Rahasia Dara Iblis - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

RAHASIA DARA IBLIS


SATU
MALAM sudah begitu larut menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu. Seluruh jalan di kota kadipaten itu kelihatan sunyi senyap, tanpa terlihat seorang pun berkeliaran di sepanjang jalan tanah berdebu ini. Angin bertiup cukup kencang, menyebarkan udara dingin dan debu di sepanjang jalan.

Di malam yang sunyi ini, terlihat seseorang tengah berjalan perlahan-lahan memasuki Kota Kadipaten Galumbu. Dari bentuk tubuhnya yang ramping dan berkulit putih halus terbungkus pakaian ketat berwarna hitam, jelas kalau orang itu adalah wanita. Dia tampak terus berjalan memasuki kota kadipaten ini, seakan tidak mempedulikan kesunyian dan hembusan angin yang begitu dingin menusuk tulang.

Dari raut wajahnya yang cantik, kelihatan kalau usianya masih muda. Paling-paling baru sekitar dua puluh satu tahun. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam, tanpa berkedip memandang lurus ke ujung jalan yang dilaluinya. Sebilah pedang yang ujung gagangnya berbentuk sebuah bintang berwarna kuning keemasan, tersampir di punggungnya. Meskipun ayunan langkahnya lambat-lambat, tapi sangat ringan hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun juga. Dari sini bisa diduga kalau gadis itu bukan orang sembarangan dan pasti memiliki kepandaian tinggi.

"Hm...."

Sedikit gadis itu menggumam, ketika di ujung jalan di depan terlihat dua orang laki-laki berjalan ke arahnya. Maka ayunan kakinya dihentikan sebentar, kemudian kembali berjalan dengan sikap sangat tenang. Sementara dua orang laki-laki yang berjalan ke arahnya semakin dekat saja, sehingga mereka bertemu tepat di tengah jalan.

"Malam-malam begini mau ke mana, Nyi?" tegur salah seorang pemuda itu.

"Hm...."

Tapi pertanyaan itu hanya dijawab dengan gumaman saja oleh wanita itu.

"Terlalu berbahaya jalan malam-malam begini, Nyi," kata pemuda satunya lagi.

"Hm."

Lagi-lagi gadis itu hanya menggumam sedikit saja. Sementara, dua pemuda ini saling melirik dan memberi senyum. Memang bentuk tubuh dan wajah gadis ini bisa mengundang hasrat kaum lelaki.

"Boleh kuantar, Nyi...?" salah seorang pemuda itu menawarkan jasa dengan senyuman tersungging di bibir.

"Minggirlah. Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan darah tikus jelek macam kalian!" tiba-tiba saja gadis cantik berbaju hitam itu mendengus dingin.

"Heh...?!"

Tentu saja dengusan bernada kasar itu membuat kedua pemuda ini jadi tersentak kaget. Tapi tidak lama kemudian, kedua pemuda itu jadi tertawa terbahak-bahak. Sedangkan gadis berbaju hitam ini hanya diam saja. Namun sorot matanya tertuju lurus ke depan, seakan tidak mempedulikan tawa kedua pemuda di depannya.

"Jangan terlalu galak begitu. Kami berdua ini orang baik-baik. Tidak ada maksud kotor di dalam hati kami, Nyi. Kecuali, kalau kau memang menginginkannya. He he he...."

"Ha ha ha...!"

"Hhh!... Mau ke mana, Nyi? Boleh kami antar pulang...?"

"Kalian sudah mulai memuakkan."

"He he he.... Jangan galak-galak, Nyi. Kau tambah cantik kalau galak begitu."

"Baiklah. Apa yang kalian inginkan...?"

"Ha ha ha...!"

Kedua pemuda itu jadi terbahak-bahak. Namun belum juga tawa mereka terhenti, mendadak saja....

"Hih!"
Sret! Bet!

Begitu cepat gadis berbaju hitam ini bergerak mencabut pedangnya, dan langsung dibabatkan ke arah dada kedua pemuda di depannya.

Wuk!
"Akh!"
"Aaa...!"

Tahu-tahu kedua pemuda itu sudah ambruk menggelepar di tengah jalan, dengan dada terbelah lebar mengeluarkan darah segar. Sementara dengan gerakan manis sekali, gadis cantik berbaju hitam itu memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung.

"Hhh! Phuih!"

Sambil menyemburkan ludahnya, gadis itu langsung saja melangkah pergi. Ditinggalkannya kedua orang pemuda yang masih menggelepar, meregang nyawa di tengah jalan ini. Tapi tidak berapa lama kemudian, kedua pemuda itu sudah mengejang, lalu kaku tidak bergerak-gerak lagi. Sementara, gadis berbaju hitam itu sudah lenyap tertelan gelapnya malam.

Jeritan melengking dari kedua pemuda itu rupanya membuat penduduk Kota Kadipaten Ga-lumbu jadi terbangun dari buaian mimpi. Terlebih lagi, yang rumahnya dekat jalan itu. Dan sebentar saja, sudah banyak pelita yang menyala. Lalu, disusul munculnya orang-orang dari dalam rumah. Mereka jadi tersentak kaget, begitu mendapati dua orang pemuda sudah tergeletak tak bernyawa di tengah jalan dengan dada terbelah mengeluarkan darah. Malam itu juga, seluruh penduduk di Kota Kadipaten Galumbu jadi gempar.

Tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi. Sementara gadis berbaju hitam tadi sudah lenyap tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Malam yang semula terasa sunyi dan dingin, kini jadi hangat oleh semakin bertambah banyaknya orang yang memadati jalan ini. Mereka ingin melihat dua sosok mayat yang menggeletak di tengah jalaa Namun, tidak ada seorang pun yang berusaha mendekati dan memindahkan kedua pemuda malang itu.

Mayat kedua pemuda itu baru diangkat, setelah muncul sepuluh orang prajurit kadipaten. Prajurit-prajurit itu segera menanyakan apa yang terjadi, tapi tidak seorang pun yang tahu. Mau tak mau mereka hanya bisa mengurus mayat kedua pemuda itu. Dan malam pun terus merayap semakin larut Kejadian malam ini membuat semua orang jadi bertanya-tanya, tapi memang sulit menemukan jawabannya.

Kematian dua orang anak muda semalam, bukan hanya menjadi buah bibir penduduk Kota Kadipaten Galumbu. Tapi juga sudah sampai terdengar telinga Adipati Gadasewu, orang yang berkuasa di Kadipaten Galumbu ini. Entah kenapa, sikap Adipati Gadasewu jadi berubah setelah mendengar kematian dua orang pemuda semalam. Dan ini tentu saja membuat Ki Jalaksena, orang yang paling dekat dengannya merasa keheranan. Sejak mendengar kabar itu tadi pagi, Adipati Gadasewu terus menyendiri dan merenung di taman belakang istana kadipatenan.

"Gusti Adipati...."
"Oh... kau, Ki Jalaksena. Ada apa...?"

Adipati Gadasewu agak terperanjat begitu Ki Jalaksena menegurnya, saat sedang duduk menyendiri di dalam taman belakang istana kadipatenan ini. Ki Jalaksena segera memberi sembah, kemudian mengambil tempat di depan adipati yang berusia muda ini.

"Maaf, Gusti. Hamba datang menghadap tanpa diminta," ujar Ki Jalaksena sambil memberi sembah hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

Adipati Gadasewu hanya tersenyum saja. Meskipun usianya jauh lebih muda, tapi kedudukannya memang jauh lebih tinggi daripada laki-laki tua ini. Dan sudah barang tentu, pangkat tidak melihat perbedaan usia. Kini, Adipati Gadasewu bangkit berdiri dan melangkah ke balik kursi panjang yang tadi didudukinya. Sedangkan Ki Jalaksena tetap duduk bersimpuh di atas rerumputan taman ini. Begitu hormat sikapnya. Bahkan kepalanya sedikit pun tidak diangkat, menekun rerumputan di depannya.

"Ada yang hendak kau bicarakan denganku, Ki?" tanya Adipati Gadasewu langsung menebak

"Jika Gusti Adipati tidak marah."
"Apa yang harus kumarahi...?"
"Maaf, Gusti."

"Katakan saja, Ki. Apa yang ingin kau bicarakan denganku."

Ki Jalaksena tidak langsung mengutarakannya, dan terdiam beberapa saat. Sementara, Adipati Gadasewu hanya menunggu dan memandangi dengan sabar. Perlahan Ki Jalaksena mengangkat kepalanya. Segera diberikannya sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, seakan meminta izin untuk mengutarakan apa yang terkandung dalam hatinya saat ini.

"Maaf, Gusti. Sejak peristiwa semalam, hamba melihat sikap Gusti jadi lain. Sejak pagi tadi, Gusti selalu menyendiri di dalam taman ini. Maaf atas kelancangan hamba memperhatikan Gusti," ucap Ki Jalaksena dengan sikap sangat hormat. Lalu kembali diberikannya sembah hormat.

Namun kata-kata yang diucapkan Ki Jalaksena tidak membuat adipati muda ini jadi tersinggung. Bahkan jadi tersenyum. Lalu Adipati Gadasewu duduk kembali di kursi panjang yang terbuat dari kayu ini. Dipandanginya laki-laki tua berjubah putih yang duduk bersimpuh di depannya. Sebentar ditariknya napas dalam-dalam.

"Aku memang memikirkan kejadian semalam, Ki. Terus terang, seakan-akan peristiwa malam tadi memberi suatu tanda padaku, kalau kadipaten ini tidak lama lagi akan menghadapi suatu persoalan yang tidak bisa dipandang ringan," jelas Adipati Gadasewu pelan, disertai tarikan napasnya yang dalam.

"Firasat apa, Gusti?" tanya Ki Jalaksena.

"Entahlah, Ki. Sepertinya kejadian semalam merupakan awal peristiwa berdarah berikutnya," sahut Adipati Gadasewu, agak mendesah suaranya.

"Gusti! Sebaiknya hal itu tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Mungkin hanya pembunuhan biasa saja. Antara anak-anak muda," hibur Ki Jalaksena berusaha menenangkan pikiran adipati muda ini.

"Mungkin, Ki. Tapi...."
"Tapi kenapa, Gusti?"

"Hatiku jadi tidak enak, Ki. Aku sendiri tidak tahu, seakan-akan peristiwa semalam terjadi begitu dekat di depan mataku."

"Ah! Sudahlah, Gusti. Hamba rasa itu hanya perasaan Gusti sendiri."

"Hhh...!"

Beberapa saat mereka terdiam.

"Gusti, kedatangan hamba ke sini sebenarnya ingin mengabarkan, kalau Gusti Adipati ditunggu seseorang," jelas Ki Jalaksena lagi.

"Siapa, Ki?"

"Dia tidak mau menyebutkan namanya, Gusti. Katanya, ingin langsung bertemu Gusti Adipati sendiri. Dan hamba tadi memintanya menunggu dipendopo depan."

"Hm.... Apakah dia penduduk kadipaten ini?"

"Melihat dari pakaiannya, seperti bukan. Dan dia membawa pedang, Gusti."

"Orang persilatan..?"
"Mungkin."

"Baiklah, Ki Aku akan menemuinya. Suruh dia menunggu di bangsal agung."

"Baik, Gusti."

Setelah memberi sembah hormat, Ki Jalaksena bergegas meninggalkan adipati muda itu. Beberapa saat Adipati Gadasewu masih duduk merenung dalam taman ini. Dan baru setelah Ki Jalaksena tidak tidak terlihat lagi, taman belakang istana kadipatenan yang sangat megah ini ditinggalkannya.

Kadipaten Galumbu ini memang sangat besar, sehingga tidak heran kalau istana kadipatennya juga megah. Bahkan seperti bangunan istana kerajaan saja. Kadipaten Galumbu juga memiliki prajurit yang cukup banyak, hingga hampir di setiap_sudut selalu terlihat para prajurit berjaga-jaga.

Adipati Gadasewu yang masih berusia sekitar tiga puluh tahun itu duduk dengan agungnya di kursi berwarna kuning keemasan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, memandangi seorang laki-laki berusa sekitar dua puluh lima tahun yang duduk bersimpuh di lantai, sekitar sepuluh langkah di depannya. Di belakangnya terlihat Ki Jalaksena duduk bersimpuh mendampingi. Sementara sekitar sepuluh orang prajurit bersenjatakan tombak, terlihat berjaga-jaga di sekitar ruangan yang berukuran cukup luas dan megah ini

"Kisanak. Rasanya, aku belum pernah melihatmu. Ada keperluan apa hingga kau ingin bertemu denganku?" terdengar lembut dan ramah sekali suara Adipati Gadasewu.

"Maaf, Gusti Adipati. Hamba adalah utusan dari puncak Gunung Halimun," sahut laki-laki muda bertubuh kekar, terbungkus baju dari bahan sederhana berwarna biru. Sikapnya juga hormat sekali.

"Hm... Siapa namamu, Kisanak?" tanya Adipati Gadasewu lagi dengan kening berkerut

"Nama hamba Rondokulun, Gusti Adipati."
"Lalu, siapa yang mengutusmu?"
"Guru hamba. Eyang Gajah Sakti."

Kening Adipati Gadasewu jadi berkerut. Dipandanginya laki-laki bertubuh kekar yang mengaku bernama Rondokulun, utusan Eyang Gajah Sakti yang bermukim di puncak Gunung Halimun ini. Tapi beberapa saat kemudian, pandangannya beralih pada Ki Jalaksena.

"Ki Jalaksena...."
"Hamba, Gusti Adipati."
"Tinggalkan aku berdua saja dengannya. Juga kalian semua, Prajurit."

"Tapi Gusti...."

"Tdak apa-apa, Ki. Aku kenal betul Eyang Gajah Sakti. Dan sebagai utusannya, tentu dia membawa kabar penting yang hanya aku sendiri yang boleh mengetahuinya," kata Adipati Gadasewu memutuskan ucapan Ki Jalaksena.

"Baik, Gusti. Hamba akan tetap berjaga-jaga di depan pintu," ujar Ki Jalaksena tidak bisa lagi membantah.

Ki Jalaksena memberi sembah hormat, lalu bangkit berdiri. Kemudian kakinya melangkah ke luar dari ruangan ini, diikuti para prajurit yang memang tadi diperintahkan untuk berjaga-jaga. Setelah Ki Jalaksena tidak terlihat lagi di balik pintu, Adipati Gadasewu bangkit dari kursinya. Dihampirinya Rondokulun yang masih tetap duduk bersimpuh di lantai beralaskan permadani berbulu tebal

"Rondokulun, bangunlah...," ujar Adipati Gadasewu meminta.

"Hamba, Gusti Adipati."

Setelah memberi sembah, Rondokulun bangkit berdiri. Tapi sikapnya masih tetap hormat, tanpa sedikit pun berani mengangkat kepalanya. Sedangkan Adipati Gadasewu merayapinya beberapa saat dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

"Kau datang ke sini diutus Eyang Gajah Sakti. Kalau demikian, pasti ada kabar yang sangat penting, hingga kau ingin bertemu langsung denganku," kata Adipati Gadasewu.

"Benar, Gusti Adipati. Hamba membawa kabar yang sangat penting dari Eyang Gajah Sakti," sahut Rondokulun.

"Hm, katakan kabar apa yang kau bawa."

"Gusti, sebenarnya Eyang Gajah Sakti sudah tiada...," pelan sekali suara Rondokulun.

"Apa...?!"

"Pesan yang hamba bawa, diucapkan pada saat terakhir."

Adipati Gadasewu hanya diam saja, seperti tidak mendengarkan. Memang, hatinya tadi begitu terkejut saat mendengar Eyang Gajah Sakti yang dikenal sebagai pertapa di puncak Gunung Halimun sudah tiada. Sungguh suatu kabar yang tidak diinginkan.

"Gusti...."

"Oh...?!" Adipati Gadasewu tersentak. Buru-buru sikapnya diperbaiki.

"Hm, Rondokulun. Bagaimana meninggalnya Eyang Gajah Sakti?" tanya Adipati Gadasewu.

"Hamba sendiri tidak tahu apa yang terjadi, Gusti. Saat itu, hamba sedang mencari kayu bakar. Tapi belum juga terkumpul, terdengar jeritan yang datangnya dari arah pertapaan. Hamba langsung kembali, dan mendapatkan Eyang Gajah Sakti sudah terkapar berlumuran darah."

"Jadi Eyang Gajah Sakti dibunuh orang?"

"Benar, Gusti. Sayangnya, hamba tidak tahu pembunuhnya. Tapi Eyang Gajah Sakti sempat menitipkan pesan padaku agar disampaikan pada Gusti Adipati Gadasewu di Kadipaten Galumbu ini"

"Apa pesannya?"

"Eyang Gajah Sakti meminta agar Gusti Adipati berhati-hati. Seseorang akan mencari dan membunuh Gusti. Tapi bukan hanya itu saja. Karena yang paling penting, Eyang Gajah Sakti juga berpesan agar Gusti Adipati menjaga satu-satunya barang yang dititipkannya."

"Hm...."

"Maaf, Gusti. Eyang Gajah Sakti sudah satu pekan meninggal. Dan hamba baru sempat datang hari ini, karena harus mengurus pertapaan dulu," ucap Rondokulun.

"Itu lebih baik, Rondokulun Daripada tidak sama sekali."

"Gusti, hamba sudah melaksanakan amanat Eyang Gajah Sakti. Sekarang, hamba mohon diri," ujar Rondokulun berpamitan.

"Kau ingin ke mana, Rondokulun?"

"Hamba akan pergi mengembara, Gusti. Karena hamba sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Sedangkan untuk kembali ke pertapaan, sudah tidak mungkin lagi. Dan yang penting, hamba sudah melaksanakan pesan Eyang Gajah Sakti untuk membakar habis pertapaan," sahut Rondokulun.

"Sebaiknya kau jangan pergi, Rondokulun. Tinggallah di sini. Paling tidak, untuk beberapa hari. Masih banyak yang ingin kuketahui tentang Eyang Gajah Sakti selama aku tidak lagi tinggal di sana," kata Adipati Gadasewu meminta.

"Tapi, Gusti...."
"Kau ada keperluan lain?"
Rondokulun menggeleng.

"Nah! Kalau begitu, tinggalan di sini barang beberapa hari. Aku pasti akan membutuhkanmu di sini. Paling tidak, untuk menghadapi pembunuh Eyang Gajah Sakti. Rondokulun! Kau murid Eyang Gajah Sakti. Dan aku juga muridnya, walaupun ketika aku di sana, kau belum ada. Dan aku yakin, kepandaianmu cukup tinggi. Maka kuingin kau membantuku membekuk pembunuh guru kita," kata Adipati Gadasewu.

"Oh! Jadi..., Gusti Adipati...."

"Kau terkejut kalau kita saudara seperguruan, Rondokulun..?"

"Dewata Yang Agung.... Tidak kusangka kalau Gusti Adipati juga murid Eyang Gajah Sakti."

Adipati Gadasewu tersenyum. Ditepuknya pundak Rondokulun dengan lembut Memang untuk meminta Rondokulun tinggal di istana kadipatenan ini dalam beberapa hari, Adipati Gadasewu terpaksa harus mengatakan keadaan sebenarnya kalau dirinya juga murid Eyang Gajah Sakti. Padahal dia menjadi murid pertapa tua itu hanya tiga tahun saja, karena harus kembali lagi ke kadipaten ini, saat usianya baru lima belas tahun. Dan dia tidak tahu kalau Eyang Gajah Sakti mengambil murid lain Makanya kini mereka bertemu dalam suasana yang tidak terduga sama sekali.

"Mari, Rondokulun Aku akan menjamu kau di sini. Jangan sungkan-sungkan. Aku adalah saudaramu. Dan kau boleh tinggal di kadipatenan ini selama kau suka," ujar Adipati Gadasewu.

"Terima kasih, Gusti Adipati. Memang, sebenarnya hamba sendiri belum ada tujuan yang pasti. Kalau memang Gusti Adipati menghendaki, hamba akan mengabdikan diri di sini," sambut Rondokulun gembira.

"Ha ha ha...! Kau saudaraku, Rondokulun. Kau akan selalu bersamaku, ke mana saja aku pergi."

"Hamba, Gusti Adipati."

"Ayo, kita pindah ke ruangan lain. Aku akan perintahkan emban untuk menyiapkan kamarmu, selama kau belum punya tempat tinggal sendiri."

'Terima kasih, Gusti Adipati."

"Jangan panggil aku seperti itu, Rondokulun. Panggil saja aku kakang."

"Tapi...."

"Kau keberatan...? Baiklah. Kau boleh memanggilku begitu di depan orang lain. Tapi kalau hanya berdua saja, aku tidak ingin kau menyebut gusti padaku. Paham...?"

Rondokulun hanya bisa mengangguk saja. Tidak mungkin lagi keinginan orang yang paling berkuasa di Kadipaten Galumbu ini ditolaknya. Dan mereka pun pindah ke ruangan lain. Sikap Adipati Gadasewu begitu akrab, seakan-akan memang baru bertemu saudaranya yang telah berpisah puluhan tahun lamanya.

DUA

Kedatangan Rondokulun memang membuat sikap Adipati Gadasewu berubah. Seakan-akan peristiwa semalam yang menewaskan dua orang pemuda penduduk Kadipaten Galumbu sudah dilupakannya. Tentu saja perubahan itu sangat menarik perhatian Ki Jalaksena. Laki-laki setengah baya itu memang tidak tahu. Tapi mengingat yang datang adalah utusan Eyang Gajah Sakti, seorang pertapa di puncak Gunung Halimun, Ki Jalaksena tidak lagi mencurigai kehadiran Rondokulun. Terlebih lagi, setelah Adipati Gadasewu mengatakan kalau Rondokulun saudaranya. Sehingga, pemuda itu kini diterima dengan baik di kadipatenan ini. Bahkan dilayani sebagaimana layaknya anggota keluarga adipati.

Namun setelah malam datang, Adipati Gadasewu jadi kelihatan gelisah di dalam kamarnya. Entah sudah berapa kali mondar-mondar memutari kamarnya yang luas dan indah ini. Sesekali dia berdiri di jendela, dan memandangi bulan yang malam ini bersinar penuh. Sementara malam terus merayap semakin larut, tapi sedikit pun Adipati Gadasewu belum bisa memicingkan matanya. Dari raut wajah dan sinar matanya, dia kelihatan begitu gelisah.

"Aku tidak yakin kalau dia yang membunuh Eyang Gajah Sakti. Hm.... Bagaimana mungkin Eyang Gaja Sakti bisa dikalahkannya...?" gumam Adipati Gadasewu, bicara sendiri.

Kembali adipati itu melangkah menghampiri jendela. Dan baru saja berdiri di sana memandangi bulan, mendadak....

Wusss!
"Heh...?! Ups!"

Cepat-cepat Adipati Gadasewu menarik tubuhnya ke kanan, begitu tiba-tiba terlihat secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat menerobos masuk melalui jendela. Cahaya kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Adipati Gadasewu yang miring ke kiri, dan langsung menghantam dinding kamar ini.

"Hup!"

Seperti seekor kancil, Adipati Gadasewu melompat ke luar kamarnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah berumput yang mulai dibasahi embun.

"Hm.... Hup!"

Sekilas Adipati Gadasewu melihat sebuah bayangan berkelebat di atas atap bangunan istana kadipaten ini. Maka tanpa berpikir panjang lagi, tubuhnya langsung melesat naik ke atas atap. Hanya sekali saja tubuhnya berputar, lalu manis sekali kakinya menjejak atas atap. Namun saat itu bayangan hitam tadi terlihat lagi, tengah meluruk turun melewati tembok bagian belakang yang cukup tinggi ini.

"Hup!"

Adipati Gadasewu jadi penasaran. Cepat tubuhnya melesat mengejar bayangan hitam itu. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekati lesatan saja, adipati berusia muda itu sudah berada di luar tembok pagar batu yang mengelilingi bangunan istana kadipaten ini.

"Hap!"

Ringan sekali Adipati Gadasewu menjejakkan kakinya di tanah. Sebentar matanya yang tajam beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya.

Srak!
"Hm...."

Adipati Gadasewu langsung berpaling ke kanan, begitu terdengar gesekan suara semak. Dan saat itu matanya melihat satu bayangan hitam melesat begitu cepat dari sebelah kanannya.

"Hup! Yeaaah...!"

Langsung saja Adipati Gadasewu melesat mengejar bayangan hitam itu. Dan bayangan hitam itu masih sempat terlihat berkelebat begitu cepat, melompati atap-atap rumah penduduk Gerakannya begitu indah dan ringan, sehingga sedikit pun Gadasewu terus mengamati ke mana saja arah gerakan bayangan hitam itu dengan mata tajam.

"Hup! Yeaaah...!"

Sambil berputaran di udara, Adipati Gadasewu melenting dari sebuah atap rumah, dan kembali menjejak tanah. Tapi saat itu juga tubuhnya terus melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah tinggi sekali. Sementara bayangan hitam itu seakan tidak bisa terkejar. Dan begitu sampai di sebuah perkebunan, bayangan hitam itu kembali lenyap. Maka Adipati Gadasewu seketika menghentikan larinya. Sambil berdiri tegak, padangannya beredar ke sekeliling. Begitu tajam sorot matanya, seakan hendak menembus gelapnya malam di tengah-tengah kebun ini. Dan ketika kepalanya bergerak ke kanan....

"Heh...?!"
Wut!
"Ups...!"

Hampir saja wajah Adipati Gadasewu yang tampan itu terbabat pedang berwarna kuning keemasan, kalau saja tidak cepat-cepat menarik kepalanya ke kanan. Dan mata pedang yang berkilatan kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan hidungnya.

"Hap!"

Cepat-cepat Adipati Gadasewu melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Dan kini di depannya sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Bajunya ketat berwarna hitam, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang berwarna kuning keemasan, tergenggam di depan dadanya. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus jantung adipati berusia muda ini.

Sementara Adipati Gadasewu sendiri memandanginya dengan kelopak mata agak berkerut. Rasanya, gadis ini belum pernah dikenalnya. Bahkan melihatnya pun baru kali ini. Tapi kenapa tiba-tiba saja menyerang...? Pertanyaan itu yang terus mengganggu benaknya.

"Nisanak, siapa kau? Dan, kenapa menyerangku?" tanya Adipati Gadasewu penasaran.

"Jangan banyak tanya, Gadasewu! Sebut saja leluhurmu sebelum kukirim ke neraka!" bentak gadis itu garang.

"Heh...?!"

Adipati Gadasewu jadi terperanjat setengah mati, hingga sampai terlonjak dua langkah ke belakang.

"Bersiaplah menerima kematianmu, Gadasewu! Hiyaaat...!"

"Eh, tung...."
Bet!
"Ups...!"

Kembali Adipati Gadasewu jadi terhenyak, begitu tiba-tiba saja gadis berbaju hitam ini sudah menyerangnya dengan kecepatan sangat luar biasa. Pedang emasnya berkelebat begitu cepat, menyodok ke arah dada. Namun dengan gerakan manis sekali, serangan itu berhasil dihindarinya. Kembali Adipati Gadasewu melompat ke belakang, berusaha menghindari pertarungan. Tapi gadis yang tidak dikenalnya ini malah terus menyerangnya dengan ganas.

"Hup! Yeaaah...!"

Adipati Gadasewu yang tidak ingin bertarung tanpa jelas alasannya, cepat-cepat melompat naik ke atas pohon. Tapi tanpa diduga sama sekali, gadis itu sudah melesat cepat mengejarnya sambil kembali membabatkan pedang emasnya yang mengarah tepat ke dada adipati muda ini

"Hiyaaa...!"
Wut!
"Haiiit...!"

Adipati Ganda sewu terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari serangan gadis ini. Lalu tubuhnya kembali meluruk turun, dan manis sekali kakinya menjejak tanah. Namun pada saat yang bersamaan, gadis berbaju hitam itu sudah melesat dan langsung menyerang dengan kecepatan kilat.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Berulang kali gadis itu membabatkan pedangnya, mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan. Namun Adipati Gadasewu memang bukan orang yang kosong. Dengan gerakan-gerakan indah dan liukan lentur, setiap serangan yang datang berhasil dihindarinya.

"Gila! Serangannya dahsyat sekali. Uh...!" keluh Adipati Gadasewu.

Dan memang, semakin jauh mereka bertarung, serangan-serangan gadis itu terasa semakin berbahaya saja. Gerakan-gerakan pedangnya begitu cepat luar biasa. Sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya kuning keemasan saja yang bergulung-gulung, mengurung setiap celah gerak adipati ini.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu mendapat kesempatan, Adipati Gadasewu langsung melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Serangan balasan ini rupanya membuat gadis itu jadi terhenyak juga. Buru-buru tubuhnya meliuk sambil membabatkan pedangnya menyilang di depan dada. Dan pada saat itu juga, Adipati Gadasewu melesat ke belakang sejauh satu batang tombak.

"Hap!"
Jleg!

Ringan sekali gerakannya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Dan kini, jarak antara mereka hanya berkisar satu batang tombak

"Huh, Pengecut! Kenapa terus menghindar, Gadasewu? Kau takut menghadapiku, heh...?!" dengus gadis itu sinis.

"Nisanak! Bukannya aku takut. Tapi aku tidak ingin bertarung tanpa alasan jelas," kata Adipati Gadasewu berusaha lembut.

"Jadi kau ingin alasan, heh...?!"
Adipati Gadasewu hanya diam saja.

"Baik... Dengar, Gadasewu. Aku akan membunuhmu dengan alasan yang jelas atau tidak. Dan yang pasti, kau harus mati di tanganku. Nah! Itu alasanku untuk mengirimmu ke neraka!" ancam gadis itu dingin.

Adipati Gadasewu hanya diam saja. Dia tahu, gadis ini tidak akan mungkin memberi alasan jelas dan benar. Tapi kalau pertarungan ini diteruskan, bukannya tidak mungkin salah seorang ada yang tewas. Dan ini yang tidak diinginkannya. Rasanya memang berat melenyapkan nyawa orang lain tanpa alasan pasti. Terlebih lagi, kalau orang itu tidak memiliki persoalan sedikit pun dengannya. Bahkan yang sudah jelas-jelas bersalah pun, masih bisa diberi ampun. Tapi gadis ini....

"Mampus kau, Gadasewu! Hih! Yeaaah...!"
Wuk!
"Eh...?!"

Adipati Gadasewu jadi terperangah setengah mati, begitu tiba-tiba saja gadis berbaju hitam ini menghentakkan tangan kirinya setelah menyarungkan pedangnya ke dalam warangka di punggung. Dan saat itu juga, beberapa buah benda berbentuk anting yang berwarna kuning keemasan, melesat secepat kilat ke arahnya.

"Hup!"

Cepat-cepat Adipati Gadasewu melenting ke udara, menghindari serangan gadis berbaju hitam itu. Tapi belum juga bisa menjejakkan kakinya kembali ke tanah, gadis berbaju hitam itu sudah kembali melancarkan serangan Kedua tangannya bergerak melontarkan anting-anting emas dengan kecepatan luar biasa sekali.

"Hup! Hiyaaa...!"

Adipati Gadasewu terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari anting-anting emas yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Sementara gadis berbaju hitam itu terus melontarkan senjata-senjatanya sambil bergerak cepat mengelilingi Adipati Gadasewu. Dan ini tentu saja membuat adipati berusia muda itu kelabakan. Anting-anting emas itu tampak datang dari segala arah, mengancam seluruh tubuhnya.

"Edan...! Hih!"
Cring!

Adipati Gadasewu jadi geram mendapat serangan yang begitu beruntun tanpa henti. Maka pedangnya cepat dicabut. Lalu bagaikan kilat pedangnya diputar untuk melindungi tubuhnya dari incaran anting-anting emas itu.

Tring! Trang...!

Entah berapa kati anting-anting emas itu ter-sampok pedang adipati ini. Tapi gadis berbaju hitam itu terus saja menyerang dengan kecepatan tinggi sekali. Sikapnya seakan-akan tidak peduli kalau serangannya tidak ada yang mendapatkan hasil. Sementara dengan pedang di tangan, Adipati Gadasewu tidak lagi kelihatan kelabakan. Pedangnya bergerak begitu cepat, sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya keperakan yang bergulung-gulung menyambar anting-anting emas yang terus berhamburan di sekitar tubuhnya.

"Huh! Alo juga adipati ini!" dengus gadis itu dalam hati, mengakui ketangguhan Adipati Gadasewu.

Meskipun mengakui dalam hati, tapi gadis itu tidak mau menyerah begitu saja. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat saja. Tidak berhasil dengan senjata anting emasnya, gadis itu menggunakan jurus-jurus silatnya yang dahsyat dan sesekali menggunakan ilmu kedigdayaan. Sementara, Adipati Gadasewu terus bertahan walaupun semakin terdesak saja.

Dan pada jurus-jurus selanjutnya, beberapa kali pukulan keras yang dilancarkan gadis itu sudah berhasil disarangkan ke tubuh Adipati Gadasewu. Darah sudah mulai mengalir dari sudut bibir adipati ini. Keadaannya semakin terdesak saja, dan sulit untuk balas menyerang. Entah sudah berapa kali pukulan keras bertenaga dalam tinggi bersarang di tubuhnya. Namun pada saat yang sangat tidak menguntungkan ini, mendadak saja....

"Menyingkirlah, Kakang Adipati...!"
Slap!
"Heh...?! Ups!"

Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Rondokulun muncul. Langsung diterjangnya gadis berbaju hitam ini. Kedatangan Rondokulun tentu saja membuat gadis itu jadi terkejut. Dan hampir saja satu pukulan yang sangat keras mendarat di wajahnya. Untung saja kepalannya segera ditarik ke belakang. Dan saat itu juga, Adipati Gadasewu melompat ke belakang. Tapi tubuhnya langsung terhuyung, begitu kakinya menjejak tanah.

"Hup!"

Sementara gadis berbaju serba hitam itu cepat-cepat melesat ke belakang sejauh dua batang tombak. Setelah beberapa kali berputaran di udara, kakinya menjejak tanah dengan mantap. Dan di depannya kini, berdiri Rondokulun yang merupakan murid Eyang Gajah Sakti di pertapaan puncaW Gunung Halimun

"Huh! Satu saat nanti, kau tidak akan lolos dariku, Gadasewu!" dengus gadis itu kesal.

Sebentar gadis itu menatap tajam Rondokulun. Dan....

"Kau juga akan mampus di tanganku!"

Setelah berkata demikian, gadis berbaju hitam yang tidak dikenal itu cepat bagai kilat melesat pergi. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Rondokulun masih tetap berdiri tegak memandang ke arah kepergian gadis itu. Dan badannya bergegas berbalik, begitu mendengar suara batuk dari belakangnya.

"Kakang Adipati...."

Rondokulun cepat-cepat menghampiri Adipati Gadasewu yang tampak kelihatan begitu parah keadaannya. Dia berdiri dengan bertumpu pada ujung pedang yang ditekan ke tanah. Darah di mulutnya terlihat menggumpal kental.

"Aku tidak apa-apa, Rondokulun. Untung kau cepat datang...," kata Adipati Gadasewu lirih.

"Kau terluka, Kakang," kata Rondokulun, bernada cemas.

Adipati Gadasewu berusaha tersenyum. Kakinya hendak melangkah, tapi tubuhnya jadi terhuyung. Bahkan hampir saja ambruk kalau Rondokulun tidak cepat-cepat menyangganya. "Bawa aku ke bawah pohon itu, Rondokulun," pinta Adipati Gadasewu.

"Baik, Kakang."

Rondokulun membawa Adipati Gadasewu ke bawah pohon yang diinginkannya. Kemudian, adipati itu duduk bersila di sana. Sementara, Rondokulun mengambil tempat tidak jauh di depannya. Terus dipandanginya adipati berusia muda yang tengah melakukan semadi untuk menyembuhkan luka-luka dalam yang dideritanya.

Dan malam pun terus merayap semakin larut Rondokulun masih setia menunggui Adipati Gadasewu bersemadi. Hatinya agak cemas juga, melihat darah terus mengucur dari mulut dan hidung. Tapi kecemasannya langsung sirna, begitu melihat kelopak mata Adipati Gadasewu terbuka. Dan darah yang keluar dari mulutnya juga tidak lagi berwarna kehitaman.

"Phuuuh...!"

Adipati Gadasewu menyemburkan darah yang menggumpal memenuhi rongga mulutnya, kemudian beberapa kali melakukan gerakan tangan. Dan akhirnya, kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada, dan perlahan-lahan turun hingga berada di atas lututnya.

Adipati Gadasewu tersenyum melihat Rondokulun masih tetap duduk bersila, tidak seberapa jauh di depannya. Dengan gerakan tangannya, dipanggilnya pemuda yang diakui sebagai saudara seperguruannya itu.

"Ada yang bisa kubantu, Kakang?" tanya Rondokulun setelah dekat.

"Rondokulun.... Kau tahu, siapa gadis itu tadi?" Adipati Gadasewu balik melontarkan pertanyaan.

