Pendekar Sakti Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 10

ANG BIN SIN KAI sengaja mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai bulu cambuk tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Dia merasa heran dan juga marah mengapa datang-datang Kiu-bwe Coa-li hendak membunuhnya, sedangkan terhadap dua orang tokoh Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu, iblis wanita ini hanya merampas senjata mereka saja.

Pukulan yang dilancarkan Ang-bin Sin-kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biar pun jarak antara Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li ada tiga tombak, namun nenek sakti itu merasakan datangnya hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan ulu hatinya! Terpaksa ia menarik cambuknya sambil melompat ke kanan menghindarkan diri dan dengan demikian, dia gagal menyerang Ang-bin Sin-kai, namun berhasil merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu!

Ketua Kim-pan-sai dan ketua Thian-san-pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka juga amat terkejut menyaksikan kelihaian nenek sakti yang dikenal baik namanya namun belum pernah disaksikan kepandaiannya itu.

“Suthai, apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” kata Pouw Hong Taisu dengan mata bernyala merah.

Kiu-bwe Coa-li menjebikan bibirnya dengan mengejek, “Hemm, tua bangka tak tahu diri! Kalau aku tidak datang turun tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai? Ada dua hal yang mengharuskan aku turun tangan. Pertama, karena kalian telah menyerang orang yang tidak berdosa, ke dua, karena aku sendiri yang akan memberi hajaran pada Ang-bin Sin-kai, si manusia pelanggar sumpah!”

“Kiu-bwe Coa-li!” Pouw Hong Taisu membentak marah, “Kau tidak tahu, pengemis jahat ini telah membunuh murid-murid kami!”

“Bodoh, kalian tua bangka-tua bangka bodoh! Pembunuh Pek-cilan Thio Loan Eng dan Ong Kiat bukanlah Ang-bin Sin-kai, melainkan Toat-beng Hui-houw dan hal ini pinni (aku) telah menyaksikan sendiri!”

Mendengar kata-kata ini, tentu saja dua orang tokoh persilatan itu kaget sekali dan muka mereka menjadi pucat. Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya terhadap Ang-bin Sin-kai dan hal itu bukan urusan yang kecil saja. Akan tetapi pada saat mereka menengok kepada Ang-bin Sin-kai, orang tua ini hanya tersenyum-senyum saja.

“Nah, terimalah senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan binasa karenanya, jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!” kata Kiu-bwe Coa-li dan begitu ia menggerakkan cambuknya, sepasang golok itu terlepas dan meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan pedang itu meluncur ke arah Bin Kong Siansu!

Luncuran ini hebat sekali, cepatnya melebihi anak panah ada pun tenaganya melebihi tusukan seorang ahli silat! Kedua ketua Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu terkejut sekali.

Dengan gerakan Monyet Sakti Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan tangannya menyambut pedangnya sendiri pada gagangnya. Dia berhasil menerima pedangnya itu akan tetapi dia merasa telapak tangannya pedas sekali.

Yang lebih hebat adalah Pouw Hong Taisu karena tosu ini menghadapi serangan dari sepasang goloknya yang meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya agak terlambat menyambar yang meluncur ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke kiri sehingga golok itu meluncur terus mengancam seorang tamu muda yang duduk di belakangnya!

Keadaan amat berbahaya bagi tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-bin Sin-kai berkelebat dan sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap pada tiang melintang di atas hingga separuhnya. Gagang golok itu bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat kuatnya!

Pouw Hong Taisu menjadi pucat, demikian pula semua tamu. Ternyata bahwa gedung Bun-bu-pang telah kedatangan dua orang tamu yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali.

Walau pun mereka sudah mendengar dan mengenal Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh-tokoh besar yang tiada taranya, akan tetapi baru hari ini mereka kebetulan bisa menyaksikan kepandaian mereka yang betul-betul hebat. Keringat dingin mengucur pada jidat mereka, terutama sekali Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu yang sudah merasa bersalah terhadap Ang-bin Sin-kai yang mereka tuduh secara keji sekali.

Kini Kiu-bwe Coa-li menghadapi Ang-bin Sin-kai. Sepasang matanya menyatakan bahwa nenek sakti ini sedang marah bukan main.

“Ang-bin Sin-kai, pengemis hina dina. Kau benar-benar berjiwa pengemis rendah dan tidak merasa jijik untuk menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas lumpur busuk! Orang lain boleh kau bodohi begitu saja, akan tetapi pinni tidak sudi kau tipu!” sambil berkata demikian Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh Ang-bin Sin-kai!

Ang-bin Sin-kai kaget sekali menghadapi serangan yang hebat ini. Ia sebenarnya terkejut bukan karena jeri melainkan heran kenapa iblis wanita ini betul-betul menyerang dengan niat membunuh. Kesalahan apakah yang sudah diperbuatnya? Agaknya hari ini dia sial benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukan-bukan dan menghendaki jiwanya!

Menghadapi Kiu-bwe Coa-li jauh sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu, karena dia maklum bahwa nenek ini benar-benar lihai dan sangat berbahaya. Cepat Ang-bin Sin-kai menggunakan ginkang-nya untuk mencelat mundur sehingga bulu-bulu cambuk yang panjang itu tidak sampai mengenai tubuhnya.

Ia mengangkat kedua tangan sambil berkata keras, “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li! Kau agaknya tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku tadi. Katakan lebih dulu kenapa kau menganggap aku si tua bangka ini sebagai si pelanggar sumpah?”

“Bagus, jembel siluman masih hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah bersumpah tidak akan mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betul tidak?”

“Betul,” jawab Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.

Kiu-bwe Coa-li tersenyum mengejek. “Dan bila mana kau melanggar sumpahmu itu, kau bersumpah akan mampus seperti anjing, betulkah?”

“Memang begitulah kira-kira bunyi sumpahku.”

Mata kiu-bwe Coa-li mendelik. “Jahanam! Dan sekarang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari kitab peninggalan Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Karena itu, kau harus mampus seperti anjing di bawah cambukku.”

Terbelalak mata Ang-bin Sin-kai memandang nenek sakti itu. “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu. Dari manakah kau bisa mengetahui semua ini?”

“Semua orang sudah tahu. Empat tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku tidak?”

“Kiu-bwe Coa-li, siluman perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari kitab peninggalan itu atas pesanan mendiang Gui-siucai, apakah hubungannya dengan aku? Ingat, sumpahku adalah apa bila aku mempergunakan dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang mencari, melainkan anak itu. Dia berhak mendapatkannya, karena bukankah dia hanya memenuhi pesanan terakhir dari gurunya yakni Gui-suicai?”

“Bohong! Kau sengaja memutar balikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut mampus?”

Ang-bin Sin-kai mulai marah. “Kiu-bwe Coa-li, alangkah sombongmu. Kau kira aku takut kepadamu? Kau boleh menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?”

“Bangsat tua, mampuslah!” Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya.

“Tar! Tar! Tar!”

Cambuknya berbunyi keras sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jeri dan tak terasa pula segera mindur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena ujung cambuk yang lihai itu.

Kiu-bwe Coa-li mengamuk seperti iblis. Ujung cambuknya kalau mengenai bangku, maka pecahlah bangku itu seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia menggunakan cambuknya menangkap meja dan bangku, lalu dilontarkannya meja bangku itu ke pinggir sehingga sibuklah orang-orang yang berada di situ untuk mengelak dari hujan bangku yang tadi mereka duduki.

Yang celaka adalah kaum sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang bisa menangkis atau mengelak, mereka ini tertimpa meja serta bangku sehingga menderita benjol!

Ruangan yang luas itu kini bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi, Kiu-bwe Coa-li serentak menyerang dengan cambuknya. Ang-bin Sin-kai yang tahu kelihaian lawan tidak mau berlaku sembrono menghadapinya dengan tangan kosong.

Memang biasanya kakek ini tidak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran menghadapi siapa pun juga. Akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari Kiu-bwe Coa-li amat berbahaya, sekarang dia mencabut suling pemberian dari Hang-houw-siauw Yok-ong untuk menangkis.

Pertempuran antara kedua orang tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya. Biar pun orang-orang yang berkumpul di situ telah berdiri mepet pada tembok, namun sambaran angin yang keluar dari cambuk dan kedua tangan Ang-bin Sin-kai masih terasakan oleh mereka yang membuat rambut dan pakaian mereka berkibar dan kulit terasa dingin!

Suara yang mengiringi pertempuran ini pun terdengar amat mengerikan. Tidak saja suara bersiutnya bulu-bulu cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diselingi dengan suara menjetar yang menulikan telinga, juga suara dari suling yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai menimbulkan suara angin yang mengerikan. Karena suling ini digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang suling menimbulkan suara bagaikan seekor binatang buas menangis.

Semua orang bergidik mendengar suara-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat betapa bayangan dua orang tokoh besar itu lenyap sama sekali. Di ruangan itu kini hanya terlihat gulungan sinar yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak ke sana ke mari sehingga sukar untuk diduga siapa yang menang siapa yang kalah.

Melihat cara Kiu-bwe Coa-li mainkan cambuknya, Ang-bin Sin-kai merasa terkejut bukan main. Pernah dia menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka berebutan kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan biar pun dia sendiri belum pernah menghadapi Kiu-bwe Coa-li, namun dia sudah dapat mengukur kelihaian lawan ini. Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat sekali. Berat dan aneh.

Tiba-tiba dia teringat akan tenaga lweekang yang pernah didapat bocah gundul itu dalam mempelajari lweekang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Maka mengertilah dia bahwa entah dengan cara bagaimana, iblis wanita ini sudah pula mempelajari ilmu lweekang dari kitab palsu itu!

Menduga tentang ini, otomatis Ang-bin Sin-kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana tadi dia melemparkan Kwan Cu supaya terhindar dari pada gangguan lawan. Alangkah kagetnya ketika dia tidak melihat muridnya berada di situ. Ia sudah tahu akan ketaatan muridnya ini dan tak mungkin Kwan Cu berani pergi dari situ tanpa perkenannya. Tentu telah terjadi sesuatu dengan anak itu.

Pikiran ini membuat Ang-bin Sin-kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali. Begitu kedua tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut dan direnggutnya sekuat tenaga!

Kiu-bwe Coa-li sangat terkejut dan cepat dia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk dipukulkan ke arah kepala Ang-bin Sin-kai. Dia maklum bahwa untuk lain orang, sekali pukulan dengan ujung sehelai bulu pecut saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Akan tetapi menghadapi Ang-bin Sin-kai, belum tentu dia mampu merobohkan kakek ini dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau tidak mengenai bagian yang penting seperti ubun-ubun kepala!

Ang-bin Sin-kai marah sekali dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot! Akan tetapi serangan enam helai bulu pecut sudah menyambar ubun-ubun kepalanya, maka cepat-cepat dia mengelak sambil miringkan tubuhnya. Betapa pun cepat gerakannya, dia terlambat dan beberapa helai bulu pecut masih mengenai pundaknya yang menimbulkan rasa sakit dan ngilu.

Dia mengerahkan tenaga lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya mendadak menubruk maju dengan kedua tangan dipentang. Ternyata dalam kemarahannya Ang-bin Sin-kai sudah mengeluarkan tipu serangan yang sangat berbahaya, yakni pukulan yang disebut Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka merah ini telah dapat menangkap dan meniru inti pukulan serangan ombak terhadap batu karang pada waktu dia masih suka bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai!

Kiu-bwe Coa-li berseru kaget ketika hawa pukulan lawan membuat semua bulu pecutnya terpental kembali dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia kembali berseru dan tiba-tiba tubuhnya melayang naik untuk menghindari serangan lawan.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk melompat naik dan nyeplos dari genteng yang sudah berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia maklum bahwa muridnya keluar dari tempat ini.

“Kwan Cu...!” Ia berteriak di atas genteng sambil memandang ke kanan dan kiri. Namun keadaan di situ sunyi saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.

“Kwan Cu...! Hai... Kwan Cu bocah gundul, kau di mana?!” kembali kakek ini berseru memanggil sambil mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga seruan ini tentu akan bisa terdengar oleh Kwan Cu seandainya anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja dari tempat itu.

Dan memang betul, Kwan Cu dapat mendengar suara gurunya yang memanggil ini, akan tetapi dia tidak berdaya karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah pohon ditunggu oleh Bun Sui Ceng yang mendongeng kepadanya tentang Pek-cilan Thio Loan Eng yang terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw!

“Jangan kau khawatir, Kwan Cu. Biar pun kelihatan galak, guruku berhati mulia dan kau pasti tak akan diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,” kata Sui Ceng kepada bocah gundul itu.

Ada pun Ang-bin Sin-kai, setelah memanggil beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, menjadi semakin gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya bahwa Kwan Cu tentu telah diculik oleh Kiu-bwe Coa-li pada saat dia masih dikeroyok oleh dua Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau anak itu bersembunyi di dalam rumah?

Ia lalu melompat kembali turun ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi bayangan Kiu-bwe Coa-li. Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-bin Sin-kai melayang naik melalui atap yang bolong, dan Kiu-bwe Coa-li setelah mengeluarkan suara tertawa yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu berkelebat pergi dari pintu. Semua orang menahan napas. Dan sekarang melihat Ang-bin Sin-kai melayang turun kembali, mereka memandang penuh perhatian.

“Di mana adanya muridku?” tanya Ang-bin Sin-kai kepada mereka.

Tak seorang pun menjawab.

“Hai...! Tulikah kalian semua? Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas tumpukan meja itu?”

Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu melangkah maju. Dua orang kakek ini segera merangkap dua tangan dan memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal.

“Muridmu sudah diambil oleh Kiu-bwe Coa-li ketika kau tadi bertempur melawan kami,” kata Pouw Hong Taisu dengan suara menyesal. “Semua adalah kesalahan kami, Ang-bin Sin-kai dan kami mohon maaf sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku amat buruk terhadapmu. Maaf, maaf...,” kata Bin Kong Siansu dengan hati tidak enak sekali.

“Marah, menyesal! Ahh, orang-orang seperti kalian masih bisa diombang-ambingkan oleh perasaan dan nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!” kata Ang-bin Sinkai gemas. “Ehh, orang she Kwa, apakah kau pun tidak malu menjadi ketua Bun-bu-pang?” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu melompat pergi meninggalkan rumah perkumpulan Bun-bu-pang itu. Semua orang saling pandang dan menghela napas.

“Biarlah hal ini merupakan pelajaran bagi kita sekalian,” kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang. “Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan sesuatu urusan, harus melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya begitu saja kata-kata orang lain.”

Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk Hek-i Hui-mo, karena sebenarnya Hek-i Hui-mo yang membakar hati mereka dan Hek-i Hui-mo yang memberi tahu mereka bahwa Ang-bin Sin-kai yang membunuh murid-murid mereka.

“Kiu-bwe Coa-li, hati-hati kau! Apa bila sampai kau ganggu muridku, aku Ang-bin Sin-kai belum mau mati sebelum mencabuti sembilan ekormu,” sepanjang jalan Ang-bin Sin-kai berkata begini meski pun hatinya tak begitu mengkhawatirkan akan keadaan muridnya.

Ia tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui Tin yang dapat memberi petunjuk di mana adanya kitab sakti itu telah dicuri orang, tentu Kwan Cu akan berkata terus terang dan Kiu-bwe Coa-li tentu akan berusaha merampas kembali kitab sejarah yang tercuri.

“Betulkah Jeng-kin-jiu yang telah mencurinya? Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga Jeng-kin-jiu, tentu Kiu-bwe Coa-li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke kota raja. Hemm, tiada jalan lain, aku pun harus menyusul ke sana. Betapa pun juga, kitab sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain, harus menjadi milik Kwan Cu yang memang berhak.”

Setelah mengambil keputusan begini, Ang-bin Sin-kai lalu berlari cepat menuju ke kota raja.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****


Pada masa itu yang menjadi kaisar kerajaan dari Kerjaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang doyan pelesir. Kaisar ini selalu tenggelam dalam kesenangan, memelihara banyak sekali selir yang cantik-cantik, setiap hari menghibur diri di tengah-tengah selir-selirnya sambil melihat tari-tarian dan nyanyian merdu, sama sekali tidak mau peduli akan pemerintahannya dan juga tidak mau peduli akan keadaan rakyat jelata yang banyak menderita.

Istana-istana indah dan megah dibangun di mana-mana, menghamburkan banyak uang yang mengalir masuk dari hasil keringat rakyat petani. Istana-istana indah di mana selalu dihias dengan perabot-perabot mahal dan juga ‘perabot-perabot hidup’ berupa dara-dara jelita yang dikumpulkan dari berbagai daerah!

