Kucing Siluman - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

KUCING SILUMAN


SATU

DUA orang terlihat berdiri saling memunggungi, menghadapi lebih dari lima belas orang laki-laki yang mengepungnya. Dan tampaknya, para pengepung sudah siap menyerang.

“Karmani! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau dan putramu menyerah. Kalau tidak, kami akan meringkusmu hidup atau mati!” bentak salah seorang pengepung. Tubuhnya besar dan berkepala botak. Sebuah senjata berupa bandul besi berduri tampak tergenggam di tangan kanannya.

“Rancasena! Jangan harap aku akan menyerah begitu saja! Dan perlu kau ketahui, aku tidak pernah melakukan kejahatan, seperti yang kalian tuduhkan. Itu sama sekali tidak beralasan!” sanggah laki-laki berusia empat puluh tahun. Tubuhnya kurus, dan rambutnya panjang.

“Phuih! Percuma saja dia diajak bicara baik-baik. Lebih baik langsung hajar saja, dan jangan diberi ampun!” selak seorang bertubuh pendek dan berambut putih. Tangannya tampak memegang sebatang tongkat panjang.

“Betul kata Ki Wempang! Lebih baik kita hajar saja. Rasanya tak ada gunanya berlama-lama mendengarkan segala omong kosongnya!” sambut seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Namanya, Nyai Selasih.

“Kalau terus mengundur-undur waktu, dia akan berpikir kalau kita takut padanya. Hari ini matanya harus dibuka agar tidak besar kepala dan merasa paling jago di kolong langit!” sambung laki-laki setengah baya. Kumisnya melintang dengan cambang bauk, membuat angker tampangnya. Dia sering dipanggil dengan nama Ki Sartowo.

“Huh! Kalian mengaku tokoh terhormat di dunia persilatan, tapi ternyata hanya orang-orang picik yang menuduh secara sembarangan, tanpa memberi bukti nyata!” dengus laki-laki yang dikepung, dan ternyata bernama Ki Karmani.

“Keparat! Bukti apa lagi yang perlu kami jelaskan?! Semua orang telah mengatakan kalau kau adalah pembunuh, pemerkosa dan perampok yang merajalela!” sentak laki-laki berkepala botak, yang dipanggil Ki Rancasena.

“Mana buktinya?! Apa kau melihat sendiri kalau aku telah melakukan semua perbuatan itu?” tanya Ki Karmani gusar.

“Sudahlah, Ki Rancasena. Untuk apa lagi mempersoalkan hal itu? Mana mungkin semua itu diakuinya!” selak laki-laki bertubuh pendek dan berambut putih. Dia tadi dipanggil Ki Wempang. Agaknya, tangan Ki Wempang sudah gatal untuk menghajar lawannya. Kata-kata Ki Wempang itu disambut yang lainnya dengan penuh amarah dan nafsu meluap-luap, untuk segera meringkus Ki Karmani dan putranya.

“Katakili! Kalau kau ada kesempatan, pergilah jauh-jauh dari sini untuk menyelamatkan diri,” bisik Ki Karmani kepada putranya yang baru berusia tiga belas tahun, dan bernama Katakili.

“Tapi, Ayah. Mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian, padahal kau sedang menghadapi mereka....”

“Jangan membantah! Kau tahu, hanya kaulah satu-satunya putraku. Kalau kau mati, siapa nanti yang akan membersihkan nama keluarga kita dari tuduhan kotor ini? Dan Ayah sama sekali tak pernah melakukan apa yang dituduhkan. Kau harus mempercayainya, Katakili!” ujar Ki Karmani.

Katakili diam tak menjawab. Sedangkan tangannya sudah menggenggam gagang pedang erat-erat Dia tidak tahu pasti, apakah akan mampu menahan satu atau dua jurus melawan para tokoh berilmu tinggi yang saat ini tengah mengepungnya. Pemuda tanggung itu mencoba membesarkan hati sambil mengingat-ingat bahwa selama ini ayahnya adalah pendekar kondang yang disegani kalangan rimba persilatan. Karena fitnah keji, nama baik Ki Karmani tercemar. Dan kini, para tokoh persilatan berbondong-bondong ingin menangkapnya untuk diadili dengan paksa. Kalau berani, tentu tidak begini banyak tokoh persilatan yang hendak menangkapnya. Justru karena mereka merasa gentar, sehingga main keroyokan seperti ini.

“Yeaaah...!”

Disertai teriakan keras, para tokoh persilatan itu sudah melompat dengan senjata masing-masing menyerang Ki Karmani dan anaknya. Sedangkan Ki Karmani langsung mengayunkan pedang peraknya untuk menangkis sekaligus bertahan. Dan sebenarnya, Katakili sendiri sudah siap untuk melindungi dirinya. Walaupun disadari, orang-orang yang dihadapinya ini sudah tentu bukan tandingannya.

Ki Karmani yang di kalangan persilatan berjuluk Pedang Angin Selatan, kepandaiannya memang tak diragukan lagi. Senjatanya bergerak cepat menyambar lawan-lawannya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Dalam jurus-jurus pertama, tampaknya dia masih mampu melindungi diri. Bahkan mampu balas menyerang dengan gencar.

Hal itu tentu saja membuat para pengeroyoknya semakin penasaran dan geram. Mereka mencoba menerobos pertahanan Ki Karmani dengan mencecar Katakili. Tapi pemuda tanggung itu pun agaknya tidak muda dikecoh. Gerakan-gerakan kaki dan tubuhnya begitu gesit, berusaha mengelak dari setiap serangan. Pedangnya berkelebat cepat, membalas setiap serangan lawan.

Sementara itu, Ki Karmani selalu tidak lepas mengawasi anaknya. Bila Katakili terlihat mulai terdesak, dengan cepat perhatian lawan-lawannya dialihkan. Langsung digempurnya orang-orang yang menyerang putranya itu.

Tapi meski bagaimanapun, tenaga manusia ada batasnya. Apalagi dikeroyok sekian banyak orang yang memiliki kepandaian tidak rendah. Dan inilah yang dialami Ki Karmani dan putranya. Mereka bukannya tak menyadari. Berkali-kali Ki Karmani mencari peluang, agar putranya mampu meloloskan diri. Namun niatnya selalu gagal, karena ketatnya kepungan lawan-lawannya.

“Mau coba-coba kabur, heh...! Jangan harap bisa melakukannya, Keparat!” dengus Ki Rancasena sambil memutar-mutar bandulnya, dan langsung dihantamkan ke tubuh Katakili.

“Hup! Yeaaah...!”

Namun dengan gerakan yang sangat cepat, Katakili mengecutkan pedangnya. Cepat ditangkisnya serangan Ki Rancasena. Dan....

Bet!
Trang!
“Aaakh...!”

Pada saat itu pula, Ki Karmani mencelat sambil mengayunkan pedang untuk melindungi putranya yang tengah menahan sakit. Tapi pada saat yang bersamaan, tiga orang tokoh persilatan yang kepandaiannya setingkat Ki Rancasena bergerak cepat menyerang. Laki-laki bertubuh kurus dan berambut panjang itu mulai sibuk. Seluruh kecepatan geraknya sudah dikerahkan untuk menangkis semua serangan yang dilancarkan lawan.

Tapi kali ini nasib sial menimpa Ki Karmani. Dua buah senjata berlainan jenis beradu keras di udara. Katakili kontan terjajar mundur dua tombak dengan mulut meringis menahan sakit. Memang, tenaga dalamnya masih di bawah Ki Rancasena. Maka tak heran kalau laki-laki berkepala botak itu tidak mengalami apa-apa begitu terjadi benturan.

Ujung trisula Ki Sartowo tak urung berhasil menggores punggungnya. Untung saja, goresan itu tidak begitu dalam, sehingga darah yang keluar tidak begitu banyak. Dan kini, Ki Karmani terpaksa harus membuang dirinya, dan berguling beberapa kali. Dan begitu bangkit berdiri, dia kembali menyerang ganas, memporak-porandakan para pengeroyoknya.

“Katakili, cepat kau pergi dari sini!” teriak Ki Karmani.

“Tapi, Ayah...,” Katakili mencoba membantah.

“Cepat pergi kataku! Selamatkan dirimu!” bentak Ki Karmani.

Katakili tidak bisa lagi membantah, walaupun melihat ayahnya terluka. Namun perintah ayahnya memang tidak bisa dibantah lagi. Dengan hati berat, Katakili berusaha meninggalkan arena pertarungan. Namun baru juga hendak melesat pergi, tiba-tiba saja....

“Hei! Jangan coba-coba kabur kau...!” dengus Ki Rancasene. “Yeaaah...!”

“Hup! Hiyaaa...!”

Begitu melihat Ki Rancasena dan Ki Wempang bermaksud menghalangi putranya, tanpa mempedulikan lukanya lagi, Ki Karmani cepat melesat. Pedang di tangannya diputar-putar cepat, mendesak kedua orang itu. Namun serangan-serangan gencar Ki Karmani tidak berlangsung lama, ketika lawan-lawannya yang lain telah menyerbu. Bahkan salah seorang berhasil melukai bahunya. Namun lukanya yang terus mengucurkan darah sama sekali tak dipedulikan. Dia terus bergerak cepat menyerang orang-orang yang menghalangi putranya melarikan diri dari kepungan lawan-lawannya.

“Cepat, Katakili...!” seru Ki Karmani.

“Hup! Hiyaaat...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Katakili segera melesat begitu mendapat kesempatan yang hanya sedikit ini. Tak ada lawannya yang mengejar kali ini. Memang, lawannya lebih memusatkan perhatian untuk melumpuhkan Ki Karmani. Namun pada saat itu juga...

“Hiyaaat..!”
Cras!
“Aaakh!”

Ki Karmani menjerit keras agak tertahan, begitu salah seorang lawan berhasil membabatkan pedang ke tubuhnya. Kembali darah muncrat dari dadanya yang terbelah pedang. Keseimbangan tubuhnya pun jadi goyah. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil mendekap luka di dada yang terus-menerus mengucurkan darah.

Sementara, Katakili yang sudah berhasil lepas dari kepungan orang-orang itu sempat juga mendengar teriakan ayahnya. Dia berhenti berlari, dan cepat memutar tubuhnya. Kedua bola matanya jadi terbeliak, melihat ayahnya terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang terluka.

“Ayah...,” agak tersedak suara Katakili.

“Hiyaaat...!”

Pada saat itu juga, terlihat Ki Rancasena melompat cepat bagai kilat ke arah Ki Karmani. Senjatanya diayunkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Sementara, Ki Karmani hanya bisa terpaku dengan kedua bola mata terbeliak lebar. Luka-luka yang diderita memang sudah tidak lagi memungkinkannya untuk bergerak cepat menghindar. Dan...

Prak!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, saat bandul berduri Ki Rancasena mengancam batok kepala Ki Karmani. Seketika itu juga, batok kepala laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu hancur berantakan. Darah kontan muncrat ke segala arah.

Hanya sebentar saja Ki Karmani masih mampu berdiri, sesaat kemudian tubuhnya ambruk menggelepar, tidak bernyawa lagi di tanah berumput ini. Sementara di tempat yang cukup jauh, hati Katakili benar-benar menangis menyaksikan kematian ayahnya yang menggiriskan. Dia hanya mampu memandang dan menggigit-gigit bibirnya sendiri. Namun, seluruh tubuhnya menggeletar. Dan napasnya juga terdengar memburu.

“Ayah....” Katakili tidak dapat lagi meratapi kematian ayahnya, karena Ki Rancasena sudah cepat memutar tubuhnya berbalik ke arahnya berdiri.

“Bunuh bocah itu...!” teriak Ki Rancasena, memberi perintah.

Mendengar teriakan Ki Rancasena, langsung saja orang-orang yang tadi mengeroyok Ki Karmani berlarian mengejar. Sementara, Katakili sudah lebih dulu berlari cepat sekuat tenaga.

********************

Sementara itu Katakili terus berlari seperti dikejar setan. Di pelupuk matanya terbayang kematian ayahnya yang begitu menyedihkan. Dan hal itu membuat semangatnya untuk hidup menjadi berlipat ganda. Dia tidak sudi tertangkap oleh para pengejarnya. Yang penting, dia harus bisa selamat, untuk membalaskan perlakuan mereka suatu hari nanti. Itu tekadnya.

Katakili sedikit berpaling ke belakang, ketika mendengar suara-suara para pengejarnya dari belakang. Jelas sekali terdengar seakan-akan sudah begitu dekat. Maka seketika jantungnya seperti berhenti berdetak.

“Tangkap bocah itu!”
“Jangan biarkan lolos!”
“Tangkap...!”
“Bunuh...!”

Meski masih muda dan belum banyak pengalaman dalam dunia persilatan, tapi sejak bocah Katakili telah dididik ayahnya dengan keras dalam menuntut ilmu olah kanuragan dan kesaktian.

Hingga, tidak heran kalau kemampuannya melebihi anak-anak seusianya. Begitu pula halnya dalam ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi dan bisa diandalkan. Tidak percuma Ki Karmani dijuluki Pedang Angin Selatan. Salah satu keahliannya selain memainkan jurus-jurus ilmu pedang, juga sangat hebat dalam soal ilmu meringankan tubuh. Dan itu pun diturunkan kepada anaknya.

Tapi meskipun begitu, kemampuan Katakili ada batasnya juga. Setelah sekian lama berlari, kelelahan mulai menyergapnya. Tubuhnya terasa penat bukan main, dan otot-ototnya mulai mengejang. Tiba di sebuah pinggiran hutan dekat kaki gunung, jarak mereka semakin dekat saja. Dan kini Katakili mulai putus asa. Keputusasaan Katakili memang harus dibayar mahal. Para pengejarnya kini benar-benar hampir dekat dengan anak muda tanggung itu. Maka, sebentar saja Katakili sudah kembali terkepung, ketika larinya berhenti di depan sebuah lubang dalam yang ditutup semak dan ranting-ranting kecil.

“Ha ha ha...! Mau lari ke mana lagi kau, Bocah? Hari ini kau harus mampus seperti ayahmu!” kata salah seorang yang berwajah berangasan.

“Huh! Ayahnya penjahat, anaknya pasti lebih jahat lagi kelak. Orang-orang seperti kalian mestinya cepat-cepat mampus!” dengus yang lain.

“Bunuh saja dia...!” seru seorang lagi dengan suara keras menggelegar.

“Yeaaah...!” Salah seorang pengejar yang berada paling depan, tiba-tiba saja melompat sambil berteriak keras. Di tangannya tergenggam sebilah clurit yang siap menyambar kepala Katakili.

Meski tubuhnya terasa letih dan tenaganya terkuras habis, tapi pemuda tanggung ini masih mempunyai semangat untuk tidak tewas di tangan lawan. Dengan untung-untungan kepalanya ditundukkan. Tapi saat itu juga, sebelah kakinya terkait akar pohon. Dan seketika tubuhnya langsung tersungkur ke depan. Dan... “Aaa...!”

Orang-orang itu buru-buru melompat ke depan ketika tubuh Katakili terjerumus ke dalam lubang di depannya. Tak seorang pun mengetahui, tempat apa itu sesungguhnya. Memang, lubang itu sendiri sama sekali tak terlihat. Mereka hanya bisa terlongong bengong, sambil mendengar jeritan Katakili yang menggema panjang.

“Sial! Dia lolos lagi!” dengus salah seorang.

“Kenapa tidak turun saja ke dalam? Siapa tahu lubang ini tidak terlalu dalam?” usul yang lain.

“Tidak semudah apa yang kau kira,” sahut laki-laki brewok dan bercambang bauk, yang bernama Gumarang.

Ki Gumarang kemudian menjatuhkan sebuah batu yang cukup besar ke dalam lubang. Lalu disuruhnya yang lain untuk menajamkan pendengaran.

“Kalian dengar? Suara batu itu sama sekali tak terdengar. Itu membuktikan kalau lubang ini sangat dalam. Siapa di antara kalian yang mengetahui kalau dasarnya cukup aman? Siapa tahu batu-batu runcing akan menanti kita. Dan bocah itu, mana mungkin bisa selamat? Tubuhnya lemah dan tenaganya terkuras habis. Jatuh pada kedalaman yang tak terukur, tentu tak akan selamat”

“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya yang lain.

Semua mata kini saling memandang dengan wajah bingung bercampur geram.

"Tidak ada yang bisa dilakukan di sini. Sebaiknya, kita kembali saja. Katakan pada yang lainnya, bocah itu sudah mampus di dasar lubang ini!”

Kini tidak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka semua mengira kalau Katakili sudah mati di dalam lubang yang sangat dalam itu. Dan kini mereka meninggalkan tempat itu disertai gumaman-gumaman tak puas.

********************

Benarkah Katakili tewas di dasar lubang itu? Agaknya bila ajal belum datang, tak seorang pun yang bisa memastikan kematian seseorang. Meski, bahaya sebesar gunung berada di depan mata.

Begitu juga halnya Katakili. Pemuda tanggung itu merasa kematiannya sudah di ambang pintu ketika tubuhnya terperosok ke dalam lubang itu. Semangatnya runtun dan hatinya kecewa bukan main. Dalam kepasrahannya, dia masih berharap untuk bisa selamat. Entah karena harapannya, atau karena memang ajalnya belum lagi tiba, tubuhnya terhempas di atas tanah yang berlumpur empuk dan sedikit berair.

Katakili terkejut bercampur gembira. Ternyata tubuhnya hanya tenggelam sebatas dada. Diam-diam semangat hidupnya bangkit kembali. Dengan semangat baru, matanya beredar ke sekeliling. Lalu, ditemukannya sebuah batu runcing yang terpasak dalam ke tanah. Dengan sekuat tenaga tubuhnya digerakkan, untuk menggapai batu itu agar keluar dari dalam lumpur ini. Masih untung, tempat itu hanya sekadar lumpur biasa seperti sebuah telaga kecil yang airnya kering dan berkumpul di tengah-tengahnya. Sehingga tanpa banyak mengalami kesulitan, Katakili berhasil mencapai tanah yang lebih keras.

“Hhh.... Tempat apa ini? Gelap dan terasa sepi?” Katakili bertanya pada diri sendiri sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Di dinding ruangan banyak terdapat batu runcing yang mencuat. Di atas permukaan tanah pun terdapat batu-batu runcing yang menjulang ke atas. Persis di tengah-tengahnya, ada bekas sebuah telaga yang airnya telah banyak berkurang. Katakili kemudian menyusuri dinding-dinding ruangan itu. Ketika telah melangkah beberapa tindak, dia terkejut melihat banyak lukisan dan guratan di dinding ruangan itu.

“He, lukisan-lukisan apa ini?”

Katakili mengamatinya sesaat. Dan pada dasarnya, pemuda tanggung itu memang cerdas. Dia cepat mengerti pada sesuatu yang baru dikenalnya. Dan wajahnya pun langsung berubah gembira ketika mengetahui kalau gambar-gambar yang tertera di dinding ruangan itu amat dikenalnya.

“Hm.... Ini adalah suatu pelajaran ilmu silat yang hebat bukan main. Tulisan yang tertera menyebutkan sebuah nama. Waranswami. Lalu, ada tulisan Raja Kucing Sakti. Sedangkan tulisan-tulisan lain adalah penjelasan dari gambar yang ada,” gumam Katakili pelan.

Katakili dengan penuh semangat mencoba mengartikan maksud dari seluruh gambar dan tulisan yang tertera di dinding. Keningnya terlihat berkerut, dan kelopak matanya jadi menyipit. Dia berusaha keras untuk bisa memahaminya.

“Si pembuat gambar ini bernama Waranswami, atau lebih dikenal sebagai Raja Kucing Sakti. Dan..., he! Jurus-jurus yang terdapat dalam gambar-gambar ini mirip gerakan-gerakan seekor kucing yang sedang berkelahi,” kembali Katakili menggumam pelan, kemudian mengangguk-angguk.

Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata gambar-gambar itu terbagi dalam dua bebas kelompok. Katakili yang berotak cerdas segera mengerti bahwa tiap kelompok gambar mewakili satu jurus. Jadi kalau dua belas kelompok, berarti dua belas jurus dengan tingkatan yang makin tinggi. Dan kesemuanya, memiliki dasar yang sama. Jurus yang meniru gerakan-gerakan kucing!

Ketika pemuda tanggung itu mengamati jurus kedua belas yang berada di ujung ruangan, matanya menangkap sebuah batu datar yang menyembul dari permukaan tanah setinggi kira-kira satu jengkal, dan batu itu juga tak begitu luas. Ketika didekatinya, tampak di atas batu itu terdapat guratan tulisan. Tanpa ragu lagi, Katakili mulai membacanya dengan suara menggumam pelan.

“Beruntunglah mereka yang tiba di sini dan menemukan warisanku. Hendaknya, warisanku dipelajari dengan seksama dan diamalkan dengan cara yang baik. Kucing adalah binatang buas. Sifatnya pendiam dan cerdik. Dia lembut, tapi juga keras. Seperti lumpur yang menghanyutkan, seperti patung batu yang memecahkan....”

Katakili berhenti sebentar, mengamati tulisan yang sangat dalam artinya. “Hm.... Apa maksud kata-kata ini?” tanya Katakili mencoba mencerna. Kemudian dia melanjutkan sisa tulisan yang tergurat di atas batu itu.

“Sekerasnya batu ini, tapi lebih keras lagi intinya yang mampu memecahkan kumpulan batu yang paling keras. Dan berada di dekatnya menjadikan kata raja yang gagah perkasa dan memerintah dengan leluasa.”

Katakili merenung-renung sesaat sambil mengamati permukaan batu itu dengan seksama. Apa yang dimaksud dengan inti? Kalau pada baris pertama, tentu sekadar peringatan dan pem-beritahuan. Tapi pada baris kedua ini, seperti ada rahasia akan sesuatu? Lalu, bagaimana membuktikannya? Apakah diartikan secara langsung kalau di dalam batu ini terdapat sesuatu yang akan menjadikan seorang raja?

Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Katakili, namun tak semua bisa dipecahkannya. Lalu diraba-rabanya pinggiran batu datar itu. Dan, dicobanya untuk mengangkat. Pada mulanya, hal itu sangat sulit dan tak mampu dilakukannya. Namun secara tak sengaja, Katakili mengangkat sedikit di bagian atasnya. Maka, terbukalah bagian atas batu datar yang berbentuk segi empat itu.

Batu itu ternyata seperti kotak. Bagian atasnya ditutup alas yang di beberapa bagian berbentuk gerigi. Sehingga membuatnya seperti menyatu pada bagian bawah. Di dalamnya, tampak terdapat sebuah patung kucing dari emas murni berukuran dua kali kepalan tangan orang dewasa. Dan tanpa ragu lagi Katakili mengambilnya. Diamat-amatinya sesaat. Alangkah terkejutnya pemuda tanggung itu ketika seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa bergetar hebat

“Hei?! Apa yang terjadi pada diriku?”

Katakili hanya mendiamkan saja, dan malah menggenggam patung kucing itu lebih erat lagi. Dan memang, apa yang dirasakannya saat ini sama sekali tak menyakiti tubuhnya. Malah, membuat tubuhnya terasa segar. Tenaganya seperti pulih kembali dan peredaran darahnya mengalir lancar.

“Hm.... Patung inikah yang akan membuatku menjadi raja? Tapi bagaimana caranya?”

Lama pemuda tanggung itu berpikir tentang kata-kata yang tertera di permukaan batu, namun tak juga menemukan maksudnya. Dan dia hanya bisa menduga.

“Mungkin hal itu akan terjadi nanti. Tapi barangkali juga, aku harus membawanya ke mana saja pergi. Baiklah. Setelah kupelajari seluruh ilmu silat yang tertera pada gambar-gambar itu, aku akan membawanya ke mana saja. Mudah-mudahan dengan cara ini, aku bisa mengetahui maksudnya.”

********************

Sejak itu, Katakili berada di dalam ruangan ini berbulan-bulan. Dan dengan tekun, dipelajarinya semua jurus ilmu silat yang terdapat dalam gambar-gambar di dinding ruangan itu dengan penuh semangat, seperti tak mengenal lelah.

Baginya, tidak ada kesulitan untuk mempelajarinya karena telah memiliki dasar-dasar ilmu silat sebelumnya. Di tempat itu pun, dia tidak mendapat kesulitan dalam hal makanan. Selain masih terdapat cukup air, di beberapa pojok ruangan banyak ditumbuhi jamur yang berukuran besar dan tidak beracun. Di samping itu, masih terdapat tikus-tikus putih berukuran besar yang dapat ditangkap untuk disantap.

Semangat Katakili memang menggebu-gebu dan pantang menyerah. Padahal, pelajaran ilmu silat itu besat dan cukup sulit. Namun dendam di hatinya yang terus bergejolak seperti tak pernah padam, membuatnya terus memacu keinginannya untuk menguasai secepatnya. Meski begitu, tak terlalu mudah baginya. Selain harus memiliki tenaga dalam kuat, maka kecepatan bergeraknya harus dilatih, agar apa yang dimaksud dalam tulisan-tulisan yang mengiringi gambar-gambar itu bisa tercapai dengan sempurna. Hingga tak terasa, telah lima tahun Katakili berada di tempat itu sendiri.

********************

DUA

Hari belum lagi terlalu sore ketika seorang pemuda berwajah cukup tampan tengah melangkahkan kakinya di sebuah desa. Suasana desa ini terlihat sepi. Malah, beberapa rumah sudah tampak menutup rapat-rapat pintunya. Pemuda itu menghentikan langkahnya seraya memandang ke sekeliling, seperti ingin meyakinkan kalau sesuatu yang dicarinya berada di tempat ini.

“Meong...!” Tiba-tiba seekor kucing berbulu hitam keluar dari belakang sebuah rumah, dan menghampiri pemuda itu. Hewan itu memandang sekilas, kemudian mengerjapkan matanya yang biru beberapa kali dan duduk tenang di situ. Sementara pemuda itu diam memperhatikan dari balik tudungnya yang besar, hingga hampir menutupi sebagian wajahnya yang tampan.

Beberapa saat dia masih diam memandangi kucing hitam di depannya. Dan ketika kembali melangkah, kucing hitam itu pun bangkit. Lalu diikutinya pemuda itu dari belakang dengan tenang.

“Meong...! Meong...!”

Belum jauh pemuda itu berjalan, tiga ekor kucing lagi keluar dari beberapa rumah. Binatang itu bergerak perlahan namun pasti, menatapi pemuda itu dan terus mengekor di belakangnya. Sementara pemuda itu terus berjalan perlahan-lahan, seperti tidak mempedulikan kucing-kucing yang mengikutinya dari belakang. Sudut ekor matanya sedikit melirik pada seorang laki-laki tua yang tengah duduk menjulurkan kakinya di balai-balai bambu depan rumahnya. Tapi mendadak saja....

“Heh!”
“Graungrrr...!”
“Bangsat!”

Laki-laki tua itu tersentak kaget ketika tiba-tiba seekor kucing peliharaannya melompat melewati atas kedua kakinya yang sedang menelonjor di balai-balai sambil mengeluarkan suara menggeram. Nyaris rokok kawung yang sedang dihisapnya terlempar. Sambil memaki-maki tak karuan, dia buru-buru bangkit. Lalu diambilnya sebatang batu dan dikejarnya kucing itu. Tapi langkah orang tua itu mendadak berhenti, ketika di depannya berdiri tegak sesosok tubuh mengenakan topi lebar.

“Siapa kau, Kisanak?! Dan apa yang kau lakukan hingga kucing-kucing itu mengikutimu?” tanya orang tua itu tergagap ketika melihat belasan ekor kucing mengekor di belakang pemuda itu.

“Aku hanya seorang pengembara kesasar. Namaku Katakili...,” sahut pemuda itu datar.

“Dan kucing-kucing itu? Setahuku, mereka milik beberapa orang penduduk desa ini. Dan sebagian, sering berkeliaran tanpa pemilik. Bagaimana kau bisa mengumpulkannya?”

Pemuda itu tersenyum sinis. “Mereka mengikutiku, karena aku tak menyakitinya. Begitu mereka disakiti, maka akan lari dari kita, seperti apa yang hendak kau lakukan pada kucingmu tadi,” sahut pemuda yang tadi mengaku bernama Katakili.

Laki-laki tua itu terheran-heran melihat kejadian yang dilihatnya. Bukan itu saja. Selama berdiri di sini, beberapa ekor kucing lagi menghampiri pemuda itu dan berdiri di dekatnya dengan sikap patuh. Bahkan beberapa orang pemilik yang amat sayang dengan kucing peliharaannya, telah keluar. Mereka bermaksud mengejar hewan peliharaannya yang tiba-tiba melompat dan mendekati Katakili.

“Ki Karta! Siapa orang ini, dan mengapa kucing-kucing di desa ini berlari menghampirinya?” tanya seseorang pada lelaki tua itu.

“Entahlah. Aku pun tidak tahu....”

Beberapa orang penduduk lain keluar dari rumahnya ketika mendengar ribut-ribut kecil itu. Dan mereka keheranan ketika melihat banyak sekali kucing yang berada di dekat Katakili.

“Siapa dia sebenarnya? Apakah dia pawang kucing?”

“Orang ini mengherankan sekali. Bagaimana caranya kucing-kucing ini dikumpulkan?”

“Kucing-kucing itu tampak patuh padanya!”

Berbagai kata-kata heran para penduduk desa sedikit mengganggu pemuda itu. Dia menjadi risih, sehingga bermaksud meninggalkan desa ini secepatnya. Dipandanginya laki-laki tua yang pertama kali ditemuinya tadi.

“Kisanak. Dapatkah kau tunjukkan, di mana tempat kediaman orang yang bernama Gumarang?” tanya Katakili, seperti tidak mempedulikan omongan orang-orang desa itu.

“Hm.... Untuk apa kau menanyakan kediaman Juragan Gumarang?” laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Karta malah balik bertanya.

“Dia punya hutang yang belum dibayar padaku,” sahut Katakili kalem.

Ki Karta mengernyitkan dahi. Setahunya, Juragan Gumarang adalah orang terkaya di desa ini. Jadi, mana mungkin mempunyai hutang dengan pemuda gembel yang mirip pengemis ini?

“Kudengar dia berdiam di desa ini. Ayahku, dulu adalah teman lamanya. Dan dia telah menitipkan sesuatu pada Gumarang. Hari ini, aku bermaksud untuk mengambil barang itu kembali,” jelas Katakili lagi.

Setelah mendengar kata-kata itu, Ki Karta baru mengerti. Maka ditunjukkannya sebuah rumah yang berada di tengah desa. Sebuah rumah yang paling besar dan mewah. Halamannya luas berpagar tinggi dengan beberapa orang centeng yang berjaga di depan pintu gerbang.

Setelah mengucapkan terima kasih, Katakili langsung saja berjalan. Sedangkan kucing-kucing yang kini berjumlah sekitar dua puluh ekor di belakangnya, terus mengikuti. Tentu saja hal ini membuat heran dan kagum orang-orang desa. Tanpa sadar beberapa orang dari mereka mengikuti. Mereka ingin tahu, apa yang akan dikerjakan pemuda itu di tempat kediaman Juragan Gumarang.

********************
Pendekar Rajawali Sakti Episode Kucing Siluman


“Berhenti! Mau apa kau ke sini?!” cegat seorang centeng yang bertubuh besar dan berkumis melintang, ketika pemuda itu akan memasuki pintu gerbang.

“Katakan pada majikanmu, hari ini ada orang yang akan menagih hutang lama kepadanya,” sahut pemuda itu tenang.

"Tidak bisa! Hari ini Juragan Gumarang tidak bisa diganggu. Lebih baik kau datang lain hari saja!”

“Hm...!” Pemuda itu bergumam dengan wajah tak acuh. Dipandangnya bangunan besar di depan matanya, kemudian berpaling ke arah tiga orang centeng yang tengah berdiri tegak di depannya.

"Tak seorang pun yang boleh menunda kewajibanku untuk menagih hutang kepada siapa saja yang kukehendaki!” kata Katakili pelan namun mengandung ketegasan.

“Kurang ajar! Agaknya telingamu sudah tuli sehingga tak mendengar kata-kataku, heh?!” bentak laki-laki berkumis melintang sambil mencabut golok dengan sikap mengancam. Kedua kawan laki-laki itu malah telah siap sejak tadi, seraya mencabut golok masing-masing.

“Buat apa kau banyak omong segala, Sempur? Lebih baik, hajar saja gembel tak tahu diri ini! Tingkahnya membuatku muak saja!” sahut salah seorang yang berbaju merah, garang.

“He, Gembel! Kau dengar itu? Nah, pergilah cepat selagi aku masih berbaik hati tak menghajarmu!” bentak orang yang dipanggil Sempur.

“Menepilah! Kalian tak mempunyai urusan denganku. Jangan membuat persoalan, sehingga akan menimbulkan celaka!” ujar Katakili, dingin.

“Keparaat! Kau pikir, siapa dirimu sehingga berani berkata begitu padaku?! Dasar gembel tak tahu diri! Lebih baik kau mampus saja!” dengus Sempur jadi berang. “Hih!”

Sret! Sempur langsung saja mencabut goloknya. Dan dengan cepat pula goloknya dibabatkan ke perut Katakili.

“Haiiit...!” Namun hanya dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya, sambaran golok itu hanya lewat di depan perutnya. Dan pada saat itu juga, dengan satu gerakan yang sangat cepatnya tangan kanan Katakili bergerak cepat. Lalu....

Plak!
Begkh!

“Aaakh...!” Sempur memekik kesakitan ketika pukulan tangan kanan Katakili menghantam dadanya.

“Gembel busuk! Pantas saja kau berani bertingkah! Rupanya, kau memiliki sedikit kepandaian juga. Huh! Di hadapanku kau tak akan bisa sombong!” bentak salah seorang yang memakai baju hijau, langsung menyerang pemuda itu dengan golok.

Bersamaan dengan itu seorang kawannya yang berbaju merah sudah ikut-ikutan mengeroyok. Kini dengan penuh nafsu mereka berusaha mendesak Katakili. Tapi, pemuda itu tenang sekali menghindarinya. Gerakannya amat gesit, menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi. Kemudian tanpa membuang waktu, diserangnya lawan-lawannya. Sangat sulit mengikuti gerakan-gerakannya dengan pandangan mata biasa, karena dilakukan begitu cepat.

Mendapat serangan yang begitu cepat dan dahsyat dari Katakili, dua orang pengeroyok itu jadi kalang kabut Serangan pemuda itu benar-benar sulit diduga datangnya. Dan ketika lawan yang berbaju hijau terlepas dari desakan, Katakili kembali menekannya dengan sebuah tendangan berputar setengah lingkaran. Tapi pada saat yang sama, lawan yang berbaju merah berusaha menebas kakinya.

Cepat-cepat Katakili menarik serangannya. Namun, sambil menghindari tebasan golok yang mengarah ke kakinya, Katakili langsung membuat lompatan seperti kucing menyergap tikus. Tangannya menjulur ke depan dengan jari-jari mirip cakar kucing. Langsung serangannya yang tak terduga itu diarahkan ke lawannya yang berbaju hijau, yang belum bisa bertindak apa-apa. Dan... Bret!

“Aaakh...!” Laki-laki berbaju hijau itu kontan tersungkur dengan dada robek ketika cakar Katakili mendarat di tubuhnya. Darah tampak merembes di bajunya.

Melihat temannya bisa dirobohkan, laki-laki yang berbaju merah langsung melancarkan serangannya yang gagal tadi. Tubuhnya langsung melunak, hendak membokong Katakili yang membelakanginya.

Namun, Katakili cepat menangkap adanya desir angin yang berasal dari serangan gelap lawannya. Maka cepat-cepat tubuhnya merendah, dan langsung melepaskan sabetan tangan ke belakang. Ulu hati....

Brettt!

“Aaakh!” Laki-laki berbaju merah itu kontan roboh disertai jerit kesakitan, ketika cakar kucing Katakili merobek perutnya. Darah tampak merembes di bajunya. Sama seperti nasib laki-laki yang berbaju hijau, laki-laki berbaju merah itu pun tewas, setelah menggelepar sesaat.

“Siapa lagi yang ingin mampus lebih cepat?! Majulah sekaligus!” terdengar dingin suara pemuda itu penuh ancaman.

Namun belum lagi hilang suara Katakili dari pendengaran, tiba-tiba saja terdengar suara yang cukup keras menggema.

“Hm, hebat! Sungguh hebat! Seorang pendekar tangguh berilmu tinggi telah memberi pelajaran berharga kepada para pengawalku!”

Katakili cepat menoleh ke samping kanan. Tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berusia sekitar lima puluh tahun lebih, telah berdiri di tengah-tengah arena pertarungan. Tampangnya tampak seram, karena adanya cambang bauk dan brewok yang sebagian telah memutih. Di tangan kanannya tergenggam sebuah clurit besar yang tajam berkilat Pemuda itu segera menyipitkan mata dan membuka tudung kepalanya.

“Gumarang! Bagus, akhirnya kau keluar juga. Hari ini, aku datang untuk menagih hutang padamu...,” terdengar dingin sekali nada suara Katakili.

“Siapa kau?! Dan, apa maksud kata-katamu itu?!” dengus orang tua itu. Dia ternyata memang Gumarang, orang terkaya di desa ini.

“Lima tahun lalu, kau punya hutang kepadaku. Tidakkah kau ingat?”

“Hutang? Hutang apa?”

“Hutang nyawa Pedang Angin Selatan!”

“Heh? Jadi kau..., kau..., putra Ki Karmani yang terperosok dalam lubang itu?! Mustahil! Kau pasti bohong!” sentak Gumarang, kaget tak percaya.

“Kau boleh berkata apa saja hari ini. Tapi, jangan harap ampunan dariku. Perbuatanmu sungguh biadab dan tak mudah kulupakan. Kau binatang liar yang dengan seenaknya mengadili orang tak bersalah. Hari ini, hari pengadilan bagimu, Gumarang!”

Wajah orang tua itu yang tadinya pias, perlahan-lahan berubah menjadi merah. Dia benar-benar geram mendengar kata-kata Katakili yang dingin dan penuh ancaman. Seperti hendak mengembalikan wibawanya yang jatuh akibat keterkejutan tadi, wajahnya segera diangkat Dan dengan sikap sinis, ditunjukkannya keangkuhan dirinya.

“Bocah! Apa kau pikir aku takut melihat kedatanganmu ini? Kau dan orangtuamu justru sama biadabnya. Maka, sudah sepatutnya orang seperti kalian mampus!”

“Kau boleh bicara apa saja yang kau suka, Bajingan Busuk! Bersiaplah kau!” sentak Katakili sengit “Hih! Yeaaah...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Katakili langsung melompat sambil mengirimkan serangan kilat ke arah Gumarang. Orang tua berwajah penuh brewok itu terkejut. Sungguh tak disangka kalau lawannya mampu bergerak secepat itu. Maka senjata clurit yang ada di tangannya langsung diayunkan.

“Yeaaah...!” Wuuut!

“Juragan, kami akan membantumu!” teriak Sempur dan kawan-kawannya yang masih hidup.

Juragan Gumarang tak menyahut. Sehingga, Sempur dan kawan-kawannya merasa kalau cara keroyokan sangat diinginkan juragannya. Dan Katakili sudah begitu kesal. Tubuhnya lalu berbalik cepat sambil memapak serangan ketiga lawan yang berusaha membokongnya. Tiba-tiba....

“Graungrrr...!” Dari mulut pemuda itu keluar suara melengking seperti kucing yang sedang marah.

Maka, mendadak saja kucing-kucing yang sejak tadi mengikutinya, berubah liar dan garang. Bahkan binatang-binatang itu langsung menyerang anak buah Gumarang dengan buas.

“Heh?!”
“Akh...!”

“Binatang keparat...! Mampuslah kau! Yeaaah...!” bentak Sempur ketika punggungnya tercakar oleh beberapa ekor kucing.

Dua orang kawannya pun tak luput dari serangan hewan-hewan yang seperti kerasukan setan itu. Dan justru, yang paling hebat adalah tingkah laku pemuda bernama Katakili itu. Wajahnya beringas dengan sepasang mata seperti bersinar garang. Sementara, kedua belah tangannya sudah membentuk cakar. Dari mulutnya terus memperdengarkan raungan-raungan panjang.

Tentu saja hal ini membuat Gumarang terkejut. Bulu kuduknya kontan merinding membayangkan kematiannya yang sangat mengerikan. Belum juga laki-laki tua itu bisa berbuat lebih banyak lagi, tiba-tiba saja Katakili sudah berkelebat begitu cepat bagai kilat dengan kebutan tangannya.

Juragan Gumarang yang sebenarnya memiliki ilmu olah kanuragan cukup tinggi, hanya terpaku saja memandangi gerakan Katakili yang dahsyat Entah kenapa, dia seperti tak mampu bergerak. Hanya matanya saja yang melotot menanti datangnya ancaman lawan. Maka....

“Graungrrr...!”

Gumarang yang sebenarnya memiliki ilmu olah kanuragan cukup tinggi, hanya terpaku saja memandangi gerakan Katakili yang sangat dahsyat. Entah kenapa dia seperti tak mampu bergerak! Hanya mematung saja yang melotot menanti datangnya ancaman lawan. Maka...

Plak!
Breeet!