"Tidak, Kakang. Baru kali ini aku melihatnya," sahut Rondokulun. "Kakang mengenalnya...?"

"Sayang.... Aku juga tidak sempat mengenalinya. Dan aku juga tidak tahu, apa maksudnya hendak membunuhku," pelan sekali suara Adipati Gadasewu.

"Kakang, mungkin gadis itu yang membunuh Eyang Gajah Sakti," tebak Rondokulun.

"Melihat dari kepandaiannya, rasanya kemungkinan itu memang ada. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Aku benar-benar dijadikan mainan olehnya."

Rondokulun jadi terdiam. Sementara Adipati Gadasewu juga tidak membuka suara lagi Dan untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja. Angin yang bertiup malam ini terasa semakin bertambah dingin. Perlahan Adipati Gadasewu mengangkat kepalanya, dan langsung menatap bola mata Rondokulun yang duduk bersila di depannya.

"Rondokulun, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya Adipati Gadasewu ingin tahu.

"Sebenarnya sejak Kakang keluar dari kamar, aku sudah membuntuti," sahut Rondokulun terus terang.

"Jadi kau tahu semua yang terjadi?" tanya Adipati Gadasewu lagi.

"Maaf, Kakang. Bukan maksudku untuk membuntuti. Aku hanya khawatir saja," ucap Rondokulun.

"Ah.... Kalau kau tidak ada, tentu besok pagi aku sudah ditemukan terbujur jadi mayat, Rondokulun. Terima kasih, kau sudah menyelamatkan nyawaku."

"Kakang, sebenarnya kau bisa mengalahkannya. Tapi Kakang terlalu memberi hati dan kesempatan lawan untuk melakukan serangan dan terus menekan. Aku kira, tidak akan berakhir seperti ini kalau Kakang sama sekali tidak memberi kesempatan. Maaf, Kakang. Bukannya aku menggurui. Tapi kulihat, Kakang tadi seperti mengalah padanya."

Adipati Gadasewu jadi tersenyum. Entah kenapa...? Mungkin kebenaran penilaian Rondokulun tadi diakuinya. Dia tadi memang terlalu memberi hati dan kesempatan pada lawannya. Akibatnya, jadi termakan sendiri. Gadis itu memanfaatkannya untuk terus menekan dengan serangan-serangannya yang gencar dan cepat. Tapi meski tidak diberi kesempatan pun, Adipati Gadasewu tidak yakin akan berhasil mengalahkannya. Sudah dirasakannya kalau tingkat kepandaian yang dimiliki gadis itu sangat tinggi. Paling tidak, berada beberapa tingkat di atas kepandaian yang dimilikinya

. "Ayo kita pulang, Rondokulun," ajak Adipati Gadasewu sambil bangkit berdiri.

Rondokulun cepat-cepat bangun, dan membantu adipati ini berdiri. Kemudian mereka berjalan bersama-sama, kembali ke istana kadipatenan. Tidak ada lagi yang dibicarakan dan terdiam membisu selama berjalan pulang. Kelihatannya, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang ada dalam kepala mereka. Bahkan beberapa kali terdengar hembusan napas Adipati Gadasewu yang panjang dan terasa begitu berat.

********************

TIGA

Kota Kadipaten Galumbu terasa tampak tenang. Tidak ada lagi yang membicarakan peristiwa pembunuhan dua anak muda beberapa malam yang lalu. Ketenangan ini begitu terasa, sehingga Adipati Gadasewu memusatkan penjagaan di sekitar istana kadipaten saja.

Siang ini udara di Kota Kadipaten Galumbu terasa begitu panas. Matahari bersinar terik, tanpa terhalang awan di langit sedikit pun. Seakan-akan sinarnya yang panas menyengat, hendak membakar seluruh permukaan bumi ini. Musim kering me-memang sudah mulai merambat wilayah Kadipaten Galumbu. Tidak heran kalau sungai-sungai sudah mulai kelihatan susut Dan debu semakin banyak bertebaran di sepanjang jalan.

Namun teriknya mentari, tidak menghalangi dua anak muda yang berjalan mengoyak tanah berdebu sambil menuntun kudanya. Keringat terlihat membasahi seluruh tubuh mereka, bercampur dengan debu yang mengepul tersapu angin di jalan tanah ini.

"Matahari sudah ada di atas kepala. Tapi belum juga menemukan sungai..," terdengar suara keluhan dari gadis berbaju biru muda yang berjalan sambil menuntun kuda putih.

Sedangkan pemuda yang berada di sebelah kanannya hanya melirik sedikit saja. Memang sudah setengah harian ini mereka berjalan, tapi belum satu sungai pun ditemukan. Padahal, bukan hanya mereka saja yang kepanasan, tapi kuda-kuda yang dituntun pun juga sudah mendengus-dengus kehausan. Sedangkan matahari siang ini bersinar begitu terik membuat kulit terasa terbakar.

"Kakang, kau dengar itu...?"

"Aku sudah mendengarnya sejak tadi."

"Ayo kita ke sana, Kakang. Kuda-kuda ini sudah kehausan sekali."

Kembali pemuda itu hanya tersenyum saja. Sedangkan gadis berwajah cantik berbaju biru sudah berjalan cepat, setengah berlari sambil menuntun kudanya, menuju suara air yang didengarnya.

Dan memang, setelah mereka melewati sebuah tikungan jalan ini, terlihat sebuah mata air yang mengalir dari sepotong bambu yang tertampung pada sebuah kolam berbatu. Dan kelihatannya, tempat ini begitu sunyi. Tidak ada seorang pun yang terlihat Padahal tidak jauh dari mata air ini terdapat Kota Kadipaten Galumbu.

"Pandan, tunggu...!"

Tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih yang berjalan belakangan berseru nyaring, begitu gadis yang berjalan bersamanya tadi sudah langsung akan terjun ke dalam kolam mata air ini Gadis itu jadi berhenti dan berpaling ke belakang.

"Tunggu dulu, Pandan. Aku periksa, barangkali saja air ini tidak bisa dipakai," kata pemuda itu setelah dekat.

"Kau terlalu curiga, Kakang."

"Lihat sekelilingmu, Pandan."

Gadis yang dipanggil Pandan itu segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia memang Pandan Wangi yang di kalangan rimba persilatan, dikenal sebagai si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu tidak lain adalah Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

Perlahan Pandan Wangi melangkah mundur sambil tetap memegangi tali kekang kudanya. Sementara, Rangga sudah melangkah menghampiri kolam mata air itu. Pendekar Rajawali Sakti berlutut di tepi kolam, lalu mencelupkan ujung jari tangannya ke dalam kolam. Tidak berapa lama kemudian, ujung jari telunjuknya sudah diangkat. Beberapa saat, dipandanginya jari telunjuk yang basah oleh air kolam ini.

"Beracun...?" tanya Pandan Wangi tidak sabar lagi.

"Tidak," sahut Rangga seraya tersenyum dan menggeleng.

Pandan Wangi juga tersenyum. Langsung dihampirinya kolam itu, lalu dibasuhnya wajah dan lengannya. Setelah tenggorokannya dibasahi air jernih ini, kudanya segera ditarik ke tepi kolam itu. Sementara Rangga sudah sejak tadi menyegarkan tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti kini duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang, untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari. Pandangannya tidak berhenti memperhatikan keadaan sekelilingnya. Kemudian, matanya terpaku pada Kota Kadipaten Galumbu yang perbatasannya sudah dilewati tadi.

"Sudah hilang lelahmu, Pandan?" tanya Rangga, tanpa sedikit pun memalingkan perhatiannya dari Kota Kadipaten Galumbu.

"Sebentar lagi," sahut Pandan Wangi terdengar malas suaranya.

Rangga sedikit melirik gadis itu. Dari sudut ekor matanya, Pandan Wangi terlihat tengah merebahkan tubuh tidak jauh dari kolam batu mata air itu. Sepertinya, dia juga tengah melindungi diri dari sengatan matahari di bawah pohon yang cukup rimbun daunnya. Periahan Rangga bangkit berdiri. Tubuhnya digerak-gerakkan sebentar untuk menghilangkan rasa pegal yang sejak tadi dirasakan.

"Ayo, Pandan. Kita bisa istirahat lagi nanti di sana," ajak Rangga lagi.

"Hhh...!"

Sambil mengeluh malas, Pandan Wangi bangun juga. Kemudian diambilnya kuda tunggangannya dan kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu dituntunnya kuda-kuda itu mendekati pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini

"Hup!"

Mereka berlompatan naik ke atas punggung kuda masing-masing. Dan sebentar kemudian, mereka sudah berpacu di jalan tanah yang berdebu ini menuju ke Kota Kadipaten Galumbu.

Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini. Sementara, Rangga berjalan-jalan menikmati suasana malam di kota yang cukup besar ini, setelah mendapatkan rumah penginapan. Sedangkan Pandan Wangi ditinggalkan di sana. Memang, Pandan Wangi merasa malas sekali keluar dari kamarnya. Gadis itu ingin melepaskan lelah, setelah seharian penuh terpanggang sinar matahari

Berkerut juga kening Pendekar Rajawali Sakti melihat keadaan kota yang cukup besar ini begitu sunyi kalau malam. Dan selama berjalan, tidak seorang pun dijumpai. Begitu sunyi, bagaikan sebuah kota mati yang tidak berpenghuni. Bahkan rumah-rumah yang ada hanya menyalakan pelita di beranda depan saja. Pendekar Rajawali Sakti kembab lagi ke rumah penginapan tempat Pandan Wangi ditinggalkan di sana. Dan seorang laki-laki berusia lanjut yang merupakan pemilik rumahi penginapan ini menyambutnya di pintu depan.

"Dari mana malam-malam begini, Den?" tegur laki-laki itu mencoba tersenyum ramah.

"Jalan-jalan, Ki. Melihat keadaan," sahut Rangga.

"Kalau saja tahu, pasti aku sudah melarangmu keluar malam-malam sendirian," desah orang tua| itu seakan menyesali perbuatan tamunya ini.

"Kenapa, Ki?" tanya Rangga jadi heran.

"Terlalu berbahaya, Den. Kota ini sudah tidak aman lagi," sahut pemilik kedai yang biasanya dipanggil Ki Sampan ini. "Apa kau melihat ada orang lain di luar rumah...?"

Rangga hanya menggeleng saja.

"Sudah beberapa hari ini, tidak ada seorang pun yang berani keluar rumah."

"Kenapa begitu, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.

Ki Sampan tidak langsung menjawab. Matanya lantas melirik ke kanan dan ke kiri, seakan takut ada orang lain yang mendengar. Kemudian cepat-cepat dibawanya Pendekar Rajawali Sakti masuk Rangga hanya mengikuti saja dengan wajah mencerminkan keheranan. Ki Sampan menutup pintu, laki menguncinya dengan palang. Kemudian diajaknya Pendekar Rajawali Sakti duduk di sebuah balai-balai bambu, beralaskan selembar tikar daun pandan yang dianyam halus.

"Kau tahu, Den. Sudah beberapa hari ini ada Dara Iblis berkeliaran," terdengar begitu pelan suara Ki Sampan.

"Dara Iblis...?"

"Betul. Semua orang mengatakan, dia itu si Dara Iblis yang berkeliaran mencari korban setiap malam. Siapa saja yang dijumpai, pasti mati dibunuh. Bahkan Gusti Adipati sendiri hampir terbunuh waktu hendak menangkapnya. Tapi, untung saja saudara angkatnya cepat datang menolong Sejak saat itu, tindakan si Dara Iblis semakin bertambah liar. Dia tidak peduli lagi. Siapa saja yang berhadapan dengannya, langsung dibunuh."

"Hm.... Jadi itu sebabnya tidak ada seorang pun yang berani keluar rumah...?" gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

"Bukan hanya malam saja, Den. Siang juga tidak ada yang berani jauh-jauh meninggalkan rumahnya. Dara Iblis itu sekarang sudah berani muncul siang hari."

"Bukankah kadipaten ini punya pasukan prajurit, Ki. Kenapa tidak dikerahkan saja untuk meringkusnya...?"

"Percuma saja, Den. Dara Iblis itu sangat tangguh. Entah sudah berapa orang prajurit yang tewas di tangannya. Bahkan Gusti Adipati yang berilmu tinggi, hampir tewas terbunuh."

"Sudah berapa lama keadaan seperti ini terjadi, Ki?" tanya Rangga jadi tertarik mendengarnya.

"Sudah hampir satu purnama, Den. Dan sudah tidak terhitung lagi, orang yang mati dibunuh Dara Iblis itu. Bahkan dalam sehari bisa lima orang, yang terbunuh," sahut Ki Sampan, masih terdengar pelan suaranya.

Saat itu tiba-tiba saja terdengar lolongan anjing yang sangat panjang di kejauhan. Dan tak berapa lama kemudian, terdengar ringkikan kuda. Rangga melihat wajah Ki Sampan seketika itu juga jadi pucat pasi dengan tubuh menggeletar seperti terserang demam.

"Dia..., dia datang...," desis Ki Sampan bergetar perlahan.

"Hm...."

Rangga langsung saja turun dari balai-balai bambu itu. Tapi belum juga melangkah, Ki Sampan sudah mencekal pergelangan tangannya. Terpaksa Rangga tidak jadi melangkah mendekati pintu.

"Jangan, Den. Jangan keluar. Kau bisa mati dibunuhnya," cegah Ki Sampan ketakutan.

"Tenang saja, Ki Aku hanya ingin melihat rupanya saja," kata Rangga sambil melepaskan cekalan tangan orang tua itu dengan halus.

"Den...." Suara Ki Sampan jadi tercekat di tenggorokan.

Sementara Rangga sudah melangkah mendekati pintu. Hati-hati sekali palang pintu itu dibuka. Lalu dengan perlahan juga, dibukanya pintu depan rumah penginapan ini. Sementara, Ki Sampan masih tetap duduk di balai-balai bambu itu dengan wajah terlihat semakin pucat.

Sedangkan Rangga sudah melangkah ke luar rumah dengan ayunan kaki begitu tenang. Ki Sampan bergegas turun dari balai-balai bambu ini, dan tergopoh-gopoh mendekati pintu. Buru-buru ditutupnya pintu, walaupun tidak penuh. Dan dia segera mengintip keluar. Tampak pemuda yang menjadi tamunya itu berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah penginapannya. Jelas sekali kalau sikap Pendekar Rajawali Sakti seperti menantang, ingin bertemu orang yang dijuluki si Dara Iblis.

"Hik hik hik...!"
"Oh...?!"

Wajah Ki Sampan seketika jadi memucat bagai mayat, begitu tiba-tiba terdengar tawa terkikik mengerikan. Seluruh tubuhnya jadi bergetar lemas. Dan belum juga suara terkikik itu menghilang dari pendengaran, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tahu-tahu, di depan pemuda ini sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Bajunya hitam pekat, menyandang pedang bergagang berbentuk bintang emas di punggungnya.

"Hm...."

"Hik hik hik..! Rupanya ada juga orang yang bernyali besar di sini. Bagus...! Aku memang sudah kesal. Mereka semua pengecut! Juga, Gadasewu pengecut itu!"

Terdengar begitu dingin nada suara gadis ini. Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi dari ujung kepala hingga ke ujung jari kakinya. Seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti sedang menilai, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki wanita yang dijuluki Dara Iblis ini.

"Anak muda, siapa kau?! Hm.... Apa kau sudah bosan hidup, hingga berani menantangku disini...?" ketus sekali suara si Dara Iblis ini.

"Aku Rangga yang memang ingin menghentikan perbuatan terkutukmu itu, Nisanak," sahut Rangga tegas.

"Hi hi hi...! Berani kau berkata begitu padaku, heh...?! Kau tahu, siapa aku?! Akulah yang dijuluki Dara Iblis! Huh! Aku tidak peduli dengan nama itu. Dan yang penting, aku ingin membunuh habis semua orang di sini."

"Kau tentu punya alasannya."
"Phuih! Ada atau tidak, itu bukan urusanmu!"
"Hm...."

"Bersiaplah untuk menjemput kematian, Kisanak!"

Rangga hanya diam saja, tapi sudah siap kalau Dara Iblis itu melakukan serangan. Sementara si Dara Iblis juga terdiam memandangi Pendekar Rajawali Sakti ini. Sorot matanya begitu dalam sampai menusuk bola mata Rangga. Perlahan langkah kakinya berkeser ke kanan tiga langkah, kemudian.

"Hiyaaaat...!"
Sret!
Cring!
Wut!
"Haiiiit...!"

Rangga jadi terkesiap juga sejenak, melihat kecepatan gerak Dara Iblis dalam mencabut pedangnya. Sambil melompat, pedang itu langsung dibabarkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan manis sekali, pemuda tampan berbaju rompi putih itu menghindarinya. Akibatnya, ujung pedang berwarna kuning keemasan itu hanya lewat di bawah kakinya.

"Bagus! Rupanya kau punya simpanan juga, Kisanak! Terimalah seranganku ini. Hiyaaat...!"

"Hup! Yeaaah...!"
Bet!

Kembali gadis itu menyerang, membabatkan pedangnya ke arah dada. Tapi, kali ini Rangga tidak hanya menghindar saja. Dan begitu ujung pedang Dara Iblis lewat di depan dadanya, secepat kilat tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hap!"

Namun tanpa diduga sama sekali, gadis itu malah menghentakkan tangan kirinya. Langsung disambutnya serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan itu tentu saja membuat Rangga jadi terhenyak tidak menyangka. Tapi, untuk menarik kembali tendangannya sudah terlambat. Dan....

Plak!
"Ikh...!"
"Ups!"

Mereka sama-sama terpental ke belakang begitu tendangan Rangga menghantam tangan Dara Iblis. Meskipun tendangannya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, tapi sedikit pun tidak ada pengaruhnya pada tangan gadis itu. Dan ini membuat Rangga jadi berpikir. Memang, gadis ini tidak bisa dipandang ringan. Apalagi, kekuatan tenaga dalamnya sungguh luar biasa.

Sementara si Dara Iblis tampaknya juga tidak lagi bisa memandang rendah pemuda berbaju rompi ini. Tendangan yang diberikan Rangga tadi, sempat juga membuat jantungnya bergetar. Malah sempat juga tulang tangannya terasa nyeri. Untung saja serangan itu tadi ditangkis dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga tidak mengakibatkan luka sedikit pun juga.

"Apa mungkin desa kadipaten ini memiliki pemuda yang tangguh...?" Gumam Dara Iblis bertanya sendiri dalam hari.

Sejenak ditatapnya Rangga dengan sinar mata sangat tajam menusuk, seperti ingin menembus jantung pemuda ini. Kemudian kakinya bergeser ke kanan perlahan sambil menyemburkan ludahnya. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping pinggang. Sorot matanya juga terlihat begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun memperhatikan gerakan kaki gadis cantik berbaju hitam ketat ini.

"Hap! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Dara Iblis kembali melesat bagai kilat dengan ujung pedang tertuju lurus ke tenggorokan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri hanya diam menunggu serangan lebih dekat lagi. Dan begitu ujung pedang berwarna kuning keemasan itu hampir saja menembus tenggorokannya, mendadak...

"Hats! Yeaaa...!"

Sambil mengegoskan kepalanya ke kanan, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Dara Iblis jadi terperangah tidak menyangka.

"Hap!"

Namun dengan gerakan indah sekati, gadis itu meliukkan tubuhnya. Sehingga, pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tidak sampai mengenai dadanya.

"Hap! Yeaaah...!"

Dara Iblis kembali melenting ke udara. Dan pada saat itu juga pedangnya dibabarkan ke arah kepala pemuda ini. Tapi hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindar. Hanya sedikit saja mata pedang berwarna kuning keemasan itu berkelebat menyambar di atas kepala Rangga.

"Hih! Yeaaah...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat-cepat melesat ke udara. Langsung kedua . tangannya direntangkan. Bagaikan kilat, kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat bergantian, membabat ke arah bagian tubuh Dara Iblis yang mematikan.

"Setan! Ikh...!"
Wuk!

Untuk kedua kalinya Dara Iblis terhenyak. Maka cepat-cepat pedangnya diputar untuk melindungi diri dari serangan dahsyat pemuda ini. Dari gerakan-gerakannya, sudah bisa diketahui kalau Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat terakhir. Gerakan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat, sampai kedua tangannya bagaikan berubah menjadi ribuan jumlahnya. Dan memang, Rangga bukan hanya mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' saja, tapi juga dipadukan dengan jurus 'Seribu Rajawali'.

EMPAT

Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung. Sementara bukan hanya Ki Sampan saja yang menyaksikan pertarungan itu. Dari jendela kamar penginapan Ki Sampan ini, Pandan Wangi juga menyaksikan. Sementara, terlihat juga kepala-kepala menyembul dari balik jendela dan pintu rumah-rumah yang tidak jauh dari rumah Ki Sampan.

Pertarungan memang membuat semua penduduk kota Kadipaten Galumbu ini jadi terbangun dari buaian mimpi. Dan mereka tidak ingin melewatkan pertarungan menarik antara pemuda yang sore tadi menginap di rumah Ki Sampan, dengan Dara Iblis. Mereka semua berharap, pemuda itu bisa mengalahkan perempuan berbaju hitam itu. Bahkan melenyapkan untuk selama-lamanya. Dan saat itu juga, terlihat dari ujung jalan ke istana kadipatenan, serombongan prajurit mendatangi tempat pertarungan di halaman rumah Ki Sampan ini. Cahaya api obor mulai terlihat menerangi sekitar tempat ini.

Sementara pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Dara Iblis semakin berlangsung sengit. Masing-masing sudah mengerahkan jurus-jurus dahsyat. Sehingga, gerakan-gerakan mereka begitu sulit diikuti mata biasa. Begitu cepatnya, sampai yang terlihat hanya kelebatan bayangan-bayangan putih dan hitam yang saling sambar.

"Phuih! Sial! Tempat ini sudah dipenuhi orang. Huh...! Aku tidak boleh mati konyol di sini, sebelum yang kuinginkan terkabul!" dengus si Dara Iblis.

Mengetahui keadaannya tidak lagi menguntungkan, gadis cantik yang dijuluki Dara Iblis itu mulai mencari celah untuk melepaskan diri dari pertarungan. Dan kesempatan itu pun datang, saat Rangga menyepakkan kakinya dengan gerakan berputar ke arah kaki gadis ini. Saat itu juga....

"Hup! Yeaaah...!"

Kesempatan yang sangat sedikit ini, tidak disia-siakan Dara Iblis Dengan kecepatan bagai kilat, tubuhnya melesat tinggi ke udara dan langsung melunak deras ke atas atap rumah Ki Sampan. Dan sebelum Rangga sendiri sempat menyadari, mendadak saja tanpa memutar tubuhnya gadis berbaju hitam itu melepaskan beberapa buah anting-anting emas ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Wus!
Siap!
"Haiiit...!"

Cepat-cepat Rangga melenting dan berputaran di udara, menghindari serangan anting-anting emas itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Dara Iblis sudah tidak terlihat lagi di atas atap rumah Ki Sampan ini.

"Heh! Ke mana dia...?! Hup!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat naik ke atas atap. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak di atas atap rumah ini. Sebentar pandangan-, nya beredar ke sekeliling. Tapi Dara Iblis itu tidak juga terlihat. Bahkan bayangannya pun juga sudah tidak terlihat lagi.

"Hhh! Cerdik sekali dia...," dengus Rangga.

Dara Iblis itu memang sudah tidak terlihat lagi. Entah ke mana perginya. Rangga hanya bisa menghela napasnya panjang-panjang, kemudian kembali melompat turun. Ringan sekali gerakannya, hingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kedua kakinya menjejak tanah.

Dan baru saja kakinya menjejak tanah, Ki Sampan sudah datang menghampiri bersama Pandan Wangi. Saat itu juga, terlihat Adipati Gadasewu didampingi Rondokulun dan Ki Jalaksena datang menghampiri, diiringi sekitar tiga puluh orang prajurit yang membawa tombak. Ki Sampan segera' berlutut sambil memberi sembah hormat, begitu melihat Adipati Gadasewu datang. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya berdiri saja memandangi. Mereka tahu, yang datang itu adalah orang utama di Kadipaten Galumbu ini.

"Kisanak. Aku melihat pertarunganmu tadi dengan si Dara Iblis. Hm.... Sungguh menakjubkan. Kau mampu menandingi kepandaiannya," ujar Adipati Gadasewu langsung, begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.

'Terima kasih. Hanya kebetulan saja aku tadi bertemu dengannya," sambut Rangga merendah.

"Kisanak, gadis itu sudah sering kali menjarah kadipaten ini Dan selama ini, belum ada seorang pun yang sanggup menandinginya. Tapi kulihat malam ini, dia mendapat lawan yang seimbang. Hm.... Jika Kisanak tidak keberatan, aku mengundangmu datang ke kadipatenan," kata Adipati Gadasewu lagi.

Rangga tidak langsung menjawab. Dan matanya langsung melirik Pandan Wangi sebentar, kemudian menatap Ki Sampan yang berada agak ke belakang di sebelah kanannya. Laki-laki tua itu hanya diam saja dengan kepala tertunduk. Rangga tahu, Ki Sampan tidak berani membuka suara di depan adipatinya sendiri.

"Maaf, Gusti Adipati. Bukannya menolak. Tapi, aku sudah menyewa rumah Ki Sampan ini untuk bermalam. Tapi kalau Gusti Adipati menginginkan aku mengusir gadis itu, dengan senang hati akan kulakukan," kata Rangga menolak halus.

"Aku mengerti, Kisanak. Baiklah. Kau boleh tinggal di rumah Ki Sampan. Tapi, kuminta datanglah mengunjungiku di kadipatenan besok pagi. Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi. Terus terang, aku kagum sekali melihat kepandaian yang kau miliki," kata Adipati Gadasewu, bisa. mengerti.

"Mudah-mudahan besok pagi tidak ada halangan, Gusti Adipati," ujar Rangga tidak bisa lagi menolak

Adipati Gadasewu kemudian berpamitan, dari segera pergi diiringi para pengawalnya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi tetap berdiri memandangi. Tampak beberapa orang berada di depan rumahnya, memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Tapi setelah Adipati Gadasewu tidak terlihat .lagi, mereka bergegas masuk ke dalam rumahnya.

"Ayo, Ki. Kita ke dalam lagi," ajak Rangga.

"Baik, Den. Terima kasih, Raden masih mau tinggal di gubukku yang reyot ini."

"Oh, sudahlah. Aku lebih senang bermalam di sini, daripada di istana."

"Aku tidak menyangka, Raden begitu murah dan rendah hati. Padahal ilmu yang Raden miliki sangat tinggi. Bahkan bisa menandingi si Dara Iblis."

Rangga hanya tersenyum saja mendapat pujian seperti itu. Sedangkan Pandan Wangi sejak tadi hanya diam saja. Dan mereka kemudian masuk ke dalam.

Merasa di rumahnya ada seorang pendekar tangguh dan digdaya, Ki Sampan tidak lagi merasa takut. Malah pelita di ruangan depan rumahnya dinyalakan besar-besar, sehingga mampu menerangi sekitarnya. Rangga hanya menggelengkan kepala saja melihat tingkah Ki Sampan.

Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum lagi menampakkan diri, Rangga dan Pandan Wangi sudah keluar dari rumah penginapan Ki Sampan. Laki-laki tua pemilik penginapan itu mengantarkan kedua pendekar muda ini sampai di depan rumahnya. Dengan menunggang kuda, mereka menuju Istana Kadipaten Galumbu.

Begitu sunyi pagi ini. Kabut masih terlihat cukup tebal menyelimuti seluruh wilayah Kota kadipaten ini. Dan memang, matahari belum lagi menampakkan diri. Hanya kokok ayam jantan dan kicauan burung-burung saja yang menandakan kalau fajar sebentar lagi akan menyingsing.

Baru sampai di depannya saja, Rangga sudah kagum melihat kemegahan istana kadipaten ini.. Begitu megah, seperti sebuah istana kerajaan saja. Dan memang, Kadipaten Galumbu ini sangat besar wilayahnya.

"Kenapa berdiri saja, Kakang? Bukankah kedatangan kita ke sini memenuhi undangan Adipati Gadasewu...?" tegur Pandan Wangi, melihat Rangga hanya berdiri saja mematung memandangi bangunan kadipatenan itu.

Mereka memang sudah turun dari kudanya. Rangga melirik sedikit pada gadis cantik di sebelahnya ini, lalu sedikit memberi senyum manis sekali.

"Indah sekali istana ini, Pandan. Tidak kalah dengan Istana Karang Setra," gumam Rangga seakan-akan bicara untuk diri sendiri.

"Kau ingat tanah kelahiranmu, Kakang?" ujar Pandan Wangi jadi tersenyum.

Dan Rangga hanya diam saja memandangi bangunan megah di depannya ini Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti jadi ingat tanah kelahirannya, Karang Setra. Memang sudah cukup lama mereka tidak kembali ke Karang Setra. Entah apa yang terjadi di sana. Mungkin sudah banyak sekali perubahannya.

"Setelah dari sini, ada baiknya juga kalau kita kembali ke Karang Setra, Kakang. Terus terang, aku juga sudah rindu sekali," kata Pandan Wangi, seakan bisa membaca perasaan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ya..., kita memang sudah terlalu lama meninggalkan Karang Setra," desah Rangga pelan.

"Kakang.... Lihat itu. Rondokulun sudah keluar," kata Pandan Wangi memberi tahu.

Dari gerbang bangunan megah itu, memang terlihat Rondokulun keluar. Langsung dihampirinya kedua pendekar muda yang masih tetap berdiri memandangi kemegahan bangunan istana kadipaten ini Rondokulun menjura memberi hormat, setelah dekat di depan kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.

"Kenapa berdiri saja di sini? Langsung saja masuk. Gusti Adipati sudah menanti kedatangan kalian," kata Rondokulun ramah.

"Aku benar-benar mengagumi istana ini," ujar Rangga berterus terang.

"Istana ini memang megah. Bahkan tidak kalah megahnya dari istana kerajaan sendiri," kata Rondokulun juga memuji.

Mereka kemudian melangkah bersama-sama menuju istana kadipatenan ini. Rondokulun berjalan di sebelah kanan Rangga. Sedangkan Pandan Wangi berjalan di sebelah kiri sambil menuntun kudanya sendiri.

Seorang prajurit menghampiri, begitu ketiga orang itu melewati pintu gerbang yang dijaga empat orang prajurit bersenjatakan tombak. Prajurit itu mengambil kuda kedua pendekar muda ini. Sedangkan Rondokulun terus mempersilakan mereka, meniti anak-anak tangga yang menuju bagian dalam istana.

Dua orang prajurit yang menjaga pintu depan membungkukkan tubuhnya, memberi hormat saat ketiga orang ini melewatinya. Rangga jadi berdecak kagum begitu berada di dalam bangunan istana ini. Begitu megah, sampai kekagumannya tidak lagi disembunyikan.

Dan sampai di ruangan tengah yang luas, mereka langsung disambut Adipati Gadasewu dan Ki Jalaksena. Rupanya Adipati Gadasewu memang sudah mempersiapkan penyambutan pada kedua pendekar ini. Di tengah-tengah ruangan ini terlihat sebuah meja yang sangat besar, dengan beberapa kursi berukir dari kayu jari berbaris di setiap sisinya. Tampak prajurit-prajurit bersenjata tombak mengelilingi ruangan ini.

"Mari, Pendekar. Silakan duduk," sambut Adipati Gadasewu dengan sikap sangat ramah.

"Terima kasih," ucap Rangga membalas keramahan ini

Mereka kemudian duduk di satu meja. Hanya Rondokulun saja yang tetap berdiri di belakang Adipati Gadasewu. Sedangkan Ki Jalaksena duduk bersebelahan dengan Pandan Wangi Rangga sendiri diberi tempat di sebelah lori Adipati Gadasewu. Dan belum lama mereka duduk, muncul gadis-gadis muda berparas cantik membawa baki berisi penuh makanan dan buah-buahan, serta beberapa guci arak

Rangga jadi agak tertegun juga melihat penyambutan yang begitu mewah. Sungguh tidak disangka kalau Adipati Gadasewu sudah mempersiapkannya begitu matang. Entah apa jadinya kalau sampai tadi kedua pendekar muda ini tidak datang. Pasti akan sangat kecewa hatinya.

"Mari silakan.... Hanya ini yang bisa kupersembahkan pada kalian berdua," kata Adipati Gadasewu tetap ramah.

Rangga hanya tersenyum saja, tidak bisa lagi berkata-kata. Entah apa yang ada dalam hati Pendekar Rajawali Sakti ini. Sedangkan beberapa kali Pandan Wangi melirik Rangga yang kelihatan lain. Pandan Wangi sendiri tidak bisa menebak isi hati Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dari sorot matanya, Pandan Wangi mulai khawatir juga. Hanya saja, entah apa yang dikhawatirkannya saat ini.

Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak permintaan Adipati Gadasewu yang ingin memperlihatkan setiap bagian istananya yang megah ini. Seharian penuh kedua pendekar muda itu berada dalam Istana Kadipaten Galumbu ini. Dan setelah matahari benar-benar condong ke arah barat, mereka baru meninggalkan bangunan istana yang megah itu. Namun sebelum mereka pergi, Adipati Gadasewu meminta Rangga untuk meringkus Dara Iblis. Dan adipati itu juga menjanjikan hadiah sangat besar bagi Pendekar Rajawali Sakti. Namun semua itu hanya dibalas senyuman yang sangat sulit diartikan.

"Kakang...," ujar Pandan Wangi setelah mereka cukup jauh berkuda meninggalkan Istana Kadipaten Galumbu.

"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.

"Maaf, kalau aku berkata lancang padamu," ucap Pandan Wangi agak berhati-hati.

"Hm.... Apa yang akan kau katakan, Pandan?"

"Sejak tadi, kuperhatikan kau banyak diam. Terus terang, aku khawatir kau tidak menyukai cara penyambutan Adipati Gadasewu tadi," kata Pandan Wangi berterus terang.

Rangga hanya diam saja. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di sebelahnya, melirik sedikit ke wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Dan hatinya terus menduga-duga, apa sebenarnya yang saat ini tengah bergelut dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi memang sulit mencari jawabannya. Sementara, Rangga hanya diam saja, seakan enggan membicarakannya.

"Kakang...," tegur Pandan Wangi lagi.

"Hm.... Ada apa, Pandan?" Rangga hanya sedikit saja melirik si Kipas Maut ini.

"Sudah cukup lama aku berjalan denganmu. Aku tahu, ada yang membuat hatimu resah. Kalau masih mempercayaiku, kenapa tidak kau utarakan Kakang? Apa kau sudah menganggapku tidak ada gunanya lagi...?"

Sengaja Pandan Wangi membuat hatinya seakan-akan kesal atas sikap Rangga yang hanya diam saja, seperti tidak memperdulikannya. Dan kata-kata Pandan Wangi barusan rupanya membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak juga. Langkah kaki kudanya dihentikan, dan berpaling menatap wajah si Kipas Maut dengan sorot mata cukup dalam.

"Kenapa kau berkata seperti itu, Pandan?" terdengar begitu dalam nada suara Rangga.

"Kau sendiri, kenapa diam saja?" balas Pandan Wangi.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napasnya panjang-panjang.

Sedangkan Pandan Wangi terdiam, tapi tetap menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dengan bola mata tidak berkedip sedikit pun.

Beberapa saat lamanya, mereka terdiam membisu. Seakan-akan mereka sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Dan perlahan Rangga menghentakkan tali kekang, hingga kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu kembali berjalan perlahan-lahan. Pandan Wangi masih tetap diam sambil memandangi beberapa saat, kemudian menghentakkan kudanya menyusul Pendekar Rajawali Sakti. Kembali langkah kaki kudanya disejajarkan di samping Dewa Bayu.

"Ayo kita keluar dari kota ini, Pandan," ajak Rangga tiba-tiba.

"Mau apa di...?"
"Hiyaaa...!"

Belum lagi Pandan Wangi menyelesaikan pertanyaannya, Rangga sudah menghentakkan tali kekang kudanya. Sehingga, kuda hitam itu melesat cepat bagaikan anak panah terlepas dari busur. Sesaat Pandan Wangi jadi tertegun, namun cepat menggebah kudanya.

"Hiyaaa...!"

Debu seketika mengepul, membubung tinggi ke angkasa saat dua ekor kuda yang ditunggangi kedua pendekar dari Karang Setra itu berpacu cepat menuju timur. Sementara matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Hanya cahaya merah Jingganya saja yang menyemburat dari balik sebuah bukit di sebelah barat Kota Kadipaten Galumbu ini.

Kedua pendekar itu terus memacu kudanya dengan kecepatan sangat tinggi. Hingga sebentar saja mereka sudah melewati perbatasan kota yang tidak dijaga seorang prajurit pun. Gerbang perbatasan yang ditandai dua buah bangunan batu berbentuk puri itu kelihatan sunyi, tanpa seorang pun terlihat di sana. Namun kedua pendekar dari Karang Setra itu terus saja memacu kudanya.

