Rahasia Cincin Mustika - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

RAHASIA CINCIN MUSTIKA

SATU
"Dasar anak tidak tahu di untung! Pergi kau..! Aku muak melihatmu lagi!"

Terdengar bentakan kasar dari seorang laki-laki bertubuh kekar, yang diiringi tendangan kakinya yang mantap.

Duk!

"Aduh...!" Anak kecil bertubuh kurus dan berkulit hitam yang dibentak dan ditendangnya langsung mengaduh kesakitan, saat kaki yang besar dan berbulu itu menghajar tubuhnya. Tubuh kurus itu langsung jatuh bergulingan di tanah becek, bekas tersiram hujan semalam. Seluruh wajah dan tubuhnya sudah biru lebam. Dan pakaiannya sobek-sobek tidak berbentuk lagi Tapi, tidak terdengar rintihan maupun keluhan keluar dari bibirnya yang pucat dan gemetar.

Sementara laki-laki bertubuh kekar yang terbungkus baju indah dari kain sutera itu makin kelihatan bengis wajahnya. Bola matanya yang tajam menatap bocah berusia sekitar sebelas tahun itu.

"Cepat pergi! Jangan berani lagi menginjak pekarangan rumahku!" bentak laki-laki bertubuh kekar itu kasar sambil menuding dengan jari telunjuknya yang besar.

Anak kecil itu bangkit berdiri sambil meringis menahan sakit di seluruh tubuhnya. Sebentar dipandanginya laki-laki bertubuh kekar di depannya. Kemudian tubuhnya berbalik, lalu melangkah pergi dengan ayunan kaki tertatih-tatih.

Kejadian di pagi hari ini sempat membuat beberapa orang yang melintas di depan rumah besar dan berhalaman luas itu berpaling. Namun mereka bergegas pergi, seperti takut melihat laki-laki bertubuh tinggi besar yang masih berkacak pinggang di depan rumahnya yang megah ini.

Sementara anak kecil yang baru saja kena hajaran itu, terus melangkah tertatih-tatih tanpa berpaling lagi sedikit pun. Dia terus berjalan dengan kaki telanjang, menelusuri jalanan becek dan berair. Anak itu terus berjalan tanpa berhenti. Sampai matahari naik tinggi berada di atas kepala, langkah kakinya berhenti berada di tengah hutan yang cukup lebat. Dia tidak tahu lagi, berada di mana sekarang ini. Sekelilingnya hanya pepohonan besar dan rapat, bagai bertaut menjadi satu. Rasa takut seketika menghinggapinya.

"Oh! Di mana aku...?" Rasa takut bocah itu semakin menjadi, setelah benar-benar menyadari keberadaannya sekarang ini. Tubuh anak berusia sekitar sebelas tahun ini langsung menggigil. Bukan karena udara di dalam hutan ini yang dingin, tapi karena rasa takutnya. Bola matanya yang kecil, merayapi sekitarnya. Nyatanya hanya pepohonan saja yang ada di sekelilingnya. Seakan dia terkurung, tanpa tahu lagi mana arah jalan keluar. Dan di saat rasa takut semakin menguasai dirinya, mendadak saja....

"Hik hik hik..!"

"Oh...?!" Pucat seluruh wajah bocah itu ketika tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang begitu nyaring dan mengerikan. Begitu takutnya, dia langsung jatuh terduduk di tanah yang masih basah tersiram hujan semalam. Suara tawa yang terdengar jelas sekali, menggema di sekelilingnya. Seakan, begitu dekat berada di tempat ini. Getaran di tubuhnya malah semakin keras. Dan belum lagi bisa disadari apa yang terjadi, mendadak saja....

Wusss...!

"Aaa...!" Bocah kecil itu menjerit nyaring, begitu tiba-tiba berhembus angin kencang yang diikuti berkelebatnya sebuah bayangan merah begitu cepat bagai kilat menyambarnya. Dan tahu-tahu, bocah itu sudah lenyap tidak berbekas lagi. Suara jeritannya yang panjang pun menghilang tepat ketika bayangan merah itu lenyap. Kini hutan ini pun kembali sunyi, seperti tidak terjadi sesuatu. Hanya pepohonan saja yang menjadi saksi bisu dari peristiwa yang begitu cepat berlangsung. Entah apa yang terjadi pada anak kecil malang itu.

********************

Hutan turun yang begitu lebat disertai angin yang kencang berhembus mengguyur Desa Payakan. Sudah beberapa hari ini, hujan turun bagai tertumpah dari langit di desa itu. Sehingga, membuat semua penduduknya tidak ada yang bisa mengerjakan tugasnya sehari-hari. Dan mereka terpaksa harus berdiam diri dalam rumahnya.

Sementara di dalam rumah yang paling besar di Desa Payakan, terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah duduk santai bagai seorang raja. Laki-laki berkulit agak hitam dan ditumbuhi bulu cukup lebat pada bagian dada, tangan serta kakinya ini, dikelilingi tiga orang gadis yang berparas cantik yang tampak manja. Mereka selalu melayani segala keinginan lelaki bertubuh besar dan kekar ini. Dan orang-orang desa mengenali sebagai Ki Junggut.

Dan tidak jauh di depannya, duduk dua orang anak muda berwajah kembar dengan pakaian sama persis. Di belakangnya, duduk bersila tiga orang laki-laki tua berjubah dan seorang perempuan tua yang rambutnya sudah memutih semua. Mereka tampak gembira, tidak menghiraukan hujan yang turun begitu lebat mengguyur desa ini bagai ditumpahkan dari langit.

"Aku dengar kalian mendapat kesulitan hari ini. Apa yang terjadi pada kalian, sampai babak belur begini...?" tanya laki-laki bertubuh besar dan berbulu hampir diseluruh tubuhnya, dengan suara terdengar berat sekali.

"Benar, Ayah. Rupanya, sekarang telah ada orang yang berani menghalangi kami dalam memungut pajak dari penduduk," sahut salah seorang pemuda kembar.

"Hm.... Siapa dia, Rantaka?!" tanya Ki Junggut dengan suara tetap besar dan berat. "Kami tidak tahu, siapa dia dan dari mana asalnya. Tiba-tiba saja dia muncul menghalangi kami dalam memungut pajak," sahut pemuda kembar yang dipanggil Rantaka itu lagi.

"Dan kau tidak bisa mengatasinya...?"

Rantaka tidak bisa menjawab, sedang pemuda kembarnya juga hanya diam saja. Kepala mereka tertunduk, seakan tidak sanggup menentang tatapan mata Ki Junggut yang tajam dan memerah. Dan suasana di dalam ruangan besar yang megah itu jadi hening, tanpa sedikit pun terdengar suara. Hingga hantaman air hujan di atas genting rumah ini terdengar keras, bagai hendak meruntuhkan seluruh bangunan yang megah bagai istana kecil di tengah-tengah desa ini.

"Dengar...! Aku tidak sudi lagi mendengar kegagalan. Besok, kalian harus memungut pajak lebih besar daripada biasanya. Siapa pun yang berani menghalangi, bunuh saja!" perintah Ki Junggut tegas, sambil mengedarkan pandangan pada mereka semua yang ada di dalam ruangan ini.

Mereka yang berada di depan laki-laki kekar berkulit hitam itu hanya diam saja, dengan kepala bergerak terangguk pelan. Sedikit pun tidak ada yang berani membantah perintah Penguasa Desa Payakan ini. Sementara, Ki Junggut sendiri sudah bangkit berdiri. Tanpa bicara lagi kakinya melangkah meninggalkan ruangan depan rumahnya, diikuti gadis-gadis yang menemani.

Sedangkan dua pemuda kembar dan tiga laki-laki tua serta seorang perempuan tua yang ada di dalam ruangan ini masih tetap duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal dan halus. Mereka belum juga beranjak, walaupun Ki Junggut sudah tidak terlihat lagi bayangannya di dalam ruangan depan rumah yang megah ini. Baru setelah Ki Junggut benar-benar lenyap, keempat orang tua itu segera beranjak. Namun mereka tidak meninggalkan tempat ini, melainkan berpindah duduk menghadap pemuda kembar itu.

"Rantaka! Kau kenali siapa anak itu...?" tanya perempuan tua yang duduk dekat pemuda kembar ini.

"Tidak, Nyai Waringki," sahut Rantaka.

"Kau, Rantaki...?" tanya perempuan tua yang tadi disebut sebagai Nyai Waringki Pemuda kembaran Rantaka yang bernama Rantaki hanya menggelengkan kepala saja.

"Seperti apa rupanya?" selak seorang laki-laki tua berbaju jubah warna hitam. Dia memegang tongkat berbentuk ular yang juga berwarna hitam pekat Semua orang di Desa Payakan ini mengenalnya sebagai Ki Sampuk

"Dia...," Rantaka tidak langsung menjawab. Matanya melirik pada saudara kembarnya.

Empat orang tua yang kini menghadapi pemuda kembar itu saling berpandangan. Mereka melihat pemuda kembar merasa kesulitan mengatakan, siapa orangnya yang telah berani menghalangi mereka menarik pajak para penduduk di Desa Payakan ini. Cukup lama juga mereka menunggu, tapi kedua pemuda kembar itu tidak juga membuka suaranya. Malah kepala mereka tertunduk menekun lantai berpermadani lembut ini.

"Bagaimana rupanya, Rantaka...?" desak Ki Sampuk, meminta jawaban atas pertanyaannya yang belum juga terjawab tadi.

"Dia.... Dia...," terasa sulit sekali bagi Rantaka untuk menjawab.

"Katakan saja, Rantaka. Jangan takut-takut. Kamu semua pasti akan membantumu mengatasinya," desak laki-laki tua lainnya yang berbaju merah ketat. Sebilah pedang tampak tersampir di pinggangnya. Dan dia sering dipanggil Ki Sampulut.

Sedangkan laki-laki tua satunya lagi sejak tadi diam saja. Laki-laki tua yang kerap kali dipanggil Ki Jampur ini mengenakan baju biru agak ketat. Sebilah golok berukuran besar tampak selalu tergenggam di tangan kanan. Tubuhnya paling kekar dan berotot. Wajahnya juga memancarkan kebengisan, dengan sepasang bola mata yang selalu merah bagai sepasang mata elang.

"Dia hanya anak kecil yang usianya paling-paling baru tiga belas tahun...," jelas Rantaki dengan terdengar begitu pelan. Sehingga, hampir tertelan oleh curahan air hujan di luar rumah ini.

"Anak kecil...?!"

Empat orang tua itu jadi terlongong bengong, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hanya seorang anak kecil, membuat kedua pemuda kembar yang kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata, bisa kalah begitu saja! Rasanya memang sulit dipercaya. Dua pemuda berusia dua puluh enam tahun berkepandaian tinggi, kalah oleh seorang anak kecil berusia tiga belas tahun!

"Kau jangan main-main, Rantaki. Mana mungkin kalian berdua bisa tidak berdaya hanya oleh anak kecil..?" sentak Ki Sampuk tidak percaya.

"Aku berkata yang sebenarnya, Paman. Dia memang masih kecil, tapi kepandaiannya luar biasa. Kami berdua sampai jatuh bangun dibuatnya," kata Rantaki meyakinkan.

"Besok kalian tunjukkan orangnya," ujar Nyai Waringki jadi penasaran.

"Besok dia menunggu di rumah Ki Anom," kata Rantaka memberi tahu. "Mungkin juga sekarang tinggal di sana."

"Apa tidak mungkin dia anaknya Ki Anom...?" selak Ki Sampulut, seperti bertanya pada diri sendiri.

"Entalah. Aku tidak kenal dengannya," sahut Rantaka.

"Baik! Kalau begitu, kita datangi saja besok pagi," tegas Ki Sampuk.

Ki Anom tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ketika pagi-pagi sekati empat orang tukang pukul Ki Junggut mendatangi rumahnya bersama Rantaka dan Rantaki, anak kembar orang terkaya di Desa Payakan ini. Lebih terkejut lagi, ternyata mereka mencari anak yang kemarin membuat pemuda kembar itu jungkir batik.

"Katakan saja di mana anak itu, Ki," desak Ki Sampuk

"Aku tidak tahu. Aku tidak kenaL..," sahut Ki Anom terbata-bata.

"Dengar, Ki. Hukumannya akan berat kalau anak setan itu kau sembunyikan," ancam Nyai Waringki.

Seluruh tubuh Ki Anom jadi bergetar, mendengar ancaman perempuan tua yang sudah terkenal akan kekejamannya. Tapi dia memang tidak tahu, di mana bocah yang kemarin menganiaya putra kembar Ki Junggut ini. Bahkan dia sendiri tidak mengenalnya sama sekali. Anak itu tiba-tiba saja muncul, ketika Rantaka dan Rantaki datang menagih pajak padanya. Lalu pemuda kembar itu dibuat jungkir balik seperti mainan saja.

"Baik...! Kalau tidak mau mengaku juga, aku terpaksa mengambil jalan kekerasan," ancam Nyai Waringki lagi.

"Oh...?!" Ki Anom semakin tidak dapat bersuara. Kedua bola matanya jadi terbeliak, dan seluruh tubuhnya menggeletar hebat bagai terserang demam. Sementara, Nyai Waringki sudah melangkah mendekatinya. Seutas cambuk kulit yang berduri sudah tergenggam di tangan kanannya.

"Katakan, di mana bocah itu...?" desak Nyai Waringki lagi. "Atau kau ingin merasakan cambukku...?"

"Aku..., aku tidak tahu...," sahut Ki Anom semakin menggeletar tubuhnya.

"Keras kepala! Rasakan ini! Hih...!"

Ctar!

"Akh...!" Ki Anom langsung terpekik, begitu cambuk hitam berduri halus milik Nyai Waringki menyengat tubuhnya. Seketika darah mengucur keluar dari tubuh tua yang kurus itu. Ki Anom langsung jatuh tersungkur mencium tanah. Dia merintih merasakan nyeri pada luka cambukan di tubuhnya. Sementara Nyai Waringki sudah mengangkat lagi cambuknya. Dan....

"Hih!"

Ctar!

"Akh...!" Kembali Ki Anom menjerit begitu cambuk kulit itu merobek kulit tubuhnya lagi Tapi memang laki-laki tua ini tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak tahu, di mana anak yang tangguh itu berada. Namun, cambuk Nyai Waringki kembali merobek kulit tubuhnya, membuat darah semakin banyak keluar. Beberapa kali cambuk hitam berduri itu menggeletar, menghantam tubuh Ki Anom.

Semetara orarig-orang yang melihat kejadian itu hanya bisa menahan napas saja, tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menolong. Sedangkan Ki Anom sendiri sudah tidak dapat lagi mengeluarkan suara. Tubuhnya tergeletak di tanah dalam keadaan tersayat-sayat Namun Nyai Waringki terus saja mengayunkan cambuknya, membuat lelaki tua itu tak dapat bertahan. Dan dia jatuh pingsan seketika, ketika cambukan terakhir mendarat di tubuhnya.

"Huh...!" Nyai Waringki mendengus sambil menyemburkan ludahnya, melihat Ki Anom tergeletak diam seperti mati di depannya. Tanpa banyak bicara lagi, kakinya melangkah masuk ke dalam gubuk orang tua ini. Tak lama, terdengar barang-barang terbanting dari dalam gubuk. Sebentar suara itu lenyap. Dan tidak lama kemudian, Nyai Waringki keluar lagi dengan wajah berang dan napas memburu.

"Ada...?" tanya Ki Sampuk langsung.

"Tidak," sahut Nyai Waringki mendengus.

"Bakar saja rumahnya, Paman," selak Rantaka.

"Sekalian saja sama orangnya," sambut Rantaki.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Rantaki langsung menghampiri Ki Anom yang sudah tergeletak diam tidak bergerak-gerak lagi. Kemudian diseretnya orang tua itu, dan dibawanya masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dan ketika pemuda itu keluar, dari dalam rumah itu terlihat asap mengepul. Tak lama terlihat api membakar rumah reyot yang sudah hampir roboh itu.

Cepat sekali api melahap gubuk, padahal Ki Anom sendiri berada di dalamnya. Kini gubuk itu mulai habis terbakar. Sementara orang-orang yang melihat tetap tidak ada yang berani mendekat Mereka hanya bisa memandangi dengan sinar mata penuh kebencian pada orang-orang tua ini. Namun di saat api hampir melahap habis gubuk reyot itu, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan biru berkelebat begitu cepat masuk ke dalam kobaran api.

Dan saat itu juga, dari dalam kobaran api kembali melesat keluar bayangan biru tadi. Begitu cepat kelebatannya, sehingga sulit diketahui orangnya. Tapi, Ki Sampuk sempat melihat kalau bayangan biru itu membawa tubuh Ki Anom dari dalam kobaran api yang membakar rumahnya ini.

"Apa itu, Paman...?" tanya Rantaka yang juga melihat bayangan biru itu.

"Ada yang menolong Ki Anom," sahut Ki Sampuk pelan.

"Keparat..! Akan kukejar dia!" geram Rantaka. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rantaka langsung saja melesat cepat sekali mengejar bayangan biru tadi. Tindakan pemuda itu diikuti saudara kembarnya. Sementara, Ki Sampuk dan yang lainnya masih terdiam sesaat. Namun, mereka cepat bergerak melesat mengikuti kedua pemuda kembar putra junjungannya.

Begitu tinggi kepandaian yang mereka miliki, hingga bergerak seperti bayangan saja. Dan dalam waktu sekejap saja bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan. Sementara, Rantaka dan saudara kembarnya terus berlari cepat mengejar bayangan biru yang menyelamatkan Ki Anom tadi. Namun sampai tiba di perbatasan desa, mereka kehilangan jejak.

Bayangan biru itu seakan-akan lenyap ditelan bumi. Rantaka dan Rantaki langsung berhenti berlari, dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mereka mencari-cari orang yang membawa Ki Anom dari rumahnya yang terbakar. Tapi, nyatanya orang itu memang sudah tidak terlihat lagi.

"Keparat...!" geram Rantaka kesal.

Saat itu, Ki Sampuk dan yang lain sudah tiba diperbatasan desa sebelah barat ini. Mereka juga tidak lagi melihat orang yang dikejarnya. Dan mereka segera menghampiri kedua pemuda kembar yang masih penasaran, karena kehilangan jejak buruannya.

"Ayo, Rantaka. Kita kembali saja dulu," ajak Ki Sampuk.

Rantaka menatap orang tua itu sejenak, kemudian berbalik. Kakinya lantas melangkah kembali ke Desa Payakan tanpa bicara lagi. Rantaki juga mengikuti saudara kembarnya. Sedangkan laki-laki tua dan seorang perempuan tua yang menjadi tukang pukul orang tua pemuda kembar itu, mengikuti dari belakang.

DUA

Tidak jauh dari perbatasan Desa Payakan sebelah barat, terlihat secarang gadis muda yang cantik memandangi Rantaka dan Rantaki yang pergi diikuti orang-orang tua yang menjadi pengawalnya. Tampak bibir gadis itu mengembangkan senyum yang sangat tipis, hingga hampir tidak terlihat.

Gadis itu baru keluar dari semak tempatnya bersembunyi setelah orang-orang tadi tidak terlihat lagi. Di pundaknya terlihat seorang laki-laki tua dengan tubuh terkulai seperti sudah mati. Dan tanpa banyak bicara lagi, gadis cantik berbaju ketat warna biru itu segera pergi, masuk ke dalam hutan.

Gerakan gadis itu begitu ringan dan cepat. Sehingga dalam waktu sebentar saja, dia sudah jauh masuk ke dalam hutan yang berbatasan dengan Desa Payakan sebelah barat ini. Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya gadis itu sampai di tepi sebuah telaga yang berair jernih. Diturunkannya laki-laki tua yang ternyata Ki Anom dari punggungnya dengan hati-hati sekali. Dan dibaringkannya tubuh tua itu di atas rerumputan, tidak jauh dari tepi telaga kecil ini.

"Kasihan kau, Ki...," desahnya lirih, memandangi orang tua yang terbaring dengan napas pelan ini.

Gadis ini segera membersihkan luka-luka di tubuh Ki Anom. Kemudian diberikannya beberapa totokan ringan untuk menutup jalan darah pada luka di tubuh orang tua ini. Setelah darah-darah yang melekat di tubuh orang tua itu bersih, kemudian disalurkannya sedikit hawa murni. Dan saat itu juga, Ki Anom terbatuk. Gadis itu segera menghentikan penyaluran hawa murninya. Dipandanginya Ki Anom yang sudah mulai siuman dari pingsannya.

"Oh..," Ki Anom merintih lirih. Perlahan orang tua kurus itu membuka matanya. Seketika dia terkejut melihat ada seorang gadis cantik di dekatnya. Lebih terkejut lagi, begitu menyadari dirinya berada dalam hutan. Ki Anom mencoba bangkit, tapi gadis cantik ini lebih cepat mencegahnya dengan menekan sedikit tangannya ke dada orang tua ini.

"Jangan bergerak dulu, Ki," ujar gadis itu lembut.

"Sss.... Siapa kau, Nisanak...?" tanya Ki Anom.

"Namaku Pandan Wangi, Ki," sahut gadis itu lembut, sambil mengembangkan senyum yang manis sekali

. "Kenapa kau menolongku...?" tanya Ki Anom lagi, dengan suara lirih dan tersendat.

"Kau perlu pertolongan, Ki. Aku tidak bisa diam saja melihat kau tersiksa dan hampir mati terbakar bersama rumahmu," sahut gadis cantik berbaju biru yang ternyata adalah Pandan Wangi.

Gadis cantik ini yang di kalangan persilatan lebih dikenal sebagai si Kipas Maut ini memang kebetulan lewat, ketika Ki Anom mendapat siksaan dari Nyai Waringki tadi. Semula, Pandan Wangi memang tidak mau ikut campur, karena memang hanya sekadar lewat saja di desa itu. Tapi begitu melihat kekejaman mereka yang semakin menjadi, Pandan Wangi tidak bisa lagi menahan diri. Maka langsung dikeluarkannya orang tua itu dari kobaran api yang membakar rumahnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Ki? Kenapa mereka menyiksamu begitu...?" tanya Pandan Wangi, ingin tahu.

"Mereka memang sudah biasa melakukan penyiksaan seperti itu. Bahkan tidak segan-segan membunuh...," sahut Ki Anom lirih.

"Siapa mereka?" tanya Pandan Wangi lagi, semakin ingin tahu saja.

"Yang kembar adalah putra Ki Junggut, Tuan Tanah di Desa Payakan. Sedangkan yang lain hanya tukang pukulnya saja. Tapi, mereka memang kejam. Bahkan seluruh rakyat di Desa Payakan diharuskan membayar pajak yang tinggi pada Ki Junggut. Dan bagi yang tidak bisa membayar, selalu mendapat siksaan berat. Bahkan tidak sedikit yang mati akibat disiksa. Juga, tidak sedikit yang langsung dibunuh kalau mencoba melawan. Tidak ada seorang-pun yang berani menantangnya. Desa Payakan benar-benar sudah menjadi neraka...," dengan suara tersendat, Ki Anom menceritakan keadaan di Desa Payakan.

Sementara Pandan Wangi hanya diam saja dengan bibir terkatup rapat. Entah, apa yang ada dalam kepala si Kipas Maut ini. Tapi semua cerita yang dituturkan Ki Anom merasuk ke dalam hatinya. Seketika darahnya terasa bergolak mendidih. Pandan Wangi memang tidak bisa mendengar ada penderitaan terjadi pada penduduk desa yang lemah.

"Sejak kapan itu berlangsung, Ki?" tanya Pandan Wangi dengan suara agak ditekan.

"Entahlah, Nini.... Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun. Ya..., sejak Ki Junggut datang ke desa ini," sahut Ki Anom.

Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan. Sementara, Ki Anom sudah kelihatan lebih membaik keadaannya. Sepertinya luka-luka di tubuhnya tidak lagi terasa sakit. Tapi ada yang lebih sakit lagi dirasakan. Hatinya teramat sakit, bila mengingat semua yang telah terjadi padanya.

"Kau punya tempat tinggal lagi selain di Desa Payakan, Ki?" tanya Pandan Wangi setelah cukup lama terdiam membisu.

"Aku punya anak perempuan yang sudah menikah. Tapi, sekarang tinggal jauh dari, sini...," sahut Ki Anom.

"Di mana?" tanya Pandan Wangi.

"Di Kota Karang Setra," sahut Ki Anom.

Entah, kenapa Pandan Wangi jadi tersenyum mendengar ada anak perempuan Ki Anom yang sekarang tinggal di Karang Setra. Dan sebenarnya, Desa Payakan ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Tapi, memang cukup jauh juga jarak dari Desa Payakan ke kota. Paling tidak perlu waktu dua hari perjalanan berkuda.

"Aku antarkan kau ke sana, Ki," kata Pandan Wangi menawarkan jasanya.

"Ah.... Kau sudah terlalu banyak menolongku, Nini. Entah apa yang harus kuberikan padamu..," ujar Ki Anom jadi merasa tidak enak mendapat pertolongan terus-menerus dari gadis yang baru dikenalnya.

"Kebetulan aku juga akan ke sana, Ki. Jadi kita bisa bersama-sama," kata Pandan Wangi beralasan.

Ki Anom mencoba bangkit berdiri. Dan Pandan Wangi pun bergegas membantu orang tua ini berdiri. Sebentar mereka terdiam. Dan tiba-tiba saja, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu bersiul nyaring. Ki Anom jadi terkejut. Namun sebelum keterkejutannya hilang, sudah terdengar ringkikan seekor kuda. Dan tidak lama kemudian, muncul seekor kuda putih yang tinggi dan gagah dari balik pepohonan yang merapat di dalam hutan ini.

Kuda putih langsung menghampiri Pandan Wangi. Binatang tunggangan si Kipas Maut ini mendengus-dengus dengan kepala terangguk beberapa kali. Kaki kanan depannya menghentak-hentak mengais tanah. Pandan Wangi memeluk kepala kuda putih tunggangannya, kemudian menatap Ki Anom sebentar.

"Naiklah, Ki," pinta Pandan Wangi.

"Ah.... Aku belum pernah naik kuda sebagus ini, Nini," ujar Ki Anom kagum pada kuda putih tunggangan gadis itu.

"Tidak apa, Ki. Si Putih bisa mempercepat perjalanan kita nanti. Kita naik sama-sama," kata Pandan Wangi lagi.

Ki Anom jadi ragu-ragu. Hatinya semakin merasa tidak enak pada gadis ini. Kebaikannya terasa begitu menyentuh. Belum pernah didapatkannya kebaikan yang begitu besar pada seorang gadis cantik yang baru saja dikenalnya. Pandan Wangi sudah menyelamatkan nyawanya, dan sekarang akan mengantarkannya ke Kota Karang Setra dengan kuda tunggangannya yang gagah ini.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi membantu Ki Antom naik kepunggung kuda putih itu. Kemudian gadis itu sendiri melompat naik ke belakang laki-laki tua ini. Pandan Wangi memegang tali kekang kuda tunggangannya, kemudian menggebahnya dengan kencang.

Ki Anom jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba kuda putih yang ditungganginya melesat begitu cepat bagai anak panah lepas dari busurnya. Rasanya, seakan-akan dia terbawa terbang bersama kuda putih yang gagah ini.

"Tenang saja, Ki. Si Putih tidak akan melemparkanmu," kata Pandan Wangi sambil tersenyum.

Ki Anom hanya diam saja. Jantungnya masih berdetak cepat, merasakan kengerian yang amat sangat berada di punggung kuda putih yang berlari cepat bagai angin ini. Sebentar saja, kuda putih tunggangan si Kipas Maut itu sudah jauh membawa mereka keluar dari dalam hutan ini. Dan merka terus berpacu cepat melintasi jalan tanah yang berdebu menuju Kota Kerajaan Karang Setra.

********************
Serial Pendekar Rajawali Sakti


Pandan Wangi melangkah ringan, sambil tersenyum-senyum menghampiri Rangga yang sedang duduk-duduk di dalam taman belakang Istana Karang Setra, ditemani Cempaka dan Danupaksi. Beberapa orang prajurit terlihat berjaga-jaga di sekitar taman ini. Dan beberapa gadis cantik bermain-main di dalam taman dengan gembira. Pandan Wangi langsung berlutut, memberi sembah pada Raja Karang Setra dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.

"Duduklah di sini, Pandan Wangi," pinta Rangga sambil menepuk kursi disampingnya.

Pandan Wangi tersenyum, dan duduk di sebelah Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra. Diberikannya senyum manis pada dua orang adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah sejak tadi menemaninya di taman belakang ini.

"Lima hari ini kau pergi. Ke mana saja...?" Rangga langsung menegur si Kipas Maut itu.

"Jalan-jalan ke desa," sahut Pandan Wangi kalem.

"Sampai lima hari.... Tentu jauh perjalananmu, Kak Pandan," selak Cempaka.

"Ya, sampai ke Desa Payakan," sahut Pandan Wangi lagi.

"Desa Payakan jauhnya dua hari perjalanan berkuda dari sini. Untuk apa ke sana, Kak Pandan..?" sambung Danupaksi heran.

"Melihat-lihat keadaan saja," sahut Pandan Wangi kalem.

"Lalu, apa yang kau dapatkan di sana?" tanya Rangga lagi.

Pandan Wangi tidak langsung menjawab, sehingga membuat Rangga dan kedua adik tirinya jadi memandanginya dengan kelopak mata menyipit dan kening agak berkerut. Mereka langsung menduga kalau ada sesuatu yang terjadi di Desa Payakan, hingga Pandan Wangi seakan sulit mengatakannya.

"Ada persoalan di sana, Pandan..?" desak Rangga lembut.

"Desa itu sekarang seperti neraka, Kakang," sahut Pandan Wangi pelan.

"Apa maksudmu, Kak Pandan..?" desak Danupaksi, agak terkejut mendengar jawaban Pandan Wangi barusan

"Ki Junggut orang terkaya di desa itu menguasainya bagai seorang tuan tanah. Dia menekan semua penduduk dengan pajak-pajak tinggi. Bahkan tidak segan-segan menyiksa atau membunuh siapa saja yang berani menentangnya," jelas Pandan Wangi. "Aku membawa seorang tua yang hampir saja mati dibakar bersama rumahnya dari sana. Sekarang, dia sudah ada di rumah anaknya di sini."

"Hm.... Kenapa tidak langsung saja dibawa ke sini, Kak Pandan?" ujar Cempaka agak menggumam suaranya.

"Dia tidak tahu siapa aku, Cempaka."

Cempaka dan Danupaksi langsung memandangi Rangga yang jadi terdiam mendengar laporan Pandan Wangi mengenai keadaan Desa Payakan barusan. Mereka tahu, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa mendengar ada penderitaan yang terjadi dalam wilayah kerajaannya. Walaupun Desa Payakan cukup jauh dari kota, tapi masih tetap termasuk ke wilayah Kerajaan Karang Setra.

Dan tanpa bicara lagi sedikit pun juga, Rangga bangkit berdiri dari kursinya. Kakinya langsung terayun melangkah perlahan-lahan. Sementara, Pandan Wangi dan kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti hanya memandanginya saja dengan kening sedikit berkerut. Sedangkan Rangga terus melangkah, meninggalkan taman belakang istana ini.

"Aku salah bicara tadi, Cempaka...?" desis Pandan Wangi jadi merasa tidak enak melihat sikap Rangga langsung saja berubah.

"Tidak," sahut Cempaka.

"Aku yakin, Kakang Rangga pasti pergi ke sana. Dia tidak bisa mendengar ada penderitaan terjadi di wilayah kerajaan ini," kata Danupaksi pelan.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Cempaka.

"Tunggu saja, apa perintahnya," sahut Danupaksi.

Cempaka hanya mengangkat bahu saja sedikit. Memang tidak ada yang bisa dilakukan. Dan seperti biasanya, mereka hanya bisa menunggu saja, apa yang akan diperintahkan Raja Karang Setra itu. Tapi, Cempaka sudah langsung bisa menduga kalau Rangga pasti memerintahkan mereka untuk tidak meninggalkan istana. Dan seperti yang biasanya terjadi, Pendekar Rajawali Sakti tentu hanya mengajak Pandan Wangi menyelesaikan kemelut yang terjadi di Desa Payakan.

"Sebaiknya bersiap-siap saja, Kak Pandan. Tidak lama lagi Kakang Rangga pasti akan mengajakmu pergi ke Desa Payakan," ujar Cempaka.

"Sebenarnya, aku ingin berada di istana ini. Aku sudah lelah mengembara. Kakang Rangga pasti tidak akan langsung kembali lagi ke sini kalau sudah keluar," kata Pandan Wangi agak mendesah nada suaranya.

"Tapi hanya kau yang bisa mendampinginya, Kak Pandan. Tidak mungkin Kakang Rangga pergi sendiri," sergah Danupaksi.

"Bagaimana kalau kau saja yang pergi bersamanya, Cempaka?" Pandan Wangi menawarkan.

"Aku...?!" Cempaka jadi tertawa mendengar penawaran si Kipas Maut. Dia tahu, tidak akan mungkin Rangga akan menerima tawaran Pandan Wangi barusan. Lagi pula, Cempaka sadar kalau kepandaian yang dimilikinya masih beberapa tingkat di bawah Pandan Wangi. Dan gadis itu juga merasa tidak sebanding jika harus menemani Pendekar Rajawali Sakti mengembara menjelajah rimba yang ganas di luar sana.

Cempaka sendiri sudah terbiasa hidup di dalam lingkungan istana, mendampingi Danupaksi yang mewakili Pendekar Rajawali Sakti itu memimpin pemerintahan di Karang Setra. Walaupun, di dalam hati kecilnya dia selalu berharap ada sedikit kesempatan untuk menjelajah dunia luas bersama pendekar muda yang sangat dikaguminya.

Dan saat itu, terlihat seorang punggawa berjalan cepat menghampiri mereka. Punggawa berusia muda itu langsung berlutut di depan Danupaksi, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Ada apa, Punggawa?" tanya Danupaksi langsung.

"Hamba diperintahkan untuk menjemput Gusti Pandan Wangi. Gusti Prabu sudah menunggu di depan istana," sahut punggawa itu.

Saat itu Cempaka langsung tersenyum. "Benar kan kataku, Kak Pandan. Cepat sana! Jangan sampai Kakang Rangga lama menunggu," ujar Cempaka.

Pandan Wangi hanya mengangkat bahu saja.

"Punggawa! Apa ada pesan lain dari Kakang Prabu?" tanya Danupaksi.

"Tidak, Gusti. Hanya itu pesan Gusti Prabu," sahut punggawa itu hormat.

Danupaksi mengangkat bahunya sedikit. Walaupun Rangga tidak memberi pesan apa-apa, tapi sudah diketahuinya apa yang harus dilakukannya, bila Raja Karang Setra itu sudah pergi meninggalkan istana untuk mengembara. Memang sulit menjadi raja kalau dalam dirinya terus tertanam jiwa pendekar. Jelas, Rangga lebih mementingkan kependekarannya daripada harus berdiam diri di dalam istana.

"Ayo, Punggawa. Antarkan aku menemui Gusti Prabu," pinta Pandan Wangi.

Pandan Wangi menatap sebentar pada Danupaksi dan Cempaka, kemudian melangkah meninggalkan kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Punggawa yang tadi membawa laporan segera mengikuti langkah si Kipas Maut dari belakang. Sedangkan Danupaksi dan Cempaka hanya bisa memandangi saja, tanpa dapat berbicara lagi. Dan mereka juga meninggalkan taman belakang istana ini, setelah Pandan Wangi dan punggawa tidak terlihat lagi.

"Di mana orang tua yang kau antarkan dari Desa Payakan?" tanya Rangga setelah mereka keluar dari dalam istana melalui jalan rahasia yang berada di bagian belakang istana.

"Sebelah selatan pinggiran kota," sahut Pandan Wangi memberi tahu.

"Kita temui dulu dia," kata Rangga memutuskan.

Dan tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah menggebah cepat kudanya menuju selatan kota. Pandan Wangi terpaksa mengikuti tanpa banyak tanya lagi. Untung saja, Rangga menggebah kudanya tidak terlalu cepat. Sehingga, gadis itu bisa mudah mensejajarkan lari kudanya disamping kuda hitam bernama Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

Mereka terus menggebah cepat kudanya, melintasi jalan kota yang selalu ramai ini. Orang-orang yang berada di jalan itu segera menyingkir, begitu melihat dua orang penunggang kuda berpacu cepat melintasi jalan ini. Mereka yang memang sudah mengenal kedua penunggangnya, segera membungkuk memberi hormat.

Dan memang, hampir seluruh rakyat di Kota Kerajaan Karang Setra ini sudah mengenal raja mereka, walau saat ini mengenakan baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung. Mereka sudah tahu, raja mereka adalah seorang pendekar digdaya yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

Mengetahui kalau yang memacu cepat kuda itu adalah rajanya, semua orang langsung mengosongkan jalan ini. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sendiri terus memacu kudanya dengan cepat menuju arah selatan tanpa mempedulikan orang-orang yang berjajar di tepi jalan dengan tubuh membungkuk memberi hormat.

Dalam waktu tidak lama saja, sepasang pendekar muda dari Karang Setra itu sudah dekat dengan perbatasan luar kota sebelah selatan. Masih terlihat beberapa rumah di dekat perbatasan, walaupun tidak sepadat di tengah kota. Rangga langsung memperlambat lari kudanya. Dan matanya melirik Pandan Wangi sedikit, yang berkuda di sebelah kiri. Pandan Wangi langsung bisa mengerti. Dan segera kudanya digebah mendahului Pendekar Rajawali Sakti.

"Hooop...!" Pandan Wangi langsung menghentikan lari kudanya, setelah tiba di depan sebuah rumah kecil yang berhalaman cukup luas, tidak jauh dari gerbang perbatasan kota. Gadis itu langsung melompat turun dari punggung kudanya. Sementara Rangga bergegas mengikuti setelah sampai di samping kuda putih si Kipas Maut ini. Dan Pandan Wangi pun sudah melangkah memasuki halaman rumah yang cukup luas ini.