Tidak mengherankan jika pujangga besar Tu Fu menjadi naik darah dan sedih juga ketika pada suatu hari di musim dingin dia pulang dari perjalanan dari Tiang-san dan melewati Bukit Li-shan. Di situ, yaitu di puncak Bukit Li-shan di mana terdapat sebuah di antara istana-istana kaisar yang disebut Istana Hwa Ceng, Tu Fu mendengar bahwa kaisar Hian Tiong sedang berpesta pora, berpelesir mendengarkan musik dan nyanyian, menonton tari-tarian dan bersenang-senang dengan para selirnya.

Teringatlah Tu Fu akan keadaan rakyat jelata yang sangat sengsara dan menderita di dalam angin dingin dan kelaparan, rakyat yang menggeletak kelaparan dan kedinginan di atas jalan-jalan raya di Tiang-san. Maka menulislah pujangga patriot ini kata-kata yang sampai kini masih dihargai oleh seluruh rakyat.

Di belakang pintu gerbang
merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan
hingga masak membusuk!

Di luar pintu gerbang
Kotor sunyi melengang
Berserakan tulang rangka
Sisa korban dingin dan lapar!


Memang, Kaisar Hian Tiong terlalu banyak mengumbar kesenangan jasmani atau boleh juga disebut terlalu menurutkan nafsu hewan. Di dalam istana di kota raja, selirnya tidak terhitung banyaknya, terdiri dari gadis-gadis cantik jelita yang didatangkan dari berbagai daerah.

Ada yang memang diserahkan oleh orang tuanya dengan hati bangga, akan tetapi tidak kurang pula yang didapatkan oleh kaisar dengan jalan keras, yaitu dengan paksaan dan sebagian besar adalah ‘hadiah’ yang diberikan oleh para pembesar untuk mengambil hati sang junjungan. Yang paling hebat, di antara sekian banyaknya selir itu, ada pula yang tadinya telah menjadi isteri orang, yang direnggut dari suaminya untuk dipaksa melayani kaisar, orang terbesar di dalam negeri, orang yang dianggap sebagai ‘Pilihan Tuhan’!

Di antara para selirnya ini, terdapat seorang wanita muda yang amat cantik jelita. Kaisar pernah tergila-gila kepada selirnya ini yang diberinya nama Bi Lian atau Teratai Jelita kepada selirnya ini. Untuk menggambarkan betapa cantiknya Bi Lian, seorang ahli sajak di dalam istana atas perintah kaisar telah membuatkan sajak pujian kepada Bi Lian yang ditempel di kamar selir cantik ini. Beginilah sajak itu,

Rambut panjang hitam dan halus.
Melebihi kehalusan benang sutera.
Diikal menjadi mahkota hidup.
Terhias bunga cilan dengan dua kuncup
Sisir emas jadi penahan,
Sedap, wangi, semerbak harum!
Wajah indah jelita berbentuk telur
Berkulit halus dan betapa putihnya,
Putih kuning seperti susu.
Dua alis melengkung hitam
Menghias sepasang mata burung hong.
Kering tajam lunak menikam kalbu
Hidung kecil mancung berbentuk sempurna
Bagaikan ukiran batu kemala.
Mulut kecil mungil, merah membasah
Di balik bibir manis
Tersembunyi gigi mutiara!
Tubuh ramping
Mengalahkan batang yang-liu (cemara)
Tertiup angin
Melenggak-lenggok mempesona
Tangan kaki kecil mungil
Seperti kuncup bunga,
Setiap gerakan
Menyedapkan pandangan mata
Di dalam dunia memang banyak wanita jelita
Namun siapakah dapat menyamai bunga istana
Teratai Jelita (Bi Lian) kekasih raja?


Namun cinta kasih seorang laki-laki seperti Kaisar Hian Tiong tidak bertahan lama, tidak tahan uji. Hanya dicinta dan dipuja kala masih baru. Setiap kali berganti kekasih, datang yang baru lupa yang lama. Demikian pun halnya dengan Bi Lian. Belum cukup setahun menjadi kekasih kaisar yang paling dicinta, kaisar mulai bosan dan kini jarang lagi datang ke kamarnya.

Semenjak dibawa dengan paksa ke kota raja dan menjadi penghuni harem kaisar, remuk redamlah hati Bi Lian. Dia telah memiliki seorang tunangan, seorang pemuda terpelajar yang sedianya menjadi suaminya. Akan tetapi nasib buruk menimpa dirinya dan dari kota Hang-ciu ia dibawa secaa paksa, bagai seekor domba muda dibawa ke penjagalan untuk di sembelih!

Dengan hati hancur dia harus melayani segala kehendak kaisar yang sangat buas dalam pandangannya itu. Memang tadinya dia agak terhibur ketika dirinya dihujani benda-benda mahal dan indah, ketika dia hidup dalam kemewahan, selalu dilayani oleh para pelayan. Akan tetapi, setelah kaisar mulai bosan dengan dia, dia lalu teringat kembali kepada Can Kwan tunangannya. Dia merasa rindu bukan main, dan setiap hari dia menangis di dalam kamarnya.

Pada malam hari itu, seperti biasa Bi Lian duduk di dalam kamarnya seorang diri. Sore tadi pelayannya datang dan hendak memandikannya serta membereskan pakaian dan rambutnya seperti biasa. Namun Bi Lian menolak dan menyuruh pelayan itu mundur.

Dia duduk termenung dalam kamarnya, mendengarkan suara tetabuhan yang dibunyikan orang di bagian lain dari istana yang luas itu. Bunyi suling dan yang kini membuat hatinya semakin hancur dan berduka. Dia memandang ke arah sajak pujian untuk dirinya yang tergantung dekat pembaringannya. Bunyi sajak itu bahkan membuat Bi Lian terharu dan sedih, mengingatkan dia akan sajak yang pernah dibacanya dahulu.

Aduh sayang, setangkai mawar indah
terbawa hanyut oleh air bah!
Air buas mengalir terus tanpa peduli
mawar yang malang
tertinggal di atas lumpur!


Teringat akan bunyi sajak ini, tak terasa pula dua titik air mata bagaikan dua butir mutiara menitik turun di atas sepasang pipinya yang putih halus kemerahan.

“Can Kwan...” keluh-kesah yang berkali-kali dibisikkan oleh hati wanita muda itu sekarang keluar dari bibirnya, merupakan keluh kesah yang amat menyayat hatinya, dan tak dapat ditahan lagi berderailah air matanya.

“Cui Hwa...” tiba-tiba saja terdengar suara panggilan perlahan dari luar jendelanya yang menembus ke dalam taman bunga yang sengaja dibuat oleh kaisar di luar kamarnya atas permintaannya beberapa bulan yang lalu.

Bi Lian terkejut bukan main. Nama Cui Hwa adalah nama aslinya sebelum ia dibawa ke istana kaisar dan nama ini hampir setahun tidak pernah disebut orang. Namanya sudah berganti menjadi Bi Lian. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan terkejutnya ketika ia mendengar nama lama itu disebut orang. Terutama sekali yang membuatnya terkejut adalah suara itu! Suara orang yang tak pernah dapat dilupakannya, bahkan suara orang yang pada saat itu sedang memenuhi pikiran dan hatinya... Can Kwan!

Seperti dalam mimpi, Bi Lian atau Cui Hwa berjalan menghampiri jendela dan membuka jendela itu. Sesosok bayangan orang melompat masuk dan dengan cepat telah berada di dalam kamar Bi Lian. Wanita ini memandang dan...

“Can Kwan...!” serunya sambil berdiri memandang dengan mata terbelalak serta mulut ternganga.

Ada pun orang yang masuk itu, seorang pemuda yang tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar, juga berdiri dengan pandangan mata kagum menyaksikan kecantikan wanita yang berdiri di hadapannya.

“Cui Hwa...”

Walau pun dahulu mereka belum pernah bersentuh tangan, hanya bicara secara sopan sebagaimana lazimnya orang bertunangan, namun pada saat itu suara hati mereka yang bicara dan perasaan rindu dendam yang hebat mempengaruhi jiwa raga. Tanpa dapat dicegah lagi oleh akal sadar, keduanya saling menubruk dan berangkulan.

“Cui Hwa... kekasihku...”

“Can Kwan, alangkah senangnya bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi...”

“Cui Hwa, siapa bilang dalam mimpi?” Can Kwan segera melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak wanita muda itu, memandang dengan mata penuh cinta kasih mesra. “Kau lihatlah baik-baik, bukankah aku Can Kwan tunanganmu? Aku benar-benar datang kekasihku.”

Namun Cui Hwa menggeleng-gelengkan kepalanya yang cantik.

“Tidak mungkin! Benar-benar tidak mungkin! Bagaimana kau dapat masuk ke sini? Istana dikurung pagar tembok yang tinggi, terjaga kuat oleh pasukan! Sedangkan kau adalah seorang pelajar yang lemah, yang hanya kuat menggerakkan tangkai pena dan membalik lembaran buku. Kau tak mungkin dapat datang ke sini, kecuali kalau... kalau...”

Tiba-tiba pucatlah muka Cui Hwa atau Bi Lian. Ia hampir menjerit ngeri, tetapi buru-buru menutupkan mulutnya dengan tangan, lalu bertindak mundur sampai tiga langkah.

“Cui Hwa, mengapa kau?”

“Can Kwan... tak salah lagi... kau tentu telah mati...! Rohmu yang datang mengunjungiku. Ahh, Can Kwan. Kalau kau sudah mati, tenanglah, aku pasti akan menyusulmu. Sudah tidak tahan lagi aku berada di sini, terpisah darimu!” Bi Lian lalu menangis tersedu-sedu.

Can Kwan melangkah maju kemudian merangkulnya kembali. Dia tertawa perlahan dan membelai rambut kepala Bi Lian.

“Cui Hwa, pernahkah engkau mendengar roh dapat memelukmu seperti yang kulakukan sekarang ini? Lihatlah aku baik-baik, aku belum mati. Aku adalah Can Kwan yang masih hidup, masih berdarah masih berdaging. Ketahuilah, semenjak kau dibawa ke sini, aku lalu melepaskan pena dan berlatih giat sekali mempelajari ilmu silat dari seorang gagah. Akhirnya, pada malam ini aku berhasil melampaui penjaga-penjaga itu dan naik melalui pagar, walau pun dengan susah payah namun aku berhasil sampai ke kamarmu.”

“Can Kwan...! Can Kwan…!” Bukan main girang dan terharunya hati Bi Lian mendengar ucapan kekasihnya ini. “Akan tetapi, apa gunanya...? Kau bisa masuk ke sini, akan tetapi bagaimana keluarnya? Bagaimana pula kalau nanti kau ketahuan oleh penjaga? Ssstt... bersembunyilah, pelayanku datang...”

Akan tetapi, Can Kwan tidak bersembunyi, sebaliknya dengan sekali lompatan dia telah berada di depan pelayan wanita itu dan menotok pundak wanita itu. Pelayan itu roboh tak sadarkan diri lagi.

“Can Kwan, kau... mem... membunuhnya?” tanya Cui Hwa dengan kaget dan ngeri.

Can Kwan tersenyum. Bukan main tampannya wajah pemuda itu dalam pandangan Cui Hwa. “Tidak, Cui Hwa, aku hanya membikin dia tak berdaya untuk beberapa jam saja. Ia tidak apa-apa.”

“Can Kwan, setelah kau datang ke sini... apa kehendakmu?”

Can Kwan memegang kedua tangan kekasihnya. “Cui Hwa, mari kita pergi dari sini, mari kita mulai hidup baru sebagai suami istri, jauh dari sorga dunia yang merupakan neraka bagi batin kita ini.”

“Can Kwan! Bagaimana mungkin? Kau… kau pasti akan tertangkap dan mereka akan membunuhmu! Ahh, Can Kwan... biarlah aku seorang yang menderita, aku tidak tahan melihat kau mereka bunuh! Pergilah, kau cari seorang isteri lain yang bijaksana, biarlah, aku... aku tak berharga lagi menjadi... isterimu. Tak boleh kau mendapat bencana karena aku... tinggalkanlah aku, Can Kwan. Kedatanganmu ini sudah merupakan bahagia yang sebesarnya bagiku dan akan menghiburku sampai aku mati. Akan kuingat sebagai tanda cintamu...”

“Hushh, Cui Hwa, jangan mengeluarkan omongan bodoh! Kini aku sengaja datang untuk membawamu keluar dari sini.”

“Bagaimana caranya?”

“Akan kubawa kau melompati pagar tembok, keluar dari istana.”

“Kalau kau diketahui oleh penjaga?”

“Akan kubuka jalan darah, biar mati bersamamu!”

“Tidak, Can Kwan...” Cui Hwa menangis dan memandang dengan muka ngeri. “Kau tidak boleh mati karena aku...! Apa dayamu menghadapi para pengawal yang jumlahnya amat banyak itu? Biar aku sengsara, biar aku mati asal kau bahagia, asal kau hidup...”

“Cui Hwa...!”

Pada saat itu pula terdengar bentakan-bentakan dari luar.

“Penjahat! Pencuri!”

“Tangkap, tangkaaaap!”

Cui Hwa menjadi pucat. “Celaka, Can Kwan, mereka sudah datang!”

Wajah Can Kwan yang tampan menjadi beringas dan pemuda ini mencabut pedangnya, lalu melompat keluar. Ia langsung disambut oleh belasan orang pengawal yang segera mengepungnya.

Can Kwan memang sudah mempelajari ilmu silat dengan tekunnya dari seorang pandai, dan pedangnya bergerak laksana naga mengamuk. Beberapa orang pengawal sebentar saja sudah roboh mandi darah di bawah sabetan pedangnya.

Akan tetapi makin banyak pengawal datang mengeroyok sambil berteriak-teriak, dan biar pun Can Kwan pernah belajar silat secara amat tekun, namun sampai di manakah tingkat kepandaian seorang yang baru belajar ilmu silat selama setahun? Dia mulai merasa lelah dan telah mendapat beberapa luka ringan.

“Can Kwan...!” Terdengar seruan Cui Hwa menyayat kalbu.

Pemuda itu menengok dan alangkah kagetnya melihat tubuh kekasihnya itu terhuyung-huyung mandi darah! Sebuah pisau menancap di ulu hati Bi Lian atau Cui Hwa.

Ternyata bahwa ketika melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, dan tahu pula bahwa pertemuannya dengan Can Kwan itu tentu akan mengakibatkan bencana hebat bagi dirinya dan pemuda itu, wanita muda itu telah mengambil keputusan pendek membunuh diri.

“Cui Hwa...!” Can Kwan tak mempedulikan lagi keroyokan para pengawal dan menubruk tubuh kekasihnya yang segera dipeluknya.

Akan tetapi tubuh Cui Hwa sudah lemas dan manita muda ini hanya dapat membuka mata sebentar memandang kepada Can Kwan sambil berbisik lemah,

“Aku... menunggumu...” dan tewaslah dia.

“Cui Hwa...!”

Para pengeroyok cepat meloncat maju, beberapa belas batang tombak dan golok datang bagaikan hujan ke arah tubuh pemuda itu. Sudah jelas nasib Can Kwan, karena biar pun dia mempunyai kepandaian sepuluh kali lipat dari pada kepandaiannya yang sekarang, belum tentu dia akan dapat menyelamatkan diri dari serangan hebat itu.

Mendadak berkelebat bayangan yang cepat sekali, menyambar ke arah para penyerang yang hendak membunuh pemuda itu. Terdengar suara keras sekali, senjata beterbangan dibarengi pekik kesakitan dan tidak kurang dari tujuh orang pengeroyok terguling roboh! Seorang kakek berpakaian tambal-tambalan telah berdiri di depan Can Kwan dan dialah yang menolong pemuda ini.

Can Kwan sudah berdiri dan kini dengan muka pucat serta menyinarkan sakit hati yang hebat, dia menerjang kepada para pengeroyok. Akan tetapi, kakek itu lalu menggerakkan tangannya dan sekali rampas saja pedang Can Kwan telah berpindah tangan!

“Tak perlu melawan lagi, kau tidak akan menang!” kata kakek ini.

“Kalau tidak bisa menang, biarlah aku mati bersama Cui Hwa kekasihku!” jawab pemuda yang sudah nekat itu.

“Bodoh!” kakek itu mencela dan tubuhnya berkelebat ke arah Can Kwan.

