Kembang Karang Hawu - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

KEMBANG KARANG HAWU

SATU
Glarrr!

Ledakan menggelegar terdengar dahsyat, memecah kesunyian pagi di Puncak Gunung Karang Hawu. Tampak debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa sehingga membentuk seperti sebuah jamur raksasa. Seluruh badan gunung yang selalu terselimut kabut tebal itu bergetar hebat, bagaikan hendak runtuh oleh ledakan dahsyat tadi.

Terlihat sesosok tubuh ramping yang terbungkus baju warna hijau daun, tengah berdiri tegak sambil memandangi jamur raksasa dari kepulan debu dan pecahan bebatuan. Kedua tangannya terentang lurus ke depan, dengan telapak terbuka dan jari-jari tangan menyatu rapat. Pelahan-lahan sepasang tangan berkulit kuning langsat dan lentik itu bergerak turun.

Di antara selimut kabut, jelas terlihat kalau sosok tubuh ramping itu ternyata milik seorang gadis ber-wajah cantik bagai bidadari. Kulitnya yang kuning langsat, cocok sekali dengan bajunya yang berwarna hijau daun dan sangat ketat. Mau tak mau, bentuk tubuhnya yang ramping dan indah itu seperti terpetakan di balik bajunya itu.

"Hm...," gadis itu bergumam perlahan. Perlahan tubuhnya diputar. Pandangan matanya langsung tertumbuk pada seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk yang mengenakan baju jubah panjang berwarna kusam. Sebatang tongkat tak beraturan bentuknya, tergenggam di tangan, untuk menyangga tubuhnya yang terbungkuk.

"Sejak kapan kau berada di sini, Orang Tua?" terdengar ketus sekali nada suara gadis itu.

"Tampaknya kau tidak suka melihat kehadiranku, Rara Ayu Ningrum...," ujar laki-laki tua itu kalem.

"Heh...?! Dari mana kau tahu namaku...?" sentak gadis yang dipanggil Rara Ayu Ningrum, terkejut.

Orang tua berjubah kusam itu hanya tertawa terkekeh saja. Tubuhnya yang bungkuk nampak terguncang-guncang menahan tawa terkekehnya. Sedangkan gadis cantik berbaju hijau daun yang bernama Rara Ayu Ningrum itu semakin tajam memandangi orang tua di depannya.

"Siapa kau, Orang Tua?! Apa keperluanmu berada di sini?!" tanya Rara Ayu Ningrum. Nada suaranya ketus penuh kecurigaan.

"He he he.... Aku hanya orang tua hina yang tidak berarti bagimu, Rara Ayu Ningrum," sahut orang tua itu diiringi tawanya yang terkekeh.

"Aku tanya namamu!" bentak Rara Ayu Ningrum kesal.

"Untuk apa kau ingin tahu namaku?"

"Baik. Jika kau tidak ingin menyebutkan nama, aku ingin tahu, untuk apa kau datang ke sini...?" desis Rara Ayu Ningrum gusar.

"He he he...," laki-laki tua itu hanya terkekeh saja.

"Kau benar-benar menyebalkan...!" desis Rara Ayu Ningrum setengah menggeram.

Bet...! Rara Ayu Ningrum mengebutkan tangan, langsung bersiap hendak menyerang laki-laki tua yang telah membuatnya gusar setengah mati. Kedua tangannya sudah terkepal di depan dada. Sementara sorot matanya tajam menusuk langsung ke bola mata orang tua berjubah kumal di depannya.

"Eee.... Sabar, Nini. Kendalikan amarahmu...," cepat-cepat orang tua itu mencoba meredakan kemarahan Rara Ayu Ningrum.

"Sebutkan namamu, dan apa keperluanmu datang ke sini. Atau terpaksa kau kukirim ke neraka...!" desis Rara Ayu Ningrum dingin menggetarkan.

"Kau tidak bisa memaksaku, Nini," sergah orang tua itu.

"Oh.... Rupanya kau keras kepala juga.... Baik, terimalah seranganku ini! Hiyaaat...!"

"Eh, sabar...!

" uts!" Namun serangan Rara Ayu Ningrum tidak bisa ditarik kembali. Sambil berteriak keras menggelegar, gadis berbaju hijau daun itu secepat kilat inelompat seraya mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah dada laki-laki tua berjubah kumal itu.

Serangan Rara Ayu Ningrum membuat laki-laki tua itu terperanjat sesaat. Untungnya cepat sekali tubuhnya meliuk, menghindari serangan yang dilancarkan gadis itu. Secepat itu pula, laki-laki tua itu melompat ke belakang sejauh tiga tindak. Namun Rara Ayu Ningrum tak ingin melepaskannya begitu saja. Kembali dirangseknya lawan dengan lontaran pukulan yang dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Beberapa kali orang tua berbaju kumal itu harus bergulingan di tanah berumput yang basah, menghindari serangan-serangan Rara Ayu Ningrum. Sudah lebih sepuluh jurus, namun gadis berbaju hijau daun itu belum juga berhasil menyarangkan satu pukulan pun ke tubuh lawan. Meskipun kelihatannya rapuh, laki-laki tua itu ternyata tangguh juga.

"Cukup, Rara Ayu...!" bentak orang tua itu tiba-tiba.

Dan secepat itu pula tubuhnya melenting ke belakang sejauh dua batang tombak. Manis sekali orang tua itu mendarat di tanah. Sedangkan Rara Ayu Ningrum terpaksa menghentikan serangannya. Gadis Itu sendiri sebenarnya kagum pada ketangkasan orang tua ini. Dia bisa melesat ke belakang dengan manis sekali selagi mendapat serangan gencar. Tidak sembarang orang bisa melakukan hal demikian.

"Tidak ada gunanya meneruskan pertarungan ini," tegas orang tua itu.

"Kenapa...? Kau takut menghadapiku...?" dengus Rara Ayu Ningrum sinis.

"Jangan salah paham, Rara Ayu. Kalau aku mau, mudah sekali aku bisa menjatuhkanmu," orang tua itu jadi sengit juga.

"Oh...?! Mengapa tidak kau lakukan?"

Sebenarnya Rara Ayu Ningrum terkejut juga mendengar perkataan orang tua itu tadi. Hatinya memang mengakui kalau orang tua itu bisa saja melawan. Namun, Rara Ayu bisa mengetahui kalau orang tua yang tidak dikenalnya ini sama sekali tidak memberi perlawanan berarti. Dan sudah lebih dari sepuluh jurus dikeluarkan, namun tak satu pun yang berhasil. Rara Ayu Ningrum menyadari kalau orang tua ini tidak bisa dianggap enteng. Tapi kegentarannya tidak akan ditampakkan begitu saja.

"Dengar, Rara Ayu. Kedatanganku ke sini tidak bermaksud bermusuhan denganmu," kata laki-laki tua itu lagi.

"Terlambat. Kau sudah membuatku kesal," desis Rara Ayu Ningrum.

"Maafkan. Tapi aku memang tidak bisa memperkenalkan diri padamu," ujar orang tua itu.

"Kalau begitu, enyahlah dari sini!" bentak Rara Ayu Ningrum masih merasa kesal.

Orang tua berbaju kumal itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kalau kau tidak mau pergi, aku yang akan pergi!"

Rara Ayu Ningrum langsung saja melesat cepat sekali, meninggalkan tempat itu. "He...! Tunggu...!" sentak orang tua itu terkejut.

Namun bayangan tubuh Rara Ayu Ningrum sudah tidak terlihat lagi. Cepat sekali lesatannya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan.

"Huh...! Bengal juga dia," dengus orang tua itu. Kembali kepalanya menggeleng-geleng, kemudian kakinya terayun melangkah cepat meninggalkan Puncak Gunung Karang Hawu yang selalu terselimut kabut tebal. Namun belum begitu jauh berjalan, mendadak saja ayunan langkahnya terhenti ketika tiba-tiba terdengar tawa kering mengikik.

"Hik hik hik...!"

"Hm...," orang tua itu menggumam seraya menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

Suara tawa itu jelas sekali terdengar, seakan-akan begitu dekat sumbernya, namun sukar untuk ditentukan arahnya. Karena, suara tawa itu terdengar menggema. Seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin saja layaknya.

"Memalukan...! Nama besar Malaikat Jari Delapan, begitu mudah tunduk di depan bocah kemarin sore...!" terdengar suara kering yang agak serak, setelah suara tawa berhenti.

"Apakah dirimu, Setan Putih...?!" agak keras suara prang tua berjubah kumal itu.

"Hik hik hik...! Ternyata kau masih juga mengenaliku, Malaikat Jari Delapan. "

Orang tua berbaju kumal itu memutar tubuhnya. Dan kini di depannya sudah berdiri seorang perempuan tua yang usianya mungkin sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Seluruh rambutnya sudah memutih. Dia mengenakan baju panjang yang longgar, berwarna putih bersih. Tampik seekor ular belang hitam dan kuning melilit tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri membelai-belai halus kepala ular itu.

"Apa keperluanmu sehingga datang ke sini, Setan Putih?" tanya laki-laki tua berjubah kumal yang ternyata berjuluk Malaikat Jari Delapan.

Dan memang, kalau diperhatikan baik-baik, kedua tangannya tidak memiliki jari kelingking. Sehingga, jumlah jari tangannya hanya ada delapan. Itulah sebabnya, mengapa dia dijuluki Malaikat Jari Delapan. Dan sampai sekarang, tak ada yang bisa mengetahui lagi, siapa nama sebenarnya.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu, Malaikat Jari Delapan," dengus perempuan tua yang dipanggil Setan Putih.

"Hm.... Kita selalu saja bertemu dalam suasana yang tidak mengenakkan," suara Malaikat Jari Delapan terdengar setengah bergumam.

"Karena kau selalu mencampuri urusanku!" sentak Setan Putih.

"Aku baru dua hari di sini. Jadi mana mungkin tahu tentang urusanmu di sini, Setan Putih. Belum-belum sudah menuduhku!" ada ketidaksenangan dalam suara Malaikat Jari Delapan.

"Kedatanganmulah yang membuatku harus memperingatkanmu!" desis Setan Putih dingin.

"Oh ... Jadi kau merasa terganggu atas kedatanganku?"

"Tidak perlu kukatakan lagi, Malaikat Jari Delapan," masih terdengar dingin nada suara Setan Putih.

Malaikat Jari Delapan hanya terdiam disertai senyuman tipis yang tersungging di bibir bernada sinis. Meskipun tidak diucapkan, tapi sudah bisa dipahami maksud perempuan tua ini. Dan hal ini membuat Malaikat Jari Delapan jadi penasaran. Timbul rasa keingintahuannya dengan apa yang sedang dilakukan Setan Putih di gunung yang jarang dijamah manusia ini.

Malaikat Jari Delapan juga sudah bisa menebak pekerjaan yang sedang dilakukan si Setan Putih di tempat yang sunyi ini. Meskipun belum tahu pasti, namun dari beberapa pertemuan antara mereka, Malaikat Jari Delapan sudah mengetahui watak dan tingkah laku perempuan tua itu. Laki-laki tua bungkuk itu merasa yakin kalau Setan Putih sedang melakukan sesuatu yang tidak boleh diketahuinya.

"Kekacauan apa lagi yang akan kau buat di tempat ini, Setan Putih?" tanya Malaikat Jari Delapan.

"Hik hik hik...," Setan Putih hanya mengikik saja.

"Itu bukan urusanmu!" dengus Setan Putih.

"Selama kau masih membuat kekacauan, itu selalu menjadi urusanku, Setan Putih," tegas Malaikat Jari Delapan.

"Phuih! Kau selalu saja mencari perkara, Malaikat Jari Delapan! Rasanya semakin muak saja melihat tampangmu. Huh...! Memang sudah seharusnya kau tinggal di neraka...!" suara Setan Putih terdengar, mendesis tajam.

Begitu suaranya hilang, perempuan tua itu cepat mengebutkan tangan kanannya. Seketika itu juga, ular belang hitam dan kuning yang melingkar di tangan kanannya melesat cepat ke arah dada Malaikat Jari Delapan.

"Uts... !" Malaikat Jari Delapan cepat mengegoskan tubuhnya ke kanan, maka ular belang itu lewat sedikit di depan dadanya yang agak miring. Namun sebelum laki-laki tua berjubah kumal itu bisa menarik tubuhnya kembali, mendadak saja si Setan Putih sudah melontarkan satu pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa... !"

Wus!

Angin pukulan perempuan tua itu sungguh keras, sehingga menimbulkan suara menderu bagai badai. Saat Itu, tak ada pilihan lagi bagi Malaikat Jari Delapann untuk bisa menghindari diri dari serangan 'itu. Maka segera dikempos tenaga dalamnya. Secepat kilat tangannya dihentakkan ke depan.

Plak!

Dua pukulan bertenaga dalam tinggi, beradu pada satu titik. Akibatnya, dua orang tua itu terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Namun masing-masing bisa mendarat mulus sekali, dan kembali bersiap melakukan pertarungan lagi. Rupanya tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain seimbang tingkatannya. Jadi tak heran kalau mereka rnasih mampu berdiri tegak.

"Hosss...!"

"Heh...?!" Malaikat Jari Delapan terkejut bukan main ketika secara tiba-tiba dari arah samping kanannya melesat cepat seekor ular belang hitam dan kuning. Ular itu meluncur deras bagaikan sebatang anak panah lepas dari busur.

"Yeaaah...!" Malaikat Jari Delapan segera menghentakkan tangan sambil memutar tubuhnya. Namun laki-laki tua itu jadi terkejut bukan main. Ternyata ular itu meliukkan badan, sehingga pukulan yang dilepaskan Malaikat Jari Delapan tidak menemui sasaran yang tepat.

Tanpa diduga sama sekali, ular belang itu terus meluruk sambil meliukkan tubuhnya yang berada di udara. Hal ini membuat Malaikat Jari Delapan terkejut bukan main. Buru-buru tubuhnya melenting, berputar ke belakang beberapa kali. Namun begitu kakinya menjejak tanah, dari arah lain sudah datang serangan cepat dan menggeledek.

"Hiyaaa... !"

Bet!

"Ikh...!" Malaikat Jari Delapan cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya, lalu bergulingan di tanah beberapa kali ketika sebuah pukulan keras yang dahsyat dan tiba-tiba mengarah ke kepalanya. Pada saat itu, ular belang hitam dan kuning sudah cepat menyusur tanah mengejar Malaikat Jari Delapan yang terus bergulingan di tanah.

"Hup...!" Malaikat Jari Delapan bergegas melompat bangkit. Tubuhnya melenting ke udara, lalu hinggap di sebuah cabang pohon yang cukup tinggi. Matanya menatap tajam Setan Putih yang pukulannya salah sasaran sehingga menghantam tanah sampai terbongkar membentuk lubang yang cukup besar juga. Padahal di situlah terakhir kali si Malaikat Jari Delapan bergulingan. Memang sungguh luar biasa pukulan itu.

"Gila...! llmu yang dimilikinya semakin dahsyat," desis Malaikat Jari Delapan.

Laki-laki tua itu memang tidak menyangka akan mendapatkan serangan yang begitu gencar, dahsyat luar biasa. Hampir saja serangan yang dilancarkan si Setan Putih dan ular belang peliharaannya tidak mampu dibendungnya.

"Turun kau, Keparat...!" bentak Setan Putih dengan kepala terdongak dan mata memerah tajam menatap Malaikat Jari Delapan yang bertengger di dahan pohon yang cukup tinggi juga.

"Maaf, Setan Putih. Kali ini aku tidak punya selera untuk bertarung denganmu," kata Malaikat Jari Delapan.

Setelah berkata demikian, Malaikat Jari Delapan melesat cepat bagaikan kilat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.

"Monyet! Keparat...!" Setan Putih memaki-maki sendiri. Dipungutnya ular belang hitam dan kuning yang berada di samping kakinya. Kemudian ular itu dibelitkan kembali ke tangan kanannya.

"Manusia keparat itu harus mampus, Belang. Dialah satu-satunya yang selalu menghalangi kita," ujar Setan Putih lagi.

********************

DUA

Malam sudah demikian larut. Kegelapan menyelimuti seluruh mayapada di sekitar Gunung Karang Hawu. Cahaya bulan yang redup, seakan-akan tak kuasa menerangi alam ini. Di bawah siraman keredupan cahaya bulan, terlihat dua ekor kuda berjalan perlahan-lahan menyusuri Lereng Gunung Karang Hawu. Dua orang penunggangnya tidak henti-hentinya berbicara. Begitu banyak yang dibicarakan, seakanakan tidak pernah habis.

Mereka adalah seorang pemuda berwajah tampan, mengenakan baju warna putih tanpa lengan. Sebilah pedang bergagang kepala burung, tersampir di punggung. Dia menunggang kuda hitam yang tinggi dan tegap. Sedangkan seorang lagi, gadis berbaju biru muda. Wajahnya cantik sekali, bagai bidadari dari kahyangan. Sebatang pedang bergagang kepala naga juga tersampir di punggungnya. Tampak sekali kalau gadis itulah yang lebih banyak berbicara.

"Kelihatannya tidak ada sebuah perkampungan pun di sekitar sini, Kakang," tegas gadis itu seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Sebaiknya kita bermalam di sini saja, Pandan," ujar pemuda itu.

"Terlalu riskan, Kakang. Perasaanku tidak enak, dan seperti akan ada sesuatu di sekitar tempat ini," sahut gadis itu yang dipanggil dengan nama Pandan.

Gadis itu memang Pandan Wangi, yang lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut. Sedangkan pemuda yang berkuda di sebelahnya adalah Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus mengarahkan kudanya agar tetap berjalan perlahan.

"Kau selalu saja berperasaan begitu jika memasuki daerah baru," sergah Rangga. Suaranya terdengar setengah bergumam, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.

"Sudah sepantasnya begitu, Kakang. Kita tidak pernah tahu daerah apa yang dimasuki. Kewaspadaan itu perlu, Kakang," kilah Pandan Wangi tidak mau kalah.

"Memang. Asal, jangan terlalu dipaksakan. Bisa-bisa kita malah selalu mencurigai setiap orang, dan takut memasuki daerah yang belum dikenal."

"Apa aku ada tampang seperti itu...?"

"Mungkin."

"Konyol...," dengus Pandan Wangi memberengut.

Rangga hanya tersenyum saja. Diliriknya sedikit Pandan Wangi yang tampak semakin cantik jika memberengut seperti itu. Dan Rangga memang mengakui kalau Pandan Wangi sangat cantik. Rasanya tidak ada seorang gadis pun yang bisa menandingi kecantikannya.

"Ada apa senyum-senyum?" tegur Pandan Wangi.

"Tidak...," sahut Rangga semakin lebar senyumnya.

"Kau menertawakan aku, ya...?"

"Tidak..."

"Bohong!" sentak Pandan Wangi semakin memberengut manja.

Dan Rangga semakin lebar senyumnya. Sungguh, senang melihat Pandan Wangi memberengut begitu. Memang benar kata orang. Jika ingin melihat kecantikan seorang gadis yang sesungguhnya, pandanglah di saat gadis itu sedang marah. Dan Rangga mengakui kebenarannya. Makanya Pendekar Rajawali Sakti selalu senang bila melihat Pandan Wangi memberengut seperti itu.

"Kau cantik sekali, Pandan," bisik Rangga tidak bisa lagi menahan hatinya yang ingin memuji gadis ini.

"Konyol...," dengus Pandan Wangi seraya mencibirkan bibirnya.

Rangga terpaksa menelan ludahnya yang terasa getir melihat keindahan bibir yang mencibir itu.

"Aku berkata jujur, Pandan. Kau memang cantik sekali," tegas Rangga serius.

"Sudah, ah! Aku tidak suka dirayu," sentak Pandan Wangi jengah.

Padahal, berani sumpah kalau gadis itu merasa senang mendapatkan pujian Pendekar Rajawali Sakti. Jarang sekali Rangga melontarkan pujian tulus yang keluar dari hatinya yang paling dalam. Hal ini dapat dipahami, karena mereka juga jarang bertemu. Apalagi bersama-sama seperti ini.

Mereka menghentikan kudanya setelah menemukan sungai kecil yang berair jernih. Hampir bersamaan mereka melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Pandan Wangi langsung menuju sungai itu, kemudian membasuh muka dan lengannya. Sementara Rangga mengumpulkan ranting kering yang ada di sekitar situ untuk dibuat api unggun. Kini kegelapan mulai terusik oleh cahaya api. Namun mendadak saja....

"Kakang...!" jerit Pandan Wangi tiba-tiba.

Seketika Rangga melompat begitu mendengar jeritan Pandan Wangi yang berdiri di tepi sungai. Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di samping Pandan Wangi.

"Ada apa?" tanya Rangga.

"Itu...," Pandan Wangi menunjuk ke tengah sungai.

Dalam keremangan cahaya api, Rangga bisa melihat sesosok tubuh tersangkut batu di tengah sungai. Tampaknya seorang laki-laki mengenakan baju kuning gading, dengan warangka pedang tersampir di pinggangnya. Padahal, sosok tubuh itu sudah sejak tadi tersangkut di situ. Mungkin karena hatinya tengah berbunga-bunga, Pandan Wangi tidak menyadarinya.

"Hup...!" bergegas Rangga melompat masuk ke dalam sungai itu.

Ternyata air sungai ini memang tidak dalam dan hanya sebatas lutut saja. Pendekar Rajawali Sakti mengambil tubuh yang tersangkut itu, kemudian kembali melesat ke tepi. Indah sekali gerakannya. Tanpa mendapatkan hambatan sama sekali, pemuda berbaju rompi putih itu sudah berada di samping Pandan Wangi kembali. Kemudian kakinya bergegas melangkah mendekati api unggun. Hati-hati sekali Pendekar Rajawali Sakti meletakkan tubuh laki-laki berbaju kuning gading itu di dekat api unggun yang dibuatnya tadi. Sementara Pandan Wangi berada di sampingnya.

"Bagaimana, Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah Rangga memeriksa laki-laki itu.

"Masih hidup. Tapi, dia mendapat luka dalam yang cukup parah," sahut Rangga.

"Apa bisa diselamatkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Mungkin," sahut Rangga setengah mendesah.

"Kita coba, Kakang. Barangkali saja masih bisa diselamatkan," tegas Pandan Wangi.

Kembali Rangga memeriksa seluruh tubuh laki-laki yang tidak sadarkan diri itu. Sementara Pandan Wangi hanya memperhatikan saja di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tampak, Rangga memberi beberapa totokanan di sekitar dada laki-laki yang kelihatan masih muda itu. Kemudian ditempelkannya kedua telapak tangan di dada pemuda itu.

Pandan Wangi terus memperhatikan semua yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti sehingga sedikit pun matanya tidak berkedip. Gadis itu tahu kalau Rangga sedang mengerahkan hawa murni setelah membuka beberapa jalan darah, serta menutup aliran darah lain di beberapa tempat. Apa yang dilakukan Rangga, tidak asing lagi bagi Pandan Wangi. Semua tokoh rimba persilatan bisa melakukan hal seperti itu. Namun itu pun tergantung tinggi rendahnya tingkatan ilmu yang dimiliki.

"Huh...!" Rangga menghembuskan napasnya begitu telapak tangannya terlepas dari dada pemuda yang terbaring di depannya.

Pandan Wangi memperhatikan wajah Pendekar Rajawali Sakti itu. Tampak keringat mengucur deras, seakan-akan Rangga baru saja melakukan pekerjaan yang berat sekali. Pandan Wangi mengambil saputangan, lalu menyeka keringat yang membanjiri wajah Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.

Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian menyimpan kembali saputangannya di balik ikat pinggang yang terbuat dari kulit binatang dan berlapiskan emas serta bermanik-manik batu permata. Ikat pinggang ini adalah hadiah pertama yang diberikan Rangga padanya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Pandan Wangi.

"Tunggu saja sampai besok pagi," sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian memberi beberapa totokan lagi di tubuh pemuda yang mengenakan baju warna kuning gading itu. Kemudian duduknya bergeser, lalu bersandar pada pohon. Pandan Wangi melirik Pendekar Rajawali Sakti sebentar di belakangnya, kemudian mendekati dan duduk merapat di sampingnya. Rangga melingkarkan tangannya di pinggang gadis yang ramping itu. Pandan Wangi semakin manja, dan semakin merapatkan tubuhnya, seakan-akan hendak mencari kehangatan dari Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Kau pasti lelah dan mengantuk sekali. Tidurlah, Pandan. Biar aku yang menjaga malam ini," ujar Rangga agak berbisik di telinga gadis itu.

"Aku belum ngantuk," sahut Pandan Wangi perlahan.

"Seharian kau berkuda. Kau pasti lelah, Pandan."

"Kau juga, Kakang," Pandan Wangi tidak mau kalah.

Rangga menghembuskan napas panjang. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan wajah tampan itu. Wajah mereka begitu dekat, sehingga desah napas satu sama lain saling menerpa kulit wajah, dan terasa hangat sekali. Rangga merengkuh kepala gadis itu dan diletakkan di dadanya. Kemudian tangannya dilingkarkan ke tubuh gadis itu. Sementara Pandan Wangi yang semakin manja, langsung balas memeluk dengan mesra.

Tak ada lagi yang mengeluarkan kata-kata. Tak ada yang memejamkan mata. Mereka terjaga bersama pikirannya masing-masing. Entah apa yang dipikirkan saat ini, yang jelas Pandan Wangi seperti tidak ingin melepaskan Pendekar Rajawali Sakti kali ini. Gadis itu ingin agar malam ini terus berada dalam dekapan Rangga. Begitu hangat dan mesra sekali. Meskipun tak ada yang mengucapkan kata-kata sedikit pun juga, namun sudah terasa betapa hangatnya cinta mereka berdua.
Cerita silat online Serial Pendekar Rajawali Sakti

********************

Rangga membangunkan Pandan Wangi yang tertidur dalam pelukannya. Dia sendiri juga sempat tertidur, meskipun hanya sebentar saja. Pendekar Rajawali Sakti menatap pemuda berbaju kuning gading yang kini tengah duduk bersemadi. Pandan Wangi bergegas bangun dan melepaskan pelukannya ketika melihat pemuda yang ditolong semalam tengah duduk bersemadi tidak jauh di depannya.

Tak berapa lama kemudian pemuda itu membuka matanya pelahan-lahan. Pandangannya langsung tertuju pada Rangga dan Pandan Wangi yang duduk berdampingan di bawah pohon. Seonggok bara yang masih mengepulkan asap, menjadi pemisah di antara mereka.

"Bagaimana keadaanmu, Kisanak? Apakah mulai membaik?" Rangga lebih dahulu membuka suara.

"Mendingan," sahut pemuda itu. "Apakah Kisanak dan Nini yang menolongku?"

"Hanya kebetulan saja kami melihatmu tersangkut di batu sungai," sahut Rangga merendah.

"Oh..., terima kasih. Rupanya Hyang Widi belum berkenan mencabut nyawaku," desah pemuda itu.

Untuk beberapa saat mereka berdiam diri. Sementara tara Pandan Wangi menggeser duduknya agak menjauh dari Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun di hati mereka terpatri perasaan cinta yang dalam, namun hal Itu tidak pernah ditunjukkan di depan orang lain. Dan mereka merasa kecolongan, karena pemuda itu melihat mereka berdua tidur berpelukan. Ada rasa malu terselip di hati si Kipas Maut itu.

"Boleh aku tahu, mengapa Kisanak sampai terluka dalam cukup parah dan tersangkut di batu sungai...?" tanya Rangga. Nada suaranya terdengar lembut dan sopan sekali.

Pemuda berbaju kuning gading itu tidak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat sambil mendongakkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja tangan kanannya bergerak cepat memungut batu kerikil, lalu menjentikkannya ke atas.

Rangga dan Pandan Wangi langsung mendongak. Pada saat itu, seekor burung ayaman yang sedang terbang di atas mereka mendadak saja meluncur jatuh, tepat di depan pemuda berbaju kuning gading itu. Memang cukup besar juga. Pemuda itu memungutnya disertai senyuman di bibir.

"Aku rasa cukup untuk mengganjal perut kita bertiga," katanya.

Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan sejenak. Kemudian, Pandan Wangi bangkit berdiri dan mengambil burung ayaman dari tangan pemuda itu. Dia mendekati bara yang masih mengepulkan asap. Dengan menambah sedikit ranting, api unggun sudah kembali berkobar. Pandan Wangi menyiangi burung ayaman yang pecah kepalanya terlempar kerikil tadi. Sementara Rangga menghampiri pemuda berbaju kuning gading yang memang belum dikenalnya.

"Namaku Dipa Pangga," pemuda itu memperkenalkan diri sebelum Rangga menanyakannya.

"Aku Rangga, dan itu Pandan Wangi," Rangga juga memperkenalkan dirinya dan Pandan Wangi.

"Nampaknya kalian seperti pengelana," tebak pemuda berbaju kuning gading yang menamakan dirinya Dipa Pangga.

"Kami memang pengembara," sahut Rangga jadi lupa pada pertanyaannya yang belum terjawab tadi.

"Ke mana tujuan kalian?" tanya Dipa Pangga lagi.

Rangga hanya mengangkat bahunya saja. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak tahu tujuannya yang pasti. Mereka mengembara mengelilingi rimba persilatan dengan satu tujuan. Menegakkan keadilan dan kebenaran! Sementara Dipa Pangga rnenyunggingkan senyumannya yang manis. Pemuda itu seperti membodohi dirinya sendiri dengan pertanyaan yang tolol tadi. Sudah tentu jika sedang mengembara, Rangga dan Pandan Wangi tidak akan mempunyal tujuan tetap. Seperti pada umumnya pendekar-pendekar lain yang juga selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain.

"Oh, ya. Kau pasti ingin tahu, kenapa aku bisa terluka," ujar Dipa Pangga setelah beberapa saat berdiam diri.

Lagi-lagi Rangga mengangkat bahunya sedikit sambil menaikkan alisnya. Tadi hal itu memang sudah ditanya, namun belum memperoleh jawaban. Sekarang Dipa Pangga sendiri yang mengingatkan dirinya untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku sedang mengantarkan barang, tiba-tiba segerombolan perampok menghadangku. Pemimpinnya berhasil melukai dan membuangku ke sungai," tutur Dipa Pangga, singkat.

"Di tempat ini?" tanya Rangga.

"Benar," sahut Dipa Pangga.

Pandangan Rangga beredar ke sekeliling. Rasanya sejak semalam dia berada di tempat ini, tidak ada tanda-tanda bekas terjadinya pertempuran. Bahkan satu mayat atau bercak darah sekali pun, tidak terlihat sama sekali. Pendekar Rajawali Sakti agak tidak percaya pada cerita Dipa Pangga. Tapi dia tidak ingin mendesak pemuda berbaju kuning gading ini untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya.

"Kau pasti tidak percaya. Tapi itulah yang sesungguhnya terjadi padaku," tegas Dipa Pangga, seperti mengetahui ketidakpercayaan Pendekar Rajawali Sakti.

Lagi-lagi Rangga mengangkat sedikit bahunya. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak percaya dengan cerita Dipa Pangga barusan. Namun apa pun yang dikatakan pemuda itu, Rangga tidak ambil peduli. Dan yang pasti, jika Dipa Pangga berbohong, tentu punya alasan tersendiri.

"Mereka mungkin menghanyutkan mayat-mayat temanku ke sungai," jelas Dipa Pangga lagi.

"Mungkin juga," desah Rangga enggan.

"Gerombolan perampok itu memang sudah terkenal, dan menguasai seluruh Gunung Karang Hawu ini. Aku sendiri sebenarnya enggan membawa barang melewati gunung ini. Tapi aku tidak bisa menolak tugas yang sudah menjadi kewajibanku," keluh Dipa Pangga lagi.

"Barang apa yang kau bawa?" tanya Rangga.

"Upeti untuk raja," sahut Dipa Pangga.

"Kau bekerja di istana?" tanya Rangga lagi.

"Tidak. Aku hanya sebagai pengantar barang dari Kadipaten Sangu ke Istana Randukara. Setiap tahun aku selalu mengantarkan upeti itu, tapi baru kali ini melewati Gunung Karang Hawu."

"Biasanya kau lewat mana?"

"Kadipaten Antal Jati. Tapi, suasana di sana sedang tidak memungkinkan untuk dilewati. Kadipatan Antal Jati tengah melakukan pemberontakan, dan ingin memisahkan diri dari Kerajaan Randukara. Jadi, aku terpaksa memutar lewat gunung ini."

"Lantas, ke mana tujuanmu selanjutnya?" Tanya Rangga lagi.

"Secepatnya kejadian ini harus kulaporkan pada Gusti Prabu Sarajingga," sahut Dipa Pangga.

Rangga terdiam.

"Oh, ya. Kau dan temanmu kuharap sudi menjadi saksi di istana. Tolonglah bantu aku sekali lagi, Kisanak," pinta Dipa Pangga berharap.

"Aku tanyakan dulu pada Pandan Wangi," sahut Rangga tidak langsung memutuskan.

"Kalau kau tidak sudi memberi kesaksian, aku harus merelakan kepalaku dipenggal. Hukuman itu sudah menjadi keputusan tetap bagi siapa saja yang menghilangkan upeti. Kecuali, ada saksi yang mengatakan kalau upeti itu telah dibegal di tengah jalan. Paling tidak, aku harus mendapatkan upeti itu kembali dalam keadaan utuh," jelas Dipa Pangga bernada mendesak.

"Itu bisa kumengerti, tapi aku tidak bisa memutuskannya sendiri," kilah Rangga.

"Aku sangat berterima kasih sekali jika kau bersedia menolongku sekali lagi saja," lagi-lagi Dipa Pangga berharap.

"Akan kuusahakan," sahut Rangga.

"Terima kasih."

Rangga menepuk pundak pemuda berbaju kuning gading itu, kemudian bangkit berdiri dan menghampiri Pandan Wangi yang sedang asyik memanggang burung ayaman yang cukup besar. Gadis itu melirik sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berada di dekatnya.

"Pembicaraan tadi sudah kudengar semua. Terserah kau saja, Kakang," kata Pandan Wangi mendahului sebelum Rangga sempat membuka suaranya.

"Kau sendiri?" tanya Rangga.

"Terserah. Aku sih, tinggal ikut saja," sahut Pandan Wangi.

Rangga melirik Dipa Pangga yang kini berdiri di tepi sungai. Agak jauh jarak mereka, sehingga tidak mungkin terdengar pemuda berbaju kuning gading itu. Kecuali, jika dia punya ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Ilmu itu memang mudah, dan bisa dikuasai tokoh mana pun dalam rimba persilatan. Hanya tingkatannya saja yang membedakan.

"Sudahlah, Kakang. Putuskan saja. Aku bisa mengerti kalau kau tidak pernah menyetujui dengan adanya segala macam upeti. Tapi ini bukan di Karang Setra, Kakang. Setiap kerajaan ada peraturannya sendiri," desah Pandan Wangi bisa merasakan apa yang sedang dirasakan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kalau aku tidak membantunya, dia pasti mati dipenggal, Pandan. Sedangkan aku sendiri, paling enggan berurusan dengan raja-raja yang selalu memaksa rakyat untuk membayar upeti, " tegas Rangga pelan.

"Menurutku, kita tinggal memberi kesaksian saja. Setelah itu, kita bisa pergi dan tidak akan berurusan lagi," ujar Pandan Wangi mengemukakan pendapat.

"Segala urusan yang menyangkut kerajaan, tidak akan selesai begitu saja, Pandan."

"Aku tahu, Kakang. Mudah-mudahan tidak ada persoalan macam-macam. Kalaupun ada, kita bisa pergi begitu saja tanpa ada seorang pun yang bisa melarang. "

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya disertai senyuman tipis. Kadang-kadang Pandan Wangi suka memberi usul yang bernada konyol juga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti mengakui kalau gadis ini cerdas sekali, meskipun terkadang cetusannya seperti terlahir begitu saja tanpa dipikirkan lebih dahulu. Memang kalau tidak begitu, bukan Pandan Wangi namanya.

"Baiklah. Kita membantunya sekali lagi saja. Setelah itu, harus cepat pergi dan tidak peduli dengan kelanjutannya," Rangga akhirnya memutuskan.

Dan memang, meskipun agak konyol, tapi Rangga sering juga melaksanakan cetusan yang disampaikan Pandan Wangi. Kali ini juga, Pendekar Rajawali Sakti melihat kebenarannya. Maka, diputuskan kalau dirinya akan membantu Dipa Pangga agar terhindar dari hukuman penggal kepala. Rangga kemudian menghampiri Dipa Pangga yang masih tetap berdiri di tepi sungai dengan pandangan lurus ke depan.

********************

TIGA

Kotaraja Randukara cukup ramai juga. Kota ini cukup padat dan besar. Tidak heran kalau udara terasa panas menyengat kulit, meskipun keadaan mendung. Tampak awan tebal agak menghitam menyelimuti angkasa di atas Kerajaan Randukara ini. Keadaan alam yang nampaknya tidak bersahabat, tidak mengganggu kesibukan orang-orang yang menghuni Kota-raja Randukara ini. Mereka tetap dengan kesibukan-nya sendiri-sendiri.

Hari ini memang hari pasaran. Jadi, hampir seluruh rakyat Kerajaan Randukara tumpah ruah ke kota ini. Sepanjang jalan dipadati manusia. Juga kedai-kedai makan dan minum serta rumah-rumah penginapan, tak sepi pengunjung. Begitu padatnya, sehingga untuk melangkah saja sudah begitu sulit. Memang pada hari-hari pasaran begini, tak ada lagi tempat yang lapang. Seluruh pelosok kotaraja bagai tak mampu lagi menampung luapan penduduk.

Di antara sedan banyak orang, terlihat tiga anak muda menunggang kuda. Mereka adalah Rangga, Pandan Wangi, dan Dipa Pangga. Pemuda berbaju kuning gading itu memperoleh kudanya lagi dalam perjalanan ke Kotaraja Randukara ini. Agak sukar juga bagi mereka untuk mengendalikan kuda agar lebih cepat lagi. Karena, jalan yang dilalui, seperti jalan semut.

"Apakah setiap hari keadaannya selalu begini?" tanya Pandan Wangi yang baru pertama kali melihat sebuah kota begitu padat dan ramai.

"Tentu saja tidak, Pandan. Ini adalah hari pasaran, dan hanya satu kali dalam tiga purnama," jelas Dipa Pangga.

"Dan setiap hari pasaran selalu seperti ini?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Biasanya lebih ramai lagi, Pandan."

"Berapa lama hal ini berlangsung?"

"Tujuh hari. "

Pandan Wangi melirik Rangga yang berkuda di sampingnya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak mendengar percakapan tadi. Pandangannya tetap lurus ke depan. Pandan Wangi tahu kalau kekasihnya ini hanya berpura-pura tidak mendengar saja. Juga, gadis itu tahu kalau Rangga tidak senang jika diminta untuk tinggal beberapa hari saja, menikmati keramaian yang jarang terjadi ini.

"Biasanya pada saat seperti ini, Gusti Prabu Sarajingga mengadakan perlombaan adu ketangkasan. Beliau juga akan memilih tamtama-tamtama baru dari adu ketangkasan itu. Bahkan tidak jarang mengambil satu atau dua orang panglima perang dari kalangan mana saja untuk memperkuat barisap prajuritnya," kembali Dipa Pangga memberi keterangan tentang keadaan di kotaraja ini.

"Pasti menarik sekali," sambut Pandan Wangi seraya melirik Rangga.

"Memang menarik. Karena mereka yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, akan berlomba meraih jabatan tinggi yang langsung diangkat Gusti Prabu. Hanya saja sukar sekali untuk mendapatkan jabatan panglima karena harus mengalahkan paling tidak tiga orang panglima yang memiliki kepandaian tinggi sekali," jelas Dipa Pangga lagi.

