Pendekar Pedang Bayangan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR PEDANG BAYANGAN

SATU
SEBUAH PERAHU merapat perlahan-lahan ke pantai. Pada bagian depannya yang pertama kali terlihat adalah seorang pemuda berbaju hitam. Rambutnya yang panjan dikuncir agak ke belakang. Sepasang matanya sipit dan memiliki alis tebal. Bibirnya tipis seperti menyiratkan kekerasan hatinya. Menyolok sekali dengan kulitnya yang putih kekuningan, dipadu pakaian wama gelap.

Sesekali angin bertiup sedikit kencang dan mengibar-ngibarkan rambutnya. Sehingga terlihat gagang pedangnya yang agak panjang dipunggung. Perahu merapat. Dan pemuda itu melompat ketepi dengan gerakan ringan.

"Hup!"

Pemuda itu berdiri tegak, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Pantai ini terlihat sepi, banyak ditumbuhi pohon-pohon bakau dan api-api. Perahunya ditarik dan disembunyikan di antara aliran sungai kecil yang banyak ditumbuhi semak-semak.

Setelah merasa aman, dia merapikan pakaiannya. Lalu dikeluarkannya sesuatu dari lipatan baju di bagian pinggang. Selembar kertas agak kekuningan yang berisi tulisan. Diperhatikannya agak lama, lalu dilipatnya. Dan kini kakinya melangkah lebar ke selatan!

Kawasan pantai ini memang agak jauh dari pemukiman penduduk. Padahal, udara di sini tidak begitu panas karena banyak ditumbuhi pepohonan yang berdaun lebat. Sehingga bila matahari tengah bersinar garang, seperti tak mampu menembusnya. Begitu rimbun dan redup. Terlebih angin laut yang berhembus, membuat siapa pun akan merasa nyaman berada di sini.

Agaknya hanya ada sesuatu yang membuat penduduk tidak betah. Tentu saja, sebab kawasan ini dihuni sekawanan perampok yang merajalela di dua tempat. Darat dan laut. Bila di laut sepi, tidak ada perahu-perahu besar yang bisa dirampok, maka mereka mengalihkan perhatian ke darat. Yaitu, kekampung-kampung terdekat. Bahkan tidak jarang melakukan perjalanan cukup jauh. Hasil rampokan dibawa kesini, sehingga jarang sekali jejak mereka ditemukan.

Dahulu di tepi pantai ini, terdapat perumahan penduduk yang mencari nafkah dengan melaut. Namun sejak kedatangan kawanan perampok ini, satu persatu mereka meninggalkan rumah dan pergi entah ke mana. Sehingga lambat laun, perumahan itu kosong. Kemudian baru dimanfaatkan kawanan itu sebagai tempat rnggal.

Sementara itu pemuda berbaju hitam ini agaknya baru saja memasuki perkampungan kawanan perampok yang terlihat kumuh dan banyak ditumbuhi semak-semak pada setiap halamannya. Sehingga, menimbulkan kesan rumah yang jorok dan jarang diurus.

"Hm...!" Pemuda itu mendengus pelan. Sepasang matanya melirik sekilas. Beberapa penghuni perkam-pungan ini tampak keluar dari rumah masing-masing, menuruni anak tangga dengan perlahan-lahan. Rata-rata dipinggang mereka terselip sebilah golok. Wajah-wajah itu kasar. Dan sebagian bermuka buruk serta bengis. Mereka tidak mirip sama sekali sebagai nelayan. Dan dengan gelagat itu, agaknya pemuda bermata sipit ini mulai curiga

Bet!

Tanpa menghentikan Iangkah, apalagi menoleh, pemuda itu mencabut pedang yang tersandang dipunggung dan menggenggamnya ketangan kanan.

Sementara itu, tujuh laki-laki bertubuh besar berdiri tegak didepannya. Sikap mereka jelas menantang dan sengaja ingin mencari urusan. Yang berada ditengah, berkumis tebal Pipi kirinya tampak bercodet. Bajunya berukuran besar dengan bagian dada terbuka lebar, seperti hendak memamerkan otot-otot dadanya yang kekar. Tangan kanannya berkacak pinggang. Sedang tangan kirinya memilin-milin salah satu ujung kumis.

Pemuda itu berhenti, balas memandang mereka satu persatu. Sementara itu, disadari kalau di belakang dan di samping kanan serta kiri, dia telah terkurung. Dan jelas maksud mereka tidak baik!

"Kisanak! Berilah aku jalan!" ujar pemuda itu datar.

"Kau boleh jalan, setelah meninggalkan semua barang berharga yang kau miliki!" sahut laki-laki berkumis tebal itu, dingin.

Pemuda berbaju hitam ini memegang buntalan putih yang berada di tangan kirinya erat-erat. "Aku tidak punya barang berharga. Buntalan ini hanya berisi pakaian," tandas pemuda ini. sinis

"Kalau begitu, kau boleh tinggalkan nyawamu!" sahut laki-laki berkumis tebal itu dengan suara serak, bernada mengancam.

"Siapa yang bertanggung jawab diantara kalian?" tanya pemuda itu seraya menatap laki-laki berkumis tebal dalam-dalam.

"Aku! Warok Singo, tangan kanan Wiroto Sangkar yang menjadi pemimpin Kawanan Memedi Jalang!" sahut laki-laki berkumis tebal, mantap.

"Warok Singo! Aku tidak berurusan denganmu. Beri aku jalan. Dan, jangan memperpanjang urusan."

"Kurang ajar! Dasar Wong edan! Hei, Monyet Buduk! Tahukah kau, tengah berhadapan dengan siapa? Di lima kawasan tak ada yang berani bicara selancang mulutmu!" hardik laki-laki berkumis yang bernama Warok Singo dengan mata melotot lebar. Sehingga, biji matanya yang merah seperti hendak melompat dari sarangnya.

"Aku tidak perlu tahu siapa kau! Tapi jelas, aku tidak berurusan denganmu," sahut pemuda bermata sipit itu tenang.

Sama sekali amarah pemuda ini tidak terpancing melihat sikap Warok Singo. Dan itu membuat tangan kanan pemimpin Kawanan Memedi Jalang ini semakin berang saja. Sambil mendengus geram, goloknya langsung dicabut.

Srak!

"Mau mampus rupanya, he?!" Setelah berkata demikian, Warok Singo langsung menerjang dengan senjata terhunus.

Bet! Wuuut!

Pemuda itu bergerak ke samping sedikit. Lalu badannya dibungkukkan sehingga dua tebasan Warok Singo mudah dihindarinya. Dan sebelum Warok Singo melakukan serangan, lutut kanan pemuda itu telah menghantam ke perutnya.

Duk!

"Hugkh!" Warok Singo mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah berkerut. Kedua tangannya mendekap perut menahan sakit.

"Hiyaaa!" Pemuda itu membentak. Kemudian terlihat sekilas cahaya berkilauan ketika tubuhnya bergerak mendekati Warok Singo. Sesaat terdengar Warok Singo memekik setinggi langit.

Sring! Crat!

"Aaa...!" Tubuh tangan kanan Pemimpin Kawanan Memedi Jalang ini ambruk begitu pemuda itu menyarungkan pedangnya. Tampak dibagian dahi sampai ke bibir terdapat guratan luka akibat tebasan pedang.

"He, Gila!" desis seorang anggota kawanan.

"Ilmu iblis...!" timpal yang lain.

"Setan keparat! Tidak peduli dia memiliki ilmu iblis. Orang ini telah membunuh Warok Singo. Dan dia patut mendapat ganjaran! Bunuh dia!" teriak salah seorang menyadarkan kawan-kawannya yang terpaku atas gebrakan pemuda itu.

"Betul! Kurang ajar! Bunuh dia...!" timpal yang lain ikut mendukung.

Sraaang...!

"Heaaat...!"

Serentak kawanan perampok ini mencabut golok, langsung menyerang secara bersamaan.

"Huh!" Pemuda berambut dikuncir itu hanya mendengus sinis. Tubuhnya masih tetap terpaku di tempatnya. Kemudian pedangnya sedikit terbuka, ketika ibu jarinya menyontek gagang. Lalu.....

Trek! Sriiing!

"Heaaa...!"

Pedang pemuda sipit itu yang kelihatan tipis, tercabut dari sarangnya. Cahaya matahari tampak memantul dari batang pedang. Namun sekilas saja. Sebab, cahaya itu sudah berkelebat cepat. Dan sesaat, kemudian terlihat darah memancur diikuti pekik kesakitan.

Cras! Cras!

"Aaa...!"

Lima orang pengeroyok kontan roboh dan tewas seketika dengan luka dalam memanjang dari dahi hingga ke bibir!

"Yeaaa...!"

"Haiiit...!"

Kawanan perampok yang lain seperti tidak melihat gelagat kalau pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Yang terpikir saat ini adalah, bagaimana caranya membalas dendam. Lalu, membunuh orang asing ini dengan cepat.

Pedang pemuda bermata sipit itu kembali berkelebat. Gerakannya sulit diikuti pandangan mata. Dan tahu-tahu, kembali terdengar pekik kematian.

Cras...!

"Aaakh...!"

Enam orang lagi roboh dengan luka sama. Sementara pemuda ini kembali menggeram. Kemudian tubuhnya bergerak mendekati lawan yang berada di depan.

Sret!

"Aaa...!"

Tiga orang yang dihampiri langsung terjungkal disertai memekik nyaring. Mereka tewas dengan luka sama.

"Hentikan...!"

Trek!

Mendadak terdengar bentakan nyaring. Dan cepat sekali pemuda itu menghentikan serangan, dan kembali menyarungkan pedang. Lalu kepa-lanya menoleh ke kanan. Di situ, telah berdiri tegak seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Kepalanya yang lonjong ditumbuhi rambut tipis dan telah ubanan. Tubuhnya agak kurus dan sedikit bungkuk. Wajahnya kasar kehitaman dengan beberapa luka kecil menghiasi. Ketika tertawa lebar, sebuah gigi depan bagian atas telah tanggal.

"He he he...! Tidak kusangka kau cukup tangguh, Bocah. Hm... Aku Wiroto Sangkar, Pemimpin Kawanan Memedi Jalang. Kau telah membunuh Warok Singo. Sehingga, aku merasa kehilangan dia. Padahal, Warok Singo amat membantuku. Tapi, aku akan merasa senang bila kau sudi menggantikan kedudukannya...!"

"Maaf, aku sama sekali tidak berminat!" sahut pemuda itu tegas.

"Ha ha ha...! Jangan dulu cepat-cepat memutuskan begitu. Tidakkah kau tahu kalau kami memiliki harta-harta yang banyak luar biasa? Dengan itu, segalanya bisa didapat. Coba pertimbangkan lagi baik-baik. Sebagai tangan kananku, maka keadaanmu akan berubah. Kau akan mendapatkan bagian Warok Singo, ditambah hasil hasil lain yang nanti akan diperoleh...!" bujuk laki-laki yang mengaku bernama Wiroto Sangkar.

Pemuda itu memandang tajam. Sama sekali bibirnya tidak terlihat menyunggingkan senyum. "Maaf... Sekali lagi kukatakan, aku tidak tertarik tawaranmu! Suruh anak buahmu menyingkir!" sahut pemuda itu. Kali ini dengan nada yang lebih tegas.

Mendengar jawaban itu, wajah Wiroto Sangkar langsung berubah. Senyumnya yang manis, seketika hilang. Dan kini berganti dengusan sinis. Tangan kanannya makin mencengkeram kuat goloknya, pertanda hatinya amat kecewa dan geram.

"Anak muda! Tak ada seorang pun yang boleh menolak keinginan Wiroto Sangkar! Siapa yang berani, dia harus mati. Tidak terkecuali siapa pun orangnya. Apalagi, bagi pembunuh anak buah ku...!" Wiroto Sangkar mendengus geram. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung melompat menendang lawan.

"Hiiih!" Golok Wiroto Sangkar berkelebat cepat, menyambar leher dan pinggang. Kemudian dengan cepat menusuk ke arah jantung. Langsung hendak merobek perut pemuda itu. Namun, pemuda bermata sipit ini ternyata bukanlah orang sembarangan. Bahkan dia mampu menghindar dengan mudah. Gerakannya gesit dan cepat, meski kelihatannya amat sederhana.

"Huh!"

Trek!

"Hiyaaa!"

Ibu jari tangan kanan pemuda itu tiba-tiba menyentil batang pedang. Kemudian cepat sekali pedang panjangnya keluar dari warangka, lalu secepat kilat menyambar ke arah laki-laki setengah baya itu.

Sret!

"Aaa...!" Wiroto Sangkar langsung memekik keras. Tubuhnya terjungkal roboh. Dia menggelepar sesaat, kemudian diam tak berkutik. Pada dahi hingga ke bibir, darah memancur deras dari luka babatan pedang pemuda itu.

Pemuda itu mendengus sinis, dan sama sekali tidak mempedulikan mayat Wiroto Sangkar serta anak buah kawanan yang memandangnya dengan wajah kecut. Nyali mereka ciut. Tak ada seorang pun yang berani menghalangi, ketika pemuda itu meninggalkan tempat ini dengan langkah tenang.

********************

Lembah Sagir berada di kaki sebuah pegu-nungan yang membentang dari barat ke timur. Daerahnya subur berudara segar. Di sini bercokol seorang tokoh angkatan tua. Dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Eyang Tambak Kencana. Bila bicara tentang orang tua itu, maka tidak bisa terlepas dari Padepokan Merak Mas yang didirikannya beberapa puluh tahun lalu. Padepokan ini maju pesat. Bahkan lebih banyak menelurkan murid yang membawa harum nama padepokan. Sekaligus, membuat nama Eyang Tambak Kencana disegani kalangan persilatan. Sejauh ini, hal itu memang terbukti. Sebab tak ada seorang pun di kalangan dunia persilatan yang tidak mengenalnya. Kebanyakan dari mereka akan berpikir seribu kali untuk membuat urusan terhadapnya.

Siang ini, orang tua itu terlihat tengah berkumpul di halaman belakang bersama beberapa orang murid serta keluarga terdekatnya. Mereka mengelilingi sebuah meja besar, berbentuk lingkaran. Di kanan dan kiri terdapat beberapa buah pohon besar yang berdaun lebat. Sehingga, meski udara panas sekalipun, suasana di tempat itu tetap saja sejuk. Terlebih, pemandangannya amat indah. Sehingga, membuat mata yang memandang tidak terasa lelah. Tidak jauh di dekatnya, terlihat sebuah kolam yang cukup luas berair bening dengan bunga-bunga teratai yang tengah mekar berwarna merah dan putih. Kemudian jauh di depannya, terlihat barisan gunung dan perbukitan berwarna biru gelap.

Orang tua berusia tujuh puluh lima tahun itu menyeruput teh di cangkirnya, kemudian meletakkannya perlahan. Lalu bibirnya tersenyum seraya memandang laki-laki tinggi yang ada di hadapannya.

"Apakah sudah keras betul niatmu meninggalkan tempat ini, Danu Umbara?" tanya Eyang Tambak Kencana.

"Aku memikirkan masa depan Selasih, Ayah...," sahut laki-laki setengah baya berperawakan tnnggi besar bernama Danu Umbara.

"Apakah kau pun senang mengikuti ayahmu, Selasih?" lanjut orang tua itu pada gadis manis berbaju merah jambu yang duduk di sebelah Ki Danu Umbara.

"Entahlah. Eyang. Aku masih suka disini. Tapi..., aku juga tidak mau jauh dari ibu...?"

Eyang Tambak Kencana tersenyum kecil mendengar jawaban gadis yang dipanggil Selasih itu. "Aku tidak menyalahkan. Sebab, keinginan orangtuamu baik. Mereka ingin pindah ke kota yang lebih ramai untuk berdagang. Dengan demikian, mereka berharap masa depanmu pun bisa lebih baik ketimbang di sini...."

"Tapi, Ayah. Aku masih suka di sini...!" ujar Selasih dengan nada manja, setelah menoleh pada ayahnya, Danu Umbara.

"Apakah kau tidak kasihan pada lbumu? Dia tentu akan kesepian bila kau tak berada di sampingnya," bujuk Ki Danu Umbara.

"Kenapa ibu tidak di sini saja? Ayah berangkat lebih dulu. Kemudian setelah usaha Ayah berhasil, jemputlah kami!" usul Selasih.

"Hm... Kurasa usul Selasih itu baik. Kau berusaha dulu di kota. Dan bila berhasil, bawalah istri dan anakmu. Dengan demikian, mereka tidak akan telantar...!" sambung Eyang Tambak Kencana.

"Baiklah. Akan kubicarakan hal ini pada Laksmi...," sahut Ki Danu Umbara pendek.

"Ibu pasti setuju dengan usul itu!" seru Selasih, girang.

"Ya, mudah-mudahan saja ibumu setuju...," lanjut Ki Danu Umbara.

Pada saat itu seorang murid padepokan menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh. Setelah memberi salam hormat, diangsurkannya sepucuk surat kepada Ketua Padepokan Merak Mas.

"Dari siapa?" tanya Eyang Tambak Kencana

"Entahlah, Guru. Aku tidak mengetahuinya. Sepertinya, pemuda itu orang asing. Cara berpakaian dan bentuk wajah serta kulitnya, berbeda dengan kebanyakan pemuda di negeri ini," jelas sang murid.

Eyang Tambak Kencana hanya bergumam pendek, kemudian membuka lembaran kertas kuning itu.

Kepada Tambak Kencana, Ketua Padepokan Merak Mas. Aku mengajukan tantangan duel sore nanti, di sebelah selatan kaki pegunungan.

Akira Yamamoto, Pendekar Pedang Bayangan


Dahi orang tua itu berkerut setelah membaca isi surat yang singkat, namun cukup mengejutkannya. Wajahnya seketika berubah. Sehingga, menimbulkan keheranan mereka yang berada di tempat ini.

Selasih menarik surat yang berada di tangan kakeknya, lalu membacanya. Wajah gadis itu pun tampak berkerut campur gemas. Kemudian Ki Danu Umbara, serta yang lainnya bergilir membacanya. Wajah mereka tampak heran menandakan kebingungan yang sama.

"Akira Yamamoto? Siapa orang itu? Apakah Ayah pernah mengenalnya? Dan, apakah Ayah mempunyai urusan dengannya?" tanya Ki Danu Umbara.

"Tidak. Baru sekali ini kukenal namanya. Aku sama sekali tidak pernah mengenalnya...," desah Eyang Tambak Kencana, menggeleng lemah.

"Kalau begitu Eyang tidak perlu datang! Ini pekerjaan orang sinting yang mau mencari gara-gara. Eyang tidak perlu meladeninya!" ujar Selasih kesal.

"Betul, Guru! Kita tidak perlu meladeni orang ini. Mungkin dia orang sinting yang ingin mencari ketenaran belaka," timpal seorang murid yang berada di dekatnya.

"Entahlah. Kita lihat saja, apa yang dimaui orang itu sebenarnya padaku ," sahut Eyang Tambak Kencana, pelan seraya menghela napas panjang.

********************

DUA

Senja baru saja berlalu. Lampu-lampu minyak dan obor yang menerangi halaman sekitar Pade-pokan Merak Mas telah menyala. Sesekali nyala apinya bergoyang tertiup angina. Dan pada saat itu, beberapa ekor kelelawar terbang mengagetkan dengan terburu-buru keluar dari sarangnya.

Eyang Tambak Kencana duduk bersila dalam ruangannya. Kedua matanya terpejam dengan kedua tangan bertumpu pada kedua lutut yang bersila di lantai. Orang tua itu mengatur napas. Tidak terlihat gerakan di kedua bahunya, pertanda pernapasannya teratur dan halus sekali. Cukup lama dia bersemadi dengan memusatkan pikiran pada satu titik. Seluruh jiwa dan pikirannya, kini bersatu dengan Sang Pencipta Alam. Tak ada lagi hal-hal keduniawian. Termasuk persoalan yang tadi sore sempat mengisi benaknya.

Sementara itu di luar sana, seorang pemuda berjalan pelan mendekati pintu gerbang rumah padepokan ini dengan kedua tangan bersedakep. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang panjang bersarung warna hitam. Pedang itu kelihatan biasa saja, dengan warangka sampai pada barang berbentuk polos. Hanya saja, pedang itu sedikit kecil dan lebih panjang dari ukuran pedang yang umum dipakai.

"Berhenti! Kisanak telah memasuki Padepokan Merak Mas. Sebutkan nama, dari mana, dan urusan apa datang ke sini!" cegat salah seorang murid padepokan, langsung menghadang didepan pemuda berbaju hitam dengan rambut panjang dikuncir itu.

"Aku Akira Yamamoto! Gurumu tahu, aku datang untuk apa," sahut pemuda itu dingin.

"Maaf, Kisanak. Kau harus menunggu. Kawanku akan menanyakan lebih dulu pada Ki Guru," sahut sang murid. Segera diberinya isyarat pada kawannya yang berada tidak jauh dari situ.

Murid itu menoleh begitu kawannya berlari-lari kecil ke dalam. Namun ketika berpaling kembali, bola matanya mencari-cari ke sekitar tempat ini dengan wajah bingung. Kakinya melangkah ke depan, lalu kembali mencari-cari di sekitarnya dengan lebih teliti. Namun, yang dicari tidak juga ditemukan. Pemuda bermata sipit tadi hilang seperti ditelan bumi!

Sementara itu Eyang Tambak Kencana langsung bangkit begitu mendengar nama yang disebutkan muridnya dari luar kamar. Bergegas dia keluar, setelah membuka pintu. Empat orang muridnya langsung memberi hormat. Salah seorang kemudian maju mendekat.

"Pemuda itu mengaku bernama Akira Yamamoto...?" tanya Eyang Tambak Kencana, seperti ingin meyakinkan.

"Betul, Guru...!"

"Hm, baiklah. Suruh dia masuk!"

"Kau tidak perlu menyuruhku. Aku telah menunggumu disini!" sahut satu suara menyahuti.

Eyang Tambak Kencana kaget. Demikian pula keempat muridnya. Orang tua itu mengintip lewat tirai yang berada di teras kamar ini. Dan dihalaman depan terlihat seorang pemuda berbaju hitam membelakanginya! Orang tua ini menghela napas panjang.

"Bawakan pedang pusaka. Dan, temui aku dibawah!" ujar Eyang Tambak Kencana pendek.

"Apakah Guru menyambut tantangannya!" tanya seorang muridnya khawatir.

"Tidak ada pilihan lain...."

"Guru, dia hanya seorang murid ugal-ugalan! Kau tidak perlu meladeninya," timpal muridnya yang seorang lagi.

Eyang Tambak Kencana menoleh dan memandang tajam kepadanya. "Dia bukan pemuda ugal-ugalan. Aku pernah mendengar kejadian yang seperti ini...," sahut orang tua itu tenang.

"Maksud, Guru?"

"Pemuda itu berasal dari sebuah negeri yang jauh. Orang-orang menyebutnya dengan negeri Matahari Terbit. Mereka memiliki ilmu bela diri yang hebat, dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki. Beberapa orang malah mengembara ke negeri-negeri yang terkenal akan keahliannya dalam ilmu olah kanuragan. Mereka mendatanginya, lalu mengajaknya bertarung sampai salah seorang tewas. Pertandingan ini jujur, dan tak ada unsur-unsur lain..." jelas Eyang Tambak Kencana secara singkat.

"Jadi..., dia menginginkan pertarungan hidup dan mati?" tanya salah seorang muridnya dengan nada hati-hati.

Orang tua itu mengangguk.

"Apakah kira-kira Guru mampu mengalahkannya...?"

"Entahlah. Pendekar-pendekar dari negeri Matahari Terbit terkenal hebat. Terutama ilmu pukulan dan permainan pedang mereka yang aneh!"

"Apakah tidak ada cara lain untuk membatalkan pertarungan ini, Guru?"

"Apakah kau ingin gurumu dianggap pengecut oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, Pijan?" sahut Eyang Tambak Kencana disertai senyum.

Murid yang dipanggil Pijan terdiam seraya menunduk lesu mendengar kata-kata gurunya.

"Maukah kalian mendengar pesan-pesanku?"

"Pesan apa, Guru?" sahut mereka saling menimpali.

"Danu Umbara.... Agaknya dia tidak berminat menggantikanku. Menantuku itu keras betul niatnya untuk berniaga. Maka kau, Pijan. Sebagai murid tertua, kuangkat menjadi penggantiku bila aku tewas di tangan pemuda itu. Pimpinlah murid-murid dengan baik. Dan, jangan mendendam pada pemuda itu!"

"Guru...?!"

Wajan keempat murid itu tersentak kaget. Tapi, Eyang Tambak Kencana tidak mempedulikannya. Dan dia langsung berlalu dari tempat ini dengan langkah panjang sambil mengingatkan salah seorang muridnya.

"Jangan lupa! Cepat bawakan pedang pusaka. Dan, temui aku di bawah sana!"

********************

Wajah Ki Danu Umbara tampak cemas ketika memperhatikan Eyang Tambak Kencana yang berdiri berhadapan dengan pemuda yang mengaku bernama Akira Yamamoto dalam jarak hanya terpaut lebih kurang tujuh langkah. Demikian pula istri dan putrinya, serta seluruh murid Padepokan Merak Mas.

"Tambak Kencana! Kau tidak datang memenuhi tantanganku, sehingga aku harus datang kesini! Apa pun alasanmu, maka kau harus bertarung denganku!" ujar Akira Yamamoto dengan nada menegaskan.

Orang tua itu belum sempat menjawab, ketika Selasih telah lebih dulu maju seraya menuding sengit.

"Orang asing! Eyangku tidak punya urusan denganmu! Kenapa kau datang dengan mencari gara-gara? Apakah kau sudah demikian sombongnya dengan kepandaian yang dimiliki?! Pergilah! Dan, cari orang-orang yang mau meladeni keinginanmu yang gila itu!"

Pemuda bermata sipit itu menoleh. Dipandanginya gadis itu dengan mata tidak berkedip untuk beberapa saat. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Selasih! Jangan campuri urusan ini. Kau tidak tahu apa-apa...,"' kata Eyang Tambak Kencana.

"Eyang! Aku bukan menganggapmu pengecut dengan membatalkan atau mengganggu jalannya pertarungan kalian! Tapi urusan ini kuanggap tidak benar dan berbahaya. Dan pemuda gila ini ingin menyeretmu ke dalamnya. Tidakkah Eyang menyadari?!" tandas Selasih keras dengan wajah berang menahan kesal bercampur geram.

"Selasih! Apa yang kuperbuat adalah hal yang biasa. Dan, sama sekali tidak aneh..." kilah Eyang Tambak Kencana.

"Tidak! Aku tidak mau mendengar alasan-alasan Eyang! Aku tidak mau mendengarnya...!"

Selasih berteriak keras seraya mendekap wajah dengan kedua tangannya. Gadis itu berlari ke dalam. Dan mereka masih sempat mendengar isak tangisnya.

"Selasih...!" Laksmi, istri Ki Danu Umbara, berseru memanggil dan mengejar gadis itu.

Apa yang dirasakan selasih memang tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan wanita ini. Kepedihan dalam, seperti mendapat firasat buruk terhadap Eyang Tambak Kencana.

Orang tua itu hanya menoleh sekilas. Kemudian kembali memandang pemuda yang berada di hadapannya.

"Bisakah kita mulai...'" tanya pemuda bermata sipit ini.

"Silakan. Aku telah siap!"

Akira Yamamoto menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Sementara tangan kanannya yang masih menggenggam pedang dijulurkan. Matanya tajam mengawasi orang tua itu laksana seekor rajawali yang tengah mengincar mangsanya. Perlahan-lahan dia bergerak mendekati orang tua itu dengan menggeser tapak kakinya.

Dan Eyang Tambak Kencana pun agaknya telah bersiaga. Pandangan matanya pun tajam mengawasi semua gerak-gerik pemuda itu. Lalu tubuhnya berputar ke kanan pelan-pelan.

"Heaaa...!"

Akira Yamamoto berteriak dengan suara menggeledek. Kepalan tangan kanannya melesat, menimbulkan desir angin kencang. Sasarannya tepat menghantam ke arah dada kiri.

"Uts!"

"Yeaaa!"

Eyang Tambak Kencana cepat menggeser tubuhnya ke kanan. Tapi, Akira Yamamoto cepat berputar dan mengibaskan kepalan tangan kiri. Orang tua itu melompat ke atas, membuat gerakan jungkir balik ketika pemuda itu melanjutkan serangan lewat tendangan kedua kakinya silih berganti.

Tenaga dalam pemuda ini terasa kuat. Gerakannya pun cepat meski ilmu olah kanuragannya keliharan sederhana. Perhatiannya lebih dipusatkan dengan mendesak orang tua itu lewat serangan-serangan gencar. Namun begitu, saat Eyang Tambak Kencana menemukan kesempatan untuk balas menyerang. Akira Yamamoto tidak gugup. Dia malah mampu menghindar dengan gerakan cepat.

"Yeaaa! Heaaa...!"

"Uhhh...!"

Akira Yamamoto membentak dan berteriak setiap kali menyerang. Sehingga, membuat Eyang Tambak Kencana sedikit terganggu. Dengan teriakan itu, agaknya dia tengah membangun semangat bertarungnya. Dan hal ini dirasakan betul oleh orang tua itu. Gerakan pemuda itu semakin cepat. Bahkan tenaganya seperti berlipat ganda, serta nafsu menjatuhkan lawan semakin kuat.

Pertarungan itu sendiri telah melewati sepuluh jurus. Dan sampai sejauh ini, Eyang Tambak Kencana tampak terus keteteran. Orang tua ini memang seperti tidak mampu mengimbangi gerak dan semangat tempur pemuda bermata sipit ini. Diam-diam Eyang Tambak Kencana menggeram, lalu tiba-tiba melompat ke belakang untuk mengatur jarak.

Namun Akira Yamamoto mendiamkannya saja, seperti memberi peluang bagi Eyang Tambak Kencana untuk mengatur pernapasan, serta menyiapkan jurus baru yang mungkin akan diandalkan.

"Heaaa! Yeaaat...!"

Sring!

Eyang Tambak Kencana memainkan beberapa gerakan jurus ilmu silatnya sambil mendekati Akira Yamamoto. Kemudian dengan tiba-tiba, pedang pusaka yang pada warangkanya tergambar burung merak berbulu panjang berwarna keemasan dicabut.

"Inikah jurus 'Merak Mas Membuat Sarang' yang membuat namamu kesohor...?" tanya Akira Yamamoto.

"Benar! Ternyata kau tahu banyak mengenaiku. Nah! Man kita bertarung kembali," sahut Eyang Tambak Kencana.

Akira Yamamoto tidak menyahut. Kakinya malah melangkah ke kanan dengan pandangan tajam mengawasi.

"Heaaa...!"

Disertai bentakan menggelegar, tubuh Eyang Tambak Kencana melenting sambil membuat putaran untuk menerjang lawan. Pedangnya berciuran, menyambar menimbulkan desir angin tajam. Namun pemuda itu cepat bergerak lincah, menghindari setiap serangan yang ke mana saja dia bergerak selalu saja mengurungnya dengan ketat.

Apa yang dinamakan jurus 'Merak Mas Membuat Sarang' ternyata bukan jurus kosong belaka. Melewati dua jurus dimuka, Akira Yamamoto kelihatan keteter. Namun begitu bukan berarti akan mudah dijatuhkan. Dan memang, Akira Yamamoto belum lagi membalas serangan. Kelihatannya dengan menggunakan jurus menghindarnya, dia ingin mengetahui sampai sejauh mana kedahsyatan jurus pamungkas lawannya.

"Yeaaa...!"

Sring!

Ketika merasa banyak mengetahui kelemahan jurus orang tua itu, Akira Yamamoto melompat ke samping menghindari sabetan pedang. Dan bersamaan dengan itu, tangannya langsung menyambut pedang seraya membentak nyaring.

Tring! Tring!

Kedua senjata kontan beradu, menimbulkan percikan bunga api kecil. Pemuda itu mendesis geram. Dan serangannya terlihat semakin cepat serta mengarah pada sasaran-sasaran yang jelas.

"Yeaaat!"

Mendadak, Akira Yamamoto melesat tinggi ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan satu babatan. Begitu cepat gerakannya, sehingga...

Cras!

"Aaa...!" Terdengar Eyang Tambak Kencana terpekik, lalu ambruk dengan darah mengucur dari luka antara dahi hingga ke bibir!

"Guru...!"

"Ayaaah...!" Ki Danu Umbara dan semua murid Padepokan Merak Mas berseru kaget. Mereka langsung memburu, mengerubungi orang tua yang terkapar tak berdaya. Pada saat itu tak ada seorang pun yang memperhatikan kalau Akira Yamamoto telah meninggalkan tempat ini. Pemuda itu sama sekali tidak mempedulikan kesedihan mereka yang mendalam!

********************

Tiga sosok tubuh tampak berusaha berlari kencang menghindari para pengejarnya. Napas mereka memburu, dengan wajah sedikit pucat. Sesekali mereka menoleh kebelakang, melihat para pengejarnya masih berusaha menangkap dengan bersemangat.

"Yeaaat!"

"Awaaas...!"

Salah seorang memperingatkan kedua kawannya, ketika lima sosok tubuh tiba-tiba saja menyerang dari arah depan dengan golok panjang terhunus. Ketiga orang itu melompat cepat, lalu bergulingan menghindari lemparan tombak para pengejar yang berada di belakang. Namun dari arah samping, telah siap beberapa orang lagi yang langsung membabatkan golok. Tiga orang itu terpaksa bergulingan, dan bersatu di tengah. Sementara itu, para pengeroyok telah mengurung ketat membentuk lingkaran seraya menghunuskan senjata.

"Celaka, Palaga! Tidak ada jalan keluar...!" desis seorang buruan yang berkumis tipis.

"Tamatlah riwayat kita sekarang, Baruna!" timpal laki-laki bertubuh gemuk pendek yang dipanggil Palaga.

"Jangan putus asa! Kita harus melawan sampai tetes darah terakhir! ingat! Bila tertangkap, nasib kita tidak ubahnya seperti mati. Maka lebih baik mati setelah berjuang!" sahut yang ketiga memberi semangat.

"Betul apa yang kau katakan, Lesmana! Kita harus melawan!" kata laki-laki yang berkumis tipis yang dipanggil Baruna.

"Ringkus mereka...!" teriak salah seorang pengeroyok memberi perintah.

"Heaaa...!"

Beberapa orang melompat. Sementara yang lain menyusul, membuat serangan bertingkat. Sedangkan beberapa orang lainnya menyiapkan beberapa buah jala.

"Hup!"

Palaga, Baruna, dan Lesmana saling memunggungi dan menghadapi para pengeroyok. Mereka saling melindungi satu sama lain. Namun begitu, agaknya mereka tidak bisa bertahan lama. Jumlah lawan cukup banyak. Sementara kemampuan para pengeroyok pun tidak bisa dianggap enteng.

Srak!

Mendadak beberapa buah jala menebar. Ketiga orang itu berusaha menghindar, namun sia-sia. Mereka telah lebih dulu terperangkap dalam jala.

"Kurang ajar...!" maki Lesmana geram.

Dia berusaha melepaskan diri dengan mencoba memutuskan tali jala. Demikian pula kedua kawannya. Namun usaha mereka sia-sia saja. Sebab, tali itu demikian kuat dan tak mampu diputuskan meski telah dikerahkan seluruh tenaga.

"Yeaaa...!"

Lebih tujuh orang penghadang melompat, langsung menghantam ketiga lawannya yang tengah dalam keadaan tidak berdaya.

Duk! Begkh!

Aaakh!"

"Keparat! Bangsat bangsat pengecut! Lepaskan. Akan kuhajar kalian sampai mampus!" dengus Lesmana geram dengan darah segar meteleh dari sudut bibir.

Dalam keadaan terkurung jala begitu, tak ada kesempatan bagi mereka untuk menghindar. Sehingga pukulan dan tendangan para pengeroyok mendarat dengan empuk.

"Ini hukuman bagi mereka yang coba-coba kabur dari istana Lembah Darah!" dengus seorang berjubah merah dengan ikat kepala hitam.

"Persetan dengan Istana Lembah Darahmu itu! Kalian hanya orang-orang pengecut!" bentak Lesmana.

"Kurang ajar! Sekali lagi bicara seperti itu, kutebas lehermu!" hardik laki-laki berjubah merah itu dengan mata melotot garang.

"Phuih! Kau kira aku takut padamu?!"

"Keparat!" Laki-laki berjubah merah ini menggeram. Dan dia segera memberi isyarat agar yang lainnya menyingkir.

Lesmana dan kedua kawannya megap-megap. Namun, sorot matanya memandang penuh kebencian saat laki-laki itu mendekat.

Srang!

Orang ini mencabut golok dan memperlihatkan ketajaman senjatanya. Diusap-usapnya golok itu pelan-pelan dengan sentuhan tangan kiri.

"Kau akan mati penasaran, Bedebah!"

"Phuih! Aku tidak takut mati, Pengecut! Ayo, bunuh aku! Biar semua orang melihat, betapa orang-orang Istana Lembah Darah adalah kumpulan pengecut! Kalian hanya berani kepada orang-orang yang tak berdaya!"

"Setan!"

Laki-laki berjubah merah ini memaki dengan wajah geram. Goloknya terayun, namun hanya menghantam permukaan tanah dekat kaki kanan. Sementara bersamaan dengan itu, ujung kakinya melayang ke perut Lesmana.

Duk!

"Aaakh...!" Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dan bertubuh kurus itu memekik nyaring. Isi perutnya terasa mau meledak akibat tendangan itu.

"Kau boleh mampus sekarang juga!" desis laki-laki berjubah merah itu geram. Golok itu terangkat cepat, dan siap menebas leher Lesmana. Tapi pada saat itu, terjadi keributan.

"Heh?!"

TIGA

Laki-laki berjubah merah mengurungkan niatnya, begitu melihat beberapa orang kawannya terjungkal oleh ulah seorang pemuda yang mengamuk hebat. Yang lainnya berusaha membantu dan mengepung. Namun, pemuda berbaju rompi putih itu ternyata cukup gesit dan tidak mudah ditaklukkan. Kedua tangannya menggenggam golok yang berhasil dirampasnya dari lawan. Ketika dua buah jala hendak menyergap berturut-turut, kedua golok di tangannya melayang, memutuskan kedua tali jala. Sementara pemuda itu sendiri bergulingan menghindar.

Wuuut!

Tiga orang langsung memapaki dengan mengayunkan golok. Tapi kedua kaki pemuda itu cepat bagai kilat berputar, menghantam pergelangan salah seorang lawan yang terdekat.

Plak!

"Aaakh...!" Orang itu memekik karena pergelangan tangannya remuk, setelah memapak. Goloknya terlepas dan langsung ditangkap pemuda itu. Dengan senjara itu, pemuda berbaju rompi putih ini memerintahkan serangan kedua lawan yang lain.