“Aaakh...!” Gumarang menjerit kesakitan saat kulit dadanya robek lebar terkena cakaran lawan. Tubuhnya tampak terjajar beberapa langkah sambil mendekap dadanya yang dirobek cakar Katakili. Darah langsung merembes dari sela-sela jarinya. Wajahnya juga semakin pucat saat melihat kegarangan lawan. Rasanya, tak mungkin lagi saat ini bisa menyelamatkan diri. Kecepatan gerak pemuda itu sungguh dahsyat dan sama sekali tak mampu dibendungnya. Bahkan tenaganya pun sungguh kuat!

Gumarang kini berusaha bergulingan untuk menyelamatkan diri, ketika terkaman lawan kembali datang. Sesekali senjatanya diayunkan untuk menghalangi serangan lawan. Namun tetap saja kedudukannya kian terjepit. Bahkan ketika dia baru saja bangkit berdiri, pergelangan tangannya terkena cakar lawan.

Breeet!

“Ukh!” Gumarang hanya bisa mengeluh kecil. Tubuhnya yang kian melemah akibat banyaknya darah yang keluar, membuat tenaga Gumarang melemah. Tak heran ketika Katakili mengecutkan tangan kanannya cepat bagai kilat, dia sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Akibatnya....

Bresss!
“Aaa...!”
“Graungrrr...!”

Pekik kematian Gumarang kontan pecah diiringi raungan melengking pemuda itu. Sementara itu, para penduduk desa yang menyaksikan pertarungan dari jarak jauh, melihat Katakili tengah mencabik-cabik seluruh tubuh lawan hingga hancur tak berbentuk lagi. Dia berdiri tegak dengan kedua belah tangan berlumuran darah. Sekilas, ditatapnya tubuh lawan yang terkoyak-koyak bermandikan darah. Kemudian, wajahnya menengadah ke langit.

“Ayah! Satu orang di antara keparat-keparat biadab itu telah membayar hutangnya. Tenangkanlah arwahmu di akhirat sana...” tiba-tiba terdengar suara keras dari mulut pemuda itu. Dan baru saja Katakili merapatkan bibirnya, mendadak....

“Aaa...!”

Pemuda itu tersentak ketika mendengar jeritan panjang. Sinar matanya yang tajam dan penuh kebencian melihat salah seorang dari ketiga orang centeng Juragan Gumarang tengah menggelepar dengan tubuh penuh luka-luka cakar. Sementara, dua orang lagi tengah sibuk melindungi diri dari serbuan kucing-kucing yang kini berubah semakin liar.

“Terimalah akibat perbuatan kalian yang menghalang-halangi tugasku. Mampus kau!

Yeaaah...!” Sambil menggeram hebat, Katakili melompat menyerang kedua centeng itu dengan kedua tangan terpentang membentuk cakar seperti kucing. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kedua tangannya saling susul-menyusul mencakar-cakar dan sesekali mengibas.

Kedua centeng yang masih sibuk menghindari terjangan kucing-kucing liar itu, mana mampu menyadari adanya serangan lain. Maka....

Bret! Bret!
“Aaa...!”
“Aaakh...!”

Tidak ampun lagi, kedua centeng itu melolong kesakitan ketika tubuh mereka dicabik-cabik cakar Katakili yang tajam dan kuat bagai baja runcing. Keduanya kontan roboh dan menggelepar sesaat Dan akhirnya, tubuh mereka diam tak bergerak bermandikan darah. Mati!

“Graungrrr...!”
“Ngeong...!”

Katakili menggeram, sesaat masih menunjukkan bias wajahnya yang menyeramkan. Kucing-kucing yang berada di dekatnya langsung mengerubungi sambil memandangnya sekilas, kemudian menundukkan kepala dengan sikap hormat Dan perlahan-lahan, terlihat keadaan pemuda itu kembali seperti semula. Tenang dan tak banyak bicara. Diperhatikannya kucing-kucing itu dengan seksama sambil mengingat-ingat sesuatu.

“Hm.... Aku tak sadar mengeluarkan aji 'Kucing Siluman'. Dan ternyata, pengaruhnya hebat sekali pada kucing-kucing ini. Inikah yang dimaksudkan tulisan yang berada di atas batu datar itu? Berarti aku menjadi raja, dan bisa memerintah mereka?”

Sekali lagi, Katakili memandangi kucing-kucing yang kini menjadi sangat patuh padanya. Sementara, dari tempat yang agak jauh, orang-orang desa terus memperhatikan.

"Berbarislah kalian di depanku sini!” ujar Katakili pelan sambil menuding ke depan.

Dan sungguh ajaib...! Seperti mengerti apa yang dimaksudkan pemuda ini, kucing-kucing yang berjumlah puluhan itu berbaris rapi di depannya. Bibir Katakili tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Wajahnya kembali menengadah ke langit, kemudian menoleh sekilas kepada para penduduk desa yang sejak tadi memperhatikannya dengan wajah takjub. Dan tak berapa lama kemudian, Katakili meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan keadaan. Sementara kucing-kucing itu patuh mengikutinya dari belakang.

“Gila! Barangkali dia bukan manusia biasa!” desis salah seorang penduduk sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Menggiriskan dan tak kenal ampun! Siapa dia sebenarnya?”

“Kepandaiannya hebat bagai siluman!”

“Siluman Kucing!” sahut seseorang dengan mata melotot.

“Ya! Siluman Kucing! Barangkali nama itu lebih tepat baginya!” timpal seorang lagi.

“Aneh! Kenapa dia tak mengganggu kita? Barangkali memang hanya Juragan Gumarang punya hutang darah kepadanya. Atau, di antara mereka punya dendam lama. Kau dengar tadi teriakannya? Bulu kudukku sampai meremang mendengarnya,” kata laki-laki muda berwajah bulat sambil menunjukkan wajah takut.

“Ya! Aku pun mendengarnya...,” sahut yang lain.

Dan gunjingan itu seperti tak pernah sirna dari mulut mereka. Selama beberapa hari, pembicaraan tentang pemuda itu mewarnai isi desa ini. Bahkan terus menyebar ke desa-desa lain dari mulut ke mulut.

TIGA

Pagi baru saja melingkupi Desa Kebumi yang berada di bawah kaki Gunung Kiambang. Udara di sekitar situ cukup sejuk. Belum lagi pemandangannya yang indah, dengan pohon-pohon beraneka ragam tumbuh di situ.

Di ujung desa itu, terletak sebuah padepokan yang bernama Padepokan Tritunggal. Padepokannya cukup sederhana, dihuni oleh murid yang berjumlah lebih dari tiga puluh orang.

Sebenarnya Padepokan Tritunggal belum lama berdiri. Namun, kenyataannya telah cukup banyak menelurkan manusia-manusia digdaya. Kebanyakan dari mereka ada yang menjabat sebagai pengawal di kadipaten. Dan ada juga yang berkelana untuk menegakkan keadilan seperti yang sering dianjurkan Ki Suminta, ketua perguruan ini.

Laki-laki berumur sekitar empat puluh lima tahun itu sangat rajin membimbing murid-muridnya. Dan dia dibantu oleh tiga orang murid tertuanya.

Seperti pagi hari ini, para murid Padepokan Tritunggal berbaris rapi, terbagi dalam empat kelompok. Kali ini, Ki Suminta akan memberi pelajaran jurus-jurus tingkat lanjutan. Dan kini mulai diperagakannya jurus demi jurus. Sementara, murid-muridnya tampak memperhatikan dengan seksama, agar bisa sempurna menirunya.

“Perhatikan baik-baik. Jurus ini dinamakan 'Menadah Hujan dari Langit' yang berisi pertahanan diri dari serangan lawan, dan sekaligus menyerang.

Jurus ini banyak digunakan untuk menghadapi serangan yang dilakukan orang banyak!” kata Ki Suminta yang memiliki mata juling itu.

Orang tua itu kemudian kembali memperagakan jurus itu. Gerakannya tampak lincah, namun perlahan-lahan agar murid-muridnya mampu menirunya.

“Sekarang, coba kalian lakukan dengan perlahan-lahan. Mulai....!”

“Yeaaah...!”
“Hup!”

“Gerakan tanganmu kurang keras, Suraji!” kata Ki Suminta sambil mengawasi salah seorang muridnya.

“Hup! Hiyaaat..!”
“Ya! Bagus!”

Kesembilan orang yang berada di kelompoknya itu bergerak bersamaan, meniru gerakan-gerakan guru mereka. Kadang-kadang Ki Suminta terpaksa mengulang-ulang gerakan yang dilakukannya, agar murid-muridnya hafal betul.

“Kuda-kudamu kurang kokoh, Bamawi!” teriak Ki Suminta lagi.

“Begini, Eyang! Hup!”

Baru saja Bamawi memperagakan gerakan yang benar, tiba-tiba saja... “Graungrrr...!”

“Heh?!”

Semua orang yang berada di halaman depan itu tersentak kaget, ketika tiba-tiba melihat seekor kucing berada di atas atap padepokan tengah menggerung seperti macan. Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba saja seekor kucing belang melompat dari dalam rumah sambil menggeram buas dan terus melompat ke atas atap. Kedua kucing itu menggerung-gerung, lalu berkejaran menuju halaman depan dan terus keluar melompati pagar.

“Ayo, perhatian kalian jangan terganggu! Lakukan latihan lagi!” teriak Ki Suminta mengingatkan.

“Tidak biasanya si Belang berkelakuan begitu. Dia kucing yang baik dan penurut,” desis salah seorang, agak menggumam.

“Biasa. Barangkali lagi musim kawin...,” sambung yang lain.

“Si Reksa pun kalau ingin kawin pasti meraung seperti tadi!”

Beberapa orang murid tertawa kecil mendengar ocehan-ocehan itu. Tapi mereka cepat menutup mulut, ketika melihat tatapan mata Ki Suminta yang tajam. Sambil menundukkan kepala, mereka kembali menirukan gerakan-gerakan yang dilakukan kawankawannya yang lain. Tapi baru saja melakukan beberapa gerakan, perhatian mereka kembali pecah ketika mendengar suara-suara halus yang dikeluarkan puluhan ekor kucing.

“Heh? Suara apa itu...?!”

“Coba lihat! Astaga! Pantas saja kucing itu bertingkah aneh. Rupanya ada pawangnya yang datang!” tunjuk salah seorang murid perguruan itu ke satu arah.

Mendengar penuturan itu, yang lainnya pun memalingkan wajah ke arah yang sama. Dan, tampaklah seseorang mengenakan topi tudung lebar tengah berdiri diam. sambil memperhatikan seksama dengan tubuh bersandar pada sebatang pohon. Pada mulanya, hal itu terlihat biasa saja. Tapi ada yang tak lazim pada pemuda itu. Bukan pakaiannya yang gembel seperti pengemis, melainkan puluhan ekor kucing yang mengelilinginya dengan sikap patuh.

Ki Suminta menatap sesaat, kemudian mengalihkan perhatian kepada murid-muridnya kembali, ketika melihat kalau pemuda itu sama sekali tidak melakukan perbuatan yang mencurigakan. Dia langsung menduga kalau orang itu adalah gembel penyayang kucing yang tertarik pada perguruannya. Dan bisa jadi, ingin bergabung menjadi muridnya.

Sampai mereka beristirahat, pemuda itu masih tetap berdiri tegak dan sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ketabahannya sungguh luar biasa. Dan hal itu membuat Ki Suminta tertarik. Dia lalu berjalan mendekati pemuda itu.

“Orang muda! Siapakah kau, dan apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ki Suminta halus.

Pemuda itu membuka tudung lebar yang dikenakannya, kemudian ditatapnya Ki Suminta dengan seksama.

“Kaukah yang bernama Ki Suminta?”

Sikap pemuda itu sama sekali tidak sopan. Seharusnya, pertanyaan Ki Suminta yang lebih dulu dijawabnya. Tapi yang dilakukan malah sebaliknya. Lagi pula, nada suaranya seperti menyelidik. Namun Ki Suminta adalah orang tua yang kenyang makan asam garam kehidupan. Maka bisa dimakluminya sikap pemuda itu.

“Benar! Aku adalah orang yang kau maksud.”

“Bagus. Kedatanganku ke sini untuk menagih hutang kepadamu,” jelas pemuda itu dingin, dengan sorot mata tajam.

Ki Suminta sedikit terkejut melihat tatapan pemuda itu. Sudah bisa diduga kalau pemuda itu bukanlah orang sembarangan seperti yang diduga semula. Meski wajahnya tampan, namun seketika berubah menakutkan. Terlebih-lebih, sorot matanya yang tajam seperti hendak menusuk jantung. Dan apa yang dikatakannya tadi sungguh membuat Ki Suminta tak habis pikir. Kenal dengan pemuda itu pun tidak. Jadi, dari mana pemuda itu begitu yakin kalau harus menagih hutang kepadanya.

“Kisanak, aku tidak mengerti maksudmu?”

“Maksudku sudah jelas. Lima tahun lalu, kau punya hutang nyawa pada Pedang Angin Selatan. Hari ini Katakili, putra Pedang Angin Selatan yang akan menagihnya kepadamu!” kata pemuda itu, dingin.

“Heh? Kau..., kau...?!”

“Kau kaget melihatku, Ki Suminta?” dingin sekali nada suara pemuda itu. “Aku memang Katakili. Kedatanganku ke sini untuk menagih hutang nyawa padamu!”

Ki Suminta benar-benar terkejut mendengar kata-kata pemuda berpakaian seperti gembel yang memang Katakili. Lima tahun lalu, Ki Suminta memang ikut mengeroyok Pedang Angin Selatan bersama empat belas tokoh persilatan lainnya. Walaupun namanya tak terkenal seperti Ki Sartowo, Nyi Selasih, Ki Wempang, dan Ki Rancasena, tapi dia patut pula diperhitungkan. Sehingga, Katakili merasa kalau laki-laki tua ini patut pula dibunuh.

Dan yang membuat heran Ki Suminta, Katakili waktu itu sudah dinyatakan mati ketika tercebur ke dalam lubang seperti sumur. Putra Ki Karmani yang dikenal berjuluk Pedang Angin Selatan itu telah tewas di dalam lubang yang dalam tidak terukur. Lalu kenapa tiba-tiba akan menuntut balas padanya?

“Kau kelihatan takut, Ki Suminta...,” ejek Katakili sinis.

Ki Suminta tersentak. Harga dirinya tiba-tiba saja menolak tuduhan pemuda itu. Dan dengan cepat, sikapnya berusaha ditenangkan.

“Hm, Kisanak. Kau datang tiba-tiba, dan mengatakan kalau seolah-olah aku takut kepadamu. Kalau benar kau putra si Pedang Angin Selatan, maka sudah sepatutnya menjalani hukuman akibat perbuatan ayahmu,” dengus Ki Suminta mulai tegas.

“Ha ha ha...!” Katakili tertawa keras, sehingga mengundang perhatian seluruh murid Ki Suminta yang sejak tadi menyangka kalau antara keduanya hanya terjadi percakapan biasa.

“Kenapa kau tertawa?”

“Mengapa aku jadi tertawa? Hari ini, nyawamu ada dalam genggamanku. Dan tiba-tiba, kau merasa biasa mengancamku. He, Orang Tua! Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni segala omongan kosongmu. Masih banyak tugasku untuk menagih hutang nyawa ayahku! Maka, bersiaplah menghadapi kematianmu!”

Wajah Katakili yang tadi sedikit tersenyum, kini berubah menyeramkan bagai seekor harimau liar yang siap menerkam mangsa. Ki Suminta sedikit terkejut. Sorot mata pemuda itu tajam berkilat seperti hendak mengiris-iris jantungnya. Dan tiba-tiba saja...

“Hiyaaa...!”
“Hup! Hih...!”

Ki Suminta jadi terkejut juga, begitu tiba-tiba Katakili melompat sambil mengebutkan tangannya ke arah dada. Untung dia cepat berkelit, sambil menangkis dengan tangan kiri.

Plak!

Sebuah benturan keras terjadi. Akibatnya, Ki Suminta terjajar ke samping beberapa langkah. Sementara lawan tidak bergeming sedikit pun. Jelas, tenaga dalam Katakili sedikit di atasnya. Dan belum lagi Ki Suminta memperbaiki kedudukannya....

“Graungrrr...!”
Wusss!
“Heh?!”

Bukan main terkejutnya orang tua itu menyaksikan kecepatan gerak lawannya. Karena tiba-tiba saja, topi lebar pemuda itu berkelebat ke arahnya. Maka buru-buru Ki Suminta menangkis dengan tangannya, sehingga topi itu hancur berantakan. Namun dengan satu raungan hebat, sebelah tangan Katakili mengibas, hendak mencakar dada. Maka cepat-cepat Ki Suminta membuang tubuhnya ke samping sambil jungkir balik. Namun terlambat! Karena....

Breeet!
“Huh...!”
“Eyang...!”

Ki Suminta mengeluh kesakitan begitu lehernya terkena cakaran lawan yang begitu cepat saat tubuhnya sudah setengah bergerak tadi. Seketika darah mengalir dari luka yang cukup dalam. Ki Suminta terhuyung-huyung sesaat. Sementara itu, murid-muridnya yang melihat, jadi terkejut dan cepat-cepat mengurung halaman padepokan ini.

“Eyang! Kenapa kau tidak mundur? Biar kami saja yang menghadapinya!” teriak Mongkola, salah seorang murid tertuanya.

“Betul, Eyang. Gembel busuk ini tidak punya derajat untuk menghadapimu!” sambung Gupala.

“Eyang! Aku tidak peduli kau mengizinkan atau tidak. Yang jelas, gembel keparat ini telah melukaimu, dan pantas menerima hukuman!” dengus Sampurno yang sudah langsung melompat untuk menolong gurunya.

Di antara para murid, Sampurno yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu memang paling setia dan selalu menjaga gurunya. Tak heran karena selain murid paling pintar, dia juga murid pertama Ki Suminta.

“Mampuslah kau, Gembel Busuk! Hiyaaat..!”

“Graungrrr...!”

Namun begitu Sampurno melompat, Katakili meraung keras. Maka seketika beberapa ekor kucing yang mengikutinya sejak tadi melompat dan menerkam Sampurno dengan garang. Binatang-binatang itu tampak liar dan penuh nafsu membunuh. Tentu saja hal ini membuat yang lainnya merasa terkejut. Beberapa orang langsung bergerak untuk menghajar kucing-kucing ini.

Namun sebelum niat mereka tersampaikan, kucing-kucing lain telah lebih dulu menerkam. Bahkan kini semakin liar saja. Dan kini pertarungan di tempat itu menjadi tidak beraturan. Beberapa orang mengamuk sambil menggunakan senjata trisula untuk menghajar kucing-kucing yang semakin ganas.

Namun meskipun melihat beberapa ekor kawan-kawan mereka mati, kucing-kucing lain bukannya menjadi takut, tapi malah semakin ganas saja menerkam lawan. Dan hal ini membuat murid-murid Padepokan Tritunggal perlahan-lahan ciut nyalinya. Apalagi, ketika korban mulai jatuh di pihak mereka.

Sementara itu, pertarungan antara Katakili dan Ki Suminta telah kembali berlangsung. Agaknya pemuda itu tidak suka mengulur-ulur waktu. Lawannya yang telah terluka dan semakin kepayahan, nampaknya tinggal menunggu waktu saja untuk dituntaskan. Dan meskipun menggunakan sepasang trisula untuk menahan dan sekaligus membalas serangan lawan, namun Ki Suminta harus mengakui kalau hal itu tidak banyak menolong.

"Terimalah kematianmu sekarang, Ki Suminta! Graungrrr...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Katakili melompat cepat bagai kilat. Dan secepat itu pula, tangannya bergerak mengibas.

“Haiiit..!”
Plak!

Ki Suminta berhasil menangkis kibasan jari-jari tangan yang berkuku runcing seperti baja dengan tangan kiri. Tapi ketika Katakili kembali mengecutkan tangannya dengan gerakan berputar, kali ini Ki Suminta tidak dapat lagi menghindar. Dan....

Breeet! Breeet!

“Aaa...!” Ki Suminta memekik nyaring ketika kedua belah tangan lawan yang membentuk cakar merobek-robek dada dan perutnya, sampai isi perutnya terburai keluar. Namun demikian, laki-laki tua itu masih menyabetkan sepasang trisula di tangannya ke arah kepala Katakili. Namun dengan sekali papakan kedua senjata itu terlepas. Ki Suminta semakin kepayahan, karena perhatiannya terbagi dua. Dia harus memegangi dadanya yang mengalirkan darah, sementara lawan terus mendesaknya dengan sabetan-sabetan cakarnya.

Dan tampaknya, Ki Suminta kini telah pasrah menanti ajal. Maka dengan leluasa Katakili menerkam lawan dan mencabik-cabiknya sampai tidak berbentuk. Tubuh Ki Suminta telah ambruk di tanah, bersimbah darah. Mati!

“Graungrrr...!”

Katakili langsung meraung keras. Dan tak lama kemudian, tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Bersamaan dengan itu, kucing-kucing yang sedang menghajar lawan-lawannya menghentikan serangan. Dan binatang-binatang itu cepat bergerak gesit, mengikuti Katakili meninggalkan lawan-lawannya yang menderita luka cakar cukup hebat.

********************

EMPAT

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tengah melangkah tenang melalui jalan yang mulai menyempit. Di kanan dan kirinya adalah tanah yang menjulang tinggi, banyak ditumbuhi pepohonan kecil maupun besar. Tapi ini adalah satu-satunya jalan yang menuju desa terdekat. Lagi pula, pemuda yang rambutnya panjang terurai itu seperti tidak mempedulikan keadaaan di sekelilingnya. Sesekali kepalanya menekuri tanah berbatu sambil menghela napas panjang. Kemudian matanya menatap ke depan, pada pepohonan yang lebat. Namun tiba-tiba saja....

“Berhenti...!”

“Heh!” Pemuda itu terkejut seketika, langkahnya dihentikan begitu sesosok bayangan kuning tiba-tiba melesat dan berdiri tegak di depannya. Kini, tampaklah sosok tubuh ramping terselubung kain kuning dengan penutup muka berwarna kuning juga. Yang terlihat hanya sepasang mata yang bulat dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Tubuhnya tidak terlalu besar, bahkan terkesan kurus. Bukan hanya sekadar dari sorot mata dan suara, tapi dari bagian dadanya yang sedikit menonjol dan pinggulnya yang besar, bisa diduga kalau sosok berselubung kain kuning itu seorang gadis belia.

“Kulihat kau membawa-bawa pedang. Hm.... Pasti kau sedikit mengenal ilmu silat juga. Coba tahan beberapa jurus dariku. Kalau sampai mampu menahan tujuh jurus, kau boleh melanjutkan perjalananmu dengan aman!” tantang orang bertopeng itu sambil mengembangkan sebuah selendang pada kedua tangannya.

“Nisanak..."

“Kurang ajar! Kau pikir aku perempuan, heh?!” sentak orang bertopeng itu, berang.

Pemuda berbaju rompi putih itu melongo heran. Dari suaranya yang nyaring dan bentuk tubuhnya yang ramping, jelas orang akan segera tahu kalau dia seorang wanita. Tapi kenapa hal itu malah disangkal? Tanpa sadar, pemuda yang tak lain Rangga dan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala.

“Sial! Kenapa kau malah nyengir seperti kuda, heh...?!” dengus orang bertopeng itu sengit.

“He? Apakah ada yang yang melarang orang tersenyum?”

“Kurang ajar! Kau menganggap remeh aku, ya?”

Selesai membentak keras, tiba-tiba saja orang berselubung kain kuning yang diyakini Rangga adalah wanita itu mengecutkan selendang kuningnya ke udara. Dan seketika itu juga....

Ctar...! Ledakan keras seperti lecutan cambuk terdengar memekakkan telinga.

“Wah, hebat sekali!” puji Rangga kagum.

“Nah, kau baru tahu sekarang kalau aku tidak main-main. Cabut pedangmu sekarang juga. Tahan tujuh jurus seranganku, kalau tidak mau mampus!” dengus orang bertopeng itu, angkuh.

“Eee, tunggu dulu. Boleh aku mengajukan usul?”

“Sial! Kau semakin membuatku kesal saja!”

“Maaf! Kalau sampai aku kalah, mana ada kebanggaan bagimu. Aku sama sekali tidak mengerti apa-apa soal silat. Kalau kau melihat pedang ini dan menuduhku sedikit banyak mengerti ilmu silat, sesungguhnya kau salah besar. Pedang ini milik pamanku dan sedikit pun aku tidak mengerti ilmu silat,” kata Rangga berbohong, mencoba menghindari pertarungan.

“Hm, kau pikir bisa menipuku semudah itu?! Kau harus membuktikan dulu kata-katamu itu. Setelah kulihat kau tidak mampu sedikit pun menangkis seranganku dan telah babak belur, barulah aku mempercayai omonganmu. Tapi kalau tidak, kau akan mampus!”

Rangga pura-pura menunjukkan wajah terkejut dan takut mendengar ancaman itu. “Kisanak, tolonglah aku. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Kalau dipaksa, tentu aku akan babak belur. Lagi pula apa yang kau cari dengan menghajar orang sepertiku?” kata Rangga dengan wajah tertunduk dalam.

“Setan...! Terima ini! Hih...!”
Wuttt!
“Uts...!”

Hampir saja kebutan selendang kuning itu menghajar kepala, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat merunduk menghindar. Tapi gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti justru membuat orang berselubung kain kuning itu jadi kelihatan senang.

“Bagus! Sudah kuduga, kau pasti memiliki kepandaian. Nah, sekarang tahan seranganku! Yeaaa...!”

Ctar!

“Uts...!” Kembali Rangga menghindari serangan dengan liukan tubuh yang indah sekali. Namun, ujung selendang gadis itu kembali berkelebat cepat melesat ke dadanya. Dan tentu saja Rangga tahu kalau serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau tidak berusaha mengelak, paling tidak dadanya akan terasa seperti dihantam godam kuat. Dan sudah pasti ini sangat berbahaya. Maka dengan sedikit memiringkan tubuh, ujung selendang lawan hanya menyambar sisi tubuhnya pada jarak dua jengkal.

“Hm.... Jangan berpura-pura di depanku, heh? Hari ini terbukalah kedokmu. Kalau kau tidak mampu menahan tujuh jurus seranganku, kau harus mampus!” dengus orang bertopeng itu.

“Kalau berhasil?”

“Kau boleh berlalu dengan aman!”

“Hm.... Itu tidak cukup. Kau telah mengganggu perjalananku, maka sudah sepatutnya aku meminta sedikit imbalan.”

“Setan! Kalau aku sudah mengampunimu, itu sudah yang terbaik bagimu.”

“He! Siapa yang sudi menerima kebaikanmu? Kau bukan memberi kebaikan, tapi malah memberi kesulitan. Maka sudah sepatutnya perbuatanmu kubalas dengan kesulitan juga. Dan kau akan mengetahuinya nanti!”

Mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, bukan main kalapnya orang bertopeng itu. “Jurus kesatu! Tahan serangan! Hiyaaat..!” bentak orang itu, kalap.

“Hup!”

“Yeaaah...!” Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga menyambut serangan lawan. Kedua kakinya bergerak lincah mengikuti gerakan tubuhnya yang meliuk-liuk bagai penari. Kadang-kadang tubuhnya terlihat akan terkena serangan ujung senjata lawan yang cepat. Kadang pula, bisa berubah kaku. Tapi sejengkal lagi ujung selendang akan menyentuh tubuhnya, maka saat itu Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat menghindar. Begitu seterusnya. Sampai jurus ketiga selesai, tak satu pun yang bisa menyentuh tubuh Rangga. Tentu saja hal ini membuat orang bertopeng itu semakin kesal saja. Bahkan sampai saat ini, pemuda itu sama sekali belum balas menyerang.

“Huh! Lumayan juga kepandaianmu. Tapi dengan jurus-jurusku ini, agaknya kau mesti hati-hati. Karena nyawamulah yang akan jadi taruhannya!” dengus orang bertopeng yang sudah tegak berdiri pada jarak dua tombak di depan Rangga.

“Ah! Semua jurusmu hebat dan lihai. Dan hanya kebetulan saja aku bisa menghindarinya. Barangkali, nasib baik memang sedang menyertaiku. Dan biasanya, itu akan terus berlangsung sepanjang hari,” sahut Rangga seraya tersenyum-senyum kecil.

Orang bertopeng itu tidak menanggapi ucapan Rangga. Bahkan telah bersiap membuka jurus barunya.

“Yeaaah...!”

“Hup!” Tubuh pemuda itu bergerak ke kiri, kemudian melompat ke atas ketika ujung selendang lawan menghantam bagai sebatang besi. Rangga Jadi mendesah kagum. Dia tahu kalau tidak sembarang orang yang bisa melakukan serangan semacam itu bila tak memiliki tenaga dalam tinggi. Dan kelebihan jurus yang dilancarkan orang bertopeng itu rasanya tidak beda dengan jurus-jurus sebelumnya. Kalaupun ada peningkatan, itu hanya sebatas dalam pengerahan tenaga dalam, serta gerakannya yang sedikit gesit dengan jurus-jurus tipuan yang bagus. Hanya saja, Rangga sudah merasakan kalau jurus-jurus yang dimainkan orang bertopeng ini belum begitu sempurna. Bahkan masih banyak kekurangannya. Sehingga walaupun lawannya terlihat menyerang dengan seluruh daya kemampuan, semuanya masih bisa dihindarinya.

“Hiyaaat..!” Orang bertopeng itu semakin geram melihat lawannya hanya menghindar saja. Maka, seketika serangannya semakin ditingkatkan. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti menghindar ke kiri, lawannya kembali menyusuli dengan kebutan selendangnya. Tak ada waktu lagi bagi Rangga untuk menghindar. Maka langsung dipapaknya serangan itu. Namun...

Pret!

“Mampus kau!” bentak orang bertopeng itu kegirangan, ketika ujung selendangnya menyambar lengan kanan Rangga dan melibatnya kuat-kuat

Kemudian dengan sentakan keras, orang bertopeng itu mencoba menarik tubuh Pendekar Rajawali Sakti, sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Namun Rangga cepat mencengkeram erat ujung selendang itu dan menahan sentakan lawan beberapa saat. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya melayang mengikuti sentakan lawan.

“Rasakan ini! Hiyaaat..!”

Tangan kiri orang bertopeng itu cepat sekali terayun ke wajah Pendekar Rajawali Sakti. Namun alangkah terkejutnya orang bertopeng itu, ketika cepat sekali tangan Rangga menangkis pukulannya. Sementara tangan sebelah lagi bergerak bagai kilat menyambar selubung wajah orang bertopeng itu.

Bret!
“Auh...!”

“Apa kataku! Ternyata tebakanku betul. Kau seorang gadis. Nah, Nisanak. Cukuplah sudah permainan kita kali ini. Aku tidak banyak waktu untuk meladenimu,” ujar Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti kini berdiri tegak dekat lawannya. Sedangkan orang bertopeng itu memalingkan mukanya, ketika Rangga berhasil menyingkap wajahnya tadi. Rangga melemparkan sehelai kain berwarna kuning yang tadi digunakan sebagai penutup wajah lawannya. Dan kemudian tubuhnya berbalik perlahan, lalu melangkah tenang. Namun baru dua langkah berjalan, tiba-tiba....

"Tahan langkahmu...!”

“Heh...?!” Wuuut!

Rangga buru-buru menundukkan kepalanya, ketika pendengarannya yang tajam mendengar angin mendesir ke arah kepalanya. Ketika mencoba menoleh, terlihat ujung selendang lawan terus bergerak menyerangnya.

“Nisanak! Jangan terlalu memaksaku!” bentak Rangga mulai kesal.

“Huh! Kau telah berlaku kurang ajar padaku. Maka sudah sepatutnya kuhajar!”

Rangga mendesah sambil menggelengkan kepala. Namun ketika telah dekat, ternyata orang bertopeng itu amat cantik, meskipun berkesan galak. Rambutnya panjang dan tebal sampai ke pinggang. Wajahnya sedikit lonjong dengan dagu ber-bentuk runcing. Hidungnya kecil dan mancung dengan bibir merah merekah. Tubuh padat berisi, tumbuh menjadi dewasa. Kalaupun Rangga boleh menaksir, rasanya usia gadis itu belum lagi mencapai lima belas tahun. Namun, kepandaian yang dimilikinya sungguh luar biasa.

“Adik kecil, siapa yang berlaku kurang ajar? Kau atau aku...?”

“Kurang ajar...! Kau bilang apa padaku? Adik kecil...? Huh! Memangnya kau siapa? Berani betul berkata seperti itu!” sentak gadis itu terlihat kalap mendengar kata-kata Rangga tadi.

“Lalu, aku harus panggil apa? Apakah kau mesti kupanggil nenek cerewet? Atau barangkali kau lebih suka dipanggil gadis binal saja,” ledek Rangga.

“Sial! Kuhajar kau! Kuhajar kau...!” teriak gadis itu semakin kalap. Bahkan langsung menyerang ganas.

Rangga hanya tersenyum sambil bergerak menghindari setiap serangan gadis tanggung ini. Dan setiap kali serangannya selalu tidak berhasil, gadis itu semakin murka saja. Agaknya dia penasaran betul, karena tidak mampu melukai lawan sedikit pun. Dan sepertinya, melihat Rangga yang terus-menerus menghindar dan tidak berusaha membalas serangan, gadis itu merasa diremehkan dan dipermainkan.

“Ayo! Balaslah seranganku kalau memang kau mampu!” sentak gadis itu, seraya menghentikan serangannya sebentar.

“Untuk apa? Bukankah kau yang bermaksud menyerangku? Nah, pergunakanlah kesempatan ini sebaik-baiknya dan puaskanlah hatimu. Nanti setelah kau lelah, baru berhenti. Dengan demikian aku bisa pergi dengan tenang,” sahut Rangga kalem.

“Sombong! Kau pikir dengan kepandaianmu yang seujung kuku itu bisa bertingkah di hadapanku? Huh! Kau rasakan, sebentar lagi tubuhmu akan kubuat liancur berkeping-keping.” Kembali gadis itu mengebutkan selendangnya, menyerang Rangga.

Ctar! Ctar!

“Huh! Yeaaah...! Rangga mulai kesal juga melihat kelakuan gadis tanggung itu. Sambil mengkertak rahang, dicobanya memapak ujung selendang lawan yang menyambar-nyambar, menimbulkan ledakan keras. Dan begitu memiliki kesempatan, cepat sekali tangan kanannya bergerak mengibas. Tapi belum juga bisa menyambar tubuh gadis itu, tiba-tiba saja....

“Lestari! Sungguh gegabah dan lancang sekali perbuatanmu!”

“Eyang...! Ibu...!” Gadis tanggung itu kontan terkejut ketika tiba-tiba melesat dua sosok tubuh yang langsung memperingatkannya.

Rangga memperhatikan dengan seksama kedua orang yang baru datang, dan kini berdiri di samping kanan dan kiri gadis itu. Yang berdiri di sebelah kanan adalah wanita muda berusia sekitar dua puluh sembilan tahun. Wajahnya masih terlihat cantik dan ayu, nyaris mirip dengan gadis tanggung yang dipanggil Lestari. Sedang di sebelah kiri, seorang wanita berusia agak lanjut dengan rambut yang sebagian telah memutih. Masing-masing, memakai selendang sebagai ikat pinggang.

“Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan, heh...?” agak mendengus nada suara orang tua bermuka masam itu.

Gadis bernama Lestari itu menggeleng, dengan kepala menunduk.

“Dialah Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun seratus orang berkepandaian sepertimu, mana bisa mengalahkannya!”

Lestari jadi terkejut, begitu mendengar penjelasan orang tua itu. Nama yang disebutkan itu memang pernah didengarnya dari mulut nenek atau kedua orangtuanya, sebagai pendekar yang amat menggemparkan rimba persilatan. Tapi tidak disangka kalau hari ini kebentur dengan pendekar besar itu.

“Kisanak! Maafkan kesalahan cucuku. Dia memang nakal dan suka sekali mengganggu orang!” ucap perempuan tua itu sambil berpaling kepada Rangga dengan sikap hormat.

“Ah! Tidak apa-apa. Aku juga salah, karena terus-menerus meladeninya,” sahut Rangga seraya menjura hormat.

“Aku Selasih. Dan ini, putriku Rupani. Sedangkan cucuku yang bengal itu bernama Lestari. Adalah suatu kehormatan besar bila kau bersedia mampir ke gubuk kami,” jelas perempuan tua itu memperkenalkan diri.

“Ah! Kiranya hari ini aku sedang berhadapan dengan Nyi Selasih yang terkenal sebagai Selendang Maut. Pantas saja kepandaian cucumu sungguh mengagumkan. Terima kasih atas tawaranmu itu, Nyi Selasih. Sayang, aku masih punya urusan yang tidak bisa ditunda. Jadi sangat menyesal aku tidak bisa memenuhi undanganmu itu. Maaf, bukannya menolak. Terima kasih,” sahut Rangga dengan sikap hormat.

Perempuan tua itu berusaha menawarkan kembali dengan setengah memaksa, namun Rangga tetap menolaknya. Sehingga, mereka tidak bisa lagi berbuat apa-apa.

“Baiklah kalau memang hal itu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi...,” desah Nyi Selasih, halus.

Perempuan tua itu kemudian memandang cucunya. “Lestari! Kau memang nakal sekali dan susah diatur. Lekas minta maaf padanya, atau kau akan mendapat hukuman dariku nanti!”

Gadis tanggung itu tampak ragu tanpa berusaha bangkit dari sikapnya. Wajahnya menunjukkan ketidaksenangannya atas perintah neneknya tadi. Tapi....

“Cepat lakukan! Atau kau akan kuhukum sekarang juga!” bentak Nyi Selasih.

“Sudahlah, Nyi Selasih. Tanpa dia meminta maaf, aku pun telah memaafkan...,” selak Rangga cepat-cepat tidak tega juga melihat gadis tanggung ini.

Perempuan tua itu menunjukkan wajah berang kepada Lestari. Lalu, bibirnya tersenyum kecut ketika pemuda itu pergi setelah berbasa-basi sebentar. Dengan sudut ekor mata, dia memandang sekilas. Lalu ketika pemuda itu telah lenyap dari pandangan, dihampirinya Lestari. Dan dengan kesal, dijewernya telinga cucunya itu.

“Dasar anak bengal! Kau telah mempermalukan aku di depan seorang pendekar besar! Huh!”

Lestari sama sekali tidak mengeluh kesakitan, meski wajahnya meringis. Dia memandang ke arah ibunya, berharap bisa membelanya. Tapi Rupani hanya menggelengkan kepala sambil menunjukkan wajah masam. Gadis tanggung itu merasa kesal bukan main. Dengan sekali tepis, tangan neneknya lepas dari telinga. Kemudian dengan muka berapi-api penuh kekesalan, telunjuknya ditudingkan ke arah keduanya.

“Aku tidak sudi meminta maaf pada orang yang telah berbuat kurang ajar padaku! Kenapa Eyang memaksa juga dan ingin mempermalukan aku di depannya?! Ibu, kenapa bukannya membelaku dan seperti membenarkan sikap Eyang? Kalau memang kalian sudah tidak sayang lagi padaku, lebih baik katakan saja terus terang. Kalau memang tidak suka akan kehadiranku, aku akan pergi sekarang juga!” Setelah berkata demikian, Lestari berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

“Lestari! Mau ke mana kau?! Kembali! Ayo, kembali!”

Rupani sudah langsung bergerak, ingin mencegah perbuatan putri satu-satunya itu. Tapi baru saja bergerak Nyi Selasih keburu mencegahnya.

“Biarkan saja dia bersikap begitu. Kalau kau membujuknya, dia tidak akan pernah tahu kesalahannya. Anak gadis memang biasa berbuat begitu, seperti juga kau dulu. Kalau hatinya telah reda, dia tentu akan kembali ke rumah....”

“Tapi, Bu...”

“Biarlah kataku! Dia harus bisa menyadari kekeliruannya. Dan kau tidak perlu khawatir akan keselamatannya. Dengan kepandaian yang dimilikinya saat ini, tidak sembarang orang bisa mengalahkannya!”

Mendengar kata-kata ibunya, Rupani tidak bisa berkata apa-apa lagi. Meski hatinya cemas, tapi sedikit banyak kata-kata orangtuanya ada benarnya. Lestari memang salah, dan harus kembali ke rumah dengan pikiran jernih untuk menyadari kekeliruannya. Dalam keadaan kesal seperti sekarang, rasanya sulit memberi nasihat pada anak bengal dan keras kepala itu. Dengan langkah lesu diikutinya langkah ibunya, kembali ke pondok mereka yang tidak begitu jauh dari tempat itu.

********************

LIMA

Nyi Selasih dan Rupani terkejut setengah mati ketika tiba di dalam pondok. Di situ banyak sekali terdapat kucing yang tengah berkumpul. Dan di tengah binatang-binatang itu, berdiri pula sesosok tubuh berpakaian gembel seperti seorang pengemis. Pemuda itu cukup tampan dengan rambut panjang dan kusut masai. Kulitnya terlihat amat dekil dan kusam. Sorot matanya pun terlihat tajam serta berkilat, memancarkan sinar aneh menusuk tajam pada perempuan tua itu.

