Istana Goa Darah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA GOA DARAH

SATU
HAMPIR seharian penuh, tiga orang penunggang kuda berbulu putih menempuh perjalanan. Ketiga kuda itu tampaknya sudah sangat letih. Air liurnya tampak menetes dari mulut yang terbuka. Tapi para penunggangnya yang berbaju hitam dan rata-rata berumur sekitar tiga puluh tahun, tampaknya tidak peduli. Mereka terus menggebah kuda tunggangan yang sudah sangat kelelahan.

Beberapa kali terdengar ringkikan lemah. Sementara ke empat kaki kuda yang semula kokoh, sudah mulai terseok-seok. Tak lama, kuda putih yang berada di depan tersungkur roboh. Namun dengan gesit penunggangnya melenting ke udara dan bersalto. Lalu dengan gerakan sangat manis, kedua kakinya menjejak tanah tiga tombak didepan kuda yang tersungkur tadi.

"Sial...!" gerutu laki-laki bercambang lebat itu sambil memeriksa kudanya yang roboh dalam keadaan sekarat.

Dua penunggang kuda yang berada di belakang laki-laki itu segera menarik tali kekang tunggangan masing-masing. Seketika kuda-kuda itu berhenti disertai ringkikan sangat keras. Mereka segera menghampiri laki-laki bercambang lebat itu.

"Ada apa, Kakang Durupaksi!" tanya laki-laki jangkung.

"Kita terlalu memaksa kehendak Duruwisa. Kudaku tampaknya kelelahan, sehingga tidak dapat meneruskan perjalanan," kata laki-laki bercambang bauk yang dipanggil Durupaksi, Nada suaranya terdengar menyesal.

"Bagaimana, Kakang Duruseta?"

Duruwisa, laki-laki berbadan jangkung dan kurus mengalihkan perhatiannya pada laki-laki berkumis tipis disebelahnya, yang dipanggil Duruseta.

Duruseta mengangkat wajahnya. Sebentar matanya memandang ke ufuk barat sambil menggeleng-geleng. Tatapannya pun beralih pada saudara seperguruannya yang paling tua, Durupaksi.

"Kakang Durupaksi... Sebaiknya kita bermalam saja disekitar sini! Untuk sampai ke Goa Darah, masih memerlukan waktu kurang lebih dua hari perjalanan berkuda," usul Duruseta pelan.

Durupaksi tampak ragu-ragu. Entah mengapa, tiba-tiba saja hatinya menjadi bimbang. Matanya kembali merayapi kudanya yang terkapar dengan mulut berbusa.

"lnilah perjalanan yang paling sial! Guru bisa marah pada kita, jika sampai terlambat menyelesaikan tugas ini!" kata Duruseta, agak kesal.

"Tapi kita juga perlu istirahat setelah sehari penuh menunggang kuda," selak Duruwisa.

"Ya! Kita sangat memerlukannya," dukung Duruseta.

"Sebaiknya kita cari tempat yang aman dekat pohon sana."

Durupaksi terpaksa mengalah. Dan memang patut diakui, tubuhnya sendiri terasa lelah bukan main. Mungkin setelah bermalam di pinggir Hutan Jati Barang ini, keesokan paginya dapat melanjutkan perjalanan kembali, menuju Goa Darah yang masih cukup jauh.

Setelah menambatkan kudanya disebuah tempat yang cukup aman, Duruseta dan Duruwisa langsung menyusul Durupaksi yang mempersiapkan tempat bermalam. Matahari sudah tidak kelihatan lagi di ufuk barat. Suasana di pinggiran Hutan Jati Barang sudah mulai diselimuti kegelapan.

Entah mengapa, kegelisahan dihati Durupaksi semakin menjadi-jadi. Matanya melirik ke arah dua saudara seperguruannya yang sudah mulai merebahkan diri di atas tumpukan daun kering, begitu mendengar suara mendesir tidak jauh di samping kanan.

"Seperti ada orang mengintai tempat kita!" bisik Durupaksi, curiga.

Serentak Duruseta dan Duruwisa bangkit berdiri. Mata mereka merayapi kegelapan disekitarnya. Tidak ada apa-apa yang terlihat, kecuali kegelapan.

"Awaaas...!" Duruseta tiba-tiba berteriak memperingatkan.

Belum habis gema teriakan Duruseta, mendadak melesat beberapa benda putih berbentuk bintang segi empat, ke arah mereka. Namun dengan gerakan cepat sekali, ketiga saudara seperguruan ini menggenjot tubuhnya. sehingga melesat ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, mereka menjejak di atas dahan sebuah pohon yang cukup besar.

Benda-benda keperakan berbentuk bintang segi empat itu menancap dalam dibatang pohon yang dihinggapi tiga bersaudara itu. Durupaksi, Duruseta, dan Duruwisa saling berpandangan. Wajah mereka jelas-jelas tidak mampu menyembunyikan keterkejutan.

"Goa Darah masih jauh jaraknya dari Hutan Jati Barang ini. Tapi kedatangan kita sudah diketahui!" gumam Durupaksi heran.

"Mungkin bukan kelompok manusia buas darah itu yang melakukannya. Kakang?" agak bergetar suara Duruwisa.

"Lalu, siapa lagi yang menyerang kita? Senjata rahasia yang menyerang kita tadi, jelas bintang persegi empat. Dan itu adalah senjata rahasia tiap anggota Istana Goa Darah...!" rungut Durupaksi yang memiliki pengalaman jauh lebih baik.

Suasana di atas pohon sepi mencekam. Ketiga saudara seperguruan itu saling diam, sambil menantikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi dengan sikap waspada.

"Kurasa orang yang menyerang kita telah pergi," desah Duruseta. Suaranya pelan tercekat.

"Jangan gegabah. Orang-orang Goa Darah datang dan pergi seperti setan. Kita tidak tahu, apakah iblis-iblis itu telah meninggalkan kita, atau malah menunggu sampai mati berdiri di sini!" gerutu Durupaksi sambil memegang hulu pedangnya erat-erat. Dan sebelum ada yang berusaha kembali, mendadak...

"Kepada tiga ekor monyet di atas pohon! Hendaknya kalian jangan kasak-kusuk di situ! Lekas tunjukkan diri, sebelum habis kesabaranku...!"

Tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari tengah tengah kegelapan. Suaranya pelan saja, namun mengandung satu kekuatan aneh. Sehingga, membuat tiga saudara seperguruan itu menjadi bergetar. Diam-diam, mereka mengerahkan tenaga dalam untuk menghilangkan pengaruh suara orang yang sama sekali tidak dikenal.

Tanpa berpikir panjang lagi, setelah memperhitungkan segala sesuatunya, maka ketiga saudara seperguruan itu melompat turun dengan gerakan ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Dari sini bisa terlihat kalau ketiganya memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf hampir sempurna. Dan baru saja mereka menginjakkan kaki di atas tanah...

"Hanya orang-orang yang ingin mencari mampus saja yang berani datang ke Istana Goa Darah. Cepat katakan, dari padepokan mana kalian?! Biar agak mudah kami mencatatnya?" Kembali terdengar suara aneh.

"Kami dari Padepokan Pedang Bayangan...!" jawab Durupaksi kalem.

"Hm! Mengapa Ki Subrata tidak datang sendiri ke istana kami?"

Nada bicara orang dalam kegelapan itu terdengar mendengus. Suaranya jelas-jelas meremehkan. Sehingga, membuat tiga murid Padepokan Pedang Bayangan menjadi marah.

"Untuk membasmi iblis-iblis penculik seperti penghuni Istana Goa Darah, cukup kami bertiga yang maju!" sentak Duruseta geram.

"Oh, begitu? Baiklah...!"

Baru saja suara menggeram dikegelapan sana menghilang, mendadak bertiup angin sedingin es, menerpa wajah mereka. Seketika, tiga orang murid pilihan dari Padepokan Pedang Bayangan ini mencium bau amis darah yang demikian menusuk.

Durupaksi segera memberi isyarat pada kedua adik seperguruannya. Bersamaan dengan itu, dari arah kegelapan di depan tampak berkelebat bayangan putih kearah mereka.

Dalam waktu yang demikian singkat, tahu-tahu seorang laki-laki berwajah angker telah berdiri satu tombak di depan Durupaksi. Dalam keremangan malam yang hanya diterangi cahaya bulan, dapat terlihat kalau baju putih orang itu penuh bercak-bercak darah. Sebagian wajahnya juga dipenuhi darah yang telah mongering. Sehingga, sepintas lalu dia hanya memiliki sebelah wajah saja.

"Kulihat dua di antara kalian memiliki tubuh meyakinkan! Karena telanjur kalian memasuki daerah ini, aku harus meringkus kalian berdua. Sedangkan yang kurus kerempeng harus kubunuh!" sentak laki-laki bertampang angker ini.

"Siapakah, Kisanak?" tanya Duruseta sudah tidak sabar lagi.

"Siapa aku? Nanti kau bisa menanyakannya pada ratu! Sekarang, kalian tidak berhak bertanya padaku!" dengus laki-laki berlumur darah itu ketus.

Durupaksi, Duruseta, dan Duruwisa marah bukan main mendengar ucapan orang berbaju putih ini. Tanpa bicara apa-apa lagi, Durpaksi menerjang ke depan sambil menghantamkan kedua tangannya kebagian dada dan perut orang itu.

Namun sejengkal sebelum kepalan tangan Durupaksi mencapai sasaran, sosok yang ternyata anggota Istana Goa Darah ini mendengus. Lalu dengan gerakan yang sangat manis, tubuhnya meliuk sambil menepis tinju Durupaksi.

Duk!

"Ufh?!" Durupaksi mengeluh tertahan. Tubuhnya kontan bergetar dan sempat terhuyung dua langkah kebelakang. Tangannya yang membentur tangan sosok itu terasa panas sekali. Tapi tenaga dalamnya segera dihimpun. Dan laksana kilat sambil memberi isyarat pada dua saudara seperguruannya, segera dilancarkannya serangan kembali kearah sosok itu.

Sementara itu dari dua arah lainnya, datang pula serangan yang tidak kalah hebat menuju sosok itu. Dan kenyataannya tiga saudara seperguruan ini memang tidak dapat dianggap enteng. Terlebih-lebih setelah mereka melancarkan serangan bersama-sama.

Namun lawan yang dihadapi ternyata tidak bisa dianggap sembarangan. Laki-laki berbaju putih dan berselimut darah ini merupakan orang ketiga setelah Ratu Goa Darah. Dalam menghadapi setiap serangan yang semakin menghebat, dia tidak menjadi gugup. Sebaliknya dengan sikap tenang dia berhasil menghindari serangan tangan kosong murid-murid Padepokan Pedang Bayangan itu.

"Hiya...!" Tiba-tiba saja, laki-laki itu melenting ke udara. Tangan kanannya mengebut ke arah lawan-lawannya tiga kali berturut-turut. Maka seketika tiga buah benda berwarna keperakan melesat cepat bagaikan kilat ke arah ketiga lawannya.

Durupaksi yang sempat melihat dan merasakan sambaran angin yang memancarkan sinar putih, segera berteriak memberi aba-aba pada kawannya.

"Awas! Cabut senjata kalian!"

Sret!

Di tangan masing-masing ketiga murid Padepokan Pedang Bayangan, tergenggam sebilah pedang berwarna putih mengkilat. Ketika pedang itu diputar membentuk perisai diri, maka terdengar suara mendengung yang disertai berkelebatnya sinar putih menyilaukan mata. Tidak salah lagi. itulah jurus Pedang Bayang-Bayang yang sangat ampuh dan disegani lawan.

Trang!

Seketika terjadi benturan tiga kali berturut-turut. Bola api berpijaran dan memercik kesegala penjuru ketika senjata rahasia berbentuk bintang segi empat itu membentur ujung pedang.

Ketiga saudara seperguruan ini melompat mundur sejauh tiga langkah. Wajah mereka kini berubah pucat pasi. Telapak tangan terasa sakit berdenyut-denyut. Walau dada terasa nyeri bukan main, namun mereka segera menyerang kembali mempergunakan jurus-jurus pedang yang lebih berbahaya.

Laki-laki berbaju putih bersimbah darah ini, walaupun telah mengetahui kehebatan lawan-lawannya tidak merasa gentar sedikit pun. Sebagai tokoh nomor tiga dalam Istana Goa Darah, kecerdikannya sangat hebat. Sejak tadi, dia memang menghindari serangan lawan. Namun, matanya terus memperhatikan setiap gerak dan jurus-jurus yang dimainkan ketiga saudara seperguruan itu.

Sekarang, setidak-tidaknya walau dia tidak dapat melumpuhkan dengan mempergunakan senjata rahasia, tapi sudah dapat mengetahui titik kelemahan jurus-jurus yang dimainkan lawannya.

"Mampuslah kau kali ini! Hiyaaat...!" teriak laki-laki berbaju putih bersimbah darah kering ini.

Bagaikan kilat, tokoh nomor tiga Istana Doa Darah ini melompat ke depan sambil mengibaskan toya pendek di tangannya kearah Durupaksi. Begitu cepatnya serangannya, sehingga membuat Durupaksi tidak sempat lagi mengibaskan pedangnya. Namun dia masih juga berusaha melepaskan satu pukulan, sambil berkelit menghindar. Sayang, pukulan yang dilepaskannya berhasil dihalau. Bahkan toya pendek di tangan tokoh Istana Goa Darah ini terus melaju, dan menghantam urat gerak Durupaksi.

Tak!

"Aaakh...!" Durupaksi mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung kaku, sulit digerakkan mesti dalam keadaan berdiri. Duruseta dan Duruwisa tersentak kaget melihat kejadian berlangsung sangat cepat ini. Tidak ada jalan lain untuk membebaskan Durupaksi, selain merobohkan lawan terlebih dulu. Merasa tak ada jalan lain, maka mereka secara bersama-sama segera menggempur tokoh nomor tiga dari Istana Goa Darah.

"Percuma saja melawan kekuasaan ratu! Kalian akan menyesal sampai di neraka nanti! dengus laki-laki berbaju putih itu dingin menggidikkan.

Namun, baik Duruseta dan Duruwisa sudah tidak menghiraukannya lagi. Mereka segera membuka jurus Pedang Bersatu Padu, yang membuat terkesiap tokoh nomor tiga di Istana Goa Darah itu. Terutama ketika melihat pedang ditangan Duruseta dan Duruwisa yang seakan-akan berubah menjadi puluhan.

Laki-laki berbaju putih itu terpaksa bergerak mundur sambil menghindari serangan-serangan murid-murid Padepokan Pedang Bayangan yang semakin bertambah cepat ini. Merasa terdesak secara terus-menerus, maka laki-laki berwajah angker ini terpaksa mempergunakan toyanya.

Bet!

Bagaikan kilat, toya berwarna hitam menderu dan menebarkan bau amis yang demikian menusuk. Mata Duruseta dan Duruwisa terbelalak ketika melihat toya yang menderu deras menusuk kebagianbagian tertentu di tubuh mereka. Dari samping kiri Duruwisa yang berbadan kurus kerempeng datang memberi bantuan sambil menusukkan pedangnya ke perut lawan.

"Uts...!" Laki-laki berbaju putih bersimbah darah itu melompat kesamping kiri sambil melepaskan tendangan menggeledek ke bagian kaki Duruwisa. Sementara, tangan kanannya yang memegang toya menusuk ke bagian urat gerak Duruseta.

Buk!

"Akh...!" Duruwisa berteriak kesakitan. Tubuhnya kontan terpelanting sejauh tiga batang tombak. Tulang kaki kanannya patah.

Tokoh nomor tiga dari Istana Goa Darah tersenyum penuh kemenangan. Belum habis senyumnya, tangannya dikebutkan ke arah Duruwisa yang sudah tidak mampu berdiri. Seketika, dari telapak tangannya melesat senjata rahasia berbentuk bintang segi empat, mengancam keselamatan Duruwisa.

Sementara Duruseta yang sempat luput dari totokan toya, segera menerjang kedepan untuk meruntuhkan senjata rahasia yang dikibaskan lawannya.

Rupanya laki-laki berbaju putih melihat gelagat yang tidak baik ini. Laksana kilat, tubuhnya melesat ke arah Duruseta sambil berguling-guling sebanyak tiga kali. Bukan main cepat gerakannya. Sehingga Duruseta yang mengkhawatirkan keselamatan adik seperguruannya, sudah tidak sempat lagi menghindari totokan toya.

"Hugh...!" Duruseta mengeluh pendek.

Tubuh laki-laki berbaju hitam ini kontan tergelimpang roboh dalam keadaan tertotok. Pada saat yang bersamaan, Duruwisa sendiri sambil terus berguling-guling, mengibaskan pedang di tangannya membentuk perisai yang sangat kuat.

Trang! Trang!

Seketika tercipta pijaran bola api begitu senjata rahasia itu membentur ujung pedang di tangan Duruwisa. Namun tubuh Duruwisa bergetar hebat. Bahkan tangannya terasa panas bukan main.

"Mampuslah kau kali ini!" teriak laki-laki berbaju putih itu.

Saat itu juga, tubuh laki-laki itu melesat kedepan laksana kilat. Duruwisa yang tidak mampu berdiri sempurna, langsung menangkis ketika toya di tangan laki-laki berbaju putih itu menusuk ke bagian perutnya.

"Yeaaah...!" Duruwisa berteriak nyaring.

Trak!

"Hih...!" Pedang di tangan Duruwisa kontan patah jadi dua ketika membentur toya di tangan lawannya. Pada saat yang sama, lelaki berbaju putih lawannya langsung menghantam kepala Duruwisa.

Prak!

"Aaa...!" Duruwisa menjerit setinggi langit. Darah dan otaknya menyembur dari batok kepala yang hancur terhantam toya. Tubuhnya kontan ambruk dan berkelojotan sebentar. Tak lama, tubuhnya terdiam untuk selama-lamanya dengan mata melotot.

"Duruwisa...!" teriak Durupaksi dan Duruseta hampir bersamaan.

Mereka menjerit-jerit seperti orang yang kesurupan melihat saudara seperguruannya yang tewas dalam keadaan mengenaskan.

"Ha ha ha! Biarkan saudara kalian yang tidak berguna itu mati. Sudah waktunya bagi kalian untuk mengikutiku menghadap sang ratu...!" ujar tokoh nomor tiga Istana Goa Darah, tersenyum sinis.

Laki-laki berbaju putih itu kemudian mengeluarkan seutas tali terbuat dari sejenis oyot kayu. Sementara, Durupaksi dan Duruseta hanya dapat memaki-maki ketika tubuh mereka diikat lawannya.

"Kalau nasib kalian bagus, akan mendapat kesenangan di sana. Tapi kalau jelek, begitu datang langsung dipenggal! Darah kalian akan digunakan untuk berendam bagi sang ratu kami!" dingin suara laki-laki berbaju putih itu.

Sambil memanggul tubuh Durupaksi dan Duruseta, tokoh dari Istana Goa Darah ini langsung memutar langkah dan dia segera meninggalkan Hutan Jati Barang.

********************

DUA

Untuk dapat sampai di Istana Goa Darah, seseorang harus melewati sebuah lembah yang membentang di depannya. Namun sayang, tidak setiap orang dapat pergi ke sana. Bukan saja karena lembah di depan goa itu dihuni beberapa jenis binatang berbisa, tapi juga menyimpan rahasia yang setiap saat mengintai. Makanya, tanpa mengetahui jalan rahasia, hanyalah mati konyol jika memaksa ingin datang ke lembah itu.

Matahan pagi mulai memancarkan sinarnya di ufuk timur. Suasana di sekeliling Istana Goa Darah yang berbentuk kubah, tampak sepi menyeramkan. Bagian depan pintu goa yang menghubungkan ke lorong-lorong ke berbagai ruangan, berwarna merah darah. Sesungguhnya bahan yang dipergunakan untuk mewarnai pintu dan sepanjang lorong, berasal dari darah maupun daging yang telah manbusuk. Tidak heran jika dari jarak seratus batang tombak, telah tercium bau busuk yang sangat menyesakkan.

Dalam kesunyian pagi ini, dari arah timur Hutan Jati Barang terlihat sebuah kereta kuda yang terus melaju ke arah Istana Goa Darah. Di depannya, duduk seorang laki-laki bertampang angker. Bajunya yang berwarna putih, tampak coreng-moreng bekas olesan darah yang telah mengering. Sebagian wajahnya tampak memerah. Sedangkan bagian lainnya berwarna putih pucat.

Didalam kereta kuda, tampak tergeletak dua orang laki-laki berbaju hitam dalam keadaan tertotok dengan kedua kaki dan tangan terikat.

"Hiyaaa...!" Laki-laki bertampang dingin itu tak lain adalah tokoh nomor tiga di Istana Goa Darah ini. Dia menggebah kudanya tanpa henti. Kuda tunggangan ini meringkik keras, dan terus berlari bagai dikejar-kejar setan.

"Hooop...!" Begitu sampai di depan bibir lembah, laki-laki bertampang angker itu langsung menarik tali kekang. Sehingga kedua ekor kuda penarik kereta berhenti seketika. Sepasang mata tokoh ketiga Istana Goa Darah memandang tajam ke arah pintu goa yang berwarna merah kehitaman dan dalam keadaan tertutup. Lalu...

"Para penjaga gerbang Istana Goa Darah! Aku membutuhkan Jembatan Penghubung Sukma...!" Sesaat, hanya kesunyian saja yang ada. Namun tidak lama, pintu batu Istana Goa Darah terbuka disertai suara menggemuruh seperti gempa. Tidak seorang pun terlihat di depan pintu yang terbuka itu.

Sret!

Bahkan dari pintu Istana Goa Darah melesat dua leret sinar berwarna merah darah. Sinar itu memipih dan terus melebar, sehingga membentuk sebuah jalan yang menghubungkan bibir lembah dengan pintu goa.

Dengan gerakan sangat ringan, tokoh ketiga Istana Goa Darah menghampiri kereta kuda. Ditariknya dua sosok tubuh yang tak lain Durupaksi dan Duruseta. Lalu, dipanggulnya dua murid Padepokan Pedang Bayangan ini.

"Hup!" Tanpa merasa canggung lagi, laki-laki berwajah angker ini langsung melewati Jembatan Penghubung Sukma yang membentang di depannya.

Jembatan yang dilalui sedikit pun tidak bergoyang, walau tokoh ini membawa beban yang cukup berat. Ketika sampai di pintu goa, maka dengan sendirinya jembatan gaib itu lenyap begitu saja.

Duruseta dan Durupaksi yang sempat melihat kejadian ini membelalakkan mata. Sekarang mereka baru tahu, mengapa orang-orang persilatan yang berusaha menyerbu Istana Goa Darah hanya menemui ajal secara sia-sia. Rupanya, untuk mencapai mulut goa harus mempergunakan alat khusus.

Pintu batu goa itu kemudian menutup dengan sendirinya. Dua orang pengawal bertampang aneh dengan baju putih menjura hormat pada lelaki ini.

Tanpa menghiraukan pengawal tadi, laki-laki ini terus melangkah menuju ke sebuah ruangan yang juga bercat merah darah, bercampur serpihan-serpihan daging membusuk. Bau busuk di ruangan itu sama busuknya dengan lorong-lorong lainnya.

Tengkuk Durupaksi kontan meremang berdiri. Terlebih-lebih, setelah melihat lebih dan sepuluh mayat yang telah diawetkan dijejer di samping kanan mereka. Wajah mayat-mayat yang telah diawetkan ini agaknya adalah orang-orang yang telah berusia lanjut. Paling tidak mencapai tujuh puluhan. Pada setiap mayat, terdapat sebuah luka menganga di dada.

"Apa yang terjadi di sini?" kata batin Durupaksi.

"Jangan berpikir macam-macam!" dengus tokoh ketiga Istana Darah, seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Durupaksi.

Durupaksi terdiam. Wajahnya semakin bertambah pucat, ketika mereka sampai di ruangan lain yang berhawa dingin berbau busuk luar biasa. Tokoh ketiga Istana Goa Darah menghentikan langkahnya. Tubuh Durupaksi dan Duruseta dihempaskan begitu saja. Sehingga kedua murid Padepokan Pedang Bayangan yang dalam keadaan tertotok, jatuh terguling-guling tanpa mampu berbuat apa apa.

Begitu tubuh mereka menyentuh lantai yang berwarna merah dan becek, ratusan ulat pemakan bangkai langsung mengerubuti. Durupaksi dan Duruseta berteriak-teriak kegelian. Tapi teriakan mereka hanya sampai sebatas tenggorokan saja. Karena, laki-laki berbaju putih itu telah menotok urat suara mereka.

"Haram jadah! Neraka macam apa ini?" dengus Duruseta dalam hati tanpa daya sama sekali.

Tokoh ke tiga Istana Goa Darah sekarang menghadap ke arah sebuah ruangan yang tertutup kain berwarna merah, menebarkan bau semakin busuk. Tubuhnya menjura dalam-dalam, setelah melihat kain merah yang menutupi ruangan tidak seberapa besar itu berkibar-kibar.

"Hamba datang menghadap, Gusti Ratu...!" kata laki-laki berwajah angker ini dengan suara pelan namun cukup jelas terdengar.

Durupaksi dan Duruseta saling pandang. Mereka merasa heran melihat keganjilan demi keganjilan yang ada di Istana Goa Darah.

"Gila barangkali orang ini? Dia bicara pada kain merah yang tidak bisa berbuat apa-apa?" gerutu Durupaksi, dalam hati.

"Kau membawa dua tawanan lagi, Iblis Wajah Sebelah? Apakah mereka seorang tokoh atau hanya penambah pajangan patung-patung mayat diruangan sebelah itu?"

Tiba-tiba terdengar sebuah suara menyahuti, dari balik tirai ruangan. "Maafkan hamba, Gusti Ratu," ucap laki-laki berwajah angker yang ternyata berjuluk Iblis Wajah Sebelah. "Hamba hanya membawa dua orang murid Padepokan Pedang Bayangan. Tapi... hamba yakin Gusti Ratu pasti menyukainya."

"Hm, begitu?" Ada kemarahan dalam nada ucapan orang yang duduk di balik tirai berwarna merah. Sehingga, kain berwarna merah itu berkibar-kibar lebih keras. Bau di ruangan semakin bertambah busuk. Sementara, Durupaksi dan Duruseta berusaha keras agar tidak sampai muntah.

"Hamba yakin begitu, Gusti Ratu!"

"Iblis Wajah Sebelah! Tikus-tikus seperti itu hanya membuatku bosan. Yang kuinginkan, kau dan Hantu Pencabut Nyawa sebagai orang kepercayaanku disini, segera meringkus tokoh-tokoh persilatan golongan putih! Apakah kau masih ingat, siapa-siapa saja orangnya?" tanya suara dari balik tirai, yang merupakan, Penguasa Istana Goa Darah.

"Ham..., hamba masih ingat, Gusti! Pertama-tama adalah Pendekar Rajawali Sakti dari Karang Setra. Kedua, Ki Subrata dari Padepokan Pedang Bayangan. Sedangkan yang ketiga dan keempat, masing-masing adalah Raja Pembual dari Gunung Bromo dan Bayangan Malaikat dari Gunung Di eng!" jawab Iblis Wajah Sebelah, menyebutkan nama-nama tokoh yang harus dibunuhnya.

"Bagus! Mereka itulah orang-orang yang pantas mati demi kejayaan Istana Goa Darah. Juga, demi menghormati para iblis yang telah mendukung semua usaha kita."

Iblis Wajah Sebelah menganggukkan kepala.

"Cepat atau lambat, mereka akan mati juga di tangan kita, Gusti Ratu. Hamba telah membuat beberapa pengumuman untuk memancing kedatangan mereka ke Lembah Putus Nyawa di depan istana ini," jelas laki-laki berwajah angker itu.

"Hm. Mengenai empat tokoh lainnya, aku tidak begitu memikirkan. Tapi pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, perlu mendapat perhatian khusus dariku...!"

"Betapapun hebat kesaktiannya, kita tidak perlu merasa takut, Gusti Ratu. Kita pasti dapat mengatasinya!" tandas Iblis Wajah Sebelah penuh keyakinan.

Sementara itu, Durupaksi dan Duruseta yang dapat mendengar pembicaraan Penguasa Istana Goa Darah tampak terkesiap. Mata mereka melotot dengan wajah berubah pucat seperti mayat. Sama sekali tidak dikira kalau para iblis Istana Goa Darah memiliki rencana yang sangat keji.

Selama ini, yang mereka ketahui adalah, penghuni Istana Goa Darah hanya menculik orang-orang tertentu untuk dijadikan tumbal. Namun tak disangka kalau mereka mempunyai niat yang sangat besar untuk menaklukkan tokoh-tokoh persilatan golongan putih.

"Guru harus diberitahu mengenai rencana gila mereka! Tapi, bagaimana caranya agar dapat meloloskan diri dari neraka ini?" kata Durupaksi dalam hati, sambil terus menahan geli akibat gerayangan ulat-ulat di tubuh.

"Dua ekor tikus ini kalau perlu masukkan ke dalam perangkap, agar hatinya tidak berkicau terus!" dengus Gusti Ratu.

Untuk yang kedua kalinya, Durupaksi terkejut. Sama sekali tidak disangka kalau Penguasa Istana Goa Darah juga dapat membaca hati orang lain.

"Tapi, Gusti Ratu! Apakah Gusti tidak memerlukannya?" tanya Iblis Wajah Sebelah, hati-hati sekali.

"Tentu! Tapi nanti...!" sahutnya dingin.

"Hamba mohon diri, Gusti Ratu...!"

Iblis Wajah Sebelah menjura penuh hormat. Kemudian tubuhnya berbalik, menghampiri Durupaksi dan Duruseta. Seketika kedua pemuda murid Ki Subrata itu diseretnya memasuki sebuah ruangan lain, membuat ulat-ulat yang mengerubungi berjatuhan. Setelah melewati ruangan yang berbentuk seperti istana kecil, mereka menyeberangi sebuah jembatan yang terbuat dari tulang-belulang manusia. Durupaksi maupun Duruseta sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, karena masih dalam keadaan tertotok.

Sampai di sebuah ruangan yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah kolam berwarna merah darah, Iblis Wajah Sebelah menghentikan langkahnya. Diangkatnya Duruseta dan Durupaksi dalam keadaan berdiri. Kemudian tangan dan kaki kedua pemuda itu dirantai satu sama lain, menghadap ke tengah-tengah kolam. Sehingga dengan jelas mereka dapat melihat kolam darah yang dalam keadaan menggelegak seperti mendidih.

"Jika Gusti Ratu berkenan hati, beliau akan membawa kalian ke surga. Begitu menjadi tua setelah sari kehidupan kalian diisap, maka darah di tubuh kalian akan dijadikan pengisi kolam darah itu!"

"Keparat terkutuk...!" maki Durupaksi dalam hati, marah bukan main.

********************

Di pinggiran Hutan Kemusuk, sebuah bayangan berkelebat dari satu pohon ke pohon lainnya. Gerakannya cepat luar biasa, pertanda bahwa bayangan putih ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf sempurna. Tak lama, langkahnya terhenti.

Tatapan matanya memandang lurus ke batang pohon. Tampak selembar daun lontar yang menempel pada batang pohon menjadi pusat perhatiannya. Rupanya sosok yang ternyata pemuda tampan berbaju rompi putih ini merasa tertarik untuk mengetahui isi tulisan yang tertera diatas daun lontar tersebut. Tanpa merasa curiga pemuda itu menghampiri. Dibacanya beberapa baris kalimat yang ditulis dengan tinta darah.

Ini adalah undangan untuk para tokoh yang terhormat. Karena itu, datanglah ke Hutan Jati Barang untuk melihat sebuah pertunjukan menarik yang Kisanak semua seumur hidup pasti tidak akan dapat melupakannya!

Tertanda
Orang-orang gagah


"Undangan gila!" rutuk pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. "Orang yang menulis di daun lontar ini sama sekali tidak menyebut, apa tujuannya mengundang para tokoh persilatan, tokoh mana yang dimaksudkan. Tokoh aliran putih atau aliran hitam?"

Seingatnya, sekarang ini Rangga telah berada di daerah Hutan Kemusuk. Untuk sampai di Hutan Jati Barang, sudah tidak jauh lagi jaraknya dari hutan ini. Rangga berpikir keras. Jauh-jauh datang dari Karang Setra, semata-mata karena mendengar adanya kabar burung tentang penculikan yang dilakukan segelintir orang terhadap para tokoh golongan putih.

Masih belum jelas, siapa yang melakukan penculikan. Pendekar Rajawali Sakti masih melakukan penyelidikan. Beberapa tokoh yang dikenalnya dengan baik, ternyata juga lenyap dari tempat tinggalnya. Sekarang, Rangga dihadapkan pada satu masalah lain. Undangan yang tertulis di atas daun lontar ini bisa saja berupa jebakan yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan dirinya.

Namun. Pendekar Rajawali Sakti pun merasa tidak ada salahnya jika melihat apa yang sedang terjadi di Hutan Jati Barang. Tanpa berpikir panjang lagi, segera langkahnya diputar menuju Hutan Jati Barang yang memang tidak jauh lagi jaraknya.

********************

Pada waktu yang bersamaan, dipinggir Hutan Jati Barang seorang laki-laki tua berbaju hitam dengan senjata pedang tampak sedang memeriksa sosok mayat yang tergeletak di tanah. Laki-laki tua berjenggot pubh itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dalam-dalam, ketika mengenali siapa mayat yang kepalanya hancur itu.

"Begini singkat hidupmu, Duruwisa? Sama sekali tidak kuduga kalau umurmu sependek ini...!" desis laki-laki tua berbaju hitam ini dengan perasaan sedih. Matanya memandangi mayat yang tak lain dari jasad Duruwisa sambil memperhatikan setiap lekuk yang ada. Sampai akhirnya, matanya melihat sebuah benda bersegi empat berwarna putih seperti perak.

Dengan sangat hati-hati sekali, orang tua itu mencabut senjata rahasia yang terbenam di dada Duruwisa. Benda berbentuk bintang segi empat itu diperhatikannya dengan cermat.

"Hm...!" gumam orang tua itu, guru dari Duruwisa.

Laki-laki yang tak lain dari Ki Subrata ini memperhatikan bekas luka di dada mayat muridnya yang jelas berwarna hitam. Jadi, senjata rahasia berbentuk bintang segi empat itu mengandung racun sangat jahat.

"Aku yakin, semua ini pasti perbuatan orang-orang Istana Goa Darah!" geram Ki Subrata dengan tangan terkepal. "Tapi, apakah dua muridku yang lain masih selamat hingga saat ini? Aku tidak tahu, apa yang bakal terjadi pada mereka. Tapi naluriku mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres di Istana Goa Darah."

Laki-laki tua berjenggot putih ini bangkit berdiri. Matanya beredar ke segenap penjuru, di mana mayat-mayat yang tidak dikenal bergeletakan saling tumpang tindih. Ditimangnya benda persegi empat di tangan. Dan mendadak saja dia terkesiap begitu pendengarannya yang cukup tajam menangkap suara berdesir dari samping kanan.

Seketika itu pula, Ki Subrata berpaling. Wajahnya yang selalu tenang tiba-tiba saja terkesiap. Dalam suasana panas terik itu, dia melihat tiga buah benda berwarna putih keperakan menderu kearahnya. Dengan sigap, senjata rahasia yang ada dalam genggamannya disambitkan.

"Hih!" Dan dengan gerakan yang sangat indah pula, Ki Subrata melenting keudara.

Tring!

Salah satu senjata rahasia langsung jatuh ketanah, ketika membentur senjata yang disambitkan Ki Subrata. Sedangkan dua lainnya terus berkelebat dua jengkal dibawah telapak kakinya.

Crap! Crap!

Senjata rahasia yang dilepaskan pembokong menembus salah satu pohon di belakang Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu.

"Heps!"

Dengan gerakan sangat manis, Ki Subrata menjejakkan kedua kakinya kembali keatas tanah. Lalu dijelajahinya tempat di mana serangan tadi berasal.

"Pembokong licik! Tunjukkan tampangmu. Jangan bertindak pengecut seperti banci...!" teriak Ketua Padepokan Pedang Bayangan dengan suara lantang.

Beberapa saat setelah gema suara Ki Subrata menghilang, suasana berubah sepi mencekam. Udara di siang hari terasa sangat panas menyengat. Namun kesunyian tidak berlangsung lama, langsung terobek oleh terdengarnya suara tawa serak seseorang yang terasa menyakitkan gendang telinga.

TIGA

Ki Subrata terkesiap. Segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk menghilangkan pengaruh suara tawa orang yang tadi menyerangnya dengan senjata rahasia. Belum juga keterkejutannya hilang, sesosok tubuh tiba-tiba berkelebat ke arah Ki Subrata.

"Hup...!" Dengan gerakan ringan sekali, sosok itu menjejakkan kedua kakinya persis di depan Ki Subrata. Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini memandang tajam pada laki-laki berpakaian putih bersimbah darah yang telah mengering. Wajah laki-laki itu tertutup darah yang telah berubah menghitam, dengan bau busuk yang menyengat hidung.

Sekarang, sadarlah Ki Subrata. Dengan siapa dia berhadapan kini. Sementara, laki-laki berwajah seperti hantu ini tersenyum lebar ketika mengenali Ki Subrata.

"Hm... Tidak susah-susah aku harus menjemputmu di Padepokan Pedang Bayangan, Ki Subrata!" kata laki-laki berbadan tinggi jangkung dengan ikat kepala warna merah darah ini.

"Kau pasti salah seorang begundal dari Istana Goa Darah. Melihat tampangmu, kau pasti yang berjuluk Hantu Pencabut Nyawa," balas Ki Subra ta, sinis.