Pemuda ini hendak mengelak, akan tetapi gerakan kakek itu amat cepatnya sehingga tahu-tahu dia telah dikempit dan dibawa meloncat tinggi ke atas genteng. Para pengawal istana berteriak mengejar, akan tetapi sebentar saja kakek itu telah menghilang bersama pemuda yang dikempitnya.

Can Kwan hanya merasa sambaran angin dingin meniup mukanya sehingga dia terpaksa meramkan kedua matanya. Tak lama kemudian, kakek itu membawanya meloncat turun dan ketika Can Kwan membuka matanya, tahu-tahu dia telah berada di atas tanah, jauh di luar istana!

“Locianpwe, kenapa kau menghalangi kehendakku mengamuk? Aku ingin mati bersama Cui Hwa!” kata Can Kwan penasaran, karena dia tidak menghendaki pertolongan kakek ini.

Kakek ini tertawa bergelak. “Pikiran muda mendekati kegilaan, sebab selalu dikendalikan oleh nafsu! Orang muda, kau benar-benar sudah gila. Aku yang sudah tua bangka, masih tidak begitu gila untuk mengakhiri hidup yang membosankan ini, apa lagi kau yang masih begini muda. Nyawa adalah kurnia Thian, kenapa hendak dipermainkan? Kau mengacau di istana kaisar, bukankah itu termasuk pelanggaran dan pemberontakan?”

“Siapa yang mau menghargai kaisar lalim? Dia sudah merampas tunanganku dan aku memang sudah setahun mengandung maksud merampas kembali Cui Hwa!”

“Kau keliru! Kalau memang bermaksud melawan kehendak kaisar, mengapa tidak sejak dahulu sebelum tunanganmu menjadi selir kaisar? Sekarang tunanganmu sudah menjadi selir terkasih, sudah hidup bahagia namun kau datang-datang mendatangkan bencana padanya. Kalau kau tidak datang, apa kau kira tunanganmu itu akan mati? Kau bertindak menurutkan nafsu hati tanpa menggunakan akal budi dan pikiran sehat. Andai kata kau tadi berhasil membawa lari bekas kekasihmu itu, apa kau kira akan dapat bersembunyi dari para petugas kaisar? Ke mana pun kau pergi, kau tentu akan bertemu dengan kaki tangan pemerintah dan akhirnya kau akan dibekuk juga! Kalau kau yang menderita dan kena bencana, itu tak mengapa karena memang kau sengaja, akan tetapi kau menyeret wanita itu ke jurang kecelakaan! Bahkan, kalau kau masih mempunyai keluarga, seluruh keluargamu akan terseret juga.”

Mendengar ucapan terakhir ini Can Kwan nampak lemas. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis. ”Teecu memang mengaku bahwa teecu seorang anak puthauw (tidak berbakti), mohon petunjuk dari Locianpwe.”

“Hmm, bagus! Lebih baik menghadapi seorang yang menyesali perbuatannya yang salah dari pada menghadapi seorang yang menyombongkan perbuatannya yang baik! Anak muda, jangan dikira bahwa seandainya kau berhasil membawa lari wanita itu, hidupnya akan bahagia. Ah, orang muda seperti kau selalu tertipu oleh nafsu hati. Sekarang wanita itu telah tewas, sudahlah. Dia telah terbebas dari pada penderitaan hidup, yaitu kalau dia memang menderita di dalam istana itu. Lebih baik kau pulang dan rawat orang tuamu baik-baik, menikah atas pilihan orang tuamu sebagai seorang anak berbakti. Apa bila kau berjalan di atas kebenaran, pasti kelak kau akan berbahagia.”

“Terima kasih, Locianpwe. Teecu mohon tanya, siapakah adanya Locianpwe yang telah menolong teecu?”

“Aku? Aku adalah pengemis miskin dan orang menyebutku Ang-bin Sin-kai!”

Can Kwan terkejut sekali. Ia sudah tentu pernah mendengar nama tokoh besar ini, maka dengan girang dia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau Locianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid…”

Akan tetapi karena tidak ada jawaban, Can Kwan mengangkat mukanya dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kakek itu sudah lenyap dari situ! Dengan hati kecewa dia lalu berdiri dan berjalan pulang, kedukaan hatinya banyak terobati oleh nasehat-nasehat dari Ang-bin Sin-kai.

Memang, kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, Ang-bin Sin-kai pergi menuju ke kota raja hendak mencari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Setibanya di kota raja, diam-diam dia pergi ke rumah keponakannya, yaitu Lu Seng Hok, karena dia tahu bahwa Jeng-kin-jiu tinggal di rumah muridnya, Lu Thong atau putera dari Lu Seng Hok.

Akan tetapi dia merasa kecewa sekali sebab Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Lu Thong belum pulang dari perantauannya. Ang-bin Sin-kai lalu menyelidiki kota raja untuk melihat kalau-kalau Kiu-bwe Coa-li yang menculik Lu Kwan Cu telah berada di sana, akan tetapi ternyata iblis wanita itu pun belum nampak berada di kota raja.

Untuk menghilangkan kekesalan hatinya, sambil menunggu kemunculan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu atau Kiu-bwe Coa-li, timbul seleranya untuk makan hidangan istana serta melihat-lihat kebun bunga di istana yang luar biasa indahnya itu.

Dahulu memang sering kali dia melancong dan bersuka ria di istana kaisar, tanpa ada seorang pun yang melihat dirinya. Ia bermain-main di taman bunga, tidur di kamar-kamar besar yang indah sesudah mengunci dan mengganjal pintu kamar dari dalam sehingga tak ada orang yang dapat membukanya, atau memasuki dapur istana dan menyikat habis hidangan-hidangan untuk raja yang paling lezat. Ada kalanya pula dia menikmati bacaan buku-buku di perpustakaan istana atau minum anggur terbaik di gudang minuman.

Kebetulan sekali pada malam hari itu, ketika memasuki istana, dia melihat Can Kwan di keroyok, maka dia menolong pemuda itu setelah mengetahui sebab-sebab pertempuran. Diam-diam dia menaruh hati kasihan kepada pemuda itu, dan makin besar rasa jemunya terhadap kaisar yang merampas tunangan orang lain. Akan tetapi, kalau dia tidak berlaku keras dan mengeluarkan nasehat-nasehat seperti yang telah diucapkan kepada pemuda itu, dia tidak akan dapat menimbulkan semangat hidup baru di dalam hati Can Kwan.

Karena itu, setelah meninggalkan Can Kwan, kembalilah Ang-bin Sin-kai ke istana lagi. Keadaan di istana untuk sesaat gempar dengan peristiwa tadi dan kini jenazah Bi Lian atau Cui Hwa telah dirawat sebagaimana mestinya dan kaisar yang diberi tahu tentang hal itu, hanya mengeluarkan perintah untuk menangkap pemuda yang tidak dikenal siapa adanya.

Ang-bin Sin-kai langsung menuju ke dapur istana. Di depan pintu-pintu dapur itu terjaga kuat-kuat, namun dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Ang-bin Sin-kai melompat ke atas genteng dan membuka beberapa buah genteng, kemudian mengintai ke dalam. Dia melihat tukang-tukang masak sedang sibuk menyiapkan hidangan malam untuk kaisar. Di atas sebuah meja yang besar sudah berjajar hidangan yang lengkap, masakan-masakan istimewa dan yang masih mengebulkan asap.

Ang-bin Sin-kai beberapa kali menelan ludahnya. Uap masakan yang sedap menyerang hidungnya, membuat perutnya yang hampir kempis itu berkeruyukan. Di antara semua masakan yang ada di atas meja, yang paling menimbulkan air liurnya adalah masakan daging burung dara kebiri dan daging ikan emas.

Ingin sekali dia cepat-cepat menyerbu ke bawah dan menghabiskan masakan-masakan itu. Akan tetapi dia tidak mau menimbulkan keributan, karena kalau terjadi hal demikian, tentu para pengawal akan datang mengeroyok dan akan mengganggu makannya.

Tukang-tukang masak dan pelayan yang bekerja di dalam dapur istana ada lima orang. Semuanya bertubuh gemuk, oleh karena mereka ini adalah orang-orang yang setiap hari galang-gulung dengan masakan enak, sehingga banyak juga gajih dan daging memasuki mulut mereka sehingga tubuh mereka menjadi gendut dan gemuk.

Mereka bekerja sambil bercakap-cakap gembira, diselingi dengan percakapan mengenai Bi Lian. Siapa orangnya yang takkan merasa sayang melihat selir yang demikian cantik jelita membunuh diri?

Tiba-tiba, lima potong benda hitam melayang cepat dari atas tanpa menimbulkan suara dan sungguh aneh sekali. Lima orang tukang masak itu mendadak menjadi kaku seperti mereka tiba-tiba menjadi patung! Yang memegang mangkok masih tetap berdiri dengan mangkok di tangan, yang memasak masih tetap berdiri di depan api. Bahkan seorang pelayan yang secara diam-diam mencuri sepotong daging, masih berdiri dengan daging di tangan mendekati mulutnya yang sudah ternganga siap mencaplok daging itu!

Apa yang terjadi? Ternyata bahwa Ang-bin Sin-kai sudah menggunakan kepandaiannya yang luar biasa. Dengan pecahan genteng, dia menyabit lima orang itu dan dengan tepat sekali menotok jalan darah tai-twi-hiat mereka sehingga lima orang itu menjadi kaku dan tak dapat bergerak sama sekali.

Pada saat itu, Ang-bin Sin-kai melayang turun dengan kecepatan seperti seekor burung walet. Gerakannya sukar diikuti dengan mata dan di dalam kekakuan mereka, lima orang itu hanya melihat bayangan besar menyambar turun dan lenyap lagi. Kemudian, kembali lima potong benda hitam menyambar dari atas dan berbareng dengan ini, lima orang itu dapat bergerak kembali! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak.

“Apa yang terjadi?”

“Kenapa tadi semua badanku menjadi kaku?”

“Apakah kau melihat bayangan menyeramkan tadi?”

“Setan! Tentu ada setan yang mengganggu kita...”

Lima orang itu menjadi kacau balau, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, mereka tidak berani membikin ribut, takut kalau mendapat teguran dari atasannya. Sebaliknya, mereka mempercepat pekerjaan mereka supaya dapat segera meninggalkan dapur yang luas dan yang kini kelihatan menyeramkan itu. Tidak lama kemudian, masakan-masakan itu pun sudah selesai. Pelayan-pelayan dipanggil untuk mengangkut hidangan ke kamar makan kaisar.

“Hee, mana masakan burung dara?”

“Ahh, masakan ikan emas juga telah lenyap!”

“Celaka... tentu iblis tadi yang mengambilnya...”

“Ssttt, jangan keras-keras! Masih bagus dia hanya mengambil masakan, tidak mengambil nyawa kita!”

Dengan cepat, masakan-masakan itu lalu dibawa keluar dan lima orang tukang masak itu bekerja cepat-cepat dengan bulu tengkuk berdiri. Ingin mereka segera pergi dari tempat itu.

Sesudah semua orang pergi dan pintu dapur ditutup kembali, dari atas melayang turun tubuh Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Pada kedua tangannya terlihat dua mangkok masakan daging burung dara dan daging ikan emas yang lenyap tadi.

“Ha-ha-ha, sekarang aku bisa berpesta. Sayang masakan-masakan ini telah agak dingin karena dibawa ke atas. Harus dipanaskan dulu!”

Dengan enaknya, dia lalu menyalakan api dan memanaskan dua macam masakan itu. Kemudian tubuhnya berkelebat keluar dari atas genteng dan sebentar kemudian dia telah datang kembali membawa tiga guci arak wangi yang diambilnya dari gudang minuman! Tidak lama kemudian, Ang-bin Sin-kai berpesta-pora, makan minum di dapur itu dengan senangnya.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa seorang di antara para tukang masak tadi, yang agak besar nyalinya, menyelinap di balik pintu dan mengintai ke dalam. Ketika tukang masak ini melihat seorang kakek sedang makan minum, diam-diam dia lalu pergi dari sana dan membuat laporan kepada kepala penjaga.

“Di dalam dapur ada seorang maling...” kata tukang masak itu dengan tubuh gemetar dan mukanya pucat.

“Apa? Mengapa tidak kau tangkap?”

Tukang juru masak yang gemuk itu terbelalak matanya. “Ditangkap? Bagaimana aku bisa menangkapnya? Dia sakti sekali!” Kemudian dia menceritakan bagaimana dia bersama kawan-kawannya telah mengalami hal yang aneh terjadi.

Kepala penjaga ini adalah seorang tua bernama Song Cin atau yang biasa disebut Song Ciangkun. Sebetulnya dia memang seorang perwira yang telah banyak berjasa sehingga setelah dia tua, dia lalu ditarik oleh kaisar menjadi kepala pengawal atau penjaga istana. Song Cin mempunyai kepandaian silat dan ilmu pedang yang tinggi sehingga di kalangan kang-ouw namanya sudah terkenal sekali. Ketika mendengar penuturan tukang masak ini, dia mengerutkan keningnya.

“Apakah dia sudah tua, tingkahnya seperti orang gila dan pakaiannya penuh tambalan?” tanyanya menegas.

“Betul, betul, Song Ciangkun. Pakaiannya seperti pengemis!”

Song Cin mengangguk-angguk. “Sudahlah, jangan ribut-ribut. Kau mengasolah, biar aku yang membereskan orang itu.”

“Song Ciangkun... apakah... apakah dia adalah setan penjaga dapur?” Tukang masak itu bertanya.

Song Cin mengangguk. “Betul, dan kau tidak boleh mengganggunya kalau kau sayang kepada nyawamu.”

Mendengar ini, tukang masak itu cepat-cepat pergi dan tanpa mencuci tangan lagi, ia lalu merayap ke bawah selimut di dalam kamarnya!

Ada pun Song Cin sudah merasa yakin bahwa orang yang mengganggu dapur tentulah Ang-bin Sin-kai. Sudah beberapa kali kakek aneh itu menyerbu dapur dan dia tahu pasti bahwa dia sendiri beserta semua anak buahnya bukanlah lawan bagi Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu, dia langsung menuju ke kamar makan kaisar.

Kaisar tengah duduk makan minum dengan beberapa selirnya. Tidak seperti biasanya, pada waktu itu kaisar sedang menjamu dua orang yang berpakaian layaknya panglima perang besar. Kedua orang ini berpakaian seperti panglima perang suku Tajik, sebuah kerajaan yang pada masa itu menjadi besar dan kuat di samping Kerajaan Tibet.

Song Cin tahu siapa adanya dua orang panglima ini, karena sore tadi dia sendiri yang menerima mereka dan menghadapkan mereka kepada kaisar. Mereka adalah dua orang panglima-panglima besar dari Kerajaan Tajik yang datang membawa surat dari Panglima An Lu Shan.

Sudah lama bangsa Tajik mengadakan penyerbuan-penyerbuan ke selatan dan kekuatan mereka memang besar sekali. Akan tetapi tiba-tiba setelah An Lu Shan diangkat menjadi panglima di utara oleh kaisar, serbuan-serbuan ini mengecil dan akhirnya, pada hari itu, dua orang panglima bangsa Tajik datang menghadap kaisar membawa surat dari An Lu Shan yang memberi laporan kepada kaisar bahwa bangsa Tajik kini sudah menyatakan damai! Dua orang panglima Tajik itu merupakan utusan dari bangsa Tajik untuk memberi penghormatan kepada kaisar.

Tentu saja kabar girang ini lalu diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan gembira sekali. Ia menganggap semua ini sebagai jasa besar dari An Lu Shan sehingga untuk menyatakan kegembiraannya, dia mengundang makan malam kedua orang panglima besar Tajik ini. Oleh karena sedang berpesta gembira, tentu saja kaisar mengerutkan kening tanda tidak senang ketika Song Cin datang mengganggunya tanpa dipanggil.

“Song Ciangkun,” kata kaisar dengan suara tak senang, “apa keperluanmu menghadap tanpa dipanggil?”

“Mohon beribu ampun apa bila hamba mengganggu kesenangan Baginda dan para tamu agung,” kata Song Ciangkun dengan sikap merendah, “tapi hamba terpaksa melaporkan karena pada saat ini, kembali dapur istana didatangi oleh Ang-bin Sin-kai. Kami menanti keputusan Baginda!”

Berubah air muka baginda kaisar mendengar laporan ini. Sungguh aneh, biar pun Song Cin dan kaisar tidak melihatnya, namun muka kedua orang tamu agung Panglima Tajik itu juga berubah dan nampak mereka saling menukar pandang, nampaknya kaget sekali. Namun kaisar dapat menentramkan hatinya lagi dan tiba-tiba tertawa.