Dan kalau sudah berpacu begini, Pandan Wangi jadi kesal. Masalahnya, tidak mudah untuk bisa mengejar Dewa Bayu. Bahkan untuk mensejajarkannya saja, kuda putih tunggangannya ini bisa mati kehabisan tenaga. Hingga kini, jarak mereka semakin bertambah jauh saja. Sementara, kerimbunan pepohonan sebuah hutan yang cukup lebat sudah tampak di depan mata. Namun kedua pendekar muda itu masih saja terus memacu cepat kudanya.

"Hooop...!"

Setelah sampai di tepian hutan, Rangga menghentikan lari kudanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat turun, bersamaan terdengar ringkikan Dewa Bayu yang mengangkat kedua kaki depannya. Dan tidak berapa lama kemudian, Pandan Wangi sudah sampai. Gadis itu menghentikan lari kudanya perlahan-lahan, kemudian melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu mendarat tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ada yang menarik perhatianmu di sini, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Tempat ini lebih cocok untuk bicara secara pribadi daripada di rumah Ki Sampan," ujar Rangga tanpa mempedulikan kata-kata Pandan Wangi barusan.

"Hm...." Kening Pandan Wangi jadi berkerut.

"Dengar, Pandan. Aku akan memberimu tugas. Dan ini sangat penting," kata Rangga, dengan mimik wajah sungguh-sungguh.

"Tugas...? Tugas apa, Kakang?!" tanya Pandan Wangi jadi penasaran.

"Kau harus memata-matai Adipati Gadasewu. Bahkan kalau perlu harus mengetahui latar belakang kehidupannya."

"Heh, apa...?!"

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati mendengar kata-kata Rangga yang sama sekati tidak diduga. Sungguh tidak disangka kalau Rangga justru mencurigai Adipati Gadasewu. Padahal, sikap adipati yang masih muda usianya itu sama sekali tidak menunjukkan kecurigaan apa-apa. Bahkan begitu ramah dan dihormati seluruh rakyat Kadipaten Galumbu ini Tentu saja keinginan itu membuat Pandan Wangi jadi tidak mengerti jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang! Adipati Gadasewu begitu ramah dan dihormati seluruh rakyatnya. Bagaimana mungkin aku bisa memata-matainya...?" ujar Pandan Wangi mengemukakan penilaiannya.

"Aku tidak ingin kau ikut terbius dan buta oleh penampilannya yang begitu ramah, Pandan. Justru keramahan yang berlebihan membuatku menaruh curiga," tegas Rangga.

"Tapi, Kakang. Adipati Gadasewu sendiri pernah bertarung melawan si Dara Iblis. Bahkan hampir saja mati terbunuh. Mana mungkin dia berada di balik semua peristiwa ini...?" bantah Pandan Wangi lagi

"Aku tidak mengatakan kalau dia ada di belakangnya, Pandan."

"Lalu, apa yang membuatmu curiga?" tanya Pandan Wangi, ingin tahu.

"Hubungannya dengan si Dara Iblis," sahut Rangga tetap tegas nada suaranya.

"Maksudmu...?" Pandan Wangi jadi semakin tidak mengerti.

"Dengar, Pandan. Dalam setiap kerusuhan yang terjadi di sebuah desa atau kadipaten, tidak terlepas dari keterlibatan pemimpinnya. Dan aku begitu yakin, Adipati Gadasewu terlibat di dalamnya," Rangga mencoba menjelaskan jalan pikirannya

"Aku masih tidak mengerti, Kakang."

"Memang sulit dimengerti, Pandan. Tapi inilah kenyataannya. Wanita yang dijuluki Dara Iblis itu sengaja mengacaukan keadaan kadipaten ini. Tapi tujuan yang sebenarnya justru pada Adipati Gadasewu sendiri," lagi-lagi Rangga mencoba menjelaskan.

"Maksudmu, nyawa Adipati Gadasewu terancam?" tebak Pandan Wangi.

"Ya, belum pasti, Pandan. Tapi menurutku, Adipati Gadasewu perlu mendapat perhatian yang tidak kecil. Mungkin saja Dara Iblis itu mengincar nyawanya. Tapi ada kemungkinan juga, menginginkan yang lain dari Adipati Gadasewu."

"Bagaimana mungkin kau bisa menarik kesimpulan seperti itu, Kakang?"

"Mudah saja, Pandan. Dari sikap dan keramahannya. Juga, dari kata-katanya tentang Dara Iblis itu, aku merasa kalau Adipati Gadasewu mengenalnya. Atau paling tidak, ada kaitannya yang sangat berhubungan erat Pandan, kau perhatikan pengawalnya yang diakui sebagai saudaranya itu...?"

"Rondokulun maksudmu, Kakang?"
"Benar."
"Ada apa dengan Rondokulun?"
"Semalam, Ki Sampan bilang padaku kalau Rondokulun belum lama berada di Kadipaten Galumbu ini. Dan kedatangannya langsung disambut dan diakui sebagai saudara oleh Adipati Gadasewu. Padahal, tidak seorang pun yang pernah mengenalnya. Dan semua orang tahu kalau Adipati Gadasewu tidak memiliki seorang saudara pun. Dan lagi, kedatangan Rondokulun juga bersamaan dengan munculnya si Dara Iblis."

"Hm.... Jadi, itu yang membuatmu curiga, Kakang?" Pandan Wangi mulai mengerti.

"Bukan hanya itu saja, Pandan."

"Ya, aku mengerti sekarang. Jadi menurutmu, perhatian kita jangan terpusat pada si Dara Iblis saja. Tapi, juga pada Adipati Gadasewu sendiri dan Rondokulun. Begitu kan, Kakang..?"

"Tepat, Pandan. Untuk itu, kita harus membagi tugas. Kau mengawasi Adipati Gadasewu dan Rondokulun. Sedangkan aku tetap berusaha menemukan si Dara Iblis. Barangkali saja rahasianya yang tersimpan bisa terungkap."

Pandan Wangi mengangguk-angguk, sudah mengerti apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu juga sudah merasakan kalau persoalan yang sedang dihadapi seluruh rakyat Kadipaten Galumbu ini tidak ringan. Bahkan bisa membuat kehancuran kadipaten ini.

"Sudah hampir malam, Pandan. Sebaiknya kita kembali ke rumah Ki Sampan," ajak Rangga.

Kembali Pandan Wangi mengangguk Dan tidak lama kemudian kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah berada di atas punggung kuda masing-masing. Kali ini, mereka tidak tergesa-gesa dalam mengendalikan kudanya. Sementara, matahari semakin tenggelam ke belahan bumi bagian barat Tidak lama lagi, seluruh permukaan bumi Kadipaten Galumbu akan terselimut kegelapan. Dan sepanjang jalan, sudah tidak ada lagi orang yang terlihat berada di luar rumah. Begitu sunyi terasa, seakan-akan kota kadipaten ini berubah menjadi kota mati yang tidak berpenduduk lagi.

Malam ini Rangga sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Sengaja Pendekar Rajawali Sakti duduk di beranda depan rumah Ki Sampan. Sementara Pandan Wangi sudah sejak tadi mengamati sekitar istana kadipatenan. Sedangkan Rangga sendiri, sengaja berada di luar rumah menunggu kedatangan si Dara Iblis. Tapi sudah jauh malam, gadis berbaju hitam itu belum juga kelihatan batang hidungnya.

"Hm.... Apakah dia malam ini tidak muncul...?" gumam Rangga bicara pada diri sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke halaman depan rumah Ki Sampan. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Malam begitu sunyi. Tapi Rangga tahu, berpasang-pasang mata terus mengawasinya dari rumah-rumah yang ada di sekitar rumah Ki Sampan ini. Rangga tahu, semua penduduk Kota Kadipaten Galumbu ini ingin menyaksikannya dalam meringkus si Dara Iblis.

Slap!
"Heh...?!"

Tiba-tiba saja Rangga jadi tersentak, begitu merasakan desir angin yang terasa dingin menerpa tubuhnya. Cepat tubuhnya diputar. Dan pada saat itu juga, matanya menangkap satu kelebatan bayangan hitam di atas atap rumah Ki Sampan.

"Hup!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat naik ke atas atap. Lalu tubuhnya kembali melesat dengan hanya menotokkan sedikit ujung jari kakinya di atas atap rumah penginapan ini. Sekilas Rangga masih sempat melihat bayangan hitam itu berkelebat begitu cepat menuju arah Istana Kadipaten Galumbu.

"Hup!"

Dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti terus mengikuti bayangan hitam yang berkelebatan begitu cepat dari satu atap ke atap rumah lainnya. Dan begitu berada di samping kanan Istana Kadipaten Galumbu, bayangan hitam itu lenyap tak terlihat lagi. Rangga langsung menghentikan larinya, dan cepat berlindung di balik sebatang pohon beringin yang cukup besar batangnya. Rimbunnya daun pohon ini membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat

"Hm..."

Sedikit Rangga menggumam, saat melihat sesosok tubuh ramping berbaju hitam yang cukup ketat sedang mengendap-endap. Begitu rapat tubuhnya pada dinding tembok yang tinggi mengelilingi bangunan istana ini. Bulan yang tertutup awan hitam, membuat keadaan sekitarnya jadi gelap. Dan Rangga terpaksa harus menggunakan aji 'Tatar Netra' agar dapat melihat lebih jelas lagi.

"Dara Iblis...," desis Rangga dalam hati, begitu mengenali orang yang mengendap-endap di pinggiran tembok benteng istana ini.

Pendengaran Rangga yang tajam, mendengar suara ayunan langkah kaki yang begitu halus dari sebelah kirinya. Dan saat berpaling ke kiri, tiba-tiba saja....

Plak!
"Akh...!"

Hanya sedikit saja Rangga terpekik, begitu tiba-tiba sebuah pukulan yang sangat keras menghantam bagian belakang kepalanya. Seketika itu juga, pandangan matanya jadi mengabur. Tubuhnya lalu jadi limbung, kemudian ambruk menggeletak tanpa dapat dikuasai lagi. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menghilangkan rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepalanya, satu hantaman yang sangat keras kembali menerpa kepalanya.

"Ugkh...!"

Hanya sedikit saja keluhan yang keluar dari bibir Pendekar Rajawali Sakti, karena mendadak saja pandangannya jadi gelap. Lalu, pendengarannya pun mulai berkurang. Dan saat berikutnya, Rangga sudah tidak tahu apa-apa lagi. Kesadarannya seketika lenyap, setelah mendapatkan satu pukulan lagi di bagian belakang kepalanya.

Menjelang matahari terbit, Pandan Wangi sudah kembali ke rumah penginapan Ki Sampan. Gadis itu hanya melihat Ki Sampan duduk terkantuk-kantuk di ruangan tengah. Dan laki-laki tua itu hanya melirik saja saat Pandan Wangi masuk, dengan mata begitu berat

"Oh...?! Maaf, aku tidak tahu kalau kau ada di sini, Ki," ujar Pandan Wangi.

"Aku memang menunggu kalian pulang," sahut Ki Sampan dengan suara lesu karena mengantuk

"Memangnya Kakang Rangga belum kembali, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Semalam, dia ada di depan. Tapi, terus pergi. Aku tidak tahu, ke mana perginya. Dan sampai sekarang, dia belum juga kembali," kata Ki Sampan memberi tahu.

"Mungkin di kamarnya, Ki. Biasanya Kakang Rangga memang begitu. Bisa ada di mana saja tanpa diketahui," kata Pandan Wangi tanpa ada pikiran apa-apa.

"Tidak ada, Nini. Aku sudah melihat kamarnya. Kosong," sahut Ki Sampan.

Kening Pandan Wangi jadi berkerut juga. Semalam, sebelum mereka menjalankan tugas masing-masing, Rangga sudah meminta agar sebelum pagi bertemu di ruangan depan rumah penginapan ini. Tapi, kenapa sampai sekarang Rangga belum juga kembali...? Pandan Wangi mulai berpikir macam-macam. Tapi gadis itu tidak mau menduga kalau Rangga mengalami sesuatu yang menyulitkan dirinya. Keyakinannya begitu kuat, kalau Pendekar Rajawali Sakti mampu mengatasi segala kesulitan yang dihadapi.

"Ah.... Sudahlah, Ki. Nanti juga dia kembali. Aku akan istirahat dulu. Nanti kalau Kakang Rangga sudah datang, beri tahu ya, Ki," kata Pandan Wangi mencoba menenangkan diri.

"Baik, Nini," sahut Ki Sampan sambil terkantuk-kantuk.

Pandan Wangi langsung saja melangkah ke dalam, meninggalkan orang tua pemilik rumah penginapan ini. Ki Sampan baru membaringkan tubuh di atas balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar, setelah Pandan Wangi menghilang di balik dinding penyekat ruangan depan ini dengan ruangan dalam.

Sementara di luar, ayam jantan sudah sejak tadi memperdengarkan suaranya. Dan burung-burung pun sudah mulai berkicauan. Tampak di ufuk timur, rona merah Jingga mulai terlihat memancar 'di balik kabut yang masih terlihat tebal. Dan Pandan Wangi sudah membaringkan tubuhnya di dalam kamar, namun matanya tak dapat dipejamkan sedikit pun. Dia memikirkan Rangga yang belum juga kembali. Padahal sebentar lagi matahari sudah naik.

"Hm..., ke mana Kakang Rangga? Apa terjadi sesuatu padanya...?" gumam Pandan Wangi bertanya-tanya sendiri. "Ah, nanti juga kembali."

Pandan Wangi mencoba memejamkan matanya. Tapi entah kenapa, hatinya jadi begitu gelisah. Sehingga, dia sulit untuk beristirahat. Padahal rasa kantuk dan lelah sudah menghinggapinya. Gadis itu hanya membaringkan tubuh saja, menelentang memandangi langit-langit kamar penginapan ini. Dan pikirannya terus menerawang jauh, memikirkan Rangga yang belum juga kembali. Sementara, pagi terus merayap naik semakin tinggi. Dan matahari juga sudah menampakkan diri. Cahayanya menerangi seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini. Namun Pandan Wangi masih tetap berbaring di ranjangnya dengan mata menerawang memandangi langit-langit kamar ini.

"Hhh...! Ke mana Kakang Rangga, ya...?" desah Pandan Wangi seraya bangkit, dan duduk di tepi pembaringan.

Memang tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi pada diri Pendekar Rajawali Sakti semalam. Bahkan sampai tengah hari, Rangga belum juga kembali ke rumah penginapan ini. Tentu saja hal ini membuat Pandan Wangi jadi gelisah tidak menentu. Sementara Ki Sampan sendiri, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan kelihatan gelisah seperti Pandan Wangi. Mereka hanya bisa menunggu, tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak juga kunjung datang. Kegelisahan Pandan Wangi semakin bertambah, saat siang sudah berganti senja, karena Rangga belum juga kelihatan batang hidungnya. Padahal, itu belum pernah dilakukan Pendekar Rajawali, Sakti selama ini.

Apa sebenarnya yang terjadi pada diri Pendekar Rajawali Sakti...? Di dalam sebuah ruangan yang sempit dan gelap, tampak Rangga berdiri terentang dengan kedua tangan dan kaki terbelenggu rantai baja hitam yang sangat kuat. Kepalanya terkulai lemas. Dan matanya terpejam rapat Tampak dari bagian belakang kepalanya mengalir darah yang sudah mengering. Entah sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti tidak sadarkan diri. Plak! Tiba-tiba saja sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di wajah pemuda ini, membuat kepalanya langsung terdongak ke atas. Saat itu juga Rangga membuka kelopak matanya, dan langsung terkejut mendapati dirinya sudah terbelenggu di dalam sebuah ruangan sempit yang cukup gelap ini. Sesaat pandangannya diedarkan ke sekeliling. Dan tatapan matanya kemudian bertumpu pada seseorang yang berdiri cukup dekat di depannya. Seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain hitam. Hanya dua lubang pada bagian matanya saja yang terlihat

"Di mana ini...?" lirih sekali suara Rangga.
"Kau ada di tempatku, Pendekar Rajawali Sakti."
"Siapa kau?" tanya Rangga.
"Tidak perlu tahu, siapa aku."

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya yang masih terasa pening. Pandangan matanya juga belum begitu jelas. Rasa sakit pada bagian belakang kepalanya begitu terasa. Sedangkan di depannya masih berdiri seseorang berbaju warna hitam pekat, dengan seluruh kepala terselubung kain hitam. Sulit sekali untuk mengenalinya, karena hanya pada bagian matanya saja yang terlihat

Sebentar kemudian Rangga sudah bisa menyadari, apa yang terjadi pada dirinya. Dicobanya untuk mengingat-ingat kejadian semalam, sampai berada di tempat seperti ini dalam keadaan terbelenggu rantai baja hitam. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau dirinya sudah tertangkap. Dan yang membuatnya terkejut ternyata pedang pusakanya tidak lagi bertengger di punggungnya.

"Jangan terlalu cemas, Pendekar Rajawali Sakti. Kau akan kubebaskan setelah urusanku selesai. Kau terlalu berbahaya. Maka terpaksa untuk sementara kau harus dilumpuhkan," kata orang itu dengan suara berat sekali.

Rangga hanya diam saja. Kesadarannya sudah berangsur pulih. Bahkan masih bisa bernapas lega, setelah memeriksa seluruh tubuhnya dengan penyaluran hawa murni. Tidak ada satu totokan pun di tubuhnya. Hanya pada bagian belakang kepala saja yang terasa nyeri. Dia tahu, kepala bagian belakangnya terluka dan mengeluarkan darah akibat tiga kali pukulan yang diterimanya.

"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti! Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk meloloskan diri. Ruangan ini berada di bawah tanah, dan seluruh dindingnya terbuat dari batu yang dilapis baja. Juga, sekitar ruangan ini sudah terpasang banyak senjata rahasia yang bisa mencincang tubuhmu. Jadi kuperingatkan, agar kau tidak berlaku macam-macam," kata orang itu lagi sedikit mengancam.

Namun Rangga hanya tetap diam saja.

"Karena masih ada yang harus kuselesaikan, maka aku pergi dulu. Beberapa hari lagi, aku akan melihatmu di sini."

Setelah berkata demikian, orang itu langsung saja berbatik dan pergi meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti di dalam ruangan sempit ini. Rangga hanya memandangi saja sampai orang itu lenyap tak terlihat lagi di balik pintu besi, yang kemudian tertutup rapat.

Cring!

Rangga menggerak-gerakkan tangan dan kakinya yang terbelenggu rantai baja hitam. Kemudian kembali pandangannya beredar ke sekeliling.

Gelap dan pengap sekali mangan ini. Bau lumut terasa menyengat hidung. Kembali kedua tangannya yang terentang terikat rantai yang menyatu dengan dinding digerak-gerakkan. Tampaknya memang sangat kokoh.

"Hhh...!"

Rangga berusaha melepaskan belenggu ini dengan menghentakkan tangan kanannya, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi Tapi, mulutnya jadi meringis. Tangannya jadi terasa sakit, sedangkan rantai ini tidak juga putus.

"Hhh! Kuat sekali rantai ini Hhh.... Mungkin dengan cara lain, aku bisa bebas dari belenggu ini. Mudah-mudahan saja orang itu tidak cepat kembali. Hm.... Tapi, siapa dia...?" gumam Rangga lagi, bicara pada diri sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti mencoba lagi mematahkan rantai yang membelenggunya ini, dengan menghentak-hentakkan kedua tangannya disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti terdiam. Kedua kelopak matanya terpejam rapat, dan mulai mengatur jalan pernapasannya. Beberapa saat kemudian....

"Hih!"

Rangga mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah berada pada tingkat sempurna. Otot-otot kedua tangannya seketika bersembulan. Lalu dicobanya menarik rantai itu sekuat tenaga. Terdengar suara desisan keluar dari celah-celah bibirnya. Rangga terus berusaha memutuskan rantai itu dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

"Hih...!"
Cring!
Trak!
"Phuih!"

Rangga langsung menghembuskan napas panjang, begitu rantai yang membelenggu kedua tangannya terputus. Pendekar Rajawali Sakti langsung duduk, kemudian mencoba memutuskan rantai yang membelenggu kakinya. Kembali seluruh otot-otot di tubuhnya bersembulan keluar. Keringat telah membanjiri tubuhnya, sehingga membuat seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi berkilat.

"Hih!"
Trak!

Rangga cepat bangkit berdiri begitu semua rantai yang membelenggunya sudah terlepas. Dia ingin melangkah mendekati pintu. Tapi baru saja kaki kirinya bergerak maju, langsung diurungkan kembali. Pendekar Rajawali Sakti langsung teringat kata-kata orang berpakaian serba hitam tadi. Ruangan ini sudah dipasangi puluhan jebakan yang bisa membuat tubuhnya tercincang. Dipandanginya pintu besi baja yang berada sekitar tujuh langkah di depannya.

"Haaap...!"

Rangga menarik kedua tangannya, kemudian merapatkannya di depan dada. Sebentar napasnya ditahan. Lalu....

"Yeaaah...!"

Begitu kedua tangannya terhentak ke depan, seketika itu juga selarik sinar merah melesat dari kedua telapaknya yang terbuka itu. Dan....

Glarrr!

Satu ledakan dahsyat tiba-tiba saja terdengar, begitu sinar merah dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam pintu besi ruangan ini. Tampak pintu itu jebol seketika.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat keluar dari dalam ruangan ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara pada gerakannya. Bahkan ketika kakinya menjejak lantai batu di depan ruangan kecil itu, juga sedikit pun tidak terdengar suara.

mm.. Ternyata sebuah lorong..., gumam Rangga pelan. Pendekar Rajawali Sakti cepat berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

Hup!

********************

Rangga terus berlari-lari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menyusuri lorong yang cukup panjang dan berliku ini. Tapi setelah cukup lama berlari, tidak juga menemukan ujung lorong ini. Dan mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti menghentikan larinya. Keningnya jadi berkerut begitu di depannya terlihat sebuah pintu yang sudah jebol.

"Edan...! Rupanya sejak tadi aku berputar-putar saja di sini..!" dengus Rangga baru menyadari.

Rangga berdiri tegak memandangi sekitarnya dengan sinar mata begitu tajam. Perlahan kemudian kakinya terayun melangkah. Setiap dinding di kiri dan kanannya mendapat perhatian yang tajam. Dugaannya, pasti ada dinding rahasia yang dijadikan pintu keluar dari tempat ini. Bahkan langit-langit lorong ini juga mendapat perhatian yang seksama. Rangga terus berjalan perlahan-lahan, menyusuri lorong yang entah sudah berapa kali dilaluinya.

Namun belum jauh berjalan, tiba-tiba saja ayunan kakinya terhenti. Pendengarannya yang tajam menangkap sebuah suara yang terdengar begitu kecil.

"Air...," desis Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti semakin mempertajam pendengarannya. Benar! Telinganya mendengar suara air bergemericik dari balik dinding batu lorong di sebelah kanannya ini. Cepat dihampirinya, dan ditempelkan telinganya ke dinding itu. Tapi, sesaat kemudian pemuda berbaju rompi putih ini jadi tertegun.

"Hm.... Aku berada di bawah air terjun," gumam Rangga lagi, masih terdengar perlahan. Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah dua tindak ke belakang.

"Pasti ada jalan keluar dan masuk ke sini. Tapi..," kembali Rangga tertegun.

Rangga tidak yakin, kalau jalan keluar dari lorong batu ini melalui air terjun yang berada di balik dinding batu lorong ini. Terlalu besar bahayanya kalau dinding batu ini dijebol. Memang tidak terlalu sulit. Tapi, air terjun itu bisa menerobos, masuk ke dalam. Akibatnya, dia akan terkubur hidup-hidup di dalam lorong ini.

"Hhh! Apa akalku sekarang...?" desah Rangga perlahan.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Otaknya terus berputar keras mencari jalan keluar. Sedikit pun tidak ada celah di sekitarnya. Sedangkan suara air di balik dinding ini terdengar begitu jelas di telinganya, walaupun sangat pelan. Perlahan kakinya kembali bergerak menggeser ke belakang, sampai hampir sampai merapat dengan dinding di belakangnya. Dan pada saat itu....

"Heh...?!"

Rangga jadi terlonjak kaget, begitu tiba-tiba merasakan adanya desir angin yang sangat halus menerpa punggungnya. Pendekar Rajawali Sakti sampai terlompat selangkah ke depan, dan cepat berbalik. Dipandanginya dinding yang tadi berada di belakangnya. Hanya dinding batu yang kelihatannya begitu kokoh. Tapi, dari mana ada hembusan angin tadi...?

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mendekati dinding itu. Dan tangannya segera terulur ke depan. Tidak ada lagi hembusan angin terasa di tangannya. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut Diraba-rabanya dinding, batu itu dengan cermat Dan ketika jari tangannya berada di bagian bawah dinding batu ini, raut wajahnya seketika jadi bersinar.

"Dewata Yang Agung.... Inilah pintu yang kucari," desah Rangga, begitu merasakan hembusan angin dari bagian bawah dinding batu ini

Tapi sejenak kemudian, Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun. Dan perlahan-lahan kakinya melangkah mundur sampai punggungnya menyentuh dinding batu, di belakangnya. Sebentar Rangga berdiri tegak memandangi dinding batu di depannya. Sementara, kedua tangannya sudah terkepal di pinggang. Sesaat kemudian....

"Hap! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan di saat kedua telapak tangannya terbuka, seketika itu juga melesat cahaya merah bagai api dari kedua telapak tangannya. Dan...

Glarrr!

Dinding batu di depannya seketika hancur berkeping-keping terhajar dua cahaya merah yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali. Sakti. Debu kontan mengepul, membuat pandangan matanya jadi terhalang. Namun wajahnya jadi cerah, karena di balik dinding yang hancur itu terlihat pepohonan yang bermandikan cahaya matahari. Bergegas Rangga melompat ke luar. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah di luar....

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, karena tiba-tiba saja dari sekelilingnya sudah berlompatan orang-orang berseragam serba hitam dan bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung saja menyerang ganas dari segala penjuru.

"Hup! Yeaaah...!"

Tidak ada waktu lagi bagi Rangga untuk mencegah. Maka cepat tubuhnya melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali sambil melepaskan satu pukulan cukup keras ke arah orang yang berada paling dekat dengannya.

Plak!
"Akh...!"

Orang itu memekik tertahan, dan kontan terpental cukup jauh ke belakang. Sementara, Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah. Sekilas diperhatikannya keadaan sekitar. Ada lebih kurang dua puluh orang berseragam hitam dan bersenjata golok terhunus sudah mengepung dirinya. Mereka adalah pemuda-pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun.

Kini dua puluh orang berpakaian serba hitam itu bergerak perlahan menggeser kakinya mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti. Golok yang tergenggam di tangan kanan bergerak-gerak di depan dada, memancarkan cahaya putih keperakan yang membuat hari siapa saja akan bergetar melihatnya. Tapi Rangga malah kelihatan begitu tenang. Sedikit pun tidak terpengaruh oleh golok yang berkilatan tajam di sekelilingnya.

"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Begitu terdengar teriakan memberi perintah, kedua puluh orang berpakaian serba hitam ini serentak berlompatan menyerang. Namun Rangga yang sudah siap sejak tadi, cepat merentangkan kedua tangannya ke samping Dan saat itu juga, tubuhnya bergerak cepat meliuk-liuk seperti belut, sambil mengibaskan kedua tangannya. Kecepatannya, sangat sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan saat itu juga....

Plak!
Diegkh!
"Akh!"
"Aaa...!"

Terdengar jeritan-jeritan panjang melengking dan tertahan, bersamaan berkelebatnya kedua tangan Rangga yang menyambar para pengeroyoknya. Tampak orang-orang berpakaian serba hitam itu berpelantingan ke belakang, dengan kepala pecah dan dada remuk. Mereka yang terkena kibasan tangan Rangga dalam penggunaan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tidak ada yang bisa bangkit berdiri lagi. Mereka tewas seketika itu juga dengan kepala pecah dan beberapa orang remuk dadanya.

"Hih! Yeaaah...!"

Menghadapi orang-orang seperti ini, Rangga tidak mau lagi tanggung-tanggung. Terlebih lagi, sekarang ini tidak memiliki senjata apa pun juga. Dia tidak tahu, di mana pedang pusakanya sekarang berada. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat luar biasa. Hingga tidak ada seorang pun dari para penyerang yang sanggup menghadang. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, dua puluh orang berpakaian serba hitam itu sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Bau anyir darah seketika menyeruak menusuk hidung, terbawa hembusan angin.

"Huh!"

Rangga mendengus kecil memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Dan saat itu keningnya jadi berkerut, melihat sebuah air terjun yang tidak begitu besar, Dan tidak jauh dari situ, terdapat sebuah pondok kecil yang sangat sederhana, tapi kelihatan cukup bersih.

"Hm...," sedikit Rangga menggumam kecil. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling Dia tahu kalau sekarang berada di sebuah puncak gunung yang berselimut kabut cukup tebal. Sehingga, cahaya matahari hampir tidak bisa menembusnya. Dan udara di sini juga terasa begitu dingin. Hanya saja Rangga tidak tahu, apa nama gunung ini.

"Coba kulihat, ada apa di dalam pondok itu...," gumam Rangga.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati pondok kecil yang berada tidak jauh dari air terjun. Rupanya air terjun itulah yang sempat didengar Rangga dari dalam lorong batu yang mengurungnya tadi. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah perlahan-lahan dengan mata menyorot tajam memandang ke sekitarnya. Pendengarannya juga terpasang begitu tajam, menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Rangga baru berhenti melangkah setelah berada cukup dekat di depan pondok kecil itu. Sebentar diamatinya keadaan sekitarnya. Namun sedikit pun tidak terdengar adanya tanda-tanda kehidupan. Kembali kakinya melangkah mendekati pondok itu dengan sikap sangat hati-hati.

"Hm.... Rupanya ada orang di dalam pondok ini," gumam Rangga setelah dekat dengan beranda pondok itu.

Telinganya yang tajam mendengar adanya tarikan napas yang begitu halus dari dalam pondok. Tapi kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Tarikan napas itu terdengar sangat lemah, seperti dari orang yang tengah menderita.

"Hup!"

Cepat Ranggga melesat menabrak pintu pondok itu. Sekali gedor dengan tangan kirinya saja, pintu kayu biasa itu hancur berkeping-keping.

Brak!
"Heh...?!"

Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, begitu melihat di dalam ruangan pondok ini terdapat seorang laki-laki tua yang seluruh tubuhnya tengah terikat menyatu dengan tiang yang berdiri di tengah-tengah. Bergegas dihampainya laki-laki tua itu. Tapi belum juga dekat, tiba-riba dari atas atap meluncur sebatang tombak ke arahnya.

"Ups..!"

Hampir saja mata tombak itu menghunjam tubuhnya, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat mengegos. Dan tombak itu langsung menancap tepat di depan laki-laki tua yang terikat di tiang seluruh tubuhnya.

"Hup!"

Tanpa berpaling lagi sedikit pun juga, Rangga cepat merundukkan tubuhnya. Dijumputnya sepotong kayu pecahan pintu. Dan secepat kilat, tubuhnya berputar sambil melemparkan potongan kayu itu ke atas atap.

"Hih! Yeaaah...!"
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"

Seketika terdengar jeritan panjang melengking tinggi, yang kemudian disusui jatuhnya sesosok tubuh dari atas atap pondok ini. Tampak sebuah potongan kayu tertancap tembus di lehernya. Hanya sedikit saja orang itu mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi dengan nyawa melayang.

Rangga tidak menghiraukan orang berbaju serba hitam itu. Cepat-cepat dihampirinya laki-laki tua ini, dan melepaskan tambang yang mengikat seluruh tubuhnya. Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya sedikit, menatap wajah Rangga yang berada dekat di depannya.

"Bawa aku keluar dari sini, Anak Muda...," lirih sekali suara laki-laki tua ini

"Baik. Hup...!"

Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga cepat menyambar tubuh tua itu. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar dengan kecepatan bagai kilat Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah berada cukup jauh di luar pondok.

Rangga menurunkan laki-laki tua berbaju jubah putih panjang ini dari pondongannya dan meletakkannya di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Sehingga, tubuhnya terlindung dari sorotan teriknya matahari. Tampak darah kering menggumpal di dalam rongga mulurnya. Dan jubah putihnya ternoda darah yang sudah mengering.

"Anak muda, siapa kau? Kenapa kau ada di sini...?" tanya orang tua itu, lemah sekali suaranya.

"Aku Rangga. Kebetulan saja aku berada di sini," sahut Rangga tidak mengatakan yang sebenarnya.

"Aku Eyang Gajah Sakti. Puncak Gunung Halimun ini tempat tinggalku. Tapi, sekarang mereka sudah menguasainya. Hhh.... Gadis itu..., gadis itu menginginkan lebih dari pertapaanku yang buruk, ini. Anak muda..., tolonglah aku. Pergilah ke Kadipaten Galumbu. Katakan pada Adipati Gadasewu, agar bisa mempertahankan istana dari rongrongan Sarita. Jangan sampai gadis itu menguasainya."

Laki-laki tua yang ternyata bernama Eyang Gajah Sakti ini terbatuk beberapa kali. Begitu lemah keadaannya. Dari luka-luka yang menggurat di tubuhnya, sudah bisa dipastikan kalau Eyang Gajah Sakti mendapatkan siksaan yang cukup parah.

Sementara Rangga hanya membisu saja. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Dan rasa-rasanya, Rangga pernah mendengar nama Eyang Gajah Sakti. Dan memang Adipati Gadasewu pernah bercerita kalau Eyang Gajah Sakti adalah gurunya, yang telah tewas terbunuh. Jadi, bukankah seharusnya laki-laki di hadapannya ini sudah mati? Tapi kenapa kenyataannya begini? Walaupun, memang tampaknya umur Eyang Gajah Sakti tak akan lama lagi. Pendekar Rajawali Sakti jadi bingung. Lantas, siapa yang menyiksa Eyang Gajah Sakti? Apakah gadis yang baru saja disebutkannya?

"Siapa gadis itu, Eyang?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.

"Sarita.... Dia anak tiri Kanda Adipati Payangga, Ayahanda Adipati Gadasewu. Gadis itu telah menaruh dendam pada keluarga adipati, karena ibunya bersama dirinya merasa disia-siakan. Dia bukan hanya ingin merampas istana peninggalan Adipati Payangga, tapi juga akan menghancurkan Kadipaten Galumbu. Bahkan Sarita merasa berhak atas Kadipaten Galumbu. Ukh...! Anak muda.... Katakan pada Adipati Gadasewu, jangan mempercayai siapa pun juga. Apalagi orang yang bernama Rondokulun. Dia itu kekasih Sarita, yang bermaksud merebut kekuasaan Adipati Gadasewu. Ugkh...!"

"Eyang...."

Beberapa kali Eyang Gajah Sakti terbatuk dan menyemburkan ludah yang bercampur darah kental berwarna agak kehitaman. Keadaannya semakin terlihat lemah. Dan napasnya juga sudah mulai tersendat Rangga tahu, laki-laki tua ini tidak mungkin lagi bisa ditolong. Siksaan yang diterimanya begitu berat. Tak jelas, sudah berapa lama Eyang Gajah Sakti tersiksa di puncak Gunung Halimun ini.

"Hhh...!"

Rangga hanya bisa menarik napas panjang saja, melihat Eyang Gajah Sakti sudah terkulai tidak bernyawa lagi. Perlahan diusapnya wajah laki-laki tua itu hingga kedua matanya terpejam. Lalu, dibaringkannya di bawah pohon ini. Sebentar Rangga memandangi tubuh tua yang sudah tidak bernyawa itu. Terngiang kembali kata-kata Eyang Gajah Sakti yang terakhir.

Rangga memang baru kali ini melihat Eyang Gajah Sakti. Tapi dari kata-katanya yang terakhir, bisa diketahui kalau apa yang terjadi di Kadipaten Galumbu hanya persoalan keluarga dan perebutan kekuasaan saja. Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak menyukai cara gadis yang berjuluk Dara Iblis itu.

"Hm.... Nyawa Adipati Gadasewu benar-benar terancam sekarang. Aku harus segera kembali ke Kadipaten Galumbu," gumam Rangga perlahan.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandangi tubuh Eyang Gajah Sakti yang terbujur tidak bernyawa lagi di depannya. Kini jelas, siapa yang menyiksa Eyang Gajah Sakti. Selain gadis yang bernama Sarita, ternyata Rondokulun ikut terlibat. Padahal, pemuda itu adalah murid Eyang Gajah Sakti sendiri. Mungkin karena terbuai oleh cintanya pada Sarita, Rondokulun jadi lupa diri. Bahkan ikut bersekongkol. Rondokulun kemudian pergi ke Kadipaten Galumbu untuk pura-pura mengabarkan pada Adipati Gadasewu bahwa Eyang Gajah Sakti telah tewas. Dan itu memang siasat Rondokulun, agar bisa menyusup ke dalam istana. Dengan demikian, dia bisa membaca kelemahan dan kelebihan kekuatan prajurit Baru setelah itu, istana bisa dikuasainya.

