Satria Gunung Kidul Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Satria Gunung Kidul

Karya Kho Ping Hoo

JILID 02

SANG PRABU Hayam Wuruk menghela napas panjang karena merasa berduka dan kecewa bahwa persoalan menjadi demikian panas dan meruncing. Akan tetapi, sebagai seorang raja, iapun harus mempertahankan kehormatan kerajaannya. Dimintanya agar Patih Gajah Mada mencoba membereskan persoalan ini dengan jalan damai dan membujuk Sang Prabu Dewata untuk berdamai dan sudi mengalah, Patih Gajah Mada setelah menyatakan kesanggupannya, lalu mengerahkan sejumlah perajurit yang besar untuk pergi ke Bubat.

Sebetulnya Patih Gajah Mada juga ingin membereskan kesalah-pahaman ini dengan cara damai. Akan tetapi, hal ini telah diketahui pula oleh Wijayarajasa, maka Raja Wengker ini lalu mengutus beberapa puluh orang suruhan, yang ini terdiri dari orang-orang jahat yang sanggup menjalankan perintah apa saja asal mendapat upah besar. Begitu tiba di Bubat, mereka menyerang orang-orang Pajajaran dan setelah membunuh beberapa orang yang tak berjaga-jaga, mereka lalu melarikan diri.

Ributlah keadaan di Bubat dan semua orang Pajajaran mendengar bahwa beberapa kawan dari Pajajaran telah terbunuh oleh orang-orang Majapahit! Maka memuncaklah kemarahan mereka hingga ketika barisan Gajah Mada tiba, tanpa banyak cakap lagi barisan Pajajaran lalu menyerang! Dan segeralah terjadi perang tanding yang hebat dan dahsyat di Bubat!

Peperangan ini terkenal dengan sebutan Perang Bubat dan sampai lama menjadi kenangan orang. Darah membanjir di lapangan Buabat yang luas. Rumput yang tadinya tumbuh segar, menjadi kering dan mati kena injak kaki orang dan kuda. Warna lapangan yang tadinya hijau segar menyedapkan mata, kini berubah merah oleh darah, darah perajurit-perajurit Majapahit dan Pajajaran!

Keris dan tombak berkilauan mengamuk menembus perut dan dada. Pekik dan teriak menggegap-gempita dan debu mengepul ke angkasa membuat sinar matahari menjadi pucat. Kehebatan peperangan di lapangan Bubat ini tiada kalah hebatnya dengan peperangan maha besar yang disebut Bharata-yuda di lapangan Kurusetra!

Ribuan perajurit gagah-perkasa tewas di ujung senjata. Panglima-panglima kedua fihak yang muda, tampan, dan perkasa, gugur bagaikan ratna dalam perang itu! Sakri mengamuk dengan hebatnya bagaikan seekor banteng sakti mencium darah kawannya! Tubuhnya penuh dengan darah lawan. Berpuluh-puluh orang tewas dalam tangannya. Setiap kali tangan kanannya yang memegang keris bergerak, robohlah seorang perajurit Majapahit, dan tiap kali kepalan tangan kirinya diayun, pecahlah kepala seorang manusia yang menghalang di depannya!

Perajurit-perajurit Majapahit menjadi agak kocar-kacir menjauhi sepak-terjang pemuda yang luar biasa ini, bagaikan serombongan semut didekati api.Para perajurit dan panglima Pajajaran karena merasa telah jauh dari negaranya, berperang mati-matian dan nekat hingga tak terhitung banyaknya perajurit Majapahit yang tewas.

Melihat kehebatan sepak-terjangnya perajurit-perajurit dan panglima-panglima Pajajaran, Patih Gajah Mada menjadi marah. Ia mendatangkan balabantuan yang besar jumlahnya, dan diantara balabantuan yang tiba, nampak seorang pemuda yang berpakaian sebagai seorang pemuda petani sederhana. Menurut laporan pemimpin barisan yang baru tiba, pemuda ini menyatakan hendak ikut membela Majapahit dan ikut menghalau musuh. Gajah Mada lalu memanggilnya menghadap.

“Hai, anak muda yang muda rupawan. Siapakah kau dan mengapa kau yang semuda ini hendak ikut pula beryuda?”

Dengan suaranya yang halus dan tutur katanya yang sederhana, pemuda itu menyembah dan berkata, “Hamba bernama Saritama dari Gunung Kidul, Gusti Patih. Dalam perantauan hamba, hamba mendengar bahwa seorang panglima Pajajaran yang bernama Sakri amat digdaya dan sukar dilawan. Maka apablia Gusti Patih memberi perkenan, hamba hendak mencoba melawan panglima Pajajaran yang sakti itu.”

Patih Gajah Mada terkejut. Memang iapun telah menyaksikan sendiri kesaktian Sakri pahlawan Pajajaran itu dan telah mengambil keputusan untuk menghadapinya sendiri oleh karena anak buahnya tidak kuat menghadapi amukan Sakri. Akan tetapi, tiba-tiba seorang pemuda dusun telah mengajukan diri hendak menandingi Sakri!

“Cukup kuatkah pundakmu memikul beban ini?” tanyanya dan Patih Gajah Mada melangkah maju mendekati pemuda yang masih duduk bersila di depannya itu.

Ia gunakan kedua tangan untuk menekan kedua bahu Saritama dan pemuda itu maklum bahwa Sang Patih sedang mencoba kesaktiannya, karena terasa olehnya betapa sepasang tangan sang Patih itu bagaikan dua buah batu besar yang beratnya luar biasa menekan dan menindih pundaknya!

Saritama tersenyum dan berkata, ”Hamba rasa beban ini tak cukup berat, Gusti!” Dan diam-diam ia mengerahkan tenaganya ke arah dua pundak yang tertekan.

Patih Gajah Mada merasa terkejut dan berbareng kagum ketika merasa, betapa kedua pundak pemuda itu tiba-tiba menjadi kaku keras bagaikan baja dan dapat menahan tekanan kedua tangannya dengan mudah! Tertawalah Sang Patih.

“Bagus, Saritama. Kau benar-benar pantas disebut Pendekar Gunung Kidul. Maju dan lawanlah Sakri, aku membekali doa restu padamu.”

Saritama bertubuh sedang dan berkulit putih kuning. Wajahnya tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar gemilang. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan dadanya terbuka telanjang. Telinga kirinya digantungi sebuah anting-anting perak yang mengeluarkan sinar aneh. Senjatanya hanya sebilah keris kecil luk tiga yang diselipkan dalam sarung keris di pinggangnya. Gerak gayanya perlahan dan lemah lembut, akan tetapi tindakan kakinya cepat sekali ketika ia maju kemedan perang.

Para perajurit yang melihat majunya seorang pemuda bertelanjang dada tanpa memegang senjatapun di tangan, merasa sangat heran dan untuk sejenak perajurit-perajurit Pajajaran menjadi ragu-ragu. Mereka merasa tidak tega menyerang seorang pemuda yang demikian tampan dan yang maju kemedan pertempuran dengan senyum manis di bibir.

Tiba-tiba seorang perajurit Pajajaran maju dengan tombak di tangan. Ia tidak perduli dengan sikap pemuda itu. Siapapun juga orangnya yang sudah maju kemedan perang dan berada di fihak Majapahit, berarti musuh mereka yang harus dibasmi!

Akan tetapi Saritama menghadapi perajurit itu dengan tenang. Ketika tombak itu meluncur hendak ditusukkan ke arah dadanya, pemuda ini perlahan sekali memiringkan tubuh dan sekali tangannya bergerak miring, tombak itu patah!

“Sabarlah, aku tak hendak bertempur dengan kalian!” katanya. “Tunjukkanlah di mana adanya Sakri pahlawan besarmu, karena hanya dengan dia saja aku mau bertemu!”

Masih ada dua tiga orang perajurit yang merasa gemas dan menyerang, akan tetapi dengan cara sederhana dan mudah, semua senjata yang menyerangnya dapat dibikin patah! Anehnya, sedikitpun pemuda itu tidak mau membalas serangan atau menyakiti lawannya!

Demikianlah, Saritama terus maju mencari-cari Sakri. Akhirnya, ia bertemu juga dengan Sakri yang sedang mengamuk dan yang kini berdiri dengan tangan kanan memegang keris dan tangan kiri bertolak pinggang karena sudah tidak ada lawan yang berani melawannya lagi! Gagah dan hebat bagaikan Raden Abimanyu mengamuk di lapangan Kurusetra.Ketika melihat seorang pemuda keluar dari fihak Majapahit, Sakri segera lari menghampiri dengan keris di tangan. Akan tetapi, setelah melihat orangnya yang datang, tiba-tiba tubuh Sakri terasa lemas, dadanya berdebar dan tangan yang memegang keris menggigil.

“Dimas Saritama...!”

“Kakang Sakri!”

Mereka berdua hanya dapat mengeluarkan kata-kata ini dan berdiri berhadapan saling pandang. Terharu, kecewa, girang, dan duka bercampur-aduk di dalam hati masing-masing, membuat mereka berdua tak kuasa berkata-kata. Tanpa disadari Sakri memasukkan kerisnya kembali ke dalam sarung keris.

Akhirnya Saritama yang lebih dulu memecah kesunyian yang menyelubungi mereka berdua, “Kangmas, kangmas Sakri, kau... kau telah menjadi seorang pengkhianat?”

Sakri terkejut mendengar ini. Tadinya ia telah ingin menubruk, memeluk dan menciumi adiknya yang terkasih ini, akan tetapi oleh karena mereka bertemu dalam keadaan bertentangan, ia tidak dapat melakukan hal ini. Pada saat itu, Saritama adalah seorang musuh, musuh Pajajaran yang berarti musuhnya pula!

“Tidak, Saritama!” jawabnya, “aku bukan seorang pengkhianat!”

“Kau tidak merasa menjadi seorang pengkhianat, akan tetapi kau telah melawan Majapahit. Kalau begitu, apakah selain menjadi seorang pengkhianat, kangmas Sakri juga telah berubah menjadi seorang pengecut yang tidak berani mengakui dosa sendiri?”

“Saritama! Kau adikku yang kucinta, janganlah mulutmu begitu kejam menjatuhkan fitnah keji terhadap kakakmu sendiri! Kalau bukan kau yang mengucapkan kata-kata ini pasti telah kubinasakan kau!”

“Sakri! Pada saat ini janganlah kau anggap aku sebagai seorang adik. Kalau kau hendak membinasakan aku pula, lakukanlah, wahai manusia sesat dan gelap mata! Hendak kulihat sampai di mana kekejamanmu.”

“Saritama,” kata Sakri dengan hati perih, “aku bukan seorang pengkhianat, juga bukan seorang pengecut seperti yang kau duga. Aku sadar dan yakin bahwa perjuanganku ini suci dan benar. Ketahuilah, aku seorang panglima Pajajaran, seorang hamba Pajajaran yang telah lama bersuita di depan Sang Ratu Dewata dan yang telah banyak menerima budi Kerajaan Pajajaran. Aku telah bersumpah untuk setia dan membela Pajajaran sampai titik darahku yang penghabisan, yang memang sudah selayaknya menjadi cita-cita seorang satria utama! Dengarlah, wahai anak muda, kalau aku melanggar sumpah dan kesetiaanku terhadap kerajaan di mana aku menghambakan diri dan aku tidak menghancurkan fihak Majapahit yang telah menjadi musuh Pajajaran yang hendak menjaga kehormatan, bukankah aku menjadi seorang pengkhianat dan pengecut sebesar-besarnya di dunia ini?”

“Tapi lawanmu adalah bangsa dan darah dagingmu sendiri!” bantah Saritama.“

Di dalam yuda, tidak ada hubungan apa-apa, yang ada hanyalah lawan dan kawan. Siapa saja adanya dia yang berdiri di fihak musuh, dialah lawan yang harus dimusnahkan. Cita-cita seorang perajurit utama hanya tunggal, yaitu membasmi musuh dan membela negara serta taat kepada perintah yang menjadi junjungan. Aku melakukan semua ini dengan penuh kesadaran. Saritama, perjuanganku suci dan tanpa pamrih, karena aku hanyalah menunaikan tugasku sebagai seorang perajurit. Kalau kau bukan perajurit Majapahit, menyingkirlah Saritama, dan jangan kau menghalangi perjuanganku yang suci. Kelak, kalau aku tidak terbinasa di ujung senjata lawan, akan kuceritakan kepadamu tentang semua ini.”

Saritama tersenyum. “Sakri, kau tenggelam dalam kesombonganmu sendiri! Kau kira bahwa seluruh perajurit yang bertempur mengadu tenaga ini hanya boneka-boneka belaka? Bahwa hanya kau seorang yang memiliki jiwa satria utama? Ketahuilah, wahai panglima Pajajaran yang gagah perkasa, bahwa aku Saritama juga seorang perajurit Majapahit. Majulah, karena akulah lawanmu!”

“Duh Jagat Dewa Batara!” Sakri mengeluh, “mengapa aku harus menjatuhkan tanganku kepada adikku sendiri?”

“Sakri, ingatlah akan kata-katamu tadi, kita perajurit sama perajurit. Terima kasih atas pelajaranmu tadi yang membuat hatiku merasa lebih lapang untuk mengadu kerasnya tulang tebalnya kulit denganmu. Mengapa ragu-ragu?”

“Aduh, adikku Saritama ... Kau yang telah lama kurindukan! Tak ada jalan lainkah yang dapat kita ambil? Aku tidak tega menjatuhkan tanganku di atas kepalamu yang kukasihi, Saritama ... kasihanilah kakakmu dan mundurlah.”

“Manusia lemah, mana sifat satria yang kau sombongkan tadi?”

Sambil berkata demikian, Saritama melangkah maju dan menyerang dengan pukulan tangannya. Sakri mengelak lemah, akan tetapi Saritama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan gerakan cepat itu sudah menyusul dengan pukulan kedua hingga dada Sakri kena pukul dan panglima itu jatuh tersungkur!

“Sakri bangunlah! Mari kita bertempur seperti perajurit-perajurit sejati!” Saritama membentak marah karena gemas melihat betapa lawannya itu tidak membalas.

Mendengar ucapan ini dan merasa betapa pukulan Saritama kuat dan berat, bangkitlah semangat Sakri. Serentak ia melompat berdiri dan menggeram keras, “Baiklah, Saritama. Mari kau pertahankan serbuan seorang satria Pajajaran!”

Maka ia lalu menyerang dengan hebatnya. Kedua teruna remaja yang sama tampan sama gagah itu, kakak beradik yang setelah lama berpisah kini bertemu dimedan yuda menjadi lawan, berkelahi mati-matian!Keduanya sama kuat, sama cepat, dan sama digdaya. Pukul-memukul, tendang-menendang, hempas-menghempas hingga debu mengebul dari tanah yang mereka pijak.

Perkelahian ini demikian hebat dan seru, sehingga para perajurit Majapahit dan Pajajaran yang sedang bertempur di dekat tempat kedua kakak-beradik ini beryuda, menghentikan pertempuran mereka dan menonton perkelahian ini dengan kagum!

Sakri dan Saritama bertempur bagaikan dua ekor harimau berebut kelinci. Sepak-terjang Sakri bagaikan Gatut Kaca yang menyambar-nyambar dengan hebatnya, kuat dan cepat gerakannya. Sedangkan Saritama yang lebih halus gerak-geriknya itu bagaikan Raden Angkawijaya yang biarpun bergerak lemah-lembut, akan tetapi selalu tepat cekatan. Tak banyak bergerak dalam mengelak sebuah serangan, dan setiap pukulan yang dilancarkan, biarpun kelihatannya dilakukan dengan perlahan, namun mengandung tenaga yang cukup besar untuk menghancurkan kepala seekor banteng!

Pertempuran itu berjalan seru dan lama hingga para perajurit kedua fihak bersorak-sorak membela jago masing-masing. Baik Sakri, maupun Saritama keduanya merasa betapa berat dan kuat orang yang menjadi lawannya. Sakri diam-diam merasa kagum dan girang melihat kehebatan adiknya, akan tetapi oleh karena pada saat itu adiknya menjadi seorang Majapahit, terpaksa harus dibinasakan!

Sakri menggertak gigi untuk menguatkan hatinya, kemudian ia mencari kesempatan. Ketika kesempatan yang dinanti-nanti itu tiba, cepat bagaikan petir menyambar ia mengirim pukulan tangan kanan yang disertai Aji Kelabang Kencana yang bukan main dahsyatnya! Pukulan sakti ini tepat mengenai pangkal telinga Saritama dan tubuh Saritama terpental jauh lalu jatuh di atas tanah tanpa daya!

Kalau saja yang terkena pukulan itu bukan Saritama, Satria Gunung Kidul yang telah digembleng secara hebat oleh ayahnya, pasti akan tewas di saat itu juga. Akan tetapi, Aji Kelabang Kencana mempunyai kesaktian luar biasa hingga biarpun tidak tewas, namun tubuh Saritama telah menjadi bengkak-bengkak dan matang biru! Pemuda ini merangkak bangun dan mukanya yang tampan kini telah menjadi tidak karuan macamnya, bengkak-bengkak hingga kedua matanya hampir tak nampak lagi. Bukan main rasa sakit yang diderita oleh Saritama, akan tetapi satria ini menguatkan tubuh dan hatinya dan hanya sedikit keluhan terdengar dari mulutnya yang bengkak-bengkak itu.

“Aduh, Rama panembahan, tak kusangka Saritama akan tewas dalam kakangmas Sakri sendiri...” Kemudian ia merangkak bangun dan berseru keras kepada Sakri. “Panglima Pajajaran, janganlah berlaku kepalang-tanggung, majulah dan padamkanlah apiku kalau kau memang seorang satria!”

Semenjak ia memukul Saritama dengan Aji Kelabang Kencana dan melihat betapa adinda yang dikasihinya jatuh berguling dengan tubuh dan muka bengkak-bengkak mengerikan, lenyaplah seketika itu juga semangat bertempur dalam dada Sakri. Ia merasa ngeri dan kasihan sekali. Apalagi setelah mendengar Saritama mengeluh dan menyebut ramanya, hancur luluh perasaan Sakri. Ramanya dulu pernah berkata bahwa kelak ia harus mewakili rama-ibu dan mendidik serta menjaga Saritama, akan tetapi sekarang, dia sendiri telah berusaha sekuasanya untuk membinasakan adindanya itu!

Tak tertahan lagi rasa terharu yang melemahkan hatinya. Ia lalu menubruk maju sambil memekik, “Adimas Saritama...“

Saritama hendak mengelak, akan tetapi oleh karena tubuhnya telah menjadi lemah dan sakit-sakit, ia tak kuasa melepaskan rangkulan kakaknya. Sakri lalu menggunakan tangan kanannya untuk memijit-mijit dan mengusap-ngusap muka dan tubuh adiknya, menggunakan kesaktiannya untuk menghilangkan Aji Kelabang Kencana yang menyerang tubuh Saritama.

Memang selain memiliki Aji Kelabang Kencana dahsyat, Sakri juga mempelajari aji untuk mengobati dan memusnahkan daya serang Kelabang Kencana. Seketika itu juga, pulihlah keadaan Saritama. Segala bengkak-bengkak pada muka dan tubuhnya lenyap dan ia merasa segar kembali.

Saritama mencela kakaknya. Dengan cepat ia merenggutkan tubuh dari pelukan Sakri dan berkata, “Kangmas Sakri, mengapa kau memperlihatkan kelemahanmu lagi? Jangan kau memalukan aku, kangmas!”

“Saritama, adikku yang tersayang. Bagaimana aku dapat sampai hati mencelakakan kau yang kukasihi? Adinda, sekali lagi kupinta kepadamu, menyingkirlah dan jangan melawan aku. Kelak aku akan minta maaf kepadamu, dinda.”

