Manusia Lumpur - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MANUSIA LUMPUR

SATU

Blep! Blep!

Glarrr...!

Gunung Perahu yang sepanjang tahun bisu, mendadak bergolak lagi. Padahal, sejak puluhan tahun lalu gunung itu sudah mati. Dan sejak itu tak seorang pun yang mau tinggal di sana. Bahkan seekor serangga sekalipun. Uap putih yang dari jauh terlihat bagai gumpalan salju, selalu menghiasi lereng gunung itu. Inilah penyebabnya. Sebab, uap putih itu tidak lain dari uap beracun yang keluar dari perut bumi di sekitarnya.

Namun anehnya, uap beracun itu jarang sekali berhembus ke lain tempat. Mungkin selalu terhalang oleh pepohonan lebat yang mengelilingi gunung itu. Sehingga asap putih itu hanya berputar-putar tidak jauh dari tempatnya semula. Kemudian perlahan-lahan kembali dan bergantung seperti orang yang tengah bertapa. Diam tidak terusik!

Konon, di lereng gunung ini terdapat banyak gua yang saling berhubungan. Sehingga di dalamnya seperti sebuah jalan yang banyak cabang-cabangnya. Tak seorang pun yang bisa mengetahui, apa yang terdapat di dalamnya karena sampai saat ini tak seorang manusia pun yang bisa masuk sampai ke sana dengan selamat!

Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh ke dalam, pusat dari lorong-lorong gua itu berada tepat di bawah kaki gunung itu. Di sana terdapat sebuah ruangan yang cukup lebar.

Di tengah ruangan yang dipenuhi batu karang yang mencuat ke atas maupun ke bawah, terdapat sebuah kolam lahar yang terus mendidih. Agaknya sebagian dar uap beracun itu berasal dari tempat ini. Kolam ini seperti bubur berwarna coklat kemerah-merahan dan amat kental. Pada jarak sekitar lima tombak dari kolam, panasnya terasa menyengat. Dan rasanya tak satu pun makhluk yang bisa hidup di tempat itu.

Blep! Blep!

Bubur lahar itu kembali bergolak. Dan dari bawah terlihat gelembung-gelembung udara bergerak ke atas dan meletus di permukaan. Dan dari dalam kolam gejolak itu semakin hebat. Bahkan lambat laun, kolam itu berputar dan membentuk pusaran di tengah-tengahnya. Rupanya, inilah yang menyebabkan Gunung Perahu itu kembali menampakkan kegarangannya.

“Graaagkh...!”

Diiringi raungan keras, tiba-tiba muncul sesuatu ke permukaan kolam berwujud seperti kepala manusia. Gaung dan getaran yang di timbulkannya cukup mengguncangkan batu-batuan yang berada di ruangan ini. Beberapa buah malah menimpa kepala yang dipenuhi lumpur panas itu. Kepala itu sama sekali tidak pecah! Padahal diantara batu-batu yang menimpa ada yang sebesar kepala kerbau!

“Grrhh...!”

Dengan geraman buas, perlahan-lahan kepala itu terangkat ke atas, seiring bentuk jasadnya yang bangkit berdiri. Lalu dengan gerakan ringan, kepala yang telah lengkap dengan jasadnya itu keluar dari kolam lahar. Kini terlihat bentuk nyata satu sosok mengerikan. Secara keseluruhan, bentuknya memang persis manusia. Namun wajahnya sukar dikenali, karena sekujur tubuhnya diselimuti lahar panas berwarna merah kecoklatan.

“Graaagkh...!”

Sosok makhluk itu kembali menggeram. Dan kembali dinding-dinding gua di sekitar ruangan ini bergetar, membuat batu-batu berjatuhan. Namun makhluk itu agaknya tidak mempedulikannya. Dia lantas berjalan melewati lorong gua menuju keluar dengan gerakan cepat, seperti tengah berlari. Tubuhnya yang kecil dan agak tinggi, ringan sekali bergerak. Seolah kakinya sama sekali tidak menapak tanah.

Tiba di mulut gua, makhluk itu berhenti. Sepasang matanya yang hitam berkilat menatap tajam kesegala arah. Mungkin ada sesuatu yang aneh dalam pandangannya. Entah alam yang telah berubah, atau barangkali tempat yang selalu diselimuti kabut. Entahlah.

Tak lama, makhluk ini kembali berkelebat. Disusurinya lereng gunung ini. Diterobosnya kabut beracun yang tidak pernah berhasil dilalui manusia biasa!

Begitu cepat kelebatan makhluk itu, sehingga dalam waktu singkat telah berada persis di kaki gunung. Di sini masih terlihat pohon-pohon besar yang menghalangi pancaran sinar matahari pagi. Namun begitu tatkala angin bertiup agak kencang, sebagian cahaya matahari yang masih halus menerobos dan menerpanya.

“Ohhh...!” Makhluk itu mendesah lirih, ketika cahaya matahari menerpa bola matanya. Baginya sinar itu terasa menyilaukan. Mungkin karena terlalu lama berada di perut bumi yang gelap dan pengap. Seketika sebelah tangannya menutupi mata. Tapi perlahan-lahan dia memberanikan diri dan coba mengintip.

“Graaakh...!” Ketika cahaya matahari itu kembali menyilaukan mata, makhluk itu menggeram marah.

Suara makhluk ini serak dan parau, seperti seekor beruang hutan. Lama dia berdiri tegak di tempatnya tanpa beranjak. Sikapnya kelihatan penasaran sekali, dan berusaha menantang cahaya matahari yang perlahan-lahan beranjak naik. Dan ketika mulai terbiasa, segera ditinggalkannya tempat itu.

“Graaakhh...!”

“Heh?!” Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun tersentak kaget. Begitu kagetnya, sehingga busur panah yang dipegangnya terlepas, saat mendengarkan suara raungan yang menggetarkan. Selama belasan tahun menjadi pemburu di Hutan Gunung Perahu belum pernah didengarnya suara seperti itu. Perlahan-lahan, laki-laki tegap berpakaian hijau-hijau ini mengedarkan pandangan ke sekeliling. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Dan busur panahnya yang terjatuh diambilnya dengan pandangan tetap mencari-cari.

“Graaagkh...!”

“Ohhh...!”

Baru saja laki-laki itu tegak kembali, terdengar lagi suara raungan, yang disusul dengan berkelebatnya satu sosok tubuh. Dan jantungnya hampir saja copot, ketika sosok itu telah berdiri di hadapannya pada jarak lima langkah.

Hati laki-laki ini makin kebat-kebit melihat sosok tubuh kurus penuh lumpur ini memandang tajam ke arahnya. Suaranya menggeram dahsyat. Perlahan-lahan makhluk itu melangkah mendekati.

“Jangan coba-coba mendekat! Atau, panahku akan menembus jantungmu sekarang juga!” bentak laki-laki itu mengancam, seraya mundur ke belakang. Tangannya gemetar ketika menarik busur. Nada suaranya pun bergetar. Jantungnya berdetak lebih kencang. Dan darahnya seperti mengalir lebih kencang.

Makhluk lumpur itu menghentikan langkah. Matanya memandang aneh kepada laki-laki di depannya. Sepertinya dia tidak mengerti apa yang akan diperbuat laki-laki itu terhadapnya.

“Pergi kau...!” bentak laki-laki pemburu itu, setelah keberaniannya mulai muncul kembali.

Makhluk itu diam tidak beranjak.

“Kurang ajar!” Keberanian pemburu ini yang telah terkumpul, diungkapkannya dengan bentakan. Bahkan tiba-tiba dia meraih anak panah dan cepat memasangnya pada busur. Lalu seketika dilepaskannya.

Twang!

Tiba-tiba satu buah anak panah melesat menyambar makhluk di depannya.

Tak!

“Heh?!” Pemburu itu makin tercekat ketika anak panahnya tidak mampu melukai makhluk itu.

“Patah? Mustahil! Terbuat dari apa kulitnya?!” desis laki-laki itu tidak percaya.

Jantung laki-laki ini semakin berdegup kencang. Dan perlahan-lahan kakinya mundur kebelakang sambil tetap mengawasi makhluk itu. Sementara makhluk menggiriskan ini sendiri agaknya tidak merasa kesakitan sedikit pun. Dia memandang sekilas pada patahan anak panah tadi, lalu berpaling pada laki-laki di depannya. Mulutnya menyeringai lebar dengan sorot mata kelihatan liar. Agaknya, dia menangkap sikap permusuhan dari laki-laki di depannya.

“Graaagkh...!”

“Oh, tidak! Pergi kau! Pergiii...!”

Makhluk itu menggeram buas laksana raungan seekor beruang. Sedang laki-laki di depannya tersentak kaget. Mukanya makin terlihat pucat. Sepasang matanya membelalak melihat makhluk itu berjalan mendekatinya dengan cepat. Dengan sekuat tenaga dia berusaha lari sekencang-kencangnya.

“Graaagkh...!” Makhluk itu melayang gesit. Dan tahu-tahu laki-laki itu telah dicengkeramnya.

Tap!

“Aaa...!” Cuma sesaat, lalu terdengar jeritan panjang. Tubuh laki-laki itu terkulai dengan tulang leher dan pinggang patah dicekal makhluk ini.

“Kraaagkh...!” Makhluk itu mendengus geram. Dicampakkannya mayat pemburu begitu saja seenaknya. Dipandanginya sejenak mayat itu, lalu perlahan melangkah meninggalkannya. Tapi baru berjalan kira-kira lima belas langkah, mendadak....

“Jahanam! Hei, berhenti kau...!”

Terdengar bentakan nyaring, membuat makhluk ini menghentikan langkahnya. Perlahan-lahan dia menoleh sambil berbalik. Di depan makhluk itu telah berdiri dua orang laki-laki yang masing-masing berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Mereka semua menyandang busur dan anak panah. Dengan langkah gusar makhluk itu menghampiri kedua orang yang baru datang.

“Graaakh...!” Makhluk ini menggeram, mengisyaratkan kemarahan. Sementara kedua laki-laki itu terkesiap.

“Hei, kaukah yang membunuh kawan kami ini?!” bentak salah seorang laki-laki itu, setelah berhasil menguasai hatinya.

“Graaagkh...!” Bentakan itu disahuti dengan seringai marah. Sementara makhluk itu sendiri semakin melangkah dekat.

“Percuma saja bicara, Jayeng! Lebih baik serang saja dia!” seru laki-laki satunya yang berbaju hitam seraya menyiapkan anak panah.

“Kau benar, Suket! Makhluk itu kelihatan aneh. Dia seperti binatang buas!” sahut laki-laki yang dipanggil Jayeng.

Kedua laki-laki bernama Jayeng dan Suket itu melompat ke kanan dan kiri, siap dengan panah terpasang di busur.

“Graaagkh...!” Begitu makhluk ini menggeram sekali lagi, kedua laki-laki itu melepaskan anak-anak panahnya.

Twang! Twang!

Dua batang anak panah yang melesat cepat membuat makhluk itu menggeram semakin marah. Namun dia tak berusaha menghindari. Dan....

Tak! Tak!

Jayeng dan Suket terkesiap, karena kedua anak panah yang dilepaskan tidak mampu melukai tubuh makhluk ini. Malah patah seperti menghantam tembok besi.

“Kraaagkh...!”

“Oh, tidaaak. Aaargkh!” Jayeng memekik keras ketika makhluk itu melompat. Tanpa dapat menghindar lagi, lehernya telah tercengkeram tangan penuh lumpur makhluk ini.

Krakkk!

“Aaa...!”

Dengan sekali cekik tulang leher Jayeng patah diiringi jerit kematian. Tanpa merasa kasihan sama sekali, makhluk ini melempar mayat Jayeng begitu saja. Suket terkesiap. Kawannya tewas seketika dalam waktu singkat. Namun belum lagi dia berbuat sesuatu, mendadak makhluk itu telah melesat ke arahnya.

“Kraaagkh...!”

Krek!

Suket hanya dapat melotot, ketika tangan penuh lumpur makhluk itu mendadak mencengkeram lehernya. Lalu....

“Ugkh!” Suket hanya mampu mengeluh tertahan. Tulang lehernya langsung patah dipotes makhluk ini. Dan ketika tubuhnya dilepaskan, dia jatuh terkulai.

“Kragkh...!” Makhluk itu kembali menggeram. Tanpa mempedulikan mayat-mayat itu, dia berjalan meninggalkan tempat ini seperti tidak ada kejadian apa-apa. Melihat arahnya, jelas kalau makhluk ini menuju desa yang terletak di kaki Gunung Perahu. Desa Pandah!

********************

“Aouw...!”

Siang itu di Desa Pandah yang semula tenang dan damai, mendadak dipecahkan oleh sebuah suara teriakan seorang wanita yang menjerit-jerit.

“Hantu...! Ada hantuuu...!” teriak wanita berusia dua puluh delapan tahun itu lagi.

Seketika, penduduk desa yang mendengar tersentak kaget. Bergegas mereka serentak keluar rumah masing-masing, menuju sumber suara.

“Di mana? Di mana hantunya, Lastri?” tanya salah seorang penduduk yang berpapasan dengan wanita itu.

“Itu di sana, Kang Parwa,” sahut wanita yang dipanggil Lastri, sambil menunjuk ke arah sebuah pohon beringin yang terletak di mulut desa ini.

Namun laki-laki yang dipanggil Parwa bingung sendiri. Demikian pula Lastri ketika menunjuk ke tempat yang dimaksud, hantu yang tadi ditemuinya sudah tak ada lagi di tempatnya.

“Jangan bergurau, Lastri! Mana ada hantu di siang bolong begini!” cibir Parwa.

Sementara itu, para penduduk lainnya telah merubungi Lastri.

“Mungkin gara-gara suaminya mati, Lastri jadi sedikit miring!” timpal seorang pemuda sambil tersenyum.

“Aku bersungguh-sungguh, Jaka! Untuk apa berbohong? Jelas kulihat dia di sana. Bentuknya seperti kita. Tapi, tubuhnya penuh lumpur yang telah mengering. Pandangan matanya tajam saat menatapku,” jelas Lastri, coba meyakinkan.

Tapi tak seorang penduduk pun yang percaya. Semua mencibir. Dan satu persatu meninggalkannya sambil tersenyum-senyum mengejek. Tapi baru saja melangkah beberapa tindak....

“Tolooong...!”

Terdengar teriakan, yang membuat para penduduk ini berpaling ke sebuah rumah tak jauh dari tempat ini. Tampak beberapa orang keluar dari rumah itu dengan wajah pucat ketakutan. Karuan saja kerumunan penduduk tadi berpindah tempat. Mereka tergopoh-gopoh menghampiri dua orang yang keluar dari rumah tempat asal teriakan.

“Ada apa? Kadi...? Lingga?” tanya Parwa.

“Hantu? Dia, dia telah membunuh Karja!”

Laki-laki yang bernama Lingga menjelaskan dengan tubuh gemetar. Dan baru saja dia selesai berkata begitu, mendadak dari arah belakang mereka muncul sesosok tubuh coklat kemerahan sambil mengangkat kedua tangan. Mulutnya menyeringai dan menggeram buas.

“Kraaagkh...!”

“Ohhh...!” Para penduduk tersentak kaget. Sementara Kadi dan Lingga serentak menunjuk.

“Itu dia! Itu hantunya...!”

Makhluk kurus yang sekujur tubuhnya berselimut lumpur coklat kemerahan yang telah mengering itu kembali menggeram. Orang-orang yang tadi terkesiap dan tertegun untuk beberapa saat, mulai sadar kalau apa yang dilihat bukanlah mimpi semata. Serentak mereka kabur ke segala arah. Ada yang langsung memukul kentongan, dan ada pula yang mencari senjata-senjata tajam. Beberapa orang malah betul-betul kabur, dan tidak kembali lagi ke rumahnya.

Tong! Tong!

“Ada hantu! Ada hantu...!”

“Kraaagkh...!”

Makhluk itu terlihat kebingungan untuk sementara. Tapi ketika melihat orang-orang yang lari hilir-mudik, ternyata membuatnya geram. Maka tanpa pikir panjang dia melompat. Langsung diterkamnya seorang laki-laki berumur empat puluh tahun.

Tap! Krek!

“Aaagkh...!” Laki-laki itu menjerit tertahan. Tulang lehernya langsung patah seketika dicengkeram makhluk ini.

“Astaga! Dia membunuh Ki Jabal!” teriak Parwa.

Penduduk yang lainnya terpaku. Namun perlahan-lahan mereka memberanikan diri untuk berkumpul. Mereka segera mendekati makhluk itu dengan senjata terhunus.

“Makhluk iblis! Kita harus menyingkirkannya! Kalau tidak, dia akan membuat kekacauan di sini!” desis Jaka, berusaha membangkitkan semangat.

“Betul! Makhluk ini sangat keji. Dia membunuh dengan mudah. Kita harus membunuhnya!” sambut yang lainnya.

“Bunuh dia! Bunuh dia...!” teriak Parwa sambil mengacung-acungkan senjata tajam.

Tiga orang tidak dapat menahan diri lagi. Dan seketika mereka menerjang makhluk itu bersamaan.

“Makhluk terkutuk, mampuslah kau!”

“Heaaa...!”

Diserang demikian, makhluk ini seperti tak hendak menghindar. Dibiarkannya saja senjata-senjata tajam itu menerjang tubuhnya.

Tak! Tak!

Wuuut!

Namun senjata tajam di tangan mereka seperti hanya menghantam besi baja yang amat keras. Entah punya kekebalan apa makhluk itu. Yang jelas begitu tangannya bergerak dengan tubuh berkelebat....

Desss! Krakh!

“Aaa...!” Salah seorang memekik nyaring begitu terhantam tangan makhluk itu pada dadanya. Tubuhnya terpental, menghantam kerumunan orang. Tak lama disusul dua orang lainnya. Nyawa mereka langsung melayang begitu menyentuh tanah.

“Kurang ajar! Dia telah membunuh tiga orang dalam sekejap!”

Para penduduk yang belum sempat menyerang itu tersentak kaget. Di antara rasa gentar dan ketakutan, di dada mereka terasa api amarah yang membara. Namun tanpa diperintah lagi mereka serentak menyerang makhluk itu bersama-sama.

“Bunuh dia! Bunuuuh...!”

“Heaaa...!”

Melihat banyak orang maju mengeroyok, makhluk itu kelihatan semakin marah. Kedua tangannya bergerak cepat. Dan tahu-tahu, dia telah mencengkeram rambut di kepala dua orang penduduk. Dengan gemas dibantingnya kedua orang itu, dan langsung diinjak-injak sampai terdengar derak tulang-belulang patah.

Begitu selesai, makhluk ini kembali menyambar dua orang lagi yang langsung dibantingnya. Bukan hanya itu saja. Kedua tangan dan kakinya pun terkadang menghantam. Dan kalau sudah begitu, maka jerit kematian terdengar saling sambung. Padahal para penduduk telah berusaha menghantamkan senjata masing-masing ke tubuh makhluk ini. Namun tidak ada satu pun senjata yang mampu melukai.

“Lari! Selamatkan diri kalian masing-masing! Percuma saja kita membunuhnya. Dia tidak mempan senjata tajam!” teriak Parwa yang masih selamat, seraya lari serabutan.

Mendengar itu yang lainnya segera mengikuti. Mereka kini lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. Agaknya bukan hanya mereka saja yang menyelamatkan diri. Tapi para wanita yang menggendong serta menuntun anaknya pun berbondong-bondong menyelamatkan diri bersama suami masing-masing. Demikian pula para orang tua yang terpaksa harus dipondong. Untung saja makhluk itu tak hendak mengejar.

Dalam waktu singkat kampung itu sepi dari penghuninya! Memang aneh bila makhluk itu tak berusaha mengejar. Melihat orang-orang yang mengeroyoknya kabur, dia hanya terpaku di tempatnya. Lalu setelah merasa tidak ada lagi yang mengganggunya, dia berlalu dari desa ini.

********************

DUA

Seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh enam tahun memandang dengan kening berkerut ke arah seorang pemuda yang tergopoh-gopoh masuk ke halaman rumahnya.

“Ki Braja! Ki Braja! Gawat! Gawat, Ki!” teriak pemuda berbadan tegap terbungkus pakaian coklat tua, sambil terus menghampiri laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Braja.

“Ada apa, Angkeran? Mengapa wajahmu pucat begitu? Coba tenangkan dirimu dulu. Baru ceritakan yang jelas,” ujar Ki Braja, lembut penuh kesabaran.

Pemuda bernama Angkeran ini menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan. “Beberapa orang kedapatan tewas di ujung desa, Ki,” lapor Angkeran.

“Tewas? Apa maksudmu? Dan, siapa yang mati?” tanya Ki Braja dengan kening berkerut.

“Ki Tunggal dan Ki Rewong! Mereka adalah penebang kayu yang sering keluar masuk hutan,” jelas Angkeran.

“Maksudmu mereka mati tertimpa kayu?”

“Bukan, Ki. Tubuh mereka remuk seperti dipatahkan sesuatu....”

“Bicara yang benar, Angkeran. Hanya untuk itukah kau datang ke sini dengan tergopoh-gopoh?”

“Sebagian penduduk yang melihat kejadian itu mengatakan, mereka mati dicekik makhluk mengerikan.”

“Makhluk? Makhluk apa?” Ki Braja kelihatan bingung mendengar penjelasan Angkeran.

“Entahlah.... Tapi penduduk kita mulai resah, Ki. Agaknya kita harus secepatnya menenangkan mereka.”

“Baiklah, baiklah.... Kita berangkat sekarang!”

Baru saja mereka akan melangkah, di depan halaman terlihat lima orang laki-laki penduduk desa ini melangkah tergopoh-gopoh pula. Wajah mereka tampak pucat ketakutan.

“Ki Braja! Gawat! Beberapa penduduk desa terbunuh...!” lapor salah seorang yang bertubuh kurus begitu tiba di depan Ki Braja dan Angkeran.

“Terbunuh? Siapa yang membunuh?!” sentak Ki Braja kaget.

“Hantu itu!” sahut orang itu.

“Hantu apa? Bicara yang benar, Paksa!” sentak Ki Braja.

“Makhluk iblis itu! Dia mengamuk dan banyak membunuh penduduk desa. Kita harus mencegahnya, Ki. Kalau tidak, semua penduduk akan binasa di tangannya!” jelas laki-laki kurus yang dipanggil Paksa.

“Di mana dia sekarang?!” tanya Ki Braja mulai geram.

“Di depan rumah Sentana. Sentana sendiri mati ketika berusaha membela ayahnya yang tengah dicekik iblis berlumpur,” jelas Paksa lagi, yang mewakili kawan-kawannya.

Ki Braja segera berbalik kembali ke dalam rumah. Dan beberapa saat kemudian dia telah keluar lagi dengan membawa sebilah pedang dalam genggaman.

Mereka bergegas meninggalkan halaman rumah Ki Braja yang memang menjabat sebagai Kepala Desa Kandis yang terletak di sekitar kaki Gunung Perahu pula.

********************

Para penduduk Desa Kandis saat ini tengah kalang kabut menyelamatkan diri. Namun ada pula yang tengah berkumpul seperti merubungi sesuatu. Tampak diantara kerumunan berkelebat segala senjata tajam yang diiringi teriakan-teriakan geram mewarnai. Kadang ditingkahi geraman laksana seekor beruang yang disusul pekik kematian serta melayangnya beberapa sosok tubuh dengan tulang leher remuk.

“Lariii...! Orang ini bukan manusia. Dia iblis! Kita tidak akan mampu melawannya!” teriak seseorang.

Beberapa orang ini kabur dari tempat itu. Namun tidak bagi yang lainnya. Kematian beberapa orang kawan mereka, tidak membuat nyali ciut. Mereka malah semakin mengamuk dengan hebat.

“Jangan mundur! Serang terus! Dia telah membunuh banyak kawan-kawan kita! Bunuh makhluk berlumpur ini!” teriak beberapa orang memberi semangat.

Tapi percuma saja mereka berteriak-teriak. Sebab, mereka yang telah melarikan diri itu tidak kembali lagi. Orang-orang itu mungkin menyadari tak ada gunanya melawan. Makhluk yang dihadapi ganas dan tidak kenal ampun.

“Graaakh...!”

Krek! Tak!

“Aaa...!”

Korban kembali jatuh. Dua orang memekik panjang, lalu jatuh terkulai dengan leher remuk dan tulang dada patah. Kejadian ini membuat yang lainnya kecut. Pelan-pelan nyali mereka mulai ciut. Atau juga, mungkin mereka menyadari tak ada gunanya melawan. Sebab makhluk berwujud manusia yang sekujur tubuhnya berlapis lumpur itu tidak bergeming. Beberapa kali senjata tajam menghunjam, namun kulitnya tidak terluka sedikit pun. Dan sebelum ada korban lagi....

“Mundur semua!” Mendadak terdengar bentakan nyaring.

“Heh...?!” Orang-orang itu terkesiap. Dan seketika mereka menghentikan serangan. Sebagian segera memandang ke arah asal suara.

“Ki Braja! Ah, syukurlah beliau cepat datang...,” seru salah seorang penduduk Desa Kandis ini, seperti mengisyaratkan sebuah harapan begitu melihat seorang laki-laki tua berpakaian putih yang memang Ki Braja.

Bukan tanpa alasan, mereka sedikit terhibur oleh kedatangan kepala desa itu. Semua penduduk di desa ini tahu kalau Ki Braja bukan sekadar kepala desa. Tapi juga tokoh persilatan tingkat atas. Orang-orang yang seusia dengannya sering bercerita, sebelum Ki Braja terpilih menjadi kepala desa, beliau adalah seorang pendekar digdaya.

Sementara itu Ki Braja berjalan tenang, melewati orang-orang yang memberi jalan padanya. Matanya memandang tajam pada pengacau yang telah banyak membantai warga desanya.

Sedangkan makhluk berwujud manusia yang tubuhnya dipenuhi lumpur kering coklat kemerahan itu memandang tak kalah tajam. Bahkan sinar matanya seperti memiliki perbawa menggetarkan. Sampai-sampai Ki Braja bergidik ngeri saat pandangannya beradu.

“Siapa kau? Dan kenapa kau berbuat keributan di tempatku ini?” tegur Ki Braja, mencoba dengan cara halus.

“Graaagkh...!” Tidak ada jawaban. Makhluk itu malah menggeram, lalu seketika dia melompat menerkam.

“Uts. Kau memang sengaja cari penyakit!” rutuk orang tua itu, langsung saja mencabut pedang.

Begitu makhluk ini berada dalam jangkauan, Ki Braja cepat mengayunkan pedangnya ke pinggang.

Tak!

“Heh?” Ki Braja tersentak, ketika senjatanya seperti menebas besi baja. Bahkan sampai terlepas dari tangan. Dan sebelum dia sempat berbuat apa-apa, makhluk itu telah kembali bergerak dengan kecepatan luar biasa dengan tangan mengibas. Tak ada waktu lagi bagi Ki Braja untuk menghindari. Mau tak mau, dipapaknya kibasan tangan itu.

Klak!

“Aaakh!” Ki Braja memekik kesakitan, begitu terjadi benturan. Tubuhnya cepat melompat sambil memegangi tangan kiri yang patah tulangnya akibat beradu dengan tangan makhluk itu.

“Keparat!” desis orang tua itu dengan mulut meringis menahan sakit.

Tapi makhluk itu tidak mempedulikannya. Dia kembali melompat menerkam.

“Uhhh...!” Ki Braja berusaha menghindar dengan menjatuhkan diri ke samping. Memang terkaman makhluk itu luput. Tapi tidak disangka-sangka, sebelah kakinya sempat mengait kaki Ki Braja.

Krak!

“Aaakh...!” Kedua tulang kering pada kaki laki-laki tua ini remuk dihajar makhluk itu. Tubuhnya kontan terjerembab di sertai pekik kesakitan. Namun Ki Braja cepat bergulingan untuk menghindari serangan makhluk itu yang berikut.

“Graaagkh...!”

“Celaka! Ki Braja dalam bahaya. Kita harus membantunya!” seru Angkeran, pemuda yang tadi menyertai kepala desa itu datang ke sini.

“Siapa yang bisa mencegah makhluk itu? Ki Braja saja tidak mampu. Apalagi kita!” sahut Paksa, yang juga menyertai Ki Braja.

“Ya! Lebih baik kita kabur selagi bisa!” timpal yang lain.

Dan apa yang para penduduk ini katakan memang bukan main-main. Satu persatu mereka buru-buru meninggalkan tempat ini. Mereka pulang ke rumah masing-masing dan segera berkemas dan mengajak keluarganya mengungsi. Sementara itu Angkeran beserta beberapa penduduk yang masih setia kepada Ki Braja mencoba menghalangi makhluk itu.

“Graaagkh!”

Tak! Praaak!

“Aaa...!” Percuma saja. Sekali saja makhluk itu mengibaskan tangan, maka mereka terpental dengan kepala remuk dan leher patah. Termasuk Angkeran. Dan memang makhluk itu menerkam Ki Braja hingga masuk dalam pelukannya.

Kraaah!

“Aaa...!” Sesaat terdengar jeritan panjang, lalu sepi. Tubuh orang tua ini telah terkulai lesu seperti tidak bertulang dalam rangkulan makhluk itu.

“Graaagkh...!” Makhluk itu meraung dahsyat ketika melihat orang-orang yang tadi mengerumuninya telah kabur satu persatu dari tempat ini. Seketika yang menjadi sasaran adalah rumah-rumah yang berada di dekatnya.

“Graaagkh...!”

Bruaaak!

“Keparat terkutuk! Apa dosa mereka hingga kau membantai begitu rupa?!”

Terdengar bentakan nyaring ketika makhluk berlumpur itu hendak meninggalkan Desa Kandis yang telah dihancurkannya rata dengan tanah.

Makhluk berlumpur ini menghentikan langkahnya. Perlahan-lahan dia berbalik, dan langsung menatap tajam pada dua orang yang tahu-tahu telah berada di depannya.

“Iblis keparat! Apa yang kau lakukan di tempat ini? Kenapa kau mengganggu mereka? Kembalilah ke tempat asalmu sana!” kembali salah seorang membentak.

Kedua laki-laki yang baru datang ini memiliki usia sekitar dua puluh delapan dan tiga puluh tahun. Melihat gerak-gerik serta senjata yang dibawa, jelas kalau keduanya bukan orang sembarangan. Bahkan mereka pun agaknya bukan penduduk desa ini. Karena tak seorang pun dari penduduk desa ini menyelamatkan diri, tak peduli dengan keselamatan kedua orang ini.

“Graaagkh...!”

Makhluk yang lebih tepat sebagai Manusia Lumpur itu menjawab dengan raung kemarahan. Seketika dia melompat menerjang salah seorang di depannya.

“Kakang Bayu, awaaas...!” teriak laki-laki yang lebih muda memperingatkan.

“Ups!” Laki-laki yang dipanggil Bayu mencoba melompat ke atas. Sementara yang lebih muda coba mencelat untuk membantu Bayu dengan mengirim tendangan ke punggung.

Buk!

Telapak kaki pemuda itu seperti menghantam batu karang yang keras bukan main. Dan baru saja bersentuhan, secepat itu pula pergelangan kakinya tertangkap makhluk itu.

Tap!

Belum sempat pemuda itu berbuat apa-apa, kakinya telah ditarik. Dia berusaha berontak, tapi terlambat. Mendadak saja Manusia Lumpur itu membanting tubuhnya, hingga membentur batu.

Praaak!

“Aaa...!” Pemuda itu memekik keras. Kepalanya remuk berlumuran darah. Dan nyawanya melayang saat itu juga.

“Katili...!” Bayu tersentak kaget. Langsung diburunya mayat kawannya yang ternyata bernama Katili.

“Graaagkh...!” Tapi Manusia Lumpur seperti tidak memberi kesempatan. Sambil menggeram buas, dia melompat menerjang Bayu.

“Heh?! Uts!” Bayu terkesiap. Tanpa menoleh dia melompat ke samping, lalu terus bergulingan menghindari terjangan.

Bruak!

“Groaaagkh...!”

Tendangan yang dilancarkan Manusia Lumpur keras bukan main. Terbukti permukaan tanah tempat tadi Bayu berada kontan amblas menimbulkan lubang sedalam lebih kurang tiga jengkal.

Tapi begitu melihat sasarannya menghindar, kemarahan makhluk itu semakin menjadi-jadi. Dan secepat kilat dia berbalik, lalu kembali menyerang.

“Gila!” desis Bayu geram seraya mencabut pedang.

Sring!

“Heup!” Laki-laki ini bersiaga menyambut serangan dengan jantung berdegup semakin kencang. Sepasang matanya tajam mengawasi. Lawan yang dihadapinya kali ini luar biasa hebat. Sebab selama ini dia belum pernah berhadapan dengan lawan sedahsyat dan seliar yang satu ini. Tenaga dan kecepatannya sama sekali tidak mampu diimbangi.

“Hiyaaat!”

Bayu segera mengayunkan pedangnya secepat kilat, dan langsung menyambar dada Manusia Lumpur. Namun dengan gerakan yang lebih cepat, tangan makhluk itu bergerak menangkis.

Tak!

“Heh?!” Kembali Bayu dibuat kaget, karena pedangnya bagai menghantam benda keras bukan main! Dan lebih kaget lagi ketika pedangnya telah patah menjadi dua bagian! Belum lagi habis rasa kagetnya, satu tendangan keras menghantam dada Bayu.

Begkh!

Kraaak!

“Aaa...!” Pemuda itu memekik keras begitu tendangan barusan telah mendarat di dadanya. Tulang dadanya kontan patah. Dari mulutnya menyembur darah segar. Tubuhnya terbanting keras. Untuk sesaat dia meregang nyawa, lalu... tewas!

“Graaagkh...!”

Manusia Lumpur menggeram sambil memandang ke sekeliling, menyapu mayat-mayat yang tergeletak kaku. Seperti dia hendak meyakinkan kalau mereka tidak akan mengancamnya lagi.

Desa ini sudah sepi, seperti mati. Dengan langkah gusar, Manusia Lumpur mulai bergerak menyusuri jalan utama desa ini. Sebentar-sebentar dia menggeram. Lalu dirobohkannya beberapa buah rumah yang berada di dekatnya untuk melampiaskan kemarahan.