Trang!

"Uhhh...!"

Dua orang mengeluh kesakitan ketika senjata mereka berpapasan dengan golok di tangan pemuda itu. Keduanya terjungkal, tendangan keras menyapu ke arah perut dan dada.

"Hentikan...!" teriak laki-laki berjubah merah.

Serentak para pengeroyok yang merupakan anak buah laki-laki berjubah merah itu menghentikan serangan. Dia sendiri melangkah mendekati pemuda itu seraya memperhatikan dengan seksama.

"Kisanak memasuki kawasan Lembah Darah. Siapapun tahu kalau tempat ini daerah kekuasaan Iblis Rambut Merah. Dan, tidak sembarang orang bisa melewatinya dengan selamat. Namaku, Bagus Ireng. Dan aku adalah seorang abdinya! Siapa kau?! Dan, apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya laki-laki berjubah merah yang mengaku bernama Bagus Ireng.

"Aku hanya kebetulan lewat. Dan aku tidak tahu kalau lembah ini daerah kekuasaan seseorang. Kisanak, namaku Rangga. Sampaikan permintaan maafku pada Iblis Rambut Merah kalau memang aku salah," ucap pemuda tampan berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm, Rangga... Majikanku seorang yang baik hati. Dia tentu suka memaafkan orang. Dan kurasa, dia pun senang sekali kalau kau sudi mampir ke tempatnya...," ujar Bagus Ireng, tersenyum manis.

"Kisanak! Jangan terpengaruh omongannya! Mereka hendak menjebakmu'" teriak Lesmana memperingatkan.

Dukkk!

"Hugkh...!"

Baru saja selesai ucapan Lesmana, satu tendangan keras yang dilakukan anak buah Ki Bagus Ireng menghantam dadanya. Lesmana kembali memekik. Dan kali ini, rasa sakit itu agaknya tak tertahankan. Sehingga, dia hanya bisa mengerutkan muka sambil mengerang erang.

"Ki Bagus Ireng! Apa yang telah kalian lakukan pada ketiga orang itu?" tanya Rangga, curiga.

"Mereka pencuri. Dan majikanku memerintahkan untuk menangkapnya...."

"Dusta! Kami bukan pencuri! Mereka..."

Begkh!

"Aaakh...!" Palaga, laki-laki yang bertubuh pendek dan gemuk, membantah keras. Namun belum habis perkataannya, satu tendangan keras menghantam perutnya. Palaga kontan memekik seraya mendekap perutnya yang terasa sakit luar biasa.

"Kisanak! Seorang maling pun tidak akan mengalami siksaan seperti itu. Kalian betul-betul keterlaluan. Kalau benar mereka maling, maka katakanlah berapa nilai barang yang dicuri. Aku akan menebus mereka!" ujar Rangga mulai tidak senang.

"Maaf, Kisanak. Majikanku telah memerintahkan kami untuk menangkap mereka dan menghadapkan padanya. Setiap perintahnya wajib kami taati. Maka dengan terpaksa, kami tidak bisa mengabulkan permitaanmu!" tandas Ki Bagus Ireng.

"Hm, sayang sekali. Majikanmu tentu orang baik. Dan rasanya, mustahil bersikap begitu. Tapi bagaimanapun, aku musti percaya dengan kata-katamu. Hanya saja, aku tidak bisa menerimanya. Termasuk juga, tidak bisa menerima perlakuan pada mereka," sahut Rangga tenang.

"Kisanak! Kau datang tiba-tiba, lalu mencampuri urusan orang. Padahal saat ini, kau tengah berada di daerah kekuasaan majikan kami. Sebaiknya, jangan ikut campur. Dan, berlakulah yang sopan!" bentak Ki Bagus Ireng sedikit mengancam.

"Bagaimana aku bisa diam kalau ternyata kalian tengah menyiksa saudaraku?"

"He?! Apa maksudmu...?!" seru Ki Bagus Ireng kaget.

"Mereka adalah saudara dekatku. Bila mereka bersalah, maka akulah yang akan bertanggung jawab. Tapi aku tahu betul watak mereka. Sehingga tidak mungkin rasanya mereka mencuri sesuatu dari tempat kalian. Lagi pula, kenapa harus jauh jauh bila sekadar mencuri? Toh, masih banyak rumah hartawan yang bisa dicuri. Dugaanku, kau pasti mengada-ada. Maka aku tidak bisa tinggal diam melihat apa yang kau lakukan pada saudara-saudaraku!" ujar Rangga, lantang.

"Huh! Kalau begitu kau memang sengaja mencari urusan! Ingatlah! Majikanku tidak akan suka hal ini. Maka terpaksa kami harus membawamu juga secara paksa. Kau telah banyak melakukan pelanggaran di daerah ini. Dan karenanya, kau harus mendapat hukuman!" dengus Ki Bagus Ireng.

"Hm... Agaknya majikanmu merasa berkuasa menghukum seseorang?!" sahut Rangga mencibir sinis.

"Dia lebih berkuasa daripada seorang raja. Dan kau akan melihatnya segera!" balas Ki Bagus Ireng.

Bersamaan dengan itu Ki Bagus Ireng memberi isyarat. Maka sebagian besar anak buahnya langsung mengepung dengan senjara terhunus. Pemuda itu terkurung dalam waktu singkat. Dan sepertinya, tak ada jalan keluar sedikit pun.

"Ringkus...!" perintah Ki Bagus Ireng keras menggelegar.

"Yeaaat!"

Trang! Trang!

"Hup!"

Golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang masih belum dilepaskan, berkelebat memapak senjata para pengeroyok mengancam keselamatannya. Orang-orang itu agaknya tidak mau bertindak kepalang tanggung. Mereka benar-benar ingin meringkus pemuda itu dengan cara apapun. Bahkan Ki Bagus Ireng menambahkan perintah untuk membunuh Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat anak buahnya masih belum juga mampu meringkus.

"Jangan kasih hati! Bunuh saja dia...!"

"Yaaat...!"

Sing! Set!

Serangan para pengikut Iblis Rambut Merah mulai terasa dahsyat. Mereka menggunakan segala cara dengan gerakan kompak. Bahkan beberapa orang telah melemparkan senjata rahasia berupa lempengan baja tipis sebesar telapak tangan bayi, berbentuk segi banyak. Malah ketika Rangga coba menghindar serta menangkis, mereka memberondongnya dengan lemparan tombak. Dan baru saja Rangga menghindari serangan, beberapa orang yang lain coba menjeratnya dengan jala.

"Sial!" rutuk Rangga kesal.

Kesabaran Pendekar Rajawali Sakti mulai hi-lang, melihat ulah para pengeroyoknya. Rangga menggeram. Kemudian tubuhnya mencelat ke belakang menghindari dua buah jala yang hendak meringkusnya. Begitu menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti kembali melesat ke muka, seraya membuat gerakan jungkir balik.

"Heaaat..!"

Golok yang masih berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti, berkelebat menyambar kearah para pengeroyoknya.

Bet!

"Aaa...!"

Dua orang memekik nyaring dan terjungkal ke belakang. Pada bagian dadanya terlihat luka menyilang, bekas tebasan golok Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga kembali melompat ke samping sambil mengibaskan golok untuk menangkis dua buah tombak yang menyambar leher dan pinggangnya.

Trak! Wuuut!

Kedua pengeroyoknya mengeluh pelan. Tombak mereka nyaris terpental. Namun Rangga tidak mempedulikannya. Dan ujung goloknya terus menyambar dan merobek kedua perut lawan.

Bras!

"Aaa...!"

Orang-orang itu memekik keras sambil mendekap perut. Tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang. Tiga orang lagi mencoba meringkus Pendekar Rajawali Sakti. Sementara lima kawannya menge-pung dari belakang untuk mengincar kelemahan serta kelengahan Rangga yang sejak tadi mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dipadu dengan jurus dari lima rangkaian Jurus 'Rajawali Sakti'.

Sambil menundukkan kepala dan membung-kuk, Rangga menghindari tebasan senjata-senjata lawan. Kakinya bergeser dan sedikit memiringkan tubuh. Kemudian goloknya berkelebat.

Wut! Bret!

"Aaa...!"

Tahu-tahu tiga orang yang berada di depan Rangga terjungkal bersimbah darah. Sedangkan pemuda itu bergulingan, saat lima pengeroyoknya yang berada di belakang melompat menerkam. Dan dengan gerakan cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti melenting sambil membabatkan goloknya. Dan...

Bret!

"Aaa...!"

Kelima orang itu kontan memekik setinggi langit begitu perut mereka robek mengucur darah segar, tersambar golok yang dipegang Rangga.

Rangga melompat mendekati ketiga laki-laki yang masih terkurung dalam jala. Lalu dirobeknya jala itu dengan golok di tangan. Sementara empat orang lawan langsung menerjang. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak kalah sigap. Seketika tebasan goloknya siap menyambut.

Trak! Trak!

Dua bilah golok milik anak buah Ki Bagus Ireng terpental. Pada saat yang sama, Rangga sudah lebih cepat berkelebat dengan kecepatan dahsyat. Tahu-tahu....

Bret!

"Aaa...!" Salah seorang kembali tewas dengan pinggang robek. Sementara seorang lagi kehilangan lengan kirinya. Sedangkan kedua lawan yang lain sempat menghindar dari amukan golok Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak! Kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Tapi kita harus cepat meninggalkan tempat ini! Mereka licik...!" ujar Lesmana mengingatkan. Suaranya terputus oleh rasa nyeri di perutnya.

"Kenapa begitu...?" tanya Rangga.

"Kalau tidak cepat meninggalkan tempat ini, kau akan celaka!"

"Kisanak, aku tidak mengerti..." Rangga memandang Lesmana beberapa saat. Wajah laki laki ini tampak cemas. Dan tiba-tiba, tangannya menunjuk sesuatu dengan muka semakin pucat ketakutan.

"Celaka! Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini...!" teriak Lesmana seraya mengajak kedua kawannya untuk kabur.

Rangga yang tengah bingung, menoleh. Dia melihat beberapa sosok tubuh bergerak lincah mendekati dari kejauhan. Datangnya bukan dari satu arah, tapi dari semua arah.

"Hiiih!" Mendadak Ki Bagus Ireng melemparkan sesuatu kearah Pendekar Rajawali Sakti.

Bus...!

"Heh...?!"

Benda sebesar kepalan bayi itu kontan meletup, mengeluarkan asap hitam tebal. Perbuatan Ki Bagus Ireng itu diikuti beberapa anak buahnya yang lain. Sehingga hanya dalam waktu singkat, tempat itu dipenuhi asap hitam tebal yang tidak hanya menghalangi pandangan, tapi juga mengandung bius hebat.

"Uh, kurang ajar!" Rangga memaki geram.

Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti menutup jalan pernapasannya, dan memindahkannya keperut. Dan mendadak pendengarannya yang tajam menangkap gerakan halus yang tertuju ke arahnya.

"Uhhh...!" Pemuda itu mengeluh kesal. Dan goloknya cepat berkelebat, berhasil menangkis benda keras.

Wuuuk!

Tras!

Belum lagi habis rasa kagetnya, kembali terasa desir angin kencang menyambar dari belakang. Pendekar Rajawali Sakti membungkuk, lalu melompat ke samping. Goloknya cepat menyambar ke satu arah, kemudian...

Cras!

"Aaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti bergulingan, dan langsung melompat ke depan begitu datang serangan kilat menyambar dari samping kanan. Cepat sekali serangan-serangan itu datang silih berganti. Namun begitu, Rangga berhasil menangkis dan menewaskan salah seorang dari mereka.

Rangga memperkirakan kalau lawan yang menyerang berjumlah sekitar lima orang. Dan mereka memiliki kepandaian hebat. Paling tidak, memiliki pendengaran tajam. Sebab dalam suasana gelap dan berkabut hitam begini, akan sulit untuk membedakan mana lawan dan mana kawan.

Rangga memperkirakan, bisa meladeni serangan-serangan lawan. Namun, asap hitam ini bukan sembarangan, karena mengandung obat pembius yang ampuh. Sementara lawan-lawannya seperti tidak terpengaruh, karena memiliki obat pemunahnya. Sehingga dengan demikian, mereka leluasa menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Bagi Rangga sendiri, tidak mungkin rasanya untuk bernapas lewat perut terlalu lama. Lambat laun dia akan celaka sendiri. Berpikir begitu, pemuda ini yang sejak tadi telah mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', menghantamkan kedua tangannya ke depan. Seketika, timbullah desir angin kencang. Tertangkap oleh telinganya. beberapa sosok tubuh berkelebat ke arah pukulannya yang mungkin dirinya disangka tengah melompat. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk melarikan diri!

Rangga bisa merasakan kalau pengeroyoknya terkecoh oleh tipuannya. Sehingga ketika telah berada cukup jauh dari kepungan asap hitam yang tebal itu, tak ada seorang pun yang membuntutinya. Pemuda itu tidak mau ambil pusing, dan terus menjauhi Lembah Darah.

Namun langkah Pendekar Rajawali Sakti ter-henti ketika pendengarannya yang tajam menang-kap sesuatu. Bunyi gemerisik serta beberapa ranting kecil yang patah seperti terinjak. Rangga cepat melompat ke salah satu cabang pohon terdekat yang cukup tinggi, kemudian mengawasi keadaan sekitarnya. Tidak jauh dari arah timur laut, terlihat tiga orang yang tadi terkurung jala tengah berlari-lari kencang. Rangga tersenyum, lalu melompat menyusul.

"Kisanak, berhenti!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, begitu menjejakkan kaki di hadapan mereka.

"Eeeh...!" Ketiga orang itu tersentak kaget dengan wajah pucat. Mereka langsung menghentikan langkah. Namun ketika mengetahui siapa yang mencegat perjalanan, wajah yang pucat kembali lega.

"Ah, kukira siapa. Kiranya kau, Kisanak...," ujar Lesmana.

"Maafkan, aku telah mengagetkan. Syukurlah kalian sempat melarikan diri dan selamat dari tempat itu...."

"Sebaiknya, jangan lama-lama di sini! Tempat ini belum jauh dari Lembah Darah. Mereka mudah menemukan kita. Ayo, kita harus menyingkir sejauh mungkin!"

Ajakan Lesmana langsung diikuti kedua kawannya. Apalagi ketika dia langsung berlari meninggalkan tempat ini. Sehingga, Rangga yang coba mencegah, tidak bisa berbuat apa-apa. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti mengikuti mereka.

Setelah telah merasa cukup jauh, mereka menghentikan larinya. Lesmana terduduk lesu, bersandar di bawah sebatang pohon. Demikian pula kedua kawannya. Napas mereka terasa memburu dan tidak beraturan.

"Kisanak, kami bertiga mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...," ucap Lesmana setelah napasnya kembali teratur.

Dengan satu persatu, Lesmana mengenalkan kedua kawannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Yang bertubuh sedikit gemuk serta agak pendek bernama Palaga. Dan seorang lagi bernama Baruna.

"Sebaliknya siapakah kau Kisanak...?" lanjut Lesmana, bertanya.

"Namaku Rangga...."

"Hm, ya. Sepertinya kau orang baru di wilayah ini. sehingga tidak mengenal keangkeran Lembah Darah ..."

"Ada apa sebenarnya di tempat itu? Dan, apa yang terjadi dengan kalian?"

"Di lembah itu tinggal seorang tokoh sesat bernama Ki Girang Manuk. Namun, orang-orang lebih mengenalnya sebagai Iblis Rambut Merah. Dia memiliki istana serta banyak anak buah. Kepandaian mereka cukup tinggi dan sedikit mengerti ilmu sihir. Namun tidak semuanya. Hanya kaki tangannya yang terdekat saja Iblis Rambut Merah jangan ditanya lagi! Ilmu olah kanuraganya hebat. Begitu juga ilmu sihirnya. Dia menculik tokoh tokoh persilatan yang memiliki kepandaian hebat, maupun yang memiliki kepandaian biasa untuk diperbudak menjadi kaki tangannya. Mereka yang diculik, kemudian tidak pernah mau kembali pada keluarganya lagi...," jelas Lesmana.

Rangga mengangguk angguk mendengar penjelasan itu. "Kalau begitu, kalian termasuk korban mereka?"

"Ya. Tapi kami berhasil lolos, sebelum mereka sempat menyihir melalui pengaruh obat dan kekuatan bathinnya."

"Apakah di antara korban-korbannya hanya kalian yang berhasil lolos?"

"Beberapa orang telah mencoba, namun tertangkap. Yang lainnya malah terbunuh. Kalau saja kau tidak menolong, maka nasib kami tidak berbeda dengan mereka..."

"Apakah tidak ada yang berusaha mencegah kejahatan Iblis Rambut Merah?"

"Pernah beberapa pendekar mencoba merin-tanginya. Namun mereka semua binasa. Bahkan ada yang menjadi kaki tangan si Iblis Rambut Merah."

"Hm, sungguh keji perbuatannya! Apa mak-sudnya berbuat begitu?"

"Iblis Rambut Merah ingin menguasai dunia persilatan. Dengan mengumpulkan tokoh silat menjadi kaki tangannya maka impiannya akan terwujud tanpa menemui rintangan berarti."

"Orang ini benar-benar keterlaluan! Dia akan berbuat apa saja untuk mewujudkan impiannya. Iblis Rambut Merah harus dicegah!" dengus Rangga geram.

"Apakah kau akan membantu?" tanya Lesmana.

"Apa yang bisa kubantu?"

"Kami bermaksud menemui Ki Sukma Agung. Dari dia, mudah-mudahan bisa menghubungi para pendekar lain untuk bergabung menghancurkan Iblis Rambut Merah.

"Ki Sukma Agung? Apakah Pendekar Tongkat Malaikat yang kalian maksudkan?"

"Benar! Apakah kau mengenalnya?" Lesmana balik bertanya dengan wajah terkejut.

"Tidak. Aku hanya pernah mendengar nama besar beliau..."

"Bagaimana? Apakah kau bermaksud bergabung? Kita harus menyatukan kekuatan. Sebab bagaimanapun hebatnya kemampuan seseorang, sulit rasanya bisa menghancurkan Iblis Rambut Merah seorang diri. Orang itu licik dan banyak tipu dayanya. Lebih dari itu, kini kaki tangannya berjumlah banyak, terdiri dari tokoh-tokoh silat cukup hebat. "

Rangga berpikir sejenak sebelum menyatakan persetujuannya lewat anggukan pelan. "Baiklah..."

"Syukurlah. Sekarang lebih baik kita berangkat!" ajak Lesmana.

Dan tiba-tiba Rangga bersuit nyaring, membuat Lesmana dan dua kawannya terkejut. Tidak berapa lama terlihat dari kejauhan seekor kuda berbulu hitam menghampiri. Kuda hitam bernama Dewa Bayu langsung meringkik pelan seraya mengusap-usapkan hidungnya ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini, mereka sama-sama pergi meninggalkan tempat ini.

********************

EMPAT

Seorang laki laki tua duduk bersila, menatap jendela kamarnya yang sepi dan lapang, tanpa perabotan apa-apa selain sehelai permadani yang terdampar ditengah-tengah lantai. Kedua bahunya turun naik beraturan. Pandangannya seperti hendak menembus kehalaman luar. Di pangkuannya tampak sebilah pedang dengan warangka berwarna hitam yang bagian ujungnya terdapat dua buah garis kuning melingkar. Gagangnya agak panjang, berbentuk biasa. Sepintas lalu, pedang ini tidak ubahnya seperti pedang biasa. Padahal, beberapa belas tahun silam sempat menggegerkan dunia persilatan di tangan pemiliknya, yaitu Ki Tadang Alang alias Malaikat Bermuka Delapan.

Kini, orang tua yang memang Malaikat Bermuka Delapan sendiri menghela napas panjang. Lalu dia bangkit dari duduknya dan beranjak keluar kamar. Di depan pintu, menunggu seorang wanita setengah baya yang terduduk lesu sambil bersimpuh di lantai. Meski tahu kalau pintu telah terbuka, namun dia tidak juga mengangkat wajah

Ki Tadang Alang kembali menghela napas berat. "Aku akan berangkat sekarang, Nyai....," pamit Malaikat Bermuka Delapan, lirih Wanita tengah baya itu terdiam. "Nyai. Kau harus mengerti. Ini soal harga diri. Dan?"

"Aku telah mendengarnya beberapa kali. Tapi, apakah Kakang tidak bisa sekali saja mendengar kata-kataku?" potong wanita itu, seraya meng-angkat wajahnya.

Ki Tadang Alang tidak tega. Dari kelopak mata istrinya tampak bergulir titik-titik airmata sehingga wajahnya terlihat basah. Suara wanita ini tercekat dikerongkongan, sehingga keluar tersendat-sendat. Namun begitu, dia berusaha menguatkan hati. Wajahnya lantas mendongak ke atas dengan perasaan pilu.

"Aku seorang pendekar. Dan darahku juga darah pendekar. Ini warisan dari keluarga turun temurun. Bila seseorang menantang, maka tidak boleh tidak, untuk menerima tantangan ini. Musuh tidak dicari. Namun bila bertemu, tidak boleh menghindar!" tandas Ki Tadang Alang.

"Mudah bagi Kakang berkata seperti itu. Tapi, apakah Kakang bisa merasakan hati seorang istri yang ditinggal pergi selamanya?"

"Nyai! Apa yang kau katakan? Kau merendahkanku. Bahkan telah memastikan kematianku?!" seru Ki Tadang Alang dengan wajah kaget.

Wanita yang memang istri Malaikat Bermuka Delapan terdiam, lalu menundukkan kepala lagi. Disadari kalau kata-katanya itu tidak pantas diucapkan di depan suaminya. Tapi, kesedihan hatinya tidak bisa membendung, sehingga meluncur begitu saja dari bibirnya.

"Maafkan aku, Kakang. Tapi agar Kakang mengetahui, begitulah yang kurasakan. Aku tidak ingin kehilanganmu sambungnya lirih.?

Ki Tadang Alang menghela napas, kemudian mengusap kepala istrinya disertai senyum kecil. "Nyai, urusan maut bukan di tanganku. Juga, bukan di tangan siapa-siapa. Hanya Yang Maha Kuasa yang tahu. Kematian seseorang bukan ditentukan suatu pertarungan, tapi ditentukan oleh ajalnya!"

"Apakah berarti manusia tidak boleh menghindar dari hal-hal yang mencelakakan dirinya. Bila jelas seseorang ingin membunuhmu, apakah kita tidak patut menghindar karena percaya kalau kematian bukan ditentukan siapa pun!"

"Nyai, jangan mengajariku menjadi pengecut. Telah kupikirkan hal ini masak-masak. Dan keputusanku tidak berubah. Kuharap, kau bisa mengerti?," sahut Ki Tadang Alang lirih.

Wanita itu kembali terdiam untuk beberapa saat. "Apakah Kakang tidak membayangkan bila suatu saat si Tidung Kelana pulang dan menanyakan keadaanmu? Apa yang harus kujawab, bila Kakang tewas dalam pertarungan nanti?"

"Kenapa kau persoalkan kematianku? Tidakkah lebih baik kau memberi semangat?"

"Entahlah. Sudah tiga malam ini, aku terus bermimpi buruk. Kulihat, Kakang tergelincir ke dalam lubang dalam yang tak bertepi. Aku tidak bisa melihat, apalagi menolong. Hanya jeritanmu yang berkumandang, mengganggu perasaanku Sehingga, membuat hatiku tercabik-cabik.

"Nyai, itu hanya mimpi Jangan terlalu percaya."

"Mimpi terkadang menjadi kenyataan. Kakang! Apalagi mimpi yang berulang-ulang seperti kualami ini!"

"Sudahlah, Nyai. Tidakkah lebih baik kau mendoakanku ketimbang mencemaskanku?"

"Aku senantiasa berdoa demi keselamatan dan kesejahteraanmu, Kakang!"

"Terima kasih, Nyai. Nah! Tenangkan hatimu. Dan, relakan niatku ini. Semestinya kau bangga kalau suamimu bukan seorang pengecut. Demikian pula halnya putra kita, Tidung Kelana. Tumbuhkan rasa bangga di hatinya. Meskipun aku tewas, tapi tewas secara ksatria dalam pertarungan jujur...."

Wanita itu terdiam, lalu bangkit berdiri. Kemudian digenggamnya telapak tangan suaminya, dan diciumnya sesaat. "Kalau sudah demikian tekadmu, pergilah. Semoga kau selamat dan pulang ke rumah tanpa kurang suatu apa pun...," ucap wanita itu.

"Terima kasih, Nyai. Aku pergi, sebelum malam terlalu larut!" ujar Ki Tadang Alang seraya mencium kening istrinya. Lalu dia melangkah pelan.

Sesaat Malaikat Bermuka Delapan menoleh dan memandang wanita itu agak lama. Lalu, dia berbalik dan melangkah lebar dengan hati mantap.

Wanita itu melangkah mendekati sebatang tiang kayu di beranda depan, dan memeluknya sambil menyandarkan wajahnya. Airmatanya meleleh pelan tak terasa. Bola matanya bening dan pandangannya mengabur. Hatinya perlahan menjauh, seperti bayangan suaminya. Terasa sakit yang menyiksa ketika suara guruh memecah kesunyian malam. Memang sebentar lagi hujan akan turun.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon bamboo. Dan sejauh mata memandang, terlihat hanya pohon ini. Sehingga tidak salah bila orang-orang menyebutnya Hutan Bambu. Meski di sebelah timur dan agak sedikit ke selatan, banyak juga terdapat pohon dari jenis lain.

Kini, malam semakin larut. Bulan yang tadi bersinar terang, perlahan bersembunyi di balik awan hitam yang bergerak menyelimuti. Cahayanya memudar kelam yang menyelubungi malam, bertambah pekat. Angin bertiup agak kencang, menggoyang-goyangkan batang-batang bambu, membuat ribut dedaunan yang bergesekan. Sehingga suasana saat ini bertambah seram. Jarang sekali ada yang berani melewati tempat ini pada waktu malam menjelang. Apalagi berada di sini untuk beberapa saat.

Sesekali cahaya kilat menerangi Hutan Bambu ini. Dan sekilas terlihat sesosok tubuh berdiri tegak membelakangi gerumbulan pohon bambu dengan kedua tangan terlipat di dada. Sepasang matanya tajam, laksana seekor kucing dalam kegelapan. Di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang bergagang panjang. Warangkanya yang panjang dan sedikit kecil, membedakannya dari pedang biasa yang sering digunakan tokoh-tokoh persilatan.

Orang itu terdiam seperti patung. Tidak sedikit pun dia beranjak dan tempatnya. Lama menunggu dengan sikap demikian, tiba-tiba dia tersenyum sinis. "Hm... Ternyata kau datang juga akhirnya...!" gumam orang itu.

Memang, dari balik semak-semak tampak menyeruak sosok tubuh dengan pedang dalam genggaman. Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Rambutnya pendek dengan pengikat kepala agak lebar berwarna hijau. Wajahnya bersih, tanpa kumis atau jenggot. Hanya sedikit kerut-merut, sebagai pertanda kalau usianya sudah tidak muda lagi.

"Aku tidak pernah menghindari setiap tantangan!" ujar orang yang baru datang, tegas.

"Bagus," sahut orang yang berdiri menunggu.

"Kaukah yang bernama Akira Yamamoto?" tanya laki-laki setengah baya ini.

"Benar!" tegas pemuda yang menunggu, yang tak lain dari Akira Yamamoto.

"Apa yang membuatmu mengirim surat tan-tangan padaku?"

"Ki Tadang Alang! Kau seorang tokoh ternama di negeri ini. Beberapa tahun silam ada seorang sahabatku yang berkunjung ke negeri ini. Dia bercerita bahwa di negeri ini terdapat banyak sekali pendekar yang memiliki kepandaian hebat. Di negeriku, mereka menjulukiku sebagai Pendekar Pedang Bayangan. Dan disana pula terdapat banyak pendekar berilmu tinggi. Namun aku tidak tertarik menantang mereka, sebab menyadari kalau guru-guru mereka tidak akan mampu mengalahkan guruku. Ada kebiasaan di padepokanku, kalau seorang murid harus menunjukkan keperkasaannya dengan mengalahkan para tokoh silat lain. Dan itulah yang kulakukan di negerimu ini!" jelas Akira Yamamoto.

"Aku mengerti. Namun kau pun harus tahu kalau kebanyakan dari padepokan silat yang beraliran lurus di negeri ini, mempunyai kebiasaan dalam mengamalkan ilmu padi balas laki-laki setengah baya yang memang Ki Tadang Alang. alias Malaikat Bermuka Delapan

"Ilmu padi? Apa maksudnya?"

"Makin tinggi kehebatannya, maka makin rendah hatinya. Dan, tidak mau menonjolkan kepandaian. Kecuali, terhadap mereka yang memaksa seperti orang-orang sombong yang ingin memamerkan kepandaiannya!" tandas Ki Tadang Alang.

"Ki Tadang Alang? Kita telah tahu kebiasaan masing-masing yang berbeda. Namun hal itu tidak menyurutkan niatku. Orang-orang di negeri kita, senantiasa memegang amanat, meski nyawa taruhannya. Dan amanat padepokan begitu. Maka, aku harus mematuhinya!"

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Silakan! Aku telah siap!" ujar orang tua itu lantang, seraya merentangkan tangan kanannya.

"Baiklah!"

Akira Yamamoto langsung membuka jurus, dan bergerak pelan mendekati Malaikat Bermuka Delapan. Kedua telapak kakinya bergeser. Sorot matanya semakin tajam seperti hendak menikam tepat di jantung laki-laki setengah baya itu.

Sementara kilat yang menjilat angkasa menerangi keduanya untuk sesaat. Dan tanda itu di gunakan Akira Yamamoto untuk mulai menyerang Ki Tadang Alang.

"Yaaa...!"

"Hup!"

Akira Yamamoto bergerak cepat merakukan satu tendangan, menyapu dari kiri ke kanan ke muka Malikat Bermuka Delapan. Namun Ki Tadang Alang tidak kalah gesit. Badannya cepat membungkuk, sehingga tendangan itu luput. Sementara, pemuda itu segera berbalik. Kaki kirinya cepat menyambar ke arah perut Malaikat Bermuka Delapan.

"Uts!"

"Yeaaa!"

Ki Tadang Alang melompat ke atas. Lalu dia membuat gerakan salto ke kanan. Sedangkan Akira Yamamoto terus mengejar lewat sodokan ujung pedangnya. Cepat-cepat orang tua itu mengibaskan pedang untuk menangkis.

Trak! Trak!

"Hiiih!"

Dua kali hantaman ditangkis Ki Tadang Alang. Dari sini orang tua ini bisa menduga, sampai sejauh mana kehebatan tenaga dalam pemuda itu. Dan ini membuatnya kaget. Sebab dengan usia semuda ini, Akira Yamamoto yang berjuluk Pendekar Pedang Bayangan telah memiliki tenaga dalam luar biasa. Ilmu silatnya tidaklah kelihatan hebat. Bahkan berkesan sederhana. Namun kecepatannya sulit diduga. Demikian pula arah serangannya.

Tanpa terasa, pertarungan telah memakan waktu sepeminuman teh. Dua belas jurus dilewati. Dan sejauh itu, kelihatan kalau Ki Tadang Alang mulai keteter. Dua jurus terakhir, dia hanya bisa bertahan. Dan kalau itu terus berlangsung, bukan tidak mungkin akan celaka. Maka memasuki jurus ketiga belas, Ki Tadang Alang merubah jurus.

"Heaaa? !"

Sring!

Akira Yamamoto hanya tersenyum kecil ketika Ki Tadang Alang melompat ke belakang. Dibiarkannya saja orang tua itu seperti memberi kesempatan untuk mempersiapkan diri dengan jurus baru.

Malaikat Bermuka Delapan membentak nyaring, lalu melompat menyerang seraya mencabut pedang.

"Bagus! Seharusnya sejak tadi kau keluarkan permainan pedangmu yang handal. lnikah yang disebut jurus 'Sayap Delapan'?" ejek Pendekar Pedang Bayangan.

"Hm. Kau memang tahu banyak tentangku, Sobat. Berhati-hatilah!"

Pendekar Pedang Bayangan mendengus sinis Kedua tangannya yang menggenggam pedang mengangsurkannya kedepan menunggu tibanya serangan Malaikat Bermuka Delapan.

"Yaaa!"

Srang!

Pemuda itu membentak. Pedangnya telah tercabut dan sarangnya dan melempar warangkanya. Kini batang senjatanya digenggam dengan kedua tangan. Pedang panjang yang berkilat tajam itu berkelebat memapak senjata Malaikat Bermuka Delapan.

Trang! Trang!

"Heaaat..!"

Beberapa kali senjata mereka beradu. Sedangkan Ki Tadang Alang berusaha menekan dengan menggunakan jurus terhebatnya, 'Sayap Delapan'. Pedangnya berciutan, membentuk serangan ke segala arah seperti mengurung lawan. Kecepatannya sungguh hebat. Dan dalam keadaan demikian, orang tua itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Namun, kali ini si Pendekar Pedang Bayangan langsung memapaki setiap serangan. Dia tidak pernah menghindar setiap kali pedang Malaikat Bermuka Delapan membabat, tapi terus menangkisnya. Bahkan balas menyerang gencar.

Melewati jurus ketigabelas, Pendekar Pedang Bayangan melompat ke atas. Sementara Ki Tadang Alang mengikuti. Namun pemuda itu bersalto ke belakang agak ke samping kiri. Dan tubuhnya cepat sekali bergulingan, seperti melayang di permukaan tanah setinggi setengah jengkal, sambil mengayunkan pedang secepat kilat. Akibatnya?

"Yeaaa!"

Cras!

"Aaa? !" Malaikat Bermuka Delapan kontan memekik begitu pedang Pendekar Pedang Bayangan menemui sasaran. Tubuh orang tua itu terhuyung-huyung ke belakang dengan darah segar mengucur deras dari dahi hingga ke bibir. Nyawanya lepas begitu ambruk di tanah.

Akira Yamamoto telah memungut warangka pedangnya dan menyarungkannya kembali.

Trek!

Setelah menatap mayat orang tua itu, Pendekar Pedang Bayangan meninggalkan tempat ini dengan tenang tanpa menoleh lagi!

********************

Seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda berlari kencang melewati sebuah jembatan lebar yang terbuat dari bambu. Tidak berapa lama, dia bertemu jalan bersimpang tiga. Langsung diambilnya jalan ke kiri tanpa ragu-ragu. Dari kejauhan, terlihat sebuah bangunan besar yang hanya berpagar semak-semak yang ditata rapi. Di halaman depan, terlihat beberapa orang yang berbaris rapi. Salah seorang berdiri di muka dan saling berhadapan. Orang itu menunjukkan beberapa gerakan tertentu. Kemudian secara bersamaan, yang lain mengikuti gerakannya.

"Hooo ...!"

Penunggang kuda itu berteriak, sambil berusaha menghentikan lari kudanya. Hal ini menarik perhatian mereka yang berada di depan bangunan besar ini dan segera menoleh. Seorang yang tadi berada di depan, menghampiri ketika penunggang kuda itu turun dari tunggangannya.

"Hormatku! Namaku Bangun Wisesa dari Padepokan Sungai Ular. Aku mendapat pesan dari guruku, untuk disampaikan kepada Ki Arga Wampu, ketua Padepokan Mega Dahana!" ujar penunggang kuda, setelah memberi salam hormat.

"Hormat kembali! Aku Jembala, murid tertua Padepokan Mega Dahana. Mari ikut denganku. Guru ada di dalam!" sahut Ki Jembala.

Mereka berdua lantas melangkah ke dalam bangunan utama, setelah Ki Jembala memberi pengarahan singkat pada murid-murid yang lain.

Murid tertua di padepokan ini segera membawanya masuk ke sebuah ruangan khusus. Dia mengetuk pintunya, kemudian terdengar sahutan dari dalam. Keduanya segera membuka pintu, dan segera memberi salam hormat pada seorang tua bertubuh kecil dengan rambut agak pendek.

"Guru. Aku membawa utusan dari Padepokan Sungai Ular!" lapor Jembala.

"Hm, silakan duduk!" sahut orang tua yang bernama Ki Arga Wampu.

Ketiganya kini duduk bersila di lantai yang beralaskan tikar. Lalu Bangun Wisesa memperkenalkan diri.

"Apa gerangan yang kau bawa dari sahabatku itu?"

Murid Padepokan Sungai Ular itu mengeluarkan sepucuk surat, kemudian diberikannya pada ketua Padepokan Mega Dahana. Ki Arga Wampu membaca sesaat, lalu mengangguk.

"Siapakah orang itu sebenarnya?" tanya laki-laki tua bertubuh kecil itu setelah menyimpan suratnya.

"Guru sendiri tidak tahu. Dia tiba-tiba saja, muncul dan membuat kekacauan. Sudah banyak kalangan persilatan yang terpengaruh olehnya...," sahut Bangung Wisesa.

"Lalu apa yang menyebabkan gurumu tidak bisa memenuhi undangan Ki Sukma Agung?"

"Apakah di surat tadi guru tidak mengatakannya?"

Ki Arga Wampu menggeleng. Mengetahui ja-waban itu, murid Padepokan Sungai Ular itu terdiam beberapa saat.

"Apakah gurumu sakit?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Sebenarnya ini rahasia. Tapi, kami tak tahan...," suara Bangun Wisesa mulai lirih.

"Ada apa? Apakah yang terjadi terhadap gurumu?"

"Guru harus menghalangi pertarungan berat."

"Pertarungan berat? Apa maksudnya?"

"Seorang pendekar dari negeri Matahari Terbit mengirim surat tantangan untuk melakukan pertarungan jujur. Menguji kemampuan masing-masing sampai salah seorang tewas."

"Kenapa kau kelihatan bersedih? Gurumu bukan tokoh sembarangan. Dan dia tahu, apa yang harus dilakukannya!"

"Kami semua tahu. Tapi, lawan yang diha-dapinya bukan sembarangan. Dia telah menewaskan dua tokoh ternama dalam waktu dekat ini," jelas Bangun Wisesa.

"Hm. Siapa saja yang telah tewas di tangannya?"

Wajah Ki Arga Wampu berkerut mendengar penuturan murid Padepokan Sungai Ular itu selanjutnya.

"Ki Tambak Kencana dan Ki Tadang Alang...?

"Apa?!"

Ketua Padepokan Mega Dahana itu tersentak kaget. Untuk sesaat dia tidak percaya mendengar apa yang dikatakan Bangun Wisesa. Dipandanginya laki-laki berusia tiga puluh tahun ini agak lama. Meski mengangguk dan berusaha meyakinkan keterangannya, tetap saja Ki Arga Wampu sulit mempercayainya.