“Sakri! Kau hendak merendahkan adikmu sendiri? Kalau kau seorang satria utama, apakah akupun bukan seorang satria Majapahit yang pantang mundur dan tidak kenal takut pula? Hayo, majulah dan pergunakanlah aji kesaktianmu pula. Saritama bukan anak kecil yang takut akan maut!”

Kembali kakak-beradik ini bertempur. Akan tetapi oleh karena Sakri merasa bimbang, ia hanya berkelahi dengan setengah hati, sehingga pada saat yang tepat Saritama berhasil memasukkan pukulannya yang dengan jitu sekali menghantam kepala Sakri. Bukan main hebatnya pukulan ini, oleh karena kali ini Saritama mempergunakan aji kesaktiannya yang bernama Bromojati. Pukulan ini mempunyai daya bagaikan petir menyambar dan seketika itu juga tubuh Sakri menjadi hangus dan kulitnya rusak bagaikan terbakar api!Sakri bergulingan di bawah dan mengeluh kesakitan, tak berdaya untuk bangun lagi.

“Kangmas... kangmas... ampunkan aku...“ Saritama mengeluh.

“Tidak ada yang harus mengampunkan dan tidak ada yang harus minta ampun, dimas. Kita sama-sama perajurit utama, bukan? Kematian bukan apa-apa, teruskanlah perjuanganmu dengan hati suci. Tak usah kita hiraukan sebab-sebab pertempuran. Tugas kita hanya berjuang, berjuang dengan suci. Aku... aku puas, dinda...”

Kemudian ia mengeluh dan tiba-tiba dari mulut keluar keluhan panjang, “Aduh... adinda Diah Pitaloka...“

Terkejutlah Saritama mendengar ini. “Kangmas Sakri... kau... kau menyinta Diah Pitaloka Puteri Pajajaran?”

Sakri mencoba untuk tersenyum. “Dia... Dia pujaan kalbu dan sumber kebahagiaanku, dinda... sampaikanlah salamku kepadanya dan sampaikan pula bahwa aku telah membela kehormatannya sampai titik darah terakhir...“

Dengan sedih Saritama menyanggupi. Pada saat itu, seorang perwira Majapahit yang berdiri di belakang Saritama, ketika mendengar bahwa Saritama, sebenarnya adalah adik dari Sakri panglima Pajajaran itu, menjadi tercengang. Timbul pikiran jahat dalam otaknya. Ia hendak merebut pahala dan jasa karena membinasakan Sakri, pahlawan musuh yang digdaya itu. Maka, diam-diam ia angkat tombaknya tinggi-tinggi dan cepat sekali ia menusuk punggung Saritama dengan tombak itu!

Saritama sama sekali tidak menyangka akan datangnya bahaya oleh karena kedukaannya membuat ia lupa akan segala. Dan oleh karena segala perhatiannya dicurahkan kepada kakaknya, maka agaknya tombak yang ditusukkan ini tentu akan menembusi tubuhnya!

Akan tetapi pada saat itu Sakri yang telah hampir mati itu tiba-tiba meloncat bangun dan menubruk ke belakang Saritama hingga tombak itu tidak jadi menancap di punggung Saritama, akan tetapi tepat memasuki perut Sakri! Sakri benar-benar digdaya. Biarpun tubuhnya telah hangus dan tombak itu telah menembus perutnya, namun ia masih kuasa menyambar maju dan kedua tangannya yang hangus itu mencekik leher perwira itu sampai kedua mata perwira itu melotot dan lidahnya terjulur keluar. Perwira itu binasa dan setelah melepas tubuh perwira yang telah menjadi mayat.

Sakri lalu terhuyung-huyung dan jatuh ke dalam pelukan Saritama, “Kangmas... sungguh mulia hatimu. Di saat terakhir kau masih sudi menolong jiwaku.”

Akan tetapi Sakri tak kuasa berkata banyak. Ia membuat gerakan agar Saritama mendekatkan telinganya. Pemuda ini mengerti akan isyarat kakaknya, maka ia lalu mendekatkan telinganya di mulut kakaknya. Dan dalam saat terakhir itu, Sakri membisikkan semua aji kesaktiannya kepada adiknya yang terkasih ini. Kemudian, satria utama ini menjadi lemas dan menghembuskan napas terakhir. Sakri telah gugur bagaikan ratna, yang takkan lenyap dan pudar kegemilangan namanya selama dunia berkembang!

Saritama mencabut keluar tombak yang masih menancap di perut Sakri dan dengan penuh khidmat ia pondong jenazah itu keluar dari medan pertempuran, diikuti oleh pandangan mata perajurit-perajurit dari kedua fihak. Setelah pemuda itu pergi, maka para perajurit itu mulai bertempur pula dengan hebatnya!

Dengan hati duka, Saritama membakar jenazah kakaknya sambil berdoa. Setelah pembakaran jenazah ini selesai, ia lalu maju pula kemedan pertempuran, bukan untuk ikut bertempur, akan tetapi untuk mencari Puteri Pajajaran dan menyampaikan pesan Sakri kepada Diah Pitaloka. Setelah Sakri gugur, maka kekuatan fihak Pajajaran makin lemah. Sungguhpun demikian, para satria Pajajaran yang gagah berani dan pantang mundur itu melanjutkan pertempuran sampai orang terakhir!

Patih Gajah Mada mengerahkan semua pahlawannya dan akhirnya semua pahlawan Pajajaran dapat dibinasakan dalam pertempuran yang maha hebat itu! Darah mengalir bagaikan anak sungai dan mayat bergelimpangan bertumpang-tindih memenuhi lapangan Bubat.

Diah pitaloka yang mendengar akan kekalahan fihaknya duduk di dalam kemah dengan pikiran kusut dan hati risau. Tiba-tiba ia teringat kepada Sakri. Ia tidak percaya bahwa fihaknya akan menderita kekalahan. Bukankah di fihaknya ada Sakri, pahlawan yang gagah perkasa itu? Tiba-tiba sesosok bayangan yang gesit sekali meloncat masuk ke dalam kemahnya dan tahu-tahu seorang pemuda tampan yang sederhana berdiri di situ dengan sikap hormat.

“Hai, siapa kau yang kurang ajar dan lancang memasuki tempat ini?” Diah Pitaloka menegur marah.

“Maafkan hamba, Sang Puteri. Ketahuilah, hamba adalah adik dari seorang panglimamu yang ternama, yaitu Sakri.”

“Kau adik Sakri? Dan... bagaimana dengan dia...?”

Wajah yang tampan dan agak pucat itu nampak berduka ketika menjawab, “Kangmas Sakri telah... gugur dan kedatanganku ini hanya hendak menyampaikan pesannya, yakni bahwa kangmas Sakri meninggalkan salam dan hormat kepada Sang Puteri dan bahwa kangmas Sakri telah menunaikan tugasnya membela Paduka sampai pada saat terakhir!”

Diah Pitaloka terharu sekali dan ia tidak dapat menahan air matanya yang mengucur turun. Dengan kedua tangannya, ia menutupi mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan sedu-sedan yang keluar dadanya.

“Sakri... Sakri... kau pahlawan sejati, satria utama... terima kasih atas pengurbananmu yang besar, Sakri...“ Ketika Diah Pitaloka menurunkan tangan dan memandang, ternyata pemuda yang mengaku sebagai adik Sakri itu telah pergi!

Pada saat itu terdengar berita yang lebih menyayat jantung Diah Pitaloka. Yang membawa berita adalah ibunya sendiri, permaisuri raja Pajajaran. Permaisuri masuk ke dalam kamar puterinya sambil menangis dan dengan suara terputus-putus ia menceritakan bahwa Sang Ratu Dewata telah gugur di dalam yuda!

Mendengar ini, kedukaan yang sudah melemahkan jantung Diah Pitaloka, memuncak hebat dan ia lalu roboh pingsan! Ibunya hanya dapat menangis dan setelah Sang Puteri siuman kembali, kedua orang wanita, ibu dan anak ini, bertangis-tangisan.

“Duhai anakku sayang, belahan nyawa bunda. Alangkah buruknya nasib yang menimpa kita! Bunda tak menyesali untung bunda, karena bunda sudah tua, sudah cukup mengecap nikmat hidup. Akan tetapi kau... anakku sayang, ibarat bunga sedang mulai mekar... bunda tak patut mengurbankan puterinya, sekarang terserah kepadamu, anakku. Kau masih muda, pantas menjadi permaisuri yang mulia. Kau menurutlah saja anakku, taatilah kehendak Sang Prabu di Majapahit yang hendak memboyongmu, kau akan menjadi permaisuri yang dimuliakan orang, nak...“

“Duh bunda...“ Diah Pitaloka menangis dalam pelukan ibunya dan untuk beberapa lama tak dapat berkata-kata. Akhirnya, sambil mengeluarkan sebuah keris yang runcing dan tajam, Diah Pitaloka berkata,

“Ibunda yang mulia, mohon diampunkan segala dosa dan kesalahan ananda. Alangkah akan hinanya nama ananda, alangkah akan rendahnya kehormatan ananda apabila ananda menyerah kepada musuh! Budi ramanda dan ibunda yang demikian besar bdilimpahkan kepada ananda, belum cukup terbalas hanya oleh pengurbanan jiwa ananda, apakah mungkin ananda menyerahkan diri kepada musuh yang berarti menghina dan menodai nama orang tua? Tidak, ibunda, ananda seribu kali lebih suka mati daripada menyerah kepada musuh! Ibunda, relakanlah, hamba hendak lebih dahulu menyusul ayahanda!”

Berseri wajah permaisuri mendengar ucapan puterinya itu. Saking terharunya, ia tak dapat berkata-kata, dan setelah beberapa kali menelan ludah, baru ia dapat berkata singkat,

“Diah Pitaloka kau patut menjadi puteri sesembahan di keraton Pajajaran, patut menjadi sari tauladan para wanita!”

Di depan ibunya, Diah Pitaloka lalu menyuduk-salira (menusuk diri). Dengan air mata berlinang-linang, permaisuri dan para emban yang menangis sedih lalu menyelimuti jenazah Sang Puteri dengan sutera hijau. Kemudian permaisuri lalu mengajak para emban untuk mencari jenazah Ratu Dewata, suaminya. Diantara ribuan mayat yang malang melintang, akhirnya Sang Permaisuri dapat pula menemukan jenazah suaminya terhantar di atas tanah dengan sebatang tombak masih menancap di dadanya. Tombak itu merupakan tanda bahwa suaminya telah gugur dengan gagah-berani.

Setelah menubruk dan menangisi jenazah suaminya, Sang Permaisuri lalu mencabut kerisnya dan membunuh diri di dekat suaminya! Para selir dan emban yang mengiringkan Permaisuri melihat hal ini lalu meniru tindakan Sang Permaisuri. Mereka menggunakan senjata masing-masing untuk membunuh diri hingga bertambah pula tubuh manusia memenuhi lapangan Bubat!

Sebelum senjakala, matahari telah menyembunyikan diri siang-siang di belakang awan tebal, seakan-akan Sang Batara Surya sendiri tidak tahan lebih lama menyaksikan akibat mengerikan dari perbuatan manusia yang bodoh dan dungu, manusia yang tak segan-segan untuk saling bunuh hanya karena memperebutkan sesuatu yang kosong!

Ketika Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar akan peristiwa yang amat menyedihkan itu, bukan main duka dan menyesalnya. Padahal Sang Prabu Hayam Wuruk yang telah amat rindu dan ingin sekali bertemu dengan calon permaisurinya, telah menyusul ke Bubat. Tidak tahunya, ketika tiba di Bubat, Sang Prabu hanya bertemu dengan layon Sang Puteri.

Perih dan sakit hati Sang Prabu Hayam Wuruk melihat jenazah yang telah diselimuti sutera hijau seluruhnya itu. Tanpa dapat dicegah lagi, Sang Prabu lalu melangkah maju dan menggunakan kedua tangannya untuk menyingkap sutera itu dari muka jenazah Diah Pitaloka.Naik sedu sedan dari dalam dada yang menyumbat kerongkongannya ketika Sang Prabu menatap wajah yang tetap ayu, tetap gilang-gemilang, dengan dihias senyum manis itu.

Dalam pandangan Sang Prabu, wajah Diah Pitaloka seakan-akan masih hidup dan senyum itu seperti sengaja ditujukan padanya. Tak tertahan pula rasa duka dan terharu yang menggelora dalam kalbunya dan berjatuhanlah air mata Sang Prabu membasahi wajah Sang Ayu yang telah tak bernyawa pula itu.

“Aduhai adinda juita! Adinda pujaan kalbu, mustikaningrat yang cantik jelita, alangkah kejamnya nasib menimpa kita! Telah menjadi kembang mimpi kanda saat pertemuan kita yang telah kurindu-rindukan. Akan tetapi, setelah kita bertemu, kau telah pergi... aduhai adinda, adinda...“

Para pengiring Sang Prabu yang menyaksikan kedukaan Prabu Hayam Wuruk, merasa terharu sekali dan menumpahkan air mata dalam belasungkawa. Juga Patih Gajah Mada diam-diam merasa menyesal telah terjadi perang yang mengakibatkan tewasnya Sang Puteri yang sedianya akan mendatangkan bahagia maha besar bagi junjungannya itu. Ia lalu melangkah maju dan sambil menyembah berkata,

“Duh Gusti pujaan hamba! Ingatlah bahwa segala peristiwa yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi, adalah kehendak Hyang Agung dan kita manusia hanyalah sekedar menjalankan kodrat belaka.”

Maka sadarlah Prabu Hayam Wuruk dari pengaruh duka-nestapanya yang maha hebat. Dengan kedua tangan gemetar Sang Prabu menyelimutkan kembali sutera hijau itu di atas muka Diah Pitaloka, lalu memerintahkan agar jenazah Ratu Dewata seanak-isteri mendapat penghormatan selayaknya bagaikan keluarga raja yang terhormat serta jenazah mereka dibakar menurut upacara yang telah lazim.

Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada para ahlinya untuk merawat mereka yang terluka dalam perang itu, baik perajurit-perajurit Majapahit sendiri maupun Pajajaran. Semua diperlakukan sama dan tak boleh dibeda-bedakan.

Sesungguhnya, sebelum Sang Prabu Hayam Wuruk meminang Diah Pitaloka, Sang Prabu telah tertarik akan kecantikan Puteri Susumnadewi, puteri Raja Wengker. Oleh karena itu, setelah perjodohan dengan Diah Pitaloka gagal, Sang Prabu teringat kembali kepada Puteri Susumnadewi dan akhirnya Sang Prabu melamarnya sebagai permaisuri.

Tak perlu diceritakan lagi betapa girang hati Wijayarajasa oleh karena dengan sendirinya derajat serta kedudukannya meningkat tinggi sebagai mertua raja.

********************

Cersil karya Kho Ping Satria Gunung Kidul

Di sebelah selatan Pulau Jawa, yakni di sepanjang pesisir Laut Selatan, terdapat pegunungan yang memanjang dari barat ke timur yang terkenal disebut Gunung Kidul. Di antara bukit-bukit kecil yang tak terbilang banyaknya itu, bertapalah seorang Panembahan yang sakti dan suci, yakni Panembahan Sidik Panunggal. Sang Panembahan belum tua benar, paling banyak berusialima puluh tahun, akan tetapi rambutnya yang panjang serta jenggotnya yang melambai sampai ke dada, telah putih semua.

Panembahan Sidik Panunggal tinggal dalam sebuah pondok kecil terbuat daripada bambu sederhana. Hidupnya hanya bertani dan bermuja-samadhi, serta mengulurkan tangan menolong para penduduk desa apabila mereka itu membutuhkan pertolongan. Juga banyak sekali cantrik-cantrik yang mengejar ilmu dan bersuwita kepada Sang Panembahan yang sakti.

Pada suatu hari, tak seperti biasanya, Sang Panembahan Sidik Panunggal semenjak pagi tidak meninggalkan pondoknya. Biasanya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam-ayam jantan berkokok Sang Panembahan sudah keluar dari pondok dan berjalan-jalan menghirup hawa udara sejuk di pegunungan, kemudian Sang Panembahan lalu ikut pula mengerjakan sawah-ladang dengan para petani lainnya.

Berbeda dengan pertapa-pertapa lainnya yang tidak mau bekerja, Sang Panembahan ini tiap hari selalu membantu pekerjaan bapak tani dengan gembira, bahkan memberi petunjuk-petunjuk penting oleh karena beliau juga ahli dalam soal pertanian dan cara-cara menggarap sawah-ladang. Biarpun sudah tua dan tubuhnya kelihatan kurus, akan tetapi ternyata bahwa Sang Panembahan masih kuat mengayun cangkul.

Melihat betapa Sang Panembahan tidak seperti biasanya, dan tidak nampak keluar dari sanggar pemujaan, para cantrik merasa bingung dan kuatir, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu dan bertanya kepada Sang Panembahan, hanya duduk di luar pondok dengan bersila dan tidak berani membuat berisik.

Ketika akhirnya setelah lewat tengah hari Sang Panembahan keluar dari pondok, wajah orang tua yang biasanya nampak riang itu, kini kelihatan pucat dan walaupun kedua matanya tidak menampakkan kedukaan, namun keriangan yang biasa membayang pada matanya itu telah lenyap.

Para cantrik maklum bahwa tentu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sang Panembahan Sidik Panunggal. Akan tetap, Sang Panembahan tidak berkata apa-apa, kecuali menanyakan tentang pekerjaan para cantrik.

Pada senja hari datanglah Saritama. Wajah pemuda ini nampak kurus dan pucat, sedangkan tubuhnya lemah-lunglai. Bahkan di atas kedua pipinya masih nampak bekas-bekas air mata. Para cantrik yang tadinya merasa gembira dan girang melihat kedatangan pemuda ini, menjadi heran dan diam-diam saling berbisik menduga-duga apakah gerangan yang disedihkan oleh Saritama.

“Angger, Saritama, kau sudah kembali, nak,” kata Sang Panembahan Sidik Panunggal ketika melihat pemuda itu.

Tiba-tiba Saritama mengeluarkan suara isak tertahan dan sertamerta ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Panembahan itu dan memeluk kaki sambil menangis tersedu-sedu. Sang Panembahan menggunkan tangan kanan mengelus-ngelus kepala pemuda itu sambil berkata,

“Saritama, tidak ada kedukaan dan kekecewaan yang cukup besar untuk dapat menggoncangkan iman seorang satria. Sadarlah kembali dan gunakan sifat jantanmu untuk mengusir perasaan duka yang tak baik dan melemahkan itu.”

“Aduh rama Panembahan, hamba telah berdosa besar rama... Hamba... telah membunuh kakangmas Sakri...“ Pemuda itu menangis lagi.

“Wahai puteraku yang bagus, puteraku yang setia dan taat kepada pelaksanaan tugas, mengapa kau begini lemah? Kau bilang bahwa kau telah membunuh kakakmu Sakri? Ya, Jagat Dewa Batara yang berkuasa di jagat raya! Bagaimanakah asal-mulanya maka kau dapat berkata demikian?”

Setelah dapat menekan perasaan terharu dan dukanya dan menetapkan hatinya, Saritama lalu berkata,

“Hamba mentaati perintah Rama Panembahan dan menuju ke Majapahit untuk menunaikan tugas sebagai seorang satria dan pembela negara. Kebetulan sekali ketika hamba tiba disana , Majapahit sedang mengadakan perang melawan barisan dari Kerajaan Pajajaran. Hamba lalu menuju ke tempat peperangan dan disana hamba mendengar tentang mengamuknya seorang panglima Pajajaran yang gagah perkasa dan bernama Sakri. Tadinya hamba merasa ragu-ragu dan tidak percaya bahwa panglima yang bernama Sakri itu adalah kakangmas Sakri sendiri. Maka hamba lalu mengajukan diri membela perajurit-perajurit Majapahit. Ketika hamba bertemu dengan panglima itu, benar saja, panglima Pajajaran itu adalah kangmas Sakri sendiri! Aduh, Rama Panembahan, sebelum hamba melanjutkan cerita hamba, mohon penyesalan, Rama, dalam keadaan seperti itu, apakah yang hamba harus perbuat? Hamba ingin mendengar pendapat Rama, apakah perbuatan hamba itu sesuai dengan pendapat Rama atau tidak, agar hati hamba menjadi tenang dan puas.”