********************

TIGA

Sebenarnya, kabar tentang mengganasnya Manusia Lumpur telah tersebar ke mana-mana. Namun entah kenapa, kabar itu tak mengusik dua insan yang tengah memadu cinta kasih di pinggiran Telaga Bidadari. Tepatnya, di gerumbulan semak-semak.

Keadaan di sekitar tempat ini memang indah. Pepohonan lebat tumbuh di sekitarnya, memayungi dari sengatan matahari. Di beberapa bagian terlihat semak-semak yang disekitarnya menghampar rumput tebal. Sehingga bila terlihat dari jauh, seperti hamparan permadani hijau saja. Sementara Telaga Bidadari itu sendiri berair cukup bening. Permukaannya membiaskan sinar matahari, hingga bagaikan butiran-butiran permata berkilau.

“Aouw! Kakang Pratama! Apa-apaan kau ini?!”

Terdengar suara nyaring dari mulut seorang gadis di balik semak-semak. Tak lama, berdiri seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang tersenyum-senyum kecil seperti tidak merasa bersalah. Di depan pemuda itu, duduk seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang tengah bersungut-sungut kesal. Dibetulkannya letak pakaiannya yang mulai acak-acakan.

“Kenapa, Lestari? Bukankah sebentar lagi kita akan menikah? Apa bedanya sekarang atau nanti?” bujuk pemuda bernama Pratama. Gadis bernama Lestari memandang tajam pada pemuda yang memang kekasihnya.

“Begitukah menurutmu, Kakang Pratama? Kau sia-siakan kepercayaan ayahku dengan membawaku ke sini? Kurasa Ayah pun tidak menginginkan hal ini. Bahkan beliau bisa marah bila melihat kelakuanmu tadi!” cibir Lestari, kesal.

“Jadi alasanmu hanya karena takut ayahmu marah?” tanya Pratama.

“Tidak! Karena aku memang tidak menginginkannya!” sahut Lestari tegas, seraya bangkit berdiri.

“Kau calon istriku, Lestari! Dan perkawinan kita sudah ditentukan. Hal apa lagi yang membuatmu khawatir?”

“Memang benar apa yang Kakang katakan. Tapi nasib manusia di tangan Yang Maha Kuasa. Kalau Kakang pendek umur, lalu akan kuletakkan di mana wajahku yang menanggung aib. Bukan hanya aku yang menanggung derita. Tapi seluruh keluargaku akan tercemar. Itu perbuatan yang amat memalukan!” sergah gadis itu, tegas.

“Hm.... Memang begitu yang kau pikirkan. Kau memang mendoakan aku cepat mati, bukan?” tukas Pratama, agak tersinggung.

“Kakang! Kenapa kau pikir begitu?!” sentak Lestari, dengan suara tinggi. Bola matanya memandang tajam kepada pemuda di depannya.

“Kau memang tidak mencintaiku...,” desah Pratama dengan suara yang lebih tajam. Pandangannya langsung dibuang ke arah lain.

“Itu tidak benar! Kau salah mengerti, Kakang...!”

“Kenapa tidak? Bukankah kita saling mencintai? Kau tahu, siapa aku. Dan tahu pula kalau aku adalah calon suamimu. Tapi kau masih juga menaruh curiga!” kata Pratama tanpa menoleh.

Lestari melangkah ke depan Pratama. Ditatapnya pemuda itu tajam-tajam. “Kakang, cobalah mengerti. Itu masih belum pantas kita lakukan. Kenapa Kakang tidak mau bersabar. Toh, hal itu tidak akan lama lagi? Ayolah, Kakang Pratama! Aku berharap Kakang bisa mengerti,” pinta gadis ini.

Pemuda itu diam membisu. Kembali dia berbalik, mengarahkan pandangan ke tempat lain.

“Kakang....” Lestari menghampiri. Dibelainya punggung pemuda itu lalu pipinya disandarkan ke bahu Pratama sambil memeluk dari belakang.

Pemuda itu berontak perlahan-lahan. “Sebaiknya kita pulang...,” ajak Pratama singkat.

“Kakang! Kau marah padaku...?” tanya Lestari dengan wajah termangu.

Pratama tidak menjawab. Kakinya malah melangkah, meninggalkan gadis itu.

“Kakang...!” teriak Lestari, halus. Lestari segera mengejar, langsung menjajari langkah Pratama.

“Bicaralah, Kakang! Apakah hanya karena aku tidak memberi yang satu itu, lalu kau marah dan menganggapku tidak mencintaimu?! Apakah calon suamiku akan sepicik itu? Ayo, Kakang! Bicaralah! Agar aku tahu apa yang kau pikirkan saat ini?!” kejar Lestari.

Pratama menghentikan langkah lalu menarik napas panjang. Kepalanya menoleh, memandang gadis itu sekilas. “Sudahlah... Tidak usah membicarakan hal itu lagi...,” desah Pratama lemah.

“Kakang marah padaku?” Pemuda itu menggeleng. “Lalu kenapa sikapmu tiba-tiba berubah?”

Pratama kembali menarik napas beberapa kali untuk menenangkan hatinya. “Baiklah.... Aku mungkin salah. Nah, lupakanlah kejadian tadi. Mari kita pulang,” ujar pemuda tampan ini.

“Sungguh, Kakang bisa mengerti?!” desak Lestari, masih belum puas.

“Tari, sudahlah.”

“Tidak! Aku ingin dengar jawaban langsung dari mulutmu, Kakang. Katakanlah! Apakah kau memang bisa mengerti atau karena terpaksa?” desak Lestari.

“Baiklah.... Aku mengerti dan sadar bahwa hal itu tak pantas,” kata Pratama.

“Sungguh?!” cecar Lestari.

“Lestari, sudahlah. Ayo, kita pulang,” ujar Pratama sambil tersenyum manis.

“Baiklah, Kakang. Aku senang sekali mendengarnya,” kata gadis ini dengan wajah cerah. “Kau tahu? Nanti setelah kita menikah, aku akan menjadi istri yang baik dan aku akan mengabdi sepenuhnya padamu!”

Pratama kembali tersenyum. Dipandanginya gadis itu sesaat. Kemudian sebelah tangannya dilingkarkan di leher Lestari. Keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Perlahan wajah keduanya seperti hendak bersatu. Namun sebelum terjadi, mendadak....

“Kraaagkh...!”

“Heh?!”

“Astaga! Apa ini?!” sentak Lestari dengan wajah ngeri, langsung bersembunyi di belakang Pratama.

Di depan mereka, pada jarak sepuluh langkah berdiri sesosok tubuh kurus dengan seluruh tubuh dipenuhi lumpur coklat kemerahan! Keadaannya seperti manusia layaknya. Namun tatapan matanya tajam seperti hendak mengiris-iris jantung. Dan seringainya buas, laksana serigala kelaparan. Yang lebih membuat mereka tidak habis pikir, makhluk ini menggeram seperti layaknya hewan liar!

“Apa maumu pada kami?!” bentak Pratama, mendengus geram.

“Graaagkh...!” Makhluk itu menggeram. Dan tahu-tahu dia melompat gesit menerkam.

“Awas, Tari...!” teriak Pratama memperingatkan seraya mendorong tubuh kekasihnya. Sementara dia sendiri melompat ke arah lain. “Ups!”

“Groaaagkh...!” Melihat kedua calon korbannya bisa meloloskan diri, makhluk itu yang tak lain Manusia Lumpur kelihatan marah dan semakin kalap. Kembali dia menerkam. Dan kali ini sasarannya adalah Pratama.

“Bedebah! Tidak tahukah kau, siapa aku?! Aku Pratama, putra Ki Bagus Wesi, Ketua Perguruan Tangan Besi. Semua orang tahu, siapa ayahku! Meski setan sekalipun, jangan coba main-main kepadanya!” gertak Pratama.

Manusia Lumpur terdiam. Suara erangannya pun kini terdengar halus. Sepertinya dia berusaha untuk mengerti, apa yang dikatakan pemuda itu.

“Bagus! Ternyata kau tahu diri juga. Nah! Pergilah dari sini, sebelum aku marah dan membunuhmu!” lanjut Pratama seraya berkacak pinggang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya menuding makhluk itu.

Sikap pemuda ini tampak sombong sekali, seperti seorang majikan memberi perintah pada budaknya. Entah apa yang dipikirkan makhluk itu. Tapi yang jelas Manusia Lumpur bukannya menurut. Bahkan....

“Graaagkh...!” Disertai geraman marah, Manusia Lumpur langsung menerkam Pratama.

“Uts! Sial!” Pemuda itu melompat gesit ke samping. Namun karena terlalu meremehkan, meski mampu menghindar dari serangan, tak urung kakinya kena kait kaki Manusia Lumpur.

Tak!

“Uhhh...!” Pratama melenguh tertahan ketika tubuhnya terjerembab keras. Kedua tangannya langsung memegangi pergelangan kakinya yang terasa sakit bukan main.

“Kakang, kau tidak apa-apa?!” teriak Lestari dengan wajah cemas.

“Lestari, cepat pergi dari sini! Makhluk ini bukan tandingan kita. Ayo, pergi! Selamatkan dirimu!” teriak Pratama.

Sementara makhluk itu siap kembali menyerang Pratama. Padahal pada saat yang bersamaan, Lestari pun bersiap akan menghantam makhluk itu.

Lestari sebenarnya adalah putri seorang tokoh silat yang cukup berpengaruh di kalangan persilatan. Tapi Pratama tahu kalau kepandaian gadis itu masih setingkat di bawahnya. Dan kalau dia saja dibuat jatuh bangun oleh makhluk ini, apalagi Lestari?

Maka sebelum gadis itu berbuat sesuatu, Pratama cepat bangkit. Dihampirinya gadis itu. Segera didorongnya Lestari agar menjauh dari makhluk itu.

“Pergi! Tinggalkan tempat ini, Lestari! Cepat pergi kataku!” bentak pemuda itu. Baru saja Pratama selesai berteriak....

“Kakang, awaaas...!”

Teriakan Lestari terlambat, karena satu tendangan Manusia Lumpur telah meluncur begitu dekat. Dan....

Duk!

Krek!

“Aaakh...!” Pratama memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke depan dengan bagian muka mencium tanah. Tulang punggungnya terdengar berderak patah.

“Graaagkh...!” Makhluk itu menggeram buas, mengalahkan teriakan Lestari yang bergegas memburu kekasihnya.

“Lestari, awaaas...!” Pratama masih sempat memperingatkan kekasihnya sambil menggapai-gapaikan tangan. Namun peringatan itu sia-sia. Tepat ketika Manusia Lumpur mengibaskan tangan, Lestari tiba dekat Dan....

Begkh!

“Aaakh...!” Lestari menjerit, ketika tiba-tiba sesuatu menghantam perutnya. Tubuh gadis itu terpental ke belakang. Tepat ketika Lestari mencium tanah, kaki Manusia Lumpur telah menginjak dada Pratama.

Jreekk!

“Aaa...!” Disertai jeritan, dari mulut pemuda itu muncrat darah segar. Sepasang matanya melotot lebar. Napasnya putus saat itu juga, karena dadanya langsung hancur sampai tulang-tulangnya.

“Kakaaang...!” seru Lestari kaget.

Meski menahan rasa sakit hebat, Lestari berusaha bangkit untuk melihat keadaan Pratama. Namun, makhluk itu agaknya tidak mau memberi kesempatan. Tubuhnya sudah langsung meluruk melepaskan tendangan kilat.

“Graaagkh...!”

Untung saja Lestari cepat bertindak. “Uts! Keparat! Akan kubunuh kau dengan pedangku!” desis gadis itu sambil membuang diri ke samping. Dan begitu bangkit berdiri pedangnya langsung dicabut.

Sriiing!

“Yeaaa...!” Tanpa menunggu lama lagi, Lestari langsung melompat menyerang. “Mampus kau, Keparat!” Begitu cepat pedang itu berkelebat, mengarah leher Manusia Lumpur.

Tak!

“Heh?!” Lestari tersentak kaget. Pedangnya patah begitu menghantam leher yang kerasnya bukan main. Dan belum habis keterkejutannya makhluk lumpur telah mengibaskan sebelah tangan.

Desss!

“Aaakh...!” Gadis itu kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh keras di tanah. Darah langsung termuntah dari mulutnya. Kepalanya berkunang-kunang. Pandangannya kabur lalu semakin gelap. Rasa sakit yang hebat, membuatnya tidak sadarkan diri. Lestari tergolek tak berdaya, sementara makhluk itu bersiap akan menghabisinya.

“Kraaagkh...!”

“Hei, makhluk apa itu?!”

Manusia Lumpur menghentikan gerakannya, ketika mendadak terdengar suara keras dari belakangnya. Begitu menoleh, tampak beberapa orang laki-laki telah berada tak jauh dari tempat ini.

“Astaga! Bukankah itu Lestari, Putri Ki Palaran,” seru laki-laki yang berikat kepala merah.

“Lihat! Ini tubuh Pratama. Napasnya sudah tak ada. Dia... dia sudah mati!” desis seorang lagi, yang kebetulan berada dekat dengan mayat Pratama.

Jumlah mereka tujuh orang. Dan masing-masing bersenjata sebilah pedang. Dan belum lagi mereka mulai menduga siapa yang menyebabkan kedua anak muda itu terkapar, mendadak makhluk itu telah berbalik dan langsung meluruk ke arah mereka.

“Awaaas...!” teriak laki-laki yang berikat kepala hijau.

“Hup...!”

Serentak mereka berlompatan menyelamatkan diri, seraya bergulingan. Dan secepat itu pula mereka bangkit berdiri mengurung makhluk itu dengan pedang terhunus.

“Aku yakin, keparat ini yang menyebabkan kematian Pratama!” kata laki-laki yang berambut panjang.

“Ya! Aku bisa merasakan sambaran angin serangannya tadi. Dia memiliki tenaga hebat luar biasa,” sahut yang lain.

“Graaagkh...!” Makhluk itu menggeram dan kembali menyerang.

“Uts!” Ketujuh orang itu kembali melompat menghindar dengan sigap.

“Rawit! Dan kamu, Cakra! Pergilah kalian dari sini. Bawa tubuh Pratama dan Lestari. Katakan hal ini pada kedua orangtua mereka!” teriak laki-laki yang berikat kepala merah.

“Baik, Kakang Sanjaya,” sahut laki-laki bernama Rawit dan Cakra hampir berbarengan.

Namun untuk melaksanakan tugas itu ternyata tidak begitu mudah. Bagi Rawit untuk membawa tubuh Pratama yang telah menjadi mayat mungkin tidak ada masalah. Namun tugas Cakra agaknya tidak berjalan mulus. Entah kenapa, tiba-tiba saja Manusia Lumpur berbalik dan melompat. Lalu, kakinya mendarat di dekat tubuh Lestari sambil menggeram buas.

“Graaagkh...!”

“Rawit! Bawa tubuh Pratama lebih dulu! Biar nanti Cakra menyusulmu!” teriak Sanjaya, laki-laki berikat kepala merah yang tadi memberi perintah.

“Baiklah, Kang! Hati-hati...!” Setelah itu Rawit segera berkelebat dari tempat itu, sambil memondong mayat Pratama.

Bersamaan dengan itu, yang lain segera menggunakan siasat untuk menjauhkan makhluk itu dari tubuh Lestari. Salah seorang melompat menyerang sambil membabatkan pedang.

“Keparat busuk, mampus kau!”

Tak!

“Heh?!” Orang itu terkesiap. Pedangnya patah tatkala berbenturan dengan tulang leher makhluk itu. Dan belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak Manusia Lumpur mengibaskan sebelah tangan ke arah dada.

Desss!

“Aaa...!” Disertai pekik kesakitan, orang yang tadi menyerang kontan terpental ke belakang. Begitu jatuh dari mulutnya menyemburkan darah segar. Tubuhnya menggeliat sesaat, lalu diam tak berkutik. Napasnya putus dan nyawanya pun melayang!

“Kurang ajar! Dia telah membunuh kawan kita!” desis Sanjaya.

Laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang bernama Sanjaya, selain tertua di antara kawan-kawannya, juga bertindak sebagai pemimpin. Itu sebabnya, saat memberi perintah tadi, tak seorang pun yang berani membantah.

Lima orang yang tersisa kini langsung menyerang bersamaan dengan tusukan maupun sabetan pedang. Terlihat kalau mereka menjadi murka penuh amarah.

“Graaagkh...!” Tapi makhluk itu tidak peduli. Begitu mendapat serangan, saat itu juga kedua tangannya bergerak menyibak.

Des! Begkh!

“Aaakh...!”

Dua orang kontan memekik nyaring dan terjungkal kebelakang, ketika pukulan Manusia Lumpur menghantam dada dan perut. Sia-sia saja mereka berusaha menebas, sebab hal itu tidak ada artinya. Pedang mereka tidak mampu melukainya!

“Keparat! Aku bersumpah akan membunuhnya!” desis Sanjaya geram.

Mereka kini hanya bertiga menghadapi makhluk menggiriskan itu. Meski begitu, tidak sedikit pun terlihat kalau merasa gentar. Dengan bersemangat mereka kembali menyerang.

“Heaaa...!”

“Graaagkh...!”

Tak! Tak!

Pedang mereka menyambar tubuh Manusia Lumpur dari tiga arah. Namun tidak satu pun yang membawa hasil. Malah senjata itu patah jadi dua. Dan saat makhluk itu mengibaskan tangan....

Dess! Dess!

“Aaakh...!”

“Aaakh...!”

Dua orang kembali memekik kesakitan. Tubuh mereka terjungkal ke belakang dengan tulang dada remuk. Begitu mencium tanah, nyawa keduanya melayang.

“Setan!” desis Sanjaya geram. Laki-laki berikat kepala merah ini masih untung bisa selamat dengan melompat ke samping. Lalu tubuhnya terus bergulingan, untuk menghindari serangan selanjutnya.

“Graaagk...!” Manusia Lumpur menggeram dan kembali melompat menyerang.

Kali ini Sanjaya tidak mau bertindak gegabah. Agaknya mulai disadari bahwa tidak ada gunanya balas menyerang. Sebab dari apa yang telah dilihatnya, senjatanya tidak berarti sama sekali. Bahkan pada jarak dekat, gerakan makhluk itu sulit diimbangi. Itulah sebabnya, kawan-kawannya tadi tewas. Mereka terlalu ceroboh berada dekat-dekat Manusia Lumpur ini.

“Graaagkh...!” Kembali makhluk ini menyerang sambil mengibaskan tangannya.

“Uts, gila!” Dengan gerakan gesit, Sanjaya melompat kesamping, sehingga serangan itu luput.

Dan baru saja Sanjaya lepas dari maut, Manusia Lumpur kembali menyerang ganas. Kembali laki-laki ini melompat ke samping, seraya bergulingan.

Jdeeer...!

Akibatnya batu besar yang tadi berada di belakang Sanjaya, hancur lebur terkena hantaman makhluk itu. Tidak bisa dibayangkannya, bagaimana jadinya jika pukulan tadi mengenai tubuhnya.

EMPAT

Manusia Lumpur benar-benar tidak mau memberi kesempatan sedikit pun kepada Sanjaya. Begitu serangan pertama gagal, kembali tubuhnya mencelat mengejar. Sanjaya gelagapan. Dicobanya menghindar seraya mengayunkan pedang.

Tak!

Walaupun Sanjaya sudah bergerak menghindar, tak urung Manusia Lumpur sempat menghajar dadanya.

Des!

“Aaakh...!” Laki-laki itu kontan memekik. Tubuhnya terjungkal beberapa tombak dari tempat semula. Pedangnya pun patah tatkala menyambar pinggang Manusia Lumpur yang sama sekali tidak berusaha menghindar karena tetap memusatkan perhatian untuk melayangkan kepalan tangannya.

Sanjaya kelihatan kepayahan. Wajahnya meringis menahan sakit. Dan tubuhnya sulit untuk bangkit. Padahal saat yang sama, Manusia Lumpur bersiap menghabisinya.

Laki-laki ini hanya mengeluh di hati. Dan dia hanya bisa pasrah dengan mata terpejam. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghindari serangan Manusia Lumpur.

“Graaagkh...!”

Wuuut!

Sedikit lagi kaki Manusia Lumpur menginjak, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih yang langsung menyambar tubuh Sanjaya.

Der!

“Groaaagkh...!”

Permukaan tanah tempat Sanjaya tadi berbaring kontan hancur lebur diinjak makhluk itu. Manusia Lumpur cepat berbalik. Dan dia menggeram buas ketika menyadari seseorang telah mengacau urusannya.

Di depan Manusia Lumpur kini berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih pada jarak sepuluh langkah di depannya. Pemuda yang menyandang pedang bergagang kepala burung di punggung itu baru saja menurunkan Sanjaya dari bopongan.

“Graaagkh...!” Sementara itu Manusia Lumpur telah kembali melompat, menyerang pemuda yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts! Sial!” rutuk Rangga langsung melompat ke samping.

Pendekar Rajawali Sakti sungguh tak menduga kalau makhluk yang tubuhnya penuh lumpur begitu mampu bergerak amat gesit. Sampai-sampai dia tadi terlambat menghindar.

“Hati-hati, Kisanak! Dia bisa membunuhmu!” teriak Sanjaya mengingatkan Rangga.

“Terima kasih, Sobat!” sahut Pendekar Rajawali Sakti.

Baru saja kata-kata Rangga habis, Manusia Lumpur telah menerjang kembali.

“Graaagkh...!”

“Uts, gila!” Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting tinggi, kemudian berputaran di udara. Namun baru saja kaki menjejak tanah, serangan Manusia Lumpur telah datang lagi. Begitu cepat dan amat berbahaya. Dan sebelum Manusia Lumpur menerkam, Pendekar Rajawali Sakti telah mengegos ke samping. Lalu seketika dilepaskannya satu tendangan bertenaga dalam kuat ke perut.

Duk!

“Uhhh...! Makhluk apa ini sebenarnya?!” sentak Rangga kaget.

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak menggoyahkan Manusia Lumpur. Bahkan kakinya terasa linu. Sedangkan makhluk itu kelihatan makin marah saja, melihat Rangga mampu melepaskan serangan. Suara geramannya semakin keras. Dan wajahnya semakin menyeringai buas tatkala kembali menyerang.

“Graaagkh...!”

Wuuut!

Seketika tubuh Manusia Lumpur berkelebat laksana tiupan angin kencang sambil mengayunkan kepalan tangan tepat ke jantung. Namun Pendekar Rajawali Sakti yang menyadari kalau lawannya kali ini tidak bisa dianggap enteng, telah siap sedia.

“Uts!” Begitu kepalan tangan Manusia Lumpur meluncur, Rangga berkelit sedikit ke samping sambil membungkuk. Sementara tangan kirinya yang berisi tenaga dalam coba menangkis. Sedangkan kepalan tangan kanannya langsung menghantam dada.

Plak!

Des!

“Uhh...!” Tapi yang terjadi justru Rangga sendiri yang mengeluh tertahan. Kedua tangannya terasa linu. Padahal tenaga dalam yang dikerahkan sudah cukup tinggi. Namun tetap saja tangannya seperti terbentur batangan baja. Belum lagi habis rasa kaget Rangga, mendadak satu hantaman keras melanda tanpa mampu dihindari. Dan....

Dess...!

“Aaakh...!” Pendekar Rajawali Sakti menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental ke belakang sejauh beberapa langkah.

“Graaagkh...!”

Belum juga Rangga bangkit, Manusia Lumpur telah kembali melompat dan bermaksud menghabisinya. Rangga mendengus geram. Sebelum makhluk itu menginjaknya dia cepat bergulingan.

Dar!

Agak tercekat juga Rangga melihat bekas tempatnya terbaring tadi telah berlubang cukup dalam. Begitu belah ada jarak, tepat di bawah sebuah pohon Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi ke atas. Dua kali dia berputaran, lalu kakinya menjejak dahan pohon dengan manis sekali. Sebentar Rangga menarik napas panjang. Mukanya berkerut dengan sebelah tangan mendekap perut. Namun belum lagi lega, mendadak....

Jder!

Kraaak!

Satu hantaman keras membuat batang pohon tempat Rangga bertengger, hancur berantakan. Rangga cepat mencelat ke bawah, menjauh dari reruntuhan batang pohon itu.

“Edan! Makhluk ini tidak bisa dianggap main-main.”

Baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, saat itu juga Manusia Lumpur mencelat menerjangnya. Namun Rangga pun telah siap. Seketika kedua tangannya dihentakkan.

“Aji ‘Bayu Bajra’! Heaaa...!”

Wesss....

Dari telapak tangan Rangga langsung tercipta tiupan angin kencang dahsyat, menghantam Manusia Lumpur. Tubuh makhluk itu sempat terdorong ke belakang sejauh beberapa langkah akibat aji ‘Bayu Bajra’ yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Namun setelah itu sama sekali tidak berarti.

“Gila!” sentak Rangga, seraya menutup ajiannya.

Rangga nyaris tidak percaya kalau saja tidak melihatnya langsung. Bagaimana mungkin ajiannya yang mampu menerbangkan dua ekor gajah sekalipun, tidak mampu menerbangkan makhluk itu? Terbuat dari apa tubuhnya itu?

“Graaagkh...!”

Tidak ada waktu bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk berpikir lama. Makhluk itu kelihatan semakin geram. Raungan suaranya yang keras dan nyaring menandakan amarahnya telah meluap-luap.

“Kisanak! Lebih baik tinggalkan makhluk itu! Dia akan membunuhmu!” teriak Sanjaya.

“Hei?! Kau belum pergi juga? Pergilah. Ayo, cepat pergi! Jangan sampai dia menyerangmu pula!” sentak Rangga, melihat Sanjaya belum pergi juga dari tempat ini.

Sanjaya jadi serba salah. Walaupun keadaannya terluka dalam, dia bisa pergi dari tempat ini. Namun hatinya tidak tega meninggalkan penolongnya seorang diri yang terancam bahaya. Apalagi makhluk itu bukan lawan sembarangan. Sanjaya merasa harus membalas budi pemuda itu.

“Graaagkh...!” Sementara itu, Manusia Lumpur telah kembali melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Raungan yang terdengar lebih garang, penuh amarah. Dan Rangga telah siap menyambutnya dengan mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian ‘Jurus Rajawali Sakti’ pada tingkat yang terakhir. Dan berarti tenaga dalamnya juga telah dikerahkan penuh.

“Heaaah...!” Rangga langsung meluruk dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Dan begitu sampai pada jarak yang diinginkan, tiba-tiba tangannya menghentak dengan pengerahan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.

Slaps...!

Seketika selarik cahaya merah melesat kencang dari telapak tangan Rangga laksana sambaran kilat menerpa tubuh makhluk yang tengah menerjang.

Jderrr...!

“Aaagkh...!” Manusia Lumpur menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal kebelakang kira-kira beberapa langkah. Namun sungguh ajaib! Dengan cepat makhluk itu bangkit berdiri. Ternyata pukulan yang mampu menghancurkan batu sebesar kerbau itu tidak melukainya sedikit pun. Hanya tersisa sedikit asap putih yang mengepul, lalu hilang beberapa saat kemudian.

“Gila!” desis Rangga tidak habis pikir.

Namun Rangga tidak punya waktu lama. Dengan amarah yang semakin hebat, Manusia Lumpur kembali melompat menerjang.

“Graaagkh...!”

Merasa tak ada pilihan lain lagi, Pendekar Rajawali Sakti menggerakkan tangannya kepunggungnya. Lalu....

Sring...!

Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan. Langsung disongsongnya tubuh Manusia Lumpur yang telah mencelat menerjangnya.

“Aaargkh...!” Untuk sekilas makhluk itu seperti terkejut. Tapi selanjutnya dia menggeram buas.

Cras! Cras!

“Aaargkh...!”

Pedang Pendekar Rajawali Sakti berhasil menebas leher dan pinggang Manusia Lumpur secepat kilat. Kembali makhluk ini menggerung keras, seperti merasakan sakit yang hebat. Kulit tubuhnya sedikit terluka, namun tidak mengeluarkan darah setetes pun.

Wuuuss!

Manusia Lumpur melompat ke belakang sejauh lima langkah. Kedua tangannya mengusap leher dan pinggang. Dan bersamaan dengan itu, terlihat cahaya merah kekuningan menyelubungi tubuhnya. Hanya beberapa saat, cahaya itu hilang. Dan kini, lukanya pun sirna.

“Hm.... Makhluk apa ini sebenarnya? Dari mana asalnya dia?” desis Rangga dengan wajah bingung.

Tidak seperti tadi, kini Manusia Lumpur tidak lagi menyerang. Dia berdiri tegak memandang Rangga, kemudian perlahan-lahan berbalik. Dan segera ditinggalkannya tempat ini seperti tidak ada kejadian apa-apa.

Sementara Rangga sendiri tidak berusaha mengejar. Kakinya melangkah menghampiri Sanjaya yang masih terduduk lemah.

“Aneh.... Kenapa dia pergi begitu saja?!” seru Sanjaya tidak habis pikir. Matanya terus menatapi arah kepergian Manusia Lumpur yang terus menghilang.

“Entahlah. Aku juga tidak mengerti,” desah Rangga sambil menyarungkan pedangnya. Seketika sinar biru berkilauan dari pedangnya lenyap, tertutup warangka.

“Siapa sebenarnya dia? Manusia atau makhluk jadi-jadian?”

Rangga tidak menjawab. Pandangannya masih tertuju ke arah sama dengan Sanjaya.

“Kenapa dia pergi tiba-tiba? Padahal dia bisa membunuh kita berdua...?” tanya Sanjaya lagi, langsung menatap Rangga.

“Entahlah, aku tidak tahu...,” sahut Rangga, kalem balas menatap Sanjaya. “Maaf, Kisanak. Kalau boleh, aku ingin memeriksa lukamu.”

“Silakan...,” sahut Sanjaya.

Rangga segera berjongkok seraya mengulurkan tangannya memeriksa tubuh Sanjaya. Lalu dia mendecah kecil sambil menggeleng lemah.

“Lukamu cukup parah, Sobat..,” desah Rangga.

“Jangan khawatirkan aku. Tapi coba tolong periksa gadis itu. Apakah dia masih selamat?” ujar Sanjaya seraya menunjuk tubuh Lestari yang masih tergolek tidak jauh dari mereka.

Rangga menoleh ke arah Lestari. Segera dia bangkit, dan menghampiri tubuh gadis itu.

“Apakah dia masih hidup, Kisanak?” tanya Sanjaya.

Rangga mengangguk tanpa menoleh. “Nadinya cukup lemah. Dia menderita luka dalam yang cukup parah. Beberapa tulang rusuknya patah. Gadis ini harus segera mendapat pertolongan. Kalau tidak....”

“Dia akan mati?” potong Sanjaya.

“Bisa jadi,” sahut Rangga lemah.

Sanjaya mendesah kecil. “Apa yang bisa kulakukan dalam keadaan begini...?” keluh Sanjaya lemah. “Aku juga dalam keadaan luka dalam....”

“Ya, aku mengerti,” Rangga mengangguk lemah. “Tapi akan kubuatkan tandu untuk kalian.” Rangga kembali berdiri. Namun sebelum beranjak, muncul beberapa orang mendekati mereka, lalu disusul lebih dari lima belas orang lagi di belakangnya.

“Kurasa tidak perlu, Kisanak,” kata Sanjaya tersenyum kecil.

“Kau kenal mereka?”

“Ya! Mereka kawan-kawanku.”

“Hm.... Kalau begitu telah ada yang mengurus kalian. Aku pergi dulu!”

Tanpa menunggu jawaban Sanjaya, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat pergi dari tempat ini. “Hei, tunggu dulu!” cegah Sanjaya.

Teriakan Sanjaya percuma saja. Gerakan pemuda itu cepat sekali. Dan tahu-tahu tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dari pandangan.

“Siapa makhluk itu, Sanjaya? Berani benar dia berurusan dengan Bagus Wesi?!”

Suara penuh getaran itu keluar dari mulut seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya tampak memendam duka yang teramat dalam. Bahkan lebih seram dari biasanya.

“Aku sungguh tidak tahu, Guru,” sahut laki-laki yang tak lain memang Sanjaya.

“Hm....” Laki-laki tua yang dalam rimba persilatan dikenal sebagai Bagus Wesi ini bergumam. Pandangannya lurus ke depan, namun bagai tanpa makna. Sementara sepuluh orang muridnya yang berada di ruangan ini diam membisu.

“Aku belum pernah mempunyai musuh dengan ciri-ciri seperti yang kau jelaskan tadi,” lanjut Ki Bagus Wesi.

“Guru.... Apakah barangkali ada orang-orang yang tidak menyukai hubungan mereka?” duga seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun dengan suara pelan.

“Apa maksudmu, Somba?” Ki Bagus Wesi malah bertanya.

“Pratama dan Lestari. Banyak yang tidak menyukai perkawinan mereka. Bahkan berusaha menggagalkannya. Bukankah sebelum kita, telah banyak yang ingin melamar putri Ki Layang Seta itu? Namun lamaran itu ditolaknya, dan malah menerima lamaran kita,” papar pemuda bernama Somba.

“Siapa menurutmu yang paling tidak senang jika Pratama dan Lestari jadi kawin?” tanya laki-laki tua yang memang ayahnya Pratama, pemuda yang tewas di tangan Manusia Lumpur.

Dan Ki Bagus Wesi sebenarnya adalah Ketua Perguruan Tangan Besi. Sebuah perguruan yang telah banyak menelorkan pendekar digdaya. Memang sejak kematian Pratama, Ki Bagus Wesi yang dikenal tegas dan garang, jadi semakin seram saja kelihatannya.

“Aku tidak bisa menduga dengan pasti. Tapi bisa kita lihat bahwa Ki Tawur kelihatan marah betul, tatkala mendengar bahwa Ki Layang Seta menerima lamaran kita. Orang itu seperti dikecilkan oleh kita, Guru,” jelas Somba.

“Ki Tawur tidak pernah menunjukkan sikap bermusuhan terhadapku. Dan selama ini, dia tidak pernah melakukannya dalam bentuk apa pun,” sergah Ki Bagus Wesi tegas.

Somba terdiam, tidak berani menimpali kata-kata gurunya.

“Guru.... Aku pernah mendengar berita aneh belakangan ini,” ujar salah seorang murid lain.

“Berita apa itu, Karna?” tanya Ketua Perguruan Tangan Besi ini.