Dari dalam rumah kecil itu, keluar seorang laki-laki tua yang langsung menyambut dengan sikap begitu hormat. Di belakangnya menyusul seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun, diikuti seorang laki-laki yang berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuh laki-laki itu kekar berotot dan agak hitam terbakar matahari. Mereka langsung menyambut Pandan Wangi dengan sikap hormat sekali.

"Aku tidak lama, Ki Anom. Hanya mampir-mampir saja mengantarkan kakakku ini. Dia ingin kenal denganmu," kata Pandan Wangi cepat-cepat, ketika Ki Anom memintanya masuk ke dalam rumah anaknya.

Rangga menganggukkan kepala sedikit pada orang tua itu dengan bibir menyunggingkan senyum penuh rasa persahabatan. Ki Anom membalasnya dengan anggukan kepala juga.

"Kakang Rangga ingin tahu persoalanmu di Desa Payakan," kata Pandan Wangi lagi.

"Oh! Untuk apa Kisanak ingin tahu...?" tanya Ki Anom agak terkejut.

Belum juga Rangga bisa menjawab, Pandan Wangi sudah menyelak lebih dulu. "Terus terang saja, Ki. Kakang Rangga mendapat perintah dari istana untuk mengamankan desa itu..."

Kedua bola mata Ki Anom jadi terbeliak, memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua kurus itu langsung menyangka kalau pemuda yang bersama Pandan Wangi ini adalah pembesar istana. Cepat-cepat dia menjatuhkan diri, berlutut memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Anak dan menantu orang tua ini juga langsung bersikap sama. Dan ini membuat Rangga jadi menyipit kelopak matanya. Langsung matanya menatap tajam Pandan Wangi yang dianggapnya sudah salah bicara.

"Jangan bersikap begitu, Ki. Kakang Rangga orang biasa seperti kita. Hanya, dia sering mendapat tugas dari istana untuk persoalan seperti di Desa Payakan," kata Pandan Wangi cepat-cepat menjelaskan.

"Maaf.... Aku tidak menyangka kalau Nisanak adalah adik dari orang kepercayaan istana. Maafkan atas semua sikap dan kelancanganku," ucap Ki Anom sambil memberi hormat pada Pandan Wangi.

"Ah, sudahlah.... Aku dan Kakang Rangga datang hanya ingin meminta keterangan langsung darimu, Ki," ujar Pandan Wangi, juga jadi jengah mendapat sikap hormat seperti ini

Gadis itu langsung saja membangunkan Ki Anom dan anak menantunya. Dan kini mereka kembali berdiri saling berhadapan. Sementara, Rangga sendiri masih tetap diam. Entah, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti.

Kini Pandan Wangi sudah langsung mengajukan beberapa pertanyaan yang menyangkut keadaan di Desa Payakan. Dan dengan gamblang, Ki Anom menceritakan semua yang diketahuinya. Rangga sendiri hanya mendengarkan saja, tanpa memberi tanggapan sedikit pun.

********************

TIGA

Sekarang ini, keadaan di Desa Payakan semakin parah saja. Orang-orang Ki Junggut semakin disibuki oleh munculnya seorang bocah berkepandaian tinggi yang menghalangi mereka menarik pajak dari penduduk desa ini. Bahkan dalam beberapa hari ini saja, Ki Junggut sudah kehilangan tidak kurang dari lima belas orang tukang pukulnya yang berkepandaian sedang-sedang.

Keadaan yang semakin memburuk ini membuat Ki Junggut jadi berang setengah mati. Maka empat orang tua kepercayaannya diperintahkan untuk mencari bocah ajaib itu. Bahkan dia langsung memberi perintah untuk membunuh bocah itu tanpa ampun lagi. Sementara itu kedua putra kembarnya juga tidak mau ketinggalan. Mereka masih penasaran, karena pemah dibuat babak belur oleh anak kecil berusia sekitar tiga belas tahun.

Kekejaman yang mereka lakukan juga semakin menjadi-jadi. Bahkan sepak terjang kedua putra kembar Ki Junggut semakin merajalela saja. Mereka mengambil gadis gadis desa itu, dan menjadikannya pemuas nafsu. Semua penduduk Desa Payakan benar-benar merasakan berada dalam neraka sekarang ini. Namun tidak ada seorang pun yang berani menentang. Sedikit saja menunjukkan perlawanan, nyawa menjadi taruhannya.

"Kakang! Lihat, siapa itu...," bisik Rantaki, ketika siang itu mereka berjalan-jalan ke tepi sungai pinggiran Desa Payakan ini.

Kedua bola mata Rantaka langsung berbinar begitu melihat seorang gadis cantik sedang membasuh tubuhnya yang ramping dan indah itu di tepi sungai. Kulitnya yang putih terlihat halus, hanya tertutup selembar kain basah. Kedua pemuda kembar itu bergegas menghampiri. Dan mereka langsung tertawa-tawa, membuat gadis cantik berkulit putih halus itu terkejut.

"Oh...?!" Gadis itu cepat-cepat menutupi dadanya yang agak terbuka dengan kedua tangan. Segera dia keluar dari dalam sungai ini. Dan mencoba menghindari kedua pemuda kembar yang dengan sinar mata liar penuh nafsu itu. Tapi baru saja dia bergerak beberapa langkah dari sungai, Rantaka sudah melompat cepat dan langsung menerkamnya seperti seekor singa kelaparan.

"Ouwh...! Jangan..!" pekik gadis itu.

Tanpa ampun lagi, mereka jatuh bergulingan di tanah berpasir tepi sungai ini. Sementara Rantaki hanya tertawa-tawa senang, melihat kakak kembarnya berusaha memeluk dan menciumi gadis ini. Pergumulan yang tidak seimbang itu, membuat tawa Rantaki semakin keras. Dan kedua bola matanya jadi kian jalang, begitu melihat kain yang dikenakan gadis itu tersingkap, hingga menampakkan sepasang paha yang putih gempal menggiurkan.

"Tidak! Jangan..! Lepaskan aku...!" jerit gadis itu sambil terus meronta, berusaha melepaskan diri dari dekapan Rantaka.

"He he he...! Berteriaklah sepuasmu, Cah Ayu. tidak ada yang akan menolongmu...," desis Rantaka disertai tawanya yang berderai

"Jangan..." Gadis itu hanya bisa merintih lirih memohon belas kasihan. Air matanya mulai menitik, keluar dari sudut matanya yang bening. Tapi Rantaka seperti tidak peduli. Bahkan semakin liar saja menciumi dan meremas seluruh tubuh gadis dalam him-pitannya. Sementara Rantaki terus memandangi dengan desah napas kian memburu.

Apalagi... Rantaka yang terdengar mendengus memburu cepat seperti kuda yang dipacu di padang gersang. Sementara gadis ini hanya bisa merintih dan menangis, tanpa dapat lagi berbuat sesuatu untuk melepaskan diri. Sia-sia saja tubuhnya berusaha ditutupi. Sementara tangan pemuda kembar itu terus memaksa merenggut kain yang basah dan sudah kotor ini.

"Jangan...," rintih gadis itu lirih.

Bret!

"Auwh...!" Sekali sentak saja, kain yang melilit tubuh gempal itu terenggut, membuat gadis ini jadi sibuk menutupi dadanya yang terbuka dengan kedua tangan. Tapi Rantaka sudah cepat mencekal pergelangan tangannya, dan membukanya ke samping lebar-lebar. Dengan napas memburu cepat, Rantaka menciumi dada yang membusung dan terbuka tanpa penghalang lagi itu. Sedangkan gadis itui hanya bisa merintih dan menangis meratapi nasibnya.

"Akh! Tidaaak...!"

"Rasanya tidak ada lagi gadis secantik dia di desa ini, Kakang. Apa kau akan meninggalkannya begitu saja di sini?" tanya Rantaki tanpa beralih dari tubuh indah yang tergolek tanpa pakaian tidak jauh didepannya dalam keadaan pingsan, karena tak kuat menanggung aib.

"Memang sayang kalau hanya sekali dinikmati," kata Rantaka.

"Kita bawa saja ke pondok di dalam hutan, Kakang. Kalau sudah layu, baru dibuang" usul Rantaki.

"He he he...!" Rantaka hanya terkekah saja mendengar usul adik kembarnya. Dan tanpa banyak bicara lagi, langsung dihampiri gadis malang itu. Sekali renggut saja, gadis itu sudah berada dalam pelukannya.

Lalu dengan suara tawa terkekeh, Rantaka memanggul tubuh yang masih polos dan lemah tanpa daya ini ke pundaknya. Sebentar ditatapnya adik kembarnya.

"Kau pulang saja dulu, Rantaki. Malam nanti dia kuberikan padamu," kata Rantaka.

Rantaki hanya mengangkat bahu saja sedikit "Ingat! Jangan terlalu sore datangnya," pesan Rantaka.

Setelah berpesan begitu, Rantaka langsung berlari cepat meninggalkan tepian sungai ini. Sebentar saja, tubuhnya sudah lenyap tertelan pepohonan yang rapat. Sementara, Rantaki masih tetap duduk di tepi sungai itu dengan bibir menyunggingkan senyum. Dan tidak lama kemudian dia bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalan tepi sungai yang berbatasan dengan hutan ini. Bibirnya masih terus mengembangkan senyum, membayangkan perbuatan Rantaka pada gadis itu. Juga, apa yang akan dilakukannya malam nanti bersama gadis itu di pondok dalam hutan.

Jeritan melengking tinggi yang membelah kesunyian, terdengar keluar dari dalam sebuah pondok panggung kecil di tengah-tengah hutan lebat ini. Belum lagi jeritan itu lenyap dari pendengaran disusul suara tawa yang keras menggelegar.

Di pondok, Rantaka memang tengah mempermainkan gadis cantik yang dibawanya dari tepi sungai tadi, dan kini sudah siuman. Tidak ada selembar kain pun yang menutupi tubuh gadis ini. Dan gadis itu memang bagai tikus yang dipermainkan kucing.

"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau...?!"

"Jangan.... Tolong lepaskan aku...," rintih gadis itu memelas.

"Ha ha ha...!" Rantaka hanya tertawa saja mendengar rintihan gadis ini. Kakinya terus terayun mendekati.

Sementara, gadis itu sudah tidak dapat lagi bergerak. Punggungnya sudah menempel ke dinding kayu pondok ini. Kedua tangannya mencoba menutupi dadanya yang terbuka membusung indah. Diliriknya selembar kulit harimau yang menempel di dinding tidak jauh darinya. Tanpa berpikir panjang lagi, tangan yang mungil itu menyambar kulit ini, dan langsung menutupi tubuhnya.

"He he he...! Kau semakin cantik mengenakan itu, Cah Ayu...."

"Aku mohon padamu. Lepaskan aku...," rintih gadis itu memohon.

"He he he...!" Rantaka masih tertawa saja mendengar rintihan gadis ini. Dia terus mendekati dengan pandangan mata liar merayapi .tubuh yang masih agak terbuka. Sepasang paha yang halus dan gempal menjadi incaran tatapan mata pemuda ini.

"Jangan...," rintih gadis itu semakin lirih. Sementara, Rantaka sudah semakin dekat saja padanya. Bahkan tangannya sudah terulur ke depan. Sedangkan gadis itu sudah tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Seluruh tubuhnya sudah menggeletar, melihat tangan yang semakin dekat menjulur padanya. Dan ketika tangan Rantaka hampir menyentuh tubuh yang hanya tertutup selembar kulit harimau ini, mendadak saja....

Brak!

"Heh...?!"

"Auwh...?!"

Rantaka jadi tersentak kaget setengah mati, ketika tiba-tiba saja pintu pondoknya didobrak dari luar. Cepat tubuhnya berbalik. Namun pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjangnya.

"Haiiit...!" Cepat-cepat Rantaka membanting tubuhnya ke lantai kayu pondok ini, dan bergulingan beberapa kali sebelum melompat bangkit berdiri. Kedua bola matanya langsung terbeliak, begitu melihat seorang anak kecil yang tidak berbaju tahu-tahu sudah berada di depan gadis tawanannya.

Bocah itu hanya mengenakan celana yang sudah kotor dan robek sebatas lutut. Sorot matanya terlihat begitu tajam, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda ini. Tubuhnya yang kurus menampakkan tonjolan tulang-tulang, yang terbungkus kulit hitam kotor penuh lumpur. Kuku-kukunya panjang berwarna hitam bagai cakar harimau. Dia mendesis bagai ular, memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan runcing bagai binatang buas.

Sret!

Menyadari siapa yang tiba-tiba muncul, Rantaka langsung mencabut goloknya yang sejak tadi terselip di pinggang. Golok itu cepat disilangkan ke depan dada. Dan kakinya bergerak menggeser mendekati pintu. Sedikit matanya melirik pintu pondok yang sudah hancur berkeping-keping itu. Sementara bocah kecil bertubuh kotor ini hanya memandangi saja, dengan sinar mata tajam. Dan ketika Rantaka sudah hampir mencapai pintu, tiba-tiba saja bocah itu menggeram kecil. Lalu....

Slap! "Oh...?!" Rantaka jadi terlongong, begitu tiba-tiba bocah itu melesat cepat sekali menerjangnya. Jari-jarinya yang berkuku hitam dan runcing itu terkembang hendak mencengkeramnya.

"Hih...!"

Bet!

Cepat-cepat Rantaka mengibaskan goloknya ke depan. Sehingga bocah itu terpaksa harus memutar tubuhnya ke belakang, menghindari sabetan golok ini. Dan pada saat itu juga, Rantaka langsung melompat keluar dari dalam pondok kecilnya di tengah hutan ini.

"Hup!" Manis sekali Rantaka menjejakkan kakinya di tanah, begitu berada di luar pondok. Namun belum juga bisa berlari, dari dalam pondok bayangan bocah itu sudah melesat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di depan Rantaka sudah berdiri bocah kecil bertubuh kurus dan kotor penuh lumpur.

"Oh...?!"

Kembali Rantaka terlongong kaget setengah mati. Cepat goloknya disilangkan kembali ke depan dada. Sementara, bocah kecil itu sudah bergerak menggeser kakinya perlahan ke kanan. Jari-jari tangannya terkembang, bagai sepasang cakar elang yang seakan hendak mengoyak seluruh tubuh pemuda ini.

"Bocah setan! Maju kau...!" bentak Rantaka sengit, mencoba menghilangkan rasa takut yang menghinggapi dadanya.

Anak kecil bertubuh kurus yang berusia sekitar tiga belas tahun itu hanya menggereng saja, mendapat tantangan Rantaka. Sementara di ambang pintu pondok yang hancur, gadis cantik tawanan Rantaka sudah berdiri di sana memperhatikan. Wajahnya kelihatan pucat ketakutan. Dan dia rupanya tidak berani beranjak keluar dari dalam pondok kecil yang terbuat dari kayu pohon ini.

"Mampus kau! Hiyaaat..!"

Sambil membentak keras menggelegar, Rantaka langsung saja melompat menyerang dengan sambaran golok yang begitu cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sabetan goloknya diarahkan cepat ke kepala bocah kecil ini.

Tapi hanya sedikit saja bocah itu mengegoskan kepala, maka golok itu hanya lewat sedikit saja di samping kepalanya. Dan pada saat itu juga, dengan gerakan cepat luar biasa tangan kiri bocah itu mengibas ke samping. Begitu cepatnya kibasan tangan yang kecil dan hitam berlumpur ini, sehingga Rantaka tidak sempat menyadarinya. Dan....

Plak!

"Akh...!" Rantaka jadi terpekik kaget setengah mati, begitu merasakan kibasan tangan bocah itu menghantam tepat di pergelangan tangan kanannya. Begitu kerasnya, hingga golok yang tergenggam di tangan kanannya jadi terlepas. Dan sebelum Rantaka bisa menyadari apa yang bani saja terjadi, bocah itu sudah meliukkan tubuhnya. Langsung dilepaskannya satu tendangan yang sangat cepat, sambil melompat sedikit ke atas.

Bugkh!

"Akh...!" Untuk kedua kalinya Rantaka memekik, begitu tendangan kaki kecil itir menghantam telak dadanya. Seketika pemuda itu terpental cukup jauh kebelakang. Dan belum juga Rantaka bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, bocah itu sudah kembali melompat cepat sambil menggeram bagai seekor binatang buas. Kedua tangannya menjulur ke depan, dengan jari-jari yang berkuku tajam terkembang lebar.

Sementara Rantaka yang masih terhuyung, tidak punya kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya. Hingga....

Bres!

"Aaa...!" Rantaka kembali menjerit melengking tinggi, begitu kedua tangan bocah kecil itu menghujam dalam dadanya.

Bret!

"Ugkh!" Darah seketika itu juga menghambur deras sekali, begitu tangan bocah kecil itu keluar dari dalam dada Rantaka. Dan manis sekali gerakannya, saat melenting berputar ke belakang menjauhi pemuda itu.

Sementara, Rantaka hanya bisa terbeliak melihat dadanya berlubang mengeluarkan darah segar. Namun sesaat kemudian, pemuda itu jatuh terguling ke tanah. Dan hanya sebentar saja tubuhnya menggelepar dengan erangan kecil dari bibirnya. Kemudian seluruh tubuhnya mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi.

Sementara bocah kecil bertubuh kurus dan kotor itu memandangi dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Mulutnya menyeringai penuh kepuasaan, melihat lawan sudah tergeletak tidak bernyawa lagi dengan dada berlubang berhamburan darah. Perlahan tubuhnya berputar dan langsung pandangannya tertumbuk pada gadis cantik yang masih tetap berada di ambang pintu pondok Hanya selembar kulit harimau saja yang menutupi tubuhnya.

"Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu...," ujar bocah kecil itu sambil memberi senyum kecil.

"Sss..., siapa kau...?" tanya gadis cantik itu dengan suara bergetar ketakutan.

"Namaku Kunjang. Aku tidak ada maksud apa-apa, selain menolongmu," kata bocah kecil itu memperkenalkan namanya.

"Aku.... Aku Wulandari...," gadis itu juga memperkenalkan diri, walau dengan suara bergetar ketakutan.

Tapi melihat keganasan bocah itu sudah menghilang dari wajah dan sorot matanya, ketakutan gadis itu mulai lenyap dari dirinya. Kakinya lantas melangkah keluar dari pondok kecil di dalam hutan ini. Dihampirinya Kunjang yang masih tetap berdiri tidak jauh dari mayat Rantaka. Gadis yang mengaku bernama Wulandari itu berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima depa lagi di depan Kunjang. Wulandari melirik sedikit pada Rantaka yang sudah tergeletak tidak bernyawa dengan dada berlubang cukup besar mengeluarkan darah. Begitu besarnya lubang di dada pemuda itu, hingga bagian dalamnya terlihat jelas.

"Dia sudah pantas menerimanya," kata Kunjang terdengar lirih suaranya, seperti mengerti lirikan Wulandari.

"Mereka akan marah dan pasti menuduhku yang membunuhnya...," kata Wulandari, kembali bergetar ketakutan suaranya.

"Kau takut...?"

Wulandari tidak langsung menjawab, dan hanya memandangi anak kecil bertubuh kurus dan kotor ini saja. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Wulandari seakan sedang berhadapan dengan sosok malaikat berupa anak kecil yang memiliki kepandaian sangat tinggi.

"Ayo, kau kuantarkan pulang," ajak Kunjang.

"Aku..., aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Rumahku sudah mereka bakar. Anak dan suamiku dibunuh. Aku tidak punya apa-apa lagi di sana...."

Wulandarai langsung menangis terisak, meratapi kemalangan nasibnya. Baru beberapa hari dia kehilangan suami dan anaknya. Dan sekarang ini, entah berapa kali Rantaka sudah menodainya. Dia tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukannya, Wulandari merasa kalau tidak mungkin kembali ke Desa Payakan. Bahkan semula ingin meninggalkan desa itu. Meninggalkan semua kepahitan yang dialaminya. Tapi, rupanya nasib buruk belum juga mau pergi jauh dari dirinya.

Kunjang menghampiri, langsung menggenggam tangan gadis ini yang putih dan halus. Seakan, dia ingin memberi ketabahan pada diri wanita malang ini. Sementara, Wulandari masih terisak, menutupi wajah dengan tangan kiri. Namun tak lama kemudian, tangisnya berhenti. Disekanya air mata yang membasahi seluruh wajahnya. Pandangan matanya langsung tertuju pada anak laki-laki berusia tiga belas tahun di depannya yang masih memegangi tangan kanannya.

"Aku juga sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Mereka membunuh kedua orangtuaku, juga semua saudaraku. Bahkan mengusirku seperti anjing kotor yang hina. Kita senasib, Kak...," ujar Kunjang lirih.

"Oh.... Kau juga berasal dari Desa Payakan...?"

"Benar, Kak. Aku dilahirkan di sana," sahut Kunjang.

Wulandari jadi terdiam. Kunjang juga tidak membuka suara lagi. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam membisu. Namun tidak berapa lama, bocah kecil itu mengajak Wulandari pergi meninggalkan tempat ini. Wulandari tidak bisa menolak lagi. Dia memang tidak ingin lama-lama berada di dalam hutan ini. Dan kakinya pun melangkah mengikuti ayunan kaki Kunjang di sebelah kanannya. Mereka berjalan menembus lebatnya hutan, tanpa ada yang bicara lagi.

EMPAT

Kematian Rantaka di dalam hutan, membuat seluruh Desa Payakan bagai diguncang gempa teramat dahsyat. Kematian Rantaka membuat Ki Junggut semakin bertambah berang. Dan kekejaman yang terjadi di desa itu juga semakin membara. Dan Ki Junggut langsung memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari pembunuh putranya itu. Sementara, Rantaki yang merupakan saudara kembar Rantaka tidak dapat berbuat apa-apa. Dia sendiri tidak tahu, siapa yang membunuh saudara kembarnya di depan pondok di dalam hutan. Pondok itu memang mereka dirikan untuk beristirahat, setiap kali berburu ke dalam hutan.

Sementara Rangga dan Pandan Wangi yang baru tiba di luar perbatasan Desa Payakan ini, sudah mendengar kematian Rantaka dari beberapa orang yang berpapasan. Dan Pendekar Rajawali Sakti pun memutuskan untuk menunda dulu memasuki desa itu.

"Tampaknya ada orang lain yang sudah bertindak lebih dulu, Pandan," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Itu bisa saja terjadi, Kakang. Mereka sudah terlalu lama tertindas. Salah satu dari penduduk desa ini pasti ada yang tergugah untuk melawan," sahut Pandan Wangi.

"Tapi kulihat, penduduk desa itu semakin dicekam ketakutan saja, Pandan. Aku merasa kalau perbuatan Ki Junggut dan tukang-tukang pukulnya akan semakin merajalela. Semua ini harus secepatnya diakhiri," tegas Rangga.

"Kalau begitu, kita langsung saja datangi Ki Junggut. Aku yakin, dia akan bertekuk lutut bila tahu kalau kau adalah Raja Karang Setra," kata Pandan Wangi langsung mengusulkan.

"Justru itu yang tidak kuinginkan, Pandan. Dalam persoalan ini, aku tidak ingin membawa-bawa Karang Setra. Aku akan melakukannya atas namaku sendiri sebagai pendekar. Bukan sebagai raja," Rangga tegas-tegas langsung menolak usul Pandan Wangi.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Hm.... Aku akan mencari orang yang sudah menentang Ki Junggut," sahut Rangga. Nada suaranya terdengar menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.

"Untuk apa...?" tanya Pandan Wangi lagi semakin ingin tahu.

"Aku merasa, dia belum berani bertindak secara terang-terangan. Dan tindakannya bukan menolong, tapi malah semakin membuat penduduk desa ini semakin tertindas saja. Aku akan mengajaknya menumpas kelaliman Ki Junggut, tanpa harus mengorbankan penduduk yang sudah tidak berdaya lagi," jelas Rangga.

Pandan Wangi jadi terdiam membisu. Sudah bisa dimengerti apa yang dikehendaki Pendekar Rajawali Sakti. Memang sudah menjadi watak Rangga yang selalu tidak ingin menimbulkan banyak korban dalam menyelesaikan suatu masalah. Terutama sekali, selalu menghindari keterlibatan penduduk yang tidak berdaya, agar tidak menjadi korban sia-sia.

"Ayo, Pandan...," ajak Rangga setelah cukup lama berdiam diri.

"Ke mana?" tanya Pandan Wangi.

"Ke tempat Rantaka terbunuh," sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melompat naik ke punggung kuda Dewa Bayu. Pandan Wangi bergegas mengikuti, melompat naik ke punggung kuda putih tunggangannya. Dan sebentar kemudian, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah memacu cepat kudanya memasuki hutan yang berbatasan dengan Desa Payakan. Sebentar saja, mereka sudah lenyap tertelan lebatnya hutan itu. Hanya kepulan debu saja yang masih terlihat bergulung-gulung ke angkasa.

Kedua pendekar dari Karang Setra itu tidak tahu kalau gerak-gerik mereka sejak tadi diikuti oleh seorang laki-laki tua bertubuh kekar, dengan sebilah golok tersandang di pundak. Laki-laki kekar yang merupakan salah satu tukang pukul Ki Junggut, bergegas masuk ke dalam desa. Jelas, dia ingin melaporkan kehadiran dua orang pendekar muda itu pada Ki Junggut Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi, menghilang ditelan hutan yang sangat lebat ini.

Sedangkan keadaan di Desa Payakan, masih tetap sunyi tanpa ada seorang pun yang melakukan kegiatan sehari-hari. Sejak diketahui Rantaka mati terbunuh di dalam hutan, tidak ada seorang penduduk pun yang berani meninggalkan rumahnya. Mereka takut menjadi sasaran kemarahan Ki Junggut atas kematian salah satu putra kembarnya.

Tidak ada yang dapat ditemukan Rangga di sekitar pondok kecil di dalam hutan ini. Yang didapati hanya pondok kosong, dengan pintunya hancur berkeping-keping Dan tidak jauh dari pondok itu, masih terdapat darah yang sudah mengering. Tidak ada satu pun dapat dijadikan petunjuk bagi Pendekar Rajawali Sakti, untuk mengetahui siapa yang membunuh Rantaka dalam hutan ini. Pendekar Rajawali Sakti juga tidak tahu, untuk apa Rantaka berada dalam hutan yang sunyi dan lebat ini. Demikian pula tentang penghuni pondok kecil di dalam hutan ini.

Semakin banyak pertanyaan yang timbul dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tidak satu pun yang bisa terjawab. Sementara Pandan Wangi hanya diam saja menyaksikan Rangga yang terus mencari sesuatu di sekitar pondok kecil ini. Namun tiba-tiba saja, kuda-kuda tunggangan mereka meringkik keras, dan kelihatan gelisah. Rangga langsung berpaling memandang kuda-kuda itu.

"Ada apa, Pandan...?" tanya Rangga.

Belum juga Pandan Wangi bisa menjawab, tiba-tiba dari balik pepohonan berlompatan sosok-sosok tubuh menghunus senjata golok. Pandan Wangi cepat melompat mendekat Pendekar Rajawali Sakti. Dan dalam waktu yang sangat singkat, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah terkepung tidak kurang dari dua puluh orang bersenjatakan golok. Tampak di antara mereka terdapat tiga orang laki-laki tua bersama seorang wanita yang sudah lanjut usianya. Mereka memang orang-orang kepercayaan Ki Junggut.

"Phuih! Rupanya kalian berdua biang keladinya!" dengus Ki Sampulut.

"Sudah.... Jangan banyak bicara, Kakang. Serang saja mereka," selak Nyai Waringki, tidak sabar.

"Mereka memang harus mampus!" dengus Ki Sampulut lagi.

"Seraaang...! Bunuh mereka!"

"Tunggu...!" sentak Rangga mencegah, sebelum ada yang bergerak.

"Phuih! Mau apa kau...?!" bentak Ki Sampulut.

"Siapa kalian?! Kenapa tiba-tiba ingin menyerang kami?" tanya Rangga.

"Kau sudah membunuh putra junjungan kami. Dan sekarang, kau harus mampus!" sahut Ki Sampulut mendengus geram.

"Kalian salah. Kami tidak membunuh siapa pun di sini," sentak Pandan Wangi.

"Jangan banyak omong!" bentak Nyai Waringki.

"Serang mereka...!"

"Hiyaaa...!"

"Yeaaah...!"

Seketika itu juga, dua puluh orang bersenjata golok yang sudah mengepung kedua pendekar dari Karang Setra ini langsung berlompatan menyerang disertai teriakan-teriakan keras mengetarkan jantung. Rangga dan Pandan Wangi tidak dapat lagi mencegah. Mereka terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang datang secara bersamaan dari segala arah. Dan mereka juga terpaksa terpisah dalam menghadapi lawan-lawannya.

"Hiyaaat...!"

Bet!

Cepat sekali Pandan Wangi mencabut senjata Kipas Maut dan langsung mengebutkannya pada salah seorang lawannya di depan. Tapi, lawannya ini bisa menangkis kebutan kipas putih keperakan itu dengan goloknya.

Trang!

Orang itu jadi terpekik, merasakan seluruh lengannya bergetar hebat. Bahkan goloknya terlepas dari genggaman. Dan saat itu juga Pandan Wangi memberikan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hih!"

Dugkh!

Begitu cepatnya tendangan Pandan Wangi, sehingga lawannya tidak dapat lagi menghindari. Dan dia menjerit keras, begitu tendangan si Kipas Maut menghantam tepat dadanya.

Sementara Pandan Wangi sudah kembali melesat sambil mengibaskan senjata kipasnya pada lawan lain. Tidak dihiraukannya lawan yang terkena tendangan tadi tersungkur mencium tanah dengan . tulang-tulang dada rembuk. Orang itu seketika tergeletak diam tidak bergerak-gerak lagi.

Bet! Cras!

"Aaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, begitu ujung kipas Pandan Wangi yang runcing merobek dada salah seorang lawan. Dan gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu terus bergerak cepat menghajar lawan-lawannya dengan senjata mautnya yang berkelebat begitu cepat tanpa dapat dibendung lagi.

Sementara di tempat lain, Rangga hanya memberi pukulan-pukulan ringan pada setiap lawannya. Walaupun sebagian sudah bergelimpangan, tapi tidak ada yang sampai menemui ajal. Sedangkan Pandan Wangi sendiri, sudah menewaskan tiga orang lawan dalam waktu yang tidak begitu lama. Sementara, empat orang tua kepercayaan Ki Junggut jadi geram melihat prajurit mereka tampaknya tidak berdaya menghadapi dua orang pendekar muda dari Karang Setra itu.

"Munduuur...!" teriak Ki Sampulut tiba-tiba.

Seketika itu juga, orang-orang yang mengeroyok Pandan Wangi berlompatan mundur, begitu terdengar teriakan perintah dari Ki Sampulut. Dan pada saat itu juga, laki-laki tua bertubuh tegap terbungkus baju merah ketat dan bersenjata golok itu melompat menghampiri Rangga.

"Hiyaaa...!"

Bet!

Cepat sekali Ki Sampulut mengebutkan goloknya yang berukuran sangat besar, mengarah tepat ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Haiiit...!"

Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepala, maka tebasan golok berukuran sangat besar itu lewat tanpa membawa hasil. Dan pada saat tubuhnya agak miring ke lori, Rangga melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu cepat dengan kaki kanan.

"Yeaaah...!"

"Hap!" Ki Sampulut cepat-cepat melenting dan berputaran ke belakang, hingga tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai menghantam tubuhnya. Beberapa kali orang tua itu berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kedua kakinya di tanah, sekitar setengah batang tombak jauhnya dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Phuih!" Ki Sampulut menyemburkan ludahnya dengan sengit Perlahan kakinya bergeser ke kanan dengan tatapan mata tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan agak jauh ke belakang Rangga, Pandan Wangi terpaksa harus menjadi penonton. Karena, tidak ada seorang pun yang menyerangnya.

Sementara perhatian Ki Sampuk, Ki Jampur, dan Nyai Waringki juga terpusat pada pertarungan antara Ki Sampulut dengan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka jadi ikut merasa tegang, melihat Ki Sampulut masih belum juga melancarkan serangan.

Wut!

Ki Sampulut cepat memutar goloknya yang berukuran sangat besar itu, hingga beruknya lenyap dari pandangan. Dan yang terlihat hanya lingkaran putih keperakan di depan tubuh orang tua berbaju merah agak ketat ini.

"Hup! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Ki Sampulut melompat cepat sekali menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dan bagaikan kilat, goloknya dihantamkan tepat mengarah ke bagian perut pemuda berbaju rompi putih yang menjadi lawannya.

"Upths!" Cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang, hingga sambaran golok itu hanya lewat sedikit saja di depan perutnya. Namun tanpa diduga sama sekali, Ki Sampulut cepat memutar arah goloknya. Dan langsung goloknya dikibaskan ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti.

Bet!

Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghindari sambaran golok lawannya. Dan dengan cepat kedua telapak tangannya dikatupkan tepat di depan tenggorokannya.

"Hap..." Tap!

Seketika itu juga, golok yang hampir menebas leher terjepit di antara kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menyatu rapat.

"Hih...!"

Ki Sampulut jadi tersentak kaget, tidak menyangka kalau pemuda lawannya akan berbuat demikian. Cepat seluruh tenaga dalamnya dikempos. Dicobanya untuk menarik goloknya dari jepitan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, golok itu sedikit pun tidak bergeming berada dalam jepitan tangan Rangga.

"Hih!"

Kembali Ki Sampulut melepaskan goloknya. Namun tetap saja usahanya tidak membawa hasil. Sementara, Rangga sendiri terlihat tegak seperti tidak berusaha menahan sentakan tenaga dalam lawannya. Namun tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melenting sedikit ke atas. Dan....

"Yeaaah...!"

Bet!

"Heh...?!" Ki Sampulut jadi terbeliak kaget setengah mati, sungguh tidak disangka lawannya bisa bergerak dengan tangan masih merapat menjepit goloknya. Dan belum lenyap rasa keterkejutannya, tahu-tahu....

Diegkh!

"Akh...!" Ki Sampulut jadi memekik agak tertahan, begitu tendangan Rangga tepat menghantam dadanya. Seketika tubuh orang tua yang masih kelihatan tegap dan berotot ini jadi terpental cukup jauh ke belakang, dengan golok terlepas dari genggaman tangan. Golok itu masih berada dalam jepitan kedua telapak tangan Rangga di depan tenggorokannya.

"Hih!"

Trak!

Entah bagai mana caranya, Rangga mematahkan golok itu hingga menjadi dua bagian, dan langsung membuangnya begitu saja ke depan. Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu membuat semua orang yang menyaksikan jadi terlongong bengong. Sungguh mereka tidak percaya kalau pendekar muda itu mampu mematahkan golok Ki Sampulut yang sudah terkenal keampuhannya dengan mudah sekali, seperti mematahkan sepotong ranting kecil yang sudah kering.

Ki Sampulut sendiri yang masih belum juga bisa berdiri jadi terbeliak melihat goloknya kini sudah terpotong menjadi dua bagian, tergeletak di tanah tidak jauh darinya. Sementara Rangga tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya memandangi orang-orang tua yang masih terlongong bengong, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya.

"Dengar...! Aku tidak ada urusan dengan kalian. Sebaiknya pergi dari sini, sebelum pikiranku berubah untuk mematahkan batang leher kalian satu persatu...!" keras sekali suara Rangga, hingga menggema sampai menelusup ke dalam hutan yang lebat ini.

Ancaman Rangga yang tampaknya tidak main-main ini membuat hati sisa-sisa anak buah orang-orang tua itu jadi bergetar. Dan kata-kata Rangga yang bernada ancaman, membuat orang-orang tua tukang pukul Ki Junggut ini jadi terdiam. Sementara, itu Ki Sampulut sudah bisa berdiri lagi. Dia kini berada di antara orang-orang tua yang lain

"Kali ini kau boleh merasa senang, Bocah. Tapi lain waktu, kau akan berlutut di depanku...!" dengus Ki Sampulut mendesis.

Rangga hanya tersenyum saja mendengar kata-kata Ki Sampulut yang tidak sudi mengakui kekalahannya. Dan tanpa banyak bicara lagi Ki Sampulut segera berbalik, kemudian melangkah meninggalkan tempat ini. Sementara Ki Jampur, Ki Sampuk, dan Nyai Waringki menatap tajam beberapa saat pada Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian mereka juga berputar dan melangkah pergi mengikuti Ki Sampulut yang sudah pergi lebih dulu diikuti sisa-sisa anak buahnya.

Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak memandangi mereka sampai lenyap tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan ini. Pandan Wangi bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Sebenarnya kita bisa menumpas mereka sampai habis, Kakang...," ujar Pandan Wangi dengan nada suara agak menggumam, seakan bicara pada diri sendiri.

"Belum saatnya, Pandan," sahut Rangga datar.

"Sudah jelas mereka orang-orangnya Ki Junggut. Aku rasa, tidak ada manfaatnya membiarkan mereka tetap hidup, Kakang," selak Pandan Wangi, tidak sependapat dengan jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayo, Pandan. Kita pergi dari sini," ajak Rangga setelah beberapa saat terdiam.

Pandan Wangi tidak bisa lagi membantah. Diikutinya Pendekar Rajawali Sakti yang melangkah menghampiri kudanya. Kedua kuda itu tadi langsung menyingkir menjauh, begitu muncul pengikut-pengikut Ki Junggut. Dan tanpa banyak bicara lagi, Rangga langsung melompat naik kepunggung kuda hitamnya yang dikenal bernama Dewa Bayu. Kecepatan lari kuda itu bagaikan angin saja. Sehingga, tidak ada seekor kuda pun di dunia ini yang bisa menandinginya.

Namun hutan yang lebat dengan pepohonan yang seakan saling menyatu dan berkaitan ini, membuat gerak kuda mereka jadi terhambat. Hingga akhirnya, Rangga terpaksa harus turun dari punggung kudanya. Pandan Wangi segera mengikuti jejak Pendekar Rajawali Sakti. Kini mereka melajutkan perjalanannya dengan berjalan kaki, sambil menuntun kuda masing-masing.

