Kemelut Pusaka Leluhur - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Kemelut Pusaka Leluhur


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

SATU rombongan berjumlah sebelas orang berkuda berpacu cepat meninggalkan debu yang mengepul di udara. Dilihat dari seragam yang dikenakan, sebelas orang berkuda itu bisa dikenali asalnya. Mereka adalah prajurit dan seorang Panglima Kerajaan Karang Setra. Tampak penunggang kuda paling depan adalah Panglima Bayan Sudira. Salah seorang prajurit yang berkuda di belakang Panglima Bayan Sudira, menuntun seekor kuda hitam legam.

Rombongan prajurit Karang Setra itu jelas menuju Kerajaan Jiwanala yang terletak di pesisir pantai sebelah Timur. Tampaknya mereka telah menempuh perjalanan begitu jauh. Ini terlihat dari wajah-wajah yang letih dan pakaian berdebu. Kuda yang mereka tunggangi pun mendengus-dengus kelelahan.

"Hooop... !" Panglima Bayan Sudira tiba-tiba mengangkat tangan sambil menghentikan laju kudanya.

Sepuluh orang prajurit yang mengikutinya serentak berhenti. Pandangan Panglima Bayan Sudira tidak lepas ke arah jalan di depannya. Tampak sebuah pohon yang cukup besar roboh melintang menghalangi jalan.

"Hm...," gumam Panglima Bayan Sudira pelan.

Pohon besar itu seperti baru saja tumbang. Daun-daunnya masih lebat dan hijau. Walaupun tampaknya masih begitu kokoh, tapi tumbangnya sampai ke akar. Pohon sebesar itu memang bisa saja roboh kalau terjadi badai yang sangat dahsyat. Tapi sekitarnya tampak tenang, dan tidak ada tanda-tanda bekas terlanda badai. Pohon-pohon lain di sekitarnya tampak masih kokoh berdiri.

Panglima Bayan Sudira jadi curiga melihat keadaan yang ganjil ini. Diisyaratkan pada prajuritnya untuk waspada. Panglima Karang Setra itu segera melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu indah dan ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Perlahan-lahan dihampiri pohon yang tumbang menghadang jalan itu.

Belum juga sampai ke pohon itu, mendadak sebatang tombak meluncur deras ke arahnya. Panglima Bayan Sudira melentingkan tubuhnya ke belakang, sehingga tombak itu hanya menancap tanah Padahal dia tadi berdiri di situ. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak....

"Ha ha ha...!"

Terdengar suara tawa menggelegar memekakkan telinga, seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin Jelas kalau suara itu dibarengi penyaluran tenaga dalam yang cukup tinggi Semakin lama suara itu semakin menyakitkan telinga. Para prajurit yang berjumlah sepuluh orang, mulai merasakan akibatnya.

"Hih!"

Panglima Bayan Sudira menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Pada saat yang sama, tiga prajurit yang berada di belakangnya sudah menggelepar sambil berteriak-teriak Dari mulut, hidung, dan telinga mereka keluar darah. Pengaruh suara tawa itu sangat luar biasa.

"Yaaah.. . !"

Tiba-tiba saja Panglima Bayan Sudira memekik keras sambil memutar tubuhnya cepat. Kedua tangannya direntangkan ke samping. Suara teriakannya demikian keras dan menggelegar. Bersamaan dengan itu bertiup angin kencang bagai terjadi badai topan. Panglima Bayan Sudira mengerahkan aji 'Bayu Badai' satu ajian yang sangat dahsyat.
Ajian itu memang sangat ampuh dan dahsyat. Buktinya suara tawa itu mendadak berhenti. Seketika Panglima Bayan Sudira juga menghentikan ajiannya. Dia tidak ingin para prajuritnya terlempar akibat hempasan badai yang diciptakannya.

Para prajurit Karang Setra yang tadi bergelimpangan, mulai dapat bangkit kembali. Napas mereka tersengal dengan tubuh lunglai dan darah masih mengucur dari hidung. Panglima Bayan Sudira berdiri tegak sambil memasang mata tajam untuk mengawasi sekitarnya. Pendengarannya dipasang tajam. Tapi suasana begitu hening, bahkan angin pun seolah-olah enggan bertiup.

"Waspadalah kalian," ujar Panglima Bayan Sudira memperingatkan.

­Sepuluh orang prajurit Karang Setra itu mencabut pedangnya masing-masing. Mereka bergerak mendekati panglimanya, dan berhenti di belakang laki-laki setengah baya itu.

"Siapa kau? Keluar...!" teriak Panglima Bayan Sudira keras.

Sepi.... Tak terdengar suara sedikit pun. Panglima Bayan Sudira memerintahkan para prajuritnya untuk mengambil kuda. Dua orang prajurit bergegas menghampiri kuda mereka yang tetap tenang merumput, seperti tidak menghiraukan kejadian yang tengah berlangsung terhadap majikannya.

"Awas...!" seru Panglima Bayan Sudira tiba-tiba.

Saat itu dua batang tombak melesat cepat bagai kilat ke arah dua prajurit yang tengah menghampiri kuda-kudanya. Dua orang prajurit itu terperangah sesaat. Kemudian, dengan gerakan cepat, dikibaskan pedangnya untuk menangkis tombak itu.

Trang! Trang!
"Akh...!"

Dua orang prajurit itu terpekik hampir bersamaan. Pedang mereka terlempar jauh begitu menangkis lemparan tombak tadi. Panglima Bayan Sudira segera melompat ke depan prajurit yang terhuyung ke belakang beberapa langkah seraya memegangi tangannya.

"Gusti...," salah seorang prajurit merintih lirih.

"Kenapa tanganmu?" tanya Panglima Bayan Sudira.

"Orang itu berilmu sangat tinggi. Tangan hamba ­seperti mati," sahut prajurit itu.

"Hm...," Panglima Bayan Sudira mengerutkan alisnya. Sebentar diperiksanya tangan kedua prajurit itu. Tidak ada yang terluka, hanya aliran darahnya terasa begitu cepat. Itu pertanda kalau baru saja menerima hentakan tenaga dalam yang cukup tinggi tingkatannya. Seorang prajurit lain menghampiri. Diserahkan pedang temannya yang tadi terlempar.

Panglima Bayan Sudira memberi isyarat pada para prajuritnya untuk naik ke punggung kudanya masing-masing. Prajurit yang berjumlah sepuluh orang itu bergegas melompat naik ke punggung kudanya. Tapi baru saja berada di atas punggung kuda, tiba-tiba terdengar kembali suara tawa terbahak-bahak. Bahkan kini disusul dengan munculnya seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun.

Pemuda itu berdiri tegak di atas pohon yang tumbang menghalangi jalan. Di tangannya tergenggam sebatang tombak panjang berwarna merah, sama dengan warna pakaian yang dikenakannya Ujung atas tombak itu berbentuk bulan sabit berwarna kuning keemasan. Sungguh berbeda dengan tombak-tombak pada umumnya.

"Masih ingat denganku, Bayan Sudira?" dingin dan datar suara pemuda itu.

"Kumbang Merah...," desis Panglima Bayan Sudira.

­"Ha ha ha...!"

"Hebat! Kau sekarang jadi panglima, Bayan Sudira. Tapi sayang. prajuritmu kurang tangguh untuk sebuah kerajaan besar seperti Karang Setra," kata Kumbang Merah sinis.

"Terima kasih. Tapi mereka sudah mampu menangkis seranganmu," jawab panglima Bayan Sudira tidak kalah sinisnya.

"Ha ha ha...! Kalau aku mau. hanya sekedipan mata saja mereka sudah mati!"

Panglima Bayan Sudira merentangkan tangannya mencegah prajuritnya yang tak tahan mendengar ejekan itu. Sepuluh orang prajurit Karang Setra itu tidak jadi bergerak. Meskipun mereka sudah turun kembali dari punggung kudanya, tapi belum ada yang menarik pedangnya kembali keluar.

"Kumbang Merah, apa maksudmu menghadang perjalananku?" tanya Panglima Bayan Sudira lantang.

"Aku hanya ingin memperingatkanmu, Bayan Sudira Perjalananmu ke Jiwanala hanya sia-sia saja. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa di sana!" sahut Kumbang Merah juga lantang.

"Bukan urusanmu, Kumbang Merah!”

"Urusanku juga jika kau bersikeras tetap ingin ke Jiwanala."

"He...! Kenapa kau melarangku ke sana?"

Kumbang Merah tidak menjawab, tapi hanya melompat turun dari pohon tumbang yang dipijaknya. Gerakannya sungguh ringan dan indah. Sepasang kakinya menjejak tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Jelas kalau tingkat kepandaiannya sukar diukur.

"Hebat! Rupanya kau mengalami kemajuan yang sangat pesat, Kumbang Merah," puji Panglima Bayan Sudira.

"Sepuluh tahun aku mempersiapkan diri. Dan semua itu hanya untukmu, Bayan Sudira!"

Setelah berkata demikian, Kumbang Merah melompat cepat bagaikan seekor macan menerkam mangsanya. Begitu cepat terjangannya, sehingga membuat Panglima Bayan Sudira sempat terperangah. Namun dengan cepat pula Panglima Karang Setra itu menggeser kakinya ke kanan sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

"Hait!"

Kumbang Merah mengibaskan tongkatnya menyampok tangan Panglima Bayan Sudira, namun luput. Ternyata Panglima Bayan Sudira lebih cepat menarik tangannya kembali. Dan belum lagi Kumbang Merah bisa menarik pulang tombaknya, Panglima Bayan Sudira telah lebih dulu mengirimkan satu tendangan kilat menggunakan kaki kanannya.

"Hegh...!"

Tendangan cepat dan tidak terduga itu mendarat tepat di pinggang Kumbang Merah, dan membuatnya mengeluh pendek. Kumbang Merah bergegas menarik kakinya mundur beberapa langkah. Bibirnya meringis menahan sakit, akibat tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Dan pada saat itu, Panglima Bayan Sudira sudah kembali mengirimkan pukulan beberapa kali dengan cepat.

"Hiya! Hiyaaa...!"
"Hap! Yaaat...!"

Kumbang Merah berkelit mengegoskan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, menghindari pukulan beruntun yang dilepaskan laki-laki pemimpin seluruh prajurit Karang Setra itu Pada saat pukulan panglima itu terhenti sebentar, dengan cepat ditusukkan tombaknya. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan Kumbang Merah untuk balas menyerang.

Namun Panglima Bayan Sudira bukanlah hanya sebuah nama kosong. Tusukan tombak berujung bulan sabit keemasan itu dengan mudah dapat dihindarkan. Tubuhnya dimiringkan ke kanan, lalu tangan kanannya disodokkan ke arah dada lawan.

"Hait...!"

Kumbang Merah buru-buru menarik tongkatnya pulang, dan cepat melompat mundur. Dihentakkan ujung tombaknya ke tanah kuat-kuat Pandangan matanya tajam menusuk ke bola mata Panglima Bayan Sudira yang sudah merendahkan tubuh, dengan kedua tangannya menyilang di depan dada Sedangkan Kumbang Merah hanya berdiri tegak, dan tombaknya tegak lurus di samping.

"Sayang sekali. Saat ini aku tidak punya waktu banyak untukmu. Tapi aku tetap akan mencarimu. Bayan Sudira," jelas Kumbang Merah, datar nada suaranya.

­"Hm...," Panglima Bayan Sudira hanya bergumam kecil, sambil berdiri tegak.

"Sekali lagi kuperingatkan padamu! Jangan coba-coba memasuki wilayah Kerajaan Jiwanala!"

Setelah berkata demikian, Kumbang Merah melesat cepat dan hilang seketika. Panglima Bayan Sudira tidak sempat lagi berkata-kata. Dia pun berbalik dan melangkah menghampiri kudanya yang dipegangi seorang prajurit. Tanpa berkata sedikit pun, Panglima Bayan Sudira melompat naik ke punggung kudanya.

Sepuluh orang prajurit segera naik ke punggung kuda masing-masing setelah menyarungkan kembali pedangnya, tapi belum juga menggebahnya.

"Gusti Panglima..." salah seorang prajurit yang berada di samping kanannya menegur.

"Kita tetap ke Kerajaan Jiwanala," kata Panglima Bayan Sudira tegas.

"Baik, Gusti Panglima!" jawab sepuluh prajurit itu serempak.

Rombongan kecil Kerajaan Karang Setra itu bergerak menuju ke Kerajaan Jiwanala. Mereka melompati pohon besar yang menghalangi jalan tembus ke kerajaan itu. Mereka memang menggunakan kuda-kuda pilihan, sehingga tidak mengalami kesukaran melompati rintangan itu. Rombongan kecil ini memang juga terdiri dari prajurit pilihan yang mempunyai kemampuan ilmu olah kanuragan tidak rendah.

Mereka terus menggebah kudanya agar berpacu lebih kencang. Saat itu hari sudah menjelang senja. ­Matahari sudah condong ke arah Barat. Udara di sekitarnya semakin terasa dingin. Namun Panglima Bayan Sudira dan sepuluh prajuritnya tetap bergerak cepat tanpa menghiraukan kabut yang mulai merayap turun menyelimuti permukaan bumi ini.

********************

Sementara itu di Istana Jiwanala, Prabu Duta Nitiyasa tengah dihadapi pembesar-pembesarnya, patih, dan para panglima. Keadaan Kerajaan Jiwanala sudah kembali tentram seperti sediakala, setelah mengalami suatu kemelut yang menelan banyak korban nyawa, baik dari kalangan prajurit maupun rakyat. Pertemuan di Balai Sema Agung itu membicarakan sekitar pemulihan keadaan kerajaan dan perbaikan istana yang rusak akibat terjarah orang-orang dari Daratan Mongol (Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Jago Dari Nongol).

Sejak pertemuan tadi, wajah Prabu Duta Nitiyasa terlihat murung dan tidak bergairah sama sekali. Meskipun sesekali mengulas senyum, namun terasa hambar dan amat dipaksakan. Semua orang yang berada di Balai Sema Agung ini bisa merasakan kemurungan itu. Tapi tidak ada seorang pun yang berani menanyakannya.

"Gusti Prabu...," Patih Raksajunta membuka suara setelah terjadi kebisuan cukup lama.

Prabu Duta Nitiyasa mengangkat kepalanya. Dipandanginya Patih Raksajunta yang duduk bersila di sebelah kanannya. Patih itu memberi hormat dengan merapatkan tangannya di depan hidung.

"Ada apa, Paman Patih?" tanya Prabu Duta Nitiyasa pelan.

"Ampun Gusti Prabu. Dalam dua hari ini, Gusti Prabu kelihatan murung...," jelas sekali kalau suara Patih Raksajunta bernada ragu-ragu.

Prabu Duta Nitiyasa tersenyum. Patih Raksajunta kembali memberikan sembah. Raja Jiwanala itu mengangkat tangannya sedikit. Semua orang yang berada di ruangan itu memberi sembah, kemudian beranjak pergi. Tinggal Patih Raksajunta yang masih berada dalam ruangan itu bersama Prabu Duta Nitiyasa. Bahkan Prabu Duta Nitiyasa juga memerintahkan pengawalnya untuk meninggalkan ruangan ini.

"Paman Patih, aku memang menunggu adanya pertanyaan seperti itu," ungkap Prabu Duta Nitiyasa. "Kemarilah, lebih mendekat."

Patih Raksajunta memberi sembah, kemudian menggeser duduknya lebih dekat lagi.

"Ketahuilah, Paman. Aku sebenarnya gembira bisa berada di istana ini kembali. Apalagi seluruh rakyat juga sudah tenang kembali, meskipun masih banyak kerusakan yang belum bisa diperbaiki. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, Paman," jelas Prabu Duta Nitiyasa bertutur rapi.

"Hamba bersedia mendengarkan, Gusti Prabu," ucap Patih Raksajunta.

­"Paman Patih. Kau mengabdi di Jiwanala ini sejak ayahku masih hidup. Sebenarnya, tidak pantas kalau aku memberimu kedudukan sebagai patih. Kau seharusnya lebih cocok menjadi penasehatku. Hanya kaulah satu-satunya yang bisa menampung segala keluh kesahku...."

"Hamba cukup senang menerima jabatan patih, Gusti."

Prabu Duta Nitiyasa bangkit dari singgasananya. Segera dilangkahkan kakinya beberapa tindak, dan berhenti tepat di depan Patih Raksajunta. Tangan kanannya menepuk pundak patihnya itu, dan memintanya untuk berdiri. Patih Raksajunta menyembah sekali lagi sebelum bangkit berdiri. Prabu Duta Nitiyasa melangkah perlahan-lahan meninggalkan ruangan Balai Sema Agung ini, diikuti oleh Patih Raksajunta di samping kanannya.

Mereka terus berjalan tanpa ada kata yang terucap sampai tiba di Taman Kaputren yang tampak sepi. Biasanya taman ini menjadi tempat kesenangan Permaisuri Dita Wardhani. Tapi sekarang ini beliau masih berada di Padepokan Arang Watu milik ayahnya. Mereka terus melangkah menyusuri jalan kecil di dalam taman itu.

"Selama dua hari ini aku memang tidak bisa tenang, Paman Patih. Pikiranku selalu gelisah, seakan-akan pertanda kalau bencana belum lagi berakhir menimpa negeri ini," tutur Prabu Duta Nitiyasa memulai membuka hatinya.

­"Apa yang membuat hati Gusti resah?" tanya Patih Raksajunta.

"Rangga," sahut Prabu Duta Nitiyasa singkat.

"Rangga...?!" Patih Raksajunta bergumam pelan, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.

"Aku merasakan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti ke sini bukan secara kebetulan, tapi memang memiliki suatu tujuan sehingga datang ke kerajaan ini. Rangga... Nama itu mengingatkanku pada putra Adipati Arya Permadi Seandainya waktu itu tidak terjadi musibah, pastilah putra Kakang Adipati sudah sebesar Pendekar Rajawali Sakti," nada suara Prabu Duta Nitiyasa setengah bergumam.

"Gusti, peristiwa itu sudah dua puluh tahun lebih berlalu. Bahkan mungkin semua orang sudah melupakannya, meskipun hamba sendiri tidak bisa melupakannya sampai kapan pun. Sepertinya Gusti Adipati masih hidup sampai kini," kata Patih Raksajunta mengingatkan.

"Itulah yang membuat pikiranku tidak tenang selama ini, Paman."

"Maksud, Gusti?" Patih Raksajunta tidak mengerti.

"Selama ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui, apakah putra Kakang Adipati masih hidup atau sudah tewas dalam musibah itu. Sedangkan sejak itu kita memutuskan hubungan dengan Kadipaten Karang Setra, sudah dua puluh tahun lebih tidak pernah lagi berhubungan Dan selama itu kita tidak tahu, bagaimana perkembangan di Karang Setra."

­"Gusti, hamba rasa itu satu keputusan yang sangat bijaksana. Tidak ada gunanya berhubungan dengan adipati murtad, meskipun masih ada hubungan darah dengan Gusti Prabu. Ampun, Gusti. Bukannya hamba ingin memutuskan tali persaudaraan...," cepat-cepat Patih Raksajunta memberikan sembah.

"Aku tidak menyesal, Paman. Itu memang sudah keputusan Ayahanda Prabu, dan aku tinggal meneruskannya saja. Tapi yang sekarang mengganjal pikiranku adalah kehadiran seorang pendekar yang namanya begitu sama dengan nama putra Kakang Adipati," Prabu Duta Nitiyasa meneruskan pokok pembicaraannya ini.

"Nama bisa saja sama, Gusti."

"Kau benar, Paman. Nama memang bisa saja sama. Tapi, raut wajah, sorot mata, serta jalinan ikatan batin.... Ini yang membuat hatiku selalu gelisah."

"Hamba tidak mengerti, Gusti."

Prabu Duta Nitiyasa tersenyum tipis, lalu duduk di kursi panjang yang berada di bawah naungan atap kecil di tengah-tengah taman. Sebuah bangsal kecil yang memang dibuat untuk beristirahat dan berteduh dari sengatan sinar matahari. Patih Raksajunta duduk bersila di lantai, dekat kaki kanan Prabu Duta Nitiyasa.

Belum lagi mereka berbicara kembali, seorang prajurit penjaga pintu Taman Kaputren ini berlari-lari kecil menghampiri. Prajurit itu langsung membungkuk memberi hormat begitu sampai di depan Prabu Duta Nitiyasa.

­"Ada apa, Prajurit?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.

"Ampun, Gusti Prabu. Ada beberapa orang berkuda yang mengenakan seragam prajurit menuju istana. Dari laporan prajurit penjaga perbatasan, mereka datang dari Karang Setra," lapor prajurit itu.

"Karang Setra...," desis Prabu Duta Nitiyasa.

Tanpa berkata-kata lagi, Prabu Duta Nitiyasa bergegas bangkit dari kursinya dan melangkah tergesa-gesa. Patih Raksajunta mengikuti dari belakang disusul prajurit pengawal pintu kaputren ini.

DUA

Hati Prabu Duta Nitiyasa diliputi berbagai macam tanda tanya ketika menerima Panglima Bayan Sudira. Namun dia masih bisa tersenyum cerah. Diterimanya tamunya itu di ruangan Bangsal Pendopo Agung. Sebuah ruangan yang cukup besar, dengan hiasan dinding indah dan berlantaikan batu pualam putih yang berkilat. Tampak sedap dipandang mata.

"Apakah maksud Tuan Panglima datang mengunjungi kerajaan kecil ini?" tanya Prabu Duta Nitiyasa ramah.

"Ampun, Gusti Prabu. Kedatangan hamba memang sengaja, karena mendapat berita kalau raja hamba berada di kerajaan ini," sahut Panglima Bayan Sudira penuh hormat.

"Rajamu...?!" Prabu Duta Nitiyasa terperanjat.

"Benar, Gusti," Panglima Bayan Sudira meyakinkan.

Prabu Duta Nitiyasa menatap Patih Raksajunta yang menemaninya di ruangan ini. Sungguh tidak diduga kalau Karang Setra kini sudah menjadi sebuah kerajaan. Tapi yang membuatnya lebih terkejut adalah berita tentang Raja Karang Setra yang kini berada di Kerajaan Jiwanala Padahal tidak ada seorang raja pun yang menjadi tamu di sini.

"Siapa nama Raja Karang Setra?" tanya Prabu Duta Nitiyasa setelah hilang rasa terkejutnya.

"Gusti Prabu Rangga Pati Permadi," jawab Panglima Bayan Sudira.

"Rangga..." desis Prabu Duta Nitiyasa hampir tidak percaya dengan pendengarannya. Padahal dia baru saja membicarakan tentang putra kakaknya yang menjadi adipati di Karang Setra dua puluh tahun silam. Dan kini didengar keterangan kalau putra adipati itu masih hidup, bahkan menjadi raja di tanah kelahirannya. Sungguh suatu kabar yang sangat mengejutkan, di samping menggembirakan.

Dua puluh tahun lebih Prabu Duta Nitiyasa tidak pernah lagi mendengar kabar tentang Karang Setra, tempatnya dilahirkan. Dan sekarang datang seorang panglima dari Kerajaan Karang Setra yang dulu hanya sebuah kadipaten. Pikiran Prabu Duta Nitiyasa jadi berputar kembali, karena beberapa hari yang lalu memang ada seorang pemuda yang mengaku bernama Rangga. Tapi pemuda itu dari kalangan rimba persilatan yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini Panglima Bayan Sudira datang untuk mencari rajanya yang juga bernama Rangga.

"Tuan Panglima, bagaimana ceritanya sampai rajamu pergi tanpa kabar berita yang pasti?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.

"Prabu Rangga meninggalkan istana karena ada kepentingan yang tidak hamba ketahui dengan pasti, Gusti Prabu. Memang sudah dipesan agar tidak perlu mencarinya. Tapi sudah lama beliau tidak kembali, dan terakhir kami mendapat berita kalau Gusti Prabu Rangga berada di kerajaan ini," Panglima Bayan Sudira mencoba menjelaskan dengan singkat.

"Apakah Gusti Prabu Rangga itu seorang pendekar?" tanya Patih Raksajunta yang sejak tadi diam saja.

"Benar, Paman Patih. Gusti Prabu Rangga juga dikenal dengan nama Pendekar Rajawali Sakti"

Bagaikan mendengar guntur di siang bolong, Prabu Duta Nitiyasa dan Patih Raksajunta terlonjak kaget. Mereka menatap tajam Panglima Bayan Sudira yang juga terperanjat, karena tidak mengerti akan sikap tuan rumah ini. Untuk beberapa saat lamanya suasana jadi hening.

Prabu Duta Nitiyasa bangkit berdiri, lalu melangkah menuju ke jendela besar yang terbuka lebar. Saat itu sudah menjelang malam. Di luar sana, kegelapan menyelimuti sekitarnya. Kabar berita yang dibawa Panglima Bayan Sudira benar-benar membuatnya terkejut setengah mati. Perasaan batin yang selama ini mengganggu pikirannya ternyata terbukti. Tapi tidak diduga kalau akan sampai sejauh itu.

"Tuan Panglima, tentunya perjalanan jauhmu sangat melelahkan. Sebaiknya beristirahatlah dahulu,” ujar Prabu Duta Nitiyasa tetap memandang ke luar melalui jendela

"Hamba, Gusti Prabu, " sahut Panglima Bayan Sudira.

­Dengan diantar Patih Raksajunta, Panglima Bayan Sudira meninggalkan ruangan Bangsal Pendopo Agung Ini. Sementara Prabu Duta Nitiyasa masih berdiri memandang langit kelam tanpa satu bintang pun terlihat menggantung. Angin malam yang dingin begitu keras menerpa wajahnya. Tapi Prabu Duta Nitiyasa tidak memperdulikannya. Pikirannya semakin tidak menentu saat ini.

Cukup lama juga Prabu Duta Nitiyasa berdiri mematung di depan jendela Bangsal Pendopo Agung ini. Sampai-sampai tidak tahu kalau Patih Raksajunta sudah berada di belakangnya. Ragu-ragu laki-laki tua itu menegur, tapi akhirnya memberanikan diri juga untuk menegur. Prabu Duta Nitiyasa membalikkan tubuhnya. Patih Raksajunta membungkuk memberi hormat.

"Perkataan batinku benar, Paman, " tegas Prabu Duta Nitiyasa pelan.

"Hamba kira ini bukan malapetaka, Gusti," kata Patih Raksajunta.

"Mudah-mudahan demikian," desah Prabu Duta Nitiyasa pelan.

Prabu Duta Nitiyasa melangkah perlahan-lahan meninggalkan ruangan besar itu. Sedangkan Patih Raksajunta masih tetap berdiri, meskipun junjungannya itu sudah tidak terlihat lagi Laki-laki tua itu kelihatan resah, entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

"Hhh...,” Patih Raksajunta menarik napas panjang kemudian berjalan perlahan meninggalkan ruangan ini.

Dua orang prajurit penjaga menghampiri jendela setelah Patih Raksajunta menghilang di balik pintu, lalu menutupnya rapat-rapat Saat itu seorang wanita bertubuh gemuk masuk. Dibereskan meja dan kursi yang tadi diduduki Prabu Duta Nitiyasa, Patih Raksajunta, dan Panglima Bayan Sudira. Tidak ada kata-kata yang terucapkan, semuanya bekerja tanpa membuka mulut. Seakan-akan keresahan hati Prabu Duta Nitiyasa sudah merambat pada semua orang di lingkungan istana ini.

********************

­Panglima Bayan Sudira terkejut ketika tiba-tiba Patih Raksajunta menepuk pundaknya. Panglima itu menggeser duduknya memberi tempat pada Patih Raksajunta. Mereka duduk berdampingan di bangku taman belakang istana. Sesaat tidak ada yang membuka suara. Pandangan mereka sama-sama tertuju pada langit-langit yang hitam kelam. Angin yang berhembus kencang membawa titik-titik air, pertanda sebentar lagi akan diwarnai turunnya hujan.

"Dingin sekali malam ini...," desah Patih Raksajunta membuka suara.

“Ya, tampaknya akan hujan," sahut Panglima Bayan Sudira.

"Hhh...! Sudah berapa lama ya, kita berpisah?" Patih Raksajunta seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Mungkin dua puluh tahun," sahut Panglima Bayan Sudira mendesah.

"Cukup lama juga. Selama itu aku sepertinya tidak memiliki saudara. Hm..., bagaimana keadaan saudara-saudara kita yang lain?" suara Patih Raksajunta terdengar setengah bergumam.

"Tidak terlalu buruk. Hanya saja...," jawaban Panglima Bayan Sudira terputus.

"Hanya apa?" desak Patih Raksajunta.

"Istri dan anakmu. Sampai sekarang tidak kuketahui di mana mereka," pelan suara Panglima Bayan Sudira.

"Mereka ada di sini," sahut Patih Raksajunta tersenyum.

"Oh, syukurlah."

Kembali mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya. Titik-titik air mulai terasa menyentuh kulit. Seberkas cahaya kilat menyambar di angkasa, disusul gelegar guruh. Langit semakin terlihat kelam, angin pun semakin terasa dingin berhembus. Namun dua orang pembesar dari kerajaan yang berbeda itu masih tetap tenang duduk di taman belakang istana.

"Tadinya aku sudah berniat untuk menetap di sini bersamamu, Kakang. Tapi mendadak saja perubahan besar terjadi di Karang Setra. Putra Gusti Adipati yang hilang dua puluh tahun lamanya kembali dan menggulingkan kekuasaan adik tirinya. Bahkan kini Karang Setra telah menjadi sebuah kerajaan yang cukup besar," jelas Panglima Bayan Sudira menceritakan keadaan Karang Setra tanpa diminta.

"Lalu, bagaimana caranya kau bisa jadi panglima?" tanya Patih Raksajunta.

"Aku bergabung dengan Gusti Rangga mendirikan kerajaan di Karang Setra. Banyak teman kita yang dulu terpencar sudah kembali berkumpul di istana. Gusti Rangga menyerahkan pembagian jabatan pada Kakang Lintuk. Kau masih ingat dengan saingan beratmu itu, Kakang?"

"Ya. Tapi bukan saingan dalam arti musuh. Aku dan Kakang Lintuk memang selalu bersaing, tapi secara sehat," jelas Patih Raksajunta.

"Kakang Lintuk memang adil. dan bijaksana sekali. Dia tidak langsung menunjuk, tapi menanyakan terlebih dahulu jabatan yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Semua dilakukan secara rembukan, dan semuanya puas, tidak ada yang mengeluh."

"Kakang Lintuk memang orang yang bijaksana. Aku yakin. Karang Setra kini lebih maju dari yang dulu."

"Benar, Kakang. Kemajuannya pesat sekali, meskipun singgasana selalu kosong."

"Kosong...!?" Patih Raksajunta mengangkat alisnya.

"Gusti Prabu Rangga berjiwa pendekar. Dan selama dua puluh tahun selalu mengembara di dalam rimba persilatan. Bahkan sekarang pun tidak ada di Istana."

­“Hm.., jadi kau ke sini mencari raja pendekar itu?

“Betul”
“Untuk membawa pulang kembali?”
“Bukan.”

“Lho...?! lalu, untuk apa kau mencarinya?”

“Maaf, Kakang. Aku tidak bisa mengatakannya. Hanya Gusti Prabu Rangga-lah yang boleh mengetahuinya.”

“Aku mengerti. Tapi... kau yakin kalau Prabu Rangga ada di sini?"

“Begitulah yang kudengar. Mudah-mudahan aku tidak terlambat."

“Sayang sekali...,” gumam Patih Raksajunta.

“Kenapa Kakang...?” tanya Panglima Bayan Sudra.

“Aku tidak tau pasti, apakah yang kau cari memang dia orangnya atau bukan,” kata Patih Raksajunta setengah bergumam.

“Maksud Kakang?” Panglima Bayan Sudra tidak mengerti.

Patih Raksajunta tidak langsung menjelaskan, tapi malah bangkit berdiri dan melangkah menuju ke bangunan belakang istana. Saat itu hujan sudah mulai turun dengan derasnya. Panglima Bayan Sudra juga ikut bangkit dan melangkah meninggalkan bangku taman itu. Hatinya masih diliputi pertanyaan yang belum terjawab.

********************

Panglima Bayan Sudra menyesal keterlambatannya, sehingga tidak bisa menemui rajanya. Tapi kekecewaannya sedikit terhalau karena masih bisa bertemu dengan saudara-saudaranya di kerjaan ini. Terutama Patih Raksajunta, yang masih terhitung kakak sepupunya.

Tapi yang lebih kecewa lagi adalah Prabu Duta Nitiyasa. Dia baru tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah seorang raja besar, yang ternyata juga keponakannya. Hanya selama ini dia belum bisa menyambut pendekar itu dengan baik, bahkan sekarang sudah tidak jelas lagi berada di mana. Memang sukar untuk mencari seorang pendekar, meskipun seorang raja besar sekalipun. Apalagi Rangga hanya seorang diri. Yang tanpa tujuan pasti.

Hari ini Panglima Bayan Sudira sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Istana Jiwanala. Sepuluh orang prajuritnya juga sudah siap di samping kudanya masing-masing. Prabu. Duta Nitiyasa mengantarkannya sampai ke ujung tangga istana, didampingi Patih Raksajunta.

"Beritahukan arah tujuan yang kau tempuh, Panglima. Seandainya Rangga masih berada di sini, aku bisa cepat mengirim utusan untuk memberitahukanmu," kata Prabu Duta Nitiyasa meminta.

"Hamba selalu menuju ke arah Timur, Gusti Prabu," sahut Panglima Bayan Sudira.

"Baiklah. Kuharap kau bisa menemukannya di jalan."

"Hamba mohon diri, Gusti."

"Ya."

Panglima Bayan Sudira membungkuk memberi hormat kemudian berbalik dan melangkah menghampiri kudanya yang dipegangi seorang prajurit. Setelah Panglima Bayan Sudira berada di punggung kuda, sepuluh orang prajurit yang menyertainya segera melompat punggung kudanya masing-masing. Salah seorang memegangi tali kendali seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap. Kuda hitam itu sudah berpelana lengkap tapi tak ada penunggangnya.

"Hiya, hiya...!"