Lagi-lagi Pandan Wangi melirik Rangga, namun tetap saja tidak dipedulikan. Pendekar Rajawali Sakti tetap berpura-pura tidak mendengarkan percakapan itu. Namun Pandan Wangi sudah menduga kalau Rangga pasti tidak menginginkannya agar tidak banyak bertanya. Hal ini bisa diketahui gadis itu dari lirikan Pendekar Rajawali Sakti yang hanya sekilas, namun terasa tajam dan menusuk sekali.

Pandan Wangi yang memang senang membuat kesal orang, jadi timbul keisengannya. Gadis itu jadi tersenyum-senyum sendiri. Beberapa kali matanya melirik Rangga yang semakin tidak senang saja. Tidak itu saja, bahkan malah semakin banyak bertanya tentang keadaan di Kerajaan Randukara ini, sampai kepada seluk-beluk istananya. Dengan senang hati, Dipa Pangga menjelaskan semuanya tanpa ada yang ditutupi. Bahkan diakuinya sendiri kalau dirinya terpilih menjadi pengantar barang upeti juga dari hasil pertandingan pada hari-hari pasaran seperti ini.

Dan semua jabatan itu selalu ditentukan oleh tinggi rendahnya ilmu olah kanuragan yang dimiliki. Hal ini membuat Pandan Wangi semakin tertarik saja. Tapi tidak demikian halnya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Ketidaksenangan Rangga, malah membuat si Kipas Maut itu semakin menjadi-jadi. Hal ini memang disengaja karena merasa punya kesempatan yang sangat jarang didapatkan.

"Apa selama ini ada wanita yang ikut, Dipa Pangga?" tanya Pandan Wangi seraya melirik Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak ada," sahut Dipa Pangga.

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Setiap kali, memang ada peserta wanita yang ikut, tapi mereka tidak ada yang mampu melampaui ujian. Gusti Prabu sendiri tidak pernah memilih wanita untuk menduduki satu jabatan penting. Biasanya, ujian yang diberikan berat sekali. Lebih berat dari laki-lakinya," jelas Dipa Pangga lagi.

"Kenapa begitu?" tanya Pandan Wangi.

Dipa Pangga tidak sempat menjawab, karena mereka sudah berada di depan pintu gerbang Istana Randukara. Dua orang prajurit penjaga bergegas membuka pintu gerbang begitu Dipa Pangga menunjukkan sesuatu yang dikalungkan di lehemya. Mereka pun menggebah kudanya melewati pintu gerbang itu.

********************

Rangga bangkit berdiri diikuti Pandan Wangi saat melihat seorang prajurit menghampiri mereka. Prajurit berpangkat tamtama itu membungkukkan sedikit tubuhnya setelah tiba di depan kedua pendekar muda itu. Mereka memang diminta untuk menunggu di ruangan depan istana, sedangkan Dipa Pangga lebih dahulu masuk ke dalam.

"Gusti Prabu meminta Kisanak dan Nini menemuinya," ujar prajurit itu, penuh rasa hormat.

"Di mana?" tanya Rangga.

"Mari, hamba tunjukkan," sahut prajurat itu.

Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama mengayunkan kaki mengikuti prajurit yang sudah lebih dahulu berjalan di depan. Mereka melewati bangsal utama. Ada beberapa orang di rungan itu, dan tampaknya adalah para pembesar istana. Juga, ada beberapa orang berpakaian panglima perang serta beberapa prajurit yang menjaga pintu serta jendela. Mereka memandangi Rangga dan Pandan Wangi yang berjalan mengikuti prajurit.

Kedua pendekar muda itu terus berjalan menyurusi lorong, mengikuti prajurit yang berjalan di depan. Setelah melalui lorong yang cukup panjang dan memiliki beberapa cabang serta belokan, akhimya mereka sampai di sebuah ruangan yang cukup besar dan tertata indah. DI dalam ruangan ini, telah menunggu Dipa Pangga yang duduk bersila di depan seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Dia mengenakan baju indah dari bahan sutra halus bersulamkan benang-benang emas. Duduknya di sebuah kursi kecil berbantal beludru merah menyala.

"Silakan mengambil tempat yang enak," ujar laki-laki berbaju indah itu mempersilakan.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya duduk di samping Dipa Pangga.

Pandan Wangi ikut duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun tidak diperkenalkan, namun mereka sudah tahu kalau laki-laki yang duduk di kursi kecil adalah Prabu Sarajingga. Tak ada lagi orang lain di ruangan ini, selain mereka berempat. Bahkan seorang prajurit pun tak terlihat di sini. Rangga sempat memperhatikan keadaan ruangan yang cukup besar dan indah ini.

"Aku sudah mendengar tentang kalian berdua dari Dipa Pangga. Aku pribadi mengucapkan terima kasih karena kalian telah menyelamatkan Dipa Pangga," ucap Prabu Sarajingga. Suaranya terdengar agak berat dan penuh kewibawaan.

"Kami hanya kebetulan saja lewat, Gusti Prabu," sahut Rangga merendah.

"Sebenarnya aku sangat kehilangan sekali, karena ada sesuatu yang berharga ikut hilang," lanjut Prabu Sarajingga.

Rangga melirik Pandan Wangi. Sedangkan yang ditirik hanya menundukkan kepalanya saja. Gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti memintanya untuk tidak berbicara kalau tidak diminta. Kali ini Pandan Wangi tidak berani melepaskan pikiran isengnya. Disadari, sekali saja melontarkan kata-kata iseng, akan berakibat tidak baik bagi mereka berdua.

"Untuk itu, jika kalian berdua tidak berkeberatan, aku meminta kalian mencari gerombolan perampok itu dan mengembalikan barang-barang yang dirampas dari Dipa Pangga," sambung Prabu Sarajingga.

"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hendak menolak, tapi kami masih punya urusan lain yang harus diselesaikan," tolak Rangga, halus.

Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti melirik Pandan Wangi. Dan yang dilirik tetap saja tertunduk. Namun dari sudut ekor matanya, gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti menyesalinya karena telah banyak bicara tadi sebelum sampai di istana ini pada Dipa Pangga.

"Sayang sekali. Jika diizinkan, aku akan memerintahkan pembesar-pembesarku untuk menyelesaikan persoalan kalian. Tapi yang jelas, persoalan ini lebih penting dari yang kalian duga. Mereka semakin merajalela, dan tidak peduli kalau yang dihadang adalah utusan pribadiku," jelas Prabu Sarajingga. Nada bicaranya agak menyesali penolakan Rangga.

"Apakah mereka begitu kuat, Gusti Prabu?" tanya Pandan Wangi yang tidak bisa menahan diri.

Saat itu juga Rangga mendelikkan matanya pada Pandan Wangi. Dan gadis itu buru-buru menundukkan kepalanya. Sungguh disesali kalau dirinya telah asal bicara saja. Padahal Rangga tadi sempat membisikinya untuk diam saja. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti memperingatkan untuk diam lewat lirikan mata yang agak tajam. Namun, si Kipas Maut itu memang sukar mengendalikan diri jika mendengar sesuatu yang membuat darahnya langsung bergolak mendidih.

"Sudah beberapa kali panglimaku mencoba menghancurkan mereka, tapi sampai saat ini belum juga ada yang berhasil. Mereka terlalu kuat. Terlebih lagi, sekarang ini mereka mendapatkan pemimpin baru yang berkemampuan sangat tinggi," jelas Prabu Sarajingga kemudian.

Hampir saja Pandan Wangi membuka suara lagi. Untung Rangga cepat menekan ujung jari kakinya. Gadis itu sempat meringis kesakitan, dan langsung terdiam.

"Maaf, Gusti Prabu. Sebenarnya kami ingin sekali membantu, tapi persoalan kami sendiri harus cepat diselesaikan. Hamba berjanji, jika sudah selesai akan membantu menyelesaikan persoalan ini," ujar Rangga cepat-cepat.

"Yaaah.... Aku memang tidak bisa memaksa. Tapi kuharap kalian bisa secepatnya kembali lagi ke sini. Istanaku ini terbuka kapan saja untuk kalian berdua," kata Prabu Sarajingga agak mendesah.

"Kalau begitu, kami mohon diri," pamit Rangga.

"Silakan," Prabu Sarajingga mempersilakan dengan merentangkan sedikit tangannya ke depan.

Rangga memberi penghormatan dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung, diikuti Pandan Wangi. Mereka kemudian bangkit berdiri.

"Dipa Pangga, antarkan mereka sampai ke pintu gerbang," perintah Prabu Sarajingga.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut Dipa Pangga penuh hormat. Dipa Pangga bergegas bangkit berdiri dan memberikan sembah dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Kemudian Rangga dan Pandan Wangi keluar dari ruangan ini. Mereka berjalan tanpa tergesa-gesa. Sedangkan Prabu Sarajingga tanpa berkedip memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm.... Aku yakin kalau dia Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Prabu Sarajingga pelan.

Saat itu Rangga dan Pandan Wangi yang diantar Dipa Pangga sudah menghilang di balik pintu. Tak lama kemudian, dari pintu lain muncul dua orang laki-laki berusia sekitar tiga puluhan tahun yang kemudian langsung memberi hormat pada Prabu Sarajingga. Masing-masing mengenakan pakaian yang sama bentuknya, dan hanya warna saja yang berbeda. Mereka juga menyandang pedang yang tersampir di pinggang.

"Jalak Ireng, Banteng Giri...."

"Hamba Gusti Prabu," sahut kedua orang itu bersamaan.

"lkuti kedua tamuku tadi, dan laporkan semua yang dilakukannya padaku. Cari keterangan, siapa mereka sebenarnya," perintah Prabu Sarajingga.

"Hamba, Gusti Prabu."

Kedua orang yang bernama Jalak Ireng dan Banteng Giri kembali memberi sembah dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung. Kemudian, mereka bergegas melangkah keluar dari ruangan itu. Prabu Sarajingga masih tetap duduk, dan keningnya terlihat agak berkerut dalam. Namun mendadak saja bibirnya tersenyum ketika seorang gadis berwajah cantik mengenakan baju warna hijau daun muncul dari pintu lain.

Gadis itu berdiri saja di ambang pintu. Dan Prabu Sarajingga bangkit berdiri dari duduknya. Penguasa Kerajaan Randukara itu berjalan menghampiri disertai senyuman lebar.

"Ada yang kau perlukan, Anakku?" tanya Prabu Sarajingga setelah dekat dengan gadis itu.

"Ada. Tapi tidak di sini," sahut gadis itu seraya membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhi ruangan itu.

Prabu Sarajingga mengikuti. Ditutupnya pintu yang memisahkan ruangan untuk menerima tamu khusus itu dengan ruangan-ruangan lain. Ruangan itu memang tidak memiliki jendela, tapi dikelilingi delapan buah pintu yang serupa bentuknya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui kegunaan setiap pintu ruangan itu.

Dan ruangan yang cukup besar itu kembali sunyi sepi, tak ada seorang pun yang terlihat. Namun setelah Prabu Sarajingga lenyap ditelan satu pintu, dari pintu lain muncul sekitar sepuluh orang berpakaian prajurit dan bersenjatakan tombak dan pedang. Mereka mengelilingi ruangan itu dan mengambil tempat untuk menjaga ruangan yang kosong ini. Memang, itu adalah suatu ruangan khusus, sehingga membutuhkan sepuluh prajurit berpangkat tamtama untuk menjaga.

********************

Rangga baru menggebah kudanya agar berlari cepat setelah melewati gerbang perbatasan Kotaraja Randukara. Pandan Wangi yang selalu menyertainya juga segera menggebah kudanya agar tetap berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Debu mengepul ke angkasa tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Sebenarnya kalau Rangga menggebah kudanya lebih cepat lagi, Pandan Wangi tak mungkin bisa mengejar. Karena, kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu bukan binatang sembarangan. Kuda itu adalah hadiah Dewa Bayu, sehingga kuda itu juga dinamakan Dewa Bayu.

"Kenapa cepat-cepat, Kakang?" tanya Pandan Wangi, agak keras suaranya.

Rangga tidak menjawab, dan terus saja menggebah kudanya agar berlari kencang. Pandan Wangi tetap berusaha berada di samping Pendekar Rajawali Sakti, meskipun kuda yang ditungganginya nampak kewalahan. Namun Pandan Wangi tidak peduli. Kudanya terus digebah cepat untuk mengimbangi lari kuda hitam itu.

"Kau marah padaku, Kakang...?" kembali Pandan Wangi bertanya dengan suara keras.

Tetap saja Rangga tidak menyahut. Pandan Wangi tahu kalau Rangga marah karena kelancangannya yang tidak mau menuruti kata-kata pemuda berbaju rompi putih itu. Dia menyesal karena tidak mematuhi permintaan Rangga tadi di depan Prabu Sarajingga.

"Maafkan aku, Kakang... !" seru Pandan Wangi masih dengan suara keras.

Tetap saja Rangga tidak mempedulikannya. Sementara kuda hitam yang ditungganginya semakin cepat berlari. Sedangkan kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi mulai tertinggal.

"Kakang, tunggu...!" teriak Pandan Wangi keras.

Kali ini Rangga berpaling ke belakang. Dan nampak kalau lari kudanya diperlambat. Pandan Wangi terus cepat menggebah kudanya, sehingga kembali berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.

"Kalau kau tetap marah, aku akan berhenti!" rungut Pandan Wangi ikut ngambek.

"Jangan banyak omong! Terus gebah kudamu...!" bentak Rangga, agak kasar suaranya.

"Heh...?!" Pandan Wangi terkejut mendengar bentakan yang bernada kasar itu.

Belum pernah Rangga berlaku kasar seperti ini sebelumnya. Namun Pandan Wangi tidak punya kesempatan untuk mencari penjelasan, karena kembali tertinggal. Si Kipas Maut kembali menggebah kudanya agar bisa berada di samping kuda yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti.

Namun mendadak saja Rangga menghentikan lari kudanya, dan secepat itu pula melompat turun. Begitu kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti kembali melentingkan tubuhnya, dan langsung menyambar Pandan Wangi yang masih berada di punggung kuda.

"Bawa dia menjauh, Dewa Bayu!" seru Rangga memerintahkan kudanya.

Kuda hitam yang dipanggil Dewa Bayu itu meringkik keras sekali, kemudian menggiring kuda putih menjauhi tempat itu. Sementara Rangga yang mengepit pinggang Pandan Wangi sudah kembali melenting ke angkasa, lalu hinggap di cabang pohon yang cukup tinggi dan berdaun lebat.

"Apa-apaan kau ini, Kakang...?!" sentak Pandan Wangi begitu Rangga melepaskan tangannya dari pinggangnya.

"Diam...!" desis Rangga.

"Ap...!"

Pandan Wangi tak bisa lagi bersuara ketika Rangga dengan cepat membekap mulutnya. Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda yang dipacu cepat. Pelahan-lahan Rangga melepaskan bekapannya pada mulut Pandan Wangi. Dan gadis itu tidak bersuara lagi. Matanya langsung terarah pada debu yang mengepul semakin dekat.

Tak berapa lama kemudian, tampak dua ekor kuda dipacu cepat menuju ke arah pohon yang cukup lebat daunnya, tempat Rangga dan Pandan Wangi bertengger di situ. Dua orang penunggang kuda menggebah cepat kudanya. Mereka berusia rata-rata sekitar tiga puluh tahunan lebih, dan masing-masing menyandang pedang yang tersampir di pinggang.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Rangga melompat turun.

Pendekar Rajawali Sakti langsung meluruk ke arah dua orang penunggang kuda itu. Cepat sekali gerakannya, sehingga kedua orang penunggangnya tidak sempat berbuat, sesuatu. Dan mendadak saja mereka terpental jatuh, lalu beberapa kali bergulingan di tanah. Pada saat itu, Rangga sudah menjejakkan kakinya di tanah dengan mulus sekali. Sedangkan dua ekor kuda yang masih berlari kencang, tak mempedulikan penunggangnya yang terjatuh.

"Bangun...!" bentak Rangga keras.

Kedua orang yang mengenakan baju berpotongan sama berwarna merah dan hijau itu, bangkit berdiri sambil meringis memegangi dadanya. Rupanya, tadi Rangga memberi pukulan lumayan keras ke dada mereka berdua. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerahkan kekuatan tenaga dalam, sehingga kedua orang itu tidak mengalami cidera sedikit pun juga. Namun demikian, rongga dada mereka terasa sesak juga akibat terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti.

"Untuk apa kalian membuntutiku?!" tanya Rangga agak membentak.

"Kami hanya menjalankan perintah," sahut orang yang mengenakan baju warna hijau.

"Perintah siapa?" tanya Rangga lagi.

Kedua orang itu tidak menjawab, dan hanya saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu dari atas pohon, meluncur Pandan Wangi. Gadis itu langsung mendarat di samping kanan Rangga.

"Jawab pertanyaanku! Siapa yang memberi perintah pada kalian untuk membuntutiku?" bentak Rangga lagi.

Namun sebelum kedua orang itu menjawab pertanyaan Rangga, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Bayangan hijau itu langsung meluruk ke arah dua orang yang masih terdiam, belum menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tapi, rupanya kedua orang itu memiliki ketangkasan yang lumayan juga. Mereka cepat melompat mundur, sehingga terjangan bayangan hijau itu tidak sempat menghajarnya.

Dan sebelum kedua orang laki-laki itu bisa menguasai keseimbangan tubuh, kemball bayangan hijau itu berbalik cepat dan langsung melesat ke acah mereka. Tapi pada saat itu juga, Rangga bertindak cepat. Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagai kilat, lalu memberikan satu dorongan kuat disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh.

Deghk!

"Ikh... !"

Bayangan hijau itu terpental balik dan berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah. Sementara Rangga sudah lebih dahulu menjejakkan kakinya di tanah, sehingga satu batang tombak di samping dua orang yang membuntutinya tadi. Nampak, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang gadis yang mengenakan baju warna hijau yang wajahnya sebagian tertutup cadar agak tipis berwarna hijau. Hanya bagian matanya saja yang masih terlihat, dan nampak indah dan bening.

"Siapa kau?!" sentak Rangga bertanya.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Kedua orang ini harus mati sekarang juga!" sahut wanita berbaju hijau itu.

"Hei... !"

Namun sebelum keterkejutan Rangga hilang, wanita bercadar itu sudah melesat cepat menyerang dua orang yang berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Gerakannya sungguh cepat luar biasa, sehingga tidak sempat disadari Rangga lebih dahulu. Tahu-tahu sudah terdengar suara jeritan panjang dan menyayat, bersamaan dengan terdengarnya dentingan senjata beradu.

Tampak laki-laki yang mengenakan baju hijau terhuyung-huyung sambil mendekap dada yang mengucurkan darah. Sedangkan seorang lain yang mengenakan baju warna merah, tengah sibuk menghindari gempuran wanita berbaju hijau bercadar.

"Hiyaaat...!" Seketika itu juga Rangga melompat sambil mem-beri satu pukulan keras ke arah wanita yang tiba-tiba saja datang mencampuri urusannya. Namun pukulan Pendekar Rajawali Sakti tidak mengenai sasaran. Karena, manis sekali wanita itu mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tubuhnya melenting berputaran beberapa kali ke belakang.

"Tunggu giliranmu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak wanita itu berang begitu kakinya menjejak tanah.

"Hei...! Siapa kau ini sebenarnya? Dari mana kau tahu namaku?" Rangga jadi terkejut bukan main.

"Aku tidak akan berkata dua kali, Pendekar Rajawali Sakti," dingin sekali nada suara wanita itu.

"Menyingkirlah kau," ujar Rangga pada laki-laki berbaju merah yang berada agak ke belakang darinya.

"Huh! Baiklah..., hari ini kau boleh bernapas lega Jalak Ireng. Tapi, ingatlah. Kau tidak akan bisa kembali ke Istana Randukara," tegas wanita itu dingin, kemudian kembali menatap Rangga. "Dan kau, Pendekar Sakti...! Jangan harap bisa keluar dari wilayah ini dengan selamat."

Setelah berkata demikian, wanita berbaju hijau dan bercadar itu langsung bergerak cepat. Tubuhnya melesat bagai kilat. Dalam sekejapan mata saja, bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi.

"Hm...," gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, menghadap laki-laki berbaju merah yang kini tengah menyangga temannya yang terluka. Darah terus mengalir dari dada yang terbelah cukup panjang dan lebar.

"Benar kalian dari Istana Randukara?" tanya Rangga seraya menghampirl orang yang menguntitnya tadi.

"Benar. Maafkan kami, Kisanak," sahut laki-laki berbaju merah yang namanya tadi disebut sebagai Jalak Ireng.

Rangga memeriksa luka di dada orang yang mengenakan baju hijau, kemudian memberikan beberapa totokan di sekitar luka itu. Darah seketika berhenti mengalir. Tapi laki-laki berbaju hijau yang juga dihiasi kumis tipis di atas bibirnya itu sudah tidak sadarkan diri lagi.

"Baringkan dia di tempat yang teduh," kata Rangga.

Jalak Ireng membawa temannya yang terluka dan tidak sadarkan diri itu. Kemudian, dibaringkannya di bawah sebatang pohon rindang, sehingga matahari tidak bisa langsung menyinarinya. Saat itu Pandan Wangi bergegas memeriksa luka laki-laki berbaju hijau itu, kemudian mengambil sebuah kantung kulit dari balik sabuknya. Dari kantung kulit itu ditaburkan bubuk berwarna kuning pada luka di dada yang menganga cukup besar.

"Hanya luka luar, dan tidak begitu parah," jelas Pandan Wangi yang sudah berdiri di samping Rangga.

Sedangkan Jalak Ireng masih duduk di samping temannya yang terbaring tidak sadarkan diri lagi. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian.

"Hanya tiga hari lukanya pasti kering," kata Pandan Wangi memberitahu.

"Maaf, kami tidak bermaksud jahat. Kalian kami buntuti karena hanya menjalankan perintah saja," jelas Jalak Ireng.

"Siapa yang memerintahkanmu, Kisanak?" tanya Rangga dengan nada suara yang tidak lagi kasar.

"Gusti Prabu Sarajingga," sahut Jalak Ireng.

"Untuk apa?" tanya Rangga lagi.

"Kami hanya diperintahkan untuk membuntuti saja, dan mencari keterangan siapa sebenarnya Kisanak dan Nini ini."

"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.

"Kenapa Prabu Sarajingga ingin mengetahui tentang kami?" tanya Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu, tapi Gusti Prabu menduga kalau Kisanak adalah Pendekar Rajawali Sakti. "

"Kalau memang benar, lalu apa kemauan rajamu itu?" tanya Rangga lagi.

"Maaf, aku tidak tahu. Aku dan temanku ini hanya menjalankan perintah saja. Hanya itu saja yang diketahui, Kisanak."

"Aneh...," gumam Pandan Wangi. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres, Kakang."

Rangga tidak menyahuti. Nampaknya Pendekar Rajawali Sakti sedang berpikir keras. Hal ini bisa diketahui dari kerutan yang dalam di keningnya. Sedangkan Pandan Wangi sendiri jadi tidak mengerti akan sikap Prabu Sarajingga yang ingin mengetahui tentang Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak. Kau tahu, siapa wanita yang menyerangmu tadi?" tanya Rangga setelah berdiam diri cukup lama juga.

"Perempuan itu dijuluki Kembang Karang Hawu," sahut Jalak Ireng.

"Kembang Karang Hawu...?" kembali Rangga mengerutkan keningnya hingga matanya jadi menyipit.

Sedangkan Pandan Wangi juga agak terkejut mendengar wanita berbaju hijau tadi ternyata Kembang Karang Hawu. Dia pernah mendengar nama itu, karena Prabu Sarajingga pernah menyebut-nyebut nama itu. Dan Raja Randukara itu mengatakan kalau Kembang Karang Hawu sekarang ini yang memimpin gerombolan begal di sekitar Gunung Karang Hawu, yang sangat ditakuti di seluruh wilayah Kerajaan Randukara ini.

Tapi yang menjadi beban pikiran Rangga dan Pandan Wangi, untuk apa wanita itu menyerang dua orang yang tengah menjalankan perintah rajanya? Dan tampaknya wanita yang dijuluki Kembang Karang Hawu itu juga tidak menyukai kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di wilayah kerajaan ini. Saat itu juga, berbagai macam pertanyaan mengalir keluar dalam benak Pendekar Rajawali Sakti maupun si Kipas Maut.

********************

EMPAT

Rangga duduk mencangkung di atas sebongkah batu yang tidak begitu besar. Sedangkan di depannya, Pandan Wangi berdiri saja sambil membenahi pelana kudanya. Sejak Jalak Ireng pergi membawa temannya yang terluka, Pendekar Rajawali Sakti belum juga membuka suara sedikit pun. Dan Pandan Wangi sendiri sepertinya tidak mau mengusik. Gadis itu lebih memilih menyibukkan dirinya dengan memeriksa pelana kuda dan membetulkannya agar kelihatan lebih rapi dan kuat.

"Sampai kapan akan terus duduk melamun, Kakang...?" Pandan Wangi tidak tahan juga melihat Rangga seperti itu terus-menerus.

"Hhh...!" Rangga menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.

Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari batu yang didudukinya, kemudian menghampiri kudanya yang berada di sebelah kuda putih milik Pandan Wangi. Tanpa bicara sedikit pun, Rangga melompat naik ke punggung kudanya. Dipandangnya Pandan Wangi yang masih tetap berdiri sambil memandangnya juga di samping kudanya.

"Kita kembali ke kota, Pandan," kata Rangga, agak mendesah suaranya.

"Heh...! Kenapa cepat sekali kau berubah...?!" Pandan Wangi terkejut.

"Jangan mengolok, Pandan. Ini bukan saatnya bercanda!" sentak Rangga.

"Siapa yang bercanda? Aku hanya terkejut dengan perubahanmu yang mendadak itu. Tadinya kau ingin cepat-cepat meninggalkan kerajaan ini, tapi mendadak saja malah ingin kembali lagi ke sana."

"Sudah jangan mengomel. Ayo naik...!"

"Untuk apa kembali lagi ke sana?" tanya Pandan Wangi seraya melompat naik ke punggung kudanya.

"Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sana," sahut Rangga sambil menghentakkan tali kekang kudanya.

"Maksudmu?" tanya Pandan Wangi ingin tahu. Dia juga menjalankan kudanya pelahan di samping Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku tidak tahu. Tapi, kejadian tadi membuatku jadi penasaran," sahut Rangga.

"Ooo..., kau ingin mengetahui maksud Prabu Sarajingga, begitu?" Pandan Wangi langsung menebak.

"Bukan itu saja, Pandan. Aku telah menduga kalau ada hubungan antara Prabu Sarajingga dengan si Kembang Karang Hawu. "

"Jangan berprasangka buruk, Kakang. Tidak baik mempunyai dugaan buruk pada orang lain."

"Bukannya berprasangka buruk. Aku hanya merasakan adanya satu kejanggalan. Rasanya tidak mungkin bila si Kembang Karang Hawu menyerang dua orang dari Istana Randukara tanpa alasan pasti. Dan lagi, dari mana dia tahu tentang diriku? Sedangkan Jalak Ireng mengatakan kalau Prabu Sarajingga menduga kalau aku ini Pendekar Rajawali Sakti. Aku ingin tahu apa keinginannya kalau sudah tahu bahwa aku ini memang Pendekar Rajawali Sakti," Rangga mencoba menjelaskan apa yang mengganjal pikirannya sejak tadi.

"Lantas, apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

Rangga tidak langsung menjawab. Memang, Pendekar Rajawali Sakti sendiri belum tahu, apa yang akan dilakukannya di Kotaraja Randukara nanti. Satu rencana pun belum dipunyai. Sementara kuda yang mereka tunggangi, terus berjalan pelahan menuju Kotaraja Randukara yang sudah terlihat di depan sana. Sebuah kota yang ramai karena hari pasaran yang selalu terjadi setiap tiga purnama sekali.

********************

Plak!

Satu tamparan keras menyebabkan Jalak Ireng terpental melintir hingga terjatuh di lantai yang keras dan dingin. Pipi kirinya langsung memerah, ber-gambar lima jari tangan. Jalak Ireng langsung duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam, dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara mengaduh.

"Bodoh! Dasar otak kerbau! Baru segitu saja sudah tidak becus!" bentak Prabu Sarajingga berang.

Wajahnya memerah, dan matanya berkilat berapi-api menahan kemarahan yang meluap. Sedangkan Jalak Ireng tetap duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Untuk mengangkat kepala saja, terasa berat sekali. Apalagi mengeluarkan suara. Rasanya tidak sanggup memandang wajah Prabu Sarajingga yang sedang diliputi kemarahan besar atas kegagalan Jalak Ireng.

"Seharusnya kau mati daripada kembali lagi ke sini, Jalak Ireng," desis Prabu Sarajingga dingin.

"Ampun, Gusti. Titah sudah hamba laksanakan sebaik-baiknya. Tapi, mendadak saja Kembang Karang Hawu muncul dan langsung saja menyerang hamba, Gusti," jelas Jalak Ireng dengan suara bergetar.

"Lagi-lagi itu yang kau katakan!" dengus Prabu Sarajingga.

"Tapi hamba sudah mengetahui kalau pemuda itu memang Pendekar Rajawali Sakti, Gusti," tegas Jalak Ireng lagi.

"Apa jaminanmu, Jalak Ireng?"

"Kembang Karang Hawu memanggilnya demikian, Gusti. Bahkan pemuda itu juga mengakui dirinya bergelar Pendekar Rajawali Sakti," sahut Jalak Ireng. "Lalu, apakah kau tahu maksud kedatangannya ke sini?" tanya Prabu Sarajingga lagi.

"Tidak, Gusti," sahut Jalak Ireng.

"Itulah kebodohanmu, Jalak Ireng! Kau kuperintahkan bukan hanya mencari tahu pemuda itu, tapi juga mengorek maksud kedatangannya ke sini. Mengerti?" bentak Prabu Sarajingga keras.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," ucap Jalak Ireng pelan.

"Huh!" Prabu Sarajingga mendengus keras. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan masih kelihatan gagah itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kecil berbantalkan beludru merah darah. Sedangkan Jalak Ireng masih tetap duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk dalam.

"Dengar, Jalak Ireng. Aku tidak mau tahu bagaimana caranya, yang penting kau harus bisa mengetahui maksud kedatangan pemuda itu ke sini. Mengerti...?!" keras sekali suara Prabu Sarajingga.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut Jalak Ireng seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.

"Kau berangkat sekarang juga, dan jangan kembali sebelum memperoleh keterangan itu. "

"Hamba mohon diri, Gusti."

Prabu Sarajingga hanya mendengus saja. Jalak lreng kembali memberi sembah, kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar ruangan yang besar dan indah ini. Namun Jalak Ireng terkejut ketika pintu dibuka, di sana sudah menunggu Dipa Pangga. Bergegas Jalak lreng menutup pintu itu, dan langsung merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung dengan tubuh sedikit membungkuk.

"Ikut aku, Jalak Ireng," kata Dipa Pangga.

"Hamba, Raden," sahut Jalak Ireng hormat.

Mereka kemudian berjalan cepat menyusuri lorong yang tidak begitu panjang. Dipa Pangga membuka sebuah pintu yang berada di ujung lorong ini. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam ruangan yang tidak seberapa besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan kayu kecil serta sebuah meja kecil dan dua kursi di sampingnya. Jalak Ireng bergegas masuk dan menutup pintunya kembali. Sikapnya begitu hormat pada Dipa Pangga. Dia duduk bersila di lantai, tepat saat Dipa Pangga duduk pada salah satu kursi di samping meja yang membelakangi jendela besar dan terbuka lebar.

"Ada apa Raden meminta hamba ke sini?" tanya Jalak Ireng.

"Kau harus menjawab jujur, Jalak Ireng," tegas Dipa Pangga.

"Hamba, Raden," Jalak Ireng merapatkan kedua tangannya di depan hidung memberi sembah.

"Apa yang diperintahkan Paman padamu?" tanya Dipa Pangga Ingin tahu.

Jalak Ireng terkejut, meskipun sudah menduga kalau pemuda ini akan bertanya seperti itu. Tidak mudah baginya untuk menjawab terus terang. Karena, tugas yang diberikan padanya rahasia sekali, meskipun Prabu Sarajingga tidak mengatakan terus terang. Tapi Jalak Ireng sudah tahu, kalau Prabu Sarajingga memberi suatu tugas di dalam ruangan khusus, itu berarti tugas rahasia yang seorang pun tidak boleh mengetahuinya. Termasuk anggota keluarga istana.

"Kuminta kau tidak menutup-nutupinya, Jalak Ireng. Ingat! Paman Sarajingga hanya sementara menduduki tahta selama aku belum mempunyai istri. Itulah yang diamanatkan mendiang Ayahanda Prabu sebelum mangkat. Jadi aku wajib mengetahui segala yang diperintahkan Paman Sarajingga. Aku tidak ingin ada kekacauan terselubung di dalam istana ini. Kau harus bisa mengerti itu, Jalak Ireng," tegas Dipa Pangga.

"Hamba mengerti, Raden. Tapi...," ucapan Jalak Ireng terputus.

"Tapi apa?" desak Dipa Pangga.

"Hamba takut kalau Gusti Prabu akan murka."

"Paman Sarajingga tidak akan tahu selama kau bisa tutup mulut. Dan aku tidak akan mengatakan apa pun," selak Dipa Pangga tegas sekali.

Beberapa saat Jalak Ireng terdiam berpikir keras, kemudian mengatakan tugas yang harus diembannya. Tugas rahasia yang diberikan langsung oleh Penguasa Kerajaan Randukara ini. Sedangkan Dipa Pangga mendengarkan penuh perhatian. Pemuda itu tidak berbicara sedikit pun meski Jalak Ireng telah menyelesaikan penuturannya.

Tangan Dipa Pangga memberi isyarat saja agar Jalak Ireng meninggalkan kamar ini. Setelah member sembah, Jalak Ireng bergegas keluar dari situ. Sedangkan Dipa Pangga masih duduk di kursi. Pandangannya kosong dan lurus ke depan. Dipa Pangga baru mengangkat kepalanya ketika mendengar suara ketukan di pintu.

"Masuk...!" seru Dipa Pangga tidak terlalu keras.

Pintu kamar terkuak pelahan, kemudian muncul seorang gadis yang cantik sekali. Bajunya ketat berwarna hijau. Dengan langkah gemulai, gadis itu melangkah masuk tanpa mempedulikan pintu yang terbuka. Dipa Pangga bangkit berdiri dan melangkah menghampiri pintu, lalu menutup rapat-rapat. Sedangkan gadis cantik berbaju hijau itu menghenyakkan tubuhnya di kursi yang tadi diduduki Dipa Pangga. Sementara Dipa Pangga sendiri kemudian duduk di tepi pembaringan.

"Ada sesuatu yang ingin disampaikan, Adik Ningrum?" tanya Dipa Pangga lembut.

"Tidak.... Hanya ingin ngobrol denganmu saja, Kakang," sahut gadis itu yang dipanggil Ningrum.

Gadis berbaju hijau daun itu memang Rara Ayu Ningrum, putri bungsu Prabu Sarajingga. Sedangkan seorang kakak laki-lakinya kini sedang menuntut ilmu di Padepokan Walet Putih. Letaknya tidak jauh dari Kotaraja Randukara ini. Tepatnya di Bukit Salak, sebelah Selatan kotaraja ini.

"Kau datang tidak disuruh ayahmu, bukan?" nada suara Dipa Pangga mengandung kecurigaan.

"Jangan memandangku buruk begitu, Kakang," ujar Rara Ayu Ningrum.

Dipa Pangga hanya tersenyum saja. Namun senyuman itu sangat tipis dan hambar. Rara Ayu Ningrum melepaskan ikatan pedangnya dan meletakkan di meja yang berada di sampingnya. Sikapnya seperti tidak mempedulikan sorot mata Dipa Pangga dengan senyumnya yang mengandung kesinisan.

"Aku memang dekat dengan ayah, Kakang. Tapi itu tidak berarti selalu bisa menerima segala sikap dan tindakannya. Aku sudah mengatakan hal ini padamu lebih dari seribu kali. Tapi, mengapa masih saja memandangku sinis, Kakang?" ujar Rara Ayu Ningrum, agak dalam nada suaranya.

Dipa Pangga hanya mengangkat pundaknya saja.

"Kedatanganku ke sini bukan untuk berdebat. Yang jelas, ada yang ingin kukatakan padamu, dan ini rahasia sekali. Aku juga tidak tahu, kenapa hal ini harus kukatakan padamu," kata Rara Ayu Ningrum lagi. Tidak peduli dengan sikap sinis yang diberikan Dipa Pangga padanya.

"Rahasia apa?" tanya Dipa Pangga tanpa menanggapi serius.

"Tentang ayah, aku, kau, dan kakakku. Bahkan menyangkut keutuhan negeri ini, Kakang."

"Ah! Kau ini tahu apa, Ningrum...?"

"Aku tahu semuanya, Kakang. Bahkan tahu kalau ayah mencurigai kedatangan Pendekar Rajawali Sakti bukan hanya sekadar lewat saja. Tapi, memang sengaja kau undang ke sini," dengus Rara Ayu Ningrum agak keras, karena Dipa Pangga hanya menanggapinya bagai angin lalu saja.

"Heh...! Kau ini bicara apa, Ningrum...? Siapa itu Pendekar Rajawali Sakti?" Dipa Pangga terkejut tidak mengerti.

"Orang yang menolongmu dari kematian di Gunung Karang Hawu."

"Apa...?!" Dipa Pangga benar-benar terkejut.

Pemuda itu sampai terlompat dari pembaringan yang didudukinya. Matanya tajam memandang gadis cantik yang duduk di depannya, seakan-akan hendak mencari kesungguhan dari ucapan gadis ini tadi.

"Aku pergi dulu, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum seraya bangkit berdiri.

"Eh, tunggu dulu...!" cegah Dipa Pangga cepat.

"Percuma saja, Kakang. Toh kau tidak akan menanggapi. Kau pasti akan menyangka aku hanya mencari perhatian dan memperburuk kedudukanmu saja," tegas Rara Ayu Ningrum.

"Tidak! Aku akan sungguh-sungguh menanggapinya. Katakan, apa saja yang kau ketahui selama ini," selak Dipa Pangga sambil memasang wajah sungguh-sungguh.

"Sungguh...?" Rara Ayu Ningrum seperti mempermainkan.

"Jangan main-main, Ningrum...!" dengus Dipa Pangga.

"Siapa yang main-main'? Kau sendiri yang tidak pernah sudi menanggapi sungguh-sungguh. "

"Maaf, Ningrum. Aku tidak tahu kalau kau bukan gadis kecil yang manja dan hanya bisa bermain dan mempermainkan orang saja. "

"Sudah! Kalau begitu aku tidak jadi."

"Baik.... Baik.., aku tidak akan mengatakan kau gadis manja lagi. Aku janji..., tapi apa saja yang diketahui selama ini harus kau katakan."

Rara Ayu Ningrum mencibirkan bibirnya. Sementara Dipa Pangga sempat juga menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang mendadak saja jadi terasa kering. Gadis ini memang cantik sekali. Kalau saja bukan putri pamannya, pasti sudah dipersunting untuk dijadikan istri yang kelak akan menjadi permaisuri, mendampinginya memerintah kerajaan yang besar dan megah ini. Tapi sayang, Rara Ayu Ningrum adalah putri pamannya, adik dari ayahnya sendiri.

"Ayo katakan, Ningrum," pinta Dipa Pangga seraya menghilangkan pikiran kotor yahg mendadak saja timbul di kepalanya tadi.

"Baik. Tapi, tidak di sini," sahut Rara Ayu Ningrum.