LIMA

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu baru berhenti, setelah sampai di tempat yang agak lapang di dalam hutan ini. Sebuah tempat yang cukup tersiram cahaya matahari. Sesaat mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya. Terasa sunyi sekali, sedikit pun tidak terdengar suara binatang. Hanya tiupan angin yang menggeser dedaunan saja yang terdengar mengusik telinga.

"Sunyi sekali di sini, Kakang. Seperti tidak ada yang hidup saja...," ujar Pandan Wangi pelan, sepera bicara pada diri sendiri.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan.

Memang tidak ada yang dapat dilihat di tempat ini, selain pepohonan Bahkan sedikit pun tidak terdengar suara binatang. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti merasa kesunyian ini memancarkan hawa. yang lain. Suatu perasaan yang membuatnya kelihatan menegang, dengan pandangan mata terus beredar ke sekeliling tanpa suara sedikit pun juga. Bahkan sepertinya dia sejak tadi menahan napas.

"Ada apa, Kakang?" tegur Pandan Wangi yang melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti yang terasa lain.

Namun belum juga Rangga bisa menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu, mendadak saja....

Brolll!

"Pandan, awas...!"

"Heh...?! Hup!"

Untung saja Pandan Wangi cepat melompat ke atas. Sehingga, sepasang tangan yang tiba-tiba saja menyembul dari dalam tanah tidak sampai merenggut kakinya. Beberapa kali gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya kembali di samping Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara sepasang tangan yang menyembul dari dalam tanah itu terus bergerak keluar. Kemudian, terlihat sebentuk kepala yang kotor penuh lumpur menyembul dari dalam tanah. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan dengan mata tidak berkedip. Hingga akhirnya, di depan mereka kini berdiri seorang anak kecil yang berusia sekitar tiga belas tahun.

Anak itu bertubuh kurus dan kotor penuh tanah berlumpur. Kulitnya ditumbuhi sisik seperti seekor ular berwarna hijau kehitaman. Dia berdiri tegak di atas tanah yang tadi ditembus. Anak itu seakan-akan sesosok makhluk yang sudah mari saja. Matanya menatap kedua pendekar muda dari Karang Setra itu dengan sinar tajam memerah.

"Siapa kalian?! Apa maksud kalian datang mengganggu wilayahku...?" terasa begitu dingin dan datar suara bocah kecil itu.

"Aku Rangga. Dan ini adikku. Pandan Wangi...," sahut Rangga memperkenalkan diri. "Maaf kalau kedatanganku ke sini mengganggumu. Tapi, aku tidak bermaksud mengganggu. Aku dan adikku ini hanya tersesat di dalam hutan ini."

Bocah kecil yang keluar dari dalam tanah itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi dengan mata merah dan tajam menusuk, seakan tidak percaya dengan alasan yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Dan Rangga tahu, bocah aneh itu tidak mempercayai keterangannya barusan.

"Baiklah. Jika ketenanganmu merasa terusik, aku akan pergi dari sini," kata Rangga tidak ingin lagi memperpanjang.

"Tunggu...!" sentak bocah itu sebelum Rangga bisa melangkah pergi meninggalkannya.

Rangga yang sudah akan berbalik, jadi mengurungkan niatnya. Sedangkan Pandan Wangi hanya diam saja memandangi bocah kecil yang kulit tubuhnya kotor dan bersisik seperti ular ini.

"Aku melihat kejujuran di matamu, Kisanak. Dan kuminta, kau jangan pergi dulu," kata bocah kecil itu, mulai terdengar ramah nada suaranya.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.

"Kau seorang pendekar...?" tanya bocah itu. Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang mengangguk.

"Aku memerlukan seorang pendekar sejati yang tidak pernah tergiur gemerlapnya dunia dan segala macam benda pusaka milik orang lain. Aku yakin, kau bisa mengerti maksudku," kata bocah kecil itu lagi.

"Maaf, pertolongan apa yang kau perlukan dariku?" tanya Rangga sopan.

"Aku tidak bisa mengatakannya di sini. Kalau kau bersedia, ikutlah bersamaku. Nanti ayahku yang akan menjelaskannya," sahut anak kecil itu. "Tapi..., boleh aku tahu apa julukanmu...?"

"Untuk apa?" Rangga balik bertanya.

"Terus terang, aku sedang menunggu seorang pendekar yang harus kubawa menghadap ayahku. Dan aku tidak mau salah membawa orang."

Rangga terdiam sebentar memandangi bocah itu. Sedikit matanya melirik Pandan Wangi yang juga sejak tadi diam saja memandang ke arah yang sama.

"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga menyebutkan julukannya.

"Ah...! ternyata aku tidak salah. Kau memang orang yang sedang kutunggu. Mari kuantarkan kalian menemui ayahku. Biar nanti kalian tahu, apa maksudnya," kata bocah kecil bersisik itu dengan bola mata berbinar cerah.

"Hm.... Siapa ayahmu?" tanya Pandan Wangi menyelak. "Dan kau sendiri juga belum mengatakan namamu."

"Oh, maaf.... Aku lupa," sahut bocah kecil itu agak tersipu. "Biasanya, aku dipanggil Putra Naga. Dan ayahku adalah Naga Prata. Kami tinggal di dalam Goa Naga yang ada didalam tanah."

"Di dalam tanah...?" Pandan Wangi jadi terbeliak.

Bocah kecil bertubuh kotor dan bersisik seperti ular yang tadi mengaku bernama Putra Naga jadi tersenyum melihat keterkejutan Pandan Wangi. Tapi disadari kalau memang tidak mungkin bagi orang biasa untuk bisa bertahan lama hidup di dalam tanah. Sedangkan dia sendiri memang sudah sejak lahir berada di dalam tanah.

"Kau tidak perlu khawatir, Kak Pandan. Tempat tinggalku berada tepat di bawah kakiku ini. Ayo ikuti aku," ajak Putra Naga.

Tanpa banyak bicara lagi, bocah kecil yang bernama Putra Naga itu langsung mengambil tangan Pandan Wangi. Lalu dengan cepat sekali tubuhnya melesat masuk ke dalam tanah, membuat Pandan Wangi yang tertarik masuk jadi tersentak kaget dan menjerit.

"Kakang...! Akh...!"

"Heh...?!" Rangga juga jadi kaget setengah mati. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat masuk ke dalam tanah yang terbuka seperti sumur itu. Jeritan Pandan Wangi langsung tenggelam, bersama menutupnya kembali tanah yang berlubang. Kini tanah itu telah rapat tertutup rerumputan dan daun-daun kering. Sementara Rangga dan Pandan Wangi sudah lenyap masuk ke dalam tanah mengikuti Putra Naga.

Kedua pendekar muda dari karang Setra itu meluncur deras sekali ke dalam lereng yang panjang seperti goa di dalam tanah ini. Mereka tidak dapat melihat apa-apa, selain kegelapan yang menyelimuti sekelilingnya. Tapi, Pandan Wangi masih merasakan kalau pergelangan tangan kanannya dipegangi jari-jari tangan kecil yang kasar dan bersisik. Sedangkan sebelah kakinya dipegangi Rangga yang mengikuti dari belakang.

"Inilah tempat tinggalku," kata Putra Naga.

"Oh...." Pandan Wangi jadi terlongong bengong, begitu melihat sebuah istana yang begitu megah berdiri di dalam tanah. Lebih tercengang lagi, keadaan di sekitarnya begitu terang seperti tengah hari saja. Padahal, tidak terlihat adanya cahaya matahari yang masuk. Di atas kepala mereka yang terlihat hanya gumpalan tanah berwarna hitam pekat.

"Ayo, kita temui ayahku," ajak Putra Naga.

Rangga dan Pandan Wangi mengikuti anak kecil itu memasuki bangunan istana yang sangat megah ini. Namun sungguh mencengangkan, mereka tidak melihat ada seorang pun di dalam istana ini. Keadaannya begitu sunyi, tidak terlihat prajurit seorang pun yang menjaga, sebagaimana layaknya sebuah istana. Apalagi istana ini begitu megah. Dan rasanya Rangga sendiri baru melihat sebuah bangunan istana yang begitu megahnya. Jauh bila dibandingkan dengan Istana Karang Setra.

"Kalian tunggu di sini. Aku panggil Ayah dulu," ujar Putra Naga, setelah mereka berada di dalam sebuah ruangan yang sangat luas dan indah.

Langit-langit ruangan itu begitu tinggi, seakan tidak berujung. Tiang-tiang yang besar, terdapat sebuah tiang sokoguru yang berukuran sangat besar berwarna kuning keemasan, bagai terbuat dari emas murni. Lantainya berwarna putih bersih dan berkilat, hingga bayangan tubuh mereka terlihat jelas.

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mereka tidak bisa lagi menyembunyikan kekagumannya melihat kemegahan istana ini.

Mereka langsung berpaling ke arah pintu yang dimasuki Putra Naga tadi, ketika terdengar suara mendesis yang begitu keras dari dalam pintu itu. Dan dari dalam pintu itu, muncul Putra Naga bersama seekor ular naga yang begitu besar wujudnya. Ular naga itu berkulit hijau kehitaman, dan kelihatan lemah seperti tidak ada daya lagi.

"Kakang Rangga, Kak Pandan.... Ini ayahku," kata Putra Naga memperkenalkan.

"Oh...!" Pandan Wangi jadi terlenguh melihat orangtua si Putra Naga ternyata berbentuk seekor ular naga raksasa yang begitu besar. Pantas saja istananya ini sangat besar dan tinggi, seperti istana yang dihuni raksasa saja.

Sementara ular naga yang kelihatan lemah itu melingkar diam di sudut ruangan berpermadani. Sedangkan Putra Naga duduk di sampingnya. Pandan Wangi dan Rangga segera mengambil tempat, duduk bersila di depan mereka.

"Maaf, aku menerima kalian dalam wujud seperti ini...," ucap ular naga itu dengan suara berat dan pelan.

"Oh...?!" Lagi-lagi Pandan Wangi terlenguh kaget mendengar ular naga itu berbicara seperti manusia. Sedangkan Rangga hanya diam saja, memandangi naga raksasa yang dikenalkan Putra Naga tadi sebagai ayahnya, yang bernama Naga Prata.

"Aku tidak lagi bisa berubah menjadi manusia, karena mustika kekuatanku hilang dicuri seorang anak yang kuselamatkan dari kematian. Bahkan kalian lihat sendiri, anakku juga jadi seperti ini. Dan istana ini.... Tidak ada lagi prajurit, dan rakyatku. Mereka semua sudah kembali berubah menjadi ular. Mereka tidak akan bisa berubah wujud lagi, selama mustika itu tidak berada padaku," kata Naga Prata langsung mengemukakan kesulitannya.

"Mustika apa yang kau maksudkan?" tanya Rangga yang sejak tadi diam saja.

"Sebuah batu mustika berwarna hijau sebesar kuku, dan berbentuk cincin," jelas Naga Prata.

"Lalu, siapa anak yang telah mencuri mustika kekuatanmu itu?" selak Pandan Wangi.

"Kunjang," sahut Naga Prata.

"Kunjang...," gumam Rangga mengulangi nama pencuri mustika kehidupan Naga Prata itu.

"Ya! Namanya Kunjang asalnya dari Desa Payakan. Waktu itu Kunjang dianiaya dan hampir mati di dalam hutan. Untung saja aku segera membawanya ke sini. Bahkan aku telah mengangkat sebagai anak untuk menemani anakku bermain. Dia kuberi pelajaran ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan sama dengan putraku. Tapi, rupanya Kunjang bukan anak baik Dia tahu tentang mustika kekuatanku, lantas mencurinya ketika aku sedang tidur. Dengan cincin mustika itu, Kunjang nyaris tidak akan bisa terkalahkan oleh siapa pun juga. Bahkan bisa sangat berbahaya bagi semua orang. Tapi, bukan itu yang kukhawatirkan...."

Naga Prata menghentikan ceritanya sebentar. Seperti ada sesuatu yang membebani harinya. Dan itu memang harus diungkapkannya.

"Aku mencemaskan kelangsungan hidup bangsaku. Tanpa mustika itu, bangsaku tidak akan bisa lagi hidup di sini. Dan mereka akan menjadi liar kembali, tanpa ada yang dapat mengendalikannya. Bisa kau bayangkan, bagaimana kalau seluruh bangsaku yang berbentuk ular itu sampai ke permukaan bumi. Aku rasa, tidak akan ada seorang pun yang bisa lagi menghalanginya. Jumlahnya lima kali lipat dari jumlah manusia yang ada di bumi," jelas Naga Prata lagi. "Belum lagi, ditambah ular-ular yang memang hidup dan bebas berada di atas permukaan bumi. Mereka akan memangsa apa saja yang ada di bumi ini. Bahkan manusia pun, tidak luput dari keganasan mereka. Kau harus hentikan semua ini sebelum terjadi, Pendekar Muda. Hanya kau yang bisa melakukannya...."

"Kenapa harus aku...?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda. Kau adalah Pendekar Rajawali Sakti, murid tunggal Pendekar Rajawali yang memiliki tunggangan seekor burung rajawali. Antara gurumu dan aku, saling bersahabat. Aku tahu kemampuan yang kau miliki. Bahkan kau juga menjadi murid Satria Naga Emas, yang sebenarnya saudara sepupuku. Jadi aku tidak bisa memilih orang lain lagi selain dirimu, Pendekar Rajawali Sakti," jelas Naga Prata.

Rangga hanya bisa diam saja, mendengar penjelasan ular naga raksasa itu. Dia jadi teringat ketika berada di kediaman Satria Naga Emas. Memang, wujud Satria Naga Emas bisa berubah menjadi seekor ular naga raksasa, selain juga bisa berubah wujud menjadi manusia. Dan Rangga merasa tidak aneh lagi, kalau Naga Prata bisa tahu terang dirinya. Pendekar Rajawali Sakti sudah sering berjumpa orang-orang aneh yang bisa mengubah wujud dan mengetahui segalanya yang ada di bumi ini. Dan yang pasti, Naga Prata juga tahu nama asli Pendekar Rajawali Sakti tanpa harus diperkenalkan lagi.

"Pergilah kalian. Cari anak itu, dan bawa ke sini," pinta Naga Prata.

"Aku akan usahakan semampuku, Eyang Naga," ucap Rangga, langsung menyebut Naga Prata dengan sebutan eyang. Sebutan itu memang merupakan penghormatan bagi mereka yang dianggap lebih tinggi dan dihormati. Rangga langsung memanggilnya eyang, setelah tahu kalau Naga Prata adalah saudara sepupu Satria Naga Emas. Bahkan sahabat dari gurunya sendiri, Pendekar Rajawali yang hidup lebih dari seratus tahun yang lalu.

"Putra Naga akan mengantarkan kalian kembali," kata Naga Prata lagi.

Setelah berkata demikian, ular naga raksasa itu bergerak meninggalkan ruangan ini dengan gerakan begitu lambat Sedangkan Putra Naga segera beranjak bangkit, dan menghampiri kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.

"Mari, kuantarkan kalian kembali," ajak Putra Naga sopan.

********************

Tidak seperti saat datang, kali ini Rangga dan Pandan Wangi sama sekali tidak merasakan apa-apa ketika meninggalkan istana megah tempat tinggal Naga Prata. Mereka berjalan seperti biasa, menembus lorong goa yang begitu panjang dan gelap serta berliku. Namun, Pandan Wangi merasa kalau goa itu terus menanjak naik.

Hingga akhirnya, mereka tiba di mulut sebuah goa yang berada di tengah-tengah hutan. Sebuah mulut goa yang cukup besar, terlindung semak dan pepohonan yang cukup rapat. Sinar matahari yang menerobos melalui rerimbunan dedaunan, membuat kulit mereka seketika jadi terasa hangat. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu langsung melangkah keluar dari dalam goa ini, tapi Putra Naga tetap berada agak jauh dari mulut goa ini.

"Kau tidak keluar, Putra Naga...?" tegur Rangga.

"Tidak," sahut Putra Naga.

"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.

"Sinar matahari akan membakar tubuhku. Tidak ada lagi pelindung pada diriku. Nanti kalau kalian sudah mendapatkan cincin mustika itu kembali, aku baru bisa berjalan-jalan keluar," jelas Putra Naga.

Rangga hanya mengangguk-angguk saja. Rupanya memang kehidupan mereka tergantung dari cincin mustika itu. Tapi, kini cincin itu berada dalam kekuasaan seorang bocah kecil yang tidak jelas berada di mana sekarang ini.

"Baiklah, Putra Naga. Aku akan kembali lagi ke sini dengan cincin mustika itu," kata Rangga.

"Aku tunggu kalian di mulut Goa Naga ini," sahut Putra Naga.

"Kami pergi dulu, Putra Naga," pamit Rangga.

"Kuda kalian ada di tepi hutan," kata Putra Naga memberi tahu.

Rangga hanya tersenyum saja. Sedang Pandan Wangi melambaikan tangannya, yang dibalas Putra Naga dari dalam goa itu. Kini kedua pendekar muda dari Karang Setra ini segera melangkah meninggalkan mulut Goa Naga. Mereka mengambil arah selatan, langsung menuju Desa Payakan. Tujuan utama mereka kini hanya Desa Payakan yang menjadi petunjuk satu-satunya untuk bisa menemukan bocah yang dikatakan Naga Patra telah mencuri cincin mustika kekuatan dan kehidupannya.

Mereka terpaksa harus berjalan kaki menembus hutan yang lebat dan gelap ini, walaupun matahari bersinar cukup terik di atas awan. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, mereka bisa lebih cepat sampai ke tepi hutan. Teriknya cahaya matahari langsung membakar kulit tubuh kedua pendekar ini. Dan benar saja, kuda-kuda mereka sudah menunggu di tepi hutan ini. Bahkan langsung menghampiri, sambil mendengus-dengus.

"Hup!"

Sepasang pendekar dari Karang Setra itu langsung saja naik ke punggung kudanya masing-masing, tapi tidak langsung menggebahnya. Sementara tidak seberapa jauh di depan mereka, terlihat Desa Payakan yang tampak sunyi seperti tidak berpenghuni lagi. Beberapa saat kedua pendekar muda dari Karang Setra ini memandangi desa yang tampak sunyi itu.

"Ada apa, Kakang? Kau seperti memikirkan sesuatu...," tegur Pandan Wangi, melihat Rangga memandangi Desa Payakan dengan kelopak mata agak menyipit dan kening sedikit berkerut

"Aku merasa ada kelainan di sana, Pandan," sahut Rangga.

"Kelainan apa, Kakang? Aku tidak mengerti maksudmu...," ujar Pandan Wangi, meminta penjelasan.

"Perhatikan, Pandan. Desa itu tampak sunyi. Aku tidak merasakan adanya napas kehidupan lagi di sana," sahut Rangga pelan, seolah bicara pada diri sendiri.

Pandan Wangi jadi terdiam. Dipandanginya desa yang memang kelihatan sunyi dengan kelopak mata agak menyipit Memang tidak terlihat seorang pun di sana. Seakan desa itu benar-benar sudah ditinggalkan penghuninya. Sesaat kemudian, gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu berpaling, memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayo, Pandan. Kita lihat ke sana," ajak Rangga.

"Hiyaaa...!"

Tanpa menunggu jawaban lagi, Rangga langsung saja menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi. Dan Pandan Wangi tidak mau ketinggalan. Segera kuda putihnya digebah keras-keras, hingga meringkik dan langsung melesat cepat sekali bagai anak panah lepas dari busur.

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu memacu kudanya dengan cepat menuju Desa Payakan yang masih terbhat sunyi seperti tidak berpenduduk. Sebentar saja mereka sudah sampai di desa itu. Memang tidak terlihat satu orang pun berada di desa ini. Semua rumah yang ada, pintu dan jendelanya tertutup rapat. Rangga memperlambat jalan kudanya. Dan Pandan Wangi mensejajarkan langkah kudanya di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus memasuki desa itu semakin ke dalam, menelusuri jalan tanah berdebu yang penuh daun-daun serta rerumputan kering.

"Mereka semua ada di dalam rumahnya, Kakang. Aku bisa merasakan napas mereka," kata Pandan Wangi pelan seperti berbisik.

"Hm...." Rangga hanya menggumam saja sedikit. Pandangannya beredar ke kiri dan kanan jalan yang dilalui. Diperhatikannya rumah-rumah yang sunyi, tanpa satu pun yang terlihat membuka pintu maupun jendela. Tapi Pendekar Rajawali Sakti bisa mendengar adanya tarikan-tarikan napas tertahan dari dalam rumah-rumah disepanjang jalan yang membelah desa ini. Dan Rangga merasa, kehadirannya bersama Pandan Wangi di sini mendapat perhatian dari semua penduduk yang bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Entah, apa yang membuat mereka jadi ketakutan seperti itu, hingga tidak lagi berani keluar dari dalam rumah. Walaupun, saat ini matahari bersinar cukup terik membakar kulit

Mereka baru menghentikan langkah kaki kudanya, setelah tiba di depan sebuah rumah yang paling besar dan paling megah di desa ini. Rumah yang berdiri.di atas hamparan tanah yang sangat luas itu juga kelihatan sunyi, seperti tidak lagi berpenghuni. Tapi, hanya rumah ini yang seluruh jen dela dan pintunya terbuka. Hanya saja, tidak terlihat seorang pun di sana.

"Hup!" Rangga melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah di samping kuda hitam tunggangannya. Pandan Wangi ikut melompat turun dari punggung kuda putihnya, dan berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Matanya juga memandangi rumah besar bagai sebuah istana kecil di tengah desa ini.

"Ini pasti rumah Ki Junggut...," gumam Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.

"Tapi kenapa tampak sepi, Kakang? Apa rumah ini sudah ditinggalkan penghuninya?" tanya Pandan Wangi juga pelan suaranya.

"Kau tunggu saja di sini, Pandan. Aku akan lihat ke dalam," kata Rangga meminta.

"Hati-hati, Kakang. Mungkin hanya jebakan saja," Pandan Wangi memperingatkan.

Rangga hanya tersenyum saja. Kakinya terus melangkah, mendekati pintu pagar yang terbuat dari bambu ini. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah perlahan-lahan dengan ayunan kaki begitu ringan, memasuki halaman yang sangat luas dan ditumbuhi rerumputan cukup tebal ini. Sementara Pandan Wangi tetap menunggu di luar. Gadis itu terus memperhatikan sekelilingnya, berjaga-jaga kalau keadaan yang sunyi hanya sebuah jebakan saja.

Kini Rangga sudah berada di depan beranda rumah ini. Matanya memperhatikan sekeliling beberapa saat Dan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat masuk ke dalam rumah ini. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi.

Cukup lama juga Rangga berada di dalam, membuat Pandan Wangi mulai merasa gelisah. Tapi di saat kegelisahan Pandan Wangi berada pada puncaknya, Rangga muncul dari dalam rumah itu seraya melambaikan tangan memanggil gadis ini. Bergegas Pandan Wangi melangkah, menyeberangi halaman yang luas itu sambil menuntun kuda-kuda tunggangan mereka. Gadis itu langsung menghampiri Rangga yang menanti di ambang pintu. "Kau dapatkan sesuatu, Kakang?" tanya Pandan Wangi langsung begitu dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Mereka semua sudah mati," sahut Rangga pelan.

"Apa...?!"

ENAM

Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak, seakan tidak percaya melihat tubuh-tubuh yang sudah tidak-bemyawa lagi saling tumpang tindih di dalam sebuah kamar berukuran cukup besar di rumah ini. Bau busuk yang tidak sedap mulai menyebar, menyeruak ke dalam hidung. Pandan Wangi bergegas meninggalkan kamar itu. Sementara, Rangga beberapa saat masih mengamati keadaan sekitarnya.

Pendekar Rajawali Sakti melihat beberapa mayat itu dikenali sebagai orang-orang yang pernah menyerangnya di dalam hutan. Dan memang di antara mayat-mayat ada Ki Sampulut, Ki Jampur dan Nyai Waringki bersama orang-orang yang pernah dibawanya. Dan di sudut kamar ini, terlihat seorang pemuda yang sudah menjadi mayat dengan dada berlubang besar. Siapa lagi kalau bukan mayat Rantaki.

"Kakang...! Coba lihat ini!"

Rangga cepat berbalik, ketika tiba-tiba terdengar teriakan Pandan Wangi. Bergegas kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi yang berada di dalam ruangan lain. Tampak gadis cantik berbaju biru muda yang dijuluki si Kipas Maut itu sidang memandangi guratan-guratan pada dinding kayu ruangan ini. Rangga menghampiri, dan berdiri di sebelah kanannya.

"Kau percaya kalau semua ini perbuatan binatang buas, Kakang...?" tanya Pandan Wangi langsung.

Rangga tidak langsung menjawab. Diperhatikannya guratan-guratan di dinding itu yang seperti cakaran seekor binatang buas. Pada guratan itu juga terdapat noda-noda darah yang sudah kering dan menghitam. Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan di dalam kamar ini sungguh berantakan. Tidak ada satu pun barang-barang di dalam kamar ini yang masih utuh. Semuanya hancur berantakan.

"Ayo, Pandan...," ajak Rangga.

Pandan Wangi menurut saja, saat Rangga menggamit tangannya, mengajak keluar dari kamar ini. Mereka langsung menuju ruangan depan, dan terus keluar dari rumah ini. Tapi mereka berhenti, begitu sampai di beranda depan. Keadaannya masih tetap sunyi seperti tadi. Tetap tidak terlihat seorang pun berada di rumah. Semua orang bersembunyi di dalam rumahnya. Entah, apa yang membuat mereka jadi ketakutan seperti itu.

"Ada yang datang, Kakang," kata Pandan Wangi setengah berbisik.

"Hm...." Rangga menggumam sedikit, ketika melihat seorang laki-laki berusia setengah baya mendatangi dengan langkah cepat dan kelihatan terburu-buru. Wajahnya kelihatan seperti ketakutan ketika memasuki halaman rumah ini. Kedua bola matanya beredar ke sekeliling merayapi sekitarnya, seakan takut ada yang melihat kemunculannya di rumah Ki Junggut ini.

"Maaf.... Kalian siapa...?" tanyanya dengan suara tergagap bergetar.

"Kami dua orang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini, Paman," sahut Rangga. "Namaku Rangga. Dan ini adikku, Pandan Wangi."

"Aku Prakuti. Kalian boleh memanggilku Paman Prakuti," laki-laki setengah baya yang raut wajah memancarkan penderitaan itu juga memperkenalkan diri. "Aku Kepala Desa Payakan ini."

"Kebetulan sekali. Kami memang sedang membutuhkan orang yang bisa diajak bicara," kata Rangga.

"Kalau kalian ingin bicara, sebaiknya jangan di sini," kata Prakuti.

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu. "Rumah ini sudah kosong. Tidak ada lagi penghuninya."

"Memang, rumah ini sudah kosong. Tapi Ki Junggut masih hidup. Dan sesekali dia datang ke sini mengumpulkan orang-orangnya yang mati dibantai setan kecil itu," jelas Prakuti.

"Setan kecil...?" kening Rangga jadi berkerut.

"Ayolah, kita bicara saja di rumahku," ajak Prakuti.

Sebentar Rangga menatap Pandan Wangi. Tapi yang dipandang hanya mengangkat bahu saja sedikit. Dan mereka kemudian melangkah mengikuti kepala desa itu, meninggalkan rumah Ki Junggut yang sudah tidak dihuni lagi ini. Sepanjang jalan, berbagai macam pertanyaan bergelut dalam benak Rangga maupun Pandan Wangi Mereka ingin lebih tahu lagi mengenai keadaan Desa Payakan yang semakin terselimut teka-teki.

Rumah Prakuti tidak terlalu besar, namun terlihat nyaman dan bersih terawat Kedatangan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu disambut istri dan tiga orang yang sudah besar. Mereka semua berkumpul di ruangan depan, hingga bisa memandang langsung ke jalan.

"Sudah berapa lama keadaan seperti ini berlangsung?" tanya Rangga setelah mereka bicara banyak.

"Entalah, Rangga. Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun. Yaaah..., sejak Ki Junggut dan orang-orangnya datang ke sini," sahut Prakuti, menjelaskan.

"Dan selama itu, apa tidak ada yang menentangnya?" selak Pandan Wangi.

"Dulu pernah ada yang menentang. Mereka adalah satu keluarga yang masih ada kaitan keluarga dengan istriku. Tapi, mereka habis dibantai. Dan setelah itu, tidak ada lagi yiang berani menentangnya, hingga Ki Junggut semakin menggila saja," jelas Prakuti lagi.

"Lalu, kenapa sekarang dia tidak ada? Bahkan rumahnya kosong, penuh mayat," kata Pandan Wangi meminta penjelasan.

"Tiga hari yang lalu, datang seorang anak kecil yang sangat tangguh dan digdaya. Kepandaiannya sukar sekali ditandingi. Dia langsung mendatangi rumah Ki Junggut, dan membunuh banyak anak buahnya. Bahkan Ki Junggut sendiri tidak bisa menandinginya. Tiga orang tukang pukul kepercayaannya tewas. Bahkan anak kembarnya juga tewas di tangannya. Hanya Ki Junggut dan Ki Sampak saja yang bisa menyelamatkan diri. Tapi, entah sekarang mereka berada di mana. Terkadang Ki Junggut dan Ki Sampak memang terlihat datang ke rumah itu mengumpulkan mayat bekas tukang pukulnya di dalam kamar menjadi satu," jelas Prakuti panjang lebar.

"Tiga hari...?"

Pandan Wangi jadi terkejut. Sungguh tidak disangka kalau dia dan Rangga sudah tiga hari berada di Istana Goa Naga. Padahal hanya beberapa saat saja mereka berada di sana. Tapi, ternyata di alam nyata ini sudah sampai tiga hari lamanya.

"Hm.... Kau tahu siapa anak itu, Paman?" tanya Pandan Wangi dengan suara agak menggumam.

Sedikit Rangga melirik Pandan Wangi yang duduk bersila di sebelahnya. Gadis itu juga melirik sedikit padanya. Pandan Wangi tahu, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Sama seperti dirinya. Tentu Rangga juga menduga kalau bocah aneh itu adalah Kunjang yang telah mencuri cincin pusaka kehidupan dari Istana Goa Naga.

"Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia," sahut Prakuti.

"Dia datang bersama seorang gadis," selak istri Prakuti.

"Gadis...?!" kening Rangga berkerut.

"Ya! Aku tahu namanya," sahut istri Prakuti lagi.

"Siapa dia, Bibi?" tanya Pandan Wangi.

"Wulandari."

"Dia seorang gadis sebatang kara di desa ini. Kedua orang tua dan saudara-saudaranya dibunuh tukang-tukang pukulnya Ki Junggut. Tapi, entah sudah berapa hari ini Wulandari menghilang," jelas Prakuti.

"Kenapa kau katakan dia bocah setan, Paman?" tanya Rangga ingin tahu.

"Tindakannya memang seperti iblis, Rangga. Siapa saja yang mencoba menghalangi dibunuhnya. Bahkan setelah memporak-porandakan rumah Ki Junggut, dia juga membunuh beberapa orang penduduk di sini tanpa sebab yang pasti," jelas Prakuti lagi.

"Hm.... Tindakannya sudah di luar batas, Kakang," gumam Pandan Wangi pelan, sambil melirik Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di sebelahnya. Rangga hanya diam saja. "Kalian kenal anak itu?" tanya Prakuti.

"Tidak," sahut Rangga cepat

"Tapi kami memang sedang mencarinya, Paman. Dia sangat berbahaya," jelas Pandan Wangi menyelak, tanpa peduli lirikan tajam dari Rangga.

"Oh! Kalau begitu, kalian tinggal saja di sini. Aku yakin dia pasti akan datang lagi ke sini, karena masih mencari Ki Junggut" kata Prakuti.

Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak permintaan kepala desa itu. Mereka memang tidak punya pilihan lain lagi. Dan saat itu, hari sudah menjelang senja. Matahari sudah begitu condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi terik menyengat kulit. Hanya rona merah saja yang membias di ufuk barat.

Anak gadis Prakuti meminta Pandan Wangi tidur di kamarnya. Sedangkan Rangga disediakan kamar yang berada di bagian depan bersama anak laki-laki kepala desa itu. Sementara, keremangan terus merayap menyelimuti seluruh permukaan bumi di Desa Payakan ini. Dan suasananya juga semakin terasa mencekam. Hawa kematian begitu terasa dalam diri Pendekar Rajawali Sakti yang tengah duduk mencangkung di berarida depan rumah kepala desa itu.

********************

Malam ini Rangga sengaja tidak masuk ke dalam kamarnya. Sejak sore tadi Pendekar Rajawali Sakti terus duduk mencangkung di beranda depan rumah Kepala Desa Payakan ini. Sementara, suasana di sekitarnya sudah begitu sunyi mencekam. Kegelapan menyelimuti sekitar desa. Tidak ada satu rumah pun yang menyalakan lampu. Hanya rumah Prakuti saja yang kelihatan terang. Dan keadaan ini memang disengaja Rangga, untuk menarik perhatian.

"Sudah muncul setan kecil itu...?"

"Oh...?!" Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. Cepat kepalanya berpaling, dan tersenyum sedikit melihat Prakuti tahu-tahu sudah ada di belakangnya. Laki-laki berusia setengah baya itu mengambil tempat di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.

"Belum, Paman," sahut Rangga seraya kembali mengarahkan pandangan ke depan.

"Mungkin dia tahu kau ada di sini," kata Prakuti lagi.

"Di antara kami, belum pernah ada yang bertemu, Paman," kata Rangga memberi tahu.

"Belum pernah bertemu...? Tapi kenapa kau mencarinya?" tanya Prakuti.

"Panjang ceritanya, Paman. Mungkin kau tidak bisa memahaminya," sahut Rangga, enggan untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Persoalan pribadi?" tebak Prakuti.

Rangga tidak menyahut Untuk memuaskan kepala desa ini, hanya kepalanya saja yang mengangguk Dan Prakuti tidak bertanya lagi. Dan menduga, ada salah satu keluarga pemuda ini yang tewas dibunuh bocah tangguh itu. Dan mereka pun terdiam membisu. Rangga berpaling sedikit ke belakang, melihat pintu rumah yang terbuka lebar. Tidak terlihat seorang pun di dalam rumah ini.

"Pandan Wangi bersama ibunya anak-anak di belakang," kata Prakuti memberi tahu tanpa diminta.

Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti memang meminta Pandan Wangi unluk menjaga keluarga ini. Sementara dia akan menghadapi bocah tangguh yang namanya saja baru dikenal dari Naga Prata. Rangga tidak mengeluarkan suara lagi, dan kembali mengarahkan pandangan lurus ke depan. Seakan matanya hendak menembus gelapnya malam yang menyelimuti seluruh Desa Payakan ini.

"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa berat, Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Kakinya lantas melangkah keluar dari beranda depan rumah kepala desa ini. Dan berhenti melangkah, setelah sampai di tengah-tengah halaman yang tidak seberapa luas ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya yang masih terlihat begitu sunyi dan mencekam. Sedangkan Prakuti hanya diam saja memperhatikan dari beranda depan rumahnya.

"Rangga, coba lihat itu...!" seru Prakuti tiba-tiba, sambil menunjuk ke arah selatan.

Rangga langsung berpaling memandang ke arah yang ditunjuk kepala desa itu. Agak terkesiap juga harinya, melihat kobaran api yang sangat besar di selatan desa ini. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat ke arah kobaran api itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi.

Sementara Prakuti masih terlongong bengong tidak bisa berbuat apa-apa. Dan pada saat itu, Pandan Wangi yang mendengar seruan kepala desa ini tadi bergegas keluar dari dalam rumah. Gadis itu langsung menatap ke arah kobaran api yang berada di sebelah selatan desa ini.

"Mana Kakang Rangga, Paman?" tanya Pandan Wangi.

"Ke sana," sahut Prakuti. Pandan Wangi bergegas melangkah keluar dari beranda ini. Dan saat itu, istri serta anak-anak Prakuti ikut keluar, tapi tidak berani jauh dari pintu. Mereka bisa melihat dengan jelas kobaran api yang begitu besar dari arah selatan desa ini. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di tengah-tengah halaman rumah kepala desa ini. Hatinya seperti ragu-ragu untuk menyusul Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit kepalanya berpaling memperhatikan Prakuti dan keluarganya yang masih tetap berada di depan pintu rumahnya.

"Kalian masuk saja semua. Tutup semua pintu dan jendela. Jangan ada lampu yang dinyalakan," perintah Pandan Wangi.

"Kau akan ke mana, Pandan?" tanya Prakuti.

"Menyusul Kakang Rangga. Mungkin dia membutuhkan bantuanku," sahut Pandan Wangi.

"Tunggu...! Aku ikut denganmu," kata Prakuti langsung saja melompat keluar dari beranda depan rumahnya.

Sejenak Pandan Wangi jadi tertegun melihat gerakan melompat kepala desa ini. Dari gerakannya saja sudah bisa diketahui kalau Prakuti menguasai ilmu olah kanuragan yang tidak bisa dikatakan rendah. Saat itu, anak sulung Prakuti yang bernama Kelana masuk ke dalam rumah. Tapi, tidak lama dia sudah keluar lagi membawa dua bilah golok. Bergegas dihampiri ayahnya yang sudah berada di sebelah Pandan Wangi.

"Ini goloknya, Ayah," kata Kelana.

Prakuti menerima golok itu, tapi matanya memandangi golok yang sudah terselip di pinggang anaknya.

"Aku ikut dengan kalian," tegas Kelana.

Prakuti tidak bisa mencegah lagi tekad anaknya ini. Dan Pandan Wangi juga tidak bisa menolak mereka. Setelah memberikan pesan pada keluarganya, Prakuti bergegas melangkah dengan ayunan kaki cepat dan lebar-lebar meninggalkan rumahnya. Pandan Wangi berada di sebelahnya, diikuti Kelana di belakang.