Panglima Bayan Sudira menggebah kudanya dengan cepat keluar dari alun-alun istana Sepuluh orang prajuritnya mengikuti dari belakang. Dua belas ekor kuda berpacu cepat melintasi pintu gerbang istana yang dijaga empat orang prajurit bersenjata tombak. Kuda-kuda itu terus berpacu cepat meninggalkan debu yang mengepul di udara.

Panglima Bayan Sudira memang mengarahkan tujuannya ke Timur. Sedikit pun tidak dikendurkan laju kudanya. Hingga sampai di perbatasan, mereka baru melarikan kudanya perlahan-lahan. Panglima Bayan Sudira menatap hutan lebat yang menghadang di depannya. Gerbang perbatasan sudah tertinggal jauh di belakang.

"Hooop...!"

Panglima Bayan Sudira menghentikan lari kudanya begitu akan memasuki hutan. Sepuluh orang prajuritnya ikut berhenti. Salah seorang prajurit menghampiri.

"Kenapa berhenti, Gusti?" tanya prajurit itu.

"Aku yakin sekali kalau Gusti Prabu masih ada di Kerajaan Jiwanala, " sahut Panglima Bayan Sudira setengah bergumam.

"Tapi Gusti Prabu Duta Nitiyasa sudah memas­tikan kalau Gusti Prabu Rangga sudah pergi," bantah prajurit itu.

"Kau ingat orang yang mencegat kita kemarin?"

Panglima Bayan Sudira memberikan pertanyaan Prajurit itu mengangguk.

"Dia bernama Kumbang Merah. Hm..., aku jadi heran, kenapa dia melarangku masuk ke Kerajaan Jiwanala ? Aku jadi curiga," kembali nada suara Panglima Bayan Sudira bernada bergumam.

"Benar, Gusti. Pasti ada sesuatu," celetuk prajurit itu.

­"Yang aku heran, Kumbang Merah tahu betul apa yang kucari. Padahal tidak ada seorang pun yang tahu kecuali aku dan Kakang Lintuk. Aneh...! Dari mana dia tahu? Kenapa dia melarangku masuk ke Kerajaan Jiwanala?" Macam-macam pertanyaan bergumam dari mulut Panglima Bayan Sudira.

Tak ada seorang prajuritnya yang bisa menjawab pertanyaan itu. Mereka pun jadi heran dan bertanya-tanya. Hanya satu hari berada di Kerajaan Jiwanala, tapi sudah membuat seribu macam pertanyaan yang sukar untuk dipecahkan. Bukan hanya si Kumbang ­Merah saja yang mencegat mereka masuk ke Kerajaan Jiwanala. Sepanjang jalan, sudah terjadi empat kali pencegatan. Dan semuanya tidak menginginkan Panglima Bayan Sudira masuk ke kerajaan itu.

Selain si Kumbang Merah, ada juga si Iblis Mawar Jingga, Kakek Pesolek Pemetik Bunga, dan si Macan Gunung Sumbing. Mereka semua sepertinya sudah tahu, apa yang sedang diemban Panglima Bayan Sudira. Bahkan tahu pula setiap arah tujuan yang ditempuh. Bukan hanya sekali atau dua kali mereka mencegat, tapi beberapa kali. Hanya anehnya, mereka tidak menyakiti, meskipun sempat melakukan pertarungan. Namun tidak ada satu korban pun yang jatuh. Apa sebenarnya maksud mereka? Pertanyaan itu yang selalu menghantui Panglima Bayan Sudira dan prajurit-prajuritnya.

"He he he...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara terkekeh. Dan belum lagi suara tawa itu hilang, menyusul terdengar suara siulan nyaring melengking tinggi. Suara-suara itu seolah-olah datang dari segala penjuru, dan jelas dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tapi tidak menimbulkan gejala apa-apa. Hanya saja cukup membuat bingung Panglima Bayan Sudira dan kesepuluh prajuritnya.

"Hm..., siapa lagi ini?" gumam Panglima Bayan Sudira bertanya-tanya.

Belum lagi pertanyaan itu bisa terjawab. Muncul dua orang laki-laki dan perempuan. Mereka semua ­masih muda-muda, gagah, dan cantik. Kedua orang itu mengenakan baju ketat berwarna kuning gading. Di punggung mereka terpasang sebilah pedang yang bergagang hitam seperti tanduk kerbau. Panglima Bayan Sudira mengenali mereka, yang dikenal berjuluk Sepasang Naga Hitam. Yang laki-laki sebenarnya bernama Andika, dan yang perempuan bernama Andini.

Langkah mereka ringan menghampiri Panglima Bayan Sudira yang sudah siaga. Tangan kanannya pun sudah berada di atas gagang pedangnya di pinggang. Panglima Bayan Sudira tahu kalau sepasang muda-mudi ini adalah tokoh sakti beraliran hitam. Dan sudah diduga, apa yang diinginkan Sepasang Naga Hitam itu.

"Aku turut sedih atas kemalanganmu, Panglima Bayan Sudira," ucap Andika. Bibirnya yang tipis tersenyum sinis.

"Terima kasih, tapi aku tidak sedih," sahut Panglima Bayan Sudira datar.

"Oh...!" Andika seperti terkejut. "Lihat, Adik Andini. Dia tidak sedih! Mengagumkan sekali...."

"Memang mengagumkan. Tapi sayang sudah tua. Tapi..., masih boleh juga! Kegagahannya masih tampak, dan cukup tampan," sahut Andini tersenyum-senyum menggoda.

Panglima Bayan Sudira menggerutu dalam hati. Dia tahu betul tabiat Sepasang Naga Hitam Itu. Mereka adalah anak muda yang selalu mengumbar nafsu dan kesenangan duniawi. Mereka tidak lagi mempedulikan tata krama kehidupan, dan selalu menyanjung kebebasan dalam segala hal Kemunculannya memang selalu berpasangan, tapi anehnya tidak mempedulikan satu sama lain dalam mencari kepuasan pribadi.

"Rajanya lebih tampan lagi, Andini, " kata Andika.

"Oh, ya? Aku jadi ingin cepat-cepat bertemu," bola mata Andini berbinar.

"Phuih! Kau tidak akan dapat bertemu dengan Gusti Prabu!" bentak Panglima Bayan Sudira geram mendengar ocehan yang menyakitkan telinga itu.

"Hi hi hi.... Dia mencoba menghalangi ku, Kakang," Andini terkikik meremehkan.

"Tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi kita, Andini. Percayalah pada ku," sahut Andika.

"Aku percaya, Kakang. Tapi jangan lukai panglima itu. Aku suka padanya," Andini melirik genit pada Panglima Bayan Sudira.

Panglima Bayan SudIra benar-benar muak melihat Andini yang bertingkah laku genit padanya. Tapi panglima itu masih menahan kesabarannya, karena tahu kalau Sepasang Naga Hitam itu bukan tandingannya. Lebih-lebih untuk sepuluh prajuritnya. Bukannya takut, tapi tugas yang diembannya belum lagi selesai. Bahkan sampai saat Ini dia belum bisa bertemu dengan Rangga.

"Aku harap kalian tidak membuat kesulitan!" tegas Panglima Bayan Sudira dingin

"Ah.... Aku suka sekali ancamannya, Kakang, " ­desah Andini genit.

"Setan! Perempuan cabul!" Panglima Bayan Sudira tidak bisa lagi menahan amarahnya.

"Hi hi hi...!" Andini malah tertawa terkikik.

Panglima Bayan Sudira tidak bisa lagi menahan amarahnya. Betapa muaknya melihat tingkah wanita itu. Andini memang cantik. Tapi, tingkah lakunya yang terlalu bebas dan kejam, membuat siapa saja tidak pernah menyukainya. Setiap laki-laki yang disukainya selalu dibunuh, setelah puas bermain cinta dengannya. Tidak terhitung lagi laki-laki yang tewas di tangan perempuan cabul itu.

Sret!

Panglima Bayan Sudira menghunus pedangnya. Ujung pedang berkilat keperakan itu ditujukan ke arah Andini. Namun wanita Itu malah tersenyum mempermainkan kelopak matanya dengan genit Tentu saja hal ini makin membuat Panglima Bayan Sudira muak.

"Aku tidak segan-segan membunuh, jika kalian tidak segera angkat kaki dari hadapanku!" ancam Panglima Bayan Sudira geram.

"Bagus...! Aku suka sekali tantanganmu," sambut Andini tersenyum lebar. "Kakang, jangan ganggu acara menarikku."

“Tentu saja, adikku manis. Bersenang-senanglah,” sahut Andika tersenyum mengerti.

"Iblis...!" geram Panglima Bayan Sudira keras. "Hiyaaa...!"

Panglima Bayan Sudira yang benar-benar tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya, segera melompat cepat seraya menusukkan ujung pedang ke arah dada Andini. Tapi dengan manis wanita itu mengegoskan tubuhnya ke kanan, sehingga pedang Panglima Bayan Sudira lewat di sampingnya.

Sementara pertarungan Panglima Bayan Sudira melawan Andini berlangsung, Andika menghadang sepuluh prajurit yang bergerak hendak membantu panglimanya. Andika menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir berdecak. Sepuluh prajurit yang tahu siapa Sepasang Naga Hitam itu, kontan bergerak mundur. Mereka tidak jadi menarik senjata. Sementara pertarungan antara Panglima Bayan Sudira melawan Andini semakin sengit.

TIGA

­Sudah lebih sepuluh jurus, tapi pertarungan Panglima Bayan Sudira lawan Andini masih juga berlangsung. Meskipun menggunakan pedang, tapi Panglima Bayan Sudira belum mampu menjatuhkan wanita itu. Bahkan sudah beberapa kali pukulan dan tendangan Andini mendarat di tubuhnya. Sejak pertama, memang telah dapat diketahui kalau tingkat kepandaian Panglima Bayan Sudira di bawah Andini.

Tidak heran kalau pertempuran benar-benar dikuasai wanita cantik itu. Sebenarnya Panglima Bayan Sudira sadar, kalau dirinya tidak akan mungkin bisa mengalahkan Andini. Tapi, mati adalah pilihannya daripada jatuh ke tangan wanita cabul itu. Panglima Bayan Sudira tahu, apa yang akan terjadi nanti pada dirinya jika sampai jatuh ke tangan Andini dalam keadaan hidup. Dan ini yang tidak diinginkan.

"Lepas...!"

Tiba-tiba saja Andini berteriak keras seraya mengibaskan tangannya ketika Panglima Bayan Sudira membabatkan pedangnya ke arah pinggang. Sampokan tangan kiri Andini demikian cepat, dan tepat menghantam pergelangan tangan kanan Panglima Bayan Sudira.

"Akh!" Panglima Bayan Sudira memekik tertahan.

­Seketika itu juga pedang dalam genggamannya terlempar. Belum lagi dapat menguasai keadaan dirinya, satu tendangan keras mendarat di perut Panglima Bayan Sudira. Panglima itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk menahan rasa mual akibat tendangan itu. Kembali satu pukulan keras menghantam tengkuknya, dan membuatnya jatuh tersuruk mencium tanah.

"Bangun, Panglima!" bentak Andini bertolak pinggang di depan Panglima Bayan Sudira.

Laki-laki berusia hampir empat puluh tahun itu mengangkat kepalanya. Dari mulutnya keluar darah segar. Sepasang kaki indah berada tepat di depan hidungnya. Panglima Bayan Sudira menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menghilangkan rasa pening yang menyerang kepalanya. Dan begitu rasa pening berkurang, dengan cepat disampoknya sepasang kaki itu.

"Hait..!"

Namun Andini yang rupanya sudah menyadari akan datangnya serangan itu, dengan cepat melompat sambil mengirimkan satu tendangan keras ke wajah Panglima Bayan Sudira.

"Akh...!" Panglima Bayan Sudira memekik keras.

Seketika itu juga kepalanya terdongak ke belakang, dan tubuhnya bergulingan beberapa kali. Belum lagi tubuhnya berhenti bergulingan, kembali dirasakan satu hantaman keras mendarat di punggung. Hantaman itu membuat Panglima Bayan Sudira merasakan tulang punggungnya patah, dan hanya mampu memekik keras melengking.

Panglima dari Kerajaan Karang Setra itu benar-benar tidak berdaya lagi. Darah semakin banyak keluar dari mulut dan pelipisnya. Sukar sekali untuk menggerakkan tubuhnya kembali. Tulang-tulangnya terasa remuk, hancur berantakan. Andini berdiri tegak, tepat di depan wajah Panglima Bayan Sudira yang menelentang tanpa daya lagi.

"Bunuhlah aku, keparat! " geram Panglima Bayan Sudira sambil menyemburkan ludahnya. Tapi yang keluar berupa gumpalan darah.

"Kau terlalu keras kepala, Panglima. Tapi aku suka laki-laki keras sepertimu," ujar Andini seraya tersenyum.

"Phuih!" lagi-lagi Panglima Bayan Sudira menyemburkan ludahnya

Andini malah semakin lebar tersenyum. Sebentar diliriknya Andika yang berdiri tegak di depan sepuluh orang prajurit. Wanita itu kemudian berlutut di samping laki-laki yang sudah tidak berdaya lagi. Dengan lembut disekanya darah yang mengotori sekitar mulut Panglima Bayan Sudira. Tapi panglima itu memalingkan mukanya.

"Kasihan sekali. Kalau saja hatimu lunak sedikit saja, tidak akan sampai begini," ucap Andini berdecak.

"Aku tidak perlu belas kasihanmu!" rungut Panglima Bayan Sudira.

Andini tertawa mengikik. Dia menoleh pada kakaknya yang masih berdiri tegak di depan sepuluh orang prajurit Karang Setra Saat itu Andika juga menoleh ke arahnya.

"Untuk siapa mereka, Kakang?" tanya Andini.

"Untukmu," sahut Andika seraya tertawa lebar.

"Sial! Aku sudah cukup dengan pemimpinnya saja!" rungut Andini memberengut manja.

"Tidak kurang? Mereka masih muda-muda Andini."

"Aku tidak peduli!"

"Baiklah kalau itu keinginanmu," kata Andika yang mengerti maksud adiknya.

Setelah berkata demikian, Andika berteriak keras. Tubuhnya seketika melesat cepat sambil mencabut pedangnya yang bergagang hitam berbentuk tanduk kerbau. Mata pedang itu juga hitam legam, dan berkeluk-keluk bagai ular. Terjangan Andika demikian cepat dan tak terduga sama sekali, sehingga membuat sepuluh orang prajurit itu terperangah. Belum sempat mereka menyadari apa yang bakal terjadi, tiba-tiba saja terdengar jeritan menyayat saling susul.

Kemudian, beberapa tubuh ambruk bergelimpangan dengan tubuh berlumur darah! Beberapa prajurit yang masih hidup. langsung melompat ke belakang dan segera mencabut pedangnya. Tapi serangan Andika sungguh luar biasa. Dengan sekali tebas saja, pedang-pedang mereka terpenggal.

Dan belum lagi mereka bisa berbuat sesuatu, Andika sudah kembali mengibaskan pedangnya sambil berteriak keras.

­"Aaa... !"

Jeritan melengking kembali terdengar menyayat. Ternyata tiga orang prajurit telah menggelepar dengan leher hampir buntung. Pada saat yang tepat, dua orang prajurit berhasil melompat ke punggung kuda, dan bergegas menggebahnya. Kuda itu meringkik, lalu melompat cepat dan terus berlari kencang.

"Setan... !" rutuk Andika melihat dua orang prajurit itu lolos.

"Tidak perlu dikejar, Kakang!" seru Andini mencegah kakaknya yang akan mengejar.

Andika tidak jadi mengejar kedua prajurit yang lolos itu. Dia berbalik menatap adiknya yang tetap duduk seenaknya di samping tubuh Panglima Bayan Sudira. Laki-laki hampir separuh baya itu hanya mampu mengumpat. Dia memang sudah tidak berdaya lagi karena jalan darahnya sudah tertotok. Tubuhnya sukar untuk digerakkan kecuali bagian leher saja yang masih bisa digerakkan.

"Iblis! Kalian benar-benar iblis!" geram Panglima Bayan Sudira mengumpat.

"Ha ha ha...!" Andini hanya tertawa saja.

Andika melangkah menghampiri adiknya. Sebentar dipandangi wajah Panglima Bayan Sudira. Sisa-sisa darah masih melekat di sekitar wajah laki-laki dari Karang Setra itu Tatapan matanya tajam penuh kebencian.

"Kau bisa bersenang-senang, Andini,” ledek Andika seraya menatap adiknya.

­"Kau juga bisa kalau mau, Kakang," sahut Andini kalem. "Kerajaan Jiwanala tidak jauh lagi dari sini. Tidak sampai setengah hari perjalanan. Gadis-gadisnya terkenal cantik-cantik, Kakang.”

"Tapi kita ke sana bukan karena itu, Andini."

"Memang. Tapi, apa salahnya sedikit bersenang-senang? Kau akan menyesal jika tidak menikmati kesempatan yang baik ini, Kakang. Carilah gadis. Jiwanala yang tercantik. Kau akan kutunggu di sini. Percayalah, kita akan bersenang-senang bersama. Aku akan sabar menunggumu," bujuk Andini lembut

"Baiklah. Hanya untuk sekali ini saja, Andini. Ingat pesan Ki Sapta Bayu. Kita harus mendapatkan benda itu."

"Aku tahu, Kakang. Cepatlah sebelum aku kehilangan gairah."

"He he he...!" Andika terkekeh.

Andini menyambit pemuda itu dengan segenggam rumput yang dicabutnya. Tapi Andika sudah keburu melompat dan berlari cepat ke arah Kerajaan Jiwanala. Andini tersenyum dan menoleh memandang Panglima Bayan Sudira.

"Hanya sebentar, Panglima. Kakang Andika sangat pandai memilih pasangannya,”­ ucap Andini lembut.

"Huh!" dengus Panglima Bayan Sudira muak.

Andini tertawa kecil. Direbahkan tubuhnya di samping laki-laki itu. Tangannya merentang ke dada dan memeluknya penuh gairah. Wanita itu tidak sabar lagi. Diciuminya wajah dan leher Panglima Bayan Sudira. Kalau saja tubuh Panglima Bayan Sudira tidak tertotok, Ingin rasanya merobek dan mencincang tubuh wanita ini. Perutnya jadi mual mendapatkan ciuman yang begitu beruntun.

Napas Andini mulai tersengat Gejolak gairahnya kontan timbul tak tertahankan lagi. Jari-jari tangannya yang lentik dan halus, mulai menggerayangi tubuh laki-laki itu. Panglima Bayan Sudira berusaha menggeliat memberontak, tapi hanya mengumpat dalam hati. Seluruh tubuhnya sukar untuk digerakkan lagi. Sementara Andini semakin liar saja. Napasnya memburu hangat menerpa wajah Panglima Bayan Sudira.

"Iblis! Kubunuh kau, Andini! " bentak Panglima Bayan Sudira geram

"Diamlah, Panglima. Hanya sebentar, tidak enak lho, menunggu tanpa berbuat sesuatu! Tenanglah..., kau akan senang," desah Andini dengan napas tersengal.

"Setan! Iblis...! Keparat...!" Panglima Bayan Sudira memaki-maki melampiaskan kemarahan dan kejijikannya.

Tapi Andini tidak peduli dengan makian itu, bahkan malah semakin bergairah saja. Dilepaskan totokan pada tubuh Panglima Bayan Sudira. Kecuali kedua tangan dan kakinya yang tetap lumpuh. Andini memang pandai dalam memilih jalan darah, sehingga bisa leluasa melumpuhkan bagian-bagian tubuh seseorang yang diinginkannya.

­Panglima Bayan Sudira berusaha menggeliatkan tubuhnya. Tapi setiap kali digerakkan tubuhnya, malah membuat Andini semakin bergairah. Kemarahan Panglima Bayan Sudira tidak bisa lagi ditakar. Dia benar-benar marah dengan kecerdikan wanita cabul ini. Panglima Bayan Sudira tidak kuasa lagi menggerakkan tubuhnya, dan hanya diam saja dengan kepala menengadah ke belakang.

"Setan... !" desis Panglima Bayan Sudira menggeram marah.

"Hi hi hi...!" Andini malah tertawa mengikik.

Sukar bagi Panglima Bayan Sudira untuk mencegah Andini mengumbar nafsunya. Wanita itu sudah seperti binatang saja. Dia tidak lagi peduli akan makian yang dilontarkan Panglima Bayan Sudira Gairahnya sudah tidak dapat terbendung lagi. Sementara Panglima Bayan Sudira hanya bisa memaki penuh kebencian.

Pada saat keputusasaan menghinggapi diri panglima itu, tiba-tiba saja Andini memekik keras dan tubuhnya terpental jauh. Panglima Bayan Sudira segera membuka matanya. Matanya terbeliak begitu melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih sudah berdiri tegak di dekatnya. Pemuda itu sedikit membungkuk dan membebaskan beberapa totokan di tubuh Panglima Bayan Sudira.

­"Keparat...!" umpat Andini yang sudah bisa bangkit

­Tiba-tiba wajah berangnya mendadak pudar begitu melihat ketampanan pemuda yang baru saja menghalangi maksudnya. Andini jadi tersenyum manis, lalu melenggang ringan menghampiri pemuda itu. Tapi belum juga sampai, Panglima Bayan Sudira sudah bangkit dan langsung menerjangnya.

"Mampus kau, perempuan edan...!" teriak Panglima Bayan Sudira geram.

"Hait...!"

Andini melompat ke samping sambil mengirimkan satu pukulan keras ke wajah Panglima Bayan Sudira. Pukulan balasan itu tak terhindarkan lagi, karena saat itu Panglima Bayan Sudira terlalu dihinggapi perasaan marah dan malu yang luar biasa.

"Akh...!" Panglima Bayan Sudira memekik keras.

Di saat kepalanya terdongak ke atas, Andini kembali melayangkan pukulan tangan kanannya. Tapi pukulan itu terhenti di tengah jalan, karena pemuda tampan itu menangkap kepalan tangan Andini. Sesaat mereka saling pandang. Kelengahan itu pun dimanfaatkan Panglima Bayan Sudira. Dengan cepat disodokkan tangannya ke dada wanita itu.

"Akh! Kurang ajar...!" pekik Andini keras.

Rasa sesak menghinggapi dada Andini. Tapi sesak itu bukan karena pukulan Panglima Bayan Sudira, melainkan rasa kecolongan. Saat itu dia tengah terpana akan ketampanan pemuda yang menahan pukulannya tadi. Genggaman yang sedang dinikmatinya itu dirusak oleh sodokan keras dari Panglima Bayan Sudtra.

"Tua bangka! Kau pikir aku suka padamu. heh!?” dengus Andini berang.

"Perempuan jalang! Iblis! Kau tidak bisa bersandiwara di depan Gusti Prabu!" bentak Panglima Bayan Sudira.

"Gusti Prabu...?!" Andini terlongong seraya menatap pemuda tampan yang berdiri di samping Panglima Bayan Sudira.

"Ampunkan hamba, Gusti. Hamba...."

Pemuda itu mengangkat tangannya, sehingga kata-kata Panglima Bayan Sudira terhenti di tengah jalan. Pemuda itu melangkah dua tindak ke depan. Tatapan matanya tidak lepas ke arah wanita cantik di depannya. Saat itu Andini juga tengah merayapi wajah tampan itu.

"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Nisanak?” tanya pemuda itu lembut

"Andini," sahut Andini menyebutkan namanya.

"Mungkin kedatanganku mengganggu kesenanganmu. Tapi aku ada perlu dengan orang ini. Maaf...."

Setelah berkata demikian, pemuda tampan berbaju rompi putih itu melesat pergi sambil menyambar tubuh Panglima Bayan Sudira. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Andini jadi terlongong seperti orang kebingungan, tapi cepat tersadar dan menghentakkan kakinya kesal.

­"Setan belang! Sialan...!” makinya kesal.

Andini memaki-maki sambil menghentak-hentakkan kakinya, seperti anak kecil kehilangan mainan kesayangan. Tidak lama kemudian dia sudah tenang, dan duduk menekur di atas akar yang menonjol keluar dari dalam tanah. Pandangannya tidak lepas ke arah pemuda tampan yang pergi membawa Panglima Bayan Sudira tadi.

“Ah..., pemuda itu tampan sekali. Siapa dia ya...?” gumam Andini pelan, bertanya pada dirinya sendiri.

Andini menyesal tidak sempat menanyakan nama pemuda tampan itu. Dia begitu tertarik dengan ketampanan dan kegagahannya, apalagi ketika merasakan genggaman tangan pemuda itu. Meskipun bukan genggaman mesra, tapi Andini dapat merasakan kehangatannya. Hatinya terkesan, tapi penasaran. Siapa dia...? Lagi-lagi Andini bertanya sendiri dalam hati.

********************

­Panglima Bayan Sudira duduk bersila, sambil tertunduk dalam tidak berapa jauh di depannya duduk seorang pemuda tampan memakai baju rompi putih. Pedangnya yang bergagang kepala burung tersembul di balik punggung. Tatapan pemuda itu tidak lepas dari Panglima Bayan Sudira.

“Pandang aku, Paman,” dingin nada suara pemuda itu.

“Ampunkan hamba, Gusti...,” lirih suara Panglima Bayan Sudira. Dicobanya untuk mengangkat kepala, tapi tak sanggup untuk memandang mata pemuda yang ternyata adalah Rangga.

"Aku tahu, bukan kau yang menghendakinya. Hanya yang ingin kutahu, kenapa kau tinggalkan istana?" Suara Rangga terdengar bernada penyesalan.

"Hamba mendapat titah dari Maha Patih Lintuk, Gusti. Hamba meninggalkan istana dengan sepuluh orang prajurit. Tapi...," Panglima Bayan Sudira menghentikan kata-katanya.

"Hanya ada delapan prajurit yang tewas."

"Dua prajurit lagi sempat melarikan diri, Gusti."

"Lari...?!"

"Ampunkan hamba, Gusti."

"Ah, sudahlah. Sekarang katakan, apa yang diperintahkan Patih Lintuk padamu?"

"Hamba diperintahkan untuk mencari Pusaka Keraton Karang Setra. Di samping itu, hamba juga diperintahkan untuk mencari Gusti untuk melaporkan kalau Pusaka Keraton Karang Setra telah hilang."

"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang dan dalam.

Dia tahu apa yang dimaksudkan Panglima Bayan Sudira. Pusaka Itu merupakan lambang Kerajaan Karang Setra yang dikeramatkan. Benda itu memang amat berharga bagi seluruh rakyat Karang Setra. Rangga tidak mengerti, bagaimana pusaka itu bisa hilang? Padahal pusaka itu selalu berada di dinding di atas singgasana, dan selalu dijaga ketat oleh para prajurit. ­Tidak ada seorang pun yang berani menyentuhnya. Apalagi mengambilnya.

Sebenarnya pusaka itu hanya berbentuk lambang Kerajaan Karang Setra, yang berbentuk segitiga. Ukurannya tidak begitu besar dengan beberapa buah lingkaran di dalamnya. Pusaka itu sudah ada sejak Kadipaten Karang Setra berdiri. Selama ini tidak ada yang tahu siapa pembuatnya, dan apa keistimewaan yang terkandung di dalam benda itu.

Rangga sendiri belum tahu secara jelas. Hanya saja seluruh rakyat Karang Setra begitu mengeramatkannya. Memang banyak cerita tentang benda pusaka itu. Tapi bagi Rangga, semua cerita yang didengarnya terlalu dilebih-lebihkan. Sama sekali tidak dipercaya kalau benda itu memiliki kekuatan yang dapat membuat seseorang menjadi sakti dan kebal terhadap segala jenis senjata beracun. Bahkan konon kabarnya, senjata pusaka itu dapat membuat seseorang tidak akan terpengaruh terhadap segala macam bentuk ajian kesaktian, bagaimana pun tinggi dan dahsyatnya ajian kesaktian itu.

Tapi, hilangnya pusaka leluhur Karang Setra itu membuat Rangga jadi berpikir juga. Dia memang sempat terkejut, karena benda itu merupakan lambang kerajaan yang dikeramatkan. Suatu lambang kejayaan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Karang Setra.

Seseorang yang berusaha melenyapkannya, bisa dianggap penjahat kelas satu yang akan menghancurkan seluruh Karang Setra. Bahkan orang itu harus mendapatkan hukuman mati! Memang tidak tertulis, tapi peraturan itu sudah demikian melekat di hati seluruh rakyat di Karang Setra.

"Paman, apakah berita ini sudah menyebar ke luar lingkungan Istana?" tanya Rangga pelan.

"Hamba kira sudah, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira. "Ampun, Gusti Prabu. Kami semua tidak mampu mencegah bocornya berita itu. Seluruh rakyat kini gelisah dan marah."

"Kapan itu terjadi?" tanya Rangga datar.

"Lebih kurang tiga purnama yang lalu."

"Sudah tiga purnama...?!" Rangga terkejut setengah mati.

"Ampun, Gusti. Bukannya hamba dan yang lainnya tidak mau mengabarkan cepat-cepat. Tapi kami semua tidak tahu, di mana adanya Gusti. Kami sudah berusaha mencari, tapi tidak juga diketemukan," jelas Panglima Bayan Sudira.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-dalam. Memang, tidak perlu dicari kambing hitamnya. Dalam pengembaraannya, memang sudah didengar kalau orang-orang ribut membicarakan tentang pencarian benda pusaka keramat dari Karang Setra. Rangga sendiri sebenarnya ingin segera kembali ke Istana, tapi niatnya terhalang. Ternyata didapat berita kalau pusaka itu ada di Kerajaan Jiwanala ini. Dan sampai bertemu dengan Panglima Bayan Sudira ini, dia belum menduga kalau benda yang diributkan banyak orang itu adalah benda pusaka keramat, Lambang Kerajaan Karang Setra.

Memang di dalam ruang penyimpanan benda pusaka istana, banyak terdapat pusaka-pusaka yang dikeramatkan. Semula, Rangga mengira kalau salah satu dari pusaka yang berada di dalam ruang penyimpanan itulah yang hilang. Ternyata dugaannya salah besar. Bahkan mengejutkannya! Kalau sampai lambang kerajaan hilang, itu bukan lagi persoalan enteng! Ini menyangkut keutuhan dan kewibawaannya sebagai seorang raja besar.

"Paman, ceritakan bagaimana kejadiannya sampai pusaka itu hilang," pinta Rangga.

"Baik, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira hormat.

EMPAT

­"Sebenarnya ini bukan kesalahan siapa-siapa, Gusti Tapi kesalahan hamba. Malam itu hamba terpaksa memerintahkan beberapa prajurit penjaga Balai Sema Agung untuk meronda keliling istana. Hanya tinggal empat orang prajurit saja yang tersisa di Balai Sema Agung. Hamba memang mengurangi penjagaan di sekitar istana, karena selama ini keadaan selalu aman tanpa adanya gangguan sedikit pun...," Panglima Bayan Sudira menghentikan ceritanya.

"Teruskan," pinta Rangga.

"Kebijaksanaan ini hamba keluarkan karena sebagian prajurit sedang dikirim ke Kadipaten Sindang Lawu. Hamba berpendapat, keamanan istana sudah cukup. Dengan demikian penjagaan hamba kurangi, dan dipusatkan pada tapal batas yang berhubungan langsung dengan Kadipaten Sindang Lawu," lanjut Panglima Bayan Sudira.

"Hm.... Apa yang terjadi di Kadipaten Sindang Lawu?" tanya Rangga.

"Hanya kekacauan kecil saja, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira.

"Kekacauan kecil? Dan kau kirim sebagian prajurit ke sana sehingga mengurangi penjagaan di istana! Itu yang dinamakan kekacauan kecil...?!" Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mengerti terhadap sikap panglimanya ini.

"Ampun, Gusti. Sebenarnya kekacauan itu tidaklah berat untuk ditangani kalau saja...."

"Apa?" desak Rangga.

"Kalau saja tidak ditunggangi dua orang yang berilmu sangat tinggi," lanjut Panglima Bayan Sudira.

"Siapa mereka?"
"Sepasang Naga Hitam."

"Sepasang Naga Hitam...," gumam Rangga pelan.

"Gusti sudah bertemu dengan salah seorang dari mereka."

Rangga menatap tajam pada Panglima Bayan Sudira.

"Wanita yang bernama Andini dan hampir mempermalukan hamba tadi adalah salah seorang dari Sepasang Naga Hitam," jelas Panglima Bayan Sudira.

"Oh...!" Rangga agak terkejut juga mendengarnya.

"Para pengikutnya berhasil ditumpas. Hamba tidak menyangka kalau mereka mengikuti ke mana hamba pergi. Hanya tinggal mereka berdua saja, tapi...," lagi-lagi Panglima Bayan Sudira berhenti sebelum kalimatnya selesai.

"Tapi kenapa?" desak Rangga.

"Mereka ternyata mengetahui tentang pusaka itu, dan menginginkannya, Gusti."

"Ahhh...!" kembali Rangga terkejut dan mendesah panjang.

­"Bukan hanya mereka, bahkan beberapa tokoh hitam juga sudah mendengarnya. Mereka kini berusaha untuk mendapatkan pusaka itu. Hamba tidak tahu, dari mana mereka dengar, dan untuk apa menginginkan pusaka itu, Gusti."

Rangga terdiam dan mendesah panjang beberapa kali. Kini persoalannya memang menjadi semakin serius. Pusaka leluhur Karang Setra tidak boleh jatuh ke tangan orang yang sesat. Jelas, hal itu bisa membuat kehancuran bagi seluruh rakyat Karang Setra, bahkan bisa meluas lebih jauh lagi. Orang yang menguasai pusaka itu akan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan menguasai seluruh dunia persilatan. Itu pun kalau memang benar pusaka leluhur Karang Setra memiliki kesaktian yang luar biasa. Sedangkan selama ini belum terbukti kesaktian itu.

Rangga bangkit berdiri dan melangkah menuju ke sebuah sungai kecil yang tidak jauh dari tempat itu. Sungai tersebut berair jernih dan tidak begitu dalam, sehingga bagian dasarnya jelas terlihat Rangga jongkok di tepi sungai dan membasuh wajahnya dengan air yang sejuk itu. Sebentar dipandangi wajahnya di permukaan air sungai itu, kemudian bangkit berdiri dan berbalik. Panglima Bayan Sudira masih tetap duduk bersila di tempatnya. Rangga melangkah menghampirinya, dan menepuk pundak panglima itu.