“Dalam tiga hari belakangan ini, ada pembantaian besar di wilayah barat. Lebih dari seratus orang tewas dengan ciri-ciri sama, yaitu tulang-tulang mereka remuk seperti dibelit ular raksasa. Dan apa yang menimpa murid-murid yang lain, menunjukkan ciri-ciri sama,” jelas murid yang dipanggil Kama.

“Menurutmu, orang itu yang melakukannya?” tanya Ki Bagus Wesi lagi.

“Mungkin saja, Guru.”

“Apa alasannya membunuh kawan-kawanmu?”

“Makhluk itu membunuh tanpa alasan, Guru. Dia hanya membunuh mereka yang berpapasan dengannya.”

Ki Bagus Wesi tercenung beberapa saat, mendengar penuturan muridnya itu.

“Ciri-ciri yang tadi dijelaskan Kakang Sanjaya, agaknya persis seperti yang pernah kudengar,” lanjut Kama lagi.

“Orang ini sungguh gila. Dia memiliki ilmu kebal yang dahsyat bukan main. Tubuhnya keras bagai seonggok karang yang tidak tergoyahkan oleh apa pun,” timpal Sanjaya.

“Tapi, kenapa dia tidak menghabisi nyawa pemuda itu seperti yang dilakukannya pada orang lain?” tanya salah satu murid lain.

Semua orang memandang Sanjaya dengan seksama. Demikian pula Ki Bagus Wesi. Mereka agaknya penasaran dengan ceritanya pada bagian ini.

“Entahlah.... Aku sendiri tak tahu. Dan kulihat pemuda itu pun seperti kebingungan,” jawab Sanjaya.

“Guru! Ada kemungkinan kalau pemuda itu tersangkut-paut dengannya?” tanya Kama.

“Mungkin saja. Tapi, mungkin juga tidak. Mereka bertarung mati-matian. Dan tiba-tiba, makhluk itu menyudahinya begitu saja. Bukankah pada saat itu dia memainkan ilmu pedangnya, Sanjaya?” tanya Ki Bagus Wesi.

“Benar, Guru.”

“Kau katakan pedang pemuda itu mengeluarkan cahaya biru?”

Sanjaya kembali mengangguk.

“Hmmm....” Ki Bagus Wesi berpikir sejenak.

“Apakah Guru tahu, siapa kira-kira pemuda itu?” tanya salah seorang murid.

“Mungkin pemuda itu Pendekar Rajawali Sakti,” duga Ki Bagus Wesi.

“Pendekar Rajawali Sakti? Hm.... Rasanya aku pun berpikir seperti itu,” sahut Sanjaya.

“Dia pendekar hebat. Dan untuk saat ini, sulit dicari tandingannya. Tapi kenapa kau katakan dia keteter menghadapi lawannya?”

“Entahlah.... Aku sendiri tidak tahu, Guru. Tapi makhluk itu memang hebat sekali.”

“Aku ingin kalian mencari tahu soal ini. Juga mengikuti ke mana pemuda itu pergi. Kita harus meyakinkan apakah dia mempunyai sangkut paut dengan makhluk itu!” ujar Ki Bagus Wesi, tandas.

“Baik, Guru! Akan kami laksanakan sebaiknya!” sahut para murid Perguruan Tangan Besi serentak.

“Aku inginkan makhluk itu. Dia harus membayar kematian Pratama!” desis laki-laki tua ini.

Semua murid mengangguk. Dan belum juga ada yang membuka suara lagi....

“Aaa...!”

“Heh? Apa itu?!”

LIMA

Ki Bagus Wesi berkelebat keluar, diikuti murid-muridnya. Setiba di luar, tampak beberapa murid Perguruan Tangan Besi terkapar tak berdaya. Sementara yang lainnya tengah mengeroyok seseorang.

“Guru! Makhluk itu yang tadi kita bicarakan!” teriak Sanjaya memberitahu.

“Hhh...!” Wajah Ki Bagus Wesi seketika berubah kelam. Amarah yang memercik di hatinya, cepat berubah menjadi kobaran api yang menyala-nyala.

“Minggir kalian semua!” bentak laki-laki tua itu melompat menerobos arena pertarungan.

Sementara seketika murid-murid Ki Bagus Wesi melompat mundur, memberi jalan. Sehingga Ki Bagus Wesi bisa melihat jelas rupa pembunuh putranya.

“Siapa sebenarnya kau?! Dan, mengapa kau bunuh anakku?!” dengus Ketua Perguruan Tangan Besi itu dengan nada dingin.

Sepasang mata laki-laki ini menatap tajam pada sosok berlumpur yang tak lain Manusia Lumpur. Namun sesaat jantung Ki Bagus Wesi berhenti berdetak, tatkala makhluk di depannya balas memandang. Sepasang matanya berkilau tajam, seperti hendak menikam jantungnya.

“Graaagkh...!” Manusia Lumpur menggeram buas. Dan secepat kilat, diterjangnya Ki Bagus Wesi.

Ki Bagus Wesi terkesiap. Namun, dia masih mampu berkelit seraya menangkis pukulan. “Uts!”

Plak!

“Uhhh...!” Kembali orang tua itu dibuat kaget. Tangannya merasa linu dan sedikit sakit ketika beradu dengan tangan Manusia Lumpur. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dia mulai balas menyerang dengan menggunakan jurus ‘Tangan Besi’ yang jadi andalan perguruannya.

“Heaaa...!” Tiba-tiba tubuh Ki Bagus Wesi berkelebat sambil melepaskan dua pukulan berturut-turut yang begitu cepat tak tertahankan.

Deb! Deb!

“Graaagkh...!” Manusia Lumpur terdorong beberapa langkah ke belakang akibat dua hantaman berturut-turut di dadanya. Namun secepat itu pula, dia melompat menyerang sambil menggeram marah.

“Graaagkh...!”

“Hup! Keparat!” Ki Bagus Wesi melompat ke samping, menghindari pukulan Manusia Lumpur. Akibatnya pagar tembok di belakangnya jadi sasaran.

Blarrr...!

Tembok itu kontan hancur berkeping-keping dihajar pukulan Manusia Lumpur. Dan baru saja Ki Bagus Wesi menjejakkan kaki, serangan makhluk ini telah meluruk kembali dengan satu kibasan tangan.

Wuuut!

Cepat Ki Bagus Wesi memiringkan tubuhnya sehingga kepalan tangan Manusia Lumpur lewat beberapa jari dari pelipisnya. Tapi begitu serangan itu lewat, secepat itu pula serangan lain bergerak ke bawah menggedor dada.

Begkh...!

“Aaakh...!” Ketua Perguruan Tangan Besi memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang. Dari mulutnya meleleh darah segar.

“Guru...!”

Murid-murid Perguruan Tangan Besi tersentak kaget. Beberapa orang berlari cepat menghampiri. Padahal pada saat yang sama, Manusia Lumpur tengah melompat hendak menghabisinya.

“Keparat!” desis Sanjaya. Bersama empat orang kawannya, laki-laki itu melompat untuk menghadang serangan.

“Jangaaan...!” teriak Ki Bagus Wesi memperingatkan murid-muridnya.

Tapi teriakan Ketua Perguruan Tangan Besi agaknya tidak dipedulikan murid-muridnya. Pada saat yang sama, makhluk itu telah mengayunkan tendangan secepat kilat. Sehingga....

Buk! Begkh! Krek!

“Aaa...!”

Kelima orang itu terpental ke belakang disertai pekik kesakitan. Tiga orang terhantam tendangan, dua lainnya terkena kepalan. Mereka menggelepar sesaat dengan darah meleleh dari sudut bibir, lalu diam tak bergerak.

“Keparat!” desis Ki Bagus Wesi. Bukan main geramnya Ki Bagus Wesi melihat pemandangan yang terjadi di depan mata. Lima muridnya tewas, dan dia tidak mampu menolong sedikit pun.

“Graaagkh...!”

Ki Bagus Wesi tidak bisa termenung lama-lama, sebab Manusia Lumpur telah menggeram dan kembali melompat menerjang. Secepat kilat dia bangkit, lalu....

“Hup!” Dengan gerakan mengagumkan, Ketua Perguruan Tangan Besi mengegoskan tubuhnya ke kiri. Lalu tanpa diduga tubuhnya berputar seraya melepaskan tendangan. Namun Manusia Lumpur dengan tangkas mengebutkan tangannya untuk menangkis.

Plak!

“Uhhh...!” Ki Bagus Wesi mengeluh menahan sakit, begitu kakinya terpapak tangan Manusia Lumpur. Tubuhnya terjajar beberapa langkah dengan mulut meringis. Dan belum sempat Ketua Perguruan Tangan Besi memperbaiki keseimbangannya, Manusia Lumpur telah kembali berkelebat seraya melepaskan satu hantaman tangan kiri kedalam.

Wuuut...!

Desss...!

“Aaa...!” Ki Bagus Wesi memekik setinggi langit ketika dadanya terhantam pukulan keras bukan main. Tubuhnya terjungkal ke belakang dengan tulang dada remuk. Dari mulutnya menyembur darah segar. Orang tua itu hanya mampu bergerak sesaat, lalu diam tak berkutik.

“Guruuu...!” teriak murid Perguruan Tangan Besi tersentak kaget.

Serentak mereka berlompatan menghampiri gurunya. Tapi saat itu juga, Manusia Lumpur melompat menyerang.

“Graaagkh...!”

Jdeer!

“Aaa...!”

Empat orang langsung terpental dan tewas dihantam pukulan makhluk itu. Rata-rata tulang mereka remuk. Dan yang lainnya terjungkal sambil menjerit kesakitan.

“Keparat...! Makhluk ini benar-benar iblis terkutuk!” desis murid-murid Perguruan Tangan Besi.

Serentak mereka yang tersisa melompat mengurung Manusia Lumpur dengan sikap siap menyerang. Namun sebelum mereka bergerak, makhluk itu telah lebih dulu berkelebat dengan kecepatan luar biasa.

“Graaagkh...!”

Tak! Tak! Begkh!

“Aaa...!”

Tiga orang terpekik. Tubuh mereka terpental dengan dada remuk terkena tendangan Manusia Lumpur. Kejadian itu membuat mereka yang lain menjadi waswas. Kepercayaan diri mereka hilang. Apalagi setelah melihat kematian guru mereka. Makhluk itu mampu membunuh seperti membunuh kawanan nyamuk. Padahal mereka telah berusaha menyerang dengan segala kemampuan yang ada.

“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya salah satu orang murid perguruan itu.

“Entahlah. Jumlah kita tinggal lima orang lagi. Dengan jumlah banyak saja tak mampu. Apalagi sekarang,” keluh murid lain.

Para murid Perguruan Tangan Besi benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Bila mereka berniat kabur, rasanya tidak sampai hati meninggalkan mayat kawan-kawan seperguruan yang telah berkorban nyawa demi menyelamatkan yang lain. Termasuk, mereka. Lagipula belum tentu mereka bisa kabur dengan selamat. Makhluk ini pasti akan mengejarnya. Dan sebelum mereka mempunyai pilihan lain, Manusia Lumpur kembali menyerang dengan buas.

“Graaagkh...!”

Kelima orang itu terperangah. Agaknya, mereka tidak akan mampu menahan serangan. Mereka hanya pasrah dengan mata terpejam. Namun sebelum serangan Manusia Lumpur sampai pada sasaran....

“Heaaa...!” Mendadak melesat dua sosok bayangan merah, langsung memapaki serangan Manusia Lumpur.

Duk! Duk!

“Aaakh...!”

Dua sosok berbaju merah yang baru muncul kontan berteriak kesakitan. Ketika berhasil memapaki, justru mereka yang terjungkal ke belakang. Namun dengan sigap mereka mengatur keseimbangan, sehingga bisa berdiri tegak.

“Ki Layang Seta! Ki Larong!” seru salah seorang murid Perguruan Tangan Besi ketika mengetahui siapa kedua sosok itu.

Dua sosok yang datang adalah dua laki-laki tua berbaju serba merah. Yang seorang berambut panjang, dengan ikat kepala warna merah. Sama dengan rambutnya, kumis dan jenggotnya pun telah berwarna putih.

Sementara yang seorang lagi berambut jabrik. Meski sudah cukup tua, kumis dan jenggotnya masih berwarna hitam.

“Bagaimana gurumu?” tanya laki-laki tua yang berambut panjang.

“Beliau tewas, Ki Layang!” sahut seorang murid Ki Bagus Wesi.

Laki-laki yang bernama Ki Layang Seta mau bertanya lebih lanjut. Namun saat itu, Manusia Lumpur telah melompat menyerang kembali.

“Graaagkhh...!”

“Awas, Sobat!” teriak Ki Larong, memperingatkan.

Kedua laki-laki tua itu melompat menghindar dengan mencelat ke atas berdampingan. Tapi dengan tidak disangka-sangka, makhluk berlumpur itu melejit menyusul dengan gerakan cepat bagai kilat. Di udara, kedua orang itu langsung melepaskan tendangan dahsyat. Namun dengan gerakan cepat, Manusia Lumpur memapak dengan kedua tangannya.

Plak! Plak!

“Uh!”

“Uhh...!”

Ki Layang Seta dan Ki Larong sama-sama mengeluh tertahan, ketika berbenturan dengan makhluk itu. Dengan menggunakan tenaga benturan, mereka sama-sama melenting ke belakang sambil berputaran. Lalu, dengan agak terhuyung mereka mendarat di tanah.

“Huh, gila! Makhluk apa ini?!” desis Ki Layang Seta.

“Ki Layang Seta! Makhluk ini yang telah membunuh Pratama dan melukai Lestari, putrimu!” teriak seorang murid Perguruan Tangan Besi.

“Apa?! Inikah keparat itu? Jahanam! Akan kupenggal lehernya!” bentak laki-laki tua yang ternyata ayahnya Lestari, kekasih Pratama. Dengan wajah geram, Ki Layang Seta mencabut pedangnya yang menggantung di pinggang.

Sring!

“Yeaaa!”

Tanpa mempedulikan kakinya yang masih nyeri, Ki Layang Seta meluruk sambil memutar-mutar pedangnya. Begitu cepat putaran pedang itu, hingga yang terlihat hanya kilatan sinar putih keperakan disertai deru angin cukup dahsyat.

Wut! Wut!

Begitu telah berada dalam jarak yang memungkinkan Ki Layang Seta langsung membabatkan pedangnya ke dada.

Tak!

“Heh?!” Bukan main terkejutnya Ki Layang Seta ketika pedangnya justru malah patah. Merasa masih penasaran segera dilepaskannya satu tendangan berisi tenaga dalam tinggi.

Dug!

“Uhhh....” Bukannya Manusia Lumpur yang terjungkal malah laki-laki tua itu yang terjajar beberapa langkah. Kakinya terasa ngilu dan sakit bukan main.

“Graaagkhh...!”

Belum juga Ki Layang Seta bersiap kembali, Manusia Lumpur telah berkelebat sambil mengibaskan tangannya cepat bagai kilat. Dan....

Begkh!

“Aaakh...!” Ki Layang Seta memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terpental ke belakang beberapa langkah. Tulang dadanya terasa patah. Dan dari mulutnya menyembur darah segar.

“Graaagkh...!”

“Terkutuk! Kau boleh hadapi aku!” bentak Ki Larong, langsung mencabut pedangnya.

Laki-laki tua ini segera berkelebat ketika makhluk itu bermaksud menghabisi Ki Layang Seta yang tengah megap-megap kesakitan. Dan begitu dekat, pedangnya sengaja ditusukkan ke arah mata. Ini sengaja dilakukan untuk mengelabui. Sebab melihat yang tadi terjadi terhadap Ki Layang Seta, Ki Larong menyadari kalau makhluk itu memiliki ilmu kebal yang hebat. Maka begitu Manusia Lumpur berkedip, saat itu juga dilepaskannya satu tendangan dahsyat ke dada.

Dess!

“Uhhh...!” Betapa kagetnya laki-laki tua itu ketika kakinya terasa seperti menghantam tembok baja yang luar biasa kerasnya. Bahkan tubuhnyalah yang justru terjajar beberapa langkah ke belakang.

“Gila! Terbuat dari apa kulitnya?!” desis orang tua itu tidak habis pikir.

“Graaagkh...!”

Belum habis Ki Larong berpikir, Manusia Lumpur telah berkelebat cepat sambil mengibaskan tangannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga laki-laki tua ini tak sempat menyadarinya. Dan....

Desss...!

“Aaakh...!” Ki Larong memekik setinggi langit ketika dadanya telak sekali mendapat hantaman dari Manusia Lumpur. Tulang dadanya terasa remuk. Tubuhnya terjungkal kebelakang disertai muntahan darah segar.

Kekejaman Manusia Lumpur agaknya membuat Ki Layang Seta dan murid-murid Ki Bagus Wesi merutuk habis-habisan. Mereka menduga Ki Larong telah mati terkena hajaran begitu rupa. Namun, makhluk itu agaknya kurang puas. Maka begitu tubuh Ki Larong menyentuh tanah Manusia Lumpur melompat gesit. Lalu kaki kanannya cepat dihunjamkan ke leher Ki Larong.

Praaak!

Terdengar suara berderak seperti tulang patah, namun tidak terdengar suara kesakitan. Leher Ki Larong langsung patah, terkulai tanpa daya. Dan dia memang telah tewas sejak tadi!

“Ki Larong!” teriak Ki Layang Seta, seraya berusaha bangkit. Teriakan Ki Layang Seta membuat Manusia Lumpur berbalik. Saat itu juga dia melompat hendak menghabisi laki-laki tua itu yang hendak menghampiri Ki Larong.

“Uts!” Ki Layang Seta cepat bergulingan, sehingga tendangan makhluk itu menghantam tempat lain.

Jdeerr!

Permukaan tanah yang jadi sasaran amblas beberapa jengkal ke bawah. Melihat buruannya berhasil lolos, secepat itu pula Manusia Lumpur kembali berputar. Segera dikejarnya Ki Layang Seta disertai amarah.

“Graaagkh...!”

Wess...! Wess...!

Pada saat yang gawat bagi keselamatan laki-laki tua itu, mendadak melesat beberapa benda kehitaman sebesar kepalan tangan ke arah Manusia Lumpur.

Tak! Dess!

Benda-benda yang ternyata batu itu menghantam dahi, dada, perut, dan bagian bawah perut Manusia Lumpur.

Wess...! Wess...!

Belum juga makhluk itu melihat siapa yang melempar batu, kembali melesat dua buah batu ke bagian mata dan lubang pusarnya. Dari raut wajahnya jelas terlihat kalau Manusia Lumpur cukup terkesiap. Namun....

“Groaaagkh...!” Dengan teriakan kegeraman makhluk itu segera menangkap kedua batu yang melesat ke arahnya. Lalu sambil kembali menggerung diremasnya kedua batu itu hingga remuk.

Weett!

Tapi, pada saat yang sama melesat cepat satu sosok bayangan putih menyambar tubuh Ki Layang Seta. Manusia Lumpur hanya mampu terkesiap. Bayangan itu benar-benar cepat bergerak. Sehingga sebelum dia sempat berbuat apa-apa, bayangan tadi telah menghilang.

“Groaaagkhh...!” Makhluk itu segera menggeram penuh amarah melihat buruannya berhasil meloloskan diri. Suaranya menggelegar kesegala penjuru.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Ki Layang Seta meringis. Kedua tangannya memegangi bagian dada dan perut sambil merasakan sakit. Tubuhnya terasa remuk akibat hajaran Manusia Lumpur. Untung saja ada seseorang yang menyelamatkannya. Dipandanginya pemuda tampan berambut panjang di depannya.

“Terima kasih kau telah menyelamatkanku, Anak Muda. Siapa namamu?” ucap Ki Layang Seta.

“Rangga,” sahut sosok bayangan putih yang menyelamatkan Ki Layang Seta. Dia tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga.... Hm, ya, ya... aku tidak akan melupakan budi baikmu hari ini terhadapku,” kata Ki Layang Seta, menggumam.

“Kisanak... jangan bicara budi baik segala. Aku sama sekali tidak bermaksud meminta balasan apa pun darimu...,” sergah Rangga.

“Ah! Sungguh bijaksana bicaramu, Rangga. Aku orangtua tak berguna bernama Layang Seta, benar-benar mengagumimu!” seru laki-laki tua itu.

“Sudahlah, Ki Layang Seta. Sudah selayaknya kita saling tolong-menolong...,” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm, makhluk itu memang luar biasa. Aku tidak tahu, siapa dan dari mana asalnya!”

“Ya, dia memang luar biasa.”

“Apakah kau pernah berurusan dengannya?”

“Baru saja tadi siang aku bertemu dengannya dan sempat mencicipi beberapa hajarannya. Waktu itu, ada dua orang muda-mudi serta beberapa orang laki-laki yang tengah menyerangnya.”

“Hei?! Jadi kaukah orangnya yang telah menyelamatkan mereka?!” seru Ki Layang Seta.

“Apa maksudmu, Ki?” tanya Rangga dengan kening berkerut.

“Kau telah menolong putriku, serta murid-murid Perguruan Tangan Besi,” jelas Ki Layang Seta. “Rangga! Kembali aku harus mengucapkan beribu terima kasih padamu!” Ki Layang Seta langsung menjura hormat.

“Ah, sudahlah. Jangan begitu. Jangan membuatku salah tingkah, Ki Layang Seta.”

“Sungguh, Rangga. Adalah suatu kehormatan bagiku bila kau sudi mampir ke tempatku. Yah... sekadar menghilangkan rasa lapar dan dahagamu. Ayolah, jangan kau tolak permintaanku ini!”

Rangga bermaksud menolak secara halus, tapi laki-laki tua ini terus memaksanya. Sehingga untuk menghormatinya terpaksa juga dia menyetujuinya.

“Tapi sebelum itu, aku harus mengebumikan sobatku. Dia tewas di tangan makhluk itu,” kata Ki Layang Seta.

“Maksudmu, kita kembali ke tempat tadi?” tanya Rangga.

“Ya. Tapi tidak terang-terangan. Kita lihat, apakah makhluk itu masih di sana atau tidak. Jika dia sudah pergi, baru kita kebumikan mereka. Bagaimana pun, Ki Bagus Wesi adalah calon besanku. Dia serta murid-muridnya sudah seperti saudara saja bagiku,” jelas Ki Layang Seta.

“Baiklah,” sahut Rangga, menyetujui.

ENAM

Ki Layang Seta sebenarnya adalah seorang pedagang besar yang memiliki sekitar dua puluh orang anak buah. Tak heran bila di rumahnya yang besar berhalaman luas, terdapat barak-barak kecil untuk para anak buahnya. Penampilannya yang selalu sederhana, membuat orang yang baru mengenalnya tidak akan menyangka Ki Layang Seta orang terkaya di kadipaten ini!

Begitu pula yang ada dalam benak Rangga. Dia sempat termangu saat orang tua itu mengajak ke rumahnya. Dan kini, mereka tengah berbincang-bincang di ruang utama yang besar dan tertata apik.

Namun bincang-bincang mereka mendadak terputus ketika dari pintu yang terbuka masuk seorang pemuda. Wajahnya tampak cemas dan langkahnya tergopoh-gopoh.

“Celaka, Ki!” seru pemuda itu.

“Ada apa?” tanya Ki Layang Seta.

“Seseorang mengamuk di desa. Dan, banyak yang terbunuh karena ulahnya. Orang-orang desa lari ketakutan. Dan sebagian meminta perlindungan kepada kita,” sahut pemuda anak buah Ki Layang Seta ini.

Ki Layang Seta tidak perlu penjelasan lebih lanjut, dari ruang utama ini terlihat kalau di luar pagar halamannya lebih dari dua puluh penduduk desa telah terkumpul. Wajah mereka tampak cemas, penuh ketakutan. Orang-orang itu pun hanya sempat membawa pakaian yang melekat di tubuh saja.

“Rumah mereka dihancurkan. Dan mereka tidak ada tempat untuk berteduh, Ki...,” lanjut pemuda itu.

“Kau urus mereka. Buatkan tenda-tenda di halaman samping. Kemudian beri mereka makan,” ujar Ki Layang Seta, memberi perintah.

“Baik, Ki!”

Pemuda itu segera berlalu. Tapi, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika teringat sesuatu. Lalu dia berbalik, dan kembali lagi pada majikannya.

“Tapi, apakah Ki Layang tidak bermaksud melihat orang itu dan membereskannya?” tanya pemuda ini.

Ki Layang Seta terdiam. Pertanyaan anak buahnya wajar saja. Sebab, selama ini dia sering turun tangan membantu kesulitan orang-orang desa dari segi apa pun. Dan di samping itu, bukan hanya anak buahnya saja yang tahu kalau Ki Layang Seta dulunya adalah seorang pendekar hebat.

Tapi penduduk Desa Gambus ini pun hampir semua mengetahuinya. Tidak jarang Ki Layang Seta turun tangan sendiri menangkap perampok yang selalu meresahkan penduduk desa. Sehingga tidak mengherankan kalau desa ini aman dari tangan-tangan jahil serta orang-orang yang hendak berbuat kekacauan.

“Apakah dia masih ada di sana?” tanya Rangga.

“Eh, mungkin sekarang telah pergi.”

“Bagaimana bentuk orang itu?”

“Aneh dan menyeramkan. Tubuhnya ditutupi lumpur coklat kemerahan yang telah mengering dan seperti melekat kuat ke tubuhnya. Seolah-olah seperti kulitnya saja. Permukaannya kasar seperti batu kali,” jelas pemuda ini.

“Hmmm...,” gumam Rangga tak jelas.

Sejenak Pendekar Rajawali Sakti berpandangan dengan Ki Layang Seta. Sepertinya mereka sama-sama mengerti, siapa yang barusan diceritakan.

“Ki Layang Seta tengah sakit. Aku yang terpaksa membawanya kesini. Dia tidak boleh banyak bergerak,” jelas Rangga, untuk mencairkan ketegangan yang dialami orang tua itu.

Pemuda ini memperhatikan sesaat lamanya, dan mengangguk pelan. Beberapa bagian di tubuh Ki Layang Seta memang mengalami luka-luka kecil. Dan dari mulutnya masih terlihat bekas darah yang telah mengering. Hal itu membuat pemuda itu percaya.

“Maaf, Ki. Aku betul-betul tak tahu. Akan kuberitahukan pada Ki Sumekti untuk menyiapkan ramuan obat untukmu!” sahut pemuda itu seraya beranjak ke dalam dengan terburu-buru. Melihat itu Ki Layang Seta hanya tersenyum-senyum.

“Istri Ki Layang tentu cemas melihat keadaan seperti ini...?” tanya Rangga, mengusik senyum laki-laki tua ini.

Ki Layang Seta terkekeh. “Dari mana kau berpikir begitu? Istriku telah lama meninggal. Di sini hanya ada aku, putriku, dan seorang tabib setia serta anak buahku,” papar Ki Layang Seta.

“Oh, maaf! Mungkin pertanyaan tadi membuatmu teringat pada istri,” ucap Rangga buru-buru.

“Aku memang teramat mencintainya. Tapi..., ah! Sudahlah! Aku sudah ikhlas akan kepergiannya. Yang mati tentu tidak akan bisa kembali. Yang kumiliki saat ini hanya satu. Putriku. Kini dia terbaring sakit. Oh, maaf! Aku jadi melantur. Mari, kuajak kau menjenguk putriku terlebih dulu!” seru Ki Layang Seta.

Rangga benar-benar trenyuh melihat keadaan Ki Layang Seta. Laki-laki tua ini tidak mempedulikan luka dalam yang dideritanya, tapi lebih mengkhawatirkan keselamatan putrinya yang saat ini tengah berbaring lesu. Sesekali Lestari merintih kesakitan. Suhu badannya tinggi. Dan terkadang memuntahkan darah kental kehitam-hitaman. Ramuan obat yang diberikan Ki Sumekti sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda kemanjuran.

“Biar kucoba mengobatinya...!” kata Rangga, begitu tiba disamping pembaringan Lestari.

“Ah.... Aku amat berhutang budi kalau kau bisa menyembuhkan putriku!” desah Ki Layang Seta.

Rangga tersenyum. “Berdoalah agar putrimu segera sembuh,” ujar Pendekar Rajawali Sakti, kalem.

Rangga bicara sebentar pada Ki Sumekti yang sejak tadi ada di kamar ini, untuk menyiapkan ramuan obat atas petunjuk Pendekar Rajawali Sakti.

“Akan segera kukerjakan...!” sahut laki-laki berusia empat puluh tahun itu seraya bergegas ke belakang.

“Apakah tumbuh-tumbuhan yang kusebutkan dapat dimengertinya?” tanya Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti agak heran, sebab laki-laki itu sama sekali tidak bertanya apa pun saat tumbuh-tumbuhan yang harus diramu disebutkan.

“Ki Sumekti biasa membuat ramuan obat. Dan sedikit banyak, dia mengerti apa yang tadi kau sebutkan. Tumbuh-tumbuhan itu tidak sulit dicari. Di halaman belakang, kami memiliki banyak jenis tumbuhan yang bisa dijadikan ramuan obat,” jelas Ki Layang Seta.

Rangga mengangguk mengerti. Dan perhatiannya dialihkan pada gadis itu. Lalu diperiksa denyut nadi Lestari. “Dia semakin lemah...,” desah Rangga pelan.

“Tolonglah, Rangga! Hanya dia yang paling berharga di dunia ini. Apa pun yang kau minta akan kukabulkan. Asalkan, kau bisa menolongnya!” pinta orang tua itu penuh harap.

“Tenanglah, Ki. Aku akan berusaha semampuku,” ujar Rangga.

Ki Layang Seta menarik napas dalam-dalam. Dan sesekali mukanya berkerut cemas. Dia tidak mau duduk jauh-jauh dari putrinya.

Sementara itu Rangga meletakkan telapak tangan kirinya ke perut gadis itu. “Maaf...!” ucap Rangga pendek, ketika meletakkan telapak tangannya ke dada gadis itu.

Wajah Lestari tampak jengah. Sebab meski telapak tangan itu tidak bergerak ke mana-mana, tapi baginya, pemuda ini amat asing. Apalagi, dia tidak biasa disentuh seorang laki-laki seperti itu.

Tapi, wajah pucat Lestari tidak bisa lama-lama merasakan gejolak hatinya. Beberapa saat kemudian, terasa olehnya hawa hangat yang berputar-putar di bawah perut. Lalu dengan cepat naik ke atas. Dan....

“Hoaaakh...!” Dari mulut gadis itu menyembur darah kental kehitam-hitaman.

Ki Layang Seta bergerak cepat menghapus cairan darah itu dengan selembar kain. Beberapa kali Lestari muntah darah kental kehitaman, sampai akhirnya darah itu berubah menjadi merah segar.

Wajah gadis itu yang telah pucat, kini kelihatan lebih pucat lagi. Tubuhnya bergetar dan menggigil seperti terserang demam hebat. Saat itu juga, Rangga menghentikan penyaluran tenaga murni ke tubuhnya. Ditariknya napas panjang. Lalu diambilnya mangkuk cairan yang disodorkan Ki Sumekti, yang baru saja muncul.

“Tolong tegakkan tubuhnya, agar cairan ini tidak keluar sia-sia,” ujar Rangga.

“Biar kukerjakan!” sahut Ki Layang Seta cepat.

Wajah Lestari semakin berkerut ketika menenggak ramuan obat itu. Dia memerlukan beberapa kali tegukan, sebelum isi mangkuk tandas ke dalam perutnya.

Kembali Lestari merebahkan diri setelah menenggak cairan yang diberikan Rangga. Matanya memandang sayu kepada Ki Layang Seta, lalu kepada Ki Sumekti, serta terakhir kepada Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.

Sementara, Ki Layang Seta mengelus-elus riak rambut gadis itu perlahan-lahan. Dan tidak berapa lama kemudian terlihat gadis itu mulai memejamkan mata, terkantuk-kantuk.

“Biarkan dia tertidur,” ujar pemuda itu dengan suara perlahan ketika gadis itu mulai pulas.

“Apakah dia akan sembuh?” tanya Ki Layang Seta.

“Mudah-mudahan,” desah Pendekar Rajawali Sakti. “Kau pun terluka, Ki Layang. Ada baiknya meminum ramuan yang tadi dibuat Ki Sumekti...!”

“Akan kukerjakan segera!” sahut Ki Sumekti tanpa menunggu perintah majikannya, dia langsung kembali ke belakang.

“Beberapa tulang rusuknya patah. Dia tidak boleh banyak bergerak, Ki. Pengobatannya pun harus berangsur-angsur dan tidak bisa sekaligus. Aku hanya mengeluarkan darah yang mulai membeku dalam tubuhnya. Dan ramuan obat tadi berguna untuk melancarkan peredaran darah serta menyembuhkan luka,” jelas Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga.... Sudikah kau tinggal sementara di tempatku ini sampai putriku benar-benar sembuh?” pinta laki-laki ini.

“Ki Layang Seta.... Bukan aku tidak mau memenuhi permintaanmu. Tapi, aku tengah memikirkan cara, bagaimana membinasakan makhluk itu. Kalau terus dibiarkan, maka akan semakin banyak korban yang jatuh. Lagi pula dalam keadaan sekarang, aku belum bisa berbuat banyak.”

“Paling tidak, sambil memikirkan cara membunuh makhluk itu, tinggallah di sini. Kau pun bisa beristirahat di samping bisa mengawasi Lestari. Aku mohon, tinggallah di sini!” desak orang tua itu seraya membungkuk.

“Ki Layang, jangan keterlaluan. Kenapa begini? Ayo, bangkitlah kembali!” seru pemuda itu seraya tersenyum lebar.

“Aku tak akan bangkit sebelum kau mengabulkan keinginanku!”

Rangga menarik napas panjang. “Baiklah...,” desah Rangga.

“Ah, terima kasih Rangga. Aku berharap banyak padamu atas kesembuhan putriku!” ucap Ki Layang Seta dengan wajah berseri-seri.

Saat itu Ki Sumekti kembali ke ruangan ini, seraya membawa mangkuk lain yang berisi ramuan obat. Tanpa ragu-ragu, Ki Layang Seta menenggak ramuan itu sampai tuntas.

“Kau harus latih pernapasan untuk melancarkan peredaran darahmu. Apakah ada ruangan khusus sebagai tempatmu berlatih ilmu olah kanuragan?” tanya Rangga.