“Bagus! Orang aneh itu menambahkan kegembiraan kami! Song Ciangkun, undang dia secara baik-baik untuk menemani kami minum arak!”

Song Cin tidak heran mendengar ini, karena memang kaisar mengagumi Ang-bin Sin-kai yang sebetulnya masih kakak dari menteri setia Lu Pin. Akan tetapi dua orang tamu Tajik itu benar-benar nampak terkejut sekali. Setelah memberi hormat, Song Ciangkun segera mengundurkan diri dan berlari menuju ke dapur istana.

Song Cin mengetuk pintu dapur dan berkata keras, “Ang-bin Sin-kai Locianpwe, siauwte Song Cin mohon bertemu, membawa perintah hong-siang (raja)!”

“Masuklah, Song Ciangkun.”

Song Cin masuk dan dia melihat kakek aneh itu masih duduk menghadapi meja sambil minum arak. Cepat dia memberi hormat dan berkata,

“Siauwte membawa titah hong-siang mengundang Locianpwe untuk menemani baginda minum arak.”

Ang-bin Sin-kai tertegun, kemudian tertawa bergelak.

“Bagus, memang masakan di sini kurang lengkap. Baik, aku pergi menghadap baginda!” Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat.

Song Cin hanya merasa ada angin menyambar dan bayangan berkelebat di sisinya, dan kakek itu telah lenyap! Ia menghela napas dan mengagumi kelihaian kakek itu, kemudian melakukan penjagaan seperti biasa.

Pada saat melihat Ang-bin Sin-kai muncul di ambang pintu, baginda kaisar melambaikan tangan sambil tersenyum.

“Mari, mari, Lu-koai-hiap (pendekar aneh she Lu), kau duduklah di sini bersama kami.”

Ang-bin Sin-kai menjura tanda menghormat.

“Terima kasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa Baginda yang mulia sudi mengundang hamba.”

Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu melangkah maju dan menduduki sebuah bangku kosong, berhadapan dengan dua orang tamu itu. Sepasang matanya memandang tajam sekali sehingga dua orang Tajik itu merasa tidak enak sekali.

“Ha-ha-ha, Jiwi Ciangkun. Perkenalkanlah, ini adalah orang aneh dari timur yang disebut Ang-bin Sin-kai. Dan Lu-koai-hiap, kedua orang tamu ini adalah panglima-panglima Tajik yang mewakili pemerintahannya menyatakan perdamaian dengan negeri kita.”

Ang-bin Sin-kai hanya menerima perkenalan ini dengan sikap dingin, kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dia mempergunakan sumpitnya yang panjang untuk menjangkau mangkok-mangkok masakan yang paling enak. Baginda Kaisar tertawa melihat ini dan memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah arak.

Walau pun nampaknya bersikap acuh tak acuh, akan tetapi diam-diam Ang-bin Sin-kai memperhatikan gerak-gerik dua orang tamu itu, panglima-panglima yang bertubuh tinggi besar itu. Mendadak mukanya berubah pucat, kemudian perhatiannya tercurah kepada tangan-tangan kedua orang tamu itu yang memegang sumpit.

Pada saat mereka telah minum kosong cawan arak dan baginda nampak gembira sekali. Seorang di antara dua tamu itu mengambil guci arak dengan tangan kanan dan mengisi cawan kosong baginda kaisar. Kemudian dia pun memenuhi cawan Ang-bin Sin-kai dan cawannya sendiri beserta kawannya.

“Hamba menyuguhkan secawan arak untuk keselamatan kaisar. Hidup Baginda Kaisar, semoga panjang usianya!” katanya sambil mengangkat cawan araknya.

Kaisar Hian Tiong tertawa sambil mengangkat cawan araknya. Akan tetapi sebelum dia meneguk araknya, tiba-tiba tangan Ang-bin Sin-kai bergerak dan cawan itu terlempar dari tangan baginda!

“Lu-koai-hiap...!” kaisar menegur marah.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai memandang kepada penyuguh arak itu dengan marah sekali. “Kalian bukan orang Tajik! Kalian adalah jahanam-jahanam pembunuh! Hayo mengaku, siapa kalian?!” Ang-bin Sin-kai berdiri dan sikapnya mengancam sekali.

Kaisar Hian Tiong pucat dan mengira bahwa pengemis sakti itu sudah menjadi mabuk. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba dua orang tamunya itu menggerakkan tangan dan berkeredepan benda-benda yang menyambar ke arah tubuh kaisar serta Ang-bin Sin-kai. Benda-benda ini adalah pisau-pisau mengkilat, semacam senjata rahasia yang sangat tajam, runcing dan dilemparkan dengan tenaga kuat sekali.

Kaisar memekik kaget dan hendak membuang diri ke belakang untuk mengelak, namun Ang-bin Sin-kai sudah mendahuluinya, menggerakkan sepasang sumpitnya mengibas. Maka, runtuhlah empat buah pisau yang menyambar baginda. Ada pun empat buah lagi yang menyambar ke arah Ang-bin Sin-kai, dipukul runtuh dengan tangan kirinya!

“Celaka...!” Seorang di antara dua orang Tajik itu mengeluh.

Akan tetapi pada saat itu Ang-bin Sin-kai telah melompat dan tubuhnya menyambar ke arah penyuguh arak dengan sepasang sumpit menusuk matanya!

Panglima Tajik itu cepat mengelak, tetapi sumpit di tangan Ang-bin Sin-kai seakan-akan bermata, karena sumpit itu mengejar terus dan akhirnya terdengar jerit mengerikan ketika sepasang sumpit daging itu menancap pada mata panglima yang tadi menyuguhkan arak kepada kaisar! Tubuhnya terguling dan dia berkelojotan.

Tiba-tiba kembali menyambar pisau-pisau terbang dan kali ini pisau-pisau itu mengenai tubuh orang yang sudah terluka matanya ini, menancap di ulu hati dan leher sehingga orang itu seketika tewas tanpa dapat bersambat lagi. Orang Tajik ke dua itulah yang tadi melepaskan pisau membunuh kawannya sendiri dan kini tubuhnya berkelebat lari ke arah pintu.

“Bangsat hina, hendak lari ke mana kau?!”

Ang-bin Sin-kai melompat mengejar. Akan tetapi gerakan penjahat itu benar-benar cepat sekali sehingga sebentar saja dia telah melompat ke atas genteng. Namun, mana mau Ang-bin Sin-kai memberi hati kepadanya? Kakek sakti ini pun melompat dan mengejar terus dengan kecepatan melebihi anak panah.

Kaisar Hian Tiong bertepuk tangan memberi tanda kepada para penjaga, maka tak lama kemudian ramailah keadaan di situ. Ruangan itu segera penuh dengan para penjaga dan pengawal kaisar. Song Cin mengepalai para penjaga untuk melakukan pengejaran pula dan dia sendiri lantas melompat ke atas genteng mengejar Ang-bin Sin-kai yang masih berlari-lari menyusul tamu Tajik tadi.

“Bangsat pengkhianat, kau hendak lari ke mana?” Ang-bin Sin-kai berseru keras, tangan kanannya menjangkau ke depan hendak mencekik tengkuk penjahat.

Karena merasa tiada gunanya melarikan diri dari kakek sakti itu, penjahat ini mendadak membalikkan tubuhnya dan dua tangannya terayun. Maka, delapan buah pisau terbang menyambar kepada Ang-bin Sin-kai.

Boleh jadi kepandaiannya melempar pisau terbang itu untuk orang lain amat berbahaya, akan tetapi terhadap Ang-bin Sin-kai, serangan ini tidak ada bedanya dengan permainan kanak-kanak belaka. Dengan menggerakkan kedua tangannya, delapan pisau itu telah tertangkap semua oleh Ang-bin Sin-kai!

Penjahat itu terbelalak memandang kehebatan lawannya ini dan dia lalu berlaku nekat. Ketika Ang-bin Sin-kai menubruk, tubuh penjahat itu tanpa sebab telah terpelanting jatuh dan menggelundung di atas genteng.

Ang-bin Sin-kai merasa amat heran dan cepat menyambar tubuh orang yang akan jatuh ke bawah itu, karena dia ingin menangkapnya hidup-hidup untuk ditanyai keterangan. Akan tetapi ternyata bahwa orang itu telah mati dengan sebatang pisau menancap di ulu hatinya!

Melihat kedatangan Song Cin, Ang-bin Sin-kai lalu melemparkan tubuh penjahat yang sudah menjadi mayat itu kepada kepala penjaga ini, kemudian dia berlarian kembali ke ruang makan. Ternyata bahwa penjahat yang pertama juga sudah mati.

“Lu-koai-siap, bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka bukan orang Tajik dan mereka mengandung maksud tidak baik kepada kami?” tanya kaisar kepada Ang-bin Sin-kai.

Kakek ini tersenyum. “Mudah saja. Ketika tadi hamba makan bersama mereka, hamba melihat cara mereka memegang sumpit tidak seperti kebiasaan orang-orang Tajik yang hamba ketahui baik-baik. Sumpit ke dua mereka pegang di antara ibu jari dan telunjuk seperti cara kita, sedangkan kebiasaan orang-orang Tajik memegang sumpit ke dua di antara telunjuk dan jari tengah. Kemudian, ketika penyuguh arak tadi menuangkan arak dari guci ke cawan Paduka, hamba sempat melihat dia melepaskan bubuk putih secara pandai dan tidak kentara, maka tahulah hamba bahwa dia mencampuri racun ke dalam arak itu dan hamba segera bertindak mencegah Paduka meminumnya.”

Kaisar mengangguk-angguk. “Sungguh heran sekali mengapa mereka dapat membawa surat dari An-ciangkun!”

“Hemm, kalau hamba yang mengurus perkara ini, akan hamba selidiki keadaan An Lu Shan itu! Paduka terlampau banyak mencari hiburan dan kesenangan hingga lalai dalam memperhatikan keadaan para petugas. Dan juga kematian selir Paduka belum lama ini, adalah akibat dari kelalaian Paduka sendiri. Maafkan kelancangan hamba ini, akan tetapi hamba hanya mau membuka mulut bukan semata untuk mencela, akan tetapi ini demi kebaikan Paduka dan negara! Sekarang ijinkanlah hamba pergi!” Tanpa menanti ijin dari kaisar, Ang-bin Sin-kai berkelebat dan lenyap dari situ.

Akan tetapi pada keesokan harinya, datang serombongan perwira utusan An Lu Shan yang menyatakan bahwa cap kebesaran An Lu Shan sudah tercuri orang dan bahwa kini panglima itu meminta cap baru dari kaisar. Pemberitahuan ini dilakukan karena khawatir kalau-kalau cap yang lenyap itu disalah gunakan oleh orang lain!

Dengan adanya pemberitahuan ini, lenyaplah semua kecurigaan kaisar terhadap diri An Lu Shan dan inilah kesalahan kaisar. Kalau saja dia menyuruh orang menyelidiki lebih teliti, tentu akan diketahuinya bahwa memang diam-diam An Lu Shan memiliki cita-cita memberontak dan sebenarnya kedua orang yang mengaku sebagai perwira-perwira Tajik itu adalah kaki tangannya yang diberi tugas untuk membunuh kaisar…..

*****

Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, bocah gundul yang diculik Kiu-bwe Coa-li. Biar pun dia merasa dongkol sekali atas perbuatan Kiu-bwe Coa-li terhadap dirinya namun berada di dekat Sui Ceng yang bicara dengan lucu dan menghibur dengan kata-kata membesarkan hati, Kwan Cu berlaku tenang dan mulai memutar otaknya.

Dia dapat menduga apa maksud wanita sakti itu menculiknya. Tentu ada hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pikirnya. Kalau tidak untuk kitab itu, apa perlunya Kiu-bwe Coa-li menculiknya.

Tak lama kemudian setelah Bun Sui Ceng menggendong dan meletakkannya di pinggir hutan, datanglah Kiu-bwe Coa-li dan sekali menepukkan tangannya ke pundak Kwan Cu, bocah gundul ini terbebas dari totokannya. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li memuji anak ini, karena begitu terbebas, Kwan Cu sudah lantas melompat berdiri, seakan-akan dia tidak terpengaruh sama sekali oleh bekas totokannya itu.

Padahal, untuk orang biasa, kalau habis mengalami pengaruh totokannya, tentu sampai beberapa lama akan menjadi kaku tubuhnya dan setelah digerak-gerakkan beberapa kali baru dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi anak ini begitu terbebas, lantas saja bisa melompat berdiri.

“Suthai, kau benar-benar keterlaluan sekali!” Dengan mata bersinar marah segera Kwan Cu menegur Kiu-bwe Coa-li! “Kalau ada keperluan dengan aku, mengapa tidak bertanya dengan baik-baik saja? Akan tetapi kau malah tiba-tiba menyerang dan menculik, apakah perbuatan ini boleh dibuat bangga?”

Untuk sejenak Kiu-bwe Coa-li memandang bengong. Selama ini belum pernah ada orang yang berani menegurnya seperti itu! Kemudian timbul marahnya.

“Anak setan, kau berani menegurku?” Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar ke arah pipi Kwan Cu.

“Plakk!”

Kwan Cu merasa seakan-akan kepalanya disambar petir dan dia roboh berguling-guling, kemudian dia melompat dengan berdiri pula dengan tegak, sedikit pun tidak takut. Juga rasa sakit tadi hanya di pipi saja dan sekarang tidak terasa lagi.

“Kiu-bwe Coa-li merupakan nama besar yang sering kali kudengar dipuji-puji oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, belum pernah aku mendengar bahwa tokoh besar ini hanya mempunyai kesukaan memukul anak kecil yang tak mampu melawan!”

Mendengar ucapan ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi marah dan sepasang matanya memancar sinar yang aneh sekali. Memang benar-benar hebat sekali keberanian Kwan Cu, dia tidak saja menegur, bahkan sekarang dia mencela tokoh besar yang ditakuti oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw ini!

“Bocah setan penipu busuk!” Kiu-bwe Coa-li memaki sambil melompat maju dan kedua tangannya menggigil dalam nafsunya hendak menghancurkan mulut kecil yang berani mencelanya itu. “Tidak kuhancurkan kepalamu juga sudah untung kau! Kau telah berani menipuku, kemudian menegur, bahkan sekarang mencela! Berapa banyak sih cadangan nyawamu maka berani main gila memutar lidah?”

Pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li menggigil dan Sui Ceng memandang dengan khawatir sekali. Gurunya ini memang baik, akan tetapi kalau sudah marah agaknya tidak ada iblis yang dapat melebihi keganasannya! Maka ia tahu bahwa kali ini nyawa Kwan Cu takkan tertolong lagi. Cepat ia melompat maju ke depan gurunya dan berkata,

“Suthai, harap jangan bunuh Kwan Cu. Teecu kasihan padanya, lagi pula, kalau dia mati, siapa yang akan dapat menunjukkan di mana adanya Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

Mendengar ini, cambuk yang sudah diangkat tadi turun kembali dan Sui Ceng bernapas lega. Akan tetapi, alangkah kagetnya anak perempuan ini ketika tiba-tiba dia mendengar isak tangis dan ternyata bahwa Kwan Cu kini telah duduk di atas tanah sambil menutup mukanya, menangis!

Tentu saja Kiu-bwe Coa-li menjadi terheran, bahkan Sui Ceng sendiri pun merasa heran sekali atas sikap Kwan Cu. Dipukul, dimaki, dihina tidak pernah meruntuhkan air mata, sekarang tiada hujan tiada angin menangis sedih!

Memang hal ini aneh sekali, karena tidak biasanya Kwan Cu menangis. Anak ini berhati keras dan amat berani, bersemangat baja sehingga baginya merupakan pantangan untuk mengeluarkan air mata, apa lagi air mata karena takut atau bingung. Akan tetapi, pada saat itu, hatinya merasa amat terharu dan berduka.

Kwan Cu masih merasakan kasih sayang yang diberikan oleh Loan Eng kepadanya, dan kepada nyonya itu dia sudah menganggap seperti ibunya sendiri. Tadinya dia pun sudah merasa hancur hatinya mendengar betapa Pek-cilan Thio Loan Eng dan suaminya telah terbunuh orang, akan tetapi dia masih dapat menahan kedukaan hatinya. Kini, tiba-tiba dia melihat Sui Ceng bersikap membela dan berkasihan kepadanya, maka tanpa dapat ditahan lagi Kwan Cu teringat akan kebaikan dan cinta kasih ibu anak ini terhadap dia dan keharuan besar karena sikap manis Sui Ceng membuat dia terisak-isak!



