Satria Gunung Kidul Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Satria Gunung Kidul

Karya Kho Ping Hoo

JILID 03

SARITAMA diam-diam memuji ketelitian dan kecepatan para ponggawa itu, maka secepat kilat ia angkat tubuh penjaga tadi dan melontarkan tubuh itu ke arah ketujuh orang ponggawa yang datang menyerbu! Akan tetapi dengan sigapnya ketujuh orang ponggawa itu dapat mengelak dan dari gerakan mereka Saritama maklum bahwa mereka rata-rata memiliki ilmu pencak silat yang pandai.

Ketujuh orang ponggawa itu menyangka bahwa Saritama hanyalah seorang yang datang hendak mencuri saja, maka mereka bermaksud hendak menangkapnya. Seorang diantara mereka yang termuda dan bernama Waskita hendak memperlihatkan ketangkasannya. Dengan seruan keras dia maju menubruk Saritama, hendak menangkapnya dengan ilmu silat pencak Palwaga Pancakara (Kera Berkelahi). Gerakannya gesit laksana seekor kera jantan, kedua tanganya berkembang, yang kiri menangkap leher, yang kanan menuju ke lambung Saritama!

Akan tetapi dengan sedikit gerakan saja Saritama berhasil mengelak terkaman pada lehernya dan sekali tangan kirinya dikibaskan menangkis tangan lawan yang mengarah lambung, terdengar Waskita menjerit kesakitan oleh karena tulang lengannya terasa sakit bagaikan terpukul sebatang tongkat besi. Ia membungkuk-bungkuk sambil mengaduh-aduh dan mengelus-elus lengannya yang tertangkis itu!

Keenam kawannya terkejut melihat ketangkasan maling muda itu. Mereka merasa gemas sekali melihat Waskita telah dikalahkan dalam sekali pukul saja. Dua orang ponggawa lain lalu menyerang dari kiri kanan. Akan tetapi Saritama cepat melangkah mundur dan ketika ia ulur kedua tangannya, ia berhasil menjambak rambut kepala keduanya ponggawa itu dan sebelum keduanya dapat melawan, Saritama telah membuat gentakan hebat hingga dua kepala mereka saling bentur mengeluarkan suara keras.

“Aduh... !!!” Terdengar teriak mereka berbareng dan keduanya terhuyung-huyung setelah dilepas oleh Saritama, kemudian roboh tak ingat diri!

Bukan main marahnya empat orang ponggawa lain. Ponggawa tertua yang juga menjadi kepala ponggawa di situ, memberi aba-aba dan keempat orang itu mencabut keris masing-masing.

“He, maling muda yang kurang ajar! Menyerahlah!”

Saritama tersenyum.“Bukan watak ksatria Gunung Kidul untuk menyerah!” jawabnya.

“Apa? Kau seorang ksatria? Eh, anak muda, kau siapa dan berdirilah di tempat terang agar kami dapat melihat mukamu. Siapa kau dan apa maksudmu datang membuat kacau?” berkata ponggawa tua itu yang bernama Jaladara.

“Orang-orang Tangen, dengarlah! Aku bernama Saritama dan kedatanganku ini bermaksud hendak membasmi keluarga Wiradigda si keparat yang kejam!”

Bukan main terkejutnya para ponggawa itu ketika mendengar pemuda ini datang hendak mencelakai Tumenggung Wiradigda. Waskita yang mendengar ucapan ini lalu berlari cepat untuk memanggil bala bantuan di luar gedung. Sedangkan keempat orang ponggawa lainnya lalu maju menerkam dengan senjata mereka!

Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut oleh karena sekali berkelebat saja tubuh pemuda itu telah lenyap dan tahu-tahu seorang ponggawa telah tertangkap oleh Saritama yang telah melompat dan berada di belakangnya. Sebelum ia dapat berteriak, tubuhnya telah diangkat tinggi-tinggi dan dilempar ke arah kawan-kawannya yang cepat melompat ke pinggir agar jangan sampai tertumbuk oleh tubuh kawan sendiri.

Pada saat itu, dari arah belakang gedung terdengar pekik seorang wanita. Pekik ini terdengar mengerikan dan menggerakkan hati Saritama. Hati nuraninya tersinggung dan jiwa ksatrianya bangkit dan menggerakkan hatinya untuk segera menolong wanita yang memekik dan yang membutuhkan pertolongan itu. Ia lalu bertindak cepat. Dengan ilmu Nandaka Amapang (Banteng Menyambut) sambil mengeluarkan aji kekebalannya ia menyerbu ke depan tanpa memperdulikan serbuan keris lawan!

Alangkah terkejutnya para ponggawa ketika merasa betapa keris-keris mereka itu mengenai tubuh Saritama bagaikan bertemu dengan batu atau baja saja! Tangan mereka terasa sakit dan keris mereka mental kembali, sedangkan Saritama telah menerjang dengan gerakan siku, tangan, dan kaki. Para ponggawa itu terbanting dan terpukul ke kanan kiri!

Saritama tidak memperdulikan mereka, tapi langsung berlari cepat sekali ke arah taman di belakang gedung. Dan apa yang dilihatnya di dalam taman itu membuat dadanya terasa panas dan sesak, dan tak terasa lagi ia membentak, “Dukun lepus tak tahu malu!”

Ternyata bahwa yang dilihatnya itu adalah Bagawan Kalamaya yang sedang menyeret-nyeret dan memeluk-meluk seorang dara muda yang cantik-jelita dan yang meronta-ronta sambil menangis. Dara itu memekik-mekik, akan tetapi kini suara jeritannya tak dapat terdengar keras oleh karena sebelah tangan Bagawan Kalamaya telah digunakan untuk menutupi mulut gadis itu!

Siapakah dara muda yang ayu itu dan mengapa pula ia dapat terjatuh ke dalam tangan Bagawan Kalamaya? Pada malam hari itu, di dalam taman di belakang gedung tumenggungan, terdapat dua orang wanita yang masih belum masuk ke dalam gedung. Mereka ini adalah Dewi Saraswati, puteri tunggal Tumenggung Wiradigda, seorang puteri berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita bagaikan Dewi Komaratih sendiri turun dari angkasa!

Akan tetapi, pada malam hari itu, Dewi Saraswati nampak berduka, bahkan ia menangis sedu-sedan, dihibur oleh seorang wanita setengah tua yang bersusur besar di mulutnya hingga wajahnya yang memang sudah buruk itu menjadi tambah tak enak dilihat. Dia ini adalah biung emban, yakni pelayan pengasuh Dewi Saraswati semenjak sang dewi masih kecil. Pengasuh ini bernama Tomblok.

“Aduhai, Gusti Ayu, sudahlah jangan Paduka terus-menerus bersedih saja. Sayanglah air matamu, dan jangan kau buang-buang,” kata Tomblok yang mencoba menghibur sang dewi yang dikasihinya bagaikan anak sendiri itu.

Biarpun sedang berduka, akan tetapi mendengar kata-kata Tomblok ini Dewi Saraswati tertegun, “Apa maksudmu, biung?”

Melihat bahwa sang dewi sudah mau melayani kata-katanya, Tomblok merasa girang sekali. Ia pindahkan susurnya yang besar dari ujung mulut kiri ke kanan, lalu berkata,

“Maksudnya, janganlah air mata Gusti yang berharga itu dibuang-buang. Kalau air mataku, jangankan dijual mahal, dihadiahkan dengan cuma-Cuma juga takkan ada yang sudi! Tapi air mata seorang puteri sejati bagaikan butir-butir mutiara berharga yang tak boleh diboroskan dengan sia-sia! Demikianlah kata para punjangga jaman dahulu. Lagipula, air mata seorang puteri cantik merupakan senjata yang paling ampuh dan keramat di atas dunia ini. Maka peliharalah mutiara dan senjata keramat itu baik-baik, Gusti Ayu, oleh karena kalau dipergunakan untuk hal-hal yang kecil tak berarti saja, maka mutiara itu akan hilang keampuhannya! Karena itulah maka mahal harganya Gusti!”

Memang Tomblok ini pandai sekali bicara. Selain pandai berkelakar oleh karena seringkali harus menghibur hati kekasih dan junjungannya, juga ia pandai menari dan bernyanyi serta pandai pula memberi nasihat-nasihat dan petuah-petuah berharga.

“Biung emban, kau tidak mengerti. Aku bukan menyusahkan hal-hal remeh sebagaimana yang kau duga, akan tetapi aku menyusahkan sisa hidupku. Aku menyedihi nasibku yang akan datang, biung.”

“Ah, ah, sekali lagi kau keliru, Gustiku yang ayu dan manis! Kata para cerdik pandai, daripada menyusahkan perkara yang belum datang dan menguatirkan nasib yang belum tentu, lebih baik mengenang hal-hal yang lalu untuk dijadikan contoh dan cermin! Dari pengalaman-pengalaman lalu kita dapat memetik pelajaran-pelajaran berharga untuk mengatur langkah hidup selanjutnya, sedangkan hal-hal yang belum terjadi serahkanlah kepada Hyang Agung untuk mengaturnya, Gusti. Ah, junjunganku yang manis, kalau Paduka bermuram durja, seakan-akan bintang-bintang di langit kehilangan cahayanya dan hambapun kehilangan cahaya hamba!” Nasihat-nasihat Tomblok selalu diseling sendau-gurau.

“Tomblok, Tomblok...! Alangkah senangnya hatiku kalau pada saat ini kita bertukar tempat!” kata Dewi Saraswati sambil termenung.

“Lho, mau bertukar tempat? Hamba duduk di bangku itu dan Paduka di atas rumput ini? Kalau Paduka kehendaki, mengapa tidak bisa?” tanya Tomblok sambil melebarkan kedua matanya yang sudah lebar dan bundar sebesar telur ayam itu.

“Bukan begitu maksudnya, biung emban. Maksudku bertukar pakaian yaitu kau menjadi aku dan aku menjadi kau! Kalau aku menjadi kau, takkan mengalami nasib celaka ini!”

“Eh, eh, Gustiku yang manis. Kalau bertukar pakaian saja, saya tidak... menolak! Kalau berganti orang... ah, berat juga, Gusti!”

“Biung emban, jangan kau bergurau saja, aku benar-benar sedang dalam prihatin dan susah,” kata sang puteri dengan wajah muram.

“Ampun, Gusti Ayu, hamba hanya bermaksud menghibur. Hamba juga maklum bahwa Gusti sedang menderita duka nestapa, akan tetapi, sebenarnya ada apakah, Gusti?”

“Ketahuilah, biung. Kemarin ayah pergi ke Kadipaten Pacet.”

“Hamba sudah tahu, Gusti.”

“Dan tahukah kau mengapa ramanda pergi ke sana?”

Tomblok menggeleng-gelengkan kepalanya hingga gelung rambutnya yang besar itu ikut bergerak-gerak ke kanan kiri.

“Dengarlah hal yang menyusahkan hatiku, biung. Rama pergi ke Kadipaten Pacet perlu untuk merundingkan hal pernikahanku.”

Tomblok menepuk-nepuk pahanya dengan girang. “Ah, Ndoro Ayu bukankah hal itu sangat menggembirakan dan tak perlu disusahkan?”

“Biung emban, jangan kau berkata demikian. Adipati Pacet adalah seorang duda yang sudah berusia hampir setengah abad dan bagaimana aku dapat menjadi isterinya? Ah, biung... aku lebih suka mati daripada menjadi sisihan kakek bandot itu!” Dewi Saraswati lalu menutupi mukanya dengan ujung kemben (sabuk kain) dan menangis terisak-isak.

Tomblok ikut menangis dan suara tangisnya seperti suara bebek bertelur. “Aduh, Gusti Ayu... kekasih hatiku... janganlah menangis, manis... hamba tak kuat menahan air mata... Gusti Ayu Dewi Saraswati yang cantik jelita, hamba menjadi teringat akan masa dahulu ketika hamba hendak dikawinkan oleh ayah hamba... orangnya juga tua, bahkan bukan setengah abad lagi, tapi sudah seabad penuh!”

Mendengar ucapan biung emban Tomblok, Dewi Saraswati menurunkan kedua tangannya karena ia menjadi tertarik. “Kau kan juga merasa susah, bukan, biung?”

“Tidak, Gusti, hamba tidak susah karena calon suami itu sudah tua, malah kebetulan, oleh karena biarpun tua dia itu tua kelapa, yakni harta-bendanya banyak. Hamba pikir, kalau hamba sudah kawin dengannya, dalam beberapa bulan atau beberapa hari saja tentu dia akan mampus dan semua harta bendanya diwariskan kepada hamba! Akan tetapi, Gusti, dia mati... ! Aduh... dia mati!” Dan Tomblok menangis lagi!

Dewi Saraswati heran. “Mengapa kau susahkan kematiannya, biung? Bukankah itu yang kau harapkan?”

“Benar, Gusti, akan tetapi dia mati sebelum kami kawin! Baru saja kami ditemukan, tiba-tiba dia menggigil dan roboh terus mampus! Hamba menjadi janda sebelum kawin dan harta bendanya tidak terjatuh kepada hamba.” Tomblok menangis lagi dan diam-diam Dewi Saraswati menjadi sangat geli.

Pada saat itu, dari belakang sebatang pohon keluarlah bayangan seorang bongkok, Dewi Saraswati dan Tomblok menjadi kaget sekali oleh karena mereka tidak segera mengenal muka pendatang ini. Dewi Saraswati lalu berdiri dengan takut, sedangkan Tomblok sudah memeluk kaki Dewi Saraswati dengan tubuh menggigil.

“Ssss... ssseee... setan!” teriaknya ketakutan melihat tubuh bongkok itu melangkah maju.

“Sst, biung emban, jangan ribut. Yang datang adalah Paman Bagawan Kalamaya!”

“Benar, anakku yang ayu, anak manis dan jelita, akulah yang datang!”

“Paman Bagawan, sungguh aku merasa terkejut dan heran. Mengapa paman bagawan datang ke taman sari dan pada waktu malam gelap begini? Apakah kehendakmu, paman?” tanya Dewi Saraswati dengan suara penuh teguran.

“Saraswati, bocah ayu, bocah denok! Aku datang untuk memboyongmu, kekasihku!” Sambil berkata demikian, Bagawan Kalamaya melangkah maju.

Bukan main terkejutnya Dewi Saraswati mendengar ucapan ini serta melihat sikap sang pendeta itu. Ia menduga bahwa pendeta ini tentu telah menjadi gila!

“Paman Bagawan, apakah artinya semua ini? Paman, janganlah kau berkelakar yang tidak pantas seperti itu!”

“Saraswati, jantung hatiku, jimat pujaan kalbu! Tidak tahukah kau bahwa aku adalah titisan Hyang Brahma? Kau adalah permaisuriku, Saraswati, marilah kau ikut kakanda untuk bersama pulang ke Sorga. Marilah, Saraswati permaisuriku!”

Bukan main takutnya Dewi Saraswati mendengar ini. Ia lalu lari di belakang tubuh Tomblok hingga Bagawan itu kini menghadapi Tomblok. Pada saat itu Bagawan Kalamaya hendak maju memeluk, akan tetapi ketika melihat kepada Tomblok yang menghadang di depannya dan yang kini tidak ketakutan lagi, Bagawan itu mundur menyebut.

“Ya dewata yang maha agung! Kukira Saraswati tadi, tidak tahunya kau! Eh, kau ini mahluk apa? Manusia atau kadal?”

Bukan main marahnya Tomblok disebut kadal. Ia melangkah maju dan memutar-mutar susurnya di dalam mulutnya. “Kira-kira kalau menyebut orang! Biarpun kau menyebutku kadal, akan tetapi aku bukan kadal sembarang kadal! Aku adalah kelangenan (kekasih) sang puteri! Kau ini bagawan berotak miring barangkali. Mengapa malam-malam datang mengacau dan berlaku kurang ajar terhadap sang puteri? Apakah kau tidak takut kepada Gusti Tumenggung?”

“Kau minggirlah!” bentak Bagawan Kalamaya dan sekali saja ia mendorong.

Tomblok jatuh terguling-guling sambil berteriak-teriak. Akan tetapi, mendengar teriakan wanita ini, Bagawan Kalamaya lalu maju dan menendang hingga Tomblok menjadi pingsan! Kemudian, sambil membujuk dan merayu, menyebut-nyebut Dewi Saraswati sebagai permaisurinya, ia maju hendak menangkap Dewi Saraswati!

Puteri itu merasa bingung dan jijik, hingga ia menjerit keras sekali. Agaknya jeritan inilah yang terdengar oleh Saritama dan yang menarik perhatiannya. Bagawan Kalamaya lalu melompat dan menerkam, dan ketika Dewi Saraswati hendak menjerit lagi, bagawan yang sudah kesetanan itu lalu menutup mulut Saraswati dengan tangannya.

Ketika mereka sedang bersitegang, datanglah Saritama yang hampir tak dapat mempercayai matanya sendiri. Tak pernah disangkanya bahwa Bagawan Kalamaya akan serendah itu batinnya!

“Pendeta bangsat tak tahu malu! Lepaskan gadis itu dan ingatlah, sadarlah kau, pendeta keparat dan sesat.”

“Saritama, jangan kau mencampuri urusanku! Kau pergilah melakukan tugasmu sendiri. Aku, titisan Brahma, sedang berurusan dengan Dewi Saraswati, permaisuriku sendiri!”

Saritama marah sekali dan membentak sambil melangkah maju.“Pendeta gila, kau dimabok kerendahan hatimu sendiri!” Kemudian, sekali merenggutkan lengan pendeta itu, ia berhasil melepaskan Dewi Saraswati yang dipeluk oleh bagawan gila itu.

“Saritama, kau ingin mampus!”

Bagawan Kalamaya berseru marah dan tiba-tiba bagawan itu mencabut sebilah keris yang panjang dan beriuk lima. Keris ini nampak dahsyat mengerikan oleh karena selain mempunyai hawa yang berpengaruh dan jahat, keris ini juga selalu direndam dalam racun yang sangat jahat dan yang didapat dari air liur ular belang!

Biarpun tubuhnya bongkok dan sudah tua, Bagawan Kalamaya masih memiliki gerakan sigap dan tangkas oleh karena dia memang mempunyai kepandaian pencak silat yang tinggi di waktu mudanya. Sambil mengeluarkan suara tertawa yang aneh dan mengerikan, ia menyerang dengan kerisnya yang dinamai Paripusta yang berarti puas dan senang. Dari nama kerisnya ini saja dapat diukur bahwa pada hakekatnya, pendeta ini masih menjadi hamba daripada nafsu-nafsu jahat yang mengutamakan kepuasan dan kesenangan dunia.

Saritama yang bermata tajam dapat maklum akan kehebatan dan berbahayanya keris ini, maka cepat ia mengelak lalu mengirim pukulan dari samping kiri. Bagawan Kalamaya memiringkan tubuhnya untuk mengelak bahaya pukulan ini dan segera mengirim serangan bertubi-tubi dengan keris mautnya. Akan tetapi, Saritama dengan mudah sekali melompat ke sana ke mari, gesit dan cepat bagaikan seekor burung Srikatan.