"Maaf, Eyang. Kalau aku sudah menyelesaikan semua amanatmu, aku akan kembali lagi untuk menguburkanmu di sini," ujar Rangga pelan.

Setelah berkata demikian, cepat sekali Rangga melesat pergi menuruni puncak Gunung Halimun yang selalu terselimut kabut ini. Gerakannya begitu cepat, hingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara itu tanpa diketahui sama sekali, sepasang mata yang sangat indah mengamati perbuatan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan pemilik sepasang mata itu baru keluar dari balik semak tempatnya bersembunyi, setelah Rangga benar-benar tidak terlihat lagi bayangannya.

Ternyata dia seorang gadis muda yang sangat cantik. Baju hitam pekat yang dikenakannya begitu ketat, membungkus tubuh yang ramping, indah, dan padat berisi. Sebilah pedang bergagang emas berbentuk bintang pada ujung tangkainya terlihat menyembul dari balik punggungnya. Gadis itu berdiri tegak tidak jauh dari tubuh Eyang Gajah Sakti yang terbujur kaki tidak bernyawa lagi.

"Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., dia benar-benar manusia tangguh yang sukar sekali dihadapi," gumam wanita itu perlahan.

Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, merayapi tubuh-tubuh berbaju hitam yang bergelimpangan di sekitar puncak Gunung Halimun ini.

"Benar-benar tangguh dia. Semua anak buahku tewas di tangannya," gumam gadis itu lagi perlahan.

Beberapa saat wanita berwajah cantik itu terdiam membisu, berdiri tegak memandang ke arah kepergian Rangga tadi. Dia tahu, arah yang dituju Pendekar Rajawali Sakti adalah Kadipaten Galumbu.

"Hhh! Kedudukan Kakang Rondokulun sudah terancam. Aku harus mendahuluinya, sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menemui Adipati Gadasewu Huh! Memang sebaiknya adipati keparat itu kubunuh saja. Karena dia, aku sengsara seumur hidup!"

Setelah berkata demikian, dengan kecepatan bagal kilat, wanita berbaju hitam yang selama ini dikenal berjuluk Dara Iblis itu melesat cepat menuruni puncak Gunung Halimun. Tapi arah yang dituju tidak sama dengan yang dilalui Pendekar Rajawali Sakti.

Tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Dara Iblis memang sudah tinggi sekali. Sehingga hanya bayangan putih saja yang berkelebat begitu cepat bagai kilat, menembus tebalnya kabut yang menyelimuti seluruh puncak gunung ini. Dan dalam waktu sebentar saja, bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, puncak Gunung Halimun ini jadi sunyi senyap, tanpa terdengar suara sedikit pun juga. Hanya desir angin saja yang terdengar menggesek daun-daun.

********************

TUJUH

Saat matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, Rangga baru sampai di Kota Kadipaten Galumbu. Pendekar Rajawali Sakti berhenti sebentar di depan rumah Ki Sampan. Tapi baru saja ingin terus melangkah, terdengar sebuah suara panggilan yang sangat dikenalnya. Rangga seketika mengurungkan langkah kakinya. Tubuhnya segera berputar berbalik. Tampak Ki Sampan dan Pandan Wangi berlari-lari, keluar dari dalam rumah penginapan itu menghampirinya.

"Dari mana saja kau, Kakang? Aku seharian cemas memikirkanmu?" dengus Pandan Wangi, langsung menegur.

"Ada yang harus kujelaskan padamu, Pandan. Tapi rasanya tidak ada waktu lagi," kata Rangga begitu bersungguh-sungguh.

"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi, jadi penasaran ingin tahu.

"Nanti saja kujelaskan sambil jalan. Sebaiknya, kau ikut aku saja," kata Rangga. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menatap Ki Sampan.

"Ki... Kau pulang saja. Tutup pintu dan jendela rapat-rapat Jangan sekali-kali membuka pintu, selain aku yang datang," pesan Rangga.

"Baik, Den," sahut Ki Sampan.

"Cepatlah. Tidak ada waktu lagi, Ki."

Ki Sampan bergegas berlari-lari dengan langkah terseok. Rangga dan Pandan Wangi baru melangkah, setelah laki-laki tua itu tidak terlihat lagi, tenggelam di dalam rumahnya. Dan kedua pendekar muda dari Karang Setia itu segera berjalan cepat menuju Istana Kadipaten Galumbu yang tidak seberapa jauh lagi jaraknya. Sepanjang perjalanan ini, Rangga menceritakan semua yang terjadi pada dirinya. Sejak dari semalam diserang dari belakang, hingga tidak sadarkan diri, sampai kejadian yang dialami di puncak Gunung Halimun.

"Puncak Gunung Halimun...?" desis Pandan Wangi agak terperangah saat Rangga mengatakan dari puncak Gunung Halimun.

"Ya, kenapa...?" tanya Rangga berbalik.

"Baru saja Ki Sampan bercerita padaku, kalau Adipati Gadasewu waktu kecilnya pernah berguru pada Eyang Gajah Sakti di Pertapaan Puncak Gunung Halimun," jelas Pandan Wangi.

"Aku juga bertemu Eyang Gajah Sakti. Sayang, dia terlalu cepat menghembuskan napas yang terakhir sebelum aku bertanya lebih banyak. Tapi, itu juga sudah cukup bagiku untuk bertindak sekarang. Dan kini aku tahu, siapa biang keladi dari semua ini, Pandan. Sekarang keselamatan Adipati Gadasewu benar-benar terancam. Kita harus cepat sampai di sana, sebelum terjadi sesuatu."

Pandan Wangi mengangguk-angguk walaupun belum seluruhnya bisa mengerti. Tapi paling tidak, sekarang ini tujuan mereka sudah jelas. Dan Rangga sudah tahu, apa yang sedang terjadi di Kadipaten Galumbu. Malah rahasia yang sudah membuat kota kadipaten ini bagaikan kota mati sudah tersingkap.

Sementara, malam terus merayap semakin larut Kesunyian begitu terasa menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini. Tidak ada seorang pun yang terlihat di luar rumahnya. Rangga dan Pandan Wangi terus berjalan dengan ayunan kaki cepat menuju Istana Kadipaten Galumbu.

"Tunggu dulu, Pandan...," sentak Rangga tiba-tiba, sambil mencekal pergelangan tangan kiri Pandan Wangi.

"Ada apa?" tanya Pandan Wangi langsung menghentikan langkahnya.

"Kau lihat..," kata Rangga sambil menunjuk ke arah pintu gerbang istana kadipaten yang sudah tidak jauh lagi di depan.

Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebentar kemudian wajahnya berpaling menatap wajah tampan di sebelahnya.

"Kau lihat, Pandan. Tidak ada seorang prajurit pun yang menjaga di sana. Aku khawatir, telah terjadi sesuatu di dalam," kata Rangga berbisik.

"Sejak tengah malam kemarin, gerbang ini tidak dijaga, Kakang," jelas Pandan Wangi.

Rangga jadi terdiam. Semalam, sebelum diserang dari belakang, Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tidak melihat seorang penjaga pun di pintu gerbang Padahal ketika pertama kali datang, paling sedikit ada empat orang prajurit yang menjaga pintu gerbang istana itu. Tapi kini..., tidak seorang pun yang terlihat di sana. Dan itu membuat Rangga jadi berpikir lain.

andan! Kau masuk lewat belakang, dan langsung ke kamar Adipati Gadasewu. Aku masuk dari depan," kata Rangga, mengatur rencana.

"Lalu, apa yang kulakukan kalau ketemu Adipati Gadasewu?" tanya Pandan Wangi.

"Ceritakan semua yang kualami di Pertapaan Gunung Halimun. Dan sampaikan pesan Eyang Gajah Sakti padanya. Kau harus bisa mengatakannya, seakan-akan juga ada di sana bersamaku, Pandan," pinta Rangga.

"Baik," sahut Pandan Wangi seraya mengangguk.

"Cepatlah, sebelum ada orang yang melihat."

Pandan Wangi tidak berkata apa-apa lagi. Dan tubuhnya langsung melesat pergi dengan gerakan cepat sekali. Ilmu meringankan tubuhnya yang tingkatannya sudah sangat tinggi segera dikerahkan. Sebentar saja bayangan tubuh gadis yang dikenal berjuluk Kipas Maut itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi tembok benteng yang mengelilingi bangunan istana kadipaten di depannya.

"Hup!"

Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagai kilat mendekati pintu gerbang yang tertutup rapat dan tidak terjaga. Dan setelah melesat tinggi ke udara, beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara. Lalu dengan ringan sekali, kedua kakinya menjejak bagian atas tembok benteng istana ini.

"Hm, sunyi sekali..... Tidak ada seorang pun di sini," gumam Rangga agak mendesis pelan.

Keadaan yang begitu sunyi, membuat Rangga harus lebih berhati-hati lagi. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti ' melompat turun dari atas tembok benteng istana kadipaten ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Namun baru saja mendarat, mendadak...

Wusss...!
"Heh...?! Ups!"

Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan tangan kirinya langsung dikibaskan untuk menangkis sebatang tombak yang tiba-tiba saja meluncur deras ke arahnya.

Tak!

Tombak itu seketika patah menjadi dua bagian, terhantam pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum lagi bisa menarik napas, Rangga kembali dikejutkan oleh munculnya seseorang dari balik sebuah pilar yang ada di beranda depan istana kadipaten ini.

Sementara itu, Pandan Wangi yang masuk melalui belakang, tidak mengalami kesulitan sedikit pun juga. Si Kipas Maut ini langsung menerobos masuk ke dalam kamar Adipati Gadasewu dari jendela. Tapi dia jadi terkejut, karena kamar ini kosong tanpa terlihat seorang pun. Pandan Wangi tidak mau lama-lama berada di dalam kamar ini.

Cepat tubuhnya melesat lagi, keluar dari dalam kamar itu melalui jendela. Begitu ringan gerakannya. Dan dengan manis sekali, kakinya menjejak tanah. Namun baru saja gadis itu bisa berdiri tegak mendadak saja melesat sebuah bayangan hitam ke arahnya dengan kecepatan begitu tinggi.

"Ups...!"

Cepat-cepat Pandan Wangi membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Lalu secepat itu pula, si Kipas Maut melompat bangkit berdiri.

"Dara Iblis...!" desis Pandan Wangi agak terkejut, begitu di depannya sudah berdiri seorang . wanita berwajah cantik berbaju hitam pekat.

"Hhh! Rupanya masih ada juga tikus busuk di sini," dengus Dara Iblis yang sebenarnya bernama Sarita.

"Kau yang bangkai busuk, Perempuan Iblis!" dengus Pandan Wangi tidak kalah sengit.

"Punya nyali juga kau rupanya. Tapi, memang harus begitu. Jadi kekasih pendekar ternama, harus berani menantang setiap lawan. Nah! Bersiaplah kau, Kipas Maut!"

Sret!
Cring...!

Pandan Wangi langsung mencabut senjata kipasnya, saat si Dara Iblis meloloskan pedangnya yang berwarna kuning keemasan. Tapi kedua bola mata si Kipas Maut itu jadi terbeliak, saat melihat ke pinggang Dara Iblis yang ternyata bergantung sebilah pedang yang begitu dikenalnya. Pedang Pusaka Rajawali Sakti milik Rangga!

Memang, Pandan Wangi tadi tidak sempat memperhatikan Rangga saat bertemu. Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti sudah kehilangan pedang pusakanya. Dan sekarang, pedang yang sangat dahsyat itu berada di pinggang Dara Iblis. Pandan Wangi jadi bergetar juga hatinya. Kalau Pedang Pusaka Rajawali Sakti digunakan, tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya. Bahkan mungkin Rangga sendiri tidak akan mampu menandinginya lagi. Pedang itu terlalu dahsyat dan berbahaya. Apalagi, kalau berada di tangan yang salah. Pandan Wangi jadi berpikir seribu kaii. Tapi untuk menghindari pertarungan, sudah tidak mungkin lagi. Karena, Dara Iblis sudah melesat cepat menerjangnya.

"Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Wut!
Bet!
Trang!

Bunga api seketika memercik, begitu dua senjata beradu di udara. Tampak Pandan Wangi terdorong tiga langkah ke belakang. Sementara, Dara Iblis tetap berdiri tegak, dan langsung memutar pedangnya menyambar ke arah kepala si Kipas Maut itu.

Bet!
"Haiiit...!"

Untung saja Pandan Wangi cepat-cepat merunduk, sehingga tebasan pedang Dara Iblis hanya lewat di atas kepalanya. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, menjaga jarak dengan lawannya. Tapi Dara Iblis tampaknya tidak ingin memberi kesempatan pada si Kipas Maut Dengan kecepatan bagai kilat, kembali tubuhnya melesat menerjang sambil memutar pedangnya.

"Hiyaaat..!"
"Gila! Ups!"

Pandan Wangi cepat membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Lalu dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya melesat tinggi ke udara. Namun, si Dara Iblis sepertinya sudah bisa membaca gerakan si Kipas Maut. Maka dengan cepat pula, gadis yang bernama Sarita ini melesat sambil melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Padahal, saat itu Pandan Wangi baru memutar tubuhnya di udara. Akibatnya, serangan Dara Iblis tentu saja membuat Pandan Wangi jadi tersentak kaget.

"Ikh...?!"
Diegkh!
"Akh...!"

Tidak ada kesempatan lagi bagi Pandan Wangi untuk menghindar, walaupun sudah berusaha. Dan tetap saja pukulan tangan kiri Sarita mendarat tepat di bagian kanan dadanya. Dan akibatnya, si Kipas Maut jadi terpental deras di udara.

Bruk!
"Akh...!"

Kembali Pandan Wangi terpekik, begitu tubuhnya keras sekali menghantam tanah. Tampak darah mengalir. dari sudut bibirnya. Sambil menyeka darah dengan punggung tangan, si Kipas Maut kembali bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri tegak, Dara Iblis sudah melepaskan satu tendangan keras luar biasa.

"Hiyaaat..!"
Begkh!
"Akh...!"

Kembali Pandan Wangi terpekik begitu dadanya terkena tendangan telak dari Sarita. Maka, si Kipas Maut kembali terpental jauh ke belakang.

Bruk!

Dinding tembok bagian belakang istana kadipaten ini, seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh Pandan Wangi. Hanya sedikit saja si Kipas Maut bisa menggerakkan tubuhnya, dan selanjutnya terkulai tidak bergerak-gerak lagi. Darah semakin banyak menggumpal, memenuhi rongga mulutnya. Sementara Dara Iblis berdiri tegak, tidak jauh dari tubuh Pandan Wangi yang menggeletak di antara reruntuhan dinding batu istana kadipaten ini.

"Huh! Mudah sekali aku membunuhmu, Pandan Wangi. Tapi aku tidak ingin melakukannya sekarang. Kau akan menerima gilirannya nanti, kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah kupenggal batang lehernya," terasa begitu dingin nada suara Sarita.

Cring!

Setelah memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka di punggung, Sarita mengangkat tubuh Pandan Wangi yang sudah tidak berdaya lagi. Dipanggulnya si Kipas Maut itu ke pundak, lalu dibawanya pergi.

Sementara itu, Rangga yang berada di halaman depan istana kadipaten ini tengah berdiri tegak berhadapan dengan seorang pemuda tampan, dengan tangan kanan menggenggam pedang telanjang. Dia tahu, pemuda itu adalah Rondokulun, yang diangkat saudara oleh Adipati Gadasewu.

"Sejak semula sudah kuduga, kaulah biang keladi dari semua ini, Rondokulun," terdengar begitu dingin nada suara Rangga.

"Kau hanya sendiri, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya menyerah saja. Tidak ada untungnya mencampuri urusan ini," kata Rondokulun angkuh.

alaupun sendiri, aku masih mampu membekukmu, Rondokulun.

a ha ha...! Rondokulun tertawa terbahak-bahak seakan kata-kata Rangga barusan membuat tenggorokannya jadi tergelitik. Namun Rangga sendiri hanya diam saja dengan sorot mata begitu tajam menatap lurus ke bola mata pemuda di depannya. Seakan-akan sorot matanya itu begitu tajam hendak menembus langsung jantung Rondokulun.

"Aku tahu, kau tidak akan menyerah begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti. Memang sebaiknya kita sedikit menguras tenaga," kata Rondokulun lagi.

"Hm...."

Rangga hanya sedikit menggumam saja. Dia tahu, Rondokulun sudah tidak sabar lagi ingin bertarung dengannya. Maka, perlahan kakinya digeser ke kanan beberapa langkah. Sementara, Rondokulun sendiri melangkah ke depan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti," desis Rondokulun sambil menjura memberi hormat.

Rangga jadi tersenyum, melihat sikap yang dibuat Rondokulun padanya. Maka dibalasnya penghormatan itu dengan sedikit membungkuk. Sikap yang diperlihatkan Rondokulun menandakan kalau lawannya begitu dihormati. Dan pertarungannya ini rupanya diinginkan berjalan secara ksatria. Maka Rangga juga menghormati cara Rondokulun.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Rondokulun melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya langsung dikebutkan, membabat ke arah dada pemuda berbaju rompi putih ini.

Bet!
"Haps!"

Hanya sedikit saja Rangga meliuk, maka tebasan pedang itu hanya lewat di depan dadanya. Lalu cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya ke belakang, begitu melihat Rondokulun memutar pedang sambil menggeser kakinya sedikit ke kanan. Dan dugaan Rangga memang tepat Rondokulun langsung menebas ke arah kakinya.

"Hiyaaat...!"

Secepat kilat Rangga melenting ke udara. Dan sebelum Rondokulun bisa menarik serangannya yang gagal di tengah jalan, Rangga sudah meluruk deras sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat kedua kakinya bergerak berputar, membuat Rondokulun jadi terperangah untuk sesaat. Dan....

"Ikh...!"
Bruk!

Rondokulun buru-buru membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali, sebelum kedua kaki Rangga menghantam kepalanya. Lalu secepat itu pula, Rondokulun bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa menegakkan rubuhnya, Rangga sudah melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu keras, disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh. Begitu cepat tendangan yang dilancarkan, sehingga Rondokulun tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....

Des!
"Hegkh...!"

Rondokulun kontan mengeluh, begitu tendangan Rangga yang cukup keras tadi telak menghantam dadanya. Akibatnya, tubuhnya terlempar ke belakang sejauh satu setengah tombak. Beberapa kali Rondokulun terguling di tanah, namun cepat bangkit berdiri. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Phuih!"

Rondokulun menyemburkan ludahnya yang bercampur darah kental. Disekanya darah di bibir dengan punggung tangan. Lalu, perlahan kakinya melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, tanpa menghiraukan dadanya yang terasa sesak akibat tendangan yang diterimanya tadi.

"Kubunuh kau, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!" Diiringi teriakan lantang menggelegar, Rondokulun melompat cepat bagai kilat sambil mem-babatkan pedangnya ke arah kepala pemuda berbaju rompi putih ini.

Bet!
"Haiiit..!"

Tapi hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepalanya, ujung pedang itu lewat di depan hidungnya. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti sedikit memiringkan tubuhnya ke kiri, dan langsung mespaskan satu tendangan keras. Akibatnya, Rondokulun tidak dapat lagi menghindarinya, dan tendangan itu kembali menghantam telak dadanya.

"Akh!" Rondokulun kembali terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan beberapa kali.

Sementara, Rangga kembali berdiri tegtk dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Diam beberapa gebrakan ladi, Rangga sudah bisa mmgukur, sampai di mana tingkat kepandaian Roncbkulun. Dan memang, rupanya tingkat kepandaiannya masih jauh untuk bisa menandingi Pendekat Rajawali Sakti. Sehingga, mudah sekali Rangga membuatnya jatuh bangun.

DELAPAN

Entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan Rangga mendarat di tubuh Rondokulun. Tapi, tampaknya pemuda itu belum juga sadar kalau kepandaiannya belum sebanding dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan terus saja Rangga diserang dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dan ini tentu saja membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi jengkel. Hingga....

"Hih! Yeaaah...!"

Tepat di saat Rondokulun maju menyerang, Rangga sudah cepat mendahuluinya. Maka satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskan dengan kecepatan bagai kilat. Tanpa disadari, Rangga melepaskannya pada tingkatan yang terakhir. Akibatnya...

Des!
"Aaa...!

Rondokulun menjerit keras melengking, begitu pukulan yang dilepaskan Rangga menghantam kepalanya. Dan seketika itu juga, Rondokulun jatuh menggelepar di tanah dengan kepala pecah berhamburan. Darah kontan mengucur deras, membasahi tanah yang berumput cukup tebal ini. Sementara, Rangga hanya berdiri tegak memandangi sambil menghembuskan napas panjang.

"Maaf... Kau sudah membuatku jengkel, Rondokulun. Kaulah yang menginginkan cara kematian seperti ini," desah Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti cepat melesat masuk ke dalam istana. Namun baru saja menjejakkan kakinya, di beranda depan, tiba-tiba saja dari dalam melesat sebuah bayangan hitam yang begitu cepat Sehingga, Rangga jadi terhenyak kaget setengah mati. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bisa berbuat sesuatu....

Plak!
"Akh...!"

Rangga jadi terpekik, begitu tiba-tiba merasakan satu hantaman keras yang mendarat di tubuhnya. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti jadi terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan pada anak-anak tangga beranda istana yang terbuat dari batu ini. Tubuhnya baru berhenti berguling, setelah menyentuh tanah.

"Hup!"

Cepat-cepat Rangga melompat bangkit berdiri. Seketika ada rasa sesak yang menyerang dadanya, akibat hantaman telak di dada sebelah kanan. Sedikit kepalanya menggeleng, menghilangkan rasa pening yang mendadak saja menyerang kepalanya. Dan tampak di ujung anak tangga, seorang wanita cantik berbaju hitam berdiri bertolak pinggang dengan sikap menantang.

"Sarita...," desis Rangga langsung mengenali. Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi menyebut julukan wanita itu, karena dia sudah tahu nama sebenarnya dari Eyang Gajah Sakti.

Sedangkan Sarita yang selama ini dikenal berjuluk Dara Iblis, melangkah perlahan-lahan menuruni anak-anak tangga istana kadipatenan ini. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus jantung Pendekar Rajawali Sakti yang juga menatapnya dengan sinar mata tidak kalah tajam.

"Untuk apa mencampuri segala persoalan yang bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti?" terdengar dingin sekali nada suara Sarita. Saat ini, wanita cantik itu sudah berada sekitar enam langkah lagi di depan Rangga.

"Aku hanya melaksanakan tugasku sebagai pendekar, Sarita. Aku sama sekali tidak memusuhimu, dan hanya mencegah tindakanmu yang telah melenyapkan nyawa orang-orang yang tidak bersalah," kata Rangga kalem.

"Tidak bersalah katamu, heh...?! Apa yang kau ketahui di Kadipaten Galumbu ini, Pendekar Rajawali Sakti?! Mereka sudah sepatutnya menerima ganjaran dari perbuatannya padaku. Juga pada ibuku...!" agak tinggi nada suara Sarita.

"Kau hanya dikuasai rasa dendam yang tidak beralasan, Sarita. Bukankah ayah tirimu sudah memberi yang terbaik, dengan mencukupi segala kebutuhanmu dan ibumu? Apakah semua itu tidak cukup bagimu...?"

"Huh! Dia sudah berjanji akan menyerahkan kadipaten ini padaku. Bukan pada Gadasewu yang hanya anak angkat! Gadasewu tidak berhak menduduki takhta adipati. Akulah yang berhak! Dan siapa bilang aku anak tiri, heh...?! Aku anak kandung adipati yang terdahulu. Walaupun ayahku tidak mengawini ibuku secara sah, tapi semua orang tahu kalau aku adalah anaknya. Dan adipati keparat itu, tidak mau mengakuinya. Bahkan mengambil Gadasewu yang diakuinya sebagai anak. Padahal, Gadasewu hanya anak gembel jalanan yang dipungut!"

Rangga jadi terhenyak tidak menyangka. Namun belum juga bisa membuka suaranya....

"Aku mengakui semua itu, Sarita...."
"Heh...?!"
"Hhh...! Bagaimana kau bisa lolos...?"

Bukan hanya Rangga yang terkejut, begitu tiba-tiba Adipati Gadasewu muncul di ambang pintu istana kadipaten. Di sampingnya, berdiri Ki Jalaksena dan Pandan Wangi, serta beberapa orang prajurit yang tidak memegang senjata.

"Kau terlalu bangga dengan kepandaianmu, Sarita. Kami semua memang tertotok, hingga tidak bisa bergerak sama sekali. Tapi, jangan sekali-kali melupakan Nini Pandan Wangi. Kau telah menganggapnya enteng. Nini Pandan Wangi bisa membebaskan totokanmu dan membebaskan kami semua, Sarita," jelas Adipati Gadasewu gamblang.

"Huh!"

Sarita hanya mendengus saja mendengar penjelasan itu. Diakui, tadi Pandan Wangi memang dianggapnya enteng. Bahkan mudah sekali ditundukkannya. Dan memang tidak diketahuinya kalau Pandan Wangi memiliki pengerahan hawa murni yang sudah sempurna. Sehingga totokan ringan yang diberikan sangat mudah dihalaunya.

"Sarita! Kau memang berhak menuntut. Tapi ketahuilah. Segala keputusan sudah ditentukan Ayahanda Adipati, sehingga aku menggantikannya memimpin kadipaten ini. Sedangkan kau diberi sebagian wilayah kadipaten ini. Apakah itu masih kurang, Sarita...?" terdengar tegas dan lembut sekali nada suara Adipati Gadasewu.

"Kau merampas milikku!" bentak Sarita garang.

"Aku memang bukan anak kandung Ayahanda Adipati, Sarita. Tapi, aku tidak bisa menolak segala yang sudah diputuskan. Sarita.... Aku rela melepaskan semua ini, asalkan kau tidak lagi menyakiti rakyat. Mereka tidak bersalah, dan tidak tahu apa-apa. Jangan sampai mereka menjadi korban dari kebencian dan...."

"Cukup...!" sentak Sarita memotong ucapan Adipati Gadasewu.

"Sarita, sadarlah.... Semua yang kau lakukan tidak benar. Berjanjilah padaku, kau akan menjadi pemimpin yang baik. Dan aku akan pergi dari kadipaten ini, dengan berjanji tidak akan kembali lagi ke sini," kata Adipati Gadasewu lagi.

"Penjilat! Keparat...! Aku tidak butuh ocehanmu, Gadasewu! Kau harus mati di tanganku! Hiyaaat..!"

Dengan kalap Sarita melompat sambil berteriak lantang menggelegar menyerang Adipati Gadasewu. Pedangnya yang berwarna kuning keemasan, langsung dikebutkan dengan deras ke arah adipati muda ini. Sedangkan Adipati Gadasewu sendiri seperti tidak berusaha menghindar, dan tetap berdiri tegak menanti serangan. Dan sikap itu tentu saja membuat yang lain jadi tersentak kaget.

"Adipati, minggir...! Hih!"

Pandan Wangi yang berada di samping kanan Adipati Gadasewu, tidak bisa tinggal diam lagi. Dengan cepat didorongnya tubuh adipati itu, tepat di saat ujung pedang Sarita sudah hampir menebas kepalanya. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Ternyata Sarita cepat memutar pedangnya. Dan....

Cras!
"Akh...!"
"Pandan...!"

Rangga jadi tersentak kaget, melihat ujung pedang Sarita merobek bahu kiri Pandan Wangi. Seketika gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu jadi terhuyung ke belakang. Sementara Adipati Gadasewu terguling ke lantai beranda istana ini. Dia juga kaget, tidak menyangka tindakan yang dilakukan Pandan Wangi. Demi untuk menyelamatkan nyawanya, Pandan Wangi rela mengorbankan dirinya menjadi sasaran pedang Sarita.

"Keterlaluan kau, Sarita...!" desis Adipati Gadasewu sambil bangkit berdiri.

Tapi belum juga Adipati Gadasewu bisa berbuat sesuatu, Rangga sudah lebih dulu melesat cepat bagai kilat Satu pukulan keras menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir dilepaskan.

"Hiyaaat..!"
"Haiiit..!"

Tapi, Sarita sudah lebih cepat lagi menghindar dengan melenting ke belakang. Sehingga pukulan yang dilepaskan Rangga hanya menghantam pilar batu di beranda depan istana ini. Seketika, pilar yang sangat besar itu hancur berkeping-keping disertai ledakan dahsyat menggelegar.

"Hup! Yeaaah...!"

Rangga yang amarahnya sudah memuncak melihat Pandan Wangi terluka, tidak bisa lagi menahan diri. Dengan kecepatan bagai kilat, tubuhnya kembali melompat menyerang Dara Iblis ini. ? Pukulan-pukulan cepat dan bertenaga dalam tinggi segera dilepaskan secara beruntun, membuat Sarita terpaksa harus menghindar dengan berjumpalitan di udara.

Pertarungan itu memang tidak dapat dicegah lagi. Gencar sekali Rangga melancarkan serangan-serangan dalam pengerahan jurus-jurus dahsyat, dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang dipadukan secara sempurna. Akibatnya, Sarita yang selama ini dikenal berjuluk Dara Iblis jadi kelabakan setengah mari menghindarinya.

Namun Sarita tidak hanya bisa berkelit dan menghindar. Malah sudah beberapa kali balas menyerang tidak kalah ganasnya. Dan kini, mereka saling melancarkan serangan menggunakan jurus-jurus yang begitu cepat dan dahsyat luar biasa.

Saat itu, Adipati Gadasewu menghampiri Pandan Wangi yang sudah bisa berdiri lagi. Darah masih terlihat mengucur dari bahu yang sobek tersabet pedang tadi.

"Lukamu cukup lebar, Nini Pandan," kata Adipati Gadasewu.

Tuk! Tuk!

Tanpa meminta izin lebih dulu, Adipati Gadasewu memberi beberapa totokan di sekitar luka itu. Dan seketika itu juga, darah tidak lagi mengalir. Sedangkan Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Sebenarnya, gadis itu bisa melakukannya sendiri. Tapi, dia tidak menolak pertolongan adipati berusia muda ini.

"Terima kasih," ucap Pandan Wangi.

"Biarkan Ki Jalaksena merawat lukamu, Nini Pandan," kata Adipati Gadasewu.

Sebelum Pandan Wangi bisa menolak, Adipati Gadasewu sudah memerintahkan Ki Jalaksena untuk merawat luka di bahu kiri gadis ini. Dan Pandan Wangi memang tidak bisa lagi menolak.

Sementara itu, pertarungan antara Rangga dan Sarita masih terus berlangsung sengit di pelataran halaman depan bangunan istana kadipatenan ini. Malah, kini Adipati Gadasewu kembali memusatkan perhatiannya ke arah pertarungan itu.

Dan saat itu mereka sama-sama berlompatan ke belakang mengambil jarak sejauh sekitar satu batang tombak. Tampak satu sama lain berdiri tegak saling berhadapan, mengatur jalan pernapasan yang sudah mulai tersengal. Dari sikap mereka, jelas kalau masing-masing tengah mengerahkan ilmu kedigdayaan.

Rangga sendiri sudah mulai mempersiapkan aji 'Cakra Buana Sukma', tanpa menggunakan pedang yang kini berada di pinggang Sarita. Sedangkan Dara Iblis juga tengah mengerahkan ilmu kesaktiannya. Beberapa saat mereka masih berdiri saling menatap tajam. Saat itu, dari sela-sela kedua telapak tangan Rangga yang merapat di depan dada, sudah terlihat cahaya biru mamancar bagai hendak mamberontak keluar.

"Mampus kau, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!

"Aji Cakra Buana Sukma Yeaah...!"

Tepat ketika Sarita menghentakkan kedua tangannya ke depan, Rangga juga mendorong kedua tangannya ke depan. Saat itu dari kedua telapak tangan Sarita memancar cahaya kuning keemasan. Sedangkan dari kedua telapak tangan Rangga, meluncur cahaya biru yang menggumpal terang menyilaukan mata.

Glarrr

Satu ledakan dahsyat seketika terdengar keras menggelegar, tepat ketika dua cahaya itu beradu di tengah-tengah.

"Akh..!"

Tampak Sarita terpekik agak tertahan, dan kakinya terdorong ke belakang dua langkah. Namun, cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga terus meluruk deras kearah Dara Iblis ini.

"Akh.!"

Kembali Sarita memekik, begitu tubuhnya terhantam cahaya biru yang memancar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan cahaya biru itu langsung menggulung tubuh Dara Iblis itu. Sarita menggeliat-geliat berusaia melepaskan diri dari selubung sinar biru itu.

Sementara, Rangga mulai melangkah perlahan-lahan mendekati, dengan kedua tangan masih terentang lurus ke depan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, mengamati gerakan-gerakan tubuh Sarita yang masih tergulung cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma'.

"Shiaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras agak mendesis. Dan saat itu juga, dari rongga mulutnya yang tebuka meluncur cahaya biru yang menggumpal terang menyilaukan mata. Saat itu, Pandan Wangi yang tengah dirawat lukanya jadi tersentak kaget. Dia tahu, kalau Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan seluruh kekuatan dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang sangat dahsyat pada tingkat terakhir. Sementara itu, Sarita semakin tidak dapat lagi melepaskan diri dari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan....

"Yeaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan, setelah menarik sedikit ke belakang. Dan....

Glarr!

Satu ledakan sangat dahsyat, seketika terdengar menggelegar. Begitu dahsyatnya, hingga bumi ini jadi bergetar bagai terjadi gempa. Tampak cahaya biru yang menggulung tubuh Sarita memancar ke segala arah. Bersamaan dengan melompatnya Rangga ke belakang, terlihat tubuh Dara Iblis itu hancur berkeping-keping.

Sementara, cahaya biru yang berkilauan terang sudah tidak terlihat lagi Rangga kini berdiri tegak dengan napas tersengal memburu. Seluruh tubuhnya sudah basah oleh keringat. Sekitar satu tombak di depannya, teronggok debu dari tubuh Sarita yang hancur berkeping-keping. Tidak jauh dari situ, tampak sebilah pedang bergagang kepala burung tergeletak.

"Hhh...!"

Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri, sambil menghembuskan napas panjang. Diambilnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti, dan disandangkannya kembali di punggung. Saat itu, Pandan Wangi sudah melangkah menuruni anak tangga istana kadipaten ini, diikuti Adipati Gadasewu dan Ki Jalaksena. Sedangkan para prajurit kadipaten sudah langsung menyebar ke setiap sudut bangunan istana ini, setelah mendapatkan senjatanya lagi.

"Bagaimana lukamu, Pandan?" tanya Rangga langsung, begitu Pandan Wangi dekat.

"Tidak apa-apa. Hanya luka biasa," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum.

Rangga menatap Adipati Gadasewu yang berdiri di sebelah kanan Pandan Wangi. Adipati yang masih berusia muda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu sulit diartikan...?

"Maafkan aku, Adipati Aku terpaksa melenyapkannya," ucap Rangga

"Sudah sepatutnya, Rangga. Yaaah.... Aku juga menyesali tindakannya. Sama sekali tidak kusangka kalau Sarita yang menjadi dalang kerusuhan ini," ujar Adipati Gadisewu agak mendesah berat.

"Tapi semuanya sudah terakhir," selak Pandan Wangi.

"Ya, semuanya sudah terakhir...," desah Adipati Gadasewu.

"Tapi, dari mana Sarita memiliki kepandaian begitu hebat?" tanya Rangga. Dan pertanyaan itu memang sudah lama tersimpan di benaknya.

"Kudengar, setelah hidupnya tersia-sia, dia pergi ke padepokan kakeknya yang berarti ayah dari ibu Sarita sendiri. Di sana, dia memperdalam ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Namun sungguh tak kusangka kalau kepandaiannya justru untuk melampiaskan dendamnya.... Sayang sekali," jelas Adipati Gadasewu, agak mendesah.

"Sudahlah.... Yang penting, Gusti Adipati sekarang bisa meneruskan pemerintahan dengan adil dan bijaksana," hibur Pandar Wangi.

"Mudah-mudahan...," desah Adipati Gadasewu.

Dan sebenarnya, Rangga ingin menjelaskan kalau sempat bertemu Eyang Gajah Sakti yang pernah diberitakan telah tewas namun ternyata masih hidup. Namun karena kini Eyang Gajah Sakti telah benar-benar tewas, Rangga hanya memendam ceritanya dalam-dalam. Toh yang diketahui Adipati Gadasewu, Eyang Gajah Sakti telah tewas...

