.

Secara tiba-tiba, tubuh Rangga melenting ke udara. Begitu menukik turun dilancarkannya jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' disertai sabetan pedang mengarah kepala Bidadari Pelahap Kumbang yang tak sempat menghindar. Dan....

Cras!

"Aaa...!" Kepala Bidadari Pelahap Kumbang yang menjadi Bibi Guru si Manusia Tengkorak kontan menggelinding ketanah tersabet pedang Pendekar Rajawali Sakti. Darah menyembur dari lukanya. Tubuhnya kontan ambruk tak berdaya dan menggelepar-gelepar. Bahkan sebelum tubuh tua itu jatuh, Rangga cepat menyabetkan pedangnya ke arah ular berwarna merah keemasan.

Tas! Tas!

Kontan ular itu terpotong menjadi tiga bagian.

"Heaaa...!" Namun baru saja Rangga hendak mendarat kembali, si Manusia Tengkorak telah menghantamkan pukulan jarak jauh yang cepat bagai Wlat, tanpa mampu dicegah. Hingga....

Desss...!

"Aaakh...!" Pendekar Rajawali Sakti kontan terkapar tak berdaya dengan pedang terlepas dari tangan.

Cepat bagai kilat, si Manusia Tengkorak berkelebat menyambar pedang itu sebelum jatuh ke tanah.

"Dengan pedangmu sendiri, kau akan mati di tanganku, Pendekar Rajawali Sakti...! Heaaat..!"

"Kraaakh...!"

"Heh...?!" Si Manusia Tengkorak menghentikan serangannya dengan hati tercekat ketika tiba-tiba sebuah bayangan besar meluruk dari angkasa. Begitu cepat bayangan itu melesat, tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap tersambar.

Ketika si Manusia Tengkorak mendongak, tampak seekor rajawali raksasa tengah membawa Pendekar Rajawali Sakti dengan cakarnya yang tajam. Hatinya bergidik juga melihat burung raksaa yang baru pertama kali dilihatnya. Baru kemudian, si Manusia Tengkorak menoleh ke arah mayat Bidadari Pelahap Kumbang.

"Bigi Guru...!"

Disertai teriakan keras, Rara Wulan menghambur ke arah mayat bigi gurunya.

"Bibi..., maafkan aku.... Aku tak sempat menyelamatkan nyawamu... Biarlah, akan kubalaskan dendammu dengan pedang ini...!" desis si Manusia Tengkorak dengan airmata mulai bergulir dari sudut-sudut matanya.

TUJUH

"Hoaaagkh!"

Dari mulut Pendekar Rajawali Sakti keluar darah berwarna hitam setelah selesai bersemadi. Hingga darahnya berwarna merah segar. Baru Rangga selesai menyalurkan hawa murninya.

Pendekar Rajawali Sakti memang baru saja menderita luka dalam lumayan, hingga membuatnya pingsan, setelah dibokong oleh si Manusia Tengkorak. Untung saja, Rajawali Putih cepat menolongnya, dan membawanya ke sebuah gua di sekitar Bukit Ungaran.

"Hm.... Pedangku berhasil terampas oleh perempuan keparat itu.... Biarlah, entah bagaimanapun caranya pedang itu pasti akan kembali padaku...," gumam Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti kembali mengingat-ingat pertarungan dengan dua perempuan berhati iblis itu. Dia ingat betul kalau waktu itu terbokong, sehingga pedangnya terlepas. Dan akhirnya Rajawali Putih berhasil menolongnya.

"Hm.... Kepandaian mereka benar-benar hebat, " gumam Rangga. Masih dengan langkah tertatih-tatih, Rangga meninggalkan gua itu untuk mencari makanan, karena mendadak perutnya menjerit-jerit minta diisi.

********************

Pada saat yang sama Ki Demong juga berhasil menyembuhkan Wisnupati. Pemuda tinggi besar itu tidak henti-hentinya menyesali apa yang telah dilakukannya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat menyelamatkannya dari kenistaan yang lebih dalam dan sangat memalukan.

Setelah dirasakan sehat kembali, Wisnupati dan si Pemabuk Dari Gunung Kidul mencari Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berdua yakin, Rangga pasti menuju ke Bukit Ungaran. Maka langkah mereka pun ditujukan ke arah sana.

Masih di sekitar Bukit Ungaran, seorang wanita cantik berpakaian serba hijau berlari cepat. Ilmu meringankan tubuhnya termasuk tingkat tinggi. Di punggungnya tersembul gagang pedang berhulu kepala burung.

Dari arah yang diambilnya, jelas wanita cantik itu menuju ke Bukit Ungaran. Tampaknya dia sengaja menghindari orang-orang persilatan. Maka diambilnya jalan yang jarang dilalui umum.

Tanpa diketahui, dari tempat yang tersembunyi sepasang mata memperhatikan wanita itu dengan seksama. Dari bentuk pakaian dan penampilannya, jelas orang yang tengah bersembunyi itu dari daratan Cina. Pakaiannya serba hijau tua. Usianya sekitar dua puluh enam tahun. Masih tergolong muda.

Di pinggang pemuda itu menggantung sebuah pedang yang diberi ronce-ronce dari benang sutera indah berwara-warni. Pada wajahnya yang cukup tampan, terdapat belas luka yang memanjang. Dagunya tumbuh janggut panjang macam kambing. Tampaknya, dia adalah tokoh persilatan dari Cina.

Ketika wanita cantik yang juga berpakaian serba hijau melintas, cepat bagaikan gerakan kijang pemuda Cina itu berkelebat. Tangannya membentuk cakar dan bergerak ke arah punggung untuk merampas pedang yang dibawa wanita itu.

"Hup...!"

Namun wanita itu juga bukan orang sembarangan. Dengan cepat dia mengegos ke samping, lalu tangannya menyampok cengkeraman yang mengarah ke punggungnya.

Plak!

Benturan keras terjadi. Masing-masing kontan tergetar mundur beberapa langkah. Tetapi, secepat itu pula keduanya memperbaiki keseimbangan masing-masing dengan tatapan tajam.

"Siapakah kau...? Rasanya aku tidak punya urusan dengan orang asing sepertimu...," tegur wanita cantik ini, yang tak lain Rara Wulan.

"He he he...! Namaku Kwe Ceng Kian! Orang di daratan Cina menjuluki aku si Kuda Terbang...," jawab pemuda asing yang terus mengawasi pedang di punggung Rara Wulan. Sebuah pedang pusaka yang berhasil dicuri wanita itu dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Kalau kau tidak ada urusan, aku hendak meneruskan perjalananku kembali," tukas Rara Wulan.

"Kalau mau lewat silakan saja. Tetapi, serahkan dulu pedang yang berada di punggungmu...."

"Keparat..! Jangan harap kau dapat berbuat sesukamu...!" desis wanita ini.

"Ha ha ha...! Buktikan saja, apakah aku tidak dapat berbuat sesuka hatiku...?!" ejek pemuda Cina yang bernama Kwe Ceng Kian.

Sambil berkata tangan pemuda Cina ini kembali mencengkeram ke arah dada Rara Wulan. Namun wanita itu cepat mengelak ke samping. Bahkan seketika melepas serangan dengan dua jari tangan menotok ke arah pergelangan tangan Kwe Ceng Kian.

Pemuda Cina itu tidak mau gegabah dan menganggap remeh. Cepat tangannya ditarik. Tubuhnya bergeser ke samping sambil mengibaskan telapak tangan terbuka.

"Sheaaat!"

"Haet!

Kedua tokoh persilatan yang sama-sama berpakaian serba hijau itu saling serang dengan sengit. Yang satu menghendaki pedang pusaka, yang lain mempertahankan mati-matian. Pada satu kesempatan Rara Wulan melempar sebuah benda sebesar melinjo. Namun, dengan cepat Kwe Ceng Kian melenting ke atas.

Blushhh...!"

Ketika menyentuh tanah, benda sebesar melinjo itu langsung meledak, mengeluarkan asap berbau busuk. Menyadari asap itu mengandung racun yang jahat, Kwe Ceng Kian segera menutup pernapasannya.

"Huaet!"

Set! Set!

Baru saja pemuda Cina itu mendarat di tanah. Kembali meluruk beberapa benda yang bergerak-gerak, melayang ke arahnya. Benda yang ternyata binatang-binatang beracun yang bisanya sangat mematikan itu meluruk cepat. Maka tanpa banyak pikir lagi, Kwe Ceng Kian menghentakkan kedua tangannya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaa!"

Zeb! Zeb! Zeb!

Berkali-kali pukulan jarak jauh Kwe Ceng Kian yang mengeluarkan sinar kehijauan melesat, memapaki binatang-binatang beracun itu. Bahkan begitu mendapat kesempatan, pemuda Cina ini terus mendesak Rara Wulang dengan pukulan jarak jauh pula.

Wanita cantik itu lambat laun merasakan tekanan yang semakin berat. Seketika dikeluarkannya selendang hijau yang melilit pinggangnya. Ketika dikebutkan mengeluarkan bau harum yang menyengat.

Kwe Ceng Kian sadar, seluruh benda yang ada pada wanita itu semuanya mengandung racun. Maka dia tidak berani berlaku sembrono. Maka dicabutnya pedang yang tergantung dipinggangnya. Dengan segera dimainkan jurus-jurus yang menjadi andalannya.

Menghadapi jurus dan gerakan silat yang baru dilihatnya, Rara Wulan agak sibuk menghadapinya. Sementara Kwe Ceng Kian sendiri, cepat mem-pergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang menjadi andalan utamanya, sehingga dijuluki Pendekar Kuda Terbang.

Kali ini seolah-olah tubuh pemuda Cina itu berubah menjadi puluhan. Bahkan pada suatu kesempatan, tangan Kwe Ceng Kian berhasil merampas pedang di punggung. Rara Wulan geram bukan main. Selendangnya cepat disabetkan ke belakang. Pada saat yang sama tangannya juga melemparkan segenggam kelabang dan kalajengking beracun.

Set! Set!

Bletar!

"Aaakh...!" Selendang Rara Wulan yang selama ini dikenal bernama si Manusia Tengkorak tepat mengenai pundak Kwe Ceng Kian.

Kwe Ceng Kian berteriak cukup keras tatkala sabetan selendang mengenai pundaknya. Selagi tubuhnya terjajar seekor kelabang mendarat di lengan dan langsung menyengat. Namun mendadak pemuda Cina itu melenting ke belakang dengan gerakan lincah. Begitu mendarat tangan kirinya langsung dihentakkan.

"Hiih...!"

Wesss...!

Seketika melesat sinar kehijauan dari telapak kiri Kwe Ceng Kian. Rara Wulan terkesiap. Namun dia segera melenting ke belakang, sehingga serangan itu luput. Kesempatan itu segera digunakan Kwe Ceng Kian untuk berbalik dan melarikan diri. Tepat ketika wanita itu mendarat pemuda Cina itu telah lenyap bagai di telan bumi.

"Keparat...! Pedang milik Pendekar Rajawali Sakti yang kucuri telah terampas pula dari tanganku...!" dengus wanita cantik berpakaian hijau itu.

Kendati membawa kekesalan, Rara Wulan segera meneruskan langkahnya ke arah Bukit Ungaran.

********************

Semakin lama, orang yang datang ke Bukit Ungaran semakin banyak juga. Bahkan sudah ada yang mendirikan kemah-kemah kecil di pinggiran Telaga Warna yang terletak dl sebelah Bukit Ungaran. Penghuni Pesanggrahan Telaga Warna bukannya tidak tahu kalau tempat mereka telah dikurung puluhan orang persilatan. Tetapi, mereka tetap tenang. Seolah-olah, puluhan orang itu tidak dianggap sama sekali. Walau sebenarnya kewaspadaannya tak pernah ditinggalkan.

Malam hari di sekitar Bukit Ungaran tampak pemandangan indah. Dari tiap kemah, obor berkelap-kelip bagaikan kunang-kuriang. Seperti pada malam itu, angin bertiup kencang. Lolongan serigala dikejauhan dan bunyi serangga malam membuat maraknya suasana malam. Dalam ke sunyian itu lima sosok tubuh mengendap-endap menembus kegelapan malam dipinggir Telaga Warna.

"Malam ini, adalah saat yang paling tepat untuk bertindak. Suasana buruk dan keadaan saat ini memungkinkan kita untuk bergerak menuju ke tengah telaga...," kata salah satu sosok.

"Benar, Kakang Rumongso. Pada saat dan waktu begini, mereka masih tertidur lelap dibuai mimpi...," dukung sosok lain.

"Bukan aku mengecilkan semangat kita berlima. Walau bagaimana, mereka semua adalah tokoh-tokoh persilatan...," sela yang lain perlahan.

"Apa maksudmu, Jalatunda...?" potong laki-laki yang dipanggil Rumongso sambil mengerutkan kening.

"Maksudku, dalam setiap langkah, kita harus hati-hati dan jangan bertindak sembarangan. Yang paling penting, jangan merasa paling kuat dan hebat. Sebab, merasa paling pintar sendiri akan menjadi senjata makan tuan bagi kita...," jelas laki-laki yang dipanggil Jalatunda.

"Kau benar, Jalatunda...."

"Sudahlah.... Ini sudah lewat tengah malam.... Apakah sampannya dapat dibawa sekarang...?" tanya yang lain.

"Ayolah kita bawa sampan itu dan masukkan ke telaga.... Perlahan-lahan sajalah. Jangan sampai membuat mereka curiga. Sementara yang lain mengawasi sekeliling tempat ini...!" perintah Rumongso.

Dengan berjingkat-jingkat tiga orang membawa sebuah sampan, dan memasukkannya ke dalam. Tak lama dalam kegelapan malam sebuah sampan sudah melaju di telaga yang jernih dan berair tenang itu. Dengan hati-hati, kelima sosok itu terus mengayuh sampan menuju ke tengah Telaga Warna. Disanalah Pesanggrahan Telaga Warna berada.

********************

DELAPAN

Sampan terus meluncur semakin ke tengah. Namun tanpa disadari dari dalam telaga bergulung-gulung riak kecil keluar, menghampiri sampan yang dinaiki kelima orang itu. Ketika dekat riak-riak air bersatu dengan yang lain, membuat air telaga seakan-akan ikut bergelombang.

Beberapa saat kemudian riak-riak kecil bersatu, dan seolah-olah membentuk sebuah pulau berwarna merah darah. Bahkan kumpulan riak itu tampaknya seperti mengandung minyak, karena berkilat-kilat bila terkena cahaya terang. Dan tampaknya seperti hidup!

"Hei...! Apa itu...?" tanya Rumongso heran ketika memandang ke permukaan telaga.

"Entahlah.... Seperti sisa minyak yang dibuang ke telaga ini.... Tetapi, warnanya sangat menyeramkan...," sahut Jalatunda.

"Iya.... Air yang berwarna merah itu sepertinya bernyawa, dan sedang memperhatikan kita semua...," timpal yang lain.

"Ah.... Jangan berkata yang tidak-tidak, Ceger!" sergah Rumongso.

"Aku tidak main-main! Lihatlah air yang berwarna merah itu bergerak terus mengelilingi sampan kita...," seru laki-laki yang dipanggil Ceger dengan wajah agak pucat.

"Iya.... Aku juga melihat keanehan ini...."

Prasss!

Baru saja selesai orang itu berkata, tiba-tiba gelombang besar datang menerjang perahu kecil itu hinggga terguncang cukup keras. Lima penumpangnya sampai berpegangan pada pinggiran sampan, agar tidak terbalik.

"Ih...! Dari mana datangnya gelombang tadi...?" tanya Rumongso kembali. Kali ini dia merasakan adanya keganjilan di telaga ini.

"Ini benar-benar gila! Tak mungkin air dalam telaga bisa bergelombang sendiri...," potong yang laki-laki lain sambil memperhatikan air telaga. Dia dikenal bernama Barep.

"Kalau begitu, ayo cepat kita dayung agar cepat sampai ke tepian!" perintah Rumongso seraya mendahului mendayung.

Tetapi, baru saja sampan bergerak agak cepat...

Pyarrr...!

"Ohh...!"

Sebuah gelombang kecil telah melontarkan percikan air ke dalam sampan, dan tepat mengenai kaki salah seorang. Anehnya, air dari telaga itu semakin banyak yang naik, dan masuk ke dalam sampan.

Semua penumpang sampan hanya terkesima dengan mata terbeliak. Tak seorang pun yang bertindak, seakan-akan gerakan mereka bagai ter-kunci. Bahkan orang yang ditempeli air telaga seperti tak mampu berbuat apa-apa.

Bagaikan hidup, air yang berwarna merah itu terus menempel dan melibat kaki orang tadi yang masih terkesima. Baunya amis dan kental sekali. Anehnya bagaikan nyawa, air itu terus melibat kaki orang yang ditempeli. Bahkan menyedot serta menarik tubuhnya ke dalam telaga.

"Wuaaakh...!"

Byuuurrr...!

Tanpa dapat ditahan lagi, orang itu jatuh ke dalam air dan terseret masuk ke dalam telaga yang tampak bergolak hebat seperti sedang terjadi perkelahian di dalamnya. Sesaat kemudian, kepala orang yang tercebur tampak menyembul. Namun, keadaan benar-benar menyeramkan! Wajahnya tampak pucat dan penuh darah, seolah-olah tersedot air yang kental tadi.

Blup!

Kembali orang yang tampaknya telah tewas itu terseret ke dalam air. Dan kali ini, dia tak muncul lagi. Hanya riak dari dalam telaga itu saja yang bertambah besar. Kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Yang lain tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolongnya dari kematian.

"Keparat...! Pertanda apa pula ini...?!" desis Rumongso.

"Sepertinya dalam telaga yang tenang ini ada sesuatu yang menakutkan. Dan maut tengah mengancam kita semua...," gumam Ceger dengan jantung berdetak keras.

"Shet...! Diamlah, lihat itu...! Air kental yang berwarna merah sedang menuju kemari lagi...!" teriak Barep gugup.

Weeerst...!

Cepyaaarrr...!

"Aaa...!"

Kembali air telaga masuk ke dalam sampan. Dan kali ini Barep dan Ceger yang terseret masuk ke dalam air. Mereka kontan berteriak-teriak dan menggelepar bagai ayam disembelih, kemudian terseret ke dalam telaga. Begitu kedua orang itu timbul lagi yang tersisa hanya tulang-belulang saja. Lalu, tulang-belulang itu tenggelam kembali.

"Gila...! Ini tidak masuk akal! Kini kita tinggal berdua. Apakah kita juga harus mati di sini, Jalatunda?! Sia-sia saja kita datang kemari!" desis Rumongso.

"Kakang Rumongso! Apa yang harus kita lakukan sekarang...?" tanya Jalatunda.

"Kepalang basah! Kita mandi saja sekalian...!" ujar Rumongso.

Dengan cepat keduanya mendayung sampan menuju tepian. Tetapi, kembali air berwarna merah dan kental itu bergerak mengelilingi sampan. Karena marahnya, Rumongso memukul air dengan pendayung yang ada di tangannya.

Plarrr!

"Waaa...!"

Bagai memukul karet yang kenyal dan lengket pendayung itu tidak dapat ditarik kembali. Bahkan secara tiba-tiba, air itu menarik Rumongso.

"Hup!"

Tap!'

Dengan cepat Jalatunda menyambar tangan Rumongso. Dia berusaha mempertahankan, agar kawannya tidak terseret ke dalam air yang menakutkan itu.

"Aaa...!"

"Wuaaa...!"

Tetapi, lebih celaka lagi. Mereka bagaikan tersentak deh tenaga raksasa, jatuh ke dalam air....

Byurrr...!

"Tolong...! Aku tidak mau mati seperti ini.... Tolooong...!" teriak Rumongso setinggi langit.

Tetapi, teriakan laki-laki itu tidak ada gunanya sama sekali. Mereka tenggelam dan menggelepar-gelepar dalam air yang menarik sampai ke dasar. Ketika muncul kembali, mereka tinggal tulang-belulang saja, dan tenggelam kembali untuk selamanya.