Kedua tokoh yang disebutkan itu, termasuk tokoh kelas satu. Dan, tidak sembarang tokoh lain bisa membunuh mereka. Dan bila ada yang mampu menewaskan, pastilah orang itu memiliki kepandaian hebat. Maka tidak heran bila Bangun Wisesa tampak sedih memikirkan pertarungan gurunya. Sebab, dia telah berkecil hati dan menyangka gurunya pun akan menyusul kedua tokoh yang disebutkannya tadi.

"Kapan pertarungan dimulai?"

"Saat aku berangkat ke sini, guruku telah berangkat pula..."

"Apakah beliau tidak menjelaskan, di mana pertarungan itu berlangsung?"

"Ya. Di tepi Sungai Ular, namun jauh di hulu."

"Kalau begitu, mari kita berangkat ke sana!" ajak Ki Arga Wampu seraya bangkit berdiri.

"Eh! Untuk apa? Guru melarang kami menyer-tainya. Ini pertarungan jujur. Dan beliau tidak ingin dianggap pengecut dengan membawa murid-muridnya!"

"Percayalah. Kita tidak bermaksud mengeroyek!"

Bangun Wisesa ragu-ragu mengikuti langkah orang itu. Tampak Ki Arga Wampu bicara sebentar dengan dua muridnya, kemudian langsung meninggalkan tempat ini.

LIMA

Kediaman Ki Sukma Agung memang tidak terlalu jauh, sehingga bisa ditempuh hanya dalam waktu sepenanakan nasi dari tempat Pendekar Rajawali Sakti berada. Dibanding para tokoh lain, tempat kediaman tokoh itu memang terhitung dekat dari Lembah Darah. Sehingga tidak heran kalau segala kegiatan yang terjadi di lembah itu diketahuinya. Termasuk kegiatan anak buah lblis Rambut Merah yang sering mengganggunya.

Kalangan persilatan mengenal Ki Sukma Agung sebagai Pendekar Tongkat Malaikat. Dan dia memang salah seorang tokoh tua yang disegani pada saat ini. Kepandaiannya cukup hebat. Permainan tongkatnya pun dikenal di mana-mana. Namun sejauh ini, Iblis Rambut Merah tidak begitu saja akan berhenti mengganggu, sampai keinginannya terpenuhi. Maka sebelum ancaman itu tiba, secara besar-besaran, orang tua ini menyuruh beberapa muridnya untuk memberitahukannya pada beberapa orang sahabatnya.

Salah seorang sahabat Pendekar Tongkat Malaikat adalah Lesmana, yang saat ini bersama Rangga tengah menuju ke tempatnya, ditemani dua orang kawannya.

Di tengah perjalanan, Lesmana bercerita kalau sebenarnya tengah melakukan perjalanan menuju tempat kediaman Ki Sukma Agung. Namun orang-orang Lembah Darah mencegat, lalu berhasil meringkusnya.

"Jadi, sebenarnya kalian bertiga tidak jalan bersama ketika itu?" tanya Rangga yang terus menyimak.

"Tidak. Kami kenal di sana. Mereka kuajak kabur. Dan sebelumnya, mereka memang telah berniat kabur.

Rangga mengangguk.

"Rangga, aku yakin kau adalah seorang pendekar berilmu tinggi. Kalau boleh kutahu, siapakah julukanmu? tanya Baruna.

Rangga tersenyum. "Aku hanya seorang pengembara biasa. Lagi pula, julukan itu tak berarti sama sekali," kilah Pendekar Rajawali Sakti merendah.

"Hm. Kau terlalu merendah. Tapi biasanya, seorang yang berilmu tinggi senantiasa merendahkan diri sepertimu. Bukankah begitu, Lesmana?" kata Baruna, langsung menoleh pada Lesmana.

Lesmana mengangguk setuju. Sedang Rangga hanya tersenyum.

"Hei, coba lihat! Apa yang tengah terjadi si sana!" tunjuk Palaga yang sejak tadi lebih banyak membisu.

Mereka segera menoleh pada sebuah rumah yang tidak jauh di depan. Agaknya, di Sana tengah terjadi pertarungan hebat antara para penghuni rumah itu dengan orang-orang berseragam merah.

"Celaka! Mereka rupanya telah lebih dulu ke sini!" seru Lesmana.

"Apa maksudmu?" tanya Rangga.

"Itulah rumah Ki Sukma Agung! Kita harus cepat membantu!" sahut Lesmana, segera berlari.

Baruna dan Palaga ikut menyusul. Demikian pula Rangga. Dan begitu tiba, mereka segera membaur dalam pertarungan. Kedatangan mereka jelas membuat orang-orang berseragam merah itu terkejut. Namun keterkejutan itu tidak lama, sebab beberapa orang berseragam merah langsung menghadapinya.

"Yeaaa...!"

"Hup! Uts...!"

Rangga bergerak cepat. Seorang laki-laki berseragam merah tersungkur dihajar tendangannya. Namun seketika itu juga, dua lainnya menyerang bersamaan. Pemuda itu bergerak gesit menghindari serangan.

"Uts! Hiiih...!"

Plak! Begkh!

"Aaakh? !"

Salah seorang terhajar pukulan telak Pendekar Rajawali Sakti pada dada kiri, dan langsung tersungkur. Ketika kawannya mencoba membalas dengan satu tendangan dari arah belakang. Namun Rangga langsung membungkuk, lalu melompat sedikit ke samping. Kemudian dia balas menyerang lewat sapuan kakinya.

Duk!

"Uhhh?!"

Ujung kaki Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam keras ke tengkuk lawan. Orang berbaju merah itu terjungkal ke depan. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tak mau menunggu lama. Langsung dilabraknya lawan yang lain. Sehingga, membuat mereka jatuh bangun tak berdaya.

Kehadiran keempat orang itu memang mem-bawa angin segar dan cukup merepotkan. Sehingga dalam waktu singkat, orang-orang berseragam merah merasa terpojok.

"Awaaas...!" Lesmana berteriak mengingatkan ketika seorang lawan melempar sesuatu ke tanah.

Busss...!

Asap hitam segera mengepul ke udara, langsung mengaburkan pandangan. Perbuatan itu segera diikuti beberapa orang lainnya. Sehingga dalam waktu singkat, tercipta kabut hitam yang cukup tebal.

"Heaaa? !"

Rangga membentak keras sambil menghantamkan telapak tangan kanannya ke depan Seketika serangkum angin kencang dari aji 'Bayu Bajra berputar-putar membuyarkan asap hitam itu, sampai lenyap tak bersisa. Namun ketika asap hitam itu sirna, orang-orang berseragam merah itu telah lenyap dari tempat ini.


Lesmana dan kedua kawannya menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dengan napas terengah-engah.

"Gila! Apa yang kau lakukan, Rangga? Apakah kau hendak menerbangkan semua orang yang ada di sini? Untung saja aku berpegangan erat pada sebatang pohon. Kalau tidak, aku pasti celaka!" desis Lesmana kaget.

Rangga tersenyum mendengarnya. "Maafkan aku, Ki Lesmana..."

"Hm, sungguh beruntung hari ini. Sebab, aku kedatangan seorang tokoh besar Pendekar Rajawali Sakti, selamat datang di tempatku ini!"

Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari seorang laki-laki berbaju kuning dengan kumis tebal yang sebagian telah memutih. Rangga dan kawan-kawannya menoleh. Di belakang orang tua berbaju kuning itu, berdiri beberapa orang laki-laki.

"Terima kasih. Kalau tidak salah, bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan Pendekar Tongkat Malaikat yang amat kesohor?" sahut Rangga seraya balas memberi salam penghormatan.

"Ha ha ha...! Kau terlalu berlebihan memuji, Pendekar Rajawali Sakti. Sesungguhnya, namaku tak ada artinya dibanding namamu. Angin apakah gerangan yang membawamu berkunjung ke sini?"

"Ki Sukma Agung, Rangga telah membantuku dari cengkeraman anak buah Iblis Rambut Merah. Kemudian, dia kuajak ke sini," ujar Lesmana me-nyahut lebih dulu.

"Oh, sungguh kebetulan!" seru Ki Sukma Agung.

"Kukira kalian belum saling mengenal. Ter-nyata? hei? Benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti?!"

Rangga hanya tersenyum tanpa menyahut.

"Hei?! Jadi kau sama sekali tidak tahu kawan seperjalananmu ini?!" tanya Ki Sukma Agung.

"Tidak," sahut Lesmana, singkat.

Ki Sukma Agung menepuk-nepuk pundak Lesmana seraya terkekeh-kekeh. "Sungguh keterlaluan kau, Lesmana! Mana mungkin kau tidak mengenalnya. Kawanmu ini pendekar besar. Dan semestinya, semua orang pernah mengenalnya. Aku sendiri belum mengenalnya secara langsung, tapi tahu betul siapa dia..."

"Ah! Sungguh bodoh sekali aku ini!" seru Lesmana, langsung memukul kepalanya pelan.

"Sudahlah. Tidak perlu dibesar-besarkan. Se-bab hanya akan membuatku malu saja. Lagi pula, masih banyak yang harus dibicarakan," ujar Rangga menengahi.

"Benar. Kalau begitu, silakan masuk. Kami merasa senang hati, karena mendapat kehormatan dengan kehadiran kisanak semua."

Sambutan yang diberikan Ki Sukma Agung cukup bersahabat sebagaimana layaknya kepada sahabat-sahabat dekat saja. Padahal dia baru mengenal Pendekar Rajawali Sakti.

"Ini gangguan mereka yang ketujuh kali. Dan aku yakin, mereka tidak akan berhenti sampai di sini!" jelas Ki Sukma Agng gemas, ketika mereka membicarakan kawanan berseragam serba merah tadi.

"Mereka harus ditindak, Ki!" desis Lesmana geram.

"Hm. Saat ini, Iblis Rambut Merah cukup kuat. Beberapa tokoh silat ternama berhasil dipengaruhinya. Akan semakin sulit bagi kita untuk meruntuhkan mereka."

"Aku yakin, para pendekar tentu mau mem-bantu memerangi mereka," ujar Rangga.

"Begitulah memang yang kuharapkan. Sebab tanpa bantuan para sahabat, tidak mungkin berhasil berjuang sendiri."

"Jangan khawatir, Ki! Aku dan kedua kawanku ini telah bertekad membantumu. Dan kurasa demikian pula halnya Pendekar Rajawali Sakti. Bukan demikian, Rangga?" tanya Lesmana.

"Tindakan lblis Rambut Merah sudah jelas. Dan orang sepertinya tidak boleh dibiarkan. Aku pun bersedia membantumu, Ki Sukma Agung!"

"Terima kasih, Kisanak semua. Saat ini aku te-ngah menanti tiga orang sahabatku lagi. Mereka adalah Ki Arga Wampu, Ketua Padepokan Mega Dahana, Ki Sarpa Ilir, Ketua Padepokan Sungai Ular. Dan, Nyai Galih Rukmi," jelas Ki Sukma Agung.

"Hm... Mereka adalah tokoh silat ternama!" seru Lesmana.

"Lawan yang akan kita hadapi cukup kuat. Terlebih lagi, dia telah banyak mengumpulkan tokoh sakti yang kini menjadi pengikut setianya," sahut Ki Sukma Agung.

"Ki Sukma Agung! Apakah selama ini Iblis Rambut Merah tidak turun tangan sendiri?" tanya Rangga.

"Selama ini, Iblis Rambut Merah hanya turun tangan bila dianggap perlu. Aku tidak mengerti, karena dia tidak langsung menyerangku bila ingin melenyapkan. Sebab, hanya anak buahnya saja yang senantiasa mengganggu."

"Mungkin masih dianggap belum perlu...."

"Entahlah. Mungkin juga..."

Pada saat itu, salah seorang murid Ki Sukma Agung yang berada di luar masuk ke dalam. Dia melaporkan bahwa di luar ada dua orang tamu yang hendak bertemu.

"Dari mana mereka?"

"Dari Padepokan Mega Dahana, Guru."

"Baiklah. Suruh mereka masuk!"

Sang murid menjura hormat, kemudian segera berlalu.

"Hm... Apa gerangan yang terjadi, sehingga guru kalian tidak bisa datang ke tempatku ini?" tanya Ki Sukma Agung, setelah mempersilakan tamunya duduk.

"Maaf, Ki Sukma Agung. Guru akan ke sini, setelah urusan dengan Ki Sarpa Ilir selesai...," sahut salah seorang murid Padepokan Mega Dahana.

"Urusan apakah gerangan?"

"Entahlah. Kami tidak tahu pasti. Hanya saja, sepertinya Ki Sarpa Ilir berhalangan untuk memenuhi undangan Ki Sukma Agung."

"Apakah Ki Sarpa Ilir sakit?"

"Tidak...."

"Hm ... Mungkin ada urusan penting di antara mereka berdua Ki Sukma Agung menduga.

"Kelihatannya begitu, Ki. Ki Sarpa Ilir mengu-tus seorang muridnya. Dan tidak lama kemudian, guru kami pergi bersama urusan itu. Namun beliau mengatakan, akan ke sini hari ini atau esok hari."

"Baiklah. Oh, kalian pasti lelah setelah melakukan perjalanan. Silakan dinikmati hidangannya!" Ki Sukma Agung mempersilakan.

"Terima kasih, Ki...!"

"Kisanak.... Maafkan bila aku terlalu menyampuri uruusan. Namun bila guru kalian tergesa-gesa pergi bersama utusan dari Padepokan Sungai Ular, pastilah ada sesuatu yang amat penting. Seperti soal hidup dan mati, misalnya. Apakah kalian tidak tahu?" tanya Rangga.

"Hm? Kami tidak tahu pasti. Tapi dari salah seorang murid yang ikut mendengar pembicaraan guru, konon Ki Sarpa Ilir akan menghadapi sebuah pertarungan."

"Pertarungan? Dengan siapa? Dan, karena apa?" tanya Ki Sukma Agung mendahului Pendekar Rajawali Sakti.

Orang tua itu benar-benar kaget, sehingga wajahnya terlihat berkerut dan sedikit tegang.

"Katanya, dari seorang pendekar negeri seberang... "

"Hm ... Pendekar dari negeri seberang...?" gumam Ki Sukma Agung dengan wajah seperti berpikir.

"Kenapa, Ki Sukma Agung? Apakah kau mengenali orang itu?" tanya Rangga.

"Entahlah, aku sendiri tidak yakin...."

"Tidak yakin tentang apa?"

"Belakangan ini, hanya dalam waktu singkat, beberapa tokoh kenamaan tewas di tangan seorang pendekar dari negeri Matahari Terbit. Dia menjuluki dirinya sebagai Pendekar Pedang Bayangan..."

"Apa maksudnya membunuh tokoh-tokoh silat di negeri kita ini?"

"Aku tidak mengerti, Rangga."

Mereka terdiam beberapa saat.

"Siapa saja dari para pendekar yang tewas di tangannya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, memecah kesunyian.

"Di antaranya, Ketua Padepokan Merak Mas dan Ki Tadang Alang... " sahut Ki Sukma Agung.

"Mereka tokoh ternama dan dari golongan lurus. Kedua tokoh itu memiliki kepandaian hebat. Pendekar Pedang Bayangan pastilah bukan orang sembarangan! Apa mungkin dia salah seorang kaki tangan Iblis Rambut Merah?? duga Pendekar Rajawali Sakti.

"Bisa jadi begitu?' sahut Ki Sukma Agung lirih.

"Apakah tidak sebaiknya kita ke sana, Ki?

"Hm... Sebaiknya memang begitu!" sahut Ki Sukma Agung, seperti tersadar dari kebingungannya.

Orang tua itu langsung bangkit berdiri dan bergegas keluar seraya mengajak tamu-tamunya.

"Eh! Kisanak, tunggu dulu!" seru utusan itu.

"Apa lagi?" tanya Ki Sukma Agung.

"Ki Sarpa Ilir tidak ingin orang lain hadir dalam pertarungannya.

"Bagaimana dengan gurumu? Bukankah dia termasuk orang lain?" kilah orang tua ini.

Sang utusan tidak mampu menjawab, dan hanya mampu menggeleng.

"Nah! Kalau begitu, tidak ada salahnya bila kami kesana pula seperti yang dilakukan gurumu."

Utusan dari Padepokan Mega Dahana itu tidak bisa berkata apa-apa. Setelah mereka berada di luar, Ki Sukma Agung memberi beberapa perintah pada murid-muridnya untuk berjaga-jaga. Sementara kedua urusan itu segera mohon pamit.

"Ki Sukma Agung, kami juga akan ikut denganmu!" seru Lesmana.

"Ya. Kalian boleh ikut. Muridku tengah menyiapkan kuda."

********************

Jarak antara tempat kediaman Ki Sukma Agung dengan Padepokan Sungai Ular cukup jauh juga. Bila ditempuh melewati jalan biasa, maka bisa memakan waktu dua kali penanakan nasi. Itu pun bila kuda-kuda mereka digebah kencang. Untung saja Ki Sukma Agung mengambil jalan memotong. Dari situ, lebih dekat dan sedikit lebih aman. Sebab, menjauhi Lembah Darah. Karena bila mereka menggunakan jalan biasa, harus melewati lembah itu. Melewati sebuah hutan kecil, Rangga memberi isyarat agar mereka berhenti.

"Ada apa, Rangga?" tanya Ki Sukma Agung.

"Ada seseorang yang mendekat kesini!"

"Satu orang? Dari mana kau tahu...?" tanya Ki Sukma Agung kembali.

Wajah orang tua ini tampak bingung. Namun kemudian tersenyum sendiri, menyadari kekeliruannya. Jelas dia tadi mengajukan pertanyaan bodoh. Pendekar Rajawali Sakti mungkin memiliki pendengaran tajam. Dan berarti, memiliki kemampuan diatasnya. Buktinya dia sendiri tidak tahu kehadiran seseorang yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti.

"Apakah tidak sebaiknya kita bersembunyi?" tanya Lesmana.

"Tidak perlu," ujar Rangga.

"Mungkin anak buah si Iblis Rambut Merah! Sebaiknya, kita bersembunyi saja, Rangga. Mereka tidak pernah datang seorang diri," timpal Ki Sukma Agung.

Rangga tersenyum. "Aku yakin, orang ini hanya sendiri. Sebaiknya, kita tunggu saja di sini."

"Yaaah, terserahmu sajalah...," sahut Ki Sukma Agung.

Apa yang dikatakan Rangga terbukti. Tidak berapa lama, muncul seorang penunggang kuda melewati tempat itu. Orang itu segera menghentikan laju kudanya, begitu melihat didepan banyak orang menghadang.

"Ki Arga Wampu...! Ah! Kukira siapa...," seru Ki Sukma Agung sedikit lega.

"Kiranya Ki Sukma Agung. Hm... Akan kemana tujuan kalian? Apakah ada sesuatu yang perlu dikerjakan?" balas Ki Arga Wampu.

Ki Sukma Agung segera turun dari punggung kudanya. Demikian pula yang lainnya. Dia memperkenalkan kawan-kawannya pada Ki Arga Wampu, kemudian menceritakan tujuan perjalanan.

"Ah! Sungguh terlambat, Sobat...!" keluh Ki Arga Wampu.

"Apa maksudmu, Ki Arga Wampu?!"

"Ketika aku dan murid Ki Sarpa Ilir tiba diSana hanya menemukan tubuh Ki Sarpa Ilir yang telah menjadi mayat. Muridnya membawa pulang. Dan aku langsung ke sini," jelas Ki Arga Wampu, singkat.

"Ki Sarpa Ilir tewas?!" desis Ki Sukma Agung, seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Ya... Begitulah yang kulihat. Keduanya terdiam dengan wajah berduka. Demikian pula yang lainnya. Namun tiba-tiba.....

"Awaaas...!" Keheningan itu dipecahkan teriakan Pendekar Rajawali Sakti. Dan....

Dum! Dum...!

Pssst...!

ENAM

Langsung terdengar ledakan, begitu beberapa buah benda sebesar kepalan tangan melesat ke arah Ki Sukma Agung dan yang lainnya. Asap hitam tebal keluar dari benda-benda itu menyelimuti keadaan disekitarnya, sehingga menghalangi pandangan.

Wuuut! Set!

"Awas, serangan gelap!" teriak Rangga, kembali memperingatkan. Pendekar Rajawali Sakti sendiri melompat ke atas. Dan seketika kedua tangannya menghentak, mengerahkan seperempat tenaga dalam untuk menghalau asap hitam tebal itu lewat aji 'Bayu Bajra'.

"Heaaa...!"

Wuuus...!

Begitu angin bagai topan dari aji 'Bayu Bajra' bertiup, asap hitam itu bergerak cepat ke satu arah. Dan sebagian besar buyar disapu angin kencang ciptaan Pendekar Rajawali Sakti. Namun bersamaan dengan itu pula, berlompatan beberapa sosok tubuh berseragam merah langsung menyerang.

"Yeaaa...!"

"Kurang ajar...!" maki Ki Sukma Agung, langsung balas menghajar.

Trang! Tring!

Bet!

Ki Sukma Agung adalah seorang tokoh ahli memainkan senjata tongkat. Dan sejauh ini, belum seorang pun yang mampu mengimbanginya. Dengan senjatanya, dia berusaha menghalau serangan orang-orang berseragam merah yang bukan main gencarnya.

"Mereka yang kau katakan orang-orang Lembah Darah?!" teriak Ki Arga Wampu di sela-sela pertarungan.

"Ya! Merekalah orangnya...!"

"Kalau begitu, jangan dikasih hati!" sahut Ki Arga Wampu.

Setelah berkata demikian, orang tua ini bergerak cepat menghantam lawan-lawannya. Dua orang langsung memekik kesakitan ketika pukulannya tepat menghantam dada.

"Heaaat...!"

Tiga orang berbaju merah yang lain langsung berkelebat ke arahnya! Jumlah para pengeroyok sekitar dua puluh orang lebih. Dan rata-rata memiliki kepandaian hebat. Namun begitu, orang-orang yang dihadapi pun tidak bisa dianggap sembarangan. Dalam waktu singkat, mereka jatuh bangun dihajar Ki Sukma Agung dan kawan-kawannya.

"Mundur...!"

Mendadak terdengar bentakan keras. Dan bersamaan dengan itu, muncul beberapa tokoh lain yang mengurung Ki Sukma Agung beserta yang lain. Jumlah mereka sebelas. Dan melihat gerak-geriknya, kesebelas orang ini memiliki kemampuan lebih hebat ketimbang yang tadi mengurung.

Seorang yang bertubuh besar berkumis tebal, maju mendekati seraya berkacak pinggang. "Sebaiknya, kau serta kawan-kawanmu menyerah!" desis laki-laki itu dengan pandangan menganggap rendah.

"Huh! Segala budak iblis hendak mengaturku! Heh! Lebih baik kalian saja yang menyerah!" sahut Ki Sukma Agung, sengit.

"Kurang ajar! Serang mereka...!" bentak orang itu.

"Yeaaa...!"

Bersamaan dengan itu, mereka berlompatan menyerang dengan senjata terhunus. Beberapa orang melemparkan benda-benda yang tadi bisa meletup, menimbulkan asap hitam tebal.

Plak!

Wut! Trang!

Ki Sukma Agung mengayunkan tongkat. Dan salah satu benda itu terhajar tongkatnya, dan melayang ke tempat lain. Namun beberapa buah lagi sempat jatuh didekat mereka, langsung menimbulkan asap tebal.

"Brengsek...!" maki Rangga kesal. Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat menggunakan aji 'Bayu Bajra' untuk menghalau asap tebal itu, karena lawan-lawannya telah lebih dulu menyerang dari jarak dekat. Sehingga mau tidak mau terpaksa harus diladeni.

"Huh! Uts...!"

Bret!

"Aaa...!"

Rangga bisa merasakan serangan orang-orang berbaju merah itu cepat, dan tidak terduga dalam keadaan tertutup asap tebal dan hitam begini. Kalau saja tidak mengandalkan pendengarannya tajam, bukan tidak mungkin lawan akan mampu mencelakainya.

Bret...!

"Aaakh...! Tolooong...!"

Terdengar teriakan yang membuat pemuda itu terkejut. Sebab disadari kalau teriakan itu berasal dari salah seorang kawan Lesmana.

"Kurang ajar...!" Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram.

Seorang lagi di pihak para pendekar terluka. Entah siapa. Karena, tak ada seorang pun mengetahui. Namun para penyerang itu seperti mengetahui sasaran dengan jelas. Dan mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh asap hitam ini. Padahal, Rangga dan kawan-kawannya merasakan kerongkongan seperti tercekat. Bahkan kepala mereka mulai pusing disertai pandangan mata berkunang-kunang.

"Heaaa.!"

Wur...!

Pemuda itu membentak. Dan bersamaan dengan itu, dilepaskannya aji 'Bayu Bajra'. Seketika angin kencang laksana badai topan menderu-deru di sekitar tempat ini. Bukan saja asap hitam yang menyelimuti mereka lenyap. Tapi beberapa lawan yang berada di depannya, melompat tinggi sambil menghindari dari terpaan ajian itu.

"Yeaaa...!"

Plak! Begkh!

Tiga orang lawan terjungkal roboh ketika Pendekar Rajawali Sakti mengejar dan melakukan serangan kilat. Pemuda itu menoleh sekilas, dan melihat dua orang.kawan Lesmana tewas berlumuran darah. Sementara, Ki Sukma Agung dan Lesmana mulai kerepotan. Hanya, Ki Arga Wampu dan dirinya saja yang mampu bertahan. Rangga sempat terkejut ketika orang tua itu mengeluarkan aji saktinya yang mampu membuat dirinya berjumlah banyak. Sehingga, orang-orang berbaju merah itu terkecoh.

"Gila! Hebat juga ilmu orang tua itu!" desis Rangga memuji.

Pendekar Rajawali Sakti sendiri sambil menghajar lawan-lawannya, bergerak mendekati Lesmana dan Ki Sukma Agung yang mulai terluka dan terdesak hebat. Agaknya, hal itu pula yang dilakukan Ki Arga Wampu.

"Ki Arga Wampu! Apakah tidak sebaiknya kita mundur dulu? Ki Sukma Agung dan Lesmana mulai terdesak!" bisik Rangga dengan suara sedikit keras.

"Hm... Sebenarnya aku masih kesal terhadap mereka. Tapi apa yang kau katakan benar. Bawa mereka menjauh. Biar kutahan yang lainnya. Ayo cepat!" ujar Ki Arga Wampu.

"Baiklah...!"

Rangga segera mencengkeram, menarik lengan kanan Lesmana dan mengambil alih pedang yang berada di tangan kanannya. Kemudian, diberinya isyarat pada Ki Sukma Agung untuk segera lari dari tempat ini.

"Ayo, cepaaat!"

"Yeaaa...!"

Baru saja kedua orang itu hendak melompat ke punggung kuda, lima orang berseragam merah langsung menghunuskan senjata langsung menerjang. Namun dengan gesit Rangga memapak serangan. Pedang Lesmana yang berada di tangannya, berkelebat cepat.

Dua orang kontan terjungkal roboh dengan perut robek. Seorang lagi tangannya putus. Rangga cepat menyambar pedang dalam genggaman tangan lawan, lalu pedang Lesmana dilemparkan pada pemiliknya.

"Lekas kalian pergi lebih dulu! Aku akan menyusul...!" teriak Rangga, seraya memapaki dua orang lawan yang berada di dekatnya.

Trang! Bret!

"Wuaaa...!"

Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat menyambar. Seketika dua lawannya terjungkal roboh sambil memekik kesakitan. Perut mereka robek, mengucurkan darah segar.

Suiiit!

Pendekar Rajawali Sakti langsung bersuit nyaring. Dan pada saat itu juga, kudanya berlari kencang mendekati.

"Hup!"

Rangga segera melompat ke punggung Dewa Bayu dan menggebahnya mendekati Ki Arga Wampu.

"Ki Arga Wampu! Cepat naik! Tinggalkan tempat ini...!"

"Heup?!"

Orang tua itu memunahkan ajiannya. Dan bentuknya yang nyata kembali terlihat. Setelah itu, dia melompat ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Seketika kuda berbulu hitam itu berlari kencang meninggalkan tempat ini. Namun, para pengeroyok agaknya tidak sudi membiarkan begitu saja dua orang yang berada paling depan langsung melompat sambil menghunus senjata.

"Yeaaa..!"

"Huh!"

Rangga mendengus geram, langsung menoleh sekilas. Seketika itu pula, pedang ditangannya melesat menyambar salah seorang.

Bres!

"Aaa !"

Orang itu terjungkal roboh disertai pekikan nyaring. Pedang yang dilempar Pendekar Rajawali Sakti tepat menembus jantungnya. Hal yang sama juga dilakukan Ki Arga Wampu. Orang tua itu melepaskan pukulan jarak jauh ke arah lawan yang seorang lagi.

Kini Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dan langsung ditinggalkannya tempat itu dengan menggebah kudanya sekencang mungkin, sehingga lawan-lawannya tidak mampu menyusul.

Dalam waktu singkat, mereka berhasil menyusul Ki Sukma Agung dan Lesmana. Kini ketiga kuda itu terus berlari kencang, ketika penunggangnya menggebah tak henti-hentinya.

********************

Rangga dan tiga orang kawannya tiba di tempat kediaman Ki Sukma Agung dalam waktu tidak terlalu lama. Kedua kuda yang ditunggangi Lesmana dan Ki Sukma Agung terlihat letih. Dua orang murid Ki Sukma Agung langsung menyambut dan menggiring kuda-kuda itu ke kandang untuk diberi makan.

"Maaf, Ki. Ada seseorang yang tengah menunggu...," ujar salah seorang muridnya memberitahu.

"Siapa?" tanya Ki Sukma Agung.

"Dia tidak menyebutkan namanya. Orang itu pendiam. Dan katanya, datang ke sini untuk menanyakan sesuatu. Itu dia orangnya!" tunjuk murid Ki Sukma Agung.

Orang tua itu menoleh, langsung melihat seorang pemuda berbaju serba hitam dengan rambut agak panjang dikuncir ke atas. Kedua tangannya bersedekap di dada. Dan tangan sebelah kanan, menggenggam sebilah pedang panjang. Bersama dengan yang lain, Ki Sukma Agung menghampiri pemuda itu yang berdiri tidak jauh di beranda depan.

"Kisanak.... Aku Ki Sukma Agung. Adakah sesuatu yang bisa kubantu untukmu?"

Pemuda itu menoleh Sehingga, kini wajahnya terlihat jelas. Kedua alisnya tebal dan sepasang matanya sipit. Kulitnya agak kekuning-kuningan. "Namaku Akira Yamamoto. Aku mencari Ki Arga Wampu. Menurut keterangan murid-muridnya, beliau berada di sini."

"Kisanak... Akulah orang yang kau cari!" sahut Ki Arga Wampu seraya melangkah maju mendekati pemuda itu.

"Hm... Jadi kaukah Ki Arga Wampu?" gumam pemuda yang temyata Akira Yamamoto.

"Tidak salah. Adakah sesuatu yang bisa kubantu untukmu?"

"Ki Arga Wampu! Aku menantangmu bertarung!" ujar Akira Yamamoto tanpa tedeng aling-aling,

"Hm, jadi kaukah pendekar dari negeri Matahari Terbit itu?"

"Benar!"

"Kisanak! Kudengar tentang kehebatanmu. Namun, hal itu sama sekali tidak membuatku senang. Seorang kawanku tewas di tanganmu. Dan jika menuruti kata hati, mestinya kuterima tantanganmu tanpa berpikir jauh lagi...."

"Apakah kau hendak menolak tantanganku?"

"Bukan begitu. Kurasa, kau bukan orang jahat. Dan kepandaianmu pun hebat. Sungguh sayang bila jalan yang kau tempuh tidak berguna."

"Kisanak! Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Sebab orang punya jalan hidup masing-masing untuk mengabdikan diri. Dan jalan hidup yang kuabdikan, adalah menurut cara padepokanku!" sahut pemuda bermata sipit itu tegas.

"Apakah tidak pernah terlintas dalam benakmu untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain? Seperti melenyapkan kejahatan yang mengganggu banyak orang?" sindir Ki Arga Wampu. Pemuda itu terdiam.

"Apa yang dikatakan Ki Arga Wampu memang benar, Kisanak. Masih banyak yang harus kita kerjakan. Dan lebih berguna ketimbang persoalan yang sifatnya pribadi..." timpal Rangga

"Siapa kau?" tanya pemuda itu seraya menoleh ke arah Rangga.

"Namaku Rangga....

"Kukenal orang bernama Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Kaukah orangnya?"

"Betul..."

"Sungguh kebetulan! Kisanak! Kau salah seorang dari daftar tokoh-tokoh yang akan menerima tantangan bertarung denganku," sambut Akira Yamamoto tanpa sungkan-sungkan.

Kisanak! Aku tidak suka bertarung tanpa alasan."

"Tidak perlu! Sebab, yang kuinginkan adalah, bahwa kau harus menerima tantanganku. Kalau tidak..., barangkali kau memang pengecut!"

Rangga menarik napas agak panjang. Kata-kata pemuda bermata sipit itu tidak enak didengar. Dan nadanya membuat hati sesak. Pendekar Rajawali Sakti berusaha menahan sabar.

"Bagaimana? Apakah kau terima tantanganku? Pendekar Rajawali Sakti kudengar tokoh hebat di negeri ini. Dan dari sekian banyak daftar tokoh silat di negeri ini, maka namamu kumasukkan dalam urutan terakhir. Yaitu, orang yang kuanggap tinggi. Aku akan penasaran bila kau menolak tantanganku!"

Rangga terdiam seraya mendesah pelan. Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak ingin bertarung dengan pemuda ini, karena tidak ada alasan kuat. Lagi pula, sudah jelas kalau pemuda inilah yang telah menewaskan tokoh-tokoh lain meski dalam pertarungan jujur. Berarti pula, hanya ada dua pilihan bila menyambut tantangannya. Menerima sampai salah seorang tewas, atau mendapat malu karena dianggap pengecut. Dua-duanya memang bukan pilihan enak.

"Kisanak! Orang orang ini akan menjadi saksi, apakah kau akan menjadi pengecut atau tidak!' ujar Akira Yamamoto menegaskan.

Rangga baru saja akan menjawab, ketika terdengar derap langkah kuda menuju kesini. Mereka semua berpaling, melihat di sekeliling tempat ini telah dikepung orang-orang berseragam merah.

"Celaka! Anak buah lblis Rambut Merah, desis Lesmana.

"Mereka telah mengurung tempat ini!" ujar Ki Sukma Agung, seraya menghitung jumlah para pengepung.

Apa yang diduga memang tidak salah. Tempat ini telah dikepung anak buah lblis Rambut Merah. Jumlah mereka cukup banyak. Dan, tidak kurang dari lima puluh orang.

"Kisanak! Kalau kau hendak berbuat sesuatu bagi orang banyak, inilah saatnya! Mereka sekawanan boneka yang patuh pada majikannya. Seorang yang sesat berjuluk Iblis Rambut Merah. Meski di antara mereka semua orang-orang baik, namun kini apa bedanya? Dalam keadaan seperti ini, jiwa mereka terisi iblis. Mereka hanya patuh pada perintah majikannya yang sesat. Bahkan tidak segan-segan melenyapkan nyawa manusia demi mencapai tujuannya!" ujar Ki Sukma Agung, kepada Akira Yamamoto.

Akira Yamamoto tetap diam membisu. Namun sepasang matanya mengawasi orang-orang berseragam merah itu dengan tajam.

"Sukma Agung keparat! Apakah kau masih tidak mau menyerah juga?! Masih ada kesempatan bagimu untuk ikut dengan kami!" teriak seorang laki-laki bertubuh besar bercambang bauk tebal.

Orang ini bernama Ki Sampurno. Dengan senjatanya berupa kapak besar dan agak lebar, dia dikenal di seantero rimba persilatan sebagai Kapak Gila Pembawa Maut. Julukan itu amat disegani kalangan persilatan. Baik dari golongan lurus, maupun dari golongan sesat. Padahal, Ki Sampurno selama ini dikenal sebagai pendekar yang selalu membela kebenaran. Namun, Iblis Rambut Merah telah memperalatnya. Sehingga, kini dia menjadi abdi penguasa Lembah Darah itu. Bahkan dianggap sebagai salah satu abdi yang bisa diandalkan.

"Ki Sampurno! Bila saja otakmu masih waras, kau tidak akan berkata begitu padaku. Kita bersahabat sejak kecil. Dan sekalipun, tidak pernah kau mengeluarkan kata-kata seperti itu padaku. Tidakkah hati kecilmu menyadari bahwa iblis telah merasukimu?" sahut Ki Sukma Agung, coba menyadarkan sahabatnya dengan kata-kata lembut penuh bujukan.

"Setan alas! Phuih! Siapa yang mengatakan kau sahabatku? Kau adalah musuhku. Musuh besarku! Jangan memancing kesabaranku. Ayo, ikut denganku sekarang juga. Dan, bawa kawan-kawanmu ikut serta!" bentak Ki Sampurno, garang.

"Hm... Sungguh sayang, Sobat. Agaknya sia-sia saja menyadarkanmu. Iblis keparat itu telah menghujamkan pengaruhnya begitu dalam. Sehingga, kau sama sekali tidak mengenalku..."

"Keparat! Masih juga kau banyak mulut..!" desis Ki Sampurno geram dengan mata melotot lebar. Kapak Gila Pembawa Maut memberi isyarat. Maka bersamaan dengan itu, seluruh anak buahnya langsung berlompatan menerjang.

"Heaaa...!"

Melihat itu, Ki Sukma Agung tidak tinggal diam. Segera diperintahkannya pada murid-muridnya yang berjumlah sekitar dua puluh orang, untuk membalas serangan. Sementara, dia sendiri dan yang lain ikut membantu Termasuk, Akira Yamamoto!

"Yeaaa...!"

Bres! Bret!

"Aaa...!

Pendekar dari Negeri Matahari Terbit itu membentak keras seraya bergerak cepat menyambut serangan anak buah lblis Rambut Merah. Gerakannya cepat sekali, dan sulit diikuti pandangan mata biasa. Begitu pedangnya tercabut, maka tiga orang langsung melolong kesakitan dengan perut robek. Kemudian ketika kembali bergerak, dua lawan berikutnya memekik tertahan. Mereka ambruk, dan tewas seketika dengan leher nyaris putus.

Tindakan Akira Yamamoto yang keras dan kejam, terlihat menyolok. Dan ini membuat lawan-lawan yang lain lebih banyak mengerubutinya. Namun semakin banyak yang mendekat, maka makin banyak pula korban yang ditimbulkannya. Sampai, ketika pedang pemuda bermata sipit itu membentur sesuatu.

Tring!

"Yeaaa...!"

