Teror Manusia Bangkai - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Teror Manusia Bangkai

TEROR MANUSIA BANGKAI

SATU
SATU sosok bayangan melesat cepat, bagai tiupan angjn topan. Tubuhnya berkelebat di tengah-tengah Hutan Prewangan yang terkenal sangat luas dan angker. Hanya dalam waktu singkat, dia telah keluar dari hutan itu. Kemudian perjalanannya terus dilanjutkan ke arah utara.

Tidak sampai sepemakan sirih, sosok ber-pakaian serba coklat ini tiba di pinggir sebuah lembah. Matanya yang berkilatan memandang ketengah-tengah lembah bertebing sangat curam itu.

"Hm.... Seharusnya dia ada di batu-batu itu. Di sanalah aku mengikat dan mementang tubuhnya di tengah-tengah terik matahari! Sebaiknya, aku periksa dulu!" gumam sosok berbaju coklat berkepala gundul. Pada pinggangnya tersampir sebilah golok besar.

Di lain saat, laki-iaki itu telah bergerak lagi Tubuhnya melesat laksana kilat. Tebing curam yang cukup tinggi dilompatinya begitu saja. Dari sini bisa dilihat kalau ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf tinggi.

Begitu sampai di dasar lembah, laki-laki bersenjata golok besar ini terkejut bukan main. Apa yang harus diawasinya dalam waktu sebulan sekali, sekarang telah lenyap. Ada empat rantai baja yang digunakan untuk membelenggu tangan dan kaki. Tapi benda itu seperti meleleh. Lebih mengherankan lagi, pohon-pohon yang terdapat di lembah itu bertumbangan seperti bekas diporak-porandakan badai topan.

"Batu Kumbara adalah manusia yang sudah hampir mampus akibat perbuatannya sendiri. Tapi mengapa sekarang dapat hilang begitu saja? Atau..., mungkinkah ada orang lain yang telah memuruskan rantai-rantai yang membelenggu tubuhnya?" kata laki-laki itu dalam hati.

Kemudian laki-laki berbaju serba coklat ini mengedarkan pandangan ke sekeliling lembah. Rasa keheranan dihatinya semakin menjadi-jadi, ketika melihat batu-batu besar di sebelah kirinya, juga dalam keadaan hancur berkeping-keping.

"Gila! Benar-benar gila...! Bagaimana mungkin batu yang sedemikian besar dapat hancur begitu saja? Pasti ada yang tidak beres telah terjadi di sini? Batu Kumbara tidak mungkin dapat meloloskan diri setelah bertahun-tahun mendapat hukuman sedemikian rupa di tempat ini...."

Belum selesai ucapannya. Tiba-tiba saja wajah laki-laki itu berubah ketika melihat kilatan cahaya yang datang dari sebelah kiri. Dan mendadak saja, ada perasaan tidak enak menyelinap ke dalam hatinya. Namun di samping rasa herannya, rupanya hatinya juga menjadi sangat penasaran. Maka segera didekatinya tempat di mana cahaya tadi berasal.

Sampai di tempat, kilatan cahaya yang terlihat tadi sekarang lenyap begitu saja. Sebagai gantinya, matanya melihat saru pemandangan lain. Di atas batu cadas, tampak beberapa baris tulisan yang tampaknya dirulis dengan goresan ujung kuku. Dapat dibayangkan, betapa tingginya tenaga dalam yang dimilikinya. Tulisan diatas batu itu berbunyi:

Batu Umbaro bukan batu. Sekujur tubuhnya telah dirusak dan disiksa selama bertahun-tahun di panas matahari. Sampai-sampai tidak seekor laat pun berani mendekat, karena baunya yang sangat busuk! Tapi siapa sangka kalau Makhluk Kegelapan dengan sinar matanya yang menghanguskan mau bersahabat? Bahkan bersedia menurunkan semua ilmu kesaktian yang dimilikinya. Sekarang hari pembalasan sudah tiba. Celakalah bagi orang yang pernah menghukuumnya....!

Selesai membaca tulisan itu, laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun ini melangkah mundur. Dari sekujur tubuhnya keluar keringat dingin. Wajahnya yang hampir tertutup bulu-bulu halus, berubah pucat seputih kapas.

"Gila! Siapa kira bajingan dari Blambangan sekarang telah mampu menghancurkan rantai baja dan membebaskan diri! Aku harus memberi kabar pada guru secepatnya. Terlambat sedikit saja...!" dengus laki-laki setengah baya itu. Belum selesai kata-kata laki-laki berbaju coklat itu, tiba-tiba....

"Ha ha ha...!" Mendadak terdengar suara tawa tergelak-gelak disertai suara menderu angin kencang bergulung-gulung ke arah laki-laki itu. Seketika hatinya tercekat begitu tercium bau busuk. Langkahnya tersurut dengan sekujur tubuh terasa menggigil. Secepatnya dikerahkan tenaga dalam untuk mengusir hawa dingin membekukan yang tiba-tiba menyerangnya.

"Hm.... Bau busuk ini pastilah berasal dari manusia itu! Tidak mungkin ada bangkai di sekitar sini..." kata laki-laki setengah baya itu dalam hati.

"Ha ha ha...! Bebaslah aku sebebas-bebasnya! Semua orang-orang akan celaka, karena dulu pernah menyakiti aku! Termasuk, manusia yang bernama Sapta Renggi...!"

"Eeeh...! Dia menyebut namaku! Berarti, dia juga menghendaki kematianku!" ujar laki-laki yang ternyata bernama Sapta Renggi.

Sapta Renggi belum dapat berbuat apa-apa ketika melihat satu bayangan berkelebat cepat ke arahnya. Dan tahu-tahu, matanya telah melihat seorang laki-laki berwajah angker telah berdiri didepannya. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka-luka membusuk.

Laki-laki itu berbadan tinggi besar. Rambutnya yang acak-acakan dan menebarkan bau busuk, tampak tegak berdiri. Sementara matanya yang berkilat-kilat aneh, terus memperhatikan Sapta Renggi tanpa pernah berkedip.

"Batu Kumbara...! Kau harus kembali menjalani hukuman! Manusia durjana sepertimu tidak layak berkeliaran di dunia ramai," tegas Sapta Renggi, berwibawa.

"Hm. Apakah hanya manusia seperti kalian saja yang pantas hidup di dunia ini? Tidakkah kau rasakan, betapa pedihnya penderitaanku selama disiksa di tempat ini?" balas laki-laki tinggi besar berwajah angker yang bernama Batu Kumbara.

"Apa yang kau jalani sudah sepantasnya diterima. Karena kejahatanmu telah melampaui batas!" dengus Sapta Renggi.

"Ha ha ha...! Begitukah? Tiga tahun bukan masa yang singkat untuk menerima penghinaan yang sangat menyakitkan! Sepantasnya jika sekarang aku harus mengambil nyawamu!" kata Batu Kumbara, dingin menggetarkan.

Laki-laki berwajah angker itu kemudian menggeram. Suaranya keras menggetarkan jantung Sapta Renggi. Sekejap saja kedua tangannya telah bergerak-gerak secara aneh. Sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam, kini telah benabah merah laksana bara. Kini mata Batu Kumbara benar-benar telah berubah menjadi sepasang mata iblis yang sangat mengerikan!

"Bersiap-siaplah kau untuk mampus!" teriak Batu Kumbara dengan suara melengking dahsyat.

Sapta Renggi terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat mata Batu Kumbara telah berubah seperti mata iblis. Maka langsung golok besar yang terselip di pinggangnya dicabut. Senjata berwarna putih mengkilat karena ketajamannya, langsung diputar secepat kilat. Bisa diduga kalau Sapta Renggi sedang mengerahkan jurus golok 'Menghalau Bayangan Iblis'.

Bukan main hebatnya jurus yang satu ini. Karena begitu golok diputar, maka menderulah angin kencang disertai menebarnya hawa dingin ke empat penjuru arah. Tapi anehnya, Batu Kumbara hanya tertawa ganda.

"Bawalah golokmu ke neraka! Barangkali dapat kau pergunakan di sana...!" dengus Batu Kumbara.

Laki-laki yang sekujur tubuhnya dalam keadaan rusak dan menebar bau busuk bangkai ini mengedipkan matanya. Maka seketika dua leret sinar langsung melesat kearah Sapta Renggi. Sinar merah menghanguskan ini cepat melabrak ke arah Sapta Renggi berada.

Laki-laki berbaju coklat ini terkesiap. Namun dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, Sapta Renggi langsung melompat ke samping kiri sejauh tiga batang tombak. Hasilnya, serangan yang dilakukan Batu Kumbara luput. Sementara sinar merah menghanguskan itu terus melesat menghantam batu sebesar kerbau yang berada tidak jauh di belakang Sapta Renggi.

Blarrr! Batu itu kontan hancur berkeping-keping, mengobarkan api di mana-mana.

"Gila...!" desis Sapta Renggi. Bulu tengkuk laki-laki itu meremang berdiri. Dengan cepat golok besar ditangannya kembali diputar.

Sementara sambil terus tertawa-tawa seperti iblis, Batu Kumbara kembali mengedipkan matanya. Maka seketika seleret sinar melesat ke arah Sapta Renggi kembali. Begitu cepatnya lesatan sinar itu, sehingga Sapta Renggi tak mampu menghindarinya. Dan...

Glarrr...!

"Aaa...!" Sapta Renggi terjungkal ke tanah disertai jeritan sehnggi langit pada saat tubuhnya terhantam sinar yang dilepaskan Batu Kumbara. Golok di tangannya meleleh. Sedangkan tubuhnya yang dalam keadaan hangus berkelojotan ditanah tanpa mampu bangkit kembali.

"Ha ha ha...! Satu korban telah jatuh! Seperti inilah nasib yang harus diterima seluruh padepokan yang dulu secara beramai-ramai menghukumku di lembah celaka ini!" teriak Batu Kumbara sambil terus tertawa-tawa seperti orang gila

Mata Batu Kumbara yang telah kembali berubah kewarna aslinya, memandangi tubuh korbannya yang sudah tidak bernyawa lagi. Ada sedikit rasa puas terpancar lewat tatapan matanya.

"Aku harus meninggalkan tempat ini! Aku harus membuat perhitungan pada mereka!" desis Batu Kumbara tajam.

********************

Padepokan Merak Emas terletak di lereng Gunung Dieng. Padepokan ini dipimpin seorang gadis cantik bernama Dewi Palasari. Seluruh murid Padepokan Merak Emas terdiri dari gadis-gadis berusia muda. Pada masa ini, padepokan itu termasuk padepokan besar yang sangat disegani banyak padepokan silat yang bertebaran ditanah Jawa ini. Tidak heran, karena padepokan ini memiliki pamor yang tinggi dalam hal jurus ilmu pedangnya.

Malam itu, suasana di halaman depan padepokan sangat sepi. Hanya terlihat beberapa orang murid Padepokan Merak Emas tampak yang berjaga-jaga di depan gardu. Sementara itu, di dalam ruangan terlihat ketua padepokan sedang berhadapan dengan murid tertua yang bernama Seruni. Agak lama mereka saling diam. Dewi Palasari sendiri menundukkan kepala dengan mata terpejam.

Tidak lama kemudian, wajah cantik Dewi Palasari yang tertunduk itu terangkat. Maka, tampaklah wajahnya yang cantik dengan tahi lalat di dagu. Perempuan yang di bagian kepalanya memakai ikat kepala warna kuning bergambar merak emas di tengah-tengah, memandang lama pada gadis berbaju sutera kuning yang duduk bersimpuh di depannya.

"Murid seperti biasa datang menghadap. Guru...!" lapor Seruni, gadis berbadan ramping yang memiliki wajah tidak kalah cantik ini dibanding gurunya.

"Bagaimana keadaan saudara seperguruanmu yang lain?" tanya Ketua Padepokan Merak Emas ini, bijaksana.

"Mereka dalam keadaan baik-baik dan selalu bersiap siaga," sahut Seruni sambil menunduk.

"Hm, bagus. Memang dalam keadaan menje-lang pemilihan Pimpinan Partai Aliran Putih ini, kita harus meningkatkan kewaspadaan. Bukan hal yang baru jika dalam suasana hangat seperti ini, sering terjadi kericuhan maupun kekejian yang dilakukan golongan lain, maupun kalangan sendiri!"

"Bukankah pemilihan pimpinan partai masih satu purnama lagi, Guru. Menurut pengamatanku, keadaan di mana-mana aman-aman saja. Padepokan Naga Merah sebagai pimpinan lama, juga tampaknya seperti tidak merisaukan masalah pergantian partai ini. Dan....!" Seruni menghentikan ucapannya ketika Dewi Palasari memberi isyarat.

"Bagaimana kau bisa tahu, Seruni?" tanya Dewi Palasari.

Paras Seruni berubah memerah. Gadis itu terdiam agak lama dengan perasaan serba salah.

"Katakan saja! Mengapa harus malu-malu?" desak Dewi Palasari.

"Anu, Guru... Ah, malu rasanya aku menga-takannya pada Guru...!" desah Seruni, tersipu.

"Apakah kau mendengar semua itu dari Lesmana?" pancing Ketua Padepokan Merak Emas sambil tersenyum samar.

Semakin bertambah memerah wajah Seruni. Namun kepalanya tetap mengangguk. "Apakah Guru marah?" tanya Seruni. Nada suaranya terdengar begitu lirih.

Senyum Dewi Palasari semakin melebar. Diam-diam rupanya Dewi Palasari sudah mengetahui hubungan cinta muridnya dengan salah satu murid Padepokan Naga Merah yang bernama Lesmana. Seruni, bagaimanapun, adalah murid tertuanya. Dan, merupakan murid utama yang memiliki kepandaian empat tingkat dibawahnya. Gadis itu pula yang selalu mewakili melatih murid-murid padepokan yang lain bila Ketua Padepokan Merak Emas berhalangan. Tidak heran jika Dewi Palasari sangat sayang padanya. Bahkan menganggap Seruni sebagai adik sendiri. Kendati demikian, perhatiannya terhadap murid yang lain tidak terlewat.

"Aku tidak akan marah, Seruni!" tandas Dewi Palasari sambil memperhatikan wajah Seruni yang telah berubah cerah. "Rasanya tertarik antara wanita dengan lawan jenisnya adalah sesuatu yang wajar dan merupakan kodrat Tuhan. Tidak ada seorang pun yang dapat melarangnya. Hanya.... kau harus sadar dengan tugasmu dipadepokan ini. Untuk itu, kuharap kau dapat bersabar untuk melanjutkan hubungan kalian sampai ke jenjang perkawinan. Purnama depan, kau juga harus berhadapan dengan murid nomor satu dari setiap padepokan di gelanggang uji coba. Siapa pun yang bakal dihadapi, jangan sampai membuat malu padepokan ini!"

"Aku akan selalu mengingatnya, Guru!"

"Bagus! Perlu kau ingat, aku sendiri sebenar-nya tidak pernah berniat menjadi ketua seluruh partai persilatan golongan putih. Hanya karena uji kepandaian itu memang merupakan satu kebiasaan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Maka, mau tidak mau kita harus mematuhi aturan, demi menghormati golongan kita sendiri!"

"Aku selalu berjanji untuk tidak mengecewakan Guru dan seluruh murid Padepokan Merak Emas ini!" tegas Seruni, mantap.

Ketua Padepokan Merak Emas ini sangat percaya dengan ucapan murid tertuanya. Untuk itu, kepalanya mengangguk sambil tersenyum. Dan baru saja Seruni hendak memohon undur diri pada ketuanya...

"Aaa...!" Terdengar jeritan serta pekik kesakitan diluar sana. Keduanya tampak terkesiap.

"Ada apa...?" tanya Dewi Palasari sambil memandang tajam murid utamanya. Belum sempat Seruni menjawab apa-apa, tiba-tiba pintu ruangan semadi didorong dari luar dengan paksa. Tak lama, dari balik pintu muncul salah seorang murid penjaga dengan tubuh hampir telanjang dan perut tertembus mata pedang.

"Ada apa, Sentika?" tanya Ketua Padepokan Merak Emas, seraya cepat-cepat mendukung muridnya yang terluka parah.

"Ibl..., iblis... iblis berbau busuk itu... Akh...!" kata murid bernama Sentika.

Gadis itu tidak dapat meneruskan kata-katanya. Ajal telah menjemputnya lebih cepat. Tubuhnya yang hampir telanjang, terkulai di pangkuan Dewi Palasari.

"Cepat keluar, Seruni...!" teriak Dewi Palasari memberi perintah.

Wanita itu sendiri kemudian mengambil sebilah pedang bergagang kepala burung merak yang tergantung di sudut ruangan. Hanya dalam waktu sekejap, tubuhnya telah lenyap dari ruangan itu. Ketika Ketua Padepokan Merak Emas sampai di halaman padepokan, Seruni sedang berusaha membebaskan adik seperguruannya yang sedang diperkosa sosok hitam berbau busuk luar biasa.

"Manusia terkutuk!" teriak Dewi Palasari marah bukan kepalang. Langsung pedangnya dicabut. Dan segera diserangnya laki-laki berwajah rusak yang sedang menggagahi salah seorang muridnya.

Wusss!

Tanpa disangka-sangka, laki-laki berbau busuk itu mengibaskan tangan kearah Dewi Palasari. Seketika menderulah segelombang angin yang menebarkan bau busuk menyesakkan dada.

Dewi Palasari cepat menepis serangan itu dengan memutar pedang di tangannya. Melihat serangannya gagal, laki-laki yang sedang menindih tubuh salah satu murid Padepokan Merak Emas itu tersentak kaget. Cepat dia bangkit berdiri dan langsung tersenyum mengerikan.

Gadis yang dalam keadaan tertotok itu merintih kesakitan. Rupanya, laki-laki berwajah hancur dan menebarkan bau busuk itu telah berhasil menodainya. Sehingga, membuat bagian pangkal paha gadis itu mengeluarkan darah.

"Bangsat! Manusia iblis!" dengus Dewi Palasari. Segera dia memerintahkan Seruni untuk membebaskan totokan di tubuh muridnya. Untung saja laki-laki itu membiarkan saja. Tapi setelah bebas dari pengaruh totokan, tanpa diduga-duga murid itu langsung menyerang pemerkosanya dengan tusukan menyilang.

Apa yang dilakukan murid itu bukan sembarang tusukan. Malah jurus 'Merak Kepakkan Sayap' langsung dikerahkannya. Sebuah jurus andalan yang dimiliki Padepokan Merak Emas.

Namun, rupanya laki-laki berbau busuk itu sempat merasakan sambaran angin senjata yang menderu ke bagian pangkal lehernya. Maka dengan gerakan sangat cepat, dia melompat ke samping kiri. Lalu seketika tubuhnya berbalik disertai hantaman satu pukulan ke bagian dada telanjang gadis itu.

Sama sekali gadis malang itu tidak pernah menduga kalau laki-laki berbau busuk ini dapat menghindari serangannya. Bahkan sekarang dapat pula melakukan serangan balik secepat itu. Dan....

