Prahara Mahkota Berdarah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

PRAHARA MAHKOTA BERDARAH


SATU
Debu mengepul di udara ketika dua orang yang melwati tempat itu memacu kudanya dengan kencang. Melihat debu dan keringat yang mengering di tubuh. agaknya bisa diduga bahwa mereka telah mengadakan perjalanan yang cukup jauh.

Yang berada dipunggung kuda berwarna putih adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. dan berperawakan gagah serta menyandang pedang di punggungnya. Yang seorang lagi bertubuh kurus dengan muka peot dan kumis panjang tipis-tipis. Kulitnya hitam dan berwajah seram. Orang itu memiliki sebuah kampak besar yang terselip di pinggangnya.

Tiba di sebuah gedung bertembok tinggi keduanya menghentikan lari kudanya. Di pintu gerbang tampak berdiri tegak dua sosok penjaga yang mendekati mereka dengan wajah curiga.

"Siapa kalian dan mau apa kesini?" tanya salah seorang penjaga dengan nada datar penuh selidik.

"Katakan pada majikanmu, aku Walukarnawa dan ini adikku Baladewa bermaksud memenuhi undangannya." sahut orang yang bertubuh kurus.

Kedua penjaga itu memperhalikan mereka barang beberapa saat, kemudian salah seorang kembali bertanya. "Mana undangan kalian?"

"Kakang, aku mulai kesal kalau begitu caranya...," Pemuda penunggang kuda putih yang bernama Baladewa menggerutu kesal.

Tapi abangnya yang bernama Walukarnawa itu agaknya lebih bisa bcrsikap sabar ketimbang adiknya. Dia mcngeluarkan sehelai kulit kambing dari balik bajunya dan menunjukkannya pada kedua penjaga itu. Setelah memeriksanya, barulah keduanya mempersilahkan mereka masuk ke dalam.

Bangunan yang berada di dalam terlihat megah dan bertingkat dua. Halamannya banyak ditumbuhi bunga dan beberapa kolam kecil yang berisi ikan warna-warni yang berenang hilir mudik. Keduanya turun dari punggung kuda dan seorang menggiring kuda itu kedalam kandang untuk dibersihkan dan diberi makan.

"Silahkan. Ki sanak. Ki Sobrang dan Ki Degil telah menunggu." kata seorang bermuka hitam sambil memberi normat pada kedua tamunya itu.

Walukarnawa dan Baladewa mengangguk sambil tersenyum kecil. Mereka menaiki undakan anak tangga dan terus berjalan di lorong sebelah kanan, mengikuti orang tadi dibelakangnya.

"Silahkan...," kata orang bermuka hitam itu menundukkan tubuh sambil menunjuk pada sebuah ruangan.

"Terima kasih. Siapa namamu," tanya Walukarnawa.

"Hamba hanya pelayan di sini. Nama hamba Keken...."

Walukarnawa mengangguk. kemudian mengajak adiknya melangkah masuk. Didalamnya terdapat sebuah pintu lagi yang dijaga oleh kedua orang bersenjata tombak. Keduanya kembali memeriksa dan setelah yakin bahwa mereka termasuk dalam daftar tamu yang diundang. keduanya dipersilahkan masuk.

"Ah, selamat datang Ki Walukarnawa dan...," Seorang yang duduk pada sebuah kursi rotan besar menyambut mereka dengan suara yang agak keras.

"Ini adikku, Baladewa...," sahut Walukarnawa sambil memberi penghormatan.

Begitu juga yang dilakukan adiknya. Di depan mereka pada jarak dua tombak, duduk pada kursi rotan yang lebar dua orang laki-laki bertampang gagah. Keduanya memiliki kumis melintang dan tubuh tegap berisi. Yang lebih tinggi dan usianya lebih tua bernama Ki Sobrang dan yang lebih muda bertubuh sedikit pendek bernama Ki Degil. Di depan mereka saling berhadapan duduk bersila sepuluh orang tokoh persilatan yang telah lebih dulu tiba. Setelah memberi penghormatan pada yang lainnya. Ki Sobrang mempersilahkan kedua tamunya itu untuk duduk.

"Kukira setelah kedatangan Ki Walukarnawa dan Ki Baladewa mata pertemuan itu bisa dimulai..." lanjut Ki Sobrang.

"Kukira juga begitu, Kakang Sobrang..." sambung Ki Degil.

Ki Sobrang memandang kepada tamu-tamunya yang melihat bahwa mereka menganggukkan kepala. Kemudian dia menepuk tangan, dan beberapa saat kemudian keluarlah beberapa orang pelayan wanita yang membawa nampan berisi buah-buahan serta makanan lainnya. Tak ketinggalan beberapa guci arak wangi.

"Ki sanak, silahkan dicicipi makanan dan buah-buahan ini ala kadarnya. Kemudian setelah itu, baru kita bicarakan kepentingan kita bersama!" seru Ki Sobrang dengan ramah.

Dia sendiri menuangkan arak dalam cawan, dan diikuti oleh tamu-tamunya.

"Untuk kemuliaan dan keagungan, Ki Sobrang serta Ki Degil!" ucap salah seorang tamu.

"Untuk keperkasaan. Sepasang Naga Pertala!" lanjut seorang lagi.

"Dengan ini, semoga cita-cita Ki Sobrang dan Ki Degil berhasil gemilang!" timpal yang lainnya.

Ki Sobrang dan Ki Degil mcngangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Dan beberapa saat kemudian mereka menyantap hidangan yang telah lersedia.

Ki Sobrang dan Ki Degil memang merupakan tuan rumah yang ramah dan bersahabat. Disamping itu mereka juga pandai mcnyelenggarakan pertemuan sehingga tanpa menimbulkan ketegangan dan suasana yang kaku. Bahkan terlihat santai meski apa yang dibicarakan ternyata suatu rencana yang amat berbahaya. Tapi banyak tokoh-tokoh persilatan yang diundangnya merasa setuju. Mereka tahu dan yakin, bahwa kedua tokoh yang bergelar Sepasang Naga Pertala itu bukanlah orang sembarangan.

Bukan mustahil kalau keduanya telah mempersiapkan segalanya dari jauh hari dan dengan perhitungan yang matang. Tapi meski demikian, ada juga diantaranya yang merasa sinis terhadap mereka. Satu diantaranya adalah Baladewa, adik Walukarnawa. Sejak awal dia memang sudah menunjukkan sikap sinis meski tak tcrang-terangan menyatakan ketidak setujuannya.

"Untuk apa kita bermalam segala di sini? Sudah, putuskan saja bahwa kita tak mau bergabung dengan mereka!" sentaknya kesal sambil bersungut-sungut.

"Kau harus lebih bisa mcngendalikan kesabaranmu. Baladewa...."

"Jadi Kakang setuju membantu rencana mereka?!"

"Aku tak mengatakan begitu."

"Lalu untuk apa kita berlama-lama di sini? Lebih baik kita pulang malam ini juga!"

"Sabarlah Baladewa. Apakah kau pikir aku tak punya rencana untuk berbaik-baik dengan mereka?"

"Rencana? Rencana apa maksudmu?"

Walukarnawa tak langsung menjawab. Sebaliknya dia memandang ke sekeliling tempat itu. Beberapa orang penjaga tampak masih hilir mudik dan suasana malam bertambah kelam dan dingin. Kemudian terdengar Walukarnawa memperkecil suaranya.

"Apa kau pikir dia saja yang berkeinginan menjadi raja?"

"He, keinginan lamamu agaknya tak pernah hilang!" Baladewa ketawa kecil.

"Tapi aku tak ingin bentrok dengan mereka!" sanggah Walukarnawa cepat.

"Jadi kau bermaksud memperalat mereka dengan cara halus?"

"Bisa dikatakan begitu. Maksudku, kalau Ki Sobrang dan Ki Degil bermaksud merebut tahta di wilayah ini, maka sebaliknya aku lebih berminat menduduki kerajaan di wilayah barat. Kalau hari ini kita membantu mereka, maka mereka pun tentu akan dengan senang hati membantu kita," jelas Walukarnawa.

"Bagaimana kalau mereka tak mau?"

"Aku tahu bahwa Ki Sobrang dan Ki Degil cukup bijaksana untuk tidak menolak. Kalau kita bantu mereka. mustahil mereka tak mau membantu kita juga..."

"Kakang, kedua orang itu terkenal licik dan penuh tipu muslihat. Bagaimana mungkin kau bisa percaya kepada mereka? Lagipula kalau hanya ingin merebut tahta kerajaan di wilayah barat, kau tak perlu jauh-jauh meminta bantuan pada tokoh-tokoh di sini. Di wilayah kita pun tak kurang tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Lagipula, apa yang ku-harapkan dari mereka berdua? Kurasa tingkat kepandaian mereka biasa-biasa saja. Bahkan bukan tak mungkin mereka hanya punya pengaruh dari nama kosong belaka untuk merangkul tokoh-tokoh persilatan agar mau membantu rencana mereka," sergah Baladewa dengan nada sinis.

"Baladewa, kau belum banyak tahu seluk beluk dunia persilatan serta tokoh-tokohnya. Lebih baik kau tak keterlaluan menilai orang, sebab bisa jadi hal itu malah mencelakakan dirimu sendiri," Walukarnawa menasehati adiknya.

"Alaaah, Kakang! Kau terlalu banyak berhati-hati, padahal sebenarnya kau pun mengakui penilaianku itu. Apa untungnya kau mendekati mereka?"

Walukarnawa memandang adiknya itu beberapa saat dengan wajah tak senang. Kemudian katanya dengan suara pelan namun mengandung ketegasan. "Baladewa, apakah kau tak suka kuajak ke sini dan bergabung dengan mereka?"

"Bukan itu yang kumaksud, tapi aku tak suka kau memilih orang yang salah untuk membantu rencanamu nanti."

"Siapa yang kau katakan orang yang salah kupilih?"

"Siapa lagi kalau bukan Ki Sobrang dan Ki Degil? Apa yang kau harapkan dari mereka? Apa karena mereka kaya, berharta banyak, dan memiliki pasukan pengawal? Aku tak yakin mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Bukan mustahil pula kalau mereka sama sekali tak memiliki kepandaian!"

"Baladewa, hati-hati dengan ucapanmu!" Walukarnawa kembali memperingatkan ketika mendengar suara adiknya yang kian meninggi.

"Ah, apa kau pikir aku takut kalau dia mendengarnya?"

"Apa yang dikatakan Ki Baladewa memang benar. Untuk apa takut kepada kami...."

"Heh!?" Kedua kakak beradik itu segera menoleh ke belakang ketika mendengar satu suara menyahuti kata-kata Baladewa. Di situ telah berdiri Ki Sobrang dan Ki Degil sambil melipat tangan di dada. Bersama mereka terlihat beberapa orang pengawal bersenjata lengkap.

"Ki Sobrang, Ki Degil... ah, kukira siapa tengah malam begini mengagetkan kami!" seru Walukarnawa sambil tersenyum kecil.

Orang itu memberikan salam penghormatan. Kedua tuan rumah itu tersenyum tipis. Mereka sempat berpaling dan melirik Baladewa diam membisu dengan wajah tak acuh meski Walukarnawa telah menyikutnya untuk memberi isyarat agar dia memperbatki sikap. Tapi adiknya itu agaknya memang sengaja bersikap begitu dan sama sekali tak memperdulikan isyarat abangnya.

"Kudengar percakapan kalian dan sebagai tuan rumah, rasanya tak sopan tidur lebih dulu daripada tamu. Oleh sebab itu kami bermaksud menemani kalian. Itupun jika kalian merasa tak keberatan...," sahut Ki Sobrang masih menunjukkan wajah ramah.

"Ah, tentu saja kami merasa tak keberatan. Tapi sayang dan beribu sesal bahwa kami sebenarnya akan beranjak ke dalam. Rasanya letih dan penat di tubuh ini sudah tak tertahankan lagi." kata Walukarnawa memberi salam agar kedua orang itu cepat berlalu dari situ.

"Hm, kalau demikian baiklah. Silahkan beristirahat Ki sanak berdua. Dan untuk Ki Baladewa, apa yang kau ucapkan tadi benar. Kami memang tak memiliki kemampuan, tapi hanya sekedar menggebuk anjing yang cuma bisa meng-gonggong, rasanya tak perlu kepandaian tinggi..."

Baladewa yang memang sejak awal sudah tak suka melihat mereka berdua, jadi bertambah ketidak sukaannya mendengar sindiran Ki Sobrang itu. "Ki Sobrang, siapa yang kau maksud dengan anjing menggonggong itu?" tanyanya tak senang.

Ki Sobrang yang tadinya sudah akan membalikkan tubuh, tiba-tiba memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam. Kemudian dia tersenyum kecil.

"Kau tentu tahu apa yang kumaksud," sahut Ki Sobrang pelan.

Baladewa mendengus geram. Matanya berkilat tajam saat memandang kepada Ki Sobrang. Walukarnawa mencoba untuk menyabarkan amarah adiknya yang hendak meledak-ledak itu. Namun dengan kasar ditepisnya lengan abangnya itu. Baladewa maju dua langkah sambil memandang gusar pada tuan rumah itu.

"Ki Sobrang, apakah kau merasa memiliki kepandaian setinggi langit dengan segala cita-citamu itu? Coba buktikan agar mataku terbuka!" seru Baladewa lantang sambil berdiri tegak.

Kata-kata yang diikuti dengan sikapnya itu menandakan bahwa Baladewa tetap siap menantang Ki Sobrang. Walukarnawa cepat bertindak sebelum Ki Sobrang memberi jawaban.

"Baladewa. apa-apaan kau ini?! Cepat minta maaf!"

"Diamlah kau. Kakang! Apakah seorang calon pimpinan tak pantas diuji? Kalau dia bisa mengalahkanku, bolehlah aku merasa yakin bahwa dia memang pantas menjadi seorang pemimpin. Tapi kalau tidak, untuk apa aku mengikuti orang yang tak bisa apa-apa." sahut Baladewa tegas.

"Ki Walukarnawa, betul kata adikmu. Nah, biarlah dia bermain-main denganku barang beberapa jurus...," menimpali Ki Sobrang sambil melangkah ke depan hingga jaraknya cuma lima langkah dari Baladewa.

"Silahkan...." Baladewa mulai membuka jurus.

Ki Sobrang tersenyum kecil sambil merentangkan tangan ketika melihat bahwa Walukarnawa masih mencoba menahan niat adiknya itu.

"Ki Walukarnawa, sebaiknya kau diam saja di tempatmu. Akupun ingin sekali melihat kehebatan jurus ilmu silat dari perguruan kalian yang sudah kesohor itu," kata Ki Sobrang dengan suara tegas dan penuh wibawa.

Kemudian setelah berkata begitu dia memandang kepada Baladewa dan melanjutkan kata-katanya. "Kuberi kau tiga jurus untuk menyerangku, dan setelah itu maka aku akan berganti menyerangmu!"

Kata-kata itu dalam dunia persilatan sama artinya dengan meremehkan kepandaian lawan yang akan dihadapi. Dan Baladewa tentu saja semakin gusar mendengarnya. Sambil mendengus kesal. dia memainkan jurus terhebatnya yang diberi nama Memukul Angin Menyaring Awan. Jurus itu tcrdiri dari delapan tingkat, dan tiga tingkat yang terakhir sangat ganas dan cepat diiringi tenaga dalam kuat. Jarang sekali lawan-lawannya mampu menghadapi jurus ini. Maka dengan membentak keras. Baladewa meluruk menghantam lawan.

"Yeaaa...!"
"Hup...."
Plak!

Ki Sobrang terlihat menghadapi serangan lawan dengan mantap. Ketika kepalan tangan lawan menghantam muka, dia memiringkan kepala menhindarinya. Tubuhnya langsung mencelat ke belakang ketika dengan tiba-tiba kepalan kiri Baladewa menyusul menghantam lambung dan diikuti dengan satu tendangan kilat yang bertenaga kuat. Baladewa mencelat dan menyusul tubuh lawan dengan gerakan laksana baling-baling. Tapi Ki Sobrang dengan ilmu peringan tubuhnya yang amat sempurna, menghilang dari pandangan lawan. Baladewa terkejut sendiri sebab lawan telah berdiri tegak satu tombak dibelakangnya. Dengan begitu jurus pertama telah berakhir.

"Silakan Ki Baladewa...!" kata Ki Sobrang tersenyum kecil dengan sikap merendahkan.

Baladewa tak menyahut, melainkan langsung melompat menyerang lawan. Kali ini dia betul-betul mengerahkan segenap kemampuannya untuk menjatuhkan lawan secepatnya.

"Hiyaaa...!"

Terasa angin serangannya mendesir berat manakala tubuh Baladewa bergerak cepat menyerang lawan. Ki Sobrang sedikit terkejut, namun dia cepat menguasai diri. Tubuhnya berkelebat dan berputar bagai gasing menghindari serangan-serangan lawan yang gencar dan cepat bukan main. Sedikit pun tak terlihat bahwa dia merasa kesulitan akibat serangan Baladewa itu. Tubuhnya bergerak ringan bagai sehelai daun kering yang tertiup angin.

Wuut!
"Hup!"

Bukan main penasarannya Baladewa ketika serangannya tak satu pun yang mengenai sasaran. Dia mulai kalap dan menyerang lawan dengan membabi-buta.

Tentu saja Ki Sobrang jengkel melihat keadaan itu. Tiga jurus telah berlangsung dan Baladewa gagal menjatuhkannya Seharusnya gilirannya yang bertahan dan Ki Sobrang yang mulai menyerang. Tapi Baladewa seperti tak memperdulikan hal itu.

"Ki Baladewa, bersiaplah kau! Aku akan balas menyerangmu!" bentak Ki Sobrang gemas.

Selesai dengan kata-katanya itu. Ki Sobrang melompat ke atas. Sebelah kaki Baladewa menghantam, namun dengan sigap Ki Sobrang menangkis dengan tangan kirinya, sedang kepalan tangan kanannya bergerak menghantam dada.

Plak!
Wuuut!

Baladewa tersentak kaget. Masih terasa angin kencang berdesir hebat seperti menghimpit dadanya saat serangan lawan berhasil dihindarinya dengan membuang tubuh kekanan. Kalau saja saat itu serangan Ki Sobrang mengenai dadanya, bukan mustahil dia akan terluka parah.

Tapi Ki Sobrang seperti tak memberikan kesempatan pada lawan. Dia terus mengejar dengan sapuan kaki kiri menghantam pinggang. Tubuh Baladewa terangkat ke atas. Namun dengan cepat Ki Sobrang menyambutnya dengan pukulan tangan kanannya yang tak mampu dihindari Baladewa.

Begkh!
"Aakh...!"

Baladewa mengeluh kesakitan. Tubuhnya terjajar dan berdiri limbung kelika dia mencoba menahan rasa nyeri di perutnya. Sepasang matanya menyipit melihat lawan berdiri tegak sambil memperhatikannya dengan tersenyum kecil.

"Apakah itu cukup bagimu. Ki Baladewa...?"

"Huh, aku belum kalah!" sentak Baladewa sambil bersiap menghadapi serangan lawan berikutnya.

Ki Sobrang tak menjawab. Dia mendengus gusar, dan tiba-tiba tubuhnya telah kembali melompat dengan satu serangan kilat. Baladewa bersiap menangkis.

"Yeaaa...!"
Plak!
Wuut!
Des!
"Aaaakh...!"
"Hiyaaa...!"
"Cukup. Ki Sobrang...!"

Kembali Baladewa menjerit keras dan tubuhnya terbanting dengan darah menetes dari sela bibirnya terkena hajaran lawan. Meskipun dia berusaha menghindar, namun gerakan Ki Sobrang terlihat cepat sekali. Bahkan Baladewa tak sempat mengetahui bagaimana caranya tiba-tiba saja lawan berhasil menyarangkan pukulan kedadanya. Kalau saja saat itu Walukarnawa tak cepat bergerak menahan serangan Ki Sobrang selanjutnya, niscaya Baladewa akan menderita luka dalam yang sangat parah.

Walukarnawa memapah tubuh adiknya sambil memandang kepada Ki Sobrang yang masih tegak berdiri di dekat mereka. "Ki Sobrang, kukira cukuplah pelajaran yang kau berikan pada adikku yang bodoh ini. Dia memang tidak tahu apa-apa soal ilmu silat. Harap kau menjadi maklum adanya...," kata Walukarnawa.

"Ki Walukarnawa, aku masih menghormati kalian sebagai sekutuku, dan kuharap jangan coba-coba merendahkan kami. Kalau saja kalian orang lain dan bukan tamuku, niscaya adikmu itu dan kau sendiri tak akan selamat dari tanganku. Apa kalian pikir aku tak mendengar pembicaraan kalian, he? Pergilah dari tempatku sekarang juga. Aku tak sudi punya sekutu yang nantinya bisa menikamku dari belakang!" sahut Ki Sobrang tegas.

Walukarnawa tak banyak kata lagi. Mendengar kata-kata tuan rumah yang tegas dan pedas itu, mereka scgera berlalu dari tempat itu diiringi pandangan mata sinis Ki Sobrang dan Ki Degil, serta beberapa orang pengawal mereka. Kemudian setelah keduanya menghilang, dia memandang berkeliling dan melihat beberapa tokoh persilatan yang tadi berkumpul di tempatnya menyaksikan peristiwa itu. Mereka berlalu ke kamarnya masing-masing tanpa banyak bicara. Namun dengan cara itu. Sepasang Naga Pertala seperti memberi peringatan bahwa dia tak pandang bulu kepada siapa saja yang mencoba menentang dan meremehkannya.

DUA

Rumah kediaman Adipati Mungkaran terlihat ramai oleh beberapa orang prajurit bersenjata. Hal ini tak seperti biasanya. Entah kenapa, tiba-tiba saja adipati yang berusia sekitar empat puluh tahun itu menambah jumlah pengawalnya dua kali lipat dari sebelumnya. Padahal selama ini para pengawalnya meski tak lebih dari lima belas orang, namun mereka adalah orang-orang pilihan.

Dia sendiri yang menguji dan melihat bagaimana kemampuan mereka masing-masing. Dan disamping itu pula, entah apa yang membuatnya merasa khawatir sehingga menambah jumlah para pengawalnya. Padahal semua orang mengetahui bahwa Adipati Mungkaran bukanlah sekedar laki-laki berkedudukan tinggi dan kaya raya, tapi juga memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup hebat.

Senja belum lagi gelap ketika di kejauhan terlihat dua orang penunggang kuda mendatangi tempatnya. Yang seorang adalah gadis belia berwajah buruk rupa, berambut panjang dan mengenakan baju ungu dengan celana panjang putih. Sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki tua berambut putih memakai baju hijau. Melihat raut wajahnya, paling tidak dia berusia diatas lima puluh tahun. Namun tubuhnya masih terlihat tegap dan perawakannya pun gagah dengan sorot mata tajam bagai seekor elang. Di pintu gerbang keduanya dihadang oleh dua orang pengawal yang menyilangkan tombak mereka.

"Katakan pada majikanmu, aku Ki Ageng Tebung telah datang...!" kata orang tua itu sebelum para pengawal menanyakan maksud tujuannya ke tempat ini.

Mendengar orang tua itu menyebutkan nama, berubahlah paras kedua pengawal itu. Keduanya tersenyum kecil sambil menjura hormat. "Oh, kiranya Ki Ageng Tebung yang datang. Maafkan kami yang bodoh tak bisa mengenali orang. Silahkan, Ki Ageng, Kanjeng Adipati telah menunggu Ki Ageng Tebung sejak tadi...!" sahut salah seorang pengawal dengan ramah.

Kawannya membukakan pintu gerbang dengan terburu-buru. Orang tua bernama Ki Ageng Tebung itu turun dan punggung kudanya. Begitu pula dengan gadis yang menyertainya. Seorang pengawal membawa kuda mereka ke belakang untuk dibersihkan dan diberi makan rumput.

"Silahkan, Ki Ageng..," kata salah seorang pengawal menunjukkan jalan kepada orang tua itu.

Terima kasih...."

Namun belum lagi mereka tiba di pintu depan, seorang laki-laki berbaju mewah telah menyambut dengan wajah gembira. Sambil berlari-lari kecil dia menghampiri dan menjura hormat di depan orang tua itu.

"Eyang, oh syukurlah kau datang ke sini..., terimalah salam hormat muridmu!"

"Mungkaran, hmm... kau semakin gagah saja kulihat dengan pakaianmu itu. Bangunlah!"

"Terima kasih. Eyang. Silahkan...!" sahut laki-laki yang tak lain daripada Adipati Mungkaran sendiri.

Ketiga orang itu segera beranjak ke dalam dan diantar sendiri oleh Sang Adipati ke dalam suatu ruangan yang mewah dengan lantainya beralaskan permadani tebal dan hiasan-hiasan lukisan serta patung-patung kayu yang indah dan halus buatannya. Beberapa kursi terlihat diukir indah mengelilingi sebuah meja persegi empat.

Adipati Mungkaran kemudian memanggil beberapa orang pelayannya untuk mengeluarkan hidangan lezat dan segar bagi kedua orang itu. "Eyang, apakah kau hendak langsung beristirahat ataukah membersihkan diri dulu, atau...."

"Ah, jangan banyak basa-basi segala. Aku ingin tahu, gerangan apa yang membuatmu mengundangku ke sini. Isi suratmu seperti mengisyaratkan kecemasanmu akan sesuatu. Nah, katakanlah!" sahut Ki Ageng Tebung tanpa basa-basi.

Adipati Mungkaran tak langsung menjawab. Dia melirik sekilas pada gadis berwajah buruk disebelah gurunya. Gadis itu terlihat menundukkan kepala dipandang begitu rupa.

"Eh, ng... ini... ini..."

"Hm kau ingin mengatakan persoalan rahasia? Jangan khawatir, Putri Selari adalah orang kita sendiri. Oh, ya aku lupa memperkenalkannya ke padamu. Beberapa tahun lalu aku menemukannya di suatu kampung yang sedang diamuk oleh gerombolan perampok. Aku membawanya dan kuangkat menjadi muridku...," jelas Ki Ageng Tebung.

Adipati Mungkaran tersenyum ketika gadis itu berdiri dan menjura hormat kepadanya.

"Kakang Adipati, terimalah salam hormat dari adikmu ini...," lirih terdengar suara gadis itu.

Adipati Mungkaran tersenyum tipis. Betapapun berusaha meredakan hati, namun tetap saja merasa risih saat memandang gadis itu. Mukanya dipenuhi kusut-kisut seperti bekas luka. Dan di beberapa bagian malah berlubang lubang kecil seperti bekas terkena penyakit cacar. Padahal kalau dilihat bagian tubuhnya yang lain, seperti tangan, amat jauh sekali perbedaannya. Kulit lengan gadis itu berwarna putih kekuning-kuningan dan ditumbuhi bulu-bulu halus. Rambutnya hitam dan lebat sertakan bau harum. Tubuhnya pun berbentuk indah dengan lekuk-lekuk yang menawan. Kalau saja wajahnya cantik, maka lengkaplah sudah kesempurnaan gadis ini sebagai perawan baru mekar yang sulit dicari bandingan akan kecantikan serta keindahan tubuhnya.

"Mungkaran, kenapa kau terdiam? Tidak sukakah kau aku mengambil Putri Selari sebagai adik seperguruanmu?" tegur Ki Ageng Tebung.

"Eh, maafkan aku, Eyang. Pikiranku sedang kacau. Tentu saja aku senang kalau adik Putri Selari mau menjadi adik seperguruanku," sahutnya dengan tergagap.

"Hm, agaknya pelik betul persoalan yang tengah kau hadapi. Coba katakan padaku!"

Adipati Mungkaran menghela nafas berat. Setelah membalas salam hormat gadis itu, dia mempersilahkannya kembali untuk duduk. Dipandanginya wajah orang tua itu sekilas, kemudian berkata dengan suara pelan namun cukup terdengar oleh kedua orang itu.

"Aku merasa ada sekelompok orang yang akan menyingkirkanku dari kedudukanku ini..."

Ki Ageng Tebung memandang heran kepada muridnya itu. Kemudian tersenyum kecil.

"Dari mana kau tahu hal itu?"

"Aku sering dihantui mimpi, Eyang..."

Kali ini orang tua itu tak dapat menahan geli. Dia tertawa sedikit keras. Dan hal itu sudah membuat Adipati Mungkaran merasa dilecehkan.

"Eyang tak percaya dengan kata-kataku...?"

"Bagaimana aku bisa percaya? Kau justru lebih percaya kepada mimpi-mimpimu itu. Kenapa tidak kau atasi saja dengan membuat mimpi yang lebih baik? Misalnya kau bisa bermimpi mengusir mereka, bahkan lebih dulu menyingkirkan mereka!"

"Eyang. ini persoalan serius...!"

Ki Ageng Tebung masih memandang wajah muridnya yang serius dengan raut lucu. Tapi kemudian dia mencoba bersikap wajar ketika melihat bahwa Adipati Mungkaran seperti meyakini betul akan kata-katanya sendiri. Seolah-olah hal itu akan terjadi saat ini juga.

"Hm, karena soal itukah sebabnya kau mengundangku ke sini?"

"Aku ingin minta petunjuk, Eyang...."

"Petunjuk apa?"

"Apakah Eyang mempercayai kata-kataku?"

"Cobalah kau utarakan dulu apa yang hendak kau katakana, lalu aku akan pertimbangkan apakah kekhawatiranmu itu beralasan atau tidak...."

Adipati Mungkaran menghela nafas pendek. Kemudian terdengar dia mulai berkata-kata. "Kalau hanya sekedar mimpi, barangkali aku tak terlampau khawatir, Eyang. Tapi gejala kearah itu telah terjadi.

"Gejala apa yang kau maksud?"

"Sekelompok tokoh-tokoh persilatan yang berniat menggulingkan tahta kerajaan!"

"Hm, aku semakin tak mengerti bicaramu. Tadi kau mengkhawalirkan sekelompok orang yang akan menyingkirkan kedudukanmu. Dan sekarang kau membicarakan tahta kerajaan. Bagaimana ini?"

"Eyang, dua-duanya benar. Aku mendengar khabar bahwa para prajurit kerajaan yang bertugas di tapal batas, kedapatan binasa tanpa diketahui penyebabnya. Baginda Raja telah mengirim beberapa orang utusan untuk mencari tahu apa yang telah terjadi. Namun sampai saat ini belum terdapat khabar dari mereka. Ada yang mengatakan kepadaku bahwa mereka tewas pula di sana...," jelas Adipati Mungkaran.

"Lalu apa hubungannya denganmu?"

"Apakah Eyang tak mengetahui di mana aku memegang kekuasaan saat ini?"

Orang tua itu berpikir sesaat. Namun tak lama kemudian dia cepat menduga ke mana arah pembicaraan muridnya itu. "Hm, daerah kekuasaanmu meliputi wilayah perbatasan itu?"

Adipati Mungkaran cepat mengangguk." Gusti Prabu telah memberi perintah padaku untuk membereskan dan mengusut sampai tuntas siapa yang berani membantai prajurit-prajurit kerajaan itu. Perlu Eyang ketahui bahwa prajurit-prajurit yang terbunuh itu bukan para pengawalku, melainkan mereka langsung dari kerajaan dan merupakan orang-orang pilihan. Bahkan pimpinannya yang bernama Soma Wangsa bukanlah orang sembarangan. Dia seorang tokoh terkenal dan memiliki ilmu silat tinggi. Tapi kalau orang itu sampai terbunuh, sudah pasti pelakunya bukan orang sembarangan...," kata Adipati Mungkaran.

Ki Ageng Tebung mengangguk-angguk mendengar kata-kata muridnya itu. Dia mulai percaya bahwa apa yang dikhawatirkan Adipati Mungkaran memang ada benarnya, tapi kalau sampai merembet kepada soal tahta kerajaan, apa itu tak keterlaluan? Siapa yang berani melakukannya? Mereka yang memiliki kemampuan hebat dan berilmu tinggi sekalipun akan berpikir seribu kali untuk mencoba menggulingkan kekuasaan. Sebabnya jelas sekali terlihat, dan semua orang mengetahui bahwa di dalam kerajaan banyak terdapat tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi yang selalu siap melindungi Sang Prabu dari marabahaya. Mereka juga tak segan-segan mempertaruhkan nyawa dalam membela kerajaan, dan juga tak kenal ampun terhadap orang-orang yang bermaksud jahat dengan membuat kerusuhan.

"Kenapa Gusti Prabu tak mengirim orang-orang kepercayaannya untuk mengusut kejadian itu?"

"Entahlah. Barangkali Sang Prabu menganggap persoalan itu masih enteng dan merasa bahwa aku bisa menanganinya...," sahut Adipati Mungkaran lesu.

"Lalu kenapa kau yakin bahwa ada sekelompok tokoh-tokoh persilatan yang bermaksud menggulingkan tahta kerajaan?"

"Aku hanya mencoba meluruskan firasatku belakangan ini...," sahut Adipati Mungkaran lemah.

"Eyang, bolehkah aku bicara?" tanya Putri Selari.

"Hm, kau mau bicara apa? Bicaralah."

Gadis itu memandang kepada Adipati Mungkaran seperti meminta ijin. Dan ketika dilihatnya laki-laki itu mengangguk kecil, dia melanjutkan kata-katanya. "Begini, Eyang. Aku punya dugaan kuat bahwa apa yang dikatakan Kakang Adipati Mungkaran ada benarnya. Ketika beberapa hari lalu Eyang menugaskanku untuk mencari obat di kota, aku melihat banyak sekali tokoh-tokoh persilatan menuju ke suatu tempat...."

"Itu hal yang biasa. Barangkali mereka akan mengadakan pertemuan antar perguruan untuk mengikat persahabatan."

"Mulanya aku menduga demikian. Tapi tahukah Eyang mereka menuju ke mana?"

Laki-laki tua itu memandang serius kepada gadis itu. Demikian juga halnya dengan Adipati Mungkaran.

"Ingatkah Eyang siapa yang dahulu pernah membuat kekacauan pada saat Gusti Prabu yang sekarang sedang dilantik menjadi raja? Eyang sendiri yang cerita kepadaku...."

"Dua bersaudara, Sobrang dan Degil?!" tebak Adipati Mungkaran dengan muka kaget memandang kepada gadis itu.

"Benar...."

"Dari mana kau tahu bahwa itu kediaman mereka?"

Putri Selari tersenyum kecil. Kemudian berkata pelan, "Maaf, Eyang. Tentu saja aku tahu karena aku masih mempunyai banyak kawan di luaran sana...."

"Budak kecil yang nakal! Aku seperti lupa pada dirimu dan siapa kau sebenarnya sebelum ketemu aku!" sungut orang tua itu sambil tersenyum kecil.

Tinggal Adipati Mungkaran yang terbingung-bingung dan tak mengerti apa yang dipercakapkan antara kedua orang itu. Namun belum lagi dia mengeluarkan suara untuk mencari tahu apa yang mereka bicarakan, sekonyong-konyong terdengar pekik kesakitan di luar sana. Dengan serentak ke-tiganya bangkit dan buru-buru keluar ruangan.

Adipati Mungkaran terkejut ketika melihat para pengawalnya terlihat pertarungan sengit dengan beberapa orang yang tak dikenalnya. Sekilas saja mereka sudah dapat menilai bahwa lawan-lawan para pengawalnya memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan berada di atas kemampuan para pengawalnya. Terbukti dalam beberapa saat saja banyak sudah pengawalnya yang menjadi korban dan tewas sambil mengeluarkan jeritan kematian.

"Hentikan semua ini!!" bentak Adipati Mungkaran dengan suara menggelegar.

Serentak mereka menghentikan pertarungan, dan para pengawalnya membuat barisan di dekat ketiga orang yang baru keluar dari pintu depan. Adipati Mungkaran beserta dua orang disebelahnya, memperhatikan dengan seksama. Tujuh orang yang menjadi lawan para pengawalnya berdiri tegak di dekat pintu gerbang.

"Ki sanak, siapakah kalian dan mengapa datang ke tempatku lalu membuat onar?" tanya Sang Adipati dengan suara tak senang.

Seorang yang bertubuh besar dengan kumis tebal melintang mendengus geram. Dia berjalan lima langkah dan menuding dengan sikap angkuh. "Siapa kau? Apakah kau yang menjabat sebagai Adipati di sini?"

"Ki sanak, dari nada bicaramu kau sama sekali tak bermaksud baik. Tapi sebagai tuan rumah, biarlah aku mengajarkan kepadamu bagaimana caranya bersikap sopan. Meski kau tak memperkenalkan dirimu, tapi aku akan menjawab pertanyaanmu. Kalau kalian datang hendak menghadap kepada Adipati Mungkaran maka kalian telah berhadapan dengannya saat ini...."

"Bagus! Kami membawa pesan untukmu!"

"Pesan dari siapa gerangan?"

"Kau tak perlu tahu! Isi pesan itu mengatakan bahwa kau diberi pilihan malam ini juga. Meninggalkan tempat ini atau kami musti meratakan tempat ini dan memotes kepalamu. Nah, pilihlah cepat!"

Mendengar kata-kata itu, sirnalah sudah kesabaran Adipati Mungkaran. Bahkan Ki Ageng Tebung yang sejak tadi tetap berusaha menahan sabar, mulai naik pula darahnya mendengar dan melihat keangkuhan orang itu. "Ki sanak, sudah jelas apa kedatangan kalian ke sini! Dan terus terang kalian tak akan mendapatkan apapun selain hukuman berat yang akan kutimpakan kepada kalian semua!"

"Adipati Mungkaran, ketahuilah! Kedatangan kami ke sini adalah untuk menghukummu dan segala tikus-tikus busukmu ini. Jadi jangan harap kau bisa berbuat sebaliknya kepada kami. Kuberi waktu sampai tiga kali hitungan dan sesudahnya keputusan ada ditangan kami!"

"Keparat-keparat busuk, enyahlah kalian dari tempatku ini!" bentak Adipati Mungkaran sambil memberi perintah pada para pengawalnya untuk meringkus mereka.

"Yeaaa...!"

"Huh, tikus-tikus busuk begini yang kau harapkan untuk melawan kami? Biarlah mereka mampus atas kebodohanmu menganggap kami rendah," kata orang tadi sambil bersiap menghadapi lawan-lawannya.

Namun bersamaan dengan itu, kawan-kawannya yang lain pun bersiap membantunya. Sedangkan tiga orang diantaranya mencelat kedepan dengan ringan melewati para pengawal itu dan menjejakkan kaki persis di depan Adipati Mungkaran.

"Biarlah mereka bermain-main sejenak dengan anjing-anjingmu itu, tapi kami tak bisa bermain-main dengan kepalamu!" dengus seorang perempuan tua bertubuh kurus dengan suara dingin mengancam.

"Nyai Sukesih, hm, kau rupanya dibalik semua ini?!" sahut Ki Ageng Tebung ketika mengenali perempuan tua itu.

"Ki Ageng Tebung, tua bangka keparat! Rupanya kaupun telah berada di sini. Bagus! Kali ini kau tak akan lolos dari tanganku!"

"Ha ha ha ha...! Siapa seharusnya yang berkata begitu? Bukankah kau yang mestinya tak bisa lolos dari tanganku kalau saja saat itu gurumu tak ikut campur persoalan kita dan menolongmu!" ejek Ki Ageng Tebung merendahkan.

"Tua bangka busuk! Mampuslah kau lebih dulu. Yeaaa...!"

Putri Selari sudah hendak bergerak menyambut serangan nenek itu, namun Ki Ageng Tebung telah mengetahui gelagat dan langsung mencegah muridnya itu.

"Tahan Selari! Biarlah tua bangka kempot itu menjadi bagianku! Kau hadapilah si bogel jelek itu sementara kakangmu akan menghadapi laki-laki bertampang tikus ini!"

Dengan kata-katanya itu. Ki Ageng Tebung secara tak langsung telah membagi pertarungan mereka menjadi tiga bagian. Meskipun terhadap dua orang lainnya yang tak dikenal, namun dia menganggap bahwa Nyai Sukesih adalah tokoh yang patut menjadi lawannya, sebab dahulu dia pernah berhadapan dengannya dan tahu betul sampai di mana kemampuannya.

"Ke sinilah kau gadis jelek. Hidup pun tiada berguna dengan mukamu yang buruk itu!" ejek laki-laki bertubuh kate dengan hidung besar dan bulat kepada Putri Selari.

"Kontet busuk! Apakah mukamu kelewat bagus? Biarlah kutunjukkan mukamu yang sebenarnya!" balas gadis itu dengan sengit.

Keduanya langsung terlibat pertarungan ketika gadis itu melompat dan menyerang lawan. Sementara itu tanpa banyak bicara, seorang laki-laki berkulit hitam dan bertubuh kurus dengan muka seperti tikus langsung melompat menyerang Adipati Mungkaran yang sudah sejak tadi bersiap menyambutnya.

"Mampuslah kau, Mungkaran!"
"Hup!"
"Hiyaaa...!"

TIGA

Pertarungan antara keempat orang tokoh persilatan itu dengan para pengawal kadipaten terlihat sekilas memang tak seimbang. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bukan pihak para pengawal yang menekan mereka, melainkan merekalah yang menekan habis-habisan para pengawal itu. Dan apa yang mereka lakukan sungguh luar biasa dan hebat bukan main.