TUJUH

Mendadak sebuah bayangan berkelebat, langsung memapaki. Sehingga terdengarlah bunyi berdenting nyaring, mengiringi percikan bunga api kecil akibat beradunya dua buah senjata yang sama kuatnya. Akira Yamamoto mendengus penasaran. Dia langsung melompat ke belakang untuk mengatur jarak. Dari sini, pemuda itu bisa mengamati dengan seksama, ketika bayangan tadi tidak melanjutkan serangan. Kini tampaklah sosok tubuh berdiri tegak tengah mengawasinya.

Orang itu bertubuh tinggi besar. Pakaiannya seperti pendeta. Kepalanya botak, dengan sebuah tasbih yang terdiri dari rangkaian benda-benda bulat sebesar kelereng ukuran besar bergantung di leher. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat yang pada ujungnya berukir bunga teratai yang hendak mekar. Dibawah bunga teratai, terdapat empat buah lengkungan sepanjang satu jengkal yang saling berhadapan. Agaknya, tongkat inilah yang tadi membentur pedang Akira Yamamoto.

"Kau seorang pendeta agama! Di pihak mana kau berada?!" tanya pemuda dari negeri Matahari Terbit seraya mendengus sinis.

"Kau tidak perlu tahu. Yang jelas, aku hendak membunuhmu!" dengus pendeta itu.

"Huh! Aku enggan berhadapan dengan orang sepertimu! Menyingkirlah. Dan, jangan ikut campur urusan ini."

"Kaulah yang ikut campur dalam urusan ini. Sebaiknya, menyingkir saja. Dan, pulanglah ke negerimu."

"Kau tidak berhak memerintahku!"

"Demikian pula kau!" balas pendeta itu, tidak kalah sengit.

"Orang tua! Agaknya kau memang sengaja mencari gara-gara!"

"He he he...! Kaulah yang sengaja mencari gara-gara dengan Wiku Satya Nugraha ..!"

"Huh! Kalau begitu, lebih baik kita tentukan diujung senjata masing-masing!" dengus Akira Yamamoto, geram. Akira Yamamoto terbakar hatinya mendengar kata-kata pendeta bernama Wiku Satya Nugraha yang selalu membalik-balikkan ucapannya.

"He he he...! Sesukamu sajalah...!"

Akira Yamamoto menghunus pedangnya dengan sepasang mata nyaris seperti dua buah garis saja. Dahinya berkerut. Tangan kirinya terpentang. Lalu dengan satu bentakan nyaring, dia melompat menerjang Wiku Satya Nugraha.

"Yeaaa...!"

Wut! Bet! Trang!

Akira Yamamoto alias Pendekar Pedang Bayangan menyerang dengan ganas. Dan agaknya, waktunya tidak ingin disia-siakan sedikit pun untuk bermain-main dengan Wiku Satya Nugraha. Pedangnya berkelebat cepat, dan sesekali menghindar dari serangan balasan yang dilakukan pendeta berusia setengah baya itu. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Sebab sedikit demi sedikit Akira Yamamoto mulai mendesak pendeta ini.

Wiku Satya Nugraha mungkin memiliki tenaga dalam hebat. Terbukti, setiap kali senjatanya beradu menimbulkan bunga api. Namun dalam hal adu kecepatan, agaknya dia kalah dua tingkat di bawah pemuda itu. Sehingga tidak heran bila memasuki jurus ketujuh dari pertarungan, orang tua itu sudah tidak mampu lagi balas menyerang. Dia jatuh bangun menghindari serangan-serangan gencar. Namun begitu masih juga terdengar tawa mengejek yang keluar dari mulutnya.

"He he he...! Inikah pendekar dari negeri Matahari Terbit yang kesohor itu? Ternyata, tidak lebih pintar dari seekor keledai dungu.?

"Yeaaat!"

Akira Yamamoto tidak meladeninya. Dia membentak, lalu tubuhnya melayang dengan pedang siap terhunus.

Wuk!

"Uts!" Ujung pedang pemuda sipit itu menyambar ke perut pendekar ini. Wiku Satya Nugraha melompat ke belakang seraya mengibaskan tongkat untuk memapak serangan. Tiba-tiba, tubuh Akira Yamamoto mencelat ke samping, melakukan satu tendangan ke arah pinggang. Kembali orang tua itu harus melompat ke belakang. Namun sebelum hal itu dilakukan, pedang Akira Yamamoto telah berkelebat secepat kilat. Sehingga....

Cras!

"Aaa?!? Wiku Satya Nugraha kontan memekik nyaring, begitu pedang pemuda itu menemui sasaran. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang, dan tewas seketika setelah menggelepar sesaat. Di dahi hingga ke bibir, terlihat luka sayatan dalam yang panjang akibat sambaran pedang milik Pendekar Pedang Bayangan.

"Kau telah memaksaku berbuat begini, meski aku enggan melakukannya!" dengus pemuda itu lirih.

Setelah itu, Akira Yamamoto berdiri tegak memperhatikan. Namun tidak berlangsung lama, sebab beberapa orang berseragam merah sudah langsung mengurung dan menyerangnya dengan ganas. Sehingga dengan terpaksa, dia meladeninya.

Sementara itu, Rangga tengah berhadapan dengan seorang tokoh berbadan kekar dan bertelanjang dada. Orang itu memakai celana pangsi warna hijau dengan kain sarung merah berbunga-bunga melilit pinggangnya. Sepasang matanya melotot lebar dan merah. Rambut di kepalanya, yang pendek, berdiri tegak seperti bulu kuduk. Hidungnya besar. Kedua lobangnya pun lebar. Demikian pula bibirnya yang tebal, sedikit menghitam.

Orang bersenjata keris yang berlekuk sembilan ini bernama Manik Angkeran. Dan dia dikenal sebagai Hantu Rawa Bangkai. Selama ini, Hantu Rawa Bangkai termasuk tokoh sesat yang penuh teka-teki. Dia jarang menampakkan diri. Namun bila telah keluar dari sarangnya, maka beberapa korban akan jatuh karena perbuatannya. Dan di antara korban-korbannya, tidak hanya terdiri dari orang biasa. Juga, tokoh-tokoh silat yang ternama dan berkepandaian tinggi.

Biasanya, Hantu Rawa Bangkai tidak begitu sulit menaklukkan lawan-lawannya. Namun menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, ternyata membuatnya amat geram. Beberapa kali serangannya dapat dihindari. Bahkan ketika melipatgandakan serangan, Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak bergeming. Malah tidak kelihatan kalau Pendekar Rajawali Sakti terdesak.

"Bocah kampret! Kupatahkan batang lehermu!" desis Hantu Rawa Bangkai garang.

"Silakan bila mampu!"

"Keparat!" Mata Hantu Rawa Bangkai melotot lebar. Dan setelah mendengus sinis, dia melompat menerjang.

"Uts!" Pendekar Rajawali Sakti melompat ke sana kemari, memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Hantu Rawa Bangkai menyadari, pemuda itu tidak bisa diserang dengan jurus biasa. Sehingga mau tidak mau, dia langsung menggunakan jurus pamungkas, 'Hantu Rawa Mandi Di Kali'. "Heaaa...!"

"Uts, hiya!" Rangga melompat ke samping, dan terus mencelat ke belakang ketika ujung keris Hantu Rawa Bangkai berkelebat-kelebat menyambarnya dengan gerakan tak terduga.

Rangga melompat ke belakang. Dan ketika Manik Angkeran alias Hantu Rawa Bangkai terus mengejarnya penuh nafsu, Pendekar Rajawali Sakti mendengus dingin seraya melompat memapak serangan menggunakan jurus 'Seribu Rajawali'.

"Yeaaat!"

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat. Dan sesaat, Hantu Rawa Bangkai terkejut karena gerakan yang dibuat Pendekar Rajawali Sakti sangat membingungkan. Seolah-olah, pemuda itu kini berjumlah banyak. Sehingga, dia tidak mengetahui ke mana harus menyerang. Beberapa kali dicobanya, namun serangannya hanya mengenai tempat kosong. Bahkan tiba-tiba...

Begkh! Duk!

"Aaakh?!" Hantu Rawa Bangkai baru sadar setelah dua tendangan berturut-turut menghantam dada dan perut. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang. Namun, Rangga sepertinya tidak mau memberi kesempatan. Sebelum Hantu Rawa Bangkai menyentuh tanah, tubuhnya melompat dan mengirim tendangan geledek ke dada.

Begkh! Krak!

"Aaa...!" Hantu Rawa Bangkai kontan memekik nyaring. Tulang dadanya terasa remuk. Dan dari mulutnya, menyembur darah kental. Orang itu menggelepar sesaat, kemudian diam tidak berkutik.

"Heaaat...!"

"Heh?!" Rangga tidak sempat beristirahat sejenak. Sebab saat itu juga, beberapa orang berseragam merah langsung menerjangnya dengan senjata terhunus. Pemuda itu menggeram, lalu melompat ke bawah. Langsung disambarnya senjata salah seorang lawan yang tergeletak tidak berdaya, dan segera memapaki.

Trang!

Bruet!

"Aaa...!"

Tiga bilah pedang terpental dihantam pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan ujung pedang di tangan Rangga bergerak cepat menyambar ke perut mereka. Sesaat terdengar pekik kematian. Tiga orang kontan ambruk berlumuran darah. Dalam waktu singkat, anak buah Iblis Rambut Merah berkurang banyak. Sehingga yang tersisa saat ini hanya sekitar tujuh orang saja.

Ki Sukma Agung berhadapan dengan Ki Sampurno. Bahkan kini tengah mendesak dengan hebat. Demikian juga halnya Ki Arga Wampu. Lawannya adalah seorang laki-laki kurus dan bertubuh agak kecil, namun gerakannya cukup lincah.

Tokoh ini bernama Bagong Kusuma. Dia adalah seorang tokoh silat kenamaan di wilayah barat. Pengaruhnya cukup disegani oleh kawan maupun lawan. Namun kali ini, dia tidak berkutik melawan Ki Arga Wampu. Sehingga dalam waktu singkat, menemui ajalnya!"

Beberapa saat kemudian Ki Sukma Agung menyudahi pertarungan. Ki Sampurno telah tewas di tangannya lewat pertarungan sengit. Orang tua itu tertunduk lesu, tidak berusaha mengejar ketika beberapa anak buah Iblis Rambut Merah kabur dari tempat ini.

"Sudahlah, Sobat. Hidup dan mati dalam setiap pertarungan adalah persoalan biasa...," bujuk Ki Arga Wampu, seraya mendekat dan menepuk punggungnya.

"Benar, Ki Sukma Agung. Kita tidak perlu merasa bersalah. Apalagi tak ada cara lain untuk menolongnya. Bila kau tidak membunuhnya, maka dia pasti akan membunuhmu timpal Rangga.

Ki Sukma Agung menghela napas panjang. Sama sekali tubuhnya tidak beranjak dari tempatnya. Orang tua ini malah duduk, dan mengusap wajah Ki Sampurno pelan.

"Dia sahabatku. Sahabat baikku sejak kecil. Kami pernah berjanji untuk saling melindungi. Dan ketika Iblis Rambut Merah mempengaruhinya, aku tidak mampu menolong. Lalu..., kini dia malah binasa di tanganku..." ujar Ki Sukma Agung lirih.

"Beberapa orang pernah mengalami hal serupa, Sobat. Dan mereka mampu tabah. Kesedihan tak akan ada habisnya. Demikian pula rasa penyesalan. Namun semua kejadian berada di luar ke kuasaan kita. Tugas utama kita adalah, berusaha berbuat hal yang sebaik mungkin," lanjut Ki Arga Wampu.

Ki Sukma Agung mengangguk pelan.

"Sudahlah. Relakan kepergiannya. Dan, jangan sesalkan dirimu. Dia hanya alat. Yang kita pikirkan saat ini adalah, bagaimana membereskan Iblis Rambut Merah yang menjadi biang keladi semua ini," bujuk Ketua Padepokan Mega Dahana itu.

"Kau benar, Sobat. Aku mengerti... Hanya saja mungkin sedikit sulit menerima kenyataan ini. Tapi, aku berusaha bisa menerimanya dengan hati lapang...," sahut Ki Sukma Agung seraya bangkit berdiri.

Mereka melangkah pelan ke rumah Ki Sukma Agung. Namun baru saja hendak melangkah ke beranda depan?

"Ki Arga Wampu dan Pendekar Rajawali Sakti! Persoalan kita belum selesai! Apakah kalian hendak melupakannya begitu saja?" Terdengar kata-kata Akira Yamamoto alias si Pendekar Pedang Bayangan yang cukup lantang.

Mereka menghentikan langkah. Ki Arga Wampu dan Rangga melangkah lima tindak, mendekati pemuda itu. "Tidakkah kau punya perasaan? Kami tengah berduka. Dan yang kau bicarakan hanya soal pribadi!" ujar Ki Arga Wampu, dingin.

"Aku tidak peduli! Yang kuinginkan adalah jawaban. Pertarungan tidak musti hari ini. Tapi, boleh kau tentukan waktunya," sahut Pendekar Pedang Bayangan tegas.

Rangga mendekati Akira Yamamoto. Ketika jarak mereka terpaut lima langkah, pemuda itu berhenti dan berdiri tegak saling memandang. "Kisanak! Kuterima tantanganmu dengan satu syarat!" ujar Pendekar Rajawali Sakti pendek.

"Syarat apa yang hendak kau ajukan?"

"Kami tengah bertikai dengan lblis Rambut Merah, seperti yang tadi kau lihat. Bila persoalan ini selesai, kita tentukan pertarungan. Kau tidak perlu menantang Ki Arga Wampu. Biar aku yang mewakilinya!"

"Rangga! Mana bisa begitu...?!" seru Ki Arga Wampu berusaha mencegah.

Namun Rangga telah memberi isyarat. "Ki Arga Wampu, tidak apa-apa. Kalau ternyata dia mampu mengalahkanku, kau boleh menentukan sikap."

"Hm.... Baiklah kalau memang begitu keinginanmu. Kuanggap saja kau yang lebih dulu maju menghadapiku... "

"Baiklah.... Kuterima syaratmu itu!" sahut Akira Yamamoto.

"Aku hendak menambahkan!" sambung Ki Arga Wampu.

"Apa gerangan?" tanya Akira Yamamoto.

"Kisanak! Tadi kau telah membantu kami. Dan kami sangat berterima kasih. Tapi, tidakkah kau hendak berbuat baik barang sedikit? Umpamanya, ikut menumpas Iblis Rambut Merah beserta anak buahnya? Sayang sekali bila kepandaianmu tidak dipergunakan untuk hal-hal yang berguna"

Pendekar Pedang Bayangan terdiam sejurus dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Kami tidak memaksa. Namun bila kau setuju, tentu saja budimu tidak akan terlupakan begitu saja. Dan yang terpenting, kurasa Pendekar Rajawali Sakti akan lebih menghargai keinginanmu untuk bertarung dengannya. Demikian pula aku," tambah Ki Arga Wampu.

"Betul! Bila kau setuju membantu kami, maka begitu selesai menumpas Iblis Rambut Merah, maka saat itu pula aku siap bertarung denganmu," timpal Rangga.

"Hm, benarkah?"

"Kau boleh pegang janjiku. Dan mereka yang berada di sini, akan menjadi saksi!"

Pendekar Pedang Bayangan terdiam lagi barang sesaat, sebelum mengangguk pelan memberi jawaban. "Baiklah. Aku bersedia membantu kalian!"

Mereka yang berada di tempat ini tersenyum lega mendengar jawabannya.

"Kami merasa gembira mendengar jawabanmu!" seru Ki Arga Wampu.

"Kapan kalian mempunyai rencana menumpas Iblis Rambut Merah?"

"Kukira, nanti malam adalah waktu yang tepat!'" sahut Ki Arga Wampu.

"Sobat! Apakah kita tidak terlalu terburu-buru?" Ki Sukma Agung tampak terkejut mendengar jawaban itu.

Ki Arga Wampu tersenyum kecil. "Mereka baru saja mengerahkan anak buahnya dalam jumlah banyak. Dan kini, kekuatan mereka berkurang. Iblis Rambut Merah tentu marah besar. Dan pasti, dia akan mengadakan pembalasan besar-besaran. Maka sebelum mereka melakukannya, kita yang harus menyerang lebih dulu. Kita kagetkan mereka, dan kacaukan semua anak buahnya yang tersisa!"

"Aku mendukung apa yang dikatakan Ki Arga Wampu. Saat ini mereka tengah lemah, karena kehilangan banyak anak buah. Dan semangat mereka pun jatuh. Inilah kesempatan kita untuk menghancurkannya!" ujar Rangga mendukung.

"Tapi... apakah dengan jumlah kita seperti saat ini mampu menghancurkan mereka?" tanya Ki Sukma Agung, bernada khawatir.

"Ki Sukma Agung, jangan merasa khawatir. Jumlah semua anak buah Iblis Rambut Merah tidak sampai seratus orang. Dan sampai hari ini, dia telah kehilangan banyak. Sehingga, kurasa kita akan mampu menghancurkan mereka. Lagi pula, bukankah kau mengatakan kalau kita akan mendapat bantuan seorang tokoh lagi?" sahut Lesmana.

"Maksudmu, Nyai Galih Rukmi?"

"Ya! Siapa lagi kalau bukan dia?!"

"Tapi sampai saat ini, dia belum juga datang...," sahut Ki Sukma Agung dengan nada masghul.

"Hi hi hi...! Apakah ada yang membicarakan namaku...?!" teriak satu suara yang menimpali.

Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh berkelebat cepat dengan gerakan ringan sebagaimana layaknya sehelai daun kering tertiup angin. Sesosok tubuh itu berdiri tegak, persis di depan Ki Sukma Agung. Dia adalah seorang wanita berambut panjang yang disanggul ke atas, memakai baju merah muda. Di pinggang sebelah kiri terdapat sebuah buntalan kain lusuh. Wajah wanita tua ini cerah. Bibirnya selalu tersenyum, menandakan hatinya selalu gembira. Sehingga dari wajahnya terlihat kalau wanita yang berjuluk Tabib Sakti Kuncir Emas ini lebih muda dan usia yang sebenarnya.

"Nyai Galih Rukmi?! Kukira siapa. Syukurlah kau datang tepat pada waktunya...!' seru Ki Sukma Agung, cerah.

"Hi hi hi...! Ada apa gerangan? Apakah pesta telah berakhir, dan kalian tidak mengajak-ajakku?" sahut wanita itu enteng dengan mata jelalatan memandang mayat-mayat bergeletakan.

"Sayang! Kau memang datang terlambat, Sobat!" sahut Ki Arga Wampu.

Orang tua itu lalu menceritakan rencana mereka. Dan Nyai Galih Rukmi agaknya menyetujuinya. Mereka segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk serangan ke sarang lblis Rambut Merah.

********************

DELAPAN

Senja baru saja berlalu, dan sebentar lagi malam tiba. Suasana di tempat ini terasa gelap dan sedikit menyeramkan. Lembah Darah terlihat laksana sebuah lubang gelap, membuat setiap orang bergidik ngeri bila berada di dekatnya. Apalagi mereka yang menuju ke sana, akan berpikir seribu kali. Jangankan di malam hari. Bahkan di siang hari sekalipun, mereka akan menghindar jauh-jauh.

Namun tidak demikian halnya bagi Ki Sukma Agung dan kawan-kawannya. Dengan mengendap-endap dan kewaspadaan tinggi, mereka bergerak mendekati lembah itu. Tujuannya sudah jelas. Ke sarang penguasa lembah ini, Iblis Rambut Merah!

"Masih jauh tempat mereka?" tanya Rangga, pelan di telinga Lesmana yang berada di dekatnya.

"Sebentar lagi. Kita harus melewati jembatan kecil didepan sana. Dan setiba di seberang, maka kewaspadaan harus tinggi. Sebab, anak buah lblis Rambut Merah selalu berkeliaran di sana" jelas Lesmana.

Mereka tiba di dekat sebuah sungai kecil yang lebarnya kurang dari dua tombak. Di situ, ada sebuah jembatan bambu yang menghubungkan kedua tepinya. Lesmana memberi isyarat agar mereka berhenti sejenak. Dalam hal ini, dia bertindak sebagai penunjuk jalan. Sebab di antara yang lain, hanya dia yang paling mengetahui seluk-beluk daerah ini.

"Sebaiknya berhati-hati dan tingkatkan kewaspadaan!" ujar Lesmana berbisik.

Jumlah mereka hanya berenam. Namun begitu, tekad yang dimiliki sangat kuat. Ki Sukma Agung sendiri sengaja tidak membawa serta murid-muridnya. Sehingga bila terjadi pertarungan, tidak akan begitu banyak korban.

Baru saja mereka berada di seberang sungai, mendadak dua sosok tubuh berkelebat menyambar dari depan. Sedangkan beberapa orang lagi menyambar dari samping kanan dan kiri.

"Awaaas!" Rangga memperingatkan, seraya menundukkan kepala.

"Yeaaa?!"

Bila yang lainnya langsung menghindar dari serangan gelap, maka Akira Yamamoto tidak mempedulikannya. Pemuda itu mendengus geram. Ketika dua sosok tubuh menyambar dengan senjata terhunus, pedangnya tercabut menyambut serangan.

Trang! Bret!

"Aaakh...!"

Dua penyerang gelap itu kontan memekik, dan ambruk seketika tidak jauh darinya. Pendekar Pedang Bayangan mendengus sinis. Lalu serangannya dilanjutkan kepada beberapa orang lagi yang mencelat ke arahnya.

"Yeaaa!"

Akira Yamamoto membentak. Pedangnya langsung berkelebat. Beberapa orang lagi tewas ditangannya. Kini pemuda itu melompat, mengikuti yang lain. Mereka kini terus menerobos ke sebuah bangunan cukup besar yang terlihat dari sini.

"Itu Istana Iblis Rambut Merah!" tunjuk Lesmana.

"Huh! Percuma kita sembunyi-sembunyi. Dia pasti telah mengetahuinya sejak tadi. Lebih baik, kita hadapi saja apa yang terjadi sambil menerobos ke dalam!" dengus Ki Sukma Agung.

Apa yang dikatakan orang tua itu tidak salah. Buktinya dalam waktu singkat, anak buah Iblis Rambut Merah keluar dari sarang dan langsung menyerang. Kali ini siasat yang digunakan lebih licik lagi. Mereka mengurung, lalu beberapa orang menyerang. Sementara yang lainnya mengambil kesempatan untuk menjerat dengan jala atau tali. Bukan hanya itu saja. Mereka juga melemparkan asap pembius ke tengah-tengah Ki Sukma Agung beserta kawan-kawannya.

"Kurang ajar..!" Rangga menggeram. Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menduga rencana mereka. Karena, beberapa kali pernah bentrok. Dan ini tidak membuatnya kaget. Demikian pula dengan yang lainnya. Mereka lompat menghindar sambil balas menyerang. Pendekar Rajawali Sakti menghantam dengan aji Bayu Bajra. Sehingga dalam sekejap, terasa angin kencang bersiur laksana badai topan, memporak-porandakan para pengeroyok.

Ditempat lain, pedang Akira Yamamoto berkelebat mencari korban. Demikian halnya tongkat di tangan Ki Sukma Agung. Sedang Ki Arga Wampu dan Nyai Galih Rukmi tidak kalah hebatnya menghantam lawan.

Sebenarnya, Ki Arga Wampu memiliki sebilah pedang pendek yang terselip di pinggang. Namun menghadapi lawan seperti mereka, agaknya dirasa belum perlu untuk menggunakannya. Lain halnya si Tabib Sakti Kuncir Emas yang memang sedikit ugal ugalan. Dengan senjata sebuah kebutan yang ujungnya terbuat dari serat berwarna keemasan, dia menghantam lawan tanpa kenal ampun. Orang yang terkena kebutannya pasti tewas dengan dada remuk atau batok kepala pecah.

Para jumlah pengeroyok memang tidak sebanyak siang tadi ketika mengepung tempat Ki Sukma Agung. Namun tingkat kepandaian mereka lebih hebat. Namun begitu, sama sekali tidak membuat Ki Sukma Agung dan kawan-kawannya menjadi repot. Mereka mampu menumpas, bahkan dalam waktu yang tidak lama. Jumlah para pengeroyok tinggal sedikit lagi ketika sesosok tubuh berkelebat dari dalam bangunan di depan.

"Ha ha ha...! Ternyata kalian begitu nekat mendatangi tempatku ini, meski harus menjemput maut.. !"

Wusss...!"

Suara ketawa yang berkumandang agaknya bukan sembarangan, karena diiringi pengerahan tenaga dalam hebat. Ki Sukma Agung dan kawan-kawannya sempat bergetar. Tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang oleh terpaan angin kencang yang dilepaskan sesosok bayangan itu. Bahkan anak buah Iblis Rambut Merah yang tersisa terpelanting, dan tewas dengan tubuh mengucurkan darah segar dari setiap lubang yang ada di tubuhnya.

"Bangsaaat...!" Rangga menggeram. Pendekar Rajawali Sakti balas menyerang, mengerahkan aji Bayu Bajra. Sehingga daerah di sekitarnya seperti dilanda angin topan, ketika dua pukulan itu beradu.

"Ha ha ha...! Hebat! Hebat! Pantas saja kalian berani menyatrorti tempatku ini. Kiranya ada seseorang yang bisa diandalkan untuk menghadapiku!" kata sosok bayangan itu, setelah menghentikan tawanya.

Sesosok bayangan ini kemudian melompat kebelakang, lalu berdiri tegak mengawasi mereka dengan seksama. Sehingga kini yang lain bisa melihat jelas, siapa sesosok tubuh tinggi dan berbadan besar memakai jubah merah. Demikian pula warna baju dan rambutnya.

"Dialah si Iblis Rambut Merah!" desis Lesmana memberitahu.

"Hm. Begini rupanya tampang bajingan itu!" sahut Nyai Galih Rukmi mendengus sinis.

"Iblis Rambut Merah! Kau salah menduga. Di sini tidak hanya seorang yang bisa diandalkan untuk menghancurkan kezalimanmu. Tapi, kami semua mampu melakukannya!" seru Ki Sukma Agung.

"Begitukah? Ingin kulihat, apakah ucapanmu itu benar. Sebab, kalau tidak akan mampus! Ha ha ha...!"

Iblis Rambut Merah mendadak menghantam tangan kanannya kedepan. Dan tahu-tahu, dibelakang Ki Arga Wampu dan kawan-kawannya tercipta kobaran api besar yang mengurung dengan cepat. Mereka mulai panik. Namun, Ki Arga Wampu cepat berteriak.

"Jangan terkecoh! Ini hanya tipuannya saja. Api ini tidak ada!"

"Huh. Keparat!" dengus Akira Yamamoto geram. Pendekar Pedang Bayangan gesit menyerang lawan. Namun Iblis Rambut Merah telah siap menghadapinya dengan melemparkan sebuah benda.

Bum!

"Heh?!" Rangga dan yang lain terkejut. Karena tiba-tiba terjadi ledakan keras, persis ke arah Akira Yamamoto.

Sementara Iblis Rambut Merah terkekeh keras, karena mengira lawannya sudah tewas. Namun dugaannya meleset. Dan tiba-tiba saja si Pendekar Pedang Bayangan yang sempat menyelamatkan diri dengan membuang tubuh ke bawah, telah menyerang dengan jerit kemarahan. Bersamaan dengan itu Pendekar Rajawali Sakti yang mengira pemuda dan negeri Matahari Terbit tewas, langsung melompat menyerang.

"Yeaaa..!"

Plas!

"Heh?!"

Rangga dan Akira Yamamoto terkejut. Karena, serangan mereka hanya mengenai angin belaka. Iblis Rambut Merah telah lenyap dari pandangan, dan tahu-tahu telah berdiri tidak jauh dari situ sambil tertawa. Kemudian, tercipta lagi Iblis Rambut Merah di tempat yang lain. Begitu seterusnya sehingga jumlahnya demikian banyak memenuhi tempat ini.

"Celaka! Dia telah menggunakan ilmu sihirnya. Apa yang akan kita lakukan sekarang? keluh Lesmana, bingung.

"Tidak usah bingung. Coba lihat! Ki Arga Wampu akan menghadapi dengan ajian ampuhnya!" desis Ki Sukma Agung, memberitahu dengan suara berbisik.

Lesmana memperhatikan seksama. Dilihatnya Ki Arga Wampu tengah memusatkan pikiran. Bibirnya tampak berkomat-kamit, kemudian..

Jleg! Jleg...!

"Heh! Ajian apa yang dimilikinya!" tanya Lesmana dengan wajah takjub.

Betapa tidak? Dia melihat Ki Arga Wampu kini berjumlah banyak dan hampir menyamai jumlah lawannya.

"Beliau memiliki aji Pecah Raga yang mampu melipatgandakan jumlah dirinya," jelas Ki Sukma Agung.

Iblis Rambut Merah terkejut, tidak menyangka lawan mampu berbuat demikian. Dia mendengus geram. Lalu diciptakannya sesuatu yang membuat lawan-lawannya kembali terkejut. Kali ini, mereka terkepung lautan luas dengan air meluap-luap seperti hendak menelan apa saja yang berada di tempat ini.

"Biar kuhadapi bangsat ini!" desis Akira Yamamoto.

Pemuda bermata sipit ini agaknya tidak mampu lagi menahan diri. Dan setelah mengamati dengan seksama, dia langsung melompat menyerang seraya menghunus pedang.

"Yeaaa...!"

Rangga melihat, lblis Rambut Merah cukup tangguh. Selain itu, banyak tipu muslihatnya. Sehingga dengan serta-merta, dikerahkannya aji Pembeda Gerak dan Suara. Dengan mengerahkan ajian itu, Pendekar Rajawali Sakti menghadapi lawan dengan mata terpejam. Sehingga, Iblis Rambut Merah tidak akan mampu mengecohnya dengan ilmu sihir. Lagi pula, dalam keadaan begini, Pendekar Rajawali Sakti lebih mampu memusatkan pikiran dalam menyerang lawan. Juga, mampu pula membedakan serangan kawan-kawannya yang saat itu tengah berlompatan mengejar lblis Rambut Merah.

"Heaaa...!"

Bet! Bet!

Iblis Rambut Merah masih mampu mengecoh serangan Lesmana dan Ki Sukma Agung. Bahkan tidak kelihatan repot saat meladeni serangan Ki Arga Wampu dan Nyai Galih Rukmi. Namun menghadapi serangan Pendekar Rajawali Sakti, sungguh membuatnya kesal. Ditambah lagi dengan pendekar dari negeri seberang itu. Rangga seperti tahu, ke mana saja dia bergerak menghindar. Sehingga hal ini membuatnya kerepotan.

Iblis Rambut Merah sebenarnya mengetahui kelemahan ilmu Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi karena saat ini, Rangga menghadapinya dengan mata terpejam. Dengan bunyi-bunyian yang sangat ribut, tentu Rangga akan kalang-kabut. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan, karena Akira Yamamoto selalu mengganggu. Akibatnya, serangannya pun tidak bisa dianggap enteng.

Pendekar Pedang Bayangan memiliki kemampuan seperti yang dilakukan Rangga. Hanya saja dia tidak sehebat Pendekar Rajawali Sakti. Dan dengan bantuan Rangga, pemuda bermata sipit ini mengetahui lebih jelas, mana lawan yang sebenarnya dan mana yang hanya bayangan maya. Kemanapun Pendekar Rajawali Sakti mendesak, maka ke situlah dia selalu ikut menyerang.

"Heaaa? !"

Pendekar Rajawali Sakti mulai mendesak iblis Rambut Merah dengan mengerahkan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Jurus yang mengandalkan kelincahan kedua kakinya ini, membuat tokoh sesat itu kerepotan. Sehingga dengan terpaksa, Iblis Rambut Merah mengeluarkan sepasang pedang perak yang terbuat dari baja yang berwarna keperakan.

Srang!

"Uhhh...!" Rangga terkejut. Sama sekali tidak dikira kalau Iblis Rambut Merah mencabut sepasang pedangnya. Sebab, sejak tadi dia tidak melihat lawan bersenjata. Namun begitu Rangga masih mampu menghindar meski pahanya sempat tergores.

Dengan bergulingan Pendekar Rajawali Sakti terhindar dari serangan Iblis Rambut Merah berikutnya. Tapi. pedang itu menggores cukup dalam, sehingga membuat wajah Pendekar Rajawali Sakti berkerut menahan sakit. Cepat Pendekar Rajawali Sakti menotok kebagian lukanya untuk menghentikan aliran darah terus mengucur deras. Sehingga, dengan demikian, dia terpaksa membiarkan Akira Yamamoto melawan Iblis Rambut Merah mati-matian. Bantuan yang diberikan Ki Sukma Agung dan kawan-kawannya, tidak banyak membantu. Karena, si Iblis Rambut Merah menganggap sepi. Bahkan mampu menghindar seperti mengerjapkan mata saja.

Trang! Trang!

Bret!

"Akh!" Si Pendekar Pedang Bayangan terkejut, karena tiba-tiba ujung pedang Iblis Rambut Merah menyambar dadanya. Dia bermaksud membalas. Namun pedang Iblis Rambut Merah yang berupa bayangan maya menyambar pinggang kiri. Pada saat yang sama, Akira Yamamoto berhasil membabatkan pedangnya.

Cras! Bret!

"Akh...!" Terdengar dua jeritan tertahan. Meski pinggangnya terluka, namun pedang pemuda itu mampu merobek perut Iblis Rambut Merah meski sedikit.

Hanya saja nasib Akira Yamamoto lebih parah. Sebab, senjata Iblis Rambut Merah berupa bayangan maya menggores lebih dalam.

"Heaaa...!"

Iblis Rambut Merah melompat dengan sepasang pedang siap menghabisi Akira Yamamoto. Ki Sukma Agung terkejut, berusaha mencegah. Namun serangkum angin kencang membuat tubuhnya terpental. Demikian pula halnya Ki Arga Wampu dan dua orang lainnya. Mereka sama-sama terpental dihantam pukulan lblis Rambut Merah. Bahkan, Lesmana dan Ki Sukma Agung sempat terserempet dua bilah pisau yang dilemparkan Iblis Rambut Merah dengan tangan kirinya.

Demikian hebat kecepatan bergerak yang ditunjukkan Iblis Rambut Merah. Sehingga, membuat mereka terhenyak. Dan demikian hebat pula tenaga dalamnya, sehingga mampu membuat tokoh seperti Ki Arga Wampu dan kawan-kawannya terhuyung-huyung akibat pukulan jarak jauh yang dilepaskannya. Dan kini Iblis Rambut Merah mengancam keselamatan si Pendekar Pedang Bayangan yang tengah berjuang menahan rasa sakit.

Tring!

"Uhhh...!" Akira Yamamoto mengeluh tertahan ketika berusaha menangkis senjata Iblis Rambut Merah. Tenaganya seperti terkuras. Dan tubuhnya lemah sekali, akibat terlalu banyak darah yang mengucur keluar. Bahkan ketika Iblis Rambut Merah melakukan hantaman kedua, pedang di tangan Akira Yamamoto terpental. Pemuda itu menjatuhkan diri, dan bergulingan untuk menyelamatkan diri dari kejaran senjata Iblis Rambut Merah. Namun Iblis Rambut Merah terus mengejarnya dengan amat cepat.

"Mampus kau, Bocah sial!" desis Iblis Rambut Merah geram seraya menghunuskan kedua senjatanya.

Pemuda bermata sipit itu terkejut. Dia tidak akan mampu menghindar. Dan, tak ada seorang pun yang bisa menolongnya saat ini. Pendekar Rajawali Sakti, tengah duduk bersila memulihkan keadaan dirinya, segera bangkit berdiri. Lalu?

Iblis Rambut Merah, sambut seranganku...!"

"Heh?!"

Dalam saat yang gawat itu, Rangga membentak dengan suara menggeledek. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat menyerang seraya mencabut pedang yang bersinat biru berkilauan.

Wuuung!

Trang?!

Kedua senjata beradu. Namun sepasang pedang di tangan Iblis Rambut Merah terbabat putus. Iblis Rambut Merah terkejut. Bahkan pedang Pendekar Rajawali Sakti yang bercahaya biru menyambar tak kenal ampun ke arah pinggang dan lehernya. Iblis Rambut Merah berusaha menghindar dengan melompat ke atas, seraya bersalto ke belakang. Namun senjata Pendekar Rajawali Sakti sempat menyambar putus paha kanannya.

Cras!

"Aaakh...!" Iblis Rambut Merah memekik tertahan. Perhatiannya kontan hilang dan sihirnya lenyap. Dengan demikian, bayangan maya yang menyerupai dirinya lenyap begitu saja. Alam kembali seperti semula. Namun, Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan. Pedangnya kembali berkelebat, langsung memenggal leher Iblis Rambut Merah sampai putus!

Crasss?!

"Hokh...!" Iblis Rambut Merah mengeluh tertahan.

Rangga mendengus kecil. Tepat ketika Pedang Pusaka Rajawali Sakti masuk kedalam warangkanya, tubuh lblis Rambut Merah ambruk dengan darah mengucur deras dari lehernya yang buntung. Setelah memandangi mayat lblis Rambut Merah, Pendekar Rajawali Sakti segera menghampiri Akira Yamamoto.

"Maaf sobat. Aku terlambat menolongmu. Mari kubantu menghentikan darah yang mengalir dari tubuhmu!"

Tanpa banyak bicara lagi Rangga membuat totokan di sekitar luka pemuda itu. Kemudian disalurkannya hawa murni untuk membantu memulihkan kekuatan si Pendekar Pedang Bayangan.

"Seharusnya kau biarkan saja aku mati di tangannya...," ujar Akira Yamamoto lirih.

Rangga menatapnya sekilas. Pemuda bermata sipit ini pucat dan tubuhnya lemah. Namun, dia memaksakan diri untuk bangkit berdiri seraya memungut pedangnya. "Kau adalah calon lawanku. Dan tidak akan kubiarkan kau tewas di tangannya. Tapi kini, kita sama-sama kehilangan banyak tenaga. Apakah akan kita teruskan niat untuk bertarung?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti, aku menjunjung jiwa ksatria. Mestinya, seorang ksatria akan menepati janji. Tapi kali ini, akal sehatku yang bekerja. Rasanya tidak adil bila kita bertarung dalam keadaan seperti ini. Maka waktunya akan kutangguhkan. Suatu saat, aku akan datang mencarimu...," ujar Akira Yamamoto.

Setelah berkata demikian, Akira Yamamoto berjalan meninggalkan Rangga. Namun baru saja dua langkah, dia kembali berbalik. "Terima kasih... atas bantuanmu!" lanjut pemuda dari negeri Matahari Terbit itu, kemudian berlalu meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga memandang sampai pemuda itu lenyap dari penglihatan. Lalu kepalanya menoleh ke arah kawan-kawannya. Ki Arga Wampu tengah membantu Ki Sukma memulihkan kesehatannya, akibat luka yang diderita. Sedang Nyi Galih Rukmi membantu Lesmana.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA:
ISTANA GOA DARAH

Pendekar Pedang Bayangan

PENDEKAR PEDANG BAYANGAN

SATU
SEBUAH PERAHU merapat perlahan-lahan ke pantai. Pada bagian depannya yang pertama kali terlihat adalah seorang pemuda berbaju hitam. Rambutnya yang panjan dikuncir agak ke belakang. Sepasang matanya sipit dan memiliki alis tebal. Bibirnya tipis seperti menyiratkan kekerasan hatinya. Menyolok sekali dengan kulitnya yang putih kekuningan, dipadu pakaian wama gelap.

