Penyair Maut - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Penyair Maut


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

Langkah terayun menyongsong fajar
Ombak bergulung menabur karang
Jerit anak gembala terngiang
Membelah pagi nan gersang...


“Sialan! Jelek...!” makian keras terdengar di antara bait-bait syair yang mengalun dari mulut seorang pemuda di atas sebongkah batu hitam di pinggir jalan.

Pemuda berkulit agak kehitaman dengan wajah penuh goresan luka menghentikan alunan bait-bait syairnya. Kepalanya menoleh dan memandang seorang laki-laki tua yang berdiri tidak jauh darinya. Beberapa orang yang berlalu-lalang di jalan itu tidak menggubris sama sekali.

“Tidak adakah pekerjaan lain, Kumbara?” nada suara laki-laki tua itu terdengar ketus.

“Aku seorang penyair, Ki Ampar. Hanya itu satu-satunya pekerjaanku,” sahut pemuda itu lembut.

“Desa ini bukan tempatnya penyair! Semua orang bekerja keras untuk hidup. Apa syair-syair bututmu bisa memberi makan, memberi sandang, dan segala macam keperluan hidupmu?! Kau harus bekerja, Kumbara. Lihat sekelilingmu! Lihat semua orang yang ada di sekitarmu!” agak keras suara Ki Ampar.

Pemuda berkulit hitam yang kini dinasehati itu diam saja. Dia melompat turun dari atas batu yang didudukinya. Sebentar ditatapnya Ki Ampar agak tajam, lalu melangkah pergi tanpa berkata-kata lagi.

Gending pengantin bertalu merdu
Wajah-wajah ceria menyambut
Adakah hati semanis madu...?
Menyapa embun nan lembut...


“Dasar penyair edan!” rutuk Ki Ampar bersungut-sungut.

Sementara pemuda yang bernama Kumbara itu terus melangkah sambil mengalunkan bait-bait syairnya. Beberapa orang desa yang kebetulan berpapasan, langsung mencibir. Anak-anak bertelanjang dada, berlarian, merubung, dan menyorakinya. Tapi Kumbara kelihatan acuh saja, bahkan semakin bersemangat melantunkan bait-bait syairnya.
Orang-orang tua menarik anak mereka yang merubungi Kumbara. Sedangkan pemuda itu hanya memandanginya saja dengan sinar mata sayu. Hanya sekejap saja keceriaan terpancar di wajahnya, kemudian berganti dengan kemurungan yang menyaput wajahnya kembali.

“Kalau membaca syair, sana di gunung! Biar monyet-monyet terhibur!” bentak seorang perempuan tua yang kainnya kedodoran.

“Mending kalau bagus! Suaranya saja persis burung gagak!” sambung seorang perempuan lainnya mencibir.

Kumbara memandangi orang-orang yang mencibir mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Sinar matanya redup dan sayu. Bibirnya terkatup rapat. Dengan lesu, dia berbalik dan melangkah pergi. Caci-maki dan segala macam rutukan terdengar di sekitarnya. Pemuda itu terus berjalan perlahan-lahan dengan kepala tertunduk.

“Minggir...! Minggir...!”

Tiba-tiba saja terdengar suara-suara keras berteriak, disertai suara derap langkah kaki kuda. Kumbara menghentikan langkahnya, dan kembali membalikkan tubuhnya. Pada saat itu, empat orang penunggang kuda menerobos kerumunan orang desa yang tengah mencaci-maki Kumbara. Orang-orang desa itu segera menyingkir memberi jalan.

Kumbara memandangi empat orang penunggang kuda itu. Sinar matanya terlihat sayu, namun memancarkan sesuatu yang sukar untuk dikatakan. Seorang penunggang kuda melompat turun. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Langkahnya tegap menghampiri Kumbara.

“Sudah berapa kali aku bilang, jangan kembali lagi ke sini!” bentak orang berwajah kasar dengan tubuh tegap berotot itu.

“Desa ini tempatku dilahirkan. Mengapa aku tidak boleh hidup di sini? Aku tidak pernah menyakiti orang lain,” sahut Kumbara.

“Sudah, jangan banyak omong! Ayo cepat pergi, sebelum kurusak mukamu!” bentak orang berwajah kasar itu.

“Sekalipun kalian bunuh, aku tidak akan pergi dari desa ini!” dengus Kumbara tegas.

Belum lagi hilang kata-kata Kumbara dari pendengaran, orang berwajah kasar itu melepaskan cambuk yang membelit pinggangnya. Cambuk berwarna hitam pekat dengan ujungnya berbentuk ekor kuda itu langsung dihentakkan dengan kuat.

Ctar!

“Akh!” Kumbara memekik menahan sakit.

Cambuk itu mendarat tepat di wajah Kumbara. Darah langsung merembes keluar dari kulit wajah yang sobek. Tapi Kumbara tetap berdiri tegak dengan sorot mata yang tajam. Laki-laki bertubuh kekar dan memegang cambuk itu kembali mengangkat senjata itu tinggi-tinggi ke udara.

“Tunggu!” tiba-tiba terdengar bentakan keras.

Laki-laki bertubuh tegap itu menghentikan ayunan cambuknya. Dia menoleh ke belakang dan langsung membalikkan tubuhnya, kemudian membungkuk di hadapan seorang pemuda yang usianya mungkin sebaya dengan Kumbara.

Pemuda itu duduk di atas punggung kuda putih, diapit dua orang berbadan tinggi besar dan berotot. Wajahnya cukup tampan, namun sorot matanya demikian tajam. Bibirnya tipis, dan selalu menyunggingkan senyuman. Sikapnya terlihat angkuh, apalagi saat memamerkan ilmu meringankan tubuhnya ketika melompat turun dari kudanya. Ringan sekali gerakannya, dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun kakinya mendarat tepat di depan Kumbara.

“Sebenarnya aku tidak ingin menyakitimu, kalau kau sedikit lunak,” kata pemuda itu. Suaranya terdengar lembut, namun mengandung arti yang sangat dalam.

Kumbara tidak menyahut. Namun pandangan matanya sangat tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan di depannya. Dia tahu kalau pemuda itu sangat berpengaruh dan berkuasa di desa ini. Bahkan kekuasaannya melebihi kepala desa. Meskipun masih muda, dia seorang saudagar yang amat kaya dan sangat berpengaruh. Hampir seluruh tanah di desa ini miliknya. Semua orang di Desa Komering Ilir ini menyebutnya Raden Glagah. Padahal, pemuda itu bukan keturunan bangsawan!

“Pergilah, sebelum orang-orangku habis kesabarannya,” sambung Raden Glagah.

“Kau memang sangat berkuasa di sini. Baik...! Aku pergi, tapi akan kembali membuat perhitungan pada kalian semua!” sahut Kumbara tegas.

Laki-laki yang memegang cambuk langsung mengangkat senjatanya dan siap menghantam Kumbara. Tapi Raden Glagah cepat-cepat merentangkan tangannya untuk mencegah. Kumbara hanya menatap tajam, kemudian berbalik, dan langsung melangkah pergi.

“Huh! Anak itu sudah berani kurang ajar, Raden!” dengus laki-laki berwajah kasar itu seraya menurunkan cambuknya, lalu membelitkannya kembali di pinggang.

“Biarkan saja dia pergi,” kata Raden Glagah kalem.

“Tapi dia sudah berani mengancam.”

“Dia cuma penyair miskin, tidak punya kekuatan apa-apa. Sudahlah, Naraka! Sebaiknya kita lanjutkan saja perjalanan. Waktu kita sudah terhambat hanya untuk mengurusi orang gila saja.”

Raden Glagah berbalik dan melompat naik ke punggung kudanya. Naraka mengikuti. Empat ekor kuda pun kembali berpacu cepat membelah jalan Desa Komering Ilir, menuju arah selatan. Penduduk desa yang menyaksikan semua kejadian itu, menarik napas lega. Mereka memang sudah tidak suka lagi terhadap Kumbara. Mereka berharap agar penyair gila itu benar-benar meninggalkan desa dan tidak kembali lagi.

Di antara penduduk Desa Komering Ilir itu, terlihat Ki Ampar. Laki-laki tua yang menjabat kepala desa itu hanya diam. Matanya memandang lurus ke punggung Kumbara yang melangkah gontai meninggalkan desa kelahirannya.

“Kumbara... Kalau saja kau ikuti semua kata-kataku, pasti nasibmu tidak semalang ini...” desah Ki Ampar dalam hati. “Malang benar nasibmu, Kumbara...”

*******************

Waktu terus berjalan, namun terasa lambat. Kumbara berhenti melangkah setelah sampai di tepi sungai besar yang berair keruh kecoklatan. Sungai itu menjadi pembatas antara Desa Komering Ilir dengan Desa Sindang Laga. Kumbara berdiri mematung memandang ke seberang sungai.

“Kalau saja aku punya ilmu silat, sudah kuhajar mereka semua!” gumam Kumbara memberengut.

Tangannya terangkat menyentuh luka di wajahnya. Dia meringis merasakan perih pada lukanya. Darah sudah mulai mengering. Dan memang, luka itu hanya menyobek kulitnya saja. Tidak seberapa parah, tapi cukup menyakitkan. Lebih-lebih hati pemuda itu. Begitu sakit terbalut dendam.

Sebuah sampan terapung di tengah-tengah sungai. Di atas sampan itu duduk seorang perempuan tua dengan baju kumal penuh tambalan. Kumbara memperhatikan perempuan tua itu yang tengah mengayuh sampan. Sepertinya sampan itu sengaja diarahkan ke tepi. Kumbara masih terus memperhatikan sampai sampan itu benar-benar menepi di depannya.

Perempuan tua itu melompat keluar dari sampannya, dan menariknya ke tepi. Tapi sampan itu tidak juga bergerak. Tanpa pikir panjang lagi, Kumbara bergegas menghampiri dan segera membantu perempuan tua itu menarik sampan ke tepi.

“Terima kasih,” ucap perempuan tua itu setelah sampannya berada di daratan.

“Sama-sama, Nek,” sahut Kumbara.

Perempuan tua itu merayapi wajah Kumbara yang penuh bekas luka goresan. Keningnya yang berkerut, semakin dalam kerutannya melihat luka di wajah Kumbara. Darah kering masih menempel jelas, dan tampaknya luka itu masih baru.

“Ada apa dengan diriku, Nek?” tanya Kumbara jengah dipandangi terus seperti itu.

“Siapa yang melukai mukamu?” tanya perempuan tua itu tanpa menjawab pertanyaan Kumbara.

“Ah! Hanya tergores ranting, Nek,” sahut Kumbara berdusta.

“Coba kulihat.”

Kumbara mau menolak, tapi perempuan tua itu sudah menjulurkan tangannya memeriksa luka di wajah pemuda itu. Kumbara hanya diam saja. Terdengar suara berdecak dari bibir perempuan tua itu. Kepalanya yang ditumbuhi rambut putih, menggeleng-geleng.

“Tidak parah, tapi akan meninggalkan bekas yang tidak akan hilang seumur hidup,” kata perempuan tua itu seperti bicara pada diri sendiri.

“Nenek mau ke mana?” Kumbara mengalihkan perhatian perempuan tua itu.

“Ke Desa Komering Ilir,” sahut perempuan tua itu. “Kau sendiri?”

Kumbara tidak segera menjawab. Kepalanya kemudian menggeleng beberapa kali. Sinar matanya kini redup tanpa cahaya sedikit pun. Kembali perempuan tua itu memandanginya.

“Kalau kau tidak punya tujuan, sebaiknya ikut aku saja. Cucuku pasti bersedia menerima kedatanganmu. Kau anak yang baik,” kata perempuan tua itu lembut suaranya.

“Terima kasih, Nek,” ucap Kumbara bernada menolak.

“Jangan sungkan, anak muda. Meskipun aku dan cucuku hidup serba kekurangan, tapi kau bisa tinggal bersama kami,” desak perempuan tua itu.

“Cucu Nenek tinggal di Desa Komering Ilir?” tanya Kumbara.

“Benar.”

“Ah! Tidak usah, Nek. Permisi.”

Kumbara cepat melangkah pergi. Sementara perempuan tua yang memakai baju kumal penuh tambalan itu semakin heran saja. Dipandanginya pemuda itu dengan benak bertanya-tanya. Kemudian dia melangkah pergi setelah Kumbara berjalan cukup jauh. Namun kepalanya terus dipenuhi berbagai macam pertanyaan akan sikap Kumbara yang dirasanya sangat aneh itu.

*******************

Senja mulai merayap turun. Kesibukan di Desa Komering Ilir berangsur-angsur reda. Sebagian penduduk sudah meninggalkan pekerjaannya masing-masing. Seorang perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan berjalan tertatih-tatih, dibantu sebatang tongkat berkeluk dari bahan kayu hitam. Perempuan tua itulah yang bertemu Kumbara di tepi sungai tadi.

Langkahnya agak terseok menuju sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu dan beratapkan daun rumbia. Seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh tahunan muncul dari dalam rumah itu, tepat di saat perempuan tua itu tiba di depan pintu. Laki-laki muda bertubuh kurus tampak terkejut.

“Nenek...!” serunya terkejut.

Pemuda itu segera membantunya berjalan dan membawanya masuk ke dalam. Sebuah kursi kayu berdebu kini jadi tempat duduk perempuan tua itu. Sebuah pelita kecil dari minyak jarak tergantung di tengah-tengah ruangan yang sempit. Cahayanya begitu redup seolah-olah hendak padam.

“Kenapa tidak memberi kabar dulu kalau ingin datang?” nada suara pemuda kurus itu seperti menyesal. “Nenek kan bisa titip pesan pada penduduk yang pergi ke Desa Sindang Laga?”

“Aku belum jompo, Baruna!” sahut perempuan tua itu yang dikenal oleh seluruh penduduk Desa Komering Ilir dengan nama Nek Selong.

“Tapi, paling tidak aku bisa menjemputnya di tepi sungai, Nek.”

“Sudah ada yang membantuku menarik sampan ke tepi.”

“Siapa?”

“Ah, aku lupa menanyakan namanya. Tapi dia sangat baik, membantuku tanpa kuminta. Sayang, pemuda itu tidak bersedia kuajak singgah ke sini.”

“Sayang sekali. Padahal, dia bisa singgah di sini. Atau kalau dia mau bisa juga tinggal beberapa hari di sini.”

“Aku juga sudah menawarkan begitu. Tapi....”

“Kenapa, Nek?”

“Dia kelihatan sangat aneh. Begitu kukatakan bahwa cucuku tinggal di sini, dia langsung pergi begitu saja.”

Baruna diam merenung.

“Yang aku heran, mukanya penuh luka. Aku sempat memeriksa luka-lukanya. Sepertinya terkena sayatan senjata yang mengandung racun ringan, tapi tidak mematikan. Hanya saja akan membuat cacat kulitnya seumur hidup,” kata Nek Selong setengah bergumam.

“Benar itu, Nek...?!” Baruna kelihatan terkejut.

“Iya. Kenapa kau kaget?”

“Tidak ada orang lain yang mukanya penuh goresan, kecuali Kumbara. Dia orang malas yang bisanya hanya membaca syair. Hhh...! Tapi kasihan juga, Nek. Hidupnya sebatang kara, tidak punya tempat tinggal, dan... Yaaahhh...! Begitulah kalau semua orang sudah tidak menyukainya. Paling-paling aku hanya bisa merasa kasihan saja,” kata Baruna pelan.

“Jadi, dia juga penduduk desa ini?” Nek Selong ingin menegaskan.

“Ya, tapi sekarang tidak lagi. Raden Glagah sudah mengusirnya. Kumbara dianggap biang kekacauan dan selalu menimbulkan keresahan. Padahal, dia tidak pernah melakukan perbuatan yang meresahkan. Apalagi sampai merugikan orang lain. Entahlah! Aku sendiri tidak mengerti, kenapa semua orang membenci dan menjauhinya seperti melihat anjing buduk berpenyakitan.”

“Kumbara...,” Nek Selong bergumam pelan.

“Ada apa, Nek?” tanya Baruna.

“Ah, tidak. Oh, ya. Bagaimana dengan kemajuan olah kanuraganmu?” Nek Selong mengalihkan pembicaraan.

“Lumayan, Nek. Tapi...,” wajah Baruna berubah mendung.

“Ada apa?” tanya Nek Selong. “Kau mendapat kesulitan?”

“Kesulitan dalam latihan tidak ada, Nek. Hanya ini....”

“Apa?”

“Badanku, kenapa tidak menjadi kekar juga? Padahal aku selalu giat berlatih. Semua jurus yang Nenek ajarkan sudah aku kuasai penuh,” nada suara Baruna terdengar mengeluh.

“Kau menyesal dengan badanmu yang kurus kerempeng itu, Baruna?”

“Aku ingin seperti pemuda lainnya, Nek. Punya badan kekar, berisi dan otot menonjol. Aku pasti bisa bekerja pada Raden Glagah, dan tidak terus-terusan hidup miskin, selalu kekurangan! Semua orang selalu menganggapku lemah, dan tidak ada yang mau mempekerjakanku,” keluh Baruna.

“Baruna..., Baruna. Sudah berapa kali kukatakan, jangan suka mengeluh dan menyesali diri. Lagi pula aku mengajarkan jurus-jurus olah kanuragan bukan untuk bekerja jadi tukang pukul! Lebih-lebih buat Raden Glagah. Lebih baik kau tetap kurus begitu daripada buang tenaga buat orang macam Raden Glagah!”

“Nek! Semua orang di sini selalu menginginkan begitu. Mereka merasa bangga kalau bisa bekerja pada Raden Glagah.”

“Mereka semua tolol!” agak keras suara Nek Selong.

“Nek..., mengapa Nenek selalu menganggap semua orang di sini tolol? Kenapa Nenek tidak mengijinkan aku bekerja pada Raden Glagah? Kenapa, Nek...?”

Nek Selong tidak segera menjawab. Dia hanya menarik napas panjang, kemudian bangkit berdiri. Tanpa berkata-kata lagi, perempuan tua itu kemudian merebahkan diri di atas balai-balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan.

“Bangunkan aku tengah malam nanti. Aku ingin lihat, sampai di mana kau menguasai jurus-jurus yang telah kuturunkan,” pesan Nek Selong.

“Baik, Nek,” sahut Baruna lirih.

Baruna masih duduk diam memandang keluar dari pintu yang terbuka. Saat itu, di luar sana kegelapan sudah menyelimuti seluruh Desa Komering Ilir. Baruna benar-benar tidak mengerti. Setiap kali dia menanyakan perihal itu, neneknya selalu menghindar. Macam-macam dugaan dan pertanyaan muncul. Dan semuanya tidak ada yang bisa terjawab. Baruna hanya bisa menyimpannya di dalam hati.

*******************

DUA

“Hup! Yaaah...!”

Glar...!

Sebongkah batu sebesar kerbau berwarna hitam pekat, hancur berkeping-keping disertai suara ledakan menggelegar. Di antara kepulan debu dan reruntuhan batu itu, tampak seorang pemuda bertubuh kurus kerempeng berdiri tegak. Kedua tangannya terentang ke depan. Perlahan-lahan tangan yang kurus bagai tulang terbalut kulit itu bergerak turun. Kemudian tubuhnya berbalik, menghadap pada seorang perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan.

“Bagus! Kau telah menguasai jurus ‘Pukulan Tapak Geledek’ dengan baik, Baruna,” kata perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan itu, yang tak lain adalah Nenek Selong.

Pemuda kurus kerempeng yang memang ternyata Baruna itu melangkah mendekati. Keringat masih membasahi wajah dan tubuhnya. Dada yang kurus dengan tulang-tulang bersembulan, bergerak turun naik tidak teratur. Di tengah malam buta seperti ini, mereka berdua berada di tengah-tengah hutan dekat Desa Komering Ilir, tempat Baruna berlatih ilmu-ilmu olah kanuragan hampir tiap malam.

“Nek, boleh aku tanya sesuatu?” nada suara Baruna terdengar berharap.

“Katakan,” sahut Nek Selong.

“Terus terang, untuk apa sebenarnya aku mempelajari ilmu olah kanuragan ini? Sedangkan Nenek sendiri tidak pernah mengijinkan aku untuk menggunakannya. Semua yang kupelajari selama ini sepertinya jadi sia-sia saja. Apa sebenarnya maksud Nenek?” Baruna langsung menumpahkan ganjalan yang berada dalam hatinya.

“Semua yang aku ajarkan padamu hanya untuk menjaga diri, Baruna. Ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian bukan untuk jago-jagoan! Apalagi untuk melakukan sesuatu yang dapat merugikan orang lain, bahkan memperkaya diri sendiri,” sahut Nek Selong tenang.

Baruna kelihatan tidak puas dengan jawaban yang diberikan Nek Selong.

“Dengar, Baruna! Semua ilmu yang telah kau kuasai itu adalah ilmu turunan dari leluhurmu. Tidak ada yang memilikinya selain keluarga kita. Dan kau sendiri adalah keturunan yang terakhir. Aku tidak ingin ilmu warisan ini hilang. Itulah sebabnya selalu kutekankan agar kau berlatih keras dan menguasai semuanya dengan baik,” sambung Nek Selong lembut nada suaranya.

“Pasti bukan itu maksud sebenarnya!” gerutu Baruna tetap merasa tidak puas. “Nenek menyembunyikan sesuatu! Terus terang saja, Nek...,” desak Baruna ingin tahu.

“Tidak ada yang kusembunyikan,” kata Nek Selong. Pandangan matanya tajam menatap langsung ke bola mata pemuda di depannya.

“Nenek bohong!”

“Baruna..., kapan aku pernah berbohong padamu?”

“Nenek selalu menghindar kalau aku bicara tentang Raden Glagah. Apa itu bukan bohong namanya? Nenek menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh kuketahui. Kenapa Nenek lakukan itu? Apakah Raden Glagah musuh Nenek?” desak Baruna.

Nek Selong tidak langsung menjawab. Kata-kata Baruna yang begitu lancar bagai air sungai mengalir dari pegunungan itu, langsung menyentuh hatinya. Beberapa kali ditariknya napas panjang, seolah-olah ingin dilonggarkan rongga dadanya yang mendadak terasa sesak.

Sedangkan Baruna sendiri telah bertekad untuk mengetahui semua yang disembunyikan Nek Selong selama ini. Malam ini dia harus bisa mendesak perempuan tua itu. Pemuda itu sudah tidak tahan lagi menyimpan ganjalan terpendam dalam hati. Dia yakin kalau Nek Selong menyembunyikan sesuatu. Terutama yang berhubungan dengan Raden Glagah.

“Aku sudah cukup dewasa, Nek. Usiaku sudah hampir dua puluh satu tahun. Untuk apa aku menguasai semua ilmu yang Nenek berikan, kalau tidak ada tujuan yang pasti? Katakan yang sebenarnya, Nek,” desak Baruna penuh harap.

Nek Selong masih diam membisu. Sekali lagi dia menarik napas panjang, kemudian berbalik. Langkahnya terayun pelan mendekati sebongkah batu ceper di bawah pohon beringin tua. Nek Selong duduk bersila di atas batu itu. Baruna mendekati dan duduk bersila di depannya. Pandangan matanya masih mengharapkan agar neneknya bersedia mengatakan apa yang disembunyikannya selama ini. Kemudian untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiam diri saja.

“Kau memang sudah dewasa, Baruna. Aku lupa, kalau cucuku sudah berusia hampir dua puluh satu tahun...,” kata Nenek Selong pelan, memecah kebisuan diantara mereka.

Baruna diam. Hatinya mulai gembira karena Nek Selong sudah mulai berkata seperti apa yang diharapkannya selama ini. Pemuda itu menunggu dengan sabar.

“Maafkan kalau selama ini aku telah menggelisahkan hatimu. Tapi bukan itu maksudku, Baruna. Memang sengaja kusimpan rahasia ini sampai kau benar-benar dewasa dan mampu menerimanya dengan hati bersih dan lapang,” sambung Nek Selong tetap pelan suaranya.

“Apa pun yang akan Nenek katakan, aku akan menerimanya dengan lapang dada,” kata Baruna.

“Dengar baik-baik, cucuku....”

Baruna tetap menunggu dengan sabar. Sudah lama dia mengharapkan agar neneknya mau terbuka dan tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Sementara Nek Selong masih diam mencari kata-kata yang tepat. Sepertinya dia begitu berat untuk mengatakan rahasia hidup cucunya.

“Dulu, sebelum kau lahir. Desa Komering Ilir merupakan sebuah desa yang damai dan tentram. Tapi semua itu berubah setelah kedatangan seorang saudagar kaya yang membeli hampir separuh tanah penduduk desa ini. Semua itu memang sering terjadi, dan tidak menimbulkan kejadian apa-apa.

Namun belakangan semuanya berubah menjadi bencana. Saudagar itu memaksa seluruh penduduk untuk menjual tanah kepadanya dengan cara-cara keji. Bahkan Kepala Desa Komering Ilir sendiri tewas karena tidak bersedia menyerahkan tanahnya...,” Nek Selong menghentikan ucapannya sebentar sambil menarik napas panjang-panjang.

“Teruskan, Nek,” desak Baruna mulai tidak sabaran.

“Tewasnya Kepala Desa Komering Ilir menimbulkan kemarahan penduduk. Tapi mereka tidak punya daya dan kekuatan. Saudagar itu memiliki tukang-tukang pukul yang sangat kejam. Bertahun-tahun mereka menguasai Desa Komering Ilir, hingga suatu hari datang seorang pemuda tampan dan gagah. Dia menumpas semua perlakuan saudagar itu. Seluruh penduduk sangat berterima kasih, tapi pemuda tampan itu pergi tanpa diketahui,” kembali Nek Selong menghentikan ceritanya.

“Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?” tanya Baruna.

“Setelah pemuda yang membebaskan penduduk dari tekanan saudagar kaya itu pergi, datang seorang laki-laki muda yang mengaku putra saudagar yang telah tewas itu. Langsung dikuasainya seluruh desa ini, dan diangkatlah kepala desa yang baru. Sikapnya memang mengundang simpatik, sehingga seluruh penduduk menerimanya dengan baik. Pemuda itu mengembalikan tanah-tanah penduduk yang dulu telah dibeli paksa oleh ayahnya.”

“Apakah dia itu Raden Glagah, Nek?” tebak Baruna tidak sabar.

“Benar! Pemuda itu adalah Raden Glagah,” sahut Nek Selong. “Sedangkan kepala desa yang terbunuh itu adalah kakekmu sendiri, adik kandungku.”

“Ohhh...,” Baruna mendesah lirih.

“Pada saat itu, aku punya pikiran untuk membawa ayah dan ibumu yang tengah mengandung meninggalkan desa ini. Tapi ayahmu tidak mau mendengar kata-kataku. Dia kembali ke desa ini dan menuntut balas atas kematian ayahnya. Tapi malang! Orang-orang Raden Glagah berhasil membunuhnya. Ibumu sangat terpukul dan akhirnya meninggal. Pada waktu itu kau baru berusia setahun, Baruna.”

Baruna terdiam. Entah apa yang ada di dalam kepala dan hatinya saat ini.

“Aku sengaja membesarkanmu di sini, karena tanah ini adalah tanah kelahiranmu. Tentunya agar kau tahu, bahwa yang terjadi di sini semuanya hanya kepalsuan belaka...,” sambung Nek Selong.

“Kalau begitu, Raden Glagah sebenarnya sudah tua ya, Nek?” tanya Baruna polos.

“Benar, Baruna. Dia dapat kelihatan tetap muda dan seperti berusia dua puluh lima tahun, karena memiliki ilmu hitam. Setiap bulan purnama dipersembahkan seorang pemuda gagah pada dewa sesembahannya agar dirinya tetap muda dan berumur panjang,” jelas Nek Selong.

“Aku mengerti sekarang, kenapa Nenek menginginkan aku tetap kurus. Ini dilakukan supaya Raden Glagah tidak menunjuk aku untuk korbannya. Begitu kan, Nek?” Baruna cepat tanggap.

“Kau cerdas, Baruna.”

“Tapi kenapa aku bisa tetap kurus kerempeng begini, Nek?” tanya Baruna tidak puas.

“Setiap pagi kau minum ramuanku, bukan?”

“Iya.”

“Sengaja kubuat ramuan itu untuk menjaga agar kau tetap kurus kerempeng, tapi memiliki tenaga luar dan tenaga dalam tinggi. Tubuhmu dapat kembali normal seperti pemuda lain kalau kau minum penolak ramuanku. Tapi itu nanti, Baruna. Belum saatnya sekarang ini.”

“Aku mengerti, Nek. Mulai sekarang aku tidak akan mengeluh lagi.”

“Bagus! Memang itu yang kuharapkan,” sambung Nek Selong.

Baruna tersenyum, namun terasa sekali kalau senyumnya itu hambar dan dipaksakan. Pemuda itu bangkit berdiri. Nek Selong juga melompat turun dari atas batu. Saat itu pagi telah menjelang. Matahari mulai menampakkan cahayanya di ufuk timur.

“Baruna....”

“Ya, Nek.”

“Kau tetap ingin bekerja pada Raden Glagah?” tanya Nek Selong memancing.

“Tidak!” sahut Baruna tegas.

“Kau ingin balas dendam?” tanya Nek Selong lagi.

“Percuma saja, Nek. Balas dendam bukan penyeIesaian yang baik. Nenek kan sering berkata demikian padaku,” jawab Baruna lagi. Namun nada suaranya terasa getir.

Nek Selong mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Bibirnya yang keriput menyunggingkan senyuman. Kakinya terayun melangkah. Sementara Baruna ikut melangkah di samping perempuan tua itu. Namun di dalam benak Baruna, tersimpan berbagai macam rencana.

*******************

Hari terus berganti sejalan dengan peredaran waktu. Keadaan Desa Komering Ilir terlihat tenang. Penduduk tidak lagi merasa terganggu oleh alunan syair-syair Kumbara. Hingga pada suatu malam yang hening dan pekat tanpa cahaya bulan, suasana tenang itu pecah oleh jeritan yang menyayat.

Jeritan itu datang dari sebuah rumah besar yang paling megah di Desa Komering Ilir. Suasana rumah yang semula tenang dan sunyi, seketika itu jadi gempar. Beberapa orang berlarian keluar dari rumah besar itu. Mereka menuju arah terdengarnya jeritan tadi.

Terlihat tiga orang tergeletak bersimbah darah, tepat di ambang pintu gerbang rumah besar itu. Mereka yang berdatangan itu terkejut, dan langsung berkerumun. Tampak seorang pemuda berwajah tampan menyeruak di antara kerumunan itu, diikuti empat orang laki-laki berwajah kasar. Laki-laki tampan itu tidak lain dari Raden Glagah. Seorang pemuda bertubuh tegap dengan golok terselip di pinggang, menghampiri dengan tubuh agak membungkuk hormat.

“Ada apa?” tanya Raden Glagah.

“Hamba menemukan ini pada salah satu korban, Raden,” kata pemuda itu seraya memberikan secarik daun lontar.

Raden Glagah menerima dan membaca baris-baris tulisan di atas secarik daun lontar itu. Wajahnya langsung merah padam, gerahamnya bergemeletuk. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Semua orang yang rata-rata membawa senjata itu hanya memandang tidak mengerti.

“Naraka...!” panggil Raden Glagah.

Seorang laki-laki tinggi tegap dengan wajah kasar penuh berewok datang mendekati. Raden Glagah memberikan daun lontar itu, dan Naraka menerimanya. Langsung dibacanya tulisan di dalam daun lontar itu. Sementara Raden Glagah berbalik, lalu melangkah pergi.

“Ada apa, Kakang Naraka?” tanya Carika.

“Syair...,” sahut Naraka pelan seraya meremas daun lontar.

“Syair...?!” semua orang yang berkerumun di situ terkejut heran.

“Mustahil...!” desis Balika, saudara muda Naraka.

Semua orang yang ada di situ menduga-duga. Tiga orang tewas, tepat di pintu gerbang. Ada secarik daun lontar tergeletak di atas salah satu tubuh yang tewas. Daun lontar itu bertuliskan bait-bait syair yang bernada mengancam. Mereka semua tahu kalau beberapa hari yang lalu Raden Glagah telah mengusir Kumbara, pemuda penyair yang miskin dan malang.

Orang yang ada di situ memang rata-rata masih muda. Tapi mereka tidak tahu persis sebabnya, mengapa Raden Glagah begitu membenci Kumbara si Penyair itu. Bahkan hampir semua penduduk Desa Komering Ilir ini juga tidak menyukainya. Hanya Raden Glagah dan empat saudara, Naraka, Carika, Balika, dan Mandaka, saja yang tahu sebab-sebabnya.

Naraka memerintahkan kepada orang yang berkerumun untuk menguburkan tiga mayat itu. Mereka yang memang bekerja menjaga keamanan di rumah besar bagai istana milik Raden Glagah itu, segera melaksanakan perintah Naraka. Mereka tahu kalau Naraka dan tiga orang adiknya adalah pengawal pribadi Raden Glagah. Empat bersaudara itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

“Naraka...!” terdengar teriakan keras memanggil.

Naraka bergegas melangkah diikuti adik-adiknya. Raden Glagah berdiri bertolak pinggang di tangga depan istananya. Empat bersaudara itu segera membungkuk hormat, begitu tiba di depan laki-laki yang kelihatan masih muda itu.

“Perintahkan anak buahmu mencari penyair keparat itu!” perintah Raden Glagah.

“Hamba laksanakan, Raden,” sahut Naraka.

“Aku minta secepatnya kau bawa kemari! Hidup atau mati!”

“Secepatnya hamba laksanakan, Raden,” sahut Naraka lagi.

Raden Glagah membalikkan tubuhnya dan segera melangkah masuk ke dalam istana. Sementara Naraka dan ketiga adiknya bergegas mengatur anak buahnya untuk mencari Kumbara si Penyair. Dalam waktu yang tidak berapa lama, beberapa ekor kuda bergerak cepat keluar dari pintu gerbang bangunan megah itu.

Sementara Raden Glagah segera menuju ke kamar peristirahatannya. Seorang wanita muda berwajah cantik tergolek di atas pembaringan. Wanita itu melemparkan senyum, namun senyumnya sirna begitu melihat wajah Raden Glagah terlihat murung.

“Ada apa, Raden?” tanya wanita itu lembut.

“Tidak ada apa-apa. Hanya ada orang gila telah menewaskan tiga orang pekerjaku!” sahut Raden Glagah seraya naik ke atas pembaringan itu.

“Siapa?” tanya wanita cantik itu sambil melingkarkan tangannya ke punggung Raden Glagah.

“Kau tidak perlu cemas, Manis. Orang-orangku pasti bisa mengatasinya,” Raden Glagah mencoba menghibur. Padahal saat itu hatinya juga perlu dihibur.

“Aku tidak khawatir, selama Raden ada di sini.”

Raden Glagah tersenyum. Dia membalikkan tubuhnya dan langsung dipeluknya wanita itu. Perlahan-lahan tubuh mereka rebah. Tak terdengar lagi kata-kata. Kamar besar dan indah itu jadi sunyi. Hanya sesekali terdengar erangan lirih diselingi desahan napas memburu. Sementara di luar sana, Naraka dan adik-adiknya masih sibuk mengatur penjagaan dan pencarian terhadap Kumbara.

*******************

Peristiwa malam itu membuat Raden Glagah jadi gelisah. Lebih-lebih anak buahnya belum berhasil menemukan Kumbara. Dan malam-malam berikutnya, selalu terjadi pembunuhan secara misterius. Satu dua orang selalu terbunuh! Tidak ketinggalan, daun lontar bertuliskan bait-bait syair selalu terdapat pada tubuh korban.

Tiga malam berturut-turut selalu jatuh korban secara misterius. Raden Glagah semakin diliputi kegelisahan. Maka berita tentang pembunuhan misterius itu cepat menyebar ke telinga para penduduk Desa Komering Ilir. Mereka yang pernah membenci dan mengusir Kumbara, dicekam perasaan takut. Pendeknya, kecemasan dan perasaan takut menyelimuti hampir seluruh penduduk Desa Komering Ilir.

Sementara itu, Baruna yang mengetahui tentang terjadinya beberapa pembunuhan selama tiga malam berturut-turut terlihat tenang-tenang saja. Sikapnya tidak peduli, meskipun hampir seluruh penduduk membicarakannya. Rata-rata mereka dicekam perasaan cemas yang amat sangat, takut kalau-kalau ikut jadi sasaran pembalasan Kumbara si Penyair Maut. Ya..., penduduk Desa Komering Ilir telah memberi julukan tambahan pada Kumbara. Penyair Maut...!

Siang itu langit tampak cerah, tak terlihat awan sedikit pun bergantung di angkasa. Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak membakar seluruh makhluk di permukaan bumi. Tidak begitu jauh dari Desa Komering Ilir, tepatnya di sebuah bukit yang bernama Bukit Halu, seorang pemuda berkulit agak kehitaman dan dengan wajah penuh luka goresan duduk di bawah pohon rindang.

Dari bibir pemuda itu meluncur bait-bait syair dan berirama. Dialah Kumbara si Penyair Maut yang kini tengah menjadi momok menakutkan bagi penduduk Desa Komering Ilir. Pandangan matanya tidak lepas ke arah sepasang burung yang bercumbu di dahan.

“Ah..., betapa bahagianya kau. Andai saja aku bebas lepas sepertimu, selalu riang tanpa harus memikul beban...,” Kumbara mendesah lirih.

Pemuda itu bangkit berdiri. Dan begitu kakinya akan terayun melangkah, tiba-tiba terdengar derap kaki beberapa ekor kuda menuju ke arahnya. Kumbara mengurungkan langkahnya. Kelopak matanya agak menyipit begitu melihat beberapa kuda berpacu cepat mendekatinya. Dia mengenali salah seorang dari penunggang kuda itu, yang ternyata adalah Balika, salah seorang kepercayaan Raden Glagah. Dan tentu saja yang ikut dengan Balika adalah orang-orang Raden Glagah.

Kumbara terheran-heran, karena sekitar lima belas orang berkuda itu serentak berlompatan mengurung. Sedangkan Balika masih tetap berada di punggung kudanya. Kumbara sedikit terperanjat juga begitu semua orang yang mengurungnya telah mencabut golok semua.

“Kumbara! Sebaiknya kau menyerah saja, dan jangan melakukan perlawanan!” kata Balika lantang.

“Ada apa ini? Kenapa aku harus menyerah?” tanya Kumbara keheranan.

“Jangan pura-pura bodoh, Penyair Maut! Sekarang juga kau ikut aku, atau kau mati di sini!” bentak Balika.

“Apa salahku? Aku tidak melakukan apa-apa? Sudah kuturuti perintah Raden Glagah untuk tidak kembali lagi ke Desa Komering Ilir. Mengapa Tuan Balika mau menangkapku?” Kumbara semakin kebingungan tidak mengerti.

“Huh! Kau pikir aku bisa dikelabui dengan sikap tololmu itu, Kumbara! Setelah kau bunuh orang-orangku, sekarang pura-pura tidak tahu!” geram Balika sengit.

“Aku...? Aku membunuh...?!” Kumbara semakin terperanjat kebingungan.

“Tangkap dia! Kalau melawan, bunuh saja!” perintah Balika keras.