Buk!

"Aaa...!" Gadis malang itu jaruh terguling-guling disertai jerit kesakitan. Bagian dadanya yang terkena pukulan tampak hangus. Dia tewas seketika tanpa mampu melampiaskan dendamnya.

"Ha ha ha...! Diberi kesenangan, malah pilih mati!" teriak laki-laki bertampang rusak sambil tertawa-tawa.

Suara tawa itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi. Sehingga, membuat Dewi Palasari dan muridnya terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi.

DUA

Murid-murid Padepokan Merak Emas kini telah mengepung laki-laki bertampang mengerikan berbau busuk yang tak lain dari Batu Kumbara. Mereka telah mencabut senjata, dan bersiap-siap melakukan serangan.

Sementara Dewi Palasari memberi isyarat pada mereka agar menahan diri. Sedangkan dia sendiri kemudian langsung berhadapan dengan Batu Kumbara dengan kemarahan tertahan-tahan.

"Siapa kau, Kisanak?" tanya Dewi Palasari penuh wibawa.

"Aku...? Ha ha ha...!" Laki-laki bertelanjang dada yang di sekujur tubuhnya terdapat banyak luka yang belum mengering itu tertawa mengejek. Diperhatikannya Dewi Palasari yang cantik menggiurkan dengan tatapan menyiratkan nafsu berkobar. Sambil berdecak penuh kekaguman, matanya menjilati wajah, dada, dan perut Dewi Palasari. Pandangan kurang ajar itu tentu saja membuat Dewi Palasari menjadi berang.

"Manusia Bangkai! Kuharap kau mau menjawab pertanyaanku, sebelum aku membunuhmu!" bentak wanita itu dengan wajah bersemu merah karena malu bercampur geram.

"Aku Manusia Bangkai?! Mungkin itulah nama yang pantas buatku!" jawab Batu Kumbara. "Apakah Nisanak Ketua Padepokan Merak Emas...?"

"Kalau benar, kau mau apa?!" jawab Dewi Palasari sengit.

"Ha ha ha... Pucuk dicinta ulam tiba! Tidak kusangka Ketua Padepokan Merak Emas masih begini muda dan sangat cantik. Mimpi apa aku semalam? Sungguh kalian bidadari-bidadari canrik yang menyenangkan."

"Bangsat! Manusia ini terlalu kurang ajar, Guru! Biarkan aku yang membunuhnya!" teriak Seruni yang berdiri tegak di samping gurunya.

"Ah! Kau juga rupanya sangat cantik. Kalian berdua memang pantas menjadi pendampingku!" celetuk Batu Kumbara, sebelum Ketua Padepokan Merak Emas berkata apa-apa.

"Rupanya, mulut laki-laki ini sama busuknya dengan tubuhnya! Serang dan bunuh dia...!" teriak Dewi Palasari tidak dapat lagi menahan kemarahannya.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, murid-murid Padepokan Merak Emas langsung menyerang Batu Kumbara dari delapan penjuru. Hanya dalam waktu sangat singkat pedang di tangan mereka menderu menimbulkan suara angin bersiuran.

Sedangkan Batu Kumbara hanya tertawa gan-da sambil menghindari serangan maupun tusukan pedang yang datang menggebu-gebu. Disadari betul, betapa berbahayanya jurus-jurus pedang lawan-lawannya. Tapi dia tidak merasa khawatir karena memiliki jurus-jurus simpanan yang diturunkan Makhluk Kegelapan.

Untuk beberapa jurus, Batu Kumbara sengaja menghindari seriap serangan yang datang. Tapi dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya, dia melakukan serangan balik. Maka caci maki dan sumpah serapah mulai terdengar di sana sini, ketika tangan manusia bangkai ini secara kurang ajar meremas buah dada lawan-lawannya.

"Manusia kotor! Mampuslah...!" teriak salah seorang murid Padepokan Merak Emas yang ikut ambil bagian dalam serangan.

"Huuup!"

Batu Kumbara melompat ke belakang sejauh tiga tombak. Matanya yang berkilat-kilat seketika berubah merah menggidikkan ketika tenaga dalamnya dikerahkan. Semua langkah lawannya tersurut. Mereka tampak sama-sama terkejut. Tidak terkecuali, Dewi Palasari yang terus mengawasi jalannya pertempuran.

Belum lagi rasa terkejut hilang, Batu Kumbara telah mengedipkan matanya. Maka dua leret sinar merah menghanguskan langsung menderu dan menghantam tubuh dua murid Padepokan Merak Emas.

"Aaa...!"

"Aaakh...!"

Jerit kematian terdengar, ketika mata manusia iblis itu secara terus-menerus berkedip-kedip. Hingga dalam waktu singkat belasan gadis malang itu tergelimpang roboh dengan keadaan tubuh hangus dan jiwa melayang.

Murka Dewi Palasari bukan alang kepalang. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu, Batu Kumbara laksana setan telah bergerak ke arahnya. Langsung ditotoknya tubuh Dewi Palasari dan Seruni. Seketika kedua tokoh Padepokan Merak Emas itu lemas tak berdaya lagi. Mereka ambruk tanpa mampu menggerakkan tubuhnya lagi.

"Kurang ajar! Bangsat pengecut! Lepaskan totokan ini! Mari kita bertarung sampai seribu jurus!" teriak Dewi Palasari marah bukan main.

Tanpa menghiraukan jeritan Dewi Palasari dan Seruni, laki-laki bermental bejad ini langsung mendukung keduanya. Kemudian, dia membawa pergi dengan kecepatan sangat sulit dipercaya.

"Guru...!." teriak beberapa orang murid padepokan yang masih tersisa.

Tapi teriakan mereka hanya sia-sia saja. Karena, Batu Kumbara yang melarikan gurunya dan saudara seperguruan tertua itu sudah menghilang di kegelapan malam.

********************

Seekor kuda berbulu hitam lebat dipacu cepat ke arah selatan laksana terbang. Sesekali terdengar suara ringkikan keras yang disertai teriakan teriakan penunggangnya, seorang pemuda gagah berompi putih. Di punggung pemuda itu tersandang sebilah pedang bergagang kepala burung rajawali. Tidak salah lagi. Dialah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti yang mengendarai kuda tunggangannya, Dewa Bayu.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, Rangga tiba di daerah selatan. Pemuda tampan yang selalu mengenakan baju rompi putih ini tiba-tiba menarik tali kekang, membuat kuda tunggangan itu berhenti seketika. Rangga segera memperhatikan sekelilingnya. Sejauh mata memandang, hanya hutan-hutan yang menghijau saja yang terlihat.

"Hm.... Dalam mimpiku, aku seharusnya bertemu seorang tokoh sakti yang bernama Ki Kambaya. Tapi, di mana aku harus menemuinya? Di dalam mimpi itu, aku seperti melihat sebuah pohon beringin putih yang sangat besar. Tapi pohon beringin itu tak terlihat ada di sini!" kata Rangga dalam hati.

Tanpa berpikir panjang lagi Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya menuju bukit yang ter-letak tidak jauh di sebelahnya. Matanya kembali berputar putar memperhatikan tempat di sekelilingnya.

"Eeeh! Itu dia pohon yang kulihat dalam mimpi!" kata Rangga, pelan. Kemudian Dewa Bayu diarahkan pada pohon beringin putih yang terdapat di samping kiri.

"Huuup...!" Rangga dengan gerakan ringan melompat turun. Lalu, ditepuknya punggung kuda berbulu hitam yang terus meringkik-ringkik seperti mengkhawatirkan sesuatu.

"Ada apa, Dewa Bayu? Tenanglah. Kau dalam keadaan aman disini! Tunggulah aku kembali. Jangan ke mana-mana. Kalau ada apa-apa, meringkiklah sekeras-kerasnya," pesan Rangga.

Dewa Bayu menganggukkan kepala, seakan mengerti apa yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti.

"Bagus. Sekarang kau kutinggal dulu!" kata Rangga sambil tersenyum.

Sejenak kemudian, tubuh Pendekar RajawaliSakti telah berkelebat mempergunakan ilmu meringankan tubuh mendekati pohon beringin putih berjarak seratus batang tombak di depannya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti, hingga sebentar saja telah tiba di bawah pohon beringin putih itu. Rangga mulai mencari-cari. Sesekali diperhatikannya akar-akar gantung yang bergoyang-goyang ditiup angin. Tapi sampai mengelilingi pohon beringin yang sebesar lima pelukan orang dewasa, juga tidak terlihat seorang pun.

Rangga menarik napas dalam-dalam. Hatinya mulai merasa ragu dengan mimpi-mimpinya. "Mungkinkah yang kualami hanya sekadar mimpi belaka? Rasanya sangat sulit dipercaya? Padepokan Merak Emas seperti yang pernah kudengar, memang berada dilereng Gunung Kelut. Dan pohon beringin putih seperti yang kulihat dalam mimpi, memang benar-benar ada. Tapi, ke mana perginya orang buta yang kujumpai dalam mimpi?"

Keraguan di hati Rangga belum juga sirna, ketika terdengar suara menderu di belakangnya. Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Dan seketika itu juga, badannya berbalik. Maka dilihatnya beberapa benda hitam berbentuk ular meluncur deras ke arahnya. Tanpa berpikir panjang lagi dilepaskannya pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang mengeluarkan sinar kemerahan. Begitu panasnya pukulan Rangga itu sehingga udara di sekelilingnya menjadi panas luar biasa.

Glarrr...!

Terdengar satu ledakan dahsyat ketika sinar merah dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' menghantam ular-ular yang menyerbu kearah Pendekar Rajawali Sakti. Kontan saja, binatang-binatang yang sangat berbisa itu hancur berkeping-keping.

"Hm...!" gumam Rangga tidak jelas.

"Ha ha ha...! 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' memang sungguh hebat! Tidak salah! Pasti kaulah orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...!"

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar disertai pujian. Suara itu selain terdengar serak, juga disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Sehingga, Rangga sendiri merasakan gendang telinganya sakit bukan main. Maka dengan cepat dikerahkannya tenaga dalam untuk menahan pengaruh tawa orang itu.

Suara tawa tiba-tiba terhenti. Suasana di sekeliling Pendekar Rajawali Sakti berubah sepi. Tanpa menoleh-noleh lagi, Rangga sudah tahu keberadaan orang yang tertawa barusan.

"Alangkah baiknya menyambut tamu dengan cara seperti itu. Terlambat sedikit, nyawaku pasti melayang!" desis Rangga.

"Hm, Anak Muda! Untuk membuktikan agar aku tidak bicara pada orang yang salah, bukankah jalan satu-satunya harus menguji kemampuan?!" sahut sebuah suara yang berasal dari atas salah satu cabang pohon beringin. Rupanya orang itu adalah laki-laki tua berpakaian serba putih.

"Apakah aku sedang berhadapan dengan Peramal Tuna Netra, Kisanak?" tanya Rangga langsung.

Laki-laki tua di atas pohon tidak menjawab. Malah tanpa diduga-duga, dengan gerakan ringan sekali tubuhnya melayang turun. Kemudian kakinya yang hanya sebelah menjejak tanah, tepat di depan Rangga.

"Astaga? Selain buta, kau juga hanya mempunyai sebelah kaki dan sebelah tangan. Sungguh mengenaskan keadaanmu, Ki!" kata Rangga, dalam hati.

"Apa yang kau pikirkan, Pendekar Rajawali Sakti? Memikirkan tentang keadaanku yang cacat?" tanya kakek berjuluk Peramal Tuna Netra, seperti mampu membaca pikiran Rangga.

"Eeeh...!" Rangga terkejut dibuatnya. Sama sekali tidak disangka kalau laki-laki berbaju putih tambal-tambalan ini, mengetahui apa yang ada dalam benaknya.

"Tidak! Aku hanya tidak mengerti, bagaimana cara kau menghubungiku? Padahal, sebelumnya kita belum pernah bertemu!" kilah Rangga jadi tak enak hati. Keterkejutannya langsung disimpan dalam perutnya.

"Ha ha ha...! Hatiku seputih rompimu," sahut kakek itu.

Untuk yang kedua kalinya, Rangga dibuat terkejut. Laki-laki tua di depannya yang berjalan mengandalkan bantuan tongkat hitam, jelas dalam keadaan buta matanya. Bagaimana dia bisa tahu kalau dirinya memakai rompi putih?

"Sudah kukatakan, jangan mengherankan sesuatu yang kumiliki. Karena, semua itu hanya pemberian dan titipan Tuhan semata. Aku telah mempergunakan kekuatan batinku, untuk menghubungi seorang pendekar yang benar-benar dapat menolong. Mata hatiku mengatakan, kaulah orangnya yang paling tepat untuk mengemban satu tugas yang cukup berat, tapi mulia," jelas Ki Kambaya alias peramal Tuna Netra.

Kening Rangga berkerut dalam. Sama sekali tidak dimengerti, ke mana arah ucapan kakek yang berdiri tegak dihadapannya. "Apa maksudmu dengan tugas berat itu, Ki?" tanya Rangga langsung pada pokok persoalan.

Peramal Tuna Netra terdiam sejenak. Bibirnya yang hampir tertutup kumis berwarna putih, tampak menggerimit seperti orang mengigau. "Begini!" kata Ki Kambaya kemudian sambil menarik napas dalam dalam". Tidak sampai satu purnama didepan, dipuncak Gunung Kelud akan diadakan pemilihan ketua baru untuk menggantikan ketua, maupun pimpinan lama dari seluruh aliran putih yang tergabung ditanah Jawa. Mungkin kau pernah mendengar kebiasaan semacam itu."

"Aku memang pernah mendengamya. Dan bukankah semua ini dalam keadaan yang wajar-wajar saja?" ujar Rangga, tenang.

"Memang! Tapi menurut penglihatan hatiku, ada satu ketidakberesan yang bakal terjadi dalam pemilihan pimpinan seluruh partai aliran putih yang akan berlangsung sekali ini!" tukas Ki Kambaya.

Dada Rangga tiba-tiba berdegup keras mendengar penjelasan Peramal Tuna Netra. "Apa maksudmu, Ki? Apakah di antara mereka akan ada yang berlaku curang?" tanya Rangga, pelan.

Kakek buta itu menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak! Rupanya kau belum tahu satu rahasia besar yang bakal menjadi duri dalam rimba persilatan, jika tidak secepatnya turun tangan!"

"Sama sekali aku belum tahu."

"Begini, Rangga!" jelas Peramal Tuna Netra, memulai sambil menarik napas dalam-dalam. "Tiga tahun yang lalu, ada gembong perampok yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Karena kepandaiannya dia berani membunuhi orang-orang rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Tak heran kalau dia dimusuhi hampir semua padepokan silat yang di tanah Jawa ini. Setelah bertahun-tahun merajalela, akhirnya seluruh padepokan ada baik yang beraliran hitam maupun yang beraliran lurus saling bahu membahu untuk menangkap Batu Kumbara hidup-hidup. Tindakan kaum persilatan itu, rupanya mendatangkan hasil. Batu Kumbara berhasil diringkus, kemudian menjalani hukuman yang sangat berat di Lembah Batang. Di sekujur tubuhnya dibuat cacat dan rusak. Tangan dan kakinya terantai di atas batu. Bertahun-tahun Batu Kumbara menjalani hukuman berat itu. Namun di luar pengetahuan seluruh pimpinan partai yang ikut memutuskan dalam penjatuhan hukuman terhadap Batu Kumbara, rupanya dia berguru pada Makhluk Kegelapan! Tahukah kau, siapa Makhluk Kegelapan itu, Rangga?"

Rangga menggeleng perlahan. "Makhluk penghuni kegelapan itu adalah sosok yang memiliki wujud setengah manusia dan setengah iblis!" Ki Kambaya menjawab sendiri pertanyaannya.

"Hm, aku mengerti!" sahut Rangga, sambil menatap kakek buta didepannya.

"Bagus kalau kau sudah mengerti!" Peramal Tuna Netra mengusap-usap jenggotnya yang juga sudah berwarna putih.

"Sekarang yang menjadi tugasmu adalah, mencari Batu Kumbara alias Manusia Bangkai yang telah mencelakai beberapa murid Padepokan Merak Emas. Malah dia juga menculik ketua dan murid tertua padepokan itu," tambah Ki Kambaya.

"Bagaimana kau dapat tahu bahwa Ketua Padepokan Merak Emas telah diculik manusia iblis itu? Padahal, rimba persilatan sama sekali belum kau ketahui?"

"Kau kira, karena mataku buta, aku tidak tahu? Pendekar Rajawali Sakti! Sudah kukatakan, bahwa mata hatiku dapat melihat ke depan dengan baik Nasib ketua dan murid tertua Padepokan Merak Emas sekarang ini tidak jauh bedanya dengan telur diujung tanduk! Terlambat sedikit, maka mereka akan menerima penghinaan yang sangat memalukan?!"

"Ah, malang sekali nasib mereka?" Rangga merasa hatinya tersentuh. Dia pernah mendengar, betapa Ketua Padepokan Merak Emas merupakan seorang gadis yang memiliki kecantikan seperti bidadari. Batu Kumbara tidak jauh bedanya mendapatkan durian runtuh. Kurang ajar sekali manusia busuk itu!

"Rangga...!" panggil Ki Kambaya.

"Ada apa, Ki...?" sahut pemuda berompi putih itu.

"Jika kau bertemu manusia yang satu itu, harap bertindak hati-hati. Aku bukan meremehkan kepandaianmu Tapi, ketahuilah. Manusia Bangkai yang satu ini benar-benar sangat berbahaya. Sepasang mata iblisnya dapat menghancurkan dan menghanguskan benda apa saja yang dikehendakinya...!"

Untuk pertama kalinya, pemuda tampan berompi putih ini tercengang. Ada seorang tokoh dapat mempergunakan kedua matanya untuk menghanguskan lawan-lawannya? Selama malang melintang di rimba persilatan, baru kali ini Rangga mendengarnya. Kalau tidak memiliki kepandaian setara dengan kepandaian iblis, mana mungkin orang itu dapat melakukannya.

"Ki Kambaya... Kalau boleh tahu, di mana kira-kira Batu Kumbara sekarang ini berada?"

Peramal Tuna Netra terdiam. Tongkat hitamnya diketuk-ketuk di atas tanah sebanyak tiga kali. Secara aneh, tiba-tiba tongkat hitam itu bergerak dan menunjuk ke satu arah. "Ha ha ha...! Matahari terbit! Tidak salah! Dia sekarang telah berada searah dengan matahari terbit! Tepatnya, disebelah selatan Padepokan Merak Emas."

Rangga mengangguk-anggukkan kepala. "Baiklah, Ki Kambaya. Jika sudah tidak ada lagi yang akan disampaikan, aku mohon pamit," kata Rangga, pelan. Baru saja pemuda ini memutar langkahnya....

"Tunggu...!"

Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya begitu mendengar seruan Ki Kambaya. Kemudian, ditatapnya Peramal Tuna Netra. "Ada apa, Ki?"