"Di mana?"

"Di kaputren saja. Biar tidak ada yang curiga."

Dipa Pangga mengangkat bahunya. Memang tidak enak berada berdua di dalam kamar seperti ini, karena mereka hanya saudara sepupu. Tanpa bicara lagi, mereka kemudian berjalan meninggalkan kamar ini.

********************

Sementara itu di perbatasan Kotaraja Randukara, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi dihadang sekitar lima puluh prajurit bersenjata lengkap. Mereka dipimpin seorang panglima perang yang menggunakan senjata golok besar dan panjang. Namanya Panglima Narakin. Dia memang seorang panglima pilihan Prabu Sarajingga yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Terutama jurus 'Pedang Maut' yang menjadi andalannya.

"Kenapa kami tidak boleh masuk?" tanya Rangga agak heran juga.

"Kalian tidak tercatat sebagai penduduk di kerajaan ini. Jadi, kami tidak bisa mengizinkan kalian menetap lama di sini," tegas Panglima Narakin.

"Dengar, Panglima. Kami baru saja menyelamatkan seorang pengantar barang pribadi Prabu Sarajingga. Dan kami ingin bertemu dia lagi," selak Pandan Wangi, agak gusar nada suaranya.

Kalau saja Rangga tidak menyabarkan, mungkin Pandan Wangi sudah menerjang panglima yang angkuh itu. Seluruh aliran darah si Kipas Maut memang sudah bergolak mendidih, dan hampir tidak bisa mengendalikan diri. Namun sekuat daya, Pandan Wangi masih bisa bertahan melihat tingkah panglima yang angkuh itu.

"Ha ha ha...! Kalian mulai mengoceh tidak karuan!" Panglima Narakin tertawa terbahak-bahak.

"He... ! Kau seorang panglima, kenapa tidak tahu kalau pengirim barang pribadi rajamu hampir mati...?" sentak Pandan Wangi semakin gusar.

"Sudahlah. Sebaiknya, kalian pergi saja jauh-jauh dari sini. Gusti Prabu Sarajingga tidak memiliki pengantar barang pribadi. Tidak ada gunanya membual," sinis sekali nada suara Panglima Narakin.

Pandan Wangi mendelik geram. Diliriknya Pendekar Rajawali Sakti yang berada di sampingnya. Mereka masih berada di atas punggung kuda masing-masing. Sementara itu Rangga tampak mulai geram, karena merasa dipermainkan. Hal ini terlihat jelas dari raut wajahnya yang memerah dan gerahamnya bergemeletuk keras.

"Ayo, Pandan. Kita pergi," ajak Rangga seraya memutar kudanya.

"Tapi, Kakang...!"

Rangga cepat mengerdipkan matanya, maka Pandan Wangi tidak membantah lagi. Segera kudanya diputar mengikuti Pendekar Rajawali Sakti itu. Sesaat kemudian, dua ekor kuda itu sudah berpacu cepat meninggalkan kepulan debu yang membumbung tinggi di angkasa.

Kepergian kedua pendekar muda itu diiringi tawa terbahak-bahak dari Panglima Narakin. Sementara Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh meninggalkan perbatasan kota. Namun demikian si Kipas Maut itu masih belum puas atas perlakuan panglima tadi. Lari kudanya seketika dihentikkan setelah melewati tikungan yang menuju Gunung Karang Hawu.

"Berhenti dulu, Kakang..,!" seru Pandan Wangi.

Rangga menghentikan lari kudanya, kemudian menghampiri Pandan Wangi yang sudah turun dari punggung kuda putihnya. Pendekar Rajawali Sakti pun segera melompat turun dengan satu lompatan indah dan manis sekali. Kakinya langsung mendarat di depan Pandan Wangi. Mereka membiarkan kuda-kuda menjauh menghampiri hamparan rumput yang menghijau subur di tepi sungai kecil yang berair jernih, mengalir pelahan.

"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga.

"Aku tidak ingin pergi begitu saja. Panglima itu telah menghina kita, Kakang. Penghinaan ini harus dibalas!" dengus Pandan Wangi masih geram dengan tingkah Panglima Narakin yang begitu congkak.

"Aku juga tidak suka terhadap sikapnya, Pandan. Tapi dia hanya menjalankan tugas saja," sergah Rangga mencoba menenangkan Pandan Wangi. Padahal dia sendiri sedang berusaha meredam kemarahannya, karena juga merasa terhina atas sikap panglima itu.

"Tugas.... Huh! Kau juga punya banyak panglima, Kakang. Tapi tidak ada yang seperti itu," dengus Pandan Wangi masih kesal.

"Sudahlah, Pandan. Sebaiknya kita pergi saja dari sini," Rangga masih mencoba untuk bersabar.

"Tidak! Aku akan menghajar mulut panglima edan itu!" sentak Pandan Wangi. Seketika itu juga Pandan Wangi melesat cepat, dan langsung berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

"Pandan...!" Rangga terkejut.

Tapi Pandan Wangi sudah begitu jauh, lenyap di tikungan jalan. Rangga yang tidak ingin melihat gadis itu celaka, bergegas ikut berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti bagaikan berlari di atas angin. Kaki-kakinya yang bergerak cepat, seperti tidak menapak pada tanah. Dalam waktu yang tidak berapa lama, Rangga sudah bisa mengejar Pandan Wangi yang sudah mendekati perbatasan kota. Tampaknya para prajurit dan Panglima Narakin masih berada di sana.

"Pandan, tunggu dulu! Jangan gegabah...!" sentak Rangga memperingatkan.

Tapi Pandan Wangi tidak peduli lagi, dan cepat melesat begitu jaraknya dengan perbatasan itu tinggal beberapa tombak lagi. Gadis itu langsung meluruk ke arah Panglima Narakin yang terkejut begitu tiba-tiba mendapat serangan dari Pandan Wangi. Dua kali si Kipas Maut itu melontarkan pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaat...!"

"Heh...?! Ufs!"

********************

Cepat sekali Panglima Narakin mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan Pandan Wangi. Dua pukulan Pandan Wangi yang tidak menemui sasaran itu langsung menghajar dua orang prajurit yang berada di dekatnya. Seketika dua jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut. Tampak dua orang prajurit terpental, ambruk ke tanah. Seketika itu juga mereka tewas dengan dada remuk. Dari mulutnya mengucurkan darah kental agak kehitaman.

"Perempuan setan...!" geram Panglima Narakin gusar.

Sret! Panglima Narakin langsung mencabut pedangnya. Dan secepat itu pula, dikibaskan ke arah tubuh Pandan Wangi. Namun cepat sekali, si Kipas Maut mencabut kipas baja putih yang langsung cepat dikebutkan, menyampok pedang panglima itu.

Wut! Trang!

"Heh...?!" Panglima Narakin terkejut setengah mati begitu pedangnya membentur kipas baja putih di tangan Pandan Wangi. Pedangnya terpental balik, dan seluruh persendian tangannya terasa nyeri bergetar hebat.

Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja Pandan Wangi sudah menerjang panglima itu. Kipasnya yang terbuka lebar, berkelebat cepat mengancam tubuh panglima congkak itu. Beberapa kali ujung kipas baja putih itu hampir merobek tubuh Panglima Narakin, tapi masih bisa dihindari dengan manis sekali.

Sementara itu Rangga sudah menghadang para prajurit. Dia memang harus mencegah prajurit-prajurit itu dalam pertarungan antara Pandan Wangi dan Panglima Narakin. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Pandan Wangi hanya menggempur Panglima Narakin, dan tidak bermaksud menggempur prajurit-prajurit.

"Jangan ikut campur! Kami bisa dengan mudah membunuh kalian semua...!" Rangga memperingatkan dengan suara dingin menggetarkan.

Para prajurit itu tidak ada yang berani bertindak. mereka saling melemparkan pandangan, tapi tak seorang pun berani melakukan tindakan penyerangan. Sementara pertarungan antara Pandan Wangi dan Panglima Narakin masih berlangsung sengit sekali. Jurus demi jurus berlalu cepat. Panglima itu memang tangguh juga, meskipun dalam adu senjata tadi sudah bisa diketahui kalau tingkat tenaga dalamnya masih di bawah Pandan Wangi.

Itu bisa diketahui jelas, karena Panglima Narakin beberapa kali menghindari benturan senjata. Dan ini sangat disadari Pandan Wangi, sehingga semakin gencar memberikan serangan-serangan lewata jurus-jurusnya yang dahsyat dan cepat luar biasa. Setiap serangan yang dilakukannya mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Lewat sepuluh jurus, Panglima Narakin mulai kelihatan terdesak. Dia semakin kewalahan saja menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pandan Wangi. Beberapa kali senjata satu sama lain berbenturan tanpa dapat dihindari Panglima Narakin. Dan setiap kali pedangnya membentur kipas Pandan Wangi, panglima itu selalu terpekik. Bahkan pedangnya terpental hampir lepas dari pegangan tangan.

"Lepas...! Yeaaah...!" tiba-tiba Pandan Wangi berseru keras sekali.

Dan seketika itu juga kakinya dihentakkan ke arah perut Panglima Narakin. Namun panglima itu bisa menghindari dengan menarik tubuhnya ke belakang. Dan pada saat tubuh panglima itu agak membungkuk, cepat sekali Pandan Wangi mengibaskan tangan kanannya ke arah pergelangan tangan kanan Panglima Narakin yang memegang senjata.

Bet! Cras!

"Akh...!" Panglima Narakin tersentak, dan memekik keras ketika ujung Kipas Maut itu menyambar pergelangan tangan kanannya. Panglima itu tak bisa lagi mencegah pergelangan tangan kanannya yang buntung terbabat ujung Kipas Maut Pandan Wangi. Tangan dan pedangnya terpental jatuh ke tanah. Seketika darah segar muncrat keluar deras sekali. Dan sebelum Panglima Narakin bisa menyadari apa yang terjadi, dengan kecepatan tinggi sekali Pandan Wangi memberi satu tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi ke dadanya.

"Hiyaaa...!"

Deghk!

"Aaakh...!" kembali Panglima Narakin menjerit.

Tendangan Pandan Wangi yang cepat dan keras itu tak bisa dihindari lagi, telak menghantam dada Panglima Narakin. Akibatnya, laki-laki itu terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Pandan Wangi cepat, menjentikkan ujung jari kakinya pada pedang panglima yang tergeletak di tanah. Seketika pedang itu terpental ke atas. Secepat kilat, Pandan Wangi melesat menyambar pedang itu. Tubuhnya langsung meluruk deras ke arah Panglima Narakin yang baru saja berusaha bangkit berdiri.

"Hiyaaa...!"

"Hah...!" Panglima Narakin tersentak melihat Pandan Wangi meluruk deras ke arahnya. Dengan ujung pedang terentang lurus ke arah dada, gadis itu terus meluruk deras sehingga panglima itu tak sempat melakukan sesuatu lagi. Memang serangan si Kipas Maut itu demikian cepat bagaikan kilat. Sehingga....

Bres!

"Aaa...!" Jeritan melengking tinggi terdengar menyayat bersamaan dengan amblasnya pedang itu ke bahu kanan Panglima Narakin. Selagi panglima itu limbung, datang lagi satu pukulan ke kepala panglima itu.

"Yeaaah...!"

Prak!

"Aaa...!" kembali Panglima Narakin menjerit keras melengking tinggi. Kali ini adalah jeritannya yang terakhir. Karena, panglima perang itu langsung ambruk ke tanah tak berkutik lagi. Darah mengucur deras dari bahu yang tertembus pedangnya sendiri.

"Phuih...!" Pandan Wangi mendenguskan napasnya dengan kencang. Gadis itu langsung memutar tubuhnya memandang Rangga yang tengah menghalangi para prajurit agar tidak ikut campur dalam masalah ini. Pandan Wangi berdiri tegak bertolak pinggang seperti sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa saja. Kipas Mautnya sudah kembali tersimpan di balik ikat pinggang.

"Suruh mereka pergi, Kakang. Aku muak melihat tampang-tampang jelek itu!" dengus Pandan Wangi kasar.

Dan sebelum Rangga membuka mulutnya, semua prajurit langsung berlarian kabur. Mereka seketika gentar melihat panglimanya kalah di tangan seorang gadis muda berwajah cantik bagai bidadari itu.

"Seharusnya kau tidak perlu berbuat begitu, Pandan," kata Rangga seraya melangkah menghampiri gadis itu.

"Hanya menidurkannya sebentar," sahut Pandan Wangi seenaknya.

Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang tidak mudah merubah watak Pandan Wangi yang hidup dan dibesarkan di kalangan rimba persilatan. Gadis ini tidak lagi asing melihat darah muncrat dari tubuh seseorang. Tapi selama si Kipas Maut itu bersama Pendekar Rajawali Sakti, sedikit-sedikit keliarannya mulai terhapus. Meskipun terkadang masih saja timbul kenakalannya.

"Ayo kita pergi," ajak Rangga.

"Untuk apa, Kakang? Mereka pasti akan kembali lagi. Aku akan menghadapi mereka yang sudah bosan hidup," sahut Pandan Wangi.

"Jangan edan-edanan, Pandan...!" sentak Rangga.

"Aku sudah membunuh seorang panglima mereka, dan tentu banyak yang tidak senang. Aku nanti akan menjelaskannya. Dan kalau mereka tidak terima, boleh berhadapan denganku," tegas sekali suara Pandan Wangi.

"Heeeh...! Kau ini selalu saja cari penyakit, Pandan...," keluh Rangga.

"Tanggung, Kakang. Sudah kadung basah, sekalian saja nyebur," sahut Pandan Wangi kalem.

Kembali Rangga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia tidak bisa mencegah, apalagi meninggalkan gadis ini seorang diri. Mau tidak mau Pendekar Rajawali Sakti harus ikut juga dalam persoalan ini. Korban sudah jatuh, dan memang tidak mungkin menghindar begitu saja. Mereka bukan orang-orang pengecut yang bisanya hanya lari dengan meninggalkan tanggung jawab. Toh mereka tidak bersalah sama sekali. Memang sudah sepantasnya panglima itu menerima hukumannya.

Tapi yang sangat disesalkan Rangga, tidak semestinya Pandan Wangi membunuh panglima itu. Seharusnya pertarungan dihentikannya saat Pandan Wangi berhasil membuntungi tangan panglima itu. Namun Rangga memang tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Pandan Wangi. Dia melihat sendiri kalau Panglima Narakin masih tetap berusaha menyerang.

"Tunggu saja di sini, Kakang. Aku ingin tahu, seberapa banyak Prabu Sarajingga mengerahkan jagonya," tegas Pandan Wangi.

"Terserah kaulah...," desah Rangga.

Pandan Wangi tersenyum kecut. Dia tahu kalau Rangga terpaksa menuruti, karena memang sudah kepalang basah. Dan tentu saja harus dihadapi bersama.

********************

Saat itu, di dalam Istana Randukara, Dipa Pangga tertegun di balik pintu. Pemuda itu mendengar Prabu Sarajingga marah-marah sampai menggebrak meja. Keras sekali gebrakannya hingga menimbulkan suara berisik, mengganggu telinga. Dipa Pangga tahu kalau tadi dua orang punggawa masuk ke dalam ruangan ini. Memang sukar baginya untuk mendengar lebih jelas lagi, karena hanya terdengar samar-samar namun keningnya jadi berkerut saat mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut-sebut.

Dipa Pangga tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah Rangga. Pemuda pengembara yang mengenakan baju rompi putih dan sudah menyelamatkan nyawanya dari kematian di Lereng Gunung Karang Hawu.

Plak!

"Oh...!" Dipa Pangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja punggungnya ada yang menepuk dari belakang.

Pemuda itu terlonjak langsung berbalik. Hampir dia memaki begitu melihat Rara Ayu Ningrum yang telah membuatnya terkejut setengah mati. Tapi gadis itu sudah lebih cepat menarik tangannya meninggalkan tempat itu. Mereka langsung masuk ke dalam taman belakang istana yang hanya bisa dimasuki anggota keluarga istana saja.

"Ada apa?" tanya Dipa Pangga.

"Panglima Narakin mati," sahut Rara Ayu Ningrum setengah berbisik.

"Apa...?!" Dipa Pangga terperanjat mendengar berita itu.

"Si Kipas Maut yang membunuhnya," Rara Ayu Ningrum kembali memberitahu.

"Siapa itu si Kipas Maut?" tanya Dipa Pangga.

"Gadis teman Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rara Ayu Ningrum lagi.

"Kau jangan main-main, Adik Ningrum," Dipa Pangga tidak percaya.

"Tidak percaya, ya sudah...!" Rara Ayu Ningrum memberengut.

"Tapi..., kenapa Pandan Wangi membunuh Panglima Narakin?" Dipa Pangga seperti bertanya pada diri sendiri.

"Panglima Narakin meminta mereka meninggalkan Kerajaan Randukara ini, tapi ditolak. Panglima, Narakin terpaksa mengusir mereka. Namun si Kipas Maut langsung saja menyerang dan membunuhnya," jelas Rara Ayu Ningrum.

"Dari mana kau tahu semua itu, Ningrum?" Tanya Dipa Pangga. Nada suaranya seperti tidak percaya.

"Aku mendengarnya dari bilik serambi ruangan itu. Dari tempatku kan bisa mendengar jelas, Kakang."

"Tapi, kenapa kau memberitahuku?"

"Huh...! Kau selalu saja mencurigaiku, Kakang. Percayalah kalau aku tidak suka terhadap tindakan ayahku sendiri. Aku ingin membantumu. Lagi pula, sebenarnya kan ayah tidak berhak menduduki tahta. Kaulah yang berhak, Kakang."

"Kau mengkhianati ayahmu sendiri, Ningrum."

"Demi kebenaran, Kakang. Aku rela mati asalkan kebenaran ditegakkan di negeri ini."

"Apakah ayahmu tahu kalau kau mengkhianatinya?"

"Tidak. Ah, sudahlah.... Sebaiknya kau cepat temui mereka sebelum ayah mengerahkan para prajurit. "

Dipa Pangga terdiam beberapa saat. Dipertimbangkannya semua kata-kata gadis ini. Sungguh tidak disangka kalau Rara Ayu Ningrum diam-diam selalu mendengarkan semua yang diucapkan Prabu Sarajingga. Bahkan diam-diam pula gadis ini mengamati semua yang dilakukan ayahnya. Ternyata Rara Ayu Ningrum memiliki pengamatan yang baik terhadap sikap dan perbuatan ayahnya yang tidak ingin menyerahkan tahta yang didudukinya pada Dipa Pangga. Padahal, pemuda itulah sebenarnya yang berhak menduduki tahta itu daripada pamannya, Sarajingga.

"Cepat, Kakang. Jangan buang-buang waktu lagi," desak Rara Ayu Ningrum.

"Di mana mereka?" tanya Dipa Pangga.

"Di perbatasan dekat Gunung Karang Hawu," sahut Rara Ayu Ningrum memberitahu.

"Lalu, kau sendiri?"

"Aku akan mencoba menghadang prajurit. Tentu jumlah mereka sangat banyak," sahut Rara Ayu Ningrum.

"Kau akan menghalau mereka, Ningrum?"

"Jangan banyak tanya, Kakang. Ayo cepat pergi, sana...!" sentak Rara Ayu Ningrum.

"Baiklah., Tapi jangan ada prajurit yang terbunuh. Kalau kau terpaksa bertarung, hadapi saja orang-orang ayahmu. Bukan para prajuritnya," pesan Dipa Pangga.

"Aku usahakan," janji Rara Ayu Ningrum.

Dipa Pangga bergegas meninggalkan taman istana itu. Sementara Rara Ayu Ningrum cepat menuju kamarnya. Sambil berjalan cepat, Dipa Pangga masih belum bisa mengerti akan sikap adik sepupunya itu. Sama sekali tidak disangka kalau Rara Ayu Ningrum berpihak padanya, dan memusuhi ayahnya sendiri. Pemuda itu juga tidak menduga kalau adik sepupunya memiliki kegiatan tersembunyi yang dipersiapkan untuk menggulingkan ayahnya sendiri dengan menggantikan Dipa Pangga menjadi raja di Kerajaan Randukara ini.'

Meskipun Rara Ayu Ningrum sudah menunjukkan dukungannya, tapi Dipa Pangga belum bisa mempercayai begitu saja. Sikapnya masih tetap berhati-hati terhadap gadis itu. Kesetiaan Rara Ayu Ningrum, memang perlu dibuktikan dalam waktu yang panjang.

********************

Dipa Pangga menggebah cepat kudanya membelah jalan yang berdebu. Dia terus menuju perbatasan dekat Gunung Karang Hawu. Orang-orang yang berada di jalan itu, terpaksa cepat-cepat menyingkir. Tidak ada seorang pun yang menggerutu begitu mengetahui yang berkuda ugal-ugalan itu adalah Dipa Pangga, putra mahkota yang belum juga naik tahta. Padahal usianya sudah cukup dewasa. Hanya karena belum menikah saja, Dipa Pangga tidak bisa menduduki tahta yang kini sementara diduduki pamannya. Itu terjadi karena memang sudah amanat raja yang terdahulu sebelum mangkat.

Dipa Pangga terus menggebah cepat kudanya meninggalkan keramaian kota. Kini dia mulai memasuki daerah yang sepi. Sepanjang jalan yang dilalui hanya pepohonan dan sawah serta dataran yang menanjak naik membentuk hamparan bukit. Dipa Pangga semakin cepat menggebah kudanya begitu melihat gerbang perbatasan di depannya.

"Hooop...!" Dipa Pangga menghentikan kudanya begitu sampai di gerbang perbatasan Kotaraja Randukara. Begitu kudanya berhenti berlari, dia cepat melompat turun dari kudanya. Gerakannya demikian indah dan ringan sekali. Ketika kakinya menjejak tanah, sedikit pun tidak menimbulkan suara.

"Rangga...! Pandan Wangi...!" teriak Dipa Pangga memanggil dengan suara yang keras.

Teriakan pemuda itu menggema, terpantul oleh tebing batu dan pepohonan, dan tersapu angin yang berhembus kencang. Namun suaranya tenggelam begitu saja tanpa ada sahutan sama sekali. Pandangan Dipa Pangga beredar ke sekeliling.

Dipa Pangga jadi keheranan juga, karena tidak ada seorang pun di tempat ini. Teriakannya yang keras disertai sedikit pengerahah tenaga dalam itu, tidak mendapat sambutan sama sekali. Kembali Dipa Pangga berteriak memanggil Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut, tapi tetap saja tidak ada sahutan.

"Hm..., jangan jangan....?"

Belum sempat Dipa Pangga melanjutkan pikirannya, mendadak saja sebuah bayangan hijau berkelebat cepat menyambar pemuda itu. Sejenak Dipa Pangga terperangah kaget, namun cepat sekali membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Kemudian tubuhnya melesat bangkit berdiri.

Dipa Pangga tertegup sejenak begitu melihat seorang wanita berambut panjang terikat pita hijau, sudah berdiri di depannya. Wanita itu mengenakan baju ketat berwarna hijau daun yang menutup rapat seluruh tubuhnya. Wajahnya mengenakan cadar yang juga berwarna hijau dart bahan sutra. Hanya matanya saja yang terlihat jelas.

"Kembang Karang Hawu...," desis Dipa Pangga, agak bergetar suaranya begitu mengenali wanita yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.

"Kali ini kau tidak mungkin lolos dari tanganku, Dipa Pangga," dengus wanita berbaju serba hijau yang dijuluki Kembang Karang Hawu itu.

Dipa Pangga yang pernah bentrok sekali dengan wanita berkepandaian lebih tinggi darinya itu, langsung bersiap. Kakinya digeser beberapa tindak ke samping. Kemudian pelahan-lahan pedangnya diloloskan. Sedikit pun matanya tidak berkedip memperhatikan wanita berbaju hijau itu.

"Sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu, Dipa Pangga. Tapi kau terlalu bandel, karena masih saja berkeliaran di Randukara ini," dingin sekali nada suara Kembang Karang Hawu itu.

"Kau tidak berhak mengusirku dari negeri ini, Perempuan Iblis!" dengus Dipa Pangga ketus.

"Ha ha ha... ! Aku bisa berbuat apa saja padamu, Dipa Pangga," si Kembang Karang Hawu tertawa terbahak-bahak.

Namun Dipa Pangga bisa membedakan kalau suara tawa dan nada bicara perempuan yang berjuluk Kembang Karang Hawu itu sangat dibuat-buat. Wanita berbaju hijau itu terlalu membesarkan suaranya dan nadanya sedikit ditahan. Sehingga suaranya terdengar datar tanpa tekanan sama sekali.

"Hm.... Kau selalu muncul menggunakan cadar. Siapa sebenarnya kau ini, Nisanak?" suara Dipa Pangga sedikit terdengar bergumam.

"Aku Kembang Karang Hawu. Jelas...?!" agak keras jawaban wanita berbaju hijau itu.

"Di balik julukanmu, kau tentu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya. Kenapa tidak kau tunjukkan saja dirimu yang sebenarnya, Nisanak? Aku yakin, di balik cadarmu itu kau menyembunyikan wajah buruk menjijikkan," Dipa Pangga memanasi.

"Kau terlalu polos untuk bisa memancing kemarahan orang, Dipa Pangga," desis si Kembang Karang Hawu sinis.

"Oh...?! Kau ingin aku, yang membuka cadarmu itu...? Baik bersiaplah...! Hiyaaat...!"

Dipa Pangga langsung saja melompat cepat menerjang wanita berbaju hijau itu. Pedangnya dikibaskan beberapa kali mengarah ke bagian-bagian tubuh wanita itu. Namun lincah dan manis sekali si Kembang Karang Hawu berkelit, menghindari se.tiap serangan gencar yang datang.

Beberapa kali Dipa Pangga hampir membabatkan pedangnya ke tubuh wanita itu, namun beberapa kali pula wanita itu bisa menghindarinya. Dan Dipa Pangga seperti tidak ingin memberi kesempatan si Kembang Karang Hawu untuk balas menyerang. Dia terus mencecar lewat jurus-jurusnya yang cepat dan dahsyat. Setiap serangan yang dilancarkan Dipa Pangga mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja si Kembang Karang Hawu berteriak keras.

Seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara ketika Dipa Pangga membabatkan pedangnya ke arah kaki. Secepat itu pula, wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar, meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi ke arah kepala Dipa Pangga.

"Uts...!" Cepat-cepat Dipa Pangga menarik dirinya ke belakang beberapa tindak mengegoskan kepalanya, menghindari serangan balasan itu. Pukulan si Kembang Karang Hawu tidak mengenai sasaran, dan hanya mengenai tanah tempat Dipa Pangga tadi berdiri.

Seketika ledakan keras terdengar, bersamaan dengan terbongkamya tanah yang terkena pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi. Dipa Pangga sampai terlompat mundur. Dan belum juga lenyap keterkejutan pemuda itu, si Kembang Karang Hawu sudah cepat melancarkan serangan kembali.

"Hiyaaa... !" Serangan yang dilancarkan wanita berbaju hitam itu sungguh cepat luar biasa, dan beruntun tanpa henti. Sehingga, Dipa Pangga menjadi kewalahan menghindarinya. Hingga suatu ketika, di saat Dipa Pangga baru saja menghindari tendangan yang mengarah ke pinggangnya, mendadak saja...

Bughk!

"Akh... !"

ENAM

Dipa Pangga menjerit keras ketika tiba-tiba saja satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi mendarat di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke belakang, menghantam sebongkah batu yang cukup besar.

"Hoeeek...!" Dipa Pangga memuntahkan darah kental ketika mencoba bangkit berdiri. Dia tidak tahu lagi, ke mana pedangnya tadi terpental ketika mendapat satu pukulan keras di dadanya. Dan baru saja bisa bangkit berdiri, mendadak terasa ada benda dingin yang tipis menempel di lehernya. Dipa Pangga tersentak kaget, karena si Kembang Karang Hawu sudah menempel-kan ujung pedang ke lehemya. Lebih terkejut lagi, karena pedang yang digunakan wanita bercadar itu ternyata miliknya sendiri.

"Hhh! Hanya sampai di sinikah kemampuan calon raja...?" ejek si Kembang Karang Hawu sinis.

"Kau punya kesempatan untuk membunuhku, Iblis!" desis Dipa Pangga seraya menahan rasa nyeri di dadanya.

"Terlalu enak kalau mati begitu saja, Dipa Pangga. Kau harus bisa merasakan pedihnya penderitaan yang pernah kualami," dingin sekali nada suara wanita bercadar hijau itu.

"Aku tidak pernah menyakiti orang. Terlebih lagi untuk mengenal dirimu! Kenapa kau ingin membuatku menderita...?" masih terdengar ketus nada suara Dipa Pangga.

"Sayang sekali, ayahmu keburu mati. Jadi kau yang harus menggantikannya, Dipa Pangga," desis si Kembang Karang Hawu itu lagi, semakin dingin nada suaranya.

"Apa yang telah dilakukan mendiang Ayahanda Prabu padamu?" tanya Dipa Pangga ingin tahu.

"Kau memang perlu tahu, Dipa Pangga. Karena sebentar lagi kau akan merasakan bagaimana tersiksanya dalam penderitaan, terhina, dan malu yang tak akan hilang seumur hidup...," kali ini nada suara wanita itu agak tertekan.

"Aku akan menerima lapang dada, jika memang ayahku bersalah," tegas Dipa Pangga.

"Suka atau tidak suka, kau memang harus menerima, Dipa Pangga."

"Katakan, apa yang telah dilakukan ayahku. Maka, kau bisa melakukan apa saja padaku," desak Dipa Pangga.

Si Kembang Karang Hawu melangkah mundur dua tindak. Pelahan pedang yang tadi menempel di leher Dipa Pangga diturunkan. Kemudian pedang itu dilemparkan ke depan kaki pemuda itu. Namun, Dipa Pangga mendepak jauh pedang yang tergeletak di depan kakinya.

Perbuatan Dipa Pangga ini, membuat sepasang bola mata yang indah itu menyipit. Dipandanginya Dipa Pangga yang tengah membuka baju, kemudian melemparkannya begitu saja. Tampak pada pinggang pemuda itu berbaris pisau kecil yang berjumlah lebih dari lima puluh buah. Pemuda itu melepaskan wadah pisau yang terbuat dari kulit, lalu melemparkannya jauh-jauh. Kemudian, diambilnya lagi dari kaki kanan dan kirinya pisau-pisau yang masing-masing berjumlah sepuluh buah.

Dipa Pangga kemudian melepaskan sabuknya yang terbuat dari kulit bermanik-manik batu permata. Dari sabuknya dikeluarkannya benda-benda bulat kecil sebesar biji kacang kedelal yang berwarna merah. Semua benda-benda yang menjadi senjata rahasia yang melekat di tubuhnya, dibuangnya untuk meyakinkan wanita itu kalau dirinya akan menerima akibat dari perbuatan mendiang ayahnya. "Kenapa kau lakukan semua itu, Dipa Pangga?" tanya si Kembang Karang Hawu tidak bisa menahan keheranannya atas sikap Dipa Pangga yang nampanya siap menerima pembalasan.

"Agar kau lebih mudah untuk menyiksaku," sahut Dipa Pangga kalem.

Wanita bercadar hijau itu jadi terpaku. Sungguh tidak disangka kalau Dipa Pangga akan berbuat seperti itu. Rela menerima segala akibat yang dilakukan mendiang ayahnya. Dan sekarang, pemuda itu benar-benar polos, tak memiliki senjata apa pun juga.

"Setan kau, Dipa Pangga...," desis si Kembang Karang Hawu.

"Nah! Sekarang aku sudah tidak bersenjata lagi. Lakukan apa saja sesukamu, agar dendammu terbalaskan," kata Dipa Pangga kalem.

Wanita bercadar hijau itu tidak menanggapi, tapi malah memandangi Dipa Pangga dengan sinar mata yang sukar untuk diartikan. Sepertinya sikapnya ragu-ragu untuk melakukan sesuatu pada pemuda yang rela mengorbankan diri demi baktinya pada orang tua.

"Huh...!" si Kembang Karang Hawu mendengus berat. Mendadak saja tubuhnya melesat cepat. Dan dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi. Dipa Pangga masih berdiri tegak dengan tubuh tanpa baju lagi. Matanya tak berkedip memandangi arah kepergian wanita bercadar yang pergi begitu saja melihat kerelaan Dipa Pangga mengorbankan dirinya.

Dipa Pangga memutar tubuhnya ketika telinganya mendengar tepukan tangan satu-satu dari arah belakang. Tampak di depannya kini sudah berdiri Pendekar Rajawah Sakti dan si Kipas Maut. Pemuda berbaju rompi putih itu masih bertepuk tangan sambil mengulas senyuman lebar.

"Rupanya kau ada di sini sejak tadi, Rangga," desis Dipa Pangga seraya memungut kembali baju dan senjata-senjatanya, kemudian mengenakan pelahanlahan.

"Maaf. Kami telah mencuri dengar semua yang terjadi," ucap Rangga seraya melangkah mendekat.

"Sebenarnya tadi kami ingin keluar, tapi tidak jadi," sambung Pandan Wangi ikut mendekati Dipa Pangga.

"Wanita itu yang membuatmu terkapar tempo hari, Raden?" tanya Rangga yang sudah mengetahui kalau pemuda di depannya ini adalah Raden Dipa Pangga, pewaris tunggal tahta Kerajaan Randukara ini.

"Benar. Tapi aku agak heran, karena dia tidak membunuhku," sahut Dipa Pangga. "Rangga, sebaiknya jangan panggil aku dengan sebutan raden."

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Di istana, kau boleh memanggilku begitu. Tapi di sini, aku orang biasa yang sama seperti lainnya," sahut Dipa Pangga.

Pandan Wangi tertawa seraya melirik Rangga yang berdiri di sampingnya. "Sama dong seperti...," ucapan Pandan Wangi terputus begitu mata Rangga mendelik padanya.

"Dengan siapa?" tanya Raden Dipa Pangga ingin tahu.

"Yaaah..., dengan raden dari kerajaan lain," sahut Pandan Wangi seraya mengangkat bahunya sedikit.

Hampir saja Pandan Wangi keterlepasan bicara, membuka penyamaran Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar muda itu sebenarnya juga seorang raja di Kerajaan Karang Setra. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah menggunakan kedudukannya jika sedang mengembara seperti ini. Bahkan tidak suka jika ada yang memanggilnya dengan sebutan Gusti Prabu di luar istana. Rangga lebih senang jika dipanggil dengan namanya saja.

Sikap yang dimiliki Raden Dipa Pangga sama persis dengan Pendekar Rajawali Sakti, yang tidak ingin menonjolkan diri dengan memanfaatkan kedudukan tinggi. Hal ini membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi bersimpati. Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar itu memang menyukai kesederhanaan serta menyadari kalau semua manusia di bumi ini adalah sama. Hanya pangkat dan kedudukan saja yang membedakannya.

********************

Malam ini udara terasa begitu dingin. Dan dinginnya udara, sama sekali tak dihiraukan Rangga dan Pandan Wangi yang tidak lepas mengamati bagian dalam kamar Prabu Sarajingga dari tempat tersembunyi. Mereka bisa berada di lingkungan istana ini berkat bantuan Dipa Pangga melalui jalan rahasia.

Raden Dipa Pangga sudah menceritakan tentang maksud Prabu Sarajingga yang tidak bersedia turun tahta dan menyerahkannya pada ahli waris yang sah. Hal ini diketahuinya dari penuturan Rara Ayu Ningrum. Dari penuturan Dipa Pangga, Rangga akhirnya mengambil satu keputusan untuk mengamati Prabu Sarajingga.

"Sudah waktunya kau mengamati Rara Ayu Ningrum, Pandan," bisik Rangga.

"Aku lupa kamarnya, Kakang," sahut Pandan Wangi juga berbisik.

"Tidak jauh dari kamar Raden Dipa Pangga," Rangga mengingatkan.

"Sebelah mana?"

"Pokoknya di depan jendelanya ada pohon kemuning. Itulah kamar Rara Ayu Ningrum."

"Oh, iya. Aku ingat sekarang. "

"Sudah sana, cepat. "

"lya, sabar ah.... "

Rangga mendengus saja melihat sikap Pandan Wangi yang seenaknya. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti menyuruh kedua kali, Pandan Wangi sudah melesat cepat menuju kamar Rara Ayu Ningrum. Mereka memang sudah diberitahu tentang keadaan dan letak setiap bagian dari istana ini oleh Raden Dipa Pangga. Sehingga rasanya tidak sulit bagi Rangga untuk mengamati keadaan istana ini. Terutama sekali, dia harus mengamati segala tindakan Prabu Sarajingga.

Pendekar Rajawali Sakti menduga kalau antara Prabu Sarajingga dengan si Kembang Karang Hawu ada hubungan erat. Bahkan diduga, si Kembang Karang Hawu itu sebenarnya adalah Rara Ayu Ningrum. Hanya saja belum bisa dipastikan, maksud dari semua ini.

Sementara malam terus merambat semakin larut. Tampak di dalam kamar yang kelihatan besar dan terang benderang itu, Prabu Sarajingga tengah berbicara bersama seorang perempuan tua yang mengenakan baju warna putih. Di lengan kanannya terlilit seekor ular belang benuama hitam dan kuning bergaris-garis.

"Hm..., siapa perempuan tua itu...?" gumam Rangga bertanya sendiri di dalam hati. "Akan kugunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'."

Pendekar Rajawali Sakti langsung menarik napas dalam-dalam dan menahannya beberapa saat, kemudian merapalkan ajiannya. Perlahan kemudian napasnya dihembuskan dalam-dalam. Kemudian pendengarannya mulai terasa lebih terang. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pendengarannya pada kamar yang sedang diamati, sehingga bisa mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas sekali.

"Hm..., jadi si Malaikat Jari Delapan ada di sini...?" suara Prabu Sarajingga seperti bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.

"Itulah yang tidak kumengerti, Sarajingga."

"Kau melihat ada tindakan yang mencurigakan, Nyai Setan Putih?" tanya Prabu Sarajingga lagi.

Perempuan tua berbaju putih itu hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan Prabu Sarajingga. Perlahan-lahan kepalanya menggeleng. Prabu Sarajingga bangkit dari duduknya, kemudian berjalan ke jendela. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu berdiri di depan jendela, memandang bulan yang, menggantung di langit. Sedangkan perempuan tua berbaju putih yang memang ternyata si Setan Putih, masih tetap duduk di kursinya.

"Sebaiknya lupakan saja si Malaikat Jari Delapan itu. Bagiku dia bukanlah halangan yang berarti," tegas Prabu Sarajingga seraya memutar tubuhnya membelakangi jendela yang terbuka lebar.

"Dia sudah tahu tentang...."

"Ya, aku tahu," potong Prabu Sarajingga.

Setan Putih kembali terdiam.

"Ada persoalan yang lebih penting lagi, Nyai Setan Putih," kata Prabu Sarajingga. "

"Tentang apa?"

"Dua orang pendekar yang tidak bisa dianggap enteng."

"Siapa?"

"Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut."

"Siapa...?!" Setan Putih terperanjat mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut.

"lni yang membuatku jadi tidak tenang, Nyai Setan Putih. Masalahnya, Dipa Pangga sudah begitu dekat dengan mereka," jelas Prabu Sarajingga lagi.

"Hm..., untuk apa dia ada di sini?" tanya Setan Putih setengah bergumam, sepertinya pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

"Sampai saat ini aku belum tahu, Nyai. Aku sudah berusaha mencari tahu, tapi seorang panglima kepercayaanku malah tewas di tangannya. "

"Dan kau hanya diam saja?"

"Aku sudah berusaha, tapi pendekar itu malah menghilang. "

"Maksudmu?" Setan Putih tidak mengerti.