Kini hanya tinggal sampan yang terguncang ke sana kemari, karena para penumpangnya mengalami nasib naas di Telaga Warna. Anehnya, sampan itu terhempas kembali ke tepian sana.

Karena mendengar teriakan-teriakan keras tadi, orang-orang yang berada di tepi telaga jadi terbangun. Mereka keluar sambil membawa obor untuk melihat apa yang tengah terjadi. Sehingga dalam waktu singkat saja, tempat itu telah terang-benderang bagaikan siang hari.

Betapa terkejutnya mereka ketika melihat sebuah sampan kosong yang dipenuhi cipratan darah terdampar di pinggir telaga. Tetapi, tidak terlihat seorang korban pun dalam sampan.

Dalam keramaian orang itu tampak Pendekar Rajawali Sakti sedang memandang ke tengah telaga. Dia sendiri merasa heran atas kejadian ini.

********************

Waktu terus berlalu. Sang Mentari mulai menunaikan tugasnya. Suara burung di atas dahan menimbulkan suasana yang damai dan indah di bumi persada. Suara kokok ayam jantan saling bersahutan.

Tetapi semua itu tidak ada artinya bagi kaum persilatan yang berada di tepi Telaga Warna. Mereka tengah diliputi keheranan dan tanda tanya, apa yang terjadi di tengah telaga tadi malam? Dan siapa yang berteriak-teriak sehingga mengejutkan semua orang yang berada di tepian ini?

"Ada apa, ya...?" tanya seseorang dengan wajah kebingungan.

"Entahlah.... Mungkin mereka telah melihat setan...," jawab seorang secara seenaknya.

"Sialan...! Kalau bicara pikir dulu! Jangan asal buka mulut saja.... Kutampar tahu rasa kau...!"

"Jangan galak-galak, ah...!"

Didasari rasa penasaran, dua orang tokoh persilatan menaiki sampan itu dan mendayungnya ke tengah telaga. Gerakan mereka sangat cepat dan terlatih pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Yang lain tidak sempat mencegah. Bahkan ada pula yang menyusul dengan perahu.

Maka ramailah Telaga Warna yang berada di sebelah Bukit Ungaran itu. Tampak beberapa perahu meluncur seperti menantang dan yang terdepan terlihat sebuah sampan meluncur dengan kecepatan kilat.

Mereka semua mempunyai tujuan sama, yaitu ingin mencapai tepian di seberang sana, dan menguasai Pesanggrahan Telaga Warna. Yang mereka ketahui, di depan pesanggrahan itulah terdapat bunga langka yang saat ini tengah diperebutkan banyak orang persilatan.

"Kakang Kalingga! Lihat di belakang kita banyak yang menyusul dengan perahu...!" ujar orang yang berada dalam sampan terdepan.

"Biarkan saja, Kalpitu. Mereka tidak mungkin dapat menandingi kita dalam bermain-main di air...!" jawab laki-laki bernama Kalingga.

Baru saja selesai ucapan Kalingga, dari dasar telaga tampak air beriak dan bergolak. Air itu berwarna merah dan tampak seperti berminyak dalam pantulan sinar matahari pagi. Air kental itu terus berputar-putar, mengitari sampan yang dinaiki Kalingga dan Kalpitu.

"Lihat, Kang Kalingga. Apa itu...?" tanya Kalpitu.

"Tak tahulah. Mungkin kotoran telaga yang naik ke atas...," jawab Kalingga secara seenaknya saja.

Kalpitu tidak bertanya lagi. Dia hanya terus mendayung sekuatnya saja.

Pyarrr...!

Mendadak datang gelombang besar. Airnya sempat memasuki sampan. Bahkan sampai mengenai kaki kedua tokoh persilatan itu. Namun Kalingga dan Kalpitu tenang saja.

"Heh?!" Barulah mereka terkejut ketika air itu menyedot darah, dan menarik keduanya untuk masuk ke dalam telaga.

"Wuaaa...! Apa ini...?!" tanya Kalingga.

"Tidak tahu...! Tetapi..., air ini seperti lintah...! Dia..., dia telah menyedot darahku kuat sekali...!" teriak Kalpitu tergagap.

"Aaakh...!"

Byurrr! Byurrr...!

Kedua orang itu meronta-ronta dalam usaha menahan tarikan air. Namun tetap saja mereka tidak kuasa menahan tarikan. Darah mereka tersedot habis, lalu tercebur ke dalam telaga maut yang penuh teka-teki itu. Yang tersisa hanyalah teriakan menggema sampai ketepian telaga.

"Apa yang telah terjadi dengan mereka berdua, Kendil?" tanya tokoh persilatan yang tengah menyusul sampan yang ditumpangi Kalingga dan Kalpitu.

"Tampaknya mereka berdua terjun ke dalamtelaga, Karpu. Tetapi mereka malah berteriak seperti ada sesuatu yang menyerangnya...," sahut laki-laki bernama Kendil.

"Mungkin mereka yang berada dalam Pesanggrahan Telaga Warna telah waspada akan keadaan di sini. Dan mereka mulai mengadakan penyerangan pada setiap orang yang berusaha mendekati tempat mereka...," jawab seorang lagi, menduga-duga.

Percakapan mereka jadi terhenti. Karena, mereka merasa perahu yang dinaiki berguncang keras. Kedelapan orang penumpang, segera melongok ke dalam air. Tetapi, di sana tidak tampak sesuatu apa pun. Hanya gumpalan air kental berwarna merah darah, tampak berputar-putar mengelilingi perahu yang dinaiki. Secara iseng, seseorang memegang air yang bergerak-gerak. Tetapi, di situlah letak kesalahannya. Karena....

"Heh?!" Orang itu merasa tangannya yang menyentuh air bagaikan ditarik sesuatu yang kuat luar biasa. Tubuhnya kontan miring ke telaga. Dia akan tercebur kalau tidak dipegang teman-temannya.

"Ih...! Setan apa pula ini...?" tanya salah seorang sambil mempertahankan orang yang hendak tercebur ke telaga.

Tarik menarik segera terjadi. Tangan orang itu terdengar berkerotokan, pertanda tulang-belulangnya patah.

"Aaa...!" Jeritan panjang terdengar. Perahu yang mereka naiki tampak miring. Dan tanpa dapat dicegah lagi, mereka terguling masuk telaga yang berkilat-kilat tersaput pantulan sinar matahari.

"Wuaaakh...!"

"Aaakh...!"

Byurr...!

Bersamaan tergulingnya perahu itu, mereka berteriak secara serentak. Air telaga bagaikan mengamuk, bergulung-gulung menarik mereka semua ke dasar. Tidak lama, mereka semua timbul dalam keadaan mati dan tinggal tulang-belulangnya saja, Sesaat kemudian, mereka tenggelam lagi untuk selama-lamanya.

Perahu lain yang berada tepat di belakang perahu naas itu segera berhenti. Karena para penumpangnya menghentikan kayuhannya. Mereka terkejut melihat kejadian di depan. Lalu, dengan cepat mereka memutar kembali perahunya, dan berusaha kembali ke tempat semula.

"Balik...! Ada sesuatu yang tidak beres di depan kita...!"

Baru saja mendayung beberapa kali, mereka tersentak. Entah bagaimana perahu mereka berhenti secara mendadak, seolah-olah terhalang sesuatu benda lunak, dan menarik kembali ke belakang. Ketika diteliti, ternyata tangan salah seorang secara tidak sengaja telah menyentuh air kental yang berwarna merah darah!

"Aaa...!"

"Kau kena apa...?!"

"Aduuuh.... Tanganku, tolooong...! Cepat lepaskan tanganku ini!" teriak orang itu dengan wajah pucat pasi.

Mereka berusaha menolong dengan menarik orang itu. Tapi satu sentakan kuat kembali mengejutkan mereka. Dan....

"Aaa...!

Byuurrr...!

Jeritan demi jeritan yang terdengar sangat memelas dan menggiriskan. Tetapi tidak ada yang dapat menolong mereka, karena tidak ada yang tahu makhluk atau benda apa yang telah menyebabkan mereka semua binasa secara mengerikan.

Bahkan lebih mengenaskan lagi, tidak ada seorang pun yang dapat lolos dan keluar hidup-hidup dari telaga itu. Mereka semua mati tanpa liang kubur. Yang tertinggal hanyalah perahu yang terdampar balik di tepi telaga tempat mereka berangkat.

Saat ini tidak ada seorang pun yang berani menyeberang lagi. Mereka semua merasa heran. Otak mereka dipenuhi tanda tanya. Mungkinkah itu sebuah jebakan yang sengaja dipasang orang-orang dari Pesanggrahan Telaga Wama?

Kalau benar demikian, berarti mereka benar-benar hebat dan perlu diperhitungkan masak-masak! Rangga yang terkenal cerdik, belum dapat memecahkan teka-teki yang terjadi di telaga itu.

"Bagaimana ini, Kakang Samba...? Mereka tampaknya mulai tidak sabar dan mulai berusaha menyeberang kemari...," ujar seorang perempuan tua yang masih kelihatan cantik di depan Pesanggrahan Telaga Warna.

"Biarkan saja.... Saat ini air penghisap darah dari telaga sedang bangun, dan pasti melahap apa saja yang mengandung darah.... Air itu tidak peduli, siapa saja yang berada di atas telaga. Apalagi bila tangannya menyentuh air. Tentu mereka akan ditariknya masuk dan disedot sampai mati...," jawab laki-laki tua berkumis dan berjenggot putih semua. Dialah Samba yang berjuluk Lutung Pancasona. Sedangkan perempuan di sebelahnya adalah Rukmini yang berjuluk Bidadari Tongkat Hijau.

Pada punggung Lutung Pancasona tersembul sepasang pedang yang dihiasi indah. Sedangkan Rukmini tampak memegang sebatang tongkat berwarna hijau. Di situ, ada lagi tiga dara cantik yang menjadi anak sepasang tokoh persilatan ini.

"Kakang Samba.... Apakah air telaga benar-benar dapat dijadikan pelindung bagi kita...?" tanya Rukmini.

"Tenang sajalah, Istriku. Selama tiga pekan lagi, apa saja yang mengandung darah bila berani masuk telaga pasti akan jadi korban. Tidak peduli mereka berada dalam perahu atau rakit. Kau sendiri sudah tahu, akan hal itu, bukan...? Aku sendiri yang sudah hidup di sini sejak lahir, baru sekali melihat keganasan air telaga itu. Termasuk kau sendiri, bukan...?"

"Iya, Kang! Itu pulalah sebabnya kita aman tinggal di sini sampai ratusan tahun dan turun-temurun. Karena, hanya kitalah yang tahu kapan dan bagaimana telaga itu mengamuk serta tenang kembali. Padahal, kita sendiri bila salah hitung dan masuk ke telaga pada saat mengamuk, tentu tidak luput pula dari kematian secara mengenaskan seperti mereka...," desah Rukmini perlaan.

"Kau benar, Istriku! Selama tiga pekan ini, kita masih aman dan dapat berlega hati.... Kecuali, tiga pekan yang berikutnya, saat itu air telaga sedang tidur dan biasa kembali... Kita harus berjaga-jaga dan waspada pada saat itu. Aku sendiri tidak tahu, apa yang akan terjadi...?"

Rukmini dan ketiga anaknya mengangguk tanda mengerti. Untuk sementara, mereka benar-benar aman. Karena keadaan alam turut membantu. Padahal mereka sendiri tidak tahu, mengapa air telaga itu sewaktu-waktu dapat mengamuk dan meminta korban manusia? Mereka sendiri tahu semua itu dari kakek dan nenek mereka secara turun-temurun.

Di tepian telaga sebelah sana, para tokoh persilatan tidak ada lagi yang turun ke telaga. Mereka hanya memperhatikan dengan benak penuh tanda-tanya, tentang teka-teki yang terjadi di Telaga Warna.

Ada apa sebenarnya di Telaga Warna? Apa yang akan diperbuat penghuni Pesanggrahan Telaga Warna bila para tokoh persilatan berhasil sampai ke tempat itu? Bagaimana sepak terjang si Manusia Tengkorak selanjutnya? Apakah Pendekar Rajawali Sakti berhasil menuntaskan persoalan yang terjadi di dunia persilatan sekarang ini? Apalagi Pedang Pusaka Rajawali Sakti tidak berada di tangannya...? Masih banyak teka-teki yang belum terjawab.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: PESANGGRAHAN TELAGA WARNA

Geger Di Telaga Warna

GEGER DI TELAGA WARNA

SATU

CUACA malam ini agaknya tak begitu bersahabat. Angin bertiup kencang, membawa titik-titik air. Walaupun hanya hujan gerimis, namun sudah membuat Desa Awi Pitung mulai sepi.

Temaramnya cahaya lampu minyak, tak kuasa mengusir gelap malam ini. Nyanyian binatang malam seolah-olah menertawakan manusia yang memilih berlindung di balik selimut. Apalagi suara lolongan anjing di kejauhan, ditingkahi kepak sayap kelelawar di atas pohon.

Para penduduk lebih suka tenggelam dalam selimutnya daripada berkeluyuran. Dalam suasana yang begitu mencekam dua orang peronda masih terus berkeliling menunaikan tugasnya.

"Kakang Jalma.... Malam ini tidak seperti biasanya...! Perasaanku selalu tidak menentu dan was-was...!" ungkap salah seorang peronda yang bertubuh kurus sambil melangkah.

"Perasaanku juga begitu, Waspati! Tetapi, apa sebabnya...? Mungkin karena cuaca yang buruk ini...?!" jawab jaki-Iaki berusia dua puluh delapan tahun yang dipanggil Jalma dengan suata sedikit sengau. Sementara dadanya berdebar keras. Belum juga pertanyaan Jalma terjawab, mendadak....

"Kuaaarkh...!"

"Hah...? Suara apa itu...?!" sentak Jalma langsung menghentikan langkahnya sambil menoleh ke arah datangnya suara tadi.

"Entahlah. Mungkin suara hantu yang kelaparan dan haus darah...," sahut laki-laki kurus yang dipanggil Waspati sambil merapatkan tubuhnya pada Jalma.

"Kau..., kau..., jangan berkata sembarangan, Waspati...," ujar Jalma, sedikit tergagap karena tercekam hawa takut.

"Kuaaarkh...!"

Kembali suara yang menyeramkan terdengar. Dengan serentak Jalma dan Waspati mencabut senjata masing-masing. Lalu mereka segera saling beradu pandang untuk menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak lama, Jalma menunjuk ke sebuah pohon.

"Dengar.... Suara itu berasal dari atas pohon itu...," tunjuk Jalma.

"Biar kulihat, ada apa di pohon itu...!"

Waspati segera mendekati pohon. Langsung dipanjatnya pohon itu. Setelah sampai, ternyata suara-suara tadi berasal dari burung hantu dengan kedua anaknya. Tanpa memakan waktu lama, burung-burung itu berhasil dipukul jatuh oleh Waspati.

"Kuk! Kuk! Kuk...!"

Plug! Bug! Buug!

Begitu tiga burung naas itu jatuh ke atas tanah, dengan geram Jalma menumbuk burung-burung dengan batu. Ketika tiga burung itu binasa dengan tubuh remuk, Waspati yang telah meloncat turun ikut menghantami sampai puas.

"Huh...! Mampuslah kalian.... Siapa suruh berani menakut-nakuti kami...!" dengus Jalma sambil melempar batu yang berada di tangannya ke semak-semak rimbun. Perbuatannya dituruti Waspati.

Prass! Srakkk!

Batu-batu sebesar dua kali kepalan tangan itu bagaikan hilang ditelan bumi. Namun belum lagi kedua peronda itu beranjak, tiba-tiba....

Sret! Serr!

Dari balik semak mendadak meluncur dua batu yang tadi dilemparkan.

Pletuk! Tukkk!

"Wuaaa...!"

"Heekh...!"

Entah bagaimana tahu-tahu batu-batu itu tepat mengenai kening mereka berdua. Akibatnya kedua peronda itu kini timbul benjolan yang cukup besar di kening, yang membuat kepala pusing.

"Keparat...! Siapa yang berani main-main dengan kami...?!" bentak Waspati sambil memegangi keningnya. Sedang matanya jelalatan ke sana kemari.

Tiba-tiba di belakang kedua peronda itu terdengar suara yang mencurigakan. Begitu Waspati dan Jalma berbalik, tampak sesosok tubuh terbungkus kain hijau. Yang cukup menggetarkan nyali, wajah orang yang baru muncul berbentuk tengkorak. Matanya memancarkan sinar merah menyala, sehingga tampak makin menyeramkan.

"Ah.... Setan Tengkorak! Wuaaa.... Tolong...," sentak Jalma sambil loncat ke belakang dengan wajah pucat.

"Hantu kuburan.... Dddd..., dari mana ini...?" tukas Waspati tergagap. Tanpa disadari celananya basah. Rupanya saking takutnya, Waspati sampai terkencing-kencing. Lututnya saling beradu, sehingga menimbulkan suara keras.

"Hik hik hik...! Hari ini kalian harus mati...!" deas sosok berwajah tengkorak sambil menghentak kedua tangannya.

Dess...! Desss...!

"Aaakh...! Aaakh...!"

Walaupun sudah berusaha menghindar, tetap saja Jalma dan Waspati terhantam pada dadanya. Mereka kontan roboh ke tanah disertai teriakan menyayat. Baju pada dada tampak mengepulkan asap. Rupanya pada bagian itu telah terbakar hangus. Pukulan manusia berwajah tengkorak itu jelas mengandung racun ganas!

Dalam waktu singkat, Waspati dan Jalma berkelojotan, lalu diam kaku. Yang lebih mengenaskan lagi, kulit dan daging mereka meleleh menjadi cairan berbau busuk. Kemudian yang tersisa hanyalah tulang belulang saja.

"Ha ha ha...! Aku berhasil menguasai ilmu 'Pukulan Racun Api'.... Aku pasti akan menguasai dunia persilatan ini.... Ha ha ha...," teriak manusia berwajah tengkorak dengan tawa terbahak-bahak melihat hasil pukulannya.

Peristiwa kematian dua peronda sangat menggemparkan para penduduk Desa Awi Pitung. Penjagaan semakin diperketat, namun si pembunuh berdarah dingin itu tidak terdengar lagi kabar beritanya.

Belum juga si pembunuh diketahui, penduduk desa itu mendapat penyakit mengerikan. Pada kulit mereka timbul bisul-bisul. Setelah pecah, akan keluar nanah. Kemudian menjalar ke seluruh kulit dan daging. Kemudian meleleh dan mencair. Bau dan sakitnya tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Tidak seorang tabib pun yang dapat menyenbuhkan penyakit yang kian mewabah itu.

Siapa saja yang menyentuh orang yang terkena penyakit itu, pasti akan terjangkit dan tertular pula. Sehingga semakin lama keadaan Desa Awi Pitung jadi semakin sepi dan jadi desa mati. Tak ada yang tahu, Siapa biang keladi peristiwa mengenaskan ini. Yang jelas, setiap penduduk yang memanfaatkan sumber-sumber air di desa ini akan terkena penyakit mengidikkan itu. Sebuah penyakit yang berasal dari sejenis racun mematikan.

Maka dalam waktu tidak terlalu lama, seluruh penduduk telah jadi mayat. Yang ada tinggal tulang belulangnya saja. Begitu juga binatang peliharaan yang tidak luput jadi korban juga.

********************

Di jalan utama Desa Karang Sekalor yang cukup ramai, seorang laki-laki berambut putih berjalan sambil sesekali meneguk tuak dari guci. Di pundaknya bertengger seekor kera berbulu hitam sambil memakan pisang. Tidak seorang penduduk pun yang mau peduli terhadap orang tua itu. Mereka juga sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.

Di bawah pohon yang besar dan terlindung dari sengatan matahari, laki-laki tua ini duduk sambil terus menenggak tuak merah dari gucinya. Sedangkan kera hitam miliknya sibuk mencari kutu di kepala orang tua yang tampaknya mulai mabuk. Matanya meram-melek terkena hembusan angin yang bertiup semilir.