“Kisanak! Siapa kau sebenarnya, dan apa yang kau lakukan di tempat ini?” tanya Nyi Selasih heran.

“Benarkah namamu Nyi Selasih alias si Selendang Maut?” pemuda itu malah balik bertanya dengan nada terdengar dingin sekali.

Nyi Selasih pun menyadari kalau sikap pemuda itu sesungguhnya tidak menunjukkan rasa persahabatan. Dia pun mulai waspada, lalu memberi isyarat kepada putrinya agar selalu bersiaga penuh.

“Hm.... Kalau memang kau hendak berurusan dengan Nyi Selasih, akulah orangnya,” agak menggumam suara Nyi Selasih.

“Bagus. Kau mempunyai hutang padaku, Nyi. Dan kau harus membayarnya hari ini juga.”

“Hutang? Hutang apa...? Kenal denganmu pun, baru hari ini. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kalau aku punya hutang padamu?” Nyi Selasih jadi keheranan.

“Tidak ingatkah kau pada peristiwa lima tahun lalu?”

Nyi Selasih mencoba mengingat-ingatnya, tapi ternyata tidak menemukan maksud dari kata-kata pemuda itu. Lagi pula, bukankah masa lima tahun itu adalah waktu yang panjang? Dan selama itu pula, dia banyak mengalami peristiwa yang terjadi. Dan itu tidak mungkin lagi dapat diingatnya satu persatu.

“Kisanak! Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu. Katakan, hutang apa yang harus kubayar padamu...?” Nyi Selasih minta penjelasan.

“Hm.... Kalau memang kau lupa, baiklah kuingatkan kembali agar matamu melek. Aku adalah Katakili, putra Pedang Angin Selatan yang kau bunuh dengan keji bersama teman-temanmu lima tahun yang lalu. Nah! Sekarang sudah jelas, Nyi Selasih....”

“Hah...?! Kau...” Nyi Selasih jadi terperangah setelah mendengar kata-kata pemuda yang mengaku bernama Katakili.

“Kenapa? Kau tampak terkejut! Apakah kau kira aku telah tewas ketika itu? Ha ha ha...! Barangkali memang tidak pernah terpikirkan kalau aku datang dan menagih hutang nyawa kepadamu, bukan? Kau salah, Perempuan Busuk! Bertahun-tahun aku hidup sengsara, penuh dengan derita. Dan aku berusaha untuk bertahan agar tetap dapat hidup, agar nantinya akan dapat membalaskan rasa sakit hati ini! Dan kali ini, jangan harap untuk dapat bisa meloloskan diri dariku!”

Mendengar kata-kata itu, jelas kalau pemuda ini begitu amat mendendam pada masa lalunya. Dan dia berusaha membalas rasa sakit hati dengan ingin menewaskan Nyi Selasih. Tentu saja hal ini membuat harga diri perempuan tua itu jadi tersinggung.

“Bocah! Apa kau pikir aku takut dengan segala macam ancamanmu? Huh! Ayahmu saja orang jahat! Dia sudah sepatutnya menerima hukuman. Dan, kau sebagai anaknya harus membersihkan nama baik keluarga dengan berbuat baik di mana-mana,” agak lantang suara Nyi Selasih.

“Ha ha ha...! Kau pikir apa yang sedang kulakukan ini sekarang? Bukankah ini demi nama baik keluarga juga?! Kalian telah membunuh orang yang tidak bersalah!”

“Bu! Percuma saja kita bergulat omongan dengannya. Lebih baik jangan dipedulikan. Kelihatan sekali kalau dia memang tidak waras,” bisik Rupani kepada ibunya.

“He, Perempuan Sundal! Jangan sembarangan bicara. Cepatlah menyingkir, atau barangkali kau memang ingin mampus untuk menanggung dosa ibumu...?!” bentak Katakili geram.

“Keparat! Kau pikir, siapa dirimu itu sebenarnya? Berani sekali kau bicara begitu padaku?!” geram Rupani dengan wajah berang.

Rupani kontan naik darahnya mendengar kata-kata yang dilontarkan Katakili. Dengan cepat, selendangnya diloloskan dan langsung saja dikebutkan ke arah kepala pemuda itu. Kecepatannya sangat tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

“Yeaaah...!”
Wuk!

Namun dengan hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Katakili berhasil menghindari. Dan pada saat itu juga, dia menggerung bagaikan seekor harimau kelaparan melihat domba gemuk.

“Graungrrr...!”
“Heh?!”

Raungan Katakili membuat kedua wanita itu jadi terkejut setengah mati. Bahkan Rupani cepat-cepat menarik selendangnya kembali dan segera melompat ke belakang beberapa langkah. Didekatinya Nyi Selasih yang tadi berdiri agak ke belakang darinya. Dan lebih terkejut lagi, ketika mereka melihat ratusan kucing yang mengelilingi pemuda itu tiba-tiba saja jadi kucing buas. Binatang-binatang itu menggeram sambil menunjukkan sorot mata yang tajam, setelah melihat tindakan Rupani yang hendak menyerang Katakili.

Sedangkan Nyi Selasih yang melihat keadaan ini sudah bisa menduga kalau kucing-kucing yang sejak tadi berada di dekat pemuda itu memang bukan hewan sembarangan. Dan agaknya, antara pemuda itu dengan kucing-kucing yang dimilikinya mempunyai tali ikatan batin yang kuat sekali.

Tanpa terasa, ketakutan mulai merasuki jiwanya. Suatu peristiwa mengerikan pasti akan terjadi bila kucing-kucing itu menyerang dengan kuku-kukunya yang tajam. Tapi Nyi Selasih yang memang sudah kenyang makan asam garam dalam kehidupan, bisa menyembunyikan perasaannya. Dan kini dipandangnya pemuda itu dengan sorot mata tajam.

“Kenapa berhenti? Bukankah kau semula ingin menghajarku?” ejek pemuda itu pada Nyi Rupani.

“Sungguh kurang ajarnya mulutmu! Phuihhh...! Apa dikira aku takut dengan hewan-hewan peliharaanmu itu?!” dengus Nyi Rupani, berusaha menghilangkan perasaan gentar yang tadi sempat menyelinap ke dalam hatinya.

“Lalu, kenapa niatmu itu tidak dilanjutkan?! Ayo! Segeralah kau ke sini, kalau memang ingin menanggung dosa ibumu,” ejek Katakili lagi, memancing kemarahan Nyi Rupani.

“Keparat!” Diejek demikian, rupanya perempuan itu sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Selendangnya digenggam erat-erat dengan kedua tangannya, lalu perlahan-lahan direntangkan hingga melintang di depan dada.

Melihat Nyi Rupani sudah siap hendak menyerang lagi, Katakili kelihatan tersenyum. Dia seperti senang melihat pancingannya mengena dengan baik. Sengaja dia berdiri tegak, bersikap seperti tidak peduli. Dan sikapnya itu membuat Nyi Rupani semakin geram. Selendangnya langsung diregangkan hingga jadi kaku seperti sebatang tombak.... Rrrt..!

“Bagus! Seranglah aku,” dingin sekali nada suara Katakili.

“Phuih! Hiyaaat..!”

“Rupani, jangaaan...!” Nyi Selasih berusaha mencegah perbuatan anaknya. Namun sudah terlambat Anaknya sudah mencelat sambil mengayunkan selendangnya ke arah dada pemuda itu. Namun belum lagi serangannya mengenai sasaran, saat itu juga kucing-kucing yang sejak tadi memang telah bersiaga membela majikannya, sudah berlompatan dengan buas ke arah wanita ini. Suaranya begitu keras dan ribut membuat Nyi Rupani jadi kelihatan bingung.

“Meeeong...!”
“Graungrrr...!”
“Ikh...! Yeaaah..!”
Wuk!
“Mampuslah kau, Keparat!”
Ctarrr...!

Sambil berteriak keras menggelegar, Nyi Rupani cepat mengebutkan selendangnya sambil berputaran bagai kilat. Dia berusaha melindungi diri dari terkaman kucing-kucing liar itu.

“Hiyaaat..! Yeaaah...!”

Namun serangan kucing yang jumlahnya ratusan itu bagaikan air bah saja. Akibatnya, Nyi Rupani jadi kelabakan juga menghadapinya. Dan tiba-tiba saja, salah seekor kucing yang menyerangnya melesat tinggi ke atas. Lalu dengan gerakan sangat cepat luar biasa, binatang itu menukik hendak menyambar bagian atas kepala Nyi Rupani. Tapi pada saat itu pula....

“Rupani, awas...!” Nyi Selasih cepat sekali mencelat ke udara, begitu melihat pemuda yang bernama Katakili tiba-tiba menerjang ke arah Nyi Rupani. Padahal saat itu Nyi Rupani tengah sibuk menghindari seekor kucing yang menyerangnya dari atas kepala.

“Uts...!” Buru-buru Nyi Rupani menundukkan kepala sehingga kucing hitam itu hanya menyambar angin kosong.

Sementara itu ujung selendang Nyi Selasih cepat menyambar tubuh Katakili. Tapi sayang, pemuda itu dapat menghindar dengan berjungkir balik. Dan begitu tegak kembali, sasarannya langsung diarahkan ke pinggang Nyi Rupani.

“Akh...!” Nyi Rupani terpekik ketika cakar lawannya berhasil merobek pinggang, ketika dia masih sibuk dengan kucing-kucing yang terus menyerangnya.

Katakili kini seperti harus membagi serangan begitu Nyi Selasih turut campur dalam pertarungan. Dan sebenarnya, perempuan tua itu pun mulai sedikit terkejut, namun lekas menunjukkan tingkatannya sebagai tokoh kawakan dunia persilatan.

“Nyi Selasih! Kaulah bagianku sekarang! Hiyaaat..!” bentak Katakili sambil menerkam perempuan tua itu dengan kedua tangan menjulur ke depan.

“Huh! Bocah masih ingusan sudah bertingkah! Cepat ke sini kalau memang ingin segera menyusul bapak moyangmu! Yeaaah...!”

“Graungrrr...!”
“Hiyaaa...!”

“Mampuslah kau, Bocah Dungu!” dengus Nyi Selasih sambil mengayunkan selendangnya. Langsung dikejarnya ke mana saja tubuh pemuda yang bergerak lincah untuk menghindari serangannya.

Tapi pemuda itu bergerak cepat sekali. Bagaikan seekor kucing, dia mampu menjejakkan kedua kaki dan tangannya ke tanah, untuk kemudian melenting ringan sambil membuat suatu lompatan-lompatan ringan. Tubuhnya lalu berguling-guling beberapa kali, kemudian dengan buasnya menerkam lawan.

Diam-diam Nyi Selasih pun mengagumi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda itu. Rasanya, dia pun tidak akan mampu berbuat serupa. Tubuh pemuda itu melayang laksana terbang, lalu mendarat dan melompat kian kemari begitu ringannya. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh tokohtokoh persilatan kelas atas saja.

“Graungrrr...!”
“Aaakh...!”

Tiba-tiba Nyi Selasih terkejut dan langsung menghentikan serangan begitu mendengar jeritan Nyi Rupani. Wanita itu tampak penuh luka cakaran kucing yang mengerubutinya. Dan ternyata, waktu yang hanya sesaat betul-betul dipergunakan Katakili dengan sebaik-baiknya. Tubuhnya cepat melesat bagai anak panah, dan langsung menyambar bagian dada dan perut Nyi Selasih.

Perempuan tua itu kontan terpekik, dan tubuhnya seketika bermandikan darah. Kedua kakinya melangkah limbung. Selendangnya lalu digunakannya untuk melilit perut yang terbuka lebar. Tapi saat itu juga, kucing-kucing menyerangnya. Bahkan langsung menjadikannya mangsa empuk!

“Graungrrr...!”
Bret! Bret!
“Aaa...!”

Nyi Selasih meraung-raung kesakitan sambil berlarian ke sana kemari dengan tubuh bermandikan darah. Tapi kucing-kucing yang bagai dirasuki setan itu, sepertinya tidak mau meninggalkan korbannya begitu saja. Mereka terus menyerang dan menggayuti tubuh perempuan tua itu sampai roboh tidak berdaya. Di antara kerumunan kucing itu. Nyi Selasih tampak menggelepar-gelepar sesaat sebelum akhirnya diam tidak berkutik. Mati!

Begitu tubuh Nyi Selasih tidak bergerak-gerak lagi, kucing-kucing itu menghentikan serangannya. Namun setelah itu mereka tidak tinggal diam, karena terus berloncatan membantu Katakili menyerang Nyi Rupani.

Nyi Rupani yang memang sudah kepayahan, tidak bisa berbuat banyak lagi. Dan ketika cakar-cakar Katakili yang tajam dan kuat mengancam dada dan perutnya, dia sudah tak mampu menghindar. Maka....

Bret! Bret!
“Graungrrr...!”
“Aaa...!”

Katakili meraung hebat yang diiringi lengkingan menyayat dari mulut Nyi Rupani. Dan ketika tubuh wanita malang itu limbung, kucing-kucing itu terus menerkam seperti apa yang dilakukan terhadap Nyi Selasih. Nyi Rupani yang sudah berlumur darah pada dada dan perutnya, makin dibanjiri darah lagi ketika kucing-kucing itu mencabik-cabik tubuhnya yang sudah tak bernyawa lagi.

Katakili melompat ke belakang sambil mendengus sinis. Dan kucing-kucingnya dibiarkan berpesta merajang tubuh lawan-lawannya itu. Sebentar kemudian wajahnya menengadah ke langit.

“Ayah! Telah kubalaskan sakit hatimu pada mereka....”

“Ngeong...!” Kucing-kucing yang tadinya liar dan buas, kini sudah berubah seperti semula seperti layaknya, setelah puas mengakhiri mangsa-mangsanya. Mereka juga sudah mengerumuni, dan menggesek-gesekkan tubuhnya di kaki Katakili. Beberapa ekor malah menjilatnya dengan perasaan kasih sayang. Pemuda itu lalu meraih beberapa ekor, dan memeluk serta menciuminya. Kemudian, perlahan-lahan ditinggal-kannya tempat itu, diikuti seratus lebih pengikutnya.

Saat itu tanpa ada yang mengetahui, pada salah satu pojok rumah tampak seorang laki-laki kecil berkulit hitam terhenyak di tanah, di antara semak-semak. Tubuhnya tampak gemetar dan mukanya pucat Sedangkan matanya melotot, seperti baru saja melihat hantu.

“Nyi Selasih..., Nyi Rupani.... Malang betul nasib kalian. Oh! Apa yang akan kukatakan nanti pada Den Ayu Lestari dan Den Permana? Ya, Jagat Dewa Batara! Aku sama sekali tidak berdaya menolong mereka. Ah! Aku memang tidak berguna.... Tidak berguna...!”

Berkali-kali anak itu mengeluh sendiri sambil menundukkan kepala, kemudian menggeleng-geleng lemah. Lama kepalanya menekur seperti terus menyesali diri tanpa hendak bangkit sedikit pun. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong kedua wanita malang yang menggeletak hancur, tidak berbentuk lagi.

********************

Sementara itu, Rangga sudah berada di sebuah kedai di pinggir jalan utama Desa Kranggan. Sengaja diambilnya tempat yang agak pojok ruangan, sehingga dari situ bisa leluasa mengamati setiap pengunjung kedai yang hari ini terlihat cukup ramai. Selain beberapa orang pedagang, juga terlihat orang-orang persilatan yang ditandai cara mereka berpakaian serta senjata yang tersandang.

Berbeda dengan kedai-kedai yang pernah dikunjunginya, kedai ini terasa nyaman. Bahkan pelayanannya pun cukup baik meski berkesan seronok dan berlebihan. Pemilik kedai adalah seorang laki-laki berperut buncit berusia sekitar empat puluh tahun. Dia memiliki beberapa orang pelayan wanita yang masih belia dan berpakaian sedikit terbuka. Tingkah laku mereka genit dan sering memancing perhatian para pengunjung.

Rangga sempat melirik ke arah ujung ruangan yang terdapat sebuah pintu. Sesekali, pintu itu dimasuki seorang laki-laki yang menggandeng wanita-wanita yang menjadi pelayan. Entah apa yang mereka lakukan. Tapi bisa diduga kalau selain sebagai kedai makan, agaknya tempat ini merangkap menjadi tempat pelacuran juga.

Pendekar Rajawali Sakti lalu mengalihkan perhatian ketika beberapa orang laki-laki yang duduk dekat mejanya menceritakan suatu peristiwa. Sementara kawan-kawan laki-laki itu mendengar penuh perhatian.

“Orang itu kejam dan tidak kenal ampun. Lawan-lawannya binasa dengan keadaan tubuh mengerikan!” tutur seorang yang bertubuh kurus. Bagian matanya agak cekung, seperti kurang tidur.

“Kau yakin kalau dia itu siluman, Bardi?” Tanya temannya yang bertubuh gemuk pendek.

“Banyak penduduk yang percaya. Soalnya, kucing-kucing yang selalu mengikutinya tiba-tiba menjadi ganas dan buas kalau dia sedang menghadapi lawan-lawannya!” jelas laki-laki kurus yang ternyata bernama Bardi.

“Hm.... Lebih enam orang tokoh persilatan berilmu tinggi tewas di tangannya. Dan kebanyakan dari mereka, adalah yang lima tahun lalu ikut dalam pembunuhan terhadap Pedang Angin Selatan. Tapi, apa benar anggapan orang yang mengatakan kalau pemuda itu putra si Pedang Angin Selatan?” tanya orang yang wajahnya seram dan berkumis melintang.

"Bisa jadi,” sahut Bardi.

“Kudengar, saat ini dia tengah menuju tempat kediaman Nyi Selasih. Bisa jadi orang tua itu akan menjadi korban berikutnya,” selak seseorang yang lebih muda berbaju biru.

“Dari mana kau tahu, Sapar?” tanya laki-laki bertubuh gemuk pendek dan sering dipanggil Gembul.

“Ada orang yang melihatnya bersama balatentara kucing menuju tempat kediaman orang tua itu,” jelas laki-laki berbaju biru yang bernama Sapar.

“Wah! Ini pasti akan seru! Hei!? Menurut kalian, apakah perempuan tua berjuluk Selendang Maut itu mampu mengatasinya?” tanya Bardi.

“Nyi Selasih bukan orang sembarangan, Bardi. Ilmunya hebat Dan lebih dari itu, putri, cucu, dan menantunya pun bukan orang sembarangan. Tentu tidak mudah bagi pemuda itu untuk mengalahkannya,” kata laki-laki berkumis melintang, dan dikenal sebagai Jalu.

“He, tunggu dulu. Kalian tahu Ki Suminta? Dia memiliki banyak murid dan rata-rata berkepandaian tinggi. Tapi menghadapi pemuda itu, mereka sama sekali tidak berkutik. Kalau saja pemuda itu tidak pergi, pasti tidak seorang pun murid-muridnya yang tersisa,” jelas Gembul.

“Aku yakin, Nyi Selasih dengan mudah akan dikalahkan pemuda itu. Dan nasibnya…,” Sapar tidak melanjutkan kata-katanya. Air muka Sapar menunjukkan kengerian hatinya. Terbayang dalam benaknya, cerita-cerita yang pernah didengar tentang korban-korban pemuda yang sedang diceritakan itu. Tidak satu pun dari tokoh yang didatanginya bisa selamat dari ancaman. Pemuda itu bagai momok yang menakutkan dan Malaikat Maut yang tidak pernah gagal dalam tugasnya.

“Sudahlah! Untuk apa kita membicarakan orang itu. Lebih baik mengurusi diri kita sendiri. Siapa tahu, nanti atau besok pemuda itu malah datang dan menjadikan kita sebagai korban berikutnya,” kata Gembul membuyarkan suasana.

“Tapi aku masih tidak tega, Gembul. Kebanyakan dari para tokoh yang dibunuh adalah pendekar dari golongan lurus. Mereka banyak menolong orang-orang lemah dan membenci kejahatan. Dan sebagai sesama tokoh persilatan, rasanya kita punya kewajiban untuk saling tolong-menolong,” sahut Bardi.

“Hei!? Bicaramu seperti dewa saja, Bardi. Apa kau kira di antara kita ada yang mampu menahan amukan Siluman Kucing itu...? Huh! Untuk menolong diri sendiri saja, kita belum tentu mampu. Apalagi mencoba menolong orang lain!” dengus Jalu dengan suara sedikit keras.

Kata-kata Jalu membuat beberapa tokoh persilatan yang berada dalam kedai berpaling kepada mereka untuk beberapa saat.

“He, Kisanak. Bicara apa kalian?” tanya salah seorang yang bertubuh besar dengan muka masam.

“Alaaah..., sudahlah. Kenapa diambil hati. Mereka hanya orang-orang rendah, yang sok jadi pahlawan. Orang-orang seperti Nyi Selasih itu sudah sepatutnya mampus. Bisa apa dia? Kepandaiannya hanya seujung kuku, tapi lagaknya selangit Huh! Kalau dia sampai mampus, itu sudah sepatutnya!” sahut laki-laki berbaju hitam yang mukanya pucat bagai mayat. Dia duduk di depan laki-laki tinggi besar itu.

Keempat orang yang disindir dan dihina begitu, rupanya langsung naik darah. Bahkan langsung bangkit untuk menghajar kedua orang itu. Tapi sebelum niat mereka terjadi, dari pintu depan muncul seorang gadis belia berbaju kuning. Dia mengenakan selendang sebagai ikat pinggangnya. Wajahnya cantik, namun berkesan galak.

Sementara itu, Rangga melirik dan tersenyum kecil, karena kenal betul dengan gadis tanggung yang tidak lain dari Lestari, cucu Nyi Selasih.

“Siapa yang bicara sembarangan dan berani menghina nenekku?!” Gadis itu membentak nyaring sambil menatap garang kepada dua orang laki-laki yang tadi mengeluarkan hinaan terhadap Nyi Selasih.

********************

ENAM

Seluruh pengunjung kedai menoleh ke arah gadis itu sambil menggelengkan kepala. Dia masih terlihat muda sekali. Tapi apa yang dilakukannya, sungguh keterlaluan. Bahkan sama sekali tidak sopan. Bukan hanya itu. Akibatnya, kebanyakan dari pengunjung kedai yang memang rata-rata tokoh rimba persilatan, jadi merasa diremehkan melihat sikap gadis itu yang terlihat angkuh. Lebih-lebih kedua orang yang dituju gadis itu. Bahkan laki-laki yang bertubuh tinggi besar sudah langsung berdiri. Dan dengan langkah gusar mereka mendekati gadis itu.

“Hm.... Jadi kau cucu Nyi Selasih, he?! Akulah yang menginginkan agar nenekmu itu mampus. Lalu, kau mau apa...?!” dengus laki-laki itu dengan muka geram.

Namun, tiba-tiba saja Lestari menanggapi ucapan itu dengan satu kebutan selendangnya yang begitu cepat Dan gerakannya sangat sulit diikuti pandangan mata biasa. Maka tahu-tahu....

Wuuut...!
Des!
“Ugkh!”

Tubuh laki-laki tinggi besar itu kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh kesakitan, begitu selendang di tangan gadis itu menghantam dagunya. Hal ini sama sekali tidak terduga. Betapa tidak? Usia gadis itu masih begitu muda. Namun, kepandaian yang dimilikinya sudah begitu tinggi.

Padahal, laki-laki tinggi besar ini sudah menganggap enteng dan mengira kalau gadis ini baru belajar satu atau dua jurus dari neneknya. Tapi, siapa sangka kalau akibatnya sungguh hebat begini? Lebih-lebih lagi, dia tengah tidak bersiaga untuk melindungi diri dengan tenaga dalam. Akibatnya, memang sungguh dahsyat. Beberapa tulang rahangnya kontan patah. Bahkan dari mulutnya menyembur darah segar. Orang itu menggelinjang-gelinjang menahan rasa sakit yang tiada tara.

“Itulah pelajaran bagi orang yang berani menghina keluargaku! Kalau ada yang ingin coba-coba, silakan maju!” dengus Lestari sambil memandang seluruh pengunjung kedai.

Dan sejak kehadiran gadis itu, Rangga sengaja berlindung di balik tubuh seseorang hingga tak terlihat.

“Gadis keparat! Kau kira bisa seenaknya saja bertingkah di sini?! Huh! Bocah sepertimu memang patut diberi pelajaran!” bentak seorang lagi yang berbaju hitam, sambil melompat dan melakukan serangan. Dan dia memang lawan laki-laki tinggi besar tadi.

“Kalau memang tidak suka dengan pelajaran yang kuberikan pada kawanmu, kau boleh mengambil giliran di luar!” sahut Lestari enteng sambil melompat keluar, dan sekaligus menghindari serangan lawan.

Bukan main gusarnya laki-laki berbaju hitam itu melihat serangannya hanya mengenai tempat kosong. Dan tubuh gadis itu sudah lincah berkelebat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Tapi, laki-laki berbaju hitam itu sudah langsung melompat mengejar. Dan begitu mendarat, langsung dikirimkannya serangan selanjutnya. Dan kali ini membuat gadis itu sedikit terkejut. Karena belum lagi kedua kakinya menyentuh tanah, sebelah tangan lawan siap menghajar pinggangnya. Terpaksa serangan itu ditangkisnya.

Plak! plak!

Lestari tersentak kaget. Tangannya kontan bergetar dan terasa kesemutan begitu menangkis serangan lawan. Belum lagi disadari apa yang terjadi, serangan lawan kembali menyambar kepala. Masih untung sambaran lawan mampu dielakkan. Kepalanya cepat ditundukkan, dan langsung bersalto ke belakang. Tapi lawannya yang berwajah dingin itu sepertinya tidak memberi kesempatan sedikit pun kepadanya.

Lestari merasa kalau tidak mungkin bisa menandingi dengan hanya mengandalkan jurus-jurus tangan kosong saja. Dengan cepat sekali, selendang kuningnya yang menjadi senjata andalan diloloskan, dan secepat itu pula dikebutkan.

Ctar!

“Heh?!” Laki-laki berbaju hitam itu jadi tersentak setengah mati. Cepat-cepat dia melompat mundur, begitu merasakan angin kebutan selendang kuning yang terasa cukup dahsyat juga, dengan suaranya yang bagaikan lecutan cambuk. Dari itu saja sudah dapat diketahui kalau tingkat kepandaian gadis ini tidak bisa dipandang rendah.

“Rasakan selendang mautku ini!”

“He he he...! Inikah senjata yang kau bangga-banggakan itu? Aku justru akan menggunakannya untuk melibatkan tubuhmu. Sayang, nenekmu tidak sempat bertemu muka denganku. Kalau sempat, dialah yang lebih dulu mendapat bagian,” ejek laki-laki berbaju hitam dan bermuka pucat itu sinis.

“Huh, Orang Sombong! Kau terlalu banyak bicara. Lihat serangan ini!” dengus Lestari.

Dengan geram Lestari memainkan sebuah jurus andalan yang diberi nama 'Bidadari Mengejar Pelangi'. Jurus ini bila dimainkan dengan selendang di tangan, akan hebat sekali. Lawan akan melihat selendang itu menjadi lebih dari satu, dan kadang-kadang akan bergerak secara beraturan atau mengepung.

“Hebat.., hebat..! Tidak percuma perempuan tua bangka itu mengajarimu jurus indah ini. Tapi itu tidak cukup untuk menjatuhkanku, Bocah Badung. Lihat serangan!”

Setelah berkata demikian, terlihat laki-laki bermuka pucat itu tiba-tiba merubah jurusnya. Gerakannya tampak aneh. Terkadang tubuhnya berguling-guling menghindari ujung selendang lawan, tapi terkadang juga diam beberapa saat. Kemudian tubuhnya melesat cepat ketika senjata lawan sedikit lagi menemui sasaran. Tentu saja hal ini membuat Lestari semakin geram saja. Maka serangannya makin diperhebat Hanya sayangnya, sedikit pun tidak ada yang mencapai sasaran.

“Ha ha ha...! Kerahkanlah semua kepandaianmu untuk menghadapi jurus 'Gagak Hitam Mengubur Mangsa'ku ini. Ingin kulihat sampai di mana nenek tua busuk itu mengajarimu. Sayang sungguh sayang, bukan dia sendiri yang berhadapan denganku. Kalau dia, tentu pertarungan ini akan lebih seru. Tapi..., he?! Bisa jadi hari ini dia telah mampus dihabisi musuh lamanya! Ha ha ha...!”

“Tutup mulutmu, Keparat! Kau tidak ada derajat untuk berhadapan dengan nenekku. Kalau kau mampu mengalahkanku, itu pun sudah termasuk hebat!”

“He?! Siapa yang ingin mengalahkanmu?! Aku justru ingin membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, laki-laki berbaju hitam itu bergerak amat cepat menghindari sambaran ujung selendang Lestari yang sudah kembali berkelebat dengan kecepatan sangat tinggi. Yang diincar adalah bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Kemudian dalam satu kesempatan, Lestari mengetatkan selendangnya ke arah kepala lawan. Namun aneh. Lawan sedikit pun tak bergeming dari tempatnya. Dia seperti pasrah menyerahkan kepalanya, untuk menjadi sasaran selendang kuning itu. Dan tanpa diduga sama sekali, laki-laki bermuka pucat itu mengulurkan tangan kanannya ke atas. Dan... Tap!

Laki-laki bermuka pucat itu berhasil menangkap selendang kuning milik Lestari, dan sekuat tenaga menariknya. Akibatnya, tubuh Lestari mencelat ke arahnya tanpa bisa ditahan.

“Okh...!”

Sambil terkekeh, telapak tangan kiri laki-laki itu siap terayun untuk menghajar Lestari bila mendekat. Sehingga, semua orang yang melihat pertarungan hanya bisa menduga kalau nyawa gadis itu sebentar lagi akan lepas dari raga dalam keadaan mengerikan.

“Yeaaah...!” Namun pada saat yang sangat gawat, tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat begitu cepat ke arah pertarungan. Dan....

Plak! Plak!
Bet!
“Heh...?!"

Tiba-tiba saja bayangan yang berkelebat itu memotong selendang kuning sambil memapak serangan laki-laki bermuka pucat. Kemudian tubuhnya melesat cepat menyambar tubuh Lestari, seraya memberi satu pukulan keras ke arah dada si muka pucat ini. Untung saja laki-laki itu cepat melompat ke belakang, sehingga pukulan sosok bayangan tadi tak sampai mengenai tubuhnya. Tapi, mana sudi si muka pucat diperlakukan sedemikian rupa. Maka langsung dikejarnya bayangan tadi.

“Bajingan pengecut! Kau pikir bisa lari dariku, heh?!” teriak si muka pucat.

“Kalau kau pikir mampu mengejarku, kenapa banyak omong...?”

Mendengar jawaban seperti itu, bukan main kesalnya si muka pucat. Langsung dikerahkannya ilmu meringankan tubuh untuk menyusul orang yang telah melarikan Lestari. Namun bersamaan dengan itu, sesosok tubuh lain mengikuti mereka tanpa diketahui oleh siapa pun.

Kejar-kejaran di antara mereka tidak berlangsung lama. Rupanya si muka pucat memperlihatkan keunggulan ilmu lari cepatnya ketika tiba-tiba melesat tinggi, untuk kemudian berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah, tepat di depan orang yang tengah dikejarnya.

“Ups!”

“Hhh! Kiranya kau, Ki Wempang! Bagus! Berani benar kau mencampuri urusanku? Hm.... Kalau demikian, kau harus berani pula menanggung akibatnya!” dengus si muka pucat sambil menyipitkan mata, begitu melihat orang yang pernah dikenalnya tengah membopong gadis yang tadi menjadi lawannya.

Di depan si muka pucat berdiri tegak sesosok laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun lebih. Tubuhnya kecil dan rambutnya telah memutih. Tangan kanannya memegang sebatang tongka dari baja hitam sepanjang tujuh jengkal. Orang tua yang dipanggil Ki Wempang itu kemudian menurunkan Lestari, dan meletakkannya di atas tanah berumput

“Jangan takut Cah Ayu. Aku adalah sahabat nenekmu...,” kata orang tua itu menenangkan Lestari sebelum beralih menatap tawannya.

“Gondotikur! Kelakuanmu sungguh keterlaluan! Pada bocah kecil kau tega hendak berbuat telengas!”

“Huh...! Tahu apa kau, Ki Wempang? Meskipun masih bocah, tapi dia telah melukai kawanku. Dan mana bisa dibilang tega kalau ternyata dia pun mampu mencelakakanku!” tangkis si muka pucat yang ternyata bernama Gondotikur.

"Itu karena kalian yang memulainya!”

“Huh! Selamanya memang kau selalu merasa benar! Dan itu selalu membuatku muak. Sudah lama sekali aku ingin memberi pelajaran pada orang-orang sepertimu. Nah! Mumpung kau berada di tempat ini dan mengusik urusanku, terimalah pelajaran dariku, Tua Bangka Busuk!”

Setelah berkata demikian, Gondotikur langsung menyerang Ki Wempang dengan gencar. Kedua orang itu agaknya tahu betul, sampai di mana kehebatan lawan masing-masing. Itulah sebabnya Gondotikur tidak mau sembarangan dan lengah. Tidak kepalang tanggung, Ki Wempang langsung diserangnya dengan jurus 'Gagak Hitam Mengubur Mangsa' yang benar-benar ampuh. Kalau pada tingkat permulaan saja jurus itu mampu membuat Lestari tidak berkutik, maka kali ini jurus itu dimainkan pada tingkat yang tertinggi disertai pengerahan tenaga dalam kuat.

“Yeaaah...!”

Ki Wempang pun tidak kalah sigap. Dia tahu betul, kalau lawannya sangat ahli dalam ilmu silat tangan kosong. Sedangkan jurus-jurus silatnya, pada tingkat tertinggi harus memainkan tongkat. Kalaupun berusaha menggunakan jurus-jurus tangan kosong, itu sama artinya bunuh diri. Maka tanpa malu-malu lagi, dilayaninya serangan lawan dengan gempuran tongkat yang berputar-putar menderu menimbulkan desis angin kencang.

“Ha ha ha...! Selama lima tahun ini, kemajuan ilmu tongkatmu boleh diandalkan juga, Ki Wempang. Tapi jangan dikira aku tidak mampu mematahkan seranganmu!” ejek Gondotikur seraya tersenyum sinis.

“Jangan banyak bicara kau, Gondotikur. Kalau memang mampu, buktikanlah!”

“Kenapa tidak? Saat itu juga aku akan membuktikannya kepadamu. Lihat serangan!” bentak Gondotikur keras.

Gondotikur kemudian bergerak cepat sambil menghindari serangan tongkat lawan. Tapi, Ki Wempang tidak semudah itu dapat terkecoh. Maka tongkatnya cepat diputar bagai kitiran, lalu langsung dikejarnya lawan ke mana saja bergerak.

Ki Wempang sebenarnya menyadari kalau Gondotikur adalah tokoh golongan hitam yang memiliki kepandaian tinggi. Jurus-jurusnya begitu hebat. Dan lebih dari itu, tenaga dalamnya cukup mengagumkan. Meski mereka belum pernah bentrok sebelumnya, tapi banyak tokoh seangkatannya yang pernah dijatuhkan laki-laki bermuka pucat yang bergelar Gagak Hitam Bermuka Pucat ini.

Dia memang jarang membuat keonaran. Tapi, terkenal paling membenci pada tokoh-tokoh persilatan yang dianggapnya bertingkah. Dan hal itu sudah membuat kebenciannya memuncak, tatkala orang tua ini mencampuri urusannya. Maka tidak heran kalau pada akhirnya, seluruh kepandaian yang dimilikinya dikerahkan untuk menghajar lawan.

“Yeaaah...!”

Ki Wempang terkejut ketika lawan membentak keras. Tubuh Gondotikur tampak lurus menukik, sambil mengarahkan kepalan tangannya yang berubah hitam tepat di tengah-tengah pusaran tongkat laki-laki tua itu. Ki Wempang memang tidak bisa berbuat banyak, kecuali membiarkan senjatanya beradu dengan tangan Gondotikur. Dan....

Prakkk!

“Akh...!” Ki Wempang menjerit kesakitan dan tongkatnya patah menjadi dua bagian, begitu berbenturan dengan tangan Gondotikur. Tubuhnya tak urung terjajar beberapa langkah ke belakang. Belum lagi Ki Wempang memperbaiki keseimbangannya, kepalan lawan telah kembali mengarah ke dadanya. Maka....

Begk! Orang tua itu kontan terjungkal kembali disertai semburan darah segar dari mulutnya.

“Mampuslah kau, Orang Tua Busuk! Yeaaah...!” Gondotikur tak sudi lagi memberi kesempatan pada Ki Wempang. Begitu orang tua itu terhuyung-huyung, langsung dilepaskannya satu pukulan telak ke dada.

Desss!
“Aaakh...!”

Lestari yang melihat keadaan Ki Wempang yang mengkhawatirkan, merasa harus menolongnya. Maka....

“Yeaaah...!” Tubuh gadis itu langsung meloncat sambil mengirim serangan maut ke arah Gondotikur. Tapi, laki-laki bermuka pucat itu hanya mendengus sinis. Dan tanpa menoleh, sebelah kakinya berputar, langsung menghajar perut gadis tanggung itu.

Desss!

“Aaakh!” Lestari kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar beberapa tombak sambil menyemburkan darah segar. Dan dalam keadaan setengah sadar, Gondotikur telah mencelat, bermaksud menghabisi nyawa gadis itu. Namun....

Tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar gadis yang dipastikan akan tewas bila terkena hantaman tangan Gondotikur.

“Keparat! Siapa kau, heh?!” sentak Gondotikur, begitu menyadari kalau ada seseorang telah menyelamatkan lawannya.

Tahu-tahu di depan Gondotikur telah berdiri tegak seorang pemuda tampan dengan rambut panjang terurai. Bajunya rompi putih dengan sebilah pedang berhulu kepala burung tersembul di balik punggungnya. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

Memang, diam-diam Pendekar Rajawali Sakti mengikuti sejak dari kedai tadi, ketika Ki Wempang menyelamatkan Lestari. Dan gadis itu kini telah tidak sadarkan diri akibat pukulan Gondotikur tadi. Rangga kemudian meletakkannya perlahan-lahan di bawah sebatang pohon, kemudian menatap ke arah laki-laki bermuka pucat itu.

“Pendekar Rajawali Sakti! Oh, kau pasti Pendekar Rajawali Sakti. Aku yakin, mataku belum lamur. Kaulah orangnya yang telah mengalahkan si Topeng Setan!” tiba-tiba sebuah seruan terdengar. Rupanya seruan itu berasal dari Ki Wempang yang masih terduduk lemas, tidak jauh dari situ.

Gondotikur menyipitkan mata mendengar kata-kata itu. Sedangkan Rangga sendiri masih diam mematung, mengawasi laki-laki itu tanpa memberikan tanggapan atas kata-kata Ki Wempang.

“Hm.... Jadi, kaukah orangnya yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti? Telah lama kuimpikan pertemuan ini agar bisa memberi pelajaran atas kesombonganmu selama ini!” dengus Gondotikur.

“Kisanak! Aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi, aku juga tidak bisa melihat kesewenang-wenangan yang kau lakukan. Maka, harap dimaklumi bila dengan terpaksa aku harus menyelamatkan gadis yang belum tentu bersalah padamu,” sahut Rangga tenang.

“Huh! Apa yang kudengar tentangmu memang tidak salah. Kau memang manusia paling usil, yang suka mencampuri urusan orang lain. Apa yang kau tahu tentangnya?! Dan bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kalau dia tidak bersalah?!”

“Kenapa tidak? Aku berada di kedai itu, sebelum kau dan kawan-kawanmu datang. Dan tentu aku tahu betul apa yang terjadi di antara kalian. Kaulah yang lebih dulu mencari gara-gara dengan memburuk-burukkan nama neneknya. Siapa yang tidak marah kalau salah seorang keluarganya direndahkan?”

“Keparat! Huh! Jangan banyak bicara kau. Apa maumu sekarang?!”

“Keinginanku tidak banyak. Sudahi saja urusan ini, dan kau boleh pergi sekarang juga,” sahut Rangga singkat.

“Huh! Seenaknya saja bicara. Tidak seorang pun yang boleh menghinaku. Tidak juga kau!”

“Kisanak! Aku tidak ingin memperpanjang urusan, dan kuharap kau mengerti maksud baikku.”

“Siapa sudi mendengar omongan busukmu?! Kaulah yang sebaiknya pergi dari sini, dan jangan mencampuri urusanku!”

Rangga menggeleng lemah sambil mendesah kecil. “Maaf. Aku tidak bisa berpangku tangan melihat apa yang kau lakukan...”

“Kalau begitu, persoalan sudah jelas. Dan kau memang bermaksud ikut campur dalam urusanku. Orang sepertimu tidak akan pernah kubiarkan begitu saja, dan perlu mendapat pelajaran agar keu-silanmu selama ini tidak membuatmu menjadi semakin besar kepala saja.”