Sang Panembahan Sidik Panunggal mengangguk-angguk perlahan sedangkan para cantrik saling pandang dengan heran mendengar cerita ini. Kemudian terdengar suara Panembahan itu yang halus, sabar, dan penuh ketenangan,

“Saritama, ketika kau maju kemedan perang, kau adalah seorang perajurit Majapahit, maka siapa juga orangnya yang berdiri di fihak musuh negara, harus disingkirkan.”

“Aduh, Rama Panembahan! Lega rasa hati hamba mendengar pendapat Rama ini! Ternyata biarpun perbuatan hamba telah membuat hati sanubari hamba terasa perih dan hancur, namun agaknya tidak menyeleweng daripada pelajaran Rama! Ketika hamba berhadapan dengan kakangmas Sakri, hamba dan kangmas Sakri berselisih pendapat dan mempertahankan tugas masing-masing hingga akhirnya kami berdua beryuda. Tadinya hamba kalah dan terkena pukulan Kelabang Kencana yang ampuh dan luar biasa. Akan tetapi, kakangmas Sakri menaruh kasihan kepada hamba dan hamba disembuhkannya kembali! Kemudian karena dorongan tugas kami masing-masing sebagai seorang perajurit dan satria utama, kami bertempur pula. Bukan main hebatnya sepak-terjang kakangmas Sakri yang benar-benar sakti mandaraguna! Dia terlampau gagah perkasa, terlampau sakti, hingga terpaksa hamba mengeluarkan Aji Bromojati. Dan dia ... kangmas Sakri yang tercinta... dia kena hamba pukul Aduhai, Rama Panembahan, kalau tidak takut akan dosa dan murka dewata, mau rasanya hamba memenggal tangan hamba yang telah memukul kepala kakangmas Sakri. Rama... rama... hukumlah hamba, karena hamba telah berdosa besar dan patut mendapat hukuman berat!”

“Tenanglah, Saritama. Lalu bagaimana lanjutan ceritamu? Apakah Sakri terus tewas karena pukulanmu Bromojati?”

“Tidak, rama. Dia terlalu sakti dan kebal untuk dapat sekali tewas dengan sekali pukul. Hamba sudah tidak kuat meihat keadaannya setelah dia terpukul oleh hamba. Hamba tubruk tubuhnya dan hamba tak kuat lagi menahan keluarnya air mata. Hamba tangisi dia, dan pada saat itu, seorang perwira Majapahit tanpa sebab lalu menyerang hamba dari belakang dengan tombaknya. Hamba tidak melihat serangan ini, akan tetapi tiba-tiba kakangmas Sakri melompat berdiri dan menubruk perwira itu hingga tombak yang sedianya menancap di punggung hamba, lalu menancap di dada kakangmas Sakri! Kakangmas Sakri membinasakan perwira yang curang itu dan tak lama kemudian dia menghembuskan napas terakhir dalam pelukan hamba! Ah, Rama Panembahan, perbuatan kakangmas Sakri yang biarpun telah hampir tewas karena pukulan hamba itu, akhirnya masih menolong hamba dari ancaman maut, sungguh memberatkan rasa duka di dalam hati hamba! Dia yang telah hamba pukul hingga hampir tewas, bahkan menolong dan menyelamatkan nyawa hamba!”

“Saritama, kau kira kau ini siapa maka mudah saja mengatakan dapat membunuh? Lupakah kau akan ilmu penerangan yang telah diturunkan oleh Sri Kresna? Bukankah Sri Kresna dulu pernah bersabda kepada Sang Arjuna bahwa : “Kalau ada orang berkata bahwa Atman dapat terbunuh atau berkata bahwa dia telah membunuh maka orang yang berkata demikian itu tidak mengetahui akan kebenaran! Bagaimanakah Dia dapat membunuh dan siapakah itu yang dapat membunuh Dia?”

Ucapan di atas yang dipetik oleh Panembahan Sidik Panunggal ini adalah ucapan Sri Kresna yang ditujukan kepada Sang Arjuna dalam wejangan-wejangannya, yang terkenal sebagai kitab Rhagawad Gita.

Memang semenjak kecil Saritama telah menerima bermacam pelajaran dari Panembahan Sidik Panunggal, maka tentu saja ia masih ingat akan ilmu pelajaran batin di atas. Ia lalu menyembah di hadapan Sang Prabu Panembahan dan berkata,

“Terima kasih, Rama. Sungguh besar sekali pengaruh wejangan Rama, karena kini hamba merasa tidak sangat tertekan.”

“Kau hanya menjalankan tugasmu sebagai seorang ksatria dan perajurit utama, demikianpun Sakri. Biarpun dia telah tewas di dalam peperangan, namun ia gugur sebagai seorang ksatria utama. Tewas di dalam menunaikan tugas dimedan perang, bagi seorang perajurit dan ksatria utama, adalah cara mengakhiri hidup yang paling nikmat dan sempurna!”

“Akan tetapi, Rama Panembahan yang menjadi pujaan hamba di jagat raya! Betapa hati hamba takkan berduka oleh karena di dalam dunia ini, hamba hanya mempunyai rama dan kakangmas Sakri. Kini kakangmas Sakri telah pergi, ah, betapa hamba takkan merasa sunyi dan sengsara.”

Sang Panembahan tersenyum.“Saritama, Saritama! Ucapanmu ini seperti seorang anak-anak saja. Mengapa kau hanya mempunyai aku dan kangmasmu? Tengoklah di sekelilingmu. Para cantrik ini, para kawan pamong desa, para petani, semua itu juga bukankah manusia-manusia yang tiada bedanya dengan aku atau kangmasmu? Kalau kau dapat menganggap aku sebagai rama mu dan Sakri sebagai kangmas mu, mengapa kau takkan dapat menganggap mereka semua itu sebagai rama mu dan juga sebagai kangmasmu? Dan sekarang, Saritama, bersiaplah untuk menerima kenyataan yang sebetulnya bukan apa-apa, akan tetapi kalau iman mu lemah, kau dapat menganggap bahwa hal ini merupakan hal yang pahit bagimu. Kenyataan yang tadinya menjadi rahasia dan yang kini hendak kubuka ini, juga akan membongkar pula kenyataan bahwa nafsu perseorangan atau nafsu kekeluargaan yang menebal di dalam hati manusia itu sebenarnya tidak selayaknya dan hanya timbul karena diadakan oleh manusia sendiri, bukan timbul dari kodrat. Kasih sayang harus dicurahkan kepada seluruh manusia, tak perduli orang itu keluarga maupun tidak, berdasar rasa perikemanusiaan dan sesama hidup, bahkan seyogianya tidak hanya terhadap sesama manusia, akan tetapi juga terhadap sesama mahluk di dunia. Saritama, sekarang dengarlah, aku hendak menceritakan sebuah riwayat yang hendak kupersingkat saja.” Sang Panembahan Sidik Panunggal lalu bercerita sebagai berikut...

Kurang lebih empat belas tahun yang lalu, terdapat seorang adipati yang mengepalai Kadipaten Tritis. Adipati ini mempunyai seorang musuh, yakni seorang tumenggung. Oleh karena keduanya adalah hamba Kerajaan Majapahit dan keduanya memiliki kesaktian dan telah berjasa besar terhadap kerajaan hingga pengaruh mereka cukup besar, maka rasa permusuhan ini tidak dinyatakan berterang, hanya terpendam dalam dasar hati masing-masing.

Walaupun pada lahirnya Adipati dan Tumenggung itu tidak memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi di dalam hati mereka menaruh dendam besar. Permusuhan ini timbul oleh karena seorang Puteri keturunan Prabu Jayanegara yang lahir dari selir.

Puteri ini sebenarnya telah mempunyai hubungan kasih-sayang dengan adipati itu, akan tetapi oleh karena pada waktu itu sang adipati masih belum menduduki pangkat dan keadaannya miskin, maka akhirnya sang puteri tak dapat menjadi jodohnya dan menjadi isteri sang tumenggung yang kaya raya dan berpengaruh.

Hal inilah yang menjadikan ganjalan di dalam hati kedua orang itu dan menimbulkan sakit hati yang tak kunjung padam. Akan tetapi, sang adipati itu dapat mengobati luka di hatinya dan biarpun ia masih membenci sang tumenggung, namun dia tidak melakukan sesuatu, bahkan lalu kawin dengan puteri lain dan hidup cukup berbahagia oleh karena ia mendapat anugerah raja dan dijadikan adipati di Tritis.

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan sang tumenggung itu. Biarpun puteri juita yang diperebutkan itu akhirnya terjatuh ke dalam tangannya dan menjadi isterinya, namun rasa cemburu masih melekat di dalam hatinya dan bencinya terhadap adiapti itu makin lama makin menghebat. Hingga pada suatu hari, dengan cara curang sang tumenggung itu berhasil menfitnah sang adipati yang dituduh hendak memberontak terhadap Kerajaan Majapahit.

Pada masa itu, yang memerintah di Majapahit adalah Sang Ratu Tribuwana Tungga Dewi dan sebagai seorang wanita, Ratu ini dapat dihasut hingga Sang Ratu menggerakkan panglima-panglimanya untuk memukul hancur adipati itu hingga terbinasa seluruh keluarganya, kecuali dua orang puteranya yang dapat diselamatkannya.

“Demikianlah riwayat itu, Saritama,” kata Sang Panembahan Sidik Panunggal kepada Saritama yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. “Dan sekarang ketahuilah, wahai anakku, bahwa tumenggung itu adalah Tumenggung Wiradigda yang sekarang masih menjadi Tumenggung di Majapahit dan berkedudukan di wilayah Tangen, sedangkan adipati itu adalah Adipati Cakrabuwana atau... adikku sendiri! Sedangkan kedua putera adipati yang diselamatkan itu tidak lain adalah... Sakri dan kau sendiri! Jadi, aku bukanlah rama mu sebagaimana yang selama ini kau ketahui, akan tetapi adalah bapak tuamu atau pamanmu!”

Kalau bumi yang terpijak kaki Saritama pada saat itu ambles, belum tentu pemuda itu akan sedemikian kagetnya mendengar penuturan ini. Sepasang matanya tajam menatap Sang Panembahan, wajahnya memucat dan bibirnya gemetar. Tiba-tiba ia maju menyembah dan berkata dengan suara keras,

“Paman Panembahan, mohon doa restumu!” Ia lalu melompat bangun dan sambil mengacungkan tinjunya ke atas, ia berseru dengan bengis. “Tumenggung Wiradigda, tunggulah pembalasanku!” Kemudian, tanpa menoleh lagi, pemuda itu lalu melompat ke depan dan lari keluar dari tempat itu secepat kidang melompat!

Sang Panembahan memandang ke arah perginya Saritama sambil menggeleng-geleng kepala, “Ah, hati muda... semoga Hyang Agung akan menjauhkannya daripada kesesatan.”

Kemudian, tanpa mengeluarkan kata-kata lain kepada sekalian cantrik yang masih duduk bersila di situ, Sang Panembahan lalu memasuki pondoknya kembali dan duduk bersila bermuja samadhi dengan tekunnya. Para cantrik hanya dapat saling pandang dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas.

Dengan hati dan pikiran tak karuan rasa, duka, kecewa, marah menjadi satu, Saritama meninggalkan pondok Panembahan Sidik Panunggal. Hatinya dipenuhi rasa dendam dan sakit-hati, dan pada saat itu ingin sekali ia segera bertemu dengan musuh besarnya yang telah menghancurkan penghidupan ayah-ibu dan keluarganya. Ingin ia segera mendapat kesempatan menjatuhkan tangan kepada Tumenggung Wiradigda.

“Hm, Wiradigda keparat! Kau mengandalkan pengaruh dan kedudukanmu, dengan kejam dan buas menfitnah orang tuaku. Setelah kau merampas kekasih ayah, kau masih sampai hati untuk menghancurkan penghidupan ayah! Alangkah kejam, apa kau kira hanya kau saja laki-laki jantan di atas dunia ini. Tunggulah, awaslah kau, tumenggung keparat!”

Tiada hentinya bibir Saritama bergerak-gerak membisikkan ancaman-ancaman ini di sepanjang jalan. Ia berlari bagaikan gila menuju ke Tangen, sebuah pedusunan yang berada di sebelah selatan Majapahit. Bukan dekat perjalanan yang ditempuhnya, akan tetapi berkat kesaktian dan kepandaiannya yang hebat, yakin dengan ilmu lari Kidang Kencana, ia mengharapkan akan dapat sampai di tempat itu dalam tiga hari.

Pada malam hari ketiga, ia telah tiba di luar daerah Tangen. Oleh karena malam itu gelap sekali, terpaksa ia harus bermalam di sebuah dusun kecil dan tak dapat melanjutkan perjalanannya. Dusun di mana ia berhenti itu kecil, akan tetapi cukup ramai. Ketika melihat sebuah pondok di dalam dusun itu, pondok yang dilengkapi dengan sebuah tempat pemujaan di sampingnya seperti yang biasa dipunyai oleh seorang pertapa atau seorang Panembahan, ia menjadi tertarik. Ketika ia bertanya kepada seorang petani yang kebetulan bertemu dengamnya di tengah jalan dekat pondok itu, ia bertanya.

“Paman, maafkan kalau aku menganggumu. Pondok siapakah yang nampak di depan ini. Agaknya pondok seorang pertapa.”

Petani itu memandangnya sejenak, karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang pendatang dari jauh hingga tak mengenal pondok pertapa terkenal itu.

“Raden,” katanya penuh hormat karena biarpun pakaian Saritama sederhana dan bagaikan seorang petani, namun sikap halus dan wajah tampan pemuda itu menimbulkan dugaan kepadanya bahwa pemuda ini tentu bukanlah seorang petani biasa. “Pondok ini adalah tempat kediaman seorang dukun yang sakti dan ditakuti orang, namanya Bagawan Kalamaya yang kemashurannya telah terkenal sampai kekota raja.”

“Ah, kebetulan sekali, paman. Kalau seorang bagawan, tentu sudi menerima aku untuk bermalam di sini.”

“Raden, kalau kau hendak bermalam di dusun kami, dan kalau kiranya gubukku yang bobrok tidak menjadikan celaan, aku persilakan kau mampir dan bermalam saja di rumahku. Janganlah kau mencoba untuk minta bermalam di sini.”

Saritama merasa heran. “Eh, mengapa begitu, paman? Aku berterima kasih sekali kepadamu, paman. Kau memang baik hati dan ramah tamah, akan tetapi, hatiku menjadi ingin tahu mendengar kata-katamu tadi. Mengapa Bagawan Kalamaya takkan mau menerimaku? Bukankah seorang pendeta itu biasanya murah hati dan berbudi?”

Petani itu menghela napas dan matanya memandang ke arah pondok itu dengan hati-hati dan takut-takut, kemudian ia berbisik, “Raden, ketahuilah, Bagawan Kalamaya adalah dukun tenung yang ditakuti orang dan ia pun galak sekali. Yang paling hebat ialah bahwa di rumahnya terdapat banyak iblis yang dipeliharanya!”

Saritama tersenyum. Ia tidak merasa heran mendengar ucapan petani ini, oleh karena memang para petani yang bodoh seringkali mudah dipengaruhi dan ditakut-takuti tentang iblis-iblis dan segala setan oleh orang-orang yang mereka anggap dukun tenung.

“Biarlah, paman. Betapapun juga aku ingin sekali berkelanan dengan dukun yang sakti itu.”

Petani itu memandang kepada saritama dengan penuh kekuatiran dan juga kagum, akan tetapi ia telah demikian ketakutan berada terlalu lama di dekat pondok Bagawan Kalamaya, maka ia segera meninggalkan Saritama cepat-cepat sambil menoleh beberapa kali.

Saritama lalu memasuki pekarangan pondok yang gelap itu. Langsung ia menuju ke pintunya dan mengetok sambil mengucapkan salam. Setelah beberapa kali ia mengetuk pintu, barulah terdengar jawaban dari dalam.

“Anak muda yang cakap dan gagah, pintu pondokku tidak terpalang, dorong saja dan masuklah!”

Dengan sikap hormat Saritama lalu mendorong daun pintu itu. Daun pintu mengeluarkan bunyi bergerit menyeramkan dan Saritama melihat seorang kakek bongkok bersila menghadapi sebuah meja rendah dan di atas meja itu terdapat sebuah dian minyak kecil. Cahaya dian itu remang-remang dan membuat bayang-bayang suram pada dinding bilik. Tercium bau kemenyan dan kembang layu ketika Saritama memasuki ruang kecil ini. Dengan sikap menghormat, pemuda itu lalu duduk bersila pula menghadapi tuan rumah yang tua itu, lalu berkata,

“Mohon maaf sebesarnya dari Bapak Bagawan apabila saya mengganggu ketentraman Bapak.”

“Ha, ha, ha!” Kakek itu tertawa dan sepasang matanya berputaran. “Anak muda yang tabah dan cakap lagi sopan seperti engkau memang tak usah takut takkan mendapat tempat bermalam! Bukankah kedatanganmu ini hendak bermalam di tempatku yang buruk ini, anak muda?”

“Memang benar demikianlah maksud kedatangan saya, yakni kalau bapak tidak menaruh keberatan dan rela menerimanya.”

“Tentu, tentu! Kau boleh bermalam di sini. Akan tetapi, siapakah kau, anak muda yang tampan dan sopan, kau datang dari mana dan hendak ke mana?”

Ketika tadi untuk pertama kalinya melangkahkan kakinya ke dalam ruang ini, Saritama yang bermata tajam sudah dapat melihat bahwa kakek ini memang seorang sakti yang memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang tidak pantang mendatangkan celaka kepada orang lain, maka ia telah merasa kecewa masuk ke situ. Akan tetapi, oleh karena ia telah berada di dalam, pula sebagai seorang tamu, terpaksa ia harus berlaku sopan santun sesuai dengan kepribadiannya.Kini ia hendak mencoba sifat dukun itu dan menjawab pertanyaan dengan suara tenang,

“Bapak Bagawan, saya telah mendengar akan kesaktian dan kewaspadaanmu, mengapakah bapak masih hendak bertanya lagi? Bukankah bapak sudah tahu akan segala rahasia alam, termasuk namaku dan segala hal yang mengenai diriku yang bodoh?”

Bagawan Kalamaya tertawa sehingga tubuhnya bergoyang-goyang. “Ha, ha,ha, anak muda. Kau benar-benar pintar dan menyenangkan hati! Sudah tentu aku tahu akan segala apa di mayapada ini, dan tidak ada rahasia bagi Bagawan Kalamaya. Akan tetapi, sebagai seorang manusia, aku tak boleh meninggalkan kebiasaan manusia terhadap manusia lain, yakni apabila bertemu harus saling bertanya.”

Mendengar jawaban ini. Saritama dapat meraba bahwa pendeta ini memiliki kesombongan besar dan hendak berpura-pura suci dan mengerti akan hukum alam. Maka ia tersenyum ketika menjawab,

“Baiklah, bapak bagawan. Saya bernama Saritama dari Gunung Kidul, dan saya hendak pergi ke Tangen.”