Tidak lama, terdengar dengkuran keras laki-laki tua ini. Dan orang yang berlalu-lalang pun hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum.

Baru beberapa tarikan napas orang tua itu tidur tiga orang bertubuh kekar berjalan dengan langkah lebar-lebar. Dari wajah tampak ketiganya sedang marah. Mereka berjalan menuju sebuah rumah yang paling indah di tempat itu, yang dikenal sebagai rumah Kepala Desa Karang Sekalor.

"Keparat, si tua itu! Berani benar dia membantah atasan kita!" dengus salah seorang dari tiga laki-laki ini, yang berkumis tebal.

"Rupanya dia sudah bosan hidup...! Kita tidak perlu kasihan lagi pada orang bodoh itu...! Agaknya, dia lebih sayang harta daripada jiwanya sendiri...," desis laki-laki yang bertubuh kekar dengan kepala botak sambil mengepalkan jari jemarinya.

Sementara laki-laki satunya tidak memberi tanggapan. Dia hanya mengeluarkan geraman di hidung. Wajahnya panjang dan pucat. Sifatnya agaknya memang pendiam. Tetapi dari wajahnya menyiratkan kekejaman.

Kebetulan ketiga laki-laki bertampang telengas ini lewat di depan orang tua yang sedang mabuk dan kera hitamnya yang masih tetap mencari kutu. Entah disengaja atau tidak, laki-laki tua pemabuk itu membalikkan tubuhnya. Dan akibatnya kaki laki-laki botak yang kebetulan berjalan paling dekat dengan pemabuk itu tergaet. Hingga....

Blug!

"Aduh...!" Laki-laki botak yang membawa golok di pinggang langsung jatuh mencium tanah. Tentu saja dia jadi gusar dan marah bukan main. Sambil mendengus gusar dia beringsut bangun. Dipandanginya laki-laki tua pemabuk dari ujung rambut kepala sampai kaki. Dia berpikir, tidak mungkin itu terjadi secara kebetulan.

"Bangsat... Jangan berpura-pura kau, Tua Bangka...," teriak laki-laki botak.

"Hiih...!" Seketika laki-laki botak ini menendang iga orang tua pemabuk itu. Namun seperti tak sengaja pemabuk itu berbalik kembali. Dan gucinya tepat dihantam ke tulang kering laki-laki botak.

Tak!

"Aduuuhhh...!" Bagaikan kesetanan, laki-laki botak ini berjingkrak sambil memegangi tulang keringnya yang terasa retak. Sedangkan mulutnya tidak hentinya meringis menahan rasa sakit. Sementara kera hitam yang tadi mencari kutu di kepala pemabuk lompat menjauhi sambil berbunyi terus, seakan-akan mengejek.

Kali ini laki-laki botak tidak dapat lagi menahan amarahnya. Disadari, kalau dirinya sedang dipermainkan oleh si pemabuk. Dengan gerakan cepat golok yang terselip di pinggangnya dicabut. Lalu tanpa banyak bicara lagi dibabatnya pinggang laki-laki tua yang masih bersandar dengan mata terpejam.

Pada saat yang sama, laki-laki yang berwajah panjang dan pucat sudah mencabut pisau yang terselip di pinggangnya. Bahkan seketika dilontarkan ke arah laki-laki tua pemabuk itu.

Set! Set!

Dengan mata tetap terpejam pemabuk ini bergulingan untuk menghindari serangan golok. Dan ketika melihat pisau yang melesat dengan kecepatan kilat, guci di tangannya diputar capat laksana baling-baling.

Trang!

"Hait... Aduh! Ada orang galak! Ampun..., tolooong...!"

Begitu matanya terbuka, laki-laki pemabuk itu cepat bangkit. Dia langsung berteriak sambil berlari ke sana kemari. Mengetahui kalau dipermainkan laki-laki tua pemabuk, ketiga laki-laki bertampang telengas itu segera mengeroyok.

Di luar dugaan pemabuk itu mampu bergerak cepat dan lincah. Walaupun tubuhnya terhuyung-huyung tidak menentu, tidak ada satu serangan pun mengenai dirinya. Bahkan dengan seenaknya tuak merah dalam mulut disemburkannya.

"Fruuhhh...!" Pras...!

"Aaa...!" Karena tidak menyangka, kontan ketiga pengeroyok menjerit-jerit begitu tersembur tuak merah.

Wajah mereka terasa panas bukan main, bagai ditusuk puluhan jarum. Untung saja semburan tuak merah dari pemabuk tadi, hanya sedikit disertai tenaga dalam. Sehingga wajah ketiga laki-laki itu tidak sampai terluka.

Sementara itu, si pemabuk langsung melesat pergi ketika tiga laki-laki yang mengeroyoknya masih merasakan sakit pada wajahnya.

Para penduduk Desa Karang Sekalor yang menyaksikan kejadian barusan, hanya menatap kepergian laki-laki tua pemabuk sampai hilang dari pandangan. Mereka tak berani bertindak apa-apa. Tiga laki-laki bertampang telengas itu saja mampu dibuat tak berkutik oleh pemabuk tadi, apa lagi mereka?

Hampir semua penduduk desa ini tahu, siapa ketiga laki-laki itu. Mereka adalah para begundal desa yang selalu membuat kerusuhan. Kepandaian mereka cukup tinggi, membuat satu persatu para penduduk meninggalkan tempat ini, karena tidak mau menjadi sasaran pelampiasan kemarahan mereka.

Baru setelah bisa meredakan rasa sakit, ketiga begundal ini melangkah pergi, menuju rumah Kepala Desa Karang Sekalor, yang tak begitu jauh lagi.

"Sialan! Ke mana laki-laki tua bangka tadi?!" dengus laki-laki yang berkepala botak, seperti tak puas atas kekalahannya tadi.

"Biarlah, Gumilang! Suatu saat nanti kita bisa menuntut balas!" ujar laki-laki yang berkumis lebat.

"Huh! Kalau kita tidak ada urusan dengan Ki Waredeng, aku akan menghajarnya, Boksa!" timpal yang berwajah panjang dan pucat.

"Kaupun yang kukenal pendiam, tampaknya tak bisa lagi menahan amarah, Cudra?" tukas laki-laki botak yang bernama Gumilang.

"Tak selamanya orang harus diam, Gumilang!" sahut laki-laki berwajah panjang dan pucat yang dipanggil Cudra.

Tanpa terasa, mereka telah tiba di halaman sebuah rumah yang paling indah di desa ini. Rumah milik kepala desa yang bernama Ki Waredeng tampak dijaga beberapa orang laki-laki.

"Maaf, Kisanak semua. Ada keperluan apa datang ke sini?" tegur salah seorang penjaga.

"Katakan pada Ki Waredeng! Kami Gumilang, Boksa, dan Cudra datang ke sini! Cepat...!" ujar laki-laki botak itu sambil berkacak pinggang.

Penjaga bertampang tenang ini memberi isyarat kepada temannya yang segera berlari ke dalam rumah itu.

Beberapa saat kemudian, orang itu muncul kembali, mengiringi seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh satu tahun berpakaian indah dengan keris terselip di belakang. Sementara sepuluh orang pengawal bersenjata lengkap mengiringi di belakangnya.

"Rupanya para begundal yang datang ke sini.... Ada kabar dan keperluan apa...?" tanya Ki Waredeng tenang. Agaknya, dia sudah tahu siapa ketiga laki-laki ini.

"Kedatangan kami ke sini atas perintah majikan kami, si Manusia Tengkorak!" sahut Cudra, dingin.

"Hm.... Jadi kalian sekarang punya majikan. Bagus.... Jadi kalian tak perlu memeras penduduk disekitar Kadipaten Ungaran lagi. Hm.... Lantas, apa yang diperintah majikan kalian hingga sampai di sini?"

"Setan...! Lekas serahkan tiga perempat harta kekayaanmu pada si Manusia Tengkorak...! Atau kau akan terkapar jadi mayat di rumahmu sendiri berikut para pengawalmu...!" ancam Gumilang.

Sementara wajah Cudra jadi bertambah pucat karena kemarahannya. Sedangkan tangannya seperti biasa membersihkan janggutnya yang sudah tidak berbulu dan bersih dengan pisaunya. Agaknya hal itu sudah menjadi kebiasaan, dan selalu dilakukan bila sedang marah.

Sedangkan laki-laki berkumis lebat yang bernama Boksa, mempunyai kebiasaan menggaruk-garuk kepalanya yang memang tampak kotor sekali. Tangan kirinya mengelus-elus gagang golok. Agaknya dia memang kidal.

Sambil tersenyum, Ki Waredeng menggelengkan kepalanya. "Kalian jangan coba-coba main kasar di desa ini. Sebelum kedatangan kalian keadaan di sini sudah tenang dan aman. Jangan sampai karena ketamakan kalian, di sini terjadi pertumpahan darah yang tidak diinginkan...," ujar Kepala Desa Karang Sekalor ini tenang, namun penuh kewaspadaan.

"He he he...! Kalau tidak mau terjadi banjir darah, lekas turuti perintah kami ini...!" hardik Boksa sambil berkacak pinggang.

Sementara semua pengawal kepala desa ini segera mempersiapkan diri dengan senjata terhunus. Agaknya mereka siap menghadapi para pengacau ini.

Menyaksikan tingkah pengawal itu, pandangan Cudra semakin bertambah tajam menusuk. Tiba-tiba, laki-laki itu memasukkan tangannya ke balik baju. Dan seketika itu pula mengibaskannya.

Set! Set!

"Awaaas...!" Ki Waredeng berteriak memperingatkan dan langsung merunduk ke samping begitu melesat dua buah sinar keperakan.

Crab! Crab!

"Aaa...! Aaa...!"

Kepala Desa Karang Sekalor memang berhasil menyelamatkan diri. Tapi dua pengawalnya yang tak sempat menghindar kontan jadi korban. Disertai teriakan menyayat mereka kontan ambruk dengan leher masing-masing tertancap sebuah pisau.

Sebentar kedua pengawal itu kelojotan, lalu diam tak berkutik. Tampak darah meleleh dari leher yang tertancap pisau yang dilemparkan Cudra.

DUA

"Biadab...! Kalian benar-benar ingin menyebar maut di sini?! Hm.... Terpaksa aku harus mempertahankan diri...!" desis Ki Waredeng setelah mencabut keris dari balik pinggang.

Sementara para pengawal segera membentengi kepala desa yang dicintai itu. Semua pandangan mata tertuju pada para begundal yang mengaku bekerja untuk si Manusia Tengkorak.

"Sheaaat...!"

"Yeaaa...!"

Secara serentak, Boksa dan Cudra melesat melancarkan serangan. Begitu benteng hidup terpecah, Gumilang cepat membabatkan goloknya. Serangannya menimbulkan suara angin menderu keras, pertanda tenaga dalamnya sangat tinggi.

Cudra agaknya sangat berkeinginan untuk cepat menghabisi Ki Waredeng. Maka begitu mendapat kesempatan, tubuhnya melenting melewati kepala para penjaga, lalu meluruk ke arah kepala-desa itu.

Namun Ki Waredeng segera menyambuti serangan Cudra yang langsung membabatkan pisau pendek pada tangan kanan dan kiri. Serangannya sangat cepat dan berbahaya. Kedua pisaunya ber-kelebatan bagai kilat menyambar-nyambar ke seluruh tubuh laki-laki tua ini.

"Haiiit...!"

Trang! Tring!

Ki Waredeng ternyata memiliki kepandaian cukup tinggi. Terbukti dengan kerisnya, dia sanggup bertahan dari serangan pisau pendek yang bergerak bagaikan sambaran kilat.

Cudra sendiri tidak menyangka, kalau kepala desa itu memiliki kepandaian yang tangguh dan sulit ditembus. Sementara itu, Boksa yang bersenjata golok di tangan kiri dilayani oleh seorang pengawal tua berkepandaian lumayan. Tombak pengawal itu bergulung-gulung mengurung tubuh Boksa. Mereka segera terlibat pertarungan sengit dan memanas.

Sementara Gumilang kini dikeroyok para pengawal yang berkepandaian lumayan dan tidak dapat dianggap remeh. Sehingga walaupun kepandaiannya tinggi tetap tampak kewalahan juga menghadapi keroyokan.

Menghadapi puluhan senjata tajam yang mengancam, Gumilang memainkan jurus-jurus bertahan. Setiap senjata tajam yang mendekat ke arahnya, selalu mampu dipapak dengan golok yang digerakkan dengan tenaga dalam tinggi.

Trang!

Akibat benturan beberapa buah senjata para pengawal terlepas dan terlempar dari genggaman. Tetapi pengawal yang lain segera menutup dan menggantikan temannya yang sudah tidak bersenjata itu. Sehingga, Gumilang tidak mempunyai kesempatan untuk mencelakai para pengawal Kepala Desa Karang Sekalor ini.

Serangan para pengawal yang berjumlah besar memang terlihat dahsyat. Sehingga dalam waktu singkat saja, Gumilang hanya dapat bermain mundur saja. Ketika dia menangkis serangan yang membabat leher, satu sodokan tombak meluncur ke dada. Cepat tubuhnya bergeser ke kiri, namun terlambat.

Crasss...!

"Aaakh...!" Sambil mengeluarkan teriakan tertahan, melirik ke bahu kanannya yang sempat terserempet tombak. Tampak darah mulai membasahi bajunya.

Dengan kemarahan yang sudah di ubun-ubun, Gumilang bertindak nekat. Tubuhnya cepat berkelebat mencecar orang yang melukainya sambil membabatkan golok. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Cras!

"Wuaaak!"

Pengawal itu roboh ketika golok Gumilang berhasil membabat leher. Kenekatan Gumilang harus dibayar malah. Tepat ketika berhasil membabatkan golok pada saat yang sama tiga tombak meluruk cepat tak tertahankan, sehingga....

Jreb...! Crap! Blesss...!

"Aaa...!" Teriakan kesakitan berkepanjangan segera menggema, ketika tubuh Gumilang tertancap beberapa tombak. Begitu ambruk, tubuhnya langsung melejang-lejang, meregang nyawa.

Melihat kematian Gumilang, Boksa mulai gentar hatinya. Matanya sebentar-sebentar melirik, seperti mencari celah untuk melarikan diri.

"Jangan biarkan mereka lolos.... Yang coba-coba kabur, bunuh saja...!" Terdengar suara bernada perintah, seperti bisa membaca gerak-gerak Boksa.

Boksa yang merasa rencananya telah terbaca, segera mengamuk sejadi-jadinya. Untuk sesaat, dia masih dapat bertahan. Tetapi lima belas jurus kemudian, keadaannya mulai terdesak. Apalagi jumlah para pengeroyok termasuk banyak.

Shaaat!

Trang! Tring...!"

Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Boksa masih tetap berusaha bertahan. Namun tenaga manusia tetap terbatas. Memasuki jurus kedua puluh, tenaganya semakin lemah dan berkurang. Ketika tubuhnya berjumpalitan untuk menghindari serangan, beberapa tombak langsung dilemparkan para pengawal.

Ser! Ser! Serrr!

"Haiiit!"

Crang! Cring...!

Beberapa tombak berhasil ditangkis Boksa. Tetapi, ada dua buah yang luput.

Cras! Crab!

"Aaa...!" Sebuah tombak menancap tepat di dada Boksa sambil berteriak laki-laki berkumis lebat itu berusaha mencabut tombak yang menancap di dada dan perut. Namun begitu tubuhnya jatuh ke tanah, Boksa tidak dapat bergerak lagi untuk selamanya.

Kini yang tinggal hanya Cudra. Bahkan kini pengawal tua telah ikut membantu Ki Waredeng. Dengan demikian Cudra kini dikeroyok dua orang. Akibatnya, dia tidak dapat berbuat banyak. Lemparan pisaunya selalu dapat dielakkan kedua orang tangguh itu. Bahkan keris di tangan Kepala Desa Karang Sekalor itu berkali-kali telah mengancam keselamatannya.

"Ciaaat!"

Ke mana saja Cudra bergerak, keris itu selalu memburunya. Hal itu membuat Cudra jadi berkeringat dingin dengan tubuh gemetar. Belum lagi serangan pedang pengawal tua yang bagaikan hujan angin cepatnya. "

"Ki Patisena! Kerahkan jurus pamungkasnya!" teriak Ki Waredeng.

"Baik, Ki! Heaaa...!"

Saat itu juga pengawal tua yang dipanggil Patisena mengerahkan jurus pamungkasnya dalam permainan pedang. Tubuhnya langsung berkelebat sambil membabatkan pedang. Sementara itu Ki Waredeng sendiri langsung berkelebat dengan sabetan-sabetan kerisnya yang seolah-olah berubah menjadi banyak.

"Hup!" Cudra cepat melompat ke belakang, menghindari babatan pedang Ki Patisena.

Sementara pisau di tangannya segera menggunting secara menyilang keris yang terus meluncur di tangan Ki Waredeng.

Trang!

Begitu terjadi benturan senjata, Cudra melepas tendangan melingkar ke arah pergelangan tangan Ki Patisena.

"Haaa...!" Namun Ki Patisena cepat membalikkan tangannya. Bahkan seketika pedang di tangannya berputar menuju betis. Begitu cepat serangan itu, membuat Cudra tak sempat menarik pulang kakinya. Hingga....

Crasss...!

"Aaa...!" Tidak dapat dihindari lagi, betis kaki Cudra terbabat pedang Ki Patisena hingga buntung. Rasa sakit yang menyengat membuatnya menjerit setinggi langit. Tak ada lagi keseimbangan tubuhnya. Dia langsung jatuh ke tanah tanpa mampu berbuat apa-apa.

Melihat kesempatan baik, para pengawal meluruk ke arah Cudra. Puluhan senjata tajam, kini mengancam keselamatan laki-laki berdarah dingin ini. Sungguh tidak disangka kalau kepala desa itu memiliki pengawal tangguh dan kepandaian tinggi.

"Matilah aku sekali ini...," desah Cudra dalam hati. Cudra sudah pasrah dan putus asa. Keadaannya bagai telur di ujung tanduk. Tetapi dalam keadaan yang gawat...

"Hi hi hi...!"

Mendadak terdengar sebuah suara tawa yang mengikik dan melengking. Semakin lama, suara yang terdengar makin meninggi dan menusuk telinga. Seketika dada semua yang berada di tempat itu bergetar. Bahkan sekujur tubuh menjadi lemas. Jelas itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Cudra segera bergulingan, ketika para pengeroyok berjatuhan tak kuasa menahan kekuatan tenaga dalam lewat suara tawa itu. Walau begitu dia tetap berusaha mengerahkan hawa murni, agar tak terluka akibat getaran suara tawa yang masih terasa menembus telinga dan mengguncangkan dada.

Aneh.... Walaupun juga menerima serangan tawa yang disertai tenaga dalam, namun akibat yang diterima Cudra tidak separah yang diterima para pengeroyoknya. Mungkin si pengirim suara hanya menunjukkan serangan tawanya pada para pengeroyok, sehingga Cudra hanya mendapat pengaruhnya saja.

"Celaka...! Cepat kerahkan hawa murni dan atur pernapasan kalian...," seru Ki Waredeng, memperingatkan.

"Hik hik hik...!"

Walau mereka sudah berusaha sekuat mungkin, namun suara tawa yang mengandung tenaga dalam ini semakin lama semakin meninggi saja. Para pengawal yang berjatuhan mulai tampak gemetar dengan wajah pucat pasi. Dari telinga, hidung, dan mulut mulai meneteskan darah.

"Aaa...!"

"Wuaaa...!"

Tak lama, teriakan kematian terdengar saling susul, kini yang masih dapat bertahan hanya tinggal beberapa orang saja. Memang mengenaskan nasib para pengawal yang berkepandaian pas-pasan. Mereka yang masih bertahan hidup sudah mulai menggigil dan gemetar. Kini yang masih hidup hanyalah dua orang pengawal berkepandaian agak tinggi, Ki Patisena, dan Ki Waredeng. Dan mereka terus berusaha mengimbangi suara tawa yang membawa maut itu.