Dalam beberapa saat saja para pengawal kadipaten yang berjumlah belasan kali lipat dibanding mereka, tumbang satu persatu dengan keadaan yang mengerikan. Keempat tokoh itu memang terlihat bukan orang sembarangan dan para pengawal itu adalah lawan empuk hagi mereka. Sehingga sebentar saja terlihat sisa para pengawal itu semua berjumlah empat orang.

"Sekarang mampuslah kalian!" seru orang yang bertubuh besar dan berkumis tebal itu sambil melompat dan mengayunkan senjata aritnya yang melengkung.

Bersamaan dengan itu tiga orang kawannya pun langsung berkelebal dengan ringan. Keempat pengawal kadipaten itu mencoba bertahan dan mendahului lawan dengan menyabetkan senjata di tangan mereka kearah lawan.

"Yeaaa...!"
"Hup!"
Breet! Duk! Des!
"Aaaa..."

Terdengar pekik kematian yang disusul ambruknya keempat pengawal kadipaten itu dengan tubuh bermandikan darah. Keempat orang tokoh persilatan itu langsung melompat meninggalkan lawan-lawannya yang telah terkapar dan terus membantu tiga orang kawannya yang lain.

"Yeaaa...!"
"Heh!"

"Mungkaran, dan kau Selari, hati-hati...!" teriak Ki Ageng Tebung memperingatkan kedua orang muridnya itu.

"Kaulah yang patut hati-hati sehab ajalmu sebentar lagi akan datang menjemput!" ejek Nyai Sukesih.

Apa yang dikatakan perempuan tua itu memang beralasan. Ki Ageng Tebung sendiri terkejut menyaksikan kemajuan ilmu silatnya yang pesat selama ini. Kalau semula dia yakin mampu menundukkan perempuan tua ini, namun saat ini dia bahkan tak yakin bisa lolos dari serangan-serangannya yang ganas dan bertubi-tubi. Belum lagi bantuan keempat kawan mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Sudah barang tentu membuat ketiga orang itu semakin terjepit saja.

"Hih!"
Wuut!
"Yeaaa...!"

Tiga orang yang kini mengerubutinya betul-betul bergerak cepat dan ingin menghabisinya dengan segera. Ki Ageng Tebung jungkir balik menyelamatkan diri. Dia mulai mengeluarkan jurus andalannya, yaitu Harimau Menerkam Mangsa. Tubuhnya melompat ke atas dengan kedua tangan membentuk cakar. Dari mulutnya terdengar raungan keras sebagaimana layaknya seekor harimau yang tengah mengamuk. Perbuatannya itupun di ikuti oleh kedua muridnya.

"Graungrr...!"
Tak!
"Heh!"
Breet!

"Kurang ajar!" Nyai Sukesih memaki kesal ketika bajunya di bagian dada kena dirobek lawan.

Masih untung dia cepat bergerak ke belakang, sebab kalau sedikit terlambat saja, niscaya dadanya akan robek dihajar cakar lawan. Tapi perempuan tua itu sempat terkejut. Tongkat di tangan salah seorang kawannya yang menderu keras menghantam, disambut oleh Ki Ageng Tebung dengan tangkisan tangannya yang keras dan kaku bagai sebuah besi baja.

"Huh, kau pikir ilmu Tembesimu bisa diandalkan? Kau rasakanlah ini!" dengus Nyai Sukesih sambil menyilangkan kedua tangannya.

Sorot matanya tajam dan raut wajahnya terlihat menyeramkan. Perlahan-lahan kedua tangannya yang menyilang itu berubah ungu dan mengepulkan asap yang berbau sangit. Ki Ageng Tebung tersentak kaget dan tak sadar mundur beberapa langkah. "Aji Puspa Geni...!"

"Hm, agaknya kau mengenali juga ajianku ini. Tapi barangkali kau belum begitu mengenalnya dengan baik. Nah, kau boleh mengenalnya sekarang!"

Bersamaan dengan itu tubuh Nyai Sukesih melompat menyerang lawan, dan diikuti oleh kedua orang kawannya. Ki Ageng Tebung terlihat sangat berhati-hati sekali. Ajian yang dikerahkan lawan bukan main-main sebab mengandung racun yang mematikan.

"Yeaaa...!"
"Uts...!"

"Mampus...!" Seorang membentak sambil mengayunkan ujung pedang menyambar kearah leher.

Ki Ageng Tebung mundur ke belakang, dan memutar tubuh ketika seorang lawan yang lain mengayunkan tongkat kayu dengan menyodok ke arah jantung. Meskipun hanya tongkat kayu namun karena yang memainkannya orang yang memiliki tenaga dalam tinggi, maka senjata itu sama berbahayanya dengan senjata tajam lainnya.

"Hiyaaat...!"
"Aakh...!"

Orang tua itu mengeluh kesakitan ketika pinggangnya terkena angin serangan lawan. Buru-buru dia melompat ke belakang. Namun Nyai Sukesih mana mau membiarkan lawan lepas begitu saja. Dia langsung melompat dan mengirim serangan susulan. Kedudukan Ki Ageng Tebung memang benar-benar mengkhawatirkan. Dia sama sekali tak berani memapaki serangan lawan dengan ilmu Tembesi yang dimilikinya. Selain keras dan kaku seperti ilmu yang dimilikinya, kedua tangan lawan mengandung hawa panas yang luar biasa dan mampu membakar kulit tubuhnya pada jarak setengah jengkal. Orang tua itu tak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila serangan itu mengenai sasaran. Namun baru saja dia berpikir begitu terdengar jerit kesakitan.

"Aakh...!"
"Selari'.'"

Tubuh Ki Ageng Tebung mencelat tinggi dan bermaksud menyelamalkan nyawa murid perempuannya yang tengah diambang maut. Dua orang yang mengeroyoknya dengan sadis mengayunkan senjata kearah gadis itu yang terkapar di tanah dengan luka-luka di sekujur tubuhnya.

"He, kau pikir bisa lolos dari tanganku? Yeaaa...!"

Wuuut!
Plak!
Breees!
"Aaaakh...!"

Ki Ageng Tebung menjerit keras sambil menahan sakit yang luar biasa pada raut wajahnya. Ketika tubuhnya mencelat ke atas, perempuan tua itu menyusul sambil mengayunkan sebelah tangan. Orang tua itu tentu saja telah menduga hal itu, dan dia mencoba menangkis dengan ilmu Tembesi. Namun berakibat patal sebab tangannya langsung meleleh dengan tulang remuk.

Namun meskipun begitu, semangat Ki Ageng Tebung tampak masih menyala. Sebelah tangannya yang lain mampu menghajar seorang lawan yang hendak mengayunkan senjatanya kepada Putri Selari. Kepala orang itu remuk sambil mcngeluarkan jeritan kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung sebelum akhirnya ambruk tak berdaya.

"Selari, cepai pergi dari sini! Ayo pergi! Selamatkan dirimu dan beri khabar kepada orang-orang kerajaan...!" bentak Ki Ageng Tebung.

"Ta...."
"Aaaakh...!"
"Mungkaran?! Oh, celaka...!"

Belum lagi gadis itu menyahut, terdengar jerit kesakitan. Keduanya tersentak kaget. Tubuh Adipati Mungkaran tampak terhuyung-huyung dengan sebelah lengan putus. Dari mulutnya menyembur darah segar. Namun dengan gagahnya dia masih memberikan perlawanan kepada lawan-lawannya.

"Cepat Selari! Tak ada waktu lagi! Pergilah kau dari sini dan selamatkan dirimu!" bentak Ki Ageng Tebung sambil mendorong tubuh muridnya itu.

"Mau coba-coba kabur, he? Jangan harap!" ejek Nyai Sukesih sambil tersenyum sinis.

Ki Ageng Tebung memandang tajam. Kini empat orang lawan telah berdiri tegak mengurung mereka. Dia menggigit bibir dengan geram. Kemudian berbisik pelan kepada muridnya itu. "Bagaimana pun kau harus menyelamatkan diri dari tempat ini. Pergilah ke kerajaan dan laporkan peristiwa ini. Katakan, bahwa Ki Sobrang dan Ki Degil berada di belakang semua ini!"

"Tapi Eyang...."

"Dengar! Aku tak butuh bantahanmu. Kau harus menuruti apa yang kukatakan dan jangan coba-coba menoleh ke belakang walau apapun yang terjadi terhadap kami! Ayo, siap!"

Putri Selari diam tak berkata apa-apa lagi. Hatinya mulai cemas bercampur sedih. Dia tahu betul, apa yang dimaksud gurunya itu. Kedudukan mereka terjepit dan orang-orang ini memiliki kepandaian yang hebat. Kecil sekali kemungkinan mereka bisa kabur, bahkan rasanya tak mungkin. Kecuali..., gurunya berbuat nekat, dan agaknya hal itulah yang akan dilakukannya kini. Bagaimana dia tak merasa sedih? Ki Ageng Tebung bukan cuma sekedar guru, melainkan orang tua yang selalu melindungi dan memberikan kasih sayang kepadanya selama ini. Banyak sudah pelajaran yang didapatnya. Dan bukan cuma sekedar ilmu olah kanuragan. melainkan juga adab dan sopan santun serta budi bahasa yang mulia. Padahal kebahagiaan itu baru dirasakannya seperti beberapa hari saja. Mustikah hal itu berakhir hari ini?

"Yeaaa...!" Ki Ageng Tebung berteriak menggeledek ketika tubuhnya melompat dan menerkam Nyai Sukesih dengan tangan terpentang dan kedua kakinya berputar untuk menghajar kedua lawan yang berada di dekat perempuan tua itu.

Plak!
Duk!
Bress!
"Akh...!"
"Eyang...!" Lari! La...."
"Hih!"
Bress!
"Aaa...!"

Begitu melihat lawan bergerak.menyerangnya dengan nekat, Nyai Sukesih langsung menyambut dengan aji Puspa Geni. Ki Ageng Tebung mengerutkan wajah menahan sakit. Ujung kakinya yang kanan berhasil menyambar dagu salah seorang lawan dan membuatnya terjungkal. Namun dia sendiri tak luput dari serangan Nyai Sukesih. Dengan geram perempuan tua itu menyodok perut lawan. Ki Ageng Tebung terpekik ketika kepalan lawan menembus dan menjebol perutnya. Bau daging terbakar bercampur dengan cucuran darah yang hitam. Putri Selari yang melihat itu berseru kaget. Namun dengan suara yang terbata-bata gurunya masih sempat memperingatkan sambil mengulurkan tangan sebelum tubuhnya ambruk. Nyai Sukesih menambahkan dengan menghajar dada kiri lawan. Orang tua itu cuma sempat menjerit kecil. Dia melenguh sesaat, untuk kemudian ambruk dengan tubuh kejang membiru.

"Yeaaa...!"
Plak!
Beghk!
"Aaaa...!"

Putri Selari melompat dengan mengerahkan segala kemampuannya untuk meloloskan diri dari serangan lawan. Pada saat itulah tubuh Adipati Mungkaran yang tengah terhuyung-huyung di hajar lawan, tiba-tiba saja dengan tenaganya yang ada, dia bergerak cepat menyerbu untuk menyerang lawan gadis itu. Namun lawan dengan cepat menghindar. Sebelah tangannya menangkis pukulan Adipati Mungkaran, dan dengan sekuat tenaga dia mengayunkan ujung kaki menyodok dada lawan. Adipati Mungkaran menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental, namun sebelum sempat jatuh ketanah. Nyai Sukesih telah menyambut dengan pukulan mautnya.

"Mampus...!
Hiih!"
Bress!

Adipati Mungkaran tak sempat menjerit lagi sebab nyawanya telah putus sejak ladi.

"Kejar gadis itu dan jangan biarkan dia lolos!" teriak Nyai Sukesih memberi perintah.

"Kita harus berpencar!" sahut yang lainnya.

"Dia pasti belum jauh. Cari dia sampai dapat dan pastikan kalau dia mampus!" lanjut Nyai Sukesih lagi sebelum tubuhnya melesat ke satu arah.

Sementara kelima kawannya yang lain pun telah bergerak dengan arah yang berbeda.

********************

Putri Selari terus berlari dengan sekuat-kuatnya sambil mengerahkan segenap kemampuannya. Dia tahu betul bahwa mereka tak mungkin akan membiarkannya begitu saja. Dan orang-orang itu pun bukanlah tokoh-tokoh berilmu rendah. Kalau dia berhenti sesaat saja, maka bisa jadi jarak mereka akan semakin dekat. Meski tak tahu harus ke mana, gadis itu berlari sesuka hatinya pada satu arah yang membawanya menerobos pekatnya malam dan diantara suara burung malam dan pohon-pohon yang semakin lebat.

Kakinya tersaruk-saruk dan sesekali tersandung akar pohon. Namun dia cepat bangkit dan terus berlari. Nafasnya terasa sesak dan tersengal, dan rasa penatnya seperti tak tertahankan lagi. Namun sekonyong-konyong pendengarannya mengalakan bahwa beberapa orang atau seseorang dari para pengejarnya begitu dekat dengannya. Dan hal ini malah membuatnya bertambah semangat untuk terus berlari.

Sampai di suatu tempat yang agak luas dan dipenuhi rumput-rumput, gadis itu sedikit berseri. Ada sedikit cahaya lampu yang dilihatnya di depan sana. Pasti sebuah desa atau perkampungan, dan dia bisa meminta perlindungan pada salah seorang pemilik rumah itu.

"Hup!"

"Hah!" Putri Selari terkejut setengah mati. Mukanya pucat dan langkahnya langsung terhenti ketika sesosok bayangan berdiri tegak di depannya. Wajahnya menyeringai buas serta memancarkan hawa pembunuhan yang sadis. Tanpa sadar gadis itu bergerak mundur.

"He he he he...! Kau pikir bisa melarikan diri dari kami. he?" dengus orang itu dengan suara sinis.

Gadis itu tak tahu lagi harus berbuat apa. Tenaganya telah terkuras habis. Kalaupun dia melawan, rasanya percuma saja. Orang ini tentu dengan mudah mengalahkannya. Dan kalau sampai dia tewas, lalu siapa yang akan menyampaikan amanat gurunya kepada pihak kerajaan?

Berpikir begitu semangatnya kembali bangkit. Dipandanginya laki-laki bertubuh kurus dengan pedang berkilat tajam dalam genggaman tangan kanannya. Sorot matanya tajam dan wajahnya sangat garang.

"Huh, kau pikir aku takut? Majulah!"

"Ha ha ha ha...! Boleh juga gertakmu itu, bocah. Tapi sadarkah kau tengah berhadapan dengan siapa saat ini? Gurumu sendiri pun kalau masih bernyawa belum tentu bisa berkata seangkuh itu kepadaku!"

"Siapa yang peduli denganmu? Kau dan yang lainnya hanya sekumpulan anjing busuk yang kelaparan! Siapa yang musti takut dengan kalian."

Mendengar kata-kata penghinaan gadis itu, bukan main marahnya laki-laki itu. Dia menggeram hebat dan siap mengayunkan pedangnya. "Gadis hina keparat! Kau berani memaki pada Ki Langkap Bilur? Terimalah kematianmu!"

Tubuhnya melompat sambil mengayunkan ujung pedang menyambar leher gadis itu. Putri Selari menundukkan tubuh sambil menjatuhkan diri ke samping.

"Yeaaa...!"
Crak! Crak!
"Aah...!"

Sambil berguling-gulingan dia mencoba menghindari sambaran pedang lawan yang mencecar dengan gencarnya. Ujung kaki kanannya mencoba menghantam pangkal paha lawan, namun laki-laki yang mengaku bernama Ki Langkap Bilur itu cepat menangkis dengan kaki kirinya dan terus menghajar pinggang gadis itu.

Des!
"Akh...!"
"Mampuslah kau sekarang! Yeaaa...!"
"Hup!"
Crak!
Begkh!
"Aaaah...!"

Putri Selari memekik kesakitan. Pada saat yang kritis, tubuhnya bergulingan sehingga senjata lawan menghajar tanah. Tapi dengan cepat Ki Langkap Bilur berbalik dan menghajar dada lawan dengan ujung kakinya. Putri Selari terjengkang dan dadanya terasa sakit bukan main. Tak terasa dari sela bibirnya menetes darah segar yang berusaha ditahannya.

"Kali ini mampuslah kau!" bentak laki-laki itu sambil mengayunkan pedangnya dengan cepat.

Agaknya dia tak mau lagi memberi kesempatan pada gadis itu untuk lolos dari serangannya. Dan Putri Selari pun rasanya sulit untuk melepaskan diri dari ancaman lawan. Dia memejamkan mata dengan sikap pasrah.

Wuuut!
Tras!
"Heh!?"

Ki Langkap Bilur tersentak kaget. Seberkas sinar biru menerangi tempat itu untuk beberapa saat. Dia cuma melihat sekilas dan baru menyadari bahwa pedang ditangannya putus dan hanya tersisa setengah jengkal dari genggamannya. Laki-laki itu cepat bergerak mundur dan melihat sesosok tubuh berdiri tegak didekatnya entah datang dari mana.

"Siapa kau?! Lancang betul berani mencampuri urusanku!

"Maaf Ki sanak. Aku cuma seorang pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini. Namaku Rangga...." sahut orang yang baru datang itu dengan suara halus.

Ki Langkap Bilur memandang dengan cermat. Orang yang baru datang ini hanyalah seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang serta mengenakan rompi putih. Kelihatannya biasa saja, tapi senjata apa yang dipergunakannya tadi?

Sudah jelas bukan senjata sembarangan. Dan kalau seorang yang telah mampu menggunakan senjata hebat itu. pastilah dia bukan sembarangan orang. Tak terasa Ki Langkap Bilur kecut juga hatinya. Dia berusaha bersikap setenang mungkin dan mengeluarkan suara yang berkesan angkuh untuk memperlihatkan kepada pemuda itu bahwa scdikit pun dia tak merasakan gentar.

EMPAT

Sementara itu si pemuda dengan wajah tak acuh berjongkok untuk memeriksa luka yang diderita gadis itu. Tapi baru saja hal itu akan dilakukannya, kembali Ki Langkap Bilur membentak. "Ki sanak, kau betul-betul menghinaku tanpa memperdulikan keberadaanku di sini! Pergilah dari sini atau aku musti menghajarmu seperti gadis celaka itu?!"

Rangga kembali berdiri dan memandang tajam kepada orang itu. Pemuda yang tak lain daripada Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian menyahut pelan. "Ki sanak, persoalan apakah yang telah terjadi sehingga kau bermaksud hendak mcmbunuhnya? Gadis ini kulihat telah terluka dalam. Kalau tak cepat ditolong dia bisa tewas...."

"Huh. Apa peduliku dengan kematiannya?! Kalau dia mampus itu lebih baik. Pergilah! Ini bukan urusanmu!"

"Aku tak akan pergi dari sini sebelum kau menjelaskan apa sebenarnya yang telah terjadi di sini dan kenapa kau begitu bernafsu untuk membunuhnya," sahut Rangga tegas.

"Bocah keparat! Rupanya kau betul-betul keras kepala dan bermaksud mencampuri urusan Orang! Huh, kau pun boleh mampus bersama dengannya!" bentak Ki Langkap Bilur sambil melompat menyerang pemuda itu.

Amarahnya menggelegak dan tak bisa dikendalikan lagi melihat kebandelan pemuda di hadapannya itu. Dalam hati dia merasa ditantang dan seolah merasakan bahwa pemuda ini sama sekali menganggapnya rendah. Hal itu sudah cukup membuat kemarahannya semakin bergejolak. Maka tanpa memikirkan keadaan lawan lagi, dia langsung menyerang dengan menggunakan jurus terhebat yang dimilikinya.

"Ki sanak, ternyata kaulah vang begitu bernafsu menginginkan nyawa orang. Pasti kau pula yang begitu bernafsu mencari urusan dengan gadis itu. Dan kini jelaslah sudah, siapa pengacau yang sebenarnya!" sahut Rangga sambil menghindar dengan gerakan gesit atas serangan-serangan lawan yang mematikan.

"Yeaaa...! Mampus!"

"Ha ha ha ha....! Belum lagi, sobat!"

"Kurang ajar! Kau pikir bisa lolos dariku, he? Ki Langkap Bilur tak bisa kau permainkan begitu rupa dan kau harus menggantinva dengan nyawa busukmu!"

"Hm, siapa yang mempermainkanmu? Kau sendiri yang melakukannya. Kenapa mesti marah-marah padaku?"

"Bajingan busuk! Kusobek mulutmu nanti!" "Kau boleh melakukannya sekarang juga!"

"Hiih!"

"Uts....! Sedikit lagi, sobat!"

Bukan main kalapnya Ki Langkap Bilur dipermainkan lawan begitu rupa. Meski telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, namun jangankan berhasil melukai lawan, bahkan untuk menyentuh ujung bajunya pun dia belum mampu. Diam-diam laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun lebih itu kecut juga nyalinya. Selama ini dia jarang menemukan lawan yang setangguh pemuda ini. Padahal lawan sama sekali belum membalas serangannya. Dia tak bisa membayangkan apakah mampu menahannya bila kemudian pemuda ini balas menyerang.

"Ki sanak, kau terlalu memaksaku. Tak ada jalan lain bagiku selain membela diri. Tapi kalau terus begini sungguh keterlaluan, dan agaknya kau tak segan-segan mencelakai diriku. Mau tak mau aku mesti membalas!"

"Huh, cobalah kalau kau mampu! Kau cuma mcmpercepat kematianmu saja!"

"Ha ha ha ha...! Mungkin begitu, tapi yang jelas aku tak ingin buru-buru. Apalagi musti mampus ditangan seekor kutu busuk sepertimu...," ejek Rangga.

"Keparat! Yeaaa...!"

"Hup! Lihat serangan!"

Sambil berkelit cepat, tiba-tiba saja Rangga menyodokkan ulu hati lawan dengan pukulan yang keras. Ki Langkap Bilur terkejut, dan membuang diri ke samping. Namun kaki kanan pemuda itu menyapu ke bawah menyambar punggung lawan. Tak ada pilihan lain bagi Ki Langkap Bilur kalau tak mau celaka. Dia musti menangkis dengan tangannya.

Bletak!

"Aakh...!" Ki Langkap Bilur menjerit keras ketika terdengar tulang berdetak patah. Belum lagi dia sempat memperbaiki keadaan, satu tendangan keras menghantam perut dan membuatnva tersungkur dengan tubuh jungkir balik. Sambil mengeluh kesakitan dia berusaha bangkit sambil memegang tangannya yang patah dihajar tendangan lawan tadi. Sorot matanya liar dan memendam amarah yang hebat.

"Kesinilah kalau memang kau masih penasaran!" kata Rangga dengan suara dingin.

"Ki sanak, biarlah kali ini aku mengaku kalah. Tapi ingat! Persoalan ini belum selesai dan kau akan menanggung akibatnya kelak!"

"Hm, apakah itu berarti kau tak akan meneruskan urusan kita ini'.'"

Ki Langkap Bilur mendengus geram. Dia memandang sekilas. kemudian berlalu dari tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi. Rangga hanya membiarkannya saja, dan menoleh kepada gadis itu ketika lawan telah menghilang dari pandangannya. Terlihat gadis itu masih menahan nyeri dan melangkah limbung mendekatinya. Rangga buru-buru menangkap bahunya ketika nyaris gadis itu akan terjerembab jatuh.

"Terima kasih Ki sanak. Kau... telah menolongku...."

"Beristirahatlah dulu. Kau terluka dalam dan tenagamu agaknya terkuras habis...."

"Tidak. Kita harus cepat-cepat pergi dari sini. Jumlah mereka ada enam orang. Kalau semuanya ke sini, kita bisa celaka!"

"Tenanglah. Biar kucoba mcngatasi mereka...."

"Jangan! Kau akan celaka. Mereka berilmu tinggi dan berhati kejam. Sebaiknya kita pergi dari sini secepatnya!"

Suara gadis itu terdengar cemas dan bingung. Dalam keadaan lemah begini tentu akan sangat mcmpengaruhi kesehatannya. Rangga merasa tak ada salahnya dia menuruti kata-kata gadis itu. Maka dengan sekali bergerak, dia menggendong tubuh Putri Selari dan berkelebat cepat dari tempat itu.

"Maaf, aku sama sekali tak bermaksud buruk padamu .," katanya ketika melihat gelagat bahwa gadis itu sedikit tak senang dengan perbuatannya.

********************

Setelah sekian lama berlari dan merasa bahwa jarak mereka telah terpaut jauh dari tempat semula, Rangga menghentikan langkah dan menyandarkan gadis itu di bawah sebatang pohon.

"Di mana kita sekarang...?"

Rangga memandang ke sekeliling tempat itu. Dia sendiri masih merasa asing di tempat ini. Apalagi malam semakin pekat dan sejauh mata memandang hanya terdapat gelap diantara batang-batang pohon dan gerumbulan semak. Dia menggeleng lemah sambil mengumpulkan ranting-ranting kayu yang terdapat di situ.

Gadis itu terdiam dan duduk bersila sambil memusatkan pikiran pada satu titik. Kelopak matanya terpejam dan nafasnya mulai diatur sedemikian rupa untuk mengerahkan hawa murni di bawah perut.

Rangga memandang sekilas, kemudian membuat api unggun. Tak lama suasana sedikit hangat dan terang. Pemuda itu terkejut ketika mengetahui dengan tegas rupa gadis itu. Kalau tadi hanya samar-samar terlihat, tapi kini jelas bahwa wajah itu buruk sekali. Penuh kisut-kisut dan lobang-lobang kecil dengan kulit yang kasar. Dia mencoba menekan rasa tak enak di hati, dan sambil membaringkan tubuh agak jauh dari gadis yang masih tetap bersila.

Putri Selari merasa tubuhnya agak segar setelah beberapa saat memusatkan pikiran dan mengatur pernafasan serta jalan darahnya. Dengan adanya api unggun di dekatnya, hawa dingin malam sedikit terusir. Dipandanginya untuk beberapa saat pemuda yang tadi telah menolongnya. Dia bahkan tak mengenalnya sama sekali. Siapa orang ini dan apakah dia memang bermaksud baik kepadanya? Hm, pengalaman selalu mengajarkannya untuk tidak percaya begitu saja kepada orang yang baru dikenalnya. Siapa tahu pemuda ini mempunyai maksud tersembunyi, atau barangkali dia salah satu diantara orang-orang yang akan membunuhnya. Berpikir begitu, Putri Selari dengan hati-hati sekali bangkit dari duduknya dan bermaksud beranjak dari situ. Namun baru saja dia melangkah dua tindak, terdengar satu suara menegurnya.

"Ni sanak, mau kemanakah kau malam-malam begini?"

"Heh!" Gadis itu terkejut. Dia memastikan sekali lagi dan masih melihat bahwa pemuda itu membelakanginya sedang jarak mereka kurang lebih dua tombak. Sejak dia bangkit pun matanya tak lepas mengawasi pemuda itu, dan sama sekali tak terlihat dia menoleh. Sudah jelas, pemuda itu pasti memiliki pendengaran yang tajam, pikir gadis itu. Dan hal itu membuktikan bahwa dia memang bukan orang sembarangan. Tadi saja dia sudah melihat bahwa pemuda itu dengan mudah mengalahkan lawannya. Tanpa sadar dia bergidik sendiri dan membayangkan, apa yang akan dilakukan pemuda itu terhadapnya.

"Kau curiga padaku....'" tanya Rangga bangkit dan duduk bersila memandangi gadis itu yang masih berdiri tegak dengan sikap bimbang.

Putri Selari diam tak menjawab. Rangga tersenyum tipis, lalu melanjutkan kata-katanya.

"Kalau memang keadaanmu sudah lebih baik, aku tak akan mencegahmu. Apalagi kalau memang kau curiga kepadaku. Silahkan. aku tak akan menghalang-halangimu. Tapi barangkali ada baiknya kalau kau menunggu sampai esok hari. Anggap saja ini nasehat dariku...."

Gadis itu diam tak memberikan jawaban. Dia memandang sekilas pada pemuda itu. Entah apa yang berkecamuk dalam benaknya, tapi kemudian terlihat dia kembali duduk di tempatnya semula sambil memandangi jilatan api unggun.

Rangga bangkit dan duduk di depan gadis itu. Jarak mereka cuma dihalangi api unggun. Dipandanginya sejenak gadis itu, kemudian berkata pelan. "Namaku Rangga...."

"Ya, aku sudah dengar. Aku... Putri Selari...." sahut gadis itu lirih.

"Putri? Kau anak seorang raja atau pembesar...?"

Gadis itu tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Barangkali malah sebaliknya. Aku berasal dari kalangan gembel...."

Kali ini Rangga yang tersenyum tak percaya.

"Aku berkata yang sesungguhnya. Sampai seorang yang begitu baik hati mengangkatku menjadi anaknya dan mendidikku...."

Sampai di situ suara gadis itu terputus. Dia menundukkan wajah dan meski tak mengetahui apa yang terjadi. Rangga dapat merasakan kepiluan hati gadis itu. Dia menunggu beberapa saat sebelum membuka suara.

"Lalu ke mana orang itu...?"
"Dia... dia telah tiada...."
"Tewas maksudmu?"

Putri Selari mengangguk. Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa percaya kepada pemuda ini. Mungkin juga karena perasaan hatinya yang sedang sedih dan membutuhkan seorang untuk mendengarkan, sehingga dia menceritakan apa yang terjadi pada dirinya.

Rangga mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar cerita gadis itu. "Hm, jadi kau sekarang akan ke kerajaan? Kalau tak merasa keberatan aku bersedia mengawanimu...."

"Terima kasih...."

"Ada satu hal yang membuatku heran. Bagaimana kau akan meyakinkan pihak kerajaan bahwa perbuatan itu didalangi oleh dua orang yang menamakan dirinya sebagai Ki Sobrang dan Ki Degil itu?" tanya Rangga heran.

"Aku tak tahu pasti. Yang jelas dulu mereka pernah mencoba melakukan hal itu. Pemberontakan terhadap kerajaan, maksudku. Atau juga karena perempuan tua yang bernama Nyai Sukesih itu berkawan akrab dengan keduanya. Guruku pernah menceritakan hal ini, kalau tidak, tak mungkin dia bisa merasa begitu yakin bahwa kedua orang itu adalah pelakunya. Tapi seperti apa yang kuceritakan tadi, aku memergoki beberapa tokoh persilatan yang menuju ke tempat mereka...."

Rangga kembali menganggukkan kepala mendengar penjelasan gadis itu. Bisa jadi apa yang diceritakannya benar, tapi tak menutup kemungkinan untuk salah. Apakah tidak mungkin kalau itu cuma urusan dendam antara gurunya dengan orang-orang itu? Ataukah memang benar seperti apa yang diduga gadis itu, bahwa kedua orang yang lebih dikenal sebagai Sepasang Naga Pertala itu ingin mengadakan pemberontakan dan merebut tahta kerajaan? Heh, ini persoalan rumit! Sungguh nekat dan gegabah sekali kedua orang itu. Siapapun mengetahui bahwa kedudukan kerajaan saat ini tengah kuat-kuatnya dan rasanya sulit bagi segelintir orang, meskipun berilmu linggi, untuk mencoba menggulingkan kekuasaan yang sah atas tahta kerajaan!

********************

Menjelang tengah hari mereka tiba di kotaraja. Suasana tampak ramai dan beberapa orang memandang mereka dengan heran. Sebagian malah menggeleng-gelengkan kepala. Bahkan tak kurang yang begitu bertatapan dengan gadis di sebelahnya, langsung memalingkan muka dengan perasaan jijik.

"Orang-orang memandangku dengan perasaan jijik. Apakah kau tak merasa malu berjalan denganku...?" tanya gadis itu lirih.

Rangga memandangnya sekilas, kemudian tersenyum tipis. "Kenapa aku harus malu? Kau toh manusia dan bukan benda yang menjijikkan seperti kotoran atau sampah dan yang sejenisnya...."

Putri Selari tersenyum kecil. "Kau berkata begitu tentu sekedar ingin menghiburku. bukan?"

"Apakah dengan wajahmu yang demikian berarti setiap orang yang berjalan denganmu harus menghiburmu?"

"Kau lucu. Seharusnya pertanyaanku yang dijawab, ini malah memberikan pertanyaan lain...."

"Sudahlah, kita ke sini bukan untuk pembicaraan persoalan itu kan? Nah, di depan sana pintu gerbang istana kerajaan sudah terlihat!"

"Mudah-mudahan mereka mau menerimaku dan mempercayai kata-kataku...!"

Keduanya melangkah dengan bergegas. Pintu gerbang itu dijaga oleh beberapa orang penjaga. Salah seorang langsung menghadang ketika keduanya mendekat.

"Siapa kalian dan mau apa ke sini?"

"Aku.... Selari dan ini Rangga, kawanku. Kami dari tempat kediaman Adipati Mungkaran, membawa berita untuk Gusti Prabu...."

Prajurit kerajaan itu memandang gadis itu beberapa lama dengan muka tak senang. Kemudian dia berkata dengan tegas. "Kalian sama sekali tak mengesankan sebagai utusan Adipati Mungkaran. Pergilah dari sini dan jangan mengganggu. Kalau tidak, kalian akan kutuduh ingin mengacau disini!"

"Tapi Ki sanak, ini penting sekali! Aku harus menyampaikannya kepada Gusti Prabu!" Putri Selari mencoba memaksa.

"Pergi kataku! Gusti Prabu saat ini sedang sibuk menerima tamu-tamunya, dan kalian kesini hanya mengacau saja. Pergi kataku. sebelum aku berubah pikiran dan menangkap kalian!" bentak prajurit kerajaan itu dengan wajah berang.

"Ki sanak, tak bisakah kau mengijinkan kami menghadap Gusti Prabu? Ini soal penting dan menyangkut keselamatan beliau sendiri. Cobalah kau mempercayai kami...." ujar Rangga dengan suara yang dibuat seramah mungkin.

Tapi akibatnya malah membuat prajurit kerajaan itu memandangnya garang. Sepasang matanya melotot seperti hendak keluar dari kelopaknya. Beberapa orang kawannya langsung mendekat ketika orang itu membentak. "Tangkap mereka dan jebloskan ke dalam penjara...!"

"Eh, Ki sanak! Apa-apaan ini?!"

"Jangan banyak tanya! Ayo, ikut atau kalian akan dijatuhi hukuman berat!" bentak salah seorang prajurit kerajaan sambil menghunuskan ujung tombak ke dada Rangga.

Rangga tidak tahu harus berbuat apa. Persoalan ini menjadi sangat membingungkannya. Orang-orang mulai meributkannya dan beberapa orang prajurit-prajurit kerajaan tampak mulai berdatangan menghampiri mereka. Tetapi sebelum dia bertindak, Putri Selari sudah bergerak lebih dulu.

"Anjing-anjing busuk! Kalian memang goblok dan percuma bekerja dengan pemerintah! Yeaaa...!"

Dua orang prajurit kerajaan yang menodongkan ujung tombaknya ke tubuh gadis itu tiba-tiba jatuh tersungkur di tanah sambil menjerit kesakitan.

"Rangga, cepat keluar dari sini...!"
"Eh, apa...."
"Tangkap! Ada pengacau....! Ada pengacau...!"
"Hup!"
"Aakh...!"

Suasana cepat menjadi kacau. Rangga melihat gadis itu melompat dan berlari dari tempat itu. Mau tak mau dia terpaksa mengikuti. Tapi prajurit-prajurit kerajaan itu semakin ramai saja dan tak membiarkan mereka kabur begitu saja. Lebih dari sebelas orang langsung mengejar mereka. Kedua orang itu terus berlari diantara kerumunan dan lalu-lalang orang dan rumah-rumah, serta lorong-lorong sempit. Namun setiap kali mereka hendak mencari jalan keluar, sepertinya seluruh prajurit kerajaan telah menghadang.

"Celaka! Kita telah terkepung dan tak bisa keluar dari kotaraja ini!" umpat gadis itu kesal.

"Bagaimana pun kita harus keluar dari tempat ini!"

"Tapi hagaimana caranya...? Agaknya pihak kerajaan telah menyiapkan segalanya. Buktinya dalam waktu sekejap prajurit-prajuritnya telah bertebaran di mana-mana...."

"Sssst...!" Rangga mendekap mulut gadis itu cepat ketika telinganya mendengar beberapa derap langkah kaki mendekati mereka.

Keduanya bergerak perlahan melewati lorong-lorong kumuh diantara rumah-rumah para penduduk yang berdekatan dengan sungai yang kotor dan timbunan sampah yang menebarkan bau busuk. Rumah-rumah di sini terlihat kumuh dan tak terurus. Beberapa orang gelandangan tampak berkeliaran dengan baju lusuh. Di antaranya ada yang duduk termenung seperti orang bingung sambil memegangi kudis yang membusuk di lututnya. Yang lain ada yang sedang memomong bayi kecil yang terus menangis. Beberapa orang memperhatikan mereka dengan tatapan tak peduli.

"Ke sini...!" ajak gadis itu.

"Sial! Tiga orang prajurit di sana!" tunjuk Rangga.

Keduanya kembali mencari jalan yang baik, namun di ujung jalan telah menanti lima orang prajurit kerajaan yang berjalan dengan tergesa-gesa. Hal yang paling menguntungkan bagi mereka adalah bahwa orang-orang itu belum melihat kepadanya. Tapi tak lama lagi orang-orang itu pasti akan. Cuma soal waklu saja, sebab semua jalan keluar telah tertutup rapat. Putri Selari mengeluh, dan Rangga bertekad akan memberikan perlawanan meski akibatnya akan sangat hebat nantinya. Melawan prajurit kerajaan. Itu sama artinya dengan melawan seluruh orang kerajaan dan dia akan menjadi buronan selamanya!

"Ssst, lewat sini! Ayo!"

"Siapa...? Gondo, astaga! Kau ada disini?!" Putri Selari terkejut kaget ketika seorang berbaju kumal menegur mereka dan memberi isyarat agar mereka masuk kedalam sebuah rumah.

Tanpa pikir panjang lagi dia menarik lengan Rangga dan kedua orang itu lenyap dari pencarian para prajurit kerajaan ketika pintu rumah itu tertutup rapat!

LIMA

Keduanya mengikuti laki-laki berperut agak gendut itu menuju tangga yang menuju ruang bawah tanah. Di sana terdapat beberapa orang yang berwajah kumuh, dengan baju lusuh yang menyambut mereka dengan pandangan heran. Tapi laki-laki gendut yang dipanggil Gondo itu segera menempelkan telunjuknya ke bibir. Wajahnya tampak cerah. Kemudian dengan suara pelan yang agak sedikit nyaring, dia berkata pada orang-orang itu.

"He, kenapa kalian diam saja? Beri hormat pada junjungan kita. Putri Selari telah berada di depan kita."

"Apa...? Putri Selari...?"

"Oh...?!" Orang-orang itu memandang dengan wajah terkejut. Dan tidak percaya pada gadis berwajah buruk rupa yang baru masuk itu.

"Gondo, bicara apa kau? Putri Selari adalah wanita terhormat dan berwajah amat cantik. Bukan seperti nenek sihir begini...!" dengus salah seorang.

"Betul! Kau jangan mempermainkan kami, Gondo!"

"Jangan-jangan dia mata-mata."

Suasana di tempat itu mulai panas. Dan orang-orang yang berjumlah sekitar lima belas orang itu berdiri tegak dengan wajah curiga. Gondo langsung melangkah ke depan, menenangkan mereka.

"Tenang, tenang...! Sebentar akan kujelaskan semuanya. Dengarkan, mereka berdua sedang dikejar-kejar pihak kerajaan. Itu membuktikan kalau mereka musuh kerajaan. Yang kedua, siapa yang lebih tahu diantara kalian tentang putri junjungan kita...?"

"Tentu saja kau. Sebab kau abdi dekat Gusti Putri," sahut salah seorang.

"Nah, untuk apa diributkan lagi...? Aku bersama Gusti Putri sejak beliau masih bocah. Dan tahu betul dari ujung kaki sampai ke ujung rambut."

"Gondo, kami semua tidak memungkiri hal itu. Tapi siapa pun di sini pernah menyaksikan kalau Gusti Putri berwajah cantik jelita. Tapi gadis yang kau bawa ini, bahkan sama sekali tidak mirip dengan Gusti Putri." sangkal seseorang yang disetujui yang lainnya.

"Kau terlalu gegabah mempercayai orang. Bahkan berani memasukkannya ke sini."

"Itu sangat berbahaya bagi kita, Gondo."

"Betul! Dan kau akan bertanggung jawab atas semua ini. Atau kedua orang ini mesti dibunuh agar kita semua tidak menjadi korban "

Suasana kembali menjadi ramai, Namun sekali lagi Gondo berusaha meyakinkan mereka. "Dengarkan..., saudara-saudaraku. Aku punya alasan membawa mereka ke sini. Pertama, kalau memang dia orang lain yang patut dicurigai kenapa dia mengenalku begitu pertama melihat...? Yang kedua, aku tahu betul kalau Gusti Putri memiliki tahi lalat kecil di pangkal jempol sebelah kiri. Dan aku telah melihatnya tadi. Sekarang ada baiknya kita menanyai lebih dulu sebelum mengadakan keputusan."

"Baiklah, ingin kami lihat apa penjelasannya sahut salah seorang yang mewakili lainnya.