Pendekar Sakti Jilid 10

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 10

ANG BIN SIN KAI sengaja mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai bulu cambuk tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Dia merasa heran dan juga marah mengapa datang-datang Kiu-bwe Coa-li hendak membunuhnya, sedangkan terhadap dua orang tokoh Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu, iblis wanita ini hanya merampas senjata mereka saja.

Pukulan yang dilancarkan Ang-bin Sin-kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biar pun jarak antara Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li ada tiga tombak, namun nenek sakti itu merasakan datangnya hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan ulu hatinya! Terpaksa ia menarik cambuknya sambil melompat ke kanan menghindarkan diri dan dengan demikian, dia gagal menyerang Ang-bin Sin-kai, namun berhasil merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu!

Ketua Kim-pan-sai dan ketua Thian-san-pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka juga amat terkejut menyaksikan kelihaian nenek sakti yang dikenal baik namanya namun belum pernah disaksikan kepandaiannya itu.

“Suthai, apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” kata Pouw Hong Taisu dengan mata bernyala merah.

Kiu-bwe Coa-li menjebikan bibirnya dengan mengejek, “Hemm, tua bangka tak tahu diri! Kalau aku tidak datang turun tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai? Ada dua hal yang mengharuskan aku turun tangan. Pertama, karena kalian telah menyerang orang yang tidak berdosa, ke dua, karena aku sendiri yang akan memberi hajaran pada Ang-bin Sin-kai, si manusia pelanggar sumpah!”

“Kiu-bwe Coa-li!” Pouw Hong Taisu membentak marah, “Kau tidak tahu, pengemis jahat ini telah membunuh murid-murid kami!”

“Bodoh, kalian tua bangka-tua bangka bodoh! Pembunuh Pek-cilan Thio Loan Eng dan Ong Kiat bukanlah Ang-bin Sin-kai, melainkan Toat-beng Hui-houw dan hal ini pinni (aku) telah menyaksikan sendiri!”

Mendengar kata-kata ini, tentu saja dua orang tokoh persilatan itu kaget sekali dan muka mereka menjadi pucat. Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya terhadap Ang-bin Sin-kai dan hal itu bukan urusan yang kecil saja. Akan tetapi pada saat mereka menengok kepada Ang-bin Sin-kai, orang tua ini hanya tersenyum-senyum saja.

“Nah, terimalah senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan binasa karenanya, jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!” kata Kiu-bwe Coa-li dan begitu ia menggerakkan cambuknya, sepasang golok itu terlepas dan meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan pedang itu meluncur ke arah Bin Kong Siansu!

Luncuran ini hebat sekali, cepatnya melebihi anak panah ada pun tenaganya melebihi tusukan seorang ahli silat! Kedua ketua Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu terkejut sekali.

Dengan gerakan Monyet Sakti Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan tangannya menyambut pedangnya sendiri pada gagangnya. Dia berhasil menerima pedangnya itu akan tetapi dia merasa telapak tangannya pedas sekali.

Yang lebih hebat adalah Pouw Hong Taisu karena tosu ini menghadapi serangan dari sepasang goloknya yang meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya agak terlambat menyambar yang meluncur ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke kiri sehingga golok itu meluncur terus mengancam seorang tamu muda yang duduk di belakangnya!

Keadaan amat berbahaya bagi tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-bin Sin-kai berkelebat dan sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap pada tiang melintang di atas hingga separuhnya. Gagang golok itu bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat kuatnya!

Pouw Hong Taisu menjadi pucat, demikian pula semua tamu. Ternyata bahwa gedung Bun-bu-pang telah kedatangan dua orang tamu yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali.

Walau pun mereka sudah mendengar dan mengenal Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh-tokoh besar yang tiada taranya, akan tetapi baru hari ini mereka kebetulan bisa menyaksikan kepandaian mereka yang betul-betul hebat. Keringat dingin mengucur pada jidat mereka, terutama sekali Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu yang sudah merasa bersalah terhadap Ang-bin Sin-kai yang mereka tuduh secara keji sekali.

Kini Kiu-bwe Coa-li menghadapi Ang-bin Sin-kai. Sepasang matanya menyatakan bahwa nenek sakti ini sedang marah bukan main.

“Ang-bin Sin-kai, pengemis hina dina. Kau benar-benar berjiwa pengemis rendah dan tidak merasa jijik untuk menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas lumpur busuk! Orang lain boleh kau bodohi begitu saja, akan tetapi pinni tidak sudi kau tipu!” sambil berkata demikian Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh Ang-bin Sin-kai!

Ang-bin Sin-kai kaget sekali menghadapi serangan yang hebat ini. Ia sebenarnya terkejut bukan karena jeri melainkan heran kenapa iblis wanita ini betul-betul menyerang dengan niat membunuh. Kesalahan apakah yang sudah diperbuatnya? Agaknya hari ini dia sial benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukan-bukan dan menghendaki jiwanya!

Menghadapi Kiu-bwe Coa-li jauh sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu, karena dia maklum bahwa nenek ini benar-benar lihai dan sangat berbahaya. Cepat Ang-bin Sin-kai menggunakan ginkang-nya untuk mencelat mundur sehingga bulu-bulu cambuk yang panjang itu tidak sampai mengenai tubuhnya.

Ia mengangkat kedua tangan sambil berkata keras, “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li! Kau agaknya tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku tadi. Katakan lebih dulu kenapa kau menganggap aku si tua bangka ini sebagai si pelanggar sumpah?”

“Bagus, jembel siluman masih hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah bersumpah tidak akan mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betul tidak?”

“Betul,” jawab Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.

Kiu-bwe Coa-li tersenyum mengejek. “Dan bila mana kau melanggar sumpahmu itu, kau bersumpah akan mampus seperti anjing, betulkah?”

“Memang begitulah kira-kira bunyi sumpahku.”

Mata kiu-bwe Coa-li mendelik. “Jahanam! Dan sekarang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari kitab peninggalan Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Karena itu, kau harus mampus seperti anjing di bawah cambukku.”

Terbelalak mata Ang-bin Sin-kai memandang nenek sakti itu. “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu. Dari manakah kau bisa mengetahui semua ini?”

“Semua orang sudah tahu. Empat tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku tidak?”

“Kiu-bwe Coa-li, siluman perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari kitab peninggalan itu atas pesanan mendiang Gui-siucai, apakah hubungannya dengan aku? Ingat, sumpahku adalah apa bila aku mempergunakan dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang mencari, melainkan anak itu. Dia berhak mendapatkannya, karena bukankah dia hanya memenuhi pesanan terakhir dari gurunya yakni Gui-suicai?”

“Bohong! Kau sengaja memutar balikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut mampus?”

Ang-bin Sin-kai mulai marah. “Kiu-bwe Coa-li, alangkah sombongmu. Kau kira aku takut kepadamu? Kau boleh menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?”

“Bangsat tua, mampuslah!” Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya.

“Tar! Tar! Tar!”

Cambuknya berbunyi keras sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jeri dan tak terasa pula segera mindur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena ujung cambuk yang lihai itu.

Kiu-bwe Coa-li mengamuk seperti iblis. Ujung cambuknya kalau mengenai bangku, maka pecahlah bangku itu seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia menggunakan cambuknya menangkap meja dan bangku, lalu dilontarkannya meja bangku itu ke pinggir sehingga sibuklah orang-orang yang berada di situ untuk mengelak dari hujan bangku yang tadi mereka duduki.

Yang celaka adalah kaum sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang bisa menangkis atau mengelak, mereka ini tertimpa meja serta bangku sehingga menderita benjol!

Ruangan yang luas itu kini bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi, Kiu-bwe Coa-li serentak menyerang dengan cambuknya. Ang-bin Sin-kai yang tahu kelihaian lawan tidak mau berlaku sembrono menghadapinya dengan tangan kosong.

Memang biasanya kakek ini tidak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran menghadapi siapa pun juga. Akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari Kiu-bwe Coa-li amat berbahaya, sekarang dia mencabut suling pemberian dari Hang-houw-siauw Yok-ong untuk menangkis.

Pertempuran antara kedua orang tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya. Biar pun orang-orang yang berkumpul di situ telah berdiri mepet pada tembok, namun sambaran angin yang keluar dari cambuk dan kedua tangan Ang-bin Sin-kai masih terasakan oleh mereka yang membuat rambut dan pakaian mereka berkibar dan kulit terasa dingin!

Suara yang mengiringi pertempuran ini pun terdengar amat mengerikan. Tidak saja suara bersiutnya bulu-bulu cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diselingi dengan suara menjetar yang menulikan telinga, juga suara dari suling yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai menimbulkan suara angin yang mengerikan. Karena suling ini digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang suling menimbulkan suara bagaikan seekor binatang buas menangis.

Semua orang bergidik mendengar suara-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat betapa bayangan dua orang tokoh besar itu lenyap sama sekali. Di ruangan itu kini hanya terlihat gulungan sinar yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak ke sana ke mari sehingga sukar untuk diduga siapa yang menang siapa yang kalah.

Melihat cara Kiu-bwe Coa-li mainkan cambuknya, Ang-bin Sin-kai merasa terkejut bukan main. Pernah dia menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka berebutan kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan biar pun dia sendiri belum pernah menghadapi Kiu-bwe Coa-li, namun dia sudah dapat mengukur kelihaian lawan ini. Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat sekali. Berat dan aneh.

Tiba-tiba dia teringat akan tenaga lweekang yang pernah didapat bocah gundul itu dalam mempelajari lweekang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Maka mengertilah dia bahwa entah dengan cara bagaimana, iblis wanita ini sudah pula mempelajari ilmu lweekang dari kitab palsu itu!

Menduga tentang ini, otomatis Ang-bin Sin-kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana tadi dia melemparkan Kwan Cu supaya terhindar dari pada gangguan lawan. Alangkah kagetnya ketika dia tidak melihat muridnya berada di situ. Ia sudah tahu akan ketaatan muridnya ini dan tak mungkin Kwan Cu berani pergi dari situ tanpa perkenannya. Tentu telah terjadi sesuatu dengan anak itu.

Pikiran ini membuat Ang-bin Sin-kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali. Begitu kedua tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut dan direnggutnya sekuat tenaga!

Kiu-bwe Coa-li sangat terkejut dan cepat dia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk dipukulkan ke arah kepala Ang-bin Sin-kai. Dia maklum bahwa untuk lain orang, sekali pukulan dengan ujung sehelai bulu pecut saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Akan tetapi menghadapi Ang-bin Sin-kai, belum tentu dia mampu merobohkan kakek ini dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau tidak mengenai bagian yang penting seperti ubun-ubun kepala!

Ang-bin Sin-kai marah sekali dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot! Akan tetapi serangan enam helai bulu pecut sudah menyambar ubun-ubun kepalanya, maka cepat-cepat dia mengelak sambil miringkan tubuhnya. Betapa pun cepat gerakannya, dia terlambat dan beberapa helai bulu pecut masih mengenai pundaknya yang menimbulkan rasa sakit dan ngilu.

Dia mengerahkan tenaga lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya mendadak menubruk maju dengan kedua tangan dipentang. Ternyata dalam kemarahannya Ang-bin Sin-kai sudah mengeluarkan tipu serangan yang sangat berbahaya, yakni pukulan yang disebut Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka merah ini telah dapat menangkap dan meniru inti pukulan serangan ombak terhadap batu karang pada waktu dia masih suka bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai!

Kiu-bwe Coa-li berseru kaget ketika hawa pukulan lawan membuat semua bulu pecutnya terpental kembali dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia kembali berseru dan tiba-tiba tubuhnya melayang naik untuk menghindari serangan lawan.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk melompat naik dan nyeplos dari genteng yang sudah berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia maklum bahwa muridnya keluar dari tempat ini.

“Kwan Cu...!” Ia berteriak di atas genteng sambil memandang ke kanan dan kiri. Namun keadaan di situ sunyi saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.

“Kwan Cu...! Hai... Kwan Cu bocah gundul, kau di mana?!” kembali kakek ini berseru memanggil sambil mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga seruan ini tentu akan bisa terdengar oleh Kwan Cu seandainya anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja dari tempat itu.

Dan memang betul, Kwan Cu dapat mendengar suara gurunya yang memanggil ini, akan tetapi dia tidak berdaya karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah pohon ditunggu oleh Bun Sui Ceng yang mendongeng kepadanya tentang Pek-cilan Thio Loan Eng yang terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw!

“Jangan kau khawatir, Kwan Cu. Biar pun kelihatan galak, guruku berhati mulia dan kau pasti tak akan diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,” kata Sui Ceng kepada bocah gundul itu.

Ada pun Ang-bin Sin-kai, setelah memanggil beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, menjadi semakin gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya bahwa Kwan Cu tentu telah diculik oleh Kiu-bwe Coa-li pada saat dia masih dikeroyok oleh dua Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau anak itu bersembunyi di dalam rumah?

Ia lalu melompat kembali turun ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi bayangan Kiu-bwe Coa-li. Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-bin Sin-kai melayang naik melalui atap yang bolong, dan Kiu-bwe Coa-li setelah mengeluarkan suara tertawa yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu berkelebat pergi dari pintu. Semua orang menahan napas. Dan sekarang melihat Ang-bin Sin-kai melayang turun kembali, mereka memandang penuh perhatian.

“Di mana adanya muridku?” tanya Ang-bin Sin-kai kepada mereka.

Tak seorang pun menjawab.

“Hai...! Tulikah kalian semua? Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas tumpukan meja itu?”

Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu melangkah maju. Dua orang kakek ini segera merangkap dua tangan dan memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal.

“Muridmu sudah diambil oleh Kiu-bwe Coa-li ketika kau tadi bertempur melawan kami,” kata Pouw Hong Taisu dengan suara menyesal. “Semua adalah kesalahan kami, Ang-bin Sin-kai dan kami mohon maaf sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku amat buruk terhadapmu. Maaf, maaf...,” kata Bin Kong Siansu dengan hati tidak enak sekali.

“Marah, menyesal! Ahh, orang-orang seperti kalian masih bisa diombang-ambingkan oleh perasaan dan nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!” kata Ang-bin Sinkai gemas. “Ehh, orang she Kwa, apakah kau pun tidak malu menjadi ketua Bun-bu-pang?” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu melompat pergi meninggalkan rumah perkumpulan Bun-bu-pang itu. Semua orang saling pandang dan menghela napas.

“Biarlah hal ini merupakan pelajaran bagi kita sekalian,” kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang. “Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan sesuatu urusan, harus melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya begitu saja kata-kata orang lain.”

Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk Hek-i Hui-mo, karena sebenarnya Hek-i Hui-mo yang membakar hati mereka dan Hek-i Hui-mo yang memberi tahu mereka bahwa Ang-bin Sin-kai yang membunuh murid-murid mereka.

“Kiu-bwe Coa-li, hati-hati kau! Apa bila sampai kau ganggu muridku, aku Ang-bin Sin-kai belum mau mati sebelum mencabuti sembilan ekormu,” sepanjang jalan Ang-bin Sin-kai berkata begini meski pun hatinya tak begitu mengkhawatirkan akan keadaan muridnya.

Ia tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui Tin yang dapat memberi petunjuk di mana adanya kitab sakti itu telah dicuri orang, tentu Kwan Cu akan berkata terus terang dan Kiu-bwe Coa-li tentu akan berusaha merampas kembali kitab sejarah yang tercuri.

“Betulkah Jeng-kin-jiu yang telah mencurinya? Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga Jeng-kin-jiu, tentu Kiu-bwe Coa-li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke kota raja. Hemm, tiada jalan lain, aku pun harus menyusul ke sana. Betapa pun juga, kitab sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain, harus menjadi milik Kwan Cu yang memang berhak.”

Setelah mengambil keputusan begini, Ang-bin Sin-kai lalu berlari cepat menuju ke kota raja.
Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

*****


Pada masa itu yang menjadi kaisar kerajaan dari Kerjaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang doyan pelesir. Kaisar ini selalu tenggelam dalam kesenangan, memelihara banyak sekali selir yang cantik-cantik, setiap hari menghibur diri di tengah-tengah selir-selirnya sambil melihat tari-tarian dan nyanyian merdu, sama sekali tidak mau peduli akan pemerintahannya dan juga tidak mau peduli akan keadaan rakyat jelata yang banyak menderita.

Istana-istana indah dan megah dibangun di mana-mana, menghamburkan banyak uang yang mengalir masuk dari hasil keringat rakyat petani. Istana-istana indah di mana selalu dihias dengan perabot-perabot mahal dan juga ‘perabot-perabot hidup’ berupa dara-dara jelita yang dikumpulkan dari berbagai daerah!