Pada saat yang tepat, sebuah pukulan tangan kirinya bersarang di dada pendeta cabul itu hingga Bagawan Kalamaya roboh terjungkir dan mengaduh-aduh tanpa dapat bangun lagi. Kerisnya terlempar jatuh dan menancap di atas tanah!

Dewi Saraswati masih belum hilang kagetnya. Diam-diam ia memperhatikan perkelahian tadi dan ia kagum sekali melihat ketangkasan dan kecakapan pemuda penolongnya itu. Ketika Saritama melangkah maju menghampirinya, Dewi Saraswati memandang dengan sepasang matanya yang tajam dan bening sambil menduga-duga oleh karena belum pernah ia melihat pemuda yang namanya disebut Saritama oleh bagawan tadi.

Kebetulan sekali pada saat itu keadaan tidak sangat gelap sehingga suram-suram Saritama dapat melihat bahwa dara yang diserang oleh Bagawan Kalamaya itu luar biasa cantiknya dan memiliki tubuh yang menggiurkan pula. Akan tetapi, pada saat itu Saritama tidak memandang dengan mata kagum, bahkan memandang dengan mata benci oleh karena ia teringat bahwa gadis ini adalah puteri musuh besarnya yang harus dibasmi.

“Apakah kau bernama Dewi Saraswati dan anak dari Tumenggung Wiradigda?” tanyanya dengan suara kasar hingga gadis itu menjadi terkejut, apalagi ketika ia melihat betapa pandangan mata pemuda itu ditujukan kepadanya dengan bengis.

Sebelum ia menjawab, dari luar terdengar suara riuh-rendah oleh karena barisan ponggawa dan perajurit telah menyerbu ke dalam taman! Saritama bersiap hendak melawan mereka, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik. Ketika barisan terdepan telah tiba di situ dan beberapa orang serentak maju menubruknya, dengan tangkas Saritama bergerak merobohkan beberapa orang itu, kemudian secepat kilat tangan kanannya memeluk pinggang Dewi Saraswati yang segera dipondongnya dengan ringan dan mudah.

Dewi Saraswati menjerit-jerit akan tetapi ia tidak berdaya dalam pondongan lengan tangan yang kuat itu. Beberapa orang perajurit maju lagi menyerbu, akan tetapi mereka tidak berani menggunakan senjata tajam, kuatir kalau-kalau akan melukai sang puteri. Hal ini menguntungkan Saritama yang segera beraksi dengan menggunakan tangan kiri dan kedua kakinya. Beberapa orang roboh pula, akan tetapi barisan penyerbu makin banyak hingga Saritama merasa kewalahan.

Pemuda ini lalu membentak dengan suara keras, “Hai, para perajurit Tangen! Bukan cara laki-laki sejati untuk maju secara keroyokan! Beritahukanlah kepada si keparat Wiradigda bahwa aku, Saritama dari Gunung Kidul, putera almarhum Adipati Cakrabuwana, datang hendak membalas dendam! Aku tidak mau mencelakakan orang lain dan musuhku hanyalah Wiradigda sekeluarga! Oleh karena keparat itu tidak ada di sini, maka sebagai gantinya aku menawan puterinya. Jika ia memang gagah berani dan menghendaki kembalinya sang puteri, silakan pergi menyusulku di tempat kediaman mendiang ayahku untuk membuat perhitungan secara laki-laki!”

Setelah berkata demikian Saritama lalu melompat ke dalam gelap sambil memondong Dewi Saraswati yang masih meronta-ronta dan menjerit-jerit! Semua ponggawa mencoba untuk mengejar, akan tetapi mereka tak dapat mengejar ilmu lari Kidang Kencana yang hebat dari pemuda itu hingga tak lama kemudian suara jeritan Dewi Saraswati makin melemah hingga tak terdengar lagi dari situ.

Geger dan ributlah seluruh Tangen pada malam hari itu ketika berita tentang penculikan diri Dewi Saraswati itu tersebar di seluruh tumenggungan. Obor dinyalakan dan orang-orang mencari ke sana ke mari dengan sia-sia. Beberapa orang ponggawa segera menunggang kuda dan cepat menuju ke Pacet untuk menyusul sang tumenggung dan untuk menyampaikan berita buruk itu.

Setelah merasa bahwa larinya sudah cukup jauh dan tak mungkin terkejar oleh musuh-musuhnya lagi, Saritama menghentikan larinya. Dia telah sampai dalam sebuah hutan dan pada waktu itu, fajar telah mulai menyingsing.

“Lepaskan aku, lepaskan! Kau, orang kurang ajar!”

Saritama tersenyum masam dan tiba-tiba ia melepaskan pondongannya hingga tubuh Dewi Saraswati terbanting ke atas rumput sampai bergulingan! Sang puteri menggigit bibir dan segera merayap berdiri. Dengan sepasang mata bernyala-nyala dan bibir gemetar karena marahnya, ia maju dan bertolak pinggang dengan tangan kiri. Tangan kanannya diangkat dengan jari telunjuk menuding ke arah muka Saritama.

“Pengecut kau! Ah, kalau saja aku menjadi laki-laki tentu akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset kulitmu dan akan kuhancurkan kepalamu!”

“Alangkah sombongmu, gadis! Apakah yang hendak kau sombongkan? Dan mengapa kau mencaci-maki?”

“Kau manusia rendah! Kau kira aku tertarik akan kedigdayaan dan kecakapanmu? Cis! Tak tahu malu! Kau kira mudah saja kau hendak memaksa dan mendapatkan diriku? Lebih baik aku mati daripada kau jamah dengan tanganmu yang kotor dan keji!” Dewi Saraswati lalu menangis.

“Diam dan jangan kau berani mengeluarkan kata-kata keji lagi! Kalau tidak, kutampar mukamu! Kau anggap aku ini orang apa maka timbul persangkaan kotor dalam kepalamu yang kecil itu? Siapa yang menghendaki dirimu? Kau kira aku tertarik dan tergila-gila akan kecantikanmu? Hah! Kau belum kenal aku. Inilah Saritama, Ksatria Gunung Kidul yang tak mungkin tergiur oleh kecantikan seorang wanita!”

Dewi Saraswati tercengang dan ia lupa bahwa ia sedang menangis. Ia turunkan tangan yang menutupi mukanya lalu memandang dengan pipi masih basah oleh air mata. Akan tetapi oleh karena kabut amat tebal di hutan itu, maka air muka pemuda itu masih belum kelihatan nyata.

“Habis... untuk apa kau menculikku?”

Aneh sekali, tiba-tiba ia merasa kecewa dan mendongkol mendengar bahwa pemuda penculiknya ini sedikitpun tidak menghiraukan atau tergiur oleh kecantikannya!

“Dengarkan, gadis! Dulu, ketika kau dan aku masih kecil, ayahmu, Tumenggung Wiradigda yang keparat itu telah memfitnah orang tuaku sehingga ayah ibu dan keluarganya binasa semua! Kebetulan sekali aku dapat menyelamatkan diri dan kini aku datang hendak membalas dendam!”

Saraswati tertegun. Ia pernah mendengar tentang Adipati Cakrabuwana yang dianggap pemberontak dan ditumpas oleh barisan Majapahit.

“Siapakah ayahmu itu?” tanyanya minta kepastian.

“Ayahku adalah Adipati Cakrabuwana yang gagah perkasa, ksatria sejati, tidak seperti ayahmu!”

Panas juga hati Saraswati mendengar ayahnya dimaki-maki. “Oo, jadi ayahmu adalah pemberontak itu?” katanya dengan suara mengejek. “Kalau begitu, kau seorang pengecut!”

Tangan Saritama sudah diangkat dan hendak menampar pipi gadis itu, akan tetapi Saraswati sama sekali tidak takut, bahkan mengangkat dada dan memandang tanpa berkedip hingga Saritama yang teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita, menurunkan lagi tangannya.

“Kalau kau seorang laki-laki,” katanya dengan napas sesak menahan marah, ”tentu akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset kulitmu dan akan kuhancurkan kepalamu!” Tanpa disadarinya, ia mengulang ancaman Saraswati tadi dengan otomatis oleh karena kata-kata ini masih mengiang di dalam telinganya!

Saraswati tersenyum mengejek. “Mengancam saja meniru-niru orang! Aku menyebutmu pengecut oleh karena kau membalas dendam dengan curang. Mengapa kau menculikku? Apakah dosaku? Mengapa kau tidak berani menghadapi ayahku untuk bertanding secara laki-laki? Dan hendak kau apakankah aku ini?” kata-kata terakhir ini tidak dikeluarkan dengan hati kuatir, bahkan dengan suara menantang!

“Dengarlah, orang-orang Tangen yang pengecut! Bukan aku! Mereka maju dengan keroyokan. Oleh karena itu maka aku menawanmu dan kau hendak kubawa ke tempat tinggal ayahku dulu! Ayahmu harus datang ke sana sendiri apabila ingin menjemputmu dan ia harus menghadapiku untuk mengadu kesaktian!”

“Hah!” Saraswati mencibirkan bibir mengejek. “Dalam lima jurus saja dadamu akan pecah oleh pukulan ayah!”

“Sombong kau!” Saritama membentak. “Sudah tutup mulutmu yang cerewet itu dan hayo kita berjalan terus!”

“Tidak! Aku tidak sudi,” gadis itu menantang, dan mengangkat-angkat dadanya yang penuh ke muka.

“Jalan! Kalau tidak, kau akan kuseret!” bentak Saritama gemas.

“Tidak! Boleh kau berbuat sesuka hatimu, aku tidak sudi menurut perintahmu!”

“Gadis kepala batu!” Sambil bersungut-sungut Saritama lalu memegang lengan tangan gadis itu dan menariknya ke depan.

Saraswati meronta-ronta dan memberontak sekuat tenaga, memukul-mukul lengan tangan Saritama dengan tangan kanannya, menggunakan kakinya menendang-nendang lutut pemuda itu. Ketika Saritama tidak memperdulikan semua serangan ini dan tetap berjalan sambil menyeret Saraswati, gadis itu lalu menundukkan kepala dan menggigit tangan Saritama dengan giginya yang putih dan tajam!

Saritama berseru kesakitan dan terpaksa melepaskan pegangannya. Saraswati berdiri terengah-engah karena menahan marahnya, kedua matanya mengeluarkan air mata, akan tetapi ia tidak menangis, bahkan memandang dengan mata bernyala dan hidungnya yang indah mancung itu berkembang-kempis, seakan-akan mengeluarkan uap panas!

Akan tetapi semua ini tidak kelihatan oleh Saritama oleh karena kabut di hutan itu masih tebal sekali hingga keadaan masih reamang-remang. “Kau benar-benar kuda betina liar yang berkepala batu!” Saritama memaki.

“Dan kau kuda jantan liar yang tak tahu malu dan tidak sopan!” Saraswati balas memaki!

“Keparat!” Saritama membentak gemas dan tiba-tiba ia tangkap gadis itu, lalu dengan mudah dipondongnya!

Saraswati mencoba untuk memberontak, memukul-mukulkan kedua tangannya ke arah dada dan kepala pemuda itu, akan tetapi dengan tangan kiri Saritama berhasil memegang kedua pergelangan tangannya hingga ia tidak berdaya lagi, hanya kedua kakinya saja meronta-ronta dan bergerak-gerak. Akan tetapi, Saraswati tidak mau menangis dan tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Ia sengaja meronta-ronta agar pemuda itu tak mudah dapat melanjutkan perjalanannya.

Akan tetapi, Saritama adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan bertenaga besar, maka sedikit perlawanan itu tak berarti apa-apa baginya. Bahkan ia lalu mempergunkan ilmu larinya Kidang Kencana hingga Saraswati yang tiba-tiba merasa betapa pohon-pohon berlari-lari cepat dan angin menyambar muka dan seluruh tubuhnya hingga rambutnya berkibar tertiup angin, menjadi takut sekali. Gadis ini heran mengapa pemuda itu dapat berlari demikian cepatnya, maka iapun lalu berhenti meronta-ronta, bahkan memejamkan mata karena takut!

Berkat ilmu lari cepatnya yang luar biasa tak lama kemudian mereka telah dapat keluar dari hutan itu. Sementara itu, matahari telah mengusir pergi kabut yang tebal. Setelah keluar dari hutan Saritama kuatir kalau-kalau bertemu dengan petani dan dapat melihat betapa ia berlari sambil memondong seorang wanita, maka tiba-tiba ia berhenti.

Pada saat yang sama, ketika ia memandang ke arah muka gadis yang masih berada di dalam pelukannya, gadis itupun membuka mata dan memandangnya. Dua pasang mata bertemu dan keduanya diam tak berkata-kata! Lama sekali dua pasang mata itu saling pandang dengan penuh keheranan dan kekaguman.

Saritama melihat betapa muka yang berkulit kuning-putih kemerah-merahan dan berbentuk sangat indah dihiasi mata, hidung, bibir dan rambut disinom yang tak kalah oleh kecantikannya bidadari dalam alam khayalannya. Sedangkan Saraswati melihat wajah pemuda yang tampan dan gagah sekali, dengan sepasang mata jernih tajam, perkasa dan bagus bagaikan Sang Arjuna sendiri!

Pada saat itu entah darimana datangnya, warna merah menjalar di kedua wajah teruna dan dara itu hingga wajah mereka memerah sampai ke telinga! Ketika melihat betapa tubuh yang berkulit halus dan hangat itu menempel di dadanya dan kedua lengannya memeluk tubuh gadis itu, tiba-tiba Saritama menjadi malu sekali hingga cepat-cepat ia menurunkan tubuh itu ke atas tanah!

“Kau... kau harus berjalan sendiri,” kata Saritama dan ia berusaha sekuatnya untuk memberi tekanan keras kepada suaranya supaya terdengar marah, akan tetapi hasilnya tidak sebaik yang ia harapkan oleh karena suara itu keluar dengan gagap dan lemah!

“Tidak, aku tidak sudi,” gadis itu menjawab dengan bibirnya yang indah dan merah itu cemberut, sambil menunduk dan tak berani mengangkat muka memandang wajah Saritama!

“Apakah kau lebih senang kalau kupondong?” tanya Saritama agak berani dan dengan dada berdebar oleh karena gadis itu tidak memandangnya.

Mendengar ini, Saraswati cepat mengangkat kepala memandang dengan mata bernyala lagi. “Siapa sudi kau pondong?” bentaknya marah.

Saritama tersenyum dan wajahnya berseri oleh karena kini ia dapat melihat betapa gadis itu menjadi makin cantik di waktu marah! Kedua matanya seakan tertawa hingga gadis itu menjadi makin gemas.

“Kalau begitu, kau harus berjalan kaki.”

“Tidak sudi!”

“Baik, aku akan memondongmu lagi kalau kau lebih suka dipondong!”

Mendengar ini, Saraswati menjauhkan diri dan segera berjalan kaki tanpa menoleh lagi, bahkan ia mendahului Saritama. Pemuda itu tersenyum dan tiba-tiba ia merasa aneh sekali mengapa kebenciannya terhadap gadis itu lenyap sama sekali bagaikan kabut terusir matahari pagi!

Untuk beberapa lamanya ia memandang lenggang gadis yang marah itu dengan hati berdebar dan semangat melayang. Alangkah manis dan lemah-gemulai lenggang gadis itu. Alangkah bersih dan halusnya kulit leher yang nampak dari belakang itu, dan alangkah indahnya bentuk kaki yang kadang-kadang nampak keluar dari kainnya ketika ia berjalan. Sebaik dan seindah itukah potongan dan bentuk kaki bidadari?

Tak mungkin! Demikianlah, pemuda itu memandang bagaikan sebuah patung batu, dan setelah dara itu berjalan agak jauh, ia segera mengejarnya. Saritama berjalan di sebelah Saraswati dan beberapa kali ia menengok, akan tetapi gadis itu berjalan dengan pandangan mata ditujukan ke depan, berbuat seolah-olah tidak ada orang di dekatnya!

“Nah, begini lebih baik,” kata Saritama.

“Aku tadi kuatir kalau-kalau ada orang melihat aku memondongmu. Alangkah ganjilnya.”

Saraswati berdiam saja dan bahkan mempercepat langkahnya. Saritama juga berjalan tanpa berkata-kata, hanya beberapa kali memandang wajah yang marah itu. Lambat laun, makin menipislah sinar kemarahan yang membayang pada wajah ayu itu, bahkan kini sinar kemarahan itu telah terganti oleh peluh yang memenuhi jidatnya. Dadanya agak terengah-engah, tanda bahwa gadis yang tidak biasa berjalan kaki jauh-jauh ini telah merasa lelah. Akan tetapi, Saraswati tidak sudi memperlihatkan kelemahannya dan memaksa diri berjalan cepat.

“Kau lelah? Marilah beristirahat dulu. Kita tak perlu tergesa-gesa!” kata Saritama dan biarpun ia mencoba untuk membuat suaranya terdengar biasa dan sewajarnya, namun ia tidak dapat melenyapkan suara yang mengandung iba hati hingga ia menjadi benci kepada suaranya sendiri yang telah membongkar rahasia perasaannya itu.

Akan tetapi, sedikitpun Saraswati tidak mau menengok atau menjawab, bahkan gadis itu lalu merapatkan bibirnya untuk menahan lidahnya yang hendak menjawab dan menundukkan kepalanya untuk mencegah matanya yang hendak mengerling ke kanan di mana pemuda itu berjalan! Saritama menghela napas. Beberapa lama mereka berdua berjalan lagi dalam keadaan sunyi.

“Kau masih marah?” Saritama berkata lagi. Tidak ada jawaban. “Dengarlah, Saraswati. Kau bernama Saraswati bukan? Nama yang indah! Dengarlah, aku sebetulnya merasa menyesal juga bahwa aku terpaksa menawan kau yang tidak berdosa. Akan tetapi, kalau aku melayani semua ponggawa Tangen dan melakukan amukan di sana, tentu aku akan membinasakan dan melukai banyak ponggawa yang sebetulnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan aku. Aku tidak tega melukai orang-orang yang tidak berdosa itu. Maka setelah melihat kau sebagai anak tunggal musuh besarku timbul akalku untuk membawamu pergi dan menanti kedatangan musuh besarku itu di sana agar kami berdua berhadapan muka tanpa ada orang lain yang mengganggu. Aku menyesal telah menyusahkan dan membuat kau marah di luar kehendakku!”

Terdengar suara perlahan keluar dari kerongkongan gadis itu, seperti sedu-sedan, akan tetapi Saraswati masih saja merapatkan bibirnya dan berjalan terus. Akan tetapi kakinya telah terasa lelah sekali dan matahari yang telah naik agak tinggi itu mulai terasa panasnya. Ia terhuyung-huyung dan tiba-tiba kaki kanannya tersandung batu. Hampir saja ia jatuh kalau Saritama tidak cepat-cepat memegang kedua tangannya dari samping.

Saraswati merasa kepalanya pening dan ia memejamkan kedua matanya sambil tanpa disadarinya ia menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Saritama mencium keharuman luar biasa yang keluar semerbak dari rambut gadis yang terurai itu dan pemuda ini cepat-cepat mengatur napas menutup mata untuk menahan gelora hatinya. Akhirnya kepusingan yang membuat Saraswati merasa kepalanya berputar itu mereda dan ketika gadis ini sadar bahwa ia menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, ia cepat-cepat merenggutkan tubuhnya, lalu menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu!