“Ah, ah... bukankah kau hendak mencari Tumenggung Wradigda?” tanya kakek pendeta itu.

Saritama agak tercengang karena tak disangkanya bahwa pendeta ini dapat pula membaca maksud hatinya! Ia tak tahu bahwa Bagawan Kalamaya hanya menggunakan kecerdikan dan bahwa dugaannya itu hanya kebetulan tepat. Orang terpenting di Tangen hanya Tumenggung Wiradigda seorang, maka kalau ada seorang pemuda gagah datang dari tempat jauh menuju ke Tangen, siapa lagi yang hendak ditemuinya disana selain Tumenggung Wiradigda? Oleh karena inilah maka dukun hitam itu dapat menduga dengan tepat.

“Benar, bapak bagawan yang waspada, memang saya hendak pergi mencari Tumenggung Wiradigda.” Ketika mengucapkan nama ini, suara Saritama menjadi tajam dan mengandung kebencian. Hal ini tak terlepas daripada pendengaran dukun hitam yang cerdik itu.

“Hm, hm, kulihat kau mempunyai permusuhan dengan sang tumenggung! Kalau kau tidak merasa keberatan, Saritama, cobalah kau ceritakan urusanmu dengan tumenggung itu kepadaku. Mungkin sekali aku dapat menolongmu!”

Kembali Saritama kagum mendengar dugaan yang tepat ini. Ia tidak memiliki rahasia hati dan apa yang hendak ia lakukan terhadap Tumenggung Wiradigda, yakni pembalasan dendam, tak hendak ia rahasiakan kepada siapapun juga. Maka, apa salahnya menceritakan kepada dukun ini?

“Memang tepat dugaan bapak bagawan. Saya hendak mencari Tumenggung Wiradigda untuk membuat perhitungan lama yang hingga kini belum diselesaikan! Tumenggung keparat itu telah membinasakan seluruh keluarga ayahku dan sekarang tiba masanya bagi saya untuk membalas kejahatannya itu!”

Bagawan Kalamaya memandang tajam. “Siapakah orang tuamu, Saritama yang gagah berani?”

“Mendiang ramandaku adalah Adipati Cakrabuwana di Tritis.”

Kedua mata pendeta itu melebar lebar. “Eh, eh... jadi kau adalah putera adipati yang telah lama dicari-cari oleh Tumenggung Wiradigda dan tak pernah ditemukan itu? Dan saudaramu yang seorang lagi, di manakah dia?”

“Hm, agaknya bapak juga tahu benar akan riwayat itu, bukan?”

Dukun hitam itu mengangguk-angguk. ”Siapa yang tak kenal Adipati Cakrabuwana, pemberontak itu?”

“Jangan bapak berkata demikian!” bentak Saritama marah. “Tumenggung Wiradigda memfitnahnya!”

“Ya, ya... memang kedua orang itu bermusuhan dan saling membenci! Mereka saling membenci hanya karena seorang wanita. Ah, wanita, kau mahluk lemah akan tetapi pengaruhmu lebih kuasa dan kuat daripada sekalian pria yang terkuat! Tahukah kau Saritama? Wanita macam apa yang dulu dicinta ayahmu dan yang telah direbut oleh Tumenggung Wiradigda? Ha, ha! Sayang seribu sayang, seorang gagah seperti Cakrabuwana hanya menjadi korban karena seorang wanita macam itu! Memang dulu wanita itu mencinta ayahmu, akan tetapi setelah ia menjadi isteri Tumenggung, bahkan dia sendiri yang membujuk-bujuk suaminya untuk menfitnah Cakrabuwana! Ah, wanita... memang kau mahluk termulia, tapi juga mahluk paling jahat di dunia ini! Puteri itu sekarang telah mempunyai seorang anak perempuan yang telah dewasa dan dalam hal kecantikan, ia tak kalah oleh ibunya! Ha, ha, ha!”

Makin panas hati Saritama mendengar penuturan yang memanaskan hati ini, maka dengan menggertak gigi pemuda itu berkata, “Biarlah, paling lama sampai besok pagi, Wiradigda seanak-isterinya tentu akan binasa di dalam tanganku!”

Tiba-tiba Bagawan Kalamaya tertawa gelak-gelak hingga terpingkal-pingkal memegangi perut.

“Bapak Bagawan, apakah yang kau tertawakan?”

“Saritama kau anak kecil yang masih hijau, bagaikan seekor burung baru belajar terbang! Apakah yang kau andalkan maka kau berani mengucapkan kata-kata ancaman itu? Seekor semut pun kalau dapat mengerti omonganmu akan tertawa geli, jangankah seorang manusia! Kau tahu apa? Wiradigda bukanlah sembarang orang yang mudah dibinasakan begitu saja. Bahkan aku dengan segala ilmu sihirku tak dapat membinasakannya, apalagi kau. Tumenggung Wiradigda adalah seorang yang sakti mandraguna dan banyak perwira sakti menjadi pembantunya. Barisan yang berada di dalam kekuasaannya saja sebanyak ribuan orang!”

Namun Saritama tidak gentar mendengar ini.“Aku tidak takut, Bagawan Kalamaya!” katanya dengan suara tetap keras. “Biar andaikata Wiradigda mempunyai tiga kepala dan enam tangan, kesemuanya akan kuhancurkan dengan kedua kepalan tanganku!"

Sekali lagi dukun itu tertawa geli hingga dari kedua matanya keluar air mata.“Saritama, jangan kau sombong! Selain para perwira dan para perajurit Tangen yang sedemikian banyaknya itu, masih banyak pula pembantu-pembantunya, yakni pertapa-pertapa sakti mandraguna yang memiliki banyak ilmu dan aji kesaktian. Diantara mereka ini, akupun menjadi penasehat dan pembantunya!”

Saritama bangkit berdiri dan bersiap-sedia!

“Ha, ha, anak muda, kau mempunyai kepandaian apa?” Sambil berkata demikian, dukun hitam itu lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan tiba-tiba dari arah jendela biliknya itu menyambar angin dingin! Api dian berkelap-kelip dan hampir padam. Kini Bagawan Kalamaya juga berdiri dan tubuhnya yang bongkok menambahkan keseraman ruang gelap itu. Tangan kanan dukun itu memegang sebatang tongkat dan sambil melempar tongkat itu ke arah Saritama, terdengar suaranya yang parau membentak,

“Lihat nagaku menelanmu bulat-bulat!”

Aneh sekali, dalam cahaya yang remang-remang itu, tongkat yang dilempar tadi tiba-tiba mengeluarkan asap dan berubah menjadi seekor naga atau ular besar bertanduk dua yang hanya dapat terlihat dalam alam mimpi seorang penakut!

“Bagawan Kalamaya, apakah harganya permainan macam ini diperlihatkan?” kata Saritama tiada gentar sedikitpun. Ketika ular naga itu menyambar ke arah lehernya, ia angkat tangan kirinya dan dengan telapak tangan dimiringkan ia memukul ke arah tubuh ular naga itu sambil berseru keras, “Asal tongkat kembali menjadi tongkat!”

Terdengar suara keras dan tubuh ular naga itu kena pukul tangan Saritama lalu terlempar ke dinding dan berubah menjadi dua batang kayu, karena tongkat itu telah patah di tengah-tengah dan kini berserakan di atas lantai! Angin yang bertiup dari arah jendela berhenti dan api dian bernyala baik kembali hingga keadaan menjadi terang.

Bagawan Kalamaya tertawa terkekeh-kekeh, lalu ia duduk bersila kembali.“Kau sakti, Saritama, cukup sakti! Tak kunyana putera Cakrabuwana memiliki kesaktian melebihi ayahnya. Bagus, bagus, anak muda, tadi aku hanya mengujimu saja! Kau hendak menumpas keluarga Wiradigda di Tangen? Bagus, memang mereka itu harus dibinasakan!”

Saritama tertegun melihat perubahan ini. Iapun lalu duduk kembali. “Bagawan Kalamaya, agaknya kau pun membenci tumenggung keparat itu?” tanyanya.

“Heh, heh, hem!” suara ketawa dukun itu makin menjemukan. “Siapa yang tidak kubenci? Ketahuilah, Saritama, sudah lama akupun hendak menyerbu ke Tangen, akan tetapi aku tidak cukup kuat menghadapi mereka, terutama menghadapi Dewi Saraswati!”

“Sang Bagawan, siapakah Dewi Saraswati itu?” tanya Saritama.

“Ha, ha, ha, siapa lagi? Dewi Saraswati adalah permaisuri Sang Hyang Brahma, Dewa tertinggi!”

Saritama memandang heran. Ia pun maklum bahwa para pemeluk agama Brahma menganggap Dewa yang tertinggi kekuasaannya adalah Sang Hyang Brahma dan permaisuri atau yang disebut sakti dari dewa ini adalah Dewi Saraswati.

“Akan tetapi, apakah maksudmu mengatakan kau takut menghadapi Dewi Saraswati di Tangen?”

“Saritama, ketahuilah bahwa kekasih ayahmu yang telah mengecewakan hatinya dan menjadi isteri Tumenggung Wiradigda, mempunyai seorang puteri. Puteri inilah yang bernama Dewi Saraswati, dan dia ini benar-benar penjelmaan Dewi Saraswati permaisuri Brahma dan kini puteri ini sedang menanti kedatangan jodohnya yang harus titisan (penjelmaan) Sang Hyang Brahma sendiri! Ha, ha, ha!”

Saritama makin heran dan ia mulai menduga bahwa dukun tua ini tentu agak miring otaknya. “Dan siapakah titisan Sang Hyang Brahma sekarang?” tanyanya karena ingin mendengar sampai di mana kegilaan dukun hitam itu.

“Heh, heh, heh! Titisan Brahma telah berada di hadapanmu, masih juga kau belum tahu? Akulah penjelmaan Sang Hyang Brahma!”

"Ah, dia benar-benar gila! Demikian pikir Saritama, maka ia lalu bersila dan diam saja, tidak mau melayani dukun itu lebih lanjut lagi. Juga Bagawan Kalamaya agaknya telah lelah, karena ia lalu merebahkan tubuhnya dan tak lama kemudian terdengar dengkurnya!

Saritama sudah terbiasa beristirahat sambil duduk bersila. Maka ia lalu bersamadhi dan beristirahat sambil bersila dengan tenang. Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi benar Bagawan Kalamaya terdengar menguap dan bangun dari tidurnya, Saritama juga mengakhiri samadhinya. Setelah dukun tua itu duduk, pemuda itu lalu berkata,

“Sang Bagawan, saya mengucap diperbanyak terima kasih atas kebaikan dan keramahanmu yang telah menerima saya bermalam di sini. Moga-moga lain waktu saya akan mendapat kesempatan membalas kebaikanmu. Sekarang, perkenankanlah saya melanjutkan perjalanan saya.”

“Eh, eh, nanti dulu, Saritama. Aku akan menyertaimu ke Tangen karena menurut pendapatku, sekarang telah tiba saatnya aku bergerak bersama kau yang muda dan gagah. Aku lebih mengenal keadaan di Tangen, maka akan lebih mudahlah kau bertindak apabila kau bersama dengan aku.”

“Tapi bukankah kau ini menjadi hamba dari Tumenggung Wiradigda?”

“Heh, heh, heh! Ada kalanya aku menjadi hamba, ada kalanya aku menjadi pujaan! Kali ini aku menjadi musuh Tumenggug Wiradigda!”

Saritama merasa tak enak untuk menolak, dan pula dia tidak mau dianggap takut atau kuatir jika pergi bersama dengan dukun hitam ini. Maka ia lalu menyatakan persetujuannya. Lama sekali Saritama harus menanti bagawan itu berkemas, mengenakan pakaian indah-indah dan akhirnya setelah mereka berangkat, diam-diam Saritama merasa mendongkol sekali oleh karena bagawan itu berjalan perlahan sekali! Dengan bantuan tongkatnya, Bagawan Kalamaya berjalan membungkuk-bungkuk.

“Sang Bagawan, kalau kita berjalan seperti ini, kapankah akan sampai di Tangen? Marilah kita pergunakan ilmu!”

Bagawan Kalamaya menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. “Orang yang memperlihatkan kepandaian di tempat umum adalah seorang bodoh dan sombong. Nanti saja kalau kita sudah tiba di hutan itu, baru kita menggunakan ilmu kesaktian akan tetapi aku kuatir kalau-kalau kau ketinggalan jauh!”

Saritama tersenyum dan di dalam hati ia merasa geli dan juga mendongkol. Dukun lepus ini melarang orang memperlihatkan kepandaian dengan alasan tak baik berlaku sombong akan tetapi ucapannya yang terakhir itu jelas sekali menyatakan betapa sombongnya kakek ini! Akan tetapi, Saritama diam saja dan tidak mendesak lebih jauh. Hendak ia lihat, sampai di mana kehebatan ilmu lari cepat dukun ini maka berani mengatakan bahwa dia akan tertinggal jauh!

Setelah mereka tiba di dalam hutan, Saritama tak sabar lagi dan berkata, “Marilah kita percepat langkah kita, Sang Bagawan.”

Bagawan Kalamaya tersenyum. “Baiklah, baiklah!” Kemudian Bagawan Kalamaya mempergunakan aji kesaktiannya dan benar saja, langkahnya lebar dan gerakannya cepat hingga tak lama kemudian tubuh yang bongkok itu telah berlari cepat sekali.

Saritama memandang dan tahulah ia bahwa dukun itu mempunyai kepandaian yang disebut Aji Pancal Panggung, semacam ilmu lari cepat yang hebat juga. Akan tetapi, ketika Saritama mengeluarkan ajinya Kidang Kencana, tak lama kemudian ia dapat menyusul bagawan itu yang menengok dengan heran dan kagum melihat kepandaian Saritama.

Saritama cukup bijaksana dan ia tidak mau melampaui orang tua itu. Ia sengaja memperlambat gerakan kakinya hingga mereka dapat berlari dengan sama cepatnya. Ketika hutan telah mereka lalui, Bagawan Kalamaya dengan napas tersengal-sengal minta berhenti. Sebelum bicara ia menarik napas panjang yang senin kemis itu!

“Aduh, tenagaku masih cukup, akan tetapi napasku...” setelah menarik napas panjang berulang-ulang, ia berkata lagi. “Saritama, kau benar sakti. Kau dapat mengimbangi kecepatanku. Kalau aku masih muda seperti engkau, tentu kau akan tertinggal jauh! Sekarang kita telah melampaui hutan, maka biarlah kita berjalan biasa kembali.”

Saritama hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa geli oleh karena dukun lepus ini masih saja menyombongkan diri. Maka mereka lalu berjalan lagi dengan cara biasa. Oleh karena perjalanan ini dilakukan dengan perlahan dan hanya sekali dua kali Bagawan Kalamaya mau mempergunakan aji kesaktian yang sangat melelahkan itu, maka setelah hari menjadi gelap barulah mereka berdua tiba di Tangen.

Sebelum menuju ke gedung Tumenggung Wiradigda yang besar dan megah bagaikan istana Raja Majapahit sendiri, Bagawan Kalamaya memberi nasehat,

“Saritama, penjagaan di bagian depan gedung tumenggung amat kuat. Masuklah engkau diam-diam dari bagian kiri gedung oleh karena di bagian kiri itu tak terjaga kuat dan di bagian kiri terdapat taman tumenggung yang bersambung dengan taman belakang. Di situ banyak terdapat tetumbuhan di mana kau dapat bersembunyi apabila ada penjaga-penjaga keluar dan meronda. Kemudian kau dapat menyusup masuk ke dalam gedung mencari Tumenggung Wiradigda.”

“Baiklah, Sang Bagawan,” kata Saritama.

Malam hari itu udara bersih dan ribuan bintang menyinarkan cahaya gemilang dari angkasa raya. Oleh karena hawa malam itu sejuk dan bersih, biarpun tidak terang bulan, namun anak-anak di Tangen banyak yang bermain-main di pelataran depan, sedangkan orang-orang tua sambil mengisap rokok daun jagung dan menikmati air teh kental, duduk di atas tikar yang digelar di pelataran dan bercakap-cakap.

Keadaan demikian tenteram bagaikan tidak akan terjadi sesuatu yang hebat. Memang, telah bertahun-tahun di Tangen selalu tata-tenteram reja-raharja, tak pernah terjadi kejahatan, tak pernah terjadi pencurian hingga para petani dapat bekerja dengan tenang dan penghidupan peduduk di sekeliling Tangen rata-rata makmur dan berbahagia.

Akan tetapi, pada malam hari itu, tanpa mereka ketahui dua sosok bayangan bergerak menuju ke gedung Tumenggung Wiradigda. Setelah keduanya tiba di dekat gedung, mereka berbisik-bisik, kemudian bayangan dua orang itu berpisah, seorang menuju ke kiri gedung, yang kedua menuju ke belakang.

Bayangan pertama yang memiliki gerakan cepat dan tangkas, yakni Saritama sendiri, cepat menyelinap di dalam bayangan pohon di sebelah kiri gedung. Ia memandang ke sekeliling dan kemudian dengan sekali lompat saja ia sudah dapat meloncati pagar taman. Memang benar kata-kata Bagawan Kalamaya bahwa gedung tumenggung itu terjaga kuat, dan bahwa Tumenggung Wiradigda mempunyai banyak punggawa yang tangguh dan sakti. Buktinya, ketika Saritama melompat masuk ke dalam taman, baru saja kedua kakinya menginjak rumput, tiba-tiba dua orang penjaga yang muda dan gagah membentaknya dari tempat jauh,

“Hai! Siapakah kamu yang lancang memasuki taman?” Mereka ini dengan cepat lari menghampiri.

Saritama tidak mau membuang waktu lagi. Sebelum kedua orang penjaga itu sempat bertindak, ia telah bergerak lebih dulu. Dengan sekali lompatan, Saritama telah menerkam kedua penjaga itu, dengan dua kali kepalan tangannya menyambar, robohlah dua orang penjaga itu! Orang pertama roboh tanpa dapat bangun lagi dan pingsan, sedang orang kedua memang sengaja dipukul perlahan hingga masih dapat bicara walaupun kepalanya terasa pusing berputaran akibat pukulan Samber nyawa!

“Lekas katakan, di mana Wiradigda?”

Penjaga itu tak dapat melihat muka penyerangnya dengan jelas, hanya dapat menduga bahwa penyerang yang hebat dan cepat gerakannya ini adalah seorang pemuda.

“Gusti tumenggung tidak berada di sini,” jawabnya sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.

“Jangan kau membohong!” bentak Saritama sambil memegang leher orang itu. “Kalau kau membohong, sekali pukul saja aku dapat menghancurkan kepalamu!”

“Ampun, Raden, saya tidak membohong! Gusti tumenggung kemarin berangkat ke Kadipaten Pacet untuk membicarakan tentang perkawinan Gusti puteri.”

“Bila ia kembali?” tanya pemuda itu dengan hati kecewa.

“Kalau tidak salah, besok siang baru kembali.”

Pada saat itu, terlihat bayangan beberapa orang berkelebat dan mereka ini tidak lain ialah para ponggawa Tumenggung Tangen. Dengan diam-diam mereka menghampiri tempat itu oleh karena mereka mendengar suara-suara mencurigakan. Ketika melihat betapa seorang penjaga masih rebah di atas tanah, sedangkan seorang penjaga lain sedang dipegang dan ditanyai oleh seorang pemuda yang tak jelas rupa wajahnya oleh karena keadaan memang agak gelap di dalam taman itu yang penuh dengan bayang-bayang pohon dan tetumbuhan, para ponggawa yang tujuh orang jumlahnya ini menjadi marah sekali.

“Bangsat maling, kau berani mengacau di taman tumenggungan!” teriak seorang diantara mereka yang segera melompat maju diikuti oleh yang lain.