"Ha ha ha...! Begini, Rangga. Jika urusanmu dalam membebaskan Ketua Padepokan Merak Emas telah selesai, jangan lupa datang pula ke Partai Giling Wesi, Padepokan Naga Merah, dan juga Padepokan Kapak Sakti. Kabarkan tentang berita buruk ini pada mereka. Agar, orang-orang itu bersikap waspada," pesan Peramal Tuna Netra.

"Hanya itu saja?" tanya Rangga sudah tidak sabar untuk melakukan pengejaran.

Kakek buta menggaruk kepalanya berulang-ulang. "Oh...! Ada..., ada.... Jika umurmu panjang, menjelang akhir purnama hendaknya kau pergi ke Gunung Kelud. Karena, di sana kita akan sama-sama melihat, apakah ramalanku akan menjadi kenyataan atau tidak," kata Ki Kambaya mengucek-ngucek matanya yang buta.

Setelah itu, tanpa menunggu lebih lama lagi, Rangga segera berlari mendapatkan kuda tunggangannya Dewa Bayu. Sebentar saja, terdengar ringkikan keras disusul derap langkah kaki kuda yang semakin lama semakin menjauh.

Peramal Tuna Netra menggelengkan kepala berulang-ulang. "Sungguh Pendekar Rajawali Sakti bukan nama kosong belaka!" gumam laki-laki buta itu, langsung melesat ke atas cabang pohon kembali.

TIGA

"Ha ha ha...! Hebat Benar-benar hebat! Ternyata kau masih murni. Aku tidak kecewa...!"

Suara tawa penuh kepuasan terdengar dari seorang laki-laki bertampang menjijikkan, sambil memandangi sosok tubuh ramping dalam keadaan polos yang terkulai layu di atas tanah beralaskan daun-daun kering.

Air mata sosok yang ternyata seorang gadis itu semakin deras menetes.

Kini laki-laki berwajah rusak itu secara perlahan bergerak menjauhi. Sekarang, perhatiannya beralih pada sosok ramping lain yang duduk mematung tersandar dibatang pohon, tanpa mampu berbuat apa-apa karena tubuhnya tertotok.

"Sudah kau saksikan Dewi Palasari. Muridmu benar-benar hebat melayaniku!" kata laki-laki yang tak lain dari Batu Kumbara, seraya memegang dagu wanita yang memang Ketua Padepokan Merak Emas. Kemudian tangannya yang dipenuhi luka membusuk itu bergerak meremas buah dada Dewi Palasari.

"Setan laknat! Phuih!" maki Dewi Palasari, langsung meludahi wajah laki-laki di depannya.

Batu Kumbara hanya menyeringai. "Bau ludahmu sangat harum. Pasti tubuhmu lebih menyenangkan lagi!" desis laki-laki berjuluk Manusia Bangkai ini. Dan tiba-tiba tangannya yang kokoh bergerak cepat.

Bret!

"Auuu...!" Dewi Palasari terpekik kaget ketika baju dibagian dadanya robek besar. Sehingga. terlihatlah sepasang bukit kembarnya yang putih sekal menantang. Mata Batu Kumbara berbinar-binar, dengan nafsu bergelora.

"Ha ha ha...!" Batu Kumbara tergelak dengan tangan mulai bermain-main didada gadis itu! "Sekarang tiba saatnya giliranmu...!"

Namun sebelum niatnya tersampaikan, dari arah lain melesat dua buah benda berwarna hitam. Yang satu langsung menuju ke arah Seruni yang terkapar di atas tanah, sedangkan yang lain langsung menghantam punggung Dewi Palasari.

Tanpa diketahui Manusia Bangkai yang tengah dikuasai hawa nafsu, rupanya benda-benda tadi langsung membebaskan totokan di tubuh Dewi Palasari dan Seruni. Maka ketika laki-laki itu bermaksud membaringkan calon mangsanya, mendadak satu tendangan Dewi Palasari yang sangat keras menghantam selangkangannya.

Buk!

"Huargkh...!" Batu Kumbara menjerit kesakitan. Tubuhnya terpelanting dan jatuh di samping Seruni.

Sementara, Seruni laksana kilat bangkit. Langsung dihantamnya perut Batu Kumbara dengan tendangan yang dialiri tenaga dalam tinggi. Batu Kumbara menggerung. Rasa sakit di bagian perutnya tidak sebanding dengan sakit yang merejam diselangkangannya. Anehnya, dia masih mampu berdiri. Sementara itu, Seruni segera mengenakan pakaiannya kembali. Sedangkan Dewi Palasari cepat-cepat merapikan pakaiannya.

"Bangsat siluman! Aku akan mencincang tubuhmu!" teriak Dewi Palasari.

"Manusia-manusia tidak berguna. Dikasih kesenangan malah menyakiti aku!" bentak laki-laki berwajah mengerikan itu, sambil menghindari serangan gencar yang datang menderu-deru dari dua penjuru.

Serangan-serangan gencar ketua maupun murid Padepokan Merak Emas itu bukan serangan biasa. Mereka kini telah mengerahkan jurus pedang Merak Mengepakkan Sayap yang sangat dahsyat. Hanya dalam waktu tidak sampai lima belas jurus, Batu Kumbara telah terdesak hebat. Bahkan pada satu kesempatan, pedang di tangan Dewi Palasari menyambar perutnya.

Crak!

"Eeeh...!" Tapi Dewi Palasari mendadak terkejut setengah mati. Tangannya yang memegang gagang pedang seperti kesemutan. Ujung pedang ditangannya terasa seperti membentur batu cadas yang sangat keras. Temyata, Batu Kumbara kebal terhadap serangan senjata tajam.

Manusia Bangkai itu tergelak-gelak. Sambil berkacak pinggang, dia tidak lagi menghindari tusukan maupun babatan pedang. Dan hebatnya, tidak satu serangan pun berhasil melukai tubuhnya.

"Hm.... Sekarang baru kalian tahu, siapa aku! Dan karena kalian telah mengecewakan, maka kalian harus kubunuh!" dengus Batu Kumbara.

Kemudian laki-laki berwajah dan bertubuh mengerikan itu mengerahkan tenaga dalamnya. Hanya dalam waktu singkat, kedua matanya telah berubah merah seperti bara. Dewi Palasari dan Seruni sama-sama tercekat. Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba saja Seruni nekat meluruk kedepan. Padahal, pada saat yang sama, Batu Kumbara mengedipkan matanya.

Seketika dua sinar merah membara laksana kilat menderu ke arah Seruni. Gadis ini sama sekali tidak menduga akan mendapat serangan mematikan sedemikian rupa. Sehingga, tidak ada kesempatan baginya untuk menghindari, terkecuali memutar pedang ditangannya membentuk perisai diri.

Glarrr...!

"Aaa...!"

Terdengar satu ledakan dahsyat yang disertai jeritan menyayat hati. Pedang di tangan Seruni yang terlepas, langsung meleleh. Sedangkan Seruni sendiri jatuh terhempas dengan jiwa melayang. Dewi Palasari tercekat melihat tubuh muridnya dalam keadaan hangus bagai arang.

"Seruni!" pekik Dewi Palasari tertahan tahan. Wajah wanita ini yang pucat, seketika berubah memerah. Hatinya benar-benar murka setelah melihat keadaan murid utamanya.

"Manusia iblis! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus ketua Padepokan Merak Emas ini berapi-api.

Batu Kumbara menyeringai sinis. "Kalaupun kau memiliki seribu senjata pusaka, tidak nantinya dapat melukai aku. Sekarang, masih ada kesempatan bagimu untuk menyerahkan diri secara baik-baik kalau tidak, kau benar-benar akan menyesal...!"

"Bangsat! Hiyaaa...!" Dewi Palasari segera mengerahkan jurus 'Merak Menggapai Bulan' dalam menggempur lawannya kali ini. Pedang di tangannya berkelebat dengan cepatnya, sehingga menimbulkan deru angin bergulung-gulung. Hanya dalam waktu singkat, tubuh Dewi Palasari telah tergulung sinar putih yang sangat menyilaukan mata.

Batu Kumbara menggumam aneh. Dalam hatinya, diakuinya kehebatan jurus pedang yang dimainkan lawannya. Manusia Bangkai ini kemudian menggeser langkahnya kesamping kiri. Tangan kanannya menghantam ke depan.

Bersamaan dengan itu, Dewi Palasari menghantamkan senjata ditangannya ke bagian kepala Batu Kumbara. Namun dengan gerakan sangat manis, Batu Kumbara berkelit. Sedangkan tangan kanannya bagaikan patukan ular, menyelinap kebawah ketiak wanita itu.

Crak! Tuk!

"Aaa...!"

Celaka bagi Dewi Palasari. Totokan yang telak itu tidak dapat dihindari lagi sehingga seketika itu juga, tubuhnya berubah kaku dan sangat sulit digerakkan. Batu Kumbara alias si Manusia Bangkai tertawa melengking. Matanya yang telah berubah merah seperti mata iblis, memperhatikan lawannya dengan penuh kemenangan.

Namun sebelum Batu Kumbara sempat berbuat sesuatu, dari arah lain di kegelapan malam berkelebat bayangan putih. Dan tahu-tahu telah berdiri seorang pemuda berompi putih tidak jauh di depan Batu Kumbara dan Dewi Palasari.

Si Manusia Bangkai memperhatikan pemuda yang tidak dikenalnya ini dari ujung rambut hingga ujung kaki. Matanya yang telah kembali seperti semula, memandang dengan tajam.

"Siapa kau, Kisanak...?" tanya Batu Kumbara, menggiriskan.

"Namaku, Rangga. Dan aku bukan iblis seper-timu!" dengus pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti, bersikap waspada.

"Bangsat betul! Kau begitu berani menghinaku?!" bentak Batu Kumbara sengit.

"Aku bukan menghinamu, Batu Kumbara! Tapi memang pada kenyataannya, kau manusia iblis!" desis Rangga tenang.

Batu Kumbara tersentak kaget. Selama ini, dia belum pernah bertemu pemuda berompi putih ini. Tapi yang membuatnya heran, bagaimana mungkin pemuda ini mengenali namanya?

"Jangan heran. Manusia sepertimu tentu saja dalam waktu singkat dikenal orang karena kejahatan-kejahatan yang dilakukan...!" kata Rangga, seperti bisa membaca pikiran Batu Kumbara.

"Kisanak! Mengapa hanya mengajak bicara manusia sesat ini! Dia sangat berbahaya. Lebih baik, kita bunuh bersama-sama!" Dewi Palasari yang sejak tadi hanya diam saja, ikut bicara.

"Benar, Nisanak! Tapi kuharap kau tidak ikut campur! Biar aku sendiri yang menghadapinya." sahut Rangga.

"Eiiit... Tidak bisa..., tidak bisa...! Dia telah membunuh beberapa orang muridku. Dan dia juga telah memperkosa murid utamaku yang bernama Seruni. Masa aku hanya diam sebagai penonton!" balas Dewi Palasari, tidak mau kalah.

Rangga menjadi serba salah. Rasanya mustahil baginya untuk bertarung secara keroyokan. Jika sampai diketahui golongan hitam, tentu Rangga akan ditertawakan. Tapi gadis yang satu ini tentu saja tidak mudah dibujuk! Bagaimana caranya?

"Katanya kalian mau mengeroyokku? Sekarang, mengapa hanya diam saja...? Ayolah maju bersama-sama!" tantang Batu Kumbara tersenyum mengejek.

"Manusia iblis! Makanlah pedangku...!" teriak Dewi Palasari.

Tubuh wanita itu segera melesat kedepan. Pedang Merak ditangannya menderu, menimbulkan angin bersiuran. Tapi, Batu Kumbara yang sudah tahu kepandaian lawannya hanya tertawa ganda. Dan hanya mempergunakan jurus Penghuni Kegelapan tingkat ketiga, maka serangan ganas yang menderu ke arahnya dapat dihindari. Serangan Dewi Palasari menemui sasaran kosong saja.

"Terimalah ini...!"

Terdengar bentakan Batu Kumbara. Tangannya yang telah berubah menghitam menghantam dada Dewi Palasari. Sementara, gadis itu sudah tidak mungkin dapat menghindarinya. Tangan Batu Kumbara yang telah teraliri setengah dari seluruh tenaga dalam menghantam telak dadanya.

Desss!

Dewi Palasari berteriak kesakitan. Tubuhnya kontan jatuh terguling-guling. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental, pertanda Dewi Palasari mengalami luka dalam yang cukup parah.

"Sekarang mampuslah kau!" teriak Batu Kumbara.

Seketika laki-laki mengerikan itu melompat kedepan memburu lawannya. Langsung dilepaskannya satu pukulan yang sangat mematikan. Dewi Palasari terkesiap. Rasanya tidak mungkin lagi dapat menghindari pukulan ganas yang dilepaskan Batu Kumbara. Tapi pada saat-saat yang sangat menegangkan, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melepaskan pukulan jarak jauh dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali, untuk memapak. Maka terdengarlah suara menggemuruh yang disertai melesatnya sinar merah menghanguskan melesat ke arah Batu Kumbara.

"Eee...!" Batu Kumbara terkesiap. Buru-buru pukulan yang diarahkan kepada Dewi Palasan ditarik balik. Lalu, tangannya pun berkelebat, memapak sinar merah yang menderu ke arahnya.

Wusss!

Mendadak seleret sinar hitam melesat dari telapak tangan Batu Kumbara. Satu dentuman menggelegar terjadi, begitu dua sinar yang berbeda, berbenturan. Tanah yang dipijak bergetar hebat. Pohon-pohon yang terhantam angin pukulan berterbangan.

Sementara itu kaki Pendekar Rajawali Sakti amblas kedalam tanah sampai sebatas mata kaki. Sedangkan tubuh lawannya hanya bergetar saja. Walaupun, patut diakui kalau bagian dada Batu Kumbara terasa sakit berdenyut-denyut.

"Ha ha ha...! Ternyata kau memiliki kepandaian yang mengagumkan juga. Siapakah kau, Kisanak?"

"Orang-orang rimba persilatan menyebutku Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Rangga, tanpa maksud menyombongkan diri.

Wajah Batu Kumbara yang kelam berubah sebentar. Tapi kemudian telah kembali seperti semula. Malah sekarang, matanya tampak berbinar-binar aneh. "Pendekar Rajawali Sakti! Pernah kudengar kehebatan julukanmu. Tidak disangka-sangka, hari ini aku berhadapan langsung dengan orangnya. Kalau kulenyapkan nyawamu, pasti dalam waktu singkat Manusia Bangkai sepertiku akan terkenal di seluruh penjuru persilatan!"

"Simpanlah mimpi-mimpimu itu!" dengus Rangga.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Batu Kumbara mengedipkan matanya dua kali. Dan Rangga langsung melirik ke arah Dewi Palasari yang dalam keadaan pingsan. Ketika pukulan yang dilepaskan Batu Kumbara semakin bertambah dekat...

"Aji Bayu Bajra!" teriak Rangga, langsung menghentakkan kedua tangannya ke arah Batu Kumbara.

Angin kencang laksana topan seketika menderu dan langsung menyambar, dua leret sinar yang menerjang ke arah Rangga. Tapi sungguh aneh, sinar merah yang melesat dari mata Batu Kumbara mampu menembus gulungan angin kencang dari aji Bayu Bajra yang dilepaskan Rangga. Pemuda berompi putih itu tersentak kaget. Tanpa menunggu lebih lama lagi, langsung disambarnya tubuh Dewi Palasari yang tidak sadarkan diri. Kemudian dengan kecepatan laksana kilat, tubuhnya menghilang dikegelapan malam.

"Kurang ajar! Manusia pengecut!" maki Batu Kumbara sambil mengejar kearah menghilangnya Rangga. Tapi, pemuda itu telah lenyap dari pandangan matanya.

EMPAT

Di atas punggung Dewa Bayu, Rangga terus melesat menuju ke arah timur. Ketika sampai disebuah tempat yang sangat luas, hari telah menjelang pagi. Rangga menarik kekang kuda. Sehingga terdengar ringkikan keras Dewa Bayu.

Kuda itu berhenti. Dan Rangoa melompat dari punggung kudanya. Setelah itu, dia menurunkan Dewi Palasari dari punggung kudanya. Ternyata. Ketua Padepokan Merak Emas itu masih belum sadarkan diri. Dan Rangga segera membawanya ke bawah pohon berdaun rindang. Kemudian, ditelungkupkannya tubuh Dewi Palasari disitu.

Rangga duduk bersila di samping Dewi Palasari yang masih tertelungkup. Lalu, kedua telapak tangannya diletakkan di punggung wanita ini. Tidak lama kemudian, mata Rangga terpejam. Kini mulai dikerahkannya hawa murni kebagian telapak tangan.

Terasa ada hawa hangat menjalari sekujur tubuh Dewi Palasari. Sebentar saja, terdengar suara erangan lirih dari mulut gadis itu. Rangga terus mengerahkan hawa murninya. Sekujur tubuhnya telah bersimbah keringat. Tidak sampai sepemakan sirih, Rangga menarik tangannya dari punggung Dewi Palasari. Segera Rangga berbalik ke arah lain. Masih dalam keadaan bersila, jalan napasnya diatur.

"Mudah-mudahan pukulan Manusia Bangkai itu tidak mengandung racun. Luka dalam yang diderita ternyata tidak ringan. Seharusnya dia tidak nekat seperti itu...!" gumam Rangga, pelan.

Pendekar Rajawali Sakti menyandarkan tubuhnya pada batang pohon. Ingatannya menerawang pada pertempuran yang terjadi tadi malam.

"Aku belum pernah melihat mata manusia dapat mencelakakan orang lain seperti itu. Manusia iblis itu benar-benar sakti. Tubuhnya pun tidak mempan senjata. Hm...!" gumam pemuda berompi putih ini seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Seandainya aku tidak menghiraukan keselamatan Ketua Padepokan Merak Emas, sebenarnya aku ingin terus bertarung sampai titik darah yang penghabisan. Sekarang, dia punya kesempatan menghancurkan perguruan-perguruan lain, seperti yang pernah dikatakan Peramal Tuna Netra padaku..."

"Uuuh... Di manakah aku .?" rintih Dewi Palasari yang rupanya mulai siuman kembali.

Gadis itu segera bangkit duduk. Dia merasa bagian dadanya yang semula seperti remuk, sekarang sudah tidak sakit lagi. Ketika kepalanya berpaling memperhatikan sekelilingnya, dia langsung terkejut. Di bawah pohon, tampak bersandar seorang pemuda tampan berompi putih. Dewi Palasari mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ingatannya timbul kembali. Pemuda itulah yang telah menolongnya dari kematian, ketika Batu Kumbara melepaskan pukulan yang sangat dahsyat ke arahnya.

"Kisanak..!" panggil Ketua Padepokan Merak Emas ini, ragu-ragu.

"Namaku, Rangga. Panggil saja begitu. Dan kurasa, umur kita tidak terpaut jauh. Jadi, aku akan memanggilmu Dewi saja...!" tegas Rangga berusaha bersikap ramah.

