Singa Gurun - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SINGA GURUN

SATU
SEEKOR kuda hitam dengan tubuh tinggi gagah, berjalan perlahan-lahan membawa seseorang berbaju serba hitam juga. Kepala orang itu diselubungi kain hitam, hingga menutupi seluruh wajahnya. Dia duduk terangguk-angguk di punggung kuda hitamnya, seakan tidak peduli ke mana arah yang akan dituju. Sedikit pun dia tidak memperhatikan sekitarnya.

Sementara, siang ini matahari bersinar teramat terik. Seakan dengan sinarnya seluruh makhluk yang hidup di atas permukaan bumi ingin dibakarnya. Begitu terik dan menyengatnya, hingga pepohonan tampak mengering. Rerumputan terlihat meranggas, seperti tak akan pernah lagi tumbuh di atas tanah yang mulai merengkah karena tak tersentuk air.

"Hieeegkh...!" Entah kenapa, tiba-tiba saja kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas. Dan pada saat itu juga, tangan kiri orang berbaju serba hitam yang menunggang kuda mengibas, tepat di saat terlihat sesuatu yang bercahaya kuning keemasan melesat cepat bagai kilat ke arahnya.

Bet!

Lengan baju yang besar dan longgar, mengibas benda kunjng keamasan itu seperti kipas. Sehingga, benda kuning keemasan itu terpental ke samping kiri, dan langsung menghantam sebongkah batu yang berada tidak jauh di sebelah kiri penunggang kuda hitam itu. Lalu...

Glarrr...!

Seketika itu juga, terdengar ledakan dahsyat menggelegar. Kontan saja kuda hitam itu terkejut, langsung meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas. Akibatnya orang yang menunggangi terpaksa harus melompat ke atas, langsung berputaran beberapa kali di udara. Dan dengan gerakan begitu indah, kedua kakinya menjejak di atas tanah berdebu yang merekah terbakar. Sedangkan kuda tunggangannya sudah melesat cepat, meninggalkannya.

"Keparat...!" geram orang berbaju hitam itu kesal. Orang itu langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari orang yang tiba-tiba menyerangnya tadi. Tapi, tidak seorang pun terlihat di tempat ini, selain dirinya sendiri. Hanya bebatuan dan pepohonan yang meranggas saja terlihat di sekitarnya. Tapi ketika wajahnya yang tertutup kain hitam itu tertuju lurus ke depan, mendadak saja....

Wusss...!

"Hap!" Cepat orang berselubung kain hitam itu melen-img ke atas, ketika tiba-tiba saja terlihat sebuah benda bercahaya kuning keemasan kembali melesat begitu cepat bagai kilat, menerjang ke arahnya. Dan benda melesat, lewat sedikit di bawah kedua lelapak kakinya. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian dengan gerakan manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah.

Pada saat itu juga, terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat tidak jauh di depannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang besbaju longgar serba hitam itu, cepat melesat dengan kecepatan tinggi. Langsung dikejar bayangan yang terlihat hanya sekilas itu. Cepat sekali gerakannya, hingga bentuk tubuhnya lenyap seketika. Dan yang terlihat hanya bayangan hitam berkelebat begitu cepat, melewati sebongkah batu sebesar kerbau.

"Hap! Yeaaah...!" Sambil berteriak nyaring, orang itu melesat ke atas sebongkah batu besar. Lalu hanya dengan menotokkan sedikit ujung jari kakinya saja di atas permukaan batu, tubuhnya kembali melesat cepat mengejar bayangan hijau yang berkelebat di depannya.

"Hiyaaa...!" Kembali orang itu berteriak keras. Kekuatannya langsung dikempos, hingga melesat ke atas. Cepat sekali lesatannya, hingga akhirnya mampu melewati bayangan hijau yang berkelebat cepat pula, melintasi beberapa buah batu besar menuju sebuah hutan yang meranggas kering. Tampak orang berbaju hitam longgar itu melakukan beberapa kali putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kedua kakinya di tanah.

"Hap!"
"Oh...?!"

"Siapa kau?! Kenapa kau menyerangku tanpa alasan...?!" Begitu dalam dan dingin nada suara orang berbaju serba hitam yang tidak terlihat wajahnya.

Sedangkan di depannya berdiri seseorang bertubuh ramping, terbungkus baju ketat berwarna hijau. Wajahnya sulit dikenali, karena mengenakan sebuah cadar wama hijau yang agak tebal. Hanya kedua bola matanya saja yang terlihat, karena tidak tertutup cadar. Tapi dari bentuk tubuhnya, sudah bisa dipastikan kalau dia seorang wanita yang berkulit putih halus.

Sedangkan orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepalanya ditutupi kain hitam seperti penderita penyakit kusta, sudah bisa dipastikan adalah laki-laki. Itu bisa diterka dari suaranya yang besar dan berat.

Untuk beberapa saat, kedua orang itu terdiam saling berdiri berhadapan berjarak sekitar lima langkah. Tidak ada seorang pun yang membuka suara. Bahkan pertanyaan dari orang berbaju hitam itu sama sekali tidak dijawab penyerangnya.

Sorot mata wanita bercadar hijau itu sangat indah, namun terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus langsung ke balik kain kerundung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajah orang di depannya. Dan perlahan wanita bercadar hijau itu menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Namun, sorot matanya masih tetap terlihat begitu tajam menusuk.

"Siapa kau, Nisanak? Kenapa menyerangku tanya laki-laki berbaju serba hitam itu lagi, masih dengan nada terdengar besar dan berat Seakan-akan dari suaranya mengandung suatu penderitaan yang teramat berat.

"Hhh! Kau tidak perlu tahu, siapa aku. Serahkan saja dirimu. Atau, kau akan mati di sini!" ketus sekali jawaban wanita bercadar itu.

"Hm.... Aku tidak kenal denganmu, Nisanak. Kenapa kau ingin membunuhku?"

"Banyak omong! Hiyaaat...!" Tanpa banyak bicara lagi, wanita bercadar hijau itu langsung saja melompat menyerang. Pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang cepat dicabut, dan langsung dikibaskan tepat mengarah ke batang leher yang tertutup kain hitam pekat itu.

Bet!

"Haiiit...!" Namun dengan gerakan yang indah sekali, orang berbaju serba hitam yang tidak kelihatan wajahnya ini, cepat menarik kakinya ke belakang sambil mengegoskan kepala. Hingga tebasan pedang lawannya hanya lewat saja di depan tenggorokannya. Dan pada saat itu juga, tubuhnya cepat merunduk sambil mengibaskan tangan kanannya ke depan. Seakan, dia ingin memberi satu sodokan ke perut wanita ini.

"Hih!" Bet!

Untung saja wanita bercadar hijau itu cepat melompat ke belakang, sambil mengebutkan pedangnya ke depan perut. Tindakan itu membuat lawannya terpaksa harus cepat menarik tangannya. Dan tanpa diduga sama sekali, orang berbaju serba hitam itu memutar tubuhnya sambil melompat ke depan. Dan saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat diberikannya satu tendangan berputar yang begitu cepat, sehingga....

"Ikh...?!" Wanita itu memekik kaget. Dia berusaha menghindar dengan melompat ke samping, tapi tanpa diduga sama sekali laki-laki berbaju serba hitam itu sudah lebih cepat melepaskan satu pukulan lurus dengan tangan kiri yang begitu cepat Akibatnya, wanita itu tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan...

Begkh!

"Akh...!" Wanita itu kontan memekik keras agak tertahan dengan tubuh terpental ke belakang, begitu pukulan lurus tangan kiri lawannya bersarang tepat di dada sebelah kanan.

Dan pada saat itu juga, laki-laki berbaju serba hitam ini sudah melesat cepat mengejar sambil berteriak lantang menggelegar. Bagaikan kilat dilepaskannya satu tendangan menggeledek yang sangat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangannya, membuat wanita bercadar hijau itu tidak sempat lagi berkelit menghindar. Terlebih lagi, tubuhnya saat itu tengah melayang di udara. Dan ini membuatnya tidak mungkin lagi menghindari serangan. Maka...

Begkh! "Aaakh...!" Kembali terdengar satu jeritan panjang melengking tinggi. Dan tubuh ramping berbaju hijau ketat itu seketika terpental semakin daas, hingga punggungnya menghantam sebatang pohon kayu kering. Pohon itu langsung hancur berkeping-keping, sementara wanita bercadar hijau ini ambruk bergelimpangan di tanah kering meranggas terbakar matahari. Terdengar lagi pekikan agak tertahan, saat tubuh yang ramping itu jatuh menghantam tanah dengan keras.

Sementara, laki-laki berbaju serba hitam itu sudah berdiri tegak memandangi lawannya yang berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri, segumpal darah kental berwarna agak kehitaman sudah terlompat keluar dari mulutnya yang tertutup cadar kain hijau.

"Hoaaakh...!" Sambil memegangi dadanya yang terasa sesak, wanita itu berusaha bangkit berdiri. Dan baru saja bisa berdiri, lawannya sudah melompat bagai kilat sambil mengibaskan tangan kiri ke wajah yang tertutup cadar. Begitu cepat gerakannya, hingga wanita ini tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Bret!

"Auwh...!" Hanya sekali saja mengibaskan tangan, laki-laki berbaju serba hitam itu sudah berhasil merenggut cadar yang dikenakan wanita lawannya. Dan saat itu juga, terlihat seraut wajah cantik bagai seorang dewi yang baru turun dari kahyangan. Laki-laki berbaju serba hitam itu tampak tertegun, melihat lawannya ternyata seorang wanita yang berparas begitu cantik. Hingga untuk beberapa saat dia terdiam, memandangi dari balik selubung kain hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya.

"Keparat..! Kubunuh kau, Iblis...!" geram wanita itu berang, karena wajahnya sudah dapat diketahui. "Hiyaaat!" Tanpa banyak bicara lagi, wanita berbaju hijau ketat itu langsung melompat. Tidak dipedulikan lagi luka yang diderita dalam dirinya. Cepat sekali tubuhnya melesat, langsung membabatkan pedangnya ke batang leher laki-laki berbaju serba hitam longgar yang tidak kelihatan wajahnya.

"Haps!" Tapi hanya dengan mengegoskan kepala sedikit saja, laki-laki itu bisa mengelakkannya. Dan cepat sekali tangan kirinya bergerak menyodok ke a rah perut. Namun sebelum sodokannya sampai, wanita berbaju hijau ini sudah memutar pedangnya ke bawah. Sehingga, lawannya terpaksa harus cepat menarik pulang sodokannya.

"Hiyaaa...!" Sambil berteriak nyaring, wanita cantik berbaju hijau itu melenting ke atas. Dan dengan kecepatan bagai kilat, dilepaskannya satu tendangan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam, tepat ke arah dada lawannya. Meskipun sudah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya, tapi tendangan wanita cantik berbaju hijau itu masih juga dapat dielakkan hanya dengan mengegoskan tubuhnya saja.

"Hup! Yeaaah...!"

Dan sebelum wanita cantik itu bisa turun, cepat sekali laki-laki berbaju hitam longgar ini sudah melenting ke atas mengejarnya. Dan dengan gerakan cepat sekali, dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Begitu cepat serangannya, hingga wanita cantik ini tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan....

Desss! "Aaakh...!" Kembali wanita itu menjerit, begitu dadanya terkena pukulan yang sangat keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu kerasnya, membuat tubuhnya yang ramping terpental jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam tanah kering dan berdebu ini. Saat itu juga terdengar kembali pekikan tertahan. Tampak wanita itu bergelimpangan beberapa kali di tanah. Tubuhnya yang berkeringat, jadi kotor oleh debu yang menempel.

Sementara laki-laki berbaju serba hitam yang wajahnya tidak kelihatan itu, sudah kembali meluruk deras mengejar sambil mengeluarkan teriakan keras menggelegar. Sementara tangan kanannya sudah terkepal naik, hingga sejajar bahu. "Hiyaaat...!"

Tidak ada lagi kesempatan bagi wanita itu untuk berkelit menghindari serangan. Dan dia hanya bisa mendelik, melihat arus serangan yang begitu cepat dahsyat luar biasa. Begitu dahsyatnya, hingga, kepalan tangan kanan laki-laki berbaju serba hitam itu terlihat jadi memerah seperti terselimut api. Namun di saat pukulan itu sedikit lagi menghantam tubuh wanita muda ini, mendadak saja terlihat sebuah bayangan putih melesat dengan kecepatan bagai kilat, menyambar tubuh wanita muda yang sudah tergolek tidak berdaya lagi. Dan....

"Keparat..!" Laki-laki berbaju serba hitam itu jadi mengumpat geram setengah mati, melihat calon korbannya tiba-tiba saja lenyap bagai tersambar setan. Akibatnya, pukulan yang sangat dahsyat itu hanya menghantam tanah kosong, tempat wanita itu tadi tergeletak tidak berdaya. Begitu dahsyatnya pukulan itu, membuat tanah yang terhantam jadi terbongkar hingga membuat lubang cukup besar. Debu langsung membubung tinggi ke angkasa, bersama gumpalan tanah yang terbongkar dan rerumputan kering.

"Setan! Ke mana kau, Perempuan Jalang...!" bentak laki-laki itu berang setengah mati. Tapi wanita itu bagaikan lenyap tertelan bumi saja. Sedikit pun tidak terlihat, ke mana perginya. Bahkan bayangannya sekali pun. Yang terlihat tadi hanya sebuah bayangan putih berkelebat, menyambar wanita itu dengan cepat. Sulit diketahui, dari arah mana datangnya bayangan itu. Dan, ke arah mana perginya. Kepala yang terselubung kain hitam itu bergerak ke kanan dan ke kiri, sepertinya tengah mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Dia memang berusaha mencari wanita yang tadi hampir saja hancur terkena pukulannya yang sangat dahsyat itu. Tapi, tidak terlihat seorang pun lagi di tempat ini. Hanya gundukan bebatuan dan pepohonan yang meranggas kering saja yang terlihat di sekitarnya. Laki-laki berbaju hitam ini semakin gusar saja. Sambil mengumpat dan memaki kesal, kakinya melangkah menghampiri kudanya yang sejak tadi menunggu agak jauh dari tempat pertarungan itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja....

"Berhenti kau, Singa Gurun...!"

"Heh...?!" Setengah mati laki-laki berpakaian serba hitam ini terkejut, ketika tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik.

Pada saat itu juga, terlihat sebuah bayangan hijau berkelebat cepat ke arah laki-laki berbaju serba hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya dengan kain hitam. Begitu cepat bayangan itu berkelebat, sehingga orang berpakaian serba hitam yang tadi dibentak dengan panggilan si Singa Gurun jadi tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....

Plak!

"Akh...!" Orang berpakaian serba hitam itu jadi terpekik, ketika badannya terasa seperti dihantam sebuah palu godam yang beratnya ribuan kati. Seketika, Singa Gurun terpental ke belakang deras sekali. Dan punggungnya langsung menghantam sebongkah batu sebesar kerbau. Begitu kerasnya, hingga batu itu hancur berkeping. Sedangkan Singa Gurun terus jatuh bergelimpangan di antara pecahan batu.

Beberapa kali laki-laki berpakaian serba hitam itu bergulingan di tanah, kemudian cepat melompat bangkit berdiri. Dan pada saat kedua kakinya baru saja menjejak tanah, kembali terlihat bayangan hijau melesat bagai kilat menerjangnya. Tapi, kali ini Singa Gurun tidak ingin lagi kecolongan untuk kedua kalinya. Cepat tubuhnya indenting ke kiri dan berputaran dua kali di udara, menghindari terjangan bayangan hijau itu.

"Hap!" Manis sekali Singa Gurun menjejakkan kedua kakinya kembali ke tanah, dan secepat itu pula tubuhnya berbalik Pada saat itu juga, bayangan hijau yang menyerangnya tadi juga bergerak berputar. Tapi melihat orang yang diserang langsung mema-sang sikap menanti serangan, orang yang berpakaian serba hijau itu jadi mengurungkan niat untuk kembali menyerang. Dan dia berdiri tegak dengan jarak sekitar dua batang tombak.

"Rampayak...," desis laki-laki berpakaian serba hitam dingin dan pelan. Begitu pelannya, hampir tidak terdengar telinganya sendiri. Dari balik kain kerudung yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya, Singa Gurun menatap laki-laki berusia setengah baya bertubuh tegap berotot, tengah berdiri tegak berjarak sekitar dua batang tombak di depannya.

Tampak di pinggang sebelah kiri, tergantung sebilah pedang berukuran sangat panjang. Dia juga menatap tajam, seakan hendak menembus kain kerudung hitam yang menutupi seluruh wajah orang di depannya. 鈥淭idak ada gunanya kau menyamar seperti orang kusta, Singa Gurun. Ke mana pun pergi, aku tetap akan mencarimu untuk menagih hutang nyawa saudaraku!" terdengar dingin sekali nada suara laki-laki setengah baya yang berbaju warna hijau ketat dan dikenal sebagai Rampayak itu.

"Hm.... Aku tidak ada urusan denganmu, Rampayak," desis orang berpakaian serba hitam yang disebut sebagai si Singa Gurun tidak kalah dinginnya.

"Phuah! Apa katamu, heh...?! Apa kau sudah melupakan perbuatanmu pada saudaraku di Gunung Katung...? Apa kau sudah melupakan semua perbuatan iblismu itu, hah...?! Buka kerudung jelekmu itu, Singa Gurun! Agar aku bisa melihat tampangmu yang jelek!" bentak Rampayak pedas.

Tapi si Singa Gurun tetap saja diam membisu. Sedikit kepalanya diangkat ke atas, hingga cahaya kedua bola matanya terlihat di balik kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Begitu tajam, berbentuk bulat seperti mata seekor singa berwarna kehijauan. Sorotan mata yang aneh ini terlihat sangat tajam. Seakan, ingin melumat remuk seluruh tubuh Rampayak bulat-bulat.

Tapi tatapan mata yang sangat tajam itu malah dibalas Rampayak dengan sorot yang tidak kalah tajamnya. Hingga untuk beberapa saat, mereka saling berdiam diri membisu dan hanya saling bertatapan tajam. Seakan, mereka sedang mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.

"Dengar, Rampayak.... Semua yang terjadi di Gunung Katung bukan keinginan dan kesalahanku. Saudaramu sendirilah yang memulai. Dia menantang dan ingin membunuhku. Apakah aku salah kalau berusaha membela diri...?" datar sekali nada suara si Singa Gurun.

"Aku tidak pandai bersilat lidah sepertimu, Singa Gurun. Kita tuntaskan saja urusan ini sekarang juga. Dan aku tidak akan berhenti mengejarmu, kalau belum melihat darahmu mengalir dan tubuhmu jadi santapan anjing-anjing liar!" bentak Rampayak kasar, sambil menyemburkan ludahnya dengan berang.

"Hm.... Kau belum pantas untuk berhadapan denganku, Rampayak! Pergilah.... Belajarlah dua puluh tahun lagi, sebelum benar-benar mampu untuk berhadapan denganku," ujar Singa Gurun tetap datar suaranya terdengar.

"Setan...! Rasakan pedangku ini! Hiyaaat..!"

Cring!

Kemarahan Rampayak langsung memuncak, saat dirinya direndahkan begitu rupa. Sambil membentak lantang diiringi teriakan keras menggelegar, pedangnya langsung saja dicabut sambil cepat melompat menyerang. Secepat kilat pula pedangnya dibabatkan langsung ke arah batang leher orang berpakaian serba hitam ini.

"Hap!" Namun si Singa Gurun sama sekali tidak berusaha menghindari serangan. Dan tanpa diduga sama sekali, kedua telapak tangannya dikatupkan, tepat di saat mata pedang yang berkilatan tajam itu hampir menebas lehernya. Dan tepat sekali kedua telapak tangan yang langsung merapat itu menjepit mata pedang Rampayak.

"Keparat! Hih...!" Rampayak jadi geram setengah mati, mendapati pedangnya sudah terkunci di antara kedua telapak tangan lawannya yang merapat di depan tenggorokannya sendiri. Dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalam, Rampayak mencoba menarik pedangnya.

Tapi, sedikit pun pedang itu tidak bergeming. Bahkan tanpa diduga sama sekali, si Singa Gurun menghentakkan kaki kirinya ke depan, tanpa merubah sikap tubuhnya sedikit pun juga. Begitu cepat sentakan kaki orang berbaju serba hitam yang longgar ini, membuat Rampayak jadi terbeliak kaget setengah mati. Maka cepat tubuhnya melenting ke atas, tanpa melepaskan genggaman pedang yang masih terjepit di antara kedua telapak tangan lawannya.

"Yeaaah...!" Saat tubuhnya berada di atas ini, Rampayak cepat berputar dengan bertumpu pada pedangnya sendiri. Lalu cepat sekali dilepaskannya satu pukulan berputar dengan tangan kiri, yang diarahkan langsung ke kepala lawannya.

"Haiiit..!" Namun hanya sedikit saja si Singa Gurun mengegoskan kepala, serangan Rampayak dapat dihindari dengan mudah. Dan tiba-tiba saja kedua tangannya yang menjepit pedang dihentakkan ke atas. Begitu kuat tenaga dalamnya yang dikerahkan, hingga membuat tubuh Rampayak jadi terlempar tinggi ke angkasa. Sudah barang tentu Rampayak jadi tersentak kaget setengah mati. Tapi, dia tidak sempat lagi menguasai keseimbangan tubuhnya yang melesat tinggi ke angkasa, bagai hendak menembus gumpalan awan di langit Dan pada saat itu juga....

"Hup! Hiyaaat..!" Si Singa Gurun tiba-tiba saja melesat cepat bagai kilat ke atas, mengejar lawannya yang masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan sebelum Rampayak bisa menyadari, tahu-tahu si Singa Gurun sudah melepaskan satu pukulan keras lurus dengan tangan kanan. Begitu cepat serangannya, hingga membuat Rampayak tidak sempat lagi menghindarinya.

Begkh! "Aaakh...!" Bruk! "Akh...!"

Rampayak kembali memekik keras, ketika tubuhnya mantap sekali terbanting di tanah. Dan tubuhnya bergulingan beberapa kali di tanah yang merekah pecah dan berdebu ini, sebelum bisa melompat bangkit berdiri. Tapi pada saat itu juga, segumpal darah kental berwarna agak kehitaman menyembur keluar dari mulutnya. Dan tubuhnya jadi limbung, seakan-akan kedua kakinya tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya yang tegap dan berotot ini.

"Keparat...! Phuih!" Rampayak menggeram sambil menyemburkan ludahnya yang bercampur darah. Tangan kirinya memegangi dadanya. Sungguh keras pukulan yang diterimanya tadi, membuat tulang dadanya sebelah kiri seakan remuk. Rasanya begitu nyeri, membuat mulutnya meringis kesakitan.

DUA

Sementara itu, si Singa Gurun sudah kembali berdiri tegak di depannya, dengan jarak sekitar dua batang tombak. Tampak dari balik kerudungnya, sepasang bola mata yang bulat dan berwarna agak kehijauan menyorot tajam, menatap lurus ke bola mata Rampayak yang memerah terbakar nafsu amarah.

"Mampus kau! Hiyaaat...!" Tiba-tiba saja Rampayak mengebutkan tangan kanannya dengan gerakan cepat sekali.

Bet! Swing...!

"Hup! Yeaaah...!" Sedang Singa gurun terpaksa harus berjumpalitan di udara, ketika Rampayak melepaskan senjata rahasia yang berbentuk bintang perak dengan beruntun. Cepat sekali lemparannya, hingga seakan-akan senjata bintang itu tidak ada habisnya. Sekeliling tubuh si Singa Gurun terus dihujani senjata rahasia berbentuk bintang itu.

Entah berapa puluh senjata bintang perak yang berdesingan di sekitar tubuh si Singa Gurun. Tapi, tidak satu pun yang bisa menyentuh ujung bajunya. Gerakan-gerakan Singa Gurun memang sangat cepat luar biasa. Sehingga, membuat bentuk tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Dan yang terlihat hanya bayangan hitam berkelebat di antara puluhan bintang maut yang berdesingan di sekitarnya.

"Hiyaaat..!" Tiba-tiba saja, laki-laki berbaju hitam longgar itu melesat tinggi ke atas. Dan tubuhnya langsung meluruk dengan kecepatan bagai kilat ke arah Rampayak yang jadi terbeliak kedua bolat matanya, melihat lawannya bisa melepaskan diri dari terjangan senjata-senjata bintang mautnya.

"Hup! Yeaaah...!" Sambil melompat berputar ke belakang, Rampayak melepaskan sepuluh senjata bintangnya sekaligus untuk mencoba menghadang serangan lawannya.

Tapi manis sekali si Singa Gurun bisa menghindarinya. Bahkan cepat bagai kilat, laki-laki berbaju hitam itu terus menerjang sambil melepaskan satu pukulan dahsyat, dengan tangan kanan sudah berwarna merah membara seperti terbakar.

"Yeaaah...!"

"Hup!" Cepat-cepat Rampayak melenting ke belakang sambil berputaran, menghindari serangan maut dari lawannya. Dan ini membuat pukulan yang dilepaskan si Singa Gurun hanya menghantam tanah kosong. Dan seketika itu juga, terjadi ledakan dahsyat dari tanah yang terhantam pukulan maut tersebut. Tampak debu dan bongkahan tanah berhamburan, membubung tinggi ke angkasa.

Sementara itu terlihat bayangan hitam berkelebat di antara kepulan debu, langsung meluruk deras sekali ke a rah Rampayak. Begitu cepat gerakan si Singa Gurun, membuat Rampayak jadi terperanjat kaget. Sungguh tidak disangka kalau lawannya akan terus melancarkan serangan tanpa henti.

"Hih!" Bet!

Cepat-cepat Rampayak mengebutkan pedangnya ke depan. Tapi tanpa diduga sama sekali, si Singa Gurun cepat melenting ke atas, hingga melewati atas kepalanya. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di belakangnya. Maka saat itu juga, satu pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan sambil mengeluarkan teriakan keras menggelegar ke arah punggung laki-laki setengah baya yang bertubuh tegap berotot dan berbaju wama hijau daun ini. Begitu cepat serangan si Singa Gurun, membuat Rampayak tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....

Begkh! "Akh...!" Rampayak jadi terpekik, begitu pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi mendarat tepat di punggungnya. Seketika itu juga, dia jatuh tersungkur mencium tanah. Tapi tubuhnya cepat digelimpangkan ke samping, dan langsung melompat bangkit berdiri. Tampak darah mengucur deras dari wajahnya yang hancur membentur tanah tadi.

Dan pada saat itu juga, si Singa Gurun sudah melompat cepat sekali sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu cepat Rampayak yang baru saja bisa berdiri, tentu saja tidak dapat lagi menghindari. Maka....

Des! "Aaakh...!" Kembali Rampayak menjerit keras, saat tendangan lawannya tepat menghantam dada. Dan tubuh yang tegap berotot itu kembali terpental, sejauh dua batang tombak ke belakang. Keras sekali tubuh Rampayak jatuh menghantam tanah yang merekah terbakar matahari.

Di saat tubuh Rampayak tengah telentang, Singa Gurun sudah melesat cepat sekali. Dan tahu-tahu, kaki kanannya sudah dijejakkan ke dada lawannya. Begitu keras pijakannya, membuat Rampayak jadi menjerit keras. Dan seketika itu juga, darah menyembur keluar dari mulutnya. Hanya sesaat saja tubuhnya berkelojotan, kemudian meregang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Singa Gurun baru melepaskan pijakan kakinya, setelah lawannya dipastikan sudah tidak bernyawa lagi. Dan kakinya segera melangkah beberapa tindak, menjauhi lawannya yang sudah tergeletak tidak bernyawa lagi.

"Huh...!" Berat sekali si Singa Gurun mendengus. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri kudanya yang sejak tadi terus setia menunggu. Dengan ayunan kaki tenang, dia terus berjalan. Sepertinya, tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya tadi. Laki-laki yang tidak ketahuan rupa wajahnya ini mengambil tali kekang kudanya, lalu melompat naik dengan gerakan indah sekali. Sejenak kepalanya berpaling menatap tubuh Rampayak yang tergeletak tidak bernyawa lagi, dengan darah membasahi seluruh tubuhnya.

"Hiyaaa..!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki berbaju serba hitam yang kepala dan wajahnya selalu ditutupi kain hitam itu langsung saja menggebah kencang kudanya. Maka kuda hitam itu melesat cepat, seperti anak panah yang dilepaskan dari busur. Cepat sekali kuda itu berpacu, hingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan debu yang beterbangan di angkasa. Meninggalkan sosok mayat laki-laki di tanah merekah yang terpanggang terik mentari.

Saat si Singa Gurun sudah tidak terlihat lagi, dari balik batu-batu besar dan pepohonan bermunculan beberapa orang yang langsung menghampiri Rampayak. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka hanya memandangi mayat Rampayak dengan sinar mata sukar diartikan. Kemudian pandangan mereka berabh ke arah kepulan debu yang semakin bergerak jauh, meninggalkan tempat gersang itu.

Dan di antara mereka, terlihat seorang gadis cantik berbaju hijau ketat. Di sampingnya, tampak seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung di punggungnya. Pemuda itu menuntun seekor kuda hitam yang tinggi dan gagah. Tapi, tidak lama orang-orang itu merubungi mayat Rampayak. Dan mereka meninggalkannya begitu saja, tanpa ada seorang pun yang bersuara dengan arah tujuan masing-masing.

Dan kini yang tertinggal hanya gadis cantik yang tadi sempat bertarung dengan si Singa Gurun itu, dan pemuda berbaju rompi putih yang berdiri tegak di sebelah kanannya.

"Aku harus membalas kematiannya. Manusia iblis itu tidak bisa dibiarkan terus hidup menyebarkan malapetaka...," desis gadis cantik itu dingin, seakan bicara pada diri sendiri.

"Siapa dia?" tanya pemuda di sebelahnya.

Gadis itu tidak langsung menjawab. Kepalanya berpaling sedikit, menatap wajah tampan di sebelahnya dengan sinar mata sukar dilukiskan. Kemudian dihembuskannya napas panjang, seraya berbalik. Perlahan kakinya terayun meninggalkan mayat Rampayak Dan pemuda itu mengikuti dari belakang. Sebentar saja ayunan langkah kakinya sudah disejajarkan di samping kanan gadis ini. Beberapa saat mereka masih belum ada yang membuka suara.

"Kenapa kau mengikutiku, Kisanak? Aku sudah berterima kasih, setelah nyawaku kau selamatkan. Tapi, tidak selayaknya kau terus mengikutiku," tegur gadis itu. Suaranya terdengar agak ketus, merasa tidak senang diikuti.

"Aku tidak mengikutimu, Nisanak. Maaf. Mungkin arah yang kita tuju sama," sahut pemuda itu sopan.

"Hm...," gadis itu hanya menggumam sedikit Dan dia tidak lagi bersuara. Tapi, kakinya masih saja terus terayun perlahan-lahan.

Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu tetap berjalan di sebelahnya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. "Siapa namamu, Nisanak?" tanya pemuda itu membuka percakapan lebih dulu, setelah cukup lama berdiam diri.

"Untuk apa kau tahu namaku?" gadis itu malah balik bertanya bernada ketus.

"Aku hanya ingin tahu. saja. Siapa tahu, kita bisa bertemu lagi," sahut pemuda tampan itu, masih tetap ramah.

"Aku harap, kita tidak perlu bertemu lagi. Dan kau tidak perlu lagi mencampuri segala urusanku. Terima kasih atas budi baikmu dalam menyelamatkan nyawaku. Satu saat nanti, hutang nyawa ini akan kubayar," ujar gadis itu tetap ketus nada suaranya.

Pemuda berbaju rompi putih ini jadi terdiam mendengar jawaban yang sangat ketus dan tidak pernah diduganya. Dia tampak terkejut, hingga ayunan kakinya terhenti. Sedangkan gadis cantik itu terus saja melangkah tanpa peduli. "Hm.... Gadis yang keras...," gumam pemuda itu dalam hati. "Siapa dia sebenarnya? Dan, ada urusan apa dia dengan si Singa Gurun...?"

Berbagai macam pertanyaan langsung berkecamuk dalam benak pemuda itu. Tapi, semua pertanyaan belum bisa dijawabnya sekarang ini. Sedangkan gadis cantik itu sudah jauh meninggalkannya. Pemuda itu masih saja berdiri mematung memandangi, sampai gadis itu lenyap ditelan lebatnya pepohonan yang meranggas kering. Dan dia baru melompat naik ke punggung kuda, lalu menggebahnya pedahan-lahan. Tapi entah kenapa, arah yang dituju justru sama dengan yang ditempuh gadis cantik itu. Apakah gadis itu tetap akan diikutinya? Hanya dia yang tahu.

Sedangkan daerah gersang yang seperti tidak memiliki napas kehidupan itu sudah kembali sunyi, tanpa terdengar suara apa-apa lagi. Hanya desir angin saja yang masih terdengar, menyebarkan udara kering. Sehingga membuat pepohonan semakin banyak menggugurkan daun-daunnya. Sementara pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung yang tersandang di punggung itu sudah lenyap masuk ke dalam hutan. Tidak ada seorang pun yang terlihat lagi. Hanya satu sosok mayat saja yang kini tertinggal, tanpa ada yang peduli lagi.

********************

Matahari belum lagi menenggelamkan diri di ufuk barat, ketika terdengar teriakan-teriakan keras, disertai denting suara senjata beradu dari balik sebuah bukit batu yang kering, di seberang sebuah sungai yang juga hampir kering airnya. Suara-suara itu memang jelas dari sebuah pertarungan. Dan memang, di balik bukit batu itu sedang terjadi sebuah pertarungan yang sangat tidak seimbang.

Seseorang berbaju longgar serba hitam, dengan seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain hitam, tengah dikeroyok tidak kurang dari sepuluh orang bersenjatakan golok. Sedangkan di sekitar pertarungan, sudah menggeletak sekitar lima belas orang tanpa nyawa lagi dengan tubuh bersimbah darah. Meskipun dikeroyok sepuluh orang, tapi jelas sekali kalau orang berpakaian serba hitam yang ternyata Singa Gurun itu bisa menguasai pertarungan. Bahkan baru saja sekaligus merobohkan dua orang lawannya yang dipecahkan kepalanya.

Dan sebentar kemudian, dua orang lagi dibuat roboh tidak berdaya dengan dada remuk terkena pukulan dahsyatnya. Tapi, enam orang lawannya yang masih tersisa, tidak juga mau menyerah. Walaupun teman-teman mereka sudah bergelimpangan jadi mayat, tapi terus merangsek dengan sabetan golok yang cepat.

"Hiyaaat..!" Sambil berteriak keras menggelegar, si Singa Gurun memutar tubuhnya cepat sekali. Dan saat itu juga, dilepaskannya beberapa kali pukulan beruntun yang sangat cepat luar biasa. Sehingga tiga orang lawan yang paling dekat tidak dapat lagi menghindari. Dan ketiga orang itu seketika menjerit, saat pukulan-pukulan dahsyat yang dilepaskan Singa Gurun menghantam telak di tubuh mereka.

Seketika itu juga, ketiga orang itu berpentalan ke belakang dan ambruk dengan nyawa melayang. Tampak kepala dan dada mereka remuk, membuat darah berhamburan keluar. Saat itu juga tiga orang yang tersisa berlompatan mundur dengan raut wajah tersirat kegentaran. Mereka semula menyerang dengan kekuatan dua puluh lima orang. Dan kini hanya tersisa tiga orang saja. Sedangkan lawan yang dihadapi hanya seorang diri. Itu saja sudah menandakan, kalau kepandaian orang berpakaian serba hitam yang selama ini dikenal berjuluk Singa Gurun tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan sangat sukar diukur tingkatannya.

Tiga orang yang tersisa ini tampak jadi ragu-ragu untuk meneruskan pertarungan. Sementara di sekitarnya, tubuh-tubuh temannya tampak bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Sedangkan si Singa Gurun juga tampaknya sudah tidak ingin meneruskan pertarungan. Hanya dipandanginya tiga orang lawan yang masih tersisa, dari balik kain selubung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya.

"Kenapa kalian diam...? Ayo, lawan aku!" bentak si Singa Gurun lantang.

Tapi, ketiga orang itu masih saja tetap diam. Mereka saling berpandangan beberapa saat, kemudian menggeser kakinya perlahan secara bersamaan, mendekati laki-laki berbaju serba hitam yang wajahnya tidak kelihatan. Mereka berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi. Kemudian....

"Hiyaaa...!" 鈥淵eaaah...!"

Secara bersamaan, ketiga orang itu berlompatan menyerang sambil mengibaskan golok. Tapi hanya meliukkan tubuh sedikit tanpa menggeser kedua kakinya, si Singa Gurun bisa menghindari semua serangan. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kedua tangannya berkelebat sambil melompat sedikit. Begitu cepat gerakannya, membuat tiga orang lawannya tidak bisa lagi menghindar. Dan mereka kontan menjerit keras dengan tubuh berpentalan ke belakang. Hanya sedikit saja mereka menggeliat, kemudian mengejang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi.

Sementara, si Singa Gurun hanya berdiri tegak memandangi lawan-lawannya yang sudah bergelimpangan tidak bernyawa di sekelilingnya. Tidak ada seorang pun yang terlihat masih hidup. Sedikit dia mendengus, menghembuskan napas berat.

"Phuuuh!" Sambil menghembuskan napas panjang, laki-laki berbaju serba hitam yang wajahnya tidak kelihatan itu mengayunkan kakinya meninggalkan tempat pertarungan irii. Begitu ringan ayunannya, seakan-akan berjalan tanpa menjejak tanah sedikit pun juga. Dan sebentar saja, dia sudah jauh meninggalkan tempat itu.

********************

Malam sudah jauh menyelimuti sebagian permukaan bumi. Langit tampak gelap, tersaput awan tebal yang hitam. Sedikit pun tidak terlihat cahaya bulan maupun bintang. Angin bertiup kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan. Namun di balik gerumbul semak belukar, terlihat kilatan cahaya api. Dan di depan api unggun yang menyala kecil itu, terlihat duduk seseorang yang seluruh tubuh dan kepalanya tertutup kain hitam. Dari balik kain kerudung hitamnya, terlihat kilatan cahaya sepasang mata yang tidak lepas memandangi nyala api di depannya.

Sesaat kepala yang tertutup kain hitam itu bergerak ke samping, ketika terdengar suara bergemirisik seperti ranting kering yang terinjak. Kepalanya diangkat sedikit, saat melihat sepasang kaki tahu-tahu sudah ada tidak jauh di sebelah kirinya. Perlahan kepalanya terangkat naik, memandangi sosok tubuh seorang pemuda berbaju rompi putih sudah berdiri di sana. Tapi, tidak lama kembali matanya memandangi api unggun di depannya, seakan tidak mempedulikan kehadiran pemuda itu.

"Boleh aku ikut menghangatkan diri denganmu, Kisanak...?" pinta pemuda tampan berbaju rompi putih itu sopan.

"Hm...." Laki-laki berbaju hitam yang seluruh kepala dan wajahnya tertutup kain hitam itu hanya menggumam sedikit, seakan tidak mempedulikan permintaan pemuda yang baru datang ini. Tapi duduknya digeser sedikit, menandakan kalau dia mengizinkan.