Dia memandang pada gadis itu dan melanjutkan kata-katanya. "Ni sanak, kami tidak mengenalmu, tapi salah seorang kawan kami yakin kalau kau adalah junjungan kami. Karena tempat ini amat rahasia, tidak ada pilihan lain bagi kalian berdua. Daripada kami yang celaka, kaulah yang akan menjadi korhan kalau ternyata kami anggap kalian membawa malapetaka bagi kami semua."

Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Dipandanginya orang-orang itu satu persatu. Tidak terasa, bola matanya yang jernih merembang dipenuhi air mata yang hendak tertumpah. Ada sesuatu yang menusuk hati dan seperti menikam merobek-robek kenangan lama yang berusaha dilupakannya.

"Ni sanak, jawablah pertanyaanku. Kami tidak punya banyak waktu dan harus secepatnya mengambil keputusan terhadap kalian."

Rangga yang sejak tadi diam saja dan tidak tahu harus berbuat apa, kini menyadari kalau kedudukan mereka jadi terjepit. Seperti lepas dari mulut harimau, terjebak di kubangan penuh buaya. Dia memandangi laki-laki berperut buncit yang membawa mereka kesini. Kemudian memandang pada yang lainnya satu per satu.

"Ki sanak semua, kami tidak tahu siapa kalian. Tapi salah seorang kawan kalian telah menyelamatkan kami. Terus terang, kami berhutang budi padanya. Dan sudah pasti suatu saat akan membalasnya. Tapi ketahuilah, kami tidak ingin membuat susah pada kalian semua sedikitpun juga. Nah, untuk itu ijinkan kami pergi dari tempat ini...,"

Tidak ada sahutan selain sorot mata yang memandang tajam pada pemuda itu. Wajah Rangga yang dibuat seramah mungkin dengan senyum manis, mendadak sirna melihat sikap mereka. Dia jadi salah tingkah dan tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Mari Selari, kita pergi dari sini," ajaknya.

Rangga merasa tidak ada gunanya lagi bicara pada mereka. Dengan sikap diam itu dia berharap mereka menyetujui kalau mereka akan ke luar dari tempat ini. Maka buru-buru dia mencekal tangan gadis itu, dan bermaksud menaiki anak tangga yang mereka lalui tadi. Namun baru saja kakinya hendak bergerak, orang-orang itu sudah berlompatan dengan ringan. Empat orang berjaga di anak tangga. Dan yang lainnya mengelilingi mereka berdua.

Orang yang sejak tadi berkata pada Gondo, memandang dengan sinar tajam pada Rangga. "Maaf, kalian tidak akan kemana-mana," katanya tegas.

Rangga mengetahui kalau kali ini mereka akan bertindak keras. Semuanya terlihat sudah bersiap dengan senjata masing-masing. Dan hanya menunggu saja perintah untuk meringkus. "Ki sanak, kami tidak ingin mencari persoalan dengan kalian. Biarkan kami pergi dengan aman."

"Aku katakan kalian tidak akan pergi kemana-mana sebelum jelas duduk persoalannya. Dan siapa kalian scbenarnya...? Jangan sampai kami kesalahan tangan membunuh seseorang. Tapi kalau kalian ternyata memang mencari susah, jangan salahkan kalau kami bertindak tegas!"

Mendengar itu, rasa tidak senang Rangga mulai membakar darahnya. Dia mendengus kesal sambil tetap mencekal pergelangan tangan gadis disebelahnya. Kemudian terdengar suaranya yang bernada dingin.

"Akupun tidak ingin kesalahan tangan untuk membunuh orang. Pakailah akal sehat kalian untuk menilai orang. Aku dan gadis ini akan pergi. Dan ingin kulihat siapa yang menghalangi...!" tegas Rangga.

"Tangkap mereka...!"

Mendengar kata-kata pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu, bukan main kesalnya laki-laki ini. Dia bukannya berpikir, tapi langsung saja memberi perintah pada anak buahnya.

Dan saat itu juga semua orang yang berada di tempat itu sudah bersiap akan menghunuskan senjata ke arah mereka berdua. Tapi pada saat itulah si gadis berkata dengan suara sedikit keras. "Paman Bandang Ireng, hentikan semua ini...!"

"Heh...?!" Orang-orang itu langsung saja memalingkan perhatiannya dan menatap gadis ini dengan penuh tanda tanya. Gondo mengangkat bahu saat seorang laki-laki bertubuh tegap dengan wajah keras, yang tadi memberi perintah menangkap kedua orang asing ini memandang padanya.

"Aku tidak memberitahukan apa-apa tentang kita," kata Gondo sebelum teman-temannya menuduhnya mengkhianati mereka.

"Paman Gondo tidak perlu memberitahukannya. Aku kenal dengan kalian semua," kata gadis itu pelan.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya orang yang tadi dipanggil dengan nama Bandang Ireng dengan suara lunak.

Gadis itu tidak banyak bicara. Tangannya bergerak ke muka dan mendekap wajahnya. Lalu....

"Dia menggunakan topeng...!" desis salah seorang.

Semua yang berada di situ menanti dengan wajah tidak sabar. Begitu juga dengan Rangga. Betul-betul dia tidak menyadari kalau gadis itu mengenakan topeng yang amat sempurna sekali. Hingga sulit untuk membedakannya.

"Putri Selari...."

"Benar, dia Putri Selari...!" desis yang lainnya.

"Be..., betulkah kau Putri Selari, junjungan kami...?" tanya Bandang Ireng seperti tidak yakin akan penglihatannya sendiri.

"Paman, apa yang kalian lihat semuanya benar. Akulah Putri Selari. Putri Prabu Satya Wardhana Putra," kata gadis itu lembut.

"Oh, Kanjeng Gusti.... Maafkan kelancangan kami."

Orang-orang itu kemudian membungkukkan tubuhnya sambil memberi hormat yang dalam. Rangga bingung sendiri sejak tadi. Wajahnya di balik topeng yang mengerikan itu, bertolak belakang sekali dengan aslinya. Gadis buruk rupa dengan wajah mengerikan, kini menjelma menjadi gadis cantik jelita dengan kulit kuning langsat yang begitu halus sekali. Sepasang alisnya tebal bagaikan semut beriring. Dan hidungnya kecil mancung dengan bibir tipis merah delima yang selalu menyunggingkan senyuman manis.

"Bangunlah, Paman. Masa itu telah berakhir. Dan kini aku bersama dengan kalian," kata Putri Selari.

"Tidak, Kanjeng Gusti. Bagi kami kau tetaplah junjungan yang harus kami hormati. Dan kau berhak atas tahta kerajaan yang direbut oleh si jahanam itu," sahut Bandang Ireng.

"Paman, aku terharu atas kesetiaan kalian semua. Tapi masa itu telah berakhir. Dan aku tidak ingin mengungkit-ungkit lagi," kata Putri Selari tetap lembut suaranya.

"Apa maksud, Kanjeng Gusti? Tidak tahukah kalau kami sudah lama mencarimu dan terus mempersiapkan diri agar tahta itu bisa kembali ketanganmu. Dan kali ini rencana besar itu akan berjalan lancer. Kami akan mendapat bantuan dari orang-orang yang bisa dipercaya," kata Bandang Ireng.

"Paman Bandang Ireng, apa maksudmu...?" tanya Putri Selari heran.

Paman Bandang Ireng tidak langsung menjawab. Sebaliknya memandang pada Rangga yang sejak tadi hanya diam saja membisu, dengan sinar mata memancarkan kecurigaan. Gadis yang sebenarnya adalah Putri Selari, bisa cepat mcnangkap gelagat yang tidak mengenakkan ini. Tapi Rangga sudah lebih cepat lagi tanggap akan kecurigaan Bandang Ireng padanya.

"Kalau memang kehadiranku mengganggu, bolehkah aku meninggalkan tempat ini sekarang...?" pinta Rangga sopan.

"Sebentar, Rangga. Aku percaya padamu dan kau boleh duduk di sini mendengarkan," cegah Putri Selari tegas.

"Tapi, Kanjeng Putri...."

"Paman, aku mempercayainya," kata Putri Selari cepat, membungkam beberapa kata Bandang Ireng sambil mengangkat sebelah tangannya.

"Ini persoalan hidup dan mati. Dan kita harus menjaganya erat-erat dari orang luar."

"Aku pertaruhkan nyawaku untuk itu."

"Kenapa Kanjeng Gusti berkata begitu...?"

"Sebab dia pun telah bertarung nyawa pada saat menyelamatkan nyawaku." sahut Putri Selari tegas.

Bandang Ireng memandang berkeliling pada teman-temannya. Kelihatan dari raut wajah mereka, seolah menyerahkan keputusan di tangannya. Sambil menghela napas pendek, dia berkata lirih.

"Kami mendapatkan tenaga bantuan untuk menggulingkan tahta kerajaan...." kata Bandang Ireng pelan.

"Bantuan dari mana?" tanya Putri Selari.

"Dari orang-orang yang mencintai Gusti Prabu Satya Wardhana Putra," sahut Bandang Ireng.

"Apakah mereka orang-orang yang kalian kenal baik sebelumnya?" tanya Putri Selari lagi.

Bandang Ireng menggeleng lemah. "Kami memang belum mengenai baik, tapi utusan mereka datang ke kotaraja dan mencari kami untuk menawarkan bantuan."

"Tahukah Paman. siapa yang mengirim utusan itu? Maksudku, siapa tokoh yang berpengaruh terhadap orang-orang yang akan membantu kalian semua?" tanya Putri Selari.

"Kalau tidak salah, Ki Sobrang dan Ki Degil." sahut Bandang Ireng.

"Apa...?" Bukan main terkejutnya Putri Selari mendengar nama yang baru saja disebutkan Bandang Ireng. Dia langsung menatap tajam pada laki-laki didepannya ini. Kemudian berpaling menatap Rangga yang masih berada disampingnya.

"Kenapa Gusti Kanjeng? Apakah mengenal kedua orang itu?" tanya Bandang Ireng heran.

"Paman, tahukah paman apa yang terjadi padaku saat kerusuhan yang menimpa kerajaan...? Paman Gondo berusaha menyelamatkan aku. Usiaku saat itu belum lagi genap delapan tahun. Namun prajurit-prajurit kerajaan mengetahui dan berusaha menangkapnya. Aku bisa mengerti ketika Paman Gondo meninggalkan aku pada seseorang untuk menyelamatkan aku. Saat itu aku hidup bergelandang dari satu tempat ke tempat lain. Dan sampai seseorang memungutku menjadi anak, sekaligus muridnya," ujar Putri Selari mengisahkan perjalanan hidupnya.

"Maafkan hamba, Kanjeng Gusti. Dengan menitipkan Kanjeng Gusti pada gembel itu. Hamba berharap Kanjeng Gusti lolos dari kejaran mereka. Sebab bukan hamba yang mereka incar. Tapi Kanjeng Gusti yang akan mereka binasakan. Ketika keadaan agak sedikit reda, hamba berusaha mencari gembel itu. Namun tidak juga bertemu. Lalu hamba terus mencari kemana-mana," selak Gondo dengan sikap yang sangat hormat sekali.

"Sudahlah, Paman Gondo. Aku mengerti apa maksudmu saat itu. Nah, begitulah, Paman. Karena kedudukan sebagai satu-satunya pewaris tahta kerajaan yang diburu oleh para prajurit, keadaanku tidak aman sama sekali. Guruku kemudian membuatkan sebuah topeng yang amat bagus agar orang-orang tidak mengenaliku lagi," kata Putri Selari menjelaskan perjalanan hidupnya secara singkat.

"Tapi apa hubungannya dengan kedua orang itu, Kanjeng Gusti?" tanya salah seorang ingin tahu.

"Selama dalam pengembaraanku itulah aku banyak tahu tentang kehidupan rakyat. Perkembangan dunia luar dan lain-lainnya. Paman, masih ingatkan kerusuhan yang terjadi pada saat pemerintahan Ayahandaku...? Nah, orang-orang dibelakangnya adalah mereka berdua. Mereka bukan orang baik-baik, Paman. Mereka menggunakan kesempatan ini untuk membujuk paman-paman semua dengan dalih membantu. Padahal mereka sebenarnya yang mempunyai kepentingan. Merekalah yang ingin menggulingkan pemerintahan," kata Putri Selari menjelaskan.

"Dari mana Kanjeng Gusti mengetahuinya...?" tanya Bandang Ireng.

Putri Selari kemudian menceritakan kejadian yang menimpanya belakangan ini. Sampai kematian gurunya dan pertemuannya dengan Rangga. "Nah, begitulah ceritanya, Paman...."

"Keparat...! Licik! Orang-orang itu perlu diberi pelajaran!" umpat Bandang Ireng geram.

"Betul! Kita harus memberi pelajaran pada mereka. Apa lagi kalau sampai mereka menyebar berita tentang kita, keadaan kita akan semakin gawat," desis salah seorang dengan wajah ccmas.

"Paman-paman..., tenanglah. Tidak perlu terburu-buru. Lagi pula, tidak mudah mendekati kedua orang itu. Selain mereka berilmu tinggi, banyak dikelilingi oleh tokoh-tokoh sakti yang saat ini terus mengalir dan berdatangan untuk membantunya," kata Putri Selari menenangkan.

"Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang, Kanjeng Gusti?" tanya Bandang Ireng.

"Kanjeng Gusti, selama ini kami seperti anak ayam yang kehilangan induk. Kini Kanjeng Gusti telah berada diantara kami. Pimpinlah kami dan beri petunjuk. Bgaimana mestinya yang harus kami kerjakan saat ini," kata salah seorang menyelak.

"Benar, Kanjeng Gusti. Berilah petunjuk bagaimana dan apa yang harus kami lakukan sekarang," timpal Gondo.

"Selama ini kami memang selalu menantikan kehadiran Kanjeng Gusti untuk memimpin kami, setelah Gusti Prabu Satya Wardhana Putra tiada," lanjut Bandang Ireng.

Putri Selari sedikit rikuh mendapatkan desakan seperti itu. Dia tidak biasa selama ini mendapatkan penghormatan seperti itu. Kalaupun ada, Itu hanya sisa-sisa kenangan masa kccilnya saja. Masa lalunya. Tapi yang paling banyak mempengaruhi kehidupannya adalah kehidupan nyata yang dialaminya tahun-tahun belakangan ini. Kepahitan, kesengsaraan, kemudian terbiasa menjadi rakyat jelata.

"Rangga, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Putri Selari pelan.

"Entahlah, aku juga tidak mengerti. Tapi kurasa kau tahu apa sebaiknya yang harus kau lakukan," sahut Rangga.

"Tapi aku tidak bisa mengikuti kehendak mereka." kata Pulri Selari lagi.

"Apa sebenarnya kehendak mereka?" tanya Rangga.

"Apakah kau tidak mengerti juga? Mereka menginginkan aku menjadi pewaris tahta kerajaan. Tapi itu tidak mungkin...," keluh Putri Selari.

"Kanjeng Gusti, kami rela mengorbankan nyawa untuk itu," selah Bandang Ireng tegas.

"Aku mengerti, Paman. Tapi pemerintahan yang sekarang kunilai cukup adil dan tidak menyengsarakan rakyat. Biarlah mereka berjalan sebagaimana mestinya. Tidak usah diungkit-ungkit masa lalu. Kalian boleh mencari penghidupan baru yang damai dan tentram. Merebut kembali tahta kerajaan, hanya akan menimbulkan pertumpahan darah. Dan rakyatlah yang akan menjadi sengsara," kata Pulri Selari agak pelan terdengar suaranya.

"Kanjeng Gusti, hal itu tidak boleh terjadi. Tidakkah Kanjeng dan pembesar-pembesar kerajaan terus menimbun harta bagi kepentingan mereka sendiri...? Mereka sama sekali tidak mempedulikan kesejahteraan rakyat jelata?" jelas Bandang Ireng.

"Begitukah, Paman...?" tanya Putri Selari ragu-ragu.

"Kanjeng Gusti, kami berkata yang sebenarnya." tegas Bandang Ireng lagi.

"Entahlah..., tapi yang jelas, aku mesti membuat perhitungan lebih dulu pada Sepasang Naga Pertala," kata Putri Selari pelan.

"Kanjeng Gusti, kami berdiri dibelakangmu, kemanapun kau pergi. Dan berada paling depan unluk membantumu." kata Bandang Ireng cepat.

Yang lain langsung menyambutnya dengan penuh semangat pula.

"Terima kasih, Paman. Tapi aku tidak yakin...," ucap Putri Selari.

"Kenapa Kanjeng Gusti berkata begitu?"

"Mereka sangat kuat dan berjumlah banyak, Paman. Aku khawatir tidak mampu menghancurkan mereka."

"Kanjeng Gusti, meski kepandaianku tidak seberapa, aku bersedia membantumu," selak Rangga.

Gadis itu tersenyum kecil. "Terima kasih, Rangga. Aku telah banyak merepotkanmu," ucapnya pelan.

"Tidak. Aku merasa punya kewajiban untuk membantu orang-orang seperti kalian. Nah, sebaiknya memang kita tentukan rencana selanjutnya," tegas Rangga.

"Baiklah. Tapi ada satu hal yang pertama kuminta darimu," kata Putri Selari.

"Hm, apa itu...?"

"Jangan panggil aku Kanjeng Gusti. Kau adalah sahabatku dan diantara kita tidak ada perbedaan derajat," pinta Putri Selari.

"Tapi...," Rangga ingin menolak.

"Kau menerima permintaanku, bukan...?" potong Putri Selari cepat.

"Baiklah, kalau memang itu keinginanmu," sahut Rangga menyetujui dengan perasaan berat.

"Terima kasih, Rangga." Gadis itu kemudian memandang pada orang-orang yang berada didepannya. Kemudian lanjutnya dengan suara yang pelan, namun terdengar cukup jelas.

"Paman, terima kasih atas dukungan kalian semua padaku. Aku akan memuluskan soal tahta kerajaan dan perjuangan kita untuk merebutnya kembali pada saat yang tepat. Kali ini aku tidak bisa memutuskan soal itu. Tapi kalau kalian benar-benar bermaksud hendak membantuku, aku bermaksud menghancurkan orang-orang seperti Ki Sobrang dan Ki Degil. Siapa yang tidak setuju boleh mundur!"

"Kanjeng Gusti, kami akan mengikutimu," sahut Bandang Ireng tegas.

"Betul! Apapun yang diputuskan, kami akan menjunjung tinggi!" sambut yang lainnya serempak.

Dan suasana kembali ramai. Bukan oleh keragu-raguan lagi, atau rasa curiga seperti tadi. Tapi oleh semangat yang menyala-nyala di dalam hati setiap orang untuk mendukung rencana Putri Selari.

ENAM

Perjalanan ke tempat tujuan memakan waktu kurang lebih dua hari perjalanan. Namun jarak yang jauh itu seolah tidak dirasakan oleh mereka. Terutama sekali pada Putri Selari. Hatinya betul-betul telah bulat untuk menghancurkan Sepasang Naga Pertala. Meskipun dia mengatakan kalau dasar tujuannya adalah untuk kebaikan, namun tidak bisa dipungkiri kalau hal itu dilakukannya untuk membalaskan dendam atas terbunuhnya Ki Ageng Tebung, gurunya sendiri.

Pada hari pertama mereka tiba di sebuah tempat yang bernama Pamekasan. Daerah ini sebenarnya dikuasai oleh Adipati Sentanu. Namun yang terlihat di sepanjang perjalanan, banyak orang-orang berwajah kasar dengan senjata tajam yang tidak terpisah dari tubuhnya. Sikap mereka ugal-ugalan seperti layaknya kawanan perampok. Beberapa orang terlihat sedang berpesta pora di tepi jalan sambil tertawa terbahak-bahak. Bau arak langsung tercium begitu mereka melewatinya.

"Untung kiia berpencar dua, tidak jalan berombongan. Kalau tidak, tentu mereka akan mencari urusan," kata Putri Selari pada Rangga.

"Ya, untung juga kau sudah mengenakan topeng itu lagi. Kalau tidak, pasti sudah ada keributan sejak tadi," sahut Rangga kalem.

Gadis itu hanya tersenyum saja. Lima orang yang berjalan didekat mereka, bersikap waspada. Orang ini adalah sebagian abdi kerajaan yang masih setia pada Putri Selari. Rombongan mereka memang terbagi menjadi tiga bagian. agar tidak menarik perhatian penduduk desa ini.

"He, gadis buruk! Enyah kau dari hadapanku! Kami jijik melihat mukamu itu!" bentak salah seorang yang mcnggenggam kendi berisi arak.

Teman-temannya yang lain terkekeh sambil melambai-lambaikan tangan. Salah seorang malah bangkit berdiri dan berjalan mendekati gadis ini. Tubuhnya kurus, dan bola matanya terlihat marah. Dia berjalan terhuyung-huyung sambil terkekeh-kekeh kecil memuakkan.

"Apa yang harus kita lakukan, Rangga?" tanya Putri Selari meminta pendapat Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Tenang saja, terus jalan pelan-pelan," sahut Rangga agak berbisik.

"Hei...! Mau kemana kau bidadariku...? Kesinilah temani aku minum sambil berjalan-jalan di taman yang indah. He he he he...!" teriak orang bertubuh kurus itu sambil berusaha mencekal tangan Putri Selari.

"Huh!"

"Aduh.... Galak sekali kau. Tapi dasar si Bengkung matanya picak. Gadis secantikmu dikatakan buruk," ujar laki-laki kurus itu meracau tidak karuan.

Sekali lagi dia berjalan cepat dan berusaha mencekal pergelangan tangan gadis ini. Putri Selari merasa jengkel juga. Untung tadi dia cepat menepiskan tangan hingga orang itu tidak sempat mencekalnya. Tapi kali ini agaknya laki-laki itu bertambah penasaran. Dia melompat dengan gerakan yang ringan hendak memeluk tubuh Pulri Selari.

"Bangsat rendah! Hentikan perbuatan busukmu!"

"Heh...?! Upps!"

"Yeaaah...!" Dua orang yang berada di belakang gadis itu agaknya tidak kuat lagi menahan geram, melihat Putri Selari hendak dipermainkan begitu rupa. Sambil membentak keras, keduanya serentak mengayunkan pukulannya dengan cepat dan keras. Tapi laki-laki bertubuh kurus itu agaknya bukan orang sembarangan juga. Tubuhnya langsung meliuk cepat menghindari serangan dua orang ini. Dan tiba-tiba saja sudah kembali mencekal sambil mengirimkan tendangan yang kelihatan ringan.

"Kecoa busuk! Kalian kira bisa bertingkah didepanku, heh....'!"

"Hup!"
Plak!
"Ukh...!"

Salah seorang berhasil mengelak dengan gesit. Tapi yang seorang lagi betul-betul gemas, dan menganggap enteng lawannya. Sambil mengerahkan tenaga dalam sekuat-kuatnya, dia menangkis tendangan lawan dengan ayunan kakinya juga. Tapi kesudahannya, dia menjerit kesakitan sambil terpincang-pincang memegangi tulang kakinya yang mulai membiru.

"Ha ha ha ha...! Menganggap remeh, he...? Kau pikir siapa dirimu, berani menangkis seranganku...?!"

"Bondowoso, kenapa kau ini? Segala cacing-cacing busuk tidak berguna malah kau permainkan." teriak salah seorang temannya sambil terlawa mcngejek.

"Barangkali kebiasaanmu cuma pada kecoa-kecoa busuk!" sahut yang lainnya menimpali.

Teman-temannya terkekeh mendengar kata-kata yang menyakitkan telinga ini. Tapi laki-laki kurus yang dipanggil Bondowoso itu sama sekali tidak marah. Dia malah ikut-ikutan terlawa terkekeh.

"He he he he...! Siapa yang peduli pada mereka...?"

Setelah berkata begitu, Bondowoso kembali hendak bergerak memeluk Putri Selari. Namun sebelum hal itu dilakukannya, Rangga sudah lebih dulu bertindak sambil merentangkan tangan kirinya.

"Sabar. Ki sanak. Tidakkah kau merasa malu? Kau bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik dari pada istriku ini. Bahkan dengan parasmu yang tampan itu, kau bisa mendapatkannya lebih dari seorang. Kenapa malah yang buruk seperti ini kau kehendaki? Biarlah dia menjadi milikku saja," kata Rangga mencoba mencegah maksud Bondowoso.

"Aaah...! Tahu apa kau akan seleraku!" dengus Bondowoso sambil mencoba menghantam tangan Rangga.

Tapi rentangan tangan pemuda itu sama sekali tidak bergeming sedikitpun juga. Dengan gusar dia memukulnya lebih keras lagi. Namun akhirnya dia sendiri yang menjerit kesakitan. Matanya terbeliak lebar, dengan wajah berkerut menahan sakit.

"Phuihhh! Pantas kau berani bertingkah. Agaknya kau baru sedikit mempunyai kepandaian dan sudah mau mencoba pamer didepanku. Minggir...! Atau kuhajar kau!" bentak Bondowoso mencoba mengancam.

"Ki sanak, kami sama sekali tidak ingin mencari keributan dengan kau. Tapi kau terlalu me...."

"Aaah... mampus kau! Hih!"

"Upts...!" Rangga tidak sempat meneruskan kata-katanya ketika Bondowoso langsung mengayunkan satu pukulan ke arah mukanya. Terpaksa dia berkelit menghindar dengan mengegoskan kepalanya sedikit. Tapi orang itu bukannya berhenti, malah semakin gencar saja menyerang. Seperti menghadapi musuh besar yang berkepandaian tinggi. Tapi ketika melihat kalau serangan-serangannya dengan mudah dihindari lawan, membuatnya semakin kalap saja dan penasaran setengah mati.

Sebaliknya hal itu malah membuat teman-temannya terkekeh seakan mengejek seperti sedang melihat sebuah pertunjukkan yang menggembirakan. Namun ketika satu saat Rangga berteriak keras, dan tubuhnya melompat cepat, tahu-tahu Bondowoso terlempar dua tombak sambil menjerit keras kesakitan. Tubuhnya tersungkur tanpa bisa menguasai diri lagi. Teman-temannya tersentak kaget, dan sudah langsung bangkit berdiri. Beberapa orang langsung mendekati Bondowoso dan membantunya berdiri. Sedangkan dua orang diantaranya langsung saja menghampiri Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Bocah! Siapa kau sebenarnya, heh!" bentak salah seorang yang sebelah matanya sipit dengan suara penuh selidik.

Namun sebelum Rangga bisa menyahuti, tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang begitu keras dan menggema, seperti dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah tinggi sekali tingkatannya.

"Dasar kerbau-kerbau dungu! Tidak tahukah kalau kalian sedang berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti...?"

"Heh! Siapa itu...?"

"Apa? Pendekar Rajawali Sakti...?"

Orang-orang itu jadi terkejut setengah mati begitu mendengar suara yang mengatakan kalau mereka sedang berhadapan dengan seorang pendekar besar yang sudah begitu kondang namanva. Dan suara itu juga mengejutkan Putri Selari serta beberapa orang yang menyertai mereka. Tapi keterkejutan itu cepat tertindih ketika seorang pe-rempuan tua bertubuh kurus yang sangat dikenalnya tahu-tahu sudah berada dilempat itu, bersama dua orang laki-laki yang dulu ikut membinasakan gurunya.

"Nyai Sukesih..." desis Putri Selari dengan nada suara terdengar geram.

"Hi hi hi hi...! Ternyata kau masih mengenaliku. Bocah. Bagus...! Sekarang kau datang untuk menuntut balas dengan mengandalkan Pendekar Rajawali Sakti. Huh...! Apa kau pikir aku takut dengan segala macam bocah bau kencur seperti dia...?"

"Siapa perempuan tua itu? Kau mengenalnya...?" tanya Rangga setengah berbisik.

"Dialah yang menewaskan guruku dan Adipati Mungkaran." sahul Putri Selari.

Rangga mendengus kecil sambil memandang tajam pada perempuan tua itu, yang didampingi laki-laki bertubuh pendek dan seorang laki-laki lagi yang mukanya seperti tikus.

"Nyai, siapa kau dan apa hubunganmu dengan orang-orang ini?" tanya Rangga dengan nada suara terdengar menyelidik ingin tahu.

"Mereka adalah anak buahku. Kau mau apa...?" sahut Nyai Sukesih dengan nada ketus sambil berkacak pinggang.

"Hm, bagus...! Anak buahnya berkelakuan seperti gembel busuk. Sudah tentu majikannya mempunyai sifat yang lebih buruk lagi."

"Huh! Kau tidak perlu membakar amarahku dengan cara itu, Bocah! Apa kau pikir kau sudah begitu hebat dan berani mencari gara-gara denganku...? Kau cuma akan mcngantarkan nyawa secara percuma!" dengus Nyai Sukesih. sambil mendekati pemuda ini. Dan berdiri tegak pada jarak lebih kurang lima langkah lagi.

"Biarlah kita lihat, siapa yang akan mengantarkan nyawanya secara percuma. Nyai Sukesih, tidak usah banyak bicara. Kemana Ki Sobrang dan Ki Degil itu? Suruh mereka keluar dan aku ingin belajar kenal dengannya."

Kata-kata yang diucapkan Rangga memang berkesan sombong. Tapi dengan begitu, dia sengaja membakar amarah perempuan tua ini. Kalau dengan umpatan atau ejekan. Agaknya perempuan tua ini tidak akan bisa terpancing. Jalan yang terbaik, memang sengaja diremehkan. Dan usahanya itu ternyata membawa hasil juga. Wajah Nyai Sukesih jadi kelihatan berkerut, dengan mata nyalang dan dengus nafas yang mulai cepat memburu.

"Bocah lancang! Ingin kulihat sampai dimana kepandaianmu yang digembar-gemborkan itu!" dengus Nyai Sukesih berang.

Selesai berkata begitu, Nyai Sukesih langsung saja melompat dan menyerang Pendekar Rajawali Sakti ini dengan jurus yang disebut Kupu-Kupu Terbang di Atas Rumput. Ini adalah suatu serangan yang sebenarnya terlihat tidak terlalu berbahaya. Dan hal itulah yang sebenarnya mengecohkan lawan. Sebab meskipun gerakannya terlihat lemah gemulai dan sedikit lambat, tapi dalam sekejapan saja bisa berubah begitu cepat sekali bagai kilat. Dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat dahsyat sekali. Jurus ini juga sangat lincah dan sekaligus membuktikan kalau ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah mencapai tingkatan yang sangat tinggi sekali. Begitu ringannya, sehingga dapat melayang dengan lincah, mengejar lawan yang terus bergerak menghindari setiap serangan yang dilancarkannya.

"Hup!"
"Yeaaah...!"

"Upts!" Dengan mengerahkan jurus Sembilan Langkah Ajaib, dengan mudah sekali Rangga bisa menghindari serangan-serangan lawannya yang sangat gencar ini. Tapi meskipun terlihat kalau dia seperti bermain-main dalam menghadapi lawannya, sesungguhnya hal itu hanya gerakan-gerakan dari jurusnya saja. Dan membuat lawannya semakin geram. Lalu dengan demikian, akan membuat pertahanannya terbuka. Dan dengan begitu, di saat itulah dia akan menghajar lawannya dengan jurus lain.

Perkiraan Pendekar Rajawali Sakti ini memang tidak salah. Melihat serangan-serangannya tidak ada yang membawa hasil. Nyai Sukesih semakin geram saja. Pada saat itulah Rangga menggebrak dan memainkan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.

"Hup! Hiyaa...!"

"Heh...!" Nyai Sukesih jadi terperanjat, begitu tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi ke atas, lalu dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu menukik deras dengan kedua kaki berputar sangat cepat sekali. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja....

Plak!
Begkh!

"Akh...!" Nyai Sukesih jadi terpekik. Cepat-cepat dia melompat mundur sambil menguasai keseimbangan tubuhnya.

"Kurangajar kau akan mampus di tanganku, Bocah!" bentak Nyai Sukesih memaki geram.

Bukan main geramnya perempuan tua itu. Dengan tidak terduga sama sekali, Rangga mencuri kesempatan dan langsung menyerangnya dengan sangat tiba-tiba dari atas. Nyai Sukesih berbalik dan menghantamkan telapak tangannya. Namun dengan gesit sekali Rangga melompat kedepan, dan menyodokkan tangannya kedada.

Tubuh perempuan tua itu jadi terhuyung-huyung sambil menjerit kesakitan. Namun dia cepat bangkit dan memasang kuda-kudanya dengan kedua tangan tersilang di depan dada. Mulutnya bergerak-gerak kecil seperti tengah mengucapkan sesuatu dengan menggumam.

"Rangga, hati-hati. Dia akan mengeluarkan pukulan beracun...!" teriak Putri Selari.

Sebenarnya, tanpa diperingatkan gadis itu, Rangga sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan Nyai Sukesih. Namun dengan adanya peringatan Putri Selari, dugaannya semakin terarah saja. Apa lagi setelah melihat kedua belah tangan lawan sebatas siku sudah beruhah ungu secara perlahan-lahan. Dan mengepulkan asap tipis.

"Mampus kau! Hiyaaat...!"
"Upts! Yeaah...!"
Wut!

Rangga dapat merasakan hawa racun yang luar biasa sekali dari serangan lawannya. Lagi pula pada jarak yang dekat, kulit tubuhnya terasa terbakar akibat pengaruh kedua tangan lawannya. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti itu menggeram. Tubuhnya melesat tinggi ke udara sambil bergulung-gulung. Kemudian menukik dengan tajam sekali sambil membentak keras menggelegar.

"Yeaaah...!"
"Hiyaaat...!"
Glaaar!
"Aaaakh...!"

Pada saal tubuhnya menukik ke bawah, Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali yang terakhir. Dan dari lelapak tangannya melesat secercah sinar merah yang langsung menghantam perempuan tua ini. Namun pada saat yang bersamaan pula. Nyai Sukesih memang sudah bersiap menghajar lawan dengan pukulan mautnya itu. Dan kedua pukulan itu beradu dan tidak dapat terelakkan lagi. Hingga menimbulkan suara ledakan keras menggelegar.

Namun sinar merah dari pukulan Rangga terus melesat menghantam tubuh perempuan tua ini. Hingga Nyai Sukesih jadi terpekik dan tubuhnya terpental kebelakang. Dari mulutnya terlihat darah muncrat ke luar. Dan dia tewas seketika begitu tubuhnya menghantam tanah.

"Keparat...! Kau harus mampus, Bocah!" geram laki-laki bertubuh cebol.

"Hajar dia...!" teriak si muka tikus memberi perintah pada yang lainnya.

Tanpa diperintah dua kali, mereka langsung saja mengurung Pendekar Rajawali Sakti ini. Tapi hal itu tentu saja tidak bisa dibiarkan saja oleh Putri Selari. Dia dan lima orang pengikutnya yang setia, langsung berlompatan dan bergabung dengan Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Anjing-anjing busuk! Majulah kalian...!" seru Putri Selari sudah muak.

"Perempuan buruk! Kau akan mampus di tanganku! Hari ini tidak akan kubiarkan kau lolos lagi!" bentak si cebol sambil melompat menyerang.

"Hiyaaa...!" Tindakan si cebol itu agaknya sekaligus merupakan perintah bagi yang lainnya untuk menyerang. Dan pertarungan diantara mereka tidak dapat dielakkan lagi.

Namun ada hal yang tidak disadari Pcndekar Rajawali Sakli dan yang lainnya. Teriakan-teriakan itu ternyata mengundang orang-orang mcnghampiri tempat ini. Dan satu per satu mereka ikut ambil bagian menyerang. Jumlah mereka semakin bertambah banyak saja. Dan membuat Rangga mulai berpikir. Tadinya dia menduga kalau mereka hanya penduduk desa biasa. Tapi kenapa ikut-ikutan menyerang...? Dan melihat cara mereka bertarung, agaknya mereka memang bukan penduduk biasa. Tapi orang-orang yang betul-betul sudah mengerti ilmu olah kanuragan. Apakah desa ini sudah dikuasai oleh kaki tangan Sepasang Naga Pertala...?

Tapi tidak ada kesempatan bagi Rangga untuk berpikir lama-lama. Mereka semakin terdesak saja. Dan para pengikut Putri Selari banyak yang terluka cukup berat. Gadis itu sendiri sudah mulai terdesak. Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga mencabut pedang pusakanya. Seketika itu juga cahaya biru terang menyilaukan mata memancar dari batang pedang itu. Menerangi tempat ini.

"Majulah kalian semua! Hiyaaa...!" Rangga jadi geram setengah mati, melihat keadaan semakin bertambah buruk saja. Dan mereka yang mengeroyoknya jadi terkejut setengah mati, begitu melihat kehebatan pamor pedang Rajawali Sakti di tangan pemuda berbaju rompi putih ini. Tapi hal itu hanya berlangsung beberapa saat saja.

"Huh! Siapa peduli pada segala ilmu sihir! Ayo, hajar mereka. Jangan biarkan mereka hidup...!"

"Habisi mereka!"

"Hiyaaat...!" Sambil berteriak-teriak tidak karuan, orang-orang itu terus berlompatan menyerang.

Rangga jadi mendengus geram. Sambil membentak keras menggelegar, dia melesat dan mengayunkan pedangnya dengan kecepatan bagai kilat. "Hiyaaat...!"

Bet!
Cras!
"Aaaakh...!"
"Aaa...!"

Jeritan-jeritan tertahan sekelika itu juga terdengar. Dan wajah-wajah terkejut seketika membayang. Lebih-lebih setelah melihat beberapa orang ambruk dengan tubuh bersimbah darah. Tidak satu senjatapun yang bisa menahan serangan Pedang Rajawali Sakti yang berkelebatan begitu cepat sekali bagai kilat. Semuanya putus seperti batang pisang terbabat golok.

Pada mulanya kejadian itu membuat mereka semakin geram dan lebih bernafsu lagi hendak membunuh pemuda ini. Tapi tidak seorangpun yang selamat kalau mendekati. Hingga akhirnya membuat nyali mereka jadi kecut. Terlebih lagi semakin banyak saja yang ambruk bermandikan darah. Jeritan-jeritan melengking tinggi terus terdengar semakin sering. Sementara Rangga terus berlompatan dengan pedang di tangan berkelebatan begitu cepat sekali bagai kilat. Hingga bentuk tubuh dan pedangnya tidak terlihat lagi. Dan hanya kilatan-kilatan cahaya biru saja yang terlihat berkelebatan begitu cepat bagai kilat.

Gerakan-gerakan yang begitu cepat dari Pendekar Rajawali Sakti itu, hingga sulit sekali diikuti dengan pandangan mata biasa. Dan hanya kilatan-kilatan cahaya biru saja yang terlihat berkelebatan begitu cepat sekali. Setiap kali terlihat kelebatan cahaya biru, terdengar suara jeritan melengking tinggi, yang disusul dengan ambruknya dua atau tiga orang dari mereka. Dan tentu saja ini membuat orang-orang yang mengeroyoknya jadi gentar. Dan mereka cepat- cepat berlompatan mundur. Hingga tidak ada seorangpun yang berada lagi di dekat Pendekar Rajawali Sakti itu.

Melihat tidak ada seorangpun yang berada didekatnya, Rangga menghentikan gerakan-gerakannya. Dia berdiri tegak dengan pedang pusakanya tersilang di depan dada. Cahaya biru yang memancar dari pedang pusaka Rajawali Sakti itu membuat sosok tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan malaikat maut yang akan mencabut nyawa siapa saja didekatnya.

"Hei! Maju...! Kenapa diam'' Ayo, maju kalau ingin kepala kalian terpisah!" bentak Rangga seperli menakut- nakuti.

Tidak ada seorangpun yang berani mendekat lagi. Tapi tiba-tiba saja.... "Pendekar Rajawali Sakti, kau boleh memancung kepala kami berdua."

"Heh...?!"
"Oh...!"

TUJUH

Semua orang yang berada di situ memalingkan perhatian. Para pengeroyok mereka tampak memberi hormat. Lalu buru-buru menyingkir seperti memberi kesempatan pada dua orang laki-laki bertubuh tegap yang baru sampai di tempat itu. Yang seorang sedikit lebih tinggi, dengan kumis melintang dan sepasang mata cekung.

Orang ini bernama Sobrang. Seorang lagi yang berkulit agak putih, dengan rambut panjang terurai, bernama Degil. Mereka berdua yang disebut sebagai Sepasang Naga Pertala. Bersama dengan mereka terlihat beberapa orang tokoh persilatan mengiringi dari kiri dan kanan. Satu diantaranya dikenal Rangga sebagai orang yang pernah dipencudanginya ketika beberapa hari lalu menolong Putri Selari.

"Hm, apakah kalian berdua yang dikenal dengan nama Sepasang Naga Pertala?" tanya Rangga dengan nada dingin.

"Oh, lumayan juga ternyata kau mengenal kami. Lama sudah kudengar kehebatan nama Pendekar Rajawali Sakti, dan tidak sangka hari ini aku telah membuktikannya sendiri. Hm, orang-orang sepertimulah yang kuinginkan untuk menjadi sahabat terbaikku," ujar Ki Sobrang dengan nada suara dibuat manis.

"Apa maksudmu?" tanya Rangga seperti tidak mengerti.