"Kaukah yang telah menolongku...?" tanya gadis itu dengan wajah bersemu merah.

Rangga tersenyum. "Aku hanya memindahkan kau ketempat yang lebih aman."

"Terima kasih atas pertolonganmu! Tapi..., bagaimana dengan manusia durjana itu?" tanya Dewi Palasari ingin tahu.

"Dengan terpaksa aku meninggalkannya dalam keadaan penasaran!" sahut Rangga, kalem.

"Kau telah melarikan diri dari pertempuran?" Dewi Palasari membelalakkan matanya.

"Aku ingin menyelamatkanmu! Kurasa, masih ada waktu untuk mencarinya...!"

"Tapi dengan begitu, dia akan punya banyak kesempatan membunuh tokoh-tokoh persilatan yang tidak berdosa. Tidakkah kau lihat, bagaimana murid-muridku yang terbantai, bahkan diperkosa olehnya?" kata Dewi Palasari dengan nada meninggi.

"Aku telah melihat salah satu kekejaman dan kebuasannya. Tapi, kau juga harus ingat kalau Batu Kumbara kebal terhadap senjata. Selain itu, matanya juga sangat berbahaya. Bertindak tanpa perhitungan dan pertimbangan, adalah konyol. Lagi pula...!" Rangga tiba-tiba saja menjadi ragu.

"Lagi pula apa?" desak Dewi Palasari penasaran.

Pendekar Rajawali Sakti terdiam sejenak. Dia teringat pesan Peramal Tuna Netra. "Sebenarnya, aku mengemban tugas yang diberikan seseorang," ujar pemuda itu, pelan saja suaranya.

"Maksudmu?" Ketua Padepokan Merak Emas semakin tertarik.

Kemudian secara panjang lebar Pendekar Rajawali Sakti menceritakan pertemuannya dengan Ki Kambaya di daerah selatan. Sementara Dewi Palasari mendengarkan penuh perhatian.

"Jadi, Peramal Tuna Netra yang menyuruh Kakang menolongku...?" tanya Dewi Palasari begitu Rangga menyelesaikan ceritanya.

Rangga tertegun. Tanpa diminta, rupanya gadis ini telah memanggilnya Kakang. Tapi kemudian sikap Rangga biasa-biasa saja. "Benar! Apa kau mengenalnya?" tanya Rangga balik bertanya.

Ketua Padepokan Merak Emas menggelengkan kepalanya. "Aku memang pernah mendengar nama peramal buta itu disebut-sebut orang. Tapi, jumpa secara langsung belum pernah. Kalau memang benar apa yang dikatakannya, berarti Batu Kumbara sekarang telah pergi kepadepokan lain untuk mengadakan kekacauan dan pembunuhan. Lalu, apa tindakan kita?" kata Dewi Palasari, meminta pendapat.

"Kita tidak tahu, padepokan mana yang menjadi sasaran berikutnya. Tapi menurutku, tentulah padepokan terdekat dari sini!"

"Padepokan terdekat hanya Padepokan Kapak Sakti yang terletak di daerah Gunung Kidul!" jelas Dewi Palasari.

"Kalau begitu, aku harus ke sana!" kata Rangga sambil bangkit berdiri.

"Kakang! Apakah kau keberatan jika aku ikut denganmu?" tanya Dewi Palasari sambil memandang tajam kepada Rangga.

Saat itu, rupanya Rangga juga sedang memandanginya. Sehingga pandangan mereka saling bertemu. Seketika bergetar hati Dewi Palasari. Tanpa disadari, Rangga pun sempat merasakan getaran itu. Wanita ini memang sangat cantik. Tapi ketika pemuda ini teringat Pandan Wangi, bayangan Dewi Palasari segera ditepisnya.

"Kakang...!" Suara lembut Dewi Palasari telah membuyarkan lamunan Rangga.

"Hm...!" gumam Rangga tidak jelas.

"Bolehkah aku menyertaimu?"

"Tentu saja. Mari kita berangkat...!" kata Rangga.

Matahari pagi mulai memancarkan sinarnya, ketika kedua anak muda ini menelusuri padang rumput yang sangat luas. Sementara itu, Dewa Bayu terus mengiringi mereka tidak jauh di belakang Rangga dan Dewi Palasari.

********************

Gunung Kidul sejak dulu memang merupakan daerah gersang yang sangat tandus dan kering. Sangat jarang tumbuh tumbuhan hidup di daerah ini. Batu-batu berserakan di mana-mana. Tidak heran jika para penduduk enggan berlama-lama tinggal di sana.

Sungguhpun begitu, ada sebuah tempat yang tidak pernah ditinggalkan para penghuninya, yaitu sebuah padepokan yang sudah tua. Namanya, Padepokan Kapak Sakti. Padepokan itu dipimpin seorang laki-laki berusia lanjut bernama Bagas Salaya.

Di padepokan yang terletak di daerah terpencil ini, setiap hari selalu terdengar suara hiruk-pikuk dari murid-murid yang sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Sebagaimana biasanya, setiap pagi murid tertua Ki Bagas Salaya yang bernama Droma Hangkara selalu melaporkan perkembangan silat saudara-saudara seperguruannya.

Matahari sudah mulai meninggi, ketika Droma Hangkara menghampiri Ki Bagas Salaya yang sedang duduk di atas batu cadas bundar berpakaian pangsi hitam. Tubuhnya yang hitam legam karena selalu terjemur matahari, tampak kokoh. Bisa ditebak kalau laki-laki tua ini selalu melakukan olah badan.

"Murid datang menghadap, Guru!" lapor Droma Hangkara sambil menghaturkan sembah.

Mata keriput yang tertutupi alis serba putih itu membuka perlahan. Tatapan matanya yang berwibawa memandang tajam Droma Hangkara. "Bagaimana dengan saudara-saudara seperguruanmu?" tanya Ki Bagas Salaya, pelan sekali suaranya.

"Hari demi hari mereka mengalami kemajuan yang sangat menggembirakan, Guru," jawab Droma Hangkara.

Ki Bagas Salaya mengelus-elus jenggot panjangnya yang sudah memutih seluruhnya. "Dua puluh hari lagi, kita sudah harus berangkat ke Gunung Kelud. Di sanalah kau dapat menunjukkan kehebatan ilmu olah kanuragan yang telah kau peroleh dariku! Pergantian ketua partai aliran putih, sudah dekat waktunya. Jika saja kita berhasil memenangkan pertandingan, maka berhak menggantikan kedudukan pimpinan partai yang sekarang dipegang Naga Merah." jelas Ki Bagas Salaya.

"Asal kita berusaha keras untuk mendapatkannya, kukira usaha kita akan mendatangkan hasil, Guru!" tegas Droma Hangkara penuh keyakinan.

"Kupikir juga demikian, Muridku! Kesempatan memimpin partai aliran putih adalah satu kehormatan. Jika kesempatan itu didapatkan, akan membuat pamor kita semakin tinggi di kalangan rimba persilatan."

"Itulah yang selalu kutunggu-tunggu."

"Sebagaimana halnya kita, semua ketua persilatan juga menunggu kesempatan yang datangnya hanya sekali dalam empat tahun ini. Nah... Sekarang, kembalilah kau ketempat latihan. Tingkatkan kemampuan mereka dengan semua kemampuan yang kau miliki!" ujar Ki Bagas Salaya.

"Aku akan melaksanakannya, Guru," sahut Droma Hangkara sambil menjura penuh rasa horrhat.

Laki-laki berusia tiga puluh tahun ini baru saja bangkit berdiri, ketika dari arah puncak bukit terdengar suara tawa tergelak-gelak. Kemudian disusul terciumnya bau busuk bangkai yang menebar memenuhi tempat ini.

Droma Hangkara tersentak kaget. Semetara Ki Bagas Salaya langsung memandang ke arah datangnya suara tawa tadi. Mereka berdua melihat seorang laki-laki bertelanjang dada berdiri berkacak pinggang tidak jauh di belakang bangunan padepokan ini. Sambil terus tertawa-tawa seperti orang gila, laki-laki bertampang seperti iblis ini bergerak cepat ke arah mereka. Langsung dilompatinya atap padepokan, dan mendarat di hadapan Ki Bagas Salaya.

Melihat gelagat yang tidak baik ini, Droma Hangkara segera meraba pinggangnya yang terselip sebilah kapak berbentuk pipih dan berkilat-kilat tajam.

"Ha ha ha...! Aku ingin bertemu Ketua Padepokan Kapak Sakti ini...!" kata Batu Kumbara sambil berkacak pinggang.

"Apa maksudmu ingin menemui Ketua Padepokan Kapak Sakti?" tanya Ki Bagas Salaya sambil memperhatikan orang di depannya dengan tatapan penuh curiga.

"Tujuanku sudah sangat jelas. Tiga tahun yang lalu, dia hutang penderitaan padaku!"

Kening Ki Bagas Salaya berkerut dalam. Tiga tahun yang lalu? Batin laki-laki tua itu bertanya-tanya, sambil berusaha mengingat-ingat. Sekarang barulah dia ingat. Tiga tahun yang lalu, dia bersama Ketua Padepokan Golok Perak dan juga ketua padepokan-padepokan lainnya, meringkus seorang manusia durjana yang telah melakukan perampokan dan pembunuhan semena-mena. Orang itu mereka rantai di Lembah Batang. Hampir setiap hari orang-orang datang dari berbagai daerah untuk menyiksanya.

"Apakah kau mengingatnya, Kisanak?" tanya Batu Kumbara setelah memperhatikan laki-laki tua didepannya dalam waktu cukup lama.

"Hm. Kaukah yang bernama Batu Kumbara, manusia durjana yang telah menjalani siksa di Lembah Batang?" dengus Ki Bagas Salaya. Sementara, hatinya terkejut juga melihat kehadiran sosok yang sangat rusak itu.

"Bagus, kalau kau mengingatnya. Berarti tidak perlu kujelaskan padamu jika hari ini aku meminta nyawa Ketua Padepokan Kapak Sakti!"

"Hei, Manusia Buruk Rupa!" bentak Droma Hangkara yang merasa tersinggung karena sikap Batu Kumbara yang tidak memandang sebelah mata pada gurunya." Mulutmu kelewat lancang! Tidak sadarkah, kau dengan siapa berhadapan?"

Batu Kumbara melirik ke arah Droma Hangkara sekilas saja. Bibirnya tersenyum mengejek. "Hei, Anak Ingusan! Aku tahu, aku sedang berhadapan dengan Ketua Padepokan Kapak Sakti. Makanya, kau jangan mencampuri urusanku!" desis Batu Kumbara.

Wajah pemuda itu berubah merah padam. Belum pernah ada orang yang berani menghinanya sedemikian rupa. Tapi laki-laki jelek bertampang iblis dan berbau busuk itu berkata seenak perutnya saja. Maka dengan sangat marah, dia bermaksud menyerang Batu Kumbara.

Tapi gerakan Droma Hangkara terhenti tiba-tiba, ketika melihat gurunya memberi isyarat padanya untuk menahan serangan. Dengan perasaan kecewa, serangan ditarik kembali. Sementara, tawa Batu Kumbara semakin bertambah keras.

"Ternyata gurumu lebih tahu, bagaimana cara menghormati seorang tamu...."

"Batu Kumbara! Seharusnya manusia busuk sepertimu sudah mampus di Lembah Batang. Tapi, ternyata kau masih mampu bertahan. Bahkan kini dapat meloloskan diri," kata Ki Bagas Salaya, menyelidik.

"Tentu saja kau heran, Kakek Renta. Semula, pasti kau dan kawan-kawanmu menyangka saat ini aku hanya tinggal tulang-belulang saja di Lembah Batang. Ternyata, dugaan kalian salah besar. Dan sekarang, lihatlah ke arah batu itu!" ujar Batu Kumbara sambil menunjuk ke arah sebongkah batu sebesar kerbau yang berada sepuluh batang tombak didepan mereka.

Dengan perasaan heran, guru dan murid itu memandang kearah batu yang ditunjuk Manusia Bangkai. Sementara itu, tubuh Batu Kumbara tampak bergetar hebat. Selanjutnya mata iblisnya telah berubah memerah laksana bara!

Begitu laki-laki berwajah mengerikan ini mengedipkan matanya, maka dua leret sinar berwarna merah membara melesat laksana kilat ke arah batu besar itu. Dan sebentar saja, terdengar ledakan dahsyat yang terasa seperti mengguncang daerah di sekitarnya. Batu sebesar gajah itu hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Debu seketika membubung tinggi keangkasa. Baik Droma Hangkara maupun Ki Bagas Salaya sama-sama terkesiap melihat kehebatan yang dimiliki manusia iblis itu.

Setelah menunjukkan kehebatannya, Batu Kumbara berbalik. "Kalau tubuhmu yang tua itu sehebat batu yang hancur di depan sana, mungkin kau dapat selamat dari kematian. Tapi..., itu pun harus melihat peruntunganmu!" ancam Batu Kumbara, menggeram.

"Kau pikir setelah melihat permainanmu itu, aku takut?!" teriak Droma Hangkara marah sekali.

"Ha ha ha...! Lagi-lagi kau bertindak sebagai pahlawan. Aku ingin melihat, sampai sejauh mana kehebatan murid tertua Padepokan Kapak Sakti...!" dengus Batu Kumbara sengit.

Tiba-tiba Batu Kumbara mengibaskan tangannya ke arah Droma Hangkara. Melihat hal itu murid tertua Padepokan Kapak Sakti dengan gesit menghindari serangan hawa dingin yang dilancarkan Batu Kumbara.

Serangan gencar Manusia Bangkai mencapai tempat kosong. Laki-laki ini menggeram marah. Dan begitu tubuhnya berbalik, dia telah bersiap-siap melepaskan pukulan Iblis Gentayangan

"Hiaaa...!" Disertai teriakan keras menggelegar, Manusia Bangkai langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan. Maka dari kedua telapak tangannya, meluncur dua sinar hitam yang berkesiuran tajam mengandung kekuatan dahsyat. Selain mengandung racun yang sangat keji, luncuran angin itu dapat mematikan lawannya dengan seketika.

Melihat kenyataan ini, Droma Hangkara terkesiap. Tapi segera disadari ada bahaya yang mengancam. Maka segera dikerahkannya jurus-jurus Padepokan Kapak Sakti yang sangat hebat.

Wusss!

Dua leret sinar hitam hampir tiba, Droma Hangkara segera memutar kapak di tangannya. Sementara tangan kiri melepaskan pukulan Inti Sukma untuk menghalau serangan.

Glar! Glar!

Dua kali ledakan berturut-turut terdengar. Debu-debu beterbangan. Tubuh Batu Kumbara bergetar hebat. Sementara, Droma Hangkara sendiri terpelanting roboh. Lebih mengenaskan lagi, tubuhnya berubah menghitam. Mata kapak yang berada dalam genggaman telapak tangannya juga berubah hitam!

Ki Bagas Salaya yang terus memperhatikan jalannya pertempuran tampak terkejut. Sama sekali tidak disangka dalam beberapa kali gebrakan saja, murid utamanya telah terjengkang dengan jiwa melayang.

"Manusia iblis! Tindakanmu sangat kejam!" bentak Ki Bagas Salaya. Laki-laki tua itu segera melompat ke depan. Dan tahu-tahu, dia telah berdiri di depan Batu Kumbara.

Sementara itu, murid-murid Padepokan Kapak Sakti lainnya yang telah mendengar keributan telah berada di sekitar tempat pertempuran. Mereka langsung mengurung Batu Kumbara dari segenap penjuru arah. Sedangkan laki-laki bertelanjang dada dan berwajah angker ini memperhatikan mereka satu demi satu.

"Kalian benar-benar menghendaki kematian, telah berani mengurungku begini rupa!" bentak Batu Kumbara.

Tiba-tiba laki-laki menggiriskan ini menggerakkan kedua tangannya ke delapan penjuru. Maka seketika beberapa leret sinar hitam pekat melesat dari telapak tangan Manusia Bangkai. Hanya dalam waktu sangat singkat, udara di sekitamya telah berubah menjadi dingin menggidikkan, Kemudian, terdengar jerit kematian disana-sini. Beberapa sosok tubuh berpelantingan roboh. Tubuh mereka telah berubah menghitam. Sementara, dari mulut dan hidung mereka mengucur darah yang telah berubah hitam pula.

LIMA

Jeritan-jeritan terus terdengar dan saling susul-menyusul. Korban pun semakin banyak berjatuhan. Ki Bagas Salaya yang melihat semua kejadian ini, menjadi terkejut bukan kepalang.

"Mundur kalian semua...!" teriak Ketua Padepokan Kapak Sakti memberi aba-aba pada muridnya.

Sisa murid Padepokan Kapak Sakti yang hanya tinggal beberapa orang segera menjauh dari pertempuran Ki Bagas Salaya melompat kedepan sambil melintangkan kapaknya didepan dada.

"Tindakanmu benar benar sangat keji, Batu Kumbara! Kau bunuh murid-muridku yang tidak berdosa!" gerem Ki Bagas Salaya dengan wajah berubah merah padam.

"Ha ha ha...! Tidak perlu gusar, Kakek Renta. Anggap saja kau membayar semua hutangmu berikut bunganya. Kau pun tidak perlu merasa berkecil hati. Karena, sebentar lagi akan mendapat giliran yang sama!"

"Bangsat! Aku tidak akan pernah merasa puas sebelum mencincang tubuhmu...!"

Bergetar sekujur tubuh Ki Bagas Salaya. Diam-diam, tenaga dalamnya mulai dikerahkan kebagian telapak tangannya. Tangan itu selanjutnya telah berubah putih berkilauan. Sambil membentak lantang, Ketua Padepokan Kapak Sakti ini mengibaskan tangan kirinya ke depan, mempergunakan tiga perempat dari seluruh tenaga dalamnya.

Batu Kumbara sama sekali tidak menduga kalau lawannya melepaskan pukulan 'Inti Surya'. Sehingga ketika pukulan berhawa panas luar biasa itu menderu kearahnya, dia sudah tidak sempat menghindarinya. Akibatnya, dengan telak pukulan itu menghantam tubuhnya.

Glar! Glar!

Terdengar ledakan dahsyat dua kali berturut-turut. Tampak Batu Kumbara jatuh terguling-guling. Dari sudut-sudut bibirnya menetes darah kental. Tapi anehnya dia sudah bangkit kembali. Bibirnya langsung menyeringai, membayangkan kekejamannya. Sementara Bagas Salaya memandang lawannya dengan sinar mata seakan tidak percaya.

"Hm.... Sekarang kau telah mengerti, siapa aku yang sebenarnya. Tiga tahun yang lalu, kalian bisa berbuat seenaknya. Tapi tidak untuk hari ini. Kau akan merasakan, betapa pedihnya pembalasanku!" dengus Manusia Bangkai.

Hanya dalam waktu sekejap saja kedua mata Batu Kumbara yang tajam berkilat-kilat telah berubah menjadi merah membara. Tak sampai di situ saja. Batu Kumbara juga mulai mengerahkan jurus 'Hantu Gentayangan' dalam menggempur lawannya.