Mereka kini berjalan cepat menembus malam yang pekat ini. Sementara dari arah selatan sudah terdengar suara teriakan-teriakan ketakutan dari warga desa yang terbakar rumahnya. Dan api dari sebelah selatan desa terlihat semakin besar saja bagai hendak menerangi seluruh Desa Payakan ini.'

********************

Sementara itu, Rangga sibuk menyelamatkan orang-orang yang rumahnya terbakar. Dan Pendekar Rajawali Sakti juga merobohkan beberapa rumah, agar api tidak meluas ke rumah-rumah lain yang belum terbakar. Pada saat itu, Pandan Wangi, Prakuti, dan anaknya datang. Mereka langsung mengumpulkan penduduk desa yang rumahnya terbakar di tanah lapang yang tidak jauh dari tempat kebakaran itu. Sedangkan Rangga dibantu Pandan Wangi dan Kelana, masih sibuk mencegah api agar tidak lebih meluas lagi.

Mereka memang tidak mungkin lagi memadamkannya, dan hanya bisa mencegah agar tidak meluas saja dengan mengorbankan beberapa rumah yang berdekatan. Setelah bekerja keras, akhirnya mereka berhasil juga mencegah meluasnya api yang ingin menghanguskan seluruh desa ini. Rangga yang ditemani Pandan Wangi dan Kelana segera menghampiri Prakuti, yang bersama penduduk berkumpul di tanah lapang di sebelah selatan Desa Payakan ini.

"Untung kau cepat bertindak, Rangga. Kalau tidak..., sudah habis semua rumah di desa ini," kata Prakuti begitu Rangga dekat di depannya

"Tanyai mereka, apa yang menyebabkan terjadinya kebakaran ini, Paman. Aku akan memeriksa sekitar desa ini," kata Rangga tegas.

"Baik," sahut Prakuti.

Rangga menatap sebentar pada Kelana dan Pandan Wangi. "Kalian ke arah barat. Aku ke timur. Nanti, kita bertemu lagi di sini," kata Rangga membagi tugas. "Aku minta kalian jangan terpisah. Dan jangan melakukan sesuatu sendiri-sendiri."

Pandan Wangi dan Kelana hanya mengangguk saja. Sementara, Rangga sudah melesat cepat sekali ke arah timur. Pandan Wangi langsung mengajak Kelana menjalankan tugas yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Sedangkan Prakuti mulai menanyai penduduk desa yang rumahnya sudah habis terbakar. Dicobanya untuk mencari keterangan dan sebab dari kebakaran itu.

Sementara itu, Pandan Wangi dan Kelana sudah jauh menelusuri daerah sebelah barat. Tapi, tidak ada yang didapatkan di sini, kecuali hanya kegelapan dan kesunyian yang mencekam saja. Tidak terlihat seorang pun sepanjang jalan yang dilalui. Dan begitu sampai di persimpangan jalan yang bersimpang tiga arah, mereka berhenti tepat di tengah-tengahnya. Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dan ketika arah pandangannya tertuju ke jalan yang berada di sebelah kirinya, kelopak matanya jadi menyipit

"Ada apa, Kak Pandan?" tanya Kelana.

"Kau lihat di sana itu, Kelana?" tanya Pandan Wangi sambil menunjuk ke arah jalan yang ada di sebelah kanannya.

Kelana menyipitkan kelopak matanya sedikit Tapi sesaat kemudian matanya jadi terbeliak lebar, ketika melihat seseorang berdiri di tengah jalan seperti ingin menghadang. Dia adalah seorang laki-laki tua bertubuh tinggi besar dan kekar, dengan sebilah pedang berukuran besar dan panjang tergantung di pinggangnya. Dan di sebelah kanan agak ke belakang, tampak seorang laki-laki tua berjubah hitam berdiri. Sebuah tongkat tergenggam di tangan kanan tampak bagai menyangga tubuhnya. Entah kenapa, mendadak saja seluruh tubuh Kelana jadi bergidik menggigil.

"Ki Junggut...," desis Kelana langsung mengenali kedua oran tua itu.

"Hm...," sedangkan Pandan Wangi hanya menggumam saja sedikit.

Pandan Wangi memutar tubuhnya menghadapi dua orang laki-laki tua yang berada sekitar lima batang tombak di depannya. Sedangkan Kelana hanya diam saja berada di belakang si Kipas Maut itu. Dan untuk beberapa saat mereka terdiam, tanpa ada yang bersuara sedikit pun juga.

"Kau temui Kakang Rangga, Kelana. Cepat " perintah Pandan Wangi dengan suara agak berbisik pelan.

"Ba.... Baik, Kak Pandan," sahut Kelana agak tergagap. Tanpa diperintah dua kali, Kelana bergegas berlari cepat meninggalkan gadis ini.

Sedangkan Pandan Wangi sudah melangkah beberapa tindak, mendekati dua orang laki-laki tua yang berdiri tegak di tengah jalan bagai sengaja menantinya. Dan gadis itu baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi. Belum ada seorang pun yang membuka suara. Mereka hanya saling berpandangan saja dalam kegelapan, seakan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Saat itu, terlihat Ki Sampuk menggeser kakinya ke kanan, menjauhi Ki Junggut yang tetap diam tidak bergeming sedikit pun. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dengan tatapan tajam, tidak berkedip sedikit pun.

"Bunuh dia, Ki Sampuk!" perintah Ki Junggut tiba-tiba.

"Baik," sahut Ki Sampuk mantap. "Yeaaah...!"

"Eh, tunggu...!"

TUJUH

Pandan Wangi mencoba mencegah serangan Ki Sampuk. Tapi, tampaknya orang tua itu tidak mempedulikannya sedikit pun. Tubuhnya terus saja melesat menerjang Pandan Wangi dengan kecepatan tinggi. Maka terpaksa gadis itu harus melesat ke belakang dengan berputaran beberapa kali, menghindari sabetan tongkat Ki Sampuk yang berkelebat begitu cepat dan beruntun.

"Hap!" Manis sekali Pandan Wangi melesat ke atas dengan tubuh berputar beberapa kali. Dan dengan gerakan cepat sekali, dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek ke arah kepala orang tua ini. Tapi, Ki Sampuk cepat sekali melompat ke belakang. Sehingga, pukulan gadis itu tidak sampai menghantam kepalanya. Dan kesempatan itu pun digunakan Pandan Wangi untuk menjejakkan kakinya kembali ke tanah.

"Tahan...!" bentak Pandan Wangi lantang.

"Jangan hiraukan dia, Kisanak! Serang saja. Bunuh...!" perintah Ki Junggut.

Ki Sampak memang tidak mau menghiraukan Pandan Wangi. Kakinya sudah bergeser menelusuri tanah berdebu yang penuh daun-daun kering ini, mendekati gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.

Sementara Pandan Wangi sendiri sudah cepat menyadari kalau tidak mungkin lagi bisa mencegah bentrokan ini. Segera gadis itu bersiap setelah mencabut senjatanya yang berupa sebuah kipas dari baja berwarna putih keperakan.

Bet!

Pandan Wangi langsung membuka senjatanya di depan dada. Ujung-ujung kipas yang runcing seperti mata anak panah, membuat kedua bola mata Ki Sampuk jadi terbeliak lebar. Dan geseran kakinya jadi berhenti dalam mendekati gadis ini.

"Siapa kau, Nisanak...?" tanya Ki Sampuk, jadi ingin tahu.

"Aku si Kipas Maut," sahut Pandan Wangi menyebutkan julukannya.

"Kau si..., si Kipas Maut...?!" Kedua bola mata Ki Sampuk semakin terbeliak lebar, begitu mendengar Pandan Wangi menyebutkan julukannya. Bukan hanya Ki Sampuk saja yang terkejut. Tapi, Ki Junggut juga tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau gadis yang dihadangnya ini adalah si Kipas Maut.

Mereka berdua tahu, siapa gadis ini. Dia adalah seorang gadis cantik yang bukan saja menjadi teman seperjalanan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan juga kekasih pendekar muda yang sudah terkenal kedigdayaannya. Dan di kalangan persilatan, nama mereka begitu harum. Hingga semua orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, baik dari golongan putih maupun hitam, sangat menyeganinya. Jelas orang akan berpikir seribu kali untuk mencoba bertarung melawan kedua pendekar itu.

"Phuih! Aku tidak peduli siapa kau, Kisanak! Kau berani datang ke sini, berarti juga berani bertarung nyawa," dengus Ki Junggut, langsung menghilangkan kegentaran dalam hatinya.

"Kenapa kau ingin membunuh semua orang di desa ini?" tanya Pandan Wangi.

"Mereka sudah membunuh kedua anakku. Juga, semua anak buahku. Jadi sudah sepantasnya kalau mereka juga harus mampus!" sahut Ki Junggut dengan suara berang.

"Mereka tidak tahu apa-apa. Jangan kau jadikan sasaran kemarahanmu, Kisanak. Aku tahu, siapa orangnya yang sudah menghancurkan kekejamanmu di sini," kata Pandan Wangi.

"Keparat...! Apa yang kau tahu, heh...?!"

"Banyak," sahut Pandan Wangi kalem.

"Phuih!"

"Dan sebenarnya, kedatanganku ke sini justru ingin menyeretmu ke kotaraja untuk diadili," sambung Pandan Wangi.

"Ha ha ha...!" entah kenapa, Ki Junggut jadi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata terakhir Pandan Wangi barusan.

Sedangkan Pandan Wangi hanya memandangi saja dengan tajam. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Dan yang paling utama, diperhatikannya adalah Ki Sampuk yang berada tidak seberapa jauh di depannya. Kalau Ki Sampuk mengebutkan tongkatnya sekali saja, ujungnya yang runcing itu bisa merobek perutnya. Dan ini yang terus menjadi perhatian gadis itu. Dia tidak ingin kecolongan sedikit pun juga, yang bisa membuatnya celaka.

"Sebaiknya kau kembali saja pada kekasihmu, Nisanak. Tidak ada gunanya di sini," ujar Ki Junggut pongah.

"Aku tidak akan kembali, sebelum menyeretmu," sambut Pandan Wangi tegas.

"Phuih! Kau memang tidak bisa dikasih hati! Bunuh dia...!" bentak Ki Junggut memberi perintah.

"Yeaaah...!"

Seketika itu juga, Ki Sampuk mengebutkan tongkatnya lurus ke depan, cepat seperti yang telah diduga Pandan Wangi. Namun, cepat sekali Pandan Wangi menarik tubuhnya ke belakang, hingga ujung tongkat yang runcing dan berwarna hitam pekat itu lewat sedikit saja di depan perutnya.

Saat itu juga, Pandan Wangi menggeser kakinya sedikit ke kiri. Dan dengan gerakan meliuk yang begitu indah, tangan kanannya dikebutkan, hendak menyambar tongkat Ki Sampuk dengan Kipas Maut andalannya.

Bet!

"Hap!" Namun, Ki Sampuk sudah lebih cepat lagi menarik tongkatnya pulang. Sehingga sambaran Kipas Maut gadis itu tidak sampai mengenainya. Saat itu juga, tongkatnya cepat diputar sekali ke atas, dan langsung dikibaskan ke arah kepala gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut ini.

"Yeaaah...!"

Wut!

"Heh...?!" Kedua bola mata Ki Sampak jadi terbeliak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba Pandan Wangi mengebutkan Kipas Maut andalannya. Dan tongkat nya yang sudah melayang deras sekali ke arah kepala gadis ini tidak sempat lagi ditarik kembali. Dan....

Bet!

Trak!

Ujung-ujung kipas putih yang mncing seperti mata anak panah itu menyambar tepat di bagian tengah tongkat hitam berbentuk ular milik Ki Sampuk.

"Keparat...!" Ki Sampuk jadi geram setengah mati, melihat tongkatnya terpotong menjadi dua bagian. Dengan geraham bergemeletak menahan marah, laki-laki tua ini membuang potongan tongkatnya. Dan langsung saja dia melompat, menerjang si Kipas Maut.

"Kubunuh kau! Yeaaah...!"

"Haiiit...!" Dengan gerakan indah sekali, Pandan Wangi berhasil menghindari beberapa pukulan beruntun yang begitu cepat dilancarkan Ki Sampuk. Dan begitu mendapat kesempatan, Pandan Wangi langsung melompat ke belakang. Saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, di saat tubuhnya berputar ke belakang di udara.

Begitu cepatnya tendangan si Kipas Maut itu, sehingga Ki Sampuk tidak sempat lagi menyadari. Dan laki-laki tua itu tidak lagi memiliki kesempatan menghindar. Hingga....

Diegkh!

"Akh...!" Ki Sampuk jadi memekik tertahan, begitu tendangan Pandan Wangi tepat menghantam dadanya. Laki-laki tua berjubah hitam itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Sementara, Pandan Wangi sudah menjejakkan kakinya ke tanah lagi. Dan....

"Satu lagi untukmu, Tikus Busuk! Yeaaah...!" Sambil membentak keras, Pandan Wangi melompat cepat menerjang orang tua itu. Dan bagaikan kilat Kipas Mautnya dikibaskan, tepat mengarah ke leher. Begitu cepat serangannya, sehingga Ki Sampuk tidak dapat lagi mengelak.

Cras!

"Aaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar, bagai hendak membelah kesunyian malam di Desa Payakan ini. Tampak Ki Sampuk terhuyung-huyung dengan darah mengucur deras dari lehernya yang dirobek ujung Kipas Maut senjata andalan Pandan Wangi.

Sedangkan si Kipas Maut itu sendiri sudah kembali berdiri tegak, dengan senjata terkembang di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus Ki Junggut yang jadi terpana melihat Ki Sampuk tergeletak dengan leher robek berlumuran darah. Hanya dalam waktu tidak lama saja, gadis cantik yang kelihatan lemah itu sudah merobohkan Ki Sampuk. Padahal di Desa Payakan ini, laki-laki tua itu tidak ada tandingannya.

"Sekarang giliranmu, Iblis...!" desis Pandan Wangi dengan suara begitu dingin dan datar menggetarkan.

Perlahan Pandan Wangi melangkah mendekati Ki Junggut yang sudah gentar melihat ketangguhan gadis ini. Bahkan sudah merasa gentar ketika Pandan Wangi menyebutkan julukannya yang sangat terkenal di seluruh rimba persilatan.

"Kau..., kau tidak bisa membunuhku...!" bentak Ki Junggut agak tergagap.

"Aku memang tidak akan membunuhmu. Aku hanya akan menyerahkanmu pada semua orang di sini, untuk diadili!" dengus Pandan Wangi dingin menggetarkan.

Ki Junggut menarik kakinya perlahan ke belakang, mengimbangi gerakan kaki Pandan Wangi yang terus melangkah maju mendekatinya.

"Tidak...! Mereka tidak bisa mengadiliku! Mereka semua akan mampus...!" bentak Ki Junggut.

Pandan Wangi hanya diam saja, namun tetap terus melangkah semakin mendekati. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja....

"Kau yang akan mati, Ki Junggut..!" Terdengar suara kecil yang sangat mengejutkan.

"Oh...?! Kau...."

Pandan Wangi langsung berpaling ke kanan, ke arah datangnya suara itu. Entah kapan datangnya, tahu-tahu seorang bocah kecil bertubuh kurus dan kotor sudah ada di tempat ini. Tampak kedua bola mata Ki Junggut jadi terbeliak lebar. Bahkan wajahnya seketika memucat bagai mayat, begitu melihat kemunculan bocah kecil seperti gelandangan itu.

"Terimalah kematianmu, seperti kau membunuh kedua orangtuaku!" desis bocah itu dingin.

Kedua tangan bocah itu sudah menjulur, dengan jari-jari yang berkuku runcing mengembang kaku. Dan ini membuat Ki Junggut semakin terkesiap, tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Saat itu pula, Pandan Wangi melihat sebuah cincin berbentuk seekor naga melingkar, yang bagian kepalanya terdapat sebuah batu berwarna hijau, memancarkan cahaya terang berkilauan. Dan gadis itu langsung tahu, bocah itu pasti Kunjang. Bocah kecil yang sedang dicarinya bersama Rangga, karena telah mencuri cincin pusaka kehidupan semua makhluk ular penghuni Goa Naga.

"Tunggu...!" bentak Pandan Wangi tiba-tiba, sebelum bocah itu menyerang Ki Junggut.

Bocah kecil yang tidak lain Kunjang itu berpaling, menatap Pandan Wangi. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan cahaya merah menyala bagai sepasang bola api. Saat itu Pandan Wangi agak terkesiap juga melihat tatapan yang sangat tajam menusuk ini. Tapi, dia bisa cepat menguasai diri.

"Kau yang bernama Kunjang?" tanya Pandan Wangi ingin menegaskan.

"Benar," sahut bocah itu.

"Kau boleh saja menumpahkan dendammu pada Ki Junggut. Tapi, setelah itu kau harus ikut denganku," ujar Pandan Wangi.

"Aku tidak kenal denganmu. Dan sebaiknya, jangan coba-coba mencampuri segala urusanku!" bentak Kunjang kasar.

"Heh...?! Kau ada urusan denganku, Kunjang."

"Menyingkirlah. Atau, terpaksa aku akan membunuhmu juga kalau coba-coba menghalangi," ancam Kunjang tidak main-main.

Untuk kedua kalinya, Pandan Wangi jadi berdesir darahnya. Dia ingat kata-kata Naga Prata. Bocah ini memang bisa sangat berbahaya, kalau tetap memakai cincin itu. Bahkan tidak mudah untuk ditaklukkan. Sementara Kunjang sudah kembali mengarahkan perhatiannya pada Ki Junggut.

"Mampus kau! Hsss...!

Sambil memperdengarkan suara mendesis seperti ular, tiba-tiba saja Kunjang melesat, kecepatannya begitu tinggi. Sehingga, gerakannya sangat sukar diikuti pandangan mata. Dan tahu-tahu jari-jarinya yang berkuku hitam runcing itu sudah membenam dalam leher Ki Junggut.

"Aaa...!" Seketika terdengar jeritan melengking tinggi. Dan saat itu juga Pandan Wangi jadi tersentak, seperti baru terjaga dari tidurnya. Dan seluruh tubuhnya jadi bergidik, melihat Ki Junggut tergeletak di tanah dengan leher masih tercengkeram jari-jari tangan Kunjang yang kecil dan kurus berkuku runcing itu.

Sementara dari bibir bocah itu terus mengeluarkan desisan seperti ular. Sedangkan Ki Junggut masih menggeliat-geliat meregang nyawa, berusaha melepaskan lehernya dari cengkeraman bocah ini. Tapi, usahanya hanya sia-sia saja. Lehernya semakin terkoyak lebar. Dan darah semakin banyak mengucur keluar.

DELAPAN

Sementara Pandan Wangi seperti terkesima melihat peristiwa itu. Dia hanya berdiri saja memandangi, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hingga Ki Junggut tidak bergerak-gerak lagi, Pandan Wangi masih tetap diam. Tapi ketika melihat Kunjang menghujamkan tangan kanannya menembus dada orang tua itu, kembali hatinya tersentak. Dan....

"Hei...!" Pandan Wangi jadi memekik, begitu melihat Kunjang mengambil jantung Ki Junggut. Dan hampir saja, jantung berwarna merah berlumuran darah itu hendak dikunyahnya, kalau saja Pandan Wangi tadi tidak memekik.

"Apa yang kau lakukan...?!" sentak Pandan Wangi dengan tubuh bergidik.

"Hsss...!" Kunjang hanya mendesis saja, seakan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan bertaring tajam. Kemudian dimasukkannya jantung yang berlumuran daran itu ke mulutnya. Dan seketika seluruh rongga perut Pandan Wangi jadi bergolak mual, seakan hendak tertumpah keluar semua isinya, melihat bocah itu mengunyah jantung Ki Junggut seperti menyantap makanan saja.

"Iblis...," desis Pandan Wangi begitu tersadar.

"He he he...! Aku kira jantungmu tidak kalah nikmatnya dari jantung Wulandari...," kata Kunjang sambil menyeka darah yang melekat di bibir dengan punggung tangan, disertai suara tawanya yang terkekeh kering.

Merah padam seluruh wajah Pandan Wangi, mendengar kata-kata yang diucapkan Kunjang barusan. Rupanya, bocah itu juga sudah membunuh Wulandari, dan memakan jantungnya. Bahkan baru saja tadi mengunyah jantung Ki Junggut yang dibunuhnya di depan si Kipas Maut itu.

"Kau benar-benar sudah menjadi iblis, Kunjang...," desis Pandan Wangi datar.

"He he he...! Aku akan jadi raja di dunia ini. Tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan aku lagi. Siapa pun yang mencoba menghalangi, harus mati ditanganku...!"

Seluruh tubuh Pandan Wangi jadi menggeletar menahan geram, mendengar kata-kata yang memang sangat dikhawatirkan itu. Tampaknya Kunjang benar-benar sudah menyadari akan arti cincin yang dikenakannya. Malah sikapnya semakin angkuh saja. Di dalam otaknya, memang sudah terpikir satu keinginan untuk menguasai dunia ini. Dan inilah yang menjadi kekhawatiran Pandan Wangi.

Sementara, Kelana yang disuruhnya mencari Pendekar Rajawali Sakti belum juga kembali. Pandan Wangi merasa kalau harus menghadapi bocah setan ini seorang diri. Maka Kipas Maut-nya langsung dikebutkan, dan dikembangkan di depan dada. Sementara, Kunjang kelihatan seperti tidak menganggap sikap gadis ini. Dia terus terkekeh memandang rendah pada Pandan Wangi.

"Aku tahu semua rahasiamu, Kunjang. Aku juga tahu, apa yang membuatmu jadi tangguh seperti ini," kata Pandan Wangi dingin.

"Heh! Apa katamu...?!" sentak Kunjang terkejut.

"Serahkan cincin itu, Kunjang!" bentak Pandan Wangi.

"Apa...?! Kau..., kau tahu...?"

Seketika itu juga, pucat pasi seluruh wajah Kunjang mendengar bentakan Pandan Wangi barusan. Seakan tidak dipercaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sungguh tidak disangka kalau gadis berbaju biru muda itu tahu semua tentang rahasianya.

"Dari mana kau tahu semua itu...?" tanya Kunjang dengan suara langsung bergetar.

"Tidak perlu kau tahu, dari mana aku mengetahui semua rahasiamu itu, Kunjang. Malam ini juga, aku harus meminta cincin itu kembali," tegas Pandan Wangi agak sinis nada suaranya.

"Tidak...! Tidak seorang pun yang bisa merebutnya dariku. Cincin itu sudah jadi milikku!" sentak Kunjang.

"Cincin itu bukan milikmu, Kunjang. Kau mendapatkan cincin itu dari mencuri."

Seluruh tubuh Kunjang jadi bergetar, karena rahasianya sudah terbongkar. Tapi, mendadak saja wajah yang pucat itu berubah memerah. Dan seluruh tubuhnya mengejang kaku. Sorot matanya kembali tajam, menatap Pandan Wangi. Dan kini terdengar suara mendesis seperti ular dari belahan bibirnya yang terkatup rapat. Sementara Pandan Wangi sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

"Kau harus mati...!" desis Kunjang dingin menggetarkan.

"Serahkan cincin itu, Kunjang. Kau tidak berhak memilikinya."

"Kubunuh kau! Hiyaaat...!"

Cepat sekali Kunjang melompat menerkam si Kipas Maut, dengan jari-jari tangannya yang mengembang kaku. Sementara Pandan Wangi yang memang sudah siap, segera mengegoskan tubuhnya untuk menghindari terjangan bocah itu. Sehingga, terjangan Kunjang tidak sampai mengenai sasaran. Dan ketika tubuh bocah kecil itu lewat di samping tubuhnya, cepat sekali Pandan Wangi menghentakkan tangan kirinya. Langsung diberikannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat pukulannya, sehingga Kunjang tidak sempat lagi menghindarinya.

Buk!

"Ikh...?!" Bukan Kunjang yang memekik terkena pukulan, tapi justru Pandan Wangi. Padahal, pukulan gadis itu mendarat tepat di tubuh bocah ini. Cepat-cepat Pandan Wangi melompat menjauhinya. Mulutnya meringis merasakan sakit pada tangannya. Seakan tulang-tulang tangannya remuk, karena seperti menghantam sebongkah batu karang yang begitu keras melebihi baja.

"Ha ha ha...!" Kunjang jadi tertawa terbahak-bahak melihat Pandan Wangi meringis merasakan sakit pada tangan kirinya.

"Kau tidak bisa membunuhku, Nisanak!"

"Iblis keparat...!" desis Pandan Wangi jadi geram menyadari kekutan dahsyat bocah kecil itu.

Sementara Kunjang terus tertawa terbahak-bahak sambil berkacak pinggang menantang.

"Hiyaaat...!" Pandan Wangi benar-benar kalap diremehkan begitu. Tanpa peduli lagi kalau lawannya hanya seorang anak berusia tiga belas tahun, gadis itu langsung saja melancarkan serangan. Langsung dilepaskannya pukulan tangan kanan yang disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Tapi Kunjang sedikit pun tidak berusaha menghindar. Bahkan dadanya dipasang lebar-lebar, menjadi sasaran pukulan si Kipas Maut itu. Dan....

Derrr!

"Akh...!" Kembali Pandan Wangi memekik keras, begitu tangan kanannya menghantam dada bocah kecil ini. Padahal, begitu tinggi tenaga dalam yang dikerahkan Pandan Wangi pada pukulannya ini. Dan gadis itu jadi terpental jauh ke belakang, termakan tenaga dalamnya sendiri. Lalu, keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah. Dia bergulingan beberapa kali, sebelum bisa bangkit berdiri kembali. Pandan Wangi merasakan seluruh tulang tangan kanannya remuk. Rasa sakit yang menyengat, membuatnya meringis.

Sementara, Kunjang tetap berdiri tegap dengan angkuhnya. Sedikit pun dia tidak bergeming mendapat pukulan yang dahsyat tadi.

"Kerahkan semua kemampuanmu, Nisanak," tantang Kunjang pongah.

"Huh!" Pandan Wangi hanya bisa mendengus saja. Kembali Kipas Mautnya dikembangkan di depan dada. Sebentar dibuatnya beberapa gerakan, mempersiapkan jurus yang akan digunakannya. Dan....

"Hiyaaat...!" Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Pandan Wangi kembali melompat menyerang. Kipas Mautnya cepat mengibas ke dada bocah itu Tapi, tetap saja Kunjang tidak bergeming sedikit pun juga, sehingga ujung-ujung kipas yang runcing itu menghantam dadanya. Namun....

Bet!

"Heh...?!" Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak lebar, begitu melihat Kipas Maut andalannya tidak bisa merobek kulit dada bocah itu. Bahkan seluruh lengan kanannya terasa jadi bergetar, ketika ujung kipasnya menghantam dada yang kurus kerempeng tanpa baju itu.

"Hup!" Cepat-cepat Pandan Wangi melompat mundur ke belakang beberapa langkah. Memang sulit dipercaya dengan apa yang baru saja terjadi ini. Bocah laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak tertembus senjata di tubuhnya. Dan semua itu memang karena pengaruh Cincin Pusaka Istana Goa Naga yang dikenakannya. Cincin itu benar-benar membuat Kunjang jadi manusia tangguh yang sukar ditandingi.

"Menyingkirlah kau, Pandan Wangi..."

"Oh?! Kakang...."

Pandan Wangi jadi tersentak kaget bercampur gembira, begitu tiba-tiba saja terdengar suara yang sangat dikenalnya. Dan belum lagi rasa terkejutnya lenyap, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat sekali. Dan tahu-tahu, di depan gadis itu sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu berdiri tegak, menghadapi si bocah ajaib ini. Dan pada saat itu, dari ujung jalan terlihat Kelana berlari-lari menghampiri. Putra kepala desa itu langsung menghampiri Pandan Wangi, dan berdiri di sebelahnya dengan napas memburu.

"Huh! Rupanya malam ini aku terpaksa harus mengunyah jantung lebih dari satu...!" dengus Kunjang, begitu melihat kedatangan Pendekar Rajawali Sakti yang disusul Kelana.

Rangga tidak menghiraukan ucapan Kunjang. Kepalanya berpaling ke belakang, menatap Pandan Wangi dan Kelana yang berada tepat di belakangnya. "Menyingkirlah kalian yang jauh. Aku akan hadapi dia," kata Rangga meminta.

Pandan Wangi yang sudah tahu benar watak Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tangan Kelana, dan mengajaknya menjauhi tempat ini. Dan Rangga pun kembali memusatkan perhatian pada bocah laki-laki yang tangguh dan digdaya karena cincin pusaka kehidupan Istana Goa Naga.

"Berikan cincin itu padaku, Kunjang. Kau tidak berhak memilikinya. Ada yang lebih berhak dan membutuhkannya dari padamu," kata Rangga, mencoba menghindari kekerasan.

Kunjang hanya diam saja memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata tajam. Dan tiba-tiba saja, terdengar suara mendesis mirip suara ular dari belahan bibirnya yang terkatup rapat. Kemudian...

"Yeaaah...!"

"Hap!" Cepat sekali Kunjang melompat menerjang Rangga. Kedua tangan menjulur ke depan, dan jari-jari tangannya terkembang lebar seperti cakar burung elang. Sedangkan Rangga sepertinya tidak ada lagi kesempatan untuk menghindari. Terpaksa disambutnya serangan itu dengan menghentakkan kedua tangan ke depan, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sempurna. Dan....

Jder!

"Akh...!"

"Ugkh...!"

Kunjang terpental balik ke belakang sambil memekik agak tertahan. Sedangkan Rangga mengeluh sedikit, ketika terdorong kebelakang dua langkah. Tampak bocah laki-laki itu bergulingan beberapa kali di tanah, tapi dengan gerakan cepat sekali bisa bangkit berdiri. Dan bocah itu kembali bersiap hendak menyerang.

"Kau..., kau mampu menghadang seranganku...," terdengar bergetar suara Kunjang.

"Hm...." Rangga hanya menggumam saja sedikit. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerahkan tenaga dalam yang dipelajarinya dari Satria Naga Emas, sudah barang tentu tidak bisa menghadapi serangan bocah ini. Dan Rangga memang sudah tahu. Bocah ini memang harus dihadapi dengan ilmu yang juga berasal dari satu sumber. Semua kekuatannya yang berasal dari Cincin Pusaka Istana Goa Naga itu memang tidak bisa dihadapi dengan ilmu-ilmu biasa, tapi harus dilawan dengan ilmu sejenis.

"Hiyaaat..!" Kunjang kembali melompat menyerang dengan pengerahan seluruh kekuatan yang dimiliki. Sementara Rangga sudah siap menghadapinya. Dan begitu tangan kanan bocah itu mengibas ke arah kepala, manis sekali Rangga mengegoskan sedikit. Maka serangan bocah kecil itu berhasil dihindari. Dan pada saat itu juga, Rangga mengibaskan tangan kanannya, menggunakan jurus 'Ekor Naga Mengibas Gunung'.

"Yeaaah...!"

Bet!

Begitu cepat serangan balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Kunjang yang memang sama sekali belum berpengalaman dalam bertarung tidak dapat lagi mengetahui arah serangan Rangga. Dan....

Diegkh!

"Akh...!" Kunjang jadi memekik keras, begitu dadanya terkena kibasan tangan Rangga yang begitu cepat dan keras ini. Tubuh bocah kecil itu langsung kembali terpental ke belakang deras sekali. Dan pada saat itu juga, Rangga melompat cepat bagai kilat mengejarnya. Lalu....

"Yeaaah....!"
Wut!
Tap!

"Aaakh...!" Kembali Kunjang memekik, begitu tangan kanannya tersambar tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga bisa menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah mencopot cincin berbentuk ular yang dikenakan di jari manis tangan kanan bocah itu.

Cepat Rangga menyentakkan tubuh bocah kecil itu, lalu melesat berputar ke belakang beberapa kali. Sementara, Kunjang terus meluncur deras tanpa dapat terbendung lagi, sambil mengeluarkan jeritan panjang melengking tinggi. Dan bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Rangga di tanah, tubuh bocah itu jatuh menghantam sebatang pohon yang sangat besar.

Brak!

"Akh...!" Kembali terdengar jeritan keras yang agak tertahan, ketika punggung bocah itu menghantam pohon. Tampak Kunjang terjatuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Aneh...! Bocah itu tidak dapat bangkit berdiri lagi. Bahkan tidak bergerak-gerak lagi sedikit pun juga.

Sementara, Pandan Wangi dan Kelana yang menyaksikan semua itu jadi terlongong bengong tidak mengerti. Sedangkan Rangga hanya diam, berdiri tegak memandangi tubuh bocah kecil yang sudah tidak bergerak-gerak lagi. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri. Dan Pandan Wangi juga bergerak mendekati.

Rangga langsung memeriksa bocah kecil itu. Keningnya jadi berkerut, melihat bocah itu sudah tidak bernyawa lagi. Dirasakan kalau seluruh tulang di tubuh bocah itu remuk berpatahan. Mungkin akibat membentur pohon yang besar itu tadi. Sedangkan cincin yang membuatnya jadi tangguh, sudah tidak melingkar lagi di jari manisnya. Cincin itu kini berada di dalam genggaman tangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kembali bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang.

"Dia mati, Kakang...?" tanya Pandan Wangi, setelah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti

"Ya...," sahut Rangga sambil menghembuskan napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti menatap Kelana beberapa saat.

"Kau beri tahu ayahmu. Katakan semua sudah selesai. Desa ini kembali tenang," ujar Rangga.

"Baik... Baik, Kakang," sahut Kelana agak tergagap. Bergegas Kelana berlari meninggalkan pendekar-pendekar muda itu.

"Ayo, Pandan. Kita ke Goa Naga mengantarkan cincin ini," ajak Rangga.

"Kenapa tidak besok saja, Kakang...?" usul Pandan Wangi.

"Cincin ini sangat diperlukan di sana. Aku tidak ingin menundanya lebih lama lagi. Aku khawatir, rakyat Naga Prata sudah sampai ke permukaan dan mengganas di sini," kata Rangga beralasan.

Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Dan kakinya terus terayun mengikuti Rangga yang sudah melangkah lebih dulu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Terpaksa Pandan Wangi juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh, untuk mengimbangi Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang! Kau mudah sekali mengalahkannya. Sedangkan aku tadi hampir tadak sanggup menghadapinya. Ilmu apa yang kau gunakan tadi, Kakang? Rasanya baru kulihat..," ujar Pandan Wangi mengutarakan ketidakmengertiannya.

"Itu ilmu yang diperoleh dari Satria Naga Emas. Memang selama ini tidak pernah kugunakan. Aku hanya menggunakannya pada lawan-lawan yang menggunakan ilmu-ilmu ular saja. Ilmu Satri Naga Emas memang tidak ada yang bisa menandingi. Karena sumbernya adalah dari ilmu segala ilmu ular yang ada di dunia ini," Rangga menjelaskan singkat.

"O.... Pantas saja Kunjang tidak bisa menghadapimu," desah Pandan Wangi kagum.

"Kalau saja dia bukan anak kecil dan sudah berpengalaman dalam bertarung, tentu aku juga akan mendapat kesulitan menghadapinya, Pandan. Tapi dia sama sekali tidak berpengalaman. Dan aku bisa mudah memperdayanya. Lagi pula, kekuatan yang ada dalam dirinya belum lagi terolah sempurna, hingga tidak bisa mengerahkan kekuatan cincin ini sepenuhnya," jelas Rangga lagi.

"Aku baru mengerti sekarang. Kenapa Naga Patra memilihmu, Kakang," ujar Pandan Wangi dengan kepala terangguk.

Rangga hanya tersenyum saja. Bisa mengerti, kenapa Pandan Wangi mengajukan pertanyaan seperti itu. Memang selama mereka sama-sama mengembara. Dan baru kali ini Rangga menggunakan ilmu yang diperolehnya dari Satri Naga Emas. Sudah barang tentu Pandan Wangi jadi bertanya-tanya tadi, karena Pandan Wangi baru melihatnya kali ini.

"Kakang! Kau mau mengajariku sedikit saja ilmu itu padaku...?" pinta Pandan Wangi langsung

"Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Pandan. Nanti aku tanyakan dulu pada Satria Naga Emas," sahut Rangga.

"Tapi, waktu kau ajarkan aku pengolahan tenaga dan pernapasan Rajawali, kau juga tidak main izin dulu pada Rajawali Putih," kata Pandan Wangi.

"Itu karena Rajawali Putih sudah mengenalmu, Pandan. Dan lagi, Rajawali Putih tidak keberatan. Karena, kau selamanya akan menjadi pendampingku," sahut Rangga setengah bergurau.

"Ah, Kakang...," bersemu merah wajah Pandan Wangi

Rangga hanya tersenyum saja.

"Kakang! Kapan kau akan meminta izin pada Satria Naga Emas?" tanya Pandan Wangi.

"Kalau kau bersedia, setelah mengantarkan cincin ini ke Istana Goa Naga, aku bisa membawamu sekalian ke sana. Biar kau sendiri bisa memperolehnya langsung dari Satria Naga Emas," sahut Rangga.

"Sungguh...?"

Rangga hanya mengangguk saja. Dan Pandan Wangi pun jadi senang bukan main, karena bisa memperoleh tambahan ilmu lagi dari Satria Naga Emas nanti. Dan itu akan membuat diri gadis itu semakin sulit dicari tandingannya. Dengan apa yang sudah dimilikinya sekarang ini saja, sudah sulit bagi lawan untuk menjatuhkan gadis ini. Apa lagi, kalau ditambah ilmu-ilmu Satria Naga Emas...?

Pandan Wangi memang tidak bisa membayangkan. Dan dia memang berharap, paling tidak kepandaian yang dimiliki tidak terpaut jauh dengan Rangga. Paling tidak dia bisa mewakili Pendekar Rajawali Sakti dalam menumpas segala macam bentuk kejahatan di muka bumi ini.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: PULAU KEMATIAN

Rahasia Cincin Mustika

RAHASIA CINCIN MUSTIKA

SATU
"Dasar anak tidak tahu di untung! Pergi kau..! Aku muak melihatmu lagi!"