Sesekali angin bertiup sedikit kencang dan mengibar-ngibarkan rambutnya. Sehingga terlihat gagang pedangnya yang agak panjang dipunggung. Perahu merapat. Dan pemuda itu melompat ketepi dengan gerakan ringan.

"Hup!"

Pemuda itu berdiri tegak, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Pantai ini terlihat sepi, banyak ditumbuhi pohon-pohon bakau dan api-api. Perahunya ditarik dan disembunyikan di antara aliran sungai kecil yang banyak ditumbuhi semak-semak.

Setelah merasa aman, dia merapikan pakaiannya. Lalu dikeluarkannya sesuatu dari lipatan baju di bagian pinggang. Selembar kertas agak kekuningan yang berisi tulisan. Diperhatikannya agak lama, lalu dilipatnya. Dan kini kakinya melangkah lebar ke selatan!

Kawasan pantai ini memang agak jauh dari pemukiman penduduk. Padahal, udara di sini tidak begitu panas karena banyak ditumbuhi pepohonan yang berdaun lebat. Sehingga bila matahari tengah bersinar garang, seperti tak mampu menembusnya. Begitu rimbun dan redup. Terlebih angin laut yang berhembus, membuat siapa pun akan merasa nyaman berada di sini.

Agaknya hanya ada sesuatu yang membuat penduduk tidak betah. Tentu saja, sebab kawasan ini dihuni sekawanan perampok yang merajalela di dua tempat. Darat dan laut. Bila di laut sepi, tidak ada perahu-perahu besar yang bisa dirampok, maka mereka mengalihkan perhatian ke darat. Yaitu, kekampung-kampung terdekat. Bahkan tidak jarang melakukan perjalanan cukup jauh. Hasil rampokan dibawa kesini, sehingga jarang sekali jejak mereka ditemukan.

Dahulu di tepi pantai ini, terdapat perumahan penduduk yang mencari nafkah dengan melaut. Namun sejak kedatangan kawanan perampok ini, satu persatu mereka meninggalkan rumah dan pergi entah ke mana. Sehingga lambat laun, perumahan itu kosong. Kemudian baru dimanfaatkan kawanan itu sebagai tempat rnggal.

Sementara itu pemuda berbaju hitam ini agaknya baru saja memasuki perkampungan kawanan perampok yang terlihat kumuh dan banyak ditumbuhi semak-semak pada setiap halamannya. Sehingga, menimbulkan kesan rumah yang jorok dan jarang diurus.

"Hm...!" Pemuda itu mendengus pelan. Sepasang matanya melirik sekilas. Beberapa penghuni perkam-pungan ini tampak keluar dari rumah masing-masing, menuruni anak tangga dengan perlahan-lahan. Rata-rata dipinggang mereka terselip sebilah golok. Wajah-wajah itu kasar. Dan sebagian bermuka buruk serta bengis. Mereka tidak mirip sama sekali sebagai nelayan. Dan dengan gelagat itu, agaknya pemuda bermata sipit ini mulai curiga

Bet!

Tanpa menghentikan Iangkah, apalagi menoleh, pemuda itu mencabut pedang yang tersandang dipunggung dan menggenggamnya ketangan kanan.

Sementara itu, tujuh laki-laki bertubuh besar berdiri tegak didepannya. Sikap mereka jelas menantang dan sengaja ingin mencari urusan. Yang berada ditengah, berkumis tebal Pipi kirinya tampak bercodet. Bajunya berukuran besar dengan bagian dada terbuka lebar, seperti hendak memamerkan otot-otot dadanya yang kekar. Tangan kanannya berkacak pinggang. Sedang tangan kirinya memilin-milin salah satu ujung kumis.

Pemuda itu berhenti, balas memandang mereka satu persatu. Sementara itu, disadari kalau di belakang dan di samping kanan serta kiri, dia telah terkurung. Dan jelas maksud mereka tidak baik!

"Kisanak! Berilah aku jalan!" ujar pemuda itu datar.

"Kau boleh jalan, setelah meninggalkan semua barang berharga yang kau miliki!" sahut laki-laki berkumis tebal itu, dingin.

Pemuda berbaju hitam ini memegang buntalan putih yang berada di tangan kirinya erat-erat. "Aku tidak punya barang berharga. Buntalan ini hanya berisi pakaian," tandas pemuda ini. sinis

"Kalau begitu, kau boleh tinggalkan nyawamu!" sahut laki-laki berkumis tebal itu dengan suara serak, bernada mengancam.

"Siapa yang bertanggung jawab diantara kalian?" tanya pemuda itu seraya menatap laki-laki berkumis tebal dalam-dalam.

"Aku! Warok Singo, tangan kanan Wiroto Sangkar yang menjadi pemimpin Kawanan Memedi Jalang!" sahut laki-laki berkumis tebal, mantap.

"Warok Singo! Aku tidak berurusan denganmu. Beri aku jalan. Dan, jangan memperpanjang urusan."

"Kurang ajar! Dasar Wong edan! Hei, Monyet Buduk! Tahukah kau, tengah berhadapan dengan siapa? Di lima kawasan tak ada yang berani bicara selancang mulutmu!" hardik laki-laki berkumis yang bernama Warok Singo dengan mata melotot lebar. Sehingga, biji matanya yang merah seperti hendak melompat dari sarangnya.

"Aku tidak perlu tahu siapa kau! Tapi jelas, aku tidak berurusan denganmu," sahut pemuda bermata sipit itu tenang.

Sama sekali amarah pemuda ini tidak terpancing melihat sikap Warok Singo. Dan itu membuat tangan kanan pemimpin Kawanan Memedi Jalang ini semakin berang saja. Sambil mendengus geram, goloknya langsung dicabut.

Srak!

"Mau mampus rupanya, he?!" Setelah berkata demikian, Warok Singo langsung menerjang dengan senjata terhunus.

Bet! Wuuut!

Pemuda itu bergerak ke samping sedikit. Lalu badannya dibungkukkan sehingga dua tebasan Warok Singo mudah dihindarinya. Dan sebelum Warok Singo melakukan serangan, lutut kanan pemuda itu telah menghantam ke perutnya.

Duk!

"Hugkh!" Warok Singo mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah berkerut. Kedua tangannya mendekap perut menahan sakit.

"Hiyaaa!" Pemuda itu membentak. Kemudian terlihat sekilas cahaya berkilauan ketika tubuhnya bergerak mendekati Warok Singo. Sesaat terdengar Warok Singo memekik setinggi langit.

Sring! Crat!

"Aaa...!" Tubuh tangan kanan Pemimpin Kawanan Memedi Jalang ini ambruk begitu pemuda itu menyarungkan pedangnya. Tampak dibagian dahi sampai ke bibir terdapat guratan luka akibat tebasan pedang.

"He, Gila!" desis seorang anggota kawanan.

"Ilmu iblis...!" timpal yang lain.

"Setan keparat! Tidak peduli dia memiliki ilmu iblis. Orang ini telah membunuh Warok Singo. Dan dia patut mendapat ganjaran! Bunuh dia!" teriak salah seorang menyadarkan kawan-kawannya yang terpaku atas gebrakan pemuda itu.

"Betul! Kurang ajar! Bunuh dia...!" timpal yang lain ikut mendukung.

Sraaang...!

"Heaaat...!"

Serentak kawanan perampok ini mencabut golok, langsung menyerang secara bersamaan.

"Huh!" Pemuda berambut dikuncir itu hanya mendengus sinis. Tubuhnya masih tetap terpaku di tempatnya. Kemudian pedangnya sedikit terbuka, ketika ibu jarinya menyontek gagang. Lalu.....

Trek! Sriiing!

"Heaaa...!"

Pedang pemuda sipit itu yang kelihatan tipis, tercabut dari sarangnya. Cahaya matahari tampak memantul dari batang pedang. Namun sekilas saja. Sebab, cahaya itu sudah berkelebat cepat. Dan sesaat, kemudian terlihat darah memancur diikuti pekik kesakitan.

Cras! Cras!

"Aaa...!"

Lima orang pengeroyok kontan roboh dan tewas seketika dengan luka dalam memanjang dari dahi hingga ke bibir!

"Yeaaa...!"

"Haiiit...!"

Kawanan perampok yang lain seperti tidak melihat gelagat kalau pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Yang terpikir saat ini adalah, bagaimana caranya membalas dendam. Lalu, membunuh orang asing ini dengan cepat.

Pedang pemuda bermata sipit itu kembali berkelebat. Gerakannya sulit diikuti pandangan mata. Dan tahu-tahu, kembali terdengar pekik kematian.

Cras...!

"Aaakh...!"

Enam orang lagi roboh dengan luka sama. Sementara pemuda ini kembali menggeram. Kemudian tubuhnya bergerak mendekati lawan yang berada di depan.

Sret!

"Aaa...!"

Tiga orang yang dihampiri langsung terjungkal disertai memekik nyaring. Mereka tewas dengan luka sama.

"Hentikan...!"

Trek!

Mendadak terdengar bentakan nyaring. Dan cepat sekali pemuda itu menghentikan serangan, dan kembali menyarungkan pedang. Lalu kepa-lanya menoleh ke kanan. Di situ, telah berdiri tegak seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Kepalanya yang lonjong ditumbuhi rambut tipis dan telah ubanan. Tubuhnya agak kurus dan sedikit bungkuk. Wajahnya kasar kehitaman dengan beberapa luka kecil menghiasi. Ketika tertawa lebar, sebuah gigi depan bagian atas telah tanggal.

"He he he...! Tidak kusangka kau cukup tangguh, Bocah. Hm... Aku Wiroto Sangkar, Pemimpin Kawanan Memedi Jalang. Kau telah membunuh Warok Singo. Sehingga, aku merasa kehilangan dia. Padahal, Warok Singo amat membantuku. Tapi, aku akan merasa senang bila kau sudi menggantikan kedudukannya...!"

"Maaf, aku sama sekali tidak berminat!" sahut pemuda itu tegas.

"Ha ha ha...! Jangan dulu cepat-cepat memutuskan begitu. Tidakkah kau tahu kalau kami memiliki harta-harta yang banyak luar biasa? Dengan itu, segalanya bisa didapat. Coba pertimbangkan lagi baik-baik. Sebagai tangan kananku, maka keadaanmu akan berubah. Kau akan mendapatkan bagian Warok Singo, ditambah hasil hasil lain yang nanti akan diperoleh...!" bujuk laki-laki yang mengaku bernama Wiroto Sangkar.

Pemuda itu memandang tajam. Sama sekali bibirnya tidak terlihat menyunggingkan senyum. "Maaf... Sekali lagi kukatakan, aku tidak tertarik tawaranmu! Suruh anak buahmu menyingkir!" sahut pemuda itu. Kali ini dengan nada yang lebih tegas.

Mendengar jawaban itu, wajah Wiroto Sangkar langsung berubah. Senyumnya yang manis, seketika hilang. Dan kini berganti dengusan sinis. Tangan kanannya makin mencengkeram kuat goloknya, pertanda hatinya amat kecewa dan geram.

"Anak muda! Tak ada seorang pun yang boleh menolak keinginan Wiroto Sangkar! Siapa yang berani, dia harus mati. Tidak terkecuali siapa pun orangnya. Apalagi, bagi pembunuh anak buah ku...!" Wiroto Sangkar mendengus geram. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung melompat menendang lawan.

"Hiiih!" Golok Wiroto Sangkar berkelebat cepat, menyambar leher dan pinggang. Kemudian dengan cepat menusuk ke arah jantung. Langsung hendak merobek perut pemuda itu. Namun, pemuda bermata sipit ini ternyata bukanlah orang sembarangan. Bahkan dia mampu menghindar dengan mudah. Gerakannya gesit dan cepat, meski kelihatannya amat sederhana.

"Huh!"

Trek!

"Hiyaaa!"

Ibu jari tangan kanan pemuda itu tiba-tiba menyentil batang pedang. Kemudian cepat sekali pedang panjangnya keluar dari warangka, lalu secepat kilat menyambar ke arah laki-laki setengah baya itu.

Sret!

"Aaa...!" Wiroto Sangkar langsung memekik keras. Tubuhnya terjungkal roboh. Dia menggelepar sesaat, kemudian diam tak berkutik. Pada dahi hingga ke bibir, darah memancur deras dari luka babatan pedang pemuda itu.

Pemuda itu mendengus sinis, dan sama sekali tidak mempedulikan mayat Wiroto Sangkar serta anak buah kawanan yang memandangnya dengan wajah kecut. Nyali mereka ciut. Tak ada seorang pun yang berani menghalangi, ketika pemuda itu meninggalkan tempat ini dengan langkah tenang.

********************

Lembah Sagir berada di kaki sebuah pegu-nungan yang membentang dari barat ke timur. Daerahnya subur berudara segar. Di sini bercokol seorang tokoh angkatan tua. Dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Eyang Tambak Kencana. Bila bicara tentang orang tua itu, maka tidak bisa terlepas dari Padepokan Merak Mas yang didirikannya beberapa puluh tahun lalu. Padepokan ini maju pesat. Bahkan lebih banyak menelurkan murid yang membawa harum nama padepokan. Sekaligus, membuat nama Eyang Tambak Kencana disegani kalangan persilatan. Sejauh ini, hal itu memang terbukti. Sebab tak ada seorang pun di kalangan dunia persilatan yang tidak mengenalnya. Kebanyakan dari mereka akan berpikir seribu kali untuk membuat urusan terhadapnya.

Siang ini, orang tua itu terlihat tengah berkumpul di halaman belakang bersama beberapa orang murid serta keluarga terdekatnya. Mereka mengelilingi sebuah meja besar, berbentuk lingkaran. Di kanan dan kiri terdapat beberapa buah pohon besar yang berdaun lebat. Sehingga, meski udara panas sekalipun, suasana di tempat itu tetap saja sejuk. Terlebih, pemandangannya amat indah. Sehingga, membuat mata yang memandang tidak terasa lelah. Tidak jauh di dekatnya, terlihat sebuah kolam yang cukup luas berair bening dengan bunga-bunga teratai yang tengah mekar berwarna merah dan putih. Kemudian jauh di depannya, terlihat barisan gunung dan perbukitan berwarna biru gelap.

Orang tua berusia tujuh puluh lima tahun itu menyeruput teh di cangkirnya, kemudian meletakkannya perlahan. Lalu bibirnya tersenyum seraya memandang laki-laki tinggi yang ada di hadapannya.

"Apakah sudah keras betul niatmu meninggalkan tempat ini, Danu Umbara?" tanya Eyang Tambak Kencana.

"Aku memikirkan masa depan Selasih, Ayah...," sahut laki-laki setengah baya berperawakan tnnggi besar bernama Danu Umbara.

"Apakah kau pun senang mengikuti ayahmu, Selasih?" lanjut orang tua itu pada gadis manis berbaju merah jambu yang duduk di sebelah Ki Danu Umbara.

"Entahlah. Eyang. Aku masih suka disini. Tapi..., aku juga tidak mau jauh dari ibu...?"

Eyang Tambak Kencana tersenyum kecil mendengar jawaban gadis yang dipanggil Selasih itu. "Aku tidak menyalahkan. Sebab, keinginan orangtuamu baik. Mereka ingin pindah ke kota yang lebih ramai untuk berdagang. Dengan demikian, mereka berharap masa depanmu pun bisa lebih baik ketimbang di sini...."

"Tapi, Ayah. Aku masih suka di sini...!" ujar Selasih dengan nada manja, setelah menoleh pada ayahnya, Danu Umbara.

"Apakah kau tidak kasihan pada lbumu? Dia tentu akan kesepian bila kau tak berada di sampingnya," bujuk Ki Danu Umbara.

"Kenapa ibu tidak di sini saja? Ayah berangkat lebih dulu. Kemudian setelah usaha Ayah berhasil, jemputlah kami!" usul Selasih.

"Hm... Kurasa usul Selasih itu baik. Kau berusaha dulu di kota. Dan bila berhasil, bawalah istri dan anakmu. Dengan demikian, mereka tidak akan telantar...!" sambung Eyang Tambak Kencana.

"Baiklah. Akan kubicarakan hal ini pada Laksmi...," sahut Ki Danu Umbara pendek.

"Ibu pasti setuju dengan usul itu!" seru Selasih, girang.

"Ya, mudah-mudahan saja ibumu setuju...," lanjut Ki Danu Umbara.

Pada saat itu seorang murid padepokan menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh. Setelah memberi salam hormat, diangsurkannya sepucuk surat kepada Ketua Padepokan Merak Mas.

"Dari siapa?" tanya Eyang Tambak Kencana

"Entahlah, Guru. Aku tidak mengetahuinya. Sepertinya, pemuda itu orang asing. Cara berpakaian dan bentuk wajah serta kulitnya, berbeda dengan kebanyakan pemuda di negeri ini," jelas sang murid.

Eyang Tambak Kencana hanya bergumam pendek, kemudian membuka lembaran kertas kuning itu.

Kepada Tambak Kencana, Ketua Padepokan Merak Mas. Aku mengajukan tantangan duel sore nanti, di sebelah selatan kaki pegunungan.

Akira Yamamoto, Pendekar Pedang Bayangan


Dahi orang tua itu berkerut setelah membaca isi surat yang singkat, namun cukup mengejutkannya. Wajahnya seketika berubah. Sehingga, menimbulkan keheranan mereka yang berada di tempat ini.

Selasih menarik surat yang berada di tangan kakeknya, lalu membacanya. Wajah gadis itu pun tampak berkerut campur gemas. Kemudian Ki Danu Umbara, serta yang lainnya bergilir membacanya. Wajah mereka tampak heran menandakan kebingungan yang sama.

"Akira Yamamoto? Siapa orang itu? Apakah Ayah pernah mengenalnya? Dan, apakah Ayah mempunyai urusan dengannya?" tanya Ki Danu Umbara.

"Tidak. Baru sekali ini kukenal namanya. Aku sama sekali tidak pernah mengenalnya...," desah Eyang Tambak Kencana, menggeleng lemah.

"Kalau begitu Eyang tidak perlu datang! Ini pekerjaan orang sinting yang mau mencari gara-gara. Eyang tidak perlu meladeninya!" ujar Selasih kesal.

"Betul, Guru! Kita tidak perlu meladeni orang ini. Mungkin dia orang sinting yang ingin mencari ketenaran belaka," timpal seorang murid yang berada di dekatnya.

"Entahlah. Kita lihat saja, apa yang dimaui orang itu sebenarnya padaku ," sahut Eyang Tambak Kencana, pelan seraya menghela napas panjang.

********************

DUA

Senja baru saja berlalu. Lampu-lampu minyak dan obor yang menerangi halaman sekitar Pade-pokan Merak Mas telah menyala. Sesekali nyala apinya bergoyang tertiup angina. Dan pada saat itu, beberapa ekor kelelawar terbang mengagetkan dengan terburu-buru keluar dari sarangnya.

Eyang Tambak Kencana duduk bersila dalam ruangannya. Kedua matanya terpejam dengan kedua tangan bertumpu pada kedua lutut yang bersila di lantai. Orang tua itu mengatur napas. Tidak terlihat gerakan di kedua bahunya, pertanda pernapasannya teratur dan halus sekali. Cukup lama dia bersemadi dengan memusatkan pikiran pada satu titik. Seluruh jiwa dan pikirannya, kini bersatu dengan Sang Pencipta Alam. Tak ada lagi hal-hal keduniawian. Termasuk persoalan yang tadi sore sempat mengisi benaknya.

Sementara itu di luar sana, seorang pemuda berjalan pelan mendekati pintu gerbang rumah padepokan ini dengan kedua tangan bersedakep. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang panjang bersarung warna hitam. Pedang itu kelihatan biasa saja, dengan warangka sampai pada barang berbentuk polos. Hanya saja, pedang itu sedikit kecil dan lebih panjang dari ukuran pedang yang umum dipakai.

"Berhenti! Kisanak telah memasuki Padepokan Merak Mas. Sebutkan nama, dari mana, dan urusan apa datang ke sini!" cegat salah seorang murid padepokan, langsung menghadang didepan pemuda berbaju hitam dengan rambut panjang dikuncir itu.

"Aku Akira Yamamoto! Gurumu tahu, aku datang untuk apa," sahut pemuda itu dingin.

"Maaf, Kisanak. Kau harus menunggu. Kawanku akan menanyakan lebih dulu pada Ki Guru," sahut sang murid. Segera diberinya isyarat pada kawannya yang berada tidak jauh dari situ.

Murid itu menoleh begitu kawannya berlari-lari kecil ke dalam. Namun ketika berpaling kembali, bola matanya mencari-cari ke sekitar tempat ini dengan wajah bingung. Kakinya melangkah ke depan, lalu kembali mencari-cari di sekitarnya dengan lebih teliti. Namun, yang dicari tidak juga ditemukan. Pemuda bermata sipit tadi hilang seperti ditelan bumi!

Sementara itu Eyang Tambak Kencana langsung bangkit begitu mendengar nama yang disebutkan muridnya dari luar kamar. Bergegas dia keluar, setelah membuka pintu. Empat orang muridnya langsung memberi hormat. Salah seorang kemudian maju mendekat.

"Pemuda itu mengaku bernama Akira Yamamoto...?" tanya Eyang Tambak Kencana, seperti ingin meyakinkan.

"Betul, Guru...!"

"Hm, baiklah. Suruh dia masuk!"

"Kau tidak perlu menyuruhku. Aku telah menunggumu disini!" sahut satu suara menyahuti.

Eyang Tambak Kencana kaget. Demikian pula keempat muridnya. Orang tua itu mengintip lewat tirai yang berada di teras kamar ini. Dan dihalaman depan terlihat seorang pemuda berbaju hitam membelakanginya! Orang tua ini menghela napas panjang.

"Bawakan pedang pusaka. Dan, temui aku dibawah!" ujar Eyang Tambak Kencana pendek.

"Apakah Guru menyambut tantangannya!" tanya seorang muridnya khawatir.

"Tidak ada pilihan lain...."

"Guru, dia hanya seorang murid ugal-ugalan! Kau tidak perlu meladeninya," timpal muridnya yang seorang lagi.

Eyang Tambak Kencana menoleh dan memandang tajam kepadanya. "Dia bukan pemuda ugal-ugalan. Aku pernah mendengar kejadian yang seperti ini...," sahut orang tua itu tenang.

"Maksud, Guru?"

"Pemuda itu berasal dari sebuah negeri yang jauh. Orang-orang menyebutnya dengan negeri Matahari Terbit. Mereka memiliki ilmu bela diri yang hebat, dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki. Beberapa orang malah mengembara ke negeri-negeri yang terkenal akan keahliannya dalam ilmu olah kanuragan. Mereka mendatanginya, lalu mengajaknya bertarung sampai salah seorang tewas. Pertandingan ini jujur, dan tak ada unsur-unsur lain..." jelas Eyang Tambak Kencana secara singkat.

"Jadi..., dia menginginkan pertarungan hidup dan mati?" tanya salah seorang muridnya dengan nada hati-hati.

Orang tua itu mengangguk.

"Apakah kira-kira Guru mampu mengalahkannya...?"

"Entahlah. Pendekar-pendekar dari negeri Matahari Terbit terkenal hebat. Terutama ilmu pukulan dan permainan pedang mereka yang aneh!"

"Apakah tidak ada cara lain untuk membatalkan pertarungan ini, Guru?"

"Apakah kau ingin gurumu dianggap pengecut oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, Pijan?" sahut Eyang Tambak Kencana disertai senyum.

Murid yang dipanggil Pijan terdiam seraya menunduk lesu mendengar kata-kata gurunya.

"Maukah kalian mendengar pesan-pesanku?"

"Pesan apa, Guru?" sahut mereka saling menimpali.

"Danu Umbara.... Agaknya dia tidak berminat menggantikanku. Menantuku itu keras betul niatnya untuk berniaga. Maka kau, Pijan. Sebagai murid tertua, kuangkat menjadi penggantiku bila aku tewas di tangan pemuda itu. Pimpinlah murid-murid dengan baik. Dan, jangan mendendam pada pemuda itu!"

"Guru...?!"

Wajan keempat murid itu tersentak kaget. Tapi, Eyang Tambak Kencana tidak mempedulikannya. Dan dia langsung berlalu dari tempat ini dengan langkah panjang sambil mengingatkan salah seorang muridnya.

"Jangan lupa! Cepat bawakan pedang pusaka. Dan, temui aku di bawah sana!"

********************

Wajah Ki Danu Umbara tampak cemas ketika memperhatikan Eyang Tambak Kencana yang berdiri berhadapan dengan pemuda yang mengaku bernama Akira Yamamoto dalam jarak hanya terpaut lebih kurang tujuh langkah. Demikian pula istri dan putrinya, serta seluruh murid Padepokan Merak Mas.

"Tambak Kencana! Kau tidak datang memenuhi tantanganku, sehingga aku harus datang kesini! Apa pun alasanmu, maka kau harus bertarung denganku!" ujar Akira Yamamoto dengan nada menegaskan.

Orang tua itu belum sempat menjawab, ketika Selasih telah lebih dulu maju seraya menuding sengit.

"Orang asing! Eyangku tidak punya urusan denganmu! Kenapa kau datang dengan mencari gara-gara? Apakah kau sudah demikian sombongnya dengan kepandaian yang dimiliki?! Pergilah! Dan, cari orang-orang yang mau meladeni keinginanmu yang gila itu!"

Pemuda bermata sipit itu menoleh. Dipandanginya gadis itu dengan mata tidak berkedip untuk beberapa saat. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Selasih! Jangan campuri urusan ini. Kau tidak tahu apa-apa...,"' kata Eyang Tambak Kencana.

"Eyang! Aku bukan menganggapmu pengecut dengan membatalkan atau mengganggu jalannya pertarungan kalian! Tapi urusan ini kuanggap tidak benar dan berbahaya. Dan pemuda gila ini ingin menyeretmu ke dalamnya. Tidakkah Eyang menyadari?!" tandas Selasih keras dengan wajah berang menahan kesal bercampur geram.

"Selasih! Apa yang kuperbuat adalah hal yang biasa. Dan, sama sekali tidak aneh..." kilah Eyang Tambak Kencana.

"Tidak! Aku tidak mau mendengar alasan-alasan Eyang! Aku tidak mau mendengarnya...!"

Selasih berteriak keras seraya mendekap wajah dengan kedua tangannya. Gadis itu berlari ke dalam. Dan mereka masih sempat mendengar isak tangisnya.

"Selasih...!" Laksmi, istri Ki Danu Umbara, berseru memanggil dan mengejar gadis itu.

Apa yang dirasakan selasih memang tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan wanita ini. Kepedihan dalam, seperti mendapat firasat buruk terhadap Eyang Tambak Kencana.

Orang tua itu hanya menoleh sekilas. Kemudian kembali memandang pemuda yang berada di hadapannya.

"Bisakah kita mulai...'" tanya pemuda bermata sipit ini.

"Silakan. Aku telah siap!"

Akira Yamamoto menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Sementara tangan kanannya yang masih menggenggam pedang dijulurkan. Matanya tajam mengawasi orang tua itu laksana seekor rajawali yang tengah mengincar mangsanya. Perlahan-lahan dia bergerak mendekati orang tua itu dengan menggeser tapak kakinya.

Dan Eyang Tambak Kencana pun agaknya telah bersiaga. Pandangan matanya pun tajam mengawasi semua gerak-gerik pemuda itu. Lalu tubuhnya berputar ke kanan pelan-pelan.

"Heaaa...!"

Akira Yamamoto berteriak dengan suara menggeledek. Kepalan tangan kanannya melesat, menimbulkan desir angin kencang. Sasarannya tepat menghantam ke arah dada kiri.

"Uts!"

"Yeaaa!"

Eyang Tambak Kencana cepat menggeser tubuhnya ke kanan. Tapi, Akira Yamamoto cepat berputar dan mengibaskan kepalan tangan kiri. Orang tua itu melompat ke atas, membuat gerakan jungkir balik ketika pemuda itu melanjutkan serangan lewat tendangan kedua kakinya silih berganti.

Tenaga dalam pemuda ini terasa kuat. Gerakannya pun cepat meski ilmu olah kanuragannya keliharan sederhana. Perhatiannya lebih dipusatkan dengan mendesak orang tua itu lewat serangan-serangan gencar. Namun begitu, saat Eyang Tambak Kencana menemukan kesempatan untuk balas menyerang. Akira Yamamoto tidak gugup. Dia malah mampu menghindar dengan gerakan cepat.

"Yeaaa! Heaaa...!"

"Uhhh...!"

Akira Yamamoto membentak dan berteriak setiap kali menyerang. Sehingga, membuat Eyang Tambak Kencana sedikit terganggu. Dengan teriakan itu, agaknya dia tengah membangun semangat bertarungnya. Dan hal ini dirasakan betul oleh orang tua itu. Gerakan pemuda itu semakin cepat. Bahkan tenaganya seperti berlipat ganda, serta nafsu menjatuhkan lawan semakin kuat.

Pertarungan itu sendiri telah melewati sepuluh jurus. Dan sampai sejauh ini, Eyang Tambak Kencana tampak terus keteteran. Orang tua ini memang seperti tidak mampu mengimbangi gerak dan semangat tempur pemuda bermata sipit ini. Diam-diam Eyang Tambak Kencana menggeram, lalu tiba-tiba melompat ke belakang untuk mengatur jarak.

Namun Akira Yamamoto mendiamkannya saja, seperti memberi peluang bagi Eyang Tambak Kencana untuk mengatur pernapasan, serta menyiapkan jurus baru yang mungkin akan diandalkan.

"Heaaa! Yeaaat...!"

Sring!

Eyang Tambak Kencana memainkan beberapa gerakan jurus ilmu silatnya sambil mendekati Akira Yamamoto. Kemudian dengan tiba-tiba, pedang pusaka yang pada warangkanya tergambar burung merak berbulu panjang berwarna keemasan dicabut.

"Inikah jurus 'Merak Mas Membuat Sarang' yang membuat namamu kesohor...?" tanya Akira Yamamoto.

"Benar! Ternyata kau tahu banyak mengenaiku. Nah! Man kita bertarung kembali," sahut Eyang Tambak Kencana.

Akira Yamamoto tidak menyahut. Kakinya malah melangkah ke kanan dengan pandangan tajam mengawasi.

"Heaaa...!"

Disertai bentakan menggelegar, tubuh Eyang Tambak Kencana melenting sambil membuat putaran untuk menerjang lawan. Pedangnya berciuran, menyambar menimbulkan desir angin tajam. Namun pemuda itu cepat bergerak lincah, menghindari setiap serangan yang ke mana saja dia bergerak selalu saja mengurungnya dengan ketat.

Apa yang dinamakan jurus 'Merak Mas Membuat Sarang' ternyata bukan jurus kosong belaka. Melewati dua jurus dimuka, Akira Yamamoto kelihatan keteter. Namun begitu bukan berarti akan mudah dijatuhkan. Dan memang, Akira Yamamoto belum lagi membalas serangan. Kelihatannya dengan menggunakan jurus menghindarnya, dia ingin mengetahui sampai sejauh mana kedahsyatan jurus pamungkas lawannya.

"Yeaaa...!"

Sring!

Ketika merasa banyak mengetahui kelemahan jurus orang tua itu, Akira Yamamoto melompat ke samping menghindari sabetan pedang. Dan bersamaan dengan itu, tangannya langsung menyambut pedang seraya membentak nyaring.

Tring! Tring!

Kedua senjata kontan beradu, menimbulkan percikan bunga api kecil. Pemuda itu mendesis geram. Dan serangannya terlihat semakin cepat serta mengarah pada sasaran-sasaran yang jelas.

"Yeaaat!"

Mendadak, Akira Yamamoto melesat tinggi ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan satu babatan. Begitu cepat gerakannya, sehingga...

Cras!

"Aaa...!" Terdengar Eyang Tambak Kencana terpekik, lalu ambruk dengan darah mengucur dari luka antara dahi hingga ke bibir!

"Guru...!"

"Ayaaah...!" Ki Danu Umbara dan semua murid Padepokan Merak Mas berseru kaget. Mereka langsung memburu, mengerubungi orang tua yang terkapar tak berdaya. Pada saat itu tak ada seorang pun yang memperhatikan kalau Akira Yamamoto telah meninggalkan tempat ini. Pemuda itu sama sekali tidak mempedulikan kesedihan mereka yang mendalam!

********************

Tiga sosok tubuh tampak berusaha berlari kencang menghindari para pengejarnya. Napas mereka memburu, dengan wajah sedikit pucat. Sesekali mereka menoleh kebelakang, melihat para pengejarnya masih berusaha menangkap dengan bersemangat.

"Yeaaat!"

"Awaaas...!"

Salah seorang memperingatkan kedua kawannya, ketika lima sosok tubuh tiba-tiba saja menyerang dari arah depan dengan golok panjang terhunus. Ketiga orang itu melompat cepat, lalu bergulingan menghindari lemparan tombak para pengejar yang berada di belakang. Namun dari arah samping, telah siap beberapa orang lagi yang langsung membabatkan golok. Tiga orang itu terpaksa bergulingan, dan bersatu di tengah. Sementara itu, para pengeroyok telah mengurung ketat membentuk lingkaran seraya menghunuskan senjata.

"Celaka, Palaga! Tidak ada jalan keluar...!" desis seorang buruan yang berkumis tipis.

"Tamatlah riwayat kita sekarang, Baruna!" timpal laki-laki bertubuh gemuk pendek yang dipanggil Palaga.

"Jangan putus asa! Kita harus melawan sampai tetes darah terakhir! ingat! Bila tertangkap, nasib kita tidak ubahnya seperti mati. Maka lebih baik mati setelah berjuang!" sahut yang ketiga memberi semangat.

"Betul apa yang kau katakan, Lesmana! Kita harus melawan!" kata laki-laki yang berkumis tipis yang dipanggil Baruna.

"Ringkus mereka...!" teriak salah seorang pengeroyok memberi perintah.

"Heaaa...!"

Beberapa orang melompat. Sementara yang lain menyusul, membuat serangan bertingkat. Sedangkan beberapa orang lainnya menyiapkan beberapa buah jala.

"Hup!"

Palaga, Baruna, dan Lesmana saling memunggungi dan menghadapi para pengeroyok. Mereka saling melindungi satu sama lain. Namun begitu, agaknya mereka tidak bisa bertahan lama. Jumlah lawan cukup banyak. Sementara kemampuan para pengeroyok pun tidak bisa dianggap enteng.

Srak!

Mendadak beberapa buah jala menebar. Ketiga orang itu berusaha menghindar, namun sia-sia. Mereka telah lebih dulu terperangkap dalam jala.

"Kurang ajar...!" maki Lesmana geram.

Dia berusaha melepaskan diri dengan mencoba memutuskan tali jala. Demikian pula kedua kawannya. Namun usaha mereka sia-sia saja. Sebab, tali itu demikian kuat dan tak mampu diputuskan meski telah dikerahkan seluruh tenaga.

"Yeaaa...!"

Lebih tujuh orang penghadang melompat, langsung menghantam ketiga lawannya yang tengah dalam keadaan tidak berdaya.

Duk! Begkh!

Aaakh!"

"Keparat! Bangsat bangsat pengecut! Lepaskan. Akan kuhajar kalian sampai mampus!" dengus Lesmana geram dengan darah segar meteleh dari sudut bibir.

Dalam keadaan terkurung jala begitu, tak ada kesempatan bagi mereka untuk menghindar. Sehingga pukulan dan tendangan para pengeroyok mendarat dengan empuk.

"Ini hukuman bagi mereka yang coba-coba kabur dari istana Lembah Darah!" dengus seorang berjubah merah dengan ikat kepala hitam.

"Persetan dengan Istana Lembah Darahmu itu! Kalian hanya orang-orang pengecut!" bentak Lesmana.

"Kurang ajar! Sekali lagi bicara seperti itu, kutebas lehermu!" hardik laki-laki berjubah merah itu dengan mata melotot garang.

"Phuih! Kau kira aku takut padamu?!"

"Keparat!" Laki-laki berjubah merah ini menggeram. Dan dia segera memberi isyarat agar yang lainnya menyingkir.

Lesmana dan kedua kawannya megap-megap. Namun, sorot matanya memandang penuh kebencian saat laki-laki itu mendekat.

Srang!

Orang ini mencabut golok dan memperlihatkan ketajaman senjatanya. Diusap-usapnya golok itu pelan-pelan dengan sentuhan tangan kiri.

"Kau akan mati penasaran, Bedebah!"

"Phuih! Aku tidak takut mati, Pengecut! Ayo, bunuh aku! Biar semua orang melihat, betapa orang-orang Istana Lembah Darah adalah kumpulan pengecut! Kalian hanya berani kepada orang-orang yang tak berdaya!"

"Setan!"

Laki-laki berjubah merah ini memaki dengan wajah geram. Goloknya terayun, namun hanya menghantam permukaan tanah dekat kaki kanan. Sementara bersamaan dengan itu, ujung kakinya melayang ke perut Lesmana.

Duk!

"Aaakh...!" Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dan bertubuh kurus itu memekik nyaring. Isi perutnya terasa mau meledak akibat tendangan itu.

"Kau boleh mampus sekarang juga!" desis laki-laki berjubah merah itu geram. Golok itu terangkat cepat, dan siap menebas leher Lesmana. Tapi pada saat itu, terjadi keributan.

"Heh?!"

TIGA

Laki-laki berjubah merah mengurungkan niatnya, begitu melihat beberapa orang kawannya terjungkal oleh ulah seorang pemuda yang mengamuk hebat. Yang lainnya berusaha membantu dan mengepung. Namun, pemuda berbaju rompi putih itu ternyata cukup gesit dan tidak mudah ditaklukkan. Kedua tangannya menggenggam golok yang berhasil dirampasnya dari lawan. Ketika dua buah jala hendak menyergap berturut-turut, kedua golok di tangannya melayang, memutuskan kedua tali jala. Sementara pemuda itu sendiri bergulingan menghindar.

Wuuut!

Tiga orang langsung memapaki dengan mengayunkan golok. Tapi kedua kaki pemuda itu cepat bagai kilat berputar, menghantam pergelangan salah seorang lawan yang terdekat.

Plak!

"Aaakh...!" Orang itu memekik karena pergelangan tangannya remuk, setelah memapak. Goloknya terlepas dan langsung ditangkap pemuda itu. Dengan senjara itu, pemuda berbaju rompi putih ini memerintahkan serangan kedua lawan yang lain.