“Eh, tunggu...!”

Tapi salah seorang pengepungnya sudah melompat hendak meringkus. Kumbara terperangah melihat golok yang melayang ke arah kepalanya. Tanpa disadari, dia merunduk. Maka tebasan golok itu lewat di atas kepalanya. Orang itu terkejut karena tebasannya berhasil dihindari.

Dengan cepat tangan kirinya menghentak menyodok ke arah dada. Kembali Balika dan anak buahnya terperanjat. Ternyata Kumbara berhasil mengelakkannya hanya dengan menggeser kakinya ke kiri. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kanan Kumbara mendorong ke depan dengan tenaga penuh. Dorongan yang tak terduga itu, tidak sempat dihindari. Maka orang yang hendak meringkusnya terpekik kaget. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.

“Setan keparat! Rupanya kau punya simpanan juga, Penyair Maut!” geram Balika menyaksikan seorang anak buahnya terkena sodokan tangan kanan Kumbara.

“Oh..., maaf.... Maaf, Tuan. Aku...,” Kumbara tergagap.

“Kau harus mampus, Kumbara! Hiyaaat...!”

Balika langsung melompat cepat dari punggung kudanya. Kumbara terkesiap, tubuhnya gemetaran begitu hebatnya. Dan pada saat jari-jari tangan Balika yang mengembang hendak mencengkeram sudah demikian dekat, tubuh Kumbara melorot jatuh ke tanah. Terkaman Balika hanya lewat di atas tubuhnya. Tentu saja hal ini membuat Balika semakin geram. Kumbara dianggap benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang selama ini disimpannya.

“Monyet! Keparat...!” geram Balika merasa dipermainkan.

“Ampun, Tuan Balika.... Ampun...,” rintih Kumbara tetap berlutut menyembah memohon ampun. Seluruh tubuhnya tampak gemetar.

“Edan! Masih juga kau berpura-pura, heh!” bentak Balika semakin gusar melihat sikap Kumbara.

Sret! Cring...!

Gemetaran Kumbara bertambah keras begitu Balika mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Pedang berwarna keperakan itu berkilat tertimpa cahaya matahari. Keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuh Kumbara.

“Mampus kau! Hiyaaat...!” teriak Balika keras.

Bagaikan kilat, Balika melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher Kumbara. Pemuda yang wajahnya penuh luka goresan itu ternganga dengan mata membeliak lebar. Tubuhnya semakin keras gemetar. Napasnya terasa berhenti ketika mata pedang Balika hampir menyentuh lehernya. Semua orang yang berada di situ sudah menyangka leher Kumbara bakal buntung. Tapi...

Tring!

“Heh...!”

Balika tersentak kaget bukan main. Pedangnya terpental pada saat hampir memenggal leher Kumbara. Seluruh persendian tangannya bergetar kesemutan. Balika langsung melompat mundur. Sedangkan Kumbara tetap berlutut dengan tangan merapat di depan hidung. Lima belas orang bersenjata golok yang menyaksikan semua kejadian itu terperanjat. Kumbara sendiri terlihat seperti tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.

TIGA

Balika benar-benar tidak mengerti. Pedangnya seperti membentur suatu benda yang amat keras melebihi baja. Padahal dia tadi begitu yakin kalau kepala Kumbara bakal buntung terbabat pedangnya. Tapi, yang terjadi justru pedangnya terpental dan tulang-tulang tangannya seperti rontok.

Sementara Kumbara sendiri masih tetap berlutut tidak bergeming sedikit pun. Balika mulai bertanya-tanya, apakah Kumbara si Penyair Maut itu punya ilmu kebal? Balika memeriksa mata pedangnya. Seketika itu juga dia terperanjat hingga melompat dua langkah ke belakang. Matanya membeliak lebar melihat mata pedangnya gompal cukup lebar.

“Kumbara! Kau benar-benar setan keparat! Ayo, bangun! Jangan pura-pura tolol! Ayo kita bertarung sampai mampus!” keras suara Balika.

“Ampun, Tuan Balika. Jangan bunuh aku.... Aku janji akan meninggalkan Desa Komering Ilir sejauh-jauhnya,” ratap Kumbara memohon.

“Keparat!” geram Balika memuncak amarahnya. Balika berteriak keras sambil melesat cepat bagaikan kilat, sedangkan ujung pedangnya menusuk ke arah dada. Kembali Kumbara pucat wajahnya. Dan begitu ujung pedang Balika hampir menembus dada si Penyair itu, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat memapak.

“Ugh!” Balika mengeluh pendek, dan tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak.

Tiga kali Balika bergulingan di tanah. Sementara itu, lima belas orang anak buahnya hanya ternganga menyaksikan kejadian yang sangat di luar dugaan itu. Balika melompat bangkit berdiri. Bola matanya membeliak lebar begitu melihat di samping Kumbara sudah berdiri seorang pemuda tampan berambut panjang terurai. Pemuda itu memakai baju rompi putih. Sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung menonjol keluar dari balik punggungnya.

“Bangunlah, Kisanak,” kata pemuda berbaju rompi putih itu lembut.

Kumbara mengangkat kepalanya dan menoleh. Hatinya terkesiap begitu mengetahui di sampingnya sudah berdiri seorang laki-laki tampan yang menepuk halus pundaknya. Kumbara bangkit berdiri, namun matanya masih menatap penuh keheranan. Sementara Balika menggeram sengit melihat kemunculan pemuda asing yang tidak dikenalnya.

“Tikus busuk! Siapa kau? Berani mencampuri urusanku!” bentak Balika sengit.

“Hm..., kotor sekali kata-katamu, Kisanak,” tenang suara pemuda berbaju rompi putih itu, namun nada suaranya mengandung kejengkelan.

“Sebaiknya kau enyah dari sini, sebelum pedangku yang bicara!” bentak Balika kasar.

“Pedang yang mana...?”

Balika terperanjat, karena baru sadar kalau pedangnya sudah tidak ada lagi di tangan. Seketika itu juga wajahnya berubah pucat, tapi sebentar kemudian memerah. Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu pedang Balika telah berada di tangan pemuda berbaju rompi itu. Kejadian yang begitu cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.

“Nih, kukembalikan pedangmu!”

Pemuda itu melemparkan pedang yang sudah gompal. Ujung pedang itu menancap sedikit ke tanah, tepat di ujung kaki Balika. Orang kepercayaan Raden Glagah itu meraih gagang pedangnya, dan berusaha mencabutnya.

Tapi dia terkejut bukan main, karena pedangnya tidak tercabut. Balika mengerahkan tenaga dalamnya, tapi pedang itu tetap tertanam kuat di tanah. Balika menyadari kalau pemuda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, dan pasti berada jauh di atasnya. Jadi, jelaslah kalau Kumbara tadi bukannya hendak melawan, tapi pemuda berbaju rompi itulah yang menggagalkan setiap serangannya. Menyadari semua itu, Balika cepat melompat naik ke punggung kudanya. Dia tidak mempedulikan pedangnya lagi yang masih tertancap di tanah.

“Persoalan ini belum selesai, bangsat!” maki Balika begitu berada di punggung kudanya.

Setelah berkata demikian, Balika segera menggebah kudanya dengan cepat. Lima belas orang anak buahnya bergegas naik ke punggung kudanya masing-masing. Mereka segera memacu cepat kudanya meninggalkan Lereng Bukit Halu itu. Sementara Kumbara bangkit berdiri memandangi kepergian orang-orang yang hampir menewaskannya.

“Oh, terima kasih..., terima kasih. Tuan telah menyelamatkan nyawaku,” ucap Kumbara terbungkuk-bungkuk.

“Siapa mereka? Kenapa ingin membunuhmu?” tanya pemuda berbaju rompi putih itu.

“Maaf, Tuan....”

“Rangga, panggil saja aku Rangga.”

“Sebaiknya Tuan Rangga segera meninggalkan tempat ini. Mereka sangat kejam, dan pasti akan datang kembali untuk membunuh Tuan,” kata Kumbara agak bergetar suaranya.

“Hm...,” pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga si Pendekar Rajawali Sakti itu mengerutkan keningnya.

“Aku berterima kasih sekali Tuan telah menyelamatkan nyawaku, tapi...,” Kumbara tidak melanjutkan katakatanya.

“Kenapa?” tanya Rangga ingin tahu.

“Ah..., memang sudah nasibku. Mungkin memang sudah ditakdirkan kalau aku harus mati di ujung pedang mereka...,” nada suara Kumbara terdengar pasrah.

“Kelihatannya kau putus asa sekali. Dan tadi kulihat, sama sekali kau tidak melawan mereka. Tapi kenapa mereka ingin membunuhmu?” selidik Rangga penuh rasa ingin tahu.

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja mereka datang dan ingin membunuhku,” sahut Kumbara pelan.

“Aneh...! Kelihatannya mereka bukan perampok. Dan kau sendiri..., maaf, tidak ada sesuatu yang mereka bisa dapatkan darimu,” Rangga seakan tidak percaya.

Kumbara hanya diam saja. Diayunkan kakinya melangkah menghampiri sebatang pohon yang rindang. Kemudian dia duduk di atas akar besar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Sedangkan Rangga memperhatikan apa yang diperbuat Kumbara. Pendekar Rajawali Sakti merasa yakin kalau ada sesuatu pada diri laki-laki yang wajahnya penuh luka goresan itu.

Melihat bekas-bekas luka pada wajah Kumbara, Rangga jadi semakin ingin tahu. Dia tidak percaya kalau orang-orang tadi ingin membunuh tanpa sebab yang pasti. Jelas mereka bukan perampok yang kecewa karena korbannya tidak memiliki harta. Pakaian mereka bukan seperti perampok, terlalu mewah dan rapih. Lebih-lebih orang yang hampir memenggal leher Kumbara. Pakaiannya terbuat dari bahan sutra halus, yang tentunya mahal harganya. Rangga jadi semakin ingin tahu saja. Dia melangkah mendekati Kumbara dan duduk di sampingnya.

*******************

Sementara itu, Balika dan lima belas orang anak buahnya sudah sampai di Desa Komering Ilir. Mereka langsung menuju ke bangunan besar bagai istana yang dikelilingi pagar tembok menyerupai benteng kokoh. Balika baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di dalam pagar tembok tinggi dan kokoh itu.

Balika segera melompat turun dari punggung kudanya, lalu bergegas berlari menaiki anak-anak tangga depan bangunan megah itu. Tetapi tiba-tiba langkahnya tertahan, karena bersamaan dengan itu ketiga saudaranya muncul. Tiga orang yang baru keluar itu terkejut melihat keadaan Balika yang nampak kotor berdebu, keringat bercucuran dan napasnya terengah-engah.

“Ada apa, Balika? Kenapa keadaanmu seperti ini? Dan.... Eh! Mana pedangmu?” tanya Naraka terkejut ketika melihat sarung pedang adiknya kosong.

“Uh, celaka...! Celaka, Kakang! Hampir saja aku mati,” sahut Balika masih terengah napasnya

“Ceritakan, apa yang terjadi padamu?” desak Carika.

“Aku bertemu dengan si Penyair Maut dan berusaha menangkapnya. Tapi dia melawan dan....”

“Teruskan!” pinta Naraka agak terkejut.

“Dia tidak sendiri, Kakang. Dia bersama dengan temannya yang sangat tangguh. Aku dibuat babak belur, bahkan pedangku berhasil dirampasnya,” sambung Balika.

“Kumbara..., keparat!” geram Naraka.

“Siapa temannya, Kakang Balika?” tanya Mandaka.

“Aku tidak tahu siapa. Sepertinya dia orang asing, bukan penduduk Desa Komering Ilir ini,” sahut Balika.

“Kau bertarung dengan temannya, atau dengan Kumbara?” Carika ingin ketegasan.

“Semula aku bertarung dengan Kumbara. Dia kebal, Kakang. Pedangku sampai gompal begitu menebas lehernya. Tapi temannya juga lebih tangguh lagi. Dia bergerak bagai siluman, tidak ketahuan arahnya,” jelas Balika. Tentu saja ditambah dengan karangannya sendiri. “Aku berusaha mengalahkannya, tapi mereka memang tangguh! Aku tidak mampu menghadapinya sendiri.”

“Tapi bukankah kau bawa lima belas orang anak buahmu?” celetuk Mandaka.

“Benar! Tapi, aku saja tidak mampu menghadapinya, apalagi tikus-tikus tidak berguna itu. Bisa-bisa mereka semua mati konyol kalau kukerahkan semua,” Balika menyombong.

“Kau terlalu berani, Balika. Lain kali jangan menghadapi sendiri. Kehilangan beberapa orang bukan masalah, yang penting keparat itu mampus,” dengus Naraka.

“Tindakan Balika benar...!”

Empat orang bersaudara itu terkejut begitu tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Mereka serentak menoleh, dan membungkuk saat melihat Raden Glagah tahu-tahu sudah berada di belakang. Raden Glagah melangkah mendekati.

“Mulai sekarang, kita harus bisa menghemat tenaga. Satu nyawa sangat berarti. Yang kita hadapi sekarang bukan orang sembarangan! Bahkan nyawa kita sendiri terancam,” kata Raden Glagah.

“Raden, apa yang harus kulakukan sekarang?” tanya Naraka meminta petunjuk.

“Naraka, dan kau, Balika. Bawa beberapa orang. Tangkap Kumbara dan temannya itu. Sedangkan kau, Carika dan Mandaka, perintahkan seluruh penduduk desa untuk selalu siaga. Laporkan setiap ada pendatang baru. Biar aku sendiri yang akan menanganinya,” perintah Raden Glagah.

Empat bersaudara itu segera membungkuk dan melangkah pergi. Raden Glagah berbalik, segera melangkah masuk kembali ke dalam istananya. Sebentar kemudian, tampak Naraka, Balika, dan sekitar dua puluh orang sudah bergerak keluar menunggang kuda. Sedangkan Carika dan Mandaka melaksanakan tugasnya, memberi tahu penduduk agar waspada dan melaporkan setiap ada pendatang baru.

*******************

Sementara itu, di Bukit Halu, Rangga dan Kumbara masih duduk di bawah pohon rindang. Rangga masih belum dapat mengerti akan kejadian tadi. Tapi mendengar cerita Kumbara, hati Pendekar Rajawali Sakti itu tergugah. Hanya yang masih menjadi pertanyaan besar adalah sikap penduduk Desa Komering Ilir terhadap pemuda yang penuh luka goresan pada wajahnya itu.

Memang tadi Rangga sempat mendengar Kumbara membacakan syair-syairnya dari tempat tidak berapa jauh. Dan dia mengetahui semua yang terjadi. Kalau bukan karena Pendekar Rajawali Sakti, mungkin nyawa Kumbara sudah meninggalkan raganya. Kumbara sendiri tidak tahu, mulai kapan munculnya pertolongan Rangga itu.

“Rasanya sukar dipercaya...,” gumam Rangga pelan, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.

“Kenyataannya memang begitu, Rangga,” Kumbara menimpali. Kini dia sudah tidak lagi menyebut Tuan pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan itu memang yang diharapkan Rangga, yang selalu sederhana, tidak suka sanjungan.

“Aku heran padamu, Kumbara. Sudah tahu semua penduduk Desa Komering Ilir ini membencimu, bahkan orang yang paling berpengaruh pun juga membencimu, tapi kau sendiri tidak berusaha untuk mencari tahu sebabnya,” sambung Rangga tetap bernada bergumam.

“Percuma, tidak ada seorang pun yang mau bicara padaku. Mereka hanya mencela, mencaci, dan mengusirku. Ah, biarlah.... Memang itu sudah takdirku untuk jadi orang yang selalu dihina,” suara Kumbara bernada mengeluh.

“Sekarang, setelah mereka ingin membunuhmu, apa kau akan tinggal diam?”

Kumbara tidak langsung menjawab. Matanya menerawang jauh ke depan. Pertanyaan Rangga tadi tidak mudah dijawab. Dia tahu kalau orang-orang yang hampir saja membunuhnya bukan orang sembarangan. Tapi sungguh disadari kalau dirinya tidak mampu berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa dilakukannya, kecuali pergi sejauh-jauhnya dari Desa Komering Ilir. Namun itu pun belum tentu bisa menyelamatkan dirinya dari kematian.

“Kau harus melakukan sesuatu, Kumbara,” kata Rangga memberi dorongan semangat.

“Apa yang harus kulakukan?” lesu suara Kumbara.

“Pokoknya berbuat sesuatu! Paling tidak mencari tahu, mengapa seluruh penduduk Desa Komering Ilir membencimu!” Rangga terus mendorong semangat Kumbara.

“Tidak mungkin...!” desah Kumbara seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku hanya seorang penyair miskin, yang tidak punya kepandaian apa-apa. Sedangkan mereka....”

Rangga mengamati wajah yang murung itu. Hatinya merasa iba juga melihat Kumbara yang begitu lemah dan pasrah menerima nasib dirinya. Belum pernah Pendekar Rajawali Sakti menemukan orang sepasrah Kumbara yang menerima nasib malangnya tanpa melakukan sesuatu.

Pendekar Rajawali Sakti itu mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara langkah kaki kuda dari kejauhan. Telinganya yang setajam rajawali, langsung mendengar suara itu. Sedangkan Kumbara tetap memandang kosong ke depan, sama sekali tidak mendengar suara kaki kuda yang semakin jelas.

“Mereka datang lagi,” desis Rangga.

“Apa...?!” Kumbara terlonjak kaget.

“Hm..., jumlah mereka begitu banyak...,” gumam Rangga.

“Oh, Yang Maha Agung..., habislah riwayatku kali ini...,” gumam Kumbara mendesah lirih.

Seluruh wajah pemuda itu seketika terlihat pucat pasi. Tubuhnya gemetaran, keringat dingin mengucur deras di wajahnya. Sementara Rangga sudah bangkit berdiri. Pandangannya tajam menatap ke arah kaki Bukit Halu ini. Tampak di antara pepohonan, terlihat beberapa orang berkuda mendaki bukit. Jelas kalau mereka itu menuju ke arahnya.

“Kumbara, cepat tinggalkan tempat ini!” kata Rangga.

“Ke mana?” tanya Kumbara lesu. Saat itu dia tidak bisa lagi berpikir. Rasa takut yang amat sangat, membuat otaknya sukar diajak berpikir.

Rangga tidak menjawab. Dengan cepat disambarnya tubuh Kumbara, dan langsung melesat cepat bagai kilat. Kumbara sempat terpekik ngeri. Sekejap mata saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lenyap membawa Kumbara dalam kepitannya.

Tidak lama berselang, Naraka dan Balika serta beberapa orang berkuda lainnya telah tiba di tempat itu. Mereka menghentikan kudanya tepat di tempat Balika sempat bertarung tadi. Mereka tentu saja tidak mendapatkan apa-apa, karena Kumbara dan Rangga telah meninggalkan tempat itu.

“Mana...?” tanya Naraka.

“Tadi di sini, Kakang. Sungguh...!” sahut Balika.

Balika segera melompat turun dari punggung kudanya. Bergegas dia menghampiri sebilah pedang yang masih tertancap di tanah. Naraka mengenali kalau pedang itu milik adiknya. Balika berusaha menarik keluar pedang itu. Dia masih ingat kalau pedang itu tertanam kuat. Seketika dikerahkan penuh tenaga dalamnya. Namun begitu dibetot, pedang itu dengan mudah tertarik keluar! Akibatnya Balika terpental karena menarik dengan mengerahkan tenaga dalam penuh.

Terdengar suara tertawa cekikikan tertahan. Balika bersungut-sungut merasa ditertawakan. Dia memang terjungkal jatuh duduk. Sedangkan Naraka hanya tersenyum-senyum saja. Balika menggerutu sambil bangkit berdiri. Dipandangi sejenak pedangnya, lalu dimasukkan ke dalam sarungnya.

“Kadal buduk! Setan belang...!” Balika mengumpat habis-habisan.

“Kau membuang-buang waktu percuma saja, Balika. Tidak ada siapa-siapa di sini,” kata Naraka mulai tidak percaya dengan cerita adiknya.

“Tadi mereka di sini, Kakang. Tanya saja mereka!” sahut Balika menunjuk orang-orangnya yang tadi ikut serta.

“Benar, kalian bertemu Kumbara di sini?” tanya Naraka pada orang-orang yang ditunjuk Balika.

“Benar, Gusti,” sahut mereka serempak.

“Kalian tidak bohong?” Naraka jadi tidak percaya.

“Ini buktinya, Kakang!” dengus Balika geram karena kakaknya tidak percaya.

Balika kembali mencabut pedangnya, menunjukkan gompalan pada mata pedang itu. Naraka sempat mengernyitkan alisnya melihat pedang itu gompal cukup besar. Padahal, pedang Balika terbuat dari bahan yang amat keras. Baja sekalipun tidak akan mampu membuat gompal seperti itu.

“Dan ini...!”

Balika mengeluarkan selembar daun lontar dari balik bajunya. Daun lontar itu berisikan bait-bait syair yang ditemukannya tertinggal di tanah, dan jelas kalau itu milik Kumbara. Sesaat Naraka bimbang melihat bukti-bukti yang ditunjukkan adiknya.

“Mereka pasti belum jauh dari sini, Kakang!” kata Balika lagi seraya memasukkan pedang ke dalam sarungnya kembali. Diremasnya daun lontar itu hingga lumat, dan dicampakkannya dengan hati jengkel.

Balika melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar dia memandang kakaknya.

“Ayo kita kejar mereka, Kakang!” seru Balika bersemangat.

“Sebaiknya kembali saja ke Desa Komering Ilir,” sahut Naraka.

“Tapi...,” Balika ingin menolak.

“Balika! Kalau si Penyair Maut itu memang digdaya seperti katamu, dia pasti kembali lagi ke desa! Kita tunggu saja di sana. Jangan buang-buang tenaga dan waktu percuma,” kata Naraka.

Balika tidak bisa menjawab. Dia tetap tidak menggebah kudanya meskipun Naraka sudah menjalankan kudanya. Naraka menoleh dan menghentikan kudanya.

“Ayo, Balika!” seru Naraka.

“Aku akan mencarinya, Kakang!” tegas Balika.

“Mau cari ke mana?”

“Pokoknya aku harus mencarinya!”

Balika langsung menggebah kudanya cepat. Naraka memerintahkan pada lima belas orang untuk mengikuti Balika. Tanpa membantah sedikit pun, lima belas orang itu segera memacu kudanya menyusul Balika. Sedangkan Naraka kembali ke Desa Komering Ilir bersama sisa orang-orangnya.

*******************

EMPAT

Malam telah menyelimuti seluruh permukaan bumi di Desa Komering Ilir. Beberapa orang bersenjata masih terlihat di jalan-jalan dan sudut-sudut pelosok desa itu. Sementara seluruh penduduk telah mengunci pintu rumahnya masing-masing. Sejak Carika dan Mandaka mengumumkan keadaan gawat, seluruh penduduk Desa Komering Ilir semakin dicekam rasa takut.

Malam terus merayap kian larut. Hawa kematian seolah-olah menyelimuti Desa Komering Ilir. Anak buah Raden Glagah yang mendapat tugas jaga malam ini, ciut juga nyalinya jika harus tugas seorang diri. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima orang. Setiap saat mereka dicekam perasaan cemas. Setiap saat, maut mungkin dapat datang menjemput. Pembunuh misterius yang selalu meninggalkan daun lontar bertuliskan bait-bait syair, dapat datang setiap saat, dan menghilang cepat bagaikan siluman. Mengerang secara tiba-tiba, lalu menghilang bagai setan. Hal ini membuat seluruh orang yang bertugas malam ini semakin dicekam kegelisahan.

Di saat seluruh penduduk Desa Komering Ilir dicekam perasaan takut yang amat sangat, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat menyelinap dari satu rumah ke rumah lainnya. Sebentar bayangan itu berhenti berlindung dari cahaya bulan. Cahaya matanya terlihat berkilat meneliti setiap keadaan. Tubuhnya kemudian bergerak cepat menuju rumah yang paling besar dan megah di Desa Komering Ilir ini.

Slap!

Bayangan hitam itu melesat cepat melompati pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Hanya sekali lesatan saja, sudah hinggap di atas atap bangunan besar dan megah itu. Sebentar direbahkan dirinya merapat di atap. Telinganya ditempelkan lekat-lekat pada atap bangunan bagai istana itu.

“Hm..., itu Naraka,” orang itu bergumam dalam hati.

Pandangannya langsung tertuju pada Naraka yang tengah duduk sendiri di taman belakang bangunan bagai istana itu. Bagaikan seekor burung elang hendak menerkam mangsa, orang itu berkelebat cepat, dan tahu-tahu sudah berada di depan Naraka.

“Heh...!” Naraka tersentak kaget.

Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba orang yang mengenakan baju serba hitam dengan tutup kepala hitam pula itu, mendorong kedua tangannya ke depan.

Duk!

“Hugh...!” Naraka mengeluh pendek.

Seketika itu juga tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Dengan keras, punggungnya menghantam sebuah pohon yang cukup besar. Naraka ambruk ke tanah dengan tubuh membungkuk. Dadanya terasa sesak, sukar untuk bernapas. Matanya berkunang-kunang. Dan belum lagi sempat mengatur napasnya, satu tendangan keras menghantam tubuh Naraka.

Naraka bergulingan beberapa kali. Tendangan itu sangat keras dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Tulang iga laki-laki berwajah kasar itu seperti remuk. Begitu tubuhnya membentur dinding tembok, Naraka segera melompat bangun. Sebentar digeleng-gelengkan kepala, dan ditariknya napas dalam-dalam. Kelopak matanya agak menyipit melihat seorang laki-laki bertubuh kecil berdiri di depannya.

Belum sempat Naraka mengenali wajah orang itu, mendadak satu serangan cepat terarah kepadanya. Buru-buru Naraka menggeser kakinya ke samping, dan melayangkan pukulannya ke arah dada. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang itu melentingkan tubuh sebelum serangan Naraka sampai padanya.

“Hey...!” seru Naraka terkejut.

Secepat kilat Naraka melesat ke atas, dan hinggap di atas atap. Pada saat itu, masih sempat dilihatnya bayangan hitam berkelebat keluar dari bangunan istana ini. Naraka cepat melentingkan tubuhnya disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh.

“Hup!”

Dua kali Naraka berputar di udara, dan melewati kepala orang berbaju serba hitam itu. Dengan manis, laki-laki berwajah kasar itu mendarat tepat di depan orang itu. Langsung dikirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah orang berbaju hitam.

“Uts!”

Orang berbaju hitam itu mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping, lalu tangannya terangkat menghantam tangan Naraka yang mendorong ke depan.

Trak!

“Akh!” Naraka memekik tertahan, buru-buru ditarik kembali tangannya.

Tulang tangan Naraka seperti patah ketika berbenturan dengan tangan orang itu. Naraka melompat mundur satu tindak, tapi seketika itu juga satu pukulan menggeledek terarah padanya. Belum juga Naraka dapat berkelit, pukulan orang itu kembali menghantam dadanya.

“Akh...!” Naraka memekik keras.

Tubuhnya terlontar jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam dinding tembok benteng. Sebentar Naraka menggeliat, lalu merosot ke bawah. Tampak orang berbaju hitam itu bersiap-siap akan menyerang kembali, tapi pada saat itu beberapa orang berlarian sambil menghunus golok.

“Sial! Hup...!”

Hanya sekali lesatan saja, orang berbaju hitam itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Dan pada saat orang-orang itu sampai di tempat Naraka tergeletak, terdengar satu jeritan panjang melengking. Sebagian segera memburu ke arah jeritan itu, dan sebagian lagi membantu Naraka berdiri.

“Kakang Naraka, ada apa...?”

Carika dan Mandaka berlarian menghampiri.

“Cepat, kejar orang itu. Dia pasti belum jauh!” seru Naraka agak tersengal. “Hugh...!” Naraka memuntahkan darah kental kehitaman.

Mandaka segera membantu kakaknya, sementara Carika melompat cepat diikuti sekitar enam orang bersenjata golok terhunus. Mandaka, dibantu empat orang anak buahnya membawa Naraka meninggalkan tempat itu. Tampak sekali kalau keadaan Naraka begitu payah. Napasnya pun kembang kempis tersengal. Dua kali dia memuntahkan darah kental kehitaman.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Beberapa orang terlihat menggotong tiga sosok tubuh berlumuran darah. Di antara mereka, terlihat Carika. Rupanya orang berbaju serba hitam itu berhasil menewaskan tiga orang yang berjaga di bagian belakang benteng bangunan bagai istana itu.

Malam masih menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Komering Ilir. Carika dan Mandaka bersama sekitar tiga puluh orang keluar dari pintu gerbang benteng yang mengelilingi bangunan megah bagai istana kecil itu. Namun ketika mereka belum jauh meninggalkan pintu gerbang, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat memotong.

“Hei...!” seru Carika terkejut.

Pada saat yang bersamaan, secercah cahaya keperakan melesat ke arah rombongan itu. Carika kontan melesat, maka cahaya keperakan itu melesat di bawah tubuhnya. Tapi laju cahaya keperakan tidak berhenti sampai di situ karena langsung menghajar orang yang kebetulan tepat dibelakang Carika.

“Aaa...!”

Satu jeritan melengking terdengar disusul dengan ambruknya salah seorang anak buah Mandaka. Tampak sebilah pisau kecil berwarna keperakan tertancap dalam di dadanya.

“Menyebar...!” seru Mandaka keras.

Tiga puluh orang pengikutnya segera membentuk kelompok menjadi lima bagian, lalu menyebar mengikuti perintah Mandaka. Sementara itu Mandaka sendiri segera menggebah kudanya mengikuti arah kepergian kakaknya yang mengejar orang berbaju hitam itu. Mandaka masih sempat melihat Carika berkelebat cepat dan menghilang di balik salah satu rumah penduduk.

“Hup!”

Mandaka langsung melompat dari punggung kudanya. Tapi belum juga kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba sebuah bayangan hitam berkelebat menerjangnya. Mandaka tidak sempat lagi menghindar. Tubuhnya tak urung terjungkal keras, dan dadanya mendadak jadi sesak.

Belum lagi Mandaka mampu bangkit, bayangan hitam itu berbalik seraya tangannya berkelebat cepat melontarkan sebuah benda keperakan. Mandaka buru-buru menjatuhkan tubuhnya, sehingga benda keperakan berbentuk pisau kecil tipis itu menancap di tanah. Bergegas Mandaka melompat bangkit.

Sret!

Mandaka mencabut goloknya yang melengkung ke atas, lalu disilangkan di depan dada. Matanya agak menyipit berusaha melihat wajah orang di depannya. Tapi malam begitu pekat, apalagi tidak ada cahaya bulan sedikit pun yang menerangi. Belum lagi Mandaka dapat melihat wajah orang itu, tiba-tiba orang berbaju hitam itu melesat cepat sambil melontarkan dua pukulan sekaligus.

“Hup! Hiyaaa...!”

Mandaka melompat ke samping seraya mengibaskan goloknya ke depan. Sukar diduga! Bagaikan kilat, orang berbaju hitam itu melesat ke atas, lalu kakinya mendupak pundak Mandaka. Mandaka hanya mampu mengeluh pendek. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke samping. Tulang bahunya seperti patah dan terasa nyeri menyengat.

“Modar!”

Sambil berteriak keras, orang berbaju hitam itu menggedor dada Mandaka begitu kakinya mendarat di tanah. Mandaka terkesiap. Buru-buru diegoskan tubuhnya ke kanan, lalu goloknya dikibaskan ke depan disertai tenaga dalam penuh. Begitu cepat kejadian itu. Mandaka mengira tangan orang berbaju hitam itu bakal buntung terbabat goloknya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya! Mandaka memekik keras dan tubuhnya terpental ke belakang.

Sukar dipercaya. Dari balik lengan baju orang itu, tiba-tiba saja keluar sebilah senjata seperti pedang pendek tipis. Golok Mandaka terpotong jadi dua bagian begitu membentur senjata yang keluar dari balik lengan baju. Dan tangan kiri orang berbaju hitam itu menggedor dada Mandaka dengan keras.

“Hoegh...!”

Mandaka memuntahkan darah kental kehitaman. Dadanya terasa remuk, dan napasnya sukar diatur. Belum lagi Mandaka bisa bangkit, orang berbaju hitam itu sudah kembali melompat menyerangnya. Mandaka terperangah, tidak mampu lagi berkelit.

“Hiyaaa...!”

Tepat pada saat ujung senjata orang itu hampir merobek dada Mandaka, sebuah bayangan melesat cepat memapak serangan itu. Orang berbaju hitam itu terkejut, lalu buru-buru menarik pulang serangannya sambil melompat mundur. Dia mendengus melihat Carika tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan Mandaka. Pedang panjang melintang di depan dada.

“Uh! Untung kau cepat datang, Kakang,” kata Mandaka tersengal sambil berusaha bangkit berdiri. Dibuang goloknya yang tinggal setengah lagi.

Begitu mampu bangkit berdiri, Mandaka mencabut dua buah senjata trisula dari balik bajunya. Senjata berbentuk lonjoran besi berwarna kuning dan bermata tiga itu tergenggam erat di tangan kanan dan kirinya. Mandaka menyeka sisa darah dari mulut dengan punggung tangannya.

“Bagus! Berarti bisa kudapatkan dua nyawa sekaligus!” dengus orang berbaju hitam itu dingin. Suaranya berat dan terdengar datar.

“Siapa kau?” bentak Carika bertanya.

Belum sempat orang itu menjawab, sekitar dua puluh orang berkuda datang menghampiri. Orang itu mendengus kesal, lalu tangan kanannya berkelebat cepat. Secarik daun lontar melesat bagai panah, langsung mengarah pada Carika. Selagi Carika menangkap daun lontar itu, orang berbaju hitam melesat pergi bagai kilat.

“Hei...!” Carika tersentak.

Belum juga Carika melompat mengejar, bayangan orang itu telah lebih dulu lenyap. Carika melihat pada daun lontar di tangannya. Matanya membeliak lebar melihat bait-bait syair tertera pada daun lontar itu.

“Penyair Maut,” desis Carika pelan.

Carika bergegas melompat ke arah perginya orang berbaju hitam tadi. Mandaka memerintahkan sepuluh orang yang baru datang untuk mengikuti Carika. Dia sendiri kemudian naik ke punggung kudanya. Segera kuda itu digebah cepat dengan arah memutar diikuti sekitar lima belas orang yang berdatangan bagai semut mencium gula. Mandaka masih meringis merasakan nyeri pada dadanya.

*******************

Sementara itu, di sebuah rumah kecil dan reyot dari bilik bambu, seorang perempuan tua tengah duduk memandang ke depan. Bajunya yang longgar dan kumal penuh tambalan, meriap dipermainkan angin malam yang dingin. Pandangannya tidak berkedip. Sesekali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat.

Pandangan wanita tua yang ternyata adalah Nek Selong itu beralih pada beberapa orang berkuda. Keningnya sedikit berkerut begitu mengenali orang yang berkuda paling depan. Orang itu adalah Mandaka. Rombongan berkuda itu berhenti tepat di depan rumah kecil reyot itu.

“Gusti Mandaka...,” Nek Selong buru-buru bangkit berdiri.

“Malam-malam begini belum tidur juga, Nek Selong?” tanya Mandaka.

“Belum, Gusti. Belum mengantuk...,” sahut Nek Selong.

“Hm..., kau lihat seseorang lewat di sini, Nek?” tanya Mandaka.

“Tidak, Gusti. Sejak tadi hamba duduk di sini, tak seorang pun yang lewat, kecuali peronda,” sahut Nek Selong.

“Baiklah, Nek. Dan sebaiknya Nenek masuk saja. Orang gila itu kembali beraksi dan membunuh banyak orang,” jelas Mandaka.

“Oh...!” Nek Selong kelihatan terkejut

“Cepatlah masuk, Nek. Aku tidak ingin ada korban lagi,” perintah Mandaka tegas.

“Baik... baik, Gusti.”

Nek Selong bergegas melangkah masuk ke dalam gubuknya. Perempuan tua itu segera menutup pintu, tapi tidak terlalu rapat. Diintipnya Mandaka dan orang-orangnya yang bergerak pergi. Perempuan tua itu masih memperhatikan meskipun rombongan kecil berkuda itu sudah jauh pergi.

“Nek...”

“Oh!” Nek Selong terperanjat, kontan berbalik. Dia menarik napas lega melihat Baruna sudah berada di dekatnya. “Dari mana saja kau?”

“Latihan,” sahut Baruna.

“Dari sore tadi tidak pulang. Aku cemas, tahu...!” rungut Nek Selong.

“Maaf, Nek. Aku cuma pergi dan latihan di tempat biasa,” jawab Baruna kalem.

“Kau tidak ke sana, Baruna! Aku tahu kau pergi bukan untuk latihan!”

Baruna tersentak kaget. Dipandanginya wajah wanita tua itu dalam-dalam. Memang diakui, kalau dia tidak pergi berlatih malam ini. Dan yang pasti, Nek Selong telah pergi ke tempat mereka biasa berlatih ilmu olah kanuragan.

“Katakan terus terang, dari mana kau?” desak Nek Selong.

Baruna tidak langsung menjawab, tapi malah menarik napas panjang dan melangkah menghampiri dipan kayu. Direbahkannya tubuhnya di atas dipan itu. Sementara Nek Selong mengunci pintu, kemudian duduk di kursi tidak jauh dari dipan itu.

“Kau tahu, Baruna. Si Penyair Maut semakin ganas. Tadi baru saja Gusti Mandaka ke sini. Kebetulan aku ada di luar,” kata Nek Selong memberitahu.

Baruna tetap diam.

“Aku cemas bukan apa-apa, Baruna. Hanya aku tidak ingin mereka salah menuduh karena kau setiap hari keluar malam. Aku tidak khawatir kalau kau bertemu si Penyair Maut itu. Hanya yang kucemaskan, mereka bisa berbuat sembrono dengan menuduhmu sebagai si Penyair Maut,” lanjut Nek Selong mengutarakan kecemasannya.

Baruna tetap diam. Matanya menatap lurus ke arah langit-langit pondok itu. Napasnya teratur lembut. Titik-titik keringat terlihat bagai mutiara di dadanya yang bergerak turun naik.

“Kau dengar, Baruna...?”

“Dengar, Nek,” sahut Baruna mendesah pelan.

“Mulai malam ini, aku melarangmu keluar rumah!” tegas kata-kata Nek Selong.

Baruna terperanjat dan langsung menoleh menatap langsung ke bola mata perempuan tua itu. Ingin dipastikan kesungguhan kata-kata yang baru didengarnya dari neneknya itu.

“Nek, aku keluar hanya untuk berlatih. Lain tidak. Lagi pula tidak ada yang tahu, mengapa aku harus takut? Tidak perlu cemas, Nek. Aku bisa menjaga diri,” kata Baruna meyakinkan hati perempuan tua itu.

“Jangan membodohi aku, Baruna! Kau tidak berlatih setiap malam!” dengus Nek Selong.

“Aku berlatih, Nek!” Baruna berusaha meyakinkan.

“Di mana? Di mana kau berlatih?”

Baruna tidak menjawab. Kembali dipalingkan mukanya menatap langit-langit yang hitam.