"Terima kasih." Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang berbentuk kepala burung di punggung itu lantas duduk di seberang laki-laki berbaju hitam yang selama ini dikenal sebagai si Singa Gurun. Hanya jilatan api unggun yang menyala kecil saja sebagai pembatas antara mereka berdua. Dan untuk beberapa saat, mereka terdiam membisu. Begitu sunyi, hingga hembusan angin yang lembut pun terdengar jelas mengusik gendang telinga.

鈥淣amaku Rangga. Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Kisanak...?" ujar pemuda berbaju rompi putih, memecah kesunyian dengan memperkenalkan namanya. Dia memang Rangga yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Dan julukannya memang lebih dikenal daripada namanya yang asli.

Tapi orang yang diajaknya suara hanya menggumam saja sedikit, seakan sangat enggan membuka suara. Dan kepalanya terus menunduk memandangi kobaran api di depannya, dari dua buah lubang tepat di bagian mata pada kain yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Sepasang cahaya bola matanya yang bulat, berwarna kuning kehijauan seperti sepasang mata seekor singa.

"Mungkin aku hanya mengganggu ketenanganmu saja, Kisanak. Maaf... Sebaiknya aku pergi saja," ujar Rangga seraya bangkit berdiri.

"Mau kemana kau?" tegur si Singa Gurun, seraya mengangkat wajahnya yang tertutup selubung kain hitam.

Rangga jadi mengurungkan niatnya untuk pergi dari tempat ini, walau masih berdiri saja di situ. Terus dipandanginya kain selubung hitam di depannya, seakan ingin menembusnya agar dapat melihat wajah orang yang tetap duduk bersila dekat api unggun ini. Tapi memang sulit untuk bisa melihat jelas, kecuali sepasang bola mata yang bercahaya kuning kehijauan saja yang menyorot tajam.

"Duduklah, Anak Muda. Aku perlu teman bicara," ujar si Singa Gurun meminta.

Rangga kembali duduk bersila di depan si Singa Gurun, dengan api unggun yang menjadi pemisah di antara mereka berdua. Dan untuk beberapa saat, mereka kembali terdiam membisu tanpa ada seorang pun yang membuka suara lebih dulu. Mereka hanya saling pandang saja, seakan sedang mempejalari diri masing-masing.

"Siapa tadi namamu, Anak Muda...?" tanya Singa Gurun, dengan nada suara dalam.

"Rangga."

"Hm.... Kau tahu siapa aku, Anak Muda?" tanya Singa Gurun lagi.

Rangga hanya menggeleng. Walaupun sebenarnya sudah tahu nama orang yang berada di depannya ini, tapi pura-pura tidak mengenali, seakan Pendekar Rajawali Sakti belum pernah mendengar ataupun melihat orang itu.

Tampak si Singa Gurun menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat Sepertinya ada sesuatu yang teramat besar dan berat mengganjal rongga dadanya. Dan untuk beberapa saat, kembali dia terdiam membisu. Sementara, Rangga sendiri juga tidak membuka suaranya. Kedatangannya ke sini memang untuk bertemu manusia yang sering didengarnya ini yang konon sebagai manusia setengah siluman singa!

Rangga sudah banyak mendengar tentang si Singa Gurun ini. Bahkan juga mendengar kalau wajah orang itu bukan wajah manusia, tapi wajah seekor singa. Itu sebabnya, kenapa wajahnya disembunyikan di balik kain hitam. Disebut Singa Gurun, karena dia juga datang dari satu daerah yang gersang dan berpasir di wilayah utara. Suatu daerah yang jarang dilewati manusia karena hanya berupa gurun pasir yang sangat luas bagai tidak bertepi. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu, dari mana Singa Gurun berasal. Mereka hanya mengatakan kalau si Singa Gurun yang berwajah singa itu berasal dari daerah gurun pasir di utara.

"Kau membawa pedang yang bagus, Anak Muda. Aku yakin, kau seorang pendekar. Atau paling tidak, berkecimpung dalam rimba persilatan. Aku tidak percaya kalau kau belum tahu siapa aku...," tebak Singa Gurun langsung.

Seketika Rangga jadi tersentak kaget. Tapi keterkejutannya cepat disembunyikan, sebelum lawan bicaranya ini tahu. Memang sangat tepat tebakan si Singa Gurun. Rangga memang berpura-pura tidak tahu siapa lawan bicaranya.

"Aku memang tidak tahu siapa dirimu, Kisanak. Kedatanganku ke sini hanya kebetulan saja. Aku kemalaman di hutan ini, dan melihat cahaya api unggunmu," jelas Rangga, tetap menyembunyikan jati dirinya.

"Hm.... Baiklah, Anak Muda. Kalau memang belum tahu, sekarang kau akan tahu siapa aku ini. Akulah orangnya yang selalu dipanggil Singa Gurun. Dan semua orang selalu membenciku. Semua orang ingin membunuhku. Mereka menganggapku manusia iblis yang sangat jahat dan harus dilenyapkan dari muka bumi. Nah... Sekarang kau sudah tahu siapa aku, Anak Muda. Kalau kau pernah mendengar namaku, sebaiknya menyingkir saja. Mumpung aku tidak bernafsu melihat darah," kata Singa Gurun menjelaskan siapa dirinya dengan nada suara begitu berat dan dalam.

Sedangkan Rangga hanya diam saja. Bisa dirasakan adanya tekanan yang begitu dalam pada nada suara si Singa Gurun. Seakan-akan, semua itu dikatakan dengan beban yang teramat berat untuk ditanggung seorang diri. Dan Rangga sudah bisa mengetahui, kalau sebenarnya orang yang selalu dikatakan iblis pembunuh yang haus darah ini adalah orang yang sangat menderita dan perlu mendapat bantuan.

Dan memang, Singa Gurun sudah begitu banyak membunuh orang yang ingin membunuhnya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mencoba menantangnya dibiarkan tetap hidup. Tapi dari kata-kata dan nada suara yang terdengar begitu terat penuh tekanan tadi, Rangga bisa mengambil satu kesimpulan kalau sebenarnya orang ini tidaklah sejahat yang didengarnya dari orang lain. Dan dia sebenarnya perlu bantuan untuk membersihkan namanya yang sudah telanjur rusak.

"Maaf.... Kalau boleh kutahu, kenapa mereka selalu memburu dan ingin membunuhmu, Kisanak..?" tanya Rangga.

"Mereka takut, Anak Muda. Mereka tidak ingin orang sepertiku yang tidak lumrah ini hidup bebas di atas bumi ini. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka begitu membenciku. Atau karena...," si Singa Gurun tidak bisa meneruskan kata-katanya yang tadi tersendat.

"Karena apa, Kisanak?" desak Rangga, ingin tahu.

"Ah, sudahlah...," Singa Gurun langsung mengelak, tidak ingin meneruskan pembicaraannya yang terputus tadi.

Dan Rangga sendiri tidak ingin terus mendesak Pendekar Rajawali Sakti jadi diam membisu dengan pandangan mata terus tertuju pada wajah yang hitam tertutup kain selubung hitam di depannya. Walaupun cahaya api kini lebih besar, tapi tidak mampu menembus selubung kain hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajah si Singa Gurun.

Dan kembali mereka berdua terdiam membisu, tanpa ada seorang pun yang memulai membuka suara. Entah, apa yang ada dalam benak mereka masing-masing.

Malam terus merayap semakin larut. Tapi di antara dua orang laki-laki yang duduk saling berhadapan dengan pembatas sebuah api unggun kecil, belum ada yang membuka suara lebih dulu. Entah sudah berapa lama mereka saling berdiam diri seperti patung batu. Sehingga membuat desir angin terasa begitu jelas mengusik telinga. Saat itu, Rangga bangkit berdiri sambil menggeliatkan tubuhnya. Dan pada saat yang sama, tiba-tiba saja terdengar suara mendesing yang cukup keras dari arah belakang.

"Hup!" Tanpa berpaling lagi, Rangga cepat melesat ke atas sambil memutar tubuhnya dua kali di udara. Saat itu juga, terlihat sebuah benda bulat berwarna hitam sebesar kepalan tangan, melesat dengan kecepatan bagai kilat.

Dan benda itu hanya menyambar lewat di bawah tubuh Pendekar Rajawali Sakti, terus berkelebat ke arah Singa Gurun yang masih tetap duduk bersila. Tapi kelima benda hitam itu hampir menghantam tubuhnya, cepat bagai kilat laki-laki berbaju serba hitam itu melesat tinggi ke atas. Sehingga benda itu hanya menghantam tanah, tempat tadi Singa Gurun duduk bersila tadi.

"Hup!" Tanpa berpaling, Rangga cepat melesat ke atas. Benda itu pun lewat di bawah tubuh Pendekar Rajawali Sakti, lalu berkelebat ke arah Singa Gurun yang masih duduk bersila. Tokoh berkerudung itu pun segera melompat menghindari benda bulat berwarna hitam yang menerjangnya. Seketika itu juga...

Glarrr...!

Terdengar ledakan dahsyat dari tanah yang terbongkar, terhantam benda hitam sebesar kepalan tangan tadi. Bongkahan tanah berdebu yang bercampur dedaunan dan rerumputan berhamburan ke segala arah. Bahkan ledakan itu membuat api unggun yang berada tidak jauh dari situ jadi padam seketika.

Sementara itu, Rangga dan si Singa Gurun secara bersamaan menjejakkan kedua kakinya di tanah dengan manis sekali. Sedikit pun tidak timbul suara ketika kaki mereka menjejak tanah. Bisa ditebak ringkat kepandaian yang dimiliki sudah sangat tinggi.

"Keparat...! Selalu saja ada orang yang mengganggu ketenanganku!" geram Singa Gurun murka.

Sementara Rangga sendiri hanya diam saja, dengan pandangan mata beredar ke sekeliling. Tapi tidak ada yang bisa terlihat, selain pepohonan menghitam dan kegelapan yang terselimut kabut tebal. Begitu sunyi, hingga detak jantung terdengar jelas mengusik gendang telinga.

"Siapa kau, Setan! Keluar...!" betak Singa Gurun lantang menggelegar.

"Hikhikhik...!"

Belum lagi menghilang bentakan Singa Gurun dari pendengaran, sudah terdengar suara tawa mengikik kering yang menggema seperti datang dari segala arah. Dan ini membuat si Singa Gurun dan Rangga jadi celingukan, mencari arah sumber datangnya tawa itu. Tapi memang sulit dipastikan, karena suara itu menggema di sekeliling mereka.

Kini kedua laki-laki itu cepat memasang sikap waspada. Mereka langsung bisa mengetahui kalau penyerang gelap itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan belum lagi lenyap suara tawa mengikik yang mengerikan itu, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah begitu cepat, menyambar langsung ke arah kepala si Singa Gurun.

Begitu cepat kelebatannya, membuat Singa Gurun jadi terperangah sesaat. Namun dengan gerakan cepat bagai kilat, tubuhnya langsung melenting berputaran ke belakang. Sehingga, sambaran bayangan merah seperti api itu tidak sampai menghantam kepalanya.

"Hap!" Indah sekali Singa Gurun menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan pada saat itu juga, bayangan merah yang menyerang kembali melesat balik, langsung meluruk deras dengan kecepatan tinggi sekali ke arah laki-laki berbaju serba hitam yang wajahnya tidak kelihatan ini. Tapi, kali ini si Singa Gurun sudah siap menanti serangan. Dan begitu bayangan merah itu dekat, cepat tangan kanannya dikibaskan ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

"Yeaaah...!" Bet!

Begitu cepat gerakan itu, hingga benturan pun tidak dapat lagi dihindari Maka seketika telapak tangan si Singa Gurun yang terbuka mengebut ke depan membentur bayangan merah yang menyerangnya, seketika terdengar ledakan keras menggelegar yang sangat dahsyat.

Glarrr...! Tampak antara si Singa Gurun dan bayangan merah itu sama-sama terpental ke belakang, sejauh iua batang tombak Tapi Singa Gurun cepat menguasai keseimbangan tubuhnya, dan langsung nenjejakkan kedua kakinya mantap di tanah berumput ini. Saat itu juga, sekitar empat tombak jauhnya di depannya berdiri seorang perempuan tua berbaju jubah merah panjang dan longgar. Dan di tangan kanannya tergantung sebuah rantai hitam ang berbandul bola baja hitam berduri.

"Hik hik hik...! Kau tidak perlu tahu siapa aku, Singa Gurun. Tapi yang perlu kau tahu, nyawamu sekarang berada di tanganku!" sahut perempuan itu ketus.

Sementara itu, Rangga yang sejak tadi hanya jadi penonton diam-diam membisikan sesuatu pada Singa Gurun menggunakan suara perut. Dan bisikan itu langsung disalurkan ke telinga laki-laki berjubah hitam yang sampai saat ini selubung kain hitam di kepalanya belum juga tersingkap.

"Hati-hati, Ki. Dia itu Perempuan Iblis Dari Neraka. Kepandaiannya sangat tinggi...."

"Hm...," Singa Gurun hanya menggumam saja sedikit, mendapat bisikan dari Pendekar Rajawali Sakti yang berada sekitar dua batang tombak di belakangnya.

Tapi, rupanya bisikan Rangga yang sangat pelan itu dapat diketahui wanita tua yang dikenali berjuluk si Perempuan Iblis Dari Neraka. Dan matanya langsung mendelik pada pemuda berbaju rompi putih ini. "Kau jangan ikut campur urusan ini, Bocah!" bentak si Perempuan Iblis Dari Neraka langsung ditujukan pada Rangga

"Hegkh...?!" Rangga jadi tersentak juga mendengar bentakan perempuan tua berjubah merah itu. Sungguh tidak disangka kalau bisikannya yang disalurkan lewat perut bisa juga diketahui.

Sementara, si Singa Gurun hanya diam saja, menatap Perempuan Iblis Dari Neraka dari balik kain kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya.

Perempuan tua berbaju jubah merah longgar, dengan senjata rahasia berbandul bola besi baja berduri itu memang si Perempuan Iblis Dari Neraka. Dan nama sebenarnya adalah Nyai Rukini. Tapi julukannya lebih dikenal daripada nama aslinya sendiri.

"Maaf, Nyai. Bukannya ingin mencampuri urusanmu. Tapi rasanya tidak pantas kalau menyerang tanpa memberitahu alasannya. Sedangkan orang yang diserang, tidak mengenalmu," kata Rangga kalem, namun terdengar pedas nada suaranya.

"Keparat..! Kau rupanya ingin mencampuri urusan orang lain, heh?! Phuih...! Kau akan segera mendapat bagian, kalau kepala singa jelek ini sudah kupisahkan dari batang lehernya!" dengus Nyai Rukini kasar.

"Kau terlalu membabi buta, Nyai," desis Rangga, jadi dingin nada suaranya.

"Hik hik hik...! Apa urusanmu, heh...?! Aku memang ingin mengirim singa jelek ini ke neraka. Dan lagi tidak pantas dia hidup di dunia ini!" sambung Nyai Rukini itu, bernada mengejek.

"Dia manusia biasa, seperti yang lainnya, Nyai. Kenapa dikatakan tidak pantas hidup? Apa kehilupan manusia di jagad ini ada di tanganmu...? Kau terlalu congkak, Nyai. Aku khawatir, kecongkakanmu itu bisa menjadi senjata makan tuan bagi dirimu sendiri," kata Pendekar Rajawali Sakti memperingatkan.

"Tutup mulutmu, Bocah! Aku tidak ada urusan denganmu!" bentak Nyai Rukini kasar.

Baru saja Rangga akan menyahuti bentakan si Perempuan Iblis Dari Neraka itu, Singa Gurun sudah merentangkan tangan kanannya ke samping. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus mengatupkan mulutnya kembali yang sudah terbuka. Dia tahu, si Singa Gurun tidak ingin perdebatan ini dilanjutkan. Dan memang, tujuan Nyai Rukini sebenarnya hanya padanya. Bukan pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Nyai! Aku memang dilahirkan tidak seperti manusia lain pada umumnya. Tapi, aku tidak pernah mengganggu orang. Apalagi sampai merugikan. Terus terang, aku sendiri tidak mengerti, kenapa semua orang memusuhiku...? Malah ingin membunuhku. Juga kau, Nyai. Kenapa...?" Nada kata-kata Singa Gurun seperti bertanya untuk diri sendiri.

Tapi, Rangga bisa menangkap adanya keluhan pada nada suara itu. Dan kini sudah bisa diduga, seperti apa rupa si Singa Gurun sebenarnya. Dan Pendekar Rajawali Sakti juga sudah bisa mengetahui, apa permasalahan yang sebenarnya. Rupanya, semua orang ingin membunuh si Singa Gurun ini karena telah ditakdirkan hidup dengan rupa tidak wajar, seperti layaknya manusia. Hanya saja sulit dibayangkan, seperti apa wajah yang selalu tertutup kain hitam itu.

"Kelahiranmu memang sudah tidak disenangi, Singa Gurun. Kau dilahirkan berwajah singa, dan tubuh manusia. Keberadaanmu di atas bumi ini hanya akan menghancurkan manusia. Dan kau akan menjadikan semua orang budak-budakmu belaka. Kau tahu, Singa Gurun... Siapa saja yang bisa membunuhmu, ditakdirkan akan menguasai seluruh jadad raya ini!" sahut Nyai Rukini tegas dan lantang.

"Kau salah, Nyai. Kedatanganku justru bukan sebagai perusak, tapi justru untuk memulihkan kembali dunia yang sudah hancur oleh orang-orang sepertimu. Orang-orang yang berhati iblis!" balas si Singa Gurun, tidak kalah tegasnya.

"Phuih! Kalau kedatanganmu membawa kebaikan, lalu apa namanya tindakanmu selama ini, heh...?! Membunuh semua orang yang kau jumpai!"

"Aku hanya membela diri saja, Nyai. Dan merekalah yang menginginkannya begitu. Aku sudah peringatkan, tapi mereka tetap menyerangku. Apa aku salah kalau berusaha membela diri...? Tidak, Nyai.... Aku tidak sejahat seperti yang dikira. Kedatanganku justru akan menyadarkan orang-orang sesat yang hatinya selalu dibisiki kata-kata iblis..."

"Cukup...! Kau terlalu banyak bicara, Singa Gurun! Sekarang tunjukkan kepandaianmu!" bentak Nyai Rukini, cepat memutuskan kata-kata si Singa Gurun.

Laki-laki berbaju serba hitam itu mengangkat bahunya sedikit. Tanpa dijelaskan lagi, sudah diketahuinya kalau si Perempuan Iblis Dari Neraka itu sudah membuka tantangan terbuka padanya. Dan memang, Singa Gurun pantang menghindari tantangan apa pun juga yang harus disambut, walaupun nyawa taruhannya.

"Kau sudah memulainya lebih dulu, Nyai. Aku tidak bisa menghindari tantanganmu. Silakan, Nyai. Serang aku...," sambut Singa Gurun kalem.

"Phuih!" Nyai Rukini sengit sekali menyemburkan ludahnya. Sejenak ditatapnya tajam-tajam Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada tidak jauh dibelakang si Singa Gurun.

Dan tampaknya, Rangga tahu arti tatapan mata yang sangat tajam itu. Perlahan kakinya ditarik ke belakang menjauh. Sementara, si Singa Gurun sendiri tetap berdiri tegak sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Dan saat Rangga sudah berada cukup jauh jaraknya dari si Singa Gurun, Nyai Rukini mulai melangkah mendekati dengan kaki bergeser menyusur tanah berumput yang basah oleh embun. Tatapan matanya kini menyorot tajam, bagai hendak menembus kain selubung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajah laki-laki di depannya ini.

"Hiyaaat...!" Tiba-tiba saja Nyai Rukini melompat cepat sekali, sambil berteriak nyaring melengking tinggi. Dan dengan kecepatan kilat juga, senjata rantainya yang berbandul bola besi berduri dilontarkan tepat ke bagian kepala Singa Gurun.

"Haiiit...!" Tapi, si Singa Gurun yang memang sudah siap menerima serangan sejak tadi manis sekali bisa menghindarinya, hanya dengan mengegoskan kepala sedikit saja. Namun pada saat itu juga, Nyai Rukini sudah melepas satu tendangan menggeledek yang sangat cepat sambil memutar tubuhnya sedikit.

"Hap!" Cepat-cepat si Singa Gurun melompat ke belakang dua langkah, membuat tendangan Nyai Rukini tidak mengenai sasaran.

Tapi, tampaknya Perempuan Iblis Dari Neraka ini tidak mau berhenti sampai di situ saja. Kembali cepat diserangnya Singa Gurun dengan mengurung setiap ruang geraknya. Sementara senjata rantainya yang berbandul bola berduri itu juga terus mengurung laki-laki berbaju serba hitam itu. Setiap lontarannya menimbulkan suara menderu bagai badai, disertai hempasan angin kuat dan berhawa panas membakar. Sehingga, membuat si Singa Gurun terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan datang.

Serangan demi serangan terus mengalir cepat. Dan tanpa terasa, mereka sudah bertarung lebih dari lima jurus. Tapi, belum ada satu serangan pun yang membuat si Singa Gurun jadi terdesak. Gerakan-gerakan Singa Gurun memang sungguh cepat luar biasa. Hingga, Nyai Rukini jadi kesulitan untuk bisa mendesaknya. Dan serangannya pun semakin ditingkatkan dengan dahsyat.

"Mampus kau! Hiyaaat..!" Sambil membentak nyaring, Nyai Rukini cepat melompat sedikit sambil mengebutkan senjata rahasianya lurus ke depan.

Begitu cepat serangannya, membuat si Singa Gurun tidak punya kesempatan lagi menghindari, kecuali menangkap. Maka cepat sekali kedua tangannya dikebutkan ke depan dada. Hingga....

Tap! Cring...!

"Ikh...?!" Nyai Rukini jadi terpekik kaget setengah mati, ketika senjatanya bisa ditangkap kedua telapak tangan lawannya yang merapat tepat di depan dadanya. Dan belum lagi rasa keterkejutannya lenyap, tiba-tiba saja si Singa Gurun sudah melesat cepat bagai kilat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang sangat dahsyat.

"Hiyaaat...!" Begitu cepat serangan balik si Singa Gurun, membuat Nyai Rukini tidak dapat lagi menghindarinya. Terlebih, senjatanya masih berada dalam jepitan kedua tangan lawannya. Dan...

Begkh!

"Akh...!" Nyai Rukini jadi memekik, begitu tendangan Singa Gurun yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi tepat menghantam dadanya. Seketika perempuan tua itu jadi terjungkal ke belakang sejauh dua batang tombak. Lalu keras sekali tubuhnya menghantam tanah, membuat pekikan yang agak tertahan kembali terdengar.

EMPAT

Sementara si Singa Gurun sudah kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh. Dari balik kain kerudung Hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya, dipandanginya wanita tua itu dengan tajam. Sedangkan tidak jauh dari tempat pertarungan, Rangga masih tetap diam. Seakan tidak dipedulikan semua yang terjadi di depan matanya. Memang tidak ada yang bisa diperbuat Pendekar Rajawali Sakti selain diam dan menyaksikan semua pertarungan antara dua tokoh persilatan tingkat tinggi itu.

Sementara, Nyai Rukini sudah terlihat mulai bangkit berdiri kembali. Tampak darah kental menggumpal dalam rongga mulutnya. Tubuhnya terlihat limbung, seakan kedua kakinya tidak kuat lagi menopang berat badannya sendiri.

"Hoeeekh! Phuuuh...!" Segumpal darah kental berwarna agak kehitaman mendadak tersembur keluar dari mulut Nyai Rukini. Dengan punggung tangannya, disekanya sisa darah yang membasahi bibirnya. Sebentar kepalanya digelengkan. Dicobanya mengusir rasa pening yang menyerang kepala, akibat sesak napas dari dadanya yang terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi.

Kalau saja wanita itu belum mengenyam seluk beluk rimba persilatan, sudah barang tentu dadanya hancur terkena tendangan dahsyat tadi. Tapi, Nyai Rukini bukanlah perempuan tua sembarangan. Dengan kekuatan tenaga dalamnya yang tinggi, tendangan itu mampu ditahan walaupun tidak bisa menahan muntahan darah dari mulutnya.

"Cukup, Nyai. Aku tidak akan menanggung akibatnya, kalau kau meneruskan pertarungan ini," kata Singa Gurun mencoba memberi kesempatan pada lawannya.

"Phuih!" Nyai Rukini hanya menyemburkan ludahnya saja yang bercampur darah, mendengar peringatan lawannya. Dirasakannya, kata-kata si Singa Gurun barusan sangat merendahkan kemampuannya. Pantang baginya untuk surut dari ajang pertarungan, tanpa harus ada yang tewas. Setelah bisa menguasai jalan pernapasannya kembali, perempuan tua itu kembali melangkah, menghampiri lawannya.

Sedangkan si Singa Gurun jadi melenguh, melihat lawannya masih tetap saja ingin meneruskan pertarungan yang sama sekali tidak diinginkannya. Tapi, dia tidak bisa berbuat lain lagi. Apalagi ketika Nyai Rukini sudah berteriak lantang, sambil melontarkan senjata rahasia yang berbandul bola berduri.

"Yeaaah...!"

Wuttt...! Cring!

"Haiiit..!" Cepat-cepat Singa Gurun merunduk, saat senjata Nyai Rukini melayang cepat hendak menyambar kepalanya. Dan bandulan besi berduri itu hanya lewat sedikit saja di atas kepala si Singa Gurun ini. Angin sambarannya yang begitu keras, sempat membuat laki-laki berbaju hitam itu jadi limbung. Tapi dengan gerakan kaki yang indah sekali, senjata lawannya bisa dijauhi. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kanannya dikebutkan dengan kecepatan bagai kilat, hingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan....

"Ikh...?!" Nyai Rukini jadi terpekik kaget, ketika tangan kanan lawannya bergerak menyambar senjatanya yang belum sempat ditarik pulang. Cepat dikebutkannya senjata itu ke atas, hingga melenting tinggi ke atas kepalanya.

Tapi tanpa diduga sama sekali, si Singa Gurun malah melesat ke atas untuk mengejar senjata lawannya. Sungguh suatu jurus pertarungan yang sangat aneh. Bukannya menghindar senjata lawan, tapi si Singa Gurun justru mengejarnya ke mana pun bergerak.

"Setan! Hiyaaat...!" Nyai Rukini jadi memaki berang. Dan ketika si Singa Gurun sedang berada di udara, cepat sekali senjata andalannya dikebutkan.

Bet! Cring!
"Hap!"
"Heh...?!" Nyai Rukini jadi terperanjat setengah mati. Sama sekali tidak disangka kalau si Singa Gurun berani memapak arus senjatanya, tanpa sedikit pun berusaha menghindar. Bahkan sebelum senjata rantai berbandul bola besi berduri itu menghantam dadanya, cepat sekali kedua tangannya bergerak mengatup. Sehingga, bola besi berduri runcing itu tertangkap kedua telapak tangannya yang cepat mengatup ini. Dan....

"Hiyaaa...!"

"Akh...?!" Nyai Rukini sama sekali tidak menduga tindakan lawannya. Dan ketika tiba-tiba si Singa Gurun menyentakkan kedua tangannya ke atas, dia tidak bisa bertahan lagi. Akibatnya kedua tangan Nyai Rukini yang memegangi rantai senjatanya ikut tersentak ke atas tanpa dapat ditahan sentakan itu.

Bret!

"Aaa...!" Kedua tangan perempuan itu kontan tertarik sampai buntung dari pangkalnya, hingga menjerit nyaring melengking tinggi. Darah seketika itu juga muncrat deras sekali dari kedua pangkal tangan yang buntung.

Dan pada saat itu juga, si Singa Gurun melemparkan senjata lawannya sambil berteriak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. "Hiyaaa...!"

Bet!

Begitu cepat lemparan itu, membuat Nyai Rukini sama sekali tidak punya kesempatan berkelit menghindarinya. Terlebih lagi, kedua tangannya baru saja dibetot hingga buntung. Hingga....

Prak!

"Aaakh...!" Langsung saja senjata Nyai Rukini ini menghantam batok kepalanya sendiri yang tidak terlindungi lagi. Maka seketika terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Begitu nyaring dan menyayat. Kepala perempuan tua ini kontan hancur tak berbentuk lagi. Dan darah muncrat berhamburan dari kepala yang pecah.

Tubuh perempuan tua itu seketika ambruk menggelepar di tanah. Namun hanya sebentar saja bisa menggeliat, kemudian meregang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah masih terus mengucur keluar dari kedua tangan yang buntung dan kepalanya yang hancur berantakan terhantam senjatanya sendiri.

Sementara si Singa Gurun sudah kembali berdiri tegak di atas tanah berumput yang dibasahi embun ini. Dipandanginya perempuan itu yang tergeletak di tanah dari balik kain kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Dalam kegelapan kain kerudung itu, terlihat sepasang bola matanya yang bulat kehijauan memancar tajam memandangi mayat di depannya. Dan perlahan tubuhnya berbalik. Tapi baru saja mengayunkan kakinya beberapa langkah hendak pergi, Rangga sudah cepat memanggilnya sambil melangkah menghampiri.

"Tunggu, Ki...."

Singa Gurun langsung menghentikan ayunan kakinya. Tapi tubuhnya tak berbalik, menunggu sampai Rangga berada dekat. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera melewati orang yang tidak pernah memperlihatkan wajahnya ini, kemudian berdiri sekitar lima langkah di depannya. Dan beberapa saat mereka terdiam, saling berdiri berhadapan seperti dua orang yang sedang berhadapan ingin bertarung.

"Mengapa kau mencegahku pergi, Anak Muda?" terdengar dalam dan datar sekali nada suara si Singa Gurun.

"Maaf, Ki. Bukannya ingin mencampuri urusan pribadimu. Tapi terus terang saja, aku tidak menyukai tindakanmu tadi," kata Rangga, langsung berterus terang mengemukakan isi hatinya.

Si Singa Gurun tampak terkejut mendengar penuturan Rangga yang begitu polos dan berterus terang. Tapi rasa keterkejutannya bisa cepat dihilangkan. Ditatapnya pemuda berbaju rompi putih itu dalam-dalam dari batik kain kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Sedangkan yang dipandangi malah membela dengan sinar mata yang cukup tajam juga. Hingga beberapa saat masing-masing jadi terdiam, dan saling melemparkan pandangan dengan tajam.

"Aku lupa siapa tadi namamu, Anak Muda?" tanya Singa Gurun tiba-tiba. Nada suaranya mendadak saja jadi berubah lembut. Tapi, tetap terdengar besar dan dalam sekali.

"Rangga," sahut Rangga menyebutkan namanya.

"Kau berasal dari daerah mana?" tanya Singa Gurun lagi.

"Kulon..."
"Tepatnya?"
"Karang Setra."
"Kau kenal rajanya?"

Kali ini Rangga tidak langsung bisa menjawab. Tentu saja dia tahu, siapa Raja Karang Setra. Karena, Raja Karang Setra adalah dirinya sendiri. Dan di dalam rimba persilatan, Rangga dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Pertanyaan si Singa Gurun barusan membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun diam untuk beberapa saat. Entah, apa yang ada dalam benaknya saat ini. Tapi yang jelas, tatapan matanya jadi semakin tajam. Seakan, hendak menembus kain hitam yang menutupi wajah orang di depannya.

"Jawab pertanyaanku, Anak Muda...!" desak Singa Gurun agak membentak suaranya.

"Kenal," sahut Rangga, jadi datar nada suaranya.

"Hm, siapa?" tanya Singa Gurun lagi.

"Untuk apa kau tanyakan itu padaku, Ki?" Rangga malah balik bertanya. Di dalam hati, Rangga jadi penasaran, kenapa laki-laki yang selalu dipanggil Singa Gurun ini ingin tahu tentang Raja Karang Setra. Padahal, Raja Karang Setra sudah ada di depan matanya. Tapi, tampaknya memang si Singa Gurun tidak tahu. Bahkan tidak kenal Raja Karang Setra yang ditanyakannya.

"Jawab saja pertanyaanku, Anak Muda," desis Singa Gurun mendesak.

"Aku tidak akan menjawab, sebelum kau katakan alasannya kenapa ingin tahu tentang Raja Karang Setra," sahut Rangga tegas.

"Itu urusanku, Anak Muda!"

"Kalau urusanmu menyangkut Raja Karang Setra, sudah tentu juga menjadi urusanku. Karena, aku berasal dari Kerajaan Karang Setra. Dan aku berkewajiban untuk membela Karang Setra dengan taruhan apa pun juga," tegas Rangga lagi.

Kali ini, si Singa Gurun yang jadi tertegun mendengar jawaban tegas pemuda didepannya. Dan untuk beberapa saat, dia jadi terdiam membisu. Sedangkan Rangga juga tidak mengeluarkan suara lagi. Hingga, suasana jadi terasa begitu menegangkan.

"Dengar, Anak Muda. Aku datang jauh-jauh dari daerah gurun yang gersang, hanya untuk satu tujuan. Dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalangiku untuk pergi ke Karang Setra menemui rajanya. Siapa pun yang mencoba menghalangi, tidak segan-segan aku menyingkirkannya. Tidak peduli siapa, dan dari mana asalnya. Kau mengerti, Anak Muda...?" tegas sekali kata-kata Singa Gurun, yang begitu dalam penuh arti.

"Kalau kau bermaksud buruk, akan berhadapan dengan salah satu ksatri Karang Setra, Ki. Dan ksatria pertama yang harus dihadapi adalah aku," desis Rangga, tidak kalah tegasnya.

Singa Gurun kembali terdiam. Kalau saja wajahnya bisa terlihat, tentu Rangga bisa membaca apa yang ada di dalam benak orang ini. Sayangnya, wajahnya selalu tersembunyi di balik kain kerudung yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Dan kembali mereka terdiam untuk waktu yang cukup lama, membuat suasana semakin menegangkan.

"Kau ingin menantangku, Anak Muda...?" semakin dingin suara si Singa Gurun.

Rangga hanya diam saja, tidak menjawab sedikit pun juga.

"Kalau kau ingin menghalangiku, akan bernasib sama seperti yang lain. Sedangkan kulihat kau bukan dari golongan mereka yang hanya ingin mencoba kepandaianku saja. Sebaiknya, menyingkir saja. Dan, jangan coba-coba menghalangi tujuanku," ancam Singa Gurun memperingatkan.

"Aku memang bukan termasuk golongan lawan-lawanmu, Ki. Kalau aku berusaha mencegahmu datang ke Karang Setra, itu karena jangan sampai kau mengganggu ketenteraman Raja Karang Setra," balas Rangga tegas.

"Kuperingatkan sekali lagi, Anak Muda. Kau akan menyesal nanti. Sebaiknya, cepat menyingkir. Dan, jangan coba-coba mempermainkan nyawa sendiri," kembali Singa Gurun memperingatkan dengan tegas.

"Aku tidak akan menyingkir, sebelum kau katakan tujuanmu ke Karang Setra," sahut Rangga tidak kalah tegasnya.

"Kau keras kepala, Anak Muda...!" desis Singa Gurun mulai tidak sabar.

Rangga hanya tersenyum tipis saja. Dia memang sengaja memancing kemarahan laki-laki ini, karena ingin tahu tujuan si Singa Gurun sebenarnya ke Karang Setra. Semula Pendekar Rajawali Sakti memang tidak mau peduli. Tapi setelah tahu kalau tujuannya ke Karang Setra untuk menemui rajanya, dia jadi tertarik ingin tahu. Maka tidak ada jalan lain lagi, selain mengadu kepandaian. Di dalam hatinya, Rangga juga ingin tahu sampai di mana tingkat kepandaian si Singa Gurun ini yang sudah mengalahkan begitu banyak lawannya yang tingkat kepandaiannya rata-rata sudah tinggi.

"Kau membuat habis kesabaranku, Anak Muda!" dengus Singa Gurun dingin.

Rangga tetap saja membisu. Bahkan seulas senyum tipis terkembang menghiasi bibirnya. Dan ini membuat si Singa Gurun jadi menggereng, merasa dirinya tertantang. Dan tiba-tiba saja....

Bet!

"Hap!" Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke belakang, begitu Singa Gurun mengebutkan cepat tangan kirinya ke arah dadanya. Sedikit saja ujung jari tangan yang berkuku runcing tajam dan hitam itu lewat di depan dada Rangga yang terbuka. Saat itu juga, Rangga merasakan adanya aliran hawa panas yang cukup menyengat di sekitar dadanya. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah.

"Hm...," Rangga menggumam kecil. Pendekar Rajawali Sakti tahu, kebutan tangan kiri si Singa Gurun ini mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dan menebarkan hawa beracun yang membuat dadanya tadi jadi terasa panas. Pendekar Rajawali Sakti cepat memindahkan jalan pernapasannya ke perut, setelah menyadari kalau orang berbaju serba hitam ini mengandung racun di seluruh tubuhnya. Pantas saja tidak ada seorang pun yang sanggup menandinginya. Bahkan tokoh persilatan tingkat tinggi pun tidak tahan lama menghadapinya.

"Rupanya kau punya simpanan juga, Anak Muda. Bagus.... Aku senang mendapat lawan yang masih muda sepertimu," desis Singa Gurun dingin.

Rangga hanya diam saja. Sementara Singa Gurun sudah mulai menggeser kakinya perlahan ke kanan. Sementara kedua tangannya mulai bergerak membuka jurus. Tapi, Rangga masih tetap diam. Dia ingin tahu, tingkat kematian racun yang ada dalam tubuh si Singa Gurun ini.

"Tahan seranganku, Anak Muda! Yeaaah...!" Sambil membentak keras menggelegar, si Singa Gurun melompat cepat Langsung dilepaskannya satu pukulan lurus yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap!" Tapi Rangga sama sekali tidak berusaha menghindar. Bahkan tanpa diduga sama sekali, justru dipapaknya pukulan itu dengan menghentakkan tangan kiri ke depan dengan telapak yang tiba-tiba saja jadi berwarna merah seperti terbakar. Jelas sekali kalau saat itu juga Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat gerakan mereka berdua, hingga benturan keras pun tidak dapat dihindari lagi.

Glarrr...!

Satu ledakan dahsyat yang menggelegar seketika terjadi, tepat di saat pukulan Singa Gurun menghantam telapak tangan kiri Rangga yang memapaknya. Nyatanya, benturan ini membuat si Singa Gurun jadi tersentak kaget setengah mati. Tidak disangka kalau pemuda yang dianggapnya lemah ini memiliki kekuatan dahsyat. Cepat tubuhnya melenting ke belakang, seraya berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah.

Sementara, Rangga sedikit pun tidak bergeser dari tempatnya. Tangan kirinya masih tetap menjulur lurus ke depan, dengan jari-jari terkembang lebar. Perlahan Rangga menurunkan tangan kirinya kembali. Tatapan matanya masih tetap menyorot tajam, bagai hendak menembus kain hitam yang menutupi wajah si Singa Gurun yang kini berada sekitar satu batang tombak di depannya.