Tidak mengherankan jika pujangga besar Tu Fu menjadi naik darah dan sedih juga ketika pada suatu hari di musim dingin dia pulang dari perjalanan dari Tiang-san dan melewati Bukit Li-shan. Di situ, yaitu di puncak Bukit Li-shan di mana terdapat sebuah di antara istana-istana kaisar yang disebut Istana Hwa Ceng, Tu Fu mendengar bahwa kaisar Hian Tiong sedang berpesta pora, berpelesir mendengarkan musik dan nyanyian, menonton tari-tarian dan bersenang-senang dengan para selirnya.

Teringatlah Tu Fu akan keadaan rakyat jelata yang sangat sengsara dan menderita di dalam angin dingin dan kelaparan, rakyat yang menggeletak kelaparan dan kedinginan di atas jalan-jalan raya di Tiang-san. Maka menulislah pujangga patriot ini kata-kata yang sampai kini masih dihargai oleh seluruh rakyat.

Di belakang pintu gerbang
merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan
hingga masak membusuk!

Di luar pintu gerbang
Kotor sunyi melengang
Berserakan tulang rangka
Sisa korban dingin dan lapar!


Memang, Kaisar Hian Tiong terlalu banyak mengumbar kesenangan jasmani atau boleh juga disebut terlalu menurutkan nafsu hewan. Di dalam istana di kota raja, selirnya tidak terhitung banyaknya, terdiri dari gadis-gadis cantik jelita yang didatangkan dari berbagai daerah.

Ada yang memang diserahkan oleh orang tuanya dengan hati bangga, akan tetapi tidak kurang pula yang didapatkan oleh kaisar dengan jalan keras, yaitu dengan paksaan dan sebagian besar adalah ‘hadiah’ yang diberikan oleh para pembesar untuk mengambil hati sang junjungan. Yang paling hebat, di antara sekian banyaknya selir itu, ada pula yang tadinya telah menjadi isteri orang, yang direnggut dari suaminya untuk dipaksa melayani kaisar, orang terbesar di dalam negeri, orang yang dianggap sebagai ‘Pilihan Tuhan’!

Di antara para selirnya ini, terdapat seorang wanita muda yang amat cantik jelita. Kaisar pernah tergila-gila kepada selirnya ini yang diberinya nama Bi Lian atau Teratai Jelita kepada selirnya ini. Untuk menggambarkan betapa cantiknya Bi Lian, seorang ahli sajak di dalam istana atas perintah kaisar telah membuatkan sajak pujian kepada Bi Lian yang ditempel di kamar selir cantik ini. Beginilah sajak itu,

Rambut panjang hitam dan halus.
Melebihi kehalusan benang sutera.
Diikal menjadi mahkota hidup.
Terhias bunga cilan dengan dua kuncup
Sisir emas jadi penahan,
Sedap, wangi, semerbak harum!
Wajah indah jelita berbentuk telur
Berkulit halus dan betapa putihnya,
Putih kuning seperti susu.
Dua alis melengkung hitam
Menghias sepasang mata burung hong.
Kering tajam lunak menikam kalbu
Hidung kecil mancung berbentuk sempurna
Bagaikan ukiran batu kemala.
Mulut kecil mungil, merah membasah
Di balik bibir manis
Tersembunyi gigi mutiara!
Tubuh ramping
Mengalahkan batang yang-liu (cemara)
Tertiup angin
Melenggak-lenggok mempesona
Tangan kaki kecil mungil
Seperti kuncup bunga,
Setiap gerakan
Menyedapkan pandangan mata
Di dalam dunia memang banyak wanita jelita
Namun siapakah dapat menyamai bunga istana
Teratai Jelita (Bi Lian) kekasih raja?


Namun cinta kasih seorang laki-laki seperti Kaisar Hian Tiong tidak bertahan lama, tidak tahan uji. Hanya dicinta dan dipuja kala masih baru. Setiap kali berganti kekasih, datang yang baru lupa yang lama. Demikian pun halnya dengan Bi Lian. Belum cukup setahun menjadi kekasih kaisar yang paling dicinta, kaisar mulai bosan dan kini jarang lagi datang ke kamarnya.

Semenjak dibawa dengan paksa ke kota raja dan menjadi penghuni harem kaisar, remuk redamlah hati Bi Lian. Dia telah memiliki seorang tunangan, seorang pemuda terpelajar yang sedianya menjadi suaminya. Akan tetapi nasib buruk menimpa dirinya dan dari kota Hang-ciu ia dibawa secaa paksa, bagai seekor domba muda dibawa ke penjagalan untuk di sembelih!

Dengan hati hancur dia harus melayani segala kehendak kaisar yang sangat buas dalam pandangannya itu. Memang tadinya dia agak terhibur ketika dirinya dihujani benda-benda mahal dan indah, ketika dia hidup dalam kemewahan, selalu dilayani oleh para pelayan. Akan tetapi, setelah kaisar mulai bosan dengan dia, dia lalu teringat kembali kepada Can Kwan tunangannya. Dia merasa rindu bukan main, dan setiap hari dia menangis di dalam kamarnya.

Pada malam hari itu, seperti biasa Bi Lian duduk di dalam kamarnya seorang diri. Sore tadi pelayannya datang dan hendak memandikannya serta membereskan pakaian dan rambutnya seperti biasa. Namun Bi Lian menolak dan menyuruh pelayan itu mundur.

Dia duduk termenung dalam kamarnya, mendengarkan suara tetabuhan yang dibunyikan orang di bagian lain dari istana yang luas itu. Bunyi suling dan yang kini membuat hatinya semakin hancur dan berduka. Dia memandang ke arah sajak pujian untuk dirinya yang tergantung dekat pembaringannya. Bunyi sajak itu bahkan membuat Bi Lian terharu dan sedih, mengingatkan dia akan sajak yang pernah dibacanya dahulu.

Aduh sayang, setangkai mawar indah
terbawa hanyut oleh air bah!
Air buas mengalir terus tanpa peduli
mawar yang malang
tertinggal di atas lumpur!


Teringat akan bunyi sajak ini, tak terasa pula dua titik air mata bagaikan dua butir mutiara menitik turun di atas sepasang pipinya yang putih halus kemerahan.

“Can Kwan...” keluh-kesah yang berkali-kali dibisikkan oleh hati wanita muda itu sekarang keluar dari bibirnya, merupakan keluh kesah yang amat menyayat hatinya, dan tak dapat ditahan lagi berderailah air matanya.

“Cui Hwa...” tiba-tiba saja terdengar suara panggilan perlahan dari luar jendelanya yang menembus ke dalam taman bunga yang sengaja dibuat oleh kaisar di luar kamarnya atas permintaannya beberapa bulan yang lalu.

Bi Lian terkejut bukan main. Nama Cui Hwa adalah nama aslinya sebelum ia dibawa ke istana kaisar dan nama ini hampir setahun tidak pernah disebut orang. Namanya sudah berganti menjadi Bi Lian. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan terkejutnya ketika ia mendengar nama lama itu disebut orang. Terutama sekali yang membuatnya terkejut adalah suara itu! Suara orang yang tak pernah dapat dilupakannya, bahkan suara orang yang pada saat itu sedang memenuhi pikiran dan hatinya... Can Kwan!

Seperti dalam mimpi, Bi Lian atau Cui Hwa berjalan menghampiri jendela dan membuka jendela itu. Sesosok bayangan orang melompat masuk dan dengan cepat telah berada di dalam kamar Bi Lian. Wanita ini memandang dan...

“Can Kwan...!” serunya sambil berdiri memandang dengan mata terbelalak serta mulut ternganga.

Ada pun orang yang masuk itu, seorang pemuda yang tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar, juga berdiri dengan pandangan mata kagum menyaksikan kecantikan wanita yang berdiri di hadapannya.

“Cui Hwa...”

Walau pun dahulu mereka belum pernah bersentuh tangan, hanya bicara secara sopan sebagaimana lazimnya orang bertunangan, namun pada saat itu suara hati mereka yang bicara dan perasaan rindu dendam yang hebat mempengaruhi jiwa raga. Tanpa dapat dicegah lagi oleh akal sadar, keduanya saling menubruk dan berangkulan.

“Cui Hwa... kekasihku...”

“Can Kwan, alangkah senangnya bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi...”

“Cui Hwa, siapa bilang dalam mimpi?” Can Kwan segera melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak wanita muda itu, memandang dengan mata penuh cinta kasih mesra. “Kau lihatlah baik-baik, bukankah aku Can Kwan tunanganmu? Aku benar-benar datang kekasihku.”

Namun Cui Hwa menggeleng-gelengkan kepalanya yang cantik.

“Tidak mungkin! Benar-benar tidak mungkin! Bagaimana kau dapat masuk ke sini? Istana dikurung pagar tembok yang tinggi, terjaga kuat oleh pasukan! Sedangkan kau adalah seorang pelajar yang lemah, yang hanya kuat menggerakkan tangkai pena dan membalik lembaran buku. Kau tak mungkin dapat datang ke sini, kecuali kalau... kalau...”

Tiba-tiba pucatlah muka Cui Hwa atau Bi Lian. Ia hampir menjerit ngeri, tetapi buru-buru menutupkan mulutnya dengan tangan, lalu bertindak mundur sampai tiga langkah.

“Cui Hwa, mengapa kau?”

“Can Kwan... tak salah lagi... kau tentu telah mati...! Rohmu yang datang mengunjungiku. Ahh, Can Kwan. Kalau kau sudah mati, tenanglah, aku pasti akan menyusulmu. Sudah tidak tahan lagi aku berada di sini, terpisah darimu!” Bi Lian lalu menangis tersedu-sedu.

Can Kwan melangkah maju kemudian merangkulnya kembali. Dia tertawa perlahan dan membelai rambut kepala Bi Lian.

“Cui Hwa, pernahkah engkau mendengar roh dapat memelukmu seperti yang kulakukan sekarang ini? Lihatlah aku baik-baik, aku belum mati. Aku adalah Can Kwan yang masih hidup, masih berdarah masih berdaging. Ketahuilah, semenjak kau dibawa ke sini, aku lalu melepaskan pena dan berlatih giat sekali mempelajari ilmu silat dari seorang gagah. Akhirnya, pada malam ini aku berhasil melampaui penjaga-penjaga itu dan naik melalui pagar, walau pun dengan susah payah namun aku berhasil sampai ke kamarmu.”

“Can Kwan...! Can Kwan…!” Bukan main girang dan terharunya hati Bi Lian mendengar ucapan kekasihnya ini. “Akan tetapi, apa gunanya...? Kau bisa masuk ke sini, akan tetapi bagaimana keluarnya? Bagaimana pula kalau nanti kau ketahuan oleh penjaga? Ssstt... bersembunyilah, pelayanku datang...”

Akan tetapi, Can Kwan tidak bersembunyi, sebaliknya dengan sekali lompatan dia telah berada di depan pelayan wanita itu dan menotok pundak wanita itu. Pelayan itu roboh tak sadarkan diri lagi.

“Can Kwan, kau... mem... membunuhnya?” tanya Cui Hwa dengan kaget dan ngeri.

Can Kwan tersenyum. Bukan main tampannya wajah pemuda itu dalam pandangan Cui Hwa. “Tidak, Cui Hwa, aku hanya membikin dia tak berdaya untuk beberapa jam saja. Ia tidak apa-apa.”

“Can Kwan, setelah kau datang ke sini... apa kehendakmu?”

Can Kwan memegang kedua tangan kekasihnya. “Cui Hwa, mari kita pergi dari sini, mari kita mulai hidup baru sebagai suami istri, jauh dari sorga dunia yang merupakan neraka bagi batin kita ini.”

“Can Kwan! Bagaimana mungkin? Kau… kau pasti akan tertangkap dan mereka akan membunuhmu! Ahh, Can Kwan... biarlah aku seorang yang menderita, aku tidak tahan melihat kau mereka bunuh! Pergilah, kau cari seorang isteri lain yang bijaksana, biarlah, aku... aku tak berharga lagi menjadi... isterimu. Tak boleh kau mendapat bencana karena aku... tinggalkanlah aku, Can Kwan. Kedatanganmu ini sudah merupakan bahagia yang sebesarnya bagiku dan akan menghiburku sampai aku mati. Akan kuingat sebagai tanda cintamu...”

“Hushh, Cui Hwa, jangan mengeluarkan omongan bodoh! Kini aku sengaja datang untuk membawamu keluar dari sini.”

“Bagaimana caranya?”

“Akan kubawa kau melompati pagar tembok, keluar dari istana.”

“Kalau kau diketahui oleh penjaga?”

“Akan kubuka jalan darah, biar mati bersamamu!”

“Tidak, Can Kwan...” Cui Hwa menangis dan memandang dengan muka ngeri. “Kau tidak boleh mati karena aku...! Apa dayamu menghadapi para pengawal yang jumlahnya amat banyak itu? Biar aku sengsara, biar aku mati asal kau bahagia, asal kau hidup...”

“Cui Hwa...!”

Pada saat itu pula terdengar bentakan-bentakan dari luar.

“Penjahat! Pencuri!”

“Tangkap, tangkaaaap!”

Cui Hwa menjadi pucat. “Celaka, Can Kwan, mereka sudah datang!”

Wajah Can Kwan yang tampan menjadi beringas dan pemuda ini mencabut pedangnya, lalu melompat keluar. Ia langsung disambut oleh belasan orang pengawal yang segera mengepungnya.

Can Kwan memang sudah mempelajari ilmu silat dengan tekunnya dari seorang pandai, dan pedangnya bergerak laksana naga mengamuk. Beberapa orang pengawal sebentar saja sudah roboh mandi darah di bawah sabetan pedangnya.

Akan tetapi makin banyak pengawal datang mengeroyok sambil berteriak-teriak, dan biar pun Can Kwan pernah belajar silat secara amat tekun, namun sampai di manakah tingkat kepandaian seorang yang baru belajar ilmu silat selama setahun? Dia mulai merasa lelah dan telah mendapat beberapa luka ringan.

“Can Kwan...!” Terdengar seruan Cui Hwa menyayat kalbu.

Pemuda itu menengok dan alangkah kagetnya melihat tubuh kekasihnya itu terhuyung-huyung mandi darah! Sebuah pisau menancap di ulu hati Bi Lian atau Cui Hwa.

Ternyata bahwa ketika melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, dan tahu pula bahwa pertemuannya dengan Can Kwan itu tentu akan mengakibatkan bencana hebat bagi dirinya dan pemuda itu, wanita muda itu telah mengambil keputusan pendek membunuh diri.

“Cui Hwa...!” Can Kwan tak mempedulikan lagi keroyokan para pengawal dan menubruk tubuh kekasihnya yang segera dipeluknya.

Akan tetapi tubuh Cui Hwa sudah lemas dan manita muda ini hanya dapat membuka mata sebentar memandang kepada Can Kwan sambil berbisik lemah,

“Aku... menunggumu...” dan tewaslah dia.

“Cui Hwa...!”

Para pengeroyok cepat meloncat maju, beberapa belas batang tombak dan golok datang bagaikan hujan ke arah tubuh pemuda itu. Sudah jelas nasib Can Kwan, karena biar pun dia mempunyai kepandaian sepuluh kali lipat dari pada kepandaiannya yang sekarang, belum tentu dia akan dapat menyelamatkan diri dari serangan hebat itu.

Mendadak berkelebat bayangan yang cepat sekali, menyambar ke arah para penyerang yang hendak membunuh pemuda itu. Terdengar suara keras sekali, senjata beterbangan dibarengi pekik kesakitan dan tidak kurang dari tujuh orang pengeroyok terguling roboh! Seorang kakek berpakaian tambal-tambalan telah berdiri di depan Can Kwan dan dialah yang menolong pemuda ini.

Can Kwan sudah berdiri dan kini dengan muka pucat serta menyinarkan sakit hati yang hebat, dia menerjang kepada para pengeroyok. Akan tetapi, kakek itu lalu menggerakkan tangannya dan sekali rampas saja pedang Can Kwan telah berpindah tangan!

“Tak perlu melawan lagi, kau tidak akan menang!” kata kakek ini.

“Kalau tidak bisa menang, biarlah aku mati bersama Cui Hwa kekasihku!” jawab pemuda yang sudah nekat itu.

“Bodoh!” kakek itu mencela dan tubuhnya berkelebat ke arah Can Kwan.