“Jangan-jangan kau sendiri yang jadi pembunuh misterius itu, Baruna,” tebak Nek Selong langsung.

“Nek...!” Baruna terkejut. Seketika itu juga dia bangkit, lalu duduk di tepi dipan.

“Menyesal aku menceritakan perihal keluargamu, Baruna. Memang sudah kuduga, kau pasti akan membalas dendam. Sayang, jalan yang kau tempuh tidak kusukai,” suara Nek Selong terdengar lirih bernada penyesalan.

“Aku..., aku tidak melakukan apa-apa! Sungguh, Nek. Aku...."

“Berapa orang korbanmu malam ini?” potong Nek Selong cepat.

“Korban...? Korban apa?”

“Kau masih juga berpura-pura, Baruna. Padahal sekarang ini banyak jiwa yang terancam. Bahkan orang yang tidak bersalah juga terancam jiwanya karena perbuatanmu!”

“Aku tidak mengerti maksud Nenek...?”

“Ah, sudahlah! Sekarang tidurlah. Besok, kau harus ikut aku ke Bukit Halu.”

“Mau apa ke sana?”

“Kau harus minta maaf di depan makam ayahmu. Kau sudah berbuat salah, membalas dendam dengan cara memfitnah orang lain!”

“Nek...!”

Tapi Nek Selong tidak ingin lagi mendengar bantahan dari cucunya. Dia segera bangkit dan melangkah masuk ke kamar tidurnya. Baruna membanting keras tubuhnya ke dipan. Terdengar keluhan panjang dan berat. Sementara malam semakin bertambah larut Masih terdengar langkah kaki manusia dan derap kaki kuda sesekali di luar sana. Orang-orang Raden Glagah masih tetap berusaha mencari si Penyair Maut yang malam ini kembali beraksi meminta korban jiwa.

*******************

LIMA

Siang itu matahari bersinar amat terik. Di bagian timur lereng Bukit Halu terlihat Rangga duduk bersila di bawah sebatang pohon yang sangat besar. Daun-daunnya lebat melindungi Rangga dari sengatan matahari. Tidak jauh di depannya terlihat Kumbara tengah membalik dua ekor kelinci panggang yang ditangkapnya pagi tadi.

“Sudah matang. Mau makan sekarang?” Kumbara menawarkan seraya bangkit dan melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Makan saja. Aku belum lapar,” tolak Rangga halus.

Kumbara mengangkat bahunya, kemudian duduk di depan pemuda berbaju rompi putih itu. Mulai dimakannya daging kelinci panggang itu, sedangkan satunya lagi diletakkan di atas daun pisang di depan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu memperhatikannya. Kumbara menghentikan makannya, karena merasa jengah dipandangi terus.

“Ada apa? Kenapa kau memandangku seperti itu?” tegur Kumbara jengah.

“Ke mana kau semalam?” tanya Rangga langsung.

“Tidak ke mana-mana,” sahut Kumbara terlihat terkejut.

“Aku tidak melihatmu di goa, dan kau pulang menjelang fajar,” kata Rangga datar nada suaranya.

Kumbara diam tidak menyahut. Selera makannya seperti hilang seketika. Diletakkan daging kelinci panggang yang baru termakan sedikit di atas daun pisang.

“Aku mencarimu di sekitar goa sampai ke Desa Komering Ilir,” lanjut Rangga.

Kumbara tampak terkejut sekali. Dia sampai menatap dalam-dalam ke mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Kumbara! Aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Tapi nyawamu sekarang ini terancam. Semalam ada kejadian lagi yang meminta korban nyawa. Mereka semua menuduhmu sebagai pelakunya. Si Penyair Maut... Hh! Nama yang indah...” kata Rangga mengemukakan hasil penyelidikannya di Desa Komering Ilir.

“Biarkan saja mereka menyangka begitu, Rangga. Aku tidak peduli!” dengus Kumbara sinis.

“Kau juga tidak peduli dengan nyawamu?”

“Aku sudah mati puluhan tahun lalu!”

“Kau bisa saja berkata begitu, Kumbara. Tapi kau tidak bisa berpaling dari kenyataan. Aku tidak menyuruh atau mengajarkan untuk membalas dendam....”

“Jangan ungkit-ungkit lagi masa laluku, Rangga!” selak Kumbara keras.

“Masa lalu bagian dari kehidupanmu, Kumbara. Kau tidak bisa selamanya menutup mata dan hatimu. Aku tahu, di dalam lubuk hatimu tersimpan bara dendam yang membara. Kau tidak puas karena keluargamu habis terbantai, dan seluruh kekayaan keluargamu dikuasai orang lain. Bahkan mereka yang tidak tahu, termakan hasutan hingga membencimu. Kau salah, Kumbara! Penduduk Desa Komering Ilir bukannya tidak tahu, tapi menutupi perasaan dirinya sendiri. Mereka sengaja bersikap demikian karena takut kau akan kembali menguasai Desa Komering Ilir dan menuntut kembali hak-hakmu. Tapi tidak semua begitu, Kumbara. Masih banyak penduduk Desa Komering Ilir yang menaruh simpati padamu, bahkan mereka ingin membantumu. Tapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan! Sedangkan kau sendiri kelihatan tidak peduli! Bahkan kelihatannya diam saja terhadap keangkaramurkaan yang telah menguasai dan memendammu di lembah kenistaan yang amat dalam,” panjang lebar Rangga membakar semangat Kumbara yang telah padam.

“Dari mana kau tahu semua itu?” tanya Kumbara.

“Seorang tua yang selalu memperhatikanmu,” sahut Rangga kalem.

“Siapa?” desak Kumbara.

“Ki Ampar.”

“Ki Ampar...,” desak Kumbara lirih. Kumbara memang tidak menyangkal, kalau Ki Ampar selalu memperhatikannya. Tidak pernah Ki Ampar mengusir atau mencaci dirinya. Bahkan selalu menyuruhnya untuk bekerja dan membangkitkan semangatnya. Meskipun sikap Ki Ampar padanya terlihat kasar, tapi Kumbara bisa mengerti maksudnya. Hanya saja tidak pernah ditanggapi, karena dia sudah bertekad untuk mengubur semua masa lalunya yang pahit. Dia tidak ingin menggali semua yang sudah dikuburnya dalam-dalam.

“Banyak yang diceritakan Ki Ampar tentang dirimu, masa lalumu, dan malapetaka yang menimpa seluruh keluargamu. Juga tentang keadaan Desa Komering Ilir sekarang ini. Meskipun seorang kepala desa, tapi Ki Ampar tidak punya hak untuk mengatur desanya. Ki Ampar sendiri merasa kalau dia hanya dijadikan boneka yang hanya dapat mengikuti perintah dalang. Dia sangat mengharapkanmu, Kumbara. Juga orang-orang tua yang merana dan tertekan hidupnya. Hanya kau satu-satunya yang bisa membangun kembali Desa Komering Ilir,” Rangga tidak putus asa membangkitkan semangat si Penyair itu.

“Sudahlah, Rangga. Aku hargai rasa simpatimu. Lihatlah mukaku ini. Mereka telah merusak mukaku!” kata Kumbara.

“Dan kau diam saja, tidak berbuat sesuatu?” nada suara Rangga terdengar sinis.

“Mereka terlalu kuat, Rangga. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang penyair lemah seperti aku ini?”

Rangga langsung diam. Memang diakui kalau Kumbara seorang laki-laki lemah yang tidak memiliki ilmu olah kanuragan sedikit pun. Selama beberapa hari ini, Kumbara memang tidak pernah menunjukkan dirinya seorang laki-laki kuat dan perkasa. Sehari-hari kerjanya hanya membuat syair dan membacakannya pada pohon, burung, tupai, atau apa saja yang bersedia mendengarkannya. Tapi Rangga tidak percaya kalau Kumbara benar-benar seorang yang lemah.

Beberapa malam ini Kumbara selalu menghilang dari dalam goa tempat tinggal mereka. Bahkan Rangga pernah mencoba untuk mengetahui dengan pura-pura tidur. Tapi sialnya dia tertidur benar! Akibatnya dia tidak tahu apa yang dilakukan Kumbara pada malam hari. Seperti semalam, Rangga merasa dirinya begitu mengantuk, tapi berusaha ditahan. Pendekar Rajawali Sakti itu memang sempat tertidur beberapa saat. Tapi begitu terjaga, dia tidak lagi mendapatkan Kumbara di tempatnya.

Pendekar Rajawali Sakti itu berusaha mencari. Tapi tanpa disadari, dia mencari sampai ke Desa Komering Ilir. Kebetulan malam itu terjadi peristiwa menggemparkan. Beberapa orang tewas terbunuh, bahkan Naraka dan Mandaka terluka cukup parah. Rangga memang tidak tahu persis kejadian yang sebenarnya, kalau saja tidak singgah ke rumah Ki Ampar. Dari laki-laki tua itulah semua peristiwa yang telah dan yang kini sedang terjadi dapat diketahuinya.

*******************

Rangga tetap tidak percaya terhadap pengakuan Kumbara yang mengatakan keluar malam hanya untuk mencari wangsit dalam mencipta syair-syairnya. Dia sudah mengetahui kalau pembunuh misterius yang berkeliaran di malam hari itu selalu meninggalkan secarik daun lontar berisikan bait-bait syair.

Sementara seluruh penduduk Desa Komering Ilir hanya tahu, kalau orang yang pandai membuat syair hanya Kumbara. Tidak ada orang lain yang bisa membuat syair.

Dan jelas, kalau semua orang pasti menyangka Kumbaralah si Penyair Maut yang selalu muncul pada malam hari dan meminta banyak korban nyawa.

Dugaan itu semakin kuat, karena mereka yang menjadi sasaran adalah anak buah Raden Glagah. Tidak seorang penduduk pun menjadi sasaran, meskipun mereka selalu membenci dan mengusir Kumbara. Keanehan inilah yang menjadi beban pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Dan keanehan itu semakin jelas setelah Rangga bertemu dengan Ki Ampar. Dari Kepala Desa Komering Ilir itulah dia tahu latar belakang kehidupan Kumbara.

Rangga tidak dapat menyalahkan Kumbara jika ingin membalas dendam. Sebab, rumah yang ditempati Raden Glagah sebenarnya milik Kumbara. Dialah pewaris tunggal dari saudagar kaya yang menguasai hampir seluruh desa ini. Sedangkan kedatangan Raden Glagah yang mengaku putra saudagar itu sebenarnya bohong belaka!

Raden Glagah sebenarnya adalah musuh besarnya. Kumbara sengaja dicampakkan dengan disebarkannya fitnah keji agar seluruh penduduk Desa Komering Ilir membenci si Penyair itu. Tapi semua perbuatan Raden Glagah diketahui oleh Ki Ampar. Raden Glagah sengaja memberi kedudukan kepada laki-laki tua itu agar tidak membocorkan rahasianya.

Malam ini Rangga sengaja datang ke Desa Komering Ilir dan menginap di rumah Ki Ampar. Ingin dibuktikan, siapa si Penyair Maut itu sesungguhnya. Kumbara, atau orang lain yang mungkin saja memanfaatkan situasi ini. Entah untuk maksud apa. Yang jelas, Rangga sudah bertekad untuk membongkar semuanya malam ini juga. Bagusnya, rencana itu didukung penuh oleh Ki Ampar, yang memang sudah muak dengan tingkah Raden Glagah yang semakin merajalela saja. Bahkan kini telah menguasai desa-desa lain yang bertetangga dengan Desa Komering Ilir!

“Kelihatannya malam ini tidak akan terjadi sesuatu, Den Rangga,” kata Ki Ampar yang menemani.

“Mungkin. Ini sudah hampir tengah malam,” sahut Rangga tidak lepas mengamati keadaan di luar dari celah jendela.

“Apakah Kumbara tahu kalau kau sengaja datang ke sini?” tanya Ki Ampar.

“Tidak! Tadi aku hanya bilang akan pergi ke desa seberang sungai,” sahut Rangga. “Masalahnya, kalau kubilang akan membeli bekal makanan di sini, dia pasti tidak mau makan.”

“Kasihan anak itu. Seumur hidupnya selalu menderita,” desah Ki Ampar bergumam.

“Ya..., kalau saja dia mempelajari ilmu olah kanuragan, pasti tidak akan begitu,” Rangga jadi ikut bergumam. “Heran juga, kenapa dia justru mempelajari syair-syair...?”

“Memang hanya itu yang ditinggalkan orang tuanya.”

Rangga memalingkan mukanya menatap Ki Ampar yang duduk di samping kanannya.

“Orang tuanya sebetulnya baik. Dia mengerti dengan bakat Kumbara yang suka akan syair. Sejak kecil, sampai berusia sepuluh tahun, Kumbara selalu mempelajari buku-buku sastra. Sedikit pun dia tidak tertarik pada ilmu olah kanuragan.”

“Sampai terjadi musibah itu?” Rangga ingin kejelasan.

“Ya! Sampai seluruh keluarganya terbunuh oleh Raden Glagah, Kumbara tetap tidak berminat mempelajari ilmu olah kanuragan. Malah semakin giat menekuni sastra, dan mampu menciptakan syair.”

“Aneh juga, ya...,” gumam Rangga pelan. Kembali diperhatikannya keadaan di luar.

“Manusia memang tidak ada yang sama, Den Rangga.”

“Memang.”

“Begitu juga dengan kehidupan ini. Desa Komering Ilir yang semula tenang dan damai, berubah kacau terselimut hawa kematian. Semua itu terjadi sejak Raden Glagah muncul.”

Rangga diam. Matanya tidak berkedip mengintip keluar.

“Orang-orang yang mencoba menentangnya selalu dibunuh! Bahkan seluruh keluarganya dibinasakan.

Termasuk keluarga kepala desa yang terdahulu. Hhh..., untung saja seorang anak kepala desa masih hidup. Kini dia diasuh oleh neneknya yang tinggal di desa seberang sungai. Tapi..., ya begitu. Kehidupannya sungguh memprihatinkan,” sambung Ki Ampar.

“Siapa yang kau maksudkan, Ki?” tanya Rangga.

“Apa aku belum menceritakannya padamu, Den?”

“Belum.”

“Peristiwanya sudah lama, kira-kira dua puluh satu tahun yang lalu. Anak itu juga belum lahir, masih berada di dalam kandungan. Istri kepala desa itu berhasil diselamatkan dan tiba di desa seberang sungai. Kabarnya dia sempat melahirkan sebelum meninggal. Tapi suaminya mati dibunuh orang-orang Raden Glagah. Aku tahu siapa anak itu, dan juga neneknya. Tapi aku tidak pernah menceritakannya pada orang lain.”

“Kenapa?”

“Kalau Raden Glagah tahu, pasti anak itu dibunuh. Juga neneknya! Sedangkan orang-orang di desa ini tidak ada yang dapat kupercayai. Mereka semua ular berkepala dua, mengikuti saja asal bisa hidup berkecukupan. Sikap seperti itu memang sudah ada sejak berdirinya desa ini, dan tidak mudah untuk menghilangkannya,” nada suara Ki Ampar sedikit mengeluh.

“Aneh juga. Kenapa tidak ada yang tahu?”

“Anak itu lahir di desa seberang sungai, dan baru kembali setelah usianya sekitar lima tahun. Tidak ada yang tahu dan mengenal neneknya, apalagi dia sendiri. Aku tidak tahu, apa maksudnya perempuan tua itu membawa kembali cucunya sampai sekarang.”

“Hmmm...,” Rangga bergumam.

Ki Ampar diam. Dihirup sisa kopinya yang tinggal sedikit. Pandangannya tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatannya sedang berpikir.

“Ada yang dipikirkan, Den?” tanya Ki Ampar.

“Ya. Aku jadi punya pikiran lain, Ki,” desah Rangga.

“Maksud Den Rangga?”

“Ada kemungkinan bukan Kumbara yang melakukan, tapi orang lain yang memanfaatkan posisi Kumbara dalam hal ini. Bisa saja sengaja diletakkan daun lontar berisi bait syair agar semua orang menyangka Kumbara yang melakukannya,” kata Rangga menduga-duga.

“Kau mencurigai anak kepala desa itu?”

“Siapa saja, Ki. Yang merasa sakit hati dan dendam pada Raden Glagah.”

“Kalau Baruna, rasanya tidak mungkin. Dia bertubuh kurus kerempeng. Sedangkan neneknya sudah tua dan sakit-sakitan. Kalau orang lain... Siapa...?”

“Ki, mengapa Raden Glagah tidak membunuh Kumbara?” tanya Rangga beralih.

“Raden Glagah menganggap Kumbara bukan ancaman karena tidak menyukai ilmu olah kanuragan. Sengaja hidupnya dibuat miskin dan sengsara agar jadi contoh bagi seluruh penduduk. Siapa yang membangkang, nasib keturunannya akan sama dengan Kumbara. Terhina, papa, dan tidak berdaya!”

“Hebat! Cerdik juga dia,” gumam Rangga mendesis.

“Itulah sebabnya, mengapa seluruh penduduk Desa Komering Ilir ini tidak ada yang berani dan menuruti saja perintah Raden Glagah. Bahkan menganggap Kumbara sebagai pembawa sial dan bencana yang harus disingkirkan.”

“Dan yang pasti, semua itu ulah Raden Glagah, bukan?”

“Benar, Den. Memang anak buah Raden Glagahlah yang meniupkan kabar bohong tentang Kumbara yang dikatakan sebagai si Penyair pembawa bencana.”

“Hebat...!” Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara teriakan melengking tinggi. Dan beberapa saat kemudian, terdengar suara pertarungan. Rumah Ki Ampar memang tidak berapa jauh dari bangunan besar bagai istana itu. Rangga yang memperhatikan keluar langsung dapat melihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat. Namun suara pertarungan berhenti, disusul suara-suara bernada memerintah.

“Aku pergi dulu, Ki,” kata Rangga cepat-cepat.

“Hati-hati, Den.”

Rangga segera melompat ke pintu. Sebentar diintipnya keadaan di luar, kemudian melesat cepat. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap. Ki Ampar bergegas menutup pintu rumahnya kembali.

Ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti memang sempurna sekali. Dia berlompatan bagaikan kilat, sehingga sukar diikuti mata biasa. Hanya bayangannya saja yang berkelebat seperti hantu. Pandangannya tidak lepas ke arah sosok hitam yang berkelebatan menyelinap di tempat-tempat gelap.

“Berhenti...!”

Rangga terkejut ketika mendengar bentakan keras menggelegar. Dan orang berbaju serba hitam itu berhenti seketika. Saat itu juga berkelebat sebuah bayangan hijau yang langsung menghadang orang berbaju serba hitam itu. Wajahnya cukup tampan. Bentuk tubuhnya pun sangat bagus, tegap dan berisi.

“Raden Glagah..., rupanya kau tidak sabaran ingin cepat-cepat ke neraka juga,” kata orang berbaju hitam itu sinis.

Sementara Rangga sudah berlindung di atas dahan pohon dengan jarak yang cukup terlindung. Dengan mengerahkan ilmu ‘Tatar Netra’, dan ilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’, dapat terlihat serta terdengar jelas semua percakapan dan kejadian di depannya. Rangga agak berkerut juga melihat orang berbaju hitam itu. Suaranya terdengar berat dan besar, seperti dibuat-buat. Sedangkan bentuk tubuhnya begitu kecil, dan bisa dikatakan kurus. Seperti bukan tubuh seorang laki-laki. Tapi dari suaranya, jelas kalau dia laki-laki.

“Petualanganmu sudah cukup, Penyair Maut!” desis Raden Glagah sinis.

“Memang, setelah kau terbang ke neraka!” sahut orang itu tidak kalah sinisnya.

“Kita lihat, siapa yang masih bisa tertawa esok pagi!”

Setelah berkata demikian, Raden Glagah segera membuka jurus. Sedangkan orang berbaju hitam itu masih kelihatan tenang tidak bergeming sedikit pun.

“Hiya...!”

Sambil berteriak keras, Raden Glagah melompat mengirimkan jurus-jurus mautnya. Orang berbaju hitam itu mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping menghindari serangan Raden Glagah. Dan dengan cepat disodokkan tangannya ke arah lambung. Tapi Raden Glagah bisa menghindarinya dengan mudah. Mereka langsung terlibat dalam pertempuran sengit. Masing-masing menyerang dengan jurus-jurus mautnya. Pertarungan berjalan cepat, dan tanpa menggunakan senjata satu pun. Namun begitu, sedikit kelengahan saja bisa berakibat fatal.

Sementara di tempat yang cukup tersembunyi, Rangga memperhatikan jalannya pertarungan dengan mata tidak berkedip. Pertarungan berjalan semakin sengit. Jurus-jurus dilalui cepat. Raden Glagah mencabut senjatanya, tepat pada jurus ke tiga puluh. Sedangkan orang berbaju hitam itu masih tetap bertangan kosong. Kelihatannya dia tidak membawa sepucuk senjata pun.

“Hm..., terlalu berbahaya kalau dia tidak menggunakan senjata juga,” gumam Rangga dalam persembunyiannya.

Dan dugaan Pendekar Rajawali Sakti memang terbukti. Baru saja dia bergumam demikian, terlihat orang berbaju hitam itu mulai terdesak. Dan pada satu serangan berikut, ujung pedang Raden Glagah meluruk cepat ke arah dada, setelah tendangannya berhasil mendarat di tubuh orang berbaju hitam itu.

“Celaka...!” desis Rangga.

Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan. Orang berbaju hitam itu mengangkat tangan kanannya cepat. Maka dari balik lengan bajunya keluar sepucuk senjata berbentuk pedang pendek tipis. Langsung diputarnya pedang itu untuk melindungi dadanya.

Trang!

Raden Glagah tersentak kaget, kontan melompat mundur dua tindak ke belakang. Sedangkan orang berbaju hitam itu pun melompat dua tindak ke belakang. Rupanya benturan senjata bertenaga dalam cukup tinggi, membuat tangan mereka seperti kaku. Kini mereka berdiri tegak, seakan-akan hendak mengukur tingginya tingkatan kepandaian masing-masing.

Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dipacu cepat Tidak berapa lama berselang muncul sekitar lima puluh orang berkuda dari empat jurusan. Mereka serentak mengepung dan menghunus senjata masing-masing.

“Ha ha ha...!” Raden Glagah tertawa terbahak-bahak.

Orang-orang yang baru saja berdatangan itu langsung berlompatan dan mengepung orang berbaju hitam. Di antara mereka terlihat empat bersaudara kepercayaan Raden Glagah. Orang berbaju serba hitam itu memutar tubuhnya perlahan-lahan. Tatapan matanya tajam memperhatikan orang-orang di sekitarnya.

Sementara Rangga memperhatikan, ia merasa iba melihat orang berbaju hitam itu tidak mempunyai peluang untuk dapat menerobos kepungan rapat itu. Tapi Rangga tetap diam, tidak ingin ikut campur dulu. Dia ingin mengetahui tindakan orang berbaju hitam itu.

“Penyair Maut! Sebaiknya kau menyerah! Tidak ada lagi kesempatan lolos buatmu!” kata Raden Glagah merasa menang.

“Huh!” orang berbaju hitam itu hanya mendengus saja.

Perlahan-lahan tangannya terangkat ke depan, lalu menyatu rapat. Dengan tubuh sedikit membungkuk, diputar kakinya. Tatapan matanya tajam menusuk, memperhatikan setiap gerak orang yang mengepungnya.

Cring!

Pedang tipis sepanjang lengan itu terbelah menjadi dua. Kini di tangan orang berbaju hitam itu tergenggam sepasang pedang dengan bentuk dan ukuran yang sama. Tanpa banyak berpikir lagi, dengan cepat dia berputar sambil berteriak nyaring.

“Yeaaah...!”

*******************

ENAM

Gerakan orang berbaju hitam itu cepat luar biasa. Dengan tubuh berputar dan kedua tangan merentang, dicobanya membuka kepungan orang-orang itu. Jerit pekik melengking terdengar saling sambut, disusul tersuruknya beberapa tubuh bersimbah darah.

Kejadian yang begitu cepat dan tak terduga itu membuat Raden Glagah tersentak kaget. Dalam sekejap mata saja, sudah enam orang anak buahnya terbujur tak bernyawa. Raden Glagah langsung memerintahkan untuk menyerang.

“Serang...!”

Pertarungan tidak seimbang sulit dielakkan lagi Orang berbaju serba hitam itu terkurung rapat, di antara kelebatan senjata tajam yang siap mengoyak tubuhnya. Beberapa jurus berlalu cepat. Sedangkan orang berbaju hitam itu mulai kelihatan kerepotan menghadapi serangan yang datang bagai gelombang. Serangan yang tiada henti-hentinya, terus mengalir dari segala penjuru. Tidak ada kesempatan lagi untuk meloloskan diri.

Beberapa kali pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya. Tapi sampai sejauh itu, belum ada senjata yang menyentuh kulitnya. Sementara empat saudara kepercayaan Raden Glagah sudah ikut terjun dalam kancah pertarungan. Hal ini membuat orang berbaju hitam itu semakin kewalahan.

“Mampus kau! Hiyaaa...!” tiba-tiba Naraka berteriak keras.

Bagaikan kilat, senjatanya berkelebat membabat ke arah dada. Orang berbaju hitam itu mengegoskan tubuhnya ke kiri, maka tebasan Naraka pun luput dari sasaran. Tapi belum juga sempat menarik kembali tubuhnya, datang lagi serangan dari Balika. Dan kali ini tidak dapat dihindari lagi, meskipun telah berusaha berkelit.

“Akh!” orang berbaju hitam itu memekik tertahan.

Darah mengucur dari bahu kirinya. Pada saat tubuhnya limbung, satu tendangan keras Carika membuatnya terjajar ke belakang. Pada saat itu, Mandaka dan Naraka melompat bersamaan sambil menghunus senjata mereka. Sudah dapat dipastikan kalau orang berbaju hitam yang dijuluki si Penyair Maut itu akan tewas terhunjam dua senjata yang meluruk deras ke arahnya.

Tapi pada saat yang kritis itu, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat bagai kilat. Bayangan itu langsung memapak serangan dua bersaudara tadi, dan cepat menyambar tubuh si Penyair Maut. Begitu cepat gerakannya, sehingga sukar diikuti pandangan mata. Sekejap saja tubuh si Penyair Maut telah lenyap dari kepungan. Raden Glagah dan empat orang bersaudara pengikut setianya jadi bengong.

“Cepat! Kejar...!” seru Raden Glagah begitu sadar dari keterkejutannya.

Naraka dan ketiga adiknya serentak melompat mengejar, diikuti anak buahnya yang segera berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sementara Raden Glagah menggerutu karena orang yang selama ini telah banyak menewaskan anak buahnya lolos pada saat maut sudah berada di depannya.

*******************

Saat itu, orang berbaju hitam yang dijuluki si Penyair Maut berusaha berontak dari kepitan ketiak seorang laki-laki muda berbaju rompi putih. Namun pemuda itu tidak memperdulikannya, dan terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepatnya dia berlari, sehingga yang terlihat hanya bayangan putih berkelebatan dari pohon ke pohon.

“Lepaskan...!” bentak orang berbaju hitam itu memberontak.

Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang berbentuk kepala burung, berhenti berlari setelah tiba di tengah hutan Bukit Halu. Segera dilepaskan kepitannya, maka tubuh terbungkus baju hitam itu jatuh terguling di tanah. Dia bersungut-sungut sambil bangkit berdiri.

“Kadal! Keparat kau!” umpat orang berbaju hitam itu menggerutu.

“Kau hampir saja mati, Kisanak,” kata pemuda berbaju rompi putih itu kalem.

“Aku tidak butuh pertolonganmu!”

“Aku tahu, tapi kau hampir mati tadi.”

“Huh! Siapa kau?”

“Namaku Rangga, dan dikenal dengan nama Pendekar Rajawali Sakti,” pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri.

“Aku tidak kenal kau! Kenapa menolongku?” suara orang berbaju hitam itu masih terdengar ketus.

“Akan kujelaskan jika kau mau membuka topengmu,” sahut Rangga kalem.

Orang berbaju hitam itu tidak menyahut, malah mundur dua langkah ke belakang. Dari balik kain yang menyelubungi kepala dan wajahnya, terlihat sinar mata yang tajam penuh kecurigaan.

“Jangan coba-coba menipuku, Kisanak. Kau pasti orang suruhan Raden Glagah!” kata orang berbaju hitam itu ketus.

“Aku tidak kenal dengan Raden Glagah! Aku menolongmu dari maut hanya karena kebetulan lewat saja, kulihat kau butuh pertolongan,” kata Rangga masih kalem.

“Apa buktinya kalau kau bukan orang suruhan Raden Glagah?” nada suara orang itu masih bernada curiga.

“Tidak ada bukti, tapi kau dapat mempercayai aku.”

“Maaf, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu.”

Setelah berkata demikian, orang berbaju hitam itu menggenjot tubuhnya. Tapi yang terjadi adalah di luar dugaannya sama sekali. Dia malah terguling! Orang itu buru-buru bangkit berdiri dan kelihatan terkejut. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja.

“Kau memang masih dapat bergerak dan bicara dalam keadaan sadar penuh, tapi tidak bisa lagi menggunakan semua ilmumu,” kata Rangga tetap tenang suaranya.

“Keparat! Apa yang kau lakukan padaku?” bentak orang itu geram.

“Hanya menotok pusat kekuatan tenaga dalammu saja,” sahut Rangga tetap tenang.

“Bajingan...!” desis orang itu marah bukan main.

Dia tahu kalau tenaganya tidak ada lagi, dan benar-benar tidak punya daya sama sekali. Pusat kekuatan tenaga dalamnya sudah tertotok. Totokan itu dapat terbuka hanya jika dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu tenaga dalam sempurna. Tapi, tidak banyak orang yang dapat memiliki ilmu totokan, mampu melumpuhkan tenaga dalam seseorang.

Orang berbaju hitam itu mencoba menyalurkan hawa murni, tapi akhirnya malah menggerutu. Dia tidak mampu lagi menyalurkan hawa murni. Rupanya bukan saja pusat tenaga dalamnya yang tertotok, tapi juga pusat penyaluran hawa murni ikut lumpuh.

“Aku mengaku kalah, Kisanak. Tapi ini bukan berarti kemenangan buatmu!” kata orang itu dengan menahan geram.

“Tidak ada yang menang ataupun kalah. Aku tahu, kau memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi, jadi terpaksa hanya dengan jalan itu dapat melumpuhkanmu. Totokan biasa sangat mudah bagimu untuk membukanya kembali. Hawa murni yang tersimpan di dalam tubuhmu sangat besar. Hanya karena kau kurang melatihnya, sehingga belum berkembang,” jelas Rangga.

“Heh! Kau tahu semua itu...?!” orang itu semakin terkejut, dan tidak bisa disembunyikan lagi.

“Aku dapat merasakannya ketika kau meronta, mencoba melepaskan diri tadi,” sahut Rangga tetap kalem.

“Kau hebat, Kisanak. Kau pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi,” puji orang itu tulus.

“Lumayan. Yang penting cukup untuk menjaga diri dari orang-orang yang suka pamer kekuatan,” sahut Rangga.

Orang berbaju hitam dan bertopeng dari kain hitam itu diam beberapa saat. Tampaknya dia sedang berpikir keras dan menimbang-nimbang. Perlahan-lahan tangannya terangkat ke atas kepala, lalu ditariknya tutup kepala yang menyelubungi seluruh kepala dan wajahnya.

Rangga terkesiap begitu selubung kepala orang itu terbuka seluruhnya. Mulutnya ternganga lebar, dengan mata tidak berkedip memandang. Sedangkan orang berbaju hitam itu hanya berdiri tegak. Pandangannya lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau terkejut, Kisanak?”

“Aku tidak mengenalmu, tapi gambaran wajahmu serta bentuk tubuhmu pernah kudengar,” sahut Ranga datar.

“Aku memang Baruna, cucu tunggal Nek Selong,” orang berbaju hitam itu mengakui siapa dirinya sebenarnya.

“Hm..., ya aku ingat, kau bernama Baruna. Orang yang menceritakan tentang dirimu pernah juga menyebut nama Baruna.”

“Kau sudah tahu siapa diriku. Nah! Sekarang bebaskan aku,” kata Baruna tegas.

“Untuk apa?”

“Urusan kita belum selesai, Kisanak. Malam ini juga kita harus bertarung sampai salah satu di antara kita ada yang tewas. Dan yang pasti aku akan membunuhmu!”

“Kenapa?”

“Karena kau satu-satunya orang yang mengetahui siapa diriku yang sebenarnya!” tegas jawaban Baruna.

“Baik, aku terima tantanganmu. Tapi kau harus berjanji!” sahut Rangga juga tegas.

“Apa?”

“Mulai malam ini, jangan lagi menggunakan nama Penyair Maut!”

Orang berbaju hitam yang ternyata adalah Baruna itu langsung diam. Kembali dia menatap tajam dan mencari sesuatu di dalam sinar mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Syarat yang diajukan Rangga sebenarnya tidak begitu berat. Tapi memang selama ini Baruna menjadi manusia misterius yang selalu meminta korban nyawa dari orang-orangnya Raden Glagah. Hanya saja tindakan yang berdasarkan dendam untuk membalas kematian seluruh keluarganya itu telah menjerat orang yang tak bersalah menjadi tertuduh.

“Aku tidak pernah menggunakan nama itu!” sahut Baruna.

“Semua orang tahu, kalau yang berkeliaran mencari korban nyawa adalah si Penyair Maut. Bahkan Raden Glagah sendiri menyebutmu si Penyair Maut. Kau selalu meninggalkan secarik daun lontar bertuliskan bait-bait syair bernoda darah.”

Baruna kembali terdiam.

“Kenapa kau lakukan itu, Baruna?” tanya Rangga bernada mendesak.

“Apa pedulimu?” dengus Baruna.

“Tentu saja aku peduli, karena kau telah merugikan seseorang yang tidak berdosa sama sekali! Bahkan kini nyawanya terancam!” sahut Rangga tegas.

“Oh.... Jadi kau muncul atas nama Kumbara si Penyair itu?”

“Benar!”

“Aku memang sengaja meninggalkan secarik daun lontar berisikan bait syair. Memang ingin kualihkan perhatian mereka pada Kumbara, karena aku tahu dia tidak ada lagi di desa ini.”

“Kau salah, Baruna. Kumbara belum jauh meninggalkan desa kelahirannya. Bahkan dia hampir mati karena ulahmu yang menggunakan namanya!”

“Apa...?!” Baruna kelihatan terkejut.

“Orang-orang Raden Glagah hampir membunuhnya.”

“Biadab! Benar-benar keparat mereka!” geram Baruna mendesis.

“Semua itu tidak akan pernah terjadi jika kau tidak menggunakan namanya. Aku tidak berpikiran buruk tentang niatmu, tapi apa yang kau lakukan sangat tidak terpuji bagiku. Kau ingin leluasa bergerak untuk menumpas orang-orang yang telah membunuh keluargamu dengan menggunakan nama orang lain. Tapi kau tidak menghiraukan akibatnya pada orang yang telah kau gunakan namanya untuk kepentingan dirimu sendiri. Hhh...! Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Baruna...,” kata Rangga panjang lebar.

Baruna hanya diam saja. Semua kata-kata yang keluar dari bibir Pendekar Rajawali Sakti membuat Baruna diam membisu. Kata-kata itu sangat mengena di hatinya. Baruna memang masih hijau dan belum berpengalaman dalam dunia kaum persilatan. Selama ini dia hanya melakukan semua yang ada di kepalanya saja, tanpa memikirkan akibatnya. Baruna mengakui kalau hanya mengikuti kata hatinya saja yang terbalut dendam selama hidupnya.

Rangga melangkah menghampiri. Tangannya bergerak cepat menotok bagian perut, tepat di bawah tali pusar Baruna. Seketika itu juga Baruna merasakan adanya aliran hawa panas menyebar dari pusarnya. Pemuda kurus kerempeng itu sadar kalau sekarang dia sudah kembali normal.

“Sebentar lagi pagi. Kau tidak pulang?” kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi cukup lama itu.

“Kisanak, kau tahu di mana Kumbara?” tanya Baruna tidak mempedulikan teguran Rangga.

“Untuk apa kau tanyakan itu?” Rangga juga balik bertanya.

“Aku harus meminta maaf padanya. Aku sadar, kalau perbuatanku salah dan membahayakan dirinya. Sekarang aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Kau bersedia membawaku untuk menemuinya, Kisanak?”

“Dengan senang hati. Ayolah! Sebelum matahari benar-benar terbit.”

“Terima kasih, Kisanak.”

*******************

TUJUH

Kumbara duduk diam tanpa berkata-kata, begitu mendengar pengakuan Baruna yang gamblang dan penuh penyesalan. Saat ini dia tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Apalagi untuk menentukan sikapnya. Penuturan Baruna yang bernada penuh penyesalan itu membuat Kumbara tersentuh hatinya.

“Aku menyesal, aku tidak pernah berpikir sampai ke situ, Kumbara,” kata Baruna.

“Hhh...!” Kumbara hanya menarik napas panjang saja.

Sementara itu Rangga hanya memperhatikan tanpa bicara sedikit pun, dan tidak ingin mencampuri persoalan pribadi kedua orang itu. Dia sudah senang melihat Baruna menyadari semua kesalahannya.

“Aku akan terus merasa berdosa jika kau tidak memaafkanku, Kumbara,” kata Baruna lagi.

“Lupakan,” desah Kumbara pelan.

“Kau memaafkan aku, Kumbara?”

Kumbara tersenyum, kemudian bangkit menghampiri Baruna. Sesaat dipandangi pemuda kurus kerempeng itu, lalu dipeluknya dengan erat penuh haru. Baruna tersentak sejenak, kemudian melingkarkan tangannya memeluk Kumbara. Saat itu Pendekar Rajawali Sakti menarik napas lega dan tersenyum lebar.

Agak lama juga mereka saling berpelukan, kemudian sama-sama melepaskan diri. Beberapa saat masih belum ada yang bicara, hanya sinar mata mereka saja yang banyak mengeluarkan kata-kata. Kumbara kembali melangkah mundur dan duduk di tempatnya semula, pada sebatang pohon besar yang tumbang. Sedangkan Baruna juga duduk di atas sebongkah batu.

“Aku tahu, siapa-siapa saja yang selalu mengusir dan mencaci-maki aku. Aku juga tahu kalau mereka berbuat begitu bukan dari hati nurani sendiri,” kata Kumbara setelah lama terdiam.

“Benar! Mereka berbuat begitu untuk menunjukkan kesetiaan pada Raden Glagah. Mereka tidak akan membencimu lagi jika Raden Glagah terusir dari Desa Komering Ilir,” sambung Baruna.

“Kau sudah melakukannya, Baruna.”

“Tapi aku tidak mampu menghadapinya seorang diri. Mereka begitu kuat, dan banyak jumlahnya,” Baruna mengakui terus terang.

“Kau sudah banyak berbuat, dan jumlah mereka pun sudah berkurang!” selak Rangga ikut campur.

“Hanya orang-orang yang tidak berguna saja. Aku belum mampu menghadapi biangnya,” Baruna mengakui dengan jujur.