“Ada! Kita kebelakang sekarang!” sahut Ki Layang Seta seraya bangkit. Dia langsung memberi perintah pada Ki Sumekti agar menunggui putrinya.

Sementara itu Rangga pun mengikuti orang tua ini dari belakang.

********************

Telah dua hari Pendekar Rajawali Sakti berada di kediaman Ki Layang Seta di Desa Gambus ini. Dan selama itu, kesehatan Lestari berangsur-angsur pulih. Namun gadis itu menjadi sosok pendiam dan tidak banyak bicara. Malah dia suka melamun sendiri di kamarnya.

Ki Layang Seta bukannya tidak mengerti hal itu. Bagi Lestari, berita kematian calon suaminya adalah pukulan terhebat. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kalau saja tidak memikirkan kasih sayang Ki Layang Seta padanya, mungkin rasanya lebih baik mati.

“Apakah dengan mati maka segalanya akan selesai?” tanya Rangga, ketika berada di kamar Lestari dan tengah membujuknya.

Gadis itu terdiam, tak langsung menjawab. Dipandanginya pemuda itu sekilas. Di tempat ini masih ada ayahnya, serta Ki Sumekti. Namun selama dua hari ini, sudah cukup membuatnya tidak canggung lagi untuk bercakap-cakap dengan Rangga.

“Pernahkah kau merasa bahwa oleh karena sesuatu, maka kau menjadi seorang yang tak berguna?” tanya Lestari.

Pertanyaan itu berkesan sinis, dan dikeluarkan oleh hati yang tengah luka. Rangga bisa memakluminya. Sehingga dia hanya tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Pernah...,” sahut Rangga pelan.

“Soal apa?” kejar Lestari.

Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung menjawab. Malah dia menarik napas agak dalam. “Kalau ada bakti yang lebih mulia didunia ini adalah bakti kepada kedua orangtua. Dan hal itu yang tak bisa kulakukan. Kedua orangtuaku telah meninggal ketika aku masih kecil. Pada saat orang lain bisa bermain dan tertawa bersama orangtua, maka aku hanya bisa memperhatikan mereka sambil menangis dalam hati. Pada saat mereka mengadukan persoalannya kepada orangtua, maka aku hanya bisa mengadu pada diri sendiri. Adakah kesedihan yang melebihi kesedihan kehilangan orangtua...?” papar Rangga.

Lestari tidak bisa menjawab. Apa yang dikatakan pemuda ini dibenarkan hatinya, meski tidak bisa terhibur. Kecintaan kepada Pratama seperti segalanya bagi gadis ini.

“Cinta kepada orangtua adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Tidak akan pernah ada orang yang mengatakan bahwa itu bekas orangtuanya. Tapi banyak sekali orang yang mengatakan, itu bekas kekasihnya. Atau itu bekas kawannya. Dan sebagainya. Ini yang membuktikan bahwa orangtua harus segalanya bagi kita. Dalam pengertian, kepada orangtualah tempat kita berbakti,” lanjut Rangga lagi.

“Ya, memang benar,” sahut Lestari pelan.

“Lalu, kenapa bersedih?” tanya Rangga.

“Semua tidak akan tahu, apa yang kurasakan saat ini...!”

“Mungkin saja karena kau tidak mau membagi kesedihanmu kepada orang lain. Padahal sudah jelas, apabila suatu beban diangkat bersama-sama, maka akan terasa ringan,” kata Rangga, menyudutkan.

“Tapi ini bebanku sendiri,” lirih terdengar suara gadis itu.

“Meski kepada ayahmu yang teramat mencintaimu dan amat takut kehilanganmu?”

Lestari tidak tahu harus berbuat apa. Dipandanginya orangtua itu beberapa saat lamanya. “Ayah...,” sebut Lestari.

“Anakku....” Ki Layang Seta mendekat, lalu duduk di tepi tempat tidur seraya mengusap-usap dahi putri satu-satunya. Terlihat bola mata gadis itu berkaca-kaca dan mulai basah.

“Aku mengecewakan perasaan Ayah...?” tanya Lestari, lirih.

“Tidak, Anakku. Kau sama sekali tidak mengecewakanku...,” desah Ki Layang Seta, menggeleng lemah.

“Tapi kenyataannya aku amat bersedih karena kehilangan Kakang Pratama. Itu berarti aku menganggap Kakang Pratama segalanya bagiku. Bahkan aku seperti tidak peduli terhadap kasih sayang Ayah...,” tukas Lestari.

“Lestari, sudahlah. Jangan berkata begitu. Apa pun perasaanmu, dan apa pun yang kau pikirkan, kau tetap putriku yang teramat kukasihi....”

“Ayah...!” seru gadis itu lirih. Lestari mengangsurkan kedua tangan untuk memeluk ayahnya. Dia tak kuasa menumpahkan keharuan yang menyesak di dadanya. Untuk sesaat ayah dan anak itu saling berpelukan menumpahkan perasaan harunya masing-masing.

“Ki Layang Seta, kurasa aku harus pergi. Kesehatan Lestari perlahan-lahan mulai membaik,” kata Pendekar Rajawali Sakti setelah ayah dan anak tersenyum lega melepaskan pelukan masing-masing.

“Oh, secepat itukah?! Tidak bisakah kau tinggal barang sehari atau dua hari lagi?!” sentak Lestari.

Rangga tersenyum. “Kewajibanku harus terpenuhi. Aku harus membinasakan makhluk itu. Sebab kalau tidak, maka akan banyak korban yang berjatuhan,” tegas Rangga.

“Ah, aku memang mengerti apa yang kau rasakan. Kau pendekar tulen, Rangga! Nah, katakan apa yang bisa kubantu untukmu?”

“Tidak ada. Terima kasih atas sikap bersahabat yang kau tunjukkan selama dua hari ini,” sahut pemuda itu tersenyum.

Pendekar Rajawali Sakti berpaling pada gadis yang tengah tergolek di tempat tidur, dan melemparkan senyum. “Aku pergi dulu, Lestari. Cepat sembuh, ya?!” ucap Pendekar Rajawali Sakti.

“Terima kasih, Kakang Rangga.”

Tanpa banyak bicara lagi, Rangga melangkah lebar keluar diikuti Ki Layang Seta. Persis di luar, mereka berpapasan dengan suatu rombongan yang merupakan kawan berdagang Ki Layang Seta. Mendadak saja, rombongan itu berlutut memberi hormat pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hormat kami untuk Kanjeng Gusti Prabu Rangga...!”

“Bangunlah.... Dan selesaikan urusan kalian. Urusanku dengan Ki Layang Seta telah selesai. Oleh sebab itu, aku harus berangkat sekarang juga,” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

“Apakah Gusti Prabu memerlukan sesuatu? Hamba akan menyediakannya” ujar pemimpin rombongan ini.

“Tidak, terima kasih. Nah, aku pergi dulu,” sahut Rangga seraya berkelebat cepat.

TUJUH

Ki Layang Seta masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin kawan berdagangnya memberi hormat sedemikian rupa kepada Pendekar Rajawali Sakti.

“Ki Lanang Dharma, apakah kau mengenal pemuda tadi?” tanya Ki Layang Seta, saat Pendekar Rajawali Sakti sudah tak terlihat lagi.

“Kenapa tidak? Semua orang di negeri kami tentu saja mengenalnya,” sahut kepala rombongan yang dipanggil Ki Lanang Dharma.

“Siapa dia? Apakah putera pedagang besar di negerimu? Atau, barangkali putera petinggi kerajaan?!”

“Jadi Ki Layang benar-benar tidak tahu?!”

Ki Layang Seta menggeleng lemah.

“Dialah Raja negeri kami. Negeri Karang Setra!”

“Astaga! Jadi..., jadi diakah raja kalian?!” seru Ki Layang Seta. Sulit bagi laki-laki tua ini untuk percaya bahwa seorang raja amat bersahaja. Bahkan penampilannya sama sekali jauh dari kesan mewah. Dia lebih mirip seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap.

“Agaknya Ki Layang Seta punya urusan penting dengan beliau?” pancing Ki Lanang Dharma.

“Ya, sedikit. Dia telah berulang kali membantu keluargaku,” sahut Ki Layang Seta, lirih.

“Prabu Rangga memang terkenal suka ringan tangan membantu sesamanya,” jelas Ki Lanang Dharma, seorang pedagang dari Karang Setra yang berusia sekitar lima puluh lima tahun.

“Jadi beliau sering meninggalkan istana kerajaan?” tanya Ki Layang Seta lagi.

“Ya, begitulah.”

“Apakah tidak ada yang mencoba berkhianat kepadanya selama dia bepergian?”

Ki Lanang Dharma tersenyum. “Kami semua menghormatinya. Dan semua anggota kerajaan setia padanya. Lagipula beliau cukup cerdik. Beliau tidak akan meninggalkan istana, kalau tidak mempersiapkan segala sesuatunya.”

Ki Layang Seta mengangguk. “Tapi saat ini dia akan menyongsong bahaya besar bagi dirinya,” keluh Ki Layang Seta.

“Bahaya apakah yang Ki Layang maksudkan?” tanya Ki Lanang Dharma dengan kening berkerut.

“Makhluk yang amat kuat dan biadab hendak dihadapinya.”

“Makhluk yang saat ini tengah diramaikan orang?”

“Ki Lanang agaknya mendengar juga berita itu?”

“Ya. Sepanjang perjalanan, kami dengar hal itu. Banyak yang mati karenanya. Bahkan kudengar saat ini korban yang jatuh di tangannya lebih dari lima ratus orang.”

“Astaga! Sungguh biadab orang itu.”

“Dia bukan manusia, Ki. Tapi sejenis iblis. Makhluk itu membunuh tanpa memilih-milih korban. Siapa saja yang ditemuinya, maka akan dibunuh. Dan sejauh ini, tidak hanya rakyat biasa yang menjadi korban. Tapi juga tokoh-tokoh silat. Sampai saat ini belum seorang pun yang berhasil membinasakannya.”

“Kalau saja rajamu tidak menolong, mungkin aku dan putriku telah menjadi korbannya.”

“Oh, begitukah? Bagaimana ceritanya?”

Ki Layang Seta menuturkan apa yang dialami dari mulai awal sampai akhir.

“Hm.... Memang sungguh keji makhluk itu!” desis Ki Lanang Dharma geram.

“Ya. Itulah yang kukhawatirkan. Sebab selama ini, tak seorang pun yang mampu menghadapinya. Dan, makhluk itulah yang akan dihadapi rajamu.”

“Itu bukan hal aneh, Ki. Raja kami telah banyak menghadapi lawan-lawan tangguh. Dan umumnya mereka binasa di tangannya.”

“Tapi....”

“Ki Layang!” potong Ki Lanang Dharma. “Beliau adalah tokoh hebat. Dan semua orang mengenalnya. Beliaulah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti.”

“He, apa yang kau katakan?! Beliau Pendekar Rajawali Sakti?!” seru Ki Layang Seta seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Betul. Beliau memang Pendekar Rajawali Sakti,” tegas Ki Lanang Dharma.

“Astaga! Mataku ternyata semakin tua semakin lamur saja. Sampai-sampai tidak mengenali pendekar besar itu. Padahal dua malam dia menginap di sini!” seru Ki Layang Seta.

“Apakah beliau tidak mengenalkan diri?” tanya Ki Lanang Dharma.

“Tidak. Beliau lebih banyak berdiam diri.”

“Hm.... Menurut apa yang kudengar pun begitu. Beliau memang tidak banyak bicara.”

“Selama beliau bepergian, apakah... anak istrinya tidak menghalangi niatnya? Atau, apakah mereka tidak mencemaskannya?”

Ki Lanang Dharma tersenyum. “Beliau belum menikah. Apalagi mempunyai anak...!”

“Hm, jadi masih seorang diri?”

“Tidak. Menurut kabar yang kudengar, beliau telah memiliki seorang kekasih yang akan menjadi calon istrinya.”

“Oh, begitu,” desah Ki Layang Seta, mengangguk.

Untuk sesaat suasana hening ketika tak ada yang berbicara lagi.

********************

Manusia Lumpur kini semakin merajalela saja. Dia telah menjadi momok yang menakutkan! Semua orang merasa cemas dan was-was, seperti bertanya-tanya kapan makhluk itu datang dan menghancurkan mereka? Sehingga tidak heran bila semua penduduk di tempat-tempat yang berdekatan dengan keberadaan Manusia Lumpur, telah mengungsi ke tempat lain yang lebih jauh.

Dan bila semua penduduk ketakutan, maka tidak demikian halnya tokoh-tokoh persilatan. Sebagian dari mereka begitu berhasrat untuk menghadapinya. Berbagai macam cara telah dilakukan untuk membunuh makhluk itu. Itu disebabkan tidak lain karena sanak serta saudara mereka ada yang terbunuh. Tidak peduli itu tokoh golongan hitam atau pun putih. Mereka seperti bersatu menghadapi Manusia Lumpur.

Seperti juga di Desa Gelugur sekarang ini. Penduduknya sudah sejak jauh-jauh hari mengungsi. Hanya mereka yang berani dan tak punya tempat untuk mengungsi, tetap bertahan di desanya.

Sudah sejak tadi makhluk itu mengamuk sejadi-jadinya, menghancurkan beberapa rumah. Pada saat itulah muncul beberapa tokoh persilatan yang langsung menyerang.

“Groaaagkh...!”

Tidak jauh dari pertarungan, terlihat beberapa sosok mayat bergelimpangan. Mereka adalah korban kesekian dari Manusia Lumpur. Namun begitu tetap ada yang berusaha melawan sekuat tenaga.

“Graagkhh...!”

Wut! Wut!

Dua orang yang bergerak mendekat, sama sekali tidak membuat Manusia Lumpur gentar. Malah dengan gesit ditangkapnya pergelangan kaki mereka dan dibantingnya dengan keras.

Buk! Prakk!

“Aaa...!” Salah seorang kepalanya tampak remuk terkena batu saat dibanting. Sedang yang seorang lagi, tak bangun lagi. Mungkin pingsan.

“Keparat!” dengus yang lain.

Jumlah mereka kini tinggal tujuh orang lagi. Namun begitu semangat mereka tampak belum kendor juga.

“Ayo kita serang lagi! Awas, jangan berada dekat-dekat dengannya. Dia mampu bergerak secepat kilat! Pergunakan senjata kalian untuk menyerang bagian-bagian tertentu di tubuhnya!” teriak seseorang, memberi perintah.

“Baik, Ki!”

“Heaaa...!”

Secara serentak mereka kembali menyerang dengan senjata terhunus. Tidak seperti tadi, kali ini mereka menyerang dengan teratur. Begitu melepas serangan, langsung cepat-cepat mundur kebelakang. Pertarungan mendebarkan benar-benar terjadi.

Wut! Wut!

Trak! Bet!

Untuk sesaat, Manusia Lumpur hanya bisa menggeram marah. Tapi selanjutnya, para pengeroyok yang dibuat terkejut. Bukan saja senjata-senjata mereka tidak mampu melukai, tapi juga patah dua begitu menghantam tubuh makhluk ini. Dan yang lebih membuat yang lain semakin geram, ketika kedua tangan Manusia Lumpur menangkap senjata mereka, lalu membetotnya dengan keras. Pada saat itu juga makhluk ini melepas tendangan keras.

Prak! Des!

“Aaa...!”

Dua orang kembali tewas dengan kepala dan dada remuk dihajar tendangan Manusia Lumpur. Dan saat berikutnya, makhluk itu melompat gesit ke depan sambil mengayunkan tendangan.

Praakk...!

“Aaa...!” Seorang lagi tewas karena kelengahannya. Dia tidak sigap menghindari serangan yang berupa kibasan tangan. Jumlah para pengeroyok kini tinggal berempat. Dan dua orang kelihatan mulai ragu-ragu untuk meneruskan perlawanan. Namun mereka tidak sempat berpikir, karena serangan Manusia Lumpur telah kembali tiba.

Bet! Bet!

Keempat orang itu serentak melompat ke belakang lalu bergulingan.

Jderr!

Hantaman makhluk itu menghancurkan sebuah rumah yang berada di dekat mereka. Tapi saat itu juga, tubuhnya kembali melenting mengejar dua orang lawan yang berada dekat dengannya.

Wuttt!

Dua orang itu terkesiap, ketika tiba-tiba Manusia Lumpur merenggut kedua kaki mereka lalu menariknya dengan keras. Belum lagi mereka sempat mengadakan perlawanan, mendadak satu hantaman keras menghajar punggung.

Praakk...!

“Aaa...!” Keduanya memekik keras. Begitu ambruk di tanah, mereka menggelepar tak berdaya.

“Groaaagkh...!” Seperti yakin kalau kedua lawannya bakal mati, Manusia Lumpur kembali mencelat mengejar dua lawan lainnya yang bersiap akan kabur.

“Celaka! Dia mengejar kita!” desis salah seorang.

Namun sebelum Manusia Lumpur tiba di dekat dua buruannya mendadak berkelebat empat sosok bayangan dari arah depan.

“Yeaaa...!” Disertai teriakan mengguntur, keempat bayangan ini langsung melepaskan serangan berturut-turut ketubuh Manusia Lumpur.

Jdueer!

Wuus!

Satu hantaman keras mendera dada Manusia Lumpur. Namun sama sekali tidak menggoyahkannya. Namun ketika disusuli oleh pukulan yang berturut-turut dalam waktu yang amat singkat....

Begkh! Derrr...! Dess...!

“Groaaagkh...!” Disertai geraman buas, tubuh Manusia Lumpur terjungkal beberapa langkah ke belakang. Namun begitu, dia cepat kembali bangkit. Matanya langsung memandang tajam pada empat orang sosok bayangan yang telah berdiri tegak di depannya pada jarak lima langkah.

Seorang dari empat sosok itu adalah pemuda berwajah tampan terbungkus baju rompi putih. Pemuda ini memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran kalau tatapan Manusia Lumpur terpateri amat tajam ke arah Rangga, karena memang pemuda ini sudah amat dikenalnya setelah beberapa kali bertarung. Sedang tiga sosok lainnya adalah laki-laki berusia lanjut. Masing-masing telah menggenggam senjata berupa pedang, keris, dan tombak.

“Pendekar Rajawali Sakti! Tak disangka akhirnya kau muncul juga di sini!” seru laki-laki tua yang bersenjata pedang.

“Dewa Pedang! Hm..., agaknya kau peduli juga terhadap peristiwa ini...,” sambut Pendekar Rajawali Sakti.

“Tak ada waktu bagi kita untuk bercakap-cakap!” ujar laki-laki tua yang bersenjata keris dengan nada suara ketus.

“Benar apa yang dikatakan si Iblis Maut!” timpal laki-laki tua yang bersenjata tombak. Namanya Ki Bisma. Dan orang mengenalnya sebagai Malaikat Tangan Seribu, salah seorang pentolan golongan lurus dalam rimba persilatan.

“Coba lihat! Binatang ini sudah tidak sabar ingin merencah kita!” ujar laki-laki tua yang dipanggil si Iblis Maut. Dalam rimba persilatan, dia tergolong datuk sesat berkepandaian amat tinggi.

Memang makhluk itu tengah menggeram buas. Sepasang matanya liar menatap keempat lawannya. Dari pukulan yang tadi didapat, dia merasakan kalau lawan-lawannya memiliki kemampuan hebat.

“Graagkh...!” Dengan menggeram penuh amarah, Manusia Lumpur melompat mencecar si Iblis Maut.

“Ke sinilah, Iblis Keparat! Biar kutembus jantungmu dengan kerisku ini!” desis si Iblis Maut geram, seraya mencabut kerisnya.

Srang!

Begitu kerisnya tercabut, Iblis Maut langsung memutar-mutarkannya, sehingga menimbulkan desir angin berkesiutan. Memang, senjata di tangan laki-laki tua ini bukanlah keris sembarangan. Apalagi dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Maka saat makhluk itu mendekat, Iblis Maut langsung menikamkannya ke jantung.

“Hih!”

Tapi seperti hendak menguji kekebalan tubuhnya, makhluk itu sama sekali tidak berusaha menghindar. Bahkan digunakannya kesempatan itu menghantam batok kepala Iblis Maut.

Tak!

“Heh?!” Dan keris itu memang sama sekali tidak mampu melukai kulit tubuh Manusia Lumpur, sehingga membuat Iblis Maut tersentak kaget. Namun pada saat yang sama Iblis Maut harus menangkis pukulan Manusia Lumpur.

Plak!

“Uhh...!” Wajah laki-laki tua itu berkerut menahan rasa sakit saat terjadi benturan. Tapi pada saat yang sama satu sosok berkelebat menghantam makhluk itu dari belakang.

Dess!

“Graagkh...!” Tubuh Manusia Lumpur terhuyung-huyung ke belakang. Namun begitu, tidak sampai membuatnya terjatuh. Secepat kilat tubuhnya berbalik, menatap tajam kepada Malaikat Tangan Seribu yang telah menghantamnya. Sambil menggeram penuh amarah, makhluk itu melompat hendak menerkam si Malaikat Tangan Seribu.

“Groaaagkh...!” Belum lagi serangan itu tiba, pedang si Dewa Pedang telah berkelebat ke arah Manusia Lumpur.

Wut! Bet!

“Groaaagkh...!” Makhluk itu menggeram buas. Dan dia bermaksud menangkap pedang yang berseliweran hendak mengancam keselamatannya. Tapi sebelum maksudnya kesampaian, hantaman Pendekar Rajawali Sakti telah menghalanginya.

Bet!

“Kisanak! Coba serang mata, lubang telinga, dan pusarnya!” teriak Pendekar Rajawali Sakti, sambil terus mengganggu gerakan Manusia Lumpur.

“Jangan mengajari kami, Bocah!” dengus si Iblis Maut.

“He he he...! Si Iblis Maut agaknya tidak mau digurui, meski sebenarnya tidak tahu!” ejek si Dewa Pedang.

“Terkutuk kau, Dewa Pedang! Jangan membuatku marah!” semprot si Iblis Maut.

Si Dewa Pedang hanya terkekeh mendengar makian si Iblis Maut.

DELAPAN

Selama lebih dari dua jurus Manusia Lumpur dijadikan bulan-bulanan. Entah kenapa, keempat orang itu menjadi kompak. Padahal sebelumnya, mereka belum tentu bisa akur. Meski tidak saling mengenal dekat satu sama lain, namun dalam pertarungan ini kelihatan mereka saling melindungi. Sehingga, keadaan ini benar-benar menyulitkan makhluk itu. Terlebih lagi mereka bukanlah lawan enteng.

Sementara itu, melihat ketangguhan Manusia Lumpur, Pendekar Rajawali Sakti merasa perlu untuk mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti! Tak heran kalau pedang yang memancarkan sinar berkilauan itu, makin menjatuhkan nyali makhluk ini. Setiap sambarannya, membuat siapa yang melihat jadi mengkelap hatinya.

“Groaaagkh...!”

“Tidak ada gunanya menggeram begitu, Keparat! Kau harus mampus untuk menebus mereka yang mati di tanganmu!” dengus Ki Bisma sambil mengibaskan tongkat.

Ujung senjata Malaikat Tangan Seribu sejak tadi lebih banyak mengincar pada bagian pusar makhluk itu. Dan agaknya, hal ini memang kelemahannya. Buktinya, dia berusaha melindungi mati-matian. Padahal pada saat yang bersamaan, bagian mata dan lubang telinganya pun harus dilindungi. Si Iblis Maut kini menyerang Manusia Lumpur dengan sambaran kerisnya.

Wutt!

Namun makhluk itu cepat melompat menghindar. Pada saat yang sama Pendekar Rajawali Sakti segera saja mengayunkan kepalan tangan ke kepala sambil menusukkan pedangnya ke arah leher untuk mengecohnya. Tapi, siapa duga. Ternyata Manusia Lumpur malah menunduk. Akibatnya....

Crabb!

“Groaaagkh...!” Sebelah mata Manusia Lumpur pecah tertusuk pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga dia begitu mendendam. Bahkan bermaksud menghajar Rangga.

Melihat kesempatan itu, secepat kilat si Iblis Maut memanfaatkannya. Kerisnya bergerak menyambar ke mata Manusia Lumpur yang sebelah lagi. Sayang, makhluk itu masih sempat menangkis.

Tak!

Namun belum lagi makhluk itu sempat menghajar, saat itu juga ujung tombak si Malaikat Tangan Seribu menusuk perut.

Jresss!

“Aargkh...!”

“Groaaagkh...!” Manusia Lumpur menggeram hebat. Dari bagian pusarnya meleleh darah kental berwarna coklat kemerah-merahan. Sebelah matanya berkilat tajam dan kedua tangannya terentang dan terkepal. Lalu mendadak kedua kakinya menghentak ke tanah bergantian.

Jdueer!

Kraaak!

Jdueer!

Seketika terasa guncangan hebat. Beberapa bagian permukaan tanah di tempat mereka bertarung mulai terbelah. Rumah-rumah serta pepohonan hancur berantakan. Namun, si Dewa Pedang agaknya tidak mau terkesiap melihat pamer kekuatan yang ditunjukkan Manusia Lumpur. Secepat kilat dia melompat menyerang.

“Heaaat...!”

Wut! Wut!

Ujung pedang si Dewa Pedang bergerak cepat menyambar lubang telinga. Tapi begitu sedikit lagi akan mencapai sasaran secepat kilat dibelokkannya. Pada saat yang sama Manusia Lumpur juga sempat melepaskan tendangan. Dan....

Jress!

“Aaargkh...!”

“Aaah...!”

Mereka sama-sama menjerit kesakitan. Makhluk itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi sebelah matanya yang buta terkena tusukan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pada saat yang bersamaan, tubuh si Dewa Pedang terpelanting ke belakang, sejauh beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar.

“Edaaan...!” rutuk Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua tangannya.

“’Aji Bayu Bajra!’ Heaaa...!”

Werr!

Seketika bertiup angin bagai terjadi topan. Angin itu langsung meluruk dari tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menghantam Manusia Lumpur.

Braak!

“Graaagkh...!” Makhluk itu menjerit kesakitan, kontan terjungkal ke belakang tanpa mengalami luka apa pun. Namun baru saja hendak bangkit, Malaikat Tangan Seribu telah melesat dengan tusukan tombaknya. Dan...

Jross!

“Aaargkh...!” Ujung tombak Ki Bisma bergerak cepat menembus lubang telinga kiri hingga ke telinga sebelah kanan. Makhluk itu berteriak dengan suara menggelegar. Namun begitu, dia masih sempat mencelat sambil mengayunkan tendangan.

Dess!

“Aaakh...!” Kini tubuh Ki Bisma yang terpelanting terkena tendangan, disertai keluhan tertahan.

Meski dalam keadaan buta dan terluka, Manusia Lumpur belum kelihatan bakal ambruk. Dan ini membuat Pendekar Rajawali Sakti makin geram. Apalagi bila mengingat kekejaman makhluk ini. Dan kalau tidak sekarang dibinasakan, entah kapan lagi akan mati. Padahal korban akan terus berjatuhan.

“Heaaa...!”

Pendekar Rajawali Sakti menggumam pelan ketika melihat si Iblis Maut dengan gegabah mencoba menjatuhkan Manusia Lumpur. Orang tua kurus itu tampak menghentakkan kedua tangannya, melepas pukulan jarak jauh.

Wess...!

Begitu dari tangannya meluruk serangkum angin berkesiuran, si Iblis Maut melesat pula dengan ujung kerisnya siap menikam ke arah jantung.

Tak!

Namun seperti yang diduga, senjata itu sama sekali tak mampu melukai kulit Manusia Lumpur. Bahkan dengan gesit makhluk itu balas menyerang dengan mengibaskan tangan. Sementara tombak Ki Bisma yang menancap di antara kedua telinganya dibiarkannya saja. Bahkan dijadikannya senjata untuk menghantam.

Dua kali si Iblis Maut berhasil menghindari serangan Manusia Lumpur. Namun pada serangan ketiga, orang tua itu keteter. Dia hanya bisa menghantam lewat pukulan jarak jauh. Namun makhluk itu tidak meladeni. Tubuhnya cepat mencelat ke atas, lalu meluruk ke arah Iblis Maut.

Des!

“Aaakh...!” Si Iblis Maut menjerit kesakitan ketika kedua kaki Manusia Lumpur menghantam punggungnya hingga terdengar tulang berderak patah. Orang tua itu terjungkal ke depan disertai semburan darah segar. Pada saat makhluk ini hendak menghabisinya, saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti bergerak sambil mengibaskan pedangnya.

Nguuung...!

Bet!

Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti segera bergerak cepat mengelilingi tubuh Manusia Lumpur. Sepertinya Rangga hendak menguji apakah makhluk itu masih mampu mengikuti dengan nalurinya.

“Graaagkh...!”

Dalam hati Rangga mendecah kagum, ketika mengetahui kalau makhluk ini ternyata mengetahui kehadiran bahaya didekatnya. Entah, indera apa yang digunakannya. Namun, dia seperti tahu dimana dan kemana senjata lawannya bergerak.

“Hiaaa...!” Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat bukan main, mengitari Manusia Lumpur. Agaknya dia tengah mengerahkan jurus ‘Seribu Rajawali’ sehingga tubuhnya jadi kelihatan banyak. Rangga mengerahkan jurus ini untuk menguji lebih jauh, indera apa yang membuat makhluk itu mendengar atau mungkin melihat serangannya. Padahal kedua matanya buta dan kedua telinganya telah rusak.

“Heaaat...!” Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti mengganti jurusnya menjadi ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Tubuhnya langsung melenting sambil melepaskan serangan ke lubang hidung, atau ke bagian-bagian yang diduga sebagai titik kelemahan Manusia Lumpur.

“Graaagkh...!” Makhluk itu bergerak ke belakang menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu secepat kilat dia mencelat ke atas.

Namun sebelum melancarkan serangan Pendekar Rajawali Sakti telah meluruk dengan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ yang dipadu dengan permainan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Seketika pedangnya berkelebat menyambar dada Manusia Lumpur.

Sreet!

“Graaagkh...!” Makhluk itu memekik kesakitan, begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti mengiris dadanya dari atas kebawah. Rangga pun tidak menduga kalau itu sebenarnya kelemahan Manusia Lumpur. Tampak butiran sebesar pasir berjatuhan dari tubuhnya.

Melihat kesempatan ini Pendekar Rajawali Sakti kembali menyerang dengan semangat. Pedangnya kembali berkelebat, dalam jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’ tingkat terakhir.

Bet!

Ketika pedang Rangga kembali berkelebat, terlihat Manusia Lumpur mulai kebingungan. Rangga cepat tanggap kalau permukaan kulit makhluk ini ternyata berguna sebagai indera penglihat dan juga indera pendengar. Dan senjatanya tidak mengalami kesulitan berarti ketika mengikis permukaan kulit punggung Manusia Lumpur.

Sret!

“Aaargkh...!” Makhluk itu kembali berteriak kesakitan. Tubuhnya menggeliat-geliat, dan terhuyung-huyung ke belakang.

“Kau boleh mampus sekarang juga!” dengus Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Pendekar Rajawali Sakti memasukkan pedang kedalam warangka di punggung.

Trek!

Saat itu juga, Rangga menggosok-gosok kedua tangannya, hingga muncul sinar biru sebesar kepala yang menyelubungi telapak tangannya. Sinar itu makin lama terus menambah hingga ke pangkalan lengan. Lalu....

“’Aji Cakra Buana Sukma!’ Heaaa...!”

Disertai bentakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya kedepan. Maka saat itu juga dari telapak tangannya meluncur sinar biru kearah Manusia Lumpur yang masih terhuyung-huyung. Dan....

Wuss....

Blarr...!

Manusia Lumpur terlempar ke belakang dengan keadaan tubuh terpecah-pecah. Serpihan dagingnya menyebar ke segala arah. Potongan-potongan tubuhnya berbaur dengan darah berwarna coklat kemerahan, seperti lahar panas yang mengeluarkan asap dan berhawa panas.

“Puhh...! Tamat sudah riwayatnya!” desah Pendekar Rajawali Sakti menghela napas lega. “Dari mana makhluk seperti ini?!” Rangga sepertinya berkata-kata sendiri, tanpa maksud meminta jawaban. Tapi....

“Konon kabarnya, makhluk ini dari Gunung Perahu...,” sahut si Dewa Pedang.

“Apa?! Gunung Perahu?!” sentak Rangga terkejut mendengarnya. Memang selama ini Pendekar Rajawali Sakti tak pernah tahu, dari mana makhluk seperti ini. Dan ini salah satu kesalahannya, karena tak bertanya.

“Ada apa, Pendekar Rajawali Sakti?! Kau tahu tentang Gunung Perahu?” tanya si Dewa Pedang.

Rangga tak menjawab. Dia coba mengingat-ingat tentang cerita-cerita rakyat yang pernah didengarnya selama pengembaraannya. Salah satunya adalah Manusia Lumpur yang berasal dari perut bumi. Konon makhluk itu adalah penjelmaan iblis, yang menitis pada tokoh persilatan berilmu sesat. Tokoh itu akan muncul sewaktu-waktu, bersamaan dengan bergolaknya Gunung Perahu yang mulai menunjukkan kegarangannya lagi. Entah kenapa, mungkin karena sudah ratusan tahun, hanya beberapa orang saja yang tahu tentang cerita rakyat itu.

Setiap kemunculannya, Manusia Lumpur memang selalu membunuhi siapa saja yang ditemui. Seratus tahun yang lalu, makhluk itu juga pernah muncul, namun berhasil dilenyapkan oleh Pendekar Rajawali, guru Pendekar Rajawali Sakti. Kini makhluk itu pun telah pula dilenyapkan Pendekar Rajawali Sakti, setelah menitis kembali. Jadi, apakah seratus tahun kemudian makhluk itu akan muncul lagi? Tak ada yang tahu....

“Pendekar Rajawali Sakti! Kenapa kau malah bengong begitu?” tegur si Dewa Pedang.

“Ah, eh.... Tidak... Sebaiknya, aku permisi dulu.... Selamat tinggal!”

Begitu habis kata-katanya, Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat meninggalkan si Dewa Pedang, Malaikat Tangan Seribu, dan Iblis Maut. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak seorang pun yang mampu mencegahnya.