Setelah berkata demikian, tubuh Gondotikur langsung melompat ke arah Pendekar Rajawali Sakti untuk melepaskan serangan ganas. Dia tahu betul-lawannya kali ini bukanlah orang sembarangan. Maka tidak heran kalau kemudian seluruh kemampuannya dikerahkan pada jurus-jurus awal, dengan harapan lawan akan terdesak. Dan kalau sudah demikian, dia bermaksud mencuri kesempatan untuk menghajar lawan.

Rangga sendiri tidak punya pilihan, selain melayani keinginan lawan. Dia sedikit terkejut ketika melihat Gondotikur ternyata tidak main-main dengan ucapannya. Laki-laki berwajah pucat itu betul-betul menginginkan jiwanya. Dan sudah tentu Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa hanya sekadar menghindar saja. Karena bisa jadi, lawan akan semakin penasaran untuk mencelakakannya. Maka sambil membentak nyaring, Rangga memainkan jurus 'Rajawali Sakti' untuk membalas serangan lawan.

“Hiyaaat..!”

“Huh!” Gondotikur mendengus. Kemudian sambil mengkertakkan rahang, dia bersiap menyambut serangan lawan dengan aji 'Tapak Dewa'.

Ajian itu mampu membuat kedua tangan Gondotikur sebatas siku berubah kehitaman. Dan kemudian, dari telapak tangannya melesat seberkas sinar kelabu yang langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

“Heh?! Uts...!” Rangga tersentak kaget dan cepat-cepat mengegos ke kiri. Seketika kulit tubuhnya terasa seperti diterpa jilatan api yang panasnya bukan main. Padahal, serangan lawan hanya beberapa jengkal dari tubuhnya. Dan desir angin panas itu langsung menghantam sebatang pohon besar yang langsung ambruk bagai dilanda petir.

Glarrr!

********************

TUJUH

Melihat serangannya gagal, Gondotikur semakin penasaran saja. Dengan kegeramannya yang memuncak, tubuhnya langsung melesat sambil melepaskan aji Tapak Dewa' yang mengeluarkan sinar kelabu. Dari sini bisa diperkirakan kalau Gondotikur berniat mengadu nyawa.

Sementara itu, Rangga memang tak punya pilihan lagi. Dia harus meladeninya sekaligus melindungi diri dari hajaran lawan. Maka saat itu pula, dipapaknya serangan Gondotikur dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dari telapak tangannya juga melesat sinar merah yang langsung menghantam sinar kelabu dari aji 'Tapak Dewa’.

Dari beberapa jurus yang dimainkan sebelumnya, Rangga sudah dapat memperkirakan kekuatan tenaga dalam lawan. Maka tak heran kalau Pendekar Rajawali Sakti begitu yakin kalau pukulan lawan akan mampu dihalaunya. Maka....

Glarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi akibat dua pukulan yang beradu. Dan sesaat kemudian, terlihat lesatan sinar merah yang terus menerobos menghantam lawan tanpa bisa ditahan lagi.

“Aaakh...!” Gondotikur menjerit keras. Tubuhnya pun kontan terpental beberapa tombak disertai semburan darah segar. Dan begitu ambruk di tanah, dia menggelepar-gelepar beberapa saat, lalu diam tak bergerak lagi. Entah mati atau tak sadarkan diri. Sementara tak jauh di dekatnya, Rangga berdiri tegak memperhatikan sambil mengatur jalan napasnya.

“Kisanak, te...terima kasih atas pertolonganmu....”

Rangga menoleh ke arah Ki Wempang yang telah berada di dekatnya. Wajah orang tua itu tampak pucat dan sesekali meringis menahan rasa nyeri. Sementara di sudut bibirnya masih terlihat bekas noda darah yang telah diusapnya. Pemuda itu lalu melempar senyum getir. Kemudian wajahnya berpaling ke arah Lestari dan menghampirinya, diikuti Ki Wempang dari belakang.

“Kasihan anak itu. Dia masih kecil, tapi harus menerima perlakuan sebagaimana layaknya seorang penjahat...”

Sementara itu, Rangga langsung memeriksa luka Lestari sambil menggeleng lemah. Dan gadis itu telah didudukkan, menghadap ke arahnya.

“Dia terluka parah. Beberapa tulang rusuknya patah...,” desah Rangga pelan.

"To..., tolonglah dia. Neneknya adalah sahabat baikku. Dan tujuanku ke tempat ini pun ingin bertemu mereka. Ada sesuatu yang harus kusampaikan...,” ucap Ki Wempang lemah.

Rangga kembali terdiam. Dibalikkannya tubuh gadis itu dan dihadapkan ke batang pohon. Kedua telapak tangannya segera ditempel ke punggung Lestari. Ki Wempang mengerti apa yang akan dilakukan pemuda itu. Wajahnya penuh harap disertai rasa duka cita. Dia kemudian duduk perlahan di dekat mereka.

“Hoeeekh...!”

Setelah beberapa saat Rangga menyalurkan hawa murni, tiba-tiba Lestari memuntahkan darah kental berkali-kali. Wajah gadis itu kontan pucat Lalu, sesaat dia menoleh lemah ke arah Rangga.

“Kau...?”

Rangga hanya tersenyum kecil. Sedangkan gadis itu memalingkan wajahnya kembali. Dia tak memberikan banyak tanggapan atas apa yang dilakukan pemuda itu terhadapnya. Yang terasa pada tubuhnya hanyalah hawa panas yang membuatnya terasa segar, hingga membuat keringat mengucur deras dari pori-porinya.

Rangga kini menghentikan pengobatannya, lalu duduk tenang di dekat Ki Wempang sambil mengatur pernapasan. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengembalikan tenaganya yang banyak terkuras akibat pertarungannya tadi, ditambah harus menolong Lestari barusan.

“Kisanak, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan....”

“Sudahlah. Aku hanya kebetulan lewat dan melihat sesuatu yang tak adil di depan mataku. Kini akan ke mana tujuanmu, Kisanak?” kata Rangga disertai senyum kecil.

“Aku bermaksud menjumpai Nyi Selasih. Ada sesuatu yang harus kusampaikan padanya...,” sahut Ki Wempang.

“Apakah itu tentang pemuda yang selalu diikuti ratusan ekor kucing?”

“Hei? Apakah kau mengetahuinya juga?!” Ki Wempang tampak terkejut, sehingga kedua alisnya terangkat.

"Tidak. Aku hanya sempat mencuri dengar pembicaraan beberapa orang di kedai tadi...,” sahut Rangga pelan.

"Paman! Ada persoalan apa antara nenekku dengan orang yang kalian bicarakan tadi?” tanya Lestari cemas.

Ki Wempang memandang gadis itu sekilas, kemudian menundukkan kepala barang beberapa saat. “Peristiwanya terjadi lima tahun lalu...,” desak orang tua itu.

“Peristiwa apa?” kejar Lestari, mulai cemas.

Ki Wempang pun akhirnya menceritakan peristiwa lima tahun lalu atas kejadian yang menimpa Pedang Angin Selatan dan putranya. Juga, diceritakannya tentang tindakan para tokoh persilatan golongan putih terhadap ayah dan anak itu.

“Lalu apa hubungannya dengan pemuda yang mempunyai banyak kucing itu?” tanya Lestari, begitu Ki Wempang mengakhiri ceritanya.

“Dia pasti Katakili, putra Ki Karmani yang ingin membalas dendam pada kami. Kebanyakan dari mereka yang tewas belakangan ini, adalah yang lima tahun lalu ikut dalam pengeroyokan itu. Itu memang telah berlalu. Tapi sesudahnya, membuat dada kami terasa sesak. Sebab, ternyata Ki Karmani memang tak bersalah. Ada orang lain yang memfitnahnya. Dan orang itu adalah musuh besarnya yang secara licik menggunakan tangan orang lain untuk menyingkirkan si Pedang Angin Selatan...,” lanjut Ki Wempang, semakin lirih.

“Lalu apa yang Kisanak ketahui tentang pemuda itu?” tanya Rangga.

“Sejauh yang kudengar, dia telah membunuh semua orang yang terlibat dalam pembunuhan ayahnya. Dan kini tinggal aku, Nyi Selasih, dan Ki Rancasena. Hanya ada dua pilihan. Kalau tidak ke tempat Ki Rancasena, maka pemuda itu pasti ke tempat Nyi Selasih. Dia amat berbahaya. Tak seorang pun di antara orang-orang itu mampu menahannya....”

“Oh! Eyang dalam bahaya?! Aku harus memberitahukan mereka!” sentak Lestari, seraya bangkit dan berlari cepat dari tempat itu. Namun baru saja beberapa tombak berlari, tubuh gadis itu tersungkur. Rangga dan Ki Wempang cepat melompat menghampiri dan menolongnya bangkit.

“Kau lupa, Lestari. Lukamu cukup parah. Dan kau tak boleh terburu nafsu, kalau tidak ingin dirimu sendiri yang celaka...,” ujar Rangga pelan.

“Tapi eyangku dalam bahaya?! Aku harus buru-buru memberitahukannya dan menolong mereka...!” dengus Lestari.

“Kita akan ke sana bersama-sama. Bukan begitu, Kisanak?” kata Ki Wempang sambil melirik Rangga.

Pemuda itu mengangguk cepat.

********************

“Eyaaang...! Ibuuu...!” Lestari berteriak dan menghambur ke halaman depan, begitu mereka baru saja tiba di pondok itu.

Gadis itu mencari-cari di segala pelosok ruangan, namun yang dipanggilnya tak kunjung terlihat Wajahnya semakin cemas dan pucat. Dia kembali berteriak-teriak memanggil, sambil berlari ke depan. Di situ terlihat Ki Wempang dan Rangga menekuri dua timbunan tanah yang masih baru. Dan salah satu ujungnya, masing-masing terdapat nisan dari kayu jati.

“Eyaaang..! Ibuuu...! Oh, tidak! Tidaaak...!” teriak Lestari.

Gadis itu berteriak-teriak sambil memalingkan muka, tak sanggup melihat makam ibu dan neneknya. Sedangkan Ki Wempang lantas mendekati dan berusaha menenangkannya. Tapi, tangis gadis itu semakin meledak-ledak. Bahkan suaranya semakin terasa pilu. Perlahan-lahan Ki Wempang membimbingnya ke dalam pondok.

“Eyang...! Ibu...! Maafkan aku. Aku belum sempat balas jasa kalian. Dan selama ini, aku selalu membuat susah...,” keluh Lestari berkali-kali, begitu telah berada dalam pondok.

“Sudahlah, Lestari. Barangkali kematian mereka memang sudah ditakdirkan...,” hibur Ki Wempang.

“Tapi, siapa yang telah melakukannya?”

Ki Wempang terdiam. Banyak hal yang dipikirkannya saat ini. Dan terutama sekali, apakah betul Nyi Selasih dan Rupani telah tewas oleh Katakili? Dan orang tua itu tak berani menuduh sebelum meyakini betul pelakunya. Pengalaman lima tahun lalu, telah cukup membuatnya harus berhati-hati dalam menuduh orang, meski kemungkinannya cukup besar.

“Paman! Kau tahu bukan, kalau ini perbuatan pemuda bernama Katakili?” desak Lestari.

“Kita tak punya bukti, Nduk....”

“Kenapa tidak? Paman mengatakan kalau semua orang yang lima tahun lalu mengeroyok orang-tuanya, telah tewas. Dan kini, hanya tinggal tiga orang lagi. Siapa lagi yang telah melakukan ini kalau bukan dia?!”

“Banyak hal yang tak terduga, Nduk. Seperti apa yang kau alami tadi. Gondotikur tak mempunyai permusuhan dengan nenekmu. Tapi kalau ada kesempatan bertemu, dia tentu akan mencari gara-gara. Bahkan berusaha membunuh nenekmu...,” lanjut Ki Wempang.

“Paman! Apakah kau hanya ingin mencari-cari alasan agar aku tak menuntut balas atas kematian eyang dan ibuku? Aku tak peduli, kau akan membelaku atau tidak. Yang jelas, pemuda itu harus menerima pembalasan dariku!” dengus Lestari geram.

“Dendam dibalas dendam, tak akan pernah ada habisnya, Nduk. Hendaknya, kau bisa sedikit meredam hawa nafsumu. Kalau tidak, itu akan mencelakakan dirimu sendiri pada suatu saat kelak....”

“Simpanlah kata-katamu itu, Paman Untuk saat ini, aku belum membutuhkannya!” sahut Lestari sambil bangkit dan memalingkan wajahnya.

“Kurasa Ki Wempang benar. Kita harus jelas melihat kepada persoalannya, dan tidak langsung main tuduh...,” kata Rangga yang telah menyusul mereka di dalam pondok.

“Kalian memang bisa mengatakan demikian, sebab tak mengalami sendiri peristiwa ini. Tapi bagiku, hal ini teramat menyakitkan!” dengus Lestari sambil menatap bergantian pada Ki Wempang dan Pendekar Rajawali Sakti.

“Semua orang pernah mengalami hal yang menyakitkan. Bahkan berkali-kali. Hanya mereka yang dewasa dan mampu berpikir baiklah yang bisa menguasai diri. Hawa nafsu dan amarah tak akan pernah menyelesaikan suatu persoalan. Bahkan lebih banyak menyesatkan ke dalam persoalan yang lebih dalam...,” kata Rangga, lirih.

“Benar apa yang dikatakan Rangga tadi, Nduk. Cobalah untuk tabah dan berpikir setenang mungkin Tanpa rasa amarah yang meluap-luap dan hawa nafsu yang menguasai diri, niscaya kau akan menjadi dewasa dan mengerti arti hidup ini.”

Lestari diam mendengar kata-kata itu. Tangisnya mulai reda, lalu merenung beberapa saat. Entah memikirkan kata-kata yang dikeluarkan kedua laki-laki itu, atau meratapi nasibnya yang malang.

Pada saat itulah muncul seseorang bertubuh kecil dan berkulit hitam. Tubuhnya kurus dan wajahnya agak buruk. Dia memandang takut-takut ke arah Lestari.

“Jaka Dolok! Kaukah yang menguburkan mereka?”

Laki-laki kecil berparas buruk itu mengangguk lemah. Seketika, wajahnya terlihat sedih dan air matanya menetes dari kelopak matanya. Lestari bangkit dan mencengkeram kedua bahu bocah itu.

“Katakan! Siapa yang membunuh mereka! Ayo, katakan...!”

“Seorang pemuda.... Bajunya kotor..., dan banyak membawa kucing. Dia..., dia membunuh Nyi Selasih dan Nyi Rupani dengan kejam...,” tutur bocah yang dipanggil Jaka Dolok.

“Keparat“ Lestari mengepalkan tinjunya, kemudian memandang kepada Rangga dan Ki Wempang bergantian. Sepertinya, dia ingin mengatakan bahwa dugaannya benar.

“Lestari, aku yakin Katakili-lah yang melakukannya. Dan kurasa, biarlah aku yang mewakili orangtua dan nenekmu. Kau masih terlalu muda...,” desah Ki Wempang.

“Tidak! Aku yang harus membunuhnya!” sentak Lestari.

“Jangan, Lestari. Biar aku dan Ki Wempang saja yang menanganinya,” timpal Rangga.

Meskipun Ki Wempang berusaha menahan, tapi Lestari bersikeras untuk turut serta. Dan akhirnya orangtua itu mengalah. Sedangkan Rangga juga tidak bisa berbuat banyak.

“Ke mana tujuan kita?” tanya Rangga.

“Ke mana lagi kalau bukan ke tempat kediaman Ki Rancasena? Tinggal kami berdua yang menjadi sasarannya. Pemuda itu pasti menuju ke sana, setelah mengetahui kalau aku tak berada di tempat,” sahut Ki Wempang.

Kini mereka bergegas pergi dari tempat itu.

********************

Di suatu tempat yang agak terpencil dan jauh dari keramaian manusia, atau tepatnya di lereng Gunung Tidar, Ki Rancasena berdiam di situ. Udara di sekitar sini terasa dingin. Banyak pepohonan tumbuh di sekitarnya. Dan pada suatu tempat yang agak datar, berdiri sebuah pondok kecil, yang merupakan tempat tinggal Ki Rancasena selama lebih kurang empat tahun.

Sejak peristiwa lima tahun lalu, laki-laki tua itu menyadari kalau telah salah tangan dan membunuh orang yang tak bersalah, yakni si Pedang Angin Selatan. Ki Rancasena merasa terpukul dan amat bersalah. Bukan saja karena ikut andil besar bagi kematian Ki Karmani alias si Pedang Angin Selatan. Tapi lebih dari itu, dialah yang bertanggung jawab dalam menggerakkan tokoh-tokoh persilatan lainnya untuk menyatroni kediaman si Pedang Angin Selatan.

Ki Rancasena pada dasarnya bukanlah tokoh sesat, namun juga tak bisa dikatakan tokoh golongan lurus. Pembawaannya kasar dan berangasan, serta suka membawa perasaan hatinya sendiri. Karena kelakuan itulah, sehingga membuatnya sering bentrok dengan tokoh-tokoh persilatan lain. Namun di samping sifat buruknya, masih juga terdapat sifat baik pada dirinya. Laki-laki bertubuh besar dan berkepala botak itu terkenal akan kejujurannya. Dan dia tak segan-segan meminta maaf kalau ternyata memang bersalah.

Dan apa yang menimpa Ki Karmani adalah kesalahannya yang selama ini dirasa paling berat. Hal ini membuatnya sering menyepi di tempat ini, untuk menjauhi keramaian. Ki Rancasena tekun beribadah, bahkan telah menjadi salah seorang pendeta. Tak heran selama beberapa tahun ini, sepak terjangnya tak pernah terdengar lagi. Dia betul-betul ingin meninggalkan dunia ramai dan hidup hanya untuk beribadah.

Matahari baru saja tergelincir ke ufuk barat ketika Ki Rancasena selesai melakukan sembahyang. Di luar, udara masih terasa panas. Sementara, asap dupa tampak menyapu tempat itu.

“Graungrrr...!”

“Heh!” Hampir saja Ki Rancasena terlonjak, ketika tiba-tiba dua ekor kucing peliharaannya melompat melewati sesajiannya, dan terus berlari ke satu arah. Hal ini tentu saja menarik perhatiannya. Dan dengan segera, kepalanya menoleh. Jauh di sana, di bawah sebatang pohon, banyak sekali kucing yang bergerak maju mendekati pondoknya. Orang tua itu terheran-heran, lalu berdiri tegak untuk memastikan apa yang tengah terjadi.

Semakin lama, kucing-kucing itu semakin jelas terlihat. Bahkan jumlahnya mencapai ratusan ekor. Dan berjalan paling depan adalah sesosok tubuh berpakaian gembel. Rambutnya kusut masai, dibiarkan terurai tanpa diurus. Ketika jarak mereka telah mencapai sepuluh tombak, orang itu berhenti memandang tajam ke arahnya.

Dan hal yang membuat Ki Rancasena semakin takjub, ketika ratusan ekor kucing yang mengekor di belakangnya juga berhenti dan mengikuti perbuatan orang itu. Binatang-binatang itu memandang tajam ke arahnya dengan sikap buas.

“Jagat Dewa Batara! Keajaiban apakah yang akan kau tunjukkan padaku hari ini...?!” seru Ki Rancasena dengan wajah berseri.

Laki-laki tua itu melangkah mendekati dan melihat sesosok tubuh yang ternyata seorang pemuda berwajah kumal. Kuku tangan dan kakinya tampak tajam meruncing, serta kotor tak terurus. Langkah Ki Rancasena terhenti. Dan wajahnya yang semula berseri girang hendak menyambut kedatangan pemuda itu, mendadak sirna. Ketika diperhatikannya, sikap pemuda itu sama sekali tak menunjukkan persahabatan. Bahkan dari sorot matanya yang tajam berkilat, terlihat api dendam yang bergejolak.

“Kaukah yang bernama Rancasena...?” Terdengar suaranya yang serak, berat, dan dingin penuh ancaman.

Ki Rancasena tak langsung menjawab. Ditelitinya penampilan pemuda itu lebih seksama.

“Siapakah kau sebenarnya. Dan, apa maksud kedatanganmu ke tempatku ini? Kalau benar mencari Rancasena, maka kau tengah berhadapan dengan orangnya,” sahut orang tua itu, ramah.

“Bagus! Berdoalah untuk kematianmu!”

Kembali alis orang tua itu terangkat. Kalau saja pemuda itu mengeluarkan kata-kata itu beberapa tahun lalu, sudah tentu Ki Rancasena akan langsung melabrak dan menghajarnya. Tapi tahun-tahun belakangan ini, sedikit banyak hawa nafsu dan amarah mampu diredamnya. Hingga terlihat orang tua itu menarik napas panjang mendengar kata-kata si pemuda, kemudian sikapnya berusaha seramah mungkin.

“Orang muda! Kematian bukanlah urusan manusia. Dan semua itu telah diatur. Kulihat kau datang ke sini membawa seribu kemarahan yang bergejolak dalam dadamu. Bolehkah kutahu, apa sebabnya?”

“Kematian seseorang memang telah diatur. Tapi kematianmu akulah yang mengaturnya, seperti kalian mengatur kematian seseorang lima tahun lalu!” sahut si pemuda yang tak lain Katakili, mendengus geram.

Ki Rancasena bukanlah orang bodoh. Langsung diingatnya kejadian lima tahun lalu, yang membuatnya menjadi seorang pendeta. Dan melihat kemiripan wajah pemuda ini dengan seseorang yang takan akan pernah dilupakannya, hal itu sudah bisa langsung diduga.

“Kau..., kau putra si Pedang Angin Selatan?”

“Bagus! Akhirnya kau cepat mengenali orang, sehingga aku tak perlu lagi mengenali diri. Nah, Rancasena. Bersiaplah kau! Aku tak suka membuang-buang waktu. Kalau kau ingin mengambil senjatamu, kuberi waktu sesaat!”

“Aku tak perlu senjata, Anak Muda. Kalau memang kau menghendaki kematianku, silakan. Aku tak akan melawan sedikit pun. Hanya, berilah kesempatan aku menjelaskan duduk persoalan dan penyesalanku selama ini....”

Katakili diam tak menjawab, namun tetap memandang tajam kepada orang tua itu. Sementara, Ki Rancasena menganggap bahwa hal itu sebagai jawaban setuju. Maka, diceritakannya penyesalan atas keteledoran dan kesalahan para tokoh golongan putih yang telah membunuh ayahnya yang tak bersalah.

“Untuk itulah aku hidup menyepi di sini. Tapi, kau jangan salah sangka. Ceritaku bukan bertujuan untuk mendapatkan belas kasihanmu. Justru, selama bertahun-tahun aku selalu berharap kau datang dan mencabut nyawaku agar segala kesalahanku terhapus...,” lanjut Ki Rancasena.

DELAPAN

Katakili masih tetap memandang tajam Ki Rancasena. Kemudian, terdengar geramannya. “Huh! Apa pun yang kau katakan, aku tak peduli! Kau harus mampus hari ini juga!”

“Lakukanlah, Nak. Lakukanlah....”

Pemuda itu membuka jurus sambil mengelilingi lawan dengan sikap siaga. Banyak hal yang dipelajarinya dalam hidup. Dan salah satunya, adalah tidak percaya pada omongan manusia. Biarpun orang itu pendeta, siapa tahu hanya tipu muslihat belaka. Maka tidak heran kalau sikapnya tetap waspada.

“Yeaaah...!” Katakili menjerit keras, dan tiba-tiba tubuhnya melompat Langsung dihajarnya orang tua yang tidak bergeming sedikit pun.

Ki Rancasena terpental dua tombak dan jatuh tersungkur di tanah, namun sedikit pun tidak terdengar keluh kesakitan dari mulutnya. Padahal, tendangannya cukup keras menghantam dada Ki Rancasena. Terlihat ujung bibir orang tua itu menetes darah dan wajahnya berkerut menahan rasa sakit.

Katakili menggeram buas seperti harimau meraung. Bola matanya tajam ber- kilatan, dan kedua tangannya sudah membentuk cakar. “Hiyaaa...! Graungrrr...!”

Ucapan Katakili memang tidak main-main. Tubuhnya kembali melompat dan menerkam orang tua yang sudah tak berdaya itu habis-habisan, seperti seekor harimau lapar menyantap mangsanya. Ki Rancasena hanya bertahan sesaat saja. Tubuhnya pun terkoyak-koyak tidak berbentuk, dan cairan warna merah membanjir di sekitarnya.

Orang tua itu betul-betul memenuhi janjinya dan tidak melawan sedikit juga. Bahkan meskipun rasa sakitnya tidak tertahankan, namun sedikit pun tidak terdengar suara mengiba dari mulutnya. Dia memang terlihat pasrah sekali. Dan disadari betul kalau dengan cara inilah kesalahannya dapat terhapus. Sehingga tanpa kenal rasa takut, Ki Rancasena menjemput maut.

Katakili meraung keras sambil menengadahkan wajah ke langit. Dilampiaskannya dorongan hati yang selama ini menghimpit. Kucing-kucing yang mengerubunginya seperti merasakan apa yang tengah dirasakan pemuda itu. Bulu-bulu mereka bangkit. Dan semuanya berdiri tegak dengan mata nyalang.

“Astaga, kita terlambat!”
“Itukah Ki Rancasena? Biadab!”

“Heh!” Katakili memalingkan muka ketika terdengar langkah tiga orang yang mendekati tempat itu.

Mata pemuda itu menatap tajam ke arah seorang laki-laki tua bertubuh pendek yang selama ini selalu ada di dalam benaknya. Tanpa mempedulikan pemuda berbaju rompi putih dan gadis tanggung di sebelah orang tua itu, Katakili melangkah mendekati.

“Ki Wempang, kaukah itu?”

Orang tua itu tersentak kaget. Sorot mata pemuda itu amat tajam, seperti menusuk jantungnya. Untuk sesaat Ki Wempang tidak mampu menjawab, sampai gadis tanggung yang tidak lain Lestari melompat langsung berdiri tegak di hadapan pemuda itu dengan wajah garang.

“Manusia biadab! Kaukah yang membunuh eyang dan ibuku?”

Katakili memandang gadis itu dengan wajah sinis. “Siapa kau?! Apakah kau salah satu keluarganya yang ingin balas dendam atas dendam kematian mereka? Silakan. Memang aku yang membuat mereka mampus!” sahut Katakili dingin.

“Keparat! Kau harus mampus...!”
“Lestari, jangan!”
“Lepaskan aku! Lepaskaaan...!”

Gadis tanggung itu berusaha berontak ketika pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Rangga berkelebat cepat dan menyambar tubuhnya. Sebagai orang yang berpengalaman dalam dunia persilatan. Rangga sudah tahu sekecil apa pun gerakan lawan. Dan hal itu telah ditunjukkan Katakili. Kedua tangannya tadi sudah bergerak pelan ketika Lestari hendak menyerangnya. Itu sudah membuktikan kalau pemuda itu tidak bisa dibuat main-main.

“Lestari! Kau sedang terluka. Dan kau juga tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan tenaga!” Rangga mencoba menenangkan gadis itu.

“Aku tidak peduli! Apa urusanmu dalam soal ini? Huh! Kau tidak merasakan apa-apa! Tidak merasakan orang-orang yang kau cintai tiba-tiba saja dibunuh dengan keji?! Lepaskan aku! Lepaskaaan...! Biar kuhajar manusia keparat itu!” Lestari berusaha berontak dengan seluruh kekuatannya.

Rangga tahu, hal ini akan mencelakakan Lestari sendiri. Maka cepat ditotoknya gadis itu. “Maaf...!”

Tuk! Tuk!
“Kau kepa....” Tubuh Lestari ambruk bagai tidak bertenaga, dengan suara terkunci di tenggorokan.

Dari sorot matanya, Rangga bisa melihat kebencian dan amarah yang memuncak. Namun hal itu tidak dipedulikannya. Kepalanya lalu berpaling ke arah Ki Wempang dan Katakili yang tengah berhadapan. Sementara, Katakili sama sekali tidak terpengaruh oleh kejadian barusan. Perhatiannya tengah dipusatkan kepada orangtua itu, dan siap melakukan serangan.

“Kisanak! Tidak bisakah kita bicara baik-baik...?”

Katakili memandang kepada pemuda berbaju rompi putih itu dengan tatapan tidak senang. “Siapa kau?! Apakah kau pun akan ikut campur dalam urusanku?!”

“Aku hanya seorang kawan yang berusaha mengingatkanmu. Telah banyak yang menjadi korban. Apakah kau tidak berniat mengakhirinya saja dengan perdamaian? Tidak terbukakah hatimu bahwa dendam bukanlah satu-satunya penyelesaian yang baik? Dendam akan dibalas dengan dendam juga. Dan itu tidak akan pernah ada habis-habisnya....”

“Tutup mulutmu! Aku tidak butuh ocehanmu. Kau tahu apa pada peristiwa yang terjadi padaku? Aku tidak peduli, mereka mau dendam atau tidak. Dan aku juga tak peduli, mereka mau pasrah atau melawan. Seperti apa yang mereka lakukan pada kami lima tahun lalu. Tanyakan pada orangtua busuk ini! Bagaimana mereka mengejar-ngejar kami seperti binatang buruan, dan membunuh ayahku seperti hewan!” sentak Katakili garang.

“Kalau tindakanmu seperti mereka, itu artinya kau tidak lebih baik ketimbang mereka. Lalu, apa yang kau cari dengan membunuh mereka semua?” tanya Rangga, tenang.

“Aku tidak pernah mengatakan kalau diriku lebih baik dari mereka. Juga, aku tidak berharap pengakuan dari siapa pun. Tapi, kematian mereka adalah tujuan utamaku!”

“Kisanak! Itu suatu niat buruk yang tidak dimiliki manusia. Padahal, manusia itu pada dasarnya hidup berkasih sayang dan saling memaafkan. Apakah kau hendak memungkiri bahwa kau masih seorang manusia dengan naluri kebaikanmu?”

“Setan busuk! Aku tak punya banyak waktu untuk meladeni bicaramu. Menyingkirlah! Atau, kau ingin dapat bagian menjadi korbanku pula?!” bentak Katakili garang sambil menuding ke arah Rangga dengan wajah penuh kebencian.

“Rangga..., menepilah. Biarkan dia menyelesaikan dendamnya kepadaku...,” sahut Ki Wempang lirih.

“Ki Wempang! Apakah dengan kepasrahanmu itu akan mengubah perangai pemuda ini?”

“Paling tidak, dengan kematianku dia akan sedikit tenang dan bisa melupakan segala dendamnya....”

“Aaah! Manusia-manusia keparat! Kalian membuatku semakin tidak sabar saja.”

“Ki Wempang, awas...!” Rangga berteriak keras sambil mendorong orang tua itu hingga terjerembab.

Dan dengan demikian, Ki Wempang justru luput dari serangan Katakili yang tiba-tiba saja melompat bagi seekor kucing menyambar. Melihat serangannya gagal, tubuhnya langsung berbalik dan kembali menerkam Ki Wempang dengan buas.

“Graungrrr...!”
“Grrr...!”

Terdengar raungan Katakili yang menggelegar. Maka, kucing-kucing yang selalu mengikutinya serentak saling bersahutan. Ki Wempang pada mulanya ingin pasrah untuk dihajar pemuda itu. Namun mendengar suara itu, dia kontan bergidik. Dan entah kenapa, tiba-tiba tubuhnya bergulingan menghindari serangan lawan.

Rangga menyadari kalau Ki Wempang masih terluka dalam, sehingga tentu saja tidak akan sanggup menghadapi serangan lawan lewat dua jurus. Maka dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat bermaksud melindungi orang tua itu. Tapi....

“Graungrrr...!”

“Heh!” Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika dengan tiba-tiba ratusan ekor kucing melompat buas untuk menyerangnya. Tubuhnya yang telah bergerak, langsung membuat beberapa lompatan untuk menjauhkan diri dari sambaran kuku dan gigitan hewan-hewan liar itu. Namun....

Bret!

“Sial!” Rangga mengeluh kecil sambil memaki ketika bahunya sempat tercakar oleh seekor kucing yang berubah buas bagai hewan kelaparan.

Kedudukan Pendekar Rajawali Sakti saat ini betul-betul sulit. Ke mana pun bergerak, kucing-kucing itu selalu mengikuti dan ganas menerkamnya. Dirinya tak ubahnya bagai seekor tikus yang dikepung ratusan ekor kucing yang siap menerkam dan melahapnya. Tidak terpikir sebelumnya kalau hewan-hewan itu bakal menyerang sedemikian teratur, sehingga keterkejutannya tidak lenyap untuk beberapa saat Sampai akhirnya, Rangga terkejut oleh....

“Aaa...!”
“Ki Wempang? Astaga...!”
“Graungrrr...!”
“Yeaaah...!”

Rangga melompat sekuat tenaga bermaksud menolong Ki Wempang yang sudah tak berdaya di tangan Katakili. Namun sayang, gerakannya selalu dihambat kucing-kucing itu. Maka dengan rasa geram, dihantamnya beberapa ekor hingga pecah kepalanya. Tapi kucing-kucing itu seperti tidak kenal takut. Bahkan malah semakin ganas menyerangnya.

“Grrr...! Graungrrr...!”

“Heh!” Rangga tersentak ketika sesosok bayangan menerkam ke arahnya. Tubuhnya cepat diputar, dan berusaha berkelit. Namun delapan ekor kucing lainnya sudah langsung melompat dan menerkamnya dari arah belakang. Maka cepat-cepat tangannya dikibaskan ke belakang. Dan....

Prak!
Bret!

“Setan!” maki Rangga. Dada Pendekar Rajawali Sakti sempat juga tercakar salah seekor kucing. Padahal kepalan tangannya sempat menyapu lebih dari empat ekor kucing yang langsung terpental dengan tubuh remuk.

“Graungrrr...!”

Sesosok bayangan tadi yang tak lain dari Katakili, sudah melepaskan gaetan kaki. Maka Rangga cepat melenting ke belakang sambil menyampok sambaran kaki lawan yang mengarah ke lehernya. Dan begitu kaki Pendekar Rajawali Sakti mendarat, tiba-tiba cakar lawan sudah menyambar ke arahnya. Dengan pengalamannya yang sering menghadapi ilmu-ilmu sulit, Pendekar Rajawali Sakti cepat berputar bagai gasing sekaligus menghindari terkaman beberapa ekor kucing yang sangat dekat dengannya. Maka, lima ekor kembali terpental dengan tubuh remuk. Tapi....

Breeet!

“Akh...!” Tak urung, bahu Pendekar Rajawali Sakti sempat tercakar oleh Katakili yang terus mendesaknya. Rasa perih dan sakit mulai menjalar pada lukanya. Darahnya pun mengucur membasahi rompinya.

“Keparat! Kalian memang binatang liar yang tidak bisa diberi ampun!” geram Rangga memaki.

Didahului oleh bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti bersalto beberapa kali ke tempat yang tanahnya lebih tinggi. Tapi, Katakili dan balatentara kucingnya terus mengejar dengan cepat.

“Suiiit..!” Rangga tiba-tiba mengeluarkan siulan panjang yang terdengar aneh bunyinya.

“Graungrrr...!” Sementara, Katakili menggeram dahsyat Namun....

Cring!

Katakili dan kucing-kucingnya seperti tersentak kaget. Untuk sesaat mereka terpaku ketika melihat perubahan wajah Pendekar Rajawali Sakti yang penuh perbawa. Sorot matanya tajam berkilau seperti menantang tatapan Katakili. Dan lebih dari itu, adalah sebatang pedang yang memancar sinar biru berkilau yang telah dicabut Pendekar Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung.

Pedang dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti memang sedikit membuat hati Katakili bergetar hebat. Tapi kemudian dia sudah meraung keras. Dan secara serentak, kucing-kucing yang berada di dekatnya kembali menyerbu ke arah Rangga.

“Graungrrr...!”

Ratusan ekor kucing yang dipimpin Katakili siap merobek-robek tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun merasa yakin akan mampu menghadapi mereka, tapi Pendekar Rajawali Sakti ragu apakah bisa lolos? Ratusan ekor kucing bagai gelombang lautan kala bergerak, bukanlah ancaman main-main. Secepat apa pun Pendekar Rajawali Sakti bergerak, hewan-hewan itu telah membuktikan kalau masih mampu melakukan serangan dan merobek bagian tubuhnya.

Dan kalau hal itu berlangsung terus sampai tubuhnya penuh luka dan kehabisan tenaga, saat itulah barangkali Katakili akan mengambil kesempatan. Tapi Rangga telah memperhitungkannya. Itulah sebabnya Pendekar Rajawali Sakti memancing pertarungan ke tempat yang agak tinggi, dan langsung mengeluarkan siulan nyaring. Di samping untuk mengalihkan perhatian kucing-kucing dari Lestari, dia juga bermaksud minta bantuan kepada....

“Khraaagkh...!”

“Bagus, kau cepat datang, Sobat!” Rangga menunjukkan wajah girang ketika seekor rajawali raksasa terbang rendah menuju ke tempat mereka. Rupanya, Rajawali Putih tunggangannya telah mendengar panggilan lewat siulan nyaring tadi.

Katakili dan kucing-kucingnya tersentak melihat kehadiran burung raksasa itu. Dan saat itu juga dia meraung keras. Maka seketika ratusan ekor kucing bersiap hendak melompat dan menerkam Rajawali Putih.

“Graungrrr...!”
“Khragkh...!”

Rangga segera memasang mantap kuda-kudanya ketika Rajawali Putih mengepakkan sayap-sayapnya, sehingga menimbulkan angin menderu hebat di seputar tempat itu. beberapa batang pohon kecil terlihat tumbang. Sedangkan ranting-ranting serta cabang-cabang pohon yang batangnya besar, terlihat patah. Batu-batu beterbangan disertai debu yang membubung tinggi menyelimuti tempat itu. Bahkan kucing-kucing pengikut Katakili terlempar bagai sehelai daun kering tertiup angin. Tapi, Katakili sendiri tetap berdiri tegak sambil menahan tekanan angin yang dahsyat itu.

Melihat keadaan seperti ini terus-menerus, membuat Katakili jadi kalap. Maka tanpa banyak perhitungan lagi, seluruh kekuatannya dikerahkan Dan sambil meraung keras, dia melompat hendak langsung menghabisi Pendekar Rajawali Sakti.

Dan pada kenyataannya, tindakan Katakili sudah diduga Rangga. Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri tegak, bersiap menyambut serangan lawan. Dan begitu serangan hampir dekat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat seraya berputaran beberapa kali di udara. Dan pada saat yang bersamaan, pedangnya dikelebatkan dua kali ke sasarannya yang masih di udara, ketika tubuhnya bergerak.

Cras! Cras!
“Aaa...!”

Terdengar pekikan keras begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar tubuh Katakili. Dan begitu mendarat, Katakili langsung roboh dengan guratan luka menyilang di dada, setelah terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti yang dikeluarkan lewat pengerahan ilmu 'Pedang Pemecah Sukma' tingkat terakhir. Tubuh Katakili kini diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati!

Rangga yang sudah mendarat kembali di tanah, menghela napas pendek. Sementara itu, Rajawali Putih telah menghentikan kepakan sayapnya. Tempat itu kini terlihat porak-poranda bagai dilanda angin puyuh. Kucing-kucing yang tadi berkumpul telah tersapu bersih. Banyak di antaranya yang mati terbentur batu atau batang-batang pohon. Sementara, sekitar lima puluh ekor tampak berusaha bangkit sambil berjalan dengan wajah bingung.

“Lestari...!” Rangga tersentak kaget ketika teringat pada gadis itu.

Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti mencarinya ke tempat tadi. Tapi, Lestari telah lenyap. Dan di tempat tubuh gadis itu tadi bersandar, terdapat guratan tulisan yang tertera di batang pohon.

Terima kasih, kau telah menyelamatkan anakku. Biarlah kini Lestari menjadi urusanku. Aku tidak sempat mengucapkan terima kasih langsung, karena kau sedang bertarung. Tapi aku yakin, kau mampu mengatasi pemuda itu. Lain waktu, akan kusempatkan untuk mencarimu dan mengucapkan terima kasih secara langsung.
Salam hormatku, Permana.


“Hm.... Agaknya ayahnya datang menolong...,” gumam Rangga sambil mengangguk tenang.

Pendekar Rajawali Sakti kembali berjalan menemui Rajawali Putih yang telah mendekam di tempat yang agak lapang. Ditepuk-tepuknya leher burung raksasa itu beberapa kali. Rangga lalu memandang ke sekeliling tempat itu, dan melompat ke punggung Rajawali Putih.

“Ayo, Rajawali. Kita tinggalkan tempat ini!” ujar Rangga, lalu melesat dan mendarat di punggung tunggangannya. Manis sekali gerakannya, pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah begitu tinggi.

“Khragkh!” Rajawali Putih mengeluarkan suara halus, namun terdengar keras sekali di telinga. Kemudian sayapnya langsung dikepakkan, dan segera melesat ke udara.

Sementara, angin kembali bertiup kencang menambah porak-porandanya tempat itu. Sesaat kemudian, mereka telah berada di angkasa. Dan kini yang terlihat hanya sebuah titik hitam yang berbaur dalam kelabunya senja. Sementara di ujung barat sana, matahari memancarkan sinar kuning kemerahan. Burung-burung kembali terbang ke sarang, dan hewan-hewan malam mulai berkeliaran menyambut malam.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: BIDADARI DASAR NERAKA

Kucing Siluman

Pendekar Rajawali Sakti

KUCING SILUMAN


SATU

DUA orang terlihat berdiri saling memunggungi, menghadapi lebih dari lima belas orang laki-laki yang mengepungnya. Dan tampaknya, para pengepung sudah siap menyerang.