Trang!

"Uhhh...!"

Dua orang mengeluh kesakitan ketika senjata mereka berpapasan dengan golok di tangan pemuda itu. Keduanya terjungkal, tendangan keras menyapu ke arah perut dan dada.

"Hentikan...!" teriak laki-laki berjubah merah.

Serentak para pengeroyok yang merupakan anak buah laki-laki berjubah merah itu menghentikan serangan. Dia sendiri melangkah mendekati pemuda itu seraya memperhatikan dengan seksama.

"Kisanak memasuki kawasan Lembah Darah. Siapapun tahu kalau tempat ini daerah kekuasaan Iblis Rambut Merah. Dan, tidak sembarang orang bisa melewatinya dengan selamat. Namaku, Bagus Ireng. Dan aku adalah seorang abdinya! Siapa kau?! Dan, apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya laki-laki berjubah merah yang mengaku bernama Bagus Ireng.

"Aku hanya kebetulan lewat. Dan aku tidak tahu kalau lembah ini daerah kekuasaan seseorang. Kisanak, namaku Rangga. Sampaikan permintaan maafku pada Iblis Rambut Merah kalau memang aku salah," ucap pemuda tampan berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm, Rangga... Majikanku seorang yang baik hati. Dia tentu suka memaafkan orang. Dan kurasa, dia pun senang sekali kalau kau sudi mampir ke tempatnya...," ujar Bagus Ireng, tersenyum manis.

"Kisanak! Jangan terpengaruh omongannya! Mereka hendak menjebakmu'" teriak Lesmana memperingatkan.

Dukkk!

"Hugkh...!"

Baru saja selesai ucapan Lesmana, satu tendangan keras yang dilakukan anak buah Ki Bagus Ireng menghantam dadanya. Lesmana kembali memekik. Dan kali ini, rasa sakit itu agaknya tak tertahankan. Sehingga, dia hanya bisa mengerutkan muka sambil mengerang erang.

"Ki Bagus Ireng! Apa yang telah kalian lakukan pada ketiga orang itu?" tanya Rangga, curiga.

"Mereka pencuri. Dan majikanku memerintahkan untuk menangkapnya...."

"Dusta! Kami bukan pencuri! Mereka..."

Begkh!

"Aaakh...!" Palaga, laki-laki yang bertubuh pendek dan gemuk, membantah keras. Namun belum habis perkataannya, satu tendangan keras menghantam perutnya. Palaga kontan memekik seraya mendekap perutnya yang terasa sakit luar biasa.

"Kisanak! Seorang maling pun tidak akan mengalami siksaan seperti itu. Kalian betul-betul keterlaluan. Kalau benar mereka maling, maka katakanlah berapa nilai barang yang dicuri. Aku akan menebus mereka!" ujar Rangga mulai tidak senang.

"Maaf, Kisanak. Majikanku telah memerintahkan kami untuk menangkap mereka dan menghadapkan padanya. Setiap perintahnya wajib kami taati. Maka dengan terpaksa, kami tidak bisa mengabulkan permitaanmu!" tandas Ki Bagus Ireng.

"Hm, sayang sekali. Majikanmu tentu orang baik. Dan rasanya, mustahil bersikap begitu. Tapi bagaimanapun, aku musti percaya dengan kata-katamu. Hanya saja, aku tidak bisa menerimanya. Termasuk juga, tidak bisa menerima perlakuan pada mereka," sahut Rangga tenang.

"Kisanak! Kau datang tiba-tiba, lalu mencampuri urusan orang. Padahal saat ini, kau tengah berada di daerah kekuasaan majikan kami. Sebaiknya, jangan ikut campur. Dan, berlakulah yang sopan!" bentak Ki Bagus Ireng sedikit mengancam.

"Bagaimana aku bisa diam kalau ternyata kalian tengah menyiksa saudaraku?"

"He?! Apa maksudmu...?!" seru Ki Bagus Ireng kaget.

"Mereka adalah saudara dekatku. Bila mereka bersalah, maka akulah yang akan bertanggung jawab. Tapi aku tahu betul watak mereka. Sehingga tidak mungkin rasanya mereka mencuri sesuatu dari tempat kalian. Lagi pula, kenapa harus jauh jauh bila sekadar mencuri? Toh, masih banyak rumah hartawan yang bisa dicuri. Dugaanku, kau pasti mengada-ada. Maka aku tidak bisa tinggal diam melihat apa yang kau lakukan pada saudara-saudaraku!" ujar Rangga, lantang.

"Huh! Kalau begitu kau memang sengaja mencari urusan! Ingatlah! Majikanku tidak akan suka hal ini. Maka terpaksa kami harus membawamu juga secara paksa. Kau telah banyak melakukan pelanggaran di daerah ini. Dan karenanya, kau harus mendapat hukuman!" dengus Ki Bagus Ireng.

"Hm... Agaknya majikanmu merasa berkuasa menghukum seseorang?!" sahut Rangga mencibir sinis.

"Dia lebih berkuasa daripada seorang raja. Dan kau akan melihatnya segera!" balas Ki Bagus Ireng.

Bersamaan dengan itu Ki Bagus Ireng memberi isyarat. Maka sebagian besar anak buahnya langsung mengepung dengan senjara terhunus. Pemuda itu terkurung dalam waktu singkat. Dan sepertinya, tak ada jalan keluar sedikit pun.

"Ringkus...!" perintah Ki Bagus Ireng keras menggelegar.

"Yeaaat!"

Trang! Trang!

"Hup!"

Golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang masih belum dilepaskan, berkelebat memapak senjata para pengeroyok mengancam keselamatannya. Orang-orang itu agaknya tidak mau bertindak kepalang tanggung. Mereka benar-benar ingin meringkus pemuda itu dengan cara apapun. Bahkan Ki Bagus Ireng menambahkan perintah untuk membunuh Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat anak buahnya masih belum juga mampu meringkus.

"Jangan kasih hati! Bunuh saja dia...!"

"Yaaat...!"

Sing! Set!

Serangan para pengikut Iblis Rambut Merah mulai terasa dahsyat. Mereka menggunakan segala cara dengan gerakan kompak. Bahkan beberapa orang telah melemparkan senjata rahasia berupa lempengan baja tipis sebesar telapak tangan bayi, berbentuk segi banyak. Malah ketika Rangga coba menghindar serta menangkis, mereka memberondongnya dengan lemparan tombak. Dan baru saja Rangga menghindari serangan, beberapa orang yang lain coba menjeratnya dengan jala.

"Sial!" rutuk Rangga kesal.

Kesabaran Pendekar Rajawali Sakti mulai hi-lang, melihat ulah para pengeroyoknya. Rangga menggeram. Kemudian tubuhnya mencelat ke belakang menghindari dua buah jala yang hendak meringkusnya. Begitu menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti kembali melesat ke muka, seraya membuat gerakan jungkir balik.

"Heaaat..!"

Golok yang masih berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti, berkelebat menyambar kearah para pengeroyoknya.

Bet!

"Aaa...!"

Dua orang memekik nyaring dan terjungkal ke belakang. Pada bagian dadanya terlihat luka menyilang, bekas tebasan golok Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga kembali melompat ke samping sambil mengibaskan golok untuk menangkis dua buah tombak yang menyambar leher dan pinggangnya.

Trak! Wuuut!

Kedua pengeroyoknya mengeluh pelan. Tombak mereka nyaris terpental. Namun Rangga tidak mempedulikannya. Dan ujung goloknya terus menyambar dan merobek kedua perut lawan.

Bras!

"Aaa...!"

Orang-orang itu memekik keras sambil mendekap perut. Tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang. Tiga orang lagi mencoba meringkus Pendekar Rajawali Sakti. Sementara lima kawannya menge-pung dari belakang untuk mengincar kelemahan serta kelengahan Rangga yang sejak tadi mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dipadu dengan jurus dari lima rangkaian Jurus 'Rajawali Sakti'.

Sambil menundukkan kepala dan membung-kuk, Rangga menghindari tebasan senjata-senjata lawan. Kakinya bergeser dan sedikit memiringkan tubuh. Kemudian goloknya berkelebat.

Wut! Bret!

"Aaa...!"

Tahu-tahu tiga orang yang berada di depan Rangga terjungkal bersimbah darah. Sedangkan pemuda itu bergulingan, saat lima pengeroyoknya yang berada di belakang melompat menerkam. Dan dengan gerakan cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti melenting sambil membabatkan goloknya. Dan...

Bret!

"Aaa...!"

Kelima orang itu kontan memekik setinggi langit begitu perut mereka robek mengucur darah segar, tersambar golok yang dipegang Rangga.

Rangga melompat mendekati ketiga laki-laki yang masih terkurung dalam jala. Lalu dirobeknya jala itu dengan golok di tangan. Sementara empat orang lawan langsung menerjang. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak kalah sigap. Seketika tebasan goloknya siap menyambut.

Trak! Trak!

Dua bilah golok milik anak buah Ki Bagus Ireng terpental. Pada saat yang sama, Rangga sudah lebih cepat berkelebat dengan kecepatan dahsyat. Tahu-tahu....

Bret!

"Aaa...!" Salah seorang kembali tewas dengan pinggang robek. Sementara seorang lagi kehilangan lengan kirinya. Sedangkan kedua lawan yang lain sempat menghindar dari amukan golok Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak! Kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Tapi kita harus cepat meninggalkan tempat ini! Mereka licik...!" ujar Lesmana mengingatkan. Suaranya terputus oleh rasa nyeri di perutnya.

"Kenapa begitu...?" tanya Rangga.

"Kalau tidak cepat meninggalkan tempat ini, kau akan celaka!"

"Kisanak, aku tidak mengerti..." Rangga memandang Lesmana beberapa saat. Wajah laki laki ini tampak cemas. Dan tiba-tiba, tangannya menunjuk sesuatu dengan muka semakin pucat ketakutan.

"Celaka! Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini...!" teriak Lesmana seraya mengajak kedua kawannya untuk kabur.

Rangga yang tengah bingung, menoleh. Dia melihat beberapa sosok tubuh bergerak lincah mendekati dari kejauhan. Datangnya bukan dari satu arah, tapi dari semua arah.

"Hiiih!" Mendadak Ki Bagus Ireng melemparkan sesuatu kearah Pendekar Rajawali Sakti.

Bus...!

"Heh...?!"

Benda sebesar kepalan bayi itu kontan meletup, mengeluarkan asap hitam tebal. Perbuatan Ki Bagus Ireng itu diikuti beberapa anak buahnya yang lain. Sehingga hanya dalam waktu singkat, tempat itu dipenuhi asap hitam tebal yang tidak hanya menghalangi pandangan, tapi juga mengandung bius hebat.

"Uh, kurang ajar!" Rangga memaki geram.

Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti menutup jalan pernapasannya, dan memindahkannya keperut. Dan mendadak pendengarannya yang tajam menangkap gerakan halus yang tertuju ke arahnya.

"Uhhh...!" Pemuda itu mengeluh kesal. Dan goloknya cepat berkelebat, berhasil menangkis benda keras.

Wuuuk!

Tras!

Belum lagi habis rasa kagetnya, kembali terasa desir angin kencang menyambar dari belakang. Pendekar Rajawali Sakti membungkuk, lalu melompat ke samping. Goloknya cepat menyambar ke satu arah, kemudian...

Cras!

"Aaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti bergulingan, dan langsung melompat ke depan begitu datang serangan kilat menyambar dari samping kanan. Cepat sekali serangan-serangan itu datang silih berganti. Namun begitu, Rangga berhasil menangkis dan menewaskan salah seorang dari mereka.

Rangga memperkirakan kalau lawan yang menyerang berjumlah sekitar lima orang. Dan mereka memiliki kepandaian hebat. Paling tidak, memiliki pendengaran tajam. Sebab dalam suasana gelap dan berkabut hitam begini, akan sulit untuk membedakan mana lawan dan mana kawan.

Rangga memperkirakan, bisa meladeni serangan-serangan lawan. Namun, asap hitam ini bukan sembarangan, karena mengandung obat pembius yang ampuh. Sementara lawan-lawannya seperti tidak terpengaruh, karena memiliki obat pemunahnya. Sehingga dengan demikian, mereka leluasa menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Bagi Rangga sendiri, tidak mungkin rasanya untuk bernapas lewat perut terlalu lama. Lambat laun dia akan celaka sendiri. Berpikir begitu, pemuda ini yang sejak tadi telah mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', menghantamkan kedua tangannya ke depan. Seketika, timbullah desir angin kencang. Tertangkap oleh telinganya. beberapa sosok tubuh berkelebat ke arah pukulannya yang mungkin dirinya disangka tengah melompat. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk melarikan diri!

Rangga bisa merasakan kalau pengeroyoknya terkecoh oleh tipuannya. Sehingga ketika telah berada cukup jauh dari kepungan asap hitam yang tebal itu, tak ada seorang pun yang membuntutinya. Pemuda itu tidak mau ambil pusing, dan terus menjauhi Lembah Darah.

Namun langkah Pendekar Rajawali Sakti ter-henti ketika pendengarannya yang tajam menang-kap sesuatu. Bunyi gemerisik serta beberapa ranting kecil yang patah seperti terinjak. Rangga cepat melompat ke salah satu cabang pohon terdekat yang cukup tinggi, kemudian mengawasi keadaan sekitarnya. Tidak jauh dari arah timur laut, terlihat tiga orang yang tadi terkurung jala tengah berlari-lari kencang. Rangga tersenyum, lalu melompat menyusul.

"Kisanak, berhenti!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, begitu menjejakkan kaki di hadapan mereka.

"Eeeh...!" Ketiga orang itu tersentak kaget dengan wajah pucat. Mereka langsung menghentikan langkah. Namun ketika mengetahui siapa yang mencegat perjalanan, wajah yang pucat kembali lega.

"Ah, kukira siapa. Kiranya kau, Kisanak...," ujar Lesmana.

"Maafkan, aku telah mengagetkan. Syukurlah kalian sempat melarikan diri dan selamat dari tempat itu...."

"Sebaiknya, jangan lama-lama di sini! Tempat ini belum jauh dari Lembah Darah. Mereka mudah menemukan kita. Ayo, kita harus menyingkir sejauh mungkin!"

Ajakan Lesmana langsung diikuti kedua kawannya. Apalagi ketika dia langsung berlari meninggalkan tempat ini. Sehingga, Rangga yang coba mencegah, tidak bisa berbuat apa-apa. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti mengikuti mereka.

Setelah telah merasa cukup jauh, mereka menghentikan larinya. Lesmana terduduk lesu, bersandar di bawah sebatang pohon. Demikian pula kedua kawannya. Napas mereka terasa memburu dan tidak beraturan.

"Kisanak, kami bertiga mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...," ucap Lesmana setelah napasnya kembali teratur.

Dengan satu persatu, Lesmana mengenalkan kedua kawannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Yang bertubuh sedikit gemuk serta agak pendek bernama Palaga. Dan seorang lagi bernama Baruna.

"Sebaliknya siapakah kau Kisanak...?" lanjut Lesmana, bertanya.

"Namaku Rangga...."

"Hm, ya. Sepertinya kau orang baru di wilayah ini. sehingga tidak mengenal keangkeran Lembah Darah ..."

"Ada apa sebenarnya di tempat itu? Dan, apa yang terjadi dengan kalian?"

"Di lembah itu tinggal seorang tokoh sesat bernama Ki Girang Manuk. Namun, orang-orang lebih mengenalnya sebagai Iblis Rambut Merah. Dia memiliki istana serta banyak anak buah. Kepandaian mereka cukup tinggi dan sedikit mengerti ilmu sihir. Namun tidak semuanya. Hanya kaki tangannya yang terdekat saja Iblis Rambut Merah jangan ditanya lagi! Ilmu olah kanuraganya hebat. Begitu juga ilmu sihirnya. Dia menculik tokoh tokoh persilatan yang memiliki kepandaian hebat, maupun yang memiliki kepandaian biasa untuk diperbudak menjadi kaki tangannya. Mereka yang diculik, kemudian tidak pernah mau kembali pada keluarganya lagi...," jelas Lesmana.

Rangga mengangguk angguk mendengar penjelasan itu. "Kalau begitu, kalian termasuk korban mereka?"

"Ya. Tapi kami berhasil lolos, sebelum mereka sempat menyihir melalui pengaruh obat dan kekuatan bathinnya."

"Apakah di antara korban-korbannya hanya kalian yang berhasil lolos?"

"Beberapa orang telah mencoba, namun tertangkap. Yang lainnya malah terbunuh. Kalau saja kau tidak menolong, maka nasib kami tidak berbeda dengan mereka..."

"Apakah tidak ada yang berusaha mencegah kejahatan Iblis Rambut Merah?"

"Pernah beberapa pendekar mencoba merin-tanginya. Namun mereka semua binasa. Bahkan ada yang menjadi kaki tangan si Iblis Rambut Merah."

"Hm, sungguh keji perbuatannya! Apa mak-sudnya berbuat begitu?"

"Iblis Rambut Merah ingin menguasai dunia persilatan. Dengan mengumpulkan tokoh silat menjadi kaki tangannya maka impiannya akan terwujud tanpa menemui rintangan berarti."

"Orang ini benar-benar keterlaluan! Dia akan berbuat apa saja untuk mewujudkan impiannya. Iblis Rambut Merah harus dicegah!" dengus Rangga geram.

"Apakah kau akan membantu?" tanya Lesmana.

"Apa yang bisa kubantu?"

"Kami bermaksud menemui Ki Sukma Agung. Dari dia, mudah-mudahan bisa menghubungi para pendekar lain untuk bergabung menghancurkan Iblis Rambut Merah.

"Ki Sukma Agung? Apakah Pendekar Tongkat Malaikat yang kalian maksudkan?"

"Benar! Apakah kau mengenalnya?" Lesmana balik bertanya dengan wajah terkejut.

"Tidak. Aku hanya pernah mendengar nama besar beliau..."

"Bagaimana? Apakah kau bermaksud bergabung? Kita harus menyatukan kekuatan. Sebab bagaimanapun hebatnya kemampuan seseorang, sulit rasanya bisa menghancurkan Iblis Rambut Merah seorang diri. Orang itu licik dan banyak tipu dayanya. Lebih dari itu, kini kaki tangannya berjumlah banyak, terdiri dari tokoh-tokoh silat cukup hebat. "

Rangga berpikir sejenak sebelum menyatakan persetujuannya lewat anggukan pelan. "Baiklah..."

"Syukurlah. Sekarang lebih baik kita berangkat!" ajak Lesmana.

Dan tiba-tiba Rangga bersuit nyaring, membuat Lesmana dan dua kawannya terkejut. Tidak berapa lama terlihat dari kejauhan seekor kuda berbulu hitam menghampiri. Kuda hitam bernama Dewa Bayu langsung meringkik pelan seraya mengusap-usapkan hidungnya ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini, mereka sama-sama pergi meninggalkan tempat ini.

********************

EMPAT

Seorang laki laki tua duduk bersila, menatap jendela kamarnya yang sepi dan lapang, tanpa perabotan apa-apa selain sehelai permadani yang terdampar ditengah-tengah lantai. Kedua bahunya turun naik beraturan. Pandangannya seperti hendak menembus kehalaman luar. Di pangkuannya tampak sebilah pedang dengan warangka berwarna hitam yang bagian ujungnya terdapat dua buah garis kuning melingkar. Gagangnya agak panjang, berbentuk biasa. Sepintas lalu, pedang ini tidak ubahnya seperti pedang biasa. Padahal, beberapa belas tahun silam sempat menggegerkan dunia persilatan di tangan pemiliknya, yaitu Ki Tadang Alang alias Malaikat Bermuka Delapan.

Kini, orang tua yang memang Malaikat Bermuka Delapan sendiri menghela napas panjang. Lalu dia bangkit dari duduknya dan beranjak keluar kamar. Di depan pintu, menunggu seorang wanita setengah baya yang terduduk lesu sambil bersimpuh di lantai. Meski tahu kalau pintu telah terbuka, namun dia tidak juga mengangkat wajah

Ki Tadang Alang kembali menghela napas berat. "Aku akan berangkat sekarang, Nyai....," pamit Malaikat Bermuka Delapan, lirih Wanita tengah baya itu terdiam. "Nyai. Kau harus mengerti. Ini soal harga diri. Dan?"

"Aku telah mendengarnya beberapa kali. Tapi, apakah Kakang tidak bisa sekali saja mendengar kata-kataku?" potong wanita itu, seraya meng-angkat wajahnya.

Ki Tadang Alang tidak tega. Dari kelopak mata istrinya tampak bergulir titik-titik airmata sehingga wajahnya terlihat basah. Suara wanita ini tercekat dikerongkongan, sehingga keluar tersendat-sendat. Namun begitu, dia berusaha menguatkan hati. Wajahnya lantas mendongak ke atas dengan perasaan pilu.

"Aku seorang pendekar. Dan darahku juga darah pendekar. Ini warisan dari keluarga turun temurun. Bila seseorang menantang, maka tidak boleh tidak, untuk menerima tantangan ini. Musuh tidak dicari. Namun bila bertemu, tidak boleh menghindar!" tandas Ki Tadang Alang.

"Mudah bagi Kakang berkata seperti itu. Tapi, apakah Kakang bisa merasakan hati seorang istri yang ditinggal pergi selamanya?"

"Nyai! Apa yang kau katakan? Kau merendahkanku. Bahkan telah memastikan kematianku?!" seru Ki Tadang Alang dengan wajah kaget.

Wanita yang memang istri Malaikat Bermuka Delapan terdiam, lalu menundukkan kepala lagi. Disadari kalau kata-katanya itu tidak pantas diucapkan di depan suaminya. Tapi, kesedihan hatinya tidak bisa membendung, sehingga meluncur begitu saja dari bibirnya.

"Maafkan aku, Kakang. Tapi agar Kakang mengetahui, begitulah yang kurasakan. Aku tidak ingin kehilanganmu sambungnya lirih.?

Ki Tadang Alang menghela napas, kemudian mengusap kepala istrinya disertai senyum kecil. "Nyai, urusan maut bukan di tanganku. Juga, bukan di tangan siapa-siapa. Hanya Yang Maha Kuasa yang tahu. Kematian seseorang bukan ditentukan suatu pertarungan, tapi ditentukan oleh ajalnya!"

"Apakah berarti manusia tidak boleh menghindar dari hal-hal yang mencelakakan dirinya. Bila jelas seseorang ingin membunuhmu, apakah kita tidak patut menghindar karena percaya kalau kematian bukan ditentukan siapa pun!"

"Nyai, jangan mengajariku menjadi pengecut. Telah kupikirkan hal ini masak-masak. Dan keputusanku tidak berubah. Kuharap, kau bisa mengerti?," sahut Ki Tadang Alang lirih.

Wanita itu kembali terdiam untuk beberapa saat. "Apakah Kakang tidak membayangkan bila suatu saat si Tidung Kelana pulang dan menanyakan keadaanmu? Apa yang harus kujawab, bila Kakang tewas dalam pertarungan nanti?"

"Kenapa kau persoalkan kematianku? Tidakkah lebih baik kau memberi semangat?"

"Entahlah. Sudah tiga malam ini, aku terus bermimpi buruk. Kulihat, Kakang tergelincir ke dalam lubang dalam yang tak bertepi. Aku tidak bisa melihat, apalagi menolong. Hanya jeritanmu yang berkumandang, mengganggu perasaanku Sehingga, membuat hatiku tercabik-cabik.

"Nyai, itu hanya mimpi Jangan terlalu percaya."

"Mimpi terkadang menjadi kenyataan. Kakang! Apalagi mimpi yang berulang-ulang seperti kualami ini!"

"Sudahlah, Nyai. Tidakkah lebih baik kau mendoakanku ketimbang mencemaskanku?"

"Aku senantiasa berdoa demi keselamatan dan kesejahteraanmu, Kakang!"

"Terima kasih, Nyai. Nah! Tenangkan hatimu. Dan, relakan niatku ini. Semestinya kau bangga kalau suamimu bukan seorang pengecut. Demikian pula halnya putra kita, Tidung Kelana. Tumbuhkan rasa bangga di hatinya. Meskipun aku tewas, tapi tewas secara ksatria dalam pertarungan jujur...."

Wanita itu terdiam, lalu bangkit berdiri. Kemudian digenggamnya telapak tangan suaminya, dan diciumnya sesaat. "Kalau sudah demikian tekadmu, pergilah. Semoga kau selamat dan pulang ke rumah tanpa kurang suatu apa pun...," ucap wanita itu.

"Terima kasih, Nyai. Aku pergi, sebelum malam terlalu larut!" ujar Ki Tadang Alang seraya mencium kening istrinya. Lalu dia melangkah pelan.

Sesaat Malaikat Bermuka Delapan menoleh dan memandang wanita itu agak lama. Lalu, dia berbalik dan melangkah lebar dengan hati mantap.

Wanita itu melangkah mendekati sebatang tiang kayu di beranda depan, dan memeluknya sambil menyandarkan wajahnya. Airmatanya meleleh pelan tak terasa. Bola matanya bening dan pandangannya mengabur. Hatinya perlahan menjauh, seperti bayangan suaminya. Terasa sakit yang menyiksa ketika suara guruh memecah kesunyian malam. Memang sebentar lagi hujan akan turun.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon bamboo. Dan sejauh mata memandang, terlihat hanya pohon ini. Sehingga tidak salah bila orang-orang menyebutnya Hutan Bambu. Meski di sebelah timur dan agak sedikit ke selatan, banyak juga terdapat pohon dari jenis lain.

Kini, malam semakin larut. Bulan yang tadi bersinar terang, perlahan bersembunyi di balik awan hitam yang bergerak menyelimuti. Cahayanya memudar kelam yang menyelubungi malam, bertambah pekat. Angin bertiup agak kencang, menggoyang-goyangkan batang-batang bambu, membuat ribut dedaunan yang bergesekan. Sehingga suasana saat ini bertambah seram. Jarang sekali ada yang berani melewati tempat ini pada waktu malam menjelang. Apalagi berada di sini untuk beberapa saat.

Sesekali cahaya kilat menerangi Hutan Bambu ini. Dan sekilas terlihat sesosok tubuh berdiri tegak membelakangi gerumbulan pohon bambu dengan kedua tangan terlipat di dada. Sepasang matanya tajam, laksana seekor kucing dalam kegelapan. Di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang bergagang panjang. Warangkanya yang panjang dan sedikit kecil, membedakannya dari pedang biasa yang sering digunakan tokoh-tokoh persilatan.

Orang itu terdiam seperti patung. Tidak sedikit pun dia beranjak dan tempatnya. Lama menunggu dengan sikap demikian, tiba-tiba dia tersenyum sinis. "Hm... Ternyata kau datang juga akhirnya...!" gumam orang itu.

Memang, dari balik semak-semak tampak menyeruak sosok tubuh dengan pedang dalam genggaman. Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Rambutnya pendek dengan pengikat kepala agak lebar berwarna hijau. Wajahnya bersih, tanpa kumis atau jenggot. Hanya sedikit kerut-merut, sebagai pertanda kalau usianya sudah tidak muda lagi.

"Aku tidak pernah menghindari setiap tantangan!" ujar orang yang baru datang, tegas.

"Bagus," sahut orang yang berdiri menunggu.

"Kaukah yang bernama Akira Yamamoto?" tanya laki-laki setengah baya ini.

"Benar!" tegas pemuda yang menunggu, yang tak lain dari Akira Yamamoto.

"Apa yang membuatmu mengirim surat tan-tangan padaku?"

"Ki Tadang Alang! Kau seorang tokoh ternama di negeri ini. Beberapa tahun silam ada seorang sahabatku yang berkunjung ke negeri ini. Dia bercerita bahwa di negeri ini terdapat banyak sekali pendekar yang memiliki kepandaian hebat. Di negeriku, mereka menjulukiku sebagai Pendekar Pedang Bayangan. Dan disana pula terdapat banyak pendekar berilmu tinggi. Namun aku tidak tertarik menantang mereka, sebab menyadari kalau guru-guru mereka tidak akan mampu mengalahkan guruku. Ada kebiasaan di padepokanku, kalau seorang murid harus menunjukkan keperkasaannya dengan mengalahkan para tokoh silat lain. Dan itulah yang kulakukan di negerimu ini!" jelas Akira Yamamoto.

"Aku mengerti. Namun kau pun harus tahu kalau kebanyakan dari padepokan silat yang beraliran lurus di negeri ini, mempunyai kebiasaan dalam mengamalkan ilmu padi balas laki-laki setengah baya yang memang Ki Tadang Alang. alias Malaikat Bermuka Delapan

"Ilmu padi? Apa maksudnya?"

"Makin tinggi kehebatannya, maka makin rendah hatinya. Dan, tidak mau menonjolkan kepandaian. Kecuali, terhadap mereka yang memaksa seperti orang-orang sombong yang ingin memamerkan kepandaiannya!" tandas Ki Tadang Alang.

"Ki Tadang Alang? Kita telah tahu kebiasaan masing-masing yang berbeda. Namun hal itu tidak menyurutkan niatku. Orang-orang di negeri kita, senantiasa memegang amanat, meski nyawa taruhannya. Dan amanat padepokan begitu. Maka, aku harus mematuhinya!"

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Silakan! Aku telah siap!" ujar orang tua itu lantang, seraya merentangkan tangan kanannya.

"Baiklah!"

Akira Yamamoto langsung membuka jurus, dan bergerak pelan mendekati Malaikat Bermuka Delapan. Kedua telapak kakinya bergeser. Sorot matanya semakin tajam seperti hendak menikam tepat di jantung laki-laki setengah baya itu.

Sementara kilat yang menjilat angkasa menerangi keduanya untuk sesaat. Dan tanda itu di gunakan Akira Yamamoto untuk mulai menyerang Ki Tadang Alang.

"Yaaa...!"

"Hup!"

Akira Yamamoto bergerak cepat merakukan satu tendangan, menyapu dari kiri ke kanan ke muka Malikat Bermuka Delapan. Namun Ki Tadang Alang tidak kalah gesit. Badannya cepat membungkuk, sehingga tendangan itu luput. Sementara, pemuda itu segera berbalik. Kaki kirinya cepat menyambar ke arah perut Malaikat Bermuka Delapan.

"Uts!"

"Yeaaa!"

Ki Tadang Alang melompat ke atas. Lalu dia membuat gerakan salto ke kanan. Sedangkan Akira Yamamoto terus mengejar lewat sodokan ujung pedangnya. Cepat-cepat orang tua itu mengibaskan pedang untuk menangkis.

Trak! Trak!

"Hiiih!"

Dua kali hantaman ditangkis Ki Tadang Alang. Dari sini orang tua ini bisa menduga, sampai sejauh mana kehebatan tenaga dalam pemuda itu. Dan ini membuatnya kaget. Sebab dengan usia semuda ini, Akira Yamamoto yang berjuluk Pendekar Pedang Bayangan telah memiliki tenaga dalam luar biasa. Ilmu silatnya tidaklah kelihatan hebat. Bahkan berkesan sederhana. Namun kecepatannya sulit diduga. Demikian pula arah serangannya.

Tanpa terasa, pertarungan telah memakan waktu sepeminuman teh. Dua belas jurus dilewati. Dan sejauh itu, kelihatan kalau Ki Tadang Alang mulai keteter. Dua jurus terakhir, dia hanya bisa bertahan. Dan kalau itu terus berlangsung, bukan tidak mungkin akan celaka. Maka memasuki jurus ketiga belas, Ki Tadang Alang merubah jurus.

"Heaaa? !"

Sring!

Akira Yamamoto hanya tersenyum kecil ketika Ki Tadang Alang melompat ke belakang. Dibiarkannya saja orang tua itu seperti memberi kesempatan untuk mempersiapkan diri dengan jurus baru.

Malaikat Bermuka Delapan membentak nyaring, lalu melompat menyerang seraya mencabut pedang.

"Bagus! Seharusnya sejak tadi kau keluarkan permainan pedangmu yang handal. lnikah yang disebut jurus 'Sayap Delapan'?" ejek Pendekar Pedang Bayangan.

"Hm. Kau memang tahu banyak tentangku, Sobat. Berhati-hatilah!"

Pendekar Pedang Bayangan mendengus sinis Kedua tangannya yang menggenggam pedang mengangsurkannya kedepan menunggu tibanya serangan Malaikat Bermuka Delapan.

"Yaaa!"

Srang!

Pemuda itu membentak. Pedangnya telah tercabut dan sarangnya dan melempar warangkanya. Kini batang senjatanya digenggam dengan kedua tangan. Pedang panjang yang berkilat tajam itu berkelebat memapak senjata Malaikat Bermuka Delapan.

Trang! Trang!

"Heaaat..!"

Beberapa kali senjata mereka beradu. Sedangkan Ki Tadang Alang berusaha menekan dengan menggunakan jurus terhebatnya, 'Sayap Delapan'. Pedangnya berciutan, membentuk serangan ke segala arah seperti mengurung lawan. Kecepatannya sungguh hebat. Dan dalam keadaan demikian, orang tua itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Namun, kali ini si Pendekar Pedang Bayangan langsung memapaki setiap serangan. Dia tidak pernah menghindar setiap kali pedang Malaikat Bermuka Delapan membabat, tapi terus menangkisnya. Bahkan balas menyerang gencar.

Melewati jurus ketigabelas, Pendekar Pedang Bayangan melompat ke atas. Sementara Ki Tadang Alang mengikuti. Namun pemuda itu bersalto ke belakang agak ke samping kiri. Dan tubuhnya cepat sekali bergulingan, seperti melayang di permukaan tanah setinggi setengah jengkal, sambil mengayunkan pedang secepat kilat. Akibatnya?

"Yeaaa!"

Cras!

"Aaa? !" Malaikat Bermuka Delapan kontan memekik begitu pedang Pendekar Pedang Bayangan menemui sasaran. Tubuh orang tua itu terhuyung-huyung ke belakang dengan darah segar mengucur deras dari dahi hingga ke bibir. Nyawanya lepas begitu ambruk di tanah.

Akira Yamamoto telah memungut warangka pedangnya dan menyarungkannya kembali.

Trek!

Setelah menatap mayat orang tua itu, Pendekar Pedang Bayangan meninggalkan tempat ini dengan tenang tanpa menoleh lagi!

********************

Seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda berlari kencang melewati sebuah jembatan lebar yang terbuat dari bambu. Tidak berapa lama, dia bertemu jalan bersimpang tiga. Langsung diambilnya jalan ke kiri tanpa ragu-ragu. Dari kejauhan, terlihat sebuah bangunan besar yang hanya berpagar semak-semak yang ditata rapi. Di halaman depan, terlihat beberapa orang yang berbaris rapi. Salah seorang berdiri di muka dan saling berhadapan. Orang itu menunjukkan beberapa gerakan tertentu. Kemudian secara bersamaan, yang lain mengikuti gerakannya.

"Hooo ...!"

Penunggang kuda itu berteriak, sambil berusaha menghentikan lari kudanya. Hal ini menarik perhatian mereka yang berada di depan bangunan besar ini dan segera menoleh. Seorang yang tadi berada di depan, menghampiri ketika penunggang kuda itu turun dari tunggangannya.

"Hormatku! Namaku Bangun Wisesa dari Padepokan Sungai Ular. Aku mendapat pesan dari guruku, untuk disampaikan kepada Ki Arga Wampu, ketua Padepokan Mega Dahana!" ujar penunggang kuda, setelah memberi salam hormat.

"Hormat kembali! Aku Jembala, murid tertua Padepokan Mega Dahana. Mari ikut denganku. Guru ada di dalam!" sahut Ki Jembala.

Mereka berdua lantas melangkah ke dalam bangunan utama, setelah Ki Jembala memberi pengarahan singkat pada murid-murid yang lain.

Murid tertua di padepokan ini segera membawanya masuk ke sebuah ruangan khusus. Dia mengetuk pintunya, kemudian terdengar sahutan dari dalam. Keduanya segera membuka pintu, dan segera memberi salam hormat pada seorang tua bertubuh kecil dengan rambut agak pendek.

"Guru. Aku membawa utusan dari Padepokan Sungai Ular!" lapor Jembala.

"Hm, silakan duduk!" sahut orang tua yang bernama Ki Arga Wampu.

Ketiganya kini duduk bersila di lantai yang beralaskan tikar. Lalu Bangun Wisesa memperkenalkan diri.

"Apa gerangan yang kau bawa dari sahabatku itu?"

Murid Padepokan Sungai Ular itu mengeluarkan sepucuk surat, kemudian diberikannya pada ketua Padepokan Mega Dahana. Ki Arga Wampu membaca sesaat, lalu mengangguk.

"Siapakah orang itu sebenarnya?" tanya laki-laki tua bertubuh kecil itu setelah menyimpan suratnya.

"Guru sendiri tidak tahu. Dia tiba-tiba saja, muncul dan membuat kekacauan. Sudah banyak kalangan persilatan yang terpengaruh olehnya...," sahut Bangung Wisesa.

"Lalu apa yang menyebabkan gurumu tidak bisa memenuhi undangan Ki Sukma Agung?"

"Apakah di surat tadi guru tidak mengatakannya?"

Ki Arga Wampu menggeleng. Mengetahui ja-waban itu, murid Padepokan Sungai Ular itu terdiam beberapa saat.

"Apakah gurumu sakit?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Sebenarnya ini rahasia. Tapi, kami tak tahan...," suara Bangun Wisesa mulai lirih.

"Ada apa? Apakah yang terjadi terhadap gurumu?"

"Guru harus menghalangi pertarungan berat."

"Pertarungan berat? Apa maksudnya?"

"Seorang pendekar dari negeri Matahari Terbit mengirim surat tantangan untuk melakukan pertarungan jujur. Menguji kemampuan masing-masing sampai salah seorang tewas."

"Kenapa kau kelihatan bersedih? Gurumu bukan tokoh sembarangan. Dan dia tahu, apa yang harus dilakukannya!"

"Kami semua tahu. Tapi, lawan yang diha-dapinya bukan sembarangan. Dia telah menewaskan dua tokoh ternama dalam waktu dekat ini," jelas Bangun Wisesa.

"Hm. Siapa saja yang telah tewas di tangannya?"

Wajah Ki Arga Wampu berkerut mendengar penuturan murid Padepokan Sungai Ular itu selanjutnya.

"Ki Tambak Kencana dan Ki Tadang Alang...?

"Apa?!"

Ketua Padepokan Mega Dahana itu tersentak kaget. Untuk sesaat dia tidak percaya mendengar apa yang dikatakan Bangun Wisesa. Dipandanginya laki-laki berusia tiga puluh tahun ini agak lama. Meski mengangguk dan berusaha meyakinkan keterangannya, tetap saja Ki Arga Wampu sulit mempercayainya.