Terdengar bentakan kasar dari seorang laki-laki bertubuh kekar, yang diiringi tendangan kakinya yang mantap.

Duk!

"Aduh...!" Anak kecil bertubuh kurus dan berkulit hitam yang dibentak dan ditendangnya langsung mengaduh kesakitan, saat kaki yang besar dan berbulu itu menghajar tubuhnya. Tubuh kurus itu langsung jatuh bergulingan di tanah becek, bekas tersiram hujan semalam. Seluruh wajah dan tubuhnya sudah biru lebam. Dan pakaiannya sobek-sobek tidak berbentuk lagi Tapi, tidak terdengar rintihan maupun keluhan keluar dari bibirnya yang pucat dan gemetar.

Sementara laki-laki bertubuh kekar yang terbungkus baju indah dari kain sutera itu makin kelihatan bengis wajahnya. Bola matanya yang tajam menatap bocah berusia sekitar sebelas tahun itu.

"Cepat pergi! Jangan berani lagi menginjak pekarangan rumahku!" bentak laki-laki bertubuh kekar itu kasar sambil menuding dengan jari telunjuknya yang besar.

Anak kecil itu bangkit berdiri sambil meringis menahan sakit di seluruh tubuhnya. Sebentar dipandanginya laki-laki bertubuh kekar di depannya. Kemudian tubuhnya berbalik, lalu melangkah pergi dengan ayunan kaki tertatih-tatih.

Kejadian di pagi hari ini sempat membuat beberapa orang yang melintas di depan rumah besar dan berhalaman luas itu berpaling. Namun mereka bergegas pergi, seperti takut melihat laki-laki bertubuh tinggi besar yang masih berkacak pinggang di depan rumahnya yang megah ini.

Sementara anak kecil yang baru saja kena hajaran itu, terus melangkah tertatih-tatih tanpa berpaling lagi sedikit pun. Dia terus berjalan dengan kaki telanjang, menelusuri jalanan becek dan berair. Anak itu terus berjalan tanpa berhenti. Sampai matahari naik tinggi berada di atas kepala, langkah kakinya berhenti berada di tengah hutan yang cukup lebat. Dia tidak tahu lagi, berada di mana sekarang ini. Sekelilingnya hanya pepohonan besar dan rapat, bagai bertaut menjadi satu. Rasa takut seketika menghinggapinya.

"Oh! Di mana aku...?" Rasa takut bocah itu semakin menjadi, setelah benar-benar menyadari keberadaannya sekarang ini. Tubuh anak berusia sekitar sebelas tahun ini langsung menggigil. Bukan karena udara di dalam hutan ini yang dingin, tapi karena rasa takutnya. Bola matanya yang kecil, merayapi sekitarnya. Nyatanya hanya pepohonan saja yang ada di sekelilingnya. Seakan dia terkurung, tanpa tahu lagi mana arah jalan keluar. Dan di saat rasa takut semakin menguasai dirinya, mendadak saja....

"Hik hik hik..!"

"Oh...?!" Pucat seluruh wajah bocah itu ketika tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang begitu nyaring dan mengerikan. Begitu takutnya, dia langsung jatuh terduduk di tanah yang masih basah tersiram hujan semalam. Suara tawa yang terdengar jelas sekali, menggema di sekelilingnya. Seakan, begitu dekat berada di tempat ini. Getaran di tubuhnya malah semakin keras. Dan belum lagi bisa disadari apa yang terjadi, mendadak saja....

Wusss...!

"Aaa...!" Bocah kecil itu menjerit nyaring, begitu tiba-tiba berhembus angin kencang yang diikuti berkelebatnya sebuah bayangan merah begitu cepat bagai kilat menyambarnya. Dan tahu-tahu, bocah itu sudah lenyap tidak berbekas lagi. Suara jeritannya yang panjang pun menghilang tepat ketika bayangan merah itu lenyap. Kini hutan ini pun kembali sunyi, seperti tidak terjadi sesuatu. Hanya pepohonan saja yang menjadi saksi bisu dari peristiwa yang begitu cepat berlangsung. Entah apa yang terjadi pada anak kecil malang itu.

********************

Hutan turun yang begitu lebat disertai angin yang kencang berhembus mengguyur Desa Payakan. Sudah beberapa hari ini, hujan turun bagai tertumpah dari langit di desa itu. Sehingga, membuat semua penduduknya tidak ada yang bisa mengerjakan tugasnya sehari-hari. Dan mereka terpaksa harus berdiam diri dalam rumahnya.

Sementara di dalam rumah yang paling besar di Desa Payakan, terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah duduk santai bagai seorang raja. Laki-laki berkulit agak hitam dan ditumbuhi bulu cukup lebat pada bagian dada, tangan serta kakinya ini, dikelilingi tiga orang gadis yang berparas cantik yang tampak manja. Mereka selalu melayani segala keinginan lelaki bertubuh besar dan kekar ini. Dan orang-orang desa mengenali sebagai Ki Junggut.

Dan tidak jauh di depannya, duduk dua orang anak muda berwajah kembar dengan pakaian sama persis. Di belakangnya, duduk bersila tiga orang laki-laki tua berjubah dan seorang perempuan tua yang rambutnya sudah memutih semua. Mereka tampak gembira, tidak menghiraukan hujan yang turun begitu lebat mengguyur desa ini bagai ditumpahkan dari langit.

"Aku dengar kalian mendapat kesulitan hari ini. Apa yang terjadi pada kalian, sampai babak belur begini...?" tanya laki-laki bertubuh besar dan berbulu hampir diseluruh tubuhnya, dengan suara terdengar berat sekali.

"Benar, Ayah. Rupanya, sekarang telah ada orang yang berani menghalangi kami dalam memungut pajak dari penduduk," sahut salah seorang pemuda kembar.

"Hm.... Siapa dia, Rantaka?!" tanya Ki Junggut dengan suara tetap besar dan berat. "Kami tidak tahu, siapa dia dan dari mana asalnya. Tiba-tiba saja dia muncul menghalangi kami dalam memungut pajak," sahut pemuda kembar yang dipanggil Rantaka itu lagi.

"Dan kau tidak bisa mengatasinya...?"

Rantaka tidak bisa menjawab, sedang pemuda kembarnya juga hanya diam saja. Kepala mereka tertunduk, seakan tidak sanggup menentang tatapan mata Ki Junggut yang tajam dan memerah. Dan suasana di dalam ruangan besar yang megah itu jadi hening, tanpa sedikit pun terdengar suara. Hingga hantaman air hujan di atas genting rumah ini terdengar keras, bagai hendak meruntuhkan seluruh bangunan yang megah bagai istana kecil di tengah-tengah desa ini.

"Dengar...! Aku tidak sudi lagi mendengar kegagalan. Besok, kalian harus memungut pajak lebih besar daripada biasanya. Siapa pun yang berani menghalangi, bunuh saja!" perintah Ki Junggut tegas, sambil mengedarkan pandangan pada mereka semua yang ada di dalam ruangan ini.

Mereka yang berada di depan laki-laki kekar berkulit hitam itu hanya diam saja, dengan kepala bergerak terangguk pelan. Sedikit pun tidak ada yang berani membantah perintah Penguasa Desa Payakan ini. Sementara, Ki Junggut sendiri sudah bangkit berdiri. Tanpa bicara lagi kakinya melangkah meninggalkan ruangan depan rumahnya, diikuti gadis-gadis yang menemani.

Sedangkan dua pemuda kembar dan tiga laki-laki tua serta seorang perempuan tua yang ada di dalam ruangan ini masih tetap duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal dan halus. Mereka belum juga beranjak, walaupun Ki Junggut sudah tidak terlihat lagi bayangannya di dalam ruangan depan rumah yang megah ini. Baru setelah Ki Junggut benar-benar lenyap, keempat orang tua itu segera beranjak. Namun mereka tidak meninggalkan tempat ini, melainkan berpindah duduk menghadap pemuda kembar itu.

"Rantaka! Kau kenali siapa anak itu...?" tanya perempuan tua yang duduk dekat pemuda kembar ini.

"Tidak, Nyai Waringki," sahut Rantaka.

"Kau, Rantaki...?" tanya perempuan tua yang tadi disebut sebagai Nyai Waringki Pemuda kembaran Rantaka yang bernama Rantaki hanya menggelengkan kepala saja.

"Seperti apa rupanya?" selak seorang laki-laki tua berbaju jubah warna hitam. Dia memegang tongkat berbentuk ular yang juga berwarna hitam pekat Semua orang di Desa Payakan ini mengenalnya sebagai Ki Sampuk

"Dia...," Rantaka tidak langsung menjawab. Matanya melirik pada saudara kembarnya.

Empat orang tua yang kini menghadapi pemuda kembar itu saling berpandangan. Mereka melihat pemuda kembar merasa kesulitan mengatakan, siapa orangnya yang telah berani menghalangi mereka menarik pajak para penduduk di Desa Payakan ini. Cukup lama juga mereka menunggu, tapi kedua pemuda kembar itu tidak juga membuka suaranya. Malah kepala mereka tertunduk menekun lantai berpermadani lembut ini.

"Bagaimana rupanya, Rantaka...?" desak Ki Sampuk, meminta jawaban atas pertanyaannya yang belum juga terjawab tadi.

"Dia.... Dia...," terasa sulit sekali bagi Rantaka untuk menjawab.

"Katakan saja, Rantaka. Jangan takut-takut. Kamu semua pasti akan membantumu mengatasinya," desak laki-laki tua lainnya yang berbaju merah ketat. Sebilah pedang tampak tersampir di pinggangnya. Dan dia sering dipanggil Ki Sampulut.

Sedangkan laki-laki tua satunya lagi sejak tadi diam saja. Laki-laki tua yang kerap kali dipanggil Ki Jampur ini mengenakan baju biru agak ketat. Sebilah golok berukuran besar tampak selalu tergenggam di tangan kanan. Tubuhnya paling kekar dan berotot. Wajahnya juga memancarkan kebengisan, dengan sepasang bola mata yang selalu merah bagai sepasang mata elang.

"Dia hanya anak kecil yang usianya paling-paling baru tiga belas tahun...," jelas Rantaki dengan terdengar begitu pelan. Sehingga, hampir tertelan oleh curahan air hujan di luar rumah ini.

"Anak kecil...?!"

Empat orang tua itu jadi terlongong bengong, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hanya seorang anak kecil, membuat kedua pemuda kembar yang kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata, bisa kalah begitu saja! Rasanya memang sulit dipercaya. Dua pemuda berusia dua puluh enam tahun berkepandaian tinggi, kalah oleh seorang anak kecil berusia tiga belas tahun!

"Kau jangan main-main, Rantaki. Mana mungkin kalian berdua bisa tidak berdaya hanya oleh anak kecil..?" sentak Ki Sampuk tidak percaya.

"Aku berkata yang sebenarnya, Paman. Dia memang masih kecil, tapi kepandaiannya luar biasa. Kami berdua sampai jatuh bangun dibuatnya," kata Rantaki meyakinkan.

"Besok kalian tunjukkan orangnya," ujar Nyai Waringki jadi penasaran.

"Besok dia menunggu di rumah Ki Anom," kata Rantaka memberi tahu. "Mungkin juga sekarang tinggal di sana."

"Apa tidak mungkin dia anaknya Ki Anom...?" selak Ki Sampulut, seperti bertanya pada diri sendiri.

"Entalah. Aku tidak kenal dengannya," sahut Rantaka.

"Baik! Kalau begitu, kita datangi saja besok pagi," tegas Ki Sampuk.

Ki Anom tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ketika pagi-pagi sekati empat orang tukang pukul Ki Junggut mendatangi rumahnya bersama Rantaka dan Rantaki, anak kembar orang terkaya di Desa Payakan ini. Lebih terkejut lagi, ternyata mereka mencari anak yang kemarin membuat pemuda kembar itu jungkir batik.

"Katakan saja di mana anak itu, Ki," desak Ki Sampuk

"Aku tidak tahu. Aku tidak kenaL..," sahut Ki Anom terbata-bata.

"Dengar, Ki. Hukumannya akan berat kalau anak setan itu kau sembunyikan," ancam Nyai Waringki.

Seluruh tubuh Ki Anom jadi bergetar, mendengar ancaman perempuan tua yang sudah terkenal akan kekejamannya. Tapi dia memang tidak tahu, di mana bocah yang kemarin menganiaya putra kembar Ki Junggut ini. Bahkan dia sendiri tidak mengenalnya sama sekali. Anak itu tiba-tiba saja muncul, ketika Rantaka dan Rantaki datang menagih pajak padanya. Lalu pemuda kembar itu dibuat jungkir balik seperti mainan saja.

"Baik...! Kalau tidak mau mengaku juga, aku terpaksa mengambil jalan kekerasan," ancam Nyai Waringki lagi.

"Oh...?!" Ki Anom semakin tidak dapat bersuara. Kedua bola matanya jadi terbeliak, dan seluruh tubuhnya menggeletar hebat bagai terserang demam. Sementara, Nyai Waringki sudah melangkah mendekatinya. Seutas cambuk kulit yang berduri sudah tergenggam di tangan kanannya.

"Katakan, di mana bocah itu...?" desak Nyai Waringki lagi. "Atau kau ingin merasakan cambukku...?"

"Aku..., aku tidak tahu...," sahut Ki Anom semakin menggeletar tubuhnya.

"Keras kepala! Rasakan ini! Hih...!"

Ctar!

"Akh...!" Ki Anom langsung terpekik, begitu cambuk hitam berduri halus milik Nyai Waringki menyengat tubuhnya. Seketika darah mengucur keluar dari tubuh tua yang kurus itu. Ki Anom langsung jatuh tersungkur mencium tanah. Dia merintih merasakan nyeri pada luka cambukan di tubuhnya. Sementara Nyai Waringki sudah mengangkat lagi cambuknya. Dan....

"Hih!"

Ctar!

"Akh...!" Kembali Ki Anom menjerit begitu cambuk kulit itu merobek kulit tubuhnya lagi Tapi memang laki-laki tua ini tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak tahu, di mana anak yang tangguh itu berada. Namun, cambuk Nyai Waringki kembali merobek kulit tubuhnya, membuat darah semakin banyak keluar. Beberapa kali cambuk hitam berduri itu menggeletar, menghantam tubuh Ki Anom.

Semetara orarig-orang yang melihat kejadian itu hanya bisa menahan napas saja, tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menolong. Sedangkan Ki Anom sendiri sudah tidak dapat lagi mengeluarkan suara. Tubuhnya tergeletak di tanah dalam keadaan tersayat-sayat Namun Nyai Waringki terus saja mengayunkan cambuknya, membuat lelaki tua itu tak dapat bertahan. Dan dia jatuh pingsan seketika, ketika cambukan terakhir mendarat di tubuhnya.

"Huh...!" Nyai Waringki mendengus sambil menyemburkan ludahnya, melihat Ki Anom tergeletak diam seperti mati di depannya. Tanpa banyak bicara lagi, kakinya melangkah masuk ke dalam gubuk orang tua ini. Tak lama, terdengar barang-barang terbanting dari dalam gubuk. Sebentar suara itu lenyap. Dan tidak lama kemudian, Nyai Waringki keluar lagi dengan wajah berang dan napas memburu.

"Ada...?" tanya Ki Sampuk langsung.

"Tidak," sahut Nyai Waringki mendengus.

"Bakar saja rumahnya, Paman," selak Rantaka.

"Sekalian saja sama orangnya," sambut Rantaki.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Rantaki langsung menghampiri Ki Anom yang sudah tergeletak diam tidak bergerak-gerak lagi. Kemudian diseretnya orang tua itu, dan dibawanya masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dan ketika pemuda itu keluar, dari dalam rumah itu terlihat asap mengepul. Tak lama terlihat api membakar rumah reyot yang sudah hampir roboh itu.

Cepat sekali api melahap gubuk, padahal Ki Anom sendiri berada di dalamnya. Kini gubuk itu mulai habis terbakar. Sementara orang-orang yang melihat tetap tidak ada yang berani mendekat Mereka hanya bisa memandangi dengan sinar mata penuh kebencian pada orang-orang tua ini. Namun di saat api hampir melahap habis gubuk reyot itu, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan biru berkelebat begitu cepat masuk ke dalam kobaran api.

Dan saat itu juga, dari dalam kobaran api kembali melesat keluar bayangan biru tadi. Begitu cepat kelebatannya, sehingga sulit diketahui orangnya. Tapi, Ki Sampuk sempat melihat kalau bayangan biru itu membawa tubuh Ki Anom dari dalam kobaran api yang membakar rumahnya ini.

"Apa itu, Paman...?" tanya Rantaka yang juga melihat bayangan biru itu.

"Ada yang menolong Ki Anom," sahut Ki Sampuk pelan.

"Keparat..! Akan kukejar dia!" geram Rantaka. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rantaka langsung saja melesat cepat sekali mengejar bayangan biru tadi. Tindakan pemuda itu diikuti saudara kembarnya. Sementara, Ki Sampuk dan yang lainnya masih terdiam sesaat. Namun, mereka cepat bergerak melesat mengikuti kedua pemuda kembar putra junjungannya.

Begitu tinggi kepandaian yang mereka miliki, hingga bergerak seperti bayangan saja. Dan dalam waktu sekejap saja bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan. Sementara, Rantaka dan saudara kembarnya terus berlari cepat mengejar bayangan biru yang menyelamatkan Ki Anom tadi. Namun sampai tiba di perbatasan desa, mereka kehilangan jejak.

Bayangan biru itu seakan-akan lenyap ditelan bumi. Rantaka dan Rantaki langsung berhenti berlari, dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mereka mencari-cari orang yang membawa Ki Anom dari rumahnya yang terbakar. Tapi, nyatanya orang itu memang sudah tidak terlihat lagi.

"Keparat...!" geram Rantaka kesal.

Saat itu, Ki Sampuk dan yang lain sudah tiba diperbatasan desa sebelah barat ini. Mereka juga tidak lagi melihat orang yang dikejarnya. Dan mereka segera menghampiri kedua pemuda kembar yang masih penasaran, karena kehilangan jejak buruannya.

"Ayo, Rantaka. Kita kembali saja dulu," ajak Ki Sampuk.

Rantaka menatap orang tua itu sejenak, kemudian berbalik. Kakinya lantas melangkah kembali ke Desa Payakan tanpa bicara lagi. Rantaki juga mengikuti saudara kembarnya. Sedangkan laki-laki tua dan seorang perempuan tua yang menjadi tukang pukul orang tua pemuda kembar itu, mengikuti dari belakang.

DUA

Tidak jauh dari perbatasan Desa Payakan sebelah barat, terlihat secarang gadis muda yang cantik memandangi Rantaka dan Rantaki yang pergi diikuti orang-orang tua yang menjadi pengawalnya. Tampak bibir gadis itu mengembangkan senyum yang sangat tipis, hingga hampir tidak terlihat.

Gadis itu baru keluar dari semak tempatnya bersembunyi setelah orang-orang tadi tidak terlihat lagi. Di pundaknya terlihat seorang laki-laki tua dengan tubuh terkulai seperti sudah mati. Dan tanpa banyak bicara lagi, gadis cantik berbaju ketat warna biru itu segera pergi, masuk ke dalam hutan.

Gerakan gadis itu begitu ringan dan cepat. Sehingga dalam waktu sebentar saja, dia sudah jauh masuk ke dalam hutan yang berbatasan dengan Desa Payakan sebelah barat ini. Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya gadis itu sampai di tepi sebuah telaga yang berair jernih. Diturunkannya laki-laki tua yang ternyata Ki Anom dari punggungnya dengan hati-hati sekali. Dan dibaringkannya tubuh tua itu di atas rerumputan, tidak jauh dari tepi telaga kecil ini.

"Kasihan kau, Ki...," desahnya lirih, memandangi orang tua yang terbaring dengan napas pelan ini.

Gadis ini segera membersihkan luka-luka di tubuh Ki Anom. Kemudian diberikannya beberapa totokan ringan untuk menutup jalan darah pada luka di tubuh orang tua ini. Setelah darah-darah yang melekat di tubuh orang tua itu bersih, kemudian disalurkannya sedikit hawa murni. Dan saat itu juga, Ki Anom terbatuk. Gadis itu segera menghentikan penyaluran hawa murninya. Dipandanginya Ki Anom yang sudah mulai siuman dari pingsannya.

"Oh..," Ki Anom merintih lirih. Perlahan orang tua kurus itu membuka matanya. Seketika dia terkejut melihat ada seorang gadis cantik di dekatnya. Lebih terkejut lagi, begitu menyadari dirinya berada dalam hutan. Ki Anom mencoba bangkit, tapi gadis cantik ini lebih cepat mencegahnya dengan menekan sedikit tangannya ke dada orang tua ini.

"Jangan bergerak dulu, Ki," ujar gadis itu lembut.

"Sss.... Siapa kau, Nisanak...?" tanya Ki Anom.

"Namaku Pandan Wangi, Ki," sahut gadis itu lembut, sambil mengembangkan senyum yang manis sekali

. "Kenapa kau menolongku...?" tanya Ki Anom lagi, dengan suara lirih dan tersendat.

"Kau perlu pertolongan, Ki. Aku tidak bisa diam saja melihat kau tersiksa dan hampir mati terbakar bersama rumahmu," sahut gadis cantik berbaju biru yang ternyata adalah Pandan Wangi.

Gadis cantik ini yang di kalangan persilatan lebih dikenal sebagai si Kipas Maut ini memang kebetulan lewat, ketika Ki Anom mendapat siksaan dari Nyai Waringki tadi. Semula, Pandan Wangi memang tidak mau ikut campur, karena memang hanya sekadar lewat saja di desa itu. Tapi begitu melihat kekejaman mereka yang semakin menjadi, Pandan Wangi tidak bisa lagi menahan diri. Maka langsung dikeluarkannya orang tua itu dari kobaran api yang membakar rumahnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Ki? Kenapa mereka menyiksamu begitu...?" tanya Pandan Wangi, ingin tahu.

"Mereka memang sudah biasa melakukan penyiksaan seperti itu. Bahkan tidak segan-segan membunuh...," sahut Ki Anom lirih.

"Siapa mereka?" tanya Pandan Wangi lagi, semakin ingin tahu saja.

"Yang kembar adalah putra Ki Junggut, Tuan Tanah di Desa Payakan. Sedangkan yang lain hanya tukang pukulnya saja. Tapi, mereka memang kejam. Bahkan seluruh rakyat di Desa Payakan diharuskan membayar pajak yang tinggi pada Ki Junggut. Dan bagi yang tidak bisa membayar, selalu mendapat siksaan berat. Bahkan tidak sedikit yang mati akibat disiksa. Juga, tidak sedikit yang langsung dibunuh kalau mencoba melawan. Tidak ada seorang-pun yang berani menantangnya. Desa Payakan benar-benar sudah menjadi neraka...," dengan suara tersendat, Ki Anom menceritakan keadaan di Desa Payakan.

Sementara Pandan Wangi hanya diam saja dengan bibir terkatup rapat. Entah, apa yang ada dalam kepala si Kipas Maut ini. Tapi semua cerita yang dituturkan Ki Anom merasuk ke dalam hatinya. Seketika darahnya terasa bergolak mendidih. Pandan Wangi memang tidak bisa mendengar ada penderitaan terjadi pada penduduk desa yang lemah.

"Sejak kapan itu berlangsung, Ki?" tanya Pandan Wangi dengan suara agak ditekan.

"Entahlah, Nini.... Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun. Ya..., sejak Ki Junggut datang ke desa ini," sahut Ki Anom.

Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan. Sementara, Ki Anom sudah kelihatan lebih membaik keadaannya. Sepertinya luka-luka di tubuhnya tidak lagi terasa sakit. Tapi ada yang lebih sakit lagi dirasakan. Hatinya teramat sakit, bila mengingat semua yang telah terjadi padanya.

"Kau punya tempat tinggal lagi selain di Desa Payakan, Ki?" tanya Pandan Wangi setelah cukup lama terdiam membisu.

"Aku punya anak perempuan yang sudah menikah. Tapi, sekarang tinggal jauh dari, sini...," sahut Ki Anom.

"Di mana?" tanya Pandan Wangi.

"Di Kota Karang Setra," sahut Ki Anom.

Entah, kenapa Pandan Wangi jadi tersenyum mendengar ada anak perempuan Ki Anom yang sekarang tinggal di Karang Setra. Dan sebenarnya, Desa Payakan ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Tapi, memang cukup jauh juga jarak dari Desa Payakan ke kota. Paling tidak perlu waktu dua hari perjalanan berkuda.

"Aku antarkan kau ke sana, Ki," kata Pandan Wangi menawarkan jasanya.

"Ah.... Kau sudah terlalu banyak menolongku, Nini. Entah apa yang harus kuberikan padamu..," ujar Ki Anom jadi merasa tidak enak mendapat pertolongan terus-menerus dari gadis yang baru dikenalnya.

"Kebetulan aku juga akan ke sana, Ki. Jadi kita bisa bersama-sama," kata Pandan Wangi beralasan.

Ki Anom mencoba bangkit berdiri. Dan Pandan Wangi pun bergegas membantu orang tua ini berdiri. Sebentar mereka terdiam. Dan tiba-tiba saja, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu bersiul nyaring. Ki Anom jadi terkejut. Namun sebelum keterkejutannya hilang, sudah terdengar ringkikan seekor kuda. Dan tidak lama kemudian, muncul seekor kuda putih yang tinggi dan gagah dari balik pepohonan yang merapat di dalam hutan ini.

Kuda putih langsung menghampiri Pandan Wangi. Binatang tunggangan si Kipas Maut ini mendengus-dengus dengan kepala terangguk beberapa kali. Kaki kanan depannya menghentak-hentak mengais tanah. Pandan Wangi memeluk kepala kuda putih tunggangannya, kemudian menatap Ki Anom sebentar.

"Naiklah, Ki," pinta Pandan Wangi.

"Ah.... Aku belum pernah naik kuda sebagus ini, Nini," ujar Ki Anom kagum pada kuda putih tunggangan gadis itu.

"Tidak apa, Ki. Si Putih bisa mempercepat perjalanan kita nanti. Kita naik sama-sama," kata Pandan Wangi lagi.

Ki Anom jadi ragu-ragu. Hatinya semakin merasa tidak enak pada gadis ini. Kebaikannya terasa begitu menyentuh. Belum pernah didapatkannya kebaikan yang begitu besar pada seorang gadis cantik yang baru saja dikenalnya. Pandan Wangi sudah menyelamatkan nyawanya, dan sekarang akan mengantarkannya ke Kota Karang Setra dengan kuda tunggangannya yang gagah ini.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi membantu Ki Antom naik kepunggung kuda putih itu. Kemudian gadis itu sendiri melompat naik ke belakang laki-laki tua ini. Pandan Wangi memegang tali kekang kuda tunggangannya, kemudian menggebahnya dengan kencang.

Ki Anom jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba kuda putih yang ditungganginya melesat begitu cepat bagai anak panah lepas dari busurnya. Rasanya, seakan-akan dia terbawa terbang bersama kuda putih yang gagah ini.

"Tenang saja, Ki. Si Putih tidak akan melemparkanmu," kata Pandan Wangi sambil tersenyum.

Ki Anom hanya diam saja. Jantungnya masih berdetak cepat, merasakan kengerian yang amat sangat berada di punggung kuda putih yang berlari cepat bagai angin ini. Sebentar saja, kuda putih tunggangan si Kipas Maut itu sudah jauh membawa mereka keluar dari dalam hutan ini. Dan merka terus berpacu cepat melintasi jalan tanah yang berdebu menuju Kota Kerajaan Karang Setra.

********************
Serial Pendekar Rajawali Sakti


Pandan Wangi melangkah ringan, sambil tersenyum-senyum menghampiri Rangga yang sedang duduk-duduk di dalam taman belakang Istana Karang Setra, ditemani Cempaka dan Danupaksi. Beberapa orang prajurit terlihat berjaga-jaga di sekitar taman ini. Dan beberapa gadis cantik bermain-main di dalam taman dengan gembira. Pandan Wangi langsung berlutut, memberi sembah pada Raja Karang Setra dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.

"Duduklah di sini, Pandan Wangi," pinta Rangga sambil menepuk kursi disampingnya.

Pandan Wangi tersenyum, dan duduk di sebelah Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra. Diberikannya senyum manis pada dua orang adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah sejak tadi menemaninya di taman belakang ini.

"Lima hari ini kau pergi. Ke mana saja...?" Rangga langsung menegur si Kipas Maut itu.

"Jalan-jalan ke desa," sahut Pandan Wangi kalem.

"Sampai lima hari.... Tentu jauh perjalananmu, Kak Pandan," selak Cempaka.

"Ya, sampai ke Desa Payakan," sahut Pandan Wangi lagi.

"Desa Payakan jauhnya dua hari perjalanan berkuda dari sini. Untuk apa ke sana, Kak Pandan..?" sambung Danupaksi heran.

"Melihat-lihat keadaan saja," sahut Pandan Wangi kalem.

"Lalu, apa yang kau dapatkan di sana?" tanya Rangga lagi.

Pandan Wangi tidak langsung menjawab, sehingga membuat Rangga dan kedua adik tirinya jadi memandanginya dengan kelopak mata menyipit dan kening agak berkerut. Mereka langsung menduga kalau ada sesuatu yang terjadi di Desa Payakan, hingga Pandan Wangi seakan sulit mengatakannya.

"Ada persoalan di sana, Pandan..?" desak Rangga lembut.

"Desa itu sekarang seperti neraka, Kakang," sahut Pandan Wangi pelan.

"Apa maksudmu, Kak Pandan..?" desak Danupaksi, agak terkejut mendengar jawaban Pandan Wangi barusan

"Ki Junggut orang terkaya di desa itu menguasainya bagai seorang tuan tanah. Dia menekan semua penduduk dengan pajak-pajak tinggi. Bahkan tidak segan-segan menyiksa atau membunuh siapa saja yang berani menentangnya," jelas Pandan Wangi. "Aku membawa seorang tua yang hampir saja mati dibakar bersama rumahnya dari sana. Sekarang, dia sudah ada di rumah anaknya di sini."

"Hm.... Kenapa tidak langsung saja dibawa ke sini, Kak Pandan?" ujar Cempaka agak menggumam suaranya.

"Dia tidak tahu siapa aku, Cempaka."

Cempaka dan Danupaksi langsung memandangi Rangga yang jadi terdiam mendengar laporan Pandan Wangi mengenai keadaan Desa Payakan barusan. Mereka tahu, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa mendengar ada penderitaan yang terjadi dalam wilayah kerajaannya. Walaupun Desa Payakan cukup jauh dari kota, tapi masih tetap termasuk ke wilayah Kerajaan Karang Setra.

Dan tanpa bicara lagi sedikit pun juga, Rangga bangkit berdiri dari kursinya. Kakinya langsung terayun melangkah perlahan-lahan. Sementara, Pandan Wangi dan kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti hanya memandanginya saja dengan kening sedikit berkerut. Sedangkan Rangga terus melangkah, meninggalkan taman belakang istana ini.

"Aku salah bicara tadi, Cempaka...?" desis Pandan Wangi jadi merasa tidak enak melihat sikap Rangga langsung saja berubah.

"Tidak," sahut Cempaka.

"Aku yakin, Kakang Rangga pasti pergi ke sana. Dia tidak bisa mendengar ada penderitaan terjadi di wilayah kerajaan ini," kata Danupaksi pelan.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Cempaka.

"Tunggu saja, apa perintahnya," sahut Danupaksi.

Cempaka hanya mengangkat bahu saja sedikit. Memang tidak ada yang bisa dilakukan. Dan seperti biasanya, mereka hanya bisa menunggu saja, apa yang akan diperintahkan Raja Karang Setra itu. Tapi, Cempaka sudah langsung bisa menduga kalau Rangga pasti memerintahkan mereka untuk tidak meninggalkan istana. Dan seperti yang biasanya terjadi, Pendekar Rajawali Sakti tentu hanya mengajak Pandan Wangi menyelesaikan kemelut yang terjadi di Desa Payakan.

"Sebaiknya bersiap-siap saja, Kak Pandan. Tidak lama lagi Kakang Rangga pasti akan mengajakmu pergi ke Desa Payakan," ujar Cempaka.

"Sebenarnya, aku ingin berada di istana ini. Aku sudah lelah mengembara. Kakang Rangga pasti tidak akan langsung kembali lagi ke sini kalau sudah keluar," kata Pandan Wangi agak mendesah nada suaranya.

"Tapi hanya kau yang bisa mendampinginya, Kak Pandan. Tidak mungkin Kakang Rangga pergi sendiri," sergah Danupaksi.

"Bagaimana kalau kau saja yang pergi bersamanya, Cempaka?" Pandan Wangi menawarkan.

"Aku...?!" Cempaka jadi tertawa mendengar penawaran si Kipas Maut. Dia tahu, tidak akan mungkin Rangga akan menerima tawaran Pandan Wangi barusan. Lagi pula, Cempaka sadar kalau kepandaian yang dimilikinya masih beberapa tingkat di bawah Pandan Wangi. Dan gadis itu juga merasa tidak sebanding jika harus menemani Pendekar Rajawali Sakti mengembara menjelajah rimba yang ganas di luar sana.

Cempaka sendiri sudah terbiasa hidup di dalam lingkungan istana, mendampingi Danupaksi yang mewakili Pendekar Rajawali Sakti itu memimpin pemerintahan di Karang Setra. Walaupun, di dalam hati kecilnya dia selalu berharap ada sedikit kesempatan untuk menjelajah dunia luas bersama pendekar muda yang sangat dikaguminya.

Dan saat itu, terlihat seorang punggawa berjalan cepat menghampiri mereka. Punggawa berusia muda itu langsung berlutut di depan Danupaksi, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Ada apa, Punggawa?" tanya Danupaksi langsung.

"Hamba diperintahkan untuk menjemput Gusti Pandan Wangi. Gusti Prabu sudah menunggu di depan istana," sahut punggawa itu.

Saat itu Cempaka langsung tersenyum. "Benar kan kataku, Kak Pandan. Cepat sana! Jangan sampai Kakang Rangga lama menunggu," ujar Cempaka.

Pandan Wangi hanya mengangkat bahu saja.

"Punggawa! Apa ada pesan lain dari Kakang Prabu?" tanya Danupaksi.

"Tidak, Gusti. Hanya itu pesan Gusti Prabu," sahut punggawa itu hormat.

Danupaksi mengangkat bahunya sedikit. Walaupun Rangga tidak memberi pesan apa-apa, tapi sudah diketahuinya apa yang harus dilakukannya, bila Raja Karang Setra itu sudah pergi meninggalkan istana untuk mengembara. Memang sulit menjadi raja kalau dalam dirinya terus tertanam jiwa pendekar. Jelas, Rangga lebih mementingkan kependekarannya daripada harus berdiam diri di dalam istana.

"Ayo, Punggawa. Antarkan aku menemui Gusti Prabu," pinta Pandan Wangi.

Pandan Wangi menatap sebentar pada Danupaksi dan Cempaka, kemudian melangkah meninggalkan kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Punggawa yang tadi membawa laporan segera mengikuti langkah si Kipas Maut dari belakang. Sedangkan Danupaksi dan Cempaka hanya bisa memandangi saja, tanpa dapat berbicara lagi. Dan mereka juga meninggalkan taman belakang istana ini, setelah Pandan Wangi dan punggawa tidak terlihat lagi.

"Di mana orang tua yang kau antarkan dari Desa Payakan?" tanya Rangga setelah mereka keluar dari dalam istana melalui jalan rahasia yang berada di bagian belakang istana.

"Sebelah selatan pinggiran kota," sahut Pandan Wangi memberi tahu.

"Kita temui dulu dia," kata Rangga memutuskan.

Dan tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah menggebah cepat kudanya menuju selatan kota. Pandan Wangi terpaksa mengikuti tanpa banyak tanya lagi. Untung saja, Rangga menggebah kudanya tidak terlalu cepat. Sehingga, gadis itu bisa mudah mensejajarkan lari kudanya disamping kuda hitam bernama Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

Mereka terus menggebah cepat kudanya, melintasi jalan kota yang selalu ramai ini. Orang-orang yang berada di jalan itu segera menyingkir, begitu melihat dua orang penunggang kuda berpacu cepat melintasi jalan ini. Mereka yang memang sudah mengenal kedua penunggangnya, segera membungkuk memberi hormat.

Dan memang, hampir seluruh rakyat di Kota Kerajaan Karang Setra ini sudah mengenal raja mereka, walau saat ini mengenakan baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung. Mereka sudah tahu, raja mereka adalah seorang pendekar digdaya yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

Mengetahui kalau yang memacu cepat kuda itu adalah rajanya, semua orang langsung mengosongkan jalan ini. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sendiri terus memacu kudanya dengan cepat menuju arah selatan tanpa mempedulikan orang-orang yang berjajar di tepi jalan dengan tubuh membungkuk memberi hormat.

Dalam waktu tidak lama saja, sepasang pendekar muda dari Karang Setra itu sudah dekat dengan perbatasan luar kota sebelah selatan. Masih terlihat beberapa rumah di dekat perbatasan, walaupun tidak sepadat di tengah kota. Rangga langsung memperlambat lari kudanya. Dan matanya melirik Pandan Wangi sedikit, yang berkuda di sebelah kiri. Pandan Wangi langsung bisa mengerti. Dan segera kudanya digebah mendahului Pendekar Rajawali Sakti.

"Hooop...!" Pandan Wangi langsung menghentikan lari kudanya, setelah tiba di depan sebuah rumah kecil yang berhalaman cukup luas, tidak jauh dari gerbang perbatasan kota. Gadis itu langsung melompat turun dari punggung kudanya. Sementara Rangga bergegas mengikuti setelah sampai di samping kuda putih si Kipas Maut ini. Dan Pandan Wangi pun sudah melangkah memasuki halaman rumah yang cukup luas ini.