Saritama juga ikut duduk sambil mulai menyesali pebuatannya. Ia merasa kasihan sekali melihat gadis ini yang menjadi kurban daripada pembalasan dendamnya.

“Saraswati... ” katanya halus, “Jangan kau menangis... kau... Janganlah kau marah, dan maafkan aku, Saraswati.”

Dengan mata mengalirkan air mata yang membasahi kedua pipinya yang kemerah-merahan, Saraswati memandang pemuda itu. “Saritama, mengapa kau mengubah sikapmu yang kasar? Mengapa kau berubah sebaik ini? Berlakulah kasar karena aku adalah anak musuhmu. Hentikanlah godaanmu ini, Saritama.”

“Saraswati, jangan kau anggap aku serendah itu. Aku tidak menggodamu, aku memang... entah mengapa, tiba-tiba aku merasa kasihan kepadamu. Maafkanlah perbuatanku yang terpaksa oleh karena tugasku dan baktiku kepada mendiang ayahku.”

“Tidak, tidak! Tidak ada yang harus dimaafkan, agaknya begini lebih baik lagi! Biarlah ayah mengalami sedikit kekuatiran oleh karena dia telah memaksaku menikah dengan tua bangka bandotan itu!”

“Apa? Kau dipaksa menikah dengan seorang tua bangka?” tanya Saritama. “Apakah dengan dukun lepus itu?”

Maka teringatlah Saraswati akan peristiwa di taman dan ia teringat pula bahwa pemuda inilah yang telah menolongnya dari bahaya cengkeraman Bagawan Kalamaya yang lebih hebat daripada bahaya maut. Untuk sesaat ia memandang kepada wajah Saritama dengan pandangan mesra, akan tetapi hanya untuk sebentar saja oleh karena ia segera dapat menguasai perasaannya kembali.

Dia sendiri merasa bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang ksatria yang baik budi dan gagah perwira maka tak sedikitpun terkandung rasa benci dalam hatinya. Pemuda ini bersikap demikian sopan-santun hingga menimbulkan kepercayaan besar di lubuk hatinya. Maka tanpa disadarinya ia lalu menceritakan betapa ia telah dilamar Adipati Tirtaganda dari Pacet yang sudah kakek-kakek dan lamaran itu diterima baik oleh ayahnya!

Saritama marah sekali mendengar penuturan gadis itu. “Sungguh memalukan! Biar kuputar batang leher bandot tua itu!”

Ucapan ini dikeluarkan tanpa disadarinya dan ketika gadis itu gadis itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan bibir tersenyum, barulah ia sadar dan tiba-tiba ia menundukkan mukanya dengan malu.

“Saritama, mengapa kau demikian memperhatikan nasibku? Bukankah aku ini anak musuhmu yang hendak kau basmi?”

“Aku... eh... kau benar anak musuhku... dan... dan tentang Tirtaganda si celeng tua... ah, aku memang benci sekali melihat bandot tua!” jawabnya gagap dan tidak karuan hingga tiba-tiba gadis yang tadinya menangis itu kini tertawa geli dengan air mata masih membasahi pipinya.

Tertawanya nyaring dan merdu hingga Saritama mengangkat muka lalu memandang kagum.

“Saritama, kau ini... aneh sekali.”

“Mengapa aneh?”

“Betapa tidak? Kau memusuhi ayahku, membenci ayah dan hendak membinasakannya, akan tetapi kau demikian baik kepadaku. Bukankah ini aneh sekali?”

“Kau juga aneh, Saraswati.”

“Eh, mengapa pula aku kau sebut aneh?”

“Kau sebentar marah, sebentar bersedih, lalu berbalik tertawa dan tersenyum riang! Kalau kau bersedih dan menangis hatiku menjadi tidak karuan karena ikut terharu dan bersedih, kalau kau marah, kau... bertambah... ayu, dan kalau kau tersenyum dan tertawa...”

“Mengapa?” gadis itu mengerling dengan tajam dan manis sekali. “Entah mengapa, tapi hatiku jadi tidak karuan!”

Tiba-tiba dara itu tertawa geli sambil memegangi perut karena menahan gelak tawanya. “Kalau begitu, memang benar-benar kau ini pemuda aneh, aneh sekali! Dan bilang bahwa kau hendak bertempur melawan ayah? Sudahlah, tuan penculik, aku berada dalam kekuasaanmu, sekarang kita harus ke mana?” Saraswati bangkit berdiri.

Saritama mendongkol sekali karena merasa bahwa ia ditertawakan. “Mari kita berangkat ke Tritis. Kalau kita berjalan cepat, sore nanti kita bisa sampai di sana!” katanya singkat.

Demikianlah, kedua anak muda itu berjalan melanjutkan perjalanan mereka ke Tritis, bekas tempat kediaman Adipati Cakrabuwana yang sekarang telah menjadi sebuah dusun kosong tak ditinggali seorang penduduk pun semenjak keluarga adipati itu dibasmi berikut seluruh isi kampung. Ketika Bagawan Kalamaya melihat betapa Saritama menculik pergi Dewi Saraswati, ia menjadi marah sekali. Akan tetapi apa daya, pemuda itu terlampau tangguh baginya. Diam-diam ia lalu menghampiri Tomblok yang masih rebah sambil menangis. Para ponggawa yang sibuk mengejar Saritama tidak memperdulikan pendeta itu hingga taman itu kembali menjadi sunyi.

“Emban, kau sudah tahu siapa aku, bukan? Nah, kau harus menutup mulutmu dan jangan sampai orang lain mendengar tentang peristiwa antara aku dan sang puteri tadi. Kalau kau sampai bocor mulut, awas! Kerisku ini akan menamatkan hidupmu!”

Dengan ketakutan dan tubuh menggigil, Tomblok menyatakan kesanggupannya, dan akhirnya berkata, “Jangan kuatir, Sang Bagawan, oleh karena pada akhirnya bukan kau yang membawa pergi Gusti puteri, akan tetapi pemuda itu!” Tomblok lalu menangis ketika teringat akan Saraswati yang tertawan musuh.

Kemudian, setelah mengancam dengan keras sekali lagi, Bagawan Kalamaya lalu meninggalkan tempat itu, sedangkan Tomblok lalu lari masuk untuk memberi laporan kepada ibu Saraswati. Maka geger dan ributlah di dalam gedung ketika kaum wanitanya mendengar cerita Tomblok. Terdengar tangis dan keluh-kesah seakan-akan ada kematian dalam rumah itu.

Pada keesokan harinya, di Pacet juga terjadi keributan ketika para ponggawa yang menyusul Tumenggung Wiradigda telah menyampaikan berita itu. Adipati Pacet yang bernama Tirtaganda juga marah sekali mendengar betapa calon isterinya dilarikan orang.

“Si keparat Saritama!” teriaknya dengan kumis berdiri karena marahnya. “Berani kau menganggu calon isteriku?” Sambil berkata begitu Tirtaganda mencabut kerisnya, seakan-akan Saritama telah berada dan berdiri di depannya!

“Ananda Adipati, maafkan aku karena tak dapat lebih lama berada di sini,” kata Tumenggung Wiradigda yang wajahnya menjadi pucat.

“Paman Tumenggung, bagaimana tentang perjodohan itu? Hari pernikahan belum ditetapkan dan perundingan kita belum selesai, mengapa kini pamanda hendak pulang?”

Bukan main mendongkolnya hati Wiradigda mendengar ini. Sudah jelas bahwa Saraswati diculik orang, akan tetapi calon mantu ini masih hendak bicara tentang hari pernikahan segala.

“Ah, tentang itu bagaimana nanti saja, ananda,” katanya dengan suara kurang senang.

Tumenggung Wiradigda dan ponggawanya lalu keluar dari kadipaten dan menunggang kuda dengan secepatnya kembali ke Tangen. Di sepanjang jalan ia menyuruh para ponggawa itu menceritakan segala peristiwa yang terjadi di Tangen. Ketika mendengar yang menculik puterinya adalah putera dari almarhum Adipati Cakrabuwana, wajah Tumenggung Wiradigda makin pucat. Ia lalu mempercepat lari kudanya hingga siang hari itu juga mereka telah tiba di Tangen.

Dari semua ponggawa yang malam hari kemarin mengeroyok Saritama, ia mendapat keterangan betapa sakti dan perkasa pemuda musuhnya itu. Maka diam-diam Tumenggung Wiradigda merasa kuatir dan cemas. Ia sudah mulai menjadi tua dan tenaganya telah banyak berkurang hingga ia merasa bahwa iapun takkan dapat menghadapi pemuda yang menjadi musuhnya itu.

Selain itu, Tumenggung Wiradigda juga merasa menyesal sekali mendengar bahwa keturunan Adipati Cakrabuwana kini datang menuntut balas. Ia tidak dapat membawa barisannya untuk mengejar dan mengepung Saritama, oleh karena selain hal ini memalukan dan menjatuhkan namanya, juga ia kuatir kalau-kalau pemuda itu akan membinasakan puterinya.

Maka ia lalu mengumumkan kepada semua ponggawanya untuk mengadakan sayembara untuk memilih seorang yang benar-benar gagah perkasa untuk mengawaninya mengejar Saritama di Tritis! Dan oleh karena kebingungannya, Tumenggung yang sudah tua ini bahkan lalu menyatakan bahwa siapa yang terpilih dan akhirnya berhasil merebut kembali puterinya dari tangan Saritama, ksatria ini akan dipungut mantu dan dijodohkan dengan Dewi Saraswati!

Setelah mengadakan pengumuman ini, Tumenggung Wiradigda memasuki kamarnya, disambut oleh isterinya yang cantik dan yang sedang menangis sedih memikirkan nasib anaknya.

“Rakanda tumenggung, bagaimanakah baiknya... ? Aduh, Saraswati anakku...“

Tumenggung Wiradigda menghela napas. “Akhirnya Cakrabuwana dapat juga membalas dendam, sungguhpun pembalasan dendam ini kurang tepat. Memang, sampai matipun Cakrabuwana akan selalu menyangka bahwa aku yang memfitnahnya! Cakrabuwana... sungguh besar rasa sakit hatimu padaku... dan semua ini hanya karena engkau, Mirah.”

Isterinya menangis makin sedih. Terbayanglah segala peristiwa dan pengalaman di waktu muda. Memang dulu dia telah mempunyai hubungan yang mesra dengan Cakrabuwana, akan tetapi akhirnya ia harus mengalah kepada pilihan ayahnya hingga ia dikawinkan dengan Wiradigda. Akan tetapi, dia tidak menyesal oleh karena ternyata kemudian bahwa Wiradigda adalah seorang yang baik dan suami yang bijak hingga hidupnya cukup bahagia.

Sungguh menyesal bahwa diantara Wiradigda dan Cakrabuwana terdapat dendam hati yang besar, sungguhpun mereka berdua tak pernah menyatakannya. Pada bulan-bulan pertama, Wiradigda yang telah menjadi suaminya itu seringkali menyatakan ketidaksenangan hatinya dan rasa cemburunya, akan tetapi lambat-laun, sikap inipun lenyap, apalagi setelah anak mereka Saraswati itu lahir.

Pada waktu itu, memang banyak terjadi pemberontakan dari para adipati dan tumenggung yang tidak merasa puas dengan pemerintah yang dipegang oleh Ratu Wanita, akan tetapi semua pemberontak itu dapat ditumpas oleh Patih Gajah Mada.

Akhirnya dengan mempergunakan lidahnya yang tajam dan hubungan yang baik dan erat dengan fihak keraton, seorang pejabat tinggi dapat memfitnah Cakrabuwana dan menuduhnya hendak memberontak pula. Kerajaan lalu mengirim bala-tentara dan Adipati Cakrabuwana beserta seluruh keluarganya di Pacet dihancurkan.

Dan celakanya, tentara penumpas pemberontakan ini sebelum menuju ke Pacet, terlebih dahulu berhenti dan bermalam di Tangen hingga tentu saja mudah menimbulkan persangkaan bahwa Wiradigda-lah yang menjadi biang keladi penumpasan itu!

Padahal pejabat tinggi yang telah memfitnah itu bukan lain orangnya adalah Adipati Tirtaganda sendiri! Ketika itu, Adipati Tirtaganda masih sangat muda oleh karena sebagai putera seorang pangeran ia merasa dikalahkan dalam kemajuan oleh Cakrabuwana, seorang pemuda keturunan rendah saja, timbul iri hatinya dan ia lalu menggunakan kedudukannya sebagai putera pangeran untuk memfitnah adipati itu!

Akan tetapi, hal ini hanya diketahui oleh Wiradigda seorang, yang dapat menduga dengan tepat, walaupun tidak berani menyatakan dengan mulut. Dan menurut anggapan Wiradigda, oleh karena hal itu telah terjadi dan tak dapat dicegah lagi maka ia lalu menutup mulut. Tak disangkanya sama sekali bahwa keturunan Adipati Cakrabuwana masih hidup dan kini tiba-tiba saja datang membalas dendam ayahnya kepada dia!

Demikianlah, dengan hati penuh penyesalan Tumenggung Wiradigda berdiam diri di dalam kamarnya dan ia telah mengambil keputusan tetap untuk membatalkan perjodohan puterinya dengan Adipati Tirtaganda yang menjadi biang keladi tersembunyi daripada segala peristiwa ini!

Cersil karya Kho Ping Satria Gunung Kidul

Pada keesokan harinya, pagi-pagi, benar di halaman tumenggung telah berkumpul banyak sekali ponggawa dan pemuda-pemuda yang hendak memasuki sayembara. Akan tetapi, kepala ponggawa yang telah mendapat perintah dan petunjuk Tumenggung Wiradigda, lalu mengadakan pemilihan lagi dan diantara berpuluh ponggawa dan satria yang hendak mengikuti sayembara ini, hanya ada dua belas orang yang ia pilih.

Tiba-tiba diantara para penonton yang banyak jumlahnya, keluarlah seorang yang cakap dan gagah. Pemuda ini menghadap kepala ponggawa dan berkata, “Perkenankanlah saya untuk mengikuti sayembara ini.”

Kepala ponggawa memandangnya dengan tajam. Ia melihat bahwa pemuda ini biarpun halus dan sopan-santun, namun memiliki tubuh yang padat dan sepasang mata yang bersinar ganjil dan tajam, maka ia dapat menduga bahwa satria ini tentulah bukan orang sembarangan.

“Siapa namamu, raden?” tanyanya.

“Saya adalah Jakalelana dari pesisir selatan,” jawab yang ditanya.

Kepala ponggawa maklum bahwa nama ini bukanlah nama aseli dan tentu pemuda ini ingin menyembunyikan keadaan dirinya, maka ia makin tertarik.

“Baiklah, mari kau ke sini, berkumpul dengan dua belas orang pengikut sayembara yang lain.”Dengan demikian, maka jumlah pengikut yang terpilih ada tiga belas orang.

Ketika Tumenggung Wiradigda keluar dari gedungnya, dengan girang ia melihat bahwa ketiga belas calon yang tepilih oleh kepala ponggawa adalah orang-orang muda yang gagah perkasa. Ia menyatakan kecocokan hatinya dan memberi tanda agar supaya pertandingan adu kesaktian segera dimulai untuk memilih seorang jago yang sakti dan yang akan menyertainya menghadapi Saritama!

Gong ditabuh keras dan semua penonton dipersilakan mundur untuk memberi tempat bagi para peserta. Cara adu kepandaian dan kesaktian yang dilakukan pada waktu itu ialah mengadu semua peserta supaya mereka berkelahi tanpa membekal senjata. Yang menang terakhir, dialah yang menjadi juara!

Atas isyarat kepala ponggawa, dua peserta maju ke dalam kalangan dan mereka segera bertempur. Keduanya memperlihatkan kepandaian masing-masing, pukul-memukul, tendang-menendang, banting-membanting, diikuti sorak-sorai para penonton. Demikianlah, dari dua belas orang peserta, yang menang ada enam orang, sedangkan Jakalelana oleh karena datangnya paling akhir dan merupakan angka ganjil, tidak mendapat lawan!

Kemudian enam orang pemenang itu lalu diadu kembali atas pilihan ponggawa dan dalam babak kedua inipun, Jakalelana tidak mendapat lawan oleh karena keenam pemenang itu telah menjadi tiga rombongan. Setelah petandingan selesai dan para pemenang kini tinggal tiga orang saja, maka pemuda itu nampaknya kurang puas dan tidak senang. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata kepada Tumenggung Wiradigda.

“Maafkan saya, Gusti Tumenggung. Oleh karena ketiga saudara ini telah berkelahi dua kali dan tentu mereka ini telah lelah, maka tidak adillah apabila saya harus menghadapi mereka seorang demi seorang. Saya semenjak tadi tak kebagian lawan dan saya belum bertempur satu kalipun, maka apabila Paduka mengizinkan biarlah sekarang mereka bertiga ini maju berbareng menghadapi hamba! Apabila hamba kalah biarlah ini dianggap bahwa saya tak berharga untuk menjadi pengikut Paduka menemui Saritama.”

Tumenggung Wiradigda tertarik sekali kepada pemuda yang tampan dan yang halus tutur katanya itu. “Hai, satria yang gagah dan tampan, siapakah namamu?”

“Hamba bernama Jakalelana, Gusti Tumenggung.”

Tumenggung Wiradigda tertawa. “Baiklah, untuk kali ini kau boleh menggunakan nama itu, akan tetapi apabila kau telah terpilih dan menang dalam sayembara ini, kau harus memberitahukan namamu yang sebetulnya.”

Pemuda itupun tersenyum. “Baik, Gusti Tumenggung. Apabila dewata memberkahi hamba hingga hamba menang dalam sayembara ini, pasti hamba akan memperkenalkan diri hamba sebenarnya.”

Tumenggung Wiradigda memberi isyarat dan pertandingan babak ketiga dipersiapkan. Semua penonton memandang gembira oleh karena kali ini tentu akan ada pertunjukan yang hebat menarik. Siapakah pemuda tampan yang begitu berani mati menantang ketiga pemenang itu untuk maju berbareng?Para ponggawa lalu minta supaya penonton mundur hingga kalangan menjadi lebih lebar oleh karena yang hendak bertanding kini adalah empat orang.

Ketiga pemenang itu menanti sambil duduk dan dada mereka yang bidang itu berkilat karena peluh. Ketiganya masih muda dan kesemuanya bertubuh tinggi besar. Akan tetapi, ketika mereka ini mendengar usul permintaan pemuda yang bertubuh tak berapa besar dan nampaknya tak berapa kuat itu, mereka saling pandang dan tersenyum mengejek. Setelah mendapat isyarat dari kepala ponggawa maka ketiga orang pemenang itu berdiri dan bersiap di hadapan Jakalelana.