“Karmani! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau dan putramu menyerah. Kalau tidak, kami akan meringkusmu hidup atau mati!” bentak salah seorang pengepung. Tubuhnya besar dan berkepala botak. Sebuah senjata berupa bandul besi berduri tampak tergenggam di tangan kanannya.

“Rancasena! Jangan harap aku akan menyerah begitu saja! Dan perlu kau ketahui, aku tidak pernah melakukan kejahatan, seperti yang kalian tuduhkan. Itu sama sekali tidak beralasan!” sanggah laki-laki berusia empat puluh tahun. Tubuhnya kurus, dan rambutnya panjang.

“Phuih! Percuma saja dia diajak bicara baik-baik. Lebih baik langsung hajar saja, dan jangan diberi ampun!” selak seorang bertubuh pendek dan berambut putih. Tangannya tampak memegang sebatang tongkat panjang.

“Betul kata Ki Wempang! Lebih baik kita hajar saja. Rasanya tak ada gunanya berlama-lama mendengarkan segala omong kosongnya!” sambut seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Namanya, Nyai Selasih.

“Kalau terus mengundur-undur waktu, dia akan berpikir kalau kita takut padanya. Hari ini matanya harus dibuka agar tidak besar kepala dan merasa paling jago di kolong langit!” sambung laki-laki setengah baya. Kumisnya melintang dengan cambang bauk, membuat angker tampangnya. Dia sering dipanggil dengan nama Ki Sartowo.

“Huh! Kalian mengaku tokoh terhormat di dunia persilatan, tapi ternyata hanya orang-orang picik yang menuduh secara sembarangan, tanpa memberi bukti nyata!” dengus laki-laki yang dikepung, dan ternyata bernama Ki Karmani.

“Keparat! Bukti apa lagi yang perlu kami jelaskan?! Semua orang telah mengatakan kalau kau adalah pembunuh, pemerkosa dan perampok yang merajalela!” sentak laki-laki berkepala botak, yang dipanggil Ki Rancasena.

“Mana buktinya?! Apa kau melihat sendiri kalau aku telah melakukan semua perbuatan itu?” tanya Ki Karmani gusar.

“Sudahlah, Ki Rancasena. Untuk apa lagi mempersoalkan hal itu? Mana mungkin semua itu diakuinya!” selak laki-laki bertubuh pendek dan berambut putih. Dia tadi dipanggil Ki Wempang. Agaknya, tangan Ki Wempang sudah gatal untuk menghajar lawannya. Kata-kata Ki Wempang itu disambut yang lainnya dengan penuh amarah dan nafsu meluap-luap, untuk segera meringkus Ki Karmani dan putranya.

“Katakili! Kalau kau ada kesempatan, pergilah jauh-jauh dari sini untuk menyelamatkan diri,” bisik Ki Karmani kepada putranya yang baru berusia tiga belas tahun, dan bernama Katakili.

“Tapi, Ayah. Mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian, padahal kau sedang menghadapi mereka....”

“Jangan membantah! Kau tahu, hanya kaulah satu-satunya putraku. Kalau kau mati, siapa nanti yang akan membersihkan nama keluarga kita dari tuduhan kotor ini? Dan Ayah sama sekali tak pernah melakukan apa yang dituduhkan. Kau harus mempercayainya, Katakili!” ujar Ki Karmani.

Katakili diam tak menjawab. Sedangkan tangannya sudah menggenggam gagang pedang erat-erat Dia tidak tahu pasti, apakah akan mampu menahan satu atau dua jurus melawan para tokoh berilmu tinggi yang saat ini tengah mengepungnya. Pemuda tanggung itu mencoba membesarkan hati sambil mengingat-ingat bahwa selama ini ayahnya adalah pendekar kondang yang disegani kalangan rimba persilatan. Karena fitnah keji, nama baik Ki Karmani tercemar. Dan kini, para tokoh persilatan berbondong-bondong ingin menangkapnya untuk diadili dengan paksa. Kalau berani, tentu tidak begini banyak tokoh persilatan yang hendak menangkapnya. Justru karena mereka merasa gentar, sehingga main keroyokan seperti ini.

“Yeaaah...!”

Disertai teriakan keras, para tokoh persilatan itu sudah melompat dengan senjata masing-masing menyerang Ki Karmani dan anaknya. Sedangkan Ki Karmani langsung mengayunkan pedang peraknya untuk menangkis sekaligus bertahan. Dan sebenarnya, Katakili sendiri sudah siap untuk melindungi dirinya. Walaupun disadari, orang-orang yang dihadapinya ini sudah tentu bukan tandingannya.

Ki Karmani yang di kalangan persilatan berjuluk Pedang Angin Selatan, kepandaiannya memang tak diragukan lagi. Senjatanya bergerak cepat menyambar lawan-lawannya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Dalam jurus-jurus pertama, tampaknya dia masih mampu melindungi diri. Bahkan mampu balas menyerang dengan gencar.

Hal itu tentu saja membuat para pengeroyoknya semakin penasaran dan geram. Mereka mencoba menerobos pertahanan Ki Karmani dengan mencecar Katakili. Tapi pemuda tanggung itu pun agaknya tidak muda dikecoh. Gerakan-gerakan kaki dan tubuhnya begitu gesit, berusaha mengelak dari setiap serangan. Pedangnya berkelebat cepat, membalas setiap serangan lawan.

Sementara itu, Ki Karmani selalu tidak lepas mengawasi anaknya. Bila Katakili terlihat mulai terdesak, dengan cepat perhatian lawan-lawannya dialihkan. Langsung digempurnya orang-orang yang menyerang putranya itu.

Tapi meski bagaimanapun, tenaga manusia ada batasnya. Apalagi dikeroyok sekian banyak orang yang memiliki kepandaian tidak rendah. Dan inilah yang dialami Ki Karmani dan putranya. Mereka bukannya tak menyadari. Berkali-kali Ki Karmani mencari peluang, agar putranya mampu meloloskan diri. Namun niatnya selalu gagal, karena ketatnya kepungan lawan-lawannya.

“Mau coba-coba kabur, heh...! Jangan harap bisa melakukannya, Keparat!” dengus Ki Rancasena sambil memutar-mutar bandulnya, dan langsung dihantamkan ke tubuh Katakili.

“Hup! Yeaaah...!”

Namun dengan gerakan yang sangat cepat, Katakili mengecutkan pedangnya. Cepat ditangkisnya serangan Ki Rancasena. Dan....

Bet!
Trang!
“Aaakh...!”

Pada saat itu pula, Ki Karmani mencelat sambil mengayunkan pedang untuk melindungi putranya yang tengah menahan sakit. Tapi pada saat yang bersamaan, tiga orang tokoh persilatan yang kepandaiannya setingkat Ki Rancasena bergerak cepat menyerang. Laki-laki bertubuh kurus dan berambut panjang itu mulai sibuk. Seluruh kecepatan geraknya sudah dikerahkan untuk menangkis semua serangan yang dilancarkan lawan.

Tapi kali ini nasib sial menimpa Ki Karmani. Dua buah senjata berlainan jenis beradu keras di udara. Katakili kontan terjajar mundur dua tombak dengan mulut meringis menahan sakit. Memang, tenaga dalamnya masih di bawah Ki Rancasena. Maka tak heran kalau laki-laki berkepala botak itu tidak mengalami apa-apa begitu terjadi benturan.

Ujung trisula Ki Sartowo tak urung berhasil menggores punggungnya. Untung saja, goresan itu tidak begitu dalam, sehingga darah yang keluar tidak begitu banyak. Dan kini, Ki Karmani terpaksa harus membuang dirinya, dan berguling beberapa kali. Dan begitu bangkit berdiri, dia kembali menyerang ganas, memporak-porandakan para pengeroyoknya.

“Katakili, cepat kau pergi dari sini!” teriak Ki Karmani.

“Tapi, Ayah...,” Katakili mencoba membantah.

“Cepat pergi kataku! Selamatkan dirimu!” bentak Ki Karmani.

Katakili tidak bisa lagi membantah, walaupun melihat ayahnya terluka. Namun perintah ayahnya memang tidak bisa dibantah lagi. Dengan hati berat, Katakili berusaha meninggalkan arena pertarungan. Namun baru juga hendak melesat pergi, tiba-tiba saja....

“Hei! Jangan coba-coba kabur kau...!” dengus Ki Rancasene. “Yeaaah...!”

“Hup! Hiyaaa...!”

Begitu melihat Ki Rancasena dan Ki Wempang bermaksud menghalangi putranya, tanpa mempedulikan lukanya lagi, Ki Karmani cepat melesat. Pedang di tangannya diputar-putar cepat, mendesak kedua orang itu. Namun serangan-serangan gencar Ki Karmani tidak berlangsung lama, ketika lawan-lawannya yang lain telah menyerbu. Bahkan salah seorang berhasil melukai bahunya. Namun lukanya yang terus mengucurkan darah sama sekali tak dipedulikan. Dia terus bergerak cepat menyerang orang-orang yang menghalangi putranya melarikan diri dari kepungan lawan-lawannya.

“Cepat, Katakili...!” seru Ki Karmani.

“Hup! Hiyaaat...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Katakili segera melesat begitu mendapat kesempatan yang hanya sedikit ini. Tak ada lawannya yang mengejar kali ini. Memang, lawannya lebih memusatkan perhatian untuk melumpuhkan Ki Karmani. Namun pada saat itu juga...

“Hiyaaat..!”
Cras!
“Aaakh!”

Ki Karmani menjerit keras agak tertahan, begitu salah seorang lawan berhasil membabatkan pedang ke tubuhnya. Kembali darah muncrat dari dadanya yang terbelah pedang. Keseimbangan tubuhnya pun jadi goyah. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil mendekap luka di dada yang terus-menerus mengucurkan darah.

Sementara, Katakili yang sudah berhasil lepas dari kepungan orang-orang itu sempat juga mendengar teriakan ayahnya. Dia berhenti berlari, dan cepat memutar tubuhnya. Kedua bola matanya jadi terbeliak, melihat ayahnya terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang terluka.

“Ayah...,” agak tersedak suara Katakili.

“Hiyaaat...!”

Pada saat itu juga, terlihat Ki Rancasena melompat cepat bagai kilat ke arah Ki Karmani. Senjatanya diayunkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Sementara, Ki Karmani hanya bisa terpaku dengan kedua bola mata terbeliak lebar. Luka-luka yang diderita memang sudah tidak lagi memungkinkannya untuk bergerak cepat menghindar. Dan...

Prak!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, saat bandul berduri Ki Rancasena mengancam batok kepala Ki Karmani. Seketika itu juga, batok kepala laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu hancur berantakan. Darah kontan muncrat ke segala arah.

Hanya sebentar saja Ki Karmani masih mampu berdiri, sesaat kemudian tubuhnya ambruk menggelepar, tidak bernyawa lagi di tanah berumput ini. Sementara di tempat yang cukup jauh, hati Katakili benar-benar menangis menyaksikan kematian ayahnya yang menggiriskan. Dia hanya mampu memandang dan menggigit-gigit bibirnya sendiri. Namun, seluruh tubuhnya menggeletar. Dan napasnya juga terdengar memburu.

“Ayah....” Katakili tidak dapat lagi meratapi kematian ayahnya, karena Ki Rancasena sudah cepat memutar tubuhnya berbalik ke arahnya berdiri.

“Bunuh bocah itu...!” teriak Ki Rancasena, memberi perintah.

Mendengar teriakan Ki Rancasena, langsung saja orang-orang yang tadi mengeroyok Ki Karmani berlarian mengejar. Sementara, Katakili sudah lebih dulu berlari cepat sekuat tenaga.

********************

Sementara itu Katakili terus berlari seperti dikejar setan. Di pelupuk matanya terbayang kematian ayahnya yang begitu menyedihkan. Dan hal itu membuat semangatnya untuk hidup menjadi berlipat ganda. Dia tidak sudi tertangkap oleh para pengejarnya. Yang penting, dia harus bisa selamat, untuk membalaskan perlakuan mereka suatu hari nanti. Itu tekadnya.

Katakili sedikit berpaling ke belakang, ketika mendengar suara-suara para pengejarnya dari belakang. Jelas sekali terdengar seakan-akan sudah begitu dekat. Maka seketika jantungnya seperti berhenti berdetak.

“Tangkap bocah itu!”
“Jangan biarkan lolos!”
“Tangkap...!”
“Bunuh...!”

Meski masih muda dan belum banyak pengalaman dalam dunia persilatan, tapi sejak bocah Katakili telah dididik ayahnya dengan keras dalam menuntut ilmu olah kanuragan dan kesaktian.

Hingga, tidak heran kalau kemampuannya melebihi anak-anak seusianya. Begitu pula halnya dalam ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi dan bisa diandalkan. Tidak percuma Ki Karmani dijuluki Pedang Angin Selatan. Salah satu keahliannya selain memainkan jurus-jurus ilmu pedang, juga sangat hebat dalam soal ilmu meringankan tubuh. Dan itu pun diturunkan kepada anaknya.

Tapi meskipun begitu, kemampuan Katakili ada batasnya juga. Setelah sekian lama berlari, kelelahan mulai menyergapnya. Tubuhnya terasa penat bukan main, dan otot-ototnya mulai mengejang. Tiba di sebuah pinggiran hutan dekat kaki gunung, jarak mereka semakin dekat saja. Dan kini Katakili mulai putus asa. Keputusasaan Katakili memang harus dibayar mahal. Para pengejarnya kini benar-benar hampir dekat dengan anak muda tanggung itu. Maka, sebentar saja Katakili sudah kembali terkepung, ketika larinya berhenti di depan sebuah lubang dalam yang ditutup semak dan ranting-ranting kecil.

“Ha ha ha...! Mau lari ke mana lagi kau, Bocah? Hari ini kau harus mampus seperti ayahmu!” kata salah seorang yang berwajah berangasan.

“Huh! Ayahnya penjahat, anaknya pasti lebih jahat lagi kelak. Orang-orang seperti kalian mestinya cepat-cepat mampus!” dengus yang lain.

“Bunuh saja dia...!” seru seorang lagi dengan suara keras menggelegar.

“Yeaaah...!” Salah seorang pengejar yang berada paling depan, tiba-tiba saja melompat sambil berteriak keras. Di tangannya tergenggam sebilah clurit yang siap menyambar kepala Katakili.

Meski tubuhnya terasa letih dan tenaganya terkuras habis, tapi pemuda tanggung ini masih mempunyai semangat untuk tidak tewas di tangan lawan. Dengan untung-untungan kepalanya ditundukkan. Tapi saat itu juga, sebelah kakinya terkait akar pohon. Dan seketika tubuhnya langsung tersungkur ke depan. Dan... “Aaa...!”

Orang-orang itu buru-buru melompat ke depan ketika tubuh Katakili terjerumus ke dalam lubang di depannya. Tak seorang pun mengetahui, tempat apa itu sesungguhnya. Memang, lubang itu sendiri sama sekali tak terlihat. Mereka hanya bisa terlongong bengong, sambil mendengar jeritan Katakili yang menggema panjang.

“Sial! Dia lolos lagi!” dengus salah seorang.

“Kenapa tidak turun saja ke dalam? Siapa tahu lubang ini tidak terlalu dalam?” usul yang lain.

“Tidak semudah apa yang kau kira,” sahut laki-laki brewok dan bercambang bauk, yang bernama Gumarang.

Ki Gumarang kemudian menjatuhkan sebuah batu yang cukup besar ke dalam lubang. Lalu disuruhnya yang lain untuk menajamkan pendengaran.

“Kalian dengar? Suara batu itu sama sekali tak terdengar. Itu membuktikan kalau lubang ini sangat dalam. Siapa di antara kalian yang mengetahui kalau dasarnya cukup aman? Siapa tahu batu-batu runcing akan menanti kita. Dan bocah itu, mana mungkin bisa selamat? Tubuhnya lemah dan tenaganya terkuras habis. Jatuh pada kedalaman yang tak terukur, tentu tak akan selamat”

“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya yang lain.

Semua mata kini saling memandang dengan wajah bingung bercampur geram.

"Tidak ada yang bisa dilakukan di sini. Sebaiknya, kita kembali saja. Katakan pada yang lainnya, bocah itu sudah mampus di dasar lubang ini!”

Kini tidak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka semua mengira kalau Katakili sudah mati di dalam lubang yang sangat dalam itu. Dan kini mereka meninggalkan tempat itu disertai gumaman-gumaman tak puas.

********************

Benarkah Katakili tewas di dasar lubang itu? Agaknya bila ajal belum datang, tak seorang pun yang bisa memastikan kematian seseorang. Meski, bahaya sebesar gunung berada di depan mata.

Begitu juga halnya Katakili. Pemuda tanggung itu merasa kematiannya sudah di ambang pintu ketika tubuhnya terperosok ke dalam lubang itu. Semangatnya runtun dan hatinya kecewa bukan main. Dalam kepasrahannya, dia masih berharap untuk bisa selamat. Entah karena harapannya, atau karena memang ajalnya belum lagi tiba, tubuhnya terhempas di atas tanah yang berlumpur empuk dan sedikit berair.

Katakili terkejut bercampur gembira. Ternyata tubuhnya hanya tenggelam sebatas dada. Diam-diam semangat hidupnya bangkit kembali. Dengan semangat baru, matanya beredar ke sekeliling. Lalu, ditemukannya sebuah batu runcing yang terpasak dalam ke tanah. Dengan sekuat tenaga tubuhnya digerakkan, untuk menggapai batu itu agar keluar dari dalam lumpur ini. Masih untung, tempat itu hanya sekadar lumpur biasa seperti sebuah telaga kecil yang airnya kering dan berkumpul di tengah-tengahnya. Sehingga tanpa banyak mengalami kesulitan, Katakili berhasil mencapai tanah yang lebih keras.

“Hhh.... Tempat apa ini? Gelap dan terasa sepi?” Katakili bertanya pada diri sendiri sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Di dinding ruangan banyak terdapat batu runcing yang mencuat. Di atas permukaan tanah pun terdapat batu-batu runcing yang menjulang ke atas. Persis di tengah-tengahnya, ada bekas sebuah telaga yang airnya telah banyak berkurang. Katakili kemudian menyusuri dinding-dinding ruangan itu. Ketika telah melangkah beberapa tindak, dia terkejut melihat banyak lukisan dan guratan di dinding ruangan itu.

“He, lukisan-lukisan apa ini?”

Katakili mengamatinya sesaat. Dan pada dasarnya, pemuda tanggung itu memang cerdas. Dia cepat mengerti pada sesuatu yang baru dikenalnya. Dan wajahnya pun langsung berubah gembira ketika mengetahui kalau gambar-gambar yang tertera di dinding ruangan itu amat dikenalnya.

“Hm.... Ini adalah suatu pelajaran ilmu silat yang hebat bukan main. Tulisan yang tertera menyebutkan sebuah nama. Waranswami. Lalu, ada tulisan Raja Kucing Sakti. Sedangkan tulisan-tulisan lain adalah penjelasan dari gambar yang ada,” gumam Katakili pelan.

Katakili dengan penuh semangat mencoba mengartikan maksud dari seluruh gambar dan tulisan yang tertera di dinding. Keningnya terlihat berkerut, dan kelopak matanya jadi menyipit. Dia berusaha keras untuk bisa memahaminya.

“Si pembuat gambar ini bernama Waranswami, atau lebih dikenal sebagai Raja Kucing Sakti. Dan..., he! Jurus-jurus yang terdapat dalam gambar-gambar ini mirip gerakan-gerakan seekor kucing yang sedang berkelahi,” kembali Katakili menggumam pelan, kemudian mengangguk-angguk.

Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata gambar-gambar itu terbagi dalam dua bebas kelompok. Katakili yang berotak cerdas segera mengerti bahwa tiap kelompok gambar mewakili satu jurus. Jadi kalau dua belas kelompok, berarti dua belas jurus dengan tingkatan yang makin tinggi. Dan kesemuanya, memiliki dasar yang sama. Jurus yang meniru gerakan-gerakan kucing!

Ketika pemuda tanggung itu mengamati jurus kedua belas yang berada di ujung ruangan, matanya menangkap sebuah batu datar yang menyembul dari permukaan tanah setinggi kira-kira satu jengkal, dan batu itu juga tak begitu luas. Ketika didekatinya, tampak di atas batu itu terdapat guratan tulisan. Tanpa ragu lagi, Katakili mulai membacanya dengan suara menggumam pelan.

“Beruntunglah mereka yang tiba di sini dan menemukan warisanku. Hendaknya, warisanku dipelajari dengan seksama dan diamalkan dengan cara yang baik. Kucing adalah binatang buas. Sifatnya pendiam dan cerdik. Dia lembut, tapi juga keras. Seperti lumpur yang menghanyutkan, seperti patung batu yang memecahkan....”

Katakili berhenti sebentar, mengamati tulisan yang sangat dalam artinya. “Hm.... Apa maksud kata-kata ini?” tanya Katakili mencoba mencerna. Kemudian dia melanjutkan sisa tulisan yang tergurat di atas batu itu.

“Sekerasnya batu ini, tapi lebih keras lagi intinya yang mampu memecahkan kumpulan batu yang paling keras. Dan berada di dekatnya menjadikan kata raja yang gagah perkasa dan memerintah dengan leluasa.”

Katakili merenung-renung sesaat sambil mengamati permukaan batu itu dengan seksama. Apa yang dimaksud dengan inti? Kalau pada baris pertama, tentu sekadar peringatan dan pem-beritahuan. Tapi pada baris kedua ini, seperti ada rahasia akan sesuatu? Lalu, bagaimana membuktikannya? Apakah diartikan secara langsung kalau di dalam batu ini terdapat sesuatu yang akan menjadikan seorang raja?

Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Katakili, namun tak semua bisa dipecahkannya. Lalu diraba-rabanya pinggiran batu datar itu. Dan, dicobanya untuk mengangkat. Pada mulanya, hal itu sangat sulit dan tak mampu dilakukannya. Namun secara tak sengaja, Katakili mengangkat sedikit di bagian atasnya. Maka, terbukalah bagian atas batu datar yang berbentuk segi empat itu.

Batu itu ternyata seperti kotak. Bagian atasnya ditutup alas yang di beberapa bagian berbentuk gerigi. Sehingga membuatnya seperti menyatu pada bagian bawah. Di dalamnya, tampak terdapat sebuah patung kucing dari emas murni berukuran dua kali kepalan tangan orang dewasa. Dan tanpa ragu lagi Katakili mengambilnya. Diamat-amatinya sesaat. Alangkah terkejutnya pemuda tanggung itu ketika seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa bergetar hebat

“Hei?! Apa yang terjadi pada diriku?”

Katakili hanya mendiamkan saja, dan malah menggenggam patung kucing itu lebih erat lagi. Dan memang, apa yang dirasakannya saat ini sama sekali tak menyakiti tubuhnya. Malah, membuat tubuhnya terasa segar. Tenaganya seperti pulih kembali dan peredaran darahnya mengalir lancar.

“Hm.... Patung inikah yang akan membuatku menjadi raja? Tapi bagaimana caranya?”

Lama pemuda tanggung itu berpikir tentang kata-kata yang tertera di permukaan batu, namun tak juga menemukan maksudnya. Dan dia hanya bisa menduga.

“Mungkin hal itu akan terjadi nanti. Tapi barangkali juga, aku harus membawanya ke mana saja pergi. Baiklah. Setelah kupelajari seluruh ilmu silat yang tertera pada gambar-gambar itu, aku akan membawanya ke mana saja. Mudah-mudahan dengan cara ini, aku bisa mengetahui maksudnya.”

********************

Sejak itu, Katakili berada di dalam ruangan ini berbulan-bulan. Dan dengan tekun, dipelajarinya semua jurus ilmu silat yang terdapat dalam gambar-gambar di dinding ruangan itu dengan penuh semangat, seperti tak mengenal lelah.

Baginya, tidak ada kesulitan untuk mempelajarinya karena telah memiliki dasar-dasar ilmu silat sebelumnya. Di tempat itu pun, dia tidak mendapat kesulitan dalam hal makanan. Selain masih terdapat cukup air, di beberapa pojok ruangan banyak ditumbuhi jamur yang berukuran besar dan tidak beracun. Di samping itu, masih terdapat tikus-tikus putih berukuran besar yang dapat ditangkap untuk disantap.

Semangat Katakili memang menggebu-gebu dan pantang menyerah. Padahal, pelajaran ilmu silat itu besat dan cukup sulit. Namun dendam di hatinya yang terus bergejolak seperti tak pernah padam, membuatnya terus memacu keinginannya untuk menguasai secepatnya. Meski begitu, tak terlalu mudah baginya. Selain harus memiliki tenaga dalam kuat, maka kecepatan bergeraknya harus dilatih, agar apa yang dimaksud dalam tulisan-tulisan yang mengiringi gambar-gambar itu bisa tercapai dengan sempurna. Hingga tak terasa, telah lima tahun Katakili berada di tempat itu sendiri.

********************

DUA

Hari belum lagi terlalu sore ketika seorang pemuda berwajah cukup tampan tengah melangkahkan kakinya di sebuah desa. Suasana desa ini terlihat sepi. Malah, beberapa rumah sudah tampak menutup rapat-rapat pintunya. Pemuda itu menghentikan langkahnya seraya memandang ke sekeliling, seperti ingin meyakinkan kalau sesuatu yang dicarinya berada di tempat ini.

“Meong...!” Tiba-tiba seekor kucing berbulu hitam keluar dari belakang sebuah rumah, dan menghampiri pemuda itu. Hewan itu memandang sekilas, kemudian mengerjapkan matanya yang biru beberapa kali dan duduk tenang di situ. Sementara pemuda itu diam memperhatikan dari balik tudungnya yang besar, hingga hampir menutupi sebagian wajahnya yang tampan.

Beberapa saat dia masih diam memandangi kucing hitam di depannya. Dan ketika kembali melangkah, kucing hitam itu pun bangkit. Lalu diikutinya pemuda itu dari belakang dengan tenang.

“Meong...! Meong...!”

Belum jauh pemuda itu berjalan, tiga ekor kucing lagi keluar dari beberapa rumah. Binatang itu bergerak perlahan namun pasti, menatapi pemuda itu dan terus mengekor di belakangnya. Sementara pemuda itu terus berjalan perlahan-lahan, seperti tidak mempedulikan kucing-kucing yang mengikutinya dari belakang. Sudut ekor matanya sedikit melirik pada seorang laki-laki tua yang tengah duduk menjulurkan kakinya di balai-balai bambu depan rumahnya. Tapi mendadak saja....

“Heh!”
“Graungrrr...!”
“Bangsat!”

Laki-laki tua itu tersentak kaget ketika tiba-tiba seekor kucing peliharaannya melompat melewati atas kedua kakinya yang sedang menelonjor di balai-balai sambil mengeluarkan suara menggeram. Nyaris rokok kawung yang sedang dihisapnya terlempar. Sambil memaki-maki tak karuan, dia buru-buru bangkit. Lalu diambilnya sebatang batu dan dikejarnya kucing itu. Tapi langkah orang tua itu mendadak berhenti, ketika di depannya berdiri tegak sesosok tubuh mengenakan topi lebar.

“Siapa kau, Kisanak?! Dan apa yang kau lakukan hingga kucing-kucing itu mengikutimu?” tanya orang tua itu tergagap ketika melihat belasan ekor kucing mengekor di belakang pemuda itu.

“Aku hanya seorang pengembara kesasar. Namaku Katakili...,” sahut pemuda itu datar.

“Dan kucing-kucing itu? Setahuku, mereka milik beberapa orang penduduk desa ini. Dan sebagian, sering berkeliaran tanpa pemilik. Bagaimana kau bisa mengumpulkannya?”

Pemuda itu tersenyum sinis. “Mereka mengikutiku, karena aku tak menyakitinya. Begitu mereka disakiti, maka akan lari dari kita, seperti apa yang hendak kau lakukan pada kucingmu tadi,” sahut pemuda yang tadi mengaku bernama Katakili.

Laki-laki tua itu terheran-heran melihat kejadian yang dilihatnya. Bukan itu saja. Selama berdiri di sini, beberapa ekor kucing lagi menghampiri pemuda itu dan berdiri di dekatnya dengan sikap patuh. Bahkan beberapa orang pemilik yang amat sayang dengan kucing peliharaannya, telah keluar. Mereka bermaksud mengejar hewan peliharaannya yang tiba-tiba melompat dan mendekati Katakili.

“Ki Karta! Siapa orang ini, dan mengapa kucing-kucing di desa ini berlari menghampirinya?” tanya seseorang pada lelaki tua itu.

“Entahlah. Aku pun tidak tahu....”

Beberapa orang penduduk lain keluar dari rumahnya ketika mendengar ribut-ribut kecil itu. Dan mereka keheranan ketika melihat banyak sekali kucing yang berada di dekat Katakili.

“Siapa dia sebenarnya? Apakah dia pawang kucing?”

“Orang ini mengherankan sekali. Bagaimana caranya kucing-kucing ini dikumpulkan?”

“Kucing-kucing itu tampak patuh padanya!”

Berbagai kata-kata heran para penduduk desa sedikit mengganggu pemuda itu. Dia menjadi risih, sehingga bermaksud meninggalkan desa ini secepatnya. Dipandanginya laki-laki tua yang pertama kali ditemuinya tadi.

“Kisanak. Dapatkah kau tunjukkan, di mana tempat kediaman orang yang bernama Gumarang?” tanya Katakili, seperti tidak mempedulikan omongan orang-orang desa itu.

“Hm.... Untuk apa kau menanyakan kediaman Juragan Gumarang?” laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Karta malah balik bertanya.

“Dia punya hutang yang belum dibayar padaku,” sahut Katakili kalem.

Ki Karta mengernyitkan dahi. Setahunya, Juragan Gumarang adalah orang terkaya di desa ini. Jadi, mana mungkin mempunyai hutang dengan pemuda gembel yang mirip pengemis ini?

“Kudengar dia berdiam di desa ini. Ayahku, dulu adalah teman lamanya. Dan dia telah menitipkan sesuatu pada Gumarang. Hari ini, aku bermaksud untuk mengambil barang itu kembali,” jelas Katakili lagi.

Setelah mendengar kata-kata itu, Ki Karta baru mengerti. Maka ditunjukkannya sebuah rumah yang berada di tengah desa. Sebuah rumah yang paling besar dan mewah. Halamannya luas berpagar tinggi dengan beberapa orang centeng yang berjaga di depan pintu gerbang.

Setelah mengucapkan terima kasih, Katakili langsung saja berjalan. Sedangkan kucing-kucing yang kini berjumlah sekitar dua puluh ekor di belakangnya, terus mengikuti. Tentu saja hal ini membuat heran dan kagum orang-orang desa. Tanpa sadar beberapa orang dari mereka mengikuti. Mereka ingin tahu, apa yang akan dikerjakan pemuda itu di tempat kediaman Juragan Gumarang.

********************
Pendekar Rajawali Sakti Episode Kucing Siluman


“Berhenti! Mau apa kau ke sini?!” cegat seorang centeng yang bertubuh besar dan berkumis melintang, ketika pemuda itu akan memasuki pintu gerbang.

“Katakan pada majikanmu, hari ini ada orang yang akan menagih hutang lama kepadanya,” sahut pemuda itu tenang.

"Tidak bisa! Hari ini Juragan Gumarang tidak bisa diganggu. Lebih baik kau datang lain hari saja!”

“Hm...!” Pemuda itu bergumam dengan wajah tak acuh. Dipandangnya bangunan besar di depan matanya, kemudian berpaling ke arah tiga orang centeng yang tengah berdiri tegak di depannya.

"Tak seorang pun yang boleh menunda kewajibanku untuk menagih hutang kepada siapa saja yang kukehendaki!” kata Katakili pelan namun mengandung ketegasan.

“Kurang ajar! Agaknya telingamu sudah tuli sehingga tak mendengar kata-kataku, heh?!” bentak laki-laki berkumis melintang sambil mencabut golok dengan sikap mengancam. Kedua kawan laki-laki itu malah telah siap sejak tadi, seraya mencabut golok masing-masing.

“Buat apa kau banyak omong segala, Sempur? Lebih baik, hajar saja gembel tak tahu diri ini! Tingkahnya membuatku muak saja!” sahut salah seorang yang berbaju merah, garang.

“He, Gembel! Kau dengar itu? Nah, pergilah cepat selagi aku masih berbaik hati tak menghajarmu!” bentak orang yang dipanggil Sempur.

“Menepilah! Kalian tak mempunyai urusan denganku. Jangan membuat persoalan, sehingga akan menimbulkan celaka!” ujar Katakili, dingin.

“Keparaat! Kau pikir, siapa dirimu sehingga berani berkata begitu padaku?! Dasar gembel tak tahu diri! Lebih baik kau mampus saja!” dengus Sempur jadi berang. “Hih!”

Sret! Sempur langsung saja mencabut goloknya. Dan dengan cepat pula goloknya dibabatkan ke perut Katakili.

“Haiiit...!” Namun hanya dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya, sambaran golok itu hanya lewat di depan perutnya. Dan pada saat itu juga, dengan satu gerakan yang sangat cepatnya tangan kanan Katakili bergerak cepat. Lalu....

Plak!
Begkh!

“Aaakh...!” Sempur memekik kesakitan ketika pukulan tangan kanan Katakili menghantam dadanya.

“Gembel busuk! Pantas saja kau berani bertingkah! Rupanya, kau memiliki sedikit kepandaian juga. Huh! Di hadapanku kau tak akan bisa sombong!” bentak salah seorang yang memakai baju hijau, langsung menyerang pemuda itu dengan golok.

Bersamaan dengan itu seorang kawannya yang berbaju merah sudah ikut-ikutan mengeroyok. Kini dengan penuh nafsu mereka berusaha mendesak Katakili. Tapi, pemuda itu tenang sekali menghindarinya. Gerakannya amat gesit, menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi. Kemudian tanpa membuang waktu, diserangnya lawan-lawannya. Sangat sulit mengikuti gerakan-gerakannya dengan pandangan mata biasa, karena dilakukan begitu cepat.

Mendapat serangan yang begitu cepat dan dahsyat dari Katakili, dua orang pengeroyok itu jadi kalang kabut Serangan pemuda itu benar-benar sulit diduga datangnya. Dan ketika lawan yang berbaju hijau terlepas dari desakan, Katakili kembali menekannya dengan sebuah tendangan berputar setengah lingkaran. Tapi pada saat yang sama, lawan yang berbaju merah berusaha menebas kakinya.

Cepat-cepat Katakili menarik serangannya. Namun, sambil menghindari tebasan golok yang mengarah ke kakinya, Katakili langsung membuat lompatan seperti kucing menyergap tikus. Tangannya menjulur ke depan dengan jari-jari mirip cakar kucing. Langsung serangannya yang tak terduga itu diarahkan ke lawannya yang berbaju hijau, yang belum bisa bertindak apa-apa. Dan... Bret!

“Aaakh...!” Laki-laki berbaju hijau itu kontan tersungkur dengan dada robek ketika cakar Katakili mendarat di tubuhnya. Darah tampak merembes di bajunya.

Melihat temannya bisa dirobohkan, laki-laki yang berbaju merah langsung melancarkan serangannya yang gagal tadi. Tubuhnya langsung melunak, hendak membokong Katakili yang membelakanginya.

Namun, Katakili cepat menangkap adanya desir angin yang berasal dari serangan gelap lawannya. Maka cepat-cepat tubuhnya merendah, dan langsung melepaskan sabetan tangan ke belakang. Ulu hati....

Brettt!

“Aaakh!” Laki-laki berbaju merah itu kontan roboh disertai jerit kesakitan, ketika cakar kucing Katakili merobek perutnya. Darah tampak merembes di bajunya. Sama seperti nasib laki-laki yang berbaju hijau, laki-laki berbaju merah itu pun tewas, setelah menggelepar sesaat.

“Siapa lagi yang ingin mampus lebih cepat?! Majulah sekaligus!” terdengar dingin suara pemuda itu penuh ancaman.

Namun belum lagi hilang suara Katakili dari pendengaran, tiba-tiba saja terdengar suara yang cukup keras menggema.

“Hm, hebat! Sungguh hebat! Seorang pendekar tangguh berilmu tinggi telah memberi pelajaran berharga kepada para pengawalku!”

Katakili cepat menoleh ke samping kanan. Tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berusia sekitar lima puluh tahun lebih, telah berdiri di tengah-tengah arena pertarungan. Tampangnya tampak seram, karena adanya cambang bauk dan brewok yang sebagian telah memutih. Di tangan kanannya tergenggam sebuah clurit besar yang tajam berkilat Pemuda itu segera menyipitkan mata dan membuka tudung kepalanya.

“Gumarang! Bagus, akhirnya kau keluar juga. Hari ini, aku datang untuk menagih hutang padamu...,” terdengar dingin sekali nada suara Katakili.

“Siapa kau?! Dan, apa maksud kata-katamu itu?!” dengus orang tua itu. Dia ternyata memang Gumarang, orang terkaya di desa ini.

“Lima tahun lalu, kau punya hutang kepadaku. Tidakkah kau ingat?”

“Hutang? Hutang apa?”

“Hutang nyawa Pedang Angin Selatan!”

“Heh? Jadi kau..., kau..., putra Ki Karmani yang terperosok dalam lubang itu?! Mustahil! Kau pasti bohong!” sentak Gumarang, kaget tak percaya.

“Kau boleh berkata apa saja hari ini. Tapi, jangan harap ampunan dariku. Perbuatanmu sungguh biadab dan tak mudah kulupakan. Kau binatang liar yang dengan seenaknya mengadili orang tak bersalah. Hari ini, hari pengadilan bagimu, Gumarang!”

Wajah orang tua itu yang tadinya pias, perlahan-lahan berubah menjadi merah. Dia benar-benar geram mendengar kata-kata Katakili yang dingin dan penuh ancaman. Seperti hendak mengembalikan wibawanya yang jatuh akibat keterkejutan tadi, wajahnya segera diangkat Dan dengan sikap sinis, ditunjukkannya keangkuhan dirinya.

“Bocah! Apa kau pikir aku takut melihat kedatanganmu ini? Kau dan orangtuamu justru sama biadabnya. Maka, sudah sepatutnya orang seperti kalian mampus!”

“Kau boleh bicara apa saja yang kau suka, Bajingan Busuk! Bersiaplah kau!” sentak Katakili sengit “Hih! Yeaaah...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Katakili langsung melompat sambil mengirimkan serangan kilat ke arah Gumarang. Orang tua berwajah penuh brewok itu terkejut. Sungguh tak disangka kalau lawannya mampu bergerak secepat itu. Maka senjata clurit yang ada di tangannya langsung diayunkan.

“Yeaaah...!” Wuuut!

“Juragan, kami akan membantumu!” teriak Sempur dan kawan-kawannya yang masih hidup.

Juragan Gumarang tak menyahut. Sehingga, Sempur dan kawan-kawannya merasa kalau cara keroyokan sangat diinginkan juragannya. Dan Katakili sudah begitu kesal. Tubuhnya lalu berbalik cepat sambil memapak serangan ketiga lawan yang berusaha membokongnya. Tiba-tiba....

“Graungrrr...!” Dari mulut pemuda itu keluar suara melengking seperti kucing yang sedang marah.

Maka, mendadak saja kucing-kucing yang sejak tadi mengikutinya, berubah liar dan garang. Bahkan binatang-binatang itu langsung menyerang anak buah Gumarang dengan buas.

“Heh?!”
“Akh...!”

“Binatang keparat...! Mampuslah kau! Yeaaah...!” bentak Sempur ketika punggungnya tercakar oleh beberapa ekor kucing.

Dua orang kawannya pun tak luput dari serangan hewan-hewan yang seperti kerasukan setan itu. Dan justru, yang paling hebat adalah tingkah laku pemuda bernama Katakili itu. Wajahnya beringas dengan sepasang mata seperti bersinar garang. Sementara, kedua belah tangannya sudah membentuk cakar. Dari mulutnya terus memperdengarkan raungan-raungan panjang.

Tentu saja hal ini membuat Gumarang terkejut. Bulu kuduknya kontan merinding membayangkan kematiannya yang sangat mengerikan. Belum juga laki-laki tua itu bisa berbuat lebih banyak lagi, tiba-tiba saja Katakili sudah berkelebat begitu cepat bagai kilat dengan kebutan tangannya.

Juragan Gumarang yang sebenarnya memiliki ilmu olah kanuragan cukup tinggi, hanya terpaku saja memandangi gerakan Katakili yang dahsyat Entah kenapa, dia seperti tak mampu bergerak. Hanya matanya saja yang melotot menanti datangnya ancaman lawan. Maka....

“Graungrrr...!”

Gumarang yang sebenarnya memiliki ilmu olah kanuragan cukup tinggi, hanya terpaku saja memandangi gerakan Katakili yang sangat dahsyat. Entah kenapa dia seperti tak mampu bergerak! Hanya mematung saja yang melotot menanti datangnya ancaman lawan. Maka...