Dari dalam rumah kecil itu, keluar seorang laki-laki tua yang langsung menyambut dengan sikap begitu hormat. Di belakangnya menyusul seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun, diikuti seorang laki-laki yang berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuh laki-laki itu kekar berotot dan agak hitam terbakar matahari. Mereka langsung menyambut Pandan Wangi dengan sikap hormat sekali.

"Aku tidak lama, Ki Anom. Hanya mampir-mampir saja mengantarkan kakakku ini. Dia ingin kenal denganmu," kata Pandan Wangi cepat-cepat, ketika Ki Anom memintanya masuk ke dalam rumah anaknya.

Rangga menganggukkan kepala sedikit pada orang tua itu dengan bibir menyunggingkan senyum penuh rasa persahabatan. Ki Anom membalasnya dengan anggukan kepala juga.

"Kakang Rangga ingin tahu persoalanmu di Desa Payakan," kata Pandan Wangi lagi.

"Oh! Untuk apa Kisanak ingin tahu...?" tanya Ki Anom agak terkejut.

Belum juga Rangga bisa menjawab, Pandan Wangi sudah menyelak lebih dulu. "Terus terang saja, Ki. Kakang Rangga mendapat perintah dari istana untuk mengamankan desa itu..."

Kedua bola mata Ki Anom jadi terbeliak, memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua kurus itu langsung menyangka kalau pemuda yang bersama Pandan Wangi ini adalah pembesar istana. Cepat-cepat dia menjatuhkan diri, berlutut memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Anak dan menantu orang tua ini juga langsung bersikap sama. Dan ini membuat Rangga jadi menyipit kelopak matanya. Langsung matanya menatap tajam Pandan Wangi yang dianggapnya sudah salah bicara.

"Jangan bersikap begitu, Ki. Kakang Rangga orang biasa seperti kita. Hanya, dia sering mendapat tugas dari istana untuk persoalan seperti di Desa Payakan," kata Pandan Wangi cepat-cepat menjelaskan.

"Maaf.... Aku tidak menyangka kalau Nisanak adalah adik dari orang kepercayaan istana. Maafkan atas semua sikap dan kelancanganku," ucap Ki Anom sambil memberi hormat pada Pandan Wangi.

"Ah, sudahlah.... Aku dan Kakang Rangga datang hanya ingin meminta keterangan langsung darimu, Ki," ujar Pandan Wangi, juga jadi jengah mendapat sikap hormat seperti ini

Gadis itu langsung saja membangunkan Ki Anom dan anak menantunya. Dan kini mereka kembali berdiri saling berhadapan. Sementara, Rangga sendiri masih tetap diam. Entah, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti.

Kini Pandan Wangi sudah langsung mengajukan beberapa pertanyaan yang menyangkut keadaan di Desa Payakan. Dan dengan gamblang, Ki Anom menceritakan semua yang diketahuinya. Rangga sendiri hanya mendengarkan saja, tanpa memberi tanggapan sedikit pun.

********************

TIGA

Sekarang ini, keadaan di Desa Payakan semakin parah saja. Orang-orang Ki Junggut semakin disibuki oleh munculnya seorang bocah berkepandaian tinggi yang menghalangi mereka menarik pajak dari penduduk desa ini. Bahkan dalam beberapa hari ini saja, Ki Junggut sudah kehilangan tidak kurang dari lima belas orang tukang pukulnya yang berkepandaian sedang-sedang.

Keadaan yang semakin memburuk ini membuat Ki Junggut jadi berang setengah mati. Maka empat orang tua kepercayaannya diperintahkan untuk mencari bocah ajaib itu. Bahkan dia langsung memberi perintah untuk membunuh bocah itu tanpa ampun lagi. Sementara itu kedua putra kembarnya juga tidak mau ketinggalan. Mereka masih penasaran, karena pemah dibuat babak belur oleh anak kecil berusia sekitar tiga belas tahun.

Kekejaman yang mereka lakukan juga semakin menjadi-jadi. Bahkan sepak terjang kedua putra kembar Ki Junggut semakin merajalela saja. Mereka mengambil gadis gadis desa itu, dan menjadikannya pemuas nafsu. Semua penduduk Desa Payakan benar-benar merasakan berada dalam neraka sekarang ini. Namun tidak ada seorang pun yang berani menentang. Sedikit saja menunjukkan perlawanan, nyawa menjadi taruhannya.

"Kakang! Lihat, siapa itu...," bisik Rantaki, ketika siang itu mereka berjalan-jalan ke tepi sungai pinggiran Desa Payakan ini.

Kedua bola mata Rantaka langsung berbinar begitu melihat seorang gadis cantik sedang membasuh tubuhnya yang ramping dan indah itu di tepi sungai. Kulitnya yang putih terlihat halus, hanya tertutup selembar kain basah. Kedua pemuda kembar itu bergegas menghampiri. Dan mereka langsung tertawa-tawa, membuat gadis cantik berkulit putih halus itu terkejut.

"Oh...?!" Gadis itu cepat-cepat menutupi dadanya yang agak terbuka dengan kedua tangan. Segera dia keluar dari dalam sungai ini. Dan mencoba menghindari kedua pemuda kembar yang dengan sinar mata liar penuh nafsu itu. Tapi baru saja dia bergerak beberapa langkah dari sungai, Rantaka sudah melompat cepat dan langsung menerkamnya seperti seekor singa kelaparan.

"Ouwh...! Jangan..!" pekik gadis itu.

Tanpa ampun lagi, mereka jatuh bergulingan di tanah berpasir tepi sungai ini. Sementara Rantaki hanya tertawa-tawa senang, melihat kakak kembarnya berusaha memeluk dan menciumi gadis ini. Pergumulan yang tidak seimbang itu, membuat tawa Rantaki semakin keras. Dan kedua bola matanya jadi kian jalang, begitu melihat kain yang dikenakan gadis itu tersingkap, hingga menampakkan sepasang paha yang putih gempal menggiurkan.

"Tidak! Jangan..! Lepaskan aku...!" jerit gadis itu sambil terus meronta, berusaha melepaskan diri dari dekapan Rantaka.

"He he he...! Berteriaklah sepuasmu, Cah Ayu. tidak ada yang akan menolongmu...," desis Rantaka disertai tawanya yang berderai

"Jangan..." Gadis itu hanya bisa merintih lirih memohon belas kasihan. Air matanya mulai menitik, keluar dari sudut matanya yang bening. Tapi Rantaka seperti tidak peduli. Bahkan semakin liar saja menciumi dan meremas seluruh tubuh gadis dalam him-pitannya. Sementara Rantaki terus memandangi dengan desah napas kian memburu.

Apalagi... Rantaka yang terdengar mendengus memburu cepat seperti kuda yang dipacu di padang gersang. Sementara gadis ini hanya bisa merintih dan menangis, tanpa dapat lagi berbuat sesuatu untuk melepaskan diri. Sia-sia saja tubuhnya berusaha ditutupi. Sementara tangan pemuda kembar itu terus memaksa merenggut kain yang basah dan sudah kotor ini.

"Jangan...," rintih gadis itu lirih.

Bret!

"Auwh...!" Sekali sentak saja, kain yang melilit tubuh gempal itu terenggut, membuat gadis ini jadi sibuk menutupi dadanya yang terbuka dengan kedua tangan. Tapi Rantaka sudah cepat mencekal pergelangan tangannya, dan membukanya ke samping lebar-lebar. Dengan napas memburu cepat, Rantaka menciumi dada yang membusung dan terbuka tanpa penghalang lagi itu. Sedangkan gadis itui hanya bisa merintih dan menangis meratapi nasibnya.

"Akh! Tidaaak...!"

"Rasanya tidak ada lagi gadis secantik dia di desa ini, Kakang. Apa kau akan meninggalkannya begitu saja di sini?" tanya Rantaki tanpa beralih dari tubuh indah yang tergolek tanpa pakaian tidak jauh didepannya dalam keadaan pingsan, karena tak kuat menanggung aib.

"Memang sayang kalau hanya sekali dinikmati," kata Rantaka.

"Kita bawa saja ke pondok di dalam hutan, Kakang. Kalau sudah layu, baru dibuang" usul Rantaki.

"He he he...!" Rantaka hanya terkekah saja mendengar usul adik kembarnya. Dan tanpa banyak bicara lagi, langsung dihampiri gadis malang itu. Sekali renggut saja, gadis itu sudah berada dalam pelukannya.

Lalu dengan suara tawa terkekeh, Rantaka memanggul tubuh yang masih polos dan lemah tanpa daya ini ke pundaknya. Sebentar ditatapnya adik kembarnya.

"Kau pulang saja dulu, Rantaki. Malam nanti dia kuberikan padamu," kata Rantaka.

Rantaki hanya mengangkat bahu saja sedikit "Ingat! Jangan terlalu sore datangnya," pesan Rantaka.

Setelah berpesan begitu, Rantaka langsung berlari cepat meninggalkan tepian sungai ini. Sebentar saja, tubuhnya sudah lenyap tertelan pepohonan yang rapat. Sementara, Rantaki masih tetap duduk di tepi sungai itu dengan bibir menyunggingkan senyum. Dan tidak lama kemudian dia bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalan tepi sungai yang berbatasan dengan hutan ini. Bibirnya masih terus mengembangkan senyum, membayangkan perbuatan Rantaka pada gadis itu. Juga, apa yang akan dilakukannya malam nanti bersama gadis itu di pondok dalam hutan.

Jeritan melengking tinggi yang membelah kesunyian, terdengar keluar dari dalam sebuah pondok panggung kecil di tengah-tengah hutan lebat ini. Belum lagi jeritan itu lenyap dari pendengaran disusul suara tawa yang keras menggelegar.

Di pondok, Rantaka memang tengah mempermainkan gadis cantik yang dibawanya dari tepi sungai tadi, dan kini sudah siuman. Tidak ada selembar kain pun yang menutupi tubuh gadis ini. Dan gadis itu memang bagai tikus yang dipermainkan kucing.

"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau...?!"

"Jangan.... Tolong lepaskan aku...," rintih gadis itu memelas.

"Ha ha ha...!" Rantaka hanya tertawa saja mendengar rintihan gadis ini. Kakinya terus terayun mendekati.

Sementara, gadis itu sudah tidak dapat lagi bergerak. Punggungnya sudah menempel ke dinding kayu pondok ini. Kedua tangannya mencoba menutupi dadanya yang terbuka membusung indah. Diliriknya selembar kulit harimau yang menempel di dinding tidak jauh darinya. Tanpa berpikir panjang lagi, tangan yang mungil itu menyambar kulit ini, dan langsung menutupi tubuhnya.

"He he he...! Kau semakin cantik mengenakan itu, Cah Ayu...."

"Aku mohon padamu. Lepaskan aku...," rintih gadis itu memohon.

"He he he...!" Rantaka masih tertawa saja mendengar rintihan gadis ini. Dia terus mendekati dengan pandangan mata liar merayapi .tubuh yang masih agak terbuka. Sepasang paha yang halus dan gempal menjadi incaran tatapan mata pemuda ini.

"Jangan...," rintih gadis itu semakin lirih. Sementara, Rantaka sudah semakin dekat saja padanya. Bahkan tangannya sudah terulur ke depan. Sedangkan gadis itu sudah tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Seluruh tubuhnya sudah menggeletar, melihat tangan yang semakin dekat menjulur padanya. Dan ketika tangan Rantaka hampir menyentuh tubuh yang hanya tertutup selembar kulit harimau ini, mendadak saja....

Brak!

"Heh...?!"

"Auwh...?!"

Rantaka jadi tersentak kaget setengah mati, ketika tiba-tiba saja pintu pondoknya didobrak dari luar. Cepat tubuhnya berbalik. Namun pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjangnya.

"Haiiit...!" Cepat-cepat Rantaka membanting tubuhnya ke lantai kayu pondok ini, dan bergulingan beberapa kali sebelum melompat bangkit berdiri. Kedua bola matanya langsung terbeliak, begitu melihat seorang anak kecil yang tidak berbaju tahu-tahu sudah berada di depan gadis tawanannya.

Bocah itu hanya mengenakan celana yang sudah kotor dan robek sebatas lutut. Sorot matanya terlihat begitu tajam, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda ini. Tubuhnya yang kurus menampakkan tonjolan tulang-tulang, yang terbungkus kulit hitam kotor penuh lumpur. Kuku-kukunya panjang berwarna hitam bagai cakar harimau. Dia mendesis bagai ular, memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan runcing bagai binatang buas.

Sret!

Menyadari siapa yang tiba-tiba muncul, Rantaka langsung mencabut goloknya yang sejak tadi terselip di pinggang. Golok itu cepat disilangkan ke depan dada. Dan kakinya bergerak menggeser mendekati pintu. Sedikit matanya melirik pintu pondok yang sudah hancur berkeping-keping itu. Sementara bocah kecil bertubuh kotor ini hanya memandangi saja, dengan sinar mata tajam. Dan ketika Rantaka sudah hampir mencapai pintu, tiba-tiba saja bocah itu menggeram kecil. Lalu....

Slap! "Oh...?!" Rantaka jadi terlongong, begitu tiba-tiba bocah itu melesat cepat sekali menerjangnya. Jari-jarinya yang berkuku hitam dan runcing itu terkembang hendak mencengkeramnya.

"Hih...!"

Bet!

Cepat-cepat Rantaka mengibaskan goloknya ke depan. Sehingga bocah itu terpaksa harus memutar tubuhnya ke belakang, menghindari sabetan golok ini. Dan pada saat itu juga, Rantaka langsung melompat keluar dari dalam pondok kecilnya di tengah hutan ini.

"Hup!" Manis sekali Rantaka menjejakkan kakinya di tanah, begitu berada di luar pondok. Namun belum juga bisa berlari, dari dalam pondok bayangan bocah itu sudah melesat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di depan Rantaka sudah berdiri bocah kecil bertubuh kurus dan kotor penuh lumpur.

"Oh...?!"

Kembali Rantaka terlongong kaget setengah mati. Cepat goloknya disilangkan kembali ke depan dada. Sementara, bocah kecil itu sudah bergerak menggeser kakinya perlahan ke kanan. Jari-jari tangannya terkembang, bagai sepasang cakar elang yang seakan hendak mengoyak seluruh tubuh pemuda ini.

"Bocah setan! Maju kau...!" bentak Rantaka sengit, mencoba menghilangkan rasa takut yang menghinggapi dadanya.

Anak kecil bertubuh kurus yang berusia sekitar tiga belas tahun itu hanya menggereng saja, mendapat tantangan Rantaka. Sementara di ambang pintu pondok yang hancur, gadis cantik tawanan Rantaka sudah berdiri di sana memperhatikan. Wajahnya kelihatan pucat ketakutan. Dan dia rupanya tidak berani beranjak keluar dari dalam pondok kecil yang terbuat dari kayu pohon ini.

"Mampus kau! Hiyaaat..!"

Sambil membentak keras menggelegar, Rantaka langsung saja melompat menyerang dengan sambaran golok yang begitu cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sabetan goloknya diarahkan cepat ke kepala bocah kecil ini.

Tapi hanya sedikit saja bocah itu mengegoskan kepala, maka golok itu hanya lewat sedikit saja di samping kepalanya. Dan pada saat itu juga, dengan gerakan cepat luar biasa tangan kiri bocah itu mengibas ke samping. Begitu cepatnya kibasan tangan yang kecil dan hitam berlumpur ini, sehingga Rantaka tidak sempat menyadarinya. Dan....

Plak!

"Akh...!" Rantaka jadi terpekik kaget setengah mati, begitu merasakan kibasan tangan bocah itu menghantam tepat di pergelangan tangan kanannya. Begitu kerasnya, hingga golok yang tergenggam di tangan kanannya jadi terlepas. Dan sebelum Rantaka bisa menyadari apa yang bani saja terjadi, bocah itu sudah meliukkan tubuhnya. Langsung dilepaskannya satu tendangan yang sangat cepat, sambil melompat sedikit ke atas.

Bugkh!

"Akh...!" Untuk kedua kalinya Rantaka memekik, begitu tendangan kaki kecil itir menghantam telak dadanya. Seketika pemuda itu terpental cukup jauh kebelakang. Dan belum juga Rantaka bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, bocah itu sudah kembali melompat cepat sambil menggeram bagai seekor binatang buas. Kedua tangannya menjulur ke depan, dengan jari-jari yang berkuku tajam terkembang lebar.

Sementara Rantaka yang masih terhuyung, tidak punya kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya. Hingga....

Bres!

"Aaa...!" Rantaka kembali menjerit melengking tinggi, begitu kedua tangan bocah kecil itu menghujam dalam dadanya.

Bret!

"Ugkh!" Darah seketika itu juga menghambur deras sekali, begitu tangan bocah kecil itu keluar dari dalam dada Rantaka. Dan manis sekali gerakannya, saat melenting berputar ke belakang menjauhi pemuda itu.

Sementara, Rantaka hanya bisa terbeliak melihat dadanya berlubang mengeluarkan darah segar. Namun sesaat kemudian, pemuda itu jatuh terguling ke tanah. Dan hanya sebentar saja tubuhnya menggelepar dengan erangan kecil dari bibirnya. Kemudian seluruh tubuhnya mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi.

Sementara bocah kecil bertubuh kurus dan kotor itu memandangi dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Mulutnya menyeringai penuh kepuasaan, melihat lawan sudah tergeletak tidak bernyawa lagi dengan dada berlubang berhamburan darah. Perlahan tubuhnya berputar dan langsung pandangannya tertumbuk pada gadis cantik yang masih tetap berada di ambang pintu pondok Hanya selembar kulit harimau saja yang menutupi tubuhnya.

"Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu...," ujar bocah kecil itu sambil memberi senyum kecil.

"Sss..., siapa kau...?" tanya gadis cantik itu dengan suara bergetar ketakutan.

"Namaku Kunjang. Aku tidak ada maksud apa-apa, selain menolongmu," kata bocah kecil itu memperkenalkan namanya.

"Aku.... Aku Wulandari...," gadis itu juga memperkenalkan diri, walau dengan suara bergetar ketakutan.

Tapi melihat keganasan bocah itu sudah menghilang dari wajah dan sorot matanya, ketakutan gadis itu mulai lenyap dari dirinya. Kakinya lantas melangkah keluar dari pondok kecil di dalam hutan ini. Dihampirinya Kunjang yang masih tetap berdiri tidak jauh dari mayat Rantaka. Gadis yang mengaku bernama Wulandari itu berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima depa lagi di depan Kunjang. Wulandari melirik sedikit pada Rantaka yang sudah tergeletak tidak bernyawa dengan dada berlubang cukup besar mengeluarkan darah. Begitu besarnya lubang di dada pemuda itu, hingga bagian dalamnya terlihat jelas.

"Dia sudah pantas menerimanya," kata Kunjang terdengar lirih suaranya, seperti mengerti lirikan Wulandari.

"Mereka akan marah dan pasti menuduhku yang membunuhnya...," kata Wulandari, kembali bergetar ketakutan suaranya.

"Kau takut...?"

Wulandari tidak langsung menjawab, dan hanya memandangi anak kecil bertubuh kurus dan kotor ini saja. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Wulandari seakan sedang berhadapan dengan sosok malaikat berupa anak kecil yang memiliki kepandaian sangat tinggi.

"Ayo, kau kuantarkan pulang," ajak Kunjang.

"Aku..., aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Rumahku sudah mereka bakar. Anak dan suamiku dibunuh. Aku tidak punya apa-apa lagi di sana...."

Wulandarai langsung menangis terisak, meratapi kemalangan nasibnya. Baru beberapa hari dia kehilangan suami dan anaknya. Dan sekarang ini, entah berapa kali Rantaka sudah menodainya. Dia tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukannya, Wulandari merasa kalau tidak mungkin kembali ke Desa Payakan. Bahkan semula ingin meninggalkan desa itu. Meninggalkan semua kepahitan yang dialaminya. Tapi, rupanya nasib buruk belum juga mau pergi jauh dari dirinya.

Kunjang menghampiri, langsung menggenggam tangan gadis ini yang putih dan halus. Seakan, dia ingin memberi ketabahan pada diri wanita malang ini. Sementara, Wulandari masih terisak, menutupi wajah dengan tangan kiri. Namun tak lama kemudian, tangisnya berhenti. Disekanya air mata yang membasahi seluruh wajahnya. Pandangan matanya langsung tertuju pada anak laki-laki berusia tiga belas tahun di depannya yang masih memegangi tangan kanannya.

"Aku juga sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Mereka membunuh kedua orangtuaku, juga semua saudaraku. Bahkan mengusirku seperti anjing kotor yang hina. Kita senasib, Kak...," ujar Kunjang lirih.

"Oh.... Kau juga berasal dari Desa Payakan...?"

"Benar, Kak. Aku dilahirkan di sana," sahut Kunjang.

Wulandari jadi terdiam. Kunjang juga tidak membuka suara lagi. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam membisu. Namun tidak berapa lama, bocah kecil itu mengajak Wulandari pergi meninggalkan tempat ini. Wulandari tidak bisa menolak lagi. Dia memang tidak ingin lama-lama berada di dalam hutan ini. Dan kakinya pun melangkah mengikuti ayunan kaki Kunjang di sebelah kanannya. Mereka berjalan menembus lebatnya hutan, tanpa ada yang bicara lagi.

EMPAT

Kematian Rantaka di dalam hutan, membuat seluruh Desa Payakan bagai diguncang gempa teramat dahsyat. Kematian Rantaka membuat Ki Junggut semakin bertambah berang. Dan kekejaman yang terjadi di desa itu juga semakin membara. Dan Ki Junggut langsung memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari pembunuh putranya itu. Sementara, Rantaki yang merupakan saudara kembar Rantaka tidak dapat berbuat apa-apa. Dia sendiri tidak tahu, siapa yang membunuh saudara kembarnya di depan pondok di dalam hutan. Pondok itu memang mereka dirikan untuk beristirahat, setiap kali berburu ke dalam hutan.

Sementara Rangga dan Pandan Wangi yang baru tiba di luar perbatasan Desa Payakan ini, sudah mendengar kematian Rantaka dari beberapa orang yang berpapasan. Dan Pendekar Rajawali Sakti pun memutuskan untuk menunda dulu memasuki desa itu.

"Tampaknya ada orang lain yang sudah bertindak lebih dulu, Pandan," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Itu bisa saja terjadi, Kakang. Mereka sudah terlalu lama tertindas. Salah satu dari penduduk desa ini pasti ada yang tergugah untuk melawan," sahut Pandan Wangi.

"Tapi kulihat, penduduk desa itu semakin dicekam ketakutan saja, Pandan. Aku merasa kalau perbuatan Ki Junggut dan tukang-tukang pukulnya akan semakin merajalela. Semua ini harus secepatnya diakhiri," tegas Rangga.

"Kalau begitu, kita langsung saja datangi Ki Junggut. Aku yakin, dia akan bertekuk lutut bila tahu kalau kau adalah Raja Karang Setra," kata Pandan Wangi langsung mengusulkan.

"Justru itu yang tidak kuinginkan, Pandan. Dalam persoalan ini, aku tidak ingin membawa-bawa Karang Setra. Aku akan melakukannya atas namaku sendiri sebagai pendekar. Bukan sebagai raja," Rangga tegas-tegas langsung menolak usul Pandan Wangi.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Hm.... Aku akan mencari orang yang sudah menentang Ki Junggut," sahut Rangga. Nada suaranya terdengar menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.

"Untuk apa...?" tanya Pandan Wangi lagi semakin ingin tahu.

"Aku merasa, dia belum berani bertindak secara terang-terangan. Dan tindakannya bukan menolong, tapi malah semakin membuat penduduk desa ini semakin tertindas saja. Aku akan mengajaknya menumpas kelaliman Ki Junggut, tanpa harus mengorbankan penduduk yang sudah tidak berdaya lagi," jelas Rangga.

Pandan Wangi jadi terdiam membisu. Sudah bisa dimengerti apa yang dikehendaki Pendekar Rajawali Sakti. Memang sudah menjadi watak Rangga yang selalu tidak ingin menimbulkan banyak korban dalam menyelesaikan suatu masalah. Terutama sekali, selalu menghindari keterlibatan penduduk yang tidak berdaya, agar tidak menjadi korban sia-sia.

"Ayo, Pandan...," ajak Rangga setelah cukup lama berdiam diri.

"Ke mana?" tanya Pandan Wangi.

"Ke tempat Rantaka terbunuh," sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melompat naik ke punggung kuda Dewa Bayu. Pandan Wangi bergegas mengikuti, melompat naik ke punggung kuda putih tunggangannya. Dan sebentar kemudian, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah memacu cepat kudanya memasuki hutan yang berbatasan dengan Desa Payakan. Sebentar saja, mereka sudah lenyap tertelan lebatnya hutan itu. Hanya kepulan debu saja yang masih terlihat bergulung-gulung ke angkasa.

Kedua pendekar dari Karang Setra itu tidak tahu kalau gerak-gerik mereka sejak tadi diikuti oleh seorang laki-laki tua bertubuh kekar, dengan sebilah golok tersandang di pundak. Laki-laki kekar yang merupakan salah satu tukang pukul Ki Junggut, bergegas masuk ke dalam desa. Jelas, dia ingin melaporkan kehadiran dua orang pendekar muda itu pada Ki Junggut Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi, menghilang ditelan hutan yang sangat lebat ini.

Sedangkan keadaan di Desa Payakan, masih tetap sunyi tanpa ada seorang pun yang melakukan kegiatan sehari-hari. Sejak diketahui Rantaka mati terbunuh di dalam hutan, tidak ada seorang penduduk pun yang berani meninggalkan rumahnya. Mereka takut menjadi sasaran kemarahan Ki Junggut atas kematian salah satu putra kembarnya.

Tidak ada yang dapat ditemukan Rangga di sekitar pondok kecil di dalam hutan ini. Yang didapati hanya pondok kosong, dengan pintunya hancur berkeping-keping Dan tidak jauh dari pondok itu, masih terdapat darah yang sudah mengering. Tidak ada satu pun dapat dijadikan petunjuk bagi Pendekar Rajawali Sakti, untuk mengetahui siapa yang membunuh Rantaka dalam hutan ini. Pendekar Rajawali Sakti juga tidak tahu, untuk apa Rantaka berada dalam hutan yang sunyi dan lebat ini. Demikian pula tentang penghuni pondok kecil di dalam hutan ini.

Semakin banyak pertanyaan yang timbul dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tidak satu pun yang bisa terjawab. Sementara Pandan Wangi hanya diam saja menyaksikan Rangga yang terus mencari sesuatu di sekitar pondok kecil ini. Namun tiba-tiba saja, kuda-kuda tunggangan mereka meringkik keras, dan kelihatan gelisah. Rangga langsung berpaling memandang kuda-kuda itu.

"Ada apa, Pandan...?" tanya Rangga.

Belum juga Pandan Wangi bisa menjawab, tiba-tiba dari balik pepohonan berlompatan sosok-sosok tubuh menghunus senjata golok. Pandan Wangi cepat melompat mendekat Pendekar Rajawali Sakti. Dan dalam waktu yang sangat singkat, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah terkepung tidak kurang dari dua puluh orang bersenjatakan golok. Tampak di antara mereka terdapat tiga orang laki-laki tua bersama seorang wanita yang sudah lanjut usianya. Mereka memang orang-orang kepercayaan Ki Junggut.

"Phuih! Rupanya kalian berdua biang keladinya!" dengus Ki Sampulut.

"Sudah.... Jangan banyak bicara, Kakang. Serang saja mereka," selak Nyai Waringki, tidak sabar.

"Mereka memang harus mampus!" dengus Ki Sampulut lagi.

"Seraaang...! Bunuh mereka!"

"Tunggu...!" sentak Rangga mencegah, sebelum ada yang bergerak.

"Phuih! Mau apa kau...?!" bentak Ki Sampulut.

"Siapa kalian?! Kenapa tiba-tiba ingin menyerang kami?" tanya Rangga.

"Kau sudah membunuh putra junjungan kami. Dan sekarang, kau harus mampus!" sahut Ki Sampulut mendengus geram.

"Kalian salah. Kami tidak membunuh siapa pun di sini," sentak Pandan Wangi.

"Jangan banyak omong!" bentak Nyai Waringki.

"Serang mereka...!"

"Hiyaaa...!"

"Yeaaah...!"

Seketika itu juga, dua puluh orang bersenjata golok yang sudah mengepung kedua pendekar dari Karang Setra ini langsung berlompatan menyerang disertai teriakan-teriakan keras mengetarkan jantung. Rangga dan Pandan Wangi tidak dapat lagi mencegah. Mereka terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang datang secara bersamaan dari segala arah. Dan mereka juga terpaksa terpisah dalam menghadapi lawan-lawannya.

"Hiyaaat...!"

Bet!

Cepat sekali Pandan Wangi mencabut senjata Kipas Maut dan langsung mengebutkannya pada salah seorang lawannya di depan. Tapi, lawannya ini bisa menangkis kebutan kipas putih keperakan itu dengan goloknya.

Trang!

Orang itu jadi terpekik, merasakan seluruh lengannya bergetar hebat. Bahkan goloknya terlepas dari genggaman. Dan saat itu juga Pandan Wangi memberikan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hih!"

Dugkh!

Begitu cepatnya tendangan Pandan Wangi, sehingga lawannya tidak dapat lagi menghindari. Dan dia menjerit keras, begitu tendangan si Kipas Maut menghantam tepat dadanya.

Sementara Pandan Wangi sudah kembali melesat sambil mengibaskan senjata kipasnya pada lawan lain. Tidak dihiraukannya lawan yang terkena tendangan tadi tersungkur mencium tanah dengan . tulang-tulang dada rembuk. Orang itu seketika tergeletak diam tidak bergerak-gerak lagi.

Bet! Cras!

"Aaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, begitu ujung kipas Pandan Wangi yang runcing merobek dada salah seorang lawan. Dan gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu terus bergerak cepat menghajar lawan-lawannya dengan senjata mautnya yang berkelebat begitu cepat tanpa dapat dibendung lagi.

Sementara di tempat lain, Rangga hanya memberi pukulan-pukulan ringan pada setiap lawannya. Walaupun sebagian sudah bergelimpangan, tapi tidak ada yang sampai menemui ajal. Sedangkan Pandan Wangi sendiri, sudah menewaskan tiga orang lawan dalam waktu yang tidak begitu lama. Sementara, empat orang tua kepercayaan Ki Junggut jadi geram melihat prajurit mereka tampaknya tidak berdaya menghadapi dua orang pendekar muda dari Karang Setra itu.

"Munduuur...!" teriak Ki Sampulut tiba-tiba.

Seketika itu juga, orang-orang yang mengeroyok Pandan Wangi berlompatan mundur, begitu terdengar teriakan perintah dari Ki Sampulut. Dan pada saat itu juga, laki-laki tua bertubuh tegap terbungkus baju merah ketat dan bersenjata golok itu melompat menghampiri Rangga.

"Hiyaaa...!"

Bet!

Cepat sekali Ki Sampulut mengebutkan goloknya yang berukuran sangat besar, mengarah tepat ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Haiiit...!"

Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepala, maka tebasan golok berukuran sangat besar itu lewat tanpa membawa hasil. Dan pada saat tubuhnya agak miring ke lori, Rangga melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu cepat dengan kaki kanan.

"Yeaaah...!"

"Hap!" Ki Sampulut cepat-cepat melenting dan berputaran ke belakang, hingga tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai menghantam tubuhnya. Beberapa kali orang tua itu berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kedua kakinya di tanah, sekitar setengah batang tombak jauhnya dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Phuih!" Ki Sampulut menyemburkan ludahnya dengan sengit Perlahan kakinya bergeser ke kanan dengan tatapan mata tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan agak jauh ke belakang Rangga, Pandan Wangi terpaksa harus menjadi penonton. Karena, tidak ada seorang pun yang menyerangnya.

Sementara perhatian Ki Sampuk, Ki Jampur, dan Nyai Waringki juga terpusat pada pertarungan antara Ki Sampulut dengan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka jadi ikut merasa tegang, melihat Ki Sampulut masih belum juga melancarkan serangan.

Wut!

Ki Sampulut cepat memutar goloknya yang berukuran sangat besar itu, hingga beruknya lenyap dari pandangan. Dan yang terlihat hanya lingkaran putih keperakan di depan tubuh orang tua berbaju merah agak ketat ini.

"Hup! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Ki Sampulut melompat cepat sekali menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dan bagaikan kilat, goloknya dihantamkan tepat mengarah ke bagian perut pemuda berbaju rompi putih yang menjadi lawannya.

"Upths!" Cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang, hingga sambaran golok itu hanya lewat sedikit saja di depan perutnya. Namun tanpa diduga sama sekali, Ki Sampulut cepat memutar arah goloknya. Dan langsung goloknya dikibaskan ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti.

Bet!

Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghindari sambaran golok lawannya. Dan dengan cepat kedua telapak tangannya dikatupkan tepat di depan tenggorokannya.

"Hap..." Tap!

Seketika itu juga, golok yang hampir menebas leher terjepit di antara kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menyatu rapat.

"Hih...!"

Ki Sampulut jadi tersentak kaget, tidak menyangka kalau pemuda lawannya akan berbuat demikian. Cepat seluruh tenaga dalamnya dikempos. Dicobanya untuk menarik goloknya dari jepitan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, golok itu sedikit pun tidak bergeming berada dalam jepitan tangan Rangga.

"Hih!"

Kembali Ki Sampulut melepaskan goloknya. Namun tetap saja usahanya tidak membawa hasil. Sementara, Rangga sendiri terlihat tegak seperti tidak berusaha menahan sentakan tenaga dalam lawannya. Namun tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melenting sedikit ke atas. Dan....

"Yeaaah...!"

Bet!

"Heh...?!" Ki Sampulut jadi terbeliak kaget setengah mati, sungguh tidak disangka lawannya bisa bergerak dengan tangan masih merapat menjepit goloknya. Dan belum lenyap rasa keterkejutannya, tahu-tahu....

Diegkh!

"Akh...!" Ki Sampulut jadi memekik agak tertahan, begitu tendangan Rangga tepat menghantam dadanya. Seketika tubuh orang tua yang masih kelihatan tegap dan berotot ini jadi terpental cukup jauh ke belakang, dengan golok terlepas dari genggaman tangan. Golok itu masih berada dalam jepitan kedua telapak tangan Rangga di depan tenggorokannya.

"Hih!"

Trak!

Entah bagai mana caranya, Rangga mematahkan golok itu hingga menjadi dua bagian, dan langsung membuangnya begitu saja ke depan. Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu membuat semua orang yang menyaksikan jadi terlongong bengong. Sungguh mereka tidak percaya kalau pendekar muda itu mampu mematahkan golok Ki Sampulut yang sudah terkenal keampuhannya dengan mudah sekali, seperti mematahkan sepotong ranting kecil yang sudah kering.

Ki Sampulut sendiri yang masih belum juga bisa berdiri jadi terbeliak melihat goloknya kini sudah terpotong menjadi dua bagian, tergeletak di tanah tidak jauh darinya. Sementara Rangga tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya memandangi orang-orang tua yang masih terlongong bengong, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya.

"Dengar...! Aku tidak ada urusan dengan kalian. Sebaiknya pergi dari sini, sebelum pikiranku berubah untuk mematahkan batang leher kalian satu persatu...!" keras sekali suara Rangga, hingga menggema sampai menelusup ke dalam hutan yang lebat ini.

Ancaman Rangga yang tampaknya tidak main-main ini membuat hati sisa-sisa anak buah orang-orang tua itu jadi bergetar. Dan kata-kata Rangga yang bernada ancaman, membuat orang-orang tua tukang pukul Ki Junggut ini jadi terdiam. Sementara, itu Ki Sampulut sudah bisa berdiri lagi. Dia kini berada di antara orang-orang tua yang lain

"Kali ini kau boleh merasa senang, Bocah. Tapi lain waktu, kau akan berlutut di depanku...!" dengus Ki Sampulut mendesis.

Rangga hanya tersenyum saja mendengar kata-kata Ki Sampulut yang tidak sudi mengakui kekalahannya. Dan tanpa banyak bicara lagi Ki Sampulut segera berbalik, kemudian melangkah meninggalkan tempat ini. Sementara Ki Jampur, Ki Sampuk, dan Nyai Waringki menatap tajam beberapa saat pada Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian mereka juga berputar dan melangkah pergi mengikuti Ki Sampulut yang sudah pergi lebih dulu diikuti sisa-sisa anak buahnya.

Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak memandangi mereka sampai lenyap tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan ini. Pandan Wangi bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Sebenarnya kita bisa menumpas mereka sampai habis, Kakang...," ujar Pandan Wangi dengan nada suara agak menggumam, seakan bicara pada diri sendiri.

"Belum saatnya, Pandan," sahut Rangga datar.

"Sudah jelas mereka orang-orangnya Ki Junggut. Aku rasa, tidak ada manfaatnya membiarkan mereka tetap hidup, Kakang," selak Pandan Wangi, tidak sependapat dengan jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayo, Pandan. Kita pergi dari sini," ajak Rangga setelah beberapa saat terdiam.

Pandan Wangi tidak bisa lagi membantah. Diikutinya Pendekar Rajawali Sakti yang melangkah menghampiri kudanya. Kedua kuda itu tadi langsung menyingkir menjauh, begitu muncul pengikut-pengikut Ki Junggut. Dan tanpa banyak bicara lagi, Rangga langsung melompat naik kepunggung kuda hitamnya yang dikenal bernama Dewa Bayu. Kecepatan lari kuda itu bagaikan angin saja. Sehingga, tidak ada seekor kuda pun di dunia ini yang bisa menandinginya.

Namun hutan yang lebat dengan pepohonan yang seakan saling menyatu dan berkaitan ini, membuat gerak kuda mereka jadi terhambat. Hingga akhirnya, Rangga terpaksa harus turun dari punggung kudanya. Pandan Wangi segera mengikuti jejak Pendekar Rajawali Sakti. Kini mereka melajutkan perjalanannya dengan berjalan kaki, sambil menuntun kuda masing-masing.