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: PEMBUNUH BERDARAH DINGIN

Rahasia Dara Iblis

Pendekar Rajawali Sakti

RAHASIA DARA IBLIS


SATU
MALAM sudah begitu larut menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu. Seluruh jalan di kota kadipaten itu kelihatan sunyi senyap, tanpa terlihat seorang pun berkeliaran di sepanjang jalan tanah berdebu ini. Angin bertiup cukup kencang, menyebarkan udara dingin dan debu di sepanjang jalan.

Di malam yang sunyi ini, terlihat seseorang tengah berjalan perlahan-lahan memasuki Kota Kadipaten Galumbu. Dari bentuk tubuhnya yang ramping dan berkulit putih halus terbungkus pakaian ketat berwarna hitam, jelas kalau orang itu adalah wanita. Dia tampak terus berjalan memasuki kota kadipaten ini, seakan tidak mempedulikan kesunyian dan hembusan angin yang begitu dingin menusuk tulang.

Dari raut wajahnya yang cantik, kelihatan kalau usianya masih muda. Paling-paling baru sekitar dua puluh satu tahun. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam, tanpa berkedip memandang lurus ke ujung jalan yang dilaluinya. Sebilah pedang yang ujung gagangnya berbentuk sebuah bintang berwarna kuning keemasan, tersampir di punggungnya. Meskipun ayunan langkahnya lambat-lambat, tapi sangat ringan hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun juga. Dari sini bisa diduga kalau gadis itu bukan orang sembarangan dan pasti memiliki kepandaian tinggi.

"Hm...."

Sedikit gadis itu menggumam, ketika di ujung jalan di depan terlihat dua orang laki-laki berjalan ke arahnya. Maka ayunan kakinya dihentikan sebentar, kemudian kembali berjalan dengan sikap sangat tenang. Sementara dua orang laki-laki yang berjalan ke arahnya semakin dekat saja, sehingga mereka bertemu tepat di tengah jalan.

"Malam-malam begini mau ke mana, Nyi?" tegur salah seorang pemuda itu.

"Hm...."

Tapi pertanyaan itu hanya dijawab dengan gumaman saja oleh wanita itu.

"Terlalu berbahaya jalan malam-malam begini, Nyi," kata pemuda satunya lagi.

"Hm."

Lagi-lagi gadis itu hanya menggumam sedikit saja. Sementara, dua pemuda ini saling melirik dan memberi senyum. Memang bentuk tubuh dan wajah gadis ini bisa mengundang hasrat kaum lelaki.

"Boleh kuantar, Nyi...?" salah seorang pemuda itu menawarkan jasa dengan senyuman tersungging di bibir.

"Minggirlah. Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan darah tikus jelek macam kalian!" tiba-tiba saja gadis cantik berbaju hitam itu mendengus dingin.

"Heh...?!"

Tentu saja dengusan bernada kasar itu membuat kedua pemuda ini jadi tersentak kaget. Tapi tidak lama kemudian, kedua pemuda itu jadi tertawa terbahak-bahak. Sedangkan gadis berbaju hitam ini hanya diam saja. Namun sorot matanya tertuju lurus ke depan, seakan tidak mempedulikan tawa kedua pemuda di depannya.

"Jangan terlalu galak begitu. Kami berdua ini orang baik-baik. Tidak ada maksud kotor di dalam hati kami, Nyi. Kecuali, kalau kau memang menginginkannya. He he he...."

"Ha ha ha...!"

"Hhh!... Mau ke mana, Nyi? Boleh kami antar pulang...?"

"Kalian sudah mulai memuakkan."

"He he he.... Jangan galak-galak, Nyi. Kau tambah cantik kalau galak begitu."

"Baiklah. Apa yang kalian inginkan...?"

"Ha ha ha...!"

Kedua pemuda itu jadi terbahak-bahak. Namun belum juga tawa mereka terhenti, mendadak saja....

"Hih!"
Sret! Bet!

Begitu cepat gadis berbaju hitam ini bergerak mencabut pedangnya, dan langsung dibabatkan ke arah dada kedua pemuda di depannya.

Wuk!
"Akh!"
"Aaa...!"

Tahu-tahu kedua pemuda itu sudah ambruk menggelepar di tengah jalan, dengan dada terbelah lebar mengeluarkan darah segar. Sementara dengan gerakan manis sekali, gadis cantik berbaju hitam itu memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung.

"Hhh! Phuih!"

Sambil menyemburkan ludahnya, gadis itu langsung saja melangkah pergi. Ditinggalkannya kedua orang pemuda yang masih menggelepar, meregang nyawa di tengah jalan ini. Tapi tidak berapa lama kemudian, kedua pemuda itu sudah mengejang, lalu kaku tidak bergerak-gerak lagi. Sementara, gadis berbaju hitam itu sudah lenyap tertelan gelapnya malam.

Jeritan melengking dari kedua pemuda itu rupanya membuat penduduk Kota Kadipaten Ga-lumbu jadi terbangun dari buaian mimpi. Terlebih lagi, yang rumahnya dekat jalan itu. Dan sebentar saja, sudah banyak pelita yang menyala. Lalu, disusul munculnya orang-orang dari dalam rumah. Mereka jadi tersentak kaget, begitu mendapati dua orang pemuda sudah tergeletak tak bernyawa di tengah jalan dengan dada terbelah mengeluarkan darah. Malam itu juga, seluruh penduduk di Kota Kadipaten Galumbu jadi gempar.

Tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi. Sementara gadis berbaju hitam tadi sudah lenyap tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Malam yang semula terasa sunyi dan dingin, kini jadi hangat oleh semakin bertambah banyaknya orang yang memadati jalan ini. Mereka ingin melihat dua sosok mayat yang menggeletak di tengah jalaa Namun, tidak ada seorang pun yang berusaha mendekati dan memindahkan kedua pemuda malang itu.

Mayat kedua pemuda itu baru diangkat, setelah muncul sepuluh orang prajurit kadipaten. Prajurit-prajurit itu segera menanyakan apa yang terjadi, tapi tidak seorang pun yang tahu. Mau tak mau mereka hanya bisa mengurus mayat kedua pemuda itu. Dan malam pun terus merayap semakin larut Kejadian malam ini membuat semua orang jadi bertanya-tanya, tapi memang sulit menemukan jawabannya.

Kematian dua orang anak muda semalam, bukan hanya menjadi buah bibir penduduk Kota Kadipaten Galumbu. Tapi juga sudah sampai terdengar telinga Adipati Gadasewu, orang yang berkuasa di Kadipaten Galumbu ini. Entah kenapa, sikap Adipati Gadasewu jadi berubah setelah mendengar kematian dua orang pemuda semalam. Dan ini tentu saja membuat Ki Jalaksena, orang yang paling dekat dengannya merasa keheranan. Sejak mendengar kabar itu tadi pagi, Adipati Gadasewu terus menyendiri dan merenung di taman belakang istana kadipatenan.

"Gusti Adipati...."
"Oh... kau, Ki Jalaksena. Ada apa...?"

Adipati Gadasewu agak terperanjat begitu Ki Jalaksena menegurnya, saat sedang duduk menyendiri di dalam taman belakang istana kadipatenan ini. Ki Jalaksena segera memberi sembah, kemudian mengambil tempat di depan adipati yang berusia muda ini.

"Maaf, Gusti. Hamba datang menghadap tanpa diminta," ujar Ki Jalaksena sambil memberi sembah hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

Adipati Gadasewu hanya tersenyum saja. Meskipun usianya jauh lebih muda, tapi kedudukannya memang jauh lebih tinggi daripada laki-laki tua ini. Dan sudah barang tentu, pangkat tidak melihat perbedaan usia. Kini, Adipati Gadasewu bangkit berdiri dan melangkah ke balik kursi panjang yang tadi didudukinya. Sedangkan Ki Jalaksena tetap duduk bersimpuh di atas rerumputan taman ini. Begitu hormat sikapnya. Bahkan kepalanya sedikit pun tidak diangkat, menekun rerumputan di depannya.

"Ada yang hendak kau bicarakan denganku, Ki?" tanya Adipati Gadasewu langsung menebak

"Jika Gusti Adipati tidak marah."
"Apa yang harus kumarahi...?"
"Maaf, Gusti."

"Katakan saja, Ki. Apa yang ingin kau bicarakan denganku."

Ki Jalaksena tidak langsung mengutarakannya, dan terdiam beberapa saat. Sementara, Adipati Gadasewu hanya menunggu dan memandangi dengan sabar. Perlahan Ki Jalaksena mengangkat kepalanya. Segera diberikannya sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, seakan meminta izin untuk mengutarakan apa yang terkandung dalam hatinya saat ini.

"Maaf, Gusti. Sejak peristiwa semalam, hamba melihat sikap Gusti jadi lain. Sejak pagi tadi, Gusti selalu menyendiri di dalam taman ini. Maaf atas kelancangan hamba memperhatikan Gusti," ucap Ki Jalaksena dengan sikap sangat hormat. Lalu kembali diberikannya sembah hormat.

Namun kata-kata yang diucapkan Ki Jalaksena tidak membuat adipati muda ini jadi tersinggung. Bahkan jadi tersenyum. Lalu Adipati Gadasewu duduk kembali di kursi panjang yang terbuat dari kayu ini. Dipandanginya laki-laki tua berjubah putih yang duduk bersimpuh di depannya. Sebentar ditariknya napas dalam-dalam.

"Aku memang memikirkan kejadian semalam, Ki. Terus terang, seakan-akan peristiwa malam tadi memberi suatu tanda padaku, kalau kadipaten ini tidak lama lagi akan menghadapi suatu persoalan yang tidak bisa dipandang ringan," jelas Adipati Gadasewu pelan, disertai tarikan napasnya yang dalam.

"Firasat apa, Gusti?" tanya Ki Jalaksena.

"Entahlah, Ki. Sepertinya kejadian semalam merupakan awal peristiwa berdarah berikutnya," sahut Adipati Gadasewu, agak mendesah suaranya.

"Gusti! Sebaiknya hal itu tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Mungkin hanya pembunuhan biasa saja. Antara anak-anak muda," hibur Ki Jalaksena berusaha menenangkan pikiran adipati muda ini.

"Mungkin, Ki. Tapi...."
"Tapi kenapa, Gusti?"

"Hatiku jadi tidak enak, Ki. Aku sendiri tidak tahu, seakan-akan peristiwa semalam terjadi begitu dekat di depan mataku."

"Ah! Sudahlah, Gusti. Hamba rasa itu hanya perasaan Gusti sendiri."

"Hhh...!"

Beberapa saat mereka terdiam.

"Gusti, kedatangan hamba ke sini sebenarnya ingin mengabarkan, kalau Gusti Adipati ditunggu seseorang," jelas Ki Jalaksena lagi.

"Siapa, Ki?"

"Dia tidak mau menyebutkan namanya, Gusti. Katanya, ingin langsung bertemu Gusti Adipati sendiri. Dan hamba tadi memintanya menunggu dipendopo depan."

"Hm.... Apakah dia penduduk kadipaten ini?"

"Melihat dari pakaiannya, seperti bukan. Dan dia membawa pedang, Gusti."

"Orang persilatan..?"
"Mungkin."

"Baiklah, Ki Aku akan menemuinya. Suruh dia menunggu di bangsal agung."

"Baik, Gusti."

Setelah memberi sembah hormat, Ki Jalaksena bergegas meninggalkan adipati muda itu. Beberapa saat Adipati Gadasewu masih duduk merenung dalam taman ini. Dan baru setelah Ki Jalaksena tidak tidak terlihat lagi, taman belakang istana kadipatenan yang sangat megah ini ditinggalkannya.

Kadipaten Galumbu ini memang sangat besar, sehingga tidak heran kalau istana kadipatennya juga megah. Bahkan seperti bangunan istana kerajaan saja. Kadipaten Galumbu juga memiliki prajurit yang cukup banyak, hingga hampir di setiap_sudut selalu terlihat para prajurit berjaga-jaga.

Adipati Gadasewu yang masih berusia sekitar tiga puluh tahun itu duduk dengan agungnya di kursi berwarna kuning keemasan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, memandangi seorang laki-laki berusa sekitar dua puluh lima tahun yang duduk bersimpuh di lantai, sekitar sepuluh langkah di depannya. Di belakangnya terlihat Ki Jalaksena duduk bersimpuh mendampingi. Sementara sekitar sepuluh orang prajurit bersenjatakan tombak, terlihat berjaga-jaga di sekitar ruangan yang berukuran cukup luas dan megah ini

"Kisanak. Rasanya, aku belum pernah melihatmu. Ada keperluan apa hingga kau ingin bertemu denganku?" terdengar lembut dan ramah sekali suara Adipati Gadasewu.

"Maaf, Gusti Adipati. Hamba adalah utusan dari puncak Gunung Halimun," sahut laki-laki muda bertubuh kekar, terbungkus baju dari bahan sederhana berwarna biru. Sikapnya juga hormat sekali.

"Hm... Siapa namamu, Kisanak?" tanya Adipati Gadasewu lagi dengan kening berkerut

"Nama hamba Rondokulun, Gusti Adipati."
"Lalu, siapa yang mengutusmu?"
"Guru hamba. Eyang Gajah Sakti."

Kening Adipati Gadasewu jadi berkerut. Dipandanginya laki-laki bertubuh kekar yang mengaku bernama Rondokulun, utusan Eyang Gajah Sakti yang bermukim di puncak Gunung Halimun ini. Tapi beberapa saat kemudian, pandangannya beralih pada Ki Jalaksena.

"Ki Jalaksena...."
"Hamba, Gusti Adipati."
"Tinggalkan aku berdua saja dengannya. Juga kalian semua, Prajurit."

"Tapi Gusti...."

"Tdak apa-apa, Ki. Aku kenal betul Eyang Gajah Sakti. Dan sebagai utusannya, tentu dia membawa kabar penting yang hanya aku sendiri yang boleh mengetahuinya," kata Adipati Gadasewu memutuskan ucapan Ki Jalaksena.

"Baik, Gusti. Hamba akan tetap berjaga-jaga di depan pintu," ujar Ki Jalaksena tidak bisa lagi membantah.

Ki Jalaksena memberi sembah hormat, lalu bangkit berdiri. Kemudian kakinya melangkah ke luar dari ruangan ini, diikuti para prajurit yang memang tadi diperintahkan untuk berjaga-jaga. Setelah Ki Jalaksena tidak terlihat lagi di balik pintu, Adipati Gadasewu bangkit dari kursinya. Dihampirinya Rondokulun yang masih tetap duduk bersimpuh di lantai beralaskan permadani berbulu tebal

"Rondokulun, bangunlah...," ujar Adipati Gadasewu meminta.

"Hamba, Gusti Adipati."

Setelah memberi sembah, Rondokulun bangkit berdiri. Tapi sikapnya masih tetap hormat, tanpa sedikit pun berani mengangkat kepalanya. Sedangkan Adipati Gadasewu merayapinya beberapa saat dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

"Kau datang ke sini diutus Eyang Gajah Sakti. Kalau demikian, pasti ada kabar yang sangat penting, hingga kau ingin bertemu langsung denganku," kata Adipati Gadasewu.

"Benar, Gusti Adipati. Hamba membawa kabar yang sangat penting dari Eyang Gajah Sakti," sahut Rondokulun.

"Hm, katakan kabar apa yang kau bawa."

"Gusti, sebenarnya Eyang Gajah Sakti sudah tiada...," pelan sekali suara Rondokulun.

"Apa...?!"

"Pesan yang hamba bawa, diucapkan pada saat terakhir."

Adipati Gadasewu hanya diam saja, seperti tidak mendengarkan. Memang, hatinya tadi begitu terkejut saat mendengar Eyang Gajah Sakti yang dikenal sebagai pertapa di puncak Gunung Halimun sudah tiada. Sungguh suatu kabar yang tidak diinginkan.

"Gusti...."

"Oh...?!" Adipati Gadasewu tersentak. Buru-buru sikapnya diperbaiki.

"Hm, Rondokulun. Bagaimana meninggalnya Eyang Gajah Sakti?" tanya Adipati Gadasewu.

"Hamba sendiri tidak tahu apa yang terjadi, Gusti. Saat itu, hamba sedang mencari kayu bakar. Tapi belum juga terkumpul, terdengar jeritan yang datangnya dari arah pertapaan. Hamba langsung kembali, dan mendapatkan Eyang Gajah Sakti sudah terkapar berlumuran darah."

"Jadi Eyang Gajah Sakti dibunuh orang?"

"Benar, Gusti. Sayangnya, hamba tidak tahu pembunuhnya. Tapi Eyang Gajah Sakti sempat menitipkan pesan padaku agar disampaikan pada Gusti Adipati Gadasewu di Kadipaten Galumbu ini"

"Apa pesannya?"

"Eyang Gajah Sakti meminta agar Gusti Adipati berhati-hati. Seseorang akan mencari dan membunuh Gusti. Tapi bukan hanya itu saja. Karena yang paling penting, Eyang Gajah Sakti juga berpesan agar Gusti Adipati menjaga satu-satunya barang yang dititipkannya."

"Hm...."

"Maaf, Gusti. Eyang Gajah Sakti sudah satu pekan meninggal. Dan hamba baru sempat datang hari ini, karena harus mengurus pertapaan dulu," ucap Rondokulun.

"Itu lebih baik, Rondokulun Daripada tidak sama sekali."

"Gusti, hamba sudah melaksanakan amanat Eyang Gajah Sakti. Sekarang, hamba mohon diri," ujar Rondokulun berpamitan.

"Kau ingin ke mana, Rondokulun?"

"Hamba akan pergi mengembara, Gusti. Karena hamba sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Sedangkan untuk kembali ke pertapaan, sudah tidak mungkin lagi. Dan yang penting, hamba sudah melaksanakan pesan Eyang Gajah Sakti untuk membakar habis pertapaan," sahut Rondokulun.

"Sebaiknya kau jangan pergi, Rondokulun. Tinggallah di sini. Paling tidak, untuk beberapa hari. Masih banyak yang ingin kuketahui tentang Eyang Gajah Sakti selama aku tidak lagi tinggal di sana," kata Adipati Gadasewu meminta.

"Tapi, Gusti...."
"Kau ada keperluan lain?"
Rondokulun menggeleng.

"Nah! Kalau begitu, tinggalan di sini barang beberapa hari. Aku pasti akan membutuhkanmu di sini. Paling tidak, untuk menghadapi pembunuh Eyang Gajah Sakti. Rondokulun! Kau murid Eyang Gajah Sakti. Dan aku juga muridnya, walaupun ketika aku di sana, kau belum ada. Dan aku yakin, kepandaianmu cukup tinggi. Maka kuingin kau membantuku membekuk pembunuh guru kita," kata Adipati Gadasewu.

"Oh! Jadi..., Gusti Adipati...."

"Kau terkejut kalau kita saudara seperguruan, Rondokulun..?"

"Dewata Yang Agung.... Tidak kusangka kalau Gusti Adipati juga murid Eyang Gajah Sakti."

Adipati Gadasewu tersenyum. Ditepuknya pundak Rondokulun dengan lembut Memang untuk meminta Rondokulun tinggal di istana kadipatenan ini dalam beberapa hari, Adipati Gadasewu terpaksa harus mengatakan keadaan sebenarnya kalau dirinya juga murid Eyang Gajah Sakti. Padahal dia menjadi murid pertapa tua itu hanya tiga tahun saja, karena harus kembali lagi ke kadipaten ini, saat usianya baru lima belas tahun. Dan dia tidak tahu kalau Eyang Gajah Sakti mengambil murid lain Makanya kini mereka bertemu dalam suasana yang tidak terduga sama sekali.

"Mari, Rondokulun Aku akan menjamu kau di sini. Jangan sungkan-sungkan. Aku adalah saudaramu. Dan kau boleh tinggal di kadipatenan ini selama kau suka," ujar Adipati Gadasewu.

"Terima kasih, Gusti Adipati. Memang, sebenarnya hamba sendiri belum ada tujuan yang pasti. Kalau memang Gusti Adipati menghendaki, hamba akan mengabdikan diri di sini," sambut Rondokulun gembira.

"Ha ha ha...! Kau saudaraku, Rondokulun. Kau akan selalu bersamaku, ke mana saja aku pergi."

"Hamba, Gusti Adipati."

"Ayo, kita pindah ke ruangan lain. Aku akan perintahkan emban untuk menyiapkan kamarmu, selama kau belum punya tempat tinggal sendiri."

'Terima kasih, Gusti Adipati."

"Jangan panggil aku seperti itu, Rondokulun. Panggil saja aku kakang."

"Tapi...."

"Kau keberatan...? Baiklah. Kau boleh memanggilku begitu di depan orang lain. Tapi kalau hanya berdua saja, aku tidak ingin kau menyebut gusti padaku. Paham...?"

Rondokulun hanya bisa mengangguk saja. Tidak mungkin lagi keinginan orang yang paling berkuasa di Kadipaten Galumbu ini ditolaknya. Dan mereka pun pindah ke ruangan lain. Sikap Adipati Gadasewu begitu akrab, seakan-akan memang baru bertemu saudaranya yang telah berpisah puluhan tahun lamanya.

DUA

Kedatangan Rondokulun memang membuat sikap Adipati Gadasewu berubah. Seakan-akan peristiwa semalam yang menewaskan dua orang pemuda penduduk Kadipaten Galumbu sudah dilupakannya. Tentu saja perubahan itu sangat menarik perhatian Ki Jalaksena. Laki-laki setengah baya itu memang tidak tahu. Tapi mengingat yang datang adalah utusan Eyang Gajah Sakti, seorang pertapa di puncak Gunung Halimun, Ki Jalaksena tidak lagi mencurigai kehadiran Rondokulun. Terlebih lagi, setelah Adipati Gadasewu mengatakan kalau Rondokulun saudaranya. Sehingga, pemuda itu kini diterima dengan baik di kadipatenan ini. Bahkan dilayani sebagaimana layaknya anggota keluarga adipati.

Namun setelah malam datang, Adipati Gadasewu jadi kelihatan gelisah di dalam kamarnya. Entah sudah berapa kali mondar-mondar memutari kamarnya yang luas dan indah ini. Sesekali dia berdiri di jendela, dan memandangi bulan yang malam ini bersinar penuh. Sementara malam terus merayap semakin larut, tapi sedikit pun Adipati Gadasewu belum bisa memicingkan matanya. Dari raut wajah dan sinar matanya, dia kelihatan begitu gelisah.

"Aku tidak yakin kalau dia yang membunuh Eyang Gajah Sakti. Hm.... Bagaimana mungkin Eyang Gaja Sakti bisa dikalahkannya...?" gumam Adipati Gadasewu, bicara sendiri.

Kembali adipati itu melangkah menghampiri jendela. Dan baru saja berdiri di sana memandangi bulan, mendadak....

Wusss!
"Heh...?! Ups!"

Cepat-cepat Adipati Gadasewu menarik tubuhnya ke kanan, begitu tiba-tiba terlihat secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat menerobos masuk melalui jendela. Cahaya kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Adipati Gadasewu yang miring ke kiri, dan langsung menghantam dinding kamar ini.

"Hup!"

Seperti seekor kancil, Adipati Gadasewu melompat ke luar kamarnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah berumput yang mulai dibasahi embun.

"Hm.... Hup!"

Sekilas Adipati Gadasewu melihat sebuah bayangan berkelebat di atas atap bangunan istana kadipaten ini. Maka tanpa berpikir panjang lagi, tubuhnya langsung melesat naik ke atas atap. Hanya sekali saja tubuhnya berputar, lalu manis sekali kakinya menjejak atas atap. Namun saat itu bayangan hitam tadi terlihat lagi, tengah meluruk turun melewati tembok bagian belakang yang cukup tinggi ini.

"Hup!"

Adipati Gadasewu jadi penasaran. Cepat tubuhnya melesat mengejar bayangan hitam itu. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekati lesatan saja, adipati berusia muda itu sudah berada di luar tembok pagar batu yang mengelilingi bangunan istana kadipaten ini.

"Hap!"

Ringan sekali Adipati Gadasewu menjejakkan kakinya di tanah. Sebentar matanya yang tajam beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya.

Srak!
"Hm...."

Adipati Gadasewu langsung berpaling ke kanan, begitu terdengar gesekan suara semak. Dan saat itu matanya melihat satu bayangan hitam melesat begitu cepat dari sebelah kanannya.

"Hup! Yeaaah...!"

Langsung saja Adipati Gadasewu melesat mengejar bayangan hitam itu. Dan bayangan hitam itu masih sempat terlihat berkelebat begitu cepat, melompati atap-atap rumah penduduk Gerakannya begitu indah dan ringan, sehingga sedikit pun Gadasewu terus mengamati ke mana saja arah gerakan bayangan hitam itu dengan mata tajam.

"Hup! Yeaaah...!"

Sambil berputaran di udara, Adipati Gadasewu melenting dari sebuah atap rumah, dan kembali menjejak tanah. Tapi saat itu juga tubuhnya terus melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah tinggi sekali. Sementara bayangan hitam itu seakan tidak bisa terkejar. Dan begitu sampai di sebuah perkebunan, bayangan hitam itu kembali lenyap. Maka Adipati Gadasewu seketika menghentikan larinya. Sambil berdiri tegak, padangannya beredar ke sekeliling. Begitu tajam sorot matanya, seakan hendak menembus gelapnya malam di tengah-tengah kebun ini. Dan ketika kepalanya bergerak ke kanan....

"Heh...?!"
Wut!
"Ups...!"

Hampir saja wajah Adipati Gadasewu yang tampan itu terbabat pedang berwarna kuning keemasan, kalau saja tidak cepat-cepat menarik kepalanya ke kanan. Dan mata pedang yang berkilatan kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan hidungnya.

"Hap!"

Cepat-cepat Adipati Gadasewu melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Dan kini di depannya sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Bajunya ketat berwarna hitam, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang berwarna kuning keemasan, tergenggam di depan dadanya. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus jantung adipati berusia muda ini.

Sementara Adipati Gadasewu sendiri memandanginya dengan kelopak mata agak berkerut. Rasanya, gadis ini belum pernah dikenalnya. Bahkan melihatnya pun baru kali ini. Tapi kenapa tiba-tiba saja menyerang...? Pertanyaan itu yang terus mengganggu benaknya.

"Nisanak, siapa kau? Dan, kenapa menyerangku?" tanya Adipati Gadasewu penasaran.

"Jangan banyak tanya, Gadasewu! Sebut saja leluhurmu sebelum kukirim ke neraka!" bentak gadis itu garang.

"Heh...?!"

Adipati Gadasewu jadi terperanjat setengah mati, hingga sampai terlonjak dua langkah ke belakang.

"Bersiaplah menerima kematianmu, Gadasewu! Hiyaaat...!"

"Eh, tung...."
Bet!
"Ups...!"

Kembali Adipati Gadasewu jadi terhenyak, begitu tiba-tiba saja gadis berbaju hitam ini sudah menyerangnya dengan kecepatan sangat luar biasa. Pedang emasnya berkelebat begitu cepat, menyodok ke arah dada. Namun dengan gerakan manis sekali, serangan itu berhasil dihindarinya. Kembali Adipati Gadasewu melompat ke belakang, berusaha menghindari pertarungan. Tapi gadis yang tidak dikenalnya ini malah terus menyerangnya dengan ganas.

"Hup! Yeaaah...!"

Adipati Gadasewu yang tidak ingin bertarung tanpa jelas alasannya, cepat-cepat melompat naik ke atas pohon. Tapi tanpa diduga sama sekali, gadis itu sudah melesat cepat mengejarnya sambil kembali membabatkan pedang emasnya yang mengarah tepat ke dada adipati muda ini

"Hiyaaa...!"
Wut!
"Haiiit...!"

Adipati Ganda sewu terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari serangan gadis ini. Lalu tubuhnya kembali meluruk turun, dan manis sekali kakinya menjejak tanah. Namun pada saat yang bersamaan, gadis berbaju hitam itu sudah melesat dan langsung menyerang dengan kecepatan kilat.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Berulang kali gadis itu membabatkan pedangnya, mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan. Namun Adipati Gadasewu memang bukan orang yang kosong. Dengan gerakan-gerakan indah dan liukan lentur, setiap serangan yang datang berhasil dihindarinya.

"Gila! Serangannya dahsyat sekali. Uh...!" keluh Adipati Gadasewu.

Dan memang, semakin jauh mereka bertarung, serangan-serangan gadis itu terasa semakin berbahaya saja. Gerakan-gerakan pedangnya begitu cepat luar biasa. Sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya kuning keemasan saja yang bergulung-gulung, mengurung setiap celah gerak adipati ini.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu mendapat kesempatan, Adipati Gadasewu langsung melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Serangan balasan ini rupanya membuat gadis itu jadi terhenyak juga. Buru-buru tubuhnya meliuk sambil membabatkan pedangnya menyilang di depan dada. Dan pada saat itu juga, Adipati Gadasewu melesat ke belakang sejauh satu batang tombak.

"Hap!"
Jleg!

Ringan sekali gerakannya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Dan kini, jarak antara mereka hanya berkisar satu batang tombak

"Huh, Pengecut! Kenapa terus menghindar, Gadasewu? Kau takut menghadapiku, heh...?!" dengus gadis itu sinis.

"Nisanak! Bukannya aku takut. Tapi aku tidak ingin bertarung tanpa alasan jelas," kata Adipati Gadasewu berusaha lembut.

"Jadi kau ingin alasan, heh...?!"
Adipati Gadasewu hanya diam saja.

"Baik... Dengar, Gadasewu. Aku akan membunuhmu dengan alasan yang jelas atau tidak. Dan yang pasti, kau harus mati di tanganku. Nah! Itu alasanku untuk mengirimmu ke neraka!" ancam gadis itu dingin.

Adipati Gadasewu hanya diam saja. Dia tahu, gadis ini tidak akan mungkin memberi alasan jelas dan benar. Tapi kalau pertarungan ini diteruskan, bukannya tidak mungkin salah seorang ada yang tewas. Dan ini yang tidak diinginkannya. Rasanya memang berat melenyapkan nyawa orang lain tanpa alasan pasti. Terlebih lagi, kalau orang itu tidak memiliki persoalan sedikit pun dengannya. Bahkan yang sudah jelas-jelas bersalah pun, masih bisa diberi ampun. Tapi gadis ini....

"Mampus kau, Gadasewu! Hih! Yeaaah...!"
Wuk!
"Eh...?!"

Adipati Gadasewu jadi terperangah setengah mati, begitu tiba-tiba saja gadis berbaju hitam ini menghentakkan tangan kirinya setelah menyarungkan pedangnya ke dalam warangka di punggung. Dan saat itu juga, beberapa buah benda berbentuk anting yang berwarna kuning keemasan, melesat secepat kilat ke arahnya.

"Hup!"

Cepat-cepat Adipati Gadasewu melenting ke udara, menghindari serangan gadis berbaju hitam itu. Tapi belum juga bisa menjejakkan kakinya kembali ke tanah, gadis berbaju hitam itu sudah kembali melancarkan serangan Kedua tangannya bergerak melontarkan anting-anting emas dengan kecepatan luar biasa sekali.

"Hup! Hiyaaa...!"

Adipati Gadasewu terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari anting-anting emas yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Sementara gadis berbaju hitam itu terus melontarkan senjata-senjatanya sambil bergerak cepat mengelilingi Adipati Gadasewu. Dan ini tentu saja membuat adipati berusia muda itu kelabakan. Anting-anting emas itu tampak datang dari segala arah, mengancam seluruh tubuhnya.

"Edan...! Hih!"
Cring!

Adipati Gadasewu jadi geram mendapat serangan yang begitu beruntun tanpa henti. Maka pedangnya cepat dicabut. Lalu bagaikan kilat pedangnya diputar untuk melindungi tubuhnya dari incaran anting-anting emas itu.

Tring! Trang...!

Entah berapa kati anting-anting emas itu ter-sampok pedang adipati ini. Tapi gadis berbaju hitam itu terus saja menyerang dengan kecepatan tinggi sekali. Sikapnya seakan-akan tidak peduli kalau serangannya tidak ada yang mendapatkan hasil. Sementara dengan pedang di tangan, Adipati Gadasewu tidak lagi kelihatan kelabakan. Pedangnya bergerak begitu cepat, sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya keperakan yang bergulung-gulung menyambar anting-anting emas yang terus berhamburan di sekitar tubuhnya.

"Huh! Alo juga adipati ini!" dengus gadis itu dalam hati, mengakui ketangguhan Adipati Gadasewu.

Meskipun mengakui dalam hati, tapi gadis itu tidak mau menyerah begitu saja. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat saja. Tidak berhasil dengan senjata anting emasnya, gadis itu menggunakan jurus-jurus silatnya yang dahsyat dan sesekali menggunakan ilmu kedigdayaan. Sementara, Adipati Gadasewu terus bertahan walaupun semakin terdesak saja.

Dan pada jurus-jurus selanjutnya, beberapa kali pukulan keras yang dilancarkan gadis itu sudah berhasil disarangkan ke tubuh Adipati Gadasewu. Darah sudah mulai mengalir dari sudut bibir adipati ini. Keadaannya semakin terdesak saja, dan sulit untuk balas menyerang. Entah sudah berapa kali pukulan keras bertenaga dalam tinggi bersarang di tubuhnya. Namun pada saat yang sangat tidak menguntungkan ini, mendadak saja....

"Menyingkirlah, Kakang Adipati...!"
Slap!
"Heh...?! Ups!"

Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Rondokulun muncul. Langsung diterjangnya gadis berbaju hitam ini. Kedatangan Rondokulun tentu saja membuat gadis itu jadi terkejut. Dan hampir saja satu pukulan yang sangat keras mendarat di wajahnya. Untung saja kepalannya segera ditarik ke belakang. Dan saat itu juga, Adipati Gadasewu melompat ke belakang. Tapi tubuhnya langsung terhuyung, begitu kakinya menjejak tanah.

"Hup!"

Sementara gadis berbaju serba hitam itu cepat-cepat melesat ke belakang sejauh dua batang tombak. Setelah beberapa kali berputaran di udara, kakinya menjejak tanah dengan mantap. Dan di depannya kini, berdiri Rondokulun yang merupakan murid Eyang Gajah Sakti di pertapaan puncaW Gunung Halimun

"Huh! Satu saat nanti, kau tidak akan lolos dariku, Gadasewu!" dengus gadis itu kesal.

Sebentar gadis itu menatap tajam Rondokulun. Dan....

"Kau juga akan mampus di tanganku!"

Setelah berkata demikian, gadis berbaju hitam yang tidak dikenal itu cepat bagai kilat melesat pergi. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Rondokulun masih tetap berdiri tegak memandang ke arah kepergian gadis itu. Dan badannya bergegas berbalik, begitu mendengar suara batuk dari belakangnya.

"Kakang Adipati...."

Rondokulun cepat-cepat menghampiri Adipati Gadasewu yang tampak kelihatan begitu parah keadaannya. Dia berdiri dengan bertumpu pada ujung pedang yang ditekan ke tanah. Darah di mulutnya terlihat menggumpal kental.

"Aku tidak apa-apa, Rondokulun. Untung kau cepat datang...," kata Adipati Gadasewu lirih.

"Kau terluka, Kakang," kata Rondokulun, bernada cemas.

Adipati Gadasewu berusaha tersenyum. Kakinya hendak melangkah, tapi tubuhnya jadi terhuyung. Bahkan hampir saja ambruk kalau Rondokulun tidak cepat-cepat menyangganya. "Bawa aku ke bawah pohon itu, Rondokulun," pinta Adipati Gadasewu.

"Baik, Kakang."

Rondokulun membawa Adipati Gadasewu ke bawah pohon yang diinginkannya. Kemudian, adipati itu duduk bersila di sana. Sementara, Rondokulun mengambil tempat tidak jauh di depannya. Terus dipandanginya adipati berusia muda yang tengah melakukan semadi untuk menyembuhkan luka-luka dalam yang dideritanya.

Dan malam pun terus merayap semakin larut Rondokulun masih setia menunggui Adipati Gadasewu bersemadi. Hatinya agak cemas juga, melihat darah terus mengucur dari mulut dan hidung. Tapi kecemasannya langsung sirna, begitu melihat kelopak mata Adipati Gadasewu terbuka. Dan darah yang keluar dari mulutnya juga tidak lagi berwarna kehitaman.

"Phuuuh...!"

Adipati Gadasewu menyemburkan darah yang menggumpal memenuhi rongga mulutnya, kemudian beberapa kali melakukan gerakan tangan. Dan akhirnya, kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada, dan perlahan-lahan turun hingga berada di atas lututnya.

Adipati Gadasewu tersenyum melihat Rondokulun masih tetap duduk bersila, tidak seberapa jauh di depannya. Dengan gerakan tangannya, dipanggilnya pemuda yang diakui sebagai saudara seperguruannya itu.

"Ada yang bisa kubantu, Kakang?" tanya Rondokulun setelah dekat.