Satria Gunung Kidul Jilid 02

Satria Gunung Kidul

Karya Kho Ping Hoo

JILID 02

SANG PRABU Hayam Wuruk menghela napas panjang karena merasa berduka dan kecewa bahwa persoalan menjadi demikian panas dan meruncing. Akan tetapi, sebagai seorang raja, iapun harus mempertahankan kehormatan kerajaannya. Dimintanya agar Patih Gajah Mada mencoba membereskan persoalan ini dengan jalan damai dan membujuk Sang Prabu Dewata untuk berdamai dan sudi mengalah, Patih Gajah Mada setelah menyatakan kesanggupannya, lalu mengerahkan sejumlah perajurit yang besar untuk pergi ke Bubat.

Sebetulnya Patih Gajah Mada juga ingin membereskan kesalah-pahaman ini dengan cara damai. Akan tetapi, hal ini telah diketahui pula oleh Wijayarajasa, maka Raja Wengker ini lalu mengutus beberapa puluh orang suruhan, yang ini terdiri dari orang-orang jahat yang sanggup menjalankan perintah apa saja asal mendapat upah besar. Begitu tiba di Bubat, mereka menyerang orang-orang Pajajaran dan setelah membunuh beberapa orang yang tak berjaga-jaga, mereka lalu melarikan diri.

Ributlah keadaan di Bubat dan semua orang Pajajaran mendengar bahwa beberapa kawan dari Pajajaran telah terbunuh oleh orang-orang Majapahit! Maka memuncaklah kemarahan mereka hingga ketika barisan Gajah Mada tiba, tanpa banyak cakap lagi barisan Pajajaran lalu menyerang! Dan segeralah terjadi perang tanding yang hebat dan dahsyat di Bubat!

Peperangan ini terkenal dengan sebutan Perang Bubat dan sampai lama menjadi kenangan orang. Darah membanjir di lapangan Buabat yang luas. Rumput yang tadinya tumbuh segar, menjadi kering dan mati kena injak kaki orang dan kuda. Warna lapangan yang tadinya hijau segar menyedapkan mata, kini berubah merah oleh darah, darah perajurit-perajurit Majapahit dan Pajajaran!

Keris dan tombak berkilauan mengamuk menembus perut dan dada. Pekik dan teriak menggegap-gempita dan debu mengepul ke angkasa membuat sinar matahari menjadi pucat. Kehebatan peperangan di lapangan Bubat ini tiada kalah hebatnya dengan peperangan maha besar yang disebut Bharata-yuda di lapangan Kurusetra!

Ribuan perajurit gagah-perkasa tewas di ujung senjata. Panglima-panglima kedua fihak yang muda, tampan, dan perkasa, gugur bagaikan ratna dalam perang itu! Sakri mengamuk dengan hebatnya bagaikan seekor banteng sakti mencium darah kawannya! Tubuhnya penuh dengan darah lawan. Berpuluh-puluh orang tewas dalam tangannya. Setiap kali tangan kanannya yang memegang keris bergerak, robohlah seorang perajurit Majapahit, dan tiap kali kepalan tangan kirinya diayun, pecahlah kepala seorang manusia yang menghalang di depannya!

Perajurit-perajurit Majapahit menjadi agak kocar-kacir menjauhi sepak-terjang pemuda yang luar biasa ini, bagaikan serombongan semut didekati api.Para perajurit dan panglima Pajajaran karena merasa telah jauh dari negaranya, berperang mati-matian dan nekat hingga tak terhitung banyaknya perajurit Majapahit yang tewas.

Melihat kehebatan sepak-terjangnya perajurit-perajurit dan panglima-panglima Pajajaran, Patih Gajah Mada menjadi marah. Ia mendatangkan balabantuan yang besar jumlahnya, dan diantara balabantuan yang tiba, nampak seorang pemuda yang berpakaian sebagai seorang pemuda petani sederhana. Menurut laporan pemimpin barisan yang baru tiba, pemuda ini menyatakan hendak ikut membela Majapahit dan ikut menghalau musuh. Gajah Mada lalu memanggilnya menghadap.

“Hai, anak muda yang muda rupawan. Siapakah kau dan mengapa kau yang semuda ini hendak ikut pula beryuda?”

Dengan suaranya yang halus dan tutur katanya yang sederhana, pemuda itu menyembah dan berkata, “Hamba bernama Saritama dari Gunung Kidul, Gusti Patih. Dalam perantauan hamba, hamba mendengar bahwa seorang panglima Pajajaran yang bernama Sakri amat digdaya dan sukar dilawan. Maka apablia Gusti Patih memberi perkenan, hamba hendak mencoba melawan panglima Pajajaran yang sakti itu.”

Patih Gajah Mada terkejut. Memang iapun telah menyaksikan sendiri kesaktian Sakri pahlawan Pajajaran itu dan telah mengambil keputusan untuk menghadapinya sendiri oleh karena anak buahnya tidak kuat menghadapi amukan Sakri. Akan tetapi, tiba-tiba seorang pemuda dusun telah mengajukan diri hendak menandingi Sakri!

“Cukup kuatkah pundakmu memikul beban ini?” tanyanya dan Patih Gajah Mada melangkah maju mendekati pemuda yang masih duduk bersila di depannya itu.

Ia gunakan kedua tangan untuk menekan kedua bahu Saritama dan pemuda itu maklum bahwa Sang Patih sedang mencoba kesaktiannya, karena terasa olehnya betapa sepasang tangan sang Patih itu bagaikan dua buah batu besar yang beratnya luar biasa menekan dan menindih pundaknya!

Saritama tersenyum dan berkata, ”Hamba rasa beban ini tak cukup berat, Gusti!” Dan diam-diam ia mengerahkan tenaganya ke arah dua pundak yang tertekan.

Patih Gajah Mada merasa terkejut dan berbareng kagum ketika merasa, betapa kedua pundak pemuda itu tiba-tiba menjadi kaku keras bagaikan baja dan dapat menahan tekanan kedua tangannya dengan mudah! Tertawalah Sang Patih.

“Bagus, Saritama. Kau benar-benar pantas disebut Pendekar Gunung Kidul. Maju dan lawanlah Sakri, aku membekali doa restu padamu.”

Saritama bertubuh sedang dan berkulit putih kuning. Wajahnya tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar gemilang. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan dadanya terbuka telanjang. Telinga kirinya digantungi sebuah anting-anting perak yang mengeluarkan sinar aneh. Senjatanya hanya sebilah keris kecil luk tiga yang diselipkan dalam sarung keris di pinggangnya. Gerak gayanya perlahan dan lemah lembut, akan tetapi tindakan kakinya cepat sekali ketika ia maju kemedan perang.

Para perajurit yang melihat majunya seorang pemuda bertelanjang dada tanpa memegang senjatapun di tangan, merasa sangat heran dan untuk sejenak perajurit-perajurit Pajajaran menjadi ragu-ragu. Mereka merasa tidak tega menyerang seorang pemuda yang demikian tampan dan yang maju kemedan pertempuran dengan senyum manis di bibir.

Tiba-tiba seorang perajurit Pajajaran maju dengan tombak di tangan. Ia tidak perduli dengan sikap pemuda itu. Siapapun juga orangnya yang sudah maju kemedan perang dan berada di fihak Majapahit, berarti musuh mereka yang harus dibasmi!

Akan tetapi Saritama menghadapi perajurit itu dengan tenang. Ketika tombak itu meluncur hendak ditusukkan ke arah dadanya, pemuda ini perlahan sekali memiringkan tubuh dan sekali tangannya bergerak miring, tombak itu patah!

“Sabarlah, aku tak hendak bertempur dengan kalian!” katanya. “Tunjukkanlah di mana adanya Sakri pahlawan besarmu, karena hanya dengan dia saja aku mau bertemu!”

Masih ada dua tiga orang perajurit yang merasa gemas dan menyerang, akan tetapi dengan cara sederhana dan mudah, semua senjata yang menyerangnya dapat dibikin patah! Anehnya, sedikitpun pemuda itu tidak mau membalas serangan atau menyakiti lawannya!

Demikianlah, Saritama terus maju mencari-cari Sakri. Akhirnya, ia bertemu juga dengan Sakri yang sedang mengamuk dan yang kini berdiri dengan tangan kanan memegang keris dan tangan kiri bertolak pinggang karena sudah tidak ada lawan yang berani melawannya lagi! Gagah dan hebat bagaikan Raden Abimanyu mengamuk di lapangan Kurusetra.Ketika melihat seorang pemuda keluar dari fihak Majapahit, Sakri segera lari menghampiri dengan keris di tangan. Akan tetapi, setelah melihat orangnya yang datang, tiba-tiba tubuh Sakri terasa lemas, dadanya berdebar dan tangan yang memegang keris menggigil.

“Dimas Saritama...!”

“Kakang Sakri!”

Mereka berdua hanya dapat mengeluarkan kata-kata ini dan berdiri berhadapan saling pandang. Terharu, kecewa, girang, dan duka bercampur-aduk di dalam hati masing-masing, membuat mereka berdua tak kuasa berkata-kata. Tanpa disadari Sakri memasukkan kerisnya kembali ke dalam sarung keris.

Akhirnya Saritama yang lebih dulu memecah kesunyian yang menyelubungi mereka berdua, “Kangmas, kangmas Sakri, kau... kau telah menjadi seorang pengkhianat?”

Sakri terkejut mendengar ini. Tadinya ia telah ingin menubruk, memeluk dan menciumi adiknya yang terkasih ini, akan tetapi oleh karena mereka bertemu dalam keadaan bertentangan, ia tidak dapat melakukan hal ini. Pada saat itu, Saritama adalah seorang musuh, musuh Pajajaran yang berarti musuhnya pula!

“Tidak, Saritama!” jawabnya, “aku bukan seorang pengkhianat!”

“Kau tidak merasa menjadi seorang pengkhianat, akan tetapi kau telah melawan Majapahit. Kalau begitu, apakah selain menjadi seorang pengkhianat, kangmas Sakri juga telah berubah menjadi seorang pengecut yang tidak berani mengakui dosa sendiri?”

“Saritama! Kau adikku yang kucinta, janganlah mulutmu begitu kejam menjatuhkan fitnah keji terhadap kakakmu sendiri! Kalau bukan kau yang mengucapkan kata-kata ini pasti telah kubinasakan kau!”

“Sakri! Pada saat ini janganlah kau anggap aku sebagai seorang adik. Kalau kau hendak membinasakan aku pula, lakukanlah, wahai manusia sesat dan gelap mata! Hendak kulihat sampai di mana kekejamanmu.”

“Saritama,” kata Sakri dengan hati perih, “aku bukan seorang pengkhianat, juga bukan seorang pengecut seperti yang kau duga. Aku sadar dan yakin bahwa perjuanganku ini suci dan benar. Ketahuilah, aku seorang panglima Pajajaran, seorang hamba Pajajaran yang telah lama bersuita di depan Sang Ratu Dewata dan yang telah banyak menerima budi Kerajaan Pajajaran. Aku telah bersumpah untuk setia dan membela Pajajaran sampai titik darahku yang penghabisan, yang memang sudah selayaknya menjadi cita-cita seorang satria utama! Dengarlah, wahai anak muda, kalau aku melanggar sumpah dan kesetiaanku terhadap kerajaan di mana aku menghambakan diri dan aku tidak menghancurkan fihak Majapahit yang telah menjadi musuh Pajajaran yang hendak menjaga kehormatan, bukankah aku menjadi seorang pengkhianat dan pengecut sebesar-besarnya di dunia ini?”

“Tapi lawanmu adalah bangsa dan darah dagingmu sendiri!” bantah Saritama.“

Di dalam yuda, tidak ada hubungan apa-apa, yang ada hanyalah lawan dan kawan. Siapa saja adanya dia yang berdiri di fihak musuh, dialah lawan yang harus dimusnahkan. Cita-cita seorang perajurit utama hanya tunggal, yaitu membasmi musuh dan membela negara serta taat kepada perintah yang menjadi junjungan. Aku melakukan semua ini dengan penuh kesadaran. Saritama, perjuanganku suci dan tanpa pamrih, karena aku hanyalah menunaikan tugasku sebagai seorang perajurit. Kalau kau bukan perajurit Majapahit, menyingkirlah Saritama, dan jangan kau menghalangi perjuanganku yang suci. Kelak, kalau aku tidak terbinasa di ujung senjata lawan, akan kuceritakan kepadamu tentang semua ini.”

Saritama tersenyum. “Sakri, kau tenggelam dalam kesombonganmu sendiri! Kau kira bahwa seluruh perajurit yang bertempur mengadu tenaga ini hanya boneka-boneka belaka? Bahwa hanya kau seorang yang memiliki jiwa satria utama? Ketahuilah, wahai panglima Pajajaran yang gagah perkasa, bahwa aku Saritama juga seorang perajurit Majapahit. Majulah, karena akulah lawanmu!”

“Duh Jagat Dewa Batara!” Sakri mengeluh, “mengapa aku harus menjatuhkan tanganku kepada adikku sendiri?”

“Sakri, ingatlah akan kata-katamu tadi, kita perajurit sama perajurit. Terima kasih atas pelajaranmu tadi yang membuat hatiku merasa lebih lapang untuk mengadu kerasnya tulang tebalnya kulit denganmu. Mengapa ragu-ragu?”

“Aduh, adikku Saritama ... Kau yang telah lama kurindukan! Tak ada jalan lainkah yang dapat kita ambil? Aku tidak tega menjatuhkan tanganku di atas kepalamu yang kukasihi, Saritama ... kasihanilah kakakmu dan mundurlah.”

“Manusia lemah, mana sifat satria yang kau sombongkan tadi?”

Sambil berkata demikian, Saritama melangkah maju dan menyerang dengan pukulan tangannya. Sakri mengelak lemah, akan tetapi Saritama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan gerakan cepat itu sudah menyusul dengan pukulan kedua hingga dada Sakri kena pukul dan panglima itu jatuh tersungkur!

“Sakri bangunlah! Mari kita bertempur seperti perajurit-perajurit sejati!” Saritama membentak marah karena gemas melihat betapa lawannya itu tidak membalas.

Mendengar ucapan ini dan merasa betapa pukulan Saritama kuat dan berat, bangkitlah semangat Sakri. Serentak ia melompat berdiri dan menggeram keras, “Baiklah, Saritama. Mari kau pertahankan serbuan seorang satria Pajajaran!”

Maka ia lalu menyerang dengan hebatnya. Kedua teruna remaja yang sama tampan sama gagah itu, kakak beradik yang setelah lama berpisah kini bertemu dimedan yuda menjadi lawan, berkelahi mati-matian!Keduanya sama kuat, sama cepat, dan sama digdaya. Pukul-memukul, tendang-menendang, hempas-menghempas hingga debu mengebul dari tanah yang mereka pijak.

Perkelahian ini demikian hebat dan seru, sehingga para perajurit Majapahit dan Pajajaran yang sedang bertempur di dekat tempat kedua kakak-beradik ini beryuda, menghentikan pertempuran mereka dan menonton perkelahian ini dengan kagum!

Sakri dan Saritama bertempur bagaikan dua ekor harimau berebut kelinci. Sepak-terjang Sakri bagaikan Gatut Kaca yang menyambar-nyambar dengan hebatnya, kuat dan cepat gerakannya. Sedangkan Saritama yang lebih halus gerak-geriknya itu bagaikan Raden Angkawijaya yang biarpun bergerak lemah-lembut, akan tetapi selalu tepat cekatan. Tak banyak bergerak dalam mengelak sebuah serangan, dan setiap pukulan yang dilancarkan, biarpun kelihatannya dilakukan dengan perlahan, namun mengandung tenaga yang cukup besar untuk menghancurkan kepala seekor banteng!

Pertempuran itu berjalan seru dan lama hingga para perajurit kedua fihak bersorak-sorak membela jago masing-masing. Baik Sakri, maupun Saritama keduanya merasa betapa berat dan kuat orang yang menjadi lawannya. Sakri diam-diam merasa kagum dan girang melihat kehebatan adiknya, akan tetapi oleh karena pada saat itu adiknya menjadi seorang Majapahit, terpaksa harus dibinasakan!

Sakri menggertak gigi untuk menguatkan hatinya, kemudian ia mencari kesempatan. Ketika kesempatan yang dinanti-nanti itu tiba, cepat bagaikan petir menyambar ia mengirim pukulan tangan kanan yang disertai Aji Kelabang Kencana yang bukan main dahsyatnya! Pukulan sakti ini tepat mengenai pangkal telinga Saritama dan tubuh Saritama terpental jauh lalu jatuh di atas tanah tanpa daya!

Kalau saja yang terkena pukulan itu bukan Saritama, Satria Gunung Kidul yang telah digembleng secara hebat oleh ayahnya, pasti akan tewas di saat itu juga. Akan tetapi, Aji Kelabang Kencana mempunyai kesaktian luar biasa hingga biarpun tidak tewas, namun tubuh Saritama telah menjadi bengkak-bengkak dan matang biru! Pemuda ini merangkak bangun dan mukanya yang tampan kini telah menjadi tidak karuan macamnya, bengkak-bengkak hingga kedua matanya hampir tak nampak lagi. Bukan main rasa sakit yang diderita oleh Saritama, akan tetapi satria ini menguatkan tubuh dan hatinya dan hanya sedikit keluhan terdengar dari mulutnya yang bengkak-bengkak itu.

“Aduh, Rama panembahan, tak kusangka Saritama akan tewas dalam kakangmas Sakri sendiri...” Kemudian ia merangkak bangun dan berseru keras kepada Sakri. “Panglima Pajajaran, janganlah berlaku kepalang-tanggung, majulah dan padamkanlah apiku kalau kau memang seorang satria!”

Semenjak ia memukul Saritama dengan Aji Kelabang Kencana dan melihat betapa adinda yang dikasihinya jatuh berguling dengan tubuh dan muka bengkak-bengkak mengerikan, lenyaplah seketika itu juga semangat bertempur dalam dada Sakri. Ia merasa ngeri dan kasihan sekali. Apalagi setelah mendengar Saritama mengeluh dan menyebut ramanya, hancur luluh perasaan Sakri. Ramanya dulu pernah berkata bahwa kelak ia harus mewakili rama-ibu dan mendidik serta menjaga Saritama, akan tetapi sekarang, dia sendiri telah berusaha sekuasanya untuk membinasakan adindanya itu!

Tak tertahan lagi rasa terharu yang melemahkan hatinya. Ia lalu menubruk maju sambil memekik, “Adimas Saritama...“

Saritama hendak mengelak, akan tetapi oleh karena tubuhnya telah menjadi lemah dan sakit-sakit, ia tak kuasa melepaskan rangkulan kakaknya. Sakri lalu menggunakan tangan kanannya untuk memijit-mijit dan mengusap-ngusap muka dan tubuh adiknya, menggunakan kesaktiannya untuk menghilangkan Aji Kelabang Kencana yang menyerang tubuh Saritama.

Memang selain memiliki Aji Kelabang Kencana dahsyat, Sakri juga mempelajari aji untuk mengobati dan memusnahkan daya serang Kelabang Kencana. Seketika itu juga, pulihlah keadaan Saritama. Segala bengkak-bengkak pada muka dan tubuhnya lenyap dan ia merasa segar kembali.

Saritama mencela kakaknya. Dengan cepat ia merenggutkan tubuh dari pelukan Sakri dan berkata, “Kangmas Sakri, mengapa kau memperlihatkan kelemahanmu lagi? Jangan kau memalukan aku, kangmas!”

“Saritama, adikku yang tersayang. Bagaimana aku dapat sampai hati mencelakakan kau yang kukasihi? Adinda, sekali lagi kupinta kepadamu, menyingkirlah dan jangan melawan aku. Kelak aku akan minta maaf kepadamu, dinda.”