"Aku sudah menyebar prajurit dan telik sandi. Bahkan seluruh pelosok kota dijaga ketat. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut tidak terlihat lagi," Prabu Sarajingga menjelaskan dengan nada cemas.

"Mungkin mereka sudah pergi, Sarajingga," ujar Setan Putih mencoba menenangkan Prabu Sarajingga.

"Tidak, Nyai. Aku merasa kalau Pendekar Rajawali Sakti masih berada di sini. Aku yakin, kau juga sering mendengar sepak terjangnya. Dia tidak akan pergi begitu saja, terlebih lagi setelah menewaskan seorang panglimaku. Dan ini akan membuatnya jadi penasaran dan ingin tahu. Itu yang menjadikan beban pikiranku saat ini," lagi-lagi nada suara Prabu Sarajingga terdengar mengeluh.

"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Setan Putih.

"Cari dan temukan dia. Kalau perlu, bunuh...! Pendekar Rajawali Sakti bisa menjadi ancaman yang serius," tegas sekali perintah Prabu Sarajingga.

"Hm..., kenapa tidak kau perintahkan saja para panglima dan jago-jagomu?"

"Jangan berpikir edan, Nyai...! Aku belum akan menarik perhatian. Dia bisa bertambah gila jika para panglima dan jago-jagoku bertindak."

"Lalu, kenapa harus aku?"

"Jika kau yang melakukannya, dia tidak akan menaruh perhatian pada istana ini. Terutama padaku," sahut Prabu Sarajingga.

"Seharusnya tugas ini kau serahkan pada si Kembang Karang Hawu, Sarajingga. Di sana kau sisipkan jago-jagomu. Dengan demikian, perhatiannya akan terpusat pada mereka. Bukannya pada dirimu," Setan Putih mengajukan saran.

"Ita juga akan kulakukan, Nyai. Tapi lebih baik kau juga berperan, agar perhatiannya semakin terpecah belah. Dengan demikian, aku bisa leluasa mengatur segalanya di istana ini."

Setan putih terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dalam had, diakui kalau rencana Prabu Sarajingga ini memang bisa dikatakan cemerlang.

"Siapa yang akan menghubungi si Kembang Karang Hawu?" tanya Setan Putih setelah beberapa saat lamanya terdiam.

"Biar aku saja. Aku bisa mudah melakukannya," sahut Prabu Sarajingga.

"Baiklah.... Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit Setan Putih seraya beranjak bangkit berdiri.

"Kau lewat jalan biasa saja, Nyai."

Setan Putih tidak menyahuti, tapi tiba-tiba saja melesat cepat bagai kilat menerobos jendela. Kalau saja Prabu Sarajingga tidak segera memiringkan tubuhnya, pasti terlanda perempuan tua berbaju putih itu.

"Edan...!" dengus Prabu Sarajingga.

Prabu Sarajingga memandang keluar sejenak. Dia tidak lagi bisa melihat bayangan si Setan Putih yang sudah lenyap cepat sekali. Kemudian jendela kamar itu ditutupnya. Tak berapa lama kernudian, kamar itu jadi gelap.

Sementara Rangga yang berada di persembunyiannya masih belum bergerak. Ajiannya segera ditarik kembali. Suatu ajian yang digunakan untuk men-dengarkan percakapan di dalam kamar itu tadi.

"Setan Putih...," desis Rangga pelahan.

Begitu pelannya, sehingga suara desisan itu hampir tidak terdengar oleh telinganya sendiri. Rangga masih berada di tempat persembunyiannya. Pandangannya berkeliling, mengamati suasana di sekitarnya. Tak seorang prajurit pun terlihat berkeliaran, kecuali dua orang prajurit bersenjata lembing yang berditi di samping pintu masuk ke dalam istana itu.

"Aku yakin kalau Raden Dipa Pangga tidak mengetahui hubungan pamannya itu dengan seorang tokoh rimba persilatan," kembali Rangga, bergumarn perlahan.

Pendekar Rajawali Sakti kembali berpikir keras. Rangga mempertimbangkan untuk memberitahu Raden Dipa Pangga tentang si Setan Putih atau tidak. Namun, dia segera memutuskan untuk menunda lebih dahulu. Ingin diketahuinya dulu dengan pasti, tentang hubungan yang terjalin antara Prabu Sarajingga dengan si Setan Putih. Bahkan juga harus mengetahui lebih dahulu tentang si Kembang Karang Hawu.

"Sudah jelas sekarang kalau si Kembang Karang Hawu bekerjasama dengan Prabu Sarajingga. Tapi...."

Rangga tidak melanjutkan, karena mendadak saja terlihat sebuah bayangan hijau berkelebat cepat melompati pagar benteng Istana ini yang disusul oleh sebuah bayangan lagi. Tak lama kemudian, terlihat sebuah bayangan lagi berkelebat cepat. Bayangan biru yang berkelebat cepat, mengikuti dua bayangan tadi.

"Pandan Wangi...," desis Rangga.

Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Pemuda berbaju rompi putih itu melesat cepat menuju ke arah dua bayangan yang dilihatnya tadi. Gerakannya sangat cepat sekali. Sehingga dalam sekejap mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap di balik tembok benteng istana ini.

TUJUH

Slap!

"Heh...?!"

Rangga tersentak kaget. Ketika baru saja menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat menyambar ke arahnya. Begitu cepatnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat berbuat sesuatu untuk menghindar dari terjangan bayangan putih itu.

Des!

"Ughk...!" Rangga mengeluh pendek ketika merasakan satu benturan keras di perutnya. Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak. Dan sebelum sempat mengurangi rasa mual yang mendadak menyerang perutnya, kembali bayangan putih itu berkelebat cepat ke arahnya.

"Hap...!" Bergegas Pendekar Rajawali Sakti membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali, dan secepat itu pula melompat bangkit. Segera tangannya digerak-gerakkan di depan dada sambil menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Rasa mual di perutnya berangsur berkurang.

Pada saat itu, bayangan putih tadi sudah kembali meluruk ke arahnya cepat sekali. Tapi kini Pendekar Rajawali Sakti itu sudah siap menyambutnya. Dan begitu bayangan putih itu sudah berada di dalam jangkauannya, mendadak Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan.

"Yeaaah...!"

Des! Satu benturan keras terjadi. Tampak Rangga kembali terhuyung ke belakang beberapa langkah. Sedangkan bayangan putih itu terpental balik, lalu berputaran beberapa kali di udara. Dan sebelum mendarat di tanah, tubuh Rangga sudah melenting mengejar. Dua pukulan beruntun, dilepaskan disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali.

"Hiyaaa...!" Namun mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sambil menarik kembali pukulannya yang hampir terlontar. Pemuda berbaju rompi putih itu memutar tubuhnya dua kali di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah tidak jauh dari benteng Istana Randukara

"Hik hik hik...!"

Suara tawa mengikik terdengar.

"Setan Putih...," desis Rangga mengenali perempuan tua yang kini berdiri tegak di hadapannya. Tangan kanan perempuan tua itu menjulur ke depan memegangi ekor seekor ular belang berwarna kuning dan hitam. Ular itu menegang kaku seperti sebatang tongkat kayu. Namun lidah yang bercabang menjulur bergetar keluar, menandakan kalau ular itu masih hidup.

"Huh...! Untung saja aku cepat melihat," desis Rangga dalam hati. Memang, kalau saja tadi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menarik serangannya, pasti ular belang yang pasti beracun itu bakal mematuk tangannya. Rangga menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak.

"Apa yang kau lakukan di istana ini, Pendekar Rajawali Sakti...?!" sentak Setan Putih dengan nada suara yang dingin menggetarkan.

"Kau sendiri, apa yang dilakukan di sini?" Rangga malah balik bertanya.

"Aku yang bertanya padamu, Bocah!" sentak Setan Putih gusar.

"Aku juga berhak bertanya," Rangga terus membalikkan.

Setan Putih menggeram gusar.

"Aku sering mendengar sepak terjangmu, Setan Putih. Rasanya tidak mungkin kau hanya sekadar lewat di sini," kata Rangga, agak sinis nada suaranya.

"Itu bukan urusanmu, Bocah!" bentak Setan Putih semakin berang.

"Tentu saja jadi urusanku, jika kau berhubungan dengan Prabu Sarajingga," terdengar tenang nada suara Rangga.

"Keparat! Rupanya kau memata-mataiku, heh?!" geram Setan Putih semakin berang. Rangga mengangkat pundaknya sedikit.

"Kau harus mampus, Bocah Keparat...!" desis Setan Putih. "Hiyaaat... !"

Seketika itu juga Setan Putih melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan kecepatan bagai kilat. Namun terjangan perempuan tua berbaju putih itu memang sudah diduga. Sehingga manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan tubuhnya ke samping. Dan memang serangan si Setan Putih tidak sampai mengenai sasaran.

Namun perempuan tua itu kembali menyerang dahsyat. Untung Rangga terus berkelit manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti jelas mempergunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib, sehingga sukar bagi si Setan Putih untuk menyarangkan pukulan maupun tendangannya. Padahal ular belangnya sudah dipergunakan sebagai senjata yang sangat ganas dan berbahaya.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan Rangga sendiri entah sudah menghabiskan berapa jurus. Namun pertarungannya melawan si Setan Putih masih terus berlangsung sengit sekali. Kegelapan malam dan dinginnya udara, tidak menghalangi pertarungan ihi. Mereka bergerak semakin menjauhi tembok benteng Istana Randukara. Dan ini memang disengaja oleh Pendekar Rajawali Sakti, agar tidak menarik per-hatian orang.

Hingga tanpa disadari, mereka sudah berada di tepi sebuah hutan yang cukup lebat dan menghitam pekat. Karena, cahaya bulan yang mengintip dari balik awan, tidak kuasa menerangi hutan itu. Pertarungan Itu semakin kelihatan dahsyat. Tempat-tempat yang dijadikan ajang pertarungan sudah tidak beraturan lagi bentuknya. Pohon-pohon bertumbangan, dan bebatuan pecah berserakan terkena pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi yang tidak menemui sasaran.

Wusss!

Sambil melompat mundur dua langkah, tiba-tiba saja si Setan Putih melemparkan ularnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Lemparannya begitu cepat, sehingga Rangga tidak sempat lagi menghindar karena jaraknya begitu dekat. Dan dengan cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti menyatukan telapak tangannya, menangkap ular belang itu.

Tap!

"Hesss... !" Ular belang itu mendesis keras dan ekornya menggeliat-geliat. Sementara kepalanya berada di dalam jepitan tangan Pendekar Rajawall Sakti. Hanya sedikit saja kepalanya menyembul keluar. Rangga menatap ular itu dalam-dalam.

"Kau sudah melanggar peraturan Satria Naga Emas, Belang..." desis Rangga.

Ular belang itu langsung tidak bergerak. Tampak sinar matanya seketika meredup mendengar suara Pendekar Rajawali Sakti yang mendesis bagai suara ular. Saat itu, Rangga memang menggunakan ilmu yang diberikan Satria Naga Emas. Suatu ilmu yang sangat langka, karena bisa berbicara dengan jenis ular yang hidup di bumi ini.

"Pergi kau! Mohon ampun pada rajamu!" sentak Rangga seraya melemparkan ular itu ke tanah.

Ular belang hitam kuning itu menggeliat sedikit begitu berada di atas tanah, lalu mendesis seraya mengangkat kepalanya. Sedangkan Rangga menatapnya dengan tajam. Perlahan kemudian, ular belang Itu merayap pergi.

"Keparat...!" geram Setan Putih yang menyaksikan ular kebanggaannya tidak mampu berbuat sesuatu pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Dia ingin kebebasan, Setan Putih," ujar Rangga seraya tersenyum sinis.

"Belang, kembali...!" bentak Setan Putih.

Tapi ular belang itu hanya menoleh sedikit pada si Setan Putih, kemudian terus merayap masuk ke dalam semak. Melihat kenyataan ini, si Setan Putih semakin marah saja. Belum pernah didapatkan lawan seperti Pendekar Rajawali Sakti, sehingga ular kebanggaannya tidak lagi mau menuruti perintahnya. Bahkan meninggalkannya begitu saja.

"Keparat kau, Pendekar Rajawali Sakti...," geram Setan PutIh mendesis sambil menahan kemarahan yang meluap. Setan Putih langsung menggerakkan tangannya di depan dada. Kaki kanannya ditarik ke samping, lalu membuat putaran dengan kaki kanannya. Dari bibirnya yang keriput. Tampak kedua bola matanya memancarkan sinar merah, kemudian pelahan-lahan seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya merah menyala bagai terbakar.

"Hm...!" Rangga menggumam kecil. Pendekar Rajawali Sakti itu tahu kalau si Setan Putih sudah bersiap mengerahkan aji kesaktiannya. Melihat seluruh tubuh perempuan tua itu sudah memancarkan sinar merah, Rangga tidak ingin bermain-main dan menganggapnya enteng.

"Hep...!"

Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan ilmu kesaktian juga. Dia tidak lagi tanggung-tanggung saat merasakan adanya udara panas yang menyelimuti seluruh udara. lni pasti akibat dari aji kesaktian yang dikerahkan si Setan Putih. Sementara Rangga, tengah mempersiapkan aji 'Cakra Buana Sukma', yang telah dikuasai Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sempurna. Sehingga Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi memerlukan pedang pusakanya untuk mengerahkan ajian itu.

"Sekarang kau pasti mampus, Bocah!" dengus Setan Putih. Setelah berkata demikian, Setan Putih langsung melesat cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

Pada saat yang sama, pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan kedua tangan yang berselimut cahaya biru ke depan. "Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!" teriak Rangga keras menggelegar.

Satu benturan keras terjadi antara dua pasang telapak tangan yang terbuka lebar. Benturan itu menimbulkan ledakan keras menggelegar dahsyat. Tampak tubuh si Setan Putih terpental balik ke belakang, sehingga dirinya tidak bisa dikendalikan. Tubuhnya meluruk deras, menghantam beberapa pohon hingga bertumbangan.

Sementara Rangga juga sempat terlempar ke belakang, dan jatuh bergulingan beberapa kali. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat bangkit berdiri. Pada saat yang sama Setan Putih juga sudah berdiri, meskipun limbung. Dari sudut bibimya mengucurkan darah kental agak kehitaman.

"Hm.... Ilmu yang dimiliki perempuan tua ini pasti memiliki watak yang' sama dengan aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati.

Aji 'Cakra Buana Sukma' memang tidak akan bisa menyerap kekuatan tenaga lawan, jika lawannya menggunakan ilmu dengan sifat yang sama. Itulah kelemahan dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang belum bisa ditutupi Pendekar Rajawall Sakti. Dengan ilmu yang berwatak sama, jelas akan merugikan diri sendiri jika terus dipergunakan. Dan Rangga sangat menyadari betul hal itu. Maka segera dipersiapkan ajian lainnya, begitu melihat si Setan Putih kembali mempersiapkan ajian yang serupa. Namun Rangga bisa memastikan kalau tingkatannya tentu lebih tinggi lagi.

"Hm.... Akan kucoba aji Batara Naga" gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti segera merapatkan kedua tangannya di depan perut, dan tangan kirinya berada di bawah telapak tangan kanannya. Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam, kemudian dirapalkannya aji 'Batara Naga'. Satu aji kesaktian yang diperolehnya dari Satria Naga Emas. Dan belum pernah digunakan dalam pertempuran (Untuk mengetahui asal-usulnya, silakan simak serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Asmara Maut)

Pelahan-lahan namun pasti, telapak tangan Rangga yang menyatu rapat di depan perut, memancarkan sinar kuning keemasan. Sinar itu semakin jelas terlihat, di antara sela-sela jari tangan dan lipatan telapak tangan yang menyatu rapat.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja si Setan Putih berteriak keras.

Dan seketika itu juga, perempuan tua berbaju putih itu melompat cepat. Sementara kedua tangannya terbuka, terentang lurus ke depan. Tepat ketika si Setan Putih berada di udara, Rangga cepat menghentakkan tangannya, mendorong ke arah perempuan tua itu.

"Yeaaah...!" seru Rangga keras menggelegar. Tampak seberkas cahaya kuning keemasan yang berbentuk bulat pipih meluncur deras dari kedua telapak tangan yang seketika terbuka begitu dihentakkan kuat-kuat. Sinar kuning keemasan itu meluncur deras menghantam si Setan Putih yang saat itu tengah meluncur di udara deras sekali.

Glarrr! Satu ledakan keras terdengar dahsyat sekali, begitu sinar kuning keemasan menghantam tubuh si Setan Putih.

"Aaa...!" terdengar suara jeritan panjang melengking tinggi. Tampak tubuh si Setan Putih terpental balik, langsung jatuh keras menghantam tanah. Perempuan tua itu mengerang dan menggelepar di tanah. Seluruh tubuhnya mengepulkan asap tipis. Tak berapa lama kemudian, tubuh perempuan tua itu tidak bergerak-gerak lagi.

"Oh...," Rangga mengeluh panjang tatkala melihat keadaan tubuh si Setan Putih.

Seluruh tubuh perempuan tua itu membengkak, sehingga membentuk benjolan-benjolan sebesar telur ayam. Benjolan-benjolan itu kemudian pecah, menyemburkan cairan merah bercampur kuning kehijauan. Pelahan-lahan kemudian, seluruh tubuh perempuan tua itu mencair, dan akhirnya tinggal seonggok tulang saja yang tergeletak di atas genangan daging yang mencair bercampur darah.

Sementara itu, Rangga bergerak mundur beberapa langkah. Sedangkan matanya tidak berkedip memandangi tubuh si Setan Putih yang kini tinggal tulang belulang saja. Sungguh dahsyat aji Batara Naga yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga sendiri tidak menyangka kalau akan seperti itu akibatnya pada manusia. Sangat dahsyat dan mengerikan hasilnya.

"Maaf, Nyai. Aku terpaksa membunuhmu," ucap Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti memandangi onggokan tulang si Setan Putih. Kemudian tubuhnya berbalik dan melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah berjalan, ayunan kakinya terhenti. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti itu tercenung dengan kening sedikit berkerut.

"Aku seperti mendengar suara pertarungan...," desis Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Kemudian pandangannya lurus tertuju ke arah kanan. Kembali keningnya berkerut dan matanya agak menyipit. Di sebelah kanannya terdapat sebuah gunung yang menjulang angkuh menghitam pekat.

"Pandan Wangi...!" sentak Rangga agak mendesis. Pendekar Rajawali Sakti langsung teringat pada Pandan Wangi begitu mengetahui gunung itu adalah Gunung Karang Hawu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melesat ke arah gunung itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang di miliki. Sehingga, dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi.

********************

DELAPAN

Sementara itu di Lereng Gunung Karang Hawu sebelah Timur, tengah terjadi pertarungan sengit antara Pandan Wangi melawan seorang wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar tipis berwarna hijau pula. Rupanya pertarungan itu sudah mencapai taraf tinggi. Ini bisa dilihat dari jurus-jurus yang digunakan.

Tak jauh dari arena pertarungan itu, terlihat sesosok tubuh berbaju putih tergeletak di tanah. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Kelopak matanya terpejam. Gerakan halus pada dadanya menandakan kalau laki-laki berusia muda itu masih hidup.

"Pandan, awas...!" Tiba-tiba terdengar seruan keras, tepat ketika ujung selendang kuning wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar menyambar ke arah dada Pandan Wangi. Mendengar seruan keras dan tiba-tiba itu, Pandan Wangi cepat-cepat mengebutkan kipasnya yang terbuka ke depan dada.

Plas!

"Ikh...!" Pandan Wangi tersentak. Bergegas gadis itu melompat mundur dua tindak. Dari sudut ekor matanya, sempat terlihat kalau Rangga sudah berada di tempat ini. Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat, dan tahu-tahu sudah berdiri di samping Pandan Wangi.

"Kau periksa Raden Dipa Pangga saja, Kakang. Kelihatannya dia terluka cukup parah," kata Pandan Wangi dengan napas agak tersengal.

"Bagaimana dia bisa berada di sini?" tanya Rangga.

"Dia bertarung lebih dulu. Aku terlambat datang," sahut Pandan Wangi cepat.

Rangga berpaling menatap Dipa Pangga yang tergeletak di tanah, kemudian beralih pada wanita berbaju hijau yang mengenakan cadar. Selembar selendang berwarna kuning, tergenggam di tangannya.

"Hati-hatilah," ujar Rangga.

Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian melangkah mendekati wanita berbaju serba hijau itu. Si Kipas Maut menyadari kalau tenaga dalam yang dimilikinya berada di bawah satu tingkat dibandingkan dengan wanita berbaju hijau yang dikenal berjuluk Kembang Karang Hawu. Tapi hatinya tidak gentar sama sekali, meskipun sudah merasakan akibat dari benturan senjata yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Sementara itu Rangga sudah menghampiri Dipa Pangga yang tergeletak tak berdaya di tanah. Pendekar Rajawali Sakti memeriksa keadaan Dipa Pangga, kemudian membawanya ke tempat yang lebih teduh di bawah pohon berdaun rindang. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah kembali terlibat dalam pertarungan sengit melawan si Kembang Karang Hawu. Kali ini Pandan Wangi mengeluarkan Pedang Naga Geni yang diperolehnya di Bukit Setan. Karena, pedang pusaka inilah dia bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti yang sekarang menjadi kekasihnya.

Dengan Pedang Naga Geni, Pandan Wangi kelihatan semakin dahsyat saja jurus-jurusnya. Dan pada jurus-jurus permulaan, tampak kalau si Kembang Karang Hawu agak kewalahan juga membendung serangan-serangan yang dilancarkan si Kipas Maut. Namun setelah lewat sepuluh jurus, wanita berbaju hijau itu mulai bisa meredam setiap serangan yang dilancarkan Pandan Wangi.

"Hiyaaat...!" tiba-tiba saja si Kembang Karang Hawu berteriak keras menggelegar.

Pada saat itu tubuhnya melenting ke udara, lalu cepat sekali selendang kuningnya dikebutkan ke arah kepala si Kipas Maut. Serangan yang dilancarkan wanita itu demikian cepat sekali, sehingga Pandan Wangi tidak memiliki kesempatan lagi untuk menghindar.

"Yeaaah...!" Tak ada pilihan lain lagi bagi Pandan Wangi. Cepat-cepat pedangnya dikibaskan menyampok ujung selendang kuning yang meluruk deras mengancam kepalanya.

Rrrt... !

"Heh...?!" Pandan Wangi terkejut bukan main. Ternyata mendadak saja selendang 'kuning itu meliuk, dan langsung membelit pedangnya kuat-kuat. Dan sebelum gadis itu bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak merasakan ada satu sentakan kuat.

"Akh...!" Pandan Wangi terpekik. Buru-buru pegangannya pada pedang itu dilepaskan. Kalau tidak, bukannya tidak mungkin tangannya juga ikut terbetot buntung. Pedang Naga Geni yang berwarna merah itu melayang ke udara terbelit ujung selendang kuning Kembang, Karang Hawu.

"Hiyaaa... Sebelum Pandan Wangi bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja si Kembang Karang Hawu sudah meluruk deras ke arah si Kipas Maut. Dua pukulan dan satu tendangan dilontarkan cepat, mengandung tenaga dalam tinggi.

Des!

Bughk!

"Akh..." lagi-lagi Pandan Wangi memekik keras.

Satu pukulan dan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan si Kembang Karang Hawu tidak bisa dihindari lagi. Pandan Wangi terpental jauh ke belakang, lalu keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah. Tubuhnya bergulingan beberapa kali, dan baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu yang cukup besar.

"Pandan...!" pekik Rangga terkejut melihat Pandan Wangi tergeletak dengan darah mengalir dari bibirnya.

Rangga yang tengah berusaha menolong Raden Dipa Pangga, segera melesat ke arah Pandan Wangi. Matanya berputar seakan-akan tidak percaya melihat gadis itu tergeletak tak bergerak sedikit pun. Tampak pada dadanya tergambar telapak tangan hitam yang menghanguskan bajunya.

"Keparat..!" geram Rangga marah. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Wajahnya memerah dan matanya berkilatan tajam menahan kemarahan yang meluap. Gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang meluap-luap. Sebentar matanya melirik Pandan Wangi yang tergeletak di dekat batu.

"Perempuan iblis...! Kubunuh kau!" geram Rangga. "Hiyaaat...!"

Seketika itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagaikan kilat menerjang si Kembang Karang Hawu. Dua kali pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna dilontarkan. Serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat, membuat wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar hijau itu jadi terperangah. Namun dia cepat melompat ke samping, sehingga dua pukulan yang dilepaskan Rangga hanya menghantam sebatang pohon yang tadi berada di belakang si Kembang Karang Hawu.

Glarrr...! Ledakan keras terjadi seketika bersamaan dengan hancurnya pohon yang cukup besar itu.

"Gila...!" si Kembang Karang Hawu tersentak kaget.

Pukulan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti memang luar biasa sekali. Memang, tenaga yang dimilikinya sudah mencapai pada tingkatan yang sempurna. Sehingga, pohon besar itu hancur berkeping-keping terkena pukulannya yang keras dan dahsyat. Si Kembang Karang Hawu terkesiap juga melihat kedahsyatan pukulan lawannya itu. Namun dia tidak mungkin lagi menghindari bentrokan ini, karena Rangga sudah kembali menyerang cepat dan dahsyat.

"Hiya! Hiyaaa...!"

"Ufs...!" Beberapa kali Rangga melontarkan pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Dan beberapa kali pula, pukulannya hampir mengenai sasaran. Namun si Kembang Karang Hawu, lincah sekali masih bisa menghindar, meskipun jadi kewalahan juga menghadapi serangan gencar yang datang bertubi-tubi itu.

Pertarungan berlangsung dahsyat sekali. Beberapa kali terdengar ledakan keras menggelegar, setiap kali pukulan Rangga menghantam batu atau pepohonan. Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan sudah tidak karuan lagi bentuknya. Pepohonan dan bebatuan berhamburan, pecah berantakan ke mana-mana. Tanah terbongkar berhamburan menimbulkan kepulan debu yang bercampur asap dan kabut, sehingga menambah pengapnya udara malam ini. Namun pertarungan itu terus berlangsung semakin sengit saja.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Sementara beberapa kali si Kembang Karang Hawu mampu memberi serangan balasan. Namun setiap kali melancarkan serangan, selalu dapat dimentahkan dengan mudah oleh Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun wanita bercadar hijau itu sudah mempergunakan selendang saktinya, tetap saja tidak mampu membendung serangan Rangga yang tengah diliputi kemarahan itu. Selendang saktinya seperti tidak memiliki arti sama sekali terhadap Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Rangga berseru keras. Maka seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara, lalu secepat kilat meluruk deras dengan kedua kakinya bergerak lincah mengarah ke kepala si Kembang Karang Hawu.

"Edan...! Hih...!" Si Kembang Karang Hawu jadi kelabakan menghindari serangan kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti yang gencar. Bahkan tubuh Rangga berputaran cepat yang ditingkahi kibasan tangan yang merentang lebar ke samping. Saat itu, Rangga memadukan dua jurus sekaligus dalam serangannya. Jurus Sayap Rajawali Membelah Mega dan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.

"Yeaaah...!" Menghadapi dua gabungan jurus maut itu, si Kembang Karang Hawu tak bisa lagi berbuat banyak. Maka dengan cepat sekali tubuhnya melompat ke belakang sambil melontarkan selendang ke arah dada Rangga yang berada di udara.

Wusss!

"Yeaaah... !"

Bet!

Cepat sekali Rangga mengibaskan tangannya sambil memutar tubuh bagai gasing. Sementara tangan yang merentang kaku itu langsung menebas selendang kuning yang meluncur deras ke arahnya. Tangan yang lebih mirip pedang itu, membabat buntung selendang kuning kebanggaan Kembang Karang Hawu itu.

"Heh...!" si Kembang Karang Hawu terperanjat melihat selendangnya buntung. Dan sebelum wanita bercadar itu bisa menguasai keterkejutannya, mendadak saja Rangga sudah meluruk deras sambil mencabut senjatanya. Seketika itu juga cahaya biru menyilaukan memancar terang begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangka.

"Hiyaaa... !"

Bet! Wut!

Si Kembang Karang Hawu jadi kelabakan menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali kebutan pedang bercahaya biru itu hampir membelah tubuhnya, namun wanita bercadar hijau itu masih bisa menghindar. Kali ini Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus andalan yang sangat dahsyat dan jarang sekali dikeluarkan jika tidak perlu sekali. Tapi kini Pendekar Rajawali Sakti ingin cepat menyelesaikan pertarungan, disertai luapan amarah yang menggelegak dalam dada.

"Uh...!" si Kembang Karang Hawu mulai merasakan akibat dari jurus yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Jiwanya mulai tercabik, dan perhatiannya terpecah. Gerakan-gerakannya jadi tidak beraturan lagi. Semakin berusaha untuk memantapkan diri, semakin sukar jiwa dan perhatiannya dikendalikan. Pelahan namun pasti, si Kembang Karang Hawu mulai merasakan kepalanya pening dan matanya mengabur. Dia seperti melihat Pendekar Rajawali Sakti terpecah menjadi dua..., tiga, bahkan terus bertambah. Seakan-akan dirinya sudah dikelilingi pemuda berbaju rompi putih itu.

"Hiyaaa... !" mendadak saja Rangga berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga Pedang Rajawali Sakti dikebutkan ke arah dada si Kembang Karang Hawu. Dalam keadaan jiwa dan perhatian terpecah, wanita bercadar hijau itu tidak bisa lagi memastikan, dari mana dan ke mana arah serangan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga...

Cras!

"Aaa...!" si Kembang Karang Hawu menjerit melengking tinggi dan menyayat.

Si Kembang Karang Hawu terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang tertebas pedang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, satu tendangan keras bertenaga dalam sempurna mendarat di perutnya. Tak pelak lagi, wanita bercadar hijau itu terpental ambruk ke tanah dengan keras sekali. Kembali dia memekik tinggi begitu tubuhnya menghantam tanah.

"Hiyaaa...!" Saat itu Rangga sudah melompat dengan ujung pedang tertuju langsung ke dada yang terbelah mengucurkan darah. Sementara si Kembang Karang Hawu sudah tidak memiliki daya lagi untuk menghindar. Matanya hanya bisa dipejamkan, menunggu ajal yang sebentar lagi akan menjemput.

"Rangga, jangan...!"

Tiba-tiba saja terdengar seruan keras, tepat ketika ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti berada di dada si Kembang Karang Hawu. Seketika itu juga Rangga menghentikan gerakan pedangnya, dan langsung berpaling ke arah datangnya suara keras tadi.

"Dipa Pangga...," desis Rangga.

Tampak Dipa Pangga berjalan tertatih-tatih menghampiri sambil memegangi dadanya. Pemuda itu langsung berlutut di samping si Kembang Karang Hawu. Dengan tangan gemetar, pemuda itu melepaskan cadar yang menutupi wajah si Kembang Karang Hawu. Tampak seraut wajah cantik terpampang di balik cadar berwarna hijau.

"Ningrum...," ujar Dipa Pangga dengan suara yang pelan.

Pelahan Rangga mengangkat pedangnya, kemudian memasukkan pedang pusaka itu ke dalam warangka di punggung. Pendekar Rajawali bakti melangkah mundur dua tindak. Sementara Dipa Pangga mengangkat tubuh wanita yang ternyata Rara Ayu Ningrum, adik sepupunya sendiri.

"Kenapa kau lakukan ini padaku, Ningrum?" tanya Dipa Pangga dengan suara yang lemah.

Rara Ayu Ningrum tidak menyahut, tapi malah tersenyum saja dengan bibir yang semakin memucat. Cahaya matanya juga terlihat semakin redup. Sementara dari dadanya terus mengucurkan darah segar. Keadaan si Kembang Karang Hawu itu memang parah sekali.

Sementara itu Rangga beranjak mundur, lalu menghampiri Pandan Wangi yang masih tergeletak tak bergerak sedikit pun juga. Sedangkan Dipa Pangga masih mencoba bicara pada si Kembang Karang Hawu.

"Aku tidak mengerti maksud tindakanmu, Ningrum. Kau adikku, aku menyayangimu. Kenapa malah memusuhiku...?" lirih sekali nada suara Dipa Pangga.

Rara Ayu Ningrum tetap diam. Matanya yang semakin redup, tidak berkedip memandangi wajah pemuda itu. Bibir yang memucat, bergerak-gerak lemah, seakan-akan ingin mengucapkan sesuatu.

"Ningrum.... Apa yang membuatmu merasa dendam. Apa yang telah dilakukan ayahku padamu?" tanya Dipa Pangga lagi.

"Dia..., dia telah membunuh kakakku," sahut Rara Ayu Ningrum tersendat suaranya.

"Oh...! Bukankah kakakmu sedang menuntut ilmu di..."

"Tidak, Kakang. Sudah setahun kakakku mati dibunuh ayahmu," potong Rara Ayu Ningrum.

"Tapi..., kenapa?" Dipa Pangga ingin tahu.

"Hanya kecelakaan...," tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Dipa Pangga.

Cepat Dipa Pangga berpaling. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakang pemuda itu sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan jubah kumal memegang tongkat yang tidak beraturan bentuknya.

"Siapa kau?" tanya Dipa Pangga.

"Aku Malaikat Jari Delapan, sahabat ayahmu, Raden. Aku tahu persis kejadiannya sehingga kakak Rara Ayu Ningrum tewas," sahut laki-laki tua yang ternyata memang si Malaikat Jari Delapan.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Raden Dipa Pangga ingin tahu. Pemuda ini memang tidak pernah diberitahu peristiwa yang menyebabkan kakak Ningrum tewas. Terlebih lagi saat itu dia tengah menuntut ilmu.

"Waktu itu ayahmu mengajak seluruh anggota keluarganya berburu. Dan di hutan, ayahmu tidak sengaja membidikkan panahnya hingga mengenai dada kakak Rara Ayu Ningrum. Sejak itu, Sarajingga dan gadis ini menyimpan dendam. Tapi tidak ditunjukkan sama sekali. Dan kematian ayahmu juga karena racun yang diberikan Sarajingga dalam minumannya. Racun yang lemah dan tidak terasa cara kerjanya, sehingga tidak ada yang mencurigai kematian ayahmu, Raden," jelas Malaikat Jari Delapan.

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Raden Dipa Pangga.

"Aku sahabat dekat ayahmu, Raden. Dan sebelum meninggal, beliau menceritakan semuanya padaku. Ayahmu tahu kalau dirinya diracuni, tapi tak kuasa untuk menolakkan racun yang sudah merasuki jantungnya."

Raden Dipa Pangga memandang Rara Ayu Ningrum kembali. Dan gadis itu juga memandangi pemuda yang masih menyangga tubuhnya ini.

"Kalau kau izinkan, aku akan merawat luka-lukanya," kata Malaikat Jari Delapan menawarkan jasa.

"Apakah masih bisa diselamatkan?" tanya Dipa Pangga.

"Mudah-mudahan saja, selama Pendekar Rajawali Sakti masih bermurah hati," sahut Malaikat Jari Delapan.

Dipa Pangga langsung memandang Rangga yang sudah berhasil menyadarkan Pandan Wangi. Tampak Pendekar Rajawali Sakti itu memapah Pandan Wangi yang kelihatan lemah menghampiri mereka. Pemuda berbaju rompi putih berhenti sekitar satu batang tombak jaraknya di depan Raden Dipa Pangga.

"Jika kalian ingin menyembuhkannya, berikan hawa murni sedikit-sedikit selama tujuh hari. Jangan biarkan darah mengalir ke lukanya," kata Rangga memberitahu cara penyembuhan luka yang diderita si Kembang Karang Hawu.

"Kau akan ke mana?" tanya Raden Dipa Pangga.

"Aku akan menyembuhkan Pandan Wangi dulu," sahut Rangga.

"Di mana?" tanya Raden Dipa Pangga lagi.

Rangga tidak menyahut.

"Rangga, sebaiknya bawa saja ke istana. Aku akan memberikan kamar khusus untukmu," pinta Raden Dipa Pangga.

"Terima kasih...," ucap Rangga ingin menolak.

"Jangan kecewakan Raden Dipa Pangga, Pendekar Rajawali Sakti," selak Malaikat Jari Delapan.

Rangga tidak bisa menolak lagi, karena Raden Dipa Pangga terus meninggalkan Lereng Gunung Karang Hawu itu. Rangga memapah Pandan Wangi, sedangkan Malaikat Jari Delapan memondong tubuh Rara Ayu Ningrum yang selama ini dikenal berjuluk si Kembang Karang Hawu.

"Kita lewat jalan rahasia saja," usul Raden Dipa Pangga yang berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti.

"Untuk apa, Raden?" ujar Malaikat Jari Delapan.

"Aku tidak ingin Paman Sarajingga mengetahui kejadian ini," sahut Raden Dipa Pangga.

"Tidak perlu khawatir, Raden."

"Hm. Apa maksudmu, Ki?" tanya Raden Dipa Pangga tidak mengerti.

"Di istana sudah terjadi penggulingan tahta. Dan Sarajingga tewas," Malaikat Jari Delapan memberi tahu.

"Tewas...?" Raden Dipa Pangga terkejut.

"Bunuh diri, begitu bala tentaranya dapat dilumpuhkan. "

"Siapa yang memimpin makar itu?" tanya Raden Dipa Pangga.

"Panglima Kalawedi. "

"Oh...," desah Raden Dipa Pangga.

Pemuda itu tahu kalau Panglima Kalawedi memang sudah merencanakan makar untuk menggulingkan kekuasaan Prabu Sarajingga. Panglima Kalawedi memang tidak pernah menyukai kepemimpinan Prabu Sarajingga, namun selalu mendukungnya. Terlebih lagi setelah niat Prabu Sarajingga untuk menyingkirkan Raden Dipa Pangga diketahuinya. Walaupun itu dilakukan Prabu Sarajingga dengan halus dan pelahan-lahan, seperti yang dilakukan pada ayah pemuda ini.

Sementara itu, Rangga memperlambat jalannya. Dan tanpa ada yang menyadari, Pendekar Rajawali SaktI itu berjalan di belakang. Lalu, disaat mereka semua lengah, mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti itu melesat pergi. Namun kepergiannya rupanya diketahui juga oleh Malaikat Jari Delapan. Dan orang tua itu hanya tersenyum saja.

"He...! Kemana Rangga?" sentak Raden Dipa Pangga begitu menyadari kalau Rangga tidak berada di sampingnya.

"Sudah pergi," sahut Malaikat Jari Delapan.

"Pergi...? Kenapa?" tanya Raden Dipa Pangga seperti untuk dirinya sendiri.

"Mungkin merasa tidak ada lagi yang perlu dilakukan di sini, Raden."

"Tapi..., Pandan Wangi terluka. "

"Pendekar Rajawali Sakti bukan pendekar sembarangan, Raden. Dia pasti bisa mengobati luka yang diderita Pandan Wangi. Ah, sudahlah..., memang itu sudah wataknya. Watak seorang pendekar sejati, Raden. "

"Yaaah.... Sayang sekali, dia tidak bisa menyaksikan penobatanku," desah Raden Dipa Pangga menyesali.

Sedangkan Malaikat Jari Delapan hanya tersenyum saja. Dia sendiri sebenarnya merasa sudah terlepas dari kewajibannya. Kini tidak ada lagi yang perlu dijaga dan dilindunginya. Amanat terakhir sahabatnya sudah dilaksanakan dengan baik, yakni menjaga dan melindungi Raden Dipa Pangga dari maksud-maksud kotor manusia berhati iblis. Tapi orang tua itu tidak ingin pergi begitu saja sebelum benar-benar melihat ketenteraman berlangsung di Istana Randukara.