"Seperti kau lihat. Desa ini telah kukuasai dengan penuh. Dan lebih dari lima desa yang berada dan berbatasan dengan tempat ini telah dikuasai orang-orangku. Kemudian tidak berapa lama lagi, tentu saja aku bermaksud unluk merebut kotaraja dan menyingkirkan raja yang telah menyengsarakan rakyat jelata. Orang-orang seperti dia tidak layak menjadi raja, dan rakyat berdiri di belakang kami memberi dukungan. Nah, Pendekar Rajawali Sakti, Aku akan sangat senang sekali kalau kau dan teman-temanmu itu bersedia membantu kami. Aku akan melupakan apa yang telah terjadi tadi," kata Ki Sobrang lagi, mencoba membujuk.

"Aku mengerti maksudmu. Ki sanak. Tapi sayang sekali, aku adalah orang bebas dan tidak suka terikat oleh apapun juga. Apalagi mesti berada di bawah perintah seseorang. Apalah arti hidup bagiku...? Dengan sangat menyesal sekali aku tidak bisa memenuhi permintaanmu," sahut Rangga, juga dibuat sopan nada suaranya. Tapi dengan suara yang terdengar tegas.

"Kau salah mengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Apa yang telah kulakukan sekarang ini sama sekali tidak menyengsarakan rakyat. Mereka mendukungku. Lagi pula, siapa yang hendak mengikatmu? Kau bebas melakukan apa saja yang kau sukai. Dan tentu saja aku berharap semua hal ini adalah membantu perjuangan kami," kata Ki Sobrang lagi.

"Maaf, Ki sanak. Aku tidak bisa. Juga teman-temanku," tolak Rangga tegas.

"Kalau begitu, kau harus memperhitungkan nyawa teman-teman kami," sahut Ki Sobrang mulai sinis.

"Itu bukan kesalahanku."

"Siapa yang peduli...?"

Setelah berkata begitu, terlihat beberapa orang yang berada didekat Ki Sobrang sudah bergerak hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Ki Degil dan Ki Sobrang sudah cepat mencegahnya. Mereka melangkah pelan mendekati pemuda berbaju rompi putih itu dengan sorot mata yang tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda didepannya ini.

"Biarlah kami belajar kenal dengan seorang pendekar ternama sepertimu." kata Ki Degil dengan suara terdengar mengejek, dan senyuman sinis terkembang dibibirnya.

"Ya, kami sudah lama ingin lebih mengenal dirimu, Pendekar Rajawali Sakti," timpal Ki Sobrang juga tersenyum sinis.

Rangga hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau kedua orang ini ingin bertarung dengannya. Sikap mereka memang seperti orang baik-baik yang sangat ramah sekali. Tapi dari sorot matanya tersembunyi kekejaman. Dan orang-orang seperti mereka inilah yang sangat berbahaya sekali. Kelihatan sekali kalau mereka penuh percaya diri, dan sama sekali tidak berkesan menyombongkan diri. Tapi juga tidak terlihat kalau mereka gentar berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Padahal dari ucapannya, sudah jelas sekali kalau mereka mengetahui siapa pemuda didepannya ini sebenarnya. Dengan segala sepak terjang yang telah mereka dengar selama ini.

"Hm, kalau memang begitu, tidak ada jalan lain lagi. Silahkan. Sebagai tamu aku tentu harus berbuat sopan," sambut Rangga sopan.

"Bagus! Terimalah ini, Bocah! Hiyaaat...!" Ki Sobrang sudah melompat begitu cepat sekali sambil mengirimkan satu tendangan keras menggeledek yang mengarah ke kepala. Dan bersamaan dengan itu pula, tubuh Ki Degil melesat ke udara dan berputaran beberapa kali. Lalu dengan cepat sekali dia menyambar dada Pendekar Rajawali Sakti dengan satu sodokan yang begitu cepat dan keras sekali.

"Hap!"
Wut!
Uptsss...! Kaki kanan Rangga melangkah ke belakang satu tindak. Dan kedua lulutnya langsung ditekuk sedikit. Beberapa saat kemudian, dia bergerak ke kiri sambil memiringkan tubuhnya. Dan kaki kanannya begitu cepat sekali menyambar Ki Sobrang, sambil memutar tubuh. Saat itu juga, kaki kirinya berputar mcnyambut serangan Ki Degil.

"Yeaaah...!" Namun alangkah terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti itu, ketika menyadari kalau lawan-lawannya menyerang dengan gencar dan mengandung pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi sekali tingkatannya. Dan lagi terasa kalau pukulan mereka sangat berat dan mematikan.

"Jangan anggap enteng, Ki sanak. Kau akan jatuh sebelum dua jurus berlangsung!" dengus Ki Sobrang memperingatkan.

Apa yang dikatakan Ki Sobrang barusan memang sangat beralasan sekali. Dan Rangga sendiri sudah mengalaminya tadi. Kedudukannya benar-benar terjepit. Kepandaian dua orang ini sungguh tinggi sekali dan tak bisa dipandang enteng. Serangan-serangan mereka sangat cepat dan saling mengisi. Sehingga setiap gerakan yang dilakukan seperti lanjutan dari gerakan yang pertama. Dan sedikit pun tidak ada yang kosong dalam serangannya. Semuanya mengutamakan gebrakan-gebrakan bercampur tipuan yang cukup menyulitkan.

"Hup! Yeaaah...!"
"Hiyaaat...!"
"Heh...?!"

Kembali Rangga jadi tersentak kaget. Satu pukulan yang memancarkan cahaya kelabu, bergerak begitu cepat sekali kearahnya. Masih untung Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menghindar dengan cepat. Namun akibatnya yang ditimbulkan pukulan itu sungguh dahsyat sekali. Sebuah lubang besar dan sangat dalam membongkar tanah yang tadi dipijak Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Gelap Ngampar..." desis Rangga.

"Bagus! Rupanya kau sudah mengenal jurus pukulan kami. Coba kau tahan ini!" bentak Ki Degil.

"Yeaaah...!"
"Upts! Yeaaah...!"
Glaaar!
"Akh...!"
"Hm, Gelap Sayuto," desis Rangga lagi.

Pendekar Rajawali Sakli jadi sedikit bergidik juga. Angin pukulan Ki Degil pada jarak dua langkah, masih terasa menyengat kulit dan membakar jantungnya. Apalagi pukulan yang dilancarkan Ki Degil tadi, berwarna putih kekuning- kuningan. Dan lesatan sinarnya mengandung hawa panas kekuning-kuningan. Dan lesatan sinarnya mengandung hawa panas dingin yang sangat tajam menyengat. Akibat yang ditimbulkannya juga sungguh sangat kejam sekali. Seorang anak buah mereka yang berada di belakang Pendekar Rajawali Saki itu sampai menjadi korban, ketika pemuda itu melompat menghindari pukulan Ki Degil tadi. Tubuh orang itu pecah dengan darah berkubang disekujur tubuhnya yang sudah tidak berbentuk lagi.

"Hiyaaa...!"

Bukan main geramnya pemuda itu melihat kedua lawannya ingin segera mencabut nyawanya. Tidak ada jalan lain lagi selain membalas. Begitu yang bergejolak di dalam hati Pendekar Rajawali Sakti ini. Sambil menggeram hebat, dia melentingkan tubuhnya dengan kecepatan bagai kilat. Kemudian membentak nyaring sambil menghantamkan satu pukulan yang diambilnya dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali, dan tepat diarahkan kepada dua orang lawannya ini.

Bet!
Wuk!
"Heh...?!"

Rangga seperti tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Mereka sama sekali tidak berusaha menghindar sedikitpun dari serangannya. Dan yang lebih mengherankan lagi, pukulannya tadi seperti tenggelam begitu saja di dalam tubuh kedua orang ini, tanpa menimbulkan akibat apapun juga. Seperti tertimpa sinar biasa saja.

"Ha ha ha ha...! Kau boleh menghambur-hamburkan semua kepandaianmu, Bocah. Tapi jangan harap kau bisa melukai, apalagi menghancurkan kami." ujar Ki Sobrang, sambil terlawa terbahak-bahak mengejek.

"Hiyaaa...!"
"Upts!" Lain lagi dengan Ki Degil. Dia langsung saja menggunakan kesempatan ini untuk menyerang dengan sengit tanpa berbasa-basi lagi. Sikapnya itu kemudian diikuti oleh Ki Sobrang, setelah puas tertawa mengejek. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu harus menghadapi dua serangan dari kanan dan kirinya.

Meskipun dia memainkan jurus Sembilan Langkah Ajaib pada tingkatan yang sudah sangat tinggi sekali, tapi serangan-serangan kedua orang ini semakin gencar saja. Kecepatan gerak mereka juga tidak berada di bawah kecepatan yang di-milikinya. Sehingga membuat Rangga semakin kelihatan kewalahan. Beberapa kali dia berusaha melakukan serangan balasan. Tapi serangannya tidak pernah membawa hasil yang diinginkan. Walaupun tenaga dalam yang dikerahkan sudah sangat sempurna sekali tingkatannya.

"Sepasang Naga Pertala, maaf. Kalian memang hebat. Tapi aku juga harus mempertahankan diri. Jangan salahkan kalau kalian ingin celaka ditanganku!" ujar Rangga agak keras suaranya. Dan setelah berkata begitu, dia langsung saja mencabut pedang pusakanya.

"Kenapa sungkan-sungkan? Silahkan saja.... Gunakan apa saja yang kau miliki, Pendekar Rajawali Sakti. Biar kami bertangan kosong saja." sambut Ki Sobrang angkuh.

Kata-kata Ki Sobrang itu memang tidak enak sekali didengar telinga. Tapi Rangga seperti tidak peduli. Dan dia tidak ingin terpancing dengan sikap lawan yang seakan-akan meremehkannya. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung saja melesat cepat sambil mengebutkan pedangnya yang memancarkan cahaya biru berkilauan menyilaukan mata itu. Membuat sekeliling tempat pertarungan itu jadi terang benderang. Namun baru beberapa kali gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti itu, tiba-tiba saja....

Bet!
"Heh...?!"

Seperti tadi, kedua laki-laki itu sama sekali tidak berusaha mengelak sedikitpun juga dari serangan Pendekar Rajawali Sakti ini. Kulit tubuh mereka hanya tergores sedikit saja, dan sinar biru yang memancar dari pedang pusaka Rajawali Sakti itu menyelubungi tubuhnya. Rangga mendesah kecil, merasa heran karena kedua lawannya sama sekali tidak berusaha mengelak sedikitpun juga. Padahal selama ini, tidak seorangpun yang mampu selamat dari pedangnya. Tapi yang terlihat kemudian, sungguh mengagetkan sekali. Matanya jadi terbeliak lebar, seolah-olah tidak percaya dengan pandangannya sendiri. Kedua orang itu tidak terpengaruh sedikitpun akibat babatan pedangnya. Bahkan luka kecil akibat goresan pedangnya tadi, begitu cepat sekali lenyap tak berbekas sama sekali.

"Gila..?! Ilmu apa yang digunakan...?" desis Rangga keheranan tidak mengerti.

"Yeaaah...!"
"Uts!"
Begkh!
"Akh...!"

Dalam keterkejutannya itu. Pendekar Rajawali Sakti menjadi lengah. Dan satu pukulan telak yang dilakukan Ki Degil, membuat pemuda itu terjungkal ke belakang. Rangga berusaha menguasai diri dengan cepat. Tapi kedua lawannya seperti tidak memberi sedikitpun kesempatan padanya. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti itu jungkir balik dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, menghindari serangan-serangan yang sangat gencar dan dahsyat ini.

Plak!
Des!
"Akh...!"
"Rangga...!"

Putri Selari jadi terpekik begitu melihat Rangga terkena dua pukulan sekaligus dari kedua lawannya. Hatinya mulai cemas melihat Pendekar Rajawali Sakti itu kini menjadi bulan-bulanan lawannya. Meski bersenjata dan sesekali berhasil menebas tubuh lawan, namun tetap saja tidak berpengaruh apa-apa pada Sepasang Naga Pertala ini. Tentu saja hal itu membuat keadaan Rangga jadi semakin mencemaskan.

Baginya, memakai senjata atau tidak, sama saja artinya. Dan ketika pemuda itu menyarungkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangkanya di punggung dia terlihat berusaha membendung serangan-serangan lawannya dengan jurus-jurus tangan kosong. Namun tidak membuat kekhawatiran Putri Selari berkurang. Bahkan semakin bertambah cemas saja, melihat Rangga seperti terus terdesak.

"Oh, aku harus menolongnya," desis Putri Selari khawatir.

Namun baru saja dia hendak bergerak, beberapa orang anak buah Sepasang Naga Pertala sudah bergerak menghadang. Dan para pengikutnya juga mencoba untuk menahan gadis ini.

"Kanjeng Gusti Putri, tahanlah amarah. Mereka bertarung dengan jujur. Dan semestinya kitapun bersikap begitu. Lagi pula, percuma saja kalau Kanjeng Putri turun tangan. Keadaan akan semakin bertambah buruk."

"Tapi dia memerlukan pertolongan. Paman. Coba lihat, keadaannya sangat mengkhawatirkan sekali. Kalau terus begini, bisa jadi dia akan tewas," kata Putri Selari.

"Sabarlah, Kanjeng Gusti. Dia seorang pendekar ternama yang hebat. Dia pasti mampu mengatasinya sendiri."

Namun pada saat itu.....
"Yeaaaah...!"
"Heh! Suara apa itu...?!"
"Prajurit kerajaan...!"

Pada saat-saat yang kritis bagi keselamatan Rangga, saat itu dari kejauhan menderu pasukan berkuda yang bergerak mendekati tempat ini dengan cepat. Derap langkah kaki kuda bercampur debu yang mengepul di udara terlihat begitu jelas sekali. Beberapa orang anak buah Sepasang Naga Pertala, memberitahukan kalau mereka yang baru datang itu berasal dari kerajaan. Ki Sobrang dan Ki Degil langsung saja menghentikan perlarungannya.

"Pendekar Rajawali Sakti, urusan ini belum selesai. Hari ini biarlah kutunda nyawamu yang tak berharga itu. Tapi setelah kejadian ini, kau tidak akan selamat dari kami!" seru Ki Sobrang mengancam.

Setelah berkata begitu dia memberi perintah pada semua anak buahnya untuk bersiap menghadapi para prajurit itu. Sedangkan Putri Selari buru-buru menghampiri Rangga dan membantu pemuda itu untuk bangkit sambil menyeka tetesan darah disela ujung bibirnya.

"Rangga, lekas kita menyingkir dari tempat ini. Sebentar lagi akan ada pertarungan besar." kata Putri Selari mengingatkan.

Rangga seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Hanva menurut saja ketika gadis itu memapahnya untuk menjauh dari tempat ini. Sementara para pengikut gadis itu mengikutinya dari belakang. Mereka terus berjalan dengan pelan, ke luar dari desa ini. Sepanjang perjalanan, pemuda itu hanya diam saja membisu. Tidak banyak bicara.

"Sudahlah, Rangga. Kalah dan menang dalam pertarungan itu sudah biasa. Dan tidak perlu dipersoalkan lagi." hibur Putri Selari.

Rangga hanya tersenyum kecil saja. "Aku pernah mengalami peristiwa seperti ini sebelumnya. Barangkali apa yang kau katakan memang benar. Tapi ini justru membuatku jadi semakin penasaran."

"Kau akan menantang mereka lagi?"

"Entahlah..." desah Rangga.

Mereka kembali terdiam dan mengikuti sebuah aliran sungai yang tidak begitu besar sampai ke hulu.

"Kita istirahat saja dulu di sini," kata Putri Selari.

"Aku merasa tidak berguna, ya..." ujar Rangga lirih.

"Jangan bicara begitu. Rangga. Kau sudah membantu kami sekuat tenaga dan kemampuanmu," kata Putri Selari menghibur.

"Apa yang kalian lakukan sekarang?" tanya Rangga lagi.

"Entahlah, aku juga jadi bingung." sahut Putri Selari.

"Kanjeng Gusti, kita harus memberitahukan ini pada yang lain. Mereka mungkin sudah berjalan terus ke tempat kediaman kedua orang itu." salah seorang pengikut mereka menyelak.

"Ya, kita akan berkumpul di sini. Siapa yang akan berangkat menemui mereka?" sambut Putri Selari.

Dua orang segera berdiri, dan menyatakan kesediaannya. Setelah memohon restu dari gadis itu, mereka segera berangkat saat itu juga.

"Paman, adakah yang bersedia membantuku untuk mengawasi desa itu?" pinta Putri Selari.

"Untuk apa, Kanjeng Gusti?" tanya salah seorang.

"Kita harus tahu kalau orang yang kita cari berada di sana. Dan saat ini terjadi perang antara prajurit kerajaan dengan mereka. Sudah sepatutnya kita mengetahui perkembangan ini."

"Hm, kalau begitu, biarlah hamba yang melakukannya," sahut salah seorang dan langsung bangkit berdiri.

Agaknya orang-orang ini betul-betul menganggap gadis itu adalah junjungannya saja. Sehingga sikap mereka seperti seorang hamba yang sedang berhadapan dengan majikannya. Padahal gadis itu berulang kali memperingatkan kalau kedudukan mereka semua sederajat. Tapi peringatan itu tidak diperhatikan sama sekali.

"Kanjeng Gusti, mereka telah mendapat tugas. Lalu tugas apa yang bisa kami lakukan?" tanya salah seorang dari dua orang yang tersisa.

Putri Selari tersentak dan untuk beberapa saat diam tidak menjawab. Dia belum terbiasa dengan cara-cara mereka dan sama sekali tidak menyadari kalau mereka dengan sepenuh hati menganggapnya seorang ratu yang patut dihormati dan dilayani sebagaimana layaknya seorang pewaris tahta kerajaan. Tapi gadis ini cepat menyesuaikan diri, dan kemudian terlihat dia tersenyum kecil.

"Paman, dengan adanya kalian di sini, bukankah itu sudah suatu tugas bagi kalian? Kami merasa dilindungi," kata Putri Selari lembut.

"Tapi, Kanjeng Gusti...."

"Sudahlah, Paman. Bagaimanapun masing-masing kita mempunyai tugas dan kewajiban. Dan harus menerima apa adanya. Begitu pula dengan kalian."

"Baiklah, Kanjeng Gusti."

Putri Selari memalingkan mukanya. Dilihatnya Rangga masih tetap duduk merenung sambil menggigit-gigit sebatang rumput kecil.

"Kau masih memikirkan pertarunganmu tadi, Rangga...?" tegur Putri Selari.

Pendekar Rajawali Sakti itu hanya tersenyum saja sedikit. Luka dalam yang dideritanya kalah sakit dengan dibandingkan kekalahan yang diterimanya dari Sepasang Naga Pertala. Tapi memandang wajah gadis itu yang masih mengenakan topeng, mau tidak mau terhibur juga hatinya. Bagaimana mungkin bisa berbalik begini...? Padahal di balik topeng yang menjijikkan itu, terdapat seraut wajah yang sangat cantik jelita. Tanpa sadar Rangga jadi tersenyum sendiri.

"Kenapa tersenyum...?"

Perlahan Rangga bangkit berdiri. "Kalian di sini saja. Aku hendak bersemadi sebentar. Jangan jauh-jauh dari sini," kata Rangga berpesan, tanpa menghiraukan pertanyaan Putri Selari tadi.

"He! Kau belum jawab penanyaanku! kenapa tiba-tiba tersenyum tadi...? Kau seperti mentertawakan aku!" seru Putri Selari tidak puas.

"Tidak. Tidak ada apa-apa," sahut Rangga, terus saja melangkah pergi.

Putri Selari hanya bisa diam memandangi dengan sorot mata kelihatan tidak puas dengan jawaban Rangga barusan. Kemudian dia memutar tubuhnya berbalik, dan diam membisu diantara dua orang pengikutnya yang masih setia menemani.

DELAPAN

Tidak terasa lebih dari tiga hari mereka terus berpindah-pindah tanpa harus melakukan apa. Rangga semakin putus asa, sementara Putri Selari dan para pengikutnya semakin gelisah saja. Beberapa kali mereka mendesaknya untuk mengambil keputusan. Bahkan Rangga sendiri menyerahkan persoalan kepadanya.

"Aku setuju dengan usul Paman Bandang Ireng. Kau boleh mcngambil keputusan saat ini juga. Keadaan semakin gawat dan pasukan mereka telah berhasil menguasai beberapa tempat serta memukul mundur pasukan kerajaan, tidak lama lagi mereka tentu akan menyerbu kotaraja," kata Rangga.

"Apa yang harus kulakukan. Rangga'' Apakah mengerahkan pasukan yang sedikit ini ataukah membangkitkan semangat rakyat untuk mengadakan perlawanan...'' Itu suatu pekerjaan yang sia-sia. Mereka sangat kuat dan rakyat akan sengsara sementara tujuan ke depan belum pasti," kata I'utri Selari sedikit kesal.

"Kanjeng Gusti Putri, setiap perjuangan itu memerlukan pengorbanan. Bisa kecil, bisa juga besar. Rakyat merasa tertindas dan sepanjang tempat yang kami lewati, pasukan Ki Sobrang dan Ki Degil sering berbuat sesuka hati mereka. Merampok harta benda penduduk, menodai perempuan-perempuan desa, dan tidak segan-segan membunuh mereka yang mencoba melawan. Itukah yang mereka katakan kalau rakyat menyetujui perjuangan mereka? Sesungguhnya mereka bukan pejuang, melainkan perampok!" kata Bandang Ireng menjelaskan lebih lanjut.

"Betul, Kanjeng Gusti. Hamba sendiri mengenali pasukan mereka. Orang-orang itu tidak lain dari para perampok dan penjahat yang sering mengganggu ketentraman rakyat. Kita harus bertindak apapun caranya." sambung salah seorang menimpali.

"Aku setuju saja. Kita harus berupaya sekuat tenaga untuk menghancurkan mereka, sahut Rangga langsung menyetujui.

"Aku tidak meragukan untuk menghancurkan mereka, Rangga. Tapi yang kupikirkan adalah apakah pengorbanan kita ini ada artinya? Kau sendiri mengetahui kalau selain jumlah mereka yang banyak, mereka juga kuat dan sulit dikalahkan kata Putri Selari.

"Tapi kita tidak bisa berpangku tangan saja. Setidaknya ada sedikit yang bisa kita lakukan dan mematahkan perlawanan mereka," kata Rangga lagi.

"Betul, Kanjeng Gusti. Hamba telah memikirkan hal itu. Kita tidak akan menyerang mereka secara terbuka, melainkan secara bersembunyi-sembunyi. Dengan begitu, sedikit demi sedikit kita akan mengikis kekuatan mereka, sambil mem-bangkitkan semangat rakyat." jelas Bandang Ireng.

Putri Selari berpikir sesaat. Keputusan saat ini memang berada ditangannya. Kemudian dipandanginya Bandang Ireng, lalu berkata dengan suara yang pelan, namun mengandung nada yang tegas sekali.

"Paman Bandang Ireng, pada masa Ayahandaku masih ada, kau adalah panglima ketiga yang perkasa. Kini kuangkat kau menjadi panglima utama. Pimpinlah mereka untuk mengadakan perlawanan."

"Hamba. Kanjeng Gusti Putri. Mohon restu agar berhasil." sahut Bandang Ireng sambil memberi normat.

Putri Selari mengangguk perlahan. Pada saat itu datang seseorang, dan langsung melapor pada gadis yang selalu mengenakan topeng berwajah buruk menjijikkan ini.

"Ada apa'.'" tanya Putri Selari.

"Seorang laki-laki tua ingin bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti. Katanya ini soal penting." sahut orang itu.

"Heh...?!"

"Kenapa. Rangga?" tanya Putri Selari.

"Dari mana dia mengetahui persembunyian kita di sini...?" tanya Rangga ragu-ragu.

Tapi begitu mendengar kata-katanya, serentak yang lainnya bersiaga. Rangga menyuruh orang yang membawa berita itu untuk membawa tamunya ke sini. Tidak berapa lama orang itu pergi, sudah kembali lagi dengan membawa seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk, dengan pakaian lusuh, berjalan perlahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

Wajahnya kelihatan hitam, penuh dengan kerut-kerut. Rambut, kumis dan jenggotnya pendek yang telah memutih semua. Tubuhnya kurus seperli kulit pembalut tulang. Sekilas pemuda itu bisa menilai lewat sorot matanya, kalau orang tua ini memiliki tenaga dalam yang kuat luar biasa. Tidak terasa timbul rasa hormat dan segan padanya.

"Ki sanak, silahkan duduk. Adakah sesuatu yang bisa kubantu...?" ujar Rangga ramah.

"Anak muda, kaukah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanya orang tua itu, tanpa menghiraukan ucapan Rangga tadi.

"Benar. Ki sanak," sahut Rangga tetap ramah.

"Beruntunglah...." desah orang tua itu.

"Namaku Suma Eling. Aku adalah guru Sobrang dan Degil...."

Mendengar orang tua itu berkata demikian, seketika mereka semua langsung bergerak hendak menyerang. Tapi Rangga lebih cepat lagi mencegah.

"Jangan berbuat sesuatu tanpa perintahku!" terdengar lantang suara Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Tapi...." Bandang Ireng terputus suaranya.

"Turuti keinginannya!" sentak Putri Selari cepat.

Terpaksa mereka semua melangkah mundur beberapa tindak. Namun masih dalam sikap yang siap menyerang. Kalau kedua muridnya sudah begitu tangguh, tentu saja gurunya lebih luar biasa lagi. Tapi mau apa dia kesini...? Pertanyaan itu yang terus menghantui benak mereka.

"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, Pendekar Rajawali Sakti," kata orang tua yang tadi mengaku bernama Suma Eling, dan juga mengaku guru dari Ki Sobrang dan Ki Degil ini.

"Silahkan, Eyang," sambut Rangga dengan sikap masih menghormati. Bahkan memanggilnya dengan sebutan Eyang. Sebuah sebutan bagi orang tua yang berarti Pendekar Rajawali Sakti itu sangat menghormatinya. Dan laki-laki tua itu jadi tersenyum. Kepalanya bergerak terangguk-angguk beberapa kali. Sinar matanya kelihatan begitu cerah sekali, merayapi wajah tampan pemuda didepannya ini.

"Tapi aku minta tidak disini mengatakannya. Ini hanya antara kita berdua saja. Ikuti aku..." kata Eyang Suma Eling.

Setelah berkata begitu, dengan cepat sekali dia bangkit berdiri dan memberi hormat pada Putri Selari. Lalu bagaikan kilat dia melesat pergi. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Rangga juga segera bangkit berdiri.

"Selari, aku pergi dulu." kata Rangga berpamitan.

"Rangga, jangan...!"

Tapi Rangga sudah tidak lagi mendengar cegahan gadis itu. Dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat menyusul Eyang Suma Eling yang sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara Putri Selari kelihatan begitu cemas sekali. Terbayang dugaan keras kalau Pendekar Rajawali Sakti itu pasti terkena pancingan.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Kepergian Rangga ternyata hanya sebentar saja. Tak lama kemudian dia telah kembali dan bertemu dengan mereka di perjalanan, wajahnya terlihat cerah dan tidak kurang suatu apapun juga.

"Kenapa kalian ada di sini...?" tanya Rangga langsung.

"Kami mengkhawatirkanmu, Rangga," sahut Putri Selari agak tergagap.

"Aku tidak apa-apa. Ayo. kita kembali ke tempat tadi," ajak Rangga.

"Kau tidak apa-apa. Rangga...?" tanya Putri Selari lagi. Masih kelihatan heran dan cemas.

"Seperti yang kau lihat, aku tidak apa-apa." sahut Rangga.

"Kenapa kau percaya begitu saja pada orang tua itu tadi? Padahal, dia sudah menyebutkan dirinya guru Ki Sobrang dan Ki Degil." kata Putri Selari ingin tahu.

"Aku hanya melihat kalau sorot matanya mengandung kejujuran dan kebijaksanaan. Bukan tipu daya yang ada. Dan aku merasa ada sesuatu yang sangat penting hendak disampaikan. Itu yang membuatku percaya padanya," kata Rangga menjelaskan.

"Apa yang diinginkannya darimu''" tanya Putri Selari lagi.

"Melenyapkan kedua muridnya," sahut Rangga kalem.

"Gila...?! Bagaimana mungkin...?" desis Putri Selari terkejut.

"Kenapa tidak? Kau meragukan kemampuanku, Selari?"

Gadis itu tidak sampai hati mengungkit-ungkit kekalahan yang diderita Rangga pada dua orang murid Eyang Suma Eling beberapa hari yang lalu. Pasti akan membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi berduka. Tapi dia melihat sendiri kalau Rangga sama sekali tidak berdaya menghadapi mereka. Lalu cara apa yang akan dilakukannya nanti? Padahal segala kepandaian yang dimiliki telah dikerahkannya. Dan ternyata memang Ki Sobrang dan Ki Degil sulit sekali dikalahkan.

"Kenapa dia menginginkan kematian muridnya, Rangga?" tanya Putri Selari jadi penasaran ingin tahu.

"Mereka berdua telah berkhianat, dan melanggar sumpahnya. Mereka membunuh rakyat yang tidak berdosa dan membiarkan anak buahnya membuat kekacauan dengan sengaja. Mereka telah mengangkat para perampok dan penjahat sebagai prajuritnya. Dan kini dengan keinginannya yang gila, mereka ingin menjadi raja atas kerajaan ini. Tentu akan semakin parah saja penderitaan rakyat kalau sampai impian mereka terwujud. Sudah beberapa kali orang tua itu mengirimkan utusan untuk menyadarkan mereka. Tapi selalu saja utusan itu tidak pernah kembali, karena dibunuh mereka. Dengan demikian mereka sama sekali tidak memperdulikan Eyang Suma Eling sebagai gurunya lagi," Rangga menjelaskan dengan singkat.

"Tapi, kenapa harus kau yang mengadapinya...?"

"Eyang Suma Eling merasa hanya akulah satu-satunya orang yang bisa melakukannya. Dia sendiri sudah terikat sumpah, dan tidak akan mencampuri urusan keduniawian. Dan tidak akan menumpahkan darah dengan membunuh siapapun juga. Kalau saja aku mengetahui kelemahan Aji Sakadewa yang membuat mereka kebal terhadap pukulan apapun dan kebal pada senjata apapun juga, mereka sama sekali tidak berarti," kata Rangga menjelaskan lagi.

"Lalu, orang tua itu memberitahukan kelemahannya?" tanya Putri Selari lagi.

Rangga hanya menganggukkan kepalanya saja, seraya memberikan senyuman yang manis. Putri Selari menarik nafas panjang. Dia juga tersenyum. Dia tidak banyak bertanya lagi. Pada dasarnya, dia memang tidak cerewet. Setelah mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti ini yakin dapat menghadapi kedua lawan tangguhnya nanti, berarti keselamatannya sendiri tidak begitu mengkhawatirkan seperti sebelumnya.

"Kanjeng Gusti Putri, celaka! Ada berita penting yang hendak hamba sampaikan...!" teriak seseorang yang tiba-tiba saja datang dengan menunggang kuda.

"Berita apa, Paman?" tanya Putri Selari.

"Pasukan mereka kini menyerbu kotaraja. Dan terjadi pertempuran besar di sana. Sebelum hamba ke sini, terlihat pasukan kerajaan terdesak hebat," sahut orang itu menjelaskan.

"Ayo kita cepat ke sana," ajak Rangga.

"Untuk apa?" tanya Putri Selari.

"Mengangkat Putri Selari sebagai ratu." sahut Rangga sedikit bergurau. Mendengar kata-kata itu, yang lainnya langsung bersorak gembira sambil mengangkat tangannya ke atas kepala. Putri Selari langsung memerah wajahnya. Tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Dan dia juga tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya saat ini. Raut wajahnya kelihatan bingung.

"Tenang saja, Selari. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Paman Bandang Ireng dan yang lainnya, mari kita berangkat sekarang juga. Aku punya rencana dan akan kubeberkan sepanjang perjalanan nanti. Ayo cepat.... Jangan sampai kita kehilangan kesempatan untuk ikut dalam pertempuran ini." kata Rangga membangkitkan semangat.

Seruan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung disamhut dengan gegap gempita. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera berangkat ke kotaraja. Tidak ada seorangpun yang berjalan kaki. Mereka semua menunggang kuda, dan memacu kudanya dengan cepat seperti dikejar setan. Membuat debu membumbung tinggi ke angkasa. Membuat bumi bergetar bagai diguncang gempa.

********************

Apa yang dikatakan oleh salah seorang pengikut Putri Selari tadi, memang benar kenyataannya. Kotaraja terlihat sepi dari para penduduk yang mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Segala kegiatan terhenti, karena disepanjang jalan menuju ke istana kerajaan terjadi pertempuran hebat antara prajurit kerajaan dengan orang-orang yang dipimpin Ki Sobrang dan Ki Degil.

Saat mereka sampai disana, keadaan semakin memprihatinkan. Kedua belah pihak banyak yang sudah jatuh korban. Sepanjang perjalanan menuju bangunan istana kerajaan, mayat-mayat bergelimpangan bermandikan darah. Namun dari penglihatan sekilas, prajurit kerajaan memang terdesak hebat. Mereka bertahan di dalam bangunan istana. Namun orang-orangnya Ki Sobrang dan Ki Degil terus menerus mendesak dan mampu menjebol pintu gerbang. Bagai tanggul jebol, mereka terus menerobos masuk ke dalam.

"Jahanam! Keparat-keparat itu berhasil melarikan diri! Katakan pada yang lain agar sebagian mereka mengejar. Tangkap dan bunuh mereka semua!" teriak Ki Sobrang kesal, begitu mengetahui kalau raja yang berkuasa sudah melarikan diri lewat jalan belakang.

Beberapa orang langsung saja bergerak cepat memburu rombongan prajurit kerajaan yang tetap mengadakan perlawanan dengan gigih. Diantara mereka, cukup banyak terdapat orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. sehingga menimbulkan semangat prajurit yang lainnya.

Namun orang-orang yang mereka hadapi juga bukanlah orang-orang sembarangan. Apa lagi ketika Ki Sobrang dan Ki Degil ikut turun tangan, dalam waktu yang sangat singkat saja mereka dapat dihabisi. Tapi sebelum kedua orang itu menguasai keadaan, mereka dikejutkan dengan datangnya seseorang yang tiba-tiba saja mengamuk dan menyerang anak buah Ki Sobrang dan Ki Degil. Dan hal itu cukup merepotkan, karena orang itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali. Hingga dalam waktu sebentar saja sudah tidak terhitung lagi yang menjadi korbannya.

"Keparat! Punya nyali juga dia datang ke sini. Mau mampus orang itu...!" dengus Ki Sobrang, ketika mengetahui siapa orang yang membantai anak buahnya.

"Biar aku yang akan memecahkan batok kepalanya." sambut Ki Degil cepat.

"Sebaiknya kita berdua saja, Degil. Kau sendiri tidak akan mampu menghadapinya. Tapi kalau berdua, dia tidak akan berkutik." kata Ki Sobrang.

Kedua orang itu langsung saja melompat ke arah pemuda berbaju rompi putih yang masih mengamuk menghajar mereka yang menyerang para prajurit. "Pendekar Rajawali Sakti! Bagus kau berani mencari kematianmu di sini!"

Mendapat teguran keras begitu, pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga, langsung berhenti mengamuk dan berpaling ke arah datangnya suara yang keras mengejutkan tadi. Dia berdiri tegak sambil tersenyum begitu melihat Ki Sobrang dan Ki Degil menghampiri.

"Hm, Sepasang Naga Pertala. Sungguh gembira sekali bisa bertemu lagi dengan kalian. Memang betul aku akan mencari kematian. Tapi kematian kalian berdua," sambut Rangga dingin.

Mendengar kata-kata itu, meledaklah tawa mereka. Tentu saja mereka menganggap kalau apa yang diucapkan Rangga hanya sesumbar saja. Mana mungkin pemuda itu bisa mengalahkan mereka, apa lagi sampai menewaskannya. Pada pertarungan yang lalu. Rangga memang sama sekali tidak berdaya. Dan hampir saja tewas kalau para prajurit kerajaan tidak segera datang menyerang.

"Bersiaplah kalian. Naga Pertala..!" desis Rangga dingin.

Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti itu mencabut pedang pusakanya. Dan seketika itu juga cahaya biru berkilauan menyemburat menerangi sekitarnya. Namun Ki Sobrang dan Ki Degil hanya tertawa saja terkekeh, seperti meremehkan pedang bercahaya biru di tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Hiyaaat...!" Tanpa membuang-buang waktu lagi. Rangga langsung saja melompat bagai kilat, dan membabatkan pedangnya ke arah dada kedua orang ini. Namun kedua orang itu telap berdiri tegak, seperti tidak memperdulikan serangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

Namun dua jengkal lagi ujung pedang akan menyambar tubuh mereka, tiba-tiba saja Rangga membelokkan serangannya. Dan langsung menghantam bayangan mereka pada saat yang bersamaan. Tepat pada bayangan dibagian tengah dada di tanah. Kedua laki-laki itu tampak terkejut setengah mati. Tapi tidak ada waktu lagi untuk bisa menghindar. Begitu cepat sekali gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga....

Bres!
Cras!
Aaaakh!"
"Aaaa...!"

Dua jeritan panjang seketika terdengar begitu menyayat sekali. Tampak kedua orang laki-laki setengah baya itu menggelepar di tanah sambil melolong panjang. Tubuh mereka seketika diselubungi cahaya biru yang memancar dari pedang pusaka Rajawali Sakti. Dan dalam sekejap mata saja, hancur berkeping-keping bagai tepung.

Jeritan panjang yang melengking tinggi mengantarkan kematian dua orang itu, membuat perhatian yang lainnya jadi terbagi. Dan mereka sama-sama terkejut begitu melihat Rangga dapat menghancurkan Ki Sobrang dan Ki Degil hanya dengan satu gerakan yang sama sekali sulit untuk diduga tadi. Dan seketika itu juga, pertarungan jadi terhenti. Mereka semua jadi mengarahkan pandangannya pada Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Atas nama Putri Selari. Putri Gusti Prabu Satya Wardhana Putra, aku memerintahkan kalian semua untuk meletakkan senjata. Hentikan pertempuran. Seluruh tempat ini sudah terkepung...!" lantang sekali suara Rangga, hingga terdengar begitu jauh.

Serentak kedua belah pihak saling memalingkan perhatian. Apa yang mereka lihat memang benar. Ribuan orang sudah mengepung istana ini. Dan mereka semua adalah rakyat serta para pengikut Putri Selari. Tampak diantara mereka, terlihat seorang gadis berwajah cantik, menunggang kuda yang didampingi beberapa orang laki-laki bertubuh tegap. Diantara mereka juga terlihat Bandang Ireng.

"Aku Bandang Ireng. Panglima Gusti Prabu Satya Wardhana Putra, bersumpah kalau gadis yang berada disampingku ini adalah Puiri Selari. Yang berhak atas tahta kerajaan. Dengan ini pula, aku memerintahkan pada kalian semua untuk meletakkan senjata...!" terdengar lantang suara Bandang Ireng.

Mendengar kata-kata itu, tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk melawan. Dan dengan serentak mereka meletakkan senjatanya. Panglima Bandang Ireng memerintahkan anak buahnya untuk menggiring mereka ke dalam penjara. Sementara Putri Selari mengatakan kalau tidak semuanya akan diadili. Terutama para prajurit kerajaan.

Terlihat rakyat bersorak gembira menyambut kedatangan ratu mereka. Sikap mereka tentu saja membuat Putri Selari jadi berkaca-kaca terharu. Ini membuktikan kalau sebenarnva rakyat masih mengharapkan kehadiran pewaris sah tahta kerajaan. Begitu larutnya dia, sampai lupa pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan baru teringat setelah berada di ujung tangga istana.

"Paman Gondo, kemana Rangga...?" tanya Putri Selari.

"Eh, tadi ada di sini...!" sentak Paman Gondo juga seperti baru tersadar.

"Tolong carikan dia. Paman." pinta Putri Selari.

"Baik, Kanjeng Gusti Putri." Gondo bersama yang lainnya segera mencari Pendekar Rajawali Sakti itu. Tapi mereka sama sekali tidak menjumpainya. Rangga benar-benar telah pergi, tanpa ada seorangpun yang mengetahui. Gondo segera melaporkan kalau Rangga sudah pergi entah kemana. Putri Selari merasa begitu cemas sekali. Dia tidak ingin lagi kehilangan pemuda itu.

"Paman, tolong kerahkan orang untuk mencarinya. Aku tidak ingin dia pergi...," kata Putri Selari.

Paman Gondo tidak bisa lagi membantah. Walaupun dia yakin Rangga tidak akan mungkin bisa ditemukan lagi, tapi dia tidak ingin mengecewakan gadis yang akan dinobatkan menjadi ratu itu. Dan di dalam hatinya memang dia mengakui kalau Putri Selari sangat cocok sekali jika berdampingan dengan Pendekar Rajawali Sakti itu. Selain tampan dan gagah, juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali. Pasti kerajaan ini akan damai kalau dipimpin oleh dua orang yang memiliki kepandaian sangat tinggi.

Tapi kemana harus mencari...? Sementara semua orang tahu kalau Rangga seorang pendekar kelana yang tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Dan Putri Selari juga tidak bisa memaksa lagi untuk bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia menyadari kalau Rangga seorang pendekar sejati yang tidak memerlukan balas jasa pada apa yang telah dilakukannya. Dia hanya berharap, kelak bisa bertemu lagi dengan Pendekar Rajawali Sakti itu.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: RAHASIA PATUNG KENCANA

Prahara Mahkota Berdarah

Pendekar Rajawali Sakti

PRAHARA MAHKOTA BERDARAH


SATU
Debu mengepul di udara ketika dua orang yang melwati tempat itu memacu kudanya dengan kencang. Melihat debu dan keringat yang mengering di tubuh. agaknya bisa diduga bahwa mereka telah mengadakan perjalanan yang cukup jauh.