“Sakri! Kau hendak merendahkan adikmu sendiri? Kalau kau seorang satria utama, apakah akupun bukan seorang satria Majapahit yang pantang mundur dan tidak kenal takut pula? Hayo, majulah dan pergunakanlah aji kesaktianmu pula. Saritama bukan anak kecil yang takut akan maut!”

Kembali kakak-beradik ini bertempur. Akan tetapi oleh karena Sakri merasa bimbang, ia hanya berkelahi dengan setengah hati, sehingga pada saat yang tepat Saritama berhasil memasukkan pukulannya yang dengan jitu sekali menghantam kepala Sakri. Bukan main hebatnya pukulan ini, oleh karena kali ini Saritama mempergunakan aji kesaktiannya yang bernama Bromojati. Pukulan ini mempunyai daya bagaikan petir menyambar dan seketika itu juga tubuh Sakri menjadi hangus dan kulitnya rusak bagaikan terbakar api!Sakri bergulingan di bawah dan mengeluh kesakitan, tak berdaya untuk bangun lagi.

“Kangmas... kangmas... ampunkan aku...“ Saritama mengeluh.

“Tidak ada yang harus mengampunkan dan tidak ada yang harus minta ampun, dimas. Kita sama-sama perajurit utama, bukan? Kematian bukan apa-apa, teruskanlah perjuanganmu dengan hati suci. Tak usah kita hiraukan sebab-sebab pertempuran. Tugas kita hanya berjuang, berjuang dengan suci. Aku... aku puas, dinda...”

Kemudian ia mengeluh dan tiba-tiba dari mulut keluar keluhan panjang, “Aduh... adinda Diah Pitaloka...“

Terkejutlah Saritama mendengar ini. “Kangmas Sakri... kau... kau menyinta Diah Pitaloka Puteri Pajajaran?”

Sakri mencoba untuk tersenyum. “Dia... Dia pujaan kalbu dan sumber kebahagiaanku, dinda... sampaikanlah salamku kepadanya dan sampaikan pula bahwa aku telah membela kehormatannya sampai titik darah terakhir...“

Dengan sedih Saritama menyanggupi. Pada saat itu, seorang perwira Majapahit yang berdiri di belakang Saritama, ketika mendengar bahwa Saritama, sebenarnya adalah adik dari Sakri panglima Pajajaran itu, menjadi tercengang. Timbul pikiran jahat dalam otaknya. Ia hendak merebut pahala dan jasa karena membinasakan Sakri, pahlawan musuh yang digdaya itu. Maka, diam-diam ia angkat tombaknya tinggi-tinggi dan cepat sekali ia menusuk punggung Saritama dengan tombak itu!

Saritama sama sekali tidak menyangka akan datangnya bahaya oleh karena kedukaannya membuat ia lupa akan segala. Dan oleh karena segala perhatiannya dicurahkan kepada kakaknya, maka agaknya tombak yang ditusukkan ini tentu akan menembusi tubuhnya!

Akan tetapi pada saat itu Sakri yang telah hampir mati itu tiba-tiba meloncat bangun dan menubruk ke belakang Saritama hingga tombak itu tidak jadi menancap di punggung Saritama, akan tetapi tepat memasuki perut Sakri! Sakri benar-benar digdaya. Biarpun tubuhnya telah hangus dan tombak itu telah menembus perutnya, namun ia masih kuasa menyambar maju dan kedua tangannya yang hangus itu mencekik leher perwira itu sampai kedua mata perwira itu melotot dan lidahnya terjulur keluar. Perwira itu binasa dan setelah melepas tubuh perwira yang telah menjadi mayat.

Sakri lalu terhuyung-huyung dan jatuh ke dalam pelukan Saritama, “Kangmas... sungguh mulia hatimu. Di saat terakhir kau masih sudi menolong jiwaku.”

Akan tetapi Sakri tak kuasa berkata banyak. Ia membuat gerakan agar Saritama mendekatkan telinganya. Pemuda ini mengerti akan isyarat kakaknya, maka ia lalu mendekatkan telinganya di mulut kakaknya. Dan dalam saat terakhir itu, Sakri membisikkan semua aji kesaktiannya kepada adiknya yang terkasih ini. Kemudian, satria utama ini menjadi lemas dan menghembuskan napas terakhir. Sakri telah gugur bagaikan ratna, yang takkan lenyap dan pudar kegemilangan namanya selama dunia berkembang!

Saritama mencabut keluar tombak yang masih menancap di perut Sakri dan dengan penuh khidmat ia pondong jenazah itu keluar dari medan pertempuran, diikuti oleh pandangan mata perajurit-perajurit dari kedua fihak. Setelah pemuda itu pergi, maka para perajurit itu mulai bertempur pula dengan hebatnya!

Dengan hati duka, Saritama membakar jenazah kakaknya sambil berdoa. Setelah pembakaran jenazah ini selesai, ia lalu maju pula kemedan pertempuran, bukan untuk ikut bertempur, akan tetapi untuk mencari Puteri Pajajaran dan menyampaikan pesan Sakri kepada Diah Pitaloka. Setelah Sakri gugur, maka kekuatan fihak Pajajaran makin lemah. Sungguhpun demikian, para satria Pajajaran yang gagah berani dan pantang mundur itu melanjutkan pertempuran sampai orang terakhir!

Patih Gajah Mada mengerahkan semua pahlawannya dan akhirnya semua pahlawan Pajajaran dapat dibinasakan dalam pertempuran yang maha hebat itu! Darah mengalir bagaikan anak sungai dan mayat bergelimpangan bertumpang-tindih memenuhi lapangan Bubat.

Diah pitaloka yang mendengar akan kekalahan fihaknya duduk di dalam kemah dengan pikiran kusut dan hati risau. Tiba-tiba ia teringat kepada Sakri. Ia tidak percaya bahwa fihaknya akan menderita kekalahan. Bukankah di fihaknya ada Sakri, pahlawan yang gagah perkasa itu? Tiba-tiba sesosok bayangan yang gesit sekali meloncat masuk ke dalam kemahnya dan tahu-tahu seorang pemuda tampan yang sederhana berdiri di situ dengan sikap hormat.

“Hai, siapa kau yang kurang ajar dan lancang memasuki tempat ini?” Diah Pitaloka menegur marah.

“Maafkan hamba, Sang Puteri. Ketahuilah, hamba adalah adik dari seorang panglimamu yang ternama, yaitu Sakri.”

“Kau adik Sakri? Dan... bagaimana dengan dia...?”

Wajah yang tampan dan agak pucat itu nampak berduka ketika menjawab, “Kangmas Sakri telah... gugur dan kedatanganku ini hanya hendak menyampaikan pesannya, yakni bahwa kangmas Sakri meninggalkan salam dan hormat kepada Sang Puteri dan bahwa kangmas Sakri telah menunaikan tugasnya membela Paduka sampai pada saat terakhir!”

Diah Pitaloka terharu sekali dan ia tidak dapat menahan air matanya yang mengucur turun. Dengan kedua tangannya, ia menutupi mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan sedu-sedan yang keluar dadanya.

“Sakri... Sakri... kau pahlawan sejati, satria utama... terima kasih atas pengurbananmu yang besar, Sakri...“ Ketika Diah Pitaloka menurunkan tangan dan memandang, ternyata pemuda yang mengaku sebagai adik Sakri itu telah pergi!

Pada saat itu terdengar berita yang lebih menyayat jantung Diah Pitaloka. Yang membawa berita adalah ibunya sendiri, permaisuri raja Pajajaran. Permaisuri masuk ke dalam kamar puterinya sambil menangis dan dengan suara terputus-putus ia menceritakan bahwa Sang Ratu Dewata telah gugur di dalam yuda!

Mendengar ini, kedukaan yang sudah melemahkan jantung Diah Pitaloka, memuncak hebat dan ia lalu roboh pingsan! Ibunya hanya dapat menangis dan setelah Sang Puteri siuman kembali, kedua orang wanita, ibu dan anak ini, bertangis-tangisan.

“Duhai anakku sayang, belahan nyawa bunda. Alangkah buruknya nasib yang menimpa kita! Bunda tak menyesali untung bunda, karena bunda sudah tua, sudah cukup mengecap nikmat hidup. Akan tetapi kau... anakku sayang, ibarat bunga sedang mulai mekar... bunda tak patut mengurbankan puterinya, sekarang terserah kepadamu, anakku. Kau masih muda, pantas menjadi permaisuri yang mulia. Kau menurutlah saja anakku, taatilah kehendak Sang Prabu di Majapahit yang hendak memboyongmu, kau akan menjadi permaisuri yang dimuliakan orang, nak...“

“Duh bunda...“ Diah Pitaloka menangis dalam pelukan ibunya dan untuk beberapa lama tak dapat berkata-kata. Akhirnya, sambil mengeluarkan sebuah keris yang runcing dan tajam, Diah Pitaloka berkata,

“Ibunda yang mulia, mohon diampunkan segala dosa dan kesalahan ananda. Alangkah akan hinanya nama ananda, alangkah akan rendahnya kehormatan ananda apabila ananda menyerah kepada musuh! Budi ramanda dan ibunda yang demikian besar bdilimpahkan kepada ananda, belum cukup terbalas hanya oleh pengurbanan jiwa ananda, apakah mungkin ananda menyerahkan diri kepada musuh yang berarti menghina dan menodai nama orang tua? Tidak, ibunda, ananda seribu kali lebih suka mati daripada menyerah kepada musuh! Ibunda, relakanlah, hamba hendak lebih dahulu menyusul ayahanda!”

Berseri wajah permaisuri mendengar ucapan puterinya itu. Saking terharunya, ia tak dapat berkata-kata, dan setelah beberapa kali menelan ludah, baru ia dapat berkata singkat,

“Diah Pitaloka kau patut menjadi puteri sesembahan di keraton Pajajaran, patut menjadi sari tauladan para wanita!”

Di depan ibunya, Diah Pitaloka lalu menyuduk-salira (menusuk diri). Dengan air mata berlinang-linang, permaisuri dan para emban yang menangis sedih lalu menyelimuti jenazah Sang Puteri dengan sutera hijau. Kemudian permaisuri lalu mengajak para emban untuk mencari jenazah Ratu Dewata, suaminya. Diantara ribuan mayat yang malang melintang, akhirnya Sang Permaisuri dapat pula menemukan jenazah suaminya terhantar di atas tanah dengan sebatang tombak masih menancap di dadanya. Tombak itu merupakan tanda bahwa suaminya telah gugur dengan gagah-berani.

Setelah menubruk dan menangisi jenazah suaminya, Sang Permaisuri lalu mencabut kerisnya dan membunuh diri di dekat suaminya! Para selir dan emban yang mengiringkan Permaisuri melihat hal ini lalu meniru tindakan Sang Permaisuri. Mereka menggunakan senjata masing-masing untuk membunuh diri hingga bertambah pula tubuh manusia memenuhi lapangan Bubat!

Sebelum senjakala, matahari telah menyembunyikan diri siang-siang di belakang awan tebal, seakan-akan Sang Batara Surya sendiri tidak tahan lebih lama menyaksikan akibat mengerikan dari perbuatan manusia yang bodoh dan dungu, manusia yang tak segan-segan untuk saling bunuh hanya karena memperebutkan sesuatu yang kosong!

Ketika Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar akan peristiwa yang amat menyedihkan itu, bukan main duka dan menyesalnya. Padahal Sang Prabu Hayam Wuruk yang telah amat rindu dan ingin sekali bertemu dengan calon permaisurinya, telah menyusul ke Bubat. Tidak tahunya, ketika tiba di Bubat, Sang Prabu hanya bertemu dengan layon Sang Puteri.

Perih dan sakit hati Sang Prabu Hayam Wuruk melihat jenazah yang telah diselimuti sutera hijau seluruhnya itu. Tanpa dapat dicegah lagi, Sang Prabu lalu melangkah maju dan menggunakan kedua tangannya untuk menyingkap sutera itu dari muka jenazah Diah Pitaloka.Naik sedu sedan dari dalam dada yang menyumbat kerongkongannya ketika Sang Prabu menatap wajah yang tetap ayu, tetap gilang-gemilang, dengan dihias senyum manis itu.

Dalam pandangan Sang Prabu, wajah Diah Pitaloka seakan-akan masih hidup dan senyum itu seperti sengaja ditujukan padanya. Tak tertahan pula rasa duka dan terharu yang menggelora dalam kalbunya dan berjatuhanlah air mata Sang Prabu membasahi wajah Sang Ayu yang telah tak bernyawa pula itu.

“Aduhai adinda juita! Adinda pujaan kalbu, mustikaningrat yang cantik jelita, alangkah kejamnya nasib menimpa kita! Telah menjadi kembang mimpi kanda saat pertemuan kita yang telah kurindu-rindukan. Akan tetapi, setelah kita bertemu, kau telah pergi... aduhai adinda, adinda...“

Para pengiring Sang Prabu yang menyaksikan kedukaan Prabu Hayam Wuruk, merasa terharu sekali dan menumpahkan air mata dalam belasungkawa. Juga Patih Gajah Mada diam-diam merasa menyesal telah terjadi perang yang mengakibatkan tewasnya Sang Puteri yang sedianya akan mendatangkan bahagia maha besar bagi junjungannya itu. Ia lalu melangkah maju dan sambil menyembah berkata,

“Duh Gusti pujaan hamba! Ingatlah bahwa segala peristiwa yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi, adalah kehendak Hyang Agung dan kita manusia hanyalah sekedar menjalankan kodrat belaka.”

Maka sadarlah Prabu Hayam Wuruk dari pengaruh duka-nestapanya yang maha hebat. Dengan kedua tangan gemetar Sang Prabu menyelimutkan kembali sutera hijau itu di atas muka Diah Pitaloka, lalu memerintahkan agar jenazah Ratu Dewata seanak-isteri mendapat penghormatan selayaknya bagaikan keluarga raja yang terhormat serta jenazah mereka dibakar menurut upacara yang telah lazim.

Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada para ahlinya untuk merawat mereka yang terluka dalam perang itu, baik perajurit-perajurit Majapahit sendiri maupun Pajajaran. Semua diperlakukan sama dan tak boleh dibeda-bedakan.

Sesungguhnya, sebelum Sang Prabu Hayam Wuruk meminang Diah Pitaloka, Sang Prabu telah tertarik akan kecantikan Puteri Susumnadewi, puteri Raja Wengker. Oleh karena itu, setelah perjodohan dengan Diah Pitaloka gagal, Sang Prabu teringat kembali kepada Puteri Susumnadewi dan akhirnya Sang Prabu melamarnya sebagai permaisuri.

Tak perlu diceritakan lagi betapa girang hati Wijayarajasa oleh karena dengan sendirinya derajat serta kedudukannya meningkat tinggi sebagai mertua raja.

********************

Cersil karya Kho Ping Satria Gunung Kidul

Di sebelah selatan Pulau Jawa, yakni di sepanjang pesisir Laut Selatan, terdapat pegunungan yang memanjang dari barat ke timur yang terkenal disebut Gunung Kidul. Di antara bukit-bukit kecil yang tak terbilang banyaknya itu, bertapalah seorang Panembahan yang sakti dan suci, yakni Panembahan Sidik Panunggal. Sang Panembahan belum tua benar, paling banyak berusialima puluh tahun, akan tetapi rambutnya yang panjang serta jenggotnya yang melambai sampai ke dada, telah putih semua.

Panembahan Sidik Panunggal tinggal dalam sebuah pondok kecil terbuat daripada bambu sederhana. Hidupnya hanya bertani dan bermuja-samadhi, serta mengulurkan tangan menolong para penduduk desa apabila mereka itu membutuhkan pertolongan. Juga banyak sekali cantrik-cantrik yang mengejar ilmu dan bersuwita kepada Sang Panembahan yang sakti.

Pada suatu hari, tak seperti biasanya, Sang Panembahan Sidik Panunggal semenjak pagi tidak meninggalkan pondoknya. Biasanya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam-ayam jantan berkokok Sang Panembahan sudah keluar dari pondok dan berjalan-jalan menghirup hawa udara sejuk di pegunungan, kemudian Sang Panembahan lalu ikut pula mengerjakan sawah-ladang dengan para petani lainnya.

Berbeda dengan pertapa-pertapa lainnya yang tidak mau bekerja, Sang Panembahan ini tiap hari selalu membantu pekerjaan bapak tani dengan gembira, bahkan memberi petunjuk-petunjuk penting oleh karena beliau juga ahli dalam soal pertanian dan cara-cara menggarap sawah-ladang. Biarpun sudah tua dan tubuhnya kelihatan kurus, akan tetapi ternyata bahwa Sang Panembahan masih kuat mengayun cangkul.

Melihat betapa Sang Panembahan tidak seperti biasanya, dan tidak nampak keluar dari sanggar pemujaan, para cantrik merasa bingung dan kuatir, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu dan bertanya kepada Sang Panembahan, hanya duduk di luar pondok dengan bersila dan tidak berani membuat berisik.

Ketika akhirnya setelah lewat tengah hari Sang Panembahan keluar dari pondok, wajah orang tua yang biasanya nampak riang itu, kini kelihatan pucat dan walaupun kedua matanya tidak menampakkan kedukaan, namun keriangan yang biasa membayang pada matanya itu telah lenyap.

Para cantrik maklum bahwa tentu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sang Panembahan Sidik Panunggal. Akan tetap, Sang Panembahan tidak berkata apa-apa, kecuali menanyakan tentang pekerjaan para cantrik.

Pada senja hari datanglah Saritama. Wajah pemuda ini nampak kurus dan pucat, sedangkan tubuhnya lemah-lunglai. Bahkan di atas kedua pipinya masih nampak bekas-bekas air mata. Para cantrik yang tadinya merasa gembira dan girang melihat kedatangan pemuda ini, menjadi heran dan diam-diam saling berbisik menduga-duga apakah gerangan yang disedihkan oleh Saritama.

“Angger, Saritama, kau sudah kembali, nak,” kata Sang Panembahan Sidik Panunggal ketika melihat pemuda itu.

Tiba-tiba Saritama mengeluarkan suara isak tertahan dan sertamerta ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Panembahan itu dan memeluk kaki sambil menangis tersedu-sedu. Sang Panembahan menggunkan tangan kanan mengelus-ngelus kepala pemuda itu sambil berkata,

“Saritama, tidak ada kedukaan dan kekecewaan yang cukup besar untuk dapat menggoncangkan iman seorang satria. Sadarlah kembali dan gunakan sifat jantanmu untuk mengusir perasaan duka yang tak baik dan melemahkan itu.”

“Aduh rama Panembahan, hamba telah berdosa besar rama... Hamba... telah membunuh kakangmas Sakri...“ Pemuda itu menangis lagi.

“Wahai puteraku yang bagus, puteraku yang setia dan taat kepada pelaksanaan tugas, mengapa kau begini lemah? Kau bilang bahwa kau telah membunuh kakakmu Sakri? Ya, Jagat Dewa Batara yang berkuasa di jagat raya! Bagaimanakah asal-mulanya maka kau dapat berkata demikian?”