Dua leret sinar merah yang melesat dari kedua mata Batu Kumbara melesat kearah Ki Bagas Salaya. Namun Ketua Padepokan Kapak Sakti ini, dengan mengandalkan jurus Bayang-bayang Menerjang sudah bergerak menghindar. Sinar merah yang melesat dari mata Batu Kumbara hanya menghantam batu besar di belakang Ki Bagas Salaya, sehingga menimbulkan ledakan menggelegar.

Manusia Bangkai tampaknya terkejut sekali melihat kenyataan di depan matanya. Sama sekali tidak disangka kalau lawannya masih dapat menghindari serangannya. Bahkan sekarang telah berusaha mendesaknya dengan serangan kapak di tangan yang demikian gencar.

"Hiyaaa...!" Batu Kumbara berteriak nyaring. Tangan kirinya dengan nekat bermaksud mencengkeram senjata lawannya. Namun dengan gerakan sangat tak terduga, Ki Bagas Salaya membelokkan serangan ganas kebagian perut.

Manusia Bangkai berteriak nyaring. Tangan kirinya bergerak cepat ingin menyambar senjata lawan. Namun dengan gesit, Ketua Padepokan Kapak Sakti berhasil menarik senjatanya. Bahkan langsung bergerak mendesak dengan serangan kapaknya yang cukup gencar!

Crak!

"Eeeh...!" Ketua Padepokan Kapak Sakti ini jadi terkejut setengah mati. Dan dengan cepat dia melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Tangannya yang memegang gagang kapak terasa kesemutan. Sementara, perut lawan yang dihantam dengan kapaknya sedikit pun tidak mengalami akibat apa-apa.

"Bangsat! Ternyata dia kebal senjata tajam!" laki-laki renta itu memaki panjang pendek.

Namun Ki Bagas Salaya tidak punya kesempatan lagi untuk berpikir lebih jauh. Karena pada saat itu, Batu Kumbara disertai teriakan melengking tinggi sudah menerjang kedepan. Sementara, kedua matanya yang memerah laksana bara sudah berkedip.

Lagi-lagi, dua leret sinar merah menerjang kearah Ketua Padepokan Kapak Sakti. Namun Ki Bagas Salaya yang telah mempunyai segudang pengalaman dirimba persilatan, bertindak cukup hari-hati. Begitu melihat serangan yang sangat mematikan itu, tubuhnya melompat ke samping kiri sambil menjatuhkan tubuhnya dan terus berguling-guling.

"Manusia keparat! Alot juga kau rupanya!" teriak Batu Kumbara, geram bukan main. Kemudian tubuh Batu Kumbara melesat ke depan melepaskan satu pukulan jarak jauh. Seketika seleret sinar hitam yang menebarkan hawa dingin membekukan kembali melabrak Ketua Padepokan Kapak Sakti.

Ki Bagas Salaya terkesiap. Segera kapak di tangannya dikebutkan sambil melepaskan satu pukulan tangan kosong. Langkah Batu Kumbara tersurut. Sementara pukulan yang dilepaskannya terus melesat, menebarkan hawa dingin membekukan. Pada saat yang sama pukulan 'Inti Surya' yang dilepaskan Ki Bagas Salaya meluncur deras. Dan...

Glar! Blar!

Dentuman-dentuman dahsyat terdengar begitu dua pukulan itu beradu. Baik Batu Kumbara maupun Ki Bagas Salaya sama-sama terpelanting roboh. Tapi, rupanya bagi Batu Kumbara hal ini tidak membawa akibat apa-apa.

Lain halnya yang terjadi terhadap Ketua padepokan Kapak Sakti ini. Dada Ki Bagas Selaya seperti mau pecah. Dari mulut serta hidungnya mengucur darah kental yang sangat banyak. Dengan tertatih-tatih, Ki Bagas Salaya berusaha bangkit berdiri, kendati terhuyung-huyung. Wajahnya yang pucat tampaknya sudah tidak dihiraukan lagi.

Melihat keadaan lawannya, Batu Kumbara menyeringai kejam. "Ajal bagimu sudah hampir tiba, Kakek Renta! Seperti apa yang kukatakan pertama tadi, sekarang bersiap-siaplah menyongsong ajal!" desis Manusia Bangkai.

Ki Bagas Salaya sama sekali tidak menyahut. Saat itu, mata iblis Batu Kumbara telah berkedip. Sekali ini, tampak cahaya terang menyilaukan mata menderu kearah Ketua Padepokan Kapak Sakti. Akibat luka dalam yang cukup parah, rupanya Ki Bagas Salaya merasa tidak mampu menghindari serangan yang sangat mematikan itu. Sehingga, hanya mampu memutar senjata di tangannya untuk melindungi diri.

Wus!

"Heaaa...!" Kapak berbentuk pipih itu menderu, menimbulkan sinar putih bergulung-gulung menyilaukan mata. Pada saat itu, sinar merah membara yang melesat dari kedua mata Batu Kumbara langsung menghantam pertahanan Ki Bagas Salaya.

Glar!

Terjadi benturan yang sangat hebat. Ki Bagas Salaya langsung menjerit sambil melepaskan kapaknya yang meleleh seperti air. Tubuhnya terpelanting roboh. Sekujur tubuhnya. tampak melepuh, bagai tersiram air panas. Sambil mengerang kesakitan, dilepaskannya pukulan terakhir kearah Batu Kumbara yang sedang bergerak mendekati.

"Manusia setan!" teriak Batu Kumbara ketika melihat datangnya sinar putih mengancam ke arahnya.

Batu Kumbara kembali mengedipkan matanya. Sehingga, kembali meluncur sinar hitam. Akibatnya, pukulan yang dilepaskan Ki Bagas Salaya langsung berbalik. Bahkan langsung menghantam Ketua Padepokan Kapak Sakti itu.

"Aaa...!" Terdengar suara teriakan yang menyayat hati. Tubuh Ketua Padepokan Kapak Sakti ini ambruk, dan tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya.

"Ha ha ha...! Mampus juga akhirnya orang-orang tidak berguna sepertimu! Rasa sakit hati ini belum terbalas, selama aku belum membasmi Padepokan Golok Perak. Dananjaya adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam penderitaan yang kualami selama ini! Tunggu.... Aku akan mencabut nyawa kalian!" teriak Batu Kumbara. melengking tinggi. Kemudian tubuhnya berkelebat ke satu arah tanpa menghiraukan mayat-mayat yang bergelimpangan.

"Hiya! Hiyaaa...!" Rangga menggebah kudanya melewati jalan berbatu yang membentang didepannya. Sementara di belakangnya, duduk seorang gadis cantik bertahi lalat di dagu. Gadis berbaju kuning gading ini, tidak lain dari Dewi Palasari, Ketua Padepokan Merak Emas.

"Kita sudah hampir sampai, Kakang! Rumah diatas bukit itu adalah Padepokan Kapak Sakti!" jelas Dewi Palasari sambil memegangi pinggang Rangga.

"Hm...!" gumam Rangga tidak jelas. Mata Pendekar Rajawali Sakti menyipit. Ada rasa heran terpancar lewat tatapan matanya. Semakin mendekati bangunan yang terbuat dari kayu jati berukir indah itu, maka keheranan di hati Rangga semakin bertambah besar.

"Tampaknya, ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi disini!" kata Rangga, pelan suaranya.

"Apa maksud Kakang?" tanya Dewi Palasari, tidak mengerti.

"Lihatlah di sana!" Rangga menunjuk ke satu tempat.

"Hooop...!" Rangga menarik tali kekang, membuat kuda itu meringkik keras. Pemuda berompi putih ini menepuk-nepuk punggung Dewa Bayu.

"Tenang-tenanglah kau di sini, Dewa Bayu!" ujar Rangga.

Rangga dan Dewi Palasari melompat dari punggung Dewa Bayu. Tidak lama kemudian, mereka sudah berlari-lari kecil mendekati bangunan besar itu.

"Sepi...!" desah Dewi Palasari. Pandangannya beredar ke sekeliling.

"Kakang! Telah terjadi pembantaian disini...!" kata Dewi Palasari dengan perasaan gelisah.

"Gila! Tidak seorang pun murid padepokan Kapak Sakti yang tersisa. Melihat luka-lukanya, pastilah semua ini hasil perbuatan Manusia Bangkai!" dengus Rangga, menggeram marah. Wajahnya berubah merah, dengan geraham bergemelutuk. Kemudian kepalanya menoleh pada Dewi Palasari yang sibuk memeriksa mayat-mayat yang bergelimpangan itu. pakah kau dapat memastikan bahwa ketua padepokan ini ada di antara mereka?"

"Tunggu, Kakang! Aku sedang berusaha menelitinya," sahut Ketua Padepokan Merak Emas sambil terus memeriksa mayat-mayat itu satu per satu.

Sampai di satu tempat yang agak terpisah, Dewi Palasari memperhatikan keadaan satu sosok di depannya lebih teliti lagi. "Aku telah menemukannya, Kakang!" teriak gadis itu dengan suara bergetar.

Dengan tergesa-gesa, Rangga datang menghampiri. Dia berdiri tegak di samping Dewi Palasari. "Keadaannya jauh lebih mengenaskan bila dibandingkan mayat-mayat lainnya. Dugaanmu terbukti. Tanpa sengaja, aku telah memberi kesempatan pada manusia iblis itu menebar kematian di mana-mana," desah Rangga menyesali.

"Jangan berkecil hati, Kakang! Masih ada kesempatan bagi kita untuk menghancurkan Manusia Bangkai dipuncak Gunung Kelud!"

"Ya.... Kata-katamu memang benar. Tapi, kurasa korban akan berjatuhan lagi."

"Memang! Hanya, kita tidak punya kesempatan untuk melakukan pengejaran. Di sini tidak ada seorang pun, selain kita berdua. Kita harus menguburkan mayat-mayat ini secara layak!"

Rangga terdiam untuk beberapa saat. Tampaknya, ada sesuatu yang sangat merisaukan hatinya. "Dewi!" suara Rangga hampir tidak terdengar.

Dewi Palasari menoleh. "Ada apa, Kakang?"

"Batu Kumbara membunuh ketua dan seluruh murid Padepokan Kapak Sakti ini. Menurutmu, apakah diantara mereka ada persoalan tertentu?"

Dewi Palasari yang mengetahui banyak tentang peristiwa hukuman yang dijatuhkan orang-orang persilatan terhadap manusia iblis ini, tanpa ragu segera menjawab.

"Memang benar, Kakang. Tiga tahun yang lalu, Bagas Salaya termasuk salah satu tokoh yang ikut menentukan pilihan terhadap hukuman yang pantas dijalani Batu Kumbara...."

"Pantas!" kata Rangga, baru mengerti duduk persoalan yang sebenarnya.

"Selain itu, masih ada satu tokoh lagi yang paling bertanggung jawab. Dia adalah Ketua Padepokan Golok Perak yang bernama Ki Dananjaya. Bahkan dia pula yang mengepalai rombongan, dan menyeret Batu Kumbara ke Lembah Batang," jelas gadis berbaju kuning dari bahan sutera ini.

"Hm.... Kalau begitu, korban Manusia Bangkai berikutnya adalah Padepokan Golok Perak! Bagaimana? Apakah kita harus kesana atau menguburkan mayat-mayat ini?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, seakan minta pendapat.

Dewi Palasari tercenung sejenak. "Padepokan Golok Perak terletak didaerah Wales. Kita memerlukan waktu sepekan untuk sampai ke sana. Selain itu, kita sudah tidak punya kesempatan untuk kembali kesini. Kalaupun ada, mayat-mayat mereka sudah telanjur busuk. Atau mungkin, hanya tinggal tulang-belulang saja. Menurutku, alangkah lebih baik jika mengurus mayat-mayat ini lebih dahulu baru setelah itu, kita langsung ke puncak Gunung Kelud!"

Rangga akhirnya mengalah. Mereka dengan mempergunakan peralatan seadanya mulai melakukan penggalian.

********************

Malam ini suasana di Padepokan Golok Perak tampak sunyi sekali. Murid-murid padepokan tampak duduk-duduk di pendopo depan. Berbeda dengan padepokan lain diseluruh tanah Jawa yang rata-rata memiliki murid cukup banyak, Padepokan Golok Perak yang dipimpin seorang laki-laki setengah baya yang bernama Ki Dananjaya itu, hanya mempunyai murid sebanyak sepuluh orang saja. Dan patut diketahui, walaupun Padepokan Golok Perak memiliki murid tidak begitu banyak, namun dapat diandalkan Rata-rata muridnya memiliki kepandaian tinggi.

"Malam ini udara terasa sangat dingin, Kakang Rahasta!" celetuk salah seorang murid yang sedang berkumpul di ruangan pendopo.

"Memang tampaknya demikian, Durutama. Padahal, sudah lama sekali tidak turun hujan," sahut orang yang dipanggil Rahasta.

Kemudian ruangan berubah menjadi sunyi kembali. Namun di lain saat, mereka saling berpandangan. Ada keheranan menyelinap di hati masing-masing.

"Apakah Kakang mencium bau sesuatu?" tanya pemuda bernama Durutama, pada Rahasta yang duduk tidak jauh di depannya.

"Bau busuknya bangkai!" desis Rahasta sambil mengendus-endus.

Bau busuk yang tercium semakin lama semakin kuat. Terlebih-lebih ketika angin, dari arah utara berhembus kencang.

"Aneh! Padahal di sekitar sini tidak ada binatang atau ayam mati..!" desis Durutama.

"Bagaimana kau bisa mengetahuinya, Durutama?" tanya Rahasta sambil memandang tajam pada adik seperguruannya dengan tatapan penuh selidik.

"Siang tadi, aku keliling kebun. Dan aku tidak menemukan bangkai apa pun."

Rahasta yang merupakan murid tertua merasa curiga. Sekejap kemudian, dia sudah bangkit berdiri. Matanya memandang ke arah kegelapan malam yang sunyi. Setelah itu, dia melompat dari ruangan pendopo.

Sementara itu, dari bawah pohon tampak sepasang mata berkilat-kilat tajam mengawasi gerak-gerik Rahasta. Bibirnya yang rusak menyunggingkan seulas senyum mengejek. Sementara, matanya tampak berbinar-binar liar bercampur dendam.

"Hiruplah napas sepuas kalian. Sebentar lagi, Padepokan Golok Perak hanya tinggal nama saja!" dengus orang itu sambil meludah ke tanah.

Suara mendesah tadi ternyata sempat terdengar oleh murid murid Padepokan Golok Perak ini.

"Eeeh! Apakah kalian mendengar sesuatu?" tanya Rahasta, curiga.

"Seperti orang meludah, Kakang!" sahut yang lainnya.

Mereka mulai ikut-ikutan turun dari pendopo, kemudian menyapu pandang ke sekelilingnya.

"Nyalakan api!" perintah Durutama pada salah seorang saudara seperguruan yang berdiri tegak tidak jauh di sampingnya.

Pemuda itu langsung menghampiri sebuah obor, kemudian menyerahkan obor yang telah menyala pada Durutama. Pada saat itulah terdengar suara tawa tinggi melengking yang terasa mengguncangkan gendang telinga. Murid-murid Padepokan Golok Perak terkesiap. Mereka segera mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi diri dari pengaruh suara tawa.

"Ha ha ha...! Kalian semuanya memang memiliki pendengaran yang tajam. Tidak salah jika kalian menjadi anjing-anjing yang bakal menghuni lubang kubur!"

Belum lagi lenyap gema suara yang sangat menyeramkan, tiba-tiba dan kegelapan malam melesat sosok tubuh bertelanjang dada. Sekujur tubuhnya yang dalam keadaan rusak dan dipenuhi luka, membuat penampilannya semakin bertambah angker!

"Batu Kumbara!" desis Rahasta.

Beberapa hari belakangan, Rahasta memang telah mengetahui kalau laki-laki yang menjalani hukuman di Lembah Batang ini dapat meloloskan diri. Bahkan dia sendiri yang menemukan mayat adik seperguruannya di tempat itu dalam keadaan rusak.

"Hm. Rupanya, matamu lebih awas dan mengenali siapa aku, Rahasta?" dengus Manusia Bangkai sambil menyeringai lebar.

"Siapa yang tidak kenal manusia busuk durjana sepertimu? Setan-setan kuburan pun pasti mengenalmu!" bentak murid tertua Padepokan Golok Perak ini, berang.

ENAM

Sepasang mata Batu Kumbara tampak berubah bengis. Dipandanginya Rahasta tanpa berkedip sedikit pun. Seingatnya, pemuda yang satu ini dulu sering bergantian dengan Sapta Renggi dalam melihat keadaannya di Lembah Batang. Dan Rahasta juga pernah melukai kulit dadanya, kemudian menyiram luka yang dideritanya lengan air jeruk nipis hingga menimbulkan rasa perih yang menusuk. Mengingat itu, tiba tiba Manusia Bangkai ini menggeram marah.

"Kau...!" Batu Kumbara menunjuk Rahasta. "Dulu kau juga pernah ikut menyiksaku. Tahukah kau, apa yang akan kulakukan padamu?"

"Setelah melihat kematian adik seperguruan kami Sapta Renggi, tentu saja aku tahu pa tujuanmu kemari. Tapi, ingat! Waktu itu aku hanya menjalankan perintah. Jika kau kini ingin membalas dendam, apakah dikira aku takut padamu?" kata Rahasta tanpa mengenal rasa gentar sedikit pun.

"Ha ha ha...! Kalau kepandaianmu hanya setahi kuku, jangan sekali-kali jual lagak didepanku! Rasakanlah...!" teriak Batu Kumbara.

Tubuh Manusia Bangkai laksana kilat melesat ke depan sambil melepaskan satu jotosan menggeledek. Namun diluar dugaan dari arah samping menderu sambaran golok kearah kaki Batu Kumbara.

Sambil memaki panjang pendek, Batu Kumbara menarik balik serangannya. Kemudian dilepaskan satu tendangan menggeledek kearah murid-murid Padepokan Golok Perak. Tendangan yang dilakukan secara beruntun itu disertai pengerahan ilmu 'Iblis Gentayangan' yang dipelajarinya dari Makhluk Kegelapan.

Seketika angin kencang menderu. Sehingga, membuat sesak dada para pengeroyok. Bahkan tidak lama kemudian, terdengar jerit kesakitan ketika tendangan Batu Kumbara menghantam remuk dada salah seorang murid.

Melihat kematian saudara seperguruan, yang lain bukan semakin lumer nyalinya. Sebaliknya. sembilan orang lain langsung menyerbu dengan senjata terhunus. Secara serentak, mereka segera mempergunakan jurus 'Mengusir Awan Kelabu'.

Bukan main hebat dan cepatnya serangan yang dilakukan murid-murid Padepokan Golok Perak ini. Sehingga hanya dalam waktu sangat singkat, pertarungan seru pun terjadi.