Sementara Singa Gurun sendiri seakan masih terpana, tidak menyangka kalau Rangga bisa mudah menahan pukulan mautnya. Bahkan tangan kanannya terasa jadi bergetar hebat, ketika beradu dengan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Rasa penasaran pun seketika itu juga tumbuh dalam hati si Singa Gurun. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, kembali tubuhnya melesat cepat, menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Jurus yang dikerahkan kali ini bukan lagi seperti yang digunakan ketika menghadapi Nyai Rukini. Gerakan-gerakannya pun kelihatan lebih cepat, dengan pukulan-pukulan dahsyat dan bertenaga dalam tinggi. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti yang langsung mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' mudah sekali bisa menghindari. Hingga dalam waktu singkat saja, pertarungan sudah berjalan lima jurus. Tapi sejauh ini si Singa Gurun belum bisa mendesak lawannya. Bahkan untuk memasukkan serangannya pun terasa begitu sulit.

"Setan alas...! Hiyaaat...!" Sambil memaki, Singa Gurun semakin memperhebat serangan-serangannya. Hatinya benar-benar penasaran menghadapi lawannya kali ini. Walaupun Rangga hanya menghadapinya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' saja, sudah terasa begitu sulit untuk mendesaknya.

Dan ketika pertarungan memasuki jurus yang ke sepuluh, tiba-tiba saja Singa Gurun menghentikannya dengan melompat ke belakang. Langsung dijauhi lawannya Dia langsung berdiri tegak, berjarak sekitar satu batang tombak.

"Kenapa kau berhenti, Ki?" kata Pendekar Rajawali Sakti terasa datar sekali.

Singa Gurun tidak menyahuti. Di pandanginya Pendekar Rajawali Sakti tajam-tajam dari balik kain hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya ini. Seakan masih belum percaya kalau lawan yang masih berusia muda itu bisa menahannya dalam pertarungan sepuluh jurus.

Sedangkan selama ini, tidak ada seorang lawan pun yang mampu bertahan lebih dari lima jurus. Padahal semua lawannya tidak bisa dipandang sebelah mata saja. Tapi nyatanya, Rangga sanggup bertahan sampai sepuluh jurus. Bahkan belum satu serangan pun yang dilancarkan Singa Gurun mendarat di tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sudah barang tentu, si Singa Gurun seperti tidak percaya melihat kenyataan ini.

LIMA

"Anak Muda, siapa kau sebenarnya?" Singa Gurun malah melontarkan pertanyaan. Nada suaranya terdengar begitu dalam.

"Namaku Rangga. Aku hanya pengembara yang berasal dari Karang Setra. Dan aku salah seorang ksatria Karang Setra," sahut Rangga tegas. "Kalau kau tidak mampu menghadapiku, jangan harap bisa bertemu Raja Karang Setra. Karena, kau akan berhadapan dengan para ksatria Karang Setra yang kemampuannya lebih tinggi dariku."

"Hm... Sikap dan cara bicaramu menunjukkan kalau kau bukan seorang ksatria biasa. Aku yakin, kau seorang putra bangsawan. Atau...," Singa Gurun tidak melanjutkan ucapannya

Sedangkan Rangga jadi terdiam membisu. Sungguh tidak disangka kalau orang yang berada di depannya ini bukan hanya memiliki kepandaian tinggi, tapi juga mampu menilai seseorang dari segala sudut pandang. Bahkan Rangga sudah bisa menduga kalau si Singa Gurun ini tidak akan percaya begitu saja dengan keterangan yang diberikannya tadi.

"Kau tidak berkata yang sebenarnya, Anak Muda. Aku ingin tahu, sampai di mana kekerasan kepalamu," desis Singa Gurun dingin menggetarkan. Dan selesai berkata begitu, si Singa Gurun langsung menggerakkan kedua tangannya untuk membuka jurus kembali.

Sedangkan Rangga hanya diam saja memperhatikan, dengan mata tidak berkedip sedikit pun juga. Dia tahu, laki-laki yang tidak kelihatan wajahnya ini akan mengerahkan jurus-jurus ampuh andalannya. Paling tidak untuk mendesak agar Pendekar Rajawali Sakti ini mau mengakui terus terang tentang dirinya.

Entah, apa yang mendesak Singa Gurun berlaku seperti itu. Tapi yang jelas, kedua kepalan tangannya sudah terlihat berwarna merah membara seperti terbakar. Seketika Rangga jadi terhenyak kaget. Kedua tangan yang membara itu sama seperti bila dia mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Tapi gerakan-gerakan Singa Gurun ini memang berbeda. Dan di saat Pendekar Rajawali Sakti tengah tertegun, tiba-tiba saja si Singa Gurun sudah berteriak lantang menggelegar sambil cepat menghentakkan kedua tangannya.

"Yeaaah...!"

Slap!

"Heh...?! Hup!" Rangga jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke atas, menghindari serangan yang sangat dahsyat itu. Hingga pukulan jarak jauh yang dilancarkan Singa Gurun hanya menghantam tanah kosong, tempat tadi Pendekar Rajawali Sakti berdiri.

Begitu dahsyatnya pukulan jarak jauh itu, membuat tanah yang terkena hantamannya seketika itu juga terbongkar, menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Sementara, Rangga sendiri harus berputaran beberapa kali di udara, sebelum menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan mantap.

"Hiyaaa...!"

Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menegakkan tubuhnya, si Singa Gurun sudah melancarkan serangannya kembali. Tangan kirinya cepat dihentakkan ke depan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Seketika, cahaya merah yang membara seperti api membakar tangannya melesat begitu cepat bagai kilat menerjang ke arah Pedekar Rajawali Sakti.

"Hap!" Tapi kali ini Rangga hanya memiringkan tubuhnya sedikit, hingga serangan si Singa Gurun kembali tidak menemui sasaran. Dan saat itu juga, Rangga langsung meliukkan tubuhnya. Lalu cepat sekali tangan kanannya ditarik hingga sejajar pinggang. Dan dengan kecepatan bagai kilat tangannya dihentakkan ke depan, sambil berteriak keras sambil menegakkan tubuh kembali.

"Yeaaah...!"

Splashr..! Seleret sinar merah seketika itu juga melesat cepat sekali, meluruk deras mengarah ke dada si Singa Gurun.

Saat itu, laki-laki berbaju serba hitam ini jadi terperanjat setengah mati. Tidak disangka kalau pemuda tampan yang menjadi lawannya ini bisa mengimbangi serangannya dengan jurus yang hampir serupa. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya sekali. Sehingga cahaya merah yang melesat bagai kilat itu lewat sedikit di dalam gulungan putaran tubuh si Singa Gurun ini, dan langsung menghantam sebatang pohon yang berada tepat di belakangnya. Seketika itu juga, pohon yang sangat besar itu hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.

"Dari mana kau dapatkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', Anak Muda...?!" bentak Singa Gurun tiba-tiba.

"Heh...?!" Kali ini Rangga benar-benar tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, mendengar bentakan lawannya. Sungguh tidak disangka kalau Singa Gurun bisa mengetahui jurus yang dikerahkannya. Padahal, Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak menyebutkannya. Tapi, ternyata Singa Gurun bisa cepat mengetahuinya dan tepat sekali.

"Jawab pertanyaanku, Anak Muda. Dari mana kau peroleh jurus dahsyat itu?" tanya Singa Gurun lagi, dengan suara diperhalus.

"Dari guruku," sahut Rangga, agar datar nada suaranya terdengar.

"Gurumu...? Siapa gurumu?" desak Singa Gurun.

Dan Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya, dari mana mendapatkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang tadi digunakan.

"Baik, Anak Muda. Kalau kau tidak ingin mengatakannya, terpaksa aku harus mendesakmu agar bicara," desis Singa Gurun dingin.

Dan belum juga Rangga bisa membuka suara, si Singa Gurun sudah melesat cepat sekali menyerang Pendekar Rajawali Sakti ini dengan jurusnya yang cepat dan dahsyat Dan Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Beberapa kali pukulan yang dilancarkan si Singa Gurun tidak bisa dihindari. Hingga Rangga terpaksa harus memapaknya dengan pengerahan tenaga dalam sempurna.

Dan setiap kali mereka beradu tenaga dalam, tampak Singa Gurun melenguh kecil sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa. Sedangkan Rangga sendiri selalu merasakan gentaran yang hebat, setiap kali menahan pukulan lawannya. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa tahu, sampai di mana tingkat kekuatan tenaga dalam yang dimiliki si Singa Gurun. Dan Rangga kini tidak mau lagi gegabah memapak setiap serangan yang dilancarkan si Singa Gurun.

Dia berusaha terus menghindar, sambil sesekali melancarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Kali ini Rangga terpaksa harus mengeluarkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang dipadukan menjadi satu. Begitu cepat pergantian setiap jurusnya, membuat seakan-akan lima jurus itu hanya menjadi satu jurus saja. Tapi setiap kali Pendekar Rajawali Sakti melancarkan serangan balasan, si Singa Gurun jadi kelabakan menghindarinya. Dan beberapa kali terpaksa harus memapak serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa pertarungan sudah berlangsung lebih dari lima belas jurus. Tapi, belum ada tanda-tanda kalau pertarungan akan berakhir. Mereka terus melepaskan serangan-serangan dahsyat dan cepat luar biasa. Hingga, gerakan-gerakan mereka jadi sulit diikuti pandangan mata biasa. Dan hanya kelebatan bayangan putih serta hitam saja yang terlihat, saling menyambar dan menghindar.

Teriakan teriakan keras pun bagai hendak memecah kesunyian malam ini, disertai ledakan keras menggelegar yang terdengar sesekali, setiap kali mereka saling beradu kekuatan tenaga dalam. Percikan bunga api dan kilatan cahaya merah menyebar ke segala arah. Entah, berapa puluh pohon yang sudah rum bang akibat terkena sasaran dari pukulan serta tendangan dahsyat yang tidak tepat mengenai sasaran.

Bahkan tidak sedikit baru-batu yang hancur terkena sambaran pukulan mereka. Debu berterbangan ke angkasa, bercampur daun-daun kering. Begitu dahsyat pertarungan itu, membuat hutan yang menjadi tempat ajang pertarungan jadi porak poranda, bagai diterjang amukan puluhan ekor gajah.

"Hup! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja terlihat bayangan hitam berkelebat cepat sekali keluar dari ajang pertarungan itu. Dan pada saat yang bersamaan, terlihat Rangga juga menghentikan pertarungannya. Dan kini mereka terlihat berdiri saling berhadapan dengan jarak sekitar satu setengah batang tombak. Tidak ada seorang pun yang membuka suara lebih dulu. Dengusan napas mereka begitu cepat memburu.

Kali ini, Rangga benar-benar mendapatkan lawan tangguh, hingga terpaksa harus menguras seluruh kemampuan yang dimilikinya. Keringat terlihat menitik keluar membasahi sekujur tubuhnya.

Tapi, tidak berbeda jauh keadaannya dengan si Singa Gurun yang juga merasa kalau lawannya kali ini sangat tangguh luar biasa. Dan sepertinya, dia sudah kehilangan akal untuk bisa mengalahkan pemuda yang menjadi lawannya. Sedangkan sudah hampir semua jurus tingkat tinggi yang dimiliki dikeluarkan dalam pertarungan tadi. Tapi, belum juga bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Singa Gurun merasa kalau akan mendapat kesulitan untuk menjatuhkan lawannya. Bahkan menjadi ragu, apakah mampu mengalahkan pemuda tampan berbaju rompi putih yang mengaku bernama Rangga, ksatria dari Karena Setra ini.

"Aku tawarkan perjanjian padamu, Anak Muda...," kata Singa Gurun memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.

"Hm, apa tawaranmu?" sambut Rangga datar.

"Kita tentukan, siapa di antara kita berdua yang lebih unggul...."

"Lalu...?"

"Yang lebih unggul, bisa meminta apa saja. Nyawa sekalipun harus diserahkan. Atau yang lebih pahit lagi, yang kalah menjadi budak seumur hidup. Bagaimana ..?" Singa Gurun langsung menawarkan.

Sejenak Rangga jadi terdiam, mendengar tawaran yang dirasakan sangat berat. Kalau saja kepandaian Singa Gurun berada jauh di bawahnya, sudah tentu tawaran akan langsung diterima. Tapi, Rangga sudah bisa mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Singa Gurun ini. Dan dia tidak bisa bertindak gegabah dalam merentukan sikap. Tawaran itu memang sangat berat. Tapi bagi seorang pendekar, sangat pantang untuk menolaknya.

"Baik! Tawaranmu kuterima," sahut Rangga memutuskan.

"Bagus! Sekarang gunakan seluruh kepandaianmu, Anak Muda. Gunakan senjata yang kau miliki," kata Singa Gurun mantap.

"Kau tidak bersenjata, Ki. Pantang bagiku menggunakan senjata terhadap lawan yang tidak bersenjata," sahut Rangga tidak kalah tegasnya.

"Kau memang memiliki jiwa ksatria, Anak Muda. Aku memujimu setulus hati. Tapi sayang, aku tidak memiliki senjata satu pun juga," kata Singa Gurun tulus.

"Kalau begitu, aku juga tidak akan menggunakan senjata," balas Rangga. Tanpa membuang waktu lagi, Rangga segera melepaskan pedang pusaka yang sejak tadi tersampir di punggung. Dan hati-hati sekali dia meletakkannya di bawah pohon. Kemudian kakinya melangkah menghampiri lawannya. Dan langkahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi. "Kita teruskan pertarungan dalam jurus, atau akan menggunakan ilmu kesaktian, Ki...?" tanya Rangga menawarkan.

"Hm.... Sebaiknya gunakan saja ilmu kesaktian," sahut Singa Gurun langsung memilih.

"Baik..."

Dan mereka kini tidak ada lagi yang berbicara, saling berdiri berhadapan dengan jarak sangat dekat.

Saat Singa Gurun mulai bergerak menyiapkan ilmu kesaktian, Rangga langsung merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Dan perlahan kedua kakinya direnggangkan ke samping. Lalu tubuhnya bergerak meliuk ke kiri, dan perlahan-lahan ditarik hingga miring ke kanan. Dan ketika tubuhnya kembali tegak dengan kedua kaki masih merentang lebar, tampak semburat cahaya biru memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menyatu rapat di depan dada. Perlahan-lahan Rangga kembali merapatkan kedua kakinya.

Sedangkan Singa Gurun tampaknya juga sudah siap dengan ilmu kesaktian pemungkasnya. Seluruh tubuhnya kini memancarkan cahaya merah yang membara. Seakan-akan, seluruh tubuhnya mengeluarkan api yang panas menyengat. Begitu panasnya, Rangga merasa dirinya seperti berada di dalam lingkungan api yang berkobar bagai hendak menghanguskan seluruh tubuhnya.

Dan untuk beberapa saat, mereka kembali terpaku diam dalam suasana yang begitu tegang mencekam.

"Bersiaplah, Anak Muda! Hiyaaa...!"

"Aji Cakra Buana Sukma... Yeaaah...!"

Secara bersamaan mereka saling membentak keras menggelegar dengan kedua tangannya sama-sama menghentak ke depan disertai pengerahan ilmu kesaktian masing-masing. Seketika itu juga, dua cahaya yang saling berlawan melesat cepat bagai kilat, hingga bertemu tepat di tengah-tengah. Dan....

Glarrr...!!!

Satu ledakan dahsyat seketika itu juga terjadi, tepat ketika cahaya merah yang memancar dari kedua telapak tangan Singa Gurun berbenturan dengan cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga. Tampak mereka sama-sama terdorong ke belakang. Tapi, Rangga hanya bergeser satu langkah saja ke belakang. Sedangkan si Singa Gurun sampai terdorong lima langkah. Sementara cahaya merah yang memancar menyelimuti tubuhnya seketika berpendar ke segala arah.

"Hiyaaa...!"

Pada saat itu juga, Rangga kembali menghentakkan kedua tangannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa. Dan seketika itu juga, cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangannya meluruk bagai kilat ke depan. Begitu cepat lesatannya, membuat Singa Gurun tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, dia masih berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Hingga tidak pelak lagi, cahaya biru yang memancar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung menghantam tubuhnya.

Splash!

"Akh...!" Singa Gurun jadi terpekik, dengan tubuh terpental ke belakang sejauh satu batang tombak. Tapi dia tetap berdiri tegak, walaupun seluruh tubuhnya kini terselubung cahaya biru yang terus memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ikh...?!" Singa Gurun jadi terperanjat setengah mati. Cepat seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan untuk melepaskan diri dari belenggu cahaya biru ini. Tapi hatinya semakin terperanjat setengah mati, begitu merasakan aliran yang sangat dahsyat menyedot keluar tenaga dan kekuatannya. Cepat-cepat dia berusaha menahan aliran kekuatan yang tersedot keluar itu, begitu menyadari apa yang terjadi.

Tapi semua sudah terlambat Tenaga dan kekuatannya terus mengalir keluar tanpa dapat dicegah lagi. Dan semakin kuat dia bertahan, semakin deras saja kekuatannya mengalir keluar.

"Hih! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja si Singa Gurun berteriak keras menggelegar, sambil menghentakkan kedua tangannya ke samping. Dan seketika itu juga, dari seluruh tubuhnya memancar cahaya merah yang seakan ingin mendesak cahaya biru yang menyelubungi seluruh tubuhnya ini.

Tampak seluruh tubuh Rangga jadi bergetar. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua tangannya sambil berteriak keras menggelegar, membuat seluruh tubuh Singa Gurun jadi menggeletar hebat bagai terserang demam. Seketika itu juga, cahaya merah yang tadi tiba-tiba memancar dari seluruh tubuhnya, lenyap dari pandangan mata.

"Aaakh...!" Singa Gurun jadi berteriak keras, saat merasakan seluruh otot tubuhnya bagai terhentak. Seakan-akan, tubuhnya akan meledak hancur, dengan kekuatan terus mengalir deras tanpa dapat ditahan lagi.

Sementara, Rangga semakin kuat mengerahkan aji kesaktiannya yang sangat dahsyat dan belum pernah tertandingi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti juga merasakan adanya perlawanan yang begitu kuat, membuat seluruh kekuatannya terpaksa harus dikerahkan untuk terus membelenggu lawannya yang sangat tangguh dan tidak mengenal menyerah ini.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung melesat cepat sekali. Bagaikan kilat tangannya ditarik ke atas. Dan secepat kilat pula, dada lawannya digedor dengan hentakan tangannya. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, membuat si Singa Gurun tidak sempat lagi berkelit. Dan...

Jder!

"Akh...!" Kembali Singa Gurun memekik keras, begitu gedoran kedua tangan Rangga yang terkembang tepat menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuh Singa Gurun terpental deras ke belakang. Dan dua batang pohon yang berada tepat di belakangnya langsung hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.

Bruk!

Keras sekali tubuh berbaju hitam pekat itu menghantam tanah, membuat pekikan tertahan kembali terdengar. Tampak si Singa Gurun bergulingan beberapa kali di antara pecahan batang pohon yang terlanda tubuhnya tadi.

Sementara, Rangga hanya memperhatikan dengan kedua kaki berdiri tegak di atas tanah agak terentang sedikit Sedangkan kedua telapak tangannya sudah kembali menyatu rapat di depan dada. Sementara cahaya biru masih terlihat memancar dari sela-sela telapak tangan yang menyatu rapat itu.

Sementara si Singa Gurun tampak berusaha bangkit berdiri kembali. Tapi baru saja mengangkat tubuhnya, segumpal darah kental berwarna kehitaman terpental keluar dari dalam mulutnya. Dan kembali tubuhnya jatuh terguling ke tanah. Seakan-akan seluruh tulang tubuhnya terasakan sudah tercabut keluar. Dan tenaganya benar-benar terkuras habis. Hingga, dia tidak mampu lagi mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Namun Singa Gurun masih terus berusaha bangkit berdiri kembali. Dan dengan susah payah, akhirnya dia bisa juga berdiri, walaupun agak limbung seperti pohon tertiup angin kencang.

Sementara Rangga yang melihat lawannya tidak akan mampu lagi meneruskan pertarungan, segera mencabut kembali aji kesaktiannya yang sangat dahsyat. Perlahan kedua tangannya yang tadi menyatu di depan dada diturunkan, setelah tidak terlihat lagi cahaya biru.

"Kau sudah kalah, Ki...," ujar Rangga datar, tanpa sedikit pun hendak mengecilkan lawannya.

"Kuakui kau memang tangguh, Anak Muda. Aku memang kalah darimu," sahut Singa Gurun langsung mengakui kekalahannya.

Rangga jadi terdiam, begitu teringat perjanjian yang ditawarkan si Singa Gurun sendiri, sebelum memulai pertarungan.

"Mulai sekarang aku menjadi budakmu, Anak Muda. Dan akan menuruti apa saja perintahmu," kata Singa Gurun sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Bangunlah, Ki. Tidak pantas berlaku seperti itu padaku," ujar Rangga jadi merasa jengah sendiri atas sikap lawannya yang kini akan mengabdikan diri padanya.

"Tapi kau sekarang majikanku, Anak Muda. Dan aku harus selalu berada di bawah perintahmu," kata Singa Gurun, tetap berlutut Bahkan kini sudah duduk bersila dengan kepala tertunduk menekuri tanah.

Dan Rangga semakin jengah mendapati sikap seperti ini. Dia tidak pernah memperbudak manusia, dan tidak ingin tersanjung seperti ini. Walaupun si Singa Gurun sendiri sudah mengakui kekalahannya. Bahkan langsung menepati janji yang dibuatnya sendiri sebelum berlangsung pertarungan adu ilmu kesaktian yang membuatnya harus menjadi budak Pendekar Rajawali Sakti.

ENAM

Rangga jadi kebingungan sendiri melihat sikap si Singa Gurun yang tetap akan mengabdi padanya, karena sudah kalah bertarung. Sedangkan Rangga sendiri tidak menginginkan semua ini, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau sampai menolak, sudah barang tentu si Singa Gurun ini akan menghabisi nyawanya sendiri, karena merasa tidak lagi pantas untuk hidup. Apalagi sampai mengingkari perjanjian yang sudah diucapkannya bersama Pendekar Rajawali Sakti.

"Ki, bangkitlah. Aku tidak ingin kau bersikap begitu padaku," kata Rangga meminta.

"Tapi kau sekarang junjunganku, Anak Muda. Sudah sepantasnya aku merendahkan diri padamu," sahut Singa Gurun dengan kepala masih tertunduk menekuri tanah.

"Tidak, Ki. Aku bukan junjunganmu. Kau orang yang bebas, seperti yang lain. Bangunlah..., Ki. Kalau kau memang menganggapku sebagai junjungan, turutilah permintaanku ini," kata Rangga lembut, sambil mengambil pedangnya yang tadi diletakkan di bawah pohon dan langsung dikenakan kembali di punggungnya.

"Baik, Gusti," sahut Singa Gurun.

Rangga jadi tersenyum dipanggil Gusti. Tapi, Rangga pantas dipanggil sebutan itu, karena sebenarnya memang seorang Raja Karang Setra. Hanya saja, tidak pernah mau dipandang sebagai raja, kalau sedang mengembara seperti ini. Sayangnya, kali ini Pandan Wangi tidak ikut mengembara bersamanya. Pandan Wangi sekarang masih berada di Istana Karang Setra. Sementara itu, si Singa Gurun sudah bangkit berdiri kembali. Dan Rangga memandanginya dengan kelopak mata tidak berkedip sedikit pun juga. Ada sesuatu yang dirasakan amat janggal dalam hatinya melihat Singa Gurun yang semula tegar, gagah, dan pemberang, kini begitu layu seperti seorang pesakitan yang harus menjalani hukuman pancung.

"Ki, aku ingin tahu siapa namamu yang sebenarnya. Kalau kau tidak keberatan, sebutkan namamu," pinta Rangga lagi dengan nada suara lembut sekali.

"Apakah itu penting, Gusti?" tanya Singa Gurun seakan enggan untuk menyebutkan nama yang sebenarnya.

"Ya! Sangat penting bagiku. Kau sudah menyatakan pengabdiannya padaku. Rasanya sangat janggal kalau aku tidak tahu namamu," sahut Rangga berlasan.

Sejenak Singa Gurun terdiam, seakan tengah memikirkan permintaan Rangga barusan. Belum pernah ada orang yang menanyakan nama aslinya. Dia sendiri hampir melupakannya, setelah terjun dalam rimba persilatan dan setelah puluhan tahun menyendiri di daerah gurun pasir yang gersang dan tidak ada kehidupan sama sekali. Itu sebabnya, dia selalu dipanggil Singa Gurun. Karena memang berasal dari daerah gurun yang gersang. Bahkan segala tindakannya seperti seekor singa yang tidak pernah memberi ampun sedikit pun pada siapa saja yang mencoba menjajal kepandaiannya. Tapi memang baru kali ini dia dapat ditaklukkan.

"Kau keberatan memberitahukan namamu, Ki...?" desak Rangga tetap lembut nada suaranya terdengar.

"Bramasati...," sahut Singa Gurun pelan, menyebutkan namanya. Begitu pelannya, hampir suaranya tidak terdengar telinga Rangga.

Tapi itu pun sudah cukup jelas bagi Pendekar Rajawali Sakti. Hanya saja, rasanya masih ada ganjalan yang mengganggu hati Pendekar Rajawali Sakti, walaupun sudah tahu nama sebenarnya dari si Singa Gurun ini. Dan Rangga sendiri tidak ingin terus memendam ganjalan dalam hatinya. Terlebih lagi, dia memang ingin tahu siapa sebenarnya laki-laki yang kini sudah menyatakan diri menjadi abdi setianya.

"Ki, aku ingin menguji kesetiaanmu sekali lagi. Kalau kau memang benar ingin mengabdikan hidupmu padaku, kau harus memenuhi permintaanku yang terakhir...," kata Rangga berhati-hati.

"Apa pun permintaanmu akan kuturuti," sahut Bramasati yang selama ini selalu dikenal sebagai Singa Gurun.

"Hm.... Kau selalu menutupi wajahmu dengan kain. Apa aku tidak boleh melihat barang sebentar saja...?" pinta Rangga langsung.

"Oh...?!" Kali ini Bramasati tidak dapat lagi menyembunyikan rasa keterkejutannya mendengar permintaan Rangga yang sama sekali tidak diduga. Hingga untuk waktu yang cukup lama, Bramasati jadi terdiam membisu. Dipandanginya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti dari balik kain kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Dalam keadaan malam yang gelap ini, memang sulit bisa melihat wajah si Singa Gurun ini, kecuali sepasang bola matanya saja yang berwarna kuning kehijauan seperti mata kucing.

"Gusti... Sejak lahir, aku sudah terasing. Dan aku dirawat oleh seseorang yang tidak pernah menunjukkan wajahnya. Sampai dia meninggal pun, aku tidak pernah melihat wajahnya. Sedangkan aku sendiri..." Bramasati tidak meneruskan kata-katanya. Seakan, dia begitu berat untuk memperlihatkan wajahnya pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau sendiri kenapa, Ki...?" desaknya.

"Aku..., aku juga tidak pernah melihat wajahku sendiri selama hidup. Apa lagi memperlihatkannya pada orang lain. Aku tidak tahu, seperti apa wajahku ini. Tapi ayah angkatku yang juga guruku, sudah mengatakan kalau aku tidak seperti manusia pada umumnya. Ada kelainan pada diriku yang tidak boleh diperlihatkan pada orang lain. Dan kelainanku ini akan membawa bencana besar bagi diriku. Tapi, ayah angkatku itu telah berpesan agar aku pergi ke Karang Setra dan langsung menemui rajanya di sana. Katanya, darinya aku bisa memperoleh perlindungan yang tidak akan didapat dari orang lain," jelas Bramasati panjang lebar.

"Perlindungan apa yang kau harapkan, Ki?" tanya Rangga jadi semakin ingin tahu.

"Hidup, Gusti," sahut Bramasati.

"Hidup...?" kening Rangga jadi berkerut

"Benar, Gusti. Dari Raja Karang Setra aku bisa memperoleh kedamaian hidup, tanpa merasa terasing lagi dari dunia ramai. Dan aku harus mengabdi padanya nanti. Tapi sekarang..., semua sudah musnah. Kau dapat mengalahkanku. Dan aku harus mengabdi padamu. Padahal, ayah angkatku mengatakan kalau hanya Raja Karang Setra saja yang bisa mengalahkanku. Bukan orang lain...," jelas Bramasati lagi.

"Kau akan mendapatkan semua keinginanmu itu, Ki. Aku jamin Raja Karang Setra akan menerimamu, kalau memang kau akan mengabdikan hidup padanya," kata Rangga memberi harapan.

"Oh! Lalu..., bagaimana denganmu, Gusti?" tanya Bramasati seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Kau mengabdi padaku, atau Raja Karang Setra sama saja, Ki. Aku juga berasal dari sana. Dan salah satu dari sekian banyak ksatria yang ada di sana adalah aku sendiri. Jadi, tak ada bedanya kalau kau mengabdi padaku atau pada Raja Karang Setra. Tapi memang, sebaiknya kau teruskan semua impianmu itu, Ki. Aku akan mengantarkanmu sampai ke pintu gerbang kota Karang Setra. Bagaimana...?" ujar Rangga memberi harapan pasti.

"Oh... Terima kasih, Gusti. Hatimu sungguh mulia," ucap Bramasati terharu. "Aku berjanji, tidak akan melupakan jasamu ini. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Gusti...."

"Ah, sudahlah...," desah Rangga jadi jengah. Dan kembali mereka terdiam beberapa saat. "Sudah terlalu larut malam. Sebaiknya kita beristirahat saja di sini, Ki. Besok pagi, baru kita pergi ke Karang Setra," kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi sesaat.

"Baik, Gusti," sahut Bramasati dengan sikap hormat Rangga jadi tersenyum kemudian melangkah menghampiri sebatang pohon yang tumbang. Dan tubuhnya dihentakkan di sana, bersandar pada batang pohon itu. Sementara Bramasati mengumpulkan ranting-ranting kering, lalu membuat api unggun untuk mengusir udara malam yang semakin terasa dingin menusuk tulang.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Semalam penuh Rangga sama sekali tidak bisa memicingkan matanya. Sedangkan Bramasati yang selama ini selalu dikenal sebagai Singa Gurun langsung terlelap dalam buaian mimpi. Hingga matahari menampakkan diri di ufuk timur, sama sekali Rangga tidak bisa memejamkan mata. Dan dia hanya menyegarkan wajahnya dengan air embun yang menempel pada permukaan dedaunan. Pendekar Rajawali Sakti hanya melirik sedikit, saat Bramasati menggeliat bangun. Dia tampak terkejut juga melihat Rangga sudah duduk bersila di bawah pohon, seperti sedang bersemadi.

"Kau tidak tidur semalam, Gusti...?" tegur Bramasati.

鈥淭idak," sahut Rangga singkat. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti mengangkat kepalanya, langsung menatap Bramasati yang berdiri tidak jauh di depannya.

"Ki Bramasati.... Sebaiknya kau tidak memanggilku dengan sebutan gusti. Panggil saja aku Rangga," pinta Rangga.

"Tapi, Gusti.... Kau adalah junjunganku sekarang."

"Bagiku, tidak ada junjungan atau apa pun juga. Aku ingin antara kita terjalin satu persahabatan. Bahkan kalau perlu mengikat tali persaudaraan. Itu lebih baik daripada kau menganggapku junjungan," jelas Rangga meminta lagi.

Bramasati jadi terdiam. "Baiklah, kalau memang itu yang kau inginkan, Rangga," ujar Bramasati.

Rangga tersenyum dan menganggukkan kepala sedikit. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, dan merapikan diri sebentar. Sejenak ditatapnya Bramasati yang masih tetap menunggu dengan setia. Kemudian, sebentar ditatapnya matahari yang kini sudah naik cukup tinggi, membuat keadaan di dalam hutan ini jadi terang benderang. Agak terkejut juga Rangga melihat keadaan hutan yang hancur porak poranda, akibat pertarungan dengan si Singa Gurun itu semalam.

"Ayo, Ki. Aku akan mengantarkanmu sampai ke gerbang masuk kota Karang Setra," ajak Rangga.

Bramasati hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian, mereka berdua berjalan bersisian tanpa mengeluarkan suara lagi. Mereka berjalan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah sangat jauh meninggalkan hutan yang hancur porak poranda itu. Cepat sekali mereka berjalan, seakan tidak menjejak tanah sedikit pun juga. Hingga sebentar saja, mereka sudah keluar dari dalam hutan ini.

Tapi belum jauh mereka keluar dari dalam hutan, mendadak saja bermunculan orang-orang dari balik semak belukar dan pepohonan. Cukup lama juga jumlahnya. Dan dalam waktu singkat, mereka sudah terkepung rapat. Sehingga, tidak ada celah sedikit pun untuk bisa meloloskan diri. Baik Rangga maupun Bramasati sudah bisa tahu apa maksud orang-orang ini mengepungnya. Dari sikap mereka pun sudah bisa dipastikan, kalau mereka sama sekali tidak bermaksud bersahabat. Terlebih, mereka semua sudah menghunus senjata masing-masing.

鈥淭ampaknya, di mana pun kau berada sudah dinanti, Ki," kata Rangga agak berbisik suaranya terdengar.

"Ya.... Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka begitu benci dan memusuhiku. Padahal, aku sama sekali tidak pernah merugikan orang lain. Aku membunuh hanya karena membela diri," sahut Bramasati bemada mengeluh.

"Aku mengerti, Ki. Tapi, mungkin latar belakangmu membuat mereka ingin melenyapkanmu," kata Rangga menduga-duga.

"Entahlah.... Aku sendiri tidak tahu," sahut Bramasati mendesah.

Sementara orang-orang yang tampaknya dari kalangan rimba persilatan itu mulai bergerak mendekati, hingga kepungan semakin bertambah rapat saja. Tidak ada seorang pun yang berbicara. Tapi dari pandangan mata yang tajam, begitu jelas tersirat kalau mereka ingin membunuh si Singa Gurun Dan tiba-tiba saja...

"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Begitu salah seorang berteriak memberi perintah, seketika itu juga mereka berlompatan sambil berteriak-teriak menyerang serentak dari segala arah. Dan untuk sesaat Rangga maupun Bramasati jadi terhenyak kaget Tapi, tidak ada waktu lagi untuk mencegah pertumpahan darah ini. Mereka segera berlompatan memisahkan diri, menyambut serangan orang-orang yang berjumlah lebih dari dua puluh orang ini.

"Buat mereka lumpuh saja, Ki...!" seru Rangga keras, sambil merundukkan kepala menghindari sambaran sebuah golok yang berkelebat cepat mengarah ke kepalanya.

Bet!

"Hih...!" Cepat sekali Rangga mengibaskan tangan kirinya, dan langsung menghajar perut orang yang menyerangnya. Begitu cepat kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, hingga tidak dapat dihindari lagi. Seketika orang itu melenguh pendek, terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh terbungkuk. Pada saat itu, Rangga sudah melayangkan satu pukulan keras yang tak disertai pengerahan tenaga dalam sedikit pun juga. Dan pukulan itu tepat menghantam wajah orang ini.

Seketika terdengar jeritan kesakitan dari orang yang menutupi wajahnya akibat terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak darah merembes keluar dari sela-sela jari tangannya. Walaupun tidak disertai pengerahan tenaga dalam, tapi pukulan Rangga memang sangat keras!

"Hiyaaat..!" Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali tubuhnya melesat cepat sambil melepaskan beberapa kali pukulan yang keras, diselingi tendangan dahsyat. Rangga memang sengaja hanya ingin melumpuhkan lawan-lawannya, tanpa harus membunuh.

Sementara di tempat lain, tampak Bramasati juga tidak bisa lagi dibendung lawan-lawannya. Gerakannya begitu cepat dan sulit diikuti pandangan mata biasa. Setiap pukulan maupun tendangannya, tidak dapat lagi dihindari. Tapi, tampaknya dia tidak menghiraukan peringatan Rangga. Semua lawannya dihajar habis tanpa sedikit pun diberi ampun. Semua pukulan dan tendangannya mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa bangkit kembali terkena hajaran si Singa Gurun ini.

Begitu tangguhnya dia, hingga dalam waktu yang tidak begitu lama sudah tidak ada seorang lawan pun yang bisa bangkit berdiri. Mereka semua tewas dengan luka mengerikan dan tubuh bersimbah darah. Sedangkan tidak ada satu pun dari lawan Pendekar Rajawali Sakti yang tewas. Mereka hanya dibuat lumpuh untuk sementara, hingga tidak dapat lagi meneruskan pertarungan.

"Kenapa kau bunuh mereka, Ki...?" tegur Rangga saat pertarungan sudah berakhir.

"Kalau bukan mereka yang mati, tentu aku yang akan mati, Rangga," sahut Bramasati agak ketus nada suaranya.

鈥淭api kau bisa membuat mereka tidak berdaya saja, Ki. Lumpuhkan saja mereka dan tidak perlu membunuh," kata Rangga lagi.

Bramasati terdiam membisu. Dipandanginya lawan-lawannya yang sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Dan ketika melihat pada lawan-lawan Pendekar Rajawali Sakti, terdengar suara dengusan kecil dari hidungnya. Tidak satu pun dari mereka yang terlihat mati. Mereka hanya dibuat tidak berdaya, dan masih dalam keadaan hidup.

"Ayo, kita tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.

Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga, Bramasati langsung saja mengayunkan kakinya mengikuti Rangga yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkan tepian hutan yang menjadi ajang pertarungan tadi. Mereka memang tidak tahu, siapa orang-orang yang menyerang itu. Dan itu sebabnya, kenapa Rangga tidak ingin mereka mati.

Rangga tahu, mereka hanya terpengaruh omongan orang, kalau si Singa Gurun adalah makhluk ganas yang harus dibasmi. Mereka tidak tahu, siapa sebenarnya si Singa Gurun ini. Dan Rangga sudah bisa mendapatkan cara untuk melenyapkan anggapan buruk semua orang pada si Singa Gurun ini.

"Ki.... Boleh aku bertanya sedikit padamu...?" ujar Rangga meminta, setelah mereka berjalan cukup jauh.

"Apa yang ingin kau ketahui, Rangga?" tanya Bramasati datar suaranya.

"Sudah berapa lama kau tinggalkan tempat tinggalmu di padang pasir?" tanya Rangga langsung mengemukakan rasa ingin tahunya.

"Lebih dari satu tahun," sahut Bramasati.

"Hm.... Selama itu, kau mengembara untuk ke Karang Setra...?"

"Ya."

"Lalu, kau tahu di mana letaknya Kerajaan Karang Setra?"

Bramasati hanya menggelengkan kepala.

"Karang Setra sudah tidak jauh lagi dari sini, Ki. Hanya membutuhkan tiga hari perjalanan saja, dan kau akan sampai di sana," kata Rangga memberitahu.

"Hm...," Bramasati menggumam sedikit.

"Dan selama tiga hari sebelum sampai di Karang Setra, rasanya masih banyak rintangan yang akan kau hadapi. Melihat dari banyaknya orang yang datang mencarimu dan ingin membunuhmu, aku merasa ada sesuatu yang membuat mereka begitu menginginkan kematianmu. Kau tahu, apa sebabnya mereka selalu memburu dan ingin membunuhmu...?" ujar Rangga kembali bertanya menyelidik ingin tahu.

Dan Bramasati tidak langsung menjelaskan. Dia terdiam beberapa saat, seperti tengah memikirkan jawaban yang akan diberikan Pendekar Rajawali Sakti.