Plak!
Breeet!

“Aaakh...!” Gumarang menjerit kesakitan saat kulit dadanya robek lebar terkena cakaran lawan. Tubuhnya tampak terjajar beberapa langkah sambil mendekap dadanya yang dirobek cakar Katakili. Darah langsung merembes dari sela-sela jarinya. Wajahnya juga semakin pucat saat melihat kegarangan lawan. Rasanya, tak mungkin lagi saat ini bisa menyelamatkan diri. Kecepatan gerak pemuda itu sungguh dahsyat dan sama sekali tak mampu dibendungnya. Bahkan tenaganya pun sungguh kuat!

Gumarang kini berusaha bergulingan untuk menyelamatkan diri, ketika terkaman lawan kembali datang. Sesekali senjatanya diayunkan untuk menghalangi serangan lawan. Namun tetap saja kedudukannya kian terjepit. Bahkan ketika dia baru saja bangkit berdiri, pergelangan tangannya terkena cakar lawan.

Breeet!

“Ukh!” Gumarang hanya bisa mengeluh kecil. Tubuhnya yang kian melemah akibat banyaknya darah yang keluar, membuat tenaga Gumarang melemah. Tak heran ketika Katakili mengecutkan tangan kanannya cepat bagai kilat, dia sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Akibatnya....

Bresss!
“Aaa...!”
“Graungrrr...!”

Pekik kematian Gumarang kontan pecah diiringi raungan melengking pemuda itu. Sementara itu, para penduduk desa yang menyaksikan pertarungan dari jarak jauh, melihat Katakili tengah mencabik-cabik seluruh tubuh lawan hingga hancur tak berbentuk lagi. Dia berdiri tegak dengan kedua belah tangan berlumuran darah. Sekilas, ditatapnya tubuh lawan yang terkoyak-koyak bermandikan darah. Kemudian, wajahnya menengadah ke langit.

“Ayah! Satu orang di antara keparat-keparat biadab itu telah membayar hutangnya. Tenangkanlah arwahmu di akhirat sana...” tiba-tiba terdengar suara keras dari mulut pemuda itu. Dan baru saja Katakili merapatkan bibirnya, mendadak....

“Aaa...!”

Pemuda itu tersentak ketika mendengar jeritan panjang. Sinar matanya yang tajam dan penuh kebencian melihat salah seorang dari ketiga orang centeng Juragan Gumarang tengah menggelepar dengan tubuh penuh luka-luka cakar. Sementara, dua orang lagi tengah sibuk melindungi diri dari serbuan kucing-kucing yang kini berubah semakin liar.

“Terimalah akibat perbuatan kalian yang menghalang-halangi tugasku. Mampus kau!

Yeaaah...!” Sambil menggeram hebat, Katakili melompat menyerang kedua centeng itu dengan kedua tangan terpentang membentuk cakar seperti kucing. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kedua tangannya saling susul-menyusul mencakar-cakar dan sesekali mengibas.

Kedua centeng yang masih sibuk menghindari terjangan kucing-kucing liar itu, mana mampu menyadari adanya serangan lain. Maka....

Bret! Bret!
“Aaa...!”
“Aaakh...!”

Tidak ampun lagi, kedua centeng itu melolong kesakitan ketika tubuh mereka dicabik-cabik cakar Katakili yang tajam dan kuat bagai baja runcing. Keduanya kontan roboh dan menggelepar sesaat Dan akhirnya, tubuh mereka diam tak bergerak bermandikan darah. Mati!

“Graungrrr...!”
“Ngeong...!”

Katakili menggeram, sesaat masih menunjukkan bias wajahnya yang menyeramkan. Kucing-kucing yang berada di dekatnya langsung mengerubungi sambil memandangnya sekilas, kemudian menundukkan kepala dengan sikap hormat Dan perlahan-lahan, terlihat keadaan pemuda itu kembali seperti semula. Tenang dan tak banyak bicara. Diperhatikannya kucing-kucing itu dengan seksama sambil mengingat-ingat sesuatu.

“Hm.... Aku tak sadar mengeluarkan aji 'Kucing Siluman'. Dan ternyata, pengaruhnya hebat sekali pada kucing-kucing ini. Inikah yang dimaksudkan tulisan yang berada di atas batu datar itu? Berarti aku menjadi raja, dan bisa memerintah mereka?”

Sekali lagi, Katakili memandangi kucing-kucing yang kini menjadi sangat patuh padanya. Sementara, dari tempat yang agak jauh, orang-orang desa terus memperhatikan.

"Berbarislah kalian di depanku sini!” ujar Katakili pelan sambil menuding ke depan.

Dan sungguh ajaib...! Seperti mengerti apa yang dimaksudkan pemuda ini, kucing-kucing yang berjumlah puluhan itu berbaris rapi di depannya. Bibir Katakili tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Wajahnya kembali menengadah ke langit, kemudian menoleh sekilas kepada para penduduk desa yang sejak tadi memperhatikannya dengan wajah takjub. Dan tak berapa lama kemudian, Katakili meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan keadaan. Sementara kucing-kucing itu patuh mengikutinya dari belakang.

“Gila! Barangkali dia bukan manusia biasa!” desis salah seorang penduduk sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Menggiriskan dan tak kenal ampun! Siapa dia sebenarnya?”

“Kepandaiannya hebat bagai siluman!”

“Siluman Kucing!” sahut seseorang dengan mata melotot.

“Ya! Siluman Kucing! Barangkali nama itu lebih tepat baginya!” timpal seorang lagi.

“Aneh! Kenapa dia tak mengganggu kita? Barangkali memang hanya Juragan Gumarang punya hutang darah kepadanya. Atau, di antara mereka punya dendam lama. Kau dengar tadi teriakannya? Bulu kudukku sampai meremang mendengarnya,” kata laki-laki muda berwajah bulat sambil menunjukkan wajah takut.

“Ya! Aku pun mendengarnya...,” sahut yang lain.

Dan gunjingan itu seperti tak pernah sirna dari mulut mereka. Selama beberapa hari, pembicaraan tentang pemuda itu mewarnai isi desa ini. Bahkan terus menyebar ke desa-desa lain dari mulut ke mulut.

TIGA

Pagi baru saja melingkupi Desa Kebumi yang berada di bawah kaki Gunung Kiambang. Udara di sekitar situ cukup sejuk. Belum lagi pemandangannya yang indah, dengan pohon-pohon beraneka ragam tumbuh di situ.

Di ujung desa itu, terletak sebuah padepokan yang bernama Padepokan Tritunggal. Padepokannya cukup sederhana, dihuni oleh murid yang berjumlah lebih dari tiga puluh orang.

Sebenarnya Padepokan Tritunggal belum lama berdiri. Namun, kenyataannya telah cukup banyak menelurkan manusia-manusia digdaya. Kebanyakan dari mereka ada yang menjabat sebagai pengawal di kadipaten. Dan ada juga yang berkelana untuk menegakkan keadilan seperti yang sering dianjurkan Ki Suminta, ketua perguruan ini.

Laki-laki berumur sekitar empat puluh lima tahun itu sangat rajin membimbing murid-muridnya. Dan dia dibantu oleh tiga orang murid tertuanya.

Seperti pagi hari ini, para murid Padepokan Tritunggal berbaris rapi, terbagi dalam empat kelompok. Kali ini, Ki Suminta akan memberi pelajaran jurus-jurus tingkat lanjutan. Dan kini mulai diperagakannya jurus demi jurus. Sementara, murid-muridnya tampak memperhatikan dengan seksama, agar bisa sempurna menirunya.

“Perhatikan baik-baik. Jurus ini dinamakan 'Menadah Hujan dari Langit' yang berisi pertahanan diri dari serangan lawan, dan sekaligus menyerang.

Jurus ini banyak digunakan untuk menghadapi serangan yang dilakukan orang banyak!” kata Ki Suminta yang memiliki mata juling itu.

Orang tua itu kemudian kembali memperagakan jurus itu. Gerakannya tampak lincah, namun perlahan-lahan agar murid-muridnya mampu menirunya.

“Sekarang, coba kalian lakukan dengan perlahan-lahan. Mulai....!”

“Yeaaah...!”
“Hup!”

“Gerakan tanganmu kurang keras, Suraji!” kata Ki Suminta sambil mengawasi salah seorang muridnya.

“Hup! Hiyaaat..!”
“Ya! Bagus!”

Kesembilan orang yang berada di kelompoknya itu bergerak bersamaan, meniru gerakan-gerakan guru mereka. Kadang-kadang Ki Suminta terpaksa mengulang-ulang gerakan yang dilakukannya, agar murid-muridnya hafal betul.

“Kuda-kudamu kurang kokoh, Bamawi!” teriak Ki Suminta lagi.

“Begini, Eyang! Hup!”

Baru saja Bamawi memperagakan gerakan yang benar, tiba-tiba saja... “Graungrrr...!”

“Heh?!”

Semua orang yang berada di halaman depan itu tersentak kaget, ketika tiba-tiba melihat seekor kucing berada di atas atap padepokan tengah menggerung seperti macan. Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba saja seekor kucing belang melompat dari dalam rumah sambil menggeram buas dan terus melompat ke atas atap. Kedua kucing itu menggerung-gerung, lalu berkejaran menuju halaman depan dan terus keluar melompati pagar.

“Ayo, perhatian kalian jangan terganggu! Lakukan latihan lagi!” teriak Ki Suminta mengingatkan.

“Tidak biasanya si Belang berkelakuan begitu. Dia kucing yang baik dan penurut,” desis salah seorang, agak menggumam.

“Biasa. Barangkali lagi musim kawin...,” sambung yang lain.

“Si Reksa pun kalau ingin kawin pasti meraung seperti tadi!”

Beberapa orang murid tertawa kecil mendengar ocehan-ocehan itu. Tapi mereka cepat menutup mulut, ketika melihat tatapan mata Ki Suminta yang tajam. Sambil menundukkan kepala, mereka kembali menirukan gerakan-gerakan yang dilakukan kawankawannya yang lain. Tapi baru saja melakukan beberapa gerakan, perhatian mereka kembali pecah ketika mendengar suara-suara halus yang dikeluarkan puluhan ekor kucing.

“Heh? Suara apa itu...?!”

“Coba lihat! Astaga! Pantas saja kucing itu bertingkah aneh. Rupanya ada pawangnya yang datang!” tunjuk salah seorang murid perguruan itu ke satu arah.

Mendengar penuturan itu, yang lainnya pun memalingkan wajah ke arah yang sama. Dan, tampaklah seseorang mengenakan topi tudung lebar tengah berdiri diam. sambil memperhatikan seksama dengan tubuh bersandar pada sebatang pohon. Pada mulanya, hal itu terlihat biasa saja. Tapi ada yang tak lazim pada pemuda itu. Bukan pakaiannya yang gembel seperti pengemis, melainkan puluhan ekor kucing yang mengelilinginya dengan sikap patuh.

Ki Suminta menatap sesaat, kemudian mengalihkan perhatian kepada murid-muridnya kembali, ketika melihat kalau pemuda itu sama sekali tidak melakukan perbuatan yang mencurigakan. Dia langsung menduga kalau orang itu adalah gembel penyayang kucing yang tertarik pada perguruannya. Dan bisa jadi, ingin bergabung menjadi muridnya.

Sampai mereka beristirahat, pemuda itu masih tetap berdiri tegak dan sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ketabahannya sungguh luar biasa. Dan hal itu membuat Ki Suminta tertarik. Dia lalu berjalan mendekati pemuda itu.

“Orang muda! Siapakah kau, dan apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ki Suminta halus.

Pemuda itu membuka tudung lebar yang dikenakannya, kemudian ditatapnya Ki Suminta dengan seksama.

“Kaukah yang bernama Ki Suminta?”

Sikap pemuda itu sama sekali tidak sopan. Seharusnya, pertanyaan Ki Suminta yang lebih dulu dijawabnya. Tapi yang dilakukan malah sebaliknya. Lagi pula, nada suaranya seperti menyelidik. Namun Ki Suminta adalah orang tua yang kenyang makan asam garam kehidupan. Maka bisa dimakluminya sikap pemuda itu.

“Benar! Aku adalah orang yang kau maksud.”

“Bagus. Kedatanganku ke sini untuk menagih hutang kepadamu,” jelas pemuda itu dingin, dengan sorot mata tajam.

Ki Suminta sedikit terkejut melihat tatapan pemuda itu. Sudah bisa diduga kalau pemuda itu bukanlah orang sembarangan seperti yang diduga semula. Meski wajahnya tampan, namun seketika berubah menakutkan. Terlebih-lebih, sorot matanya yang tajam seperti hendak menusuk jantung. Dan apa yang dikatakannya tadi sungguh membuat Ki Suminta tak habis pikir. Kenal dengan pemuda itu pun tidak. Jadi, dari mana pemuda itu begitu yakin kalau harus menagih hutang kepadanya.

“Kisanak, aku tidak mengerti maksudmu?”

“Maksudku sudah jelas. Lima tahun lalu, kau punya hutang nyawa pada Pedang Angin Selatan. Hari ini Katakili, putra Pedang Angin Selatan yang akan menagihnya kepadamu!” kata pemuda itu, dingin.

“Heh? Kau..., kau...?!”

“Kau kaget melihatku, Ki Suminta?” dingin sekali nada suara pemuda itu. “Aku memang Katakili. Kedatanganku ke sini untuk menagih hutang nyawa padamu!”

Ki Suminta benar-benar terkejut mendengar kata-kata pemuda berpakaian seperti gembel yang memang Katakili. Lima tahun lalu, Ki Suminta memang ikut mengeroyok Pedang Angin Selatan bersama empat belas tokoh persilatan lainnya. Walaupun namanya tak terkenal seperti Ki Sartowo, Nyi Selasih, Ki Wempang, dan Ki Rancasena, tapi dia patut pula diperhitungkan. Sehingga, Katakili merasa kalau laki-laki tua ini patut pula dibunuh.

Dan yang membuat heran Ki Suminta, Katakili waktu itu sudah dinyatakan mati ketika tercebur ke dalam lubang seperti sumur. Putra Ki Karmani yang dikenal berjuluk Pedang Angin Selatan itu telah tewas di dalam lubang yang dalam tidak terukur. Lalu kenapa tiba-tiba akan menuntut balas padanya?

“Kau kelihatan takut, Ki Suminta...,” ejek Katakili sinis.

Ki Suminta tersentak. Harga dirinya tiba-tiba saja menolak tuduhan pemuda itu. Dan dengan cepat, sikapnya berusaha ditenangkan.

“Hm, Kisanak. Kau datang tiba-tiba, dan mengatakan kalau seolah-olah aku takut kepadamu. Kalau benar kau putra si Pedang Angin Selatan, maka sudah sepatutnya menjalani hukuman akibat perbuatan ayahmu,” dengus Ki Suminta mulai tegas.

“Ha ha ha...!” Katakili tertawa keras, sehingga mengundang perhatian seluruh murid Ki Suminta yang sejak tadi menyangka kalau antara keduanya hanya terjadi percakapan biasa.

“Kenapa kau tertawa?”

“Mengapa aku jadi tertawa? Hari ini, nyawamu ada dalam genggamanku. Dan tiba-tiba, kau merasa biasa mengancamku. He, Orang Tua! Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni segala omongan kosongmu. Masih banyak tugasku untuk menagih hutang nyawa ayahku! Maka, bersiaplah menghadapi kematianmu!”

Wajah Katakili yang tadi sedikit tersenyum, kini berubah menyeramkan bagai seekor harimau liar yang siap menerkam mangsa. Ki Suminta sedikit terkejut. Sorot mata pemuda itu tajam berkilat seperti hendak mengiris-iris jantungnya. Dan tiba-tiba saja...

“Hiyaaa...!”
“Hup! Hih...!”

Ki Suminta jadi terkejut juga, begitu tiba-tiba Katakili melompat sambil mengebutkan tangannya ke arah dada. Untung dia cepat berkelit, sambil menangkis dengan tangan kiri.

Plak!

Sebuah benturan keras terjadi. Akibatnya, Ki Suminta terjajar ke samping beberapa langkah. Sementara lawan tidak bergeming sedikit pun. Jelas, tenaga dalam Katakili sedikit di atasnya. Dan belum lagi Ki Suminta memperbaiki kedudukannya....

“Graungrrr...!”
Wusss!
“Heh?!”

Bukan main terkejutnya orang tua itu menyaksikan kecepatan gerak lawannya. Karena tiba-tiba saja, topi lebar pemuda itu berkelebat ke arahnya. Maka buru-buru Ki Suminta menangkis dengan tangannya, sehingga topi itu hancur berantakan. Namun dengan satu raungan hebat, sebelah tangan Katakili mengibas, hendak mencakar dada. Maka cepat-cepat Ki Suminta membuang tubuhnya ke samping sambil jungkir balik. Namun terlambat! Karena....

Breeet!
“Huh...!”
“Eyang...!”

Ki Suminta mengeluh kesakitan begitu lehernya terkena cakaran lawan yang begitu cepat saat tubuhnya sudah setengah bergerak tadi. Seketika darah mengalir dari luka yang cukup dalam. Ki Suminta terhuyung-huyung sesaat. Sementara itu, murid-muridnya yang melihat, jadi terkejut dan cepat-cepat mengurung halaman padepokan ini.

“Eyang! Kenapa kau tidak mundur? Biar kami saja yang menghadapinya!” teriak Mongkola, salah seorang murid tertuanya.

“Betul, Eyang. Gembel busuk ini tidak punya derajat untuk menghadapimu!” sambung Gupala.

“Eyang! Aku tidak peduli kau mengizinkan atau tidak. Yang jelas, gembel keparat ini telah melukaimu, dan pantas menerima hukuman!” dengus Sampurno yang sudah langsung melompat untuk menolong gurunya.

Di antara para murid, Sampurno yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu memang paling setia dan selalu menjaga gurunya. Tak heran karena selain murid paling pintar, dia juga murid pertama Ki Suminta.

“Mampuslah kau, Gembel Busuk! Hiyaaat..!”

“Graungrrr...!”

Namun begitu Sampurno melompat, Katakili meraung keras. Maka seketika beberapa ekor kucing yang mengikutinya sejak tadi melompat dan menerkam Sampurno dengan garang. Binatang-binatang itu tampak liar dan penuh nafsu membunuh. Tentu saja hal ini membuat yang lainnya merasa terkejut. Beberapa orang langsung bergerak untuk menghajar kucing-kucing ini.

Namun sebelum niat mereka tersampaikan, kucing-kucing lain telah lebih dulu menerkam. Bahkan kini semakin liar saja. Dan kini pertarungan di tempat itu menjadi tidak beraturan. Beberapa orang mengamuk sambil menggunakan senjata trisula untuk menghajar kucing-kucing yang semakin ganas.

Namun meskipun melihat beberapa ekor kawan-kawan mereka mati, kucing-kucing lain bukannya menjadi takut, tapi malah semakin ganas saja menerkam lawan. Dan hal ini membuat murid-murid Padepokan Tritunggal perlahan-lahan ciut nyalinya. Apalagi, ketika korban mulai jatuh di pihak mereka.

Sementara itu, pertarungan antara Katakili dan Ki Suminta telah kembali berlangsung. Agaknya pemuda itu tidak suka mengulur-ulur waktu. Lawannya yang telah terluka dan semakin kepayahan, nampaknya tinggal menunggu waktu saja untuk dituntaskan. Dan meskipun menggunakan sepasang trisula untuk menahan dan sekaligus membalas serangan lawan, namun Ki Suminta harus mengakui kalau hal itu tidak banyak menolong.

"Terimalah kematianmu sekarang, Ki Suminta! Graungrrr...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Katakili melompat cepat bagai kilat. Dan secepat itu pula, tangannya bergerak mengibas.

“Haiiit..!”
Plak!

Ki Suminta berhasil menangkis kibasan jari-jari tangan yang berkuku runcing seperti baja dengan tangan kiri. Tapi ketika Katakili kembali mengecutkan tangannya dengan gerakan berputar, kali ini Ki Suminta tidak dapat lagi menghindar. Dan....

Breeet! Breeet!

“Aaa...!” Ki Suminta memekik nyaring ketika kedua belah tangan lawan yang membentuk cakar merobek-robek dada dan perutnya, sampai isi perutnya terburai keluar. Namun demikian, laki-laki tua itu masih menyabetkan sepasang trisula di tangannya ke arah kepala Katakili. Namun dengan sekali papakan kedua senjata itu terlepas. Ki Suminta semakin kepayahan, karena perhatiannya terbagi dua. Dia harus memegangi dadanya yang mengalirkan darah, sementara lawan terus mendesaknya dengan sabetan-sabetan cakarnya.

Dan tampaknya, Ki Suminta kini telah pasrah menanti ajal. Maka dengan leluasa Katakili menerkam lawan dan mencabik-cabiknya sampai tidak berbentuk. Tubuh Ki Suminta telah ambruk di tanah, bersimbah darah. Mati!

“Graungrrr...!”

Katakili langsung meraung keras. Dan tak lama kemudian, tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Bersamaan dengan itu, kucing-kucing yang sedang menghajar lawan-lawannya menghentikan serangan. Dan binatang-binatang itu cepat bergerak gesit, mengikuti Katakili meninggalkan lawan-lawannya yang menderita luka cakar cukup hebat.

********************

EMPAT

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tengah melangkah tenang melalui jalan yang mulai menyempit. Di kanan dan kirinya adalah tanah yang menjulang tinggi, banyak ditumbuhi pepohonan kecil maupun besar. Tapi ini adalah satu-satunya jalan yang menuju desa terdekat. Lagi pula, pemuda yang rambutnya panjang terurai itu seperti tidak mempedulikan keadaaan di sekelilingnya. Sesekali kepalanya menekuri tanah berbatu sambil menghela napas panjang. Kemudian matanya menatap ke depan, pada pepohonan yang lebat. Namun tiba-tiba saja....

“Berhenti...!”

“Heh!” Pemuda itu terkejut seketika, langkahnya dihentikan begitu sesosok bayangan kuning tiba-tiba melesat dan berdiri tegak di depannya. Kini, tampaklah sosok tubuh ramping terselubung kain kuning dengan penutup muka berwarna kuning juga. Yang terlihat hanya sepasang mata yang bulat dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Tubuhnya tidak terlalu besar, bahkan terkesan kurus. Bukan hanya sekadar dari sorot mata dan suara, tapi dari bagian dadanya yang sedikit menonjol dan pinggulnya yang besar, bisa diduga kalau sosok berselubung kain kuning itu seorang gadis belia.

“Kulihat kau membawa-bawa pedang. Hm.... Pasti kau sedikit mengenal ilmu silat juga. Coba tahan beberapa jurus dariku. Kalau sampai mampu menahan tujuh jurus, kau boleh melanjutkan perjalananmu dengan aman!” tantang orang bertopeng itu sambil mengembangkan sebuah selendang pada kedua tangannya.

“Nisanak..."

“Kurang ajar! Kau pikir aku perempuan, heh?!” sentak orang bertopeng itu, berang.

Pemuda berbaju rompi putih itu melongo heran. Dari suaranya yang nyaring dan bentuk tubuhnya yang ramping, jelas orang akan segera tahu kalau dia seorang wanita. Tapi kenapa hal itu malah disangkal? Tanpa sadar, pemuda yang tak lain Rangga dan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala.

“Sial! Kenapa kau malah nyengir seperti kuda, heh...?!” dengus orang bertopeng itu sengit.

“He? Apakah ada yang yang melarang orang tersenyum?”

“Kurang ajar! Kau menganggap remeh aku, ya?”

Selesai membentak keras, tiba-tiba saja orang berselubung kain kuning yang diyakini Rangga adalah wanita itu mengecutkan selendang kuningnya ke udara. Dan seketika itu juga....

Ctar...! Ledakan keras seperti lecutan cambuk terdengar memekakkan telinga.

“Wah, hebat sekali!” puji Rangga kagum.

“Nah, kau baru tahu sekarang kalau aku tidak main-main. Cabut pedangmu sekarang juga. Tahan tujuh jurus seranganku, kalau tidak mau mampus!” dengus orang bertopeng itu, angkuh.

“Eee, tunggu dulu. Boleh aku mengajukan usul?”

“Sial! Kau semakin membuatku kesal saja!”

“Maaf! Kalau sampai aku kalah, mana ada kebanggaan bagimu. Aku sama sekali tidak mengerti apa-apa soal silat. Kalau kau melihat pedang ini dan menuduhku sedikit banyak mengerti ilmu silat, sesungguhnya kau salah besar. Pedang ini milik pamanku dan sedikit pun aku tidak mengerti ilmu silat,” kata Rangga berbohong, mencoba menghindari pertarungan.

“Hm, kau pikir bisa menipuku semudah itu?! Kau harus membuktikan dulu kata-katamu itu. Setelah kulihat kau tidak mampu sedikit pun menangkis seranganku dan telah babak belur, barulah aku mempercayai omonganmu. Tapi kalau tidak, kau akan mampus!”

Rangga pura-pura menunjukkan wajah terkejut dan takut mendengar ancaman itu. “Kisanak, tolonglah aku. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Kalau dipaksa, tentu aku akan babak belur. Lagi pula apa yang kau cari dengan menghajar orang sepertiku?” kata Rangga dengan wajah tertunduk dalam.

“Setan...! Terima ini! Hih...!”
Wuttt!
“Uts...!”

Hampir saja kebutan selendang kuning itu menghajar kepala, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat merunduk menghindar. Tapi gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti justru membuat orang berselubung kain kuning itu jadi kelihatan senang.

“Bagus! Sudah kuduga, kau pasti memiliki kepandaian. Nah, sekarang tahan seranganku! Yeaaa...!”

Ctar!

“Uts...!” Kembali Rangga menghindari serangan dengan liukan tubuh yang indah sekali. Namun, ujung selendang gadis itu kembali berkelebat cepat melesat ke dadanya. Dan tentu saja Rangga tahu kalau serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau tidak berusaha mengelak, paling tidak dadanya akan terasa seperti dihantam godam kuat. Dan sudah pasti ini sangat berbahaya. Maka dengan sedikit memiringkan tubuh, ujung selendang lawan hanya menyambar sisi tubuhnya pada jarak dua jengkal.

“Hm.... Jangan berpura-pura di depanku, heh? Hari ini terbukalah kedokmu. Kalau kau tidak mampu menahan tujuh jurus seranganku, kau harus mampus!” dengus orang bertopeng itu.

“Kalau berhasil?”

“Kau boleh berlalu dengan aman!”

“Hm.... Itu tidak cukup. Kau telah mengganggu perjalananku, maka sudah sepatutnya aku meminta sedikit imbalan.”

“Setan! Kalau aku sudah mengampunimu, itu sudah yang terbaik bagimu.”

“He! Siapa yang sudi menerima kebaikanmu? Kau bukan memberi kebaikan, tapi malah memberi kesulitan. Maka sudah sepatutnya perbuatanmu kubalas dengan kesulitan juga. Dan kau akan mengetahuinya nanti!”

Mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, bukan main kalapnya orang bertopeng itu. “Jurus kesatu! Tahan serangan! Hiyaaat..!” bentak orang itu, kalap.

“Hup!”

“Yeaaah...!” Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga menyambut serangan lawan. Kedua kakinya bergerak lincah mengikuti gerakan tubuhnya yang meliuk-liuk bagai penari. Kadang-kadang tubuhnya terlihat akan terkena serangan ujung senjata lawan yang cepat. Kadang pula, bisa berubah kaku. Tapi sejengkal lagi ujung selendang akan menyentuh tubuhnya, maka saat itu Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat menghindar. Begitu seterusnya. Sampai jurus ketiga selesai, tak satu pun yang bisa menyentuh tubuh Rangga. Tentu saja hal ini membuat orang bertopeng itu semakin kesal saja. Bahkan sampai saat ini, pemuda itu sama sekali belum balas menyerang.

“Huh! Lumayan juga kepandaianmu. Tapi dengan jurus-jurusku ini, agaknya kau mesti hati-hati. Karena nyawamulah yang akan jadi taruhannya!” dengus orang bertopeng yang sudah tegak berdiri pada jarak dua tombak di depan Rangga.

“Ah! Semua jurusmu hebat dan lihai. Dan hanya kebetulan saja aku bisa menghindarinya. Barangkali, nasib baik memang sedang menyertaiku. Dan biasanya, itu akan terus berlangsung sepanjang hari,” sahut Rangga seraya tersenyum-senyum kecil.

Orang bertopeng itu tidak menanggapi ucapan Rangga. Bahkan telah bersiap membuka jurus barunya.

“Yeaaah...!”

“Hup!” Tubuh pemuda itu bergerak ke kiri, kemudian melompat ke atas ketika ujung selendang lawan menghantam bagai sebatang besi. Rangga Jadi mendesah kagum. Dia tahu kalau tidak sembarang orang yang bisa melakukan serangan semacam itu bila tak memiliki tenaga dalam tinggi. Dan kelebihan jurus yang dilancarkan orang bertopeng itu rasanya tidak beda dengan jurus-jurus sebelumnya. Kalaupun ada peningkatan, itu hanya sebatas dalam pengerahan tenaga dalam, serta gerakannya yang sedikit gesit dengan jurus-jurus tipuan yang bagus. Hanya saja, Rangga sudah merasakan kalau jurus-jurus yang dimainkan orang bertopeng ini belum begitu sempurna. Bahkan masih banyak kekurangannya. Sehingga walaupun lawannya terlihat menyerang dengan seluruh daya kemampuan, semuanya masih bisa dihindarinya.

“Hiyaaat..!” Orang bertopeng itu semakin geram melihat lawannya hanya menghindar saja. Maka, seketika serangannya semakin ditingkatkan. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti menghindar ke kiri, lawannya kembali menyusuli dengan kebutan selendangnya. Tak ada waktu lagi bagi Rangga untuk menghindar. Maka langsung dipapaknya serangan itu. Namun...

Pret!

“Mampus kau!” bentak orang bertopeng itu kegirangan, ketika ujung selendangnya menyambar lengan kanan Rangga dan melibatnya kuat-kuat

Kemudian dengan sentakan keras, orang bertopeng itu mencoba menarik tubuh Pendekar Rajawali Sakti, sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Namun Rangga cepat mencengkeram erat ujung selendang itu dan menahan sentakan lawan beberapa saat. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya melayang mengikuti sentakan lawan.

“Rasakan ini! Hiyaaat..!”

Tangan kiri orang bertopeng itu cepat sekali terayun ke wajah Pendekar Rajawali Sakti. Namun alangkah terkejutnya orang bertopeng itu, ketika cepat sekali tangan Rangga menangkis pukulannya. Sementara tangan sebelah lagi bergerak bagai kilat menyambar selubung wajah orang bertopeng itu.

Bret!
“Auh...!”

“Apa kataku! Ternyata tebakanku betul. Kau seorang gadis. Nah, Nisanak. Cukuplah sudah permainan kita kali ini. Aku tidak banyak waktu untuk meladenimu,” ujar Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti kini berdiri tegak dekat lawannya. Sedangkan orang bertopeng itu memalingkan mukanya, ketika Rangga berhasil menyingkap wajahnya tadi. Rangga melemparkan sehelai kain berwarna kuning yang tadi digunakan sebagai penutup wajah lawannya. Dan kemudian tubuhnya berbalik perlahan, lalu melangkah tenang. Namun baru dua langkah berjalan, tiba-tiba....

"Tahan langkahmu...!”

“Heh...?!” Wuuut!

Rangga buru-buru menundukkan kepalanya, ketika pendengarannya yang tajam mendengar angin mendesir ke arah kepalanya. Ketika mencoba menoleh, terlihat ujung selendang lawan terus bergerak menyerangnya.

“Nisanak! Jangan terlalu memaksaku!” bentak Rangga mulai kesal.

“Huh! Kau telah berlaku kurang ajar padaku. Maka sudah sepatutnya kuhajar!”

Rangga mendesah sambil menggelengkan kepala. Namun ketika telah dekat, ternyata orang bertopeng itu amat cantik, meskipun berkesan galak. Rambutnya panjang dan tebal sampai ke pinggang. Wajahnya sedikit lonjong dengan dagu ber-bentuk runcing. Hidungnya kecil dan mancung dengan bibir merah merekah. Tubuh padat berisi, tumbuh menjadi dewasa. Kalaupun Rangga boleh menaksir, rasanya usia gadis itu belum lagi mencapai lima belas tahun. Namun, kepandaian yang dimilikinya sungguh luar biasa.

“Adik kecil, siapa yang berlaku kurang ajar? Kau atau aku...?”

“Kurang ajar...! Kau bilang apa padaku? Adik kecil...? Huh! Memangnya kau siapa? Berani betul berkata seperti itu!” sentak gadis itu terlihat kalap mendengar kata-kata Rangga tadi.

“Lalu, aku harus panggil apa? Apakah kau mesti kupanggil nenek cerewet? Atau barangkali kau lebih suka dipanggil gadis binal saja,” ledek Rangga.

“Sial! Kuhajar kau! Kuhajar kau...!” teriak gadis itu semakin kalap. Bahkan langsung menyerang ganas.

Rangga hanya tersenyum sambil bergerak menghindari setiap serangan gadis tanggung ini. Dan setiap kali serangannya selalu tidak berhasil, gadis itu semakin murka saja. Agaknya dia penasaran betul, karena tidak mampu melukai lawan sedikit pun. Dan sepertinya, melihat Rangga yang terus-menerus menghindar dan tidak berusaha membalas serangan, gadis itu merasa diremehkan dan dipermainkan.

“Ayo! Balaslah seranganku kalau memang kau mampu!” sentak gadis itu, seraya menghentikan serangannya sebentar.

“Untuk apa? Bukankah kau yang bermaksud menyerangku? Nah, pergunakanlah kesempatan ini sebaik-baiknya dan puaskanlah hatimu. Nanti setelah kau lelah, baru berhenti. Dengan demikian aku bisa pergi dengan tenang,” sahut Rangga kalem.

“Sombong! Kau pikir dengan kepandaianmu yang seujung kuku itu bisa bertingkah di hadapanku? Huh! Kau rasakan, sebentar lagi tubuhmu akan kubuat liancur berkeping-keping.” Kembali gadis itu mengebutkan selendangnya, menyerang Rangga.

Ctar! Ctar!

“Huh! Yeaaah...! Rangga mulai kesal juga melihat kelakuan gadis tanggung itu. Sambil mengkertak rahang, dicobanya memapak ujung selendang lawan yang menyambar-nyambar, menimbulkan ledakan keras. Dan begitu memiliki kesempatan, cepat sekali tangan kanannya bergerak mengibas. Tapi belum juga bisa menyambar tubuh gadis itu, tiba-tiba saja....

“Lestari! Sungguh gegabah dan lancang sekali perbuatanmu!”

“Eyang...! Ibu...!” Gadis tanggung itu kontan terkejut ketika tiba-tiba melesat dua sosok tubuh yang langsung memperingatkannya.

Rangga memperhatikan dengan seksama kedua orang yang baru datang, dan kini berdiri di samping kanan dan kiri gadis itu. Yang berdiri di sebelah kanan adalah wanita muda berusia sekitar dua puluh sembilan tahun. Wajahnya masih terlihat cantik dan ayu, nyaris mirip dengan gadis tanggung yang dipanggil Lestari. Sedang di sebelah kiri, seorang wanita berusia agak lanjut dengan rambut yang sebagian telah memutih. Masing-masing, memakai selendang sebagai ikat pinggang.

“Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan, heh...?” agak mendengus nada suara orang tua bermuka masam itu.

Gadis bernama Lestari itu menggeleng, dengan kepala menunduk.

“Dialah Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun seratus orang berkepandaian sepertimu, mana bisa mengalahkannya!”

Lestari jadi terkejut, begitu mendengar penjelasan orang tua itu. Nama yang disebutkan itu memang pernah didengarnya dari mulut nenek atau kedua orangtuanya, sebagai pendekar yang amat menggemparkan rimba persilatan. Tapi tidak disangka kalau hari ini kebentur dengan pendekar besar itu.

“Kisanak! Maafkan kesalahan cucuku. Dia memang nakal dan suka sekali mengganggu orang!” ucap perempuan tua itu sambil berpaling kepada Rangga dengan sikap hormat.

“Ah! Tidak apa-apa. Aku juga salah, karena terus-menerus meladeninya,” sahut Rangga seraya menjura hormat.

“Aku Selasih. Dan ini, putriku Rupani. Sedangkan cucuku yang bengal itu bernama Lestari. Adalah suatu kehormatan besar bila kau bersedia mampir ke gubuk kami,” jelas perempuan tua itu memperkenalkan diri.

“Ah! Kiranya hari ini aku sedang berhadapan dengan Nyi Selasih yang terkenal sebagai Selendang Maut. Pantas saja kepandaian cucumu sungguh mengagumkan. Terima kasih atas tawaranmu itu, Nyi Selasih. Sayang, aku masih punya urusan yang tidak bisa ditunda. Jadi sangat menyesal aku tidak bisa memenuhi undanganmu itu. Maaf, bukannya menolak. Terima kasih,” sahut Rangga dengan sikap hormat.

Perempuan tua itu berusaha menawarkan kembali dengan setengah memaksa, namun Rangga tetap menolaknya. Sehingga, mereka tidak bisa lagi berbuat apa-apa.

“Baiklah kalau memang hal itu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi...,” desah Nyi Selasih, halus.

Perempuan tua itu kemudian memandang cucunya. “Lestari! Kau memang nakal sekali dan susah diatur. Lekas minta maaf padanya, atau kau akan mendapat hukuman dariku nanti!”

Gadis tanggung itu tampak ragu tanpa berusaha bangkit dari sikapnya. Wajahnya menunjukkan ketidaksenangannya atas perintah neneknya tadi. Tapi....

“Cepat lakukan! Atau kau akan kuhukum sekarang juga!” bentak Nyi Selasih.

“Sudahlah, Nyi Selasih. Tanpa dia meminta maaf, aku pun telah memaafkan...,” selak Rangga cepat-cepat tidak tega juga melihat gadis tanggung ini.

Perempuan tua itu menunjukkan wajah berang kepada Lestari. Lalu, bibirnya tersenyum kecut ketika pemuda itu pergi setelah berbasa-basi sebentar. Dengan sudut ekor mata, dia memandang sekilas. Lalu ketika pemuda itu telah lenyap dari pandangan, dihampirinya Lestari. Dan dengan kesal, dijewernya telinga cucunya itu.

“Dasar anak bengal! Kau telah mempermalukan aku di depan seorang pendekar besar! Huh!”

Lestari sama sekali tidak mengeluh kesakitan, meski wajahnya meringis. Dia memandang ke arah ibunya, berharap bisa membelanya. Tapi Rupani hanya menggelengkan kepala sambil menunjukkan wajah masam. Gadis tanggung itu merasa kesal bukan main. Dengan sekali tepis, tangan neneknya lepas dari telinga. Kemudian dengan muka berapi-api penuh kekesalan, telunjuknya ditudingkan ke arah keduanya.

“Aku tidak sudi meminta maaf pada orang yang telah berbuat kurang ajar padaku! Kenapa Eyang memaksa juga dan ingin mempermalukan aku di depannya?! Ibu, kenapa bukannya membelaku dan seperti membenarkan sikap Eyang? Kalau memang kalian sudah tidak sayang lagi padaku, lebih baik katakan saja terus terang. Kalau memang tidak suka akan kehadiranku, aku akan pergi sekarang juga!” Setelah berkata demikian, Lestari berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

“Lestari! Mau ke mana kau?! Kembali! Ayo, kembali!”

Rupani sudah langsung bergerak, ingin mencegah perbuatan putri satu-satunya itu. Tapi baru saja bergerak Nyi Selasih keburu mencegahnya.

“Biarkan saja dia bersikap begitu. Kalau kau membujuknya, dia tidak akan pernah tahu kesalahannya. Anak gadis memang biasa berbuat begitu, seperti juga kau dulu. Kalau hatinya telah reda, dia tentu akan kembali ke rumah....”

“Tapi, Bu...”

“Biarlah kataku! Dia harus bisa menyadari kekeliruannya. Dan kau tidak perlu khawatir akan keselamatannya. Dengan kepandaian yang dimilikinya saat ini, tidak sembarang orang bisa mengalahkannya!”

Mendengar kata-kata ibunya, Rupani tidak bisa berkata apa-apa lagi. Meski hatinya cemas, tapi sedikit banyak kata-kata orangtuanya ada benarnya. Lestari memang salah, dan harus kembali ke rumah dengan pikiran jernih untuk menyadari kekeliruannya. Dalam keadaan kesal seperti sekarang, rasanya sulit memberi nasihat pada anak bengal dan keras kepala itu. Dengan langkah lesu diikutinya langkah ibunya, kembali ke pondok mereka yang tidak begitu jauh dari tempat itu.

********************

LIMA

Nyi Selasih dan Rupani terkejut setengah mati ketika tiba di dalam pondok. Di situ banyak sekali terdapat kucing yang tengah berkumpul. Dan di tengah binatang-binatang itu, berdiri pula sesosok tubuh berpakaian gembel seperti seorang pengemis. Pemuda itu cukup tampan dengan rambut panjang dan kusut masai. Kulitnya terlihat amat dekil dan kusam. Sorot matanya pun terlihat tajam serta berkilat, memancarkan sinar aneh menusuk tajam pada perempuan tua itu.