Kedua tokoh yang disebutkan itu, termasuk tokoh kelas satu. Dan, tidak sembarang tokoh lain bisa membunuh mereka. Dan bila ada yang mampu menewaskan, pastilah orang itu memiliki kepandaian hebat. Maka tidak heran bila Bangun Wisesa tampak sedih memikirkan pertarungan gurunya. Sebab, dia telah berkecil hati dan menyangka gurunya pun akan menyusul kedua tokoh yang disebutkannya tadi.

"Kapan pertarungan dimulai?"

"Saat aku berangkat ke sini, guruku telah berangkat pula..."

"Apakah beliau tidak menjelaskan, di mana pertarungan itu berlangsung?"

"Ya. Di tepi Sungai Ular, namun jauh di hulu."

"Kalau begitu, mari kita berangkat ke sana!" ajak Ki Arga Wampu seraya bangkit berdiri.

"Eh! Untuk apa? Guru melarang kami menyer-tainya. Ini pertarungan jujur. Dan beliau tidak ingin dianggap pengecut dengan membawa murid-muridnya!"

"Percayalah. Kita tidak bermaksud mengeroyek!"

Bangun Wisesa ragu-ragu mengikuti langkah orang itu. Tampak Ki Arga Wampu bicara sebentar dengan dua muridnya, kemudian langsung meninggalkan tempat ini.

LIMA

Kediaman Ki Sukma Agung memang tidak terlalu jauh, sehingga bisa ditempuh hanya dalam waktu sepenanakan nasi dari tempat Pendekar Rajawali Sakti berada. Dibanding para tokoh lain, tempat kediaman tokoh itu memang terhitung dekat dari Lembah Darah. Sehingga tidak heran kalau segala kegiatan yang terjadi di lembah itu diketahuinya. Termasuk kegiatan anak buah lblis Rambut Merah yang sering mengganggunya.

Kalangan persilatan mengenal Ki Sukma Agung sebagai Pendekar Tongkat Malaikat. Dan dia memang salah seorang tokoh tua yang disegani pada saat ini. Kepandaiannya cukup hebat. Permainan tongkatnya pun dikenal di mana-mana. Namun sejauh ini, Iblis Rambut Merah tidak begitu saja akan berhenti mengganggu, sampai keinginannya terpenuhi. Maka sebelum ancaman itu tiba, secara besar-besaran, orang tua ini menyuruh beberapa muridnya untuk memberitahukannya pada beberapa orang sahabatnya.

Salah seorang sahabat Pendekar Tongkat Malaikat adalah Lesmana, yang saat ini bersama Rangga tengah menuju ke tempatnya, ditemani dua orang kawannya.

Di tengah perjalanan, Lesmana bercerita kalau sebenarnya tengah melakukan perjalanan menuju tempat kediaman Ki Sukma Agung. Namun orang-orang Lembah Darah mencegat, lalu berhasil meringkusnya.

"Jadi, sebenarnya kalian bertiga tidak jalan bersama ketika itu?" tanya Rangga yang terus menyimak.

"Tidak. Kami kenal di sana. Mereka kuajak kabur. Dan sebelumnya, mereka memang telah berniat kabur.

Rangga mengangguk.

"Rangga, aku yakin kau adalah seorang pendekar berilmu tinggi. Kalau boleh kutahu, siapakah julukanmu? tanya Baruna.

Rangga tersenyum. "Aku hanya seorang pengembara biasa. Lagi pula, julukan itu tak berarti sama sekali," kilah Pendekar Rajawali Sakti merendah.

"Hm. Kau terlalu merendah. Tapi biasanya, seorang yang berilmu tinggi senantiasa merendahkan diri sepertimu. Bukankah begitu, Lesmana?" kata Baruna, langsung menoleh pada Lesmana.

Lesmana mengangguk setuju. Sedang Rangga hanya tersenyum.

"Hei, coba lihat! Apa yang tengah terjadi si sana!" tunjuk Palaga yang sejak tadi lebih banyak membisu.

Mereka segera menoleh pada sebuah rumah yang tidak jauh di depan. Agaknya, di Sana tengah terjadi pertarungan hebat antara para penghuni rumah itu dengan orang-orang berseragam merah.

"Celaka! Mereka rupanya telah lebih dulu ke sini!" seru Lesmana.

"Apa maksudmu?" tanya Rangga.

"Itulah rumah Ki Sukma Agung! Kita harus cepat membantu!" sahut Lesmana, segera berlari.

Baruna dan Palaga ikut menyusul. Demikian pula Rangga. Dan begitu tiba, mereka segera membaur dalam pertarungan. Kedatangan mereka jelas membuat orang-orang berseragam merah itu terkejut. Namun keterkejutan itu tidak lama, sebab beberapa orang berseragam merah langsung menghadapinya.

"Yeaaa...!"

"Hup! Uts...!"

Rangga bergerak cepat. Seorang laki-laki berseragam merah tersungkur dihajar tendangannya. Namun seketika itu juga, dua lainnya menyerang bersamaan. Pemuda itu bergerak gesit menghindari serangan.

"Uts! Hiiih...!"

Plak! Begkh!

"Aaakh? !"

Salah seorang terhajar pukulan telak Pendekar Rajawali Sakti pada dada kiri, dan langsung tersungkur. Ketika kawannya mencoba membalas dengan satu tendangan dari arah belakang. Namun Rangga langsung membungkuk, lalu melompat sedikit ke samping. Kemudian dia balas menyerang lewat sapuan kakinya.

Duk!

"Uhhh?!"

Ujung kaki Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam keras ke tengkuk lawan. Orang berbaju merah itu terjungkal ke depan. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tak mau menunggu lama. Langsung dilabraknya lawan yang lain. Sehingga, membuat mereka jatuh bangun tak berdaya.

Kehadiran keempat orang itu memang mem-bawa angin segar dan cukup merepotkan. Sehingga dalam waktu singkat, orang-orang berseragam merah merasa terpojok.

"Awaaas...!" Lesmana berteriak mengingatkan ketika seorang lawan melempar sesuatu ke tanah.

Busss...!

Asap hitam segera mengepul ke udara, langsung mengaburkan pandangan. Perbuatan itu segera diikuti beberapa orang lainnya. Sehingga dalam waktu singkat, tercipta kabut hitam yang cukup tebal.

"Heaaa? !"

Rangga membentak keras sambil menghantamkan telapak tangan kanannya ke depan Seketika serangkum angin kencang dari aji 'Bayu Bajra berputar-putar membuyarkan asap hitam itu, sampai lenyap tak bersisa. Namun ketika asap hitam itu sirna, orang-orang berseragam merah itu telah lenyap dari tempat ini.


Lesmana dan kedua kawannya menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dengan napas terengah-engah.

"Gila! Apa yang kau lakukan, Rangga? Apakah kau hendak menerbangkan semua orang yang ada di sini? Untung saja aku berpegangan erat pada sebatang pohon. Kalau tidak, aku pasti celaka!" desis Lesmana kaget.

Rangga tersenyum mendengarnya. "Maafkan aku, Ki Lesmana..."

"Hm, sungguh beruntung hari ini. Sebab, aku kedatangan seorang tokoh besar Pendekar Rajawali Sakti, selamat datang di tempatku ini!"

Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari seorang laki-laki berbaju kuning dengan kumis tebal yang sebagian telah memutih. Rangga dan kawan-kawannya menoleh. Di belakang orang tua berbaju kuning itu, berdiri beberapa orang laki-laki.

"Terima kasih. Kalau tidak salah, bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan Pendekar Tongkat Malaikat yang amat kesohor?" sahut Rangga seraya balas memberi salam penghormatan.

"Ha ha ha...! Kau terlalu berlebihan memuji, Pendekar Rajawali Sakti. Sesungguhnya, namaku tak ada artinya dibanding namamu. Angin apakah gerangan yang membawamu berkunjung ke sini?"

"Ki Sukma Agung, Rangga telah membantuku dari cengkeraman anak buah Iblis Rambut Merah. Kemudian, dia kuajak ke sini," ujar Lesmana me-nyahut lebih dulu.

"Oh, sungguh kebetulan!" seru Ki Sukma Agung.

"Kukira kalian belum saling mengenal. Ter-nyata? hei? Benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti?!"

Rangga hanya tersenyum tanpa menyahut.

"Hei?! Jadi kau sama sekali tidak tahu kawan seperjalananmu ini?!" tanya Ki Sukma Agung.

"Tidak," sahut Lesmana, singkat.

Ki Sukma Agung menepuk-nepuk pundak Lesmana seraya terkekeh-kekeh. "Sungguh keterlaluan kau, Lesmana! Mana mungkin kau tidak mengenalnya. Kawanmu ini pendekar besar. Dan semestinya, semua orang pernah mengenalnya. Aku sendiri belum mengenalnya secara langsung, tapi tahu betul siapa dia..."

"Ah! Sungguh bodoh sekali aku ini!" seru Lesmana, langsung memukul kepalanya pelan.

"Sudahlah. Tidak perlu dibesar-besarkan. Se-bab hanya akan membuatku malu saja. Lagi pula, masih banyak yang harus dibicarakan," ujar Rangga menengahi.

"Benar. Kalau begitu, silakan masuk. Kami merasa senang hati, karena mendapat kehormatan dengan kehadiran kisanak semua."

Sambutan yang diberikan Ki Sukma Agung cukup bersahabat sebagaimana layaknya kepada sahabat-sahabat dekat saja. Padahal dia baru mengenal Pendekar Rajawali Sakti.

"Ini gangguan mereka yang ketujuh kali. Dan aku yakin, mereka tidak akan berhenti sampai di sini!" jelas Ki Sukma Agng gemas, ketika mereka membicarakan kawanan berseragam serba merah tadi.

"Mereka harus ditindak, Ki!" desis Lesmana geram.

"Hm. Saat ini, Iblis Rambut Merah cukup kuat. Beberapa tokoh silat ternama berhasil dipengaruhinya. Akan semakin sulit bagi kita untuk meruntuhkan mereka."

"Aku yakin, para pendekar tentu mau mem-bantu memerangi mereka," ujar Rangga.

"Begitulah memang yang kuharapkan. Sebab tanpa bantuan para sahabat, tidak mungkin berhasil berjuang sendiri."

"Jangan khawatir, Ki! Aku dan kedua kawanku ini telah bertekad membantumu. Dan kurasa demikian pula halnya Pendekar Rajawali Sakti. Bukan demikian, Rangga?" tanya Lesmana.

"Tindakan lblis Rambut Merah sudah jelas. Dan orang sepertinya tidak boleh dibiarkan. Aku pun bersedia membantumu, Ki Sukma Agung!"

"Terima kasih, Kisanak semua. Saat ini aku te-ngah menanti tiga orang sahabatku lagi. Mereka adalah Ki Arga Wampu, Ketua Padepokan Mega Dahana, Ki Sarpa Ilir, Ketua Padepokan Sungai Ular. Dan, Nyai Galih Rukmi," jelas Ki Sukma Agung.

"Hm... Mereka adalah tokoh silat ternama!" seru Lesmana.

"Lawan yang akan kita hadapi cukup kuat. Terlebih lagi, dia telah banyak mengumpulkan tokoh sakti yang kini menjadi pengikut setianya," sahut Ki Sukma Agung.

"Ki Sukma Agung! Apakah selama ini Iblis Rambut Merah tidak turun tangan sendiri?" tanya Rangga.

"Selama ini, Iblis Rambut Merah hanya turun tangan bila dianggap perlu. Aku tidak mengerti, karena dia tidak langsung menyerangku bila ingin melenyapkan. Sebab, hanya anak buahnya saja yang senantiasa mengganggu."

"Mungkin masih dianggap belum perlu...."

"Entahlah. Mungkin juga..."

Pada saat itu, salah seorang murid Ki Sukma Agung yang berada di luar masuk ke dalam. Dia melaporkan bahwa di luar ada dua orang tamu yang hendak bertemu.

"Dari mana mereka?"

"Dari Padepokan Mega Dahana, Guru."

"Baiklah. Suruh mereka masuk!"

Sang murid menjura hormat, kemudian segera berlalu.

"Hm... Apa gerangan yang terjadi, sehingga guru kalian tidak bisa datang ke tempatku ini?" tanya Ki Sukma Agung, setelah mempersilakan tamunya duduk.

"Maaf, Ki Sukma Agung. Guru akan ke sini, setelah urusan dengan Ki Sarpa Ilir selesai...," sahut salah seorang murid Padepokan Mega Dahana.

"Urusan apakah gerangan?"

"Entahlah. Kami tidak tahu pasti. Hanya saja, sepertinya Ki Sarpa Ilir berhalangan untuk memenuhi undangan Ki Sukma Agung."

"Apakah Ki Sarpa Ilir sakit?"

"Tidak...."

"Hm ... Mungkin ada urusan penting di antara mereka berdua Ki Sukma Agung menduga.

"Kelihatannya begitu, Ki. Ki Sarpa Ilir mengu-tus seorang muridnya. Dan tidak lama kemudian, guru kami pergi bersama urusan itu. Namun beliau mengatakan, akan ke sini hari ini atau esok hari."

"Baiklah. Oh, kalian pasti lelah setelah melakukan perjalanan. Silakan dinikmati hidangannya!" Ki Sukma Agung mempersilakan.

"Terima kasih, Ki...!"

"Kisanak.... Maafkan bila aku terlalu menyampuri uruusan. Namun bila guru kalian tergesa-gesa pergi bersama utusan dari Padepokan Sungai Ular, pastilah ada sesuatu yang amat penting. Seperti soal hidup dan mati, misalnya. Apakah kalian tidak tahu?" tanya Rangga.

"Hm? Kami tidak tahu pasti. Tapi dari salah seorang murid yang ikut mendengar pembicaraan guru, konon Ki Sarpa Ilir akan menghadapi sebuah pertarungan."

"Pertarungan? Dengan siapa? Dan, karena apa?" tanya Ki Sukma Agung mendahului Pendekar Rajawali Sakti.

Orang tua itu benar-benar kaget, sehingga wajahnya terlihat berkerut dan sedikit tegang.

"Katanya, dari seorang pendekar negeri seberang... "

"Hm ... Pendekar dari negeri seberang...?" gumam Ki Sukma Agung dengan wajah seperti berpikir.

"Kenapa, Ki Sukma Agung? Apakah kau mengenali orang itu?" tanya Rangga.

"Entahlah, aku sendiri tidak yakin...."

"Tidak yakin tentang apa?"

"Belakangan ini, hanya dalam waktu singkat, beberapa tokoh kenamaan tewas di tangan seorang pendekar dari negeri Matahari Terbit. Dia menjuluki dirinya sebagai Pendekar Pedang Bayangan..."

"Apa maksudnya membunuh tokoh-tokoh silat di negeri kita ini?"

"Aku tidak mengerti, Rangga."

Mereka terdiam beberapa saat.

"Siapa saja dari para pendekar yang tewas di tangannya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, memecah kesunyian.

"Di antaranya, Ketua Padepokan Merak Mas dan Ki Tadang Alang... " sahut Ki Sukma Agung.

"Mereka tokoh ternama dan dari golongan lurus. Kedua tokoh itu memiliki kepandaian hebat. Pendekar Pedang Bayangan pastilah bukan orang sembarangan! Apa mungkin dia salah seorang kaki tangan Iblis Rambut Merah?? duga Pendekar Rajawali Sakti.

"Bisa jadi begitu?' sahut Ki Sukma Agung lirih.

"Apakah tidak sebaiknya kita ke sana, Ki?

"Hm... Sebaiknya memang begitu!" sahut Ki Sukma Agung, seperti tersadar dari kebingungannya.

Orang tua itu langsung bangkit berdiri dan bergegas keluar seraya mengajak tamu-tamunya.

"Eh! Kisanak, tunggu dulu!" seru utusan itu.

"Apa lagi?" tanya Ki Sukma Agung.

"Ki Sarpa Ilir tidak ingin orang lain hadir dalam pertarungannya.

"Bagaimana dengan gurumu? Bukankah dia termasuk orang lain?" kilah orang tua ini.

Sang utusan tidak mampu menjawab, dan hanya mampu menggeleng.

"Nah! Kalau begitu, tidak ada salahnya bila kami kesana pula seperti yang dilakukan gurumu."

Utusan dari Padepokan Mega Dahana itu tidak bisa berkata apa-apa. Setelah mereka berada di luar, Ki Sukma Agung memberi beberapa perintah pada murid-muridnya untuk berjaga-jaga. Sementara kedua urusan itu segera mohon pamit.

"Ki Sukma Agung, kami juga akan ikut denganmu!" seru Lesmana.

"Ya. Kalian boleh ikut. Muridku tengah menyiapkan kuda."

********************

Jarak antara tempat kediaman Ki Sukma Agung dengan Padepokan Sungai Ular cukup jauh juga. Bila ditempuh melewati jalan biasa, maka bisa memakan waktu dua kali penanakan nasi. Itu pun bila kuda-kuda mereka digebah kencang. Untung saja Ki Sukma Agung mengambil jalan memotong. Dari situ, lebih dekat dan sedikit lebih aman. Sebab, menjauhi Lembah Darah. Karena bila mereka menggunakan jalan biasa, harus melewati lembah itu. Melewati sebuah hutan kecil, Rangga memberi isyarat agar mereka berhenti.

"Ada apa, Rangga?" tanya Ki Sukma Agung.

"Ada seseorang yang mendekat kesini!"

"Satu orang? Dari mana kau tahu...?" tanya Ki Sukma Agung kembali.

Wajah orang tua ini tampak bingung. Namun kemudian tersenyum sendiri, menyadari kekeliruannya. Jelas dia tadi mengajukan pertanyaan bodoh. Pendekar Rajawali Sakti mungkin memiliki pendengaran tajam. Dan berarti, memiliki kemampuan diatasnya. Buktinya dia sendiri tidak tahu kehadiran seseorang yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti.

"Apakah tidak sebaiknya kita bersembunyi?" tanya Lesmana.

"Tidak perlu," ujar Rangga.

"Mungkin anak buah si Iblis Rambut Merah! Sebaiknya, kita bersembunyi saja, Rangga. Mereka tidak pernah datang seorang diri," timpal Ki Sukma Agung.

Rangga tersenyum. "Aku yakin, orang ini hanya sendiri. Sebaiknya, kita tunggu saja di sini."

"Yaaah, terserahmu sajalah...," sahut Ki Sukma Agung.

Apa yang dikatakan Rangga terbukti. Tidak berapa lama, muncul seorang penunggang kuda melewati tempat itu. Orang itu segera menghentikan laju kudanya, begitu melihat didepan banyak orang menghadang.

"Ki Arga Wampu...! Ah! Kukira siapa...," seru Ki Sukma Agung sedikit lega.

"Kiranya Ki Sukma Agung. Hm... Akan kemana tujuan kalian? Apakah ada sesuatu yang perlu dikerjakan?" balas Ki Arga Wampu.

Ki Sukma Agung segera turun dari punggung kudanya. Demikian pula yang lainnya. Dia memperkenalkan kawan-kawannya pada Ki Arga Wampu, kemudian menceritakan tujuan perjalanan.

"Ah! Sungguh terlambat, Sobat...!" keluh Ki Arga Wampu.

"Apa maksudmu, Ki Arga Wampu?!"

"Ketika aku dan murid Ki Sarpa Ilir tiba diSana hanya menemukan tubuh Ki Sarpa Ilir yang telah menjadi mayat. Muridnya membawa pulang. Dan aku langsung ke sini," jelas Ki Arga Wampu, singkat.

"Ki Sarpa Ilir tewas?!" desis Ki Sukma Agung, seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Ya... Begitulah yang kulihat. Keduanya terdiam dengan wajah berduka. Demikian pula yang lainnya. Namun tiba-tiba.....

"Awaaas...!" Keheningan itu dipecahkan teriakan Pendekar Rajawali Sakti. Dan....

Dum! Dum...!

Pssst...!

ENAM

Langsung terdengar ledakan, begitu beberapa buah benda sebesar kepalan tangan melesat ke arah Ki Sukma Agung dan yang lainnya. Asap hitam tebal keluar dari benda-benda itu menyelimuti keadaan disekitarnya, sehingga menghalangi pandangan.

Wuuut! Set!

"Awas, serangan gelap!" teriak Rangga, kembali memperingatkan. Pendekar Rajawali Sakti sendiri melompat ke atas. Dan seketika kedua tangannya menghentak, mengerahkan seperempat tenaga dalam untuk menghalau asap hitam tebal itu lewat aji 'Bayu Bajra'.

"Heaaa...!"

Wuuus...!

Begitu angin bagai topan dari aji 'Bayu Bajra' bertiup, asap hitam itu bergerak cepat ke satu arah. Dan sebagian besar buyar disapu angin kencang ciptaan Pendekar Rajawali Sakti. Namun bersamaan dengan itu pula, berlompatan beberapa sosok tubuh berseragam merah langsung menyerang.

"Yeaaa...!"

"Kurang ajar...!" maki Ki Sukma Agung, langsung balas menghajar.

Trang! Tring!

Bet!

Ki Sukma Agung adalah seorang tokoh ahli memainkan senjata tongkat. Dan sejauh ini, belum seorang pun yang mampu mengimbanginya. Dengan senjatanya, dia berusaha menghalau serangan orang-orang berseragam merah yang bukan main gencarnya.

"Mereka yang kau katakan orang-orang Lembah Darah?!" teriak Ki Arga Wampu di sela-sela pertarungan.

"Ya! Merekalah orangnya...!"

"Kalau begitu, jangan dikasih hati!" sahut Ki Arga Wampu.

Setelah berkata demikian, orang tua ini bergerak cepat menghantam lawan-lawannya. Dua orang langsung memekik kesakitan ketika pukulannya tepat menghantam dada.

"Heaaat...!"

Tiga orang berbaju merah yang lain langsung berkelebat ke arahnya! Jumlah para pengeroyok sekitar dua puluh orang lebih. Dan rata-rata memiliki kepandaian hebat. Namun begitu, orang-orang yang dihadapi pun tidak bisa dianggap sembarangan. Dalam waktu singkat, mereka jatuh bangun dihajar Ki Sukma Agung dan kawan-kawannya.

"Mundur...!"

Mendadak terdengar bentakan keras. Dan bersamaan dengan itu, muncul beberapa tokoh lain yang mengurung Ki Sukma Agung beserta yang lain. Jumlah mereka sebelas. Dan melihat gerak-geriknya, kesebelas orang ini memiliki kemampuan lebih hebat ketimbang yang tadi mengurung.

Seorang yang bertubuh besar berkumis tebal, maju mendekati seraya berkacak pinggang. "Sebaiknya, kau serta kawan-kawanmu menyerah!" desis laki-laki itu dengan pandangan menganggap rendah.

"Huh! Segala budak iblis hendak mengaturku! Heh! Lebih baik kalian saja yang menyerah!" sahut Ki Sukma Agung, sengit.

"Kurang ajar! Serang mereka...!" bentak orang itu.

"Yeaaa...!"

Bersamaan dengan itu, mereka berlompatan menyerang dengan senjata terhunus. Beberapa orang melemparkan benda-benda yang tadi bisa meletup, menimbulkan asap hitam tebal.

Plak!

Wut! Trang!

Ki Sukma Agung mengayunkan tongkat. Dan salah satu benda itu terhajar tongkatnya, dan melayang ke tempat lain. Namun beberapa buah lagi sempat jatuh didekat mereka, langsung menimbulkan asap tebal.

"Brengsek...!" maki Rangga kesal. Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat menggunakan aji 'Bayu Bajra' untuk menghalau asap tebal itu, karena lawan-lawannya telah lebih dulu menyerang dari jarak dekat. Sehingga mau tidak mau terpaksa harus diladeni.

"Huh! Uts...!"

Bret!

"Aaa...!"

Rangga bisa merasakan serangan orang-orang berbaju merah itu cepat, dan tidak terduga dalam keadaan tertutup asap tebal dan hitam begini. Kalau saja tidak mengandalkan pendengarannya tajam, bukan tidak mungkin lawan akan mampu mencelakainya.

Bret...!

"Aaakh...! Tolooong...!"

Terdengar teriakan yang membuat pemuda itu terkejut. Sebab disadari kalau teriakan itu berasal dari salah seorang kawan Lesmana.

"Kurang ajar...!" Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram.

Seorang lagi di pihak para pendekar terluka. Entah siapa. Karena, tak ada seorang pun mengetahui. Namun para penyerang itu seperti mengetahui sasaran dengan jelas. Dan mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh asap hitam ini. Padahal, Rangga dan kawan-kawannya merasakan kerongkongan seperti tercekat. Bahkan kepala mereka mulai pusing disertai pandangan mata berkunang-kunang.

"Heaaa.!"

Wur...!

Pemuda itu membentak. Dan bersamaan dengan itu, dilepaskannya aji 'Bayu Bajra'. Seketika angin kencang laksana badai topan menderu-deru di sekitar tempat ini. Bukan saja asap hitam yang menyelimuti mereka lenyap. Tapi beberapa lawan yang berada di depannya, melompat tinggi sambil menghindari dari terpaan ajian itu.

"Yeaaa...!"

Plak! Begkh!

Tiga orang lawan terjungkal roboh ketika Pendekar Rajawali Sakti mengejar dan melakukan serangan kilat. Pemuda itu menoleh sekilas, dan melihat dua orang.kawan Lesmana tewas berlumuran darah. Sementara, Ki Sukma Agung dan Lesmana mulai kerepotan. Hanya, Ki Arga Wampu dan dirinya saja yang mampu bertahan. Rangga sempat terkejut ketika orang tua itu mengeluarkan aji saktinya yang mampu membuat dirinya berjumlah banyak. Sehingga, orang-orang berbaju merah itu terkecoh.

"Gila! Hebat juga ilmu orang tua itu!" desis Rangga memuji.

Pendekar Rajawali Sakti sendiri sambil menghajar lawan-lawannya, bergerak mendekati Lesmana dan Ki Sukma Agung yang mulai terluka dan terdesak hebat. Agaknya, hal itu pula yang dilakukan Ki Arga Wampu.

"Ki Arga Wampu! Apakah tidak sebaiknya kita mundur dulu? Ki Sukma Agung dan Lesmana mulai terdesak!" bisik Rangga dengan suara sedikit keras.

"Hm... Sebenarnya aku masih kesal terhadap mereka. Tapi apa yang kau katakan benar. Bawa mereka menjauh. Biar kutahan yang lainnya. Ayo cepat!" ujar Ki Arga Wampu.

"Baiklah...!"

Rangga segera mencengkeram, menarik lengan kanan Lesmana dan mengambil alih pedang yang berada di tangan kanannya. Kemudian, diberinya isyarat pada Ki Sukma Agung untuk segera lari dari tempat ini.

"Ayo, cepaaat!"

"Yeaaa...!"

Baru saja kedua orang itu hendak melompat ke punggung kuda, lima orang berseragam merah langsung menghunuskan senjata langsung menerjang. Namun dengan gesit Rangga memapak serangan. Pedang Lesmana yang berada di tangannya, berkelebat cepat.

Dua orang kontan terjungkal roboh dengan perut robek. Seorang lagi tangannya putus. Rangga cepat menyambar pedang dalam genggaman tangan lawan, lalu pedang Lesmana dilemparkan pada pemiliknya.

"Lekas kalian pergi lebih dulu! Aku akan menyusul...!" teriak Rangga, seraya memapaki dua orang lawan yang berada di dekatnya.

Trang! Bret!

"Wuaaa...!"

Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat menyambar. Seketika dua lawannya terjungkal roboh sambil memekik kesakitan. Perut mereka robek, mengucurkan darah segar.

Suiiit!

Pendekar Rajawali Sakti langsung bersuit nyaring. Dan pada saat itu juga, kudanya berlari kencang mendekati.

"Hup!"

Rangga segera melompat ke punggung Dewa Bayu dan menggebahnya mendekati Ki Arga Wampu.

"Ki Arga Wampu! Cepat naik! Tinggalkan tempat ini...!"

"Heup?!"

Orang tua itu memunahkan ajiannya. Dan bentuknya yang nyata kembali terlihat. Setelah itu, dia melompat ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Seketika kuda berbulu hitam itu berlari kencang meninggalkan tempat ini. Namun, para pengeroyok agaknya tidak sudi membiarkan begitu saja dua orang yang berada paling depan langsung melompat sambil menghunus senjata.

"Yeaaa..!"

"Huh!"

Rangga mendengus geram, langsung menoleh sekilas. Seketika itu pula, pedang ditangannya melesat menyambar salah seorang.

Bres!

"Aaa !"

Orang itu terjungkal roboh disertai pekikan nyaring. Pedang yang dilempar Pendekar Rajawali Sakti tepat menembus jantungnya. Hal yang sama juga dilakukan Ki Arga Wampu. Orang tua itu melepaskan pukulan jarak jauh ke arah lawan yang seorang lagi.

Kini Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dan langsung ditinggalkannya tempat itu dengan menggebah kudanya sekencang mungkin, sehingga lawan-lawannya tidak mampu menyusul.

Dalam waktu singkat, mereka berhasil menyusul Ki Sukma Agung dan Lesmana. Kini ketiga kuda itu terus berlari kencang, ketika penunggangnya menggebah tak henti-hentinya.

********************

Rangga dan tiga orang kawannya tiba di tempat kediaman Ki Sukma Agung dalam waktu tidak terlalu lama. Kedua kuda yang ditunggangi Lesmana dan Ki Sukma Agung terlihat letih. Dua orang murid Ki Sukma Agung langsung menyambut dan menggiring kuda-kuda itu ke kandang untuk diberi makan.

"Maaf, Ki. Ada seseorang yang tengah menunggu...," ujar salah seorang muridnya memberitahu.

"Siapa?" tanya Ki Sukma Agung.

"Dia tidak menyebutkan namanya. Orang itu pendiam. Dan katanya, datang ke sini untuk menanyakan sesuatu. Itu dia orangnya!" tunjuk murid Ki Sukma Agung.

Orang tua itu menoleh, langsung melihat seorang pemuda berbaju serba hitam dengan rambut agak panjang dikuncir ke atas. Kedua tangannya bersedekap di dada. Dan tangan sebelah kanan, menggenggam sebilah pedang panjang. Bersama dengan yang lain, Ki Sukma Agung menghampiri pemuda itu yang berdiri tidak jauh di beranda depan.

"Kisanak.... Aku Ki Sukma Agung. Adakah sesuatu yang bisa kubantu untukmu?"

Pemuda itu menoleh Sehingga, kini wajahnya terlihat jelas. Kedua alisnya tebal dan sepasang matanya sipit. Kulitnya agak kekuning-kuningan. "Namaku Akira Yamamoto. Aku mencari Ki Arga Wampu. Menurut keterangan murid-muridnya, beliau berada di sini."

"Kisanak... Akulah orang yang kau cari!" sahut Ki Arga Wampu seraya melangkah maju mendekati pemuda itu.

"Hm... Jadi kaukah Ki Arga Wampu?" gumam pemuda yang temyata Akira Yamamoto.

"Tidak salah. Adakah sesuatu yang bisa kubantu untukmu?"

"Ki Arga Wampu! Aku menantangmu bertarung!" ujar Akira Yamamoto tanpa tedeng aling-aling,

"Hm, jadi kaukah pendekar dari negeri Matahari Terbit itu?"

"Benar!"

"Kisanak! Kudengar tentang kehebatanmu. Namun, hal itu sama sekali tidak membuatku senang. Seorang kawanku tewas di tanganmu. Dan jika menuruti kata hati, mestinya kuterima tantanganmu tanpa berpikir jauh lagi...."

"Apakah kau hendak menolak tantanganku?"

"Bukan begitu. Kurasa, kau bukan orang jahat. Dan kepandaianmu pun hebat. Sungguh sayang bila jalan yang kau tempuh tidak berguna."

"Kisanak! Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Sebab orang punya jalan hidup masing-masing untuk mengabdikan diri. Dan jalan hidup yang kuabdikan, adalah menurut cara padepokanku!" sahut pemuda bermata sipit itu tegas.

"Apakah tidak pernah terlintas dalam benakmu untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain? Seperti melenyapkan kejahatan yang mengganggu banyak orang?" sindir Ki Arga Wampu. Pemuda itu terdiam.

"Apa yang dikatakan Ki Arga Wampu memang benar, Kisanak. Masih banyak yang harus kita kerjakan. Dan lebih berguna ketimbang persoalan yang sifatnya pribadi..." timpal Rangga

"Siapa kau?" tanya pemuda itu seraya menoleh ke arah Rangga.

"Namaku Rangga....

"Kukenal orang bernama Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Kaukah orangnya?"

"Betul..."

"Sungguh kebetulan! Kisanak! Kau salah seorang dari daftar tokoh-tokoh yang akan menerima tantangan bertarung denganku," sambut Akira Yamamoto tanpa sungkan-sungkan.

Kisanak! Aku tidak suka bertarung tanpa alasan."

"Tidak perlu! Sebab, yang kuinginkan adalah, bahwa kau harus menerima tantanganku. Kalau tidak..., barangkali kau memang pengecut!"

Rangga menarik napas agak panjang. Kata-kata pemuda bermata sipit itu tidak enak didengar. Dan nadanya membuat hati sesak. Pendekar Rajawali Sakti berusaha menahan sabar.

"Bagaimana? Apakah kau terima tantanganku? Pendekar Rajawali Sakti kudengar tokoh hebat di negeri ini. Dan dari sekian banyak daftar tokoh silat di negeri ini, maka namamu kumasukkan dalam urutan terakhir. Yaitu, orang yang kuanggap tinggi. Aku akan penasaran bila kau menolak tantanganku!"

Rangga terdiam seraya mendesah pelan. Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak ingin bertarung dengan pemuda ini, karena tidak ada alasan kuat. Lagi pula, sudah jelas kalau pemuda inilah yang telah menewaskan tokoh-tokoh lain meski dalam pertarungan jujur. Berarti pula, hanya ada dua pilihan bila menyambut tantangannya. Menerima sampai salah seorang tewas, atau mendapat malu karena dianggap pengecut. Dua-duanya memang bukan pilihan enak.

"Kisanak! Orang orang ini akan menjadi saksi, apakah kau akan menjadi pengecut atau tidak!' ujar Akira Yamamoto menegaskan.

Rangga baru saja akan menjawab, ketika terdengar derap langkah kuda menuju kesini. Mereka semua berpaling, melihat di sekeliling tempat ini telah dikepung orang-orang berseragam merah.

"Celaka! Anak buah lblis Rambut Merah, desis Lesmana.

"Mereka telah mengurung tempat ini!" ujar Ki Sukma Agung, seraya menghitung jumlah para pengepung.

Apa yang diduga memang tidak salah. Tempat ini telah dikepung anak buah lblis Rambut Merah. Jumlah mereka cukup banyak. Dan, tidak kurang dari lima puluh orang.

"Kisanak! Kalau kau hendak berbuat sesuatu bagi orang banyak, inilah saatnya! Mereka sekawanan boneka yang patuh pada majikannya. Seorang yang sesat berjuluk Iblis Rambut Merah. Meski di antara mereka semua orang-orang baik, namun kini apa bedanya? Dalam keadaan seperti ini, jiwa mereka terisi iblis. Mereka hanya patuh pada perintah majikannya yang sesat. Bahkan tidak segan-segan melenyapkan nyawa manusia demi mencapai tujuannya!" ujar Ki Sukma Agung, kepada Akira Yamamoto.

Akira Yamamoto tetap diam membisu. Namun sepasang matanya mengawasi orang-orang berseragam merah itu dengan tajam.

"Sukma Agung keparat! Apakah kau masih tidak mau menyerah juga?! Masih ada kesempatan bagimu untuk ikut dengan kami!" teriak seorang laki-laki bertubuh besar bercambang bauk tebal.

Orang ini bernama Ki Sampurno. Dengan senjatanya berupa kapak besar dan agak lebar, dia dikenal di seantero rimba persilatan sebagai Kapak Gila Pembawa Maut. Julukan itu amat disegani kalangan persilatan. Baik dari golongan lurus, maupun dari golongan sesat. Padahal, Ki Sampurno selama ini dikenal sebagai pendekar yang selalu membela kebenaran. Namun, Iblis Rambut Merah telah memperalatnya. Sehingga, kini dia menjadi abdi penguasa Lembah Darah itu. Bahkan dianggap sebagai salah satu abdi yang bisa diandalkan.

"Ki Sampurno! Bila saja otakmu masih waras, kau tidak akan berkata begitu padaku. Kita bersahabat sejak kecil. Dan sekalipun, tidak pernah kau mengeluarkan kata-kata seperti itu padaku. Tidakkah hati kecilmu menyadari bahwa iblis telah merasukimu?" sahut Ki Sukma Agung, coba menyadarkan sahabatnya dengan kata-kata lembut penuh bujukan.

"Setan alas! Phuih! Siapa yang mengatakan kau sahabatku? Kau adalah musuhku. Musuh besarku! Jangan memancing kesabaranku. Ayo, ikut denganku sekarang juga. Dan, bawa kawan-kawanmu ikut serta!" bentak Ki Sampurno, garang.

"Hm... Sungguh sayang, Sobat. Agaknya sia-sia saja menyadarkanmu. Iblis keparat itu telah menghujamkan pengaruhnya begitu dalam. Sehingga, kau sama sekali tidak mengenalku..."

"Keparat! Masih juga kau banyak mulut..!" desis Ki Sampurno geram dengan mata melotot lebar. Kapak Gila Pembawa Maut memberi isyarat. Maka bersamaan dengan itu, seluruh anak buahnya langsung berlompatan menerjang.

"Heaaa...!"

Melihat itu, Ki Sukma Agung tidak tinggal diam. Segera diperintahkannya pada murid-muridnya yang berjumlah sekitar dua puluh orang, untuk membalas serangan. Sementara, dia sendiri dan yang lain ikut membantu Termasuk, Akira Yamamoto!

"Yeaaa...!"

Bres! Bret!

"Aaa...!

Pendekar dari Negeri Matahari Terbit itu membentak keras seraya bergerak cepat menyambut serangan anak buah lblis Rambut Merah. Gerakannya cepat sekali, dan sulit diikuti pandangan mata biasa. Begitu pedangnya tercabut, maka tiga orang langsung melolong kesakitan dengan perut robek. Kemudian ketika kembali bergerak, dua lawan berikutnya memekik tertahan. Mereka ambruk, dan tewas seketika dengan leher nyaris putus.

Tindakan Akira Yamamoto yang keras dan kejam, terlihat menyolok. Dan ini membuat lawan-lawan yang lain lebih banyak mengerubutinya. Namun semakin banyak yang mendekat, maka makin banyak pula korban yang ditimbulkannya. Sampai, ketika pedang pemuda bermata sipit itu membentur sesuatu.

Tring!

"Yeaaa...!"