"Rondokulun.... Kau tahu, siapa gadis itu tadi?" Adipati Gadasewu balik melontarkan pertanyaan.

"Tidak, Kakang. Baru kali ini aku melihatnya," sahut Rondokulun. "Kakang mengenalnya...?"

"Sayang.... Aku juga tidak sempat mengenalinya. Dan aku juga tidak tahu, apa maksudnya hendak membunuhku," pelan sekali suara Adipati Gadasewu.

"Kakang, mungkin gadis itu yang membunuh Eyang Gajah Sakti," tebak Rondokulun.

"Melihat dari kepandaiannya, rasanya kemungkinan itu memang ada. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Aku benar-benar dijadikan mainan olehnya."

Rondokulun jadi terdiam. Sementara Adipati Gadasewu juga tidak membuka suara lagi Dan untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja. Angin yang bertiup malam ini terasa semakin bertambah dingin. Perlahan Adipati Gadasewu mengangkat kepalanya, dan langsung menatap bola mata Rondokulun yang duduk bersila di depannya.

"Rondokulun, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya Adipati Gadasewu ingin tahu.

"Sebenarnya sejak Kakang keluar dari kamar, aku sudah membuntuti," sahut Rondokulun terus terang.

"Jadi kau tahu semua yang terjadi?" tanya Adipati Gadasewu lagi.

"Maaf, Kakang. Bukan maksudku untuk membuntuti. Aku hanya khawatir saja," ucap Rondokulun.

"Ah.... Kalau kau tidak ada, tentu besok pagi aku sudah ditemukan terbujur jadi mayat, Rondokulun. Terima kasih, kau sudah menyelamatkan nyawaku."

"Kakang, sebenarnya kau bisa mengalahkannya. Tapi Kakang terlalu memberi hati dan kesempatan lawan untuk melakukan serangan dan terus menekan. Aku kira, tidak akan berakhir seperti ini kalau Kakang sama sekali tidak memberi kesempatan. Maaf, Kakang. Bukannya aku menggurui. Tapi kulihat, Kakang tadi seperti mengalah padanya."

Adipati Gadasewu jadi tersenyum. Entah kenapa...? Mungkin kebenaran penilaian Rondokulun tadi diakuinya. Dia tadi memang terlalu memberi hati dan kesempatan pada lawannya. Akibatnya, jadi termakan sendiri. Gadis itu memanfaatkannya untuk terus menekan dengan serangan-serangannya yang gencar dan cepat. Tapi meski tidak diberi kesempatan pun, Adipati Gadasewu tidak yakin akan berhasil mengalahkannya. Sudah dirasakannya kalau tingkat kepandaian yang dimiliki gadis itu sangat tinggi. Paling tidak, berada beberapa tingkat di atas kepandaian yang dimilikinya

. "Ayo kita pulang, Rondokulun," ajak Adipati Gadasewu sambil bangkit berdiri.

Rondokulun cepat-cepat bangun, dan membantu adipati ini berdiri. Kemudian mereka berjalan bersama-sama, kembali ke istana kadipatenan. Tidak ada lagi yang dibicarakan dan terdiam membisu selama berjalan pulang. Kelihatannya, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang ada dalam kepala mereka. Bahkan beberapa kali terdengar hembusan napas Adipati Gadasewu yang panjang dan terasa begitu berat.

********************

TIGA

Kota Kadipaten Galumbu terasa tampak tenang. Tidak ada lagi yang membicarakan peristiwa pembunuhan dua anak muda beberapa malam yang lalu. Ketenangan ini begitu terasa, sehingga Adipati Gadasewu memusatkan penjagaan di sekitar istana kadipaten saja.

Siang ini udara di Kota Kadipaten Galumbu terasa begitu panas. Matahari bersinar terik, tanpa terhalang awan di langit sedikit pun. Seakan-akan sinarnya yang panas menyengat, hendak membakar seluruh permukaan bumi ini. Musim kering me-memang sudah mulai merambat wilayah Kadipaten Galumbu. Tidak heran kalau sungai-sungai sudah mulai kelihatan susut Dan debu semakin banyak bertebaran di sepanjang jalan.

Namun teriknya mentari, tidak menghalangi dua anak muda yang berjalan mengoyak tanah berdebu sambil menuntun kudanya. Keringat terlihat membasahi seluruh tubuh mereka, bercampur dengan debu yang mengepul tersapu angin di jalan tanah ini.

"Matahari sudah ada di atas kepala. Tapi belum juga menemukan sungai..," terdengar suara keluhan dari gadis berbaju biru muda yang berjalan sambil menuntun kuda putih.

Sedangkan pemuda yang berada di sebelah kanannya hanya melirik sedikit saja. Memang sudah setengah harian ini mereka berjalan, tapi belum satu sungai pun ditemukan. Padahal, bukan hanya mereka saja yang kepanasan, tapi kuda-kuda yang dituntun pun juga sudah mendengus-dengus kehausan. Sedangkan matahari siang ini bersinar begitu terik membuat kulit terasa terbakar.

"Kakang, kau dengar itu...?"

"Aku sudah mendengarnya sejak tadi."

"Ayo kita ke sana, Kakang. Kuda-kuda ini sudah kehausan sekali."

Kembali pemuda itu hanya tersenyum saja. Sedangkan gadis berwajah cantik berbaju biru sudah berjalan cepat, setengah berlari sambil menuntun kudanya, menuju suara air yang didengarnya.

Dan memang, setelah mereka melewati sebuah tikungan jalan ini, terlihat sebuah mata air yang mengalir dari sepotong bambu yang tertampung pada sebuah kolam berbatu. Dan kelihatannya, tempat ini begitu sunyi. Tidak ada seorang pun yang terlihat Padahal tidak jauh dari mata air ini terdapat Kota Kadipaten Galumbu.

"Pandan, tunggu...!"

Tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih yang berjalan belakangan berseru nyaring, begitu gadis yang berjalan bersamanya tadi sudah langsung akan terjun ke dalam kolam mata air ini Gadis itu jadi berhenti dan berpaling ke belakang.

"Tunggu dulu, Pandan. Aku periksa, barangkali saja air ini tidak bisa dipakai," kata pemuda itu setelah dekat.

"Kau terlalu curiga, Kakang."

"Lihat sekelilingmu, Pandan."

Gadis yang dipanggil Pandan itu segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia memang Pandan Wangi yang di kalangan rimba persilatan, dikenal sebagai si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu tidak lain adalah Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

Perlahan Pandan Wangi melangkah mundur sambil tetap memegangi tali kekang kudanya. Sementara, Rangga sudah melangkah menghampiri kolam mata air itu. Pendekar Rajawali Sakti berlutut di tepi kolam, lalu mencelupkan ujung jari tangannya ke dalam kolam. Tidak berapa lama kemudian, ujung jari telunjuknya sudah diangkat. Beberapa saat, dipandanginya jari telunjuk yang basah oleh air kolam ini.

"Beracun...?" tanya Pandan Wangi tidak sabar lagi.

"Tidak," sahut Rangga seraya tersenyum dan menggeleng.

Pandan Wangi juga tersenyum. Langsung dihampirinya kolam itu, lalu dibasuhnya wajah dan lengannya. Setelah tenggorokannya dibasahi air jernih ini, kudanya segera ditarik ke tepi kolam itu. Sementara Rangga sudah sejak tadi menyegarkan tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti kini duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang, untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari. Pandangannya tidak berhenti memperhatikan keadaan sekelilingnya. Kemudian, matanya terpaku pada Kota Kadipaten Galumbu yang perbatasannya sudah dilewati tadi.

"Sudah hilang lelahmu, Pandan?" tanya Rangga, tanpa sedikit pun memalingkan perhatiannya dari Kota Kadipaten Galumbu.

"Sebentar lagi," sahut Pandan Wangi terdengar malas suaranya.

Rangga sedikit melirik gadis itu. Dari sudut ekor matanya, Pandan Wangi terlihat tengah merebahkan tubuh tidak jauh dari kolam batu mata air itu. Sepertinya, dia juga tengah melindungi diri dari sengatan matahari di bawah pohon yang cukup rimbun daunnya. Periahan Rangga bangkit berdiri. Tubuhnya digerak-gerakkan sebentar untuk menghilangkan rasa pegal yang sejak tadi dirasakan.

"Ayo, Pandan. Kita bisa istirahat lagi nanti di sana," ajak Rangga lagi.

"Hhh...!"

Sambil mengeluh malas, Pandan Wangi bangun juga. Kemudian diambilnya kuda tunggangannya dan kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu dituntunnya kuda-kuda itu mendekati pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini

"Hup!"

Mereka berlompatan naik ke atas punggung kuda masing-masing. Dan sebentar kemudian, mereka sudah berpacu di jalan tanah yang berdebu ini menuju ke Kota Kadipaten Galumbu.

Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini. Sementara, Rangga berjalan-jalan menikmati suasana malam di kota yang cukup besar ini, setelah mendapatkan rumah penginapan. Sedangkan Pandan Wangi ditinggalkan di sana. Memang, Pandan Wangi merasa malas sekali keluar dari kamarnya. Gadis itu ingin melepaskan lelah, setelah seharian penuh terpanggang sinar matahari

Berkerut juga kening Pendekar Rajawali Sakti melihat keadaan kota yang cukup besar ini begitu sunyi kalau malam. Dan selama berjalan, tidak seorang pun dijumpai. Begitu sunyi, bagaikan sebuah kota mati yang tidak berpenghuni. Bahkan rumah-rumah yang ada hanya menyalakan pelita di beranda depan saja. Pendekar Rajawali Sakti kembab lagi ke rumah penginapan tempat Pandan Wangi ditinggalkan di sana. Dan seorang laki-laki berusia lanjut yang merupakan pemilik rumahi penginapan ini menyambutnya di pintu depan.

"Dari mana malam-malam begini, Den?" tegur laki-laki itu mencoba tersenyum ramah.

"Jalan-jalan, Ki. Melihat keadaan," sahut Rangga.

"Kalau saja tahu, pasti aku sudah melarangmu keluar malam-malam sendirian," desah orang tua| itu seakan menyesali perbuatan tamunya ini.

"Kenapa, Ki?" tanya Rangga jadi heran.

"Terlalu berbahaya, Den. Kota ini sudah tidak aman lagi," sahut pemilik kedai yang biasanya dipanggil Ki Sampan ini. "Apa kau melihat ada orang lain di luar rumah...?"

Rangga hanya menggeleng saja.

"Sudah beberapa hari ini, tidak ada seorang pun yang berani keluar rumah."

"Kenapa begitu, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.

Ki Sampan tidak langsung menjawab. Matanya lantas melirik ke kanan dan ke kiri, seakan takut ada orang lain yang mendengar. Kemudian cepat-cepat dibawanya Pendekar Rajawali Sakti masuk Rangga hanya mengikuti saja dengan wajah mencerminkan keheranan. Ki Sampan menutup pintu, laki menguncinya dengan palang. Kemudian diajaknya Pendekar Rajawali Sakti duduk di sebuah balai-balai bambu, beralaskan selembar tikar daun pandan yang dianyam halus.

"Kau tahu, Den. Sudah beberapa hari ini ada Dara Iblis berkeliaran," terdengar begitu pelan suara Ki Sampan.

"Dara Iblis...?"

"Betul. Semua orang mengatakan, dia itu si Dara Iblis yang berkeliaran mencari korban setiap malam. Siapa saja yang dijumpai, pasti mati dibunuh. Bahkan Gusti Adipati sendiri hampir terbunuh waktu hendak menangkapnya. Tapi, untung saja saudara angkatnya cepat datang menolong Sejak saat itu, tindakan si Dara Iblis semakin bertambah liar. Dia tidak peduli lagi. Siapa saja yang berhadapan dengannya, langsung dibunuh."

"Hm.... Jadi itu sebabnya tidak ada seorang pun yang berani keluar rumah...?" gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

"Bukan hanya malam saja, Den. Siang juga tidak ada yang berani jauh-jauh meninggalkan rumahnya. Dara Iblis itu sekarang sudah berani muncul siang hari."

"Bukankah kadipaten ini punya pasukan prajurit, Ki. Kenapa tidak dikerahkan saja untuk meringkusnya...?"

"Percuma saja, Den. Dara Iblis itu sangat tangguh. Entah sudah berapa orang prajurit yang tewas di tangannya. Bahkan Gusti Adipati yang berilmu tinggi, hampir tewas terbunuh."

"Sudah berapa lama keadaan seperti ini terjadi, Ki?" tanya Rangga jadi tertarik mendengarnya.

"Sudah hampir satu purnama, Den. Dan sudah tidak terhitung lagi, orang yang mati dibunuh Dara Iblis itu. Bahkan dalam sehari bisa lima orang, yang terbunuh," sahut Ki Sampan, masih terdengar pelan suaranya.

Saat itu tiba-tiba saja terdengar lolongan anjing yang sangat panjang di kejauhan. Dan tak berapa lama kemudian, terdengar ringkikan kuda. Rangga melihat wajah Ki Sampan seketika itu juga jadi pucat pasi dengan tubuh menggeletar seperti terserang demam.

"Dia..., dia datang...," desis Ki Sampan bergetar perlahan.

"Hm...."

Rangga langsung saja turun dari balai-balai bambu itu. Tapi belum juga melangkah, Ki Sampan sudah mencekal pergelangan tangannya. Terpaksa Rangga tidak jadi melangkah mendekati pintu.

"Jangan, Den. Jangan keluar. Kau bisa mati dibunuhnya," cegah Ki Sampan ketakutan.

"Tenang saja, Ki Aku hanya ingin melihat rupanya saja," kata Rangga sambil melepaskan cekalan tangan orang tua itu dengan halus.

"Den...." Suara Ki Sampan jadi tercekat di tenggorokan.

Sementara Rangga sudah melangkah mendekati pintu. Hati-hati sekali palang pintu itu dibuka. Lalu dengan perlahan juga, dibukanya pintu depan rumah penginapan ini. Sementara, Ki Sampan masih tetap duduk di balai-balai bambu itu dengan wajah terlihat semakin pucat.

Sedangkan Rangga sudah melangkah ke luar rumah dengan ayunan kaki begitu tenang. Ki Sampan bergegas turun dari balai-balai bambu ini, dan tergopoh-gopoh mendekati pintu. Buru-buru ditutupnya pintu, walaupun tidak penuh. Dan dia segera mengintip keluar. Tampak pemuda yang menjadi tamunya itu berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah penginapannya. Jelas sekali kalau sikap Pendekar Rajawali Sakti seperti menantang, ingin bertemu orang yang dijuluki si Dara Iblis.

"Hik hik hik...!"
"Oh...?!"

Wajah Ki Sampan seketika jadi memucat bagai mayat, begitu tiba-tiba terdengar tawa terkikik mengerikan. Seluruh tubuhnya jadi bergetar lemas. Dan belum juga suara terkikik itu menghilang dari pendengaran, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tahu-tahu, di depan pemuda ini sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Bajunya hitam pekat, menyandang pedang bergagang berbentuk bintang emas di punggungnya.

"Hm...."

"Hik hik hik..! Rupanya ada juga orang yang bernyali besar di sini. Bagus...! Aku memang sudah kesal. Mereka semua pengecut! Juga, Gadasewu pengecut itu!"

Terdengar begitu dingin nada suara gadis ini. Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi dari ujung kepala hingga ke ujung jari kakinya. Seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti sedang menilai, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki wanita yang dijuluki Dara Iblis ini.

"Anak muda, siapa kau?! Hm.... Apa kau sudah bosan hidup, hingga berani menantangku disini...?" ketus sekali suara si Dara Iblis ini.

"Aku Rangga yang memang ingin menghentikan perbuatan terkutukmu itu, Nisanak," sahut Rangga tegas.

"Hi hi hi...! Berani kau berkata begitu padaku, heh...?! Kau tahu, siapa aku?! Akulah yang dijuluki Dara Iblis! Huh! Aku tidak peduli dengan nama itu. Dan yang penting, aku ingin membunuh habis semua orang di sini."

"Kau tentu punya alasannya."
"Phuih! Ada atau tidak, itu bukan urusanmu!"
"Hm...."

"Bersiaplah untuk menjemput kematian, Kisanak!"

Rangga hanya diam saja, tapi sudah siap kalau Dara Iblis itu melakukan serangan. Sementara si Dara Iblis juga terdiam memandangi Pendekar Rajawali Sakti ini. Sorot matanya begitu dalam sampai menusuk bola mata Rangga. Perlahan langkah kakinya berkeser ke kanan tiga langkah, kemudian.

"Hiyaaaat...!"
Sret!
Cring!
Wut!
"Haiiiit...!"

Rangga jadi terkesiap juga sejenak, melihat kecepatan gerak Dara Iblis dalam mencabut pedangnya. Sambil melompat, pedang itu langsung dibabarkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan manis sekali, pemuda tampan berbaju rompi putih itu menghindarinya. Akibatnya, ujung pedang berwarna kuning keemasan itu hanya lewat di bawah kakinya.

"Bagus! Rupanya kau punya simpanan juga, Kisanak! Terimalah seranganku ini. Hiyaaat...!"

"Hup! Yeaaah...!"
Bet!

Kembali gadis itu menyerang, membabatkan pedangnya ke arah dada. Tapi, kali ini Rangga tidak hanya menghindar saja. Dan begitu ujung pedang Dara Iblis lewat di depan dadanya, secepat kilat tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hap!"

Namun tanpa diduga sama sekali, gadis itu malah menghentakkan tangan kirinya. Langsung disambutnya serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan itu tentu saja membuat Rangga jadi terhenyak tidak menyangka. Tapi, untuk menarik kembali tendangannya sudah terlambat. Dan....

Plak!
"Ikh...!"
"Ups!"

Mereka sama-sama terpental ke belakang begitu tendangan Rangga menghantam tangan Dara Iblis. Meskipun tendangannya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, tapi sedikit pun tidak ada pengaruhnya pada tangan gadis itu. Dan ini membuat Rangga jadi berpikir. Memang, gadis ini tidak bisa dipandang ringan. Apalagi, kekuatan tenaga dalamnya sungguh luar biasa.

Sementara si Dara Iblis tampaknya juga tidak lagi bisa memandang rendah pemuda berbaju rompi ini. Tendangan yang diberikan Rangga tadi, sempat juga membuat jantungnya bergetar. Malah sempat juga tulang tangannya terasa nyeri. Untung saja serangan itu tadi ditangkis dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga tidak mengakibatkan luka sedikit pun juga.

"Apa mungkin desa kadipaten ini memiliki pemuda yang tangguh...?" Gumam Dara Iblis bertanya sendiri dalam hari.

Sejenak ditatapnya Rangga dengan sinar mata sangat tajam menusuk, seperti ingin menembus jantung pemuda ini. Kemudian kakinya bergeser ke kanan perlahan sambil menyemburkan ludahnya. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping pinggang. Sorot matanya juga terlihat begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun memperhatikan gerakan kaki gadis cantik berbaju hitam ketat ini.

"Hap! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Dara Iblis kembali melesat bagai kilat dengan ujung pedang tertuju lurus ke tenggorokan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri hanya diam menunggu serangan lebih dekat lagi. Dan begitu ujung pedang berwarna kuning keemasan itu hampir saja menembus tenggorokannya, mendadak...

"Hats! Yeaaa...!"

Sambil mengegoskan kepalanya ke kanan, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Dara Iblis jadi terperangah tidak menyangka.

"Hap!"

Namun dengan gerakan indah sekati, gadis itu meliukkan tubuhnya. Sehingga, pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tidak sampai mengenai dadanya.

"Hap! Yeaaah...!"

Dara Iblis kembali melenting ke udara. Dan pada saat itu juga pedangnya dibabarkan ke arah kepala pemuda ini. Tapi hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindar. Hanya sedikit saja mata pedang berwarna kuning keemasan itu berkelebat menyambar di atas kepala Rangga.

"Hih! Yeaaah...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat-cepat melesat ke udara. Langsung kedua . tangannya direntangkan. Bagaikan kilat, kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat bergantian, membabat ke arah bagian tubuh Dara Iblis yang mematikan.

"Setan! Ikh...!"
Wuk!

Untuk kedua kalinya Dara Iblis terhenyak. Maka cepat-cepat pedangnya diputar untuk melindungi diri dari serangan dahsyat pemuda ini. Dari gerakan-gerakannya, sudah bisa diketahui kalau Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat terakhir. Gerakan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat, sampai kedua tangannya bagaikan berubah menjadi ribuan jumlahnya. Dan memang, Rangga bukan hanya mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' saja, tapi juga dipadukan dengan jurus 'Seribu Rajawali'.

EMPAT

Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung. Sementara bukan hanya Ki Sampan saja yang menyaksikan pertarungan itu. Dari jendela kamar penginapan Ki Sampan ini, Pandan Wangi juga menyaksikan. Sementara, terlihat juga kepala-kepala menyembul dari balik jendela dan pintu rumah-rumah yang tidak jauh dari rumah Ki Sampan.

Pertarungan memang membuat semua penduduk kota Kadipaten Galumbu ini jadi terbangun dari buaian mimpi. Dan mereka tidak ingin melewatkan pertarungan menarik antara pemuda yang sore tadi menginap di rumah Ki Sampan, dengan Dara Iblis. Mereka semua berharap, pemuda itu bisa mengalahkan perempuan berbaju hitam itu. Bahkan melenyapkan untuk selama-lamanya. Dan saat itu juga, terlihat dari ujung jalan ke istana kadipatenan, serombongan prajurit mendatangi tempat pertarungan di halaman rumah Ki Sampan ini. Cahaya api obor mulai terlihat menerangi sekitar tempat ini.

Sementara pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Dara Iblis semakin berlangsung sengit. Masing-masing sudah mengerahkan jurus-jurus dahsyat. Sehingga, gerakan-gerakan mereka begitu sulit diikuti mata biasa. Begitu cepatnya, sampai yang terlihat hanya kelebatan bayangan-bayangan putih dan hitam yang saling sambar.

"Phuih! Sial! Tempat ini sudah dipenuhi orang. Huh...! Aku tidak boleh mati konyol di sini, sebelum yang kuinginkan terkabul!" dengus si Dara Iblis.

Mengetahui keadaannya tidak lagi menguntungkan, gadis cantik yang dijuluki Dara Iblis itu mulai mencari celah untuk melepaskan diri dari pertarungan. Dan kesempatan itu pun datang, saat Rangga menyepakkan kakinya dengan gerakan berputar ke arah kaki gadis ini. Saat itu juga....

"Hup! Yeaaah...!"

Kesempatan yang sangat sedikit ini, tidak disia-siakan Dara Iblis Dengan kecepatan bagai kilat, tubuhnya melesat tinggi ke udara dan langsung melunak deras ke atas atap rumah Ki Sampan. Dan sebelum Rangga sendiri sempat menyadari, mendadak saja tanpa memutar tubuhnya gadis berbaju hitam itu melepaskan beberapa buah anting-anting emas ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Wus!
Siap!
"Haiiit...!"

Cepat-cepat Rangga melenting dan berputaran di udara, menghindari serangan anting-anting emas itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Dara Iblis sudah tidak terlihat lagi di atas atap rumah Ki Sampan ini.

"Heh! Ke mana dia...?! Hup!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat naik ke atas atap. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak di atas atap rumah ini. Sebentar pandangan-, nya beredar ke sekeliling. Tapi Dara Iblis itu tidak juga terlihat. Bahkan bayangannya pun juga sudah tidak terlihat lagi.

"Hhh! Cerdik sekali dia...," dengus Rangga.

Dara Iblis itu memang sudah tidak terlihat lagi. Entah ke mana perginya. Rangga hanya bisa menghela napasnya panjang-panjang, kemudian kembali melompat turun. Ringan sekali gerakannya, hingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kedua kakinya menjejak tanah.

Dan baru saja kakinya menjejak tanah, Ki Sampan sudah datang menghampiri bersama Pandan Wangi. Saat itu juga, terlihat Adipati Gadasewu didampingi Rondokulun dan Ki Jalaksena datang menghampiri, diiringi sekitar tiga puluh orang prajurit yang membawa tombak. Ki Sampan segera' berlutut sambil memberi sembah hormat, begitu melihat Adipati Gadasewu datang. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya berdiri saja memandangi. Mereka tahu, yang datang itu adalah orang utama di Kadipaten Galumbu ini.

"Kisanak. Aku melihat pertarunganmu tadi dengan si Dara Iblis. Hm.... Sungguh menakjubkan. Kau mampu menandingi kepandaiannya," ujar Adipati Gadasewu langsung, begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.

'Terima kasih. Hanya kebetulan saja aku tadi bertemu dengannya," sambut Rangga merendah.

"Kisanak, gadis itu sudah sering kali menjarah kadipaten ini Dan selama ini, belum ada seorang pun yang sanggup menandinginya. Tapi kulihat malam ini, dia mendapat lawan yang seimbang. Hm.... Jika Kisanak tidak keberatan, aku mengundangmu datang ke kadipatenan," kata Adipati Gadasewu lagi.

Rangga tidak langsung menjawab. Dan matanya langsung melirik Pandan Wangi sebentar, kemudian menatap Ki Sampan yang berada agak ke belakang di sebelah kanannya. Laki-laki tua itu hanya diam saja dengan kepala tertunduk. Rangga tahu, Ki Sampan tidak berani membuka suara di depan adipatinya sendiri.

"Maaf, Gusti Adipati. Bukannya menolak. Tapi, aku sudah menyewa rumah Ki Sampan ini untuk bermalam. Tapi kalau Gusti Adipati menginginkan aku mengusir gadis itu, dengan senang hati akan kulakukan," kata Rangga menolak halus.

"Aku mengerti, Kisanak. Baiklah. Kau boleh tinggal di rumah Ki Sampan. Tapi, kuminta datanglah mengunjungiku di kadipatenan besok pagi. Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi. Terus terang, aku kagum sekali melihat kepandaian yang kau miliki," kata Adipati Gadasewu, bisa. mengerti.

"Mudah-mudahan besok pagi tidak ada halangan, Gusti Adipati," ujar Rangga tidak bisa lagi menolak

Adipati Gadasewu kemudian berpamitan, dari segera pergi diiringi para pengawalnya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi tetap berdiri memandangi. Tampak beberapa orang berada di depan rumahnya, memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Tapi setelah Adipati Gadasewu tidak terlihat .lagi, mereka bergegas masuk ke dalam rumahnya.

"Ayo, Ki. Kita ke dalam lagi," ajak Rangga.

"Baik, Den. Terima kasih, Raden masih mau tinggal di gubukku yang reyot ini."

"Oh, sudahlah. Aku lebih senang bermalam di sini, daripada di istana."

"Aku tidak menyangka, Raden begitu murah dan rendah hati. Padahal ilmu yang Raden miliki sangat tinggi. Bahkan bisa menandingi si Dara Iblis."

Rangga hanya tersenyum saja mendapat pujian seperti itu. Sedangkan Pandan Wangi sejak tadi hanya diam saja. Dan mereka kemudian masuk ke dalam.

Merasa di rumahnya ada seorang pendekar tangguh dan digdaya, Ki Sampan tidak lagi merasa takut. Malah pelita di ruangan depan rumahnya dinyalakan besar-besar, sehingga mampu menerangi sekitarnya. Rangga hanya menggelengkan kepala saja melihat tingkah Ki Sampan.

Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum lagi menampakkan diri, Rangga dan Pandan Wangi sudah keluar dari rumah penginapan Ki Sampan. Laki-laki tua pemilik penginapan itu mengantarkan kedua pendekar muda ini sampai di depan rumahnya. Dengan menunggang kuda, mereka menuju Istana Kadipaten Galumbu.

Begitu sunyi pagi ini. Kabut masih terlihat cukup tebal menyelimuti seluruh wilayah Kota kadipaten ini. Dan memang, matahari belum lagi menampakkan diri. Hanya kokok ayam jantan dan kicauan burung-burung saja yang menandakan kalau fajar sebentar lagi akan menyingsing.

Baru sampai di depannya saja, Rangga sudah kagum melihat kemegahan istana kadipaten ini.. Begitu megah, seperti sebuah istana kerajaan saja. Dan memang, Kadipaten Galumbu ini sangat besar wilayahnya.

"Kenapa berdiri saja, Kakang? Bukankah kedatangan kita ke sini memenuhi undangan Adipati Gadasewu...?" tegur Pandan Wangi, melihat Rangga hanya berdiri saja mematung memandangi bangunan kadipatenan itu.

Mereka memang sudah turun dari kudanya. Rangga melirik sedikit pada gadis cantik di sebelahnya ini, lalu sedikit memberi senyum manis sekali.

"Indah sekali istana ini, Pandan. Tidak kalah dengan Istana Karang Setra," gumam Rangga seakan-akan bicara untuk diri sendiri.

"Kau ingat tanah kelahiranmu, Kakang?" ujar Pandan Wangi jadi tersenyum.

Dan Rangga hanya diam saja memandangi bangunan megah di depannya ini Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti jadi ingat tanah kelahirannya, Karang Setra. Memang sudah cukup lama mereka tidak kembali ke Karang Setra. Entah apa yang terjadi di sana. Mungkin sudah banyak sekali perubahannya.

"Setelah dari sini, ada baiknya juga kalau kita kembali ke Karang Setra, Kakang. Terus terang, aku juga sudah rindu sekali," kata Pandan Wangi, seakan bisa membaca perasaan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ya..., kita memang sudah terlalu lama meninggalkan Karang Setra," desah Rangga pelan.

"Kakang.... Lihat itu. Rondokulun sudah keluar," kata Pandan Wangi memberi tahu.

Dari gerbang bangunan megah itu, memang terlihat Rondokulun keluar. Langsung dihampirinya kedua pendekar muda yang masih tetap berdiri memandangi kemegahan bangunan istana kadipaten ini Rondokulun menjura memberi hormat, setelah dekat di depan kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.

"Kenapa berdiri saja di sini? Langsung saja masuk. Gusti Adipati sudah menanti kedatangan kalian," kata Rondokulun ramah.

"Aku benar-benar mengagumi istana ini," ujar Rangga berterus terang.

"Istana ini memang megah. Bahkan tidak kalah megahnya dari istana kerajaan sendiri," kata Rondokulun juga memuji.

Mereka kemudian melangkah bersama-sama menuju istana kadipatenan ini. Rondokulun berjalan di sebelah kanan Rangga. Sedangkan Pandan Wangi berjalan di sebelah kiri sambil menuntun kudanya sendiri.

Seorang prajurit menghampiri, begitu ketiga orang itu melewati pintu gerbang yang dijaga empat orang prajurit bersenjatakan tombak. Prajurit itu mengambil kuda kedua pendekar muda ini. Sedangkan Rondokulun terus mempersilakan mereka, meniti anak-anak tangga yang menuju bagian dalam istana.

Dua orang prajurit yang menjaga pintu depan membungkukkan tubuhnya, memberi hormat saat ketiga orang ini melewatinya. Rangga jadi berdecak kagum begitu berada di dalam bangunan istana ini. Begitu megah, sampai kekagumannya tidak lagi disembunyikan.

Dan sampai di ruangan tengah yang luas, mereka langsung disambut Adipati Gadasewu dan Ki Jalaksena. Rupanya Adipati Gadasewu memang sudah mempersiapkan penyambutan pada kedua pendekar ini. Di tengah-tengah ruangan ini terlihat sebuah meja yang sangat besar, dengan beberapa kursi berukir dari kayu jari berbaris di setiap sisinya. Tampak prajurit-prajurit bersenjata tombak mengelilingi ruangan ini.

"Mari, Pendekar. Silakan duduk," sambut Adipati Gadasewu dengan sikap sangat ramah.

"Terima kasih," ucap Rangga membalas keramahan ini

Mereka kemudian duduk di satu meja. Hanya Rondokulun saja yang tetap berdiri di belakang Adipati Gadasewu. Sedangkan Ki Jalaksena duduk bersebelahan dengan Pandan Wangi Rangga sendiri diberi tempat di sebelah lori Adipati Gadasewu. Dan belum lama mereka duduk, muncul gadis-gadis muda berparas cantik membawa baki berisi penuh makanan dan buah-buahan, serta beberapa guci arak

Rangga jadi agak tertegun juga melihat penyambutan yang begitu mewah. Sungguh tidak disangka kalau Adipati Gadasewu sudah mempersiapkannya begitu matang. Entah apa jadinya kalau sampai tadi kedua pendekar muda ini tidak datang. Pasti akan sangat kecewa hatinya.

"Mari silakan.... Hanya ini yang bisa kupersembahkan pada kalian berdua," kata Adipati Gadasewu tetap ramah.

Rangga hanya tersenyum saja, tidak bisa lagi berkata-kata. Entah apa yang ada dalam hati Pendekar Rajawali Sakti ini. Sedangkan beberapa kali Pandan Wangi melirik Rangga yang kelihatan lain. Pandan Wangi sendiri tidak bisa menebak isi hati Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dari sorot matanya, Pandan Wangi mulai khawatir juga. Hanya saja, entah apa yang dikhawatirkannya saat ini.

Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak permintaan Adipati Gadasewu yang ingin memperlihatkan setiap bagian istananya yang megah ini. Seharian penuh kedua pendekar muda itu berada dalam Istana Kadipaten Galumbu ini. Dan setelah matahari benar-benar condong ke arah barat, mereka baru meninggalkan bangunan istana yang megah itu. Namun sebelum mereka pergi, Adipati Gadasewu meminta Rangga untuk meringkus Dara Iblis. Dan adipati itu juga menjanjikan hadiah sangat besar bagi Pendekar Rajawali Sakti. Namun semua itu hanya dibalas senyuman yang sangat sulit diartikan.

"Kakang...," ujar Pandan Wangi setelah mereka cukup jauh berkuda meninggalkan Istana Kadipaten Galumbu.

"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.

"Maaf, kalau aku berkata lancang padamu," ucap Pandan Wangi agak berhati-hati.

"Hm.... Apa yang akan kau katakan, Pandan?"

"Sejak tadi, kuperhatikan kau banyak diam. Terus terang, aku khawatir kau tidak menyukai cara penyambutan Adipati Gadasewu tadi," kata Pandan Wangi berterus terang.

Rangga hanya diam saja. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di sebelahnya, melirik sedikit ke wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Dan hatinya terus menduga-duga, apa sebenarnya yang saat ini tengah bergelut dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi memang sulit mencari jawabannya. Sementara, Rangga hanya diam saja, seakan enggan membicarakannya.

"Kakang...," tegur Pandan Wangi lagi.

"Hm.... Ada apa, Pandan?" Rangga hanya sedikit saja melirik si Kipas Maut ini.

"Sudah cukup lama aku berjalan denganmu. Aku tahu, ada yang membuat hatimu resah. Kalau masih mempercayaiku, kenapa tidak kau utarakan Kakang? Apa kau sudah menganggapku tidak ada gunanya lagi...?"

Sengaja Pandan Wangi membuat hatinya seakan-akan kesal atas sikap Rangga yang hanya diam saja, seperti tidak memperdulikannya. Dan kata-kata Pandan Wangi barusan rupanya membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak juga. Langkah kaki kudanya dihentikan, dan berpaling menatap wajah si Kipas Maut dengan sorot mata cukup dalam.

"Kenapa kau berkata seperti itu, Pandan?" terdengar begitu dalam nada suara Rangga.

"Kau sendiri, kenapa diam saja?" balas Pandan Wangi.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napasnya panjang-panjang.

Sedangkan Pandan Wangi terdiam, tapi tetap menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dengan bola mata tidak berkedip sedikit pun.

Beberapa saat lamanya, mereka terdiam membisu. Seakan-akan mereka sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Dan perlahan Rangga menghentakkan tali kekang, hingga kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu kembali berjalan perlahan-lahan. Pandan Wangi masih tetap diam sambil memandangi beberapa saat, kemudian menghentakkan kudanya menyusul Pendekar Rajawali Sakti. Kembali langkah kaki kudanya disejajarkan di samping Dewa Bayu.

"Ayo kita keluar dari kota ini, Pandan," ajak Rangga tiba-tiba.

"Mau apa di...?"
"Hiyaaa...!"

Belum lagi Pandan Wangi menyelesaikan pertanyaannya, Rangga sudah menghentakkan tali kekang kudanya. Sehingga, kuda hitam itu melesat cepat bagaikan anak panah terlepas dari busur. Sesaat Pandan Wangi jadi tertegun, namun cepat menggebah kudanya.

"Hiyaaa...!"

Debu seketika mengepul, membubung tinggi ke angkasa saat dua ekor kuda yang ditunggangi kedua pendekar dari Karang Setra itu berpacu cepat menuju timur. Sementara matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Hanya cahaya merah Jingganya saja yang menyemburat dari balik sebuah bukit di sebelah barat Kota Kadipaten Galumbu ini.

Kedua pendekar itu terus memacu kudanya dengan kecepatan sangat tinggi. Hingga sebentar saja mereka sudah melewati perbatasan kota yang tidak dijaga seorang prajurit pun. Gerbang perbatasan yang ditandai dua buah bangunan batu berbentuk puri itu kelihatan sunyi, tanpa seorang pun terlihat di sana. Namun kedua pendekar dari Karang Setra itu terus saja memacu kudanya.