LIMA

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu baru berhenti, setelah sampai di tempat yang agak lapang di dalam hutan ini. Sebuah tempat yang cukup tersiram cahaya matahari. Sesaat mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya. Terasa sunyi sekali, sedikit pun tidak terdengar suara binatang. Hanya tiupan angin yang menggeser dedaunan saja yang terdengar mengusik telinga.

"Sunyi sekali di sini, Kakang. Seperti tidak ada yang hidup saja...," ujar Pandan Wangi pelan, sepera bicara pada diri sendiri.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan.

Memang tidak ada yang dapat dilihat di tempat ini, selain pepohonan Bahkan sedikit pun tidak terdengar suara binatang. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti merasa kesunyian ini memancarkan hawa. yang lain. Suatu perasaan yang membuatnya kelihatan menegang, dengan pandangan mata terus beredar ke sekeliling tanpa suara sedikit pun juga. Bahkan sepertinya dia sejak tadi menahan napas.

"Ada apa, Kakang?" tegur Pandan Wangi yang melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti yang terasa lain.

Namun belum juga Rangga bisa menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu, mendadak saja....

Brolll!

"Pandan, awas...!"

"Heh...?! Hup!"

Untung saja Pandan Wangi cepat melompat ke atas. Sehingga, sepasang tangan yang tiba-tiba saja menyembul dari dalam tanah tidak sampai merenggut kakinya. Beberapa kali gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya kembali di samping Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara sepasang tangan yang menyembul dari dalam tanah itu terus bergerak keluar. Kemudian, terlihat sebentuk kepala yang kotor penuh lumpur menyembul dari dalam tanah. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan dengan mata tidak berkedip. Hingga akhirnya, di depan mereka kini berdiri seorang anak kecil yang berusia sekitar tiga belas tahun.

Anak itu bertubuh kurus dan kotor penuh tanah berlumpur. Kulitnya ditumbuhi sisik seperti seekor ular berwarna hijau kehitaman. Dia berdiri tegak di atas tanah yang tadi ditembus. Anak itu seakan-akan sesosok makhluk yang sudah mari saja. Matanya menatap kedua pendekar muda dari Karang Setra itu dengan sinar tajam memerah.

"Siapa kalian?! Apa maksud kalian datang mengganggu wilayahku...?" terasa begitu dingin dan datar suara bocah kecil itu.

"Aku Rangga. Dan ini adikku. Pandan Wangi...," sahut Rangga memperkenalkan diri. "Maaf kalau kedatanganku ke sini mengganggumu. Tapi, aku tidak bermaksud mengganggu. Aku dan adikku ini hanya tersesat di dalam hutan ini."

Bocah kecil yang keluar dari dalam tanah itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi dengan mata merah dan tajam menusuk, seakan tidak percaya dengan alasan yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Dan Rangga tahu, bocah aneh itu tidak mempercayai keterangannya barusan.

"Baiklah. Jika ketenanganmu merasa terusik, aku akan pergi dari sini," kata Rangga tidak ingin lagi memperpanjang.

"Tunggu...!" sentak bocah itu sebelum Rangga bisa melangkah pergi meninggalkannya.

Rangga yang sudah akan berbalik, jadi mengurungkan niatnya. Sedangkan Pandan Wangi hanya diam saja memandangi bocah kecil yang kulit tubuhnya kotor dan bersisik seperti ular ini.

"Aku melihat kejujuran di matamu, Kisanak. Dan kuminta, kau jangan pergi dulu," kata bocah kecil itu, mulai terdengar ramah nada suaranya.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.

"Kau seorang pendekar...?" tanya bocah itu. Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang mengangguk.

"Aku memerlukan seorang pendekar sejati yang tidak pernah tergiur gemerlapnya dunia dan segala macam benda pusaka milik orang lain. Aku yakin, kau bisa mengerti maksudku," kata bocah kecil itu lagi.

"Maaf, pertolongan apa yang kau perlukan dariku?" tanya Rangga sopan.

"Aku tidak bisa mengatakannya di sini. Kalau kau bersedia, ikutlah bersamaku. Nanti ayahku yang akan menjelaskannya," sahut anak kecil itu. "Tapi..., boleh aku tahu apa julukanmu...?"

"Untuk apa?" Rangga balik bertanya.

"Terus terang, aku sedang menunggu seorang pendekar yang harus kubawa menghadap ayahku. Dan aku tidak mau salah membawa orang."

Rangga terdiam sebentar memandangi bocah itu. Sedikit matanya melirik Pandan Wangi yang juga sejak tadi diam saja memandang ke arah yang sama.

"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga menyebutkan julukannya.

"Ah...! ternyata aku tidak salah. Kau memang orang yang sedang kutunggu. Mari kuantarkan kalian menemui ayahku. Biar nanti kalian tahu, apa maksudnya," kata bocah kecil bersisik itu dengan bola mata berbinar cerah.

"Hm.... Siapa ayahmu?" tanya Pandan Wangi menyelak. "Dan kau sendiri juga belum mengatakan namamu."

"Oh, maaf.... Aku lupa," sahut bocah kecil itu agak tersipu. "Biasanya, aku dipanggil Putra Naga. Dan ayahku adalah Naga Prata. Kami tinggal di dalam Goa Naga yang ada didalam tanah."

"Di dalam tanah...?" Pandan Wangi jadi terbeliak.

Bocah kecil bertubuh kotor dan bersisik seperti ular yang tadi mengaku bernama Putra Naga jadi tersenyum melihat keterkejutan Pandan Wangi. Tapi disadari kalau memang tidak mungkin bagi orang biasa untuk bisa bertahan lama hidup di dalam tanah. Sedangkan dia sendiri memang sudah sejak lahir berada di dalam tanah.

"Kau tidak perlu khawatir, Kak Pandan. Tempat tinggalku berada tepat di bawah kakiku ini. Ayo ikuti aku," ajak Putra Naga.

Tanpa banyak bicara lagi, bocah kecil yang bernama Putra Naga itu langsung mengambil tangan Pandan Wangi. Lalu dengan cepat sekali tubuhnya melesat masuk ke dalam tanah, membuat Pandan Wangi yang tertarik masuk jadi tersentak kaget dan menjerit.

"Kakang...! Akh...!"

"Heh...?!" Rangga juga jadi kaget setengah mati. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat masuk ke dalam tanah yang terbuka seperti sumur itu. Jeritan Pandan Wangi langsung tenggelam, bersama menutupnya kembali tanah yang berlubang. Kini tanah itu telah rapat tertutup rerumputan dan daun-daun kering. Sementara Rangga dan Pandan Wangi sudah lenyap masuk ke dalam tanah mengikuti Putra Naga.

Kedua pendekar muda dari karang Setra itu meluncur deras sekali ke dalam lereng yang panjang seperti goa di dalam tanah ini. Mereka tidak dapat melihat apa-apa, selain kegelapan yang menyelimuti sekelilingnya. Tapi, Pandan Wangi masih merasakan kalau pergelangan tangan kanannya dipegangi jari-jari tangan kecil yang kasar dan bersisik. Sedangkan sebelah kakinya dipegangi Rangga yang mengikuti dari belakang.

"Inilah tempat tinggalku," kata Putra Naga.

"Oh...." Pandan Wangi jadi terlongong bengong, begitu melihat sebuah istana yang begitu megah berdiri di dalam tanah. Lebih tercengang lagi, keadaan di sekitarnya begitu terang seperti tengah hari saja. Padahal, tidak terlihat adanya cahaya matahari yang masuk. Di atas kepala mereka yang terlihat hanya gumpalan tanah berwarna hitam pekat.

"Ayo, kita temui ayahku," ajak Putra Naga.

Rangga dan Pandan Wangi mengikuti anak kecil itu memasuki bangunan istana yang sangat megah ini. Namun sungguh mencengangkan, mereka tidak melihat ada seorang pun di dalam istana ini. Keadaannya begitu sunyi, tidak terlihat prajurit seorang pun yang menjaga, sebagaimana layaknya sebuah istana. Apalagi istana ini begitu megah. Dan rasanya Rangga sendiri baru melihat sebuah bangunan istana yang begitu megahnya. Jauh bila dibandingkan dengan Istana Karang Setra.

"Kalian tunggu di sini. Aku panggil Ayah dulu," ujar Putra Naga, setelah mereka berada di dalam sebuah ruangan yang sangat luas dan indah.

Langit-langit ruangan itu begitu tinggi, seakan tidak berujung. Tiang-tiang yang besar, terdapat sebuah tiang sokoguru yang berukuran sangat besar berwarna kuning keemasan, bagai terbuat dari emas murni. Lantainya berwarna putih bersih dan berkilat, hingga bayangan tubuh mereka terlihat jelas.

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mereka tidak bisa lagi menyembunyikan kekagumannya melihat kemegahan istana ini.

Mereka langsung berpaling ke arah pintu yang dimasuki Putra Naga tadi, ketika terdengar suara mendesis yang begitu keras dari dalam pintu itu. Dan dari dalam pintu itu, muncul Putra Naga bersama seekor ular naga yang begitu besar wujudnya. Ular naga itu berkulit hijau kehitaman, dan kelihatan lemah seperti tidak ada daya lagi.

"Kakang Rangga, Kak Pandan.... Ini ayahku," kata Putra Naga memperkenalkan.

"Oh...!" Pandan Wangi jadi terlenguh melihat orangtua si Putra Naga ternyata berbentuk seekor ular naga raksasa yang begitu besar. Pantas saja istananya ini sangat besar dan tinggi, seperti istana yang dihuni raksasa saja.

Sementara ular naga yang kelihatan lemah itu melingkar diam di sudut ruangan berpermadani. Sedangkan Putra Naga duduk di sampingnya. Pandan Wangi dan Rangga segera mengambil tempat, duduk bersila di depan mereka.

"Maaf, aku menerima kalian dalam wujud seperti ini...," ucap ular naga itu dengan suara berat dan pelan.

"Oh...?!" Lagi-lagi Pandan Wangi terlenguh kaget mendengar ular naga itu berbicara seperti manusia. Sedangkan Rangga hanya diam saja, memandangi naga raksasa yang dikenalkan Putra Naga tadi sebagai ayahnya, yang bernama Naga Prata.

"Aku tidak lagi bisa berubah menjadi manusia, karena mustika kekuatanku hilang dicuri seorang anak yang kuselamatkan dari kematian. Bahkan kalian lihat sendiri, anakku juga jadi seperti ini. Dan istana ini.... Tidak ada lagi prajurit, dan rakyatku. Mereka semua sudah kembali berubah menjadi ular. Mereka tidak akan bisa berubah wujud lagi, selama mustika itu tidak berada padaku," kata Naga Prata langsung mengemukakan kesulitannya.

"Mustika apa yang kau maksudkan?" tanya Rangga yang sejak tadi diam saja.

"Sebuah batu mustika berwarna hijau sebesar kuku, dan berbentuk cincin," jelas Naga Prata.

"Lalu, siapa anak yang telah mencuri mustika kekuatanmu itu?" selak Pandan Wangi.

"Kunjang," sahut Naga Prata.

"Kunjang...," gumam Rangga mengulangi nama pencuri mustika kehidupan Naga Prata itu.

"Ya! Namanya Kunjang asalnya dari Desa Payakan. Waktu itu Kunjang dianiaya dan hampir mati di dalam hutan. Untung saja aku segera membawanya ke sini. Bahkan aku telah mengangkat sebagai anak untuk menemani anakku bermain. Dia kuberi pelajaran ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan sama dengan putraku. Tapi, rupanya Kunjang bukan anak baik Dia tahu tentang mustika kekuatanku, lantas mencurinya ketika aku sedang tidur. Dengan cincin mustika itu, Kunjang nyaris tidak akan bisa terkalahkan oleh siapa pun juga. Bahkan bisa sangat berbahaya bagi semua orang. Tapi, bukan itu yang kukhawatirkan...."

Naga Prata menghentikan ceritanya sebentar. Seperti ada sesuatu yang membebani harinya. Dan itu memang harus diungkapkannya.

"Aku mencemaskan kelangsungan hidup bangsaku. Tanpa mustika itu, bangsaku tidak akan bisa lagi hidup di sini. Dan mereka akan menjadi liar kembali, tanpa ada yang dapat mengendalikannya. Bisa kau bayangkan, bagaimana kalau seluruh bangsaku yang berbentuk ular itu sampai ke permukaan bumi. Aku rasa, tidak akan ada seorang pun yang bisa lagi menghalanginya. Jumlahnya lima kali lipat dari jumlah manusia yang ada di bumi," jelas Naga Prata lagi. "Belum lagi, ditambah ular-ular yang memang hidup dan bebas berada di atas permukaan bumi. Mereka akan memangsa apa saja yang ada di bumi ini. Bahkan manusia pun, tidak luput dari keganasan mereka. Kau harus hentikan semua ini sebelum terjadi, Pendekar Muda. Hanya kau yang bisa melakukannya...."

"Kenapa harus aku...?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda. Kau adalah Pendekar Rajawali Sakti, murid tunggal Pendekar Rajawali yang memiliki tunggangan seekor burung rajawali. Antara gurumu dan aku, saling bersahabat. Aku tahu kemampuan yang kau miliki. Bahkan kau juga menjadi murid Satria Naga Emas, yang sebenarnya saudara sepupuku. Jadi aku tidak bisa memilih orang lain lagi selain dirimu, Pendekar Rajawali Sakti," jelas Naga Prata.

Rangga hanya bisa diam saja, mendengar penjelasan ular naga raksasa itu. Dia jadi teringat ketika berada di kediaman Satria Naga Emas. Memang, wujud Satria Naga Emas bisa berubah menjadi seekor ular naga raksasa, selain juga bisa berubah wujud menjadi manusia. Dan Rangga merasa tidak aneh lagi, kalau Naga Prata bisa tahu terang dirinya. Pendekar Rajawali Sakti sudah sering berjumpa orang-orang aneh yang bisa mengubah wujud dan mengetahui segalanya yang ada di bumi ini. Dan yang pasti, Naga Prata juga tahu nama asli Pendekar Rajawali Sakti tanpa harus diperkenalkan lagi.

"Pergilah kalian. Cari anak itu, dan bawa ke sini," pinta Naga Prata.

"Aku akan usahakan semampuku, Eyang Naga," ucap Rangga, langsung menyebut Naga Prata dengan sebutan eyang. Sebutan itu memang merupakan penghormatan bagi mereka yang dianggap lebih tinggi dan dihormati. Rangga langsung memanggilnya eyang, setelah tahu kalau Naga Prata adalah saudara sepupu Satria Naga Emas. Bahkan sahabat dari gurunya sendiri, Pendekar Rajawali yang hidup lebih dari seratus tahun yang lalu.

"Putra Naga akan mengantarkan kalian kembali," kata Naga Prata lagi.

Setelah berkata demikian, ular naga raksasa itu bergerak meninggalkan ruangan ini dengan gerakan begitu lambat Sedangkan Putra Naga segera beranjak bangkit, dan menghampiri kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.

"Mari, kuantarkan kalian kembali," ajak Putra Naga sopan.

********************

Tidak seperti saat datang, kali ini Rangga dan Pandan Wangi sama sekali tidak merasakan apa-apa ketika meninggalkan istana megah tempat tinggal Naga Prata. Mereka berjalan seperti biasa, menembus lorong goa yang begitu panjang dan gelap serta berliku. Namun, Pandan Wangi merasa kalau goa itu terus menanjak naik.

Hingga akhirnya, mereka tiba di mulut sebuah goa yang berada di tengah-tengah hutan. Sebuah mulut goa yang cukup besar, terlindung semak dan pepohonan yang cukup rapat. Sinar matahari yang menerobos melalui rerimbunan dedaunan, membuat kulit mereka seketika jadi terasa hangat. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu langsung melangkah keluar dari dalam goa ini, tapi Putra Naga tetap berada agak jauh dari mulut goa ini.

"Kau tidak keluar, Putra Naga...?" tegur Rangga.

"Tidak," sahut Putra Naga.

"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.

"Sinar matahari akan membakar tubuhku. Tidak ada lagi pelindung pada diriku. Nanti kalau kalian sudah mendapatkan cincin mustika itu kembali, aku baru bisa berjalan-jalan keluar," jelas Putra Naga.

Rangga hanya mengangguk-angguk saja. Rupanya memang kehidupan mereka tergantung dari cincin mustika itu. Tapi, kini cincin itu berada dalam kekuasaan seorang bocah kecil yang tidak jelas berada di mana sekarang ini.

"Baiklah, Putra Naga. Aku akan kembali lagi ke sini dengan cincin mustika itu," kata Rangga.

"Aku tunggu kalian di mulut Goa Naga ini," sahut Putra Naga.

"Kami pergi dulu, Putra Naga," pamit Rangga.

"Kuda kalian ada di tepi hutan," kata Putra Naga memberi tahu.

Rangga hanya tersenyum saja. Sedang Pandan Wangi melambaikan tangannya, yang dibalas Putra Naga dari dalam goa itu. Kini kedua pendekar muda dari Karang Setra ini segera melangkah meninggalkan mulut Goa Naga. Mereka mengambil arah selatan, langsung menuju Desa Payakan. Tujuan utama mereka kini hanya Desa Payakan yang menjadi petunjuk satu-satunya untuk bisa menemukan bocah yang dikatakan Naga Patra telah mencuri cincin mustika kekuatan dan kehidupannya.

Mereka terpaksa harus berjalan kaki menembus hutan yang lebat dan gelap ini, walaupun matahari bersinar cukup terik di atas awan. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, mereka bisa lebih cepat sampai ke tepi hutan. Teriknya cahaya matahari langsung membakar kulit tubuh kedua pendekar ini. Dan benar saja, kuda-kuda mereka sudah menunggu di tepi hutan ini. Bahkan langsung menghampiri, sambil mendengus-dengus.

"Hup!"

Sepasang pendekar dari Karang Setra itu langsung saja naik ke punggung kudanya masing-masing, tapi tidak langsung menggebahnya. Sementara tidak seberapa jauh di depan mereka, terlihat Desa Payakan yang tampak sunyi seperti tidak berpenghuni lagi. Beberapa saat kedua pendekar muda dari Karang Setra ini memandangi desa yang tampak sunyi itu.

"Ada apa, Kakang? Kau seperti memikirkan sesuatu...," tegur Pandan Wangi, melihat Rangga memandangi Desa Payakan dengan kelopak mata agak menyipit dan kening sedikit berkerut

"Aku merasa ada kelainan di sana, Pandan," sahut Rangga.

"Kelainan apa, Kakang? Aku tidak mengerti maksudmu...," ujar Pandan Wangi, meminta penjelasan.

"Perhatikan, Pandan. Desa itu tampak sunyi. Aku tidak merasakan adanya napas kehidupan lagi di sana," sahut Rangga pelan, seolah bicara pada diri sendiri.

Pandan Wangi jadi terdiam. Dipandanginya desa yang memang kelihatan sunyi dengan kelopak mata agak menyipit Memang tidak terlihat seorang pun di sana. Seakan desa itu benar-benar sudah ditinggalkan penghuninya. Sesaat kemudian, gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu berpaling, memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayo, Pandan. Kita lihat ke sana," ajak Rangga.

"Hiyaaa...!"

Tanpa menunggu jawaban lagi, Rangga langsung saja menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi. Dan Pandan Wangi tidak mau ketinggalan. Segera kuda putihnya digebah keras-keras, hingga meringkik dan langsung melesat cepat sekali bagai anak panah lepas dari busur.

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu memacu kudanya dengan cepat menuju Desa Payakan yang masih terbhat sunyi seperti tidak berpenduduk. Sebentar saja mereka sudah sampai di desa itu. Memang tidak terlihat satu orang pun berada di desa ini. Semua rumah yang ada, pintu dan jendelanya tertutup rapat. Rangga memperlambat jalan kudanya. Dan Pandan Wangi mensejajarkan langkah kudanya di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus memasuki desa itu semakin ke dalam, menelusuri jalan tanah berdebu yang penuh daun-daun serta rerumputan kering.

"Mereka semua ada di dalam rumahnya, Kakang. Aku bisa merasakan napas mereka," kata Pandan Wangi pelan seperti berbisik.

"Hm...." Rangga hanya menggumam saja sedikit. Pandangannya beredar ke kiri dan kanan jalan yang dilalui. Diperhatikannya rumah-rumah yang sunyi, tanpa satu pun yang terlihat membuka pintu maupun jendela. Tapi Pendekar Rajawali Sakti bisa mendengar adanya tarikan-tarikan napas tertahan dari dalam rumah-rumah disepanjang jalan yang membelah desa ini. Dan Rangga merasa, kehadirannya bersama Pandan Wangi di sini mendapat perhatian dari semua penduduk yang bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Entah, apa yang membuat mereka jadi ketakutan seperti itu, hingga tidak lagi berani keluar dari dalam rumah. Walaupun, saat ini matahari bersinar cukup terik membakar kulit

Mereka baru menghentikan langkah kaki kudanya, setelah tiba di depan sebuah rumah yang paling besar dan paling megah di desa ini. Rumah yang berdiri.di atas hamparan tanah yang sangat luas itu juga kelihatan sunyi, seperti tidak lagi berpenghuni. Tapi, hanya rumah ini yang seluruh jen dela dan pintunya terbuka. Hanya saja, tidak terlihat seorang pun di sana.

"Hup!" Rangga melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah di samping kuda hitam tunggangannya. Pandan Wangi ikut melompat turun dari punggung kuda putihnya, dan berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Matanya juga memandangi rumah besar bagai sebuah istana kecil di tengah desa ini.

"Ini pasti rumah Ki Junggut...," gumam Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.

"Tapi kenapa tampak sepi, Kakang? Apa rumah ini sudah ditinggalkan penghuninya?" tanya Pandan Wangi juga pelan suaranya.

"Kau tunggu saja di sini, Pandan. Aku akan lihat ke dalam," kata Rangga meminta.

"Hati-hati, Kakang. Mungkin hanya jebakan saja," Pandan Wangi memperingatkan.

Rangga hanya tersenyum saja. Kakinya terus melangkah, mendekati pintu pagar yang terbuat dari bambu ini. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah perlahan-lahan dengan ayunan kaki begitu ringan, memasuki halaman yang sangat luas dan ditumbuhi rerumputan cukup tebal ini. Sementara Pandan Wangi tetap menunggu di luar. Gadis itu terus memperhatikan sekelilingnya, berjaga-jaga kalau keadaan yang sunyi hanya sebuah jebakan saja.

Kini Rangga sudah berada di depan beranda rumah ini. Matanya memperhatikan sekeliling beberapa saat Dan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat masuk ke dalam rumah ini. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi.

Cukup lama juga Rangga berada di dalam, membuat Pandan Wangi mulai merasa gelisah. Tapi di saat kegelisahan Pandan Wangi berada pada puncaknya, Rangga muncul dari dalam rumah itu seraya melambaikan tangan memanggil gadis ini. Bergegas Pandan Wangi melangkah, menyeberangi halaman yang luas itu sambil menuntun kuda-kuda tunggangan mereka. Gadis itu langsung menghampiri Rangga yang menanti di ambang pintu. "Kau dapatkan sesuatu, Kakang?" tanya Pandan Wangi langsung begitu dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Mereka semua sudah mati," sahut Rangga pelan.

"Apa...?!"

ENAM

Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak, seakan tidak percaya melihat tubuh-tubuh yang sudah tidak-bemyawa lagi saling tumpang tindih di dalam sebuah kamar berukuran cukup besar di rumah ini. Bau busuk yang tidak sedap mulai menyebar, menyeruak ke dalam hidung. Pandan Wangi bergegas meninggalkan kamar itu. Sementara, Rangga beberapa saat masih mengamati keadaan sekitarnya.

Pendekar Rajawali Sakti melihat beberapa mayat itu dikenali sebagai orang-orang yang pernah menyerangnya di dalam hutan. Dan memang di antara mayat-mayat ada Ki Sampulut, Ki Jampur dan Nyai Waringki bersama orang-orang yang pernah dibawanya. Dan di sudut kamar ini, terlihat seorang pemuda yang sudah menjadi mayat dengan dada berlubang besar. Siapa lagi kalau bukan mayat Rantaki.

"Kakang...! Coba lihat ini!"

Rangga cepat berbalik, ketika tiba-tiba terdengar teriakan Pandan Wangi. Bergegas kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi yang berada di dalam ruangan lain. Tampak gadis cantik berbaju biru muda yang dijuluki si Kipas Maut itu sidang memandangi guratan-guratan pada dinding kayu ruangan ini. Rangga menghampiri, dan berdiri di sebelah kanannya.

"Kau percaya kalau semua ini perbuatan binatang buas, Kakang...?" tanya Pandan Wangi langsung.

Rangga tidak langsung menjawab. Diperhatikannya guratan-guratan di dinding itu yang seperti cakaran seekor binatang buas. Pada guratan itu juga terdapat noda-noda darah yang sudah kering dan menghitam. Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan di dalam kamar ini sungguh berantakan. Tidak ada satu pun barang-barang di dalam kamar ini yang masih utuh. Semuanya hancur berantakan.

"Ayo, Pandan...," ajak Rangga.

Pandan Wangi menurut saja, saat Rangga menggamit tangannya, mengajak keluar dari kamar ini. Mereka langsung menuju ruangan depan, dan terus keluar dari rumah ini. Tapi mereka berhenti, begitu sampai di beranda depan. Keadaannya masih tetap sunyi seperti tadi. Tetap tidak terlihat seorang pun berada di rumah. Semua orang bersembunyi di dalam rumahnya. Entah, apa yang membuat mereka jadi ketakutan seperti itu.

"Ada yang datang, Kakang," kata Pandan Wangi setengah berbisik.

"Hm...." Rangga menggumam sedikit, ketika melihat seorang laki-laki berusia setengah baya mendatangi dengan langkah cepat dan kelihatan terburu-buru. Wajahnya kelihatan seperti ketakutan ketika memasuki halaman rumah ini. Kedua bola matanya beredar ke sekeliling merayapi sekitarnya, seakan takut ada yang melihat kemunculannya di rumah Ki Junggut ini.

"Maaf.... Kalian siapa...?" tanyanya dengan suara tergagap bergetar.

"Kami dua orang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini, Paman," sahut Rangga. "Namaku Rangga. Dan ini adikku, Pandan Wangi."

"Aku Prakuti. Kalian boleh memanggilku Paman Prakuti," laki-laki setengah baya yang raut wajah memancarkan penderitaan itu juga memperkenalkan diri. "Aku Kepala Desa Payakan ini."

"Kebetulan sekali. Kami memang sedang membutuhkan orang yang bisa diajak bicara," kata Rangga.

"Kalau kalian ingin bicara, sebaiknya jangan di sini," kata Prakuti.

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu. "Rumah ini sudah kosong. Tidak ada lagi penghuninya."

"Memang, rumah ini sudah kosong. Tapi Ki Junggut masih hidup. Dan sesekali dia datang ke sini mengumpulkan orang-orangnya yang mati dibantai setan kecil itu," jelas Prakuti.

"Setan kecil...?" kening Rangga jadi berkerut.

"Ayolah, kita bicara saja di rumahku," ajak Prakuti.

Sebentar Rangga menatap Pandan Wangi. Tapi yang dipandang hanya mengangkat bahu saja sedikit. Dan mereka kemudian melangkah mengikuti kepala desa itu, meninggalkan rumah Ki Junggut yang sudah tidak dihuni lagi ini. Sepanjang jalan, berbagai macam pertanyaan bergelut dalam benak Rangga maupun Pandan Wangi Mereka ingin lebih tahu lagi mengenai keadaan Desa Payakan yang semakin terselimut teka-teki.

Rumah Prakuti tidak terlalu besar, namun terlihat nyaman dan bersih terawat Kedatangan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu disambut istri dan tiga orang yang sudah besar. Mereka semua berkumpul di ruangan depan, hingga bisa memandang langsung ke jalan.

"Sudah berapa lama keadaan seperti ini berlangsung?" tanya Rangga setelah mereka bicara banyak.

"Entalah, Rangga. Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun. Yaaah..., sejak Ki Junggut dan orang-orangnya datang ke sini," sahut Prakuti, menjelaskan.

"Dan selama itu, apa tidak ada yang menentangnya?" selak Pandan Wangi.

"Dulu pernah ada yang menentang. Mereka adalah satu keluarga yang masih ada kaitan keluarga dengan istriku. Tapi, mereka habis dibantai. Dan setelah itu, tidak ada lagi yiang berani menentangnya, hingga Ki Junggut semakin menggila saja," jelas Prakuti lagi.

"Lalu, kenapa sekarang dia tidak ada? Bahkan rumahnya kosong, penuh mayat," kata Pandan Wangi meminta penjelasan.

"Tiga hari yang lalu, datang seorang anak kecil yang sangat tangguh dan digdaya. Kepandaiannya sukar sekali ditandingi. Dia langsung mendatangi rumah Ki Junggut, dan membunuh banyak anak buahnya. Bahkan Ki Junggut sendiri tidak bisa menandinginya. Tiga orang tukang pukul kepercayaannya tewas. Bahkan anak kembarnya juga tewas di tangannya. Hanya Ki Junggut dan Ki Sampak saja yang bisa menyelamatkan diri. Tapi, entah sekarang mereka berada di mana. Terkadang Ki Junggut dan Ki Sampak memang terlihat datang ke rumah itu mengumpulkan mayat bekas tukang pukulnya di dalam kamar menjadi satu," jelas Prakuti panjang lebar.

"Tiga hari...?"

Pandan Wangi jadi terkejut. Sungguh tidak disangka kalau dia dan Rangga sudah tiga hari berada di Istana Goa Naga. Padahal hanya beberapa saat saja mereka berada di sana. Tapi, ternyata di alam nyata ini sudah sampai tiga hari lamanya.

"Hm.... Kau tahu siapa anak itu, Paman?" tanya Pandan Wangi dengan suara agak menggumam.

Sedikit Rangga melirik Pandan Wangi yang duduk bersila di sebelahnya. Gadis itu juga melirik sedikit padanya. Pandan Wangi tahu, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Sama seperti dirinya. Tentu Rangga juga menduga kalau bocah aneh itu adalah Kunjang yang telah mencuri cincin pusaka kehidupan dari Istana Goa Naga.

"Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia," sahut Prakuti.

"Dia datang bersama seorang gadis," selak istri Prakuti.

"Gadis...?!" kening Rangga berkerut.

"Ya! Aku tahu namanya," sahut istri Prakuti lagi.

"Siapa dia, Bibi?" tanya Pandan Wangi.

"Wulandari."

"Dia seorang gadis sebatang kara di desa ini. Kedua orang tua dan saudara-saudaranya dibunuh tukang-tukang pukulnya Ki Junggut. Tapi, entah sudah berapa hari ini Wulandari menghilang," jelas Prakuti.

"Kenapa kau katakan dia bocah setan, Paman?" tanya Rangga ingin tahu.

"Tindakannya memang seperti iblis, Rangga. Siapa saja yang mencoba menghalangi dibunuhnya. Bahkan setelah memporak-porandakan rumah Ki Junggut, dia juga membunuh beberapa orang penduduk di sini tanpa sebab yang pasti," jelas Prakuti lagi.

"Hm.... Tindakannya sudah di luar batas, Kakang," gumam Pandan Wangi pelan, sambil melirik Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di sebelahnya. Rangga hanya diam saja. "Kalian kenal anak itu?" tanya Prakuti.

"Tidak," sahut Rangga cepat

"Tapi kami memang sedang mencarinya, Paman. Dia sangat berbahaya," jelas Pandan Wangi menyelak, tanpa peduli lirikan tajam dari Rangga.

"Oh! Kalau begitu, kalian tinggal saja di sini. Aku yakin dia pasti akan datang lagi ke sini, karena masih mencari Ki Junggut" kata Prakuti.

Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak permintaan kepala desa itu. Mereka memang tidak punya pilihan lain lagi. Dan saat itu, hari sudah menjelang senja. Matahari sudah begitu condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi terik menyengat kulit. Hanya rona merah saja yang membias di ufuk barat.

Anak gadis Prakuti meminta Pandan Wangi tidur di kamarnya. Sedangkan Rangga disediakan kamar yang berada di bagian depan bersama anak laki-laki kepala desa itu. Sementara, keremangan terus merayap menyelimuti seluruh permukaan bumi di Desa Payakan ini. Dan suasananya juga semakin terasa mencekam. Hawa kematian begitu terasa dalam diri Pendekar Rajawali Sakti yang tengah duduk mencangkung di berarida depan rumah kepala desa itu.

********************

Malam ini Rangga sengaja tidak masuk ke dalam kamarnya. Sejak sore tadi Pendekar Rajawali Sakti terus duduk mencangkung di beranda depan rumah Kepala Desa Payakan ini. Sementara, suasana di sekitarnya sudah begitu sunyi mencekam. Kegelapan menyelimuti sekitar desa. Tidak ada satu rumah pun yang menyalakan lampu. Hanya rumah Prakuti saja yang kelihatan terang. Dan keadaan ini memang disengaja Rangga, untuk menarik perhatian.

"Sudah muncul setan kecil itu...?"

"Oh...?!" Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. Cepat kepalanya berpaling, dan tersenyum sedikit melihat Prakuti tahu-tahu sudah ada di belakangnya. Laki-laki berusia setengah baya itu mengambil tempat di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.

"Belum, Paman," sahut Rangga seraya kembali mengarahkan pandangan ke depan.

"Mungkin dia tahu kau ada di sini," kata Prakuti lagi.

"Di antara kami, belum pernah ada yang bertemu, Paman," kata Rangga memberi tahu.

"Belum pernah bertemu...? Tapi kenapa kau mencarinya?" tanya Prakuti.

"Panjang ceritanya, Paman. Mungkin kau tidak bisa memahaminya," sahut Rangga, enggan untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Persoalan pribadi?" tebak Prakuti.

Rangga tidak menyahut Untuk memuaskan kepala desa ini, hanya kepalanya saja yang mengangguk Dan Prakuti tidak bertanya lagi. Dan menduga, ada salah satu keluarga pemuda ini yang tewas dibunuh bocah tangguh itu. Dan mereka pun terdiam membisu. Rangga berpaling sedikit ke belakang, melihat pintu rumah yang terbuka lebar. Tidak terlihat seorang pun di dalam rumah ini.

"Pandan Wangi bersama ibunya anak-anak di belakang," kata Prakuti memberi tahu tanpa diminta.

Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti memang meminta Pandan Wangi unluk menjaga keluarga ini. Sementara dia akan menghadapi bocah tangguh yang namanya saja baru dikenal dari Naga Prata. Rangga tidak mengeluarkan suara lagi, dan kembali mengarahkan pandangan lurus ke depan. Seakan matanya hendak menembus gelapnya malam yang menyelimuti seluruh Desa Payakan ini.

"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa berat, Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Kakinya lantas melangkah keluar dari beranda depan rumah kepala desa ini. Dan berhenti melangkah, setelah sampai di tengah-tengah halaman yang tidak seberapa luas ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya yang masih terlihat begitu sunyi dan mencekam. Sedangkan Prakuti hanya diam saja memperhatikan dari beranda depan rumahnya.

"Rangga, coba lihat itu...!" seru Prakuti tiba-tiba, sambil menunjuk ke arah selatan.

Rangga langsung berpaling memandang ke arah yang ditunjuk kepala desa itu. Agak terkesiap juga harinya, melihat kobaran api yang sangat besar di selatan desa ini. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat ke arah kobaran api itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi.

Sementara Prakuti masih terlongong bengong tidak bisa berbuat apa-apa. Dan pada saat itu, Pandan Wangi yang mendengar seruan kepala desa ini tadi bergegas keluar dari dalam rumah. Gadis itu langsung menatap ke arah kobaran api yang berada di sebelah selatan desa ini.

"Mana Kakang Rangga, Paman?" tanya Pandan Wangi.

"Ke sana," sahut Prakuti. Pandan Wangi bergegas melangkah keluar dari beranda ini. Dan saat itu, istri serta anak-anak Prakuti ikut keluar, tapi tidak berani jauh dari pintu. Mereka bisa melihat dengan jelas kobaran api yang begitu besar dari arah selatan desa ini. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di tengah-tengah halaman rumah kepala desa ini. Hatinya seperti ragu-ragu untuk menyusul Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit kepalanya berpaling memperhatikan Prakuti dan keluarganya yang masih tetap berada di depan pintu rumahnya.

"Kalian masuk saja semua. Tutup semua pintu dan jendela. Jangan ada lampu yang dinyalakan," perintah Pandan Wangi.

"Kau akan ke mana, Pandan?" tanya Prakuti.

"Menyusul Kakang Rangga. Mungkin dia membutuhkan bantuanku," sahut Pandan Wangi.

"Tunggu...! Aku ikut denganmu," kata Prakuti langsung saja melompat keluar dari beranda depan rumahnya.

Sejenak Pandan Wangi jadi tertegun melihat gerakan melompat kepala desa ini. Dari gerakannya saja sudah bisa diketahui kalau Prakuti menguasai ilmu olah kanuragan yang tidak bisa dikatakan rendah. Saat itu, anak sulung Prakuti yang bernama Kelana masuk ke dalam rumah. Tapi, tidak lama dia sudah keluar lagi membawa dua bilah golok. Bergegas dihampiri ayahnya yang sudah berada di sebelah Pandan Wangi.

"Ini goloknya, Ayah," kata Kelana.

Prakuti menerima golok itu, tapi matanya memandangi golok yang sudah terselip di pinggang anaknya.

"Aku ikut dengan kalian," tegas Kelana.

Prakuti tidak bisa mencegah lagi tekad anaknya ini. Dan Pandan Wangi juga tidak bisa menolak mereka. Setelah memberikan pesan pada keluarganya, Prakuti bergegas melangkah dengan ayunan kaki cepat dan lebar-lebar meninggalkan rumahnya. Pandan Wangi berada di sebelahnya, diikuti Kelana di belakang.