Laki laki berwajah angker seperti setan tampak terkejut. Dia tadi heran, bagaimana mungkin Ketua Padepokan Pedang Bayangan yang termasuk dalam daftar korban mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

"Tidak usah terkejut, Hantu Pencabut Nyawa! Aku hampir dapat menyingkap teka-teki di Istana Goa Darah. Termasuk, siapa-siapa saja yang harus kuperhitungkan. Sayang, aku tidak kenal ratumu!"

Hantu Pencabut Nyawa tersenyum mengejek "Apa yang bisa kau lakukan?" ejek Hantu Pencabut Nyawa, meremehkan. Suaranya keras penuh permusuhan.

"Melihat senjata rahasia yang menancap di dada salah seorang muridku, aku yakin orang-orang Istana Goa Darah telah membunuhnya. Sekarang, kau harus mengakui. Di mana dua orang muridku yang kalian bawa?!" bentak Ki Subrata.

Rupanya, walaupun Ki Subrata sadar kalau kepandaian Hantu Pencabut Nyawa tidak dapat di pandang rendah, namun mengingat keselamatan dua muridnya yang lain, dia sudah tidak dapat lagi menahan amarahnya.

"Kau menghendaki muridmu kembali?" tanya Hantu Pencabut Nyawa.

"Kau jangan coba-coba mempermainkan aku, Manusia Keparat!" dengus Ki Subrata semakin marah.

Hantu Pencabut Nyawa tersenyum. "Muridmu dapat kukembalikan, asal saja kau mau menyerah secara baik-baik...!" ujar Hantu Pencabut Nyawa mengajukan persyaratan.

Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini jelas tahu akal licik laki-laki berbaju putih itu. Dan dia hanya tersenyum sinis. "Siapa sudi menyerah pada manusia iblis sepertimu! Lebih baik kita bertarung sampai salah seorang ada yang mampus!" desis Ki Subrata tegas.

Mata Hantu Pencabut Nyawa membulat lebar. Tatapan matanya yang berkilat memandang tajam pada Ki Subrata. seperti hendak menelan lewat tatapannya. Tiba-tiba, dia melompat ke depan sambil mendorong kedua tangannya ke arah Ketua Padepokan Pedang Bayangan. Seketika melesat sinar kehitaman dari tangan Hantu Pencabut Nyawa.

Sementara Ki Subrata merasakan hantaman angin dingin menerpa tubuhnya, sebelum serangan yang sesungguhnya datang. Sadar Hantu Pencabut Nyawa bermaksud mencelakainya, segera laki-laki tua itu melompat ke samping kiri sejauh dua langkah.

"Hoooup...!"

Sambaran sinar kehitaman berhawa dingin itu luput dari sasaran. Namun Hantu Pencabut Nyawa mengebutkan tangannya. Sehingga saat itu juga terlihat empat benda bersinar keperakan menderu ke arah Ki Subrata. Ki Subrata segera menyadari kalau Hantu Pencabut Nyawa telah melemparkan senjata berbentuk bintang segi empat ke arahnya.

Sret!

"Hiyaaa...!" Laksana kilat, Ki Subrata mencabut pedang dari warangkanya. Sambil berteriak melengking, pedang ditangannya dikibaskan kedepan, menyongsong senjata rahasia Hantu Pencabut Nyawa.

Trang! Trang!

Slap!

"Uts...!" Senjata rahasia berupa bintang segi empat itu runtuh. Namun satu diantaranya ada yang sempat lolos, dan menyerempet bahu kiri Ki Subrata.

Tubuh kakek tua ini bergetar hebat. Tangannya yang memegang gagang pedang terasa mendenyut. Tapi setelah mengerahkan tenaga dalam, rasa sakitnya hilang sama sekali.

"Kali ini kau benar-benar akan kubuat mampus, Subrata!" bentak Hantu Pencabut Nyawa ketika menyadari serangan senjata rahasianya gagal mencapai sasaran.

Diawali satu bentakan keras, tubuh Hantu Pencabut Nyawa berkelebat. Angin sedingin es menderu-deru menyertai kelebatan tubuhnya. Udara disekitarnya semakin busuk, mengganggu pernapasan.

Kenyataannya, saat ini Hantu Pencabut Nyawa memang telah mengerahkan jurus 'Menipu Jarak Menyambar Bangkai', salah satu jurus andalan Istana Goa Darah. Hanya dalam waktu yang sangat singkat, pertarungan seru telah berlangsung dua puluh jurus. Dalam serangan-serangan selanjutnya, tampak jelas Ki Subrata mulai terdesak.

Laki-laki tua ini dengan cepat merubah jurus pedangnya. Gerakan kaki dan tangannya juga mulai berubah. Tubuhnya meliuk-liuk, sehingga pukulan tangan kosong yang dilepaskan Hantu Pencabut Nyawa selalu mengenai tempat kosong. Menyadari serangan ganasnya selalu dapat dihindari, tokoh kedua dari Istana Goa Darah ini menjadi sangat marah.

"Hiyaaa...!" Disertai teriakan melengking tinggi, tangan Hantu Pencabut Nyawa terpentang menyambar ke dada Ki Subrata. Sementara, kaki kanannya men-deru ke bagian perut.

Bet!

Ki Subrata yang sudah kenyang makan asam garam dalam dunia persilatan, langsung mengibaskan pedangnya secara berturut-turut ke bagian tangan Hantu Pencabut Nyawa yang terjulur.

Dengan gugup dan sambil memaki, Hantu Pencabut Nyawa menarik balik tangannya. Namun, dia tiba-tiba melesat dengan tendangan kaki ke perut Ki Subrata. Begitu cepat gerakannya, sehingga kakek tua itu tidak mungkin dapat menghindarinya. Maka...

Buk!

"Hugkh...!" Ki Subrata terhuyung-huyung, begitu perutnya terhantam telak tendangan Hantu Pencabut Nyawa. Bagian perutnya terasa seperti remuk. Napasnya langsung menyesak.Wajah Ki Subrata langsung berubah pucat. Dengan cepat, laki-laki tua itu mengerahkan hawa murni untuk menghilangkan rasa sakit yang sangat menyiksa.

Melihat apa yang dialami Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu, Hantu Pencabut Nyawa tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Langsung pedang pendek berwarna merah darah miliknya dicabut.

Sret!

Seketika bau busuk terasa menyengat begitu pedang berwarna merah darah itu berkelebat ke arah Ki Subrata. Laki-laki tua ini sadar betul kalau senjata ditangan lawannya mengandung racun ganas. Maka dengan penuh perhitungan hendak disongsongnya serangan Hantu Pencabut Nyawa. Pedang di tangannya cepat dikibaskan membentuk perisai diri.

"Hiyaaa...!" Dan tiba-tiba tubuh Ki Subrata melesat ke arah Hantu Pencabut Nyawa dengan gerakan sangat sulit diikuti mata biasa. Pedang di tangannya dikibaskan dua kali berturut-turut, menciptakan sinar putih berkilat-kilat menyilaukan mata.

Hantu Pencabut Nyawa terkesiap melihat serangan yang datangnya secepat kilat ini. Maka pedang pendek di tangannya cepat diangsurkan untuk menahan ujung pedang yang menyodok ke bagian perutnya.

Trang!

"Akh!" Hantu Pencabut Nyawa mengeluh tertahan sambil melompat mundur sejauh tiga langkah, begitu pedang pendeknya berbenturan. Sedangkan Ki Subrata sendiri tampak terhuyung-huyung. Tangannya terasa seperti lumpuh. Sekarang baru disadari kalau Hantu Pencabut Nyawa memiliki tenaga dalam lebih tanggi setingkat di atasnya.

Tidak ada kesempatan lagi bagi Ki Subrata untuk berpikir lebih lama. Karena, Hantu Pencabut Nyawa telah menyerangnya kembali dengan satu sodokan pedang, disertai satu tendangan mengge-ledek. Terpaksa Ki Subrata mengebutkan pedangnya ke samping kanan.

Tring!

Kali ini Ki Subrata yang terpekjk kaget. Dalam keadaan terhuyung-huyung, tiba-tiba Hantu Pencabut Nyawa menghentakkan tangan kirinya ke depan. Seketika seleret sinar berwarna hitam pekat berhawa dingin menderu ke arah Ki Subrata.

Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini terkesiap. Tapi dia segera bersiap-siap, melepaskan pukulan 'Bayang-Bayang Malam'. Maka begitu sinar hitam itu hampir mendekat. Ki Subrata menghentakkan tangan kanannya. Saat itu pula dari telapak tangan Ki Subrata melesat cepat sinar biru berhawa panas luar biasa. Dan...

Glar!

"Akh...!" Kedua pukulan sakti itu sama-sama menerjang dan bertemu di udara. Ki Subrata berteriak kesakitan. Tubuhnya terbanting sejauh tiga batang tombak ke belakang. Sedangkan Hantu Pencabut Nyawa tampak bergetar hebat dengan mata terpejam.

Dari mulut Hantu Pencabut Nyawa mengucur darah segar. Namun, segera ditelannya dua buah obat pulung berwarna merah dan kuning. Sedangkan Ki Subrata sendiri ternyata mengalami luka dalam yang sangat parah. Walaupun pedang masih tergenggam di tangannya tapi merasa kesulitan untuk bangkit berdiri. Dari lubang hidung dan sudut-sudut bibirnya mengalir darah kental.

Melihat keadaan lawannya, Hantu Pencabut Nyawa tampak tersenyum sinis. Bahkan tangannya cepat disilangkan ke depan dada. Kemudian mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan.

"Tidak ada lagi kesempatan bagimu untuk meloloskan diri! Mampuslah...!" bentak Hantu Pencabut Nyawa, garang.

Dalam keadaan demikian rupa, jelas tidak ada kesempatan bagi Ki Subrata untuk menghindari dari maut. Terlebih-lebih, setelah Hantu Pencabut Nyawa mengibaskan tangan ke arahnya.

Tampak seleret sinar berwarna hitam pekat yang menebarkan hawa dingin membekukan tulang, menderu dahsyat ke arah Ketua PadepokanPedang Bayangan ini. Ki Subrata berusaha bergulingan ke samping. Tapi, sekujur tubuhnya sangat sulit digerakkan.

Dalam keadaan yang sangat gawat, mendadak dari arah lain melesat sinar merah yang memapak sinar hitam ciptaan Hantu Pencabut Nyawa.

Glar! Glar!

Sungguh dahsyat hasil benturan dua sinar tadi, membuat Hantu Pencabut Nyawa terbanting roboh. Sementara dari arah datangnya sinar merah, melesat sosok bayangan putih. Gerakannya cepat bukan main. Dan tahu-tahu seorang pemuda tampan berompi putih telah berdiri di samping Ki Subrata yang masih terduduk lemah.

"Bangkitlah, Ki...!" ujar pemuda itu seraya mengulurkan tangannya pada Ki Subrata.

Pada saat itu, Hantu Pencabut Nyawa yang sekujur tubuhnya terasa panas seperti terbakar sudah bangkit berdiri. Walau tubuhnya terhuyung-huyung, matanya jadi terbelalak lebar-lebar ketika melihat kehadiran pemuda yang ciri-cirinya pernah disebutkan Gusti Ratunya.

"Kkka... kau...! Siapa kau, Kisanak?"

"Namaku Rangga!" sahut pemuda berompi putih di sebelah Ki Subrata, yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

Hantu Pencabut Nyawa merayapi pemuda berompi putih di depannya dengan pandangan seakan tidak percaya. "Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya tokoh kedua Istana Goa Darah, penuh menyelidik.

"Begitulah orang menjuluki aku," sahut Rangga, kalem.

Bukan Hantu Pencabut Nyawa saja yang terkejut. Tapi, Ki Subrata Ketua Padepokan Pedang Bayangan juga sempat tersentak kaget. Namun tiba-tiba, tokoh kedua Istana Goa Darah tertawa lebar. Wajahnya yang bersimbah darah yang telah mengering, jelas memancarkan rasa suka yang tidak terlukiskan.

"Rupanya, kaulah orang yang dimaksudkan ratu kami!" kata Hantu Pencabut Nyawa.

"Ada urusan apa ratumu mencariku?" tanya Rangga, penuh selidik.

"Kau termasuk dalam daftar kematian Istana Goa Darah, Rangga!" timpal Ki Subrata, pelan.

"Jika kau sudi datang ke Istana Goa Darah, Ratu kami akan memberikan sesuatu yang tidak dapat kau lupakan, Pendekar Rajawali Sakti...!" kata Hantu Pencabut Nyawa, dengan suara bersahabat.

"Hm, begitu...?" gumam Rangga.

"Begitulah yang diperintahkan Gusti Ratu padaku!" sahut tokoh kedua Istana Goa Darah sambil tersenyum.

"Hugkh...!" Tiba-tiba Ki Subrata yang telah berdiri di samping Rangga mengeluh sambil mendekap dadanya. Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat wajah Ki Subrata yang telah berubah pucat seperti tidak berdarah.

"Kita harus menyingkir dari tempat ini, Ki...!" bisik Rangga.

Tanpa bicara apa-apa lagi, Rangga segera memanggul tubuh Ki Subrata. Sementara, Hantu Pencabut Nyawa yang melihat gelagat kurang menguntungkan, segera menghadang.

"Menyingkiriah sebelum kesabaranku benar-benar habis!" ancam Rangga, dingin.

"Apakah kau tidak tertarik penawaranku tadi. Pendekar Rajawali Sakti?"

"Nyawa orang lain bagiku lebih penting daripada segala macam hadiah busuk!" tandas pemuda berompi putih ini, ketus.

Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti membuat Hantu Pencabut Nyawa kehilangan kendali. Maka tanpa diduga-duga, pedang pendeknya yang berwarna merah darah dicabut.

Rangga sadar betul kalau keadaan Ki Subrata semakin bertambah parah saja jika tidak cepat di-beri pertolongan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan tangannya yang telah berubah menjadi merah membara ke arah Hantu Pencabut Nyawa. Jelas saat itu Pendekar Rajawali Sakti sudah mengerahkan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat menengah.

Seketika dari tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur sinar merah membara ke arah Hantu Pencabut Nyawa yang hendak menerjang. Dan...

Glarrr...!

"Akh...!" Hantu Pencabut Nyawa berteriak kesakitan. Tubuhnya terpelanting roboh dengan wajah berlumur darah, terkena hantaman Rangga yang mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat menengah. Kesempatan itu tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat, tubuhnya berbalik dan langsung meninggalkan pinggiran Hutan Jati Barang sambil membawa Ki Subrata yang terus mengerang-ngerang.

"Bangsat! Aku tertipu!" teriak Hantu Pencabut Nyawa. Sambil mengurut-urut dadanya yang terasa menyesak, Hantu Pencabut Nyawa merayapi seluruh tempat di sekitarnya. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dari pandangannya. Lebih menyakitkan lagi, pemuda itu telah melarikan Ki Subrata, orang yang hampir dapat dibunuhnya.

"Seumur hidup menjalankan tugas, baru kali ini aku gagal," geram Hantu Pencabut Nyawa." Pemuda itu ternyata sakti bukan main. Pantas, Gusti Ratu meletakkannya dalam urutan musuh yang paling berbahaya. Sekarang, aku harus melapor pada Gusti Ratu...!"

Dengan langkah tersaruk-saruk, Hantu Pencabut Nyawa menghampiri kuda tunggangannya yang ditambatkan pada sebuah tempat yang tersembunyi. Tidak lama kemudian, kuda berbulu putih itu telah digebahnya meninggalkan Hutan Jati Barang.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Rangga mendudukkan Ki Subrata dibawah pohon beringin putih yang sangat teduh. Saat ini, mereka memang sudah berada jauh di luar Hutan Jati Barang. Tidak mungkin Hantu Pencabut Nyawa berani mencari mereka di luar kekuasaan Istana Goa Darah. Lagi pula, paling tidak tokoh kedua Istana Goa Darah ini pasti tengah terluka parah akibat terkena 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Kalau Hantu Pencabut Nyawa dapat bertahan hidup, berarti Rangga pantas memujinya. Karena selama ini, hanya orang bertenaga dalam tinggi saja yang dapat lolos dari kematian, bila telah terkena 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Sekarang, Pendekar Rajawali Sakti telah menyingkapkan baju hitam Ki Subrata. Tidak lama kemudian, dia duduk di belakang orang tua ini yang terus merintih-rintih. Kedua tangannya ditempelkan pada bagian punggung Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu.

"Tarik napas dalam-dalam, Ki! Aku akan berusaha mengobati luka dalammu, sekaligus mengusir pengaruh racun yang mengeram ditubuhmu...!" ujar Rangga, pelan.

Dengan penuh rasa terima kasih yang tidak terucapkan, Ki Subrata mengangguk. Rangga kini memejamkan mata. Kini, hawa murni telah mulai dikerahkan kebagian telapak tangan yang menempel erat dipunggung Ki Subrata.

Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini segera merasakan adanya hawa hangat mulai mengalir kesekujur tubuhnya yang terasa membeku. Peredaran darah di tubuhnya perlahan-lahan berangsur pulih. Dadanya yang terasa sesak, kini mulai terasa ringan.

"Hoekh...!" Ki Subrata memuntahkan darah kental berwarna hitam.

"Muntahkan terus, Ki...!" perintah Rangga sambil tetap memejamkan matanya.

Ki Subrata terus memuntahkan darah kental, sampai napasnya terengah-engah. Dan Rangga segera melepaskan tangannya dan punggung orang tua itu. Disekanya keringat yang mengucur di wajah. Setelah mengatur jalan napas hingga menjadi seperti biasa, barulah Rangga membuka matanya. Sekarang dia duduk menghadap Ki Subrata. Wajah laki-laki tua itu tampak sudah tidak pucat lagi. Dan ini membuat Rangga merasa lega.

"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan padaku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Ki Subrata dengan perasaan kagum.

"Lupakanlah, Ki! Aku telah mengetahui semua persoalan yang sedang kau hadapi. Tapi ada beberapa hal yang tidak kuketahui tentang para penculik yang telah membunuh beberapa tokoh persilatan. Apakah kau dapat menjelaskannya?" pinta Rangga, langsung pada titik persoalan.

EMPAT

Ki Subrata menarik napas dalam-dalam. Matanya merayapi pemuda di depannya penuh rasa kagum. "Aku merasa bersyukur bertemu denganmu, Rangga!" ucap Ki Subrata pelan. "Hantu Pencabut Nyawa yang hampir membunuhku, adalah tokoh kedua di Istana Goa Darah. Sedang tokoh ketiga Iblis Wajah Sebelah. Kedua orang inilah yang melakukan penculikan, dan menyeret orang-orang rimba persilatan ke istana mereka. Menurut hasil penyelidikanku selama ini, Istana Goa Darah tidak mungkin dapat dijarah oleh siapa pun. Karena, tempat itu mengandung jebakan-jebakan gaib yang dapat mencelakakan. Itulah sebabnya, banyak padepokan maupun ketua padepokan yang mati sia-sia ditempat itu...!"

"Ki...!" potong Rangga. "Istana Goa Darah adalah tempat yang sangat asing dan begitu menyeramkan. Apakah sebenarnya yang terjadi disana?? tanya pemuda berompi pubh ini, penuh rasa ingin tahu.

Wajah Ki Subrata berubah murung. Sinar matanya tampak meredup, seakan telah kehilangan gairah hidup. Semua ini jelas-jelas dilihat Rangga.

"Jika kau merasa keberatan untuk mengatakannya padaku, lebih baik tidak usah kau katakan...!" desah Rangga, merasa tidak enak.

"Oh...! Ee?!" Ketua Padepokan Pedang Bayangan tergagap. "Bukan begitu, Rangga. Jika aku tidak mengatakannya padamu, sama artinya menutupi aibku sendiri."

"Maksudmu?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Begini, Rangga. Aku hanya dapat memperkirakan kalau Penguasa Istana Goa Darah tidak lain adalah bekas istriku yang sudah telanjur sesat. Aku tidak tahu, pada siapa dia berguru. Tapi aku melihat, kesaktiannya sangat luar biasa. Dia mempunyai keinginan sangat besar untuk menguasai seluruh rimba persilatan. Siapa yang melawan, pasti dibunuhnya!" rungut Ki Subrata.

"Tapi kudengar, dia juga menculik murid-murid padepokan. Termasuk, dua orang muridmu."

Ki Subrata tersentak kaget. "Dari mana kau tahu?"

"Aku sempat mendengar perdebatan Hantu Pencabut Nyawa denganmu, Ki...!" tegas Rangga.

"Memang! Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah telah menculik dua orang muridku," desah Ki Subrata. Wajahnya seketika berubah merah. "Biadabnya bekas istriku yang telah menyimpang ke jalan sesat itu adalah, memanfaatkan setiap laki-laki muda untuk memelihara kecantikan tubuhnya!"

"Maksudmu? ?"

"Dia akan menghisap sari kehidupan setiap laki-laki, melalui hubungan badan. Siapa pun yang terjebak dalam perangkapnya, maka tubuhnya akan menjadi tua, tiga kali lipat dari usia yang sesungguhnya!"

"Sungguh keji!" desis Rangga tanpa sadar.

"Memang! Itulah sebabnya, tokoh-tokoh golongan putih yang telah mengetahui kekejian Ratu Istana Goa Darah, datang menyerang ke sana. Tapi setelah sampai disana, mereka baru sadar. Ternyata tidak mudah untuk menyerbu ke Istana Goa Darah. Karena, mereka harus menyeberangi sebuah lembah yang cukup luas yang didalamnya terdapat berbagai jenis ular berbisa dan jebakan-jebakan maut yang sangat berbahaya."

"Apakah tidak ada sebuah jembatan yang menghubungkan antara bibir lembah dengan pintu goa istana itu, Ki?" tanya Rangga lebih seksama.

Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti merasa semakin tertarik mendengar penjelasan Ki Subrata. Tanpa mau mengungkit-ungkit persoalan antara Ki Subrata dengan bekas istrinnya. Rangga berusaha mencari cara agar dapat masuk kedalam Istana Goa Darah.

"Jalan untuk sampai ke istana itu melalui jembatan gaib yang diberi nama Jembatan Penghubung Sukma. Jembatan seperti itu hanya sementara saja sifatnya. Dan bila telah dipergunakan oleh salah seorang anggota istana, maka akan lenyap kembali!" jelas Ki Subrata, panjang lebar.

Rangga menggaruk-garuk kepalanya. Kalau sudah begitu keadaannya memang rasanya sangat sulit untuk dapat memasuki Istana Goa Darah. Apa lagi, menghancurkannya.

"Ada satu hal yang tidak diketahui orang lain...," gumam Ketua Padepokan Pedang Bayangan tampak jengkel.

"Apa itu, Ki?" potong Rangga, penasaran.

"Kalaupun kita dapat menyerbu ke dalam istana, belum tentu dapat keluar dari istana itu hidup-hidup. Ratu keparat itu tidak dapat dibunuh bila berada dalam istananya."

"Jadi, jalan satu-satunya harus memancingnya keluar?" duga Rangga.

Pemuda itu menggeleng-geleng seakan tidak percaya mendengar penjelasan Ki Subrata.

"Memang begitulah kenyataannya. Jika kita telah dapat memancingnya keluar, maka harus dapat merampas tusuk konde emas...!"

"Ada apa dengan tusuk konde itu, Ki...?" potong Rangga, semakin penasaran saja.

Rasa penasaran Rangga membuat Ki Subrata jadi tersenyum kecut. "Tusuk konde Dewi Kemuning merupakan sumber kekuatan gaib di Istana Goa Darah. Jika dapat diambil, berarti punahlah kekuatan yang dimilikinya," jelas Ki Subrata, disertai tarikan napas berulang-ulang.

"Tapi untuk memancing keluar Dewi Kemuning, adalah pekerjaan yang tidak gampang..!" keluh Rangga.

Ketua Padepokan Pedang Bayangan menarik napas pendek. Apa yang dikatakan pemuda berompi putih ini memang benar. Tidak mudah memancing Dewi Kemuning dari istananya, karena paling tidak harus membunuh Hantu Pencabut Nyawa dan juga Iblis Wajah Sebelah lebih dulu. Apalagi mereka bukan merupakan lawan berkepandaian rendah.

"Apa yang kau katakan dapat kumengerti, Rangga. Apalagi jika kita tidak melenyapkan para begundal Ratu Istana Goa Darah. Namun, aku yakin bukan kita saja yang akan menghadapi mereka. Masih banyak tokoh persilatan lain yang merasa tertarik dengan undangan daun lontar itu. Mereka pasti datang ke sana...," jelas Ki Subrata.

Rangga tiba-tiba mengeluarkan daun lontar yang didapat di daerah Hutan Kemusuk. Setelah itu. diperlihatkannya pada Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini.

Mata orang tua itu langsung terbelalak lebar. Diperhatikannya daun lontar yang berada dalam genggaman Rangga. "Kau telah memperoleh undangan ini. Dan itu sama artinya bahwa kau masuk dalam daftar kematian Istana Goa Darah...!" desah Ki Subrata sambil menggeleng.

"Bagaimana mungkin Ratu Istana Goa Darah dapat mengenaliku?" selak Pendekar Rajawali Sakti seakan tidak percaya.

"Namamu telah dikenal di delapan penjuru rimba persilatan, Rangga. Tentu, Dewi Kemuning menganggapmu sebagai orang yang dapat membahayakan keselamatan kerajaannya."

Rangga mengangguk-angguk. "Sebaiknya, kita hubungi tokoh-tokoh persilatan yang mungkin masuk dalam daftar kematian di Istana Goa Darah, Ki. Siapa tahu, kita belum terlambat mencegah mereka," saran pemuda berompi putih.

"Mari...!" Ki Subrata bangkit berdiri.

Sementara tiba-tiba Rangga bersuit nyaring. Sebentar kemudian, di kejauhan terdengar suara ringkik kuda yang disusul derap langkah kakinya. Semakin lama, suara-suara itu semakin bertambah mendekat. Lalu, dari semak belukar muncul seekor kuda berbulu hitam yang langsung menghampiri Rangga. Pemuda berompi putih menepuk-nepuk bahu kuda berbulu hitam yang bernama Dewa Bayu.

"Naiklah, Ki! Luka-lukamu belum sembuh benar! Perjalanan yang kita tempuh masih jauh...!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, seraya menaiki punggung Dewa Bayu.

"Tap..., tapi, kuda ini kuda siapa? Sejak tadi, tidak kulihat kau membawa-bawa kuda?" tanya Ki Subrata terkagum-kagum.

"Ini kudaku, Ki. Sudahlah... Ayo naik...!" seru Rangga.

Rangga tak ingin menjelaskan kalau kudanya bukan tunggangan sembarangan. Seekor kuda berbulu hitam pekat, yang selalu mengikuti Pendekar Rajawali Sakti dari jarak yang tidak terlalu jauh, jika tidak sedang dipergunakan.

Tanpa mampu menolak lagi, Ki Subrata langsung melompat kepunggung Dewa Bayu dibelakang Pendekar Rajawali Sakti. Selanjutnya, mereka bergerak kearah timur.

********************

Bila melihat kolam darah, di Istana Goa Darah, maka tampaklah tubuh putih mulus yang tanpa benang sehelai pun berenang kian kemari di dalam air yang berwarna merah darah. Air bercampur darah itu tidak lagi menebar bau yang sangat busuk, tapi aroma wangi yang tercium ke mana-mana.

Setelah puas berenang kian kemari, sosok perempuan cantik berambut disanggul ini bangkit berdiri. Rupanya, air kolam darah hanya sebatas dadanya saja.

Tatapan mata wanita cantik yang selalu memancarkan gairah nafsu berkobar-kobar itu memandang mayat-mayat renta yang berjejer di seputar kolam. Kemudian, dia naik kebibir kolam. Setelah membersihkan tubuhnya yang berlumuran darah dengan kain yang juga berwarna merah darah, dia memakai pakaiannya kembali. Sebentar saja, pakaian ketat berwarna putih dan bersimbah darah mengering itu telah membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Sehingga, membuat setiap lelaki yang memandang menjadi terpesona.

Cring! Cring!

Wanita yang ternyata Penguasa Istana Goa Darah ini menggerakkan lonceng kecil yang selalu dibawanya ke mana pun pergi. Dari sebelah kanan tampak sebuah pintu batu yang menghubungkan ke ruangan peraduan terbuka lebar.

Dua orang laki-laki tegap berpakaian hulu-balang kerajaan tampak keluar dari dalamnya. Mereka menyeret tubuh tua tanpa nyawa yang telah diawetkan. Dari rongga dada mayat laki-laki renta itu, masih meneteskan darah segar. Agaknya, kematiannya belum lama.

Kedua laki-laki ini meletakkan mayat itu. Kemudian, mereka menjura hormat pada perempuan muda yang sebenarnya telah berusia enam puluh tahun ini.

"Maafkan kami, Gusti Ratu Dewi Kemuning! Apakah mayat Durupaksi ini harus dijejer di kolam ini juga?" tanya salah seorang laki-laki tegap dengan suara pelan tapi jelas.

Perempuan berbaju putih seperti permaisuri seorang raja ini tertawa mengikik. "Durupaksi yang sepekan sebelumnya masih begitu muda, sekarang telah menjadi kakek jompo tanpa nyawa. Mereka yang dipajang di sekeliling kolam darah ini, adalah para penyumbang saripati yang membuatku tetap awet muda! Letakkan dia di sudut sana!" perintah wanita bernama Dewi Kemuning itu, tegas.

"Segera, Gusti Ratu!" sahut kedua laki-laki itu sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.

Mayat Durupaksi yang telah berubah menjadi jasad seorang kakek tua diseret ke sudut ruangan. Kemudian mayat itu didirikan, tidak jauh beda dengan sebuah patung. Setelah menjalankan tugas, dengan terbungkuk-bungkuk kedua laki-laki itu berlalu.

Dewi Kemuning tersenyum puas. Otaknya yang kotor teringat saat-saat berdua bersama Durupaksi, yang telah memakan racun Penghilang Ingatan ketika berada dalam kamarnya.

Laki-laki muda itu selain sangat perkasa juga memiliki daya tahan yang sangat luar biasa. Dia tidak jauh beda dengan kuda binal yang memiliki kekuatan berlipat ganda. Sehari dua hari, sampai seminggu kemudian, wajah Durupaksi yang telah tersedot sari kehidupannya, berubah menjadi keriput dan layu. Tubuh dan wajahnya tidak ubahnya seorang kakek berumur delapan puluh tahun.

Sebagaimana para pendahulunya, Durupaksi pun akhirnya menerima nasib sama. Dia dibunuh secara kejam. Bahkan tubuhnya diawetkan dan dipajang seperti patung. Sedangkan darahnya dimasukkan kedalam kolam darah.

Sekarang Dewi Kemuning yang memiliki kekuatan gaib dan tetap awet muda ini, memperhatikan mayat Durupaksi yang tegak kaku dan dalam keadaan telanjang. Tiba-tiba, mulutnya menyeringai.

"Masih ada adik seperguruanmu yang segera akan menyusul! Tidak perlu merasa cemburu, Durupaksi! Sekarang, jangankan gurumu. Pacarmu sendiri sudah tidak dapat mengenalimu lagi. Kau sudah menjadi seorang kakek yang sudah tidak berguna sama sekali!" dengus Penguasa Istana Goa Darah sambil melangkah menuju ke peraduannya.

Di dalam peraduan Dewi Kemuning, Duruseta yang telah meminum racun Penghilang Ingatan tampak tergeletak tanpa daya. Sekujur tubuhnya telah bersimbah keringat. Sekujur urat-uratnya telah menegang. Ada satu rangsangan hebat yang terjadi dibawah perutnya.

Duruseta mengerang-ngerang seperti orang kehausan. Matanya yang telah berubah merah, memperhatikan suasana sekelilingnya. Sampai di depan pintu, matanya terpaku pada seorang perempuan berwajah cantik yang berdiri tegak sambil menyunggingkan seulas senyum padanya.

Duruseta merasakan darahnya seperti berhenti mengalir. Sementara, pandangan matanya tidak pernah beralih dari perempuan yang memakai mahkota berwarna kuning dikepala yang tak lain Dewi Kemuning.

"Hi hi hi!" Dewi Kemuning tertawa lebar. Langkahnya yang lemah gemulai semakin membuat Duruseta yang telah berada di bawah pengaruh racun Penghilang Ingatan, semakin tidak sabar menunggu.

"Akhirnya kau dapat melihat sendiri, betapa aku sangat pantas tidur denganmu! Apakah kau merasa senang melihat keindahan tubuhku, Duruseta!" tanya Dewi Kemuning.

Pelan-pelan Dewi Kemuning mulai melepaskan pakaian yang membalut tubuhnya. Sementara Duruseta mengangguk-angguk sambil memperhatikan tubuh Dewi Kemuning yang telah telanjang.

"Seminggu kita akan bersenang-senang, Duruseta! Ingat-ingatlah kenangan-kenangan yang tidak akan pernah kau lupakan seumur hidupmu. Dan semuanya akan kuberikan cuma-cuma!" desis Penguasa Istana Goa Darah sambil meliuk-liukkan tubuhnya yang dalam keadaan polos menantang.

Beberapa kali Duruseta menelan ludah. Teng-gorokannya turun naik seperti orang kehausan. Terlebih-lebih, setelah Dewi Kemuning naik di atas peraduannya. Murid Padepokan Pedang Bayangan yang telah kehilangan kesadaran ini langsung menerkam Dewi Kemuning dengan beringas!

Selanjutnya hanya cicak-cicak diruangan ini yang tahu, apa yang dilakukan dua insan berbeda jenis itu.

********************

"Jangan kemana-mana, Duruseta kekasihku! Setelah urusanku dengan para pembantu selesai, aku segera kembali lagi menemuimu!"

Suara Dewi Kemuning yang pelan, terdengar merdu di telinga Duruseta. Pemuda itu menganggukkan kepala. Sementara Ratu Istana Goa Darah segera meninggalkan ruangan yang berbau harum semerbak.

Kini Dewi Kemuning telah berada di sebuah ruangan khusus pertemuan. Di situ, Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah telah menunggu kehadirannya dengan sikap was-was.

Kedua laki-laki bertampang angker ini langsung menjura hormat, ketika melihat kain merah berlumur darah busuk di depan mereka tampak bergerak-gerak.

"Kami datang ingin menghadap, Gusti Ratu!" kata kedua manusia aneh ini sambil membungkuk dalam-dalam.

"Bagaimana usahamu, Tokoh Ketiga?" tanya sebuah suara yang terdengar begitu merdu, tapi berwibawa.

"Hamba telah melakukan tugas. Tapi sampai sejauh ini. belum ada tanda-tanda ada orang hadir lagi di tempat ini," lapor Iblis Wajah Sebelah dengan tenang.

"Hm...!" Orang di balik tirai kain merah yang memang Dewi Kemuning itu menggumam tidak jelas. "Bagaimana denganmu, Hantu Pencabut Nyawa?"

Laki-laki yang seluruh wajahnya dilumuri darah mengering ini menjura dalam-dalam. "Ampun seribu ampun, Gusti Ratu. Di Hutan Jati Barang yang masih wilayah kekuasaan kita, sebenarnya hamba hampir berhasil membunuh Ki Subrata, Ketua Padepokan Pedang Bayangan. Tapi tanpa terduga, seorang pemuda berompi putih telah menyelamatkannya...!"

"Apakah pemuda itu yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" potong suara di balik tirai kain berlumur darah.

"Benar!" sahut Hantu Pencabut Nyawa.

"Pendekar Rajawali Sakti adalah salah satu pendekar yang masuk dalam daftar kematian di Istana Goa Darah ini. Apakah kau belum paham juga?" sentak Gusti Ratu Dewi Kemuning. Sehingga, membuat Hantu Pencabut Nyawa jadi ciut. Dia memiliki ilmu yang sangat tinggi Gusti Ratu. Hamba bahkan hampir celaka di tangannya," jelas Hantu Pencabut Nyawa.

Suasana di dalam ruangan pertemuan yang berbau busuk itu berubah menjadi hening. Gusti Ratu Dewi Kemuning rupanya juga menyadari, apa yang dikatakan pembantunya memang merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Tapi dia yakin. Bagaimanapun, cepat atau lambat Pendekar Rajawali Sakti serta tokoh-tokoh lainnya yang telah masuk dalam daftar kematian pasti akan muncul juga.

LIMA

Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah termangu-mangu dengan sikap tidak sabar bercampur rasa cemas.

"Sebaiknya, mulai sekarang kalian bersatu untuk menghadapi orang-orang persilatan yang datang ketempat ini,'" ujar Dewi Kemuning memutuskan.

"Apakah kami harus kembali ke Hutan Jati Barang, Gusti Ratu?" tanya Hantu Pencabut Nyawa.

"Mengapa harus kembali ke sana! Kalian bisa menunggu kedatangan mereka di pinggir Lembah Putus Nyawa," jelas Penguasa Istana Goa Darah.

"Kalau begitu kami mohon diri, Gusti Ratu!" pamit kedua laki-laki bertampang angker ini sambil bangkit berdiri dan melangkah.

"Tunggu!?

Langkah mereka terhenti. Dan cepat mereka berbalik sambil menjura penuh rasa hormat.

"Ada apa lagi, Gusti Ratu?" pelan suara Iblis Wajah Sebelah.

"Kalian harus membawa, paling tidak lima orang pengawal untuk menjaga kemungkinan kemungkinan yang tidak terduga...!" tegas Dewi Kemuning.

Keduanya sama-sama mengangguk. Tidak lama kemudian, mereka menelusuri lorong demi lorong sambil menghubungi para pengawal pilihan yang akan menyertai.

Sementara itu, tidak jauh dari Lembah Putus Nyawa, tampak seorang laki-laki bertampang tolol sedang duduk ongkang-ongkang di atas sebuah cabang pohon. Pakaiannya yang berwarna putih lusuh dikipas-kipaskan ke bagian wajah. Sedangkan tongkat bututnya diketuk-ketukkan ke cabang pohon berulang-ulang, sehingga menimbulkan suara bunyi yang tidak teratur.