"Berdirilah," ucap Rangga lembut.

"Hamba, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira seraya memberi sembah, lalu bangkit berdiri.

"Kau tentu membawa kuda," kata Rangga.

"Benar, Gusti. Tapi kuda-kuda itu mungkin masih berada di tepi hutan," sahut Panglima Bayan Sudira.

"Hm..,” Rangga bergumam dan melangkah perlahan-lahan.

Panglima Bayan Sudira mengikutnya dari belakang. Tangan Rangga memberi isyarat agar Panglima Bayan Sudira berjalan di sampingnya. Laki-laki hampir setengah baya itu mensejajarkan langkahnya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kau bawa pakaian ganti, Paman?" tanya Rangga sambil tetap melangkah.

"Bawa, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira.

"Tapi semuanya ada di punggung kuda. Bahkan hamba juga membawa kuda Dewa Bayu."

"Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak kabur dan kau bisa mengganti pakaian dengan yang biasa. Rasanya pakaianmu terlalu menyolok."

"Hamba, Gusti."

"Satu lagi. Sebaiknya kau tidak memanggilku Gusti. Panggil saja aku Rangga, " pinta Rangga.

"Gusti... !" Panglima Bayan Sudira terkejut.

"Gerakan kita tidak akan bebas kalau kau tetap memanggilku seperti itu. Dan lagi pakaianmu terlalu menyolok kalau kau seorang panglima perang Kerajaan Karang Setra."

"Hamba, Gusti," ucap Panglima Bayan Sudira mengerti.

­"Aku tetap akan memanggilmu paman. Dan kau harus memanggilku Rangga saja, tanpa ada sebutan lain."

"Baik, Gusti..., eh, Rangga."

"Bagus! Sebaiknya kita cepat-cepat ke tepi hutan. Mudah-mudahan kuda-kudamu masih ada di sana.

"Baik, Rangga , " Panglima Bayan Sudira mulai membiasakan diri memanggil junjungannya dengan nama kecil saja.

Rangga tersenyum senang. Tapi di balik semua itu hatinya tidak tenteram. Apa yang telah dikatakan panglimanya itu membuat kepalanya terasa akan pecah. Kini perhatiannya harus dikhususkan pada pusaka Karang Setra yang hilang. Dan sementara itu sudah banyak tokoh rimba persilatan yang mengetahuinya. Pusaka itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Dan ini memang tidak boleh terjadi!

Untungnya kuda-kuda yang ditinggalkan masih ada, dan tengah merumput dengan tenang. Panglima Bayan Sudira mengganti pakaiannya dengan yang biasa dipakai orang kebanyakan. Dia juga mengenakan topi anyaman daun pandan yang cukup lebar, sehingga hampir menutupi. wajahnya.

Sementara itu Rangga memandangi mayat-mayat prajuritnya yang terbujur tak tentu arah. Keadaan mereka memang sangat menyedihkan! Bahkan sebagian tengah dikeroyok burung pemakan bangkai!

Burung-burung seperti itu memang selalu cepat datang bila mencium bau darah. Rangga tidak tahan melihatnya, meskipun sering melihat pemandangan seperti itu. Tapi kali ini sungguh lain. Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik, lalu menghampiri seekor kuda hitam berkilat yang tinggi dan tegap. Kuda itu berjingkrak dan meringkik melihat majikannya menghampiri.

"Kita bersama lagi, Hitam," ucap Rangga seraya menepuk-nepuk leher kuda itu.

Kuda hitam itu meringkik dan mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mengerti apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga memeluk kepala kuda itu, dan memegang tali kekangnya.

Dengan satu lompatan yang indah, dia naik ke punggungnya. Kembali kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.

"Kita berangkat sekarang, Paman," kata Rangga seraya melirik Pada Paman Bayan Sudira yang sudah berada di atas punggung kudanya.

"Ke mana arahnya?" tanya Bayan Sudira.

"Ke Kerajaan Jiwanala, " jawab Rangga seraya menghentakkan tali kekang kudanya.

Kuda hitam itu melangkah perlahan-lahan. Paman Bayan Sudira Juga menghentakkan tali kekang kudanya, dan mensejajarkannya di samping kiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Dua ekor kuda berjalan perlahan-lahan menuju ke Kerajaan Jiwanaia.

"Kenapa harus ke Jiwanala, Rangga?" tanya Bayan Sudira yang sudah terbiasa mengucapkan nama itu.

"Tadi kau katakan, si Kumbang Merah mencegat dan melarangmu ke sana. Bukan begitu, Paman?"

"Benar."

"Nah, aku rasa dari sanalah kita harus memulainya. Hm..., aku sendiri pernah mendengar kalau pusaka itu berada di Jiwanala."

"Kau pernah mendengar juga? Jadi...!" Paman Bayan Sudira terperanjat.

“Ya! Aku memang sudah mendengar adanya pusaka yang hilang dari Karang Setra. Tapi tidak kusangka kalau lambang kerajaan yang hilang."

"Sebenarnya aku juga sudah mendengar kalau pusaka itu ada di sana. Dan Gus..., eh, kau juga ada di sana," Paman Bayan Sudira hampir terselip lidahnya.

"Ingat, Paman. Kita sedang berada di luar istana," Rangga mengingatkan.

"Maaf," ucap Bayan Sudira.

"Aku memang sudah lama berada di sana," kata Rangga memberitahu.

"Benar Gusti Prabu Duta Nitiyasa pun sudah mengatakan demikian."

"Jadi, kau sudah menemui Prabu Duta Nitiyasa?" Rangga terkejut.

"Maaf, ham..., eh aku tidak punya pilihan lain. Aku menceritakan semuanya tentang diri...."

"Ah, sudahlah," potong Rangga cepat. "Lidahmu bisa terselip terus nanti."

Bayan Sudira tersenyum tipis, tapi cukup senang karena Rangga tidak marah dan bisa memakluminya.

Mereka terus mengendarai kuda perlahan-lahan dan tidak terburu-buru. Sepanjang perjalanan ada saja yang dibicarakan. Tapi kebanyakan Rangga yang bertanya. Sesekali, Paman Bayan Sudira masih salah memanggil. Namun lama kelamaan terbiasa juga, meskipun setiap kali menyebut nama Rangga selalu terselip perasaan tidak enak di dalam hatinya. Betapa tidak? Dia harus memanggil nama asli junjungannya tanpa ada panggilan kehormatan!

Paman Bayan Sudira jadi teringat ketika pertama kali bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dia juga memanggil Rangga dengan nama saja. Tapi saat itu dia tidak tahu, siapa Rangga sebenarnya yang muncul dengan nama Pendekar Rajawali Sakti. Memang menyenangkan saat itu. Tapi kali ini terasa kaku, meskipun Rangga selalu bersikap biasa saja. Hanya perasaan Paman Bayan Sudira saja yang tidak enak.

"Kenapa diam...?" tegur Rangga.

"Ah, tidak.... Aku jadi ingat ketika pertama kali bertemu," sahut Paman Bayan Sudira.

"Ha ha ha...!" Rangga tertawa terbahak-bahak. “Ya, saat itu kau gugup sekali begitu mengetahui diriku sesungguhnya, Paman. Padahal aku sendiri tidak ingin semua orang tahu tentang diriku."

"Tapi kemunculanmu membawa perubahan besar bagi seluruh rakyat Karang Setra."

­"Ah! Itu masa lalu, Paman," Rangga ingin membuang kenang-kenangan itu.

"Masa lalu yang indah dan menyenangkan."

Rangga tersenyum getir. Dia jadi teringat akan seorang gadis yang pertama dicintai dan membuka pintu hatinya, namun cepat-cepat dienyahkan kenangan itu. Rasanya tidak ingin lagi larut dalam kenangan. Baginya masa lalu bukan untuk dikenang, tapi untuk dilupakan. Karena masa lalu itulah singgasananya harus ditinggalkan untuk mengembara dari satu desa ke desa lain. Keluar masuk hutan tanpa tujuan yang pasti. Satu perjalanan panjang dan melelahkan.

"Maaf, kalau aku membuatmu murung," ucap Paman Bayan Sudira.

"Ah...!" Rangga hanya mendesah panjang.

"Apa yang akan kita lakukan di Jiwanala?" tanya Paman Bayan Sudira mengembalikan pada pokok persoalannya.

“Yang jelas, hindarilah pertemuan dengan Prabu Duta Nitiyasa, " sahut Rangga.

"Kenapa?" tanya Paman Bayan Sudira.

"Sebab bisa membatasi ruang gerak kita, Paman. Jika kita berhubungan dengan orang-orang istana, pasti akan menyulitkan. Terus terang, aku selalu menghindari hubungan dengan orang pemerintahan jika menyelesaikan suatu masalah. Kau akan mengerti nanti, Paman," Rangga mencoba menjelaskan.

"Aku mengerti, Rangga."

"Aku punya tempat yang lumayan. Orangnya baik dan bisa dipercaya. Selama berada di sini aku tinggal di rumahnya," jelas Rangga.

"Rumah penginapan?" tebak Paman Bayan Sudira.

“Ya. Tapi cukup tenang dan nyaman. Tidak terlalu banyak yang datang ke sana."

Paman Bayan Sudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Di mana pun mereka menetap sementara, pasti akan dituruti. Sementara itu kuda mereka sudah ­memasuki pintu gerbang perbatasan. Dua orang prajurit penjaga perbatasan hanya memperhatikan saja tanpa menegur sama sekali. Dua ekor kuda itu terus berjalan perlahan-lahan. Tidak ada yang memperhatikan. Dan memang, kedua orang itu sama sekali tidak me­yolok. Mereka seperti layaknya para pendatang lain yang hanya singgah sebentar, atau menetap beberapa hari. Kerajaan di pesisir pantai ini memang sering didatangi pendatang. Dan itu sangat memudahkan Rangga dan Paman Bayan Sudira.

********************

­Rangga dan Paman Bayan Sudira yang baru saja menambatkan kudanya di bawah pohon kenanga menjadi terkejut, karena Ki Jantar berlari-lari kecil menghampirinya. Kedai laki-laki tua itu kelihatan ramai dikunjungi orang. Bahkan rumah penginapan yang berada di samping kedai itu dipenuhi pendatang. Rangga tersenyum menyambut laki-laki tua itu.

­"Celaka, Den.... Aduh celaka...," ujar Ki Jantar dengan mimik wajahnya tampak cemas.

"Ada apa, Ki?" tanya Rangga.

"Baru saja mereka pergi. Mereka mencari Raden," jelas Ki Jantar.

"Mereka siapa?" tanya Paman Bayan Sudira.

Ki Jantar tidak langsung menjawab, tapi malah menatap Paman Bayan Sudira penuh curiga. Rangga tahu itu maka ditepuknya pundak Paman Bayan Sudira seraya tersenyum.

"Ini pamanku, Ki," kata Rangga memperkenalkan.

"Oh...," Ki Jantar mendesah lega.

"Siapa mereka, Ki?" Rangga mengulangi pertanyaan Paman Bayan Sudira.

"Aku tidak tahu namanya. Mereka dua orang, Den. Masih muda-muda. Tapi galaknya minta ampun."

"Iya siapa mereka?” Paman Bayan Sudira tidak sabaran.

"Seorang laki-laki, dan seorang lagi perempuan. Baju mereka kuning gading dan membawa pedang bergagang seperti tanduk kerbau. Mereka mencari Raden...,” jelas Ki Jantar.

"Sepasang Naga Hitam...,” desis Paman Bayan Sudira pelan. Begitu pelannya sampai tidak terdengar.

"Mereka membuat keributan, Ki?" tanya Rangga.

"Tidak. Tapi sempat mengancam dan akan datang kembali," sahut Ki Jantar.

"Bagaimana, Rangga?" tanya Paman Bayan Sudira.

­"Sebaiknya kita tunggu di sini," sahut Rangga.

"Den.., " suara Ki Jantar bergetar.

“Tenang saja, Ki. Aku tidak akan membuat keributan. Kalaupun terpaksa, bukan di sini tempatnya," janji Rangga.

"Aku takut, Raden akan celaka."

Rangga tersenyum dan menepuk pundak laki-laki tua itu, kemudian diajaknya Paman Bayan Sudira.

Rangga juga meminta kamar satu lagi yang bersebelahan dengan kamarnya. Ki Jantar menyanggupi, dan bergegas ke rumah penginapannya. Sementara Rangga dan Paman Bayan Sudira menuju ke kedai.

Semua pelayan di kedai itu sudah mengenal Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menyediakan makanan dan minuman tanpa dipesan lagi. Rangga sengaja memilih tempat dekat jendela yang langsung menghadap ke luar. Sambil makan, matanya selalu memandangi orang-orang yang berada di dalam kedai itu. Hal yang sama juga dilakukan Paman Bayan Sudira.

"Mereka sepertinya dari...," Paman Bayan Sudira menghentikan kalimatnya ketika melihat seorang laki-laki tua yang duduk di sudut kedai agak jauh darinya.

"Ada apa, Paman?" tanya Rangga seraya mengarahkan pandangan yang sama.

Di sudut, tampak seorang laki-laki tua berpakaian rapi, bersih dan berwarna biru. Dilihat dari cara berpakaian, sepertinya seorang bangsawan. Wajahnya pun kelihatan ramah, dan selalu menyunggingkan senyum. Semua orang pasti akan menduga kalau kakek itu adalah seorang bangsawan, atau paling tidak pemimpin sebuah padepokan besar.

"Kau mengenalnya, Paman?" tanya Rangga seraya menoleh pada Paman Bayan Sudira.

"Orang itulah yang dijuluki Kakek Pesolek Pemetik Bunga," sahut Paman Bayan Sudira pelan setengah berbisik.

Hampir saja Rangga tertawa mendengar julukan orang tua itu. Memang, kakek itu berpakaian cukup rapi, dan rambutnya tertata apik. Cukup pantas kalau disebut pesolek. Tapi, kata pemetik bunga itulah yang membuat Ranga harus menahan gelitik di tenggorokannya.

"Aku tidak melihatnya membawa bunga, Paman," kata Rangga sambil menahan tawanya.

"Memang tidak ada bunga, itu hanya perlambang saja. Bunga diartikan gadis muda."

"Oh...!" Rangga tersentak kaget. Kembali dipandangi wajah kakek tua yang masih tetap duduk tenang di sudut kedai.

Belum juga sempat Pendekar Rajawali Sakti itu berpikir jauh, mendadak sebuah benda melesat cepat ke arahnya dan menancap di tengah-tengah meja kayu. Rangga dan Paman Bayan Sudira tersentak kaget. dan hampir bangkit dari tempat duduknya.

Tatapan mereka langsung tertuju pada sebatang mata tombak yang tertancap di meja mereka. Segulung daun lontar terikat pada mata tombak itu.

Paman Bayan Sudira mengambil benda itu dan membuka gulungan daun lontarnya. Sebentar dibaca tulisan yang tertera di daun lontar itu, kemudian diserahkannya pada Rangga. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu terbeliak begitu membaca tulisan yang tertera pada daun lontar. Pandangannya segera beredar ke sekeliling. Sementara itu Paman Bayan Sudira mengamati mata tombak di dalam genggaman tangannya.

"Macan Gunung Sumbing..., " desis Paman Bayan Sudira.

"Siapa dia, Paman?" tanya Rangga menatap pada panglimanya.

"Sebaiknya kita keluar dari sini. Hm... rupanya mereka sudah berada di sini semuanya," kata Paman Bayan Sudira setengah bergumam.

Rangga ingin bertanya lagi, tapi Paman Bayan Sudira sudah bangkit dari duduknya dan melangkah ke luar. Pendekar Rajawali Sakti itu meletakkan beberapa keping uang logam, lalu ikut melangkah keluar dari dalam kedai ini.

Beberapa saat kemudian, seorang wanita tua yang memakai baju warna jingga juga melangkah ke luar, diikuti Kakek Pesolek Pemetik Bunga Kemudian beberapa orang lagi mengikuti ke luar. Sementara Ki Jantar yang memperhatikan semua itu dari balik mejanya, hanya bisa bengong tidak mengerti. Sebentar saja kedainya jadi sepi kembali. Tinggal beberapa orang saja yang masih menikmati hidangannya. Itu pun hanya penduduk di sekitar kedai itu. Semua pendatang dari luar kerajaan, sudah meninggalkan kedai tanpa berkata-kata sedikit pun.

LIMA

­Rangga memandangi dataran rumput luas yang membentang di depannya. Padang rumput ini dikelilingi bukit yang menjulang tersaput awan. Kembali dipandangi daun lontar yang masih berada dalam genggamannya. Dari tulisan yang tertera pada daun lontar itu, mengatakan kalau dirinya ditunggu di padang rumput ini.

"Pintar sekali dia memilih tempat...,” gumam Paman Bayan Sudira, seolah-olah berbicara untuk dirinya sendiri.

Rangga menatap dalam-dalam wajah Paman Bayan Sudira. Yang ditatap buru-buru membungkukkan tubuhnya memberi hormat Rangga kembali mengalihkan pandangannya pada padang rumput di depannya.

"Apa maksud kata-katamu, Paman?" tanya Rangga tanpa menoleh.

Belum sempat Paman Bayan Sudira menjawab, tiba-tiba terdengar suara mengaum yang sangat keras menggetarkan. Paman Bayan Sudira menggeser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sudah bisa diketahui, siapa yang bakal datang menemui mereka.

Sementara Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Auman itu demikian keras dan mengejutkan. Namun sukar diduga, dari mana datangnya.

­Belum lagi Rangga bisa menentukan arah datangnya suara tadi, mendadak saja beberapa mata tombak hitam meluncur deras ke arahnya. Begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Bayan Sudira terperangah sejenak. Namun dengan cepat mereka berlompatan, lalu berputaran di udara menghindari hujan mata tombak hitam itu.

"Hhh! Siapa kau!? Keluar....!" seru Rangga keras, begitu kakinya mendarat di tanah.

Teriakan Rangga begitu keras dan menggema terpantul bukit yang mengelilingi padang rumput ini. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Rangga mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', tapi tetap saja tidak terdengar suara yang mencurigakan. Bahkan semua pohon dan rerumputan bergerak wajar. Sama sekali tidak mengisyaratkan ada sesuatu.

"Lebih waspada, Paman," bisik Rangga memperingatkan.

"Ya...," Paman Bayan Sudira hanya bisa mendesah saja.

"Auuum...!" kembali terdengar auman yang panjang bergema.

Belum lagi suara auman itu hilang dari pendengaran, tiba-tiba saja muncul seekor harimau yang sangat besar. Begitu besarnya sehingga hampir menyamai seekor anak sapi. Harimau itu menggerung-gerung sambil mencakar-cakar tanah berumput. Sepasang matanya merah menyala menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.

­“Ghrauuughk...!" harimau itu menggeruk dahsyat, hingga menggetarkan bumi.

Tiba-tiba saja binatang buas itu melompat cepat sambil memamerkan kuku-kukunya yang mengembang lebar. Rangga benar-benar terperangah melihat harimau yang begitu besar, dan kini melompat hendak menerkamnya. Begitu cepatnya harimau itu menyerang, tahu-tahu tubuh Pendekar Rajawali Sakti terpental ke belakang terterjang binatang itu. Dua batang pohon hancur terlanda tubuh Rangga.

Namun dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak bangkit. Dan kembali dia terperangah, karena harimau itu sudah melompat lagi hendak menerkamnya. Cepat-cepat Rangga melompat ke samping dan bergulingan di tanah beberapa kali. Terkaman harimau itu mengenai tempat kosong. Binatang itu menggeram keras, langsung berbalik menghadap Pendekar Rajawali Sakti kembali.

"Edan! Binatang macam apa ini...?!" gumam Rangga.

Harimau itu sudah kembali melompat menerkam. Tapi kali ini Rangga sudah mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dia berdiri tegak menanti serangan itu. Dan begitu harimau itu sudah demikian dekat...

“Yaaah...!"

Rangga mengayunkan pukulan mautnya, dan mendarat telak di wajah harimau itu. Pukulan itu demikian keras sehingga membuat harimau tersebut terpental jauh ke belakang. Raungannya begitu keras. Di luar dugaan, harimau itu masih bisa bangkit kembali dengan tegak! Bahkan kembali melompat menyerang dengan ganas.

"Hup!"

Rangga melompat ke atas, lalu menukik deras mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' . Tepat ketika harimau besar itu berada di bawahnya, dilancarkannyalah dua kali tendangan disusui satu pukulan bertenaga dalam penuh ke tubuh binatang buas itu.

"Grhaaauuugh... !" harimau itu meraung keras.

Hanya dua kali dia berguling di tanah, lalu bangkit kembali. Rangga yang sudah berdiri tegak, jadi melangkah mundur beberapa tindak. Pukulan dan tendangannya yang sangat dahsyat, begitu telak mengenai sasaran. Tapi harimau itu masih tetap tegar. Tidak terdapat luka sedikit pun di tubuhnya. Rangga sendiri jadi bingung. Padahal, tadi sudah dikerahkan tenaga dalam penuh, tapi harimau itu tidak terpengaruh sedikit pun.

"Dia tidak bisa dibunuh, Rangga," kata Paman Bayan Sudira yang sejak tadi hanya menonton saja.

"Apa...?” tanya Rangga.

Belum juga Paman Bayan Sudira menjawab mendadak..."

"Ha ha ha...!"

Suara tawa itu bergema seolah-olah datang dari segala penjuru. Belum lagi hilang suara tawa itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Hampir seluruh wajahnya tertutup cambang dan kumis tebal. Sepasang matanya bulat seperti mata kucing, berwarna kuning.

"He he he.. . !" orang itu tertawa terkekeh, lalu melangkah mendekati harimau besar itu dan menepuk-nepuk lehernya. Harimau itu mendekam dan kelihatan jinak.

"Macan Gunung Sumbing...," desis Paman Bayan Sudira yang sudah berdiri di samping Rangga.

"Siapa dia?" tanya Rangga setengah berbisik.

"Tokoh persilatan yang cukup tinggi kepandaiannya," jelas Paman Bayan Sudira singkat.

"Hm. Apa maksudnya berada di sini?" tanya Rangga seperti untuk dirinya sendiri.

"Aku sendiri tidak tahu, Rangga. Dua kali dia mencegatku, tapi tidak melakukan apa-apa. Hanya...”

"Hanya apa?"

"Dia tidak ingin aku ke Kerajaan Jiwanala."

"Oh... !?"

"Bukan hanya dia! Masih ada beberapa lagi yang coba-coba menghalangiku ke Jiwanala untuk mencarimu, Rangga. Salah satunya adalah Sepasang Naga Hitam."

"Paman, apakah ini ada hubungannya dengan Pusaka Karang Setra?" tanya Rangga.

"Entahlah! Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu, tapi anehnya selalu menghalangi siapa saja yang datang dari Karang Setra ke Jiwanala Bahkan mereka tidak segan-segan membunuh jika larangannya dilanggar."

"He he he..., tidak sia-sia aku jauh-jauh datang ke sini," Macan Gunung Sumbing terkekeh seraya melangkah mendekati Rangga. Sedangkan harimau besar itu masih mendekam tidak bergeming.

"Kau yang berjuluk Macan Gunung Sumbing?" tanya Rangga memastikan.

"Benar. Dan, aku yakin kau Pendekar Rajawali Sakti," sahut Macan Gunung Sumbing.

"Gunung Sumbing cukup jauh dari sini. Apa yang membuatmu hingga ke tempat ini, Macan Gunung Sumbing?" tanya Rangga, terdengar tenang suaranya.

"He he he..., pertanyaan yang tidak perlu kujawab. Panglimamu sudah bisa menjawabnya, Pendekar Rajawali Sakti," jawab Macan Gunung Sumbing terkekeh.

Rangga menoleh pada Panglima Bayan Sudira, seolah-olah meminta penjelasan pada Panglima Karang Setra itu. Tapi yang ditatap hanya mengangkat bahunya saja.

"He he he..., kenapa tidak kau jelaskan saja semuanya, Panglima Bayan Sudira?" terdengar sinis nada suara Macan Gunung Sumbing.

"Macan Gunung Sumbing! Apa yang kau bicarakan!?" bentak Paman Bayan Sudira, memerah wajahnya.

­"Aku bicara cukup jelas, Panglima. Kenapa masih juga menutup-nutupi? Katakan saja terus terang pada rajamu. Tapi, mungkin sudah terlambat He he he...," kembali Macan Gunung Sumbing terkekeh.

“Tutup mulutmu, keparat! " bentak Paman Bayan Sudira geram.

"He he he...!" Macan Gunung Sumbing malah tertawa semakin keras.

"Setan! Kubunuh kau! Hiyaaa...!"

Panglima Bayan Sudira rupanya sudah tidak kuat lagi menahan amarahnya. Cepat sekali dia melompat sambil mengirimkan beberapa pukulan bertenaga dalam cukup tinggi, tapi semuanya mampu dielakkan Macan Gunung Sumbing dengan manis.

Pertarungan Itu tidak mungkin lagi dihindarkan. Sementara Rangga hanya bisa memandang tanpa berbuat apa-apa. Sebab, dia sendiri masih belum mengerti, apa yang dibicarakan Macan Gunung Sumbing bersama Panglima Bayan Sudira tadi. Sementara Rangga hanya bisa mengawasi harimau yang mendekam di bawah pohon. Dia berjaga-jaga kalau-kalau harimau itu berlaku curang membokong Panglima Bayan Sudira.

Sementara pertarungan berlangsung semakin sengit. Sudah puluhan jurus berlangsung, tapi belum terlihat tanda-tanda bakal ada yang unggul. Sedangkan Paman Bayan Sudira sudah menggunakan pedangnya yang sangat diandalkan. Jurus-jurus pedangnya luar biasa. Pedang keperakan itu sampai tidak terlihat bentuknya lagi. Yang nampak kini hanya kilatan cahaya keperakan mengurung tubuh Macan Gunung Sumbing.

Namun pada tahap-tahap yang menentukan, terlihat kalau Paman Bayan Sudira mulai terdesak. Beberapa kali pukulan telak mendarat di tubuhnya. Panglima Bayan Sudira harus bergulingan dan berlompatan menghindari serangan-serangan Macan Gunung Sumbing. Serangan-serangan itu sangat dahsyat, sehingga di sekitar pertarungan bagaikan habis diamuk puluhan gajah.

"Hm. Dalam satu atau dua jurus, Paman Bayan Sudira tidak akan bertahan lagi, " gumam Rangga yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan itu.

Dugaan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat. Satu pukulan telak telah mendarat di dada Panglima Bayan Sudira, sehingga laki-laki itu terpental keras menghantam tanah berumput. Pada saat itu, harimau besar yang sejak tadi mendekam saja, melompat cepat ke arah Panglima Bayan Sudira sambil meraung keras. Rangga sempat tersentak sesaat, kemudian bagaikan kilat melompat menerjang harimau itu.

“Hiyaaat...!"
"Grhaugh...!"

Harimau itu menggerung keras. Tubuhnya terpental deras hingga menghantam pohon. Tendangan Rangga yang bertenaga dalam sempurna itu membuat binatang itu menggerung kesakitan. Namun, dia mampu bangkit kembali tanpa ada luka sedikit pun di tubuhnya. Sementara itu Panglima Bayan Sudira sudah mampu bangkit kembali meskipun tidak bisa tegak. Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah segar.

"Belum waktunya kau ikut campur, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Macan Gunung Sumbing.

"Tidak seharusnya piaraanmu berlaku curang!" balas Rangga tidak kalah dinginnya.

"Harimau ku tidak curang! Panglimamu-lah yang sudah kalah. Dia hanya minta bagiannya, Pendekar Rajawali Sakti. Setiap lawanku yang kalah, harus menjadi santapannya! " tegas Macan Gunung Sumbing, tetap dingin suaranya.

"Aku belum kalah!" geram Panglima Bayan Sudira.

­"He he he.... Nyawamu tinggal seujung rambut lagi, Panglima. Bicaralah dengan jujur sebelum terbang ke neraka!" suara Macan Gunung Sumbing terdengar ketus.

"Keparat! Kau tidak berhak menekanku!" bentak Panglima Bayan Sudira.

“Tunggu...!” bentak Rangga begitu Panglima Bayan Sudira akan menerjang.

"Gusti...," Panglima Bayan Sudirda membungkuk sedikit

"Sejak tadi kalian seperti memperebutkan sesuatu. Apa yang kalian pertengkarkan?" tanya Rangga tidak sabar lagi. Dia memang sudah kebingungan, ingin tahu permasalahan kedua orang itu.

­“Tanyakan saja pada panglimamu, Pendekar Rajawali Sakti," dengus Macan Gunung Sumbing.

"Paman...," Rangga menatap pada Panglima Bayan Sudira.

"Ampun, Gusti. Sebenarnya tidak ada persoalan apa-apa. Orang ini memang hanya mencari-cari perkara saja. Dia menginginkan Pusaka Karang Setra itu, Gusti,” jelas Panglima Bayan Sudira.

Rangga mengalihkan pandangannya pada Macan Gunung Sumbing, tapi yang dipandang malah tertawa terbahak-bahak Pendekar Rajawali Sakti itu jadi berkerut keningnya. Kembali ditatapnya Panglima Bayan Sudira.

"Kau tidak berdusta, Paman?" tanya Rangga.

"Ampun, Gusti. Hamba mengatakan yang sebenarnya," tegas Panglima Bayan Sudira.

"Ha ha ha...! Sungguh berani sekali mendustai raja besar yang mengangkatmu jadi terhormat Kenapa tidak berkata terus terang saja kalau kau yang mengambil Pusaka Karang Setra itu Jangan memfitnah orang-orang yang tidak bersalah hanya untuk menutupi perbuatanmu!" kata Macan Gunung Sumbing lantang.

"Setan! Tutup mulutmu!" bentak Panglima Bayan Sudtra geram. Panglima Kerajaan Karang Setra itu tidak bisa lagi membendung amarahnya, dan langsung melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher Macan Gunung Sumbing. Tapi pada saat yang sama Rangga melompat cepat bagaikan kilat. Tangannya menjulur menampar pergelangan tangan Panglima Bayan Sudira.

“Tahan...!” sentak Rangga.

Panglima Bayan Sudira memegangi pergelangan tangannya. Tepakan Pendekar Rajawali Sakti itu membuat tulang pergelangan tangannya seperti remuk. Pedang yang dipegangnya pun terpental dan menancap di tanah tidak jauh darinya. Panglima Bayan Sudira buru-buru membungkuk memberi hormat. Sementara Macan Gunung Sumbing hanya terkekeh kecil.

"Kendalikan amarahmu, Paman. Akan kuselesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah!" kata Rangga penuh wibawa.

"Dia benar! Kau tidak perlu malu untuk mengatakannya. Aku yakin, rajamu akan bertindak adil dan bijaksana," celetuk Macan Gunung Sumbing.

Rangga menatap tajam Macan Gunung Sumbing.

"Baik. Aku akan pergi meninggalkan kalian berdua. Tapi ingat, urusan ku dengan Bayan Sudira belum tuntas. Juga denganmu, Pendekar Rajawali Sakti," kata Macan Gunung Sumbing.

Setelah berkata demikian, Macan Gunung Sumbing melangkah pergi diikuti harimaunya yang besar. Rangga memandangi kepergian tokoh sakti itu dengan kening agak berkerut. Macan Gunung Sumbing menghentikan langkahnya, lalu berbalik.

"Hanya satu yang perlu kau ingat, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah berjasa padamu membongkar persoalan ini," kata Macan Gunung sumbing. “Ayo, Belang!"

Hanya beberapa kali lompatan saja, Macan Gunung Sumbing sudah lenyap dari pandangan. Harimau besar itu mengaum keras, kemudian melompat mengikuti majikannya. Rangga menarik napas panjang.

Kata-kata Macan Gunung Sumbing yang terakhir tadi kini mengganggu pikirannya. Sulit dimengerti, apa yang dimaksudkan tokoh sakti itu.

********************

Rangga melangkah perlahan-lahan menghampiri sebongkah batu yang tidak begitu besar, namun cukup datar untuk diduduki. Di samping batu itu berdiri sebatang pohon rindang, cukup nyaman untuk berlindung dari sengatan matahari. Rangga duduk bersila di atas batu itu, sedangkan Panglima Bayan Sudira hanya berdiri dengan kepala tertunduk.

"Mendekatlah kemari, Paman," pinta Rangga.

"Hamba, Gusti."

Panglima Bayan Sudira memberi hormat, kemudian melangkah menghampiri. Dia duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti. Kepalanya tetap tertunduk menekun rerumputan di depannya. Sementara Rangga menatap tidak berkedip.

"Paman, aku ingin penjelasan yang lengkap. Kuharap kau berterus terang dan berkata jujur," kata Rangga tegas dan berwibawa.

"Ampun, Gusti. Semua yang dikatakan Macan Gunung Sumbing sama sekali tidak benar. Pusaka Karang Setra benar-benar hilang dicuri. Sampai sekarang belum jelas, siapa pencurinya dan di mana pusaka itu berada,” kata Panglima Bayan Sudira setelah memberi hormat.

­"Benarkah yang kau katakan itu, Paman?" tanya Rangga bernada tidak percaya.

“Dewata di Swargaloka menjadi saksi Gusti" sumpah Panglima Bayan Sudira."

"Baiklah. Aku percaya padamu, Paman. Hanya saja...,” Rangga memutuskan ucapannya.

"Hanya apa, Gusti?" desak Panglima Bayan Sudira.

"Dari mana Macan Gunung Sumbing tahu tentang pusaka itu? Dan kenapa menuduh bahwa kau yang mengambilnya...?" Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Gusti, dia hanya ingin memfitnah saja. Yang diinginkan. sebenarnya pusaka itu, seperti halnya tokoh-tokoh lain. Berbagai cara pasti ditempuh untuk memperolehnya," jelas Panglima Bayan Sudira.