S E L E S A I

Manusia Lumpur

MANUSIA LUMPUR

SATU

Blep! Blep!

Glarrr...!

Gunung Perahu yang sepanjang tahun bisu, mendadak bergolak lagi. Padahal, sejak puluhan tahun lalu gunung itu sudah mati. Dan sejak itu tak seorang pun yang mau tinggal di sana. Bahkan seekor serangga sekalipun. Uap putih yang dari jauh terlihat bagai gumpalan salju, selalu menghiasi lereng gunung itu. Inilah penyebabnya. Sebab, uap putih itu tidak lain dari uap beracun yang keluar dari perut bumi di sekitarnya.

Namun anehnya, uap beracun itu jarang sekali berhembus ke lain tempat. Mungkin selalu terhalang oleh pepohonan lebat yang mengelilingi gunung itu. Sehingga asap putih itu hanya berputar-putar tidak jauh dari tempatnya semula. Kemudian perlahan-lahan kembali dan bergantung seperti orang yang tengah bertapa. Diam tidak terusik!

Konon, di lereng gunung ini terdapat banyak gua yang saling berhubungan. Sehingga di dalamnya seperti sebuah jalan yang banyak cabang-cabangnya. Tak seorang pun yang bisa mengetahui, apa yang terdapat di dalamnya karena sampai saat ini tak seorang manusia pun yang bisa masuk sampai ke sana dengan selamat!

Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh ke dalam, pusat dari lorong-lorong gua itu berada tepat di bawah kaki gunung itu. Di sana terdapat sebuah ruangan yang cukup lebar.

Di tengah ruangan yang dipenuhi batu karang yang mencuat ke atas maupun ke bawah, terdapat sebuah kolam lahar yang terus mendidih. Agaknya sebagian dar uap beracun itu berasal dari tempat ini. Kolam ini seperti bubur berwarna coklat kemerah-merahan dan amat kental. Pada jarak sekitar lima tombak dari kolam, panasnya terasa menyengat. Dan rasanya tak satu pun makhluk yang bisa hidup di tempat itu.

Blep! Blep!

Bubur lahar itu kembali bergolak. Dan dari bawah terlihat gelembung-gelembung udara bergerak ke atas dan meletus di permukaan. Dan dari dalam kolam gejolak itu semakin hebat. Bahkan lambat laun, kolam itu berputar dan membentuk pusaran di tengah-tengahnya. Rupanya, inilah yang menyebabkan Gunung Perahu itu kembali menampakkan kegarangannya.

“Graaagkh...!”

Diiringi raungan keras, tiba-tiba muncul sesuatu ke permukaan kolam berwujud seperti kepala manusia. Gaung dan getaran yang di timbulkannya cukup mengguncangkan batu-batuan yang berada di ruangan ini. Beberapa buah malah menimpa kepala yang dipenuhi lumpur panas itu. Kepala itu sama sekali tidak pecah! Padahal diantara batu-batu yang menimpa ada yang sebesar kepala kerbau!

“Grrhh...!”

Dengan geraman buas, perlahan-lahan kepala itu terangkat ke atas, seiring bentuk jasadnya yang bangkit berdiri. Lalu dengan gerakan ringan, kepala yang telah lengkap dengan jasadnya itu keluar dari kolam lahar. Kini terlihat bentuk nyata satu sosok mengerikan. Secara keseluruhan, bentuknya memang persis manusia. Namun wajahnya sukar dikenali, karena sekujur tubuhnya diselimuti lahar panas berwarna merah kecoklatan.

“Graaagkh...!”

Sosok makhluk itu kembali menggeram. Dan kembali dinding-dinding gua di sekitar ruangan ini bergetar, membuat batu-batu berjatuhan. Namun makhluk itu agaknya tidak mempedulikannya. Dia lantas berjalan melewati lorong gua menuju keluar dengan gerakan cepat, seperti tengah berlari. Tubuhnya yang kecil dan agak tinggi, ringan sekali bergerak. Seolah kakinya sama sekali tidak menapak tanah.

Tiba di mulut gua, makhluk itu berhenti. Sepasang matanya yang hitam berkilat menatap tajam kesegala arah. Mungkin ada sesuatu yang aneh dalam pandangannya. Entah alam yang telah berubah, atau barangkali tempat yang selalu diselimuti kabut. Entahlah.

Tak lama, makhluk ini kembali berkelebat. Disusurinya lereng gunung ini. Diterobosnya kabut beracun yang tidak pernah berhasil dilalui manusia biasa!

Begitu cepat kelebatan makhluk itu, sehingga dalam waktu singkat telah berada persis di kaki gunung. Di sini masih terlihat pohon-pohon besar yang menghalangi pancaran sinar matahari pagi. Namun begitu tatkala angin bertiup agak kencang, sebagian cahaya matahari yang masih halus menerobos dan menerpanya.

“Ohhh...!” Makhluk itu mendesah lirih, ketika cahaya matahari menerpa bola matanya. Baginya sinar itu terasa menyilaukan. Mungkin karena terlalu lama berada di perut bumi yang gelap dan pengap. Seketika sebelah tangannya menutupi mata. Tapi perlahan-lahan dia memberanikan diri dan coba mengintip.

“Graaakh...!” Ketika cahaya matahari itu kembali menyilaukan mata, makhluk itu menggeram marah.

Suara makhluk ini serak dan parau, seperti seekor beruang hutan. Lama dia berdiri tegak di tempatnya tanpa beranjak. Sikapnya kelihatan penasaran sekali, dan berusaha menantang cahaya matahari yang perlahan-lahan beranjak naik. Dan ketika mulai terbiasa, segera ditinggalkannya tempat itu.

“Graaakhh...!”

“Heh?!” Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun tersentak kaget. Begitu kagetnya, sehingga busur panah yang dipegangnya terlepas, saat mendengarkan suara raungan yang menggetarkan. Selama belasan tahun menjadi pemburu di Hutan Gunung Perahu belum pernah didengarnya suara seperti itu. Perlahan-lahan, laki-laki tegap berpakaian hijau-hijau ini mengedarkan pandangan ke sekeliling. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Dan busur panahnya yang terjatuh diambilnya dengan pandangan tetap mencari-cari.

“Graaagkh...!”

“Ohhh...!”

Baru saja laki-laki itu tegak kembali, terdengar lagi suara raungan, yang disusul dengan berkelebatnya satu sosok tubuh. Dan jantungnya hampir saja copot, ketika sosok itu telah berdiri di hadapannya pada jarak lima langkah.

Hati laki-laki ini makin kebat-kebit melihat sosok tubuh kurus penuh lumpur ini memandang tajam ke arahnya. Suaranya menggeram dahsyat. Perlahan-lahan makhluk itu melangkah mendekati.

“Jangan coba-coba mendekat! Atau, panahku akan menembus jantungmu sekarang juga!” bentak laki-laki itu mengancam, seraya mundur ke belakang. Tangannya gemetar ketika menarik busur. Nada suaranya pun bergetar. Jantungnya berdetak lebih kencang. Dan darahnya seperti mengalir lebih kencang.

Makhluk lumpur itu menghentikan langkah. Matanya memandang aneh kepada laki-laki di depannya. Sepertinya dia tidak mengerti apa yang akan diperbuat laki-laki itu terhadapnya.

“Pergi kau...!” bentak laki-laki pemburu itu, setelah keberaniannya mulai muncul kembali.

Makhluk itu diam tidak beranjak.

“Kurang ajar!” Keberanian pemburu ini yang telah terkumpul, diungkapkannya dengan bentakan. Bahkan tiba-tiba dia meraih anak panah dan cepat memasangnya pada busur. Lalu seketika dilepaskannya.

Twang!

Tiba-tiba satu buah anak panah melesat menyambar makhluk di depannya.

Tak!

“Heh?!” Pemburu itu makin tercekat ketika anak panahnya tidak mampu melukai makhluk itu.

“Patah? Mustahil! Terbuat dari apa kulitnya?!” desis laki-laki itu tidak percaya.

Jantung laki-laki ini semakin berdegup kencang. Dan perlahan-lahan kakinya mundur kebelakang sambil tetap mengawasi makhluk itu. Sementara makhluk menggiriskan ini sendiri agaknya tidak merasa kesakitan sedikit pun. Dia memandang sekilas pada patahan anak panah tadi, lalu berpaling pada laki-laki di depannya. Mulutnya menyeringai lebar dengan sorot mata kelihatan liar. Agaknya, dia menangkap sikap permusuhan dari laki-laki di depannya.

“Graaagkh...!”

“Oh, tidak! Pergi kau! Pergiii...!”

Makhluk itu menggeram buas laksana raungan seekor beruang. Sedang laki-laki di depannya tersentak kaget. Mukanya makin terlihat pucat. Sepasang matanya membelalak melihat makhluk itu berjalan mendekatinya dengan cepat. Dengan sekuat tenaga dia berusaha lari sekencang-kencangnya.

“Graaagkh...!” Makhluk itu melayang gesit. Dan tahu-tahu laki-laki itu telah dicengkeramnya.

Tap!

“Aaa...!” Cuma sesaat, lalu terdengar jeritan panjang. Tubuh laki-laki itu terkulai dengan tulang leher dan pinggang patah dicekal makhluk ini.

“Kraaagkh...!” Makhluk itu mendengus geram. Dicampakkannya mayat pemburu begitu saja seenaknya. Dipandanginya sejenak mayat itu, lalu perlahan melangkah meninggalkannya. Tapi baru berjalan kira-kira lima belas langkah, mendadak....

“Jahanam! Hei, berhenti kau...!”

Terdengar bentakan nyaring, membuat makhluk ini menghentikan langkahnya. Perlahan-lahan dia menoleh sambil berbalik. Di depan makhluk itu telah berdiri dua orang laki-laki yang masing-masing berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Mereka semua menyandang busur dan anak panah. Dengan langkah gusar makhluk itu menghampiri kedua orang yang baru datang.

“Graaakh...!” Makhluk ini menggeram, mengisyaratkan kemarahan. Sementara kedua laki-laki itu terkesiap.

“Hei, kaukah yang membunuh kawan kami ini?!” bentak salah seorang laki-laki itu, setelah berhasil menguasai hatinya.

“Graaagkh...!” Bentakan itu disahuti dengan seringai marah. Sementara makhluk itu sendiri semakin melangkah dekat.

“Percuma saja bicara, Jayeng! Lebih baik serang saja dia!” seru laki-laki satunya yang berbaju hitam seraya menyiapkan anak panah.

“Kau benar, Suket! Makhluk itu kelihatan aneh. Dia seperti binatang buas!” sahut laki-laki yang dipanggil Jayeng.

Kedua laki-laki bernama Jayeng dan Suket itu melompat ke kanan dan kiri, siap dengan panah terpasang di busur.

“Graaagkh...!” Begitu makhluk ini menggeram sekali lagi, kedua laki-laki itu melepaskan anak-anak panahnya.

Twang! Twang!

Dua batang anak panah yang melesat cepat membuat makhluk itu menggeram semakin marah. Namun dia tak berusaha menghindari. Dan....

Tak! Tak!

Jayeng dan Suket terkesiap, karena kedua anak panah yang dilepaskan tidak mampu melukai tubuh makhluk ini. Malah patah seperti menghantam tembok besi.

“Kraaagkh...!”

“Oh, tidaaak. Aaargkh!” Jayeng memekik keras ketika makhluk itu melompat. Tanpa dapat menghindar lagi, lehernya telah tercengkeram tangan penuh lumpur makhluk ini.

Krakkk!

“Aaa...!”

Dengan sekali cekik tulang leher Jayeng patah diiringi jerit kematian. Tanpa merasa kasihan sama sekali, makhluk ini melempar mayat Jayeng begitu saja. Suket terkesiap. Kawannya tewas seketika dalam waktu singkat. Namun belum lagi dia berbuat sesuatu, mendadak makhluk itu telah melesat ke arahnya.

“Kraaagkh...!”

Krek!

Suket hanya dapat melotot, ketika tangan penuh lumpur makhluk itu mendadak mencengkeram lehernya. Lalu....

“Ugkh!” Suket hanya mampu mengeluh tertahan. Tulang lehernya langsung patah dipotes makhluk ini. Dan ketika tubuhnya dilepaskan, dia jatuh terkulai.

“Kragkh...!” Makhluk itu kembali menggeram. Tanpa mempedulikan mayat-mayat itu, dia berjalan meninggalkan tempat ini seperti tidak ada kejadian apa-apa. Melihat arahnya, jelas kalau makhluk ini menuju desa yang terletak di kaki Gunung Perahu. Desa Pandah!

********************

“Aouw...!”

Siang itu di Desa Pandah yang semula tenang dan damai, mendadak dipecahkan oleh sebuah suara teriakan seorang wanita yang menjerit-jerit.

“Hantu...! Ada hantuuu...!” teriak wanita berusia dua puluh delapan tahun itu lagi.

Seketika, penduduk desa yang mendengar tersentak kaget. Bergegas mereka serentak keluar rumah masing-masing, menuju sumber suara.

“Di mana? Di mana hantunya, Lastri?” tanya salah seorang penduduk yang berpapasan dengan wanita itu.

“Itu di sana, Kang Parwa,” sahut wanita yang dipanggil Lastri, sambil menunjuk ke arah sebuah pohon beringin yang terletak di mulut desa ini.

Namun laki-laki yang dipanggil Parwa bingung sendiri. Demikian pula Lastri ketika menunjuk ke tempat yang dimaksud, hantu yang tadi ditemuinya sudah tak ada lagi di tempatnya.

“Jangan bergurau, Lastri! Mana ada hantu di siang bolong begini!” cibir Parwa.

Sementara itu, para penduduk lainnya telah merubungi Lastri.

“Mungkin gara-gara suaminya mati, Lastri jadi sedikit miring!” timpal seorang pemuda sambil tersenyum.

“Aku bersungguh-sungguh, Jaka! Untuk apa berbohong? Jelas kulihat dia di sana. Bentuknya seperti kita. Tapi, tubuhnya penuh lumpur yang telah mengering. Pandangan matanya tajam saat menatapku,” jelas Lastri, coba meyakinkan.

Tapi tak seorang penduduk pun yang percaya. Semua mencibir. Dan satu persatu meninggalkannya sambil tersenyum-senyum mengejek. Tapi baru saja melangkah beberapa tindak....

“Tolooong...!”

Terdengar teriakan, yang membuat para penduduk ini berpaling ke sebuah rumah tak jauh dari tempat ini. Tampak beberapa orang keluar dari rumah itu dengan wajah pucat ketakutan. Karuan saja kerumunan penduduk tadi berpindah tempat. Mereka tergopoh-gopoh menghampiri dua orang yang keluar dari rumah tempat asal teriakan.

“Ada apa? Kadi...? Lingga?” tanya Parwa.

“Hantu? Dia, dia telah membunuh Karja!”

Laki-laki yang bernama Lingga menjelaskan dengan tubuh gemetar. Dan baru saja dia selesai berkata begitu, mendadak dari arah belakang mereka muncul sesosok tubuh coklat kemerahan sambil mengangkat kedua tangan. Mulutnya menyeringai dan menggeram buas.

“Kraaagkh...!”

“Ohhh...!” Para penduduk tersentak kaget. Sementara Kadi dan Lingga serentak menunjuk.

“Itu dia! Itu hantunya...!”

Makhluk kurus yang sekujur tubuhnya berselimut lumpur coklat kemerahan yang telah mengering itu kembali menggeram. Orang-orang yang tadi terkesiap dan tertegun untuk beberapa saat, mulai sadar kalau apa yang dilihat bukanlah mimpi semata. Serentak mereka kabur ke segala arah. Ada yang langsung memukul kentongan, dan ada pula yang mencari senjata-senjata tajam. Beberapa orang malah betul-betul kabur, dan tidak kembali lagi ke rumahnya.

Tong! Tong!

“Ada hantu! Ada hantu...!”

“Kraaagkh...!”

Makhluk itu terlihat kebingungan untuk sementara. Tapi ketika melihat orang-orang yang lari hilir-mudik, ternyata membuatnya geram. Maka tanpa pikir panjang dia melompat. Langsung diterkamnya seorang laki-laki berumur empat puluh tahun.

Tap! Krek!

“Aaagkh...!” Laki-laki itu menjerit tertahan. Tulang lehernya langsung patah seketika dicengkeram makhluk ini.

“Astaga! Dia membunuh Ki Jabal!” teriak Parwa.

Penduduk yang lainnya terpaku. Namun perlahan-lahan mereka memberanikan diri untuk berkumpul. Mereka segera mendekati makhluk itu dengan senjata terhunus.

“Makhluk iblis! Kita harus menyingkirkannya! Kalau tidak, dia akan membuat kekacauan di sini!” desis Jaka, berusaha membangkitkan semangat.

“Betul! Makhluk ini sangat keji. Dia membunuh dengan mudah. Kita harus membunuhnya!” sambut yang lainnya.

“Bunuh dia! Bunuh dia...!” teriak Parwa sambil mengacung-acungkan senjata tajam.

Tiga orang tidak dapat menahan diri lagi. Dan seketika mereka menerjang makhluk itu bersamaan.

“Makhluk terkutuk, mampuslah kau!”

“Heaaa...!”

Diserang demikian, makhluk ini seperti tak hendak menghindar. Dibiarkannya saja senjata-senjata tajam itu menerjang tubuhnya.

Tak! Tak!

Wuuut!

Namun senjata tajam di tangan mereka seperti hanya menghantam besi baja yang amat keras. Entah punya kekebalan apa makhluk itu. Yang jelas begitu tangannya bergerak dengan tubuh berkelebat....

Desss! Krakh!

“Aaa...!” Salah seorang memekik nyaring begitu terhantam tangan makhluk itu pada dadanya. Tubuhnya terpental, menghantam kerumunan orang. Tak lama disusul dua orang lainnya. Nyawa mereka langsung melayang begitu menyentuh tanah.

“Kurang ajar! Dia telah membunuh tiga orang dalam sekejap!”

Para penduduk yang belum sempat menyerang itu tersentak kaget. Di antara rasa gentar dan ketakutan, di dada mereka terasa api amarah yang membara. Namun tanpa diperintah lagi mereka serentak menyerang makhluk itu bersama-sama.

“Bunuh dia! Bunuuuh...!”

“Heaaa...!”

Melihat banyak orang maju mengeroyok, makhluk itu kelihatan semakin marah. Kedua tangannya bergerak cepat. Dan tahu-tahu, dia telah mencengkeram rambut di kepala dua orang penduduk. Dengan gemas dibantingnya kedua orang itu, dan langsung diinjak-injak sampai terdengar derak tulang-belulang patah.

Begitu selesai, makhluk ini kembali menyambar dua orang lagi yang langsung dibantingnya. Bukan hanya itu saja. Kedua tangan dan kakinya pun terkadang menghantam. Dan kalau sudah begitu, maka jerit kematian terdengar saling sambung. Padahal para penduduk telah berusaha menghantamkan senjata masing-masing ke tubuh makhluk ini. Namun tidak ada satu pun senjata yang mampu melukai.

“Lari! Selamatkan diri kalian masing-masing! Percuma saja kita membunuhnya. Dia tidak mempan senjata tajam!” teriak Parwa yang masih selamat, seraya lari serabutan.

Mendengar itu yang lainnya segera mengikuti. Mereka kini lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. Agaknya bukan hanya mereka saja yang menyelamatkan diri. Tapi para wanita yang menggendong serta menuntun anaknya pun berbondong-bondong menyelamatkan diri bersama suami masing-masing. Demikian pula para orang tua yang terpaksa harus dipondong. Untung saja makhluk itu tak hendak mengejar.

Dalam waktu singkat kampung itu sepi dari penghuninya! Memang aneh bila makhluk itu tak berusaha mengejar. Melihat orang-orang yang mengeroyoknya kabur, dia hanya terpaku di tempatnya. Lalu setelah merasa tidak ada lagi yang mengganggunya, dia berlalu dari desa ini.

********************

DUA

Seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh enam tahun memandang dengan kening berkerut ke arah seorang pemuda yang tergopoh-gopoh masuk ke halaman rumahnya.

“Ki Braja! Ki Braja! Gawat! Gawat, Ki!” teriak pemuda berbadan tegap terbungkus pakaian coklat tua, sambil terus menghampiri laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Braja.

“Ada apa, Angkeran? Mengapa wajahmu pucat begitu? Coba tenangkan dirimu dulu. Baru ceritakan yang jelas,” ujar Ki Braja, lembut penuh kesabaran.

Pemuda bernama Angkeran ini menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan. “Beberapa orang kedapatan tewas di ujung desa, Ki,” lapor Angkeran.

“Tewas? Apa maksudmu? Dan, siapa yang mati?” tanya Ki Braja dengan kening berkerut.

“Ki Tunggal dan Ki Rewong! Mereka adalah penebang kayu yang sering keluar masuk hutan,” jelas Angkeran.

“Maksudmu mereka mati tertimpa kayu?”

“Bukan, Ki. Tubuh mereka remuk seperti dipatahkan sesuatu....”

“Bicara yang benar, Angkeran. Hanya untuk itukah kau datang ke sini dengan tergopoh-gopoh?”

“Sebagian penduduk yang melihat kejadian itu mengatakan, mereka mati dicekik makhluk mengerikan.”

“Makhluk? Makhluk apa?” Ki Braja kelihatan bingung mendengar penjelasan Angkeran.

“Entahlah.... Tapi penduduk kita mulai resah, Ki. Agaknya kita harus secepatnya menenangkan mereka.”

“Baiklah, baiklah.... Kita berangkat sekarang!”

Baru saja mereka akan melangkah, di depan halaman terlihat lima orang laki-laki penduduk desa ini melangkah tergopoh-gopoh pula. Wajah mereka tampak pucat ketakutan.

“Ki Braja! Gawat! Beberapa penduduk desa terbunuh...!” lapor salah seorang yang bertubuh kurus begitu tiba di depan Ki Braja dan Angkeran.

“Terbunuh? Siapa yang membunuh?!” sentak Ki Braja kaget.

“Hantu itu!” sahut orang itu.

“Hantu apa? Bicara yang benar, Paksa!” sentak Ki Braja.

“Makhluk iblis itu! Dia mengamuk dan banyak membunuh penduduk desa. Kita harus mencegahnya, Ki. Kalau tidak, semua penduduk akan binasa di tangannya!” jelas laki-laki kurus yang dipanggil Paksa.

“Di mana dia sekarang?!” tanya Ki Braja mulai geram.

“Di depan rumah Sentana. Sentana sendiri mati ketika berusaha membela ayahnya yang tengah dicekik iblis berlumpur,” jelas Paksa lagi, yang mewakili kawan-kawannya.

Ki Braja segera berbalik kembali ke dalam rumah. Dan beberapa saat kemudian dia telah keluar lagi dengan membawa sebilah pedang dalam genggaman.

Mereka bergegas meninggalkan halaman rumah Ki Braja yang memang menjabat sebagai Kepala Desa Kandis yang terletak di sekitar kaki Gunung Perahu pula.

********************

Para penduduk Desa Kandis saat ini tengah kalang kabut menyelamatkan diri. Namun ada pula yang tengah berkumpul seperti merubungi sesuatu. Tampak diantara kerumunan berkelebat segala senjata tajam yang diiringi teriakan-teriakan geram mewarnai. Kadang ditingkahi geraman laksana seekor beruang yang disusul pekik kematian serta melayangnya beberapa sosok tubuh dengan tulang leher remuk.

“Lariii...! Orang ini bukan manusia. Dia iblis! Kita tidak akan mampu melawannya!” teriak seseorang.

Beberapa orang ini kabur dari tempat itu. Namun tidak bagi yang lainnya. Kematian beberapa orang kawan mereka, tidak membuat nyali ciut. Mereka malah semakin mengamuk dengan hebat.

“Jangan mundur! Serang terus! Dia telah membunuh banyak kawan-kawan kita! Bunuh makhluk berlumpur ini!” teriak beberapa orang memberi semangat.

Tapi percuma saja mereka berteriak-teriak. Sebab, mereka yang telah melarikan diri itu tidak kembali lagi. Orang-orang itu mungkin menyadari tak ada gunanya melawan. Makhluk yang dihadapi ganas dan tidak kenal ampun.

“Graaakh...!”

Krek! Tak!

“Aaa...!”

Korban kembali jatuh. Dua orang memekik panjang, lalu jatuh terkulai dengan leher remuk dan tulang dada patah. Kejadian ini membuat yang lainnya kecut. Pelan-pelan nyali mereka mulai ciut. Atau juga, mungkin mereka menyadari tak ada gunanya melawan. Sebab makhluk berwujud manusia yang sekujur tubuhnya berlapis lumpur itu tidak bergeming. Beberapa kali senjata tajam menghunjam, namun kulitnya tidak terluka sedikit pun. Dan sebelum ada korban lagi....

“Mundur semua!” Mendadak terdengar bentakan nyaring.

“Heh...?!” Orang-orang itu terkesiap. Dan seketika mereka menghentikan serangan. Sebagian segera memandang ke arah asal suara.

“Ki Braja! Ah, syukurlah beliau cepat datang...,” seru salah seorang penduduk Desa Kandis ini, seperti mengisyaratkan sebuah harapan begitu melihat seorang laki-laki tua berpakaian putih yang memang Ki Braja.

Bukan tanpa alasan, mereka sedikit terhibur oleh kedatangan kepala desa itu. Semua penduduk di desa ini tahu kalau Ki Braja bukan sekadar kepala desa. Tapi juga tokoh persilatan tingkat atas. Orang-orang yang seusia dengannya sering bercerita, sebelum Ki Braja terpilih menjadi kepala desa, beliau adalah seorang pendekar digdaya.

Sementara itu Ki Braja berjalan tenang, melewati orang-orang yang memberi jalan padanya. Matanya memandang tajam pada pengacau yang telah banyak membantai warga desanya.

Sedangkan makhluk berwujud manusia yang tubuhnya dipenuhi lumpur kering coklat kemerahan itu memandang tak kalah tajam. Bahkan sinar matanya seperti memiliki perbawa menggetarkan. Sampai-sampai Ki Braja bergidik ngeri saat pandangannya beradu.

“Siapa kau? Dan kenapa kau berbuat keributan di tempatku ini?” tegur Ki Braja, mencoba dengan cara halus.

“Graaagkh...!” Tidak ada jawaban. Makhluk itu malah menggeram, lalu seketika dia melompat menerkam.

“Uts. Kau memang sengaja cari penyakit!” rutuk orang tua itu, langsung saja mencabut pedang.

Begitu makhluk ini berada dalam jangkauan, Ki Braja cepat mengayunkan pedangnya ke pinggang.

Tak!

“Heh?” Ki Braja tersentak, ketika senjatanya seperti menebas besi baja. Bahkan sampai terlepas dari tangan. Dan sebelum dia sempat berbuat apa-apa, makhluk itu telah kembali bergerak dengan kecepatan luar biasa dengan tangan mengibas. Tak ada waktu lagi bagi Ki Braja untuk menghindari. Mau tak mau, dipapaknya kibasan tangan itu.

Klak!

“Aaakh!” Ki Braja memekik kesakitan, begitu terjadi benturan. Tubuhnya cepat melompat sambil memegangi tangan kiri yang patah tulangnya akibat beradu dengan tangan makhluk itu.

“Keparat!” desis orang tua itu dengan mulut meringis menahan sakit.

Tapi makhluk itu tidak mempedulikannya. Dia kembali melompat menerkam.

“Uhhh...!” Ki Braja berusaha menghindar dengan menjatuhkan diri ke samping. Memang terkaman makhluk itu luput. Tapi tidak disangka-sangka, sebelah kakinya sempat mengait kaki Ki Braja.

Krak!

“Aaakh...!” Kedua tulang kering pada kaki laki-laki tua ini remuk dihajar makhluk itu. Tubuhnya kontan terjerembab di sertai pekik kesakitan. Namun Ki Braja cepat bergulingan untuk menghindari serangan makhluk itu yang berikut.

“Graaagkh...!”

“Celaka! Ki Braja dalam bahaya. Kita harus membantunya!” seru Angkeran, pemuda yang tadi menyertai kepala desa itu datang ke sini.

“Siapa yang bisa mencegah makhluk itu? Ki Braja saja tidak mampu. Apalagi kita!” sahut Paksa, yang juga menyertai Ki Braja.

“Ya! Lebih baik kita kabur selagi bisa!” timpal yang lain.

Dan apa yang para penduduk ini katakan memang bukan main-main. Satu persatu mereka buru-buru meninggalkan tempat ini. Mereka pulang ke rumah masing-masing dan segera berkemas dan mengajak keluarganya mengungsi. Sementara itu Angkeran beserta beberapa penduduk yang masih setia kepada Ki Braja mencoba menghalangi makhluk itu.

“Graaagkh!”

Tak! Praaak!

“Aaa...!” Percuma saja. Sekali saja makhluk itu mengibaskan tangan, maka mereka terpental dengan kepala remuk dan leher patah. Termasuk Angkeran. Dan memang makhluk itu menerkam Ki Braja hingga masuk dalam pelukannya.

Kraaah!

“Aaa...!” Sesaat terdengar jeritan panjang, lalu sepi. Tubuh orang tua ini telah terkulai lesu seperti tidak bertulang dalam rangkulan makhluk itu.

“Graaagkh...!” Makhluk itu meraung dahsyat ketika melihat orang-orang yang tadi mengerumuninya telah kabur satu persatu dari tempat ini. Seketika yang menjadi sasaran adalah rumah-rumah yang berada di dekatnya.

“Graaagkh...!”

Bruaaak!

“Keparat terkutuk! Apa dosa mereka hingga kau membantai begitu rupa?!”

Terdengar bentakan nyaring ketika makhluk berlumpur itu hendak meninggalkan Desa Kandis yang telah dihancurkannya rata dengan tanah.

Makhluk berlumpur ini menghentikan langkahnya. Perlahan-lahan dia berbalik, dan langsung menatap tajam pada dua orang yang tahu-tahu telah berada di depannya.

“Iblis keparat! Apa yang kau lakukan di tempat ini? Kenapa kau mengganggu mereka? Kembalilah ke tempat asalmu sana!” kembali salah seorang membentak.

Kedua laki-laki yang baru datang ini memiliki usia sekitar dua puluh delapan dan tiga puluh tahun. Melihat gerak-gerik serta senjata yang dibawa, jelas kalau keduanya bukan orang sembarangan. Bahkan mereka pun agaknya bukan penduduk desa ini. Karena tak seorang pun dari penduduk desa ini menyelamatkan diri, tak peduli dengan keselamatan kedua orang ini.

“Graaagkh...!”

Makhluk yang lebih tepat sebagai Manusia Lumpur itu menjawab dengan raung kemarahan. Seketika dia melompat menerjang salah seorang di depannya.

“Kakang Bayu, awaaas...!” teriak laki-laki yang lebih muda memperingatkan.

“Ups!” Laki-laki yang dipanggil Bayu mencoba melompat ke atas. Sementara yang lebih muda coba mencelat untuk membantu Bayu dengan mengirim tendangan ke punggung.

Buk!

Telapak kaki pemuda itu seperti menghantam batu karang yang keras bukan main. Dan baru saja bersentuhan, secepat itu pula pergelangan kakinya tertangkap makhluk itu.

Tap!

Belum sempat pemuda itu berbuat apa-apa, kakinya telah ditarik. Dia berusaha berontak, tapi terlambat. Mendadak saja Manusia Lumpur itu membanting tubuhnya, hingga membentur batu.

Praaak!

“Aaa...!” Pemuda itu memekik keras. Kepalanya remuk berlumuran darah. Dan nyawanya melayang saat itu juga.

“Katili...!” Bayu tersentak kaget. Langsung diburunya mayat kawannya yang ternyata bernama Katili.

“Graaagkh...!” Tapi Manusia Lumpur seperti tidak memberi kesempatan. Sambil menggeram buas, dia melompat menerjang Bayu.

“Heh?! Uts!” Bayu terkesiap. Tanpa menoleh dia melompat ke samping, lalu terus bergulingan menghindari terjangan.

Bruak!

“Groaaagkh...!”

Tendangan yang dilancarkan Manusia Lumpur keras bukan main. Terbukti permukaan tanah tempat tadi Bayu berada kontan amblas menimbulkan lubang sedalam lebih kurang tiga jengkal.

Tapi begitu melihat sasarannya menghindar, kemarahan makhluk itu semakin menjadi-jadi. Dan secepat kilat dia berbalik, lalu kembali menyerang.

“Gila!” desis Bayu geram seraya mencabut pedang.

Sring!

“Heup!” Laki-laki ini bersiaga menyambut serangan dengan jantung berdegup semakin kencang. Sepasang matanya tajam mengawasi. Lawan yang dihadapinya kali ini luar biasa hebat. Sebab selama ini dia belum pernah berhadapan dengan lawan sedahsyat dan seliar yang satu ini. Tenaga dan kecepatannya sama sekali tidak mampu diimbangi.

“Hiyaaat!”

Bayu segera mengayunkan pedangnya secepat kilat, dan langsung menyambar dada Manusia Lumpur. Namun dengan gerakan yang lebih cepat, tangan makhluk itu bergerak menangkis.

Tak!

“Heh?!” Kembali Bayu dibuat kaget, karena pedangnya bagai menghantam benda keras bukan main! Dan lebih kaget lagi ketika pedangnya telah patah menjadi dua bagian! Belum lagi habis rasa kagetnya, satu tendangan keras menghantam dada Bayu.

Begkh!

Kraaak!

“Aaa...!” Pemuda itu memekik keras begitu tendangan barusan telah mendarat di dadanya. Tulang dadanya kontan patah. Dari mulutnya menyembur darah segar. Tubuhnya terbanting keras. Untuk sesaat dia meregang nyawa, lalu... tewas!

“Graaagkh...!”

Manusia Lumpur menggeram sambil memandang ke sekeliling, menyapu mayat-mayat yang tergeletak kaku. Seperti dia hendak meyakinkan kalau mereka tidak akan mengancamnya lagi.

Desa ini sudah sepi, seperti mati. Dengan langkah gusar, Manusia Lumpur mulai bergerak menyusuri jalan utama desa ini. Sebentar-sebentar dia menggeram. Lalu dirobohkannya beberapa buah rumah yang berada di dekatnya untuk melampiaskan kemarahan.