Dan kalau sudah berpacu begini, Pandan Wangi jadi kesal. Masalahnya, tidak mudah untuk bisa mengejar Dewa Bayu. Bahkan untuk mensejajarkannya saja, kuda putih tunggangannya ini bisa mati kehabisan tenaga. Hingga kini, jarak mereka semakin bertambah jauh saja. Sementara, kerimbunan pepohonan sebuah hutan yang cukup lebat sudah tampak di depan mata. Namun kedua pendekar muda itu masih saja terus memacu cepat kudanya.

"Hooop...!"

Setelah sampai di tepian hutan, Rangga menghentikan lari kudanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat turun, bersamaan terdengar ringkikan Dewa Bayu yang mengangkat kedua kaki depannya. Dan tidak berapa lama kemudian, Pandan Wangi sudah sampai. Gadis itu menghentikan lari kudanya perlahan-lahan, kemudian melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu mendarat tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ada yang menarik perhatianmu di sini, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Tempat ini lebih cocok untuk bicara secara pribadi daripada di rumah Ki Sampan," ujar Rangga tanpa mempedulikan kata-kata Pandan Wangi barusan.

"Hm...." Kening Pandan Wangi jadi berkerut.

"Dengar, Pandan. Aku akan memberimu tugas. Dan ini sangat penting," kata Rangga, dengan mimik wajah sungguh-sungguh.

"Tugas...? Tugas apa, Kakang?!" tanya Pandan Wangi jadi penasaran.

"Kau harus memata-matai Adipati Gadasewu. Bahkan kalau perlu harus mengetahui latar belakang kehidupannya."

"Heh, apa...?!"

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati mendengar kata-kata Rangga yang sama sekati tidak diduga. Sungguh tidak disangka kalau Rangga justru mencurigai Adipati Gadasewu. Padahal, sikap adipati yang masih muda usianya itu sama sekali tidak menunjukkan kecurigaan apa-apa. Bahkan begitu ramah dan dihormati seluruh rakyat Kadipaten Galumbu ini Tentu saja keinginan itu membuat Pandan Wangi jadi tidak mengerti jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang! Adipati Gadasewu begitu ramah dan dihormati seluruh rakyatnya. Bagaimana mungkin aku bisa memata-matainya...?" ujar Pandan Wangi mengemukakan penilaiannya.

"Aku tidak ingin kau ikut terbius dan buta oleh penampilannya yang begitu ramah, Pandan. Justru keramahan yang berlebihan membuatku menaruh curiga," tegas Rangga.

"Tapi, Kakang. Adipati Gadasewu sendiri pernah bertarung melawan si Dara Iblis. Bahkan hampir saja mati terbunuh. Mana mungkin dia berada di balik semua peristiwa ini...?" bantah Pandan Wangi lagi

"Aku tidak mengatakan kalau dia ada di belakangnya, Pandan."

"Lalu, apa yang membuatmu curiga?" tanya Pandan Wangi, ingin tahu.

"Hubungannya dengan si Dara Iblis," sahut Rangga tetap tegas nada suaranya.

"Maksudmu...?" Pandan Wangi jadi semakin tidak mengerti.

"Dengar, Pandan. Dalam setiap kerusuhan yang terjadi di sebuah desa atau kadipaten, tidak terlepas dari keterlibatan pemimpinnya. Dan aku begitu yakin, Adipati Gadasewu terlibat di dalamnya," Rangga mencoba menjelaskan jalan pikirannya

"Aku masih tidak mengerti, Kakang."

"Memang sulit dimengerti, Pandan. Tapi inilah kenyataannya. Wanita yang dijuluki Dara Iblis itu sengaja mengacaukan keadaan kadipaten ini. Tapi tujuan yang sebenarnya justru pada Adipati Gadasewu sendiri," lagi-lagi Rangga mencoba menjelaskan.

"Maksudmu, nyawa Adipati Gadasewu terancam?" tebak Pandan Wangi.

"Ya, belum pasti, Pandan. Tapi menurutku, Adipati Gadasewu perlu mendapat perhatian yang tidak kecil. Mungkin saja Dara Iblis itu mengincar nyawanya. Tapi ada kemungkinan juga, menginginkan yang lain dari Adipati Gadasewu."

"Bagaimana mungkin kau bisa menarik kesimpulan seperti itu, Kakang?"

"Mudah saja, Pandan. Dari sikap dan keramahannya. Juga, dari kata-katanya tentang Dara Iblis itu, aku merasa kalau Adipati Gadasewu mengenalnya. Atau paling tidak, ada kaitannya yang sangat berhubungan erat Pandan, kau perhatikan pengawalnya yang diakui sebagai saudaranya itu...?"

"Rondokulun maksudmu, Kakang?"
"Benar."
"Ada apa dengan Rondokulun?"
"Semalam, Ki Sampan bilang padaku kalau Rondokulun belum lama berada di Kadipaten Galumbu ini. Dan kedatangannya langsung disambut dan diakui sebagai saudara oleh Adipati Gadasewu. Padahal, tidak seorang pun yang pernah mengenalnya. Dan semua orang tahu kalau Adipati Gadasewu tidak memiliki seorang saudara pun. Dan lagi, kedatangan Rondokulun juga bersamaan dengan munculnya si Dara Iblis."

"Hm.... Jadi, itu yang membuatmu curiga, Kakang?" Pandan Wangi mulai mengerti.

"Bukan hanya itu saja, Pandan."

"Ya, aku mengerti sekarang. Jadi menurutmu, perhatian kita jangan terpusat pada si Dara Iblis saja. Tapi, juga pada Adipati Gadasewu sendiri dan Rondokulun. Begitu kan, Kakang..?"

"Tepat, Pandan. Untuk itu, kita harus membagi tugas. Kau mengawasi Adipati Gadasewu dan Rondokulun. Sedangkan aku tetap berusaha menemukan si Dara Iblis. Barangkali saja rahasianya yang tersimpan bisa terungkap."

Pandan Wangi mengangguk-angguk, sudah mengerti apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu juga sudah merasakan kalau persoalan yang sedang dihadapi seluruh rakyat Kadipaten Galumbu ini tidak ringan. Bahkan bisa membuat kehancuran kadipaten ini.

"Sudah hampir malam, Pandan. Sebaiknya kita kembali ke rumah Ki Sampan," ajak Rangga.

Kembali Pandan Wangi mengangguk Dan tidak lama kemudian kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah berada di atas punggung kuda masing-masing. Kali ini, mereka tidak tergesa-gesa dalam mengendalikan kudanya. Sementara, matahari semakin tenggelam ke belahan bumi bagian barat Tidak lama lagi, seluruh permukaan bumi Kadipaten Galumbu akan terselimut kegelapan. Dan sepanjang jalan, sudah tidak ada lagi orang yang terlihat berada di luar rumah. Begitu sunyi terasa, seakan-akan kota kadipaten ini berubah menjadi kota mati yang tidak berpenduduk lagi.

Malam ini Rangga sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Sengaja Pendekar Rajawali Sakti duduk di beranda depan rumah Ki Sampan. Sementara Pandan Wangi sudah sejak tadi mengamati sekitar istana kadipatenan. Sedangkan Rangga sendiri, sengaja berada di luar rumah menunggu kedatangan si Dara Iblis. Tapi sudah jauh malam, gadis berbaju hitam itu belum juga kelihatan batang hidungnya.

"Hm.... Apakah dia malam ini tidak muncul...?" gumam Rangga bicara pada diri sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke halaman depan rumah Ki Sampan. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Malam begitu sunyi. Tapi Rangga tahu, berpasang-pasang mata terus mengawasinya dari rumah-rumah yang ada di sekitar rumah Ki Sampan ini. Rangga tahu, semua penduduk Kota Kadipaten Galumbu ini ingin menyaksikannya dalam meringkus si Dara Iblis.

Slap!
"Heh...?!"

Tiba-tiba saja Rangga jadi tersentak, begitu merasakan desir angin yang terasa dingin menerpa tubuhnya. Cepat tubuhnya diputar. Dan pada saat itu juga, matanya menangkap satu kelebatan bayangan hitam di atas atap rumah Ki Sampan.

"Hup!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat naik ke atas atap. Lalu tubuhnya kembali melesat dengan hanya menotokkan sedikit ujung jari kakinya di atas atap rumah penginapan ini. Sekilas Rangga masih sempat melihat bayangan hitam itu berkelebat begitu cepat menuju arah Istana Kadipaten Galumbu.

"Hup!"

Dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti terus mengikuti bayangan hitam yang berkelebatan begitu cepat dari satu atap ke atap rumah lainnya. Dan begitu berada di samping kanan Istana Kadipaten Galumbu, bayangan hitam itu lenyap tak terlihat lagi. Rangga langsung menghentikan larinya, dan cepat berlindung di balik sebatang pohon beringin yang cukup besar batangnya. Rimbunnya daun pohon ini membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat

"Hm..."

Sedikit Rangga menggumam, saat melihat sesosok tubuh ramping berbaju hitam yang cukup ketat sedang mengendap-endap. Begitu rapat tubuhnya pada dinding tembok yang tinggi mengelilingi bangunan istana ini. Bulan yang tertutup awan hitam, membuat keadaan sekitarnya jadi gelap. Dan Rangga terpaksa harus menggunakan aji 'Tatar Netra' agar dapat melihat lebih jelas lagi.

"Dara Iblis...," desis Rangga dalam hati, begitu mengenali orang yang mengendap-endap di pinggiran tembok benteng istana ini.

Pendengaran Rangga yang tajam, mendengar suara ayunan langkah kaki yang begitu halus dari sebelah kirinya. Dan saat berpaling ke kiri, tiba-tiba saja....

Plak!
"Akh...!"

Hanya sedikit saja Rangga terpekik, begitu tiba-tiba sebuah pukulan yang sangat keras menghantam bagian belakang kepalanya. Seketika itu juga, pandangan matanya jadi mengabur. Tubuhnya lalu jadi limbung, kemudian ambruk menggeletak tanpa dapat dikuasai lagi. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menghilangkan rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepalanya, satu hantaman yang sangat keras kembali menerpa kepalanya.

"Ugkh...!"

Hanya sedikit saja keluhan yang keluar dari bibir Pendekar Rajawali Sakti, karena mendadak saja pandangannya jadi gelap. Lalu, pendengarannya pun mulai berkurang. Dan saat berikutnya, Rangga sudah tidak tahu apa-apa lagi. Kesadarannya seketika lenyap, setelah mendapatkan satu pukulan lagi di bagian belakang kepalanya.

Menjelang matahari terbit, Pandan Wangi sudah kembali ke rumah penginapan Ki Sampan. Gadis itu hanya melihat Ki Sampan duduk terkantuk-kantuk di ruangan tengah. Dan laki-laki tua itu hanya melirik saja saat Pandan Wangi masuk, dengan mata begitu berat

"Oh...?! Maaf, aku tidak tahu kalau kau ada di sini, Ki," ujar Pandan Wangi.

"Aku memang menunggu kalian pulang," sahut Ki Sampan dengan suara lesu karena mengantuk

"Memangnya Kakang Rangga belum kembali, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Semalam, dia ada di depan. Tapi, terus pergi. Aku tidak tahu, ke mana perginya. Dan sampai sekarang, dia belum juga kembali," kata Ki Sampan memberi tahu.

"Mungkin di kamarnya, Ki. Biasanya Kakang Rangga memang begitu. Bisa ada di mana saja tanpa diketahui," kata Pandan Wangi tanpa ada pikiran apa-apa.

"Tidak ada, Nini. Aku sudah melihat kamarnya. Kosong," sahut Ki Sampan.

Kening Pandan Wangi jadi berkerut juga. Semalam, sebelum mereka menjalankan tugas masing-masing, Rangga sudah meminta agar sebelum pagi bertemu di ruangan depan rumah penginapan ini. Tapi, kenapa sampai sekarang Rangga belum juga kembali...? Pandan Wangi mulai berpikir macam-macam. Tapi gadis itu tidak mau menduga kalau Rangga mengalami sesuatu yang menyulitkan dirinya. Keyakinannya begitu kuat, kalau Pendekar Rajawali Sakti mampu mengatasi segala kesulitan yang dihadapi.

"Ah.... Sudahlah, Ki. Nanti juga dia kembali. Aku akan istirahat dulu. Nanti kalau Kakang Rangga sudah datang, beri tahu ya, Ki," kata Pandan Wangi mencoba menenangkan diri.

"Baik, Nini," sahut Ki Sampan sambil terkantuk-kantuk.

Pandan Wangi langsung saja melangkah ke dalam, meninggalkan orang tua pemilik rumah penginapan ini. Ki Sampan baru membaringkan tubuh di atas balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar, setelah Pandan Wangi menghilang di balik dinding penyekat ruangan depan ini dengan ruangan dalam.

Sementara di luar, ayam jantan sudah sejak tadi memperdengarkan suaranya. Dan burung-burung pun sudah mulai berkicauan. Tampak di ufuk timur, rona merah Jingga mulai terlihat memancar 'di balik kabut yang masih terlihat tebal. Dan Pandan Wangi sudah membaringkan tubuhnya di dalam kamar, namun matanya tak dapat dipejamkan sedikit pun. Dia memikirkan Rangga yang belum juga kembali. Padahal sebentar lagi matahari sudah naik.

"Hm..., ke mana Kakang Rangga? Apa terjadi sesuatu padanya...?" gumam Pandan Wangi bertanya-tanya sendiri. "Ah, nanti juga kembali."

Pandan Wangi mencoba memejamkan matanya. Tapi entah kenapa, hatinya jadi begitu gelisah. Sehingga, dia sulit untuk beristirahat. Padahal rasa kantuk dan lelah sudah menghinggapinya. Gadis itu hanya membaringkan tubuh saja, menelentang memandangi langit-langit kamar penginapan ini. Dan pikirannya terus menerawang jauh, memikirkan Rangga yang belum juga kembali. Sementara, pagi terus merayap naik semakin tinggi. Dan matahari juga sudah menampakkan diri. Cahayanya menerangi seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini. Namun Pandan Wangi masih tetap berbaring di ranjangnya dengan mata menerawang memandangi langit-langit kamar ini.

"Hhh...! Ke mana Kakang Rangga, ya...?" desah Pandan Wangi seraya bangkit, dan duduk di tepi pembaringan.

Memang tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi pada diri Pendekar Rajawali Sakti semalam. Bahkan sampai tengah hari, Rangga belum juga kembali ke rumah penginapan ini. Tentu saja hal ini membuat Pandan Wangi jadi gelisah tidak menentu. Sementara Ki Sampan sendiri, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan kelihatan gelisah seperti Pandan Wangi. Mereka hanya bisa menunggu, tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak juga kunjung datang. Kegelisahan Pandan Wangi semakin bertambah, saat siang sudah berganti senja, karena Rangga belum juga kelihatan batang hidungnya. Padahal, itu belum pernah dilakukan Pendekar Rajawali, Sakti selama ini.

Apa sebenarnya yang terjadi pada diri Pendekar Rajawali Sakti...? Di dalam sebuah ruangan yang sempit dan gelap, tampak Rangga berdiri terentang dengan kedua tangan dan kaki terbelenggu rantai baja hitam yang sangat kuat. Kepalanya terkulai lemas. Dan matanya terpejam rapat Tampak dari bagian belakang kepalanya mengalir darah yang sudah mengering. Entah sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti tidak sadarkan diri. Plak! Tiba-tiba saja sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di wajah pemuda ini, membuat kepalanya langsung terdongak ke atas. Saat itu juga Rangga membuka kelopak matanya, dan langsung terkejut mendapati dirinya sudah terbelenggu di dalam sebuah ruangan sempit yang cukup gelap ini. Sesaat pandangannya diedarkan ke sekeliling. Dan tatapan matanya kemudian bertumpu pada seseorang yang berdiri cukup dekat di depannya. Seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain hitam. Hanya dua lubang pada bagian matanya saja yang terlihat

"Di mana ini...?" lirih sekali suara Rangga.
"Kau ada di tempatku, Pendekar Rajawali Sakti."
"Siapa kau?" tanya Rangga.
"Tidak perlu tahu, siapa aku."

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya yang masih terasa pening. Pandangan matanya juga belum begitu jelas. Rasa sakit pada bagian belakang kepalanya begitu terasa. Sedangkan di depannya masih berdiri seseorang berbaju warna hitam pekat, dengan seluruh kepala terselubung kain hitam. Sulit sekali untuk mengenalinya, karena hanya pada bagian matanya saja yang terlihat

Sebentar kemudian Rangga sudah bisa menyadari, apa yang terjadi pada dirinya. Dicobanya untuk mengingat-ingat kejadian semalam, sampai berada di tempat seperti ini dalam keadaan terbelenggu rantai baja hitam. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau dirinya sudah tertangkap. Dan yang membuatnya terkejut ternyata pedang pusakanya tidak lagi bertengger di punggungnya.

"Jangan terlalu cemas, Pendekar Rajawali Sakti. Kau akan kubebaskan setelah urusanku selesai. Kau terlalu berbahaya. Maka terpaksa untuk sementara kau harus dilumpuhkan," kata orang itu dengan suara berat sekali.

Rangga hanya diam saja. Kesadarannya sudah berangsur pulih. Bahkan masih bisa bernapas lega, setelah memeriksa seluruh tubuhnya dengan penyaluran hawa murni. Tidak ada satu totokan pun di tubuhnya. Hanya pada bagian belakang kepala saja yang terasa nyeri. Dia tahu, kepala bagian belakangnya terluka dan mengeluarkan darah akibat tiga kali pukulan yang diterimanya.

"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti! Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk meloloskan diri. Ruangan ini berada di bawah tanah, dan seluruh dindingnya terbuat dari batu yang dilapis baja. Juga, sekitar ruangan ini sudah terpasang banyak senjata rahasia yang bisa mencincang tubuhmu. Jadi kuperingatkan, agar kau tidak berlaku macam-macam," kata orang itu lagi sedikit mengancam.

Namun Rangga hanya tetap diam saja.

"Karena masih ada yang harus kuselesaikan, maka aku pergi dulu. Beberapa hari lagi, aku akan melihatmu di sini."

Setelah berkata demikian, orang itu langsung saja berbatik dan pergi meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti di dalam ruangan sempit ini. Rangga hanya memandangi saja sampai orang itu lenyap tak terlihat lagi di balik pintu besi, yang kemudian tertutup rapat.

Cring!

Rangga menggerak-gerakkan tangan dan kakinya yang terbelenggu rantai baja hitam. Kemudian kembali pandangannya beredar ke sekeliling.

Gelap dan pengap sekali mangan ini. Bau lumut terasa menyengat hidung. Kembali kedua tangannya yang terentang terikat rantai yang menyatu dengan dinding digerak-gerakkan. Tampaknya memang sangat kokoh.

"Hhh...!"

Rangga berusaha melepaskan belenggu ini dengan menghentakkan tangan kanannya, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi Tapi, mulutnya jadi meringis. Tangannya jadi terasa sakit, sedangkan rantai ini tidak juga putus.

"Hhh! Kuat sekali rantai ini Hhh.... Mungkin dengan cara lain, aku bisa bebas dari belenggu ini. Mudah-mudahan saja orang itu tidak cepat kembali. Hm.... Tapi, siapa dia...?" gumam Rangga lagi, bicara pada diri sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti mencoba lagi mematahkan rantai yang membelenggunya ini, dengan menghentak-hentakkan kedua tangannya disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti terdiam. Kedua kelopak matanya terpejam rapat, dan mulai mengatur jalan pernapasannya. Beberapa saat kemudian....

"Hih!"

Rangga mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah berada pada tingkat sempurna. Otot-otot kedua tangannya seketika bersembulan. Lalu dicobanya menarik rantai itu sekuat tenaga. Terdengar suara desisan keluar dari celah-celah bibirnya. Rangga terus berusaha memutuskan rantai itu dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

"Hih...!"
Cring!
Trak!
"Phuih!"

Rangga langsung menghembuskan napas panjang, begitu rantai yang membelenggu kedua tangannya terputus. Pendekar Rajawali Sakti langsung duduk, kemudian mencoba memutuskan rantai yang membelenggu kakinya. Kembali seluruh otot-otot di tubuhnya bersembulan keluar. Keringat telah membanjiri tubuhnya, sehingga membuat seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi berkilat.

"Hih!"
Trak!

Rangga cepat bangkit berdiri begitu semua rantai yang membelenggunya sudah terlepas. Dia ingin melangkah mendekati pintu. Tapi baru saja kaki kirinya bergerak maju, langsung diurungkan kembali. Pendekar Rajawali Sakti langsung teringat kata-kata orang berpakaian serba hitam tadi. Ruangan ini sudah dipasangi puluhan jebakan yang bisa membuat tubuhnya tercincang. Dipandanginya pintu besi baja yang berada sekitar tujuh langkah di depannya.

"Haaap...!"

Rangga menarik kedua tangannya, kemudian merapatkannya di depan dada. Sebentar napasnya ditahan. Lalu....

"Yeaaah...!"

Begitu kedua tangannya terhentak ke depan, seketika itu juga selarik sinar merah melesat dari kedua telapaknya yang terbuka itu. Dan....

Glarrr!

Satu ledakan dahsyat tiba-tiba saja terdengar, begitu sinar merah dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam pintu besi ruangan ini. Tampak pintu itu jebol seketika.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat keluar dari dalam ruangan ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara pada gerakannya. Bahkan ketika kakinya menjejak lantai batu di depan ruangan kecil itu, juga sedikit pun tidak terdengar suara.

mm.. Ternyata sebuah lorong..., gumam Rangga pelan. Pendekar Rajawali Sakti cepat berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

Hup!

********************

Rangga terus berlari-lari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menyusuri lorong yang cukup panjang dan berliku ini. Tapi setelah cukup lama berlari, tidak juga menemukan ujung lorong ini. Dan mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti menghentikan larinya. Keningnya jadi berkerut begitu di depannya terlihat sebuah pintu yang sudah jebol.

"Edan...! Rupanya sejak tadi aku berputar-putar saja di sini..!" dengus Rangga baru menyadari.

Rangga berdiri tegak memandangi sekitarnya dengan sinar mata begitu tajam. Perlahan kemudian kakinya terayun melangkah. Setiap dinding di kiri dan kanannya mendapat perhatian yang tajam. Dugaannya, pasti ada dinding rahasia yang dijadikan pintu keluar dari tempat ini. Bahkan langit-langit lorong ini juga mendapat perhatian yang seksama. Rangga terus berjalan perlahan-lahan, menyusuri lorong yang entah sudah berapa kali dilaluinya.

Namun belum jauh berjalan, tiba-tiba saja ayunan kakinya terhenti. Pendengarannya yang tajam menangkap sebuah suara yang terdengar begitu kecil.

"Air...," desis Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti semakin mempertajam pendengarannya. Benar! Telinganya mendengar suara air bergemericik dari balik dinding batu lorong di sebelah kanannya ini. Cepat dihampirinya, dan ditempelkan telinganya ke dinding itu. Tapi, sesaat kemudian pemuda berbaju rompi putih ini jadi tertegun.

"Hm.... Aku berada di bawah air terjun," gumam Rangga lagi, masih terdengar perlahan. Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah dua tindak ke belakang.

"Pasti ada jalan keluar dan masuk ke sini. Tapi..," kembali Rangga tertegun.

Rangga tidak yakin, kalau jalan keluar dari lorong batu ini melalui air terjun yang berada di balik dinding batu lorong ini. Terlalu besar bahayanya kalau dinding batu ini dijebol. Memang tidak terlalu sulit. Tapi, air terjun itu bisa menerobos, masuk ke dalam. Akibatnya, dia akan terkubur hidup-hidup di dalam lorong ini.

"Hhh! Apa akalku sekarang...?" desah Rangga perlahan.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Otaknya terus berputar keras mencari jalan keluar. Sedikit pun tidak ada celah di sekitarnya. Sedangkan suara air di balik dinding ini terdengar begitu jelas di telinganya, walaupun sangat pelan. Perlahan kakinya kembali bergerak menggeser ke belakang, sampai hampir sampai merapat dengan dinding di belakangnya. Dan pada saat itu....

"Heh...?!"

Rangga jadi terlonjak kaget, begitu tiba-tiba merasakan adanya desir angin yang sangat halus menerpa punggungnya. Pendekar Rajawali Sakti sampai terlompat selangkah ke depan, dan cepat berbalik. Dipandanginya dinding yang tadi berada di belakangnya. Hanya dinding batu yang kelihatannya begitu kokoh. Tapi, dari mana ada hembusan angin tadi...?

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mendekati dinding itu. Dan tangannya segera terulur ke depan. Tidak ada lagi hembusan angin terasa di tangannya. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut Diraba-rabanya dinding, batu itu dengan cermat Dan ketika jari tangannya berada di bagian bawah dinding batu ini, raut wajahnya seketika jadi bersinar.

"Dewata Yang Agung.... Inilah pintu yang kucari," desah Rangga, begitu merasakan hembusan angin dari bagian bawah dinding batu ini

Tapi sejenak kemudian, Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun. Dan perlahan-lahan kakinya melangkah mundur sampai punggungnya menyentuh dinding batu, di belakangnya. Sebentar Rangga berdiri tegak memandangi dinding batu di depannya. Sementara, kedua tangannya sudah terkepal di pinggang. Sesaat kemudian....

"Hap! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan di saat kedua telapak tangannya terbuka, seketika itu juga melesat cahaya merah bagai api dari kedua telapak tangannya. Dan...

Glarrr!

Dinding batu di depannya seketika hancur berkeping-keping terhajar dua cahaya merah yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali. Sakti. Debu kontan mengepul, membuat pandangan matanya jadi terhalang. Namun wajahnya jadi cerah, karena di balik dinding yang hancur itu terlihat pepohonan yang bermandikan cahaya matahari. Bergegas Rangga melompat ke luar. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah di luar....

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, karena tiba-tiba saja dari sekelilingnya sudah berlompatan orang-orang berseragam serba hitam dan bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung saja menyerang ganas dari segala penjuru.

"Hup! Yeaaah...!"

Tidak ada waktu lagi bagi Rangga untuk mencegah. Maka cepat tubuhnya melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali sambil melepaskan satu pukulan cukup keras ke arah orang yang berada paling dekat dengannya.

Plak!
"Akh...!"

Orang itu memekik tertahan, dan kontan terpental cukup jauh ke belakang. Sementara, Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah. Sekilas diperhatikannya keadaan sekitar. Ada lebih kurang dua puluh orang berseragam hitam dan bersenjata golok terhunus sudah mengepung dirinya. Mereka adalah pemuda-pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun.

Kini dua puluh orang berpakaian serba hitam itu bergerak perlahan menggeser kakinya mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti. Golok yang tergenggam di tangan kanan bergerak-gerak di depan dada, memancarkan cahaya putih keperakan yang membuat hari siapa saja akan bergetar melihatnya. Tapi Rangga malah kelihatan begitu tenang. Sedikit pun tidak terpengaruh oleh golok yang berkilatan tajam di sekelilingnya.

"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Begitu terdengar teriakan memberi perintah, kedua puluh orang berpakaian serba hitam ini serentak berlompatan menyerang. Namun Rangga yang sudah siap sejak tadi, cepat merentangkan kedua tangannya ke samping Dan saat itu juga, tubuhnya bergerak cepat meliuk-liuk seperti belut, sambil mengibaskan kedua tangannya. Kecepatannya, sangat sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan saat itu juga....

Plak!
Diegkh!
"Akh!"
"Aaa...!"

Terdengar jeritan-jeritan panjang melengking dan tertahan, bersamaan berkelebatnya kedua tangan Rangga yang menyambar para pengeroyoknya. Tampak orang-orang berpakaian serba hitam itu berpelantingan ke belakang, dengan kepala pecah dan dada remuk. Mereka yang terkena kibasan tangan Rangga dalam penggunaan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tidak ada yang bisa bangkit berdiri lagi. Mereka tewas seketika itu juga dengan kepala pecah dan beberapa orang remuk dadanya.

"Hih! Yeaaah...!"

Menghadapi orang-orang seperti ini, Rangga tidak mau lagi tanggung-tanggung. Terlebih lagi, sekarang ini tidak memiliki senjata apa pun juga. Dia tidak tahu, di mana pedang pusakanya sekarang berada. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat luar biasa. Hingga tidak ada seorang pun dari para penyerang yang sanggup menghadang. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, dua puluh orang berpakaian serba hitam itu sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Bau anyir darah seketika menyeruak menusuk hidung, terbawa hembusan angin.

"Huh!"

Rangga mendengus kecil memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Dan saat itu keningnya jadi berkerut, melihat sebuah air terjun yang tidak begitu besar, Dan tidak jauh dari situ, terdapat sebuah pondok kecil yang sangat sederhana, tapi kelihatan cukup bersih.

"Hm...," sedikit Rangga menggumam kecil. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling Dia tahu kalau sekarang berada di sebuah puncak gunung yang berselimut kabut cukup tebal. Sehingga, cahaya matahari hampir tidak bisa menembusnya. Dan udara di sini juga terasa begitu dingin. Hanya saja Rangga tidak tahu, apa nama gunung ini.

"Coba kulihat, ada apa di dalam pondok itu...," gumam Rangga.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati pondok kecil yang berada tidak jauh dari air terjun. Rupanya air terjun itulah yang sempat didengar Rangga dari dalam lorong batu yang mengurungnya tadi. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah perlahan-lahan dengan mata menyorot tajam memandang ke sekitarnya. Pendengarannya juga terpasang begitu tajam, menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Rangga baru berhenti melangkah setelah berada cukup dekat di depan pondok kecil itu. Sebentar diamatinya keadaan sekitarnya. Namun sedikit pun tidak terdengar adanya tanda-tanda kehidupan. Kembali kakinya melangkah mendekati pondok itu dengan sikap sangat hati-hati.

"Hm.... Rupanya ada orang di dalam pondok ini," gumam Rangga setelah dekat dengan beranda pondok itu.

Telinganya yang tajam mendengar adanya tarikan napas yang begitu halus dari dalam pondok. Tapi kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Tarikan napas itu terdengar sangat lemah, seperti dari orang yang tengah menderita.

"Hup!"

Cepat Ranggga melesat menabrak pintu pondok itu. Sekali gedor dengan tangan kirinya saja, pintu kayu biasa itu hancur berkeping-keping.

Brak!
"Heh...?!"

Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, begitu melihat di dalam ruangan pondok ini terdapat seorang laki-laki tua yang seluruh tubuhnya tengah terikat menyatu dengan tiang yang berdiri di tengah-tengah. Bergegas dihampainya laki-laki tua itu. Tapi belum juga dekat, tiba-riba dari atas atap meluncur sebatang tombak ke arahnya.

"Ups..!"

Hampir saja mata tombak itu menghunjam tubuhnya, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat mengegos. Dan tombak itu langsung menancap tepat di depan laki-laki tua yang terikat di tiang seluruh tubuhnya.

"Hup!"

Tanpa berpaling lagi sedikit pun juga, Rangga cepat merundukkan tubuhnya. Dijumputnya sepotong kayu pecahan pintu. Dan secepat kilat, tubuhnya berputar sambil melemparkan potongan kayu itu ke atas atap.

"Hih! Yeaaah...!"
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"

Seketika terdengar jeritan panjang melengking tinggi, yang kemudian disusui jatuhnya sesosok tubuh dari atas atap pondok ini. Tampak sebuah potongan kayu tertancap tembus di lehernya. Hanya sedikit saja orang itu mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi dengan nyawa melayang.

Rangga tidak menghiraukan orang berbaju serba hitam itu. Cepat-cepat dihampirinya laki-laki tua ini, dan melepaskan tambang yang mengikat seluruh tubuhnya. Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya sedikit, menatap wajah Rangga yang berada dekat di depannya.

"Bawa aku keluar dari sini, Anak Muda...," lirih sekali suara laki-laki tua ini

"Baik. Hup...!"

Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga cepat menyambar tubuh tua itu. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar dengan kecepatan bagai kilat Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah berada cukup jauh di luar pondok.

Rangga menurunkan laki-laki tua berbaju jubah putih panjang ini dari pondongannya dan meletakkannya di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Sehingga, tubuhnya terlindung dari sorotan teriknya matahari. Tampak darah kering menggumpal di dalam rongga mulurnya. Dan jubah putihnya ternoda darah yang sudah mengering.

"Anak muda, siapa kau? Kenapa kau ada di sini...?" tanya orang tua itu, lemah sekali suaranya.

"Aku Rangga. Kebetulan saja aku berada di sini," sahut Rangga tidak mengatakan yang sebenarnya.

"Aku Eyang Gajah Sakti. Puncak Gunung Halimun ini tempat tinggalku. Tapi, sekarang mereka sudah menguasainya. Hhh.... Gadis itu..., gadis itu menginginkan lebih dari pertapaanku yang buruk, ini. Anak muda..., tolonglah aku. Pergilah ke Kadipaten Galumbu. Katakan pada Adipati Gadasewu, agar bisa mempertahankan istana dari rongrongan Sarita. Jangan sampai gadis itu menguasainya."

Laki-laki tua yang ternyata bernama Eyang Gajah Sakti ini terbatuk beberapa kali. Begitu lemah keadaannya. Dari luka-luka yang menggurat di tubuhnya, sudah bisa dipastikan kalau Eyang Gajah Sakti mendapatkan siksaan yang cukup parah.

Sementara Rangga hanya membisu saja. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Dan rasa-rasanya, Rangga pernah mendengar nama Eyang Gajah Sakti. Dan memang Adipati Gadasewu pernah bercerita kalau Eyang Gajah Sakti adalah gurunya, yang telah tewas terbunuh. Jadi, bukankah seharusnya laki-laki di hadapannya ini sudah mati? Tapi kenapa kenyataannya begini? Walaupun, memang tampaknya umur Eyang Gajah Sakti tak akan lama lagi. Pendekar Rajawali Sakti jadi bingung. Lantas, siapa yang menyiksa Eyang Gajah Sakti? Apakah gadis yang baru saja disebutkannya?

"Siapa gadis itu, Eyang?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.

"Sarita.... Dia anak tiri Kanda Adipati Payangga, Ayahanda Adipati Gadasewu. Gadis itu telah menaruh dendam pada keluarga adipati, karena ibunya bersama dirinya merasa disia-siakan. Dia bukan hanya ingin merampas istana peninggalan Adipati Payangga, tapi juga akan menghancurkan Kadipaten Galumbu. Bahkan Sarita merasa berhak atas Kadipaten Galumbu. Ukh...! Anak muda.... Katakan pada Adipati Gadasewu, jangan mempercayai siapa pun juga. Apalagi orang yang bernama Rondokulun. Dia itu kekasih Sarita, yang bermaksud merebut kekuasaan Adipati Gadasewu. Ugkh...!"

"Eyang...."

Beberapa kali Eyang Gajah Sakti terbatuk dan menyemburkan ludah yang bercampur darah kental berwarna agak kehitaman. Keadaannya semakin terlihat lemah. Dan napasnya juga sudah mulai tersendat Rangga tahu, laki-laki tua ini tidak mungkin lagi bisa ditolong. Siksaan yang diterimanya begitu berat. Tak jelas, sudah berapa lama Eyang Gajah Sakti tersiksa di puncak Gunung Halimun ini.

"Hhh...!"

Rangga hanya bisa menarik napas panjang saja, melihat Eyang Gajah Sakti sudah terkulai tidak bernyawa lagi. Perlahan diusapnya wajah laki-laki tua itu hingga kedua matanya terpejam. Lalu, dibaringkannya di bawah pohon ini. Sebentar Rangga memandangi tubuh tua yang sudah tidak bernyawa itu. Terngiang kembali kata-kata Eyang Gajah Sakti yang terakhir.

Rangga memang baru kali ini melihat Eyang Gajah Sakti. Tapi dari kata-katanya yang terakhir, bisa diketahui kalau apa yang terjadi di Kadipaten Galumbu hanya persoalan keluarga dan perebutan kekuasaan saja. Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak menyukai cara gadis yang berjuluk Dara Iblis itu.

"Hm.... Nyawa Adipati Gadasewu benar-benar terancam sekarang. Aku harus segera kembali ke Kadipaten Galumbu," gumam Rangga perlahan.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandangi tubuh Eyang Gajah Sakti yang terbujur tidak bernyawa lagi di depannya. Kini jelas, siapa yang menyiksa Eyang Gajah Sakti. Selain gadis yang bernama Sarita, ternyata Rondokulun ikut terlibat. Padahal, pemuda itu adalah murid Eyang Gajah Sakti sendiri. Mungkin karena terbuai oleh cintanya pada Sarita, Rondokulun jadi lupa diri. Bahkan ikut bersekongkol. Rondokulun kemudian pergi ke Kadipaten Galumbu untuk pura-pura mengabarkan pada Adipati Gadasewu bahwa Eyang Gajah Sakti telah tewas. Dan itu memang siasat Rondokulun, agar bisa menyusup ke dalam istana. Dengan demikian, dia bisa membaca kelemahan dan kelebihan kekuatan prajurit Baru setelah itu, istana bisa dikuasainya.