Yang berada dipunggung kuda berwarna putih adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. dan berperawakan gagah serta menyandang pedang di punggungnya. Yang seorang lagi bertubuh kurus dengan muka peot dan kumis panjang tipis-tipis. Kulitnya hitam dan berwajah seram. Orang itu memiliki sebuah kampak besar yang terselip di pinggangnya.

Tiba di sebuah gedung bertembok tinggi keduanya menghentikan lari kudanya. Di pintu gerbang tampak berdiri tegak dua sosok penjaga yang mendekati mereka dengan wajah curiga.

"Siapa kalian dan mau apa kesini?" tanya salah seorang penjaga dengan nada datar penuh selidik.

"Katakan pada majikanmu, aku Walukarnawa dan ini adikku Baladewa bermaksud memenuhi undangannya." sahut orang yang bertubuh kurus.

Kedua penjaga itu memperhalikan mereka barang beberapa saat, kemudian salah seorang kembali bertanya. "Mana undangan kalian?"

"Kakang, aku mulai kesal kalau begitu caranya...," Pemuda penunggang kuda putih yang bernama Baladewa menggerutu kesal.

Tapi abangnya yang bernama Walukarnawa itu agaknya lebih bisa bcrsikap sabar ketimbang adiknya. Dia mcngeluarkan sehelai kulit kambing dari balik bajunya dan menunjukkannya pada kedua penjaga itu. Setelah memeriksanya, barulah keduanya mempersilahkan mereka masuk ke dalam.

Bangunan yang berada di dalam terlihat megah dan bertingkat dua. Halamannya banyak ditumbuhi bunga dan beberapa kolam kecil yang berisi ikan warna-warni yang berenang hilir mudik. Keduanya turun dari punggung kuda dan seorang menggiring kuda itu kedalam kandang untuk dibersihkan dan diberi makan.

"Silahkan. Ki sanak. Ki Sobrang dan Ki Degil telah menunggu." kata seorang bermuka hitam sambil memberi normat pada kedua tamunya itu.

Walukarnawa dan Baladewa mengangguk sambil tersenyum kecil. Mereka menaiki undakan anak tangga dan terus berjalan di lorong sebelah kanan, mengikuti orang tadi dibelakangnya.

"Silahkan...," kata orang bermuka hitam itu menundukkan tubuh sambil menunjuk pada sebuah ruangan.

"Terima kasih. Siapa namamu," tanya Walukarnawa.

"Hamba hanya pelayan di sini. Nama hamba Keken...."

Walukarnawa mengangguk. kemudian mengajak adiknya melangkah masuk. Didalamnya terdapat sebuah pintu lagi yang dijaga oleh kedua orang bersenjata tombak. Keduanya kembali memeriksa dan setelah yakin bahwa mereka termasuk dalam daftar tamu yang diundang. keduanya dipersilahkan masuk.

"Ah, selamat datang Ki Walukarnawa dan...," Seorang yang duduk pada sebuah kursi rotan besar menyambut mereka dengan suara yang agak keras.

"Ini adikku, Baladewa...," sahut Walukarnawa sambil memberi penghormatan.

Begitu juga yang dilakukan adiknya. Di depan mereka pada jarak dua tombak, duduk pada kursi rotan yang lebar dua orang laki-laki bertampang gagah. Keduanya memiliki kumis melintang dan tubuh tegap berisi. Yang lebih tinggi dan usianya lebih tua bernama Ki Sobrang dan yang lebih muda bertubuh sedikit pendek bernama Ki Degil. Di depan mereka saling berhadapan duduk bersila sepuluh orang tokoh persilatan yang telah lebih dulu tiba. Setelah memberi penghormatan pada yang lainnya. Ki Sobrang mempersilahkan kedua tamunya itu untuk duduk.

"Kukira setelah kedatangan Ki Walukarnawa dan Ki Baladewa mata pertemuan itu bisa dimulai..." lanjut Ki Sobrang.

"Kukira juga begitu, Kakang Sobrang..." sambung Ki Degil.

Ki Sobrang memandang kepada tamu-tamunya yang melihat bahwa mereka menganggukkan kepala. Kemudian dia menepuk tangan, dan beberapa saat kemudian keluarlah beberapa orang pelayan wanita yang membawa nampan berisi buah-buahan serta makanan lainnya. Tak ketinggalan beberapa guci arak wangi.

"Ki sanak, silahkan dicicipi makanan dan buah-buahan ini ala kadarnya. Kemudian setelah itu, baru kita bicarakan kepentingan kita bersama!" seru Ki Sobrang dengan ramah.

Dia sendiri menuangkan arak dalam cawan, dan diikuti oleh tamu-tamunya.

"Untuk kemuliaan dan keagungan, Ki Sobrang serta Ki Degil!" ucap salah seorang tamu.

"Untuk keperkasaan. Sepasang Naga Pertala!" lanjut seorang lagi.

"Dengan ini, semoga cita-cita Ki Sobrang dan Ki Degil berhasil gemilang!" timpal yang lainnya.

Ki Sobrang dan Ki Degil mcngangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Dan beberapa saat kemudian mereka menyantap hidangan yang telah lersedia.

Ki Sobrang dan Ki Degil memang merupakan tuan rumah yang ramah dan bersahabat. Disamping itu mereka juga pandai mcnyelenggarakan pertemuan sehingga tanpa menimbulkan ketegangan dan suasana yang kaku. Bahkan terlihat santai meski apa yang dibicarakan ternyata suatu rencana yang amat berbahaya. Tapi banyak tokoh-tokoh persilatan yang diundangnya merasa setuju. Mereka tahu dan yakin, bahwa kedua tokoh yang bergelar Sepasang Naga Pertala itu bukanlah orang sembarangan.

Bukan mustahil kalau keduanya telah mempersiapkan segalanya dari jauh hari dan dengan perhitungan yang matang. Tapi meski demikian, ada juga diantaranya yang merasa sinis terhadap mereka. Satu diantaranya adalah Baladewa, adik Walukarnawa. Sejak awal dia memang sudah menunjukkan sikap sinis meski tak tcrang-terangan menyatakan ketidak setujuannya.

"Untuk apa kita bermalam segala di sini? Sudah, putuskan saja bahwa kita tak mau bergabung dengan mereka!" sentaknya kesal sambil bersungut-sungut.

"Kau harus lebih bisa mcngendalikan kesabaranmu. Baladewa...."

"Jadi Kakang setuju membantu rencana mereka?!"

"Aku tak mengatakan begitu."

"Lalu untuk apa kita berlama-lama di sini? Lebih baik kita pulang malam ini juga!"

"Sabarlah Baladewa. Apakah kau pikir aku tak punya rencana untuk berbaik-baik dengan mereka?"

"Rencana? Rencana apa maksudmu?"

Walukarnawa tak langsung menjawab. Sebaliknya dia memandang ke sekeliling tempat itu. Beberapa orang penjaga tampak masih hilir mudik dan suasana malam bertambah kelam dan dingin. Kemudian terdengar Walukarnawa memperkecil suaranya.

"Apa kau pikir dia saja yang berkeinginan menjadi raja?"

"He, keinginan lamamu agaknya tak pernah hilang!" Baladewa ketawa kecil.

"Tapi aku tak ingin bentrok dengan mereka!" sanggah Walukarnawa cepat.

"Jadi kau bermaksud memperalat mereka dengan cara halus?"

"Bisa dikatakan begitu. Maksudku, kalau Ki Sobrang dan Ki Degil bermaksud merebut tahta di wilayah ini, maka sebaliknya aku lebih berminat menduduki kerajaan di wilayah barat. Kalau hari ini kita membantu mereka, maka mereka pun tentu akan dengan senang hati membantu kita," jelas Walukarnawa.

"Bagaimana kalau mereka tak mau?"

"Aku tahu bahwa Ki Sobrang dan Ki Degil cukup bijaksana untuk tidak menolak. Kalau kita bantu mereka. mustahil mereka tak mau membantu kita juga..."

"Kakang, kedua orang itu terkenal licik dan penuh tipu muslihat. Bagaimana mungkin kau bisa percaya kepada mereka? Lagipula kalau hanya ingin merebut tahta kerajaan di wilayah barat, kau tak perlu jauh-jauh meminta bantuan pada tokoh-tokoh di sini. Di wilayah kita pun tak kurang tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Lagipula, apa yang ku-harapkan dari mereka berdua? Kurasa tingkat kepandaian mereka biasa-biasa saja. Bahkan bukan tak mungkin mereka hanya punya pengaruh dari nama kosong belaka untuk merangkul tokoh-tokoh persilatan agar mau membantu rencana mereka," sergah Baladewa dengan nada sinis.

"Baladewa, kau belum banyak tahu seluk beluk dunia persilatan serta tokoh-tokohnya. Lebih baik kau tak keterlaluan menilai orang, sebab bisa jadi hal itu malah mencelakakan dirimu sendiri," Walukarnawa menasehati adiknya.

"Alaaah, Kakang! Kau terlalu banyak berhati-hati, padahal sebenarnya kau pun mengakui penilaianku itu. Apa untungnya kau mendekati mereka?"

Walukarnawa memandang adiknya itu beberapa saat dengan wajah tak senang. Kemudian katanya dengan suara pelan namun mengandung ketegasan. "Baladewa, apakah kau tak suka kuajak ke sini dan bergabung dengan mereka?"

"Bukan itu yang kumaksud, tapi aku tak suka kau memilih orang yang salah untuk membantu rencanamu nanti."

"Siapa yang kau katakan orang yang salah kupilih?"

"Siapa lagi kalau bukan Ki Sobrang dan Ki Degil? Apa yang kau harapkan dari mereka? Apa karena mereka kaya, berharta banyak, dan memiliki pasukan pengawal? Aku tak yakin mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Bukan mustahil pula kalau mereka sama sekali tak memiliki kepandaian!"

"Baladewa, hati-hati dengan ucapanmu!" Walukarnawa kembali memperingatkan ketika mendengar suara adiknya yang kian meninggi.

"Ah, apa kau pikir aku takut kalau dia mendengarnya?"

"Apa yang dikatakan Ki Baladewa memang benar. Untuk apa takut kepada kami...."

"Heh!?" Kedua kakak beradik itu segera menoleh ke belakang ketika mendengar satu suara menyahuti kata-kata Baladewa. Di situ telah berdiri Ki Sobrang dan Ki Degil sambil melipat tangan di dada. Bersama mereka terlihat beberapa orang pengawal bersenjata lengkap.

"Ki Sobrang, Ki Degil... ah, kukira siapa tengah malam begini mengagetkan kami!" seru Walukarnawa sambil tersenyum kecil.

Orang itu memberikan salam penghormatan. Kedua tuan rumah itu tersenyum tipis. Mereka sempat berpaling dan melirik Baladewa diam membisu dengan wajah tak acuh meski Walukarnawa telah menyikutnya untuk memberi isyarat agar dia memperbatki sikap. Tapi adiknya itu agaknya memang sengaja bersikap begitu dan sama sekali tak memperdulikan isyarat abangnya.

"Kudengar percakapan kalian dan sebagai tuan rumah, rasanya tak sopan tidur lebih dulu daripada tamu. Oleh sebab itu kami bermaksud menemani kalian. Itupun jika kalian merasa tak keberatan...," sahut Ki Sobrang masih menunjukkan wajah ramah.

"Ah, tentu saja kami merasa tak keberatan. Tapi sayang dan beribu sesal bahwa kami sebenarnya akan beranjak ke dalam. Rasanya letih dan penat di tubuh ini sudah tak tertahankan lagi." kata Walukarnawa memberi salam agar kedua orang itu cepat berlalu dari situ.

"Hm, kalau demikian baiklah. Silahkan beristirahat Ki sanak berdua. Dan untuk Ki Baladewa, apa yang kau ucapkan tadi benar. Kami memang tak memiliki kemampuan, tapi hanya sekedar menggebuk anjing yang cuma bisa meng-gonggong, rasanya tak perlu kepandaian tinggi..."

Baladewa yang memang sejak awal sudah tak suka melihat mereka berdua, jadi bertambah ketidak sukaannya mendengar sindiran Ki Sobrang itu. "Ki Sobrang, siapa yang kau maksud dengan anjing menggonggong itu?" tanyanya tak senang.

Ki Sobrang yang tadinya sudah akan membalikkan tubuh, tiba-tiba memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam. Kemudian dia tersenyum kecil.

"Kau tentu tahu apa yang kumaksud," sahut Ki Sobrang pelan.

Baladewa mendengus geram. Matanya berkilat tajam saat memandang kepada Ki Sobrang. Walukarnawa mencoba untuk menyabarkan amarah adiknya yang hendak meledak-ledak itu. Namun dengan kasar ditepisnya lengan abangnya itu. Baladewa maju dua langkah sambil memandang gusar pada tuan rumah itu.

"Ki Sobrang, apakah kau merasa memiliki kepandaian setinggi langit dengan segala cita-citamu itu? Coba buktikan agar mataku terbuka!" seru Baladewa lantang sambil berdiri tegak.

Kata-kata yang diikuti dengan sikapnya itu menandakan bahwa Baladewa tetap siap menantang Ki Sobrang. Walukarnawa cepat bertindak sebelum Ki Sobrang memberi jawaban.

"Baladewa. apa-apaan kau ini?! Cepat minta maaf!"

"Diamlah kau. Kakang! Apakah seorang calon pimpinan tak pantas diuji? Kalau dia bisa mengalahkanku, bolehlah aku merasa yakin bahwa dia memang pantas menjadi seorang pemimpin. Tapi kalau tidak, untuk apa aku mengikuti orang yang tak bisa apa-apa." sahut Baladewa tegas.

"Ki Walukarnawa, betul kata adikmu. Nah, biarlah dia bermain-main denganku barang beberapa jurus...," menimpali Ki Sobrang sambil melangkah ke depan hingga jaraknya cuma lima langkah dari Baladewa.

"Silahkan...." Baladewa mulai membuka jurus.

Ki Sobrang tersenyum kecil sambil merentangkan tangan ketika melihat bahwa Walukarnawa masih mencoba menahan niat adiknya itu.

"Ki Walukarnawa, sebaiknya kau diam saja di tempatmu. Akupun ingin sekali melihat kehebatan jurus ilmu silat dari perguruan kalian yang sudah kesohor itu," kata Ki Sobrang dengan suara tegas dan penuh wibawa.

Kemudian setelah berkata begitu dia memandang kepada Baladewa dan melanjutkan kata-katanya. "Kuberi kau tiga jurus untuk menyerangku, dan setelah itu maka aku akan berganti menyerangmu!"

Kata-kata itu dalam dunia persilatan sama artinya dengan meremehkan kepandaian lawan yang akan dihadapi. Dan Baladewa tentu saja semakin gusar mendengarnya. Sambil mendengus kesal. dia memainkan jurus terhebatnya yang diberi nama Memukul Angin Menyaring Awan. Jurus itu tcrdiri dari delapan tingkat, dan tiga tingkat yang terakhir sangat ganas dan cepat diiringi tenaga dalam kuat. Jarang sekali lawan-lawannya mampu menghadapi jurus ini. Maka dengan membentak keras. Baladewa meluruk menghantam lawan.

"Yeaaa...!"
"Hup...."
Plak!

Ki Sobrang terlihat menghadapi serangan lawan dengan mantap. Ketika kepalan tangan lawan menghantam muka, dia memiringkan kepala menhindarinya. Tubuhnya langsung mencelat ke belakang ketika dengan tiba-tiba kepalan kiri Baladewa menyusul menghantam lambung dan diikuti dengan satu tendangan kilat yang bertenaga kuat. Baladewa mencelat dan menyusul tubuh lawan dengan gerakan laksana baling-baling. Tapi Ki Sobrang dengan ilmu peringan tubuhnya yang amat sempurna, menghilang dari pandangan lawan. Baladewa terkejut sendiri sebab lawan telah berdiri tegak satu tombak dibelakangnya. Dengan begitu jurus pertama telah berakhir.

"Silakan Ki Baladewa...!" kata Ki Sobrang tersenyum kecil dengan sikap merendahkan.

Baladewa tak menyahut, melainkan langsung melompat menyerang lawan. Kali ini dia betul-betul mengerahkan segenap kemampuannya untuk menjatuhkan lawan secepatnya.

"Hiyaaa...!"

Terasa angin serangannya mendesir berat manakala tubuh Baladewa bergerak cepat menyerang lawan. Ki Sobrang sedikit terkejut, namun dia cepat menguasai diri. Tubuhnya berkelebat dan berputar bagai gasing menghindari serangan-serangan lawan yang gencar dan cepat bukan main. Sedikit pun tak terlihat bahwa dia merasa kesulitan akibat serangan Baladewa itu. Tubuhnya bergerak ringan bagai sehelai daun kering yang tertiup angin.

Wuut!
"Hup!"

Bukan main penasarannya Baladewa ketika serangannya tak satu pun yang mengenai sasaran. Dia mulai kalap dan menyerang lawan dengan membabi-buta.

Tentu saja Ki Sobrang jengkel melihat keadaan itu. Tiga jurus telah berlangsung dan Baladewa gagal menjatuhkannya Seharusnya gilirannya yang bertahan dan Ki Sobrang yang mulai menyerang. Tapi Baladewa seperti tak memperdulikan hal itu.

"Ki Baladewa, bersiaplah kau! Aku akan balas menyerangmu!" bentak Ki Sobrang gemas.

Selesai dengan kata-katanya itu. Ki Sobrang melompat ke atas. Sebelah kaki Baladewa menghantam, namun dengan sigap Ki Sobrang menangkis dengan tangan kirinya, sedang kepalan tangan kanannya bergerak menghantam dada.

Plak!
Wuuut!

Baladewa tersentak kaget. Masih terasa angin kencang berdesir hebat seperti menghimpit dadanya saat serangan lawan berhasil dihindarinya dengan membuang tubuh kekanan. Kalau saja saat itu serangan Ki Sobrang mengenai dadanya, bukan mustahil dia akan terluka parah.

Tapi Ki Sobrang seperti tak memberikan kesempatan pada lawan. Dia terus mengejar dengan sapuan kaki kiri menghantam pinggang. Tubuh Baladewa terangkat ke atas. Namun dengan cepat Ki Sobrang menyambutnya dengan pukulan tangan kanannya yang tak mampu dihindari Baladewa.

Begkh!
"Aakh...!"

Baladewa mengeluh kesakitan. Tubuhnya terjajar dan berdiri limbung kelika dia mencoba menahan rasa nyeri di perutnya. Sepasang matanya menyipit melihat lawan berdiri tegak sambil memperhatikannya dengan tersenyum kecil.

"Apakah itu cukup bagimu. Ki Baladewa...?"

"Huh, aku belum kalah!" sentak Baladewa sambil bersiap menghadapi serangan lawan berikutnya.

Ki Sobrang tak menjawab. Dia mendengus gusar, dan tiba-tiba tubuhnya telah kembali melompat dengan satu serangan kilat. Baladewa bersiap menangkis.

"Yeaaa...!"
Plak!
Wuut!
Des!
"Aaaakh...!"
"Hiyaaa...!"
"Cukup. Ki Sobrang...!"

Kembali Baladewa menjerit keras dan tubuhnya terbanting dengan darah menetes dari sela bibirnya terkena hajaran lawan. Meskipun dia berusaha menghindar, namun gerakan Ki Sobrang terlihat cepat sekali. Bahkan Baladewa tak sempat mengetahui bagaimana caranya tiba-tiba saja lawan berhasil menyarangkan pukulan kedadanya. Kalau saja saat itu Walukarnawa tak cepat bergerak menahan serangan Ki Sobrang selanjutnya, niscaya Baladewa akan menderita luka dalam yang sangat parah.

Walukarnawa memapah tubuh adiknya sambil memandang kepada Ki Sobrang yang masih tegak berdiri di dekat mereka. "Ki Sobrang, kukira cukuplah pelajaran yang kau berikan pada adikku yang bodoh ini. Dia memang tidak tahu apa-apa soal ilmu silat. Harap kau menjadi maklum adanya...," kata Walukarnawa.

"Ki Walukarnawa, aku masih menghormati kalian sebagai sekutuku, dan kuharap jangan coba-coba merendahkan kami. Kalau saja kalian orang lain dan bukan tamuku, niscaya adikmu itu dan kau sendiri tak akan selamat dari tanganku. Apa kalian pikir aku tak mendengar pembicaraan kalian, he? Pergilah dari tempatku sekarang juga. Aku tak sudi punya sekutu yang nantinya bisa menikamku dari belakang!" sahut Ki Sobrang tegas.

Walukarnawa tak banyak kata lagi. Mendengar kata-kata tuan rumah yang tegas dan pedas itu, mereka scgera berlalu dari tempat itu diiringi pandangan mata sinis Ki Sobrang dan Ki Degil, serta beberapa orang pengawal mereka. Kemudian setelah keduanya menghilang, dia memandang berkeliling dan melihat beberapa tokoh persilatan yang tadi berkumpul di tempatnya menyaksikan peristiwa itu. Mereka berlalu ke kamarnya masing-masing tanpa banyak bicara. Namun dengan cara itu. Sepasang Naga Pertala seperti memberi peringatan bahwa dia tak pandang bulu kepada siapa saja yang mencoba menentang dan meremehkannya.

DUA

Rumah kediaman Adipati Mungkaran terlihat ramai oleh beberapa orang prajurit bersenjata. Hal ini tak seperti biasanya. Entah kenapa, tiba-tiba saja adipati yang berusia sekitar empat puluh tahun itu menambah jumlah pengawalnya dua kali lipat dari sebelumnya. Padahal selama ini para pengawalnya meski tak lebih dari lima belas orang, namun mereka adalah orang-orang pilihan.

Dia sendiri yang menguji dan melihat bagaimana kemampuan mereka masing-masing. Dan disamping itu pula, entah apa yang membuatnya merasa khawatir sehingga menambah jumlah para pengawalnya. Padahal semua orang mengetahui bahwa Adipati Mungkaran bukanlah sekedar laki-laki berkedudukan tinggi dan kaya raya, tapi juga memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup hebat.

Senja belum lagi gelap ketika di kejauhan terlihat dua orang penunggang kuda mendatangi tempatnya. Yang seorang adalah gadis belia berwajah buruk rupa, berambut panjang dan mengenakan baju ungu dengan celana panjang putih. Sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki tua berambut putih memakai baju hijau. Melihat raut wajahnya, paling tidak dia berusia diatas lima puluh tahun. Namun tubuhnya masih terlihat tegap dan perawakannya pun gagah dengan sorot mata tajam bagai seekor elang. Di pintu gerbang keduanya dihadang oleh dua orang pengawal yang menyilangkan tombak mereka.

"Katakan pada majikanmu, aku Ki Ageng Tebung telah datang...!" kata orang tua itu sebelum para pengawal menanyakan maksud tujuannya ke tempat ini.

Mendengar orang tua itu menyebutkan nama, berubahlah paras kedua pengawal itu. Keduanya tersenyum kecil sambil menjura hormat. "Oh, kiranya Ki Ageng Tebung yang datang. Maafkan kami yang bodoh tak bisa mengenali orang. Silahkan, Ki Ageng, Kanjeng Adipati telah menunggu Ki Ageng Tebung sejak tadi...!" sahut salah seorang pengawal dengan ramah.

Kawannya membukakan pintu gerbang dengan terburu-buru. Orang tua bernama Ki Ageng Tebung itu turun dan punggung kudanya. Begitu pula dengan gadis yang menyertainya. Seorang pengawal membawa kuda mereka ke belakang untuk dibersihkan dan diberi makan rumput.

"Silahkan, Ki Ageng..," kata salah seorang pengawal menunjukkan jalan kepada orang tua itu.

Terima kasih...."

Namun belum lagi mereka tiba di pintu depan, seorang laki-laki berbaju mewah telah menyambut dengan wajah gembira. Sambil berlari-lari kecil dia menghampiri dan menjura hormat di depan orang tua itu.

"Eyang, oh syukurlah kau datang ke sini..., terimalah salam hormat muridmu!"

"Mungkaran, hmm... kau semakin gagah saja kulihat dengan pakaianmu itu. Bangunlah!"

"Terima kasih. Eyang. Silahkan...!" sahut laki-laki yang tak lain daripada Adipati Mungkaran sendiri.

Ketiga orang itu segera beranjak ke dalam dan diantar sendiri oleh Sang Adipati ke dalam suatu ruangan yang mewah dengan lantainya beralaskan permadani tebal dan hiasan-hiasan lukisan serta patung-patung kayu yang indah dan halus buatannya. Beberapa kursi terlihat diukir indah mengelilingi sebuah meja persegi empat.

Adipati Mungkaran kemudian memanggil beberapa orang pelayannya untuk mengeluarkan hidangan lezat dan segar bagi kedua orang itu. "Eyang, apakah kau hendak langsung beristirahat ataukah membersihkan diri dulu, atau...."

"Ah, jangan banyak basa-basi segala. Aku ingin tahu, gerangan apa yang membuatmu mengundangku ke sini. Isi suratmu seperti mengisyaratkan kecemasanmu akan sesuatu. Nah, katakanlah!" sahut Ki Ageng Tebung tanpa basa-basi.

Adipati Mungkaran tak langsung menjawab. Dia melirik sekilas pada gadis berwajah buruk disebelah gurunya. Gadis itu terlihat menundukkan kepala dipandang begitu rupa.

"Eh, ng... ini... ini..."

"Hm kau ingin mengatakan persoalan rahasia? Jangan khawatir, Putri Selari adalah orang kita sendiri. Oh, ya aku lupa memperkenalkannya ke padamu. Beberapa tahun lalu aku menemukannya di suatu kampung yang sedang diamuk oleh gerombolan perampok. Aku membawanya dan kuangkat menjadi muridku...," jelas Ki Ageng Tebung.

Adipati Mungkaran tersenyum ketika gadis itu berdiri dan menjura hormat kepadanya.

"Kakang Adipati, terimalah salam hormat dari adikmu ini...," lirih terdengar suara gadis itu.

Adipati Mungkaran tersenyum tipis. Betapapun berusaha meredakan hati, namun tetap saja merasa risih saat memandang gadis itu. Mukanya dipenuhi kusut-kisut seperti bekas luka. Dan di beberapa bagian malah berlubang lubang kecil seperti bekas terkena penyakit cacar. Padahal kalau dilihat bagian tubuhnya yang lain, seperti tangan, amat jauh sekali perbedaannya. Kulit lengan gadis itu berwarna putih kekuning-kuningan dan ditumbuhi bulu-bulu halus. Rambutnya hitam dan lebat sertakan bau harum. Tubuhnya pun berbentuk indah dengan lekuk-lekuk yang menawan. Kalau saja wajahnya cantik, maka lengkaplah sudah kesempurnaan gadis ini sebagai perawan baru mekar yang sulit dicari bandingan akan kecantikan serta keindahan tubuhnya.

"Mungkaran, kenapa kau terdiam? Tidak sukakah kau aku mengambil Putri Selari sebagai adik seperguruanmu?" tegur Ki Ageng Tebung.

"Eh, maafkan aku, Eyang. Pikiranku sedang kacau. Tentu saja aku senang kalau adik Putri Selari mau menjadi adik seperguruanku," sahutnya dengan tergagap.

"Hm, agaknya pelik betul persoalan yang tengah kau hadapi. Coba katakan padaku!"

Adipati Mungkaran menghela nafas berat. Setelah membalas salam hormat gadis itu, dia mempersilahkannya kembali untuk duduk. Dipandanginya wajah orang tua itu sekilas, kemudian berkata dengan suara pelan namun cukup terdengar oleh kedua orang itu.

"Aku merasa ada sekelompok orang yang akan menyingkirkanku dari kedudukanku ini..."

Ki Ageng Tebung memandang heran kepada muridnya itu. Kemudian tersenyum kecil.

"Dari mana kau tahu hal itu?"

"Aku sering dihantui mimpi, Eyang..."

Kali ini orang tua itu tak dapat menahan geli. Dia tertawa sedikit keras. Dan hal itu sudah membuat Adipati Mungkaran merasa dilecehkan.

"Eyang tak percaya dengan kata-kataku...?"

"Bagaimana aku bisa percaya? Kau justru lebih percaya kepada mimpi-mimpimu itu. Kenapa tidak kau atasi saja dengan membuat mimpi yang lebih baik? Misalnya kau bisa bermimpi mengusir mereka, bahkan lebih dulu menyingkirkan mereka!"

"Eyang. ini persoalan serius...!"

Ki Ageng Tebung masih memandang wajah muridnya yang serius dengan raut lucu. Tapi kemudian dia mencoba bersikap wajar ketika melihat bahwa Adipati Mungkaran seperti meyakini betul akan kata-katanya sendiri. Seolah-olah hal itu akan terjadi saat ini juga.

"Hm, karena soal itukah sebabnya kau mengundangku ke sini?"

"Aku ingin minta petunjuk, Eyang...."

"Petunjuk apa?"

"Apakah Eyang mempercayai kata-kataku?"

"Cobalah kau utarakan dulu apa yang hendak kau katakana, lalu aku akan pertimbangkan apakah kekhawatiranmu itu beralasan atau tidak...."

Adipati Mungkaran menghela nafas pendek. Kemudian terdengar dia mulai berkata-kata. "Kalau hanya sekedar mimpi, barangkali aku tak terlampau khawatir, Eyang. Tapi gejala kearah itu telah terjadi.

"Gejala apa yang kau maksud?"

"Sekelompok tokoh-tokoh persilatan yang berniat menggulingkan tahta kerajaan!"

"Hm, aku semakin tak mengerti bicaramu. Tadi kau mengkhawalirkan sekelompok orang yang akan menyingkirkan kedudukanmu. Dan sekarang kau membicarakan tahta kerajaan. Bagaimana ini?"

"Eyang, dua-duanya benar. Aku mendengar khabar bahwa para prajurit kerajaan yang bertugas di tapal batas, kedapatan binasa tanpa diketahui penyebabnya. Baginda Raja telah mengirim beberapa orang utusan untuk mencari tahu apa yang telah terjadi. Namun sampai saat ini belum terdapat khabar dari mereka. Ada yang mengatakan kepadaku bahwa mereka tewas pula di sana...," jelas Adipati Mungkaran.

"Lalu apa hubungannya denganmu?"

"Apakah Eyang tak mengetahui di mana aku memegang kekuasaan saat ini?"

Orang tua itu berpikir sesaat. Namun tak lama kemudian dia cepat menduga ke mana arah pembicaraan muridnya itu. "Hm, daerah kekuasaanmu meliputi wilayah perbatasan itu?"

Adipati Mungkaran cepat mengangguk." Gusti Prabu telah memberi perintah padaku untuk membereskan dan mengusut sampai tuntas siapa yang berani membantai prajurit-prajurit kerajaan itu. Perlu Eyang ketahui bahwa prajurit-prajurit yang terbunuh itu bukan para pengawalku, melainkan mereka langsung dari kerajaan dan merupakan orang-orang pilihan. Bahkan pimpinannya yang bernama Soma Wangsa bukanlah orang sembarangan. Dia seorang tokoh terkenal dan memiliki ilmu silat tinggi. Tapi kalau orang itu sampai terbunuh, sudah pasti pelakunya bukan orang sembarangan...," kata Adipati Mungkaran.

Ki Ageng Tebung mengangguk-angguk mendengar kata-kata muridnya itu. Dia mulai percaya bahwa apa yang dikhawatirkan Adipati Mungkaran memang ada benarnya, tapi kalau sampai merembet kepada soal tahta kerajaan, apa itu tak keterlaluan? Siapa yang berani melakukannya? Mereka yang memiliki kemampuan hebat dan berilmu tinggi sekalipun akan berpikir seribu kali untuk mencoba menggulingkan kekuasaan. Sebabnya jelas sekali terlihat, dan semua orang mengetahui bahwa di dalam kerajaan banyak terdapat tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi yang selalu siap melindungi Sang Prabu dari marabahaya. Mereka juga tak segan-segan mempertaruhkan nyawa dalam membela kerajaan, dan juga tak kenal ampun terhadap orang-orang yang bermaksud jahat dengan membuat kerusuhan.

"Kenapa Gusti Prabu tak mengirim orang-orang kepercayaannya untuk mengusut kejadian itu?"

"Entahlah. Barangkali Sang Prabu menganggap persoalan itu masih enteng dan merasa bahwa aku bisa menanganinya...," sahut Adipati Mungkaran lesu.

"Lalu kenapa kau yakin bahwa ada sekelompok tokoh-tokoh persilatan yang bermaksud menggulingkan tahta kerajaan?"

"Aku hanya mencoba meluruskan firasatku belakangan ini...," sahut Adipati Mungkaran lemah.

"Eyang, bolehkah aku bicara?" tanya Putri Selari.

"Hm, kau mau bicara apa? Bicaralah."

Gadis itu memandang kepada Adipati Mungkaran seperti meminta ijin. Dan ketika dilihatnya laki-laki itu mengangguk kecil, dia melanjutkan kata-katanya. "Begini, Eyang. Aku punya dugaan kuat bahwa apa yang dikatakan Kakang Adipati Mungkaran ada benarnya. Ketika beberapa hari lalu Eyang menugaskanku untuk mencari obat di kota, aku melihat banyak sekali tokoh-tokoh persilatan menuju ke suatu tempat...."

"Itu hal yang biasa. Barangkali mereka akan mengadakan pertemuan antar perguruan untuk mengikat persahabatan."

"Mulanya aku menduga demikian. Tapi tahukah Eyang mereka menuju ke mana?"

Laki-laki tua itu memandang serius kepada gadis itu. Demikian juga halnya dengan Adipati Mungkaran.

"Ingatkah Eyang siapa yang dahulu pernah membuat kekacauan pada saat Gusti Prabu yang sekarang sedang dilantik menjadi raja? Eyang sendiri yang cerita kepadaku...."

"Dua bersaudara, Sobrang dan Degil?!" tebak Adipati Mungkaran dengan muka kaget memandang kepada gadis itu.

"Benar...."

"Dari mana kau tahu bahwa itu kediaman mereka?"

Putri Selari tersenyum kecil. Kemudian berkata pelan, "Maaf, Eyang. Tentu saja aku tahu karena aku masih mempunyai banyak kawan di luaran sana...."

"Budak kecil yang nakal! Aku seperti lupa pada dirimu dan siapa kau sebenarnya sebelum ketemu aku!" sungut orang tua itu sambil tersenyum kecil.

Tinggal Adipati Mungkaran yang terbingung-bingung dan tak mengerti apa yang dipercakapkan antara kedua orang itu. Namun belum lagi dia mengeluarkan suara untuk mencari tahu apa yang mereka bicarakan, sekonyong-konyong terdengar pekik kesakitan di luar sana. Dengan serentak ke-tiganya bangkit dan buru-buru keluar ruangan.

Adipati Mungkaran terkejut ketika melihat para pengawalnya terlihat pertarungan sengit dengan beberapa orang yang tak dikenalnya. Sekilas saja mereka sudah dapat menilai bahwa lawan-lawan para pengawalnya memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan berada di atas kemampuan para pengawalnya. Terbukti dalam beberapa saat saja banyak sudah pengawalnya yang menjadi korban dan tewas sambil mengeluarkan jeritan kematian.

"Hentikan semua ini!!" bentak Adipati Mungkaran dengan suara menggelegar.

Serentak mereka menghentikan pertarungan, dan para pengawalnya membuat barisan di dekat ketiga orang yang baru keluar dari pintu depan. Adipati Mungkaran beserta dua orang disebelahnya, memperhatikan dengan seksama. Tujuh orang yang menjadi lawan para pengawalnya berdiri tegak di dekat pintu gerbang.

"Ki sanak, siapakah kalian dan mengapa datang ke tempatku lalu membuat onar?" tanya Sang Adipati dengan suara tak senang.

Seorang yang bertubuh besar dengan kumis tebal melintang mendengus geram. Dia berjalan lima langkah dan menuding dengan sikap angkuh. "Siapa kau? Apakah kau yang menjabat sebagai Adipati di sini?"

"Ki sanak, dari nada bicaramu kau sama sekali tak bermaksud baik. Tapi sebagai tuan rumah, biarlah aku mengajarkan kepadamu bagaimana caranya bersikap sopan. Meski kau tak memperkenalkan dirimu, tapi aku akan menjawab pertanyaanmu. Kalau kalian datang hendak menghadap kepada Adipati Mungkaran maka kalian telah berhadapan dengannya saat ini...."

"Bagus! Kami membawa pesan untukmu!"

"Pesan dari siapa gerangan?"

"Kau tak perlu tahu! Isi pesan itu mengatakan bahwa kau diberi pilihan malam ini juga. Meninggalkan tempat ini atau kami musti meratakan tempat ini dan memotes kepalamu. Nah, pilihlah cepat!"

Mendengar kata-kata itu, sirnalah sudah kesabaran Adipati Mungkaran. Bahkan Ki Ageng Tebung yang sejak tadi tetap berusaha menahan sabar, mulai naik pula darahnya mendengar dan melihat keangkuhan orang itu. "Ki sanak, sudah jelas apa kedatangan kalian ke sini! Dan terus terang kalian tak akan mendapatkan apapun selain hukuman berat yang akan kutimpakan kepada kalian semua!"

"Adipati Mungkaran, ketahuilah! Kedatangan kami ke sini adalah untuk menghukummu dan segala tikus-tikus busukmu ini. Jadi jangan harap kau bisa berbuat sebaliknya kepada kami. Kuberi waktu sampai tiga kali hitungan dan sesudahnya keputusan ada ditangan kami!"

"Keparat-keparat busuk, enyahlah kalian dari tempatku ini!" bentak Adipati Mungkaran sambil memberi perintah pada para pengawalnya untuk meringkus mereka.

"Yeaaa...!"

"Huh, tikus-tikus busuk begini yang kau harapkan untuk melawan kami? Biarlah mereka mampus atas kebodohanmu menganggap kami rendah," kata orang tadi sambil bersiap menghadapi lawan-lawannya.

Namun bersamaan dengan itu, kawan-kawannya yang lain pun bersiap membantunya. Sedangkan tiga orang diantaranya mencelat kedepan dengan ringan melewati para pengawal itu dan menjejakkan kaki persis di depan Adipati Mungkaran.

"Biarlah mereka bermain-main sejenak dengan anjing-anjingmu itu, tapi kami tak bisa bermain-main dengan kepalamu!" dengus seorang perempuan tua bertubuh kurus dengan suara dingin mengancam.

"Nyai Sukesih, hm, kau rupanya dibalik semua ini?!" sahut Ki Ageng Tebung ketika mengenali perempuan tua itu.

"Ki Ageng Tebung, tua bangka keparat! Rupanya kaupun telah berada di sini. Bagus! Kali ini kau tak akan lolos dari tanganku!"

"Ha ha ha ha...! Siapa seharusnya yang berkata begitu? Bukankah kau yang mestinya tak bisa lolos dari tanganku kalau saja saat itu gurumu tak ikut campur persoalan kita dan menolongmu!" ejek Ki Ageng Tebung merendahkan.

"Tua bangka busuk! Mampuslah kau lebih dulu. Yeaaa...!"

Putri Selari sudah hendak bergerak menyambut serangan nenek itu, namun Ki Ageng Tebung telah mengetahui gelagat dan langsung mencegah muridnya itu.

"Tahan Selari! Biarlah tua bangka kempot itu menjadi bagianku! Kau hadapilah si bogel jelek itu sementara kakangmu akan menghadapi laki-laki bertampang tikus ini!"

Dengan kata-katanya itu. Ki Ageng Tebung secara tak langsung telah membagi pertarungan mereka menjadi tiga bagian. Meskipun terhadap dua orang lainnya yang tak dikenal, namun dia menganggap bahwa Nyai Sukesih adalah tokoh yang patut menjadi lawannya, sebab dahulu dia pernah berhadapan dengannya dan tahu betul sampai di mana kemampuannya.

"Ke sinilah kau gadis jelek. Hidup pun tiada berguna dengan mukamu yang buruk itu!" ejek laki-laki bertubuh kate dengan hidung besar dan bulat kepada Putri Selari.

"Kontet busuk! Apakah mukamu kelewat bagus? Biarlah kutunjukkan mukamu yang sebenarnya!" balas gadis itu dengan sengit.

Keduanya langsung terlibat pertarungan ketika gadis itu melompat dan menyerang lawan. Sementara itu tanpa banyak bicara, seorang laki-laki berkulit hitam dan bertubuh kurus dengan muka seperti tikus langsung melompat menyerang Adipati Mungkaran yang sudah sejak tadi bersiap menyambutnya.

"Mampuslah kau, Mungkaran!"
"Hup!"
"Hiyaaa...!"

TIGA

Pertarungan antara keempat orang tokoh persilatan itu dengan para pengawal kadipaten terlihat sekilas memang tak seimbang. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bukan pihak para pengawal yang menekan mereka, melainkan merekalah yang menekan habis-habisan para pengawal itu. Dan apa yang mereka lakukan sungguh luar biasa dan hebat bukan main.