Sedangkan Rangga tetap menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Dia memang harus tahu semua persoalannya, untuk bisa menolong si Singa Gurun. Terlebih lagi, namanya sudah begitu rusak. Sehingga, semua orang hanya tahu kalau si Singa Gurun ini adalah yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Mereka menganggap, Singa Gurun adalah sosok makhluk setengah iblis yang datang dari neraka. Tapi anehnya justru mereka yang memburu adalah orang-orang rimba persilatan yang golongan hitam. Dan hanya beberapa orang saja yang berasal dari golongan putih.

"Terus terang, Rangga. Aku sendiri tidak tahu, kenapa semua orang membenciku dan ingin membunuhku. Sejak meninggalkan gurun pasir tempat tinggalku, mereka langsung memburuku. Sepertinya, aku ini binatang buruan yang sangat berbahaya bagi manusia. Aku benar-benar tidak tahu, Rangga. Semula, aku memang tidak ingin membunuh mereka. Tapi semakin banyak saja yang memburuku, dan benar-benar ingin membunuhku. Dan ini membuatku kesal, hingga tidak mau lagi membiarkan mereka hidup," jelas Bramasati.

"Selama pergi mengembara, tentu sudah banyak lawanmu yang mati. Dan, tidak sedikit dari mereka adalah tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi. Maka sudah tentu yang lain jadi penasaran, ingin mencoba kedigdayaanmu, Ki. Coba kau sedikit menahan diri, dan tidak perlu membunuh semua lawan yang dihadapi. Tentu pandangan orang pada dirimu akan lain. Dan aku percaya, tidak sedikit orang yang berada di pihakmu," kata Rangga seperti menyesali perbuatan si Singa Gurun.

"Aku kesal, Rangga," dengus Bramasati.

"Aku bisa mengerti perasaanmu, Ki. Tapi, cobalah. Selama aku bersamamu, bisa kendalikanlah sedikit perasaan amarahmu. Kalau nanti ada lagi orang yang ingin mencoba kedigdayaanmu, buat lumpuh saja. Jangan dimatikan," kembali Rangga menasihati. "Semua lawanmu pasti akan berpikir lain. Dan mereka tentu tidak akan berani lagi menantangmu. Percayalah padaku, Ki.... Aku yakin, kau akan bisa hidup damai tanpa harus mengotori tanganmu dengan darah secara percuma."

"Kau masih muda, Rangga. Tapi arif sekali Beruntunglah aku bisa menjadi sahabatmu," ujar Bramasati.

"Ah, sudahlah... Yang penting sekarang, kau harus bisa merubah semua sikap dan tindakanmu. Tunjukkan kalau kau tidak seburuk yang disangka orang. Tunjukkan kalau kau bisa berguna. Apalagi, kalau bisa bersikap seperti layaknya seorang pendekar, yang selalu membela kaum lemah. Orang akan berbalik memandangmu, Ki..."

Bramasati hanya diam saja mendengarkan semua petuah Pendekar Rajawali Sakti. Mungkin dia sedang memikirkan semua kata-kata yang diucapkan Rangga barusan. Kata-kata yang memiliki arti sangat dalam jika direnungkan. Tampak kepalanya perlahan bergerak terangguk-angguk. Dan Rangga juga tidak berbicara lagi. Mereka terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan, semakin jauh meninggalkan hutan. Sementara, matahari terus bergerak naik semakin tinggi, memancarkan cahayanya yang begitu terik menyengat kulit.

"Tidak jauh lagi, di depan sana ada desa. Kita bisa beristirahat dan mengisi perut," kata Rangga memberitahu, sambil menunjuk ke sebuah bukit kecil yang menghadang di depan dan tidak tahu lagi jaraknya.

"Apa ada jalan lain lagi, Rangga?" tanya Bramasati.

"Maksudmu...?" Rangga tidak mengerti.

"Aku selalu menghindari desa mana pun juga."

"Kenapa?"

"Semua orang yang melihatku selalu ketakutan. Dan setiap desa yang kumasuki, selalu terjadi keributan. Semua orang membenciku, Rangga. Aku tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah dari orang-orang desa," jelas Bramasati.

"Tapi kenapa mereka membencimu, Ki? Apa kau...?" Rangga tidak meneruskan pertanyaannya. Pendekar Rajawali Sakti langsung berhenti melangkah, dan memutar tubuhnya sedikit. Dipandanginya bagian kepala si Singa Gurun yang selalu tertutup kain hitam ini. Tampak kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut, seakan ingin menembus selubung kain hitam yang menutupi seluruh kepalanya dan wajah si Singa Gurun itu. Tapi hanya bayangan hitam saja yang terlihat.

"Kau akan tahu jawabannya kalau sudah tahu seperti apa aku ini, Rangga," kata Bramasati agak dalam nada suaranya.

"Kau berjalan dengan dua kaki dan memiliki tangan. Kau juga bisa berbicara. Apa anehnya pada dirimu, Ki...?" ujar Rangga semakin tidak mengerti.

"Kau lihat ini, Rangga..."

"Oh...?!"

Kedua bola mata Rangga kontan jadi terbeliak dengan mulut ternganga. Seakan tidak dipercayai apa yang disaksikan ini. Bramasati yang dikenal berjuluk Singa Gurun dan selalu mengenakan kain selubung hitam itu, kini membuka kain hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Hingga kini, tampak jelas seperti apa raut wajahnya. Inilah yang membuat Rangga jadi terperanjat setengah mati. Tidak disangka kalau kepala dan wajah Bramasati bukan kepala dan wajah manusia, melainkan kepala dan wajah seekor singa yang sangat menyeramkan.

Meskipun, seluruh tubuhnya berbentuk manusia. Hanya sebentar saja Bramasati membuka kain hitam yang menyelubungi seluruh kepala dan wajahnya yang mengerikan. Kembali dikenakannya kain hitam itu untuk menutupi wajahnya. Tapi itu sudah membuat Rangga jadi terpana, tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata sedikit pun.

Hingga untuk beberapa saat, Pendekar Rajawali Sakti jadi terdiam membisu. Dan terus memandangi si Singa Gurun ini, seakan masih belum percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya tadi. Sungguh sukar diterima akal pikiran manusia biasa. Bramasati yang bertubuh manusia dan memiliki kepandaian seperti layaknya manusia, tapi kepala dan wajahnya adalah seekor singa mengerikan.

"Sekarang kau sudah tahu, kenapa aku selalu menghindari orang, Rangga. Wajahku yang tidak seperti layaknya orang kebanyakan inilah yang membuatku tidak bisa hidup layak," kata Bramasati datar.

Sedangkan Rangga hanya bisa diam membisu. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya, karena sama sekali tidak menduga kalau Bramasati adalah manusia setengah singa. Semula Rangga hanya menduga kalau julukan Singa Gurun hanya berupa julukan belaka, seperti layaknya para tokoh rimba persilatan. Tapi, rupanya julukan itu karena memang seluruh kepala dan wajah Bramasati adalah berbentuk kepala singa yang sangat mengertikan.

"Kelainan yang ada pada diriku inilah yang membuat semua orang memusuhiku. Mereka menganggap, aku ini jelmaan iblis yang akan menghancurkan dunia. Padahal, aku sama seperti mereka. Aku hanya manusia biasa. Hanya kepalaku saja yang berupa kepala singa," sambung Bramasati, seakan mengeluh dengan keadaannya yang tidak wajar ini.

"Aku bisa merasakan penderitaanmu, Ki," desah Rangga pelan.

"Sebenarnya, aku ingin seperti manusia wajar. Aku juga tidak ingin mempunyai kepala singa seperti ini," keluh Bramasati lagi.

"Tapi itu sudah takdir, Ki. Baik maupun buruk, kau harus menerimanya."

鈥淵a! Aku memang harus menerima kenyataan ini. Dengan kepala singa, aku harus bisa bertahan hidup. Walaupun, tidak ada seorang pun yang mau menerimaku. Tapi aku punya harapan untuk bisa kembali wajar seperti orang lain, Rangga," kata Bramasati lagi.

"Kau bisa merubah wajahmu, Ki...?"

鈥淵a.... Dengan bantuan Raja dari Karang Setra," sahut Bramasati mantap.

"Raja Karang Setra...?" Entah kenapa, detak jantung Rangga tiba-tiba jadi lebih cepat dari semula. Dan seluruh aliran darahnya terasa berdesir cepat, mendengar penuturan si Singa Gurun.

"Raja Karang Setra hanya manusia biasa, Ki. Rasanya tidak mungkin bisa merubah wajahmu," kata Rangga, dengan dada masih berdebar.

鈥淭api ayah angkatku mengatakan, kalau wajahku ini bisa berubah dengan bantuan Raja Karang Setra, Rangga. Dan aku harus menemuinya, sebelum mati tercincang oleh orang-orang yang membenciku," kata Bramasati tegas.

"Dengan cara apa dia bisa merubah wajahmu, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.

"Menurut ayah angkatku, memang bukan Raja Karang Setra sendiri yang melakukannya. Tapi, gurunya yang sudah meninggal seratus tahun lalu," sahut Bramasati.

"Orang yang sudah mati tidak akan bisa berbuat apa-apa, Ki."

鈥淭api dia tidak, Rangga. Dia seorang manusia sakti laksana dewa. Kalau aku sudah bertemu Raja Karang Setra, aku akan memintanya untuk membawaku pada makam gurunya di Lembah Bangkai."

"Ah! Tampaknya kau sudah tahu banyak tentang dia, Ki," desah Rangga.

鈥淭idak begitu banyak, Rangga."

"Lalu, apa kau tahu namanya?" tanya Rangga lagi.

Bramasati menggeleng sambil menghembuskan napas panjang terasa begitu berat. Beberapa saat dia terdiam. Sementara, Rangga masih menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

"Sayang, ayah angkatku tidak mengatakan siapa namanya. Tapi aku tahu, dia bukan hanya seorang raja. Dia juga seorang pendekar yang tangguh dan digdaya. Kalau tidak salah dengar, julukannya Pendekar Rajawali Sakti," kata Bramasati, agak ragu-ragu.

Saat itu Rangga jadi terdiam. Entah, apa yang ada dalam benaknya saat ini. Tapi yang jelas, terbetik tekad untuk membantu si Singa Gurun ini mewujudkan impiannya. Hanya saja, dia sulit menentukan, apakah akan membawa si Singa Gurun ini ke makam Pendekar Rajawali yang sudah meninggal seratus tahun lalu...?

Sedangkan selama ini, tidak ada seorang pun yang tahu. Dan Rangga sendiri tidak pernah menceritakan tentang makam di Lembah Bangkai pada siapa pun juga. Dia terus merahasiakannya sampai saat ini, karena tidak ingin ada tangan-tangan kotor yang merusak kedamaian makam gurunya. Sedangkan dia sendiri, memperoleh ilmu-ilmu Rajawaii Sakti tidak langsung dari pemiliknya. Rangga hanya mempelajari dari kitab-kitab yang ditemukannya di dasar Lembah Bangkai. Dan hanya seekor burung rajawali raksasa saja yang menjadi pembimbingnya.

"Ki Bramasati.... Bila kau memang benar percaya kalau Raja Karang Setra mau mengantarkanmu ke Lembah Bangkai, tentunya kau sudah memiliki persiapan cukup," ujar Rangga berhati-hati.

"Apa pun yang diinginkannya, aku bersedia melaksanakan, Rangga," sahut Bramasati mantap.

鈥淭api yang kutahu, tidak mudah untuk bisa sampai ke sana, Ki. Sedangkan selama ini, tak ada seorang pun yang bisa mencapai dasar Lembah Bangkai," kata Rangga menjelaskan.

"Rintangan apa pun akan kuhadapi, Rangga. Berbulan-bulan aku menjelajah, hanya untuk bertemu Raja Karang Setra. Dan aku tidak ingin mati di tengah jalan. Aku sudah bertekad harus berhasil..."

"Kalau memang itu tekadmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi, sebaiknya kau tidak perlu menemui Raja Karang Setra, Ki," ujar Rangga.

"Kenapa...?" tanya Bramasati.

"Sekarang, dia tidak ada di istananya. Dia sedang mengembar entah ke mana. Tapi kalau kau memang ingin ke Lembah Bangkai, aku bisa mengantarkanmu ke sana. Hanya saja, aku tidak bisa terus mengikutmu menuruni lembah itu," kata Rangga lagi.

"Aku akan berterima kasih sekali, kalau kau bersedia mengantarkanku ke sana, Rangga. Bagiku, siapa pun yang tahu letak Lembah Bangkai, tidak menjadi persoalan. Asalkan, aku bisa sampai ke sana dan merubah wajahku yang memuakkan ini," kata Bramasati mantap.

"Baiklah, Bramasati. Ayo, kuantarkan kau ke sana," ajak Rangga agak mendesah suaranya.

Dan mereka kembali melangkah tanpa berbicara lagi. Tapi, terlihat kening Rangga sedikit berkerut, pertanda sedang meruikirkan sesuatu. Entah apa yang menjadi beban pikirannya saat ini. Sedangkan Bramasati juga tidak berbicara lagi, dan terus berjalan mantap. Keyakinannya begitu kuat untuk bisa mengembalikan wajahnya agar seperti orang sebagaimana mestinya. Tidak dengan wajah singa seperti sekarang ini.

********************

Memang tidak mudah untuk bisa sampai ke Lembah Bangkai. Bukan hanya jalannya yang suht dilalui, tapi masih saja ada orang-orang yang menginginkan kematian si Singa Gurun ini. Hingga setiap saat mereka berdua harus bertarung, mempertahankan selembar nyawa. Tapi kali ini, Bramasati mengikuti perkataan Rangga untuk tidak membunuh setiap lawan. Mereka hanya dibuat lumpuh, untuk sementara waktu saja.

Namun semakin dekat ke Lembah Bangkai, semakin jarang rintangan yang didapati dari orang-orang yang menginginkan kematian si Singa Gurun ini. Entah kenapa, nama Lembah Bangkai terasa begitu mengerikan bagi semua orang. Bahkan tokoh-tokoh persilatan kelas tinggi pun enggan untuk menginjakkan kakinya di sekitar lembah yang angker ini.

Dan setelah mereka menempuh perjalanan selama tujuh hari, baru tiba di Lembah Bangkai yang merupakan sebuah jurang yang sangat dalam bagai tidak ada dasarnya. Kabut tebal yang menyelimuti lembah itu membuat keadaannya semakin mengerikan. Bramasati sendiri terlihat ragu-ragu untuk menuruni lembah itu. Terlebih lagi, saat ini senja sudah jauh merayap turun ke kaki langit. Dan tidak lama lagi, matahari akan tenggelam, mengakhiri masa tugasnya dalam menerangi mayapada ini.

Suasana yang temaram membuat keadaan di pinggiran jurang Lembah Bangkai semakin menyeramkan. Jeritan binatang malam pun mulai terdengar, membuat jantung Bramasati semakin cepat berdetak. Sedangkan Rangga sejak tadi hanya diam saja, seperti ada sesuatu yang terus mengganjal dalam hatinya.

"Di dalam jurang ini letak makam Pendekar Rajawali," ujar Rangga pelan memberitahu.

鈥淵a.... Keadaannya sama seperti yang ada dalam mimpiku," desah Bramasati.

"Mimpi...?" kening Rangga jadi berkerut

"Sebelum ayah angkatku meninggal, aku selalu bermimpi bertemu seseorang di tempat ini. Begitu seringnya, hingga aku hafal betul seluk beluknya. Dialah yang menuntunku masuk ke dalam jurang ini. Di sana nanti, aku bisa merubah wajahku agar kembali menjadi manusia biasa," jelas Bramasati.

"Seperti apa rupa orang yang ada dalam mimpimu?" tanya Rangga dengan dada berdebar kencang.

"Sepertimu, Rangga," sahut Bramasati. 鈥淭api dia memakai jubah putih panjang, dan tidak membawa pedang. Dan di kepalanya mengenakan mahkota yang sangat indah. Dia seorang raja, juga seorang pendekar digdaya yang sulit dicari tandingannya. Sayangnya, orang itu tidak banyak bicara, dan hanya mengatakan kalau dirinya adalah seorang Raja Karang Setra. Katanya, dia yang akan membawaku menemui mendiang Pendekar Rajawali. Di sana nanti, aku akan bertemu Pendekar Rajawali, setelah melakukan semadi selama tujuh hari," jelas Bramasati.

Rangga kembali terdiam, semakin tidak mengerti semua kejadian ini? Jelas sekali kalau orang yang berada dalam mimpi Bramasati adalah dirinya sendiri. Dan Rangga memang selalu mengenakan jubah putih panjang, kalau sedang bersemadi untuk menyempurnakan kekuatan tenaga dalamnya. Dia juga mengenakan mahkota, kalau berada di Istana Karang Setra. Karena selain pendekar, Rangga juga Raja Karang Setra.

Tapi apakah memang Rangga yang akan menunjukkan jalan untuk masuk ke dalam jurang Lembah Bangkai ini pada Bramasati...? Rangga sendiri tidak tahu, karena juga belum meminta izin pada gurunya untuk membawa Bramasati memasuki jurang di Lembah Bangkai.

Sedangkan Bramasati sendiri begitu yakin, kalau akan kembali wajar menjadi manusia seutuhnya di Lembah Bangkai ini. Hanya berbekal mimpi dan petunjuk mendiang ayah angkatnya, Singa Gurun melakukan perjalanan jauh yang panjang dan melelahkan. Bahkan sampai menghadapi segala macam bentuk rintangan yang menghadang. Dan sekarang, dia sudah berada di tempat yang selalu hadir dalam mimpinya. Tempat yang akan membuatnya jadi manusia biasa, tidak dengan kepala singa yang mengerikan.

Dan itu membuat hati Rangga jadi tersentuh. Sebagai seorang pendekar, tentu Rangga akan berbuat apa saja demi membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Walau, apa pun tantangan yang akan dihadapi. Nyawa sekalipun akan dipertaruhkan.

"Ki Bramasati... Aku sudah memenuhi janjiku untuk membawamu ke Lembah Bangkai ini. Sekarang, aku mohon kau rela melepaskanku pergi,." ujar Rangga meminta diri.

"Kau akan ke mana, Rangga?" tanya Bramasati, seperti berat melepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga tersenyum sambil menepuk bahu orang berkepala singa ini. Walaupun sekarang Bramasati sudah tidak lagi mengenakan kain kerudung hitamnya, tapi kini kepala yang menyerupai singa itu tidak lagi mengerikan di mata Rangga. Bahkan kini sangat akrab dalam pandangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Baiklah, Rangga. Aku bisa mengerti. Memang tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam jurang ini. Aku sendiri belum tentu, apa yang akan terjadi pada diriku. Tapi, aku akan menunggu sampai orang yang ada dalam mimpi itu muncul dan membawaku ke sana," kata Bramasati bisa memahami.

"Aku pergi dulu, Sahabat...! Aku berharap, kita bisa bertemu lagi kelak," ujar Rangga.

Mereka saling berpelukan dengan hati sudah terpaut bagai dua orang saudara. Terasa berat sekali mereka melepaskan pelukan. Dan beberapa saat, mereka saling berpandangan tanpa ada seorang pun yang berkata-kata. Dan Rangga cepat memutar tubuhnya berbalik, sebelum ada pikiran lain yang melintas di dalam benaknya. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat pergi, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan mata si Singa Gurun.

"Aku tidak bisa membalas budi baikmu, Rangga. Biarlah sang Hyang Widhi yang membalas semua kebaikanmu...," desah Bramasati pelan.

Beberapa saat si Singa Gurun masih berdiri diam seperti patung, memandang ke arah kepergian Rangga tadi Walaupun, bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tidak terlihat lagi. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling, lalu melangkah mendekati sebuah batu besar yang permukaannya datar. Bramasati naik ke atas batu itu, lalu duduk bersila di sana. Sebentar jalan pernapasannya diatur, kemudian mulai melakukan semadi untuk menunggu orang yang selalu hadir dalam mimpinya, yang akan membawanya masuk ke dalam jurang Lembah Bangkai.

********************

Sementara itu Rangga sendiri sebenarnya tidak pergi dari Lembah Bangkai ini. Dari tempat yang tersembunyi, Pendekar Rajawali Sakti terus memperhatikan Bramasati yang kini sudah duduk bersemadi di atas sebongkah batu besar yang datar permukaannya. Cukup lama juga Rangga memperhatikan dengan pikiran terus berkecamuk tidak menentu.

Sementara, suasana di Lembah Bangkai ini sudah mulai diselimuti kegelapan. Langit pun mulai ditaburi cahaya bintang dan rembulan. Angin yang bertiup mulai terasa dingin, membawa butir-butir embun yang membasahi permukaan dedaunan. Namun, Rangga melihat kalau si Singa Gurun masih saja tetap duduk bersila melaksanakan semadi di atas batu pipih, dekat bibir jurang di Lembah Bangkai ini. Terasa begitu sunyi keadaannya, hingga gerit serangga malam terdengar jelas bercampur raungan anjing-anjing hutan kelaparan.

Suasana di Lembah Bangkai ini memang sangat mengerikan, hingga tidak ada seorang pun yang berniat datang ke tempat ini. Jangankan malam hari, siang hari pun tidak ada yang suka menginjakkan kakinya ke tempat ini. Entah, apa yang ditakutkan. Mungkin karena keadaannya yang memang sangat mengerikan.

"Kasihan juga dia. Apa yang harus kuperbuat sekarang...? Dia tidak mungkin bisa mewujudkan impiannya tanpa bantuanku. Tapi, apa mungkin aku membawanya menemui Eyang Guru Rajawali...?" desis Rangga bicara pada diri sendiri di dalam hati.

Memang sangat sulit pilihan yang harus dihadapi Rangga saat ini. Dalam hati sanubarinya, dia memang tidak tega melihat Bramasati. Tapi juga kagum melihat kegigihannya untuk menjadi manusia wajar, seperti layaknya manusia di dunia ini. Tapi Rangga tidak bisa sembarangan begitu saja, membawa orang lain ke dasar jurang Lembah Bangkai. Walaupun Rangga sudah bisa menilai wataknya, tapi tetap tidak bisa berbuat semaunya sendiri. Dia sangat menghormati pusara gurunya. Bahkan tidak ingin ada orang lain yang datang ke sana, apa lagi dengan maksud buruk.

"Ah! Apa tidak lebih baik aku tanyakan dulu pada Rajawali Putih...?" desah Rangga lagi di alam hati.

Mendapat pikiran seperti itu, Rangga segera melangkah mendekati bibir jurang dari arah lain, dan cukup jauh dari tempat Bramasati bersemadi. Tapi sejenak Pendekar Rajawali Sakti diam termangu, memandang ke dalam jurang. Tidak mungkin memanggil Rajawali Putih dengan siulannya yang mungkin bisa membangunkan semadi Bramasati. Sedangkan untuk turun sendiri ke dalam jurang ini, Rangga belum pernah melakukannya secara sengaja. Dia merasa tidak mungkin bisa mencapai ke dasar jurang yang sangat dalam ini dengan selamat, kalau tetap mencoba untuk turun.

Rangga jadi kebingungan sendiri, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Walaupun Rangga besar di dalam jurang ini, tapi berada di sana bukan karena keinginannya sendiri. Peristiwa pahit yang membuatnya terlempar jatuh ke dalam jurang Lembah Bangkai ini tidak akan pernah terlupakan seumur hidupnya. Meski semua perlakuan si Iblis Lembah Tengkorak pada ibunya sudah dibalas, tapi tetap terbayang jelas di pelupuk matanya.

Dan di saat Pendekar Rajawali Sakti tengah kebingungan, dan terbayang kembali peristiwa pahit di masa kecilnya di lembah ini, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih yang besar melesat keluar dari dalam jurang di depannya. Seketika Rangga jadi tersentak kaget, tapi cepat bisa menguasai keterkejutannya. Kini dia tahu, apa yang melesat keluar bagai kilat dari dalam jurang.

"Rajawali Putih..," desis Rangga.

"Khrrrkh...!"

"Oh...! Rupanya kau bisa merasakan bisikan hatiku, Rajawali. Terima kasih... Aku memang membutuhkan pertolonganmu. Tapi, kali ini tidak seperti biasanya," ujar Rangga seakan bisa memahami arti suara burung rajawali putih raksasa itu.

"Khrgkh...!"

"Oh, Eyang Guru sudah menungguku...?" Rangga tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.

Dan dia cepat melompat, naik ke punggung burung rajawali raksasa ini setelah diminta naik. Dan sebentar kemudian, mereka sudah meluruk turun, masuk ke dalam jurang yang sangat dalam dan selalu terselimut kabut tebal. Dan kini mereka sudah tenggelam, tidak terlihat lagi.

DELAPAN

Rangga jadi terkejut setengah mati, begitu keluar dari dalam jurang Lembah Bangkai bersama Rajawali Putih. Di pinggiran jurang itu, terlihat Bramasati sedang bertarung menghadapi keroyokan puluhan orang yang ingin membunuhnya. Tampak kalau si Singa Gurun itu sangat terdesak dikeroyok puluhan tokoh persilatan tingkat tinggi. Bahkan sudah terdesak sampai ke bibir jurang.

"Enyahkan mereka, Rajawali! Hiyaaat...!" seru Rangga sambil melompat dari punggung burung rajawali raksasa yang ditunggangi.

"Khraaagkh...!"

Kemunculan Rangga yang menunggang burung rajawali raksasa, tentu saja membuat semua orang jadi tersentak kaget setengah mati. Bahkan Bramasati sendiri jadi terlongong bengong, seakan tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Dan sebelum ada seorang pun yang terbangun dari keterkejutannya, Rangga sudah melesat cepat menerjang. Bahkan Rajawali Putih juga ikut menerjang dengan kepakkan kedua sayapnya yang kuat, sambil berteriak-teriak keras menggelegar, memekakkan telinga.

鈥淧ergi kalian! Jangan kotori tempat ini...!" bentak Rangga lantang menggelegar.

Dan orang-orang yang tadi mengeroyok Bramasati, seketika jadi kelabakan menghindari terjangan Rangga dan Rajawali Putih tunggangannya. Sementara Bramasati jadi terdiam, karena tidak ada seorang pun yang menyerangnya kembali. Dan dia hanya bisa berdiri terpaku, memandangi sepak terjang Rajawali Putih dan Rangga yang kini mengenakan baju jubah putih panjang seperti pertapa, tanpa pedang lagi tersampir di punggung. Begitu hebatnya terjangan mereka, membuat orang-orang itu tidak dapat lagi membendung. Dan mereka seketika berhamburan, berlari meninggalkan Lembah Bangkai.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas berat, setelah tidak ada seorang pun di sekitar Lembah Bangkai ini lagi. Tubuhnya segera berbalik, langsung menatap Bramasati yang masih tetap berdiri mematung memandanginya di bibir jurang. Sementara, Rajawali Putih sudah berdiri angker di belakang Pendekar Rajawali Sakti yang kini mengenakan jubah putih panjang, tanpa pedang yang ditinggalkan di dasar jurang Lembah Bangkai. Perlahan Rangga melangkah menghampiri si Singa Gurun yang masih terpana, seakan sedang bermimpi melihat Rangga datang dengan rupa sama persis seperti yang ada dalam mimpinya.

"Eyang..., terimalah sembahku ini," ucap Bramasati sambil menjatuhkan diri berlutut, merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Tidak perlu kau bersikap begitu padaku, Ki. Pandanglah aku baik-baik. Siapa aku ini...," ujar Pendekar Rajawali Sakti lembut, sambil tersenyum manis.

Bramasati jadi terkejut, mendengar suara yang sudah sangat dikenalnya. Dan matanya jadi terbeliak, begitu wajahnya terangkat, memandang wajah Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh tidak disangka kalau yang berdiri di depannya ternyata Rangga yang sudah dikenalnya. Hanya saja sekarang, pemuda itu muncul dengan mengenakan jubah putih panjang seperti dewa yang turun dari langit, menunggang seekor burung rajawali raksasa.

"Kau...."

"Ya.... Aku Rangga sahabatmu, Ki," ujar Rangga tersenyum manis.

Perlahan Bramasati bangkit berdiri, dengan pandangan tidak lepas merayapi sekujur tubuh Rangga. Seakan masih belum dipercayai, kalau semua ini benar-benar kenyataan. Semua yang terjadi di dalam mimpinya, kini menjadi kenyataan. Hanya saja, Rangga muncul dengan menunggang burung rajawali raksasa.

"Ayo, Ki. Guruku sudah menunggu," ajak Rangga.

"Bagaimana kita bisa ke sana, Rangga?" tanya Bramasati.

Rangga hanya tersenyum saja. Sementara, kepalanya segera berpaling sedikit memandang Rajawali Putih yang berada tepat di belakangnya. Saat itu juga, kedua bola mata Bramasati jadi terbeliak lebar. Sama sekali tidak pernah terlintas di dalam benaknya, kalau dia akan menunggu seekor burung rajawali raksasa.

"Ayo, Ki. Jangan membuang-buang waktu lagi. Tidak banyak waktu yang dimiliki guruku," ajak Rangga lagi.

Belum juga Bramasati bisa menjawab, Rangga sudah melompat naik ke punggung Rajawali Putih dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sedangkan Bramasati masih tetap berdiri diam terpaku. Sepertinya, dia masih merasa kalau semua ini hanya sebuah mimpi belaka. Dan Rangga jadi menggelengkan kepala melihat si Singa Gurun itu tidak juga mendekat.

"Ayo, Ki...!" seru Rangga mendesak.

"Oh...?! Iya...," suara Bramasati jadi tergagap.

Dengan sikap ragu-ragu, Bramasati melangkah menghampiri burung rajawali putih raksasa. Sejenak dipandanginya burung raksasa itu. Dan Rangga kembali mendesak, agar si Singa Gurun cepat naik. Masih dengan hati diliputi berbagai macam perasaan, Bramasati melompat naik ke punggung Rajawali Putih, lalu duduk di belakang Rangga yang sejak tadi sudah ada di sana.

"Bawa aku menemui Eyang Guru, Rajawali," pinta Rangga.

Sambil berteriak keras, Rajawali Putih mengembangkan sayapnya, langsung melesat masuk ke dalam jurang yang sangat lebar dan dalam ini. Saat itu juga, kabut yang memenuhi relung jurang ini menyelimuti mereka. Udara yang memang sudah terasa dingin, semakin menggigilkan tubuh, saat berada dalam jurang yang sangat dalam bagai tidak ada akhirnya. Bramasati sempat memejamkan matanya, saat Rajawali Putih melesat cepat tadi. Seolah-olah jantungnya terasa berhenti berdetak seketika.

Tapi hanya sebentar saja Rajawali Putih sudah mendarat di dasar jurang yang gelap dan terselimut kabut tebal ini. Rangga cepat melompat turun, diikuti Bramasati tanpa diminta lagi. Sedangkan Rajawali Putih sudah mendekam, dengan kepala menjuntai ke bawah. Tidak ada yang dapat dilihat di dasar jurang Lembah Bangkai ini, kecuali kegelapan saja yang ada di sekeliling mereka. Udara yang sangat dingin, membuat seluruh tubuh Bramasati jadi bergidik menggigil.

"Ikuti aku, Ki," ajak Rangga.

Bramasati hanya mengangguk saja. Dan bergegas kakinya diayunkan mengikuti Rangga yang sudah berjalan lebih dulu. Belum juga mereka berjalan, Bramasati sudah melihat sebuah mulut goa yang sangat besar tidak jauh di depannya. Dan memang tepat dugaannya, Rangga membawanya masuk ke dalam goa itu. Aneh! Keadaan di dalam tak gelap seperti di luar tadi. Entah dari mana sumbernya. Yang jelas, goa ini bermandikan cahaya yang sangat terang, hingga setiap relungnya bisa terlihat dengan jelas.

Bramasati tidak bersuara sedikit pun juga. Kakinya terus melangkah, mengikuti Rangga yang berjalan lebih dulu di depan. Goa yang sangat besar ini ternyata tidak begitu dalam. Dan mereka kembali keluar, setelah melewati satu tikungan. Kedua bola mata Bramasati jadi terbeliak lagi, begitu melihat di luar goa seperti siang hari saja keadaannya.

Dia dapat melihat jelas semua pepohonan dan batu-batuan yang ada di sekitarnya. Dan tidak jauh dari goa itu, terlihat sebuah makam yang bercungkup sangat indah dan bersih. Di atas makam, terlihat berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih yang semua rambut dan jenggotnya sudah memutih. Dia berdiri tegak di atas makam yang terus mengepulkan asap putih yang sangat tebal, hingga kedua kakinya tidak terlihat.

Dari Rangga, Bramasati tahu kalau laki-laki tua itu adalah Pendekar Rajawali yang hidup seratus tahun lalu. Dan sebenarnya, dia sudah meninggal. Tapi, Pendekar Rajawali bisa muncul kembali dalam bentuk roh yang bisa terlihat oleh mata biasa. Bramasati mengikuti Rangga, duduk bersila di depan orang tua yang berdiri di atas makamnya sendiri. Dan untuk beberapa saat, mereka semua terdiam, tidak bersuara sedikit pun juga. Sedangkan Bramasati terus menundukkan kepala, seakan tidak sanggup memandang roh Pendekar Rajawali yang berdiri di atas makamnya sendiri.

"Aku sudah tahu maksud kedatanganmu datang ke sini, Bramasati. Rangga sudah bercerita banyak tentang dirimu padaku," kata Pendekar Rajawali memecah kebisuan.

"Tolonglah aku, Eyang. Aku ingin seperti manusia sebagaimana mestinya tidak dengan kepala singa seperti ini," pinta Bramasati berharap, dengan sikap sopan.

"Memang dengan keadaanmu seperti ini, kau sangat sulit berada di tengah-tengah manusia lainnya. Walaupun hatimu bersih, mereka tentu akan memandangmu lain. Kau memang malang, Bramasati...," ujar Pendekar Rajawali, seakan bisa merasakan penderitaan si Singa Gurun.

"Apa pun syaratnya, aku akan melaksanakannya, Eyang. Asal bisa menjadi manusia utuh sebagaimana mestinya," harap Bramasati lagi.

"Aku tidak bisa memenuhi semua keinginanmu, Bramasati. Tapi Hyang Widhi sudah memerintahkan, agar aku membantu sebatas kemampuan yang kumiliki. Hanya saja, kau harus bersabar. Karena, semua ini tidak mudah dilakukan. Dan untuk waktu yang lama, kau harus tinggal di sini. Bagaimana...?" kata Pendekar Rajawali masih memberi pertimbangan pada si Singa Gurun ini.

"Apa pun yang harus kulakukan, aku akan lakukan dengan sepenuh hati, Eyang," sahut Bramasati mantap.

"Baiklah kalau tekad hatimu sudah bulat. Nah! Sekarang, kau bersemadilah di dalam goa. Tapi, aku tidak bisa tahu sampai berapa lama kau harus bersemadi. Hyang Jagad Nata sendirilah yang akan memberitahukanmu. Dan hanya dia yang bisa merubah wajahmu nanti. Sedangkan aku hanya sebagai perantara saja," jelas Pendekar Rajawali.

Kemudian, Pendekar Rajawali berpaling menatap Rangga yang duduk bersila di samping Bramasati. "Rangga...."

"Ya, Eyang," sahut Rangga seraya memberi sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Kembalilah ke atas. Minta Rajawali Putih mengantarkanmu. Masih banyak yang harus kau kerjakan di sana," kata Pendekar Rajawali memberi perintah.

"Baik, Eyang," sahut Rangga dengan sikap hormat.

Pendekar Rajawali kembali menatap Bramasati. "Kau ikut Rangga, Bramasati. Dia akan menunjukkan tempatmu bersemadi."

Bramasati hanya mengangguk kepala saja. Dan saat itu juga, tiba-tiba terdengar ledakan guntur membelah angkasa, diikuti terlihatnya cahaya kilat menjilat. Dan seketika itu juga, dari makam bercungkup indah itu mengepul asap sangat tebal, hingga menutupi seluruh tubuh roh Pendekar Rajawali. Tapi hanya sesaat saja, asap itu kembali lenyap tidak berbekas sama sekali. Sedangkan wujud Pendekar Rajawali pun lenyap dari pandangan.

Rangga dan Bramasati langsung memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Dan kini mereka kemudian bangkit berdiri.

"Ayo, aku akan mengantarkanmu ke tempat semadi," ajak Rangga.

Bramasati tidak bersuara sedikit pun juga. Kepalanya hanya mengangguk dan mengikuti Rangga yang sudah melangkah lebih dulu. Kali ini, mereka tidak memasuki goa yang tadi dilewati. Rangga membawa si Singa Gurun ini ke dalam sebuah goa yang lebih kecil. Sebuah goa batu yang memang untuk bersemadi.

"Di sana, biasanya aku melakukan semadi, Ki," kata Rangga memberitahu sambil menunjuk sebuah batu yang datar permukaannya, dan terletak di tengah-tengah goa ini.

鈥淭erima kasih, Rangga," ucap Bramasati.

"Aku berharap, kau bisa memperoleh semua yang kau inginkan di sini, Ki," ujar Rangga sambil menepuk pundak si Singa Gurun.

Tapi, Bramasati malah merengkuh Pendekar Rajawali Sakti dalam pelukannya. Dan Rangga membalas pelukan itu dengan perasaan persahabatan dan persaudaraan mendalam. Cukup lama juga mereka berpelukan, kemudian Rangga melepaskannya dengan hati-hati. Dan mereka saling berpandangan beberapa saat. Bramasati kemudian berbalik, melangkah menghampiri batu yang sering digunakan Rangga bersemadi, ketika masih tinggal di dasar jurang Lembah Bangkai.

"Aku tinggal dulu, Ki. Maaf, aku tidak bisa menemanimu di sini. Tapi, kau tidak perlu khawatir. Tidak akan ada seorang pun. yang mengganggumu di sini," kata Rangga berpamitan.

鈥淭erima kasih, Rangga. Aku tidak akan melupakan semua kebaikanmu ini," ucap Bramasati terharu.

Rangga hanya tersenyum saja sedikit. Kemudian tubuhnya berbalik, dan terus melangkah keluar dari dalam goa ini. Pendekar Rajawali Sakti berhenti sebentar, saat melewati makam gurunya yang kini tenang berselimut kabut tipis. Dan kembali kakinya terayun, masuk kembali ke dalam goa yang terang benderang keadaannya. Di sana, dia kembali mengganti jubahnya dengan baju rompi putih yang biasa dikenakan. Bibirnya tersenyum saat meraih pedang pusakanya. Dikenakannya kembali pedang itu di punggung, lalu terus melangkah keluar dari dalam goa ini.

"Antarkan aku kembali keluar, Rajawali," pinta Rangga, setelah berada kembali di depan burung rajawali putih raksasa tunggangannya.

"Khraaagkh...!"

"Hup! Dengan gerakan sangat indah, Rangga melompat naik ke atas punggung rajawali raksasa ini. Dan tanpa diminta lagi, Rajawali Putih langsung melesat tinggi, keluar dari dalam jurang Lembah Bangkai yang selalu berselimut kabut tebal ini.

"Khraaagkh...!"