Namun, keadaan mereka semakin bagai telur di ujung tanduk. Mereka sudah pasrah dan tinggal tunggu nasib saja. Di saat-saat yang genting itu....

"Hua hak hak hak...! Kalau sedang bermain-main ajak-ajak aku...! Kalian jangan mau enak sendiri...!"

Terdengar sebuah suara yang disertai tenaga dalam tinggi. Dan anehnya suara tawa besar itu langsung memunahkan tawa mengikik yang menggetarkan dada.

Semua yang berada di situ menarik napas lega. Bersamaan dengan itu, tercium wangi tuak yang menyengat hidung. Tak lama, muncul seorang laki-laki tua berambut putih sampai ke bahu. Kedatangannya sambil tetap menenggak tuak dari gucinya.

"Hak hak hak hak...! Selamat jumpa.... Selamat jumpa dengan Pemabuk Dari Gunung Kidul...!"

Dengan lagak ugal-ugalan, laki-laki tua yang ternyata Pemabuk Dari Gunung Kidul melangkah mendekati Ki Waredeng. Walaupun lagaknya demikian, namun yang pasti kemunculannya telah menyelamatkan banyak nyawa, berhenti.

Tepat ketika Pemabuk Dari Gunung Kidul berhenti tiga tombak di hadapan Ki Waredeng, berkelebat sesosok bayangan hijau. Tidak lama, di depan laki-laki pemabuk itu, berdiri satu sosok berpakaian serba hijau dengan wajah berbentuk tengkorak. Tatapannya begitu menusuk pada laki-laki pemabuk yang bernama asli Ki.Demong.

"Tua bangka keparat... Berani benar kaumencampuri urusanku...? Apa hubunganmu dengan kepala desa itu...?!" tegur sosok yang tak lain si Manusia Tengkorak dengan nada tinggi.

"Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa.... Tetapi, aku tidak suka dengan tindak kejahatan...! Sayang, aku datang terlambat. Kalau tidak, korban tidak akan jatuh sebanyak ini...!" sahut Ki Demong, enteng.

"Bangsat! Kalau begitu kau hanya ingin pamer kepandaian di depanku...? Kali ini kau mengalami hari naas, Tua Bangka!" desis si Manusia Tengkorak bertambah geram.

"Ah.... Yang benar saja? Aku masih ingin hidup lama di dunia ini.... Jadi, tolong jangan bunuh aku...," sahut Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil tersenyum meledek. Agaknya dia tidak mengacuhkan semua ancaman si Manusia Tengkorak.

Ketika terjadi adu mulut, Cudra menggunakan kesempatan itu untuk menotok luka di kakinya yang buntung untuk menghentikan darah yang keluar. Setelah ditaburi ramuan yang selalu dibawa, lukanya diikat dengan sobekan bajunya sendiri.

"Heaaa...!"

Merasa dirinya tidak dipandang sebelah mata, si Manusia Tengkorak berteriak melengking sambil menghentakkan kedua tangannya melepaskan pukulan jarak jauh.

Wusss...!

Seketika angin menderu yang terasa panas menyengat, meluruk ke arah Ki Demong. Namun dengan enaknya Pemabuk Dari Gunung Kidul melompat menghindar. Sekaligus mencari tempat yang lebih luas di halaman rumah kepala desa ini.

"Haiiit!"

"Sheaaat!"

Si Manusia Tengkorak terus mengejar sambil melancarkan serangan gencar. Untuk mengimbangi, Ki Demong meneguk tuak merahnya berkali-kali, lalu disemburkan.

"Fruhhh...!"

Bau tuak segera menyebar ke mana-mana. Dan akibat semburan yang menggunakan tenaga dalam kuat, adalah api yang menyembur-nyembur dari mulut Ki Demong.

Semburan tuak yang mengandung api itu sangat merepotkan si Manusia Tengkorak. Sambil berteriak gusar, segenap kemampuannya segera dikerahkan untuk menyerang secara habis-habisan.

"Ciaaat!"

Wuuut!

Guci di tangan Ki Demong berputar cepat laksana baling-baling. Sedangkan tangan kirinya, bila ada kesempatan mengirimkan serangan jarak jauh. Akibatnya pertarungan kedua tokoh sakti ini jadi semakin terlihat dahsyat dan mengagumkan. Bahkan batu dan dedaunan terbawa angin ke udara, ikut berputar-putar bagaikan ada angin puyuh.

Semakin lama perkelahian jadi semakin sengit. Kepala Desa Karang Sekalor dan para pengawalnya tidak ada yang berani mendekat. Mereka menyadari bahaya maut bisa merenggut sewaktu-waktu.

Sementara itu pandangan Ki Patisena beralih pada Cudra, yang baru saja bangkit dengan terpincang-pincang sehabis mengobati lukanya. Melihat si Manusia Tengkorak belum dapat mengalahkan laki-laki tua pemabukan, sadarlah Cudra kalau belum lama berselang telah dipermainkan oleh seorang tua urakan itu (Untuk ingin tahu lebih jelas tentang Ki Demong, bacalah kisah yang berjudul Satria Pondok Ungu).

Tindak-tanduk Cudra, tak luput dari perhatian Ki Waredeng. Begitu menyadari sedang diawasi, Cudra jadi gemetar. Dengan terpincang-pincang mundur teratur tanpa terasa. Namun kedua laki-laki tua itu terus maju selangkah demi selangkah. Untuk menjaga segala kemungkinan, Cudra mencabut pisau.

"Yeaaa!"

Disertai teriakan keras, Cudra mengibaskan tangannya. Seketika dua pisau melayang dengan kecepatan kilat. Tetapi Ki Waredeng dan Ki Patisena cepat melenting tinggi bersama. Lalu dengan gerakan hampir bersamaan pula, mereka meluruk ke arah Cudra yang tak sempat menyerang kembali.

Dalam waktu singkat, Cudra yang kakinya buntung jadi terdesak. Dia pontang-panting dikeroyok dua orang tangguh ini. Kini Cudra hanya dapat mundur. Tak ada kesempatan lagi untuk melempar pisaunya. Karena Ki Waredeng dan Ki Patisena terus menekan dengan pertarungan jarak pendek.

"Yeaaat!"

"Uts...!" Dalam satu serangan, Cudra harus meloncat ke atas menghindari babatan pedang Ki Patisena. Tetapi, malang. Dari belakang Ki Waredeng juga meloncat ke atas dengan satu tusukan ke punggung.

Crab!

"Aaakh...!" Dengan teriakan keras, Cudra berusaha mendarat kokoh di tanah. Tubuhnya langsung berbalik, seraya menyabetkan pisaunya ke tubuh Ki Waredeng yang telah mendarat lebih dulu. Sayang, kali ini pun Cudra kalah cepat. Karena mendadak Ki Waredeng telah menghujamkan kerisnya ke dada. Dan....

Crap!

"Aaa...!" Keris kepala desa itu menancap tepat di dada Cudra. Belum hilang rasa sakit, pedang Ki Patisena menusuk perut hingga tembus ke punggung.

Clap!

"Aaa...!" Ketika dicabut, Cudra ambruk dengan satu teriakan menyayat. Ususnya tampak terburai, dengan darah membanjiri tanah.

Melihat kejadian yang menimpa anak buahnya, si Manusia Tengkorak segera menghentikan serangan. Seketika dia membuat lentingan ke belakang, lalu berkelebat cepat melarikan diri dari tempat ini.

********************

TIGA

Tanpa setahu si Manusia Tengkorak, Ki Demong bergerak mengejar. Sedikit pun Pemabuk Dari Gunung Kidul ini tidak peduli pada Ki Waredeng dan Ki Patisena yang hendak mengucapkan terima kasih.

"Toloong..., tolooong...!"

"Heh?!"

Pemabuk Dari Gunung Kidul tersentak kaget dan langsung menghentikan larinya, begitu mendengar suara minta tolong. Kepalanya langsung menoleh ke arah kanan, tempat sumber suara yang diyakini dari mulut seorang wanita.

Saat itu juga, Ki Demong berkelebat ke kanan ke arah jalan menanjak. Dan ketika menemukan jalan yang kembali menurun, di bawah, tampak tergolek satu sosok ramping terbungkus pakaian hijau.

Dengan cepat, Ki Demong melesat ke arah sosok yang ternyata seorang wanita. Begitu tiba, Pemabuk Dari Gunung Kidul melihat di tangan wanita itu masih menempel seekor kelabang berwarna merah. Wajahnya yang cantik itu tampak pucat, dan mulai berwarna kebiruan. Tubuhnya pun mulai menggigil. Jelas sekali kelabang merah itu sangat beracun dan mematikan.

"Tenang, Nisanak.... Jangan banyak bergerak.... Binatang celaka itu akan segera kubunuh...," ujar Ki Demong.

Lalu dengan sekali pencet dan banting, binatang itu mati seketika. Dengan gerakkan cepat, Ki Demong menotok wanita cantik itu pada beberapa tempat yang dapat menghambat racun.

Kini Pemabuk Dari Gunung Kidul mengurut-urut tangan yang tergigit kelabang untuk mengeluarkan darah yang telah bercampur racun. Berkat tenaga dalamnya yang telah mencapai tingkat tinggi, sebagian racun kelabang merah itu berhasil didorong keluar dari tubuh wanita cantik yang terus mengaduh-aduh kesakitan.

Sigap sekali Ki Demong mengambil beberapa obat dari saku bajunya. Seketika dibalurinya luka bekas gigitan itu. Baru kemudian menjejali mulut wanita cantik ini dengan obat pulung. Pemabuk Dari Gunung Kidul segera mendudukkan wanita cantik ini. Dia sendiri lantas duduk di depanya seraya memegang kepala wanita berbaju hijau itu. Perlahan-lahan, mata Ki Demong terpejam, untuk menyalurkan hawa murni lewat kepala.

Ketika Pemabuk Dari Gunung Kidul memejamkan matanya, wanita itu justru membuka matanya seraya tersenyum dingin. Sementara Pemabuk Dari Gunung Kidul tidak menyadarinya.

Tiba-tiba, dengan gerakan tak terduga, wanita cantik berpakaian serba hijau itu merogoh sakunya. Begitu tercabut, langsung ditaruhnya benda yang diambil dari saku pada leher dan tangan Ki Demong yang masih memejamkan matanya. Ternyata benda yang tak lain kelabang merah dan kalajengking langsung saja menggigit.Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Wuaaa...!"

Begitu laki-laki tua pemabuk itu berteriak, wanita ini melepas sebuah pukulan telak ke arah dada.

Des...!

"Ugkh...!" Karena tidak bersiaga dan tidak menduga siasat licik itu, Ki Demong jatuh terjengkang disertai muntahan darah. Namun, dengan cepat laki-laki tua ini berusaha bangkit.

"Kau.... Kau iblis keparat...! Licik!" desis Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan suara terputus.

"Hik hik hik...! Tahu rasa kau sekarang, Tua Bangka Keparat...!" ejek wanita cantik ini seraya bangkit bediri.

"Bangsat...! Aku akan adu jiwa denganmu, Wanita Jalang," maki Pemabuk Dari Gunung Kidul. Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya yang terakhir, orang tua ini menerjang dengan guci araknya.

"Hik hik hik...! Orang lumpuh macam kau, jangan harap dapat menyentuhku.... Kalau ingin membunuhmu saat ini semudah aku meludah ke tanah. Tetapi, terlalu enak kalau kau mati.... Biarlah kau mati sendiri, Hik hik hik...!"

Apa yang dikatakan wanita cantik itu benar. Ki Demong hanya dapat bertahan dua jurus saja begitu racun ganas segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Pandangan matanya jadi gelap. Napasnya menyesak. Tubuhnya pun limbung ke sana kemari. Tenaganya seolah-olah lenyap, tidak dapat dipergunakan lagi. Akhirnya....

Blug!

Tubuh Ki Demong jatuh ke tanah tanpa sempat mengerahkan hawa murni untuk mengusir racun. Napasnya tinggal satu-satu. Hanya matanya saja yang mengawasi dengan pandangan tajam. Wanita cantik berpakaian serba hijau itu hanya tersenyum, mengawasi dengan sorot mata menghina.

"Bagaimana sekarang...? Kau pasti ingin mati, bukan...? Tetapi jangan sekarang. Biarlah kau mati secara perlahan-lahan.... Nah, selamat menikmati perjalanan menuju ke neraka, Orang Tua Lumpuh...," ejek wanita cantik ini.

Setelah berkata demikian, wanita cantik ini berkelebat cepat, meninggalkan tempat ini. Sementara keadaan orang tua pemabukan itu bagaikan telur di ujung tanduk. Kematian tinggal menunggu saatnya saja.

Walau orang tua itu berusaha menyalurkan hawa murni, namun semua itu tidak ada gunanya. Kini dia sudah pasrah dan tinggal menunggu nasib.

"Kreaakh!"

"Turunlah, Rajawali Putih! Aku melihat sesuatu di bawah sana...."

"Kroaaakh!"

Seekor rajawali berwarna putih keperakan langsung menukik tajam dari angkasa disertai suara memekakkan telinga. Kecepatannya sungguh dahsyat, sehingga sebentar saja telah beberapa tombak dari permukaan tanah yang cukup lapang untuk ukuran tubuhnya yang luar biasa besar.

Banyak batu-batu kecil dan daun-daunan berterbangan terkena hempasan sayap burung rajawali itu. Dari punggungnya meloncat seorang pemuda berbaju rompi putih. Di punggungnya bertengger sebilah pedang bergagang kepala burung.

"Cepat tunggu aku di angkasa, Rajawali Putih!" ujar pemuda itu.

Dengan cepat burung raksasa itu mengepakkan sayapnya dan kembali melesat ke udara. Sementara, pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti segera menghampiri sosok yang dilihatnya dari udara tadi.

Segera disandarkannya sosok yang tak lain Pemabuk Dari Gunung Kidul di paha kirinya. Setelah memeriksa luka Ki Demong, Rangga segera menyalurkan hawa murninya. Seketika dari setiap lubang bekas gigitan binatang berbisa itu mengucur darah berwarna kehitaman. Sedangkan dari kepala Rangga tampak mengepulkan asap putih tipis.

Semakin lama wajah Ki Demong tampak semakin bersemu merah. Dan napasnya mulai teratur kembali. Semakin lama keadaan si Pemabuk Dari Gunung Kidul semakin membaik. Bahkan tak lama matanya mulai membuka. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Tinggal memulihkan kesehatan saja. Rangga lantas mengambil sebutir obat pulung dari balik bajunya. Segera dijejalkannya ke mulut Ki Demong.

"Ohhh...! Kiranya kau lagi yang menolongku, Rangga. Terima kasih banyak...," ucap Ki Demong lirih sambil memandang tajam pada Rangga.

"Sudahlah, Ki. Coba ceritakan apa yang telah terjadi...? Dan siapa pula yang mencelakaimu...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, seraya bangkit berdiri.

Secara singkat dan jelas, Ki Demong menceritakan segala apa yang telah terjadi pada Rangga. Mendengar cerita itu, Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaknya ada sesuatu yang dipikirkannya. Belum sempat Ki Demong bercerita lagi, mendadak....

"Heaat...!"

Terdengar teriakan membahana yang diikuti berkelebatnya seorang pemuda bertubuh tinggi besar. Otot lengannya bertonjolan keluar dengan sebuah senjata clurit siap dikebutkan. Wajahnya tampak tampan dan gagah.

Rangga memandang dengan kening berkerut. Apalagi ketika pemuda itu menerjang ke arahnya. Dengan mudah sekali, Rangga berkelit ke samping mengelakkan serangan. Lalu seketika tangannya bergerak memapak.

Plak!

Pemuda bertubuh tinggi besar itu kontan terhuyung-huyung mundur dua tindak ke belakang. Cluritnya langsung terlepas dari tangan. Dengan sinar mata tajam, dia mengawasi Pendekar Rajawali Sakti.

"Hei... hei.... Ada apa, Kisanak? Mengapa tiba-tiba kau menyerang ku? Rasanya, baru sekali ini aku melihatmu...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau pasti yang mencelakai kakek itu?" tunjuk pemuda itu, langsung.

"Sabar, Kisanak. Tanyakanlah sendiri pada Pemabuk Dari Gunung Kidul," ujar Rangga kalem.

Pemuda itu segera menoleh pada Ki Demong.

"Benar, Anak Muda. Pendekar Rajawali Sakti justru yang menyelamatkan aku dari kematian...," kata Ki Demong lirih.

"Oh...?! Jadi..., jadi kau Pendekar Rajawali Sakti...? Maafkan aku, Tuan Pendekar. Perkenalkan, aku putra Ki Waredeng, Kepala Desa Karang Sekalor. Namaku Wisnupati. Ayahku menceritakan padaku, kalau kakek yang memegang guci tuak itu telah menyelamatkan nyawa ayah dan para pengawal.... Sayang, aku terlambat pulang ke rumah. Bila tidak peristiwa berdarah itu takkan terjadi di tempatku," ucap Wisnupati, sambil menjura hormat setelah tahu siapa yang diserangnya tadi.

"Lalu, mengapa kau main serang seenaknya tanpa tanya lebih dulu?" tegur Rangga.

"Sekali lagi maafkanlah.... Kukira kau yang telah mencelakai kakek itu. Maka aku langsung menyerangmu..."

Ki Demong mengawasi sambil tersenyum. Kiranya putra kepala desa itu telah salah paham. "Terima kasih, Anak Muda...! Lain kali kalau mau berbuat sesuatu jangan main hantam saja.... Bertanyalah dulu, walau kuakui kepandaianmu cukup bisa diandalkan...," ujar si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Ya..., ya.... Kau benar, Ki. Adatku memang sedikit berangasan.... Aku juga ingin mengucapkan terima kasih padamu, Ki. Siapakah namamu...?" tanya Wisnupati.

"He he he...! Kurasa kau pura-pura tidak tahu. Coba terka, siapa aku...?" tukas Ki Demong.

"Menurut Ki Patisena kau adalah tokoh tua sakti yang bergelar si Pemabuk Dari Gunung Kidul... Dan maafkanlah bila aku salah terka...," sahut Wisnupati.

"He he he...! Ternyata pengawal itu memiliki wawasan yang cukup luas. Aku memang orang yang dimaksud...," jawab Ki Demong, terkekeh.

"Kalau begitu, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu pada keluarga kami...."

"Itu soal biasa.... Orang jahat harus ada musuhnya. Tetapi, aku bukan orang sakti.... Salah besar kalau kau menganggapku begitu. Yang tepat, aku hanyalah seorang pemabukan...," sergah Ki Demong, merendah.

Wisnupati lantas menoleh ke arah Rangga dan menatapnya dengan sinar mata berbinar-binar.

"Mengapa kau memandangku seperti itu...?" tanya Rangga.

"Kau hebat sekali, Pendekar Rajawali Sakti...," puji Wisnupati sambil memberi hormat.

"Sudahlah.... Lain kali kau harus hati-hati dalam bertindak. Oh, ya.... Aku masih ada urusan. Sampai jumpa lagi...."

Habis berkata demikian, Rangga melesat cepat meninggalkan tempat ini. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sempurna, Rangga melesat bagai anak panah lepas dari busur. Sehingga dalam waktu singkat saja telah lenyap dari pandangan.

"Ki.... Ayahku mengajakmu mampir ke rumah, untuk mengucapkan terima kasih...," ajak Wisnupati, ketika Pendekar Rajawali Sakti tak terlihat lagi.

"Mestinya ayahmu tidak perlu menyibukkan diri hanya untuk menjamu diriku. Lagi pula, aku sedang tak berselera mampir ke rumah orang...," tolak Ki Demong sambil menggeleng-geleng.

"Tetapi, ayah juga telah menyediakan tuak wangi yang telah disimpan lama.... Kurasa kau akan suka, Ki.... Ayolah, jangan mengecewakan harapan kami...," bujuk Wisnupati setengah memaksa.

"Apa.... Apa kau bilang...? Kau mempunyai tuak wangi yang telah disimpan lama? Kau tidak bohong, bukan...?!" sentak si Pemabuk Dari Gunung Kidul, kontan kegirangan.