Pemuda ini dengan tenang lalu menghampiri mereka. Para penonton tak ada yang mengeluarkan suara hingga keadaan menjadi sunyi seakan-akan di situ tidak terdapat seorangpun! Semua mata kini memandang kepada Jakalelana dengan penuh kekhawatiran. Memang kalau dipandang amat ganjil, karena Jakalelana yang bertubuh tak besar dan yang nampaknya lemah-lembut itu berdiri menghadapi tiga orang lawan yang demikian kuat dan gagahnya!

Tiba-tiba saja datangnya, bagaikan mendapat aba-aba, ketiga orang pemenang itu lalu maju menubruk dan menyerang. Agaknya mereka hendak merobohkan Jakalelana dalam satu gerakan saja. Serangan mereka ini sangat dahsyat, bagaikan serangan ombak samudra! Para penonton manahan napas dan memandang ke arah Jakalelana dengan kuatir akan tetapi tiba-tiba mereka menjadi heran tercengang oleh karena bagaikan seekor burung srikatan yang gesit sekali, tubuh Jakalelana telah melayang di atas melewati kepala ketiga lawannya dan kini berada di belakang mereka sambil bertolak pinggang!

Kini marahlah ketiga orang itu. Sambil menggeram mereka maju menyerbu lagi sekuat tenaga. Akan tetapi lagi-lagi Jakalelana memperlihatkan kegesitannya. Sambil melompat ke kanan kiri ia berhasil mengelakkan semua serangan dan kadang-kadang menangkis dengan lengan tangannya. Tiap kali melompat, tak pernah lupa ia memberi tepukan atau colekan dengan tangan dan kakinya hingga semua penonton yang melihat betapa ketiga orang itu dipermainkan oleh Jakalelana, tertawa geli dan bersorak-sorak makin hebat.

Juga Tumenggung Wiradigda yang menonton pertandingan ini, diam-diam terkejut sekali. Hebat sekali pemuda ini, pikirnya. Bahkan ia akui bahwa ia sendiri tak sanggup mengalahkan pemuda itu dalam ilmu perkelahian. Alangkah gagah, cepat, tangkas, dan cekatan. Tiada ubahnya sebagai seekor burung garuda menyambar-nyambar lawannya. Ah, pantas benar pemuda ini menjadi suami Saraswati, pikir Tumenggung Wiradigda. Sama-sama tampan sama-sama muda.

Diam-diam hatinya menjadi girang dan timbul harapannya. Dengan pemuda seperti ini sebagai kawan, mustahil ia takkan dapat merebut kembali anaknya dari tangan Saritama. Jakalelana merasa sudah cukup mempermainkan ketiga lawannya. Tiba-tiba ia mempercepat gerakannya dan begitu kaki tangannya bergerak, maka bergelimpanganlah tubuh ketiga orang lawannya tanpa sanggup bangun kembali. Kemenangan yang mutlak ini disambut dengan gegap-gempita oleh para penonton.

“Hai, Jakalelana. Dengan disaksikan oleh semua penonton dan semua ponggawa, kau kunyatakan sebagai pemenang dalam sayembara ini!” Tumenggung Wiradigda berseru keras dan kata-katanya ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penonton.“Sekarang, sebelum kau menyertai aku untuk menghadapi musuh, kau harus memenuhi janjimu tadi dan perkenalkan dirimu sebenarnya. Siapakah namamu dan dari mana asalmu?”

Pertanyaan ini disambut oleh para penonton dengan penuh perhatian hingga keadaan menjadi sunyi sepi, karena semua penonton dan bahkan para ponggawa dan para pengikut sayembara ingin sekali mendengar siapa adanya pemuda gagah perkasa ini. Jakalelana tersenyum dan bangkit berdiri dengan perlahan. Ia memandang ke sekeliling, kemudian menatap wajah Tumenggung Wiradigda. Ketika berkata-kata suaranya terdengar nyaring sekali dan bagi telinga semua pendengarnya, ucapan dan jawabannya merupakan suara guntur di siang hari!

“Tumenggung Wiradigda dan semua orang Tangen, dengarlah baik-baik! Kalian semua hendak mengenal aku? Nah, pasanglah telingamu lebar-lebar karena aku adalah putera dari Adipati Cakrabuwana dan namaku ialah Saritama!”

Pucatlah wajah Tumenggung Wiradigda mendengar ini. Tumenggung sudah tua ini bangkit berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

“Kalian mendengar sendiri betapa Tumenggung Wiradigda telah memilih Saritama sebagai mantu, maka apa perlunya mengejar-ngejar Saritama? Ha, ha, ha!” Saritama tertawa mengejek.

“Keparat, jangan kau mempermainkan orang!” Tumenggung Wiradigda bangkit berdiri dengan marah sekali. Mereka siap dengan senjata di tangan dan hendak menyerbu pemuda itu.

Akan tetapi Saritama mempergunakan kesaktiannya. Siapa saja berani datang dekat tentu roboh karena pukulan atau tendangannya. Ketika Tumenggung Wiradigda sendiri datang menyerang, Saritama melompat pergi jauh dan pemuda itu lalu melarikan diri sambil berkata,

“Wiradigda! Tantanganku masih berlaku, tapi tidak di sini! Kalau kau memang jantan, datanglah ke Tritis untuk membuat perhitungan!”

“Baik, Saritama, pemuda sombong! Kau kira aku takut padamu?”

Tumenggung Wiradigda lalu lari memasuki rumahnya dan sebentar kemudian ia berlari keluar sambil membawa tombak pusakanya yang ampuh. Ketika para ponggawa beramai-ramai hendak ikut mengejar, tumenggung yang tua itu berhenti dan membentak,

“Kalian hendak membuat malu aku? Hayo mundur dan kembali! Aku sendiri masih sanggup menghadapi Saritama!”

Semua ponggawa mundur ketakutan, sedangkan Tumenggung Wiradigda dengan muka merah lalu melanjutkan perjalanannya ke Tritis! Ketika ia tiba di sebuah hutan di mana kemarin dulu Saritama dan Saraswati bercakap-cakap, tiba-tiba muncul beberapa belas orang dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa yang muncul ini tidak lain adalah Adipati Tirtaganda dan beberapa orang ponggawanya!

“Tirtaganda, mengapa kau menghalangi perjalananku?” tanya Tumenggung Wiradigda yang tiba-tiba menjadi marah melihat orang ini oleh karena teringat bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi permusuhannya dengan Saritama.

Adipati Tirtaganda tersenyum mengejek. “Tumennggung Wiradigda! Kau tak patut menjadi seorang tumenggung oleh karena kau telah melanggar janjimu sendiri. Aku mendegar bahwa kau mengadakan sayembara dan memilih mantu, betulkah ini?”

“Betul!”

“Bukankah kau sudah berjanji hendak menjodohkan puterimu dengan aku?”

“Tirtaganda, jangan kau menambah-nambahi sendiri. Siapa yang berjanji? Kita baru mengadakan perundingan akan tetapi perkara itu belum jadi dan belum masak. Kau maklum bahwa puteriku telah diculik oleh putera Adipati Cakrabuwana yang dulu kau khianati! Kaulah biang keladi segala malapetaka ini. Kau yang memfitnah Cakrabuwana, akan tetapi sekarang puteranya membalasnya kepadaku! Seharusnya kau sebagai laki-laki harus berani bertanggung jawab dan pergi menghadapi Saritama, oleh karena kaulah musuh besarnya, bukan aku! Aku hanyalah menjadi kurban kesalah pahaman yang agaknya timbul semenjak Cakrabuwana masih hidup! Aku hanya akan menjodohkan puteriku apabila dia suka menerimanya. Kalau kau dapat merebut kembali Saraswati dari tangan Saritama, dan kalau anakku sudi menjadi isterimu, aku orang tua takkan melarangnya!”

“Ha, ha, ha! Wiradigda, kau memutar-mutar lidah bagaikan wanita! Baik kau, maupun Saritama hari ini tentu mampus dalam tanganku, sedangkan Saraswati, mau tidak mau harus menjadi isteriku!”

“Bangsat besar, majulah kalau kau hendak mengenal tombak pusaka Tumenggung Wiradigda!” kata tumenggung tua itu sambil mengacung-acungkan tombaknya.

“Maju, serbu!” Tirtaganda memberi perintah, dan belasan orang itu lalu maju mengurung. Tumenggung Wiradigda hendak mengamuk, akan tetapi jumlah lawannya cukup banyak dan cukup tangguh, maka tak lama kemudian ia terdesak hebat dan keselamatannya terancam!

Pada saat itu, dari balik sebatang pohon besar keluarlah seorang pemuda yang tidak lain ialah Saritama sendiri! Pemuda ini telah mendengar semua percakapan tadi dan timbul keraguan dalam hatinya. Benarkah bahwa Tumenggung Wiradigda bukan orang yang memfitnah ayahnya? Akan tetapi, oleh karena mendengar bahwa orang yang mengeroyok Wiradigda adalah Tirtaganda, bandot tua yang dibencinya, Saritama lalu melompat maju dan tanpa berkata apa-apa ia lalu menyerbu membela Tumenggung Wiradigda! Sepak-terjang pemuda ini hebat sekali hingga dalam sekejap saja beberapa orang ponggawa kena dirobohkan.

“He, pemuda, siapakah kau?” bentak Tirtaganda.

“Bangsat dan bandot tua tak tahu malu! Dengarlah, aku adalah Saritama putera Cakrabuwana! Jadi kau pun memfitnah mendiang ayahku? Kalau begitu, kematianlah bagianmu!”

Sambil berkata demikian, Saritama menyerang hebat dan sebuah pukulan yang disertai Aji Bromojati tepat mampir di pangkal telinga Tirtaganda! Adipati itu memekik ngeri dan roboh dengan tubuh hangus dan tewas seketika itu juga! Melihat hal ini para kaki tangannya lalu lari ketakutan!

Saritama lalu menghadapi Wiradigda dengan mata mengancam, akan tetapi Tumenggung itu sama sekali tidak takut.

“Kau juga hendak membunuhku? Boleh, cobalah kalau kau dapat!” Tumenggung itu menantang dengan suara keras. Akan tetapi, oleh karena telah mendengar percakapan tadi, hati pemuda itu menjadi ragu-ragu.

“Aku akan menangkapmu!”

Ia lalu menyerbu secepat kilat. Wiradigda mengangkat tombaknya dan menusuk ke arah dada Saritama. Akan tetapi pemuda itu mengelak ke samping dan dari samping bergerak hendak merampas tombak. Tumenggung Wiradigda bukan orang lemah, maka tak mudah saja bagi Saritama untuk merampas tombak itu.

Demikianlah, pemuda dan orang tua ini bertempur lama oleh karena Saritama tak hendak membunuhnya, hanya hendak menawannya saja. Kalau pemuda itu mau menjatuhkan tangan jahat, pasti Wiradigda takkan kuat menahan. Akhirnya, karena tenaga Wiradigda yang sudah tua itu telah banyak berkurang dan ia telah merasa lelah sekali sebuah tendangan Saritama tepat mengenai pergelangan tangannya hingga tombak yang dipegangnya terlempar jauh.

Sebelum Tumenggung Wiradigda sempat mengelak, Saritama telah menyergapnya dengan kedua lengan tangannya yang kuat! Pemuda itu lalu mempergunakan sarung tumenggung itu sendiri untuk mengikat kedua tangan Tumenggung Wiradigda ke belakang. Kemudian ia pungut tombak tumenggung itu dan membentak,

“Hayo jalan!”

“Saritama, kenapa aku tidak kau bunuh saja? Tak perlu aku dikasihani, tak perlu aku menyangkal dan membela diri menyatakan kebersihanku. Kalau kau anggap aku sebagai pengkhianat ayahmu, bunuh saja. Wiradigda tak takut mati!”

“Bunuh kau...? Mudah, itu perkara nanti. Hayo jalan!”

Dengan ujung tombaknya Saritama memaksa orang tua itu berjalan maju menuju ke Tritis. Ketika mereka tiba di dusun Tritis yang kosong sepi, dari dalam sebuah pondok bobrok keluarlah seorang gadis cantik jelita yang segera berlari menyambut mereka.

“Ayah...!”

“Saraswati...! Kau selamat, nak? Terima kasih, Dewa!”

Saraswati ketika melihat ayahnya dibelenggu, menjadi marah sekali dan sambil mengangkat dadanya ia menghadapi Saritama. Saritama hanya menundukkan kepala dengan bingung. Ia hampir tak dengar ucapan Saraswati oleh karena pada saat itu pikirannya bekerja keras dan diputar-putar memikirkan tentang percakapan antara Wiradigda dan Tirtaganda tadi. Ia menyesal mengapa ia telah menewaskannya, kalau tidak, ia dapat memaksa adipati itu untuk memberi keterangan dan penjelasan.

Melihat betapa Saritama tunduk saja dan agaknya takut kepada anaknya, Wiradigda memandang dengan heran sekali, sedangkan Saraswati lalu membuka belenggu ayahnya.

“Saritama, kau telah melakukan kekacauan di Tangen, telah menculik aku, dan kini berani pula menangkap ayahku. Tahukah kau bahwa kau telah melakukan pelanggaran besar sekali? Kalau Kerajaan Majapahit mengetahui hal ini, kau bisa dianggap sebagai seorang pemberontak!”

“Dia bahkan telah membunuh Adipati Tirtaganda!” kata Tumenggung Wiradigda.

Mata Saraswati yang lebar dan indah itu terbelalak memandang kepada Saritama. Kegirangan besar memancar keluar dari sepasang mata itu.

“Apa? Bandot tua itu telah kau tewaskan? Ah, Saritama...” tapi gadis itu segera mengubah suaranya ketika berkata. “Kalau begitu dosamu lebih besar lagi!”

Saritama berkata, “Saraswati, terserah kepadamulah! Aku... aku bingung sekali. Sebetulnya saja paman Tumenggung Wiradigda, apakah yang telah terjadi dengan mendiang ayahku? Tadi aku mendengar percakapanmu dengan Tirtaganda. Bagaimanakah terjadinya pemfitnahan terhadap keluargaku itu sesungguhnya?”

Maka Tumenggung Wiradigda lalu menceritakan semua peristiwa dahulu itu dengan jelas. Saraswati yang baru kali ini mendengar bahwa ibunya adalah bekas kekasih ayah Saritama, mendengarkan dengan hati tertarik pula. Saritama sendiri ketika mendengar betapa ia telah salah sangka dan menjatuhkan pembalasan kepada orang yang tidak berdosa, segera menundukkan muka dengan menyesal dan malu.

Akan tetapi, ia masih merasa ragu-ragu, maka ia berkata, “Paman Tumenggung, kalau memang Tirtaganda yang berkhianat dan kau tidak berbuat apa-apa terhadap mendiang ayahku maka aku telah berlaku sangat keji dengan menculik dinda Saraswati dan paman sendiri. Akan tetapi, keterangan itu kudapat dari Paman Panembahan Sidik Panunggal, mungkinkah beliau salah sangka pula?”

“Apa? Sidik Panunggal masih hidup? Di manakah dia sekarang?” Wajah Tumenggung Wiradigda berseri oleh karena Panembahan ini dulu adalah kawan baiknya.

“Aku berada di sini, Wiradigda! Dan kau Saritama, aku tak pernah salah sangka!”

Tiba-tiba saja, entah darimana datanganya, Panembahan yang sakti itu telah muncul di situ sambil tersenyum. “Saritama, memang semua yang diceritakan oleh Tumenggung Wiradigda tadi benar belaka. Aku pun telah dapat menduga hal ini, akan tetapi ketahuilah bahwa semua orang, kecuali Tumenggung Wiradigda dan Adipati Tirtaganda, semua menganggap bahwa biang keladi pembasmian Tritis adalah Tumenggung Wiradigda. Aku tidak bisa meyalahi hukum karma, dan aku tidak mau membantah pendapat umum. Aku sengaja menceritakan kepadamu menurut pandangan umum dan adalah menjadi kewajibanmu sendiri untuk menyelidiki dan membongkar rahasia ini. Akan tetapi, sebelum aku menuturkan dengan jelas, kau telah tak tahan dan segera pergi terdorong hawa nafsumu. Untung sekali, Dewata berlaku murah dan aku tidak salah tangan Saritama. Sekarang kau harus minta maaf kepada Tumenggung Wiradigda.”

Saritama segera maju berlutut dan menyembah kepada Tumenggung itu yang menerimanya dengan senyum lega.

“Wiradigda, selanjutnya terserah kepadamu. Aku hendak segera kembali ke Gunung Kidul. Saritama kelak bila kau mempunyai kesempatan, ajaklah isterimu mengunjungi pondokku di Gunung Kidul!”

Saritama heran, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Panembahan Sidik Panunggal sudah berkelebat pergi!Tumenggung Wiradigda dapat menangkap maksud perkataan pendeta itu, maka ia hanya tersenyum saja. Hatinya girang sekali dan diam-diam ia mengucap syukur kepada Dewata Yang Maha Agung.

“Ayah, bagaimana dengan soal ini? Kita harus membelenggunya untuk membalas perlakuannya terhadapmu tadi!” kata Saraswati kepada ayahnya. “Kita tidak berdosa akan tetapi telah mendapat banyak hinaan dan gangguan dari Saritama, maka apakah kita takkan membalas?”

Tumenggung Wiradigda tersenyum. “Kau mau membelenggunya? Belenggulah, Saraswati!”

Saritama juga tersenyum. Hati pemuda ini sekarang merasa girang luar biasa mendapatkan keterangan dari Panembahan Sidik Panunggal bahwa Wiradigda benar-benar tidak berdosa! Ia memandang kepada Saraswati dengan wajah berseri.

“Betul kata Rama Tumenggung, Wati. Belenggulah aku!”

Kedua mata dara itu terbelalak heran dan kemarahan menjalar di mukanya. “Kau... kau kurang ajar...!” katanya gemas sekali. “Mengapa kau berani mati menyebut rama (ayah) kepada ayahku?

“Ayahmu telah menerimaku sebagai mantunya, mengapa aku tidak boleh menyebutnya rama?” jawab Saritama yang tetap tersenyum.

“Ayah...?” hanya demikian Saraswati dapat bertanya sambil memandang wajah ayahnya.

Tumenggung Wiradigda mengangguk-anggukkan kepala. “Memang benar! Aku telah menggunakan kau sebagai hadiah sayembara ketika kau terculik dan yang memenangkan sayembara itu adalah Saritama!”

“Kau... kau...!” Saraswati menoleh kepada Saritama dan hendak memaki lagi, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Saritama, maka menjalarlah warna merah pada wajahnya sampai ke telinga.

“Saraswati, mari sini, ikatlah tanganku! Belenggulah aku, aku menyerah menjadi tawananmu,” Saritama menggoda.

“Kau... kau kurang ajar!” Saraswati lalu cemberut dan berjalan cepat menyusul ayahnya yang telah mendahului mereka pergi menuju ke Tangen.

Saritama mengejar dan di sepanjang jalan tidak hentinya Saritama menggoda Saraswati hingga gadis ini menjadi malu dan... girang.

Setelah berjalan jauh dan merasa lelah dan sakit telapak kakinya menginjak-injak batu dan kerikil tajam, kembali Saritama menggunakan kekuatan lengannya memondong tubuh gadis kekasihnya itu. Dan kini Saraswati tidak meronta-ronta seperti dulu lagi!