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: MISTERI DEWI MAUT

Singa Gurun

SINGA GURUN

SATU
SEEKOR kuda hitam dengan tubuh tinggi gagah, berjalan perlahan-lahan membawa seseorang berbaju serba hitam juga. Kepala orang itu diselubungi kain hitam, hingga menutupi seluruh wajahnya. Dia duduk terangguk-angguk di punggung kuda hitamnya, seakan tidak peduli ke mana arah yang akan dituju. Sedikit pun dia tidak memperhatikan sekitarnya.

Sementara, siang ini matahari bersinar teramat terik. Seakan dengan sinarnya seluruh makhluk yang hidup di atas permukaan bumi ingin dibakarnya. Begitu terik dan menyengatnya, hingga pepohonan tampak mengering. Rerumputan terlihat meranggas, seperti tak akan pernah lagi tumbuh di atas tanah yang mulai merengkah karena tak tersentuk air.

"Hieeegkh...!" Entah kenapa, tiba-tiba saja kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas. Dan pada saat itu juga, tangan kiri orang berbaju serba hitam yang menunggang kuda mengibas, tepat di saat terlihat sesuatu yang bercahaya kuning keemasan melesat cepat bagai kilat ke arahnya.

Bet!

Lengan baju yang besar dan longgar, mengibas benda kunjng keamasan itu seperti kipas. Sehingga, benda kuning keemasan itu terpental ke samping kiri, dan langsung menghantam sebongkah batu yang berada tidak jauh di sebelah kiri penunggang kuda hitam itu. Lalu...

Glarrr...!

Seketika itu juga, terdengar ledakan dahsyat menggelegar. Kontan saja kuda hitam itu terkejut, langsung meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas. Akibatnya orang yang menunggangi terpaksa harus melompat ke atas, langsung berputaran beberapa kali di udara. Dan dengan gerakan begitu indah, kedua kakinya menjejak di atas tanah berdebu yang merekah terbakar. Sedangkan kuda tunggangannya sudah melesat cepat, meninggalkannya.

"Keparat...!" geram orang berbaju hitam itu kesal. Orang itu langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari orang yang tiba-tiba menyerangnya tadi. Tapi, tidak seorang pun terlihat di tempat ini, selain dirinya sendiri. Hanya bebatuan dan pepohonan yang meranggas saja terlihat di sekitarnya. Tapi ketika wajahnya yang tertutup kain hitam itu tertuju lurus ke depan, mendadak saja....

Wusss...!

"Hap!" Cepat orang berselubung kain hitam itu melen-img ke atas, ketika tiba-tiba saja terlihat sebuah benda bercahaya kuning keemasan kembali melesat begitu cepat bagai kilat, menerjang ke arahnya. Dan benda melesat, lewat sedikit di bawah kedua lelapak kakinya. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian dengan gerakan manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah.

Pada saat itu juga, terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat tidak jauh di depannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang besbaju longgar serba hitam itu, cepat melesat dengan kecepatan tinggi. Langsung dikejar bayangan yang terlihat hanya sekilas itu. Cepat sekali gerakannya, hingga bentuk tubuhnya lenyap seketika. Dan yang terlihat hanya bayangan hitam berkelebat begitu cepat, melewati sebongkah batu sebesar kerbau.

"Hap! Yeaaah...!" Sambil berteriak nyaring, orang itu melesat ke atas sebongkah batu besar. Lalu hanya dengan menotokkan sedikit ujung jari kakinya saja di atas permukaan batu, tubuhnya kembali melesat cepat mengejar bayangan hijau yang berkelebat di depannya.

"Hiyaaa...!" Kembali orang itu berteriak keras. Kekuatannya langsung dikempos, hingga melesat ke atas. Cepat sekali lesatannya, hingga akhirnya mampu melewati bayangan hijau yang berkelebat cepat pula, melintasi beberapa buah batu besar menuju sebuah hutan yang meranggas kering. Tampak orang berbaju hitam longgar itu melakukan beberapa kali putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kedua kakinya di tanah.

"Hap!"
"Oh...?!"

"Siapa kau?! Kenapa kau menyerangku tanpa alasan...?!" Begitu dalam dan dingin nada suara orang berbaju serba hitam yang tidak terlihat wajahnya.

Sedangkan di depannya berdiri seseorang bertubuh ramping, terbungkus baju ketat berwarna hijau. Wajahnya sulit dikenali, karena mengenakan sebuah cadar wama hijau yang agak tebal. Hanya kedua bola matanya saja yang terlihat, karena tidak tertutup cadar. Tapi dari bentuk tubuhnya, sudah bisa dipastikan kalau dia seorang wanita yang berkulit putih halus.

Sedangkan orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepalanya ditutupi kain hitam seperti penderita penyakit kusta, sudah bisa dipastikan adalah laki-laki. Itu bisa diterka dari suaranya yang besar dan berat.

Untuk beberapa saat, kedua orang itu terdiam saling berdiri berhadapan berjarak sekitar lima langkah. Tidak ada seorang pun yang membuka suara. Bahkan pertanyaan dari orang berbaju hitam itu sama sekali tidak dijawab penyerangnya.

Sorot mata wanita bercadar hijau itu sangat indah, namun terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus langsung ke balik kain kerundung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajah orang di depannya. Dan perlahan wanita bercadar hijau itu menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Namun, sorot matanya masih tetap terlihat begitu tajam menusuk.

"Siapa kau, Nisanak? Kenapa menyerangku tanya laki-laki berbaju serba hitam itu lagi, masih dengan nada terdengar besar dan berat Seakan-akan dari suaranya mengandung suatu penderitaan yang teramat berat.

"Hhh! Kau tidak perlu tahu, siapa aku. Serahkan saja dirimu. Atau, kau akan mati di sini!" ketus sekali jawaban wanita bercadar itu.

"Hm.... Aku tidak kenal denganmu, Nisanak. Kenapa kau ingin membunuhku?"

"Banyak omong! Hiyaaat...!" Tanpa banyak bicara lagi, wanita bercadar hijau itu langsung saja melompat menyerang. Pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang cepat dicabut, dan langsung dikibaskan tepat mengarah ke batang leher yang tertutup kain hitam pekat itu.

Bet!

"Haiiit...!" Namun dengan gerakan yang indah sekali, orang berbaju serba hitam yang tidak kelihatan wajahnya ini, cepat menarik kakinya ke belakang sambil mengegoskan kepala. Hingga tebasan pedang lawannya hanya lewat saja di depan tenggorokannya. Dan pada saat itu juga, tubuhnya cepat merunduk sambil mengibaskan tangan kanannya ke depan. Seakan, dia ingin memberi satu sodokan ke perut wanita ini.

"Hih!" Bet!

Untung saja wanita bercadar hijau itu cepat melompat ke belakang, sambil mengebutkan pedangnya ke depan perut. Tindakan itu membuat lawannya terpaksa harus cepat menarik tangannya. Dan tanpa diduga sama sekali, orang berbaju serba hitam itu memutar tubuhnya sambil melompat ke depan. Dan saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat diberikannya satu tendangan berputar yang begitu cepat, sehingga....

"Ikh...?!" Wanita itu memekik kaget. Dia berusaha menghindar dengan melompat ke samping, tapi tanpa diduga sama sekali laki-laki berbaju serba hitam itu sudah lebih cepat melepaskan satu pukulan lurus dengan tangan kiri yang begitu cepat Akibatnya, wanita itu tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan...

Begkh!

"Akh...!" Wanita itu kontan memekik keras agak tertahan dengan tubuh terpental ke belakang, begitu pukulan lurus tangan kiri lawannya bersarang tepat di dada sebelah kanan.

Dan pada saat itu juga, laki-laki berbaju serba hitam ini sudah melesat cepat mengejar sambil berteriak lantang menggelegar. Bagaikan kilat dilepaskannya satu tendangan menggeledek yang sangat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangannya, membuat wanita bercadar hijau itu tidak sempat lagi berkelit menghindar. Terlebih lagi, tubuhnya saat itu tengah melayang di udara. Dan ini membuatnya tidak mungkin lagi menghindari serangan. Maka...

Begkh! "Aaakh...!" Kembali terdengar satu jeritan panjang melengking tinggi. Dan tubuh ramping berbaju hijau ketat itu seketika terpental semakin daas, hingga punggungnya menghantam sebatang pohon kayu kering. Pohon itu langsung hancur berkeping-keping, sementara wanita bercadar hijau ini ambruk bergelimpangan di tanah kering meranggas terbakar matahari. Terdengar lagi pekikan agak tertahan, saat tubuh yang ramping itu jatuh menghantam tanah dengan keras.

Sementara, laki-laki berbaju serba hitam itu sudah berdiri tegak memandangi lawannya yang berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri, segumpal darah kental berwarna agak kehitaman sudah terlompat keluar dari mulutnya yang tertutup cadar kain hijau.

"Hoaaakh...!" Sambil memegangi dadanya yang terasa sesak, wanita itu berusaha bangkit berdiri. Dan baru saja bisa berdiri, lawannya sudah melompat bagai kilat sambil mengibaskan tangan kiri ke wajah yang tertutup cadar. Begitu cepat gerakannya, hingga wanita ini tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Bret!

"Auwh...!" Hanya sekali saja mengibaskan tangan, laki-laki berbaju serba hitam itu sudah berhasil merenggut cadar yang dikenakan wanita lawannya. Dan saat itu juga, terlihat seraut wajah cantik bagai seorang dewi yang baru turun dari kahyangan. Laki-laki berbaju serba hitam itu tampak tertegun, melihat lawannya ternyata seorang wanita yang berparas begitu cantik. Hingga untuk beberapa saat dia terdiam, memandangi dari balik selubung kain hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya.

"Keparat..! Kubunuh kau, Iblis...!" geram wanita itu berang, karena wajahnya sudah dapat diketahui. "Hiyaaat!" Tanpa banyak bicara lagi, wanita berbaju hijau ketat itu langsung melompat. Tidak dipedulikan lagi luka yang diderita dalam dirinya. Cepat sekali tubuhnya melesat, langsung membabatkan pedangnya ke batang leher laki-laki berbaju serba hitam longgar yang tidak kelihatan wajahnya.

"Haps!" Tapi hanya dengan mengegoskan kepala sedikit saja, laki-laki itu bisa mengelakkannya. Dan cepat sekali tangan kirinya bergerak menyodok ke a rah perut. Namun sebelum sodokannya sampai, wanita berbaju hijau ini sudah memutar pedangnya ke bawah. Sehingga, lawannya terpaksa harus cepat menarik pulang sodokannya.

"Hiyaaa...!" Sambil berteriak nyaring, wanita cantik berbaju hijau itu melenting ke atas. Dan dengan kecepatan bagai kilat, dilepaskannya satu tendangan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam, tepat ke arah dada lawannya. Meskipun sudah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya, tapi tendangan wanita cantik berbaju hijau itu masih juga dapat dielakkan hanya dengan mengegoskan tubuhnya saja.

"Hup! Yeaaah...!"

Dan sebelum wanita cantik itu bisa turun, cepat sekali laki-laki berbaju hitam longgar ini sudah melenting ke atas mengejarnya. Dan dengan gerakan cepat sekali, dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Begitu cepat serangannya, hingga wanita cantik ini tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan....

Desss! "Aaakh...!" Kembali wanita itu menjerit, begitu dadanya terkena pukulan yang sangat keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu kerasnya, membuat tubuhnya yang ramping terpental jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam tanah kering dan berdebu ini. Saat itu juga terdengar kembali pekikan tertahan. Tampak wanita itu bergelimpangan beberapa kali di tanah. Tubuhnya yang berkeringat, jadi kotor oleh debu yang menempel.

Sementara laki-laki berbaju serba hitam yang wajahnya tidak kelihatan itu, sudah kembali meluruk deras mengejar sambil mengeluarkan teriakan keras menggelegar. Sementara tangan kanannya sudah terkepal naik, hingga sejajar bahu. "Hiyaaat...!"

Tidak ada lagi kesempatan bagi wanita itu untuk berkelit menghindari serangan. Dan dia hanya bisa mendelik, melihat arus serangan yang begitu cepat dahsyat luar biasa. Begitu dahsyatnya, hingga, kepalan tangan kanan laki-laki berbaju serba hitam itu terlihat jadi memerah seperti terselimut api. Namun di saat pukulan itu sedikit lagi menghantam tubuh wanita muda ini, mendadak saja terlihat sebuah bayangan putih melesat dengan kecepatan bagai kilat, menyambar tubuh wanita muda yang sudah tergolek tidak berdaya lagi. Dan....

"Keparat..!" Laki-laki berbaju serba hitam itu jadi mengumpat geram setengah mati, melihat calon korbannya tiba-tiba saja lenyap bagai tersambar setan. Akibatnya, pukulan yang sangat dahsyat itu hanya menghantam tanah kosong, tempat wanita itu tadi tergeletak tidak berdaya. Begitu dahsyatnya pukulan itu, membuat tanah yang terhantam jadi terbongkar hingga membuat lubang cukup besar. Debu langsung membubung tinggi ke angkasa, bersama gumpalan tanah yang terbongkar dan rerumputan kering.

"Setan! Ke mana kau, Perempuan Jalang...!" bentak laki-laki itu berang setengah mati. Tapi wanita itu bagaikan lenyap tertelan bumi saja. Sedikit pun tidak terlihat, ke mana perginya. Bahkan bayangannya sekali pun. Yang terlihat tadi hanya sebuah bayangan putih berkelebat, menyambar wanita itu dengan cepat. Sulit diketahui, dari arah mana datangnya bayangan itu. Dan, ke arah mana perginya. Kepala yang terselubung kain hitam itu bergerak ke kanan dan ke kiri, sepertinya tengah mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Dia memang berusaha mencari wanita yang tadi hampir saja hancur terkena pukulannya yang sangat dahsyat itu. Tapi, tidak terlihat seorang pun lagi di tempat ini. Hanya gundukan bebatuan dan pepohonan yang meranggas kering saja yang terlihat di sekitarnya. Laki-laki berbaju hitam ini semakin gusar saja. Sambil mengumpat dan memaki kesal, kakinya melangkah menghampiri kudanya yang sejak tadi menunggu agak jauh dari tempat pertarungan itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja....

"Berhenti kau, Singa Gurun...!"

"Heh...?!" Setengah mati laki-laki berpakaian serba hitam ini terkejut, ketika tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik.

Pada saat itu juga, terlihat sebuah bayangan hijau berkelebat cepat ke arah laki-laki berbaju serba hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya dengan kain hitam. Begitu cepat bayangan itu berkelebat, sehingga orang berpakaian serba hitam yang tadi dibentak dengan panggilan si Singa Gurun jadi tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....

Plak!

"Akh...!" Orang berpakaian serba hitam itu jadi terpekik, ketika badannya terasa seperti dihantam sebuah palu godam yang beratnya ribuan kati. Seketika, Singa Gurun terpental ke belakang deras sekali. Dan punggungnya langsung menghantam sebongkah batu sebesar kerbau. Begitu kerasnya, hingga batu itu hancur berkeping. Sedangkan Singa Gurun terus jatuh bergelimpangan di antara pecahan batu.

Beberapa kali laki-laki berpakaian serba hitam itu bergulingan di tanah, kemudian cepat melompat bangkit berdiri. Dan pada saat kedua kakinya baru saja menjejak tanah, kembali terlihat bayangan hijau melesat bagai kilat menerjangnya. Tapi, kali ini Singa Gurun tidak ingin lagi kecolongan untuk kedua kalinya. Cepat tubuhnya indenting ke kiri dan berputaran dua kali di udara, menghindari terjangan bayangan hijau itu.

"Hap!" Manis sekali Singa Gurun menjejakkan kedua kakinya kembali ke tanah, dan secepat itu pula tubuhnya berbalik Pada saat itu juga, bayangan hijau yang menyerangnya tadi juga bergerak berputar. Tapi melihat orang yang diserang langsung mema-sang sikap menanti serangan, orang yang berpakaian serba hijau itu jadi mengurungkan niat untuk kembali menyerang. Dan dia berdiri tegak dengan jarak sekitar dua batang tombak.

"Rampayak...," desis laki-laki berpakaian serba hitam dingin dan pelan. Begitu pelannya, hampir tidak terdengar telinganya sendiri. Dari balik kain kerudung yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya, Singa Gurun menatap laki-laki berusia setengah baya bertubuh tegap berotot, tengah berdiri tegak berjarak sekitar dua batang tombak di depannya.

Tampak di pinggang sebelah kiri, tergantung sebilah pedang berukuran sangat panjang. Dia juga menatap tajam, seakan hendak menembus kain kerudung hitam yang menutupi seluruh wajah orang di depannya. 鈥淭idak ada gunanya kau menyamar seperti orang kusta, Singa Gurun. Ke mana pun pergi, aku tetap akan mencarimu untuk menagih hutang nyawa saudaraku!" terdengar dingin sekali nada suara laki-laki setengah baya yang berbaju warna hijau ketat dan dikenal sebagai Rampayak itu.

"Hm.... Aku tidak ada urusan denganmu, Rampayak," desis orang berpakaian serba hitam yang disebut sebagai si Singa Gurun tidak kalah dinginnya.

"Phuah! Apa katamu, heh...?! Apa kau sudah melupakan perbuatanmu pada saudaraku di Gunung Katung...? Apa kau sudah melupakan semua perbuatan iblismu itu, hah...?! Buka kerudung jelekmu itu, Singa Gurun! Agar aku bisa melihat tampangmu yang jelek!" bentak Rampayak pedas.

Tapi si Singa Gurun tetap saja diam membisu. Sedikit kepalanya diangkat ke atas, hingga cahaya kedua bola matanya terlihat di balik kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Begitu tajam, berbentuk bulat seperti mata seekor singa berwarna kehijauan. Sorotan mata yang aneh ini terlihat sangat tajam. Seakan, ingin melumat remuk seluruh tubuh Rampayak bulat-bulat.

Tapi tatapan mata yang sangat tajam itu malah dibalas Rampayak dengan sorot yang tidak kalah tajamnya. Hingga untuk beberapa saat, mereka saling berdiam diri membisu dan hanya saling bertatapan tajam. Seakan, mereka sedang mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.

"Dengar, Rampayak.... Semua yang terjadi di Gunung Katung bukan keinginan dan kesalahanku. Saudaramu sendirilah yang memulai. Dia menantang dan ingin membunuhku. Apakah aku salah kalau berusaha membela diri...?" datar sekali nada suara si Singa Gurun.

"Aku tidak pandai bersilat lidah sepertimu, Singa Gurun. Kita tuntaskan saja urusan ini sekarang juga. Dan aku tidak akan berhenti mengejarmu, kalau belum melihat darahmu mengalir dan tubuhmu jadi santapan anjing-anjing liar!" bentak Rampayak kasar, sambil menyemburkan ludahnya dengan berang.

"Hm.... Kau belum pantas untuk berhadapan denganku, Rampayak! Pergilah.... Belajarlah dua puluh tahun lagi, sebelum benar-benar mampu untuk berhadapan denganku," ujar Singa Gurun tetap datar suaranya terdengar.

"Setan...! Rasakan pedangku ini! Hiyaaat..!"

Cring!

Kemarahan Rampayak langsung memuncak, saat dirinya direndahkan begitu rupa. Sambil membentak lantang diiringi teriakan keras menggelegar, pedangnya langsung saja dicabut sambil cepat melompat menyerang. Secepat kilat pula pedangnya dibabatkan langsung ke arah batang leher orang berpakaian serba hitam ini.

"Hap!" Namun si Singa Gurun sama sekali tidak berusaha menghindari serangan. Dan tanpa diduga sama sekali, kedua telapak tangannya dikatupkan, tepat di saat mata pedang yang berkilatan tajam itu hampir menebas lehernya. Dan tepat sekali kedua telapak tangan yang langsung merapat itu menjepit mata pedang Rampayak.

"Keparat! Hih...!" Rampayak jadi geram setengah mati, mendapati pedangnya sudah terkunci di antara kedua telapak tangan lawannya yang merapat di depan tenggorokannya sendiri. Dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalam, Rampayak mencoba menarik pedangnya.

Tapi, sedikit pun pedang itu tidak bergeming. Bahkan tanpa diduga sama sekali, si Singa Gurun menghentakkan kaki kirinya ke depan, tanpa merubah sikap tubuhnya sedikit pun juga. Begitu cepat sentakan kaki orang berbaju serba hitam yang longgar ini, membuat Rampayak jadi terbeliak kaget setengah mati. Maka cepat tubuhnya melenting ke atas, tanpa melepaskan genggaman pedang yang masih terjepit di antara kedua telapak tangan lawannya.

"Yeaaah...!" Saat tubuhnya berada di atas ini, Rampayak cepat berputar dengan bertumpu pada pedangnya sendiri. Lalu cepat sekali dilepaskannya satu pukulan berputar dengan tangan kiri, yang diarahkan langsung ke kepala lawannya.

"Haiiit..!" Namun hanya sedikit saja si Singa Gurun mengegoskan kepala, serangan Rampayak dapat dihindari dengan mudah. Dan tiba-tiba saja kedua tangannya yang menjepit pedang dihentakkan ke atas. Begitu kuat tenaga dalamnya yang dikerahkan, hingga membuat tubuh Rampayak jadi terlempar tinggi ke angkasa. Sudah barang tentu Rampayak jadi tersentak kaget setengah mati. Tapi, dia tidak sempat lagi menguasai keseimbangan tubuhnya yang melesat tinggi ke angkasa, bagai hendak menembus gumpalan awan di langit Dan pada saat itu juga....

"Hup! Hiyaaat..!" Si Singa Gurun tiba-tiba saja melesat cepat bagai kilat ke atas, mengejar lawannya yang masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan sebelum Rampayak bisa menyadari, tahu-tahu si Singa Gurun sudah melepaskan satu pukulan keras lurus dengan tangan kanan. Begitu cepat serangannya, hingga membuat Rampayak tidak sempat lagi menghindarinya.

Begkh! "Aaakh...!" Bruk! "Akh...!"

Rampayak kembali memekik keras, ketika tubuhnya mantap sekali terbanting di tanah. Dan tubuhnya bergulingan beberapa kali di tanah yang merekah pecah dan berdebu ini, sebelum bisa melompat bangkit berdiri. Tapi pada saat itu juga, segumpal darah kental berwarna agak kehitaman menyembur keluar dari mulutnya. Dan tubuhnya jadi limbung, seakan-akan kedua kakinya tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya yang tegap dan berotot ini.

"Keparat...! Phuih!" Rampayak menggeram sambil menyemburkan ludahnya yang bercampur darah. Tangan kirinya memegangi dadanya. Sungguh keras pukulan yang diterimanya tadi, membuat tulang dadanya sebelah kiri seakan remuk. Rasanya begitu nyeri, membuat mulutnya meringis kesakitan.

DUA

Sementara itu, si Singa Gurun sudah kembali berdiri tegak di depannya, dengan jarak sekitar dua batang tombak. Tampak dari balik kerudungnya, sepasang bola mata yang bulat dan berwarna agak kehijauan menyorot tajam, menatap lurus ke bola mata Rampayak yang memerah terbakar nafsu amarah.

"Mampus kau! Hiyaaat...!" Tiba-tiba saja Rampayak mengebutkan tangan kanannya dengan gerakan cepat sekali.

Bet! Swing...!

"Hup! Yeaaah...!" Sedang Singa gurun terpaksa harus berjumpalitan di udara, ketika Rampayak melepaskan senjata rahasia yang berbentuk bintang perak dengan beruntun. Cepat sekali lemparannya, hingga seakan-akan senjata bintang itu tidak ada habisnya. Sekeliling tubuh si Singa Gurun terus dihujani senjata rahasia berbentuk bintang itu.

Entah berapa puluh senjata bintang perak yang berdesingan di sekitar tubuh si Singa Gurun. Tapi, tidak satu pun yang bisa menyentuh ujung bajunya. Gerakan-gerakan Singa Gurun memang sangat cepat luar biasa. Sehingga, membuat bentuk tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Dan yang terlihat hanya bayangan hitam berkelebat di antara puluhan bintang maut yang berdesingan di sekitarnya.

"Hiyaaat..!" Tiba-tiba saja, laki-laki berbaju hitam longgar itu melesat tinggi ke atas. Dan tubuhnya langsung meluruk dengan kecepatan bagai kilat ke arah Rampayak yang jadi terbeliak kedua bolat matanya, melihat lawannya bisa melepaskan diri dari terjangan senjata-senjata bintang mautnya.

"Hup! Yeaaah...!" Sambil melompat berputar ke belakang, Rampayak melepaskan sepuluh senjata bintangnya sekaligus untuk mencoba menghadang serangan lawannya.

Tapi manis sekali si Singa Gurun bisa menghindarinya. Bahkan cepat bagai kilat, laki-laki berbaju hitam itu terus menerjang sambil melepaskan satu pukulan dahsyat, dengan tangan kanan sudah berwarna merah membara seperti terbakar.

"Yeaaah...!"

"Hup!" Cepat-cepat Rampayak melenting ke belakang sambil berputaran, menghindari serangan maut dari lawannya. Dan ini membuat pukulan yang dilepaskan si Singa Gurun hanya menghantam tanah kosong. Dan seketika itu juga, terjadi ledakan dahsyat dari tanah yang terhantam pukulan maut tersebut. Tampak debu dan bongkahan tanah berhamburan, membubung tinggi ke angkasa.

Sementara itu terlihat bayangan hitam berkelebat di antara kepulan debu, langsung meluruk deras sekali ke a rah Rampayak. Begitu cepat gerakan si Singa Gurun, membuat Rampayak jadi terperanjat kaget. Sungguh tidak disangka kalau lawannya akan terus melancarkan serangan tanpa henti.

"Hih!" Bet!

Cepat-cepat Rampayak mengebutkan pedangnya ke depan. Tapi tanpa diduga sama sekali, si Singa Gurun cepat melenting ke atas, hingga melewati atas kepalanya. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di belakangnya. Maka saat itu juga, satu pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan sambil mengeluarkan teriakan keras menggelegar ke arah punggung laki-laki setengah baya yang bertubuh tegap berotot dan berbaju wama hijau daun ini. Begitu cepat serangan si Singa Gurun, membuat Rampayak tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....

Begkh! "Akh...!" Rampayak jadi terpekik, begitu pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi mendarat tepat di punggungnya. Seketika itu juga, dia jatuh tersungkur mencium tanah. Tapi tubuhnya cepat digelimpangkan ke samping, dan langsung melompat bangkit berdiri. Tampak darah mengucur deras dari wajahnya yang hancur membentur tanah tadi.

Dan pada saat itu juga, si Singa Gurun sudah melompat cepat sekali sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu cepat Rampayak yang baru saja bisa berdiri, tentu saja tidak dapat lagi menghindari. Maka....

Des! "Aaakh...!" Kembali Rampayak menjerit keras, saat tendangan lawannya tepat menghantam dada. Dan tubuh yang tegap berotot itu kembali terpental, sejauh dua batang tombak ke belakang. Keras sekali tubuh Rampayak jatuh menghantam tanah yang merekah terbakar matahari.

Di saat tubuh Rampayak tengah telentang, Singa Gurun sudah melesat cepat sekali. Dan tahu-tahu, kaki kanannya sudah dijejakkan ke dada lawannya. Begitu keras pijakannya, membuat Rampayak jadi menjerit keras. Dan seketika itu juga, darah menyembur keluar dari mulutnya. Hanya sesaat saja tubuhnya berkelojotan, kemudian meregang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Singa Gurun baru melepaskan pijakan kakinya, setelah lawannya dipastikan sudah tidak bernyawa lagi. Dan kakinya segera melangkah beberapa tindak, menjauhi lawannya yang sudah tergeletak tidak bernyawa lagi.

"Huh...!" Berat sekali si Singa Gurun mendengus. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri kudanya yang sejak tadi terus setia menunggu. Dengan ayunan kaki tenang, dia terus berjalan. Sepertinya, tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya tadi. Laki-laki yang tidak ketahuan rupa wajahnya ini mengambil tali kekang kudanya, lalu melompat naik dengan gerakan indah sekali. Sejenak kepalanya berpaling menatap tubuh Rampayak yang tergeletak tidak bernyawa lagi, dengan darah membasahi seluruh tubuhnya.

"Hiyaaa..!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki berbaju serba hitam yang kepala dan wajahnya selalu ditutupi kain hitam itu langsung saja menggebah kencang kudanya. Maka kuda hitam itu melesat cepat, seperti anak panah yang dilepaskan dari busur. Cepat sekali kuda itu berpacu, hingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan debu yang beterbangan di angkasa. Meninggalkan sosok mayat laki-laki di tanah merekah yang terpanggang terik mentari.

Saat si Singa Gurun sudah tidak terlihat lagi, dari balik batu-batu besar dan pepohonan bermunculan beberapa orang yang langsung menghampiri Rampayak. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka hanya memandangi mayat Rampayak dengan sinar mata sukar diartikan. Kemudian pandangan mereka berabh ke arah kepulan debu yang semakin bergerak jauh, meninggalkan tempat gersang itu.

Dan di antara mereka, terlihat seorang gadis cantik berbaju hijau ketat. Di sampingnya, tampak seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung di punggungnya. Pemuda itu menuntun seekor kuda hitam yang tinggi dan gagah. Tapi, tidak lama orang-orang itu merubungi mayat Rampayak. Dan mereka meninggalkannya begitu saja, tanpa ada seorang pun yang bersuara dengan arah tujuan masing-masing.

Dan kini yang tertinggal hanya gadis cantik yang tadi sempat bertarung dengan si Singa Gurun itu, dan pemuda berbaju rompi putih yang berdiri tegak di sebelah kanannya.

"Aku harus membalas kematiannya. Manusia iblis itu tidak bisa dibiarkan terus hidup menyebarkan malapetaka...," desis gadis cantik itu dingin, seakan bicara pada diri sendiri.

"Siapa dia?" tanya pemuda di sebelahnya.

Gadis itu tidak langsung menjawab. Kepalanya berpaling sedikit, menatap wajah tampan di sebelahnya dengan sinar mata sukar dilukiskan. Kemudian dihembuskannya napas panjang, seraya berbalik. Perlahan kakinya terayun meninggalkan mayat Rampayak Dan pemuda itu mengikuti dari belakang. Sebentar saja ayunan langkah kakinya sudah disejajarkan di samping kanan gadis ini. Beberapa saat mereka masih belum ada yang membuka suara.

"Kenapa kau mengikutiku, Kisanak? Aku sudah berterima kasih, setelah nyawaku kau selamatkan. Tapi, tidak selayaknya kau terus mengikutiku," tegur gadis itu. Suaranya terdengar agak ketus, merasa tidak senang diikuti.

"Aku tidak mengikutimu, Nisanak. Maaf. Mungkin arah yang kita tuju sama," sahut pemuda itu sopan.

"Hm...," gadis itu hanya menggumam sedikit Dan dia tidak lagi bersuara. Tapi, kakinya masih saja terus terayun perlahan-lahan.

Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu tetap berjalan di sebelahnya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. "Siapa namamu, Nisanak?" tanya pemuda itu membuka percakapan lebih dulu, setelah cukup lama berdiam diri.

"Untuk apa kau tahu namaku?" gadis itu malah balik bertanya bernada ketus.

"Aku hanya ingin tahu. saja. Siapa tahu, kita bisa bertemu lagi," sahut pemuda tampan itu, masih tetap ramah.

"Aku harap, kita tidak perlu bertemu lagi. Dan kau tidak perlu lagi mencampuri segala urusanku. Terima kasih atas budi baikmu dalam menyelamatkan nyawaku. Satu saat nanti, hutang nyawa ini akan kubayar," ujar gadis itu tetap ketus nada suaranya.

Pemuda berbaju rompi putih ini jadi terdiam mendengar jawaban yang sangat ketus dan tidak pernah diduganya. Dia tampak terkejut, hingga ayunan kakinya terhenti. Sedangkan gadis cantik itu terus saja melangkah tanpa peduli. "Hm.... Gadis yang keras...," gumam pemuda itu dalam hati. "Siapa dia sebenarnya? Dan, ada urusan apa dia dengan si Singa Gurun...?"

Berbagai macam pertanyaan langsung berkecamuk dalam benak pemuda itu. Tapi, semua pertanyaan belum bisa dijawabnya sekarang ini. Sedangkan gadis cantik itu sudah jauh meninggalkannya. Pemuda itu masih saja berdiri mematung memandangi, sampai gadis itu lenyap ditelan lebatnya pepohonan yang meranggas kering. Dan dia baru melompat naik ke punggung kuda, lalu menggebahnya pedahan-lahan. Tapi entah kenapa, arah yang dituju justru sama dengan yang ditempuh gadis cantik itu. Apakah gadis itu tetap akan diikutinya? Hanya dia yang tahu.

Sedangkan daerah gersang yang seperti tidak memiliki napas kehidupan itu sudah kembali sunyi, tanpa terdengar suara apa-apa lagi. Hanya desir angin saja yang masih terdengar, menyebarkan udara kering. Sehingga membuat pepohonan semakin banyak menggugurkan daun-daunnya. Sementara pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung yang tersandang di punggung itu sudah lenyap masuk ke dalam hutan. Tidak ada seorang pun yang terlihat lagi. Hanya satu sosok mayat saja yang kini tertinggal, tanpa ada yang peduli lagi.

********************

Matahari belum lagi menenggelamkan diri di ufuk barat, ketika terdengar teriakan-teriakan keras, disertai denting suara senjata beradu dari balik sebuah bukit batu yang kering, di seberang sebuah sungai yang juga hampir kering airnya. Suara-suara itu memang jelas dari sebuah pertarungan. Dan memang, di balik bukit batu itu sedang terjadi sebuah pertarungan yang sangat tidak seimbang.

Seseorang berbaju longgar serba hitam, dengan seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain hitam, tengah dikeroyok tidak kurang dari sepuluh orang bersenjatakan golok. Sedangkan di sekitar pertarungan, sudah menggeletak sekitar lima belas orang tanpa nyawa lagi dengan tubuh bersimbah darah. Meskipun dikeroyok sepuluh orang, tapi jelas sekali kalau orang berpakaian serba hitam yang ternyata Singa Gurun itu bisa menguasai pertarungan. Bahkan baru saja sekaligus merobohkan dua orang lawannya yang dipecahkan kepalanya.

Dan sebentar kemudian, dua orang lagi dibuat roboh tidak berdaya dengan dada remuk terkena pukulan dahsyatnya. Tapi, enam orang lawannya yang masih tersisa, tidak juga mau menyerah. Walaupun teman-teman mereka sudah bergelimpangan jadi mayat, tapi terus merangsek dengan sabetan golok yang cepat.

"Hiyaaat..!" Sambil berteriak keras menggelegar, si Singa Gurun memutar tubuhnya cepat sekali. Dan saat itu juga, dilepaskannya beberapa kali pukulan beruntun yang sangat cepat luar biasa. Sehingga tiga orang lawan yang paling dekat tidak dapat lagi menghindari. Dan ketiga orang itu seketika menjerit, saat pukulan-pukulan dahsyat yang dilepaskan Singa Gurun menghantam telak di tubuh mereka.

Seketika itu juga, ketiga orang itu berpentalan ke belakang dan ambruk dengan nyawa melayang. Tampak kepala dan dada mereka remuk, membuat darah berhamburan keluar. Saat itu juga tiga orang yang tersisa berlompatan mundur dengan raut wajah tersirat kegentaran. Mereka semula menyerang dengan kekuatan dua puluh lima orang. Dan kini hanya tersisa tiga orang saja. Sedangkan lawan yang dihadapi hanya seorang diri. Itu saja sudah menandakan, kalau kepandaian orang berpakaian serba hitam yang selama ini dikenal berjuluk Singa Gurun tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan sangat sukar diukur tingkatannya.

Tiga orang yang tersisa ini tampak jadi ragu-ragu untuk meneruskan pertarungan. Sementara di sekitarnya, tubuh-tubuh temannya tampak bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Sedangkan si Singa Gurun juga tampaknya sudah tidak ingin meneruskan pertarungan. Hanya dipandanginya tiga orang lawan yang masih tersisa, dari balik kain selubung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya.

"Kenapa kalian diam...? Ayo, lawan aku!" bentak si Singa Gurun lantang.

Tapi, ketiga orang itu masih saja tetap diam. Mereka saling berpandangan beberapa saat, kemudian menggeser kakinya perlahan secara bersamaan, mendekati laki-laki berbaju serba hitam yang wajahnya tidak kelihatan. Mereka berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi. Kemudian....

"Hiyaaa...!" 鈥淵eaaah...!"

Secara bersamaan, ketiga orang itu berlompatan menyerang sambil mengibaskan golok. Tapi hanya meliukkan tubuh sedikit tanpa menggeser kedua kakinya, si Singa Gurun bisa menghindari semua serangan. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kedua tangannya berkelebat sambil melompat sedikit. Begitu cepat gerakannya, membuat tiga orang lawannya tidak bisa lagi menghindar. Dan mereka kontan menjerit keras dengan tubuh berpentalan ke belakang. Hanya sedikit saja mereka menggeliat, kemudian mengejang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi.

Sementara, si Singa Gurun hanya berdiri tegak memandangi lawan-lawannya yang sudah bergelimpangan tidak bernyawa di sekelilingnya. Tidak ada seorang pun yang terlihat masih hidup. Sedikit dia mendengus, menghembuskan napas berat.

"Phuuuh!" Sambil menghembuskan napas panjang, laki-laki berbaju serba hitam yang wajahnya tidak kelihatan itu mengayunkan kakinya meninggalkan tempat pertarungan irii. Begitu ringan ayunannya, seakan-akan berjalan tanpa menjejak tanah sedikit pun juga. Dan sebentar saja, dia sudah jauh meninggalkan tempat itu.

********************

Malam sudah jauh menyelimuti sebagian permukaan bumi. Langit tampak gelap, tersaput awan tebal yang hitam. Sedikit pun tidak terlihat cahaya bulan maupun bintang. Angin bertiup kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan. Namun di balik gerumbul semak belukar, terlihat kilatan cahaya api. Dan di depan api unggun yang menyala kecil itu, terlihat duduk seseorang yang seluruh tubuh dan kepalanya tertutup kain hitam. Dari balik kain kerudung hitamnya, terlihat kilatan cahaya sepasang mata yang tidak lepas memandangi nyala api di depannya.

Sesaat kepala yang tertutup kain hitam itu bergerak ke samping, ketika terdengar suara bergemirisik seperti ranting kering yang terinjak. Kepalanya diangkat sedikit, saat melihat sepasang kaki tahu-tahu sudah ada tidak jauh di sebelah kirinya. Perlahan kepalanya terangkat naik, memandangi sosok tubuh seorang pemuda berbaju rompi putih sudah berdiri di sana. Tapi, tidak lama kembali matanya memandangi api unggun di depannya, seakan tidak mempedulikan kehadiran pemuda itu.

"Boleh aku ikut menghangatkan diri denganmu, Kisanak...?" pinta pemuda tampan berbaju rompi putih itu sopan.

"Hm...." Laki-laki berbaju hitam yang seluruh kepala dan wajahnya tertutup kain hitam itu hanya menggumam sedikit, seakan tidak mempedulikan permintaan pemuda yang baru datang ini. Tapi duduknya digeser sedikit, menandakan kalau dia mengizinkan.