Tapi Batu Kumbara tidak bisa dianggap enteng Dengan mempergunakan jurus tangan kosong 'Menipu Para Dewa', sambaran golok lawan lawannya selalu dapat dihindari. Walaupun begitu, dia harus bertindak sangat hati-hati. Karena di antara sekian banyak serangan yang menggempur pertahanan tubuhnya, serangan Rahasta dan Durutama perlu diperhatikan.

Setelah memasuki jurus yang kedua puluh, Batu Kumbara mulai kelihatan terdesak. Bahkan golok ditangan Durutama beberapa kali menghantam bagian tubuhnya. Sebaliknya, tendangan yang dilancarkan Rahasta secara berturut-turut menghantam perutnya.

Namun, tidak urung murid Padepokan Golok Perak dibuat terkejut, ketika melihat kenyataan yang membelalakkan mata. Ternyata Manusia Bangkai selain kebal terhadap pukulan, juga kebal terhadap serangan senjata tajam.

"Gila! Orang ini benar-benar mengalami perubahan luar biasa. Dengan siapakah dia berguru?" kata Rahasta dalam hati.

Dengan penasaran, murid tertua Padepokan Golok Perak ini menghantamkan goloknya ke bagian kepala Batu Kumbara Serangan yang dilakukannya bukan serangan biasa, karena tiga perempat tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan.

Crak!

Namun yang terjadi justru sebaliknya, Rahasta malah terhuyung-huyung. Golok di tangannya nyaris terlepas. Sementara itu, bagian tangannya terasa sakit berdenyut-denyut.

Sementara dalam waktu yang bersamaan, terdengar pula jerit kematian di sana sini. Korban di pihak Padepokan Golok Perak terus berjatuhan Kenyataan ini membuat Rahasta dan Durutama semakin bertambah berang.

Kedua pemuda ini melompat mundur. Sedangkan Batu Kumbara tertawa tergelak-gelak. Dan dia terus menyerbu kearah adik seperguruan Rahasta yang hanya tinggal bersisa empat orang lagi. Memang, apa yang diucapkan Manusia Bangkai segera menjadi kenyataan. Ketika melepaskan pukulan 'Langkah Sang Iblis', dua murid padepokan itu jatuh terjengkang meregang ajal.

"Manusia terkutuk!" teriak Durutama, melihat kematian adik seperguruannya yang sangat mengenaskan.

Kini Durutama telah bersiap-siap melepaskan pukulan 'Halilintar' ke arah Batu Kumbara. Dan ketika tangan yang telah teraliri tenaga dalam berkilat, seleret sinar berwarna putih dan kuning menderu ke arah Batu Kumbara.

Namun laki-laki bertampang angker ini hanya tersenyum mengejek. Lalu dengan gerakan sangat cepat tangannya dilambaikan menyongsong pukulan yang dilepaskan Durutama.

Glar!

"Wuagkh...!"

Durutama kontan jatuh terguling-gulingan begitu pukulan jarak jauhnya membentur papakan Manusia Bangkai. Sebaliknya Batu Kumbara hanya tergetar saja tubuhnya. Sedangkan dari mulut Durutama mengucur darah segar, merupakan satu tanda kalau menderita luka dalam yang tidak ringan.

Melihat kenyataan yang dialami Durutama, tentu saja Rahasta tidak dapat tinggal diam. Segera dilepaskannya pukulan 'Halilintar' ketika melihat Batu Kumbara bersiap-siap ingin mengakhiri kehidupan saudara seperguruannya.

Pukulan yang dilepaskan dari arah samping ini, tidak dapat lagi dihindari Manusia Bangkai. Dengan telak, pukulan itu pun menghantam punggung Batu Kumbara. Tubuhnya langsung jatuh terjengkang. Punggungnya terasa panas bagai terbakar. Tapi anehnya, tidak membawa akibat apa-apa bagi Batu Kumbara. Malah ketika bangkit dan berbalik, sepasang matanya telah berubah merah membara.

Rahasta terkesiap! Mata Batu Kumbara mendadak berkedip. Maka sinar merah menghanguskan langsung meluruk ke arah tubuh Rahasta. Begitu cepat serangan itu, membuat Rahasta tak bisa berbuat apa-apa.

Blar!

"Hugkh...!"

Rahasta jatuh terhempas, begitu tubuhnya terhantam sinar merah dari mata Batu Kumbara. Sekujur tubuhnya tampak melepuh seperti orang yang menderita luka bakar. Dia berusaha bangkit berdiri. Tapi rasa sakit didadanya sudah tidak tertahankan lagi.

Sementara itu, Batu Kumbara sudah bersiap-siap mengedipkan matanya ke arah Rahasta dan Durutama sekaligus. Sedangkan kedua pemuda yang menderita luka cukup parah ini, dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki berusaha menghindari sinar merah yang melesat dari mata Batu Kumbara. Tapi, gerakan mereka tampaknya sangat lamban.

"Matilah kalian!" desis Batu Kumbara.

Durutama dan Rahasta salmg berpandangan. Mereka sudah merasa tidak punya kesempatan lagi untuk menyelamatkan diri. Namun dalam saat-saat yang sangat menegangkan, dari bagian depan ruangan pendopo terdengar bentakan yang disertai melesatnya cahaya kuning dan putih menyilaukan mata.

Batu Kumbara tersentak kaget ketika sinar yang melesat dari arah bagian pendopo itu memotong jalannya sinar yang keluar dari kedua matanya.

Glar! Glar!

Dua kali ledakan dahsyat terdengar. Tanah tempat mereka berpijak seperti dilanda gempa. Debu dan pasir beterbangan, sehingga membuat suasana di sekitarnya semakin bertambah gelap.

Tidak lama setelah keadaan disekitarnya telah berubah seperti biasa kembali, tidak jauh di depan Manusia Bangkai berdiri seorang laki-laki setengah baya. Pakaiannya merah darah. Wajahnya lonjong. Tatapan matanya memancarkan kewibawaan. Di bagian pinggang laki-laki berkumis dan berjenggot panjang ini tersandang sebilah golok besar.

"Malam-malam begini manusia iblis sepertimu mengacau kediaman orang lain! Dan..., heh?! Rupanya kau telah membunuh delapan orang muridku?" desah laki-laki berbaju merah yang tidak lain Ketua Padepokan Golok Perak.

Batu Kumbara tertawa mengekeh. "Pandanglah baik-baik wajahku yang rusak ini, Dananjaya?!" kata Batu Kumbara sengit. "Kawanmu Bagas Salaya telah kukirim ke neraka bersama seluruh muridnya. Apakah kau sudah mendengar kabar ini?"

Laki-laki bernama Ki Dananjaya ini jelas-jelas sangat terkejut. Kalau tidak melihat sendiri apa yang dilakukan oleh laki-laki yang berdiri di hadapannya ini terhadap murid-muridnya, tentu tidak akan percaya.

Bagaimana tidak? Ki Bagas Salaya sahabatnya adalah seorang tokoh golongan putih yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sangat disegani kawan maupun lawan, karena kehebatannya dalam mempergunakan kapak senjata andalannya. Jika manusia setan yang hampir mencelakakan Durutama dan Rahasta ini mampu membunuhnya, maka sama artinya laki-laki bertampang angker itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat sulit dijajaki.

"Siapa kau, Kisanak?" tanya Ki Dananjaya. Suaranya jelas-jelas mengandung teguran.

"Ha ha ha...! Apakah kau benar-benar sudah tidak dapat mengenaliku lagi, Dananjaya? Apakah kau juga lupa dengan apa yang kau lakukan pada seseorang tiga tahun yang lalu?"

Ketua Padepokan Golok Perak tampak terkejut. Sampai-sampai, kakinya tersurut mundur sejauh dua langkah. Siapa yang tidak ingat kejadian di Lembah Batang, dimana seorang laki-laki durjana menjalani hukuman atas keputusannya, dan juga keputusan kalangan persilatan?

"Hm... Jadi kau orangnya yang telah manbunuh muridku dan juga kawan-kawanku. Batu Kumbara. Hukumanmu memang sepatutnya kau terima. Kejahatanmu setinggi langit, sampai tembus ke bumi. Sangat wajar bila hal itu harus terjadi padamu!" sahut Ki Dananjaya.

"Keparat! Seenaknya kau bicara! Kau tidak pernah merasakan betapa pedihnya terpanggang dipanas matahari. Kau juga tidak pernah merasakan betapa dinginnya angin malam!"

"Lalu, apa yang kau inginkan?" tanya Ki Dananjaya, tersenyum dingin.

"Yang kuinginkan sudah sangat jelas, Dananjaya. Aku menghendaki nyawamu!" sentak Batu Kumbara berapi-api.

"Hm.... Nyawaku hanya nyawa titipan Tuhan. Jika kau menghendakinya, aku harus minta izin pada Tuhan!"

"Jangan banyak cingcong! Heaaa...!"

Batu Kumbara tiba-tiba membuat salto kedepan. Gerakannya sangat cepat dan tidak dapat terduga. Di lain kejab, dia telah sampai persis di depan Ki Dananjaya. Langsung tinjunya dihantamkan ke dada Ki Dananjaya. Namun dengan gesit Ki Dananjaya, menepis. Sehingga, benturan tenaga dalam pun tidak dapat dihindari lagi.

Plak!

Batu Kumbara tersurut mundur. Sebaliknya, Ki Dananjaya tampak tergetar tubuhnya. Ujung-ujung jemari tangannya terasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.

"Hiyaaa...!" teriak Batu Kumbara, langsung menerjang ke depan.

Laki-laki yang telah dirasuki dendam kesumat ini tak ingin lagi membuang-buang waktu lebih lama. Langsung dikerahkannya jurus 'Menipu Para Dewa' yang sangat hebat itu. Dengan gencar, dilancarkannya serangan ke arah Ki Dananjaya.

Tapi walau bagaimanapun, Ki Dananjaya adalah seorang tokoh persilatan yang telah memiliki banyak pengalaman. Sehingga untuk menjatuhkannya, tidak mudah bagi Batu Kumbara. Maka tidak dapat dihindari lagi, pertarungan pun berlangsung seru dan seimbang.

"Heaaa...!" Sambil berteriak melengking tinggi, Ki Dananjaya, mengerahkan jurus 'Mengusir Awan Kelabu'. Karena jurus ini dimainkan penciptanya, maka tidak dapat disangkal akan sangat berbahaya karena mengandung tipu daya yang sangat memarikan.

"Hup!" "Hap...!"

Tidak kalah sengitnya, Batu Kumbara mem-balas serangan-serangan gencar Ki Dananjaya. Tapi setiap serangan Manusia Bangkai ini selalu kandas, sebelum sampai sasarannya. Bahkan setelah Ki Dananjaya mengeluarkan golok pusakanya, pertempuran pun menjadi berat sebelah. Beberapa kali golok di tangan laki-laki itu menghantam dada dan perut Batu Kumbara. Tapi, tidak satu pun tebasan golok yang mengenai sasarannya mampu menembus tubuh Manusia Bangkai ini.

"Manusia iblis itu kebal terhadap senjata tajam. Guru!" teriak Durutama memberi peringatan.

"Muridku, benar. Jika aku tidak dapat menemukan titik kelemahannya, bukan tidak mungkin akan menerima nasib konyol seperti yang dialami Ki Bagas Salaya sahabatku!" kata batin Ki Danan jaya.

"Manusia busuk! Jika kau punya senjata dan pukulan yang diandalkan, cepat-cepat keluarkan!" teriak Batu Kumbara.

Sepasang mata laki-laki iblis ini sekarang telah berubah memerah. Dengan geram mata iblis dikedipkan ke arah Rahasta dan Durutama yang masih terbaring ditempatnya semula.

Seketika seleret sinar merah laksana bara datang kearah kedua murid Padepokan Golok Perak disertai suara menggemuruh. Ki Dananjaya yang baru saja mengerahkan tenaga dalam kebagian telapak tangannya, sudah tidak sempat mencegah sinar merah yang meluruk kearah murid-muridnya, kecuali teriakan peringatan.

"Awaaas...!"

Glar! Glarrr...!

Terlambat sudah. Sinar merah yang melesat dari kedua bola mata Batu Kumbara telah telak sekali menghantam Rahasta dan Durutama.

"Aaa...!"

Dalam waktu bersamaan, terdengar jeritan menyayat. Tubuh Rahasta dan Durutama tumpang tindih dalam keadaan hangus menyedihkan. Tercium bau daging busuk terbakar. Melihat keadaan murid-muridnya yang sangat mengenaskan ini, Ki Dananjaya tampak menggerung-gerung seperti harimau terluka.

"Ka..., kau telah membunuhnya?" jerit Ki Dananjaya sambil melepaskan pukulan dahsyat ke arah Batu Kumbara.

Kembali seleret sinar berwarna putih dan kuning menderu dahsyat ke arah Batu Kumbara. Namun, laki-laki ini malah tertawa. Kemudian matanya dikedipkan berturut-turut.

Wus! Wer!

Dua leret sinar meluruk seperti saling berlomba-lomba, menyongsong datangnya sinar lain. Suasana di sekitar pertempuran berubah terang benderang. Kemudian, terdengar dentuman yang sangat menyakitkan gendang telinga.

"Wuagkh...!"

Baik Ki Dananjaya maupun Batu Kumbara sendiri sama-sama menjerit kesakitan. Tubuh mereka terlempar sejauh tiga batang tombak. Dari mulut Batu Kumbara mengalir darah kental. Demikian juga yang terjadi terhadap Ki Dananjaya.

Tanpa menghiraukan luka dalam yang diderita, Ki Dananjaya bangkit berdiri. Dan dengan golok terangkat tinggi-tinggi di tangan, tubuhnya meluruk memburu kearah Batu Kumbara yang baru saja berusaha bangkit berdiri.

"Matilah kau...!" teriak Ketua Padepokan Golok Perak itu, keras.

Crok!

Golok pusaka di tangan Ki Dananjaya kontan terpental dan entah jatuh ke mana, begitu menghantam Manusia Bangkai itu. Sebaliknya Baru Kumbara yang hanya berpura-pura sempat mengirimkan tendangan 'Iblis Gentayangan' keperut Ketua Padepokan Golok Perak ini.

Des! Des!

Ki Dananjaya jatuh terjungkal. Pada saat itu pula, Batu Kumbara kembali mengedipkan matanya. Maka dua leret sinar merah terang benderang meluruk menghantam Ki Dananjaya. Ketua Padepokan Golok Perak itu tak sempat mengelak lagi. Jiwanya melayang seketika itu juga.

Batu Kumbara alias Manusia Bangkai tersenyum puas. Diinjaknya tubuh yang sudah tak bernyawa dalam keadaan hangus. Hampir semua orang yang membuatku sengsara, telah menebus kesalahannya. Tapi, aku Manusia Bangkai tidak akan berhenti sampai di sini saja. Beberapa hari lagi, akan ada pertandingan partai persilatan golongan putih untuk menggantikan pimpinan yang lama. Hm...! Jika selama bertahun-tahun kebiasaan seperti itu berlangsung aman-aman saja, maka jangan harap kali ini! Puncak Gunung Kelud akan bersimbah darah!"

********************

Panas terik yang menyengat tidak dihiraukan seorang laki-lki tua yang terus berjalan menuju ke arah timur. Sesekali tongkat hitam di tangannya bergerak kedepan. Dan mendadak, langkahnya terhenti. Wajahnya yang kemerah-merahan, mendongak kelangit. Matanya yang keseluruhan berwarna putih tampak berkeriapan. "Ah! Dunia ku gelap sekali. Sejak dulu hingga sekarang, tidak pernah kulihat di mana matahari. Tapi..., aku telah merasakan kehadirannya. Terasa panas menyengat. Orang-orang kalap berlari kencang seperti setan. Cepat atau lambat, pasti akan sampai di puncak Gunung Kelud. Kulihat dia kebal senjata dan pukulan. Tapi bukan berarti kekebalan tidak ada titik kelemahannya!" gumam kakek buta yang tidak lain Peramal Tuna Netra.

Sementara itu, di kejauhan terdengar suara derap langkah kaki kuda. Semakin lama, semakin mendekati Peramal Tuna Netra.

"Kuda dengan penunggangnya Dua orang! Tega-teganya orang itu berbuat begitu?"

Kenyataannya, memang saat ini tampak seekor kuda berbulu hitam sedang berlarian cepat kearahnya. Penunggangnya, yang satu seorang pemuda berompi putih. Sedangkan dibelakangnya duduk membonceng seorang gadis cantik berpakaian ringkas warna kuning.

Jika Peramal Tuna Netra yang buta dapat memastikan tanpa melihat berapa orang yang duduk diatas punggung kuda, ini merupakan satu tanda kalau pendengarannya sangat tajam. Tidak lama, terdengar ringkikan di belakang Peramal Tuna Netra yang bernama asli Ki Kambaya.

"Peramal Tuna Netra!" sapa pemuda berbaju rompi putih itu.

Ki Kambaya memutar tubuhnya Keningnya berkerut dalam. "Kau Rangga, bukan?"

"Benar, Ki...!" sahut pemuda yang memang Rangga kalem. Sedangkan gadis yang tak lain Dewi Palasari hanya memandang terkejut. Karena tanpa melihat, kakek itu mampu menebak siapa yang datang.

"Kudengar kudamu mendengus-dengus seperti akan mati! Apakah gadis yang duduk di belakangmu Ketua Padepokan Merak Emas?" tanya Ki Kambaya.

Kembali Dewi Palasari dibuat terkejut! Bahkan Rangga pun sampai memuji dalam hati terhadap kepandaian Peramal Tuna Netra.

TUJUH

Rangga dan Dewi Palasari saling berpandangan.

"Hei? Mengapa kalian diam semuanya? Coba katakan! Apakah gadis yang bersamamu itu Dewi Palasari, Ketua Padepokan Merak Emas, Rangga...?" Peramal Tuna Netra mengulangi pertanyaannya.

"Benar, Ki...!" sahut Rangga.

"Korban berjatuhan sudah semakin banyak Tapi, kalian malah hanya berdua-duaan saja."

Wajah Dewi Palasari bersemu merah. "Maafkan kami, Kakek Peramal. Bukannya kami membawa maksud buruk. Pendekar Rajawali Sakti telah menolongku dari rasa malu, dan membebaskan dari kematian. Bukankah semua itu atas perintah Kakek..?" sahut Dewi Palasari dengan wajah bersemu merah dadu.

"Ha ha ha! Memang benar! Tapi, tindakan kalian terlalu lama untuk menghentikan manusia durjana itu!"

"Dia kebal terhadap senjata dan pukulan, Ki. Apakah sebagai seorang peramal, kau tidak dapat mengetahuinya?" Rangga membela diri.

"Tentu saja aku tahu! Untuk itulah aku menunggu kalian di sini," ujar Peramal Tuna Netra kalem.

"Menurutmu, apakah kekebalan Manusia Bangkai tidak ada titik kelemahannya, Ki...?"