Kembali mereka semua terdiam. Agak lama juga mereka tidak ada yang membuka suara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Rangga bangkit berdiri dan melayangkan pandangannya ke arah Desa Komering Ilir. Sebenarnya dia tidak ingin terlibat terlalu jauh. Tapi melihat keadaan dua orang pemuda yang tampak tidak berdaya menghadapi mereka yang telah membuatnya sengsara, hatinya tidak mungkin berdiam diri begitu saja.

“Aku akan membantu kalian,” kata Rangga tanpa membalikkan tubuhnya.

“Oh! Benarkah...?” seru Baruna gembira.

Rangga berbalik dan mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Wajah Baruna dan Kumbara jadi cerah. Lebih-lebih Baruna yang mengerti ilmu olah kanuragan. Dia tahu betul kalau Pendekar Rajawali Sakti memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Sudah dirasakan sebagian ilmu olah kanuragan pendekar muda itu.

“Aku bersedia setiap saat!” sahut Baruna tegas.

“Bagaimana denganmu, Kumbara?” tanya Rangga tanpa bermaksud mengecilkan kehadiran Kumbara.

“Yaaah..., paling-paling aku hanya bisa jadi penonton,” sahut Kumbara tanpa merasa berkecil hati.

“Kau bisa melakukan sesuatu, Kumbara,” kata Baruna.

“Apa yang bisa aku lakukan?”

“Kau temui Ki Ampar. Aku tahu kalau Ki Ampar tidak pernah membencimu. Katakan padanya kalau aku dan Pendekar Rajawali Sakti akan memorak-porandakan kejayaan Raden Glagah. Katakan pada Ki Ampar agar secepatnya menyusun kekuatan untuk membantu kami,” kata Baruna memberi tugas.

“Tugasmu kelihatannya lebih berat, Kumbara,” selak Rangga.

“Benar, karena kau pasti sulit meyakinkan penduduk,” sambung Baruna.

“Aku akan coba!” sahut Kumbara bersemangat.

“Bagus!” sambut Rangga tersenyum senang.

“Kapan kita mulai?” tanya Kumbara.

“Sebaiknya besok saja. Akan kuselidiki dulu kekuatan mereka,” sahut Baruna. “Sampai sekarang mereka belum tahu siapa Penyair Maut yang sebenarnya. Dengan demikian aku bisa bebas berkeliaran tanpa ada seorang pun yang mencurigai.”

“Kutunggu beritamu besok,” kata Rangga.

“Kalau begitu, aku kembali dulu. Matahari sudah terbit. Nenekku pasti sudah gelisah,” kata Baruna pamitan.

“Sampai besok, Baruna!” kata Kumbara.

“Kita pasti bisa membebaskan Komering Ilir dari tangan jahat!” sambut Baruna yakin.

“Tentu.”

*******************

Sementara itu, Nek Selong yang tidak tidur semalaman semakin gelisah karena cucunya belum juga pulang pagi begini. Perempuan tua itu membuka pintu rumahnya, dan seketika matanya membeliak lebar. Di depan rumahnya sudah berdiri Raden Glagah, empat saudara pengikut setianya, dan puluhan orang bersenjata golok.

“Nek Selong, apa cucumu ada di rumah?” tanya Naraka dengan suara yang berat dan kasar.

“Oh..., eh...,” Nek Selong tergagap, tidak dapat segera menjawab.

“Jawab, Nek Selong! Di mana Baruna!” bentak Carika.

“Dia..., dia...,” Nek Selong mulai menyadari keadaan. Dia jadi cemas karena Raden Glagah dan orang-orangnya langsung menanyakan Baruna.

“Dia tidak ada di rumah, bukan? Di mana?!” bentak Naraka lagi.

“Men..., mencari kayu di hutan,” jawab Nek Selong.

“Pagi-pagi begini? Aku lihat kayu bakarmu masih banyak,” Naraka tidak percaya.

Nek Selong tidak dapat memberi alasan lagi. Baruna memang tidak ada di rumah sejak semalam. Perasaan cemas mulai menjalari seluruh tubuhnya. Perempuan tua itu menyadari keadaannya. Perlahan-lahan ketenangan menjalari dirinya. Dia harus siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

“Karman...!” seru Naraka keras.

Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun datang terbungkuk-bungkuk.

“Katakan pada perempuan tua ini, apa yang kau lihat semalam!” tegas Naraka.

“Ampun, Gusti. Hamba.... melihat Baruna keluar dari rumah membawa bungkusan kain hitam, kemudian pergi ke dalam hutan. Hamba..., hamba mengikuti. Di sana dia mengganti pakaiannya, lalu kembali lagi ke desa dengan cepat. Selanjutnya hamba tidak tahu lagi, Gusti,” kata Karman takut-takut.

Nek Selong menatap laki-laki tua tetangganya itu. Hatinya bergolak dan darahnya mendidih mendengar penuturan Karman. Memang sudah diduga kalau cucunyalah yang selama ini membuat keresahan di dalam lingkungan kekuasaan Raden Glagah.

“Hhh...! Ternyata cucumu punya kebolehan juga, Nek Selong,” kata Raden Glagah sinis.

“Ampun, Raden. Hamba tidak tahu...,” kata Nek Selong masih berusaha menutupi. “Setahu hamba, Baruna tidak pemah belajar ilmu olah kanuragan.”

“Oh, ya? Lalu apa tujuanmu membawa Baruna setiap malam ke dalam hutan, lalu kembali menjelang fajar?” tetap sinis nada suara Raden Glagah.

Nek Selong tidak dapat menjawab. Terkejut juga dia mendengar kata-kata Raden Glagah. Sungguh tidak disangka kalau selama ini semua yang dilakukannya selalu mendapat perhatian dari Raden Glagah. Nek Selong masih bersikap waspada meskipun kelihatannya ketakutan setengah mati. Namun sinar matanya sudah tajam, lebih-lebih memandang Karman.

“Awas kepala, Nek Selong...!” tiba-tiba Naraka membentak keras.

Seketika itu juga dicabut senjatanya dan dikibaskannya cepat ke arah kepala Nek Selong. Sesaat perempuan tua itu terkesiap. Dengan gerakan sedikit, ditarik kepalanya ke belakang. Tebasan Naraka lewat di depan wajahnya.

“Bagus...!” dengus Raden Glagah. “Rupanya kau punya isi juga, perempuan tua!”

Nek Selong mengumpat dalam hati. Rupanya serangan Naraka hanya bersifat mencoba saja. Nek Selong menyadari kalau kedoknya sudah terbuka sekarang. Tiba-tiba saja perempuan tua itu melesat ke atas, dan menjebol atap rumahnya.

“Hiyaaa...!”

Raden Glagah langsung melentingkan tubuhnya ke atas, dan cepat mengirimkan dua pukulan beruntun. Nek Selong memutar tubuhnya menghindari pukulan yang mengandung tenaga dalam sangat tinggi itu, kemudian dengan manis mendarat di tanah, tepat pada lingkaran orang-orang Raden Glagah. Pada saat yang sama, Raden Glagah juga mendarat dengan manis.

“Tidak kusangka! Ternyata di daerah kekuasaanku ada tikus yang menggerogoti lumbungku,” kata Raden Glagah sinis.

“Kau yang menggerogoti lumbung kami, perampok busuk!” dengus Nek Selong tidak lagi berbasa-basi.

“Ha ha ha...!” Raden Glagah tertawa terbahak bahak.

“Biarkan kami yang membereskan perempuan tua laknat itu, Raden,” kata Naraka.

“Hm...,” Raden Glagah bergumam, kemudian melangkah mundur dua tindak.

Naraka dan ketiga adiknya melompat ke depan. Empat bersaudara itu segera mengepung dari empat jurusan. Nek Selong memutar tubuhnya perlahan-lahan. Matanya tajam menatap satu-persatu orang yang mengepungnya. Gerahamnya bergemeletuk saat matanya menatap Karman.

“Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Nek Selong berteriak keras, dan tangannya bergerak cepat mengebut ke arah Karman. Sebuah pisau kecil keperakan melesat cepat bagaikan kilat. Pisau itu tidak terbendung lagi, kontan menghunjam dada Karman.

“Aaa...!” Karman memekik keras.

Belum sempat semua orang menyadari, tahu-tahu Nek Selong sudah melompat menerjang Naraka. Tentu saja Naraka terkesiap. Namun dengan cepat dia melompat mundur ke belakang sambil mengibaskan senjatanya ke depan. Nek Selong melentingkan tubuhnya sambil mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah Carika.

“Hup!”

Carika membanting tubuhnya ke tanah, dan kakinya terangkat mengirimkan satu tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Nek Selong kembali melentingkan tubuhnya. Kali ini yang jadi sasaran adalah Mandaka. Tapi belum sempat menerjang saudara bungsu itu, Naraka sudah melompat sambil mengibaskan senjatanya.

“Hyaaa...!”

“Uts!”

Nek Selong mengurungkan serangannya. Diputar tubuhnya menghindari tebasan senjata Naraka. Dan begitu kakinya menjejak tanah, satu serangan cepat dilancarkan ke arah dada Naraka. Namun pada saat itu, Balika menerjang sambil mengayunkan senjatanya. Nek Selong segera menarik serangannya pada Naraka, dan memutar tubuhnya memapak serangan Balika.

Pada saat itu, Carika melompat sambil mengibaskan goloknya ke arah pinggang. Nek Selong tidak mampu lagi berkelit. Senjata Carika merobek pinggangnya cukup lebar. Darah pun mengucur tanpa dapat dibendung lagi. Nek Selong terhuyung-huyung dengan tangan kanan menekap luka pada pinggangnya.

“Huh!” Nek Selong mendengus.

“Ha ha ha...!” Raden Glagah tertawa terbahak-bahak.

Pada saat itu, hampir seluruh penduduk Desa Komering Ilir sudah berkerumun pada jarak yang cukup jauh. Mereka ingin menyaksikan Nek Selong mempertahankan nyawanya dari orang-orang Raden Glagah. Tak dapat dikatakan, bagaimana air muka mereka pada saat itu. Tapi Ki Ampar yang berada di antara mereka, memandang Nek Selong dengan sinar mata penuh iba dan hati bergetar.

“Bunuh dia!” seru Raden Glagah keras.

Seketika itu juga empat bersaudara berlompatan menyerang Nek Selong dari empat arah.

Perempuan tua itu memutar tubuhnya cepat. Kedua tangannya terentang lebar. Dan pada tangannya terlihat seberkas cahaya keperakan. Nek Selong memutar tubuhnya cepat, sehingga yang terlihat hanya bayangan tubuhnya yang berputar bagai gasing.

Trang! Trang!

Terdengar senjata beradu. Tampak Naraka dan Carika terpental. Sedangkan Balika dan Mandaka serempak melompat mundur. Naraka dan Carika terperanjat begitu melihat senjatanya terpenggal jadi dua bagian. Sementara Nek Selong sudah berdiri tegak. Tangan kanan dan kirinya menggenggam pedang pendek berwarna keperakan. Pedangnya sangat tipis, dan bentuk serta ukurannya serupa seperti yang dimiliki Baruna.

“Setan belang! Kau tangguh juga rupanya, perempuan edan!” geram Raden Glagah.

“Hhh...!” Nek Selong hanya mendengus saja.

“Mampus kau! Hiyaaa...!”

Raden Glagah tidak bisa lagi menyimpan kemarahannya. Bagaikan kilat, diterjangnya perempuan tua itu sambil menghunus pedangnya. Nek Selong mengangkat senjatanya memapak tusukan pedang Raden Glagah, sedangkan senjata di tangan kirinya ditusuk ke arah perut.

Raden Glagah menggenjot tubuhnya ke atas, dengan pedangnya dibenturkan pada senjata di tangan Nek Selong. Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, kaki Raden Glagah berputar cepat ke arah dada. Nek Selong terkesiap sesaat. Buru-buru ditarik mundur tubuhnya. Namun Raden Glagah malah berputar di udara, dan tangan kirinya menghajar punggung Nek Selong.

“Akh!” Nek Selong memekik tertahan.

Tubuhnya terdorong keras ke depan. Tepat pada saat itu, Mandaka melompat sambil menusukkan senjatanya ke depan. Saat itu Nek Selong tidak mungkin lagi bisa berkelit. Ujung senjata Mandaka kontan menancap di dadanya hingga tembus ke punggung. Nek Selong menjerit melengking tinggi. Tapi pada saat yang sama, ditusukkan pedang tipisnya ke tubuh Mandaka sebelum orang itu sempat melompat mundur.

“Aaa...!” Mandaka menjerit melengking.

Sesaat dua orang itu masih berdiri tegak dengan tangan memegangi tangkai senjata masing-masing yang terbenam di tubuh lawan masing-masing. Dengan sisa tenaganya, Nek Selong mengayunkan senjata yang sebuah lagi dan ditancapkan ke leher Mandaka.

Beberapa saat kemudian, tubuh mereka ambruk dan menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari tubuh yang tertancap senjata lawan masing-masing. Naraka dan kedua adiknya terkejut melihat saudara bungsu mereka tewas bersama dengan Nek Selong. Kalau saja Raden Glagah tidak segera mencegah, mungkin tubuh Nek Selong hancur kena amukan tiga bersaudara itu. Mereka hanya bisa memandang dengan sinar mata sukar diartikan dengan kata-kata.

“Tinggalkan tempat ini!” perintah Raden Glagah.

Dua orang bergegas menggotong tubuh Mandaka. Raden Glagah melompat ke punggung kudanya yang dibawa seorang anak buahnya. Tiga bersaudara pengikut setianya juga segera naik ke punggung kudanya masing-masing. Tanpa ada yang berkata-kata, segera ditinggalkan tempat itu. Membiarkan saja tubuh Nek Selong menggeletak tidak bernyawa lagi.

Pada saat itu, dari kerumunan orang-orang, melesat sesosok tubuh hitam yang langsung menyambar tubuh Nek Selong. Begitu cepatnya melesat, sehingga tidak ada yang menyadari kalau tubuh Nek Selong sudah lenyap dari pandangan mata. Rombongan Raden Glagah yang belum jauh meninggalkan tempat itu, juga sempat melongo.

“Setan belang...!” geram Raden Glagah yang menyaksikan kejadian itu.

“Dia pasti Baruna!” dengus Naraka.

“Kejar! Bunuh keparat itu!” perintah Raden Glagah.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Naraka dan kedua adiknya segera menggebah kudanya ke arah bayangan hitam itu melesat pergi sambil membawa Nek Selong yang sudah tidak bernyawa lagi. Dua puluh orang bersenjata golok, mengikutinya dari belakang. Sedangkan Raden Glagah segera memacu kudanya kembali menuju ke istananya. Masih ada sekitar tiga puluh orang lagi pengikutnya yang kini bersamanya kembali ke satu-satunya bangunan besar di Desa Komering Ilir.

Para penduduk Desa Komering Ilir segera masuk kembali ke dalam rumah mereka masing-masing. Sementara Ki Ampar dan beberapa orang tua serta sebagian anak mudah masih tetap berkumpul. Ki Ampar berkata sesuatu dengan singkat. Kemudian, mereka yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu, bergegas berjalan mengikuti Ki Ampar. Entah apa yang mereka rencanakan.

*******************

DELAPAN

Rangga dan Kumbara terkejut melihat Baruna datang tiba-tiba. Tangannya membopong seseorang yang berlumuran darah dengan golok tertanam dalam di dadanya. Baruna langsung jatuh berlutut begitu sampai di depan Pendekar Rajawali Sakti dan si Penyair itu. Tubuh di dalam pondongannya jatuh menggeletak di depannya.

“Nek Selong...!” seru Kumbara tersentak begitu mengenali perempuan tua yang jatuh dari pondongan Baruna.

“Apa yang terjadi?” tanya Rangga.

“Mereka mengeroyok nenekku...,” sahut Baruna tersendat.

“Biadab!” desis Kumbara.

“Aku memang yang salah, tidak mendengar peringatannya. Nenek sudah memperingatkan aku...,” rintih Baruna lirih.

“Maafkan aku, Nek....”

“Baruna, tidak ada gunanya kau menangis. Nenekmu tidak akan kembali lagi dengan hanya menangis,” kata Rangga mencoba menghibur.

“Semua kesalahanku, Rangga. Aku yang bersalah...!”

“Tidak, Baruna! Kau tidak bersalah. Kau tengah berjuang, dan perjuangan itu membutuhkan korban. Nenekmu meninggal karena mendukung perjuanganmu. Seharusnya kau bangga, bukan malah menangisinya macam anak kecil,” kata Rangga membangkitkan semangat pemuda itu kembali.

“Oh, Nek...”

“Hapus air matamu, Baruna. Kita harus menguburkan dulu nenekmu, kemudian menghancurkan Raden Glagah,” kata Rangga lagi.

“Mereka memang harus dihancurkan! Mereka harus menebus kematian nenekku!” kata Baruna menggeram marah.

“Jangan nodai kesucian perjuanganmu dengan dendam, Baruna. Tekadkan dirimu untuk membela kebenaran dan keadilan. Singkirkanlah kemarahan dan dendam dari hatimu. Perjuanganmu suci, dan Yang Maha Kuasa akan merestui perjuanganmu. Tidak sepantasnya perjuangan ini kau nodai dengan api dendam dan amarah,” kata-kata Rangga meluncur bagai air yang menyejukkan hati yang panas.

“Rangga..., begitu luhur jiwamu,” desah Baruna.

“Bangkitlah. Tekadkan kembali hatimu dalam perjuangan yang suci,” kata Rangga lagi membangkitkan semangat pemuda itu.

“Maafkan aku, Rangga.”

“Ah, sudahlah. Mari kita kuburkan nenekmu.”

Baruna kembali bangkit berdiri sambil mengangkat tubuh neneknya tercinta. Sementara Kumbara dan Rangga melangkah mendekati sebuah pohon yang cukup besar dan rindang. Mereka kemudian menggali lubang di bawah pohon itu. Baruna meletakkan neneknya di tempat yang teduh, kemudian membantu kedua sahabatnya itu menggali lubang untuk peristirahatan neneknya yang terakhir. Mereka bekerja tanpa berkata-kata. Lebih-lebih Baruna. Sepertinya dia tidak pernah merasa lelah, dan terus menggali sampai mendapatkan kedalaman yang cukup.

Mereka mengubur Nek Selong dengan khidmat dan penuh haru. Tak ada yang membuka suara sedikit pun. Sementara cahaya matahari terasa redup, seolah-olah turut berduka atas kematian perempuan tua yang malang, demi membela cucu satu-satunya. Sampai selesai mereka menguburkan Nek Selong, masih tidak ada yang membuka suara. Baruna terlihat berdiri kaku di samping pusara yang masih baru itu. Pandangannya tidak berkedip menatap batu nisan.

“Aku janji, pengorbanan ini tidak akan sia-sia,” kata Baruna mendesis pelan.

“Baruna...!” tiba-tiba Rangga menyentuh bahunya.

Baruna menoleh, lalu kepalanya dimiringkan sedikit ke kiri. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti memandang lurus ke arah barat. Sementara Kumbara hanya memperhatikan saja dengan sinar mata tidak mengerti.

“Itu pasti mereka!” desis Baruna.

“Tunggu saja di sini,” kata Rangga.

“Bagaimana dengan aku?” tanya Kumbara.

Mereka seperti baru teringat kalau Kumbara tidak mengerti ilmu olah kanuragan sama sekali. Sesaat Baruna dan Rangga saling berpandangan. Dan belum lagi mereka mendapatkan kata sepakat, dari arah barat muncul beberapa orang berkuda yang langsung menuju ke tempat itu.

“Mau apa kalian datang ke sini?” bentak Baruna begitu Naraka, Carika, Balika, serta beberapa orang pengikutnya sudah dekat di depannya.

“Jangan berlagak bodoh, Baruna. Aku tahu kau adalah si Penyair Maut yang telah meresahkan seluruh penduduk Desa Komering Ilir!” bentak Naraka.

“Kalian yang telah membuat sengsara seluruh penduduk desa! Kalian perampok! Seharusnya kalian yang enyah dari Desa Komering Ilir!” balas Baruna sengit.

“Ha ha ha...!” Naraka tertawa terbahak-bahak.

“Gembel busuk sudah berani bertingkah!” dengus Carika.

“Hajar mereka!” perintah Balika.

Puluhan orang yang berada di belakang tiga bersaudara itu langsung melompat dari punggung kudanya masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi mereka segera menyerang dengan senjata terhunus. Baruna tidak lagi berlaku sungkan-sungkan. Langsung dikeluarkan senjatanya berupa pedang pendek kembar tipis, yang selalu tersembunyi di balik lengan bajunya.

Baruna mengamuk bagaikan banteng terluka. Pedangnya berkelebatan cepat menyambar setiap orang yang mendekatinya. Sementara Rangga tidak luput dari serangan orang-orang itu. Dia bertarung sambil melindungi Kumbara yang tidak bisa berbuat apa-apa. Pekik pertempuran bergema ditingkahi dengan jerit kematian saling susul. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan bersimbah darah.

Tiga saudara yang menyaksikan orang-orangnya tidak akan mampu menghadapi dua orang yang memiliki kepandaian tinggi itu langsung melompat turun dalam kancah pertempuran. Naraka dan Carika mengeroyok Baruna, sedangkan Balika menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.

“Hmmm..., aku harus selalu mendekati Kumbara. Kelihatannya dia memang tidak bisa ilmu olah kanuragan,” gumam Balika yang mulai mendapatkan titik kelemahan lawannya.

Balika segera mengarahkan serangannya ke arah Kumbara yang selalu berada di belakang Rangga. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti terpecah perhatiannya. Di satu pihak harus menghadang setiap gempuran penyerangnya, sedangkan di pihak lain harus melindungi Kumbara dari serangan Balika.

“Hhh! Rupanya dia tahu kalau Kumbara tidak bisa bertarung,” dengus Rangga dalam hati.

Sret!

Rangga terpaksa mencabut pedang pusakanya. Seketika itu juga seberkas cahaya biru terpancar terang membuat semua orang yang mengurungnya terpana. Demikian juga dengan Balika. Sesaat dia tidak berbuat apa-apa, melihat pamor pedang yang begitu dahsyat dan dapat memancarkan cahaya biru berkilau menyilaukan mata.

“Yaaat...!”

Sambil berteriak keras melengking, Rangga cepat mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana. Hanya sekali kibas saja, lima orang menggeletak roboh tak bernyawa. Balika tersentak kaget. Buru-buru dia melompat mundur tiga tindak. Rangga menyilangkan pedangnya di depan dada. Dengan pedang Rajawali Sakti di tangan, Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan malaikat pencabut nyawa yang siap mengantarkan nyawa siapa saja ke neraka.

Cahaya terang yang memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti rupanya berpengaruh juga pada pertarungan Baruna. Mereka semua segera menghentikan pertarungannya, dan memandang Rangga dengan mata tidak berkedip. Hati mereka mendadak jadi bergetar melihat pamor pedang di tangan Rangga.

“Hup!”

Kesempatan ini dipergunakan Baruna untuk melompat ke samping Rangga. Dia memang sudah kewalahan menghadapi sekian banyak orang ditambah Naraka dan Carika yang memiliki ilmu cukup tinggi tingkatannya.

“Cepat, tinggalkan tempat ini! Sebelum berubah pikiranku!” bentak Rangga. Suaranya dingin menggetarkan.

Tiga bersaudara yang sudah berdiri berdampingan, saling berpandangan. Hati mereka merasa ciut juga melihat pamor pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Betapa tidak? Hanya satu kali gerakan tangan saja, lima orang kontan menggeletak tak bernyawa lagi. Dan cahaya pedang itu membuat mereka harus berpikir seribu kali untuk menghadapinya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ketiga saudara itu melompat naik ke punggung kudanya masing-masing. Namun mereka belum juga menggebah kudanya. Sementara orang-orang yang masih hidup, mulai bergerak mundur mendekati kudanya masing-masing. Hampir separuh dari mereka telah tewas dengan tubuh bersimbah darah.

“Kali ini kalian boleh menang, tapi aku belum kalah!” kata Naraka lantang.

Cring!

Rangga memasukkan kembali pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Seketika itu juga cahaya biru lenyap dari pandangan mata. Namun sikap Pendekar Rajawali Sakti itu masih kelihatan angker.

“Dan kau, Kisanak!” Naraka menunjuk Rangga. “Kau berhutang banyak nyawa!”

“Aku Pendekar Rajawali Sakti, akan datang mengusir majikanmu!” kata Rangga lantang.

Naraka memutar kudanya, diikuti kedua saudaranya. Pada saat ketiga bersaudara itu menggebah kudanya, sisa pengikutnya segera melompat naik ke punggung kudanya masing-masing, kemudian melarikannya cepat. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Di sampingnya Baruna dan Kumbara. Mereka memandangi kepergian orang-orang itu dengan mata tidak berkedip.

“Kenapa kau biarkan mereka pergi, Rangga?” tanya Baruna, setelah ketiga bersaudara dan anak buahnya tidak terlihat lagi.

“Mereka hanya kroco. Yang kita inginkan biangnya!” sahut Rangga tegas.

“Tapi mereka yang kejam. Terutama si Naraka itu!” balas Kumbara.

“Mereka berbuat kejam karena ada yang memerintah. Orang yang memerintah itulah yang harus dicari.”

“Raden Glagah terlalu tangguh, Rangga,” nada suara Baruna terdengar mengeluh.

“Aku yang akan menghadapinya. Orang yang tangguh tidak akan bersembunyi di balik ketiak orang lain! Percayalah! Raden Glagah tidak setangguh yang kalian duga,” balas Rangga meyakinkan.

“Terserah kau, Rangga. Aku masih sanggup menghadapi tiga bersaudara itu, tapi kalau menghadapi Raden Glagah..., rasanya belum mampu,” Baruna mengakui jujur.

“Kita lihat saja nanti, siapa yang unggul.”

“Aku percaya, kau pasti mampu menandingi Raden Glagah. Senjatamu sangat dahsyat! Kau pasti seorang pendekar yang sangat tangguh dan digdaya. Aku percaya padamu, Rangga,” kata Baruna.

“Terima kasih,” ucap Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan langkahnya. Kumbara dan Baruna mengikuti, dan mensejajarkan langkah di samping Rangga. Tak ada lagi yang bicara. Mereka tahu kalau arah yang dituju kini adalah Desa Komering Ilir. Hanya Kumbara yang kelihatannya gelisah. Dia sadar kalau akan menghadapi satu bahaya yang tidak pernah terbayangkan selama hidupnya.

“Kita ke Desa Komering Ilir?” tanya Kumbara agak bergetar suaranya. Dia tahu, tapi masih juga bertanya.

“Ya,” sahut Rangga seraya menoleh.

“Kenapa, Kumbara?” tanya Baruna.

“Tidak apa-apa,” sahut Kumbara cepat-cepat.

“Kau tidak perlu ikut bertarung, Kumbara. Kau cukup menunggu saja di rumah Ki Ampar,” kata Rangga tanpa bermaksud mengecilkan arti pemuda penyair itu.

“Aku memang tidak bisa apa-apa,” pelan suara Kumbara.

Belum juga Rangga membuka suara kembali, muncul Ki Ampar dan tiga puluh orang laki-laki. Mereka semuanya menunggang kuda. Rangga, Baruna, dan Kumbara menghentikan langkahnya. Ki Ampar segera turun dari kudanya begitu tiba di depan ketiga orang itu. Laki-laki tua itu membungkuk memberi hormat.

“Mereka melipatgandakan penjagaan, Den Rangga,” kata Ki Ampar memberi tahu tanpa diminta.

“Hm. Kalau begitu aku akan membuka jalan lebih dulu,” kata Rangga.

“Aku ikut!” seru Baruna.

“Baiklah,” Rangga tidak bisa menolak.

“Tolong, Ki. Jangan sampai mereka mengambil kesempatan mendekati Kumbara.”

“Jangan khawatir, Den,” sahut Ki Ampar.

Saat itu juga, Rangga melesat cepat bagaikan kilat. Baruna tidak mau ketinggalan. Langsung dilentingkan tubuhnya mengejar Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Ki Ampar memerintahkan penduduk desanya yang tidak menyukai Raden Glagah untuk segera mengikuti kedua orang pendekar itu. Dia kemudian membawa Kumbara ke desa melalui jalan lain.

*******************

Siang itu udara sangat panas, sepanas suasana di sebuah bangunan besar bagai istana di Desa Komering Ilir. Rangga mengamuk dengan pedang Rajawali Sakti di tangan. Cahaya biru berkelebatan cepat menyambar setiap orang yang coba-coba mendekatinya. Sementara Baruna menghadapi pengeroyoknya tidak kalah ganas.

Jerit dan pekik kematian berbaur menjadi satu dengan suara denting senjata beradu. Teriakan-teriakan keras pertempuran membahana. Api yang lama terpendam di Desa Komering Ilir, hari ini berkobar menyala. Desa yang semula tenang, kini bersimbah darah dari orang-orang serakah dan haus akan kedudukan serta harta benda dunia.

Rangga melentingkan tubuhnya ketika melihat tiga bersaudara tengah mengeroyok Baruna. Dan pada saat itu, Ki Ampar bersama penduduk Desa Komering Ilir yang merasa tidak senang terhadap tingkah perbuatan Raden Glagah dan pengikutnya, datang menyerbu. Mereka langsung terjun dalam kancah pertempuran membawa senjata bermacam ragam.

Naraka dan kedua adiknya terkejut, tapi tidak bisa berbuat banyak karena Pendekar Rajawali Sakti sudah menerjangnya. Mereka jumpalitan menghindari kibasan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau itu. Sedangkan Baruna semakin bersemangat, bertempur bagai singa terluka.

“Aaa...!” Balika menjerit keras ketika pedang Rangga membabat buntung tangannya.

Belum lagi Balika sempat melompat mundur, satu tendangan keras bertenaga dalam penuh menghunjam dadanya. Akibatnya, tubuhnya terpental jauh, dan langsung disambut oleh beberapa penduduk yang segera mencincangnya. Kematian Balika yang begitu tragis, membuat Naraka dan Carika semakin bergetar hatinya.

“Rangga! Biar mereka bagianku!” kata Baruna seraya melompat menerjang Naraka dan Carika.

Rangga tidak dapat lagi mencegah. Dimasukkan kembali pedang pusakanya. Matanya tajam meneliti setiap orang yang tengah bertempur di halaman depan rumah besar ini. Tatapan matanya tertumbuk pada seorang laki-laki berbaju putih yang melesat cepat ke atas atap.

“Hup!”

Pendekar Rajawali Sakti itu cepat melesat, dan hinggap dengan manis di atas atap. Laki-laki berwajah tampan mengenakan baju putih bersih itu terkesiap.

“Mau pergi ke mana, Raden Glagah?” tanya Rangga dingin suaranya.

“Phuih! Kau pikir aku takut menghadapimu?” dengus Raden Glagah seraya menyemburkan ludahnya.

“Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab atas segala perbuatanmu,” kata Rangga lagi.

“Aku belum kalah!”

“Lihat! Semua penduduk tidak ada lagi yang mendukungmu. Dan orang-orangmu tidak ada lagi yang bisa diandalkan. Mereka akan mampus jika tidak kau perintahkan mereka untuk berhenti melawan.”

“Biarkan mereka mampus semua, aku tidak peduli!”

“Kau terlalu tamak, Raden Glagah. Sadarlah, kejayaanmu sudah berakhir. Penduduk yang kau tekan selama ini, akan menentukan hukuman buatmu.”

“Jangan coba-coba mengguruiku, gembel busuk! Hiyaaa...!”

Raden Glagah segera melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Pukulan bertenaga dalam yang dilepaskan Raden Glagah lewat sedikit di samping tubuh Rangga. Secepat itu pula, tangan Rangga menyodok ke arah perut.

“Hup!”
Plak!

Raden Glagah menangkis sodokan itu dengan tangan kirinya, kemudian langsung memberikan satu tendangan menyamping yang keras dan cepat. Rangga mengibaskan tangannya menghalau tendangan itu ke samping, dan cepat mengangkat lututnya.

“Hugh!” Raden Glagah tidak bisa lagi menghindari hantaman lutut Pendekar Rajawali Sakti. Dia mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk sedikit.

Pada saat itu pula Rangga melayangkan pukulan keras ke wajah Raden Glagah. Pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam itu tidak bisa lagi dihindari. Raden Glagah memekik keras, dan kepalanya terdongak ke atas.

Namun dengan cepat dia melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Darah mengucur dari pelipis yang sobek. Dari mulutnya keluar darah segar. Raden Glagah menyeka darah yang mengalir dari mulutnya. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Phuih!”
Sret!

Raden Glagah mencabut pedangnya yang selalu tergantung di pinggang. Digerak-gerakkan pedangnya di depan dada, kemudian dia berteriak keras sambil melompat menerjang. Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari tusukan pedang Raden Glagah. Tangan kirinya cepat menghentak ke depan.

Plak!

Raden Glagah kembali memekik keras begitu tangan kiri Rangga menghantam pergelangan tangannya. Buru-buru ditarik kembali pedangnya. Tapi belum juga benar-benar menarik pulang senjatanya, Rangga mengangkat tangan kanannya, dan menjepit pedang itu dengan dua jari.

“Hih!”

Raden Glagah berusaha mencabut pedangnya dari jepitan jari tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun meskipun telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, pedangnya tidak bergeming sedikit pun. Seluruh paras wajahnya memerah, karena seluruh tenaga dalamnya telah dikerahkan sampai batas kemampuan yang dimilikinya.

“Hiya...!”

Rangga menghentakkan tangan kanan sambil membuka jepitannya. Raden Glagah tersentak kaget, dan tubuhnya terdorong keras ke belakang. Tanpa dapat dicegah lagi, Raden Glagah meluruk deras ke bawah. Saat itu juga Rangga melesat mengejar, dan kakinya bergerak cepat menghantam dada laki-laki yang masih kelihatan muda itu.

“Akh!” Raden Glagah menjerit keras.

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Raden Glagah menghantam tanah dengan keras. Beberapa kali dia bergulingan, lalu cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Namun berdirinya sudah tidak sempurna lagi. Beberapa kali dia hampir jatuh terguling, tapi tetap berusaha berdiri.

“Setan! Kubunuh kau, keparat...!” geram Raden Glagah.

Dua kali Raden Glagah menyemburkan ludahnya yang kental. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Raden Glagah berlari cepat sambil menusukkan pedangnya ke depan. Rangga berdiri tegak menanti serangan laki-laki itu. Dan pada saat ujung pedang Raden Glagah hampir menyentuh dadanya.

“Hap!”
Tap!

Rangga menjepit ujung pedang itu dengan kedua telapak tangannya. Raden Glagah berusaha menarik pedangnya sekuat tenaga, tapi tubuhnya malah bergetar hebat. Bahkan kini tulang-tulang tangannya seperti rontok.

Pada saat itu, terlihat Kumbara berlari sambil membawa golok. Dengan satu teriakan keras, dihantamkan golok itu ke punggung Raden Glagah.

“Kumbara, jangan!” seru Rangga terkejut.

Tapi peringatan Rangga terlambat. Golok itu membelah punggung Raden Glagah sangat dalam. Dan sekali lagi Kumbara menghantamkan goloknya ke kepala laki-laki yang telah menyengsarakan hidupnya selama ini. Raden Glagah menjerit melengking tinggi. Darah muncrat dari luka-luka akibat bacokan Kumbara.

Rangga melepaskan jepitannya pada pedang Raden Glagah. Seketika itu juga, laki-laki yang masih kelihatan muda meskipun usianya sudah mencapai lebih dari lima puluh tahun itu menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari luka-luka di tubuh dan kepalanya.

“Mampus kau, keparat...!” jerit Kumbara keras.

“Aaa...!” Raden Glagah menjerit melengking.

Golok di tangan Kumbara menghunjam dalam di dada Raden Glagah. Kumbara berlutut di samping tubuh Raden Glagah yang tidak bergerak-gerak lagi. Tangan Kumbara bergetar melepaskan golok yang berlumuran darah. Rangga menghampiri dan menepuk pundaknya.

“Aku sudah membunuhnya...,” lirih dan bergetar suara Kumbara.

“Kumbara,” pelan suara Rangga.

Kumbara bangkit berdiri dan berbalik menghadap pada Pendekar Rajawali Sakti. Tangannya yang berlumuran darah bergetar hebat. Tubuhnya menggigil bagai terserang demam. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya bergetar seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu.

“Aku..., aku belum pernah membunuh...,” kata Kumbara gemetar.

“Kau tidak membunuh, Kumbara. Kau melenyapkan keangkaramurkaan,” kata Rangga.

“Tapi....”
“Aku mengerti perasaanmu, Kumbara. Tapi kau bukan pembunuh! Semua yang kau lakukan adalah benar. Bukan manusia yang kau bunuh, tapi keangkaramurkaan,” kata Rangga mencoba menenangkan hati penyair muda itu.

Sementara itu pertarungan berhenti seketika dengan tewasnya Raden Glagah. Sisa anak buah Raden Glagah serentak menyerah. Sedangkan Baruna sudah menyelesaikan pertarungannya melawan Naraka dan Carika. Tubuh dua bersaudara itu sudah tidak lagi berbentuk, karena dicincang penduduk yang meluapkan dendam yang terpendam di hati mereka.

“Yang Maha Agung, ampunilah segala dosa-dosaku...,” rintih Kumbara lirih.

Kumbara membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat yang seharusnya menjadi miliknya. Rangga memandangi sesaat, lalu melangkah mengejar Kumbara. Disejajarkan langkahnya di samping pemuda yang tengah dirundung kekalutan di hatinya. Kumbara memang seorang pemuda yang sangat polos, dan bersih dari gelimang darah. Hatinya begitu terpukul setelah menyadari bahwa dirinya telah membunuh orang, meskipun orang itu memang pantas menerima ganjarannya.

“Kumbara...,” Rangga berusaha bicara.

“Biarkan aku pergi, Rangga,” selak Kumbara tegas.

“Kau akan pergi ke mana?” tanya Rangga.

“Ke mana saja aku melangkah bersama bait-bait syairku,” sahut Kumbara terus saja berjalan.

Rangga menghentikan langkahnya, sedangkan Kumbara terus berjalan tanpa menoleh lagi. Terdengar alunan bait-bait syair bernada lirih mengiringi langkahnya. Semua penduduk Desa Komering Ilir yang selama ini membencinya, hanya bisa memandang dengan hati diliputi perasaan bersalah.

Rangga menarik napas panjang. Hatinya begitu tersentuh melihat sikap Kumbara. Belum pernah dilihat sebelumnya orang yang begitu merasa bersalah ketika pertama kali menewaskan orang. Dan Rangga sendiri tidak tahu, apakah kehidupan yang dijalani selama ini salah atau benar. Kehidupan yang keras, dan selalu bergelimang darah.

“Hhh...! Aku seorang pendekar. Hanya di ujung pedanglah keadilan dan keangkaramurkaan bisa tegak dan tertumpas,” desah Rangga dalam hati.

Setelah mengambil keputusan, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat cepat bagaikan kilat. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan lenyap saja. Dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti pergi untuk menunaikan tugasnya kembali, memerangi keangkaramurkaan. Tentu dengan mengembara, menjelajah rimba persilatan yang keras.


SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA SEPASANG RAJAWALI

Penyair Maut

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Penyair Maut


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

Langkah terayun menyongsong fajar
Ombak bergulung menabur karang
Jerit anak gembala terngiang
Membelah pagi nan gersang...


“Sialan! Jelek...!” makian keras terdengar di antara bait-bait syair yang mengalun dari mulut seorang pemuda di atas sebongkah batu hitam di pinggir jalan.

Pemuda berkulit agak kehitaman dengan wajah penuh goresan luka menghentikan alunan bait-bait syairnya. Kepalanya menoleh dan memandang seorang laki-laki tua yang berdiri tidak jauh darinya. Beberapa orang yang berlalu-lalang di jalan itu tidak menggubris sama sekali.

“Tidak adakah pekerjaan lain, Kumbara?” nada suara laki-laki tua itu terdengar ketus.

“Aku seorang penyair, Ki Ampar. Hanya itu satu-satunya pekerjaanku,” sahut pemuda itu lembut.

“Desa ini bukan tempatnya penyair! Semua orang bekerja keras untuk hidup. Apa syair-syair bututmu bisa memberi makan, memberi sandang, dan segala macam keperluan hidupmu?! Kau harus bekerja, Kumbara. Lihat sekelilingmu! Lihat semua orang yang ada di sekitarmu!” agak keras suara Ki Ampar.

Pemuda berkulit hitam yang kini dinasehati itu diam saja. Dia melompat turun dari atas batu yang didudukinya. Sebentar ditatapnya Ki Ampar agak tajam, lalu melangkah pergi tanpa berkata-kata lagi.

Gending pengantin bertalu merdu
Wajah-wajah ceria menyambut
Adakah hati semanis madu...?
Menyapa embun nan lembut...


“Dasar penyair edan!” rutuk Ki Ampar bersungut-sungut.

Sementara pemuda yang bernama Kumbara itu terus melangkah sambil mengalunkan bait-bait syairnya. Beberapa orang desa yang kebetulan berpapasan, langsung mencibir. Anak-anak bertelanjang dada, berlarian, merubung, dan menyorakinya. Tapi Kumbara kelihatan acuh saja, bahkan semakin bersemangat melantunkan bait-bait syairnya.
Orang-orang tua menarik anak mereka yang merubungi Kumbara. Sedangkan pemuda itu hanya memandanginya saja dengan sinar mata sayu. Hanya sekejap saja keceriaan terpancar di wajahnya, kemudian berganti dengan kemurungan yang menyaput wajahnya kembali.

“Kalau membaca syair, sana di gunung! Biar monyet-monyet terhibur!” bentak seorang perempuan tua yang kainnya kedodoran.

“Mending kalau bagus! Suaranya saja persis burung gagak!” sambung seorang perempuan lainnya mencibir.

Kumbara memandangi orang-orang yang mencibir mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Sinar matanya redup dan sayu. Bibirnya terkatup rapat. Dengan lesu, dia berbalik dan melangkah pergi. Caci-maki dan segala macam rutukan terdengar di sekitarnya. Pemuda itu terus berjalan perlahan-lahan dengan kepala tertunduk.

“Minggir...! Minggir...!”

Tiba-tiba saja terdengar suara-suara keras berteriak, disertai suara derap langkah kaki kuda. Kumbara menghentikan langkahnya, dan kembali membalikkan tubuhnya. Pada saat itu, empat orang penunggang kuda menerobos kerumunan orang desa yang tengah mencaci-maki Kumbara. Orang-orang desa itu segera menyingkir memberi jalan.

Kumbara memandangi empat orang penunggang kuda itu. Sinar matanya terlihat sayu, namun memancarkan sesuatu yang sukar untuk dikatakan. Seorang penunggang kuda melompat turun. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Langkahnya tegap menghampiri Kumbara.

“Sudah berapa kali aku bilang, jangan kembali lagi ke sini!” bentak orang berwajah kasar dengan tubuh tegap berotot itu.

“Desa ini tempatku dilahirkan. Mengapa aku tidak boleh hidup di sini? Aku tidak pernah menyakiti orang lain,” sahut Kumbara.

“Sudah, jangan banyak omong! Ayo cepat pergi, sebelum kurusak mukamu!” bentak orang berwajah kasar itu.

“Sekalipun kalian bunuh, aku tidak akan pergi dari desa ini!” dengus Kumbara tegas.

Belum lagi hilang kata-kata Kumbara dari pendengaran, orang berwajah kasar itu melepaskan cambuk yang membelit pinggangnya. Cambuk berwarna hitam pekat dengan ujungnya berbentuk ekor kuda itu langsung dihentakkan dengan kuat.

Ctar!

“Akh!” Kumbara memekik menahan sakit.

Cambuk itu mendarat tepat di wajah Kumbara. Darah langsung merembes keluar dari kulit wajah yang sobek. Tapi Kumbara tetap berdiri tegak dengan sorot mata yang tajam. Laki-laki bertubuh kekar dan memegang cambuk itu kembali mengangkat senjata itu tinggi-tinggi ke udara.

“Tunggu!” tiba-tiba terdengar bentakan keras.

Laki-laki bertubuh tegap itu menghentikan ayunan cambuknya. Dia menoleh ke belakang dan langsung membalikkan tubuhnya, kemudian membungkuk di hadapan seorang pemuda yang usianya mungkin sebaya dengan Kumbara.

Pemuda itu duduk di atas punggung kuda putih, diapit dua orang berbadan tinggi besar dan berotot. Wajahnya cukup tampan, namun sorot matanya demikian tajam. Bibirnya tipis, dan selalu menyunggingkan senyuman. Sikapnya terlihat angkuh, apalagi saat memamerkan ilmu meringankan tubuhnya ketika melompat turun dari kudanya. Ringan sekali gerakannya, dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun kakinya mendarat tepat di depan Kumbara.

“Sebenarnya aku tidak ingin menyakitimu, kalau kau sedikit lunak,” kata pemuda itu. Suaranya terdengar lembut, namun mengandung arti yang sangat dalam.

Kumbara tidak menyahut. Namun pandangan matanya sangat tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan di depannya. Dia tahu kalau pemuda itu sangat berpengaruh dan berkuasa di desa ini. Bahkan kekuasaannya melebihi kepala desa. Meskipun masih muda, dia seorang saudagar yang amat kaya dan sangat berpengaruh. Hampir seluruh tanah di desa ini miliknya. Semua orang di Desa Komering Ilir ini menyebutnya Raden Glagah. Padahal, pemuda itu bukan keturunan bangsawan!

“Pergilah, sebelum orang-orangku habis kesabarannya,” sambung Raden Glagah.

“Kau memang sangat berkuasa di sini. Baik...! Aku pergi, tapi akan kembali membuat perhitungan pada kalian semua!” sahut Kumbara tegas.

Laki-laki yang memegang cambuk langsung mengangkat senjatanya dan siap menghantam Kumbara. Tapi Raden Glagah cepat-cepat merentangkan tangannya untuk mencegah. Kumbara hanya menatap tajam, kemudian berbalik, dan langsung melangkah pergi.

“Huh! Anak itu sudah berani kurang ajar, Raden!” dengus laki-laki berwajah kasar itu seraya menurunkan cambuknya, lalu membelitkannya kembali di pinggang.

“Biarkan saja dia pergi,” kata Raden Glagah kalem.

“Tapi dia sudah berani mengancam.”

“Dia cuma penyair miskin, tidak punya kekuatan apa-apa. Sudahlah, Naraka! Sebaiknya kita lanjutkan saja perjalanan. Waktu kita sudah terhambat hanya untuk mengurusi orang gila saja.”

Raden Glagah berbalik dan melompat naik ke punggung kudanya. Naraka mengikuti. Empat ekor kuda pun kembali berpacu cepat membelah jalan Desa Komering Ilir, menuju arah selatan. Penduduk desa yang menyaksikan semua kejadian itu, menarik napas lega. Mereka memang sudah tidak suka lagi terhadap Kumbara. Mereka berharap agar penyair gila itu benar-benar meninggalkan desa dan tidak kembali lagi.

Di antara penduduk Desa Komering Ilir itu, terlihat Ki Ampar. Laki-laki tua yang menjabat kepala desa itu hanya diam. Matanya memandang lurus ke punggung Kumbara yang melangkah gontai meninggalkan desa kelahirannya.

“Kumbara... Kalau saja kau ikuti semua kata-kataku, pasti nasibmu tidak semalang ini...” desah Ki Ampar dalam hati. “Malang benar nasibmu, Kumbara...”

*******************

Waktu terus berjalan, namun terasa lambat. Kumbara berhenti melangkah setelah sampai di tepi sungai besar yang berair keruh kecoklatan. Sungai itu menjadi pembatas antara Desa Komering Ilir dengan Desa Sindang Laga. Kumbara berdiri mematung memandang ke seberang sungai.

“Kalau saja aku punya ilmu silat, sudah kuhajar mereka semua!” gumam Kumbara memberengut.

Tangannya terangkat menyentuh luka di wajahnya. Dia meringis merasakan perih pada lukanya. Darah sudah mulai mengering. Dan memang, luka itu hanya menyobek kulitnya saja. Tidak seberapa parah, tapi cukup menyakitkan. Lebih-lebih hati pemuda itu. Begitu sakit terbalut dendam.

Sebuah sampan terapung di tengah-tengah sungai. Di atas sampan itu duduk seorang perempuan tua dengan baju kumal penuh tambalan. Kumbara memperhatikan perempuan tua itu yang tengah mengayuh sampan. Sepertinya sampan itu sengaja diarahkan ke tepi. Kumbara masih terus memperhatikan sampai sampan itu benar-benar menepi di depannya.

Perempuan tua itu melompat keluar dari sampannya, dan menariknya ke tepi. Tapi sampan itu tidak juga bergerak. Tanpa pikir panjang lagi, Kumbara bergegas menghampiri dan segera membantu perempuan tua itu menarik sampan ke tepi.

“Terima kasih,” ucap perempuan tua itu setelah sampannya berada di daratan.

“Sama-sama, Nek,” sahut Kumbara.

Perempuan tua itu merayapi wajah Kumbara yang penuh bekas luka goresan. Keningnya yang berkerut, semakin dalam kerutannya melihat luka di wajah Kumbara. Darah kering masih menempel jelas, dan tampaknya luka itu masih baru.

“Ada apa dengan diriku, Nek?” tanya Kumbara jengah dipandangi terus seperti itu.

“Siapa yang melukai mukamu?” tanya perempuan tua itu tanpa menjawab pertanyaan Kumbara.

“Ah! Hanya tergores ranting, Nek,” sahut Kumbara berdusta.

“Coba kulihat.”

Kumbara mau menolak, tapi perempuan tua itu sudah menjulurkan tangannya memeriksa luka di wajah pemuda itu. Kumbara hanya diam saja. Terdengar suara berdecak dari bibir perempuan tua itu. Kepalanya yang ditumbuhi rambut putih, menggeleng-geleng.

“Tidak parah, tapi akan meninggalkan bekas yang tidak akan hilang seumur hidup,” kata perempuan tua itu seperti bicara pada diri sendiri.

“Nenek mau ke mana?” Kumbara mengalihkan perhatian perempuan tua itu.

“Ke Desa Komering Ilir,” sahut perempuan tua itu. “Kau sendiri?”

Kumbara tidak segera menjawab. Kepalanya kemudian menggeleng beberapa kali. Sinar matanya kini redup tanpa cahaya sedikit pun. Kembali perempuan tua itu memandanginya.

“Kalau kau tidak punya tujuan, sebaiknya ikut aku saja. Cucuku pasti bersedia menerima kedatanganmu. Kau anak yang baik,” kata perempuan tua itu lembut suaranya.

“Terima kasih, Nek,” ucap Kumbara bernada menolak.

“Jangan sungkan, anak muda. Meskipun aku dan cucuku hidup serba kekurangan, tapi kau bisa tinggal bersama kami,” desak perempuan tua itu.

“Cucu Nenek tinggal di Desa Komering Ilir?” tanya Kumbara.

“Benar.”

“Ah! Tidak usah, Nek. Permisi.”

Kumbara cepat melangkah pergi. Sementara perempuan tua yang memakai baju kumal penuh tambalan itu semakin heran saja. Dipandanginya pemuda itu dengan benak bertanya-tanya. Kemudian dia melangkah pergi setelah Kumbara berjalan cukup jauh. Namun kepalanya terus dipenuhi berbagai macam pertanyaan akan sikap Kumbara yang dirasanya sangat aneh itu.

*******************

Senja mulai merayap turun. Kesibukan di Desa Komering Ilir berangsur-angsur reda. Sebagian penduduk sudah meninggalkan pekerjaannya masing-masing. Seorang perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan berjalan tertatih-tatih, dibantu sebatang tongkat berkeluk dari bahan kayu hitam. Perempuan tua itulah yang bertemu Kumbara di tepi sungai tadi.

Langkahnya agak terseok menuju sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu dan beratapkan daun rumbia. Seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh tahunan muncul dari dalam rumah itu, tepat di saat perempuan tua itu tiba di depan pintu. Laki-laki muda bertubuh kurus tampak terkejut.

“Nenek...!” serunya terkejut.

Pemuda itu segera membantunya berjalan dan membawanya masuk ke dalam. Sebuah kursi kayu berdebu kini jadi tempat duduk perempuan tua itu. Sebuah pelita kecil dari minyak jarak tergantung di tengah-tengah ruangan yang sempit. Cahayanya begitu redup seolah-olah hendak padam.

“Kenapa tidak memberi kabar dulu kalau ingin datang?” nada suara pemuda kurus itu seperti menyesal. “Nenek kan bisa titip pesan pada penduduk yang pergi ke Desa Sindang Laga?”

“Aku belum jompo, Baruna!” sahut perempuan tua itu yang dikenal oleh seluruh penduduk Desa Komering Ilir dengan nama Nek Selong.

“Tapi, paling tidak aku bisa menjemputnya di tepi sungai, Nek.”

“Sudah ada yang membantuku menarik sampan ke tepi.”

“Siapa?”

“Ah, aku lupa menanyakan namanya. Tapi dia sangat baik, membantuku tanpa kuminta. Sayang, pemuda itu tidak bersedia kuajak singgah ke sini.”

“Sayang sekali. Padahal, dia bisa singgah di sini. Atau kalau dia mau bisa juga tinggal beberapa hari di sini.”

“Aku juga sudah menawarkan begitu. Tapi....”

“Kenapa, Nek?”

“Dia kelihatan sangat aneh. Begitu kukatakan bahwa cucuku tinggal di sini, dia langsung pergi begitu saja.”

Baruna diam merenung.

“Yang aku heran, mukanya penuh luka. Aku sempat memeriksa luka-lukanya. Sepertinya terkena sayatan senjata yang mengandung racun ringan, tapi tidak mematikan. Hanya saja akan membuat cacat kulitnya seumur hidup,” kata Nek Selong setengah bergumam.

“Benar itu, Nek...?!” Baruna kelihatan terkejut.

“Iya. Kenapa kau kaget?”

“Tidak ada orang lain yang mukanya penuh goresan, kecuali Kumbara. Dia orang malas yang bisanya hanya membaca syair. Hhh...! Tapi kasihan juga, Nek. Hidupnya sebatang kara, tidak punya tempat tinggal, dan... Yaaahhh...! Begitulah kalau semua orang sudah tidak menyukainya. Paling-paling aku hanya bisa merasa kasihan saja,” kata Baruna pelan.

“Jadi, dia juga penduduk desa ini?” Nek Selong ingin menegaskan.

“Ya, tapi sekarang tidak lagi. Raden Glagah sudah mengusirnya. Kumbara dianggap biang kekacauan dan selalu menimbulkan keresahan. Padahal, dia tidak pernah melakukan perbuatan yang meresahkan. Apalagi sampai merugikan orang lain. Entahlah! Aku sendiri tidak mengerti, kenapa semua orang membenci dan menjauhinya seperti melihat anjing buduk berpenyakitan.”

“Kumbara...,” Nek Selong bergumam pelan.

“Ada apa, Nek?” tanya Baruna.

“Ah, tidak. Oh, ya. Bagaimana dengan kemajuan olah kanuraganmu?” Nek Selong mengalihkan pembicaraan.

“Lumayan, Nek. Tapi...,” wajah Baruna berubah mendung.

“Ada apa?” tanya Nek Selong. “Kau mendapat kesulitan?”

“Kesulitan dalam latihan tidak ada, Nek. Hanya ini....”

“Apa?”

“Badanku, kenapa tidak menjadi kekar juga? Padahal aku selalu giat berlatih. Semua jurus yang Nenek ajarkan sudah aku kuasai penuh,” nada suara Baruna terdengar mengeluh.

“Kau menyesal dengan badanmu yang kurus kerempeng itu, Baruna?”

“Aku ingin seperti pemuda lainnya, Nek. Punya badan kekar, berisi dan otot menonjol. Aku pasti bisa bekerja pada Raden Glagah, dan tidak terus-terusan hidup miskin, selalu kekurangan! Semua orang selalu menganggapku lemah, dan tidak ada yang mau mempekerjakanku,” keluh Baruna.

“Baruna..., Baruna. Sudah berapa kali kukatakan, jangan suka mengeluh dan menyesali diri. Lagi pula aku mengajarkan jurus-jurus olah kanuragan bukan untuk bekerja jadi tukang pukul! Lebih-lebih buat Raden Glagah. Lebih baik kau tetap kurus begitu daripada buang tenaga buat orang macam Raden Glagah!”

“Nek! Semua orang di sini selalu menginginkan begitu. Mereka merasa bangga kalau bisa bekerja pada Raden Glagah.”

“Mereka semua tolol!” agak keras suara Nek Selong.

“Nek..., mengapa Nenek selalu menganggap semua orang di sini tolol? Kenapa Nenek tidak mengijinkan aku bekerja pada Raden Glagah? Kenapa, Nek...?”

Nek Selong tidak segera menjawab. Dia hanya menarik napas panjang, kemudian bangkit berdiri. Tanpa berkata-kata lagi, perempuan tua itu kemudian merebahkan diri di atas balai-balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan.

“Bangunkan aku tengah malam nanti. Aku ingin lihat, sampai di mana kau menguasai jurus-jurus yang telah kuturunkan,” pesan Nek Selong.

“Baik, Nek,” sahut Baruna lirih.

Baruna masih duduk diam memandang keluar dari pintu yang terbuka. Saat itu, di luar sana kegelapan sudah menyelimuti seluruh Desa Komering Ilir. Baruna benar-benar tidak mengerti. Setiap kali dia menanyakan perihal itu, neneknya selalu menghindar. Macam-macam dugaan dan pertanyaan muncul. Dan semuanya tidak ada yang bisa terjawab. Baruna hanya bisa menyimpannya di dalam hati.

*******************

DUA

“Hup! Yaaah...!”

Glar...!

Sebongkah batu sebesar kerbau berwarna hitam pekat, hancur berkeping-keping disertai suara ledakan menggelegar. Di antara kepulan debu dan reruntuhan batu itu, tampak seorang pemuda bertubuh kurus kerempeng berdiri tegak. Kedua tangannya terentang ke depan. Perlahan-lahan tangan yang kurus bagai tulang terbalut kulit itu bergerak turun. Kemudian tubuhnya berbalik, menghadap pada seorang perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan.

“Bagus! Kau telah menguasai jurus ‘Pukulan Tapak Geledek’ dengan baik, Baruna,” kata perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan itu, yang tak lain adalah Nenek Selong.

Pemuda kurus kerempeng yang memang ternyata Baruna itu melangkah mendekati. Keringat masih membasahi wajah dan tubuhnya. Dada yang kurus dengan tulang-tulang bersembulan, bergerak turun naik tidak teratur. Di tengah malam buta seperti ini, mereka berdua berada di tengah-tengah hutan dekat Desa Komering Ilir, tempat Baruna berlatih ilmu-ilmu olah kanuragan hampir tiap malam.

“Nek, boleh aku tanya sesuatu?” nada suara Baruna terdengar berharap.

“Katakan,” sahut Nek Selong.

“Terus terang, untuk apa sebenarnya aku mempelajari ilmu olah kanuragan ini? Sedangkan Nenek sendiri tidak pernah mengijinkan aku untuk menggunakannya. Semua yang kupelajari selama ini sepertinya jadi sia-sia saja. Apa sebenarnya maksud Nenek?” Baruna langsung menumpahkan ganjalan yang berada dalam hatinya.

“Semua yang aku ajarkan padamu hanya untuk menjaga diri, Baruna. Ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian bukan untuk jago-jagoan! Apalagi untuk melakukan sesuatu yang dapat merugikan orang lain, bahkan memperkaya diri sendiri,” sahut Nek Selong tenang.

Baruna kelihatan tidak puas dengan jawaban yang diberikan Nek Selong.

“Dengar, Baruna! Semua ilmu yang telah kau kuasai itu adalah ilmu turunan dari leluhurmu. Tidak ada yang memilikinya selain keluarga kita. Dan kau sendiri adalah keturunan yang terakhir. Aku tidak ingin ilmu warisan ini hilang. Itulah sebabnya selalu kutekankan agar kau berlatih keras dan menguasai semuanya dengan baik,” sambung Nek Selong lembut nada suaranya.

“Pasti bukan itu maksud sebenarnya!” gerutu Baruna tetap merasa tidak puas. “Nenek menyembunyikan sesuatu! Terus terang saja, Nek...,” desak Baruna ingin tahu.

“Tidak ada yang kusembunyikan,” kata Nek Selong. Pandangan matanya tajam menatap langsung ke bola mata pemuda di depannya.

“Nenek bohong!”

“Baruna..., kapan aku pernah berbohong padamu?”

“Nenek selalu menghindar kalau aku bicara tentang Raden Glagah. Apa itu bukan bohong namanya? Nenek menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh kuketahui. Kenapa Nenek lakukan itu? Apakah Raden Glagah musuh Nenek?” desak Baruna.

Nek Selong tidak langsung menjawab. Kata-kata Baruna yang begitu lancar bagai air sungai mengalir dari pegunungan itu, langsung menyentuh hatinya. Beberapa kali ditariknya napas panjang, seolah-olah ingin dilonggarkan rongga dadanya yang mendadak terasa sesak.

Sedangkan Baruna sendiri telah bertekad untuk mengetahui semua yang disembunyikan Nek Selong selama ini. Malam ini dia harus bisa mendesak perempuan tua itu. Pemuda itu sudah tidak tahan lagi menyimpan ganjalan terpendam dalam hati. Dia yakin kalau Nek Selong menyembunyikan sesuatu. Terutama yang berhubungan dengan Raden Glagah.

“Aku sudah cukup dewasa, Nek. Usiaku sudah hampir dua puluh satu tahun. Untuk apa aku menguasai semua ilmu yang Nenek berikan, kalau tidak ada tujuan yang pasti? Katakan yang sebenarnya, Nek,” desak Baruna penuh harap.

Nek Selong masih diam membisu. Sekali lagi dia menarik napas panjang, kemudian berbalik. Langkahnya terayun pelan mendekati sebongkah batu ceper di bawah pohon beringin tua. Nek Selong duduk bersila di atas batu itu. Baruna mendekati dan duduk bersila di depannya. Pandangan matanya masih mengharapkan agar neneknya bersedia mengatakan apa yang disembunyikannya selama ini. Kemudian untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiam diri saja.

“Kau memang sudah dewasa, Baruna. Aku lupa, kalau cucuku sudah berusia hampir dua puluh satu tahun...,” kata Nenek Selong pelan, memecah kebisuan diantara mereka.

Baruna diam. Hatinya mulai gembira karena Nek Selong sudah mulai berkata seperti apa yang diharapkannya selama ini. Pemuda itu menunggu dengan sabar.

“Maafkan kalau selama ini aku telah menggelisahkan hatimu. Tapi bukan itu maksudku, Baruna. Memang sengaja kusimpan rahasia ini sampai kau benar-benar dewasa dan mampu menerimanya dengan hati bersih dan lapang,” sambung Nek Selong tetap pelan suaranya.

“Apa pun yang akan Nenek katakan, aku akan menerimanya dengan lapang dada,” kata Baruna.

“Dengar baik-baik, cucuku....”

Baruna tetap menunggu dengan sabar. Sudah lama dia mengharapkan agar neneknya mau terbuka dan tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Sementara Nek Selong masih diam mencari kata-kata yang tepat. Sepertinya dia begitu berat untuk mengatakan rahasia hidup cucunya.

“Dulu, sebelum kau lahir. Desa Komering Ilir merupakan sebuah desa yang damai dan tentram. Tapi semua itu berubah setelah kedatangan seorang saudagar kaya yang membeli hampir separuh tanah penduduk desa ini. Semua itu memang sering terjadi, dan tidak menimbulkan kejadian apa-apa.

Namun belakangan semuanya berubah menjadi bencana. Saudagar itu memaksa seluruh penduduk untuk menjual tanah kepadanya dengan cara-cara keji. Bahkan Kepala Desa Komering Ilir sendiri tewas karena tidak bersedia menyerahkan tanahnya...,” Nek Selong menghentikan ucapannya sebentar sambil menarik napas panjang-panjang.

“Teruskan, Nek,” desak Baruna mulai tidak sabaran.

“Tewasnya Kepala Desa Komering Ilir menimbulkan kemarahan penduduk. Tapi mereka tidak punya daya dan kekuatan. Saudagar itu memiliki tukang-tukang pukul yang sangat kejam. Bertahun-tahun mereka menguasai Desa Komering Ilir, hingga suatu hari datang seorang pemuda tampan dan gagah. Dia menumpas semua perlakuan saudagar itu. Seluruh penduduk sangat berterima kasih, tapi pemuda tampan itu pergi tanpa diketahui,” kembali Nek Selong menghentikan ceritanya.

“Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?” tanya Baruna.

“Setelah pemuda yang membebaskan penduduk dari tekanan saudagar kaya itu pergi, datang seorang laki-laki muda yang mengaku putra saudagar yang telah tewas itu. Langsung dikuasainya seluruh desa ini, dan diangkatlah kepala desa yang baru. Sikapnya memang mengundang simpatik, sehingga seluruh penduduk menerimanya dengan baik. Pemuda itu mengembalikan tanah-tanah penduduk yang dulu telah dibeli paksa oleh ayahnya.”

“Apakah dia itu Raden Glagah, Nek?” tebak Baruna tidak sabar.

“Benar! Pemuda itu adalah Raden Glagah,” sahut Nek Selong. “Sedangkan kepala desa yang terbunuh itu adalah kakekmu sendiri, adik kandungku.”

“Ohhh...,” Baruna mendesah lirih.

“Pada saat itu, aku punya pikiran untuk membawa ayah dan ibumu yang tengah mengandung meninggalkan desa ini. Tapi ayahmu tidak mau mendengar kata-kataku. Dia kembali ke desa ini dan menuntut balas atas kematian ayahnya. Tapi malang! Orang-orang Raden Glagah berhasil membunuhnya. Ibumu sangat terpukul dan akhirnya meninggal. Pada waktu itu kau baru berusia setahun, Baruna.”

Baruna terdiam. Entah apa yang ada di dalam kepala dan hatinya saat ini.

“Aku sengaja membesarkanmu di sini, karena tanah ini adalah tanah kelahiranmu. Tentunya agar kau tahu, bahwa yang terjadi di sini semuanya hanya kepalsuan belaka...,” sambung Nek Selong.

“Kalau begitu, Raden Glagah sebenarnya sudah tua ya, Nek?” tanya Baruna polos.

“Benar, Baruna. Dia dapat kelihatan tetap muda dan seperti berusia dua puluh lima tahun, karena memiliki ilmu hitam. Setiap bulan purnama dipersembahkan seorang pemuda gagah pada dewa sesembahannya agar dirinya tetap muda dan berumur panjang,” jelas Nek Selong.

“Aku mengerti sekarang, kenapa Nenek menginginkan aku tetap kurus. Ini dilakukan supaya Raden Glagah tidak menunjuk aku untuk korbannya. Begitu kan, Nek?” Baruna cepat tanggap.

“Kau cerdas, Baruna.”

“Tapi kenapa aku bisa tetap kurus kerempeng begini, Nek?” tanya Baruna tidak puas.

“Setiap pagi kau minum ramuanku, bukan?”

“Iya.”

“Sengaja kubuat ramuan itu untuk menjaga agar kau tetap kurus kerempeng, tapi memiliki tenaga luar dan tenaga dalam tinggi. Tubuhmu dapat kembali normal seperti pemuda lain kalau kau minum penolak ramuanku. Tapi itu nanti, Baruna. Belum saatnya sekarang ini.”

“Aku mengerti, Nek. Mulai sekarang aku tidak akan mengeluh lagi.”

“Bagus! Memang itu yang kuharapkan,” sambung Nek Selong.

Baruna tersenyum, namun terasa sekali kalau senyumnya itu hambar dan dipaksakan. Pemuda itu bangkit berdiri. Nek Selong juga melompat turun dari atas batu. Saat itu pagi telah menjelang. Matahari mulai menampakkan cahayanya di ufuk timur.

“Baruna....”

“Ya, Nek.”

“Kau tetap ingin bekerja pada Raden Glagah?” tanya Nek Selong memancing.

“Tidak!” sahut Baruna tegas.

“Kau ingin balas dendam?” tanya Nek Selong lagi.

“Percuma saja, Nek. Balas dendam bukan penyeIesaian yang baik. Nenek kan sering berkata demikian padaku,” jawab Baruna lagi. Namun nada suaranya terasa getir.

Nek Selong mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Bibirnya yang keriput menyunggingkan senyuman. Kakinya terayun melangkah. Sementara Baruna ikut melangkah di samping perempuan tua itu. Namun di dalam benak Baruna, tersimpan berbagai macam rencana.

*******************

Hari terus berganti sejalan dengan peredaran waktu. Keadaan Desa Komering Ilir terlihat tenang. Penduduk tidak lagi merasa terganggu oleh alunan syair-syair Kumbara. Hingga pada suatu malam yang hening dan pekat tanpa cahaya bulan, suasana tenang itu pecah oleh jeritan yang menyayat.

Jeritan itu datang dari sebuah rumah besar yang paling megah di Desa Komering Ilir. Suasana rumah yang semula tenang dan sunyi, seketika itu jadi gempar. Beberapa orang berlarian keluar dari rumah besar itu. Mereka menuju arah terdengarnya jeritan tadi.

Terlihat tiga orang tergeletak bersimbah darah, tepat di ambang pintu gerbang rumah besar itu. Mereka yang berdatangan itu terkejut, dan langsung berkerumun. Tampak seorang pemuda berwajah tampan menyeruak di antara kerumunan itu, diikuti empat orang laki-laki berwajah kasar. Laki-laki tampan itu tidak lain dari Raden Glagah. Seorang pemuda bertubuh tegap dengan golok terselip di pinggang, menghampiri dengan tubuh agak membungkuk hormat.

“Ada apa?” tanya Raden Glagah.

“Hamba menemukan ini pada salah satu korban, Raden,” kata pemuda itu seraya memberikan secarik daun lontar.

Raden Glagah menerima dan membaca baris-baris tulisan di atas secarik daun lontar itu. Wajahnya langsung merah padam, gerahamnya bergemeletuk. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Semua orang yang rata-rata membawa senjata itu hanya memandang tidak mengerti.

“Naraka...!” panggil Raden Glagah.

Seorang laki-laki tinggi tegap dengan wajah kasar penuh berewok datang mendekati. Raden Glagah memberikan daun lontar itu, dan Naraka menerimanya. Langsung dibacanya tulisan di dalam daun lontar itu. Sementara Raden Glagah berbalik, lalu melangkah pergi.

“Ada apa, Kakang Naraka?” tanya Carika.

“Syair...,” sahut Naraka pelan seraya meremas daun lontar.

“Syair...?!” semua orang yang berkerumun di situ terkejut heran.

“Mustahil...!” desis Balika, saudara muda Naraka.

Semua orang yang ada di situ menduga-duga. Tiga orang tewas, tepat di pintu gerbang. Ada secarik daun lontar tergeletak di atas salah satu tubuh yang tewas. Daun lontar itu bertuliskan bait-bait syair yang bernada mengancam. Mereka semua tahu kalau beberapa hari yang lalu Raden Glagah telah mengusir Kumbara, pemuda penyair yang miskin dan malang.

Orang yang ada di situ memang rata-rata masih muda. Tapi mereka tidak tahu persis sebabnya, mengapa Raden Glagah begitu membenci Kumbara si Penyair itu. Bahkan hampir semua penduduk Desa Komering Ilir ini juga tidak menyukainya. Hanya Raden Glagah dan empat saudara, Naraka, Carika, Balika, dan Mandaka, saja yang tahu sebab-sebabnya.

Naraka memerintahkan kepada orang yang berkerumun untuk menguburkan tiga mayat itu. Mereka yang memang bekerja menjaga keamanan di rumah besar bagai istana milik Raden Glagah itu, segera melaksanakan perintah Naraka. Mereka tahu kalau Naraka dan tiga orang adiknya adalah pengawal pribadi Raden Glagah. Empat bersaudara itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

“Naraka...!” terdengar teriakan keras memanggil.

Naraka bergegas melangkah diikuti adik-adiknya. Raden Glagah berdiri bertolak pinggang di tangga depan istananya. Empat bersaudara itu segera membungkuk hormat, begitu tiba di depan laki-laki yang kelihatan masih muda itu.

“Perintahkan anak buahmu mencari penyair keparat itu!” perintah Raden Glagah.

“Hamba laksanakan, Raden,” sahut Naraka.

“Aku minta secepatnya kau bawa kemari! Hidup atau mati!”

“Secepatnya hamba laksanakan, Raden,” sahut Naraka lagi.

Raden Glagah membalikkan tubuhnya dan segera melangkah masuk ke dalam istana. Sementara Naraka dan ketiga adiknya bergegas mengatur anak buahnya untuk mencari Kumbara si Penyair. Dalam waktu yang tidak berapa lama, beberapa ekor kuda bergerak cepat keluar dari pintu gerbang bangunan megah itu.

Sementara Raden Glagah segera menuju ke kamar peristirahatannya. Seorang wanita muda berwajah cantik tergolek di atas pembaringan. Wanita itu melemparkan senyum, namun senyumnya sirna begitu melihat wajah Raden Glagah terlihat murung.

“Ada apa, Raden?” tanya wanita itu lembut.

“Tidak ada apa-apa. Hanya ada orang gila telah menewaskan tiga orang pekerjaku!” sahut Raden Glagah seraya naik ke atas pembaringan itu.

“Siapa?” tanya wanita cantik itu sambil melingkarkan tangannya ke punggung Raden Glagah.

“Kau tidak perlu cemas, Manis. Orang-orangku pasti bisa mengatasinya,” Raden Glagah mencoba menghibur. Padahal saat itu hatinya juga perlu dihibur.

“Aku tidak khawatir, selama Raden ada di sini.”

Raden Glagah tersenyum. Dia membalikkan tubuhnya dan langsung dipeluknya wanita itu. Perlahan-lahan tubuh mereka rebah. Tak terdengar lagi kata-kata. Kamar besar dan indah itu jadi sunyi. Hanya sesekali terdengar erangan lirih diselingi desahan napas memburu. Sementara di luar sana, Naraka dan adik-adiknya masih sibuk mengatur penjagaan dan pencarian terhadap Kumbara.

*******************

Peristiwa malam itu membuat Raden Glagah jadi gelisah. Lebih-lebih anak buahnya belum berhasil menemukan Kumbara. Dan malam-malam berikutnya, selalu terjadi pembunuhan secara misterius. Satu dua orang selalu terbunuh! Tidak ketinggalan, daun lontar bertuliskan bait-bait syair selalu terdapat pada tubuh korban.

Tiga malam berturut-turut selalu jatuh korban secara misterius. Raden Glagah semakin diliputi kegelisahan. Maka berita tentang pembunuhan misterius itu cepat menyebar ke telinga para penduduk Desa Komering Ilir. Mereka yang pernah membenci dan mengusir Kumbara, dicekam perasaan takut. Pendeknya, kecemasan dan perasaan takut menyelimuti hampir seluruh penduduk Desa Komering Ilir.

Sementara itu, Baruna yang mengetahui tentang terjadinya beberapa pembunuhan selama tiga malam berturut-turut terlihat tenang-tenang saja. Sikapnya tidak peduli, meskipun hampir seluruh penduduk membicarakannya. Rata-rata mereka dicekam perasaan cemas yang amat sangat, takut kalau-kalau ikut jadi sasaran pembalasan Kumbara si Penyair Maut. Ya..., penduduk Desa Komering Ilir telah memberi julukan tambahan pada Kumbara. Penyair Maut...!

Siang itu langit tampak cerah, tak terlihat awan sedikit pun bergantung di angkasa. Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak membakar seluruh makhluk di permukaan bumi. Tidak begitu jauh dari Desa Komering Ilir, tepatnya di sebuah bukit yang bernama Bukit Halu, seorang pemuda berkulit agak kehitaman dan dengan wajah penuh luka goresan duduk di bawah pohon rindang.

Dari bibir pemuda itu meluncur bait-bait syair dan berirama. Dialah Kumbara si Penyair Maut yang kini tengah menjadi momok menakutkan bagi penduduk Desa Komering Ilir. Pandangan matanya tidak lepas ke arah sepasang burung yang bercumbu di dahan.

“Ah..., betapa bahagianya kau. Andai saja aku bebas lepas sepertimu, selalu riang tanpa harus memikul beban...,” Kumbara mendesah lirih.

Pemuda itu bangkit berdiri. Dan begitu kakinya akan terayun melangkah, tiba-tiba terdengar derap kaki beberapa ekor kuda menuju ke arahnya. Kumbara mengurungkan langkahnya. Kelopak matanya agak menyipit begitu melihat beberapa kuda berpacu cepat mendekatinya. Dia mengenali salah seorang dari penunggang kuda itu, yang ternyata adalah Balika, salah seorang kepercayaan Raden Glagah. Dan tentu saja yang ikut dengan Balika adalah orang-orang Raden Glagah.

Kumbara terheran-heran, karena sekitar lima belas orang berkuda itu serentak berlompatan mengurung. Sedangkan Balika masih tetap berada di punggung kudanya. Kumbara sedikit terperanjat juga begitu semua orang yang mengurungnya telah mencabut golok semua.

“Kumbara! Sebaiknya kau menyerah saja, dan jangan melakukan perlawanan!” kata Balika lantang.

“Ada apa ini? Kenapa aku harus menyerah?” tanya Kumbara keheranan.

“Jangan pura-pura bodoh, Penyair Maut! Sekarang juga kau ikut aku, atau kau mati di sini!” bentak Balika.

“Apa salahku? Aku tidak melakukan apa-apa? Sudah kuturuti perintah Raden Glagah untuk tidak kembali lagi ke Desa Komering Ilir. Mengapa Tuan Balika mau menangkapku?” Kumbara semakin kebingungan tidak mengerti.

“Huh! Kau pikir aku bisa dikelabui dengan sikap tololmu itu, Kumbara! Setelah kau bunuh orang-orangku, sekarang pura-pura tidak tahu!” geram Balika sengit.

“Aku...? Aku membunuh...?!” Kumbara semakin terperanjat kebingungan.

“Tangkap dia! Kalau melawan, bunuh saja!” perintah Balika keras.