Pemuda ini hendak mengelak, akan tetapi gerakan kakek itu amat cepatnya sehingga tahu-tahu dia telah dikempit dan dibawa meloncat tinggi ke atas genteng. Para pengawal istana berteriak mengejar, akan tetapi sebentar saja kakek itu telah menghilang bersama pemuda yang dikempitnya.

Can Kwan hanya merasa sambaran angin dingin meniup mukanya sehingga dia terpaksa meramkan kedua matanya. Tak lama kemudian, kakek itu membawanya meloncat turun dan ketika Can Kwan membuka matanya, tahu-tahu dia telah berada di atas tanah, jauh di luar istana!

“Locianpwe, kenapa kau menghalangi kehendakku mengamuk? Aku ingin mati bersama Cui Hwa!” kata Can Kwan penasaran, karena dia tidak menghendaki pertolongan kakek ini.

Kakek ini tertawa bergelak. “Pikiran muda mendekati kegilaan, sebab selalu dikendalikan oleh nafsu! Orang muda, kau benar-benar sudah gila. Aku yang sudah tua bangka, masih tidak begitu gila untuk mengakhiri hidup yang membosankan ini, apa lagi kau yang masih begini muda. Nyawa adalah kurnia Thian, kenapa hendak dipermainkan? Kau mengacau di istana kaisar, bukankah itu termasuk pelanggaran dan pemberontakan?”

“Siapa yang mau menghargai kaisar lalim? Dia sudah merampas tunanganku dan aku memang sudah setahun mengandung maksud merampas kembali Cui Hwa!”

“Kau keliru! Kalau memang bermaksud melawan kehendak kaisar, mengapa tidak sejak dahulu sebelum tunanganmu menjadi selir kaisar? Sekarang tunanganmu sudah menjadi selir terkasih, sudah hidup bahagia namun kau datang-datang mendatangkan bencana padanya. Kalau kau tidak datang, apa kau kira tunanganmu itu akan mati? Kau bertindak menurutkan nafsu hati tanpa menggunakan akal budi dan pikiran sehat. Andai kata kau tadi berhasil membawa lari bekas kekasihmu itu, apa kau kira akan dapat bersembunyi dari para petugas kaisar? Ke mana pun kau pergi, kau tentu akan bertemu dengan kaki tangan pemerintah dan akhirnya kau akan dibekuk juga! Kalau kau yang menderita dan kena bencana, itu tak mengapa karena memang kau sengaja, akan tetapi kau menyeret wanita itu ke jurang kecelakaan! Bahkan, kalau kau masih mempunyai keluarga, seluruh keluargamu akan terseret juga.”

Mendengar ucapan terakhir ini Can Kwan nampak lemas. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis. ”Teecu memang mengaku bahwa teecu seorang anak puthauw (tidak berbakti), mohon petunjuk dari Locianpwe.”

“Hmm, bagus! Lebih baik menghadapi seorang yang menyesali perbuatannya yang salah dari pada menghadapi seorang yang menyombongkan perbuatannya yang baik! Anak muda, jangan dikira bahwa seandainya kau berhasil membawa lari wanita itu, hidupnya akan bahagia. Ah, orang muda seperti kau selalu tertipu oleh nafsu hati. Sekarang wanita itu telah tewas, sudahlah. Dia telah terbebas dari pada penderitaan hidup, yaitu kalau dia memang menderita di dalam istana itu. Lebih baik kau pulang dan rawat orang tuamu baik-baik, menikah atas pilihan orang tuamu sebagai seorang anak berbakti. Apa bila kau berjalan di atas kebenaran, pasti kelak kau akan berbahagia.”

“Terima kasih, Locianpwe. Teecu mohon tanya, siapakah adanya Locianpwe yang telah menolong teecu?”

“Aku? Aku adalah pengemis miskin dan orang menyebutku Ang-bin Sin-kai!”

Can Kwan terkejut sekali. Ia sudah tentu pernah mendengar nama tokoh besar ini, maka dengan girang dia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau Locianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid…”

Akan tetapi karena tidak ada jawaban, Can Kwan mengangkat mukanya dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kakek itu sudah lenyap dari situ! Dengan hati kecewa dia lalu berdiri dan berjalan pulang, kedukaan hatinya banyak terobati oleh nasehat-nasehat dari Ang-bin Sin-kai.

Memang, kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, Ang-bin Sin-kai pergi menuju ke kota raja hendak mencari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Setibanya di kota raja, diam-diam dia pergi ke rumah keponakannya, yaitu Lu Seng Hok, karena dia tahu bahwa Jeng-kin-jiu tinggal di rumah muridnya, Lu Thong atau putera dari Lu Seng Hok.

Akan tetapi dia merasa kecewa sekali sebab Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Lu Thong belum pulang dari perantauannya. Ang-bin Sin-kai lalu menyelidiki kota raja untuk melihat kalau-kalau Kiu-bwe Coa-li yang menculik Lu Kwan Cu telah berada di sana, akan tetapi ternyata iblis wanita itu pun belum nampak berada di kota raja.

Untuk menghilangkan kekesalan hatinya, sambil menunggu kemunculan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu atau Kiu-bwe Coa-li, timbul seleranya untuk makan hidangan istana serta melihat-lihat kebun bunga di istana yang luar biasa indahnya itu.

Dahulu memang sering kali dia melancong dan bersuka ria di istana kaisar, tanpa ada seorang pun yang melihat dirinya. Ia bermain-main di taman bunga, tidur di kamar-kamar besar yang indah sesudah mengunci dan mengganjal pintu kamar dari dalam sehingga tak ada orang yang dapat membukanya, atau memasuki dapur istana dan menyikat habis hidangan-hidangan untuk raja yang paling lezat. Ada kalanya pula dia menikmati bacaan buku-buku di perpustakaan istana atau minum anggur terbaik di gudang minuman.

Kebetulan sekali pada malam hari itu, ketika memasuki istana, dia melihat Can Kwan di keroyok, maka dia menolong pemuda itu setelah mengetahui sebab-sebab pertempuran. Diam-diam dia menaruh hati kasihan kepada pemuda itu, dan makin besar rasa jemunya terhadap kaisar yang merampas tunangan orang lain. Akan tetapi, kalau dia tidak berlaku keras dan mengeluarkan nasehat-nasehat seperti yang telah diucapkan kepada pemuda itu, dia tidak akan dapat menimbulkan semangat hidup baru di dalam hati Can Kwan.

Karena itu, setelah meninggalkan Can Kwan, kembalilah Ang-bin Sin-kai ke istana lagi. Keadaan di istana untuk sesaat gempar dengan peristiwa tadi dan kini jenazah Bi Lian atau Cui Hwa telah dirawat sebagaimana mestinya dan kaisar yang diberi tahu tentang hal itu, hanya mengeluarkan perintah untuk menangkap pemuda yang tidak dikenal siapa adanya.

Ang-bin Sin-kai langsung menuju ke dapur istana. Di depan pintu-pintu dapur itu terjaga kuat-kuat, namun dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Ang-bin Sin-kai melompat ke atas genteng dan membuka beberapa buah genteng, kemudian mengintai ke dalam. Dia melihat tukang-tukang masak sedang sibuk menyiapkan hidangan malam untuk kaisar. Di atas sebuah meja yang besar sudah berjajar hidangan yang lengkap, masakan-masakan istimewa dan yang masih mengebulkan asap.

Ang-bin Sin-kai beberapa kali menelan ludahnya. Uap masakan yang sedap menyerang hidungnya, membuat perutnya yang hampir kempis itu berkeruyukan. Di antara semua masakan yang ada di atas meja, yang paling menimbulkan air liurnya adalah masakan daging burung dara kebiri dan daging ikan emas.

Ingin sekali dia cepat-cepat menyerbu ke bawah dan menghabiskan masakan-masakan itu. Akan tetapi dia tidak mau menimbulkan keributan, karena kalau terjadi hal demikian, tentu para pengawal akan datang mengeroyok dan akan mengganggu makannya.

Tukang-tukang masak dan pelayan yang bekerja di dalam dapur istana ada lima orang. Semuanya bertubuh gemuk, oleh karena mereka ini adalah orang-orang yang setiap hari galang-gulung dengan masakan enak, sehingga banyak juga gajih dan daging memasuki mulut mereka sehingga tubuh mereka menjadi gendut dan gemuk.

Mereka bekerja sambil bercakap-cakap gembira, diselingi dengan percakapan mengenai Bi Lian. Siapa orangnya yang takkan merasa sayang melihat selir yang demikian cantik jelita membunuh diri?

Tiba-tiba, lima potong benda hitam melayang cepat dari atas tanpa menimbulkan suara dan sungguh aneh sekali. Lima orang tukang masak itu mendadak menjadi kaku seperti mereka tiba-tiba menjadi patung! Yang memegang mangkok masih tetap berdiri dengan mangkok di tangan, yang memasak masih tetap berdiri di depan api. Bahkan seorang pelayan yang secara diam-diam mencuri sepotong daging, masih berdiri dengan daging di tangan mendekati mulutnya yang sudah ternganga siap mencaplok daging itu!

Apa yang terjadi? Ternyata bahwa Ang-bin Sin-kai sudah menggunakan kepandaiannya yang luar biasa. Dengan pecahan genteng, dia menyabit lima orang itu dan dengan tepat sekali menotok jalan darah tai-twi-hiat mereka sehingga lima orang itu menjadi kaku dan tak dapat bergerak sama sekali.

Pada saat itu, Ang-bin Sin-kai melayang turun dengan kecepatan seperti seekor burung walet. Gerakannya sukar diikuti dengan mata dan di dalam kekakuan mereka, lima orang itu hanya melihat bayangan besar menyambar turun dan lenyap lagi. Kemudian, kembali lima potong benda hitam menyambar dari atas dan berbareng dengan ini, lima orang itu dapat bergerak kembali! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak.

“Apa yang terjadi?”

“Kenapa tadi semua badanku menjadi kaku?”

“Apakah kau melihat bayangan menyeramkan tadi?”

“Setan! Tentu ada setan yang mengganggu kita...”

Lima orang itu menjadi kacau balau, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, mereka tidak berani membikin ribut, takut kalau mendapat teguran dari atasannya. Sebaliknya, mereka mempercepat pekerjaan mereka supaya dapat segera meninggalkan dapur yang luas dan yang kini kelihatan menyeramkan itu. Tidak lama kemudian, masakan-masakan itu pun sudah selesai. Pelayan-pelayan dipanggil untuk mengangkut hidangan ke kamar makan kaisar.

“Hee, mana masakan burung dara?”

“Ahh, masakan ikan emas juga telah lenyap!”

“Celaka... tentu iblis tadi yang mengambilnya...”

“Ssttt, jangan keras-keras! Masih bagus dia hanya mengambil masakan, tidak mengambil nyawa kita!”

Dengan cepat, masakan-masakan itu lalu dibawa keluar dan lima orang tukang masak itu bekerja cepat-cepat dengan bulu tengkuk berdiri. Ingin mereka segera pergi dari tempat itu.

Sesudah semua orang pergi dan pintu dapur ditutup kembali, dari atas melayang turun tubuh Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Pada kedua tangannya terlihat dua mangkok masakan daging burung dara dan daging ikan emas yang lenyap tadi.

“Ha-ha-ha, sekarang aku bisa berpesta. Sayang masakan-masakan ini telah agak dingin karena dibawa ke atas. Harus dipanaskan dulu!”

Dengan enaknya, dia lalu menyalakan api dan memanaskan dua macam masakan itu. Kemudian tubuhnya berkelebat keluar dari atas genteng dan sebentar kemudian dia telah datang kembali membawa tiga guci arak wangi yang diambilnya dari gudang minuman! Tidak lama kemudian, Ang-bin Sin-kai berpesta-pora, makan minum di dapur itu dengan senangnya.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa seorang di antara para tukang masak tadi, yang agak besar nyalinya, menyelinap di balik pintu dan mengintai ke dalam. Ketika tukang masak ini melihat seorang kakek sedang makan minum, diam-diam dia lalu pergi dari sana dan membuat laporan kepada kepala penjaga.

“Di dalam dapur ada seorang maling...” kata tukang masak itu dengan tubuh gemetar dan mukanya pucat.

“Apa? Mengapa tidak kau tangkap?”

Tukang juru masak yang gemuk itu terbelalak matanya. “Ditangkap? Bagaimana aku bisa menangkapnya? Dia sakti sekali!” Kemudian dia menceritakan bagaimana dia bersama kawan-kawannya telah mengalami hal yang aneh terjadi.

Kepala penjaga ini adalah seorang tua bernama Song Cin atau yang biasa disebut Song Ciangkun. Sebetulnya dia memang seorang perwira yang telah banyak berjasa sehingga setelah dia tua, dia lalu ditarik oleh kaisar menjadi kepala pengawal atau penjaga istana. Song Cin mempunyai kepandaian silat dan ilmu pedang yang tinggi sehingga di kalangan kang-ouw namanya sudah terkenal sekali. Ketika mendengar penuturan tukang masak ini, dia mengerutkan keningnya.

“Apakah dia sudah tua, tingkahnya seperti orang gila dan pakaiannya penuh tambalan?” tanyanya menegas.

“Betul, betul, Song Ciangkun. Pakaiannya seperti pengemis!”

Song Cin mengangguk-angguk. “Sudahlah, jangan ribut-ribut. Kau mengasolah, biar aku yang membereskan orang itu.”

“Song Ciangkun... apakah... apakah dia adalah setan penjaga dapur?” Tukang masak itu bertanya.

Song Cin mengangguk. “Betul, dan kau tidak boleh mengganggunya kalau kau sayang kepada nyawamu.”

Mendengar ini, tukang masak itu cepat-cepat pergi dan tanpa mencuci tangan lagi, ia lalu merayap ke bawah selimut di dalam kamarnya!

Ada pun Song Cin sudah merasa yakin bahwa orang yang mengganggu dapur tentulah Ang-bin Sin-kai. Sudah beberapa kali kakek aneh itu menyerbu dapur dan dia tahu pasti bahwa dia sendiri beserta semua anak buahnya bukanlah lawan bagi Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu, dia langsung menuju ke kamar makan kaisar.

Kaisar tengah duduk makan minum dengan beberapa selirnya. Tidak seperti biasanya, pada waktu itu kaisar sedang menjamu dua orang yang berpakaian layaknya panglima perang besar. Kedua orang ini berpakaian seperti panglima perang suku Tajik, sebuah kerajaan yang pada masa itu menjadi besar dan kuat di samping Kerajaan Tibet.

Song Cin tahu siapa adanya dua orang panglima ini, karena sore tadi dia sendiri yang menerima mereka dan menghadapkan mereka kepada kaisar. Mereka adalah dua orang panglima-panglima besar dari Kerajaan Tajik yang datang membawa surat dari Panglima An Lu Shan.

Sudah lama bangsa Tajik mengadakan penyerbuan-penyerbuan ke selatan dan kekuatan mereka memang besar sekali. Akan tetapi tiba-tiba setelah An Lu Shan diangkat menjadi panglima di utara oleh kaisar, serbuan-serbuan ini mengecil dan akhirnya, pada hari itu, dua orang panglima bangsa Tajik datang menghadap kaisar membawa surat dari An Lu Shan yang memberi laporan kepada kaisar bahwa bangsa Tajik kini sudah menyatakan damai! Dua orang panglima Tajik itu merupakan utusan dari bangsa Tajik untuk memberi penghormatan kepada kaisar.

Tentu saja kabar girang ini lalu diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan gembira sekali. Ia menganggap semua ini sebagai jasa besar dari An Lu Shan sehingga untuk menyatakan kegembiraannya, dia mengundang makan malam kedua orang panglima besar Tajik ini. Oleh karena sedang berpesta gembira, tentu saja kaisar mengerutkan kening tanda tidak senang ketika Song Cin datang mengganggunya tanpa dipanggil.

“Song Ciangkun,” kata kaisar dengan suara tak senang, “apa keperluanmu menghadap tanpa dipanggil?”

“Mohon beribu ampun apa bila hamba mengganggu kesenangan Baginda dan para tamu agung,” kata Song Ciangkun dengan sikap merendah, “tapi hamba terpaksa melaporkan karena pada saat ini, kembali dapur istana didatangi oleh Ang-bin Sin-kai. Kami menanti keputusan Baginda!”

Berubah air muka baginda kaisar mendengar laporan ini. Sungguh aneh, biar pun Song Cin dan kaisar tidak melihatnya, namun muka kedua orang tamu agung Panglima Tajik itu juga berubah dan nampak mereka saling menukar pandang, nampaknya kaget sekali. Namun kaisar dapat menentramkan hatinya lagi dan tiba-tiba tertawa.