SELESAI

KISAH SELANJUTNYA: HURU HARA DI WATU KAMBANG

Kembang Karang Hawu

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

KEMBANG KARANG HAWU

SATU
Glarrr!

Ledakan menggelegar terdengar dahsyat, memecah kesunyian pagi di Puncak Gunung Karang Hawu. Tampak debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa sehingga membentuk seperti sebuah jamur raksasa. Seluruh badan gunung yang selalu terselimut kabut tebal itu bergetar hebat, bagaikan hendak runtuh oleh ledakan dahsyat tadi.

Terlihat sesosok tubuh ramping yang terbungkus baju warna hijau daun, tengah berdiri tegak sambil memandangi jamur raksasa dari kepulan debu dan pecahan bebatuan. Kedua tangannya terentang lurus ke depan, dengan telapak terbuka dan jari-jari tangan menyatu rapat. Pelahan-lahan sepasang tangan berkulit kuning langsat dan lentik itu bergerak turun.

Di antara selimut kabut, jelas terlihat kalau sosok tubuh ramping itu ternyata milik seorang gadis ber-wajah cantik bagai bidadari. Kulitnya yang kuning langsat, cocok sekali dengan bajunya yang berwarna hijau daun dan sangat ketat. Mau tak mau, bentuk tubuhnya yang ramping dan indah itu seperti terpetakan di balik bajunya itu.

"Hm...," gadis itu bergumam perlahan. Perlahan tubuhnya diputar. Pandangan matanya langsung tertumbuk pada seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk yang mengenakan baju jubah panjang berwarna kusam. Sebatang tongkat tak beraturan bentuknya, tergenggam di tangan, untuk menyangga tubuhnya yang terbungkuk.

"Sejak kapan kau berada di sini, Orang Tua?" terdengar ketus sekali nada suara gadis itu.

"Tampaknya kau tidak suka melihat kehadiranku, Rara Ayu Ningrum...," ujar laki-laki tua itu kalem.

"Heh...?! Dari mana kau tahu namaku...?" sentak gadis yang dipanggil Rara Ayu Ningrum, terkejut.

Orang tua berjubah kusam itu hanya tertawa terkekeh saja. Tubuhnya yang bungkuk nampak terguncang-guncang menahan tawa terkekehnya. Sedangkan gadis cantik berbaju hijau daun yang bernama Rara Ayu Ningrum itu semakin tajam memandangi orang tua di depannya.

"Siapa kau, Orang Tua?! Apa keperluanmu berada di sini?!" tanya Rara Ayu Ningrum. Nada suaranya ketus penuh kecurigaan.

"He he he.... Aku hanya orang tua hina yang tidak berarti bagimu, Rara Ayu Ningrum," sahut orang tua itu diiringi tawanya yang terkekeh.

"Aku tanya namamu!" bentak Rara Ayu Ningrum kesal.

"Untuk apa kau ingin tahu namaku?"

"Baik. Jika kau tidak ingin menyebutkan nama, aku ingin tahu, untuk apa kau datang ke sini...?" desis Rara Ayu Ningrum gusar.

"He he he...," laki-laki tua itu hanya terkekeh saja.

"Kau benar-benar menyebalkan...!" desis Rara Ayu Ningrum setengah menggeram.

Bet...! Rara Ayu Ningrum mengebutkan tangan, langsung bersiap hendak menyerang laki-laki tua yang telah membuatnya gusar setengah mati. Kedua tangannya sudah terkepal di depan dada. Sementara sorot matanya tajam menusuk langsung ke bola mata orang tua berjubah kumal di depannya.

"Eee.... Sabar, Nini. Kendalikan amarahmu...," cepat-cepat orang tua itu mencoba meredakan kemarahan Rara Ayu Ningrum.

"Sebutkan namamu, dan apa keperluanmu datang ke sini. Atau terpaksa kau kukirim ke neraka...!" desis Rara Ayu Ningrum dingin menggetarkan.

"Kau tidak bisa memaksaku, Nini," sergah orang tua itu.

"Oh.... Rupanya kau keras kepala juga.... Baik, terimalah seranganku ini! Hiyaaat...!"

"Eh, sabar...!

" uts!" Namun serangan Rara Ayu Ningrum tidak bisa ditarik kembali. Sambil berteriak keras menggelegar, gadis berbaju hijau daun itu secepat kilat inelompat seraya mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah dada laki-laki tua berjubah kumal itu.

Serangan Rara Ayu Ningrum membuat laki-laki tua itu terperanjat sesaat. Untungnya cepat sekali tubuhnya meliuk, menghindari serangan yang dilancarkan gadis itu. Secepat itu pula, laki-laki tua itu melompat ke belakang sejauh tiga tindak. Namun Rara Ayu Ningrum tak ingin melepaskannya begitu saja. Kembali dirangseknya lawan dengan lontaran pukulan yang dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Beberapa kali orang tua berbaju kumal itu harus bergulingan di tanah berumput yang basah, menghindari serangan-serangan Rara Ayu Ningrum. Sudah lebih sepuluh jurus, namun gadis berbaju hijau daun itu belum juga berhasil menyarangkan satu pukulan pun ke tubuh lawan. Meskipun kelihatannya rapuh, laki-laki tua itu ternyata tangguh juga.

"Cukup, Rara Ayu...!" bentak orang tua itu tiba-tiba.

Dan secepat itu pula tubuhnya melenting ke belakang sejauh dua batang tombak. Manis sekali orang tua itu mendarat di tanah. Sedangkan Rara Ayu Ningrum terpaksa menghentikan serangannya. Gadis Itu sendiri sebenarnya kagum pada ketangkasan orang tua ini. Dia bisa melesat ke belakang dengan manis sekali selagi mendapat serangan gencar. Tidak sembarang orang bisa melakukan hal demikian.

"Tidak ada gunanya meneruskan pertarungan ini," tegas orang tua itu.

"Kenapa...? Kau takut menghadapiku...?" dengus Rara Ayu Ningrum sinis.

"Jangan salah paham, Rara Ayu. Kalau aku mau, mudah sekali aku bisa menjatuhkanmu," orang tua itu jadi sengit juga.

"Oh...?! Mengapa tidak kau lakukan?"

Sebenarnya Rara Ayu Ningrum terkejut juga mendengar perkataan orang tua itu tadi. Hatinya memang mengakui kalau orang tua itu bisa saja melawan. Namun, Rara Ayu bisa mengetahui kalau orang tua yang tidak dikenalnya ini sama sekali tidak memberi perlawanan berarti. Dan sudah lebih dari sepuluh jurus dikeluarkan, namun tak satu pun yang berhasil. Rara Ayu Ningrum menyadari kalau orang tua ini tidak bisa dianggap enteng. Tapi kegentarannya tidak akan ditampakkan begitu saja.

"Dengar, Rara Ayu. Kedatanganku ke sini tidak bermaksud bermusuhan denganmu," kata laki-laki tua itu lagi.

"Terlambat. Kau sudah membuatku kesal," desis Rara Ayu Ningrum.

"Maafkan. Tapi aku memang tidak bisa memperkenalkan diri padamu," ujar orang tua itu.

"Kalau begitu, enyahlah dari sini!" bentak Rara Ayu Ningrum masih merasa kesal.

Orang tua berbaju kumal itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kalau kau tidak mau pergi, aku yang akan pergi!"

Rara Ayu Ningrum langsung saja melesat cepat sekali, meninggalkan tempat itu. "He...! Tunggu...!" sentak orang tua itu terkejut.

Namun bayangan tubuh Rara Ayu Ningrum sudah tidak terlihat lagi. Cepat sekali lesatannya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan.

"Huh...! Bengal juga dia," dengus orang tua itu. Kembali kepalanya menggeleng-geleng, kemudian kakinya terayun melangkah cepat meninggalkan Puncak Gunung Karang Hawu yang selalu terselimut kabut tebal. Namun belum begitu jauh berjalan, mendadak saja ayunan langkahnya terhenti ketika tiba-tiba terdengar tawa kering mengikik.

"Hik hik hik...!"

"Hm...," orang tua itu menggumam seraya menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

Suara tawa itu jelas sekali terdengar, seakan-akan begitu dekat sumbernya, namun sukar untuk ditentukan arahnya. Karena, suara tawa itu terdengar menggema. Seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin saja layaknya.

"Memalukan...! Nama besar Malaikat Jari Delapan, begitu mudah tunduk di depan bocah kemarin sore...!" terdengar suara kering yang agak serak, setelah suara tawa berhenti.

"Apakah dirimu, Setan Putih...?!" agak keras suara prang tua berjubah kumal itu.

"Hik hik hik...! Ternyata kau masih juga mengenaliku, Malaikat Jari Delapan. "

Orang tua berbaju kumal itu memutar tubuhnya. Dan kini di depannya sudah berdiri seorang perempuan tua yang usianya mungkin sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Seluruh rambutnya sudah memutih. Dia mengenakan baju panjang yang longgar, berwarna putih bersih. Tampik seekor ular belang hitam dan kuning melilit tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri membelai-belai halus kepala ular itu.

"Apa keperluanmu sehingga datang ke sini, Setan Putih?" tanya laki-laki tua berjubah kumal yang ternyata berjuluk Malaikat Jari Delapan.

Dan memang, kalau diperhatikan baik-baik, kedua tangannya tidak memiliki jari kelingking. Sehingga, jumlah jari tangannya hanya ada delapan. Itulah sebabnya, mengapa dia dijuluki Malaikat Jari Delapan. Dan sampai sekarang, tak ada yang bisa mengetahui lagi, siapa nama sebenarnya.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu, Malaikat Jari Delapan," dengus perempuan tua yang dipanggil Setan Putih.

"Hm.... Kita selalu saja bertemu dalam suasana yang tidak mengenakkan," suara Malaikat Jari Delapan terdengar setengah bergumam.

"Karena kau selalu mencampuri urusanku!" sentak Setan Putih.

"Aku baru dua hari di sini. Jadi mana mungkin tahu tentang urusanmu di sini, Setan Putih. Belum-belum sudah menuduhku!" ada ketidaksenangan dalam suara Malaikat Jari Delapan.

"Kedatanganmulah yang membuatku harus memperingatkanmu!" desis Setan Putih dingin.

"Oh ... Jadi kau merasa terganggu atas kedatanganku?"

"Tidak perlu kukatakan lagi, Malaikat Jari Delapan," masih terdengar dingin nada suara Setan Putih.

Malaikat Jari Delapan hanya terdiam disertai senyuman tipis yang tersungging di bibir bernada sinis. Meskipun tidak diucapkan, tapi sudah bisa dipahami maksud perempuan tua ini. Dan hal ini membuat Malaikat Jari Delapan jadi penasaran. Timbul rasa keingintahuannya dengan apa yang sedang dilakukan Setan Putih di gunung yang jarang dijamah manusia ini.

Malaikat Jari Delapan juga sudah bisa menebak pekerjaan yang sedang dilakukan si Setan Putih di tempat yang sunyi ini. Meskipun belum tahu pasti, namun dari beberapa pertemuan antara mereka, Malaikat Jari Delapan sudah mengetahui watak dan tingkah laku perempuan tua itu. Laki-laki tua bungkuk itu merasa yakin kalau Setan Putih sedang melakukan sesuatu yang tidak boleh diketahuinya.

"Kekacauan apa lagi yang akan kau buat di tempat ini, Setan Putih?" tanya Malaikat Jari Delapan.

"Hik hik hik...," Setan Putih hanya mengikik saja.

"Itu bukan urusanmu!" dengus Setan Putih.

"Selama kau masih membuat kekacauan, itu selalu menjadi urusanku, Setan Putih," tegas Malaikat Jari Delapan.

"Phuih! Kau selalu saja mencari perkara, Malaikat Jari Delapan! Rasanya semakin muak saja melihat tampangmu. Huh...! Memang sudah seharusnya kau tinggal di neraka...!" suara Setan Putih terdengar, mendesis tajam.

Begitu suaranya hilang, perempuan tua itu cepat mengebutkan tangan kanannya. Seketika itu juga, ular belang hitam dan kuning yang melingkar di tangan kanannya melesat cepat ke arah dada Malaikat Jari Delapan.

"Uts... !" Malaikat Jari Delapan cepat mengegoskan tubuhnya ke kanan, maka ular belang itu lewat sedikit di depan dadanya yang agak miring. Namun sebelum laki-laki tua berjubah kumal itu bisa menarik tubuhnya kembali, mendadak saja si Setan Putih sudah melontarkan satu pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa... !"

Wus!

Angin pukulan perempuan tua itu sungguh keras, sehingga menimbulkan suara menderu bagai badai. Saat Itu, tak ada pilihan lagi bagi Malaikat Jari Delapann untuk bisa menghindari diri dari serangan 'itu. Maka segera dikempos tenaga dalamnya. Secepat kilat tangannya dihentakkan ke depan.

Plak!

Dua pukulan bertenaga dalam tinggi, beradu pada satu titik. Akibatnya, dua orang tua itu terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Namun masing-masing bisa mendarat mulus sekali, dan kembali bersiap melakukan pertarungan lagi. Rupanya tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain seimbang tingkatannya. Jadi tak heran kalau mereka rnasih mampu berdiri tegak.

"Hosss...!"

"Heh...?!" Malaikat Jari Delapan terkejut bukan main ketika secara tiba-tiba dari arah samping kanannya melesat cepat seekor ular belang hitam dan kuning. Ular itu meluncur deras bagaikan sebatang anak panah lepas dari busur.

"Yeaaah...!" Malaikat Jari Delapan segera menghentakkan tangan sambil memutar tubuhnya. Namun laki-laki tua itu jadi terkejut bukan main. Ternyata ular itu meliukkan badan, sehingga pukulan yang dilepaskan Malaikat Jari Delapan tidak menemui sasaran yang tepat.

Tanpa diduga sama sekali, ular belang itu terus meluruk sambil meliukkan tubuhnya yang berada di udara. Hal ini membuat Malaikat Jari Delapan terkejut bukan main. Buru-buru tubuhnya melenting, berputar ke belakang beberapa kali. Namun begitu kakinya menjejak tanah, dari arah lain sudah datang serangan cepat dan menggeledek.

"Hiyaaa... !"

Bet!

"Ikh...!" Malaikat Jari Delapan cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya, lalu bergulingan di tanah beberapa kali ketika sebuah pukulan keras yang dahsyat dan tiba-tiba mengarah ke kepalanya. Pada saat itu, ular belang hitam dan kuning sudah cepat menyusur tanah mengejar Malaikat Jari Delapan yang terus bergulingan di tanah.

"Hup...!" Malaikat Jari Delapan bergegas melompat bangkit. Tubuhnya melenting ke udara, lalu hinggap di sebuah cabang pohon yang cukup tinggi. Matanya menatap tajam Setan Putih yang pukulannya salah sasaran sehingga menghantam tanah sampai terbongkar membentuk lubang yang cukup besar juga. Padahal di situlah terakhir kali si Malaikat Jari Delapan bergulingan. Memang sungguh luar biasa pukulan itu.

"Gila...! llmu yang dimilikinya semakin dahsyat," desis Malaikat Jari Delapan.

Laki-laki tua itu memang tidak menyangka akan mendapatkan serangan yang begitu gencar, dahsyat luar biasa. Hampir saja serangan yang dilancarkan si Setan Putih dan ular belang peliharaannya tidak mampu dibendungnya.

"Turun kau, Keparat...!" bentak Setan Putih dengan kepala terdongak dan mata memerah tajam menatap Malaikat Jari Delapan yang bertengger di dahan pohon yang cukup tinggi juga.

"Maaf, Setan Putih. Kali ini aku tidak punya selera untuk bertarung denganmu," kata Malaikat Jari Delapan.

Setelah berkata demikian, Malaikat Jari Delapan melesat cepat bagaikan kilat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.

"Monyet! Keparat...!" Setan Putih memaki-maki sendiri. Dipungutnya ular belang hitam dan kuning yang berada di samping kakinya. Kemudian ular itu dibelitkan kembali ke tangan kanannya.

"Manusia keparat itu harus mampus, Belang. Dialah satu-satunya yang selalu menghalangi kita," ujar Setan Putih lagi.

********************

DUA

Malam sudah demikian larut. Kegelapan menyelimuti seluruh mayapada di sekitar Gunung Karang Hawu. Cahaya bulan yang redup, seakan-akan tak kuasa menerangi alam ini. Di bawah siraman keredupan cahaya bulan, terlihat dua ekor kuda berjalan perlahan-lahan menyusuri Lereng Gunung Karang Hawu. Dua orang penunggangnya tidak henti-hentinya berbicara. Begitu banyak yang dibicarakan, seakanakan tidak pernah habis.

Mereka adalah seorang pemuda berwajah tampan, mengenakan baju warna putih tanpa lengan. Sebilah pedang bergagang kepala burung, tersampir di punggung. Dia menunggang kuda hitam yang tinggi dan tegap. Sedangkan seorang lagi, gadis berbaju biru muda. Wajahnya cantik sekali, bagai bidadari dari kahyangan. Sebatang pedang bergagang kepala naga juga tersampir di punggungnya. Tampak sekali kalau gadis itulah yang lebih banyak berbicara.

"Kelihatannya tidak ada sebuah perkampungan pun di sekitar sini, Kakang," tegas gadis itu seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Sebaiknya kita bermalam di sini saja, Pandan," ujar pemuda itu.

"Terlalu riskan, Kakang. Perasaanku tidak enak, dan seperti akan ada sesuatu di sekitar tempat ini," sahut gadis itu yang dipanggil dengan nama Pandan.

Gadis itu memang Pandan Wangi, yang lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut. Sedangkan pemuda yang berkuda di sebelahnya adalah Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus mengarahkan kudanya agar tetap berjalan perlahan.

"Kau selalu saja berperasaan begitu jika memasuki daerah baru," sergah Rangga. Suaranya terdengar setengah bergumam, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.

"Sudah sepantasnya begitu, Kakang. Kita tidak pernah tahu daerah apa yang dimasuki. Kewaspadaan itu perlu, Kakang," kilah Pandan Wangi tidak mau kalah.

"Memang. Asal, jangan terlalu dipaksakan. Bisa-bisa kita malah selalu mencurigai setiap orang, dan takut memasuki daerah yang belum dikenal."

"Apa aku ada tampang seperti itu...?"

"Mungkin."

"Konyol...," dengus Pandan Wangi memberengut.

Rangga hanya tersenyum saja. Diliriknya sedikit Pandan Wangi yang tampak semakin cantik jika memberengut seperti itu. Dan Rangga memang mengakui kalau Pandan Wangi sangat cantik. Rasanya tidak ada seorang gadis pun yang bisa menandingi kecantikannya.

"Ada apa senyum-senyum?" tegur Pandan Wangi.

"Tidak...," sahut Rangga semakin lebar senyumnya.

"Kau menertawakan aku, ya...?"

"Tidak..."

"Bohong!" sentak Pandan Wangi semakin memberengut manja.

Dan Rangga semakin lebar senyumnya. Sungguh, senang melihat Pandan Wangi memberengut begitu. Memang benar kata orang. Jika ingin melihat kecantikan seorang gadis yang sesungguhnya, pandanglah di saat gadis itu sedang marah. Dan Rangga mengakui kebenarannya. Makanya Pendekar Rajawali Sakti selalu senang bila melihat Pandan Wangi memberengut seperti itu.

"Kau cantik sekali, Pandan," bisik Rangga tidak bisa lagi menahan hatinya yang ingin memuji gadis ini.

"Konyol...," dengus Pandan Wangi seraya mencibirkan bibirnya.

Rangga terpaksa menelan ludahnya yang terasa getir melihat keindahan bibir yang mencibir itu.

"Aku berkata jujur, Pandan. Kau memang cantik sekali," tegas Rangga serius.

"Sudah, ah! Aku tidak suka dirayu," sentak Pandan Wangi jengah.

Padahal, berani sumpah kalau gadis itu merasa senang mendapatkan pujian Pendekar Rajawali Sakti. Jarang sekali Rangga melontarkan pujian tulus yang keluar dari hatinya yang paling dalam. Hal ini dapat dipahami, karena mereka juga jarang bertemu. Apalagi bersama-sama seperti ini.

Mereka menghentikan kudanya setelah menemukan sungai kecil yang berair jernih. Hampir bersamaan mereka melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Pandan Wangi langsung menuju sungai itu, kemudian membasuh muka dan lengannya. Sementara Rangga mengumpulkan ranting kering yang ada di sekitar situ untuk dibuat api unggun. Kini kegelapan mulai terusik oleh cahaya api. Namun mendadak saja....

"Kakang...!" jerit Pandan Wangi tiba-tiba.

Seketika Rangga melompat begitu mendengar jeritan Pandan Wangi yang berdiri di tepi sungai. Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di samping Pandan Wangi.

"Ada apa?" tanya Rangga.

"Itu...," Pandan Wangi menunjuk ke tengah sungai.

Dalam keremangan cahaya api, Rangga bisa melihat sesosok tubuh tersangkut batu di tengah sungai. Tampaknya seorang laki-laki mengenakan baju kuning gading, dengan warangka pedang tersampir di pinggangnya. Padahal, sosok tubuh itu sudah sejak tadi tersangkut di situ. Mungkin karena hatinya tengah berbunga-bunga, Pandan Wangi tidak menyadarinya.

"Hup...!" bergegas Rangga melompat masuk ke dalam sungai itu.

Ternyata air sungai ini memang tidak dalam dan hanya sebatas lutut saja. Pendekar Rajawali Sakti mengambil tubuh yang tersangkut itu, kemudian kembali melesat ke tepi. Indah sekali gerakannya. Tanpa mendapatkan hambatan sama sekali, pemuda berbaju rompi putih itu sudah berada di samping Pandan Wangi kembali. Kemudian kakinya bergegas melangkah mendekati api unggun. Hati-hati sekali Pendekar Rajawali Sakti meletakkan tubuh laki-laki berbaju kuning gading itu di dekat api unggun yang dibuatnya tadi. Sementara Pandan Wangi berada di sampingnya.

"Bagaimana, Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah Rangga memeriksa laki-laki itu.

"Masih hidup. Tapi, dia mendapat luka dalam yang cukup parah," sahut Rangga.

"Apa bisa diselamatkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Mungkin," sahut Rangga setengah mendesah.

"Kita coba, Kakang. Barangkali saja masih bisa diselamatkan," tegas Pandan Wangi.

Kembali Rangga memeriksa seluruh tubuh laki-laki yang tidak sadarkan diri itu. Sementara Pandan Wangi hanya memperhatikan saja di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tampak, Rangga memberi beberapa totokanan di sekitar dada laki-laki yang kelihatan masih muda itu. Kemudian ditempelkannya kedua telapak tangan di dada pemuda itu.

Pandan Wangi terus memperhatikan semua yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti sehingga sedikit pun matanya tidak berkedip. Gadis itu tahu kalau Rangga sedang mengerahkan hawa murni setelah membuka beberapa jalan darah, serta menutup aliran darah lain di beberapa tempat. Apa yang dilakukan Rangga, tidak asing lagi bagi Pandan Wangi. Semua tokoh rimba persilatan bisa melakukan hal seperti itu. Namun itu pun tergantung tinggi rendahnya tingkatan ilmu yang dimiliki.

"Huh...!" Rangga menghembuskan napasnya begitu telapak tangannya terlepas dari dada pemuda yang terbaring di depannya.

Pandan Wangi memperhatikan wajah Pendekar Rajawali Sakti itu. Tampak keringat mengucur deras, seakan-akan Rangga baru saja melakukan pekerjaan yang berat sekali. Pandan Wangi mengambil saputangan, lalu menyeka keringat yang membanjiri wajah Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.

Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian menyimpan kembali saputangannya di balik ikat pinggang yang terbuat dari kulit binatang dan berlapiskan emas serta bermanik-manik batu permata. Ikat pinggang ini adalah hadiah pertama yang diberikan Rangga padanya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Pandan Wangi.

"Tunggu saja sampai besok pagi," sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian memberi beberapa totokan lagi di tubuh pemuda yang mengenakan baju warna kuning gading itu. Kemudian duduknya bergeser, lalu bersandar pada pohon. Pandan Wangi melirik Pendekar Rajawali Sakti sebentar di belakangnya, kemudian mendekati dan duduk merapat di sampingnya. Rangga melingkarkan tangannya di pinggang gadis yang ramping itu. Pandan Wangi semakin manja, dan semakin merapatkan tubuhnya, seakan-akan hendak mencari kehangatan dari Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Kau pasti lelah dan mengantuk sekali. Tidurlah, Pandan. Biar aku yang menjaga malam ini," ujar Rangga agak berbisik di telinga gadis itu.

"Aku belum ngantuk," sahut Pandan Wangi perlahan.

"Seharian kau berkuda. Kau pasti lelah, Pandan."

"Kau juga, Kakang," Pandan Wangi tidak mau kalah.

Rangga menghembuskan napas panjang. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan wajah tampan itu. Wajah mereka begitu dekat, sehingga desah napas satu sama lain saling menerpa kulit wajah, dan terasa hangat sekali. Rangga merengkuh kepala gadis itu dan diletakkan di dadanya. Kemudian tangannya dilingkarkan ke tubuh gadis itu. Sementara Pandan Wangi yang semakin manja, langsung balas memeluk dengan mesra.

Tak ada lagi yang mengeluarkan kata-kata. Tak ada yang memejamkan mata. Mereka terjaga bersama pikirannya masing-masing. Entah apa yang dipikirkan saat ini, yang jelas Pandan Wangi seperti tidak ingin melepaskan Pendekar Rajawali Sakti kali ini. Gadis itu ingin agar malam ini terus berada dalam dekapan Rangga. Begitu hangat dan mesra sekali. Meskipun tak ada yang mengucapkan kata-kata sedikit pun juga, namun sudah terasa betapa hangatnya cinta mereka berdua.
Cerita silat online Serial Pendekar Rajawali Sakti

********************

Rangga membangunkan Pandan Wangi yang tertidur dalam pelukannya. Dia sendiri juga sempat tertidur, meskipun hanya sebentar saja. Pendekar Rajawali Sakti menatap pemuda berbaju kuning gading yang kini tengah duduk bersemadi. Pandan Wangi bergegas bangun dan melepaskan pelukannya ketika melihat pemuda yang ditolong semalam tengah duduk bersemadi tidak jauh di depannya.

Tak berapa lama kemudian pemuda itu membuka matanya pelahan-lahan. Pandangannya langsung tertuju pada Rangga dan Pandan Wangi yang duduk berdampingan di bawah pohon. Seonggok bara yang masih mengepulkan asap, menjadi pemisah di antara mereka.

"Bagaimana keadaanmu, Kisanak? Apakah mulai membaik?" Rangga lebih dahulu membuka suara.

"Mendingan," sahut pemuda itu. "Apakah Kisanak dan Nini yang menolongku?"

"Hanya kebetulan saja kami melihatmu tersangkut di batu sungai," sahut Rangga merendah.

"Oh..., terima kasih. Rupanya Hyang Widi belum berkenan mencabut nyawaku," desah pemuda itu.

Untuk beberapa saat mereka berdiam diri. Sementara tara Pandan Wangi menggeser duduknya agak menjauh dari Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun di hati mereka terpatri perasaan cinta yang dalam, namun hal Itu tidak pernah ditunjukkan di depan orang lain. Dan mereka merasa kecolongan, karena pemuda itu melihat mereka berdua tidur berpelukan. Ada rasa malu terselip di hati si Kipas Maut itu.

"Boleh aku tahu, mengapa Kisanak sampai terluka dalam cukup parah dan tersangkut di batu sungai...?" tanya Rangga. Nada suaranya terdengar lembut dan sopan sekali.

Pemuda berbaju kuning gading itu tidak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat sambil mendongakkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja tangan kanannya bergerak cepat memungut batu kerikil, lalu menjentikkannya ke atas.

Rangga dan Pandan Wangi langsung mendongak. Pada saat itu, seekor burung ayaman yang sedang terbang di atas mereka mendadak saja meluncur jatuh, tepat di depan pemuda berbaju kuning gading itu. Memang cukup besar juga. Pemuda itu memungutnya disertai senyuman di bibir.

"Aku rasa cukup untuk mengganjal perut kita bertiga," katanya.

Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan sejenak. Kemudian, Pandan Wangi bangkit berdiri dan mengambil burung ayaman dari tangan pemuda itu. Dia mendekati bara yang masih mengepulkan asap. Dengan menambah sedikit ranting, api unggun sudah kembali berkobar. Pandan Wangi menyiangi burung ayaman yang pecah kepalanya terlempar kerikil tadi. Sementara Rangga menghampiri pemuda berbaju kuning gading yang memang belum dikenalnya.

"Namaku Dipa Pangga," pemuda itu memperkenalkan diri sebelum Rangga menanyakannya.

"Aku Rangga, dan itu Pandan Wangi," Rangga juga memperkenalkan dirinya dan Pandan Wangi.

"Nampaknya kalian seperti pengelana," tebak pemuda berbaju kuning gading yang menamakan dirinya Dipa Pangga.

"Kami memang pengembara," sahut Rangga jadi lupa pada pertanyaannya yang belum terjawab tadi.

"Ke mana tujuan kalian?" tanya Dipa Pangga lagi.

Rangga hanya mengangkat bahunya saja. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak tahu tujuannya yang pasti. Mereka mengembara mengelilingi rimba persilatan dengan satu tujuan. Menegakkan keadilan dan kebenaran! Sementara Dipa Pangga rnenyunggingkan senyumannya yang manis. Pemuda itu seperti membodohi dirinya sendiri dengan pertanyaan yang tolol tadi. Sudah tentu jika sedang mengembara, Rangga dan Pandan Wangi tidak akan mempunyal tujuan tetap. Seperti pada umumnya pendekar-pendekar lain yang juga selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain.

"Oh, ya. Kau pasti ingin tahu, kenapa aku bisa terluka," ujar Dipa Pangga setelah beberapa saat berdiam diri.

Lagi-lagi Rangga mengangkat bahunya sedikit sambil menaikkan alisnya. Tadi hal itu memang sudah ditanya, namun belum memperoleh jawaban. Sekarang Dipa Pangga sendiri yang mengingatkan dirinya untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku sedang mengantarkan barang, tiba-tiba segerombolan perampok menghadangku. Pemimpinnya berhasil melukai dan membuangku ke sungai," tutur Dipa Pangga, singkat.

"Di tempat ini?" tanya Rangga.

"Benar," sahut Dipa Pangga.

Pandangan Rangga beredar ke sekeliling. Rasanya sejak semalam dia berada di tempat ini, tidak ada tanda-tanda bekas terjadinya pertempuran. Bahkan satu mayat atau bercak darah sekali pun, tidak terlihat sama sekali. Pendekar Rajawali Sakti agak tidak percaya pada cerita Dipa Pangga. Tapi dia tidak ingin mendesak pemuda berbaju kuning gading ini untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya.

"Kau pasti tidak percaya. Tapi itulah yang sesungguhnya terjadi padaku," tegas Dipa Pangga, seperti mengetahui ketidakpercayaan Pendekar Rajawali Sakti.

Lagi-lagi Rangga mengangkat sedikit bahunya. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak percaya dengan cerita Dipa Pangga barusan. Namun apa pun yang dikatakan pemuda itu, Rangga tidak ambil peduli. Dan yang pasti, jika Dipa Pangga berbohong, tentu punya alasan tersendiri.

"Mereka mungkin menghanyutkan mayat-mayat temanku ke sungai," jelas Dipa Pangga lagi.

"Mungkin juga," desah Rangga enggan.

"Gerombolan perampok itu memang sudah terkenal, dan menguasai seluruh Gunung Karang Hawu ini. Aku sendiri sebenarnya enggan membawa barang melewati gunung ini. Tapi aku tidak bisa menolak tugas yang sudah menjadi kewajibanku," keluh Dipa Pangga lagi.

"Barang apa yang kau bawa?" tanya Rangga.

"Upeti untuk raja," sahut Dipa Pangga.

"Kau bekerja di istana?" tanya Rangga lagi.

"Tidak. Aku hanya sebagai pengantar barang dari Kadipaten Sangu ke Istana Randukara. Setiap tahun aku selalu mengantarkan upeti itu, tapi baru kali ini melewati Gunung Karang Hawu."

"Biasanya kau lewat mana?"

"Kadipaten Antal Jati. Tapi, suasana di sana sedang tidak memungkinkan untuk dilewati. Kadipatan Antal Jati tengah melakukan pemberontakan, dan ingin memisahkan diri dari Kerajaan Randukara. Jadi, aku terpaksa memutar lewat gunung ini."

"Lantas, ke mana tujuanmu selanjutnya?" Tanya Rangga lagi.

"Secepatnya kejadian ini harus kulaporkan pada Gusti Prabu Sarajingga," sahut Dipa Pangga.

Rangga terdiam.

"Oh, ya. Kau dan temanmu kuharap sudi menjadi saksi di istana. Tolonglah bantu aku sekali lagi, Kisanak," pinta Dipa Pangga berharap.

"Aku tanyakan dulu pada Pandan Wangi," sahut Rangga tidak langsung memutuskan.

"Kalau kau tidak sudi memberi kesaksian, aku harus merelakan kepalaku dipenggal. Hukuman itu sudah menjadi keputusan tetap bagi siapa saja yang menghilangkan upeti. Kecuali, ada saksi yang mengatakan kalau upeti itu telah dibegal di tengah jalan. Paling tidak, aku harus mendapatkan upeti itu kembali dalam keadaan utuh," jelas Dipa Pangga bernada mendesak.

"Itu bisa kumengerti, tapi aku tidak bisa memutuskannya sendiri," kilah Rangga.

"Aku sangat berterima kasih sekali jika kau bersedia menolongku sekali lagi saja," lagi-lagi Dipa Pangga berharap.

"Akan kuusahakan," sahut Rangga.

"Terima kasih."

Rangga menepuk pundak pemuda berbaju kuning gading itu, kemudian bangkit berdiri dan menghampiri Pandan Wangi yang sedang asyik memanggang burung ayaman yang cukup besar. Gadis itu melirik sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berada di dekatnya.

"Pembicaraan tadi sudah kudengar semua. Terserah kau saja, Kakang," kata Pandan Wangi mendahului sebelum Rangga sempat membuka suaranya.

"Kau sendiri?" tanya Rangga.

"Terserah. Aku sih, tinggal ikut saja," sahut Pandan Wangi.

Rangga melirik Dipa Pangga yang kini berdiri di tepi sungai. Agak jauh jarak mereka, sehingga tidak mungkin terdengar pemuda berbaju kuning gading itu. Kecuali, jika dia punya ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Ilmu itu memang mudah, dan bisa dikuasai tokoh mana pun dalam rimba persilatan. Hanya tingkatannya saja yang membedakan.

"Sudahlah, Kakang. Putuskan saja. Aku bisa mengerti kalau kau tidak pernah menyetujui dengan adanya segala macam upeti. Tapi ini bukan di Karang Setra, Kakang. Setiap kerajaan ada peraturannya sendiri," desah Pandan Wangi bisa merasakan apa yang sedang dirasakan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kalau aku tidak membantunya, dia pasti mati dipenggal, Pandan. Sedangkan aku sendiri, paling enggan berurusan dengan raja-raja yang selalu memaksa rakyat untuk membayar upeti, " tegas Rangga pelan.

"Menurutku, kita tinggal memberi kesaksian saja. Setelah itu, kita bisa pergi dan tidak akan berurusan lagi," ujar Pandan Wangi mengemukakan pendapat.

"Segala urusan yang menyangkut kerajaan, tidak akan selesai begitu saja, Pandan."

"Aku tahu, Kakang. Mudah-mudahan tidak ada persoalan macam-macam. Kalaupun ada, kita bisa pergi begitu saja tanpa ada seorang pun yang bisa melarang. "

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya disertai senyuman tipis. Kadang-kadang Pandan Wangi suka memberi usul yang bernada konyol juga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti mengakui kalau gadis ini cerdas sekali, meskipun terkadang cetusannya seperti terlahir begitu saja tanpa dipikirkan lebih dahulu. Memang kalau tidak begitu, bukan Pandan Wangi namanya.

"Baiklah. Kita membantunya sekali lagi saja. Setelah itu, harus cepat pergi dan tidak peduli dengan kelanjutannya," Rangga akhirnya memutuskan.

Dan memang, meskipun agak konyol, tapi Rangga sering juga melaksanakan cetusan yang disampaikan Pandan Wangi. Kali ini juga, Pendekar Rajawali Sakti melihat kebenarannya. Maka, diputuskan kalau dirinya akan membantu Dipa Pangga agar terhindar dari hukuman penggal kepala. Rangga kemudian menghampiri Dipa Pangga yang masih tetap berdiri di tepi sungai dengan pandangan lurus ke depan.

********************

TIGA

Kotaraja Randukara cukup ramai juga. Kota ini cukup padat dan besar. Tidak heran kalau udara terasa panas menyengat kulit, meskipun keadaan mendung. Tampak awan tebal agak menghitam menyelimuti angkasa di atas Kerajaan Randukara ini. Keadaan alam yang nampaknya tidak bersahabat, tidak mengganggu kesibukan orang-orang yang menghuni Kota-raja Randukara ini. Mereka tetap dengan kesibukan-nya sendiri-sendiri.

Hari ini memang hari pasaran. Jadi, hampir seluruh rakyat Kerajaan Randukara tumpah ruah ke kota ini. Sepanjang jalan dipadati manusia. Juga kedai-kedai makan dan minum serta rumah-rumah penginapan, tak sepi pengunjung. Begitu padatnya, sehingga untuk melangkah saja sudah begitu sulit. Memang pada hari-hari pasaran begini, tak ada lagi tempat yang lapang. Seluruh pelosok kotaraja bagai tak mampu lagi menampung luapan penduduk.

Di antara sedan banyak orang, terlihat tiga anak muda menunggang kuda. Mereka adalah Rangga, Pandan Wangi, dan Dipa Pangga. Pemuda berbaju kuning gading itu memperoleh kudanya lagi dalam perjalanan ke Kotaraja Randukara ini. Agak sukar juga bagi mereka untuk mengendalikan kuda agar lebih cepat lagi. Karena, jalan yang dilalui, seperti jalan semut.

"Apakah setiap hari keadaannya selalu begini?" tanya Pandan Wangi yang baru pertama kali melihat sebuah kota begitu padat dan ramai.

"Tentu saja tidak, Pandan. Ini adalah hari pasaran, dan hanya satu kali dalam tiga purnama," jelas Dipa Pangga.

"Dan setiap hari pasaran selalu seperti ini?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Biasanya lebih ramai lagi, Pandan."

"Berapa lama hal ini berlangsung?"

"Tujuh hari. "

Pandan Wangi melirik Rangga yang berkuda di sampingnya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak mendengar percakapan tadi. Pandangannya tetap lurus ke depan. Pandan Wangi tahu kalau kekasihnya ini hanya berpura-pura tidak mendengar saja. Juga, gadis itu tahu kalau Rangga tidak senang jika diminta untuk tinggal beberapa hari saja, menikmati keramaian yang jarang terjadi ini.

"Biasanya pada saat seperti ini, Gusti Prabu Sarajingga mengadakan perlombaan adu ketangkasan. Beliau juga akan memilih tamtama-tamtama baru dari adu ketangkasan itu. Bahkan tidak jarang mengambil satu atau dua orang panglima perang dari kalangan mana saja untuk memperkuat barisap prajuritnya," kembali Dipa Pangga memberi keterangan tentang keadaan di kotaraja ini.

"Pasti menarik sekali," sambut Pandan Wangi seraya melirik Rangga.

"Memang menarik. Karena mereka yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, akan berlomba meraih jabatan tinggi yang langsung diangkat Gusti Prabu. Hanya saja sukar sekali untuk mendapatkan jabatan panglima karena harus mengalahkan paling tidak tiga orang panglima yang memiliki kepandaian tinggi sekali," jelas Dipa Pangga lagi.