********************

TIGA

Sebenarnya, kabar tentang mengganasnya Manusia Lumpur telah tersebar ke mana-mana. Namun entah kenapa, kabar itu tak mengusik dua insan yang tengah memadu cinta kasih di pinggiran Telaga Bidadari. Tepatnya, di gerumbulan semak-semak.

Keadaan di sekitar tempat ini memang indah. Pepohonan lebat tumbuh di sekitarnya, memayungi dari sengatan matahari. Di beberapa bagian terlihat semak-semak yang disekitarnya menghampar rumput tebal. Sehingga bila terlihat dari jauh, seperti hamparan permadani hijau saja. Sementara Telaga Bidadari itu sendiri berair cukup bening. Permukaannya membiaskan sinar matahari, hingga bagaikan butiran-butiran permata berkilau.

“Aouw! Kakang Pratama! Apa-apaan kau ini?!”

Terdengar suara nyaring dari mulut seorang gadis di balik semak-semak. Tak lama, berdiri seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang tersenyum-senyum kecil seperti tidak merasa bersalah. Di depan pemuda itu, duduk seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang tengah bersungut-sungut kesal. Dibetulkannya letak pakaiannya yang mulai acak-acakan.

“Kenapa, Lestari? Bukankah sebentar lagi kita akan menikah? Apa bedanya sekarang atau nanti?” bujuk pemuda bernama Pratama. Gadis bernama Lestari memandang tajam pada pemuda yang memang kekasihnya.

“Begitukah menurutmu, Kakang Pratama? Kau sia-siakan kepercayaan ayahku dengan membawaku ke sini? Kurasa Ayah pun tidak menginginkan hal ini. Bahkan beliau bisa marah bila melihat kelakuanmu tadi!” cibir Lestari, kesal.

“Jadi alasanmu hanya karena takut ayahmu marah?” tanya Pratama.

“Tidak! Karena aku memang tidak menginginkannya!” sahut Lestari tegas, seraya bangkit berdiri.

“Kau calon istriku, Lestari! Dan perkawinan kita sudah ditentukan. Hal apa lagi yang membuatmu khawatir?”

“Memang benar apa yang Kakang katakan. Tapi nasib manusia di tangan Yang Maha Kuasa. Kalau Kakang pendek umur, lalu akan kuletakkan di mana wajahku yang menanggung aib. Bukan hanya aku yang menanggung derita. Tapi seluruh keluargaku akan tercemar. Itu perbuatan yang amat memalukan!” sergah gadis itu, tegas.

“Hm.... Memang begitu yang kau pikirkan. Kau memang mendoakan aku cepat mati, bukan?” tukas Pratama, agak tersinggung.

“Kakang! Kenapa kau pikir begitu?!” sentak Lestari, dengan suara tinggi. Bola matanya memandang tajam kepada pemuda di depannya.

“Kau memang tidak mencintaiku...,” desah Pratama dengan suara yang lebih tajam. Pandangannya langsung dibuang ke arah lain.

“Itu tidak benar! Kau salah mengerti, Kakang...!”

“Kenapa tidak? Bukankah kita saling mencintai? Kau tahu, siapa aku. Dan tahu pula kalau aku adalah calon suamimu. Tapi kau masih juga menaruh curiga!” kata Pratama tanpa menoleh.

Lestari melangkah ke depan Pratama. Ditatapnya pemuda itu tajam-tajam. “Kakang, cobalah mengerti. Itu masih belum pantas kita lakukan. Kenapa Kakang tidak mau bersabar. Toh, hal itu tidak akan lama lagi? Ayolah, Kakang Pratama! Aku berharap Kakang bisa mengerti,” pinta gadis ini.

Pemuda itu diam membisu. Kembali dia berbalik, mengarahkan pandangan ke tempat lain.

“Kakang....” Lestari menghampiri. Dibelainya punggung pemuda itu lalu pipinya disandarkan ke bahu Pratama sambil memeluk dari belakang.

Pemuda itu berontak perlahan-lahan. “Sebaiknya kita pulang...,” ajak Pratama singkat.

“Kakang! Kau marah padaku...?” tanya Lestari dengan wajah termangu.

Pratama tidak menjawab. Kakinya malah melangkah, meninggalkan gadis itu.

“Kakang...!” teriak Lestari, halus. Lestari segera mengejar, langsung menjajari langkah Pratama.

“Bicaralah, Kakang! Apakah hanya karena aku tidak memberi yang satu itu, lalu kau marah dan menganggapku tidak mencintaimu?! Apakah calon suamiku akan sepicik itu? Ayo, Kakang! Bicaralah! Agar aku tahu apa yang kau pikirkan saat ini?!” kejar Lestari.

Pratama menghentikan langkah lalu menarik napas panjang. Kepalanya menoleh, memandang gadis itu sekilas. “Sudahlah... Tidak usah membicarakan hal itu lagi...,” desah Pratama lemah.

“Kakang marah padaku?” Pemuda itu menggeleng. “Lalu kenapa sikapmu tiba-tiba berubah?”

Pratama kembali menarik napas beberapa kali untuk menenangkan hatinya. “Baiklah.... Aku mungkin salah. Nah, lupakanlah kejadian tadi. Mari kita pulang,” ujar pemuda tampan ini.

“Sungguh, Kakang bisa mengerti?!” desak Lestari, masih belum puas.

“Tari, sudahlah.”

“Tidak! Aku ingin dengar jawaban langsung dari mulutmu, Kakang. Katakanlah! Apakah kau memang bisa mengerti atau karena terpaksa?” desak Lestari.

“Baiklah.... Aku mengerti dan sadar bahwa hal itu tak pantas,” kata Pratama.

“Sungguh?!” cecar Lestari.

“Lestari, sudahlah. Ayo, kita pulang,” ujar Pratama sambil tersenyum manis.

“Baiklah, Kakang. Aku senang sekali mendengarnya,” kata gadis ini dengan wajah cerah. “Kau tahu? Nanti setelah kita menikah, aku akan menjadi istri yang baik dan aku akan mengabdi sepenuhnya padamu!”

Pratama kembali tersenyum. Dipandanginya gadis itu sesaat. Kemudian sebelah tangannya dilingkarkan di leher Lestari. Keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Perlahan wajah keduanya seperti hendak bersatu. Namun sebelum terjadi, mendadak....

“Kraaagkh...!”

“Heh?!”

“Astaga! Apa ini?!” sentak Lestari dengan wajah ngeri, langsung bersembunyi di belakang Pratama.

Di depan mereka, pada jarak sepuluh langkah berdiri sesosok tubuh kurus dengan seluruh tubuh dipenuhi lumpur coklat kemerahan! Keadaannya seperti manusia layaknya. Namun tatapan matanya tajam seperti hendak mengiris-iris jantung. Dan seringainya buas, laksana serigala kelaparan. Yang lebih membuat mereka tidak habis pikir, makhluk ini menggeram seperti layaknya hewan liar!

“Apa maumu pada kami?!” bentak Pratama, mendengus geram.

“Graaagkh...!” Makhluk itu menggeram. Dan tahu-tahu dia melompat gesit menerkam.

“Awas, Tari...!” teriak Pratama memperingatkan seraya mendorong tubuh kekasihnya. Sementara dia sendiri melompat ke arah lain. “Ups!”

“Groaaagkh...!” Melihat kedua calon korbannya bisa meloloskan diri, makhluk itu yang tak lain Manusia Lumpur kelihatan marah dan semakin kalap. Kembali dia menerkam. Dan kali ini sasarannya adalah Pratama.

“Bedebah! Tidak tahukah kau, siapa aku?! Aku Pratama, putra Ki Bagus Wesi, Ketua Perguruan Tangan Besi. Semua orang tahu, siapa ayahku! Meski setan sekalipun, jangan coba main-main kepadanya!” gertak Pratama.

Manusia Lumpur terdiam. Suara erangannya pun kini terdengar halus. Sepertinya dia berusaha untuk mengerti, apa yang dikatakan pemuda itu.

“Bagus! Ternyata kau tahu diri juga. Nah! Pergilah dari sini, sebelum aku marah dan membunuhmu!” lanjut Pratama seraya berkacak pinggang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya menuding makhluk itu.

Sikap pemuda ini tampak sombong sekali, seperti seorang majikan memberi perintah pada budaknya. Entah apa yang dipikirkan makhluk itu. Tapi yang jelas Manusia Lumpur bukannya menurut. Bahkan....

“Graaagkh...!” Disertai geraman marah, Manusia Lumpur langsung menerkam Pratama.

“Uts! Sial!” Pemuda itu melompat gesit ke samping. Namun karena terlalu meremehkan, meski mampu menghindar dari serangan, tak urung kakinya kena kait kaki Manusia Lumpur.

Tak!

“Uhhh...!” Pratama melenguh tertahan ketika tubuhnya terjerembab keras. Kedua tangannya langsung memegangi pergelangan kakinya yang terasa sakit bukan main.

“Kakang, kau tidak apa-apa?!” teriak Lestari dengan wajah cemas.

“Lestari, cepat pergi dari sini! Makhluk ini bukan tandingan kita. Ayo, pergi! Selamatkan dirimu!” teriak Pratama.

Sementara makhluk itu siap kembali menyerang Pratama. Padahal pada saat yang bersamaan, Lestari pun bersiap akan menghantam makhluk itu.

Lestari sebenarnya adalah putri seorang tokoh silat yang cukup berpengaruh di kalangan persilatan. Tapi Pratama tahu kalau kepandaian gadis itu masih setingkat di bawahnya. Dan kalau dia saja dibuat jatuh bangun oleh makhluk ini, apalagi Lestari?

Maka sebelum gadis itu berbuat sesuatu, Pratama cepat bangkit. Dihampirinya gadis itu. Segera didorongnya Lestari agar menjauh dari makhluk itu.

“Pergi! Tinggalkan tempat ini, Lestari! Cepat pergi kataku!” bentak pemuda itu. Baru saja Pratama selesai berteriak....

“Kakang, awaaas...!”

Teriakan Lestari terlambat, karena satu tendangan Manusia Lumpur telah meluncur begitu dekat. Dan....

Duk!

Krek!

“Aaakh...!” Pratama memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke depan dengan bagian muka mencium tanah. Tulang punggungnya terdengar berderak patah.

“Graaagkh...!” Makhluk itu menggeram buas, mengalahkan teriakan Lestari yang bergegas memburu kekasihnya.

“Lestari, awaaas...!” Pratama masih sempat memperingatkan kekasihnya sambil menggapai-gapaikan tangan. Namun peringatan itu sia-sia. Tepat ketika Manusia Lumpur mengibaskan tangan, Lestari tiba dekat Dan....

Begkh!

“Aaakh...!” Lestari menjerit, ketika tiba-tiba sesuatu menghantam perutnya. Tubuh gadis itu terpental ke belakang. Tepat ketika Lestari mencium tanah, kaki Manusia Lumpur telah menginjak dada Pratama.

Jreekk!

“Aaa...!” Disertai jeritan, dari mulut pemuda itu muncrat darah segar. Sepasang matanya melotot lebar. Napasnya putus saat itu juga, karena dadanya langsung hancur sampai tulang-tulangnya.

“Kakaaang...!” seru Lestari kaget.

Meski menahan rasa sakit hebat, Lestari berusaha bangkit untuk melihat keadaan Pratama. Namun, makhluk itu agaknya tidak mau memberi kesempatan. Tubuhnya sudah langsung meluruk melepaskan tendangan kilat.

“Graaagkh...!”

Untung saja Lestari cepat bertindak. “Uts! Keparat! Akan kubunuh kau dengan pedangku!” desis gadis itu sambil membuang diri ke samping. Dan begitu bangkit berdiri pedangnya langsung dicabut.

Sriiing!

“Yeaaa...!” Tanpa menunggu lama lagi, Lestari langsung melompat menyerang. “Mampus kau, Keparat!” Begitu cepat pedang itu berkelebat, mengarah leher Manusia Lumpur.

Tak!

“Heh?!” Lestari tersentak kaget. Pedangnya patah begitu menghantam leher yang kerasnya bukan main. Dan belum habis keterkejutannya makhluk lumpur telah mengibaskan sebelah tangan.

Desss!

“Aaakh...!” Gadis itu kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh keras di tanah. Darah langsung termuntah dari mulutnya. Kepalanya berkunang-kunang. Pandangannya kabur lalu semakin gelap. Rasa sakit yang hebat, membuatnya tidak sadarkan diri. Lestari tergolek tak berdaya, sementara makhluk itu bersiap akan menghabisinya.

“Kraaagkh...!”

“Hei, makhluk apa itu?!”

Manusia Lumpur menghentikan gerakannya, ketika mendadak terdengar suara keras dari belakangnya. Begitu menoleh, tampak beberapa orang laki-laki telah berada tak jauh dari tempat ini.

“Astaga! Bukankah itu Lestari, Putri Ki Palaran,” seru laki-laki yang berikat kepala merah.

“Lihat! Ini tubuh Pratama. Napasnya sudah tak ada. Dia... dia sudah mati!” desis seorang lagi, yang kebetulan berada dekat dengan mayat Pratama.

Jumlah mereka tujuh orang. Dan masing-masing bersenjata sebilah pedang. Dan belum lagi mereka mulai menduga siapa yang menyebabkan kedua anak muda itu terkapar, mendadak makhluk itu telah berbalik dan langsung meluruk ke arah mereka.

“Awaaas...!” teriak laki-laki yang berikat kepala hijau.

“Hup...!”

Serentak mereka berlompatan menyelamatkan diri, seraya bergulingan. Dan secepat itu pula mereka bangkit berdiri mengurung makhluk itu dengan pedang terhunus.

“Aku yakin, keparat ini yang menyebabkan kematian Pratama!” kata laki-laki yang berambut panjang.

“Ya! Aku bisa merasakan sambaran angin serangannya tadi. Dia memiliki tenaga hebat luar biasa,” sahut yang lain.

“Graaagkh...!” Makhluk itu menggeram dan kembali menyerang.

“Uts!” Ketujuh orang itu kembali melompat menghindar dengan sigap.

“Rawit! Dan kamu, Cakra! Pergilah kalian dari sini. Bawa tubuh Pratama dan Lestari. Katakan hal ini pada kedua orangtua mereka!” teriak laki-laki yang berikat kepala merah.

“Baik, Kakang Sanjaya,” sahut laki-laki bernama Rawit dan Cakra hampir berbarengan.

Namun untuk melaksanakan tugas itu ternyata tidak begitu mudah. Bagi Rawit untuk membawa tubuh Pratama yang telah menjadi mayat mungkin tidak ada masalah. Namun tugas Cakra agaknya tidak berjalan mulus. Entah kenapa, tiba-tiba saja Manusia Lumpur berbalik dan melompat. Lalu, kakinya mendarat di dekat tubuh Lestari sambil menggeram buas.

“Graaagkh...!”

“Rawit! Bawa tubuh Pratama lebih dulu! Biar nanti Cakra menyusulmu!” teriak Sanjaya, laki-laki berikat kepala merah yang tadi memberi perintah.

“Baiklah, Kang! Hati-hati...!” Setelah itu Rawit segera berkelebat dari tempat itu, sambil memondong mayat Pratama.

Bersamaan dengan itu, yang lain segera menggunakan siasat untuk menjauhkan makhluk itu dari tubuh Lestari. Salah seorang melompat menyerang sambil membabatkan pedang.

“Keparat busuk, mampus kau!”

Tak!

“Heh?!” Orang itu terkesiap. Pedangnya patah tatkala berbenturan dengan tulang leher makhluk itu. Dan belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak Manusia Lumpur mengibaskan sebelah tangan ke arah dada.

Desss!

“Aaa...!” Disertai pekik kesakitan, orang yang tadi menyerang kontan terpental ke belakang. Begitu jatuh dari mulutnya menyemburkan darah segar. Tubuhnya menggeliat sesaat, lalu diam tak berkutik. Napasnya putus dan nyawanya pun melayang!

“Kurang ajar! Dia telah membunuh kawan kita!” desis Sanjaya.

Laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang bernama Sanjaya, selain tertua di antara kawan-kawannya, juga bertindak sebagai pemimpin. Itu sebabnya, saat memberi perintah tadi, tak seorang pun yang berani membantah.

Lima orang yang tersisa kini langsung menyerang bersamaan dengan tusukan maupun sabetan pedang. Terlihat kalau mereka menjadi murka penuh amarah.

“Graaagkh...!” Tapi makhluk itu tidak peduli. Begitu mendapat serangan, saat itu juga kedua tangannya bergerak menyibak.

Des! Begkh!

“Aaakh...!”

Dua orang kontan memekik nyaring dan terjungkal kebelakang, ketika pukulan Manusia Lumpur menghantam dada dan perut. Sia-sia saja mereka berusaha menebas, sebab hal itu tidak ada artinya. Pedang mereka tidak mampu melukainya!

“Keparat! Aku bersumpah akan membunuhnya!” desis Sanjaya geram.

Mereka kini hanya bertiga menghadapi makhluk menggiriskan itu. Meski begitu, tidak sedikit pun terlihat kalau merasa gentar. Dengan bersemangat mereka kembali menyerang.

“Heaaa...!”

“Graaagkh...!”

Tak! Tak!

Pedang mereka menyambar tubuh Manusia Lumpur dari tiga arah. Namun tidak satu pun yang membawa hasil. Malah senjata itu patah jadi dua. Dan saat makhluk itu mengibaskan tangan....

Dess! Dess!

“Aaakh...!”

“Aaakh...!”

Dua orang kembali memekik kesakitan. Tubuh mereka terjungkal ke belakang dengan tulang dada remuk. Begitu mencium tanah, nyawa keduanya melayang.

“Setan!” desis Sanjaya geram. Laki-laki berikat kepala merah ini masih untung bisa selamat dengan melompat ke samping. Lalu tubuhnya terus bergulingan, untuk menghindari serangan selanjutnya.

“Graaagk...!” Manusia Lumpur menggeram dan kembali melompat menyerang.

Kali ini Sanjaya tidak mau bertindak gegabah. Agaknya mulai disadari bahwa tidak ada gunanya balas menyerang. Sebab dari apa yang telah dilihatnya, senjatanya tidak berarti sama sekali. Bahkan pada jarak dekat, gerakan makhluk itu sulit diimbangi. Itulah sebabnya, kawan-kawannya tadi tewas. Mereka terlalu ceroboh berada dekat-dekat Manusia Lumpur ini.

“Graaagkh...!” Kembali makhluk ini menyerang sambil mengibaskan tangannya.

“Uts, gila!” Dengan gerakan gesit, Sanjaya melompat kesamping, sehingga serangan itu luput.

Dan baru saja Sanjaya lepas dari maut, Manusia Lumpur kembali menyerang ganas. Kembali laki-laki ini melompat ke samping, seraya bergulingan.

Jdeeer...!

Akibatnya batu besar yang tadi berada di belakang Sanjaya, hancur lebur terkena hantaman makhluk itu. Tidak bisa dibayangkannya, bagaimana jadinya jika pukulan tadi mengenai tubuhnya.

EMPAT

Manusia Lumpur benar-benar tidak mau memberi kesempatan sedikit pun kepada Sanjaya. Begitu serangan pertama gagal, kembali tubuhnya mencelat mengejar. Sanjaya gelagapan. Dicobanya menghindar seraya mengayunkan pedang.

Tak!

Walaupun Sanjaya sudah bergerak menghindar, tak urung Manusia Lumpur sempat menghajar dadanya.

Des!

“Aaakh...!” Laki-laki itu kontan memekik. Tubuhnya terjungkal beberapa tombak dari tempat semula. Pedangnya pun patah tatkala menyambar pinggang Manusia Lumpur yang sama sekali tidak berusaha menghindar karena tetap memusatkan perhatian untuk melayangkan kepalan tangannya.

Sanjaya kelihatan kepayahan. Wajahnya meringis menahan sakit. Dan tubuhnya sulit untuk bangkit. Padahal saat yang sama, Manusia Lumpur bersiap menghabisinya.

Laki-laki ini hanya mengeluh di hati. Dan dia hanya bisa pasrah dengan mata terpejam. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghindari serangan Manusia Lumpur.

“Graaagkh...!”

Wuuut!

Sedikit lagi kaki Manusia Lumpur menginjak, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih yang langsung menyambar tubuh Sanjaya.

Der!

“Groaaagkh...!”

Permukaan tanah tempat Sanjaya tadi berbaring kontan hancur lebur diinjak makhluk itu. Manusia Lumpur cepat berbalik. Dan dia menggeram buas ketika menyadari seseorang telah mengacau urusannya.

Di depan Manusia Lumpur kini berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih pada jarak sepuluh langkah di depannya. Pemuda yang menyandang pedang bergagang kepala burung di punggung itu baru saja menurunkan Sanjaya dari bopongan.

“Graaagkh...!” Sementara itu Manusia Lumpur telah kembali melompat, menyerang pemuda yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts! Sial!” rutuk Rangga langsung melompat ke samping.

Pendekar Rajawali Sakti sungguh tak menduga kalau makhluk yang tubuhnya penuh lumpur begitu mampu bergerak amat gesit. Sampai-sampai dia tadi terlambat menghindar.

“Hati-hati, Kisanak! Dia bisa membunuhmu!” teriak Sanjaya mengingatkan Rangga.

“Terima kasih, Sobat!” sahut Pendekar Rajawali Sakti.

Baru saja kata-kata Rangga habis, Manusia Lumpur telah menerjang kembali.

“Graaagkh...!”

“Uts, gila!” Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting tinggi, kemudian berputaran di udara. Namun baru saja kaki menjejak tanah, serangan Manusia Lumpur telah datang lagi. Begitu cepat dan amat berbahaya. Dan sebelum Manusia Lumpur menerkam, Pendekar Rajawali Sakti telah mengegos ke samping. Lalu seketika dilepaskannya satu tendangan bertenaga dalam kuat ke perut.

Duk!

“Uhhh...! Makhluk apa ini sebenarnya?!” sentak Rangga kaget.

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak menggoyahkan Manusia Lumpur. Bahkan kakinya terasa linu. Sedangkan makhluk itu kelihatan makin marah saja, melihat Rangga mampu melepaskan serangan. Suara geramannya semakin keras. Dan wajahnya semakin menyeringai buas tatkala kembali menyerang.

“Graaagkh...!”

Wuuut!

Seketika tubuh Manusia Lumpur berkelebat laksana tiupan angin kencang sambil mengayunkan kepalan tangan tepat ke jantung. Namun Pendekar Rajawali Sakti yang menyadari kalau lawannya kali ini tidak bisa dianggap enteng, telah siap sedia.

“Uts!” Begitu kepalan tangan Manusia Lumpur meluncur, Rangga berkelit sedikit ke samping sambil membungkuk. Sementara tangan kirinya yang berisi tenaga dalam coba menangkis. Sedangkan kepalan tangan kanannya langsung menghantam dada.

Plak!

Des!

“Uhh...!” Tapi yang terjadi justru Rangga sendiri yang mengeluh tertahan. Kedua tangannya terasa linu. Padahal tenaga dalam yang dikerahkan sudah cukup tinggi. Namun tetap saja tangannya seperti terbentur batangan baja. Belum lagi habis rasa kaget Rangga, mendadak satu hantaman keras melanda tanpa mampu dihindari. Dan....

Dess...!

“Aaakh...!” Pendekar Rajawali Sakti menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental ke belakang sejauh beberapa langkah.

“Graaagkh...!”

Belum juga Rangga bangkit, Manusia Lumpur telah kembali melompat dan bermaksud menghabisinya. Rangga mendengus geram. Sebelum makhluk itu menginjaknya dia cepat bergulingan.

Dar!

Agak tercekat juga Rangga melihat bekas tempatnya terbaring tadi telah berlubang cukup dalam. Begitu belah ada jarak, tepat di bawah sebuah pohon Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi ke atas. Dua kali dia berputaran, lalu kakinya menjejak dahan pohon dengan manis sekali. Sebentar Rangga menarik napas panjang. Mukanya berkerut dengan sebelah tangan mendekap perut. Namun belum lagi lega, mendadak....

Jder!

Kraaak!

Satu hantaman keras membuat batang pohon tempat Rangga bertengger, hancur berantakan. Rangga cepat mencelat ke bawah, menjauh dari reruntuhan batang pohon itu.

“Edan! Makhluk ini tidak bisa dianggap main-main.”

Baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, saat itu juga Manusia Lumpur mencelat menerjangnya. Namun Rangga pun telah siap. Seketika kedua tangannya dihentakkan.

“Aji ‘Bayu Bajra’! Heaaa...!”

Wesss....

Dari telapak tangan Rangga langsung tercipta tiupan angin kencang dahsyat, menghantam Manusia Lumpur. Tubuh makhluk itu sempat terdorong ke belakang sejauh beberapa langkah akibat aji ‘Bayu Bajra’ yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Namun setelah itu sama sekali tidak berarti.

“Gila!” sentak Rangga, seraya menutup ajiannya.

Rangga nyaris tidak percaya kalau saja tidak melihatnya langsung. Bagaimana mungkin ajiannya yang mampu menerbangkan dua ekor gajah sekalipun, tidak mampu menerbangkan makhluk itu? Terbuat dari apa tubuhnya itu?

“Graaagkh...!”

Tidak ada waktu bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk berpikir lama. Makhluk itu kelihatan semakin geram. Raungan suaranya yang keras dan nyaring menandakan amarahnya telah meluap-luap.

“Kisanak! Lebih baik tinggalkan makhluk itu! Dia akan membunuhmu!” teriak Sanjaya.

“Hei?! Kau belum pergi juga? Pergilah. Ayo, cepat pergi! Jangan sampai dia menyerangmu pula!” sentak Rangga, melihat Sanjaya belum pergi juga dari tempat ini.

Sanjaya jadi serba salah. Walaupun keadaannya terluka dalam, dia bisa pergi dari tempat ini. Namun hatinya tidak tega meninggalkan penolongnya seorang diri yang terancam bahaya. Apalagi makhluk itu bukan lawan sembarangan. Sanjaya merasa harus membalas budi pemuda itu.

“Graaagkh...!” Sementara itu, Manusia Lumpur telah kembali melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Raungan yang terdengar lebih garang, penuh amarah. Dan Rangga telah siap menyambutnya dengan mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian ‘Jurus Rajawali Sakti’ pada tingkat yang terakhir. Dan berarti tenaga dalamnya juga telah dikerahkan penuh.

“Heaaah...!” Rangga langsung meluruk dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Dan begitu sampai pada jarak yang diinginkan, tiba-tiba tangannya menghentak dengan pengerahan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.

Slaps...!

Seketika selarik cahaya merah melesat kencang dari telapak tangan Rangga laksana sambaran kilat menerpa tubuh makhluk yang tengah menerjang.

Jderrr...!

“Aaagkh...!” Manusia Lumpur menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal kebelakang kira-kira beberapa langkah. Namun sungguh ajaib! Dengan cepat makhluk itu bangkit berdiri. Ternyata pukulan yang mampu menghancurkan batu sebesar kerbau itu tidak melukainya sedikit pun. Hanya tersisa sedikit asap putih yang mengepul, lalu hilang beberapa saat kemudian.

“Gila!” desis Rangga tidak habis pikir.

Namun Rangga tidak punya waktu lama. Dengan amarah yang semakin hebat, Manusia Lumpur kembali melompat menerjang.

“Graaagkh...!”

Merasa tak ada pilihan lain lagi, Pendekar Rajawali Sakti menggerakkan tangannya kepunggungnya. Lalu....

Sring...!

Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan. Langsung disongsongnya tubuh Manusia Lumpur yang telah mencelat menerjangnya.

“Aaargkh...!” Untuk sekilas makhluk itu seperti terkejut. Tapi selanjutnya dia menggeram buas.

Cras! Cras!

“Aaargkh...!”

Pedang Pendekar Rajawali Sakti berhasil menebas leher dan pinggang Manusia Lumpur secepat kilat. Kembali makhluk ini menggerung keras, seperti merasakan sakit yang hebat. Kulit tubuhnya sedikit terluka, namun tidak mengeluarkan darah setetes pun.

Wuuuss!

Manusia Lumpur melompat ke belakang sejauh lima langkah. Kedua tangannya mengusap leher dan pinggang. Dan bersamaan dengan itu, terlihat cahaya merah kekuningan menyelubungi tubuhnya. Hanya beberapa saat, cahaya itu hilang. Dan kini, lukanya pun sirna.

“Hm.... Makhluk apa ini sebenarnya? Dari mana asalnya dia?” desis Rangga dengan wajah bingung.

Tidak seperti tadi, kini Manusia Lumpur tidak lagi menyerang. Dia berdiri tegak memandang Rangga, kemudian perlahan-lahan berbalik. Dan segera ditinggalkannya tempat ini seperti tidak ada kejadian apa-apa.

Sementara Rangga sendiri tidak berusaha mengejar. Kakinya melangkah menghampiri Sanjaya yang masih terduduk lemah.

“Aneh.... Kenapa dia pergi begitu saja?!” seru Sanjaya tidak habis pikir. Matanya terus menatapi arah kepergian Manusia Lumpur yang terus menghilang.

“Entahlah. Aku juga tidak mengerti,” desah Rangga sambil menyarungkan pedangnya. Seketika sinar biru berkilauan dari pedangnya lenyap, tertutup warangka.

“Siapa sebenarnya dia? Manusia atau makhluk jadi-jadian?”

Rangga tidak menjawab. Pandangannya masih tertuju ke arah sama dengan Sanjaya.

“Kenapa dia pergi tiba-tiba? Padahal dia bisa membunuh kita berdua...?” tanya Sanjaya lagi, langsung menatap Rangga.

“Entahlah, aku tidak tahu...,” sahut Rangga, kalem balas menatap Sanjaya. “Maaf, Kisanak. Kalau boleh, aku ingin memeriksa lukamu.”

“Silakan...,” sahut Sanjaya.

Rangga segera berjongkok seraya mengulurkan tangannya memeriksa tubuh Sanjaya. Lalu dia mendecah kecil sambil menggeleng lemah.

“Lukamu cukup parah, Sobat..,” desah Rangga.

“Jangan khawatirkan aku. Tapi coba tolong periksa gadis itu. Apakah dia masih selamat?” ujar Sanjaya seraya menunjuk tubuh Lestari yang masih tergolek tidak jauh dari mereka.

Rangga menoleh ke arah Lestari. Segera dia bangkit, dan menghampiri tubuh gadis itu.

“Apakah dia masih hidup, Kisanak?” tanya Sanjaya.

Rangga mengangguk tanpa menoleh. “Nadinya cukup lemah. Dia menderita luka dalam yang cukup parah. Beberapa tulang rusuknya patah. Gadis ini harus segera mendapat pertolongan. Kalau tidak....”

“Dia akan mati?” potong Sanjaya.

“Bisa jadi,” sahut Rangga lemah.

Sanjaya mendesah kecil. “Apa yang bisa kulakukan dalam keadaan begini...?” keluh Sanjaya lemah. “Aku juga dalam keadaan luka dalam....”

“Ya, aku mengerti,” Rangga mengangguk lemah. “Tapi akan kubuatkan tandu untuk kalian.” Rangga kembali berdiri. Namun sebelum beranjak, muncul beberapa orang mendekati mereka, lalu disusul lebih dari lima belas orang lagi di belakangnya.

“Kurasa tidak perlu, Kisanak,” kata Sanjaya tersenyum kecil.

“Kau kenal mereka?”

“Ya! Mereka kawan-kawanku.”

“Hm.... Kalau begitu telah ada yang mengurus kalian. Aku pergi dulu!”

Tanpa menunggu jawaban Sanjaya, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat pergi dari tempat ini. “Hei, tunggu dulu!” cegah Sanjaya.

Teriakan Sanjaya percuma saja. Gerakan pemuda itu cepat sekali. Dan tahu-tahu tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dari pandangan.

“Siapa makhluk itu, Sanjaya? Berani benar dia berurusan dengan Bagus Wesi?!”

Suara penuh getaran itu keluar dari mulut seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya tampak memendam duka yang teramat dalam. Bahkan lebih seram dari biasanya.

“Aku sungguh tidak tahu, Guru,” sahut laki-laki yang tak lain memang Sanjaya.

“Hm....” Laki-laki tua yang dalam rimba persilatan dikenal sebagai Bagus Wesi ini bergumam. Pandangannya lurus ke depan, namun bagai tanpa makna. Sementara sepuluh orang muridnya yang berada di ruangan ini diam membisu.

“Aku belum pernah mempunyai musuh dengan ciri-ciri seperti yang kau jelaskan tadi,” lanjut Ki Bagus Wesi.

“Guru.... Apakah barangkali ada orang-orang yang tidak menyukai hubungan mereka?” duga seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun dengan suara pelan.

“Apa maksudmu, Somba?” Ki Bagus Wesi malah bertanya.

“Pratama dan Lestari. Banyak yang tidak menyukai perkawinan mereka. Bahkan berusaha menggagalkannya. Bukankah sebelum kita, telah banyak yang ingin melamar putri Ki Layang Seta itu? Namun lamaran itu ditolaknya, dan malah menerima lamaran kita,” papar pemuda bernama Somba.

“Siapa menurutmu yang paling tidak senang jika Pratama dan Lestari jadi kawin?” tanya laki-laki tua yang memang ayahnya Pratama, pemuda yang tewas di tangan Manusia Lumpur.

Dan Ki Bagus Wesi sebenarnya adalah Ketua Perguruan Tangan Besi. Sebuah perguruan yang telah banyak menelorkan pendekar digdaya. Memang sejak kematian Pratama, Ki Bagus Wesi yang dikenal tegas dan garang, jadi semakin seram saja kelihatannya.

“Aku tidak bisa menduga dengan pasti. Tapi bisa kita lihat bahwa Ki Tawur kelihatan marah betul, tatkala mendengar bahwa Ki Layang Seta menerima lamaran kita. Orang itu seperti dikecilkan oleh kita, Guru,” jelas Somba.

“Ki Tawur tidak pernah menunjukkan sikap bermusuhan terhadapku. Dan selama ini, dia tidak pernah melakukannya dalam bentuk apa pun,” sergah Ki Bagus Wesi tegas.

Somba terdiam, tidak berani menimpali kata-kata gurunya.

“Guru.... Aku pernah mendengar berita aneh belakangan ini,” ujar salah seorang murid lain.

“Berita apa itu, Karna?” tanya Ketua Perguruan Tangan Besi ini.