TUJUH

Mendadak sebuah bayangan berkelebat, langsung memapaki. Sehingga terdengarlah bunyi berdenting nyaring, mengiringi percikan bunga api kecil akibat beradunya dua buah senjata yang sama kuatnya. Akira Yamamoto mendengus penasaran. Dia langsung melompat ke belakang untuk mengatur jarak. Dari sini, pemuda itu bisa mengamati dengan seksama, ketika bayangan tadi tidak melanjutkan serangan. Kini tampaklah sosok tubuh berdiri tegak tengah mengawasinya.

Orang itu bertubuh tinggi besar. Pakaiannya seperti pendeta. Kepalanya botak, dengan sebuah tasbih yang terdiri dari rangkaian benda-benda bulat sebesar kelereng ukuran besar bergantung di leher. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat yang pada ujungnya berukir bunga teratai yang hendak mekar. Dibawah bunga teratai, terdapat empat buah lengkungan sepanjang satu jengkal yang saling berhadapan. Agaknya, tongkat inilah yang tadi membentur pedang Akira Yamamoto.

"Kau seorang pendeta agama! Di pihak mana kau berada?!" tanya pemuda dari negeri Matahari Terbit seraya mendengus sinis.

"Kau tidak perlu tahu. Yang jelas, aku hendak membunuhmu!" dengus pendeta itu.

"Huh! Aku enggan berhadapan dengan orang sepertimu! Menyingkirlah. Dan, jangan ikut campur urusan ini."

"Kaulah yang ikut campur dalam urusan ini. Sebaiknya, menyingkir saja. Dan, pulanglah ke negerimu."

"Kau tidak berhak memerintahku!"

"Demikian pula kau!" balas pendeta itu, tidak kalah sengit.

"Orang tua! Agaknya kau memang sengaja mencari gara-gara!"

"He he he...! Kaulah yang sengaja mencari gara-gara dengan Wiku Satya Nugraha ..!"

"Huh! Kalau begitu, lebih baik kita tentukan diujung senjata masing-masing!" dengus Akira Yamamoto, geram. Akira Yamamoto terbakar hatinya mendengar kata-kata pendeta bernama Wiku Satya Nugraha yang selalu membalik-balikkan ucapannya.

"He he he...! Sesukamu sajalah...!"

Akira Yamamoto menghunus pedangnya dengan sepasang mata nyaris seperti dua buah garis saja. Dahinya berkerut. Tangan kirinya terpentang. Lalu dengan satu bentakan nyaring, dia melompat menerjang Wiku Satya Nugraha.

"Yeaaa...!"

Wut! Bet! Trang!

Akira Yamamoto alias Pendekar Pedang Bayangan menyerang dengan ganas. Dan agaknya, waktunya tidak ingin disia-siakan sedikit pun untuk bermain-main dengan Wiku Satya Nugraha. Pedangnya berkelebat cepat, dan sesekali menghindar dari serangan balasan yang dilakukan pendeta berusia setengah baya itu. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Sebab sedikit demi sedikit Akira Yamamoto mulai mendesak pendeta ini.

Wiku Satya Nugraha mungkin memiliki tenaga dalam hebat. Terbukti, setiap kali senjatanya beradu menimbulkan bunga api. Namun dalam hal adu kecepatan, agaknya dia kalah dua tingkat di bawah pemuda itu. Sehingga tidak heran bila memasuki jurus ketujuh dari pertarungan, orang tua itu sudah tidak mampu lagi balas menyerang. Dia jatuh bangun menghindari serangan-serangan gencar. Namun begitu masih juga terdengar tawa mengejek yang keluar dari mulutnya.

"He he he...! Inikah pendekar dari negeri Matahari Terbit yang kesohor itu? Ternyata, tidak lebih pintar dari seekor keledai dungu.?

"Yeaaat!"

Akira Yamamoto tidak meladeninya. Dia membentak, lalu tubuhnya melayang dengan pedang siap terhunus.

Wuk!

"Uts!" Ujung pedang pemuda sipit itu menyambar ke perut pendekar ini. Wiku Satya Nugraha melompat ke belakang seraya mengibaskan tongkat untuk memapak serangan. Tiba-tiba, tubuh Akira Yamamoto mencelat ke samping, melakukan satu tendangan ke arah pinggang. Kembali orang tua itu harus melompat ke belakang. Namun sebelum hal itu dilakukan, pedang Akira Yamamoto telah berkelebat secepat kilat. Sehingga....

Cras!

"Aaa?!? Wiku Satya Nugraha kontan memekik nyaring, begitu pedang pemuda itu menemui sasaran. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang, dan tewas seketika setelah menggelepar sesaat. Di dahi hingga ke bibir, terlihat luka sayatan dalam yang panjang akibat sambaran pedang milik Pendekar Pedang Bayangan.

"Kau telah memaksaku berbuat begini, meski aku enggan melakukannya!" dengus pemuda itu lirih.

Setelah itu, Akira Yamamoto berdiri tegak memperhatikan. Namun tidak berlangsung lama, sebab beberapa orang berseragam merah sudah langsung mengurung dan menyerangnya dengan ganas. Sehingga dengan terpaksa, dia meladeninya.

Sementara itu, Rangga tengah berhadapan dengan seorang tokoh berbadan kekar dan bertelanjang dada. Orang itu memakai celana pangsi warna hijau dengan kain sarung merah berbunga-bunga melilit pinggangnya. Sepasang matanya melotot lebar dan merah. Rambut di kepalanya, yang pendek, berdiri tegak seperti bulu kuduk. Hidungnya besar. Kedua lobangnya pun lebar. Demikian pula bibirnya yang tebal, sedikit menghitam.

Orang bersenjata keris yang berlekuk sembilan ini bernama Manik Angkeran. Dan dia dikenal sebagai Hantu Rawa Bangkai. Selama ini, Hantu Rawa Bangkai termasuk tokoh sesat yang penuh teka-teki. Dia jarang menampakkan diri. Namun bila telah keluar dari sarangnya, maka beberapa korban akan jatuh karena perbuatannya. Dan di antara korban-korbannya, tidak hanya terdiri dari orang biasa. Juga, tokoh-tokoh silat yang ternama dan berkepandaian tinggi.

Biasanya, Hantu Rawa Bangkai tidak begitu sulit menaklukkan lawan-lawannya. Namun menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, ternyata membuatnya amat geram. Beberapa kali serangannya dapat dihindari. Bahkan ketika melipatgandakan serangan, Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak bergeming. Malah tidak kelihatan kalau Pendekar Rajawali Sakti terdesak.

"Bocah kampret! Kupatahkan batang lehermu!" desis Hantu Rawa Bangkai garang.

"Silakan bila mampu!"

"Keparat!" Mata Hantu Rawa Bangkai melotot lebar. Dan setelah mendengus sinis, dia melompat menerjang.

"Uts!" Pendekar Rajawali Sakti melompat ke sana kemari, memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Hantu Rawa Bangkai menyadari, pemuda itu tidak bisa diserang dengan jurus biasa. Sehingga mau tidak mau, dia langsung menggunakan jurus pamungkas, 'Hantu Rawa Mandi Di Kali'. "Heaaa...!"

"Uts, hiya!" Rangga melompat ke samping, dan terus mencelat ke belakang ketika ujung keris Hantu Rawa Bangkai berkelebat-kelebat menyambarnya dengan gerakan tak terduga.

Rangga melompat ke belakang. Dan ketika Manik Angkeran alias Hantu Rawa Bangkai terus mengejarnya penuh nafsu, Pendekar Rajawali Sakti mendengus dingin seraya melompat memapak serangan menggunakan jurus 'Seribu Rajawali'.

"Yeaaat!"

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat. Dan sesaat, Hantu Rawa Bangkai terkejut karena gerakan yang dibuat Pendekar Rajawali Sakti sangat membingungkan. Seolah-olah, pemuda itu kini berjumlah banyak. Sehingga, dia tidak mengetahui ke mana harus menyerang. Beberapa kali dicobanya, namun serangannya hanya mengenai tempat kosong. Bahkan tiba-tiba...

Begkh! Duk!

"Aaakh?!" Hantu Rawa Bangkai baru sadar setelah dua tendangan berturut-turut menghantam dada dan perut. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang. Namun, Rangga sepertinya tidak mau memberi kesempatan. Sebelum Hantu Rawa Bangkai menyentuh tanah, tubuhnya melompat dan mengirim tendangan geledek ke dada.

Begkh! Krak!

"Aaa...!" Hantu Rawa Bangkai kontan memekik nyaring. Tulang dadanya terasa remuk. Dan dari mulutnya, menyembur darah kental. Orang itu menggelepar sesaat, kemudian diam tidak berkutik.

"Heaaat...!"

"Heh?!" Rangga tidak sempat beristirahat sejenak. Sebab saat itu juga, beberapa orang berseragam merah langsung menerjangnya dengan senjata terhunus. Pemuda itu menggeram, lalu melompat ke bawah. Langsung disambarnya senjata salah seorang lawan yang tergeletak tidak berdaya, dan segera memapaki.

Trang!

Bruet!

"Aaa...!"

Tiga bilah pedang terpental dihantam pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan ujung pedang di tangan Rangga bergerak cepat menyambar ke perut mereka. Sesaat terdengar pekik kematian. Tiga orang kontan ambruk berlumuran darah. Dalam waktu singkat, anak buah Iblis Rambut Merah berkurang banyak. Sehingga yang tersisa saat ini hanya sekitar tujuh orang saja.

Ki Sukma Agung berhadapan dengan Ki Sampurno. Bahkan kini tengah mendesak dengan hebat. Demikian juga halnya Ki Arga Wampu. Lawannya adalah seorang laki-laki kurus dan bertubuh agak kecil, namun gerakannya cukup lincah.

Tokoh ini bernama Bagong Kusuma. Dia adalah seorang tokoh silat kenamaan di wilayah barat. Pengaruhnya cukup disegani oleh kawan maupun lawan. Namun kali ini, dia tidak berkutik melawan Ki Arga Wampu. Sehingga dalam waktu singkat, menemui ajalnya!"

Beberapa saat kemudian Ki Sukma Agung menyudahi pertarungan. Ki Sampurno telah tewas di tangannya lewat pertarungan sengit. Orang tua itu tertunduk lesu, tidak berusaha mengejar ketika beberapa anak buah Iblis Rambut Merah kabur dari tempat ini.

"Sudahlah, Sobat. Hidup dan mati dalam setiap pertarungan adalah persoalan biasa...," bujuk Ki Arga Wampu, seraya mendekat dan menepuk punggungnya.

"Benar, Ki Sukma Agung. Kita tidak perlu merasa bersalah. Apalagi tak ada cara lain untuk menolongnya. Bila kau tidak membunuhnya, maka dia pasti akan membunuhmu timpal Rangga.

Ki Sukma Agung menghela napas panjang. Sama sekali tubuhnya tidak beranjak dari tempatnya. Orang tua ini malah duduk, dan mengusap wajah Ki Sampurno pelan.

"Dia sahabatku. Sahabat baikku sejak kecil. Kami pernah berjanji untuk saling melindungi. Dan ketika Iblis Rambut Merah mempengaruhinya, aku tidak mampu menolong. Lalu..., kini dia malah binasa di tanganku..." ujar Ki Sukma Agung lirih.

"Beberapa orang pernah mengalami hal serupa, Sobat. Dan mereka mampu tabah. Kesedihan tak akan ada habisnya. Demikian pula rasa penyesalan. Namun semua kejadian berada di luar ke kuasaan kita. Tugas utama kita adalah, berusaha berbuat hal yang sebaik mungkin," lanjut Ki Arga Wampu.

Ki Sukma Agung mengangguk pelan.

"Sudahlah. Relakan kepergiannya. Dan, jangan sesalkan dirimu. Dia hanya alat. Yang kita pikirkan saat ini adalah, bagaimana membereskan Iblis Rambut Merah yang menjadi biang keladi semua ini," bujuk Ketua Padepokan Mega Dahana itu.

"Kau benar, Sobat. Aku mengerti... Hanya saja mungkin sedikit sulit menerima kenyataan ini. Tapi, aku berusaha bisa menerimanya dengan hati lapang...," sahut Ki Sukma Agung seraya bangkit berdiri.

Mereka melangkah pelan ke rumah Ki Sukma Agung. Namun baru saja hendak melangkah ke beranda depan?

"Ki Arga Wampu dan Pendekar Rajawali Sakti! Persoalan kita belum selesai! Apakah kalian hendak melupakannya begitu saja?" Terdengar kata-kata Akira Yamamoto alias si Pendekar Pedang Bayangan yang cukup lantang.

Mereka menghentikan langkah. Ki Arga Wampu dan Rangga melangkah lima tindak, mendekati pemuda itu. "Tidakkah kau punya perasaan? Kami tengah berduka. Dan yang kau bicarakan hanya soal pribadi!" ujar Ki Arga Wampu, dingin.

"Aku tidak peduli! Yang kuinginkan adalah jawaban. Pertarungan tidak musti hari ini. Tapi, boleh kau tentukan waktunya," sahut Pendekar Pedang Bayangan tegas.

Rangga mendekati Akira Yamamoto. Ketika jarak mereka terpaut lima langkah, pemuda itu berhenti dan berdiri tegak saling memandang. "Kisanak! Kuterima tantanganmu dengan satu syarat!" ujar Pendekar Rajawali Sakti pendek.

"Syarat apa yang hendak kau ajukan?"

"Kami tengah bertikai dengan lblis Rambut Merah, seperti yang tadi kau lihat. Bila persoalan ini selesai, kita tentukan pertarungan. Kau tidak perlu menantang Ki Arga Wampu. Biar aku yang mewakilinya!"

"Rangga! Mana bisa begitu...?!" seru Ki Arga Wampu berusaha mencegah.

Namun Rangga telah memberi isyarat. "Ki Arga Wampu, tidak apa-apa. Kalau ternyata dia mampu mengalahkanku, kau boleh menentukan sikap."

"Hm.... Baiklah kalau memang begitu keinginanmu. Kuanggap saja kau yang lebih dulu maju menghadapiku... "

"Baiklah.... Kuterima syaratmu itu!" sahut Akira Yamamoto.

"Aku hendak menambahkan!" sambung Ki Arga Wampu.

"Apa gerangan?" tanya Akira Yamamoto.

"Kisanak! Tadi kau telah membantu kami. Dan kami sangat berterima kasih. Tapi, tidakkah kau hendak berbuat baik barang sedikit? Umpamanya, ikut menumpas Iblis Rambut Merah beserta anak buahnya? Sayang sekali bila kepandaianmu tidak dipergunakan untuk hal-hal yang berguna"

Pendekar Pedang Bayangan terdiam sejurus dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Kami tidak memaksa. Namun bila kau setuju, tentu saja budimu tidak akan terlupakan begitu saja. Dan yang terpenting, kurasa Pendekar Rajawali Sakti akan lebih menghargai keinginanmu untuk bertarung dengannya. Demikian pula aku," tambah Ki Arga Wampu.

"Betul! Bila kau setuju membantu kami, maka begitu selesai menumpas Iblis Rambut Merah, maka saat itu pula aku siap bertarung denganmu," timpal Rangga.

"Hm, benarkah?"

"Kau boleh pegang janjiku. Dan mereka yang berada di sini, akan menjadi saksi!"

Pendekar Pedang Bayangan terdiam lagi barang sesaat, sebelum mengangguk pelan memberi jawaban. "Baiklah. Aku bersedia membantu kalian!"

Mereka yang berada di tempat ini tersenyum lega mendengar jawabannya.

"Kami merasa gembira mendengar jawabanmu!" seru Ki Arga Wampu.

"Kapan kalian mempunyai rencana menumpas Iblis Rambut Merah?"

"Kukira, nanti malam adalah waktu yang tepat!'" sahut Ki Arga Wampu.

"Sobat! Apakah kita tidak terlalu terburu-buru?" Ki Sukma Agung tampak terkejut mendengar jawaban itu.

Ki Arga Wampu tersenyum kecil. "Mereka baru saja mengerahkan anak buahnya dalam jumlah banyak. Dan kini, kekuatan mereka berkurang. Iblis Rambut Merah tentu marah besar. Dan pasti, dia akan mengadakan pembalasan besar-besaran. Maka sebelum mereka melakukannya, kita yang harus menyerang lebih dulu. Kita kagetkan mereka, dan kacaukan semua anak buahnya yang tersisa!"

"Aku mendukung apa yang dikatakan Ki Arga Wampu. Saat ini mereka tengah lemah, karena kehilangan banyak anak buah. Dan semangat mereka pun jatuh. Inilah kesempatan kita untuk menghancurkannya!" ujar Rangga mendukung.

"Tapi... apakah dengan jumlah kita seperti saat ini mampu menghancurkan mereka?" tanya Ki Sukma Agung, bernada khawatir.

"Ki Sukma Agung, jangan merasa khawatir. Jumlah semua anak buah Iblis Rambut Merah tidak sampai seratus orang. Dan sampai hari ini, dia telah kehilangan banyak. Sehingga, kurasa kita akan mampu menghancurkan mereka. Lagi pula, bukankah kau mengatakan kalau kita akan mendapat bantuan seorang tokoh lagi?" sahut Lesmana.

"Maksudmu, Nyai Galih Rukmi?"

"Ya! Siapa lagi kalau bukan dia?!"

"Tapi sampai saat ini, dia belum juga datang...," sahut Ki Sukma Agung dengan nada masghul.

"Hi hi hi...! Apakah ada yang membicarakan namaku...?!" teriak satu suara yang menimpali.

Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh berkelebat cepat dengan gerakan ringan sebagaimana layaknya sehelai daun kering tertiup angin. Sesosok tubuh itu berdiri tegak, persis di depan Ki Sukma Agung. Dia adalah seorang wanita berambut panjang yang disanggul ke atas, memakai baju merah muda. Di pinggang sebelah kiri terdapat sebuah buntalan kain lusuh. Wajah wanita tua ini cerah. Bibirnya selalu tersenyum, menandakan hatinya selalu gembira. Sehingga dari wajahnya terlihat kalau wanita yang berjuluk Tabib Sakti Kuncir Emas ini lebih muda dan usia yang sebenarnya.

"Nyai Galih Rukmi?! Kukira siapa. Syukurlah kau datang tepat pada waktunya...!' seru Ki Sukma Agung, cerah.

"Hi hi hi...! Ada apa gerangan? Apakah pesta telah berakhir, dan kalian tidak mengajak-ajakku?" sahut wanita itu enteng dengan mata jelalatan memandang mayat-mayat bergeletakan.

"Sayang! Kau memang datang terlambat, Sobat!" sahut Ki Arga Wampu.

Orang tua itu lalu menceritakan rencana mereka. Dan Nyai Galih Rukmi agaknya menyetujuinya. Mereka segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk serangan ke sarang lblis Rambut Merah.

********************

DELAPAN

Senja baru saja berlalu, dan sebentar lagi malam tiba. Suasana di tempat ini terasa gelap dan sedikit menyeramkan. Lembah Darah terlihat laksana sebuah lubang gelap, membuat setiap orang bergidik ngeri bila berada di dekatnya. Apalagi mereka yang menuju ke sana, akan berpikir seribu kali. Jangankan di malam hari. Bahkan di siang hari sekalipun, mereka akan menghindar jauh-jauh.

Namun tidak demikian halnya bagi Ki Sukma Agung dan kawan-kawannya. Dengan mengendap-endap dan kewaspadaan tinggi, mereka bergerak mendekati lembah itu. Tujuannya sudah jelas. Ke sarang penguasa lembah ini, Iblis Rambut Merah!

"Masih jauh tempat mereka?" tanya Rangga, pelan di telinga Lesmana yang berada di dekatnya.

"Sebentar lagi. Kita harus melewati jembatan kecil didepan sana. Dan setiba di seberang, maka kewaspadaan harus tinggi. Sebab, anak buah lblis Rambut Merah selalu berkeliaran di sana" jelas Lesmana.

Mereka tiba di dekat sebuah sungai kecil yang lebarnya kurang dari dua tombak. Di situ, ada sebuah jembatan bambu yang menghubungkan kedua tepinya. Lesmana memberi isyarat agar mereka berhenti sejenak. Dalam hal ini, dia bertindak sebagai penunjuk jalan. Sebab di antara yang lain, hanya dia yang paling mengetahui seluk-beluk daerah ini.

"Sebaiknya berhati-hati dan tingkatkan kewaspadaan!" ujar Lesmana berbisik.

Jumlah mereka hanya berenam. Namun begitu, tekad yang dimiliki sangat kuat. Ki Sukma Agung sendiri sengaja tidak membawa serta murid-muridnya. Sehingga bila terjadi pertarungan, tidak akan begitu banyak korban.

Baru saja mereka berada di seberang sungai, mendadak dua sosok tubuh berkelebat menyambar dari depan. Sedangkan beberapa orang lagi menyambar dari samping kanan dan kiri.

"Awaaas!" Rangga memperingatkan, seraya menundukkan kepala.

"Yeaaa?!"

Bila yang lainnya langsung menghindar dari serangan gelap, maka Akira Yamamoto tidak mempedulikannya. Pemuda itu mendengus geram. Ketika dua sosok tubuh menyambar dengan senjata terhunus, pedangnya tercabut menyambut serangan.

Trang! Bret!

"Aaakh...!"

Dua penyerang gelap itu kontan memekik, dan ambruk seketika tidak jauh darinya. Pendekar Pedang Bayangan mendengus sinis. Lalu serangannya dilanjutkan kepada beberapa orang lagi yang mencelat ke arahnya.

"Yeaaa!"

Akira Yamamoto membentak. Pedangnya langsung berkelebat. Beberapa orang lagi tewas ditangannya. Kini pemuda itu melompat, mengikuti yang lain. Mereka kini terus menerobos ke sebuah bangunan cukup besar yang terlihat dari sini.

"Itu Istana Iblis Rambut Merah!" tunjuk Lesmana.

"Huh! Percuma kita sembunyi-sembunyi. Dia pasti telah mengetahuinya sejak tadi. Lebih baik, kita hadapi saja apa yang terjadi sambil menerobos ke dalam!" dengus Ki Sukma Agung.

Apa yang dikatakan orang tua itu tidak salah. Buktinya dalam waktu singkat, anak buah Iblis Rambut Merah keluar dari sarang dan langsung menyerang. Kali ini siasat yang digunakan lebih licik lagi. Mereka mengurung, lalu beberapa orang menyerang. Sementara yang lainnya mengambil kesempatan untuk menjerat dengan jala atau tali. Bukan hanya itu saja. Mereka juga melemparkan asap pembius ke tengah-tengah Ki Sukma Agung beserta kawan-kawannya.

"Kurang ajar..!" Rangga menggeram. Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menduga rencana mereka. Karena, beberapa kali pernah bentrok. Dan ini tidak membuatnya kaget. Demikian pula dengan yang lainnya. Mereka lompat menghindar sambil balas menyerang. Pendekar Rajawali Sakti menghantam dengan aji Bayu Bajra. Sehingga dalam sekejap, terasa angin kencang bersiur laksana badai topan, memporak-porandakan para pengeroyok.

Ditempat lain, pedang Akira Yamamoto berkelebat mencari korban. Demikian halnya tongkat di tangan Ki Sukma Agung. Sedang Ki Arga Wampu dan Nyai Galih Rukmi tidak kalah hebatnya menghantam lawan.

Sebenarnya, Ki Arga Wampu memiliki sebilah pedang pendek yang terselip di pinggang. Namun menghadapi lawan seperti mereka, agaknya dirasa belum perlu untuk menggunakannya. Lain halnya si Tabib Sakti Kuncir Emas yang memang sedikit ugal ugalan. Dengan senjata sebuah kebutan yang ujungnya terbuat dari serat berwarna keemasan, dia menghantam lawan tanpa kenal ampun. Orang yang terkena kebutannya pasti tewas dengan dada remuk atau batok kepala pecah.

Para jumlah pengeroyok memang tidak sebanyak siang tadi ketika mengepung tempat Ki Sukma Agung. Namun tingkat kepandaian mereka lebih hebat. Namun begitu, sama sekali tidak membuat Ki Sukma Agung dan kawan-kawannya menjadi repot. Mereka mampu menumpas, bahkan dalam waktu yang tidak lama. Jumlah para pengeroyok tinggal sedikit lagi ketika sesosok tubuh berkelebat dari dalam bangunan di depan.

"Ha ha ha...! Ternyata kalian begitu nekat mendatangi tempatku ini, meski harus menjemput maut.. !"

Wusss...!"

Suara ketawa yang berkumandang agaknya bukan sembarangan, karena diiringi pengerahan tenaga dalam hebat. Ki Sukma Agung dan kawan-kawannya sempat bergetar. Tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang oleh terpaan angin kencang yang dilepaskan sesosok bayangan itu. Bahkan anak buah Iblis Rambut Merah yang tersisa terpelanting, dan tewas dengan tubuh mengucurkan darah segar dari setiap lubang yang ada di tubuhnya.

"Bangsaaat...!" Rangga menggeram. Pendekar Rajawali Sakti balas menyerang, mengerahkan aji Bayu Bajra. Sehingga daerah di sekitarnya seperti dilanda angin topan, ketika dua pukulan itu beradu.

"Ha ha ha...! Hebat! Hebat! Pantas saja kalian berani menyatrorti tempatku ini. Kiranya ada seseorang yang bisa diandalkan untuk menghadapiku!" kata sosok bayangan itu, setelah menghentikan tawanya.

Sesosok bayangan ini kemudian melompat kebelakang, lalu berdiri tegak mengawasi mereka dengan seksama. Sehingga kini yang lain bisa melihat jelas, siapa sesosok tubuh tinggi dan berbadan besar memakai jubah merah. Demikian pula warna baju dan rambutnya.

"Dialah si Iblis Rambut Merah!" desis Lesmana memberitahu.

"Hm. Begini rupanya tampang bajingan itu!" sahut Nyai Galih Rukmi mendengus sinis.

"Iblis Rambut Merah! Kau salah menduga. Di sini tidak hanya seorang yang bisa diandalkan untuk menghancurkan kezalimanmu. Tapi, kami semua mampu melakukannya!" seru Ki Sukma Agung.

"Begitukah? Ingin kulihat, apakah ucapanmu itu benar. Sebab, kalau tidak akan mampus! Ha ha ha...!"

Iblis Rambut Merah mendadak menghantam tangan kanannya kedepan. Dan tahu-tahu, dibelakang Ki Arga Wampu dan kawan-kawannya tercipta kobaran api besar yang mengurung dengan cepat. Mereka mulai panik. Namun, Ki Arga Wampu cepat berteriak.

"Jangan terkecoh! Ini hanya tipuannya saja. Api ini tidak ada!"

"Huh. Keparat!" dengus Akira Yamamoto geram. Pendekar Pedang Bayangan gesit menyerang lawan. Namun Iblis Rambut Merah telah siap menghadapinya dengan melemparkan sebuah benda.

Bum!

"Heh?!" Rangga dan yang lain terkejut. Karena tiba-tiba terjadi ledakan keras, persis ke arah Akira Yamamoto.

Sementara Iblis Rambut Merah terkekeh keras, karena mengira lawannya sudah tewas. Namun dugaannya meleset. Dan tiba-tiba saja si Pendekar Pedang Bayangan yang sempat menyelamatkan diri dengan membuang tubuh ke bawah, telah menyerang dengan jerit kemarahan. Bersamaan dengan itu Pendekar Rajawali Sakti yang mengira pemuda dan negeri Matahari Terbit tewas, langsung melompat menyerang.

"Yeaaa..!"

Plas!

"Heh?!"

Rangga dan Akira Yamamoto terkejut. Karena, serangan mereka hanya mengenai angin belaka. Iblis Rambut Merah telah lenyap dari pandangan, dan tahu-tahu telah berdiri tidak jauh dari situ sambil tertawa. Kemudian, tercipta lagi Iblis Rambut Merah di tempat yang lain. Begitu seterusnya sehingga jumlahnya demikian banyak memenuhi tempat ini.

"Celaka! Dia telah menggunakan ilmu sihirnya. Apa yang akan kita lakukan sekarang? keluh Lesmana, bingung.

"Tidak usah bingung. Coba lihat! Ki Arga Wampu akan menghadapi dengan ajian ampuhnya!" desis Ki Sukma Agung, memberitahu dengan suara berbisik.

Lesmana memperhatikan seksama. Dilihatnya Ki Arga Wampu tengah memusatkan pikiran. Bibirnya tampak berkomat-kamit, kemudian..

Jleg! Jleg...!

"Heh! Ajian apa yang dimilikinya!" tanya Lesmana dengan wajah takjub.

Betapa tidak? Dia melihat Ki Arga Wampu kini berjumlah banyak dan hampir menyamai jumlah lawannya.

"Beliau memiliki aji Pecah Raga yang mampu melipatgandakan jumlah dirinya," jelas Ki Sukma Agung.

Iblis Rambut Merah terkejut, tidak menyangka lawan mampu berbuat demikian. Dia mendengus geram. Lalu diciptakannya sesuatu yang membuat lawan-lawannya kembali terkejut. Kali ini, mereka terkepung lautan luas dengan air meluap-luap seperti hendak menelan apa saja yang berada di tempat ini.

"Biar kuhadapi bangsat ini!" desis Akira Yamamoto.

Pemuda bermata sipit ini agaknya tidak mampu lagi menahan diri. Dan setelah mengamati dengan seksama, dia langsung melompat menyerang seraya menghunus pedang.

"Yeaaa...!"

Rangga melihat, lblis Rambut Merah cukup tangguh. Selain itu, banyak tipu muslihatnya. Sehingga dengan serta-merta, dikerahkannya aji Pembeda Gerak dan Suara. Dengan mengerahkan ajian itu, Pendekar Rajawali Sakti menghadapi lawan dengan mata terpejam. Sehingga, Iblis Rambut Merah tidak akan mampu mengecohnya dengan ilmu sihir. Lagi pula, dalam keadaan begini, Pendekar Rajawali Sakti lebih mampu memusatkan pikiran dalam menyerang lawan. Juga, mampu pula membedakan serangan kawan-kawannya yang saat itu tengah berlompatan mengejar lblis Rambut Merah.

"Heaaa...!"

Bet! Bet!

Iblis Rambut Merah masih mampu mengecoh serangan Lesmana dan Ki Sukma Agung. Bahkan tidak kelihatan repot saat meladeni serangan Ki Arga Wampu dan Nyai Galih Rukmi. Namun menghadapi serangan Pendekar Rajawali Sakti, sungguh membuatnya kesal. Ditambah lagi dengan pendekar dari negeri seberang itu. Rangga seperti tahu, ke mana saja dia bergerak menghindar. Sehingga hal ini membuatnya kerepotan.

Iblis Rambut Merah sebenarnya mengetahui kelemahan ilmu Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi karena saat ini, Rangga menghadapinya dengan mata terpejam. Dengan bunyi-bunyian yang sangat ribut, tentu Rangga akan kalang-kabut. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan, karena Akira Yamamoto selalu mengganggu. Akibatnya, serangannya pun tidak bisa dianggap enteng.

Pendekar Pedang Bayangan memiliki kemampuan seperti yang dilakukan Rangga. Hanya saja dia tidak sehebat Pendekar Rajawali Sakti. Dan dengan bantuan Rangga, pemuda bermata sipit ini mengetahui lebih jelas, mana lawan yang sebenarnya dan mana yang hanya bayangan maya. Kemanapun Pendekar Rajawali Sakti mendesak, maka ke situlah dia selalu ikut menyerang.

"Heaaa? !"

Pendekar Rajawali Sakti mulai mendesak iblis Rambut Merah dengan mengerahkan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Jurus yang mengandalkan kelincahan kedua kakinya ini, membuat tokoh sesat itu kerepotan. Sehingga dengan terpaksa, Iblis Rambut Merah mengeluarkan sepasang pedang perak yang terbuat dari baja yang berwarna keperakan.

Srang!

"Uhhh...!" Rangga terkejut. Sama sekali tidak dikira kalau Iblis Rambut Merah mencabut sepasang pedangnya. Sebab, sejak tadi dia tidak melihat lawan bersenjata. Namun begitu Rangga masih mampu menghindar meski pahanya sempat tergores.

Dengan bergulingan Pendekar Rajawali Sakti terhindar dari serangan Iblis Rambut Merah berikutnya. Tapi. pedang itu menggores cukup dalam, sehingga membuat wajah Pendekar Rajawali Sakti berkerut menahan sakit. Cepat Pendekar Rajawali Sakti menotok kebagian lukanya untuk menghentikan aliran darah terus mengucur deras. Sehingga, dengan demikian, dia terpaksa membiarkan Akira Yamamoto melawan Iblis Rambut Merah mati-matian. Bantuan yang diberikan Ki Sukma Agung dan kawan-kawannya, tidak banyak membantu. Karena, si Iblis Rambut Merah menganggap sepi. Bahkan mampu menghindar seperti mengerjapkan mata saja.

Trang! Trang!

Bret!

"Akh!" Si Pendekar Pedang Bayangan terkejut, karena tiba-tiba ujung pedang Iblis Rambut Merah menyambar dadanya. Dia bermaksud membalas. Namun pedang Iblis Rambut Merah yang berupa bayangan maya menyambar pinggang kiri. Pada saat yang sama, Akira Yamamoto berhasil membabatkan pedangnya.

Cras! Bret!

"Akh...!" Terdengar dua jeritan tertahan. Meski pinggangnya terluka, namun pedang pemuda itu mampu merobek perut Iblis Rambut Merah meski sedikit.

Hanya saja nasib Akira Yamamoto lebih parah. Sebab, senjata Iblis Rambut Merah berupa bayangan maya menggores lebih dalam.

"Heaaa...!"

Iblis Rambut Merah melompat dengan sepasang pedang siap menghabisi Akira Yamamoto. Ki Sukma Agung terkejut, berusaha mencegah. Namun serangkum angin kencang membuat tubuhnya terpental. Demikian pula halnya Ki Arga Wampu dan dua orang lainnya. Mereka sama-sama terpental dihantam pukulan lblis Rambut Merah. Bahkan, Lesmana dan Ki Sukma Agung sempat terserempet dua bilah pisau yang dilemparkan Iblis Rambut Merah dengan tangan kirinya.

Demikian hebat kecepatan bergerak yang ditunjukkan Iblis Rambut Merah. Sehingga, membuat mereka terhenyak. Dan demikian hebat pula tenaga dalamnya, sehingga mampu membuat tokoh seperti Ki Arga Wampu dan kawan-kawannya terhuyung-huyung akibat pukulan jarak jauh yang dilepaskannya. Dan kini Iblis Rambut Merah mengancam keselamatan si Pendekar Pedang Bayangan yang tengah berjuang menahan rasa sakit.

Tring!

"Uhhh...!" Akira Yamamoto mengeluh tertahan ketika berusaha menangkis senjata Iblis Rambut Merah. Tenaganya seperti terkuras. Dan tubuhnya lemah sekali, akibat terlalu banyak darah yang mengucur keluar. Bahkan ketika Iblis Rambut Merah melakukan hantaman kedua, pedang di tangan Akira Yamamoto terpental. Pemuda itu menjatuhkan diri, dan bergulingan untuk menyelamatkan diri dari kejaran senjata Iblis Rambut Merah. Namun Iblis Rambut Merah terus mengejarnya dengan amat cepat.

"Mampus kau, Bocah sial!" desis Iblis Rambut Merah geram seraya menghunuskan kedua senjatanya.

Pemuda bermata sipit itu terkejut. Dia tidak akan mampu menghindar. Dan, tak ada seorang pun yang bisa menolongnya saat ini. Pendekar Rajawali Sakti, tengah duduk bersila memulihkan keadaan dirinya, segera bangkit berdiri. Lalu?

Iblis Rambut Merah, sambut seranganku...!"

"Heh?!"

Dalam saat yang gawat itu, Rangga membentak dengan suara menggeledek. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat menyerang seraya mencabut pedang yang bersinat biru berkilauan.

Wuuung!

Trang?!

Kedua senjata beradu. Namun sepasang pedang di tangan Iblis Rambut Merah terbabat putus. Iblis Rambut Merah terkejut. Bahkan pedang Pendekar Rajawali Sakti yang bercahaya biru menyambar tak kenal ampun ke arah pinggang dan lehernya. Iblis Rambut Merah berusaha menghindar dengan melompat ke atas, seraya bersalto ke belakang. Namun senjata Pendekar Rajawali Sakti sempat menyambar putus paha kanannya.

Cras!

"Aaakh...!" Iblis Rambut Merah memekik tertahan. Perhatiannya kontan hilang dan sihirnya lenyap. Dengan demikian, bayangan maya yang menyerupai dirinya lenyap begitu saja. Alam kembali seperti semula. Namun, Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan. Pedangnya kembali berkelebat, langsung memenggal leher Iblis Rambut Merah sampai putus!

Crasss?!

"Hokh...!" Iblis Rambut Merah mengeluh tertahan.

Rangga mendengus kecil. Tepat ketika Pedang Pusaka Rajawali Sakti masuk kedalam warangkanya, tubuh lblis Rambut Merah ambruk dengan darah mengucur deras dari lehernya yang buntung. Setelah memandangi mayat lblis Rambut Merah, Pendekar Rajawali Sakti segera menghampiri Akira Yamamoto.

"Maaf sobat. Aku terlambat menolongmu. Mari kubantu menghentikan darah yang mengalir dari tubuhmu!"

Tanpa banyak bicara lagi Rangga membuat totokan di sekitar luka pemuda itu. Kemudian disalurkannya hawa murni untuk membantu memulihkan kekuatan si Pendekar Pedang Bayangan.

"Seharusnya kau biarkan saja aku mati di tangannya...," ujar Akira Yamamoto lirih.

Rangga menatapnya sekilas. Pemuda bermata sipit ini pucat dan tubuhnya lemah. Namun, dia memaksakan diri untuk bangkit berdiri seraya memungut pedangnya. "Kau adalah calon lawanku. Dan tidak akan kubiarkan kau tewas di tangannya. Tapi kini, kita sama-sama kehilangan banyak tenaga. Apakah akan kita teruskan niat untuk bertarung?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti, aku menjunjung jiwa ksatria. Mestinya, seorang ksatria akan menepati janji. Tapi kali ini, akal sehatku yang bekerja. Rasanya tidak adil bila kita bertarung dalam keadaan seperti ini. Maka waktunya akan kutangguhkan. Suatu saat, aku akan datang mencarimu...," ujar Akira Yamamoto.

Setelah berkata demikian, Akira Yamamoto berjalan meninggalkan Rangga. Namun baru saja dua langkah, dia kembali berbalik. "Terima kasih... atas bantuanmu!" lanjut pemuda dari negeri Matahari Terbit itu, kemudian berlalu meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga memandang sampai pemuda itu lenyap dari penglihatan. Lalu kepalanya menoleh ke arah kawan-kawannya. Ki Arga Wampu tengah membantu Ki Sukma memulihkan kesehatannya, akibat luka yang diderita. Sedang Nyi Galih Rukmi membantu Lesmana.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA:
ISTANA GOA DARAH