Tatapan Rangga semakin tajam ke arah laki-laki hampir setengah baya di depannya. Sinar matanya memancarkan ketidakpercayaan terhadap keterangan Panglima Bayan Sudira. Terlalu mudah rasanya untuk alasan seperti itu. Macan Gunung Sumbing bukanlah tokoh yang suka berbuat sekeji itu, meskipun sepak terjangnya selalu merugikan dan mencelakakan orang lain. Tapi untuk memfitnah, memecah belah dan berlaku keji seperti ini..., rasanya hal itu tidak pernah dilakukan Macan Gunung Sumbing. Setahunya tokoh itu selalu bertindak jantan, meskipun seluruh tokoh rimba persilatan menggolongkannya dalam aliran hitam. Tindak tanduknya yang liar dan kejam tanpa mengenal belas kasihan pada siapa pun, sangat memungkinkan dia ada di golongan hitam.

"Gusti, percayalah! Hamba tidak mungkin berkhianat. Justru hamba sekarang berada di sini karena mencari pusaka itu, selain untuk mengabarkan kepada Gusti," kata Panglima Bayan Sudira berusaha meyakinkan junjungannya.

"Hhh... !" Rangga menarik napas panjang.

Sebentar kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit berdiri dan melangkah menghampiri kudanya yang tengah asyik merumput. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga melompat naik ke punggung kudanya. Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.

Sedangkan Panglima Bayan Sudira masih tetap duduk bersila dengan kepala tertunduk. Dia tahu kalau Rangga tidak mempercayai keterangannya. Rasa curiga dan ketidakpercayaan kini sudah terselip di hati Raja Karang Setra itu.

"Tunjukkan kesetiaanmu, Paman. Jangan temui aku sebelum bisa menunjukkan kesetiaanmu" kata Rangga tegas dan berwibawa.

"Gusti...!" Panglima Bayan Sudira tersentak kaget

"Aku benar-benar kecewa jika kau berkhianat, Paman. Selama ini kau selalu kupercaya, dan kuberikan kekuasaan penuh menangani seluruh prajurit Karang Setra. Aku tidak ingin kejadian ini menyebar dan membuat malu dirimu sendiri. Kau kuberi kesempatan untuk membuktikan kejujuranmu padaku, " kata Rangga lagi.

"Gusti, ampunkan hamba.... Hamba tidak berkhianat," rintih Panglima Bayan Sudira memohon.

"Aku percaya padamu, Paman. Tapi saat ini harus kau tunjukkan dan perlihatkan kepercayaan yang telah kuberikan padamu. Tunjukkanlah kalau kau seorang abdi setia yang patut dipercaya.”

"Oh, Gusti..,. Hukumlah hamba, Gusti. Hukumlah seberat-beratnya bila memang hamba berkhianat," rintih Panglima Bayan Sudira.

"Hukuman tetap akan dijalankan bila kau bersalah."

"Oh...."

Lemas seluruh tubuh Panglima Bayan Sudira. Walaupun dengan merintih dan memohon ampun, tapi keputusan Rangga tidak bisa dicabut kembali. Pendekar Rajawali Sakti itu menggebah kudanya dengan cepat meninggalkan Panglima Bayan Sudira yang berlutut sambil merintih lirih.

Rangga sudah tidak terlihat lagi bersama Kuda Dewa Bayu. Laki-laki dari Karang Setra itu bangkit berdiri setelah bisa menghilangkan kegundahan hatinya. Perlahan-lahan dia melangkah menghampiri kudanya, lalu melompat naik ke punggung kuda itu.

"Oh, Dewata Yang Agung.... Begitu berat cobaan yang Kau timpakan padaku" rintih Panglima Bayan Sudira.

Kuda itu melangkah perlahan-lahan membawa Panglima Bayan Sudira di punggungnya. Laki-laki hampir separuh baya itu tidak peduli ke mana kudanya akan membawa. Seluruh gairah hidupnya sudah hilang dengan hilangnya kepercayaan Rangga padanya. Dan semua itu akibat kemunculan si Macan Gunung Sumbing. Panglima Bayan Sudira benar-benar mendendam pada tokoh hitam itu yang telah menghancurkan segala-galanya dengan memfitnahnya langsung di depan junjungannya itu.

Hanya, Panglima Bayan Sudira memang tidak bisa menyalahkan Pendekar Rajawali Sakti yang juga junjungannya di Kerajaan Karang Setra. Memang tidak bisa dibantah semua yang dituduhkan Macan Gunung Sumbing padanya. Meskipun tuduhan itu tanpa bukti yang nyata. Dan kini harus ditunjukkan kalau dirinya tidak bersalah sama sekali.

********************

­Sementara itu di bagian Barat Kerajaan Jiwanala, tepatnya di pinggir Hutan Kemukus, tampak dua orang sedang bertarung sengit Di sekitar tempat pertarungan itu, tergeletak beberapa sosok tubuh berpakaian seragam prajurit Kerajaan Jiwanala. Dua orang yang sedang bertarung itu adalah seorang laki-laki tua melawan seorang wanita tua yang memakai baju warna jingga.

Tampaknya pertarungan itu sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Serangan-serangan mereka ­begitu dahsyat, disertai gerakan-gerakan cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa. Percikan bunga api terlontar setiap kali terdengar dentingan dua senjata beradu.

"Lepas...!"

Tiba-tiba saja terdengar satu bentakan keras, disusul melesatnya sebilah pedang berwarna keemasan.

Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar suara pekikan tertahan. Tampak laki-laki tua berbaju indah dari bahan sutra halus terhuyung-huyung keluar dari arena pertarungan itu. Sebelah tangan kirinya menekap dada.

"Hi hi hi...! Sudah kukatakan, kau bukan lawanku, kakek peyot!”

"Phuih!" laki-laki tua itu menyemburkan ludahnya.

Cring!

Sambil menggeram keras, dikeluarkan sepasang senjata berbentuk bola-bola kecil berduri berjumlah lima pada setiap ujung-ujung rantainya yang pendek. Senjata itu tergenggam di tangan kanan dan kirinya.

Laki-laki tua itu dengan lincah memain-mainkan senjatanya. Sedangkan perempuan tua itu tetap kelihatan tenang mengelus-elus sekuntum bunga mawar berwarna jingga yang cukup besar ukurannya. Bunga mawar itu memiliki tangkai cukup panjang dan berkeluk-keluk.

"Hiya...!"
"Hait! "

Laki-laki tua itu kembali melompat menerjang sambil melontarkan rantai yang ujungnya terdapat bola-bola kecil berduri tajam. Senjata itu mengarah ke kaki, tapi wanita tua itu dapat melompat dengan lincah menghindari serangan itu. Namun pada saat tubuhnya berada di udara, senjata yang sama di tangan kiri laki-laki tua itu mendesing cepat

"Hiat!"
Trang!

Perempuan tua itu mengebutkan senjata tongkat pendek dengan bunga mawar jingga pada ujungnya. Dua senjata beradu di udara. Betapa terkejutnya perempuan tua itu, karena rantai dengan bola-bola berduri itu membelit senjatanya. Tapi rasa terkejutnya hanya sebentar saja, karena dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam disentakkan senjatanya kuat-kuat.

"Akh!" laki-laki tua itu memekik tertahan. Kalau saja tidak cepat-cepat melepaskan senjatanya, sudah pasti tangan laki-laki tua itu copot ikut tertarik. Dan belum lagi laki-laki tua itu sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, perempuan tua itu sudah mengibaskan senjatanya ke arah kepala.

Tring!

Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih bercampur biru berkilau melesat menyambar ujung tongkat berbentuk bunga mawar jingga itu. Perempuan tua berbaju jingga terpekik tertahan, lalu cepat melompat mundur disertai putaran dua kali di udara.

­"Monyet..,” geram perempuan tua itu.

Tahu-tahu di samping laki-laki tua itu sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Pedangnya berwarna biru berkilau telah menyilang di depan dada. Pemuda itu memasukkan pedang ke dalam warangkanya di balik punggung. Cahaya biru langsung lenyap seketika.

"Kau tidak apa-apa, Paman Patih?" tanya pemuda itu lembut .Namun tatapan matanya tidak lepas pada wanita tua yang bersungut-sungut sambil memijit-mijit pergelangan tangan kanannya.

"Tidak, aku tidak apa-apa. Ah! Untung kau cepat datang, Rangga , " sahut laki-laki tua yang ternyata adalah Patih Raksajunta.

"Siapa dia, Paman?" tanya Rangga.

"Dia yang bernama Iblis Mawar Jingga," jawab Patih Raksajunta.

"Iblis Mawar Jingga...," desis Rangga menggumamkan nama yang disebutkan Patih Raksajunta.

Rangga jadi teringat akan cerita Panglima Bayan Sudira, yang menyebut-nyebut nama Iblis Mawar Jingga. Dikatakan bahwa iblis itu juga menginginkan Pusaka Karang Setra. Sejenak Rangga menatap tajam pada wanita tua itu, kemudian beralih menatap pada Patih Raksajunta. Pandangannya lalu berkeliling merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah. Semua mayat itu adalah para prajurit Jiwanala, yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.

"Apakah dia yang membantai mereka, Paman?" ­tanya Rangga agak tertahan suaranya.

"Benar! Dia itu memang manusia iblis!" sahut Patih Raksajunta menahan geram.

"Hm, kenapa?" tanya Rangga lagi.

Belum sempat Patih Raksajunta menjawab, Iblis Mawar Jingga sudah tertawa mengikik. Suaranya mampu mendirikan bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya. Rangga mengalihkan perhatiannya, lalu menatap tajam pada wanita tua bersenjata tongkat pendek yang ujungnya berbentuk bunga mawar besar berwarna jingga. Rangga bisa menduga kalau bunga mawar itu pasti terbuat dari bahan yang sangat keras dan tajam.

Pendekar Rajawali Sakti sudah menjajal keampuhan tongkat berujung bunga mawar jingga itu tadi, ketika menghalaunya dengan Pedang Rajawali Sakti.

Senjata itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan tenaganya sendiri yang sedikit bergetar ketika senjatanya bersentuhan dengan senjata perempuan tua itu. Sudah bisa ditebak kalau Iblis Mawar Jingga memiliki kepandaian yang tinggi. Jelas ini tidak bisa dianggap remeh. Tidak heran kalau Patih Raksajunta terdesak, dan sukar menandinginya.

"Kau pasti Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, Raja Karang Setra itu," kata Iblis Mawar Jingga setelah berhenti tertawa.

"Benar " sahut Rangga tegas.

"pucuk dicinta ulam tiba...," ucap Iblis Mawar Jingga berbinar matanya. "Aku memang sedang mencarimu, anak Muda. Sungguh beruntung sekali bisa berjumpa di tempat jelek ini," lanjutnya.

"Apa perlumu mencariku?" tanya Rangga.

"Serahkan pusaka itu padaku! " tegas Iblis Mawar Jingga dingin.

"Pusaka... ?!" Rangga terkejut keheranan. "Pusaka apa?"

"Kau jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Rajawah Sakti! Pasti sudah kau dapatkan pusaka itu dari panglimamu!" bentak Iblis Mawar Jingga sengit.

"Tunggu dulu! Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu," kata Rangga.

"Jangan berpura-pura bodoh di depanku, Rangga. Bukankah kau sudah bertemu dengan Panglima Bayan Sudira? Cepat, serahkan pusaka itu, atau kau ingin bernasib sama dengan yang lain?"

"Aku tidak mengerti, pusaka apa yang kau inginkan? Pusakaku hanya satu yaitu nyawaku sendiri. Lantas, pusaka apa yang kau maksud?" Rangga berpura-pura. Padahal dalam hatinya sudah bergejolak menahan marah. Tapi dia harus bisa bersabar agar mendapat keterangan cukup tentang pusaka leluhur Karang Setra yang kini jadi rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan.

"Kau benar-benar bodoh, atau hanya berpura-pura bodoh! Seorang raja di Karang Setra, mustahil tidak mengetahui di mana pusaka itu berada!" dengus Iblis Mawar Jingga sengit.

"Maaf, aku tidak mengerti dengan pembicaraanmu," kata Rangga semakin menahan geramnya. "Lagi pula untuk apa menginginkan barang orang lain, kalau memang bukan kepunyaan sendiri?"

"Keparat! Berani kau mempermainkanku, heh?!

"He...! Tunggu!"

Tapi Iblis Mawar Jingga sudah tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Rasanya benar-benar dipermainkan oleh sikap Rangga yang seperti orang bodoh. Pura-pura tidak mengetahui permasalahannya. Cepat sekali dia melompat sambil mengibaskan senjatanya.

"Tahan! Hup...!"

Peringatan Rangga sudah tidak digubris lagi. Iblis Mawar Jingga sudah menyerang dengan dahsyat. Terpaksa Rangga melompat mundur menghindari tebasan senjata itu. Pendekar Rajawali Sakti itu sempat tersentak kaget begitu merasakan angin sambaran senjata Itu demikian kuat dan berhawa panas luar biasa. Sementara Patih Raksajunta juga melompat ke samping, menjauhi kedua tokoh itu.

Rangga tidak bisa lagi mencegah pertarungan itu. Terpaksa dilayaninya dengan mempergunakan Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang sering digunakan untuk menjajagi tingkat kepandaian lawannya. ­urus Itu hanya mengandalkan gerakan kaki dan kelenturan tubuh. Sifatnya juga bukan untuk menyerang, tapi hanya untuk menghindari serangan lawan.

­Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang dapat membingungkan lawan, karena gerakan-gerakannya seperti tidak beraturan. Rangga bagaikan orang mabuk yang bergerak hampir tidak sempurna. Namun Iblis Mawar Jingga sukar untuk mendaratkan serangannya. Setiap kali pukulan atau kibasan senjatanya hampir mengenai sasaran, Rangga selalu mampu menghindar dengan gerakan tubuh yang sukar untuk ditebak arahnya.

Tapi bagaimanapun tingginya tingkatan jurus, pasti mempunyai kelemahan. Dan Iblis Mawar Jingga mengetahui kelemahan itu setelah mampu memaksa Rangga bertarung sampai delapan jurus. Mengetahui kelemahan itu, Iblis Mawar Jingga cepat merubah pola serangannya. Kini tidak lagi dihiraukan gerak tubuh Pendekar Rajawali Sakti, tapi dipusatkan perhatiannya pada gerak kaki.

"Edan!" dengus Rangga merasa kewalahan juga menghindari serangan senjata wanita tua itu. Menyadari kalau kelemahan jurusnya sudah diketahui lawan, cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu merubah jurusnya. Kini digunakanlah jurus pertama dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Namun itu pun tidak menolong banyak, karena Iblis Mawar Jingga dapat mengimbanginya.

Jurus demi jurus dilampaui dengan cepat. Dan pertarungan itu meningkat semakin dahsyat. Gerakan-gerakan mereka demikian cepat, sehingga yang tampak hanya dua bayangan berkelebatan saling sambar.

­Kini pertarungan telah memasuki pada jurus-jurus andalan Dan itu dilalui dengan cepat dan berganti-ganti. Rangga sendiri harus mengakui kalau lawannya kali ini benar-benar tangguh. Hampir semua jurus andalannya dikeluarkan, tapi Iblis Mawar Jingga belum juga bisa terdesak.

"Kau hebat, Anak Muda. Tapi jangan harap bisa mengalahkanku," dengus Iblis Mawar Jingga.

"Keluarkan semua kepandaianmu, Perempuan Tua!" balas Rangga memanasi.

"Setan! Hih...!"

Iblis Mawar Jingga menggeram marah dipanggil perempuan tua. Meskipun sebenarnya sudah nenek-nenek, tapi pantang baginya dipanggil demikian. Dengan kemarahan yang meluap, Iblis Mawar Jingga langsung memperhebat serangannya. Senjatanya berkelebat cepat mengarah pada bagian-bagian tubuh yang mematikan. Menghadapi serangan dahsyat seperti ini, Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Segera dihunus senjata pusakanya. Senjata yang jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan terjepit Sret!

"Hiyaaa. ..!"

Cahaya biru berkilau langsung menyemburat begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya. Dengan pedang di tangan. Rangga bagaikan sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tanggung-tanggung lagi. Kini dikerahkannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu ­jurus yang sangat diandalkan dan jarang digunakan kalau tidak perlu.

"Setan! Ilmu apa yang dipakainya...?! " dengus Iblis Mawar Jingga merasa kerepotan juga menghadapi jurus itu.

Trang! Trang!

Dua kali berturut-turut Rangga membabatkan pedangnya pada senjata Iblis Mawar Jingga. Wanita tua itu memekik tertahan, dan langsung melompat mundur sejauh tiga batang tombak Kedua bola matanya membeliak lebar begitu melihat satu helai bunga yang berada di ujung tongkatnya tanggal.

"Keparat..." geram Iblis Mawar Jingga.

Perempuan tua itu segera menggerak-gerakkan senjatanya didepan dada. Sementara itu Rangga memperhatikan sehingga alisnya sedikit berkerut. Dia tahu kalau perempuan tua itu sedang mempersiapkan ajiannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu pun tidak berdiam diri saja. Segera dipersiapkan satu ajian yang sangat ampuh dan diandalkan.

Rangga melintangkan pedangnya di depan dada. Tangan kirinya perlahan-lahan bergerak menggosok pedangnya. Cahaya biru menggumpal bergulung-gulung membentuk bulatan bagai bola. Perlahan-lahan diangkat ujung pedangnya ke atas, lalu tangan kirinya disentuhkan pada ujung pedang. Bulatan biru itu menempel pada tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.

Slap! Cring!

Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung, kemudian menyatukan kedua tangannya yang tergulung cahaya biru bulat. Pada saat itu, Iblis Mawar Jingga juga sudah menyiapkan ajian dahsyatnya. Dari kelopak bunga di ujung tongkatnya mengepul asap berwarna jingga. Asap itu bergulung-gulung menebal, kemudian....

"Hiyaaat...!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"

Rangga menghentakkan tangannya ke depan ketika Iblis Mawar Jingga melompat cepat. Ujung tongkatnya dihentakkan ke depan dengan kuat. Satu ledakan keras terjadi begitu telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti terhantam bunga pada ujung tongkat Iblis Mawar Jingga.

"Heh... !"

TUJUH

­Bukan main terkejutnya Iblis Mawar Jingga ketika ujung senjatanya menyentuh telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun Rangga tidak menggenggam, tapi Iblis Mawar Jingga tidak mampu melepaskan senjatanya dari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Hih." Iblis Mawar Jingga berusaha melepaskan senjatanya. Tapi tetap saja ujung senjata berbentuk bunga mawar Itu melekat erat di telapak tangan Rangga. Bahkan kini terselimut cahaya biru yang berkilat membentuk bulatan. Iblis Mawar Jingga mengerahkan tenaga dalamnya untuk menarik senjatanya kembali. Namun betapa terkejutnya begitu menyadari kalau tenaga dalamnya tersedot deras.

"Gila! Ilmu apa yang dipakainya...?!" dengus Iblis Mawar Jingga terperangah.

Sementara sinar biru terus bergerak merayap menggulung tongkat Iblis Mawar Jingga. Semakin lama semakin terasa kalau tenaga wanita itu kian tersedot. Iblis Mawar Jingga berusaha menahan aliran tenaganya. Namun semakin berusaha, semakin kuat tenaganya tersedot.

"Huh! Harus kugunakan aji 'Guntur Geni'," dengus Iblis Mawar Jingga dalam hati.

Di saat cahaya biru mulai menggulung tangannya, Iblis Mawar Jingga mengerahkan aji 'Guntur Geni'

Satu ajian yang sangat diandalkan. Saat itu juga Rangga merasakan adanya satu aliran ilmu kesaktian yang dikeluarkan Iblis Mawar Jingga.

“Hm..., dia mulai mengerahkan ajian lain. Baik, akan kuhadapi dengan aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir,” gumam Rangga dalam hati.

“Aji 'Guntur Geni'! Yeaaah...” teriak Iblis Mawar Jingga keras.

“Shaaa...!” Rangga langsung meningkatkan aji 'Cakra Buana Sukma' pada tahap terakhir.

“Aaa...!” Iblis Mawar Jingga menjerit melengking tinggi.

Seluruh tubuhnya bergetar hebat Dan darah keluar dari mulut maupun hidung. Bahkan juga dari mata dan telinganya. Semakin lama getaran tubuh wanita tua itu semakin keras dan menggelegar bagai tersengat ribuan kala berbisa. Iblis Mawar Jingga menjerit-jerit keras. Tubuhnya menggeliat menggelepar kuat. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Bahkan dari pori-pori kulit tubuhnya pun merembes darah segar.

Sementara itu Rangga mulai melepaskan telapak tangannya dari tongkat Iblis Mawar Jingga. Perlahan-lahan dia melangkah mundur dua tindak, namun dari kedua tangannya tetap memancar cahaya biru yang semakin menyelubungi wanita tua itu. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu mengangkat tangannya, ­dan memegang tangkai pedangnya.

"Hiyaaa... !”

Sambil berteriak melengking, Rangga mencabut pedangnya dan langsung melompat seraya mengibaskan pedangnya ke leher Iblis Mawar Jingga

“Aaa...!”
"Hup!”

Rangga kembali melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Cahaya biru lenyap seketika begitu ditarik kembali ajiannya. Dengan gerakan cepat dan manis, Pedang Rajawali Sakti kembali masuk ke dalam warangkanya di balik punggung. Rangga berdiri tegak menatap tajam Iblis Mawar Jingga.

Perempuan itu tampak berdiri tegak tak bergerak-gerak. Sebentar kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah, dan kepalanya menggelinding terpisah dari leher. Darah langsung menyembur keluar dari leher yang buntung. Sedikit pun wanita tua itu tidak bergerak, dan langsung tewas seketika.

Rangga menarik napas panjang. Dia berbalik dan berkerut keningnya melihat Patih Raksajunta langsung menjatuhkan diri berlutut di depannya. Laki-laki tua itu memberi hormat sambil merapatkan kedua tangannya di depan hidung.

“paman Patih, apa yang kau lakukan?" tanya Rangga keheranan akan sikap Patih Raksajunta.

“Ampun, Gusti. Ampunkan hamba yang tak melayani Gusti dengan baik,” ucap Patih Raksajunta.

"Ah, sudahlah! Berdirilah, Paman,” desah Rangga mulai mengerti.

"Hamba, Gusti."

Patih Raksajunta bangkit kembali, namun tubuhnya masih agak membungkuk bersikap penuh rasa hormat. Rangga tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dihampiri dan ditepuknya pundak Patih Raksajunta penuh rasa persahabatan. Meskipun seorang raja, tapi pada saat seperti ini Rangga tidak mau dirinya dianggap raja. Dia lebih senang menjadi orang kebanyakan, menjadi pendekar yang selalu dibutuhkan untuk memerangi kejahatan.

"Meskipun telah tahu siapa aku sebenarnya, tapi kuminta kau tetap menganggapku Rangga, Paman. Rangga yang dulu, bukan Rangga sebagai Raja Karang Setra," jelas Rangga lembut namun bernada penuh wibawa.

"Ampun, Gusti Prabu," ucap Patih Raksajunta.

"Ah..., sudahlah, Paman. Panggil saja aku Rangga. Aku tidak suka dengan sebutan Gusti.”

“Tapi....”

"Di sini aku bukan raja, aku seorang pendekar. Kau harus bisa membedakan itu, Paman," Rangga mencoba meminta pengertian.

"Hamba, Gusti...."

"Rangga! Panggil aku Rangga...!" tegas Rangga.

Patih Raksajunta mengangkat kepalanya menatap bola mata pemuda di depannya. Kemudian kepalanya terangguk, meskipun dari sinar matanya terasa begitu berat memanggil Pendekar Rajawali Sakti hanya dengan namanya saja.

"Bagus. Memang seharusnya kau memanggilku Rangga. Bukan Gusti," kata Rangga tersenyum.

"Maafkan jika hamba berlaku...."

"Sudah. Aku tidak ingin melihatmu berlaku sungkan begini!" potong Rangga cepat.

"Baiklah, Gus..., eh­ Rangga."

"Nah..., begini kan lebih enak."

Patih Raksajunta mengembangkan senyum yang dipaksakan. Benar-benar tidak dimengerti sikap pemuda itu. Seorang raja besar yang memiliki ilmu tinggi, tapi tidak suka dihormati seperti lazimnya seorang raja. Bahkan lebih senang dipanggil namanya saja. Memang sukar bagi Patih Raksajunta yang sudah tahu siapa Rangga sebenarnya. Tapi dia harus mematuhi keinginan Pendekar Rajawali Sakti ini meskipun dalam hatinya memberontak.

“Paman, ada yang ingin kutanyakan padamu," kata Rangga pelan setelah cukup lama terdiam.

"Apa yang akan kau tanyakan, Rangga?" tanya Patih Raksajunta sambil mencoba membiasakan diri.

"Tentang Pusaka Karang Setra," sahut Rangga, tetap pelan suaranya.

Patih Raksajunta tertunduk begitu mendengar Pusaka Karang Setra disebut. Sepertinya tidak ingin membicarakan tentang pusaka itu. Lama dia terdiam, sementara Rangga melangkah menghampiri kudanya yang berada di bawah pohon kamboja Patih Raksajunta masih juga diam dengan kepala tertunduk dalam.

­Dari sudut matanya diperhatikan gerak-gerik Pendekar Rajawali Sakti yang melangkah menghampirinya sambil menuntun kuda hitam yang tinggi tegap.

“Kau tahu tentang pusaka itu, Paman?" tanya Rangga setelah berada di depan Patih Raksajunta kembali.

"Hhh... !" Patih Raksajunta menarik napas panjang dan berat

Rangga melangkah perlahan-lahan sambil menuntun kudanya. Di sampingnya berjalan Patih Raksajunta yang juga menuntun kudanya sendiri. Bibir mereka sama-sama terkatup rapat. Tidak ada yang membuka suara lebih dahulu. Sedangkan kepala Pendekar Rajawali Sakti itu masih dipenuhi misteri hilangnya pusaka Kerajaan Karang Setra. Belum juga dimengerti, mengapa tokoh-tokoh rimba persilatan menginginkan pusaka itu? Pusaka yang hanya berbentuk segitiga besar dengan beberapa lingkaran di dalamnya. Benda itu memang menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang Setra.

“Ceritakan tentang pusaka itu, Paman," pinta Rangga setelah begitu lama terdiam.

"Hhh! Mungkin aku bukan orang yang tepat, Rangga,” sahut Patih Raksajunta mendesah panjang.

"Paman, aku tahu kau dulu berasal dari Karang Setra. Bahkan mempunyai jabatan yang cukup penting pada saat Karang Setra masih menjadi sebuah kadipaten," desak Rangga.

"Kau tahu itu...?" Patih Raksajunta terkejut heran.

“paman Bayan Sudira yang mengatakannya. Bahkan kau masih ada hubungan saudara dengannya. Benar begitu?"

“Ya, memang," desah Patih Raksajunta membenarkan.

"Nah! Tentunya kau mengetahui tentang pusaka itu, bukan?” tanya Rangga semakin mendesak.

“Yaaah..., " Patih Raksajunta mendesah panjang.

“Ceritakan, Paman. Aku sendiri belum mengetahui tentang pusaka itu, meskipun pernah melihatnya. Tapi aku hanya menganggap itu hanya sebuah lambang, tidak lebih.”

"Sebenarnya aku hanya tahu sedikit tentang pusaka keramat itu, Rangga,” pelan suara Patih Raksajunta.

"Ceritakan, Paman,” pinta Rangga

Patih Raksajunta terdiam beberapa saat Mungkin sedang mengintat-ingat, atau juga sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menceritakan perihal pusaka keramat yang menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang Setra. Dan kini pusaka itu menjadi rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan setelah hilang dari tempatnya.

"Sebenarnya pusaka itu sudah ada sebelum Kadipaten Karang Setra didirikan leluhurmu, Rangga. Aku sendiri tidak tahu, siapa yang membuatnya, dan mengapa dijadikan lambang bagi Karang Setra. Hanya...,” Patih Raksajunta berhenti bercerita.

“Teruskan Paman," pinta Rangga.

“Aku pernah melihat Gusti Adipati atau ayahmu menggunakan pusaka itu sebagai perisai ketika beliau diserang tokoh sakti dari golongan hitam. Tokoh sakti itu ingin merebut Gusti Permaisuri, yaitu ibumu sendiri, Rangga. Mungkin saat itu kau masih berusia empat bulan dalam kandungannya," lanjut Patih Raksajunta.

“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya.

“Bukan hanya aku saja yang menyaksikan, tapi banyak pembesar Karang Setra juga ikut menyaksikannya, termasuk tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Dan sejak kejadian itu banyak tokoh rimba persilatan mengincar pusaka itu. Karena selain dapat digunakan sebagai perisai ampuh untuk menahan segala macam gempuran ajian kesaktian, juga sangat hebat dalam menghadapi segala macam jenis senjata pusaka. Pusaka keramat itu bukan saja bisa digunakan sebagai perisai, bahkan juga bisa digunakan untuk senjata lempar yang sangat ampuh. Selain bisa meningkatkan tenaga dalamnya.”

"Hebat..!" desis Rangga tanpa sadar.

"Memang dahsyat sekali, Rangga. Pusaka Karang Setra akan menjadi senjata sekaligus perisai yang tidak tertandingi, dan sangat berbahaya jika sampai jatuh ke tangan tokoh berwatak jahat."

“Kalau memang demikian, pusaka itu harus kuselamatkan sebelum jatuh ke tangan orang macam itu!” tekad Rangga bergumam.

­"Memang seharusnya pusaka itu menjadi milikmu, Rangga. Karena kau satu-satunya pewaris yang masih hidup,” sambung Patih Raksajunta.

“paman, di mana kira-kira pusaka itu berada sekarang?” tanya Rangga setengah bergumam.

“Itulah yang menjadi permasalahannya, Rangga. Sudah bukan rahasia lagi kalau pusaka itu berada di Puri Teratai Emas.”

“Puri Teratai Emas...?” Rangga terbelalak mendengar nama yang disebutkan Patih Raksajunta.

********************

­Rangga hampir tidak percaya kalau Pusaka Karang Setra warisan leluhurnya ada di Puri Teratai Emas. Dipandangi bangunan kuil dari batu-batu bertumpuk dengan goresan ukiran bernapaskan kepercayaan.

Puri Teratai Emas tidak begitu besar dan tampaknya juga tidak terurus lagi. Halaman sekitar puri itu penuh sampah daun kering yang bertebaran. Rumput-rumput liar merambat menyemaki bagian dasar bangunan itu.

Tidak nampak adanya satu kehidupan di tempat ini. Sekelilingnya tampak sepi lengang, bahkan semut pun seolah-olah enggan menginjakkan kakinya di situ.

Memang sukar dipercaya kalau benda keramat yang diperebutkan saat ini berada di tempat terbuka dan mudah dijangkau. Puri Teratai Emas berada di bagian Selatan Kerajaan Jiwanala. Sudah bertahun-tahun puri ini tidak pernah lagi digunakan. sejak pengurusnya tewas dalam suatu pertempuran sengit mempertahankan puri itu dari jangkauan tangan-tangan kotor.

"Paman...," panggil Rangga pelan.

Patih Raksajunta datang menghampiri, lalu berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga masih tetap menatap lurus bangunan tua yang tidak terawat lagi di depannya.

"Kau yakin kalau pusaka itu ada di sini?” tanya Rangga ingin kepastian.

"Tidak salah lagi, Rangga. Pusaka Karang Setra berada di sini, di dalam puri itu," sahut Patih Raksajunta.

"Dari mana kau tahu?" tanya Rangga bernada curiga.

Patih Raksajunta tidak langsung menjawab. Rangga memalingkan kepalanya menatap laki-laki tua di sampingnya. Sementara, suasana di sekitar Puri Teratai Emas tetap tenang. Angin berhembus perlahan membawa kesejukan. Patih Raksajunta masih tetap diam, belum menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi.

"Paman...."

"Oh...!" Patih Raksajunta terbangun dari lamunannya.

"Dari mana Paman tahu pusaka itu ada di sini?" Rangga mengulangi pertanyaannya kembali.

"Sebenarnya sudah lama aku tahu, sejak kau datang ke sini," kata Patih Raksajunta.

­"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.

“Bahkan Gusti Prabu Duta Nitiyasa pun sudah tahu tentang pusaka itu. Adanya Pusaka Karang Setra di Puri Teratai Emas ini memang sudah menyebar luas dan mulut ke mulut, dan entah bersumber dari mana. Terus terang, semula aku juga ingin datang dan membuktikan kebenarannya, tapi Iblis Mawar Jingga menghalangi dan membunuh prajurit-prajurit yang kubawa,” lanjut Patih Raksajunta.

"Hm..., jadi itu hanya sekedar berita saja...?" gumam Rangga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.

Patih Raksajunta tidak menjawab.

"Satu lagi pertanyaanku, Paman. Benarkah Paman Bayan Sud­ra mengkhianatiku?" tanya Rangga yang tiba-tiba teringat kata-kata Macan Gunung Sumbing.

“Tidak!" sentak Patih Raksajunta seketika. "Siapa yang bilang begitu...?"

"Macan Gunung Sumbing."

"Setan keparat! Aku tahu betul kalau Bayan Sudira seorang abdi yang setia. Dia hanya difitnah. Mereka berusaha memecah belah, mengadu domba. Aku yakin, Rangga. Bayan Sudira orang yang setia. Dia tidak mungkin mengkhianatimu," tegas kata-kata Patih Raksajunta.

"Hm...," Rangga bergumam. "Paman, di mana Paman Bayan Sudira sekarang?"

Patih Raksajunta ingin menjawab. Tapi belum juga mulutnya terbuka, tiba-tiba terdengar tawa menggelegar yang demikian keras sehingga menyakitkan telinga. Semakin lama suara itu semakin menyakitkan.

Jelas kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Menyadari akan hal itu Rangga dan Patih Raksajunta segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk menutup pendengarannya.

Tapi pemilik suara itu rupanya sudah terlatih baik dalam menggunakan suara. Begitu Rangga dan Patih Raksajunta menandingi dengan pengerahan tenaga dalam suara itu langsung hilang. Tapi tawa ini kembali terdengar saat mereka menarik tenaga dalamnya.