Peramal Tuna Netra tertawa aneh. "Jika semua orang yang hidup ini mengalami mati, maka setiap kekebalan pasti ada titik kelemahannya. Menusia Bangkai memiliki sumber kekuatan di bagian matanya. Menurut penglihatanku, titik kelemahannya juga ada di situ," jelas Ki Kambaya.

"Jika dapat menghancurkan matanya, maka kita dapat membunuhnya, Ki...?" Rangga menduga-duga.

"Betul.... Betul sekali...! Sekarang jangan banyak Tanya. Sudah saatnya kita berangkat!"

"Ki...!" Suara Rangga tertahan. Namun Peramal Tuna Netra telah berkelebat lenyap dari depan mereka. Pendekar Rajawali Sakti hanya menggeleng-gelengkan kepala saja.

"Sungguh orang tua aneh, tapi menakjubkan!" desah Dewi Palasari kagum.

********************

Ketika Peramal Tuna Netra tiba, lereng Gunung Kelud, telah dipenuhi para pendatang yang berasal dari berbagai padepokan di tanah Jawa. Sebuah arena yang cukup besar sebagaimana biasanya telah disediakan.

Ketua Padepokan Naga Merah yang selama empat tahun ini memimpin seluruh partai aliran putih di seluruh tanah Jawa, hadir bersama enam orang muridnya. Terlihat pula seorang laki-laki berbadan jangkung dengan baju warna hitam. Laki-laki setengah baya berkapala botak ini datang mewakili Partai Giling Wesi, bersama dua puluh orang muridnya. Di samping itu ada lagi enam partai kecil lainnya. Dan mereka semua datang sebagai peninjau.

Di antara mereka yang hadir, ada tiga padepokan lagi yang belum kelihatan batang hidungnya. Mereka adalah Padepokan Merak Emas, Padepokan Golok Perak, dan juga Padepokan Kapak Sakti.

Ketua Padepokan Naga Merah yang bernama Daeng Saka tampaknya menjadi resah ketika melihat ketidakhadiran mereka ini. Bagaimanapun. Ki Bagas Salaya, Ki Dananjaya, dan Dewi Palasari masih merupakan sahabat-sahabatnya. Jika mereka tidak hadir disitu, bisa diduga ada halangan yang sangat berarti.

"Kudengar-dengar manusia iblis Batu Kumbara telah berhasil meloloskan diri dari Lembah Batang.

Ah...! Kuharap saja ketiga sahabatku itu tidak mengalami nasib celaka. Aku jadi khawatir, Manusia Bangkai itu mengacaukan suasana tempat ini...," desah Daeng Saka, cemas.

Karena waktu semakin mendesak dan para hadirin mulai berteriak-teriak pula, akhirnya Daeng Saka naik ke arena tempat mengadu kehebatan masing-masing. Dan kini, suasana disekelilingnya barubah menjadi tenang.

"Saudara-saudara sekalian!" Daeng Saka memulai ucapannya. "Sebagai mana biasa yang terjadi empat tahun sekali, maka disini kita selalu mengadakan pemilihan ketua partai aliran putih yang baru. Aku sebagai ketua yang lama, telah siap menerima pergantian. Hanya saja yang merisaukan hatiku, sampai acara ini dibuka, tiga padepokan terkuat yang seharusnya ikut ambil bagian penting masih belum hadir. Padahal, selama ini kejadian seperti itu belum pernah terjadi. Maka untuk menunggu kedatangan mereka, alangkah baiknya jika diadakan pertandingan selingan untuk mengisi acara yang kosong!"

Daeng Saka kemudian memberi isyarat kepada salah seorang muridnya, dan juga pada murid Partai Giling Wesi. Mendapat isyarat itu, kedua murid yang dimaksud segera melompat keatas arena. Dan mereka langsung menjura hormat pada Daeng Saka.

"Nah, Saudara-saudar sekalian. Kita mulai saja babak pemanasan ini antara muridku Somali, melawan murid Partai Giling Wesi yang bernama Barata...!"

Daeng Saka kemudian mempersilakan kedua pemuda gagah yang masing-masing berbaju hitam dan putih ini saling berhadapan. Sementara, dia sendiri segera meninggalkan arena dan mulai bergabung bersama Ketua Partai Giling Wesi.

Diatas arena, pertandingan pun dimulai Masing-masing murid padepokan mengerahkan jurus-jurus tangan kosong yang menjadi kebanggaan padepokannya. Dan sebagaimana peraturan yang telah ditetapkan, mereka tidak diperkenankan mempergunakan senjata. Jadi, mereka harus saling menyerang mempergunakan jurus-jurus tangan kosong

"Hiyaaa...!"

"Heaaa...!"

Baik Barata maupun Somali sama-sama membentak. Kemudian tubuh mereka berkelebat, melancarkan serangan-serangan ganas ke arah bagian bagian terlemah. Somali tampaknya tidak mau kalah. Walau bukan murid tertua, namun Somali memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Tak heran kalau dengan gesit serangan-serangan gencar Barata baik yang berupa tendangan kaki maupun jotosan berisi tenaga dalam itu dapat dihindarinya.

Dan Barata sendiri tampaknya menjadi sangat penasaran. Tiba-tiba dia melompat kebelakang sejauh tiga batang tombak. Kaki kanannya terangkat ke atas. Sedangkan kedua tangannya menyilang di depan dada. Rupanya, Barata saat itu telah bersia-siap mengerahkan jurus Besi Baja Membentur Karang.

Somali dari Padepokan Naga Merah menyadari betapa berbahayanya jurus yang digunakan lawan tandingnya. Sehingga dia pun tidak mau bertindak gegabah. Seketika dipergunakannya jurus Mengusir Lalat Menggapai Matahari.

Wut! Bet!

Kedua tangan Somali bergerak lincah. Kaki kanan bergerak menggeser-geser sedemikian rupa. Sampai kemudian, dia bersalto ke depan. Tangannya yang terpentang, menghantam ke bagian perut dengan kaki depan ditekuk.

"Uph...!" Barata berkelit. Serangan pertama dapat dihindarinya. Tapi karena kedua tangan Somali seakan mengejar terus, tepaksa dia menangkis.

Splak! Duk!

Kedua orang itu sama-sama jatuh terjengkang. Barata merasa dadanya seperti remuk. Sebaliknya, Somali juga sempat merasakan tangannya seperti membentur batu karang. Dengan cepat, mereka bangkit berdiri dan kembali saling serang tidak ubahnya bagai dua musuh bebuyutan.

Masih mempergunakan jurus yang sama, kedua pemuda itu memperhebat serangannya. Gerakan mereka sangat lincah dan gesit sekali. Sehingga. para hadirin yang ikut menyaksikan pertarungan berdecak kagum.

Pada saat itu, Rangga dan Dewi Palasari yang baru saja sampai dipuncak Gunung Kelud segera menghampiri Peramal Tuna Netra yang tampak berdiri tegak tidak jauh dari arena laga.

"Kalian yang berkuda baru sampai rupanya. Aku sendiri yang hanya jalan kaki, sudah sampai disini sejak pagi. Bahkan sekarang sudah setengah bosan melihat pertarungan laga itu," desah Ki Kambaya sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang.

"Ah! Kakek ini ada-ada saja. Kenapa tidak segera memberitahu ketua Padepokan Naga Merah? Bukankah beliau yang mengatur acara di depan sana?" tanya Dewi Palasari, sambil memandang kearah deretan bangku panjang paling depan, di mana Daeng Saka dan Gempita Soka, Ketua Partai Giling Wesi sedang berbincang-bincang.

"Aku yang buta ini, mana dapat melihat di mana Daeng Saka berada. Lagi pula aku tidak dapat memastikan, apakah Daeng Saka orangnya berkepala botak seperti tuyul, atau tanpa kumis seperti banci!" dengus Ki Kambaya bersungut-sungut.

Pendekar Rajawali Sakti dan Dewi Palasari hanya mampu menahan tawa.

"Semestinya dengan tongkatmu itu, kau dapat menggebuk setiap orang, Ki. Jika orang yang kau gebuk menjerit dan menyebutkan namanya, nah! Berarti kau tidak keliru lagi. Itulah orangnya yang bernama Daeng Saka!"

"Kalau yang kugebuk mengeluarkan bunyi mencericit?" tanya Peramal Tuna Netra.

"Wah itu sih tikus kurapan," sahut Rangga sambil tertawa.

"Sudah..., sudah... Jangan bercanda lagi. Kita sekarang menghadapi persoalan yang sangat rumit. Lebih baik, kita bicarakan masalah ini dengan ketua partai yang lama, Dewi Palasari menengahi.

"Silakan kalian bicara. Tapi, aku tetap di sini saja," kata Peramal Tuna Netra bersikeras.

"Memang kenapa, Ki?" tanya Rangga dan Dewi Palasari saling berpandangan. Ada keheranan di mata mereka.

"Aku tidak ingin membicarakan apa-apa. Aku hanya menunggu kehadiran manusia gila itu...!"

"Baiklah, Kek. Kami tidak akan memaksa...." Dewi Palasari akhirnya mengalah. Tanpa bicara apa-apa lagi, Rangga dan Dewi Palasari berlalu meninggalkan Ki Kambaya.

Dewi Palasari diikuti Rangga, terus berjalan di tengah-tengah tepuk sorak orang-orang yang sedang menyaksikan pertarungan. Sebentar saja mereka sampai ditempat Daeng Saka berada.

"Ketua Padepokan Merak Emas?!" seru Daeng Saka dan Gempita Soka hampir bersamaan, begitu mereka melihat kehadiran Dewi Palasari yang ditemani Pendekar Rajawali Sakti. Tampak kegembiraan diwajah mereka. Lalu mereka memandang Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapakah Kisanak ini?" tanya Daeng Saka.

"Dia Pendekar Rajawali Sakti!" jawab Dewi Palasari.

Tampak keterkejutan dimata Daeng Saka dan Gempita Soka. Mereka sering mendengar sepak terjang pendekar gagah ini dalam membasmi golongan hitam. Tapi sungguh tidak disangka hari ini mereka bertemu pendekar sakti itu!

"Kami gembira bertemu denganmu, Pendekar...!"

"Rangga. Panggil saja namaku begitu!" ujar pemuda berompi putih ini sambil tersenyum ramah.

"Benar Kami sangat senang bertemu denganmu, Rangga. Tapi, ada apa pendekar kondang sepertimu sampai menyempatkan diri menghadiri pemilihan ketua partai aliran putih yang sangat kecil artinya ini?" tanya Gempita Soka, merendah.

"Bukan aku saja yang datang menyempatkan diri kemari. Tapi, juga seorang peramal dari Unggaran di daerah selatan telah hadir di sini!" tegas Rangga.

Daeng Saka dan Gempita Soka semakin terkejut. "Peramal Tuna Netra, maksudmu?"

"Benar, Paman Daeng Saka!" jawab Rangga.

Daeng Saka dan Gempita Soka berpaling pada Dewi Palasari, seakan menuntut penjelasan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewi Palasari segera menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Termasuk, kematian Ki Bagas Salaya dan juga Ketua Padepokan Golok Perak beserta murid-muridnya.

"Keparat betul! Rupanya itulah sebabnya, mengapa Ki Bagas Salaya dan Ki Dananjaya tidak muncul kemari? Kiranya Manusia Bangkai telah membunuh mereka secara keji!" dengus Daeng Saka, tampak gusar bukan main.

"Aku bersumpah untuk mencincang Batu Kumbara jika sampai bertemu dengannya!" geram Gempita Soka, tidak kalah gusarnya.

"Sudahlah, Paman berdua. Aku dan Peramal Tuna Netra datang ke sini juga dengan maksud ingin menghentikan sepak terjang Manusia Bangkai Kuharap, Paman dapat menahan diri. Karena, Batu Kumbara ternyata selain sangat sakti, juga kebal terhadap senjata tajam dan pukulan..."

"Eee.... Jadi, bagaimana kita dapat menghancurkannya jika tidak tahu titik kelemahannya?" Daeng Saka mulai merasa sangsi

"Peramal Tuna Netra sudah menjelaskan pada Pendekar Rajawah Sakti, di mana titik kelemahan Batu Kumbara. Untuk itu, Paman berdua diharap dapat menahan diri!" tegas Dewi Palasari pada sahabat-sahabatnya.

Baik Daeng Saka maupun Gempita Soka tampak sama-sama terdiam. Mereka maklum, siapa pemuda berompi putih yang berdiri tegak tidak jauh di samping Ketua Padepokan Merak Emas itu.

Pada saat yang sama, di atas arena laga pertarungan antara Barata dan Somali tampak berlangsung semakin sengit. Kedua-duanya sama-sama menderita luka dalam yang tidak ringan. Kenyataan ini, rupanya sempat dilihat Daeng Saka dan Gempita Soka. Sehingga, mereka sama-sama melambaikan kain putih ke udara.

Baik Barata maupun Somali sama-sama tahu, apa arti lambaian kain putih itu. Sebelum melompat turun dari arena, Somali sempat mendengus sinis.

"Sayang, guru memanggilku. Jika tidak, aku punya kesempatan besar untuk menjatuhkanmu!"

"Kita hanya bertanding! Bukan untuk saling membunuh, tapi untuk mempererat persaudaraan!" desis Barata tidak mau kalah.

"Oh, iya! Aku lupa...!" kata Somali sambil menepuk keningnya beberapa kali. Keduanya lalu melompat turun.

Dari bagian bawah panggung arena, tampak melesat dua sosok tubuh menggantikan Somali dan Barata. Daeng Saka yang sudah mendapat penjelasan dari Pendekar Rajawali Sakti, segera naik pula ke arena. Maka tepuk sorak terdengar riuh kembali.

"Saudara-saudara sekalian. Sekarang sudah tiba waktunya mempertemukan dua murid utama. Yang satu Partai Giling Wesi, sedangkan yang lainnya dari Padepokan Naga Merah!" kata Daeng Saka dengan suara keras.

"Tiga partai lainnya sudah mati. Masa mereka bisa bangkit ikut ambil bagian dalam pertandingan konyol ini. Semua ini pasti akal Pendekar Rajawali Sakti!" celetuk Peramal Tuna Netra yang berdiri pada deretan paling belakang.

"Inilah Kala Demit dari Partai Giling Wesi dan Surya Praga dari Padepokan Naga Merah!" teriak Daeng Saka yang segera disambui tepuk tangan hadirin.

"Ingat! Ini hanya untuk menunjukkan keahlian masing-masing. Bukan untuk saling membunuh!" ujar Kala Demit.

"Beres! Aku sudah tahu peraruran disini sejak kecil!" Surya Praga menimpali.

"Sialan...!" maki pemuda berwajah muram itu, sambil bersiap-siap melakukan serangan.

Surya Praga segera mengerahkan jurus Mengusir Lalat Menggapai Matahari pada tingkat lebih tinggi. Sedangkan Kala Demit mengerahkan jurus Di bawah Pancuran Menghantam Setan. Inilah jurus yang paling berbahaya dari Partai Giling Wesi. Sehingga Surya Praga tidak dapat bersikap gegabah dalam menghadapi serangan-serangan gencar lawannya.

"Hiyaaa...!" Surya Praga menendang ke depan. Satu tendangan menyilang dilancarkannya. Tapi, serangan itu dapat mudah dihindari Kala Demit. Malah setelah menggeser langkahnya kesamping kiri, Kala Demit menghantamkan kaki dan tangannya ke bagian dada dan perut Surya Praga secara beruntun dan cepat bukan main.

Surya Praga mencoba berkelit dengan melompat mundur sejauh satu batang tombak. Maka serangan kaki Kala Demit luput. Tapi tangan kanannya terus bergerak menjangkau ke depan. Dan....

Buk! "Wuagkh...!"

Surya Praga berteriak kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah kentat. Semua orang yang menyaksikan pertarungan terkesiap. Tapi, tidak seorang pun yang hadir menghentikan pertarungan. Karena, mereka menilai masih dalam batas-batas yang wajar.

Dengan langkah terhuyung-huyung, Surya Praga bangkit berdiri. Kedua rahangnya tampak menggembung. Dia sendiri sesungguhnya merasa heran terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya.

Terpukul atau sampai roboh dalam satu pertandingan adalah yang sangat biasa. Tapi sekarang, dia menjadi marah? Surya Praga tidak sempat lagi memikirkan keanehan yang terjadi pada dirinya. Satu-satunya yang terlintas dalam pikirannya adalah, bagaimana membunuh lawan tandingnya secepat mungkin!

Sebaliknya, yang terjadi terhadap Kala Demit juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Surya Praga. Dia merasa pemuda yang berdiri tegak di depannya bukan lagi sebagai lawan tanding. Tapi, merupakan musuh bebuyutan yang harus dibunuh! Bedanya, Kala Demit masih berusaha menghilangkan pengaruh bisikan-bisikan seseorang yang terus mengacaukan pikirannya.

Kala Demit menggelengkan kepala berulang-ulang. Tapi pengaruh bisikan yang menganjurkan agar mereka saling bunuh, tak juga hilang dari telinganya.

"Keparat! Siapa yang mengacaukan semua ini!" desis Kala Demit.

Rupanya, Surya Praga mendengar makian Kala Demit yang disangka ditujukan pada dirinya. Maka, pemuda ini pun mendengus geram. "Bangsat! Kau memakiku! Rasakan pembalasanku!"

Baru selesai Surya Praga berkata seperti itu, tubuhnya telah melesat kedepan menerjang Kala Demit dengan gencarnya.

DELAPAN

Kala Demit terkesiap. Terlebih-lebih, setelah melihat bahwa Surya Praga telah bersiap-siap melepaskan pukulan ke arahnya. Maka Kala Demit tidak ingin berlaku ayal-ayalan. Begitu melihat tangan Surya Praga berkelebat ke depan, maka saat itu juga kedua tangannya yang telah teraliri tenaga dalam penuh didorongkan.

Seketika seleret sinar berwarna biru melesat dari telapak tangan Kala Demit. Sebaliknya dari telapak tangan Surya Praga, melesat sinar putih menyilaukan mata. Suasana di tengah-tengah arena berubah menjadi panas sekali. Ketika kedua pukulan itu saling bertemu di udara, maka terdengar ledakan menggelegar. Tubuh Surya Praga dan Kala Demit sama-sama terlempar keluar dari arena!

Seketika gemparlah tempat itu akibat ulah dua murid padepokan yang tampaknya ingin saling membunuh. Daeng Saka dan Gempita Soka, bahkan segera naik ke arena laga. Paras mereka berubah pucat melihat kelalaian yang terjadi.

Bagaimana tidak? Mereka yang terlibat adu kepandaian adalah murid tertua yang sudah sama-sama mengetahui aturan yang berlaku. Tak seorang pun yang bertanding diperkenankan mempergunakan pukulan jarak jauh dan senjata. Tapi, Surya Praga dan Kala Demit telah melanggar aturan itu.

Pada saat itu, baik Surya Praga maupun Kala Demit telah naik kembali ke tengah-tengah arena. Dari sudut sudut bibir mereka, tampak mengucur darah kental, pertanda keduanya menderita luka dalam yang tidak ringan.