“Dalam tiga hari belakangan ini, ada pembantaian besar di wilayah barat. Lebih dari seratus orang tewas dengan ciri-ciri sama, yaitu tulang-tulang mereka remuk seperti dibelit ular raksasa. Dan apa yang menimpa murid-murid yang lain, menunjukkan ciri-ciri sama,” jelas murid yang dipanggil Kama.

“Menurutmu, orang itu yang melakukannya?” tanya Ki Bagus Wesi lagi.

“Mungkin saja, Guru.”

“Apa alasannya membunuh kawan-kawanmu?”

“Makhluk itu membunuh tanpa alasan, Guru. Dia hanya membunuh mereka yang berpapasan dengannya.”

Ki Bagus Wesi tercenung beberapa saat, mendengar penuturan muridnya itu.

“Ciri-ciri yang tadi dijelaskan Kakang Sanjaya, agaknya persis seperti yang pernah kudengar,” lanjut Kama lagi.

“Orang ini sungguh gila. Dia memiliki ilmu kebal yang dahsyat bukan main. Tubuhnya keras bagai seonggok karang yang tidak tergoyahkan oleh apa pun,” timpal Sanjaya.

“Tapi, kenapa dia tidak menghabisi nyawa pemuda itu seperti yang dilakukannya pada orang lain?” tanya salah satu murid lain.

Semua orang memandang Sanjaya dengan seksama. Demikian pula Ki Bagus Wesi. Mereka agaknya penasaran dengan ceritanya pada bagian ini.

“Entahlah.... Aku sendiri tak tahu. Dan kulihat pemuda itu pun seperti kebingungan,” jawab Sanjaya.

“Guru! Ada kemungkinan kalau pemuda itu tersangkut-paut dengannya?” tanya Kama.

“Mungkin saja. Tapi, mungkin juga tidak. Mereka bertarung mati-matian. Dan tiba-tiba, makhluk itu menyudahinya begitu saja. Bukankah pada saat itu dia memainkan ilmu pedangnya, Sanjaya?” tanya Ki Bagus Wesi.

“Benar, Guru.”

“Kau katakan pedang pemuda itu mengeluarkan cahaya biru?”

Sanjaya kembali mengangguk.

“Hmmm....” Ki Bagus Wesi berpikir sejenak.

“Apakah Guru tahu, siapa kira-kira pemuda itu?” tanya salah seorang murid.

“Mungkin pemuda itu Pendekar Rajawali Sakti,” duga Ki Bagus Wesi.

“Pendekar Rajawali Sakti? Hm.... Rasanya aku pun berpikir seperti itu,” sahut Sanjaya.

“Dia pendekar hebat. Dan untuk saat ini, sulit dicari tandingannya. Tapi kenapa kau katakan dia keteter menghadapi lawannya?”

“Entahlah.... Aku sendiri tidak tahu, Guru. Tapi makhluk itu memang hebat sekali.”

“Aku ingin kalian mencari tahu soal ini. Juga mengikuti ke mana pemuda itu pergi. Kita harus meyakinkan apakah dia mempunyai sangkut paut dengan makhluk itu!” ujar Ki Bagus Wesi, tandas.

“Baik, Guru! Akan kami laksanakan sebaiknya!” sahut para murid Perguruan Tangan Besi serentak.

“Aku inginkan makhluk itu. Dia harus membayar kematian Pratama!” desis laki-laki tua ini.

Semua murid mengangguk. Dan belum juga ada yang membuka suara lagi....

“Aaa...!”

“Heh? Apa itu?!”

LIMA

Ki Bagus Wesi berkelebat keluar, diikuti murid-muridnya. Setiba di luar, tampak beberapa murid Perguruan Tangan Besi terkapar tak berdaya. Sementara yang lainnya tengah mengeroyok seseorang.

“Guru! Makhluk itu yang tadi kita bicarakan!” teriak Sanjaya memberitahu.

“Hhh...!” Wajah Ki Bagus Wesi seketika berubah kelam. Amarah yang memercik di hatinya, cepat berubah menjadi kobaran api yang menyala-nyala.

“Minggir kalian semua!” bentak laki-laki tua itu melompat menerobos arena pertarungan.

Sementara seketika murid-murid Ki Bagus Wesi melompat mundur, memberi jalan. Sehingga Ki Bagus Wesi bisa melihat jelas rupa pembunuh putranya.

“Siapa sebenarnya kau?! Dan, mengapa kau bunuh anakku?!” dengus Ketua Perguruan Tangan Besi itu dengan nada dingin.

Sepasang mata laki-laki ini menatap tajam pada sosok berlumpur yang tak lain Manusia Lumpur. Namun sesaat jantung Ki Bagus Wesi berhenti berdetak, tatkala makhluk di depannya balas memandang. Sepasang matanya berkilau tajam, seperti hendak menikam jantungnya.

“Graaagkh...!” Manusia Lumpur menggeram buas. Dan secepat kilat, diterjangnya Ki Bagus Wesi.

Ki Bagus Wesi terkesiap. Namun, dia masih mampu berkelit seraya menangkis pukulan. “Uts!”

Plak!

“Uhhh...!” Kembali orang tua itu dibuat kaget. Tangannya merasa linu dan sedikit sakit ketika beradu dengan tangan Manusia Lumpur. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dia mulai balas menyerang dengan menggunakan jurus ‘Tangan Besi’ yang jadi andalan perguruannya.

“Heaaa...!” Tiba-tiba tubuh Ki Bagus Wesi berkelebat sambil melepaskan dua pukulan berturut-turut yang begitu cepat tak tertahankan.

Deb! Deb!

“Graaagkh...!” Manusia Lumpur terdorong beberapa langkah ke belakang akibat dua hantaman berturut-turut di dadanya. Namun secepat itu pula, dia melompat menyerang sambil menggeram marah.

“Graaagkh...!”

“Hup! Keparat!” Ki Bagus Wesi melompat ke samping, menghindari pukulan Manusia Lumpur. Akibatnya pagar tembok di belakangnya jadi sasaran.

Blarrr...!

Tembok itu kontan hancur berkeping-keping dihajar pukulan Manusia Lumpur. Dan baru saja Ki Bagus Wesi menjejakkan kaki, serangan makhluk ini telah meluruk kembali dengan satu kibasan tangan.

Wuuut!

Cepat Ki Bagus Wesi memiringkan tubuhnya sehingga kepalan tangan Manusia Lumpur lewat beberapa jari dari pelipisnya. Tapi begitu serangan itu lewat, secepat itu pula serangan lain bergerak ke bawah menggedor dada.

Begkh...!

“Aaakh...!” Ketua Perguruan Tangan Besi memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang. Dari mulutnya meleleh darah segar.

“Guru...!”

Murid-murid Perguruan Tangan Besi tersentak kaget. Beberapa orang berlari cepat menghampiri. Padahal pada saat yang sama, Manusia Lumpur tengah melompat hendak menghabisinya.

“Keparat!” desis Sanjaya. Bersama empat orang kawannya, laki-laki itu melompat untuk menghadang serangan.

“Jangaaan...!” teriak Ki Bagus Wesi memperingatkan murid-muridnya.

Tapi teriakan Ketua Perguruan Tangan Besi agaknya tidak dipedulikan murid-muridnya. Pada saat yang sama, makhluk itu telah mengayunkan tendangan secepat kilat. Sehingga....

Buk! Begkh! Krek!

“Aaa...!”

Kelima orang itu terpental ke belakang disertai pekik kesakitan. Tiga orang terhantam tendangan, dua lainnya terkena kepalan. Mereka menggelepar sesaat dengan darah meleleh dari sudut bibir, lalu diam tak bergerak.

“Keparat!” desis Ki Bagus Wesi. Bukan main geramnya Ki Bagus Wesi melihat pemandangan yang terjadi di depan mata. Lima muridnya tewas, dan dia tidak mampu menolong sedikit pun.

“Graaagkh...!”

Ki Bagus Wesi tidak bisa termenung lama-lama, sebab Manusia Lumpur telah menggeram dan kembali melompat menerjang. Secepat kilat dia bangkit, lalu....

“Hup!” Dengan gerakan mengagumkan, Ketua Perguruan Tangan Besi mengegoskan tubuhnya ke kiri. Lalu tanpa diduga tubuhnya berputar seraya melepaskan tendangan. Namun Manusia Lumpur dengan tangkas mengebutkan tangannya untuk menangkis.

Plak!

“Uhhh...!” Ki Bagus Wesi mengeluh menahan sakit, begitu kakinya terpapak tangan Manusia Lumpur. Tubuhnya terjajar beberapa langkah dengan mulut meringis. Dan belum sempat Ketua Perguruan Tangan Besi memperbaiki keseimbangannya, Manusia Lumpur telah kembali berkelebat seraya melepaskan satu hantaman tangan kiri kedalam.

Wuuut...!

Desss...!

“Aaa...!” Ki Bagus Wesi memekik setinggi langit ketika dadanya terhantam pukulan keras bukan main. Tubuhnya terjungkal ke belakang dengan tulang dada remuk. Dari mulutnya menyembur darah segar. Orang tua itu hanya mampu bergerak sesaat, lalu diam tak berkutik.

“Guruuu...!” teriak murid Perguruan Tangan Besi tersentak kaget.

Serentak mereka berlompatan menghampiri gurunya. Tapi saat itu juga, Manusia Lumpur melompat menyerang.

“Graaagkh...!”

Jdeer!

“Aaa...!”

Empat orang langsung terpental dan tewas dihantam pukulan makhluk itu. Rata-rata tulang mereka remuk. Dan yang lainnya terjungkal sambil menjerit kesakitan.

“Keparat...! Makhluk ini benar-benar iblis terkutuk!” desis murid-murid Perguruan Tangan Besi.

Serentak mereka yang tersisa melompat mengurung Manusia Lumpur dengan sikap siap menyerang. Namun sebelum mereka bergerak, makhluk itu telah lebih dulu berkelebat dengan kecepatan luar biasa.

“Graaagkh...!”

Tak! Tak! Begkh!

“Aaa...!”

Tiga orang terpekik. Tubuh mereka terpental dengan dada remuk terkena tendangan Manusia Lumpur. Kejadian itu membuat mereka yang lain menjadi waswas. Kepercayaan diri mereka hilang. Apalagi setelah melihat kematian guru mereka. Makhluk itu mampu membunuh seperti membunuh kawanan nyamuk. Padahal mereka telah berusaha menyerang dengan segala kemampuan yang ada.

“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya salah satu orang murid perguruan itu.

“Entahlah. Jumlah kita tinggal lima orang lagi. Dengan jumlah banyak saja tak mampu. Apalagi sekarang,” keluh murid lain.

Para murid Perguruan Tangan Besi benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Bila mereka berniat kabur, rasanya tidak sampai hati meninggalkan mayat kawan-kawan seperguruan yang telah berkorban nyawa demi menyelamatkan yang lain. Termasuk, mereka. Lagipula belum tentu mereka bisa kabur dengan selamat. Makhluk ini pasti akan mengejarnya. Dan sebelum mereka mempunyai pilihan lain, Manusia Lumpur kembali menyerang dengan buas.

“Graaagkh...!”

Kelima orang itu terperangah. Agaknya, mereka tidak akan mampu menahan serangan. Mereka hanya pasrah dengan mata terpejam. Namun sebelum serangan Manusia Lumpur sampai pada sasaran....

“Heaaa...!” Mendadak melesat dua sosok bayangan merah, langsung memapaki serangan Manusia Lumpur.

Duk! Duk!

“Aaakh...!”

Dua sosok berbaju merah yang baru muncul kontan berteriak kesakitan. Ketika berhasil memapaki, justru mereka yang terjungkal ke belakang. Namun dengan sigap mereka mengatur keseimbangan, sehingga bisa berdiri tegak.

“Ki Layang Seta! Ki Larong!” seru salah seorang murid Perguruan Tangan Besi ketika mengetahui siapa kedua sosok itu.

Dua sosok yang datang adalah dua laki-laki tua berbaju serba merah. Yang seorang berambut panjang, dengan ikat kepala warna merah. Sama dengan rambutnya, kumis dan jenggotnya pun telah berwarna putih.

Sementara yang seorang lagi berambut jabrik. Meski sudah cukup tua, kumis dan jenggotnya masih berwarna hitam.

“Bagaimana gurumu?” tanya laki-laki tua yang berambut panjang.

“Beliau tewas, Ki Layang!” sahut seorang murid Ki Bagus Wesi.

Laki-laki yang bernama Ki Layang Seta mau bertanya lebih lanjut. Namun saat itu, Manusia Lumpur telah melompat menyerang kembali.

“Graaagkhh...!”

“Awas, Sobat!” teriak Ki Larong, memperingatkan.

Kedua laki-laki tua itu melompat menghindar dengan mencelat ke atas berdampingan. Tapi dengan tidak disangka-sangka, makhluk berlumpur itu melejit menyusul dengan gerakan cepat bagai kilat. Di udara, kedua orang itu langsung melepaskan tendangan dahsyat. Namun dengan gerakan cepat, Manusia Lumpur memapak dengan kedua tangannya.

Plak! Plak!

“Uh!”

“Uhh...!”

Ki Layang Seta dan Ki Larong sama-sama mengeluh tertahan, ketika berbenturan dengan makhluk itu. Dengan menggunakan tenaga benturan, mereka sama-sama melenting ke belakang sambil berputaran. Lalu, dengan agak terhuyung mereka mendarat di tanah.

“Huh, gila! Makhluk apa ini?!” desis Ki Layang Seta.

“Ki Layang Seta! Makhluk ini yang telah membunuh Pratama dan melukai Lestari, putrimu!” teriak seorang murid Perguruan Tangan Besi.

“Apa?! Inikah keparat itu? Jahanam! Akan kupenggal lehernya!” bentak laki-laki tua yang ternyata ayahnya Lestari, kekasih Pratama. Dengan wajah geram, Ki Layang Seta mencabut pedangnya yang menggantung di pinggang.

Sring!

“Yeaaa!”

Tanpa mempedulikan kakinya yang masih nyeri, Ki Layang Seta meluruk sambil memutar-mutar pedangnya. Begitu cepat putaran pedang itu, hingga yang terlihat hanya kilatan sinar putih keperakan disertai deru angin cukup dahsyat.

Wut! Wut!

Begitu telah berada dalam jarak yang memungkinkan Ki Layang Seta langsung membabatkan pedangnya ke dada.

Tak!

“Heh?!” Bukan main terkejutnya Ki Layang Seta ketika pedangnya justru malah patah. Merasa masih penasaran segera dilepaskannya satu tendangan berisi tenaga dalam tinggi.

Dug!

“Uhhh....” Bukannya Manusia Lumpur yang terjungkal malah laki-laki tua itu yang terjajar beberapa langkah. Kakinya terasa ngilu dan sakit bukan main.

“Graaagkhh...!”

Belum juga Ki Layang Seta bersiap kembali, Manusia Lumpur telah berkelebat sambil mengibaskan tangannya cepat bagai kilat. Dan....

Begkh!

“Aaakh...!” Ki Layang Seta memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terpental ke belakang beberapa langkah. Tulang dadanya terasa patah. Dan dari mulutnya menyembur darah segar.

“Graaagkh...!”

“Terkutuk! Kau boleh hadapi aku!” bentak Ki Larong, langsung mencabut pedangnya.

Laki-laki tua ini segera berkelebat ketika makhluk itu bermaksud menghabisi Ki Layang Seta yang tengah megap-megap kesakitan. Dan begitu dekat, pedangnya sengaja ditusukkan ke arah mata. Ini sengaja dilakukan untuk mengelabui. Sebab melihat yang tadi terjadi terhadap Ki Layang Seta, Ki Larong menyadari kalau makhluk itu memiliki ilmu kebal yang hebat. Maka begitu Manusia Lumpur berkedip, saat itu juga dilepaskannya satu tendangan dahsyat ke dada.

Dess!

“Uhhh...!” Betapa kagetnya laki-laki tua itu ketika kakinya terasa seperti menghantam tembok baja yang luar biasa kerasnya. Bahkan tubuhnyalah yang justru terjajar beberapa langkah ke belakang.

“Gila! Terbuat dari apa kulitnya?!” desis orang tua itu tidak habis pikir.

“Graaagkh...!”

Belum habis Ki Larong berpikir, Manusia Lumpur telah berkelebat cepat sambil mengibaskan tangannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga laki-laki tua ini tak sempat menyadarinya. Dan....

Desss...!

“Aaakh...!” Ki Larong memekik setinggi langit ketika dadanya telak sekali mendapat hantaman dari Manusia Lumpur. Tulang dadanya terasa remuk. Tubuhnya terjungkal kebelakang disertai muntahan darah segar.

Kekejaman Manusia Lumpur agaknya membuat Ki Layang Seta dan murid-murid Ki Bagus Wesi merutuk habis-habisan. Mereka menduga Ki Larong telah mati terkena hajaran begitu rupa. Namun, makhluk itu agaknya kurang puas. Maka begitu tubuh Ki Larong menyentuh tanah Manusia Lumpur melompat gesit. Lalu kaki kanannya cepat dihunjamkan ke leher Ki Larong.

Praaak!

Terdengar suara berderak seperti tulang patah, namun tidak terdengar suara kesakitan. Leher Ki Larong langsung patah, terkulai tanpa daya. Dan dia memang telah tewas sejak tadi!

“Ki Larong!” teriak Ki Layang Seta, seraya berusaha bangkit. Teriakan Ki Layang Seta membuat Manusia Lumpur berbalik. Saat itu juga dia melompat hendak menghabisi laki-laki tua itu yang hendak menghampiri Ki Larong.

“Uts!” Ki Layang Seta cepat bergulingan, sehingga tendangan makhluk itu menghantam tempat lain.

Jdeerr!

Permukaan tanah yang jadi sasaran amblas beberapa jengkal ke bawah. Melihat buruannya berhasil lolos, secepat itu pula Manusia Lumpur kembali berputar. Segera dikejarnya Ki Layang Seta disertai amarah.

“Graaagkh...!”

Wess...! Wess...!

Pada saat yang gawat bagi keselamatan laki-laki tua itu, mendadak melesat beberapa benda kehitaman sebesar kepalan tangan ke arah Manusia Lumpur.

Tak! Dess!

Benda-benda yang ternyata batu itu menghantam dahi, dada, perut, dan bagian bawah perut Manusia Lumpur.

Wess...! Wess...!

Belum juga makhluk itu melihat siapa yang melempar batu, kembali melesat dua buah batu ke bagian mata dan lubang pusarnya. Dari raut wajahnya jelas terlihat kalau Manusia Lumpur cukup terkesiap. Namun....

“Groaaagkh...!” Dengan teriakan kegeraman makhluk itu segera menangkap kedua batu yang melesat ke arahnya. Lalu sambil kembali menggerung diremasnya kedua batu itu hingga remuk.

Weett!

Tapi, pada saat yang sama melesat cepat satu sosok bayangan putih menyambar tubuh Ki Layang Seta. Manusia Lumpur hanya mampu terkesiap. Bayangan itu benar-benar cepat bergerak. Sehingga sebelum dia sempat berbuat apa-apa, bayangan tadi telah menghilang.

“Groaaagkhh...!” Makhluk itu segera menggeram penuh amarah melihat buruannya berhasil meloloskan diri. Suaranya menggelegar kesegala penjuru.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Ki Layang Seta meringis. Kedua tangannya memegangi bagian dada dan perut sambil merasakan sakit. Tubuhnya terasa remuk akibat hajaran Manusia Lumpur. Untung saja ada seseorang yang menyelamatkannya. Dipandanginya pemuda tampan berambut panjang di depannya.

“Terima kasih kau telah menyelamatkanku, Anak Muda. Siapa namamu?” ucap Ki Layang Seta.

“Rangga,” sahut sosok bayangan putih yang menyelamatkan Ki Layang Seta. Dia tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga.... Hm, ya, ya... aku tidak akan melupakan budi baikmu hari ini terhadapku,” kata Ki Layang Seta, menggumam.

“Kisanak... jangan bicara budi baik segala. Aku sama sekali tidak bermaksud meminta balasan apa pun darimu...,” sergah Rangga.

“Ah! Sungguh bijaksana bicaramu, Rangga. Aku orangtua tak berguna bernama Layang Seta, benar-benar mengagumimu!” seru laki-laki tua itu.

“Sudahlah, Ki Layang Seta. Sudah selayaknya kita saling tolong-menolong...,” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm, makhluk itu memang luar biasa. Aku tidak tahu, siapa dan dari mana asalnya!”

“Ya, dia memang luar biasa.”

“Apakah kau pernah berurusan dengannya?”

“Baru saja tadi siang aku bertemu dengannya dan sempat mencicipi beberapa hajarannya. Waktu itu, ada dua orang muda-mudi serta beberapa orang laki-laki yang tengah menyerangnya.”

“Hei?! Jadi kaukah orangnya yang telah menyelamatkan mereka?!” seru Ki Layang Seta.

“Apa maksudmu, Ki?” tanya Rangga dengan kening berkerut.

“Kau telah menolong putriku, serta murid-murid Perguruan Tangan Besi,” jelas Ki Layang Seta. “Rangga! Kembali aku harus mengucapkan beribu terima kasih padamu!” Ki Layang Seta langsung menjura hormat.

“Ah, sudahlah. Jangan begitu. Jangan membuatku salah tingkah, Ki Layang Seta.”

“Sungguh, Rangga. Adalah suatu kehormatan bagiku bila kau sudi mampir ke tempatku. Yah... sekadar menghilangkan rasa lapar dan dahagamu. Ayolah, jangan kau tolak permintaanku ini!”

Rangga bermaksud menolak secara halus, tapi laki-laki tua ini terus memaksanya. Sehingga untuk menghormatinya terpaksa juga dia menyetujuinya.

“Tapi sebelum itu, aku harus mengebumikan sobatku. Dia tewas di tangan makhluk itu,” kata Ki Layang Seta.

“Maksudmu, kita kembali ke tempat tadi?” tanya Rangga.

“Ya. Tapi tidak terang-terangan. Kita lihat, apakah makhluk itu masih di sana atau tidak. Jika dia sudah pergi, baru kita kebumikan mereka. Bagaimana pun, Ki Bagus Wesi adalah calon besanku. Dia serta murid-muridnya sudah seperti saudara saja bagiku,” jelas Ki Layang Seta.

“Baiklah,” sahut Rangga, menyetujui.

ENAM

Ki Layang Seta sebenarnya adalah seorang pedagang besar yang memiliki sekitar dua puluh orang anak buah. Tak heran bila di rumahnya yang besar berhalaman luas, terdapat barak-barak kecil untuk para anak buahnya. Penampilannya yang selalu sederhana, membuat orang yang baru mengenalnya tidak akan menyangka Ki Layang Seta orang terkaya di kadipaten ini!

Begitu pula yang ada dalam benak Rangga. Dia sempat termangu saat orang tua itu mengajak ke rumahnya. Dan kini, mereka tengah berbincang-bincang di ruang utama yang besar dan tertata apik.

Namun bincang-bincang mereka mendadak terputus ketika dari pintu yang terbuka masuk seorang pemuda. Wajahnya tampak cemas dan langkahnya tergopoh-gopoh.

“Celaka, Ki!” seru pemuda itu.

“Ada apa?” tanya Ki Layang Seta.

“Seseorang mengamuk di desa. Dan, banyak yang terbunuh karena ulahnya. Orang-orang desa lari ketakutan. Dan sebagian meminta perlindungan kepada kita,” sahut pemuda anak buah Ki Layang Seta ini.

Ki Layang Seta tidak perlu penjelasan lebih lanjut, dari ruang utama ini terlihat kalau di luar pagar halamannya lebih dari dua puluh penduduk desa telah terkumpul. Wajah mereka tampak cemas, penuh ketakutan. Orang-orang itu pun hanya sempat membawa pakaian yang melekat di tubuh saja.

“Rumah mereka dihancurkan. Dan mereka tidak ada tempat untuk berteduh, Ki...,” lanjut pemuda itu.

“Kau urus mereka. Buatkan tenda-tenda di halaman samping. Kemudian beri mereka makan,” ujar Ki Layang Seta, memberi perintah.

“Baik, Ki!”

Pemuda itu segera berlalu. Tapi, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika teringat sesuatu. Lalu dia berbalik, dan kembali lagi pada majikannya.

“Tapi, apakah Ki Layang tidak bermaksud melihat orang itu dan membereskannya?” tanya pemuda ini.

Ki Layang Seta terdiam. Pertanyaan anak buahnya wajar saja. Sebab, selama ini dia sering turun tangan membantu kesulitan orang-orang desa dari segi apa pun. Dan di samping itu, bukan hanya anak buahnya saja yang tahu kalau Ki Layang Seta dulunya adalah seorang pendekar hebat.

Tapi penduduk Desa Gambus ini pun hampir semua mengetahuinya. Tidak jarang Ki Layang Seta turun tangan sendiri menangkap perampok yang selalu meresahkan penduduk desa. Sehingga tidak mengherankan kalau desa ini aman dari tangan-tangan jahil serta orang-orang yang hendak berbuat kekacauan.

“Apakah dia masih ada di sana?” tanya Rangga.

“Eh, mungkin sekarang telah pergi.”

“Bagaimana bentuk orang itu?”

“Aneh dan menyeramkan. Tubuhnya ditutupi lumpur coklat kemerahan yang telah mengering dan seperti melekat kuat ke tubuhnya. Seolah-olah seperti kulitnya saja. Permukaannya kasar seperti batu kali,” jelas pemuda ini.

“Hmmm...,” gumam Rangga tak jelas.

Sejenak Pendekar Rajawali Sakti berpandangan dengan Ki Layang Seta. Sepertinya mereka sama-sama mengerti, siapa yang barusan diceritakan.

“Ki Layang Seta tengah sakit. Aku yang terpaksa membawanya kesini. Dia tidak boleh banyak bergerak,” jelas Rangga, untuk mencairkan ketegangan yang dialami orang tua itu.

Pemuda ini memperhatikan sesaat lamanya, dan mengangguk pelan. Beberapa bagian di tubuh Ki Layang Seta memang mengalami luka-luka kecil. Dan dari mulutnya masih terlihat bekas darah yang telah mengering. Hal itu membuat pemuda itu percaya.

“Maaf, Ki. Aku betul-betul tak tahu. Akan kuberitahukan pada Ki Sumekti untuk menyiapkan ramuan obat untukmu!” sahut pemuda itu seraya beranjak ke dalam dengan terburu-buru. Melihat itu Ki Layang Seta hanya tersenyum-senyum.

“Istri Ki Layang tentu cemas melihat keadaan seperti ini...?” tanya Rangga, mengusik senyum laki-laki tua ini.

Ki Layang Seta terkekeh. “Dari mana kau berpikir begitu? Istriku telah lama meninggal. Di sini hanya ada aku, putriku, dan seorang tabib setia serta anak buahku,” papar Ki Layang Seta.

“Oh, maaf! Mungkin pertanyaan tadi membuatmu teringat pada istri,” ucap Rangga buru-buru.

“Aku memang teramat mencintainya. Tapi..., ah! Sudahlah! Aku sudah ikhlas akan kepergiannya. Yang mati tentu tidak akan bisa kembali. Yang kumiliki saat ini hanya satu. Putriku. Kini dia terbaring sakit. Oh, maaf! Aku jadi melantur. Mari, kuajak kau menjenguk putriku terlebih dulu!” seru Ki Layang Seta.

Rangga benar-benar trenyuh melihat keadaan Ki Layang Seta. Laki-laki tua ini tidak mempedulikan luka dalam yang dideritanya, tapi lebih mengkhawatirkan keselamatan putrinya yang saat ini tengah berbaring lesu. Sesekali Lestari merintih kesakitan. Suhu badannya tinggi. Dan terkadang memuntahkan darah kental kehitam-hitaman. Ramuan obat yang diberikan Ki Sumekti sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda kemanjuran.

“Biar kucoba mengobatinya...!” kata Rangga, begitu tiba disamping pembaringan Lestari.

“Ah.... Aku amat berhutang budi kalau kau bisa menyembuhkan putriku!” desah Ki Layang Seta.

Rangga tersenyum. “Berdoalah agar putrimu segera sembuh,” ujar Pendekar Rajawali Sakti, kalem.

Rangga bicara sebentar pada Ki Sumekti yang sejak tadi ada di kamar ini, untuk menyiapkan ramuan obat atas petunjuk Pendekar Rajawali Sakti.

“Akan segera kukerjakan...!” sahut laki-laki berusia empat puluh tahun itu seraya bergegas ke belakang.

“Apakah tumbuh-tumbuhan yang kusebutkan dapat dimengertinya?” tanya Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti agak heran, sebab laki-laki itu sama sekali tidak bertanya apa pun saat tumbuh-tumbuhan yang harus diramu disebutkan.

“Ki Sumekti biasa membuat ramuan obat. Dan sedikit banyak, dia mengerti apa yang tadi kau sebutkan. Tumbuh-tumbuhan itu tidak sulit dicari. Di halaman belakang, kami memiliki banyak jenis tumbuhan yang bisa dijadikan ramuan obat,” jelas Ki Layang Seta.

Rangga mengangguk mengerti. Dan perhatiannya dialihkan pada gadis itu. Lalu diperiksa denyut nadi Lestari. “Dia semakin lemah...,” desah Rangga pelan.

“Tolonglah, Rangga! Hanya dia yang paling berharga di dunia ini. Apa pun yang kau minta akan kukabulkan. Asalkan, kau bisa menolongnya!” pinta orang tua itu penuh harap.

“Tenanglah, Ki. Aku akan berusaha semampuku,” ujar Rangga.

Ki Layang Seta menarik napas dalam-dalam. Dan sesekali mukanya berkerut cemas. Dia tidak mau duduk jauh-jauh dari putrinya.

Sementara itu Rangga meletakkan telapak tangan kirinya ke perut gadis itu. “Maaf...!” ucap Rangga pendek, ketika meletakkan telapak tangannya ke dada gadis itu.

Wajah Lestari tampak jengah. Sebab meski telapak tangan itu tidak bergerak ke mana-mana, tapi baginya, pemuda ini amat asing. Apalagi, dia tidak biasa disentuh seorang laki-laki seperti itu.

Tapi, wajah pucat Lestari tidak bisa lama-lama merasakan gejolak hatinya. Beberapa saat kemudian, terasa olehnya hawa hangat yang berputar-putar di bawah perut. Lalu dengan cepat naik ke atas. Dan....

“Hoaaakh...!” Dari mulut gadis itu menyembur darah kental kehitam-hitaman.

Ki Layang Seta bergerak cepat menghapus cairan darah itu dengan selembar kain. Beberapa kali Lestari muntah darah kental kehitaman, sampai akhirnya darah itu berubah menjadi merah segar.

Wajah gadis itu yang telah pucat, kini kelihatan lebih pucat lagi. Tubuhnya bergetar dan menggigil seperti terserang demam hebat. Saat itu juga, Rangga menghentikan penyaluran tenaga murni ke tubuhnya. Ditariknya napas panjang. Lalu diambilnya mangkuk cairan yang disodorkan Ki Sumekti, yang baru saja muncul.

“Tolong tegakkan tubuhnya, agar cairan ini tidak keluar sia-sia,” ujar Rangga.

“Biar kukerjakan!” sahut Ki Layang Seta cepat.

Wajah Lestari semakin berkerut ketika menenggak ramuan obat itu. Dia memerlukan beberapa kali tegukan, sebelum isi mangkuk tandas ke dalam perutnya.

Kembali Lestari merebahkan diri setelah menenggak cairan yang diberikan Rangga. Matanya memandang sayu kepada Ki Layang Seta, lalu kepada Ki Sumekti, serta terakhir kepada Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.

Sementara, Ki Layang Seta mengelus-elus riak rambut gadis itu perlahan-lahan. Dan tidak berapa lama kemudian terlihat gadis itu mulai memejamkan mata, terkantuk-kantuk.

“Biarkan dia tertidur,” ujar pemuda itu dengan suara perlahan ketika gadis itu mulai pulas.

“Apakah dia akan sembuh?” tanya Ki Layang Seta.

“Mudah-mudahan,” desah Pendekar Rajawali Sakti. “Kau pun terluka, Ki Layang. Ada baiknya meminum ramuan yang tadi dibuat Ki Sumekti...!”

“Akan kukerjakan segera!” sahut Ki Sumekti tanpa menunggu perintah majikannya, dia langsung kembali ke belakang.

“Beberapa tulang rusuknya patah. Dia tidak boleh banyak bergerak, Ki. Pengobatannya pun harus berangsur-angsur dan tidak bisa sekaligus. Aku hanya mengeluarkan darah yang mulai membeku dalam tubuhnya. Dan ramuan obat tadi berguna untuk melancarkan peredaran darah serta menyembuhkan luka,” jelas Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga.... Sudikah kau tinggal sementara di tempatku ini sampai putriku benar-benar sembuh?” pinta laki-laki ini.

“Ki Layang Seta.... Bukan aku tidak mau memenuhi permintaanmu. Tapi, aku tengah memikirkan cara, bagaimana membinasakan makhluk itu. Kalau terus dibiarkan, maka akan semakin banyak korban yang jatuh. Lagi pula dalam keadaan sekarang, aku belum bisa berbuat banyak.”

“Paling tidak, sambil memikirkan cara membunuh makhluk itu, tinggallah di sini. Kau pun bisa beristirahat di samping bisa mengawasi Lestari. Aku mohon, tinggallah di sini!” desak orang tua itu seraya membungkuk.

“Ki Layang, jangan keterlaluan. Kenapa begini? Ayo, bangkitlah kembali!” seru pemuda itu seraya tersenyum lebar.

“Aku tak akan bangkit sebelum kau mengabulkan keinginanku!”

Rangga menarik napas panjang. “Baiklah...,” desah Rangga.

“Ah, terima kasih Rangga. Aku berharap banyak padamu atas kesembuhan putriku!” ucap Ki Layang Seta dengan wajah berseri-seri.

Saat itu Ki Sumekti kembali ke ruangan ini, seraya membawa mangkuk lain yang berisi ramuan obat. Tanpa ragu-ragu, Ki Layang Seta menenggak ramuan itu sampai tuntas.

“Kau harus latih pernapasan untuk melancarkan peredaran darahmu. Apakah ada ruangan khusus sebagai tempatmu berlatih ilmu olah kanuragan?” tanya Rangga.