Beberapa kali hal itu berlangsung! Akibatnya Patih Raksajunta yang kemampuan tenaga dalamnya masih berada di bawah tokoh-tokoh rimba persilatan jadi kewalahan juga. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Seluruh tubuhnya mulai bergetar karena tidak mampu mengimbangi permainan tenaga dalam itu.

“Ugh...!” Patih Raksajunta mulai mengeluh. Tampak dari hidungnya mengeluarkan darah.

Sementara Rangga mulai mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Dia tahu kalau Patih Raksajunta sudah tidak mampu lagi menahan serangan tawa bertenaga dalam tinggi ini dan berlangsung terus-menerus. Sedikit demi sedikit, Rangga mulai bisa memilah-milah suara yang masuk ke dalam pendengarannya. Sesaat kemudian kepalanya berpaling ke kanan. Dan...

“Hiya...!”

­Sambil berbalik ke kanan Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan aji ‘Bayu Bajra'. Kedua telapak tangannya terbuka dan mendorong ke depan. Tiba-tiba saja bertiup angin kencang bagai terjadi badai topan yang sangat dahsyat. Tapi angin ini bagai bergulung menjadi satu membentuk lingkaran yang cukup besar dan bergerak cepat menghantam bagian samping puri itu.

Pada saat badai hasil ciptaan Pendekar Rajawali Sakti menyapu bagian samping Puri Teratai Emas melesatlah sesosok bayangan putih ke angkasa. Bayangan itu berputaran beberapa kali di udara, kemudian hinggap di atas bangunan puri. Rangga menarik kembali ajiannya, dan berdiri tegak memandang kepada seorang laki-laki tua berpakaian rapi, dan rambut yang tertata apik.

“Kakek Pesolek Pemetik Bunga...,” desis Rangga yang sudah diberitahu tentang tokoh rimba persilatan itu oleh Panglima Bayan Sudira.

Patih Raksajunta yang juga mengenali laki-laki tua berpakaian apik itu, bergegas menghampiri Rangga. Dia tahu kalau Kakek Pesolek Pemetik Bunga bukanlah orang sembarangan. Tingkat kepandaiannya sukar diukur dan belum ada yang sanggup menandingi kesaktiannya.

“Jangan mimpi mendapatkan Pusaka Karang Setra! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini sebelum kupenggal kepala kalian!” lantang suara Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

­"Oh, ya...? Apa kau pikir dirimu lebih pantas?" balas Rangga sengit.

"Ha ha ha... Pusaka itu hanya pantas dimiliki orang sepertiku!"

"Kau terlalu berlebihan, Kakek Pesolek. Lihatlah dirimu yang sudah bau tanah! Sesaat lagi nyawamu akan terbang ke neraka!"

"Setan keparat! Kurobek mulutmu, bocah!" geram Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

Kata-kata Rangga yang mengandung ancaman ini, secara langsung ditujukan pada laki-laki tua pesolek ini. Tentu saja ini membuat wajah Kakek Pesolek Pemetik Bunga jadi berubah merah padam menahan marah. Dengan sekali loncatan indah, dia meluruk turun. Tanpa bersuara sedikit pun kakinya menjejak tanah, tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Sebutkan namamu sebelum kupenggal kepalamu!" sentak Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

"Aku Rangga, pewaris tunggal Pusaka Karang Setra!" tegas kata-kata Rangga saat memperkenalkan diri.

"Dia juga Raja Karang Setra, dan bergelar Pendekar Rajawali Sakti!" sambung Patih Raksajunta.

"Ha ha ha...!" Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak mendengar nama itu.

Rangga dan Patih Raksajunta saling berpandangan.

­"Jangan mengelabui diriku, Anak Muda. Kau pikir aku bodoh, bisa ditipu begitu saja? Ha ha ha...! Aku tahu betul keluarga Karang Setra. Mereka semua sudah musnah di tangan Iblis Lembah Tengkorak! Ha ha ha....” Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak. Tenggorokannya terasa tergelitik mendengar penjelasan tadi.

"Bagaimana dengan ini?" Rangga mengeluarkan seuntai kalung berbentuk segitiga dengan beberapa lingkaran di dalamnya.

"Bocah! Dari mana kau dapatkan benda itu?" Kakek Pesolek Pemetik Bunga terkejut melihat kalung tanda kebesaran keluarga Karang Setra.

"Benda ini kudapatkan sejak lahir. Kau tahu, akulah Rangga, pewaris tunggal Karang Setra! Kau dengar itu...?!” agak keras suara Rangga.

Kali ini Rangga benar-benar marah, karena benda pusaka warisan leluhurnya menjadi rebutan orang-orang berotak kotor, seperti Kakek Pesolek Pemetik Bunga ini. Dia tidak lagi memandang orang tua macam Kakek Pesolek Pemetik Bunga, yang seharusnya dihormati. Yang ada kini hanya musuh yang ingin menginjak-injak harkat dan martabat leluhurnya.

"Apa pun bisa kau katakan. He he he...! Aku yakin benda Itu kau buat sendiri dan menganggapnya sebagai tanda pengenal. Kau cerdik sekali, Anak Muda...,” terdengar sinis nada suara Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

"Aku memang tidak bisa meyakinkanmu. tapi kau tidak akan mendapatkan pusaka itu!" kata Rangga.

“He he he..., siapa bilang? Aku sudah memilikinya."

"Dusta!"

"Ha ha ha...! Lemparkan dia ke sini!” teriak Kakek Pesolek Pemetik Bunga keras.

Belum lagi hilang suara teriakan itu, tiba-tiba sesosok tubuh melayang keluar dari dalam puri, dan jatuh tepat di depan kaki Rangga. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti itu saat mengenali tubuh yang tergeletak tidak bernyawa di ujung kakinya.

"Paman Bayan...," desis Rangga tidak percaya.

"Dia tidak pantas hidup lebih lama lagi. Penjilat seperti itu sudah sepantasnya mati!" kata Kakek Pesolek Pemetik Bunga dingin.

"Iblis...!" desis Rangga menahan geram.

"Dia tidak lagi percaya padamu, Anak Muda."

"Bohong...!" bentak Patih Raksajunta yang sejak tadi diam saja.

"Hm, siapa kau?" dengus Kakek Pesolek Pemetik Bunga menatap tajam Patih Raksajunta.

"Aku Patih Raksajunta, saudara Bayan Sudira!" Jawab Patih Raksajunta lantang.

"Oh, bagus! Biar sekalian keluarga penjilat musnah dari muka bumi ini," sambut Kakek Pesolek Pemetik Bunga sinis.

"Setan! Kubunuh kau, iblis keparat!" geram Patih Raksajunta gusar.

Patih Raksajunta tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Dia melompat cepat bagai kilat menerjang, seraya menghunus pedangnya. Tapi pada saat yang tepat, seseorang keluar dari dalam puri itu dan langsung memapak terjangan Patih Raksajunta. Terjangan yang begitu cepat dan mendadak, tidak dapat dihindarkan lagi. Patih Raksajunta terpental jauh ke belakang terkena sampokan keras orang yang baru muncul dari dalam Puri Teratai Emas.

Patih Raksajunta bergelimpangan hingga sejauh tiga batang tombak. Namun laki-laki tua itu sudah cepat bangkit kembali. Dengan punggung tangannya, disekanya darah yang keluar dari mulutnya. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, langsung kepada seorang laki-laki yang memegang tombak merah berujung bulan sabit.

"He he he...!"

DELAPAN

"Keparat! Rupanya kalian berkomplot!" seru Patih Raksajunta geram.

"Ha ha ha...'" Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.

Tawa itu pun langsung disambung si Kumbang Merah yang membuat Patih Raksajunta tadi terguling sejauh tiga batang tombak. Belum lagi hilang suara tawa itu, muncul pula dua orang muda memakai baju kuning gading dari dalam puri Teratai Emas. Jelas, mereka adalah Sepasang Naga Hitam. Tidak lama kemudian satu raungan keras terdengar, disusul munculnya si Macan Gunung Sumbing bersama binatang peliharaannya berupa seekor harimau besar.

Patih Raksajunta yang mengenali orang-orang itu, menggeser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu. Tokoh-tokoh sakti rimba persilatan yang kini bergabung hanya untuk menguasai Pusaka Karang Setra berdiri berjajar menghadapi Rangga.

"Kalian dengar tadi. Bocah edan ini mengaku dirinya putra Adipati Karang Setra! Lucu..., heh! Meskipun kau kini seorang raja di Karang Setra, belum berarti kau pewaris tunggal! Kau hanya bocah edan yang gila kekuasaan!" Kakek Pesolek Pemetik Bunga menghina dengan suara lantang.

"Ha ha ha...!" empat orang lainnya tertawa terbahak-bahak.

“Tapi dia tampan sekali," celetuk Andini yang sejak tadi tidak lepas memandangi Pendekar Rajawali Sakti.

"Kendalikan dirimu, Andini! " rungut Macan Gunung Sumbing.

"Maaf. Kalau bisa jangan lukai dia sebelum...," Andini tersenyum-senyum dengan mata mengerling pada Rangga.

"Itu urusan nanti, Andini, " sergah Andika.

"Baik, aku akan bersabar. Dan kau juga harus bersabar, Pemuda Tampan," lagi-lagi Andini mengerlingi Rangga.

Sikap Andini menambah kebencian dan kemuakan terhadap diri Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kemarahannya harus bisa ditahan. Menghadapi tokoh-tokoh tingkat tinggi seperti ini, harus bisa menahan kemarahan dan luapan emosi yang akan membuat diri menjadi lupa dan lengah. Jelas ini sangat berbahaya.

Rangga berusaha keras agar dirinya tetap tenang, meskipun hatinya diliputi perasaan marah dan kebencian yang memuncak.

"Kau dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka tidak percaya bualanmu, jadi sebaiknya angkat kaki saja dari sini dan lupakan semua tentang Pusaka Karang Setra. Kau tidak berhak memilikinya, meskipun sekarang kau raja di sana!" kata Kakek Pesolek Pemetik Bunga lagi.

"Apa pun yang kalian katakan, pusaka itu tetap akan kukembalikan pada tempatnya!” balas Rangga tidak kalah lantangnya

“Ha ha ha...!u Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.

“Dan kalian semua lebih tidak berhak memilikinya!" sambung Rangga lebih tegas.

“Kalian semua dengar itu? Lucu sekali! Semua orang berhak memiliki benda tidak bertuan, lebih-lebih sebuah benda pusaka. Tapi...,” Kakek Pesolek Pemetik Bunga berhenti sebentar, lalu memandang pada yang lainnya satu persatu.

"Biar aku dulu!" potong Andini yang mengerti maksud pandangan laki-laki tua pesolek itu.

"Bagus. Tapi hati-hati, Andini. Aku tidak ingin wajahmu yang cantik itu tergores. Jangan biarkan tangannya menyentuh tubuhmu yang menggiurkan itu," goda Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

“Jangankan dia! Kau sendiri tidak mungkin bisa menjamahku, tua bangka," ejek Andini.

"Setan betina...! Kau membuatku jadi bergairah," balas Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengerling genit

"Baik, kita taruhan!" tantang Andini jumawa.

"Taruhan apa?” balas Kakek Pesolek Pemetik Bunga bergairah.

"Siapa di antara kalian yang menang melawan Si Tampan itu, boleh bersenang-senang bersamaku. Bagaimana?" Andini tersenyum-senyum seraya mengerling pada kakaknya. Sedangkan Andika membalas hanya dengan senyuman tipis saja. Sudah dimengerti maksud adik seperguruannya itu.

"He he he.... Kau cerdik sekali, setan betina. Baiklah, banyak saksi di sini," Kakek Pesolek Pemetik Bunga menyanggupi tawaran wanita cantik itu.

Sementara Rangga yang mendengar semua percakapan itu semakin sulit menahan kemarahannya. Dirasakan dirinya begitu direndahkan. Belum pernah dirinya dijadikan taruhan seperti ini. Rangga benar-benar muak. Ingin rasanya menyumpal mulut mereka yang begitu kotor, tidak tahu tata krama. Bicara seenaknya sehingga membuat telinga jadi sakit mendengarnya

Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengerling pada Andini, kemudian melangkah ke depan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Langkahnya begitu ringan, dan sikapnya begitu meremehkan. Sementara Rangga merentangkan sebelah tangannya, memberi isyarat pada Patih Raksajunta untuk menyingkir. Laki-laki tua itu mengerti, dan segera melangkah mundur menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.

"Bagaimana, bocah? Bisa kita mulai?" tantang Kakek Pesolek Pemetik Bunga sinis.

Rangga merentangkan tangannya lebar-lebar. Memang, tidak perlu dijawab tantangan itu. Dijawab atau tidak, harus dihadapi semua orang yang berada di halaman Puri Teratai Emas ini. Dan itu sudah diperhitungkan sejak kakinya menginjak tempat ini.

­“Bersiaplah, bocah! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras, Kakek Pesolek Pemetik Bunga melompat sambil mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah dada Rangga. Namun dengan mantap sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menghindari dengan memiringkan tubuh ke kanan sedikit. Dan pada saat itu dengan cepat dikibaskan tangan kirinya ke arah perut Kakek Pesolek Pemetik Bunga yang meremehkan pemuda itu jadi terkejut bukan main.

Buru-buru ditarik mundur tubuhnya begitu dua serangannya gagal. Bahkan kini harus menghindari kibasan tangan kiri lawan Tapi belum juga sempurna menghindar, kaki kanan Rangga sudah melayang ke arah perut Begitu cepatnya tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu sehingga Kakek Pesolek Pemetik Bunga tidak sempat lagi menghindar. Dan tendangan Rangga telak mendarat di perutnya.

“Hugh...!” Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengeluh tertahan.

Selagi tubuhnya membungkuk, Rangga cepat menyarangkan satu pukulan telak dan tepat bersarang di wajah laki-laki tua pesolek itu. Satu raungan keras terdengar bersama terdongaknya kepala laki-laki tua itu. Tidak hanya sampai di situ saja. Rangga kini juga mengirimkan satu pukulan telak bertenaga dalam penuh ke dadanya. Akibatnya, laki-laki tua itu terjengkang Jauh ke belakang.

Rangga berdiri tegak memandangi lawannya yang menggelepar di tanah. Hanya sebentar Kakek Pesolek Pemetik Bunga menggelepar, sesaat kemudian sudah melompat bangkit kembali. Wajahnya merah padam menahan kemarahan yang memuncak. Lebih-lebih saat melihat senyuman sinis Andini yang bernada mengejek. Laki-laki tua pesolek yang masih suka wanita cantik ini menggeram dahsyat, kemudian berlari cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

“Yaaa...!”
“Hup, hup!”

Rangga menanti serangan itu sambil mempersiapkan satu jurus yang ampuh. ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Dan begitu kakek pesolek menerjang disertai pengerahan tenaga dalam penuh, dengan sigap Rangga melompat sambil menghantamkan pukulannya ke arah kepala laki-laki tua itu.

Namun Kakek Pesolek Pemetik Bunga lebih cepat lagi merunduk sehingga pukulan Pendekar Rajawali Sakti mengenai bagian kosong. Pada saat itu tangan kanan Kakek Pesolek Pemetik Bunga menghentak ke atas, dan menangkap tangan Rangga.

“Hih!”

Hanya sekali hentakan saja tubuh Rangga terbanting keras ke tanah. Hebatnya, Pendekar Rajawali Sakti malah meminjam tenaga hentakan tadi untuk menarik tubuh laki-laki tua itu, sehingga sama-sama terjungkal ke tanah. Pada saat yang sama, kaki kanan Rangga melayang deras dan tepat menghantam dada Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

­"Akh..” Kakek Pesolek Pemetik Bunga terpekik tertahan.

"Modar...!" seru Rangga keras.

Sukar sekali pertarungan itu dilihat dengan mata biasa. Namun semua orang yang ada di halaman depan Puri Teratai Emas, dapat melihatnya meskipun harus menajamkan mata. Sementara itu dengan gerakan cepat, Rangga menghentakkan tangannya ke depan menghajar kepala Kakek Pesolek Pemetik Bunga. Satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dan mengandung tenaga dalam sempurna, telak menemui sasaran.

"Aaa...!" jerit Kakek Pesolek Pemetik Bunga keras.

Darah langsung muncrat keluar dari kepala yang hancur terhantam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Satu jurus maut dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Rangga bangkit berdiri dan menendang tubuh laki-laki tua yang sudah tidak bernyawa lagi. Tubuh itu melayang deras, dan jatuh tepat di depan Andini.

"Hebat aku suka itu Pertunjukan yang sangat menarik," kata Andini dengan bola mata berbinar. Diberikannya senyum manis Pada Rangga.

"Andini, apakah pertaruhan itu masih berlaku?" tanya si Macan Gunung Sumbing.

­"Bagaimana, Kakang?" Andini bertanya pada Andika.

"Kau yang menentukan," sahut Andika kalem.

"Baiklah. Tapi kalau kau menang, harus bertarung melawan kakakku," Andini memberi syarat.

Memang, laki-laki mana yang tidak tertarik akan kecantikan Andini? Wanita itu memiliki daya pesona tersendiri, dan mampu memikat pria hanya dengan kerlingan matanya saja. Tidak heran kalau taruhan yang dibuat Andini begitu menggiurkan! Tapi baru saja Macan Gunung Sumbing melangkah maju, terdengar suara bentakan keras.

“Tunggu!”

Semua mata tertuju pada sumber suara bentakan itu. Kumbang Merah yang sejak tadi diam saja melangkah maju ke depan, dan berdiri di tengah-tengah antara Rangga dan Macan Gunung Sumbing. Sebentar dipandangi semua orang yang berada di tempat itu satu persatu.

"Hentikan lelucon ini!" dengus Kumbang Merah dingin.

"Apa...? Hentikan!? Kumbang Merah, apa kau tidak sadar dengan ucapanmu itu?" bentak Macan Gunung Sumbing.

"Kalian semua bodoh! Untuk apa membuang-buang nyawa percuma hanya untuk memperebutkan yang tidak ada?" lantang suara Kumbang Merah.

"Kumbang Merah, menyingkirlah!" sergah Andini kesal.

­"Kau yang harus menyingkir. Andini. Sudah kuketahui semua akal busukmu. Sengaja kau tiupkan kabar bohong hanya untuk melenyapkan satu orang. Kau tidak sadar kalau ulahmu dapat memecah-belah orang-orang rimba persilatan. Mengumbar nyawa dan darah hanya untuk memenuhi ambisimu!" tetap lantang suara Kumbang Merah.

“Tutup mulutmu, Kumbang Merah!" bentak Andini gusar

"Setelah begitu banyak korban berjatuhan? Tidak, Andini! Meskipun selalu bergelimang darah dan dosa, aku tidak pernah berbuat licik dan keji seperti ini. Sayang, Panglima Bayan Sudira tidak pernah mendengar peringatanku. Dia tewas akibat kelicikanmu, Andini," tetap lantang suara Kumbang Merah.

"Aku bilang, tutup mulutmu!" Andini semakin gusar.

Kumbang Merah tidak mempedulikan bentakan keras Andini, dan malah berbalik dan menghadap pada Pendekar Rajawali Sakti. Matanya sempat melirik pada Macan Gunung Sumbing.

"Kau pasti sudah pernah mendengar namaku, Rangga. Aku memang bukanlah orang yang bersih dan patut dipercaya. Tapi kali ini, ku harap kau mempercayaiku," kata Kumbang Merah serius.

"Hm..., " Rangga menatap tajam tokoh hitam yang begitu kondang namanya dan sangat disegani lawan maupun kawan. Seorang yang selalu bertindak berdasarkan kejantanan meskipun dapat dikatakan kejam.

"Siasat apa lagi yang akan kau gunakan, Kumbang Merah?" dengus Patih Raksajunta yang sudah berada kembali di samping Rangga

"Bukan siasat! Tapi, aku hanya ingin menjelaskan semua kebohongan ini," jawab Kumbang Merah tegas.

"Kebohongan...!? Apa maksudmu?" tanya Rangga jadi penasaran juga.

­"Sebenarnya semua ini karena ulah mereka!" Kumbang Merah menunjuk ke arah Sepasang Naga Hitam. "Mereka gagal merebut salah satu kadipaten di Karang Setra, lalu timbul dendam dan ingin meruntuhkan Kerajaan Karang Setra dengan meniupkan berita bohong."

"Jadi, maksudmu.... Pusaka Karang Setra tidak hilang?" Rangga mulai memahami.

"Aku tidak tahu. Yang aku tahu. ini semua hanya tipuan saja untuk memancingmu, Rangga. Mereka memang sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh rimba persilatan agar bertarung melawanmu. Dengan demikian mereka mengira kalau kau bakal tewas, sehingga dengan mudah dapat menguasai Karang Setra," jelas Kumbang Merah.

"Licik...!" desis Rangga menggeram.

"Setan! Pengkhianat...!" geram Andini.

"Tapi, kenapa mereka memilih tempat ini?" tanya Rangga.

"Mereka tahu kalau hampir seluruh rakyat Jiwanala berasal dari Karang Setra. Bahkan rajanya pun masih terpaut darah dengan leluhur pendiri Karang Setra. Mereka berharap bisa meraup dua wilayah sekaligus melalui adu domba dua kerajaan."

Rangga ingin bertanya lagi, tapi sempat dilihatnya Andini mengirimkan pukulan jarak jauh kepada Kumbang Merah. Dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat melewati kepala si Kumbang Merah dan memapak serangan jarak jauh itu. Namun akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu terpental bergulingan di tanah.

"Pengecut!" geram Kumbang Merah.

"Kau yang pengecut, Kumbang Merah! Pengkhianat! Menyesal aku mengajakmu," balas Andini gusar.

"Kau pikir aku bodoh, heh? Sebenarnya aku hanya ingin merasakan permainan asmara mu saja."

"Setan! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"

Merah padam wajah Andini ketika terbongkar kedoknya dalam upaya memperalat tokoh-tokoh rimba persilatan untuk bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti. Dengan rasa marah yang meluap wanita itu langsung melompat dan menerjang Kumbang Merah.

Namun terjangan itu manis sekali dapat dihindari Kumbang Merah. Bahkan dengan cepat si Kumbang Merah mengibaskan tongkatnya.

"Hait!"
­Trak!

Tapi Andika lebih gesit lagi. Dihantamkan tongkat itu sebelum menyentuh tubuh Andini. Kumbang Merah mendengus sengit sambil menyemburkan ludahnya.

Sementara itu Rangga yang sudah bangkit berdiri, tidak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan antara Kumbang Merah yang kini melawan Sepasang Naga Hitam tidak bisa dicegah lagi. Mereka bertarung sengit, masing-masing berupaya untuk saling menjatuhkan.

Baru beberapa jurus saja pertarungan itu berjalan, Sepasang Naga Hitam sudah mengeluarkan senjata andalannya. Kini, serangan-serangan sepasang anak muda itu semakin dahsyat Dari pedang kembar yang mereka gunakan, mengepul asap tipis hitam dan berbau busuk menyesakkan dada.

“Ugh...!” Kumbang Merah merasakan kepalanya jadi pening.

Tampak jelas kalau jurus-jurus yang dimainkan si Kumbang Merah menjadi tak beraturan. Gerakan-gerakannya kacau dan tidak terarah lagi Bau busuk yang menyebar dari pedang Sepasang Naga Hitam membuat kepala si Kumbang Merah semakin pening, dan napasnya pun terasa sesak.

"Mampus kau! Hiyaaat...!" teriak Andini sambil mengibaskan pedangnya dengan cepat.

"Aaakh...!" Kumbang Merah menjerit keras.

Tebasan pedang Andini tidak mungkin lagi dielakkan. Ujung pedang itu menggores dalam di dada si Kumbang Merah. Darah langsung mengucur dari luka-luka yang cukup panjang dan dalam itu. Kumbang Merah terhuyung-huyung ke belakang. Tapi satu tendangan keras Andika membuatnya terpental dan menabrak pohon dengan keras sekali.

"Hiyaaa...!"

Rangga cepat melompat ketika Andini sudah melompat sambil menghunus pedang ke depan. Rangga tidak punya pilihan lain lagi untuk menyelamatkan nyawa si Kumbang Merah. Langsung dicabut pedang pusakanya, dan dibabatnya pedang Andini.

Trang!

"Akh!" Andini memekik tertahan, dan langsung melompat mundur.

Andini menggerutu sambil memijit-mijit pergelangan tangannya yang kesemutan. Saat itu benar-benar disadari kalau tenaga dalamnya kalah jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Namun dia tidak peduli, dan langsung menyerang Rangga. Andika juga tidak tinggal diam. lalu membantu adik seperguruannya menyerang Pendekar Rajawali Sakti itu.

Namun dengan Pedang Rajawali Sakti di tangan, Sepasang Naga Hitam bukanlah tandingan Rangga. Lebih-lebih saat itu Rangga tengah diliputi kemarahan besar terhadap dua anak muda itu. Langsung dikerahkan jurus andalannya 'Pedang Pemecah Sukma' Satu jurus yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya pada saat ini.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Trang! Trang!
­"Akh!"
"Ughk!"

Cepat sekali tubuh Rangga setengah berputar sambil mengibaskan pedangnya, sehingga membuat senjata Sepasang Naga Hitam terpental ke udara. Dan pada saat yang bersamaan, sebelah tangan Pendekar Rajawali Sakti mengirimkan pukulan beruntun yang sulit dihindari lagi. Sepasang Naga Hitam bergulingan di tanah.

"Modar...!” seru Rangga keras.

Seketika itu juga dikibaskan pedangnya dengan cepat ke arah Andini. Tapi Andika dengan cepat bangkit dan melompat. Tidak dapat dielakkan lagi!

Ayunan Pedang Rajawali Sakti yang begitu cepat, sukar untuk ditarik kembali. Dan...

"Akh!" Andika hanya mampu memekik sedikit, kemudian tubuhnya ambruk terpotong menjadi dua.

Andika tidak bisa lagi bergerak, dan langsung tewas seketika. Andini yang melihat itu, jadi terbeliak matanya. Dia bergegas bangkit dan cepat melompat kabur. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap.

"Rangga...."

Rangga menoleh. dan melihat Patih Raksajunta telah berdiri memapah tubuh Kumbang Merah. Sempat juga dilirik sekitarnya. Kini, tidak ada lagi si Macan Gunung Sumbing. Entah kabur ke mana orang itu.

Pikirnya mungkin tidak ada gunanya lagi berada di tempat ini. Rangga menghampiri Patih Raksajunta yang memapah tubuh Kumbang Merah.

"Bagaimana keadaanmu, Kumbang Merah?” tanya Rangga.

“Buruk,” sahut Kumbang Merah. “Pedang Sepasang Naga Hitam mengandung racun yang sangat dahsyat. Hanya guruku, si Raja Kumbang saja yang mampu mengobati.”

"Berapa lama kau mampu bertahan?" tanya Rangga.

"Paling lama tiga hari."

"Kalau begitu, akan kuantarkan kau ke sana," Rangga menawarkan.

"Tidak perlu! Kau harus melanjutkan perjalananmu mencari Pusaka Karang Setra itu."

"Jadi...?!" Rangga terkejut.

"Pusaka yang ada di Istana Karang Setra. itu adalah palsu. Sedangkan aslinya sampai kini tidak jelas di mana. Sepasang Naga Hitam tahu akan hal Itu dari gurunya. Maka dimanfaatkanlah hal itu untuk melaksanakan ambisinya menguasai Karang Setra. Kau tahu, guru si Sepasang Naga Hitam adalah musuh besar Adipati Karang Setra yang dulu. Mereka memang selalu berselisih untuk menguasai Karang Setra.... Aku pergi dulu, Rangga. Senang sekali rasanya bisa berbuat baik. Bahkan untuk pertama kali kulakukan perbuatan baik ini. Aku senang dan bahagia meskipun harus mati di perjalanan," ucap Kumbang Merah.

"Tidak, kau harus selamat. Aku akan membawamu ke tempat gurumu."

­"Tidak mungkin Rangga. Kau akan mati sesampainya di sana. Tidak ada seorang pun yang dapat masuk ke sana. Tempat itu penuh dengan laba-laba, sejenis kumbang, dan serangga lainnya yang sangat berbahaya."

“Tapi kau akan kuantarkan sampai ke perbatasan saja,” desak Rangga merasa berhutang budi.

"Baiklah. Tapi ingat, setelah itu kau harus cepat pergi. Aku tidak ingin guruku melihatmu."

"Aku janji."

Rangga menggantikan Patih Raksajunta memapah Kumbang Merah, dan meminta laki-laki tua itu untuk mengambil kuda. Patih Raksajunta cepat-cepat mengambil kuda mereka yang ditinggalkan tidak jauh dari tempat itu. Rangga kemudian menaikkan Kumbang Merah ke punggung Kuda Dewa Bayu, kemudian melompat naik di belakangnya. Patih Raksajunta memperhatikan di samping kudanya sendiri.

"Paman, sampaikan salam ku pada Gusti Prabu Duta Nitiyasa. Maaf aku tidak bisa berkunjung lagi," ucap Rangga. "Aku harus segera mengantarkan Kumbang Merah, setelah itu aku akan mencari Pusaka Karang Setra sampai kapan pun"

"Akan hamba sampaikan, Gusti," sahut Patih Raksajunta seraya membungkuk memberi hormat.

“Terima kasih."

Rangga tidak ingin lagi membuang-buang waktu. Segera digebahnya kuda hitam yang bernama Dewa Bayu, yang kemudian langsung berlari cepat bagaikan angin. Patih Raksajunta sampai ternganga melihat kecepatan lari tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

Dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata, meninggalkan debu yang mengepul di udara.


SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA BANGKITNYA PANDAN WANGI

Kemelut Pusaka Leluhur

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Kemelut Pusaka Leluhur


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

SATU rombongan berjumlah sebelas orang berkuda berpacu cepat meninggalkan debu yang mengepul di udara. Dilihat dari seragam yang dikenakan, sebelas orang berkuda itu bisa dikenali asalnya. Mereka adalah prajurit dan seorang Panglima Kerajaan Karang Setra. Tampak penunggang kuda paling depan adalah Panglima Bayan Sudira. Salah seorang prajurit yang berkuda di belakang Panglima Bayan Sudira, menuntun seekor kuda hitam legam.

Rombongan prajurit Karang Setra itu jelas menuju Kerajaan Jiwanala yang terletak di pesisir pantai sebelah Timur. Tampaknya mereka telah menempuh perjalanan begitu jauh. Ini terlihat dari wajah-wajah yang letih dan pakaian berdebu. Kuda yang mereka tunggangi pun mendengus-dengus kelelahan.

"Hooop... !" Panglima Bayan Sudira tiba-tiba mengangkat tangan sambil menghentikan laju kudanya.

Sepuluh orang prajurit yang mengikutinya serentak berhenti. Pandangan Panglima Bayan Sudira tidak lepas ke arah jalan di depannya. Tampak sebuah pohon yang cukup besar roboh melintang menghalangi jalan.

"Hm...," gumam Panglima Bayan Sudira pelan.

Pohon besar itu seperti baru saja tumbang. Daun-daunnya masih lebat dan hijau. Walaupun tampaknya masih begitu kokoh, tapi tumbangnya sampai ke akar. Pohon sebesar itu memang bisa saja roboh kalau terjadi badai yang sangat dahsyat. Tapi sekitarnya tampak tenang, dan tidak ada tanda-tanda bekas terlanda badai. Pohon-pohon lain di sekitarnya tampak masih kokoh berdiri.

Panglima Bayan Sudira jadi curiga melihat keadaan yang ganjil ini. Diisyaratkan pada prajuritnya untuk waspada. Panglima Karang Setra itu segera melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu indah dan ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Perlahan-lahan dihampiri pohon yang tumbang menghadang jalan itu.

Belum juga sampai ke pohon itu, mendadak sebatang tombak meluncur deras ke arahnya. Panglima Bayan Sudira melentingkan tubuhnya ke belakang, sehingga tombak itu hanya menancap tanah Padahal dia tadi berdiri di situ. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak....

"Ha ha ha...!"

Terdengar suara tawa menggelegar memekakkan telinga, seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin Jelas kalau suara itu dibarengi penyaluran tenaga dalam yang cukup tinggi Semakin lama suara itu semakin menyakitkan telinga. Para prajurit yang berjumlah sepuluh orang, mulai merasakan akibatnya.

"Hih!"

Panglima Bayan Sudira menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Pada saat yang sama, tiga prajurit yang berada di belakangnya sudah menggelepar sambil berteriak-teriak Dari mulut, hidung, dan telinga mereka keluar darah. Pengaruh suara tawa itu sangat luar biasa.

"Yaaah.. . !"

Tiba-tiba saja Panglima Bayan Sudira memekik keras sambil memutar tubuhnya cepat. Kedua tangannya direntangkan ke samping. Suara teriakannya demikian keras dan menggelegar. Bersamaan dengan itu bertiup angin kencang bagai terjadi badai topan. Panglima Bayan Sudira mengerahkan aji 'Bayu Badai' satu ajian yang sangat dahsyat.
Ajian itu memang sangat ampuh dan dahsyat. Buktinya suara tawa itu mendadak berhenti. Seketika Panglima Bayan Sudira juga menghentikan ajiannya. Dia tidak ingin para prajuritnya terlempar akibat hempasan badai yang diciptakannya.

Para prajurit Karang Setra yang tadi bergelimpangan, mulai dapat bangkit kembali. Napas mereka tersengal dengan tubuh lunglai dan darah masih mengucur dari hidung. Panglima Bayan Sudira berdiri tegak sambil memasang mata tajam untuk mengawasi sekitarnya. Pendengarannya dipasang tajam. Tapi suasana begitu hening, bahkan angin pun seolah-olah enggan bertiup.

"Waspadalah kalian," ujar Panglima Bayan Sudira memperingatkan.

­Sepuluh orang prajurit Karang Setra itu mencabut pedangnya masing-masing. Mereka bergerak mendekati panglimanya, dan berhenti di belakang laki-laki setengah baya itu.

"Siapa kau? Keluar...!" teriak Panglima Bayan Sudira keras.