Lagi-lagi Pandan Wangi melirik Rangga, namun tetap saja tidak dipedulikan. Pendekar Rajawali Sakti tetap berpura-pura tidak mendengarkan percakapan itu. Namun Pandan Wangi sudah menduga kalau Rangga pasti tidak menginginkannya agar tidak banyak bertanya. Hal ini bisa diketahui gadis itu dari lirikan Pendekar Rajawali Sakti yang hanya sekilas, namun terasa tajam dan menusuk sekali.

Pandan Wangi yang memang senang membuat kesal orang, jadi timbul keisengannya. Gadis itu jadi tersenyum-senyum sendiri. Beberapa kali matanya melirik Rangga yang semakin tidak senang saja. Tidak itu saja, bahkan malah semakin banyak bertanya tentang keadaan di Kerajaan Randukara ini, sampai kepada seluk-beluk istananya. Dengan senang hati, Dipa Pangga menjelaskan semuanya tanpa ada yang ditutupi. Bahkan diakuinya sendiri kalau dirinya terpilih menjadi pengantar barang upeti juga dari hasil pertandingan pada hari-hari pasaran seperti ini.

Dan semua jabatan itu selalu ditentukan oleh tinggi rendahnya ilmu olah kanuragan yang dimiliki. Hal ini membuat Pandan Wangi semakin tertarik saja. Tapi tidak demikian halnya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Ketidaksenangan Rangga, malah membuat si Kipas Maut itu semakin menjadi-jadi. Hal ini memang disengaja karena merasa punya kesempatan yang sangat jarang didapatkan.

"Apa selama ini ada wanita yang ikut, Dipa Pangga?" tanya Pandan Wangi seraya melirik Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak ada," sahut Dipa Pangga.

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Setiap kali, memang ada peserta wanita yang ikut, tapi mereka tidak ada yang mampu melampaui ujian. Gusti Prabu sendiri tidak pernah memilih wanita untuk menduduki satu jabatan penting. Biasanya, ujian yang diberikan berat sekali. Lebih berat dari laki-lakinya," jelas Dipa Pangga lagi.

"Kenapa begitu?" tanya Pandan Wangi.

Dipa Pangga tidak sempat menjawab, karena mereka sudah berada di depan pintu gerbang Istana Randukara. Dua orang prajurit penjaga bergegas membuka pintu gerbang begitu Dipa Pangga menunjukkan sesuatu yang dikalungkan di lehemya. Mereka pun menggebah kudanya melewati pintu gerbang itu.

********************

Rangga bangkit berdiri diikuti Pandan Wangi saat melihat seorang prajurit menghampiri mereka. Prajurit berpangkat tamtama itu membungkukkan sedikit tubuhnya setelah tiba di depan kedua pendekar muda itu. Mereka memang diminta untuk menunggu di ruangan depan istana, sedangkan Dipa Pangga lebih dahulu masuk ke dalam.

"Gusti Prabu meminta Kisanak dan Nini menemuinya," ujar prajurit itu, penuh rasa hormat.

"Di mana?" tanya Rangga.

"Mari, hamba tunjukkan," sahut prajurat itu.

Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama mengayunkan kaki mengikuti prajurit yang sudah lebih dahulu berjalan di depan. Mereka melewati bangsal utama. Ada beberapa orang di rungan itu, dan tampaknya adalah para pembesar istana. Juga, ada beberapa orang berpakaian panglima perang serta beberapa prajurit yang menjaga pintu serta jendela. Mereka memandangi Rangga dan Pandan Wangi yang berjalan mengikuti prajurit.

Kedua pendekar muda itu terus berjalan menyurusi lorong, mengikuti prajurit yang berjalan di depan. Setelah melalui lorong yang cukup panjang dan memiliki beberapa cabang serta belokan, akhimya mereka sampai di sebuah ruangan yang cukup besar dan tertata indah. DI dalam ruangan ini, telah menunggu Dipa Pangga yang duduk bersila di depan seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Dia mengenakan baju indah dari bahan sutra halus bersulamkan benang-benang emas. Duduknya di sebuah kursi kecil berbantal beludru merah menyala.

"Silakan mengambil tempat yang enak," ujar laki-laki berbaju indah itu mempersilakan.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya duduk di samping Dipa Pangga.

Pandan Wangi ikut duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun tidak diperkenalkan, namun mereka sudah tahu kalau laki-laki yang duduk di kursi kecil adalah Prabu Sarajingga. Tak ada lagi orang lain di ruangan ini, selain mereka berempat. Bahkan seorang prajurit pun tak terlihat di sini. Rangga sempat memperhatikan keadaan ruangan yang cukup besar dan indah ini.

"Aku sudah mendengar tentang kalian berdua dari Dipa Pangga. Aku pribadi mengucapkan terima kasih karena kalian telah menyelamatkan Dipa Pangga," ucap Prabu Sarajingga. Suaranya terdengar agak berat dan penuh kewibawaan.

"Kami hanya kebetulan saja lewat, Gusti Prabu," sahut Rangga merendah.

"Sebenarnya aku sangat kehilangan sekali, karena ada sesuatu yang berharga ikut hilang," lanjut Prabu Sarajingga.

Rangga melirik Pandan Wangi. Sedangkan yang ditirik hanya menundukkan kepalanya saja. Gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti memintanya untuk tidak berbicara kalau tidak diminta. Kali ini Pandan Wangi tidak berani melepaskan pikiran isengnya. Disadari, sekali saja melontarkan kata-kata iseng, akan berakibat tidak baik bagi mereka berdua.

"Untuk itu, jika kalian berdua tidak berkeberatan, aku meminta kalian mencari gerombolan perampok itu dan mengembalikan barang-barang yang dirampas dari Dipa Pangga," sambung Prabu Sarajingga.

"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hendak menolak, tapi kami masih punya urusan lain yang harus diselesaikan," tolak Rangga, halus.

Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti melirik Pandan Wangi. Dan yang dilirik tetap saja tertunduk. Namun dari sudut ekor matanya, gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti menyesalinya karena telah banyak bicara tadi sebelum sampai di istana ini pada Dipa Pangga.

"Sayang sekali. Jika diizinkan, aku akan memerintahkan pembesar-pembesarku untuk menyelesaikan persoalan kalian. Tapi yang jelas, persoalan ini lebih penting dari yang kalian duga. Mereka semakin merajalela, dan tidak peduli kalau yang dihadang adalah utusan pribadiku," jelas Prabu Sarajingga. Nada bicaranya agak menyesali penolakan Rangga.

"Apakah mereka begitu kuat, Gusti Prabu?" tanya Pandan Wangi yang tidak bisa menahan diri.

Saat itu juga Rangga mendelikkan matanya pada Pandan Wangi. Dan gadis itu buru-buru menundukkan kepalanya. Sungguh disesali kalau dirinya telah asal bicara saja. Padahal Rangga tadi sempat membisikinya untuk diam saja. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti memperingatkan untuk diam lewat lirikan mata yang agak tajam. Namun, si Kipas Maut itu memang sukar mengendalikan diri jika mendengar sesuatu yang membuat darahnya langsung bergolak mendidih.

"Sudah beberapa kali panglimaku mencoba menghancurkan mereka, tapi sampai saat ini belum juga ada yang berhasil. Mereka terlalu kuat. Terlebih lagi, sekarang ini mereka mendapatkan pemimpin baru yang berkemampuan sangat tinggi," jelas Prabu Sarajingga kemudian.

Hampir saja Pandan Wangi membuka suara lagi. Untung Rangga cepat menekan ujung jari kakinya. Gadis itu sempat meringis kesakitan, dan langsung terdiam.

"Maaf, Gusti Prabu. Sebenarnya kami ingin sekali membantu, tapi persoalan kami sendiri harus cepat diselesaikan. Hamba berjanji, jika sudah selesai akan membantu menyelesaikan persoalan ini," ujar Rangga cepat-cepat.

"Yaaah.... Aku memang tidak bisa memaksa. Tapi kuharap kalian bisa secepatnya kembali lagi ke sini. Istanaku ini terbuka kapan saja untuk kalian berdua," kata Prabu Sarajingga agak mendesah.

"Kalau begitu, kami mohon diri," pamit Rangga.

"Silakan," Prabu Sarajingga mempersilakan dengan merentangkan sedikit tangannya ke depan.

Rangga memberi penghormatan dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung, diikuti Pandan Wangi. Mereka kemudian bangkit berdiri.

"Dipa Pangga, antarkan mereka sampai ke pintu gerbang," perintah Prabu Sarajingga.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut Dipa Pangga penuh hormat. Dipa Pangga bergegas bangkit berdiri dan memberikan sembah dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Kemudian Rangga dan Pandan Wangi keluar dari ruangan ini. Mereka berjalan tanpa tergesa-gesa. Sedangkan Prabu Sarajingga tanpa berkedip memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm.... Aku yakin kalau dia Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Prabu Sarajingga pelan.

Saat itu Rangga dan Pandan Wangi yang diantar Dipa Pangga sudah menghilang di balik pintu. Tak lama kemudian, dari pintu lain muncul dua orang laki-laki berusia sekitar tiga puluhan tahun yang kemudian langsung memberi hormat pada Prabu Sarajingga. Masing-masing mengenakan pakaian yang sama bentuknya, dan hanya warna saja yang berbeda. Mereka juga menyandang pedang yang tersampir di pinggang.

"Jalak Ireng, Banteng Giri...."

"Hamba Gusti Prabu," sahut kedua orang itu bersamaan.

"lkuti kedua tamuku tadi, dan laporkan semua yang dilakukannya padaku. Cari keterangan, siapa mereka sebenarnya," perintah Prabu Sarajingga.

"Hamba, Gusti Prabu."

Kedua orang yang bernama Jalak Ireng dan Banteng Giri kembali memberi sembah dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung. Kemudian, mereka bergegas melangkah keluar dari ruangan itu. Prabu Sarajingga masih tetap duduk, dan keningnya terlihat agak berkerut dalam. Namun mendadak saja bibirnya tersenyum ketika seorang gadis berwajah cantik mengenakan baju warna hijau daun muncul dari pintu lain.

Gadis itu berdiri saja di ambang pintu. Dan Prabu Sarajingga bangkit berdiri dari duduknya. Penguasa Kerajaan Randukara itu berjalan menghampiri disertai senyuman lebar.

"Ada yang kau perlukan, Anakku?" tanya Prabu Sarajingga setelah dekat dengan gadis itu.

"Ada. Tapi tidak di sini," sahut gadis itu seraya membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhi ruangan itu.

Prabu Sarajingga mengikuti. Ditutupnya pintu yang memisahkan ruangan untuk menerima tamu khusus itu dengan ruangan-ruangan lain. Ruangan itu memang tidak memiliki jendela, tapi dikelilingi delapan buah pintu yang serupa bentuknya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui kegunaan setiap pintu ruangan itu.

Dan ruangan yang cukup besar itu kembali sunyi sepi, tak ada seorang pun yang terlihat. Namun setelah Prabu Sarajingga lenyap ditelan satu pintu, dari pintu lain muncul sekitar sepuluh orang berpakaian prajurit dan bersenjatakan tombak dan pedang. Mereka mengelilingi ruangan itu dan mengambil tempat untuk menjaga ruangan yang kosong ini. Memang, itu adalah suatu ruangan khusus, sehingga membutuhkan sepuluh prajurit berpangkat tamtama untuk menjaga.

********************

Rangga baru menggebah kudanya agar berlari cepat setelah melewati gerbang perbatasan Kotaraja Randukara. Pandan Wangi yang selalu menyertainya juga segera menggebah kudanya agar tetap berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Debu mengepul ke angkasa tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Sebenarnya kalau Rangga menggebah kudanya lebih cepat lagi, Pandan Wangi tak mungkin bisa mengejar. Karena, kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu bukan binatang sembarangan. Kuda itu adalah hadiah Dewa Bayu, sehingga kuda itu juga dinamakan Dewa Bayu.

"Kenapa cepat-cepat, Kakang?" tanya Pandan Wangi, agak keras suaranya.

Rangga tidak menjawab, dan terus saja menggebah kudanya agar berlari kencang. Pandan Wangi tetap berusaha berada di samping Pendekar Rajawali Sakti, meskipun kuda yang ditungganginya nampak kewalahan. Namun Pandan Wangi tidak peduli. Kudanya terus digebah cepat untuk mengimbangi lari kuda hitam itu.

"Kau marah padaku, Kakang...?" kembali Pandan Wangi bertanya dengan suara keras.

Tetap saja Rangga tidak menyahut. Pandan Wangi tahu kalau Rangga marah karena kelancangannya yang tidak mau menuruti kata-kata pemuda berbaju rompi putih itu. Dia menyesal karena tidak mematuhi permintaan Rangga tadi di depan Prabu Sarajingga.

"Maafkan aku, Kakang... !" seru Pandan Wangi masih dengan suara keras.

Tetap saja Rangga tidak mempedulikannya. Sementara kuda hitam yang ditungganginya semakin cepat berlari. Sedangkan kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi mulai tertinggal.

"Kakang, tunggu...!" teriak Pandan Wangi keras.

Kali ini Rangga berpaling ke belakang. Dan nampak kalau lari kudanya diperlambat. Pandan Wangi terus cepat menggebah kudanya, sehingga kembali berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.

"Kalau kau tetap marah, aku akan berhenti!" rungut Pandan Wangi ikut ngambek.

"Jangan banyak omong! Terus gebah kudamu...!" bentak Rangga, agak kasar suaranya.

"Heh...?!" Pandan Wangi terkejut mendengar bentakan yang bernada kasar itu.

Belum pernah Rangga berlaku kasar seperti ini sebelumnya. Namun Pandan Wangi tidak punya kesempatan untuk mencari penjelasan, karena kembali tertinggal. Si Kipas Maut kembali menggebah kudanya agar bisa berada di samping kuda yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti.

Namun mendadak saja Rangga menghentikan lari kudanya, dan secepat itu pula melompat turun. Begitu kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti kembali melentingkan tubuhnya, dan langsung menyambar Pandan Wangi yang masih berada di punggung kuda.

"Bawa dia menjauh, Dewa Bayu!" seru Rangga memerintahkan kudanya.

Kuda hitam yang dipanggil Dewa Bayu itu meringkik keras sekali, kemudian menggiring kuda putih menjauhi tempat itu. Sementara Rangga yang mengepit pinggang Pandan Wangi sudah kembali melenting ke angkasa, lalu hinggap di cabang pohon yang cukup tinggi dan berdaun lebat.

"Apa-apaan kau ini, Kakang...?!" sentak Pandan Wangi begitu Rangga melepaskan tangannya dari pinggangnya.

"Diam...!" desis Rangga.

"Ap...!"

Pandan Wangi tak bisa lagi bersuara ketika Rangga dengan cepat membekap mulutnya. Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda yang dipacu cepat. Pelahan-lahan Rangga melepaskan bekapannya pada mulut Pandan Wangi. Dan gadis itu tidak bersuara lagi. Matanya langsung terarah pada debu yang mengepul semakin dekat.

Tak berapa lama kemudian, tampak dua ekor kuda dipacu cepat menuju ke arah pohon yang cukup lebat daunnya, tempat Rangga dan Pandan Wangi bertengger di situ. Dua orang penunggang kuda menggebah cepat kudanya. Mereka berusia rata-rata sekitar tiga puluh tahunan lebih, dan masing-masing menyandang pedang yang tersampir di pinggang.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Rangga melompat turun.

Pendekar Rajawali Sakti langsung meluruk ke arah dua orang penunggang kuda itu. Cepat sekali gerakannya, sehingga kedua orang penunggangnya tidak sempat berbuat, sesuatu. Dan mendadak saja mereka terpental jatuh, lalu beberapa kali bergulingan di tanah. Pada saat itu, Rangga sudah menjejakkan kakinya di tanah dengan mulus sekali. Sedangkan dua ekor kuda yang masih berlari kencang, tak mempedulikan penunggangnya yang terjatuh.

"Bangun...!" bentak Rangga keras.

Kedua orang yang mengenakan baju berpotongan sama berwarna merah dan hijau itu, bangkit berdiri sambil meringis memegangi dadanya. Rupanya, tadi Rangga memberi pukulan lumayan keras ke dada mereka berdua. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerahkan kekuatan tenaga dalam, sehingga kedua orang itu tidak mengalami cidera sedikit pun juga. Namun demikian, rongga dada mereka terasa sesak juga akibat terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti.

"Untuk apa kalian membuntutiku?!" tanya Rangga agak membentak.

"Kami hanya menjalankan perintah," sahut orang yang mengenakan baju warna hijau.

"Perintah siapa?" tanya Rangga lagi.

Kedua orang itu tidak menjawab, dan hanya saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu dari atas pohon, meluncur Pandan Wangi. Gadis itu langsung mendarat di samping kanan Rangga.

"Jawab pertanyaanku! Siapa yang memberi perintah pada kalian untuk membuntutiku?" bentak Rangga lagi.

Namun sebelum kedua orang itu menjawab pertanyaan Rangga, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Bayangan hijau itu langsung meluruk ke arah dua orang yang masih terdiam, belum menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tapi, rupanya kedua orang itu memiliki ketangkasan yang lumayan juga. Mereka cepat melompat mundur, sehingga terjangan bayangan hijau itu tidak sempat menghajarnya.

Dan sebelum kedua orang laki-laki itu bisa menguasai keseimbangan tubuh, kemball bayangan hijau itu berbalik cepat dan langsung melesat ke acah mereka. Tapi pada saat itu juga, Rangga bertindak cepat. Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagai kilat, lalu memberikan satu dorongan kuat disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh.

Deghk!

"Ikh... !"

Bayangan hijau itu terpental balik dan berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah. Sementara Rangga sudah lebih dahulu menjejakkan kakinya di tanah, sehingga satu batang tombak di samping dua orang yang membuntutinya tadi. Nampak, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang gadis yang mengenakan baju warna hijau yang wajahnya sebagian tertutup cadar agak tipis berwarna hijau. Hanya bagian matanya saja yang masih terlihat, dan nampak indah dan bening.

"Siapa kau?!" sentak Rangga bertanya.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Kedua orang ini harus mati sekarang juga!" sahut wanita berbaju hijau itu.

"Hei... !"

Namun sebelum keterkejutan Rangga hilang, wanita bercadar itu sudah melesat cepat menyerang dua orang yang berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Gerakannya sungguh cepat luar biasa, sehingga tidak sempat disadari Rangga lebih dahulu. Tahu-tahu sudah terdengar suara jeritan panjang dan menyayat, bersamaan dengan terdengarnya dentingan senjata beradu.

Tampak laki-laki yang mengenakan baju hijau terhuyung-huyung sambil mendekap dada yang mengucurkan darah. Sedangkan seorang lain yang mengenakan baju warna merah, tengah sibuk menghindari gempuran wanita berbaju hijau bercadar.

"Hiyaaat...!" Seketika itu juga Rangga melompat sambil mem-beri satu pukulan keras ke arah wanita yang tiba-tiba saja datang mencampuri urusannya. Namun pukulan Pendekar Rajawali Sakti tidak mengenai sasaran. Karena, manis sekali wanita itu mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tubuhnya melenting berputaran beberapa kali ke belakang.

"Tunggu giliranmu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak wanita itu berang begitu kakinya menjejak tanah.

"Hei...! Siapa kau ini sebenarnya? Dari mana kau tahu namaku?" Rangga jadi terkejut bukan main.

"Aku tidak akan berkata dua kali, Pendekar Rajawali Sakti," dingin sekali nada suara wanita itu.

"Menyingkirlah kau," ujar Rangga pada laki-laki berbaju merah yang berada agak ke belakang darinya.

"Huh! Baiklah..., hari ini kau boleh bernapas lega Jalak Ireng. Tapi, ingatlah. Kau tidak akan bisa kembali ke Istana Randukara," tegas wanita itu dingin, kemudian kembali menatap Rangga. "Dan kau, Pendekar Sakti...! Jangan harap bisa keluar dari wilayah ini dengan selamat."

Setelah berkata demikian, wanita berbaju hijau dan bercadar itu langsung bergerak cepat. Tubuhnya melesat bagai kilat. Dalam sekejapan mata saja, bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi.

"Hm...," gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, menghadap laki-laki berbaju merah yang kini tengah menyangga temannya yang terluka. Darah terus mengalir dari dada yang terbelah cukup panjang dan lebar.

"Benar kalian dari Istana Randukara?" tanya Rangga seraya menghampirl orang yang menguntitnya tadi.

"Benar. Maafkan kami, Kisanak," sahut laki-laki berbaju merah yang namanya tadi disebut sebagai Jalak Ireng.

Rangga memeriksa luka di dada orang yang mengenakan baju hijau, kemudian memberikan beberapa totokan di sekitar luka itu. Darah seketika berhenti mengalir. Tapi laki-laki berbaju hijau yang juga dihiasi kumis tipis di atas bibirnya itu sudah tidak sadarkan diri lagi.

"Baringkan dia di tempat yang teduh," kata Rangga.

Jalak Ireng membawa temannya yang terluka dan tidak sadarkan diri itu. Kemudian, dibaringkannya di bawah sebatang pohon rindang, sehingga matahari tidak bisa langsung menyinarinya. Saat itu Pandan Wangi bergegas memeriksa luka laki-laki berbaju hijau itu, kemudian mengambil sebuah kantung kulit dari balik sabuknya. Dari kantung kulit itu ditaburkan bubuk berwarna kuning pada luka di dada yang menganga cukup besar.

"Hanya luka luar, dan tidak begitu parah," jelas Pandan Wangi yang sudah berdiri di samping Rangga.

Sedangkan Jalak Ireng masih duduk di samping temannya yang terbaring tidak sadarkan diri lagi. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian.

"Hanya tiga hari lukanya pasti kering," kata Pandan Wangi memberitahu.

"Maaf, kami tidak bermaksud jahat. Kalian kami buntuti karena hanya menjalankan perintah saja," jelas Jalak Ireng.

"Siapa yang memerintahkanmu, Kisanak?" tanya Rangga dengan nada suara yang tidak lagi kasar.

"Gusti Prabu Sarajingga," sahut Jalak Ireng.

"Untuk apa?" tanya Rangga lagi.

"Kami hanya diperintahkan untuk membuntuti saja, dan mencari keterangan siapa sebenarnya Kisanak dan Nini ini."

"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.

"Kenapa Prabu Sarajingga ingin mengetahui tentang kami?" tanya Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu, tapi Gusti Prabu menduga kalau Kisanak adalah Pendekar Rajawali Sakti. "

"Kalau memang benar, lalu apa kemauan rajamu itu?" tanya Rangga lagi.

"Maaf, aku tidak tahu. Aku dan temanku ini hanya menjalankan perintah saja. Hanya itu saja yang diketahui, Kisanak."

"Aneh...," gumam Pandan Wangi. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres, Kakang."

Rangga tidak menyahuti. Nampaknya Pendekar Rajawali Sakti sedang berpikir keras. Hal ini bisa diketahui dari kerutan yang dalam di keningnya. Sedangkan Pandan Wangi sendiri jadi tidak mengerti akan sikap Prabu Sarajingga yang ingin mengetahui tentang Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak. Kau tahu, siapa wanita yang menyerangmu tadi?" tanya Rangga setelah berdiam diri cukup lama juga.

"Perempuan itu dijuluki Kembang Karang Hawu," sahut Jalak Ireng.

"Kembang Karang Hawu...?" kembali Rangga mengerutkan keningnya hingga matanya jadi menyipit.

Sedangkan Pandan Wangi juga agak terkejut mendengar wanita berbaju hijau tadi ternyata Kembang Karang Hawu. Dia pernah mendengar nama itu, karena Prabu Sarajingga pernah menyebut-nyebut nama itu. Dan Raja Randukara itu mengatakan kalau Kembang Karang Hawu sekarang ini yang memimpin gerombolan begal di sekitar Gunung Karang Hawu, yang sangat ditakuti di seluruh wilayah Kerajaan Randukara ini.

Tapi yang menjadi beban pikiran Rangga dan Pandan Wangi, untuk apa wanita itu menyerang dua orang yang tengah menjalankan perintah rajanya? Dan tampaknya wanita yang dijuluki Kembang Karang Hawu itu juga tidak menyukai kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di wilayah kerajaan ini. Saat itu juga, berbagai macam pertanyaan mengalir keluar dalam benak Pendekar Rajawali Sakti maupun si Kipas Maut.

********************

EMPAT

Rangga duduk mencangkung di atas sebongkah batu yang tidak begitu besar. Sedangkan di depannya, Pandan Wangi berdiri saja sambil membenahi pelana kudanya. Sejak Jalak Ireng pergi membawa temannya yang terluka, Pendekar Rajawali Sakti belum juga membuka suara sedikit pun. Dan Pandan Wangi sendiri sepertinya tidak mau mengusik. Gadis itu lebih memilih menyibukkan dirinya dengan memeriksa pelana kuda dan membetulkannya agar kelihatan lebih rapi dan kuat.

"Sampai kapan akan terus duduk melamun, Kakang...?" Pandan Wangi tidak tahan juga melihat Rangga seperti itu terus-menerus.

"Hhh...!" Rangga menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.

Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari batu yang didudukinya, kemudian menghampiri kudanya yang berada di sebelah kuda putih milik Pandan Wangi. Tanpa bicara sedikit pun, Rangga melompat naik ke punggung kudanya. Dipandangnya Pandan Wangi yang masih tetap berdiri sambil memandangnya juga di samping kudanya.

"Kita kembali ke kota, Pandan," kata Rangga, agak mendesah suaranya.

"Heh...! Kenapa cepat sekali kau berubah...?!" Pandan Wangi terkejut.

"Jangan mengolok, Pandan. Ini bukan saatnya bercanda!" sentak Rangga.

"Siapa yang bercanda? Aku hanya terkejut dengan perubahanmu yang mendadak itu. Tadinya kau ingin cepat-cepat meninggalkan kerajaan ini, tapi mendadak saja malah ingin kembali lagi ke sana."

"Sudah jangan mengomel. Ayo naik...!"

"Untuk apa kembali lagi ke sana?" tanya Pandan Wangi seraya melompat naik ke punggung kudanya.

"Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sana," sahut Rangga sambil menghentakkan tali kekang kudanya.

"Maksudmu?" tanya Pandan Wangi ingin tahu. Dia juga menjalankan kudanya pelahan di samping Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku tidak tahu. Tapi, kejadian tadi membuatku jadi penasaran," sahut Rangga.

"Ooo..., kau ingin mengetahui maksud Prabu Sarajingga, begitu?" Pandan Wangi langsung menebak.

"Bukan itu saja, Pandan. Aku telah menduga kalau ada hubungan antara Prabu Sarajingga dengan si Kembang Karang Hawu. "

"Jangan berprasangka buruk, Kakang. Tidak baik mempunyai dugaan buruk pada orang lain."

"Bukannya berprasangka buruk. Aku hanya merasakan adanya satu kejanggalan. Rasanya tidak mungkin bila si Kembang Karang Hawu menyerang dua orang dari Istana Randukara tanpa alasan pasti. Dan lagi, dari mana dia tahu tentang diriku? Sedangkan Jalak Ireng mengatakan kalau Prabu Sarajingga menduga kalau aku ini Pendekar Rajawali Sakti. Aku ingin tahu apa keinginannya kalau sudah tahu bahwa aku ini memang Pendekar Rajawali Sakti," Rangga mencoba menjelaskan apa yang mengganjal pikirannya sejak tadi.

"Lantas, apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

Rangga tidak langsung menjawab. Memang, Pendekar Rajawali Sakti sendiri belum tahu, apa yang akan dilakukannya di Kotaraja Randukara nanti. Satu rencana pun belum dipunyai. Sementara kuda yang mereka tunggangi, terus berjalan pelahan menuju Kotaraja Randukara yang sudah terlihat di depan sana. Sebuah kota yang ramai karena hari pasaran yang selalu terjadi setiap tiga purnama sekali.

********************

Plak!

Satu tamparan keras menyebabkan Jalak Ireng terpental melintir hingga terjatuh di lantai yang keras dan dingin. Pipi kirinya langsung memerah, ber-gambar lima jari tangan. Jalak Ireng langsung duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam, dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara mengaduh.

"Bodoh! Dasar otak kerbau! Baru segitu saja sudah tidak becus!" bentak Prabu Sarajingga berang.

Wajahnya memerah, dan matanya berkilat berapi-api menahan kemarahan yang meluap. Sedangkan Jalak Ireng tetap duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Untuk mengangkat kepala saja, terasa berat sekali. Apalagi mengeluarkan suara. Rasanya tidak sanggup memandang wajah Prabu Sarajingga yang sedang diliputi kemarahan besar atas kegagalan Jalak Ireng.

"Seharusnya kau mati daripada kembali lagi ke sini, Jalak Ireng," desis Prabu Sarajingga dingin.

"Ampun, Gusti. Titah sudah hamba laksanakan sebaik-baiknya. Tapi, mendadak saja Kembang Karang Hawu muncul dan langsung saja menyerang hamba, Gusti," jelas Jalak Ireng dengan suara bergetar.

"Lagi-lagi itu yang kau katakan!" dengus Prabu Sarajingga.

"Tapi hamba sudah mengetahui kalau pemuda itu memang Pendekar Rajawali Sakti, Gusti," tegas Jalak Ireng lagi.

"Apa jaminanmu, Jalak Ireng?"

"Kembang Karang Hawu memanggilnya demikian, Gusti. Bahkan pemuda itu juga mengakui dirinya bergelar Pendekar Rajawali Sakti," sahut Jalak Ireng. "Lalu, apakah kau tahu maksud kedatangannya ke sini?" tanya Prabu Sarajingga lagi.

"Tidak, Gusti," sahut Jalak Ireng.

"Itulah kebodohanmu, Jalak Ireng! Kau kuperintahkan bukan hanya mencari tahu pemuda itu, tapi juga mengorek maksud kedatangannya ke sini. Mengerti?" bentak Prabu Sarajingga keras.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," ucap Jalak Ireng pelan.

"Huh!" Prabu Sarajingga mendengus keras. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan masih kelihatan gagah itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kecil berbantalkan beludru merah darah. Sedangkan Jalak Ireng masih tetap duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk dalam.

"Dengar, Jalak Ireng. Aku tidak mau tahu bagaimana caranya, yang penting kau harus bisa mengetahui maksud kedatangan pemuda itu ke sini. Mengerti...?!" keras sekali suara Prabu Sarajingga.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut Jalak Ireng seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.

"Kau berangkat sekarang juga, dan jangan kembali sebelum memperoleh keterangan itu. "

"Hamba mohon diri, Gusti."

Prabu Sarajingga hanya mendengus saja. Jalak lreng kembali memberi sembah, kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar ruangan yang besar dan indah ini. Namun Jalak Ireng terkejut ketika pintu dibuka, di sana sudah menunggu Dipa Pangga. Bergegas Jalak lreng menutup pintu itu, dan langsung merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung dengan tubuh sedikit membungkuk.

"Ikut aku, Jalak Ireng," kata Dipa Pangga.

"Hamba, Raden," sahut Jalak Ireng hormat.

Mereka kemudian berjalan cepat menyusuri lorong yang tidak begitu panjang. Dipa Pangga membuka sebuah pintu yang berada di ujung lorong ini. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam ruangan yang tidak seberapa besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan kayu kecil serta sebuah meja kecil dan dua kursi di sampingnya. Jalak Ireng bergegas masuk dan menutup pintunya kembali. Sikapnya begitu hormat pada Dipa Pangga. Dia duduk bersila di lantai, tepat saat Dipa Pangga duduk pada salah satu kursi di samping meja yang membelakangi jendela besar dan terbuka lebar.

"Ada apa Raden meminta hamba ke sini?" tanya Jalak Ireng.

"Kau harus menjawab jujur, Jalak Ireng," tegas Dipa Pangga.

"Hamba, Raden," Jalak Ireng merapatkan kedua tangannya di depan hidung memberi sembah.

"Apa yang diperintahkan Paman padamu?" tanya Dipa Pangga Ingin tahu.

Jalak Ireng terkejut, meskipun sudah menduga kalau pemuda ini akan bertanya seperti itu. Tidak mudah baginya untuk menjawab terus terang. Karena, tugas yang diberikan padanya rahasia sekali, meskipun Prabu Sarajingga tidak mengatakan terus terang. Tapi Jalak Ireng sudah tahu, kalau Prabu Sarajingga memberi suatu tugas di dalam ruangan khusus, itu berarti tugas rahasia yang seorang pun tidak boleh mengetahuinya. Termasuk anggota keluarga istana.

"Kuminta kau tidak menutup-nutupinya, Jalak Ireng. Ingat! Paman Sarajingga hanya sementara menduduki tahta selama aku belum mempunyai istri. Itulah yang diamanatkan mendiang Ayahanda Prabu sebelum mangkat. Jadi aku wajib mengetahui segala yang diperintahkan Paman Sarajingga. Aku tidak ingin ada kekacauan terselubung di dalam istana ini. Kau harus bisa mengerti itu, Jalak Ireng," tegas Dipa Pangga.

"Hamba mengerti, Raden. Tapi...," ucapan Jalak Ireng terputus.

"Tapi apa?" desak Dipa Pangga.

"Hamba takut kalau Gusti Prabu akan murka."

"Paman Sarajingga tidak akan tahu selama kau bisa tutup mulut. Dan aku tidak akan mengatakan apa pun," selak Dipa Pangga tegas sekali.

Beberapa saat Jalak Ireng terdiam berpikir keras, kemudian mengatakan tugas yang harus diembannya. Tugas rahasia yang diberikan langsung oleh Penguasa Kerajaan Randukara ini. Sedangkan Dipa Pangga mendengarkan penuh perhatian. Pemuda itu tidak berbicara sedikit pun meski Jalak Ireng telah menyelesaikan penuturannya.

Tangan Dipa Pangga memberi isyarat saja agar Jalak Ireng meninggalkan kamar ini. Setelah member sembah, Jalak Ireng bergegas keluar dari situ. Sedangkan Dipa Pangga masih duduk di kursi. Pandangannya kosong dan lurus ke depan. Dipa Pangga baru mengangkat kepalanya ketika mendengar suara ketukan di pintu.

"Masuk...!" seru Dipa Pangga tidak terlalu keras.

Pintu kamar terkuak pelahan, kemudian muncul seorang gadis yang cantik sekali. Bajunya ketat berwarna hijau. Dengan langkah gemulai, gadis itu melangkah masuk tanpa mempedulikan pintu yang terbuka. Dipa Pangga bangkit berdiri dan melangkah menghampiri pintu, lalu menutup rapat-rapat. Sedangkan gadis cantik berbaju hijau itu menghenyakkan tubuhnya di kursi yang tadi diduduki Dipa Pangga. Sementara Dipa Pangga sendiri kemudian duduk di tepi pembaringan.

"Ada sesuatu yang ingin disampaikan, Adik Ningrum?" tanya Dipa Pangga lembut.

"Tidak.... Hanya ingin ngobrol denganmu saja, Kakang," sahut gadis itu yang dipanggil Ningrum.

Gadis berbaju hijau daun itu memang Rara Ayu Ningrum, putri bungsu Prabu Sarajingga. Sedangkan seorang kakak laki-lakinya kini sedang menuntut ilmu di Padepokan Walet Putih. Letaknya tidak jauh dari Kotaraja Randukara ini. Tepatnya di Bukit Salak, sebelah Selatan kotaraja ini.

"Kau datang tidak disuruh ayahmu, bukan?" nada suara Dipa Pangga mengandung kecurigaan.

"Jangan memandangku buruk begitu, Kakang," ujar Rara Ayu Ningrum.

Dipa Pangga hanya tersenyum saja. Namun senyuman itu sangat tipis dan hambar. Rara Ayu Ningrum melepaskan ikatan pedangnya dan meletakkan di meja yang berada di sampingnya. Sikapnya seperti tidak mempedulikan sorot mata Dipa Pangga dengan senyumnya yang mengandung kesinisan.

"Aku memang dekat dengan ayah, Kakang. Tapi itu tidak berarti selalu bisa menerima segala sikap dan tindakannya. Aku sudah mengatakan hal ini padamu lebih dari seribu kali. Tapi, mengapa masih saja memandangku sinis, Kakang?" ujar Rara Ayu Ningrum, agak dalam nada suaranya.

Dipa Pangga hanya mengangkat pundaknya saja.

"Kedatanganku ke sini bukan untuk berdebat. Yang jelas, ada yang ingin kukatakan padamu, dan ini rahasia sekali. Aku juga tidak tahu, kenapa hal ini harus kukatakan padamu," kata Rara Ayu Ningrum lagi. Tidak peduli dengan sikap sinis yang diberikan Dipa Pangga padanya.

"Rahasia apa?" tanya Dipa Pangga tanpa menanggapi serius.

"Tentang ayah, aku, kau, dan kakakku. Bahkan menyangkut keutuhan negeri ini, Kakang."

"Ah! Kau ini tahu apa, Ningrum...?"

"Aku tahu semuanya, Kakang. Bahkan tahu kalau ayah mencurigai kedatangan Pendekar Rajawali Sakti bukan hanya sekadar lewat saja. Tapi, memang sengaja kau undang ke sini," dengus Rara Ayu Ningrum agak keras, karena Dipa Pangga hanya menanggapinya bagai angin lalu saja.

"Heh...! Kau ini bicara apa, Ningrum...? Siapa itu Pendekar Rajawali Sakti?" Dipa Pangga terkejut tidak mengerti.

"Orang yang menolongmu dari kematian di Gunung Karang Hawu."

"Apa...?!" Dipa Pangga benar-benar terkejut.

Pemuda itu sampai terlompat dari pembaringan yang didudukinya. Matanya tajam memandang gadis cantik yang duduk di depannya, seakan-akan hendak mencari kesungguhan dari ucapan gadis ini tadi.

"Aku pergi dulu, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum seraya bangkit berdiri.

"Eh, tunggu dulu...!" cegah Dipa Pangga cepat.

"Percuma saja, Kakang. Toh kau tidak akan menanggapi. Kau pasti akan menyangka aku hanya mencari perhatian dan memperburuk kedudukanmu saja," tegas Rara Ayu Ningrum.

"Tidak! Aku akan sungguh-sungguh menanggapinya. Katakan, apa saja yang kau ketahui selama ini," selak Dipa Pangga sambil memasang wajah sungguh-sungguh.

"Sungguh...?" Rara Ayu Ningrum seperti mempermainkan.

"Jangan main-main, Ningrum...!" dengus Dipa Pangga.

"Siapa yang main-main'? Kau sendiri yang tidak pernah sudi menanggapi sungguh-sungguh. "

"Maaf, Ningrum. Aku tidak tahu kalau kau bukan gadis kecil yang manja dan hanya bisa bermain dan mempermainkan orang saja. "

"Sudah! Kalau begitu aku tidak jadi."

"Baik.... Baik.., aku tidak akan mengatakan kau gadis manja lagi. Aku janji..., tapi apa saja yang diketahui selama ini harus kau katakan."

Rara Ayu Ningrum mencibirkan bibirnya. Sementara Dipa Pangga sempat juga menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang mendadak saja jadi terasa kering. Gadis ini memang cantik sekali. Kalau saja bukan putri pamannya, pasti sudah dipersunting untuk dijadikan istri yang kelak akan menjadi permaisuri, mendampinginya memerintah kerajaan yang besar dan megah ini. Tapi sayang, Rara Ayu Ningrum adalah putri pamannya, adik dari ayahnya sendiri.

"Ayo katakan, Ningrum," pinta Dipa Pangga seraya menghilangkan pikiran kotor yahg mendadak saja timbul di kepalanya tadi.

"Baik. Tapi, tidak di sini," sahut Rara Ayu Ningrum.