Mereka kini berjalan cepat menembus malam yang pekat ini. Sementara dari arah selatan sudah terdengar suara teriakan-teriakan ketakutan dari warga desa yang terbakar rumahnya. Dan api dari sebelah selatan desa terlihat semakin besar saja bagai hendak menerangi seluruh Desa Payakan ini.'

********************

Sementara itu, Rangga sibuk menyelamatkan orang-orang yang rumahnya terbakar. Dan Pendekar Rajawali Sakti juga merobohkan beberapa rumah, agar api tidak meluas ke rumah-rumah lain yang belum terbakar. Pada saat itu, Pandan Wangi, Prakuti, dan anaknya datang. Mereka langsung mengumpulkan penduduk desa yang rumahnya terbakar di tanah lapang yang tidak jauh dari tempat kebakaran itu. Sedangkan Rangga dibantu Pandan Wangi dan Kelana, masih sibuk mencegah api agar tidak lebih meluas lagi.

Mereka memang tidak mungkin lagi memadamkannya, dan hanya bisa mencegah agar tidak meluas saja dengan mengorbankan beberapa rumah yang berdekatan. Setelah bekerja keras, akhirnya mereka berhasil juga mencegah meluasnya api yang ingin menghanguskan seluruh desa ini. Rangga yang ditemani Pandan Wangi dan Kelana segera menghampiri Prakuti, yang bersama penduduk berkumpul di tanah lapang di sebelah selatan Desa Payakan ini.

"Untung kau cepat bertindak, Rangga. Kalau tidak..., sudah habis semua rumah di desa ini," kata Prakuti begitu Rangga dekat di depannya

"Tanyai mereka, apa yang menyebabkan terjadinya kebakaran ini, Paman. Aku akan memeriksa sekitar desa ini," kata Rangga tegas.

"Baik," sahut Prakuti.

Rangga menatap sebentar pada Kelana dan Pandan Wangi. "Kalian ke arah barat. Aku ke timur. Nanti, kita bertemu lagi di sini," kata Rangga membagi tugas. "Aku minta kalian jangan terpisah. Dan jangan melakukan sesuatu sendiri-sendiri."

Pandan Wangi dan Kelana hanya mengangguk saja. Sementara, Rangga sudah melesat cepat sekali ke arah timur. Pandan Wangi langsung mengajak Kelana menjalankan tugas yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Sedangkan Prakuti mulai menanyai penduduk desa yang rumahnya sudah habis terbakar. Dicobanya untuk mencari keterangan dan sebab dari kebakaran itu.

Sementara itu, Pandan Wangi dan Kelana sudah jauh menelusuri daerah sebelah barat. Tapi, tidak ada yang didapatkan di sini, kecuali hanya kegelapan dan kesunyian yang mencekam saja. Tidak terlihat seorang pun sepanjang jalan yang dilalui. Dan begitu sampai di persimpangan jalan yang bersimpang tiga arah, mereka berhenti tepat di tengah-tengahnya. Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dan ketika arah pandangannya tertuju ke jalan yang berada di sebelah kirinya, kelopak matanya jadi menyipit

"Ada apa, Kak Pandan?" tanya Kelana.

"Kau lihat di sana itu, Kelana?" tanya Pandan Wangi sambil menunjuk ke arah jalan yang ada di sebelah kanannya.

Kelana menyipitkan kelopak matanya sedikit Tapi sesaat kemudian matanya jadi terbeliak lebar, ketika melihat seseorang berdiri di tengah jalan seperti ingin menghadang. Dia adalah seorang laki-laki tua bertubuh tinggi besar dan kekar, dengan sebilah pedang berukuran besar dan panjang tergantung di pinggangnya. Dan di sebelah kanan agak ke belakang, tampak seorang laki-laki tua berjubah hitam berdiri. Sebuah tongkat tergenggam di tangan kanan tampak bagai menyangga tubuhnya. Entah kenapa, mendadak saja seluruh tubuh Kelana jadi bergidik menggigil.

"Ki Junggut...," desis Kelana langsung mengenali kedua oran tua itu.

"Hm...," sedangkan Pandan Wangi hanya menggumam saja sedikit.

Pandan Wangi memutar tubuhnya menghadapi dua orang laki-laki tua yang berada sekitar lima batang tombak di depannya. Sedangkan Kelana hanya diam saja berada di belakang si Kipas Maut itu. Dan untuk beberapa saat mereka terdiam, tanpa ada yang bersuara sedikit pun juga.

"Kau temui Kakang Rangga, Kelana. Cepat " perintah Pandan Wangi dengan suara agak berbisik pelan.

"Ba.... Baik, Kak Pandan," sahut Kelana agak tergagap. Tanpa diperintah dua kali, Kelana bergegas berlari cepat meninggalkan gadis ini.

Sedangkan Pandan Wangi sudah melangkah beberapa tindak, mendekati dua orang laki-laki tua yang berdiri tegak di tengah jalan bagai sengaja menantinya. Dan gadis itu baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi. Belum ada seorang pun yang membuka suara. Mereka hanya saling berpandangan saja dalam kegelapan, seakan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Saat itu, terlihat Ki Sampuk menggeser kakinya ke kanan, menjauhi Ki Junggut yang tetap diam tidak bergeming sedikit pun. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dengan tatapan tajam, tidak berkedip sedikit pun.

"Bunuh dia, Ki Sampuk!" perintah Ki Junggut tiba-tiba.

"Baik," sahut Ki Sampuk mantap. "Yeaaah...!"

"Eh, tunggu...!"

TUJUH

Pandan Wangi mencoba mencegah serangan Ki Sampuk. Tapi, tampaknya orang tua itu tidak mempedulikannya sedikit pun. Tubuhnya terus saja melesat menerjang Pandan Wangi dengan kecepatan tinggi. Maka terpaksa gadis itu harus melesat ke belakang dengan berputaran beberapa kali, menghindari sabetan tongkat Ki Sampuk yang berkelebat begitu cepat dan beruntun.

"Hap!" Manis sekali Pandan Wangi melesat ke atas dengan tubuh berputar beberapa kali. Dan dengan gerakan cepat sekali, dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek ke arah kepala orang tua ini. Tapi, Ki Sampuk cepat sekali melompat ke belakang. Sehingga, pukulan gadis itu tidak sampai menghantam kepalanya. Dan kesempatan itu pun digunakan Pandan Wangi untuk menjejakkan kakinya kembali ke tanah.

"Tahan...!" bentak Pandan Wangi lantang.

"Jangan hiraukan dia, Kisanak! Serang saja. Bunuh...!" perintah Ki Junggut.

Ki Sampak memang tidak mau menghiraukan Pandan Wangi. Kakinya sudah bergeser menelusuri tanah berdebu yang penuh daun-daun kering ini, mendekati gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.

Sementara Pandan Wangi sendiri sudah cepat menyadari kalau tidak mungkin lagi bisa mencegah bentrokan ini. Segera gadis itu bersiap setelah mencabut senjatanya yang berupa sebuah kipas dari baja berwarna putih keperakan.

Bet!

Pandan Wangi langsung membuka senjatanya di depan dada. Ujung-ujung kipas yang runcing seperti mata anak panah, membuat kedua bola mata Ki Sampuk jadi terbeliak lebar. Dan geseran kakinya jadi berhenti dalam mendekati gadis ini.

"Siapa kau, Nisanak...?" tanya Ki Sampuk, jadi ingin tahu.

"Aku si Kipas Maut," sahut Pandan Wangi menyebutkan julukannya.

"Kau si..., si Kipas Maut...?!" Kedua bola mata Ki Sampuk semakin terbeliak lebar, begitu mendengar Pandan Wangi menyebutkan julukannya. Bukan hanya Ki Sampuk saja yang terkejut. Tapi, Ki Junggut juga tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau gadis yang dihadangnya ini adalah si Kipas Maut.

Mereka berdua tahu, siapa gadis ini. Dia adalah seorang gadis cantik yang bukan saja menjadi teman seperjalanan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan juga kekasih pendekar muda yang sudah terkenal kedigdayaannya. Dan di kalangan persilatan, nama mereka begitu harum. Hingga semua orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, baik dari golongan putih maupun hitam, sangat menyeganinya. Jelas orang akan berpikir seribu kali untuk mencoba bertarung melawan kedua pendekar itu.

"Phuih! Aku tidak peduli siapa kau, Kisanak! Kau berani datang ke sini, berarti juga berani bertarung nyawa," dengus Ki Junggut, langsung menghilangkan kegentaran dalam hatinya.

"Kenapa kau ingin membunuh semua orang di desa ini?" tanya Pandan Wangi.

"Mereka sudah membunuh kedua anakku. Juga, semua anak buahku. Jadi sudah sepantasnya kalau mereka juga harus mampus!" sahut Ki Junggut dengan suara berang.

"Mereka tidak tahu apa-apa. Jangan kau jadikan sasaran kemarahanmu, Kisanak. Aku tahu, siapa orangnya yang sudah menghancurkan kekejamanmu di sini," kata Pandan Wangi.

"Keparat...! Apa yang kau tahu, heh...?!"

"Banyak," sahut Pandan Wangi kalem.

"Phuih!"

"Dan sebenarnya, kedatanganku ke sini justru ingin menyeretmu ke kotaraja untuk diadili," sambung Pandan Wangi.

"Ha ha ha...!" entah kenapa, Ki Junggut jadi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata terakhir Pandan Wangi barusan.

Sedangkan Pandan Wangi hanya memandangi saja dengan tajam. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Dan yang paling utama, diperhatikannya adalah Ki Sampuk yang berada tidak seberapa jauh di depannya. Kalau Ki Sampuk mengebutkan tongkatnya sekali saja, ujungnya yang runcing itu bisa merobek perutnya. Dan ini yang terus menjadi perhatian gadis itu. Dia tidak ingin kecolongan sedikit pun juga, yang bisa membuatnya celaka.

"Sebaiknya kau kembali saja pada kekasihmu, Nisanak. Tidak ada gunanya di sini," ujar Ki Junggut pongah.

"Aku tidak akan kembali, sebelum menyeretmu," sambut Pandan Wangi tegas.

"Phuih! Kau memang tidak bisa dikasih hati! Bunuh dia...!" bentak Ki Junggut memberi perintah.

"Yeaaah...!"

Seketika itu juga, Ki Sampuk mengebutkan tongkatnya lurus ke depan, cepat seperti yang telah diduga Pandan Wangi. Namun, cepat sekali Pandan Wangi menarik tubuhnya ke belakang, hingga ujung tongkat yang runcing dan berwarna hitam pekat itu lewat sedikit saja di depan perutnya.

Saat itu juga, Pandan Wangi menggeser kakinya sedikit ke kiri. Dan dengan gerakan meliuk yang begitu indah, tangan kanannya dikebutkan, hendak menyambar tongkat Ki Sampuk dengan Kipas Maut andalannya.

Bet!

"Hap!" Namun, Ki Sampuk sudah lebih cepat lagi menarik tongkatnya pulang. Sehingga sambaran Kipas Maut gadis itu tidak sampai mengenainya. Saat itu juga, tongkatnya cepat diputar sekali ke atas, dan langsung dikibaskan ke arah kepala gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut ini.

"Yeaaah...!"

Wut!

"Heh...?!" Kedua bola mata Ki Sampak jadi terbeliak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba Pandan Wangi mengebutkan Kipas Maut andalannya. Dan tongkat nya yang sudah melayang deras sekali ke arah kepala gadis ini tidak sempat lagi ditarik kembali. Dan....

Bet!

Trak!

Ujung-ujung kipas putih yang mncing seperti mata anak panah itu menyambar tepat di bagian tengah tongkat hitam berbentuk ular milik Ki Sampuk.

"Keparat...!" Ki Sampuk jadi geram setengah mati, melihat tongkatnya terpotong menjadi dua bagian. Dengan geraham bergemeletak menahan marah, laki-laki tua ini membuang potongan tongkatnya. Dan langsung saja dia melompat, menerjang si Kipas Maut.

"Kubunuh kau! Yeaaah...!"

"Haiiit...!" Dengan gerakan indah sekali, Pandan Wangi berhasil menghindari beberapa pukulan beruntun yang begitu cepat dilancarkan Ki Sampuk. Dan begitu mendapat kesempatan, Pandan Wangi langsung melompat ke belakang. Saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, di saat tubuhnya berputar ke belakang di udara.

Begitu cepatnya tendangan si Kipas Maut itu, sehingga Ki Sampuk tidak sempat lagi menyadari. Dan laki-laki tua itu tidak lagi memiliki kesempatan menghindar. Hingga....

Diegkh!

"Akh...!" Ki Sampuk jadi memekik tertahan, begitu tendangan Pandan Wangi tepat menghantam dadanya. Laki-laki tua berjubah hitam itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Sementara, Pandan Wangi sudah menjejakkan kakinya ke tanah lagi. Dan....

"Satu lagi untukmu, Tikus Busuk! Yeaaah...!" Sambil membentak keras, Pandan Wangi melompat cepat menerjang orang tua itu. Dan bagaikan kilat Kipas Mautnya dikibaskan, tepat mengarah ke leher. Begitu cepat serangannya, sehingga Ki Sampuk tidak dapat lagi mengelak.

Cras!

"Aaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar, bagai hendak membelah kesunyian malam di Desa Payakan ini. Tampak Ki Sampuk terhuyung-huyung dengan darah mengucur deras dari lehernya yang dirobek ujung Kipas Maut senjata andalan Pandan Wangi.

Sedangkan si Kipas Maut itu sendiri sudah kembali berdiri tegak, dengan senjata terkembang di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus Ki Junggut yang jadi terpana melihat Ki Sampuk tergeletak dengan leher robek berlumuran darah. Hanya dalam waktu tidak lama saja, gadis cantik yang kelihatan lemah itu sudah merobohkan Ki Sampuk. Padahal di Desa Payakan ini, laki-laki tua itu tidak ada tandingannya.

"Sekarang giliranmu, Iblis...!" desis Pandan Wangi dengan suara begitu dingin dan datar menggetarkan.

Perlahan Pandan Wangi melangkah mendekati Ki Junggut yang sudah gentar melihat ketangguhan gadis ini. Bahkan sudah merasa gentar ketika Pandan Wangi menyebutkan julukannya yang sangat terkenal di seluruh rimba persilatan.

"Kau..., kau tidak bisa membunuhku...!" bentak Ki Junggut agak tergagap.

"Aku memang tidak akan membunuhmu. Aku hanya akan menyerahkanmu pada semua orang di sini, untuk diadili!" dengus Pandan Wangi dingin menggetarkan.

Ki Junggut menarik kakinya perlahan ke belakang, mengimbangi gerakan kaki Pandan Wangi yang terus melangkah maju mendekatinya.

"Tidak...! Mereka tidak bisa mengadiliku! Mereka semua akan mampus...!" bentak Ki Junggut.

Pandan Wangi hanya diam saja, namun tetap terus melangkah semakin mendekati. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja....

"Kau yang akan mati, Ki Junggut..!" Terdengar suara kecil yang sangat mengejutkan.

"Oh...?! Kau...."

Pandan Wangi langsung berpaling ke kanan, ke arah datangnya suara itu. Entah kapan datangnya, tahu-tahu seorang bocah kecil bertubuh kurus dan kotor sudah ada di tempat ini. Tampak kedua bola mata Ki Junggut jadi terbeliak lebar. Bahkan wajahnya seketika memucat bagai mayat, begitu melihat kemunculan bocah kecil seperti gelandangan itu.

"Terimalah kematianmu, seperti kau membunuh kedua orangtuaku!" desis bocah itu dingin.

Kedua tangan bocah itu sudah menjulur, dengan jari-jari yang berkuku runcing mengembang kaku. Dan ini membuat Ki Junggut semakin terkesiap, tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Saat itu pula, Pandan Wangi melihat sebuah cincin berbentuk seekor naga melingkar, yang bagian kepalanya terdapat sebuah batu berwarna hijau, memancarkan cahaya terang berkilauan. Dan gadis itu langsung tahu, bocah itu pasti Kunjang. Bocah kecil yang sedang dicarinya bersama Rangga, karena telah mencuri cincin pusaka kehidupan semua makhluk ular penghuni Goa Naga.

"Tunggu...!" bentak Pandan Wangi tiba-tiba, sebelum bocah itu menyerang Ki Junggut.

Bocah kecil yang tidak lain Kunjang itu berpaling, menatap Pandan Wangi. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan cahaya merah menyala bagai sepasang bola api. Saat itu Pandan Wangi agak terkesiap juga melihat tatapan yang sangat tajam menusuk ini. Tapi, dia bisa cepat menguasai diri.

"Kau yang bernama Kunjang?" tanya Pandan Wangi ingin menegaskan.

"Benar," sahut bocah itu.

"Kau boleh saja menumpahkan dendammu pada Ki Junggut. Tapi, setelah itu kau harus ikut denganku," ujar Pandan Wangi.

"Aku tidak kenal denganmu. Dan sebaiknya, jangan coba-coba mencampuri segala urusanku!" bentak Kunjang kasar.

"Heh...?! Kau ada urusan denganku, Kunjang."

"Menyingkirlah. Atau, terpaksa aku akan membunuhmu juga kalau coba-coba menghalangi," ancam Kunjang tidak main-main.

Untuk kedua kalinya, Pandan Wangi jadi berdesir darahnya. Dia ingat kata-kata Naga Prata. Bocah ini memang bisa sangat berbahaya, kalau tetap memakai cincin itu. Bahkan tidak mudah untuk ditaklukkan. Sementara Kunjang sudah kembali mengarahkan perhatiannya pada Ki Junggut.

"Mampus kau! Hsss...!

Sambil memperdengarkan suara mendesis seperti ular, tiba-tiba saja Kunjang melesat, kecepatannya begitu tinggi. Sehingga, gerakannya sangat sukar diikuti pandangan mata. Dan tahu-tahu jari-jarinya yang berkuku hitam runcing itu sudah membenam dalam leher Ki Junggut.

"Aaa...!" Seketika terdengar jeritan melengking tinggi. Dan saat itu juga Pandan Wangi jadi tersentak, seperti baru terjaga dari tidurnya. Dan seluruh tubuhnya jadi bergidik, melihat Ki Junggut tergeletak di tanah dengan leher masih tercengkeram jari-jari tangan Kunjang yang kecil dan kurus berkuku runcing itu.

Sementara dari bibir bocah itu terus mengeluarkan desisan seperti ular. Sedangkan Ki Junggut masih menggeliat-geliat meregang nyawa, berusaha melepaskan lehernya dari cengkeraman bocah ini. Tapi, usahanya hanya sia-sia saja. Lehernya semakin terkoyak lebar. Dan darah semakin banyak mengucur keluar.

DELAPAN

Sementara Pandan Wangi seperti terkesima melihat peristiwa itu. Dia hanya berdiri saja memandangi, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hingga Ki Junggut tidak bergerak-gerak lagi, Pandan Wangi masih tetap diam. Tapi ketika melihat Kunjang menghujamkan tangan kanannya menembus dada orang tua itu, kembali hatinya tersentak. Dan....

"Hei...!" Pandan Wangi jadi memekik, begitu melihat Kunjang mengambil jantung Ki Junggut. Dan hampir saja, jantung berwarna merah berlumuran darah itu hendak dikunyahnya, kalau saja Pandan Wangi tadi tidak memekik.

"Apa yang kau lakukan...?!" sentak Pandan Wangi dengan tubuh bergidik.

"Hsss...!" Kunjang hanya mendesis saja, seakan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan bertaring tajam. Kemudian dimasukkannya jantung yang berlumuran daran itu ke mulutnya. Dan seketika seluruh rongga perut Pandan Wangi jadi bergolak mual, seakan hendak tertumpah keluar semua isinya, melihat bocah itu mengunyah jantung Ki Junggut seperti menyantap makanan saja.

"Iblis...," desis Pandan Wangi begitu tersadar.

"He he he...! Aku kira jantungmu tidak kalah nikmatnya dari jantung Wulandari...," kata Kunjang sambil menyeka darah yang melekat di bibir dengan punggung tangan, disertai suara tawanya yang terkekeh kering.

Merah padam seluruh wajah Pandan Wangi, mendengar kata-kata yang diucapkan Kunjang barusan. Rupanya, bocah itu juga sudah membunuh Wulandari, dan memakan jantungnya. Bahkan baru saja tadi mengunyah jantung Ki Junggut yang dibunuhnya di depan si Kipas Maut itu.

"Kau benar-benar sudah menjadi iblis, Kunjang...," desis Pandan Wangi datar.

"He he he...! Aku akan jadi raja di dunia ini. Tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan aku lagi. Siapa pun yang mencoba menghalangi, harus mati ditanganku...!"

Seluruh tubuh Pandan Wangi jadi menggeletar menahan geram, mendengar kata-kata yang memang sangat dikhawatirkan itu. Tampaknya Kunjang benar-benar sudah menyadari akan arti cincin yang dikenakannya. Malah sikapnya semakin angkuh saja. Di dalam otaknya, memang sudah terpikir satu keinginan untuk menguasai dunia ini. Dan inilah yang menjadi kekhawatiran Pandan Wangi.

Sementara, Kelana yang disuruhnya mencari Pendekar Rajawali Sakti belum juga kembali. Pandan Wangi merasa kalau harus menghadapi bocah setan ini seorang diri. Maka Kipas Maut-nya langsung dikebutkan, dan dikembangkan di depan dada. Sementara, Kunjang kelihatan seperti tidak menganggap sikap gadis ini. Dia terus terkekeh memandang rendah pada Pandan Wangi.

"Aku tahu semua rahasiamu, Kunjang. Aku juga tahu, apa yang membuatmu jadi tangguh seperti ini," kata Pandan Wangi dingin.

"Heh! Apa katamu...?!" sentak Kunjang terkejut.

"Serahkan cincin itu, Kunjang!" bentak Pandan Wangi.

"Apa...?! Kau..., kau tahu...?"

Seketika itu juga, pucat pasi seluruh wajah Kunjang mendengar bentakan Pandan Wangi barusan. Seakan tidak dipercaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sungguh tidak disangka kalau gadis berbaju biru muda itu tahu semua tentang rahasianya.

"Dari mana kau tahu semua itu...?" tanya Kunjang dengan suara langsung bergetar.

"Tidak perlu kau tahu, dari mana aku mengetahui semua rahasiamu itu, Kunjang. Malam ini juga, aku harus meminta cincin itu kembali," tegas Pandan Wangi agak sinis nada suaranya.

"Tidak...! Tidak seorang pun yang bisa merebutnya dariku. Cincin itu sudah jadi milikku!" sentak Kunjang.

"Cincin itu bukan milikmu, Kunjang. Kau mendapatkan cincin itu dari mencuri."

Seluruh tubuh Kunjang jadi bergetar, karena rahasianya sudah terbongkar. Tapi, mendadak saja wajah yang pucat itu berubah memerah. Dan seluruh tubuhnya mengejang kaku. Sorot matanya kembali tajam, menatap Pandan Wangi. Dan kini terdengar suara mendesis seperti ular dari belahan bibirnya yang terkatup rapat. Sementara Pandan Wangi sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

"Kau harus mati...!" desis Kunjang dingin menggetarkan.

"Serahkan cincin itu, Kunjang. Kau tidak berhak memilikinya."

"Kubunuh kau! Hiyaaat...!"

Cepat sekali Kunjang melompat menerkam si Kipas Maut, dengan jari-jari tangannya yang mengembang kaku. Sementara Pandan Wangi yang memang sudah siap, segera mengegoskan tubuhnya untuk menghindari terjangan bocah itu. Sehingga, terjangan Kunjang tidak sampai mengenai sasaran. Dan ketika tubuh bocah kecil itu lewat di samping tubuhnya, cepat sekali Pandan Wangi menghentakkan tangan kirinya. Langsung diberikannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat pukulannya, sehingga Kunjang tidak sempat lagi menghindarinya.

Buk!

"Ikh...?!" Bukan Kunjang yang memekik terkena pukulan, tapi justru Pandan Wangi. Padahal, pukulan gadis itu mendarat tepat di tubuh bocah ini. Cepat-cepat Pandan Wangi melompat menjauhinya. Mulutnya meringis merasakan sakit pada tangannya. Seakan tulang-tulang tangannya remuk, karena seperti menghantam sebongkah batu karang yang begitu keras melebihi baja.

"Ha ha ha...!" Kunjang jadi tertawa terbahak-bahak melihat Pandan Wangi meringis merasakan sakit pada tangan kirinya.

"Kau tidak bisa membunuhku, Nisanak!"

"Iblis keparat...!" desis Pandan Wangi jadi geram menyadari kekutan dahsyat bocah kecil itu.

Sementara Kunjang terus tertawa terbahak-bahak sambil berkacak pinggang menantang.

"Hiyaaat...!" Pandan Wangi benar-benar kalap diremehkan begitu. Tanpa peduli lagi kalau lawannya hanya seorang anak berusia tiga belas tahun, gadis itu langsung saja melancarkan serangan. Langsung dilepaskannya pukulan tangan kanan yang disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Tapi Kunjang sedikit pun tidak berusaha menghindar. Bahkan dadanya dipasang lebar-lebar, menjadi sasaran pukulan si Kipas Maut itu. Dan....

Derrr!

"Akh...!" Kembali Pandan Wangi memekik keras, begitu tangan kanannya menghantam dada bocah kecil ini. Padahal, begitu tinggi tenaga dalam yang dikerahkan Pandan Wangi pada pukulannya ini. Dan gadis itu jadi terpental jauh ke belakang, termakan tenaga dalamnya sendiri. Lalu, keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah. Dia bergulingan beberapa kali, sebelum bisa bangkit berdiri kembali. Pandan Wangi merasakan seluruh tulang tangan kanannya remuk. Rasa sakit yang menyengat, membuatnya meringis.

Sementara, Kunjang tetap berdiri tegap dengan angkuhnya. Sedikit pun dia tidak bergeming mendapat pukulan yang dahsyat tadi.

"Kerahkan semua kemampuanmu, Nisanak," tantang Kunjang pongah.

"Huh!" Pandan Wangi hanya bisa mendengus saja. Kembali Kipas Mautnya dikembangkan di depan dada. Sebentar dibuatnya beberapa gerakan, mempersiapkan jurus yang akan digunakannya. Dan....

"Hiyaaat...!" Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Pandan Wangi kembali melompat menyerang. Kipas Mautnya cepat mengibas ke dada bocah itu Tapi, tetap saja Kunjang tidak bergeming sedikit pun juga, sehingga ujung-ujung kipas yang runcing itu menghantam dadanya. Namun....

Bet!

"Heh...?!" Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak lebar, begitu melihat Kipas Maut andalannya tidak bisa merobek kulit dada bocah itu. Bahkan seluruh lengan kanannya terasa jadi bergetar, ketika ujung kipasnya menghantam dada yang kurus kerempeng tanpa baju itu.

"Hup!" Cepat-cepat Pandan Wangi melompat mundur ke belakang beberapa langkah. Memang sulit dipercaya dengan apa yang baru saja terjadi ini. Bocah laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak tertembus senjata di tubuhnya. Dan semua itu memang karena pengaruh Cincin Pusaka Istana Goa Naga yang dikenakannya. Cincin itu benar-benar membuat Kunjang jadi manusia tangguh yang sukar ditandingi.

"Menyingkirlah kau, Pandan Wangi..."

"Oh?! Kakang...."

Pandan Wangi jadi tersentak kaget bercampur gembira, begitu tiba-tiba saja terdengar suara yang sangat dikenalnya. Dan belum lagi rasa terkejutnya lenyap, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat sekali. Dan tahu-tahu, di depan gadis itu sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu berdiri tegak, menghadapi si bocah ajaib ini. Dan pada saat itu, dari ujung jalan terlihat Kelana berlari-lari menghampiri. Putra kepala desa itu langsung menghampiri Pandan Wangi, dan berdiri di sebelahnya dengan napas memburu.

"Huh! Rupanya malam ini aku terpaksa harus mengunyah jantung lebih dari satu...!" dengus Kunjang, begitu melihat kedatangan Pendekar Rajawali Sakti yang disusul Kelana.

Rangga tidak menghiraukan ucapan Kunjang. Kepalanya berpaling ke belakang, menatap Pandan Wangi dan Kelana yang berada tepat di belakangnya. "Menyingkirlah kalian yang jauh. Aku akan hadapi dia," kata Rangga meminta.

Pandan Wangi yang sudah tahu benar watak Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tangan Kelana, dan mengajaknya menjauhi tempat ini. Dan Rangga pun kembali memusatkan perhatian pada bocah laki-laki yang tangguh dan digdaya karena cincin pusaka kehidupan Istana Goa Naga.

"Berikan cincin itu padaku, Kunjang. Kau tidak berhak memilikinya. Ada yang lebih berhak dan membutuhkannya dari padamu," kata Rangga, mencoba menghindari kekerasan.

Kunjang hanya diam saja memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata tajam. Dan tiba-tiba saja, terdengar suara mendesis mirip suara ular dari belahan bibirnya yang terkatup rapat. Kemudian...

"Yeaaah...!"

"Hap!" Cepat sekali Kunjang melompat menerjang Rangga. Kedua tangan menjulur ke depan, dan jari-jari tangannya terkembang lebar seperti cakar burung elang. Sedangkan Rangga sepertinya tidak ada lagi kesempatan untuk menghindari. Terpaksa disambutnya serangan itu dengan menghentakkan kedua tangan ke depan, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sempurna. Dan....

Jder!

"Akh...!"

"Ugkh...!"

Kunjang terpental balik ke belakang sambil memekik agak tertahan. Sedangkan Rangga mengeluh sedikit, ketika terdorong kebelakang dua langkah. Tampak bocah laki-laki itu bergulingan beberapa kali di tanah, tapi dengan gerakan cepat sekali bisa bangkit berdiri. Dan bocah itu kembali bersiap hendak menyerang.

"Kau..., kau mampu menghadang seranganku...," terdengar bergetar suara Kunjang.

"Hm...." Rangga hanya menggumam saja sedikit. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerahkan tenaga dalam yang dipelajarinya dari Satria Naga Emas, sudah barang tentu tidak bisa menghadapi serangan bocah ini. Dan Rangga memang sudah tahu. Bocah ini memang harus dihadapi dengan ilmu yang juga berasal dari satu sumber. Semua kekuatannya yang berasal dari Cincin Pusaka Istana Goa Naga itu memang tidak bisa dihadapi dengan ilmu-ilmu biasa, tapi harus dilawan dengan ilmu sejenis.

"Hiyaaat..!" Kunjang kembali melompat menyerang dengan pengerahan seluruh kekuatan yang dimiliki. Sementara Rangga sudah siap menghadapinya. Dan begitu tangan kanan bocah itu mengibas ke arah kepala, manis sekali Rangga mengegoskan sedikit. Maka serangan bocah kecil itu berhasil dihindari. Dan pada saat itu juga, Rangga mengibaskan tangan kanannya, menggunakan jurus 'Ekor Naga Mengibas Gunung'.

"Yeaaah...!"

Bet!

Begitu cepat serangan balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Kunjang yang memang sama sekali belum berpengalaman dalam bertarung tidak dapat lagi mengetahui arah serangan Rangga. Dan....

Diegkh!

"Akh...!" Kunjang jadi memekik keras, begitu dadanya terkena kibasan tangan Rangga yang begitu cepat dan keras ini. Tubuh bocah kecil itu langsung kembali terpental ke belakang deras sekali. Dan pada saat itu juga, Rangga melompat cepat bagai kilat mengejarnya. Lalu....

"Yeaaah....!"
Wut!
Tap!

"Aaakh...!" Kembali Kunjang memekik, begitu tangan kanannya tersambar tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga bisa menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah mencopot cincin berbentuk ular yang dikenakan di jari manis tangan kanan bocah itu.

Cepat Rangga menyentakkan tubuh bocah kecil itu, lalu melesat berputar ke belakang beberapa kali. Sementara, Kunjang terus meluncur deras tanpa dapat terbendung lagi, sambil mengeluarkan jeritan panjang melengking tinggi. Dan bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Rangga di tanah, tubuh bocah itu jatuh menghantam sebatang pohon yang sangat besar.

Brak!

"Akh...!" Kembali terdengar jeritan keras yang agak tertahan, ketika punggung bocah itu menghantam pohon. Tampak Kunjang terjatuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Aneh...! Bocah itu tidak dapat bangkit berdiri lagi. Bahkan tidak bergerak-gerak lagi sedikit pun juga.

Sementara, Pandan Wangi dan Kelana yang menyaksikan semua itu jadi terlongong bengong tidak mengerti. Sedangkan Rangga hanya diam, berdiri tegak memandangi tubuh bocah kecil yang sudah tidak bergerak-gerak lagi. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri. Dan Pandan Wangi juga bergerak mendekati.

Rangga langsung memeriksa bocah kecil itu. Keningnya jadi berkerut, melihat bocah itu sudah tidak bernyawa lagi. Dirasakan kalau seluruh tulang di tubuh bocah itu remuk berpatahan. Mungkin akibat membentur pohon yang besar itu tadi. Sedangkan cincin yang membuatnya jadi tangguh, sudah tidak melingkar lagi di jari manisnya. Cincin itu kini berada di dalam genggaman tangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kembali bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang.

"Dia mati, Kakang...?" tanya Pandan Wangi, setelah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti

"Ya...," sahut Rangga sambil menghembuskan napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti menatap Kelana beberapa saat.

"Kau beri tahu ayahmu. Katakan semua sudah selesai. Desa ini kembali tenang," ujar Rangga.

"Baik... Baik, Kakang," sahut Kelana agak tergagap. Bergegas Kelana berlari meninggalkan pendekar-pendekar muda itu.

"Ayo, Pandan. Kita ke Goa Naga mengantarkan cincin ini," ajak Rangga.

"Kenapa tidak besok saja, Kakang...?" usul Pandan Wangi.

"Cincin ini sangat diperlukan di sana. Aku tidak ingin menundanya lebih lama lagi. Aku khawatir, rakyat Naga Prata sudah sampai ke permukaan dan mengganas di sini," kata Rangga beralasan.

Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Dan kakinya terus terayun mengikuti Rangga yang sudah melangkah lebih dulu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Terpaksa Pandan Wangi juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh, untuk mengimbangi Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang! Kau mudah sekali mengalahkannya. Sedangkan aku tadi hampir tadak sanggup menghadapinya. Ilmu apa yang kau gunakan tadi, Kakang? Rasanya baru kulihat..," ujar Pandan Wangi mengutarakan ketidakmengertiannya.

"Itu ilmu yang diperoleh dari Satria Naga Emas. Memang selama ini tidak pernah kugunakan. Aku hanya menggunakannya pada lawan-lawan yang menggunakan ilmu-ilmu ular saja. Ilmu Satri Naga Emas memang tidak ada yang bisa menandingi. Karena sumbernya adalah dari ilmu segala ilmu ular yang ada di dunia ini," Rangga menjelaskan singkat.

"O.... Pantas saja Kunjang tidak bisa menghadapimu," desah Pandan Wangi kagum.

"Kalau saja dia bukan anak kecil dan sudah berpengalaman dalam bertarung, tentu aku juga akan mendapat kesulitan menghadapinya, Pandan. Tapi dia sama sekali tidak berpengalaman. Dan aku bisa mudah memperdayanya. Lagi pula, kekuatan yang ada dalam dirinya belum lagi terolah sempurna, hingga tidak bisa mengerahkan kekuatan cincin ini sepenuhnya," jelas Rangga lagi.

"Aku baru mengerti sekarang. Kenapa Naga Patra memilihmu, Kakang," ujar Pandan Wangi dengan kepala terangguk.

Rangga hanya tersenyum saja. Bisa mengerti, kenapa Pandan Wangi mengajukan pertanyaan seperti itu. Memang selama mereka sama-sama mengembara. Dan baru kali ini Rangga menggunakan ilmu yang diperolehnya dari Satri Naga Emas. Sudah barang tentu Pandan Wangi jadi bertanya-tanya tadi, karena Pandan Wangi baru melihatnya kali ini.

"Kakang! Kau mau mengajariku sedikit saja ilmu itu padaku...?" pinta Pandan Wangi langsung

"Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Pandan. Nanti aku tanyakan dulu pada Satria Naga Emas," sahut Rangga.

"Tapi, waktu kau ajarkan aku pengolahan tenaga dan pernapasan Rajawali, kau juga tidak main izin dulu pada Rajawali Putih," kata Pandan Wangi.

"Itu karena Rajawali Putih sudah mengenalmu, Pandan. Dan lagi, Rajawali Putih tidak keberatan. Karena, kau selamanya akan menjadi pendampingku," sahut Rangga setengah bergurau.

"Ah, Kakang...," bersemu merah wajah Pandan Wangi

Rangga hanya tersenyum saja.

"Kakang! Kapan kau akan meminta izin pada Satria Naga Emas?" tanya Pandan Wangi.

"Kalau kau bersedia, setelah mengantarkan cincin ini ke Istana Goa Naga, aku bisa membawamu sekalian ke sana. Biar kau sendiri bisa memperolehnya langsung dari Satria Naga Emas," sahut Rangga.

"Sungguh...?"

Rangga hanya mengangguk saja. Dan Pandan Wangi pun jadi senang bukan main, karena bisa memperoleh tambahan ilmu lagi dari Satria Naga Emas nanti. Dan itu akan membuat diri gadis itu semakin sulit dicari tandingannya. Dengan apa yang sudah dimilikinya sekarang ini saja, sudah sulit bagi lawan untuk menjatuhkan gadis ini. Apa lagi, kalau ditambah ilmu-ilmu Satria Naga Emas...?

Pandan Wangi memang tidak bisa membayangkan. Dan dia memang berharap, paling tidak kepandaian yang dimiliki tidak terpaut jauh dengan Rangga. Paling tidak dia bisa mewakili Pendekar Rajawali Sakti dalam menumpas segala macam bentuk kejahatan di muka bumi ini.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: PULAU KEMATIAN