“Eh, tunggu...!”

Tapi salah seorang pengepungnya sudah melompat hendak meringkus. Kumbara terperangah melihat golok yang melayang ke arah kepalanya. Tanpa disadari, dia merunduk. Maka tebasan golok itu lewat di atas kepalanya. Orang itu terkejut karena tebasannya berhasil dihindari.

Dengan cepat tangan kirinya menghentak menyodok ke arah dada. Kembali Balika dan anak buahnya terperanjat. Ternyata Kumbara berhasil mengelakkannya hanya dengan menggeser kakinya ke kiri. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kanan Kumbara mendorong ke depan dengan tenaga penuh. Dorongan yang tak terduga itu, tidak sempat dihindari. Maka orang yang hendak meringkusnya terpekik kaget. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.

“Setan keparat! Rupanya kau punya simpanan juga, Penyair Maut!” geram Balika menyaksikan seorang anak buahnya terkena sodokan tangan kanan Kumbara.

“Oh..., maaf.... Maaf, Tuan. Aku...,” Kumbara tergagap.

“Kau harus mampus, Kumbara! Hiyaaat...!”

Balika langsung melompat cepat dari punggung kudanya. Kumbara terkesiap, tubuhnya gemetaran begitu hebatnya. Dan pada saat jari-jari tangan Balika yang mengembang hendak mencengkeram sudah demikian dekat, tubuh Kumbara melorot jatuh ke tanah. Terkaman Balika hanya lewat di atas tubuhnya. Tentu saja hal ini membuat Balika semakin geram. Kumbara dianggap benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang selama ini disimpannya.

“Monyet! Keparat...!” geram Balika merasa dipermainkan.

“Ampun, Tuan Balika.... Ampun...,” rintih Kumbara tetap berlutut menyembah memohon ampun. Seluruh tubuhnya tampak gemetar.

“Edan! Masih juga kau berpura-pura, heh!” bentak Balika semakin gusar melihat sikap Kumbara.

Sret! Cring...!

Gemetaran Kumbara bertambah keras begitu Balika mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Pedang berwarna keperakan itu berkilat tertimpa cahaya matahari. Keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuh Kumbara.

“Mampus kau! Hiyaaat...!” teriak Balika keras.

Bagaikan kilat, Balika melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher Kumbara. Pemuda yang wajahnya penuh luka goresan itu ternganga dengan mata membeliak lebar. Tubuhnya semakin keras gemetar. Napasnya terasa berhenti ketika mata pedang Balika hampir menyentuh lehernya. Semua orang yang berada di situ sudah menyangka leher Kumbara bakal buntung. Tapi...

Tring!

“Heh...!”

Balika tersentak kaget bukan main. Pedangnya terpental pada saat hampir memenggal leher Kumbara. Seluruh persendian tangannya bergetar kesemutan. Balika langsung melompat mundur. Sedangkan Kumbara tetap berlutut dengan tangan merapat di depan hidung. Lima belas orang bersenjata golok yang menyaksikan semua kejadian itu terperanjat. Kumbara sendiri terlihat seperti tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.

TIGA

Balika benar-benar tidak mengerti. Pedangnya seperti membentur suatu benda yang amat keras melebihi baja. Padahal dia tadi begitu yakin kalau kepala Kumbara bakal buntung terbabat pedangnya. Tapi, yang terjadi justru pedangnya terpental dan tulang-tulang tangannya seperti rontok.

Sementara Kumbara sendiri masih tetap berlutut tidak bergeming sedikit pun. Balika mulai bertanya-tanya, apakah Kumbara si Penyair Maut itu punya ilmu kebal? Balika memeriksa mata pedangnya. Seketika itu juga dia terperanjat hingga melompat dua langkah ke belakang. Matanya membeliak lebar melihat mata pedangnya gompal cukup lebar.

“Kumbara! Kau benar-benar setan keparat! Ayo, bangun! Jangan pura-pura tolol! Ayo kita bertarung sampai mampus!” keras suara Balika.

“Ampun, Tuan Balika. Jangan bunuh aku.... Aku janji akan meninggalkan Desa Komering Ilir sejauh-jauhnya,” ratap Kumbara memohon.

“Keparat!” geram Balika memuncak amarahnya. Balika berteriak keras sambil melesat cepat bagaikan kilat, sedangkan ujung pedangnya menusuk ke arah dada. Kembali Kumbara pucat wajahnya. Dan begitu ujung pedang Balika hampir menembus dada si Penyair itu, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat memapak.

“Ugh!” Balika mengeluh pendek, dan tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak.

Tiga kali Balika bergulingan di tanah. Sementara itu, lima belas orang anak buahnya hanya ternganga menyaksikan kejadian yang sangat di luar dugaan itu. Balika melompat bangkit berdiri. Bola matanya membeliak lebar begitu melihat di samping Kumbara sudah berdiri seorang pemuda tampan berambut panjang terurai. Pemuda itu memakai baju rompi putih. Sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung menonjol keluar dari balik punggungnya.

“Bangunlah, Kisanak,” kata pemuda berbaju rompi putih itu lembut.

Kumbara mengangkat kepalanya dan menoleh. Hatinya terkesiap begitu mengetahui di sampingnya sudah berdiri seorang laki-laki tampan yang menepuk halus pundaknya. Kumbara bangkit berdiri, namun matanya masih menatap penuh keheranan. Sementara Balika menggeram sengit melihat kemunculan pemuda asing yang tidak dikenalnya.

“Tikus busuk! Siapa kau? Berani mencampuri urusanku!” bentak Balika sengit.

“Hm..., kotor sekali kata-katamu, Kisanak,” tenang suara pemuda berbaju rompi putih itu, namun nada suaranya mengandung kejengkelan.

“Sebaiknya kau enyah dari sini, sebelum pedangku yang bicara!” bentak Balika kasar.

“Pedang yang mana...?”

Balika terperanjat, karena baru sadar kalau pedangnya sudah tidak ada lagi di tangan. Seketika itu juga wajahnya berubah pucat, tapi sebentar kemudian memerah. Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu pedang Balika telah berada di tangan pemuda berbaju rompi itu. Kejadian yang begitu cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.

“Nih, kukembalikan pedangmu!”

Pemuda itu melemparkan pedang yang sudah gompal. Ujung pedang itu menancap sedikit ke tanah, tepat di ujung kaki Balika. Orang kepercayaan Raden Glagah itu meraih gagang pedangnya, dan berusaha mencabutnya.

Tapi dia terkejut bukan main, karena pedangnya tidak tercabut. Balika mengerahkan tenaga dalamnya, tapi pedang itu tetap tertanam kuat di tanah. Balika menyadari kalau pemuda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, dan pasti berada jauh di atasnya. Jadi, jelaslah kalau Kumbara tadi bukannya hendak melawan, tapi pemuda berbaju rompi itulah yang menggagalkan setiap serangannya. Menyadari semua itu, Balika cepat melompat naik ke punggung kudanya. Dia tidak mempedulikan pedangnya lagi yang masih tertancap di tanah.

“Persoalan ini belum selesai, bangsat!” maki Balika begitu berada di punggung kudanya.

Setelah berkata demikian, Balika segera menggebah kudanya dengan cepat. Lima belas orang anak buahnya bergegas naik ke punggung kudanya masing-masing. Mereka segera memacu cepat kudanya meninggalkan Lereng Bukit Halu itu. Sementara Kumbara bangkit berdiri memandangi kepergian orang-orang yang hampir menewaskannya.

“Oh, terima kasih..., terima kasih. Tuan telah menyelamatkan nyawaku,” ucap Kumbara terbungkuk-bungkuk.

“Siapa mereka? Kenapa ingin membunuhmu?” tanya pemuda berbaju rompi putih itu.

“Maaf, Tuan....”

“Rangga, panggil saja aku Rangga.”

“Sebaiknya Tuan Rangga segera meninggalkan tempat ini. Mereka sangat kejam, dan pasti akan datang kembali untuk membunuh Tuan,” kata Kumbara agak bergetar suaranya.

“Hm...,” pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga si Pendekar Rajawali Sakti itu mengerutkan keningnya.

“Aku berterima kasih sekali Tuan telah menyelamatkan nyawaku, tapi...,” Kumbara tidak melanjutkan katakatanya.

“Kenapa?” tanya Rangga ingin tahu.

“Ah..., memang sudah nasibku. Mungkin memang sudah ditakdirkan kalau aku harus mati di ujung pedang mereka...,” nada suara Kumbara terdengar pasrah.

“Kelihatannya kau putus asa sekali. Dan tadi kulihat, sama sekali kau tidak melawan mereka. Tapi kenapa mereka ingin membunuhmu?” selidik Rangga penuh rasa ingin tahu.

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja mereka datang dan ingin membunuhku,” sahut Kumbara pelan.

“Aneh...! Kelihatannya mereka bukan perampok. Dan kau sendiri..., maaf, tidak ada sesuatu yang mereka bisa dapatkan darimu,” Rangga seakan tidak percaya.

Kumbara hanya diam saja. Diayunkan kakinya melangkah menghampiri sebatang pohon yang rindang. Kemudian dia duduk di atas akar besar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Sedangkan Rangga memperhatikan apa yang diperbuat Kumbara. Pendekar Rajawali Sakti merasa yakin kalau ada sesuatu pada diri laki-laki yang wajahnya penuh luka goresan itu.

Melihat bekas-bekas luka pada wajah Kumbara, Rangga jadi semakin ingin tahu. Dia tidak percaya kalau orang-orang tadi ingin membunuh tanpa sebab yang pasti. Jelas mereka bukan perampok yang kecewa karena korbannya tidak memiliki harta. Pakaian mereka bukan seperti perampok, terlalu mewah dan rapih. Lebih-lebih orang yang hampir memenggal leher Kumbara. Pakaiannya terbuat dari bahan sutra halus, yang tentunya mahal harganya. Rangga jadi semakin ingin tahu saja. Dia melangkah mendekati Kumbara dan duduk di sampingnya.

*******************

Sementara itu, Balika dan lima belas orang anak buahnya sudah sampai di Desa Komering Ilir. Mereka langsung menuju ke bangunan besar bagai istana yang dikelilingi pagar tembok menyerupai benteng kokoh. Balika baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di dalam pagar tembok tinggi dan kokoh itu.

Balika segera melompat turun dari punggung kudanya, lalu bergegas berlari menaiki anak-anak tangga depan bangunan megah itu. Tetapi tiba-tiba langkahnya tertahan, karena bersamaan dengan itu ketiga saudaranya muncul. Tiga orang yang baru keluar itu terkejut melihat keadaan Balika yang nampak kotor berdebu, keringat bercucuran dan napasnya terengah-engah.

“Ada apa, Balika? Kenapa keadaanmu seperti ini? Dan.... Eh! Mana pedangmu?” tanya Naraka terkejut ketika melihat sarung pedang adiknya kosong.

“Uh, celaka...! Celaka, Kakang! Hampir saja aku mati,” sahut Balika masih terengah napasnya

“Ceritakan, apa yang terjadi padamu?” desak Carika.

“Aku bertemu dengan si Penyair Maut dan berusaha menangkapnya. Tapi dia melawan dan....”

“Teruskan!” pinta Naraka agak terkejut.

“Dia tidak sendiri, Kakang. Dia bersama dengan temannya yang sangat tangguh. Aku dibuat babak belur, bahkan pedangku berhasil dirampasnya,” sambung Balika.

“Kumbara..., keparat!” geram Naraka.

“Siapa temannya, Kakang Balika?” tanya Mandaka.

“Aku tidak tahu siapa. Sepertinya dia orang asing, bukan penduduk Desa Komering Ilir ini,” sahut Balika.

“Kau bertarung dengan temannya, atau dengan Kumbara?” Carika ingin ketegasan.

“Semula aku bertarung dengan Kumbara. Dia kebal, Kakang. Pedangku sampai gompal begitu menebas lehernya. Tapi temannya juga lebih tangguh lagi. Dia bergerak bagai siluman, tidak ketahuan arahnya,” jelas Balika. Tentu saja ditambah dengan karangannya sendiri. “Aku berusaha mengalahkannya, tapi mereka memang tangguh! Aku tidak mampu menghadapinya sendiri.”

“Tapi bukankah kau bawa lima belas orang anak buahmu?” celetuk Mandaka.

“Benar! Tapi, aku saja tidak mampu menghadapinya, apalagi tikus-tikus tidak berguna itu. Bisa-bisa mereka semua mati konyol kalau kukerahkan semua,” Balika menyombong.

“Kau terlalu berani, Balika. Lain kali jangan menghadapi sendiri. Kehilangan beberapa orang bukan masalah, yang penting keparat itu mampus,” dengus Naraka.

“Tindakan Balika benar...!”

Empat orang bersaudara itu terkejut begitu tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Mereka serentak menoleh, dan membungkuk saat melihat Raden Glagah tahu-tahu sudah berada di belakang. Raden Glagah melangkah mendekati.

“Mulai sekarang, kita harus bisa menghemat tenaga. Satu nyawa sangat berarti. Yang kita hadapi sekarang bukan orang sembarangan! Bahkan nyawa kita sendiri terancam,” kata Raden Glagah.

“Raden, apa yang harus kulakukan sekarang?” tanya Naraka meminta petunjuk.

“Naraka, dan kau, Balika. Bawa beberapa orang. Tangkap Kumbara dan temannya itu. Sedangkan kau, Carika dan Mandaka, perintahkan seluruh penduduk desa untuk selalu siaga. Laporkan setiap ada pendatang baru. Biar aku sendiri yang akan menanganinya,” perintah Raden Glagah.

Empat bersaudara itu segera membungkuk dan melangkah pergi. Raden Glagah berbalik, segera melangkah masuk kembali ke dalam istananya. Sebentar kemudian, tampak Naraka, Balika, dan sekitar dua puluh orang sudah bergerak keluar menunggang kuda. Sedangkan Carika dan Mandaka melaksanakan tugasnya, memberi tahu penduduk agar waspada dan melaporkan setiap ada pendatang baru.

*******************

Sementara itu, di Bukit Halu, Rangga dan Kumbara masih duduk di bawah pohon rindang. Rangga masih belum dapat mengerti akan kejadian tadi. Tapi mendengar cerita Kumbara, hati Pendekar Rajawali Sakti itu tergugah. Hanya yang masih menjadi pertanyaan besar adalah sikap penduduk Desa Komering Ilir terhadap pemuda yang penuh luka goresan pada wajahnya itu.

Memang tadi Rangga sempat mendengar Kumbara membacakan syair-syairnya dari tempat tidak berapa jauh. Dan dia mengetahui semua yang terjadi. Kalau bukan karena Pendekar Rajawali Sakti, mungkin nyawa Kumbara sudah meninggalkan raganya. Kumbara sendiri tidak tahu, mulai kapan munculnya pertolongan Rangga itu.

“Rasanya sukar dipercaya...,” gumam Rangga pelan, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.

“Kenyataannya memang begitu, Rangga,” Kumbara menimpali. Kini dia sudah tidak lagi menyebut Tuan pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan itu memang yang diharapkan Rangga, yang selalu sederhana, tidak suka sanjungan.

“Aku heran padamu, Kumbara. Sudah tahu semua penduduk Desa Komering Ilir ini membencimu, bahkan orang yang paling berpengaruh pun juga membencimu, tapi kau sendiri tidak berusaha untuk mencari tahu sebabnya,” sambung Rangga tetap bernada bergumam.

“Percuma, tidak ada seorang pun yang mau bicara padaku. Mereka hanya mencela, mencaci, dan mengusirku. Ah, biarlah.... Memang itu sudah takdirku untuk jadi orang yang selalu dihina,” suara Kumbara bernada mengeluh.

“Sekarang, setelah mereka ingin membunuhmu, apa kau akan tinggal diam?”

Kumbara tidak langsung menjawab. Matanya menerawang jauh ke depan. Pertanyaan Rangga tadi tidak mudah dijawab. Dia tahu kalau orang-orang yang hampir saja membunuhnya bukan orang sembarangan. Tapi sungguh disadari kalau dirinya tidak mampu berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa dilakukannya, kecuali pergi sejauh-jauhnya dari Desa Komering Ilir. Namun itu pun belum tentu bisa menyelamatkan dirinya dari kematian.

“Kau harus melakukan sesuatu, Kumbara,” kata Rangga memberi dorongan semangat.

“Apa yang harus kulakukan?” lesu suara Kumbara.

“Pokoknya berbuat sesuatu! Paling tidak mencari tahu, mengapa seluruh penduduk Desa Komering Ilir membencimu!” Rangga terus mendorong semangat Kumbara.

“Tidak mungkin...!” desah Kumbara seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku hanya seorang penyair miskin, yang tidak punya kepandaian apa-apa. Sedangkan mereka....”

Rangga mengamati wajah yang murung itu. Hatinya merasa iba juga melihat Kumbara yang begitu lemah dan pasrah menerima nasib dirinya. Belum pernah Pendekar Rajawali Sakti menemukan orang sepasrah Kumbara yang menerima nasib malangnya tanpa melakukan sesuatu.

Pendekar Rajawali Sakti itu mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara langkah kaki kuda dari kejauhan. Telinganya yang setajam rajawali, langsung mendengar suara itu. Sedangkan Kumbara tetap memandang kosong ke depan, sama sekali tidak mendengar suara kaki kuda yang semakin jelas.

“Mereka datang lagi,” desis Rangga.

“Apa...?!” Kumbara terlonjak kaget.

“Hm..., jumlah mereka begitu banyak...,” gumam Rangga.

“Oh, Yang Maha Agung..., habislah riwayatku kali ini...,” gumam Kumbara mendesah lirih.

Seluruh wajah pemuda itu seketika terlihat pucat pasi. Tubuhnya gemetaran, keringat dingin mengucur deras di wajahnya. Sementara Rangga sudah bangkit berdiri. Pandangannya tajam menatap ke arah kaki Bukit Halu ini. Tampak di antara pepohonan, terlihat beberapa orang berkuda mendaki bukit. Jelas kalau mereka itu menuju ke arahnya.

“Kumbara, cepat tinggalkan tempat ini!” kata Rangga.

“Ke mana?” tanya Kumbara lesu. Saat itu dia tidak bisa lagi berpikir. Rasa takut yang amat sangat, membuat otaknya sukar diajak berpikir.

Rangga tidak menjawab. Dengan cepat disambarnya tubuh Kumbara, dan langsung melesat cepat bagai kilat. Kumbara sempat terpekik ngeri. Sekejap mata saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lenyap membawa Kumbara dalam kepitannya.

Tidak lama berselang, Naraka dan Balika serta beberapa orang berkuda lainnya telah tiba di tempat itu. Mereka menghentikan kudanya tepat di tempat Balika sempat bertarung tadi. Mereka tentu saja tidak mendapatkan apa-apa, karena Kumbara dan Rangga telah meninggalkan tempat itu.

“Mana...?” tanya Naraka.

“Tadi di sini, Kakang. Sungguh...!” sahut Balika.

Balika segera melompat turun dari punggung kudanya. Bergegas dia menghampiri sebilah pedang yang masih tertancap di tanah. Naraka mengenali kalau pedang itu milik adiknya. Balika berusaha menarik keluar pedang itu. Dia masih ingat kalau pedang itu tertanam kuat. Seketika dikerahkan penuh tenaga dalamnya. Namun begitu dibetot, pedang itu dengan mudah tertarik keluar! Akibatnya Balika terpental karena menarik dengan mengerahkan tenaga dalam penuh.

Terdengar suara tertawa cekikikan tertahan. Balika bersungut-sungut merasa ditertawakan. Dia memang terjungkal jatuh duduk. Sedangkan Naraka hanya tersenyum-senyum saja. Balika menggerutu sambil bangkit berdiri. Dipandangi sejenak pedangnya, lalu dimasukkan ke dalam sarungnya.

“Kadal buduk! Setan belang...!” Balika mengumpat habis-habisan.

“Kau membuang-buang waktu percuma saja, Balika. Tidak ada siapa-siapa di sini,” kata Naraka mulai tidak percaya dengan cerita adiknya.

“Tadi mereka di sini, Kakang. Tanya saja mereka!” sahut Balika menunjuk orang-orangnya yang tadi ikut serta.

“Benar, kalian bertemu Kumbara di sini?” tanya Naraka pada orang-orang yang ditunjuk Balika.

“Benar, Gusti,” sahut mereka serempak.

“Kalian tidak bohong?” Naraka jadi tidak percaya.

“Ini buktinya, Kakang!” dengus Balika geram karena kakaknya tidak percaya.

Balika kembali mencabut pedangnya, menunjukkan gompalan pada mata pedang itu. Naraka sempat mengernyitkan alisnya melihat pedang itu gompal cukup besar. Padahal, pedang Balika terbuat dari bahan yang amat keras. Baja sekalipun tidak akan mampu membuat gompal seperti itu.

“Dan ini...!”

Balika mengeluarkan selembar daun lontar dari balik bajunya. Daun lontar itu berisikan bait-bait syair yang ditemukannya tertinggal di tanah, dan jelas kalau itu milik Kumbara. Sesaat Naraka bimbang melihat bukti-bukti yang ditunjukkan adiknya.

“Mereka pasti belum jauh dari sini, Kakang!” kata Balika lagi seraya memasukkan pedang ke dalam sarungnya kembali. Diremasnya daun lontar itu hingga lumat, dan dicampakkannya dengan hati jengkel.

Balika melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar dia memandang kakaknya.

“Ayo kita kejar mereka, Kakang!” seru Balika bersemangat.

“Sebaiknya kembali saja ke Desa Komering Ilir,” sahut Naraka.

“Tapi...,” Balika ingin menolak.

“Balika! Kalau si Penyair Maut itu memang digdaya seperti katamu, dia pasti kembali lagi ke desa! Kita tunggu saja di sana. Jangan buang-buang tenaga dan waktu percuma,” kata Naraka.

Balika tidak bisa menjawab. Dia tetap tidak menggebah kudanya meskipun Naraka sudah menjalankan kudanya. Naraka menoleh dan menghentikan kudanya.

“Ayo, Balika!” seru Naraka.

“Aku akan mencarinya, Kakang!” tegas Balika.

“Mau cari ke mana?”

“Pokoknya aku harus mencarinya!”

Balika langsung menggebah kudanya cepat. Naraka memerintahkan pada lima belas orang untuk mengikuti Balika. Tanpa membantah sedikit pun, lima belas orang itu segera memacu kudanya menyusul Balika. Sedangkan Naraka kembali ke Desa Komering Ilir bersama sisa orang-orangnya.

*******************

EMPAT

Malam telah menyelimuti seluruh permukaan bumi di Desa Komering Ilir. Beberapa orang bersenjata masih terlihat di jalan-jalan dan sudut-sudut pelosok desa itu. Sementara seluruh penduduk telah mengunci pintu rumahnya masing-masing. Sejak Carika dan Mandaka mengumumkan keadaan gawat, seluruh penduduk Desa Komering Ilir semakin dicekam rasa takut.

Malam terus merayap kian larut. Hawa kematian seolah-olah menyelimuti Desa Komering Ilir. Anak buah Raden Glagah yang mendapat tugas jaga malam ini, ciut juga nyalinya jika harus tugas seorang diri. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima orang. Setiap saat mereka dicekam perasaan cemas. Setiap saat, maut mungkin dapat datang menjemput. Pembunuh misterius yang selalu meninggalkan daun lontar bertuliskan bait-bait syair, dapat datang setiap saat, dan menghilang cepat bagaikan siluman. Mengerang secara tiba-tiba, lalu menghilang bagai setan. Hal ini membuat seluruh orang yang bertugas malam ini semakin dicekam kegelisahan.

Di saat seluruh penduduk Desa Komering Ilir dicekam perasaan takut yang amat sangat, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat menyelinap dari satu rumah ke rumah lainnya. Sebentar bayangan itu berhenti berlindung dari cahaya bulan. Cahaya matanya terlihat berkilat meneliti setiap keadaan. Tubuhnya kemudian bergerak cepat menuju rumah yang paling besar dan megah di Desa Komering Ilir ini.

Slap!

Bayangan hitam itu melesat cepat melompati pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Hanya sekali lesatan saja, sudah hinggap di atas atap bangunan besar dan megah itu. Sebentar direbahkan dirinya merapat di atap. Telinganya ditempelkan lekat-lekat pada atap bangunan bagai istana itu.

“Hm..., itu Naraka,” orang itu bergumam dalam hati.

Pandangannya langsung tertuju pada Naraka yang tengah duduk sendiri di taman belakang bangunan bagai istana itu. Bagaikan seekor burung elang hendak menerkam mangsa, orang itu berkelebat cepat, dan tahu-tahu sudah berada di depan Naraka.

“Heh...!” Naraka tersentak kaget.

Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba orang yang mengenakan baju serba hitam dengan tutup kepala hitam pula itu, mendorong kedua tangannya ke depan.

Duk!

“Hugh...!” Naraka mengeluh pendek.

Seketika itu juga tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Dengan keras, punggungnya menghantam sebuah pohon yang cukup besar. Naraka ambruk ke tanah dengan tubuh membungkuk. Dadanya terasa sesak, sukar untuk bernapas. Matanya berkunang-kunang. Dan belum lagi sempat mengatur napasnya, satu tendangan keras menghantam tubuh Naraka.

Naraka bergulingan beberapa kali. Tendangan itu sangat keras dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Tulang iga laki-laki berwajah kasar itu seperti remuk. Begitu tubuhnya membentur dinding tembok, Naraka segera melompat bangun. Sebentar digeleng-gelengkan kepala, dan ditariknya napas dalam-dalam. Kelopak matanya agak menyipit melihat seorang laki-laki bertubuh kecil berdiri di depannya.

Belum sempat Naraka mengenali wajah orang itu, mendadak satu serangan cepat terarah kepadanya. Buru-buru Naraka menggeser kakinya ke samping, dan melayangkan pukulannya ke arah dada. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang itu melentingkan tubuh sebelum serangan Naraka sampai padanya.

“Hey...!” seru Naraka terkejut.

Secepat kilat Naraka melesat ke atas, dan hinggap di atas atap. Pada saat itu, masih sempat dilihatnya bayangan hitam berkelebat keluar dari bangunan istana ini. Naraka cepat melentingkan tubuhnya disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh.

“Hup!”

Dua kali Naraka berputar di udara, dan melewati kepala orang berbaju serba hitam itu. Dengan manis, laki-laki berwajah kasar itu mendarat tepat di depan orang itu. Langsung dikirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah orang berbaju hitam.

“Uts!”

Orang berbaju hitam itu mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping, lalu tangannya terangkat menghantam tangan Naraka yang mendorong ke depan.

Trak!

“Akh!” Naraka memekik tertahan, buru-buru ditarik kembali tangannya.

Tulang tangan Naraka seperti patah ketika berbenturan dengan tangan orang itu. Naraka melompat mundur satu tindak, tapi seketika itu juga satu pukulan menggeledek terarah padanya. Belum juga Naraka dapat berkelit, pukulan orang itu kembali menghantam dadanya.

“Akh...!” Naraka memekik keras.

Tubuhnya terlontar jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam dinding tembok benteng. Sebentar Naraka menggeliat, lalu merosot ke bawah. Tampak orang berbaju hitam itu bersiap-siap akan menyerang kembali, tapi pada saat itu beberapa orang berlarian sambil menghunus golok.

“Sial! Hup...!”

Hanya sekali lesatan saja, orang berbaju hitam itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Dan pada saat orang-orang itu sampai di tempat Naraka tergeletak, terdengar satu jeritan panjang melengking. Sebagian segera memburu ke arah jeritan itu, dan sebagian lagi membantu Naraka berdiri.

“Kakang Naraka, ada apa...?”

Carika dan Mandaka berlarian menghampiri.

“Cepat, kejar orang itu. Dia pasti belum jauh!” seru Naraka agak tersengal. “Hugh...!” Naraka memuntahkan darah kental kehitaman.

Mandaka segera membantu kakaknya, sementara Carika melompat cepat diikuti sekitar enam orang bersenjata golok terhunus. Mandaka, dibantu empat orang anak buahnya membawa Naraka meninggalkan tempat itu. Tampak sekali kalau keadaan Naraka begitu payah. Napasnya pun kembang kempis tersengal. Dua kali dia memuntahkan darah kental kehitaman.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Beberapa orang terlihat menggotong tiga sosok tubuh berlumuran darah. Di antara mereka, terlihat Carika. Rupanya orang berbaju serba hitam itu berhasil menewaskan tiga orang yang berjaga di bagian belakang benteng bangunan bagai istana itu.

Malam masih menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Komering Ilir. Carika dan Mandaka bersama sekitar tiga puluh orang keluar dari pintu gerbang benteng yang mengelilingi bangunan megah bagai istana kecil itu. Namun ketika mereka belum jauh meninggalkan pintu gerbang, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat memotong.

“Hei...!” seru Carika terkejut.

Pada saat yang bersamaan, secercah cahaya keperakan melesat ke arah rombongan itu. Carika kontan melesat, maka cahaya keperakan itu melesat di bawah tubuhnya. Tapi laju cahaya keperakan tidak berhenti sampai di situ karena langsung menghajar orang yang kebetulan tepat dibelakang Carika.

“Aaa...!”

Satu jeritan melengking terdengar disusul dengan ambruknya salah seorang anak buah Mandaka. Tampak sebilah pisau kecil berwarna keperakan tertancap dalam di dadanya.

“Menyebar...!” seru Mandaka keras.

Tiga puluh orang pengikutnya segera membentuk kelompok menjadi lima bagian, lalu menyebar mengikuti perintah Mandaka. Sementara itu Mandaka sendiri segera menggebah kudanya mengikuti arah kepergian kakaknya yang mengejar orang berbaju hitam itu. Mandaka masih sempat melihat Carika berkelebat cepat dan menghilang di balik salah satu rumah penduduk.

“Hup!”

Mandaka langsung melompat dari punggung kudanya. Tapi belum juga kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba sebuah bayangan hitam berkelebat menerjangnya. Mandaka tidak sempat lagi menghindar. Tubuhnya tak urung terjungkal keras, dan dadanya mendadak jadi sesak.

Belum lagi Mandaka mampu bangkit, bayangan hitam itu berbalik seraya tangannya berkelebat cepat melontarkan sebuah benda keperakan. Mandaka buru-buru menjatuhkan tubuhnya, sehingga benda keperakan berbentuk pisau kecil tipis itu menancap di tanah. Bergegas Mandaka melompat bangkit.

Sret!

Mandaka mencabut goloknya yang melengkung ke atas, lalu disilangkan di depan dada. Matanya agak menyipit berusaha melihat wajah orang di depannya. Tapi malam begitu pekat, apalagi tidak ada cahaya bulan sedikit pun yang menerangi. Belum lagi Mandaka dapat melihat wajah orang itu, tiba-tiba orang berbaju hitam itu melesat cepat sambil melontarkan dua pukulan sekaligus.

“Hup! Hiyaaa...!”

Mandaka melompat ke samping seraya mengibaskan goloknya ke depan. Sukar diduga! Bagaikan kilat, orang berbaju hitam itu melesat ke atas, lalu kakinya mendupak pundak Mandaka. Mandaka hanya mampu mengeluh pendek. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke samping. Tulang bahunya seperti patah dan terasa nyeri menyengat.

“Modar!”

Sambil berteriak keras, orang berbaju hitam itu menggedor dada Mandaka begitu kakinya mendarat di tanah. Mandaka terkesiap. Buru-buru diegoskan tubuhnya ke kanan, lalu goloknya dikibaskan ke depan disertai tenaga dalam penuh. Begitu cepat kejadian itu. Mandaka mengira tangan orang berbaju hitam itu bakal buntung terbabat goloknya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya! Mandaka memekik keras dan tubuhnya terpental ke belakang.

Sukar dipercaya. Dari balik lengan baju orang itu, tiba-tiba saja keluar sebilah senjata seperti pedang pendek tipis. Golok Mandaka terpotong jadi dua bagian begitu membentur senjata yang keluar dari balik lengan baju. Dan tangan kiri orang berbaju hitam itu menggedor dada Mandaka dengan keras.

“Hoegh...!”

Mandaka memuntahkan darah kental kehitaman. Dadanya terasa remuk, dan napasnya sukar diatur. Belum lagi Mandaka bisa bangkit, orang berbaju hitam itu sudah kembali melompat menyerangnya. Mandaka terperangah, tidak mampu lagi berkelit.

“Hiyaaa...!”

Tepat pada saat ujung senjata orang itu hampir merobek dada Mandaka, sebuah bayangan melesat cepat memapak serangan itu. Orang berbaju hitam itu terkejut, lalu buru-buru menarik pulang serangannya sambil melompat mundur. Dia mendengus melihat Carika tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan Mandaka. Pedang panjang melintang di depan dada.

“Uh! Untung kau cepat datang, Kakang,” kata Mandaka tersengal sambil berusaha bangkit berdiri. Dibuang goloknya yang tinggal setengah lagi.

Begitu mampu bangkit berdiri, Mandaka mencabut dua buah senjata trisula dari balik bajunya. Senjata berbentuk lonjoran besi berwarna kuning dan bermata tiga itu tergenggam erat di tangan kanan dan kirinya. Mandaka menyeka sisa darah dari mulut dengan punggung tangannya.

“Bagus! Berarti bisa kudapatkan dua nyawa sekaligus!” dengus orang berbaju hitam itu dingin. Suaranya berat dan terdengar datar.

“Siapa kau?” bentak Carika bertanya.

Belum sempat orang itu menjawab, sekitar dua puluh orang berkuda datang menghampiri. Orang itu mendengus kesal, lalu tangan kanannya berkelebat cepat. Secarik daun lontar melesat bagai panah, langsung mengarah pada Carika. Selagi Carika menangkap daun lontar itu, orang berbaju hitam melesat pergi bagai kilat.

“Hei...!” Carika tersentak.

Belum juga Carika melompat mengejar, bayangan orang itu telah lebih dulu lenyap. Carika melihat pada daun lontar di tangannya. Matanya membeliak lebar melihat bait-bait syair tertera pada daun lontar itu.

“Penyair Maut,” desis Carika pelan.

Carika bergegas melompat ke arah perginya orang berbaju hitam tadi. Mandaka memerintahkan sepuluh orang yang baru datang untuk mengikuti Carika. Dia sendiri kemudian naik ke punggung kudanya. Segera kuda itu digebah cepat dengan arah memutar diikuti sekitar lima belas orang yang berdatangan bagai semut mencium gula. Mandaka masih meringis merasakan nyeri pada dadanya.

*******************

Sementara itu, di sebuah rumah kecil dan reyot dari bilik bambu, seorang perempuan tua tengah duduk memandang ke depan. Bajunya yang longgar dan kumal penuh tambalan, meriap dipermainkan angin malam yang dingin. Pandangannya tidak berkedip. Sesekali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat.

Pandangan wanita tua yang ternyata adalah Nek Selong itu beralih pada beberapa orang berkuda. Keningnya sedikit berkerut begitu mengenali orang yang berkuda paling depan. Orang itu adalah Mandaka. Rombongan berkuda itu berhenti tepat di depan rumah kecil reyot itu.

“Gusti Mandaka...,” Nek Selong buru-buru bangkit berdiri.

“Malam-malam begini belum tidur juga, Nek Selong?” tanya Mandaka.

“Belum, Gusti. Belum mengantuk...,” sahut Nek Selong.

“Hm..., kau lihat seseorang lewat di sini, Nek?” tanya Mandaka.

“Tidak, Gusti. Sejak tadi hamba duduk di sini, tak seorang pun yang lewat, kecuali peronda,” sahut Nek Selong.

“Baiklah, Nek. Dan sebaiknya Nenek masuk saja. Orang gila itu kembali beraksi dan membunuh banyak orang,” jelas Mandaka.

“Oh...!” Nek Selong kelihatan terkejut

“Cepatlah masuk, Nek. Aku tidak ingin ada korban lagi,” perintah Mandaka tegas.

“Baik... baik, Gusti.”

Nek Selong bergegas melangkah masuk ke dalam gubuknya. Perempuan tua itu segera menutup pintu, tapi tidak terlalu rapat. Diintipnya Mandaka dan orang-orangnya yang bergerak pergi. Perempuan tua itu masih memperhatikan meskipun rombongan kecil berkuda itu sudah jauh pergi.

“Nek...”

“Oh!” Nek Selong terperanjat, kontan berbalik. Dia menarik napas lega melihat Baruna sudah berada di dekatnya. “Dari mana saja kau?”

“Latihan,” sahut Baruna.

“Dari sore tadi tidak pulang. Aku cemas, tahu...!” rungut Nek Selong.

“Maaf, Nek. Aku cuma pergi dan latihan di tempat biasa,” jawab Baruna kalem.

“Kau tidak ke sana, Baruna! Aku tahu kau pergi bukan untuk latihan!”

Baruna tersentak kaget. Dipandanginya wajah wanita tua itu dalam-dalam. Memang diakui, kalau dia tidak pergi berlatih malam ini. Dan yang pasti, Nek Selong telah pergi ke tempat mereka biasa berlatih ilmu olah kanuragan.

“Katakan terus terang, dari mana kau?” desak Nek Selong.

Baruna tidak langsung menjawab, tapi malah menarik napas panjang dan melangkah menghampiri dipan kayu. Direbahkannya tubuhnya di atas dipan itu. Sementara Nek Selong mengunci pintu, kemudian duduk di kursi tidak jauh dari dipan itu.

“Kau tahu, Baruna. Si Penyair Maut semakin ganas. Tadi baru saja Gusti Mandaka ke sini. Kebetulan aku ada di luar,” kata Nek Selong memberitahu.

Baruna tetap diam.

“Aku cemas bukan apa-apa, Baruna. Hanya aku tidak ingin mereka salah menuduh karena kau setiap hari keluar malam. Aku tidak khawatir kalau kau bertemu si Penyair Maut itu. Hanya yang kucemaskan, mereka bisa berbuat sembrono dengan menuduhmu sebagai si Penyair Maut,” lanjut Nek Selong mengutarakan kecemasannya.

Baruna tetap diam. Matanya menatap lurus ke arah langit-langit pondok itu. Napasnya teratur lembut. Titik-titik keringat terlihat bagai mutiara di dadanya yang bergerak turun naik.

“Kau dengar, Baruna...?”

“Dengar, Nek,” sahut Baruna mendesah pelan.

“Mulai malam ini, aku melarangmu keluar rumah!” tegas kata-kata Nek Selong.

Baruna terperanjat dan langsung menoleh menatap langsung ke bola mata perempuan tua itu. Ingin dipastikan kesungguhan kata-kata yang baru didengarnya dari neneknya itu.

“Nek, aku keluar hanya untuk berlatih. Lain tidak. Lagi pula tidak ada yang tahu, mengapa aku harus takut? Tidak perlu cemas, Nek. Aku bisa menjaga diri,” kata Baruna meyakinkan hati perempuan tua itu.

“Jangan membodohi aku, Baruna! Kau tidak berlatih setiap malam!” dengus Nek Selong.

“Aku berlatih, Nek!” Baruna berusaha meyakinkan.

“Di mana? Di mana kau berlatih?”

Baruna tidak menjawab. Kembali dipalingkan mukanya menatap langit-langit yang hitam.