Dalam beberapa saat saja para pengawal kadipaten yang berjumlah belasan kali lipat dibanding mereka, tumbang satu persatu dengan keadaan yang mengerikan. Keempat tokoh itu memang terlihat bukan orang sembarangan dan para pengawal itu adalah lawan empuk hagi mereka. Sehingga sebentar saja terlihat sisa para pengawal itu semua berjumlah empat orang.

"Sekarang mampuslah kalian!" seru orang yang bertubuh besar dan berkumis tebal itu sambil melompat dan mengayunkan senjata aritnya yang melengkung.

Bersamaan dengan itu tiga orang kawannya pun langsung berkelebal dengan ringan. Keempat pengawal kadipaten itu mencoba bertahan dan mendahului lawan dengan menyabetkan senjata di tangan mereka kearah lawan.

"Yeaaa...!"
"Hup!"
Breet! Duk! Des!
"Aaaa..."

Terdengar pekik kematian yang disusul ambruknya keempat pengawal kadipaten itu dengan tubuh bermandikan darah. Keempat orang tokoh persilatan itu langsung melompat meninggalkan lawan-lawannya yang telah terkapar dan terus membantu tiga orang kawannya yang lain.

"Yeaaa...!"
"Heh!"

"Mungkaran, dan kau Selari, hati-hati...!" teriak Ki Ageng Tebung memperingatkan kedua orang muridnya itu.

"Kaulah yang patut hati-hati sehab ajalmu sebentar lagi akan datang menjemput!" ejek Nyai Sukesih.

Apa yang dikatakan perempuan tua itu memang beralasan. Ki Ageng Tebung sendiri terkejut menyaksikan kemajuan ilmu silatnya yang pesat selama ini. Kalau semula dia yakin mampu menundukkan perempuan tua ini, namun saat ini dia bahkan tak yakin bisa lolos dari serangan-serangannya yang ganas dan bertubi-tubi. Belum lagi bantuan keempat kawan mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Sudah barang tentu membuat ketiga orang itu semakin terjepit saja.

"Hih!"
Wuut!
"Yeaaa...!"

Tiga orang yang kini mengerubutinya betul-betul bergerak cepat dan ingin menghabisinya dengan segera. Ki Ageng Tebung jungkir balik menyelamatkan diri. Dia mulai mengeluarkan jurus andalannya, yaitu Harimau Menerkam Mangsa. Tubuhnya melompat ke atas dengan kedua tangan membentuk cakar. Dari mulutnya terdengar raungan keras sebagaimana layaknya seekor harimau yang tengah mengamuk. Perbuatannya itupun di ikuti oleh kedua muridnya.

"Graungrr...!"
Tak!
"Heh!"
Breet!

"Kurang ajar!" Nyai Sukesih memaki kesal ketika bajunya di bagian dada kena dirobek lawan.

Masih untung dia cepat bergerak ke belakang, sebab kalau sedikit terlambat saja, niscaya dadanya akan robek dihajar cakar lawan. Tapi perempuan tua itu sempat terkejut. Tongkat di tangan salah seorang kawannya yang menderu keras menghantam, disambut oleh Ki Ageng Tebung dengan tangkisan tangannya yang keras dan kaku bagai sebuah besi baja.

"Huh, kau pikir ilmu Tembesimu bisa diandalkan? Kau rasakanlah ini!" dengus Nyai Sukesih sambil menyilangkan kedua tangannya.

Sorot matanya tajam dan raut wajahnya terlihat menyeramkan. Perlahan-lahan kedua tangannya yang menyilang itu berubah ungu dan mengepulkan asap yang berbau sangit. Ki Ageng Tebung tersentak kaget dan tak sadar mundur beberapa langkah. "Aji Puspa Geni...!"

"Hm, agaknya kau mengenali juga ajianku ini. Tapi barangkali kau belum begitu mengenalnya dengan baik. Nah, kau boleh mengenalnya sekarang!"

Bersamaan dengan itu tubuh Nyai Sukesih melompat menyerang lawan, dan diikuti oleh kedua orang kawannya. Ki Ageng Tebung terlihat sangat berhati-hati sekali. Ajian yang dikerahkan lawan bukan main-main sebab mengandung racun yang mematikan.

"Yeaaa...!"
"Uts...!"

"Mampus...!" Seorang membentak sambil mengayunkan ujung pedang menyambar kearah leher.

Ki Ageng Tebung mundur ke belakang, dan memutar tubuh ketika seorang lawan yang lain mengayunkan tongkat kayu dengan menyodok ke arah jantung. Meskipun hanya tongkat kayu namun karena yang memainkannya orang yang memiliki tenaga dalam tinggi, maka senjata itu sama berbahayanya dengan senjata tajam lainnya.

"Hiyaaat...!"
"Aakh...!"

Orang tua itu mengeluh kesakitan ketika pinggangnya terkena angin serangan lawan. Buru-buru dia melompat ke belakang. Namun Nyai Sukesih mana mau membiarkan lawan lepas begitu saja. Dia langsung melompat dan mengirim serangan susulan. Kedudukan Ki Ageng Tebung memang benar-benar mengkhawatirkan. Dia sama sekali tak berani memapaki serangan lawan dengan ilmu Tembesi yang dimilikinya. Selain keras dan kaku seperti ilmu yang dimilikinya, kedua tangan lawan mengandung hawa panas yang luar biasa dan mampu membakar kulit tubuhnya pada jarak setengah jengkal. Orang tua itu tak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila serangan itu mengenai sasaran. Namun baru saja dia berpikir begitu terdengar jerit kesakitan.

"Aakh...!"
"Selari'.'"

Tubuh Ki Ageng Tebung mencelat tinggi dan bermaksud menyelamalkan nyawa murid perempuannya yang tengah diambang maut. Dua orang yang mengeroyoknya dengan sadis mengayunkan senjata kearah gadis itu yang terkapar di tanah dengan luka-luka di sekujur tubuhnya.

"He, kau pikir bisa lolos dari tanganku? Yeaaa...!"

Wuuut!
Plak!
Breees!
"Aaaakh...!"

Ki Ageng Tebung menjerit keras sambil menahan sakit yang luar biasa pada raut wajahnya. Ketika tubuhnya mencelat ke atas, perempuan tua itu menyusul sambil mengayunkan sebelah tangan. Orang tua itu tentu saja telah menduga hal itu, dan dia mencoba menangkis dengan ilmu Tembesi. Namun berakibat patal sebab tangannya langsung meleleh dengan tulang remuk.

Namun meskipun begitu, semangat Ki Ageng Tebung tampak masih menyala. Sebelah tangannya yang lain mampu menghajar seorang lawan yang hendak mengayunkan senjatanya kepada Putri Selari. Kepala orang itu remuk sambil mcngeluarkan jeritan kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung sebelum akhirnya ambruk tak berdaya.

"Selari, cepai pergi dari sini! Ayo pergi! Selamatkan dirimu dan beri khabar kepada orang-orang kerajaan...!" bentak Ki Ageng Tebung.

"Ta...."
"Aaaakh...!"
"Mungkaran?! Oh, celaka...!"

Belum lagi gadis itu menyahut, terdengar jerit kesakitan. Keduanya tersentak kaget. Tubuh Adipati Mungkaran tampak terhuyung-huyung dengan sebelah lengan putus. Dari mulutnya menyembur darah segar. Namun dengan gagahnya dia masih memberikan perlawanan kepada lawan-lawannya.

"Cepat Selari! Tak ada waktu lagi! Pergilah kau dari sini dan selamatkan dirimu!" bentak Ki Ageng Tebung sambil mendorong tubuh muridnya itu.

"Mau coba-coba kabur, he? Jangan harap!" ejek Nyai Sukesih sambil tersenyum sinis.

Ki Ageng Tebung memandang tajam. Kini empat orang lawan telah berdiri tegak mengurung mereka. Dia menggigit bibir dengan geram. Kemudian berbisik pelan kepada muridnya itu. "Bagaimana pun kau harus menyelamatkan diri dari tempat ini. Pergilah ke kerajaan dan laporkan peristiwa ini. Katakan, bahwa Ki Sobrang dan Ki Degil berada di belakang semua ini!"

"Tapi Eyang...."

"Dengar! Aku tak butuh bantahanmu. Kau harus menuruti apa yang kukatakan dan jangan coba-coba menoleh ke belakang walau apapun yang terjadi terhadap kami! Ayo, siap!"

Putri Selari diam tak berkata apa-apa lagi. Hatinya mulai cemas bercampur sedih. Dia tahu betul, apa yang dimaksud gurunya itu. Kedudukan mereka terjepit dan orang-orang ini memiliki kepandaian yang hebat. Kecil sekali kemungkinan mereka bisa kabur, bahkan rasanya tak mungkin. Kecuali..., gurunya berbuat nekat, dan agaknya hal itulah yang akan dilakukannya kini. Bagaimana dia tak merasa sedih? Ki Ageng Tebung bukan cuma sekedar guru, melainkan orang tua yang selalu melindungi dan memberikan kasih sayang kepadanya selama ini. Banyak sudah pelajaran yang didapatnya. Dan bukan cuma sekedar ilmu olah kanuragan. melainkan juga adab dan sopan santun serta budi bahasa yang mulia. Padahal kebahagiaan itu baru dirasakannya seperti beberapa hari saja. Mustikah hal itu berakhir hari ini?

"Yeaaa...!" Ki Ageng Tebung berteriak menggeledek ketika tubuhnya melompat dan menerkam Nyai Sukesih dengan tangan terpentang dan kedua kakinya berputar untuk menghajar kedua lawan yang berada di dekat perempuan tua itu.

Plak!
Duk!
Bress!
"Akh...!"
"Eyang...!" Lari! La...."
"Hih!"
Bress!
"Aaa...!"

Begitu melihat lawan bergerak.menyerangnya dengan nekat, Nyai Sukesih langsung menyambut dengan aji Puspa Geni. Ki Ageng Tebung mengerutkan wajah menahan sakit. Ujung kakinya yang kanan berhasil menyambar dagu salah seorang lawan dan membuatnya terjungkal. Namun dia sendiri tak luput dari serangan Nyai Sukesih. Dengan geram perempuan tua itu menyodok perut lawan. Ki Ageng Tebung terpekik ketika kepalan lawan menembus dan menjebol perutnya. Bau daging terbakar bercampur dengan cucuran darah yang hitam. Putri Selari yang melihat itu berseru kaget. Namun dengan suara yang terbata-bata gurunya masih sempat memperingatkan sambil mengulurkan tangan sebelum tubuhnya ambruk. Nyai Sukesih menambahkan dengan menghajar dada kiri lawan. Orang tua itu cuma sempat menjerit kecil. Dia melenguh sesaat, untuk kemudian ambruk dengan tubuh kejang membiru.

"Yeaaa...!"
Plak!
Beghk!
"Aaaa...!"

Putri Selari melompat dengan mengerahkan segala kemampuannya untuk meloloskan diri dari serangan lawan. Pada saat itulah tubuh Adipati Mungkaran yang tengah terhuyung-huyung di hajar lawan, tiba-tiba saja dengan tenaganya yang ada, dia bergerak cepat menyerbu untuk menyerang lawan gadis itu. Namun lawan dengan cepat menghindar. Sebelah tangannya menangkis pukulan Adipati Mungkaran, dan dengan sekuat tenaga dia mengayunkan ujung kaki menyodok dada lawan. Adipati Mungkaran menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental, namun sebelum sempat jatuh ketanah. Nyai Sukesih telah menyambut dengan pukulan mautnya.

"Mampus...!
Hiih!"
Bress!

Adipati Mungkaran tak sempat menjerit lagi sebab nyawanya telah putus sejak ladi.

"Kejar gadis itu dan jangan biarkan dia lolos!" teriak Nyai Sukesih memberi perintah.

"Kita harus berpencar!" sahut yang lainnya.

"Dia pasti belum jauh. Cari dia sampai dapat dan pastikan kalau dia mampus!" lanjut Nyai Sukesih lagi sebelum tubuhnya melesat ke satu arah.

Sementara kelima kawannya yang lain pun telah bergerak dengan arah yang berbeda.

********************

Putri Selari terus berlari dengan sekuat-kuatnya sambil mengerahkan segenap kemampuannya. Dia tahu betul bahwa mereka tak mungkin akan membiarkannya begitu saja. Dan orang-orang itu pun bukanlah tokoh-tokoh berilmu rendah. Kalau dia berhenti sesaat saja, maka bisa jadi jarak mereka akan semakin dekat. Meski tak tahu harus ke mana, gadis itu berlari sesuka hatinya pada satu arah yang membawanya menerobos pekatnya malam dan diantara suara burung malam dan pohon-pohon yang semakin lebat.

Kakinya tersaruk-saruk dan sesekali tersandung akar pohon. Namun dia cepat bangkit dan terus berlari. Nafasnya terasa sesak dan tersengal, dan rasa penatnya seperti tak tertahankan lagi. Namun sekonyong-konyong pendengarannya mengalakan bahwa beberapa orang atau seseorang dari para pengejarnya begitu dekat dengannya. Dan hal ini malah membuatnya bertambah semangat untuk terus berlari.

Sampai di suatu tempat yang agak luas dan dipenuhi rumput-rumput, gadis itu sedikit berseri. Ada sedikit cahaya lampu yang dilihatnya di depan sana. Pasti sebuah desa atau perkampungan, dan dia bisa meminta perlindungan pada salah seorang pemilik rumah itu.

"Hup!"

"Hah!" Putri Selari terkejut setengah mati. Mukanya pucat dan langkahnya langsung terhenti ketika sesosok bayangan berdiri tegak di depannya. Wajahnya menyeringai buas serta memancarkan hawa pembunuhan yang sadis. Tanpa sadar gadis itu bergerak mundur.

"He he he he...! Kau pikir bisa melarikan diri dari kami. he?" dengus orang itu dengan suara sinis.

Gadis itu tak tahu lagi harus berbuat apa. Tenaganya telah terkuras habis. Kalaupun dia melawan, rasanya percuma saja. Orang ini tentu dengan mudah mengalahkannya. Dan kalau sampai dia tewas, lalu siapa yang akan menyampaikan amanat gurunya kepada pihak kerajaan?

Berpikir begitu semangatnya kembali bangkit. Dipandanginya laki-laki bertubuh kurus dengan pedang berkilat tajam dalam genggaman tangan kanannya. Sorot matanya tajam dan wajahnya sangat garang.

"Huh, kau pikir aku takut? Majulah!"

"Ha ha ha ha...! Boleh juga gertakmu itu, bocah. Tapi sadarkah kau tengah berhadapan dengan siapa saat ini? Gurumu sendiri pun kalau masih bernyawa belum tentu bisa berkata seangkuh itu kepadaku!"

"Siapa yang peduli denganmu? Kau dan yang lainnya hanya sekumpulan anjing busuk yang kelaparan! Siapa yang musti takut dengan kalian."

Mendengar kata-kata penghinaan gadis itu, bukan main marahnya laki-laki itu. Dia menggeram hebat dan siap mengayunkan pedangnya. "Gadis hina keparat! Kau berani memaki pada Ki Langkap Bilur? Terimalah kematianmu!"

Tubuhnya melompat sambil mengayunkan ujung pedang menyambar leher gadis itu. Putri Selari menundukkan tubuh sambil menjatuhkan diri ke samping.

"Yeaaa...!"
Crak! Crak!
"Aah...!"

Sambil berguling-gulingan dia mencoba menghindari sambaran pedang lawan yang mencecar dengan gencarnya. Ujung kaki kanannya mencoba menghantam pangkal paha lawan, namun laki-laki yang mengaku bernama Ki Langkap Bilur itu cepat menangkis dengan kaki kirinya dan terus menghajar pinggang gadis itu.

Des!
"Akh...!"
"Mampuslah kau sekarang! Yeaaa...!"
"Hup!"
Crak!
Begkh!
"Aaaah...!"

Putri Selari memekik kesakitan. Pada saat yang kritis, tubuhnya bergulingan sehingga senjata lawan menghajar tanah. Tapi dengan cepat Ki Langkap Bilur berbalik dan menghajar dada lawan dengan ujung kakinya. Putri Selari terjengkang dan dadanya terasa sakit bukan main. Tak terasa dari sela bibirnya menetes darah segar yang berusaha ditahannya.

"Kali ini mampuslah kau!" bentak laki-laki itu sambil mengayunkan pedangnya dengan cepat.

Agaknya dia tak mau lagi memberi kesempatan pada gadis itu untuk lolos dari serangannya. Dan Putri Selari pun rasanya sulit untuk melepaskan diri dari ancaman lawan. Dia memejamkan mata dengan sikap pasrah.

Wuuut!
Tras!
"Heh!?"

Ki Langkap Bilur tersentak kaget. Seberkas sinar biru menerangi tempat itu untuk beberapa saat. Dia cuma melihat sekilas dan baru menyadari bahwa pedang ditangannya putus dan hanya tersisa setengah jengkal dari genggamannya. Laki-laki itu cepat bergerak mundur dan melihat sesosok tubuh berdiri tegak didekatnya entah datang dari mana.

"Siapa kau?! Lancang betul berani mencampuri urusanku!

"Maaf Ki sanak. Aku cuma seorang pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini. Namaku Rangga...." sahut orang yang baru datang itu dengan suara halus.

Ki Langkap Bilur memandang dengan cermat. Orang yang baru datang ini hanyalah seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang serta mengenakan rompi putih. Kelihatannya biasa saja, tapi senjata apa yang dipergunakannya tadi?

Sudah jelas bukan senjata sembarangan. Dan kalau seorang yang telah mampu menggunakan senjata hebat itu. pastilah dia bukan sembarangan orang. Tak terasa Ki Langkap Bilur kecut juga hatinya. Dia berusaha bersikap setenang mungkin dan mengeluarkan suara yang berkesan angkuh untuk memperlihatkan kepada pemuda itu bahwa scdikit pun dia tak merasakan gentar.

EMPAT

Sementara itu si pemuda dengan wajah tak acuh berjongkok untuk memeriksa luka yang diderita gadis itu. Tapi baru saja hal itu akan dilakukannya, kembali Ki Langkap Bilur membentak. "Ki sanak, kau betul-betul menghinaku tanpa memperdulikan keberadaanku di sini! Pergilah dari sini atau aku musti menghajarmu seperti gadis celaka itu?!"

Rangga kembali berdiri dan memandang tajam kepada orang itu. Pemuda yang tak lain daripada Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian menyahut pelan. "Ki sanak, persoalan apakah yang telah terjadi sehingga kau bermaksud hendak mcmbunuhnya? Gadis ini kulihat telah terluka dalam. Kalau tak cepat ditolong dia bisa tewas...."

"Huh. Apa peduliku dengan kematiannya?! Kalau dia mampus itu lebih baik. Pergilah! Ini bukan urusanmu!"

"Aku tak akan pergi dari sini sebelum kau menjelaskan apa sebenarnya yang telah terjadi di sini dan kenapa kau begitu bernafsu untuk membunuhnya," sahut Rangga tegas.

"Bocah keparat! Rupanya kau betul-betul keras kepala dan bermaksud mencampuri urusan Orang! Huh, kau pun boleh mampus bersama dengannya!" bentak Ki Langkap Bilur sambil melompat menyerang pemuda itu.

Amarahnya menggelegak dan tak bisa dikendalikan lagi melihat kebandelan pemuda di hadapannya itu. Dalam hati dia merasa ditantang dan seolah merasakan bahwa pemuda ini sama sekali menganggapnya rendah. Hal itu sudah cukup membuat kemarahannya semakin bergejolak. Maka tanpa memikirkan keadaan lawan lagi, dia langsung menyerang dengan menggunakan jurus terhebat yang dimilikinya.

"Ki sanak, ternyata kaulah vang begitu bernafsu menginginkan nyawa orang. Pasti kau pula yang begitu bernafsu mencari urusan dengan gadis itu. Dan kini jelaslah sudah, siapa pengacau yang sebenarnya!" sahut Rangga sambil menghindar dengan gerakan gesit atas serangan-serangan lawan yang mematikan.

"Yeaaa...! Mampus!"

"Ha ha ha ha....! Belum lagi, sobat!"

"Kurang ajar! Kau pikir bisa lolos dariku, he? Ki Langkap Bilur tak bisa kau permainkan begitu rupa dan kau harus menggantinva dengan nyawa busukmu!"

"Hm, siapa yang mempermainkanmu? Kau sendiri yang melakukannya. Kenapa mesti marah-marah padaku?"

"Bajingan busuk! Kusobek mulutmu nanti!" "Kau boleh melakukannya sekarang juga!"

"Hiih!"

"Uts....! Sedikit lagi, sobat!"

Bukan main kalapnya Ki Langkap Bilur dipermainkan lawan begitu rupa. Meski telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, namun jangankan berhasil melukai lawan, bahkan untuk menyentuh ujung bajunya pun dia belum mampu. Diam-diam laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun lebih itu kecut juga nyalinya. Selama ini dia jarang menemukan lawan yang setangguh pemuda ini. Padahal lawan sama sekali belum membalas serangannya. Dia tak bisa membayangkan apakah mampu menahannya bila kemudian pemuda ini balas menyerang.

"Ki sanak, kau terlalu memaksaku. Tak ada jalan lain bagiku selain membela diri. Tapi kalau terus begini sungguh keterlaluan, dan agaknya kau tak segan-segan mencelakai diriku. Mau tak mau aku mesti membalas!"

"Huh, cobalah kalau kau mampu! Kau cuma mcmpercepat kematianmu saja!"

"Ha ha ha ha...! Mungkin begitu, tapi yang jelas aku tak ingin buru-buru. Apalagi musti mampus ditangan seekor kutu busuk sepertimu...," ejek Rangga.

"Keparat! Yeaaa...!"

"Hup! Lihat serangan!"

Sambil berkelit cepat, tiba-tiba saja Rangga menyodokkan ulu hati lawan dengan pukulan yang keras. Ki Langkap Bilur terkejut, dan membuang diri ke samping. Namun kaki kanan pemuda itu menyapu ke bawah menyambar punggung lawan. Tak ada pilihan lain bagi Ki Langkap Bilur kalau tak mau celaka. Dia musti menangkis dengan tangannya.

Bletak!

"Aakh...!" Ki Langkap Bilur menjerit keras ketika terdengar tulang berdetak patah. Belum lagi dia sempat memperbaiki keadaan, satu tendangan keras menghantam perut dan membuatnva tersungkur dengan tubuh jungkir balik. Sambil mengeluh kesakitan dia berusaha bangkit sambil memegang tangannya yang patah dihajar tendangan lawan tadi. Sorot matanya liar dan memendam amarah yang hebat.

"Kesinilah kalau memang kau masih penasaran!" kata Rangga dengan suara dingin.

"Ki sanak, biarlah kali ini aku mengaku kalah. Tapi ingat! Persoalan ini belum selesai dan kau akan menanggung akibatnya kelak!"

"Hm, apakah itu berarti kau tak akan meneruskan urusan kita ini'.'"

Ki Langkap Bilur mendengus geram. Dia memandang sekilas. kemudian berlalu dari tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi. Rangga hanya membiarkannya saja, dan menoleh kepada gadis itu ketika lawan telah menghilang dari pandangannya. Terlihat gadis itu masih menahan nyeri dan melangkah limbung mendekatinya. Rangga buru-buru menangkap bahunya ketika nyaris gadis itu akan terjerembab jatuh.

"Terima kasih Ki sanak. Kau... telah menolongku...."

"Beristirahatlah dulu. Kau terluka dalam dan tenagamu agaknya terkuras habis...."

"Tidak. Kita harus cepat-cepat pergi dari sini. Jumlah mereka ada enam orang. Kalau semuanya ke sini, kita bisa celaka!"

"Tenanglah. Biar kucoba mcngatasi mereka...."

"Jangan! Kau akan celaka. Mereka berilmu tinggi dan berhati kejam. Sebaiknya kita pergi dari sini secepatnya!"

Suara gadis itu terdengar cemas dan bingung. Dalam keadaan lemah begini tentu akan sangat mcmpengaruhi kesehatannya. Rangga merasa tak ada salahnya dia menuruti kata-kata gadis itu. Maka dengan sekali bergerak, dia menggendong tubuh Putri Selari dan berkelebat cepat dari tempat itu.

"Maaf, aku sama sekali tak bermaksud buruk padamu .," katanya ketika melihat gelagat bahwa gadis itu sedikit tak senang dengan perbuatannya.

********************

Setelah sekian lama berlari dan merasa bahwa jarak mereka telah terpaut jauh dari tempat semula, Rangga menghentikan langkah dan menyandarkan gadis itu di bawah sebatang pohon.

"Di mana kita sekarang...?"

Rangga memandang ke sekeliling tempat itu. Dia sendiri masih merasa asing di tempat ini. Apalagi malam semakin pekat dan sejauh mata memandang hanya terdapat gelap diantara batang-batang pohon dan gerumbulan semak. Dia menggeleng lemah sambil mengumpulkan ranting-ranting kayu yang terdapat di situ.

Gadis itu terdiam dan duduk bersila sambil memusatkan pikiran pada satu titik. Kelopak matanya terpejam dan nafasnya mulai diatur sedemikian rupa untuk mengerahkan hawa murni di bawah perut.

Rangga memandang sekilas, kemudian membuat api unggun. Tak lama suasana sedikit hangat dan terang. Pemuda itu terkejut ketika mengetahui dengan tegas rupa gadis itu. Kalau tadi hanya samar-samar terlihat, tapi kini jelas bahwa wajah itu buruk sekali. Penuh kisut-kisut dan lobang-lobang kecil dengan kulit yang kasar. Dia mencoba menekan rasa tak enak di hati, dan sambil membaringkan tubuh agak jauh dari gadis yang masih tetap bersila.

Putri Selari merasa tubuhnya agak segar setelah beberapa saat memusatkan pikiran dan mengatur pernafasan serta jalan darahnya. Dengan adanya api unggun di dekatnya, hawa dingin malam sedikit terusir. Dipandanginya untuk beberapa saat pemuda yang tadi telah menolongnya. Dia bahkan tak mengenalnya sama sekali. Siapa orang ini dan apakah dia memang bermaksud baik kepadanya? Hm, pengalaman selalu mengajarkannya untuk tidak percaya begitu saja kepada orang yang baru dikenalnya. Siapa tahu pemuda ini mempunyai maksud tersembunyi, atau barangkali dia salah satu diantara orang-orang yang akan membunuhnya. Berpikir begitu, Putri Selari dengan hati-hati sekali bangkit dari duduknya dan bermaksud beranjak dari situ. Namun baru saja dia melangkah dua tindak, terdengar satu suara menegurnya.

"Ni sanak, mau kemanakah kau malam-malam begini?"

"Heh!" Gadis itu terkejut. Dia memastikan sekali lagi dan masih melihat bahwa pemuda itu membelakanginya sedang jarak mereka kurang lebih dua tombak. Sejak dia bangkit pun matanya tak lepas mengawasi pemuda itu, dan sama sekali tak terlihat dia menoleh. Sudah jelas, pemuda itu pasti memiliki pendengaran yang tajam, pikir gadis itu. Dan hal itu membuktikan bahwa dia memang bukan orang sembarangan. Tadi saja dia sudah melihat bahwa pemuda itu dengan mudah mengalahkan lawannya. Tanpa sadar dia bergidik sendiri dan membayangkan, apa yang akan dilakukan pemuda itu terhadapnya.

"Kau curiga padaku....'" tanya Rangga bangkit dan duduk bersila memandangi gadis itu yang masih berdiri tegak dengan sikap bimbang.

Putri Selari diam tak menjawab. Rangga tersenyum tipis, lalu melanjutkan kata-katanya.

"Kalau memang keadaanmu sudah lebih baik, aku tak akan mencegahmu. Apalagi kalau memang kau curiga kepadaku. Silahkan. aku tak akan menghalang-halangimu. Tapi barangkali ada baiknya kalau kau menunggu sampai esok hari. Anggap saja ini nasehat dariku...."

Gadis itu diam tak memberikan jawaban. Dia memandang sekilas pada pemuda itu. Entah apa yang berkecamuk dalam benaknya, tapi kemudian terlihat dia kembali duduk di tempatnya semula sambil memandangi jilatan api unggun.

Rangga bangkit dan duduk di depan gadis itu. Jarak mereka cuma dihalangi api unggun. Dipandanginya sejenak gadis itu, kemudian berkata pelan. "Namaku Rangga...."

"Ya, aku sudah dengar. Aku... Putri Selari...." sahut gadis itu lirih.

"Putri? Kau anak seorang raja atau pembesar...?"

Gadis itu tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Barangkali malah sebaliknya. Aku berasal dari kalangan gembel...."

Kali ini Rangga yang tersenyum tak percaya.

"Aku berkata yang sesungguhnya. Sampai seorang yang begitu baik hati mengangkatku menjadi anaknya dan mendidikku...."

Sampai di situ suara gadis itu terputus. Dia menundukkan wajah dan meski tak mengetahui apa yang terjadi. Rangga dapat merasakan kepiluan hati gadis itu. Dia menunggu beberapa saat sebelum membuka suara.

"Lalu ke mana orang itu...?"
"Dia... dia telah tiada...."
"Tewas maksudmu?"

Putri Selari mengangguk. Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa percaya kepada pemuda ini. Mungkin juga karena perasaan hatinya yang sedang sedih dan membutuhkan seorang untuk mendengarkan, sehingga dia menceritakan apa yang terjadi pada dirinya.

Rangga mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar cerita gadis itu. "Hm, jadi kau sekarang akan ke kerajaan? Kalau tak merasa keberatan aku bersedia mengawanimu...."

"Terima kasih...."

"Ada satu hal yang membuatku heran. Bagaimana kau akan meyakinkan pihak kerajaan bahwa perbuatan itu didalangi oleh dua orang yang menamakan dirinya sebagai Ki Sobrang dan Ki Degil itu?" tanya Rangga heran.

"Aku tak tahu pasti. Yang jelas dulu mereka pernah mencoba melakukan hal itu. Pemberontakan terhadap kerajaan, maksudku. Atau juga karena perempuan tua yang bernama Nyai Sukesih itu berkawan akrab dengan keduanya. Guruku pernah menceritakan hal ini, kalau tidak, tak mungkin dia bisa merasa begitu yakin bahwa kedua orang itu adalah pelakunya. Tapi seperti apa yang kuceritakan tadi, aku memergoki beberapa tokoh persilatan yang menuju ke tempat mereka...."

Rangga kembali menganggukkan kepala mendengar penjelasan gadis itu. Bisa jadi apa yang diceritakannya benar, tapi tak menutup kemungkinan untuk salah. Apakah tidak mungkin kalau itu cuma urusan dendam antara gurunya dengan orang-orang itu? Ataukah memang benar seperti apa yang diduga gadis itu, bahwa kedua orang yang lebih dikenal sebagai Sepasang Naga Pertala itu ingin mengadakan pemberontakan dan merebut tahta kerajaan? Heh, ini persoalan rumit! Sungguh nekat dan gegabah sekali kedua orang itu. Siapapun mengetahui bahwa kedudukan kerajaan saat ini tengah kuat-kuatnya dan rasanya sulit bagi segelintir orang, meskipun berilmu linggi, untuk mencoba menggulingkan kekuasaan yang sah atas tahta kerajaan!

********************

Menjelang tengah hari mereka tiba di kotaraja. Suasana tampak ramai dan beberapa orang memandang mereka dengan heran. Sebagian malah menggeleng-gelengkan kepala. Bahkan tak kurang yang begitu bertatapan dengan gadis di sebelahnya, langsung memalingkan muka dengan perasaan jijik.

"Orang-orang memandangku dengan perasaan jijik. Apakah kau tak merasa malu berjalan denganku...?" tanya gadis itu lirih.

Rangga memandangnya sekilas, kemudian tersenyum tipis. "Kenapa aku harus malu? Kau toh manusia dan bukan benda yang menjijikkan seperti kotoran atau sampah dan yang sejenisnya...."

Putri Selari tersenyum kecil. "Kau berkata begitu tentu sekedar ingin menghiburku. bukan?"

"Apakah dengan wajahmu yang demikian berarti setiap orang yang berjalan denganmu harus menghiburmu?"

"Kau lucu. Seharusnya pertanyaanku yang dijawab, ini malah memberikan pertanyaan lain...."

"Sudahlah, kita ke sini bukan untuk pembicaraan persoalan itu kan? Nah, di depan sana pintu gerbang istana kerajaan sudah terlihat!"

"Mudah-mudahan mereka mau menerimaku dan mempercayai kata-kataku...!"

Keduanya melangkah dengan bergegas. Pintu gerbang itu dijaga oleh beberapa orang penjaga. Salah seorang langsung menghadang ketika keduanya mendekat.

"Siapa kalian dan mau apa ke sini?"

"Aku.... Selari dan ini Rangga, kawanku. Kami dari tempat kediaman Adipati Mungkaran, membawa berita untuk Gusti Prabu...."

Prajurit kerajaan itu memandang gadis itu beberapa lama dengan muka tak senang. Kemudian dia berkata dengan tegas. "Kalian sama sekali tak mengesankan sebagai utusan Adipati Mungkaran. Pergilah dari sini dan jangan mengganggu. Kalau tidak, kalian akan kutuduh ingin mengacau disini!"

"Tapi Ki sanak, ini penting sekali! Aku harus menyampaikannya kepada Gusti Prabu!" Putri Selari mencoba memaksa.

"Pergi kataku! Gusti Prabu saat ini sedang sibuk menerima tamu-tamunya, dan kalian kesini hanya mengacau saja. Pergi kataku. sebelum aku berubah pikiran dan menangkap kalian!" bentak prajurit kerajaan itu dengan wajah berang.

"Ki sanak, tak bisakah kau mengijinkan kami menghadap Gusti Prabu? Ini soal penting dan menyangkut keselamatan beliau sendiri. Cobalah kau mempercayai kami...." ujar Rangga dengan suara yang dibuat seramah mungkin.

Tapi akibatnya malah membuat prajurit kerajaan itu memandangnya garang. Sepasang matanya melotot seperti hendak keluar dari kelopaknya. Beberapa orang kawannya langsung mendekat ketika orang itu membentak. "Tangkap mereka dan jebloskan ke dalam penjara...!"

"Eh, Ki sanak! Apa-apaan ini?!"

"Jangan banyak tanya! Ayo, ikut atau kalian akan dijatuhi hukuman berat!" bentak salah seorang prajurit kerajaan sambil menghunuskan ujung tombak ke dada Rangga.

Rangga tidak tahu harus berbuat apa. Persoalan ini menjadi sangat membingungkannya. Orang-orang mulai meributkannya dan beberapa orang prajurit-prajurit kerajaan tampak mulai berdatangan menghampiri mereka. Tetapi sebelum dia bertindak, Putri Selari sudah bergerak lebih dulu.

"Anjing-anjing busuk! Kalian memang goblok dan percuma bekerja dengan pemerintah! Yeaaa...!"

Dua orang prajurit kerajaan yang menodongkan ujung tombaknya ke tubuh gadis itu tiba-tiba jatuh tersungkur di tanah sambil menjerit kesakitan.

"Rangga, cepat keluar dari sini...!"
"Eh, apa...."
"Tangkap! Ada pengacau....! Ada pengacau...!"
"Hup!"
"Aakh...!"

Suasana cepat menjadi kacau. Rangga melihat gadis itu melompat dan berlari dari tempat itu. Mau tak mau dia terpaksa mengikuti. Tapi prajurit-prajurit kerajaan itu semakin ramai saja dan tak membiarkan mereka kabur begitu saja. Lebih dari sebelas orang langsung mengejar mereka. Kedua orang itu terus berlari diantara kerumunan dan lalu-lalang orang dan rumah-rumah, serta lorong-lorong sempit. Namun setiap kali mereka hendak mencari jalan keluar, sepertinya seluruh prajurit kerajaan telah menghadang.

"Celaka! Kita telah terkepung dan tak bisa keluar dari kotaraja ini!" umpat gadis itu kesal.

"Bagaimana pun kita harus keluar dari tempat ini!"

"Tapi hagaimana caranya...? Agaknya pihak kerajaan telah menyiapkan segalanya. Buktinya dalam waktu sekejap prajurit-prajuritnya telah bertebaran di mana-mana...."

"Sssst...!" Rangga mendekap mulut gadis itu cepat ketika telinganya mendengar beberapa derap langkah kaki mendekati mereka.

Keduanya bergerak perlahan melewati lorong-lorong kumuh diantara rumah-rumah para penduduk yang berdekatan dengan sungai yang kotor dan timbunan sampah yang menebarkan bau busuk. Rumah-rumah di sini terlihat kumuh dan tak terurus. Beberapa orang gelandangan tampak berkeliaran dengan baju lusuh. Di antaranya ada yang duduk termenung seperti orang bingung sambil memegangi kudis yang membusuk di lututnya. Yang lain ada yang sedang memomong bayi kecil yang terus menangis. Beberapa orang memperhatikan mereka dengan tatapan tak peduli.

"Ke sini...!" ajak gadis itu.

"Sial! Tiga orang prajurit di sana!" tunjuk Rangga.

Keduanya kembali mencari jalan yang baik, namun di ujung jalan telah menanti lima orang prajurit kerajaan yang berjalan dengan tergesa-gesa. Hal yang paling menguntungkan bagi mereka adalah bahwa orang-orang itu belum melihat kepadanya. Tapi tak lama lagi orang-orang itu pasti akan. Cuma soal waklu saja, sebab semua jalan keluar telah tertutup rapat. Putri Selari mengeluh, dan Rangga bertekad akan memberikan perlawanan meski akibatnya akan sangat hebat nantinya. Melawan prajurit kerajaan. Itu sama artinya dengan melawan seluruh orang kerajaan dan dia akan menjadi buronan selamanya!

"Ssst, lewat sini! Ayo!"

"Siapa...? Gondo, astaga! Kau ada disini?!" Putri Selari terkejut kaget ketika seorang berbaju kumal menegur mereka dan memberi isyarat agar mereka masuk kedalam sebuah rumah.

Tanpa pikir panjang lagi dia menarik lengan Rangga dan kedua orang itu lenyap dari pencarian para prajurit kerajaan ketika pintu rumah itu tertutup rapat!

LIMA

Keduanya mengikuti laki-laki berperut agak gendut itu menuju tangga yang menuju ruang bawah tanah. Di sana terdapat beberapa orang yang berwajah kumuh, dengan baju lusuh yang menyambut mereka dengan pandangan heran. Tapi laki-laki gendut yang dipanggil Gondo itu segera menempelkan telunjuknya ke bibir. Wajahnya tampak cerah. Kemudian dengan suara pelan yang agak sedikit nyaring, dia berkata pada orang-orang itu.

"He, kenapa kalian diam saja? Beri hormat pada junjungan kita. Putri Selari telah berada di depan kita."

"Apa...? Putri Selari...?"

"Oh...?!" Orang-orang itu memandang dengan wajah terkejut. Dan tidak percaya pada gadis berwajah buruk rupa yang baru masuk itu.

"Gondo, bicara apa kau? Putri Selari adalah wanita terhormat dan berwajah amat cantik. Bukan seperti nenek sihir begini...!" dengus salah seorang.

"Betul! Kau jangan mempermainkan kami, Gondo!"

"Jangan-jangan dia mata-mata."

Suasana di tempat itu mulai panas. Dan orang-orang yang berjumlah sekitar lima belas orang itu berdiri tegak dengan wajah curiga. Gondo langsung melangkah ke depan, menenangkan mereka.

"Tenang, tenang...! Sebentar akan kujelaskan semuanya. Dengarkan, mereka berdua sedang dikejar-kejar pihak kerajaan. Itu membuktikan kalau mereka musuh kerajaan. Yang kedua, siapa yang lebih tahu diantara kalian tentang putri junjungan kita...?"

"Tentu saja kau. Sebab kau abdi dekat Gusti Putri," sahut salah seorang.

"Nah, untuk apa diributkan lagi...? Aku bersama Gusti Putri sejak beliau masih bocah. Dan tahu betul dari ujung kaki sampai ke ujung rambut."

"Gondo, kami semua tidak memungkiri hal itu. Tapi siapa pun di sini pernah menyaksikan kalau Gusti Putri berwajah cantik jelita. Tapi gadis yang kau bawa ini, bahkan sama sekali tidak mirip dengan Gusti Putri." sangkal seseorang yang disetujui yang lainnya.

"Kau terlalu gegabah mempercayai orang. Bahkan berani memasukkannya ke sini."

"Itu sangat berbahaya bagi kita, Gondo."

"Betul! Dan kau akan bertanggung jawab atas semua ini. Atau kedua orang ini mesti dibunuh agar kita semua tidak menjadi korban "

Suasana kembali menjadi ramai, Namun sekali lagi Gondo berusaha meyakinkan mereka. "Dengarkan..., saudara-saudaraku. Aku punya alasan membawa mereka ke sini. Pertama, kalau memang dia orang lain yang patut dicurigai kenapa dia mengenalku begitu pertama melihat...? Yang kedua, aku tahu betul kalau Gusti Putri memiliki tahi lalat kecil di pangkal jempol sebelah kiri. Dan aku telah melihatnya tadi. Sekarang ada baiknya kita menanyai lebih dulu sebelum mengadakan keputusan."

"Baiklah, ingin kami lihat apa penjelasannya sahut salah seorang yang mewakili lainnya.