“Bagus! Orang aneh itu menambahkan kegembiraan kami! Song Ciangkun, undang dia secara baik-baik untuk menemani kami minum arak!”

Song Cin tidak heran mendengar ini, karena memang kaisar mengagumi Ang-bin Sin-kai yang sebetulnya masih kakak dari menteri setia Lu Pin. Akan tetapi dua orang tamu Tajik itu benar-benar nampak terkejut sekali. Setelah memberi hormat, Song Ciangkun segera mengundurkan diri dan berlari menuju ke dapur istana.

Song Cin mengetuk pintu dapur dan berkata keras, “Ang-bin Sin-kai Locianpwe, siauwte Song Cin mohon bertemu, membawa perintah hong-siang (raja)!”

“Masuklah, Song Ciangkun.”

Song Cin masuk dan dia melihat kakek aneh itu masih duduk menghadapi meja sambil minum arak. Cepat dia memberi hormat dan berkata,

“Siauwte membawa titah hong-siang mengundang Locianpwe untuk menemani baginda minum arak.”

Ang-bin Sin-kai tertegun, kemudian tertawa bergelak.

“Bagus, memang masakan di sini kurang lengkap. Baik, aku pergi menghadap baginda!” Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat.

Song Cin hanya merasa ada angin menyambar dan bayangan berkelebat di sisinya, dan kakek itu telah lenyap! Ia menghela napas dan mengagumi kelihaian kakek itu, kemudian melakukan penjagaan seperti biasa.

Pada saat melihat Ang-bin Sin-kai muncul di ambang pintu, baginda kaisar melambaikan tangan sambil tersenyum.

“Mari, mari, Lu-koai-hiap (pendekar aneh she Lu), kau duduklah di sini bersama kami.”

Ang-bin Sin-kai menjura tanda menghormat.

“Terima kasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa Baginda yang mulia sudi mengundang hamba.”

Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu melangkah maju dan menduduki sebuah bangku kosong, berhadapan dengan dua orang tamu itu. Sepasang matanya memandang tajam sekali sehingga dua orang Tajik itu merasa tidak enak sekali.

“Ha-ha-ha, Jiwi Ciangkun. Perkenalkanlah, ini adalah orang aneh dari timur yang disebut Ang-bin Sin-kai. Dan Lu-koai-hiap, kedua orang tamu ini adalah panglima-panglima Tajik yang mewakili pemerintahannya menyatakan perdamaian dengan negeri kita.”

Ang-bin Sin-kai hanya menerima perkenalan ini dengan sikap dingin, kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dia mempergunakan sumpitnya yang panjang untuk menjangkau mangkok-mangkok masakan yang paling enak. Baginda Kaisar tertawa melihat ini dan memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah arak.

Walau pun nampaknya bersikap acuh tak acuh, akan tetapi diam-diam Ang-bin Sin-kai memperhatikan gerak-gerik dua orang tamu itu, panglima-panglima yang bertubuh tinggi besar itu. Mendadak mukanya berubah pucat, kemudian perhatiannya tercurah kepada tangan-tangan kedua orang tamu itu yang memegang sumpit.

Pada saat mereka telah minum kosong cawan arak dan baginda nampak gembira sekali. Seorang di antara dua tamu itu mengambil guci arak dengan tangan kanan dan mengisi cawan kosong baginda kaisar. Kemudian dia pun memenuhi cawan Ang-bin Sin-kai dan cawannya sendiri beserta kawannya.

“Hamba menyuguhkan secawan arak untuk keselamatan kaisar. Hidup Baginda Kaisar, semoga panjang usianya!” katanya sambil mengangkat cawan araknya.

Kaisar Hian Tiong tertawa sambil mengangkat cawan araknya. Akan tetapi sebelum dia meneguk araknya, tiba-tiba tangan Ang-bin Sin-kai bergerak dan cawan itu terlempar dari tangan baginda!

“Lu-koai-hiap...!” kaisar menegur marah.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai memandang kepada penyuguh arak itu dengan marah sekali. “Kalian bukan orang Tajik! Kalian adalah jahanam-jahanam pembunuh! Hayo mengaku, siapa kalian?!” Ang-bin Sin-kai berdiri dan sikapnya mengancam sekali.

Kaisar Hian Tiong pucat dan mengira bahwa pengemis sakti itu sudah menjadi mabuk. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba dua orang tamunya itu menggerakkan tangan dan berkeredepan benda-benda yang menyambar ke arah tubuh kaisar serta Ang-bin Sin-kai. Benda-benda ini adalah pisau-pisau mengkilat, semacam senjata rahasia yang sangat tajam, runcing dan dilemparkan dengan tenaga kuat sekali.

Kaisar memekik kaget dan hendak membuang diri ke belakang untuk mengelak, namun Ang-bin Sin-kai sudah mendahuluinya, menggerakkan sepasang sumpitnya mengibas. Maka, runtuhlah empat buah pisau yang menyambar baginda. Ada pun empat buah lagi yang menyambar ke arah Ang-bin Sin-kai, dipukul runtuh dengan tangan kirinya!

“Celaka...!” Seorang di antara dua orang Tajik itu mengeluh.

Akan tetapi pada saat itu Ang-bin Sin-kai telah melompat dan tubuhnya menyambar ke arah penyuguh arak dengan sepasang sumpit menusuk matanya!

Panglima Tajik itu cepat mengelak, tetapi sumpit di tangan Ang-bin Sin-kai seakan-akan bermata, karena sumpit itu mengejar terus dan akhirnya terdengar jerit mengerikan ketika sepasang sumpit daging itu menancap pada mata panglima yang tadi menyuguhkan arak kepada kaisar! Tubuhnya terguling dan dia berkelojotan.

Tiba-tiba kembali menyambar pisau-pisau terbang dan kali ini pisau-pisau itu mengenai tubuh orang yang sudah terluka matanya ini, menancap di ulu hati dan leher sehingga orang itu seketika tewas tanpa dapat bersambat lagi. Orang Tajik ke dua itulah yang tadi melepaskan pisau membunuh kawannya sendiri dan kini tubuhnya berkelebat lari ke arah pintu.

“Bangsat hina, hendak lari ke mana kau?!”

Ang-bin Sin-kai melompat mengejar. Akan tetapi gerakan penjahat itu benar-benar cepat sekali sehingga sebentar saja dia telah melompat ke atas genteng. Namun, mana mau Ang-bin Sin-kai memberi hati kepadanya? Kakek sakti ini pun melompat dan mengejar terus dengan kecepatan melebihi anak panah.

Kaisar Hian Tiong bertepuk tangan memberi tanda kepada para penjaga, maka tak lama kemudian ramailah keadaan di situ. Ruangan itu segera penuh dengan para penjaga dan pengawal kaisar. Song Cin mengepalai para penjaga untuk melakukan pengejaran pula dan dia sendiri lantas melompat ke atas genteng mengejar Ang-bin Sin-kai yang masih berlari-lari menyusul tamu Tajik tadi.

“Bangsat pengkhianat, kau hendak lari ke mana?” Ang-bin Sin-kai berseru keras, tangan kanannya menjangkau ke depan hendak mencekik tengkuk penjahat.

Karena merasa tiada gunanya melarikan diri dari kakek sakti itu, penjahat ini mendadak membalikkan tubuhnya dan dua tangannya terayun. Maka, delapan buah pisau terbang menyambar kepada Ang-bin Sin-kai.

Boleh jadi kepandaiannya melempar pisau terbang itu untuk orang lain amat berbahaya, akan tetapi terhadap Ang-bin Sin-kai, serangan ini tidak ada bedanya dengan permainan kanak-kanak belaka. Dengan menggerakkan kedua tangannya, delapan pisau itu telah tertangkap semua oleh Ang-bin Sin-kai!

Penjahat itu terbelalak memandang kehebatan lawannya ini dan dia lalu berlaku nekat. Ketika Ang-bin Sin-kai menubruk, tubuh penjahat itu tanpa sebab telah terpelanting jatuh dan menggelundung di atas genteng.

Ang-bin Sin-kai merasa amat heran dan cepat menyambar tubuh orang yang akan jatuh ke bawah itu, karena dia ingin menangkapnya hidup-hidup untuk ditanyai keterangan. Akan tetapi ternyata bahwa orang itu telah mati dengan sebatang pisau menancap di ulu hatinya!

Melihat kedatangan Song Cin, Ang-bin Sin-kai lalu melemparkan tubuh penjahat yang sudah menjadi mayat itu kepada kepala penjaga ini, kemudian dia berlarian kembali ke ruang makan. Ternyata bahwa penjahat yang pertama juga sudah mati.

“Lu-koai-siap, bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka bukan orang Tajik dan mereka mengandung maksud tidak baik kepada kami?” tanya kaisar kepada Ang-bin Sin-kai.

Kakek ini tersenyum. “Mudah saja. Ketika tadi hamba makan bersama mereka, hamba melihat cara mereka memegang sumpit tidak seperti kebiasaan orang-orang Tajik yang hamba ketahui baik-baik. Sumpit ke dua mereka pegang di antara ibu jari dan telunjuk seperti cara kita, sedangkan kebiasaan orang-orang Tajik memegang sumpit ke dua di antara telunjuk dan jari tengah. Kemudian, ketika penyuguh arak tadi menuangkan arak dari guci ke cawan Paduka, hamba sempat melihat dia melepaskan bubuk putih secara pandai dan tidak kentara, maka tahulah hamba bahwa dia mencampuri racun ke dalam arak itu dan hamba segera bertindak mencegah Paduka meminumnya.”

Kaisar mengangguk-angguk. “Sungguh heran sekali mengapa mereka dapat membawa surat dari An-ciangkun!”

“Hemm, kalau hamba yang mengurus perkara ini, akan hamba selidiki keadaan An Lu Shan itu! Paduka terlampau banyak mencari hiburan dan kesenangan hingga lalai dalam memperhatikan keadaan para petugas. Dan juga kematian selir Paduka belum lama ini, adalah akibat dari kelalaian Paduka sendiri. Maafkan kelancangan hamba ini, akan tetapi hamba hanya mau membuka mulut bukan semata untuk mencela, akan tetapi ini demi kebaikan Paduka dan negara! Sekarang ijinkanlah hamba pergi!” Tanpa menanti ijin dari kaisar, Ang-bin Sin-kai berkelebat dan lenyap dari situ.

Akan tetapi pada keesokan harinya, datang serombongan perwira utusan An Lu Shan yang menyatakan bahwa cap kebesaran An Lu Shan sudah tercuri orang dan bahwa kini panglima itu meminta cap baru dari kaisar. Pemberitahuan ini dilakukan karena khawatir kalau-kalau cap yang lenyap itu disalah gunakan oleh orang lain!

Dengan adanya pemberitahuan ini, lenyaplah semua kecurigaan kaisar terhadap diri An Lu Shan dan inilah kesalahan kaisar. Kalau saja dia menyuruh orang menyelidiki lebih teliti, tentu akan diketahuinya bahwa memang diam-diam An Lu Shan memiliki cita-cita memberontak dan sebenarnya kedua orang yang mengaku sebagai perwira-perwira Tajik itu adalah kaki tangannya yang diberi tugas untuk membunuh kaisar…..

*****

Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, bocah gundul yang diculik Kiu-bwe Coa-li. Biar pun dia merasa dongkol sekali atas perbuatan Kiu-bwe Coa-li terhadap dirinya namun berada di dekat Sui Ceng yang bicara dengan lucu dan menghibur dengan kata-kata membesarkan hati, Kwan Cu berlaku tenang dan mulai memutar otaknya.

Dia dapat menduga apa maksud wanita sakti itu menculiknya. Tentu ada hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pikirnya. Kalau tidak untuk kitab itu, apa perlunya Kiu-bwe Coa-li menculiknya.

Tak lama kemudian setelah Bun Sui Ceng menggendong dan meletakkannya di pinggir hutan, datanglah Kiu-bwe Coa-li dan sekali menepukkan tangannya ke pundak Kwan Cu, bocah gundul ini terbebas dari totokannya. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li memuji anak ini, karena begitu terbebas, Kwan Cu sudah lantas melompat berdiri, seakan-akan dia tidak terpengaruh sama sekali oleh bekas totokannya itu.

Padahal, untuk orang biasa, kalau habis mengalami pengaruh totokannya, tentu sampai beberapa lama akan menjadi kaku tubuhnya dan setelah digerak-gerakkan beberapa kali baru dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi anak ini begitu terbebas, lantas saja bisa melompat berdiri.

“Suthai, kau benar-benar keterlaluan sekali!” Dengan mata bersinar marah segera Kwan Cu menegur Kiu-bwe Coa-li! “Kalau ada keperluan dengan aku, mengapa tidak bertanya dengan baik-baik saja? Akan tetapi kau malah tiba-tiba menyerang dan menculik, apakah perbuatan ini boleh dibuat bangga?”

Untuk sejenak Kiu-bwe Coa-li memandang bengong. Selama ini belum pernah ada orang yang berani menegurnya seperti itu! Kemudian timbul marahnya.

“Anak setan, kau berani menegurku?” Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar ke arah pipi Kwan Cu.

“Plakk!”

Kwan Cu merasa seakan-akan kepalanya disambar petir dan dia roboh berguling-guling, kemudian dia melompat dengan berdiri pula dengan tegak, sedikit pun tidak takut. Juga rasa sakit tadi hanya di pipi saja dan sekarang tidak terasa lagi.

“Kiu-bwe Coa-li merupakan nama besar yang sering kali kudengar dipuji-puji oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, belum pernah aku mendengar bahwa tokoh besar ini hanya mempunyai kesukaan memukul anak kecil yang tak mampu melawan!”

Mendengar ucapan ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi marah dan sepasang matanya memancar sinar yang aneh sekali. Memang benar-benar hebat sekali keberanian Kwan Cu, dia tidak saja menegur, bahkan sekarang dia mencela tokoh besar yang ditakuti oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw ini!

“Bocah setan penipu busuk!” Kiu-bwe Coa-li memaki sambil melompat maju dan kedua tangannya menggigil dalam nafsunya hendak menghancurkan mulut kecil yang berani mencelanya itu. “Tidak kuhancurkan kepalamu juga sudah untung kau! Kau telah berani menipuku, kemudian menegur, bahkan sekarang mencela! Berapa banyak sih cadangan nyawamu maka berani main gila memutar lidah?”

Pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li menggigil dan Sui Ceng memandang dengan khawatir sekali. Gurunya ini memang baik, akan tetapi kalau sudah marah agaknya tidak ada iblis yang dapat melebihi keganasannya! Maka ia tahu bahwa kali ini nyawa Kwan Cu takkan tertolong lagi. Cepat ia melompat maju ke depan gurunya dan berkata,

“Suthai, harap jangan bunuh Kwan Cu. Teecu kasihan padanya, lagi pula, kalau dia mati, siapa yang akan dapat menunjukkan di mana adanya Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

Mendengar ini, cambuk yang sudah diangkat tadi turun kembali dan Sui Ceng bernapas lega. Akan tetapi, alangkah kagetnya anak perempuan ini ketika tiba-tiba dia mendengar isak tangis dan ternyata bahwa Kwan Cu kini telah duduk di atas tanah sambil menutup mukanya, menangis!

Tentu saja Kiu-bwe Coa-li menjadi terheran, bahkan Sui Ceng sendiri pun merasa heran sekali atas sikap Kwan Cu. Dipukul, dimaki, dihina tidak pernah meruntuhkan air mata, sekarang tiada hujan tiada angin menangis sedih!

Memang hal ini aneh sekali, karena tidak biasanya Kwan Cu menangis. Anak ini berhati keras dan amat berani, bersemangat baja sehingga baginya merupakan pantangan untuk mengeluarkan air mata, apa lagi air mata karena takut atau bingung. Akan tetapi, pada saat itu, hatinya merasa amat terharu dan berduka.

Kwan Cu masih merasakan kasih sayang yang diberikan oleh Loan Eng kepadanya, dan kepada nyonya itu dia sudah menganggap seperti ibunya sendiri. Tadinya dia pun sudah merasa hancur hatinya mendengar betapa Pek-cilan Thio Loan Eng dan suaminya telah terbunuh orang, akan tetapi dia masih dapat menahan kedukaan hatinya. Kini, tiba-tiba dia melihat Sui Ceng bersikap membela dan berkasihan kepadanya, maka tanpa dapat ditahan lagi Kwan Cu teringat akan kebaikan dan cinta kasih ibu anak ini terhadap dia dan keharuan besar karena sikap manis Sui Ceng membuat dia terisak-isak!