"Istana Goa Darah sebenarnya sudah berada di depan mata. Tapi, tidak ada jembatan yang menghubungkan ke pintu goa. Tampaknya orang-orang di dalam sana enggan menerima tamu sepertiku. Huh...! Siapa sudi menerima Raja Pembual!" dengus kakek berjenggot putih dan berkumis putih yang mengaku sebagai Raja Pembual sambil terus mengetuk-ngetuk tongkat ditangannya.

Sekarang perhatian Raja Pembual tertuju ke arah Lembah Putus Nyawa yang terletak tidak begitu jauh dari tempatnya berada. Di hatinya timbul keyakinan bahwa didalam lembah tersebut hidup berbagai jenis ular berbisa. Ini terbukti dengan terciumnya bau amis khas ular berbisa.

"Para dedemit itu ternyata cukup licik juga! Mereka memaksaku agar turun ke Lembah Putus Nyawa, untuk sampai ke Istana Goa Darah. Sungguh undangan ini dibuat oleh orang yang tidak bertanggung jawab," gerutu Raja Pembual kesal.

Sekali lagi, Raja Pembual melayangkan pandangan ke arah pintu-pintu goa yang berwarna merah darah. Paling tidak, jarak antara tebing lembah dengan pintu goa sekitar empat puluh batang tombak. Mustahil bagi Raja Pembual yang memiliki nama asli Baskara ini dapat melompati tebing lembah yang demikian lebar.

"Eh...! Aku seperti mendengar langkah-langkah kaki mendekat kemari! Orangnya memang belum kelihatan. Tapi, bau busuknya sudah tercium sampai kemari. Jangan-jangan, kucing kurapan yang datang kemari?" gumam Raja Pembual tanpa kehilangan watak konyolnya.

Pendengaran Raja Pembual yang tajam memang tidak dapat tertipu. Tidak lama kemudian, segera terlihat dua orang bertampang angker berbaju putih bersimbah darah. Tidak jauh dibelakang kedua laki-laki itu, muncul lima orang laki-laki lain berbaju mirip pengawal kerajaan.

"Hm, bukan kucing kurapan. Ternyata yang datang iblis haus darah. Eh...! Darah tuaku mana enak. Rasanya paling pahit. Dan celakanya lagi, aku mengidap penyakit Malaria.

Raja Pembual menggaruk-garuk hidungnya yang berwarna kemerahan beberapa kali. Sikapnya tetap duduk tenang-tenang di atas cabang pohon. Sementara tangannya yang memegang tongkat telah berhenti mengetuk.

"Terus cari! Aku yakin, ada orang lain yang bukan anggota kita telah bersembunyi di sekitar sini!" ujar Hantu Pencabut Nyawa pada lima orang pengawal bersenjata tombak yang menyertainya.

Lima orang pengawal langsung menyebar Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah juga mulai memeriksa tempat-tempat yang dicurigai.

Tapi setelah sekian lama mencari-cari, mereka tidak menemukan apa-apa. Raja Pembual yang duduk uncang-uncang kaki di atas pohon, terus memperhatikan orang-orang Istana Goa Darah sambil tersenyum-senyum.

"Ternyata, iblis bukan harimau. Kalau penciuman mereka tajam, tentu sudah menemukan aku di sini!" gumam Raja Pembual, pelan saja.

Tapi, salah seorang laki-laki berwajah angker rupanya sempat mendengar gumaman Raja Pembual. Maka dengan curiga dia pun memandang ke atas, merayapi cabang-cabang pohon yang terdapat di sekitarnya.

"Itu dia monyetnya!" teriak Iblis Wajah Sebelah sambil menunjuk kearah salah satu cabang pohon yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, secara hampir bersamaan Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah langsung mengeruk kantong celananya. Kemudian, tangan mereka mengibas kearah Raja Pembual yang duduk terkantuk-kantuk.

Seketika seleret sinar putih keperakan langsung melesat kearah kakek berjenggot putih ini. Itulah senjata-senjata rahasia yang berupa bintang segi empat yang dimiliki para pembantu Gusti Ratu Penguasa Istana Goa Darah.

Namun Raja Pembual dengan seenaknya langsung bangkit berdiri. Sementara tongkat di tangannya dikibaskan kedepan, kemudian langsung diputar sedemikian rupa. Maka sinar hitam dari tongkatnya yang menimbulkan suara angin menderu-deru, langsung menahan serangan senjata-senjata rahasia yang dilemparkan kaki tangan Penguasa Iblis Goa Darah itu.

Trang!

Terdengar suara berdentang berturut-turut disertai berpijarannya bunga api, ketaka tongkat hitam di tangan Raja Pembual menghantam runtuh senjata rahasia milik lawannya. Bahkan beberapa diantaranya langsung berbalik menyerang pemiliknya. Jika Iblis Wajah Sebelah dan Hantu Pencabut Nyawa tidak membuang tubuh ke tanah. Niscaya termakan senjata milik mereka sendiri Tapi...?

Crap...!

"Aaa...!"

Tidak jauh di belakang mereka, terdengar pekik dan jerit kematian. Rupanya, ada senjata rahasia yang mengarah dan menghantam tubuh dua pengawal yang berdiri tak jauh dibelakang kedua tokoh Istana Goa Darah. Tubuh mereka kontan ambruk. Tangan yang memegang tombak langsung mendekap perut yang tertembus senjata milik pimpinan mereka. Kedua pengawal berbadan tegap ini berkelojotan sebentar, lalu terdiam untuk selama-lamanya.

Iblis Wajah Sebelah dan Hantu Pencabut Nyawa terkejut bukan main. Terlebih-lebih setelah melihat kematian dua orang pengawal mereka. Ketika mereka memandang keatas pohon. Raja Pembual tampak mengumbar tawanya.

"Manusia keparat! Cepat turun dari pohon itu! Atau, aku yang akan menyeretmu kemari!" bentak, Hantu Pencabut Nyawa sudah tidak mampu lagi mengendalikan amarahnya.

Raja Pembual menghentakan tawanya. "Bicaramu kasar seperti monyet kebakaranjenggot, Kisanak! Sebagai tuan rumah, seharusnya kau menyambutku dengan ramah. Mana ada tamu disuruh makan benda keras seperti tahi binatang tadi?" ejek laki-laki berambut jarang ini sambil menggosok-gosok hidungnya yang berwarna kemerahan.

Kedua rahang Hantu Pencabut Nyawa langsung menggembung. Kalau saja tidak ditahan Iblis Wajah Sebelah, sejak tadi dia sudah melabrak Raja Pembual.

Iblis Wajah Sebelah maju dua langkah. "Rupanya, Kisanak tamu kehormatan kami. Maafkan kawanku ini, karena kurang mengenal mana tamu dan mana yang bukan tamu! Turunlah dari pohon itu, Kisanak. Kita dapat membicarakan segala sesuatunya di dalam Istana Goa Darah!" ujar laki-laki yang sebagian wajahnya bersimbah darah kering.

"Huh! Siapa yang mau percaya dengan mulut manis manusia iblis? Aku sudah tahu tipu muslihat kalian. Raja Pembual jangan dibodoh-bodohi!" dengus laki-laki tua berambut jarang ini dalam hati.

"Bagaimana, Kisanak? Mengapa hanya diam saja di situ? Turunlah.... Semua hidangan telah dipersiapkan sebagaimana mestinya!" Iblis Wajah Sebelah terus berusaha membujuk, sehingga membuat kesal Hantu Pencabut Nyawa.

"Ucapanmu memang sangat sopan, Iblis Muka Belang. Tapi kalau boleh tahu, apakah wajahmu yang kemerahan itu kau lumuri tahi kuda atau darah monyet?" selak Raja Pembual sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Merah muka Iblis Wajah Sebelah mendengar penghinaan Raja Pembual. Sekujur tubuhnya tampak bergetar hebat, menahan amarah. Sementara Hantu Pencabut Nyawa yang berdiri di sampingnya sudah tidak sabar lagi dan ingin cepat-cepat melepaskan pukulan dahsyat. Tapi sebagaimana tadi, Iblis Wajah Sebelah menahannya dengan gelengan kepala.

Rupanya, Hantu Pencabut Nyawa tidak mengerti kalau sekarang sedang berhadapan dengan salah satu tokoh rimba persilatan yang memiliki ilmu olah kanuragan sulit dijajaki. Bahkan juga merupakan seorang tokoh yang mempunyai segudang pengalaman dalam bertarung.

"Maafkan aku, Kisanak. Wajahku memang buruk begini rupa sejak dilahirkan orangtuaku. Terkadang, aku pun menyesal mengapa terlahir seperti ini Tapi..., kalau boleh tahu, apakah Kisanak yang berjuluk Raja Pembual?" tanya Iblis Wajah Sebelah. Sementara, di hatinya dia berusaha mati-matian menahan amarah.

"Aku memang raja di atas raja. Walaupun hanya seorang Raja Pembual. Tapi mengenai keadaan dirimu, kurasa kau tidak akan menyesal jika mau bunuh diri di depan mayat orang-orang yang telah kau culik!" bentak Raja Pembual, sehingga membuat Iblis Wajah Sebelah tersentak kaget.

Saat itu juga, Hantu Pencabut Nyawa melentingkan tubuhnya ke udara. Dan seketika satu pukulan jarak jauh dilepaskannya ketika tubuhnya berjumpalitan diudara.

Seketika seleret sinar hitam menebar bau busuk dan berhawa dingin luar biasa menderu ke arah Raja Pembual. Namun laki-laki tua ini sambil tertawa-tawa segera mengebutkan tongkat ditangannya. Maka dari ujung tongkat Raja Pembual, melesat secepat kilat dua leret sinar kuning menerjang kearah sinar hitam yang melesat dari telapak tangan Hantu Pencabut Nyawa.

Glar!

"Akh...!" Hantu Pencabut Nyawa memekik kaget, ketika suara ledakan keras akibat dua tenaga dalam tingkat tinggi bertemu. Pukulan Pelepas Sukma dari Hantu Pencabut Nyawa yang berhawa dingin membekukan, ternyata berbalik oleh satu kekuatan berhawa panas yang melesat dari ujung tongkat Raja Pembual. Laki-laki yang wajahnya bersimbah darah masih dapat menjejakkan kedua kakinya di atas tanah, walaupun terhuyung-huyung.

Melihat kenyataan ini, Iblis Wajah Sebelah tampak kaget bukan main. Tiba-tiba dari atas pohon, Raja Pembual melompat turun. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, maka tiga orang pengawal Istana Goa Darah langsung mengurung dengan tombak menderu. Raja Pembual tertawa terkekeh. Tongkat di tangan kirinya cepat berkelebat kian kemari.

Sementara, dua batang tombak di tangan pengawal menyodok ke bagian perut Raja Pembual. Sedangkan tombak di tangan pengawal yang satu-nya lagi, menghantam bagian punggung. Kakek tua berambut jarang ini cukup melompat ke samping kiri sejauh dua langkah dengan tangan kiri menghantam dada salah seorang pengawal. Sedangkan ujung tongkat di tangannya mengibas ke arah dua batang tombak yang menusuk ke perut.

Trak! Trak!

Tombak di tangan dua pengawal ini terpental dan patah menjadi dua. Dua orang pengawal me-mekik kaget sambil memegangi tangannya yang sempat bergetar dan sakit bukan main. Kesempatan ini tidak disia-siakan Raja Pembual. Tongkat ditangannya langsung berkelebat lagi kedua arah secara berturut-turut.

Cras! Cras!

"Aaa...!"

Kedua pengawal itu menjerit setinggi langit. Tubuh mereka mengejang. Bagian perut yang terluka parah akibat sabetan tangan Raja Pembual tampak mengucurkan darah yang tidak henti-hentinya. Tubuh mereka sebentar saja telah jatuh tergelimpang di tanah tanpa mampu bangkit kembali.

Melihat keadaan dua orang tewas secara mengenaskan, pengawal yang satu lagi bukannya ciut nyalinya. Sebaliknya malah melesat laksana kilat ke arah Raja Pembual dengan teriakan menggetarkan. Tombak di tangannya menghantam ke bagian leher laki-laki tua itu. Walaupun gerakan yang dilakukan pengawal ini termasuk cepat luar biasa, namun dengan hanya merundukkan kepala, serangan itu melenceng satu jengkal di atas kepala Raja Pembual. Ketika tubuh pengawal itu masih melayang di udara, Raja Pembual cepat mengirimkan satu pukulan menggeledek ke arah dada.

Buk! Krak!

"Aaa...!" Pengawal itu langsung jatuh terbanting di atas tanah. Tulang iganya yang terhantam tinju Raja Pembual kontan patah disertai suara berderak keras. Darah menyembur dari mulut pengawal ini. Tubuhnya berkelojotan sebentar, kemudian terdiam untuk selama-lamanya.

Mata Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah tampak terbeliak lebar. Mereka seakan tidak percaya dengan apa yang dilihat. Hanya dalam waktu sebentar saja, lima orang pengawalnya tergelimpangan roboh tanpa nyawa.

"Sekarang hanya kalian berdua!" dengus Raja Pembual dengan wajah tampak berubah kelam. Tongkatnya sudah melintang didepan dada. "Aku yakin kau dan kawanmu merupakan pembantu utama ratumu yang keparat itu! Tinggal kalian pilih saja, kematian bagaimana diinginkan?!?

"Mulutmu kelewat takabur, Tua Renta! Heaaa...!" teriak Hantu Pencabut Nyawa.

Laksana kilat, tubuh Hantu Pencabut Nyawa melesat kedepan. Satu serangan beruntun dengan tangan kosong dilakukan. Sementara itu, dari arah samping kiri Iblis Wajah Sebelah juga tidak tinggal diam. Baju putihnya yang longgar dan bersimbah darah dikebutkan. Maka, seketika melesat tiga leret sinar berwarna putih keperakan ke arah Raja Pembual.

Menghadapi serangan yang datangnya dari dua arah, Raja Pembual terkesiap. Tangan Hantu Pencabut Nyawa yang terpentang dan mencengkeram ke arah perutnya juga sangat berbahaya. Terlebih-lebih, setelah melihat tangan laki-laki berwajah aneh itu telah berubah berwarna hitam. Pertanda, jari-jari tangan itu mengandung racun yang sangat keji. Sedangkan dari arah samping, senjata rahasia berbentuk bintang segi empat juga tidak dapat dianggap enteng.

Satu-satunya yang dapat dilakukan Raja Pembual adalah dengan melompat mundur kebelakang. Tongkat di tangan dikibaskan kearah tangan Hantu Pencabut Nyawa. Kemudian, tubuhnya terus berputar ke samping kiri, menyongsong datangnya senjata rahasia yang dilemparkan Iblis Wajah Sebelah.

"Uts!" Hantu Pencabut Nyawa terpaksa menarik balik tangannya.

Trak! Trak!

Senjata rahasia berbentuk bintang sepi empat yang dilemparkan Iblis Wajah Sebelah runtuh terhantam tongkat ditangan Raja Pembual.

Hantu Pencabut Nyawa terkejut setengah mati melihat kehebatan yang dimiliki laki-laki bernama asli Baskara ini. Tapi dia merasa tidak punya waktu lebih banyak lagi untuk memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi. Sekali ini, Hantu Pencabut Nyawa langsung mencabut pedang pendek dari warangkanya.

Sret! Bet!

Ketika pedang Hantu Pencabut Nyawa dikibaskan ke udara, maka terdengar suara mendengung disertai berkelebatnya sinar merah menyilaukan mata. Raja Pembual sempat terkesiap sambil menggumam tidak jelas. Tidak sampai sekedipan mata, Hantu Pencabut Nyawa telah melompat ke arah laki-laki itu sambil menyodokkan pedang pendek berwarna merah di tangannya.

Serangan ganas dan berlangsung sangat cepat ini tidak mungkin dapat dihindari Baskara alias Raja Pembual. Cepat tongkatnya dihantamkan kebagian pergelangan tangan Hantu Pencabut Nyawa dengan maksud membuat jatuh pedang milik lawannya

Wut! Slap!

"Heps!" Lebih cepat lagi, Hantu Pencabut Nyawa menarik pedangnya. Begitu tongkat di tangan Baskara lewat dibawahnya, dia melakukan satu tusukan menyilang.

"Akh...!" Raja Pembual walaupun sudah berusaha menghindar, tetap saja dadanya tergores ujung pedang Hantu Pencabut Nyawa. Dengan terhuyung-huyung, Baskara melompat kebelakang. Luka yang ditimbulkan akibat tusukan pedang Hantu Pencabut Nyawa, menimbulkan rasa sakit bukan main. Sadarlah Raja Pembual kalau senjata itu mengandung racun keji. Raja Pembual menotok jalan darah dekat luka untuk menghindari penyebaran racun lebih cepat lagi.

"Sekali lagi kau tidak akan lolos dari kematian, Raja Pembual!" teriak Ibhs Wajah Sebelah.

Sret!

"Hiyaaa...!" Dengan tombak pendek berbentuk pipih dan bermata tiga di tangannya, Iblis Wajah Sebelah menerjang ke depan sambil menyodokkan tombak di tangannya. Gerakannya sangat cepat dan sulit diduga.

Bet!

"Yeaaah...!" Walaupun dalam keadaan terluka. Raja Pembual masih mampu menahan serangan Iblis Wajah Sebelah. Tongkat di tangannya didorong ke depan untuk menyambut kedatangan tombak yang mikian cepat.

Trak!

"Hap...!" Tongkat di tangan Baskara alias Raja Pembual terjepit di tengah-tengah mata tombak yang bercabang tiga milik Iblis Wajah Sebelah. Raja Pembual berusaha menarik lepas tongkatnya yang terjepit, namun sangat sulit dilakukan. Dengan geram Baskara mengerahkan tenaga dalamnya. Tapi, celaka! Tenaga dalam yang dimiliki tidak dapat bekerja sebagaimana yang diinginkannya. Sementara pada saat yang sama, Hantu Pencabut Nyawa telah menyerang kembali sambil mengibaskan pedang pendek berwarna merah di tangan.

"Hiyaaa...!"

Bet! Slap!

Dengan terpaksa, Raja Pembual melepaskan tongkatnya. Kemudian tubuhnya dibanting ke tanah sambil melepaskan satu tendangan telak kebawah perut Hantu Pencabut Nyawa.

Buk!

"Hugkh...!" Hantu Pencabut Nyawa merasa bagian bawah perutnya seperti remuk. Napasnya tiba-tiba terasa sesak. Tubuhnya bergetar hebat, walaupun tidak sampai terpelanting.

ENAM

Dengan pedang masih tergenggam di tangan, Hantu Pencabut Nyawa melompat mundur. Sementara, Iblis Wajah Sebelah malah melompat ke depan sambil menghantamkan tombak pendek dan tongkat yang berhasil dirampas dari tangan Raja Pembual dengan gerakan menyilang.

Bet! Bet!

"Edan...!" maki Raja Pembual. Tubuh orang tua ini melenting ke udara. Serangan tombak pendek dari Iblis Wajah Sebelah luput dari sasaran. Namun serangan tongkat yang dilakukan dengan gerakan tidak mengenal henti, membuat Raja Pembual jadi terdesak juga.

"Keparat! Masa, aku harus mati termakan senjataku sendiri?!" gerutu Raja Pembual sambil terus berusaha menghindari serangan dahsyat Iblis Wajah Sebelah.

"Kau hanya mengulur-ulur kematianmu saja, Raja Pembual!" teriak Hantu Pencabut Nyawa yang sudah bergabung kembali, menyerang Raja Pembual.

Semakin lama serangan-serangan semakin ganas dan berbahaya. Raja Pembual menyadari kalau dirinya dalam keadaan terancam. Maka kini dia mulai bersiap melepaskan pukulan 'Seribu Cara Menaklukkan Iblis'.

Ketika Raja Pembual mengerahkan tenaga dalam, maka kedua tangannya dalam waktu sekejap saja telah berubah putih laksana perak.

Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah rupanya tidak menyadari kalau Raja Pembual telah bersiap-siap melepaskan pukulan yang sangat diandalkan. Mereka terus melancarkan serangan-serangan dahsyat, kemana pun Raja Pembual berusaha berkelit dan menghindar.

Kakek berambut jarang ini tiba-tiba berbalik dan melepaskan pukulannya berturut-turut ke dua arah. Seketika dua leret sinar berwarna putih laksana perak menderu, mengancam keselamatan dua tokoh dari Istana Goa Darah.

Iblis Wajah Sebelah melompat kesamping kiri. Sedangkan Hantu Pencabut Nyawa melenting ke udara. Sehingga serangan itu luput. Saat itu juga tubuh Hantu Pencabut Nyawa terus bersalto, mendekati kearah Raja Pembual. Setelah dekat. pedang pendeknya cepat dikibaskan.

Bet!

"Uts...!" Bret!

"Akh...!" Raja Pembual terpekik kesakitan ketika bahunya tersambar ujung pedang Hantu Pencabut Nyawa, meskipun telah berusaha menghindar. Dengan geram dilepaskannya satu pukulan dahsyat ke arah Hantu Pencabut Nyawa.

Laki-laki yang wajahnya bersimbah darah kering ini sudah tidak mungkin lagi menghindari pukulan 'Seribu Cara Menaklukkan Iblis' yang di lepaskan Raja Pembual..Akibatnya...?

Glar!

Walaupun Hantu Pencabut Nyawa telah memutar pedang pendek di tangannya unruk membentuk perisai diri, tetap saja pertahanan yang di buatnya tidak mampu menahan gelombang hawa panas yang melesat dari telapak tangan Raja Pembual.

Tubuh Hantu Pencabut Nyawa kontan terbanting ke tanah dengan mulut dan hidung mengucurkan darah. Laki-laki itu merasa sekujur tubuhnya seperti terbakar. Melihat kesempatan ini, Raja Pembual bermaksud menghabisinya. Tapi tanpa disadari, dari bagian kanan Iblis Wajah Sebelah sudah menusukkan ujung tombak bermata tiga miliknya.

"Uh! Kurang ajar!" maki Raja Pembual. Dengan tangan kiri Raja Pembual berusaha menepis senjata berujung runcing ini. Namun, mendadak Iblis Wajah Sebelah membelokkan serangannya. Sehingga, gerakan menangkis yang dilakukan Baskara hanya sia-sia saja. Bahkan tidak terduga, tongkat milik Raja Pembual yang berada di tangan kiri Iblis Wajah Sebelah cepat menyodok ke perutnya.

Cras!

"Aaa...!" Raja Pembual menjerit setinggi langit, begitu tongkat miliknya sendiri menyambar perutnya. Isi perutnya terburai keluar. Matanya tampak melotot, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tubuhnya kemudian ambruk tanpa mampu berkutik lagi. Seketika, Iblis Wajah Sebelah tergelak-gelak melihat kematian Raja Pembual.

"Siapa sangka kalau manusia gombal yang satu ini mati termakan senjata sendiri?!" sentak Iblis Wajah Sebelah sambil memperhatikan ujung tongkat di tangannya yang berlumuran darah.

"Hm.... Satu persatu tokoh persilatan kita lenyapkan dari muka bumi ini. Tapi masih ada beberapa orang lagi yang patut diperhitungkan!" gumam Hantu Pencabut.Nyawa.

"Mengapa harus takut? Cepat atau lambat, kita dapat melenyapkan mereka satu persatu! rungut Iblis Wajah Sebelah, bangga.

"Kau betul, Sahabatku. Sekarang lebih baik kita laporkan kejadian ini pada Gusti Ratu!" saran Hantu Pencabut Nyawa. Suaranya pelan, namun jelas terdengar.

Kedua manusia bertampang angker ini kemudian berbalik langkah, menuju bibir Lembah Putus Nyawa.

********************

"Aku tidak tahu, apa tujuan orang-orang Istana Goa Darah menculik dan membunuh tokoh-tokoh persilatan? Lebih celaka lagi, aku tidak tahu yang mana kawan dan mana lawan. Aku patut merasa curiga pada semua orang yang kujumpai!" gumam seorang laki-laki berpakaian serba putih, sambil terus melangkah menuju Istana Goa Darah.

Dan tiba-tiba saja, laki-laki tua berusia enam puluh tiga tahun itu menghentikan langkahnya. Pendengarannya yang tajam, sebentar tadi sempat mendengar suara mencurigakan di samping kanan.

'Siapa yang bersembunyi lekas tunjukkan diri!" bentak laki-laki berbaju putih ini. Suaranya pelan, tapi jelas terdengar.

Sesaat menunggu tidak ada jawaban apa-apa. Tapi laki-laki tua itu tetap merasa yakin ada orang lain berada di tempat ini. Maka tanpa bicara apa-apa lagi, langsung dilepaskannya satu pukulan jarak jauh kearah terdengamya suara tadi. Seketika seleret sinar berwarna merah seperti bara menderu ke arah semak-semak yang terdapat di samping kanan.

Glar!

Terjadi satu ledakan dahsyat, ketika pukulan jarak jauh yang dilepaskan laki-laki tua ini menghantam semak-semak di sampingnya. Api kemudian berkobar. Tak lama, dua bayangan putih dan hitam tampak melesat dari dalam semak-semak yang terhantam pukulannya.

"Tunggu! Jangan serang...!"

Sebuah suara terdengar memperingatkan, begitu kedua bayangan tadi telah berdiri dua batang tombak di depan laki-laki tua itu.

"Hm... Siapa bisa percaya omongan kalian! Heaaa...!" teriak laki-laki berbaju putih ini, langsung melepaskan pukulannya ke arah dua sosok yang ternyata pemuda berompi putih dan laki-laki berbaju hitam secara susul-menyusul. Kedua orang itu terpaksa menghindari serangan ganas laki-laki tua ini.

"Huh...! Kalau kalian punya kepandaian, lebih baik keluarkan segera! Aku akan membunuh siapa pun yang kucurigai!" dengus laki-laki tua berpakaian serba putih ini, seraya mengibaskan tangannya berturut-turut kearah pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Manusia edan! Tunggu! Aku ingin menjelas-kan sesuatu padamu, Ki!" teriak Rangga, sambil berusaha menghindari serangan-serangan ganas yang dilancarkan laki-laki tua itu.

"Siapa yang sudi dengar ocehan begundalnya Ratu Istana Goa Darah...!" sentak laki-laki berbaju putih ini.

Sekali lagi, laki-laki tua itu menyerang Rangga dengan tendangan-tendangan menggeledek. Sadar kalau lawan tidak gampang diajak berpikir dingin, Pendekar Rajawali Sakti segera mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Kedua kakinya langsung bergerak lincah dengan tubuh meliuk-liuk. Sehingga, membuat serangan gencar laki-laki tua itu luput dari sasarannya.

Rupanya kenyataan yang dialami membuat laki-laki tua itu semakin bertambah penasaran. Walau disadari tidak sekalipun Rangga membalas serangan-serangan dahsyat yang dilakukannya, namun rasa curiga di hatinya telah membuatnya hampir tidak dapat membedakan mana kawan dan mana lawan.

"Kau boleh mengelak terus, Anak Muda! Jangan salahkan jika nyawamu melayang di tanganku!" dengus laki-laki tua berbaju putih itu sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara.

"Kuharap kau dapat berpikir sehat, Kisanak! Ketahuilah! Aku dan Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini sedang menunggu kemunculan para pembantu Ratu Istana Goa Darah yang telah melakukan penculikan atas murid-murid padepokan dan juga membunuh tokoh-tokoh golongan putih. Lalu, kau muncul! Karena tidak mengenalmu, maka kami ingin memastikannya dari tempat persembunyian!" jelas Rangga.

"Eeeh...!" Laki-laki tua itu surut mundur tiga langkah. Rupanya setelah mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang lembut dan sopan dia mulai sadar. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti bukan orang yang dicari-carinya.

"Siapa kau?!" tanya laki laki berbaju putih ini sambil menarik tangannya. Tatapan matanya memandang silih berganti pada Rangga dan laki-laki bernama Ki Subrata yang berdiri tidak jauh di belakang Pendekar Rajawali Sakti.

Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu kemudian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, dia menjura hormat pada laki-laki tua berbaju serba putih.

"Aku tidak habis pikir, mengapa kau menyerang orang sendiri, Penghuni Lereng Gunung Di-eng! Apakah kau sudah tidak mengenaliku?!" sindir Ki Subrata.

Laki-laki tua yang berasal dari Gunung Dieng dan berjuluk Pendekar Bayangan Malaikat ini meneliti laki-laki berbaju hitam didepannya dengan kemng berkerut. Tiba-tiba dia tertawa lebar.

"Ah...! Sobatku, Ki Subrata! Maaf... Mataku yang lamur ini sudah tidak awas lagi mengenalimu!" ujar Pendekar Bayangan Malaikat. Kemudian Pendekar Bayangan Malaikat menghambur ke depan, memeluk Ki Subrata sahabat lamanya. Setelah agak lama berpelukan, mereka saling melepaskan. Dan Ki Subrata segera menoleh ke arah Rangga.

"Siapa pemuda itu?" tanya laki-laki berbaju putih ini, sambil memandang tajam pada Rangga.

"Dia Pendekar Rajawali Sakti!" jelas Ki Subrata.

Rangga tersenyum ramah. Sementara kening Pendekar Bayangan Malaikat berkerut dalam. "Aku sering mendengar namamu disebut-sebut orang, Anak Muda! Tidak kusangka, hari ini kita bertemu di sini!" suara Pendekar Bayangan Malaikat pelan penuh persahabatan.

"Kisanak terlalu berlebih-lebihan," gumam Rangga tersenyum.

"Sebenarnya, apakah kalian juga ingin pergi ke Istana Goa Darah? Tapi, mengapa menunggu disini terlalu lama?" tanya Pendekar Bayangan Malaikat, heran.

"Memang kami akan pergi ke sana, Sahabat. Tapi, kami tidak ingin bertindak gegabah. Kami sedang mengatur siasat, bagaimana caranya memancing keluar Ratu Istana Goa Darah!" jelas Ki Subrata pada sahabatnya yang berasal dari Gunung Dieng.

"Mengapa hanya membuang-buang waktu? Lebih baik serbu saja Istana Goa Darah. Setelah itu, kita hancurkan," tanya Pendekar Bayangan Malaikat, seakan tidak sabar.

Ki Subrata yang tahu lebih banyak tentang Istana Goa Darah hanya tersenyum. "Terlalu berbahaya, Paman," ujar Rangga yang telah menyebut paman pada Pendekar Bayangan Malaikat. "Penghuni Istana Goa Darah tidak mungkin dibunuh, jika masih berada dalam istananya."

"Memang kenapa?" tanya Pendekar Bayangan Malaikat, tidak mengerti.

"Di dalam istana itu, sangat banyak kekuatan yang bersifat gaib. Jika dapat menyerang kesana, belum tentu kita keluar dalam keadaan hidup!" jelas Ki Subrata. "Lagi pula, untuk mencapai pintu Istana Goa Darah, kita harus melewati lembah yang memisahkannya dari dunia luar. Sedangkan, jembatan untuk sampai di istana itu adalah jembatan gaib yang bernama Jembatan Penghubung Sukma. Hanya pada waktu dibutuhkan orang-orang dalam istana, jembatan itu baru ada. Sedangkan orang luar tidak dapat memakainya."

"Kalau begitu sulit juga!" gumam Pendekar Bayangan Malaikat kesal. "Tapi aku tidak punya banyak waktu berada di luaran ini. Aku harus kembali ke Gunung Dieng secepatnya."

"Jadi, kau akan membatalkan niatmu pergi ke Istana Goa Darah yang sudah tidak seberapa jauh lagi jaraknya dari sini?" tanya Ki Subrata, heran.

"Tentu saja tidak! Maksudku, aku tidak dapat menyertai kalian! Aku harus berangkat ke Istana Goa Darah sekarang juga...!" tandas laki-laki berbaju putih ini, langsung bergerak cepat.

Hanya sekali berkelebat saja, Pendekar Bayangan Malaikat telah jauh dari pandangan mata. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat tinggi.

"Kembali! Tunggu, Kisanak!" pinta Rangga, keras.

"Aku tidak dapat menunggu kalian! Sampai bertemu nanti di akherat...?!" sahut Pendekar Bayangan Malaikat, sayup-sayup dari kejauhan Sana.

"Manusia angin-anginan itu memang sulit diberi nasihat! Aku khawatir, terjadi apa-apa dengannya," keluh Ki Subrata. Ki Subrata memandang kearah perginya Pendekar Bayangan Malaikat. Dan rasa cemasnya pun semakin menjadi-jadi.

"Lalu bagaimana, Ki...?" desah Rangga, kemudian menarik napas dalam-dalam. Wajahnya tertunduk lesu.

"Kita tidak mungkin mengejar dan mencegah manusia bayangan itu. Ilmu meringankan tubuhnya tidak dapat ditandingi. Mungkin saat ini, dia telah sampai dipinggir Lembah Putus Nyawa!"

"Kalau begitu, dia juga memiliki kesaktian yang sangat luar biasa!" desis Rangga berusaha menutupi keterkejutannya.

Ki Subrata hanya mengangguk pelan. "Memang benar. Tapi... dalam menghadapi orang-orang Istana Goa Darah, dia tidak bisa bertindak gegabah," sahut Ki Subrata.

"Kalau begitu, mari kita susul...!

Ki Subrata mengangguk setuju. Kemudian, mereka menghampiri Dewa Bayu yang ditambatkan di balik semak-semak belukar.

********************

Memandang jauh ke tengah-tengah Lembah Putus Nyawa, memang merupakan satu pemandangan yang menyeramkan. Tidak seorang punyang dapat memastikan berapa kedalamannya. Sepanjang hari, kabut tipis tampak menyelimuti lembah ini. Pucuk-pucuk pohon meranggas gersang, pertanda di dalam lembah dihuni berbagai jenis ular berbisa.

Sementara itu, Pendekar Bayangan Malaikat sekarang memang baru menyadari kebenaran ucapan Ki Subrata sahabatnya. Tidak ada satu jembatan pun untuk sampai ke mulut goa berwarna merah darah yang terletak di seberang sana.

Jadi apa yang kudengar selama ini ternyata bukan kabar kosong belaka...? gumam Pendekar Bayangan Malaikat. "Sampai tua aku tidak akan menemukan apa-apa Sebaiknya kucari akal lain...!" gerutu laki-laki berbaju putih ini.

Laki-laki dari Gunung Dieng itu kemudian berbalik dan menelusuri pinggiran tebing lembah. Sampai di satu tempat, tiba-tiba saja langkahnya berhenti. Tatapan matanya memandang ke arah bagian samping kanan, dimana terlihat sebuah pemandangan yang cukup menyeramkan.

Pohon-pohon tampak porak-poranda. Tampaknya, seperti telah terjadi pertempuran disitu. Pendekar Bayangan Malaikat bergerak mendekat sambil meneliti. Dan laki-laki tua itu lebih terkejut lagi, ketika melihat lima mayat berseragam pengawal kerajaan bergeletakan tumpang tindih.

"Ya, Tuhan! Apa yang telah terjadi disini?" desis Pendekar Bayangan Malaikat.

TUJUH

Pendekar Bayangan Malaikat menumpahkan seluruh perhatiannya kearah sosok tubuh berbaju putih lusuh. Melihat keadaannya, tampak jelas kalau sosok yang terkapar dekat akar pohon, bukan kawan orang-orang yang berpakaian pengawal. Karena badannya tertelungkup, maka Pendekar Bayangan Malaikat tidak dapat mengenali.

"Dia pasti sudah tewas! Namun tidak salah jika aku memeriksanya," gumam laki-laki berbaju putih ini, seraya menghampiri.

Setelah tubuh yang menelungkup itu ditelentangkan, maka terkejutlah Pendekar Bayangan Malaikat. "Raja Pembual!" pekik Pendekar Bayangan Malaikat terkejut bukan main.

Laki-laki tua berbaju putih itu segera berjongkok. Langsung diperiksanya keadaan luka di tubuh Raja Pembual yang telah kaku menjadi mayat. "Dia seperti terbunuh oleh senjatanya sendiri!" sentak tokoh dari Gunung Dieng ini seakan tidak percaya. "Para pengawal itu pastilah Raja Pembual yang telah membunuhnya. Tapi siapa yang telah membunuhnya?"

Belum sempat Pendekar Bayangan Malaikat berpikir lebih lanjut, mendadak...

Wus! Slap!

Tiba-tiba Pendekar Bayangan Malaikat dikejutkan oleh suara mendesing dari arah belakang.

"Pembokong pengecut!" teriak Pendekar Bayangan Malaikat sambil mengibaskan tangannya yang telah teraliri tenaga dalam kearah datangnya suara tadi.

Seketika angin kencang laksana topan menderu kearah datangnya senjata rahasia yang meluncur deras ke arah Pendekar Bayangan Malaikat. Senjata rahasia berupa bintang segi empat tertahan di udara. Bahkan ketika Pendekar Bayangan Malaikat mengebutkan tangannya kembali, senjata yang mengambang di udara ini berbalik menyerang ke arah pemiliknya.

"Hih...! Uts!"

Terdengar seruan terkejut yang disertai melesatnya dua sosok bayangan putih loreng-loreng kearah Pendekar Bayangan Malaikat. Laki-laki dari Gunung Dieng itu secepat kilat berbalik arah. Dan dia segera melihat kehadiran dua orang laki-laki bertampang angker bersenjata tombak bermata tiga.

Sedangkan yang satunya lagi bersenjata pedang pendek. Sekali melihat saja Pendekar Bayangan Malaikat sudah tahu kalau mereka ini tidak lain adalah orang-orang dari Istana Goa Darah.

"Kalian pasti tokoh-tokoh dari Istana Goa Darah!" dengus Pendekar Bayangan Malaikat sambil melolos senjata andalannya berupa rantai panjang yang diganduli bola baja berduri. "Coba katakan, siapa yang telah membunuh Raja Pembual, sahabatku!"

Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah saling berpandangan. Kemudian, menggemalah suara tawa mereka. Sehingga, membuat Pendekar Bayangan Malaikat menjadi sangat marah.

"Rupanya kalian para iblis yang ingin mencari mampus!" bentak Pendekar Bayangan Malaikat gusar.

Iblis Wajah Sebelah maju kedepan. "Sobat! Bukankah kau yang berjuluk Pendekar Bayangan Malaikat?" tanya laki-laki yang sebagian wajahnya dibaluri darah mengering. Nada suaranya sengaja diramah-tamahkan.

Pendekar Bayangan Malaikat jika tidak melihat kematian kawannya, tentu ikut bersikap ramah. Bahkan mungkin pula terjebak oleh mulut manis Iblis Wajah Sebelah. Tapi, sekarang suasananya benar-benar telah berubah. Kematian Raja Pembual baginya sudah cukup sebagai bukti, bahwa apa pun tujuan undangan yang diterimanya dari ratu Istana Goa Darah, segera akan berakhir dengan pembunuhan keji.

"Kalau benar, kau mau apa? Dan kalau tidak mau apa?" dengus laki-laki berbaju putih ini ketus.

Iblis Wajah Sebelah menyeringai. "Kalau kau memang benar Pendekar Bayangan Malaikat Gunung Dieng, Gusti Ratu kami telah menunggu kedatanganmu!" tegas tokoh ketiga Istana Goa Darah.

"Benar! Ratu kami telah menunggu kedatanganmu," dukung Hantu Pencabut Nyawa.

"Siapa bisa percaya dengan kata-kata manusia iblis!" bentak Pendekar Bayangan Malaikat.

"Mengapa kau berkata begitu?" tanya Iblis Wajah Sebelah, sambil berusaha menahan amarahnya.

"Agar kalian tahu! Raja Pembual adalah manusia polos. Dia sama sekali tidak pernah peduli kelicikan orang lain. Jika sampai tewas di tempat ini, jelas pembunuhnya tidak lain adalah kalian sendiri!" tegas tokoh dari Gunung Dieng ini berapi-api.

Wajah mereka yang tertutup darah kering itu tampak memerah. Jelas tidak ada cara lain untuk menjebak Pendekar Bayangan Malaikat terkecuali membunuhnya secara terang-terangan.

"Jadi, kau benar-benar tidak mau mengikuti kehendak kami!" desis Hantu Pencabut Nyawa, di ngin.

"Siapa yang sudi ikut?! Justru kedatanganku kemari, semata-mata karena ingin membunuh seluruh penghuni Istana Goa Darah!" sentak Pendekar Bayangan Malaikat.

"Begitukah?" gumam Hantu Pencabut Nyawa, tersenyum mengejek. "Apakah kau kira dapat keluar dari tempat ini dengan selamat?"

"Tentu saja! Karena kedatanganku kemari semata-mata ingin menghancurkan Istana Goa Darah dan seluruh penghuninya!" dengus Pendekar Bayangan Malaikat.

Melihat kenyataan ini, Iblis Wajah Sebelah segera menganggukkan kepala sebagai tanda untuk melakukan serangan.

"Hiyaaa...!"

Laksana kilat, Hantu Pencabut Nyawa melesat kedepan sambil melepaskan satu jotosan berisi tenaga dalam penuh. Ketika angin kencang berhembus menyertai berkelebatnya tubuh Hantu Pencabut Nyawa, segera tercium bau busuk bangkai yang terasa menyesakkan dada.

Namun Pendekar Bayangan Malaikat cepat menggeser langkahnya kesamping kiri dua tindak. Kemudian dikerahkannya jurus Sembilan Langkah Ajaib, salah satu jurus menghindar yang juga bisa melakukan serangan balik.

Serangan berupa jotosan yang mengarah pada bagian wajah Pendekar Bayangan Malaikat, mengenai tempat kosong. Bahkan tangan kanan laki-laki berbaju putih berikat kepala merah ini segera terjulur, dan langsung menangkap pergelangan tangan Hantu Pencabut Nyawa. Selanjutnya, tangan kirinya yang setengah menekuk menghantam dada dengan telak sekali.

Buk!

"Hukh!" Hantu Pencabut Nyawa mengeluh tertahan. Bahkan kembali satu tendangan kaki Pendekar Bayangan Malaikat menghantam perutnya.

Des!

"Akh...?!" Sambil menjerit kesakitan Hantu Pencabut Nyawa jatuh terguling-guling. Dari mulutnya langsung menyembur darah kental. Dan dengan susah payah, dia berusaha bangkit berdiri.

Melihat kawannya dapat dibuat jatuh bangun hanya dalam dua gebrakan saja, Iblis Wajah Sebelah tampak marah sekali. Maka dengan mengandalkan jurus Tipuan Iblis, laki-laki berbaju putih bersimbah darah ini langsung melompat ke depan. Kedua tangannya yang berbentuk cakar dan berwarna hitam, menghantam kedada Pendekar Bayangan Malaikat.

Namun masih dengan mempergunakan jurus Seribu Bayang-Bayang, Pendekar Bayangan Malaikat segera menyambut datangnya serangan. Tubuhnya cepat melenting keudara. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya melesat lagi ke bawah dengan satu hantaman bola baja berduri kebagian dada Iblis Wajah Sebelah.

"Heh?!" Terdengar seruan kaget. Tokoh ketiga dari Istana Goa Darah ini terpaksa menarik balik serang annya, dan menjatuhkan diri sambil terus berguling-guling menyelamatkan diri dari sambaran senjata bola berduri.

Glar! Glar!

Terdengar ledakan berturut-turut pada saat senjata ditangan Pendekar Bayangan Malaikat menghantam tanah berbatu, di sebelah Iblis Wajah Sebelah. Sementara dengan muka berubah pucat seputih kertas, Iblis Wajah Sebelah bangkit berdiri.

"Mari kita bantai manusia sinting ini beramai-ramai, Sobatku!" teriak Hantu Pencabut Nyawa pada Iblis Wajah Sebelah.

Sret!

Segera Hantu Pencabut Nyawa mencabut pedang pendeknya yang berwarna merah darah.

Bet!

"Heaaa...!" Sambil berteriak nyaring, Hantu Pencabut Nyawa mengibaskan senjata di tangannya kearah dada Pendekar Bayangan Malaikat. Tapi serangan mempergunakan senjata beracun itu segera terhalang oleh senjata bola baja berduri yang mengeluarkan suara menderu-deru.

Trak!

Tubuh Hantu Pencabut Nyawa tergetar hebat, ketika pedang ditangannya membentur bola berduri di tangan Pendekar Bayangan Malaikat. Bunga api tampak memijar. Sementara Pendekar Bayangan Malaikat sendiri sempat tersentak kaget.

"Hiyaaa...!"

Saat itu juga dari arah lain Iblis Wajah Sebelah yang telah mengeluarkan senjatanya yang berupa tombak pendek bermata tiga, mengirimkan satu tusukan kebagian lambung Pendekar Bayangan Malaikat.

Laki-laki dari Gunung Dieng ini sadar betul betapa berbahayanya senjata di tangan Iblis Wajah Sebelah ini. Untuk itu, dia melompat mundur sejauh tiga langkah kebelakang. Kemudian, bola baja berduri yang berantai panjang diputar sedemikian rupa, membentuk perisai.

Wus! Wus!

"Gila!" maki Iblis Wajah Sebelah sambil menyodokkan tombak pendek bermata tiga di tangannya. Namun dengan gesit, Pendekar Bayangan Malaikat berkelit. Tapi, terlambat. Karena....

Cras!

"Akh...?!" Laki-laki berbaju putih ini terpekik, begitu bahunya sempat tergores ujung tombak Iblis Wajah Sebelah. Namun pekikannya segera melenyap. Walaupun bahunya telah mengucurkan darah dan menimbulkan rasa sakit sangat luar biasa, dia tetap juga mengayunkan senjata ditangannya begitu cepat ke arah bahu Iblis Wajah Sebelah. Dan....

Wus! Crak!

"Hugkh!" Iblis Wajah Sebelah tampak terhuyung-huyung begitu bola berduri Pendekar Bayangan Malaikat sempat mendarat di bahunya. Bajunya yang terobek besar mengalirkan darah kental.

Kedua laki-laki ini sama-sama melompat mundur ke belakang sejauh tiga batang tombak. Namun dari arah lain, Hantu Pencabut Nyawa yang merasa penasaran, telah melepaskan satu pukulan dahsyat jarak jauh kearah Pendekar Bayangan Malaikat.

Seketika seleret sinar berwarna hitam pekat dan menebar baru busuk bangkai langsung melesat ke arah Pendekar Bayangan Malaikat. Udara di sekitarnya terasa dingin menyesakkan dada. Pendekar Bayangan Malaikat terkesiap, namun cepat mengerahkan tenaga dalamnya. Dia bersiap siap melepaskan pukulan Bakti Malaikat Putih.

Maka seketika tangan tokoh dari Gunung Dieng ini dikibaskan ke depan, dua leret sinar putih menyilaukan mata langsung menderu disertai gelombang angin kencang yang sangat panas menghanguskan.

Glar!

Terjadi benturan yang sangat dahsyat disertai ledakan dahsyat menggelegar. Suasana disekitar pertempuran menjadi porak-poranda. Pohon-pohon bertumbangan dan terbakar. Sementara Hantu Pencabut Nyawa dan Pendekar Bayangan Malaikat sama-sama terpelanting roboh. Dari mulut masing-masing tampak mengucur darah kental. Hantu Pencabut Nyawa bahkan merasa dadanya seperti remuk.

Sementara itu, Pendekar Bayangan Malaikat sudah bangkit berdiri. Dengan mulut menyeringai menahan sakit dibagian bahunya, dia segera menghadapi serangan-serangan ganas Iblis Wajah Sebelah yang bahunya telah terluka, terkena sabetan bola berduri Pendekar Bayangan Malaikat.

"Uts! Setan...!" dengus Pendekar Bayangan Malaikat ketika melihat tombak pendek bermata tiga di tangan Iblis Wajah Sebelah sudah menyodok ke bagian perutnya.

"Hiya...!" Pendekar Bayangan Malaikat berteriak nyaring. Tubuhnya langsung melenting keudara. Sementara seperti anak panah terlepas dari busurnya, Iblis Wajah Sebelah telah mengejarnya. Masih sama-sama berada diudara, Iblis Wajah Sebelah mengibaskan tombak ditangannya yang menimbulkan angin kencang.

Pendekar Bayangan Malaikat menarik kakinya yang menekuk dalam-dalam. Sehingga, serangan Iblis Wajah Sebelah luput. Lalu laksana kilat, rantai besi berujung bola baja berduri diayunkan ke arah Iblis Wajah Sebelah.

Iblis Wajah Sebelah tampak sudah tidak mungkin menghindari serangan yang tidak terduga. Walaupun telah berusaha menghindari, tapi gerakan meluncur Pendekar Bayangan Malaikat terasa lebih cepat lagi. Akibatnya...

Wus!

Cras!

"Akh...!" Iblis Wajah Sebelah berteriak melengking kesakitan. Sebagian wajahnya yang terkena sambaran bola baja berduri tampak hancur mengucurkan darah. Sebelah matanya bahkan keluar dari dalam rongganya.

Iblis Wajah Sebelah meraung-raung seperti orang gila. Dan tanpa menghiraukan keadaan dirinya sendiri, dia menerjang kearah Pendekar Bayangan Malaikat secara membabi buta.

Pada saat itu, Pendekar Bayangan Malaikat sendiri mulai merasakan pengaruh racun akibat tusukan tombak ditangan Iblis Wajah Sebelah tadi. Tubuhnya tampak terhuyung-huyung, dan pandangan matanya jadi berkunang-kunang. Walau begitu, dia masih mampu menghindari serangan membabi buta yang dilakukan Iblis Wajah Sebelah.

Bet! Slap!

Tokoh dari Gunung Dieng ini memiringkan tubuhnya ke kiri. Maka tombak Iblis Wajah Sebelah yang menusuk ke bagian leher lewat hanya setengah jengkal. Dan seketika itu pula, Pendekar Bayangan Malaikat menghantamkan rantai bola berduri ditangannya ke bagian perut Iblis Wajah Sebelah. Begitu cepat gerakannya, sehingga...

Bret!

"Aaa...!" Iblis Wajah Sebelah berteriak setinggi langit, begitu bola berduri Pendekar Bayangan Malaikat menghajar telak perutnya. Tubuhnya mengejang. Isi perutnya terburai keluar disertai cucuran yang tidak ada henti-hentinya. Senjata Iblis Wajah Sebelah terlepas dari tangan. Tubuhnya tersungkur ke depan, lalu terdiam untuk selama-lamanya.

Hantu Pencabut Nyawa tampak terkejut melihat kematian kawannya. Dia segera melompat ke depan dengan senjata terhunus di tangan kanan.

Pendekar Bayangan Malaikat sendiri saat ini makin merasakan hebatnya pengaruh racun yang mengeram di tubuhnya. Pandangan matanya berubah menjadi gelap. Kemudian, dia jatuh terjengkang tidak sadarkan diri.

Hantu Pencabut Nyawa langsung tergelak-gelak melihat Pendekar Bayangan Malaikat roboh pingsan. Pedang pendek ditangannya yang berwarna merah darah, diangkatnya tinggi-tinggi ke udara.

"Aku baru merasa puas setelah mencincang tubuhmu, Pendekar Bayangan Malaikat! Hiyaaat...!" teriak Hantu Pencabut Nyawa.

Tubuh Hantu Pencabut Nyawa melesat kedepan dengan pedang terangkat tinggi-tinggi itu ke jantung Pendekar Bayangan Malaikat yang tergolek tidak sadarkan diri.

Namun di tengah saatsat yang sangat menegangkan, tiba-tiba menderu angin kencang seperti topan, menahan gerakan Hantu Pencabut Nyawa di udara. Tidak lama kemudian, dari arah datangnya angin kencang tadi tampak berkelebat dua sosok bayangan putih dan hitam.

Sosok bayangan hitam langsung menyambar tubuh Pendekar Bayangan Malaikat. Sedangkan sosok bayangan putih langsung menghantam dada Hantu Pencabut Nyawa. Belum hilang keterkejutan Hantu Pencabut Nyawa, tahu-tahu satu pukulan yang sangat keras menghantam dadanya.

Des!

"Aaakh...!" Laki laki ini terbanting keras menghantam pohon di belakangnya. Pohon sebesar pelukan orang dewasa itu tumbang menimbulkan suara gaduh.

"Hugkh!" Hantu Pencabut Nyawa merintih kesakitan. Dengan tertatih-tatih dia berusaha bangkit berdiri. Perlahan matanya memandang ke depan. Dan tahu-tahu, di situ telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan berompi putih yang menatap dingin.

Hantu Pencabut Nyawa terkejut bukan main. Terlebih-lebih setelah melihat Ki Subrata juga telah hadir di situ, memberi pertolongan pada Pendekar Bayangan Malaikat yang keracunan. Untuk menutupi rasa terkejutnya, Hantu Pencabut Nyawa langsung tertawa terbahak-bahak.

"Akhirnya kau datang juga memenuhi undangan kami, Pendekar Rajawali Sakti! Tapi jika beberapa waktu yang lalu kau dapat meloloskan diri, maka sekarang jangan harap lagi!" dengus Hantu Pencabut Nyawa sambil menyeringai mengejek.

"Hm. Bicaralah sesukamu! Aku pun telah siap menghadapimu sampai titik darah terakhir!" desis Rangga, dingin.

"Lihat serangan!" teriak Hantu Pencabut Nyawa. Tubuh laki-laki yang selalu menebar bau busuk mengganggu pernapasan ini melesat ke depan. Pedang merah di tangannya mengibas ke depan, sambil menyodok kebagian perut Pendekar Rajawali Sakti.

Saat itu juga, Rangga meliukkan tubuhnya, mempergunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Ini adalah salah satu jurus yang sering dipergunakan Rangga, untuk memancing dan mengamati tingkat kepandaian lawan.

"Setan keparat!" geram Hantu Pencabut Nyawa begitu melihat serangan-serangan gencar yang dilakukannya luput dari sasaran.

Dengan perasaan jengkel, Hantu Pencabut Nyawa segera mengerahkan jurus pedang Perangkap Iblis. Salah satu jurus paling dahsyat, yang diwariskan Dewi Kemuning Penguasa Istana Goa Darah.

Jurus jurus yang dimainkan Hantu Pencabut Nyawa tampak berubah menyolok. Pedang ditangannya menderu-deru, mencecar pertahanan Rangga. Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti memuji kehebatan jurus andalan yang dimainkan lawannya. Tapi berkat jurus Sembilan Langkah Ajaib, semua serangan yang sangat gencar masih dapat dipatahkan.

"Hiya!"

Wut! Slap!

"Curang!" teriak Rangga.

Saat itu Pendekar Rajawali Sakti melihat, sambil menyerang dengan pedang pendeknya. Hantu Pencabut Nyawa juga melemparkan senjata rahasianya yang berupa bintang segi empat.

Rangga terpaksa melenting ke udara. Maka serangan senjata rahasia itu luput, dan terus menderu. Kemudian senjata rahasia itu menghantam beberapa batang pohon yang terdapat dibelakang Rangga.

DELAPAN

Menyadari kalau serangan senjata rahasia sia-sia saja, Hantu Pencabut Nyawa segera melepaskan pukulan dahsyat ke arah Pendekar Rajawali Sakti dengan hentakan kedua tangannya. Seketika seleret sinar hitam berbau busuk menyesakkan melesat cepat seperti kilat kearah pemuda berompi putih ini. Ki Subrata yang melihat serangan keji ini, langsung berteriak memberi peringatan.

"Awas, Rangga!"

Namun Pendekar Rajawali Sakti rasanya tidak perlu diberi peringatan lagi. Karena saat itu juga dia telah melepaskan Pukulan Maut Paruh Rajawali. Kedua telapak tangannya yang telah berwarna merah seperti bara, langsung didorongkan ke depan. Seketika seleret sinar merah melesat dari telapak tangan Rangga, langsung memapak sinar hitam yang melesat dari telapak tangan Hantu Pencabut Nyawa. Dan...

Glar! Glar!

"Akh...!" Untuk kedua kalinya, terdengar jeritan Hantu Pencabut Nyawa. Tubuhnya kontan hangus terbakar terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang dikerahkan pada tingkat terakhir. Bahkan Hantu Pencabut Nyawa juga terkena pukulannya sendiri yang membalik.

Rangga sendiri sempat jatuh terguling-guling. Bagian dadanya berdenyut-denyut nyeri. Namun pemuda berompi putih ini cepat duduk bersila dengan sikap semadi. Kemudian disalurkannya hawa murni ke bagian dada. Sehingga, rasa sesak itu hilang dengan sendirinya.

Tidak lama Pendekar Rajawali Sakti sudah bangkit berdiri. Matanya memandang dingin kearah tubuh Hantu Pencabut Nyawa yang tergeletak tanpa nyawa, tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Hm... Kurasa sekarang para pembantu Dewi Kemuning sudah tidak ada lagi! Aku masih tidak tahu, bagaimana caranya memancing Penguasa Istana Goa Darah keluar dari singgasananya?" gumam Rangga.

Beberapa saat kemudian Pendekar Rajawali Sakti sudah menghampiri Ketua Padepokan Pedang Bayangan yang baru saja selesai membalut luka-luka di tubuh Pendekar Bayangan Malaikat.

"Bagaimana keadaannya, Ki...?" tanya Rangga, seraya duduk di samping Ki Subrata. Diperhatikannya Pendekar Bayangan Malaikat yang masih belum sadarkan diri.

"Untung kita cepat datang. Jika tidak, nyawanya pasti tidak akan tertolong!" jelas Ki Subrata.

"Syukurlah jika Ki Subrata telah menolongnya. Lebih baik kita sembunyikan Pendekar Bayangan Malaikat ini kesebuah tempat yang aman!" usul Rangga.

"Tidak perlu!" sergah Ki Subrata. "Sebentar lagi, dia pasti sadar kembali. Satu hal yang harus kita lakukan sekarang ini adalah, memanggil Dewi Kemuning keluar dari istananya."

"Tapi, bagaimana caranya, Ki?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Sebagai bekas istriku tentu saja aku tahu dasar-dasar ilmu sesat yang dimilikinya. Kau lihat mayat Hantu Pencabut Nyawa dan mayat Iblis Wajah Sebelah?" tanya Ki Subrata, sambil memandang kearah kedua mayat itu.

"Apa hubungannya dengan mayat-mayat itu?" desah Rangga, semakin bingung.

"Tentu saja ada hubungannya. Dewi Kemuning tentu saja mempunyai pertalian batin dengan semua orang-orang kepercayaannya," tambah Ki Subrata pelan.

Tanpa bicara apa-apa, Ketua Padepokan Pedang Bayangan segera bangkit berdiri. Kakinya melangkah mendekati mayat Hantu Pencabut Nyawa. Rangga memperhatikan semua tingkah Ki Subrata dengan tatapan tidak mengerti. Ki Subrata memungut pedang pendek milik Hantu Pencabut Nyawa. Pedang itu kemudian dikibaskan kebagian leher mayat Hantu Pencabut Nyawa.

Cras!

Sekali tebas, maka kepala Hantu Pencabut Nyawa menggelinding terpisah dari badan. Bersamaan dengan itu, terdengar jerit seorang perempuan yang seakan datang dari sebuah tempat yang sangat jauh. Lalu, jeritan itu disusul oleh terdengarnya suara gemuruh yang berasal dari pintu goa di seberang lembah.

Rangga ternganga melihat keanehan ini. Rupanya, Ki Subrata begitu banyak mengetahui kekuatan yang dimiliki bekas istrinya.

Di seberang lembah, tampak pintu goa terbuka dengan sendirinya. Lalu terlihat tiga leret sinar merah biru melesat keseberang lembah. Sinar itu memipih, membentuk sebuah jembatan. Itulah Jembatan Gaib Penghubung Sukma.

"Lihatlah kearah itu, Rangga! Ratu Istana Goa Darah sebentar lagi segera keluar!" jelas Ki Subrata, yang telah bergabung lagi bersama Rangga.

Apa yang dikatakan Ki Subrata ternyata memang benar. Dari dalam Istana Goa Darah, tampak keluar seorang perempuan cantik berpakaian ketat, memakai tiga buah tusuk konde diatasnya. Tidak jauh di belakangnya tampak mengiringi lebih kurang sepuluh orang pengawal bersenjata lengkap.

Pendekar Rajawali Sakti yang melihat semua itu jadi mengerutkan keningnya. Tatapan matanya tidak berkedip sedikit pun, saat melihat Penguasa Istana Goa Darah menyeberangi jembatan.

"Menurut Ki Subrata, bekas istrinya itu telah berusia enam puluh tahun. Tapi kenyataan yang kulihat, perempuan itu seperti baru berumur sembilan belas tahun!" kata Rangga dalam hati.

"Tidak usah heran, Rangga. Dia tetap tampak cantik, karena telah mengambil sari hidup laki-laki yang ditidurinya. Kurasa kedua muridku saat ini telah menjadi seorang kakek renta!" desah Ki Subrata, ketika melihat keheranan Rangga.

Ketika itu, Dewi Kemuning telah sampai di seberang lembah bersama sepuluh orang pengawalnya. Dia tampak terkejut melihat kehadiran Ki Subrata dan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kkk..., kau rupanya...!" desis Dewi Kemuning, begitu tiba dekat Ki Subrata dan Rangga berdiri. Sementara sepuluh orang pengawal langsung mengurung Rangga dan Ki Subrata.

"Kau pasti heran, mengapa aku dapat mengetahui rahasiamu, bukan?" pelan suara Ki Subrata.

"Jadi, kaulah yang telah memancingku keluar dengan cara memenggal leher orang kepercayaanku!" sentak Dewi Kemuning, penuh permusuhan.

"Benar! Karena hanya dengan cara itulah, kau baru mau keluar dari tempat persembunyianmu!" sahut Ki Subrata, tidak kalah sengit.

"Kejahatan yang kau lakukan melebihi iblis, Nisanak!" Rangga menimpali.

Dewi Kemuning mengalihkan pandangan pada Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tidak jauh di sebelah Ki Subrata.

"Mulutmu terlalu lancang! Kau memanggilku Nisanak. Apakah kau tidak tahu, kalau aku seorang ratu yang sangat dihormati!" bentak Dewi Kemuning berapi-api.

Rangga hanya tersenyum mencibir. "Kau hanya ratu cabul yang mempunyai rencana muluk untuk menguasai seluruh rimba persilatan! Apakah kau layak dihormati?" sahut Rangga kalem.

Semakin bertambah memerah wajah Dewi Kemuning yang cantik ini. "Kau manusia keparat yang harus mampus didaerah kekuasaanku ini! Pengawal! Bunuh mereka...!" perintah Dewi Kemuning pada sepuluh orang pengawal yang menyertai.

Sepuluh orang pengawal langsung menyerbu Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Subrata. Senjata di tangan mereka menderu-deru. Beberapa batang tombak bahkan telah menghantam dada dan perut Rangga. Sementara, Ki Subrata sendiri tampak sibuk menghadapi serangan para pengawal yang bersenjata pedang berwarna hitam.

Pada umumnya, para pengawal yang menyerang Rangga dan Ki Subrata memiliki kepandaian tinggi. Tapi sebaliknya, Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Subrata memiliki kesaktian yang sangat sulit dijajaki. Jadi walaupun serangan para pengawal itu cukup ganas dan berbahaya, sampai lima belas jurus pun mereka belum mampu mendesak.

Bahkan Pendekar Rajawali Sakti sekarang tampak melenting ke udara. Tubuhnya berputar ke atas. Dan ketika bergerak meluncur ke bawah, pemuda berompi putih ini sudah mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Mengejar Mangsa'. Dan tiba-tiba kakinya dengan telak menghantam kepala lawan-lawannya.

Des!

Prak!

"Aaa...!"

Tiga orang pengawal bersenjata tombak menjerit keras. Kepala mereka pecah terhantam kaki Pendekar Rajawali Sakti. Darah kontan mengucur dari bagian kepala yang remuk. Tidak ayal lagi, tubuh mereka yang bermandi darah ambruk ketanah tanpa mampu bergerak lagi.

Dewi Kemuning terkejut setengah mati Matanya terbelalak lebar. Seakan dia tidak percaya melihat kenyataan kalau dalam waktu yang sangat singkat para pengawalnya telah bergelimpangan roboh.

Sementara itu, Ki Subrata rupanya juga telah mengeluarkan pedang pusakanya dalam menghadapi gempuran ganas yang dilancarkan lima orang pengawal bersenjata pedang.

"Hiya!"

Bet!

Sambil berteriak keras, Ki Subrata mengebutkan pedang ditangannya. Selama ini, Padepokan Pedang Bayangan sangat dikenal dan disegani baik oleh kawan maupun lawan, karena kecepatannya dalam mempergunakan pedang. Apalagi, saat ini Ki Subrata telah mengerahkan jurus pedang 'Menyibak Awan Menyongsong Hujan'. Pedang ditangannya menderu. Terkadang menyodok ke bagian perut, atau menebas kebagian leher. Tak jarang, juga membabat ke arah tulang rusuk.

Mati-matian kelima pengawal ini mempertahankan diri. Setelah Ki Subrata mengeluarkan pedangnya, maka tidak sekalipun para pengawal Ratu Dewi Kemuning dapat membalas. Beberapa saat kemudian, bahkan pedang ditangan Ki Subrata mulai mengambil korban secara berturut-turut.

Cras! Cras!

"Aaa...!"

Tiga orang pengawal roboh dengan perut menyembur darah. Tidak sampai di situ saja. Bahkan Ki Subrata bergerak cepat, menghadang dua pengawal lainnya. Pedang ditangannya berkelebat menimbulkan angin dingin menggidikkan. Dua pengawal terkesiap. Mereka cepat menghentakkan pedang, menangkis pedang ditangan orang tua berbaju hitam ini.

Trang!

"Uts! Kurang ajar!" maki pengawal itu, ketika melihat pedangnya patah menjadi dua bagian. Belum sempat dia berbuat sesuatu, pedang di tangan Ki Subrata berkelebat membabat leher.

Bret! Cres!

"Hugkh...!"

Dua orang pengawal lagi roboh bermandikan darah. Pada saat yang sama pula, tidak jauh di sebelah Ki Subrata terdengar jeritan kematian para pengawal yang menyerang Rangga. Tubuh para pengawal itu berkelojotan meregang ajal, lalu terdiam untuk selama-lamanya.

Dewi Kemuning terkesiap melihat seluruh pengawalnya tewas dalam keadaan sangat menyedihkan. "Setan...!" geram Penguasa Istana Goa Darah.

"Tidak perlu marah-marah, Perempuan Pelacur!" dengus Ki Subrata. Laki-laki itu tiba-tiba melompat kedepan, langsung berdiri tegak sambil menyilangkan senjata di depan dada.

Rangga terkejut melihat kenekadan Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini. Tapi untuk mencegah, takut menyinggung perasaan Ki Subrata. Mau tidak mau didiamkan saja orang tua itu sambil bersikap waspada menjaga setiap kemungkinan.

"Karena ulahmu telah membocorkan hampir seluruh rahasia yang kumiliki, maka kau harus menebusnya dengan nyawa!" teriak Penguasa Istana Goa Darah.

"Hm...!" gumam Ki Subrata tidak jelas.

Dewi Kemuning tiba-tiba merentangkan kedua tangannya diatas kepala. Bibirnya mendesis, dan tampak berkomat-kamit seperti membaca sesuatu.

Ki Subrata sadar, perempuan itu bersiap-siap mengerahkan kekuatan gaibnya. Maka tanpa menunggu lagi, langsung dia melompat kedepan sambil menusukkan pedang ke perut Dewi Kemuning.

Tapi sungguh mengejutkan. Dengan gerakan meliuk sangat aneh, pedang itu dapat dihindari Dewi Kemuning. Bahkan ketika berbalik Dewi Kemuning sudah menghantam punggung Ki Subrata.

Buk!

"Aaakh...!" Akibatnya Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini jatuh tersungkur. Tulang punggungnya terasa seperti remuk. Sehingga, membuat Ki Subrata merasa sulit untuk bangkit berdiri.

"Mampuslah kau, Tua Bangka!" teriak Dewi Kemuning sambil mengibaskan pedang pendek berwarna merah darah di tangannya.

Ki Subrata tidak dapat lagi menghindari serangan yang sangat ganas ini. Namun pada saat-saat yang menegangkan, Pendekar Rajawali Sakti telah melompat kedepan sambil menghentakkan tangannya.

"Aji 'Guntur Geni'?! Hiyaaa...!"

Seleret sinar merah dari tangan Pendekar Rajawali Sakti yang disertai suara menggeledek, menyambar tubuh Dewi Kemuning. Perempuan cantik ini terperanjat. Namun, dengan cepat dia berusaha melompat menghindari pukulan yang meluruk kearahnya. Namun walau telah berusaha menghindar, tetap saja tubuh Dewi Kemuning tersambar pukulan Pendekar Rajawali Sakti.

Glar!

"Hugkh...!" Dewi Kemuning memekik kaget, bersamaan terdengarnya suara ledakan dahsyat. Tubuhnya terus terguling-guling. Tapi sungguh luar biasa kehebatan perempuan ini. Jangankan tubuhnya. Sedangkan pakaiannya saja, tidak hangus sedikitpun.

Sekarang, giliran Rangga yang dibuat terperangah. "Dia benar-benar manusia iblis yang memiliki kesaktian luar biasa sekali," kata batin Rangga.

"Hi hi hi...! Keluarkan seluruh kepandaian yang kau miliki, Pendekar Rajawali Sakti...!" dengus Dewi Kemuning sambil terus tertawa terbahak bahak, setelah bangkit berdiri.

"Hm...!" Rangga menggumam tidak jelas. Sekarang, ingatlah Pendekar Rajawali Sakti dengan kata-kata Ki Subrata, tentang rahasia kelemahan Dewi Kemuning. Dia harus mencabut konde emas yang terselip diatas sanggul Dewi Kemuning. Karena, sanggul itulah pusat seluruh kekuatan gaib dan kesaktiannya.

"Hiya!" Rangga tiba-tiba melompat ke depan. Tepat pada saat itu, Dewi Kemuning juga sedang mengibaskan pedang pendeknya ke dada Rangga.

Bet!

Rangga berkelit menghindar sambil melepaskan satu tendangan kebagian perut Dewi Kemuning. Tapi, perempuan ini ternyata sangat licik. Sengaja pinggulnya digoyangkan sambil meliuk-liukkan sekujur tubuhnya, membentuk gerakan sangat merangsang. Itulah salah satu jurus 'Tarian Bidadari', dari sekian jurus yang dimiliki Penguasa Istana Goa Darah.

Sesaat Rangga memang sangat terkesiap. Darahnya seakan berhenti mengalir, ketika melihat gerakan wanita ini yang sangat mendebarkan dada. Namun secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan hawa murninya. Bahkan laksana kilat, Pedang Pusaka Rajawali Sakti segera dicabut dari warangkanya.

Cring! Bet!

Dewi Kemuning langsung terkesiap, ketika melihat Pedang Pusaka Rajawali Sakti di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru menyilaukan mata. Dan lebih kaget lagi, ketika Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus andalan terakhir dari seluruh jurus yang dikuasainya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewi Kemuning langsung memutar pedang ditangannya sambil melancarkan serangan-serangan yang sangat ganas. Namun kenyataannya. Penguasa Istana Goa Darah ini seperti hilang semangat bertarungnya. Bahkan dia merasa jiwanya seperti terpecah-pecah.

"Keparat!" maki Dewi Kemuning ketika menyadari kalau semangatnya seperti hilang begitu saja. Dan dia tidak tahu kalau itu adalah akibat pengaruh jurus 'Pedang Pemecah Sukma' milik Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiya!" Dewi Kemuning berusaha mengempos semangatnya, kemudian melompat ke depan. Lalu, senjata di tangannya dikibaskan ke bagian dada Rangga. Namun, pemuda berompi putih itu sudah menggeser langkahnya kekanan, sejauh dua tindak. Bahkan pedangnya yang memancarkan cahaya biru menyilaukan itu cepat bergerak kedepan.

Trang!

"Ihhh...!" Dewi Kemuning memekik kaget begitu pedangnya berbenturan dengan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan tubuhnya terhuyung tak menentu.

"Kurang ajar!" Makian wanita itu pun segera terdengar, ketika melihat pedang pendeknya telah patah menjadi dua. Dalam keadaan termangu itulah, Pendekar Rajawali Sakti segera melesat keudara. Dan dengan mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Mengejar Mangsa', kaki kanannya menyambar kebagian kepala Dewi Kemuning.

Dewi Kemuning hanya sempat merasakan sambaran angin dingin menerpa rambutnya. Dan ketika Rangga menjejak tanah, ujung kakinya segera digerakkan kebagian tangan. Tiga buah tusuk konde emas sekarang telah berada dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti.

Melihat semua ini, Dewi Kemuning tampak kaget. Segera sanggulnya diraba. Dan wajahnya seketika berubah pucat seperti mayat, ketika menyadari tusuk konde miliknya telah berpindah tangan.

"Kembalikan! Pencuri busuk!" teriak Dewi Kemuning, sambil berusaha merampas tusuk konde di tangan Rangga.

Tapi, Pendekar Rajawali Sakti terus berkelit sambil mengibaskan pedangnya ke dada Dewi Kemuning. Secepat itu pula perempuan berwajah cantik ini mengurungkan niatnya. Dia melompat mundur ke belakang, sambil mencari cara untuk mendapatkan tusuk konde sakti miliknya.

"Kau tidak akan mendapatkannya, Dewi Kemuning!" desis Rangga, dingin.

Tiba-tiba tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah Dewi Kemuning. Gerakannya sangat cepat laksana kilat. Bahkan sinar biru tiba-tiba berkelebat menyambar.

Dewi Kemuning tidak sempat lagi menghindari serangan yang tidak disangka-sangka ini. Apalagi, perhatiannya saat ini tengah tertuju pada tusuk konde di tangan Rangga. Akibatnya...

Cras!

"Aaa...!" Diiringi jeritan melengking tinggi, tubuh Dewi Kemuning Penguasa Istana Goa Darah mengejang kaku dengan mata terbeliak. Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, Penguasa Istana Goa Darah itu ambruk menggelepar. Darah langsung memuncrat dan lehernya yang hampir putus terbabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Crek!

Rangga memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti kedalam warangka dibagian punggung dengan tatapan tetap tertuju pada mayat Dewi Kemuning. Dihembuskannya napas lega. Tapi...

"Heh?! Pendekar Rajawali Sakti terkejut setengah mati ketika melihat mayat Dewi Kemuning yang telah berubah menyusut, menimbulkan keriput di sana sini. Dewi Kemuning yang semula cantik menggiurkan berubah menjadi seorang nenek tua keriput berusia sama dengan Ki Subrata.

Teringat Ki Subrata, Rangga berpaling ke arah laki-laki tua berbaju hitam itu. Tapi, Ketua Padepokan Pedang Bayangan ternyata sudah tidak ada di tempat. Ketika Rangga melirik kebawah pohon, Pendekar Bayangan Malaikat yang tadi dalam keadaan pingsan juga sudah tidak ada. Dan mendadak saja...

"Kami terpaksa pergi tanpa pamit, Rangga! Ki Subrata juga perlu diobati. Hitung-hitung, aku membayar hutang padanya. Kau sendiri, silakan pandangi mayat nenek cantik yang kau bunuh itu!"