Setelah dapat menekan perasaan terharu dan dukanya dan menetapkan hatinya, Saritama lalu berkata,

“Hamba mentaati perintah Rama Panembahan dan menuju ke Majapahit untuk menunaikan tugas sebagai seorang satria dan pembela negara. Kebetulan sekali ketika hamba tiba disana , Majapahit sedang mengadakan perang melawan barisan dari Kerajaan Pajajaran. Hamba lalu menuju ke tempat peperangan dan disana hamba mendengar tentang mengamuknya seorang panglima Pajajaran yang gagah perkasa dan bernama Sakri. Tadinya hamba merasa ragu-ragu dan tidak percaya bahwa panglima yang bernama Sakri itu adalah kakangmas Sakri sendiri. Maka hamba lalu mengajukan diri membela perajurit-perajurit Majapahit. Ketika hamba bertemu dengan panglima itu, benar saja, panglima Pajajaran itu adalah kangmas Sakri sendiri! Aduh, Rama Panembahan, sebelum hamba melanjutkan cerita hamba, mohon penyesalan, Rama, dalam keadaan seperti itu, apakah yang hamba harus perbuat? Hamba ingin mendengar pendapat Rama, apakah perbuatan hamba itu sesuai dengan pendapat Rama atau tidak, agar hati hamba menjadi tenang dan puas.”

Sang Panembahan Sidik Panunggal mengangguk-angguk perlahan sedangkan para cantrik saling pandang dengan heran mendengar cerita ini. Kemudian terdengar suara Panembahan itu yang halus, sabar, dan penuh ketenangan,

“Saritama, ketika kau maju kemedan perang, kau adalah seorang perajurit Majapahit, maka siapa juga orangnya yang berdiri di fihak musuh negara, harus disingkirkan.”

“Aduh, Rama Panembahan! Lega rasa hati hamba mendengar pendapat Rama ini! Ternyata biarpun perbuatan hamba telah membuat hati sanubari hamba terasa perih dan hancur, namun agaknya tidak menyeleweng daripada pelajaran Rama! Ketika hamba berhadapan dengan kakangmas Sakri, hamba dan kangmas Sakri berselisih pendapat dan mempertahankan tugas masing-masing hingga akhirnya kami berdua beryuda. Tadinya hamba kalah dan terkena pukulan Kelabang Kencana yang ampuh dan luar biasa. Akan tetapi, kakangmas Sakri menaruh kasihan kepada hamba dan hamba disembuhkannya kembali! Kemudian karena dorongan tugas kami masing-masing sebagai seorang perajurit dan satria utama, kami bertempur pula. Bukan main hebatnya sepak-terjang kakangmas Sakri yang benar-benar sakti mandaraguna! Dia terlampau gagah perkasa, terlampau sakti, hingga terpaksa hamba mengeluarkan Aji Bromojati. Dan dia ... kangmas Sakri yang tercinta... dia kena hamba pukul Aduhai, Rama Panembahan, kalau tidak takut akan dosa dan murka dewata, mau rasanya hamba memenggal tangan hamba yang telah memukul kepala kakangmas Sakri. Rama... rama... hukumlah hamba, karena hamba telah berdosa besar dan patut mendapat hukuman berat!”

“Tenanglah, Saritama. Lalu bagaimana lanjutan ceritamu? Apakah Sakri terus tewas karena pukulanmu Bromojati?”

“Tidak, rama. Dia terlalu sakti dan kebal untuk dapat sekali tewas dengan sekali pukul. Hamba sudah tidak kuat meihat keadaannya setelah dia terpukul oleh hamba. Hamba tubruk tubuhnya dan hamba tak kuat lagi menahan keluarnya air mata. Hamba tangisi dia, dan pada saat itu, seorang perwira Majapahit tanpa sebab lalu menyerang hamba dari belakang dengan tombaknya. Hamba tidak melihat serangan ini, akan tetapi tiba-tiba kakangmas Sakri melompat berdiri dan menubruk perwira itu hingga tombak yang sedianya menancap di punggung hamba, lalu menancap di dada kakangmas Sakri! Kakangmas Sakri membinasakan perwira yang curang itu dan tak lama kemudian dia menghembuskan napas terakhir dalam pelukan hamba! Ah, Rama Panembahan, perbuatan kakangmas Sakri yang biarpun telah hampir tewas karena pukulan hamba itu, akhirnya masih menolong hamba dari ancaman maut, sungguh memberatkan rasa duka di dalam hati hamba! Dia yang telah hamba pukul hingga hampir tewas, bahkan menolong dan menyelamatkan nyawa hamba!”

“Saritama, kau kira kau ini siapa maka mudah saja mengatakan dapat membunuh? Lupakah kau akan ilmu penerangan yang telah diturunkan oleh Sri Kresna? Bukankah Sri Kresna dulu pernah bersabda kepada Sang Arjuna bahwa : “Kalau ada orang berkata bahwa Atman dapat terbunuh atau berkata bahwa dia telah membunuh maka orang yang berkata demikian itu tidak mengetahui akan kebenaran! Bagaimanakah Dia dapat membunuh dan siapakah itu yang dapat membunuh Dia?”

Ucapan di atas yang dipetik oleh Panembahan Sidik Panunggal ini adalah ucapan Sri Kresna yang ditujukan kepada Sang Arjuna dalam wejangan-wejangannya, yang terkenal sebagai kitab Rhagawad Gita.

Memang semenjak kecil Saritama telah menerima bermacam pelajaran dari Panembahan Sidik Panunggal, maka tentu saja ia masih ingat akan ilmu pelajaran batin di atas. Ia lalu menyembah di hadapan Sang Prabu Panembahan dan berkata,

“Terima kasih, Rama. Sungguh besar sekali pengaruh wejangan Rama, karena kini hamba merasa tidak sangat tertekan.”

“Kau hanya menjalankan tugasmu sebagai seorang ksatria dan perajurit utama, demikianpun Sakri. Biarpun dia telah tewas di dalam peperangan, namun ia gugur sebagai seorang ksatria utama. Tewas di dalam menunaikan tugas dimedan perang, bagi seorang perajurit dan ksatria utama, adalah cara mengakhiri hidup yang paling nikmat dan sempurna!”

“Akan tetapi, Rama Panembahan yang menjadi pujaan hamba di jagat raya! Betapa hati hamba takkan berduka oleh karena di dalam dunia ini, hamba hanya mempunyai rama dan kakangmas Sakri. Kini kakangmas Sakri telah pergi, ah, betapa hamba takkan merasa sunyi dan sengsara.”

Sang Panembahan tersenyum.“Saritama, Saritama! Ucapanmu ini seperti seorang anak-anak saja. Mengapa kau hanya mempunyai aku dan kangmasmu? Tengoklah di sekelilingmu. Para cantrik ini, para kawan pamong desa, para petani, semua itu juga bukankah manusia-manusia yang tiada bedanya dengan aku atau kangmasmu? Kalau kau dapat menganggap aku sebagai rama mu dan Sakri sebagai kangmas mu, mengapa kau takkan dapat menganggap mereka semua itu sebagai rama mu dan juga sebagai kangmasmu? Dan sekarang, Saritama, bersiaplah untuk menerima kenyataan yang sebetulnya bukan apa-apa, akan tetapi kalau iman mu lemah, kau dapat menganggap bahwa hal ini merupakan hal yang pahit bagimu. Kenyataan yang tadinya menjadi rahasia dan yang kini hendak kubuka ini, juga akan membongkar pula kenyataan bahwa nafsu perseorangan atau nafsu kekeluargaan yang menebal di dalam hati manusia itu sebenarnya tidak selayaknya dan hanya timbul karena diadakan oleh manusia sendiri, bukan timbul dari kodrat. Kasih sayang harus dicurahkan kepada seluruh manusia, tak perduli orang itu keluarga maupun tidak, berdasar rasa perikemanusiaan dan sesama hidup, bahkan seyogianya tidak hanya terhadap sesama manusia, akan tetapi juga terhadap sesama mahluk di dunia. Saritama, sekarang dengarlah, aku hendak menceritakan sebuah riwayat yang hendak kupersingkat saja.” Sang Panembahan Sidik Panunggal lalu bercerita sebagai berikut...

Kurang lebih empat belas tahun yang lalu, terdapat seorang adipati yang mengepalai Kadipaten Tritis. Adipati ini mempunyai seorang musuh, yakni seorang tumenggung. Oleh karena keduanya adalah hamba Kerajaan Majapahit dan keduanya memiliki kesaktian dan telah berjasa besar terhadap kerajaan hingga pengaruh mereka cukup besar, maka rasa permusuhan ini tidak dinyatakan berterang, hanya terpendam dalam dasar hati masing-masing.

Walaupun pada lahirnya Adipati dan Tumenggung itu tidak memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi di dalam hati mereka menaruh dendam besar. Permusuhan ini timbul oleh karena seorang Puteri keturunan Prabu Jayanegara yang lahir dari selir.

Puteri ini sebenarnya telah mempunyai hubungan kasih-sayang dengan adipati itu, akan tetapi oleh karena pada waktu itu sang adipati masih belum menduduki pangkat dan keadaannya miskin, maka akhirnya sang puteri tak dapat menjadi jodohnya dan menjadi isteri sang tumenggung yang kaya raya dan berpengaruh.

Hal inilah yang menjadikan ganjalan di dalam hati kedua orang itu dan menimbulkan sakit hati yang tak kunjung padam. Akan tetapi, sang adipati itu dapat mengobati luka di hatinya dan biarpun ia masih membenci sang tumenggung, namun dia tidak melakukan sesuatu, bahkan lalu kawin dengan puteri lain dan hidup cukup berbahagia oleh karena ia mendapat anugerah raja dan dijadikan adipati di Tritis.

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan sang tumenggung itu. Biarpun puteri juita yang diperebutkan itu akhirnya terjatuh ke dalam tangannya dan menjadi isterinya, namun rasa cemburu masih melekat di dalam hatinya dan bencinya terhadap adiapti itu makin lama makin menghebat. Hingga pada suatu hari, dengan cara curang sang tumenggung itu berhasil menfitnah sang adipati yang dituduh hendak memberontak terhadap Kerajaan Majapahit.

Pada masa itu, yang memerintah di Majapahit adalah Sang Ratu Tribuwana Tungga Dewi dan sebagai seorang wanita, Ratu ini dapat dihasut hingga Sang Ratu menggerakkan panglima-panglimanya untuk memukul hancur adipati itu hingga terbinasa seluruh keluarganya, kecuali dua orang puteranya yang dapat diselamatkannya.

“Demikianlah riwayat itu, Saritama,” kata Sang Panembahan Sidik Panunggal kepada Saritama yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. “Dan sekarang ketahuilah, wahai anakku, bahwa tumenggung itu adalah Tumenggung Wiradigda yang sekarang masih menjadi Tumenggung di Majapahit dan berkedudukan di wilayah Tangen, sedangkan adipati itu adalah Adipati Cakrabuwana atau... adikku sendiri! Sedangkan kedua putera adipati yang diselamatkan itu tidak lain adalah... Sakri dan kau sendiri! Jadi, aku bukanlah rama mu sebagaimana yang selama ini kau ketahui, akan tetapi adalah bapak tuamu atau pamanmu!”

Kalau bumi yang terpijak kaki Saritama pada saat itu ambles, belum tentu pemuda itu akan sedemikian kagetnya mendengar penuturan ini. Sepasang matanya tajam menatap Sang Panembahan, wajahnya memucat dan bibirnya gemetar. Tiba-tiba ia maju menyembah dan berkata dengan suara keras,

“Paman Panembahan, mohon doa restumu!” Ia lalu melompat bangun dan sambil mengacungkan tinjunya ke atas, ia berseru dengan bengis. “Tumenggung Wiradigda, tunggulah pembalasanku!” Kemudian, tanpa menoleh lagi, pemuda itu lalu melompat ke depan dan lari keluar dari tempat itu secepat kidang melompat!

Sang Panembahan memandang ke arah perginya Saritama sambil menggeleng-geleng kepala, “Ah, hati muda... semoga Hyang Agung akan menjauhkannya daripada kesesatan.”

Kemudian, tanpa mengeluarkan kata-kata lain kepada sekalian cantrik yang masih duduk bersila di situ, Sang Panembahan lalu memasuki pondoknya kembali dan duduk bersila bermuja samadhi dengan tekunnya. Para cantrik hanya dapat saling pandang dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas.

Dengan hati dan pikiran tak karuan rasa, duka, kecewa, marah menjadi satu, Saritama meninggalkan pondok Panembahan Sidik Panunggal. Hatinya dipenuhi rasa dendam dan sakit-hati, dan pada saat itu ingin sekali ia segera bertemu dengan musuh besarnya yang telah menghancurkan penghidupan ayah-ibu dan keluarganya. Ingin ia segera mendapat kesempatan menjatuhkan tangan kepada Tumenggung Wiradigda.

“Hm, Wiradigda keparat! Kau mengandalkan pengaruh dan kedudukanmu, dengan kejam dan buas menfitnah orang tuaku. Setelah kau merampas kekasih ayah, kau masih sampai hati untuk menghancurkan penghidupan ayah! Alangkah kejam, apa kau kira hanya kau saja laki-laki jantan di atas dunia ini. Tunggulah, awaslah kau, tumenggung keparat!”

Tiada hentinya bibir Saritama bergerak-gerak membisikkan ancaman-ancaman ini di sepanjang jalan. Ia berlari bagaikan gila menuju ke Tangen, sebuah pedusunan yang berada di sebelah selatan Majapahit. Bukan dekat perjalanan yang ditempuhnya, akan tetapi berkat kesaktian dan kepandaiannya yang hebat, yakin dengan ilmu lari Kidang Kencana, ia mengharapkan akan dapat sampai di tempat itu dalam tiga hari.

Pada malam hari ketiga, ia telah tiba di luar daerah Tangen. Oleh karena malam itu gelap sekali, terpaksa ia harus bermalam di sebuah dusun kecil dan tak dapat melanjutkan perjalanannya. Dusun di mana ia berhenti itu kecil, akan tetapi cukup ramai. Ketika melihat sebuah pondok di dalam dusun itu, pondok yang dilengkapi dengan sebuah tempat pemujaan di sampingnya seperti yang biasa dipunyai oleh seorang pertapa atau seorang Panembahan, ia menjadi tertarik. Ketika ia bertanya kepada seorang petani yang kebetulan bertemu dengamnya di tengah jalan dekat pondok itu, ia bertanya.

“Paman, maafkan kalau aku menganggumu. Pondok siapakah yang nampak di depan ini. Agaknya pondok seorang pertapa.”

Petani itu memandangnya sejenak, karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang pendatang dari jauh hingga tak mengenal pondok pertapa terkenal itu.

“Raden,” katanya penuh hormat karena biarpun pakaian Saritama sederhana dan bagaikan seorang petani, namun sikap halus dan wajah tampan pemuda itu menimbulkan dugaan kepadanya bahwa pemuda ini tentu bukanlah seorang petani biasa. “Pondok ini adalah tempat kediaman seorang dukun yang sakti dan ditakuti orang, namanya Bagawan Kalamaya yang kemashurannya telah terkenal sampai kekota raja.”

“Ah, kebetulan sekali, paman. Kalau seorang bagawan, tentu sudi menerima aku untuk bermalam di sini.”

“Raden, kalau kau hendak bermalam di dusun kami, dan kalau kiranya gubukku yang bobrok tidak menjadikan celaan, aku persilakan kau mampir dan bermalam saja di rumahku. Janganlah kau mencoba untuk minta bermalam di sini.”

Saritama merasa heran. “Eh, mengapa begitu, paman? Aku berterima kasih sekali kepadamu, paman. Kau memang baik hati dan ramah tamah, akan tetapi, hatiku menjadi ingin tahu mendengar kata-katamu tadi. Mengapa Bagawan Kalamaya takkan mau menerimaku? Bukankah seorang pendeta itu biasanya murah hati dan berbudi?”

Petani itu menghela napas dan matanya memandang ke arah pondok itu dengan hati-hati dan takut-takut, kemudian ia berbisik, “Raden, ketahuilah, Bagawan Kalamaya adalah dukun tenung yang ditakuti orang dan ia pun galak sekali. Yang paling hebat ialah bahwa di rumahnya terdapat banyak iblis yang dipeliharanya!”

Saritama tersenyum. Ia tidak merasa heran mendengar ucapan petani ini, oleh karena memang para petani yang bodoh seringkali mudah dipengaruhi dan ditakut-takuti tentang iblis-iblis dan segala setan oleh orang-orang yang mereka anggap dukun tenung.

“Biarlah, paman. Betapapun juga aku ingin sekali berkelanan dengan dukun yang sakti itu.”

Petani itu memandang kepada saritama dengan penuh kekuatiran dan juga kagum, akan tetapi ia telah demikian ketakutan berada terlalu lama di dekat pondok Bagawan Kalamaya, maka ia segera meninggalkan Saritama cepat-cepat sambil menoleh beberapa kali.

Saritama lalu memasuki pekarangan pondok yang gelap itu. Langsung ia menuju ke pintunya dan mengetok sambil mengucapkan salam. Setelah beberapa kali ia mengetuk pintu, barulah terdengar jawaban dari dalam.

“Anak muda yang cakap dan gagah, pintu pondokku tidak terpalang, dorong saja dan masuklah!”

Dengan sikap hormat Saritama lalu mendorong daun pintu itu. Daun pintu mengeluarkan bunyi bergerit menyeramkan dan Saritama melihat seorang kakek bongkok bersila menghadapi sebuah meja rendah dan di atas meja itu terdapat sebuah dian minyak kecil. Cahaya dian itu remang-remang dan membuat bayang-bayang suram pada dinding bilik. Tercium bau kemenyan dan kembang layu ketika Saritama memasuki ruang kecil ini. Dengan sikap menghormat, pemuda itu lalu duduk bersila pula menghadapi tuan rumah yang tua itu, lalu berkata,

“Mohon maaf sebesarnya dari Bapak Bagawan apabila saya mengganggu ketentraman Bapak.”

“Ha, ha, ha!” Kakek itu tertawa dan sepasang matanya berputaran. “Anak muda yang tabah dan cakap lagi sopan seperti engkau memang tak usah takut takkan mendapat tempat bermalam! Bukankah kedatanganmu ini hendak bermalam di tempatku yang buruk ini, anak muda?”

“Memang benar demikianlah maksud kedatangan saya, yakni kalau bapak tidak menaruh keberatan dan rela menerimanya.”

“Tentu, tentu! Kau boleh bermalam di sini. Akan tetapi, siapakah kau, anak muda yang tampan dan sopan, kau datang dari mana dan hendak ke mana?”

Ketika tadi untuk pertama kalinya melangkahkan kakinya ke dalam ruang ini, Saritama yang bermata tajam sudah dapat melihat bahwa kakek ini memang seorang sakti yang memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang tidak pantang mendatangkan celaka kepada orang lain, maka ia telah merasa kecewa masuk ke situ. Akan tetapi, oleh karena ia telah berada di dalam, pula sebagai seorang tamu, terpaksa ia harus berlaku sopan santun sesuai dengan kepribadiannya.Kini ia hendak mencoba sifat dukun itu dan menjawab pertanyaan dengan suara tenang,

“Bapak Bagawan, saya telah mendengar akan kesaktian dan kewaspadaanmu, mengapakah bapak masih hendak bertanya lagi? Bukankah bapak sudah tahu akan segala rahasia alam, termasuk namaku dan segala hal yang mengenai diriku yang bodoh?”

Bagawan Kalamaya tertawa sehingga tubuhnya bergoyang-goyang. “Ha, ha,ha, anak muda. Kau benar-benar pintar dan menyenangkan hati! Sudah tentu aku tahu akan segala apa di mayapada ini, dan tidak ada rahasia bagi Bagawan Kalamaya. Akan tetapi, sebagai seorang manusia, aku tak boleh meninggalkan kebiasaan manusia terhadap manusia lain, yakni apabila bertemu harus saling bertanya.”

Mendengar jawaban ini. Saritama dapat meraba bahwa pendeta ini memiliki kesombongan besar dan hendak berpura-pura suci dan mengerti akan hukum alam. Maka ia tersenyum ketika menjawab,

“Baiklah, bapak bagawan. Saya bernama Saritama dari Gunung Kidul, dan saya hendak pergi ke Tangen.”