"Mana berani aku berbohong pada orang tua sepertimu, Ki. Kalau kau suka tuak, ayo ikut aku.... Kita dapat minum sepuasnya sampai mabuk. Ayolah...! Aku bersedia menemanimu sampai pagi. Bagaimana...?" ujar Wisnupati memanasi.

"Baiklah.... Dengan memandang ayahmu, aku bersedia datang ke tempatmu...," desah Ki Demong sambil menelan ludah.

Kemudian, keduanya segera melesat menuju Desa Karang Sekalor yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat ini. Mereka sama-sama menggunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga lesatan tubuh mereka bagaikan iblis yang tengah berlari di siang hari.

********************

EMPAT

Bukit Ungaran berdiri megah bagaikan batu karang di tengah samudera, yang tidak akan hancur terkena panas dan hujan. Rumput dan ilalang tampak menghijau. Sungai yang jernih tampak berkelak-kelok bagaikan ular raksasa yang tengah berjalan. Di sebelah Bukit Ungaran, membentang sebuah telaga yang cukup luas..Namanya, Telaga Warna. Airnya berwarna-warni. Di telaga itu terdapat daratan cukup luas.

Di tengah pulau kecil telaga itu, berdiri sebuah bangunan besar. Kabarnya, bangunan itu dihuni oleh sepasang pendekar tua yang telah dikaruniai tiga anak yang telah tumbuh menjadi gadis-gadis cantik. Kalangan persilatan memberi nama rumah di tengah telaga itu dengan Pesanggrahan Telaga Warna.

Orang-orang persilatan pun tahu, siapa tokoh yang menghuni pesanggrahan itu. Dia adalah seorang laki-laki tua berkumis dan berjenggot putih. Namanya Samba. Dia dijuluki si Lutung Pancasona.

Ilmu tangan kosongnya yang menyerupai gerakan kera telah mengangkat namanya dalam kancah dunia persilatan. Senjatanya yang berupa sepasang pedang yang gagangnya diberi hiasan benang sutera berwarna-warni menjadi ciri khasnya di balik punggung.

Sedangkan istri Samba dikenal bernama Rukmini. Rambutnya telah putih keperakan digelung ke belakang. Wanita tua yang masih membayang-kan sisa kecantikannya sewaktu muda itu bersenjata tongkat berwarna hijau. Tak heran kalau dalam dunia persilatan dia dikenal sebagai Bidadari Tongkat Hijau. Walau jarang terjun dalam rimba persilatan, tetapi nama besarnya cukup disegani.

Sedangkan ketiga anak sepasang pendekar itu masing-masing bernama Sri Kundalini, Sri Agni Kumala, dan Sri Padmi. Sebagai anak pendekar, mereka bertiga tentu tidak dapat dipandang rendah. Sudah dipastikan kalau mereka mewarisi kepandaian kedua orangtua mereka.

Dalam rimba persilatan terdengar desas-desus bahwa didepan Pesanggrahan Telaga Warna terdapat sejenis bunga langka yang mengandung kekuatan luar biasa. Anehnnya, bunga itu hanya tumbuh dalam kurun waktu seratus lima puluh tahun.

Warna bunga itu biru dan merah. Konon kabarnya, siapa yang memakan bunga biru, akan mendapat tulang dan darah yang bersih. Di samping itu akan memiliki tenaga puluhan kali lipat disertai hawa dingin. Sedangkan bunga yang berwarna merah akan membuat pemakannya memiliki tenaga berhawa panas luar biasa.

Bagi kaum persilatan bunga langka itu sangat diidam-idamkan. Mereka sanggup mempertaruhkan jiwa untuk mendapatkannya. Namun mereka tak tahu kapan tepatnya bunga itu akan mekar.

Lutung Pancasona bergembira, karena dua purnama lagi kuncup bunga dari pohon langka itu akan merekah penuh, menyebarkan bau harum luar biasa. Saat itu pun bau harumnya mulai tercium ke mana-mana.

Entah bagaimana, berita tentang akan mekarnya bunga itu kini tersebar luas di dunia persilatan. Sehingga dari berbagai penjuru banyak berdatangan para tokoh persilatan yang tidak diundang menuju Pesanggrahan Telaga Warna. Baik itu golongan hitam, maupun golongan putih.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Saat ini cuaca sangat terik. Di tengah jalan menuju Bukit Ungaran, tampak sepuluh orang laki-laki berpakaian seperti orang persilatan pada umumnya. Dari wajahnya yang penuh debu dan berkeringat, jelas mereka sudah melakukan perjalanan cukup jauh.

Dari lambang perguruan berbentuk kepala tengkorak berwarna putih yang tersulam di dada, dapat diketahui kalau mereka dari Perguruan Tengkorak Putih yang cukup tersohor dalam sepak terjangnya yang liar. Perguruan itu memang beraliran hitam. Tindakan mereka sangat telengas dan kejam, sehingga sangat ditakuti dan dibenci masyarakat.

Kali ini kabar berita tentang adanya bunga aneh di Pesanggrahan Telaga Warna sampai juga di telinga mereka. Itulah sebabnya mereka keluar kandang untuk mengadu untung.

Kesepuluh orang itu menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan seorang wanita cantik berpakaian serba hijau. Melihat ada wanita cantik di tengah jalan, laki-laki yang berjalan paling depan terkekeh-kekeh seperti serigala melihat domba gemuk. Matanya yang hanya satu tampak berbinar-binar penuh nafsu. Jakunnya turun naik, menahan liur.

"He he he...! Pada hari sepanas ini hendak pergi ke mana, Nisanak...? Kalau tidak keberatan, marilah kita berjalan bersama-sama...," tegur laki-laki bermata satu itu yang rupanya bertindak sebagai pemimpin rombongan.

"Siapakah Kisanak ini? Hi hi hi.... Rasanya, tujuan kita berlainan?" tanya wanita cantik itu sambil mengikik genit.

"Hm.... Aku Bergawa, Ketua Perguruan Tengkorak Putih. He he he.... Rasanya tak ada salahnya kalau kita berjalan bersama. Aku toh bisa mengurungkan perjalananku, untuk berjalan bersamamu," sahut laki-laki bermata picak yang temyata bernama Bergawa.

"Ah.... Jangan begitu, Kisanak...," desah wanita cantik itu sambil melirik nakal dengan ujung matanya.

Melihat sikap liar wanita itu, Bergawa jadi lupa diri. Gairahnya makin menggelegak. Sambil tersenyum-senyum nakal didekatinya wanita itu. Tangannya langsung menjawil dada yang membukit indah itu. Herannya, wanita ini mendiamkan saja tingkah Ketua Perguruan Tengkorak Putih ini.

"Gleg...!"

Bergawa menelan ludah. Sementara para muridnya memandangi dengan mata melotot. Air liur mereka seperti hendak menetes dari sudut bibirnya.

Tanpa mempedulikan keadaan di tempat itu, Bergawa yang sudah dikuasai iblis segera menarik tangan wanita ini. Langsung diseretnya wanita itu ke semak-semak yang lebat tak jauh dari tempat ini.

Suasana hening dan sepi sesaat. Daun-daun tampak bergoyang keras bagaikan sedang diguncang-guncangkan. Tiba-tiba....

"Aaakh...! Mendadak terdengar teriakan keras, disusul melesatnya satu sosok tubuh dari dalam semak sambil memegangi daerah terlarangnya yang terlihat banyak mengucurkan darah. Sosok yang ternyata Bergawa segera menotok beberapa jalan darahnya.

"Bangsat...! Kuntilanak keparat! Apa..., maksudmu?!" rutuk Bergawa dengan gigi bergemeletuk menahan sakit dan marah.

"Hik hik hik...! Berkacalah dulu baik-baik, manusia jelek...! Apa kau pantas bermain cinta denganku...?" leceh wanita cantik itu balik bertanya, seraya keluar dari balik semak-semak. Langkahnya gemulai memancing birahi.

Melihat sang ketua dihina seperti itu, anak murid Perguruan Tengkorak Putih segera menerjang serentak. Ada yang menggunakan tangan kosong, ada pula yang memakai senjata tajam.

"Hi hi hi...!" Sambil tertawa keras wanita berpakaian serba hijau itu berkelit ke sana kemari dengan gerakan ringan. Gerakannya bagaikan sedang menari di antara gerombolan manusia yang haus darah. Namun tiba-tiba dia melakukan tendangan ke arah lawan-lawannya.

Zeb! Zeb!

Karena gerakan tendangan ini membuat pakaian dalam wanita cantik itu terlihat jelas. Akibatnya para pengeroyok jadi salah tingkah. Gerakan mereka tidak beraturan lagi. Sebenarnya ini memang disengaja oleh wanita itu. Ketika lawan-lawannya lengah cepat-cepat dilepaskannya serangan sesungguhnya yang berupa pukulan berisi tenaga dalam tinggi.

Dess...! Desss...!

"Aaakh...! Aaakh...!"

Disertai keluhan tertahan, dua orang berjatuhan dengan dada dan punggung hangus. Ketika dua orang menyerang lagi, langsung disambut kebutan selendang berwarna hijau yang berbau harum semerbak.

Werrr..!

"Uhhh...!" Walaupun keduanya sudah berusaha mengelak, tetap saja ujung selendang berhasil menghantam wajah.

Prak! Prak!

Terdengar suara kepala pecah disusul jatuhnya dua orang pengeroyok. Kini terbukalah mata para pengeroyok kalau gadis cantik berpakaian hijau itu memiliki kepandaian amat tinggi.

"Katakan sebenarnya, siapakah kau...? Apa maumu dengan segala tindakan ini...?" tanya Bergawa setelah berhasil mengobati lukanya.

"Walaupun kau adalah ketua perguruan, masih belum pantas mengetahui namaku.... Sekarang kuperintahkan, galilah kuburan sebanyak orang yang kau bawa...," hardik wanita cantik ini.

"Keparat...! Walaupun kau berilmu tinggi, jangan harap dapat menghina. Aku belum kalah! Mari kita adu jiwa...!" desis Bergawa menghentakkan kedua tangannya. Terimalah aji 'Tengkorak Putih'ku!"

Werrr...! Seketika melesat sinar putih dari kedua tangan Bergawa ke arah wanita cantik itu.

"Hup...!" Namun indah sekali wanita berpakaian serba hijau itu melenting, sehingga....

Blarrr...!

Sebuah pohon besar yang berada tepat di belakang wanita itu roboh dan hancur, terkena sinar putih yang dilepaskan Bergawa. Tetapi akibatnya, Bergawa meringis menahan sakit pada daerah terlarangnya.

Dalam keadaan terluka begitu, Bergawa memang tidak bisa mengeluarkan tenaga dalam secara berlebihan. Perut dan bawah pusarnya kontan terasa sakit dan mulas luar biasa.

Werrr...!

Menggunakan kesempatan wanita itu langsung mengibaskan selendang hijaunya ke leher Bergawa. Kontan Ketua Perguruan Tengkorak Putih jadi mendelik dan megap-megap karena tidak dapat bernapas. Sementara para muridnya, tidak ada yang berani maju. Mereka hanya mengawasi tanpa berdaya apa-apa.

"Hik hik hik...! Lekas suruh anak muridmu menggali kuburan beberapa buah! Kalau membangkang, lehermu akan kuputus saat ini juga...," ancam wanita cantik ini dingin.

"Anak-anak...! Gali beberapa lubang kubur yang besar. Cepat laksanakan perintah...!" seru Bergawa pada muridnya.

Tanpa banyak membantah lagi, murid-murid Perguruan Tengkorak Putih mulai menggali lubang kuburan beberapa buah. Karena dikerjakan beramai-ramai, sebentar saja tercipta tiga buah lubang besar.

Sementara napas Bergawa tersengal karena lehernya terjerat erat selendang milik wanita itu.

"Sekarang tiga orang dari kalian masuk ke dalam lubang itu. Sedang yang lain menimbuni dengan tanah...!" perintah wanita berbaju serba hijau itu.

"Kau..., kau.... Apakah kami akan dikubur hidup-hidup...? Kau benar-benar wanita iblis! Kubunuh kau, Keparat...!" bentak salah seorang murid. Lalu tubuhnya meluruk dengan golok terhunus. Dibabatnya leher wanita itu.

"Hiaaat...!"

Hanya dengan mengegos sedikit, wanita itu berhasil menghindari serangan. Dan tiba-tiba tangan kanannya mengibas, melepas pukulan bertenaga dalam tinggi.

Buuug...!"

"Aaa...!" Pukulan keras itu mendarat tepat di dada murid itu. Tubuhnya kontan melayang, masuk ke dalam lubang kubur yang digali. Ketika dua orang murid lain hendak bantu menyerang, wanita itu menyambutinya dengan serangan jarak jauh.

"Hih...!"

Zeb! Zeb!

"Aaa...!"

Kedua murid Bergawa kembali terpental disertai semburan darah dari mulut. Entah kebetulan atau disengaja, jatuhnya tepat masuk ke dalam lubang tempat murid sebelumnya terjatuh. Sehingga mereka bertiga jadi saling tumpang tindih bagaikan ikan asin.

"Bagaimana...? Apakah kalian tidak mau menurut perintahku...? Atau kau ingin kusiksa lebih kejam lagi...?" tanya wanita itu, dingin.

Dengan terpaksa kedua murid Perguruan Tengkorak Putih menimbuni ketiga saudara seperguruan mereka sendiri yang sebenarnya masih hidup.

"Jangan...!"

Tentu saja ketiga orang yang sudah terluka dan tidak dapat bergerak di dalam lubang itu berteriak-teriak. Namun para murid Perguruan Tengkorak Putih terus menimbuni tanpa mau peduli lagi.

"Jangan.... Jangan bunuh kami seperti ini. Jangaaan...!"

Teriakan mereka menghilang ketika tanah mulai rapat menutup seluruh tubuh. Apalagi ketika kedua murid mulai menginjak-injak tanah galian sampai padat. Mereka binasa dalam keadaan yang menyedihkan.

"Ohh...!" Mendadak, tubuh Bergawa yang tercekik selendang terjajar maju ketika wanita berpakaian serba hijau itu menyentakkannya. Dan sebelum Bergawa bisa berbuat apa-apa, tangan wanita itu telah bergerak cepat ke punggung.

Tuk! Tuk!

Saat itu juga Bergawa merasakan tubuhnya lemas sekali. Bagai tak ada tulang, tubuhnya ambruk tak berdaya. Sementara wanita berpakaian serba hijau segera menyeret Ketua Perguruan Tengkorak Putih itu ke arah lubang yang masih kosong. Langsung dimasukkannya laki-laki ini ke dalam lubang.

"Bangsat...! Lepaskan totokan ini. Bunuh saja aku! Atau kita bertarung, mengadu jiwa! Cepat lepaskan! Keparattt...!"

Ketua Perguruan Tengkorak Putih yang sudah tertotok itu tidak dapat menggerakkan tubuhnya lagi. Dia hanya dapat berteriak-teriak dengan perasaan ngeri. Kemudian wanita itu berbalik. Di tangannya sudah tergenggam kalajengking dan kelabang merah yang sangat beracun.

"Sekarang, kubur gurumu baik-baik...! Kalau tidak, kalian akan jadi korban gigitan binatang beracun ini. Cepat laksanakan!" perintah wanita ini.

Tanpa banyak membantah lagi, kedua murid itu menimbuni tubuh guru mereka sendiri yang menyumpah-nyumpah tak ada habis-habisnya. Dalam waktu sekejap saja, tubuh Bergawa sudah tidak terlihat lagi. Suaranya juga sirna bersama rapatnya tanah menimbuni tubuhnya. Setelah tugas kedua murid itu selesai, wanita berpakaian serba hijau itu mengebutkan selendangnya.

Werrr...!

"Aaakh...!"

"Uhh...!"

Dengan sekali kebut, kedua murid itu jatuh ke dalam lubang terakhir yang mereka gali sendiri. Dan seketika, wanita kejam ini melemparkan binatang beracun ke dalam lubang.

"Hik hik hik...! Segala tokoh kampungan tidak pantas pergi ke Bukit Ungaran. Sebaiknya kalian jadi raja cacing saja di tempat ini...!" ejek wanita kejam itu.

Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat cepat. Sebentar saja, dia telah lenyap dari tempat itu.

********************

LIMA

Seiring bergulirnya waktu, maka keadaan di Bukit Ungaran makin ramai saja, setelah terdengar desas-desus tentang akan mekarnya bunga aneh yang memiliki warna merah dan biru. Mungkin kalau bunga biasa, berita itu tak akan menyita perhatian dunia persilatan. Karena kedua jenis bunga itu memiliki kemampuan dahsyat, tak heran kalau menjadi incaran para tokoh persilatan.

Maka tak heran pula kalau di sekitar Bukit Ungaran kini telah berkumpul beberapa tokoh persilatan. Mereka datang ada yang atas nama pribadi, dan ada pula yang mengatas namakan perguruan. Bahkan ada pula yang disertai pengiring yang membawa umbul-umbul lambang perguman. Di antara yang nampak adalah umbul-umbul yang bergambar seekor ikan pesut berwarna putih. Orang persilatan mengenai mereka dari Perguruan Pesut Baja, yang diketuai Gembili.

Perguruan lainnya adalah Perguruan Elang Putih. Itu terlihat dari umbul-umbul bergambar seekor elang berwarna putih. Para tokoh persilatan mengenai ketua perguruan itu dengan nama Ki Tambak Yoso.

Agaknya mereka ingin benar-benar mengadu nasib dengan tetap menunggu di tempat ini, sampai bunga yang dihebohkan itu mekar.

"Hik hik hik...! Segala kutu sayur mau ikut memperebutkan Bunga Nirwana.... Daripada membuat repot, lebih baik kembali saja ke akherat..."

Mendadak terdengar sebuah suara mengejek disertai tawa mengikik memecah kesunyian dan menggetarkan dada. Sehingga siapa saja yang mendengar kakinya menjadi lemas, dan seakan-akan tidak bertulang.

Mendengar suara tersebut, para tokoh persilatan langsung mengerahkan tenaga dalam. Karena terlambat sedikit saja mereka akan mendapat luka dalam. Namun baru saja mereka bertindak, melesat sebuah benda, dan....

Blarrr...!

Benda itu langsung meledak tepat di tengah-tengah para tokoh persilatan yang sedang berkumpul.

"Ugh!"

Para tokoh persilatan yang mengisap asap tersebut langsung sama-sama pening dan sesak napas. Pandangan mereka juga menjadi gelap. Bumi yang dipijak seakan berputar. Gepat mereka mengatur napas, agar tidak sampai menghisap asap beracun itu.

Set! Set! Set!

Pada saat yang berbahaya, kembali melayang puluhan benda yang ternyata kelabang dan kala-jengking. Tidak ampun lagi mereka jadi kalang kabut begjtu binatang-binatang itu langsung menyengat. Mereka kontan ambruk dengan tubuh kaku dan bersemu hitam. Binasa di tempat itu juga.

Kebetulan, kejadian mengenaskan terhadap para tokoh persilatan itu cukup jauh dari tempat rombongan Perguruan Pesut Baja dan Perguruan Elang Putih. Maka begitu terdengar teriakan menyayat, kedua ketua perguruan itu melesat ke tempat kejadian. Sedangkan para murid dari dua perguruan segera menyusul dari belakang, walaupun sudah tertinggal jauh.

Dan betapa tercekatnya Ki Gembili dan Ki Tambak Yoso melihat mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah, begitu tiba di tempat kejadian.

"Bangsat...! Keluarlah kau! Jangan main sembunyi, Pengecut!" teriak Ketua Perguruan Elang Putih sambil memutar pedang tipisnya bagai baling-baling. Suara babatan pedang terdengar bersiutan.

Sementara Perguruan Pesut Baja segera meloncat ke atas pohon sambil mengebutkan cambuk berdurinya berkali-kali. Matanya mengawasi ke sana kemari mencari orang yang mengeluarkan suara tawa tadi.