Sayup-sayup, Pendekar Rajawali Sakti mendengar suara Pendekar Bayangan Malaikat dari kejauhan. Dan Rangga hanya menggelengkan kepala berulang-ulang. Kemudian tubuhnya berbalik, dan terus melanjutkan perjalanan kearah matahan terbit.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA:
PEMUAS NAFSU IBLIS

Istana Goa Darah

ISTANA GOA DARAH

SATU
HAMPIR seharian penuh, tiga orang penunggang kuda berbulu putih menempuh perjalanan. Ketiga kuda itu tampaknya sudah sangat letih. Air liurnya tampak menetes dari mulut yang terbuka. Tapi para penunggangnya yang berbaju hitam dan rata-rata berumur sekitar tiga puluh tahun, tampaknya tidak peduli. Mereka terus menggebah kuda tunggangan yang sudah sangat kelelahan.

Beberapa kali terdengar ringkikan lemah. Sementara ke empat kaki kuda yang semula kokoh, sudah mulai terseok-seok. Tak lama, kuda putih yang berada di depan tersungkur roboh. Namun dengan gesit penunggangnya melenting ke udara dan bersalto. Lalu dengan gerakan sangat manis, kedua kakinya menjejak tanah tiga tombak didepan kuda yang tersungkur tadi.

"Sial...!" gerutu laki-laki bercambang lebat itu sambil memeriksa kudanya yang roboh dalam keadaan sekarat.

Dua penunggang kuda yang berada di belakang laki-laki itu segera menarik tali kekang tunggangan masing-masing. Seketika kuda-kuda itu berhenti disertai ringkikan sangat keras. Mereka segera menghampiri laki-laki bercambang lebat itu.

"Ada apa, Kakang Durupaksi!" tanya laki-laki jangkung.

"Kita terlalu memaksa kehendak Duruwisa. Kudaku tampaknya kelelahan, sehingga tidak dapat meneruskan perjalanan," kata laki-laki bercambang bauk yang dipanggil Durupaksi, Nada suaranya terdengar menyesal.

"Bagaimana, Kakang Duruseta?"

Duruwisa, laki-laki berbadan jangkung dan kurus mengalihkan perhatiannya pada laki-laki berkumis tipis disebelahnya, yang dipanggil Duruseta.

Duruseta mengangkat wajahnya. Sebentar matanya memandang ke ufuk barat sambil menggeleng-geleng. Tatapannya pun beralih pada saudara seperguruannya yang paling tua, Durupaksi.

"Kakang Durupaksi... Sebaiknya kita bermalam saja disekitar sini! Untuk sampai ke Goa Darah, masih memerlukan waktu kurang lebih dua hari perjalanan berkuda," usul Duruseta pelan.

Durupaksi tampak ragu-ragu. Entah mengapa, tiba-tiba saja hatinya menjadi bimbang. Matanya kembali merayapi kudanya yang terkapar dengan mulut berbusa.

"lnilah perjalanan yang paling sial! Guru bisa marah pada kita, jika sampai terlambat menyelesaikan tugas ini!" kata Duruseta, agak kesal.

"Tapi kita juga perlu istirahat setelah sehari penuh menunggang kuda," selak Duruwisa.

"Ya! Kita sangat memerlukannya," dukung Duruseta.

"Sebaiknya kita cari tempat yang aman dekat pohon sana."

Durupaksi terpaksa mengalah. Dan memang patut diakui, tubuhnya sendiri terasa lelah bukan main. Mungkin setelah bermalam di pinggir Hutan Jati Barang ini, keesokan paginya dapat melanjutkan perjalanan kembali, menuju Goa Darah yang masih cukup jauh.

Setelah menambatkan kudanya disebuah tempat yang cukup aman, Duruseta dan Duruwisa langsung menyusul Durupaksi yang mempersiapkan tempat bermalam. Matahari sudah tidak kelihatan lagi di ufuk barat. Suasana di pinggiran Hutan Jati Barang sudah mulai diselimuti kegelapan.

Entah mengapa, kegelisahan dihati Durupaksi semakin menjadi-jadi. Matanya melirik ke arah dua saudara seperguruannya yang sudah mulai merebahkan diri di atas tumpukan daun kering, begitu mendengar suara mendesir tidak jauh di samping kanan.

"Seperti ada orang mengintai tempat kita!" bisik Durupaksi, curiga.

Serentak Duruseta dan Duruwisa bangkit berdiri. Mata mereka merayapi kegelapan disekitarnya. Tidak ada apa-apa yang terlihat, kecuali kegelapan.

"Awaaas...!" Duruseta tiba-tiba berteriak memperingatkan.

Belum habis gema teriakan Duruseta, mendadak melesat beberapa benda putih berbentuk bintang segi empat, ke arah mereka. Namun dengan gerakan cepat sekali, ketiga saudara seperguruan ini menggenjot tubuhnya. sehingga melesat ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, mereka menjejak di atas dahan sebuah pohon yang cukup besar.

Benda-benda keperakan berbentuk bintang segi empat itu menancap dalam dibatang pohon yang dihinggapi tiga bersaudara itu. Durupaksi, Duruseta, dan Duruwisa saling berpandangan. Wajah mereka jelas-jelas tidak mampu menyembunyikan keterkejutan.

"Goa Darah masih jauh jaraknya dari Hutan Jati Barang ini. Tapi kedatangan kita sudah diketahui!" gumam Durupaksi heran.

"Mungkin bukan kelompok manusia buas darah itu yang melakukannya. Kakang?" agak bergetar suara Duruwisa.

"Lalu, siapa lagi yang menyerang kita? Senjata rahasia yang menyerang kita tadi, jelas bintang persegi empat. Dan itu adalah senjata rahasia tiap anggota Istana Goa Darah...!" rungut Durupaksi yang memiliki pengalaman jauh lebih baik.

Suasana di atas pohon sepi mencekam. Ketiga saudara seperguruan itu saling diam, sambil menantikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi dengan sikap waspada.

"Kurasa orang yang menyerang kita telah pergi," desah Duruseta. Suaranya pelan tercekat.

"Jangan gegabah. Orang-orang Goa Darah datang dan pergi seperti setan. Kita tidak tahu, apakah iblis-iblis itu telah meninggalkan kita, atau malah menunggu sampai mati berdiri di sini!" gerutu Durupaksi sambil memegang hulu pedangnya erat-erat. Dan sebelum ada yang berusaha kembali, mendadak...

"Kepada tiga ekor monyet di atas pohon! Hendaknya kalian jangan kasak-kusuk di situ! Lekas tunjukkan diri, sebelum habis kesabaranku...!"

Tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari tengah tengah kegelapan. Suaranya pelan saja, namun mengandung satu kekuatan aneh. Sehingga, membuat tiga saudara seperguruan itu menjadi bergetar. Diam-diam, mereka mengerahkan tenaga dalam untuk menghilangkan pengaruh suara orang yang sama sekali tidak dikenal.

Tanpa berpikir panjang lagi, setelah memperhitungkan segala sesuatunya, maka ketiga saudara seperguruan itu melompat turun dengan gerakan ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Dari sini bisa terlihat kalau ketiganya memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf hampir sempurna. Dan baru saja mereka menginjakkan kaki di atas tanah...

"Hanya orang-orang yang ingin mencari mampus saja yang berani datang ke Istana Goa Darah. Cepat katakan, dari padepokan mana kalian?! Biar agak mudah kami mencatatnya?" Kembali terdengar suara aneh.

"Kami dari Padepokan Pedang Bayangan...!" jawab Durupaksi kalem.

"Hm! Mengapa Ki Subrata tidak datang sendiri ke istana kami?"

Nada bicara orang dalam kegelapan itu terdengar mendengus. Suaranya jelas-jelas meremehkan. Sehingga, membuat tiga murid Padepokan Pedang Bayangan menjadi marah.

"Untuk membasmi iblis-iblis penculik seperti penghuni Istana Goa Darah, cukup kami bertiga yang maju!" sentak Duruseta geram.

"Oh, begitu? Baiklah...!"

Baru saja suara menggeram dikegelapan sana menghilang, mendadak bertiup angin sedingin es, menerpa wajah mereka. Seketika, tiga orang murid pilihan dari Padepokan Pedang Bayangan ini mencium bau amis darah yang demikian menusuk.

Durupaksi segera memberi isyarat pada kedua adik seperguruannya. Bersamaan dengan itu, dari arah kegelapan di depan tampak berkelebat bayangan putih kearah mereka.

Dalam waktu yang demikian singkat, tahu-tahu seorang laki-laki berwajah angker telah berdiri satu tombak di depan Durupaksi. Dalam keremangan malam yang hanya diterangi cahaya bulan, dapat terlihat kalau baju putih orang itu penuh bercak-bercak darah. Sebagian wajahnya juga dipenuhi darah yang telah mongering. Sehingga, sepintas lalu dia hanya memiliki sebelah wajah saja.

"Kulihat dua di antara kalian memiliki tubuh meyakinkan! Karena telanjur kalian memasuki daerah ini, aku harus meringkus kalian berdua. Sedangkan yang kurus kerempeng harus kubunuh!" sentak laki-laki bertampang angker ini.

"Siapakah, Kisanak?" tanya Duruseta sudah tidak sabar lagi.

"Siapa aku? Nanti kau bisa menanyakannya pada ratu! Sekarang, kalian tidak berhak bertanya padaku!" dengus laki-laki berlumur darah itu ketus.

Durupaksi, Duruseta, dan Duruwisa marah bukan main mendengar ucapan orang berbaju putih ini. Tanpa bicara apa-apa lagi, Durpaksi menerjang ke depan sambil menghantamkan kedua tangannya kebagian dada dan perut orang itu.

Namun sejengkal sebelum kepalan tangan Durupaksi mencapai sasaran, sosok yang ternyata anggota Istana Goa Darah ini mendengus. Lalu dengan gerakan yang sangat manis, tubuhnya meliuk sambil menepis tinju Durupaksi.

Duk!

"Ufh?!" Durupaksi mengeluh tertahan. Tubuhnya kontan bergetar dan sempat terhuyung dua langkah kebelakang. Tangannya yang membentur tangan sosok itu terasa panas sekali. Tapi tenaga dalamnya segera dihimpun. Dan laksana kilat sambil memberi isyarat pada dua saudara seperguruannya, segera dilancarkannya serangan kembali kearah sosok itu.

Sementara itu dari dua arah lainnya, datang pula serangan yang tidak kalah hebat menuju sosok itu. Dan kenyataannya tiga saudara seperguruan ini memang tidak dapat dianggap enteng. Terlebih-lebih setelah mereka melancarkan serangan bersama-sama.

Namun lawan yang dihadapi ternyata tidak bisa dianggap sembarangan. Laki-laki berbaju putih dan berselimut darah ini merupakan orang ketiga setelah Ratu Goa Darah. Dalam menghadapi setiap serangan yang semakin menghebat, dia tidak menjadi gugup. Sebaliknya dengan sikap tenang dia berhasil menghindari serangan tangan kosong murid-murid Padepokan Pedang Bayangan itu.

"Hiya...!" Tiba-tiba saja, laki-laki itu melenting ke udara. Tangan kanannya mengebut ke arah lawan-lawannya tiga kali berturut-turut. Maka seketika tiga buah benda berwarna keperakan melesat cepat bagaikan kilat ke arah ketiga lawannya.

Durupaksi yang sempat melihat dan merasakan sambaran angin yang memancarkan sinar putih, segera berteriak memberi aba-aba pada kawannya.

"Awas! Cabut senjata kalian!"

Sret!

Di tangan masing-masing ketiga murid Padepokan Pedang Bayangan, tergenggam sebilah pedang berwarna putih mengkilat. Ketika pedang itu diputar membentuk perisai diri, maka terdengar suara mendengung yang disertai berkelebatnya sinar putih menyilaukan mata. Tidak salah lagi. itulah jurus Pedang Bayang-Bayang yang sangat ampuh dan disegani lawan.

Trang!

Seketika terjadi benturan tiga kali berturut-turut. Bola api berpijaran dan memercik kesegala penjuru ketika senjata rahasia berbentuk bintang segi empat itu membentur ujung pedang.

Ketiga saudara seperguruan ini melompat mundur sejauh tiga langkah. Wajah mereka kini berubah pucat pasi. Telapak tangan terasa sakit berdenyut-denyut. Walau dada terasa nyeri bukan main, namun mereka segera menyerang kembali mempergunakan jurus-jurus pedang yang lebih berbahaya.

Laki-laki berbaju putih bersimbah darah ini, walaupun telah mengetahui kehebatan lawan-lawannya tidak merasa gentar sedikit pun. Sebagai tokoh nomor tiga dalam Istana Goa Darah, kecerdikannya sangat hebat. Sejak tadi, dia memang menghindari serangan lawan. Namun, matanya terus memperhatikan setiap gerak dan jurus-jurus yang dimainkan ketiga saudara seperguruan itu.

Sekarang, setidak-tidaknya walau dia tidak dapat melumpuhkan dengan mempergunakan senjata rahasia, tapi sudah dapat mengetahui titik kelemahan jurus-jurus yang dimainkan lawannya.

"Mampuslah kau kali ini! Hiyaaat...!" teriak laki-laki berbaju putih bersimbah darah kering ini.

Bagaikan kilat, tokoh nomor tiga Istana Doa Darah ini melompat ke depan sambil mengibaskan toya pendek di tangannya kearah Durupaksi. Begitu cepatnya serangannya, sehingga membuat Durupaksi tidak sempat lagi mengibaskan pedangnya. Namun dia masih juga berusaha melepaskan satu pukulan, sambil berkelit menghindar. Sayang, pukulan yang dilepaskannya berhasil dihalau. Bahkan toya pendek di tangan tokoh Istana Goa Darah ini terus melaju, dan menghantam urat gerak Durupaksi.

Tak!

"Aaakh...!" Durupaksi mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung kaku, sulit digerakkan mesti dalam keadaan berdiri. Duruseta dan Duruwisa tersentak kaget melihat kejadian berlangsung sangat cepat ini. Tidak ada jalan lain untuk membebaskan Durupaksi, selain merobohkan lawan terlebih dulu. Merasa tak ada jalan lain, maka mereka secara bersama-sama segera menggempur tokoh nomor tiga dari Istana Goa Darah.

"Percuma saja melawan kekuasaan ratu! Kalian akan menyesal sampai di neraka nanti! dengus laki-laki berbaju putih itu dingin menggidikkan.

Namun, baik Duruseta dan Duruwisa sudah tidak menghiraukannya lagi. Mereka segera membuka jurus Pedang Bersatu Padu, yang membuat terkesiap tokoh nomor tiga di Istana Goa Darah itu. Terutama ketika melihat pedang ditangan Duruseta dan Duruwisa yang seakan-akan berubah menjadi puluhan.

Laki-laki berbaju putih itu terpaksa bergerak mundur sambil menghindari serangan-serangan murid-murid Padepokan Pedang Bayangan yang semakin bertambah cepat ini. Merasa terdesak secara terus-menerus, maka laki-laki berwajah angker ini terpaksa mempergunakan toyanya.

Bet!

Bagaikan kilat, toya berwarna hitam menderu dan menebarkan bau amis yang demikian menusuk. Mata Duruseta dan Duruwisa terbelalak ketika melihat toya yang menderu deras menusuk kebagianbagian tertentu di tubuh mereka. Dari samping kiri Duruwisa yang berbadan kurus kerempeng datang memberi bantuan sambil menusukkan pedangnya ke perut lawan.

"Uts...!" Laki-laki berbaju putih bersimbah darah itu melompat kesamping kiri sambil melepaskan tendangan menggeledek ke bagian kaki Duruwisa. Sementara, tangan kanannya yang memegang toya menusuk ke bagian urat gerak Duruseta.

Buk!

"Akh...!" Duruwisa berteriak kesakitan. Tubuhnya kontan terpelanting sejauh tiga batang tombak. Tulang kaki kanannya patah.

Tokoh nomor tiga dari Istana Goa Darah tersenyum penuh kemenangan. Belum habis senyumnya, tangannya dikebutkan ke arah Duruwisa yang sudah tidak mampu berdiri. Seketika, dari telapak tangannya melesat senjata rahasia berbentuk bintang segi empat, mengancam keselamatan Duruwisa.

Sementara Duruseta yang sempat luput dari totokan toya, segera menerjang kedepan untuk meruntuhkan senjata rahasia yang dikibaskan lawannya.

Rupanya laki-laki berbaju putih melihat gelagat yang tidak baik ini. Laksana kilat, tubuhnya melesat ke arah Duruseta sambil berguling-guling sebanyak tiga kali. Bukan main cepat gerakannya. Sehingga Duruseta yang mengkhawatirkan keselamatan adik seperguruannya, sudah tidak sempat lagi menghindari totokan toya.

"Hugh...!" Duruseta mengeluh pendek.

Tubuh laki-laki berbaju hitam ini kontan tergelimpang roboh dalam keadaan tertotok. Pada saat yang bersamaan, Duruwisa sendiri sambil terus berguling-guling, mengibaskan pedang di tangannya membentuk perisai yang sangat kuat.

Trang! Trang!

Seketika tercipta pijaran bola api begitu senjata rahasia itu membentur ujung pedang di tangan Duruwisa. Namun tubuh Duruwisa bergetar hebat. Bahkan tangannya terasa panas bukan main.

"Mampuslah kau kali ini!" teriak laki-laki berbaju putih itu.

Saat itu juga, tubuh laki-laki itu melesat kedepan laksana kilat. Duruwisa yang tidak mampu berdiri sempurna, langsung menangkis ketika toya di tangan laki-laki berbaju putih itu menusuk ke bagian perutnya.

"Yeaaah...!" Duruwisa berteriak nyaring.

Trak!

"Hih...!" Pedang di tangan Duruwisa kontan patah jadi dua ketika membentur toya di tangan lawannya. Pada saat yang sama, lelaki berbaju putih lawannya langsung menghantam kepala Duruwisa.

Prak!

"Aaa...!" Duruwisa menjerit setinggi langit. Darah dan otaknya menyembur dari batok kepala yang hancur terhantam toya. Tubuhnya kontan ambruk dan berkelojotan sebentar. Tak lama, tubuhnya terdiam untuk selama-lamanya dengan mata melotot.

"Duruwisa...!" teriak Durupaksi dan Duruseta hampir bersamaan.

Mereka menjerit-jerit seperti orang yang kesurupan melihat saudara seperguruannya yang tewas dalam keadaan mengenaskan.

"Ha ha ha! Biarkan saudara kalian yang tidak berguna itu mati. Sudah waktunya bagi kalian untuk mengikutiku menghadap sang ratu...!" ujar tokoh nomor tiga Istana Goa Darah, tersenyum sinis.

Laki-laki berbaju putih itu kemudian mengeluarkan seutas tali terbuat dari sejenis oyot kayu. Sementara, Durupaksi dan Duruseta hanya dapat memaki-maki ketika tubuh mereka diikat lawannya.

"Kalau nasib kalian bagus, akan mendapat kesenangan di sana. Tapi kalau jelek, begitu datang langsung dipenggal! Darah kalian akan digunakan untuk berendam bagi sang ratu kami!" dingin suara laki-laki berbaju putih itu.

Sambil memanggul tubuh Durupaksi dan Duruseta, tokoh dari Istana Goa Darah ini langsung memutar langkah dan dia segera meninggalkan Hutan Jati Barang.

********************

DUA

Untuk dapat sampai di Istana Goa Darah, seseorang harus melewati sebuah lembah yang membentang di depannya. Namun sayang, tidak setiap orang dapat pergi ke sana. Bukan saja karena lembah di depan goa itu dihuni beberapa jenis binatang berbisa, tapi juga menyimpan rahasia yang setiap saat mengintai. Makanya, tanpa mengetahui jalan rahasia, hanyalah mati konyol jika memaksa ingin datang ke lembah itu.

Matahan pagi mulai memancarkan sinarnya di ufuk timur. Suasana di sekeliling Istana Goa Darah yang berbentuk kubah, tampak sepi menyeramkan. Bagian depan pintu goa yang menghubungkan ke lorong-lorong ke berbagai ruangan, berwarna merah darah. Sesungguhnya bahan yang dipergunakan untuk mewarnai pintu dan sepanjang lorong, berasal dari darah maupun daging yang telah manbusuk. Tidak heran jika dari jarak seratus batang tombak, telah tercium bau busuk yang sangat menyesakkan.

Dalam kesunyian pagi ini, dari arah timur Hutan Jati Barang terlihat sebuah kereta kuda yang terus melaju ke arah Istana Goa Darah. Di depannya, duduk seorang laki-laki bertampang angker. Bajunya yang berwarna putih, tampak coreng-moreng bekas olesan darah yang telah mengering. Sebagian wajahnya tampak memerah. Sedangkan bagian lainnya berwarna putih pucat.

Didalam kereta kuda, tampak tergeletak dua orang laki-laki berbaju hitam dalam keadaan tertotok dengan kedua kaki dan tangan terikat.

"Hiyaaa...!" Laki-laki bertampang dingin itu tak lain adalah tokoh nomor tiga di Istana Goa Darah ini. Dia menggebah kudanya tanpa henti. Kuda tunggangan ini meringkik keras, dan terus berlari bagai dikejar-kejar setan.

"Hooop...!" Begitu sampai di depan bibir lembah, laki-laki bertampang angker itu langsung menarik tali kekang. Sehingga kedua ekor kuda penarik kereta berhenti seketika. Sepasang mata tokoh ketiga Istana Goa Darah memandang tajam ke arah pintu goa yang berwarna merah kehitaman dan dalam keadaan tertutup. Lalu...

"Para penjaga gerbang Istana Goa Darah! Aku membutuhkan Jembatan Penghubung Sukma...!" Sesaat, hanya kesunyian saja yang ada. Namun tidak lama, pintu batu Istana Goa Darah terbuka disertai suara menggemuruh seperti gempa. Tidak seorang pun terlihat di depan pintu yang terbuka itu.

Sret!

Bahkan dari pintu Istana Goa Darah melesat dua leret sinar berwarna merah darah. Sinar itu memipih dan terus melebar, sehingga membentuk sebuah jalan yang menghubungkan bibir lembah dengan pintu goa.

Dengan gerakan sangat ringan, tokoh ketiga Istana Goa Darah menghampiri kereta kuda. Ditariknya dua sosok tubuh yang tak lain Durupaksi dan Duruseta. Lalu, dipanggulnya dua murid Padepokan Pedang Bayangan ini.

"Hup!" Tanpa merasa canggung lagi, laki-laki berwajah angker ini langsung melewati Jembatan Penghubung Sukma yang membentang di depannya.

Jembatan yang dilalui sedikit pun tidak bergoyang, walau tokoh ini membawa beban yang cukup berat. Ketika sampai di pintu goa, maka dengan sendirinya jembatan gaib itu lenyap begitu saja.

Duruseta dan Durupaksi yang sempat melihat kejadian ini membelalakkan mata. Sekarang mereka baru tahu, mengapa orang-orang persilatan yang berusaha menyerbu Istana Goa Darah hanya menemui ajal secara sia-sia. Rupanya, untuk mencapai mulut goa harus mempergunakan alat khusus.

Pintu batu goa itu kemudian menutup dengan sendirinya. Dua orang pengawal bertampang aneh dengan baju putih menjura hormat pada lelaki ini.

Tanpa menghiraukan pengawal tadi, laki-laki ini terus melangkah menuju ke sebuah ruangan yang juga bercat merah darah, bercampur serpihan-serpihan daging membusuk. Bau busuk di ruangan itu sama busuknya dengan lorong-lorong lainnya.

Tengkuk Durupaksi kontan meremang berdiri. Terlebih-lebih, setelah melihat lebih dan sepuluh mayat yang telah diawetkan dijejer di samping kanan mereka. Wajah mayat-mayat yang telah diawetkan ini agaknya adalah orang-orang yang telah berusia lanjut. Paling tidak mencapai tujuh puluhan. Pada setiap mayat, terdapat sebuah luka menganga di dada.

"Apa yang terjadi di sini?" kata batin Durupaksi.

"Jangan berpikir macam-macam!" dengus tokoh ketiga Istana Darah, seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Durupaksi.

Durupaksi terdiam. Wajahnya semakin bertambah pucat, ketika mereka sampai di ruangan lain yang berhawa dingin berbau busuk luar biasa. Tokoh ketiga Istana Goa Darah menghentikan langkahnya. Tubuh Durupaksi dan Duruseta dihempaskan begitu saja. Sehingga kedua murid Padepokan Pedang Bayangan yang dalam keadaan tertotok, jatuh terguling-guling tanpa mampu berbuat apa apa.

Begitu tubuh mereka menyentuh lantai yang berwarna merah dan becek, ratusan ulat pemakan bangkai langsung mengerubuti. Durupaksi dan Duruseta berteriak-teriak kegelian. Tapi teriakan mereka hanya sampai sebatas tenggorokan saja. Karena, laki-laki berbaju putih itu telah menotok urat suara mereka.

"Haram jadah! Neraka macam apa ini?" dengus Duruseta dalam hati tanpa daya sama sekali.

Tokoh ke tiga Istana Goa Darah sekarang menghadap ke arah sebuah ruangan yang tertutup kain berwarna merah, menebarkan bau semakin busuk. Tubuhnya menjura dalam-dalam, setelah melihat kain merah yang menutupi ruangan tidak seberapa besar itu berkibar-kibar.

"Hamba datang menghadap, Gusti Ratu...!" kata laki-laki berwajah angker ini dengan suara pelan namun cukup jelas terdengar.

Durupaksi dan Duruseta saling pandang. Mereka merasa heran melihat keganjilan demi keganjilan yang ada di Istana Goa Darah.

"Gila barangkali orang ini? Dia bicara pada kain merah yang tidak bisa berbuat apa-apa?" gerutu Durupaksi, dalam hati.

"Kau membawa dua tawanan lagi, Iblis Wajah Sebelah? Apakah mereka seorang tokoh atau hanya penambah pajangan patung-patung mayat diruangan sebelah itu?"

Tiba-tiba terdengar sebuah suara menyahuti, dari balik tirai ruangan. "Maafkan hamba, Gusti Ratu," ucap laki-laki berwajah angker yang ternyata berjuluk Iblis Wajah Sebelah. "Hamba hanya membawa dua orang murid Padepokan Pedang Bayangan. Tapi... hamba yakin Gusti Ratu pasti menyukainya."

"Hm, begitu?" Ada kemarahan dalam nada ucapan orang yang duduk di balik tirai berwarna merah. Sehingga, kain berwarna merah itu berkibar-kibar lebih keras. Bau di ruangan semakin bertambah busuk. Sementara, Durupaksi dan Duruseta berusaha keras agar tidak sampai muntah.

"Hamba yakin begitu, Gusti Ratu!"

"Iblis Wajah Sebelah! Tikus-tikus seperti itu hanya membuatku bosan. Yang kuinginkan, kau dan Hantu Pencabut Nyawa sebagai orang kepercayaanku disini, segera meringkus tokoh-tokoh persilatan golongan putih! Apakah kau masih ingat, siapa-siapa saja orangnya?" tanya suara dari balik tirai, yang merupakan, Penguasa Istana Goa Darah.

"Ham..., hamba masih ingat, Gusti! Pertama-tama adalah Pendekar Rajawali Sakti dari Karang Setra. Kedua, Ki Subrata dari Padepokan Pedang Bayangan. Sedangkan yang ketiga dan keempat, masing-masing adalah Raja Pembual dari Gunung Bromo dan Bayangan Malaikat dari Gunung Di eng!" jawab Iblis Wajah Sebelah, menyebutkan nama-nama tokoh yang harus dibunuhnya.

"Bagus! Mereka itulah orang-orang yang pantas mati demi kejayaan Istana Goa Darah. Juga, demi menghormati para iblis yang telah mendukung semua usaha kita."

Iblis Wajah Sebelah menganggukkan kepala.

"Cepat atau lambat, mereka akan mati juga di tangan kita, Gusti Ratu. Hamba telah membuat beberapa pengumuman untuk memancing kedatangan mereka ke Lembah Putus Nyawa di depan istana ini," jelas laki-laki berwajah angker itu.

"Hm. Mengenai empat tokoh lainnya, aku tidak begitu memikirkan. Tapi pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, perlu mendapat perhatian khusus dariku...!"

"Betapapun hebat kesaktiannya, kita tidak perlu merasa takut, Gusti Ratu. Kita pasti dapat mengatasinya!" tandas Iblis Wajah Sebelah penuh keyakinan.

Sementara itu, Durupaksi dan Duruseta yang dapat mendengar pembicaraan Penguasa Istana Goa Darah tampak terkesiap. Mata mereka melotot dengan wajah berubah pucat seperti mayat. Sama sekali tidak dikira kalau para iblis Istana Goa Darah memiliki rencana yang sangat keji.

Selama ini, yang mereka ketahui adalah, penghuni Istana Goa Darah hanya menculik orang-orang tertentu untuk dijadikan tumbal. Namun tak disangka kalau mereka mempunyai niat yang sangat besar untuk menaklukkan tokoh-tokoh persilatan golongan putih.

"Guru harus diberitahu mengenai rencana gila mereka! Tapi, bagaimana caranya agar dapat meloloskan diri dari neraka ini?" kata Durupaksi dalam hati, sambil terus menahan geli akibat gerayangan ulat-ulat di tubuh.

"Dua ekor tikus ini kalau perlu masukkan ke dalam perangkap, agar hatinya tidak berkicau terus!" dengus Gusti Ratu.

Untuk yang kedua kalinya, Durupaksi terkejut. Sama sekali tidak disangka kalau Penguasa Istana Goa Darah juga dapat membaca hati orang lain.

"Tapi, Gusti Ratu! Apakah Gusti tidak memerlukannya?" tanya Iblis Wajah Sebelah, hati-hati sekali.

"Tentu! Tapi nanti...!" sahutnya dingin.

"Hamba mohon diri, Gusti Ratu...!"

Iblis Wajah Sebelah menjura penuh hormat. Kemudian tubuhnya berbalik, menghampiri Durupaksi dan Duruseta. Seketika kedua pemuda murid Ki Subrata itu diseretnya memasuki sebuah ruangan lain, membuat ulat-ulat yang mengerubungi berjatuhan. Setelah melewati ruangan yang berbentuk seperti istana kecil, mereka menyeberangi sebuah jembatan yang terbuat dari tulang-belulang manusia. Durupaksi maupun Duruseta sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, karena masih dalam keadaan tertotok.

Sampai di sebuah ruangan yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah kolam berwarna merah darah, Iblis Wajah Sebelah menghentikan langkahnya. Diangkatnya Duruseta dan Durupaksi dalam keadaan berdiri. Kemudian tangan dan kaki kedua pemuda itu dirantai satu sama lain, menghadap ke tengah-tengah kolam. Sehingga dengan jelas mereka dapat melihat kolam darah yang dalam keadaan menggelegak seperti mendidih.

"Jika Gusti Ratu berkenan hati, beliau akan membawa kalian ke surga. Begitu menjadi tua setelah sari kehidupan kalian diisap, maka darah di tubuh kalian akan dijadikan pengisi kolam darah itu!"

"Keparat terkutuk...!" maki Durupaksi dalam hati, marah bukan main.

********************

Di pinggiran Hutan Kemusuk, sebuah bayangan berkelebat dari satu pohon ke pohon lainnya. Gerakannya cepat luar biasa, pertanda bahwa bayangan putih ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf sempurna. Tak lama, langkahnya terhenti.

Tatapan matanya memandang lurus ke batang pohon. Tampak selembar daun lontar yang menempel pada batang pohon menjadi pusat perhatiannya. Rupanya sosok yang ternyata pemuda tampan berbaju rompi putih ini merasa tertarik untuk mengetahui isi tulisan yang tertera diatas daun lontar tersebut. Tanpa merasa curiga pemuda itu menghampiri. Dibacanya beberapa baris kalimat yang ditulis dengan tinta darah.

Ini adalah undangan untuk para tokoh yang terhormat. Karena itu, datanglah ke Hutan Jati Barang untuk melihat sebuah pertunjukan menarik yang Kisanak semua seumur hidup pasti tidak akan dapat melupakannya!

Tertanda
Orang-orang gagah


"Undangan gila!" rutuk pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. "Orang yang menulis di daun lontar ini sama sekali tidak menyebut, apa tujuannya mengundang para tokoh persilatan, tokoh mana yang dimaksudkan. Tokoh aliran putih atau aliran hitam?"

Seingatnya, sekarang ini Rangga telah berada di daerah Hutan Kemusuk. Untuk sampai di Hutan Jati Barang, sudah tidak jauh lagi jaraknya dari hutan ini. Rangga berpikir keras. Jauh-jauh datang dari Karang Setra, semata-mata karena mendengar adanya kabar burung tentang penculikan yang dilakukan segelintir orang terhadap para tokoh golongan putih.

Masih belum jelas, siapa yang melakukan penculikan. Pendekar Rajawali Sakti masih melakukan penyelidikan. Beberapa tokoh yang dikenalnya dengan baik, ternyata juga lenyap dari tempat tinggalnya. Sekarang, Rangga dihadapkan pada satu masalah lain. Undangan yang tertulis di atas daun lontar ini bisa saja berupa jebakan yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan dirinya.

Namun. Pendekar Rajawali Sakti pun merasa tidak ada salahnya jika melihat apa yang sedang terjadi di Hutan Jati Barang. Tanpa berpikir panjang lagi, segera langkahnya diputar menuju Hutan Jati Barang yang memang tidak jauh lagi jaraknya.

********************

Pada waktu yang bersamaan, dipinggir Hutan Jati Barang seorang laki-laki tua berbaju hitam dengan senjata pedang tampak sedang memeriksa sosok mayat yang tergeletak di tanah. Laki-laki tua berjenggot pubh itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dalam-dalam, ketika mengenali siapa mayat yang kepalanya hancur itu.

"Begini singkat hidupmu, Duruwisa? Sama sekali tidak kuduga kalau umurmu sependek ini...!" desis laki-laki tua berbaju hitam ini dengan perasaan sedih. Matanya memandangi mayat yang tak lain dari jasad Duruwisa sambil memperhatikan setiap lekuk yang ada. Sampai akhirnya, matanya melihat sebuah benda bersegi empat berwarna putih seperti perak.

Dengan sangat hati-hati sekali, orang tua itu mencabut senjata rahasia yang terbenam di dada Duruwisa. Benda berbentuk bintang segi empat itu diperhatikannya dengan cermat.

"Hm...!" gumam orang tua itu, guru dari Duruwisa.

Laki-laki yang tak lain dari Ki Subrata ini memperhatikan bekas luka di dada mayat muridnya yang jelas berwarna hitam. Jadi, senjata rahasia berbentuk bintang segi empat itu mengandung racun sangat jahat.

"Aku yakin, semua ini pasti perbuatan orang-orang Istana Goa Darah!" geram Ki Subrata dengan tangan terkepal. "Tapi, apakah dua muridku yang lain masih selamat hingga saat ini? Aku tidak tahu, apa yang bakal terjadi pada mereka. Tapi naluriku mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres di Istana Goa Darah."

Laki-laki tua berjenggot putih ini bangkit berdiri. Matanya beredar ke segenap penjuru, di mana mayat-mayat yang tidak dikenal bergeletakan saling tumpang tindih. Ditimangnya benda persegi empat di tangan. Dan mendadak saja dia terkesiap begitu pendengarannya yang cukup tajam menangkap suara berdesir dari samping kanan.

Seketika itu pula, Ki Subrata berpaling. Wajahnya yang selalu tenang tiba-tiba saja terkesiap. Dalam suasana panas terik itu, dia melihat tiga buah benda berwarna putih keperakan menderu kearahnya. Dengan sigap, senjata rahasia yang ada dalam genggamannya disambitkan.

"Hih!" Dan dengan gerakan yang sangat indah pula, Ki Subrata melenting keudara.

Tring!

Salah satu senjata rahasia langsung jatuh ketanah, ketika membentur senjata yang disambitkan Ki Subrata. Sedangkan dua lainnya terus berkelebat dua jengkal dibawah telapak kakinya.

Crap! Crap!

Senjata rahasia yang dilepaskan pembokong menembus salah satu pohon di belakang Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu.

"Heps!"

Dengan gerakan sangat manis, Ki Subrata menjejakkan kedua kakinya kembali keatas tanah. Lalu dijelajahinya tempat di mana serangan tadi berasal.

"Pembokong licik! Tunjukkan tampangmu. Jangan bertindak pengecut seperti banci...!" teriak Ketua Padepokan Pedang Bayangan dengan suara lantang.

Beberapa saat setelah gema suara Ki Subrata menghilang, suasana berubah sepi mencekam. Udara di siang hari terasa sangat panas menyengat. Namun kesunyian tidak berlangsung lama, langsung terobek oleh terdengarnya suara tawa serak seseorang yang terasa menyakitkan gendang telinga.

TIGA

Ki Subrata terkesiap. Segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk menghilangkan pengaruh suara tawa orang yang tadi menyerangnya dengan senjata rahasia. Belum juga keterkejutannya hilang, sesosok tubuh tiba-tiba berkelebat ke arah Ki Subrata.

"Hup...!" Dengan gerakan ringan sekali, sosok itu menjejakkan kedua kakinya persis di depan Ki Subrata. Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini memandang tajam pada laki-laki berpakaian putih bersimbah darah yang telah mengering. Wajah laki-laki itu tertutup darah yang telah berubah menghitam, dengan bau busuk yang menyengat hidung.

Sekarang, sadarlah Ki Subrata. Dengan siapa dia berhadapan kini. Sementara, laki-laki berwajah seperti hantu ini tersenyum lebar ketika mengenali Ki Subrata.

"Hm... Tidak susah-susah aku harus menjemputmu di Padepokan Pedang Bayangan, Ki Subrata!" kata laki-laki berbadan tinggi jangkung dengan ikat kepala warna merah darah ini.

"Kau pasti salah seorang begundal dari Istana Goa Darah. Melihat tampangmu, kau pasti yang berjuluk Hantu Pencabut Nyawa," balas Ki Subra ta, sinis.