T A M A T


Satria Gunung Kidul Jilid 03

Satria Gunung Kidul

Karya Kho Ping Hoo

JILID 03

SARITAMA diam-diam memuji ketelitian dan kecepatan para ponggawa itu, maka secepat kilat ia angkat tubuh penjaga tadi dan melontarkan tubuh itu ke arah ketujuh orang ponggawa yang datang menyerbu! Akan tetapi dengan sigapnya ketujuh orang ponggawa itu dapat mengelak dan dari gerakan mereka Saritama maklum bahwa mereka rata-rata memiliki ilmu pencak silat yang pandai.

Ketujuh orang ponggawa itu menyangka bahwa Saritama hanyalah seorang yang datang hendak mencuri saja, maka mereka bermaksud hendak menangkapnya. Seorang diantara mereka yang termuda dan bernama Waskita hendak memperlihatkan ketangkasannya. Dengan seruan keras dia maju menubruk Saritama, hendak menangkapnya dengan ilmu silat pencak Palwaga Pancakara (Kera Berkelahi). Gerakannya gesit laksana seekor kera jantan, kedua tanganya berkembang, yang kiri menangkap leher, yang kanan menuju ke lambung Saritama!

Akan tetapi dengan sedikit gerakan saja Saritama berhasil mengelak terkaman pada lehernya dan sekali tangan kirinya dikibaskan menangkis tangan lawan yang mengarah lambung, terdengar Waskita menjerit kesakitan oleh karena tulang lengannya terasa sakit bagaikan terpukul sebatang tongkat besi. Ia membungkuk-bungkuk sambil mengaduh-aduh dan mengelus-elus lengannya yang tertangkis itu!

Keenam kawannya terkejut melihat ketangkasan maling muda itu. Mereka merasa gemas sekali melihat Waskita telah dikalahkan dalam sekali pukul saja. Dua orang ponggawa lain lalu menyerang dari kiri kanan. Akan tetapi Saritama cepat melangkah mundur dan ketika ia ulur kedua tangannya, ia berhasil menjambak rambut kepala keduanya ponggawa itu dan sebelum keduanya dapat melawan, Saritama telah membuat gentakan hebat hingga dua kepala mereka saling bentur mengeluarkan suara keras.

“Aduh... !!!” Terdengar teriak mereka berbareng dan keduanya terhuyung-huyung setelah dilepas oleh Saritama, kemudian roboh tak ingat diri!

Bukan main marahnya empat orang ponggawa lain. Ponggawa tertua yang juga menjadi kepala ponggawa di situ, memberi aba-aba dan keempat orang itu mencabut keris masing-masing.

“He, maling muda yang kurang ajar! Menyerahlah!”

Saritama tersenyum.“Bukan watak ksatria Gunung Kidul untuk menyerah!” jawabnya.

“Apa? Kau seorang ksatria? Eh, anak muda, kau siapa dan berdirilah di tempat terang agar kami dapat melihat mukamu. Siapa kau dan apa maksudmu datang membuat kacau?” berkata ponggawa tua itu yang bernama Jaladara.

“Orang-orang Tangen, dengarlah! Aku bernama Saritama dan kedatanganku ini bermaksud hendak membasmi keluarga Wiradigda si keparat yang kejam!”

Bukan main terkejutnya para ponggawa itu ketika mendengar pemuda ini datang hendak mencelakai Tumenggung Wiradigda. Waskita yang mendengar ucapan ini lalu berlari cepat untuk memanggil bala bantuan di luar gedung. Sedangkan keempat orang ponggawa lainnya lalu maju menerkam dengan senjata mereka!

Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut oleh karena sekali berkelebat saja tubuh pemuda itu telah lenyap dan tahu-tahu seorang ponggawa telah tertangkap oleh Saritama yang telah melompat dan berada di belakangnya. Sebelum ia dapat berteriak, tubuhnya telah diangkat tinggi-tinggi dan dilempar ke arah kawan-kawannya yang cepat melompat ke pinggir agar jangan sampai tertumbuk oleh tubuh kawan sendiri.

Pada saat itu, dari arah belakang gedung terdengar pekik seorang wanita. Pekik ini terdengar mengerikan dan menggerakkan hati Saritama. Hati nuraninya tersinggung dan jiwa ksatrianya bangkit dan menggerakkan hatinya untuk segera menolong wanita yang memekik dan yang membutuhkan pertolongan itu. Ia lalu bertindak cepat. Dengan ilmu Nandaka Amapang (Banteng Menyambut) sambil mengeluarkan aji kekebalannya ia menyerbu ke depan tanpa memperdulikan serbuan keris lawan!

Alangkah terkejutnya para ponggawa ketika merasa betapa keris-keris mereka itu mengenai tubuh Saritama bagaikan bertemu dengan batu atau baja saja! Tangan mereka terasa sakit dan keris mereka mental kembali, sedangkan Saritama telah menerjang dengan gerakan siku, tangan, dan kaki. Para ponggawa itu terbanting dan terpukul ke kanan kiri!

Saritama tidak memperdulikan mereka, tapi langsung berlari cepat sekali ke arah taman di belakang gedung. Dan apa yang dilihatnya di dalam taman itu membuat dadanya terasa panas dan sesak, dan tak terasa lagi ia membentak, “Dukun lepus tak tahu malu!”

Ternyata bahwa yang dilihatnya itu adalah Bagawan Kalamaya yang sedang menyeret-nyeret dan memeluk-meluk seorang dara muda yang cantik-jelita dan yang meronta-ronta sambil menangis. Dara itu memekik-mekik, akan tetapi kini suara jeritannya tak dapat terdengar keras oleh karena sebelah tangan Bagawan Kalamaya telah digunakan untuk menutupi mulut gadis itu!

Siapakah dara muda yang ayu itu dan mengapa pula ia dapat terjatuh ke dalam tangan Bagawan Kalamaya? Pada malam hari itu, di dalam taman di belakang gedung tumenggungan, terdapat dua orang wanita yang masih belum masuk ke dalam gedung. Mereka ini adalah Dewi Saraswati, puteri tunggal Tumenggung Wiradigda, seorang puteri berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita bagaikan Dewi Komaratih sendiri turun dari angkasa!

Akan tetapi, pada malam hari itu, Dewi Saraswati nampak berduka, bahkan ia menangis sedu-sedan, dihibur oleh seorang wanita setengah tua yang bersusur besar di mulutnya hingga wajahnya yang memang sudah buruk itu menjadi tambah tak enak dilihat. Dia ini adalah biung emban, yakni pelayan pengasuh Dewi Saraswati semenjak sang dewi masih kecil. Pengasuh ini bernama Tomblok.

“Aduhai, Gusti Ayu, sudahlah jangan Paduka terus-menerus bersedih saja. Sayanglah air matamu, dan jangan kau buang-buang,” kata Tomblok yang mencoba menghibur sang dewi yang dikasihinya bagaikan anak sendiri itu.

Biarpun sedang berduka, akan tetapi mendengar kata-kata Tomblok ini Dewi Saraswati tertegun, “Apa maksudmu, biung?”

Melihat bahwa sang dewi sudah mau melayani kata-katanya, Tomblok merasa girang sekali. Ia pindahkan susurnya yang besar dari ujung mulut kiri ke kanan, lalu berkata,

“Maksudnya, janganlah air mata Gusti yang berharga itu dibuang-buang. Kalau air mataku, jangankan dijual mahal, dihadiahkan dengan cuma-Cuma juga takkan ada yang sudi! Tapi air mata seorang puteri sejati bagaikan butir-butir mutiara berharga yang tak boleh diboroskan dengan sia-sia! Demikianlah kata para punjangga jaman dahulu. Lagipula, air mata seorang puteri cantik merupakan senjata yang paling ampuh dan keramat di atas dunia ini. Maka peliharalah mutiara dan senjata keramat itu baik-baik, Gusti Ayu, oleh karena kalau dipergunakan untuk hal-hal yang kecil tak berarti saja, maka mutiara itu akan hilang keampuhannya! Karena itulah maka mahal harganya Gusti!”

Memang Tomblok ini pandai sekali bicara. Selain pandai berkelakar oleh karena seringkali harus menghibur hati kekasih dan junjungannya, juga ia pandai menari dan bernyanyi serta pandai pula memberi nasihat-nasihat dan petuah-petuah berharga.

“Biung emban, kau tidak mengerti. Aku bukan menyusahkan hal-hal remeh sebagaimana yang kau duga, akan tetapi aku menyusahkan sisa hidupku. Aku menyedihi nasibku yang akan datang, biung.”

“Ah, ah, sekali lagi kau keliru, Gustiku yang ayu dan manis! Kata para cerdik pandai, daripada menyusahkan perkara yang belum datang dan menguatirkan nasib yang belum tentu, lebih baik mengenang hal-hal yang lalu untuk dijadikan contoh dan cermin! Dari pengalaman-pengalaman lalu kita dapat memetik pelajaran-pelajaran berharga untuk mengatur langkah hidup selanjutnya, sedangkan hal-hal yang belum terjadi serahkanlah kepada Hyang Agung untuk mengaturnya, Gusti. Ah, junjunganku yang manis, kalau Paduka bermuram durja, seakan-akan bintang-bintang di langit kehilangan cahayanya dan hambapun kehilangan cahaya hamba!” Nasihat-nasihat Tomblok selalu diseling sendau-gurau.

“Tomblok, Tomblok...! Alangkah senangnya hatiku kalau pada saat ini kita bertukar tempat!” kata Dewi Saraswati sambil termenung.

“Lho, mau bertukar tempat? Hamba duduk di bangku itu dan Paduka di atas rumput ini? Kalau Paduka kehendaki, mengapa tidak bisa?” tanya Tomblok sambil melebarkan kedua matanya yang sudah lebar dan bundar sebesar telur ayam itu.

“Bukan begitu maksudnya, biung emban. Maksudku bertukar pakaian yaitu kau menjadi aku dan aku menjadi kau! Kalau aku menjadi kau, takkan mengalami nasib celaka ini!”

“Eh, eh, Gustiku yang manis. Kalau bertukar pakaian saja, saya tidak... menolak! Kalau berganti orang... ah, berat juga, Gusti!”

“Biung emban, jangan kau bergurau saja, aku benar-benar sedang dalam prihatin dan susah,” kata sang puteri dengan wajah muram.

“Ampun, Gusti Ayu, hamba hanya bermaksud menghibur. Hamba juga maklum bahwa Gusti sedang menderita duka nestapa, akan tetapi, sebenarnya ada apakah, Gusti?”

“Ketahuilah, biung. Kemarin ayah pergi ke Kadipaten Pacet.”

“Hamba sudah tahu, Gusti.”

“Dan tahukah kau mengapa ramanda pergi ke sana?”

Tomblok menggeleng-gelengkan kepalanya hingga gelung rambutnya yang besar itu ikut bergerak-gerak ke kanan kiri.

“Dengarlah hal yang menyusahkan hatiku, biung. Rama pergi ke Kadipaten Pacet perlu untuk merundingkan hal pernikahanku.”

Tomblok menepuk-nepuk pahanya dengan girang. “Ah, Ndoro Ayu bukankah hal itu sangat menggembirakan dan tak perlu disusahkan?”

“Biung emban, jangan kau berkata demikian. Adipati Pacet adalah seorang duda yang sudah berusia hampir setengah abad dan bagaimana aku dapat menjadi isterinya? Ah, biung... aku lebih suka mati daripada menjadi sisihan kakek bandot itu!” Dewi Saraswati lalu menutupi mukanya dengan ujung kemben (sabuk kain) dan menangis terisak-isak.

Tomblok ikut menangis dan suara tangisnya seperti suara bebek bertelur. “Aduh, Gusti Ayu... kekasih hatiku... janganlah menangis, manis... hamba tak kuat menahan air mata... Gusti Ayu Dewi Saraswati yang cantik jelita, hamba menjadi teringat akan masa dahulu ketika hamba hendak dikawinkan oleh ayah hamba... orangnya juga tua, bahkan bukan setengah abad lagi, tapi sudah seabad penuh!”

Mendengar ucapan biung emban Tomblok, Dewi Saraswati menurunkan kedua tangannya karena ia menjadi tertarik. “Kau kan juga merasa susah, bukan, biung?”

“Tidak, Gusti, hamba tidak susah karena calon suami itu sudah tua, malah kebetulan, oleh karena biarpun tua dia itu tua kelapa, yakni harta-bendanya banyak. Hamba pikir, kalau hamba sudah kawin dengannya, dalam beberapa bulan atau beberapa hari saja tentu dia akan mampus dan semua harta bendanya diwariskan kepada hamba! Akan tetapi, Gusti, dia mati... ! Aduh... dia mati!” Dan Tomblok menangis lagi!

Dewi Saraswati heran. “Mengapa kau susahkan kematiannya, biung? Bukankah itu yang kau harapkan?”

“Benar, Gusti, akan tetapi dia mati sebelum kami kawin! Baru saja kami ditemukan, tiba-tiba dia menggigil dan roboh terus mampus! Hamba menjadi janda sebelum kawin dan harta bendanya tidak terjatuh kepada hamba.” Tomblok menangis lagi dan diam-diam Dewi Saraswati menjadi sangat geli.

Pada saat itu, dari belakang sebatang pohon keluarlah bayangan seorang bongkok, Dewi Saraswati dan Tomblok menjadi kaget sekali oleh karena mereka tidak segera mengenal muka pendatang ini. Dewi Saraswati lalu berdiri dengan takut, sedangkan Tomblok sudah memeluk kaki Dewi Saraswati dengan tubuh menggigil.

“Ssss... ssseee... setan!” teriaknya ketakutan melihat tubuh bongkok itu melangkah maju.

“Sst, biung emban, jangan ribut. Yang datang adalah Paman Bagawan Kalamaya!”

“Benar, anakku yang ayu, anak manis dan jelita, akulah yang datang!”

“Paman Bagawan, sungguh aku merasa terkejut dan heran. Mengapa paman bagawan datang ke taman sari dan pada waktu malam gelap begini? Apakah kehendakmu, paman?” tanya Dewi Saraswati dengan suara penuh teguran.

“Saraswati, bocah ayu, bocah denok! Aku datang untuk memboyongmu, kekasihku!” Sambil berkata demikian, Bagawan Kalamaya melangkah maju.

Bukan main terkejutnya Dewi Saraswati mendengar ucapan ini serta melihat sikap sang pendeta itu. Ia menduga bahwa pendeta ini tentu telah menjadi gila!

“Paman Bagawan, apakah artinya semua ini? Paman, janganlah kau berkelakar yang tidak pantas seperti itu!”

“Saraswati, jantung hatiku, jimat pujaan kalbu! Tidak tahukah kau bahwa aku adalah titisan Hyang Brahma? Kau adalah permaisuriku, Saraswati, marilah kau ikut kakanda untuk bersama pulang ke Sorga. Marilah, Saraswati permaisuriku!”

Bukan main takutnya Dewi Saraswati mendengar ini. Ia lalu lari di belakang tubuh Tomblok hingga Bagawan itu kini menghadapi Tomblok. Pada saat itu Bagawan Kalamaya hendak maju memeluk, akan tetapi ketika melihat kepada Tomblok yang menghadang di depannya dan yang kini tidak ketakutan lagi, Bagawan itu mundur menyebut.

“Ya dewata yang maha agung! Kukira Saraswati tadi, tidak tahunya kau! Eh, kau ini mahluk apa? Manusia atau kadal?”

Bukan main marahnya Tomblok disebut kadal. Ia melangkah maju dan memutar-mutar susurnya di dalam mulutnya. “Kira-kira kalau menyebut orang! Biarpun kau menyebutku kadal, akan tetapi aku bukan kadal sembarang kadal! Aku adalah kelangenan (kekasih) sang puteri! Kau ini bagawan berotak miring barangkali. Mengapa malam-malam datang mengacau dan berlaku kurang ajar terhadap sang puteri? Apakah kau tidak takut kepada Gusti Tumenggung?”

“Kau minggirlah!” bentak Bagawan Kalamaya dan sekali saja ia mendorong.

Tomblok jatuh terguling-guling sambil berteriak-teriak. Akan tetapi, mendengar teriakan wanita ini, Bagawan Kalamaya lalu maju dan menendang hingga Tomblok menjadi pingsan! Kemudian, sambil membujuk dan merayu, menyebut-nyebut Dewi Saraswati sebagai permaisurinya, ia maju hendak menangkap Dewi Saraswati!

Puteri itu merasa bingung dan jijik, hingga ia menjerit keras sekali. Agaknya jeritan inilah yang terdengar oleh Saritama dan yang menarik perhatiannya. Bagawan Kalamaya lalu melompat dan menerkam, dan ketika Dewi Saraswati hendak menjerit lagi, bagawan yang sudah kesetanan itu lalu menutup mulut Saraswati dengan tangannya.

Ketika mereka sedang bersitegang, datanglah Saritama yang hampir tak dapat mempercayai matanya sendiri. Tak pernah disangkanya bahwa Bagawan Kalamaya akan serendah itu batinnya!

“Pendeta bangsat tak tahu malu! Lepaskan gadis itu dan ingatlah, sadarlah kau, pendeta keparat dan sesat.”

“Saritama, jangan kau mencampuri urusanku! Kau pergilah melakukan tugasmu sendiri. Aku, titisan Brahma, sedang berurusan dengan Dewi Saraswati, permaisuriku sendiri!”

Saritama marah sekali dan membentak sambil melangkah maju.“Pendeta gila, kau dimabok kerendahan hatimu sendiri!” Kemudian, sekali merenggutkan lengan pendeta itu, ia berhasil melepaskan Dewi Saraswati yang dipeluk oleh bagawan gila itu.

“Saritama, kau ingin mampus!”

Bagawan Kalamaya berseru marah dan tiba-tiba bagawan itu mencabut sebilah keris yang panjang dan beriuk lima. Keris ini nampak dahsyat mengerikan oleh karena selain mempunyai hawa yang berpengaruh dan jahat, keris ini juga selalu direndam dalam racun yang sangat jahat dan yang didapat dari air liur ular belang!

Biarpun tubuhnya bongkok dan sudah tua, Bagawan Kalamaya masih memiliki gerakan sigap dan tangkas oleh karena dia memang mempunyai kepandaian pencak silat yang tinggi di waktu mudanya. Sambil mengeluarkan suara tertawa yang aneh dan mengerikan, ia menyerang dengan kerisnya yang dinamai Paripusta yang berarti puas dan senang. Dari nama kerisnya ini saja dapat diukur bahwa pada hakekatnya, pendeta ini masih menjadi hamba daripada nafsu-nafsu jahat yang mengutamakan kepuasan dan kesenangan dunia.

Saritama yang bermata tajam dapat maklum akan kehebatan dan berbahayanya keris ini, maka cepat ia mengelak lalu mengirim pukulan dari samping kiri. Bagawan Kalamaya memiringkan tubuhnya untuk mengelak bahaya pukulan ini dan segera mengirim serangan bertubi-tubi dengan keris mautnya. Akan tetapi, Saritama dengan mudah sekali melompat ke sana ke mari, gesit dan cepat bagaikan seekor burung Srikatan.