Sepi.... Tak terdengar suara sedikit pun. Panglima Bayan Sudira memerintahkan para prajuritnya untuk mengambil kuda. Dua orang prajurit bergegas menghampiri kuda mereka yang tetap tenang merumput, seperti tidak menghiraukan kejadian yang tengah berlangsung terhadap majikannya.

"Awas...!" seru Panglima Bayan Sudira tiba-tiba.

Saat itu dua batang tombak melesat cepat bagai kilat ke arah dua prajurit yang tengah menghampiri kuda-kudanya. Dua orang prajurit itu terperangah sesaat. Kemudian, dengan gerakan cepat, dikibaskan pedangnya untuk menangkis tombak itu.

Trang! Trang!
"Akh...!"

Dua orang prajurit itu terpekik hampir bersamaan. Pedang mereka terlempar jauh begitu menangkis lemparan tombak tadi. Panglima Bayan Sudira segera melompat ke depan prajurit yang terhuyung ke belakang beberapa langkah seraya memegangi tangannya.

"Gusti...," salah seorang prajurit merintih lirih.

"Kenapa tanganmu?" tanya Panglima Bayan Sudira.

"Orang itu berilmu sangat tinggi. Tangan hamba ­seperti mati," sahut prajurit itu.

"Hm...," Panglima Bayan Sudira mengerutkan alisnya. Sebentar diperiksanya tangan kedua prajurit itu. Tidak ada yang terluka, hanya aliran darahnya terasa begitu cepat. Itu pertanda kalau baru saja menerima hentakan tenaga dalam yang cukup tinggi tingkatannya. Seorang prajurit lain menghampiri. Diserahkan pedang temannya yang tadi terlempar.

Panglima Bayan Sudira memberi isyarat pada para prajuritnya untuk naik ke punggung kudanya masing-masing. Prajurit yang berjumlah sepuluh orang itu bergegas melompat naik ke punggung kudanya. Tapi baru saja berada di atas punggung kuda, tiba-tiba terdengar kembali suara tawa terbahak-bahak. Bahkan kini disusul dengan munculnya seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun.

Pemuda itu berdiri tegak di atas pohon yang tumbang menghalangi jalan. Di tangannya tergenggam sebatang tombak panjang berwarna merah, sama dengan warna pakaian yang dikenakannya Ujung atas tombak itu berbentuk bulan sabit berwarna kuning keemasan. Sungguh berbeda dengan tombak-tombak pada umumnya.

"Masih ingat denganku, Bayan Sudira?" dingin dan datar suara pemuda itu.

"Kumbang Merah...," desis Panglima Bayan Sudira.

­"Ha ha ha...!"

"Hebat! Kau sekarang jadi panglima, Bayan Sudira. Tapi sayang. prajuritmu kurang tangguh untuk sebuah kerajaan besar seperti Karang Setra," kata Kumbang Merah sinis.

"Terima kasih. Tapi mereka sudah mampu menangkis seranganmu," jawab panglima Bayan Sudira tidak kalah sinisnya.

"Ha ha ha...! Kalau aku mau. hanya sekedipan mata saja mereka sudah mati!"

Panglima Bayan Sudira merentangkan tangannya mencegah prajuritnya yang tak tahan mendengar ejekan itu. Sepuluh orang prajurit Karang Setra itu tidak jadi bergerak. Meskipun mereka sudah turun kembali dari punggung kudanya, tapi belum ada yang menarik pedangnya kembali keluar.

"Kumbang Merah, apa maksudmu menghadang perjalananku?" tanya Panglima Bayan Sudira lantang.

"Aku hanya ingin memperingatkanmu, Bayan Sudira Perjalananmu ke Jiwanala hanya sia-sia saja. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa di sana!" sahut Kumbang Merah juga lantang.

"Bukan urusanmu, Kumbang Merah!”

"Urusanku juga jika kau bersikeras tetap ingin ke Jiwanala."

"He...! Kenapa kau melarangku ke sana?"

Kumbang Merah tidak menjawab, tapi hanya melompat turun dari pohon tumbang yang dipijaknya. Gerakannya sungguh ringan dan indah. Sepasang kakinya menjejak tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Jelas kalau tingkat kepandaiannya sukar diukur.

"Hebat! Rupanya kau mengalami kemajuan yang sangat pesat, Kumbang Merah," puji Panglima Bayan Sudira.

"Sepuluh tahun aku mempersiapkan diri. Dan semua itu hanya untukmu, Bayan Sudira!"

Setelah berkata demikian, Kumbang Merah melompat cepat bagaikan seekor macan menerkam mangsanya. Begitu cepat terjangannya, sehingga membuat Panglima Bayan Sudira sempat terperangah. Namun dengan cepat pula Panglima Karang Setra itu menggeser kakinya ke kanan sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

"Hait!"

Kumbang Merah mengibaskan tongkatnya menyampok tangan Panglima Bayan Sudira, namun luput. Ternyata Panglima Bayan Sudira lebih cepat menarik tangannya kembali. Dan belum lagi Kumbang Merah bisa menarik pulang tombaknya, Panglima Bayan Sudira telah lebih dulu mengirimkan satu tendangan kilat menggunakan kaki kanannya.

"Hegh...!"

Tendangan cepat dan tidak terduga itu mendarat tepat di pinggang Kumbang Merah, dan membuatnya mengeluh pendek. Kumbang Merah bergegas menarik kakinya mundur beberapa langkah. Bibirnya meringis menahan sakit, akibat tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Dan pada saat itu, Panglima Bayan Sudira sudah kembali mengirimkan pukulan beberapa kali dengan cepat.

"Hiya! Hiyaaa...!"
"Hap! Yaaat...!"

Kumbang Merah berkelit mengegoskan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, menghindari pukulan beruntun yang dilepaskan laki-laki pemimpin seluruh prajurit Karang Setra itu Pada saat pukulan panglima itu terhenti sebentar, dengan cepat ditusukkan tombaknya. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan Kumbang Merah untuk balas menyerang.

Namun Panglima Bayan Sudira bukanlah hanya sebuah nama kosong. Tusukan tombak berujung bulan sabit keemasan itu dengan mudah dapat dihindarkan. Tubuhnya dimiringkan ke kanan, lalu tangan kanannya disodokkan ke arah dada lawan.

"Hait...!"

Kumbang Merah buru-buru menarik tongkatnya pulang, dan cepat melompat mundur. Dihentakkan ujung tombaknya ke tanah kuat-kuat Pandangan matanya tajam menusuk ke bola mata Panglima Bayan Sudira yang sudah merendahkan tubuh, dengan kedua tangannya menyilang di depan dada Sedangkan Kumbang Merah hanya berdiri tegak, dan tombaknya tegak lurus di samping.

"Sayang sekali. Saat ini aku tidak punya waktu banyak untukmu. Tapi aku tetap akan mencarimu. Bayan Sudira," jelas Kumbang Merah, datar nada suaranya.

­"Hm...," Panglima Bayan Sudira hanya bergumam kecil, sambil berdiri tegak.

"Sekali lagi kuperingatkan padamu! Jangan coba-coba memasuki wilayah Kerajaan Jiwanala!"

Setelah berkata demikian, Kumbang Merah melesat cepat dan hilang seketika. Panglima Bayan Sudira tidak sempat lagi berkata-kata. Dia pun berbalik dan melangkah menghampiri kudanya yang dipegangi seorang prajurit. Tanpa berkata sedikit pun, Panglima Bayan Sudira melompat naik ke punggung kudanya.

Sepuluh orang prajurit segera naik ke punggung kuda masing-masing setelah menyarungkan kembali pedangnya, tapi belum juga menggebahnya.

"Gusti Panglima..." salah seorang prajurit yang berada di samping kanannya menegur.

"Kita tetap ke Kerajaan Jiwanala," kata Panglima Bayan Sudira tegas.

"Baik, Gusti Panglima!" jawab sepuluh prajurit itu serempak.

Rombongan kecil Kerajaan Karang Setra itu bergerak menuju ke Kerajaan Jiwanala. Mereka melompati pohon besar yang menghalangi jalan tembus ke kerajaan itu. Mereka memang menggunakan kuda-kuda pilihan, sehingga tidak mengalami kesukaran melompati rintangan itu. Rombongan kecil ini memang juga terdiri dari prajurit pilihan yang mempunyai kemampuan ilmu olah kanuragan tidak rendah.

Mereka terus menggebah kudanya agar berpacu lebih kencang. Saat itu hari sudah menjelang senja. ­Matahari sudah condong ke arah Barat. Udara di sekitarnya semakin terasa dingin. Namun Panglima Bayan Sudira dan sepuluh prajuritnya tetap bergerak cepat tanpa menghiraukan kabut yang mulai merayap turun menyelimuti permukaan bumi ini.

********************

Sementara itu di Istana Jiwanala, Prabu Duta Nitiyasa tengah dihadapi pembesar-pembesarnya, patih, dan para panglima. Keadaan Kerajaan Jiwanala sudah kembali tentram seperti sediakala, setelah mengalami suatu kemelut yang menelan banyak korban nyawa, baik dari kalangan prajurit maupun rakyat. Pertemuan di Balai Sema Agung itu membicarakan sekitar pemulihan keadaan kerajaan dan perbaikan istana yang rusak akibat terjarah orang-orang dari Daratan Mongol (Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Jago Dari Nongol).

Sejak pertemuan tadi, wajah Prabu Duta Nitiyasa terlihat murung dan tidak bergairah sama sekali. Meskipun sesekali mengulas senyum, namun terasa hambar dan amat dipaksakan. Semua orang yang berada di Balai Sema Agung ini bisa merasakan kemurungan itu. Tapi tidak ada seorang pun yang berani menanyakannya.

"Gusti Prabu...," Patih Raksajunta membuka suara setelah terjadi kebisuan cukup lama.

Prabu Duta Nitiyasa mengangkat kepalanya. Dipandanginya Patih Raksajunta yang duduk bersila di sebelah kanannya. Patih itu memberi hormat dengan merapatkan tangannya di depan hidung.

"Ada apa, Paman Patih?" tanya Prabu Duta Nitiyasa pelan.

"Ampun Gusti Prabu. Dalam dua hari ini, Gusti Prabu kelihatan murung...," jelas sekali kalau suara Patih Raksajunta bernada ragu-ragu.

Prabu Duta Nitiyasa tersenyum. Patih Raksajunta kembali memberikan sembah. Raja Jiwanala itu mengangkat tangannya sedikit. Semua orang yang berada di ruangan itu memberi sembah, kemudian beranjak pergi. Tinggal Patih Raksajunta yang masih berada dalam ruangan itu bersama Prabu Duta Nitiyasa. Bahkan Prabu Duta Nitiyasa juga memerintahkan pengawalnya untuk meninggalkan ruangan ini.

"Paman Patih, aku memang menunggu adanya pertanyaan seperti itu," ungkap Prabu Duta Nitiyasa. "Kemarilah, lebih mendekat."

Patih Raksajunta memberi sembah, kemudian menggeser duduknya lebih dekat lagi.

"Ketahuilah, Paman. Aku sebenarnya gembira bisa berada di istana ini kembali. Apalagi seluruh rakyat juga sudah tenang kembali, meskipun masih banyak kerusakan yang belum bisa diperbaiki. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, Paman," jelas Prabu Duta Nitiyasa bertutur rapi.

"Hamba bersedia mendengarkan, Gusti Prabu," ucap Patih Raksajunta.

­"Paman Patih. Kau mengabdi di Jiwanala ini sejak ayahku masih hidup. Sebenarnya, tidak pantas kalau aku memberimu kedudukan sebagai patih. Kau seharusnya lebih cocok menjadi penasehatku. Hanya kaulah satu-satunya yang bisa menampung segala keluh kesahku...."

"Hamba cukup senang menerima jabatan patih, Gusti."

Prabu Duta Nitiyasa bangkit dari singgasananya. Segera dilangkahkan kakinya beberapa tindak, dan berhenti tepat di depan Patih Raksajunta. Tangan kanannya menepuk pundak patihnya itu, dan memintanya untuk berdiri. Patih Raksajunta menyembah sekali lagi sebelum bangkit berdiri. Prabu Duta Nitiyasa melangkah perlahan-lahan meninggalkan ruangan Balai Sema Agung ini, diikuti oleh Patih Raksajunta di samping kanannya.

Mereka terus berjalan tanpa ada kata yang terucap sampai tiba di Taman Kaputren yang tampak sepi. Biasanya taman ini menjadi tempat kesenangan Permaisuri Dita Wardhani. Tapi sekarang ini beliau masih berada di Padepokan Arang Watu milik ayahnya. Mereka terus melangkah menyusuri jalan kecil di dalam taman itu.

"Selama dua hari ini aku memang tidak bisa tenang, Paman Patih. Pikiranku selalu gelisah, seakan-akan pertanda kalau bencana belum lagi berakhir menimpa negeri ini," tutur Prabu Duta Nitiyasa memulai membuka hatinya.

­"Apa yang membuat hati Gusti resah?" tanya Patih Raksajunta.

"Rangga," sahut Prabu Duta Nitiyasa singkat.

"Rangga...?!" Patih Raksajunta bergumam pelan, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.

"Aku merasakan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti ke sini bukan secara kebetulan, tapi memang memiliki suatu tujuan sehingga datang ke kerajaan ini. Rangga... Nama itu mengingatkanku pada putra Adipati Arya Permadi Seandainya waktu itu tidak terjadi musibah, pastilah putra Kakang Adipati sudah sebesar Pendekar Rajawali Sakti," nada suara Prabu Duta Nitiyasa setengah bergumam.

"Gusti, peristiwa itu sudah dua puluh tahun lebih berlalu. Bahkan mungkin semua orang sudah melupakannya, meskipun hamba sendiri tidak bisa melupakannya sampai kapan pun. Sepertinya Gusti Adipati masih hidup sampai kini," kata Patih Raksajunta mengingatkan.

"Itulah yang membuat pikiranku tidak tenang selama ini, Paman."

"Maksud, Gusti?" Patih Raksajunta tidak mengerti.

"Selama ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui, apakah putra Kakang Adipati masih hidup atau sudah tewas dalam musibah itu. Sedangkan sejak itu kita memutuskan hubungan dengan Kadipaten Karang Setra, sudah dua puluh tahun lebih tidak pernah lagi berhubungan Dan selama itu kita tidak tahu, bagaimana perkembangan di Karang Setra."

­"Gusti, hamba rasa itu satu keputusan yang sangat bijaksana. Tidak ada gunanya berhubungan dengan adipati murtad, meskipun masih ada hubungan darah dengan Gusti Prabu. Ampun, Gusti. Bukannya hamba ingin memutuskan tali persaudaraan...," cepat-cepat Patih Raksajunta memberikan sembah.

"Aku tidak menyesal, Paman. Itu memang sudah keputusan Ayahanda Prabu, dan aku tinggal meneruskannya saja. Tapi yang sekarang mengganjal pikiranku adalah kehadiran seorang pendekar yang namanya begitu sama dengan nama putra Kakang Adipati," Prabu Duta Nitiyasa meneruskan pokok pembicaraannya ini.

"Nama bisa saja sama, Gusti."

"Kau benar, Paman. Nama memang bisa saja sama. Tapi, raut wajah, sorot mata, serta jalinan ikatan batin.... Ini yang membuat hatiku selalu gelisah."

"Hamba tidak mengerti, Gusti."

Prabu Duta Nitiyasa tersenyum tipis, lalu duduk di kursi panjang yang berada di bawah naungan atap kecil di tengah-tengah taman. Sebuah bangsal kecil yang memang dibuat untuk beristirahat dan berteduh dari sengatan sinar matahari. Patih Raksajunta duduk bersila di lantai, dekat kaki kanan Prabu Duta Nitiyasa.

Belum lagi mereka berbicara kembali, seorang prajurit penjaga pintu Taman Kaputren ini berlari-lari kecil menghampiri. Prajurit itu langsung membungkuk memberi hormat begitu sampai di depan Prabu Duta Nitiyasa.

­"Ada apa, Prajurit?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.

"Ampun, Gusti Prabu. Ada beberapa orang berkuda yang mengenakan seragam prajurit menuju istana. Dari laporan prajurit penjaga perbatasan, mereka datang dari Karang Setra," lapor prajurit itu.

"Karang Setra...," desis Prabu Duta Nitiyasa.

Tanpa berkata-kata lagi, Prabu Duta Nitiyasa bergegas bangkit dari kursinya dan melangkah tergesa-gesa. Patih Raksajunta mengikuti dari belakang disusul prajurit pengawal pintu kaputren ini.

DUA

Hati Prabu Duta Nitiyasa diliputi berbagai macam tanda tanya ketika menerima Panglima Bayan Sudira. Namun dia masih bisa tersenyum cerah. Diterimanya tamunya itu di ruangan Bangsal Pendopo Agung. Sebuah ruangan yang cukup besar, dengan hiasan dinding indah dan berlantaikan batu pualam putih yang berkilat. Tampak sedap dipandang mata.

"Apakah maksud Tuan Panglima datang mengunjungi kerajaan kecil ini?" tanya Prabu Duta Nitiyasa ramah.

"Ampun, Gusti Prabu. Kedatangan hamba memang sengaja, karena mendapat berita kalau raja hamba berada di kerajaan ini," sahut Panglima Bayan Sudira penuh hormat.

"Rajamu...?!" Prabu Duta Nitiyasa terperanjat.

"Benar, Gusti," Panglima Bayan Sudira meyakinkan.

Prabu Duta Nitiyasa menatap Patih Raksajunta yang menemaninya di ruangan ini. Sungguh tidak diduga kalau Karang Setra kini sudah menjadi sebuah kerajaan. Tapi yang membuatnya lebih terkejut adalah berita tentang Raja Karang Setra yang kini berada di Kerajaan Jiwanala Padahal tidak ada seorang raja pun yang menjadi tamu di sini.

"Siapa nama Raja Karang Setra?" tanya Prabu Duta Nitiyasa setelah hilang rasa terkejutnya.

"Gusti Prabu Rangga Pati Permadi," jawab Panglima Bayan Sudira.

"Rangga..." desis Prabu Duta Nitiyasa hampir tidak percaya dengan pendengarannya. Padahal dia baru saja membicarakan tentang putra kakaknya yang menjadi adipati di Karang Setra dua puluh tahun silam. Dan kini didengar keterangan kalau putra adipati itu masih hidup, bahkan menjadi raja di tanah kelahirannya. Sungguh suatu kabar yang sangat mengejutkan, di samping menggembirakan.

Dua puluh tahun lebih Prabu Duta Nitiyasa tidak pernah lagi mendengar kabar tentang Karang Setra, tempatnya dilahirkan. Dan sekarang datang seorang panglima dari Kerajaan Karang Setra yang dulu hanya sebuah kadipaten. Pikiran Prabu Duta Nitiyasa jadi berputar kembali, karena beberapa hari yang lalu memang ada seorang pemuda yang mengaku bernama Rangga. Tapi pemuda itu dari kalangan rimba persilatan yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini Panglima Bayan Sudira datang untuk mencari rajanya yang juga bernama Rangga.

"Tuan Panglima, bagaimana ceritanya sampai rajamu pergi tanpa kabar berita yang pasti?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.

"Prabu Rangga meninggalkan istana karena ada kepentingan yang tidak hamba ketahui dengan pasti, Gusti Prabu. Memang sudah dipesan agar tidak perlu mencarinya. Tapi sudah lama beliau tidak kembali, dan terakhir kami mendapat berita kalau Gusti Prabu Rangga berada di kerajaan ini," Panglima Bayan Sudira mencoba menjelaskan dengan singkat.

"Apakah Gusti Prabu Rangga itu seorang pendekar?" tanya Patih Raksajunta yang sejak tadi diam saja.

"Benar, Paman Patih. Gusti Prabu Rangga juga dikenal dengan nama Pendekar Rajawali Sakti"

Bagaikan mendengar guntur di siang bolong, Prabu Duta Nitiyasa dan Patih Raksajunta terlonjak kaget. Mereka menatap tajam Panglima Bayan Sudira yang juga terperanjat, karena tidak mengerti akan sikap tuan rumah ini. Untuk beberapa saat lamanya suasana jadi hening.

Prabu Duta Nitiyasa bangkit berdiri, lalu melangkah menuju ke jendela besar yang terbuka lebar. Saat itu sudah menjelang malam. Di luar sana, kegelapan menyelimuti sekitarnya. Kabar berita yang dibawa Panglima Bayan Sudira benar-benar membuatnya terkejut setengah mati. Perasaan batin yang selama ini mengganggu pikirannya ternyata terbukti. Tapi tidak diduga kalau akan sampai sejauh itu.

"Tuan Panglima, tentunya perjalanan jauhmu sangat melelahkan. Sebaiknya beristirahatlah dahulu,” ujar Prabu Duta Nitiyasa tetap memandang ke luar melalui jendela

"Hamba, Gusti Prabu, " sahut Panglima Bayan Sudira.

­Dengan diantar Patih Raksajunta, Panglima Bayan Sudira meninggalkan ruangan Bangsal Pendopo Agung Ini. Sementara Prabu Duta Nitiyasa masih berdiri memandang langit kelam tanpa satu bintang pun terlihat menggantung. Angin malam yang dingin begitu keras menerpa wajahnya. Tapi Prabu Duta Nitiyasa tidak memperdulikannya. Pikirannya semakin tidak menentu saat ini.

Cukup lama juga Prabu Duta Nitiyasa berdiri mematung di depan jendela Bangsal Pendopo Agung ini. Sampai-sampai tidak tahu kalau Patih Raksajunta sudah berada di belakangnya. Ragu-ragu laki-laki tua itu menegur, tapi akhirnya memberanikan diri juga untuk menegur. Prabu Duta Nitiyasa membalikkan tubuhnya. Patih Raksajunta membungkuk memberi hormat.

"Perkataan batinku benar, Paman, " tegas Prabu Duta Nitiyasa pelan.

"Hamba kira ini bukan malapetaka, Gusti," kata Patih Raksajunta.

"Mudah-mudahan demikian," desah Prabu Duta Nitiyasa pelan.

Prabu Duta Nitiyasa melangkah perlahan-lahan meninggalkan ruangan besar itu. Sedangkan Patih Raksajunta masih tetap berdiri, meskipun junjungannya itu sudah tidak terlihat lagi Laki-laki tua itu kelihatan resah, entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

"Hhh...,” Patih Raksajunta menarik napas panjang kemudian berjalan perlahan meninggalkan ruangan ini.

Dua orang prajurit penjaga menghampiri jendela setelah Patih Raksajunta menghilang di balik pintu, lalu menutupnya rapat-rapat Saat itu seorang wanita bertubuh gemuk masuk. Dibereskan meja dan kursi yang tadi diduduki Prabu Duta Nitiyasa, Patih Raksajunta, dan Panglima Bayan Sudira. Tidak ada kata-kata yang terucapkan, semuanya bekerja tanpa membuka mulut. Seakan-akan keresahan hati Prabu Duta Nitiyasa sudah merambat pada semua orang di lingkungan istana ini.

********************

­Panglima Bayan Sudira terkejut ketika tiba-tiba Patih Raksajunta menepuk pundaknya. Panglima itu menggeser duduknya memberi tempat pada Patih Raksajunta. Mereka duduk berdampingan di bangku taman belakang istana. Sesaat tidak ada yang membuka suara. Pandangan mereka sama-sama tertuju pada langit-langit yang hitam kelam. Angin yang berhembus kencang membawa titik-titik air, pertanda sebentar lagi akan diwarnai turunnya hujan.

"Dingin sekali malam ini...," desah Patih Raksajunta membuka suara.

“Ya, tampaknya akan hujan," sahut Panglima Bayan Sudira.

"Hhh...! Sudah berapa lama ya, kita berpisah?" Patih Raksajunta seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Mungkin dua puluh tahun," sahut Panglima Bayan Sudira mendesah.

"Cukup lama juga. Selama itu aku sepertinya tidak memiliki saudara. Hm..., bagaimana keadaan saudara-saudara kita yang lain?" suara Patih Raksajunta terdengar setengah bergumam.

"Tidak terlalu buruk. Hanya saja...," jawaban Panglima Bayan Sudira terputus.

"Hanya apa?" desak Patih Raksajunta.

"Istri dan anakmu. Sampai sekarang tidak kuketahui di mana mereka," pelan suara Panglima Bayan Sudira.

"Mereka ada di sini," sahut Patih Raksajunta tersenyum.

"Oh, syukurlah."

Kembali mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya. Titik-titik air mulai terasa menyentuh kulit. Seberkas cahaya kilat menyambar di angkasa, disusul gelegar guruh. Langit semakin terlihat kelam, angin pun semakin terasa dingin berhembus. Namun dua orang pembesar dari kerajaan yang berbeda itu masih tetap tenang duduk di taman belakang istana.

"Tadinya aku sudah berniat untuk menetap di sini bersamamu, Kakang. Tapi mendadak saja perubahan besar terjadi di Karang Setra. Putra Gusti Adipati yang hilang dua puluh tahun lamanya kembali dan menggulingkan kekuasaan adik tirinya. Bahkan kini Karang Setra telah menjadi sebuah kerajaan yang cukup besar," jelas Panglima Bayan Sudira menceritakan keadaan Karang Setra tanpa diminta.

"Lalu, bagaimana caranya kau bisa jadi panglima?" tanya Patih Raksajunta.

"Aku bergabung dengan Gusti Rangga mendirikan kerajaan di Karang Setra. Banyak teman kita yang dulu terpencar sudah kembali berkumpul di istana. Gusti Rangga menyerahkan pembagian jabatan pada Kakang Lintuk. Kau masih ingat dengan saingan beratmu itu, Kakang?"

"Ya. Tapi bukan saingan dalam arti musuh. Aku dan Kakang Lintuk memang selalu bersaing, tapi secara sehat," jelas Patih Raksajunta.

"Kakang Lintuk memang adil. dan bijaksana sekali. Dia tidak langsung menunjuk, tapi menanyakan terlebih dahulu jabatan yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Semua dilakukan secara rembukan, dan semuanya puas, tidak ada yang mengeluh."

"Kakang Lintuk memang orang yang bijaksana. Aku yakin. Karang Setra kini lebih maju dari yang dulu."

"Benar, Kakang. Kemajuannya pesat sekali, meskipun singgasana selalu kosong."

"Kosong...!?" Patih Raksajunta mengangkat alisnya.

"Gusti Prabu Rangga berjiwa pendekar. Dan selama dua puluh tahun selalu mengembara di dalam rimba persilatan. Bahkan sekarang pun tidak ada di Istana."

­“Hm.., jadi kau ke sini mencari raja pendekar itu?

“Betul”
“Untuk membawa pulang kembali?”
“Bukan.”

“Lho...?! lalu, untuk apa kau mencarinya?”

“Maaf, Kakang. Aku tidak bisa mengatakannya. Hanya Gusti Prabu Rangga-lah yang boleh mengetahuinya.”

“Aku mengerti. Tapi... kau yakin kalau Prabu Rangga ada di sini?"

“Begitulah yang kudengar. Mudah-mudahan aku tidak terlambat."

“Sayang sekali...,” gumam Patih Raksajunta.

“Kenapa Kakang...?” tanya Panglima Bayan Sudra.

“Aku tidak tau pasti, apakah yang kau cari memang dia orangnya atau bukan,” kata Patih Raksajunta setengah bergumam.

“Maksud Kakang?” Panglima Bayan Sudra tidak mengerti.

Patih Raksajunta tidak langsung menjelaskan, tapi malah bangkit berdiri dan melangkah menuju ke bangunan belakang istana. Saat itu hujan sudah mulai turun dengan derasnya. Panglima Bayan Sudra juga ikut bangkit dan melangkah meninggalkan bangku taman itu. Hatinya masih diliputi pertanyaan yang belum terjawab.

********************

Panglima Bayan Sudra menyesal keterlambatannya, sehingga tidak bisa menemui rajanya. Tapi kekecewaannya sedikit terhalau karena masih bisa bertemu dengan saudara-saudaranya di kerjaan ini. Terutama Patih Raksajunta, yang masih terhitung kakak sepupunya.

Tapi yang lebih kecewa lagi adalah Prabu Duta Nitiyasa. Dia baru tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah seorang raja besar, yang ternyata juga keponakannya. Hanya selama ini dia belum bisa menyambut pendekar itu dengan baik, bahkan sekarang sudah tidak jelas lagi berada di mana. Memang sukar untuk mencari seorang pendekar, meskipun seorang raja besar sekalipun. Apalagi Rangga hanya seorang diri. Yang tanpa tujuan pasti.

Hari ini Panglima Bayan Sudira sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Istana Jiwanala. Sepuluh orang prajuritnya juga sudah siap di samping kudanya masing-masing. Prabu. Duta Nitiyasa mengantarkannya sampai ke ujung tangga istana, didampingi Patih Raksajunta.

"Beritahukan arah tujuan yang kau tempuh, Panglima. Seandainya Rangga masih berada di sini, aku bisa cepat mengirim utusan untuk memberitahukanmu," kata Prabu Duta Nitiyasa meminta.

"Hamba selalu menuju ke arah Timur, Gusti Prabu," sahut Panglima Bayan Sudira.

"Baiklah. Kuharap kau bisa menemukannya di jalan."

"Hamba mohon diri, Gusti."

"Ya."

Panglima Bayan Sudira membungkuk memberi hormat kemudian berbalik dan melangkah menghampiri kudanya yang dipegangi seorang prajurit. Setelah Panglima Bayan Sudira berada di punggung kuda, sepuluh orang prajurit yang menyertainya segera melompat punggung kudanya masing-masing. Salah seorang memegangi tali kendali seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap. Kuda hitam itu sudah berpelana lengkap tapi tak ada penunggangnya.

"Hiya, hiya...!"

Panglima Bayan Sudira menggebah kudanya dengan cepat keluar dari alun-alun istana Sepuluh orang prajuritnya mengikuti dari belakang. Dua belas ekor kuda berpacu cepat melintasi pintu gerbang istana yang dijaga empat orang prajurit bersenjata tombak. Kuda-kuda itu terus berpacu cepat meninggalkan debu yang mengepul di udara.

Panglima Bayan Sudira memang mengarahkan tujuannya ke Timur. Sedikit pun tidak dikendurkan laju kudanya. Hingga sampai di perbatasan, mereka baru melarikan kudanya perlahan-lahan. Panglima Bayan Sudira menatap hutan lebat yang menghadang di depannya. Gerbang perbatasan sudah tertinggal jauh di belakang.

"Hooop...!"

Panglima Bayan Sudira menghentikan lari kudanya begitu akan memasuki hutan. Sepuluh orang prajuritnya ikut berhenti. Salah seorang prajurit menghampiri.

"Kenapa berhenti, Gusti?" tanya prajurit itu.

"Aku yakin sekali kalau Gusti Prabu masih ada di Kerajaan Jiwanala, " sahut Panglima Bayan Sudira setengah bergumam.

"Tapi Gusti Prabu Duta Nitiyasa sudah memas­tikan kalau Gusti Prabu Rangga sudah pergi," bantah prajurit itu.

"Kau ingat orang yang mencegat kita kemarin?"

Panglima Bayan Sudira memberikan pertanyaan Prajurit itu mengangguk.

"Dia bernama Kumbang Merah. Hm..., aku jadi heran, kenapa dia melarangku masuk ke Kerajaan Jiwanala ? Aku jadi curiga," kembali nada suara Panglima Bayan Sudira bernada bergumam.

"Benar, Gusti. Pasti ada sesuatu," celetuk prajurit itu.

­"Yang aku heran, Kumbang Merah tahu betul apa yang kucari. Padahal tidak ada seorang pun yang tahu kecuali aku dan Kakang Lintuk. Aneh...! Dari mana dia tahu? Kenapa dia melarangku masuk ke Kerajaan Jiwanala?" Macam-macam pertanyaan bergumam dari mulut Panglima Bayan Sudira.

Tak ada seorang prajuritnya yang bisa menjawab pertanyaan itu. Mereka pun jadi heran dan bertanya-tanya. Hanya satu hari berada di Kerajaan Jiwanala, tapi sudah membuat seribu macam pertanyaan yang sukar untuk dipecahkan. Bukan hanya si Kumbang ­Merah saja yang mencegat mereka masuk ke Kerajaan Jiwanala. Sepanjang jalan, sudah terjadi empat kali pencegatan. Dan semuanya tidak menginginkan Panglima Bayan Sudira masuk ke kerajaan itu.

Selain si Kumbang Merah, ada juga si Iblis Mawar Jingga, Kakek Pesolek Pemetik Bunga, dan si Macan Gunung Sumbing. Mereka semua sepertinya sudah tahu, apa yang sedang diemban Panglima Bayan Sudira. Bahkan tahu pula setiap arah tujuan yang ditempuh. Bukan hanya sekali atau dua kali mereka mencegat, tapi beberapa kali. Hanya anehnya, mereka tidak menyakiti, meskipun sempat melakukan pertarungan. Namun tidak ada satu korban pun yang jatuh. Apa sebenarnya maksud mereka? Pertanyaan itu yang selalu menghantui Panglima Bayan Sudira dan prajurit-prajuritnya.

"He he he...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara terkekeh. Dan belum lagi suara tawa itu hilang, menyusul terdengar suara siulan nyaring melengking tinggi. Suara-suara itu seolah-olah datang dari segala penjuru, dan jelas dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tapi tidak menimbulkan gejala apa-apa. Hanya saja cukup membuat bingung Panglima Bayan Sudira dan kesepuluh prajuritnya.

"Hm..., siapa lagi ini?" gumam Panglima Bayan Sudira bertanya-tanya.

Belum lagi pertanyaan itu bisa terjawab. Muncul dua orang laki-laki dan perempuan. Mereka semua ­masih muda-muda, gagah, dan cantik. Kedua orang itu mengenakan baju ketat berwarna kuning gading. Di punggung mereka terpasang sebilah pedang yang bergagang hitam seperti tanduk kerbau. Panglima Bayan Sudira mengenali mereka, yang dikenal berjuluk Sepasang Naga Hitam. Yang laki-laki sebenarnya bernama Andika, dan yang perempuan bernama Andini.