"Terima kasih." Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang berbentuk kepala burung di punggung itu lantas duduk di seberang laki-laki berbaju hitam yang selama ini dikenal sebagai si Singa Gurun. Hanya jilatan api unggun yang menyala kecil saja sebagai pembatas antara mereka berdua. Dan untuk beberapa saat, mereka terdiam membisu. Begitu sunyi, hingga hembusan angin yang lembut pun terdengar jelas mengusik gendang telinga.

鈥淣amaku Rangga. Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Kisanak...?" ujar pemuda berbaju rompi putih, memecah kesunyian dengan memperkenalkan namanya. Dia memang Rangga yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Dan julukannya memang lebih dikenal daripada namanya yang asli.

Tapi orang yang diajaknya suara hanya menggumam saja sedikit, seakan sangat enggan membuka suara. Dan kepalanya terus menunduk memandangi kobaran api di depannya, dari dua buah lubang tepat di bagian mata pada kain yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Sepasang cahaya bola matanya yang bulat, berwarna kuning kehijauan seperti sepasang mata seekor singa.

"Mungkin aku hanya mengganggu ketenanganmu saja, Kisanak. Maaf... Sebaiknya aku pergi saja," ujar Rangga seraya bangkit berdiri.

"Mau kemana kau?" tegur si Singa Gurun, seraya mengangkat wajahnya yang tertutup selubung kain hitam.

Rangga jadi mengurungkan niatnya untuk pergi dari tempat ini, walau masih berdiri saja di situ. Terus dipandanginya kain selubung hitam di depannya, seakan ingin menembusnya agar dapat melihat wajah orang yang tetap duduk bersila dekat api unggun ini. Tapi memang sulit untuk bisa melihat jelas, kecuali sepasang bola mata yang bercahaya kuning kehijauan saja yang menyorot tajam.

"Duduklah, Anak Muda. Aku perlu teman bicara," ujar si Singa Gurun meminta.

Rangga kembali duduk bersila di depan si Singa Gurun, dengan api unggun yang menjadi pemisah di antara mereka berdua. Dan untuk beberapa saat, mereka kembali terdiam membisu tanpa ada seorang pun yang membuka suara lebih dulu. Mereka hanya saling pandang saja, seakan sedang mempejalari diri masing-masing.

"Siapa tadi namamu, Anak Muda...?" tanya Singa Gurun, dengan nada suara dalam.

"Rangga."

"Hm.... Kau tahu siapa aku, Anak Muda?" tanya Singa Gurun lagi.

Rangga hanya menggeleng. Walaupun sebenarnya sudah tahu nama orang yang berada di depannya ini, tapi pura-pura tidak mengenali, seakan Pendekar Rajawali Sakti belum pernah mendengar ataupun melihat orang itu.

Tampak si Singa Gurun menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat Sepertinya ada sesuatu yang teramat besar dan berat mengganjal rongga dadanya. Dan untuk beberapa saat, kembali dia terdiam membisu. Sementara, Rangga sendiri juga tidak membuka suaranya. Kedatangannya ke sini memang untuk bertemu manusia yang sering didengarnya ini yang konon sebagai manusia setengah siluman singa!

Rangga sudah banyak mendengar tentang si Singa Gurun ini. Bahkan juga mendengar kalau wajah orang itu bukan wajah manusia, tapi wajah seekor singa. Itu sebabnya, kenapa wajahnya disembunyikan di balik kain hitam. Disebut Singa Gurun, karena dia juga datang dari satu daerah yang gersang dan berpasir di wilayah utara. Suatu daerah yang jarang dilewati manusia karena hanya berupa gurun pasir yang sangat luas bagai tidak bertepi. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu, dari mana Singa Gurun berasal. Mereka hanya mengatakan kalau si Singa Gurun yang berwajah singa itu berasal dari daerah gurun pasir di utara.

"Kau membawa pedang yang bagus, Anak Muda. Aku yakin, kau seorang pendekar. Atau paling tidak, berkecimpung dalam rimba persilatan. Aku tidak percaya kalau kau belum tahu siapa aku...," tebak Singa Gurun langsung.

Seketika Rangga jadi tersentak kaget. Tapi keterkejutannya cepat disembunyikan, sebelum lawan bicaranya ini tahu. Memang sangat tepat tebakan si Singa Gurun. Rangga memang berpura-pura tidak tahu siapa lawan bicaranya.

"Aku memang tidak tahu siapa dirimu, Kisanak. Kedatanganku ke sini hanya kebetulan saja. Aku kemalaman di hutan ini, dan melihat cahaya api unggunmu," jelas Rangga, tetap menyembunyikan jati dirinya.

"Hm.... Baiklah, Anak Muda. Kalau memang belum tahu, sekarang kau akan tahu siapa aku ini. Akulah orangnya yang selalu dipanggil Singa Gurun. Dan semua orang selalu membenciku. Semua orang ingin membunuhku. Mereka menganggapku manusia iblis yang sangat jahat dan harus dilenyapkan dari muka bumi. Nah... Sekarang kau sudah tahu siapa aku, Anak Muda. Kalau kau pernah mendengar namaku, sebaiknya menyingkir saja. Mumpung aku tidak bernafsu melihat darah," kata Singa Gurun menjelaskan siapa dirinya dengan nada suara begitu berat dan dalam.

Sedangkan Rangga hanya diam saja. Bisa dirasakan adanya tekanan yang begitu dalam pada nada suara si Singa Gurun. Seakan-akan, semua itu dikatakan dengan beban yang teramat berat untuk ditanggung seorang diri. Dan Rangga sudah bisa mengetahui, kalau sebenarnya orang yang selalu dikatakan iblis pembunuh yang haus darah ini adalah orang yang sangat menderita dan perlu mendapat bantuan.

Dan memang, Singa Gurun sudah begitu banyak membunuh orang yang ingin membunuhnya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mencoba menantangnya dibiarkan tetap hidup. Tapi dari kata-kata dan nada suara yang terdengar begitu terat penuh tekanan tadi, Rangga bisa mengambil satu kesimpulan kalau sebenarnya orang ini tidaklah sejahat yang didengarnya dari orang lain. Dan dia sebenarnya perlu bantuan untuk membersihkan namanya yang sudah telanjur rusak.

"Maaf.... Kalau boleh kutahu, kenapa mereka selalu memburu dan ingin membunuhmu, Kisanak..?" tanya Rangga.

"Mereka takut, Anak Muda. Mereka tidak ingin orang sepertiku yang tidak lumrah ini hidup bebas di atas bumi ini. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka begitu membenciku. Atau karena...," si Singa Gurun tidak bisa meneruskan kata-katanya yang tadi tersendat.

"Karena apa, Kisanak?" desak Rangga, ingin tahu.

"Ah, sudahlah...," Singa Gurun langsung mengelak, tidak ingin meneruskan pembicaraannya yang terputus tadi.

Dan Rangga sendiri tidak ingin terus mendesak Pendekar Rajawali Sakti jadi diam membisu dengan pandangan mata terus tertuju pada wajah yang hitam tertutup kain selubung hitam di depannya. Walaupun cahaya api kini lebih besar, tapi tidak mampu menembus selubung kain hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajah si Singa Gurun.

Dan kembali mereka berdua terdiam membisu, tanpa ada seorang pun yang memulai membuka suara. Entah, apa yang ada dalam benak mereka masing-masing.

Malam terus merayap semakin larut. Tapi di antara dua orang laki-laki yang duduk saling berhadapan dengan pembatas sebuah api unggun kecil, belum ada yang membuka suara lebih dulu. Entah sudah berapa lama mereka saling berdiam diri seperti patung batu. Sehingga membuat desir angin terasa begitu jelas mengusik telinga. Saat itu, Rangga bangkit berdiri sambil menggeliatkan tubuhnya. Dan pada saat yang sama, tiba-tiba saja terdengar suara mendesing yang cukup keras dari arah belakang.

"Hup!" Tanpa berpaling lagi, Rangga cepat melesat ke atas sambil memutar tubuhnya dua kali di udara. Saat itu juga, terlihat sebuah benda bulat berwarna hitam sebesar kepalan tangan, melesat dengan kecepatan bagai kilat.

Dan benda itu hanya menyambar lewat di bawah tubuh Pendekar Rajawali Sakti, terus berkelebat ke arah Singa Gurun yang masih tetap duduk bersila. Tapi kelima benda hitam itu hampir menghantam tubuhnya, cepat bagai kilat laki-laki berbaju serba hitam itu melesat tinggi ke atas. Sehingga benda itu hanya menghantam tanah, tempat tadi Singa Gurun duduk bersila tadi.

"Hup!" Tanpa berpaling, Rangga cepat melesat ke atas. Benda itu pun lewat di bawah tubuh Pendekar Rajawali Sakti, lalu berkelebat ke arah Singa Gurun yang masih duduk bersila. Tokoh berkerudung itu pun segera melompat menghindari benda bulat berwarna hitam yang menerjangnya. Seketika itu juga...

Glarrr...!

Terdengar ledakan dahsyat dari tanah yang terbongkar, terhantam benda hitam sebesar kepalan tangan tadi. Bongkahan tanah berdebu yang bercampur dedaunan dan rerumputan berhamburan ke segala arah. Bahkan ledakan itu membuat api unggun yang berada tidak jauh dari situ jadi padam seketika.

Sementara itu, Rangga dan si Singa Gurun secara bersamaan menjejakkan kedua kakinya di tanah dengan manis sekali. Sedikit pun tidak timbul suara ketika kaki mereka menjejak tanah. Bisa ditebak ringkat kepandaian yang dimiliki sudah sangat tinggi.

"Keparat...! Selalu saja ada orang yang mengganggu ketenanganku!" geram Singa Gurun murka.

Sementara Rangga sendiri hanya diam saja, dengan pandangan mata beredar ke sekeliling. Tapi tidak ada yang bisa terlihat, selain pepohonan menghitam dan kegelapan yang terselimut kabut tebal. Begitu sunyi, hingga detak jantung terdengar jelas mengusik gendang telinga.

"Siapa kau, Setan! Keluar...!" betak Singa Gurun lantang menggelegar.

"Hikhikhik...!"

Belum lagi menghilang bentakan Singa Gurun dari pendengaran, sudah terdengar suara tawa mengikik kering yang menggema seperti datang dari segala arah. Dan ini membuat si Singa Gurun dan Rangga jadi celingukan, mencari arah sumber datangnya tawa itu. Tapi memang sulit dipastikan, karena suara itu menggema di sekeliling mereka.

Kini kedua laki-laki itu cepat memasang sikap waspada. Mereka langsung bisa mengetahui kalau penyerang gelap itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan belum lagi lenyap suara tawa mengikik yang mengerikan itu, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah begitu cepat, menyambar langsung ke arah kepala si Singa Gurun.

Begitu cepat kelebatannya, membuat Singa Gurun jadi terperangah sesaat. Namun dengan gerakan cepat bagai kilat, tubuhnya langsung melenting berputaran ke belakang. Sehingga, sambaran bayangan merah seperti api itu tidak sampai menghantam kepalanya.

"Hap!" Indah sekali Singa Gurun menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan pada saat itu juga, bayangan merah yang menyerang kembali melesat balik, langsung meluruk deras dengan kecepatan tinggi sekali ke arah laki-laki berbaju serba hitam yang wajahnya tidak kelihatan ini. Tapi, kali ini si Singa Gurun sudah siap menanti serangan. Dan begitu bayangan merah itu dekat, cepat tangan kanannya dikibaskan ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

"Yeaaah...!" Bet!

Begitu cepat gerakan itu, hingga benturan pun tidak dapat lagi dihindari Maka seketika telapak tangan si Singa Gurun yang terbuka mengebut ke depan membentur bayangan merah yang menyerangnya, seketika terdengar ledakan keras menggelegar yang sangat dahsyat.

Glarrr...! Tampak antara si Singa Gurun dan bayangan merah itu sama-sama terpental ke belakang, sejauh iua batang tombak Tapi Singa Gurun cepat menguasai keseimbangan tubuhnya, dan langsung nenjejakkan kedua kakinya mantap di tanah berumput ini. Saat itu juga, sekitar empat tombak jauhnya di depannya berdiri seorang perempuan tua berbaju jubah merah panjang dan longgar. Dan di tangan kanannya tergantung sebuah rantai hitam ang berbandul bola baja hitam berduri.

"Hik hik hik...! Kau tidak perlu tahu siapa aku, Singa Gurun. Tapi yang perlu kau tahu, nyawamu sekarang berada di tanganku!" sahut perempuan itu ketus.

Sementara itu, Rangga yang sejak tadi hanya jadi penonton diam-diam membisikan sesuatu pada Singa Gurun menggunakan suara perut. Dan bisikan itu langsung disalurkan ke telinga laki-laki berjubah hitam yang sampai saat ini selubung kain hitam di kepalanya belum juga tersingkap.

"Hati-hati, Ki. Dia itu Perempuan Iblis Dari Neraka. Kepandaiannya sangat tinggi...."

"Hm...," Singa Gurun hanya menggumam saja sedikit, mendapat bisikan dari Pendekar Rajawali Sakti yang berada sekitar dua batang tombak di belakangnya.

Tapi, rupanya bisikan Rangga yang sangat pelan itu dapat diketahui wanita tua yang dikenali berjuluk si Perempuan Iblis Dari Neraka. Dan matanya langsung mendelik pada pemuda berbaju rompi putih ini. "Kau jangan ikut campur urusan ini, Bocah!" bentak si Perempuan Iblis Dari Neraka langsung ditujukan pada Rangga

"Hegkh...?!" Rangga jadi tersentak juga mendengar bentakan perempuan tua berjubah merah itu. Sungguh tidak disangka kalau bisikannya yang disalurkan lewat perut bisa juga diketahui.

Sementara, si Singa Gurun hanya diam saja, menatap Perempuan Iblis Dari Neraka dari balik kain kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya.

Perempuan tua berbaju jubah merah longgar, dengan senjata rahasia berbandul bola besi baja berduri itu memang si Perempuan Iblis Dari Neraka. Dan nama sebenarnya adalah Nyai Rukini. Tapi julukannya lebih dikenal daripada nama aslinya sendiri.

"Maaf, Nyai. Bukannya ingin mencampuri urusanmu. Tapi rasanya tidak pantas kalau menyerang tanpa memberitahu alasannya. Sedangkan orang yang diserang, tidak mengenalmu," kata Rangga kalem, namun terdengar pedas nada suaranya.

"Keparat..! Kau rupanya ingin mencampuri urusan orang lain, heh?! Phuih...! Kau akan segera mendapat bagian, kalau kepala singa jelek ini sudah kupisahkan dari batang lehernya!" dengus Nyai Rukini kasar.

"Kau terlalu membabi buta, Nyai," desis Rangga, jadi dingin nada suaranya.

"Hik hik hik...! Apa urusanmu, heh...?! Aku memang ingin mengirim singa jelek ini ke neraka. Dan lagi tidak pantas dia hidup di dunia ini!" sambung Nyai Rukini itu, bernada mengejek.

"Dia manusia biasa, seperti yang lainnya, Nyai. Kenapa dikatakan tidak pantas hidup? Apa kehilupan manusia di jagad ini ada di tanganmu...? Kau terlalu congkak, Nyai. Aku khawatir, kecongkakanmu itu bisa menjadi senjata makan tuan bagi dirimu sendiri," kata Pendekar Rajawali Sakti memperingatkan.

"Tutup mulutmu, Bocah! Aku tidak ada urusan denganmu!" bentak Nyai Rukini kasar.

Baru saja Rangga akan menyahuti bentakan si Perempuan Iblis Dari Neraka itu, Singa Gurun sudah merentangkan tangan kanannya ke samping. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus mengatupkan mulutnya kembali yang sudah terbuka. Dia tahu, si Singa Gurun tidak ingin perdebatan ini dilanjutkan. Dan memang, tujuan Nyai Rukini sebenarnya hanya padanya. Bukan pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Nyai! Aku memang dilahirkan tidak seperti manusia lain pada umumnya. Tapi, aku tidak pernah mengganggu orang. Apalagi sampai merugikan. Terus terang, aku sendiri tidak mengerti, kenapa semua orang memusuhiku...? Malah ingin membunuhku. Juga kau, Nyai. Kenapa...?" Nada kata-kata Singa Gurun seperti bertanya untuk diri sendiri.

Tapi, Rangga bisa menangkap adanya keluhan pada nada suara itu. Dan kini sudah bisa diduga, seperti apa rupa si Singa Gurun sebenarnya. Dan Pendekar Rajawali Sakti juga sudah bisa mengetahui, apa permasalahan yang sebenarnya. Rupanya, semua orang ingin membunuh si Singa Gurun ini karena telah ditakdirkan hidup dengan rupa tidak wajar, seperti layaknya manusia. Hanya saja sulit dibayangkan, seperti apa wajah yang selalu tertutup kain hitam itu.

"Kelahiranmu memang sudah tidak disenangi, Singa Gurun. Kau dilahirkan berwajah singa, dan tubuh manusia. Keberadaanmu di atas bumi ini hanya akan menghancurkan manusia. Dan kau akan menjadikan semua orang budak-budakmu belaka. Kau tahu, Singa Gurun... Siapa saja yang bisa membunuhmu, ditakdirkan akan menguasai seluruh jadad raya ini!" sahut Nyai Rukini tegas dan lantang.

"Kau salah, Nyai. Kedatanganku justru bukan sebagai perusak, tapi justru untuk memulihkan kembali dunia yang sudah hancur oleh orang-orang sepertimu. Orang-orang yang berhati iblis!" balas si Singa Gurun, tidak kalah tegasnya.

"Phuih! Kalau kedatanganmu membawa kebaikan, lalu apa namanya tindakanmu selama ini, heh...?! Membunuh semua orang yang kau jumpai!"

"Aku hanya membela diri saja, Nyai. Dan merekalah yang menginginkannya begitu. Aku sudah peringatkan, tapi mereka tetap menyerangku. Apa aku salah kalau berusaha membela diri...? Tidak, Nyai.... Aku tidak sejahat seperti yang dikira. Kedatanganku justru akan menyadarkan orang-orang sesat yang hatinya selalu dibisiki kata-kata iblis..."

"Cukup...! Kau terlalu banyak bicara, Singa Gurun! Sekarang tunjukkan kepandaianmu!" bentak Nyai Rukini, cepat memutuskan kata-kata si Singa Gurun.

Laki-laki berbaju serba hitam itu mengangkat bahunya sedikit. Tanpa dijelaskan lagi, sudah diketahuinya kalau si Perempuan Iblis Dari Neraka itu sudah membuka tantangan terbuka padanya. Dan memang, Singa Gurun pantang menghindari tantangan apa pun juga yang harus disambut, walaupun nyawa taruhannya.

"Kau sudah memulainya lebih dulu, Nyai. Aku tidak bisa menghindari tantanganmu. Silakan, Nyai. Serang aku...," sambut Singa Gurun kalem.

"Phuih!" Nyai Rukini sengit sekali menyemburkan ludahnya. Sejenak ditatapnya tajam-tajam Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada tidak jauh dibelakang si Singa Gurun.

Dan tampaknya, Rangga tahu arti tatapan mata yang sangat tajam itu. Perlahan kakinya ditarik ke belakang menjauh. Sementara, si Singa Gurun sendiri tetap berdiri tegak sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Dan saat Rangga sudah berada cukup jauh jaraknya dari si Singa Gurun, Nyai Rukini mulai melangkah mendekati dengan kaki bergeser menyusur tanah berumput yang basah oleh embun. Tatapan matanya kini menyorot tajam, bagai hendak menembus kain selubung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajah laki-laki di depannya ini.

"Hiyaaat...!" Tiba-tiba saja Nyai Rukini melompat cepat sekali, sambil berteriak nyaring melengking tinggi. Dan dengan kecepatan kilat juga, senjata rantainya yang berbandul bola besi berduri dilontarkan tepat ke bagian kepala Singa Gurun.

"Haiiit...!" Tapi, si Singa Gurun yang memang sudah siap menerima serangan sejak tadi manis sekali bisa menghindarinya, hanya dengan mengegoskan kepala sedikit saja. Namun pada saat itu juga, Nyai Rukini sudah melepas satu tendangan menggeledek yang sangat cepat sambil memutar tubuhnya sedikit.

"Hap!" Cepat-cepat si Singa Gurun melompat ke belakang dua langkah, membuat tendangan Nyai Rukini tidak mengenai sasaran.

Tapi, tampaknya Perempuan Iblis Dari Neraka ini tidak mau berhenti sampai di situ saja. Kembali cepat diserangnya Singa Gurun dengan mengurung setiap ruang geraknya. Sementara senjata rantainya yang berbandul bola berduri itu juga terus mengurung laki-laki berbaju serba hitam itu. Setiap lontarannya menimbulkan suara menderu bagai badai, disertai hempasan angin kuat dan berhawa panas membakar. Sehingga, membuat si Singa Gurun terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan datang.

Serangan demi serangan terus mengalir cepat. Dan tanpa terasa, mereka sudah bertarung lebih dari lima jurus. Tapi, belum ada satu serangan pun yang membuat si Singa Gurun jadi terdesak. Gerakan-gerakan Singa Gurun memang sungguh cepat luar biasa. Hingga, Nyai Rukini jadi kesulitan untuk bisa mendesaknya. Dan serangannya pun semakin ditingkatkan dengan dahsyat.

"Mampus kau! Hiyaaat..!" Sambil membentak nyaring, Nyai Rukini cepat melompat sedikit sambil mengebutkan senjata rahasianya lurus ke depan.

Begitu cepat serangannya, membuat si Singa Gurun tidak punya kesempatan lagi menghindari, kecuali menangkap. Maka cepat sekali kedua tangannya dikebutkan ke depan dada. Hingga....

Tap! Cring...!

"Ikh...?!" Nyai Rukini jadi terpekik kaget setengah mati, ketika senjatanya bisa ditangkap kedua telapak tangan lawannya yang merapat tepat di depan dadanya. Dan belum lagi rasa keterkejutannya lenyap, tiba-tiba saja si Singa Gurun sudah melesat cepat bagai kilat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang sangat dahsyat.

"Hiyaaat...!" Begitu cepat serangan balik si Singa Gurun, membuat Nyai Rukini tidak dapat lagi menghindarinya. Terlebih, senjatanya masih berada dalam jepitan kedua tangan lawannya. Dan...

Begkh!

"Akh...!" Nyai Rukini jadi memekik, begitu tendangan Singa Gurun yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi tepat menghantam dadanya. Seketika perempuan tua itu jadi terjungkal ke belakang sejauh dua batang tombak. Lalu keras sekali tubuhnya menghantam tanah, membuat pekikan yang agak tertahan kembali terdengar.

EMPAT

Sementara si Singa Gurun sudah kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh. Dari balik kain kerudung Hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya, dipandanginya wanita tua itu dengan tajam. Sedangkan tidak jauh dari tempat pertarungan, Rangga masih tetap diam. Seakan tidak dipedulikan semua yang terjadi di depan matanya. Memang tidak ada yang bisa diperbuat Pendekar Rajawali Sakti selain diam dan menyaksikan semua pertarungan antara dua tokoh persilatan tingkat tinggi itu.

Sementara, Nyai Rukini sudah terlihat mulai bangkit berdiri kembali. Tampak darah kental menggumpal dalam rongga mulutnya. Tubuhnya terlihat limbung, seakan kedua kakinya tidak kuat lagi menopang berat badannya sendiri.

"Hoeeekh! Phuuuh...!" Segumpal darah kental berwarna agak kehitaman mendadak tersembur keluar dari mulut Nyai Rukini. Dengan punggung tangannya, disekanya sisa darah yang membasahi bibirnya. Sebentar kepalanya digelengkan. Dicobanya mengusir rasa pening yang menyerang kepala, akibat sesak napas dari dadanya yang terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi.

Kalau saja wanita itu belum mengenyam seluk beluk rimba persilatan, sudah barang tentu dadanya hancur terkena tendangan dahsyat tadi. Tapi, Nyai Rukini bukanlah perempuan tua sembarangan. Dengan kekuatan tenaga dalamnya yang tinggi, tendangan itu mampu ditahan walaupun tidak bisa menahan muntahan darah dari mulutnya.

"Cukup, Nyai. Aku tidak akan menanggung akibatnya, kalau kau meneruskan pertarungan ini," kata Singa Gurun mencoba memberi kesempatan pada lawannya.

"Phuih!" Nyai Rukini hanya menyemburkan ludahnya saja yang bercampur darah, mendengar peringatan lawannya. Dirasakannya, kata-kata si Singa Gurun barusan sangat merendahkan kemampuannya. Pantang baginya untuk surut dari ajang pertarungan, tanpa harus ada yang tewas. Setelah bisa menguasai jalan pernapasannya kembali, perempuan tua itu kembali melangkah, menghampiri lawannya.

Sedangkan si Singa Gurun jadi melenguh, melihat lawannya masih tetap saja ingin meneruskan pertarungan yang sama sekali tidak diinginkannya. Tapi, dia tidak bisa berbuat lain lagi. Apalagi ketika Nyai Rukini sudah berteriak lantang, sambil melontarkan senjata rahasia yang berbandul bola berduri.

"Yeaaah...!"

Wuttt...! Cring!

"Haiiit..!" Cepat-cepat Singa Gurun merunduk, saat senjata Nyai Rukini melayang cepat hendak menyambar kepalanya. Dan bandulan besi berduri itu hanya lewat sedikit saja di atas kepala si Singa Gurun ini. Angin sambarannya yang begitu keras, sempat membuat laki-laki berbaju hitam itu jadi limbung. Tapi dengan gerakan kaki yang indah sekali, senjata lawannya bisa dijauhi. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kanannya dikebutkan dengan kecepatan bagai kilat, hingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan....

"Ikh...?!" Nyai Rukini jadi terpekik kaget, ketika tangan kanan lawannya bergerak menyambar senjatanya yang belum sempat ditarik pulang. Cepat dikebutkannya senjata itu ke atas, hingga melenting tinggi ke atas kepalanya.

Tapi tanpa diduga sama sekali, si Singa Gurun malah melesat ke atas untuk mengejar senjata lawannya. Sungguh suatu jurus pertarungan yang sangat aneh. Bukannya menghindar senjata lawan, tapi si Singa Gurun justru mengejarnya ke mana pun bergerak.

"Setan! Hiyaaat...!" Nyai Rukini jadi memaki berang. Dan ketika si Singa Gurun sedang berada di udara, cepat sekali senjata andalannya dikebutkan.

Bet! Cring!
"Hap!"
"Heh...?!" Nyai Rukini jadi terperanjat setengah mati. Sama sekali tidak disangka kalau si Singa Gurun berani memapak arus senjatanya, tanpa sedikit pun berusaha menghindar. Bahkan sebelum senjata rantai berbandul bola besi berduri itu menghantam dadanya, cepat sekali kedua tangannya bergerak mengatup. Sehingga, bola besi berduri runcing itu tertangkap kedua telapak tangannya yang cepat mengatup ini. Dan....

"Hiyaaa...!"

"Akh...?!" Nyai Rukini sama sekali tidak menduga tindakan lawannya. Dan ketika tiba-tiba si Singa Gurun menyentakkan kedua tangannya ke atas, dia tidak bisa bertahan lagi. Akibatnya kedua tangan Nyai Rukini yang memegangi rantai senjatanya ikut tersentak ke atas tanpa dapat ditahan sentakan itu.

Bret!

"Aaa...!" Kedua tangan perempuan itu kontan tertarik sampai buntung dari pangkalnya, hingga menjerit nyaring melengking tinggi. Darah seketika itu juga muncrat deras sekali dari kedua pangkal tangan yang buntung.

Dan pada saat itu juga, si Singa Gurun melemparkan senjata lawannya sambil berteriak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. "Hiyaaa...!"

Bet!

Begitu cepat lemparan itu, membuat Nyai Rukini sama sekali tidak punya kesempatan berkelit menghindarinya. Terlebih lagi, kedua tangannya baru saja dibetot hingga buntung. Hingga....

Prak!

"Aaakh...!" Langsung saja senjata Nyai Rukini ini menghantam batok kepalanya sendiri yang tidak terlindungi lagi. Maka seketika terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Begitu nyaring dan menyayat. Kepala perempuan tua ini kontan hancur tak berbentuk lagi. Dan darah muncrat berhamburan dari kepala yang pecah.

Tubuh perempuan tua itu seketika ambruk menggelepar di tanah. Namun hanya sebentar saja bisa menggeliat, kemudian meregang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah masih terus mengucur keluar dari kedua tangan yang buntung dan kepalanya yang hancur berantakan terhantam senjatanya sendiri.

Sementara si Singa Gurun sudah kembali berdiri tegak di atas tanah berumput yang dibasahi embun ini. Dipandanginya perempuan itu yang tergeletak di tanah dari balik kain kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Dalam kegelapan kain kerudung itu, terlihat sepasang bola matanya yang bulat kehijauan memancar tajam memandangi mayat di depannya. Dan perlahan tubuhnya berbalik. Tapi baru saja mengayunkan kakinya beberapa langkah hendak pergi, Rangga sudah cepat memanggilnya sambil melangkah menghampiri.

"Tunggu, Ki...."

Singa Gurun langsung menghentikan ayunan kakinya. Tapi tubuhnya tak berbalik, menunggu sampai Rangga berada dekat. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera melewati orang yang tidak pernah memperlihatkan wajahnya ini, kemudian berdiri sekitar lima langkah di depannya. Dan beberapa saat mereka terdiam, saling berdiri berhadapan seperti dua orang yang sedang berhadapan ingin bertarung.

"Mengapa kau mencegahku pergi, Anak Muda?" terdengar dalam dan datar sekali nada suara si Singa Gurun.

"Maaf, Ki. Bukannya ingin mencampuri urusan pribadimu. Tapi terus terang saja, aku tidak menyukai tindakanmu tadi," kata Rangga, langsung berterus terang mengemukakan isi hatinya.

Si Singa Gurun tampak terkejut mendengar penuturan Rangga yang begitu polos dan berterus terang. Tapi rasa keterkejutannya bisa cepat dihilangkan. Ditatapnya pemuda berbaju rompi putih itu dalam-dalam dari batik kain kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Sedangkan yang dipandangi malah membela dengan sinar mata yang cukup tajam juga. Hingga beberapa saat masing-masing jadi terdiam, dan saling melemparkan pandangan dengan tajam.

"Aku lupa siapa tadi namamu, Anak Muda?" tanya Singa Gurun tiba-tiba. Nada suaranya mendadak saja jadi berubah lembut. Tapi, tetap terdengar besar dan dalam sekali.

"Rangga," sahut Rangga menyebutkan namanya.

"Kau berasal dari daerah mana?" tanya Singa Gurun lagi.

"Kulon..."
"Tepatnya?"
"Karang Setra."
"Kau kenal rajanya?"

Kali ini Rangga tidak langsung bisa menjawab. Tentu saja dia tahu, siapa Raja Karang Setra. Karena, Raja Karang Setra adalah dirinya sendiri. Dan di dalam rimba persilatan, Rangga dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Pertanyaan si Singa Gurun barusan membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun diam untuk beberapa saat. Entah, apa yang ada dalam benaknya saat ini. Tapi yang jelas, tatapan matanya jadi semakin tajam. Seakan, hendak menembus kain hitam yang menutupi wajah orang di depannya.

"Jawab pertanyaanku, Anak Muda...!" desak Singa Gurun agak membentak suaranya.

"Kenal," sahut Rangga, jadi datar nada suaranya.

"Hm, siapa?" tanya Singa Gurun lagi.

"Untuk apa kau tanyakan itu padaku, Ki?" Rangga malah balik bertanya. Di dalam hati, Rangga jadi penasaran, kenapa laki-laki yang selalu dipanggil Singa Gurun ini ingin tahu tentang Raja Karang Setra. Padahal, Raja Karang Setra sudah ada di depan matanya. Tapi, tampaknya memang si Singa Gurun tidak tahu. Bahkan tidak kenal Raja Karang Setra yang ditanyakannya.

"Jawab saja pertanyaanku, Anak Muda," desis Singa Gurun mendesak.

"Aku tidak akan menjawab, sebelum kau katakan alasannya kenapa ingin tahu tentang Raja Karang Setra," sahut Rangga tegas.

"Itu urusanku, Anak Muda!"

"Kalau urusanmu menyangkut Raja Karang Setra, sudah tentu juga menjadi urusanku. Karena, aku berasal dari Kerajaan Karang Setra. Dan aku berkewajiban untuk membela Karang Setra dengan taruhan apa pun juga," tegas Rangga lagi.

Kali ini, si Singa Gurun yang jadi tertegun mendengar jawaban tegas pemuda didepannya. Dan untuk beberapa saat, dia jadi terdiam membisu. Sedangkan Rangga juga tidak mengeluarkan suara lagi. Hingga, suasana jadi terasa begitu menegangkan.

"Dengar, Anak Muda. Aku datang jauh-jauh dari daerah gurun yang gersang, hanya untuk satu tujuan. Dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalangiku untuk pergi ke Karang Setra menemui rajanya. Siapa pun yang mencoba menghalangi, tidak segan-segan aku menyingkirkannya. Tidak peduli siapa, dan dari mana asalnya. Kau mengerti, Anak Muda...?" tegas sekali kata-kata Singa Gurun, yang begitu dalam penuh arti.

"Kalau kau bermaksud buruk, akan berhadapan dengan salah satu ksatri Karang Setra, Ki. Dan ksatria pertama yang harus dihadapi adalah aku," desis Rangga, tidak kalah tegasnya.

Singa Gurun kembali terdiam. Kalau saja wajahnya bisa terlihat, tentu Rangga bisa membaca apa yang ada di dalam benak orang ini. Sayangnya, wajahnya selalu tersembunyi di balik kain kerudung yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Dan kembali mereka terdiam untuk waktu yang cukup lama, membuat suasana semakin menegangkan.

"Kau ingin menantangku, Anak Muda...?" semakin dingin suara si Singa Gurun.

Rangga hanya diam saja, tidak menjawab sedikit pun juga.

"Kalau kau ingin menghalangiku, akan bernasib sama seperti yang lain. Sedangkan kulihat kau bukan dari golongan mereka yang hanya ingin mencoba kepandaianku saja. Sebaiknya, menyingkir saja. Dan, jangan coba-coba menghalangi tujuanku," ancam Singa Gurun memperingatkan.

"Aku memang bukan termasuk golongan lawan-lawanmu, Ki. Kalau aku berusaha mencegahmu datang ke Karang Setra, itu karena jangan sampai kau mengganggu ketenteraman Raja Karang Setra," balas Rangga tegas.

"Kuperingatkan sekali lagi, Anak Muda. Kau akan menyesal nanti. Sebaiknya, cepat menyingkir. Dan, jangan coba-coba mempermainkan nyawa sendiri," kembali Singa Gurun memperingatkan dengan tegas.

"Aku tidak akan menyingkir, sebelum kau katakan tujuanmu ke Karang Setra," sahut Rangga tidak kalah tegasnya.

"Kau keras kepala, Anak Muda...!" desis Singa Gurun mulai tidak sabar.

Rangga hanya tersenyum tipis saja. Dia memang sengaja memancing kemarahan laki-laki ini, karena ingin tahu tujuan si Singa Gurun sebenarnya ke Karang Setra. Semula Pendekar Rajawali Sakti memang tidak mau peduli. Tapi setelah tahu kalau tujuannya ke Karang Setra untuk menemui rajanya, dia jadi tertarik ingin tahu. Maka tidak ada jalan lain lagi, selain mengadu kepandaian. Di dalam hatinya, Rangga juga ingin tahu sampai di mana tingkat kepandaian si Singa Gurun ini yang sudah mengalahkan begitu banyak lawannya yang tingkat kepandaiannya rata-rata sudah tinggi.

"Kau membuat habis kesabaranku, Anak Muda!" dengus Singa Gurun dingin.

Rangga tetap saja membisu. Bahkan seulas senyum tipis terkembang menghiasi bibirnya. Dan ini membuat si Singa Gurun jadi menggereng, merasa dirinya tertantang. Dan tiba-tiba saja....

Bet!

"Hap!" Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke belakang, begitu Singa Gurun mengebutkan cepat tangan kirinya ke arah dadanya. Sedikit saja ujung jari tangan yang berkuku runcing tajam dan hitam itu lewat di depan dada Rangga yang terbuka. Saat itu juga, Rangga merasakan adanya aliran hawa panas yang cukup menyengat di sekitar dadanya. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah.

"Hm...," Rangga menggumam kecil. Pendekar Rajawali Sakti tahu, kebutan tangan kiri si Singa Gurun ini mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dan menebarkan hawa beracun yang membuat dadanya tadi jadi terasa panas. Pendekar Rajawali Sakti cepat memindahkan jalan pernapasannya ke perut, setelah menyadari kalau orang berbaju serba hitam ini mengandung racun di seluruh tubuhnya. Pantas saja tidak ada seorang pun yang sanggup menandinginya. Bahkan tokoh persilatan tingkat tinggi pun tidak tahan lama menghadapinya.

"Rupanya kau punya simpanan juga, Anak Muda. Bagus.... Aku senang mendapat lawan yang masih muda sepertimu," desis Singa Gurun dingin.

Rangga hanya diam saja. Sementara Singa Gurun sudah mulai menggeser kakinya perlahan ke kanan. Sementara kedua tangannya mulai bergerak membuka jurus. Tapi, Rangga masih tetap diam. Dia ingin tahu, tingkat kematian racun yang ada dalam tubuh si Singa Gurun ini.

"Tahan seranganku, Anak Muda! Yeaaah...!" Sambil membentak keras menggelegar, si Singa Gurun melompat cepat Langsung dilepaskannya satu pukulan lurus yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap!" Tapi Rangga sama sekali tidak berusaha menghindar. Bahkan tanpa diduga sama sekali, justru dipapaknya pukulan itu dengan menghentakkan tangan kiri ke depan dengan telapak yang tiba-tiba saja jadi berwarna merah seperti terbakar. Jelas sekali kalau saat itu juga Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat gerakan mereka berdua, hingga benturan keras pun tidak dapat dihindari lagi.

Glarrr...!

Satu ledakan dahsyat yang menggelegar seketika terjadi, tepat di saat pukulan Singa Gurun menghantam telapak tangan kiri Rangga yang memapaknya. Nyatanya, benturan ini membuat si Singa Gurun jadi tersentak kaget setengah mati. Tidak disangka kalau pemuda yang dianggapnya lemah ini memiliki kekuatan dahsyat. Cepat tubuhnya melenting ke belakang, seraya berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah.

Sementara, Rangga sedikit pun tidak bergeser dari tempatnya. Tangan kirinya masih tetap menjulur lurus ke depan, dengan jari-jari terkembang lebar. Perlahan Rangga menurunkan tangan kirinya kembali. Tatapan matanya masih tetap menyorot tajam, bagai hendak menembus kain hitam yang menutupi wajah si Singa Gurun yang kini berada sekitar satu batang tombak di depannya.