Pada saat yang tepat, sebuah pukulan tangan kirinya bersarang di dada pendeta cabul itu hingga Bagawan Kalamaya roboh terjungkir dan mengaduh-aduh tanpa dapat bangun lagi. Kerisnya terlempar jatuh dan menancap di atas tanah!

Dewi Saraswati masih belum hilang kagetnya. Diam-diam ia memperhatikan perkelahian tadi dan ia kagum sekali melihat ketangkasan dan kecakapan pemuda penolongnya itu. Ketika Saritama melangkah maju menghampirinya, Dewi Saraswati memandang dengan sepasang matanya yang tajam dan bening sambil menduga-duga oleh karena belum pernah ia melihat pemuda yang namanya disebut Saritama oleh bagawan tadi.

Kebetulan sekali pada saat itu keadaan tidak sangat gelap sehingga suram-suram Saritama dapat melihat bahwa dara yang diserang oleh Bagawan Kalamaya itu luar biasa cantiknya dan memiliki tubuh yang menggiurkan pula. Akan tetapi, pada saat itu Saritama tidak memandang dengan mata kagum, bahkan memandang dengan mata benci oleh karena ia teringat bahwa gadis ini adalah puteri musuh besarnya yang harus dibasmi.

“Apakah kau bernama Dewi Saraswati dan anak dari Tumenggung Wiradigda?” tanyanya dengan suara kasar hingga gadis itu menjadi terkejut, apalagi ketika ia melihat betapa pandangan mata pemuda itu ditujukan kepadanya dengan bengis.

Sebelum ia menjawab, dari luar terdengar suara riuh-rendah oleh karena barisan ponggawa dan perajurit telah menyerbu ke dalam taman! Saritama bersiap hendak melawan mereka, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik. Ketika barisan terdepan telah tiba di situ dan beberapa orang serentak maju menubruknya, dengan tangkas Saritama bergerak merobohkan beberapa orang itu, kemudian secepat kilat tangan kanannya memeluk pinggang Dewi Saraswati yang segera dipondongnya dengan ringan dan mudah.

Dewi Saraswati menjerit-jerit akan tetapi ia tidak berdaya dalam pondongan lengan tangan yang kuat itu. Beberapa orang perajurit maju lagi menyerbu, akan tetapi mereka tidak berani menggunakan senjata tajam, kuatir kalau-kalau akan melukai sang puteri. Hal ini menguntungkan Saritama yang segera beraksi dengan menggunakan tangan kiri dan kedua kakinya. Beberapa orang roboh pula, akan tetapi barisan penyerbu makin banyak hingga Saritama merasa kewalahan.

Pemuda ini lalu membentak dengan suara keras, “Hai, para perajurit Tangen! Bukan cara laki-laki sejati untuk maju secara keroyokan! Beritahukanlah kepada si keparat Wiradigda bahwa aku, Saritama dari Gunung Kidul, putera almarhum Adipati Cakrabuwana, datang hendak membalas dendam! Aku tidak mau mencelakakan orang lain dan musuhku hanyalah Wiradigda sekeluarga! Oleh karena keparat itu tidak ada di sini, maka sebagai gantinya aku menawan puterinya. Jika ia memang gagah berani dan menghendaki kembalinya sang puteri, silakan pergi menyusulku di tempat kediaman mendiang ayahku untuk membuat perhitungan secara laki-laki!”

Setelah berkata demikian Saritama lalu melompat ke dalam gelap sambil memondong Dewi Saraswati yang masih meronta-ronta dan menjerit-jerit! Semua ponggawa mencoba untuk mengejar, akan tetapi mereka tak dapat mengejar ilmu lari Kidang Kencana yang hebat dari pemuda itu hingga tak lama kemudian suara jeritan Dewi Saraswati makin melemah hingga tak terdengar lagi dari situ.

Geger dan ributlah seluruh Tangen pada malam hari itu ketika berita tentang penculikan diri Dewi Saraswati itu tersebar di seluruh tumenggungan. Obor dinyalakan dan orang-orang mencari ke sana ke mari dengan sia-sia. Beberapa orang ponggawa segera menunggang kuda dan cepat menuju ke Pacet untuk menyusul sang tumenggung dan untuk menyampaikan berita buruk itu.

Setelah merasa bahwa larinya sudah cukup jauh dan tak mungkin terkejar oleh musuh-musuhnya lagi, Saritama menghentikan larinya. Dia telah sampai dalam sebuah hutan dan pada waktu itu, fajar telah mulai menyingsing.

“Lepaskan aku, lepaskan! Kau, orang kurang ajar!”

Saritama tersenyum masam dan tiba-tiba ia melepaskan pondongannya hingga tubuh Dewi Saraswati terbanting ke atas rumput sampai bergulingan! Sang puteri menggigit bibir dan segera merayap berdiri. Dengan sepasang mata bernyala-nyala dan bibir gemetar karena marahnya, ia maju dan bertolak pinggang dengan tangan kiri. Tangan kanannya diangkat dengan jari telunjuk menuding ke arah muka Saritama.

“Pengecut kau! Ah, kalau saja aku menjadi laki-laki tentu akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset kulitmu dan akan kuhancurkan kepalamu!”

“Alangkah sombongmu, gadis! Apakah yang hendak kau sombongkan? Dan mengapa kau mencaci-maki?”

“Kau manusia rendah! Kau kira aku tertarik akan kedigdayaan dan kecakapanmu? Cis! Tak tahu malu! Kau kira mudah saja kau hendak memaksa dan mendapatkan diriku? Lebih baik aku mati daripada kau jamah dengan tanganmu yang kotor dan keji!” Dewi Saraswati lalu menangis.

“Diam dan jangan kau berani mengeluarkan kata-kata keji lagi! Kalau tidak, kutampar mukamu! Kau anggap aku ini orang apa maka timbul persangkaan kotor dalam kepalamu yang kecil itu? Siapa yang menghendaki dirimu? Kau kira aku tertarik dan tergila-gila akan kecantikanmu? Hah! Kau belum kenal aku. Inilah Saritama, Ksatria Gunung Kidul yang tak mungkin tergiur oleh kecantikan seorang wanita!”

Dewi Saraswati tercengang dan ia lupa bahwa ia sedang menangis. Ia turunkan tangan yang menutupi mukanya lalu memandang dengan pipi masih basah oleh air mata. Akan tetapi oleh karena kabut amat tebal di hutan itu, maka air muka pemuda itu masih belum kelihatan nyata.

“Habis... untuk apa kau menculikku?”

Aneh sekali, tiba-tiba ia merasa kecewa dan mendongkol mendengar bahwa pemuda penculiknya ini sedikitpun tidak menghiraukan atau tergiur oleh kecantikannya!

“Dengarkan, gadis! Dulu, ketika kau dan aku masih kecil, ayahmu, Tumenggung Wiradigda yang keparat itu telah memfitnah orang tuaku sehingga ayah ibu dan keluarganya binasa semua! Kebetulan sekali aku dapat menyelamatkan diri dan kini aku datang hendak membalas dendam!”

Saraswati tertegun. Ia pernah mendengar tentang Adipati Cakrabuwana yang dianggap pemberontak dan ditumpas oleh barisan Majapahit.

“Siapakah ayahmu itu?” tanyanya minta kepastian.

“Ayahku adalah Adipati Cakrabuwana yang gagah perkasa, ksatria sejati, tidak seperti ayahmu!”

Panas juga hati Saraswati mendengar ayahnya dimaki-maki. “Oo, jadi ayahmu adalah pemberontak itu?” katanya dengan suara mengejek. “Kalau begitu, kau seorang pengecut!”

Tangan Saritama sudah diangkat dan hendak menampar pipi gadis itu, akan tetapi Saraswati sama sekali tidak takut, bahkan mengangkat dada dan memandang tanpa berkedip hingga Saritama yang teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita, menurunkan lagi tangannya.

“Kalau kau seorang laki-laki,” katanya dengan napas sesak menahan marah, ”tentu akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset kulitmu dan akan kuhancurkan kepalamu!” Tanpa disadarinya, ia mengulang ancaman Saraswati tadi dengan otomatis oleh karena kata-kata ini masih mengiang di dalam telinganya!

Saraswati tersenyum mengejek. “Mengancam saja meniru-niru orang! Aku menyebutmu pengecut oleh karena kau membalas dendam dengan curang. Mengapa kau menculikku? Apakah dosaku? Mengapa kau tidak berani menghadapi ayahku untuk bertanding secara laki-laki? Dan hendak kau apakankah aku ini?” kata-kata terakhir ini tidak dikeluarkan dengan hati kuatir, bahkan dengan suara menantang!

“Dengarlah, orang-orang Tangen yang pengecut! Bukan aku! Mereka maju dengan keroyokan. Oleh karena itu maka aku menawanmu dan kau hendak kubawa ke tempat tinggal ayahku dulu! Ayahmu harus datang ke sana sendiri apabila ingin menjemputmu dan ia harus menghadapiku untuk mengadu kesaktian!”

“Hah!” Saraswati mencibirkan bibir mengejek. “Dalam lima jurus saja dadamu akan pecah oleh pukulan ayah!”

“Sombong kau!” Saritama membentak. “Sudah tutup mulutmu yang cerewet itu dan hayo kita berjalan terus!”

“Tidak! Aku tidak sudi,” gadis itu menantang, dan mengangkat-angkat dadanya yang penuh ke muka.

“Jalan! Kalau tidak, kau akan kuseret!” bentak Saritama gemas.

“Tidak! Boleh kau berbuat sesuka hatimu, aku tidak sudi menurut perintahmu!”

“Gadis kepala batu!” Sambil bersungut-sungut Saritama lalu memegang lengan tangan gadis itu dan menariknya ke depan.

Saraswati meronta-ronta dan memberontak sekuat tenaga, memukul-mukul lengan tangan Saritama dengan tangan kanannya, menggunakan kakinya menendang-nendang lutut pemuda itu. Ketika Saritama tidak memperdulikan semua serangan ini dan tetap berjalan sambil menyeret Saraswati, gadis itu lalu menundukkan kepala dan menggigit tangan Saritama dengan giginya yang putih dan tajam!

Saritama berseru kesakitan dan terpaksa melepaskan pegangannya. Saraswati berdiri terengah-engah karena menahan marahnya, kedua matanya mengeluarkan air mata, akan tetapi ia tidak menangis, bahkan memandang dengan mata bernyala dan hidungnya yang indah mancung itu berkembang-kempis, seakan-akan mengeluarkan uap panas!

Akan tetapi semua ini tidak kelihatan oleh Saritama oleh karena kabut di hutan itu masih tebal sekali hingga keadaan masih reamang-remang. “Kau benar-benar kuda betina liar yang berkepala batu!” Saritama memaki.

“Dan kau kuda jantan liar yang tak tahu malu dan tidak sopan!” Saraswati balas memaki!

“Keparat!” Saritama membentak gemas dan tiba-tiba ia tangkap gadis itu, lalu dengan mudah dipondongnya!

Saraswati mencoba untuk memberontak, memukul-mukulkan kedua tangannya ke arah dada dan kepala pemuda itu, akan tetapi dengan tangan kiri Saritama berhasil memegang kedua pergelangan tangannya hingga ia tidak berdaya lagi, hanya kedua kakinya saja meronta-ronta dan bergerak-gerak. Akan tetapi, Saraswati tidak mau menangis dan tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Ia sengaja meronta-ronta agar pemuda itu tak mudah dapat melanjutkan perjalanannya.

Akan tetapi, Saritama adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan bertenaga besar, maka sedikit perlawanan itu tak berarti apa-apa baginya. Bahkan ia lalu mempergunkan ilmu larinya Kidang Kencana hingga Saraswati yang tiba-tiba merasa betapa pohon-pohon berlari-lari cepat dan angin menyambar muka dan seluruh tubuhnya hingga rambutnya berkibar tertiup angin, menjadi takut sekali. Gadis ini heran mengapa pemuda itu dapat berlari demikian cepatnya, maka iapun lalu berhenti meronta-ronta, bahkan memejamkan mata karena takut!

Berkat ilmu lari cepatnya yang luar biasa tak lama kemudian mereka telah dapat keluar dari hutan itu. Sementara itu, matahari telah mengusir pergi kabut yang tebal. Setelah keluar dari hutan Saritama kuatir kalau-kalau bertemu dengan petani dan dapat melihat betapa ia berlari sambil memondong seorang wanita, maka tiba-tiba ia berhenti.

Pada saat yang sama, ketika ia memandang ke arah muka gadis yang masih berada di dalam pelukannya, gadis itupun membuka mata dan memandangnya. Dua pasang mata bertemu dan keduanya diam tak berkata-kata! Lama sekali dua pasang mata itu saling pandang dengan penuh keheranan dan kekaguman.

Saritama melihat betapa muka yang berkulit kuning-putih kemerah-merahan dan berbentuk sangat indah dihiasi mata, hidung, bibir dan rambut disinom yang tak kalah oleh kecantikannya bidadari dalam alam khayalannya. Sedangkan Saraswati melihat wajah pemuda yang tampan dan gagah sekali, dengan sepasang mata jernih tajam, perkasa dan bagus bagaikan Sang Arjuna sendiri!

Pada saat itu entah darimana datangnya, warna merah menjalar di kedua wajah teruna dan dara itu hingga wajah mereka memerah sampai ke telinga! Ketika melihat betapa tubuh yang berkulit halus dan hangat itu menempel di dadanya dan kedua lengannya memeluk tubuh gadis itu, tiba-tiba Saritama menjadi malu sekali hingga cepat-cepat ia menurunkan tubuh itu ke atas tanah!

“Kau... kau harus berjalan sendiri,” kata Saritama dan ia berusaha sekuatnya untuk memberi tekanan keras kepada suaranya supaya terdengar marah, akan tetapi hasilnya tidak sebaik yang ia harapkan oleh karena suara itu keluar dengan gagap dan lemah!

“Tidak, aku tidak sudi,” gadis itu menjawab dengan bibirnya yang indah dan merah itu cemberut, sambil menunduk dan tak berani mengangkat muka memandang wajah Saritama!

“Apakah kau lebih senang kalau kupondong?” tanya Saritama agak berani dan dengan dada berdebar oleh karena gadis itu tidak memandangnya.

Mendengar ini, Saraswati cepat mengangkat kepala memandang dengan mata bernyala lagi. “Siapa sudi kau pondong?” bentaknya marah.

Saritama tersenyum dan wajahnya berseri oleh karena kini ia dapat melihat betapa gadis itu menjadi makin cantik di waktu marah! Kedua matanya seakan tertawa hingga gadis itu menjadi makin gemas.

“Kalau begitu, kau harus berjalan kaki.”

“Tidak sudi!”

“Baik, aku akan memondongmu lagi kalau kau lebih suka dipondong!”

Mendengar ini, Saraswati menjauhkan diri dan segera berjalan kaki tanpa menoleh lagi, bahkan ia mendahului Saritama. Pemuda itu tersenyum dan tiba-tiba ia merasa aneh sekali mengapa kebenciannya terhadap gadis itu lenyap sama sekali bagaikan kabut terusir matahari pagi!

Untuk beberapa lamanya ia memandang lenggang gadis yang marah itu dengan hati berdebar dan semangat melayang. Alangkah manis dan lemah-gemulai lenggang gadis itu. Alangkah bersih dan halusnya kulit leher yang nampak dari belakang itu, dan alangkah indahnya bentuk kaki yang kadang-kadang nampak keluar dari kainnya ketika ia berjalan. Sebaik dan seindah itukah potongan dan bentuk kaki bidadari?

Tak mungkin! Demikianlah, pemuda itu memandang bagaikan sebuah patung batu, dan setelah dara itu berjalan agak jauh, ia segera mengejarnya. Saritama berjalan di sebelah Saraswati dan beberapa kali ia menengok, akan tetapi gadis itu berjalan dengan pandangan mata ditujukan ke depan, berbuat seolah-olah tidak ada orang di dekatnya!

“Nah, begini lebih baik,” kata Saritama.

“Aku tadi kuatir kalau-kalau ada orang melihat aku memondongmu. Alangkah ganjilnya.”

Saraswati berdiam saja dan bahkan mempercepat langkahnya. Saritama juga berjalan tanpa berkata-kata, hanya beberapa kali memandang wajah yang marah itu. Lambat laun, makin menipislah sinar kemarahan yang membayang pada wajah ayu itu, bahkan kini sinar kemarahan itu telah terganti oleh peluh yang memenuhi jidatnya. Dadanya agak terengah-engah, tanda bahwa gadis yang tidak biasa berjalan kaki jauh-jauh ini telah merasa lelah. Akan tetapi, Saraswati tidak sudi memperlihatkan kelemahannya dan memaksa diri berjalan cepat.

“Kau lelah? Marilah beristirahat dulu. Kita tak perlu tergesa-gesa!” kata Saritama dan biarpun ia mencoba untuk membuat suaranya terdengar biasa dan sewajarnya, namun ia tidak dapat melenyapkan suara yang mengandung iba hati hingga ia menjadi benci kepada suaranya sendiri yang telah membongkar rahasia perasaannya itu.

Akan tetapi, sedikitpun Saraswati tidak mau menengok atau menjawab, bahkan gadis itu lalu merapatkan bibirnya untuk menahan lidahnya yang hendak menjawab dan menundukkan kepalanya untuk mencegah matanya yang hendak mengerling ke kanan di mana pemuda itu berjalan! Saritama menghela napas. Beberapa lama mereka berdua berjalan lagi dalam keadaan sunyi.

“Kau masih marah?” Saritama berkata lagi. Tidak ada jawaban. “Dengarlah, Saraswati. Kau bernama Saraswati bukan? Nama yang indah! Dengarlah, aku sebetulnya merasa menyesal juga bahwa aku terpaksa menawan kau yang tidak berdosa. Akan tetapi, kalau aku melayani semua ponggawa Tangen dan melakukan amukan di sana, tentu aku akan membinasakan dan melukai banyak ponggawa yang sebetulnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan aku. Aku tidak tega melukai orang-orang yang tidak berdosa itu. Maka setelah melihat kau sebagai anak tunggal musuh besarku timbul akalku untuk membawamu pergi dan menanti kedatangan musuh besarku itu di sana agar kami berdua berhadapan muka tanpa ada orang lain yang mengganggu. Aku menyesal telah menyusahkan dan membuat kau marah di luar kehendakku!”

Terdengar suara perlahan keluar dari kerongkongan gadis itu, seperti sedu-sedan, akan tetapi Saraswati masih saja merapatkan bibirnya dan berjalan terus. Akan tetapi kakinya telah terasa lelah sekali dan matahari yang telah naik agak tinggi itu mulai terasa panasnya. Ia terhuyung-huyung dan tiba-tiba kaki kanannya tersandung batu. Hampir saja ia jatuh kalau Saritama tidak cepat-cepat memegang kedua tangannya dari samping.

Saraswati merasa kepalanya pening dan ia memejamkan kedua matanya sambil tanpa disadarinya ia menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Saritama mencium keharuman luar biasa yang keluar semerbak dari rambut gadis yang terurai itu dan pemuda ini cepat-cepat mengatur napas menutup mata untuk menahan gelora hatinya. Akhirnya kepusingan yang membuat Saraswati merasa kepalanya berputar itu mereda dan ketika gadis ini sadar bahwa ia menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, ia cepat-cepat merenggutkan tubuhnya, lalu menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu!