"Di mana?"

"Di kaputren saja. Biar tidak ada yang curiga."

Dipa Pangga mengangkat bahunya. Memang tidak enak berada berdua di dalam kamar seperti ini, karena mereka hanya saudara sepupu. Tanpa bicara lagi, mereka kemudian berjalan meninggalkan kamar ini.

********************

Sementara itu di perbatasan Kotaraja Randukara, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi dihadang sekitar lima puluh prajurit bersenjata lengkap. Mereka dipimpin seorang panglima perang yang menggunakan senjata golok besar dan panjang. Namanya Panglima Narakin. Dia memang seorang panglima pilihan Prabu Sarajingga yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Terutama jurus 'Pedang Maut' yang menjadi andalannya.

"Kenapa kami tidak boleh masuk?" tanya Rangga agak heran juga.

"Kalian tidak tercatat sebagai penduduk di kerajaan ini. Jadi, kami tidak bisa mengizinkan kalian menetap lama di sini," tegas Panglima Narakin.

"Dengar, Panglima. Kami baru saja menyelamatkan seorang pengantar barang pribadi Prabu Sarajingga. Dan kami ingin bertemu dia lagi," selak Pandan Wangi, agak gusar nada suaranya.

Kalau saja Rangga tidak menyabarkan, mungkin Pandan Wangi sudah menerjang panglima yang angkuh itu. Seluruh aliran darah si Kipas Maut memang sudah bergolak mendidih, dan hampir tidak bisa mengendalikan diri. Namun sekuat daya, Pandan Wangi masih bisa bertahan melihat tingkah panglima yang angkuh itu.

"Ha ha ha...! Kalian mulai mengoceh tidak karuan!" Panglima Narakin tertawa terbahak-bahak.

"He... ! Kau seorang panglima, kenapa tidak tahu kalau pengirim barang pribadi rajamu hampir mati...?" sentak Pandan Wangi semakin gusar.

"Sudahlah. Sebaiknya, kalian pergi saja jauh-jauh dari sini. Gusti Prabu Sarajingga tidak memiliki pengantar barang pribadi. Tidak ada gunanya membual," sinis sekali nada suara Panglima Narakin.

Pandan Wangi mendelik geram. Diliriknya Pendekar Rajawali Sakti yang berada di sampingnya. Mereka masih berada di atas punggung kuda masing-masing. Sementara itu Rangga tampak mulai geram, karena merasa dipermainkan. Hal ini terlihat jelas dari raut wajahnya yang memerah dan gerahamnya bergemeletuk keras.

"Ayo, Pandan. Kita pergi," ajak Rangga seraya memutar kudanya.

"Tapi, Kakang...!"

Rangga cepat mengerdipkan matanya, maka Pandan Wangi tidak membantah lagi. Segera kudanya diputar mengikuti Pendekar Rajawali Sakti itu. Sesaat kemudian, dua ekor kuda itu sudah berpacu cepat meninggalkan kepulan debu yang membumbung tinggi di angkasa.

Kepergian kedua pendekar muda itu diiringi tawa terbahak-bahak dari Panglima Narakin. Sementara Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh meninggalkan perbatasan kota. Namun demikian si Kipas Maut itu masih belum puas atas perlakuan panglima tadi. Lari kudanya seketika dihentikkan setelah melewati tikungan yang menuju Gunung Karang Hawu.

"Berhenti dulu, Kakang..,!" seru Pandan Wangi.

Rangga menghentikan lari kudanya, kemudian menghampiri Pandan Wangi yang sudah turun dari punggung kuda putihnya. Pendekar Rajawali Sakti pun segera melompat turun dengan satu lompatan indah dan manis sekali. Kakinya langsung mendarat di depan Pandan Wangi. Mereka membiarkan kuda-kuda menjauh menghampiri hamparan rumput yang menghijau subur di tepi sungai kecil yang berair jernih, mengalir pelahan.

"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga.

"Aku tidak ingin pergi begitu saja. Panglima itu telah menghina kita, Kakang. Penghinaan ini harus dibalas!" dengus Pandan Wangi masih geram dengan tingkah Panglima Narakin yang begitu congkak.

"Aku juga tidak suka terhadap sikapnya, Pandan. Tapi dia hanya menjalankan tugas saja," sergah Rangga mencoba menenangkan Pandan Wangi. Padahal dia sendiri sedang berusaha meredam kemarahannya, karena juga merasa terhina atas sikap panglima itu.

"Tugas.... Huh! Kau juga punya banyak panglima, Kakang. Tapi tidak ada yang seperti itu," dengus Pandan Wangi masih kesal.

"Sudahlah, Pandan. Sebaiknya kita pergi saja dari sini," Rangga masih mencoba untuk bersabar.

"Tidak! Aku akan menghajar mulut panglima edan itu!" sentak Pandan Wangi. Seketika itu juga Pandan Wangi melesat cepat, dan langsung berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

"Pandan...!" Rangga terkejut.

Tapi Pandan Wangi sudah begitu jauh, lenyap di tikungan jalan. Rangga yang tidak ingin melihat gadis itu celaka, bergegas ikut berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti bagaikan berlari di atas angin. Kaki-kakinya yang bergerak cepat, seperti tidak menapak pada tanah. Dalam waktu yang tidak berapa lama, Rangga sudah bisa mengejar Pandan Wangi yang sudah mendekati perbatasan kota. Tampaknya para prajurit dan Panglima Narakin masih berada di sana.

"Pandan, tunggu dulu! Jangan gegabah...!" sentak Rangga memperingatkan.

Tapi Pandan Wangi tidak peduli lagi, dan cepat melesat begitu jaraknya dengan perbatasan itu tinggal beberapa tombak lagi. Gadis itu langsung meluruk ke arah Panglima Narakin yang terkejut begitu tiba-tiba mendapat serangan dari Pandan Wangi. Dua kali si Kipas Maut itu melontarkan pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaat...!"

"Heh...?! Ufs!"

********************

Cepat sekali Panglima Narakin mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan Pandan Wangi. Dua pukulan Pandan Wangi yang tidak menemui sasaran itu langsung menghajar dua orang prajurit yang berada di dekatnya. Seketika dua jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut. Tampak dua orang prajurit terpental, ambruk ke tanah. Seketika itu juga mereka tewas dengan dada remuk. Dari mulutnya mengucurkan darah kental agak kehitaman.

"Perempuan setan...!" geram Panglima Narakin gusar.

Sret! Panglima Narakin langsung mencabut pedangnya. Dan secepat itu pula, dikibaskan ke arah tubuh Pandan Wangi. Namun cepat sekali, si Kipas Maut mencabut kipas baja putih yang langsung cepat dikebutkan, menyampok pedang panglima itu.

Wut! Trang!

"Heh...?!" Panglima Narakin terkejut setengah mati begitu pedangnya membentur kipas baja putih di tangan Pandan Wangi. Pedangnya terpental balik, dan seluruh persendian tangannya terasa nyeri bergetar hebat.

Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja Pandan Wangi sudah menerjang panglima itu. Kipasnya yang terbuka lebar, berkelebat cepat mengancam tubuh panglima congkak itu. Beberapa kali ujung kipas baja putih itu hampir merobek tubuh Panglima Narakin, tapi masih bisa dihindari dengan manis sekali.

Sementara itu Rangga sudah menghadang para prajurit. Dia memang harus mencegah prajurit-prajurit itu dalam pertarungan antara Pandan Wangi dan Panglima Narakin. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Pandan Wangi hanya menggempur Panglima Narakin, dan tidak bermaksud menggempur prajurit-prajurit.

"Jangan ikut campur! Kami bisa dengan mudah membunuh kalian semua...!" Rangga memperingatkan dengan suara dingin menggetarkan.

Para prajurit itu tidak ada yang berani bertindak. mereka saling melemparkan pandangan, tapi tak seorang pun berani melakukan tindakan penyerangan. Sementara pertarungan antara Pandan Wangi dan Panglima Narakin masih berlangsung sengit sekali. Jurus demi jurus berlalu cepat. Panglima itu memang tangguh juga, meskipun dalam adu senjata tadi sudah bisa diketahui kalau tingkat tenaga dalamnya masih di bawah Pandan Wangi.

Itu bisa diketahui jelas, karena Panglima Narakin beberapa kali menghindari benturan senjata. Dan ini sangat disadari Pandan Wangi, sehingga semakin gencar memberikan serangan-serangan lewata jurus-jurusnya yang dahsyat dan cepat luar biasa. Setiap serangan yang dilakukannya mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Lewat sepuluh jurus, Panglima Narakin mulai kelihatan terdesak. Dia semakin kewalahan saja menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pandan Wangi. Beberapa kali senjata satu sama lain berbenturan tanpa dapat dihindari Panglima Narakin. Dan setiap kali pedangnya membentur kipas Pandan Wangi, panglima itu selalu terpekik. Bahkan pedangnya terpental hampir lepas dari pegangan tangan.

"Lepas...! Yeaaah...!" tiba-tiba Pandan Wangi berseru keras sekali.

Dan seketika itu juga kakinya dihentakkan ke arah perut Panglima Narakin. Namun panglima itu bisa menghindari dengan menarik tubuhnya ke belakang. Dan pada saat tubuh panglima itu agak membungkuk, cepat sekali Pandan Wangi mengibaskan tangan kanannya ke arah pergelangan tangan kanan Panglima Narakin yang memegang senjata.

Bet! Cras!

"Akh...!" Panglima Narakin tersentak, dan memekik keras ketika ujung Kipas Maut itu menyambar pergelangan tangan kanannya. Panglima itu tak bisa lagi mencegah pergelangan tangan kanannya yang buntung terbabat ujung Kipas Maut Pandan Wangi. Tangan dan pedangnya terpental jatuh ke tanah. Seketika darah segar muncrat keluar deras sekali. Dan sebelum Panglima Narakin bisa menyadari apa yang terjadi, dengan kecepatan tinggi sekali Pandan Wangi memberi satu tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi ke dadanya.

"Hiyaaa...!"

Deghk!

"Aaakh...!" kembali Panglima Narakin menjerit.

Tendangan Pandan Wangi yang cepat dan keras itu tak bisa dihindari lagi, telak menghantam dada Panglima Narakin. Akibatnya, laki-laki itu terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Pandan Wangi cepat, menjentikkan ujung jari kakinya pada pedang panglima yang tergeletak di tanah. Seketika pedang itu terpental ke atas. Secepat kilat, Pandan Wangi melesat menyambar pedang itu. Tubuhnya langsung meluruk deras ke arah Panglima Narakin yang baru saja berusaha bangkit berdiri.

"Hiyaaa...!"

"Hah...!" Panglima Narakin tersentak melihat Pandan Wangi meluruk deras ke arahnya. Dengan ujung pedang terentang lurus ke arah dada, gadis itu terus meluruk deras sehingga panglima itu tak sempat melakukan sesuatu lagi. Memang serangan si Kipas Maut itu demikian cepat bagaikan kilat. Sehingga....

Bres!

"Aaa...!" Jeritan melengking tinggi terdengar menyayat bersamaan dengan amblasnya pedang itu ke bahu kanan Panglima Narakin. Selagi panglima itu limbung, datang lagi satu pukulan ke kepala panglima itu.

"Yeaaah...!"

Prak!

"Aaa...!" kembali Panglima Narakin menjerit keras melengking tinggi. Kali ini adalah jeritannya yang terakhir. Karena, panglima perang itu langsung ambruk ke tanah tak berkutik lagi. Darah mengucur deras dari bahu yang tertembus pedangnya sendiri.

"Phuih...!" Pandan Wangi mendenguskan napasnya dengan kencang. Gadis itu langsung memutar tubuhnya memandang Rangga yang tengah menghalangi para prajurit agar tidak ikut campur dalam masalah ini. Pandan Wangi berdiri tegak bertolak pinggang seperti sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa saja. Kipas Mautnya sudah kembali tersimpan di balik ikat pinggang.

"Suruh mereka pergi, Kakang. Aku muak melihat tampang-tampang jelek itu!" dengus Pandan Wangi kasar.

Dan sebelum Rangga membuka mulutnya, semua prajurit langsung berlarian kabur. Mereka seketika gentar melihat panglimanya kalah di tangan seorang gadis muda berwajah cantik bagai bidadari itu.

"Seharusnya kau tidak perlu berbuat begitu, Pandan," kata Rangga seraya melangkah menghampiri gadis itu.

"Hanya menidurkannya sebentar," sahut Pandan Wangi seenaknya.

Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang tidak mudah merubah watak Pandan Wangi yang hidup dan dibesarkan di kalangan rimba persilatan. Gadis ini tidak lagi asing melihat darah muncrat dari tubuh seseorang. Tapi selama si Kipas Maut itu bersama Pendekar Rajawali Sakti, sedikit-sedikit keliarannya mulai terhapus. Meskipun terkadang masih saja timbul kenakalannya.

"Ayo kita pergi," ajak Rangga.

"Untuk apa, Kakang? Mereka pasti akan kembali lagi. Aku akan menghadapi mereka yang sudah bosan hidup," sahut Pandan Wangi.

"Jangan edan-edanan, Pandan...!" sentak Rangga.

"Aku sudah membunuh seorang panglima mereka, dan tentu banyak yang tidak senang. Aku nanti akan menjelaskannya. Dan kalau mereka tidak terima, boleh berhadapan denganku," tegas sekali suara Pandan Wangi.

"Heeeh...! Kau ini selalu saja cari penyakit, Pandan...," keluh Rangga.

"Tanggung, Kakang. Sudah kadung basah, sekalian saja nyebur," sahut Pandan Wangi kalem.

Kembali Rangga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia tidak bisa mencegah, apalagi meninggalkan gadis ini seorang diri. Mau tidak mau Pendekar Rajawali Sakti harus ikut juga dalam persoalan ini. Korban sudah jatuh, dan memang tidak mungkin menghindar begitu saja. Mereka bukan orang-orang pengecut yang bisanya hanya lari dengan meninggalkan tanggung jawab. Toh mereka tidak bersalah sama sekali. Memang sudah sepantasnya panglima itu menerima hukumannya.

Tapi yang sangat disesalkan Rangga, tidak semestinya Pandan Wangi membunuh panglima itu. Seharusnya pertarungan dihentikannya saat Pandan Wangi berhasil membuntungi tangan panglima itu. Namun Rangga memang tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Pandan Wangi. Dia melihat sendiri kalau Panglima Narakin masih tetap berusaha menyerang.

"Tunggu saja di sini, Kakang. Aku ingin tahu, seberapa banyak Prabu Sarajingga mengerahkan jagonya," tegas Pandan Wangi.

"Terserah kaulah...," desah Rangga.

Pandan Wangi tersenyum kecut. Dia tahu kalau Rangga terpaksa menuruti, karena memang sudah kepalang basah. Dan tentu saja harus dihadapi bersama.

********************

Saat itu, di dalam Istana Randukara, Dipa Pangga tertegun di balik pintu. Pemuda itu mendengar Prabu Sarajingga marah-marah sampai menggebrak meja. Keras sekali gebrakannya hingga menimbulkan suara berisik, mengganggu telinga. Dipa Pangga tahu kalau tadi dua orang punggawa masuk ke dalam ruangan ini. Memang sukar baginya untuk mendengar lebih jelas lagi, karena hanya terdengar samar-samar namun keningnya jadi berkerut saat mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut-sebut.

Dipa Pangga tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah Rangga. Pemuda pengembara yang mengenakan baju rompi putih dan sudah menyelamatkan nyawanya dari kematian di Lereng Gunung Karang Hawu.

Plak!

"Oh...!" Dipa Pangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja punggungnya ada yang menepuk dari belakang.

Pemuda itu terlonjak langsung berbalik. Hampir dia memaki begitu melihat Rara Ayu Ningrum yang telah membuatnya terkejut setengah mati. Tapi gadis itu sudah lebih cepat menarik tangannya meninggalkan tempat itu. Mereka langsung masuk ke dalam taman belakang istana yang hanya bisa dimasuki anggota keluarga istana saja.

"Ada apa?" tanya Dipa Pangga.

"Panglima Narakin mati," sahut Rara Ayu Ningrum setengah berbisik.

"Apa...?!" Dipa Pangga terperanjat mendengar berita itu.

"Si Kipas Maut yang membunuhnya," Rara Ayu Ningrum kembali memberitahu.

"Siapa itu si Kipas Maut?" tanya Dipa Pangga.

"Gadis teman Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rara Ayu Ningrum lagi.

"Kau jangan main-main, Adik Ningrum," Dipa Pangga tidak percaya.

"Tidak percaya, ya sudah...!" Rara Ayu Ningrum memberengut.

"Tapi..., kenapa Pandan Wangi membunuh Panglima Narakin?" Dipa Pangga seperti bertanya pada diri sendiri.

"Panglima Narakin meminta mereka meninggalkan Kerajaan Randukara ini, tapi ditolak. Panglima, Narakin terpaksa mengusir mereka. Namun si Kipas Maut langsung saja menyerang dan membunuhnya," jelas Rara Ayu Ningrum.

"Dari mana kau tahu semua itu, Ningrum?" Tanya Dipa Pangga. Nada suaranya seperti tidak percaya.

"Aku mendengarnya dari bilik serambi ruangan itu. Dari tempatku kan bisa mendengar jelas, Kakang."

"Tapi, kenapa kau memberitahuku?"

"Huh...! Kau selalu saja mencurigaiku, Kakang. Percayalah kalau aku tidak suka terhadap tindakan ayahku sendiri. Aku ingin membantumu. Lagi pula, sebenarnya kan ayah tidak berhak menduduki tahta. Kaulah yang berhak, Kakang."

"Kau mengkhianati ayahmu sendiri, Ningrum."

"Demi kebenaran, Kakang. Aku rela mati asalkan kebenaran ditegakkan di negeri ini."

"Apakah ayahmu tahu kalau kau mengkhianatinya?"

"Tidak. Ah, sudahlah.... Sebaiknya kau cepat temui mereka sebelum ayah mengerahkan para prajurit. "

Dipa Pangga terdiam beberapa saat. Dipertimbangkannya semua kata-kata gadis ini. Sungguh tidak disangka kalau Rara Ayu Ningrum diam-diam selalu mendengarkan semua yang diucapkan Prabu Sarajingga. Bahkan diam-diam pula gadis ini mengamati semua yang dilakukan ayahnya. Ternyata Rara Ayu Ningrum memiliki pengamatan yang baik terhadap sikap dan perbuatan ayahnya yang tidak ingin menyerahkan tahta yang didudukinya pada Dipa Pangga. Padahal, pemuda itulah sebenarnya yang berhak menduduki tahta itu daripada pamannya, Sarajingga.

"Cepat, Kakang. Jangan buang-buang waktu lagi," desak Rara Ayu Ningrum.

"Di mana mereka?" tanya Dipa Pangga.

"Di perbatasan dekat Gunung Karang Hawu," sahut Rara Ayu Ningrum memberitahu.

"Lalu, kau sendiri?"

"Aku akan mencoba menghadang prajurit. Tentu jumlah mereka sangat banyak," sahut Rara Ayu Ningrum.

"Kau akan menghalau mereka, Ningrum?"

"Jangan banyak tanya, Kakang. Ayo cepat pergi, sana...!" sentak Rara Ayu Ningrum.

"Baiklah., Tapi jangan ada prajurit yang terbunuh. Kalau kau terpaksa bertarung, hadapi saja orang-orang ayahmu. Bukan para prajuritnya," pesan Dipa Pangga.

"Aku usahakan," janji Rara Ayu Ningrum.

Dipa Pangga bergegas meninggalkan taman istana itu. Sementara Rara Ayu Ningrum cepat menuju kamarnya. Sambil berjalan cepat, Dipa Pangga masih belum bisa mengerti akan sikap adik sepupunya itu. Sama sekali tidak disangka kalau Rara Ayu Ningrum berpihak padanya, dan memusuhi ayahnya sendiri. Pemuda itu juga tidak menduga kalau adik sepupunya memiliki kegiatan tersembunyi yang dipersiapkan untuk menggulingkan ayahnya sendiri dengan menggantikan Dipa Pangga menjadi raja di Kerajaan Randukara ini.'

Meskipun Rara Ayu Ningrum sudah menunjukkan dukungannya, tapi Dipa Pangga belum bisa mempercayai begitu saja. Sikapnya masih tetap berhati-hati terhadap gadis itu. Kesetiaan Rara Ayu Ningrum, memang perlu dibuktikan dalam waktu yang panjang.

********************

Dipa Pangga menggebah cepat kudanya membelah jalan yang berdebu. Dia terus menuju perbatasan dekat Gunung Karang Hawu. Orang-orang yang berada di jalan itu, terpaksa cepat-cepat menyingkir. Tidak ada seorang pun yang menggerutu begitu mengetahui yang berkuda ugal-ugalan itu adalah Dipa Pangga, putra mahkota yang belum juga naik tahta. Padahal usianya sudah cukup dewasa. Hanya karena belum menikah saja, Dipa Pangga tidak bisa menduduki tahta yang kini sementara diduduki pamannya. Itu terjadi karena memang sudah amanat raja yang terdahulu sebelum mangkat.

Dipa Pangga terus menggebah cepat kudanya meninggalkan keramaian kota. Kini dia mulai memasuki daerah yang sepi. Sepanjang jalan yang dilalui hanya pepohonan dan sawah serta dataran yang menanjak naik membentuk hamparan bukit. Dipa Pangga semakin cepat menggebah kudanya begitu melihat gerbang perbatasan di depannya.

"Hooop...!" Dipa Pangga menghentikan kudanya begitu sampai di gerbang perbatasan Kotaraja Randukara. Begitu kudanya berhenti berlari, dia cepat melompat turun dari kudanya. Gerakannya demikian indah dan ringan sekali. Ketika kakinya menjejak tanah, sedikit pun tidak menimbulkan suara.

"Rangga...! Pandan Wangi...!" teriak Dipa Pangga memanggil dengan suara yang keras.

Teriakan pemuda itu menggema, terpantul oleh tebing batu dan pepohonan, dan tersapu angin yang berhembus kencang. Namun suaranya tenggelam begitu saja tanpa ada sahutan sama sekali. Pandangan Dipa Pangga beredar ke sekeliling.

Dipa Pangga jadi keheranan juga, karena tidak ada seorang pun di tempat ini. Teriakannya yang keras disertai sedikit pengerahah tenaga dalam itu, tidak mendapat sambutan sama sekali. Kembali Dipa Pangga berteriak memanggil Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut, tapi tetap saja tidak ada sahutan.

"Hm..., jangan jangan....?"

Belum sempat Dipa Pangga melanjutkan pikirannya, mendadak saja sebuah bayangan hijau berkelebat cepat menyambar pemuda itu. Sejenak Dipa Pangga terperangah kaget, namun cepat sekali membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Kemudian tubuhnya melesat bangkit berdiri.

Dipa Pangga tertegup sejenak begitu melihat seorang wanita berambut panjang terikat pita hijau, sudah berdiri di depannya. Wanita itu mengenakan baju ketat berwarna hijau daun yang menutup rapat seluruh tubuhnya. Wajahnya mengenakan cadar yang juga berwarna hijau dart bahan sutra. Hanya matanya saja yang terlihat jelas.

"Kembang Karang Hawu...," desis Dipa Pangga, agak bergetar suaranya begitu mengenali wanita yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.

"Kali ini kau tidak mungkin lolos dari tanganku, Dipa Pangga," dengus wanita berbaju serba hijau yang dijuluki Kembang Karang Hawu itu.

Dipa Pangga yang pernah bentrok sekali dengan wanita berkepandaian lebih tinggi darinya itu, langsung bersiap. Kakinya digeser beberapa tindak ke samping. Kemudian pelahan-lahan pedangnya diloloskan. Sedikit pun matanya tidak berkedip memperhatikan wanita berbaju hijau itu.

"Sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu, Dipa Pangga. Tapi kau terlalu bandel, karena masih saja berkeliaran di Randukara ini," dingin sekali nada suara Kembang Karang Hawu itu.

"Kau tidak berhak mengusirku dari negeri ini, Perempuan Iblis!" dengus Dipa Pangga ketus.

"Ha ha ha... ! Aku bisa berbuat apa saja padamu, Dipa Pangga," si Kembang Karang Hawu tertawa terbahak-bahak.

Namun Dipa Pangga bisa membedakan kalau suara tawa dan nada bicara perempuan yang berjuluk Kembang Karang Hawu itu sangat dibuat-buat. Wanita berbaju hijau itu terlalu membesarkan suaranya dan nadanya sedikit ditahan. Sehingga suaranya terdengar datar tanpa tekanan sama sekali.

"Hm.... Kau selalu muncul menggunakan cadar. Siapa sebenarnya kau ini, Nisanak?" suara Dipa Pangga sedikit terdengar bergumam.

"Aku Kembang Karang Hawu. Jelas...?!" agak keras jawaban wanita berbaju hijau itu.

"Di balik julukanmu, kau tentu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya. Kenapa tidak kau tunjukkan saja dirimu yang sebenarnya, Nisanak? Aku yakin, di balik cadarmu itu kau menyembunyikan wajah buruk menjijikkan," Dipa Pangga memanasi.

"Kau terlalu polos untuk bisa memancing kemarahan orang, Dipa Pangga," desis si Kembang Karang Hawu sinis.

"Oh...?! Kau ingin aku, yang membuka cadarmu itu...? Baik bersiaplah...! Hiyaaat...!"

Dipa Pangga langsung saja melompat cepat menerjang wanita berbaju hijau itu. Pedangnya dikibaskan beberapa kali mengarah ke bagian-bagian tubuh wanita itu. Namun lincah dan manis sekali si Kembang Karang Hawu berkelit, menghindari se.tiap serangan gencar yang datang.

Beberapa kali Dipa Pangga hampir membabatkan pedangnya ke tubuh wanita itu, namun beberapa kali pula wanita itu bisa menghindarinya. Dan Dipa Pangga seperti tidak ingin memberi kesempatan si Kembang Karang Hawu untuk balas menyerang. Dia terus mencecar lewat jurus-jurusnya yang cepat dan dahsyat. Setiap serangan yang dilancarkan Dipa Pangga mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja si Kembang Karang Hawu berteriak keras.

Seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara ketika Dipa Pangga membabatkan pedangnya ke arah kaki. Secepat itu pula, wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar, meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi ke arah kepala Dipa Pangga.

"Uts...!" Cepat-cepat Dipa Pangga menarik dirinya ke belakang beberapa tindak mengegoskan kepalanya, menghindari serangan balasan itu. Pukulan si Kembang Karang Hawu tidak mengenai sasaran, dan hanya mengenai tanah tempat Dipa Pangga tadi berdiri.

Seketika ledakan keras terdengar, bersamaan dengan terbongkamya tanah yang terkena pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi. Dipa Pangga sampai terlompat mundur. Dan belum juga lenyap keterkejutan pemuda itu, si Kembang Karang Hawu sudah cepat melancarkan serangan kembali.

"Hiyaaa... !" Serangan yang dilancarkan wanita berbaju hitam itu sungguh cepat luar biasa, dan beruntun tanpa henti. Sehingga, Dipa Pangga menjadi kewalahan menghindarinya. Hingga suatu ketika, di saat Dipa Pangga baru saja menghindari tendangan yang mengarah ke pinggangnya, mendadak saja...

Bughk!

"Akh... !"

ENAM

Dipa Pangga menjerit keras ketika tiba-tiba saja satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi mendarat di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke belakang, menghantam sebongkah batu yang cukup besar.

"Hoeeek...!" Dipa Pangga memuntahkan darah kental ketika mencoba bangkit berdiri. Dia tidak tahu lagi, ke mana pedangnya tadi terpental ketika mendapat satu pukulan keras di dadanya. Dan baru saja bisa bangkit berdiri, mendadak terasa ada benda dingin yang tipis menempel di lehernya. Dipa Pangga tersentak kaget, karena si Kembang Karang Hawu sudah menempel-kan ujung pedang ke lehemya. Lebih terkejut lagi, karena pedang yang digunakan wanita bercadar itu ternyata miliknya sendiri.

"Hhh! Hanya sampai di sinikah kemampuan calon raja...?" ejek si Kembang Karang Hawu sinis.

"Kau punya kesempatan untuk membunuhku, Iblis!" desis Dipa Pangga seraya menahan rasa nyeri di dadanya.

"Terlalu enak kalau mati begitu saja, Dipa Pangga. Kau harus bisa merasakan pedihnya penderitaan yang pernah kualami," dingin sekali nada suara wanita bercadar hijau itu.

"Aku tidak pernah menyakiti orang. Terlebih lagi untuk mengenal dirimu! Kenapa kau ingin membuatku menderita...?" masih terdengar ketus nada suara Dipa Pangga.

"Sayang sekali, ayahmu keburu mati. Jadi kau yang harus menggantikannya, Dipa Pangga," desis si Kembang Karang Hawu itu lagi, semakin dingin nada suaranya.

"Apa yang telah dilakukan mendiang Ayahanda Prabu padamu?" tanya Dipa Pangga ingin tahu.

"Kau memang perlu tahu, Dipa Pangga. Karena sebentar lagi kau akan merasakan bagaimana tersiksanya dalam penderitaan, terhina, dan malu yang tak akan hilang seumur hidup...," kali ini nada suara wanita itu agak tertekan.

"Aku akan menerima lapang dada, jika memang ayahku bersalah," tegas Dipa Pangga.

"Suka atau tidak suka, kau memang harus menerima, Dipa Pangga."

"Katakan, apa yang telah dilakukan ayahku. Maka, kau bisa melakukan apa saja padaku," desak Dipa Pangga.

Si Kembang Karang Hawu melangkah mundur dua tindak. Pelahan pedang yang tadi menempel di leher Dipa Pangga diturunkan. Kemudian pedang itu dilemparkan ke depan kaki pemuda itu. Namun, Dipa Pangga mendepak jauh pedang yang tergeletak di depan kakinya.

Perbuatan Dipa Pangga ini, membuat sepasang bola mata yang indah itu menyipit. Dipandanginya Dipa Pangga yang tengah membuka baju, kemudian melemparkannya begitu saja. Tampak pada pinggang pemuda itu berbaris pisau kecil yang berjumlah lebih dari lima puluh buah. Pemuda itu melepaskan wadah pisau yang terbuat dari kulit, lalu melemparkannya jauh-jauh. Kemudian, diambilnya lagi dari kaki kanan dan kirinya pisau-pisau yang masing-masing berjumlah sepuluh buah.

Dipa Pangga kemudian melepaskan sabuknya yang terbuat dari kulit bermanik-manik batu permata. Dari sabuknya dikeluarkannya benda-benda bulat kecil sebesar biji kacang kedelal yang berwarna merah. Semua benda-benda yang menjadi senjata rahasia yang melekat di tubuhnya, dibuangnya untuk meyakinkan wanita itu kalau dirinya akan menerima akibat dari perbuatan mendiang ayahnya. "Kenapa kau lakukan semua itu, Dipa Pangga?" tanya si Kembang Karang Hawu tidak bisa menahan keheranannya atas sikap Dipa Pangga yang nampanya siap menerima pembalasan.

"Agar kau lebih mudah untuk menyiksaku," sahut Dipa Pangga kalem.

Wanita bercadar hijau itu jadi terpaku. Sungguh tidak disangka kalau Dipa Pangga akan berbuat seperti itu. Rela menerima segala akibat yang dilakukan mendiang ayahnya. Dan sekarang, pemuda itu benar-benar polos, tak memiliki senjata apa pun juga.

"Setan kau, Dipa Pangga...," desis si Kembang Karang Hawu.

"Nah! Sekarang aku sudah tidak bersenjata lagi. Lakukan apa saja sesukamu, agar dendammu terbalaskan," kata Dipa Pangga kalem.

Wanita bercadar hijau itu tidak menanggapi, tapi malah memandangi Dipa Pangga dengan sinar mata yang sukar untuk diartikan. Sepertinya sikapnya ragu-ragu untuk melakukan sesuatu pada pemuda yang rela mengorbankan diri demi baktinya pada orang tua.

"Huh...!" si Kembang Karang Hawu mendengus berat. Mendadak saja tubuhnya melesat cepat. Dan dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi. Dipa Pangga masih berdiri tegak dengan tubuh tanpa baju lagi. Matanya tak berkedip memandangi arah kepergian wanita bercadar yang pergi begitu saja melihat kerelaan Dipa Pangga mengorbankan dirinya.

Dipa Pangga memutar tubuhnya ketika telinganya mendengar tepukan tangan satu-satu dari arah belakang. Tampak di depannya kini sudah berdiri Pendekar Rajawah Sakti dan si Kipas Maut. Pemuda berbaju rompi putih itu masih bertepuk tangan sambil mengulas senyuman lebar.

"Rupanya kau ada di sini sejak tadi, Rangga," desis Dipa Pangga seraya memungut kembali baju dan senjata-senjatanya, kemudian mengenakan pelahanlahan.

"Maaf. Kami telah mencuri dengar semua yang terjadi," ucap Rangga seraya melangkah mendekat.

"Sebenarnya tadi kami ingin keluar, tapi tidak jadi," sambung Pandan Wangi ikut mendekati Dipa Pangga.

"Wanita itu yang membuatmu terkapar tempo hari, Raden?" tanya Rangga yang sudah mengetahui kalau pemuda di depannya ini adalah Raden Dipa Pangga, pewaris tunggal tahta Kerajaan Randukara ini.

"Benar. Tapi aku agak heran, karena dia tidak membunuhku," sahut Dipa Pangga. "Rangga, sebaiknya jangan panggil aku dengan sebutan raden."

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Di istana, kau boleh memanggilku begitu. Tapi di sini, aku orang biasa yang sama seperti lainnya," sahut Dipa Pangga.

Pandan Wangi tertawa seraya melirik Rangga yang berdiri di sampingnya. "Sama dong seperti...," ucapan Pandan Wangi terputus begitu mata Rangga mendelik padanya.

"Dengan siapa?" tanya Raden Dipa Pangga ingin tahu.

"Yaaah..., dengan raden dari kerajaan lain," sahut Pandan Wangi seraya mengangkat bahunya sedikit.

Hampir saja Pandan Wangi keterlepasan bicara, membuka penyamaran Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar muda itu sebenarnya juga seorang raja di Kerajaan Karang Setra. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah menggunakan kedudukannya jika sedang mengembara seperti ini. Bahkan tidak suka jika ada yang memanggilnya dengan sebutan Gusti Prabu di luar istana. Rangga lebih senang jika dipanggil dengan namanya saja.

Sikap yang dimiliki Raden Dipa Pangga sama persis dengan Pendekar Rajawali Sakti, yang tidak ingin menonjolkan diri dengan memanfaatkan kedudukan tinggi. Hal ini membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi bersimpati. Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar itu memang menyukai kesederhanaan serta menyadari kalau semua manusia di bumi ini adalah sama. Hanya pangkat dan kedudukan saja yang membedakannya.

********************

Malam ini udara terasa begitu dingin. Dan dinginnya udara, sama sekali tak dihiraukan Rangga dan Pandan Wangi yang tidak lepas mengamati bagian dalam kamar Prabu Sarajingga dari tempat tersembunyi. Mereka bisa berada di lingkungan istana ini berkat bantuan Dipa Pangga melalui jalan rahasia.

Raden Dipa Pangga sudah menceritakan tentang maksud Prabu Sarajingga yang tidak bersedia turun tahta dan menyerahkannya pada ahli waris yang sah. Hal ini diketahuinya dari penuturan Rara Ayu Ningrum. Dari penuturan Dipa Pangga, Rangga akhirnya mengambil satu keputusan untuk mengamati Prabu Sarajingga.

"Sudah waktunya kau mengamati Rara Ayu Ningrum, Pandan," bisik Rangga.

"Aku lupa kamarnya, Kakang," sahut Pandan Wangi juga berbisik.

"Tidak jauh dari kamar Raden Dipa Pangga," Rangga mengingatkan.

"Sebelah mana?"

"Pokoknya di depan jendelanya ada pohon kemuning. Itulah kamar Rara Ayu Ningrum."

"Oh, iya. Aku ingat sekarang. "

"Sudah sana, cepat. "

"lya, sabar ah.... "

Rangga mendengus saja melihat sikap Pandan Wangi yang seenaknya. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti menyuruh kedua kali, Pandan Wangi sudah melesat cepat menuju kamar Rara Ayu Ningrum. Mereka memang sudah diberitahu tentang keadaan dan letak setiap bagian dari istana ini oleh Raden Dipa Pangga. Sehingga rasanya tidak sulit bagi Rangga untuk mengamati keadaan istana ini. Terutama sekali, dia harus mengamati segala tindakan Prabu Sarajingga.

Pendekar Rajawali Sakti menduga kalau antara Prabu Sarajingga dengan si Kembang Karang Hawu ada hubungan erat. Bahkan diduga, si Kembang Karang Hawu itu sebenarnya adalah Rara Ayu Ningrum. Hanya saja belum bisa dipastikan, maksud dari semua ini.

Sementara malam terus merambat semakin larut. Tampak di dalam kamar yang kelihatan besar dan terang benderang itu, Prabu Sarajingga tengah berbicara bersama seorang perempuan tua yang mengenakan baju warna putih. Di lengan kanannya terlilit seekor ular belang benuama hitam dan kuning bergaris-garis.

"Hm..., siapa perempuan tua itu...?" gumam Rangga bertanya sendiri di dalam hati. "Akan kugunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'."

Pendekar Rajawali Sakti langsung menarik napas dalam-dalam dan menahannya beberapa saat, kemudian merapalkan ajiannya. Perlahan kemudian napasnya dihembuskan dalam-dalam. Kemudian pendengarannya mulai terasa lebih terang. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pendengarannya pada kamar yang sedang diamati, sehingga bisa mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas sekali.

"Hm..., jadi si Malaikat Jari Delapan ada di sini...?" suara Prabu Sarajingga seperti bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.

"Itulah yang tidak kumengerti, Sarajingga."

"Kau melihat ada tindakan yang mencurigakan, Nyai Setan Putih?" tanya Prabu Sarajingga lagi.

Perempuan tua berbaju putih itu hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan Prabu Sarajingga. Perlahan-lahan kepalanya menggeleng. Prabu Sarajingga bangkit dari duduknya, kemudian berjalan ke jendela. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu berdiri di depan jendela, memandang bulan yang, menggantung di langit. Sedangkan perempuan tua berbaju putih yang memang ternyata si Setan Putih, masih tetap duduk di kursinya.

"Sebaiknya lupakan saja si Malaikat Jari Delapan itu. Bagiku dia bukanlah halangan yang berarti," tegas Prabu Sarajingga seraya memutar tubuhnya membelakangi jendela yang terbuka lebar.

"Dia sudah tahu tentang...."

"Ya, aku tahu," potong Prabu Sarajingga.

Setan Putih kembali terdiam.

"Ada persoalan yang lebih penting lagi, Nyai Setan Putih," kata Prabu Sarajingga. "

"Tentang apa?"

"Dua orang pendekar yang tidak bisa dianggap enteng."

"Siapa?"

"Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut."

"Siapa...?!" Setan Putih terperanjat mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut.

"lni yang membuatku jadi tidak tenang, Nyai Setan Putih. Masalahnya, Dipa Pangga sudah begitu dekat dengan mereka," jelas Prabu Sarajingga lagi.

"Hm..., untuk apa dia ada di sini?" tanya Setan Putih setengah bergumam, sepertinya pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

"Sampai saat ini aku belum tahu, Nyai. Aku sudah berusaha mencari tahu, tapi seorang panglima kepercayaanku malah tewas di tangannya. "

"Dan kau hanya diam saja?"

"Aku sudah berusaha, tapi pendekar itu malah menghilang. "

"Maksudmu?" Setan Putih tidak mengerti.