"Hei... tolol...! Apa yang kalian lakukan...!" bentak Daeng Saka ketika melihat kedua muridnya hendak saling serang kembali.

"Mereka semua telah berubah menjadi gila!" desis Gempita Soka tidak kalah gusarnya.

"Pasti telah terjadi sesuatu yang tidak beres ditempat ini, Paman...!" kata Rangga pelan.

"Maksudmu?!" Daeng Saka tidak mengerti.

"Seseorang telah mempengaruhi jalan pikiran mereka, melalui ilmu mengacaukan akal. Dengan begitu baik Kala Demit maupun Surya Praga merasa kalau orang yang dihadapi adalah lawan yang harus dibinasakan," jelas Rangga.

Belum sempat Daeng Saka bertanya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang tak ubahnya seperti nyanyian. Kemudian, tercium bau bangkai yang sangat menusuk hidung. Angin tiba-tiba berhembus. Di tengah-tengah hembusan angina yang menebar bau busuk itu, terdengar pula suara seperti orang yang sedang melantunkan bait-bait syair.

Gunung Kelud arena laga. Tempat orang-orang tolol menentukan ketua partai yang baru. Di sini ini, kebiasaan leluhur berlangsung secara turun-temurun. Tapi, kali ini keadaan akan berubah lain. Tercatat atau tidaknya dalam sejarah, Manusia Bangkai akan mengukir sebuah kejayaan dengan tinta darah! Orang-orang tolol. Tidak ada yang lebih baik dan kalian, selain kidung kematian. Lereng Kelud akan bersimbah darah. Hingga hati dan penderitaan ini jadi terpuaskan.

Sepi seketika terasa menghentak. Semua orang yang berada di lereng Gunung Kelud seakan tersirap oleh makna syair yang baru saja dilantunkan oleh seseorang yang bersembunyi dibalik batu-batu besar. Namun pada saat itu, kesunyian segera terpecahkan oleh suara tawa seseorang. Semua mata sekarang tertuju kearah terdengamya suara tawa.

"Peramal Tuna Netra...!" desis Rangga dan Dewi Palasari hampir bersamaan.

"Kehadiranmu sudah kami ketahui, Manusia Bangkai! Janganlah mengumbar syair murahan tanpa berani tunjukkan diri! Tunjukkan tampangmu. Kami semua telah mempersiapkan diri untuk menyambut kematian yang kau janjikan!" kata Ki Kambaya, ketika suara tawa terhenti. Ucapannya disertai tenaga dalam tinggi.

"Wah! Ki Kambaya bicara ngaco. Barangkali dia yang menginginkan kematian. Tapi..., kalau aku nanti dulu!" Rangga menimpali.

Meskipun dalam suasana tegang, mau tidak mau Dewi Palasari tersenyum juga mendengar ucapan Rangga yang diam-diam telah menarik perhatiannya. Tidak lama setelah ucapan Peramal Tuna Netra, dari balik batu-batu besar muncul sosok tubuh yang sudah sangat dikenal Dewi Palasari maupun Rangga.

"Manusia durjana! Jangan terlalu lama berdiri disitu. Tanganku sudah sangat gatal ingin mencabik-cabik tubuhmu!" teriak Dewi Palasari yang memang memiliki dendam pribadi terhadap Manusia Bangkai.

Manusia Bangkai tertawa-tawa. Tubuhnya berkelebat laksana kilat. Dilain kejap dia telah berdiri diujung arena laga, sambil memandang tajam pada Dewi Palasari.

"Bicaramu terlewat takabur, Gadis Cantik. Kalau dulu pemuda di sampingmu tidak datang menolongmu, mungkin saat ini kau sudah menjadi istriku yang paling setia!"

"Cis! Siapa sudi menjadi istrimu? Kau berhutang darah dan kehormatan padaku. Bersiap-siaplah untuk menerima kematian!" teriak Dewi Palasari.

Tanpa dapat dicegah lagi, dengan pedang terhunus Dewi Palasari meneriang Batu Kumbara Namun, laki-laki berwajah angker seperti iblis ini hanya tertawa ganda. Tubuhnya berkelit ke samping. Dalam keadaan seperti itu, dia masih sempat melepaskan Tendangan Iblis Gentayangan yang sangat berbahaya.

Ternyata, Dewi Palasari yang memiliki pengalaman luas ini cepat menarik balik serangannya. Sementara pedang pusakanya kemudian diarahkan kebagian mata Batu Kumbara.

Manusia Bangkai terkejut setengah mati. Kakinya cepat ditarik balik. Dan walaupun dapat menyelamatkan matanya dari ancaman pedang, tidak urung dadanya masih sempat tersambar senjata di tangan gadis itu.

Crak!

Batu Kumbara terhuyung-huyung terhantam senjata Dewi Palasari. Tapi, sambaran pedang itu tidak membawa akibat apa-apa. Sebaliknya, sambil memaki dikerahkannya jurus Menipu Para Dewa. Tangan kanan Manusia Bangkai terjulur kedepan, mencengkeram bagian dada Dewi Palasari. Gadis ini terkejut setengah mati, dan cepat melompat mundur dengan wajah bersemu merah.

"Manusia terkutuk!" maki Dewi Palasari, geram bukan main.

Cengkeraman itu tidak mengenai sasaran. Tapi, tendangan susulan yang dilakukan Batu Kumbara berhasil menghantam perut Dewi Palasari.

"Wuaagkh...!"

Ketua Padepokan Merak Emas itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar dan jatuh persis di depan kaki Daeng Saka. Wajah gadis itu berubah pucat seketika. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental, pertanda menderita luka dalam yang cukup parah. Melihat kenyataan ini, Daeng Saka melompat kedepan. Pedang ditangannya sudah melintang di depan dada.

"Manusia iblis! Akulah lawanmu!" dengus Ketua Padepokan Naga Merah sambil bersiap-siap mengerahkan jurus. Menggulung Topan Samudera, salah satu jurus yang menjadi andalan Padepokan Naga Merah.

"Manusia jelek! Coba sebutkan namamu, sebelum aku membunuhmu!" bentak Batu Kumbara. Keparati Kau tidak layak mengetahui siapa aku!"

"Kalau begitu, kau akan mati penasaran!" desis Manusia Bangkai.

Segera Batu Kumbara menghindari serangandahsyat yang dilakukan Daeng Saka. Tapi, anehnya serangan yang dilakukan Daeng Saka seakan tidak ada habis-habisnya. Apalagi pedang di tangannya seakan berubah semakin banyak, mengurung ruang gerak Batu Kumbara. Tidak pelak lagi, beberapa kali pedang di tangan Daeng Saka berhasil menerobos pertahanan Manusia Bangkai. Tapi sebagaimana yang dialami Dewi Palasari, kali ini pun serangan itu tidak membawa hasil apa-apa.

"Hiyaaa...!" Batu Kumbara mengeluarkan bentakan keras. Tubuhnya melompat kedepan dengan gerakan melayang. Laksana kilat, diserangnya Daeng Saka dengan totokan-totokan mematikan. Dilain saat, secara aneh pedang di tangan Daeng Saka telah berpindah tangan. Ciutlah hati Daeng Saka, melihat kehebatan lawannya. Dan sebelum rasa terkejut ini hilang, pedang Daeng Saka yang telah berpindah ketangan lawannya menusuk kebagian dada, tepat menembus janrung.

"Aaa...!"

Tubuh Daeng Saka yang tertusuk pedang hingga tembus kebagian punggung tampak terhuyung-huyung. Mata Ketua Padepokan Naga Merah tampak melotot seperti akan melompat keluar. Sementara dari bagian dadanya, darah terus mengucur tidak ada henti-hentinya.

Ketika Batu Kumbara menyentakkan pedang itu secara keji, maka tubuh Daeng Saka langsung ambruk di lantai arena laga. Sosok yang telah berlumuran darah ini tidak berkutik lagi. Sedangkan Batu Kumbara tergelak-gelak melihat kematian lawannya.

Dewi Palasari tampak berusaha bangkit berdiri. Tapi, bahunya segera ditahan Rangga. Sementara itu, Gempita Soka telah melompat ke depan dengan senjata anehnya yang berupa pisau berlekuk tiga.

"Hm... Rupanya masih ada lagi yang ingin minta mati. Baiklah.... Aku akan mengirimmu ke neraka!"

"Manusia iblis! Kaulah yang harus merasakan ketajaman senjataku ini...!" bentak Gempita Soka.

Sebelum Batu Kumbara sempat melepaskan pukulan iblisnya, pisau di tangan Gempita Soka sudah menderu dan mengarah pada bagian mata.

"Keparat...!" maki Batu Kumbara sambil bersalto kebelakang untuk menyelamatkan matanya.

Belum sempat laki-laki berwajah angker dan menebar bau bangkai ini berbuat sesuatu, Gempita Soka sudah mengejarnya. Dan untuk yang kedua kali, pisau itu menderu ke arah mata.

Batu Kumbara merasa sudah tidak mungkin mampu lagi menghindarinya. Maka demi menyelamatkan mata, langsung ditangkisnya serangan itu dengan telapak tangan terkembang.

Plak! Des!

"Wuakh...!"

Gempita Soka memekik kesakitan. Tangan kanannya yang memegang senjata tampak remuk terhantam pukulan tangan Manusia Bangkai yang telah berubah mengeras laksana baja. Sedangkan pisau berlekuk ditangannya terpental. Ketua Partai Giling Wesi ini terus bergerak mundur, ketika Manusia Bangkai melakukan serangan balasan yang jauh lebih dahsyat.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Rangga segera menghadang kedepan dan langsung mementahkan serangan Batu Kumbara dengan mempergunakan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Serangan Pendekar Rajawali Sakti memang jauh lebih berbahaya lagi. Karena yang diincar bagian mata Batu Kumbara.

Sambil memekik kaget Manusia Bangkai memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan dengan cepat pula, dia melompat kebelakang. Dalam jarak lima batang tombak, Batu Kumbara memperhatikan Rangga dengan perasaan geram.

Pada saat itu, Peramal Tuna Netra sudah melompat kearena laga. Dengan seenaknya, tenaga dalamnya dikerahkan ke bagian punggung Dewi Palasari yang tengah menderita luka dalam.

"Kalau saja mataku tidak buta, tentu aku akan senang melihatmu mengorek mata Manusia Bangkai yang menjadi sumber malapetaka itu, Rangga...!" desis Ki Kambaya dengan sikap acuh.

Sebaliknya Batu Kumbara semakin bertambah kaget saja. Kepalanya langsung berpaling kearah Peramal Tuna Netra. Dan hatinya makin heran, begitu melihat mata si kakek sama sekali tidak dapat melihat.

"Siapakah kau? Apakah kau ingin cepat-cepat mampus?" bentak Batu Kumbara merasa tersinggung.

"Diamlah kau, Manusia Busuk dan Jelek! Jika kau berhasil mengalahkan dan membunuh Pendekar Rajawali Sakti, barulah aku akan memberitahu padamu, siapa aku yang sebenarnya!" sahut Peramal Tuna Netra, enteng.

"Keparat! Kalian memang pantas mampus semuanya ditanganku!" Kemudian dia menoleh kearah Rangga. "Anak muda! Kau tidak bakal menang melawanku!"

"Biar tidak menang, asal aku dapat mencongkel matamu!" sahut Rangga tenang.

Semakin bertambah gusarlah Manusia Bangkai mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti. Maka tiba-tiba secara curang tangannya dihantamkan kedepan. Rupanya, sejak tadi, Batu Kumbara telah bersiap-siap melepaskan pukulannya. Seketika dua leret sinar hitam menebarkan bau busuk menyesakkan pernapasan menderu ke arah Rangga. Udara di sekitarnya kontan berubah dingin luar biasa.

Pendekar Rajawali Sakti terkesiap begitu merasakan angin sambaran serangan Batu Kumbara. Tapi dengan cepat tangannya menghentak ke depan, melepaskan pukulan dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir. Seketika dari telapak tangan Pendekar Rajawali Saka melesat sinar kemerahan berhawa panas menghanguskan, menyongsong pukulan Batu Kumbara.

Glar!

Terdengar dentuman yang seakan menghancurkan gendang telinga. Arena laga kontan hancur berantakan. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti dan Batu Kumbara sendiri jatuh berdebuk keras di tanah.

Rangga merasa bagian dalam dadanya seperti hancur. Tapi tanpa menghiraukan keadaannya sendiri, dia telah melompat keatas arena laga yang berantakan.

Sementara Batu Kumbara rupanya memang tidak mengalami akibat apa-apa. Bibirnya tampak menyeringai. Namun seringainya melenyap, ketika melihat tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah berkelebat cepat. Dia merasa ada satu keanehan yang terjadi. Di matanya, tubuh pemuda itu seakan berubah menjadi banyak. Yang lebih mengherankan lagi, tangan-tangan Pendekar Rajawali Sakti yang seakan menjadi puluhan, hampir keseluruhannya terarah pada bagian matanya. Sehingga, membuat Manusia Bangkai mati-matian menyelamatkan matanya yang menjadi sumber kekuatan dan kelemahan selama ini.

Kenyataan yang dirasakan Batu Kumbara memang tidak dapat dipungkiri. Karena, Rangga saat ini telah mengerahkan jurus Seribu Rajawali. Dengan bersusah payah, Batu Kumbara menghindari serangan Rangga. Sama sekali Batu Kumbara tidak diberi kesempatan mengedipkan matanya. Sedangkan Rangga terus bergerak mengejarnya dengan serangan-serangan dahsyat yang terus mencecar bagian mata.

"Kurang ajar!" maki Batu Kumbara ketika mulai menyadari, betapa berbahayanya serangan gencar pemuda itu, jika terus berusaha menghindar.

Diawali satu bentakan keras, Manusia Bangkai melompat kebelakang. Matanya yang telah berubah merah membara langsung berkedip.

Hampir bersamaan waktunya, Rangga mencabut pedang pusaka dari warangka. Seketika sinar biru menyilaukan mata memancar, begitu Rangga mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian gagang pedang. Sementara tangan kirinya melepaskan pukulan jarak jauh dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.

Dua leret sinar merah yang melesat dari mata Batu Kumbara datang menggebu. Didepannya, menyongsong sinar merah yang juga sama-sama menebarkan hawa panas menghanguskan.

Orang-orang yang berdiri di sekeliling arena langsung berserabutan menjauhkan diri dari arena. Dan ketika dua leret sinar berwarna merah itu bertemu diudara, terjadilah satu ledakan yang sangat dahsyat.

Blarrr...!"

Rangga jatuh terguling-guling dengan pedang masih tergenggam di tangan. Dari mulutnya tampak mengucur darah kental. Dengan terhuyung-huyung pemuda ini bangkit berdiri.

Sementara, Manusia Bangkai telah berdiri tidak jauh di depannya. Matanya yang berubah merah seperti mata iblis itu memandang kearah Rangga dengan kemarahan berkobar.

"Bangsat! Rupanya nyawamu benar-benar alot juga!" dengus Batu Kumbara geram.

Pendekar Rajawali Sakti hanya diam dengan pandangan tajam. Wajahnya berubah geram penuh perbawa, bagai malaikat maut yang siap menjemput. Kemudian pedang ditangannya diputar sedemikian rupa. Tidak salah lagi. Saat ini Rangga telah mengerahkan jurus Pedang Pemecah Sukma, salah satu jurus yang sangat diandalkan.

Manusia Bangkai sendiri terkesiap. Tiba-tiba saja jiwanya terasa terpecah-pecah. Bahkan dia tidak tahu, apa yang harus dilakukannya sekarang. Manusia Bangkai hanya merasa, semangat bertempurnya hilang begitu saja.

"Hiyaaa...!" Rangga tiba-tiba melesat ke depan. Pedang ditangannya mendadak menusuk ke mata kiri Manusia Bangkai yang hanya terpaku.

Untung saja Batu Kumbara cepat-cepat menggelengkan kepala, mengusir keanehan yang terjadi. Lalu, kepalanya ditarik kebelakang. Sementara, tangan kanan menepis tusukan pedang ditangan Pendekar Rajawali Sakti.

Trak!

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergetar hebat. Sebaliknya, Manusia Bangkai tampak terhuyung-huyung. Belum siap Batu Kumbara pada kuda kudanya, Rangga telah menyerangnya kembali dengan kecepatan berlipat ganda. Pedang di tangannya menusuk ke bagian perut. Tapi ketika jaraknya hanya tinggal dua jengkal saja, Pendekar Rajawali Sakti membelokkan serangan ke bagian mata kiri Batu Kumbara.

Cras!

"Wuagkh...!"

Batu Kumbara menjerit setinggi langit begitu mata kirinya mengucurkan darah akibat tertembus Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Ketika musuhnya masih sibuk mendekap mata kirinya yang terluka, pedang ditangan Rangga kembali menderu. Dan kali ini, langsung menusuk mata kanan Batu Kumbara. Manusia Bangkai ini tidak punya kesempatan untuk menyelamatkan matanya. Apalagi serangan Rangga cepat bukan main. Maka...

Cres!

Untuk kedua kalinya, terdengar lolongan Manusia Bangkai yang begitu menyayat. Tubuhnya terhuyung-huyung. Belum juga tubuhnya ambruk, dari arah samping kiri tiba-tiba melesat sesosok berbaju kuning kearah Batu Kumbara. Bahkan langsung membabatkan pedang kebagian perut Manusia Bangkai ini.

Cras! Cras!

Sambil menjerit-jerit kesakitan, Batu Kumbara terhempas ke lantai arena. Darah menyembur dari perut dan dadanya. Memang setelah titik kelemahan Batu Kumbara yang terletak pada matanya tertembus pedang, maka musnahlah seluruh ilmu kebalnya

Sementara Dewi Palasari tidak puas sampai disitu saja. Gadis itu terus mencincang tubuh orang yang hampir merenggut kehormatannya. Sehingga tubuh Manusia Bangkai kini sangat sulit dikenali lagi.

"Sudah, Dewi...!" cegah Rangga seraya menangkap gerakan tangan Dewi Palasari yang mengayunkan pedang. "Tidak ada gunanya berbuat seperti itu. Dia sudah mati."

Dewi Palasari menghentikan gerakannya. Bibirnya tampak cemberut. Rangga hanya menggelengkan kepala.

"Ah.... Kalau bukan dia yang melarangku, tidak mungkin aku menurutinya...!" desah Ketua Padepokan Merak Emas yang diam-diam telah jatuh hati pada Rangga.

"Mari kita urus mayat Daeng Saka Dan... eh! Kemana perginya Gempita Soka dan Peramal Tuna Netra itu...?" tanya Rangga, mencari-cari.

"Yang satu buta. Yang lain menderita luka dalam. Mungkin mereka saling bahu-membahu untuk menyembuhkan luka dan penyakit masing-masing.

Rangga hanya tersenyum mendengar ucapan Dewi Palasari yang mengerling manja.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: ORANG-ORANG ATAS ANGIN