Laki laki berwajah angker seperti setan tampak terkejut. Dia tadi heran, bagaimana mungkin Ketua Padepokan Pedang Bayangan yang termasuk dalam daftar korban mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

"Tidak usah terkejut, Hantu Pencabut Nyawa! Aku hampir dapat menyingkap teka-teki di Istana Goa Darah. Termasuk, siapa-siapa saja yang harus kuperhitungkan. Sayang, aku tidak kenal ratumu!"

Hantu Pencabut Nyawa tersenyum mengejek "Apa yang bisa kau lakukan?" ejek Hantu Pencabut Nyawa, meremehkan. Suaranya keras penuh permusuhan.

"Melihat senjata rahasia yang menancap di dada salah seorang muridku, aku yakin orang-orang Istana Goa Darah telah membunuhnya. Sekarang, kau harus mengakui. Di mana dua orang muridku yang kalian bawa?!" bentak Ki Subrata.

Rupanya, walaupun Ki Subrata sadar kalau kepandaian Hantu Pencabut Nyawa tidak dapat di pandang rendah, namun mengingat keselamatan dua muridnya yang lain, dia sudah tidak dapat lagi menahan amarahnya.

"Kau menghendaki muridmu kembali?" tanya Hantu Pencabut Nyawa.

"Kau jangan coba-coba mempermainkan aku, Manusia Keparat!" dengus Ki Subrata semakin marah.

Hantu Pencabut Nyawa tersenyum. "Muridmu dapat kukembalikan, asal saja kau mau menyerah secara baik-baik...!" ujar Hantu Pencabut Nyawa mengajukan persyaratan.

Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini jelas tahu akal licik laki-laki berbaju putih itu. Dan dia hanya tersenyum sinis. "Siapa sudi menyerah pada manusia iblis sepertimu! Lebih baik kita bertarung sampai salah seorang ada yang mampus!" desis Ki Subrata tegas.

Mata Hantu Pencabut Nyawa membulat lebar. Tatapan matanya yang berkilat memandang tajam pada Ki Subrata. seperti hendak menelan lewat tatapannya. Tiba-tiba, dia melompat ke depan sambil mendorong kedua tangannya ke arah Ketua Padepokan Pedang Bayangan. Seketika melesat sinar kehitaman dari tangan Hantu Pencabut Nyawa.

Sementara Ki Subrata merasakan hantaman angin dingin menerpa tubuhnya, sebelum serangan yang sesungguhnya datang. Sadar Hantu Pencabut Nyawa bermaksud mencelakainya, segera laki-laki tua itu melompat ke samping kiri sejauh dua langkah.

"Hoooup...!"

Sambaran sinar kehitaman berhawa dingin itu luput dari sasaran. Namun Hantu Pencabut Nyawa mengebutkan tangannya. Sehingga saat itu juga terlihat empat benda bersinar keperakan menderu ke arah Ki Subrata. Ki Subrata segera menyadari kalau Hantu Pencabut Nyawa telah melemparkan senjata berbentuk bintang segi empat ke arahnya.

Sret!

"Hiyaaa...!" Laksana kilat, Ki Subrata mencabut pedang dari warangkanya. Sambil berteriak melengking, pedang ditangannya dikibaskan kedepan, menyongsong senjata rahasia Hantu Pencabut Nyawa.

Trang! Trang!

Slap!

"Uts...!" Senjata rahasia berupa bintang segi empat itu runtuh. Namun satu diantaranya ada yang sempat lolos, dan menyerempet bahu kiri Ki Subrata.

Tubuh kakek tua ini bergetar hebat. Tangannya yang memegang gagang pedang terasa mendenyut. Tapi setelah mengerahkan tenaga dalam, rasa sakitnya hilang sama sekali.

"Kali ini kau benar-benar akan kubuat mampus, Subrata!" bentak Hantu Pencabut Nyawa ketika menyadari serangan senjata rahasianya gagal mencapai sasaran.

Diawali satu bentakan keras, tubuh Hantu Pencabut Nyawa berkelebat. Angin sedingin es menderu-deru menyertai kelebatan tubuhnya. Udara disekitarnya semakin busuk, mengganggu pernapasan.

Kenyataannya, saat ini Hantu Pencabut Nyawa memang telah mengerahkan jurus 'Menipu Jarak Menyambar Bangkai', salah satu jurus andalan Istana Goa Darah. Hanya dalam waktu yang sangat singkat, pertarungan seru telah berlangsung dua puluh jurus. Dalam serangan-serangan selanjutnya, tampak jelas Ki Subrata mulai terdesak.

Laki-laki tua ini dengan cepat merubah jurus pedangnya. Gerakan kaki dan tangannya juga mulai berubah. Tubuhnya meliuk-liuk, sehingga pukulan tangan kosong yang dilepaskan Hantu Pencabut Nyawa selalu mengenai tempat kosong. Menyadari serangan ganasnya selalu dapat dihindari, tokoh kedua dari Istana Goa Darah ini menjadi sangat marah.

"Hiyaaa...!" Disertai teriakan melengking tinggi, tangan Hantu Pencabut Nyawa terpentang menyambar ke dada Ki Subrata. Sementara, kaki kanannya men-deru ke bagian perut.

Bet!

Ki Subrata yang sudah kenyang makan asam garam dalam dunia persilatan, langsung mengibaskan pedangnya secara berturut-turut ke bagian tangan Hantu Pencabut Nyawa yang terjulur.

Dengan gugup dan sambil memaki, Hantu Pencabut Nyawa menarik balik tangannya. Namun, dia tiba-tiba melesat dengan tendangan kaki ke perut Ki Subrata. Begitu cepat gerakannya, sehingga kakek tua itu tidak mungkin dapat menghindarinya. Maka...

Buk!

"Hugkh...!" Ki Subrata terhuyung-huyung, begitu perutnya terhantam telak tendangan Hantu Pencabut Nyawa. Bagian perutnya terasa seperti remuk. Napasnya langsung menyesak.Wajah Ki Subrata langsung berubah pucat. Dengan cepat, laki-laki tua itu mengerahkan hawa murni untuk menghilangkan rasa sakit yang sangat menyiksa.

Melihat apa yang dialami Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu, Hantu Pencabut Nyawa tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Langsung pedang pendek berwarna merah darah miliknya dicabut.

Sret!

Seketika bau busuk terasa menyengat begitu pedang berwarna merah darah itu berkelebat ke arah Ki Subrata. Laki-laki tua ini sadar betul kalau senjata ditangan lawannya mengandung racun ganas. Maka dengan penuh perhitungan hendak disongsongnya serangan Hantu Pencabut Nyawa. Pedang di tangannya cepat dikibaskan membentuk perisai diri.

"Hiyaaa...!" Dan tiba-tiba tubuh Ki Subrata melesat ke arah Hantu Pencabut Nyawa dengan gerakan sangat sulit diikuti mata biasa. Pedang di tangannya dikibaskan dua kali berturut-turut, menciptakan sinar putih berkilat-kilat menyilaukan mata.

Hantu Pencabut Nyawa terkesiap melihat serangan yang datangnya secepat kilat ini. Maka pedang pendek di tangannya cepat diangsurkan untuk menahan ujung pedang yang menyodok ke bagian perutnya.

Trang!

"Akh!" Hantu Pencabut Nyawa mengeluh tertahan sambil melompat mundur sejauh tiga langkah, begitu pedang pendeknya berbenturan. Sedangkan Ki Subrata sendiri tampak terhuyung-huyung. Tangannya terasa seperti lumpuh. Sekarang baru disadari kalau Hantu Pencabut Nyawa memiliki tenaga dalam lebih tanggi setingkat di atasnya.

Tidak ada kesempatan lagi bagi Ki Subrata untuk berpikir lebih lama. Karena, Hantu Pencabut Nyawa telah menyerangnya kembali dengan satu sodokan pedang, disertai satu tendangan mengge-ledek. Terpaksa Ki Subrata mengebutkan pedangnya ke samping kanan.

Tring!

Kali ini Ki Subrata yang terpekjk kaget. Dalam keadaan terhuyung-huyung, tiba-tiba Hantu Pencabut Nyawa menghentakkan tangan kirinya ke depan. Seketika seleret sinar berwarna hitam pekat berhawa dingin menderu ke arah Ki Subrata.

Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini terkesiap. Tapi dia segera bersiap-siap, melepaskan pukulan 'Bayang-Bayang Malam'. Maka begitu sinar hitam itu hampir mendekat. Ki Subrata menghentakkan tangan kanannya. Saat itu pula dari telapak tangan Ki Subrata melesat cepat sinar biru berhawa panas luar biasa. Dan...

Glar!

"Akh...!" Kedua pukulan sakti itu sama-sama menerjang dan bertemu di udara. Ki Subrata berteriak kesakitan. Tubuhnya terbanting sejauh tiga batang tombak ke belakang. Sedangkan Hantu Pencabut Nyawa tampak bergetar hebat dengan mata terpejam.

Dari mulut Hantu Pencabut Nyawa mengucur darah segar. Namun, segera ditelannya dua buah obat pulung berwarna merah dan kuning. Sedangkan Ki Subrata sendiri ternyata mengalami luka dalam yang sangat parah. Walaupun pedang masih tergenggam di tangannya tapi merasa kesulitan untuk bangkit berdiri. Dari lubang hidung dan sudut-sudut bibirnya mengalir darah kental.

Melihat keadaan lawannya, Hantu Pencabut Nyawa tampak tersenyum sinis. Bahkan tangannya cepat disilangkan ke depan dada. Kemudian mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan.

"Tidak ada lagi kesempatan bagimu untuk meloloskan diri! Mampuslah...!" bentak Hantu Pencabut Nyawa, garang.

Dalam keadaan demikian rupa, jelas tidak ada kesempatan bagi Ki Subrata untuk menghindari dari maut. Terlebih-lebih, setelah Hantu Pencabut Nyawa mengibaskan tangan ke arahnya.

Tampak seleret sinar berwarna hitam pekat yang menebarkan hawa dingin membekukan tulang, menderu dahsyat ke arah Ketua PadepokanPedang Bayangan ini. Ki Subrata berusaha bergulingan ke samping. Tapi, sekujur tubuhnya sangat sulit digerakkan.

Dalam keadaan yang sangat gawat, mendadak dari arah lain melesat sinar merah yang memapak sinar hitam ciptaan Hantu Pencabut Nyawa.

Glar! Glar!

Sungguh dahsyat hasil benturan dua sinar tadi, membuat Hantu Pencabut Nyawa terbanting roboh. Sementara dari arah datangnya sinar merah, melesat sosok bayangan putih. Gerakannya cepat bukan main. Dan tahu-tahu seorang pemuda tampan berompi putih telah berdiri di samping Ki Subrata yang masih terduduk lemah.

"Bangkitlah, Ki...!" ujar pemuda itu seraya mengulurkan tangannya pada Ki Subrata.

Pada saat itu, Hantu Pencabut Nyawa yang sekujur tubuhnya terasa panas seperti terbakar sudah bangkit berdiri. Walau tubuhnya terhuyung-huyung, matanya jadi terbelalak lebar-lebar ketika melihat kehadiran pemuda yang ciri-cirinya pernah disebutkan Gusti Ratunya.

"Kkka... kau...! Siapa kau, Kisanak?"

"Namaku Rangga!" sahut pemuda berompi putih di sebelah Ki Subrata, yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

Hantu Pencabut Nyawa merayapi pemuda berompi putih di depannya dengan pandangan seakan tidak percaya. "Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya tokoh kedua Istana Goa Darah, penuh menyelidik.

"Begitulah orang menjuluki aku," sahut Rangga, kalem.

Bukan Hantu Pencabut Nyawa saja yang terkejut. Tapi, Ki Subrata Ketua Padepokan Pedang Bayangan juga sempat tersentak kaget. Namun tiba-tiba, tokoh kedua Istana Goa Darah tertawa lebar. Wajahnya yang bersimbah darah yang telah mengering, jelas memancarkan rasa suka yang tidak terlukiskan.

"Rupanya, kaulah orang yang dimaksudkan ratu kami!" kata Hantu Pencabut Nyawa.

"Ada urusan apa ratumu mencariku?" tanya Rangga, penuh selidik.

"Kau termasuk dalam daftar kematian Istana Goa Darah, Rangga!" timpal Ki Subrata, pelan.

"Jika kau sudi datang ke Istana Goa Darah, Ratu kami akan memberikan sesuatu yang tidak dapat kau lupakan, Pendekar Rajawali Sakti...!" kata Hantu Pencabut Nyawa, dengan suara bersahabat.

"Hm, begitu...?" gumam Rangga.

"Begitulah yang diperintahkan Gusti Ratu padaku!" sahut tokoh kedua Istana Goa Darah sambil tersenyum.

"Hugkh...!" Tiba-tiba Ki Subrata yang telah berdiri di samping Rangga mengeluh sambil mendekap dadanya. Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat wajah Ki Subrata yang telah berubah pucat seperti tidak berdarah.

"Kita harus menyingkir dari tempat ini, Ki...!" bisik Rangga.

Tanpa bicara apa-apa lagi, Rangga segera memanggul tubuh Ki Subrata. Sementara, Hantu Pencabut Nyawa yang melihat gelagat kurang menguntungkan, segera menghadang.

"Menyingkiriah sebelum kesabaranku benar-benar habis!" ancam Rangga, dingin.

"Apakah kau tidak tertarik penawaranku tadi. Pendekar Rajawali Sakti?"

"Nyawa orang lain bagiku lebih penting daripada segala macam hadiah busuk!" tandas pemuda berompi putih ini, ketus.

Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti membuat Hantu Pencabut Nyawa kehilangan kendali. Maka tanpa diduga-duga, pedang pendeknya yang berwarna merah darah dicabut.

Rangga sadar betul kalau keadaan Ki Subrata semakin bertambah parah saja jika tidak cepat di-beri pertolongan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan tangannya yang telah berubah menjadi merah membara ke arah Hantu Pencabut Nyawa. Jelas saat itu Pendekar Rajawali Sakti sudah mengerahkan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat menengah.

Seketika dari tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur sinar merah membara ke arah Hantu Pencabut Nyawa yang hendak menerjang. Dan...

Glarrr...!

"Akh...!" Hantu Pencabut Nyawa berteriak kesakitan. Tubuhnya terpelanting roboh dengan wajah berlumur darah, terkena hantaman Rangga yang mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat menengah. Kesempatan itu tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat, tubuhnya berbalik dan langsung meninggalkan pinggiran Hutan Jati Barang sambil membawa Ki Subrata yang terus mengerang-ngerang.

"Bangsat! Aku tertipu!" teriak Hantu Pencabut Nyawa. Sambil mengurut-urut dadanya yang terasa menyesak, Hantu Pencabut Nyawa merayapi seluruh tempat di sekitarnya. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dari pandangannya. Lebih menyakitkan lagi, pemuda itu telah melarikan Ki Subrata, orang yang hampir dapat dibunuhnya.

"Seumur hidup menjalankan tugas, baru kali ini aku gagal," geram Hantu Pencabut Nyawa." Pemuda itu ternyata sakti bukan main. Pantas, Gusti Ratu meletakkannya dalam urutan musuh yang paling berbahaya. Sekarang, aku harus melapor pada Gusti Ratu...!"

Dengan langkah tersaruk-saruk, Hantu Pencabut Nyawa menghampiri kuda tunggangannya yang ditambatkan pada sebuah tempat yang tersembunyi. Tidak lama kemudian, kuda berbulu putih itu telah digebahnya meninggalkan Hutan Jati Barang.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Rangga mendudukkan Ki Subrata dibawah pohon beringin putih yang sangat teduh. Saat ini, mereka memang sudah berada jauh di luar Hutan Jati Barang. Tidak mungkin Hantu Pencabut Nyawa berani mencari mereka di luar kekuasaan Istana Goa Darah. Lagi pula, paling tidak tokoh kedua Istana Goa Darah ini pasti tengah terluka parah akibat terkena 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Kalau Hantu Pencabut Nyawa dapat bertahan hidup, berarti Rangga pantas memujinya. Karena selama ini, hanya orang bertenaga dalam tinggi saja yang dapat lolos dari kematian, bila telah terkena 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Sekarang, Pendekar Rajawali Sakti telah menyingkapkan baju hitam Ki Subrata. Tidak lama kemudian, dia duduk di belakang orang tua ini yang terus merintih-rintih. Kedua tangannya ditempelkan pada bagian punggung Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu.

"Tarik napas dalam-dalam, Ki! Aku akan berusaha mengobati luka dalammu, sekaligus mengusir pengaruh racun yang mengeram ditubuhmu...!" ujar Rangga, pelan.

Dengan penuh rasa terima kasih yang tidak terucapkan, Ki Subrata mengangguk. Rangga kini memejamkan mata. Kini, hawa murni telah mulai dikerahkan kebagian telapak tangan yang menempel erat dipunggung Ki Subrata.

Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini segera merasakan adanya hawa hangat mulai mengalir kesekujur tubuhnya yang terasa membeku. Peredaran darah di tubuhnya perlahan-lahan berangsur pulih. Dadanya yang terasa sesak, kini mulai terasa ringan.

"Hoekh...!" Ki Subrata memuntahkan darah kental berwarna hitam.

"Muntahkan terus, Ki...!" perintah Rangga sambil tetap memejamkan matanya.

Ki Subrata terus memuntahkan darah kental, sampai napasnya terengah-engah. Dan Rangga segera melepaskan tangannya dan punggung orang tua itu. Disekanya keringat yang mengucur di wajah. Setelah mengatur jalan napas hingga menjadi seperti biasa, barulah Rangga membuka matanya. Sekarang dia duduk menghadap Ki Subrata. Wajah laki-laki tua itu tampak sudah tidak pucat lagi. Dan ini membuat Rangga merasa lega.

"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan padaku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Ki Subrata dengan perasaan kagum.

"Lupakanlah, Ki! Aku telah mengetahui semua persoalan yang sedang kau hadapi. Tapi ada beberapa hal yang tidak kuketahui tentang para penculik yang telah membunuh beberapa tokoh persilatan. Apakah kau dapat menjelaskannya?" pinta Rangga, langsung pada titik persoalan.

EMPAT

Ki Subrata menarik napas dalam-dalam. Matanya merayapi pemuda di depannya penuh rasa kagum. "Aku merasa bersyukur bertemu denganmu, Rangga!" ucap Ki Subrata pelan. "Hantu Pencabut Nyawa yang hampir membunuhku, adalah tokoh kedua di Istana Goa Darah. Sedang tokoh ketiga Iblis Wajah Sebelah. Kedua orang inilah yang melakukan penculikan, dan menyeret orang-orang rimba persilatan ke istana mereka. Menurut hasil penyelidikanku selama ini, Istana Goa Darah tidak mungkin dapat dijarah oleh siapa pun. Karena, tempat itu mengandung jebakan-jebakan gaib yang dapat mencelakakan. Itulah sebabnya, banyak padepokan maupun ketua padepokan yang mati sia-sia ditempat itu...!"

"Ki...!" potong Rangga. "Istana Goa Darah adalah tempat yang sangat asing dan begitu menyeramkan. Apakah sebenarnya yang terjadi disana?? tanya pemuda berompi pubh ini, penuh rasa ingin tahu.

Wajah Ki Subrata berubah murung. Sinar matanya tampak meredup, seakan telah kehilangan gairah hidup. Semua ini jelas-jelas dilihat Rangga.

"Jika kau merasa keberatan untuk mengatakannya padaku, lebih baik tidak usah kau katakan...!" desah Rangga, merasa tidak enak.

"Oh...! Ee?!" Ketua Padepokan Pedang Bayangan tergagap. "Bukan begitu, Rangga. Jika aku tidak mengatakannya padamu, sama artinya menutupi aibku sendiri."

"Maksudmu?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Begini, Rangga. Aku hanya dapat memperkirakan kalau Penguasa Istana Goa Darah tidak lain adalah bekas istriku yang sudah telanjur sesat. Aku tidak tahu, pada siapa dia berguru. Tapi aku melihat, kesaktiannya sangat luar biasa. Dia mempunyai keinginan sangat besar untuk menguasai seluruh rimba persilatan. Siapa yang melawan, pasti dibunuhnya!" rungut Ki Subrata.

"Tapi kudengar, dia juga menculik murid-murid padepokan. Termasuk, dua orang muridmu."

Ki Subrata tersentak kaget. "Dari mana kau tahu?"

"Aku sempat mendengar perdebatan Hantu Pencabut Nyawa denganmu, Ki...!" tegas Rangga.

"Memang! Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah telah menculik dua orang muridku," desah Ki Subrata. Wajahnya seketika berubah merah. "Biadabnya bekas istriku yang telah menyimpang ke jalan sesat itu adalah, memanfaatkan setiap laki-laki muda untuk memelihara kecantikan tubuhnya!"

"Maksudmu? ?"

"Dia akan menghisap sari kehidupan setiap laki-laki, melalui hubungan badan. Siapa pun yang terjebak dalam perangkapnya, maka tubuhnya akan menjadi tua, tiga kali lipat dari usia yang sesungguhnya!"

"Sungguh keji!" desis Rangga tanpa sadar.

"Memang! Itulah sebabnya, tokoh-tokoh golongan putih yang telah mengetahui kekejian Ratu Istana Goa Darah, datang menyerang ke sana. Tapi setelah sampai disana, mereka baru sadar. Ternyata tidak mudah untuk menyerbu ke Istana Goa Darah. Karena, mereka harus menyeberangi sebuah lembah yang cukup luas yang didalamnya terdapat berbagai jenis ular berbisa dan jebakan-jebakan maut yang sangat berbahaya."

"Apakah tidak ada sebuah jembatan yang menghubungkan antara bibir lembah dengan pintu goa istana itu, Ki?" tanya Rangga lebih seksama.

Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti merasa semakin tertarik mendengar penjelasan Ki Subrata. Tanpa mau mengungkit-ungkit persoalan antara Ki Subrata dengan bekas istrinnya. Rangga berusaha mencari cara agar dapat masuk kedalam Istana Goa Darah.

"Jalan untuk sampai ke istana itu melalui jembatan gaib yang diberi nama Jembatan Penghubung Sukma. Jembatan seperti itu hanya sementara saja sifatnya. Dan bila telah dipergunakan oleh salah seorang anggota istana, maka akan lenyap kembali!" jelas Ki Subrata, panjang lebar.

Rangga menggaruk-garuk kepalanya. Kalau sudah begitu keadaannya memang rasanya sangat sulit untuk dapat memasuki Istana Goa Darah. Apa lagi, menghancurkannya.

"Ada satu hal yang tidak diketahui orang lain...," gumam Ketua Padepokan Pedang Bayangan tampak jengkel.

"Apa itu, Ki?" potong Rangga, penasaran.

"Kalaupun kita dapat menyerbu ke dalam istana, belum tentu dapat keluar dari istana itu hidup-hidup. Ratu keparat itu tidak dapat dibunuh bila berada dalam istananya."

"Jadi, jalan satu-satunya harus memancingnya keluar?" duga Rangga.

Pemuda itu menggeleng-geleng seakan tidak percaya mendengar penjelasan Ki Subrata.

"Memang begitulah kenyataannya. Jika kita telah dapat memancingnya keluar, maka harus dapat merampas tusuk konde emas...!"

"Ada apa dengan tusuk konde itu, Ki...?" potong Rangga, semakin penasaran saja.

Rasa penasaran Rangga membuat Ki Subrata jadi tersenyum kecut. "Tusuk konde Dewi Kemuning merupakan sumber kekuatan gaib di Istana Goa Darah. Jika dapat diambil, berarti punahlah kekuatan yang dimilikinya," jelas Ki Subrata, disertai tarikan napas berulang-ulang.

"Tapi untuk memancing keluar Dewi Kemuning, adalah pekerjaan yang tidak gampang..!" keluh Rangga.

Ketua Padepokan Pedang Bayangan menarik napas pendek. Apa yang dikatakan pemuda berompi putih ini memang benar. Tidak mudah memancing Dewi Kemuning dari istananya, karena paling tidak harus membunuh Hantu Pencabut Nyawa dan juga Iblis Wajah Sebelah lebih dulu. Apalagi mereka bukan merupakan lawan berkepandaian rendah.

"Apa yang kau katakan dapat kumengerti, Rangga. Apalagi jika kita tidak melenyapkan para begundal Ratu Istana Goa Darah. Namun, aku yakin bukan kita saja yang akan menghadapi mereka. Masih banyak tokoh persilatan lain yang merasa tertarik dengan undangan daun lontar itu. Mereka pasti datang ke sana...," jelas Ki Subrata.

Rangga tiba-tiba mengeluarkan daun lontar yang didapat di daerah Hutan Kemusuk. Setelah itu. diperlihatkannya pada Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini.

Mata orang tua itu langsung terbelalak lebar. Diperhatikannya daun lontar yang berada dalam genggaman Rangga. "Kau telah memperoleh undangan ini. Dan itu sama artinya bahwa kau masuk dalam daftar kematian Istana Goa Darah...!" desah Ki Subrata sambil menggeleng.

"Bagaimana mungkin Ratu Istana Goa Darah dapat mengenaliku?" selak Pendekar Rajawali Sakti seakan tidak percaya.

"Namamu telah dikenal di delapan penjuru rimba persilatan, Rangga. Tentu, Dewi Kemuning menganggapmu sebagai orang yang dapat membahayakan keselamatan kerajaannya."

Rangga mengangguk-angguk. "Sebaiknya, kita hubungi tokoh-tokoh persilatan yang mungkin masuk dalam daftar kematian di Istana Goa Darah, Ki. Siapa tahu, kita belum terlambat mencegah mereka," saran pemuda berompi putih.

"Mari...!" Ki Subrata bangkit berdiri.

Sementara tiba-tiba Rangga bersuit nyaring. Sebentar kemudian, di kejauhan terdengar suara ringkik kuda yang disusul derap langkah kakinya. Semakin lama, suara-suara itu semakin bertambah mendekat. Lalu, dari semak belukar muncul seekor kuda berbulu hitam yang langsung menghampiri Rangga. Pemuda berompi putih menepuk-nepuk bahu kuda berbulu hitam yang bernama Dewa Bayu.

"Naiklah, Ki! Luka-lukamu belum sembuh benar! Perjalanan yang kita tempuh masih jauh...!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, seraya menaiki punggung Dewa Bayu.

"Tap..., tapi, kuda ini kuda siapa? Sejak tadi, tidak kulihat kau membawa-bawa kuda?" tanya Ki Subrata terkagum-kagum.

"Ini kudaku, Ki. Sudahlah... Ayo naik...!" seru Rangga.

Rangga tak ingin menjelaskan kalau kudanya bukan tunggangan sembarangan. Seekor kuda berbulu hitam pekat, yang selalu mengikuti Pendekar Rajawali Sakti dari jarak yang tidak terlalu jauh, jika tidak sedang dipergunakan.

Tanpa mampu menolak lagi, Ki Subrata langsung melompat kepunggung Dewa Bayu dibelakang Pendekar Rajawali Sakti. Selanjutnya, mereka bergerak kearah timur.

********************

Bila melihat kolam darah, di Istana Goa Darah, maka tampaklah tubuh putih mulus yang tanpa benang sehelai pun berenang kian kemari di dalam air yang berwarna merah darah. Air bercampur darah itu tidak lagi menebar bau yang sangat busuk, tapi aroma wangi yang tercium ke mana-mana.

Setelah puas berenang kian kemari, sosok perempuan cantik berambut disanggul ini bangkit berdiri. Rupanya, air kolam darah hanya sebatas dadanya saja.

Tatapan mata wanita cantik yang selalu memancarkan gairah nafsu berkobar-kobar itu memandang mayat-mayat renta yang berjejer di seputar kolam. Kemudian, dia naik kebibir kolam. Setelah membersihkan tubuhnya yang berlumuran darah dengan kain yang juga berwarna merah darah, dia memakai pakaiannya kembali. Sebentar saja, pakaian ketat berwarna putih dan bersimbah darah mengering itu telah membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Sehingga, membuat setiap lelaki yang memandang menjadi terpesona.

Cring! Cring!

Wanita yang ternyata Penguasa Istana Goa Darah ini menggerakkan lonceng kecil yang selalu dibawanya ke mana pun pergi. Dari sebelah kanan tampak sebuah pintu batu yang menghubungkan ke ruangan peraduan terbuka lebar.

Dua orang laki-laki tegap berpakaian hulu-balang kerajaan tampak keluar dari dalamnya. Mereka menyeret tubuh tua tanpa nyawa yang telah diawetkan. Dari rongga dada mayat laki-laki renta itu, masih meneteskan darah segar. Agaknya, kematiannya belum lama.

Kedua laki-laki ini meletakkan mayat itu. Kemudian, mereka menjura hormat pada perempuan muda yang sebenarnya telah berusia enam puluh tahun ini.

"Maafkan kami, Gusti Ratu Dewi Kemuning! Apakah mayat Durupaksi ini harus dijejer di kolam ini juga?" tanya salah seorang laki-laki tegap dengan suara pelan tapi jelas.

Perempuan berbaju putih seperti permaisuri seorang raja ini tertawa mengikik. "Durupaksi yang sepekan sebelumnya masih begitu muda, sekarang telah menjadi kakek jompo tanpa nyawa. Mereka yang dipajang di sekeliling kolam darah ini, adalah para penyumbang saripati yang membuatku tetap awet muda! Letakkan dia di sudut sana!" perintah wanita bernama Dewi Kemuning itu, tegas.

"Segera, Gusti Ratu!" sahut kedua laki-laki itu sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.

Mayat Durupaksi yang telah berubah menjadi jasad seorang kakek tua diseret ke sudut ruangan. Kemudian mayat itu didirikan, tidak jauh beda dengan sebuah patung. Setelah menjalankan tugas, dengan terbungkuk-bungkuk kedua laki-laki itu berlalu.

Dewi Kemuning tersenyum puas. Otaknya yang kotor teringat saat-saat berdua bersama Durupaksi, yang telah memakan racun Penghilang Ingatan ketika berada dalam kamarnya.

Laki-laki muda itu selain sangat perkasa juga memiliki daya tahan yang sangat luar biasa. Dia tidak jauh beda dengan kuda binal yang memiliki kekuatan berlipat ganda. Sehari dua hari, sampai seminggu kemudian, wajah Durupaksi yang telah tersedot sari kehidupannya, berubah menjadi keriput dan layu. Tubuh dan wajahnya tidak ubahnya seorang kakek berumur delapan puluh tahun.

Sebagaimana para pendahulunya, Durupaksi pun akhirnya menerima nasib sama. Dia dibunuh secara kejam. Bahkan tubuhnya diawetkan dan dipajang seperti patung. Sedangkan darahnya dimasukkan kedalam kolam darah.

Sekarang Dewi Kemuning yang memiliki kekuatan gaib dan tetap awet muda ini, memperhatikan mayat Durupaksi yang tegak kaku dan dalam keadaan telanjang. Tiba-tiba, mulutnya menyeringai.

"Masih ada adik seperguruanmu yang segera akan menyusul! Tidak perlu merasa cemburu, Durupaksi! Sekarang, jangankan gurumu. Pacarmu sendiri sudah tidak dapat mengenalimu lagi. Kau sudah menjadi seorang kakek yang sudah tidak berguna sama sekali!" dengus Penguasa Istana Goa Darah sambil melangkah menuju ke peraduannya.

Di dalam peraduan Dewi Kemuning, Duruseta yang telah meminum racun Penghilang Ingatan tampak tergeletak tanpa daya. Sekujur tubuhnya telah bersimbah keringat. Sekujur urat-uratnya telah menegang. Ada satu rangsangan hebat yang terjadi dibawah perutnya.

Duruseta mengerang-ngerang seperti orang kehausan. Matanya yang telah berubah merah, memperhatikan suasana sekelilingnya. Sampai di depan pintu, matanya terpaku pada seorang perempuan berwajah cantik yang berdiri tegak sambil menyunggingkan seulas senyum padanya.

Duruseta merasakan darahnya seperti berhenti mengalir. Sementara, pandangan matanya tidak pernah beralih dari perempuan yang memakai mahkota berwarna kuning dikepala yang tak lain Dewi Kemuning.

"Hi hi hi!" Dewi Kemuning tertawa lebar. Langkahnya yang lemah gemulai semakin membuat Duruseta yang telah berada di bawah pengaruh racun Penghilang Ingatan, semakin tidak sabar menunggu.

"Akhirnya kau dapat melihat sendiri, betapa aku sangat pantas tidur denganmu! Apakah kau merasa senang melihat keindahan tubuhku, Duruseta!" tanya Dewi Kemuning.

Pelan-pelan Dewi Kemuning mulai melepaskan pakaian yang membalut tubuhnya. Sementara Duruseta mengangguk-angguk sambil memperhatikan tubuh Dewi Kemuning yang telah telanjang.

"Seminggu kita akan bersenang-senang, Duruseta! Ingat-ingatlah kenangan-kenangan yang tidak akan pernah kau lupakan seumur hidupmu. Dan semuanya akan kuberikan cuma-cuma!" desis Penguasa Istana Goa Darah sambil meliuk-liukkan tubuhnya yang dalam keadaan polos menantang.

Beberapa kali Duruseta menelan ludah. Teng-gorokannya turun naik seperti orang kehausan. Terlebih-lebih, setelah Dewi Kemuning naik di atas peraduannya. Murid Padepokan Pedang Bayangan yang telah kehilangan kesadaran ini langsung menerkam Dewi Kemuning dengan beringas!

Selanjutnya hanya cicak-cicak diruangan ini yang tahu, apa yang dilakukan dua insan berbeda jenis itu.

********************

"Jangan kemana-mana, Duruseta kekasihku! Setelah urusanku dengan para pembantu selesai, aku segera kembali lagi menemuimu!"

Suara Dewi Kemuning yang pelan, terdengar merdu di telinga Duruseta. Pemuda itu menganggukkan kepala. Sementara Ratu Istana Goa Darah segera meninggalkan ruangan yang berbau harum semerbak.

Kini Dewi Kemuning telah berada di sebuah ruangan khusus pertemuan. Di situ, Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah telah menunggu kehadirannya dengan sikap was-was.

Kedua laki-laki bertampang angker ini langsung menjura hormat, ketika melihat kain merah berlumur darah busuk di depan mereka tampak bergerak-gerak.

"Kami datang ingin menghadap, Gusti Ratu!" kata kedua manusia aneh ini sambil membungkuk dalam-dalam.

"Bagaimana usahamu, Tokoh Ketiga?" tanya sebuah suara yang terdengar begitu merdu, tapi berwibawa.

"Hamba telah melakukan tugas. Tapi sampai sejauh ini. belum ada tanda-tanda ada orang hadir lagi di tempat ini," lapor Iblis Wajah Sebelah dengan tenang.

"Hm...!" Orang di balik tirai kain merah yang memang Dewi Kemuning itu menggumam tidak jelas. "Bagaimana denganmu, Hantu Pencabut Nyawa?"

Laki-laki yang seluruh wajahnya dilumuri darah mengering ini menjura dalam-dalam. "Ampun seribu ampun, Gusti Ratu. Di Hutan Jati Barang yang masih wilayah kekuasaan kita, sebenarnya hamba hampir berhasil membunuh Ki Subrata, Ketua Padepokan Pedang Bayangan. Tapi tanpa terduga, seorang pemuda berompi putih telah menyelamatkannya...!"

"Apakah pemuda itu yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" potong suara di balik tirai kain berlumur darah.

"Benar!" sahut Hantu Pencabut Nyawa.

"Pendekar Rajawali Sakti adalah salah satu pendekar yang masuk dalam daftar kematian di Istana Goa Darah ini. Apakah kau belum paham juga?" sentak Gusti Ratu Dewi Kemuning. Sehingga, membuat Hantu Pencabut Nyawa jadi ciut. Dia memiliki ilmu yang sangat tinggi Gusti Ratu. Hamba bahkan hampir celaka di tangannya," jelas Hantu Pencabut Nyawa.

Suasana di dalam ruangan pertemuan yang berbau busuk itu berubah menjadi hening. Gusti Ratu Dewi Kemuning rupanya juga menyadari, apa yang dikatakan pembantunya memang merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Tapi dia yakin. Bagaimanapun, cepat atau lambat Pendekar Rajawali Sakti serta tokoh-tokoh lainnya yang telah masuk dalam daftar kematian pasti akan muncul juga.

LIMA

Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah termangu-mangu dengan sikap tidak sabar bercampur rasa cemas.

"Sebaiknya, mulai sekarang kalian bersatu untuk menghadapi orang-orang persilatan yang datang ketempat ini,'" ujar Dewi Kemuning memutuskan.

"Apakah kami harus kembali ke Hutan Jati Barang, Gusti Ratu?" tanya Hantu Pencabut Nyawa.

"Mengapa harus kembali ke sana! Kalian bisa menunggu kedatangan mereka di pinggir Lembah Putus Nyawa," jelas Penguasa Istana Goa Darah.

"Kalau begitu kami mohon diri, Gusti Ratu!" pamit kedua laki-laki bertampang angker ini sambil bangkit berdiri dan melangkah.

"Tunggu!?

Langkah mereka terhenti. Dan cepat mereka berbalik sambil menjura penuh rasa hormat.

"Ada apa lagi, Gusti Ratu?" pelan suara Iblis Wajah Sebelah.

"Kalian harus membawa, paling tidak lima orang pengawal untuk menjaga kemungkinan kemungkinan yang tidak terduga...!" tegas Dewi Kemuning.

Keduanya sama-sama mengangguk. Tidak lama kemudian, mereka menelusuri lorong demi lorong sambil menghubungi para pengawal pilihan yang akan menyertai.

Sementara itu, tidak jauh dari Lembah Putus Nyawa, tampak seorang laki-laki bertampang tolol sedang duduk ongkang-ongkang di atas sebuah cabang pohon. Pakaiannya yang berwarna putih lusuh dikipas-kipaskan ke bagian wajah. Sedangkan tongkat bututnya diketuk-ketukkan ke cabang pohon berulang-ulang, sehingga menimbulkan suara bunyi yang tidak teratur.