"Aku sudah menyebar prajurit dan telik sandi. Bahkan seluruh pelosok kota dijaga ketat. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut tidak terlihat lagi," Prabu Sarajingga menjelaskan dengan nada cemas.

"Mungkin mereka sudah pergi, Sarajingga," ujar Setan Putih mencoba menenangkan Prabu Sarajingga.

"Tidak, Nyai. Aku merasa kalau Pendekar Rajawali Sakti masih berada di sini. Aku yakin, kau juga sering mendengar sepak terjangnya. Dia tidak akan pergi begitu saja, terlebih lagi setelah menewaskan seorang panglimaku. Dan ini akan membuatnya jadi penasaran dan ingin tahu. Itu yang menjadikan beban pikiranku saat ini," lagi-lagi nada suara Prabu Sarajingga terdengar mengeluh.

"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Setan Putih.

"Cari dan temukan dia. Kalau perlu, bunuh...! Pendekar Rajawali Sakti bisa menjadi ancaman yang serius," tegas sekali perintah Prabu Sarajingga.

"Hm..., kenapa tidak kau perintahkan saja para panglima dan jago-jagomu?"

"Jangan berpikir edan, Nyai...! Aku belum akan menarik perhatian. Dia bisa bertambah gila jika para panglima dan jago-jagoku bertindak."

"Lalu, kenapa harus aku?"

"Jika kau yang melakukannya, dia tidak akan menaruh perhatian pada istana ini. Terutama padaku," sahut Prabu Sarajingga.

"Seharusnya tugas ini kau serahkan pada si Kembang Karang Hawu, Sarajingga. Di sana kau sisipkan jago-jagomu. Dengan demikian, perhatiannya akan terpusat pada mereka. Bukannya pada dirimu," Setan Putih mengajukan saran.

"Ita juga akan kulakukan, Nyai. Tapi lebih baik kau juga berperan, agar perhatiannya semakin terpecah belah. Dengan demikian, aku bisa leluasa mengatur segalanya di istana ini."

Setan putih terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dalam had, diakui kalau rencana Prabu Sarajingga ini memang bisa dikatakan cemerlang.

"Siapa yang akan menghubungi si Kembang Karang Hawu?" tanya Setan Putih setelah beberapa saat lamanya terdiam.

"Biar aku saja. Aku bisa mudah melakukannya," sahut Prabu Sarajingga.

"Baiklah.... Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit Setan Putih seraya beranjak bangkit berdiri.

"Kau lewat jalan biasa saja, Nyai."

Setan Putih tidak menyahuti, tapi tiba-tiba saja melesat cepat bagai kilat menerobos jendela. Kalau saja Prabu Sarajingga tidak segera memiringkan tubuhnya, pasti terlanda perempuan tua berbaju putih itu.

"Edan...!" dengus Prabu Sarajingga.

Prabu Sarajingga memandang keluar sejenak. Dia tidak lagi bisa melihat bayangan si Setan Putih yang sudah lenyap cepat sekali. Kemudian jendela kamar itu ditutupnya. Tak berapa lama kernudian, kamar itu jadi gelap.

Sementara Rangga yang berada di persembunyiannya masih belum bergerak. Ajiannya segera ditarik kembali. Suatu ajian yang digunakan untuk men-dengarkan percakapan di dalam kamar itu tadi.

"Setan Putih...," desis Rangga pelahan.

Begitu pelannya, sehingga suara desisan itu hampir tidak terdengar oleh telinganya sendiri. Rangga masih berada di tempat persembunyiannya. Pandangannya berkeliling, mengamati suasana di sekitarnya. Tak seorang prajurit pun terlihat berkeliaran, kecuali dua orang prajurit bersenjata lembing yang berditi di samping pintu masuk ke dalam istana itu.

"Aku yakin kalau Raden Dipa Pangga tidak mengetahui hubungan pamannya itu dengan seorang tokoh rimba persilatan," kembali Rangga, bergumarn perlahan.

Pendekar Rajawali Sakti kembali berpikir keras. Rangga mempertimbangkan untuk memberitahu Raden Dipa Pangga tentang si Setan Putih atau tidak. Namun, dia segera memutuskan untuk menunda lebih dahulu. Ingin diketahuinya dulu dengan pasti, tentang hubungan yang terjalin antara Prabu Sarajingga dengan si Setan Putih. Bahkan juga harus mengetahui lebih dahulu tentang si Kembang Karang Hawu.

"Sudah jelas sekarang kalau si Kembang Karang Hawu bekerjasama dengan Prabu Sarajingga. Tapi...."

Rangga tidak melanjutkan, karena mendadak saja terlihat sebuah bayangan hijau berkelebat cepat melompati pagar benteng Istana ini yang disusul oleh sebuah bayangan lagi. Tak lama kemudian, terlihat sebuah bayangan lagi berkelebat cepat. Bayangan biru yang berkelebat cepat, mengikuti dua bayangan tadi.

"Pandan Wangi...," desis Rangga.

Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Pemuda berbaju rompi putih itu melesat cepat menuju ke arah dua bayangan yang dilihatnya tadi. Gerakannya sangat cepat sekali. Sehingga dalam sekejap mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap di balik tembok benteng istana ini.

TUJUH

Slap!

"Heh...?!"

Rangga tersentak kaget. Ketika baru saja menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat menyambar ke arahnya. Begitu cepatnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat berbuat sesuatu untuk menghindar dari terjangan bayangan putih itu.

Des!

"Ughk...!" Rangga mengeluh pendek ketika merasakan satu benturan keras di perutnya. Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak. Dan sebelum sempat mengurangi rasa mual yang mendadak menyerang perutnya, kembali bayangan putih itu berkelebat cepat ke arahnya.

"Hap...!" Bergegas Pendekar Rajawali Sakti membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali, dan secepat itu pula melompat bangkit. Segera tangannya digerak-gerakkan di depan dada sambil menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Rasa mual di perutnya berangsur berkurang.

Pada saat itu, bayangan putih tadi sudah kembali meluruk ke arahnya cepat sekali. Tapi kini Pendekar Rajawali Sakti itu sudah siap menyambutnya. Dan begitu bayangan putih itu sudah berada di dalam jangkauannya, mendadak Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan.

"Yeaaah...!"

Des! Satu benturan keras terjadi. Tampak Rangga kembali terhuyung ke belakang beberapa langkah. Sedangkan bayangan putih itu terpental balik, lalu berputaran beberapa kali di udara. Dan sebelum mendarat di tanah, tubuh Rangga sudah melenting mengejar. Dua pukulan beruntun, dilepaskan disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali.

"Hiyaaa...!" Namun mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sambil menarik kembali pukulannya yang hampir terlontar. Pemuda berbaju rompi putih itu memutar tubuhnya dua kali di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah tidak jauh dari benteng Istana Randukara

"Hik hik hik...!"

Suara tawa mengikik terdengar.

"Setan Putih...," desis Rangga mengenali perempuan tua yang kini berdiri tegak di hadapannya. Tangan kanan perempuan tua itu menjulur ke depan memegangi ekor seekor ular belang berwarna kuning dan hitam. Ular itu menegang kaku seperti sebatang tongkat kayu. Namun lidah yang bercabang menjulur bergetar keluar, menandakan kalau ular itu masih hidup.

"Huh...! Untung saja aku cepat melihat," desis Rangga dalam hati. Memang, kalau saja tadi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menarik serangannya, pasti ular belang yang pasti beracun itu bakal mematuk tangannya. Rangga menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak.

"Apa yang kau lakukan di istana ini, Pendekar Rajawali Sakti...?!" sentak Setan Putih dengan nada suara yang dingin menggetarkan.

"Kau sendiri, apa yang dilakukan di sini?" Rangga malah balik bertanya.

"Aku yang bertanya padamu, Bocah!" sentak Setan Putih gusar.

"Aku juga berhak bertanya," Rangga terus membalikkan.

Setan Putih menggeram gusar.

"Aku sering mendengar sepak terjangmu, Setan Putih. Rasanya tidak mungkin kau hanya sekadar lewat di sini," kata Rangga, agak sinis nada suaranya.

"Itu bukan urusanmu, Bocah!" bentak Setan Putih semakin berang.

"Tentu saja jadi urusanku, jika kau berhubungan dengan Prabu Sarajingga," terdengar tenang nada suara Rangga.

"Keparat! Rupanya kau memata-mataiku, heh?!" geram Setan Putih semakin berang. Rangga mengangkat pundaknya sedikit.

"Kau harus mampus, Bocah Keparat...!" desis Setan Putih. "Hiyaaat... !"

Seketika itu juga Setan Putih melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan kecepatan bagai kilat. Namun terjangan perempuan tua berbaju putih itu memang sudah diduga. Sehingga manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan tubuhnya ke samping. Dan memang serangan si Setan Putih tidak sampai mengenai sasaran.

Namun perempuan tua itu kembali menyerang dahsyat. Untung Rangga terus berkelit manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti jelas mempergunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib, sehingga sukar bagi si Setan Putih untuk menyarangkan pukulan maupun tendangannya. Padahal ular belangnya sudah dipergunakan sebagai senjata yang sangat ganas dan berbahaya.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan Rangga sendiri entah sudah menghabiskan berapa jurus. Namun pertarungannya melawan si Setan Putih masih terus berlangsung sengit sekali. Kegelapan malam dan dinginnya udara, tidak menghalangi pertarungan ihi. Mereka bergerak semakin menjauhi tembok benteng Istana Randukara. Dan ini memang disengaja oleh Pendekar Rajawali Sakti, agar tidak menarik per-hatian orang.

Hingga tanpa disadari, mereka sudah berada di tepi sebuah hutan yang cukup lebat dan menghitam pekat. Karena, cahaya bulan yang mengintip dari balik awan, tidak kuasa menerangi hutan itu. Pertarungan Itu semakin kelihatan dahsyat. Tempat-tempat yang dijadikan ajang pertarungan sudah tidak beraturan lagi bentuknya. Pohon-pohon bertumbangan, dan bebatuan pecah berserakan terkena pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi yang tidak menemui sasaran.

Wusss!

Sambil melompat mundur dua langkah, tiba-tiba saja si Setan Putih melemparkan ularnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Lemparannya begitu cepat, sehingga Rangga tidak sempat lagi menghindar karena jaraknya begitu dekat. Dan dengan cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti menyatukan telapak tangannya, menangkap ular belang itu.

Tap!

"Hesss... !" Ular belang itu mendesis keras dan ekornya menggeliat-geliat. Sementara kepalanya berada di dalam jepitan tangan Pendekar Rajawall Sakti. Hanya sedikit saja kepalanya menyembul keluar. Rangga menatap ular itu dalam-dalam.

"Kau sudah melanggar peraturan Satria Naga Emas, Belang..." desis Rangga.

Ular belang itu langsung tidak bergerak. Tampak sinar matanya seketika meredup mendengar suara Pendekar Rajawali Sakti yang mendesis bagai suara ular. Saat itu, Rangga memang menggunakan ilmu yang diberikan Satria Naga Emas. Suatu ilmu yang sangat langka, karena bisa berbicara dengan jenis ular yang hidup di bumi ini.

"Pergi kau! Mohon ampun pada rajamu!" sentak Rangga seraya melemparkan ular itu ke tanah.

Ular belang hitam kuning itu menggeliat sedikit begitu berada di atas tanah, lalu mendesis seraya mengangkat kepalanya. Sedangkan Rangga menatapnya dengan tajam. Perlahan kemudian, ular belang Itu merayap pergi.

"Keparat...!" geram Setan Putih yang menyaksikan ular kebanggaannya tidak mampu berbuat sesuatu pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Dia ingin kebebasan, Setan Putih," ujar Rangga seraya tersenyum sinis.

"Belang, kembali...!" bentak Setan Putih.

Tapi ular belang itu hanya menoleh sedikit pada si Setan Putih, kemudian terus merayap masuk ke dalam semak. Melihat kenyataan ini, si Setan Putih semakin marah saja. Belum pernah didapatkan lawan seperti Pendekar Rajawali Sakti, sehingga ular kebanggaannya tidak lagi mau menuruti perintahnya. Bahkan meninggalkannya begitu saja.

"Keparat kau, Pendekar Rajawali Sakti...," geram Setan PutIh mendesis sambil menahan kemarahan yang meluap. Setan Putih langsung menggerakkan tangannya di depan dada. Kaki kanannya ditarik ke samping, lalu membuat putaran dengan kaki kanannya. Dari bibirnya yang keriput. Tampak kedua bola matanya memancarkan sinar merah, kemudian pelahan-lahan seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya merah menyala bagai terbakar.

"Hm...!" Rangga menggumam kecil. Pendekar Rajawali Sakti itu tahu kalau si Setan Putih sudah bersiap mengerahkan aji kesaktiannya. Melihat seluruh tubuh perempuan tua itu sudah memancarkan sinar merah, Rangga tidak ingin bermain-main dan menganggapnya enteng.

"Hep...!"

Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan ilmu kesaktian juga. Dia tidak lagi tanggung-tanggung saat merasakan adanya udara panas yang menyelimuti seluruh udara. lni pasti akibat dari aji kesaktian yang dikerahkan si Setan Putih. Sementara Rangga, tengah mempersiapkan aji 'Cakra Buana Sukma', yang telah dikuasai Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sempurna. Sehingga Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi memerlukan pedang pusakanya untuk mengerahkan ajian itu.

"Sekarang kau pasti mampus, Bocah!" dengus Setan Putih. Setelah berkata demikian, Setan Putih langsung melesat cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

Pada saat yang sama, pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan kedua tangan yang berselimut cahaya biru ke depan. "Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!" teriak Rangga keras menggelegar.

Satu benturan keras terjadi antara dua pasang telapak tangan yang terbuka lebar. Benturan itu menimbulkan ledakan keras menggelegar dahsyat. Tampak tubuh si Setan Putih terpental balik ke belakang, sehingga dirinya tidak bisa dikendalikan. Tubuhnya meluruk deras, menghantam beberapa pohon hingga bertumbangan.

Sementara Rangga juga sempat terlempar ke belakang, dan jatuh bergulingan beberapa kali. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat bangkit berdiri. Pada saat yang sama Setan Putih juga sudah berdiri, meskipun limbung. Dari sudut bibimya mengucurkan darah kental agak kehitaman.

"Hm.... Ilmu yang dimiliki perempuan tua ini pasti memiliki watak yang' sama dengan aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati.

Aji 'Cakra Buana Sukma' memang tidak akan bisa menyerap kekuatan tenaga lawan, jika lawannya menggunakan ilmu dengan sifat yang sama. Itulah kelemahan dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang belum bisa ditutupi Pendekar Rajawall Sakti. Dengan ilmu yang berwatak sama, jelas akan merugikan diri sendiri jika terus dipergunakan. Dan Rangga sangat menyadari betul hal itu. Maka segera dipersiapkan ajian lainnya, begitu melihat si Setan Putih kembali mempersiapkan ajian yang serupa. Namun Rangga bisa memastikan kalau tingkatannya tentu lebih tinggi lagi.

"Hm.... Akan kucoba aji Batara Naga" gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti segera merapatkan kedua tangannya di depan perut, dan tangan kirinya berada di bawah telapak tangan kanannya. Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam, kemudian dirapalkannya aji 'Batara Naga'. Satu aji kesaktian yang diperolehnya dari Satria Naga Emas. Dan belum pernah digunakan dalam pertempuran (Untuk mengetahui asal-usulnya, silakan simak serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Asmara Maut)

Pelahan-lahan namun pasti, telapak tangan Rangga yang menyatu rapat di depan perut, memancarkan sinar kuning keemasan. Sinar itu semakin jelas terlihat, di antara sela-sela jari tangan dan lipatan telapak tangan yang menyatu rapat.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja si Setan Putih berteriak keras.

Dan seketika itu juga, perempuan tua berbaju putih itu melompat cepat. Sementara kedua tangannya terbuka, terentang lurus ke depan. Tepat ketika si Setan Putih berada di udara, Rangga cepat menghentakkan tangannya, mendorong ke arah perempuan tua itu.

"Yeaaah...!" seru Rangga keras menggelegar. Tampak seberkas cahaya kuning keemasan yang berbentuk bulat pipih meluncur deras dari kedua telapak tangan yang seketika terbuka begitu dihentakkan kuat-kuat. Sinar kuning keemasan itu meluncur deras menghantam si Setan Putih yang saat itu tengah meluncur di udara deras sekali.

Glarrr! Satu ledakan keras terdengar dahsyat sekali, begitu sinar kuning keemasan menghantam tubuh si Setan Putih.

"Aaa...!" terdengar suara jeritan panjang melengking tinggi. Tampak tubuh si Setan Putih terpental balik, langsung jatuh keras menghantam tanah. Perempuan tua itu mengerang dan menggelepar di tanah. Seluruh tubuhnya mengepulkan asap tipis. Tak berapa lama kemudian, tubuh perempuan tua itu tidak bergerak-gerak lagi.

"Oh...," Rangga mengeluh panjang tatkala melihat keadaan tubuh si Setan Putih.

Seluruh tubuh perempuan tua itu membengkak, sehingga membentuk benjolan-benjolan sebesar telur ayam. Benjolan-benjolan itu kemudian pecah, menyemburkan cairan merah bercampur kuning kehijauan. Pelahan-lahan kemudian, seluruh tubuh perempuan tua itu mencair, dan akhirnya tinggal seonggok tulang saja yang tergeletak di atas genangan daging yang mencair bercampur darah.

Sementara itu, Rangga bergerak mundur beberapa langkah. Sedangkan matanya tidak berkedip memandangi tubuh si Setan Putih yang kini tinggal tulang belulang saja. Sungguh dahsyat aji Batara Naga yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga sendiri tidak menyangka kalau akan seperti itu akibatnya pada manusia. Sangat dahsyat dan mengerikan hasilnya.

"Maaf, Nyai. Aku terpaksa membunuhmu," ucap Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti memandangi onggokan tulang si Setan Putih. Kemudian tubuhnya berbalik dan melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah berjalan, ayunan kakinya terhenti. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti itu tercenung dengan kening sedikit berkerut.

"Aku seperti mendengar suara pertarungan...," desis Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Kemudian pandangannya lurus tertuju ke arah kanan. Kembali keningnya berkerut dan matanya agak menyipit. Di sebelah kanannya terdapat sebuah gunung yang menjulang angkuh menghitam pekat.

"Pandan Wangi...!" sentak Rangga agak mendesis. Pendekar Rajawali Sakti langsung teringat pada Pandan Wangi begitu mengetahui gunung itu adalah Gunung Karang Hawu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melesat ke arah gunung itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang di miliki. Sehingga, dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi.

********************

DELAPAN

Sementara itu di Lereng Gunung Karang Hawu sebelah Timur, tengah terjadi pertarungan sengit antara Pandan Wangi melawan seorang wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar tipis berwarna hijau pula. Rupanya pertarungan itu sudah mencapai taraf tinggi. Ini bisa dilihat dari jurus-jurus yang digunakan.

Tak jauh dari arena pertarungan itu, terlihat sesosok tubuh berbaju putih tergeletak di tanah. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Kelopak matanya terpejam. Gerakan halus pada dadanya menandakan kalau laki-laki berusia muda itu masih hidup.

"Pandan, awas...!" Tiba-tiba terdengar seruan keras, tepat ketika ujung selendang kuning wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar menyambar ke arah dada Pandan Wangi. Mendengar seruan keras dan tiba-tiba itu, Pandan Wangi cepat-cepat mengebutkan kipasnya yang terbuka ke depan dada.

Plas!

"Ikh...!" Pandan Wangi tersentak. Bergegas gadis itu melompat mundur dua tindak. Dari sudut ekor matanya, sempat terlihat kalau Rangga sudah berada di tempat ini. Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat, dan tahu-tahu sudah berdiri di samping Pandan Wangi.

"Kau periksa Raden Dipa Pangga saja, Kakang. Kelihatannya dia terluka cukup parah," kata Pandan Wangi dengan napas agak tersengal.

"Bagaimana dia bisa berada di sini?" tanya Rangga.

"Dia bertarung lebih dulu. Aku terlambat datang," sahut Pandan Wangi cepat.

Rangga berpaling menatap Dipa Pangga yang tergeletak di tanah, kemudian beralih pada wanita berbaju hijau yang mengenakan cadar. Selembar selendang berwarna kuning, tergenggam di tangannya.

"Hati-hatilah," ujar Rangga.

Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian melangkah mendekati wanita berbaju serba hijau itu. Si Kipas Maut menyadari kalau tenaga dalam yang dimilikinya berada di bawah satu tingkat dibandingkan dengan wanita berbaju hijau yang dikenal berjuluk Kembang Karang Hawu. Tapi hatinya tidak gentar sama sekali, meskipun sudah merasakan akibat dari benturan senjata yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Sementara itu Rangga sudah menghampiri Dipa Pangga yang tergeletak tak berdaya di tanah. Pendekar Rajawali Sakti memeriksa keadaan Dipa Pangga, kemudian membawanya ke tempat yang lebih teduh di bawah pohon berdaun rindang. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah kembali terlibat dalam pertarungan sengit melawan si Kembang Karang Hawu. Kali ini Pandan Wangi mengeluarkan Pedang Naga Geni yang diperolehnya di Bukit Setan. Karena, pedang pusaka inilah dia bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti yang sekarang menjadi kekasihnya.

Dengan Pedang Naga Geni, Pandan Wangi kelihatan semakin dahsyat saja jurus-jurusnya. Dan pada jurus-jurus permulaan, tampak kalau si Kembang Karang Hawu agak kewalahan juga membendung serangan-serangan yang dilancarkan si Kipas Maut. Namun setelah lewat sepuluh jurus, wanita berbaju hijau itu mulai bisa meredam setiap serangan yang dilancarkan Pandan Wangi.

"Hiyaaat...!" tiba-tiba saja si Kembang Karang Hawu berteriak keras menggelegar.

Pada saat itu tubuhnya melenting ke udara, lalu cepat sekali selendang kuningnya dikebutkan ke arah kepala si Kipas Maut. Serangan yang dilancarkan wanita itu demikian cepat sekali, sehingga Pandan Wangi tidak memiliki kesempatan lagi untuk menghindar.

"Yeaaah...!" Tak ada pilihan lain lagi bagi Pandan Wangi. Cepat-cepat pedangnya dikibaskan menyampok ujung selendang kuning yang meluruk deras mengancam kepalanya.

Rrrt... !

"Heh...?!" Pandan Wangi terkejut bukan main. Ternyata mendadak saja selendang 'kuning itu meliuk, dan langsung membelit pedangnya kuat-kuat. Dan sebelum gadis itu bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak merasakan ada satu sentakan kuat.

"Akh...!" Pandan Wangi terpekik. Buru-buru pegangannya pada pedang itu dilepaskan. Kalau tidak, bukannya tidak mungkin tangannya juga ikut terbetot buntung. Pedang Naga Geni yang berwarna merah itu melayang ke udara terbelit ujung selendang kuning Kembang, Karang Hawu.

"Hiyaaa... Sebelum Pandan Wangi bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja si Kembang Karang Hawu sudah meluruk deras ke arah si Kipas Maut. Dua pukulan dan satu tendangan dilontarkan cepat, mengandung tenaga dalam tinggi.

Des!

Bughk!

"Akh..." lagi-lagi Pandan Wangi memekik keras.

Satu pukulan dan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan si Kembang Karang Hawu tidak bisa dihindari lagi. Pandan Wangi terpental jauh ke belakang, lalu keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah. Tubuhnya bergulingan beberapa kali, dan baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu yang cukup besar.

"Pandan...!" pekik Rangga terkejut melihat Pandan Wangi tergeletak dengan darah mengalir dari bibirnya.

Rangga yang tengah berusaha menolong Raden Dipa Pangga, segera melesat ke arah Pandan Wangi. Matanya berputar seakan-akan tidak percaya melihat gadis itu tergeletak tak bergerak sedikit pun. Tampak pada dadanya tergambar telapak tangan hitam yang menghanguskan bajunya.

"Keparat..!" geram Rangga marah. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Wajahnya memerah dan matanya berkilatan tajam menahan kemarahan yang meluap. Gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang meluap-luap. Sebentar matanya melirik Pandan Wangi yang tergeletak di dekat batu.

"Perempuan iblis...! Kubunuh kau!" geram Rangga. "Hiyaaat...!"

Seketika itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagaikan kilat menerjang si Kembang Karang Hawu. Dua kali pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna dilontarkan. Serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat, membuat wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar hijau itu jadi terperangah. Namun dia cepat melompat ke samping, sehingga dua pukulan yang dilepaskan Rangga hanya menghantam sebatang pohon yang tadi berada di belakang si Kembang Karang Hawu.

Glarrr...! Ledakan keras terjadi seketika bersamaan dengan hancurnya pohon yang cukup besar itu.

"Gila...!" si Kembang Karang Hawu tersentak kaget.

Pukulan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti memang luar biasa sekali. Memang, tenaga yang dimilikinya sudah mencapai pada tingkatan yang sempurna. Sehingga, pohon besar itu hancur berkeping-keping terkena pukulannya yang keras dan dahsyat. Si Kembang Karang Hawu terkesiap juga melihat kedahsyatan pukulan lawannya itu. Namun dia tidak mungkin lagi menghindari bentrokan ini, karena Rangga sudah kembali menyerang cepat dan dahsyat.

"Hiya! Hiyaaa...!"

"Ufs...!" Beberapa kali Rangga melontarkan pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Dan beberapa kali pula, pukulannya hampir mengenai sasaran. Namun si Kembang Karang Hawu, lincah sekali masih bisa menghindar, meskipun jadi kewalahan juga menghadapi serangan gencar yang datang bertubi-tubi itu.

Pertarungan berlangsung dahsyat sekali. Beberapa kali terdengar ledakan keras menggelegar, setiap kali pukulan Rangga menghantam batu atau pepohonan. Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan sudah tidak karuan lagi bentuknya. Pepohonan dan bebatuan berhamburan, pecah berantakan ke mana-mana. Tanah terbongkar berhamburan menimbulkan kepulan debu yang bercampur asap dan kabut, sehingga menambah pengapnya udara malam ini. Namun pertarungan itu terus berlangsung semakin sengit saja.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Sementara beberapa kali si Kembang Karang Hawu mampu memberi serangan balasan. Namun setiap kali melancarkan serangan, selalu dapat dimentahkan dengan mudah oleh Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun wanita bercadar hijau itu sudah mempergunakan selendang saktinya, tetap saja tidak mampu membendung serangan Rangga yang tengah diliputi kemarahan itu. Selendang saktinya seperti tidak memiliki arti sama sekali terhadap Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Rangga berseru keras. Maka seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara, lalu secepat kilat meluruk deras dengan kedua kakinya bergerak lincah mengarah ke kepala si Kembang Karang Hawu.

"Edan...! Hih...!" Si Kembang Karang Hawu jadi kelabakan menghindari serangan kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti yang gencar. Bahkan tubuh Rangga berputaran cepat yang ditingkahi kibasan tangan yang merentang lebar ke samping. Saat itu, Rangga memadukan dua jurus sekaligus dalam serangannya. Jurus Sayap Rajawali Membelah Mega dan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.

"Yeaaah...!" Menghadapi dua gabungan jurus maut itu, si Kembang Karang Hawu tak bisa lagi berbuat banyak. Maka dengan cepat sekali tubuhnya melompat ke belakang sambil melontarkan selendang ke arah dada Rangga yang berada di udara.

Wusss!

"Yeaaah... !"

Bet!

Cepat sekali Rangga mengibaskan tangannya sambil memutar tubuh bagai gasing. Sementara tangan yang merentang kaku itu langsung menebas selendang kuning yang meluncur deras ke arahnya. Tangan yang lebih mirip pedang itu, membabat buntung selendang kuning kebanggaan Kembang Karang Hawu itu.

"Heh...!" si Kembang Karang Hawu terperanjat melihat selendangnya buntung. Dan sebelum wanita bercadar itu bisa menguasai keterkejutannya, mendadak saja Rangga sudah meluruk deras sambil mencabut senjatanya. Seketika itu juga cahaya biru menyilaukan memancar terang begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangka.

"Hiyaaa... !"

Bet! Wut!

Si Kembang Karang Hawu jadi kelabakan menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali kebutan pedang bercahaya biru itu hampir membelah tubuhnya, namun wanita bercadar hijau itu masih bisa menghindar. Kali ini Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus andalan yang sangat dahsyat dan jarang sekali dikeluarkan jika tidak perlu sekali. Tapi kini Pendekar Rajawali Sakti ingin cepat menyelesaikan pertarungan, disertai luapan amarah yang menggelegak dalam dada.

"Uh...!" si Kembang Karang Hawu mulai merasakan akibat dari jurus yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Jiwanya mulai tercabik, dan perhatiannya terpecah. Gerakan-gerakannya jadi tidak beraturan lagi. Semakin berusaha untuk memantapkan diri, semakin sukar jiwa dan perhatiannya dikendalikan. Pelahan namun pasti, si Kembang Karang Hawu mulai merasakan kepalanya pening dan matanya mengabur. Dia seperti melihat Pendekar Rajawali Sakti terpecah menjadi dua..., tiga, bahkan terus bertambah. Seakan-akan dirinya sudah dikelilingi pemuda berbaju rompi putih itu.

"Hiyaaa... !" mendadak saja Rangga berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga Pedang Rajawali Sakti dikebutkan ke arah dada si Kembang Karang Hawu. Dalam keadaan jiwa dan perhatian terpecah, wanita bercadar hijau itu tidak bisa lagi memastikan, dari mana dan ke mana arah serangan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga...

Cras!

"Aaa...!" si Kembang Karang Hawu menjerit melengking tinggi dan menyayat.

Si Kembang Karang Hawu terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang tertebas pedang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, satu tendangan keras bertenaga dalam sempurna mendarat di perutnya. Tak pelak lagi, wanita bercadar hijau itu terpental ambruk ke tanah dengan keras sekali. Kembali dia memekik tinggi begitu tubuhnya menghantam tanah.

"Hiyaaa...!" Saat itu Rangga sudah melompat dengan ujung pedang tertuju langsung ke dada yang terbelah mengucurkan darah. Sementara si Kembang Karang Hawu sudah tidak memiliki daya lagi untuk menghindar. Matanya hanya bisa dipejamkan, menunggu ajal yang sebentar lagi akan menjemput.

"Rangga, jangan...!"

Tiba-tiba saja terdengar seruan keras, tepat ketika ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti berada di dada si Kembang Karang Hawu. Seketika itu juga Rangga menghentikan gerakan pedangnya, dan langsung berpaling ke arah datangnya suara keras tadi.

"Dipa Pangga...," desis Rangga.

Tampak Dipa Pangga berjalan tertatih-tatih menghampiri sambil memegangi dadanya. Pemuda itu langsung berlutut di samping si Kembang Karang Hawu. Dengan tangan gemetar, pemuda itu melepaskan cadar yang menutupi wajah si Kembang Karang Hawu. Tampak seraut wajah cantik terpampang di balik cadar berwarna hijau.

"Ningrum...," ujar Dipa Pangga dengan suara yang pelan.

Pelahan Rangga mengangkat pedangnya, kemudian memasukkan pedang pusaka itu ke dalam warangka di punggung. Pendekar Rajawali bakti melangkah mundur dua tindak. Sementara Dipa Pangga mengangkat tubuh wanita yang ternyata Rara Ayu Ningrum, adik sepupunya sendiri.

"Kenapa kau lakukan ini padaku, Ningrum?" tanya Dipa Pangga dengan suara yang lemah.

Rara Ayu Ningrum tidak menyahut, tapi malah tersenyum saja dengan bibir yang semakin memucat. Cahaya matanya juga terlihat semakin redup. Sementara dari dadanya terus mengucurkan darah segar. Keadaan si Kembang Karang Hawu itu memang parah sekali.

Sementara itu Rangga beranjak mundur, lalu menghampiri Pandan Wangi yang masih tergeletak tak bergerak sedikit pun juga. Sedangkan Dipa Pangga masih mencoba bicara pada si Kembang Karang Hawu.

"Aku tidak mengerti maksud tindakanmu, Ningrum. Kau adikku, aku menyayangimu. Kenapa malah memusuhiku...?" lirih sekali nada suara Dipa Pangga.

Rara Ayu Ningrum tetap diam. Matanya yang semakin redup, tidak berkedip memandangi wajah pemuda itu. Bibir yang memucat, bergerak-gerak lemah, seakan-akan ingin mengucapkan sesuatu.

"Ningrum.... Apa yang membuatmu merasa dendam. Apa yang telah dilakukan ayahku padamu?" tanya Dipa Pangga lagi.

"Dia..., dia telah membunuh kakakku," sahut Rara Ayu Ningrum tersendat suaranya.

"Oh...! Bukankah kakakmu sedang menuntut ilmu di..."

"Tidak, Kakang. Sudah setahun kakakku mati dibunuh ayahmu," potong Rara Ayu Ningrum.

"Tapi..., kenapa?" Dipa Pangga ingin tahu.

"Hanya kecelakaan...," tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Dipa Pangga.

Cepat Dipa Pangga berpaling. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakang pemuda itu sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan jubah kumal memegang tongkat yang tidak beraturan bentuknya.

"Siapa kau?" tanya Dipa Pangga.

"Aku Malaikat Jari Delapan, sahabat ayahmu, Raden. Aku tahu persis kejadiannya sehingga kakak Rara Ayu Ningrum tewas," sahut laki-laki tua yang ternyata memang si Malaikat Jari Delapan.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Raden Dipa Pangga ingin tahu. Pemuda ini memang tidak pernah diberitahu peristiwa yang menyebabkan kakak Ningrum tewas. Terlebih lagi saat itu dia tengah menuntut ilmu.

"Waktu itu ayahmu mengajak seluruh anggota keluarganya berburu. Dan di hutan, ayahmu tidak sengaja membidikkan panahnya hingga mengenai dada kakak Rara Ayu Ningrum. Sejak itu, Sarajingga dan gadis ini menyimpan dendam. Tapi tidak ditunjukkan sama sekali. Dan kematian ayahmu juga karena racun yang diberikan Sarajingga dalam minumannya. Racun yang lemah dan tidak terasa cara kerjanya, sehingga tidak ada yang mencurigai kematian ayahmu, Raden," jelas Malaikat Jari Delapan.

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Raden Dipa Pangga.

"Aku sahabat dekat ayahmu, Raden. Dan sebelum meninggal, beliau menceritakan semuanya padaku. Ayahmu tahu kalau dirinya diracuni, tapi tak kuasa untuk menolakkan racun yang sudah merasuki jantungnya."

Raden Dipa Pangga memandang Rara Ayu Ningrum kembali. Dan gadis itu juga memandangi pemuda yang masih menyangga tubuhnya ini.

"Kalau kau izinkan, aku akan merawat luka-lukanya," kata Malaikat Jari Delapan menawarkan jasa.

"Apakah masih bisa diselamatkan?" tanya Dipa Pangga.

"Mudah-mudahan saja, selama Pendekar Rajawali Sakti masih bermurah hati," sahut Malaikat Jari Delapan.

Dipa Pangga langsung memandang Rangga yang sudah berhasil menyadarkan Pandan Wangi. Tampak Pendekar Rajawali Sakti itu memapah Pandan Wangi yang kelihatan lemah menghampiri mereka. Pemuda berbaju rompi putih berhenti sekitar satu batang tombak jaraknya di depan Raden Dipa Pangga.

"Jika kalian ingin menyembuhkannya, berikan hawa murni sedikit-sedikit selama tujuh hari. Jangan biarkan darah mengalir ke lukanya," kata Rangga memberitahu cara penyembuhan luka yang diderita si Kembang Karang Hawu.

"Kau akan ke mana?" tanya Raden Dipa Pangga.

"Aku akan menyembuhkan Pandan Wangi dulu," sahut Rangga.

"Di mana?" tanya Raden Dipa Pangga lagi.

Rangga tidak menyahut.

"Rangga, sebaiknya bawa saja ke istana. Aku akan memberikan kamar khusus untukmu," pinta Raden Dipa Pangga.

"Terima kasih...," ucap Rangga ingin menolak.

"Jangan kecewakan Raden Dipa Pangga, Pendekar Rajawali Sakti," selak Malaikat Jari Delapan.

Rangga tidak bisa menolak lagi, karena Raden Dipa Pangga terus meninggalkan Lereng Gunung Karang Hawu itu. Rangga memapah Pandan Wangi, sedangkan Malaikat Jari Delapan memondong tubuh Rara Ayu Ningrum yang selama ini dikenal berjuluk si Kembang Karang Hawu.

"Kita lewat jalan rahasia saja," usul Raden Dipa Pangga yang berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti.

"Untuk apa, Raden?" ujar Malaikat Jari Delapan.

"Aku tidak ingin Paman Sarajingga mengetahui kejadian ini," sahut Raden Dipa Pangga.

"Tidak perlu khawatir, Raden."

"Hm. Apa maksudmu, Ki?" tanya Raden Dipa Pangga tidak mengerti.

"Di istana sudah terjadi penggulingan tahta. Dan Sarajingga tewas," Malaikat Jari Delapan memberi tahu.

"Tewas...?" Raden Dipa Pangga terkejut.

"Bunuh diri, begitu bala tentaranya dapat dilumpuhkan. "

"Siapa yang memimpin makar itu?" tanya Raden Dipa Pangga.

"Panglima Kalawedi. "

"Oh...," desah Raden Dipa Pangga.

Pemuda itu tahu kalau Panglima Kalawedi memang sudah merencanakan makar untuk menggulingkan kekuasaan Prabu Sarajingga. Panglima Kalawedi memang tidak pernah menyukai kepemimpinan Prabu Sarajingga, namun selalu mendukungnya. Terlebih lagi setelah niat Prabu Sarajingga untuk menyingkirkan Raden Dipa Pangga diketahuinya. Walaupun itu dilakukan Prabu Sarajingga dengan halus dan pelahan-lahan, seperti yang dilakukan pada ayah pemuda ini.

Sementara itu, Rangga memperlambat jalannya. Dan tanpa ada yang menyadari, Pendekar Rajawali SaktI itu berjalan di belakang. Lalu, disaat mereka semua lengah, mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti itu melesat pergi. Namun kepergiannya rupanya diketahui juga oleh Malaikat Jari Delapan. Dan orang tua itu hanya tersenyum saja.

"He...! Kemana Rangga?" sentak Raden Dipa Pangga begitu menyadari kalau Rangga tidak berada di sampingnya.

"Sudah pergi," sahut Malaikat Jari Delapan.

"Pergi...? Kenapa?" tanya Raden Dipa Pangga seperti untuk dirinya sendiri.

"Mungkin merasa tidak ada lagi yang perlu dilakukan di sini, Raden."

"Tapi..., Pandan Wangi terluka. "

"Pendekar Rajawali Sakti bukan pendekar sembarangan, Raden. Dia pasti bisa mengobati luka yang diderita Pandan Wangi. Ah, sudahlah..., memang itu sudah wataknya. Watak seorang pendekar sejati, Raden. "

"Yaaah.... Sayang sekali, dia tidak bisa menyaksikan penobatanku," desah Raden Dipa Pangga menyesali.

Sedangkan Malaikat Jari Delapan hanya tersenyum saja. Dia sendiri sebenarnya merasa sudah terlepas dari kewajibannya. Kini tidak ada lagi yang perlu dijaga dan dilindunginya. Amanat terakhir sahabatnya sudah dilaksanakan dengan baik, yakni menjaga dan melindungi Raden Dipa Pangga dari maksud-maksud kotor manusia berhati iblis. Tapi orang tua itu tidak ingin pergi begitu saja sebelum benar-benar melihat ketenteraman berlangsung di Istana Randukara.

SELESAI

KISAH SELANJUTNYA: HURU HARA DI WATU KAMBANG