Langkah mereka ringan menghampiri Panglima Bayan Sudira yang sudah siaga. Tangan kanannya pun sudah berada di atas gagang pedangnya di pinggang. Panglima Bayan Sudira tahu kalau sepasang muda-mudi ini adalah tokoh sakti beraliran hitam. Dan sudah diduga, apa yang diinginkan Sepasang Naga Hitam itu.

"Aku turut sedih atas kemalanganmu, Panglima Bayan Sudira," ucap Andika. Bibirnya yang tipis tersenyum sinis.

"Terima kasih, tapi aku tidak sedih," sahut Panglima Bayan Sudira datar.

"Oh...!" Andika seperti terkejut. "Lihat, Adik Andini. Dia tidak sedih! Mengagumkan sekali...."

"Memang mengagumkan. Tapi sayang sudah tua. Tapi..., masih boleh juga! Kegagahannya masih tampak, dan cukup tampan," sahut Andini tersenyum-senyum menggoda.

Panglima Bayan Sudira menggerutu dalam hati. Dia tahu betul tabiat Sepasang Naga Hitam Itu. Mereka adalah anak muda yang selalu mengumbar nafsu dan kesenangan duniawi. Mereka tidak lagi mempedulikan tata krama kehidupan, dan selalu menyanjung kebebasan dalam segala hal Kemunculannya memang selalu berpasangan, tapi anehnya tidak mempedulikan satu sama lain dalam mencari kepuasan pribadi.

"Rajanya lebih tampan lagi, Andini, " kata Andika.

"Oh, ya? Aku jadi ingin cepat-cepat bertemu," bola mata Andini berbinar.

"Phuih! Kau tidak akan dapat bertemu dengan Gusti Prabu!" bentak Panglima Bayan Sudira geram mendengar ocehan yang menyakitkan telinga itu.

"Hi hi hi.... Dia mencoba menghalangi ku, Kakang," Andini terkikik meremehkan.

"Tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi kita, Andini. Percayalah pada ku," sahut Andika.

"Aku percaya, Kakang. Tapi jangan lukai panglima itu. Aku suka padanya," Andini melirik genit pada Panglima Bayan Sudira.

Panglima Bayan SudIra benar-benar muak melihat Andini yang bertingkah laku genit padanya. Tapi panglima itu masih menahan kesabarannya, karena tahu kalau Sepasang Naga Hitam itu bukan tandingannya. Lebih-lebih untuk sepuluh prajuritnya. Bukannya takut, tapi tugas yang diembannya belum lagi selesai. Bahkan sampai saat Ini dia belum bisa bertemu dengan Rangga.

"Aku harap kalian tidak membuat kesulitan!" tegas Panglima Bayan Sudira dingin

"Ah.... Aku suka sekali ancamannya, Kakang, " ­desah Andini genit.

"Setan! Perempuan cabul!" Panglima Bayan Sudira tidak bisa lagi menahan amarahnya.

"Hi hi hi...!" Andini malah tertawa terkikik.

Panglima Bayan Sudira tidak bisa lagi menahan amarahnya. Betapa muaknya melihat tingkah wanita itu. Andini memang cantik. Tapi, tingkah lakunya yang terlalu bebas dan kejam, membuat siapa saja tidak pernah menyukainya. Setiap laki-laki yang disukainya selalu dibunuh, setelah puas bermain cinta dengannya. Tidak terhitung lagi laki-laki yang tewas di tangan perempuan cabul itu.

Sret!

Panglima Bayan Sudira menghunus pedangnya. Ujung pedang berkilat keperakan itu ditujukan ke arah Andini. Namun wanita Itu malah tersenyum mempermainkan kelopak matanya dengan genit Tentu saja hal ini makin membuat Panglima Bayan Sudira muak.

"Aku tidak segan-segan membunuh, jika kalian tidak segera angkat kaki dari hadapanku!" ancam Panglima Bayan Sudira geram.

"Bagus...! Aku suka sekali tantanganmu," sambut Andini tersenyum lebar. "Kakang, jangan ganggu acara menarikku."

“Tentu saja, adikku manis. Bersenang-senanglah,” sahut Andika tersenyum mengerti.

"Iblis...!" geram Panglima Bayan Sudira keras. "Hiyaaa...!"

Panglima Bayan Sudira yang benar-benar tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya, segera melompat cepat seraya menusukkan ujung pedang ke arah dada Andini. Tapi dengan manis wanita itu mengegoskan tubuhnya ke kanan, sehingga pedang Panglima Bayan Sudira lewat di sampingnya.

Sementara pertarungan Panglima Bayan Sudira melawan Andini berlangsung, Andika menghadang sepuluh prajurit yang bergerak hendak membantu panglimanya. Andika menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir berdecak. Sepuluh prajurit yang tahu siapa Sepasang Naga Hitam itu, kontan bergerak mundur. Mereka tidak jadi menarik senjata. Sementara pertarungan antara Panglima Bayan Sudira melawan Andini semakin sengit.

TIGA

­Sudah lebih sepuluh jurus, tapi pertarungan Panglima Bayan Sudira lawan Andini masih juga berlangsung. Meskipun menggunakan pedang, tapi Panglima Bayan Sudira belum mampu menjatuhkan wanita itu. Bahkan sudah beberapa kali pukulan dan tendangan Andini mendarat di tubuhnya. Sejak pertama, memang telah dapat diketahui kalau tingkat kepandaian Panglima Bayan Sudira di bawah Andini.

Tidak heran kalau pertempuran benar-benar dikuasai wanita cantik itu. Sebenarnya Panglima Bayan Sudira sadar, kalau dirinya tidak akan mungkin bisa mengalahkan Andini. Tapi, mati adalah pilihannya daripada jatuh ke tangan wanita cabul itu. Panglima Bayan Sudira tahu, apa yang akan terjadi nanti pada dirinya jika sampai jatuh ke tangan Andini dalam keadaan hidup. Dan ini yang tidak diinginkan.

"Lepas...!"

Tiba-tiba saja Andini berteriak keras seraya mengibaskan tangannya ketika Panglima Bayan Sudira membabatkan pedangnya ke arah pinggang. Sampokan tangan kiri Andini demikian cepat, dan tepat menghantam pergelangan tangan kanan Panglima Bayan Sudira.

"Akh!" Panglima Bayan Sudira memekik tertahan.

­Seketika itu juga pedang dalam genggamannya terlempar. Belum lagi dapat menguasai keadaan dirinya, satu tendangan keras mendarat di perut Panglima Bayan Sudira. Panglima itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk menahan rasa mual akibat tendangan itu. Kembali satu pukulan keras menghantam tengkuknya, dan membuatnya jatuh tersuruk mencium tanah.

"Bangun, Panglima!" bentak Andini bertolak pinggang di depan Panglima Bayan Sudira.

Laki-laki berusia hampir empat puluh tahun itu mengangkat kepalanya. Dari mulutnya keluar darah segar. Sepasang kaki indah berada tepat di depan hidungnya. Panglima Bayan Sudira menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menghilangkan rasa pening yang menyerang kepalanya. Dan begitu rasa pening berkurang, dengan cepat disampoknya sepasang kaki itu.

"Hait..!"

Namun Andini yang rupanya sudah menyadari akan datangnya serangan itu, dengan cepat melompat sambil mengirimkan satu tendangan keras ke wajah Panglima Bayan Sudira.

"Akh...!" Panglima Bayan Sudira memekik keras.

Seketika itu juga kepalanya terdongak ke belakang, dan tubuhnya bergulingan beberapa kali. Belum lagi tubuhnya berhenti bergulingan, kembali dirasakan satu hantaman keras mendarat di punggung. Hantaman itu membuat Panglima Bayan Sudira merasakan tulang punggungnya patah, dan hanya mampu memekik keras melengking.

Panglima dari Kerajaan Karang Setra itu benar-benar tidak berdaya lagi. Darah semakin banyak keluar dari mulut dan pelipisnya. Sukar sekali untuk menggerakkan tubuhnya kembali. Tulang-tulangnya terasa remuk, hancur berantakan. Andini berdiri tegak, tepat di depan wajah Panglima Bayan Sudira yang menelentang tanpa daya lagi.

"Bunuhlah aku, keparat! " geram Panglima Bayan Sudira sambil menyemburkan ludahnya. Tapi yang keluar berupa gumpalan darah.

"Kau terlalu keras kepala, Panglima. Tapi aku suka laki-laki keras sepertimu," ujar Andini seraya tersenyum.

"Phuih!" lagi-lagi Panglima Bayan Sudira menyemburkan ludahnya

Andini malah semakin lebar tersenyum. Sebentar diliriknya Andika yang berdiri tegak di depan sepuluh orang prajurit. Wanita itu kemudian berlutut di samping laki-laki yang sudah tidak berdaya lagi. Dengan lembut disekanya darah yang mengotori sekitar mulut Panglima Bayan Sudira. Tapi panglima itu memalingkan mukanya.

"Kasihan sekali. Kalau saja hatimu lunak sedikit saja, tidak akan sampai begini," ucap Andini berdecak.

"Aku tidak perlu belas kasihanmu!" rungut Panglima Bayan Sudira.

Andini tertawa mengikik. Dia menoleh pada kakaknya yang masih berdiri tegak di depan sepuluh orang prajurit Karang Setra Saat itu Andika juga menoleh ke arahnya.

"Untuk siapa mereka, Kakang?" tanya Andini.

"Untukmu," sahut Andika seraya tertawa lebar.

"Sial! Aku sudah cukup dengan pemimpinnya saja!" rungut Andini memberengut manja.

"Tidak kurang? Mereka masih muda-muda Andini."

"Aku tidak peduli!"

"Baiklah kalau itu keinginanmu," kata Andika yang mengerti maksud adiknya.

Setelah berkata demikian, Andika berteriak keras. Tubuhnya seketika melesat cepat sambil mencabut pedangnya yang bergagang hitam berbentuk tanduk kerbau. Mata pedang itu juga hitam legam, dan berkeluk-keluk bagai ular. Terjangan Andika demikian cepat dan tak terduga sama sekali, sehingga membuat sepuluh orang prajurit itu terperangah. Belum sempat mereka menyadari apa yang bakal terjadi, tiba-tiba saja terdengar jeritan menyayat saling susul.

Kemudian, beberapa tubuh ambruk bergelimpangan dengan tubuh berlumur darah! Beberapa prajurit yang masih hidup. langsung melompat ke belakang dan segera mencabut pedangnya. Tapi serangan Andika sungguh luar biasa. Dengan sekali tebas saja, pedang-pedang mereka terpenggal.

Dan belum lagi mereka bisa berbuat sesuatu, Andika sudah kembali mengibaskan pedangnya sambil berteriak keras.

­"Aaa... !"

Jeritan melengking kembali terdengar menyayat. Ternyata tiga orang prajurit telah menggelepar dengan leher hampir buntung. Pada saat yang tepat, dua orang prajurit berhasil melompat ke punggung kuda, dan bergegas menggebahnya. Kuda itu meringkik, lalu melompat cepat dan terus berlari kencang.

"Setan... !" rutuk Andika melihat dua orang prajurit itu lolos.

"Tidak perlu dikejar, Kakang!" seru Andini mencegah kakaknya yang akan mengejar.

Andika tidak jadi mengejar kedua prajurit yang lolos itu. Dia berbalik menatap adiknya yang tetap duduk seenaknya di samping tubuh Panglima Bayan Sudira. Laki-laki hampir separuh baya itu hanya mampu mengumpat. Dia memang sudah tidak berdaya lagi karena jalan darahnya sudah tertotok. Tubuhnya sukar untuk digerakkan kecuali bagian leher saja yang masih bisa digerakkan.

"Iblis! Kalian benar-benar iblis!" geram Panglima Bayan Sudira mengumpat.

"Ha ha ha...!" Andini hanya tertawa saja.

Andika melangkah menghampiri adiknya. Sebentar dipandangi wajah Panglima Bayan Sudira. Sisa-sisa darah masih melekat di sekitar wajah laki-laki dari Karang Setra itu Tatapan matanya tajam penuh kebencian.

"Kau bisa bersenang-senang, Andini,” ledek Andika seraya menatap adiknya.

­"Kau juga bisa kalau mau, Kakang," sahut Andini kalem. "Kerajaan Jiwanala tidak jauh lagi dari sini. Tidak sampai setengah hari perjalanan. Gadis-gadisnya terkenal cantik-cantik, Kakang.”

"Tapi kita ke sana bukan karena itu, Andini."

"Memang. Tapi, apa salahnya sedikit bersenang-senang? Kau akan menyesal jika tidak menikmati kesempatan yang baik ini, Kakang. Carilah gadis. Jiwanala yang tercantik. Kau akan kutunggu di sini. Percayalah, kita akan bersenang-senang bersama. Aku akan sabar menunggumu," bujuk Andini lembut

"Baiklah. Hanya untuk sekali ini saja, Andini. Ingat pesan Ki Sapta Bayu. Kita harus mendapatkan benda itu."

"Aku tahu, Kakang. Cepatlah sebelum aku kehilangan gairah."

"He he he...!" Andika terkekeh.

Andini menyambit pemuda itu dengan segenggam rumput yang dicabutnya. Tapi Andika sudah keburu melompat dan berlari cepat ke arah Kerajaan Jiwanala. Andini tersenyum dan menoleh memandang Panglima Bayan Sudira.

"Hanya sebentar, Panglima. Kakang Andika sangat pandai memilih pasangannya,”­ ucap Andini lembut.

"Huh!" dengus Panglima Bayan Sudira muak.

Andini tertawa kecil. Direbahkan tubuhnya di samping laki-laki itu. Tangannya merentang ke dada dan memeluknya penuh gairah. Wanita itu tidak sabar lagi. Diciuminya wajah dan leher Panglima Bayan Sudira. Kalau saja tubuh Panglima Bayan Sudira tidak tertotok, Ingin rasanya merobek dan mencincang tubuh wanita ini. Perutnya jadi mual mendapatkan ciuman yang begitu beruntun.

Napas Andini mulai tersengat Gejolak gairahnya kontan timbul tak tertahankan lagi. Jari-jari tangannya yang lentik dan halus, mulai menggerayangi tubuh laki-laki itu. Panglima Bayan Sudira berusaha menggeliat memberontak, tapi hanya mengumpat dalam hati. Seluruh tubuhnya sukar untuk digerakkan lagi. Sementara Andini semakin liar saja. Napasnya memburu hangat menerpa wajah Panglima Bayan Sudira.

"Iblis! Kubunuh kau, Andini! " bentak Panglima Bayan Sudira geram

"Diamlah, Panglima. Hanya sebentar, tidak enak lho, menunggu tanpa berbuat sesuatu! Tenanglah..., kau akan senang," desah Andini dengan napas tersengal.

"Setan! Iblis...! Keparat...!" Panglima Bayan Sudira memaki-maki melampiaskan kemarahan dan kejijikannya.

Tapi Andini tidak peduli dengan makian itu, bahkan malah semakin bergairah saja. Dilepaskan totokan pada tubuh Panglima Bayan Sudira. Kecuali kedua tangan dan kakinya yang tetap lumpuh. Andini memang pandai dalam memilih jalan darah, sehingga bisa leluasa melumpuhkan bagian-bagian tubuh seseorang yang diinginkannya.

­Panglima Bayan Sudira berusaha menggeliatkan tubuhnya. Tapi setiap kali digerakkan tubuhnya, malah membuat Andini semakin bergairah. Kemarahan Panglima Bayan Sudira tidak bisa lagi ditakar. Dia benar-benar marah dengan kecerdikan wanita cabul ini. Panglima Bayan Sudira tidak kuasa lagi menggerakkan tubuhnya, dan hanya diam saja dengan kepala menengadah ke belakang.

"Setan... !" desis Panglima Bayan Sudira menggeram marah.

"Hi hi hi...!" Andini malah tertawa mengikik.

Sukar bagi Panglima Bayan Sudira untuk mencegah Andini mengumbar nafsunya. Wanita itu sudah seperti binatang saja. Dia tidak lagi peduli akan makian yang dilontarkan Panglima Bayan Sudira Gairahnya sudah tidak dapat terbendung lagi. Sementara Panglima Bayan Sudira hanya bisa memaki penuh kebencian.

Pada saat keputusasaan menghinggapi diri panglima itu, tiba-tiba saja Andini memekik keras dan tubuhnya terpental jauh. Panglima Bayan Sudira segera membuka matanya. Matanya terbeliak begitu melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih sudah berdiri tegak di dekatnya. Pemuda itu sedikit membungkuk dan membebaskan beberapa totokan di tubuh Panglima Bayan Sudira.

­"Keparat...!" umpat Andini yang sudah bisa bangkit

­Tiba-tiba wajah berangnya mendadak pudar begitu melihat ketampanan pemuda yang baru saja menghalangi maksudnya. Andini jadi tersenyum manis, lalu melenggang ringan menghampiri pemuda itu. Tapi belum juga sampai, Panglima Bayan Sudira sudah bangkit dan langsung menerjangnya.

"Mampus kau, perempuan edan...!" teriak Panglima Bayan Sudira geram.

"Hait...!"

Andini melompat ke samping sambil mengirimkan satu pukulan keras ke wajah Panglima Bayan Sudira. Pukulan balasan itu tak terhindarkan lagi, karena saat itu Panglima Bayan Sudira terlalu dihinggapi perasaan marah dan malu yang luar biasa.

"Akh...!" Panglima Bayan Sudira memekik keras.

Di saat kepalanya terdongak ke atas, Andini kembali melayangkan pukulan tangan kanannya. Tapi pukulan itu terhenti di tengah jalan, karena pemuda tampan itu menangkap kepalan tangan Andini. Sesaat mereka saling pandang. Kelengahan itu pun dimanfaatkan Panglima Bayan Sudira. Dengan cepat disodokkan tangannya ke dada wanita itu.

"Akh! Kurang ajar...!" pekik Andini keras.

Rasa sesak menghinggapi dada Andini. Tapi sesak itu bukan karena pukulan Panglima Bayan Sudira, melainkan rasa kecolongan. Saat itu dia tengah terpana akan ketampanan pemuda yang menahan pukulannya tadi. Genggaman yang sedang dinikmatinya itu dirusak oleh sodokan keras dari Panglima Bayan Sudtra.

"Tua bangka! Kau pikir aku suka padamu. heh!?” dengus Andini berang.

"Perempuan jalang! Iblis! Kau tidak bisa bersandiwara di depan Gusti Prabu!" bentak Panglima Bayan Sudira.

"Gusti Prabu...?!" Andini terlongong seraya menatap pemuda tampan yang berdiri di samping Panglima Bayan Sudira.

"Ampunkan hamba, Gusti. Hamba...."

Pemuda itu mengangkat tangannya, sehingga kata-kata Panglima Bayan Sudira terhenti di tengah jalan. Pemuda itu melangkah dua tindak ke depan. Tatapan matanya tidak lepas ke arah wanita cantik di depannya. Saat itu Andini juga tengah merayapi wajah tampan itu.

"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Nisanak?” tanya pemuda itu lembut

"Andini," sahut Andini menyebutkan namanya.

"Mungkin kedatanganku mengganggu kesenanganmu. Tapi aku ada perlu dengan orang ini. Maaf...."

Setelah berkata demikian, pemuda tampan berbaju rompi putih itu melesat pergi sambil menyambar tubuh Panglima Bayan Sudira. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Andini jadi terlongong seperti orang kebingungan, tapi cepat tersadar dan menghentakkan kakinya kesal.

­"Setan belang! Sialan...!” makinya kesal.

Andini memaki-maki sambil menghentak-hentakkan kakinya, seperti anak kecil kehilangan mainan kesayangan. Tidak lama kemudian dia sudah tenang, dan duduk menekur di atas akar yang menonjol keluar dari dalam tanah. Pandangannya tidak lepas ke arah pemuda tampan yang pergi membawa Panglima Bayan Sudira tadi.

“Ah..., pemuda itu tampan sekali. Siapa dia ya...?” gumam Andini pelan, bertanya pada dirinya sendiri.

Andini menyesal tidak sempat menanyakan nama pemuda tampan itu. Dia begitu tertarik dengan ketampanan dan kegagahannya, apalagi ketika merasakan genggaman tangan pemuda itu. Meskipun bukan genggaman mesra, tapi Andini dapat merasakan kehangatannya. Hatinya terkesan, tapi penasaran. Siapa dia...? Lagi-lagi Andini bertanya sendiri dalam hati.

********************

­Panglima Bayan Sudira duduk bersila, sambil tertunduk dalam tidak berapa jauh di depannya duduk seorang pemuda tampan memakai baju rompi putih. Pedangnya yang bergagang kepala burung tersembul di balik punggung. Tatapan pemuda itu tidak lepas dari Panglima Bayan Sudira.

“Pandang aku, Paman,” dingin nada suara pemuda itu.

“Ampunkan hamba, Gusti...,” lirih suara Panglima Bayan Sudira. Dicobanya untuk mengangkat kepala, tapi tak sanggup untuk memandang mata pemuda yang ternyata adalah Rangga.

"Aku tahu, bukan kau yang menghendakinya. Hanya yang ingin kutahu, kenapa kau tinggalkan istana?" Suara Rangga terdengar bernada penyesalan.

"Hamba mendapat titah dari Maha Patih Lintuk, Gusti. Hamba meninggalkan istana dengan sepuluh orang prajurit. Tapi...," Panglima Bayan Sudira menghentikan kata-katanya.

"Hanya ada delapan prajurit yang tewas."

"Dua prajurit lagi sempat melarikan diri, Gusti."

"Lari...?!"

"Ampunkan hamba, Gusti."

"Ah, sudahlah. Sekarang katakan, apa yang diperintahkan Patih Lintuk padamu?"

"Hamba diperintahkan untuk mencari Pusaka Keraton Karang Setra. Di samping itu, hamba juga diperintahkan untuk mencari Gusti untuk melaporkan kalau Pusaka Keraton Karang Setra telah hilang."

"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang dan dalam.

Dia tahu apa yang dimaksudkan Panglima Bayan Sudira. Pusaka Itu merupakan lambang Kerajaan Karang Setra yang dikeramatkan. Benda itu memang amat berharga bagi seluruh rakyat Karang Setra. Rangga tidak mengerti, bagaimana pusaka itu bisa hilang? Padahal pusaka itu selalu berada di dinding di atas singgasana, dan selalu dijaga ketat oleh para prajurit. ­Tidak ada seorang pun yang berani menyentuhnya. Apalagi mengambilnya.

Sebenarnya pusaka itu hanya berbentuk lambang Kerajaan Karang Setra, yang berbentuk segitiga. Ukurannya tidak begitu besar dengan beberapa buah lingkaran di dalamnya. Pusaka itu sudah ada sejak Kadipaten Karang Setra berdiri. Selama ini tidak ada yang tahu siapa pembuatnya, dan apa keistimewaan yang terkandung di dalam benda itu.

Rangga sendiri belum tahu secara jelas. Hanya saja seluruh rakyat Karang Setra begitu mengeramatkannya. Memang banyak cerita tentang benda pusaka itu. Tapi bagi Rangga, semua cerita yang didengarnya terlalu dilebih-lebihkan. Sama sekali tidak dipercaya kalau benda itu memiliki kekuatan yang dapat membuat seseorang menjadi sakti dan kebal terhadap segala jenis senjata beracun. Bahkan konon kabarnya, senjata pusaka itu dapat membuat seseorang tidak akan terpengaruh terhadap segala macam bentuk ajian kesaktian, bagaimana pun tinggi dan dahsyatnya ajian kesaktian itu.

Tapi, hilangnya pusaka leluhur Karang Setra itu membuat Rangga jadi berpikir juga. Dia memang sempat terkejut, karena benda itu merupakan lambang kerajaan yang dikeramatkan. Suatu lambang kejayaan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Karang Setra.

Seseorang yang berusaha melenyapkannya, bisa dianggap penjahat kelas satu yang akan menghancurkan seluruh Karang Setra. Bahkan orang itu harus mendapatkan hukuman mati! Memang tidak tertulis, tapi peraturan itu sudah demikian melekat di hati seluruh rakyat di Karang Setra.

"Paman, apakah berita ini sudah menyebar ke luar lingkungan Istana?" tanya Rangga pelan.

"Hamba kira sudah, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira. "Ampun, Gusti Prabu. Kami semua tidak mampu mencegah bocornya berita itu. Seluruh rakyat kini gelisah dan marah."

"Kapan itu terjadi?" tanya Rangga datar.

"Lebih kurang tiga purnama yang lalu."

"Sudah tiga purnama...?!" Rangga terkejut setengah mati.

"Ampun, Gusti. Bukannya hamba dan yang lainnya tidak mau mengabarkan cepat-cepat. Tapi kami semua tidak tahu, di mana adanya Gusti. Kami sudah berusaha mencari, tapi tidak juga diketemukan," jelas Panglima Bayan Sudira.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-dalam. Memang, tidak perlu dicari kambing hitamnya. Dalam pengembaraannya, memang sudah didengar kalau orang-orang ribut membicarakan tentang pencarian benda pusaka keramat dari Karang Setra. Rangga sendiri sebenarnya ingin segera kembali ke Istana, tapi niatnya terhalang. Ternyata didapat berita kalau pusaka itu ada di Kerajaan Jiwanala ini. Dan sampai bertemu dengan Panglima Bayan Sudira ini, dia belum menduga kalau benda yang diributkan banyak orang itu adalah benda pusaka keramat, Lambang Kerajaan Karang Setra.

Memang di dalam ruang penyimpanan benda pusaka istana, banyak terdapat pusaka-pusaka yang dikeramatkan. Semula, Rangga mengira kalau salah satu dari pusaka yang berada di dalam ruang penyimpanan itulah yang hilang. Ternyata dugaannya salah besar. Bahkan mengejutkannya! Kalau sampai lambang kerajaan hilang, itu bukan lagi persoalan enteng! Ini menyangkut keutuhan dan kewibawaannya sebagai seorang raja besar.

"Paman, ceritakan bagaimana kejadiannya sampai pusaka itu hilang," pinta Rangga.

"Baik, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira hormat.

EMPAT

­"Sebenarnya ini bukan kesalahan siapa-siapa, Gusti Tapi kesalahan hamba. Malam itu hamba terpaksa memerintahkan beberapa prajurit penjaga Balai Sema Agung untuk meronda keliling istana. Hanya tinggal empat orang prajurit saja yang tersisa di Balai Sema Agung. Hamba memang mengurangi penjagaan di sekitar istana, karena selama ini keadaan selalu aman tanpa adanya gangguan sedikit pun...," Panglima Bayan Sudira menghentikan ceritanya.

"Teruskan," pinta Rangga.

"Kebijaksanaan ini hamba keluarkan karena sebagian prajurit sedang dikirim ke Kadipaten Sindang Lawu. Hamba berpendapat, keamanan istana sudah cukup. Dengan demikian penjagaan hamba kurangi, dan dipusatkan pada tapal batas yang berhubungan langsung dengan Kadipaten Sindang Lawu," lanjut Panglima Bayan Sudira.

"Hm.... Apa yang terjadi di Kadipaten Sindang Lawu?" tanya Rangga.

"Hanya kekacauan kecil saja, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira.

"Kekacauan kecil? Dan kau kirim sebagian prajurit ke sana sehingga mengurangi penjagaan di istana! Itu yang dinamakan kekacauan kecil...?!" Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mengerti terhadap sikap panglimanya ini.

"Ampun, Gusti. Sebenarnya kekacauan itu tidaklah berat untuk ditangani kalau saja...."

"Apa?" desak Rangga.

"Kalau saja tidak ditunggangi dua orang yang berilmu sangat tinggi," lanjut Panglima Bayan Sudira.

"Siapa mereka?"
"Sepasang Naga Hitam."

"Sepasang Naga Hitam...," gumam Rangga pelan.

"Gusti sudah bertemu dengan salah seorang dari mereka."

Rangga menatap tajam pada Panglima Bayan Sudira.

"Wanita yang bernama Andini dan hampir mempermalukan hamba tadi adalah salah seorang dari Sepasang Naga Hitam," jelas Panglima Bayan Sudira.

"Oh...!" Rangga agak terkejut juga mendengarnya.

"Para pengikutnya berhasil ditumpas. Hamba tidak menyangka kalau mereka mengikuti ke mana hamba pergi. Hanya tinggal mereka berdua saja, tapi...," lagi-lagi Panglima Bayan Sudira berhenti sebelum kalimatnya selesai.

"Tapi kenapa?" desak Rangga.

"Mereka ternyata mengetahui tentang pusaka itu, dan menginginkannya, Gusti."

"Ahhh...!" kembali Rangga terkejut dan mendesah panjang.

­"Bukan hanya mereka, bahkan beberapa tokoh hitam juga sudah mendengarnya. Mereka kini berusaha untuk mendapatkan pusaka itu. Hamba tidak tahu, dari mana mereka dengar, dan untuk apa menginginkan pusaka itu, Gusti."

Rangga terdiam dan mendesah panjang beberapa kali. Kini persoalannya memang menjadi semakin serius. Pusaka leluhur Karang Setra tidak boleh jatuh ke tangan orang yang sesat. Jelas, hal itu bisa membuat kehancuran bagi seluruh rakyat Karang Setra, bahkan bisa meluas lebih jauh lagi. Orang yang menguasai pusaka itu akan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan menguasai seluruh dunia persilatan. Itu pun kalau memang benar pusaka leluhur Karang Setra memiliki kesaktian yang luar biasa. Sedangkan selama ini belum terbukti kesaktian itu.

Rangga bangkit berdiri dan melangkah menuju ke sebuah sungai kecil yang tidak jauh dari tempat itu. Sungai tersebut berair jernih dan tidak begitu dalam, sehingga bagian dasarnya jelas terlihat Rangga jongkok di tepi sungai dan membasuh wajahnya dengan air yang sejuk itu. Sebentar dipandangi wajahnya di permukaan air sungai itu, kemudian bangkit berdiri dan berbalik. Panglima Bayan Sudira masih tetap duduk bersila di tempatnya. Rangga melangkah menghampirinya, dan menepuk pundak panglima itu.

"Berdirilah," ucap Rangga lembut.

"Hamba, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira seraya memberi sembah, lalu bangkit berdiri.

"Kau tentu membawa kuda," kata Rangga.

"Benar, Gusti. Tapi kuda-kuda itu mungkin masih berada di tepi hutan," sahut Panglima Bayan Sudira.

"Hm..,” Rangga bergumam dan melangkah perlahan-lahan.

Panglima Bayan Sudira mengikutnya dari belakang. Tangan Rangga memberi isyarat agar Panglima Bayan Sudira berjalan di sampingnya. Laki-laki hampir setengah baya itu mensejajarkan langkahnya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kau bawa pakaian ganti, Paman?" tanya Rangga sambil tetap melangkah.

"Bawa, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira.

"Tapi semuanya ada di punggung kuda. Bahkan hamba juga membawa kuda Dewa Bayu."

"Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak kabur dan kau bisa mengganti pakaian dengan yang biasa. Rasanya pakaianmu terlalu menyolok."

"Hamba, Gusti."

"Satu lagi. Sebaiknya kau tidak memanggilku Gusti. Panggil saja aku Rangga, " pinta Rangga.

"Gusti... !" Panglima Bayan Sudira terkejut.

"Gerakan kita tidak akan bebas kalau kau tetap memanggilku seperti itu. Dan lagi pakaianmu terlalu menyolok kalau kau seorang panglima perang Kerajaan Karang Setra."

"Hamba, Gusti," ucap Panglima Bayan Sudira mengerti.

­"Aku tetap akan memanggilmu paman. Dan kau harus memanggilku Rangga saja, tanpa ada sebutan lain."

"Baik, Gusti..., eh, Rangga."

"Bagus! Sebaiknya kita cepat-cepat ke tepi hutan. Mudah-mudahan kuda-kudamu masih ada di sana.

"Baik, Rangga , " Panglima Bayan Sudira mulai membiasakan diri memanggil junjungannya dengan nama kecil saja.

Rangga tersenyum senang. Tapi di balik semua itu hatinya tidak tenteram. Apa yang telah dikatakan panglimanya itu membuat kepalanya terasa akan pecah. Kini perhatiannya harus dikhususkan pada pusaka Karang Setra yang hilang. Dan sementara itu sudah banyak tokoh rimba persilatan yang mengetahuinya. Pusaka itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Dan ini memang tidak boleh terjadi!

Untungnya kuda-kuda yang ditinggalkan masih ada, dan tengah merumput dengan tenang. Panglima Bayan Sudira mengganti pakaiannya dengan yang biasa dipakai orang kebanyakan. Dia juga mengenakan topi anyaman daun pandan yang cukup lebar, sehingga hampir menutupi. wajahnya.

Sementara itu Rangga memandangi mayat-mayat prajuritnya yang terbujur tak tentu arah. Keadaan mereka memang sangat menyedihkan! Bahkan sebagian tengah dikeroyok burung pemakan bangkai!

Burung-burung seperti itu memang selalu cepat datang bila mencium bau darah. Rangga tidak tahan melihatnya, meskipun sering melihat pemandangan seperti itu. Tapi kali ini sungguh lain. Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik, lalu menghampiri seekor kuda hitam berkilat yang tinggi dan tegap. Kuda itu berjingkrak dan meringkik melihat majikannya menghampiri.

"Kita bersama lagi, Hitam," ucap Rangga seraya menepuk-nepuk leher kuda itu.

Kuda hitam itu meringkik dan mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mengerti apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga memeluk kepala kuda itu, dan memegang tali kekangnya.

Dengan satu lompatan yang indah, dia naik ke punggungnya. Kembali kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.

"Kita berangkat sekarang, Paman," kata Rangga seraya melirik Pada Paman Bayan Sudira yang sudah berada di atas punggung kudanya.

"Ke mana arahnya?" tanya Bayan Sudira.

"Ke Kerajaan Jiwanala, " jawab Rangga seraya menghentakkan tali kekang kudanya.

Kuda hitam itu melangkah perlahan-lahan. Paman Bayan Sudira Juga menghentakkan tali kekang kudanya, dan mensejajarkannya di samping kiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Dua ekor kuda berjalan perlahan-lahan menuju ke Kerajaan Jiwanaia.