Dia memandang pada gadis itu dan melanjutkan kata-katanya. "Ni sanak, kami tidak mengenalmu, tapi salah seorang kawan kami yakin kalau kau adalah junjungan kami. Karena tempat ini amat rahasia, tidak ada pilihan lain bagi kalian berdua. Daripada kami yang celaka, kaulah yang akan menjadi korhan kalau ternyata kami anggap kalian membawa malapetaka bagi kami semua."

Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Dipandanginya orang-orang itu satu persatu. Tidak terasa, bola matanya yang jernih merembang dipenuhi air mata yang hendak tertumpah. Ada sesuatu yang menusuk hati dan seperti menikam merobek-robek kenangan lama yang berusaha dilupakannya.

"Ni sanak, jawablah pertanyaanku. Kami tidak punya banyak waktu dan harus secepatnya mengambil keputusan terhadap kalian."

Rangga yang sejak tadi diam saja dan tidak tahu harus berbuat apa, kini menyadari kalau kedudukan mereka jadi terjepit. Seperti lepas dari mulut harimau, terjebak di kubangan penuh buaya. Dia memandangi laki-laki berperut buncit yang membawa mereka kesini. Kemudian memandang pada yang lainnya satu per satu.

"Ki sanak semua, kami tidak tahu siapa kalian. Tapi salah seorang kawan kalian telah menyelamatkan kami. Terus terang, kami berhutang budi padanya. Dan sudah pasti suatu saat akan membalasnya. Tapi ketahuilah, kami tidak ingin membuat susah pada kalian semua sedikitpun juga. Nah, untuk itu ijinkan kami pergi dari tempat ini...,"

Tidak ada sahutan selain sorot mata yang memandang tajam pada pemuda itu. Wajah Rangga yang dibuat seramah mungkin dengan senyum manis, mendadak sirna melihat sikap mereka. Dia jadi salah tingkah dan tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Mari Selari, kita pergi dari sini," ajaknya.

Rangga merasa tidak ada gunanya lagi bicara pada mereka. Dengan sikap diam itu dia berharap mereka menyetujui kalau mereka akan ke luar dari tempat ini. Maka buru-buru dia mencekal tangan gadis itu, dan bermaksud menaiki anak tangga yang mereka lalui tadi. Namun baru saja kakinya hendak bergerak, orang-orang itu sudah berlompatan dengan ringan. Empat orang berjaga di anak tangga. Dan yang lainnya mengelilingi mereka berdua.

Orang yang sejak tadi berkata pada Gondo, memandang dengan sinar tajam pada Rangga. "Maaf, kalian tidak akan kemana-mana," katanya tegas.

Rangga mengetahui kalau kali ini mereka akan bertindak keras. Semuanya terlihat sudah bersiap dengan senjata masing-masing. Dan hanya menunggu saja perintah untuk meringkus. "Ki sanak, kami tidak ingin mencari persoalan dengan kalian. Biarkan kami pergi dengan aman."

"Aku katakan kalian tidak akan pergi kemana-mana sebelum jelas duduk persoalannya. Dan siapa kalian scbenarnya...? Jangan sampai kami kesalahan tangan membunuh seseorang. Tapi kalau kalian ternyata memang mencari susah, jangan salahkan kalau kami bertindak tegas!"

Mendengar itu, rasa tidak senang Rangga mulai membakar darahnya. Dia mendengus kesal sambil tetap mencekal pergelangan tangan gadis disebelahnya. Kemudian terdengar suaranya yang bernada dingin.

"Akupun tidak ingin kesalahan tangan untuk membunuh orang. Pakailah akal sehat kalian untuk menilai orang. Aku dan gadis ini akan pergi. Dan ingin kulihat siapa yang menghalangi...!" tegas Rangga.

"Tangkap mereka...!"

Mendengar kata-kata pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu, bukan main kesalnya laki-laki ini. Dia bukannya berpikir, tapi langsung saja memberi perintah pada anak buahnya.

Dan saat itu juga semua orang yang berada di tempat itu sudah bersiap akan menghunuskan senjata ke arah mereka berdua. Tapi pada saat itulah si gadis berkata dengan suara sedikit keras. "Paman Bandang Ireng, hentikan semua ini...!"

"Heh...?!" Orang-orang itu langsung saja memalingkan perhatiannya dan menatap gadis ini dengan penuh tanda tanya. Gondo mengangkat bahu saat seorang laki-laki bertubuh tegap dengan wajah keras, yang tadi memberi perintah menangkap kedua orang asing ini memandang padanya.

"Aku tidak memberitahukan apa-apa tentang kita," kata Gondo sebelum teman-temannya menuduhnya mengkhianati mereka.

"Paman Gondo tidak perlu memberitahukannya. Aku kenal dengan kalian semua," kata gadis itu pelan.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya orang yang tadi dipanggil dengan nama Bandang Ireng dengan suara lunak.

Gadis itu tidak banyak bicara. Tangannya bergerak ke muka dan mendekap wajahnya. Lalu....

"Dia menggunakan topeng...!" desis salah seorang.

Semua yang berada di situ menanti dengan wajah tidak sabar. Begitu juga dengan Rangga. Betul-betul dia tidak menyadari kalau gadis itu mengenakan topeng yang amat sempurna sekali. Hingga sulit untuk membedakannya.

"Putri Selari...."

"Benar, dia Putri Selari...!" desis yang lainnya.

"Be..., betulkah kau Putri Selari, junjungan kami...?" tanya Bandang Ireng seperti tidak yakin akan penglihatannya sendiri.

"Paman, apa yang kalian lihat semuanya benar. Akulah Putri Selari. Putri Prabu Satya Wardhana Putra," kata gadis itu lembut.

"Oh, Kanjeng Gusti.... Maafkan kelancangan kami."

Orang-orang itu kemudian membungkukkan tubuhnya sambil memberi hormat yang dalam. Rangga bingung sendiri sejak tadi. Wajahnya di balik topeng yang mengerikan itu, bertolak belakang sekali dengan aslinya. Gadis buruk rupa dengan wajah mengerikan, kini menjelma menjadi gadis cantik jelita dengan kulit kuning langsat yang begitu halus sekali. Sepasang alisnya tebal bagaikan semut beriring. Dan hidungnya kecil mancung dengan bibir tipis merah delima yang selalu menyunggingkan senyuman manis.

"Bangunlah, Paman. Masa itu telah berakhir. Dan kini aku bersama dengan kalian," kata Putri Selari.

"Tidak, Kanjeng Gusti. Bagi kami kau tetaplah junjungan yang harus kami hormati. Dan kau berhak atas tahta kerajaan yang direbut oleh si jahanam itu," sahut Bandang Ireng.

"Paman, aku terharu atas kesetiaan kalian semua. Tapi masa itu telah berakhir. Dan aku tidak ingin mengungkit-ungkit lagi," kata Putri Selari tetap lembut suaranya.

"Apa maksud, Kanjeng Gusti? Tidak tahukah kalau kami sudah lama mencarimu dan terus mempersiapkan diri agar tahta itu bisa kembali ketanganmu. Dan kali ini rencana besar itu akan berjalan lancer. Kami akan mendapat bantuan dari orang-orang yang bisa dipercaya," kata Bandang Ireng.

"Paman Bandang Ireng, apa maksudmu...?" tanya Putri Selari heran.

Paman Bandang Ireng tidak langsung menjawab. Sebaliknya memandang pada Rangga yang sejak tadi hanya diam saja membisu, dengan sinar mata memancarkan kecurigaan. Gadis yang sebenarnya adalah Putri Selari, bisa cepat mcnangkap gelagat yang tidak mengenakkan ini. Tapi Rangga sudah lebih cepat lagi tanggap akan kecurigaan Bandang Ireng padanya.

"Kalau memang kehadiranku mengganggu, bolehkah aku meninggalkan tempat ini sekarang...?" pinta Rangga sopan.

"Sebentar, Rangga. Aku percaya padamu dan kau boleh duduk di sini mendengarkan," cegah Putri Selari tegas.

"Tapi, Kanjeng Putri...."

"Paman, aku mempercayainya," kata Putri Selari cepat, membungkam beberapa kata Bandang Ireng sambil mengangkat sebelah tangannya.

"Ini persoalan hidup dan mati. Dan kita harus menjaganya erat-erat dari orang luar."

"Aku pertaruhkan nyawaku untuk itu."

"Kenapa Kanjeng Gusti berkata begitu...?"

"Sebab dia pun telah bertarung nyawa pada saat menyelamatkan nyawaku." sahut Putri Selari tegas.

Bandang Ireng memandang berkeliling pada teman-temannya. Kelihatan dari raut wajah mereka, seolah menyerahkan keputusan di tangannya. Sambil menghela napas pendek, dia berkata lirih.

"Kami mendapatkan tenaga bantuan untuk menggulingkan tahta kerajaan...." kata Bandang Ireng pelan.

"Bantuan dari mana?" tanya Putri Selari.

"Dari orang-orang yang mencintai Gusti Prabu Satya Wardhana Putra," sahut Bandang Ireng.

"Apakah mereka orang-orang yang kalian kenal baik sebelumnya?" tanya Putri Selari lagi.

Bandang Ireng menggeleng lemah. "Kami memang belum mengenai baik, tapi utusan mereka datang ke kotaraja dan mencari kami untuk menawarkan bantuan."

"Tahukah Paman. siapa yang mengirim utusan itu? Maksudku, siapa tokoh yang berpengaruh terhadap orang-orang yang akan membantu kalian semua?" tanya Putri Selari.

"Kalau tidak salah, Ki Sobrang dan Ki Degil." sahut Bandang Ireng.

"Apa...?" Bukan main terkejutnya Putri Selari mendengar nama yang baru saja disebutkan Bandang Ireng. Dia langsung menatap tajam pada laki-laki didepannya ini. Kemudian berpaling menatap Rangga yang masih berada disampingnya.

"Kenapa Gusti Kanjeng? Apakah mengenal kedua orang itu?" tanya Bandang Ireng heran.

"Paman, tahukah paman apa yang terjadi padaku saat kerusuhan yang menimpa kerajaan...? Paman Gondo berusaha menyelamatkan aku. Usiaku saat itu belum lagi genap delapan tahun. Namun prajurit-prajurit kerajaan mengetahui dan berusaha menangkapnya. Aku bisa mengerti ketika Paman Gondo meninggalkan aku pada seseorang untuk menyelamatkan aku. Saat itu aku hidup bergelandang dari satu tempat ke tempat lain. Dan sampai seseorang memungutku menjadi anak, sekaligus muridnya," ujar Putri Selari mengisahkan perjalanan hidupnya.

"Maafkan hamba, Kanjeng Gusti. Dengan menitipkan Kanjeng Gusti pada gembel itu. Hamba berharap Kanjeng Gusti lolos dari kejaran mereka. Sebab bukan hamba yang mereka incar. Tapi Kanjeng Gusti yang akan mereka binasakan. Ketika keadaan agak sedikit reda, hamba berusaha mencari gembel itu. Namun tidak juga bertemu. Lalu hamba terus mencari kemana-mana," selak Gondo dengan sikap yang sangat hormat sekali.

"Sudahlah, Paman Gondo. Aku mengerti apa maksudmu saat itu. Nah, begitulah, Paman. Karena kedudukan sebagai satu-satunya pewaris tahta kerajaan yang diburu oleh para prajurit, keadaanku tidak aman sama sekali. Guruku kemudian membuatkan sebuah topeng yang amat bagus agar orang-orang tidak mengenaliku lagi," kata Putri Selari menjelaskan perjalanan hidupnya secara singkat.

"Tapi apa hubungannya dengan kedua orang itu, Kanjeng Gusti?" tanya salah seorang ingin tahu.

"Selama dalam pengembaraanku itulah aku banyak tahu tentang kehidupan rakyat. Perkembangan dunia luar dan lain-lainnya. Paman, masih ingatkan kerusuhan yang terjadi pada saat pemerintahan Ayahandaku...? Nah, orang-orang dibelakangnya adalah mereka berdua. Mereka bukan orang baik-baik, Paman. Mereka menggunakan kesempatan ini untuk membujuk paman-paman semua dengan dalih membantu. Padahal mereka sebenarnya yang mempunyai kepentingan. Merekalah yang ingin menggulingkan pemerintahan," kata Putri Selari menjelaskan.

"Dari mana Kanjeng Gusti mengetahuinya...?" tanya Bandang Ireng.

Putri Selari kemudian menceritakan kejadian yang menimpanya belakangan ini. Sampai kematian gurunya dan pertemuannya dengan Rangga. "Nah, begitulah ceritanya, Paman...."

"Keparat...! Licik! Orang-orang itu perlu diberi pelajaran!" umpat Bandang Ireng geram.

"Betul! Kita harus memberi pelajaran pada mereka. Apa lagi kalau sampai mereka menyebar berita tentang kita, keadaan kita akan semakin gawat," desis salah seorang dengan wajah ccmas.

"Paman-paman..., tenanglah. Tidak perlu terburu-buru. Lagi pula, tidak mudah mendekati kedua orang itu. Selain mereka berilmu tinggi, banyak dikelilingi oleh tokoh-tokoh sakti yang saat ini terus mengalir dan berdatangan untuk membantunya," kata Putri Selari menenangkan.

"Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang, Kanjeng Gusti?" tanya Bandang Ireng.

"Kanjeng Gusti, selama ini kami seperti anak ayam yang kehilangan induk. Kini Kanjeng Gusti telah berada diantara kami. Pimpinlah kami dan beri petunjuk. Bgaimana mestinya yang harus kami kerjakan saat ini," kata salah seorang menyelak.

"Benar, Kanjeng Gusti. Berilah petunjuk bagaimana dan apa yang harus kami lakukan sekarang," timpal Gondo.

"Selama ini kami memang selalu menantikan kehadiran Kanjeng Gusti untuk memimpin kami, setelah Gusti Prabu Satya Wardhana Putra tiada," lanjut Bandang Ireng.

Putri Selari sedikit rikuh mendapatkan desakan seperti itu. Dia tidak biasa selama ini mendapatkan penghormatan seperti itu. Kalaupun ada, Itu hanya sisa-sisa kenangan masa kccilnya saja. Masa lalunya. Tapi yang paling banyak mempengaruhi kehidupannya adalah kehidupan nyata yang dialaminya tahun-tahun belakangan ini. Kepahitan, kesengsaraan, kemudian terbiasa menjadi rakyat jelata.

"Rangga, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Putri Selari pelan.

"Entahlah, aku juga tidak mengerti. Tapi kurasa kau tahu apa sebaiknya yang harus kau lakukan," sahut Rangga.

"Tapi aku tidak bisa mengikuti kehendak mereka." kata Pulri Selari lagi.

"Apa sebenarnya kehendak mereka?" tanya Rangga.

"Apakah kau tidak mengerti juga? Mereka menginginkan aku menjadi pewaris tahta kerajaan. Tapi itu tidak mungkin...," keluh Putri Selari.

"Kanjeng Gusti, kami rela mengorbankan nyawa untuk itu," selah Bandang Ireng tegas.

"Aku mengerti, Paman. Tapi pemerintahan yang sekarang kunilai cukup adil dan tidak menyengsarakan rakyat. Biarlah mereka berjalan sebagaimana mestinya. Tidak usah diungkit-ungkit masa lalu. Kalian boleh mencari penghidupan baru yang damai dan tentram. Merebut kembali tahta kerajaan, hanya akan menimbulkan pertumpahan darah. Dan rakyatlah yang akan menjadi sengsara," kata Pulri Selari agak pelan terdengar suaranya.

"Kanjeng Gusti, hal itu tidak boleh terjadi. Tidakkah Kanjeng dan pembesar-pembesar kerajaan terus menimbun harta bagi kepentingan mereka sendiri...? Mereka sama sekali tidak mempedulikan kesejahteraan rakyat jelata?" jelas Bandang Ireng.

"Begitukah, Paman...?" tanya Putri Selari ragu-ragu.

"Kanjeng Gusti, kami berkata yang sebenarnya." tegas Bandang Ireng lagi.

"Entahlah..., tapi yang jelas, aku mesti membuat perhitungan lebih dulu pada Sepasang Naga Pertala," kata Putri Selari pelan.

"Kanjeng Gusti, kami berdiri dibelakangmu, kemanapun kau pergi. Dan berada paling depan unluk membantumu." kata Bandang Ireng cepat.

Yang lain langsung menyambutnya dengan penuh semangat pula.

"Terima kasih, Paman. Tapi aku tidak yakin...," ucap Putri Selari.

"Kenapa Kanjeng Gusti berkata begitu?"

"Mereka sangat kuat dan berjumlah banyak, Paman. Aku khawatir tidak mampu menghancurkan mereka."

"Kanjeng Gusti, meski kepandaianku tidak seberapa, aku bersedia membantumu," selak Rangga.

Gadis itu tersenyum kecil. "Terima kasih, Rangga. Aku telah banyak merepotkanmu," ucapnya pelan.

"Tidak. Aku merasa punya kewajiban untuk membantu orang-orang seperti kalian. Nah, sebaiknya memang kita tentukan rencana selanjutnya," tegas Rangga.

"Baiklah. Tapi ada satu hal yang pertama kuminta darimu," kata Putri Selari.

"Hm, apa itu...?"

"Jangan panggil aku Kanjeng Gusti. Kau adalah sahabatku dan diantara kita tidak ada perbedaan derajat," pinta Putri Selari.

"Tapi...," Rangga ingin menolak.

"Kau menerima permintaanku, bukan...?" potong Putri Selari cepat.

"Baiklah, kalau memang itu keinginanmu," sahut Rangga menyetujui dengan perasaan berat.

"Terima kasih, Rangga." Gadis itu kemudian memandang pada orang-orang yang berada didepannya. Kemudian lanjutnya dengan suara yang pelan, namun terdengar cukup jelas.

"Paman, terima kasih atas dukungan kalian semua padaku. Aku akan memuluskan soal tahta kerajaan dan perjuangan kita untuk merebutnya kembali pada saat yang tepat. Kali ini aku tidak bisa memutuskan soal itu. Tapi kalau kalian benar-benar bermaksud hendak membantuku, aku bermaksud menghancurkan orang-orang seperti Ki Sobrang dan Ki Degil. Siapa yang tidak setuju boleh mundur!"

"Kanjeng Gusti, kami akan mengikutimu," sahut Bandang Ireng tegas.

"Betul! Apapun yang diputuskan, kami akan menjunjung tinggi!" sambut yang lainnya serempak.

Dan suasana kembali ramai. Bukan oleh keragu-raguan lagi, atau rasa curiga seperti tadi. Tapi oleh semangat yang menyala-nyala di dalam hati setiap orang untuk mendukung rencana Putri Selari.

ENAM

Perjalanan ke tempat tujuan memakan waktu kurang lebih dua hari perjalanan. Namun jarak yang jauh itu seolah tidak dirasakan oleh mereka. Terutama sekali pada Putri Selari. Hatinya betul-betul telah bulat untuk menghancurkan Sepasang Naga Pertala. Meskipun dia mengatakan kalau dasar tujuannya adalah untuk kebaikan, namun tidak bisa dipungkiri kalau hal itu dilakukannya untuk membalaskan dendam atas terbunuhnya Ki Ageng Tebung, gurunya sendiri.

Pada hari pertama mereka tiba di sebuah tempat yang bernama Pamekasan. Daerah ini sebenarnya dikuasai oleh Adipati Sentanu. Namun yang terlihat di sepanjang perjalanan, banyak orang-orang berwajah kasar dengan senjata tajam yang tidak terpisah dari tubuhnya. Sikap mereka ugal-ugalan seperti layaknya kawanan perampok. Beberapa orang terlihat sedang berpesta pora di tepi jalan sambil tertawa terbahak-bahak. Bau arak langsung tercium begitu mereka melewatinya.

"Untung kiia berpencar dua, tidak jalan berombongan. Kalau tidak, tentu mereka akan mencari urusan," kata Putri Selari pada Rangga.

"Ya, untung juga kau sudah mengenakan topeng itu lagi. Kalau tidak, pasti sudah ada keributan sejak tadi," sahut Rangga kalem.

Gadis itu hanya tersenyum saja. Lima orang yang berjalan didekat mereka, bersikap waspada. Orang ini adalah sebagian abdi kerajaan yang masih setia pada Putri Selari. Rombongan mereka memang terbagi menjadi tiga bagian. agar tidak menarik perhatian penduduk desa ini.

"He, gadis buruk! Enyah kau dari hadapanku! Kami jijik melihat mukamu itu!" bentak salah seorang yang mcnggenggam kendi berisi arak.

Teman-temannya yang lain terkekeh sambil melambai-lambaikan tangan. Salah seorang malah bangkit berdiri dan berjalan mendekati gadis ini. Tubuhnya kurus, dan bola matanya terlihat marah. Dia berjalan terhuyung-huyung sambil terkekeh-kekeh kecil memuakkan.

"Apa yang harus kita lakukan, Rangga?" tanya Putri Selari meminta pendapat Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Tenang saja, terus jalan pelan-pelan," sahut Rangga agak berbisik.

"Hei...! Mau kemana kau bidadariku...? Kesinilah temani aku minum sambil berjalan-jalan di taman yang indah. He he he he...!" teriak orang bertubuh kurus itu sambil berusaha mencekal tangan Putri Selari.

"Huh!"

"Aduh.... Galak sekali kau. Tapi dasar si Bengkung matanya picak. Gadis secantikmu dikatakan buruk," ujar laki-laki kurus itu meracau tidak karuan.

Sekali lagi dia berjalan cepat dan berusaha mencekal pergelangan tangan gadis ini. Putri Selari merasa jengkel juga. Untung tadi dia cepat menepiskan tangan hingga orang itu tidak sempat mencekalnya. Tapi kali ini agaknya laki-laki itu bertambah penasaran. Dia melompat dengan gerakan yang ringan hendak memeluk tubuh Pulri Selari.

"Bangsat rendah! Hentikan perbuatan busukmu!"

"Heh...?! Upps!"

"Yeaaah...!" Dua orang yang berada di belakang gadis itu agaknya tidak kuat lagi menahan geram, melihat Putri Selari hendak dipermainkan begitu rupa. Sambil membentak keras, keduanya serentak mengayunkan pukulannya dengan cepat dan keras. Tapi laki-laki bertubuh kurus itu agaknya bukan orang sembarangan juga. Tubuhnya langsung meliuk cepat menghindari serangan dua orang ini. Dan tiba-tiba saja sudah kembali mencekal sambil mengirimkan tendangan yang kelihatan ringan.

"Kecoa busuk! Kalian kira bisa bertingkah didepanku, heh....'!"

"Hup!"
Plak!
"Ukh...!"

Salah seorang berhasil mengelak dengan gesit. Tapi yang seorang lagi betul-betul gemas, dan menganggap enteng lawannya. Sambil mengerahkan tenaga dalam sekuat-kuatnya, dia menangkis tendangan lawan dengan ayunan kakinya juga. Tapi kesudahannya, dia menjerit kesakitan sambil terpincang-pincang memegangi tulang kakinya yang mulai membiru.

"Ha ha ha ha...! Menganggap remeh, he...? Kau pikir siapa dirimu, berani menangkis seranganku...?!"

"Bondowoso, kenapa kau ini? Segala cacing-cacing busuk tidak berguna malah kau permainkan." teriak salah seorang temannya sambil terlawa mcngejek.

"Barangkali kebiasaanmu cuma pada kecoa-kecoa busuk!" sahut yang lainnya menimpali.

Teman-temannya terkekeh mendengar kata-kata yang menyakitkan telinga ini. Tapi laki-laki kurus yang dipanggil Bondowoso itu sama sekali tidak marah. Dia malah ikut-ikutan terlawa terkekeh.

"He he he he...! Siapa yang peduli pada mereka...?"

Setelah berkata begitu, Bondowoso kembali hendak bergerak memeluk Putri Selari. Namun sebelum hal itu dilakukannya, Rangga sudah lebih dulu bertindak sambil merentangkan tangan kirinya.

"Sabar. Ki sanak. Tidakkah kau merasa malu? Kau bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik dari pada istriku ini. Bahkan dengan parasmu yang tampan itu, kau bisa mendapatkannya lebih dari seorang. Kenapa malah yang buruk seperti ini kau kehendaki? Biarlah dia menjadi milikku saja," kata Rangga mencoba mencegah maksud Bondowoso.

"Aaah...! Tahu apa kau akan seleraku!" dengus Bondowoso sambil mencoba menghantam tangan Rangga.

Tapi rentangan tangan pemuda itu sama sekali tidak bergeming sedikitpun juga. Dengan gusar dia memukulnya lebih keras lagi. Namun akhirnya dia sendiri yang menjerit kesakitan. Matanya terbeliak lebar, dengan wajah berkerut menahan sakit.

"Phuihhh! Pantas kau berani bertingkah. Agaknya kau baru sedikit mempunyai kepandaian dan sudah mau mencoba pamer didepanku. Minggir...! Atau kuhajar kau!" bentak Bondowoso mencoba mengancam.

"Ki sanak, kami sama sekali tidak ingin mencari keributan dengan kau. Tapi kau terlalu me...."

"Aaah... mampus kau! Hih!"

"Upts...!" Rangga tidak sempat meneruskan kata-katanya ketika Bondowoso langsung mengayunkan satu pukulan ke arah mukanya. Terpaksa dia berkelit menghindar dengan mengegoskan kepalanya sedikit. Tapi orang itu bukannya berhenti, malah semakin gencar saja menyerang. Seperti menghadapi musuh besar yang berkepandaian tinggi. Tapi ketika melihat kalau serangan-serangannya dengan mudah dihindari lawan, membuatnya semakin kalap saja dan penasaran setengah mati.

Sebaliknya hal itu malah membuat teman-temannya terkekeh seakan mengejek seperti sedang melihat sebuah pertunjukkan yang menggembirakan. Namun ketika satu saat Rangga berteriak keras, dan tubuhnya melompat cepat, tahu-tahu Bondowoso terlempar dua tombak sambil menjerit keras kesakitan. Tubuhnya tersungkur tanpa bisa menguasai diri lagi. Teman-temannya tersentak kaget, dan sudah langsung bangkit berdiri. Beberapa orang langsung mendekati Bondowoso dan membantunya berdiri. Sedangkan dua orang diantaranya langsung saja menghampiri Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Bocah! Siapa kau sebenarnya, heh!" bentak salah seorang yang sebelah matanya sipit dengan suara penuh selidik.

Namun sebelum Rangga bisa menyahuti, tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang begitu keras dan menggema, seperti dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah tinggi sekali tingkatannya.

"Dasar kerbau-kerbau dungu! Tidak tahukah kalau kalian sedang berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti...?"

"Heh! Siapa itu...?"

"Apa? Pendekar Rajawali Sakti...?"

Orang-orang itu jadi terkejut setengah mati begitu mendengar suara yang mengatakan kalau mereka sedang berhadapan dengan seorang pendekar besar yang sudah begitu kondang namanva. Dan suara itu juga mengejutkan Putri Selari serta beberapa orang yang menyertai mereka. Tapi keterkejutan itu cepat tertindih ketika seorang pe-rempuan tua bertubuh kurus yang sangat dikenalnya tahu-tahu sudah berada dilempat itu, bersama dua orang laki-laki yang dulu ikut membinasakan gurunya.

"Nyai Sukesih..." desis Putri Selari dengan nada suara terdengar geram.

"Hi hi hi hi...! Ternyata kau masih mengenaliku. Bocah. Bagus...! Sekarang kau datang untuk menuntut balas dengan mengandalkan Pendekar Rajawali Sakti. Huh...! Apa kau pikir aku takut dengan segala macam bocah bau kencur seperti dia...?"

"Siapa perempuan tua itu? Kau mengenalnya...?" tanya Rangga setengah berbisik.

"Dialah yang menewaskan guruku dan Adipati Mungkaran." sahul Putri Selari.

Rangga mendengus kecil sambil memandang tajam pada perempuan tua itu, yang didampingi laki-laki bertubuh pendek dan seorang laki-laki lagi yang mukanya seperti tikus.

"Nyai, siapa kau dan apa hubunganmu dengan orang-orang ini?" tanya Rangga dengan nada suara terdengar menyelidik ingin tahu.

"Mereka adalah anak buahku. Kau mau apa...?" sahut Nyai Sukesih dengan nada ketus sambil berkacak pinggang.

"Hm, bagus...! Anak buahnya berkelakuan seperti gembel busuk. Sudah tentu majikannya mempunyai sifat yang lebih buruk lagi."

"Huh! Kau tidak perlu membakar amarahku dengan cara itu, Bocah! Apa kau pikir kau sudah begitu hebat dan berani mencari gara-gara denganku...? Kau cuma akan mcngantarkan nyawa secara percuma!" dengus Nyai Sukesih. sambil mendekati pemuda ini. Dan berdiri tegak pada jarak lebih kurang lima langkah lagi.

"Biarlah kita lihat, siapa yang akan mengantarkan nyawanya secara percuma. Nyai Sukesih, tidak usah banyak bicara. Kemana Ki Sobrang dan Ki Degil itu? Suruh mereka keluar dan aku ingin belajar kenal dengannya."

Kata-kata yang diucapkan Rangga memang berkesan sombong. Tapi dengan begitu, dia sengaja membakar amarah perempuan tua ini. Kalau dengan umpatan atau ejekan. Agaknya perempuan tua ini tidak akan bisa terpancing. Jalan yang terbaik, memang sengaja diremehkan. Dan usahanya itu ternyata membawa hasil juga. Wajah Nyai Sukesih jadi kelihatan berkerut, dengan mata nyalang dan dengus nafas yang mulai cepat memburu.

"Bocah lancang! Ingin kulihat sampai dimana kepandaianmu yang digembar-gemborkan itu!" dengus Nyai Sukesih berang.

Selesai berkata begitu, Nyai Sukesih langsung saja melompat dan menyerang Pendekar Rajawali Sakti ini dengan jurus yang disebut Kupu-Kupu Terbang di Atas Rumput. Ini adalah suatu serangan yang sebenarnya terlihat tidak terlalu berbahaya. Dan hal itulah yang sebenarnya mengecohkan lawan. Sebab meskipun gerakannya terlihat lemah gemulai dan sedikit lambat, tapi dalam sekejapan saja bisa berubah begitu cepat sekali bagai kilat. Dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat dahsyat sekali. Jurus ini juga sangat lincah dan sekaligus membuktikan kalau ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah mencapai tingkatan yang sangat tinggi sekali. Begitu ringannya, sehingga dapat melayang dengan lincah, mengejar lawan yang terus bergerak menghindari setiap serangan yang dilancarkannya.

"Hup!"
"Yeaaah...!"

"Upts!" Dengan mengerahkan jurus Sembilan Langkah Ajaib, dengan mudah sekali Rangga bisa menghindari serangan-serangan lawannya yang sangat gencar ini. Tapi meskipun terlihat kalau dia seperti bermain-main dalam menghadapi lawannya, sesungguhnya hal itu hanya gerakan-gerakan dari jurusnya saja. Dan membuat lawannya semakin geram. Lalu dengan demikian, akan membuat pertahanannya terbuka. Dan dengan begitu, di saat itulah dia akan menghajar lawannya dengan jurus lain.

Perkiraan Pendekar Rajawali Sakti ini memang tidak salah. Melihat serangan-serangannya tidak ada yang membawa hasil. Nyai Sukesih semakin geram saja. Pada saat itulah Rangga menggebrak dan memainkan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.

"Hup! Hiyaa...!"

"Heh...!" Nyai Sukesih jadi terperanjat, begitu tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi ke atas, lalu dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu menukik deras dengan kedua kaki berputar sangat cepat sekali. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja....

Plak!
Begkh!

"Akh...!" Nyai Sukesih jadi terpekik. Cepat-cepat dia melompat mundur sambil menguasai keseimbangan tubuhnya.

"Kurangajar kau akan mampus di tanganku, Bocah!" bentak Nyai Sukesih memaki geram.

Bukan main geramnya perempuan tua itu. Dengan tidak terduga sama sekali, Rangga mencuri kesempatan dan langsung menyerangnya dengan sangat tiba-tiba dari atas. Nyai Sukesih berbalik dan menghantamkan telapak tangannya. Namun dengan gesit sekali Rangga melompat kedepan, dan menyodokkan tangannya kedada.

Tubuh perempuan tua itu jadi terhuyung-huyung sambil menjerit kesakitan. Namun dia cepat bangkit dan memasang kuda-kudanya dengan kedua tangan tersilang di depan dada. Mulutnya bergerak-gerak kecil seperti tengah mengucapkan sesuatu dengan menggumam.

"Rangga, hati-hati. Dia akan mengeluarkan pukulan beracun...!" teriak Putri Selari.

Sebenarnya, tanpa diperingatkan gadis itu, Rangga sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan Nyai Sukesih. Namun dengan adanya peringatan Putri Selari, dugaannya semakin terarah saja. Apa lagi setelah melihat kedua belah tangan lawan sebatas siku sudah beruhah ungu secara perlahan-lahan. Dan mengepulkan asap tipis.

"Mampus kau! Hiyaaat...!"
"Upts! Yeaah...!"
Wut!

Rangga dapat merasakan hawa racun yang luar biasa sekali dari serangan lawannya. Lagi pula pada jarak yang dekat, kulit tubuhnya terasa terbakar akibat pengaruh kedua tangan lawannya. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti itu menggeram. Tubuhnya melesat tinggi ke udara sambil bergulung-gulung. Kemudian menukik dengan tajam sekali sambil membentak keras menggelegar.

"Yeaaah...!"
"Hiyaaat...!"
Glaaar!
"Aaaakh...!"

Pada saal tubuhnya menukik ke bawah, Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali yang terakhir. Dan dari lelapak tangannya melesat secercah sinar merah yang langsung menghantam perempuan tua ini. Namun pada saat yang bersamaan pula. Nyai Sukesih memang sudah bersiap menghajar lawan dengan pukulan mautnya itu. Dan kedua pukulan itu beradu dan tidak dapat terelakkan lagi. Hingga menimbulkan suara ledakan keras menggelegar.

Namun sinar merah dari pukulan Rangga terus melesat menghantam tubuh perempuan tua ini. Hingga Nyai Sukesih jadi terpekik dan tubuhnya terpental kebelakang. Dari mulutnya terlihat darah muncrat ke luar. Dan dia tewas seketika begitu tubuhnya menghantam tanah.

"Keparat...! Kau harus mampus, Bocah!" geram laki-laki bertubuh cebol.

"Hajar dia...!" teriak si muka tikus memberi perintah pada yang lainnya.

Tanpa diperintah dua kali, mereka langsung saja mengurung Pendekar Rajawali Sakti ini. Tapi hal itu tentu saja tidak bisa dibiarkan saja oleh Putri Selari. Dia dan lima orang pengikutnya yang setia, langsung berlompatan dan bergabung dengan Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Anjing-anjing busuk! Majulah kalian...!" seru Putri Selari sudah muak.

"Perempuan buruk! Kau akan mampus di tanganku! Hari ini tidak akan kubiarkan kau lolos lagi!" bentak si cebol sambil melompat menyerang.

"Hiyaaa...!" Tindakan si cebol itu agaknya sekaligus merupakan perintah bagi yang lainnya untuk menyerang. Dan pertarungan diantara mereka tidak dapat dielakkan lagi.

Namun ada hal yang tidak disadari Pcndekar Rajawali Sakli dan yang lainnya. Teriakan-teriakan itu ternyata mengundang orang-orang mcnghampiri tempat ini. Dan satu per satu mereka ikut ambil bagian menyerang. Jumlah mereka semakin bertambah banyak saja. Dan membuat Rangga mulai berpikir. Tadinya dia menduga kalau mereka hanya penduduk desa biasa. Tapi kenapa ikut-ikutan menyerang...? Dan melihat cara mereka bertarung, agaknya mereka memang bukan penduduk biasa. Tapi orang-orang yang betul-betul sudah mengerti ilmu olah kanuragan. Apakah desa ini sudah dikuasai oleh kaki tangan Sepasang Naga Pertala...?

Tapi tidak ada kesempatan bagi Rangga untuk berpikir lama-lama. Mereka semakin terdesak saja. Dan para pengikut Putri Selari banyak yang terluka cukup berat. Gadis itu sendiri sudah mulai terdesak. Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga mencabut pedang pusakanya. Seketika itu juga cahaya biru terang menyilaukan mata memancar dari batang pedang itu. Menerangi tempat ini.

"Majulah kalian semua! Hiyaaa...!" Rangga jadi geram setengah mati, melihat keadaan semakin bertambah buruk saja. Dan mereka yang mengeroyoknya jadi terkejut setengah mati, begitu melihat kehebatan pamor pedang Rajawali Sakti di tangan pemuda berbaju rompi putih ini. Tapi hal itu hanya berlangsung beberapa saat saja.

"Huh! Siapa peduli pada segala ilmu sihir! Ayo, hajar mereka. Jangan biarkan mereka hidup...!"

"Habisi mereka!"

"Hiyaaat...!" Sambil berteriak-teriak tidak karuan, orang-orang itu terus berlompatan menyerang.

Rangga jadi mendengus geram. Sambil membentak keras menggelegar, dia melesat dan mengayunkan pedangnya dengan kecepatan bagai kilat. "Hiyaaat...!"

Bet!
Cras!
"Aaaakh...!"
"Aaa...!"

Jeritan-jeritan tertahan sekelika itu juga terdengar. Dan wajah-wajah terkejut seketika membayang. Lebih-lebih setelah melihat beberapa orang ambruk dengan tubuh bersimbah darah. Tidak satu senjatapun yang bisa menahan serangan Pedang Rajawali Sakti yang berkelebatan begitu cepat sekali bagai kilat. Semuanya putus seperti batang pisang terbabat golok.

Pada mulanya kejadian itu membuat mereka semakin geram dan lebih bernafsu lagi hendak membunuh pemuda ini. Tapi tidak seorangpun yang selamat kalau mendekati. Hingga akhirnya membuat nyali mereka jadi kecut. Terlebih lagi semakin banyak saja yang ambruk bermandikan darah. Jeritan-jeritan melengking tinggi terus terdengar semakin sering. Sementara Rangga terus berlompatan dengan pedang di tangan berkelebatan begitu cepat sekali bagai kilat. Hingga bentuk tubuh dan pedangnya tidak terlihat lagi. Dan hanya kilatan-kilatan cahaya biru saja yang terlihat berkelebatan begitu cepat bagai kilat.

Gerakan-gerakan yang begitu cepat dari Pendekar Rajawali Sakti itu, hingga sulit sekali diikuti dengan pandangan mata biasa. Dan hanya kilatan-kilatan cahaya biru saja yang terlihat berkelebatan begitu cepat sekali. Setiap kali terlihat kelebatan cahaya biru, terdengar suara jeritan melengking tinggi, yang disusul dengan ambruknya dua atau tiga orang dari mereka. Dan tentu saja ini membuat orang-orang yang mengeroyoknya jadi gentar. Dan mereka cepat- cepat berlompatan mundur. Hingga tidak ada seorangpun yang berada lagi di dekat Pendekar Rajawali Sakti itu.

Melihat tidak ada seorangpun yang berada didekatnya, Rangga menghentikan gerakan-gerakannya. Dia berdiri tegak dengan pedang pusakanya tersilang di depan dada. Cahaya biru yang memancar dari pedang pusaka Rajawali Sakti itu membuat sosok tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan malaikat maut yang akan mencabut nyawa siapa saja didekatnya.

"Hei! Maju...! Kenapa diam'' Ayo, maju kalau ingin kepala kalian terpisah!" bentak Rangga seperli menakut- nakuti.

Tidak ada seorangpun yang berani mendekat lagi. Tapi tiba-tiba saja.... "Pendekar Rajawali Sakti, kau boleh memancung kepala kami berdua."

"Heh...?!"
"Oh...!"

TUJUH

Semua orang yang berada di situ memalingkan perhatian. Para pengeroyok mereka tampak memberi hormat. Lalu buru-buru menyingkir seperti memberi kesempatan pada dua orang laki-laki bertubuh tegap yang baru sampai di tempat itu. Yang seorang sedikit lebih tinggi, dengan kumis melintang dan sepasang mata cekung.

Orang ini bernama Sobrang. Seorang lagi yang berkulit agak putih, dengan rambut panjang terurai, bernama Degil. Mereka berdua yang disebut sebagai Sepasang Naga Pertala. Bersama dengan mereka terlihat beberapa orang tokoh persilatan mengiringi dari kiri dan kanan. Satu diantaranya dikenal Rangga sebagai orang yang pernah dipencudanginya ketika beberapa hari lalu menolong Putri Selari.

"Hm, apakah kalian berdua yang dikenal dengan nama Sepasang Naga Pertala?" tanya Rangga dengan nada dingin.

"Oh, lumayan juga ternyata kau mengenal kami. Lama sudah kudengar kehebatan nama Pendekar Rajawali Sakti, dan tidak sangka hari ini aku telah membuktikannya sendiri. Hm, orang-orang sepertimulah yang kuinginkan untuk menjadi sahabat terbaikku," ujar Ki Sobrang dengan nada suara dibuat manis.

"Apa maksudmu?" tanya Rangga seperti tidak mengerti.