Tak lama dari balik semak yang rimbun melesat sesosok bayangan hijau. Gerakannya gesit sekali, bagaikan camar di lautan.

"Ciaaat!"

"Haaat!"

Begitu sosok itu mendarat, Ketua Perguruan Elang Putih dan Ketua Perguruan Pesut Baja segera menerjang. Pedang tipis yang tajam dan cambuk berduri yang mengerikan berdesingan ke arah tubuh sosok berwajah tengkorak yang tak lain si Manusia Tengkorak. Tetapi dengan gerakan cepat dan ringan sosok berwajah tengkorak masih dapat menghindari setiap serangan.

Menghadapi kedua orang yang berilmu cukup tinggi ini, si Manusia Tengkorak cukup kerepotan. Sambil berteriak keras, tangannya melempar ben-da-benda kecil sebesar melinjo yang dapat meledak dan mengepulkan asap beracun.

Siuuut! Blarrr!

"Hup...!"

Bagai kilat, kedua ketua perguruan itu melenting kebelakang dan berjumpalitan menjauhi lawannya. Begitu menyentuh tanah, mereka mengirimkan serangan jarak jauh dengan tenaga dalam penuh.

Namun kali ini si Manusia Tengkorak menyambutinya dengan pukulan jarak jauh pula. Sehingga, mereka jadi bergetar dan terjajar mundur beberapa langkah.

Untuk sementara waktu pertarungan terlihat semakin seru. Kelebihan kedua ketua perguruan itu lambat laun dapat diatasi si Manusia Tengkorak dengan lemparan binatang beracun yang mematikan. Sehingga dalam waktu yang cukup panjang, barulah manusia berwajah tengkorak itu berhasil mendesak.

Pada saat yang sama, para murid dua perguruan itu telah tiba di tempat pertarungan. Mereka langsung membuat lingkaran, mengelilingi pertarungan. Sepertinya mereka tak ingin membuat celah sedikit pun bagi si Manusia Tengkorak yang sudah terkenal kebiadabannya.

Pada suatu kesempatan, pedang tipis Ki Tambak Yoso membabat ke arah leher. Namun dengan cepat si Manusia Tengkorak menundukkan kepala. Dan tiba-tiba ditepisnya pergelangan tangan Ketua Perguruan Elang Putih itu.

Plak!

Begitu terjadi benturan, si Manusia Tengkorak menyodokkan kedua tangannya disertai tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss...!

"Huaaagkh!"

Tanpa dapat ditahan lagi tubuh Ki Tambak Yoso jatuh telentang begitu perutnya terhantam pukulan si Manusia Tengkorak. Dari sudut bibimya tampak mengucurkan darah berwarna kehitaman.

"Heaaa...!"

Di saat yang gawat para murid Perguruan Elang Putih menerjang secara serentak. Tetapi, terjangan mereka disambut lemparan binatang-binatang berbisa.

Set! Set!

"Aaa...!"

Karena jaraknya terlalu dekat, para murid ini tidak dapat mengelakkan serangan. Maka jeritan kematian segera menggema membelah langit.

Sementara Ketua Perguruan Pesut Baja kini menyadari, kalau pertarungan ini dilanjutkan pasti akan membuang nyawa percuma. Namun menyaksikan betapa kejamnya si Manusia Tengkorak itu akhirnya dia jadi nekat.

"Hiaaat!"

Ctar! Ctar!

Cambuk berduri di tangan Ki Gembili, bersiutan di sekeliling tubuh si Manusia Tengkorak. Ketika tokoh kejam ini membuang diri ke belakang, ujung cambuk berbunyi keras di samping telinganya. Kalau kurang cepat, tentu pelipisnya akan pecah terkena hantaman cambuk.

Cepat si Manusia Tengkorak menjatuhkan diri ke tanah. Setelah bergulingan, dilepaskannya tendangan melingkar ke arah kaki.

"Hup!"

Dengan melenting ke atas Ketua Perguruan Pesut Baja berhasil mengelakkan serangan. Namun baru saja mendarat, pukulan si Manusia Tengkorak bertubi-tubi menghujani.

Sejenak Ki Gembili terkesiap. Namun dengan cepat mengegos ke kiri dan kanan. Akibatnya, setiap pohon yang terhantam pukulan nyasar langsung roboh dengan batang hangus.

Yeaaa!"

Ctarrr!

Sambil mengelakkan serangan, Ketua Perguruan Pesut Baja ini cepat menyabetkan pecutnya.

Set! Set!

Pada saat yang sama segenggam binatang beracun terlontar ke arah pecutnya. Namun sebagian lagi langsung mendarat di tubuhnya.

"Wuaaakh...!"

Ki Gembili berteriak keras begitu binatang-binatang beracun itu menyengat. Cepat Ketua Perguruan Pesut Baja ini menyalurkan hawa murni untuk menahan menjalamya racun yang masuk ke dalam tubuh. Namun hasilnya nihil. Tetap saja Ki Gembili ambruk, walaupun nyawanya masih tetap bersemayam di badan.

Si Manusia Tengkorak hanya mengawasi dengan sinar mata dingin menyiratkan kekejamannya.

"Hik hik hik...! Sekarang buat beberapa buah lubang! Cepat laksanakan perintahku...!" ujar si Manusia Tengkorak.

"Manusia iblis...! Siapa yang mau menuruti perintahmu...?!" tolak salah seorang murid Perguruan Pesut Baja sambil menudingkan pedangnya.

Sebelum gema suara itu lenyap, si Manusia Tengkorak langsung melemparkan kelabang merah dan kalajengking.

Set! Set!

"Aaa...!"

Dengan teriakan menyayat, tahu-tahu murid Perguman Pesut Baja yang bemsaha membantah itu sudah memegangi tenggorokannya yang tersengat binatang-binatang berbisa itu. Melihat hal ini tak seorang murid pun yang berani bergerak lagi.

"Baiklah.... Kau menang.....Apa yang harus kami lakukan.,.?!" tanya salah seorang murid dengan wajah agak pucat.

"Hik hik hik...! Bila kalian tidak membantah, tentu tidak akan jadi korban lagi...! Sekarang cepat gali lubang yang besar dan cukup untuk beberapa orang...!" perintah si Manusia Tengkorak.

"Untuk apa kami menggali lubang kubur...?" sela salah seorang murid dengan perasaan curiga.

"Kalian terlalu cerewet! Aku tidak suka orang macam kalian. Lebih baik, kembali saja ke akherat...!" desis si Manusia Tengkorak.

"Hiih...!"

Cepat sekali gerakan si Manusia Tengkorak ketika menyabetkan tangannya. Seketika bertaburan bubuk berwarna hijau yang berbau busuk ke arah orang yang membantah tadi.

Werrr...!

"Aaa...!" Orang itu kontan berteriak dengan mata terbelalak. Kedua tangannya memegangi leher, seakan-akan napasnya tersumbat. Dalam waktu singkat saja tubuhnya ambruk dengan wajah berubah kehitaman. Dia mati secara mengenaskan.

"Coba katakan, siapa yang mau mati seperti itu...?!" desis si Manusia Tengkorak.

"Baik.... Baiklah! Kau menang.... Kami akan menuruti perintahmu...!" kata salah seorang murid dengan suara bergetar.

Kemudian tanpa banyak cakap lagi, para murid Perguruan Pesut Baja mulai menggali dengan peralatan seadanya. Karena mereka memiliki tenaga lumayan dan dikerjakan beramai-ramai, maka tiga kuburan besar telah tergali rapi.

Si Manusia Tengkorak telah menotok Ketua Perguruan Pesut Baja yang memang sudah tak berdaya. Kini tubuh Ki Gembili jadi kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Lalu dengan sekali dorong, tubuh laki-laki berusia lima puluh lima tahun itu jatuh ke dalam lubang besar yang dibuat murid-muridnya sendiri.

"Timbuni dia dengan tanah, cepat! Atau, kalian akan kusiksa seperti dia...!" hardik si Manusia Tengkorak, menunjuk ke arah Ki Gembili.

"Heaaat...!"

Menyaksikan kekejaman si Manusia Tengkorak, Ketua Perguruan Elang Putih yang sudah terluka segera menerjang dengan maksud mengadu jiwa. Pedang tipisnya disabetkan menyilang.

Mendapat serangan, si Manusia Tengkorak tetap tenang saja. Namun begitu serangan dekat, tubuhnya meliuk seperti menggeliat ke kiri dan kanan.

Serangan pedang itu luput dari sasaran. Bersamaan dengan lewatnya serangan Ki Tambak Yoso, tangan si Manusia Tengkorak menyodok iga.

Desss...!

"Aaakh...!" Tak ampun lagi, Ki Tambak Yoso jatuh persis ke dalam lubang, dan bersatu dengan Ketua Perguruan Pesut Baja.

"Cepat timbuni! Atau kubuktikan dulu ancamanku tadi," desis si Manusia Tengkorak, dingin.

Dengan terpaksa, murid-murid dari kedua perguruan itu mulai menimbuni guru mereka. Dalam hati mereka merintih pedih. Tetapi apa daya untuk melawan perintah si Manusia Tengkorak yang berkepandaian amat tinggi.

"Jangan..., jangan lakukan itu.... Kalian benar-benar hendak jadi pengkhianat rupanya...," teriak kedua ketua perguruan ini. Mereka pun rupanya merasa ngeri bila harus mati secara menyedihkan ini. Keduanya lebih suka mati dalam pertempuran daripada harus mati seperti itu. Dalam keadaan yang gawat bagi kedua ketua perguruan itu, mendadak....

"Ha ha ha...! Rasanya dunia ini sangat sempit. Walaupun berada di mana pun, selalu berjumpa denganku...! Memang manusia telengas tidak pantas hidup dalam dunia ini."

Terdengar suara mengejek yang disusul dengan terciumnya bau tuak. Begitu si Manusia Tengkorak menoleh, tak jauh di depannya telah berdiri seorang laki-laki tua berambut putih dengan guci arak di tangan. Ternyata dia adalah si Pemabuk Dari Gunung Kidul yang terkenal suka bertindak ugal-ugalan.

Saat itu juga para murid dari kedua perguruan menghentikan pekerjaannya, menimbuni kedua guru masing-masing.

"Keparat...! Kiranya kau lagi yang mencampuri urusanku! Kali ini kau tidak akan kubiarkan lolos dalam keadaan hidup-hidup," "desis si Manusia Tengkorak dengan geram.

"Aaah...! Yang benar saja? Masa' aku yang sudah setua ini hendak ditamatkan dari dunia ini...?" sahut Ki Demong. Lalu kepalanya menoleh ke arah murid-murid Perguruan Pesut Baja dan Perguruan Elang Putih. "Hei...! Kalian mengapa diam saja macam ayam sakit? Lekas keluarkan guru kalian.... Apa kalian suka guru kalian jadi raja cacing?! Cepat kerjakan! Jangan takut ada aku di sini...!"

Bagai disadarkan para murid kedua perguruan itu beramai-ramai segera mengeluarkan guru mereka dari lubang yang baru sebagian tertimbun. Melihat keadaan itu sambil menggerung gusar si Manusia Tengkorak menerjang.

"Heaaa...!" Namun dengan tak kalah sigap, Ki Demong segera meluruk berusaha memapak.

Dar! Dar!

Benturan dahsyat terdengar berkali-kali. Keduanya tergetar mundur beberapa langkah. Sambil memaki kalang kabut, si Manusia Tengkorak melemparkan beberapa binatang beracun kearah si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Fhruuhhh...!"

Namun dengan sekali sembur, tuak merah Ki Demong berhasil merontokan binatang-binatang berbisa itu.

Set! Set!

"Fruuuhh...!"

Ketika beberapa binatang beracun kembali menyerbu, Ki Demong menyemburkan tuaknya kembali. Kali ini semburannya menimbulkan api yang berkobar-kobar dan langsung membakar hangus binatang beracun itu.

"Ha ha ha...! Lagu lama macam itu tidak perlu dipamerkan di depanku.... Coba cari yang lebih dahsyat dari itu," ejek si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Ciaaat....!"

Begitu kata-kata Ki Demong tuntas, si Manusia Tengkorak kembali meluruk dengan pukulan bertubi-tubi.

Zeb! Zeb! Zeb!

Tetapi dengan langkah tidak beraturan bagaikan orang mabuk, Ki Demong berhasil mengelak-kan serangan. Bahkan dengan serakan memutar, guci tuaknya berkelebat cepat, tak tertahankan lagi. Hingga....

Buuug!

"Aaakh!"

Telak sekali dada si Manusia Tengkorak terhajar guci. Walaupun tidak sampai jatuh, tetapi dari bibirnya menetes darah kental pertanda terluka dalam cukup parah. Menyadari tak bakal menandingi pemabuk itu, dilemparkannya benda sebesar melinjo dari tangannya.

Blusss!

Ki Demong segera loncat mundur begitu benda itu meledak, menimbulkan asap pekat berbau wangi. Pemabuk Dari Gunung Kidul tahu, asap itu mengandung racun jahat.

Mendapat kesempatan baik, si Manusia Tengkorak capat memanfaatkannya dengan melesat pergi. Dalam sekejap mata saja, tubuhnya telah hilang dari pandangan mata.

Setelah yakin lawannya pergi, Ki Demong segera menghampiri kedua ketua perguruan yang mendapat luka untuk diobati.

********************

ENAM

Di langit bulan setengah lingkaran tertutup awan. Malam yang gelap jadi bertambah gelap. Angin bertiup keras membuat udara bertambah dingin. Di dalam pondok kayu di ujung jalan yang mendaki tak begitu jauh dari Bukit Ungaran, si Manusia Tengkorak duduk berhadapan dengan seorang wanita tua berdandan bagai seorang gadis saja. Sikap perempuan tua itu tampak genit. Wajahnya dihiasi pupur dan gincu.

"Kau memang pantas menjadi murid keponakanku.... Kau berhasil membawakan aku sekotak permata yang sangat berharga.... Di samping itu, kau berhasil membawa seorang pemuda tampan untukku...," puji wanita tua genit ini sambil mempermainkan seekor ular berbisa yang berwarna merah keemasan di tangannya.

"Apa pun yang menjadi kesenangan Bibi Guru, akan kubawakan kemari.... Asalkan, kau mau membantuku menghadapi lawan-lawanku yang rata-rata berilmu tinggi...," tukas si Manusia Tengkorak itu.

"Bagus..., bagus...! Kau taruh di mana pemuda itu, Rara Wulan?"

"Di kamar sebelah Bibi...," sahut si Manusia Tengkorak yang ternyata bernama asli Rara Wulan. Jelas, dia adalah seorang wanita.

"Apakah dia telah kau berikan obat 'Api Surga'...?" tanya wanita tua ini penuh gairah.

"Pokoknya, Bibi Guru tinggal masuk saja...," jawab si Manusia Tengkorak sambil membuka topeng berbentuk tengkorak.

"Hik hik hik...! Kalau begitu tunggulah di luar, Rara Wulan. Biar kunikmati dulu pemuda itu...."

Setelah si Manusia Tengkorak keluar, perempuan tua itu segera masuk ke dalam kamar, cepat ditutupnya pintu kayu kamar ini. Perempuan tua ini berbinar-binar melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar sedang duduk di atas balai-balai kayu. Wajah pemuda itu tampan, sehingga membangkitkan gairah perempuan tua ini.

"Siapa namamu, Cah Bagus?" tanya perempuan tua ini, seraya menghampiri.

"Oh...? Aku..., aku.... Wisnupati, Nek," sahut pemuda gagah yang ternyata Wisnupati, putra Ki Waredeng Kepala Desa Karang Sekalor.

"Bagus, bagus. Mendekatlah, Sayang.... Mari kita reguk kenikmatan ini. Hi hi hi...!"

Seperti terkena sihir, Wisnupati mendadak jadi beringasan. Dan tanpa malu-malu lagi, langsung ditubruk dan dipeluknya perempuan tua itu bagaikan sedang menghadapi kekasihnya yang telah lama tidak bertemu.

Suara tawa cekikikan dan napas memburu terdengar jelas sampai di luar pondok. Sementara si Manusia Tengkorak hanya tersenyum-senyum penuh arti. Setelah mengenakan topeng tengkoraknya laigi. Namun mendadak senyumnya lenyap ketika.....

"Heh?!" Si Manusia Tengkorak tersentak begitu tercium bau tuak yang menyebar ke tempat ini. Belum habis rasa terkejutnya....

"Ha ha ha...! Kembali kita bertemu, Iblis Betina.... Di mana saja kau berada, selalu membuat kejahatan. Kali ini, tak akan kubiarkan kau mengacau dunia persilatan lagi."

Si Manusia Tengkorak makin terkejut ketika tahu-tahu berkelebat satu sosok bayangan, dan berhenti dua tombak di depannya. Ternyata yang muncul adalah Pemabuk Dari Gunung Kidul yang selalu membuntuti kepergian si Manusia Tengkorak.

"Keparat...! Kau selalu usil dengan urusanku! Justru kali ini kau akan mati di tempat ini...!" Sehabis berkata demikian, tangan si Manusia Tengkorak menghentak ke depan.

Wesss...!

"Hei...! Dalam waktu sesingkat ini, dia telah berhasil menyembuhkan luka dalamnya? Tentu ada yang telah menolongnya...," gumam Ki Demong dalam hati, seraya melenting ke atas menghindari serangan angin berhawa panas.

Dalam waktu singkat kedua musuh bebuyutan sudah saling serang dengan mengerahkan tenaga penuh. Mereka bertamng dalam tempo cepat dan dahsyat. Lengah sedikit kematian akan menjemput.

"Ciaaat!"

"Haiiit!"

Blar!

Berkali-kali mereka beradu tenaga. Hasilnya selalu sama, karena tenaga dalam mereka tampaknya seimbang. Perkelahian jadi berlangsung seru dan menegangkan. Namun....

"Kreaaakh...!"

Mendadak terdengar sebuah suara menggelegar dari angkasa, yang disusul berkelebatnya satu bayangan besar. Bahkan tak lama, terasa angin keras menerpa dahsyat. Batu kecil dan dedaunan berterbangan terkena putaran angin yang kencang ini. Bahkan yang sedang berkelahi sampai bergetar dengan napas sesak. Sebelum bayangan itu hinggap di tanah, sesosok pemuda tampan meloncat turun dengan gerakan indah sekali.

"Rajawali Putih...! Robohkan pondok itu...!" seru pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.

Tanpa diminta dua kali, sosok bayangan besar yang ternyata seekor burung rajawali berukuran raksasa itu mengepakkan sayapnya. Begitu berada di udara, tubuhnya yang besar meluruk dengan cakar tertuju ke arah pondok. Langsung dicengkeramnya pondok itu, hingga porak poranda.

Sementara di dalam rumah tergeletak dua sosok tubuh. Yang seorang adalah pemuda bertubuh tinggi besar yang tak lain Wisnupati. Sedangkan yang seorang lagi perempuan tua yang memeluki pemuda itu. Tampaknya Wisnupati sudah tidak menyadari keadaannya lagi, hingga mau melayani keinginan perempuan tua yang memang mempunyai kelainan jiwa itu.

Putra Kepala Desa Karang Sekalor itu memang tertawan oleh si Manusia Tengkorak. Waktu itu, dia hendak menyusul Pemabuk Dari Gunung Kidul. Namun sialnya, dia bertemu si Manusia Tengkorak yang berhasil mengalahkannya lewat pertarungan sengit. Setelah berhasil ditotok, Wisnupati dijejali obat 'Api Surga', hingga sampai hilang kesadarannya. Baru kemudian dia dibawa ke hadapan perempuan tua itu untuk disuguhkan.

Menyadari kini berada di tempat terbuka, perempuan tua itu jadi gelagapan. Cepat bagai kilat disambarnya pakaian yang ada di situ guna untuk menutupi tubuhnya yang bugil. Setelah mengenakan pakaian, mata mencorong tajam, mengawasi Rangga dari atas sampai ke bawah.

"Hik hik hik...! Bocah tidak tahu diri.... Kau akan menyesal telah berani berbuat seperti ini pada Bidadari Pelahap Kumbang! Kecuali..."