Saritama juga ikut duduk sambil mulai menyesali pebuatannya. Ia merasa kasihan sekali melihat gadis ini yang menjadi kurban daripada pembalasan dendamnya.

“Saraswati... ” katanya halus, “Jangan kau menangis... kau... Janganlah kau marah, dan maafkan aku, Saraswati.”

Dengan mata mengalirkan air mata yang membasahi kedua pipinya yang kemerah-merahan, Saraswati memandang pemuda itu. “Saritama, mengapa kau mengubah sikapmu yang kasar? Mengapa kau berubah sebaik ini? Berlakulah kasar karena aku adalah anak musuhmu. Hentikanlah godaanmu ini, Saritama.”

“Saraswati, jangan kau anggap aku serendah itu. Aku tidak menggodamu, aku memang... entah mengapa, tiba-tiba aku merasa kasihan kepadamu. Maafkanlah perbuatanku yang terpaksa oleh karena tugasku dan baktiku kepada mendiang ayahku.”

“Tidak, tidak! Tidak ada yang harus dimaafkan, agaknya begini lebih baik lagi! Biarlah ayah mengalami sedikit kekuatiran oleh karena dia telah memaksaku menikah dengan tua bangka bandotan itu!”

“Apa? Kau dipaksa menikah dengan seorang tua bangka?” tanya Saritama. “Apakah dengan dukun lepus itu?”

Maka teringatlah Saraswati akan peristiwa di taman dan ia teringat pula bahwa pemuda inilah yang telah menolongnya dari bahaya cengkeraman Bagawan Kalamaya yang lebih hebat daripada bahaya maut. Untuk sesaat ia memandang kepada wajah Saritama dengan pandangan mesra, akan tetapi hanya untuk sebentar saja oleh karena ia segera dapat menguasai perasaannya kembali.

Dia sendiri merasa bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang ksatria yang baik budi dan gagah perwira maka tak sedikitpun terkandung rasa benci dalam hatinya. Pemuda ini bersikap demikian sopan-santun hingga menimbulkan kepercayaan besar di lubuk hatinya. Maka tanpa disadarinya ia lalu menceritakan betapa ia telah dilamar Adipati Tirtaganda dari Pacet yang sudah kakek-kakek dan lamaran itu diterima baik oleh ayahnya!

Saritama marah sekali mendengar penuturan gadis itu. “Sungguh memalukan! Biar kuputar batang leher bandot tua itu!”

Ucapan ini dikeluarkan tanpa disadarinya dan ketika gadis itu gadis itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan bibir tersenyum, barulah ia sadar dan tiba-tiba ia menundukkan mukanya dengan malu.

“Saritama, mengapa kau demikian memperhatikan nasibku? Bukankah aku ini anak musuhmu yang hendak kau basmi?”

“Aku... eh... kau benar anak musuhku... dan... dan tentang Tirtaganda si celeng tua... ah, aku memang benci sekali melihat bandot tua!” jawabnya gagap dan tidak karuan hingga tiba-tiba gadis yang tadinya menangis itu kini tertawa geli dengan air mata masih membasahi pipinya.

Tertawanya nyaring dan merdu hingga Saritama mengangkat muka lalu memandang kagum.

“Saritama, kau ini... aneh sekali.”

“Mengapa aneh?”

“Betapa tidak? Kau memusuhi ayahku, membenci ayah dan hendak membinasakannya, akan tetapi kau demikian baik kepadaku. Bukankah ini aneh sekali?”

“Kau juga aneh, Saraswati.”

“Eh, mengapa pula aku kau sebut aneh?”

“Kau sebentar marah, sebentar bersedih, lalu berbalik tertawa dan tersenyum riang! Kalau kau bersedih dan menangis hatiku menjadi tidak karuan karena ikut terharu dan bersedih, kalau kau marah, kau... bertambah... ayu, dan kalau kau tersenyum dan tertawa...”

“Mengapa?” gadis itu mengerling dengan tajam dan manis sekali. “Entah mengapa, tapi hatiku jadi tidak karuan!”

Tiba-tiba dara itu tertawa geli sambil memegangi perut karena menahan gelak tawanya. “Kalau begitu, memang benar-benar kau ini pemuda aneh, aneh sekali! Dan bilang bahwa kau hendak bertempur melawan ayah? Sudahlah, tuan penculik, aku berada dalam kekuasaanmu, sekarang kita harus ke mana?” Saraswati bangkit berdiri.

Saritama mendongkol sekali karena merasa bahwa ia ditertawakan. “Mari kita berangkat ke Tritis. Kalau kita berjalan cepat, sore nanti kita bisa sampai di sana!” katanya singkat.

Demikianlah, kedua anak muda itu berjalan melanjutkan perjalanan mereka ke Tritis, bekas tempat kediaman Adipati Cakrabuwana yang sekarang telah menjadi sebuah dusun kosong tak ditinggali seorang penduduk pun semenjak keluarga adipati itu dibasmi berikut seluruh isi kampung. Ketika Bagawan Kalamaya melihat betapa Saritama menculik pergi Dewi Saraswati, ia menjadi marah sekali. Akan tetapi apa daya, pemuda itu terlampau tangguh baginya. Diam-diam ia lalu menghampiri Tomblok yang masih rebah sambil menangis. Para ponggawa yang sibuk mengejar Saritama tidak memperdulikan pendeta itu hingga taman itu kembali menjadi sunyi.

“Emban, kau sudah tahu siapa aku, bukan? Nah, kau harus menutup mulutmu dan jangan sampai orang lain mendengar tentang peristiwa antara aku dan sang puteri tadi. Kalau kau sampai bocor mulut, awas! Kerisku ini akan menamatkan hidupmu!”

Dengan ketakutan dan tubuh menggigil, Tomblok menyatakan kesanggupannya, dan akhirnya berkata, “Jangan kuatir, Sang Bagawan, oleh karena pada akhirnya bukan kau yang membawa pergi Gusti puteri, akan tetapi pemuda itu!” Tomblok lalu menangis ketika teringat akan Saraswati yang tertawan musuh.

Kemudian, setelah mengancam dengan keras sekali lagi, Bagawan Kalamaya lalu meninggalkan tempat itu, sedangkan Tomblok lalu lari masuk untuk memberi laporan kepada ibu Saraswati. Maka geger dan ributlah di dalam gedung ketika kaum wanitanya mendengar cerita Tomblok. Terdengar tangis dan keluh-kesah seakan-akan ada kematian dalam rumah itu.

Pada keesokan harinya, di Pacet juga terjadi keributan ketika para ponggawa yang menyusul Tumenggung Wiradigda telah menyampaikan berita itu. Adipati Pacet yang bernama Tirtaganda juga marah sekali mendengar betapa calon isterinya dilarikan orang.

“Si keparat Saritama!” teriaknya dengan kumis berdiri karena marahnya. “Berani kau menganggu calon isteriku?” Sambil berkata begitu Tirtaganda mencabut kerisnya, seakan-akan Saritama telah berada dan berdiri di depannya!

“Ananda Adipati, maafkan aku karena tak dapat lebih lama berada di sini,” kata Tumenggung Wiradigda yang wajahnya menjadi pucat.

“Paman Tumenggung, bagaimana tentang perjodohan itu? Hari pernikahan belum ditetapkan dan perundingan kita belum selesai, mengapa kini pamanda hendak pulang?”

Bukan main mendongkolnya hati Wiradigda mendengar ini. Sudah jelas bahwa Saraswati diculik orang, akan tetapi calon mantu ini masih hendak bicara tentang hari pernikahan segala.

“Ah, tentang itu bagaimana nanti saja, ananda,” katanya dengan suara kurang senang.

Tumenggung Wiradigda dan ponggawanya lalu keluar dari kadipaten dan menunggang kuda dengan secepatnya kembali ke Tangen. Di sepanjang jalan ia menyuruh para ponggawa itu menceritakan segala peristiwa yang terjadi di Tangen. Ketika mendengar yang menculik puterinya adalah putera dari almarhum Adipati Cakrabuwana, wajah Tumenggung Wiradigda makin pucat. Ia lalu mempercepat lari kudanya hingga siang hari itu juga mereka telah tiba di Tangen.

Dari semua ponggawa yang malam hari kemarin mengeroyok Saritama, ia mendapat keterangan betapa sakti dan perkasa pemuda musuhnya itu. Maka diam-diam Tumenggung Wiradigda merasa kuatir dan cemas. Ia sudah mulai menjadi tua dan tenaganya telah banyak berkurang hingga ia merasa bahwa iapun takkan dapat menghadapi pemuda yang menjadi musuhnya itu.

Selain itu, Tumenggung Wiradigda juga merasa menyesal sekali mendengar bahwa keturunan Adipati Cakrabuwana kini datang menuntut balas. Ia tidak dapat membawa barisannya untuk mengejar dan mengepung Saritama, oleh karena selain hal ini memalukan dan menjatuhkan namanya, juga ia kuatir kalau-kalau pemuda itu akan membinasakan puterinya.

Maka ia lalu mengumumkan kepada semua ponggawanya untuk mengadakan sayembara untuk memilih seorang yang benar-benar gagah perkasa untuk mengawaninya mengejar Saritama di Tritis! Dan oleh karena kebingungannya, Tumenggung yang sudah tua ini bahkan lalu menyatakan bahwa siapa yang terpilih dan akhirnya berhasil merebut kembali puterinya dari tangan Saritama, ksatria ini akan dipungut mantu dan dijodohkan dengan Dewi Saraswati!

Setelah mengadakan pengumuman ini, Tumenggung Wiradigda memasuki kamarnya, disambut oleh isterinya yang cantik dan yang sedang menangis sedih memikirkan nasib anaknya.

“Rakanda tumenggung, bagaimanakah baiknya... ? Aduh, Saraswati anakku...“

Tumenggung Wiradigda menghela napas. “Akhirnya Cakrabuwana dapat juga membalas dendam, sungguhpun pembalasan dendam ini kurang tepat. Memang, sampai matipun Cakrabuwana akan selalu menyangka bahwa aku yang memfitnahnya! Cakrabuwana... sungguh besar rasa sakit hatimu padaku... dan semua ini hanya karena engkau, Mirah.”

Isterinya menangis makin sedih. Terbayanglah segala peristiwa dan pengalaman di waktu muda. Memang dulu dia telah mempunyai hubungan yang mesra dengan Cakrabuwana, akan tetapi akhirnya ia harus mengalah kepada pilihan ayahnya hingga ia dikawinkan dengan Wiradigda. Akan tetapi, dia tidak menyesal oleh karena ternyata kemudian bahwa Wiradigda adalah seorang yang baik dan suami yang bijak hingga hidupnya cukup bahagia.

Sungguh menyesal bahwa diantara Wiradigda dan Cakrabuwana terdapat dendam hati yang besar, sungguhpun mereka berdua tak pernah menyatakannya. Pada bulan-bulan pertama, Wiradigda yang telah menjadi suaminya itu seringkali menyatakan ketidaksenangan hatinya dan rasa cemburunya, akan tetapi lambat-laun, sikap inipun lenyap, apalagi setelah anak mereka Saraswati itu lahir.

Pada waktu itu, memang banyak terjadi pemberontakan dari para adipati dan tumenggung yang tidak merasa puas dengan pemerintah yang dipegang oleh Ratu Wanita, akan tetapi semua pemberontak itu dapat ditumpas oleh Patih Gajah Mada.

Akhirnya dengan mempergunakan lidahnya yang tajam dan hubungan yang baik dan erat dengan fihak keraton, seorang pejabat tinggi dapat memfitnah Cakrabuwana dan menuduhnya hendak memberontak pula. Kerajaan lalu mengirim bala-tentara dan Adipati Cakrabuwana beserta seluruh keluarganya di Pacet dihancurkan.

Dan celakanya, tentara penumpas pemberontakan ini sebelum menuju ke Pacet, terlebih dahulu berhenti dan bermalam di Tangen hingga tentu saja mudah menimbulkan persangkaan bahwa Wiradigda-lah yang menjadi biang keladi penumpasan itu!

Padahal pejabat tinggi yang telah memfitnah itu bukan lain orangnya adalah Adipati Tirtaganda sendiri! Ketika itu, Adipati Tirtaganda masih sangat muda oleh karena sebagai putera seorang pangeran ia merasa dikalahkan dalam kemajuan oleh Cakrabuwana, seorang pemuda keturunan rendah saja, timbul iri hatinya dan ia lalu menggunakan kedudukannya sebagai putera pangeran untuk memfitnah adipati itu!

Akan tetapi, hal ini hanya diketahui oleh Wiradigda seorang, yang dapat menduga dengan tepat, walaupun tidak berani menyatakan dengan mulut. Dan menurut anggapan Wiradigda, oleh karena hal itu telah terjadi dan tak dapat dicegah lagi maka ia lalu menutup mulut. Tak disangkanya sama sekali bahwa keturunan Adipati Cakrabuwana masih hidup dan kini tiba-tiba saja datang membalas dendam ayahnya kepada dia!

Demikianlah, dengan hati penuh penyesalan Tumenggung Wiradigda berdiam diri di dalam kamarnya dan ia telah mengambil keputusan tetap untuk membatalkan perjodohan puterinya dengan Adipati Tirtaganda yang menjadi biang keladi tersembunyi daripada segala peristiwa ini!

Cersil karya Kho Ping Satria Gunung Kidul

Pada keesokan harinya, pagi-pagi, benar di halaman tumenggung telah berkumpul banyak sekali ponggawa dan pemuda-pemuda yang hendak memasuki sayembara. Akan tetapi, kepala ponggawa yang telah mendapat perintah dan petunjuk Tumenggung Wiradigda, lalu mengadakan pemilihan lagi dan diantara berpuluh ponggawa dan satria yang hendak mengikuti sayembara ini, hanya ada dua belas orang yang ia pilih.

Tiba-tiba diantara para penonton yang banyak jumlahnya, keluarlah seorang yang cakap dan gagah. Pemuda ini menghadap kepala ponggawa dan berkata, “Perkenankanlah saya untuk mengikuti sayembara ini.”

Kepala ponggawa memandangnya dengan tajam. Ia melihat bahwa pemuda ini biarpun halus dan sopan-santun, namun memiliki tubuh yang padat dan sepasang mata yang bersinar ganjil dan tajam, maka ia dapat menduga bahwa satria ini tentulah bukan orang sembarangan.

“Siapa namamu, raden?” tanyanya.

“Saya adalah Jakalelana dari pesisir selatan,” jawab yang ditanya.

Kepala ponggawa maklum bahwa nama ini bukanlah nama aseli dan tentu pemuda ini ingin menyembunyikan keadaan dirinya, maka ia makin tertarik.

“Baiklah, mari kau ke sini, berkumpul dengan dua belas orang pengikut sayembara yang lain.”Dengan demikian, maka jumlah pengikut yang terpilih ada tiga belas orang.

Ketika Tumenggung Wiradigda keluar dari gedungnya, dengan girang ia melihat bahwa ketiga belas calon yang tepilih oleh kepala ponggawa adalah orang-orang muda yang gagah perkasa. Ia menyatakan kecocokan hatinya dan memberi tanda agar supaya pertandingan adu kesaktian segera dimulai untuk memilih seorang jago yang sakti dan yang akan menyertainya menghadapi Saritama!

Gong ditabuh keras dan semua penonton dipersilakan mundur untuk memberi tempat bagi para peserta. Cara adu kepandaian dan kesaktian yang dilakukan pada waktu itu ialah mengadu semua peserta supaya mereka berkelahi tanpa membekal senjata. Yang menang terakhir, dialah yang menjadi juara!

Atas isyarat kepala ponggawa, dua peserta maju ke dalam kalangan dan mereka segera bertempur. Keduanya memperlihatkan kepandaian masing-masing, pukul-memukul, tendang-menendang, banting-membanting, diikuti sorak-sorai para penonton. Demikianlah, dari dua belas orang peserta, yang menang ada enam orang, sedangkan Jakalelana oleh karena datangnya paling akhir dan merupakan angka ganjil, tidak mendapat lawan!

Kemudian enam orang pemenang itu lalu diadu kembali atas pilihan ponggawa dan dalam babak kedua inipun, Jakalelana tidak mendapat lawan oleh karena keenam pemenang itu telah menjadi tiga rombongan. Setelah petandingan selesai dan para pemenang kini tinggal tiga orang saja, maka pemuda itu nampaknya kurang puas dan tidak senang. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata kepada Tumenggung Wiradigda.

“Maafkan saya, Gusti Tumenggung. Oleh karena ketiga saudara ini telah berkelahi dua kali dan tentu mereka ini telah lelah, maka tidak adillah apabila saya harus menghadapi mereka seorang demi seorang. Saya semenjak tadi tak kebagian lawan dan saya belum bertempur satu kalipun, maka apabila Paduka mengizinkan biarlah sekarang mereka bertiga ini maju berbareng menghadapi hamba! Apabila hamba kalah biarlah ini dianggap bahwa saya tak berharga untuk menjadi pengikut Paduka menemui Saritama.”

Tumenggung Wiradigda tertarik sekali kepada pemuda yang tampan dan yang halus tutur katanya itu. “Hai, satria yang gagah dan tampan, siapakah namamu?”

“Hamba bernama Jakalelana, Gusti Tumenggung.”

Tumenggung Wiradigda tertawa. “Baiklah, untuk kali ini kau boleh menggunakan nama itu, akan tetapi apabila kau telah terpilih dan menang dalam sayembara ini, kau harus memberitahukan namamu yang sebetulnya.”

Pemuda itupun tersenyum. “Baik, Gusti Tumenggung. Apabila dewata memberkahi hamba hingga hamba menang dalam sayembara ini, pasti hamba akan memperkenalkan diri hamba sebenarnya.”

Tumenggung Wiradigda memberi isyarat dan pertandingan babak ketiga dipersiapkan. Semua penonton memandang gembira oleh karena kali ini tentu akan ada pertunjukan yang hebat menarik. Siapakah pemuda tampan yang begitu berani mati menantang ketiga pemenang itu untuk maju berbareng?Para ponggawa lalu minta supaya penonton mundur hingga kalangan menjadi lebih lebar oleh karena yang hendak bertanding kini adalah empat orang.

Ketiga pemenang itu menanti sambil duduk dan dada mereka yang bidang itu berkilat karena peluh. Ketiganya masih muda dan kesemuanya bertubuh tinggi besar. Akan tetapi, ketika mereka ini mendengar usul permintaan pemuda yang bertubuh tak berapa besar dan nampaknya tak berapa kuat itu, mereka saling pandang dan tersenyum mengejek. Setelah mendapat isyarat dari kepala ponggawa maka ketiga orang pemenang itu berdiri dan bersiap di hadapan Jakalelana.