“Jangan-jangan kau sendiri yang jadi pembunuh misterius itu, Baruna,” tebak Nek Selong langsung.

“Nek...!” Baruna terkejut. Seketika itu juga dia bangkit, lalu duduk di tepi dipan.

“Menyesal aku menceritakan perihal keluargamu, Baruna. Memang sudah kuduga, kau pasti akan membalas dendam. Sayang, jalan yang kau tempuh tidak kusukai,” suara Nek Selong terdengar lirih bernada penyesalan.

“Aku..., aku tidak melakukan apa-apa! Sungguh, Nek. Aku...."

“Berapa orang korbanmu malam ini?” potong Nek Selong cepat.

“Korban...? Korban apa?”

“Kau masih juga berpura-pura, Baruna. Padahal sekarang ini banyak jiwa yang terancam. Bahkan orang yang tidak bersalah juga terancam jiwanya karena perbuatanmu!”

“Aku tidak mengerti maksud Nenek...?”

“Ah, sudahlah! Sekarang tidurlah. Besok, kau harus ikut aku ke Bukit Halu.”

“Mau apa ke sana?”

“Kau harus minta maaf di depan makam ayahmu. Kau sudah berbuat salah, membalas dendam dengan cara memfitnah orang lain!”

“Nek...!”

Tapi Nek Selong tidak ingin lagi mendengar bantahan dari cucunya. Dia segera bangkit dan melangkah masuk ke kamar tidurnya. Baruna membanting keras tubuhnya ke dipan. Terdengar keluhan panjang dan berat. Sementara malam semakin bertambah larut Masih terdengar langkah kaki manusia dan derap kaki kuda sesekali di luar sana. Orang-orang Raden Glagah masih tetap berusaha mencari si Penyair Maut yang malam ini kembali beraksi meminta korban jiwa.

*******************

LIMA

Siang itu matahari bersinar amat terik. Di bagian timur lereng Bukit Halu terlihat Rangga duduk bersila di bawah sebatang pohon yang sangat besar. Daun-daunnya lebat melindungi Rangga dari sengatan matahari. Tidak jauh di depannya terlihat Kumbara tengah membalik dua ekor kelinci panggang yang ditangkapnya pagi tadi.

“Sudah matang. Mau makan sekarang?” Kumbara menawarkan seraya bangkit dan melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Makan saja. Aku belum lapar,” tolak Rangga halus.

Kumbara mengangkat bahunya, kemudian duduk di depan pemuda berbaju rompi putih itu. Mulai dimakannya daging kelinci panggang itu, sedangkan satunya lagi diletakkan di atas daun pisang di depan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu memperhatikannya. Kumbara menghentikan makannya, karena merasa jengah dipandangi terus.

“Ada apa? Kenapa kau memandangku seperti itu?” tegur Kumbara jengah.

“Ke mana kau semalam?” tanya Rangga langsung.

“Tidak ke mana-mana,” sahut Kumbara terlihat terkejut.

“Aku tidak melihatmu di goa, dan kau pulang menjelang fajar,” kata Rangga datar nada suaranya.

Kumbara diam tidak menyahut. Selera makannya seperti hilang seketika. Diletakkan daging kelinci panggang yang baru termakan sedikit di atas daun pisang.

“Aku mencarimu di sekitar goa sampai ke Desa Komering Ilir,” lanjut Rangga.

Kumbara tampak terkejut sekali. Dia sampai menatap dalam-dalam ke mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Kumbara! Aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Tapi nyawamu sekarang ini terancam. Semalam ada kejadian lagi yang meminta korban nyawa. Mereka semua menuduhmu sebagai pelakunya. Si Penyair Maut... Hh! Nama yang indah...” kata Rangga mengemukakan hasil penyelidikannya di Desa Komering Ilir.

“Biarkan saja mereka menyangka begitu, Rangga. Aku tidak peduli!” dengus Kumbara sinis.

“Kau juga tidak peduli dengan nyawamu?”

“Aku sudah mati puluhan tahun lalu!”

“Kau bisa saja berkata begitu, Kumbara. Tapi kau tidak bisa berpaling dari kenyataan. Aku tidak menyuruh atau mengajarkan untuk membalas dendam....”

“Jangan ungkit-ungkit lagi masa laluku, Rangga!” selak Kumbara keras.

“Masa lalu bagian dari kehidupanmu, Kumbara. Kau tidak bisa selamanya menutup mata dan hatimu. Aku tahu, di dalam lubuk hatimu tersimpan bara dendam yang membara. Kau tidak puas karena keluargamu habis terbantai, dan seluruh kekayaan keluargamu dikuasai orang lain. Bahkan mereka yang tidak tahu, termakan hasutan hingga membencimu. Kau salah, Kumbara! Penduduk Desa Komering Ilir bukannya tidak tahu, tapi menutupi perasaan dirinya sendiri. Mereka sengaja bersikap demikian karena takut kau akan kembali menguasai Desa Komering Ilir dan menuntut kembali hak-hakmu. Tapi tidak semua begitu, Kumbara. Masih banyak penduduk Desa Komering Ilir yang menaruh simpati padamu, bahkan mereka ingin membantumu. Tapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan! Sedangkan kau sendiri kelihatan tidak peduli! Bahkan kelihatannya diam saja terhadap keangkaramurkaan yang telah menguasai dan memendammu di lembah kenistaan yang amat dalam,” panjang lebar Rangga membakar semangat Kumbara yang telah padam.

“Dari mana kau tahu semua itu?” tanya Kumbara.

“Seorang tua yang selalu memperhatikanmu,” sahut Rangga kalem.

“Siapa?” desak Kumbara.

“Ki Ampar.”

“Ki Ampar...,” desak Kumbara lirih. Kumbara memang tidak menyangkal, kalau Ki Ampar selalu memperhatikannya. Tidak pernah Ki Ampar mengusir atau mencaci dirinya. Bahkan selalu menyuruhnya untuk bekerja dan membangkitkan semangatnya. Meskipun sikap Ki Ampar padanya terlihat kasar, tapi Kumbara bisa mengerti maksudnya. Hanya saja tidak pernah ditanggapi, karena dia sudah bertekad untuk mengubur semua masa lalunya yang pahit. Dia tidak ingin menggali semua yang sudah dikuburnya dalam-dalam.

“Banyak yang diceritakan Ki Ampar tentang dirimu, masa lalumu, dan malapetaka yang menimpa seluruh keluargamu. Juga tentang keadaan Desa Komering Ilir sekarang ini. Meskipun seorang kepala desa, tapi Ki Ampar tidak punya hak untuk mengatur desanya. Ki Ampar sendiri merasa kalau dia hanya dijadikan boneka yang hanya dapat mengikuti perintah dalang. Dia sangat mengharapkanmu, Kumbara. Juga orang-orang tua yang merana dan tertekan hidupnya. Hanya kau satu-satunya yang bisa membangun kembali Desa Komering Ilir,” Rangga tidak putus asa membangkitkan semangat si Penyair itu.

“Sudahlah, Rangga. Aku hargai rasa simpatimu. Lihatlah mukaku ini. Mereka telah merusak mukaku!” kata Kumbara.

“Dan kau diam saja, tidak berbuat sesuatu?” nada suara Rangga terdengar sinis.

“Mereka terlalu kuat, Rangga. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang penyair lemah seperti aku ini?”

Rangga langsung diam. Memang diakui kalau Kumbara seorang laki-laki lemah yang tidak memiliki ilmu olah kanuragan sedikit pun. Selama beberapa hari ini, Kumbara memang tidak pernah menunjukkan dirinya seorang laki-laki kuat dan perkasa. Sehari-hari kerjanya hanya membuat syair dan membacakannya pada pohon, burung, tupai, atau apa saja yang bersedia mendengarkannya. Tapi Rangga tidak percaya kalau Kumbara benar-benar seorang yang lemah.

Beberapa malam ini Kumbara selalu menghilang dari dalam goa tempat tinggal mereka. Bahkan Rangga pernah mencoba untuk mengetahui dengan pura-pura tidur. Tapi sialnya dia tertidur benar! Akibatnya dia tidak tahu apa yang dilakukan Kumbara pada malam hari. Seperti semalam, Rangga merasa dirinya begitu mengantuk, tapi berusaha ditahan. Pendekar Rajawali Sakti itu memang sempat tertidur beberapa saat. Tapi begitu terjaga, dia tidak lagi mendapatkan Kumbara di tempatnya.

Pendekar Rajawali Sakti itu berusaha mencari. Tapi tanpa disadari, dia mencari sampai ke Desa Komering Ilir. Kebetulan malam itu terjadi peristiwa menggemparkan. Beberapa orang tewas terbunuh, bahkan Naraka dan Mandaka terluka cukup parah. Rangga memang tidak tahu persis kejadian yang sebenarnya, kalau saja tidak singgah ke rumah Ki Ampar. Dari laki-laki tua itulah semua peristiwa yang telah dan yang kini sedang terjadi dapat diketahuinya.

*******************

Rangga tetap tidak percaya terhadap pengakuan Kumbara yang mengatakan keluar malam hanya untuk mencari wangsit dalam mencipta syair-syairnya. Dia sudah mengetahui kalau pembunuh misterius yang berkeliaran di malam hari itu selalu meninggalkan secarik daun lontar berisikan bait-bait syair.

Sementara seluruh penduduk Desa Komering Ilir hanya tahu, kalau orang yang pandai membuat syair hanya Kumbara. Tidak ada orang lain yang bisa membuat syair.

Dan jelas, kalau semua orang pasti menyangka Kumbaralah si Penyair Maut yang selalu muncul pada malam hari dan meminta banyak korban nyawa.

Dugaan itu semakin kuat, karena mereka yang menjadi sasaran adalah anak buah Raden Glagah. Tidak seorang penduduk pun menjadi sasaran, meskipun mereka selalu membenci dan mengusir Kumbara. Keanehan inilah yang menjadi beban pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Dan keanehan itu semakin jelas setelah Rangga bertemu dengan Ki Ampar. Dari Kepala Desa Komering Ilir itulah dia tahu latar belakang kehidupan Kumbara.

Rangga tidak dapat menyalahkan Kumbara jika ingin membalas dendam. Sebab, rumah yang ditempati Raden Glagah sebenarnya milik Kumbara. Dialah pewaris tunggal dari saudagar kaya yang menguasai hampir seluruh desa ini. Sedangkan kedatangan Raden Glagah yang mengaku putra saudagar itu sebenarnya bohong belaka!

Raden Glagah sebenarnya adalah musuh besarnya. Kumbara sengaja dicampakkan dengan disebarkannya fitnah keji agar seluruh penduduk Desa Komering Ilir membenci si Penyair itu. Tapi semua perbuatan Raden Glagah diketahui oleh Ki Ampar. Raden Glagah sengaja memberi kedudukan kepada laki-laki tua itu agar tidak membocorkan rahasianya.

Malam ini Rangga sengaja datang ke Desa Komering Ilir dan menginap di rumah Ki Ampar. Ingin dibuktikan, siapa si Penyair Maut itu sesungguhnya. Kumbara, atau orang lain yang mungkin saja memanfaatkan situasi ini. Entah untuk maksud apa. Yang jelas, Rangga sudah bertekad untuk membongkar semuanya malam ini juga. Bagusnya, rencana itu didukung penuh oleh Ki Ampar, yang memang sudah muak dengan tingkah Raden Glagah yang semakin merajalela saja. Bahkan kini telah menguasai desa-desa lain yang bertetangga dengan Desa Komering Ilir!

“Kelihatannya malam ini tidak akan terjadi sesuatu, Den Rangga,” kata Ki Ampar yang menemani.

“Mungkin. Ini sudah hampir tengah malam,” sahut Rangga tidak lepas mengamati keadaan di luar dari celah jendela.

“Apakah Kumbara tahu kalau kau sengaja datang ke sini?” tanya Ki Ampar.

“Tidak! Tadi aku hanya bilang akan pergi ke desa seberang sungai,” sahut Rangga. “Masalahnya, kalau kubilang akan membeli bekal makanan di sini, dia pasti tidak mau makan.”

“Kasihan anak itu. Seumur hidupnya selalu menderita,” desah Ki Ampar bergumam.

“Ya..., kalau saja dia mempelajari ilmu olah kanuragan, pasti tidak akan begitu,” Rangga jadi ikut bergumam. “Heran juga, kenapa dia justru mempelajari syair-syair...?”

“Memang hanya itu yang ditinggalkan orang tuanya.”

Rangga memalingkan mukanya menatap Ki Ampar yang duduk di samping kanannya.

“Orang tuanya sebetulnya baik. Dia mengerti dengan bakat Kumbara yang suka akan syair. Sejak kecil, sampai berusia sepuluh tahun, Kumbara selalu mempelajari buku-buku sastra. Sedikit pun dia tidak tertarik pada ilmu olah kanuragan.”

“Sampai terjadi musibah itu?” Rangga ingin kejelasan.

“Ya! Sampai seluruh keluarganya terbunuh oleh Raden Glagah, Kumbara tetap tidak berminat mempelajari ilmu olah kanuragan. Malah semakin giat menekuni sastra, dan mampu menciptakan syair.”

“Aneh juga, ya...,” gumam Rangga pelan. Kembali diperhatikannya keadaan di luar.

“Manusia memang tidak ada yang sama, Den Rangga.”

“Memang.”

“Begitu juga dengan kehidupan ini. Desa Komering Ilir yang semula tenang dan damai, berubah kacau terselimut hawa kematian. Semua itu terjadi sejak Raden Glagah muncul.”

Rangga diam. Matanya tidak berkedip mengintip keluar.

“Orang-orang yang mencoba menentangnya selalu dibunuh! Bahkan seluruh keluarganya dibinasakan.

Termasuk keluarga kepala desa yang terdahulu. Hhh..., untung saja seorang anak kepala desa masih hidup. Kini dia diasuh oleh neneknya yang tinggal di desa seberang sungai. Tapi..., ya begitu. Kehidupannya sungguh memprihatinkan,” sambung Ki Ampar.

“Siapa yang kau maksudkan, Ki?” tanya Rangga.

“Apa aku belum menceritakannya padamu, Den?”

“Belum.”

“Peristiwanya sudah lama, kira-kira dua puluh satu tahun yang lalu. Anak itu juga belum lahir, masih berada di dalam kandungan. Istri kepala desa itu berhasil diselamatkan dan tiba di desa seberang sungai. Kabarnya dia sempat melahirkan sebelum meninggal. Tapi suaminya mati dibunuh orang-orang Raden Glagah. Aku tahu siapa anak itu, dan juga neneknya. Tapi aku tidak pernah menceritakannya pada orang lain.”

“Kenapa?”

“Kalau Raden Glagah tahu, pasti anak itu dibunuh. Juga neneknya! Sedangkan orang-orang di desa ini tidak ada yang dapat kupercayai. Mereka semua ular berkepala dua, mengikuti saja asal bisa hidup berkecukupan. Sikap seperti itu memang sudah ada sejak berdirinya desa ini, dan tidak mudah untuk menghilangkannya,” nada suara Ki Ampar sedikit mengeluh.

“Aneh juga. Kenapa tidak ada yang tahu?”

“Anak itu lahir di desa seberang sungai, dan baru kembali setelah usianya sekitar lima tahun. Tidak ada yang tahu dan mengenal neneknya, apalagi dia sendiri. Aku tidak tahu, apa maksudnya perempuan tua itu membawa kembali cucunya sampai sekarang.”

“Hmmm...,” Rangga bergumam.

Ki Ampar diam. Dihirup sisa kopinya yang tinggal sedikit. Pandangannya tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatannya sedang berpikir.

“Ada yang dipikirkan, Den?” tanya Ki Ampar.

“Ya. Aku jadi punya pikiran lain, Ki,” desah Rangga.

“Maksud Den Rangga?”

“Ada kemungkinan bukan Kumbara yang melakukan, tapi orang lain yang memanfaatkan posisi Kumbara dalam hal ini. Bisa saja sengaja diletakkan daun lontar berisi bait syair agar semua orang menyangka Kumbara yang melakukannya,” kata Rangga menduga-duga.

“Kau mencurigai anak kepala desa itu?”

“Siapa saja, Ki. Yang merasa sakit hati dan dendam pada Raden Glagah.”

“Kalau Baruna, rasanya tidak mungkin. Dia bertubuh kurus kerempeng. Sedangkan neneknya sudah tua dan sakit-sakitan. Kalau orang lain... Siapa...?”

“Ki, mengapa Raden Glagah tidak membunuh Kumbara?” tanya Rangga beralih.

“Raden Glagah menganggap Kumbara bukan ancaman karena tidak menyukai ilmu olah kanuragan. Sengaja hidupnya dibuat miskin dan sengsara agar jadi contoh bagi seluruh penduduk. Siapa yang membangkang, nasib keturunannya akan sama dengan Kumbara. Terhina, papa, dan tidak berdaya!”

“Hebat! Cerdik juga dia,” gumam Rangga mendesis.

“Itulah sebabnya, mengapa seluruh penduduk Desa Komering Ilir ini tidak ada yang berani dan menuruti saja perintah Raden Glagah. Bahkan menganggap Kumbara sebagai pembawa sial dan bencana yang harus disingkirkan.”

“Dan yang pasti, semua itu ulah Raden Glagah, bukan?”

“Benar, Den. Memang anak buah Raden Glagahlah yang meniupkan kabar bohong tentang Kumbara yang dikatakan sebagai si Penyair pembawa bencana.”

“Hebat...!” Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara teriakan melengking tinggi. Dan beberapa saat kemudian, terdengar suara pertarungan. Rumah Ki Ampar memang tidak berapa jauh dari bangunan besar bagai istana itu. Rangga yang memperhatikan keluar langsung dapat melihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat. Namun suara pertarungan berhenti, disusul suara-suara bernada memerintah.

“Aku pergi dulu, Ki,” kata Rangga cepat-cepat.

“Hati-hati, Den.”

Rangga segera melompat ke pintu. Sebentar diintipnya keadaan di luar, kemudian melesat cepat. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap. Ki Ampar bergegas menutup pintu rumahnya kembali.

Ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti memang sempurna sekali. Dia berlompatan bagaikan kilat, sehingga sukar diikuti mata biasa. Hanya bayangannya saja yang berkelebat seperti hantu. Pandangannya tidak lepas ke arah sosok hitam yang berkelebatan menyelinap di tempat-tempat gelap.

“Berhenti...!”

Rangga terkejut ketika mendengar bentakan keras menggelegar. Dan orang berbaju serba hitam itu berhenti seketika. Saat itu juga berkelebat sebuah bayangan hijau yang langsung menghadang orang berbaju serba hitam itu. Wajahnya cukup tampan. Bentuk tubuhnya pun sangat bagus, tegap dan berisi.

“Raden Glagah..., rupanya kau tidak sabaran ingin cepat-cepat ke neraka juga,” kata orang berbaju hitam itu sinis.

Sementara Rangga sudah berlindung di atas dahan pohon dengan jarak yang cukup terlindung. Dengan mengerahkan ilmu ‘Tatar Netra’, dan ilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’, dapat terlihat serta terdengar jelas semua percakapan dan kejadian di depannya. Rangga agak berkerut juga melihat orang berbaju hitam itu. Suaranya terdengar berat dan besar, seperti dibuat-buat. Sedangkan bentuk tubuhnya begitu kecil, dan bisa dikatakan kurus. Seperti bukan tubuh seorang laki-laki. Tapi dari suaranya, jelas kalau dia laki-laki.

“Petualanganmu sudah cukup, Penyair Maut!” desis Raden Glagah sinis.

“Memang, setelah kau terbang ke neraka!” sahut orang itu tidak kalah sinisnya.

“Kita lihat, siapa yang masih bisa tertawa esok pagi!”

Setelah berkata demikian, Raden Glagah segera membuka jurus. Sedangkan orang berbaju hitam itu masih kelihatan tenang tidak bergeming sedikit pun.

“Hiya...!”

Sambil berteriak keras, Raden Glagah melompat mengirimkan jurus-jurus mautnya. Orang berbaju hitam itu mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping menghindari serangan Raden Glagah. Dan dengan cepat disodokkan tangannya ke arah lambung. Tapi Raden Glagah bisa menghindarinya dengan mudah. Mereka langsung terlibat dalam pertempuran sengit. Masing-masing menyerang dengan jurus-jurus mautnya. Pertarungan berjalan cepat, dan tanpa menggunakan senjata satu pun. Namun begitu, sedikit kelengahan saja bisa berakibat fatal.

Sementara di tempat yang cukup tersembunyi, Rangga memperhatikan jalannya pertarungan dengan mata tidak berkedip. Pertarungan berjalan semakin sengit. Jurus-jurus dilalui cepat. Raden Glagah mencabut senjatanya, tepat pada jurus ke tiga puluh. Sedangkan orang berbaju hitam itu masih tetap bertangan kosong. Kelihatannya dia tidak membawa sepucuk senjata pun.

“Hm..., terlalu berbahaya kalau dia tidak menggunakan senjata juga,” gumam Rangga dalam persembunyiannya.

Dan dugaan Pendekar Rajawali Sakti memang terbukti. Baru saja dia bergumam demikian, terlihat orang berbaju hitam itu mulai terdesak. Dan pada satu serangan berikut, ujung pedang Raden Glagah meluruk cepat ke arah dada, setelah tendangannya berhasil mendarat di tubuh orang berbaju hitam itu.

“Celaka...!” desis Rangga.

Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan. Orang berbaju hitam itu mengangkat tangan kanannya cepat. Maka dari balik lengan bajunya keluar sepucuk senjata berbentuk pedang pendek tipis. Langsung diputarnya pedang itu untuk melindungi dadanya.

Trang!

Raden Glagah tersentak kaget, kontan melompat mundur dua tindak ke belakang. Sedangkan orang berbaju hitam itu pun melompat dua tindak ke belakang. Rupanya benturan senjata bertenaga dalam cukup tinggi, membuat tangan mereka seperti kaku. Kini mereka berdiri tegak, seakan-akan hendak mengukur tingginya tingkatan kepandaian masing-masing.

Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dipacu cepat Tidak berapa lama berselang muncul sekitar lima puluh orang berkuda dari empat jurusan. Mereka serentak mengepung dan menghunus senjata masing-masing.

“Ha ha ha...!” Raden Glagah tertawa terbahak-bahak.

Orang-orang yang baru saja berdatangan itu langsung berlompatan dan mengepung orang berbaju hitam. Di antara mereka terlihat empat bersaudara kepercayaan Raden Glagah. Orang berbaju serba hitam itu memutar tubuhnya perlahan-lahan. Tatapan matanya tajam memperhatikan orang-orang di sekitarnya.

Sementara Rangga memperhatikan, ia merasa iba melihat orang berbaju hitam itu tidak mempunyai peluang untuk dapat menerobos kepungan rapat itu. Tapi Rangga tetap diam, tidak ingin ikut campur dulu. Dia ingin mengetahui tindakan orang berbaju hitam itu.

“Penyair Maut! Sebaiknya kau menyerah! Tidak ada lagi kesempatan lolos buatmu!” kata Raden Glagah merasa menang.

“Huh!” orang berbaju hitam itu hanya mendengus saja.

Perlahan-lahan tangannya terangkat ke depan, lalu menyatu rapat. Dengan tubuh sedikit membungkuk, diputar kakinya. Tatapan matanya tajam menusuk, memperhatikan setiap gerak orang yang mengepungnya.

Cring!

Pedang tipis sepanjang lengan itu terbelah menjadi dua. Kini di tangan orang berbaju hitam itu tergenggam sepasang pedang dengan bentuk dan ukuran yang sama. Tanpa banyak berpikir lagi, dengan cepat dia berputar sambil berteriak nyaring.

“Yeaaah...!”

*******************

ENAM

Gerakan orang berbaju hitam itu cepat luar biasa. Dengan tubuh berputar dan kedua tangan merentang, dicobanya membuka kepungan orang-orang itu. Jerit pekik melengking terdengar saling sambut, disusul tersuruknya beberapa tubuh bersimbah darah.

Kejadian yang begitu cepat dan tak terduga itu membuat Raden Glagah tersentak kaget. Dalam sekejap mata saja, sudah enam orang anak buahnya terbujur tak bernyawa. Raden Glagah langsung memerintahkan untuk menyerang.

“Serang...!”

Pertarungan tidak seimbang sulit dielakkan lagi Orang berbaju serba hitam itu terkurung rapat, di antara kelebatan senjata tajam yang siap mengoyak tubuhnya. Beberapa jurus berlalu cepat. Sedangkan orang berbaju hitam itu mulai kelihatan kerepotan menghadapi serangan yang datang bagai gelombang. Serangan yang tiada henti-hentinya, terus mengalir dari segala penjuru. Tidak ada kesempatan lagi untuk meloloskan diri.

Beberapa kali pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya. Tapi sampai sejauh itu, belum ada senjata yang menyentuh kulitnya. Sementara empat saudara kepercayaan Raden Glagah sudah ikut terjun dalam kancah pertarungan. Hal ini membuat orang berbaju hitam itu semakin kewalahan.

“Mampus kau! Hiyaaa...!” tiba-tiba Naraka berteriak keras.

Bagaikan kilat, senjatanya berkelebat membabat ke arah dada. Orang berbaju hitam itu mengegoskan tubuhnya ke kiri, maka tebasan Naraka pun luput dari sasaran. Tapi belum juga sempat menarik kembali tubuhnya, datang lagi serangan dari Balika. Dan kali ini tidak dapat dihindari lagi, meskipun telah berusaha berkelit.

“Akh!” orang berbaju hitam itu memekik tertahan.

Darah mengucur dari bahu kirinya. Pada saat tubuhnya limbung, satu tendangan keras Carika membuatnya terjajar ke belakang. Pada saat itu, Mandaka dan Naraka melompat bersamaan sambil menghunus senjata mereka. Sudah dapat dipastikan kalau orang berbaju hitam yang dijuluki si Penyair Maut itu akan tewas terhunjam dua senjata yang meluruk deras ke arahnya.

Tapi pada saat yang kritis itu, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat bagai kilat. Bayangan itu langsung memapak serangan dua bersaudara tadi, dan cepat menyambar tubuh si Penyair Maut. Begitu cepat gerakannya, sehingga sukar diikuti pandangan mata. Sekejap saja tubuh si Penyair Maut telah lenyap dari kepungan. Raden Glagah dan empat orang bersaudara pengikut setianya jadi bengong.

“Cepat! Kejar...!” seru Raden Glagah begitu sadar dari keterkejutannya.

Naraka dan ketiga adiknya serentak melompat mengejar, diikuti anak buahnya yang segera berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sementara Raden Glagah menggerutu karena orang yang selama ini telah banyak menewaskan anak buahnya lolos pada saat maut sudah berada di depannya.

*******************

Saat itu, orang berbaju hitam yang dijuluki si Penyair Maut berusaha berontak dari kepitan ketiak seorang laki-laki muda berbaju rompi putih. Namun pemuda itu tidak memperdulikannya, dan terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepatnya dia berlari, sehingga yang terlihat hanya bayangan putih berkelebatan dari pohon ke pohon.

“Lepaskan...!” bentak orang berbaju hitam itu memberontak.

Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang berbentuk kepala burung, berhenti berlari setelah tiba di tengah hutan Bukit Halu. Segera dilepaskan kepitannya, maka tubuh terbungkus baju hitam itu jatuh terguling di tanah. Dia bersungut-sungut sambil bangkit berdiri.

“Kadal! Keparat kau!” umpat orang berbaju hitam itu menggerutu.

“Kau hampir saja mati, Kisanak,” kata pemuda berbaju rompi putih itu kalem.

“Aku tidak butuh pertolonganmu!”

“Aku tahu, tapi kau hampir mati tadi.”

“Huh! Siapa kau?”

“Namaku Rangga, dan dikenal dengan nama Pendekar Rajawali Sakti,” pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri.

“Aku tidak kenal kau! Kenapa menolongku?” suara orang berbaju hitam itu masih terdengar ketus.

“Akan kujelaskan jika kau mau membuka topengmu,” sahut Rangga kalem.

Orang berbaju hitam itu tidak menyahut, malah mundur dua langkah ke belakang. Dari balik kain yang menyelubungi kepala dan wajahnya, terlihat sinar mata yang tajam penuh kecurigaan.

“Jangan coba-coba menipuku, Kisanak. Kau pasti orang suruhan Raden Glagah!” kata orang berbaju hitam itu ketus.

“Aku tidak kenal dengan Raden Glagah! Aku menolongmu dari maut hanya karena kebetulan lewat saja, kulihat kau butuh pertolongan,” kata Rangga masih kalem.

“Apa buktinya kalau kau bukan orang suruhan Raden Glagah?” nada suara orang itu masih bernada curiga.

“Tidak ada bukti, tapi kau dapat mempercayai aku.”

“Maaf, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu.”

Setelah berkata demikian, orang berbaju hitam itu menggenjot tubuhnya. Tapi yang terjadi adalah di luar dugaannya sama sekali. Dia malah terguling! Orang itu buru-buru bangkit berdiri dan kelihatan terkejut. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja.

“Kau memang masih dapat bergerak dan bicara dalam keadaan sadar penuh, tapi tidak bisa lagi menggunakan semua ilmumu,” kata Rangga tetap tenang suaranya.

“Keparat! Apa yang kau lakukan padaku?” bentak orang itu geram.

“Hanya menotok pusat kekuatan tenaga dalammu saja,” sahut Rangga tetap tenang.

“Bajingan...!” desis orang itu marah bukan main.

Dia tahu kalau tenaganya tidak ada lagi, dan benar-benar tidak punya daya sama sekali. Pusat kekuatan tenaga dalamnya sudah tertotok. Totokan itu dapat terbuka hanya jika dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu tenaga dalam sempurna. Tapi, tidak banyak orang yang dapat memiliki ilmu totokan, mampu melumpuhkan tenaga dalam seseorang.

Orang berbaju hitam itu mencoba menyalurkan hawa murni, tapi akhirnya malah menggerutu. Dia tidak mampu lagi menyalurkan hawa murni. Rupanya bukan saja pusat tenaga dalamnya yang tertotok, tapi juga pusat penyaluran hawa murni ikut lumpuh.

“Aku mengaku kalah, Kisanak. Tapi ini bukan berarti kemenangan buatmu!” kata orang itu dengan menahan geram.

“Tidak ada yang menang ataupun kalah. Aku tahu, kau memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi, jadi terpaksa hanya dengan jalan itu dapat melumpuhkanmu. Totokan biasa sangat mudah bagimu untuk membukanya kembali. Hawa murni yang tersimpan di dalam tubuhmu sangat besar. Hanya karena kau kurang melatihnya, sehingga belum berkembang,” jelas Rangga.

“Heh! Kau tahu semua itu...?!” orang itu semakin terkejut, dan tidak bisa disembunyikan lagi.

“Aku dapat merasakannya ketika kau meronta, mencoba melepaskan diri tadi,” sahut Rangga tetap kalem.

“Kau hebat, Kisanak. Kau pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi,” puji orang itu tulus.

“Lumayan. Yang penting cukup untuk menjaga diri dari orang-orang yang suka pamer kekuatan,” sahut Rangga.

Orang berbaju hitam dan bertopeng dari kain hitam itu diam beberapa saat. Tampaknya dia sedang berpikir keras dan menimbang-nimbang. Perlahan-lahan tangannya terangkat ke atas kepala, lalu ditariknya tutup kepala yang menyelubungi seluruh kepala dan wajahnya.

Rangga terkesiap begitu selubung kepala orang itu terbuka seluruhnya. Mulutnya ternganga lebar, dengan mata tidak berkedip memandang. Sedangkan orang berbaju hitam itu hanya berdiri tegak. Pandangannya lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau terkejut, Kisanak?”

“Aku tidak mengenalmu, tapi gambaran wajahmu serta bentuk tubuhmu pernah kudengar,” sahut Ranga datar.

“Aku memang Baruna, cucu tunggal Nek Selong,” orang berbaju hitam itu mengakui siapa dirinya sebenarnya.

“Hm..., ya aku ingat, kau bernama Baruna. Orang yang menceritakan tentang dirimu pernah juga menyebut nama Baruna.”

“Kau sudah tahu siapa diriku. Nah! Sekarang bebaskan aku,” kata Baruna tegas.

“Untuk apa?”

“Urusan kita belum selesai, Kisanak. Malam ini juga kita harus bertarung sampai salah satu di antara kita ada yang tewas. Dan yang pasti aku akan membunuhmu!”

“Kenapa?”

“Karena kau satu-satunya orang yang mengetahui siapa diriku yang sebenarnya!” tegas jawaban Baruna.

“Baik, aku terima tantanganmu. Tapi kau harus berjanji!” sahut Rangga juga tegas.

“Apa?”

“Mulai malam ini, jangan lagi menggunakan nama Penyair Maut!”

Orang berbaju hitam yang ternyata adalah Baruna itu langsung diam. Kembali dia menatap tajam dan mencari sesuatu di dalam sinar mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Syarat yang diajukan Rangga sebenarnya tidak begitu berat. Tapi memang selama ini Baruna menjadi manusia misterius yang selalu meminta korban nyawa dari orang-orangnya Raden Glagah. Hanya saja tindakan yang berdasarkan dendam untuk membalas kematian seluruh keluarganya itu telah menjerat orang yang tak bersalah menjadi tertuduh.

“Aku tidak pernah menggunakan nama itu!” sahut Baruna.

“Semua orang tahu, kalau yang berkeliaran mencari korban nyawa adalah si Penyair Maut. Bahkan Raden Glagah sendiri menyebutmu si Penyair Maut. Kau selalu meninggalkan secarik daun lontar bertuliskan bait-bait syair bernoda darah.”

Baruna kembali terdiam.

“Kenapa kau lakukan itu, Baruna?” tanya Rangga bernada mendesak.

“Apa pedulimu?” dengus Baruna.

“Tentu saja aku peduli, karena kau telah merugikan seseorang yang tidak berdosa sama sekali! Bahkan kini nyawanya terancam!” sahut Rangga tegas.

“Oh.... Jadi kau muncul atas nama Kumbara si Penyair itu?”

“Benar!”

“Aku memang sengaja meninggalkan secarik daun lontar berisikan bait syair. Memang ingin kualihkan perhatian mereka pada Kumbara, karena aku tahu dia tidak ada lagi di desa ini.”

“Kau salah, Baruna. Kumbara belum jauh meninggalkan desa kelahirannya. Bahkan dia hampir mati karena ulahmu yang menggunakan namanya!”

“Apa...?!” Baruna kelihatan terkejut.

“Orang-orang Raden Glagah hampir membunuhnya.”

“Biadab! Benar-benar keparat mereka!” geram Baruna mendesis.

“Semua itu tidak akan pernah terjadi jika kau tidak menggunakan namanya. Aku tidak berpikiran buruk tentang niatmu, tapi apa yang kau lakukan sangat tidak terpuji bagiku. Kau ingin leluasa bergerak untuk menumpas orang-orang yang telah membunuh keluargamu dengan menggunakan nama orang lain. Tapi kau tidak menghiraukan akibatnya pada orang yang telah kau gunakan namanya untuk kepentingan dirimu sendiri. Hhh...! Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Baruna...,” kata Rangga panjang lebar.

Baruna hanya diam saja. Semua kata-kata yang keluar dari bibir Pendekar Rajawali Sakti membuat Baruna diam membisu. Kata-kata itu sangat mengena di hatinya. Baruna memang masih hijau dan belum berpengalaman dalam dunia kaum persilatan. Selama ini dia hanya melakukan semua yang ada di kepalanya saja, tanpa memikirkan akibatnya. Baruna mengakui kalau hanya mengikuti kata hatinya saja yang terbalut dendam selama hidupnya.

Rangga melangkah menghampiri. Tangannya bergerak cepat menotok bagian perut, tepat di bawah tali pusar Baruna. Seketika itu juga Baruna merasakan adanya aliran hawa panas menyebar dari pusarnya. Pemuda kurus kerempeng itu sadar kalau sekarang dia sudah kembali normal.

“Sebentar lagi pagi. Kau tidak pulang?” kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi cukup lama itu.

“Kisanak, kau tahu di mana Kumbara?” tanya Baruna tidak mempedulikan teguran Rangga.

“Untuk apa kau tanyakan itu?” Rangga juga balik bertanya.

“Aku harus meminta maaf padanya. Aku sadar, kalau perbuatanku salah dan membahayakan dirinya. Sekarang aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Kau bersedia membawaku untuk menemuinya, Kisanak?”

“Dengan senang hati. Ayolah! Sebelum matahari benar-benar terbit.”

“Terima kasih, Kisanak.”

*******************

TUJUH

Kumbara duduk diam tanpa berkata-kata, begitu mendengar pengakuan Baruna yang gamblang dan penuh penyesalan. Saat ini dia tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Apalagi untuk menentukan sikapnya. Penuturan Baruna yang bernada penuh penyesalan itu membuat Kumbara tersentuh hatinya.

“Aku menyesal, aku tidak pernah berpikir sampai ke situ, Kumbara,” kata Baruna.

“Hhh...!” Kumbara hanya menarik napas panjang saja.

Sementara itu Rangga hanya memperhatikan tanpa bicara sedikit pun, dan tidak ingin mencampuri persoalan pribadi kedua orang itu. Dia sudah senang melihat Baruna menyadari semua kesalahannya.

“Aku akan terus merasa berdosa jika kau tidak memaafkanku, Kumbara,” kata Baruna lagi.

“Lupakan,” desah Kumbara pelan.

“Kau memaafkan aku, Kumbara?”

Kumbara tersenyum, kemudian bangkit menghampiri Baruna. Sesaat dipandangi pemuda kurus kerempeng itu, lalu dipeluknya dengan erat penuh haru. Baruna tersentak sejenak, kemudian melingkarkan tangannya memeluk Kumbara. Saat itu Pendekar Rajawali Sakti menarik napas lega dan tersenyum lebar.

Agak lama juga mereka saling berpelukan, kemudian sama-sama melepaskan diri. Beberapa saat masih belum ada yang bicara, hanya sinar mata mereka saja yang banyak mengeluarkan kata-kata. Kumbara kembali melangkah mundur dan duduk di tempatnya semula, pada sebatang pohon besar yang tumbang. Sedangkan Baruna juga duduk di atas sebongkah batu.

“Aku tahu, siapa-siapa saja yang selalu mengusir dan mencaci-maki aku. Aku juga tahu kalau mereka berbuat begitu bukan dari hati nurani sendiri,” kata Kumbara setelah lama terdiam.

“Benar! Mereka berbuat begitu untuk menunjukkan kesetiaan pada Raden Glagah. Mereka tidak akan membencimu lagi jika Raden Glagah terusir dari Desa Komering Ilir,” sambung Baruna.

“Kau sudah melakukannya, Baruna.”

“Tapi aku tidak mampu menghadapinya seorang diri. Mereka begitu kuat, dan banyak jumlahnya,” Baruna mengakui terus terang.

“Kau sudah banyak berbuat, dan jumlah mereka pun sudah berkurang!” selak Rangga ikut campur.

“Hanya orang-orang yang tidak berguna saja. Aku belum mampu menghadapi biangnya,” Baruna mengakui dengan jujur.