"Kecuali apa...?!" potong Pendekar Rajawali Sakti.

"Kecuali kau bersedia menggantikan pemuda itu...," sahut perempuan tua yang ternyata berjuluk Bidadari Pelahap Kumbang.

Melihat keadaan Wisnupati, Rangga segera tahu apa yang dimaksud perempuan tua itu. Keadaan putra Kepala Desa Karang Sekalor itu bagaikan boneka hidup yang mudah dikendalikan. Bahkan dengan tidak tahu malu ditubruknya perempuan tua ini.

"Kau mau pergi kemana.... Bidadariku...? Kemarilah.... Sayang...."

Dengan terhuyung-huyung Wisnupati menghampiri Bidadari Pelahap Kumbang dan bermaksud memeluknya.

"Hiaaa...!" Mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat, menyambar tubuh Wisnupati. Dan seketika, ditotoknya urat gerak pemuda itu.

Tuk! Tuk!

Wisnupati mendesah lirih tanpa dapat bergerak lagi. Hanya matanya saja yang melirik ke sana kemari begitu diletakkan Rangga di tanah.

Melihat semua itu tangan Bidadari Pelahap Kumbang jadi bergetar, pertanda mulai berang. "Bangsat! Rupanya kau bosan hidup, Bocah...?!" desis perempuan tua ini.

Sambil berteriak memekakkan telinga, Bidadari Pelahap Kumbang menyerang Rangga dengan ular hidup berwarna merah keemasan. Ular yang dipegang pada ekornya itu ikut mematuk, bahkan menyemburkan racun. Sehingga Rangga seperti menghadapi dua serangan sekaligus.

"Haiiit!"

Zeb! Zeb!

Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghancurkan kepala ular beracun dengan hantaman tangannya. Namun ular hidup itu bergerak terus, sehingga sulit dihancurkan. Bahkan serangan balik yang tidak terduga hampir membuatnya celaka.

"Hup!" Rangga menggulingkan dirinya untuk menghindari patukan ular beracun ini. Begitu bangkit, Bidadari Pelahap Kumbang telah meluruk dengan ular beracun tertuju ke dada.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti cepat mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tubuhnya seketika melenting. Dan begitu meluruk, kakinya berputaran mengancam kepala Bidadari Pelahap Kumbang. Di luar dugaan perempuan tua itu merundukkan tubuhnya dengan tangan memapak kaki Rangga.

Plak!

"Uhh...!" Rangga meringis kesakitan. Kakinya seolah-olah membentur benda keras yang terbuat dari besi. Begitu mendarat Pendekar Rajawali Sakti mengusap-usap kakinya.

Pendekar Rajawali Sakli kini tak mau main-main lagi. Disadari kalau lawannya berkepandaian tinggi. Serangannya harus segera ditingkatkan. Pada saat yang sama, Bidadari Pelahap Kumbang yang ternyata memiliki ilmu tinggi ini kembali meluruk.

"Hiaaat...!" Bagaikan gelombang di lautan, mulut ular di tangan Bidadari Pelahap Kumbang mengikuti ke mana saja tubuhnya bergerak.

Rangga terpaksa mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan tangan kanannya menghentak dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ketika Bidadari Pelahap Kumbang telah melepaskan pukulan jarak jauhnya.

Darrr...!

Dua pukulan keras bertemu. Kali ini Bidadari Pelahap Kumbang terhuyung-huyung dengan tangan terasa ngilu dan panas bukan main. Dari bibirnya menetes darah kental. Jelas, dia telah mendapat luka dalam yang lumayan. Matanya tajam mengawasi Pendekar Rajawali Sakti yang hanya terjajar beberapa langkah.

"Keparat...! Kalau melihat pedangmu jelas kau adalah Pendekar Rajawali Sakti.... Tetapi, jangan menepuk dada dulu, Bocah! Karena, aku masih belum kalah.... Bersiaplah untuk mengadu jiwa...! Hiaaa...!"

Disertai teriakan membahana, Bidadari Pelahap Kumbang melesat dengan kecepatan tinggi. Dan seketika kedua telapak tangannya yang terbuka, menghentak kedepan.

Werrr...!

"Hup!" Rangga melenting ke atas, seraya membuat putaran beberapa kali. Dan inilah yang dikehendaki perempuan tua itu. Tanpa terduga, ular hidup di tangan kanannya dijulurkan ke atas.

Tuk!

"Aaa...!" Rangga terpekik tertahan begitu tangannya terpatuk ular. Begitu mendarat, ditotoknya tangan yang terluka agar darah berhenti mengalir.

Buat Rangga, racun ular seganas apa pun tak mempengaruhi dirinya. Karena, sejak kecil dia telah memakan sejenis jamur di Lembah Bangkai yang mampu membuat tubuhnya kebal racun.

"Ki Demong! Cepat bawa Wisnupati pergi dari tempat ini...! Biar kedua orang itu bagianku," ujar Rangga pada Ki Demong, begitu mendarat.

"Baiklah.... Jaga dirimu baik-baik! Mereka memang orang licik...!" jawab Ki Demong sambil menyambar tubuh Wisnupati yang masih tergeletak di tanah.

"Haiii.... Mau lari ke mana kau, Tua Bangka Busuk...?" teriak si Manusia Tengkorak sambil mengejar Ki Demong yang telah melesat.

Terpaksa laki-laki tua pemabukan itu menghentikan lesatannya. Tubuhnya berbalik, menyemburkan tuak merah.

"Fruuhhh...!"

Si Manusia Tengkorak terpaksa melenting ke belakang kalau tak ingin tersambar tuak merah yang berisi tenaga dalam tinggi ini.

Kesempatan itu digunakan Ki Demong untuk kembali melesat disertai ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Sehingga ketika si Manusia Tengkorak bisa menguasai keadaan, tubuh laki-laki tua pemabukan itu telah lenyap bersama Wisnupati.

Tinggalah si Manusia Tengkorak yang mendengus geram. Berkali-kali kakinya menghentak tanah, melampiaskan kekesalannya, karena buruannya hilang. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti benar-benar mendapat lawan tangguh. Disadari gerakan Bidadari Pelahap Kumbang cepat dan kuat luar biasa.

"Hik hik hik...! Kali ini kau bertemu hari naasmu, Pendekar Rajawali Sakti...," ejek Bidadari Pelahap Kumbang dengan tawa jumawa.

Pendekar Rajawali Sakti hanya menatap dingin dengan perbawa menggetarkan. Dia merasa, saat inilah waktunya untuk menyudahi pertarungan. Maka secepat kilat dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tersampir di punggung.

Sring!

Saat itu juga, sinar biru berkilauan memancar dari batang pedang yang memiliki pamor dahsyat. Bidadari Pelahap Kumbang sampai terpaku memandangi cahaya yang ditimbulkan pedangnya.

"Heaaat...!"

Setelah menekan kegentarannya dengan teriakan keras, Bidadari Pelahap Kumbang meluruk sambil memainkan jurus aneh yang menggunakan ular hidup. Serangannya mengarah ke seluruh tubuh Rangga. Pada saat yang sama, rupanya si Manusia Tengkorak tak ingin bibi gurunya celaka. Maka tubuhnya juga turut meluruk menggempur Pendekar Rajawali Sakti.

"Ciaaat!"

Semakin lama pertarungan jadi semakin sengit. Rangga segera mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Setiap kelebatan pedangnya, langsung menimbulkan hawa aneh yang membuat pikiran lawannya melayang.

"Shat!"

Bidadari Pelahap Kumbang dan si Manusia Tengkorak jadi terdesak. Apalagi jurus Pedang Pemecah Sukma khusus ditujukan pada perempuan tua itu. Akibatnya, Bidadari Pelahap Kumbang jiwanya bagai terpecah-pecah. Semangat bertarungnya kontan kendor.

Secara tiba-tiba, tubuh Rangga melenting ke udara. Begitu menukik turun dilancarkannya jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' disertai sabetan pedang mengarah kepala Bidadari Pelahap Kumbang yang tak sempat menghindar. Dan....

Cras!

"Aaa...!" Kepala Bidadari Pelahap Kumbang yang menjadi Bibi Guru si Manusia Tengkorak kontan menggelinding ketanah tersabet pedang Pendekar Rajawali Sakti. Darah menyembur dari lukanya. Tubuhnya kontan ambruk tak berdaya dan menggelepar-gelepar. Bahkan sebelum tubuh tua itu jatuh, Rangga cepat menyabetkan pedangnya ke arah ular berwarna merah keemasan.

Tas! Tas!

Kontan ular itu terpotong menjadi tiga bagian.

"Heaaa...!" Namun baru saja Rangga hendak mendarat kembali, si Manusia Tengkorak telah menghantamkan pukulan jarak jauh yang cepat bagai Wlat, tanpa mampu dicegah. Hingga....

Desss...!

"Aaakh...!" Pendekar Rajawali Sakti kontan terkapar tak berdaya dengan pedang terlepas dari tangan.

Cepat bagai kilat, si Manusia Tengkorak berkelebat menyambar pedang itu sebelum jatuh ke tanah.

"Dengan pedangmu sendiri, kau akan mati di tanganku, Pendekar Rajawali Sakti...! Heaaat..!"

"Kraaakh...!"

"Heh...?!" Si Manusia Tengkorak menghentikan serangannya dengan hati tercekat ketika tiba-tiba sebuah bayangan besar meluruk dari angkasa. Begitu cepat bayangan itu melesat, tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap tersambar.

Ketika si Manusia Tengkorak mendongak, tampak seekor rajawali raksasa tengah membawa Pendekar Rajawali Sakti dengan cakarnya yang tajam. Hatinya bergidik juga melihat burung raksaa yang baru pertama kali dilihatnya. Baru kemudian, si Manusia Tengkorak menoleh ke arah mayat Bidadari Pelahap Kumbang.

"Bigi Guru...!"

Disertai teriakan keras, Rara Wulan menghambur ke arah mayat bigi gurunya.

"Bibi..., maafkan aku.... Aku tak sempat menyelamatkan nyawamu... Biarlah, akan kubalaskan dendammu dengan pedang ini...!" desis si Manusia Tengkorak dengan airmata mulai bergulir dari sudut-sudut matanya.

TUJUH

"Hoaaagkh!"

Dari mulut Pendekar Rajawali Sakti keluar darah berwarna hitam setelah selesai bersemadi. Hingga darahnya berwarna merah segar. Baru Rangga selesai menyalurkan hawa murninya.

Pendekar Rajawali Sakti memang baru saja menderita luka dalam lumayan, hingga membuatnya pingsan, setelah dibokong oleh si Manusia Tengkorak. Untung saja, Rajawali Putih cepat menolongnya, dan membawanya ke sebuah gua di sekitar Bukit Ungaran.

"Hm.... Pedangku berhasil terampas oleh perempuan keparat itu.... Biarlah, entah bagaimanapun caranya pedang itu pasti akan kembali padaku...," gumam Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti kembali mengingat-ingat pertarungan dengan dua perempuan berhati iblis itu. Dia ingat betul kalau waktu itu terbokong, sehingga pedangnya terlepas. Dan akhirnya Rajawali Putih berhasil menolongnya.

"Hm.... Kepandaian mereka benar-benar hebat, " gumam Rangga. Masih dengan langkah tertatih-tatih, Rangga meninggalkan gua itu untuk mencari makanan, karena mendadak perutnya menjerit-jerit minta diisi.

********************

Pada saat yang sama Ki Demong juga berhasil menyembuhkan Wisnupati. Pemuda tinggi besar itu tidak henti-hentinya menyesali apa yang telah dilakukannya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat menyelamatkannya dari kenistaan yang lebih dalam dan sangat memalukan.

Setelah dirasakan sehat kembali, Wisnupati dan si Pemabuk Dari Gunung Kidul mencari Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berdua yakin, Rangga pasti menuju ke Bukit Ungaran. Maka langkah mereka pun ditujukan ke arah sana.

Masih di sekitar Bukit Ungaran, seorang wanita cantik berpakaian serba hijau berlari cepat. Ilmu meringankan tubuhnya termasuk tingkat tinggi. Di punggungnya tersembul gagang pedang berhulu kepala burung.

Dari arah yang diambilnya, jelas wanita cantik itu menuju ke Bukit Ungaran. Tampaknya dia sengaja menghindari orang-orang persilatan. Maka diambilnya jalan yang jarang dilalui umum.

Tanpa diketahui, dari tempat yang tersembunyi sepasang mata memperhatikan wanita itu dengan seksama. Dari bentuk pakaian dan penampilannya, jelas orang yang tengah bersembunyi itu dari daratan Cina. Pakaiannya serba hijau tua. Usianya sekitar dua puluh enam tahun. Masih tergolong muda.

Di pinggang pemuda itu menggantung sebuah pedang yang diberi ronce-ronce dari benang sutera indah berwara-warni. Pada wajahnya yang cukup tampan, terdapat belas luka yang memanjang. Dagunya tumbuh janggut panjang macam kambing. Tampaknya, dia adalah tokoh persilatan dari Cina.

Ketika wanita cantik yang juga berpakaian serba hijau melintas, cepat bagaikan gerakan kijang pemuda Cina itu berkelebat. Tangannya membentuk cakar dan bergerak ke arah punggung untuk merampas pedang yang dibawa wanita itu.

"Hup...!"

Namun wanita itu juga bukan orang sembarangan. Dengan cepat dia mengegos ke samping, lalu tangannya menyampok cengkeraman yang mengarah ke punggungnya.

Plak!

Benturan keras terjadi. Masing-masing kontan tergetar mundur beberapa langkah. Tetapi, secepat itu pula keduanya memperbaiki keseimbangan masing-masing dengan tatapan tajam.

"Siapakah kau...? Rasanya aku tidak punya urusan dengan orang asing sepertimu...," tegur wanita cantik ini, yang tak lain Rara Wulan.

"He he he...! Namaku Kwe Ceng Kian! Orang di daratan Cina menjuluki aku si Kuda Terbang...," jawab pemuda asing yang terus mengawasi pedang di punggung Rara Wulan. Sebuah pedang pusaka yang berhasil dicuri wanita itu dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Kalau kau tidak ada urusan, aku hendak meneruskan perjalananku kembali," tukas Rara Wulan.

"Kalau mau lewat silakan saja. Tetapi, serahkan dulu pedang yang berada di punggungmu...."

"Keparat..! Jangan harap kau dapat berbuat sesukamu...!" desis wanita ini.

"Ha ha ha...! Buktikan saja, apakah aku tidak dapat berbuat sesuka hatiku...?!" ejek pemuda Cina yang bernama Kwe Ceng Kian.

Sambil berkata tangan pemuda Cina ini kembali mencengkeram ke arah dada Rara Wulan. Namun wanita itu cepat mengelak ke samping. Bahkan seketika melepas serangan dengan dua jari tangan menotok ke arah pergelangan tangan Kwe Ceng Kian.

Pemuda Cina itu tidak mau gegabah dan menganggap remeh. Cepat tangannya ditarik. Tubuhnya bergeser ke samping sambil mengibaskan telapak tangan terbuka.

"Sheaaat!"

"Haet!

Kedua tokoh persilatan yang sama-sama berpakaian serba hijau itu saling serang dengan sengit. Yang satu menghendaki pedang pusaka, yang lain mempertahankan mati-matian. Pada satu kesempatan Rara Wulan melempar sebuah benda sebesar melinjo. Namun, dengan cepat Kwe Ceng Kian melenting ke atas.

Blushhh...!"

Ketika menyentuh tanah, benda sebesar melinjo itu langsung meledak, mengeluarkan asap berbau busuk. Menyadari asap itu mengandung racun yang jahat, Kwe Ceng Kian segera menutup pernapasannya.

"Huaet!"

Set! Set!

Baru saja pemuda Cina itu mendarat di tanah. Kembali meluruk beberapa benda yang bergerak-gerak, melayang ke arahnya. Benda yang ternyata binatang-binatang beracun yang bisanya sangat mematikan itu meluruk cepat. Maka tanpa banyak pikir lagi, Kwe Ceng Kian menghentakkan kedua tangannya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaa!"

Zeb! Zeb! Zeb!

Berkali-kali pukulan jarak jauh Kwe Ceng Kian yang mengeluarkan sinar kehijauan melesat, memapaki binatang-binatang beracun itu. Bahkan begitu mendapat kesempatan, pemuda Cina ini terus mendesak Rara Wulang dengan pukulan jarak jauh pula.

Wanita cantik itu lambat laun merasakan tekanan yang semakin berat. Seketika dikeluarkannya selendang hijau yang melilit pinggangnya. Ketika dikebutkan mengeluarkan bau harum yang menyengat.

Kwe Ceng Kian sadar, seluruh benda yang ada pada wanita itu semuanya mengandung racun. Maka dia tidak berani berlaku sembrono. Maka dicabutnya pedang yang tergantung dipinggangnya. Dengan segera dimainkan jurus-jurus yang menjadi andalannya.

Menghadapi jurus dan gerakan silat yang baru dilihatnya, Rara Wulan agak sibuk menghadapinya. Sementara Kwe Ceng Kian sendiri, cepat mem-pergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang menjadi andalan utamanya, sehingga dijuluki Pendekar Kuda Terbang.

Kali ini seolah-olah tubuh pemuda Cina itu berubah menjadi puluhan. Bahkan pada suatu kesempatan, tangan Kwe Ceng Kian berhasil merampas pedang di punggung. Rara Wulan geram bukan main. Selendangnya cepat disabetkan ke belakang. Pada saat yang sama tangannya juga melemparkan segenggam kelabang dan kalajengking beracun.

Set! Set!

Bletar!

"Aaakh...!" Selendang Rara Wulan yang selama ini dikenal bernama si Manusia Tengkorak tepat mengenai pundak Kwe Ceng Kian.

Kwe Ceng Kian berteriak cukup keras tatkala sabetan selendang mengenai pundaknya. Selagi tubuhnya terjajar seekor kelabang mendarat di lengan dan langsung menyengat. Namun mendadak pemuda Cina itu melenting ke belakang dengan gerakan lincah. Begitu mendarat tangan kirinya langsung dihentakkan.

"Hiih...!"

Wesss...!

Seketika melesat sinar kehijauan dari telapak kiri Kwe Ceng Kian. Rara Wulan terkesiap. Namun dia segera melenting ke belakang, sehingga serangan itu luput. Kesempatan itu segera digunakan Kwe Ceng Kian untuk berbalik dan melarikan diri. Tepat ketika wanita itu mendarat pemuda Cina itu telah lenyap bagai di telan bumi.

"Keparat...! Pedang milik Pendekar Rajawali Sakti yang kucuri telah terampas pula dari tanganku...!" dengus wanita cantik berpakaian hijau itu.

Kendati membawa kekesalan, Rara Wulan segera meneruskan langkahnya ke arah Bukit Ungaran.

********************

Semakin lama, orang yang datang ke Bukit Ungaran semakin banyak juga. Bahkan sudah ada yang mendirikan kemah-kemah kecil di pinggiran Telaga Warna yang terletak dl sebelah Bukit Ungaran. Penghuni Pesanggrahan Telaga Warna bukannya tidak tahu kalau tempat mereka telah dikurung puluhan orang persilatan. Tetapi, mereka tetap tenang. Seolah-olah, puluhan orang itu tidak dianggap sama sekali. Walau sebenarnya kewaspadaannya tak pernah ditinggalkan.

Malam hari di sekitar Bukit Ungaran tampak pemandangan indah. Dari tiap kemah, obor berkelap-kelip bagaikan kunang-kuriang. Seperti pada malam itu, angin bertiup kencang. Lolongan serigala dikejauhan dan bunyi serangga malam membuat maraknya suasana malam. Dalam ke sunyian itu lima sosok tubuh mengendap-endap menembus kegelapan malam dipinggir Telaga Warna.

"Malam ini, adalah saat yang paling tepat untuk bertindak. Suasana buruk dan keadaan saat ini memungkinkan kita untuk bergerak menuju ke tengah telaga...," kata salah satu sosok.