“Kisanak! Siapa kau sebenarnya, dan apa yang kau lakukan di tempat ini?” tanya Nyi Selasih heran.

“Benarkah namamu Nyi Selasih alias si Selendang Maut?” pemuda itu malah balik bertanya dengan nada terdengar dingin sekali.

Nyi Selasih pun menyadari kalau sikap pemuda itu sesungguhnya tidak menunjukkan rasa persahabatan. Dia pun mulai waspada, lalu memberi isyarat kepada putrinya agar selalu bersiaga penuh.

“Hm.... Kalau memang kau hendak berurusan dengan Nyi Selasih, akulah orangnya,” agak menggumam suara Nyi Selasih.

“Bagus. Kau mempunyai hutang padaku, Nyi. Dan kau harus membayarnya hari ini juga.”

“Hutang? Hutang apa...? Kenal denganmu pun, baru hari ini. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kalau aku punya hutang padamu?” Nyi Selasih jadi keheranan.

“Tidak ingatkah kau pada peristiwa lima tahun lalu?”

Nyi Selasih mencoba mengingat-ingatnya, tapi ternyata tidak menemukan maksud dari kata-kata pemuda itu. Lagi pula, bukankah masa lima tahun itu adalah waktu yang panjang? Dan selama itu pula, dia banyak mengalami peristiwa yang terjadi. Dan itu tidak mungkin lagi dapat diingatnya satu persatu.

“Kisanak! Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu. Katakan, hutang apa yang harus kubayar padamu...?” Nyi Selasih minta penjelasan.

“Hm.... Kalau memang kau lupa, baiklah kuingatkan kembali agar matamu melek. Aku adalah Katakili, putra Pedang Angin Selatan yang kau bunuh dengan keji bersama teman-temanmu lima tahun yang lalu. Nah! Sekarang sudah jelas, Nyi Selasih....”

“Hah...?! Kau...” Nyi Selasih jadi terperangah setelah mendengar kata-kata pemuda yang mengaku bernama Katakili.

“Kenapa? Kau tampak terkejut! Apakah kau kira aku telah tewas ketika itu? Ha ha ha...! Barangkali memang tidak pernah terpikirkan kalau aku datang dan menagih hutang nyawa kepadamu, bukan? Kau salah, Perempuan Busuk! Bertahun-tahun aku hidup sengsara, penuh dengan derita. Dan aku berusaha untuk bertahan agar tetap dapat hidup, agar nantinya akan dapat membalaskan rasa sakit hati ini! Dan kali ini, jangan harap untuk dapat bisa meloloskan diri dariku!”

Mendengar kata-kata itu, jelas kalau pemuda ini begitu amat mendendam pada masa lalunya. Dan dia berusaha membalas rasa sakit hati dengan ingin menewaskan Nyi Selasih. Tentu saja hal ini membuat harga diri perempuan tua itu jadi tersinggung.

“Bocah! Apa kau pikir aku takut dengan segala macam ancamanmu? Huh! Ayahmu saja orang jahat! Dia sudah sepatutnya menerima hukuman. Dan, kau sebagai anaknya harus membersihkan nama baik keluarga dengan berbuat baik di mana-mana,” agak lantang suara Nyi Selasih.

“Ha ha ha...! Kau pikir apa yang sedang kulakukan ini sekarang? Bukankah ini demi nama baik keluarga juga?! Kalian telah membunuh orang yang tidak bersalah!”

“Bu! Percuma saja kita bergulat omongan dengannya. Lebih baik jangan dipedulikan. Kelihatan sekali kalau dia memang tidak waras,” bisik Rupani kepada ibunya.

“He, Perempuan Sundal! Jangan sembarangan bicara. Cepatlah menyingkir, atau barangkali kau memang ingin mampus untuk menanggung dosa ibumu...?!” bentak Katakili geram.

“Keparat! Kau pikir, siapa dirimu itu sebenarnya? Berani sekali kau bicara begitu padaku?!” geram Rupani dengan wajah berang.

Rupani kontan naik darahnya mendengar kata-kata yang dilontarkan Katakili. Dengan cepat, selendangnya diloloskan dan langsung saja dikebutkan ke arah kepala pemuda itu. Kecepatannya sangat tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

“Yeaaah...!”
Wuk!

Namun dengan hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Katakili berhasil menghindari. Dan pada saat itu juga, dia menggerung bagaikan seekor harimau kelaparan melihat domba gemuk.

“Graungrrr...!”
“Heh?!”

Raungan Katakili membuat kedua wanita itu jadi terkejut setengah mati. Bahkan Rupani cepat-cepat menarik selendangnya kembali dan segera melompat ke belakang beberapa langkah. Didekatinya Nyi Selasih yang tadi berdiri agak ke belakang darinya. Dan lebih terkejut lagi, ketika mereka melihat ratusan kucing yang mengelilingi pemuda itu tiba-tiba saja jadi kucing buas. Binatang-binatang itu menggeram sambil menunjukkan sorot mata yang tajam, setelah melihat tindakan Rupani yang hendak menyerang Katakili.

Sedangkan Nyi Selasih yang melihat keadaan ini sudah bisa menduga kalau kucing-kucing yang sejak tadi berada di dekat pemuda itu memang bukan hewan sembarangan. Dan agaknya, antara pemuda itu dengan kucing-kucing yang dimilikinya mempunyai tali ikatan batin yang kuat sekali.

Tanpa terasa, ketakutan mulai merasuki jiwanya. Suatu peristiwa mengerikan pasti akan terjadi bila kucing-kucing itu menyerang dengan kuku-kukunya yang tajam. Tapi Nyi Selasih yang memang sudah kenyang makan asam garam dalam kehidupan, bisa menyembunyikan perasaannya. Dan kini dipandangnya pemuda itu dengan sorot mata tajam.

“Kenapa berhenti? Bukankah kau semula ingin menghajarku?” ejek pemuda itu pada Nyi Rupani.

“Sungguh kurang ajarnya mulutmu! Phuihhh...! Apa dikira aku takut dengan hewan-hewan peliharaanmu itu?!” dengus Nyi Rupani, berusaha menghilangkan perasaan gentar yang tadi sempat menyelinap ke dalam hatinya.

“Lalu, kenapa niatmu itu tidak dilanjutkan?! Ayo! Segeralah kau ke sini, kalau memang ingin menanggung dosa ibumu,” ejek Katakili lagi, memancing kemarahan Nyi Rupani.

“Keparat!” Diejek demikian, rupanya perempuan itu sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Selendangnya digenggam erat-erat dengan kedua tangannya, lalu perlahan-lahan direntangkan hingga melintang di depan dada.

Melihat Nyi Rupani sudah siap hendak menyerang lagi, Katakili kelihatan tersenyum. Dia seperti senang melihat pancingannya mengena dengan baik. Sengaja dia berdiri tegak, bersikap seperti tidak peduli. Dan sikapnya itu membuat Nyi Rupani semakin geram. Selendangnya langsung diregangkan hingga jadi kaku seperti sebatang tombak.... Rrrt..!

“Bagus! Seranglah aku,” dingin sekali nada suara Katakili.

“Phuih! Hiyaaat..!”

“Rupani, jangaaan...!” Nyi Selasih berusaha mencegah perbuatan anaknya. Namun sudah terlambat Anaknya sudah mencelat sambil mengayunkan selendangnya ke arah dada pemuda itu. Namun belum lagi serangannya mengenai sasaran, saat itu juga kucing-kucing yang sejak tadi memang telah bersiaga membela majikannya, sudah berlompatan dengan buas ke arah wanita ini. Suaranya begitu keras dan ribut membuat Nyi Rupani jadi kelihatan bingung.

“Meeeong...!”
“Graungrrr...!”
“Ikh...! Yeaaah..!”
Wuk!
“Mampuslah kau, Keparat!”
Ctarrr...!

Sambil berteriak keras menggelegar, Nyi Rupani cepat mengebutkan selendangnya sambil berputaran bagai kilat. Dia berusaha melindungi diri dari terkaman kucing-kucing liar itu.

“Hiyaaat..! Yeaaah...!”

Namun serangan kucing yang jumlahnya ratusan itu bagaikan air bah saja. Akibatnya, Nyi Rupani jadi kelabakan juga menghadapinya. Dan tiba-tiba saja, salah seekor kucing yang menyerangnya melesat tinggi ke atas. Lalu dengan gerakan sangat cepat luar biasa, binatang itu menukik hendak menyambar bagian atas kepala Nyi Rupani. Tapi pada saat itu pula....

“Rupani, awas...!” Nyi Selasih cepat sekali mencelat ke udara, begitu melihat pemuda yang bernama Katakili tiba-tiba menerjang ke arah Nyi Rupani. Padahal saat itu Nyi Rupani tengah sibuk menghindari seekor kucing yang menyerangnya dari atas kepala.

“Uts...!” Buru-buru Nyi Rupani menundukkan kepala sehingga kucing hitam itu hanya menyambar angin kosong.

Sementara itu ujung selendang Nyi Selasih cepat menyambar tubuh Katakili. Tapi sayang, pemuda itu dapat menghindar dengan berjungkir balik. Dan begitu tegak kembali, sasarannya langsung diarahkan ke pinggang Nyi Rupani.

“Akh...!” Nyi Rupani terpekik ketika cakar lawannya berhasil merobek pinggang, ketika dia masih sibuk dengan kucing-kucing yang terus menyerangnya.

Katakili kini seperti harus membagi serangan begitu Nyi Selasih turut campur dalam pertarungan. Dan sebenarnya, perempuan tua itu pun mulai sedikit terkejut, namun lekas menunjukkan tingkatannya sebagai tokoh kawakan dunia persilatan.

“Nyi Selasih! Kaulah bagianku sekarang! Hiyaaat..!” bentak Katakili sambil menerkam perempuan tua itu dengan kedua tangan menjulur ke depan.

“Huh! Bocah masih ingusan sudah bertingkah! Cepat ke sini kalau memang ingin segera menyusul bapak moyangmu! Yeaaah...!”

“Graungrrr...!”
“Hiyaaa...!”

“Mampuslah kau, Bocah Dungu!” dengus Nyi Selasih sambil mengayunkan selendangnya. Langsung dikejarnya ke mana saja tubuh pemuda yang bergerak lincah untuk menghindari serangannya.

Tapi pemuda itu bergerak cepat sekali. Bagaikan seekor kucing, dia mampu menjejakkan kedua kaki dan tangannya ke tanah, untuk kemudian melenting ringan sambil membuat suatu lompatan-lompatan ringan. Tubuhnya lalu berguling-guling beberapa kali, kemudian dengan buasnya menerkam lawan.

Diam-diam Nyi Selasih pun mengagumi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda itu. Rasanya, dia pun tidak akan mampu berbuat serupa. Tubuh pemuda itu melayang laksana terbang, lalu mendarat dan melompat kian kemari begitu ringannya. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh tokohtokoh persilatan kelas atas saja.

“Graungrrr...!”
“Aaakh...!”

Tiba-tiba Nyi Selasih terkejut dan langsung menghentikan serangan begitu mendengar jeritan Nyi Rupani. Wanita itu tampak penuh luka cakaran kucing yang mengerubutinya. Dan ternyata, waktu yang hanya sesaat betul-betul dipergunakan Katakili dengan sebaik-baiknya. Tubuhnya cepat melesat bagai anak panah, dan langsung menyambar bagian dada dan perut Nyi Selasih.

Perempuan tua itu kontan terpekik, dan tubuhnya seketika bermandikan darah. Kedua kakinya melangkah limbung. Selendangnya lalu digunakannya untuk melilit perut yang terbuka lebar. Tapi saat itu juga, kucing-kucing menyerangnya. Bahkan langsung menjadikannya mangsa empuk!

“Graungrrr...!”
Bret! Bret!
“Aaa...!”

Nyi Selasih meraung-raung kesakitan sambil berlarian ke sana kemari dengan tubuh bermandikan darah. Tapi kucing-kucing yang bagai dirasuki setan itu, sepertinya tidak mau meninggalkan korbannya begitu saja. Mereka terus menyerang dan menggayuti tubuh perempuan tua itu sampai roboh tidak berdaya. Di antara kerumunan kucing itu. Nyi Selasih tampak menggelepar-gelepar sesaat sebelum akhirnya diam tidak berkutik. Mati!

Begitu tubuh Nyi Selasih tidak bergerak-gerak lagi, kucing-kucing itu menghentikan serangannya. Namun setelah itu mereka tidak tinggal diam, karena terus berloncatan membantu Katakili menyerang Nyi Rupani.

Nyi Rupani yang memang sudah kepayahan, tidak bisa berbuat banyak lagi. Dan ketika cakar-cakar Katakili yang tajam dan kuat mengancam dada dan perutnya, dia sudah tak mampu menghindar. Maka....

Bret! Bret!
“Graungrrr...!”
“Aaa...!”

Katakili meraung hebat yang diiringi lengkingan menyayat dari mulut Nyi Rupani. Dan ketika tubuh wanita malang itu limbung, kucing-kucing itu terus menerkam seperti apa yang dilakukan terhadap Nyi Selasih. Nyi Rupani yang sudah berlumur darah pada dada dan perutnya, makin dibanjiri darah lagi ketika kucing-kucing itu mencabik-cabik tubuhnya yang sudah tak bernyawa lagi.

Katakili melompat ke belakang sambil mendengus sinis. Dan kucing-kucingnya dibiarkan berpesta merajang tubuh lawan-lawannya itu. Sebentar kemudian wajahnya menengadah ke langit.

“Ayah! Telah kubalaskan sakit hatimu pada mereka....”

“Ngeong...!” Kucing-kucing yang tadinya liar dan buas, kini sudah berubah seperti semula seperti layaknya, setelah puas mengakhiri mangsa-mangsanya. Mereka juga sudah mengerumuni, dan menggesek-gesekkan tubuhnya di kaki Katakili. Beberapa ekor malah menjilatnya dengan perasaan kasih sayang. Pemuda itu lalu meraih beberapa ekor, dan memeluk serta menciuminya. Kemudian, perlahan-lahan ditinggal-kannya tempat itu, diikuti seratus lebih pengikutnya.

Saat itu tanpa ada yang mengetahui, pada salah satu pojok rumah tampak seorang laki-laki kecil berkulit hitam terhenyak di tanah, di antara semak-semak. Tubuhnya tampak gemetar dan mukanya pucat Sedangkan matanya melotot, seperti baru saja melihat hantu.

“Nyi Selasih..., Nyi Rupani.... Malang betul nasib kalian. Oh! Apa yang akan kukatakan nanti pada Den Ayu Lestari dan Den Permana? Ya, Jagat Dewa Batara! Aku sama sekali tidak berdaya menolong mereka. Ah! Aku memang tidak berguna.... Tidak berguna...!”

Berkali-kali anak itu mengeluh sendiri sambil menundukkan kepala, kemudian menggeleng-geleng lemah. Lama kepalanya menekur seperti terus menyesali diri tanpa hendak bangkit sedikit pun. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong kedua wanita malang yang menggeletak hancur, tidak berbentuk lagi.

********************

Sementara itu, Rangga sudah berada di sebuah kedai di pinggir jalan utama Desa Kranggan. Sengaja diambilnya tempat yang agak pojok ruangan, sehingga dari situ bisa leluasa mengamati setiap pengunjung kedai yang hari ini terlihat cukup ramai. Selain beberapa orang pedagang, juga terlihat orang-orang persilatan yang ditandai cara mereka berpakaian serta senjata yang tersandang.

Berbeda dengan kedai-kedai yang pernah dikunjunginya, kedai ini terasa nyaman. Bahkan pelayanannya pun cukup baik meski berkesan seronok dan berlebihan. Pemilik kedai adalah seorang laki-laki berperut buncit berusia sekitar empat puluh tahun. Dia memiliki beberapa orang pelayan wanita yang masih belia dan berpakaian sedikit terbuka. Tingkah laku mereka genit dan sering memancing perhatian para pengunjung.

Rangga sempat melirik ke arah ujung ruangan yang terdapat sebuah pintu. Sesekali, pintu itu dimasuki seorang laki-laki yang menggandeng wanita-wanita yang menjadi pelayan. Entah apa yang mereka lakukan. Tapi bisa diduga kalau selain sebagai kedai makan, agaknya tempat ini merangkap menjadi tempat pelacuran juga.

Pendekar Rajawali Sakti lalu mengalihkan perhatian ketika beberapa orang laki-laki yang duduk dekat mejanya menceritakan suatu peristiwa. Sementara kawan-kawan laki-laki itu mendengar penuh perhatian.

“Orang itu kejam dan tidak kenal ampun. Lawan-lawannya binasa dengan keadaan tubuh mengerikan!” tutur seorang yang bertubuh kurus. Bagian matanya agak cekung, seperti kurang tidur.

“Kau yakin kalau dia itu siluman, Bardi?” Tanya temannya yang bertubuh gemuk pendek.

“Banyak penduduk yang percaya. Soalnya, kucing-kucing yang selalu mengikutinya tiba-tiba menjadi ganas dan buas kalau dia sedang menghadapi lawan-lawannya!” jelas laki-laki kurus yang ternyata bernama Bardi.

“Hm.... Lebih enam orang tokoh persilatan berilmu tinggi tewas di tangannya. Dan kebanyakan dari mereka, adalah yang lima tahun lalu ikut dalam pembunuhan terhadap Pedang Angin Selatan. Tapi, apa benar anggapan orang yang mengatakan kalau pemuda itu putra si Pedang Angin Selatan?” tanya orang yang wajahnya seram dan berkumis melintang.

"Bisa jadi,” sahut Bardi.

“Kudengar, saat ini dia tengah menuju tempat kediaman Nyi Selasih. Bisa jadi orang tua itu akan menjadi korban berikutnya,” selak seseorang yang lebih muda berbaju biru.

“Dari mana kau tahu, Sapar?” tanya laki-laki bertubuh gemuk pendek dan sering dipanggil Gembul.

“Ada orang yang melihatnya bersama balatentara kucing menuju tempat kediaman orang tua itu,” jelas laki-laki berbaju biru yang bernama Sapar.

“Wah! Ini pasti akan seru! Hei!? Menurut kalian, apakah perempuan tua berjuluk Selendang Maut itu mampu mengatasinya?” tanya Bardi.

“Nyi Selasih bukan orang sembarangan, Bardi. Ilmunya hebat Dan lebih dari itu, putri, cucu, dan menantunya pun bukan orang sembarangan. Tentu tidak mudah bagi pemuda itu untuk mengalahkannya,” kata laki-laki berkumis melintang, dan dikenal sebagai Jalu.

“He, tunggu dulu. Kalian tahu Ki Suminta? Dia memiliki banyak murid dan rata-rata berkepandaian tinggi. Tapi menghadapi pemuda itu, mereka sama sekali tidak berkutik. Kalau saja pemuda itu tidak pergi, pasti tidak seorang pun murid-muridnya yang tersisa,” jelas Gembul.

“Aku yakin, Nyi Selasih dengan mudah akan dikalahkan pemuda itu. Dan nasibnya…,” Sapar tidak melanjutkan kata-katanya. Air muka Sapar menunjukkan kengerian hatinya. Terbayang dalam benaknya, cerita-cerita yang pernah didengar tentang korban-korban pemuda yang sedang diceritakan itu. Tidak satu pun dari tokoh yang didatanginya bisa selamat dari ancaman. Pemuda itu bagai momok yang menakutkan dan Malaikat Maut yang tidak pernah gagal dalam tugasnya.

“Sudahlah! Untuk apa kita membicarakan orang itu. Lebih baik mengurusi diri kita sendiri. Siapa tahu, nanti atau besok pemuda itu malah datang dan menjadikan kita sebagai korban berikutnya,” kata Gembul membuyarkan suasana.

“Tapi aku masih tidak tega, Gembul. Kebanyakan dari para tokoh yang dibunuh adalah pendekar dari golongan lurus. Mereka banyak menolong orang-orang lemah dan membenci kejahatan. Dan sebagai sesama tokoh persilatan, rasanya kita punya kewajiban untuk saling tolong-menolong,” sahut Bardi.

“Hei!? Bicaramu seperti dewa saja, Bardi. Apa kau kira di antara kita ada yang mampu menahan amukan Siluman Kucing itu...? Huh! Untuk menolong diri sendiri saja, kita belum tentu mampu. Apalagi mencoba menolong orang lain!” dengus Jalu dengan suara sedikit keras.

Kata-kata Jalu membuat beberapa tokoh persilatan yang berada dalam kedai berpaling kepada mereka untuk beberapa saat.

“He, Kisanak. Bicara apa kalian?” tanya salah seorang yang bertubuh besar dengan muka masam.

“Alaaah..., sudahlah. Kenapa diambil hati. Mereka hanya orang-orang rendah, yang sok jadi pahlawan. Orang-orang seperti Nyi Selasih itu sudah sepatutnya mampus. Bisa apa dia? Kepandaiannya hanya seujung kuku, tapi lagaknya selangit Huh! Kalau dia sampai mampus, itu sudah sepatutnya!” sahut laki-laki berbaju hitam yang mukanya pucat bagai mayat. Dia duduk di depan laki-laki tinggi besar itu.

Keempat orang yang disindir dan dihina begitu, rupanya langsung naik darah. Bahkan langsung bangkit untuk menghajar kedua orang itu. Tapi sebelum niat mereka terjadi, dari pintu depan muncul seorang gadis belia berbaju kuning. Dia mengenakan selendang sebagai ikat pinggangnya. Wajahnya cantik, namun berkesan galak.

Sementara itu, Rangga melirik dan tersenyum kecil, karena kenal betul dengan gadis tanggung yang tidak lain dari Lestari, cucu Nyi Selasih.

“Siapa yang bicara sembarangan dan berani menghina nenekku?!” Gadis itu membentak nyaring sambil menatap garang kepada dua orang laki-laki yang tadi mengeluarkan hinaan terhadap Nyi Selasih.

********************

ENAM

Seluruh pengunjung kedai menoleh ke arah gadis itu sambil menggelengkan kepala. Dia masih terlihat muda sekali. Tapi apa yang dilakukannya, sungguh keterlaluan. Bahkan sama sekali tidak sopan. Bukan hanya itu. Akibatnya, kebanyakan dari pengunjung kedai yang memang rata-rata tokoh rimba persilatan, jadi merasa diremehkan melihat sikap gadis itu yang terlihat angkuh. Lebih-lebih kedua orang yang dituju gadis itu. Bahkan laki-laki yang bertubuh tinggi besar sudah langsung berdiri. Dan dengan langkah gusar mereka mendekati gadis itu.

“Hm.... Jadi kau cucu Nyi Selasih, he?! Akulah yang menginginkan agar nenekmu itu mampus. Lalu, kau mau apa...?!” dengus laki-laki itu dengan muka geram.

Namun, tiba-tiba saja Lestari menanggapi ucapan itu dengan satu kebutan selendangnya yang begitu cepat Dan gerakannya sangat sulit diikuti pandangan mata biasa. Maka tahu-tahu....

Wuuut...!
Des!
“Ugkh!”

Tubuh laki-laki tinggi besar itu kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh kesakitan, begitu selendang di tangan gadis itu menghantam dagunya. Hal ini sama sekali tidak terduga. Betapa tidak? Usia gadis itu masih begitu muda. Namun, kepandaian yang dimilikinya sudah begitu tinggi.

Padahal, laki-laki tinggi besar ini sudah menganggap enteng dan mengira kalau gadis ini baru belajar satu atau dua jurus dari neneknya. Tapi, siapa sangka kalau akibatnya sungguh hebat begini? Lebih-lebih lagi, dia tengah tidak bersiaga untuk melindungi diri dengan tenaga dalam. Akibatnya, memang sungguh dahsyat. Beberapa tulang rahangnya kontan patah. Bahkan dari mulutnya menyembur darah segar. Orang itu menggelinjang-gelinjang menahan rasa sakit yang tiada tara.

“Itulah pelajaran bagi orang yang berani menghina keluargaku! Kalau ada yang ingin coba-coba, silakan maju!” dengus Lestari sambil memandang seluruh pengunjung kedai.

Dan sejak kehadiran gadis itu, Rangga sengaja berlindung di balik tubuh seseorang hingga tak terlihat.

“Gadis keparat! Kau kira bisa seenaknya saja bertingkah di sini?! Huh! Bocah sepertimu memang patut diberi pelajaran!” bentak seorang lagi yang berbaju hitam, sambil melompat dan melakukan serangan. Dan dia memang lawan laki-laki tinggi besar tadi.

“Kalau memang tidak suka dengan pelajaran yang kuberikan pada kawanmu, kau boleh mengambil giliran di luar!” sahut Lestari enteng sambil melompat keluar, dan sekaligus menghindari serangan lawan.

Bukan main gusarnya laki-laki berbaju hitam itu melihat serangannya hanya mengenai tempat kosong. Dan tubuh gadis itu sudah lincah berkelebat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Tapi, laki-laki berbaju hitam itu sudah langsung melompat mengejar. Dan begitu mendarat, langsung dikirimkannya serangan selanjutnya. Dan kali ini membuat gadis itu sedikit terkejut. Karena belum lagi kedua kakinya menyentuh tanah, sebelah tangan lawan siap menghajar pinggangnya. Terpaksa serangan itu ditangkisnya.

Plak! plak!

Lestari tersentak kaget. Tangannya kontan bergetar dan terasa kesemutan begitu menangkis serangan lawan. Belum lagi disadari apa yang terjadi, serangan lawan kembali menyambar kepala. Masih untung sambaran lawan mampu dielakkan. Kepalanya cepat ditundukkan, dan langsung bersalto ke belakang. Tapi lawannya yang berwajah dingin itu sepertinya tidak memberi kesempatan sedikit pun kepadanya.

Lestari merasa kalau tidak mungkin bisa menandingi dengan hanya mengandalkan jurus-jurus tangan kosong saja. Dengan cepat sekali, selendang kuningnya yang menjadi senjata andalan diloloskan, dan secepat itu pula dikebutkan.

Ctar!

“Heh?!” Laki-laki berbaju hitam itu jadi tersentak setengah mati. Cepat-cepat dia melompat mundur, begitu merasakan angin kebutan selendang kuning yang terasa cukup dahsyat juga, dengan suaranya yang bagaikan lecutan cambuk. Dari itu saja sudah dapat diketahui kalau tingkat kepandaian gadis ini tidak bisa dipandang rendah.

“Rasakan selendang mautku ini!”

“He he he...! Inikah senjata yang kau bangga-banggakan itu? Aku justru akan menggunakannya untuk melibatkan tubuhmu. Sayang, nenekmu tidak sempat bertemu muka denganku. Kalau sempat, dialah yang lebih dulu mendapat bagian,” ejek laki-laki berbaju hitam dan bermuka pucat itu sinis.

“Huh, Orang Sombong! Kau terlalu banyak bicara. Lihat serangan ini!” dengus Lestari.

Dengan geram Lestari memainkan sebuah jurus andalan yang diberi nama 'Bidadari Mengejar Pelangi'. Jurus ini bila dimainkan dengan selendang di tangan, akan hebat sekali. Lawan akan melihat selendang itu menjadi lebih dari satu, dan kadang-kadang akan bergerak secara beraturan atau mengepung.

“Hebat.., hebat..! Tidak percuma perempuan tua bangka itu mengajarimu jurus indah ini. Tapi itu tidak cukup untuk menjatuhkanku, Bocah Badung. Lihat serangan!”

Setelah berkata demikian, terlihat laki-laki bermuka pucat itu tiba-tiba merubah jurusnya. Gerakannya tampak aneh. Terkadang tubuhnya berguling-guling menghindari ujung selendang lawan, tapi terkadang juga diam beberapa saat. Kemudian tubuhnya melesat cepat ketika senjata lawan sedikit lagi menemui sasaran. Tentu saja hal ini membuat Lestari semakin geram saja. Maka serangannya makin diperhebat Hanya sayangnya, sedikit pun tidak ada yang mencapai sasaran.

“Ha ha ha...! Kerahkanlah semua kepandaianmu untuk menghadapi jurus 'Gagak Hitam Mengubur Mangsa'ku ini. Ingin kulihat sampai di mana nenek tua busuk itu mengajarimu. Sayang sungguh sayang, bukan dia sendiri yang berhadapan denganku. Kalau dia, tentu pertarungan ini akan lebih seru. Tapi..., he?! Bisa jadi hari ini dia telah mampus dihabisi musuh lamanya! Ha ha ha...!”

“Tutup mulutmu, Keparat! Kau tidak ada derajat untuk berhadapan dengan nenekku. Kalau kau mampu mengalahkanku, itu pun sudah termasuk hebat!”

“He?! Siapa yang ingin mengalahkanmu?! Aku justru ingin membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, laki-laki berbaju hitam itu bergerak amat cepat menghindari sambaran ujung selendang Lestari yang sudah kembali berkelebat dengan kecepatan sangat tinggi. Yang diincar adalah bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Kemudian dalam satu kesempatan, Lestari mengetatkan selendangnya ke arah kepala lawan. Namun aneh. Lawan sedikit pun tak bergeming dari tempatnya. Dia seperti pasrah menyerahkan kepalanya, untuk menjadi sasaran selendang kuning itu. Dan tanpa diduga sama sekali, laki-laki bermuka pucat itu mengulurkan tangan kanannya ke atas. Dan... Tap!

Laki-laki bermuka pucat itu berhasil menangkap selendang kuning milik Lestari, dan sekuat tenaga menariknya. Akibatnya, tubuh Lestari mencelat ke arahnya tanpa bisa ditahan.

“Okh...!”

Sambil terkekeh, telapak tangan kiri laki-laki itu siap terayun untuk menghajar Lestari bila mendekat. Sehingga, semua orang yang melihat pertarungan hanya bisa menduga kalau nyawa gadis itu sebentar lagi akan lepas dari raga dalam keadaan mengerikan.

“Yeaaah...!” Namun pada saat yang sangat gawat, tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat begitu cepat ke arah pertarungan. Dan....

Plak! Plak!
Bet!
“Heh...?!"

Tiba-tiba saja bayangan yang berkelebat itu memotong selendang kuning sambil memapak serangan laki-laki bermuka pucat. Kemudian tubuhnya melesat cepat menyambar tubuh Lestari, seraya memberi satu pukulan keras ke arah dada si muka pucat ini. Untung saja laki-laki itu cepat melompat ke belakang, sehingga pukulan sosok bayangan tadi tak sampai mengenai tubuhnya. Tapi, mana sudi si muka pucat diperlakukan sedemikian rupa. Maka langsung dikejarnya bayangan tadi.

“Bajingan pengecut! Kau pikir bisa lari dariku, heh?!” teriak si muka pucat.

“Kalau kau pikir mampu mengejarku, kenapa banyak omong...?”

Mendengar jawaban seperti itu, bukan main kesalnya si muka pucat. Langsung dikerahkannya ilmu meringankan tubuh untuk menyusul orang yang telah melarikan Lestari. Namun bersamaan dengan itu, sesosok tubuh lain mengikuti mereka tanpa diketahui oleh siapa pun.

Kejar-kejaran di antara mereka tidak berlangsung lama. Rupanya si muka pucat memperlihatkan keunggulan ilmu lari cepatnya ketika tiba-tiba melesat tinggi, untuk kemudian berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah, tepat di depan orang yang tengah dikejarnya.

“Ups!”

“Hhh! Kiranya kau, Ki Wempang! Bagus! Berani benar kau mencampuri urusanku? Hm.... Kalau demikian, kau harus berani pula menanggung akibatnya!” dengus si muka pucat sambil menyipitkan mata, begitu melihat orang yang pernah dikenalnya tengah membopong gadis yang tadi menjadi lawannya.

Di depan si muka pucat berdiri tegak sesosok laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun lebih. Tubuhnya kecil dan rambutnya telah memutih. Tangan kanannya memegang sebatang tongka dari baja hitam sepanjang tujuh jengkal. Orang tua yang dipanggil Ki Wempang itu kemudian menurunkan Lestari, dan meletakkannya di atas tanah berumput

“Jangan takut Cah Ayu. Aku adalah sahabat nenekmu...,” kata orang tua itu menenangkan Lestari sebelum beralih menatap tawannya.

“Gondotikur! Kelakuanmu sungguh keterlaluan! Pada bocah kecil kau tega hendak berbuat telengas!”

“Huh...! Tahu apa kau, Ki Wempang? Meskipun masih bocah, tapi dia telah melukai kawanku. Dan mana bisa dibilang tega kalau ternyata dia pun mampu mencelakakanku!” tangkis si muka pucat yang ternyata bernama Gondotikur.

"Itu karena kalian yang memulainya!”

“Huh! Selamanya memang kau selalu merasa benar! Dan itu selalu membuatku muak. Sudah lama sekali aku ingin memberi pelajaran pada orang-orang sepertimu. Nah! Mumpung kau berada di tempat ini dan mengusik urusanku, terimalah pelajaran dariku, Tua Bangka Busuk!”

Setelah berkata demikian, Gondotikur langsung menyerang Ki Wempang dengan gencar. Kedua orang itu agaknya tahu betul, sampai di mana kehebatan lawan masing-masing. Itulah sebabnya Gondotikur tidak mau sembarangan dan lengah. Tidak kepalang tanggung, Ki Wempang langsung diserangnya dengan jurus 'Gagak Hitam Mengubur Mangsa' yang benar-benar ampuh. Kalau pada tingkat permulaan saja jurus itu mampu membuat Lestari tidak berkutik, maka kali ini jurus itu dimainkan pada tingkat yang tertinggi disertai pengerahan tenaga dalam kuat.

“Yeaaah...!”

Ki Wempang pun tidak kalah sigap. Dia tahu betul, kalau lawannya sangat ahli dalam ilmu silat tangan kosong. Sedangkan jurus-jurus silatnya, pada tingkat tertinggi harus memainkan tongkat. Kalaupun berusaha menggunakan jurus-jurus tangan kosong, itu sama artinya bunuh diri. Maka tanpa malu-malu lagi, dilayaninya serangan lawan dengan gempuran tongkat yang berputar-putar menderu menimbulkan desis angin kencang.

“Ha ha ha...! Selama lima tahun ini, kemajuan ilmu tongkatmu boleh diandalkan juga, Ki Wempang. Tapi jangan dikira aku tidak mampu mematahkan seranganmu!” ejek Gondotikur seraya tersenyum sinis.

“Jangan banyak bicara kau, Gondotikur. Kalau memang mampu, buktikanlah!”

“Kenapa tidak? Saat itu juga aku akan membuktikannya kepadamu. Lihat serangan!” bentak Gondotikur keras.

Gondotikur kemudian bergerak cepat sambil menghindari serangan tongkat lawan. Tapi, Ki Wempang tidak semudah itu dapat terkecoh. Maka tongkatnya cepat diputar bagai kitiran, lalu langsung dikejarnya lawan ke mana saja bergerak.

Ki Wempang sebenarnya menyadari kalau Gondotikur adalah tokoh golongan hitam yang memiliki kepandaian tinggi. Jurus-jurusnya begitu hebat. Dan lebih dari itu, tenaga dalamnya cukup mengagumkan. Meski mereka belum pernah bentrok sebelumnya, tapi banyak tokoh seangkatannya yang pernah dijatuhkan laki-laki bermuka pucat yang bergelar Gagak Hitam Bermuka Pucat ini.

Dia memang jarang membuat keonaran. Tapi, terkenal paling membenci pada tokoh-tokoh persilatan yang dianggapnya bertingkah. Dan hal itu sudah membuat kebenciannya memuncak, tatkala orang tua ini mencampuri urusannya. Maka tidak heran kalau pada akhirnya, seluruh kepandaian yang dimilikinya dikerahkan untuk menghajar lawan.

“Yeaaah...!”

Ki Wempang terkejut ketika lawan membentak keras. Tubuh Gondotikur tampak lurus menukik, sambil mengarahkan kepalan tangannya yang berubah hitam tepat di tengah-tengah pusaran tongkat laki-laki tua itu. Ki Wempang memang tidak bisa berbuat banyak, kecuali membiarkan senjatanya beradu dengan tangan Gondotikur. Dan....

Prakkk!

“Akh...!” Ki Wempang menjerit kesakitan dan tongkatnya patah menjadi dua bagian, begitu berbenturan dengan tangan Gondotikur. Tubuhnya tak urung terjajar beberapa langkah ke belakang. Belum lagi Ki Wempang memperbaiki keseimbangannya, kepalan lawan telah kembali mengarah ke dadanya. Maka....

Begk! Orang tua itu kontan terjungkal kembali disertai semburan darah segar dari mulutnya.

“Mampuslah kau, Orang Tua Busuk! Yeaaah...!” Gondotikur tak sudi lagi memberi kesempatan pada Ki Wempang. Begitu orang tua itu terhuyung-huyung, langsung dilepaskannya satu pukulan telak ke dada.

Desss!
“Aaakh...!”

Lestari yang melihat keadaan Ki Wempang yang mengkhawatirkan, merasa harus menolongnya. Maka....

“Yeaaah...!” Tubuh gadis itu langsung meloncat sambil mengirim serangan maut ke arah Gondotikur. Tapi, laki-laki bermuka pucat itu hanya mendengus sinis. Dan tanpa menoleh, sebelah kakinya berputar, langsung menghajar perut gadis tanggung itu.

Desss!

“Aaakh!” Lestari kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar beberapa tombak sambil menyemburkan darah segar. Dan dalam keadaan setengah sadar, Gondotikur telah mencelat, bermaksud menghabisi nyawa gadis itu. Namun....

Tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar gadis yang dipastikan akan tewas bila terkena hantaman tangan Gondotikur.

“Keparat! Siapa kau, heh?!” sentak Gondotikur, begitu menyadari kalau ada seseorang telah menyelamatkan lawannya.

Tahu-tahu di depan Gondotikur telah berdiri tegak seorang pemuda tampan dengan rambut panjang terurai. Bajunya rompi putih dengan sebilah pedang berhulu kepala burung tersembul di balik punggungnya. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

Memang, diam-diam Pendekar Rajawali Sakti mengikuti sejak dari kedai tadi, ketika Ki Wempang menyelamatkan Lestari. Dan gadis itu kini telah tidak sadarkan diri akibat pukulan Gondotikur tadi. Rangga kemudian meletakkannya perlahan-lahan di bawah sebatang pohon, kemudian menatap ke arah laki-laki bermuka pucat itu.

“Pendekar Rajawali Sakti! Oh, kau pasti Pendekar Rajawali Sakti. Aku yakin, mataku belum lamur. Kaulah orangnya yang telah mengalahkan si Topeng Setan!” tiba-tiba sebuah seruan terdengar. Rupanya seruan itu berasal dari Ki Wempang yang masih terduduk lemas, tidak jauh dari situ.

Gondotikur menyipitkan mata mendengar kata-kata itu. Sedangkan Rangga sendiri masih diam mematung, mengawasi laki-laki itu tanpa memberikan tanggapan atas kata-kata Ki Wempang.

“Hm.... Jadi, kaukah orangnya yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti? Telah lama kuimpikan pertemuan ini agar bisa memberi pelajaran atas kesombonganmu selama ini!” dengus Gondotikur.

“Kisanak! Aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi, aku juga tidak bisa melihat kesewenang-wenangan yang kau lakukan. Maka, harap dimaklumi bila dengan terpaksa aku harus menyelamatkan gadis yang belum tentu bersalah padamu,” sahut Rangga tenang.

“Huh! Apa yang kudengar tentangmu memang tidak salah. Kau memang manusia paling usil, yang suka mencampuri urusan orang lain. Apa yang kau tahu tentangnya?! Dan bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kalau dia tidak bersalah?!”

“Kenapa tidak? Aku berada di kedai itu, sebelum kau dan kawan-kawanmu datang. Dan tentu aku tahu betul apa yang terjadi di antara kalian. Kaulah yang lebih dulu mencari gara-gara dengan memburuk-burukkan nama neneknya. Siapa yang tidak marah kalau salah seorang keluarganya direndahkan?”

“Keparat! Huh! Jangan banyak bicara kau. Apa maumu sekarang?!”

“Keinginanku tidak banyak. Sudahi saja urusan ini, dan kau boleh pergi sekarang juga,” sahut Rangga singkat.

“Huh! Seenaknya saja bicara. Tidak seorang pun yang boleh menghinaku. Tidak juga kau!”

“Kisanak! Aku tidak ingin memperpanjang urusan, dan kuharap kau mengerti maksud baikku.”

“Siapa sudi mendengar omongan busukmu?! Kaulah yang sebaiknya pergi dari sini, dan jangan mencampuri urusanku!”

Rangga menggeleng lemah sambil mendesah kecil. “Maaf. Aku tidak bisa berpangku tangan melihat apa yang kau lakukan...”

“Kalau begitu, persoalan sudah jelas. Dan kau memang bermaksud ikut campur dalam urusanku. Orang sepertimu tidak akan pernah kubiarkan begitu saja, dan perlu mendapat pelajaran agar keu-silanmu selama ini tidak membuatmu menjadi semakin besar kepala saja.”