"Istana Goa Darah sebenarnya sudah berada di depan mata. Tapi, tidak ada jembatan yang menghubungkan ke pintu goa. Tampaknya orang-orang di dalam sana enggan menerima tamu sepertiku. Huh...! Siapa sudi menerima Raja Pembual!" dengus kakek berjenggot putih dan berkumis putih yang mengaku sebagai Raja Pembual sambil terus mengetuk-ngetuk tongkat ditangannya.

Sekarang perhatian Raja Pembual tertuju ke arah Lembah Putus Nyawa yang terletak tidak begitu jauh dari tempatnya berada. Di hatinya timbul keyakinan bahwa didalam lembah tersebut hidup berbagai jenis ular berbisa. Ini terbukti dengan terciumnya bau amis khas ular berbisa.

"Para dedemit itu ternyata cukup licik juga! Mereka memaksaku agar turun ke Lembah Putus Nyawa, untuk sampai ke Istana Goa Darah. Sungguh undangan ini dibuat oleh orang yang tidak bertanggung jawab," gerutu Raja Pembual kesal.

Sekali lagi, Raja Pembual melayangkan pandangan ke arah pintu-pintu goa yang berwarna merah darah. Paling tidak, jarak antara tebing lembah dengan pintu goa sekitar empat puluh batang tombak. Mustahil bagi Raja Pembual yang memiliki nama asli Baskara ini dapat melompati tebing lembah yang demikian lebar.

"Eh...! Aku seperti mendengar langkah-langkah kaki mendekat kemari! Orangnya memang belum kelihatan. Tapi, bau busuknya sudah tercium sampai kemari. Jangan-jangan, kucing kurapan yang datang kemari?" gumam Raja Pembual tanpa kehilangan watak konyolnya.

Pendengaran Raja Pembual yang tajam memang tidak dapat tertipu. Tidak lama kemudian, segera terlihat dua orang bertampang angker berbaju putih bersimbah darah. Tidak jauh dibelakang kedua laki-laki itu, muncul lima orang laki-laki lain berbaju mirip pengawal kerajaan.

"Hm, bukan kucing kurapan. Ternyata yang datang iblis haus darah. Eh...! Darah tuaku mana enak. Rasanya paling pahit. Dan celakanya lagi, aku mengidap penyakit Malaria.

Raja Pembual menggaruk-garuk hidungnya yang berwarna kemerahan beberapa kali. Sikapnya tetap duduk tenang-tenang di atas cabang pohon. Sementara tangannya yang memegang tongkat telah berhenti mengetuk.

"Terus cari! Aku yakin, ada orang lain yang bukan anggota kita telah bersembunyi di sekitar sini!" ujar Hantu Pencabut Nyawa pada lima orang pengawal bersenjata tombak yang menyertainya.

Lima orang pengawal langsung menyebar Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah juga mulai memeriksa tempat-tempat yang dicurigai.

Tapi setelah sekian lama mencari-cari, mereka tidak menemukan apa-apa. Raja Pembual yang duduk uncang-uncang kaki di atas pohon, terus memperhatikan orang-orang Istana Goa Darah sambil tersenyum-senyum.

"Ternyata, iblis bukan harimau. Kalau penciuman mereka tajam, tentu sudah menemukan aku di sini!" gumam Raja Pembual, pelan saja.

Tapi, salah seorang laki-laki berwajah angker rupanya sempat mendengar gumaman Raja Pembual. Maka dengan curiga dia pun memandang ke atas, merayapi cabang-cabang pohon yang terdapat di sekitarnya.

"Itu dia monyetnya!" teriak Iblis Wajah Sebelah sambil menunjuk kearah salah satu cabang pohon yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, secara hampir bersamaan Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah langsung mengeruk kantong celananya. Kemudian, tangan mereka mengibas kearah Raja Pembual yang duduk terkantuk-kantuk.

Seketika seleret sinar putih keperakan langsung melesat kearah kakek berjenggot putih ini. Itulah senjata-senjata rahasia yang berupa bintang segi empat yang dimiliki para pembantu Gusti Ratu Penguasa Istana Goa Darah.

Namun Raja Pembual dengan seenaknya langsung bangkit berdiri. Sementara tongkat di tangannya dikibaskan kedepan, kemudian langsung diputar sedemikian rupa. Maka sinar hitam dari tongkatnya yang menimbulkan suara angin menderu-deru, langsung menahan serangan senjata-senjata rahasia yang dilemparkan kaki tangan Penguasa Iblis Goa Darah itu.

Trang!

Terdengar suara berdentang berturut-turut disertai berpijarannya bunga api, ketaka tongkat hitam di tangan Raja Pembual menghantam runtuh senjata rahasia milik lawannya. Bahkan beberapa diantaranya langsung berbalik menyerang pemiliknya. Jika Iblis Wajah Sebelah dan Hantu Pencabut Nyawa tidak membuang tubuh ke tanah. Niscaya termakan senjata milik mereka sendiri Tapi...?

Crap...!

"Aaa...!"

Tidak jauh di belakang mereka, terdengar pekik dan jerit kematian. Rupanya, ada senjata rahasia yang mengarah dan menghantam tubuh dua pengawal yang berdiri tak jauh dibelakang kedua tokoh Istana Goa Darah. Tubuh mereka kontan ambruk. Tangan yang memegang tombak langsung mendekap perut yang tertembus senjata milik pimpinan mereka. Kedua pengawal berbadan tegap ini berkelojotan sebentar, lalu terdiam untuk selama-lamanya.

Iblis Wajah Sebelah dan Hantu Pencabut Nyawa terkejut bukan main. Terlebih-lebih setelah melihat kematian dua orang pengawal mereka. Ketika mereka memandang keatas pohon. Raja Pembual tampak mengumbar tawanya.

"Manusia keparat! Cepat turun dari pohon itu! Atau, aku yang akan menyeretmu kemari!" bentak, Hantu Pencabut Nyawa sudah tidak mampu lagi mengendalikan amarahnya.

Raja Pembual menghentakan tawanya. "Bicaramu kasar seperti monyet kebakaranjenggot, Kisanak! Sebagai tuan rumah, seharusnya kau menyambutku dengan ramah. Mana ada tamu disuruh makan benda keras seperti tahi binatang tadi?" ejek laki-laki berambut jarang ini sambil menggosok-gosok hidungnya yang berwarna kemerahan.

Kedua rahang Hantu Pencabut Nyawa langsung menggembung. Kalau saja tidak ditahan Iblis Wajah Sebelah, sejak tadi dia sudah melabrak Raja Pembual.

Iblis Wajah Sebelah maju dua langkah. "Rupanya, Kisanak tamu kehormatan kami. Maafkan kawanku ini, karena kurang mengenal mana tamu dan mana yang bukan tamu! Turunlah dari pohon itu, Kisanak. Kita dapat membicarakan segala sesuatunya di dalam Istana Goa Darah!" ujar laki-laki yang sebagian wajahnya bersimbah darah kering.

"Huh! Siapa yang mau percaya dengan mulut manis manusia iblis? Aku sudah tahu tipu muslihat kalian. Raja Pembual jangan dibodoh-bodohi!" dengus laki-laki tua berambut jarang ini dalam hati.

"Bagaimana, Kisanak? Mengapa hanya diam saja di situ? Turunlah.... Semua hidangan telah dipersiapkan sebagaimana mestinya!" Iblis Wajah Sebelah terus berusaha membujuk, sehingga membuat kesal Hantu Pencabut Nyawa.

"Ucapanmu memang sangat sopan, Iblis Muka Belang. Tapi kalau boleh tahu, apakah wajahmu yang kemerahan itu kau lumuri tahi kuda atau darah monyet?" selak Raja Pembual sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Merah muka Iblis Wajah Sebelah mendengar penghinaan Raja Pembual. Sekujur tubuhnya tampak bergetar hebat, menahan amarah. Sementara Hantu Pencabut Nyawa yang berdiri di sampingnya sudah tidak sabar lagi dan ingin cepat-cepat melepaskan pukulan dahsyat. Tapi sebagaimana tadi, Iblis Wajah Sebelah menahannya dengan gelengan kepala.

Rupanya, Hantu Pencabut Nyawa tidak mengerti kalau sekarang sedang berhadapan dengan salah satu tokoh rimba persilatan yang memiliki ilmu olah kanuragan sulit dijajaki. Bahkan juga merupakan seorang tokoh yang mempunyai segudang pengalaman dalam bertarung.

"Maafkan aku, Kisanak. Wajahku memang buruk begini rupa sejak dilahirkan orangtuaku. Terkadang, aku pun menyesal mengapa terlahir seperti ini Tapi..., kalau boleh tahu, apakah Kisanak yang berjuluk Raja Pembual?" tanya Iblis Wajah Sebelah. Sementara, di hatinya dia berusaha mati-matian menahan amarah.

"Aku memang raja di atas raja. Walaupun hanya seorang Raja Pembual. Tapi mengenai keadaan dirimu, kurasa kau tidak akan menyesal jika mau bunuh diri di depan mayat orang-orang yang telah kau culik!" bentak Raja Pembual, sehingga membuat Iblis Wajah Sebelah tersentak kaget.

Saat itu juga, Hantu Pencabut Nyawa melentingkan tubuhnya ke udara. Dan seketika satu pukulan jarak jauh dilepaskannya ketika tubuhnya berjumpalitan diudara.

Seketika seleret sinar hitam menebar bau busuk dan berhawa dingin luar biasa menderu ke arah Raja Pembual. Namun laki-laki tua ini sambil tertawa-tawa segera mengebutkan tongkat ditangannya. Maka dari ujung tongkat Raja Pembual, melesat secepat kilat dua leret sinar kuning menerjang kearah sinar hitam yang melesat dari telapak tangan Hantu Pencabut Nyawa.

Glar!

"Akh...!" Hantu Pencabut Nyawa memekik kaget, ketika suara ledakan keras akibat dua tenaga dalam tingkat tinggi bertemu. Pukulan Pelepas Sukma dari Hantu Pencabut Nyawa yang berhawa dingin membekukan, ternyata berbalik oleh satu kekuatan berhawa panas yang melesat dari ujung tongkat Raja Pembual. Laki-laki yang wajahnya bersimbah darah masih dapat menjejakkan kedua kakinya di atas tanah, walaupun terhuyung-huyung.

Melihat kenyataan ini, Iblis Wajah Sebelah tampak kaget bukan main. Tiba-tiba dari atas pohon, Raja Pembual melompat turun. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, maka tiga orang pengawal Istana Goa Darah langsung mengurung dengan tombak menderu. Raja Pembual tertawa terkekeh. Tongkat di tangan kirinya cepat berkelebat kian kemari.

Sementara, dua batang tombak di tangan pengawal menyodok ke bagian perut Raja Pembual. Sedangkan tombak di tangan pengawal yang satu-nya lagi, menghantam bagian punggung. Kakek tua berambut jarang ini cukup melompat ke samping kiri sejauh dua langkah dengan tangan kiri menghantam dada salah seorang pengawal. Sedangkan ujung tongkat di tangannya mengibas ke arah dua batang tombak yang menusuk ke perut.

Trak! Trak!

Tombak di tangan dua pengawal ini terpental dan patah menjadi dua. Dua orang pengawal me-mekik kaget sambil memegangi tangannya yang sempat bergetar dan sakit bukan main. Kesempatan ini tidak disia-siakan Raja Pembual. Tongkat ditangannya langsung berkelebat lagi kedua arah secara berturut-turut.

Cras! Cras!

"Aaa...!"

Kedua pengawal itu menjerit setinggi langit. Tubuh mereka mengejang. Bagian perut yang terluka parah akibat sabetan tangan Raja Pembual tampak mengucurkan darah yang tidak henti-hentinya. Tubuh mereka sebentar saja telah jatuh tergelimpang di tanah tanpa mampu bangkit kembali.

Melihat keadaan dua orang tewas secara mengenaskan, pengawal yang satu lagi bukannya ciut nyalinya. Sebaliknya malah melesat laksana kilat ke arah Raja Pembual dengan teriakan menggetarkan. Tombak di tangannya menghantam ke bagian leher laki-laki tua itu. Walaupun gerakan yang dilakukan pengawal ini termasuk cepat luar biasa, namun dengan hanya merundukkan kepala, serangan itu melenceng satu jengkal di atas kepala Raja Pembual. Ketika tubuh pengawal itu masih melayang di udara, Raja Pembual cepat mengirimkan satu pukulan menggeledek ke arah dada.

Buk! Krak!

"Aaa...!" Pengawal itu langsung jatuh terbanting di atas tanah. Tulang iganya yang terhantam tinju Raja Pembual kontan patah disertai suara berderak keras. Darah menyembur dari mulut pengawal ini. Tubuhnya berkelojotan sebentar, kemudian terdiam untuk selama-lamanya.

Mata Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah tampak terbeliak lebar. Mereka seakan tidak percaya dengan apa yang dilihat. Hanya dalam waktu sebentar saja, lima orang pengawalnya tergelimpangan roboh tanpa nyawa.

"Sekarang hanya kalian berdua!" dengus Raja Pembual dengan wajah tampak berubah kelam. Tongkatnya sudah melintang didepan dada. "Aku yakin kau dan kawanmu merupakan pembantu utama ratumu yang keparat itu! Tinggal kalian pilih saja, kematian bagaimana diinginkan?!?

"Mulutmu kelewat takabur, Tua Renta! Heaaa...!" teriak Hantu Pencabut Nyawa.

Laksana kilat, tubuh Hantu Pencabut Nyawa melesat kedepan. Satu serangan beruntun dengan tangan kosong dilakukan. Sementara itu, dari arah samping kiri Iblis Wajah Sebelah juga tidak tinggal diam. Baju putihnya yang longgar dan bersimbah darah dikebutkan. Maka, seketika melesat tiga leret sinar berwarna putih keperakan ke arah Raja Pembual.

Menghadapi serangan yang datangnya dari dua arah, Raja Pembual terkesiap. Tangan Hantu Pencabut Nyawa yang terpentang dan mencengkeram ke arah perutnya juga sangat berbahaya. Terlebih-lebih, setelah melihat tangan laki-laki berwajah aneh itu telah berubah berwarna hitam. Pertanda, jari-jari tangan itu mengandung racun yang sangat keji. Sedangkan dari arah samping, senjata rahasia berbentuk bintang segi empat juga tidak dapat dianggap enteng.

Satu-satunya yang dapat dilakukan Raja Pembual adalah dengan melompat mundur kebelakang. Tongkat di tangan dikibaskan kearah tangan Hantu Pencabut Nyawa. Kemudian, tubuhnya terus berputar ke samping kiri, menyongsong datangnya senjata rahasia yang dilemparkan Iblis Wajah Sebelah.

"Uts!" Hantu Pencabut Nyawa terpaksa menarik balik tangannya.

Trak! Trak!

Senjata rahasia berbentuk bintang sepi empat yang dilemparkan Iblis Wajah Sebelah runtuh terhantam tongkat ditangan Raja Pembual.

Hantu Pencabut Nyawa terkejut setengah mati melihat kehebatan yang dimiliki laki-laki bernama asli Baskara ini. Tapi dia merasa tidak punya waktu lebih banyak lagi untuk memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi. Sekali ini, Hantu Pencabut Nyawa langsung mencabut pedang pendek dari warangkanya.

Sret! Bet!

Ketika pedang Hantu Pencabut Nyawa dikibaskan ke udara, maka terdengar suara mendengung disertai berkelebatnya sinar merah menyilaukan mata. Raja Pembual sempat terkesiap sambil menggumam tidak jelas. Tidak sampai sekedipan mata, Hantu Pencabut Nyawa telah melompat ke arah laki-laki itu sambil menyodokkan pedang pendek berwarna merah di tangannya.

Serangan ganas dan berlangsung sangat cepat ini tidak mungkin dapat dihindari Baskara alias Raja Pembual. Cepat tongkatnya dihantamkan kebagian pergelangan tangan Hantu Pencabut Nyawa dengan maksud membuat jatuh pedang milik lawannya

Wut! Slap!

"Heps!" Lebih cepat lagi, Hantu Pencabut Nyawa menarik pedangnya. Begitu tongkat di tangan Baskara lewat dibawahnya, dia melakukan satu tusukan menyilang.

"Akh...!" Raja Pembual walaupun sudah berusaha menghindar, tetap saja dadanya tergores ujung pedang Hantu Pencabut Nyawa. Dengan terhuyung-huyung, Baskara melompat kebelakang. Luka yang ditimbulkan akibat tusukan pedang Hantu Pencabut Nyawa, menimbulkan rasa sakit bukan main. Sadarlah Raja Pembual kalau senjata itu mengandung racun keji. Raja Pembual menotok jalan darah dekat luka untuk menghindari penyebaran racun lebih cepat lagi.

"Sekali lagi kau tidak akan lolos dari kematian, Raja Pembual!" teriak Ibhs Wajah Sebelah.

Sret!

"Hiyaaa...!" Dengan tombak pendek berbentuk pipih dan bermata tiga di tangannya, Iblis Wajah Sebelah menerjang ke depan sambil menyodokkan tombak di tangannya. Gerakannya sangat cepat dan sulit diduga.

Bet!

"Yeaaah...!" Walaupun dalam keadaan terluka. Raja Pembual masih mampu menahan serangan Iblis Wajah Sebelah. Tongkat di tangannya didorong ke depan untuk menyambut kedatangan tombak yang mikian cepat.

Trak!

"Hap...!" Tongkat di tangan Baskara alias Raja Pembual terjepit di tengah-tengah mata tombak yang bercabang tiga milik Iblis Wajah Sebelah. Raja Pembual berusaha menarik lepas tongkatnya yang terjepit, namun sangat sulit dilakukan. Dengan geram Baskara mengerahkan tenaga dalamnya. Tapi, celaka! Tenaga dalam yang dimiliki tidak dapat bekerja sebagaimana yang diinginkannya. Sementara pada saat yang sama, Hantu Pencabut Nyawa telah menyerang kembali sambil mengibaskan pedang pendek berwarna merah di tangan.

"Hiyaaa...!"

Bet! Slap!

Dengan terpaksa, Raja Pembual melepaskan tongkatnya. Kemudian tubuhnya dibanting ke tanah sambil melepaskan satu tendangan telak kebawah perut Hantu Pencabut Nyawa.

Buk!

"Hugkh...!" Hantu Pencabut Nyawa merasa bagian bawah perutnya seperti remuk. Napasnya tiba-tiba terasa sesak. Tubuhnya bergetar hebat, walaupun tidak sampai terpelanting.

ENAM

Dengan pedang masih tergenggam di tangan, Hantu Pencabut Nyawa melompat mundur. Sementara, Iblis Wajah Sebelah malah melompat ke depan sambil menghantamkan tombak pendek dan tongkat yang berhasil dirampas dari tangan Raja Pembual dengan gerakan menyilang.

Bet! Bet!

"Edan...!" maki Raja Pembual. Tubuh orang tua ini melenting ke udara. Serangan tombak pendek dari Iblis Wajah Sebelah luput dari sasaran. Namun serangan tongkat yang dilakukan dengan gerakan tidak mengenal henti, membuat Raja Pembual jadi terdesak juga.

"Keparat! Masa, aku harus mati termakan senjataku sendiri?!" gerutu Raja Pembual sambil terus berusaha menghindari serangan dahsyat Iblis Wajah Sebelah.

"Kau hanya mengulur-ulur kematianmu saja, Raja Pembual!" teriak Hantu Pencabut Nyawa yang sudah bergabung kembali, menyerang Raja Pembual.

Semakin lama serangan-serangan semakin ganas dan berbahaya. Raja Pembual menyadari kalau dirinya dalam keadaan terancam. Maka kini dia mulai bersiap melepaskan pukulan 'Seribu Cara Menaklukkan Iblis'.

Ketika Raja Pembual mengerahkan tenaga dalam, maka kedua tangannya dalam waktu sekejap saja telah berubah putih laksana perak.

Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah rupanya tidak menyadari kalau Raja Pembual telah bersiap-siap melepaskan pukulan yang sangat diandalkan. Mereka terus melancarkan serangan-serangan dahsyat, kemana pun Raja Pembual berusaha berkelit dan menghindar.

Kakek berambut jarang ini tiba-tiba berbalik dan melepaskan pukulannya berturut-turut ke dua arah. Seketika dua leret sinar berwarna putih laksana perak menderu, mengancam keselamatan dua tokoh dari Istana Goa Darah.

Iblis Wajah Sebelah melompat kesamping kiri. Sedangkan Hantu Pencabut Nyawa melenting ke udara. Sehingga serangan itu luput. Saat itu juga tubuh Hantu Pencabut Nyawa terus bersalto, mendekati kearah Raja Pembual. Setelah dekat. pedang pendeknya cepat dikibaskan.

Bet!

"Uts...!" Bret!

"Akh...!" Raja Pembual terpekik kesakitan ketika bahunya tersambar ujung pedang Hantu Pencabut Nyawa, meskipun telah berusaha menghindar. Dengan geram dilepaskannya satu pukulan dahsyat ke arah Hantu Pencabut Nyawa.

Laki-laki yang wajahnya bersimbah darah kering ini sudah tidak mungkin lagi menghindari pukulan 'Seribu Cara Menaklukkan Iblis' yang di lepaskan Raja Pembual..Akibatnya...?

Glar!

Walaupun Hantu Pencabut Nyawa telah memutar pedang pendek di tangannya unruk membentuk perisai diri, tetap saja pertahanan yang di buatnya tidak mampu menahan gelombang hawa panas yang melesat dari telapak tangan Raja Pembual.

Tubuh Hantu Pencabut Nyawa kontan terbanting ke tanah dengan mulut dan hidung mengucurkan darah. Laki-laki itu merasa sekujur tubuhnya seperti terbakar. Melihat kesempatan ini, Raja Pembual bermaksud menghabisinya. Tapi tanpa disadari, dari bagian kanan Iblis Wajah Sebelah sudah menusukkan ujung tombak bermata tiga miliknya.

"Uh! Kurang ajar!" maki Raja Pembual. Dengan tangan kiri Raja Pembual berusaha menepis senjata berujung runcing ini. Namun, mendadak Iblis Wajah Sebelah membelokkan serangannya. Sehingga, gerakan menangkis yang dilakukan Baskara hanya sia-sia saja. Bahkan tidak terduga, tongkat milik Raja Pembual yang berada di tangan kiri Iblis Wajah Sebelah cepat menyodok ke perutnya.

Cras!

"Aaa...!" Raja Pembual menjerit setinggi langit, begitu tongkat miliknya sendiri menyambar perutnya. Isi perutnya terburai keluar. Matanya tampak melotot, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tubuhnya kemudian ambruk tanpa mampu berkutik lagi. Seketika, Iblis Wajah Sebelah tergelak-gelak melihat kematian Raja Pembual.

"Siapa sangka kalau manusia gombal yang satu ini mati termakan senjata sendiri?!" sentak Iblis Wajah Sebelah sambil memperhatikan ujung tongkat di tangannya yang berlumuran darah.

"Hm.... Satu persatu tokoh persilatan kita lenyapkan dari muka bumi ini. Tapi masih ada beberapa orang lagi yang patut diperhitungkan!" gumam Hantu Pencabut.Nyawa.

"Mengapa harus takut? Cepat atau lambat, kita dapat melenyapkan mereka satu persatu! rungut Iblis Wajah Sebelah, bangga.

"Kau betul, Sahabatku. Sekarang lebih baik kita laporkan kejadian ini pada Gusti Ratu!" saran Hantu Pencabut Nyawa. Suaranya pelan, namun jelas terdengar.

Kedua manusia bertampang angker ini kemudian berbalik langkah, menuju bibir Lembah Putus Nyawa.

********************

"Aku tidak tahu, apa tujuan orang-orang Istana Goa Darah menculik dan membunuh tokoh-tokoh persilatan? Lebih celaka lagi, aku tidak tahu yang mana kawan dan mana lawan. Aku patut merasa curiga pada semua orang yang kujumpai!" gumam seorang laki-laki berpakaian serba putih, sambil terus melangkah menuju Istana Goa Darah.

Dan tiba-tiba saja, laki-laki tua berusia enam puluh tiga tahun itu menghentikan langkahnya. Pendengarannya yang tajam, sebentar tadi sempat mendengar suara mencurigakan di samping kanan.

'Siapa yang bersembunyi lekas tunjukkan diri!" bentak laki-laki berbaju putih ini. Suaranya pelan, tapi jelas terdengar.

Sesaat menunggu tidak ada jawaban apa-apa. Tapi laki-laki tua itu tetap merasa yakin ada orang lain berada di tempat ini. Maka tanpa bicara apa-apa lagi, langsung dilepaskannya satu pukulan jarak jauh kearah terdengamya suara tadi. Seketika seleret sinar berwarna merah seperti bara menderu ke arah semak-semak yang terdapat di samping kanan.

Glar!

Terjadi satu ledakan dahsyat, ketika pukulan jarak jauh yang dilepaskan laki-laki tua ini menghantam semak-semak di sampingnya. Api kemudian berkobar. Tak lama, dua bayangan putih dan hitam tampak melesat dari dalam semak-semak yang terhantam pukulannya.

"Tunggu! Jangan serang...!"

Sebuah suara terdengar memperingatkan, begitu kedua bayangan tadi telah berdiri dua batang tombak di depan laki-laki tua itu.

"Hm... Siapa bisa percaya omongan kalian! Heaaa...!" teriak laki-laki berbaju putih ini, langsung melepaskan pukulannya ke arah dua sosok yang ternyata pemuda berompi putih dan laki-laki berbaju hitam secara susul-menyusul. Kedua orang itu terpaksa menghindari serangan ganas laki-laki tua ini.

"Huh...! Kalau kalian punya kepandaian, lebih baik keluarkan segera! Aku akan membunuh siapa pun yang kucurigai!" dengus laki-laki tua berpakaian serba putih ini, seraya mengibaskan tangannya berturut-turut kearah pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Manusia edan! Tunggu! Aku ingin menjelas-kan sesuatu padamu, Ki!" teriak Rangga, sambil berusaha menghindari serangan-serangan ganas yang dilancarkan laki-laki tua itu.

"Siapa yang sudi dengar ocehan begundalnya Ratu Istana Goa Darah...!" sentak laki-laki berbaju putih ini.

Sekali lagi, laki-laki tua itu menyerang Rangga dengan tendangan-tendangan menggeledek. Sadar kalau lawan tidak gampang diajak berpikir dingin, Pendekar Rajawali Sakti segera mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Kedua kakinya langsung bergerak lincah dengan tubuh meliuk-liuk. Sehingga, membuat serangan gencar laki-laki tua itu luput dari sasarannya.

Rupanya kenyataan yang dialami membuat laki-laki tua itu semakin bertambah penasaran. Walau disadari tidak sekalipun Rangga membalas serangan-serangan dahsyat yang dilakukannya, namun rasa curiga di hatinya telah membuatnya hampir tidak dapat membedakan mana kawan dan mana lawan.

"Kau boleh mengelak terus, Anak Muda! Jangan salahkan jika nyawamu melayang di tanganku!" dengus laki-laki tua berbaju putih itu sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara.

"Kuharap kau dapat berpikir sehat, Kisanak! Ketahuilah! Aku dan Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini sedang menunggu kemunculan para pembantu Ratu Istana Goa Darah yang telah melakukan penculikan atas murid-murid padepokan dan juga membunuh tokoh-tokoh golongan putih. Lalu, kau muncul! Karena tidak mengenalmu, maka kami ingin memastikannya dari tempat persembunyian!" jelas Rangga.

"Eeeh...!" Laki-laki tua itu surut mundur tiga langkah. Rupanya setelah mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang lembut dan sopan dia mulai sadar. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti bukan orang yang dicari-carinya.

"Siapa kau?!" tanya laki laki berbaju putih ini sambil menarik tangannya. Tatapan matanya memandang silih berganti pada Rangga dan laki-laki bernama Ki Subrata yang berdiri tidak jauh di belakang Pendekar Rajawali Sakti.

Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu kemudian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, dia menjura hormat pada laki-laki tua berbaju serba putih.

"Aku tidak habis pikir, mengapa kau menyerang orang sendiri, Penghuni Lereng Gunung Di-eng! Apakah kau sudah tidak mengenaliku?!" sindir Ki Subrata.

Laki-laki tua yang berasal dari Gunung Dieng dan berjuluk Pendekar Bayangan Malaikat ini meneliti laki-laki berbaju hitam didepannya dengan kemng berkerut. Tiba-tiba dia tertawa lebar.

"Ah...! Sobatku, Ki Subrata! Maaf... Mataku yang lamur ini sudah tidak awas lagi mengenalimu!" ujar Pendekar Bayangan Malaikat. Kemudian Pendekar Bayangan Malaikat menghambur ke depan, memeluk Ki Subrata sahabat lamanya. Setelah agak lama berpelukan, mereka saling melepaskan. Dan Ki Subrata segera menoleh ke arah Rangga.

"Siapa pemuda itu?" tanya laki-laki berbaju putih ini, sambil memandang tajam pada Rangga.

"Dia Pendekar Rajawali Sakti!" jelas Ki Subrata.

Rangga tersenyum ramah. Sementara kening Pendekar Bayangan Malaikat berkerut dalam. "Aku sering mendengar namamu disebut-sebut orang, Anak Muda! Tidak kusangka, hari ini kita bertemu di sini!" suara Pendekar Bayangan Malaikat pelan penuh persahabatan.

"Kisanak terlalu berlebih-lebihan," gumam Rangga tersenyum.

"Sebenarnya, apakah kalian juga ingin pergi ke Istana Goa Darah? Tapi, mengapa menunggu disini terlalu lama?" tanya Pendekar Bayangan Malaikat, heran.

"Memang kami akan pergi ke sana, Sahabat. Tapi, kami tidak ingin bertindak gegabah. Kami sedang mengatur siasat, bagaimana caranya memancing keluar Ratu Istana Goa Darah!" jelas Ki Subrata pada sahabatnya yang berasal dari Gunung Dieng.

"Mengapa hanya membuang-buang waktu? Lebih baik serbu saja Istana Goa Darah. Setelah itu, kita hancurkan," tanya Pendekar Bayangan Malaikat, seakan tidak sabar.

Ki Subrata yang tahu lebih banyak tentang Istana Goa Darah hanya tersenyum. "Terlalu berbahaya, Paman," ujar Rangga yang telah menyebut paman pada Pendekar Bayangan Malaikat. "Penghuni Istana Goa Darah tidak mungkin dibunuh, jika masih berada dalam istananya."

"Memang kenapa?" tanya Pendekar Bayangan Malaikat, tidak mengerti.

"Di dalam istana itu, sangat banyak kekuatan yang bersifat gaib. Jika dapat menyerang kesana, belum tentu kita keluar dalam keadaan hidup!" jelas Ki Subrata. "Lagi pula, untuk mencapai pintu Istana Goa Darah, kita harus melewati lembah yang memisahkannya dari dunia luar. Sedangkan, jembatan untuk sampai di istana itu adalah jembatan gaib yang bernama Jembatan Penghubung Sukma. Hanya pada waktu dibutuhkan orang-orang dalam istana, jembatan itu baru ada. Sedangkan orang luar tidak dapat memakainya."

"Kalau begitu sulit juga!" gumam Pendekar Bayangan Malaikat kesal. "Tapi aku tidak punya banyak waktu berada di luaran ini. Aku harus kembali ke Gunung Dieng secepatnya."

"Jadi, kau akan membatalkan niatmu pergi ke Istana Goa Darah yang sudah tidak seberapa jauh lagi jaraknya dari sini?" tanya Ki Subrata, heran.

"Tentu saja tidak! Maksudku, aku tidak dapat menyertai kalian! Aku harus berangkat ke Istana Goa Darah sekarang juga...!" tandas laki-laki berbaju putih ini, langsung bergerak cepat.

Hanya sekali berkelebat saja, Pendekar Bayangan Malaikat telah jauh dari pandangan mata. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat tinggi.

"Kembali! Tunggu, Kisanak!" pinta Rangga, keras.

"Aku tidak dapat menunggu kalian! Sampai bertemu nanti di akherat...?!" sahut Pendekar Bayangan Malaikat, sayup-sayup dari kejauhan Sana.

"Manusia angin-anginan itu memang sulit diberi nasihat! Aku khawatir, terjadi apa-apa dengannya," keluh Ki Subrata. Ki Subrata memandang kearah perginya Pendekar Bayangan Malaikat. Dan rasa cemasnya pun semakin menjadi-jadi.

"Lalu bagaimana, Ki...?" desah Rangga, kemudian menarik napas dalam-dalam. Wajahnya tertunduk lesu.

"Kita tidak mungkin mengejar dan mencegah manusia bayangan itu. Ilmu meringankan tubuhnya tidak dapat ditandingi. Mungkin saat ini, dia telah sampai dipinggir Lembah Putus Nyawa!"

"Kalau begitu, dia juga memiliki kesaktian yang sangat luar biasa!" desis Rangga berusaha menutupi keterkejutannya.

Ki Subrata hanya mengangguk pelan. "Memang benar. Tapi... dalam menghadapi orang-orang Istana Goa Darah, dia tidak bisa bertindak gegabah," sahut Ki Subrata.

"Kalau begitu, mari kita susul...!

Ki Subrata mengangguk setuju. Kemudian, mereka menghampiri Dewa Bayu yang ditambatkan di balik semak-semak belukar.

********************

Memandang jauh ke tengah-tengah Lembah Putus Nyawa, memang merupakan satu pemandangan yang menyeramkan. Tidak seorang punyang dapat memastikan berapa kedalamannya. Sepanjang hari, kabut tipis tampak menyelimuti lembah ini. Pucuk-pucuk pohon meranggas gersang, pertanda di dalam lembah dihuni berbagai jenis ular berbisa.

Sementara itu, Pendekar Bayangan Malaikat sekarang memang baru menyadari kebenaran ucapan Ki Subrata sahabatnya. Tidak ada satu jembatan pun untuk sampai ke mulut goa berwarna merah darah yang terletak di seberang sana.

Jadi apa yang kudengar selama ini ternyata bukan kabar kosong belaka...? gumam Pendekar Bayangan Malaikat. "Sampai tua aku tidak akan menemukan apa-apa Sebaiknya kucari akal lain...!" gerutu laki-laki berbaju putih ini.

Laki-laki dari Gunung Dieng itu kemudian berbalik dan menelusuri pinggiran tebing lembah. Sampai di satu tempat, tiba-tiba saja langkahnya berhenti. Tatapan matanya memandang ke arah bagian samping kanan, dimana terlihat sebuah pemandangan yang cukup menyeramkan.

Pohon-pohon tampak porak-poranda. Tampaknya, seperti telah terjadi pertempuran disitu. Pendekar Bayangan Malaikat bergerak mendekat sambil meneliti. Dan laki-laki tua itu lebih terkejut lagi, ketika melihat lima mayat berseragam pengawal kerajaan bergeletakan tumpang tindih.

"Ya, Tuhan! Apa yang telah terjadi disini?" desis Pendekar Bayangan Malaikat.

TUJUH

Pendekar Bayangan Malaikat menumpahkan seluruh perhatiannya kearah sosok tubuh berbaju putih lusuh. Melihat keadaannya, tampak jelas kalau sosok yang terkapar dekat akar pohon, bukan kawan orang-orang yang berpakaian pengawal. Karena badannya tertelungkup, maka Pendekar Bayangan Malaikat tidak dapat mengenali.

"Dia pasti sudah tewas! Namun tidak salah jika aku memeriksanya," gumam laki-laki berbaju putih ini, seraya menghampiri.

Setelah tubuh yang menelungkup itu ditelentangkan, maka terkejutlah Pendekar Bayangan Malaikat. "Raja Pembual!" pekik Pendekar Bayangan Malaikat terkejut bukan main.

Laki-laki tua berbaju putih itu segera berjongkok. Langsung diperiksanya keadaan luka di tubuh Raja Pembual yang telah kaku menjadi mayat. "Dia seperti terbunuh oleh senjatanya sendiri!" sentak tokoh dari Gunung Dieng ini seakan tidak percaya. "Para pengawal itu pastilah Raja Pembual yang telah membunuhnya. Tapi siapa yang telah membunuhnya?"

Belum sempat Pendekar Bayangan Malaikat berpikir lebih lanjut, mendadak...

Wus! Slap!

Tiba-tiba Pendekar Bayangan Malaikat dikejutkan oleh suara mendesing dari arah belakang.

"Pembokong pengecut!" teriak Pendekar Bayangan Malaikat sambil mengibaskan tangannya yang telah teraliri tenaga dalam kearah datangnya suara tadi.

Seketika angin kencang laksana topan menderu kearah datangnya senjata rahasia yang meluncur deras ke arah Pendekar Bayangan Malaikat. Senjata rahasia berupa bintang segi empat tertahan di udara. Bahkan ketika Pendekar Bayangan Malaikat mengebutkan tangannya kembali, senjata yang mengambang di udara ini berbalik menyerang ke arah pemiliknya.

"Hih...! Uts!"

Terdengar seruan terkejut yang disertai melesatnya dua sosok bayangan putih loreng-loreng kearah Pendekar Bayangan Malaikat. Laki-laki dari Gunung Dieng itu secepat kilat berbalik arah. Dan dia segera melihat kehadiran dua orang laki-laki bertampang angker bersenjata tombak bermata tiga.

Sedangkan yang satunya lagi bersenjata pedang pendek. Sekali melihat saja Pendekar Bayangan Malaikat sudah tahu kalau mereka ini tidak lain adalah orang-orang dari Istana Goa Darah.

"Kalian pasti tokoh-tokoh dari Istana Goa Darah!" dengus Pendekar Bayangan Malaikat sambil melolos senjata andalannya berupa rantai panjang yang diganduli bola baja berduri. "Coba katakan, siapa yang telah membunuh Raja Pembual, sahabatku!"

Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah saling berpandangan. Kemudian, menggemalah suara tawa mereka. Sehingga, membuat Pendekar Bayangan Malaikat menjadi sangat marah.

"Rupanya kalian para iblis yang ingin mencari mampus!" bentak Pendekar Bayangan Malaikat gusar.

Iblis Wajah Sebelah maju kedepan. "Sobat! Bukankah kau yang berjuluk Pendekar Bayangan Malaikat?" tanya laki-laki yang sebagian wajahnya dibaluri darah mengering. Nada suaranya sengaja diramah-tamahkan.

Pendekar Bayangan Malaikat jika tidak melihat kematian kawannya, tentu ikut bersikap ramah. Bahkan mungkin pula terjebak oleh mulut manis Iblis Wajah Sebelah. Tapi, sekarang suasananya benar-benar telah berubah. Kematian Raja Pembual baginya sudah cukup sebagai bukti, bahwa apa pun tujuan undangan yang diterimanya dari ratu Istana Goa Darah, segera akan berakhir dengan pembunuhan keji.

"Kalau benar, kau mau apa? Dan kalau tidak mau apa?" dengus laki-laki berbaju putih ini ketus.

Iblis Wajah Sebelah menyeringai. "Kalau kau memang benar Pendekar Bayangan Malaikat Gunung Dieng, Gusti Ratu kami telah menunggu kedatanganmu!" tegas tokoh ketiga Istana Goa Darah.

"Benar! Ratu kami telah menunggu kedatanganmu," dukung Hantu Pencabut Nyawa.

"Siapa bisa percaya dengan kata-kata manusia iblis!" bentak Pendekar Bayangan Malaikat.

"Mengapa kau berkata begitu?" tanya Iblis Wajah Sebelah, sambil berusaha menahan amarahnya.

"Agar kalian tahu! Raja Pembual adalah manusia polos. Dia sama sekali tidak pernah peduli kelicikan orang lain. Jika sampai tewas di tempat ini, jelas pembunuhnya tidak lain adalah kalian sendiri!" tegas tokoh dari Gunung Dieng ini berapi-api.

Wajah mereka yang tertutup darah kering itu tampak memerah. Jelas tidak ada cara lain untuk menjebak Pendekar Bayangan Malaikat terkecuali membunuhnya secara terang-terangan.

"Jadi, kau benar-benar tidak mau mengikuti kehendak kami!" desis Hantu Pencabut Nyawa, di ngin.

"Siapa yang sudi ikut?! Justru kedatanganku kemari, semata-mata karena ingin membunuh seluruh penghuni Istana Goa Darah!" sentak Pendekar Bayangan Malaikat.

"Begitukah?" gumam Hantu Pencabut Nyawa, tersenyum mengejek. "Apakah kau kira dapat keluar dari tempat ini dengan selamat?"

"Tentu saja! Karena kedatanganku kemari semata-mata ingin menghancurkan Istana Goa Darah dan seluruh penghuninya!" dengus Pendekar Bayangan Malaikat.

Melihat kenyataan ini, Iblis Wajah Sebelah segera menganggukkan kepala sebagai tanda untuk melakukan serangan.

"Hiyaaa...!"

Laksana kilat, Hantu Pencabut Nyawa melesat kedepan sambil melepaskan satu jotosan berisi tenaga dalam penuh. Ketika angin kencang berhembus menyertai berkelebatnya tubuh Hantu Pencabut Nyawa, segera tercium bau busuk bangkai yang terasa menyesakkan dada.

Namun Pendekar Bayangan Malaikat cepat menggeser langkahnya kesamping kiri dua tindak. Kemudian dikerahkannya jurus Sembilan Langkah Ajaib, salah satu jurus menghindar yang juga bisa melakukan serangan balik.

Serangan berupa jotosan yang mengarah pada bagian wajah Pendekar Bayangan Malaikat, mengenai tempat kosong. Bahkan tangan kanan laki-laki berbaju putih berikat kepala merah ini segera terjulur, dan langsung menangkap pergelangan tangan Hantu Pencabut Nyawa. Selanjutnya, tangan kirinya yang setengah menekuk menghantam dada dengan telak sekali.

Buk!

"Hukh!" Hantu Pencabut Nyawa mengeluh tertahan. Bahkan kembali satu tendangan kaki Pendekar Bayangan Malaikat menghantam perutnya.

Des!

"Akh...?!" Sambil menjerit kesakitan Hantu Pencabut Nyawa jatuh terguling-guling. Dari mulutnya langsung menyembur darah kental. Dan dengan susah payah, dia berusaha bangkit berdiri.

Melihat kawannya dapat dibuat jatuh bangun hanya dalam dua gebrakan saja, Iblis Wajah Sebelah tampak marah sekali. Maka dengan mengandalkan jurus Tipuan Iblis, laki-laki berbaju putih bersimbah darah ini langsung melompat ke depan. Kedua tangannya yang berbentuk cakar dan berwarna hitam, menghantam kedada Pendekar Bayangan Malaikat.

Namun masih dengan mempergunakan jurus Seribu Bayang-Bayang, Pendekar Bayangan Malaikat segera menyambut datangnya serangan. Tubuhnya cepat melenting keudara. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya melesat lagi ke bawah dengan satu hantaman bola baja berduri kebagian dada Iblis Wajah Sebelah.

"Heh?!" Terdengar seruan kaget. Tokoh ketiga dari Istana Goa Darah ini terpaksa menarik balik serang annya, dan menjatuhkan diri sambil terus berguling-guling menyelamatkan diri dari sambaran senjata bola berduri.

Glar! Glar!

Terdengar ledakan berturut-turut pada saat senjata ditangan Pendekar Bayangan Malaikat menghantam tanah berbatu, di sebelah Iblis Wajah Sebelah. Sementara dengan muka berubah pucat seputih kertas, Iblis Wajah Sebelah bangkit berdiri.

"Mari kita bantai manusia sinting ini beramai-ramai, Sobatku!" teriak Hantu Pencabut Nyawa pada Iblis Wajah Sebelah.

Sret!

Segera Hantu Pencabut Nyawa mencabut pedang pendeknya yang berwarna merah darah.

Bet!

"Heaaa...!" Sambil berteriak nyaring, Hantu Pencabut Nyawa mengibaskan senjata di tangannya kearah dada Pendekar Bayangan Malaikat. Tapi serangan mempergunakan senjata beracun itu segera terhalang oleh senjata bola baja berduri yang mengeluarkan suara menderu-deru.

Trak!

Tubuh Hantu Pencabut Nyawa tergetar hebat, ketika pedang ditangannya membentur bola berduri di tangan Pendekar Bayangan Malaikat. Bunga api tampak memijar. Sementara Pendekar Bayangan Malaikat sendiri sempat tersentak kaget.

"Hiyaaa...!"

Saat itu juga dari arah lain Iblis Wajah Sebelah yang telah mengeluarkan senjatanya yang berupa tombak pendek bermata tiga, mengirimkan satu tusukan kebagian lambung Pendekar Bayangan Malaikat.

Laki-laki dari Gunung Dieng ini sadar betul betapa berbahayanya senjata di tangan Iblis Wajah Sebelah ini. Untuk itu, dia melompat mundur sejauh tiga langkah kebelakang. Kemudian, bola baja berduri yang berantai panjang diputar sedemikian rupa, membentuk perisai.

Wus! Wus!

"Gila!" maki Iblis Wajah Sebelah sambil menyodokkan tombak pendek bermata tiga di tangannya. Namun dengan gesit, Pendekar Bayangan Malaikat berkelit. Tapi, terlambat. Karena....

Cras!

"Akh...?!" Laki-laki berbaju putih ini terpekik, begitu bahunya sempat tergores ujung tombak Iblis Wajah Sebelah. Namun pekikannya segera melenyap. Walaupun bahunya telah mengucurkan darah dan menimbulkan rasa sakit sangat luar biasa, dia tetap juga mengayunkan senjata ditangannya begitu cepat ke arah bahu Iblis Wajah Sebelah. Dan....

Wus! Crak!

"Hugkh!" Iblis Wajah Sebelah tampak terhuyung-huyung begitu bola berduri Pendekar Bayangan Malaikat sempat mendarat di bahunya. Bajunya yang terobek besar mengalirkan darah kental.

Kedua laki-laki ini sama-sama melompat mundur ke belakang sejauh tiga batang tombak. Namun dari arah lain, Hantu Pencabut Nyawa yang merasa penasaran, telah melepaskan satu pukulan dahsyat jarak jauh kearah Pendekar Bayangan Malaikat.

Seketika seleret sinar berwarna hitam pekat dan menebar baru busuk bangkai langsung melesat ke arah Pendekar Bayangan Malaikat. Udara di sekitarnya terasa dingin menyesakkan dada. Pendekar Bayangan Malaikat terkesiap, namun cepat mengerahkan tenaga dalamnya. Dia bersiap siap melepaskan pukulan Bakti Malaikat Putih.

Maka seketika tangan tokoh dari Gunung Dieng ini dikibaskan ke depan, dua leret sinar putih menyilaukan mata langsung menderu disertai gelombang angin kencang yang sangat panas menghanguskan.

Glar!

Terjadi benturan yang sangat dahsyat disertai ledakan dahsyat menggelegar. Suasana disekitar pertempuran menjadi porak-poranda. Pohon-pohon bertumbangan dan terbakar. Sementara Hantu Pencabut Nyawa dan Pendekar Bayangan Malaikat sama-sama terpelanting roboh. Dari mulut masing-masing tampak mengucur darah kental. Hantu Pencabut Nyawa bahkan merasa dadanya seperti remuk.

Sementara itu, Pendekar Bayangan Malaikat sudah bangkit berdiri. Dengan mulut menyeringai menahan sakit dibagian bahunya, dia segera menghadapi serangan-serangan ganas Iblis Wajah Sebelah yang bahunya telah terluka, terkena sabetan bola berduri Pendekar Bayangan Malaikat.

"Uts! Setan...!" dengus Pendekar Bayangan Malaikat ketika melihat tombak pendek bermata tiga di tangan Iblis Wajah Sebelah sudah menyodok ke bagian perutnya.

"Hiya...!" Pendekar Bayangan Malaikat berteriak nyaring. Tubuhnya langsung melenting keudara. Sementara seperti anak panah terlepas dari busurnya, Iblis Wajah Sebelah telah mengejarnya. Masih sama-sama berada diudara, Iblis Wajah Sebelah mengibaskan tombak ditangannya yang menimbulkan angin kencang.

Pendekar Bayangan Malaikat menarik kakinya yang menekuk dalam-dalam. Sehingga, serangan Iblis Wajah Sebelah luput. Lalu laksana kilat, rantai besi berujung bola baja berduri diayunkan ke arah Iblis Wajah Sebelah.

Iblis Wajah Sebelah tampak sudah tidak mungkin menghindari serangan yang tidak terduga. Walaupun telah berusaha menghindari, tapi gerakan meluncur Pendekar Bayangan Malaikat terasa lebih cepat lagi. Akibatnya...

Wus!

Cras!

"Akh...!" Iblis Wajah Sebelah berteriak melengking kesakitan. Sebagian wajahnya yang terkena sambaran bola baja berduri tampak hancur mengucurkan darah. Sebelah matanya bahkan keluar dari dalam rongganya.

Iblis Wajah Sebelah meraung-raung seperti orang gila. Dan tanpa menghiraukan keadaan dirinya sendiri, dia menerjang kearah Pendekar Bayangan Malaikat secara membabi buta.

Pada saat itu, Pendekar Bayangan Malaikat sendiri mulai merasakan pengaruh racun akibat tusukan tombak ditangan Iblis Wajah Sebelah tadi. Tubuhnya tampak terhuyung-huyung, dan pandangan matanya jadi berkunang-kunang. Walau begitu, dia masih mampu menghindari serangan membabi buta yang dilakukan Iblis Wajah Sebelah.

Bet! Slap!

Tokoh dari Gunung Dieng ini memiringkan tubuhnya ke kiri. Maka tombak Iblis Wajah Sebelah yang menusuk ke bagian leher lewat hanya setengah jengkal. Dan seketika itu pula, Pendekar Bayangan Malaikat menghantamkan rantai bola berduri ditangannya ke bagian perut Iblis Wajah Sebelah. Begitu cepat gerakannya, sehingga...

Bret!

"Aaa...!" Iblis Wajah Sebelah berteriak setinggi langit, begitu bola berduri Pendekar Bayangan Malaikat menghajar telak perutnya. Tubuhnya mengejang. Isi perutnya terburai keluar disertai cucuran yang tidak ada henti-hentinya. Senjata Iblis Wajah Sebelah terlepas dari tangan. Tubuhnya tersungkur ke depan, lalu terdiam untuk selama-lamanya.

Hantu Pencabut Nyawa tampak terkejut melihat kematian kawannya. Dia segera melompat ke depan dengan senjata terhunus di tangan kanan.

Pendekar Bayangan Malaikat sendiri saat ini makin merasakan hebatnya pengaruh racun yang mengeram di tubuhnya. Pandangan matanya berubah menjadi gelap. Kemudian, dia jatuh terjengkang tidak sadarkan diri.

Hantu Pencabut Nyawa langsung tergelak-gelak melihat Pendekar Bayangan Malaikat roboh pingsan. Pedang pendek ditangannya yang berwarna merah darah, diangkatnya tinggi-tinggi ke udara.

"Aku baru merasa puas setelah mencincang tubuhmu, Pendekar Bayangan Malaikat! Hiyaaat...!" teriak Hantu Pencabut Nyawa.

Tubuh Hantu Pencabut Nyawa melesat kedepan dengan pedang terangkat tinggi-tinggi itu ke jantung Pendekar Bayangan Malaikat yang tergolek tidak sadarkan diri.

Namun di tengah saatsat yang sangat menegangkan, tiba-tiba menderu angin kencang seperti topan, menahan gerakan Hantu Pencabut Nyawa di udara. Tidak lama kemudian, dari arah datangnya angin kencang tadi tampak berkelebat dua sosok bayangan putih dan hitam.

Sosok bayangan hitam langsung menyambar tubuh Pendekar Bayangan Malaikat. Sedangkan sosok bayangan putih langsung menghantam dada Hantu Pencabut Nyawa. Belum hilang keterkejutan Hantu Pencabut Nyawa, tahu-tahu satu pukulan yang sangat keras menghantam dadanya.

Des!

"Aaakh...!" Laki laki ini terbanting keras menghantam pohon di belakangnya. Pohon sebesar pelukan orang dewasa itu tumbang menimbulkan suara gaduh.

"Hugkh!" Hantu Pencabut Nyawa merintih kesakitan. Dengan tertatih-tatih dia berusaha bangkit berdiri. Perlahan matanya memandang ke depan. Dan tahu-tahu, di situ telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan berompi putih yang menatap dingin.

Hantu Pencabut Nyawa terkejut bukan main. Terlebih-lebih setelah melihat Ki Subrata juga telah hadir di situ, memberi pertolongan pada Pendekar Bayangan Malaikat yang keracunan. Untuk menutupi rasa terkejutnya, Hantu Pencabut Nyawa langsung tertawa terbahak-bahak.

"Akhirnya kau datang juga memenuhi undangan kami, Pendekar Rajawali Sakti! Tapi jika beberapa waktu yang lalu kau dapat meloloskan diri, maka sekarang jangan harap lagi!" dengus Hantu Pencabut Nyawa sambil menyeringai mengejek.

"Hm. Bicaralah sesukamu! Aku pun telah siap menghadapimu sampai titik darah terakhir!" desis Rangga, dingin.

"Lihat serangan!" teriak Hantu Pencabut Nyawa. Tubuh laki-laki yang selalu menebar bau busuk mengganggu pernapasan ini melesat ke depan. Pedang merah di tangannya mengibas ke depan, sambil menyodok kebagian perut Pendekar Rajawali Sakti.

Saat itu juga, Rangga meliukkan tubuhnya, mempergunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Ini adalah salah satu jurus yang sering dipergunakan Rangga, untuk memancing dan mengamati tingkat kepandaian lawan.

"Setan keparat!" geram Hantu Pencabut Nyawa begitu melihat serangan-serangan gencar yang dilakukannya luput dari sasaran.

Dengan perasaan jengkel, Hantu Pencabut Nyawa segera mengerahkan jurus pedang Perangkap Iblis. Salah satu jurus paling dahsyat, yang diwariskan Dewi Kemuning Penguasa Istana Goa Darah.

Jurus jurus yang dimainkan Hantu Pencabut Nyawa tampak berubah menyolok. Pedang ditangannya menderu-deru, mencecar pertahanan Rangga. Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti memuji kehebatan jurus andalan yang dimainkan lawannya. Tapi berkat jurus Sembilan Langkah Ajaib, semua serangan yang sangat gencar masih dapat dipatahkan.

"Hiya!"

Wut! Slap!

"Curang!" teriak Rangga.

Saat itu Pendekar Rajawali Sakti melihat, sambil menyerang dengan pedang pendeknya. Hantu Pencabut Nyawa juga melemparkan senjata rahasianya yang berupa bintang segi empat.

Rangga terpaksa melenting ke udara. Maka serangan senjata rahasia itu luput, dan terus menderu. Kemudian senjata rahasia itu menghantam beberapa batang pohon yang terdapat dibelakang Rangga.

DELAPAN

Menyadari kalau serangan senjata rahasia sia-sia saja, Hantu Pencabut Nyawa segera melepaskan pukulan dahsyat ke arah Pendekar Rajawali Sakti dengan hentakan kedua tangannya. Seketika seleret sinar hitam berbau busuk menyesakkan melesat cepat seperti kilat kearah pemuda berompi putih ini. Ki Subrata yang melihat serangan keji ini, langsung berteriak memberi peringatan.

"Awas, Rangga!"

Namun Pendekar Rajawali Sakti rasanya tidak perlu diberi peringatan lagi. Karena saat itu juga dia telah melepaskan Pukulan Maut Paruh Rajawali. Kedua telapak tangannya yang telah berwarna merah seperti bara, langsung didorongkan ke depan. Seketika seleret sinar merah melesat dari telapak tangan Rangga, langsung memapak sinar hitam yang melesat dari telapak tangan Hantu Pencabut Nyawa. Dan...

Glar! Glar!

"Akh...!" Untuk kedua kalinya, terdengar jeritan Hantu Pencabut Nyawa. Tubuhnya kontan hangus terbakar terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang dikerahkan pada tingkat terakhir. Bahkan Hantu Pencabut Nyawa juga terkena pukulannya sendiri yang membalik.

Rangga sendiri sempat jatuh terguling-guling. Bagian dadanya berdenyut-denyut nyeri. Namun pemuda berompi putih ini cepat duduk bersila dengan sikap semadi. Kemudian disalurkannya hawa murni ke bagian dada. Sehingga, rasa sesak itu hilang dengan sendirinya.

Tidak lama Pendekar Rajawali Sakti sudah bangkit berdiri. Matanya memandang dingin kearah tubuh Hantu Pencabut Nyawa yang tergeletak tanpa nyawa, tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Hm... Kurasa sekarang para pembantu Dewi Kemuning sudah tidak ada lagi! Aku masih tidak tahu, bagaimana caranya memancing Penguasa Istana Goa Darah keluar dari singgasananya?" gumam Rangga.

Beberapa saat kemudian Pendekar Rajawali Sakti sudah menghampiri Ketua Padepokan Pedang Bayangan yang baru saja selesai membalut luka-luka di tubuh Pendekar Bayangan Malaikat.

"Bagaimana keadaannya, Ki...?" tanya Rangga, seraya duduk di samping Ki Subrata. Diperhatikannya Pendekar Bayangan Malaikat yang masih belum sadarkan diri.

"Untung kita cepat datang. Jika tidak, nyawanya pasti tidak akan tertolong!" jelas Ki Subrata.

"Syukurlah jika Ki Subrata telah menolongnya. Lebih baik kita sembunyikan Pendekar Bayangan Malaikat ini kesebuah tempat yang aman!" usul Rangga.

"Tidak perlu!" sergah Ki Subrata. "Sebentar lagi, dia pasti sadar kembali. Satu hal yang harus kita lakukan sekarang ini adalah, memanggil Dewi Kemuning keluar dari istananya."

"Tapi, bagaimana caranya, Ki?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Sebagai bekas istriku tentu saja aku tahu dasar-dasar ilmu sesat yang dimilikinya. Kau lihat mayat Hantu Pencabut Nyawa dan mayat Iblis Wajah Sebelah?" tanya Ki Subrata, sambil memandang kearah kedua mayat itu.

"Apa hubungannya dengan mayat-mayat itu?" desah Rangga, semakin bingung.

"Tentu saja ada hubungannya. Dewi Kemuning tentu saja mempunyai pertalian batin dengan semua orang-orang kepercayaannya," tambah Ki Subrata pelan.

Tanpa bicara apa-apa, Ketua Padepokan Pedang Bayangan segera bangkit berdiri. Kakinya melangkah mendekati mayat Hantu Pencabut Nyawa. Rangga memperhatikan semua tingkah Ki Subrata dengan tatapan tidak mengerti. Ki Subrata memungut pedang pendek milik Hantu Pencabut Nyawa. Pedang itu kemudian dikibaskan kebagian leher mayat Hantu Pencabut Nyawa.

Cras!

Sekali tebas, maka kepala Hantu Pencabut Nyawa menggelinding terpisah dari badan. Bersamaan dengan itu, terdengar jerit seorang perempuan yang seakan datang dari sebuah tempat yang sangat jauh. Lalu, jeritan itu disusul oleh terdengarnya suara gemuruh yang berasal dari pintu goa di seberang lembah.

Rangga ternganga melihat keanehan ini. Rupanya, Ki Subrata begitu banyak mengetahui kekuatan yang dimiliki bekas istrinya.

Di seberang lembah, tampak pintu goa terbuka dengan sendirinya. Lalu terlihat tiga leret sinar merah biru melesat keseberang lembah. Sinar itu memipih, membentuk sebuah jembatan. Itulah Jembatan Gaib Penghubung Sukma.

"Lihatlah kearah itu, Rangga! Ratu Istana Goa Darah sebentar lagi segera keluar!" jelas Ki Subrata, yang telah bergabung lagi bersama Rangga.

Apa yang dikatakan Ki Subrata ternyata memang benar. Dari dalam Istana Goa Darah, tampak keluar seorang perempuan cantik berpakaian ketat, memakai tiga buah tusuk konde diatasnya. Tidak jauh di belakangnya tampak mengiringi lebih kurang sepuluh orang pengawal bersenjata lengkap.

Pendekar Rajawali Sakti yang melihat semua itu jadi mengerutkan keningnya. Tatapan matanya tidak berkedip sedikit pun, saat melihat Penguasa Istana Goa Darah menyeberangi jembatan.

"Menurut Ki Subrata, bekas istrinya itu telah berusia enam puluh tahun. Tapi kenyataan yang kulihat, perempuan itu seperti baru berumur sembilan belas tahun!" kata Rangga dalam hati.

"Tidak usah heran, Rangga. Dia tetap tampak cantik, karena telah mengambil sari hidup laki-laki yang ditidurinya. Kurasa kedua muridku saat ini telah menjadi seorang kakek renta!" desah Ki Subrata, ketika melihat keheranan Rangga.

Ketika itu, Dewi Kemuning telah sampai di seberang lembah bersama sepuluh orang pengawalnya. Dia tampak terkejut melihat kehadiran Ki Subrata dan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kkk..., kau rupanya...!" desis Dewi Kemuning, begitu tiba dekat Ki Subrata dan Rangga berdiri. Sementara sepuluh orang pengawal langsung mengurung Rangga dan Ki Subrata.

"Kau pasti heran, mengapa aku dapat mengetahui rahasiamu, bukan?" pelan suara Ki Subrata.

"Jadi, kaulah yang telah memancingku keluar dengan cara memenggal leher orang kepercayaanku!" sentak Dewi Kemuning, penuh permusuhan.

"Benar! Karena hanya dengan cara itulah, kau baru mau keluar dari tempat persembunyianmu!" sahut Ki Subrata, tidak kalah sengit.

"Kejahatan yang kau lakukan melebihi iblis, Nisanak!" Rangga menimpali.

Dewi Kemuning mengalihkan pandangan pada Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tidak jauh di sebelah Ki Subrata.

"Mulutmu terlalu lancang! Kau memanggilku Nisanak. Apakah kau tidak tahu, kalau aku seorang ratu yang sangat dihormati!" bentak Dewi Kemuning berapi-api.

Rangga hanya tersenyum mencibir. "Kau hanya ratu cabul yang mempunyai rencana muluk untuk menguasai seluruh rimba persilatan! Apakah kau layak dihormati?" sahut Rangga kalem.

Semakin bertambah memerah wajah Dewi Kemuning yang cantik ini. "Kau manusia keparat yang harus mampus didaerah kekuasaanku ini! Pengawal! Bunuh mereka...!" perintah Dewi Kemuning pada sepuluh orang pengawal yang menyertai.

Sepuluh orang pengawal langsung menyerbu Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Subrata. Senjata di tangan mereka menderu-deru. Beberapa batang tombak bahkan telah menghantam dada dan perut Rangga. Sementara, Ki Subrata sendiri tampak sibuk menghadapi serangan para pengawal yang bersenjata pedang berwarna hitam.

Pada umumnya, para pengawal yang menyerang Rangga dan Ki Subrata memiliki kepandaian tinggi. Tapi sebaliknya, Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Subrata memiliki kesaktian yang sangat sulit dijajaki. Jadi walaupun serangan para pengawal itu cukup ganas dan berbahaya, sampai lima belas jurus pun mereka belum mampu mendesak.

Bahkan Pendekar Rajawali Sakti sekarang tampak melenting ke udara. Tubuhnya berputar ke atas. Dan ketika bergerak meluncur ke bawah, pemuda berompi putih ini sudah mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Mengejar Mangsa'. Dan tiba-tiba kakinya dengan telak menghantam kepala lawan-lawannya.

Des!

Prak!

"Aaa...!"

Tiga orang pengawal bersenjata tombak menjerit keras. Kepala mereka pecah terhantam kaki Pendekar Rajawali Sakti. Darah kontan mengucur dari bagian kepala yang remuk. Tidak ayal lagi, tubuh mereka yang bermandi darah ambruk ketanah tanpa mampu bergerak lagi.

Dewi Kemuning terkejut setengah mati Matanya terbelalak lebar. Seakan dia tidak percaya melihat kenyataan kalau dalam waktu yang sangat singkat para pengawalnya telah bergelimpangan roboh.

Sementara itu, Ki Subrata rupanya juga telah mengeluarkan pedang pusakanya dalam menghadapi gempuran ganas yang dilancarkan lima orang pengawal bersenjata pedang.

"Hiya!"

Bet!

Sambil berteriak keras, Ki Subrata mengebutkan pedang ditangannya. Selama ini, Padepokan Pedang Bayangan sangat dikenal dan disegani baik oleh kawan maupun lawan, karena kecepatannya dalam mempergunakan pedang. Apalagi, saat ini Ki Subrata telah mengerahkan jurus pedang 'Menyibak Awan Menyongsong Hujan'. Pedang ditangannya menderu. Terkadang menyodok ke bagian perut, atau menebas kebagian leher. Tak jarang, juga membabat ke arah tulang rusuk.

Mati-matian kelima pengawal ini mempertahankan diri. Setelah Ki Subrata mengeluarkan pedangnya, maka tidak sekalipun para pengawal Ratu Dewi Kemuning dapat membalas. Beberapa saat kemudian, bahkan pedang ditangan Ki Subrata mulai mengambil korban secara berturut-turut.

Cras! Cras!

"Aaa...!"

Tiga orang pengawal roboh dengan perut menyembur darah. Tidak sampai di situ saja. Bahkan Ki Subrata bergerak cepat, menghadang dua pengawal lainnya. Pedang ditangannya berkelebat menimbulkan angin dingin menggidikkan. Dua pengawal terkesiap. Mereka cepat menghentakkan pedang, menangkis pedang ditangan orang tua berbaju hitam ini.

Trang!

"Uts! Kurang ajar!" maki pengawal itu, ketika melihat pedangnya patah menjadi dua bagian. Belum sempat dia berbuat sesuatu, pedang di tangan Ki Subrata berkelebat membabat leher.

Bret! Cres!

"Hugkh...!"

Dua orang pengawal lagi roboh bermandikan darah. Pada saat yang sama pula, tidak jauh di sebelah Ki Subrata terdengar jeritan kematian para pengawal yang menyerang Rangga. Tubuh para pengawal itu berkelojotan meregang ajal, lalu terdiam untuk selama-lamanya.

Dewi Kemuning terkesiap melihat seluruh pengawalnya tewas dalam keadaan sangat menyedihkan. "Setan...!" geram Penguasa Istana Goa Darah.

"Tidak perlu marah-marah, Perempuan Pelacur!" dengus Ki Subrata. Laki-laki itu tiba-tiba melompat kedepan, langsung berdiri tegak sambil menyilangkan senjata di depan dada.

Rangga terkejut melihat kenekadan Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini. Tapi untuk mencegah, takut menyinggung perasaan Ki Subrata. Mau tidak mau didiamkan saja orang tua itu sambil bersikap waspada menjaga setiap kemungkinan.

"Karena ulahmu telah membocorkan hampir seluruh rahasia yang kumiliki, maka kau harus menebusnya dengan nyawa!" teriak Penguasa Istana Goa Darah.

"Hm...!" gumam Ki Subrata tidak jelas.

Dewi Kemuning tiba-tiba merentangkan kedua tangannya diatas kepala. Bibirnya mendesis, dan tampak berkomat-kamit seperti membaca sesuatu.

Ki Subrata sadar, perempuan itu bersiap-siap mengerahkan kekuatan gaibnya. Maka tanpa menunggu lagi, langsung dia melompat kedepan sambil menusukkan pedang ke perut Dewi Kemuning.

Tapi sungguh mengejutkan. Dengan gerakan meliuk sangat aneh, pedang itu dapat dihindari Dewi Kemuning. Bahkan ketika berbalik Dewi Kemuning sudah menghantam punggung Ki Subrata.

Buk!

"Aaakh...!" Akibatnya Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini jatuh tersungkur. Tulang punggungnya terasa seperti remuk. Sehingga, membuat Ki Subrata merasa sulit untuk bangkit berdiri.

"Mampuslah kau, Tua Bangka!" teriak Dewi Kemuning sambil mengibaskan pedang pendek berwarna merah darah di tangannya.

Ki Subrata tidak dapat lagi menghindari serangan yang sangat ganas ini. Namun pada saat-saat yang menegangkan, Pendekar Rajawali Sakti telah melompat kedepan sambil menghentakkan tangannya.

"Aji 'Guntur Geni'?! Hiyaaa...!"

Seleret sinar merah dari tangan Pendekar Rajawali Sakti yang disertai suara menggeledek, menyambar tubuh Dewi Kemuning. Perempuan cantik ini terperanjat. Namun, dengan cepat dia berusaha melompat menghindari pukulan yang meluruk kearahnya. Namun walau telah berusaha menghindar, tetap saja tubuh Dewi Kemuning tersambar pukulan Pendekar Rajawali Sakti.

Glar!

"Hugkh...!" Dewi Kemuning memekik kaget, bersamaan terdengarnya suara ledakan dahsyat. Tubuhnya terus terguling-guling. Tapi sungguh luar biasa kehebatan perempuan ini. Jangankan tubuhnya. Sedangkan pakaiannya saja, tidak hangus sedikitpun.

Sekarang, giliran Rangga yang dibuat terperangah. "Dia benar-benar manusia iblis yang memiliki kesaktian luar biasa sekali," kata batin Rangga.

"Hi hi hi...! Keluarkan seluruh kepandaian yang kau miliki, Pendekar Rajawali Sakti...!" dengus Dewi Kemuning sambil terus tertawa terbahak bahak, setelah bangkit berdiri.

"Hm...!" Rangga menggumam tidak jelas. Sekarang, ingatlah Pendekar Rajawali Sakti dengan kata-kata Ki Subrata, tentang rahasia kelemahan Dewi Kemuning. Dia harus mencabut konde emas yang terselip diatas sanggul Dewi Kemuning. Karena, sanggul itulah pusat seluruh kekuatan gaib dan kesaktiannya.

"Hiya!" Rangga tiba-tiba melompat ke depan. Tepat pada saat itu, Dewi Kemuning juga sedang mengibaskan pedang pendeknya ke dada Rangga.

Bet!

Rangga berkelit menghindar sambil melepaskan satu tendangan kebagian perut Dewi Kemuning. Tapi, perempuan ini ternyata sangat licik. Sengaja pinggulnya digoyangkan sambil meliuk-liukkan sekujur tubuhnya, membentuk gerakan sangat merangsang. Itulah salah satu jurus 'Tarian Bidadari', dari sekian jurus yang dimiliki Penguasa Istana Goa Darah.

Sesaat Rangga memang sangat terkesiap. Darahnya seakan berhenti mengalir, ketika melihat gerakan wanita ini yang sangat mendebarkan dada. Namun secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan hawa murninya. Bahkan laksana kilat, Pedang Pusaka Rajawali Sakti segera dicabut dari warangkanya.

Cring! Bet!

Dewi Kemuning langsung terkesiap, ketika melihat Pedang Pusaka Rajawali Sakti di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru menyilaukan mata. Dan lebih kaget lagi, ketika Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus andalan terakhir dari seluruh jurus yang dikuasainya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewi Kemuning langsung memutar pedang ditangannya sambil melancarkan serangan-serangan yang sangat ganas. Namun kenyataannya. Penguasa Istana Goa Darah ini seperti hilang semangat bertarungnya. Bahkan dia merasa jiwanya seperti terpecah-pecah.

"Keparat!" maki Dewi Kemuning ketika menyadari kalau semangatnya seperti hilang begitu saja. Dan dia tidak tahu kalau itu adalah akibat pengaruh jurus 'Pedang Pemecah Sukma' milik Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiya!" Dewi Kemuning berusaha mengempos semangatnya, kemudian melompat ke depan. Lalu, senjata di tangannya dikibaskan ke bagian dada Rangga. Namun, pemuda berompi putih itu sudah menggeser langkahnya kekanan, sejauh dua tindak. Bahkan pedangnya yang memancarkan cahaya biru menyilaukan itu cepat bergerak kedepan.

Trang!

"Ihhh...!" Dewi Kemuning memekik kaget begitu pedangnya berbenturan dengan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan tubuhnya terhuyung tak menentu.

"Kurang ajar!" Makian wanita itu pun segera terdengar, ketika melihat pedang pendeknya telah patah menjadi dua. Dalam keadaan termangu itulah, Pendekar Rajawali Sakti segera melesat keudara. Dan dengan mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Mengejar Mangsa', kaki kanannya menyambar kebagian kepala Dewi Kemuning.

Dewi Kemuning hanya sempat merasakan sambaran angin dingin menerpa rambutnya. Dan ketika Rangga menjejak tanah, ujung kakinya segera digerakkan kebagian tangan. Tiga buah tusuk konde emas sekarang telah berada dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti.

Melihat semua ini, Dewi Kemuning tampak kaget. Segera sanggulnya diraba. Dan wajahnya seketika berubah pucat seperti mayat, ketika menyadari tusuk konde miliknya telah berpindah tangan.

"Kembalikan! Pencuri busuk!" teriak Dewi Kemuning, sambil berusaha merampas tusuk konde di tangan Rangga.

Tapi, Pendekar Rajawali Sakti terus berkelit sambil mengibaskan pedangnya ke dada Dewi Kemuning. Secepat itu pula perempuan berwajah cantik ini mengurungkan niatnya. Dia melompat mundur ke belakang, sambil mencari cara untuk mendapatkan tusuk konde sakti miliknya.

"Kau tidak akan mendapatkannya, Dewi Kemuning!" desis Rangga, dingin.

Tiba-tiba tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah Dewi Kemuning. Gerakannya sangat cepat laksana kilat. Bahkan sinar biru tiba-tiba berkelebat menyambar.

Dewi Kemuning tidak sempat lagi menghindari serangan yang tidak disangka-sangka ini. Apalagi, perhatiannya saat ini tengah tertuju pada tusuk konde di tangan Rangga. Akibatnya...

Cras!

"Aaa...!" Diiringi jeritan melengking tinggi, tubuh Dewi Kemuning Penguasa Istana Goa Darah mengejang kaku dengan mata terbeliak. Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, Penguasa Istana Goa Darah itu ambruk menggelepar. Darah langsung memuncrat dan lehernya yang hampir putus terbabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Crek!

Rangga memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti kedalam warangka dibagian punggung dengan tatapan tetap tertuju pada mayat Dewi Kemuning. Dihembuskannya napas lega. Tapi...

"Heh?! Pendekar Rajawali Sakti terkejut setengah mati ketika melihat mayat Dewi Kemuning yang telah berubah menyusut, menimbulkan keriput di sana sini. Dewi Kemuning yang semula cantik menggiurkan berubah menjadi seorang nenek tua keriput berusia sama dengan Ki Subrata.

Teringat Ki Subrata, Rangga berpaling ke arah laki-laki tua berbaju hitam itu. Tapi, Ketua Padepokan Pedang Bayangan ternyata sudah tidak ada di tempat. Ketika Rangga melirik kebawah pohon, Pendekar Bayangan Malaikat yang tadi dalam keadaan pingsan juga sudah tidak ada. Dan mendadak saja...

"Kami terpaksa pergi tanpa pamit, Rangga! Ki Subrata juga perlu diobati. Hitung-hitung, aku membayar hutang padanya. Kau sendiri, silakan pandangi mayat nenek cantik yang kau bunuh itu!"

Sayup-sayup, Pendekar Rajawali Sakti mendengar suara Pendekar Bayangan Malaikat dari kejauhan. Dan Rangga hanya menggelengkan kepala berulang-ulang. Kemudian tubuhnya berbalik, dan terus melanjutkan perjalanan kearah matahan terbit.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA:
PEMUAS NAFSU IBLIS