“Ada! Kita kebelakang sekarang!” sahut Ki Layang Seta seraya bangkit. Dia langsung memberi perintah pada Ki Sumekti agar menunggui putrinya.

Sementara itu Rangga pun mengikuti orang tua ini dari belakang.

********************

Telah dua hari Pendekar Rajawali Sakti berada di kediaman Ki Layang Seta di Desa Gambus ini. Dan selama itu, kesehatan Lestari berangsur-angsur pulih. Namun gadis itu menjadi sosok pendiam dan tidak banyak bicara. Malah dia suka melamun sendiri di kamarnya.

Ki Layang Seta bukannya tidak mengerti hal itu. Bagi Lestari, berita kematian calon suaminya adalah pukulan terhebat. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kalau saja tidak memikirkan kasih sayang Ki Layang Seta padanya, mungkin rasanya lebih baik mati.

“Apakah dengan mati maka segalanya akan selesai?” tanya Rangga, ketika berada di kamar Lestari dan tengah membujuknya.

Gadis itu terdiam, tak langsung menjawab. Dipandanginya pemuda itu sekilas. Di tempat ini masih ada ayahnya, serta Ki Sumekti. Namun selama dua hari ini, sudah cukup membuatnya tidak canggung lagi untuk bercakap-cakap dengan Rangga.

“Pernahkah kau merasa bahwa oleh karena sesuatu, maka kau menjadi seorang yang tak berguna?” tanya Lestari.

Pertanyaan itu berkesan sinis, dan dikeluarkan oleh hati yang tengah luka. Rangga bisa memakluminya. Sehingga dia hanya tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Pernah...,” sahut Rangga pelan.

“Soal apa?” kejar Lestari.

Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung menjawab. Malah dia menarik napas agak dalam. “Kalau ada bakti yang lebih mulia didunia ini adalah bakti kepada kedua orangtua. Dan hal itu yang tak bisa kulakukan. Kedua orangtuaku telah meninggal ketika aku masih kecil. Pada saat orang lain bisa bermain dan tertawa bersama orangtua, maka aku hanya bisa memperhatikan mereka sambil menangis dalam hati. Pada saat mereka mengadukan persoalannya kepada orangtua, maka aku hanya bisa mengadu pada diri sendiri. Adakah kesedihan yang melebihi kesedihan kehilangan orangtua...?” papar Rangga.

Lestari tidak bisa menjawab. Apa yang dikatakan pemuda ini dibenarkan hatinya, meski tidak bisa terhibur. Kecintaan kepada Pratama seperti segalanya bagi gadis ini.

“Cinta kepada orangtua adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Tidak akan pernah ada orang yang mengatakan bahwa itu bekas orangtuanya. Tapi banyak sekali orang yang mengatakan, itu bekas kekasihnya. Atau itu bekas kawannya. Dan sebagainya. Ini yang membuktikan bahwa orangtua harus segalanya bagi kita. Dalam pengertian, kepada orangtualah tempat kita berbakti,” lanjut Rangga lagi.

“Ya, memang benar,” sahut Lestari pelan.

“Lalu, kenapa bersedih?” tanya Rangga.

“Semua tidak akan tahu, apa yang kurasakan saat ini...!”

“Mungkin saja karena kau tidak mau membagi kesedihanmu kepada orang lain. Padahal sudah jelas, apabila suatu beban diangkat bersama-sama, maka akan terasa ringan,” kata Rangga, menyudutkan.

“Tapi ini bebanku sendiri,” lirih terdengar suara gadis itu.

“Meski kepada ayahmu yang teramat mencintaimu dan amat takut kehilanganmu?”

Lestari tidak tahu harus berbuat apa. Dipandanginya orangtua itu beberapa saat lamanya. “Ayah...,” sebut Lestari.

“Anakku....” Ki Layang Seta mendekat, lalu duduk di tepi tempat tidur seraya mengusap-usap dahi putri satu-satunya. Terlihat bola mata gadis itu berkaca-kaca dan mulai basah.

“Aku mengecewakan perasaan Ayah...?” tanya Lestari, lirih.

“Tidak, Anakku. Kau sama sekali tidak mengecewakanku...,” desah Ki Layang Seta, menggeleng lemah.

“Tapi kenyataannya aku amat bersedih karena kehilangan Kakang Pratama. Itu berarti aku menganggap Kakang Pratama segalanya bagiku. Bahkan aku seperti tidak peduli terhadap kasih sayang Ayah...,” tukas Lestari.

“Lestari, sudahlah. Jangan berkata begitu. Apa pun perasaanmu, dan apa pun yang kau pikirkan, kau tetap putriku yang teramat kukasihi....”

“Ayah...!” seru gadis itu lirih. Lestari mengangsurkan kedua tangan untuk memeluk ayahnya. Dia tak kuasa menumpahkan keharuan yang menyesak di dadanya. Untuk sesaat ayah dan anak itu saling berpelukan menumpahkan perasaan harunya masing-masing.

“Ki Layang Seta, kurasa aku harus pergi. Kesehatan Lestari perlahan-lahan mulai membaik,” kata Pendekar Rajawali Sakti setelah ayah dan anak tersenyum lega melepaskan pelukan masing-masing.

“Oh, secepat itukah?! Tidak bisakah kau tinggal barang sehari atau dua hari lagi?!” sentak Lestari.

Rangga tersenyum. “Kewajibanku harus terpenuhi. Aku harus membinasakan makhluk itu. Sebab kalau tidak, maka akan banyak korban yang berjatuhan,” tegas Rangga.

“Ah, aku memang mengerti apa yang kau rasakan. Kau pendekar tulen, Rangga! Nah, katakan apa yang bisa kubantu untukmu?”

“Tidak ada. Terima kasih atas sikap bersahabat yang kau tunjukkan selama dua hari ini,” sahut pemuda itu tersenyum.

Pendekar Rajawali Sakti berpaling pada gadis yang tengah tergolek di tempat tidur, dan melemparkan senyum. “Aku pergi dulu, Lestari. Cepat sembuh, ya?!” ucap Pendekar Rajawali Sakti.

“Terima kasih, Kakang Rangga.”

Tanpa banyak bicara lagi, Rangga melangkah lebar keluar diikuti Ki Layang Seta. Persis di luar, mereka berpapasan dengan suatu rombongan yang merupakan kawan berdagang Ki Layang Seta. Mendadak saja, rombongan itu berlutut memberi hormat pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hormat kami untuk Kanjeng Gusti Prabu Rangga...!”

“Bangunlah.... Dan selesaikan urusan kalian. Urusanku dengan Ki Layang Seta telah selesai. Oleh sebab itu, aku harus berangkat sekarang juga,” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

“Apakah Gusti Prabu memerlukan sesuatu? Hamba akan menyediakannya” ujar pemimpin rombongan ini.

“Tidak, terima kasih. Nah, aku pergi dulu,” sahut Rangga seraya berkelebat cepat.

TUJUH

Ki Layang Seta masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin kawan berdagangnya memberi hormat sedemikian rupa kepada Pendekar Rajawali Sakti.

“Ki Lanang Dharma, apakah kau mengenal pemuda tadi?” tanya Ki Layang Seta, saat Pendekar Rajawali Sakti sudah tak terlihat lagi.

“Kenapa tidak? Semua orang di negeri kami tentu saja mengenalnya,” sahut kepala rombongan yang dipanggil Ki Lanang Dharma.

“Siapa dia? Apakah putera pedagang besar di negerimu? Atau, barangkali putera petinggi kerajaan?!”

“Jadi Ki Layang benar-benar tidak tahu?!”

Ki Layang Seta menggeleng lemah.

“Dialah Raja negeri kami. Negeri Karang Setra!”

“Astaga! Jadi..., jadi diakah raja kalian?!” seru Ki Layang Seta. Sulit bagi laki-laki tua ini untuk percaya bahwa seorang raja amat bersahaja. Bahkan penampilannya sama sekali jauh dari kesan mewah. Dia lebih mirip seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap.

“Agaknya Ki Layang Seta punya urusan penting dengan beliau?” pancing Ki Lanang Dharma.

“Ya, sedikit. Dia telah berulang kali membantu keluargaku,” sahut Ki Layang Seta, lirih.

“Prabu Rangga memang terkenal suka ringan tangan membantu sesamanya,” jelas Ki Lanang Dharma, seorang pedagang dari Karang Setra yang berusia sekitar lima puluh lima tahun.

“Jadi beliau sering meninggalkan istana kerajaan?” tanya Ki Layang Seta lagi.

“Ya, begitulah.”

“Apakah tidak ada yang mencoba berkhianat kepadanya selama dia bepergian?”

Ki Lanang Dharma tersenyum. “Kami semua menghormatinya. Dan semua anggota kerajaan setia padanya. Lagipula beliau cukup cerdik. Beliau tidak akan meninggalkan istana, kalau tidak mempersiapkan segala sesuatunya.”

Ki Layang Seta mengangguk. “Tapi saat ini dia akan menyongsong bahaya besar bagi dirinya,” keluh Ki Layang Seta.

“Bahaya apakah yang Ki Layang maksudkan?” tanya Ki Lanang Dharma dengan kening berkerut.

“Makhluk yang amat kuat dan biadab hendak dihadapinya.”

“Makhluk yang saat ini tengah diramaikan orang?”

“Ki Lanang agaknya mendengar juga berita itu?”

“Ya. Sepanjang perjalanan, kami dengar hal itu. Banyak yang mati karenanya. Bahkan kudengar saat ini korban yang jatuh di tangannya lebih dari lima ratus orang.”

“Astaga! Sungguh biadab orang itu.”

“Dia bukan manusia, Ki. Tapi sejenis iblis. Makhluk itu membunuh tanpa memilih-milih korban. Siapa saja yang ditemuinya, maka akan dibunuh. Dan sejauh ini, tidak hanya rakyat biasa yang menjadi korban. Tapi juga tokoh-tokoh silat. Sampai saat ini belum seorang pun yang berhasil membinasakannya.”

“Kalau saja rajamu tidak menolong, mungkin aku dan putriku telah menjadi korbannya.”

“Oh, begitukah? Bagaimana ceritanya?”

Ki Layang Seta menuturkan apa yang dialami dari mulai awal sampai akhir.

“Hm.... Memang sungguh keji makhluk itu!” desis Ki Lanang Dharma geram.

“Ya. Itulah yang kukhawatirkan. Sebab selama ini, tak seorang pun yang mampu menghadapinya. Dan, makhluk itulah yang akan dihadapi rajamu.”

“Itu bukan hal aneh, Ki. Raja kami telah banyak menghadapi lawan-lawan tangguh. Dan umumnya mereka binasa di tangannya.”

“Tapi....”

“Ki Layang!” potong Ki Lanang Dharma. “Beliau adalah tokoh hebat. Dan semua orang mengenalnya. Beliaulah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti.”

“He, apa yang kau katakan?! Beliau Pendekar Rajawali Sakti?!” seru Ki Layang Seta seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Betul. Beliau memang Pendekar Rajawali Sakti,” tegas Ki Lanang Dharma.

“Astaga! Mataku ternyata semakin tua semakin lamur saja. Sampai-sampai tidak mengenali pendekar besar itu. Padahal dua malam dia menginap di sini!” seru Ki Layang Seta.

“Apakah beliau tidak mengenalkan diri?” tanya Ki Lanang Dharma.

“Tidak. Beliau lebih banyak berdiam diri.”

“Hm.... Menurut apa yang kudengar pun begitu. Beliau memang tidak banyak bicara.”

“Selama beliau bepergian, apakah... anak istrinya tidak menghalangi niatnya? Atau, apakah mereka tidak mencemaskannya?”

Ki Lanang Dharma tersenyum. “Beliau belum menikah. Apalagi mempunyai anak...!”

“Hm, jadi masih seorang diri?”

“Tidak. Menurut kabar yang kudengar, beliau telah memiliki seorang kekasih yang akan menjadi calon istrinya.”

“Oh, begitu,” desah Ki Layang Seta, mengangguk.

Untuk sesaat suasana hening ketika tak ada yang berbicara lagi.

********************

Manusia Lumpur kini semakin merajalela saja. Dia telah menjadi momok yang menakutkan! Semua orang merasa cemas dan was-was, seperti bertanya-tanya kapan makhluk itu datang dan menghancurkan mereka? Sehingga tidak heran bila semua penduduk di tempat-tempat yang berdekatan dengan keberadaan Manusia Lumpur, telah mengungsi ke tempat lain yang lebih jauh.

Dan bila semua penduduk ketakutan, maka tidak demikian halnya tokoh-tokoh persilatan. Sebagian dari mereka begitu berhasrat untuk menghadapinya. Berbagai macam cara telah dilakukan untuk membunuh makhluk itu. Itu disebabkan tidak lain karena sanak serta saudara mereka ada yang terbunuh. Tidak peduli itu tokoh golongan hitam atau pun putih. Mereka seperti bersatu menghadapi Manusia Lumpur.

Seperti juga di Desa Gelugur sekarang ini. Penduduknya sudah sejak jauh-jauh hari mengungsi. Hanya mereka yang berani dan tak punya tempat untuk mengungsi, tetap bertahan di desanya.

Sudah sejak tadi makhluk itu mengamuk sejadi-jadinya, menghancurkan beberapa rumah. Pada saat itulah muncul beberapa tokoh persilatan yang langsung menyerang.

“Groaaagkh...!”

Tidak jauh dari pertarungan, terlihat beberapa sosok mayat bergelimpangan. Mereka adalah korban kesekian dari Manusia Lumpur. Namun begitu tetap ada yang berusaha melawan sekuat tenaga.

“Graagkhh...!”

Wut! Wut!

Dua orang yang bergerak mendekat, sama sekali tidak membuat Manusia Lumpur gentar. Malah dengan gesit ditangkapnya pergelangan kaki mereka dan dibantingnya dengan keras.

Buk! Prakk!

“Aaa...!” Salah seorang kepalanya tampak remuk terkena batu saat dibanting. Sedang yang seorang lagi, tak bangun lagi. Mungkin pingsan.

“Keparat!” dengus yang lain.

Jumlah mereka kini tinggal tujuh orang lagi. Namun begitu semangat mereka tampak belum kendor juga.

“Ayo kita serang lagi! Awas, jangan berada dekat-dekat dengannya. Dia mampu bergerak secepat kilat! Pergunakan senjata kalian untuk menyerang bagian-bagian tertentu di tubuhnya!” teriak seseorang, memberi perintah.

“Baik, Ki!”

“Heaaa...!”

Secara serentak mereka kembali menyerang dengan senjata terhunus. Tidak seperti tadi, kali ini mereka menyerang dengan teratur. Begitu melepas serangan, langsung cepat-cepat mundur kebelakang. Pertarungan mendebarkan benar-benar terjadi.

Wut! Wut!

Trak! Bet!

Untuk sesaat, Manusia Lumpur hanya bisa menggeram marah. Tapi selanjutnya, para pengeroyok yang dibuat terkejut. Bukan saja senjata-senjata mereka tidak mampu melukai, tapi juga patah dua begitu menghantam tubuh makhluk ini. Dan yang lebih membuat yang lain semakin geram, ketika kedua tangan Manusia Lumpur menangkap senjata mereka, lalu membetotnya dengan keras. Pada saat itu juga makhluk ini melepas tendangan keras.

Prak! Des!

“Aaa...!”

Dua orang kembali tewas dengan kepala dan dada remuk dihajar tendangan Manusia Lumpur. Dan saat berikutnya, makhluk itu melompat gesit ke depan sambil mengayunkan tendangan.

Praakk...!

“Aaa...!” Seorang lagi tewas karena kelengahannya. Dia tidak sigap menghindari serangan yang berupa kibasan tangan. Jumlah para pengeroyok kini tinggal berempat. Dan dua orang kelihatan mulai ragu-ragu untuk meneruskan perlawanan. Namun mereka tidak sempat berpikir, karena serangan Manusia Lumpur telah kembali tiba.

Bet! Bet!

Keempat orang itu serentak melompat ke belakang lalu bergulingan.

Jderr!

Hantaman makhluk itu menghancurkan sebuah rumah yang berada di dekat mereka. Tapi saat itu juga, tubuhnya kembali melenting mengejar dua orang lawan yang berada dekat dengannya.

Wuttt!

Dua orang itu terkesiap, ketika tiba-tiba Manusia Lumpur merenggut kedua kaki mereka lalu menariknya dengan keras. Belum lagi mereka sempat mengadakan perlawanan, mendadak satu hantaman keras menghajar punggung.

Praakk...!

“Aaa...!” Keduanya memekik keras. Begitu ambruk di tanah, mereka menggelepar tak berdaya.

“Groaaagkh...!” Seperti yakin kalau kedua lawannya bakal mati, Manusia Lumpur kembali mencelat mengejar dua lawan lainnya yang bersiap akan kabur.

“Celaka! Dia mengejar kita!” desis salah seorang.

Namun sebelum Manusia Lumpur tiba di dekat dua buruannya mendadak berkelebat empat sosok bayangan dari arah depan.

“Yeaaa...!” Disertai teriakan mengguntur, keempat bayangan ini langsung melepaskan serangan berturut-turut ketubuh Manusia Lumpur.

Jdueer!

Wuus!

Satu hantaman keras mendera dada Manusia Lumpur. Namun sama sekali tidak menggoyahkannya. Namun ketika disusuli oleh pukulan yang berturut-turut dalam waktu yang amat singkat....

Begkh! Derrr...! Dess...!

“Groaaagkh...!” Disertai geraman buas, tubuh Manusia Lumpur terjungkal beberapa langkah ke belakang. Namun begitu, dia cepat kembali bangkit. Matanya langsung memandang tajam pada empat orang sosok bayangan yang telah berdiri tegak di depannya pada jarak lima langkah.

Seorang dari empat sosok itu adalah pemuda berwajah tampan terbungkus baju rompi putih. Pemuda ini memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran kalau tatapan Manusia Lumpur terpateri amat tajam ke arah Rangga, karena memang pemuda ini sudah amat dikenalnya setelah beberapa kali bertarung. Sedang tiga sosok lainnya adalah laki-laki berusia lanjut. Masing-masing telah menggenggam senjata berupa pedang, keris, dan tombak.

“Pendekar Rajawali Sakti! Tak disangka akhirnya kau muncul juga di sini!” seru laki-laki tua yang bersenjata pedang.

“Dewa Pedang! Hm..., agaknya kau peduli juga terhadap peristiwa ini...,” sambut Pendekar Rajawali Sakti.

“Tak ada waktu bagi kita untuk bercakap-cakap!” ujar laki-laki tua yang bersenjata keris dengan nada suara ketus.

“Benar apa yang dikatakan si Iblis Maut!” timpal laki-laki tua yang bersenjata tombak. Namanya Ki Bisma. Dan orang mengenalnya sebagai Malaikat Tangan Seribu, salah seorang pentolan golongan lurus dalam rimba persilatan.

“Coba lihat! Binatang ini sudah tidak sabar ingin merencah kita!” ujar laki-laki tua yang dipanggil si Iblis Maut. Dalam rimba persilatan, dia tergolong datuk sesat berkepandaian amat tinggi.

Memang makhluk itu tengah menggeram buas. Sepasang matanya liar menatap keempat lawannya. Dari pukulan yang tadi didapat, dia merasakan kalau lawan-lawannya memiliki kemampuan hebat.

“Graagkh...!” Dengan menggeram penuh amarah, Manusia Lumpur melompat mencecar si Iblis Maut.

“Ke sinilah, Iblis Keparat! Biar kutembus jantungmu dengan kerisku ini!” desis si Iblis Maut geram, seraya mencabut kerisnya.

Srang!

Begitu kerisnya tercabut, Iblis Maut langsung memutar-mutarkannya, sehingga menimbulkan desir angin berkesiutan. Memang, senjata di tangan laki-laki tua ini bukanlah keris sembarangan. Apalagi dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Maka saat makhluk itu mendekat, Iblis Maut langsung menikamkannya ke jantung.

“Hih!”

Tapi seperti hendak menguji kekebalan tubuhnya, makhluk itu sama sekali tidak berusaha menghindar. Bahkan digunakannya kesempatan itu menghantam batok kepala Iblis Maut.

Tak!

“Heh?!” Dan keris itu memang sama sekali tidak mampu melukai kulit tubuh Manusia Lumpur, sehingga membuat Iblis Maut tersentak kaget. Namun pada saat yang sama Iblis Maut harus menangkis pukulan Manusia Lumpur.

Plak!

“Uhh...!” Wajah laki-laki tua itu berkerut menahan rasa sakit saat terjadi benturan. Tapi pada saat yang sama satu sosok berkelebat menghantam makhluk itu dari belakang.

Dess!

“Graagkh...!” Tubuh Manusia Lumpur terhuyung-huyung ke belakang. Namun begitu, tidak sampai membuatnya terjatuh. Secepat kilat tubuhnya berbalik, menatap tajam kepada Malaikat Tangan Seribu yang telah menghantamnya. Sambil menggeram penuh amarah, makhluk itu melompat hendak menerkam si Malaikat Tangan Seribu.

“Groaaagkh...!” Belum lagi serangan itu tiba, pedang si Dewa Pedang telah berkelebat ke arah Manusia Lumpur.

Wut! Bet!

“Groaaagkh...!” Makhluk itu menggeram buas. Dan dia bermaksud menangkap pedang yang berseliweran hendak mengancam keselamatannya. Tapi sebelum maksudnya kesampaian, hantaman Pendekar Rajawali Sakti telah menghalanginya.

Bet!

“Kisanak! Coba serang mata, lubang telinga, dan pusarnya!” teriak Pendekar Rajawali Sakti, sambil terus mengganggu gerakan Manusia Lumpur.

“Jangan mengajari kami, Bocah!” dengus si Iblis Maut.

“He he he...! Si Iblis Maut agaknya tidak mau digurui, meski sebenarnya tidak tahu!” ejek si Dewa Pedang.

“Terkutuk kau, Dewa Pedang! Jangan membuatku marah!” semprot si Iblis Maut.

Si Dewa Pedang hanya terkekeh mendengar makian si Iblis Maut.

DELAPAN

Selama lebih dari dua jurus Manusia Lumpur dijadikan bulan-bulanan. Entah kenapa, keempat orang itu menjadi kompak. Padahal sebelumnya, mereka belum tentu bisa akur. Meski tidak saling mengenal dekat satu sama lain, namun dalam pertarungan ini kelihatan mereka saling melindungi. Sehingga, keadaan ini benar-benar menyulitkan makhluk itu. Terlebih lagi mereka bukanlah lawan enteng.

Sementara itu, melihat ketangguhan Manusia Lumpur, Pendekar Rajawali Sakti merasa perlu untuk mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti! Tak heran kalau pedang yang memancarkan sinar berkilauan itu, makin menjatuhkan nyali makhluk ini. Setiap sambarannya, membuat siapa yang melihat jadi mengkelap hatinya.

“Groaaagkh...!”

“Tidak ada gunanya menggeram begitu, Keparat! Kau harus mampus untuk menebus mereka yang mati di tanganmu!” dengus Ki Bisma sambil mengibaskan tongkat.

Ujung senjata Malaikat Tangan Seribu sejak tadi lebih banyak mengincar pada bagian pusar makhluk itu. Dan agaknya, hal ini memang kelemahannya. Buktinya, dia berusaha melindungi mati-matian. Padahal pada saat yang bersamaan, bagian mata dan lubang telinganya pun harus dilindungi. Si Iblis Maut kini menyerang Manusia Lumpur dengan sambaran kerisnya.

Wutt!

Namun makhluk itu cepat melompat menghindar. Pada saat yang sama Pendekar Rajawali Sakti segera saja mengayunkan kepalan tangan ke kepala sambil menusukkan pedangnya ke arah leher untuk mengecohnya. Tapi, siapa duga. Ternyata Manusia Lumpur malah menunduk. Akibatnya....

Crabb!

“Groaaagkh...!” Sebelah mata Manusia Lumpur pecah tertusuk pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga dia begitu mendendam. Bahkan bermaksud menghajar Rangga.

Melihat kesempatan itu, secepat kilat si Iblis Maut memanfaatkannya. Kerisnya bergerak menyambar ke mata Manusia Lumpur yang sebelah lagi. Sayang, makhluk itu masih sempat menangkis.

Tak!

Namun belum lagi makhluk itu sempat menghajar, saat itu juga ujung tombak si Malaikat Tangan Seribu menusuk perut.

Jresss!

“Aargkh...!”

“Groaaagkh...!” Manusia Lumpur menggeram hebat. Dari bagian pusarnya meleleh darah kental berwarna coklat kemerah-merahan. Sebelah matanya berkilat tajam dan kedua tangannya terentang dan terkepal. Lalu mendadak kedua kakinya menghentak ke tanah bergantian.

Jdueer!

Kraaak!

Jdueer!

Seketika terasa guncangan hebat. Beberapa bagian permukaan tanah di tempat mereka bertarung mulai terbelah. Rumah-rumah serta pepohonan hancur berantakan. Namun, si Dewa Pedang agaknya tidak mau terkesiap melihat pamer kekuatan yang ditunjukkan Manusia Lumpur. Secepat kilat dia melompat menyerang.

“Heaaat...!”

Wut! Wut!

Ujung pedang si Dewa Pedang bergerak cepat menyambar lubang telinga. Tapi begitu sedikit lagi akan mencapai sasaran secepat kilat dibelokkannya. Pada saat yang sama Manusia Lumpur juga sempat melepaskan tendangan. Dan....

Jress!

“Aaargkh...!”

“Aaah...!”

Mereka sama-sama menjerit kesakitan. Makhluk itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi sebelah matanya yang buta terkena tusukan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pada saat yang bersamaan, tubuh si Dewa Pedang terpelanting ke belakang, sejauh beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar.

“Edaaan...!” rutuk Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua tangannya.

“’Aji Bayu Bajra!’ Heaaa...!”

Werr!

Seketika bertiup angin bagai terjadi topan. Angin itu langsung meluruk dari tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menghantam Manusia Lumpur.

Braak!

“Graaagkh...!” Makhluk itu menjerit kesakitan, kontan terjungkal ke belakang tanpa mengalami luka apa pun. Namun baru saja hendak bangkit, Malaikat Tangan Seribu telah melesat dengan tusukan tombaknya. Dan...

Jross!

“Aaargkh...!” Ujung tombak Ki Bisma bergerak cepat menembus lubang telinga kiri hingga ke telinga sebelah kanan. Makhluk itu berteriak dengan suara menggelegar. Namun begitu, dia masih sempat mencelat sambil mengayunkan tendangan.

Dess!

“Aaakh...!” Kini tubuh Ki Bisma yang terpelanting terkena tendangan, disertai keluhan tertahan.

Meski dalam keadaan buta dan terluka, Manusia Lumpur belum kelihatan bakal ambruk. Dan ini membuat Pendekar Rajawali Sakti makin geram. Apalagi bila mengingat kekejaman makhluk ini. Dan kalau tidak sekarang dibinasakan, entah kapan lagi akan mati. Padahal korban akan terus berjatuhan.

“Heaaa...!”

Pendekar Rajawali Sakti menggumam pelan ketika melihat si Iblis Maut dengan gegabah mencoba menjatuhkan Manusia Lumpur. Orang tua kurus itu tampak menghentakkan kedua tangannya, melepas pukulan jarak jauh.

Wess...!

Begitu dari tangannya meluruk serangkum angin berkesiuran, si Iblis Maut melesat pula dengan ujung kerisnya siap menikam ke arah jantung.

Tak!

Namun seperti yang diduga, senjata itu sama sekali tak mampu melukai kulit Manusia Lumpur. Bahkan dengan gesit makhluk itu balas menyerang dengan mengibaskan tangan. Sementara tombak Ki Bisma yang menancap di antara kedua telinganya dibiarkannya saja. Bahkan dijadikannya senjata untuk menghantam.

Dua kali si Iblis Maut berhasil menghindari serangan Manusia Lumpur. Namun pada serangan ketiga, orang tua itu keteter. Dia hanya bisa menghantam lewat pukulan jarak jauh. Namun makhluk itu tidak meladeni. Tubuhnya cepat mencelat ke atas, lalu meluruk ke arah Iblis Maut.

Des!

“Aaakh...!” Si Iblis Maut menjerit kesakitan ketika kedua kaki Manusia Lumpur menghantam punggungnya hingga terdengar tulang berderak patah. Orang tua itu terjungkal ke depan disertai semburan darah segar. Pada saat makhluk ini hendak menghabisinya, saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti bergerak sambil mengibaskan pedangnya.

Nguuung...!

Bet!

Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti segera bergerak cepat mengelilingi tubuh Manusia Lumpur. Sepertinya Rangga hendak menguji apakah makhluk itu masih mampu mengikuti dengan nalurinya.

“Graaagkh...!”

Dalam hati Rangga mendecah kagum, ketika mengetahui kalau makhluk ini ternyata mengetahui kehadiran bahaya didekatnya. Entah, indera apa yang digunakannya. Namun, dia seperti tahu dimana dan kemana senjata lawannya bergerak.

“Hiaaa...!” Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat bukan main, mengitari Manusia Lumpur. Agaknya dia tengah mengerahkan jurus ‘Seribu Rajawali’ sehingga tubuhnya jadi kelihatan banyak. Rangga mengerahkan jurus ini untuk menguji lebih jauh, indera apa yang membuat makhluk itu mendengar atau mungkin melihat serangannya. Padahal kedua matanya buta dan kedua telinganya telah rusak.

“Heaaat...!” Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti mengganti jurusnya menjadi ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Tubuhnya langsung melenting sambil melepaskan serangan ke lubang hidung, atau ke bagian-bagian yang diduga sebagai titik kelemahan Manusia Lumpur.

“Graaagkh...!” Makhluk itu bergerak ke belakang menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu secepat kilat dia mencelat ke atas.

Namun sebelum melancarkan serangan Pendekar Rajawali Sakti telah meluruk dengan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ yang dipadu dengan permainan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Seketika pedangnya berkelebat menyambar dada Manusia Lumpur.

Sreet!

“Graaagkh...!” Makhluk itu memekik kesakitan, begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti mengiris dadanya dari atas kebawah. Rangga pun tidak menduga kalau itu sebenarnya kelemahan Manusia Lumpur. Tampak butiran sebesar pasir berjatuhan dari tubuhnya.

Melihat kesempatan ini Pendekar Rajawali Sakti kembali menyerang dengan semangat. Pedangnya kembali berkelebat, dalam jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’ tingkat terakhir.

Bet!

Ketika pedang Rangga kembali berkelebat, terlihat Manusia Lumpur mulai kebingungan. Rangga cepat tanggap kalau permukaan kulit makhluk ini ternyata berguna sebagai indera penglihat dan juga indera pendengar. Dan senjatanya tidak mengalami kesulitan berarti ketika mengikis permukaan kulit punggung Manusia Lumpur.

Sret!

“Aaargkh...!” Makhluk itu kembali berteriak kesakitan. Tubuhnya menggeliat-geliat, dan terhuyung-huyung ke belakang.

“Kau boleh mampus sekarang juga!” dengus Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Pendekar Rajawali Sakti memasukkan pedang kedalam warangka di punggung.

Trek!

Saat itu juga, Rangga menggosok-gosok kedua tangannya, hingga muncul sinar biru sebesar kepala yang menyelubungi telapak tangannya. Sinar itu makin lama terus menambah hingga ke pangkalan lengan. Lalu....

“’Aji Cakra Buana Sukma!’ Heaaa...!”

Disertai bentakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya kedepan. Maka saat itu juga dari telapak tangannya meluncur sinar biru kearah Manusia Lumpur yang masih terhuyung-huyung. Dan....

Wuss....

Blarr...!

Manusia Lumpur terlempar ke belakang dengan keadaan tubuh terpecah-pecah. Serpihan dagingnya menyebar ke segala arah. Potongan-potongan tubuhnya berbaur dengan darah berwarna coklat kemerahan, seperti lahar panas yang mengeluarkan asap dan berhawa panas.

“Puhh...! Tamat sudah riwayatnya!” desah Pendekar Rajawali Sakti menghela napas lega. “Dari mana makhluk seperti ini?!” Rangga sepertinya berkata-kata sendiri, tanpa maksud meminta jawaban. Tapi....

“Konon kabarnya, makhluk ini dari Gunung Perahu...,” sahut si Dewa Pedang.

“Apa?! Gunung Perahu?!” sentak Rangga terkejut mendengarnya. Memang selama ini Pendekar Rajawali Sakti tak pernah tahu, dari mana makhluk seperti ini. Dan ini salah satu kesalahannya, karena tak bertanya.

“Ada apa, Pendekar Rajawali Sakti?! Kau tahu tentang Gunung Perahu?” tanya si Dewa Pedang.

Rangga tak menjawab. Dia coba mengingat-ingat tentang cerita-cerita rakyat yang pernah didengarnya selama pengembaraannya. Salah satunya adalah Manusia Lumpur yang berasal dari perut bumi. Konon makhluk itu adalah penjelmaan iblis, yang menitis pada tokoh persilatan berilmu sesat. Tokoh itu akan muncul sewaktu-waktu, bersamaan dengan bergolaknya Gunung Perahu yang mulai menunjukkan kegarangannya lagi. Entah kenapa, mungkin karena sudah ratusan tahun, hanya beberapa orang saja yang tahu tentang cerita rakyat itu.

Setiap kemunculannya, Manusia Lumpur memang selalu membunuhi siapa saja yang ditemui. Seratus tahun yang lalu, makhluk itu juga pernah muncul, namun berhasil dilenyapkan oleh Pendekar Rajawali, guru Pendekar Rajawali Sakti. Kini makhluk itu pun telah pula dilenyapkan Pendekar Rajawali Sakti, setelah menitis kembali. Jadi, apakah seratus tahun kemudian makhluk itu akan muncul lagi? Tak ada yang tahu....

“Pendekar Rajawali Sakti! Kenapa kau malah bengong begitu?” tegur si Dewa Pedang.

“Ah, eh.... Tidak... Sebaiknya, aku permisi dulu.... Selamat tinggal!”

Begitu habis kata-katanya, Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat meninggalkan si Dewa Pedang, Malaikat Tangan Seribu, dan Iblis Maut. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak seorang pun yang mampu mencegahnya.

S E L E S A I