Setelah berkata demikian, tubuh Gondotikur langsung melompat ke arah Pendekar Rajawali Sakti untuk melepaskan serangan ganas. Dia tahu betul-lawannya kali ini bukanlah orang sembarangan. Maka tidak heran kalau kemudian seluruh kemampuannya dikerahkan pada jurus-jurus awal, dengan harapan lawan akan terdesak. Dan kalau sudah demikian, dia bermaksud mencuri kesempatan untuk menghajar lawan.

Rangga sendiri tidak punya pilihan, selain melayani keinginan lawan. Dia sedikit terkejut ketika melihat Gondotikur ternyata tidak main-main dengan ucapannya. Laki-laki berwajah pucat itu betul-betul menginginkan jiwanya. Dan sudah tentu Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa hanya sekadar menghindar saja. Karena bisa jadi, lawan akan semakin penasaran untuk mencelakakannya. Maka sambil membentak nyaring, Rangga memainkan jurus 'Rajawali Sakti' untuk membalas serangan lawan.

“Hiyaaat..!”

“Huh!” Gondotikur mendengus. Kemudian sambil mengkertakkan rahang, dia bersiap menyambut serangan lawan dengan aji 'Tapak Dewa'.

Ajian itu mampu membuat kedua tangan Gondotikur sebatas siku berubah kehitaman. Dan kemudian, dari telapak tangannya melesat seberkas sinar kelabu yang langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

“Heh?! Uts...!” Rangga tersentak kaget dan cepat-cepat mengegos ke kiri. Seketika kulit tubuhnya terasa seperti diterpa jilatan api yang panasnya bukan main. Padahal, serangan lawan hanya beberapa jengkal dari tubuhnya. Dan desir angin panas itu langsung menghantam sebatang pohon besar yang langsung ambruk bagai dilanda petir.

Glarrr!

********************

TUJUH

Melihat serangannya gagal, Gondotikur semakin penasaran saja. Dengan kegeramannya yang memuncak, tubuhnya langsung melesat sambil melepaskan aji Tapak Dewa' yang mengeluarkan sinar kelabu. Dari sini bisa diperkirakan kalau Gondotikur berniat mengadu nyawa.

Sementara itu, Rangga memang tak punya pilihan lagi. Dia harus meladeninya sekaligus melindungi diri dari hajaran lawan. Maka saat itu pula, dipapaknya serangan Gondotikur dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dari telapak tangannya juga melesat sinar merah yang langsung menghantam sinar kelabu dari aji 'Tapak Dewa’.

Dari beberapa jurus yang dimainkan sebelumnya, Rangga sudah dapat memperkirakan kekuatan tenaga dalam lawan. Maka tak heran kalau Pendekar Rajawali Sakti begitu yakin kalau pukulan lawan akan mampu dihalaunya. Maka....

Glarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi akibat dua pukulan yang beradu. Dan sesaat kemudian, terlihat lesatan sinar merah yang terus menerobos menghantam lawan tanpa bisa ditahan lagi.

“Aaakh...!” Gondotikur menjerit keras. Tubuhnya pun kontan terpental beberapa tombak disertai semburan darah segar. Dan begitu ambruk di tanah, dia menggelepar-gelepar beberapa saat, lalu diam tak bergerak lagi. Entah mati atau tak sadarkan diri. Sementara tak jauh di dekatnya, Rangga berdiri tegak memperhatikan sambil mengatur jalan napasnya.

“Kisanak, te...terima kasih atas pertolonganmu....”

Rangga menoleh ke arah Ki Wempang yang telah berada di dekatnya. Wajah orang tua itu tampak pucat dan sesekali meringis menahan rasa nyeri. Sementara di sudut bibirnya masih terlihat bekas noda darah yang telah diusapnya. Pemuda itu lalu melempar senyum getir. Kemudian wajahnya berpaling ke arah Lestari dan menghampirinya, diikuti Ki Wempang dari belakang.

“Kasihan anak itu. Dia masih kecil, tapi harus menerima perlakuan sebagaimana layaknya seorang penjahat...”

Sementara itu, Rangga langsung memeriksa luka Lestari sambil menggeleng lemah. Dan gadis itu telah didudukkan, menghadap ke arahnya.

“Dia terluka parah. Beberapa tulang rusuknya patah...,” desah Rangga pelan.

"To..., tolonglah dia. Neneknya adalah sahabat baikku. Dan tujuanku ke tempat ini pun ingin bertemu mereka. Ada sesuatu yang harus kusampaikan...,” ucap Ki Wempang lemah.

Rangga kembali terdiam. Dibalikkannya tubuh gadis itu dan dihadapkan ke batang pohon. Kedua telapak tangannya segera ditempel ke punggung Lestari. Ki Wempang mengerti apa yang akan dilakukan pemuda itu. Wajahnya penuh harap disertai rasa duka cita. Dia kemudian duduk perlahan di dekat mereka.

“Hoeeekh...!”

Setelah beberapa saat Rangga menyalurkan hawa murni, tiba-tiba Lestari memuntahkan darah kental berkali-kali. Wajah gadis itu kontan pucat Lalu, sesaat dia menoleh lemah ke arah Rangga.

“Kau...?”

Rangga hanya tersenyum kecil. Sedangkan gadis itu memalingkan wajahnya kembali. Dia tak memberikan banyak tanggapan atas apa yang dilakukan pemuda itu terhadapnya. Yang terasa pada tubuhnya hanyalah hawa panas yang membuatnya terasa segar, hingga membuat keringat mengucur deras dari pori-porinya.

Rangga kini menghentikan pengobatannya, lalu duduk tenang di dekat Ki Wempang sambil mengatur pernapasan. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengembalikan tenaganya yang banyak terkuras akibat pertarungannya tadi, ditambah harus menolong Lestari barusan.

“Kisanak, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan....”

“Sudahlah. Aku hanya kebetulan lewat dan melihat sesuatu yang tak adil di depan mataku. Kini akan ke mana tujuanmu, Kisanak?” kata Rangga disertai senyum kecil.

“Aku bermaksud menjumpai Nyi Selasih. Ada sesuatu yang harus kusampaikan padanya...,” sahut Ki Wempang.

“Apakah itu tentang pemuda yang selalu diikuti ratusan ekor kucing?”

“Hei? Apakah kau mengetahuinya juga?!” Ki Wempang tampak terkejut, sehingga kedua alisnya terangkat.

"Tidak. Aku hanya sempat mencuri dengar pembicaraan beberapa orang di kedai tadi...,” sahut Rangga pelan.

"Paman! Ada persoalan apa antara nenekku dengan orang yang kalian bicarakan tadi?” tanya Lestari cemas.

Ki Wempang memandang gadis itu sekilas, kemudian menundukkan kepala barang beberapa saat. “Peristiwanya terjadi lima tahun lalu...,” desak orang tua itu.

“Peristiwa apa?” kejar Lestari, mulai cemas.

Ki Wempang pun akhirnya menceritakan peristiwa lima tahun lalu atas kejadian yang menimpa Pedang Angin Selatan dan putranya. Juga, diceritakannya tentang tindakan para tokoh persilatan golongan putih terhadap ayah dan anak itu.

“Lalu apa hubungannya dengan pemuda yang mempunyai banyak kucing itu?” tanya Lestari, begitu Ki Wempang mengakhiri ceritanya.

“Dia pasti Katakili, putra Ki Karmani yang ingin membalas dendam pada kami. Kebanyakan dari mereka yang tewas belakangan ini, adalah yang lima tahun lalu ikut dalam pengeroyokan itu. Itu memang telah berlalu. Tapi sesudahnya, membuat dada kami terasa sesak. Sebab, ternyata Ki Karmani memang tak bersalah. Ada orang lain yang memfitnahnya. Dan orang itu adalah musuh besarnya yang secara licik menggunakan tangan orang lain untuk menyingkirkan si Pedang Angin Selatan...,” lanjut Ki Wempang, semakin lirih.

“Lalu apa yang Kisanak ketahui tentang pemuda itu?” tanya Rangga.

“Sejauh yang kudengar, dia telah membunuh semua orang yang terlibat dalam pembunuhan ayahnya. Dan kini tinggal aku, Nyi Selasih, dan Ki Rancasena. Hanya ada dua pilihan. Kalau tidak ke tempat Ki Rancasena, maka pemuda itu pasti ke tempat Nyi Selasih. Dia amat berbahaya. Tak seorang pun di antara orang-orang itu mampu menahannya....”

“Oh! Eyang dalam bahaya?! Aku harus memberitahukan mereka!” sentak Lestari, seraya bangkit dan berlari cepat dari tempat itu. Namun baru saja beberapa tombak berlari, tubuh gadis itu tersungkur. Rangga dan Ki Wempang cepat melompat menghampiri dan menolongnya bangkit.

“Kau lupa, Lestari. Lukamu cukup parah. Dan kau tak boleh terburu nafsu, kalau tidak ingin dirimu sendiri yang celaka...,” ujar Rangga pelan.

“Tapi eyangku dalam bahaya?! Aku harus buru-buru memberitahukannya dan menolong mereka...!” dengus Lestari.

“Kita akan ke sana bersama-sama. Bukan begitu, Kisanak?” kata Ki Wempang sambil melirik Rangga.

Pemuda itu mengangguk cepat.

********************

“Eyaaang...! Ibuuu...!” Lestari berteriak dan menghambur ke halaman depan, begitu mereka baru saja tiba di pondok itu.

Gadis itu mencari-cari di segala pelosok ruangan, namun yang dipanggilnya tak kunjung terlihat Wajahnya semakin cemas dan pucat. Dia kembali berteriak-teriak memanggil, sambil berlari ke depan. Di situ terlihat Ki Wempang dan Rangga menekuri dua timbunan tanah yang masih baru. Dan salah satu ujungnya, masing-masing terdapat nisan dari kayu jati.

“Eyaaang..! Ibuuu...! Oh, tidak! Tidaaak...!” teriak Lestari.

Gadis itu berteriak-teriak sambil memalingkan muka, tak sanggup melihat makam ibu dan neneknya. Sedangkan Ki Wempang lantas mendekati dan berusaha menenangkannya. Tapi, tangis gadis itu semakin meledak-ledak. Bahkan suaranya semakin terasa pilu. Perlahan-lahan Ki Wempang membimbingnya ke dalam pondok.

“Eyang...! Ibu...! Maafkan aku. Aku belum sempat balas jasa kalian. Dan selama ini, aku selalu membuat susah...,” keluh Lestari berkali-kali, begitu telah berada dalam pondok.

“Sudahlah, Lestari. Barangkali kematian mereka memang sudah ditakdirkan...,” hibur Ki Wempang.

“Tapi, siapa yang telah melakukannya?”

Ki Wempang terdiam. Banyak hal yang dipikirkannya saat ini. Dan terutama sekali, apakah betul Nyi Selasih dan Rupani telah tewas oleh Katakili? Dan orang tua itu tak berani menuduh sebelum meyakini betul pelakunya. Pengalaman lima tahun lalu, telah cukup membuatnya harus berhati-hati dalam menuduh orang, meski kemungkinannya cukup besar.

“Paman! Kau tahu bukan, kalau ini perbuatan pemuda bernama Katakili?” desak Lestari.

“Kita tak punya bukti, Nduk....”

“Kenapa tidak? Paman mengatakan kalau semua orang yang lima tahun lalu mengeroyok orang-tuanya, telah tewas. Dan kini, hanya tinggal tiga orang lagi. Siapa lagi yang telah melakukan ini kalau bukan dia?!”

“Banyak hal yang tak terduga, Nduk. Seperti apa yang kau alami tadi. Gondotikur tak mempunyai permusuhan dengan nenekmu. Tapi kalau ada kesempatan bertemu, dia tentu akan mencari gara-gara. Bahkan berusaha membunuh nenekmu...,” lanjut Ki Wempang.

“Paman! Apakah kau hanya ingin mencari-cari alasan agar aku tak menuntut balas atas kematian eyang dan ibuku? Aku tak peduli, kau akan membelaku atau tidak. Yang jelas, pemuda itu harus menerima pembalasan dariku!” dengus Lestari geram.

“Dendam dibalas dendam, tak akan pernah ada habisnya, Nduk. Hendaknya, kau bisa sedikit meredam hawa nafsumu. Kalau tidak, itu akan mencelakakan dirimu sendiri pada suatu saat kelak....”

“Simpanlah kata-katamu itu, Paman Untuk saat ini, aku belum membutuhkannya!” sahut Lestari sambil bangkit dan memalingkan wajahnya.

“Kurasa Ki Wempang benar. Kita harus jelas melihat kepada persoalannya, dan tidak langsung main tuduh...,” kata Rangga yang telah menyusul mereka di dalam pondok.

“Kalian memang bisa mengatakan demikian, sebab tak mengalami sendiri peristiwa ini. Tapi bagiku, hal ini teramat menyakitkan!” dengus Lestari sambil menatap bergantian pada Ki Wempang dan Pendekar Rajawali Sakti.

“Semua orang pernah mengalami hal yang menyakitkan. Bahkan berkali-kali. Hanya mereka yang dewasa dan mampu berpikir baiklah yang bisa menguasai diri. Hawa nafsu dan amarah tak akan pernah menyelesaikan suatu persoalan. Bahkan lebih banyak menyesatkan ke dalam persoalan yang lebih dalam...,” kata Rangga, lirih.

“Benar apa yang dikatakan Rangga tadi, Nduk. Cobalah untuk tabah dan berpikir setenang mungkin Tanpa rasa amarah yang meluap-luap dan hawa nafsu yang menguasai diri, niscaya kau akan menjadi dewasa dan mengerti arti hidup ini.”

Lestari diam mendengar kata-kata itu. Tangisnya mulai reda, lalu merenung beberapa saat. Entah memikirkan kata-kata yang dikeluarkan kedua laki-laki itu, atau meratapi nasibnya yang malang.

Pada saat itulah muncul seseorang bertubuh kecil dan berkulit hitam. Tubuhnya kurus dan wajahnya agak buruk. Dia memandang takut-takut ke arah Lestari.

“Jaka Dolok! Kaukah yang menguburkan mereka?”

Laki-laki kecil berparas buruk itu mengangguk lemah. Seketika, wajahnya terlihat sedih dan air matanya menetes dari kelopak matanya. Lestari bangkit dan mencengkeram kedua bahu bocah itu.

“Katakan! Siapa yang membunuh mereka! Ayo, katakan...!”

“Seorang pemuda.... Bajunya kotor..., dan banyak membawa kucing. Dia..., dia membunuh Nyi Selasih dan Nyi Rupani dengan kejam...,” tutur bocah yang dipanggil Jaka Dolok.

“Keparat“ Lestari mengepalkan tinjunya, kemudian memandang kepada Rangga dan Ki Wempang bergantian. Sepertinya, dia ingin mengatakan bahwa dugaannya benar.

“Lestari, aku yakin Katakili-lah yang melakukannya. Dan kurasa, biarlah aku yang mewakili orangtua dan nenekmu. Kau masih terlalu muda...,” desah Ki Wempang.

“Tidak! Aku yang harus membunuhnya!” sentak Lestari.

“Jangan, Lestari. Biar aku dan Ki Wempang saja yang menanganinya,” timpal Rangga.

Meskipun Ki Wempang berusaha menahan, tapi Lestari bersikeras untuk turut serta. Dan akhirnya orangtua itu mengalah. Sedangkan Rangga juga tidak bisa berbuat banyak.

“Ke mana tujuan kita?” tanya Rangga.

“Ke mana lagi kalau bukan ke tempat kediaman Ki Rancasena? Tinggal kami berdua yang menjadi sasarannya. Pemuda itu pasti menuju ke sana, setelah mengetahui kalau aku tak berada di tempat,” sahut Ki Wempang.

Kini mereka bergegas pergi dari tempat itu.

********************

Di suatu tempat yang agak terpencil dan jauh dari keramaian manusia, atau tepatnya di lereng Gunung Tidar, Ki Rancasena berdiam di situ. Udara di sekitar sini terasa dingin. Banyak pepohonan tumbuh di sekitarnya. Dan pada suatu tempat yang agak datar, berdiri sebuah pondok kecil, yang merupakan tempat tinggal Ki Rancasena selama lebih kurang empat tahun.

Sejak peristiwa lima tahun lalu, laki-laki tua itu menyadari kalau telah salah tangan dan membunuh orang yang tak bersalah, yakni si Pedang Angin Selatan. Ki Rancasena merasa terpukul dan amat bersalah. Bukan saja karena ikut andil besar bagi kematian Ki Karmani alias si Pedang Angin Selatan. Tapi lebih dari itu, dialah yang bertanggung jawab dalam menggerakkan tokoh-tokoh persilatan lainnya untuk menyatroni kediaman si Pedang Angin Selatan.

Ki Rancasena pada dasarnya bukanlah tokoh sesat, namun juga tak bisa dikatakan tokoh golongan lurus. Pembawaannya kasar dan berangasan, serta suka membawa perasaan hatinya sendiri. Karena kelakuan itulah, sehingga membuatnya sering bentrok dengan tokoh-tokoh persilatan lain. Namun di samping sifat buruknya, masih juga terdapat sifat baik pada dirinya. Laki-laki bertubuh besar dan berkepala botak itu terkenal akan kejujurannya. Dan dia tak segan-segan meminta maaf kalau ternyata memang bersalah.

Dan apa yang menimpa Ki Karmani adalah kesalahannya yang selama ini dirasa paling berat. Hal ini membuatnya sering menyepi di tempat ini, untuk menjauhi keramaian. Ki Rancasena tekun beribadah, bahkan telah menjadi salah seorang pendeta. Tak heran selama beberapa tahun ini, sepak terjangnya tak pernah terdengar lagi. Dia betul-betul ingin meninggalkan dunia ramai dan hidup hanya untuk beribadah.

Matahari baru saja tergelincir ke ufuk barat ketika Ki Rancasena selesai melakukan sembahyang. Di luar, udara masih terasa panas. Sementara, asap dupa tampak menyapu tempat itu.

“Graungrrr...!”

“Heh!” Hampir saja Ki Rancasena terlonjak, ketika tiba-tiba dua ekor kucing peliharaannya melompat melewati sesajiannya, dan terus berlari ke satu arah. Hal ini tentu saja menarik perhatiannya. Dan dengan segera, kepalanya menoleh. Jauh di sana, di bawah sebatang pohon, banyak sekali kucing yang bergerak maju mendekati pondoknya. Orang tua itu terheran-heran, lalu berdiri tegak untuk memastikan apa yang tengah terjadi.

Semakin lama, kucing-kucing itu semakin jelas terlihat. Bahkan jumlahnya mencapai ratusan ekor. Dan berjalan paling depan adalah sesosok tubuh berpakaian gembel. Rambutnya kusut masai, dibiarkan terurai tanpa diurus. Ketika jarak mereka telah mencapai sepuluh tombak, orang itu berhenti memandang tajam ke arahnya.

Dan hal yang membuat Ki Rancasena semakin takjub, ketika ratusan ekor kucing yang mengekor di belakangnya juga berhenti dan mengikuti perbuatan orang itu. Binatang-binatang itu memandang tajam ke arahnya dengan sikap buas.

“Jagat Dewa Batara! Keajaiban apakah yang akan kau tunjukkan padaku hari ini...?!” seru Ki Rancasena dengan wajah berseri.

Laki-laki tua itu melangkah mendekati dan melihat sesosok tubuh yang ternyata seorang pemuda berwajah kumal. Kuku tangan dan kakinya tampak tajam meruncing, serta kotor tak terurus. Langkah Ki Rancasena terhenti. Dan wajahnya yang semula berseri girang hendak menyambut kedatangan pemuda itu, mendadak sirna. Ketika diperhatikannya, sikap pemuda itu sama sekali tak menunjukkan persahabatan. Bahkan dari sorot matanya yang tajam berkilat, terlihat api dendam yang bergejolak.

“Kaukah yang bernama Rancasena...?” Terdengar suaranya yang serak, berat, dan dingin penuh ancaman.

Ki Rancasena tak langsung menjawab. Ditelitinya penampilan pemuda itu lebih seksama.

“Siapakah kau sebenarnya. Dan, apa maksud kedatanganmu ke tempatku ini? Kalau benar mencari Rancasena, maka kau tengah berhadapan dengan orangnya,” sahut orang tua itu, ramah.

“Bagus! Berdoalah untuk kematianmu!”

Kembali alis orang tua itu terangkat. Kalau saja pemuda itu mengeluarkan kata-kata itu beberapa tahun lalu, sudah tentu Ki Rancasena akan langsung melabrak dan menghajarnya. Tapi tahun-tahun belakangan ini, sedikit banyak hawa nafsu dan amarah mampu diredamnya. Hingga terlihat orang tua itu menarik napas panjang mendengar kata-kata si pemuda, kemudian sikapnya berusaha seramah mungkin.

“Orang muda! Kematian bukanlah urusan manusia. Dan semua itu telah diatur. Kulihat kau datang ke sini membawa seribu kemarahan yang bergejolak dalam dadamu. Bolehkah kutahu, apa sebabnya?”

“Kematian seseorang memang telah diatur. Tapi kematianmu akulah yang mengaturnya, seperti kalian mengatur kematian seseorang lima tahun lalu!” sahut si pemuda yang tak lain Katakili, mendengus geram.

Ki Rancasena bukanlah orang bodoh. Langsung diingatnya kejadian lima tahun lalu, yang membuatnya menjadi seorang pendeta. Dan melihat kemiripan wajah pemuda ini dengan seseorang yang takan akan pernah dilupakannya, hal itu sudah bisa langsung diduga.

“Kau..., kau putra si Pedang Angin Selatan?”

“Bagus! Akhirnya kau cepat mengenali orang, sehingga aku tak perlu lagi mengenali diri. Nah, Rancasena. Bersiaplah kau! Aku tak suka membuang-buang waktu. Kalau kau ingin mengambil senjatamu, kuberi waktu sesaat!”

“Aku tak perlu senjata, Anak Muda. Kalau memang kau menghendaki kematianku, silakan. Aku tak akan melawan sedikit pun. Hanya, berilah kesempatan aku menjelaskan duduk persoalan dan penyesalanku selama ini....”

Katakili diam tak menjawab, namun tetap memandang tajam kepada orang tua itu. Sementara, Ki Rancasena menganggap bahwa hal itu sebagai jawaban setuju. Maka, diceritakannya penyesalan atas keteledoran dan kesalahan para tokoh golongan putih yang telah membunuh ayahnya yang tak bersalah.

“Untuk itulah aku hidup menyepi di sini. Tapi, kau jangan salah sangka. Ceritaku bukan bertujuan untuk mendapatkan belas kasihanmu. Justru, selama bertahun-tahun aku selalu berharap kau datang dan mencabut nyawaku agar segala kesalahanku terhapus...,” lanjut Ki Rancasena.

DELAPAN

Katakili masih tetap memandang tajam Ki Rancasena. Kemudian, terdengar geramannya. “Huh! Apa pun yang kau katakan, aku tak peduli! Kau harus mampus hari ini juga!”

“Lakukanlah, Nak. Lakukanlah....”

Pemuda itu membuka jurus sambil mengelilingi lawan dengan sikap siaga. Banyak hal yang dipelajarinya dalam hidup. Dan salah satunya, adalah tidak percaya pada omongan manusia. Biarpun orang itu pendeta, siapa tahu hanya tipu muslihat belaka. Maka tidak heran kalau sikapnya tetap waspada.

“Yeaaah...!” Katakili menjerit keras, dan tiba-tiba tubuhnya melompat Langsung dihajarnya orang tua yang tidak bergeming sedikit pun.

Ki Rancasena terpental dua tombak dan jatuh tersungkur di tanah, namun sedikit pun tidak terdengar keluh kesakitan dari mulutnya. Padahal, tendangannya cukup keras menghantam dada Ki Rancasena. Terlihat ujung bibir orang tua itu menetes darah dan wajahnya berkerut menahan rasa sakit.

Katakili menggeram buas seperti harimau meraung. Bola matanya tajam ber- kilatan, dan kedua tangannya sudah membentuk cakar. “Hiyaaa...! Graungrrr...!”

Ucapan Katakili memang tidak main-main. Tubuhnya kembali melompat dan menerkam orang tua yang sudah tak berdaya itu habis-habisan, seperti seekor harimau lapar menyantap mangsanya. Ki Rancasena hanya bertahan sesaat saja. Tubuhnya pun terkoyak-koyak tidak berbentuk, dan cairan warna merah membanjir di sekitarnya.

Orang tua itu betul-betul memenuhi janjinya dan tidak melawan sedikit juga. Bahkan meskipun rasa sakitnya tidak tertahankan, namun sedikit pun tidak terdengar suara mengiba dari mulutnya. Dia memang terlihat pasrah sekali. Dan disadari betul kalau dengan cara inilah kesalahannya dapat terhapus. Sehingga tanpa kenal rasa takut, Ki Rancasena menjemput maut.

Katakili meraung keras sambil menengadahkan wajah ke langit. Dilampiaskannya dorongan hati yang selama ini menghimpit. Kucing-kucing yang mengerubunginya seperti merasakan apa yang tengah dirasakan pemuda itu. Bulu-bulu mereka bangkit. Dan semuanya berdiri tegak dengan mata nyalang.

“Astaga, kita terlambat!”
“Itukah Ki Rancasena? Biadab!”

“Heh!” Katakili memalingkan muka ketika terdengar langkah tiga orang yang mendekati tempat itu.

Mata pemuda itu menatap tajam ke arah seorang laki-laki tua bertubuh pendek yang selama ini selalu ada di dalam benaknya. Tanpa mempedulikan pemuda berbaju rompi putih dan gadis tanggung di sebelah orang tua itu, Katakili melangkah mendekati.

“Ki Wempang, kaukah itu?”

Orang tua itu tersentak kaget. Sorot mata pemuda itu amat tajam, seperti menusuk jantungnya. Untuk sesaat Ki Wempang tidak mampu menjawab, sampai gadis tanggung yang tidak lain Lestari melompat langsung berdiri tegak di hadapan pemuda itu dengan wajah garang.

“Manusia biadab! Kaukah yang membunuh eyang dan ibuku?”

Katakili memandang gadis itu dengan wajah sinis. “Siapa kau?! Apakah kau salah satu keluarganya yang ingin balas dendam atas dendam kematian mereka? Silakan. Memang aku yang membuat mereka mampus!” sahut Katakili dingin.

“Keparat! Kau harus mampus...!”
“Lestari, jangan!”
“Lepaskan aku! Lepaskaaan...!”

Gadis tanggung itu berusaha berontak ketika pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Rangga berkelebat cepat dan menyambar tubuhnya. Sebagai orang yang berpengalaman dalam dunia persilatan. Rangga sudah tahu sekecil apa pun gerakan lawan. Dan hal itu telah ditunjukkan Katakili. Kedua tangannya tadi sudah bergerak pelan ketika Lestari hendak menyerangnya. Itu sudah membuktikan kalau pemuda itu tidak bisa dibuat main-main.

“Lestari! Kau sedang terluka. Dan kau juga tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan tenaga!” Rangga mencoba menenangkan gadis itu.

“Aku tidak peduli! Apa urusanmu dalam soal ini? Huh! Kau tidak merasakan apa-apa! Tidak merasakan orang-orang yang kau cintai tiba-tiba saja dibunuh dengan keji?! Lepaskan aku! Lepaskaaan...! Biar kuhajar manusia keparat itu!” Lestari berusaha berontak dengan seluruh kekuatannya.

Rangga tahu, hal ini akan mencelakakan Lestari sendiri. Maka cepat ditotoknya gadis itu. “Maaf...!”

Tuk! Tuk!
“Kau kepa....” Tubuh Lestari ambruk bagai tidak bertenaga, dengan suara terkunci di tenggorokan.

Dari sorot matanya, Rangga bisa melihat kebencian dan amarah yang memuncak. Namun hal itu tidak dipedulikannya. Kepalanya lalu berpaling ke arah Ki Wempang dan Katakili yang tengah berhadapan. Sementara, Katakili sama sekali tidak terpengaruh oleh kejadian barusan. Perhatiannya tengah dipusatkan kepada orangtua itu, dan siap melakukan serangan.

“Kisanak! Tidak bisakah kita bicara baik-baik...?”

Katakili memandang kepada pemuda berbaju rompi putih itu dengan tatapan tidak senang. “Siapa kau?! Apakah kau pun akan ikut campur dalam urusanku?!”

“Aku hanya seorang kawan yang berusaha mengingatkanmu. Telah banyak yang menjadi korban. Apakah kau tidak berniat mengakhirinya saja dengan perdamaian? Tidak terbukakah hatimu bahwa dendam bukanlah satu-satunya penyelesaian yang baik? Dendam akan dibalas dengan dendam juga. Dan itu tidak akan pernah ada habis-habisnya....”

“Tutup mulutmu! Aku tidak butuh ocehanmu. Kau tahu apa pada peristiwa yang terjadi padaku? Aku tidak peduli, mereka mau dendam atau tidak. Dan aku juga tak peduli, mereka mau pasrah atau melawan. Seperti apa yang mereka lakukan pada kami lima tahun lalu. Tanyakan pada orangtua busuk ini! Bagaimana mereka mengejar-ngejar kami seperti binatang buruan, dan membunuh ayahku seperti hewan!” sentak Katakili garang.

“Kalau tindakanmu seperti mereka, itu artinya kau tidak lebih baik ketimbang mereka. Lalu, apa yang kau cari dengan membunuh mereka semua?” tanya Rangga, tenang.

“Aku tidak pernah mengatakan kalau diriku lebih baik dari mereka. Juga, aku tidak berharap pengakuan dari siapa pun. Tapi, kematian mereka adalah tujuan utamaku!”

“Kisanak! Itu suatu niat buruk yang tidak dimiliki manusia. Padahal, manusia itu pada dasarnya hidup berkasih sayang dan saling memaafkan. Apakah kau hendak memungkiri bahwa kau masih seorang manusia dengan naluri kebaikanmu?”

“Setan busuk! Aku tak punya banyak waktu untuk meladeni bicaramu. Menyingkirlah! Atau, kau ingin dapat bagian menjadi korbanku pula?!” bentak Katakili garang sambil menuding ke arah Rangga dengan wajah penuh kebencian.

“Rangga..., menepilah. Biarkan dia menyelesaikan dendamnya kepadaku...,” sahut Ki Wempang lirih.

“Ki Wempang! Apakah dengan kepasrahanmu itu akan mengubah perangai pemuda ini?”

“Paling tidak, dengan kematianku dia akan sedikit tenang dan bisa melupakan segala dendamnya....”

“Aaah! Manusia-manusia keparat! Kalian membuatku semakin tidak sabar saja.”

“Ki Wempang, awas...!” Rangga berteriak keras sambil mendorong orang tua itu hingga terjerembab.

Dan dengan demikian, Ki Wempang justru luput dari serangan Katakili yang tiba-tiba saja melompat bagi seekor kucing menyambar. Melihat serangannya gagal, tubuhnya langsung berbalik dan kembali menerkam Ki Wempang dengan buas.

“Graungrrr...!”
“Grrr...!”

Terdengar raungan Katakili yang menggelegar. Maka, kucing-kucing yang selalu mengikutinya serentak saling bersahutan. Ki Wempang pada mulanya ingin pasrah untuk dihajar pemuda itu. Namun mendengar suara itu, dia kontan bergidik. Dan entah kenapa, tiba-tiba tubuhnya bergulingan menghindari serangan lawan.

Rangga menyadari kalau Ki Wempang masih terluka dalam, sehingga tentu saja tidak akan sanggup menghadapi serangan lawan lewat dua jurus. Maka dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat bermaksud melindungi orang tua itu. Tapi....

“Graungrrr...!”

“Heh!” Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika dengan tiba-tiba ratusan ekor kucing melompat buas untuk menyerangnya. Tubuhnya yang telah bergerak, langsung membuat beberapa lompatan untuk menjauhkan diri dari sambaran kuku dan gigitan hewan-hewan liar itu. Namun....

Bret!

“Sial!” Rangga mengeluh kecil sambil memaki ketika bahunya sempat tercakar oleh seekor kucing yang berubah buas bagai hewan kelaparan.

Kedudukan Pendekar Rajawali Sakti saat ini betul-betul sulit. Ke mana pun bergerak, kucing-kucing itu selalu mengikuti dan ganas menerkamnya. Dirinya tak ubahnya bagai seekor tikus yang dikepung ratusan ekor kucing yang siap menerkam dan melahapnya. Tidak terpikir sebelumnya kalau hewan-hewan itu bakal menyerang sedemikian teratur, sehingga keterkejutannya tidak lenyap untuk beberapa saat Sampai akhirnya, Rangga terkejut oleh....

“Aaa...!”
“Ki Wempang? Astaga...!”
“Graungrrr...!”
“Yeaaah...!”

Rangga melompat sekuat tenaga bermaksud menolong Ki Wempang yang sudah tak berdaya di tangan Katakili. Namun sayang, gerakannya selalu dihambat kucing-kucing itu. Maka dengan rasa geram, dihantamnya beberapa ekor hingga pecah kepalanya. Tapi kucing-kucing itu seperti tidak kenal takut. Bahkan malah semakin ganas menyerangnya.

“Grrr...! Graungrrr...!”

“Heh!” Rangga tersentak ketika sesosok bayangan menerkam ke arahnya. Tubuhnya cepat diputar, dan berusaha berkelit. Namun delapan ekor kucing lainnya sudah langsung melompat dan menerkamnya dari arah belakang. Maka cepat-cepat tangannya dikibaskan ke belakang. Dan....

Prak!
Bret!

“Setan!” maki Rangga. Dada Pendekar Rajawali Sakti sempat juga tercakar salah seekor kucing. Padahal kepalan tangannya sempat menyapu lebih dari empat ekor kucing yang langsung terpental dengan tubuh remuk.

“Graungrrr...!”

Sesosok bayangan tadi yang tak lain dari Katakili, sudah melepaskan gaetan kaki. Maka Rangga cepat melenting ke belakang sambil menyampok sambaran kaki lawan yang mengarah ke lehernya. Dan begitu kaki Pendekar Rajawali Sakti mendarat, tiba-tiba cakar lawan sudah menyambar ke arahnya. Dengan pengalamannya yang sering menghadapi ilmu-ilmu sulit, Pendekar Rajawali Sakti cepat berputar bagai gasing sekaligus menghindari terkaman beberapa ekor kucing yang sangat dekat dengannya. Maka, lima ekor kembali terpental dengan tubuh remuk. Tapi....

Breeet!

“Akh...!” Tak urung, bahu Pendekar Rajawali Sakti sempat tercakar oleh Katakili yang terus mendesaknya. Rasa perih dan sakit mulai menjalar pada lukanya. Darahnya pun mengucur membasahi rompinya.

“Keparat! Kalian memang binatang liar yang tidak bisa diberi ampun!” geram Rangga memaki.

Didahului oleh bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti bersalto beberapa kali ke tempat yang tanahnya lebih tinggi. Tapi, Katakili dan balatentara kucingnya terus mengejar dengan cepat.

“Suiiit..!” Rangga tiba-tiba mengeluarkan siulan panjang yang terdengar aneh bunyinya.

“Graungrrr...!” Sementara, Katakili menggeram dahsyat Namun....

Cring!

Katakili dan kucing-kucingnya seperti tersentak kaget. Untuk sesaat mereka terpaku ketika melihat perubahan wajah Pendekar Rajawali Sakti yang penuh perbawa. Sorot matanya tajam berkilau seperti menantang tatapan Katakili. Dan lebih dari itu, adalah sebatang pedang yang memancar sinar biru berkilau yang telah dicabut Pendekar Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung.

Pedang dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti memang sedikit membuat hati Katakili bergetar hebat. Tapi kemudian dia sudah meraung keras. Dan secara serentak, kucing-kucing yang berada di dekatnya kembali menyerbu ke arah Rangga.

“Graungrrr...!”

Ratusan ekor kucing yang dipimpin Katakili siap merobek-robek tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun merasa yakin akan mampu menghadapi mereka, tapi Pendekar Rajawali Sakti ragu apakah bisa lolos? Ratusan ekor kucing bagai gelombang lautan kala bergerak, bukanlah ancaman main-main. Secepat apa pun Pendekar Rajawali Sakti bergerak, hewan-hewan itu telah membuktikan kalau masih mampu melakukan serangan dan merobek bagian tubuhnya.

Dan kalau hal itu berlangsung terus sampai tubuhnya penuh luka dan kehabisan tenaga, saat itulah barangkali Katakili akan mengambil kesempatan. Tapi Rangga telah memperhitungkannya. Itulah sebabnya Pendekar Rajawali Sakti memancing pertarungan ke tempat yang agak tinggi, dan langsung mengeluarkan siulan nyaring. Di samping untuk mengalihkan perhatian kucing-kucing dari Lestari, dia juga bermaksud minta bantuan kepada....

“Khraaagkh...!”

“Bagus, kau cepat datang, Sobat!” Rangga menunjukkan wajah girang ketika seekor rajawali raksasa terbang rendah menuju ke tempat mereka. Rupanya, Rajawali Putih tunggangannya telah mendengar panggilan lewat siulan nyaring tadi.

Katakili dan kucing-kucingnya tersentak melihat kehadiran burung raksasa itu. Dan saat itu juga dia meraung keras. Maka seketika ratusan ekor kucing bersiap hendak melompat dan menerkam Rajawali Putih.

“Graungrrr...!”
“Khragkh...!”

Rangga segera memasang mantap kuda-kudanya ketika Rajawali Putih mengepakkan sayap-sayapnya, sehingga menimbulkan angin menderu hebat di seputar tempat itu. beberapa batang pohon kecil terlihat tumbang. Sedangkan ranting-ranting serta cabang-cabang pohon yang batangnya besar, terlihat patah. Batu-batu beterbangan disertai debu yang membubung tinggi menyelimuti tempat itu. Bahkan kucing-kucing pengikut Katakili terlempar bagai sehelai daun kering tertiup angin. Tapi, Katakili sendiri tetap berdiri tegak sambil menahan tekanan angin yang dahsyat itu.

Melihat keadaan seperti ini terus-menerus, membuat Katakili jadi kalap. Maka tanpa banyak perhitungan lagi, seluruh kekuatannya dikerahkan Dan sambil meraung keras, dia melompat hendak langsung menghabisi Pendekar Rajawali Sakti.

Dan pada kenyataannya, tindakan Katakili sudah diduga Rangga. Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri tegak, bersiap menyambut serangan lawan. Dan begitu serangan hampir dekat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat seraya berputaran beberapa kali di udara. Dan pada saat yang bersamaan, pedangnya dikelebatkan dua kali ke sasarannya yang masih di udara, ketika tubuhnya bergerak.

Cras! Cras!
“Aaa...!”

Terdengar pekikan keras begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar tubuh Katakili. Dan begitu mendarat, Katakili langsung roboh dengan guratan luka menyilang di dada, setelah terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti yang dikeluarkan lewat pengerahan ilmu 'Pedang Pemecah Sukma' tingkat terakhir. Tubuh Katakili kini diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati!

Rangga yang sudah mendarat kembali di tanah, menghela napas pendek. Sementara itu, Rajawali Putih telah menghentikan kepakan sayapnya. Tempat itu kini terlihat porak-poranda bagai dilanda angin puyuh. Kucing-kucing yang tadi berkumpul telah tersapu bersih. Banyak di antaranya yang mati terbentur batu atau batang-batang pohon. Sementara, sekitar lima puluh ekor tampak berusaha bangkit sambil berjalan dengan wajah bingung.

“Lestari...!” Rangga tersentak kaget ketika teringat pada gadis itu.

Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti mencarinya ke tempat tadi. Tapi, Lestari telah lenyap. Dan di tempat tubuh gadis itu tadi bersandar, terdapat guratan tulisan yang tertera di batang pohon.

Terima kasih, kau telah menyelamatkan anakku. Biarlah kini Lestari menjadi urusanku. Aku tidak sempat mengucapkan terima kasih langsung, karena kau sedang bertarung. Tapi aku yakin, kau mampu mengatasi pemuda itu. Lain waktu, akan kusempatkan untuk mencarimu dan mengucapkan terima kasih secara langsung.
Salam hormatku, Permana.


“Hm.... Agaknya ayahnya datang menolong...,” gumam Rangga sambil mengangguk tenang.

Pendekar Rajawali Sakti kembali berjalan menemui Rajawali Putih yang telah mendekam di tempat yang agak lapang. Ditepuk-tepuknya leher burung raksasa itu beberapa kali. Rangga lalu memandang ke sekeliling tempat itu, dan melompat ke punggung Rajawali Putih.

“Ayo, Rajawali. Kita tinggalkan tempat ini!” ujar Rangga, lalu melesat dan mendarat di punggung tunggangannya. Manis sekali gerakannya, pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah begitu tinggi.

“Khragkh!” Rajawali Putih mengeluarkan suara halus, namun terdengar keras sekali di telinga. Kemudian sayapnya langsung dikepakkan, dan segera melesat ke udara.

Sementara, angin kembali bertiup kencang menambah porak-porandanya tempat itu. Sesaat kemudian, mereka telah berada di angkasa. Dan kini yang terlihat hanya sebuah titik hitam yang berbaur dalam kelabunya senja. Sementara di ujung barat sana, matahari memancarkan sinar kuning kemerahan. Burung-burung kembali terbang ke sarang, dan hewan-hewan malam mulai berkeliaran menyambut malam.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: BIDADARI DASAR NERAKA