"Seperti kau lihat. Desa ini telah kukuasai dengan penuh. Dan lebih dari lima desa yang berada dan berbatasan dengan tempat ini telah dikuasai orang-orangku. Kemudian tidak berapa lama lagi, tentu saja aku bermaksud unluk merebut kotaraja dan menyingkirkan raja yang telah menyengsarakan rakyat jelata. Orang-orang seperti dia tidak layak menjadi raja, dan rakyat berdiri di belakang kami memberi dukungan. Nah, Pendekar Rajawali Sakti, Aku akan sangat senang sekali kalau kau dan teman-temanmu itu bersedia membantu kami. Aku akan melupakan apa yang telah terjadi tadi," kata Ki Sobrang lagi, mencoba membujuk.

"Aku mengerti maksudmu. Ki sanak. Tapi sayang sekali, aku adalah orang bebas dan tidak suka terikat oleh apapun juga. Apalagi mesti berada di bawah perintah seseorang. Apalah arti hidup bagiku...? Dengan sangat menyesal sekali aku tidak bisa memenuhi permintaanmu," sahut Rangga, juga dibuat sopan nada suaranya. Tapi dengan suara yang terdengar tegas.

"Kau salah mengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Apa yang telah kulakukan sekarang ini sama sekali tidak menyengsarakan rakyat. Mereka mendukungku. Lagi pula, siapa yang hendak mengikatmu? Kau bebas melakukan apa saja yang kau sukai. Dan tentu saja aku berharap semua hal ini adalah membantu perjuangan kami," kata Ki Sobrang lagi.

"Maaf, Ki sanak. Aku tidak bisa. Juga teman-temanku," tolak Rangga tegas.

"Kalau begitu, kau harus memperhitungkan nyawa teman-teman kami," sahut Ki Sobrang mulai sinis.

"Itu bukan kesalahanku."

"Siapa yang peduli...?"

Setelah berkata begitu, terlihat beberapa orang yang berada didekat Ki Sobrang sudah bergerak hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Ki Degil dan Ki Sobrang sudah cepat mencegahnya. Mereka melangkah pelan mendekati pemuda berbaju rompi putih itu dengan sorot mata yang tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda didepannya ini.

"Biarlah kami belajar kenal dengan seorang pendekar ternama sepertimu." kata Ki Degil dengan suara terdengar mengejek, dan senyuman sinis terkembang dibibirnya.

"Ya, kami sudah lama ingin lebih mengenal dirimu, Pendekar Rajawali Sakti," timpal Ki Sobrang juga tersenyum sinis.

Rangga hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau kedua orang ini ingin bertarung dengannya. Sikap mereka memang seperti orang baik-baik yang sangat ramah sekali. Tapi dari sorot matanya tersembunyi kekejaman. Dan orang-orang seperti mereka inilah yang sangat berbahaya sekali. Kelihatan sekali kalau mereka penuh percaya diri, dan sama sekali tidak berkesan menyombongkan diri. Tapi juga tidak terlihat kalau mereka gentar berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Padahal dari ucapannya, sudah jelas sekali kalau mereka mengetahui siapa pemuda didepannya ini sebenarnya. Dengan segala sepak terjang yang telah mereka dengar selama ini.

"Hm, kalau memang begitu, tidak ada jalan lain lagi. Silahkan. Sebagai tamu aku tentu harus berbuat sopan," sambut Rangga sopan.

"Bagus! Terimalah ini, Bocah! Hiyaaat...!" Ki Sobrang sudah melompat begitu cepat sekali sambil mengirimkan satu tendangan keras menggeledek yang mengarah ke kepala. Dan bersamaan dengan itu pula, tubuh Ki Degil melesat ke udara dan berputaran beberapa kali. Lalu dengan cepat sekali dia menyambar dada Pendekar Rajawali Sakti dengan satu sodokan yang begitu cepat dan keras sekali.

"Hap!"
Wut!
Uptsss...! Kaki kanan Rangga melangkah ke belakang satu tindak. Dan kedua lulutnya langsung ditekuk sedikit. Beberapa saat kemudian, dia bergerak ke kiri sambil memiringkan tubuhnya. Dan kaki kanannya begitu cepat sekali menyambar Ki Sobrang, sambil memutar tubuh. Saat itu juga, kaki kirinya berputar mcnyambut serangan Ki Degil.

"Yeaaah...!" Namun alangkah terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti itu, ketika menyadari kalau lawan-lawannya menyerang dengan gencar dan mengandung pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi sekali tingkatannya. Dan lagi terasa kalau pukulan mereka sangat berat dan mematikan.

"Jangan anggap enteng, Ki sanak. Kau akan jatuh sebelum dua jurus berlangsung!" dengus Ki Sobrang memperingatkan.

Apa yang dikatakan Ki Sobrang barusan memang sangat beralasan sekali. Dan Rangga sendiri sudah mengalaminya tadi. Kedudukannya benar-benar terjepit. Kepandaian dua orang ini sungguh tinggi sekali dan tak bisa dipandang enteng. Serangan-serangan mereka sangat cepat dan saling mengisi. Sehingga setiap gerakan yang dilakukan seperti lanjutan dari gerakan yang pertama. Dan sedikit pun tidak ada yang kosong dalam serangannya. Semuanya mengutamakan gebrakan-gebrakan bercampur tipuan yang cukup menyulitkan.

"Hup! Yeaaah...!"
"Hiyaaat...!"
"Heh...?!"

Kembali Rangga jadi tersentak kaget. Satu pukulan yang memancarkan cahaya kelabu, bergerak begitu cepat sekali kearahnya. Masih untung Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menghindar dengan cepat. Namun akibatnya yang ditimbulkan pukulan itu sungguh dahsyat sekali. Sebuah lubang besar dan sangat dalam membongkar tanah yang tadi dipijak Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Gelap Ngampar..." desis Rangga.

"Bagus! Rupanya kau sudah mengenal jurus pukulan kami. Coba kau tahan ini!" bentak Ki Degil.

"Yeaaah...!"
"Upts! Yeaaah...!"
Glaaar!
"Akh...!"
"Hm, Gelap Sayuto," desis Rangga lagi.

Pendekar Rajawali Sakli jadi sedikit bergidik juga. Angin pukulan Ki Degil pada jarak dua langkah, masih terasa menyengat kulit dan membakar jantungnya. Apalagi pukulan yang dilancarkan Ki Degil tadi, berwarna putih kekuning- kuningan. Dan lesatan sinarnya mengandung hawa panas kekuning-kuningan. Dan lesatan sinarnya mengandung hawa panas dingin yang sangat tajam menyengat. Akibat yang ditimbulkannya juga sungguh sangat kejam sekali. Seorang anak buah mereka yang berada di belakang Pendekar Rajawali Saki itu sampai menjadi korban, ketika pemuda itu melompat menghindari pukulan Ki Degil tadi. Tubuh orang itu pecah dengan darah berkubang disekujur tubuhnya yang sudah tidak berbentuk lagi.

"Hiyaaa...!"

Bukan main geramnya pemuda itu melihat kedua lawannya ingin segera mencabut nyawanya. Tidak ada jalan lain lagi selain membalas. Begitu yang bergejolak di dalam hati Pendekar Rajawali Sakti ini. Sambil menggeram hebat, dia melentingkan tubuhnya dengan kecepatan bagai kilat. Kemudian membentak nyaring sambil menghantamkan satu pukulan yang diambilnya dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali, dan tepat diarahkan kepada dua orang lawannya ini.

Bet!
Wuk!
"Heh...?!"

Rangga seperti tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Mereka sama sekali tidak berusaha menghindar sedikitpun dari serangannya. Dan yang lebih mengherankan lagi, pukulannya tadi seperti tenggelam begitu saja di dalam tubuh kedua orang ini, tanpa menimbulkan akibat apapun juga. Seperti tertimpa sinar biasa saja.

"Ha ha ha ha...! Kau boleh menghambur-hamburkan semua kepandaianmu, Bocah. Tapi jangan harap kau bisa melukai, apalagi menghancurkan kami." ujar Ki Sobrang, sambil terlawa terbahak-bahak mengejek.

"Hiyaaa...!"
"Upts!" Lain lagi dengan Ki Degil. Dia langsung saja menggunakan kesempatan ini untuk menyerang dengan sengit tanpa berbasa-basi lagi. Sikapnya itu kemudian diikuti oleh Ki Sobrang, setelah puas tertawa mengejek. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu harus menghadapi dua serangan dari kanan dan kirinya.

Meskipun dia memainkan jurus Sembilan Langkah Ajaib pada tingkatan yang sudah sangat tinggi sekali, tapi serangan-serangan kedua orang ini semakin gencar saja. Kecepatan gerak mereka juga tidak berada di bawah kecepatan yang di-milikinya. Sehingga membuat Rangga semakin kelihatan kewalahan. Beberapa kali dia berusaha melakukan serangan balasan. Tapi serangannya tidak pernah membawa hasil yang diinginkan. Walaupun tenaga dalam yang dikerahkan sudah sangat sempurna sekali tingkatannya.

"Sepasang Naga Pertala, maaf. Kalian memang hebat. Tapi aku juga harus mempertahankan diri. Jangan salahkan kalau kalian ingin celaka ditanganku!" ujar Rangga agak keras suaranya. Dan setelah berkata begitu, dia langsung saja mencabut pedang pusakanya.

"Kenapa sungkan-sungkan? Silahkan saja.... Gunakan apa saja yang kau miliki, Pendekar Rajawali Sakti. Biar kami bertangan kosong saja." sambut Ki Sobrang angkuh.

Kata-kata Ki Sobrang itu memang tidak enak sekali didengar telinga. Tapi Rangga seperti tidak peduli. Dan dia tidak ingin terpancing dengan sikap lawan yang seakan-akan meremehkannya. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung saja melesat cepat sambil mengebutkan pedangnya yang memancarkan cahaya biru berkilauan menyilaukan mata itu. Membuat sekeliling tempat pertarungan itu jadi terang benderang. Namun baru beberapa kali gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti itu, tiba-tiba saja....

Bet!
"Heh...?!"

Seperti tadi, kedua laki-laki itu sama sekali tidak berusaha mengelak sedikitpun juga dari serangan Pendekar Rajawali Sakti ini. Kulit tubuh mereka hanya tergores sedikit saja, dan sinar biru yang memancar dari pedang pusaka Rajawali Sakti itu menyelubungi tubuhnya. Rangga mendesah kecil, merasa heran karena kedua lawannya sama sekali tidak berusaha mengelak sedikitpun juga. Padahal selama ini, tidak seorangpun yang mampu selamat dari pedangnya. Tapi yang terlihat kemudian, sungguh mengagetkan sekali. Matanya jadi terbeliak lebar, seolah-olah tidak percaya dengan pandangannya sendiri. Kedua orang itu tidak terpengaruh sedikitpun akibat babatan pedangnya. Bahkan luka kecil akibat goresan pedangnya tadi, begitu cepat sekali lenyap tak berbekas sama sekali.

"Gila..?! Ilmu apa yang digunakan...?" desis Rangga keheranan tidak mengerti.

"Yeaaah...!"
"Uts!"
Begkh!
"Akh...!"

Dalam keterkejutannya itu. Pendekar Rajawali Sakti menjadi lengah. Dan satu pukulan telak yang dilakukan Ki Degil, membuat pemuda itu terjungkal ke belakang. Rangga berusaha menguasai diri dengan cepat. Tapi kedua lawannya seperti tidak memberi sedikitpun kesempatan padanya. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti itu jungkir balik dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, menghindari serangan-serangan yang sangat gencar dan dahsyat ini.

Plak!
Des!
"Akh...!"
"Rangga...!"

Putri Selari jadi terpekik begitu melihat Rangga terkena dua pukulan sekaligus dari kedua lawannya. Hatinya mulai cemas melihat Pendekar Rajawali Sakti itu kini menjadi bulan-bulanan lawannya. Meski bersenjata dan sesekali berhasil menebas tubuh lawan, namun tetap saja tidak berpengaruh apa-apa pada Sepasang Naga Pertala ini. Tentu saja hal itu membuat keadaan Rangga jadi semakin mencemaskan.

Baginya, memakai senjata atau tidak, sama saja artinya. Dan ketika pemuda itu menyarungkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangkanya di punggung dia terlihat berusaha membendung serangan-serangan lawannya dengan jurus-jurus tangan kosong. Namun tidak membuat kekhawatiran Putri Selari berkurang. Bahkan semakin bertambah cemas saja, melihat Rangga seperti terus terdesak.

"Oh, aku harus menolongnya," desis Putri Selari khawatir.

Namun baru saja dia hendak bergerak, beberapa orang anak buah Sepasang Naga Pertala sudah bergerak menghadang. Dan para pengikutnya juga mencoba untuk menahan gadis ini.

"Kanjeng Gusti Putri, tahanlah amarah. Mereka bertarung dengan jujur. Dan semestinya kitapun bersikap begitu. Lagi pula, percuma saja kalau Kanjeng Putri turun tangan. Keadaan akan semakin bertambah buruk."

"Tapi dia memerlukan pertolongan. Paman. Coba lihat, keadaannya sangat mengkhawatirkan sekali. Kalau terus begini, bisa jadi dia akan tewas," kata Putri Selari.

"Sabarlah, Kanjeng Gusti. Dia seorang pendekar ternama yang hebat. Dia pasti mampu mengatasinya sendiri."

Namun pada saat itu.....
"Yeaaaah...!"
"Heh! Suara apa itu...?!"
"Prajurit kerajaan...!"

Pada saat-saat yang kritis bagi keselamatan Rangga, saat itu dari kejauhan menderu pasukan berkuda yang bergerak mendekati tempat ini dengan cepat. Derap langkah kaki kuda bercampur debu yang mengepul di udara terlihat begitu jelas sekali. Beberapa orang anak buah Sepasang Naga Pertala, memberitahukan kalau mereka yang baru datang itu berasal dari kerajaan. Ki Sobrang dan Ki Degil langsung saja menghentikan perlarungannya.

"Pendekar Rajawali Sakti, urusan ini belum selesai. Hari ini biarlah kutunda nyawamu yang tak berharga itu. Tapi setelah kejadian ini, kau tidak akan selamat dari kami!" seru Ki Sobrang mengancam.

Setelah berkata begitu dia memberi perintah pada semua anak buahnya untuk bersiap menghadapi para prajurit itu. Sedangkan Putri Selari buru-buru menghampiri Rangga dan membantu pemuda itu untuk bangkit sambil menyeka tetesan darah disela ujung bibirnya.

"Rangga, lekas kita menyingkir dari tempat ini. Sebentar lagi akan ada pertarungan besar." kata Putri Selari mengingatkan.

Rangga seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Hanva menurut saja ketika gadis itu memapahnya untuk menjauh dari tempat ini. Sementara para pengikut gadis itu mengikutinya dari belakang. Mereka terus berjalan dengan pelan, ke luar dari desa ini. Sepanjang perjalanan, pemuda itu hanya diam saja membisu. Tidak banyak bicara.

"Sudahlah, Rangga. Kalah dan menang dalam pertarungan itu sudah biasa. Dan tidak perlu dipersoalkan lagi." hibur Putri Selari.

Rangga hanya tersenyum kecil saja. "Aku pernah mengalami peristiwa seperti ini sebelumnya. Barangkali apa yang kau katakan memang benar. Tapi ini justru membuatku jadi semakin penasaran."

"Kau akan menantang mereka lagi?"

"Entahlah..." desah Rangga.

Mereka kembali terdiam dan mengikuti sebuah aliran sungai yang tidak begitu besar sampai ke hulu.

"Kita istirahat saja dulu di sini," kata Putri Selari.

"Aku merasa tidak berguna, ya..." ujar Rangga lirih.

"Jangan bicara begitu. Rangga. Kau sudah membantu kami sekuat tenaga dan kemampuanmu," kata Putri Selari menghibur.

"Apa yang kalian lakukan sekarang?" tanya Rangga lagi.

"Entahlah, aku juga jadi bingung." sahut Putri Selari.

"Kanjeng Gusti, kita harus memberitahukan ini pada yang lain. Mereka mungkin sudah berjalan terus ke tempat kediaman kedua orang itu." salah seorang pengikut mereka menyelak.

"Ya, kita akan berkumpul di sini. Siapa yang akan berangkat menemui mereka?" sambut Putri Selari.

Dua orang segera berdiri, dan menyatakan kesediaannya. Setelah memohon restu dari gadis itu, mereka segera berangkat saat itu juga.

"Paman, adakah yang bersedia membantuku untuk mengawasi desa itu?" pinta Putri Selari.

"Untuk apa, Kanjeng Gusti?" tanya salah seorang.

"Kita harus tahu kalau orang yang kita cari berada di sana. Dan saat ini terjadi perang antara prajurit kerajaan dengan mereka. Sudah sepatutnya kita mengetahui perkembangan ini."

"Hm, kalau begitu, biarlah hamba yang melakukannya," sahut salah seorang dan langsung bangkit berdiri.

Agaknya orang-orang ini betul-betul menganggap gadis itu adalah junjungannya saja. Sehingga sikap mereka seperti seorang hamba yang sedang berhadapan dengan majikannya. Padahal gadis itu berulang kali memperingatkan kalau kedudukan mereka semua sederajat. Tapi peringatan itu tidak diperhatikan sama sekali.

"Kanjeng Gusti, mereka telah mendapat tugas. Lalu tugas apa yang bisa kami lakukan?" tanya salah seorang dari dua orang yang tersisa.

Putri Selari tersentak dan untuk beberapa saat diam tidak menjawab. Dia belum terbiasa dengan cara-cara mereka dan sama sekali tidak menyadari kalau mereka dengan sepenuh hati menganggapnya seorang ratu yang patut dihormati dan dilayani sebagaimana layaknya seorang pewaris tahta kerajaan. Tapi gadis ini cepat menyesuaikan diri, dan kemudian terlihat dia tersenyum kecil.

"Paman, dengan adanya kalian di sini, bukankah itu sudah suatu tugas bagi kalian? Kami merasa dilindungi," kata Putri Selari lembut.

"Tapi, Kanjeng Gusti...."

"Sudahlah, Paman. Bagaimanapun masing-masing kita mempunyai tugas dan kewajiban. Dan harus menerima apa adanya. Begitu pula dengan kalian."

"Baiklah, Kanjeng Gusti."

Putri Selari memalingkan mukanya. Dilihatnya Rangga masih tetap duduk merenung sambil menggigit-gigit sebatang rumput kecil.

"Kau masih memikirkan pertarunganmu tadi, Rangga...?" tegur Putri Selari.

Pendekar Rajawali Sakti itu hanya tersenyum saja sedikit. Luka dalam yang dideritanya kalah sakit dengan dibandingkan kekalahan yang diterimanya dari Sepasang Naga Pertala. Tapi memandang wajah gadis itu yang masih mengenakan topeng, mau tidak mau terhibur juga hatinya. Bagaimana mungkin bisa berbalik begini...? Padahal di balik topeng yang menjijikkan itu, terdapat seraut wajah yang sangat cantik jelita. Tanpa sadar Rangga jadi tersenyum sendiri.

"Kenapa tersenyum...?"

Perlahan Rangga bangkit berdiri. "Kalian di sini saja. Aku hendak bersemadi sebentar. Jangan jauh-jauh dari sini," kata Rangga berpesan, tanpa menghiraukan pertanyaan Putri Selari tadi.

"He! Kau belum jawab penanyaanku! kenapa tiba-tiba tersenyum tadi...? Kau seperti mentertawakan aku!" seru Putri Selari tidak puas.

"Tidak. Tidak ada apa-apa," sahut Rangga, terus saja melangkah pergi.

Putri Selari hanya bisa diam memandangi dengan sorot mata kelihatan tidak puas dengan jawaban Rangga barusan. Kemudian dia memutar tubuhnya berbalik, dan diam membisu diantara dua orang pengikutnya yang masih setia menemani.

DELAPAN

Tidak terasa lebih dari tiga hari mereka terus berpindah-pindah tanpa harus melakukan apa. Rangga semakin putus asa, sementara Putri Selari dan para pengikutnya semakin gelisah saja. Beberapa kali mereka mendesaknya untuk mengambil keputusan. Bahkan Rangga sendiri menyerahkan persoalan kepadanya.

"Aku setuju dengan usul Paman Bandang Ireng. Kau boleh mcngambil keputusan saat ini juga. Keadaan semakin gawat dan pasukan mereka telah berhasil menguasai beberapa tempat serta memukul mundur pasukan kerajaan, tidak lama lagi mereka tentu akan menyerbu kotaraja," kata Rangga.

"Apa yang harus kulakukan. Rangga'' Apakah mengerahkan pasukan yang sedikit ini ataukah membangkitkan semangat rakyat untuk mengadakan perlawanan...'' Itu suatu pekerjaan yang sia-sia. Mereka sangat kuat dan rakyat akan sengsara sementara tujuan ke depan belum pasti," kata I'utri Selari sedikit kesal.

"Kanjeng Gusti Putri, setiap perjuangan itu memerlukan pengorbanan. Bisa kecil, bisa juga besar. Rakyat merasa tertindas dan sepanjang tempat yang kami lewati, pasukan Ki Sobrang dan Ki Degil sering berbuat sesuka hati mereka. Merampok harta benda penduduk, menodai perempuan-perempuan desa, dan tidak segan-segan membunuh mereka yang mencoba melawan. Itukah yang mereka katakan kalau rakyat menyetujui perjuangan mereka? Sesungguhnya mereka bukan pejuang, melainkan perampok!" kata Bandang Ireng menjelaskan lebih lanjut.

"Betul, Kanjeng Gusti. Hamba sendiri mengenali pasukan mereka. Orang-orang itu tidak lain dari para perampok dan penjahat yang sering mengganggu ketentraman rakyat. Kita harus bertindak apapun caranya." sambung salah seorang menimpali.

"Aku setuju saja. Kita harus berupaya sekuat tenaga untuk menghancurkan mereka, sahut Rangga langsung menyetujui.

"Aku tidak meragukan untuk menghancurkan mereka, Rangga. Tapi yang kupikirkan adalah apakah pengorbanan kita ini ada artinya? Kau sendiri mengetahui kalau selain jumlah mereka yang banyak, mereka juga kuat dan sulit dikalahkan kata Putri Selari.

"Tapi kita tidak bisa berpangku tangan saja. Setidaknya ada sedikit yang bisa kita lakukan dan mematahkan perlawanan mereka," kata Rangga lagi.

"Betul, Kanjeng Gusti. Hamba telah memikirkan hal itu. Kita tidak akan menyerang mereka secara terbuka, melainkan secara bersembunyi-sembunyi. Dengan begitu, sedikit demi sedikit kita akan mengikis kekuatan mereka, sambil mem-bangkitkan semangat rakyat." jelas Bandang Ireng.

Putri Selari berpikir sesaat. Keputusan saat ini memang berada ditangannya. Kemudian dipandanginya Bandang Ireng, lalu berkata dengan suara yang pelan, namun mengandung nada yang tegas sekali.

"Paman Bandang Ireng, pada masa Ayahandaku masih ada, kau adalah panglima ketiga yang perkasa. Kini kuangkat kau menjadi panglima utama. Pimpinlah mereka untuk mengadakan perlawanan."

"Hamba. Kanjeng Gusti Putri. Mohon restu agar berhasil." sahut Bandang Ireng sambil memberi normat.

Putri Selari mengangguk perlahan. Pada saat itu datang seseorang, dan langsung melapor pada gadis yang selalu mengenakan topeng berwajah buruk menjijikkan ini.

"Ada apa'.'" tanya Putri Selari.

"Seorang laki-laki tua ingin bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti. Katanya ini soal penting." sahut orang itu.

"Heh...?!"

"Kenapa. Rangga?" tanya Putri Selari.

"Dari mana dia mengetahui persembunyian kita di sini...?" tanya Rangga ragu-ragu.

Tapi begitu mendengar kata-katanya, serentak yang lainnya bersiaga. Rangga menyuruh orang yang membawa berita itu untuk membawa tamunya ke sini. Tidak berapa lama orang itu pergi, sudah kembali lagi dengan membawa seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk, dengan pakaian lusuh, berjalan perlahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

Wajahnya kelihatan hitam, penuh dengan kerut-kerut. Rambut, kumis dan jenggotnya pendek yang telah memutih semua. Tubuhnya kurus seperli kulit pembalut tulang. Sekilas pemuda itu bisa menilai lewat sorot matanya, kalau orang tua ini memiliki tenaga dalam yang kuat luar biasa. Tidak terasa timbul rasa hormat dan segan padanya.

"Ki sanak, silahkan duduk. Adakah sesuatu yang bisa kubantu...?" ujar Rangga ramah.

"Anak muda, kaukah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanya orang tua itu, tanpa menghiraukan ucapan Rangga tadi.

"Benar. Ki sanak," sahut Rangga tetap ramah.

"Beruntunglah...." desah orang tua itu.

"Namaku Suma Eling. Aku adalah guru Sobrang dan Degil...."

Mendengar orang tua itu berkata demikian, seketika mereka semua langsung bergerak hendak menyerang. Tapi Rangga lebih cepat lagi mencegah.

"Jangan berbuat sesuatu tanpa perintahku!" terdengar lantang suara Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Tapi...." Bandang Ireng terputus suaranya.

"Turuti keinginannya!" sentak Putri Selari cepat.

Terpaksa mereka semua melangkah mundur beberapa tindak. Namun masih dalam sikap yang siap menyerang. Kalau kedua muridnya sudah begitu tangguh, tentu saja gurunya lebih luar biasa lagi. Tapi mau apa dia kesini...? Pertanyaan itu yang terus menghantui benak mereka.

"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, Pendekar Rajawali Sakti," kata orang tua yang tadi mengaku bernama Suma Eling, dan juga mengaku guru dari Ki Sobrang dan Ki Degil ini.

"Silahkan, Eyang," sambut Rangga dengan sikap masih menghormati. Bahkan memanggilnya dengan sebutan Eyang. Sebuah sebutan bagi orang tua yang berarti Pendekar Rajawali Sakti itu sangat menghormatinya. Dan laki-laki tua itu jadi tersenyum. Kepalanya bergerak terangguk-angguk beberapa kali. Sinar matanya kelihatan begitu cerah sekali, merayapi wajah tampan pemuda didepannya ini.

"Tapi aku minta tidak disini mengatakannya. Ini hanya antara kita berdua saja. Ikuti aku..." kata Eyang Suma Eling.

Setelah berkata begitu, dengan cepat sekali dia bangkit berdiri dan memberi hormat pada Putri Selari. Lalu bagaikan kilat dia melesat pergi. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Rangga juga segera bangkit berdiri.

"Selari, aku pergi dulu." kata Rangga berpamitan.

"Rangga, jangan...!"

Tapi Rangga sudah tidak lagi mendengar cegahan gadis itu. Dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat menyusul Eyang Suma Eling yang sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara Putri Selari kelihatan begitu cemas sekali. Terbayang dugaan keras kalau Pendekar Rajawali Sakti itu pasti terkena pancingan.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Kepergian Rangga ternyata hanya sebentar saja. Tak lama kemudian dia telah kembali dan bertemu dengan mereka di perjalanan, wajahnya terlihat cerah dan tidak kurang suatu apapun juga.

"Kenapa kalian ada di sini...?" tanya Rangga langsung.

"Kami mengkhawatirkanmu, Rangga," sahut Putri Selari agak tergagap.

"Aku tidak apa-apa. Ayo. kita kembali ke tempat tadi," ajak Rangga.

"Kau tidak apa-apa. Rangga...?" tanya Putri Selari lagi. Masih kelihatan heran dan cemas.

"Seperti yang kau lihat, aku tidak apa-apa." sahut Rangga.

"Kenapa kau percaya begitu saja pada orang tua itu tadi? Padahal, dia sudah menyebutkan dirinya guru Ki Sobrang dan Ki Degil." kata Putri Selari ingin tahu.

"Aku hanya melihat kalau sorot matanya mengandung kejujuran dan kebijaksanaan. Bukan tipu daya yang ada. Dan aku merasa ada sesuatu yang sangat penting hendak disampaikan. Itu yang membuatku percaya padanya," kata Rangga menjelaskan.

"Apa yang diinginkannya darimu''" tanya Putri Selari lagi.

"Melenyapkan kedua muridnya," sahut Rangga kalem.

"Gila...?! Bagaimana mungkin...?" desis Putri Selari terkejut.

"Kenapa tidak? Kau meragukan kemampuanku, Selari?"

Gadis itu tidak sampai hati mengungkit-ungkit kekalahan yang diderita Rangga pada dua orang murid Eyang Suma Eling beberapa hari yang lalu. Pasti akan membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi berduka. Tapi dia melihat sendiri kalau Rangga sama sekali tidak berdaya menghadapi mereka. Lalu cara apa yang akan dilakukannya nanti? Padahal segala kepandaian yang dimiliki telah dikerahkannya. Dan ternyata memang Ki Sobrang dan Ki Degil sulit sekali dikalahkan.

"Kenapa dia menginginkan kematian muridnya, Rangga?" tanya Putri Selari jadi penasaran ingin tahu.

"Mereka berdua telah berkhianat, dan melanggar sumpahnya. Mereka membunuh rakyat yang tidak berdosa dan membiarkan anak buahnya membuat kekacauan dengan sengaja. Mereka telah mengangkat para perampok dan penjahat sebagai prajuritnya. Dan kini dengan keinginannya yang gila, mereka ingin menjadi raja atas kerajaan ini. Tentu akan semakin parah saja penderitaan rakyat kalau sampai impian mereka terwujud. Sudah beberapa kali orang tua itu mengirimkan utusan untuk menyadarkan mereka. Tapi selalu saja utusan itu tidak pernah kembali, karena dibunuh mereka. Dengan demikian mereka sama sekali tidak memperdulikan Eyang Suma Eling sebagai gurunya lagi," Rangga menjelaskan dengan singkat.

"Tapi, kenapa harus kau yang mengadapinya...?"

"Eyang Suma Eling merasa hanya akulah satu-satunya orang yang bisa melakukannya. Dia sendiri sudah terikat sumpah, dan tidak akan mencampuri urusan keduniawian. Dan tidak akan menumpahkan darah dengan membunuh siapapun juga. Kalau saja aku mengetahui kelemahan Aji Sakadewa yang membuat mereka kebal terhadap pukulan apapun dan kebal pada senjata apapun juga, mereka sama sekali tidak berarti," kata Rangga menjelaskan lagi.

"Lalu, orang tua itu memberitahukan kelemahannya?" tanya Putri Selari lagi.

Rangga hanya menganggukkan kepalanya saja, seraya memberikan senyuman yang manis. Putri Selari menarik nafas panjang. Dia juga tersenyum. Dia tidak banyak bertanya lagi. Pada dasarnya, dia memang tidak cerewet. Setelah mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti ini yakin dapat menghadapi kedua lawan tangguhnya nanti, berarti keselamatannya sendiri tidak begitu mengkhawatirkan seperti sebelumnya.

"Kanjeng Gusti Putri, celaka! Ada berita penting yang hendak hamba sampaikan...!" teriak seseorang yang tiba-tiba saja datang dengan menunggang kuda.

"Berita apa, Paman?" tanya Putri Selari.

"Pasukan mereka kini menyerbu kotaraja. Dan terjadi pertempuran besar di sana. Sebelum hamba ke sini, terlihat pasukan kerajaan terdesak hebat," sahut orang itu menjelaskan.

"Ayo kita cepat ke sana," ajak Rangga.

"Untuk apa?" tanya Putri Selari.

"Mengangkat Putri Selari sebagai ratu." sahut Rangga sedikit bergurau. Mendengar kata-kata itu, yang lainnya langsung bersorak gembira sambil mengangkat tangannya ke atas kepala. Putri Selari langsung memerah wajahnya. Tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Dan dia juga tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya saat ini. Raut wajahnya kelihatan bingung.

"Tenang saja, Selari. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Paman Bandang Ireng dan yang lainnya, mari kita berangkat sekarang juga. Aku punya rencana dan akan kubeberkan sepanjang perjalanan nanti. Ayo cepat.... Jangan sampai kita kehilangan kesempatan untuk ikut dalam pertempuran ini." kata Rangga membangkitkan semangat.

Seruan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung disamhut dengan gegap gempita. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera berangkat ke kotaraja. Tidak ada seorangpun yang berjalan kaki. Mereka semua menunggang kuda, dan memacu kudanya dengan cepat seperti dikejar setan. Membuat debu membumbung tinggi ke angkasa. Membuat bumi bergetar bagai diguncang gempa.

********************

Apa yang dikatakan oleh salah seorang pengikut Putri Selari tadi, memang benar kenyataannya. Kotaraja terlihat sepi dari para penduduk yang mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Segala kegiatan terhenti, karena disepanjang jalan menuju ke istana kerajaan terjadi pertempuran hebat antara prajurit kerajaan dengan orang-orang yang dipimpin Ki Sobrang dan Ki Degil.

Saat mereka sampai disana, keadaan semakin memprihatinkan. Kedua belah pihak banyak yang sudah jatuh korban. Sepanjang perjalanan menuju bangunan istana kerajaan, mayat-mayat bergelimpangan bermandikan darah. Namun dari penglihatan sekilas, prajurit kerajaan memang terdesak hebat. Mereka bertahan di dalam bangunan istana. Namun orang-orangnya Ki Sobrang dan Ki Degil terus menerus mendesak dan mampu menjebol pintu gerbang. Bagai tanggul jebol, mereka terus menerobos masuk ke dalam.

"Jahanam! Keparat-keparat itu berhasil melarikan diri! Katakan pada yang lain agar sebagian mereka mengejar. Tangkap dan bunuh mereka semua!" teriak Ki Sobrang kesal, begitu mengetahui kalau raja yang berkuasa sudah melarikan diri lewat jalan belakang.

Beberapa orang langsung saja bergerak cepat memburu rombongan prajurit kerajaan yang tetap mengadakan perlawanan dengan gigih. Diantara mereka, cukup banyak terdapat orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. sehingga menimbulkan semangat prajurit yang lainnya.

Namun orang-orang yang mereka hadapi juga bukanlah orang-orang sembarangan. Apa lagi ketika Ki Sobrang dan Ki Degil ikut turun tangan, dalam waktu yang sangat singkat saja mereka dapat dihabisi. Tapi sebelum kedua orang itu menguasai keadaan, mereka dikejutkan dengan datangnya seseorang yang tiba-tiba saja mengamuk dan menyerang anak buah Ki Sobrang dan Ki Degil. Dan hal itu cukup merepotkan, karena orang itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali. Hingga dalam waktu sebentar saja sudah tidak terhitung lagi yang menjadi korbannya.

"Keparat! Punya nyali juga dia datang ke sini. Mau mampus orang itu...!" dengus Ki Sobrang, ketika mengetahui siapa orang yang membantai anak buahnya.

"Biar aku yang akan memecahkan batok kepalanya." sambut Ki Degil cepat.

"Sebaiknya kita berdua saja, Degil. Kau sendiri tidak akan mampu menghadapinya. Tapi kalau berdua, dia tidak akan berkutik." kata Ki Sobrang.

Kedua orang itu langsung saja melompat ke arah pemuda berbaju rompi putih yang masih mengamuk menghajar mereka yang menyerang para prajurit. "Pendekar Rajawali Sakti! Bagus kau berani mencari kematianmu di sini!"

Mendapat teguran keras begitu, pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga, langsung berhenti mengamuk dan berpaling ke arah datangnya suara yang keras mengejutkan tadi. Dia berdiri tegak sambil tersenyum begitu melihat Ki Sobrang dan Ki Degil menghampiri.

"Hm, Sepasang Naga Pertala. Sungguh gembira sekali bisa bertemu lagi dengan kalian. Memang betul aku akan mencari kematian. Tapi kematian kalian berdua," sambut Rangga dingin.

Mendengar kata-kata itu, meledaklah tawa mereka. Tentu saja mereka menganggap kalau apa yang diucapkan Rangga hanya sesumbar saja. Mana mungkin pemuda itu bisa mengalahkan mereka, apa lagi sampai menewaskannya. Pada pertarungan yang lalu. Rangga memang sama sekali tidak berdaya. Dan hampir saja tewas kalau para prajurit kerajaan tidak segera datang menyerang.

"Bersiaplah kalian. Naga Pertala..!" desis Rangga dingin.

Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti itu mencabut pedang pusakanya. Dan seketika itu juga cahaya biru berkilauan menyemburat menerangi sekitarnya. Namun Ki Sobrang dan Ki Degil hanya tertawa saja terkekeh, seperti meremehkan pedang bercahaya biru di tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Hiyaaat...!" Tanpa membuang-buang waktu lagi. Rangga langsung saja melompat bagai kilat, dan membabatkan pedangnya ke arah dada kedua orang ini. Namun kedua orang itu telap berdiri tegak, seperti tidak memperdulikan serangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

Namun dua jengkal lagi ujung pedang akan menyambar tubuh mereka, tiba-tiba saja Rangga membelokkan serangannya. Dan langsung menghantam bayangan mereka pada saat yang bersamaan. Tepat pada bayangan dibagian tengah dada di tanah. Kedua laki-laki itu tampak terkejut setengah mati. Tapi tidak ada waktu lagi untuk bisa menghindar. Begitu cepat sekali gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga....

Bres!
Cras!
Aaaakh!"
"Aaaa...!"

Dua jeritan panjang seketika terdengar begitu menyayat sekali. Tampak kedua orang laki-laki setengah baya itu menggelepar di tanah sambil melolong panjang. Tubuh mereka seketika diselubungi cahaya biru yang memancar dari pedang pusaka Rajawali Sakti. Dan dalam sekejap mata saja, hancur berkeping-keping bagai tepung.

Jeritan panjang yang melengking tinggi mengantarkan kematian dua orang itu, membuat perhatian yang lainnya jadi terbagi. Dan mereka sama-sama terkejut begitu melihat Rangga dapat menghancurkan Ki Sobrang dan Ki Degil hanya dengan satu gerakan yang sama sekali sulit untuk diduga tadi. Dan seketika itu juga, pertarungan jadi terhenti. Mereka semua jadi mengarahkan pandangannya pada Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Atas nama Putri Selari. Putri Gusti Prabu Satya Wardhana Putra, aku memerintahkan kalian semua untuk meletakkan senjata. Hentikan pertempuran. Seluruh tempat ini sudah terkepung...!" lantang sekali suara Rangga, hingga terdengar begitu jauh.

Serentak kedua belah pihak saling memalingkan perhatian. Apa yang mereka lihat memang benar. Ribuan orang sudah mengepung istana ini. Dan mereka semua adalah rakyat serta para pengikut Putri Selari. Tampak diantara mereka, terlihat seorang gadis berwajah cantik, menunggang kuda yang didampingi beberapa orang laki-laki bertubuh tegap. Diantara mereka juga terlihat Bandang Ireng.

"Aku Bandang Ireng. Panglima Gusti Prabu Satya Wardhana Putra, bersumpah kalau gadis yang berada disampingku ini adalah Puiri Selari. Yang berhak atas tahta kerajaan. Dengan ini pula, aku memerintahkan pada kalian semua untuk meletakkan senjata...!" terdengar lantang suara Bandang Ireng.

Mendengar kata-kata itu, tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk melawan. Dan dengan serentak mereka meletakkan senjatanya. Panglima Bandang Ireng memerintahkan anak buahnya untuk menggiring mereka ke dalam penjara. Sementara Putri Selari mengatakan kalau tidak semuanya akan diadili. Terutama para prajurit kerajaan.

Terlihat rakyat bersorak gembira menyambut kedatangan ratu mereka. Sikap mereka tentu saja membuat Putri Selari jadi berkaca-kaca terharu. Ini membuktikan kalau sebenarnva rakyat masih mengharapkan kehadiran pewaris sah tahta kerajaan. Begitu larutnya dia, sampai lupa pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan baru teringat setelah berada di ujung tangga istana.

"Paman Gondo, kemana Rangga...?" tanya Putri Selari.

"Eh, tadi ada di sini...!" sentak Paman Gondo juga seperti baru tersadar.

"Tolong carikan dia. Paman." pinta Putri Selari.

"Baik, Kanjeng Gusti Putri." Gondo bersama yang lainnya segera mencari Pendekar Rajawali Sakti itu. Tapi mereka sama sekali tidak menjumpainya. Rangga benar-benar telah pergi, tanpa ada seorangpun yang mengetahui. Gondo segera melaporkan kalau Rangga sudah pergi entah kemana. Putri Selari merasa begitu cemas sekali. Dia tidak ingin lagi kehilangan pemuda itu.

"Paman, tolong kerahkan orang untuk mencarinya. Aku tidak ingin dia pergi...," kata Putri Selari.

Paman Gondo tidak bisa lagi membantah. Walaupun dia yakin Rangga tidak akan mungkin bisa ditemukan lagi, tapi dia tidak ingin mengecewakan gadis yang akan dinobatkan menjadi ratu itu. Dan di dalam hatinya memang dia mengakui kalau Putri Selari sangat cocok sekali jika berdampingan dengan Pendekar Rajawali Sakti itu. Selain tampan dan gagah, juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali. Pasti kerajaan ini akan damai kalau dipimpin oleh dua orang yang memiliki kepandaian sangat tinggi.

Tapi kemana harus mencari...? Sementara semua orang tahu kalau Rangga seorang pendekar kelana yang tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Dan Putri Selari juga tidak bisa memaksa lagi untuk bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia menyadari kalau Rangga seorang pendekar sejati yang tidak memerlukan balas jasa pada apa yang telah dilakukannya. Dia hanya berharap, kelak bisa bertemu lagi dengan Pendekar Rajawali Sakti itu.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: RAHASIA PATUNG KENCANA