"Benar, Kakang Rumongso. Pada saat dan waktu begini, mereka masih tertidur lelap dibuai mimpi...," dukung sosok lain.

"Bukan aku mengecilkan semangat kita berlima. Walau bagaimana, mereka semua adalah tokoh-tokoh persilatan...," sela yang lain perlahan.

"Apa maksudmu, Jalatunda...?" potong laki-laki yang dipanggil Rumongso sambil mengerutkan kening.

"Maksudku, dalam setiap langkah, kita harus hati-hati dan jangan bertindak sembarangan. Yang paling penting, jangan merasa paling kuat dan hebat. Sebab, merasa paling pintar sendiri akan menjadi senjata makan tuan bagi kita...," jelas laki-laki yang dipanggil Jalatunda.

"Kau benar, Jalatunda...."

"Sudahlah.... Ini sudah lewat tengah malam.... Apakah sampannya dapat dibawa sekarang...?" tanya yang lain.

"Ayolah kita bawa sampan itu dan masukkan ke telaga.... Perlahan-lahan sajalah. Jangan sampai membuat mereka curiga. Sementara yang lain mengawasi sekeliling tempat ini...!" perintah Rumongso.

Dengan berjingkat-jingkat tiga orang membawa sebuah sampan, dan memasukkannya ke dalam. Tak lama dalam kegelapan malam sebuah sampan sudah melaju di telaga yang jernih dan berair tenang itu. Dengan hati-hati, kelima sosok itu terus mengayuh sampan menuju ke tengah Telaga Warna. Disanalah Pesanggrahan Telaga Warna berada.

********************

DELAPAN

Sampan terus meluncur semakin ke tengah. Namun tanpa disadari dari dalam telaga bergulung-gulung riak kecil keluar, menghampiri sampan yang dinaiki kelima orang itu. Ketika dekat riak-riak air bersatu dengan yang lain, membuat air telaga seakan-akan ikut bergelombang.

Beberapa saat kemudian riak-riak kecil bersatu, dan seolah-olah membentuk sebuah pulau berwarna merah darah. Bahkan kumpulan riak itu tampaknya seperti mengandung minyak, karena berkilat-kilat bila terkena cahaya terang. Dan tampaknya seperti hidup!

"Hei...! Apa itu...?" tanya Rumongso heran ketika memandang ke permukaan telaga.

"Entahlah.... Seperti sisa minyak yang dibuang ke telaga ini.... Tetapi, warnanya sangat menyeramkan...," sahut Jalatunda.

"Iya.... Air yang berwarna merah itu sepertinya bernyawa, dan sedang memperhatikan kita semua...," timpal yang lain.

"Ah.... Jangan berkata yang tidak-tidak, Ceger!" sergah Rumongso.

"Aku tidak main-main! Lihatlah air yang berwarna merah itu bergerak terus mengelilingi sampan kita...," seru laki-laki yang dipanggil Ceger dengan wajah agak pucat.

"Iya.... Aku juga melihat keanehan ini...."

Prasss!

Baru saja selesai orang itu berkata, tiba-tiba gelombang besar datang menerjang perahu kecil itu hinggga terguncang cukup keras. Lima penumpangnya sampai berpegangan pada pinggiran sampan, agar tidak terbalik.

"Ih...! Dari mana datangnya gelombang tadi...?" tanya Rumongso kembali. Kali ini dia merasakan adanya keganjilan di telaga ini.

"Ini benar-benar gila! Tak mungkin air dalam telaga bisa bergelombang sendiri...," potong yang laki-laki lain sambil memperhatikan air telaga. Dia dikenal bernama Barep.

"Kalau begitu, ayo cepat kita dayung agar cepat sampai ke tepian!" perintah Rumongso seraya mendahului mendayung.

Tetapi, baru saja sampan bergerak agak cepat...

Pyarrr...!

"Ohh...!"

Sebuah gelombang kecil telah melontarkan percikan air ke dalam sampan, dan tepat mengenai kaki salah seorang. Anehnya, air dari telaga itu semakin banyak yang naik, dan masuk ke dalam sampan.

Semua penumpang sampan hanya terkesima dengan mata terbeliak. Tak seorang pun yang bertindak, seakan-akan gerakan mereka bagai ter-kunci. Bahkan orang yang ditempeli air telaga seperti tak mampu berbuat apa-apa.

Bagaikan hidup, air yang berwarna merah itu terus menempel dan melibat kaki orang tadi yang masih terkesima. Baunya amis dan kental sekali. Anehnya bagaikan nyawa, air itu terus melibat kaki orang yang ditempeli. Bahkan menyedot serta menarik tubuhnya ke dalam telaga.

"Wuaaakh...!"

Byuuurrr...!

Tanpa dapat ditahan lagi, orang itu jatuh ke dalam air dan terseret masuk ke dalam telaga yang tampak bergolak hebat seperti sedang terjadi perkelahian di dalamnya. Sesaat kemudian, kepala orang yang tercebur tampak menyembul. Namun, keadaan benar-benar menyeramkan! Wajahnya tampak pucat dan penuh darah, seolah-olah tersedot air yang kental tadi.

Blup!

Kembali orang yang tampaknya telah tewas itu terseret ke dalam air. Dan kali ini, dia tak muncul lagi. Hanya riak dari dalam telaga itu saja yang bertambah besar. Kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Yang lain tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolongnya dari kematian.

"Keparat...! Pertanda apa pula ini...?!" desis Rumongso.

"Sepertinya dalam telaga yang tenang ini ada sesuatu yang menakutkan. Dan maut tengah mengancam kita semua...," gumam Ceger dengan jantung berdetak keras.

"Shet...! Diamlah, lihat itu...! Air kental yang berwarna merah sedang menuju kemari lagi...!" teriak Barep gugup.

Weeerst...!

Cepyaaarrr...!

"Aaa...!"

Kembali air telaga masuk ke dalam sampan. Dan kali ini Barep dan Ceger yang terseret masuk ke dalam air. Mereka kontan berteriak-teriak dan menggelepar bagai ayam disembelih, kemudian terseret ke dalam telaga. Begitu kedua orang itu timbul lagi yang tersisa hanya tulang-belulang saja. Lalu, tulang-belulang itu tenggelam kembali.

"Gila...! Ini tidak masuk akal! Kini kita tinggal berdua. Apakah kita juga harus mati di sini, Jalatunda?! Sia-sia saja kita datang kemari!" desis Rumongso.

"Kakang Rumongso! Apa yang harus kita lakukan sekarang...?" tanya Jalatunda.

"Kepalang basah! Kita mandi saja sekalian...!" ujar Rumongso.

Dengan cepat keduanya mendayung sampan menuju tepian. Tetapi, kembali air berwarna merah dan kental itu bergerak mengelilingi sampan. Karena marahnya, Rumongso memukul air dengan pendayung yang ada di tangannya.

Plarrr!

"Waaa...!"

Bagai memukul karet yang kenyal dan lengket pendayung itu tidak dapat ditarik kembali. Bahkan secara tiba-tiba, air itu menarik Rumongso.

"Hup!"

Tap!'

Dengan cepat Jalatunda menyambar tangan Rumongso. Dia berusaha mempertahankan, agar kawannya tidak terseret ke dalam air yang menakutkan itu.

"Aaa...!"

"Wuaaa...!"

Tetapi, lebih celaka lagi. Mereka bagaikan tersentak deh tenaga raksasa, jatuh ke dalam air....

Byurrr...!

"Tolong...! Aku tidak mau mati seperti ini.... Tolooong...!" teriak Rumongso setinggi langit.

Tetapi, teriakan laki-laki itu tidak ada gunanya sama sekali. Mereka tenggelam dan menggelepar-gelepar dalam air yang menarik sampai ke dasar. Ketika muncul kembali, mereka tinggal tulang-belulang saja, dan tenggelam kembali untuk selamanya.

Kini hanya tinggal sampan yang terguncang ke sana kemari, karena para penumpangnya mengalami nasib naas di Telaga Warna. Anehnya, sampan itu terhempas kembali ke tepian sana.

Karena mendengar teriakan-teriakan keras tadi, orang-orang yang berada di tepi telaga jadi terbangun. Mereka keluar sambil membawa obor untuk melihat apa yang tengah terjadi. Sehingga dalam waktu singkat saja, tempat itu telah terang-benderang bagaikan siang hari.

Betapa terkejutnya mereka ketika melihat sebuah sampan kosong yang dipenuhi cipratan darah terdampar di pinggir telaga. Tetapi, tidak terlihat seorang korban pun dalam sampan.

Dalam keramaian orang itu tampak Pendekar Rajawali Sakti sedang memandang ke tengah telaga. Dia sendiri merasa heran atas kejadian ini.

********************

Waktu terus berlalu. Sang Mentari mulai menunaikan tugasnya. Suara burung di atas dahan menimbulkan suasana yang damai dan indah di bumi persada. Suara kokok ayam jantan saling bersahutan.

Tetapi semua itu tidak ada artinya bagi kaum persilatan yang berada di tepi Telaga Warna. Mereka tengah diliputi keheranan dan tanda tanya, apa yang terjadi di tengah telaga tadi malam? Dan siapa yang berteriak-teriak sehingga mengejutkan semua orang yang berada di tepian ini?

"Ada apa, ya...?" tanya seseorang dengan wajah kebingungan.

"Entahlah.... Mungkin mereka telah melihat setan...," jawab seorang secara seenaknya.

"Sialan...! Kalau bicara pikir dulu! Jangan asal buka mulut saja.... Kutampar tahu rasa kau...!"

"Jangan galak-galak, ah...!"

Didasari rasa penasaran, dua orang tokoh persilatan menaiki sampan itu dan mendayungnya ke tengah telaga. Gerakan mereka sangat cepat dan terlatih pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Yang lain tidak sempat mencegah. Bahkan ada pula yang menyusul dengan perahu.

Maka ramailah Telaga Warna yang berada di sebelah Bukit Ungaran itu. Tampak beberapa perahu meluncur seperti menantang dan yang terdepan terlihat sebuah sampan meluncur dengan kecepatan kilat.

Mereka semua mempunyai tujuan sama, yaitu ingin mencapai tepian di seberang sana, dan menguasai Pesanggrahan Telaga Warna. Yang mereka ketahui, di depan pesanggrahan itulah terdapat bunga langka yang saat ini tengah diperebutkan banyak orang persilatan.

"Kakang Kalingga! Lihat di belakang kita banyak yang menyusul dengan perahu...!" ujar orang yang berada dalam sampan terdepan.

"Biarkan saja, Kalpitu. Mereka tidak mungkin dapat menandingi kita dalam bermain-main di air...!" jawab laki-laki bernama Kalingga.

Baru saja selesai ucapan Kalingga, dari dasar telaga tampak air beriak dan bergolak. Air itu berwarna merah dan tampak seperti berminyak dalam pantulan sinar matahari pagi. Air kental itu terus berputar-putar, mengitari sampan yang dinaiki Kalingga dan Kalpitu.

"Lihat, Kang Kalingga. Apa itu...?" tanya Kalpitu.

"Tak tahulah. Mungkin kotoran telaga yang naik ke atas...," jawab Kalingga secara seenaknya saja.

Kalpitu tidak bertanya lagi. Dia hanya terus mendayung sekuatnya saja.

Pyarrr...!

Mendadak datang gelombang besar. Airnya sempat memasuki sampan. Bahkan sampai mengenai kaki kedua tokoh persilatan itu. Namun Kalingga dan Kalpitu tenang saja.

"Heh?!" Barulah mereka terkejut ketika air itu menyedot darah, dan menarik keduanya untuk masuk ke dalam telaga.

"Wuaaa...! Apa ini...?!" tanya Kalingga.

"Tidak tahu...! Tetapi..., air ini seperti lintah...! Dia..., dia telah menyedot darahku kuat sekali...!" teriak Kalpitu tergagap.

"Aaakh...!"

Byurrr! Byurrr...!

Kedua orang itu meronta-ronta dalam usaha menahan tarikan air. Namun tetap saja mereka tidak kuasa menahan tarikan. Darah mereka tersedot habis, lalu tercebur ke dalam telaga maut yang penuh teka-teki itu. Yang tersisa hanyalah teriakan menggema sampai ketepian telaga.

"Apa yang telah terjadi dengan mereka berdua, Kendil?" tanya tokoh persilatan yang tengah menyusul sampan yang ditumpangi Kalingga dan Kalpitu.

"Tampaknya mereka berdua terjun ke dalamtelaga, Karpu. Tetapi mereka malah berteriak seperti ada sesuatu yang menyerangnya...," sahut laki-laki bernama Kendil.

"Mungkin mereka yang berada dalam Pesanggrahan Telaga Warna telah waspada akan keadaan di sini. Dan mereka mulai mengadakan penyerangan pada setiap orang yang berusaha mendekati tempat mereka...," jawab seorang lagi, menduga-duga.

Percakapan mereka jadi terhenti. Karena, mereka merasa perahu yang dinaiki berguncang keras. Kedelapan orang penumpang, segera melongok ke dalam air. Tetapi, di sana tidak tampak sesuatu apa pun. Hanya gumpalan air kental berwarna merah darah, tampak berputar-putar mengelilingi perahu yang dinaiki. Secara iseng, seseorang memegang air yang bergerak-gerak. Tetapi, di situlah letak kesalahannya. Karena....

"Heh?!" Orang itu merasa tangannya yang menyentuh air bagaikan ditarik sesuatu yang kuat luar biasa. Tubuhnya kontan miring ke telaga. Dia akan tercebur kalau tidak dipegang teman-temannya.

"Ih...! Setan apa pula ini...?" tanya salah seorang sambil mempertahankan orang yang hendak tercebur ke telaga.

Tarik menarik segera terjadi. Tangan orang itu terdengar berkerotokan, pertanda tulang-belulangnya patah.

"Aaa...!" Jeritan panjang terdengar. Perahu yang mereka naiki tampak miring. Dan tanpa dapat dicegah lagi, mereka terguling masuk telaga yang berkilat-kilat tersaput pantulan sinar matahari.

"Wuaaakh...!"

"Aaakh...!"

Byurr...!

Bersamaan tergulingnya perahu itu, mereka berteriak secara serentak. Air telaga bagaikan mengamuk, bergulung-gulung menarik mereka semua ke dasar. Tidak lama, mereka semua timbul dalam keadaan mati dan tinggal tulang-belulangnya saja, Sesaat kemudian, mereka tenggelam lagi untuk selama-lamanya.

Perahu lain yang berada tepat di belakang perahu naas itu segera berhenti. Karena para penumpangnya menghentikan kayuhannya. Mereka terkejut melihat kejadian di depan. Lalu, dengan cepat mereka memutar kembali perahunya, dan berusaha kembali ke tempat semula.

"Balik...! Ada sesuatu yang tidak beres di depan kita...!"

Baru saja mendayung beberapa kali, mereka tersentak. Entah bagaimana perahu mereka berhenti secara mendadak, seolah-olah terhalang sesuatu benda lunak, dan menarik kembali ke belakang. Ketika diteliti, ternyata tangan salah seorang secara tidak sengaja telah menyentuh air kental yang berwarna merah darah!

"Aaa...!"

"Kau kena apa...?!"

"Aduuuh.... Tanganku, tolooong...! Cepat lepaskan tanganku ini!" teriak orang itu dengan wajah pucat pasi.

Mereka berusaha menolong dengan menarik orang itu. Tapi satu sentakan kuat kembali mengejutkan mereka. Dan....

"Aaa...!

Byuurrr...!

Jeritan demi jeritan yang terdengar sangat memelas dan menggiriskan. Tetapi tidak ada yang dapat menolong mereka, karena tidak ada yang tahu makhluk atau benda apa yang telah menyebabkan mereka semua binasa secara mengerikan.

Bahkan lebih mengenaskan lagi, tidak ada seorang pun yang dapat lolos dan keluar hidup-hidup dari telaga itu. Mereka semua mati tanpa liang kubur. Yang tertinggal hanyalah perahu yang terdampar balik di tepi telaga tempat mereka berangkat.

Saat ini tidak ada seorang pun yang berani menyeberang lagi. Mereka semua merasa heran. Otak mereka dipenuhi tanda tanya. Mungkinkah itu sebuah jebakan yang sengaja dipasang orang-orang dari Pesanggrahan Telaga Wama?

Kalau benar demikian, berarti mereka benar-benar hebat dan perlu diperhitungkan masak-masak! Rangga yang terkenal cerdik, belum dapat memecahkan teka-teki yang terjadi di telaga itu.

"Bagaimana ini, Kakang Samba...? Mereka tampaknya mulai tidak sabar dan mulai berusaha menyeberang kemari...," ujar seorang perempuan tua yang masih kelihatan cantik di depan Pesanggrahan Telaga Warna.

"Biarkan saja.... Saat ini air penghisap darah dari telaga sedang bangun, dan pasti melahap apa saja yang mengandung darah.... Air itu tidak peduli, siapa saja yang berada di atas telaga. Apalagi bila tangannya menyentuh air. Tentu mereka akan ditariknya masuk dan disedot sampai mati...," jawab laki-laki tua berkumis dan berjenggot putih semua. Dialah Samba yang berjuluk Lutung Pancasona. Sedangkan perempuan di sebelahnya adalah Rukmini yang berjuluk Bidadari Tongkat Hijau.

Pada punggung Lutung Pancasona tersembul sepasang pedang yang dihiasi indah. Sedangkan Rukmini tampak memegang sebatang tongkat berwarna hijau. Di situ, ada lagi tiga dara cantik yang menjadi anak sepasang tokoh persilatan ini.

"Kakang Samba.... Apakah air telaga benar-benar dapat dijadikan pelindung bagi kita...?" tanya Rukmini.

"Tenang sajalah, Istriku. Selama tiga pekan lagi, apa saja yang mengandung darah bila berani masuk telaga pasti akan jadi korban. Tidak peduli mereka berada dalam perahu atau rakit. Kau sendiri sudah tahu, akan hal itu, bukan...? Aku sendiri yang sudah hidup di sini sejak lahir, baru sekali melihat keganasan air telaga itu. Termasuk kau sendiri, bukan...?"

"Iya, Kang! Itu pulalah sebabnya kita aman tinggal di sini sampai ratusan tahun dan turun-temurun. Karena, hanya kitalah yang tahu kapan dan bagaimana telaga itu mengamuk serta tenang kembali. Padahal, kita sendiri bila salah hitung dan masuk ke telaga pada saat mengamuk, tentu tidak luput pula dari kematian secara mengenaskan seperti mereka...," desah Rukmini perlaan.

"Kau benar, Istriku! Selama tiga pekan ini, kita masih aman dan dapat berlega hati.... Kecuali, tiga pekan yang berikutnya, saat itu air telaga sedang tidur dan biasa kembali... Kita harus berjaga-jaga dan waspada pada saat itu. Aku sendiri tidak tahu, apa yang akan terjadi...?"

Rukmini dan ketiga anaknya mengangguk tanda mengerti. Untuk sementara, mereka benar-benar aman. Karena keadaan alam turut membantu. Padahal mereka sendiri tidak tahu, mengapa air telaga itu sewaktu-waktu dapat mengamuk dan meminta korban manusia? Mereka sendiri tahu semua itu dari kakek dan nenek mereka secara turun-temurun.

Di tepian telaga sebelah sana, para tokoh persilatan tidak ada lagi yang turun ke telaga. Mereka hanya memperhatikan dengan benak penuh tanda-tanya, tentang teka-teki yang terjadi di Telaga Warna.

Ada apa sebenarnya di Telaga Warna? Apa yang akan diperbuat penghuni Pesanggrahan Telaga Warna bila para tokoh persilatan berhasil sampai ke tempat itu? Bagaimana sepak terjang si Manusia Tengkorak selanjutnya? Apakah Pendekar Rajawali Sakti berhasil menuntaskan persoalan yang terjadi di dunia persilatan sekarang ini? Apalagi Pedang Pusaka Rajawali Sakti tidak berada di tangannya...? Masih banyak teka-teki yang belum terjawab.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: PESANGGRAHAN TELAGA WARNA