“Ah, ah... bukankah kau hendak mencari Tumenggung Wradigda?” tanya kakek pendeta itu.

Saritama agak tercengang karena tak disangkanya bahwa pendeta ini dapat pula membaca maksud hatinya! Ia tak tahu bahwa Bagawan Kalamaya hanya menggunakan kecerdikan dan bahwa dugaannya itu hanya kebetulan tepat. Orang terpenting di Tangen hanya Tumenggung Wiradigda seorang, maka kalau ada seorang pemuda gagah datang dari tempat jauh menuju ke Tangen, siapa lagi yang hendak ditemuinya disana selain Tumenggung Wiradigda? Oleh karena inilah maka dukun hitam itu dapat menduga dengan tepat.

“Benar, bapak bagawan yang waspada, memang saya hendak pergi mencari Tumenggung Wiradigda.” Ketika mengucapkan nama ini, suara Saritama menjadi tajam dan mengandung kebencian. Hal ini tak terlepas daripada pendengaran dukun hitam yang cerdik itu.

“Hm, hm, kulihat kau mempunyai permusuhan dengan sang tumenggung! Kalau kau tidak merasa keberatan, Saritama, cobalah kau ceritakan urusanmu dengan tumenggung itu kepadaku. Mungkin sekali aku dapat menolongmu!”

Kembali Saritama kagum mendengar dugaan yang tepat ini. Ia tidak memiliki rahasia hati dan apa yang hendak ia lakukan terhadap Tumenggung Wiradigda, yakni pembalasan dendam, tak hendak ia rahasiakan kepada siapapun juga. Maka, apa salahnya menceritakan kepada dukun ini?

“Memang tepat dugaan bapak bagawan. Saya hendak mencari Tumenggung Wiradigda untuk membuat perhitungan lama yang hingga kini belum diselesaikan! Tumenggung keparat itu telah membinasakan seluruh keluarga ayahku dan sekarang tiba masanya bagi saya untuk membalas kejahatannya itu!”

Bagawan Kalamaya memandang tajam. “Siapakah orang tuamu, Saritama yang gagah berani?”

“Mendiang ramandaku adalah Adipati Cakrabuwana di Tritis.”

Kedua mata pendeta itu melebar lebar. “Eh, eh... jadi kau adalah putera adipati yang telah lama dicari-cari oleh Tumenggung Wiradigda dan tak pernah ditemukan itu? Dan saudaramu yang seorang lagi, di manakah dia?”

“Hm, agaknya bapak juga tahu benar akan riwayat itu, bukan?”

Dukun hitam itu mengangguk-angguk. ”Siapa yang tak kenal Adipati Cakrabuwana, pemberontak itu?”

“Jangan bapak berkata demikian!” bentak Saritama marah. “Tumenggung Wiradigda memfitnahnya!”

“Ya, ya... memang kedua orang itu bermusuhan dan saling membenci! Mereka saling membenci hanya karena seorang wanita. Ah, wanita, kau mahluk lemah akan tetapi pengaruhmu lebih kuasa dan kuat daripada sekalian pria yang terkuat! Tahukah kau Saritama? Wanita macam apa yang dulu dicinta ayahmu dan yang telah direbut oleh Tumenggung Wiradigda? Ha, ha! Sayang seribu sayang, seorang gagah seperti Cakrabuwana hanya menjadi korban karena seorang wanita macam itu! Memang dulu wanita itu mencinta ayahmu, akan tetapi setelah ia menjadi isteri Tumenggung, bahkan dia sendiri yang membujuk-bujuk suaminya untuk menfitnah Cakrabuwana! Ah, wanita... memang kau mahluk termulia, tapi juga mahluk paling jahat di dunia ini! Puteri itu sekarang telah mempunyai seorang anak perempuan yang telah dewasa dan dalam hal kecantikan, ia tak kalah oleh ibunya! Ha, ha, ha!”

Makin panas hati Saritama mendengar penuturan yang memanaskan hati ini, maka dengan menggertak gigi pemuda itu berkata, “Biarlah, paling lama sampai besok pagi, Wiradigda seanak-isterinya tentu akan binasa di dalam tanganku!”

Tiba-tiba Bagawan Kalamaya tertawa gelak-gelak hingga terpingkal-pingkal memegangi perut.

“Bapak Bagawan, apakah yang kau tertawakan?”

“Saritama kau anak kecil yang masih hijau, bagaikan seekor burung baru belajar terbang! Apakah yang kau andalkan maka kau berani mengucapkan kata-kata ancaman itu? Seekor semut pun kalau dapat mengerti omonganmu akan tertawa geli, jangankah seorang manusia! Kau tahu apa? Wiradigda bukanlah sembarang orang yang mudah dibinasakan begitu saja. Bahkan aku dengan segala ilmu sihirku tak dapat membinasakannya, apalagi kau. Tumenggung Wiradigda adalah seorang yang sakti mandraguna dan banyak perwira sakti menjadi pembantunya. Barisan yang berada di dalam kekuasaannya saja sebanyak ribuan orang!”

Namun Saritama tidak gentar mendengar ini.“Aku tidak takut, Bagawan Kalamaya!” katanya dengan suara tetap keras. “Biar andaikata Wiradigda mempunyai tiga kepala dan enam tangan, kesemuanya akan kuhancurkan dengan kedua kepalan tanganku!"

Sekali lagi dukun itu tertawa geli hingga dari kedua matanya keluar air mata.“Saritama, jangan kau sombong! Selain para perwira dan para perajurit Tangen yang sedemikian banyaknya itu, masih banyak pula pembantu-pembantunya, yakni pertapa-pertapa sakti mandraguna yang memiliki banyak ilmu dan aji kesaktian. Diantara mereka ini, akupun menjadi penasehat dan pembantunya!”

Saritama bangkit berdiri dan bersiap-sedia!

“Ha, ha, anak muda, kau mempunyai kepandaian apa?” Sambil berkata demikian, dukun hitam itu lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan tiba-tiba dari arah jendela biliknya itu menyambar angin dingin! Api dian berkelap-kelip dan hampir padam. Kini Bagawan Kalamaya juga berdiri dan tubuhnya yang bongkok menambahkan keseraman ruang gelap itu. Tangan kanan dukun itu memegang sebatang tongkat dan sambil melempar tongkat itu ke arah Saritama, terdengar suaranya yang parau membentak,

“Lihat nagaku menelanmu bulat-bulat!”

Aneh sekali, dalam cahaya yang remang-remang itu, tongkat yang dilempar tadi tiba-tiba mengeluarkan asap dan berubah menjadi seekor naga atau ular besar bertanduk dua yang hanya dapat terlihat dalam alam mimpi seorang penakut!

“Bagawan Kalamaya, apakah harganya permainan macam ini diperlihatkan?” kata Saritama tiada gentar sedikitpun. Ketika ular naga itu menyambar ke arah lehernya, ia angkat tangan kirinya dan dengan telapak tangan dimiringkan ia memukul ke arah tubuh ular naga itu sambil berseru keras, “Asal tongkat kembali menjadi tongkat!”

Terdengar suara keras dan tubuh ular naga itu kena pukul tangan Saritama lalu terlempar ke dinding dan berubah menjadi dua batang kayu, karena tongkat itu telah patah di tengah-tengah dan kini berserakan di atas lantai! Angin yang bertiup dari arah jendela berhenti dan api dian bernyala baik kembali hingga keadaan menjadi terang.

Bagawan Kalamaya tertawa terkekeh-kekeh, lalu ia duduk bersila kembali.“Kau sakti, Saritama, cukup sakti! Tak kunyana putera Cakrabuwana memiliki kesaktian melebihi ayahnya. Bagus, bagus, anak muda, tadi aku hanya mengujimu saja! Kau hendak menumpas keluarga Wiradigda di Tangen? Bagus, memang mereka itu harus dibinasakan!”

Saritama tertegun melihat perubahan ini. Iapun lalu duduk kembali. “Bagawan Kalamaya, agaknya kau pun membenci tumenggung keparat itu?” tanyanya.

“Heh, heh, hem!” suara ketawa dukun itu makin menjemukan. “Siapa yang tidak kubenci? Ketahuilah, Saritama, sudah lama akupun hendak menyerbu ke Tangen, akan tetapi aku tidak cukup kuat menghadapi mereka, terutama menghadapi Dewi Saraswati!”

“Sang Bagawan, siapakah Dewi Saraswati itu?” tanya Saritama.

“Ha, ha, ha, siapa lagi? Dewi Saraswati adalah permaisuri Sang Hyang Brahma, Dewa tertinggi!”

Saritama memandang heran. Ia pun maklum bahwa para pemeluk agama Brahma menganggap Dewa yang tertinggi kekuasaannya adalah Sang Hyang Brahma dan permaisuri atau yang disebut sakti dari dewa ini adalah Dewi Saraswati.

“Akan tetapi, apakah maksudmu mengatakan kau takut menghadapi Dewi Saraswati di Tangen?”

“Saritama, ketahuilah bahwa kekasih ayahmu yang telah mengecewakan hatinya dan menjadi isteri Tumenggung Wiradigda, mempunyai seorang puteri. Puteri inilah yang bernama Dewi Saraswati, dan dia ini benar-benar penjelmaan Dewi Saraswati permaisuri Brahma dan kini puteri ini sedang menanti kedatangan jodohnya yang harus titisan (penjelmaan) Sang Hyang Brahma sendiri! Ha, ha, ha!”

Saritama makin heran dan ia mulai menduga bahwa dukun tua ini tentu agak miring otaknya. “Dan siapakah titisan Sang Hyang Brahma sekarang?” tanyanya karena ingin mendengar sampai di mana kegilaan dukun hitam itu.

“Heh, heh, heh! Titisan Brahma telah berada di hadapanmu, masih juga kau belum tahu? Akulah penjelmaan Sang Hyang Brahma!”

"Ah, dia benar-benar gila! Demikian pikir Saritama, maka ia lalu bersila dan diam saja, tidak mau melayani dukun itu lebih lanjut lagi. Juga Bagawan Kalamaya agaknya telah lelah, karena ia lalu merebahkan tubuhnya dan tak lama kemudian terdengar dengkurnya!

Saritama sudah terbiasa beristirahat sambil duduk bersila. Maka ia lalu bersamadhi dan beristirahat sambil bersila dengan tenang. Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi benar Bagawan Kalamaya terdengar menguap dan bangun dari tidurnya, Saritama juga mengakhiri samadhinya. Setelah dukun tua itu duduk, pemuda itu lalu berkata,

“Sang Bagawan, saya mengucap diperbanyak terima kasih atas kebaikan dan keramahanmu yang telah menerima saya bermalam di sini. Moga-moga lain waktu saya akan mendapat kesempatan membalas kebaikanmu. Sekarang, perkenankanlah saya melanjutkan perjalanan saya.”

“Eh, eh, nanti dulu, Saritama. Aku akan menyertaimu ke Tangen karena menurut pendapatku, sekarang telah tiba saatnya aku bergerak bersama kau yang muda dan gagah. Aku lebih mengenal keadaan di Tangen, maka akan lebih mudahlah kau bertindak apabila kau bersama dengan aku.”

“Tapi bukankah kau ini menjadi hamba dari Tumenggung Wiradigda?”

“Heh, heh, heh! Ada kalanya aku menjadi hamba, ada kalanya aku menjadi pujaan! Kali ini aku menjadi musuh Tumenggug Wiradigda!”

Saritama merasa tak enak untuk menolak, dan pula dia tidak mau dianggap takut atau kuatir jika pergi bersama dengan dukun hitam ini. Maka ia lalu menyatakan persetujuannya. Lama sekali Saritama harus menanti bagawan itu berkemas, mengenakan pakaian indah-indah dan akhirnya setelah mereka berangkat, diam-diam Saritama merasa mendongkol sekali oleh karena bagawan itu berjalan perlahan sekali! Dengan bantuan tongkatnya, Bagawan Kalamaya berjalan membungkuk-bungkuk.

“Sang Bagawan, kalau kita berjalan seperti ini, kapankah akan sampai di Tangen? Marilah kita pergunakan ilmu!”

Bagawan Kalamaya menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. “Orang yang memperlihatkan kepandaian di tempat umum adalah seorang bodoh dan sombong. Nanti saja kalau kita sudah tiba di hutan itu, baru kita menggunakan ilmu kesaktian akan tetapi aku kuatir kalau-kalau kau ketinggalan jauh!”

Saritama tersenyum dan di dalam hati ia merasa geli dan juga mendongkol. Dukun lepus ini melarang orang memperlihatkan kepandaian dengan alasan tak baik berlaku sombong akan tetapi ucapannya yang terakhir itu jelas sekali menyatakan betapa sombongnya kakek ini! Akan tetapi, Saritama diam saja dan tidak mendesak lebih jauh. Hendak ia lihat, sampai di mana kehebatan ilmu lari cepat dukun ini maka berani mengatakan bahwa dia akan tertinggal jauh!

Setelah mereka tiba di dalam hutan, Saritama tak sabar lagi dan berkata, “Marilah kita percepat langkah kita, Sang Bagawan.”

Bagawan Kalamaya tersenyum. “Baiklah, baiklah!” Kemudian Bagawan Kalamaya mempergunakan aji kesaktiannya dan benar saja, langkahnya lebar dan gerakannya cepat hingga tak lama kemudian tubuh yang bongkok itu telah berlari cepat sekali.

Saritama memandang dan tahulah ia bahwa dukun itu mempunyai kepandaian yang disebut Aji Pancal Panggung, semacam ilmu lari cepat yang hebat juga. Akan tetapi, ketika Saritama mengeluarkan ajinya Kidang Kencana, tak lama kemudian ia dapat menyusul bagawan itu yang menengok dengan heran dan kagum melihat kepandaian Saritama.

Saritama cukup bijaksana dan ia tidak mau melampaui orang tua itu. Ia sengaja memperlambat gerakan kakinya hingga mereka dapat berlari dengan sama cepatnya. Ketika hutan telah mereka lalui, Bagawan Kalamaya dengan napas tersengal-sengal minta berhenti. Sebelum bicara ia menarik napas panjang yang senin kemis itu!

“Aduh, tenagaku masih cukup, akan tetapi napasku...” setelah menarik napas panjang berulang-ulang, ia berkata lagi. “Saritama, kau benar sakti. Kau dapat mengimbangi kecepatanku. Kalau aku masih muda seperti engkau, tentu kau akan tertinggal jauh! Sekarang kita telah melampaui hutan, maka biarlah kita berjalan biasa kembali.”

Saritama hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa geli oleh karena dukun lepus ini masih saja menyombongkan diri. Maka mereka lalu berjalan lagi dengan cara biasa. Oleh karena perjalanan ini dilakukan dengan perlahan dan hanya sekali dua kali Bagawan Kalamaya mau mempergunakan aji kesaktian yang sangat melelahkan itu, maka setelah hari menjadi gelap barulah mereka berdua tiba di Tangen.

Sebelum menuju ke gedung Tumenggung Wiradigda yang besar dan megah bagaikan istana Raja Majapahit sendiri, Bagawan Kalamaya memberi nasehat,

“Saritama, penjagaan di bagian depan gedung tumenggung amat kuat. Masuklah engkau diam-diam dari bagian kiri gedung oleh karena di bagian kiri itu tak terjaga kuat dan di bagian kiri terdapat taman tumenggung yang bersambung dengan taman belakang. Di situ banyak terdapat tetumbuhan di mana kau dapat bersembunyi apabila ada penjaga-penjaga keluar dan meronda. Kemudian kau dapat menyusup masuk ke dalam gedung mencari Tumenggung Wiradigda.”

“Baiklah, Sang Bagawan,” kata Saritama.

Malam hari itu udara bersih dan ribuan bintang menyinarkan cahaya gemilang dari angkasa raya. Oleh karena hawa malam itu sejuk dan bersih, biarpun tidak terang bulan, namun anak-anak di Tangen banyak yang bermain-main di pelataran depan, sedangkan orang-orang tua sambil mengisap rokok daun jagung dan menikmati air teh kental, duduk di atas tikar yang digelar di pelataran dan bercakap-cakap.

Keadaan demikian tenteram bagaikan tidak akan terjadi sesuatu yang hebat. Memang, telah bertahun-tahun di Tangen selalu tata-tenteram reja-raharja, tak pernah terjadi kejahatan, tak pernah terjadi pencurian hingga para petani dapat bekerja dengan tenang dan penghidupan peduduk di sekeliling Tangen rata-rata makmur dan berbahagia.

Akan tetapi, pada malam hari itu, tanpa mereka ketahui dua sosok bayangan bergerak menuju ke gedung Tumenggung Wiradigda. Setelah keduanya tiba di dekat gedung, mereka berbisik-bisik, kemudian bayangan dua orang itu berpisah, seorang menuju ke kiri gedung, yang kedua menuju ke belakang.

Bayangan pertama yang memiliki gerakan cepat dan tangkas, yakni Saritama sendiri, cepat menyelinap di dalam bayangan pohon di sebelah kiri gedung. Ia memandang ke sekeliling dan kemudian dengan sekali lompat saja ia sudah dapat meloncati pagar taman. Memang benar kata-kata Bagawan Kalamaya bahwa gedung tumenggung itu terjaga kuat, dan bahwa Tumenggung Wiradigda mempunyai banyak punggawa yang tangguh dan sakti. Buktinya, ketika Saritama melompat masuk ke dalam taman, baru saja kedua kakinya menginjak rumput, tiba-tiba dua orang penjaga yang muda dan gagah membentaknya dari tempat jauh,

“Hai! Siapakah kamu yang lancang memasuki taman?” Mereka ini dengan cepat lari menghampiri.

Saritama tidak mau membuang waktu lagi. Sebelum kedua orang penjaga itu sempat bertindak, ia telah bergerak lebih dulu. Dengan sekali lompatan, Saritama telah menerkam kedua penjaga itu, dengan dua kali kepalan tangannya menyambar, robohlah dua orang penjaga itu! Orang pertama roboh tanpa dapat bangun lagi dan pingsan, sedang orang kedua memang sengaja dipukul perlahan hingga masih dapat bicara walaupun kepalanya terasa pusing berputaran akibat pukulan Samber nyawa!

“Lekas katakan, di mana Wiradigda?”

Penjaga itu tak dapat melihat muka penyerangnya dengan jelas, hanya dapat menduga bahwa penyerang yang hebat dan cepat gerakannya ini adalah seorang pemuda.

“Gusti tumenggung tidak berada di sini,” jawabnya sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.

“Jangan kau membohong!” bentak Saritama sambil memegang leher orang itu. “Kalau kau membohong, sekali pukul saja aku dapat menghancurkan kepalamu!”

“Ampun, Raden, saya tidak membohong! Gusti tumenggung kemarin berangkat ke Kadipaten Pacet untuk membicarakan tentang perkawinan Gusti puteri.”

“Bila ia kembali?” tanya pemuda itu dengan hati kecewa.

“Kalau tidak salah, besok siang baru kembali.”

Pada saat itu, terlihat bayangan beberapa orang berkelebat dan mereka ini tidak lain ialah para ponggawa Tumenggung Tangen. Dengan diam-diam mereka menghampiri tempat itu oleh karena mereka mendengar suara-suara mencurigakan. Ketika melihat betapa seorang penjaga masih rebah di atas tanah, sedangkan seorang penjaga lain sedang dipegang dan ditanyai oleh seorang pemuda yang tak jelas rupa wajahnya oleh karena keadaan memang agak gelap di dalam taman itu yang penuh dengan bayang-bayang pohon dan tetumbuhan, para ponggawa yang tujuh orang jumlahnya ini menjadi marah sekali.

“Bangsat maling, kau berani mengacau di taman tumenggungan!” teriak seorang diantara mereka yang segera melompat maju diikuti oleh yang lain.