Sementara Singa Gurun sendiri seakan masih terpana, tidak menyangka kalau Rangga bisa mudah menahan pukulan mautnya. Bahkan tangan kanannya terasa jadi bergetar hebat, ketika beradu dengan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Rasa penasaran pun seketika itu juga tumbuh dalam hati si Singa Gurun. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, kembali tubuhnya melesat cepat, menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Jurus yang dikerahkan kali ini bukan lagi seperti yang digunakan ketika menghadapi Nyai Rukini. Gerakan-gerakannya pun kelihatan lebih cepat, dengan pukulan-pukulan dahsyat dan bertenaga dalam tinggi. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti yang langsung mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' mudah sekali bisa menghindari. Hingga dalam waktu singkat saja, pertarungan sudah berjalan lima jurus. Tapi sejauh ini si Singa Gurun belum bisa mendesak lawannya. Bahkan untuk memasukkan serangannya pun terasa begitu sulit.

"Setan alas...! Hiyaaat...!" Sambil memaki, Singa Gurun semakin memperhebat serangan-serangannya. Hatinya benar-benar penasaran menghadapi lawannya kali ini. Walaupun Rangga hanya menghadapinya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' saja, sudah terasa begitu sulit untuk mendesaknya.

Dan ketika pertarungan memasuki jurus yang ke sepuluh, tiba-tiba saja Singa Gurun menghentikannya dengan melompat ke belakang. Langsung dijauhi lawannya Dia langsung berdiri tegak, berjarak sekitar satu batang tombak.

"Kenapa kau berhenti, Ki?" kata Pendekar Rajawali Sakti terasa datar sekali.

Singa Gurun tidak menyahuti. Di pandanginya Pendekar Rajawali Sakti tajam-tajam dari balik kain hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya ini. Seakan masih belum percaya kalau lawan yang masih berusia muda itu bisa menahannya dalam pertarungan sepuluh jurus.

Sedangkan selama ini, tidak ada seorang lawan pun yang mampu bertahan lebih dari lima jurus. Padahal semua lawannya tidak bisa dipandang sebelah mata saja. Tapi nyatanya, Rangga sanggup bertahan sampai sepuluh jurus. Bahkan belum satu serangan pun yang dilancarkan Singa Gurun mendarat di tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sudah barang tentu, si Singa Gurun seperti tidak percaya melihat kenyataan ini.

LIMA

"Anak Muda, siapa kau sebenarnya?" Singa Gurun malah melontarkan pertanyaan. Nada suaranya terdengar begitu dalam.

"Namaku Rangga. Aku hanya pengembara yang berasal dari Karang Setra. Dan aku salah seorang ksatria Karang Setra," sahut Rangga tegas. "Kalau kau tidak mampu menghadapiku, jangan harap bisa bertemu Raja Karang Setra. Karena, kau akan berhadapan dengan para ksatria Karang Setra yang kemampuannya lebih tinggi dariku."

"Hm... Sikap dan cara bicaramu menunjukkan kalau kau bukan seorang ksatria biasa. Aku yakin, kau seorang putra bangsawan. Atau...," Singa Gurun tidak melanjutkan ucapannya

Sedangkan Rangga jadi terdiam membisu. Sungguh tidak disangka kalau orang yang berada di depannya ini bukan hanya memiliki kepandaian tinggi, tapi juga mampu menilai seseorang dari segala sudut pandang. Bahkan Rangga sudah bisa menduga kalau si Singa Gurun ini tidak akan percaya begitu saja dengan keterangan yang diberikannya tadi.

"Kau tidak berkata yang sebenarnya, Anak Muda. Aku ingin tahu, sampai di mana kekerasan kepalamu," desis Singa Gurun dingin menggetarkan. Dan selesai berkata begitu, si Singa Gurun langsung menggerakkan kedua tangannya untuk membuka jurus kembali.

Sedangkan Rangga hanya diam saja memperhatikan, dengan mata tidak berkedip sedikit pun juga. Dia tahu, laki-laki yang tidak kelihatan wajahnya ini akan mengerahkan jurus-jurus ampuh andalannya. Paling tidak untuk mendesak agar Pendekar Rajawali Sakti ini mau mengakui terus terang tentang dirinya.

Entah, apa yang mendesak Singa Gurun berlaku seperti itu. Tapi yang jelas, kedua kepalan tangannya sudah terlihat berwarna merah membara seperti terbakar. Seketika Rangga jadi terhenyak kaget. Kedua tangan yang membara itu sama seperti bila dia mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Tapi gerakan-gerakan Singa Gurun ini memang berbeda. Dan di saat Pendekar Rajawali Sakti tengah tertegun, tiba-tiba saja si Singa Gurun sudah berteriak lantang menggelegar sambil cepat menghentakkan kedua tangannya.

"Yeaaah...!"

Slap!

"Heh...?! Hup!" Rangga jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke atas, menghindari serangan yang sangat dahsyat itu. Hingga pukulan jarak jauh yang dilancarkan Singa Gurun hanya menghantam tanah kosong, tempat tadi Pendekar Rajawali Sakti berdiri.

Begitu dahsyatnya pukulan jarak jauh itu, membuat tanah yang terkena hantamannya seketika itu juga terbongkar, menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Sementara, Rangga sendiri harus berputaran beberapa kali di udara, sebelum menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan mantap.

"Hiyaaa...!"

Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menegakkan tubuhnya, si Singa Gurun sudah melancarkan serangannya kembali. Tangan kirinya cepat dihentakkan ke depan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Seketika, cahaya merah yang membara seperti api membakar tangannya melesat begitu cepat bagai kilat menerjang ke arah Pedekar Rajawali Sakti.

"Hap!" Tapi kali ini Rangga hanya memiringkan tubuhnya sedikit, hingga serangan si Singa Gurun kembali tidak menemui sasaran. Dan saat itu juga, Rangga langsung meliukkan tubuhnya. Lalu cepat sekali tangan kanannya ditarik hingga sejajar pinggang. Dan dengan kecepatan bagai kilat tangannya dihentakkan ke depan, sambil berteriak keras sambil menegakkan tubuh kembali.

"Yeaaah...!"

Splashr..! Seleret sinar merah seketika itu juga melesat cepat sekali, meluruk deras mengarah ke dada si Singa Gurun.

Saat itu, laki-laki berbaju serba hitam ini jadi terperanjat setengah mati. Tidak disangka kalau pemuda tampan yang menjadi lawannya ini bisa mengimbangi serangannya dengan jurus yang hampir serupa. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya sekali. Sehingga cahaya merah yang melesat bagai kilat itu lewat sedikit di dalam gulungan putaran tubuh si Singa Gurun ini, dan langsung menghantam sebatang pohon yang berada tepat di belakangnya. Seketika itu juga, pohon yang sangat besar itu hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.

"Dari mana kau dapatkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', Anak Muda...?!" bentak Singa Gurun tiba-tiba.

"Heh...?!" Kali ini Rangga benar-benar tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, mendengar bentakan lawannya. Sungguh tidak disangka kalau Singa Gurun bisa mengetahui jurus yang dikerahkannya. Padahal, Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak menyebutkannya. Tapi, ternyata Singa Gurun bisa cepat mengetahuinya dan tepat sekali.

"Jawab pertanyaanku, Anak Muda. Dari mana kau peroleh jurus dahsyat itu?" tanya Singa Gurun lagi, dengan suara diperhalus.

"Dari guruku," sahut Rangga, agar datar nada suaranya terdengar.

"Gurumu...? Siapa gurumu?" desak Singa Gurun.

Dan Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya, dari mana mendapatkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang tadi digunakan.

"Baik, Anak Muda. Kalau kau tidak ingin mengatakannya, terpaksa aku harus mendesakmu agar bicara," desis Singa Gurun dingin.

Dan belum juga Rangga bisa membuka suara, si Singa Gurun sudah melesat cepat sekali menyerang Pendekar Rajawali Sakti ini dengan jurusnya yang cepat dan dahsyat Dan Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Beberapa kali pukulan yang dilancarkan si Singa Gurun tidak bisa dihindari. Hingga Rangga terpaksa harus memapaknya dengan pengerahan tenaga dalam sempurna.

Dan setiap kali mereka beradu tenaga dalam, tampak Singa Gurun melenguh kecil sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa. Sedangkan Rangga sendiri selalu merasakan gentaran yang hebat, setiap kali menahan pukulan lawannya. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa tahu, sampai di mana tingkat kekuatan tenaga dalam yang dimiliki si Singa Gurun. Dan Rangga kini tidak mau lagi gegabah memapak setiap serangan yang dilancarkan si Singa Gurun.

Dia berusaha terus menghindar, sambil sesekali melancarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Kali ini Rangga terpaksa harus mengeluarkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang dipadukan menjadi satu. Begitu cepat pergantian setiap jurusnya, membuat seakan-akan lima jurus itu hanya menjadi satu jurus saja. Tapi setiap kali Pendekar Rajawali Sakti melancarkan serangan balasan, si Singa Gurun jadi kelabakan menghindarinya. Dan beberapa kali terpaksa harus memapak serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa pertarungan sudah berlangsung lebih dari lima belas jurus. Tapi, belum ada tanda-tanda kalau pertarungan akan berakhir. Mereka terus melepaskan serangan-serangan dahsyat dan cepat luar biasa. Hingga, gerakan-gerakan mereka jadi sulit diikuti pandangan mata biasa. Dan hanya kelebatan bayangan putih serta hitam saja yang terlihat, saling menyambar dan menghindar.

Teriakan teriakan keras pun bagai hendak memecah kesunyian malam ini, disertai ledakan keras menggelegar yang terdengar sesekali, setiap kali mereka saling beradu kekuatan tenaga dalam. Percikan bunga api dan kilatan cahaya merah menyebar ke segala arah. Entah, berapa puluh pohon yang sudah rum bang akibat terkena sasaran dari pukulan serta tendangan dahsyat yang tidak tepat mengenai sasaran.

Bahkan tidak sedikit baru-batu yang hancur terkena sambaran pukulan mereka. Debu berterbangan ke angkasa, bercampur daun-daun kering. Begitu dahsyat pertarungan itu, membuat hutan yang menjadi tempat ajang pertarungan jadi porak poranda, bagai diterjang amukan puluhan ekor gajah.

"Hup! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja terlihat bayangan hitam berkelebat cepat sekali keluar dari ajang pertarungan itu. Dan pada saat yang bersamaan, terlihat Rangga juga menghentikan pertarungannya. Dan kini mereka terlihat berdiri saling berhadapan dengan jarak sekitar satu setengah batang tombak. Tidak ada seorang pun yang membuka suara lebih dulu. Dengusan napas mereka begitu cepat memburu.

Kali ini, Rangga benar-benar mendapatkan lawan tangguh, hingga terpaksa harus menguras seluruh kemampuan yang dimilikinya. Keringat terlihat menitik keluar membasahi sekujur tubuhnya.

Tapi, tidak berbeda jauh keadaannya dengan si Singa Gurun yang juga merasa kalau lawannya kali ini sangat tangguh luar biasa. Dan sepertinya, dia sudah kehilangan akal untuk bisa mengalahkan pemuda yang menjadi lawannya. Sedangkan sudah hampir semua jurus tingkat tinggi yang dimiliki dikeluarkan dalam pertarungan tadi. Tapi, belum juga bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Singa Gurun merasa kalau akan mendapat kesulitan untuk menjatuhkan lawannya. Bahkan menjadi ragu, apakah mampu mengalahkan pemuda tampan berbaju rompi putih yang mengaku bernama Rangga, ksatria dari Karena Setra ini.

"Aku tawarkan perjanjian padamu, Anak Muda...," kata Singa Gurun memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.

"Hm, apa tawaranmu?" sambut Rangga datar.

"Kita tentukan, siapa di antara kita berdua yang lebih unggul...."

"Lalu...?"

"Yang lebih unggul, bisa meminta apa saja. Nyawa sekalipun harus diserahkan. Atau yang lebih pahit lagi, yang kalah menjadi budak seumur hidup. Bagaimana ..?" Singa Gurun langsung menawarkan.

Sejenak Rangga jadi terdiam, mendengar tawaran yang dirasakan sangat berat. Kalau saja kepandaian Singa Gurun berada jauh di bawahnya, sudah tentu tawaran akan langsung diterima. Tapi, Rangga sudah bisa mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Singa Gurun ini. Dan dia tidak bisa bertindak gegabah dalam merentukan sikap. Tawaran itu memang sangat berat. Tapi bagi seorang pendekar, sangat pantang untuk menolaknya.

"Baik! Tawaranmu kuterima," sahut Rangga memutuskan.

"Bagus! Sekarang gunakan seluruh kepandaianmu, Anak Muda. Gunakan senjata yang kau miliki," kata Singa Gurun mantap.

"Kau tidak bersenjata, Ki. Pantang bagiku menggunakan senjata terhadap lawan yang tidak bersenjata," sahut Rangga tidak kalah tegasnya.

"Kau memang memiliki jiwa ksatria, Anak Muda. Aku memujimu setulus hati. Tapi sayang, aku tidak memiliki senjata satu pun juga," kata Singa Gurun tulus.

"Kalau begitu, aku juga tidak akan menggunakan senjata," balas Rangga. Tanpa membuang waktu lagi, Rangga segera melepaskan pedang pusaka yang sejak tadi tersampir di punggung. Dan hati-hati sekali dia meletakkannya di bawah pohon. Kemudian kakinya melangkah menghampiri lawannya. Dan langkahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi. "Kita teruskan pertarungan dalam jurus, atau akan menggunakan ilmu kesaktian, Ki...?" tanya Rangga menawarkan.

"Hm.... Sebaiknya gunakan saja ilmu kesaktian," sahut Singa Gurun langsung memilih.

"Baik..."

Dan mereka kini tidak ada lagi yang berbicara, saling berdiri berhadapan dengan jarak sangat dekat.

Saat Singa Gurun mulai bergerak menyiapkan ilmu kesaktian, Rangga langsung merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Dan perlahan kedua kakinya direnggangkan ke samping. Lalu tubuhnya bergerak meliuk ke kiri, dan perlahan-lahan ditarik hingga miring ke kanan. Dan ketika tubuhnya kembali tegak dengan kedua kaki masih merentang lebar, tampak semburat cahaya biru memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menyatu rapat di depan dada. Perlahan-lahan Rangga kembali merapatkan kedua kakinya.

Sedangkan Singa Gurun tampaknya juga sudah siap dengan ilmu kesaktian pemungkasnya. Seluruh tubuhnya kini memancarkan cahaya merah yang membara. Seakan-akan, seluruh tubuhnya mengeluarkan api yang panas menyengat. Begitu panasnya, Rangga merasa dirinya seperti berada di dalam lingkungan api yang berkobar bagai hendak menghanguskan seluruh tubuhnya.

Dan untuk beberapa saat, mereka kembali terpaku diam dalam suasana yang begitu tegang mencekam.

"Bersiaplah, Anak Muda! Hiyaaa...!"

"Aji Cakra Buana Sukma... Yeaaah...!"

Secara bersamaan mereka saling membentak keras menggelegar dengan kedua tangannya sama-sama menghentak ke depan disertai pengerahan ilmu kesaktian masing-masing. Seketika itu juga, dua cahaya yang saling berlawan melesat cepat bagai kilat, hingga bertemu tepat di tengah-tengah. Dan....

Glarrr...!!!

Satu ledakan dahsyat seketika itu juga terjadi, tepat ketika cahaya merah yang memancar dari kedua telapak tangan Singa Gurun berbenturan dengan cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga. Tampak mereka sama-sama terdorong ke belakang. Tapi, Rangga hanya bergeser satu langkah saja ke belakang. Sedangkan si Singa Gurun sampai terdorong lima langkah. Sementara cahaya merah yang memancar menyelimuti tubuhnya seketika berpendar ke segala arah.

"Hiyaaa...!"

Pada saat itu juga, Rangga kembali menghentakkan kedua tangannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa. Dan seketika itu juga, cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangannya meluruk bagai kilat ke depan. Begitu cepat lesatannya, membuat Singa Gurun tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, dia masih berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Hingga tidak pelak lagi, cahaya biru yang memancar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung menghantam tubuhnya.

Splash!

"Akh...!" Singa Gurun jadi terpekik, dengan tubuh terpental ke belakang sejauh satu batang tombak. Tapi dia tetap berdiri tegak, walaupun seluruh tubuhnya kini terselubung cahaya biru yang terus memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ikh...?!" Singa Gurun jadi terperanjat setengah mati. Cepat seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan untuk melepaskan diri dari belenggu cahaya biru ini. Tapi hatinya semakin terperanjat setengah mati, begitu merasakan aliran yang sangat dahsyat menyedot keluar tenaga dan kekuatannya. Cepat-cepat dia berusaha menahan aliran kekuatan yang tersedot keluar itu, begitu menyadari apa yang terjadi.

Tapi semua sudah terlambat Tenaga dan kekuatannya terus mengalir keluar tanpa dapat dicegah lagi. Dan semakin kuat dia bertahan, semakin deras saja kekuatannya mengalir keluar.

"Hih! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja si Singa Gurun berteriak keras menggelegar, sambil menghentakkan kedua tangannya ke samping. Dan seketika itu juga, dari seluruh tubuhnya memancar cahaya merah yang seakan ingin mendesak cahaya biru yang menyelubungi seluruh tubuhnya ini.

Tampak seluruh tubuh Rangga jadi bergetar. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua tangannya sambil berteriak keras menggelegar, membuat seluruh tubuh Singa Gurun jadi menggeletar hebat bagai terserang demam. Seketika itu juga, cahaya merah yang tadi tiba-tiba memancar dari seluruh tubuhnya, lenyap dari pandangan mata.

"Aaakh...!" Singa Gurun jadi berteriak keras, saat merasakan seluruh otot tubuhnya bagai terhentak. Seakan-akan, tubuhnya akan meledak hancur, dengan kekuatan terus mengalir deras tanpa dapat ditahan lagi.

Sementara, Rangga semakin kuat mengerahkan aji kesaktiannya yang sangat dahsyat dan belum pernah tertandingi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti juga merasakan adanya perlawanan yang begitu kuat, membuat seluruh kekuatannya terpaksa harus dikerahkan untuk terus membelenggu lawannya yang sangat tangguh dan tidak mengenal menyerah ini.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung melesat cepat sekali. Bagaikan kilat tangannya ditarik ke atas. Dan secepat kilat pula, dada lawannya digedor dengan hentakan tangannya. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, membuat si Singa Gurun tidak sempat lagi berkelit. Dan...

Jder!

"Akh...!" Kembali Singa Gurun memekik keras, begitu gedoran kedua tangan Rangga yang terkembang tepat menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuh Singa Gurun terpental deras ke belakang. Dan dua batang pohon yang berada tepat di belakangnya langsung hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.

Bruk!

Keras sekali tubuh berbaju hitam pekat itu menghantam tanah, membuat pekikan tertahan kembali terdengar. Tampak si Singa Gurun bergulingan beberapa kali di antara pecahan batang pohon yang terlanda tubuhnya tadi.

Sementara, Rangga hanya memperhatikan dengan kedua kaki berdiri tegak di atas tanah agak terentang sedikit Sedangkan kedua telapak tangannya sudah kembali menyatu rapat di depan dada. Sementara cahaya biru masih terlihat memancar dari sela-sela telapak tangan yang menyatu rapat itu.

Sementara si Singa Gurun tampak berusaha bangkit berdiri kembali. Tapi baru saja mengangkat tubuhnya, segumpal darah kental berwarna kehitaman terpental keluar dari dalam mulutnya. Dan kembali tubuhnya jatuh terguling ke tanah. Seakan-akan seluruh tulang tubuhnya terasakan sudah tercabut keluar. Dan tenaganya benar-benar terkuras habis. Hingga, dia tidak mampu lagi mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Namun Singa Gurun masih terus berusaha bangkit berdiri kembali. Dan dengan susah payah, akhirnya dia bisa juga berdiri, walaupun agak limbung seperti pohon tertiup angin kencang.

Sementara Rangga yang melihat lawannya tidak akan mampu lagi meneruskan pertarungan, segera mencabut kembali aji kesaktiannya yang sangat dahsyat. Perlahan kedua tangannya yang tadi menyatu di depan dada diturunkan, setelah tidak terlihat lagi cahaya biru.

"Kau sudah kalah, Ki...," ujar Rangga datar, tanpa sedikit pun hendak mengecilkan lawannya.

"Kuakui kau memang tangguh, Anak Muda. Aku memang kalah darimu," sahut Singa Gurun langsung mengakui kekalahannya.

Rangga jadi terdiam, begitu teringat perjanjian yang ditawarkan si Singa Gurun sendiri, sebelum memulai pertarungan.

"Mulai sekarang aku menjadi budakmu, Anak Muda. Dan akan menuruti apa saja perintahmu," kata Singa Gurun sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Bangunlah, Ki. Tidak pantas berlaku seperti itu padaku," ujar Rangga jadi merasa jengah sendiri atas sikap lawannya yang kini akan mengabdikan diri padanya.

"Tapi kau sekarang majikanku, Anak Muda. Dan aku harus selalu berada di bawah perintahmu," kata Singa Gurun, tetap berlutut Bahkan kini sudah duduk bersila dengan kepala tertunduk menekuri tanah.

Dan Rangga semakin jengah mendapati sikap seperti ini. Dia tidak pernah memperbudak manusia, dan tidak ingin tersanjung seperti ini. Walaupun si Singa Gurun sendiri sudah mengakui kekalahannya. Bahkan langsung menepati janji yang dibuatnya sendiri sebelum berlangsung pertarungan adu ilmu kesaktian yang membuatnya harus menjadi budak Pendekar Rajawali Sakti.

ENAM

Rangga jadi kebingungan sendiri melihat sikap si Singa Gurun yang tetap akan mengabdi padanya, karena sudah kalah bertarung. Sedangkan Rangga sendiri tidak menginginkan semua ini, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau sampai menolak, sudah barang tentu si Singa Gurun ini akan menghabisi nyawanya sendiri, karena merasa tidak lagi pantas untuk hidup. Apalagi sampai mengingkari perjanjian yang sudah diucapkannya bersama Pendekar Rajawali Sakti.

"Ki, bangkitlah. Aku tidak ingin kau bersikap begitu padaku," kata Rangga meminta.

"Tapi kau sekarang junjunganku, Anak Muda. Sudah sepantasnya aku merendahkan diri padamu," sahut Singa Gurun dengan kepala masih tertunduk menekuri tanah.

"Tidak, Ki. Aku bukan junjunganmu. Kau orang yang bebas, seperti yang lain. Bangunlah..., Ki. Kalau kau memang menganggapku sebagai junjungan, turutilah permintaanku ini," kata Rangga lembut, sambil mengambil pedangnya yang tadi diletakkan di bawah pohon dan langsung dikenakan kembali di punggungnya.

"Baik, Gusti," sahut Singa Gurun.

Rangga jadi tersenyum dipanggil Gusti. Tapi, Rangga pantas dipanggil sebutan itu, karena sebenarnya memang seorang Raja Karang Setra. Hanya saja, tidak pernah mau dipandang sebagai raja, kalau sedang mengembara seperti ini. Sayangnya, kali ini Pandan Wangi tidak ikut mengembara bersamanya. Pandan Wangi sekarang masih berada di Istana Karang Setra. Sementara itu, si Singa Gurun sudah bangkit berdiri kembali. Dan Rangga memandanginya dengan kelopak mata tidak berkedip sedikit pun juga. Ada sesuatu yang dirasakan amat janggal dalam hatinya melihat Singa Gurun yang semula tegar, gagah, dan pemberang, kini begitu layu seperti seorang pesakitan yang harus menjalani hukuman pancung.

"Ki, aku ingin tahu siapa namamu yang sebenarnya. Kalau kau tidak keberatan, sebutkan namamu," pinta Rangga lagi dengan nada suara lembut sekali.

"Apakah itu penting, Gusti?" tanya Singa Gurun seakan enggan untuk menyebutkan nama yang sebenarnya.

"Ya! Sangat penting bagiku. Kau sudah menyatakan pengabdiannya padaku. Rasanya sangat janggal kalau aku tidak tahu namamu," sahut Rangga berlasan.

Sejenak Singa Gurun terdiam, seakan tengah memikirkan permintaan Rangga barusan. Belum pernah ada orang yang menanyakan nama aslinya. Dia sendiri hampir melupakannya, setelah terjun dalam rimba persilatan dan setelah puluhan tahun menyendiri di daerah gurun pasir yang gersang dan tidak ada kehidupan sama sekali. Itu sebabnya, dia selalu dipanggil Singa Gurun. Karena memang berasal dari daerah gurun yang gersang. Bahkan segala tindakannya seperti seekor singa yang tidak pernah memberi ampun sedikit pun pada siapa saja yang mencoba menjajal kepandaiannya. Tapi memang baru kali ini dia dapat ditaklukkan.

"Kau keberatan memberitahukan namamu, Ki...?" desak Rangga tetap lembut nada suaranya terdengar.

"Bramasati...," sahut Singa Gurun pelan, menyebutkan namanya. Begitu pelannya, hampir suaranya tidak terdengar telinga Rangga.

Tapi itu pun sudah cukup jelas bagi Pendekar Rajawali Sakti. Hanya saja, rasanya masih ada ganjalan yang mengganggu hati Pendekar Rajawali Sakti, walaupun sudah tahu nama sebenarnya dari si Singa Gurun ini. Dan Rangga sendiri tidak ingin terus memendam ganjalan dalam hatinya. Terlebih lagi, dia memang ingin tahu siapa sebenarnya laki-laki yang kini sudah menyatakan diri menjadi abdi setianya.

"Ki, aku ingin menguji kesetiaanmu sekali lagi. Kalau kau memang benar ingin mengabdikan hidupmu padaku, kau harus memenuhi permintaanku yang terakhir...," kata Rangga berhati-hati.

"Apa pun permintaanmu akan kuturuti," sahut Bramasati yang selama ini selalu dikenal sebagai Singa Gurun.

"Hm.... Kau selalu menutupi wajahmu dengan kain. Apa aku tidak boleh melihat barang sebentar saja...?" pinta Rangga langsung.

"Oh...?!" Kali ini Bramasati tidak dapat lagi menyembunyikan rasa keterkejutannya mendengar permintaan Rangga yang sama sekali tidak diduga. Hingga untuk waktu yang cukup lama, Bramasati jadi terdiam membisu. Dipandanginya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti dari balik kain kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Dalam keadaan malam yang gelap ini, memang sulit bisa melihat wajah si Singa Gurun ini, kecuali sepasang bola matanya saja yang berwarna kuning kehijauan seperti mata kucing.

"Gusti... Sejak lahir, aku sudah terasing. Dan aku dirawat oleh seseorang yang tidak pernah menunjukkan wajahnya. Sampai dia meninggal pun, aku tidak pernah melihat wajahnya. Sedangkan aku sendiri..." Bramasati tidak meneruskan kata-katanya. Seakan, dia begitu berat untuk memperlihatkan wajahnya pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau sendiri kenapa, Ki...?" desaknya.

"Aku..., aku juga tidak pernah melihat wajahku sendiri selama hidup. Apa lagi memperlihatkannya pada orang lain. Aku tidak tahu, seperti apa wajahku ini. Tapi ayah angkatku yang juga guruku, sudah mengatakan kalau aku tidak seperti manusia pada umumnya. Ada kelainan pada diriku yang tidak boleh diperlihatkan pada orang lain. Dan kelainanku ini akan membawa bencana besar bagi diriku. Tapi, ayah angkatku itu telah berpesan agar aku pergi ke Karang Setra dan langsung menemui rajanya di sana. Katanya, darinya aku bisa memperoleh perlindungan yang tidak akan didapat dari orang lain," jelas Bramasati panjang lebar.

"Perlindungan apa yang kau harapkan, Ki?" tanya Rangga jadi semakin ingin tahu.

"Hidup, Gusti," sahut Bramasati.

"Hidup...?" kening Rangga jadi berkerut

"Benar, Gusti. Dari Raja Karang Setra aku bisa memperoleh kedamaian hidup, tanpa merasa terasing lagi dari dunia ramai. Dan aku harus mengabdi padanya nanti. Tapi sekarang..., semua sudah musnah. Kau dapat mengalahkanku. Dan aku harus mengabdi padamu. Padahal, ayah angkatku mengatakan kalau hanya Raja Karang Setra saja yang bisa mengalahkanku. Bukan orang lain...," jelas Bramasati lagi.

"Kau akan mendapatkan semua keinginanmu itu, Ki. Aku jamin Raja Karang Setra akan menerimamu, kalau memang kau akan mengabdikan hidup padanya," kata Rangga memberi harapan.

"Oh! Lalu..., bagaimana denganmu, Gusti?" tanya Bramasati seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Kau mengabdi padaku, atau Raja Karang Setra sama saja, Ki. Aku juga berasal dari sana. Dan salah satu dari sekian banyak ksatria yang ada di sana adalah aku sendiri. Jadi, tak ada bedanya kalau kau mengabdi padaku atau pada Raja Karang Setra. Tapi memang, sebaiknya kau teruskan semua impianmu itu, Ki. Aku akan mengantarkanmu sampai ke pintu gerbang kota Karang Setra. Bagaimana...?" ujar Rangga memberi harapan pasti.

"Oh... Terima kasih, Gusti. Hatimu sungguh mulia," ucap Bramasati terharu. "Aku berjanji, tidak akan melupakan jasamu ini. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Gusti...."

"Ah, sudahlah...," desah Rangga jadi jengah. Dan kembali mereka terdiam beberapa saat. "Sudah terlalu larut malam. Sebaiknya kita beristirahat saja di sini, Ki. Besok pagi, baru kita pergi ke Karang Setra," kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi sesaat.

"Baik, Gusti," sahut Bramasati dengan sikap hormat Rangga jadi tersenyum kemudian melangkah menghampiri sebatang pohon yang tumbang. Dan tubuhnya dihentakkan di sana, bersandar pada batang pohon itu. Sementara Bramasati mengumpulkan ranting-ranting kering, lalu membuat api unggun untuk mengusir udara malam yang semakin terasa dingin menusuk tulang.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Semalam penuh Rangga sama sekali tidak bisa memicingkan matanya. Sedangkan Bramasati yang selama ini selalu dikenal sebagai Singa Gurun langsung terlelap dalam buaian mimpi. Hingga matahari menampakkan diri di ufuk timur, sama sekali Rangga tidak bisa memejamkan mata. Dan dia hanya menyegarkan wajahnya dengan air embun yang menempel pada permukaan dedaunan. Pendekar Rajawali Sakti hanya melirik sedikit, saat Bramasati menggeliat bangun. Dia tampak terkejut juga melihat Rangga sudah duduk bersila di bawah pohon, seperti sedang bersemadi.

"Kau tidak tidur semalam, Gusti...?" tegur Bramasati.

鈥淭idak," sahut Rangga singkat. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti mengangkat kepalanya, langsung menatap Bramasati yang berdiri tidak jauh di depannya.

"Ki Bramasati.... Sebaiknya kau tidak memanggilku dengan sebutan gusti. Panggil saja aku Rangga," pinta Rangga.

"Tapi, Gusti.... Kau adalah junjunganku sekarang."

"Bagiku, tidak ada junjungan atau apa pun juga. Aku ingin antara kita terjalin satu persahabatan. Bahkan kalau perlu mengikat tali persaudaraan. Itu lebih baik daripada kau menganggapku junjungan," jelas Rangga meminta lagi.

Bramasati jadi terdiam. "Baiklah, kalau memang itu yang kau inginkan, Rangga," ujar Bramasati.

Rangga tersenyum dan menganggukkan kepala sedikit. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, dan merapikan diri sebentar. Sejenak ditatapnya Bramasati yang masih tetap menunggu dengan setia. Kemudian, sebentar ditatapnya matahari yang kini sudah naik cukup tinggi, membuat keadaan di dalam hutan ini jadi terang benderang. Agak terkejut juga Rangga melihat keadaan hutan yang hancur porak poranda, akibat pertarungan dengan si Singa Gurun itu semalam.

"Ayo, Ki. Aku akan mengantarkanmu sampai ke gerbang masuk kota Karang Setra," ajak Rangga.

Bramasati hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian, mereka berdua berjalan bersisian tanpa mengeluarkan suara lagi. Mereka berjalan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah sangat jauh meninggalkan hutan yang hancur porak poranda itu. Cepat sekali mereka berjalan, seakan tidak menjejak tanah sedikit pun juga. Hingga sebentar saja, mereka sudah keluar dari dalam hutan ini.

Tapi belum jauh mereka keluar dari dalam hutan, mendadak saja bermunculan orang-orang dari balik semak belukar dan pepohonan. Cukup lama juga jumlahnya. Dan dalam waktu singkat, mereka sudah terkepung rapat. Sehingga, tidak ada celah sedikit pun untuk bisa meloloskan diri. Baik Rangga maupun Bramasati sudah bisa tahu apa maksud orang-orang ini mengepungnya. Dari sikap mereka pun sudah bisa dipastikan, kalau mereka sama sekali tidak bermaksud bersahabat. Terlebih, mereka semua sudah menghunus senjata masing-masing.

鈥淭ampaknya, di mana pun kau berada sudah dinanti, Ki," kata Rangga agak berbisik suaranya terdengar.

"Ya.... Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka begitu benci dan memusuhiku. Padahal, aku sama sekali tidak pernah merugikan orang lain. Aku membunuh hanya karena membela diri," sahut Bramasati bemada mengeluh.

"Aku mengerti, Ki. Tapi, mungkin latar belakangmu membuat mereka ingin melenyapkanmu," kata Rangga menduga-duga.

"Entahlah.... Aku sendiri tidak tahu," sahut Bramasati mendesah.

Sementara orang-orang yang tampaknya dari kalangan rimba persilatan itu mulai bergerak mendekati, hingga kepungan semakin bertambah rapat saja. Tidak ada seorang pun yang berbicara. Tapi dari pandangan mata yang tajam, begitu jelas tersirat kalau mereka ingin membunuh si Singa Gurun Dan tiba-tiba saja...

"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Begitu salah seorang berteriak memberi perintah, seketika itu juga mereka berlompatan sambil berteriak-teriak menyerang serentak dari segala arah. Dan untuk sesaat Rangga maupun Bramasati jadi terhenyak kaget Tapi, tidak ada waktu lagi untuk mencegah pertumpahan darah ini. Mereka segera berlompatan memisahkan diri, menyambut serangan orang-orang yang berjumlah lebih dari dua puluh orang ini.

"Buat mereka lumpuh saja, Ki...!" seru Rangga keras, sambil merundukkan kepala menghindari sambaran sebuah golok yang berkelebat cepat mengarah ke kepalanya.

Bet!

"Hih...!" Cepat sekali Rangga mengibaskan tangan kirinya, dan langsung menghajar perut orang yang menyerangnya. Begitu cepat kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, hingga tidak dapat dihindari lagi. Seketika orang itu melenguh pendek, terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh terbungkuk. Pada saat itu, Rangga sudah melayangkan satu pukulan keras yang tak disertai pengerahan tenaga dalam sedikit pun juga. Dan pukulan itu tepat menghantam wajah orang ini.

Seketika terdengar jeritan kesakitan dari orang yang menutupi wajahnya akibat terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak darah merembes keluar dari sela-sela jari tangannya. Walaupun tidak disertai pengerahan tenaga dalam, tapi pukulan Rangga memang sangat keras!

"Hiyaaat..!" Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali tubuhnya melesat cepat sambil melepaskan beberapa kali pukulan yang keras, diselingi tendangan dahsyat. Rangga memang sengaja hanya ingin melumpuhkan lawan-lawannya, tanpa harus membunuh.

Sementara di tempat lain, tampak Bramasati juga tidak bisa lagi dibendung lawan-lawannya. Gerakannya begitu cepat dan sulit diikuti pandangan mata biasa. Setiap pukulan maupun tendangannya, tidak dapat lagi dihindari. Tapi, tampaknya dia tidak menghiraukan peringatan Rangga. Semua lawannya dihajar habis tanpa sedikit pun diberi ampun. Semua pukulan dan tendangannya mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa bangkit kembali terkena hajaran si Singa Gurun ini.

Begitu tangguhnya dia, hingga dalam waktu yang tidak begitu lama sudah tidak ada seorang lawan pun yang bisa bangkit berdiri. Mereka semua tewas dengan luka mengerikan dan tubuh bersimbah darah. Sedangkan tidak ada satu pun dari lawan Pendekar Rajawali Sakti yang tewas. Mereka hanya dibuat lumpuh untuk sementara, hingga tidak dapat lagi meneruskan pertarungan.

"Kenapa kau bunuh mereka, Ki...?" tegur Rangga saat pertarungan sudah berakhir.

"Kalau bukan mereka yang mati, tentu aku yang akan mati, Rangga," sahut Bramasati agak ketus nada suaranya.

鈥淭api kau bisa membuat mereka tidak berdaya saja, Ki. Lumpuhkan saja mereka dan tidak perlu membunuh," kata Rangga lagi.

Bramasati terdiam membisu. Dipandanginya lawan-lawannya yang sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Dan ketika melihat pada lawan-lawan Pendekar Rajawali Sakti, terdengar suara dengusan kecil dari hidungnya. Tidak satu pun dari mereka yang terlihat mati. Mereka hanya dibuat tidak berdaya, dan masih dalam keadaan hidup.

"Ayo, kita tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.

Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga, Bramasati langsung saja mengayunkan kakinya mengikuti Rangga yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkan tepian hutan yang menjadi ajang pertarungan tadi. Mereka memang tidak tahu, siapa orang-orang yang menyerang itu. Dan itu sebabnya, kenapa Rangga tidak ingin mereka mati.

Rangga tahu, mereka hanya terpengaruh omongan orang, kalau si Singa Gurun adalah makhluk ganas yang harus dibasmi. Mereka tidak tahu, siapa sebenarnya si Singa Gurun ini. Dan Rangga sudah bisa mendapatkan cara untuk melenyapkan anggapan buruk semua orang pada si Singa Gurun ini.

"Ki.... Boleh aku bertanya sedikit padamu...?" ujar Rangga meminta, setelah mereka berjalan cukup jauh.

"Apa yang ingin kau ketahui, Rangga?" tanya Bramasati datar suaranya.

"Sudah berapa lama kau tinggalkan tempat tinggalmu di padang pasir?" tanya Rangga langsung mengemukakan rasa ingin tahunya.

"Lebih dari satu tahun," sahut Bramasati.

"Hm.... Selama itu, kau mengembara untuk ke Karang Setra...?"

"Ya."

"Lalu, kau tahu di mana letaknya Kerajaan Karang Setra?"

Bramasati hanya menggelengkan kepala.

"Karang Setra sudah tidak jauh lagi dari sini, Ki. Hanya membutuhkan tiga hari perjalanan saja, dan kau akan sampai di sana," kata Rangga memberitahu.

"Hm...," Bramasati menggumam sedikit.

"Dan selama tiga hari sebelum sampai di Karang Setra, rasanya masih banyak rintangan yang akan kau hadapi. Melihat dari banyaknya orang yang datang mencarimu dan ingin membunuhmu, aku merasa ada sesuatu yang membuat mereka begitu menginginkan kematianmu. Kau tahu, apa sebabnya mereka selalu memburu dan ingin membunuhmu...?" ujar Rangga kembali bertanya menyelidik ingin tahu.

Dan Bramasati tidak langsung menjelaskan. Dia terdiam beberapa saat, seperti tengah memikirkan jawaban yang akan diberikan Pendekar Rajawali Sakti.