Kembali mereka semua terdiam. Agak lama juga mereka tidak ada yang membuka suara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Rangga bangkit berdiri dan melayangkan pandangannya ke arah Desa Komering Ilir. Sebenarnya dia tidak ingin terlibat terlalu jauh. Tapi melihat keadaan dua orang pemuda yang tampak tidak berdaya menghadapi mereka yang telah membuatnya sengsara, hatinya tidak mungkin berdiam diri begitu saja.

“Aku akan membantu kalian,” kata Rangga tanpa membalikkan tubuhnya.

“Oh! Benarkah...?” seru Baruna gembira.

Rangga berbalik dan mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Wajah Baruna dan Kumbara jadi cerah. Lebih-lebih Baruna yang mengerti ilmu olah kanuragan. Dia tahu betul kalau Pendekar Rajawali Sakti memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Sudah dirasakan sebagian ilmu olah kanuragan pendekar muda itu.

“Aku bersedia setiap saat!” sahut Baruna tegas.

“Bagaimana denganmu, Kumbara?” tanya Rangga tanpa bermaksud mengecilkan kehadiran Kumbara.

“Yaaah..., paling-paling aku hanya bisa jadi penonton,” sahut Kumbara tanpa merasa berkecil hati.

“Kau bisa melakukan sesuatu, Kumbara,” kata Baruna.

“Apa yang bisa aku lakukan?”

“Kau temui Ki Ampar. Aku tahu kalau Ki Ampar tidak pernah membencimu. Katakan padanya kalau aku dan Pendekar Rajawali Sakti akan memorak-porandakan kejayaan Raden Glagah. Katakan pada Ki Ampar agar secepatnya menyusun kekuatan untuk membantu kami,” kata Baruna memberi tugas.

“Tugasmu kelihatannya lebih berat, Kumbara,” selak Rangga.

“Benar, karena kau pasti sulit meyakinkan penduduk,” sambung Baruna.

“Aku akan coba!” sahut Kumbara bersemangat.

“Bagus!” sambut Rangga tersenyum senang.

“Kapan kita mulai?” tanya Kumbara.

“Sebaiknya besok saja. Akan kuselidiki dulu kekuatan mereka,” sahut Baruna. “Sampai sekarang mereka belum tahu siapa Penyair Maut yang sebenarnya. Dengan demikian aku bisa bebas berkeliaran tanpa ada seorang pun yang mencurigai.”

“Kutunggu beritamu besok,” kata Rangga.

“Kalau begitu, aku kembali dulu. Matahari sudah terbit. Nenekku pasti sudah gelisah,” kata Baruna pamitan.

“Sampai besok, Baruna!” kata Kumbara.

“Kita pasti bisa membebaskan Komering Ilir dari tangan jahat!” sambut Baruna yakin.

“Tentu.”

*******************

Sementara itu, Nek Selong yang tidak tidur semalaman semakin gelisah karena cucunya belum juga pulang pagi begini. Perempuan tua itu membuka pintu rumahnya, dan seketika matanya membeliak lebar. Di depan rumahnya sudah berdiri Raden Glagah, empat saudara pengikut setianya, dan puluhan orang bersenjata golok.

“Nek Selong, apa cucumu ada di rumah?” tanya Naraka dengan suara yang berat dan kasar.

“Oh..., eh...,” Nek Selong tergagap, tidak dapat segera menjawab.

“Jawab, Nek Selong! Di mana Baruna!” bentak Carika.

“Dia..., dia...,” Nek Selong mulai menyadari keadaan. Dia jadi cemas karena Raden Glagah dan orang-orangnya langsung menanyakan Baruna.

“Dia tidak ada di rumah, bukan? Di mana?!” bentak Naraka lagi.

“Men..., mencari kayu di hutan,” jawab Nek Selong.

“Pagi-pagi begini? Aku lihat kayu bakarmu masih banyak,” Naraka tidak percaya.

Nek Selong tidak dapat memberi alasan lagi. Baruna memang tidak ada di rumah sejak semalam. Perasaan cemas mulai menjalari seluruh tubuhnya. Perempuan tua itu menyadari keadaannya. Perlahan-lahan ketenangan menjalari dirinya. Dia harus siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

“Karman...!” seru Naraka keras.

Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun datang terbungkuk-bungkuk.

“Katakan pada perempuan tua ini, apa yang kau lihat semalam!” tegas Naraka.

“Ampun, Gusti. Hamba.... melihat Baruna keluar dari rumah membawa bungkusan kain hitam, kemudian pergi ke dalam hutan. Hamba..., hamba mengikuti. Di sana dia mengganti pakaiannya, lalu kembali lagi ke desa dengan cepat. Selanjutnya hamba tidak tahu lagi, Gusti,” kata Karman takut-takut.

Nek Selong menatap laki-laki tua tetangganya itu. Hatinya bergolak dan darahnya mendidih mendengar penuturan Karman. Memang sudah diduga kalau cucunyalah yang selama ini membuat keresahan di dalam lingkungan kekuasaan Raden Glagah.

“Hhh...! Ternyata cucumu punya kebolehan juga, Nek Selong,” kata Raden Glagah sinis.

“Ampun, Raden. Hamba tidak tahu...,” kata Nek Selong masih berusaha menutupi. “Setahu hamba, Baruna tidak pemah belajar ilmu olah kanuragan.”

“Oh, ya? Lalu apa tujuanmu membawa Baruna setiap malam ke dalam hutan, lalu kembali menjelang fajar?” tetap sinis nada suara Raden Glagah.

Nek Selong tidak dapat menjawab. Terkejut juga dia mendengar kata-kata Raden Glagah. Sungguh tidak disangka kalau selama ini semua yang dilakukannya selalu mendapat perhatian dari Raden Glagah. Nek Selong masih bersikap waspada meskipun kelihatannya ketakutan setengah mati. Namun sinar matanya sudah tajam, lebih-lebih memandang Karman.

“Awas kepala, Nek Selong...!” tiba-tiba Naraka membentak keras.

Seketika itu juga dicabut senjatanya dan dikibaskannya cepat ke arah kepala Nek Selong. Sesaat perempuan tua itu terkesiap. Dengan gerakan sedikit, ditarik kepalanya ke belakang. Tebasan Naraka lewat di depan wajahnya.

“Bagus...!” dengus Raden Glagah. “Rupanya kau punya isi juga, perempuan tua!”

Nek Selong mengumpat dalam hati. Rupanya serangan Naraka hanya bersifat mencoba saja. Nek Selong menyadari kalau kedoknya sudah terbuka sekarang. Tiba-tiba saja perempuan tua itu melesat ke atas, dan menjebol atap rumahnya.

“Hiyaaa...!”

Raden Glagah langsung melentingkan tubuhnya ke atas, dan cepat mengirimkan dua pukulan beruntun. Nek Selong memutar tubuhnya menghindari pukulan yang mengandung tenaga dalam sangat tinggi itu, kemudian dengan manis mendarat di tanah, tepat pada lingkaran orang-orang Raden Glagah. Pada saat yang sama, Raden Glagah juga mendarat dengan manis.

“Tidak kusangka! Ternyata di daerah kekuasaanku ada tikus yang menggerogoti lumbungku,” kata Raden Glagah sinis.

“Kau yang menggerogoti lumbung kami, perampok busuk!” dengus Nek Selong tidak lagi berbasa-basi.

“Ha ha ha...!” Raden Glagah tertawa terbahak bahak.

“Biarkan kami yang membereskan perempuan tua laknat itu, Raden,” kata Naraka.

“Hm...,” Raden Glagah bergumam, kemudian melangkah mundur dua tindak.

Naraka dan ketiga adiknya melompat ke depan. Empat bersaudara itu segera mengepung dari empat jurusan. Nek Selong memutar tubuhnya perlahan-lahan. Matanya tajam menatap satu-persatu orang yang mengepungnya. Gerahamnya bergemeletuk saat matanya menatap Karman.

“Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Nek Selong berteriak keras, dan tangannya bergerak cepat mengebut ke arah Karman. Sebuah pisau kecil keperakan melesat cepat bagaikan kilat. Pisau itu tidak terbendung lagi, kontan menghunjam dada Karman.

“Aaa...!” Karman memekik keras.

Belum sempat semua orang menyadari, tahu-tahu Nek Selong sudah melompat menerjang Naraka. Tentu saja Naraka terkesiap. Namun dengan cepat dia melompat mundur ke belakang sambil mengibaskan senjatanya ke depan. Nek Selong melentingkan tubuhnya sambil mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah Carika.

“Hup!”

Carika membanting tubuhnya ke tanah, dan kakinya terangkat mengirimkan satu tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Nek Selong kembali melentingkan tubuhnya. Kali ini yang jadi sasaran adalah Mandaka. Tapi belum sempat menerjang saudara bungsu itu, Naraka sudah melompat sambil mengibaskan senjatanya.

“Hyaaa...!”

“Uts!”

Nek Selong mengurungkan serangannya. Diputar tubuhnya menghindari tebasan senjata Naraka. Dan begitu kakinya menjejak tanah, satu serangan cepat dilancarkan ke arah dada Naraka. Namun pada saat itu, Balika menerjang sambil mengayunkan senjatanya. Nek Selong segera menarik serangannya pada Naraka, dan memutar tubuhnya memapak serangan Balika.

Pada saat itu, Carika melompat sambil mengibaskan goloknya ke arah pinggang. Nek Selong tidak mampu lagi berkelit. Senjata Carika merobek pinggangnya cukup lebar. Darah pun mengucur tanpa dapat dibendung lagi. Nek Selong terhuyung-huyung dengan tangan kanan menekap luka pada pinggangnya.

“Huh!” Nek Selong mendengus.

“Ha ha ha...!” Raden Glagah tertawa terbahak-bahak.

Pada saat itu, hampir seluruh penduduk Desa Komering Ilir sudah berkerumun pada jarak yang cukup jauh. Mereka ingin menyaksikan Nek Selong mempertahankan nyawanya dari orang-orang Raden Glagah. Tak dapat dikatakan, bagaimana air muka mereka pada saat itu. Tapi Ki Ampar yang berada di antara mereka, memandang Nek Selong dengan sinar mata penuh iba dan hati bergetar.

“Bunuh dia!” seru Raden Glagah keras.

Seketika itu juga empat bersaudara berlompatan menyerang Nek Selong dari empat arah.

Perempuan tua itu memutar tubuhnya cepat. Kedua tangannya terentang lebar. Dan pada tangannya terlihat seberkas cahaya keperakan. Nek Selong memutar tubuhnya cepat, sehingga yang terlihat hanya bayangan tubuhnya yang berputar bagai gasing.

Trang! Trang!

Terdengar senjata beradu. Tampak Naraka dan Carika terpental. Sedangkan Balika dan Mandaka serempak melompat mundur. Naraka dan Carika terperanjat begitu melihat senjatanya terpenggal jadi dua bagian. Sementara Nek Selong sudah berdiri tegak. Tangan kanan dan kirinya menggenggam pedang pendek berwarna keperakan. Pedangnya sangat tipis, dan bentuk serta ukurannya serupa seperti yang dimiliki Baruna.

“Setan belang! Kau tangguh juga rupanya, perempuan edan!” geram Raden Glagah.

“Hhh...!” Nek Selong hanya mendengus saja.

“Mampus kau! Hiyaaa...!”

Raden Glagah tidak bisa lagi menyimpan kemarahannya. Bagaikan kilat, diterjangnya perempuan tua itu sambil menghunus pedangnya. Nek Selong mengangkat senjatanya memapak tusukan pedang Raden Glagah, sedangkan senjata di tangan kirinya ditusuk ke arah perut.

Raden Glagah menggenjot tubuhnya ke atas, dengan pedangnya dibenturkan pada senjata di tangan Nek Selong. Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, kaki Raden Glagah berputar cepat ke arah dada. Nek Selong terkesiap sesaat. Buru-buru ditarik mundur tubuhnya. Namun Raden Glagah malah berputar di udara, dan tangan kirinya menghajar punggung Nek Selong.

“Akh!” Nek Selong memekik tertahan.

Tubuhnya terdorong keras ke depan. Tepat pada saat itu, Mandaka melompat sambil menusukkan senjatanya ke depan. Saat itu Nek Selong tidak mungkin lagi bisa berkelit. Ujung senjata Mandaka kontan menancap di dadanya hingga tembus ke punggung. Nek Selong menjerit melengking tinggi. Tapi pada saat yang sama, ditusukkan pedang tipisnya ke tubuh Mandaka sebelum orang itu sempat melompat mundur.

“Aaa...!” Mandaka menjerit melengking.

Sesaat dua orang itu masih berdiri tegak dengan tangan memegangi tangkai senjata masing-masing yang terbenam di tubuh lawan masing-masing. Dengan sisa tenaganya, Nek Selong mengayunkan senjata yang sebuah lagi dan ditancapkan ke leher Mandaka.

Beberapa saat kemudian, tubuh mereka ambruk dan menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari tubuh yang tertancap senjata lawan masing-masing. Naraka dan kedua adiknya terkejut melihat saudara bungsu mereka tewas bersama dengan Nek Selong. Kalau saja Raden Glagah tidak segera mencegah, mungkin tubuh Nek Selong hancur kena amukan tiga bersaudara itu. Mereka hanya bisa memandang dengan sinar mata sukar diartikan dengan kata-kata.

“Tinggalkan tempat ini!” perintah Raden Glagah.

Dua orang bergegas menggotong tubuh Mandaka. Raden Glagah melompat ke punggung kudanya yang dibawa seorang anak buahnya. Tiga bersaudara pengikut setianya juga segera naik ke punggung kudanya masing-masing. Tanpa ada yang berkata-kata, segera ditinggalkan tempat itu. Membiarkan saja tubuh Nek Selong menggeletak tidak bernyawa lagi.

Pada saat itu, dari kerumunan orang-orang, melesat sesosok tubuh hitam yang langsung menyambar tubuh Nek Selong. Begitu cepatnya melesat, sehingga tidak ada yang menyadari kalau tubuh Nek Selong sudah lenyap dari pandangan mata. Rombongan Raden Glagah yang belum jauh meninggalkan tempat itu, juga sempat melongo.

“Setan belang...!” geram Raden Glagah yang menyaksikan kejadian itu.

“Dia pasti Baruna!” dengus Naraka.

“Kejar! Bunuh keparat itu!” perintah Raden Glagah.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Naraka dan kedua adiknya segera menggebah kudanya ke arah bayangan hitam itu melesat pergi sambil membawa Nek Selong yang sudah tidak bernyawa lagi. Dua puluh orang bersenjata golok, mengikutinya dari belakang. Sedangkan Raden Glagah segera memacu kudanya kembali menuju ke istananya. Masih ada sekitar tiga puluh orang lagi pengikutnya yang kini bersamanya kembali ke satu-satunya bangunan besar di Desa Komering Ilir.

Para penduduk Desa Komering Ilir segera masuk kembali ke dalam rumah mereka masing-masing. Sementara Ki Ampar dan beberapa orang tua serta sebagian anak mudah masih tetap berkumpul. Ki Ampar berkata sesuatu dengan singkat. Kemudian, mereka yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu, bergegas berjalan mengikuti Ki Ampar. Entah apa yang mereka rencanakan.

*******************

DELAPAN

Rangga dan Kumbara terkejut melihat Baruna datang tiba-tiba. Tangannya membopong seseorang yang berlumuran darah dengan golok tertanam dalam di dadanya. Baruna langsung jatuh berlutut begitu sampai di depan Pendekar Rajawali Sakti dan si Penyair itu. Tubuh di dalam pondongannya jatuh menggeletak di depannya.

“Nek Selong...!” seru Kumbara tersentak begitu mengenali perempuan tua yang jatuh dari pondongan Baruna.

“Apa yang terjadi?” tanya Rangga.

“Mereka mengeroyok nenekku...,” sahut Baruna tersendat.

“Biadab!” desis Kumbara.

“Aku memang yang salah, tidak mendengar peringatannya. Nenek sudah memperingatkan aku...,” rintih Baruna lirih.

“Maafkan aku, Nek....”

“Baruna, tidak ada gunanya kau menangis. Nenekmu tidak akan kembali lagi dengan hanya menangis,” kata Rangga mencoba menghibur.

“Semua kesalahanku, Rangga. Aku yang bersalah...!”

“Tidak, Baruna! Kau tidak bersalah. Kau tengah berjuang, dan perjuangan itu membutuhkan korban. Nenekmu meninggal karena mendukung perjuanganmu. Seharusnya kau bangga, bukan malah menangisinya macam anak kecil,” kata Rangga membangkitkan semangat pemuda itu kembali.

“Oh, Nek...”

“Hapus air matamu, Baruna. Kita harus menguburkan dulu nenekmu, kemudian menghancurkan Raden Glagah,” kata Rangga lagi.

“Mereka memang harus dihancurkan! Mereka harus menebus kematian nenekku!” kata Baruna menggeram marah.

“Jangan nodai kesucian perjuanganmu dengan dendam, Baruna. Tekadkan dirimu untuk membela kebenaran dan keadilan. Singkirkanlah kemarahan dan dendam dari hatimu. Perjuanganmu suci, dan Yang Maha Kuasa akan merestui perjuanganmu. Tidak sepantasnya perjuangan ini kau nodai dengan api dendam dan amarah,” kata-kata Rangga meluncur bagai air yang menyejukkan hati yang panas.

“Rangga..., begitu luhur jiwamu,” desah Baruna.

“Bangkitlah. Tekadkan kembali hatimu dalam perjuangan yang suci,” kata Rangga lagi membangkitkan semangat pemuda itu.

“Maafkan aku, Rangga.”

“Ah, sudahlah. Mari kita kuburkan nenekmu.”

Baruna kembali bangkit berdiri sambil mengangkat tubuh neneknya tercinta. Sementara Kumbara dan Rangga melangkah mendekati sebuah pohon yang cukup besar dan rindang. Mereka kemudian menggali lubang di bawah pohon itu. Baruna meletakkan neneknya di tempat yang teduh, kemudian membantu kedua sahabatnya itu menggali lubang untuk peristirahatan neneknya yang terakhir. Mereka bekerja tanpa berkata-kata. Lebih-lebih Baruna. Sepertinya dia tidak pernah merasa lelah, dan terus menggali sampai mendapatkan kedalaman yang cukup.

Mereka mengubur Nek Selong dengan khidmat dan penuh haru. Tak ada yang membuka suara sedikit pun. Sementara cahaya matahari terasa redup, seolah-olah turut berduka atas kematian perempuan tua yang malang, demi membela cucu satu-satunya. Sampai selesai mereka menguburkan Nek Selong, masih tidak ada yang membuka suara. Baruna terlihat berdiri kaku di samping pusara yang masih baru itu. Pandangannya tidak berkedip menatap batu nisan.

“Aku janji, pengorbanan ini tidak akan sia-sia,” kata Baruna mendesis pelan.

“Baruna...!” tiba-tiba Rangga menyentuh bahunya.

Baruna menoleh, lalu kepalanya dimiringkan sedikit ke kiri. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti memandang lurus ke arah barat. Sementara Kumbara hanya memperhatikan saja dengan sinar mata tidak mengerti.

“Itu pasti mereka!” desis Baruna.

“Tunggu saja di sini,” kata Rangga.

“Bagaimana dengan aku?” tanya Kumbara.

Mereka seperti baru teringat kalau Kumbara tidak mengerti ilmu olah kanuragan sama sekali. Sesaat Baruna dan Rangga saling berpandangan. Dan belum lagi mereka mendapatkan kata sepakat, dari arah barat muncul beberapa orang berkuda yang langsung menuju ke tempat itu.

“Mau apa kalian datang ke sini?” bentak Baruna begitu Naraka, Carika, Balika, serta beberapa orang pengikutnya sudah dekat di depannya.

“Jangan berlagak bodoh, Baruna. Aku tahu kau adalah si Penyair Maut yang telah meresahkan seluruh penduduk Desa Komering Ilir!” bentak Naraka.

“Kalian yang telah membuat sengsara seluruh penduduk desa! Kalian perampok! Seharusnya kalian yang enyah dari Desa Komering Ilir!” balas Baruna sengit.

“Ha ha ha...!” Naraka tertawa terbahak-bahak.

“Gembel busuk sudah berani bertingkah!” dengus Carika.

“Hajar mereka!” perintah Balika.

Puluhan orang yang berada di belakang tiga bersaudara itu langsung melompat dari punggung kudanya masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi mereka segera menyerang dengan senjata terhunus. Baruna tidak lagi berlaku sungkan-sungkan. Langsung dikeluarkan senjatanya berupa pedang pendek kembar tipis, yang selalu tersembunyi di balik lengan bajunya.

Baruna mengamuk bagaikan banteng terluka. Pedangnya berkelebatan cepat menyambar setiap orang yang mendekatinya. Sementara Rangga tidak luput dari serangan orang-orang itu. Dia bertarung sambil melindungi Kumbara yang tidak bisa berbuat apa-apa. Pekik pertempuran bergema ditingkahi dengan jerit kematian saling susul. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan bersimbah darah.

Tiga saudara yang menyaksikan orang-orangnya tidak akan mampu menghadapi dua orang yang memiliki kepandaian tinggi itu langsung melompat turun dalam kancah pertempuran. Naraka dan Carika mengeroyok Baruna, sedangkan Balika menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.

“Hmmm..., aku harus selalu mendekati Kumbara. Kelihatannya dia memang tidak bisa ilmu olah kanuragan,” gumam Balika yang mulai mendapatkan titik kelemahan lawannya.

Balika segera mengarahkan serangannya ke arah Kumbara yang selalu berada di belakang Rangga. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti terpecah perhatiannya. Di satu pihak harus menghadang setiap gempuran penyerangnya, sedangkan di pihak lain harus melindungi Kumbara dari serangan Balika.

“Hhh! Rupanya dia tahu kalau Kumbara tidak bisa bertarung,” dengus Rangga dalam hati.

Sret!

Rangga terpaksa mencabut pedang pusakanya. Seketika itu juga seberkas cahaya biru terpancar terang membuat semua orang yang mengurungnya terpana. Demikian juga dengan Balika. Sesaat dia tidak berbuat apa-apa, melihat pamor pedang yang begitu dahsyat dan dapat memancarkan cahaya biru berkilau menyilaukan mata.

“Yaaat...!”

Sambil berteriak keras melengking, Rangga cepat mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana. Hanya sekali kibas saja, lima orang menggeletak roboh tak bernyawa. Balika tersentak kaget. Buru-buru dia melompat mundur tiga tindak. Rangga menyilangkan pedangnya di depan dada. Dengan pedang Rajawali Sakti di tangan, Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan malaikat pencabut nyawa yang siap mengantarkan nyawa siapa saja ke neraka.

Cahaya terang yang memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti rupanya berpengaruh juga pada pertarungan Baruna. Mereka semua segera menghentikan pertarungannya, dan memandang Rangga dengan mata tidak berkedip. Hati mereka mendadak jadi bergetar melihat pamor pedang di tangan Rangga.

“Hup!”

Kesempatan ini dipergunakan Baruna untuk melompat ke samping Rangga. Dia memang sudah kewalahan menghadapi sekian banyak orang ditambah Naraka dan Carika yang memiliki ilmu cukup tinggi tingkatannya.

“Cepat, tinggalkan tempat ini! Sebelum berubah pikiranku!” bentak Rangga. Suaranya dingin menggetarkan.

Tiga bersaudara yang sudah berdiri berdampingan, saling berpandangan. Hati mereka merasa ciut juga melihat pamor pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Betapa tidak? Hanya satu kali gerakan tangan saja, lima orang kontan menggeletak tak bernyawa lagi. Dan cahaya pedang itu membuat mereka harus berpikir seribu kali untuk menghadapinya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ketiga saudara itu melompat naik ke punggung kudanya masing-masing. Namun mereka belum juga menggebah kudanya. Sementara orang-orang yang masih hidup, mulai bergerak mundur mendekati kudanya masing-masing. Hampir separuh dari mereka telah tewas dengan tubuh bersimbah darah.

“Kali ini kalian boleh menang, tapi aku belum kalah!” kata Naraka lantang.

Cring!

Rangga memasukkan kembali pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Seketika itu juga cahaya biru lenyap dari pandangan mata. Namun sikap Pendekar Rajawali Sakti itu masih kelihatan angker.

“Dan kau, Kisanak!” Naraka menunjuk Rangga. “Kau berhutang banyak nyawa!”

“Aku Pendekar Rajawali Sakti, akan datang mengusir majikanmu!” kata Rangga lantang.

Naraka memutar kudanya, diikuti kedua saudaranya. Pada saat ketiga bersaudara itu menggebah kudanya, sisa pengikutnya segera melompat naik ke punggung kudanya masing-masing, kemudian melarikannya cepat. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Di sampingnya Baruna dan Kumbara. Mereka memandangi kepergian orang-orang itu dengan mata tidak berkedip.

“Kenapa kau biarkan mereka pergi, Rangga?” tanya Baruna, setelah ketiga bersaudara dan anak buahnya tidak terlihat lagi.

“Mereka hanya kroco. Yang kita inginkan biangnya!” sahut Rangga tegas.

“Tapi mereka yang kejam. Terutama si Naraka itu!” balas Kumbara.

“Mereka berbuat kejam karena ada yang memerintah. Orang yang memerintah itulah yang harus dicari.”

“Raden Glagah terlalu tangguh, Rangga,” nada suara Baruna terdengar mengeluh.

“Aku yang akan menghadapinya. Orang yang tangguh tidak akan bersembunyi di balik ketiak orang lain! Percayalah! Raden Glagah tidak setangguh yang kalian duga,” balas Rangga meyakinkan.

“Terserah kau, Rangga. Aku masih sanggup menghadapi tiga bersaudara itu, tapi kalau menghadapi Raden Glagah..., rasanya belum mampu,” Baruna mengakui jujur.

“Kita lihat saja nanti, siapa yang unggul.”

“Aku percaya, kau pasti mampu menandingi Raden Glagah. Senjatamu sangat dahsyat! Kau pasti seorang pendekar yang sangat tangguh dan digdaya. Aku percaya padamu, Rangga,” kata Baruna.

“Terima kasih,” ucap Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan langkahnya. Kumbara dan Baruna mengikuti, dan mensejajarkan langkah di samping Rangga. Tak ada lagi yang bicara. Mereka tahu kalau arah yang dituju kini adalah Desa Komering Ilir. Hanya Kumbara yang kelihatannya gelisah. Dia sadar kalau akan menghadapi satu bahaya yang tidak pernah terbayangkan selama hidupnya.

“Kita ke Desa Komering Ilir?” tanya Kumbara agak bergetar suaranya. Dia tahu, tapi masih juga bertanya.

“Ya,” sahut Rangga seraya menoleh.

“Kenapa, Kumbara?” tanya Baruna.

“Tidak apa-apa,” sahut Kumbara cepat-cepat.

“Kau tidak perlu ikut bertarung, Kumbara. Kau cukup menunggu saja di rumah Ki Ampar,” kata Rangga tanpa bermaksud mengecilkan arti pemuda penyair itu.

“Aku memang tidak bisa apa-apa,” pelan suara Kumbara.

Belum juga Rangga membuka suara kembali, muncul Ki Ampar dan tiga puluh orang laki-laki. Mereka semuanya menunggang kuda. Rangga, Baruna, dan Kumbara menghentikan langkahnya. Ki Ampar segera turun dari kudanya begitu tiba di depan ketiga orang itu. Laki-laki tua itu membungkuk memberi hormat.

“Mereka melipatgandakan penjagaan, Den Rangga,” kata Ki Ampar memberi tahu tanpa diminta.

“Hm. Kalau begitu aku akan membuka jalan lebih dulu,” kata Rangga.

“Aku ikut!” seru Baruna.

“Baiklah,” Rangga tidak bisa menolak.

“Tolong, Ki. Jangan sampai mereka mengambil kesempatan mendekati Kumbara.”

“Jangan khawatir, Den,” sahut Ki Ampar.

Saat itu juga, Rangga melesat cepat bagaikan kilat. Baruna tidak mau ketinggalan. Langsung dilentingkan tubuhnya mengejar Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Ki Ampar memerintahkan penduduk desanya yang tidak menyukai Raden Glagah untuk segera mengikuti kedua orang pendekar itu. Dia kemudian membawa Kumbara ke desa melalui jalan lain.

*******************

Siang itu udara sangat panas, sepanas suasana di sebuah bangunan besar bagai istana di Desa Komering Ilir. Rangga mengamuk dengan pedang Rajawali Sakti di tangan. Cahaya biru berkelebatan cepat menyambar setiap orang yang coba-coba mendekatinya. Sementara Baruna menghadapi pengeroyoknya tidak kalah ganas.

Jerit dan pekik kematian berbaur menjadi satu dengan suara denting senjata beradu. Teriakan-teriakan keras pertempuran membahana. Api yang lama terpendam di Desa Komering Ilir, hari ini berkobar menyala. Desa yang semula tenang, kini bersimbah darah dari orang-orang serakah dan haus akan kedudukan serta harta benda dunia.

Rangga melentingkan tubuhnya ketika melihat tiga bersaudara tengah mengeroyok Baruna. Dan pada saat itu, Ki Ampar bersama penduduk Desa Komering Ilir yang merasa tidak senang terhadap tingkah perbuatan Raden Glagah dan pengikutnya, datang menyerbu. Mereka langsung terjun dalam kancah pertempuran membawa senjata bermacam ragam.

Naraka dan kedua adiknya terkejut, tapi tidak bisa berbuat banyak karena Pendekar Rajawali Sakti sudah menerjangnya. Mereka jumpalitan menghindari kibasan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau itu. Sedangkan Baruna semakin bersemangat, bertempur bagai singa terluka.

“Aaa...!” Balika menjerit keras ketika pedang Rangga membabat buntung tangannya.

Belum lagi Balika sempat melompat mundur, satu tendangan keras bertenaga dalam penuh menghunjam dadanya. Akibatnya, tubuhnya terpental jauh, dan langsung disambut oleh beberapa penduduk yang segera mencincangnya. Kematian Balika yang begitu tragis, membuat Naraka dan Carika semakin bergetar hatinya.

“Rangga! Biar mereka bagianku!” kata Baruna seraya melompat menerjang Naraka dan Carika.

Rangga tidak dapat lagi mencegah. Dimasukkan kembali pedang pusakanya. Matanya tajam meneliti setiap orang yang tengah bertempur di halaman depan rumah besar ini. Tatapan matanya tertumbuk pada seorang laki-laki berbaju putih yang melesat cepat ke atas atap.

“Hup!”

Pendekar Rajawali Sakti itu cepat melesat, dan hinggap dengan manis di atas atap. Laki-laki berwajah tampan mengenakan baju putih bersih itu terkesiap.

“Mau pergi ke mana, Raden Glagah?” tanya Rangga dingin suaranya.

“Phuih! Kau pikir aku takut menghadapimu?” dengus Raden Glagah seraya menyemburkan ludahnya.

“Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab atas segala perbuatanmu,” kata Rangga lagi.

“Aku belum kalah!”

“Lihat! Semua penduduk tidak ada lagi yang mendukungmu. Dan orang-orangmu tidak ada lagi yang bisa diandalkan. Mereka akan mampus jika tidak kau perintahkan mereka untuk berhenti melawan.”

“Biarkan mereka mampus semua, aku tidak peduli!”

“Kau terlalu tamak, Raden Glagah. Sadarlah, kejayaanmu sudah berakhir. Penduduk yang kau tekan selama ini, akan menentukan hukuman buatmu.”

“Jangan coba-coba mengguruiku, gembel busuk! Hiyaaa...!”

Raden Glagah segera melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Pukulan bertenaga dalam yang dilepaskan Raden Glagah lewat sedikit di samping tubuh Rangga. Secepat itu pula, tangan Rangga menyodok ke arah perut.

“Hup!”
Plak!

Raden Glagah menangkis sodokan itu dengan tangan kirinya, kemudian langsung memberikan satu tendangan menyamping yang keras dan cepat. Rangga mengibaskan tangannya menghalau tendangan itu ke samping, dan cepat mengangkat lututnya.

“Hugh!” Raden Glagah tidak bisa lagi menghindari hantaman lutut Pendekar Rajawali Sakti. Dia mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk sedikit.

Pada saat itu pula Rangga melayangkan pukulan keras ke wajah Raden Glagah. Pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam itu tidak bisa lagi dihindari. Raden Glagah memekik keras, dan kepalanya terdongak ke atas.

Namun dengan cepat dia melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Darah mengucur dari pelipis yang sobek. Dari mulutnya keluar darah segar. Raden Glagah menyeka darah yang mengalir dari mulutnya. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Phuih!”
Sret!

Raden Glagah mencabut pedangnya yang selalu tergantung di pinggang. Digerak-gerakkan pedangnya di depan dada, kemudian dia berteriak keras sambil melompat menerjang. Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari tusukan pedang Raden Glagah. Tangan kirinya cepat menghentak ke depan.

Plak!

Raden Glagah kembali memekik keras begitu tangan kiri Rangga menghantam pergelangan tangannya. Buru-buru ditarik kembali pedangnya. Tapi belum juga benar-benar menarik pulang senjatanya, Rangga mengangkat tangan kanannya, dan menjepit pedang itu dengan dua jari.

“Hih!”

Raden Glagah berusaha mencabut pedangnya dari jepitan jari tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun meskipun telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, pedangnya tidak bergeming sedikit pun. Seluruh paras wajahnya memerah, karena seluruh tenaga dalamnya telah dikerahkan sampai batas kemampuan yang dimilikinya.

“Hiya...!”

Rangga menghentakkan tangan kanan sambil membuka jepitannya. Raden Glagah tersentak kaget, dan tubuhnya terdorong keras ke belakang. Tanpa dapat dicegah lagi, Raden Glagah meluruk deras ke bawah. Saat itu juga Rangga melesat mengejar, dan kakinya bergerak cepat menghantam dada laki-laki yang masih kelihatan muda itu.

“Akh!” Raden Glagah menjerit keras.

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Raden Glagah menghantam tanah dengan keras. Beberapa kali dia bergulingan, lalu cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Namun berdirinya sudah tidak sempurna lagi. Beberapa kali dia hampir jatuh terguling, tapi tetap berusaha berdiri.

“Setan! Kubunuh kau, keparat...!” geram Raden Glagah.

Dua kali Raden Glagah menyemburkan ludahnya yang kental. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Raden Glagah berlari cepat sambil menusukkan pedangnya ke depan. Rangga berdiri tegak menanti serangan laki-laki itu. Dan pada saat ujung pedang Raden Glagah hampir menyentuh dadanya.

“Hap!”
Tap!

Rangga menjepit ujung pedang itu dengan kedua telapak tangannya. Raden Glagah berusaha menarik pedangnya sekuat tenaga, tapi tubuhnya malah bergetar hebat. Bahkan kini tulang-tulang tangannya seperti rontok.

Pada saat itu, terlihat Kumbara berlari sambil membawa golok. Dengan satu teriakan keras, dihantamkan golok itu ke punggung Raden Glagah.

“Kumbara, jangan!” seru Rangga terkejut.

Tapi peringatan Rangga terlambat. Golok itu membelah punggung Raden Glagah sangat dalam. Dan sekali lagi Kumbara menghantamkan goloknya ke kepala laki-laki yang telah menyengsarakan hidupnya selama ini. Raden Glagah menjerit melengking tinggi. Darah muncrat dari luka-luka akibat bacokan Kumbara.

Rangga melepaskan jepitannya pada pedang Raden Glagah. Seketika itu juga, laki-laki yang masih kelihatan muda meskipun usianya sudah mencapai lebih dari lima puluh tahun itu menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari luka-luka di tubuh dan kepalanya.

“Mampus kau, keparat...!” jerit Kumbara keras.

“Aaa...!” Raden Glagah menjerit melengking.

Golok di tangan Kumbara menghunjam dalam di dada Raden Glagah. Kumbara berlutut di samping tubuh Raden Glagah yang tidak bergerak-gerak lagi. Tangan Kumbara bergetar melepaskan golok yang berlumuran darah. Rangga menghampiri dan menepuk pundaknya.

“Aku sudah membunuhnya...,” lirih dan bergetar suara Kumbara.

“Kumbara,” pelan suara Rangga.

Kumbara bangkit berdiri dan berbalik menghadap pada Pendekar Rajawali Sakti. Tangannya yang berlumuran darah bergetar hebat. Tubuhnya menggigil bagai terserang demam. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya bergetar seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu.

“Aku..., aku belum pernah membunuh...,” kata Kumbara gemetar.

“Kau tidak membunuh, Kumbara. Kau melenyapkan keangkaramurkaan,” kata Rangga.

“Tapi....”
“Aku mengerti perasaanmu, Kumbara. Tapi kau bukan pembunuh! Semua yang kau lakukan adalah benar. Bukan manusia yang kau bunuh, tapi keangkaramurkaan,” kata Rangga mencoba menenangkan hati penyair muda itu.

Sementara itu pertarungan berhenti seketika dengan tewasnya Raden Glagah. Sisa anak buah Raden Glagah serentak menyerah. Sedangkan Baruna sudah menyelesaikan pertarungannya melawan Naraka dan Carika. Tubuh dua bersaudara itu sudah tidak lagi berbentuk, karena dicincang penduduk yang meluapkan dendam yang terpendam di hati mereka.

“Yang Maha Agung, ampunilah segala dosa-dosaku...,” rintih Kumbara lirih.

Kumbara membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat yang seharusnya menjadi miliknya. Rangga memandangi sesaat, lalu melangkah mengejar Kumbara. Disejajarkan langkahnya di samping pemuda yang tengah dirundung kekalutan di hatinya. Kumbara memang seorang pemuda yang sangat polos, dan bersih dari gelimang darah. Hatinya begitu terpukul setelah menyadari bahwa dirinya telah membunuh orang, meskipun orang itu memang pantas menerima ganjarannya.

“Kumbara...,” Rangga berusaha bicara.

“Biarkan aku pergi, Rangga,” selak Kumbara tegas.

“Kau akan pergi ke mana?” tanya Rangga.

“Ke mana saja aku melangkah bersama bait-bait syairku,” sahut Kumbara terus saja berjalan.

Rangga menghentikan langkahnya, sedangkan Kumbara terus berjalan tanpa menoleh lagi. Terdengar alunan bait-bait syair bernada lirih mengiringi langkahnya. Semua penduduk Desa Komering Ilir yang selama ini membencinya, hanya bisa memandang dengan hati diliputi perasaan bersalah.

Rangga menarik napas panjang. Hatinya begitu tersentuh melihat sikap Kumbara. Belum pernah dilihat sebelumnya orang yang begitu merasa bersalah ketika pertama kali menewaskan orang. Dan Rangga sendiri tidak tahu, apakah kehidupan yang dijalani selama ini salah atau benar. Kehidupan yang keras, dan selalu bergelimang darah.

“Hhh...! Aku seorang pendekar. Hanya di ujung pedanglah keadilan dan keangkaramurkaan bisa tegak dan tertumpas,” desah Rangga dalam hati.

Setelah mengambil keputusan, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat cepat bagaikan kilat. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan lenyap saja. Dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti pergi untuk menunaikan tugasnya kembali, memerangi keangkaramurkaan. Tentu dengan mengembara, menjelajah rimba persilatan yang keras.


SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA SEPASANG RAJAWALI