Pemuda ini dengan tenang lalu menghampiri mereka. Para penonton tak ada yang mengeluarkan suara hingga keadaan menjadi sunyi seakan-akan di situ tidak terdapat seorangpun! Semua mata kini memandang kepada Jakalelana dengan penuh kekhawatiran. Memang kalau dipandang amat ganjil, karena Jakalelana yang bertubuh tak besar dan yang nampaknya lemah-lembut itu berdiri menghadapi tiga orang lawan yang demikian kuat dan gagahnya!

Tiba-tiba saja datangnya, bagaikan mendapat aba-aba, ketiga orang pemenang itu lalu maju menubruk dan menyerang. Agaknya mereka hendak merobohkan Jakalelana dalam satu gerakan saja. Serangan mereka ini sangat dahsyat, bagaikan serangan ombak samudra! Para penonton manahan napas dan memandang ke arah Jakalelana dengan kuatir akan tetapi tiba-tiba mereka menjadi heran tercengang oleh karena bagaikan seekor burung srikatan yang gesit sekali, tubuh Jakalelana telah melayang di atas melewati kepala ketiga lawannya dan kini berada di belakang mereka sambil bertolak pinggang!

Kini marahlah ketiga orang itu. Sambil menggeram mereka maju menyerbu lagi sekuat tenaga. Akan tetapi lagi-lagi Jakalelana memperlihatkan kegesitannya. Sambil melompat ke kanan kiri ia berhasil mengelakkan semua serangan dan kadang-kadang menangkis dengan lengan tangannya. Tiap kali melompat, tak pernah lupa ia memberi tepukan atau colekan dengan tangan dan kakinya hingga semua penonton yang melihat betapa ketiga orang itu dipermainkan oleh Jakalelana, tertawa geli dan bersorak-sorak makin hebat.

Juga Tumenggung Wiradigda yang menonton pertandingan ini, diam-diam terkejut sekali. Hebat sekali pemuda ini, pikirnya. Bahkan ia akui bahwa ia sendiri tak sanggup mengalahkan pemuda itu dalam ilmu perkelahian. Alangkah gagah, cepat, tangkas, dan cekatan. Tiada ubahnya sebagai seekor burung garuda menyambar-nyambar lawannya. Ah, pantas benar pemuda ini menjadi suami Saraswati, pikir Tumenggung Wiradigda. Sama-sama tampan sama-sama muda.

Diam-diam hatinya menjadi girang dan timbul harapannya. Dengan pemuda seperti ini sebagai kawan, mustahil ia takkan dapat merebut kembali anaknya dari tangan Saritama. Jakalelana merasa sudah cukup mempermainkan ketiga lawannya. Tiba-tiba ia mempercepat gerakannya dan begitu kaki tangannya bergerak, maka bergelimpanganlah tubuh ketiga orang lawannya tanpa sanggup bangun kembali. Kemenangan yang mutlak ini disambut dengan gegap-gempita oleh para penonton.

“Hai, Jakalelana. Dengan disaksikan oleh semua penonton dan semua ponggawa, kau kunyatakan sebagai pemenang dalam sayembara ini!” Tumenggung Wiradigda berseru keras dan kata-katanya ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penonton.“Sekarang, sebelum kau menyertai aku untuk menghadapi musuh, kau harus memenuhi janjimu tadi dan perkenalkan dirimu sebenarnya. Siapakah namamu dan dari mana asalmu?”

Pertanyaan ini disambut oleh para penonton dengan penuh perhatian hingga keadaan menjadi sunyi sepi, karena semua penonton dan bahkan para ponggawa dan para pengikut sayembara ingin sekali mendengar siapa adanya pemuda gagah perkasa ini. Jakalelana tersenyum dan bangkit berdiri dengan perlahan. Ia memandang ke sekeliling, kemudian menatap wajah Tumenggung Wiradigda. Ketika berkata-kata suaranya terdengar nyaring sekali dan bagi telinga semua pendengarnya, ucapan dan jawabannya merupakan suara guntur di siang hari!

“Tumenggung Wiradigda dan semua orang Tangen, dengarlah baik-baik! Kalian semua hendak mengenal aku? Nah, pasanglah telingamu lebar-lebar karena aku adalah putera dari Adipati Cakrabuwana dan namaku ialah Saritama!”

Pucatlah wajah Tumenggung Wiradigda mendengar ini. Tumenggung sudah tua ini bangkit berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

“Kalian mendengar sendiri betapa Tumenggung Wiradigda telah memilih Saritama sebagai mantu, maka apa perlunya mengejar-ngejar Saritama? Ha, ha, ha!” Saritama tertawa mengejek.

“Keparat, jangan kau mempermainkan orang!” Tumenggung Wiradigda bangkit berdiri dengan marah sekali. Mereka siap dengan senjata di tangan dan hendak menyerbu pemuda itu.

Akan tetapi Saritama mempergunakan kesaktiannya. Siapa saja berani datang dekat tentu roboh karena pukulan atau tendangannya. Ketika Tumenggung Wiradigda sendiri datang menyerang, Saritama melompat pergi jauh dan pemuda itu lalu melarikan diri sambil berkata,

“Wiradigda! Tantanganku masih berlaku, tapi tidak di sini! Kalau kau memang jantan, datanglah ke Tritis untuk membuat perhitungan!”

“Baik, Saritama, pemuda sombong! Kau kira aku takut padamu?”

Tumenggung Wiradigda lalu lari memasuki rumahnya dan sebentar kemudian ia berlari keluar sambil membawa tombak pusakanya yang ampuh. Ketika para ponggawa beramai-ramai hendak ikut mengejar, tumenggung yang tua itu berhenti dan membentak,

“Kalian hendak membuat malu aku? Hayo mundur dan kembali! Aku sendiri masih sanggup menghadapi Saritama!”

Semua ponggawa mundur ketakutan, sedangkan Tumenggung Wiradigda dengan muka merah lalu melanjutkan perjalanannya ke Tritis! Ketika ia tiba di sebuah hutan di mana kemarin dulu Saritama dan Saraswati bercakap-cakap, tiba-tiba muncul beberapa belas orang dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa yang muncul ini tidak lain adalah Adipati Tirtaganda dan beberapa orang ponggawanya!

“Tirtaganda, mengapa kau menghalangi perjalananku?” tanya Tumenggung Wiradigda yang tiba-tiba menjadi marah melihat orang ini oleh karena teringat bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi permusuhannya dengan Saritama.

Adipati Tirtaganda tersenyum mengejek. “Tumennggung Wiradigda! Kau tak patut menjadi seorang tumenggung oleh karena kau telah melanggar janjimu sendiri. Aku mendegar bahwa kau mengadakan sayembara dan memilih mantu, betulkah ini?”

“Betul!”

“Bukankah kau sudah berjanji hendak menjodohkan puterimu dengan aku?”

“Tirtaganda, jangan kau menambah-nambahi sendiri. Siapa yang berjanji? Kita baru mengadakan perundingan akan tetapi perkara itu belum jadi dan belum masak. Kau maklum bahwa puteriku telah diculik oleh putera Adipati Cakrabuwana yang dulu kau khianati! Kaulah biang keladi segala malapetaka ini. Kau yang memfitnah Cakrabuwana, akan tetapi sekarang puteranya membalasnya kepadaku! Seharusnya kau sebagai laki-laki harus berani bertanggung jawab dan pergi menghadapi Saritama, oleh karena kaulah musuh besarnya, bukan aku! Aku hanyalah menjadi kurban kesalah pahaman yang agaknya timbul semenjak Cakrabuwana masih hidup! Aku hanya akan menjodohkan puteriku apabila dia suka menerimanya. Kalau kau dapat merebut kembali Saraswati dari tangan Saritama, dan kalau anakku sudi menjadi isterimu, aku orang tua takkan melarangnya!”

“Ha, ha, ha! Wiradigda, kau memutar-mutar lidah bagaikan wanita! Baik kau, maupun Saritama hari ini tentu mampus dalam tanganku, sedangkan Saraswati, mau tidak mau harus menjadi isteriku!”

“Bangsat besar, majulah kalau kau hendak mengenal tombak pusaka Tumenggung Wiradigda!” kata tumenggung tua itu sambil mengacung-acungkan tombaknya.

“Maju, serbu!” Tirtaganda memberi perintah, dan belasan orang itu lalu maju mengurung. Tumenggung Wiradigda hendak mengamuk, akan tetapi jumlah lawannya cukup banyak dan cukup tangguh, maka tak lama kemudian ia terdesak hebat dan keselamatannya terancam!

Pada saat itu, dari balik sebatang pohon besar keluarlah seorang pemuda yang tidak lain ialah Saritama sendiri! Pemuda ini telah mendengar semua percakapan tadi dan timbul keraguan dalam hatinya. Benarkah bahwa Tumenggung Wiradigda bukan orang yang memfitnah ayahnya? Akan tetapi, oleh karena mendengar bahwa orang yang mengeroyok Wiradigda adalah Tirtaganda, bandot tua yang dibencinya, Saritama lalu melompat maju dan tanpa berkata apa-apa ia lalu menyerbu membela Tumenggung Wiradigda! Sepak-terjang pemuda ini hebat sekali hingga dalam sekejap saja beberapa orang ponggawa kena dirobohkan.

“He, pemuda, siapakah kau?” bentak Tirtaganda.

“Bangsat dan bandot tua tak tahu malu! Dengarlah, aku adalah Saritama putera Cakrabuwana! Jadi kau pun memfitnah mendiang ayahku? Kalau begitu, kematianlah bagianmu!”

Sambil berkata demikian, Saritama menyerang hebat dan sebuah pukulan yang disertai Aji Bromojati tepat mampir di pangkal telinga Tirtaganda! Adipati itu memekik ngeri dan roboh dengan tubuh hangus dan tewas seketika itu juga! Melihat hal ini para kaki tangannya lalu lari ketakutan!

Saritama lalu menghadapi Wiradigda dengan mata mengancam, akan tetapi Tumenggung itu sama sekali tidak takut.

“Kau juga hendak membunuhku? Boleh, cobalah kalau kau dapat!” Tumenggung itu menantang dengan suara keras. Akan tetapi, oleh karena telah mendengar percakapan tadi, hati pemuda itu menjadi ragu-ragu.

“Aku akan menangkapmu!”

Ia lalu menyerbu secepat kilat. Wiradigda mengangkat tombaknya dan menusuk ke arah dada Saritama. Akan tetapi pemuda itu mengelak ke samping dan dari samping bergerak hendak merampas tombak. Tumenggung Wiradigda bukan orang lemah, maka tak mudah saja bagi Saritama untuk merampas tombak itu.

Demikianlah, pemuda dan orang tua ini bertempur lama oleh karena Saritama tak hendak membunuhnya, hanya hendak menawannya saja. Kalau pemuda itu mau menjatuhkan tangan jahat, pasti Wiradigda takkan kuat menahan. Akhirnya, karena tenaga Wiradigda yang sudah tua itu telah banyak berkurang dan ia telah merasa lelah sekali sebuah tendangan Saritama tepat mengenai pergelangan tangannya hingga tombak yang dipegangnya terlempar jauh.

Sebelum Tumenggung Wiradigda sempat mengelak, Saritama telah menyergapnya dengan kedua lengan tangannya yang kuat! Pemuda itu lalu mempergunakan sarung tumenggung itu sendiri untuk mengikat kedua tangan Tumenggung Wiradigda ke belakang. Kemudian ia pungut tombak tumenggung itu dan membentak,

“Hayo jalan!”

“Saritama, kenapa aku tidak kau bunuh saja? Tak perlu aku dikasihani, tak perlu aku menyangkal dan membela diri menyatakan kebersihanku. Kalau kau anggap aku sebagai pengkhianat ayahmu, bunuh saja. Wiradigda tak takut mati!”

“Bunuh kau...? Mudah, itu perkara nanti. Hayo jalan!”

Dengan ujung tombaknya Saritama memaksa orang tua itu berjalan maju menuju ke Tritis. Ketika mereka tiba di dusun Tritis yang kosong sepi, dari dalam sebuah pondok bobrok keluarlah seorang gadis cantik jelita yang segera berlari menyambut mereka.

“Ayah...!”

“Saraswati...! Kau selamat, nak? Terima kasih, Dewa!”

Saraswati ketika melihat ayahnya dibelenggu, menjadi marah sekali dan sambil mengangkat dadanya ia menghadapi Saritama. Saritama hanya menundukkan kepala dengan bingung. Ia hampir tak dengar ucapan Saraswati oleh karena pada saat itu pikirannya bekerja keras dan diputar-putar memikirkan tentang percakapan antara Wiradigda dan Tirtaganda tadi. Ia menyesal mengapa ia telah menewaskannya, kalau tidak, ia dapat memaksa adipati itu untuk memberi keterangan dan penjelasan.

Melihat betapa Saritama tunduk saja dan agaknya takut kepada anaknya, Wiradigda memandang dengan heran sekali, sedangkan Saraswati lalu membuka belenggu ayahnya.

“Saritama, kau telah melakukan kekacauan di Tangen, telah menculik aku, dan kini berani pula menangkap ayahku. Tahukah kau bahwa kau telah melakukan pelanggaran besar sekali? Kalau Kerajaan Majapahit mengetahui hal ini, kau bisa dianggap sebagai seorang pemberontak!”

“Dia bahkan telah membunuh Adipati Tirtaganda!” kata Tumenggung Wiradigda.

Mata Saraswati yang lebar dan indah itu terbelalak memandang kepada Saritama. Kegirangan besar memancar keluar dari sepasang mata itu.

“Apa? Bandot tua itu telah kau tewaskan? Ah, Saritama...” tapi gadis itu segera mengubah suaranya ketika berkata. “Kalau begitu dosamu lebih besar lagi!”

Saritama berkata, “Saraswati, terserah kepadamulah! Aku... aku bingung sekali. Sebetulnya saja paman Tumenggung Wiradigda, apakah yang telah terjadi dengan mendiang ayahku? Tadi aku mendengar percakapanmu dengan Tirtaganda. Bagaimanakah terjadinya pemfitnahan terhadap keluargaku itu sesungguhnya?”

Maka Tumenggung Wiradigda lalu menceritakan semua peristiwa dahulu itu dengan jelas. Saraswati yang baru kali ini mendengar bahwa ibunya adalah bekas kekasih ayah Saritama, mendengarkan dengan hati tertarik pula. Saritama sendiri ketika mendengar betapa ia telah salah sangka dan menjatuhkan pembalasan kepada orang yang tidak berdosa, segera menundukkan muka dengan menyesal dan malu.

Akan tetapi, ia masih merasa ragu-ragu, maka ia berkata, “Paman Tumenggung, kalau memang Tirtaganda yang berkhianat dan kau tidak berbuat apa-apa terhadap mendiang ayahku maka aku telah berlaku sangat keji dengan menculik dinda Saraswati dan paman sendiri. Akan tetapi, keterangan itu kudapat dari Paman Panembahan Sidik Panunggal, mungkinkah beliau salah sangka pula?”

“Apa? Sidik Panunggal masih hidup? Di manakah dia sekarang?” Wajah Tumenggung Wiradigda berseri oleh karena Panembahan ini dulu adalah kawan baiknya.

“Aku berada di sini, Wiradigda! Dan kau Saritama, aku tak pernah salah sangka!”

Tiba-tiba saja, entah darimana datanganya, Panembahan yang sakti itu telah muncul di situ sambil tersenyum. “Saritama, memang semua yang diceritakan oleh Tumenggung Wiradigda tadi benar belaka. Aku pun telah dapat menduga hal ini, akan tetapi ketahuilah bahwa semua orang, kecuali Tumenggung Wiradigda dan Adipati Tirtaganda, semua menganggap bahwa biang keladi pembasmian Tritis adalah Tumenggung Wiradigda. Aku tidak bisa meyalahi hukum karma, dan aku tidak mau membantah pendapat umum. Aku sengaja menceritakan kepadamu menurut pandangan umum dan adalah menjadi kewajibanmu sendiri untuk menyelidiki dan membongkar rahasia ini. Akan tetapi, sebelum aku menuturkan dengan jelas, kau telah tak tahan dan segera pergi terdorong hawa nafsumu. Untung sekali, Dewata berlaku murah dan aku tidak salah tangan Saritama. Sekarang kau harus minta maaf kepada Tumenggung Wiradigda.”

Saritama segera maju berlutut dan menyembah kepada Tumenggung itu yang menerimanya dengan senyum lega.

“Wiradigda, selanjutnya terserah kepadamu. Aku hendak segera kembali ke Gunung Kidul. Saritama kelak bila kau mempunyai kesempatan, ajaklah isterimu mengunjungi pondokku di Gunung Kidul!”

Saritama heran, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Panembahan Sidik Panunggal sudah berkelebat pergi!Tumenggung Wiradigda dapat menangkap maksud perkataan pendeta itu, maka ia hanya tersenyum saja. Hatinya girang sekali dan diam-diam ia mengucap syukur kepada Dewata Yang Maha Agung.

“Ayah, bagaimana dengan soal ini? Kita harus membelenggunya untuk membalas perlakuannya terhadapmu tadi!” kata Saraswati kepada ayahnya. “Kita tidak berdosa akan tetapi telah mendapat banyak hinaan dan gangguan dari Saritama, maka apakah kita takkan membalas?”

Tumenggung Wiradigda tersenyum. “Kau mau membelenggunya? Belenggulah, Saraswati!”

Saritama juga tersenyum. Hati pemuda ini sekarang merasa girang luar biasa mendapatkan keterangan dari Panembahan Sidik Panunggal bahwa Wiradigda benar-benar tidak berdosa! Ia memandang kepada Saraswati dengan wajah berseri.

“Betul kata Rama Tumenggung, Wati. Belenggulah aku!”

Kedua mata dara itu terbelalak heran dan kemarahan menjalar di mukanya. “Kau... kau kurang ajar...!” katanya gemas sekali. “Mengapa kau berani mati menyebut rama (ayah) kepada ayahku?

“Ayahmu telah menerimaku sebagai mantunya, mengapa aku tidak boleh menyebutnya rama?” jawab Saritama yang tetap tersenyum.

“Ayah...?” hanya demikian Saraswati dapat bertanya sambil memandang wajah ayahnya.

Tumenggung Wiradigda mengangguk-anggukkan kepala. “Memang benar! Aku telah menggunakan kau sebagai hadiah sayembara ketika kau terculik dan yang memenangkan sayembara itu adalah Saritama!”

“Kau... kau...!” Saraswati menoleh kepada Saritama dan hendak memaki lagi, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Saritama, maka menjalarlah warna merah pada wajahnya sampai ke telinga.

“Saraswati, mari sini, ikatlah tanganku! Belenggulah aku, aku menyerah menjadi tawananmu,” Saritama menggoda.

“Kau... kau kurang ajar!” Saraswati lalu cemberut dan berjalan cepat menyusul ayahnya yang telah mendahului mereka pergi menuju ke Tangen.

Saritama mengejar dan di sepanjang jalan tidak hentinya Saritama menggoda Saraswati hingga gadis ini menjadi malu dan... girang.

Setelah berjalan jauh dan merasa lelah dan sakit telapak kakinya menginjak-injak batu dan kerikil tajam, kembali Saritama menggunakan kekuatan lengannya memondong tubuh gadis kekasihnya itu. Dan kini Saraswati tidak meronta-ronta seperti dulu lagi!

T A M A T