Sedangkan Rangga tetap menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Dia memang harus tahu semua persoalannya, untuk bisa menolong si Singa Gurun. Terlebih lagi, namanya sudah begitu rusak. Sehingga, semua orang hanya tahu kalau si Singa Gurun ini adalah yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Mereka menganggap, Singa Gurun adalah sosok makhluk setengah iblis yang datang dari neraka. Tapi anehnya justru mereka yang memburu adalah orang-orang rimba persilatan yang golongan hitam. Dan hanya beberapa orang saja yang berasal dari golongan putih.

"Terus terang, Rangga. Aku sendiri tidak tahu, kenapa semua orang membenciku dan ingin membunuhku. Sejak meninggalkan gurun pasir tempat tinggalku, mereka langsung memburuku. Sepertinya, aku ini binatang buruan yang sangat berbahaya bagi manusia. Aku benar-benar tidak tahu, Rangga. Semula, aku memang tidak ingin membunuh mereka. Tapi semakin banyak saja yang memburuku, dan benar-benar ingin membunuhku. Dan ini membuatku kesal, hingga tidak mau lagi membiarkan mereka hidup," jelas Bramasati.

"Selama pergi mengembara, tentu sudah banyak lawanmu yang mati. Dan, tidak sedikit dari mereka adalah tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi. Maka sudah tentu yang lain jadi penasaran, ingin mencoba kedigdayaanmu, Ki. Coba kau sedikit menahan diri, dan tidak perlu membunuh semua lawan yang dihadapi. Tentu pandangan orang pada dirimu akan lain. Dan aku percaya, tidak sedikit orang yang berada di pihakmu," kata Rangga seperti menyesali perbuatan si Singa Gurun.

"Aku kesal, Rangga," dengus Bramasati.

"Aku bisa mengerti perasaanmu, Ki. Tapi, cobalah. Selama aku bersamamu, bisa kendalikanlah sedikit perasaan amarahmu. Kalau nanti ada lagi orang yang ingin mencoba kedigdayaanmu, buat lumpuh saja. Jangan dimatikan," kembali Rangga menasihati. "Semua lawanmu pasti akan berpikir lain. Dan mereka tentu tidak akan berani lagi menantangmu. Percayalah padaku, Ki.... Aku yakin, kau akan bisa hidup damai tanpa harus mengotori tanganmu dengan darah secara percuma."

"Kau masih muda, Rangga. Tapi arif sekali Beruntunglah aku bisa menjadi sahabatmu," ujar Bramasati.

"Ah, sudahlah... Yang penting sekarang, kau harus bisa merubah semua sikap dan tindakanmu. Tunjukkan kalau kau tidak seburuk yang disangka orang. Tunjukkan kalau kau bisa berguna. Apalagi, kalau bisa bersikap seperti layaknya seorang pendekar, yang selalu membela kaum lemah. Orang akan berbalik memandangmu, Ki..."

Bramasati hanya diam saja mendengarkan semua petuah Pendekar Rajawali Sakti. Mungkin dia sedang memikirkan semua kata-kata yang diucapkan Rangga barusan. Kata-kata yang memiliki arti sangat dalam jika direnungkan. Tampak kepalanya perlahan bergerak terangguk-angguk. Dan Rangga juga tidak berbicara lagi. Mereka terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan, semakin jauh meninggalkan hutan. Sementara, matahari terus bergerak naik semakin tinggi, memancarkan cahayanya yang begitu terik menyengat kulit.

"Tidak jauh lagi, di depan sana ada desa. Kita bisa beristirahat dan mengisi perut," kata Rangga memberitahu, sambil menunjuk ke sebuah bukit kecil yang menghadang di depan dan tidak tahu lagi jaraknya.

"Apa ada jalan lain lagi, Rangga?" tanya Bramasati.

"Maksudmu...?" Rangga tidak mengerti.

"Aku selalu menghindari desa mana pun juga."

"Kenapa?"

"Semua orang yang melihatku selalu ketakutan. Dan setiap desa yang kumasuki, selalu terjadi keributan. Semua orang membenciku, Rangga. Aku tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah dari orang-orang desa," jelas Bramasati.

"Tapi kenapa mereka membencimu, Ki? Apa kau...?" Rangga tidak meneruskan pertanyaannya. Pendekar Rajawali Sakti langsung berhenti melangkah, dan memutar tubuhnya sedikit. Dipandanginya bagian kepala si Singa Gurun yang selalu tertutup kain hitam ini. Tampak kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut, seakan ingin menembus selubung kain hitam yang menutupi seluruh kepalanya dan wajah si Singa Gurun itu. Tapi hanya bayangan hitam saja yang terlihat.

"Kau akan tahu jawabannya kalau sudah tahu seperti apa aku ini, Rangga," kata Bramasati agak dalam nada suaranya.

"Kau berjalan dengan dua kaki dan memiliki tangan. Kau juga bisa berbicara. Apa anehnya pada dirimu, Ki...?" ujar Rangga semakin tidak mengerti.

"Kau lihat ini, Rangga..."

"Oh...?!"

Kedua bola mata Rangga kontan jadi terbeliak dengan mulut ternganga. Seakan tidak dipercayai apa yang disaksikan ini. Bramasati yang dikenal berjuluk Singa Gurun dan selalu mengenakan kain selubung hitam itu, kini membuka kain hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Hingga kini, tampak jelas seperti apa raut wajahnya. Inilah yang membuat Rangga jadi terperanjat setengah mati. Tidak disangka kalau kepala dan wajah Bramasati bukan kepala dan wajah manusia, melainkan kepala dan wajah seekor singa yang sangat menyeramkan.

Meskipun, seluruh tubuhnya berbentuk manusia. Hanya sebentar saja Bramasati membuka kain hitam yang menyelubungi seluruh kepala dan wajahnya yang mengerikan. Kembali dikenakannya kain hitam itu untuk menutupi wajahnya. Tapi itu sudah membuat Rangga jadi terpana, tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata sedikit pun.

Hingga untuk beberapa saat, Pendekar Rajawali Sakti jadi terdiam membisu. Dan terus memandangi si Singa Gurun ini, seakan masih belum percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya tadi. Sungguh sukar diterima akal pikiran manusia biasa. Bramasati yang bertubuh manusia dan memiliki kepandaian seperti layaknya manusia, tapi kepala dan wajahnya adalah seekor singa mengerikan.

"Sekarang kau sudah tahu, kenapa aku selalu menghindari orang, Rangga. Wajahku yang tidak seperti layaknya orang kebanyakan inilah yang membuatku tidak bisa hidup layak," kata Bramasati datar.

Sedangkan Rangga hanya bisa diam membisu. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya, karena sama sekali tidak menduga kalau Bramasati adalah manusia setengah singa. Semula Rangga hanya menduga kalau julukan Singa Gurun hanya berupa julukan belaka, seperti layaknya para tokoh rimba persilatan. Tapi, rupanya julukan itu karena memang seluruh kepala dan wajah Bramasati adalah berbentuk kepala singa yang sangat mengertikan.

"Kelainan yang ada pada diriku inilah yang membuat semua orang memusuhiku. Mereka menganggap, aku ini jelmaan iblis yang akan menghancurkan dunia. Padahal, aku sama seperti mereka. Aku hanya manusia biasa. Hanya kepalaku saja yang berupa kepala singa," sambung Bramasati, seakan mengeluh dengan keadaannya yang tidak wajar ini.

"Aku bisa merasakan penderitaanmu, Ki," desah Rangga pelan.

"Sebenarnya, aku ingin seperti manusia wajar. Aku juga tidak ingin mempunyai kepala singa seperti ini," keluh Bramasati lagi.

"Tapi itu sudah takdir, Ki. Baik maupun buruk, kau harus menerimanya."

鈥淵a! Aku memang harus menerima kenyataan ini. Dengan kepala singa, aku harus bisa bertahan hidup. Walaupun, tidak ada seorang pun yang mau menerimaku. Tapi aku punya harapan untuk bisa kembali wajar seperti orang lain, Rangga," kata Bramasati lagi.

"Kau bisa merubah wajahmu, Ki...?"

鈥淵a.... Dengan bantuan Raja dari Karang Setra," sahut Bramasati mantap.

"Raja Karang Setra...?" Entah kenapa, detak jantung Rangga tiba-tiba jadi lebih cepat dari semula. Dan seluruh aliran darahnya terasa berdesir cepat, mendengar penuturan si Singa Gurun.

"Raja Karang Setra hanya manusia biasa, Ki. Rasanya tidak mungkin bisa merubah wajahmu," kata Rangga, dengan dada masih berdebar.

鈥淭api ayah angkatku mengatakan, kalau wajahku ini bisa berubah dengan bantuan Raja Karang Setra, Rangga. Dan aku harus menemuinya, sebelum mati tercincang oleh orang-orang yang membenciku," kata Bramasati tegas.

"Dengan cara apa dia bisa merubah wajahmu, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.

"Menurut ayah angkatku, memang bukan Raja Karang Setra sendiri yang melakukannya. Tapi, gurunya yang sudah meninggal seratus tahun lalu," sahut Bramasati.

"Orang yang sudah mati tidak akan bisa berbuat apa-apa, Ki."

鈥淭api dia tidak, Rangga. Dia seorang manusia sakti laksana dewa. Kalau aku sudah bertemu Raja Karang Setra, aku akan memintanya untuk membawaku pada makam gurunya di Lembah Bangkai."

"Ah! Tampaknya kau sudah tahu banyak tentang dia, Ki," desah Rangga.

鈥淭idak begitu banyak, Rangga."

"Lalu, apa kau tahu namanya?" tanya Rangga lagi.

Bramasati menggeleng sambil menghembuskan napas panjang terasa begitu berat. Beberapa saat dia terdiam. Sementara, Rangga masih menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

"Sayang, ayah angkatku tidak mengatakan siapa namanya. Tapi aku tahu, dia bukan hanya seorang raja. Dia juga seorang pendekar yang tangguh dan digdaya. Kalau tidak salah dengar, julukannya Pendekar Rajawali Sakti," kata Bramasati, agak ragu-ragu.

Saat itu Rangga jadi terdiam. Entah, apa yang ada dalam benaknya saat ini. Tapi yang jelas, terbetik tekad untuk membantu si Singa Gurun ini mewujudkan impiannya. Hanya saja, dia sulit menentukan, apakah akan membawa si Singa Gurun ini ke makam Pendekar Rajawali yang sudah meninggal seratus tahun lalu...?

Sedangkan selama ini, tidak ada seorang pun yang tahu. Dan Rangga sendiri tidak pernah menceritakan tentang makam di Lembah Bangkai pada siapa pun juga. Dia terus merahasiakannya sampai saat ini, karena tidak ingin ada tangan-tangan kotor yang merusak kedamaian makam gurunya. Sedangkan dia sendiri, memperoleh ilmu-ilmu Rajawaii Sakti tidak langsung dari pemiliknya. Rangga hanya mempelajari dari kitab-kitab yang ditemukannya di dasar Lembah Bangkai. Dan hanya seekor burung rajawali raksasa saja yang menjadi pembimbingnya.

"Ki Bramasati.... Bila kau memang benar percaya kalau Raja Karang Setra mau mengantarkanmu ke Lembah Bangkai, tentunya kau sudah memiliki persiapan cukup," ujar Rangga berhati-hati.

"Apa pun yang diinginkannya, aku bersedia melaksanakan, Rangga," sahut Bramasati mantap.

鈥淭api yang kutahu, tidak mudah untuk bisa sampai ke sana, Ki. Sedangkan selama ini, tak ada seorang pun yang bisa mencapai dasar Lembah Bangkai," kata Rangga menjelaskan.

"Rintangan apa pun akan kuhadapi, Rangga. Berbulan-bulan aku menjelajah, hanya untuk bertemu Raja Karang Setra. Dan aku tidak ingin mati di tengah jalan. Aku sudah bertekad harus berhasil..."

"Kalau memang itu tekadmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi, sebaiknya kau tidak perlu menemui Raja Karang Setra, Ki," ujar Rangga.

"Kenapa...?" tanya Bramasati.

"Sekarang, dia tidak ada di istananya. Dia sedang mengembar entah ke mana. Tapi kalau kau memang ingin ke Lembah Bangkai, aku bisa mengantarkanmu ke sana. Hanya saja, aku tidak bisa terus mengikutmu menuruni lembah itu," kata Rangga lagi.

"Aku akan berterima kasih sekali, kalau kau bersedia mengantarkanku ke sana, Rangga. Bagiku, siapa pun yang tahu letak Lembah Bangkai, tidak menjadi persoalan. Asalkan, aku bisa sampai ke sana dan merubah wajahku yang memuakkan ini," kata Bramasati mantap.

"Baiklah, Bramasati. Ayo, kuantarkan kau ke sana," ajak Rangga agak mendesah suaranya.

Dan mereka kembali melangkah tanpa berbicara lagi. Tapi, terlihat kening Rangga sedikit berkerut, pertanda sedang meruikirkan sesuatu. Entah apa yang menjadi beban pikirannya saat ini. Sedangkan Bramasati juga tidak berbicara lagi, dan terus berjalan mantap. Keyakinannya begitu kuat untuk bisa mengembalikan wajahnya agar seperti orang sebagaimana mestinya. Tidak dengan wajah singa seperti sekarang ini.

********************

Memang tidak mudah untuk bisa sampai ke Lembah Bangkai. Bukan hanya jalannya yang suht dilalui, tapi masih saja ada orang-orang yang menginginkan kematian si Singa Gurun ini. Hingga setiap saat mereka berdua harus bertarung, mempertahankan selembar nyawa. Tapi kali ini, Bramasati mengikuti perkataan Rangga untuk tidak membunuh setiap lawan. Mereka hanya dibuat lumpuh, untuk sementara waktu saja.

Namun semakin dekat ke Lembah Bangkai, semakin jarang rintangan yang didapati dari orang-orang yang menginginkan kematian si Singa Gurun ini. Entah kenapa, nama Lembah Bangkai terasa begitu mengerikan bagi semua orang. Bahkan tokoh-tokoh persilatan kelas tinggi pun enggan untuk menginjakkan kakinya di sekitar lembah yang angker ini.

Dan setelah mereka menempuh perjalanan selama tujuh hari, baru tiba di Lembah Bangkai yang merupakan sebuah jurang yang sangat dalam bagai tidak ada dasarnya. Kabut tebal yang menyelimuti lembah itu membuat keadaannya semakin mengerikan. Bramasati sendiri terlihat ragu-ragu untuk menuruni lembah itu. Terlebih lagi, saat ini senja sudah jauh merayap turun ke kaki langit. Dan tidak lama lagi, matahari akan tenggelam, mengakhiri masa tugasnya dalam menerangi mayapada ini.

Suasana yang temaram membuat keadaan di pinggiran jurang Lembah Bangkai semakin menyeramkan. Jeritan binatang malam pun mulai terdengar, membuat jantung Bramasati semakin cepat berdetak. Sedangkan Rangga sejak tadi hanya diam saja, seperti ada sesuatu yang terus mengganjal dalam hatinya.

"Di dalam jurang ini letak makam Pendekar Rajawali," ujar Rangga pelan memberitahu.

鈥淵a.... Keadaannya sama seperti yang ada dalam mimpiku," desah Bramasati.

"Mimpi...?" kening Rangga jadi berkerut

"Sebelum ayah angkatku meninggal, aku selalu bermimpi bertemu seseorang di tempat ini. Begitu seringnya, hingga aku hafal betul seluk beluknya. Dialah yang menuntunku masuk ke dalam jurang ini. Di sana nanti, aku bisa merubah wajahku agar kembali menjadi manusia biasa," jelas Bramasati.

"Seperti apa rupa orang yang ada dalam mimpimu?" tanya Rangga dengan dada berdebar kencang.

"Sepertimu, Rangga," sahut Bramasati. 鈥淭api dia memakai jubah putih panjang, dan tidak membawa pedang. Dan di kepalanya mengenakan mahkota yang sangat indah. Dia seorang raja, juga seorang pendekar digdaya yang sulit dicari tandingannya. Sayangnya, orang itu tidak banyak bicara, dan hanya mengatakan kalau dirinya adalah seorang Raja Karang Setra. Katanya, dia yang akan membawaku menemui mendiang Pendekar Rajawali. Di sana nanti, aku akan bertemu Pendekar Rajawali, setelah melakukan semadi selama tujuh hari," jelas Bramasati.

Rangga kembali terdiam, semakin tidak mengerti semua kejadian ini? Jelas sekali kalau orang yang berada dalam mimpi Bramasati adalah dirinya sendiri. Dan Rangga memang selalu mengenakan jubah putih panjang, kalau sedang bersemadi untuk menyempurnakan kekuatan tenaga dalamnya. Dia juga mengenakan mahkota, kalau berada di Istana Karang Setra. Karena selain pendekar, Rangga juga Raja Karang Setra.

Tapi apakah memang Rangga yang akan menunjukkan jalan untuk masuk ke dalam jurang Lembah Bangkai ini pada Bramasati...? Rangga sendiri tidak tahu, karena juga belum meminta izin pada gurunya untuk membawa Bramasati memasuki jurang di Lembah Bangkai.

Sedangkan Bramasati sendiri begitu yakin, kalau akan kembali wajar menjadi manusia seutuhnya di Lembah Bangkai ini. Hanya berbekal mimpi dan petunjuk mendiang ayah angkatnya, Singa Gurun melakukan perjalanan jauh yang panjang dan melelahkan. Bahkan sampai menghadapi segala macam bentuk rintangan yang menghadang. Dan sekarang, dia sudah berada di tempat yang selalu hadir dalam mimpinya. Tempat yang akan membuatnya jadi manusia biasa, tidak dengan kepala singa yang mengerikan.

Dan itu membuat hati Rangga jadi tersentuh. Sebagai seorang pendekar, tentu Rangga akan berbuat apa saja demi membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Walau, apa pun tantangan yang akan dihadapi. Nyawa sekalipun akan dipertaruhkan.

"Ki Bramasati... Aku sudah memenuhi janjiku untuk membawamu ke Lembah Bangkai ini. Sekarang, aku mohon kau rela melepaskanku pergi,." ujar Rangga meminta diri.

"Kau akan ke mana, Rangga?" tanya Bramasati, seperti berat melepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga tersenyum sambil menepuk bahu orang berkepala singa ini. Walaupun sekarang Bramasati sudah tidak lagi mengenakan kain kerudung hitamnya, tapi kini kepala yang menyerupai singa itu tidak lagi mengerikan di mata Rangga. Bahkan kini sangat akrab dalam pandangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Baiklah, Rangga. Aku bisa mengerti. Memang tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam jurang ini. Aku sendiri belum tentu, apa yang akan terjadi pada diriku. Tapi, aku akan menunggu sampai orang yang ada dalam mimpi itu muncul dan membawaku ke sana," kata Bramasati bisa memahami.

"Aku pergi dulu, Sahabat...! Aku berharap, kita bisa bertemu lagi kelak," ujar Rangga.

Mereka saling berpelukan dengan hati sudah terpaut bagai dua orang saudara. Terasa berat sekali mereka melepaskan pelukan. Dan beberapa saat, mereka saling berpandangan tanpa ada seorang pun yang berkata-kata. Dan Rangga cepat memutar tubuhnya berbalik, sebelum ada pikiran lain yang melintas di dalam benaknya. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat pergi, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan mata si Singa Gurun.

"Aku tidak bisa membalas budi baikmu, Rangga. Biarlah sang Hyang Widhi yang membalas semua kebaikanmu...," desah Bramasati pelan.

Beberapa saat si Singa Gurun masih berdiri diam seperti patung, memandang ke arah kepergian Rangga tadi Walaupun, bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tidak terlihat lagi. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling, lalu melangkah mendekati sebuah batu besar yang permukaannya datar. Bramasati naik ke atas batu itu, lalu duduk bersila di sana. Sebentar jalan pernapasannya diatur, kemudian mulai melakukan semadi untuk menunggu orang yang selalu hadir dalam mimpinya, yang akan membawanya masuk ke dalam jurang Lembah Bangkai.

********************

Sementara itu Rangga sendiri sebenarnya tidak pergi dari Lembah Bangkai ini. Dari tempat yang tersembunyi, Pendekar Rajawali Sakti terus memperhatikan Bramasati yang kini sudah duduk bersemadi di atas sebongkah batu besar yang datar permukaannya. Cukup lama juga Rangga memperhatikan dengan pikiran terus berkecamuk tidak menentu.

Sementara, suasana di Lembah Bangkai ini sudah mulai diselimuti kegelapan. Langit pun mulai ditaburi cahaya bintang dan rembulan. Angin yang bertiup mulai terasa dingin, membawa butir-butir embun yang membasahi permukaan dedaunan. Namun, Rangga melihat kalau si Singa Gurun masih saja tetap duduk bersila melaksanakan semadi di atas batu pipih, dekat bibir jurang di Lembah Bangkai ini. Terasa begitu sunyi keadaannya, hingga gerit serangga malam terdengar jelas bercampur raungan anjing-anjing hutan kelaparan.

Suasana di Lembah Bangkai ini memang sangat mengerikan, hingga tidak ada seorang pun yang berniat datang ke tempat ini. Jangankan malam hari, siang hari pun tidak ada yang suka menginjakkan kakinya ke tempat ini. Entah, apa yang ditakutkan. Mungkin karena keadaannya yang memang sangat mengerikan.

"Kasihan juga dia. Apa yang harus kuperbuat sekarang...? Dia tidak mungkin bisa mewujudkan impiannya tanpa bantuanku. Tapi, apa mungkin aku membawanya menemui Eyang Guru Rajawali...?" desis Rangga bicara pada diri sendiri di dalam hati.

Memang sangat sulit pilihan yang harus dihadapi Rangga saat ini. Dalam hati sanubarinya, dia memang tidak tega melihat Bramasati. Tapi juga kagum melihat kegigihannya untuk menjadi manusia wajar, seperti layaknya manusia di dunia ini. Tapi Rangga tidak bisa sembarangan begitu saja, membawa orang lain ke dasar jurang Lembah Bangkai. Walaupun Rangga sudah bisa menilai wataknya, tapi tetap tidak bisa berbuat semaunya sendiri. Dia sangat menghormati pusara gurunya. Bahkan tidak ingin ada orang lain yang datang ke sana, apa lagi dengan maksud buruk.

"Ah! Apa tidak lebih baik aku tanyakan dulu pada Rajawali Putih...?" desah Rangga lagi di alam hati.

Mendapat pikiran seperti itu, Rangga segera melangkah mendekati bibir jurang dari arah lain, dan cukup jauh dari tempat Bramasati bersemadi. Tapi sejenak Pendekar Rajawali Sakti diam termangu, memandang ke dalam jurang. Tidak mungkin memanggil Rajawali Putih dengan siulannya yang mungkin bisa membangunkan semadi Bramasati. Sedangkan untuk turun sendiri ke dalam jurang ini, Rangga belum pernah melakukannya secara sengaja. Dia merasa tidak mungkin bisa mencapai ke dasar jurang yang sangat dalam ini dengan selamat, kalau tetap mencoba untuk turun.

Rangga jadi kebingungan sendiri, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Walaupun Rangga besar di dalam jurang ini, tapi berada di sana bukan karena keinginannya sendiri. Peristiwa pahit yang membuatnya terlempar jatuh ke dalam jurang Lembah Bangkai ini tidak akan pernah terlupakan seumur hidupnya. Meski semua perlakuan si Iblis Lembah Tengkorak pada ibunya sudah dibalas, tapi tetap terbayang jelas di pelupuk matanya.

Dan di saat Pendekar Rajawali Sakti tengah kebingungan, dan terbayang kembali peristiwa pahit di masa kecilnya di lembah ini, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih yang besar melesat keluar dari dalam jurang di depannya. Seketika Rangga jadi tersentak kaget, tapi cepat bisa menguasai keterkejutannya. Kini dia tahu, apa yang melesat keluar bagai kilat dari dalam jurang.

"Rajawali Putih..," desis Rangga.

"Khrrrkh...!"

"Oh...! Rupanya kau bisa merasakan bisikan hatiku, Rajawali. Terima kasih... Aku memang membutuhkan pertolonganmu. Tapi, kali ini tidak seperti biasanya," ujar Rangga seakan bisa memahami arti suara burung rajawali putih raksasa itu.

"Khrgkh...!"

"Oh, Eyang Guru sudah menungguku...?" Rangga tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.

Dan dia cepat melompat, naik ke punggung burung rajawali raksasa ini setelah diminta naik. Dan sebentar kemudian, mereka sudah meluruk turun, masuk ke dalam jurang yang sangat dalam dan selalu terselimut kabut tebal. Dan kini mereka sudah tenggelam, tidak terlihat lagi.

DELAPAN

Rangga jadi terkejut setengah mati, begitu keluar dari dalam jurang Lembah Bangkai bersama Rajawali Putih. Di pinggiran jurang itu, terlihat Bramasati sedang bertarung menghadapi keroyokan puluhan orang yang ingin membunuhnya. Tampak kalau si Singa Gurun itu sangat terdesak dikeroyok puluhan tokoh persilatan tingkat tinggi. Bahkan sudah terdesak sampai ke bibir jurang.

"Enyahkan mereka, Rajawali! Hiyaaat...!" seru Rangga sambil melompat dari punggung burung rajawali raksasa yang ditunggangi.

"Khraaagkh...!"

Kemunculan Rangga yang menunggang burung rajawali raksasa, tentu saja membuat semua orang jadi tersentak kaget setengah mati. Bahkan Bramasati sendiri jadi terlongong bengong, seakan tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Dan sebelum ada seorang pun yang terbangun dari keterkejutannya, Rangga sudah melesat cepat menerjang. Bahkan Rajawali Putih juga ikut menerjang dengan kepakkan kedua sayapnya yang kuat, sambil berteriak-teriak keras menggelegar, memekakkan telinga.

鈥淧ergi kalian! Jangan kotori tempat ini...!" bentak Rangga lantang menggelegar.

Dan orang-orang yang tadi mengeroyok Bramasati, seketika jadi kelabakan menghindari terjangan Rangga dan Rajawali Putih tunggangannya. Sementara Bramasati jadi terdiam, karena tidak ada seorang pun yang menyerangnya kembali. Dan dia hanya bisa berdiri terpaku, memandangi sepak terjang Rajawali Putih dan Rangga yang kini mengenakan baju jubah putih panjang seperti pertapa, tanpa pedang lagi tersampir di punggung. Begitu hebatnya terjangan mereka, membuat orang-orang itu tidak dapat lagi membendung. Dan mereka seketika berhamburan, berlari meninggalkan Lembah Bangkai.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas berat, setelah tidak ada seorang pun di sekitar Lembah Bangkai ini lagi. Tubuhnya segera berbalik, langsung menatap Bramasati yang masih tetap berdiri mematung memandanginya di bibir jurang. Sementara, Rajawali Putih sudah berdiri angker di belakang Pendekar Rajawali Sakti yang kini mengenakan jubah putih panjang, tanpa pedang yang ditinggalkan di dasar jurang Lembah Bangkai. Perlahan Rangga melangkah menghampiri si Singa Gurun yang masih terpana, seakan sedang bermimpi melihat Rangga datang dengan rupa sama persis seperti yang ada dalam mimpinya.

"Eyang..., terimalah sembahku ini," ucap Bramasati sambil menjatuhkan diri berlutut, merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Tidak perlu kau bersikap begitu padaku, Ki. Pandanglah aku baik-baik. Siapa aku ini...," ujar Pendekar Rajawali Sakti lembut, sambil tersenyum manis.

Bramasati jadi terkejut, mendengar suara yang sudah sangat dikenalnya. Dan matanya jadi terbeliak, begitu wajahnya terangkat, memandang wajah Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh tidak disangka kalau yang berdiri di depannya ternyata Rangga yang sudah dikenalnya. Hanya saja sekarang, pemuda itu muncul dengan mengenakan jubah putih panjang seperti dewa yang turun dari langit, menunggang seekor burung rajawali raksasa.

"Kau...."

"Ya.... Aku Rangga sahabatmu, Ki," ujar Rangga tersenyum manis.

Perlahan Bramasati bangkit berdiri, dengan pandangan tidak lepas merayapi sekujur tubuh Rangga. Seakan masih belum dipercayai, kalau semua ini benar-benar kenyataan. Semua yang terjadi di dalam mimpinya, kini menjadi kenyataan. Hanya saja, Rangga muncul dengan menunggang burung rajawali raksasa.

"Ayo, Ki. Guruku sudah menunggu," ajak Rangga.

"Bagaimana kita bisa ke sana, Rangga?" tanya Bramasati.

Rangga hanya tersenyum saja. Sementara, kepalanya segera berpaling sedikit memandang Rajawali Putih yang berada tepat di belakangnya. Saat itu juga, kedua bola mata Bramasati jadi terbeliak lebar. Sama sekali tidak pernah terlintas di dalam benaknya, kalau dia akan menunggu seekor burung rajawali raksasa.

"Ayo, Ki. Jangan membuang-buang waktu lagi. Tidak banyak waktu yang dimiliki guruku," ajak Rangga lagi.

Belum juga Bramasati bisa menjawab, Rangga sudah melompat naik ke punggung Rajawali Putih dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sedangkan Bramasati masih tetap berdiri diam terpaku. Sepertinya, dia masih merasa kalau semua ini hanya sebuah mimpi belaka. Dan Rangga jadi menggelengkan kepala melihat si Singa Gurun itu tidak juga mendekat.

"Ayo, Ki...!" seru Rangga mendesak.

"Oh...?! Iya...," suara Bramasati jadi tergagap.

Dengan sikap ragu-ragu, Bramasati melangkah menghampiri burung rajawali putih raksasa. Sejenak dipandanginya burung raksasa itu. Dan Rangga kembali mendesak, agar si Singa Gurun cepat naik. Masih dengan hati diliputi berbagai macam perasaan, Bramasati melompat naik ke punggung Rajawali Putih, lalu duduk di belakang Rangga yang sejak tadi sudah ada di sana.

"Bawa aku menemui Eyang Guru, Rajawali," pinta Rangga.

Sambil berteriak keras, Rajawali Putih mengembangkan sayapnya, langsung melesat masuk ke dalam jurang yang sangat lebar dan dalam ini. Saat itu juga, kabut yang memenuhi relung jurang ini menyelimuti mereka. Udara yang memang sudah terasa dingin, semakin menggigilkan tubuh, saat berada dalam jurang yang sangat dalam bagai tidak ada akhirnya. Bramasati sempat memejamkan matanya, saat Rajawali Putih melesat cepat tadi. Seolah-olah jantungnya terasa berhenti berdetak seketika.

Tapi hanya sebentar saja Rajawali Putih sudah mendarat di dasar jurang yang gelap dan terselimut kabut tebal ini. Rangga cepat melompat turun, diikuti Bramasati tanpa diminta lagi. Sedangkan Rajawali Putih sudah mendekam, dengan kepala menjuntai ke bawah. Tidak ada yang dapat dilihat di dasar jurang Lembah Bangkai ini, kecuali kegelapan saja yang ada di sekeliling mereka. Udara yang sangat dingin, membuat seluruh tubuh Bramasati jadi bergidik menggigil.

"Ikuti aku, Ki," ajak Rangga.

Bramasati hanya mengangguk saja. Dan bergegas kakinya diayunkan mengikuti Rangga yang sudah berjalan lebih dulu. Belum juga mereka berjalan, Bramasati sudah melihat sebuah mulut goa yang sangat besar tidak jauh di depannya. Dan memang tepat dugaannya, Rangga membawanya masuk ke dalam goa itu. Aneh! Keadaan di dalam tak gelap seperti di luar tadi. Entah dari mana sumbernya. Yang jelas, goa ini bermandikan cahaya yang sangat terang, hingga setiap relungnya bisa terlihat dengan jelas.

Bramasati tidak bersuara sedikit pun juga. Kakinya terus melangkah, mengikuti Rangga yang berjalan lebih dulu di depan. Goa yang sangat besar ini ternyata tidak begitu dalam. Dan mereka kembali keluar, setelah melewati satu tikungan. Kedua bola mata Bramasati jadi terbeliak lagi, begitu melihat di luar goa seperti siang hari saja keadaannya.

Dia dapat melihat jelas semua pepohonan dan batu-batuan yang ada di sekitarnya. Dan tidak jauh dari goa itu, terlihat sebuah makam yang bercungkup sangat indah dan bersih. Di atas makam, terlihat berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih yang semua rambut dan jenggotnya sudah memutih. Dia berdiri tegak di atas makam yang terus mengepulkan asap putih yang sangat tebal, hingga kedua kakinya tidak terlihat.

Dari Rangga, Bramasati tahu kalau laki-laki tua itu adalah Pendekar Rajawali yang hidup seratus tahun lalu. Dan sebenarnya, dia sudah meninggal. Tapi, Pendekar Rajawali bisa muncul kembali dalam bentuk roh yang bisa terlihat oleh mata biasa. Bramasati mengikuti Rangga, duduk bersila di depan orang tua yang berdiri di atas makamnya sendiri. Dan untuk beberapa saat, mereka semua terdiam, tidak bersuara sedikit pun juga. Sedangkan Bramasati terus menundukkan kepala, seakan tidak sanggup memandang roh Pendekar Rajawali yang berdiri di atas makamnya sendiri.

"Aku sudah tahu maksud kedatanganmu datang ke sini, Bramasati. Rangga sudah bercerita banyak tentang dirimu padaku," kata Pendekar Rajawali memecah kebisuan.

"Tolonglah aku, Eyang. Aku ingin seperti manusia sebagaimana mestinya tidak dengan kepala singa seperti ini," pinta Bramasati berharap, dengan sikap sopan.

"Memang dengan keadaanmu seperti ini, kau sangat sulit berada di tengah-tengah manusia lainnya. Walaupun hatimu bersih, mereka tentu akan memandangmu lain. Kau memang malang, Bramasati...," ujar Pendekar Rajawali, seakan bisa merasakan penderitaan si Singa Gurun.

"Apa pun syaratnya, aku akan melaksanakannya, Eyang. Asal bisa menjadi manusia utuh sebagaimana mestinya," harap Bramasati lagi.

"Aku tidak bisa memenuhi semua keinginanmu, Bramasati. Tapi Hyang Widhi sudah memerintahkan, agar aku membantu sebatas kemampuan yang kumiliki. Hanya saja, kau harus bersabar. Karena, semua ini tidak mudah dilakukan. Dan untuk waktu yang lama, kau harus tinggal di sini. Bagaimana...?" kata Pendekar Rajawali masih memberi pertimbangan pada si Singa Gurun ini.

"Apa pun yang harus kulakukan, aku akan lakukan dengan sepenuh hati, Eyang," sahut Bramasati mantap.

"Baiklah kalau tekad hatimu sudah bulat. Nah! Sekarang, kau bersemadilah di dalam goa. Tapi, aku tidak bisa tahu sampai berapa lama kau harus bersemadi. Hyang Jagad Nata sendirilah yang akan memberitahukanmu. Dan hanya dia yang bisa merubah wajahmu nanti. Sedangkan aku hanya sebagai perantara saja," jelas Pendekar Rajawali.

Kemudian, Pendekar Rajawali berpaling menatap Rangga yang duduk bersila di samping Bramasati. "Rangga...."

"Ya, Eyang," sahut Rangga seraya memberi sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Kembalilah ke atas. Minta Rajawali Putih mengantarkanmu. Masih banyak yang harus kau kerjakan di sana," kata Pendekar Rajawali memberi perintah.

"Baik, Eyang," sahut Rangga dengan sikap hormat.

Pendekar Rajawali kembali menatap Bramasati. "Kau ikut Rangga, Bramasati. Dia akan menunjukkan tempatmu bersemadi."

Bramasati hanya mengangguk kepala saja. Dan saat itu juga, tiba-tiba terdengar ledakan guntur membelah angkasa, diikuti terlihatnya cahaya kilat menjilat. Dan seketika itu juga, dari makam bercungkup indah itu mengepul asap sangat tebal, hingga menutupi seluruh tubuh roh Pendekar Rajawali. Tapi hanya sesaat saja, asap itu kembali lenyap tidak berbekas sama sekali. Sedangkan wujud Pendekar Rajawali pun lenyap dari pandangan.

Rangga dan Bramasati langsung memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Dan kini mereka kemudian bangkit berdiri.

"Ayo, aku akan mengantarkanmu ke tempat semadi," ajak Rangga.

Bramasati tidak bersuara sedikit pun juga. Kepalanya hanya mengangguk dan mengikuti Rangga yang sudah melangkah lebih dulu. Kali ini, mereka tidak memasuki goa yang tadi dilewati. Rangga membawa si Singa Gurun ini ke dalam sebuah goa yang lebih kecil. Sebuah goa batu yang memang untuk bersemadi.

"Di sana, biasanya aku melakukan semadi, Ki," kata Rangga memberitahu sambil menunjuk sebuah batu yang datar permukaannya, dan terletak di tengah-tengah goa ini.

鈥淭erima kasih, Rangga," ucap Bramasati.

"Aku berharap, kau bisa memperoleh semua yang kau inginkan di sini, Ki," ujar Rangga sambil menepuk pundak si Singa Gurun.

Tapi, Bramasati malah merengkuh Pendekar Rajawali Sakti dalam pelukannya. Dan Rangga membalas pelukan itu dengan perasaan persahabatan dan persaudaraan mendalam. Cukup lama juga mereka berpelukan, kemudian Rangga melepaskannya dengan hati-hati. Dan mereka saling berpandangan beberapa saat. Bramasati kemudian berbalik, melangkah menghampiri batu yang sering digunakan Rangga bersemadi, ketika masih tinggal di dasar jurang Lembah Bangkai.

"Aku tinggal dulu, Ki. Maaf, aku tidak bisa menemanimu di sini. Tapi, kau tidak perlu khawatir. Tidak akan ada seorang pun. yang mengganggumu di sini," kata Rangga berpamitan.

鈥淭erima kasih, Rangga. Aku tidak akan melupakan semua kebaikanmu ini," ucap Bramasati terharu.

Rangga hanya tersenyum saja sedikit. Kemudian tubuhnya berbalik, dan terus melangkah keluar dari dalam goa ini. Pendekar Rajawali Sakti berhenti sebentar, saat melewati makam gurunya yang kini tenang berselimut kabut tipis. Dan kembali kakinya terayun, masuk kembali ke dalam goa yang terang benderang keadaannya. Di sana, dia kembali mengganti jubahnya dengan baju rompi putih yang biasa dikenakan. Bibirnya tersenyum saat meraih pedang pusakanya. Dikenakannya kembali pedang itu di punggung, lalu terus melangkah keluar dari dalam goa ini.

"Antarkan aku kembali keluar, Rajawali," pinta Rangga, setelah berada kembali di depan burung rajawali putih raksasa tunggangannya.

"Khraaagkh...!"

"Hup! Dengan gerakan sangat indah, Rangga melompat naik ke atas punggung rajawali raksasa ini. Dan tanpa diminta lagi, Rajawali Putih langsung melesat tinggi, keluar dari dalam jurang Lembah Bangkai yang selalu berselimut kabut tebal ini.

"Khraaagkh...!"

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: MISTERI DEWI MAUT