"Maaf, Eyang. Kalau aku sudah menyelesaikan semua amanatmu, aku akan kembali lagi untuk menguburkanmu di sini," ujar Rangga pelan.

Setelah berkata demikian, cepat sekali Rangga melesat pergi menuruni puncak Gunung Halimun yang selalu terselimut kabut ini. Gerakannya begitu cepat, hingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara itu tanpa diketahui sama sekali, sepasang mata yang sangat indah mengamati perbuatan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan pemilik sepasang mata itu baru keluar dari balik semak tempatnya bersembunyi, setelah Rangga benar-benar tidak terlihat lagi bayangannya.

Ternyata dia seorang gadis muda yang sangat cantik. Baju hitam pekat yang dikenakannya begitu ketat, membungkus tubuh yang ramping, indah, dan padat berisi. Sebilah pedang bergagang emas berbentuk bintang pada ujung tangkainya terlihat menyembul dari balik punggungnya. Gadis itu berdiri tegak tidak jauh dari tubuh Eyang Gajah Sakti yang terbujur kaki tidak bernyawa lagi.

"Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., dia benar-benar manusia tangguh yang sukar sekali dihadapi," gumam wanita itu perlahan.

Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, merayapi tubuh-tubuh berbaju hitam yang bergelimpangan di sekitar puncak Gunung Halimun ini.

"Benar-benar tangguh dia. Semua anak buahku tewas di tangannya," gumam gadis itu lagi perlahan.

Beberapa saat wanita berwajah cantik itu terdiam membisu, berdiri tegak memandang ke arah kepergian Rangga tadi. Dia tahu, arah yang dituju Pendekar Rajawali Sakti adalah Kadipaten Galumbu.

"Hhh! Kedudukan Kakang Rondokulun sudah terancam. Aku harus mendahuluinya, sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menemui Adipati Gadasewu Huh! Memang sebaiknya adipati keparat itu kubunuh saja. Karena dia, aku sengsara seumur hidup!"

Setelah berkata demikian, dengan kecepatan bagal kilat, wanita berbaju hitam yang selama ini dikenal berjuluk Dara Iblis itu melesat cepat menuruni puncak Gunung Halimun. Tapi arah yang dituju tidak sama dengan yang dilalui Pendekar Rajawali Sakti.

Tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Dara Iblis memang sudah tinggi sekali. Sehingga hanya bayangan putih saja yang berkelebat begitu cepat bagai kilat, menembus tebalnya kabut yang menyelimuti seluruh puncak gunung ini. Dan dalam waktu sebentar saja, bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, puncak Gunung Halimun ini jadi sunyi senyap, tanpa terdengar suara sedikit pun juga. Hanya desir angin saja yang terdengar menggesek daun-daun.

********************

TUJUH

Saat matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, Rangga baru sampai di Kota Kadipaten Galumbu. Pendekar Rajawali Sakti berhenti sebentar di depan rumah Ki Sampan. Tapi baru saja ingin terus melangkah, terdengar sebuah suara panggilan yang sangat dikenalnya. Rangga seketika mengurungkan langkah kakinya. Tubuhnya segera berputar berbalik. Tampak Ki Sampan dan Pandan Wangi berlari-lari, keluar dari dalam rumah penginapan itu menghampirinya.

"Dari mana saja kau, Kakang? Aku seharian cemas memikirkanmu?" dengus Pandan Wangi, langsung menegur.

"Ada yang harus kujelaskan padamu, Pandan. Tapi rasanya tidak ada waktu lagi," kata Rangga begitu bersungguh-sungguh.

"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi, jadi penasaran ingin tahu.

"Nanti saja kujelaskan sambil jalan. Sebaiknya, kau ikut aku saja," kata Rangga. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menatap Ki Sampan.

"Ki... Kau pulang saja. Tutup pintu dan jendela rapat-rapat Jangan sekali-kali membuka pintu, selain aku yang datang," pesan Rangga.

"Baik, Den," sahut Ki Sampan.

"Cepatlah. Tidak ada waktu lagi, Ki."

Ki Sampan bergegas berlari-lari dengan langkah terseok. Rangga dan Pandan Wangi baru melangkah, setelah laki-laki tua itu tidak terlihat lagi, tenggelam di dalam rumahnya. Dan kedua pendekar muda dari Karang Setia itu segera berjalan cepat menuju Istana Kadipaten Galumbu yang tidak seberapa jauh lagi jaraknya. Sepanjang perjalanan ini, Rangga menceritakan semua yang terjadi pada dirinya. Sejak dari semalam diserang dari belakang, hingga tidak sadarkan diri, sampai kejadian yang dialami di puncak Gunung Halimun.

"Puncak Gunung Halimun...?" desis Pandan Wangi agak terperangah saat Rangga mengatakan dari puncak Gunung Halimun.

"Ya, kenapa...?" tanya Rangga berbalik.

"Baru saja Ki Sampan bercerita padaku, kalau Adipati Gadasewu waktu kecilnya pernah berguru pada Eyang Gajah Sakti di Pertapaan Puncak Gunung Halimun," jelas Pandan Wangi.

"Aku juga bertemu Eyang Gajah Sakti. Sayang, dia terlalu cepat menghembuskan napas yang terakhir sebelum aku bertanya lebih banyak. Tapi, itu juga sudah cukup bagiku untuk bertindak sekarang. Dan kini aku tahu, siapa biang keladi dari semua ini, Pandan. Sekarang keselamatan Adipati Gadasewu benar-benar terancam. Kita harus cepat sampai di sana, sebelum terjadi sesuatu."

Pandan Wangi mengangguk-angguk walaupun belum seluruhnya bisa mengerti. Tapi paling tidak, sekarang ini tujuan mereka sudah jelas. Dan Rangga sudah tahu, apa yang sedang terjadi di Kadipaten Galumbu. Malah rahasia yang sudah membuat kota kadipaten ini bagaikan kota mati sudah tersingkap.

Sementara, malam terus merayap semakin larut Kesunyian begitu terasa menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini. Tidak ada seorang pun yang terlihat di luar rumahnya. Rangga dan Pandan Wangi terus berjalan dengan ayunan kaki cepat menuju Istana Kadipaten Galumbu.

"Tunggu dulu, Pandan...," sentak Rangga tiba-tiba, sambil mencekal pergelangan tangan kiri Pandan Wangi.

"Ada apa?" tanya Pandan Wangi langsung menghentikan langkahnya.

"Kau lihat..," kata Rangga sambil menunjuk ke arah pintu gerbang istana kadipaten yang sudah tidak jauh lagi di depan.

Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebentar kemudian wajahnya berpaling menatap wajah tampan di sebelahnya.

"Kau lihat, Pandan. Tidak ada seorang prajurit pun yang menjaga di sana. Aku khawatir, telah terjadi sesuatu di dalam," kata Rangga berbisik.

"Sejak tengah malam kemarin, gerbang ini tidak dijaga, Kakang," jelas Pandan Wangi.

Rangga jadi terdiam. Semalam, sebelum diserang dari belakang, Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tidak melihat seorang penjaga pun di pintu gerbang Padahal ketika pertama kali datang, paling sedikit ada empat orang prajurit yang menjaga pintu gerbang istana itu. Tapi kini..., tidak seorang pun yang terlihat di sana. Dan itu membuat Rangga jadi berpikir lain.

andan! Kau masuk lewat belakang, dan langsung ke kamar Adipati Gadasewu. Aku masuk dari depan," kata Rangga, mengatur rencana.

"Lalu, apa yang kulakukan kalau ketemu Adipati Gadasewu?" tanya Pandan Wangi.

"Ceritakan semua yang kualami di Pertapaan Gunung Halimun. Dan sampaikan pesan Eyang Gajah Sakti padanya. Kau harus bisa mengatakannya, seakan-akan juga ada di sana bersamaku, Pandan," pinta Rangga.

"Baik," sahut Pandan Wangi seraya mengangguk.

"Cepatlah, sebelum ada orang yang melihat."

Pandan Wangi tidak berkata apa-apa lagi. Dan tubuhnya langsung melesat pergi dengan gerakan cepat sekali. Ilmu meringankan tubuhnya yang tingkatannya sudah sangat tinggi segera dikerahkan. Sebentar saja bayangan tubuh gadis yang dikenal berjuluk Kipas Maut itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi tembok benteng yang mengelilingi bangunan istana kadipaten di depannya.

"Hup!"

Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagai kilat mendekati pintu gerbang yang tertutup rapat dan tidak terjaga. Dan setelah melesat tinggi ke udara, beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara. Lalu dengan ringan sekali, kedua kakinya menjejak bagian atas tembok benteng istana ini.

"Hm, sunyi sekali..... Tidak ada seorang pun di sini," gumam Rangga agak mendesis pelan.

Keadaan yang begitu sunyi, membuat Rangga harus lebih berhati-hati lagi. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti ' melompat turun dari atas tembok benteng istana kadipaten ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Namun baru saja mendarat, mendadak...

Wusss...!
"Heh...?! Ups!"

Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan tangan kirinya langsung dikibaskan untuk menangkis sebatang tombak yang tiba-tiba saja meluncur deras ke arahnya.

Tak!

Tombak itu seketika patah menjadi dua bagian, terhantam pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum lagi bisa menarik napas, Rangga kembali dikejutkan oleh munculnya seseorang dari balik sebuah pilar yang ada di beranda depan istana kadipaten ini.

Sementara itu, Pandan Wangi yang masuk melalui belakang, tidak mengalami kesulitan sedikit pun juga. Si Kipas Maut ini langsung menerobos masuk ke dalam kamar Adipati Gadasewu dari jendela. Tapi dia jadi terkejut, karena kamar ini kosong tanpa terlihat seorang pun. Pandan Wangi tidak mau lama-lama berada di dalam kamar ini.

Cepat tubuhnya melesat lagi, keluar dari dalam kamar itu melalui jendela. Begitu ringan gerakannya. Dan dengan manis sekali, kakinya menjejak tanah. Namun baru saja gadis itu bisa berdiri tegak mendadak saja melesat sebuah bayangan hitam ke arahnya dengan kecepatan begitu tinggi.

"Ups...!"

Cepat-cepat Pandan Wangi membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Lalu secepat itu pula, si Kipas Maut melompat bangkit berdiri.

"Dara Iblis...!" desis Pandan Wangi agak terkejut, begitu di depannya sudah berdiri seorang . wanita berwajah cantik berbaju hitam pekat.

"Hhh! Rupanya masih ada juga tikus busuk di sini," dengus Dara Iblis yang sebenarnya bernama Sarita.

"Kau yang bangkai busuk, Perempuan Iblis!" dengus Pandan Wangi tidak kalah sengit.

"Punya nyali juga kau rupanya. Tapi, memang harus begitu. Jadi kekasih pendekar ternama, harus berani menantang setiap lawan. Nah! Bersiaplah kau, Kipas Maut!"

Sret!
Cring...!

Pandan Wangi langsung mencabut senjata kipasnya, saat si Dara Iblis meloloskan pedangnya yang berwarna kuning keemasan. Tapi kedua bola mata si Kipas Maut itu jadi terbeliak, saat melihat ke pinggang Dara Iblis yang ternyata bergantung sebilah pedang yang begitu dikenalnya. Pedang Pusaka Rajawali Sakti milik Rangga!

Memang, Pandan Wangi tadi tidak sempat memperhatikan Rangga saat bertemu. Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti sudah kehilangan pedang pusakanya. Dan sekarang, pedang yang sangat dahsyat itu berada di pinggang Dara Iblis. Pandan Wangi jadi bergetar juga hatinya. Kalau Pedang Pusaka Rajawali Sakti digunakan, tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya. Bahkan mungkin Rangga sendiri tidak akan mampu menandinginya lagi. Pedang itu terlalu dahsyat dan berbahaya. Apalagi, kalau berada di tangan yang salah. Pandan Wangi jadi berpikir seribu kaii. Tapi untuk menghindari pertarungan, sudah tidak mungkin lagi. Karena, Dara Iblis sudah melesat cepat menerjangnya.

"Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Wut!
Bet!
Trang!

Bunga api seketika memercik, begitu dua senjata beradu di udara. Tampak Pandan Wangi terdorong tiga langkah ke belakang. Sementara, Dara Iblis tetap berdiri tegak, dan langsung memutar pedangnya menyambar ke arah kepala si Kipas Maut itu.

Bet!
"Haiiit...!"

Untung saja Pandan Wangi cepat-cepat merunduk, sehingga tebasan pedang Dara Iblis hanya lewat di atas kepalanya. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, menjaga jarak dengan lawannya. Tapi Dara Iblis tampaknya tidak ingin memberi kesempatan pada si Kipas Maut Dengan kecepatan bagai kilat, kembali tubuhnya melesat menerjang sambil memutar pedangnya.

"Hiyaaat..!"
"Gila! Ups!"

Pandan Wangi cepat membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Lalu dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya melesat tinggi ke udara. Namun, si Dara Iblis sepertinya sudah bisa membaca gerakan si Kipas Maut. Maka dengan cepat pula, gadis yang bernama Sarita ini melesat sambil melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Padahal, saat itu Pandan Wangi baru memutar tubuhnya di udara. Akibatnya, serangan Dara Iblis tentu saja membuat Pandan Wangi jadi tersentak kaget.

"Ikh...?!"
Diegkh!
"Akh...!"

Tidak ada kesempatan lagi bagi Pandan Wangi untuk menghindar, walaupun sudah berusaha. Dan tetap saja pukulan tangan kiri Sarita mendarat tepat di bagian kanan dadanya. Dan akibatnya, si Kipas Maut jadi terpental deras di udara.

Bruk!
"Akh...!"

Kembali Pandan Wangi terpekik, begitu tubuhnya keras sekali menghantam tanah. Tampak darah mengalir. dari sudut bibirnya. Sambil menyeka darah dengan punggung tangan, si Kipas Maut kembali bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri tegak, Dara Iblis sudah melepaskan satu tendangan keras luar biasa.

"Hiyaaat..!"
Begkh!
"Akh...!"

Kembali Pandan Wangi terpekik begitu dadanya terkena tendangan telak dari Sarita. Maka, si Kipas Maut kembali terpental jauh ke belakang.

Bruk!

Dinding tembok bagian belakang istana kadipaten ini, seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh Pandan Wangi. Hanya sedikit saja si Kipas Maut bisa menggerakkan tubuhnya, dan selanjutnya terkulai tidak bergerak-gerak lagi. Darah semakin banyak menggumpal, memenuhi rongga mulutnya. Sementara Dara Iblis berdiri tegak, tidak jauh dari tubuh Pandan Wangi yang menggeletak di antara reruntuhan dinding batu istana kadipaten ini.

"Huh! Mudah sekali aku membunuhmu, Pandan Wangi. Tapi aku tidak ingin melakukannya sekarang. Kau akan menerima gilirannya nanti, kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah kupenggal batang lehernya," terasa begitu dingin nada suara Sarita.

Cring!

Setelah memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka di punggung, Sarita mengangkat tubuh Pandan Wangi yang sudah tidak berdaya lagi. Dipanggulnya si Kipas Maut itu ke pundak, lalu dibawanya pergi.

Sementara itu, Rangga yang berada di halaman depan istana kadipaten ini tengah berdiri tegak berhadapan dengan seorang pemuda tampan, dengan tangan kanan menggenggam pedang telanjang. Dia tahu, pemuda itu adalah Rondokulun, yang diangkat saudara oleh Adipati Gadasewu.

"Sejak semula sudah kuduga, kaulah biang keladi dari semua ini, Rondokulun," terdengar begitu dingin nada suara Rangga.

"Kau hanya sendiri, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya menyerah saja. Tidak ada untungnya mencampuri urusan ini," kata Rondokulun angkuh.

alaupun sendiri, aku masih mampu membekukmu, Rondokulun.

a ha ha...! Rondokulun tertawa terbahak-bahak seakan kata-kata Rangga barusan membuat tenggorokannya jadi tergelitik. Namun Rangga sendiri hanya diam saja dengan sorot mata begitu tajam menatap lurus ke bola mata pemuda di depannya. Seakan-akan sorot matanya itu begitu tajam hendak menembus langsung jantung Rondokulun.

"Aku tahu, kau tidak akan menyerah begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti. Memang sebaiknya kita sedikit menguras tenaga," kata Rondokulun lagi.

"Hm...."

Rangga hanya sedikit menggumam saja. Dia tahu, Rondokulun sudah tidak sabar lagi ingin bertarung dengannya. Maka, perlahan kakinya digeser ke kanan beberapa langkah. Sementara, Rondokulun sendiri melangkah ke depan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti," desis Rondokulun sambil menjura memberi hormat.

Rangga jadi tersenyum, melihat sikap yang dibuat Rondokulun padanya. Maka dibalasnya penghormatan itu dengan sedikit membungkuk. Sikap yang diperlihatkan Rondokulun menandakan kalau lawannya begitu dihormati. Dan pertarungannya ini rupanya diinginkan berjalan secara ksatria. Maka Rangga juga menghormati cara Rondokulun.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Rondokulun melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya langsung dikebutkan, membabat ke arah dada pemuda berbaju rompi putih ini.

Bet!
"Haps!"

Hanya sedikit saja Rangga meliuk, maka tebasan pedang itu hanya lewat di depan dadanya. Lalu cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya ke belakang, begitu melihat Rondokulun memutar pedang sambil menggeser kakinya sedikit ke kanan. Dan dugaan Rangga memang tepat Rondokulun langsung menebas ke arah kakinya.

"Hiyaaat...!"

Secepat kilat Rangga melenting ke udara. Dan sebelum Rondokulun bisa menarik serangannya yang gagal di tengah jalan, Rangga sudah meluruk deras sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat kedua kakinya bergerak berputar, membuat Rondokulun jadi terperangah untuk sesaat. Dan....

"Ikh...!"
Bruk!

Rondokulun buru-buru membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali, sebelum kedua kaki Rangga menghantam kepalanya. Lalu secepat itu pula, Rondokulun bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa menegakkan rubuhnya, Rangga sudah melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu keras, disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh. Begitu cepat tendangan yang dilancarkan, sehingga Rondokulun tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....

Des!
"Hegkh...!"

Rondokulun kontan mengeluh, begitu tendangan Rangga yang cukup keras tadi telak menghantam dadanya. Akibatnya, tubuhnya terlempar ke belakang sejauh satu setengah tombak. Beberapa kali Rondokulun terguling di tanah, namun cepat bangkit berdiri. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Phuih!"

Rondokulun menyemburkan ludahnya yang bercampur darah kental. Disekanya darah di bibir dengan punggung tangan. Lalu, perlahan kakinya melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, tanpa menghiraukan dadanya yang terasa sesak akibat tendangan yang diterimanya tadi.

"Kubunuh kau, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!" Diiringi teriakan lantang menggelegar, Rondokulun melompat cepat bagai kilat sambil mem-babatkan pedangnya ke arah kepala pemuda berbaju rompi putih ini.

Bet!
"Haiiit..!"

Tapi hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepalanya, ujung pedang itu lewat di depan hidungnya. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti sedikit memiringkan tubuhnya ke kiri, dan langsung mespaskan satu tendangan keras. Akibatnya, Rondokulun tidak dapat lagi menghindarinya, dan tendangan itu kembali menghantam telak dadanya.

"Akh!" Rondokulun kembali terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan beberapa kali.

Sementara, Rangga kembali berdiri tegtk dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Diam beberapa gebrakan ladi, Rangga sudah bisa mmgukur, sampai di mana tingkat kepandaian Roncbkulun. Dan memang, rupanya tingkat kepandaiannya masih jauh untuk bisa menandingi Pendekat Rajawali Sakti. Sehingga, mudah sekali Rangga membuatnya jatuh bangun.

DELAPAN

Entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan Rangga mendarat di tubuh Rondokulun. Tapi, tampaknya pemuda itu belum juga sadar kalau kepandaiannya belum sebanding dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan terus saja Rangga diserang dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dan ini tentu saja membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi jengkel. Hingga....

"Hih! Yeaaah...!"

Tepat di saat Rondokulun maju menyerang, Rangga sudah cepat mendahuluinya. Maka satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskan dengan kecepatan bagai kilat. Tanpa disadari, Rangga melepaskannya pada tingkatan yang terakhir. Akibatnya...

Des!
"Aaa...!

Rondokulun menjerit keras melengking, begitu pukulan yang dilepaskan Rangga menghantam kepalanya. Dan seketika itu juga, Rondokulun jatuh menggelepar di tanah dengan kepala pecah berhamburan. Darah kontan mengucur deras, membasahi tanah yang berumput cukup tebal ini. Sementara, Rangga hanya berdiri tegak memandangi sambil menghembuskan napas panjang.

"Maaf... Kau sudah membuatku jengkel, Rondokulun. Kaulah yang menginginkan cara kematian seperti ini," desah Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti cepat melesat masuk ke dalam istana. Namun baru saja menjejakkan kakinya, di beranda depan, tiba-tiba saja dari dalam melesat sebuah bayangan hitam yang begitu cepat Sehingga, Rangga jadi terhenyak kaget setengah mati. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bisa berbuat sesuatu....

Plak!
"Akh...!"

Rangga jadi terpekik, begitu tiba-tiba merasakan satu hantaman keras yang mendarat di tubuhnya. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti jadi terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan pada anak-anak tangga beranda istana yang terbuat dari batu ini. Tubuhnya baru berhenti berguling, setelah menyentuh tanah.

"Hup!"

Cepat-cepat Rangga melompat bangkit berdiri. Seketika ada rasa sesak yang menyerang dadanya, akibat hantaman telak di dada sebelah kanan. Sedikit kepalanya menggeleng, menghilangkan rasa pening yang mendadak saja menyerang kepalanya. Dan tampak di ujung anak tangga, seorang wanita cantik berbaju hitam berdiri bertolak pinggang dengan sikap menantang.

"Sarita...," desis Rangga langsung mengenali. Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi menyebut julukan wanita itu, karena dia sudah tahu nama sebenarnya dari Eyang Gajah Sakti.

Sedangkan Sarita yang selama ini dikenal berjuluk Dara Iblis, melangkah perlahan-lahan menuruni anak-anak tangga istana kadipatenan ini. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus jantung Pendekar Rajawali Sakti yang juga menatapnya dengan sinar mata tidak kalah tajam.

"Untuk apa mencampuri segala persoalan yang bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti?" terdengar dingin sekali nada suara Sarita. Saat ini, wanita cantik itu sudah berada sekitar enam langkah lagi di depan Rangga.

"Aku hanya melaksanakan tugasku sebagai pendekar, Sarita. Aku sama sekali tidak memusuhimu, dan hanya mencegah tindakanmu yang telah melenyapkan nyawa orang-orang yang tidak bersalah," kata Rangga kalem.

"Tidak bersalah katamu, heh...?! Apa yang kau ketahui di Kadipaten Galumbu ini, Pendekar Rajawali Sakti?! Mereka sudah sepatutnya menerima ganjaran dari perbuatannya padaku. Juga pada ibuku...!" agak tinggi nada suara Sarita.

"Kau hanya dikuasai rasa dendam yang tidak beralasan, Sarita. Bukankah ayah tirimu sudah memberi yang terbaik, dengan mencukupi segala kebutuhanmu dan ibumu? Apakah semua itu tidak cukup bagimu...?"

"Huh! Dia sudah berjanji akan menyerahkan kadipaten ini padaku. Bukan pada Gadasewu yang hanya anak angkat! Gadasewu tidak berhak menduduki takhta adipati. Akulah yang berhak! Dan siapa bilang aku anak tiri, heh...?! Aku anak kandung adipati yang terdahulu. Walaupun ayahku tidak mengawini ibuku secara sah, tapi semua orang tahu kalau aku adalah anaknya. Dan adipati keparat itu, tidak mau mengakuinya. Bahkan mengambil Gadasewu yang diakuinya sebagai anak. Padahal, Gadasewu hanya anak gembel jalanan yang dipungut!"

Rangga jadi terhenyak tidak menyangka. Namun belum juga bisa membuka suaranya....

"Aku mengakui semua itu, Sarita...."
"Heh...?!"
"Hhh...! Bagaimana kau bisa lolos...?"

Bukan hanya Rangga yang terkejut, begitu tiba-tiba Adipati Gadasewu muncul di ambang pintu istana kadipaten. Di sampingnya, berdiri Ki Jalaksena dan Pandan Wangi, serta beberapa orang prajurit yang tidak memegang senjata.

"Kau terlalu bangga dengan kepandaianmu, Sarita. Kami semua memang tertotok, hingga tidak bisa bergerak sama sekali. Tapi, jangan sekali-kali melupakan Nini Pandan Wangi. Kau telah menganggapnya enteng. Nini Pandan Wangi bisa membebaskan totokanmu dan membebaskan kami semua, Sarita," jelas Adipati Gadasewu gamblang.

"Huh!"

Sarita hanya mendengus saja mendengar penjelasan itu. Diakui, tadi Pandan Wangi memang dianggapnya enteng. Bahkan mudah sekali ditundukkannya. Dan memang tidak diketahuinya kalau Pandan Wangi memiliki pengerahan hawa murni yang sudah sempurna. Sehingga totokan ringan yang diberikan sangat mudah dihalaunya.

"Sarita! Kau memang berhak menuntut. Tapi ketahuilah. Segala keputusan sudah ditentukan Ayahanda Adipati, sehingga aku menggantikannya memimpin kadipaten ini. Sedangkan kau diberi sebagian wilayah kadipaten ini. Apakah itu masih kurang, Sarita...?" terdengar tegas dan lembut sekali nada suara Adipati Gadasewu.

"Kau merampas milikku!" bentak Sarita garang.

"Aku memang bukan anak kandung Ayahanda Adipati, Sarita. Tapi, aku tidak bisa menolak segala yang sudah diputuskan. Sarita.... Aku rela melepaskan semua ini, asalkan kau tidak lagi menyakiti rakyat. Mereka tidak bersalah, dan tidak tahu apa-apa. Jangan sampai mereka menjadi korban dari kebencian dan...."

"Cukup...!" sentak Sarita memotong ucapan Adipati Gadasewu.

"Sarita, sadarlah.... Semua yang kau lakukan tidak benar. Berjanjilah padaku, kau akan menjadi pemimpin yang baik. Dan aku akan pergi dari kadipaten ini, dengan berjanji tidak akan kembali lagi ke sini," kata Adipati Gadasewu lagi.

"Penjilat! Keparat...! Aku tidak butuh ocehanmu, Gadasewu! Kau harus mati di tanganku! Hiyaaat..!"

Dengan kalap Sarita melompat sambil berteriak lantang menggelegar menyerang Adipati Gadasewu. Pedangnya yang berwarna kuning keemasan, langsung dikebutkan dengan deras ke arah adipati muda ini. Sedangkan Adipati Gadasewu sendiri seperti tidak berusaha menghindar, dan tetap berdiri tegak menanti serangan. Dan sikap itu tentu saja membuat yang lain jadi tersentak kaget.

"Adipati, minggir...! Hih!"

Pandan Wangi yang berada di samping kanan Adipati Gadasewu, tidak bisa tinggal diam lagi. Dengan cepat didorongnya tubuh adipati itu, tepat di saat ujung pedang Sarita sudah hampir menebas kepalanya. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Ternyata Sarita cepat memutar pedangnya. Dan....

Cras!
"Akh...!"
"Pandan...!"

Rangga jadi tersentak kaget, melihat ujung pedang Sarita merobek bahu kiri Pandan Wangi. Seketika gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu jadi terhuyung ke belakang. Sementara Adipati Gadasewu terguling ke lantai beranda istana ini. Dia juga kaget, tidak menyangka tindakan yang dilakukan Pandan Wangi. Demi untuk menyelamatkan nyawanya, Pandan Wangi rela mengorbankan dirinya menjadi sasaran pedang Sarita.

"Keterlaluan kau, Sarita...!" desis Adipati Gadasewu sambil bangkit berdiri.

Tapi belum juga Adipati Gadasewu bisa berbuat sesuatu, Rangga sudah lebih dulu melesat cepat bagai kilat Satu pukulan keras menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir dilepaskan.

"Hiyaaat..!"
"Haiiit..!"

Tapi, Sarita sudah lebih cepat lagi menghindar dengan melenting ke belakang. Sehingga pukulan yang dilepaskan Rangga hanya menghantam pilar batu di beranda depan istana ini. Seketika, pilar yang sangat besar itu hancur berkeping-keping disertai ledakan dahsyat menggelegar.

"Hup! Yeaaah...!"

Rangga yang amarahnya sudah memuncak melihat Pandan Wangi terluka, tidak bisa lagi menahan diri. Dengan kecepatan bagai kilat, tubuhnya kembali melompat menyerang Dara Iblis ini. ? Pukulan-pukulan cepat dan bertenaga dalam tinggi segera dilepaskan secara beruntun, membuat Sarita terpaksa harus menghindar dengan berjumpalitan di udara.

Pertarungan itu memang tidak dapat dicegah lagi. Gencar sekali Rangga melancarkan serangan-serangan dalam pengerahan jurus-jurus dahsyat, dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang dipadukan secara sempurna. Akibatnya, Sarita yang selama ini dikenal berjuluk Dara Iblis jadi kelabakan setengah mari menghindarinya.

Namun Sarita tidak hanya bisa berkelit dan menghindar. Malah sudah beberapa kali balas menyerang tidak kalah ganasnya. Dan kini, mereka saling melancarkan serangan menggunakan jurus-jurus yang begitu cepat dan dahsyat luar biasa.

Saat itu, Adipati Gadasewu menghampiri Pandan Wangi yang sudah bisa berdiri lagi. Darah masih terlihat mengucur dari bahu yang sobek tersabet pedang tadi.

"Lukamu cukup lebar, Nini Pandan," kata Adipati Gadasewu.

Tuk! Tuk!

Tanpa meminta izin lebih dulu, Adipati Gadasewu memberi beberapa totokan di sekitar luka itu. Dan seketika itu juga, darah tidak lagi mengalir. Sedangkan Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Sebenarnya, gadis itu bisa melakukannya sendiri. Tapi, dia tidak menolak pertolongan adipati berusia muda ini.

"Terima kasih," ucap Pandan Wangi.

"Biarkan Ki Jalaksena merawat lukamu, Nini Pandan," kata Adipati Gadasewu.

Sebelum Pandan Wangi bisa menolak, Adipati Gadasewu sudah memerintahkan Ki Jalaksena untuk merawat luka di bahu kiri gadis ini. Dan Pandan Wangi memang tidak bisa lagi menolak.

Sementara itu, pertarungan antara Rangga dan Sarita masih terus berlangsung sengit di pelataran halaman depan bangunan istana kadipatenan ini. Malah, kini Adipati Gadasewu kembali memusatkan perhatiannya ke arah pertarungan itu.

Dan saat itu mereka sama-sama berlompatan ke belakang mengambil jarak sejauh sekitar satu batang tombak. Tampak satu sama lain berdiri tegak saling berhadapan, mengatur jalan pernapasan yang sudah mulai tersengal. Dari sikap mereka, jelas kalau masing-masing tengah mengerahkan ilmu kedigdayaan.

Rangga sendiri sudah mulai mempersiapkan aji 'Cakra Buana Sukma', tanpa menggunakan pedang yang kini berada di pinggang Sarita. Sedangkan Dara Iblis juga tengah mengerahkan ilmu kesaktiannya. Beberapa saat mereka masih berdiri saling menatap tajam. Saat itu, dari sela-sela kedua telapak tangan Rangga yang merapat di depan dada, sudah terlihat cahaya biru mamancar bagai hendak mamberontak keluar.

"Mampus kau, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!

"Aji Cakra Buana Sukma Yeaah...!"

Tepat ketika Sarita menghentakkan kedua tangannya ke depan, Rangga juga mendorong kedua tangannya ke depan. Saat itu dari kedua telapak tangan Sarita memancar cahaya kuning keemasan. Sedangkan dari kedua telapak tangan Rangga, meluncur cahaya biru yang menggumpal terang menyilaukan mata.

Glarrr

Satu ledakan dahsyat seketika terdengar keras menggelegar, tepat ketika dua cahaya itu beradu di tengah-tengah.

"Akh..!"

Tampak Sarita terpekik agak tertahan, dan kakinya terdorong ke belakang dua langkah. Namun, cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga terus meluruk deras kearah Dara Iblis ini.

"Akh.!"

Kembali Sarita memekik, begitu tubuhnya terhantam cahaya biru yang memancar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan cahaya biru itu langsung menggulung tubuh Dara Iblis itu. Sarita menggeliat-geliat berusaia melepaskan diri dari selubung sinar biru itu.

Sementara, Rangga mulai melangkah perlahan-lahan mendekati, dengan kedua tangan masih terentang lurus ke depan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, mengamati gerakan-gerakan tubuh Sarita yang masih tergulung cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma'.

"Shiaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras agak mendesis. Dan saat itu juga, dari rongga mulutnya yang tebuka meluncur cahaya biru yang menggumpal terang menyilaukan mata. Saat itu, Pandan Wangi yang tengah dirawat lukanya jadi tersentak kaget. Dia tahu, kalau Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan seluruh kekuatan dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang sangat dahsyat pada tingkat terakhir. Sementara itu, Sarita semakin tidak dapat lagi melepaskan diri dari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan....

"Yeaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan, setelah menarik sedikit ke belakang. Dan....

Glarr!

Satu ledakan sangat dahsyat, seketika terdengar menggelegar. Begitu dahsyatnya, hingga bumi ini jadi bergetar bagai terjadi gempa. Tampak cahaya biru yang menggulung tubuh Sarita memancar ke segala arah. Bersamaan dengan melompatnya Rangga ke belakang, terlihat tubuh Dara Iblis itu hancur berkeping-keping.

Sementara, cahaya biru yang berkilauan terang sudah tidak terlihat lagi Rangga kini berdiri tegak dengan napas tersengal memburu. Seluruh tubuhnya sudah basah oleh keringat. Sekitar satu tombak di depannya, teronggok debu dari tubuh Sarita yang hancur berkeping-keping. Tidak jauh dari situ, tampak sebilah pedang bergagang kepala burung tergeletak.

"Hhh...!"

Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri, sambil menghembuskan napas panjang. Diambilnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti, dan disandangkannya kembali di punggung. Saat itu, Pandan Wangi sudah melangkah menuruni anak tangga istana kadipaten ini, diikuti Adipati Gadasewu dan Ki Jalaksena. Sedangkan para prajurit kadipaten sudah langsung menyebar ke setiap sudut bangunan istana ini, setelah mendapatkan senjatanya lagi.

"Bagaimana lukamu, Pandan?" tanya Rangga langsung, begitu Pandan Wangi dekat.

"Tidak apa-apa. Hanya luka biasa," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum.

Rangga menatap Adipati Gadasewu yang berdiri di sebelah kanan Pandan Wangi. Adipati yang masih berusia muda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu sulit diartikan...?

"Maafkan aku, Adipati Aku terpaksa melenyapkannya," ucap Rangga

"Sudah sepatutnya, Rangga. Yaaah.... Aku juga menyesali tindakannya. Sama sekali tidak kusangka kalau Sarita yang menjadi dalang kerusuhan ini," ujar Adipati Gadisewu agak mendesah berat.

"Tapi semuanya sudah terakhir," selak Pandan Wangi.

"Ya, semuanya sudah terakhir...," desah Adipati Gadasewu.

"Tapi, dari mana Sarita memiliki kepandaian begitu hebat?" tanya Rangga. Dan pertanyaan itu memang sudah lama tersimpan di benaknya.

"Kudengar, setelah hidupnya tersia-sia, dia pergi ke padepokan kakeknya yang berarti ayah dari ibu Sarita sendiri. Di sana, dia memperdalam ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Namun sungguh tak kusangka kalau kepandaiannya justru untuk melampiaskan dendamnya.... Sayang sekali," jelas Adipati Gadasewu, agak mendesah.

"Sudahlah.... Yang penting, Gusti Adipati sekarang bisa meneruskan pemerintahan dengan adil dan bijaksana," hibur Pandar Wangi.

"Mudah-mudahan...," desah Adipati Gadasewu.

Dan sebenarnya, Rangga ingin menjelaskan kalau sempat bertemu Eyang Gajah Sakti yang pernah diberitakan telah tewas namun ternyata masih hidup. Namun karena kini Eyang Gajah Sakti telah benar-benar tewas, Rangga hanya memendam ceritanya dalam-dalam. Toh yang diketahui Adipati Gadasewu, Eyang Gajah Sakti telah tewas...

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: PEMBUNUH BERDARAH DINGIN