"Kenapa harus ke Jiwanala, Rangga?" tanya Bayan Sudira yang sudah terbiasa mengucapkan nama itu.

"Tadi kau katakan, si Kumbang Merah mencegat dan melarangmu ke sana. Bukan begitu, Paman?"

"Benar."

"Nah, aku rasa dari sanalah kita harus memulainya. Hm..., aku sendiri pernah mendengar kalau pusaka itu berada di Jiwanala."

"Kau pernah mendengar juga? Jadi...!" Paman Bayan Sudira terperanjat.

“Ya! Aku memang sudah mendengar adanya pusaka yang hilang dari Karang Setra. Tapi tidak kusangka kalau lambang kerajaan yang hilang."

"Sebenarnya aku juga sudah mendengar kalau pusaka itu ada di sana. Dan Gus..., eh, kau juga ada di sana," Paman Bayan Sudira hampir terselip lidahnya.

"Ingat, Paman. Kita sedang berada di luar istana," Rangga mengingatkan.

"Maaf," ucap Bayan Sudira.

"Aku memang sudah lama berada di sana," kata Rangga memberitahu.

"Benar Gusti Prabu Duta Nitiyasa pun sudah mengatakan demikian."

"Jadi, kau sudah menemui Prabu Duta Nitiyasa?" Rangga terkejut.

"Maaf, ham..., eh aku tidak punya pilihan lain. Aku menceritakan semuanya tentang diri...."

"Ah, sudahlah," potong Rangga cepat. "Lidahmu bisa terselip terus nanti."

Bayan Sudira tersenyum tipis, tapi cukup senang karena Rangga tidak marah dan bisa memakluminya.

Mereka terus mengendarai kuda perlahan-lahan dan tidak terburu-buru. Sepanjang perjalanan ada saja yang dibicarakan. Tapi kebanyakan Rangga yang bertanya. Sesekali, Paman Bayan Sudira masih salah memanggil. Namun lama kelamaan terbiasa juga, meskipun setiap kali menyebut nama Rangga selalu terselip perasaan tidak enak di dalam hatinya. Betapa tidak? Dia harus memanggil nama asli junjungannya tanpa ada panggilan kehormatan!

Paman Bayan Sudira jadi teringat ketika pertama kali bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dia juga memanggil Rangga dengan nama saja. Tapi saat itu dia tidak tahu, siapa Rangga sebenarnya yang muncul dengan nama Pendekar Rajawali Sakti. Memang menyenangkan saat itu. Tapi kali ini terasa kaku, meskipun Rangga selalu bersikap biasa saja. Hanya perasaan Paman Bayan Sudira saja yang tidak enak.

"Kenapa diam...?" tegur Rangga.

"Ah, tidak.... Aku jadi ingat ketika pertama kali bertemu," sahut Paman Bayan Sudira.

"Ha ha ha...!" Rangga tertawa terbahak-bahak. “Ya, saat itu kau gugup sekali begitu mengetahui diriku sesungguhnya, Paman. Padahal aku sendiri tidak ingin semua orang tahu tentang diriku."

"Tapi kemunculanmu membawa perubahan besar bagi seluruh rakyat Karang Setra."

­"Ah! Itu masa lalu, Paman," Rangga ingin membuang kenang-kenangan itu.

"Masa lalu yang indah dan menyenangkan."

Rangga tersenyum getir. Dia jadi teringat akan seorang gadis yang pertama dicintai dan membuka pintu hatinya, namun cepat-cepat dienyahkan kenangan itu. Rasanya tidak ingin lagi larut dalam kenangan. Baginya masa lalu bukan untuk dikenang, tapi untuk dilupakan. Karena masa lalu itulah singgasananya harus ditinggalkan untuk mengembara dari satu desa ke desa lain. Keluar masuk hutan tanpa tujuan yang pasti. Satu perjalanan panjang dan melelahkan.

"Maaf, kalau aku membuatmu murung," ucap Paman Bayan Sudira.

"Ah...!" Rangga hanya mendesah panjang.

"Apa yang akan kita lakukan di Jiwanala?" tanya Paman Bayan Sudira mengembalikan pada pokok persoalannya.

“Yang jelas, hindarilah pertemuan dengan Prabu Duta Nitiyasa, " sahut Rangga.

"Kenapa?" tanya Paman Bayan Sudira.

"Sebab bisa membatasi ruang gerak kita, Paman. Jika kita berhubungan dengan orang-orang istana, pasti akan menyulitkan. Terus terang, aku selalu menghindari hubungan dengan orang pemerintahan jika menyelesaikan suatu masalah. Kau akan mengerti nanti, Paman," Rangga mencoba menjelaskan.

"Aku mengerti, Rangga."

"Aku punya tempat yang lumayan. Orangnya baik dan bisa dipercaya. Selama berada di sini aku tinggal di rumahnya," jelas Rangga.

"Rumah penginapan?" tebak Paman Bayan Sudira.

“Ya. Tapi cukup tenang dan nyaman. Tidak terlalu banyak yang datang ke sana."

Paman Bayan Sudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Di mana pun mereka menetap sementara, pasti akan dituruti. Sementara itu kuda mereka sudah ­memasuki pintu gerbang perbatasan. Dua orang prajurit penjaga perbatasan hanya memperhatikan saja tanpa menegur sama sekali. Dua ekor kuda itu terus berjalan perlahan-lahan. Tidak ada yang memperhatikan. Dan memang, kedua orang itu sama sekali tidak me­yolok. Mereka seperti layaknya para pendatang lain yang hanya singgah sebentar, atau menetap beberapa hari. Kerajaan di pesisir pantai ini memang sering didatangi pendatang. Dan itu sangat memudahkan Rangga dan Paman Bayan Sudira.

********************

­Rangga dan Paman Bayan Sudira yang baru saja menambatkan kudanya di bawah pohon kenanga menjadi terkejut, karena Ki Jantar berlari-lari kecil menghampirinya. Kedai laki-laki tua itu kelihatan ramai dikunjungi orang. Bahkan rumah penginapan yang berada di samping kedai itu dipenuhi pendatang. Rangga tersenyum menyambut laki-laki tua itu.

­"Celaka, Den.... Aduh celaka...," ujar Ki Jantar dengan mimik wajahnya tampak cemas.

"Ada apa, Ki?" tanya Rangga.

"Baru saja mereka pergi. Mereka mencari Raden," jelas Ki Jantar.

"Mereka siapa?" tanya Paman Bayan Sudira.

Ki Jantar tidak langsung menjawab, tapi malah menatap Paman Bayan Sudira penuh curiga. Rangga tahu itu maka ditepuknya pundak Paman Bayan Sudira seraya tersenyum.

"Ini pamanku, Ki," kata Rangga memperkenalkan.

"Oh...," Ki Jantar mendesah lega.

"Siapa mereka, Ki?" Rangga mengulangi pertanyaan Paman Bayan Sudira.

"Aku tidak tahu namanya. Mereka dua orang, Den. Masih muda-muda. Tapi galaknya minta ampun."

"Iya siapa mereka?” Paman Bayan Sudira tidak sabaran.

"Seorang laki-laki, dan seorang lagi perempuan. Baju mereka kuning gading dan membawa pedang bergagang seperti tanduk kerbau. Mereka mencari Raden...,” jelas Ki Jantar.

"Sepasang Naga Hitam...,” desis Paman Bayan Sudira pelan. Begitu pelannya sampai tidak terdengar.

"Mereka membuat keributan, Ki?" tanya Rangga.

"Tidak. Tapi sempat mengancam dan akan datang kembali," sahut Ki Jantar.

"Bagaimana, Rangga?" tanya Paman Bayan Sudira.

­"Sebaiknya kita tunggu di sini," sahut Rangga.

"Den.., " suara Ki Jantar bergetar.

“Tenang saja, Ki. Aku tidak akan membuat keributan. Kalaupun terpaksa, bukan di sini tempatnya," janji Rangga.

"Aku takut, Raden akan celaka."

Rangga tersenyum dan menepuk pundak laki-laki tua itu, kemudian diajaknya Paman Bayan Sudira.

Rangga juga meminta kamar satu lagi yang bersebelahan dengan kamarnya. Ki Jantar menyanggupi, dan bergegas ke rumah penginapannya. Sementara Rangga dan Paman Bayan Sudira menuju ke kedai.

Semua pelayan di kedai itu sudah mengenal Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menyediakan makanan dan minuman tanpa dipesan lagi. Rangga sengaja memilih tempat dekat jendela yang langsung menghadap ke luar. Sambil makan, matanya selalu memandangi orang-orang yang berada di dalam kedai itu. Hal yang sama juga dilakukan Paman Bayan Sudira.

"Mereka sepertinya dari...," Paman Bayan Sudira menghentikan kalimatnya ketika melihat seorang laki-laki tua yang duduk di sudut kedai agak jauh darinya.

"Ada apa, Paman?" tanya Rangga seraya mengarahkan pandangan yang sama.

Di sudut, tampak seorang laki-laki tua berpakaian rapi, bersih dan berwarna biru. Dilihat dari cara berpakaian, sepertinya seorang bangsawan. Wajahnya pun kelihatan ramah, dan selalu menyunggingkan senyum. Semua orang pasti akan menduga kalau kakek itu adalah seorang bangsawan, atau paling tidak pemimpin sebuah padepokan besar.

"Kau mengenalnya, Paman?" tanya Rangga seraya menoleh pada Paman Bayan Sudira.

"Orang itulah yang dijuluki Kakek Pesolek Pemetik Bunga," sahut Paman Bayan Sudira pelan setengah berbisik.

Hampir saja Rangga tertawa mendengar julukan orang tua itu. Memang, kakek itu berpakaian cukup rapi, dan rambutnya tertata apik. Cukup pantas kalau disebut pesolek. Tapi, kata pemetik bunga itulah yang membuat Ranga harus menahan gelitik di tenggorokannya.

"Aku tidak melihatnya membawa bunga, Paman," kata Rangga sambil menahan tawanya.

"Memang tidak ada bunga, itu hanya perlambang saja. Bunga diartikan gadis muda."

"Oh...!" Rangga tersentak kaget. Kembali dipandangi wajah kakek tua yang masih tetap duduk tenang di sudut kedai.

Belum juga sempat Pendekar Rajawali Sakti itu berpikir jauh, mendadak sebuah benda melesat cepat ke arahnya dan menancap di tengah-tengah meja kayu. Rangga dan Paman Bayan Sudira tersentak kaget. dan hampir bangkit dari tempat duduknya.

Tatapan mereka langsung tertuju pada sebatang mata tombak yang tertancap di meja mereka. Segulung daun lontar terikat pada mata tombak itu.

Paman Bayan Sudira mengambil benda itu dan membuka gulungan daun lontarnya. Sebentar dibaca tulisan yang tertera di daun lontar itu, kemudian diserahkannya pada Rangga. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu terbeliak begitu membaca tulisan yang tertera pada daun lontar. Pandangannya segera beredar ke sekeliling. Sementara itu Paman Bayan Sudira mengamati mata tombak di dalam genggaman tangannya.

"Macan Gunung Sumbing..., " desis Paman Bayan Sudira.

"Siapa dia, Paman?" tanya Rangga menatap pada panglimanya.

"Sebaiknya kita keluar dari sini. Hm... rupanya mereka sudah berada di sini semuanya," kata Paman Bayan Sudira setengah bergumam.

Rangga ingin bertanya lagi, tapi Paman Bayan Sudira sudah bangkit dari duduknya dan melangkah ke luar. Pendekar Rajawali Sakti itu meletakkan beberapa keping uang logam, lalu ikut melangkah keluar dari dalam kedai ini.

Beberapa saat kemudian, seorang wanita tua yang memakai baju warna jingga juga melangkah ke luar, diikuti Kakek Pesolek Pemetik Bunga Kemudian beberapa orang lagi mengikuti ke luar. Sementara Ki Jantar yang memperhatikan semua itu dari balik mejanya, hanya bisa bengong tidak mengerti. Sebentar saja kedainya jadi sepi kembali. Tinggal beberapa orang saja yang masih menikmati hidangannya. Itu pun hanya penduduk di sekitar kedai itu. Semua pendatang dari luar kerajaan, sudah meninggalkan kedai tanpa berkata-kata sedikit pun.

LIMA

­Rangga memandangi dataran rumput luas yang membentang di depannya. Padang rumput ini dikelilingi bukit yang menjulang tersaput awan. Kembali dipandangi daun lontar yang masih berada dalam genggamannya. Dari tulisan yang tertera pada daun lontar itu, mengatakan kalau dirinya ditunggu di padang rumput ini.

"Pintar sekali dia memilih tempat...,” gumam Paman Bayan Sudira, seolah-olah berbicara untuk dirinya sendiri.

Rangga menatap dalam-dalam wajah Paman Bayan Sudira. Yang ditatap buru-buru membungkukkan tubuhnya memberi hormat Rangga kembali mengalihkan pandangannya pada padang rumput di depannya.

"Apa maksud kata-katamu, Paman?" tanya Rangga tanpa menoleh.

Belum sempat Paman Bayan Sudira menjawab, tiba-tiba terdengar suara mengaum yang sangat keras menggetarkan. Paman Bayan Sudira menggeser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sudah bisa diketahui, siapa yang bakal datang menemui mereka.

Sementara Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Auman itu demikian keras dan mengejutkan. Namun sukar diduga, dari mana datangnya.

­Belum lagi Rangga bisa menentukan arah datangnya suara tadi, mendadak saja beberapa mata tombak hitam meluncur deras ke arahnya. Begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Bayan Sudira terperangah sejenak. Namun dengan cepat mereka berlompatan, lalu berputaran di udara menghindari hujan mata tombak hitam itu.

"Hhh! Siapa kau!? Keluar....!" seru Rangga keras, begitu kakinya mendarat di tanah.

Teriakan Rangga begitu keras dan menggema terpantul bukit yang mengelilingi padang rumput ini. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Rangga mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', tapi tetap saja tidak terdengar suara yang mencurigakan. Bahkan semua pohon dan rerumputan bergerak wajar. Sama sekali tidak mengisyaratkan ada sesuatu.

"Lebih waspada, Paman," bisik Rangga memperingatkan.

"Ya...," Paman Bayan Sudira hanya bisa mendesah saja.

"Auuum...!" kembali terdengar auman yang panjang bergema.

Belum lagi suara auman itu hilang dari pendengaran, tiba-tiba saja muncul seekor harimau yang sangat besar. Begitu besarnya sehingga hampir menyamai seekor anak sapi. Harimau itu menggerung-gerung sambil mencakar-cakar tanah berumput. Sepasang matanya merah menyala menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.

­“Ghrauuughk...!" harimau itu menggeruk dahsyat, hingga menggetarkan bumi.

Tiba-tiba saja binatang buas itu melompat cepat sambil memamerkan kuku-kukunya yang mengembang lebar. Rangga benar-benar terperangah melihat harimau yang begitu besar, dan kini melompat hendak menerkamnya. Begitu cepatnya harimau itu menyerang, tahu-tahu tubuh Pendekar Rajawali Sakti terpental ke belakang terterjang binatang itu. Dua batang pohon hancur terlanda tubuh Rangga.

Namun dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak bangkit. Dan kembali dia terperangah, karena harimau itu sudah melompat lagi hendak menerkamnya. Cepat-cepat Rangga melompat ke samping dan bergulingan di tanah beberapa kali. Terkaman harimau itu mengenai tempat kosong. Binatang itu menggeram keras, langsung berbalik menghadap Pendekar Rajawali Sakti kembali.

"Edan! Binatang macam apa ini...?!" gumam Rangga.

Harimau itu sudah kembali melompat menerkam. Tapi kali ini Rangga sudah mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dia berdiri tegak menanti serangan itu. Dan begitu harimau itu sudah demikian dekat...

“Yaaah...!"

Rangga mengayunkan pukulan mautnya, dan mendarat telak di wajah harimau itu. Pukulan itu demikian keras sehingga membuat harimau tersebut terpental jauh ke belakang. Raungannya begitu keras. Di luar dugaan, harimau itu masih bisa bangkit kembali dengan tegak! Bahkan kembali melompat menyerang dengan ganas.

"Hup!"

Rangga melompat ke atas, lalu menukik deras mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' . Tepat ketika harimau besar itu berada di bawahnya, dilancarkannyalah dua kali tendangan disusui satu pukulan bertenaga dalam penuh ke tubuh binatang buas itu.

"Grhaaauuugh... !" harimau itu meraung keras.

Hanya dua kali dia berguling di tanah, lalu bangkit kembali. Rangga yang sudah berdiri tegak, jadi melangkah mundur beberapa tindak. Pukulan dan tendangannya yang sangat dahsyat, begitu telak mengenai sasaran. Tapi harimau itu masih tetap tegar. Tidak terdapat luka sedikit pun di tubuhnya. Rangga sendiri jadi bingung. Padahal, tadi sudah dikerahkan tenaga dalam penuh, tapi harimau itu tidak terpengaruh sedikit pun.

"Dia tidak bisa dibunuh, Rangga," kata Paman Bayan Sudira yang sejak tadi hanya menonton saja.

"Apa...?” tanya Rangga.

Belum juga Paman Bayan Sudira menjawab mendadak..."

"Ha ha ha...!"

Suara tawa itu bergema seolah-olah datang dari segala penjuru. Belum lagi hilang suara tawa itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Hampir seluruh wajahnya tertutup cambang dan kumis tebal. Sepasang matanya bulat seperti mata kucing, berwarna kuning.

"He he he.. . !" orang itu tertawa terkekeh, lalu melangkah mendekati harimau besar itu dan menepuk-nepuk lehernya. Harimau itu mendekam dan kelihatan jinak.

"Macan Gunung Sumbing...," desis Paman Bayan Sudira yang sudah berdiri di samping Rangga.

"Siapa dia?" tanya Rangga setengah berbisik.

"Tokoh persilatan yang cukup tinggi kepandaiannya," jelas Paman Bayan Sudira singkat.

"Hm. Apa maksudnya berada di sini?" tanya Rangga seperti untuk dirinya sendiri.

"Aku sendiri tidak tahu, Rangga. Dua kali dia mencegatku, tapi tidak melakukan apa-apa. Hanya...”

"Hanya apa?"

"Dia tidak ingin aku ke Kerajaan Jiwanala."

"Oh... !?"

"Bukan hanya dia! Masih ada beberapa lagi yang coba-coba menghalangiku ke Jiwanala untuk mencarimu, Rangga. Salah satunya adalah Sepasang Naga Hitam."

"Paman, apakah ini ada hubungannya dengan Pusaka Karang Setra?" tanya Rangga.

"Entahlah! Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu, tapi anehnya selalu menghalangi siapa saja yang datang dari Karang Setra ke Jiwanala Bahkan mereka tidak segan-segan membunuh jika larangannya dilanggar."

"He he he..., tidak sia-sia aku jauh-jauh datang ke sini," Macan Gunung Sumbing terkekeh seraya melangkah mendekati Rangga. Sedangkan harimau besar itu masih mendekam tidak bergeming.

"Kau yang berjuluk Macan Gunung Sumbing?" tanya Rangga memastikan.

"Benar. Dan, aku yakin kau Pendekar Rajawali Sakti," sahut Macan Gunung Sumbing.

"Gunung Sumbing cukup jauh dari sini. Apa yang membuatmu hingga ke tempat ini, Macan Gunung Sumbing?" tanya Rangga, terdengar tenang suaranya.

"He he he..., pertanyaan yang tidak perlu kujawab. Panglimamu sudah bisa menjawabnya, Pendekar Rajawali Sakti," jawab Macan Gunung Sumbing terkekeh.

Rangga menoleh pada Panglima Bayan Sudira, seolah-olah meminta penjelasan pada Panglima Karang Setra itu. Tapi yang ditatap hanya mengangkat bahunya saja.

"He he he..., kenapa tidak kau jelaskan saja semuanya, Panglima Bayan Sudira?" terdengar sinis nada suara Macan Gunung Sumbing.

"Macan Gunung Sumbing! Apa yang kau bicarakan!?" bentak Paman Bayan Sudira, memerah wajahnya.

­"Aku bicara cukup jelas, Panglima. Kenapa masih juga menutup-nutupi? Katakan saja terus terang pada rajamu. Tapi, mungkin sudah terlambat He he he...," kembali Macan Gunung Sumbing terkekeh.

“Tutup mulutmu, keparat! " bentak Paman Bayan Sudira geram.

"He he he...!" Macan Gunung Sumbing malah tertawa semakin keras.

"Setan! Kubunuh kau! Hiyaaa...!"

Panglima Bayan Sudira rupanya sudah tidak kuat lagi menahan amarahnya. Cepat sekali dia melompat sambil mengirimkan beberapa pukulan bertenaga dalam cukup tinggi, tapi semuanya mampu dielakkan Macan Gunung Sumbing dengan manis.

Pertarungan Itu tidak mungkin lagi dihindarkan. Sementara Rangga hanya bisa memandang tanpa berbuat apa-apa. Sebab, dia sendiri masih belum mengerti, apa yang dibicarakan Macan Gunung Sumbing bersama Panglima Bayan Sudira tadi. Sementara Rangga hanya bisa mengawasi harimau yang mendekam di bawah pohon. Dia berjaga-jaga kalau-kalau harimau itu berlaku curang membokong Panglima Bayan Sudira.

Sementara pertarungan berlangsung semakin sengit. Sudah puluhan jurus berlangsung, tapi belum terlihat tanda-tanda bakal ada yang unggul. Sedangkan Paman Bayan Sudira sudah menggunakan pedangnya yang sangat diandalkan. Jurus-jurus pedangnya luar biasa. Pedang keperakan itu sampai tidak terlihat bentuknya lagi. Yang nampak kini hanya kilatan cahaya keperakan mengurung tubuh Macan Gunung Sumbing.

Namun pada tahap-tahap yang menentukan, terlihat kalau Paman Bayan Sudira mulai terdesak. Beberapa kali pukulan telak mendarat di tubuhnya. Panglima Bayan Sudira harus bergulingan dan berlompatan menghindari serangan-serangan Macan Gunung Sumbing. Serangan-serangan itu sangat dahsyat, sehingga di sekitar pertarungan bagaikan habis diamuk puluhan gajah.

"Hm. Dalam satu atau dua jurus, Paman Bayan Sudira tidak akan bertahan lagi, " gumam Rangga yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan itu.

Dugaan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat. Satu pukulan telak telah mendarat di dada Panglima Bayan Sudira, sehingga laki-laki itu terpental keras menghantam tanah berumput. Pada saat itu, harimau besar yang sejak tadi mendekam saja, melompat cepat ke arah Panglima Bayan Sudira sambil meraung keras. Rangga sempat tersentak sesaat, kemudian bagaikan kilat melompat menerjang harimau itu.

“Hiyaaat...!"
"Grhaugh...!"

Harimau itu menggerung keras. Tubuhnya terpental deras hingga menghantam pohon. Tendangan Rangga yang bertenaga dalam sempurna itu membuat binatang itu menggerung kesakitan. Namun, dia mampu bangkit kembali tanpa ada luka sedikit pun di tubuhnya. Sementara itu Panglima Bayan Sudira sudah mampu bangkit kembali meskipun tidak bisa tegak. Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah segar.

"Belum waktunya kau ikut campur, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Macan Gunung Sumbing.

"Tidak seharusnya piaraanmu berlaku curang!" balas Rangga tidak kalah dinginnya.

"Harimau ku tidak curang! Panglimamu-lah yang sudah kalah. Dia hanya minta bagiannya, Pendekar Rajawali Sakti. Setiap lawanku yang kalah, harus menjadi santapannya! " tegas Macan Gunung Sumbing, tetap dingin suaranya.

"Aku belum kalah!" geram Panglima Bayan Sudira.

­"He he he.... Nyawamu tinggal seujung rambut lagi, Panglima. Bicaralah dengan jujur sebelum terbang ke neraka!" suara Macan Gunung Sumbing terdengar ketus.

"Keparat! Kau tidak berhak menekanku!" bentak Panglima Bayan Sudira.

“Tunggu...!” bentak Rangga begitu Panglima Bayan Sudira akan menerjang.

"Gusti...," Panglima Bayan Sudirda membungkuk sedikit

"Sejak tadi kalian seperti memperebutkan sesuatu. Apa yang kalian pertengkarkan?" tanya Rangga tidak sabar lagi. Dia memang sudah kebingungan, ingin tahu permasalahan kedua orang itu.

­“Tanyakan saja pada panglimamu, Pendekar Rajawali Sakti," dengus Macan Gunung Sumbing.

"Paman...," Rangga menatap pada Panglima Bayan Sudira.

"Ampun, Gusti. Sebenarnya tidak ada persoalan apa-apa. Orang ini memang hanya mencari-cari perkara saja. Dia menginginkan Pusaka Karang Setra itu, Gusti,” jelas Panglima Bayan Sudira.

Rangga mengalihkan pandangannya pada Macan Gunung Sumbing, tapi yang dipandang malah tertawa terbahak-bahak Pendekar Rajawali Sakti itu jadi berkerut keningnya. Kembali ditatapnya Panglima Bayan Sudira.

"Kau tidak berdusta, Paman?" tanya Rangga.

"Ampun, Gusti. Hamba mengatakan yang sebenarnya," tegas Panglima Bayan Sudira.

"Ha ha ha...! Sungguh berani sekali mendustai raja besar yang mengangkatmu jadi terhormat Kenapa tidak berkata terus terang saja kalau kau yang mengambil Pusaka Karang Setra itu Jangan memfitnah orang-orang yang tidak bersalah hanya untuk menutupi perbuatanmu!" kata Macan Gunung Sumbing lantang.

"Setan! Tutup mulutmu!" bentak Panglima Bayan Sudtra geram. Panglima Kerajaan Karang Setra itu tidak bisa lagi membendung amarahnya, dan langsung melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher Macan Gunung Sumbing. Tapi pada saat yang sama Rangga melompat cepat bagaikan kilat. Tangannya menjulur menampar pergelangan tangan Panglima Bayan Sudira.

“Tahan...!” sentak Rangga.

Panglima Bayan Sudira memegangi pergelangan tangannya. Tepakan Pendekar Rajawali Sakti itu membuat tulang pergelangan tangannya seperti remuk. Pedang yang dipegangnya pun terpental dan menancap di tanah tidak jauh darinya. Panglima Bayan Sudira buru-buru membungkuk memberi hormat. Sementara Macan Gunung Sumbing hanya terkekeh kecil.

"Kendalikan amarahmu, Paman. Akan kuselesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah!" kata Rangga penuh wibawa.

"Dia benar! Kau tidak perlu malu untuk mengatakannya. Aku yakin, rajamu akan bertindak adil dan bijaksana," celetuk Macan Gunung Sumbing.

Rangga menatap tajam Macan Gunung Sumbing.

"Baik. Aku akan pergi meninggalkan kalian berdua. Tapi ingat, urusan ku dengan Bayan Sudira belum tuntas. Juga denganmu, Pendekar Rajawali Sakti," kata Macan Gunung Sumbing.

Setelah berkata demikian, Macan Gunung Sumbing melangkah pergi diikuti harimaunya yang besar. Rangga memandangi kepergian tokoh sakti itu dengan kening agak berkerut. Macan Gunung Sumbing menghentikan langkahnya, lalu berbalik.

"Hanya satu yang perlu kau ingat, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah berjasa padamu membongkar persoalan ini," kata Macan Gunung sumbing. “Ayo, Belang!"

Hanya beberapa kali lompatan saja, Macan Gunung Sumbing sudah lenyap dari pandangan. Harimau besar itu mengaum keras, kemudian melompat mengikuti majikannya. Rangga menarik napas panjang.

Kata-kata Macan Gunung Sumbing yang terakhir tadi kini mengganggu pikirannya. Sulit dimengerti, apa yang dimaksudkan tokoh sakti itu.

********************

Rangga melangkah perlahan-lahan menghampiri sebongkah batu yang tidak begitu besar, namun cukup datar untuk diduduki. Di samping batu itu berdiri sebatang pohon rindang, cukup nyaman untuk berlindung dari sengatan matahari. Rangga duduk bersila di atas batu itu, sedangkan Panglima Bayan Sudira hanya berdiri dengan kepala tertunduk.

"Mendekatlah kemari, Paman," pinta Rangga.

"Hamba, Gusti."

Panglima Bayan Sudira memberi hormat, kemudian melangkah menghampiri. Dia duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti. Kepalanya tetap tertunduk menekun rerumputan di depannya. Sementara Rangga menatap tidak berkedip.

"Paman, aku ingin penjelasan yang lengkap. Kuharap kau berterus terang dan berkata jujur," kata Rangga tegas dan berwibawa.

"Ampun, Gusti. Semua yang dikatakan Macan Gunung Sumbing sama sekali tidak benar. Pusaka Karang Setra benar-benar hilang dicuri. Sampai sekarang belum jelas, siapa pencurinya dan di mana pusaka itu berada,” kata Panglima Bayan Sudira setelah memberi hormat.

­"Benarkah yang kau katakan itu, Paman?" tanya Rangga bernada tidak percaya.

“Dewata di Swargaloka menjadi saksi Gusti" sumpah Panglima Bayan Sudira."

"Baiklah. Aku percaya padamu, Paman. Hanya saja...,” Rangga memutuskan ucapannya.

"Hanya apa, Gusti?" desak Panglima Bayan Sudira.

"Dari mana Macan Gunung Sumbing tahu tentang pusaka itu? Dan kenapa menuduh bahwa kau yang mengambilnya...?" Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Gusti, dia hanya ingin memfitnah saja. Yang diinginkan. sebenarnya pusaka itu, seperti halnya tokoh-tokoh lain. Berbagai cara pasti ditempuh untuk memperolehnya," jelas Panglima Bayan Sudira.

Tatapan Rangga semakin tajam ke arah laki-laki hampir setengah baya di depannya. Sinar matanya memancarkan ketidakpercayaan terhadap keterangan Panglima Bayan Sudira. Terlalu mudah rasanya untuk alasan seperti itu. Macan Gunung Sumbing bukanlah tokoh yang suka berbuat sekeji itu, meskipun sepak terjangnya selalu merugikan dan mencelakakan orang lain. Tapi untuk memfitnah, memecah belah dan berlaku keji seperti ini..., rasanya hal itu tidak pernah dilakukan Macan Gunung Sumbing. Setahunya tokoh itu selalu bertindak jantan, meskipun seluruh tokoh rimba persilatan menggolongkannya dalam aliran hitam. Tindak tanduknya yang liar dan kejam tanpa mengenal belas kasihan pada siapa pun, sangat memungkinkan dia ada di golongan hitam.

"Gusti, percayalah! Hamba tidak mungkin berkhianat. Justru hamba sekarang berada di sini karena mencari pusaka itu, selain untuk mengabarkan kepada Gusti," kata Panglima Bayan Sudira berusaha meyakinkan junjungannya.

"Hhh... !" Rangga menarik napas panjang.

Sebentar kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit berdiri dan melangkah menghampiri kudanya yang tengah asyik merumput. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga melompat naik ke punggung kudanya. Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.

Sedangkan Panglima Bayan Sudira masih tetap duduk bersila dengan kepala tertunduk. Dia tahu kalau Rangga tidak mempercayai keterangannya. Rasa curiga dan ketidakpercayaan kini sudah terselip di hati Raja Karang Setra itu.

"Tunjukkan kesetiaanmu, Paman. Jangan temui aku sebelum bisa menunjukkan kesetiaanmu" kata Rangga tegas dan berwibawa.

"Gusti...!" Panglima Bayan Sudira tersentak kaget

"Aku benar-benar kecewa jika kau berkhianat, Paman. Selama ini kau selalu kupercaya, dan kuberikan kekuasaan penuh menangani seluruh prajurit Karang Setra. Aku tidak ingin kejadian ini menyebar dan membuat malu dirimu sendiri. Kau kuberi kesempatan untuk membuktikan kejujuranmu padaku, " kata Rangga lagi.

"Gusti, ampunkan hamba.... Hamba tidak berkhianat," rintih Panglima Bayan Sudira memohon.

"Aku percaya padamu, Paman. Tapi saat ini harus kau tunjukkan dan perlihatkan kepercayaan yang telah kuberikan padamu. Tunjukkanlah kalau kau seorang abdi setia yang patut dipercaya.”

"Oh, Gusti..,. Hukumlah hamba, Gusti. Hukumlah seberat-beratnya bila memang hamba berkhianat," rintih Panglima Bayan Sudira.

"Hukuman tetap akan dijalankan bila kau bersalah."

"Oh...."

Lemas seluruh tubuh Panglima Bayan Sudira. Walaupun dengan merintih dan memohon ampun, tapi keputusan Rangga tidak bisa dicabut kembali. Pendekar Rajawali Sakti itu menggebah kudanya dengan cepat meninggalkan Panglima Bayan Sudira yang berlutut sambil merintih lirih.

Rangga sudah tidak terlihat lagi bersama Kuda Dewa Bayu. Laki-laki dari Karang Setra itu bangkit berdiri setelah bisa menghilangkan kegundahan hatinya. Perlahan-lahan dia melangkah menghampiri kudanya, lalu melompat naik ke punggung kuda itu.

"Oh, Dewata Yang Agung.... Begitu berat cobaan yang Kau timpakan padaku" rintih Panglima Bayan Sudira.

Kuda itu melangkah perlahan-lahan membawa Panglima Bayan Sudira di punggungnya. Laki-laki hampir separuh baya itu tidak peduli ke mana kudanya akan membawa. Seluruh gairah hidupnya sudah hilang dengan hilangnya kepercayaan Rangga padanya. Dan semua itu akibat kemunculan si Macan Gunung Sumbing. Panglima Bayan Sudira benar-benar mendendam pada tokoh hitam itu yang telah menghancurkan segala-galanya dengan memfitnahnya langsung di depan junjungannya itu.

Hanya, Panglima Bayan Sudira memang tidak bisa menyalahkan Pendekar Rajawali Sakti yang juga junjungannya di Kerajaan Karang Setra. Memang tidak bisa dibantah semua yang dituduhkan Macan Gunung Sumbing padanya. Meskipun tuduhan itu tanpa bukti yang nyata. Dan kini harus ditunjukkan kalau dirinya tidak bersalah sama sekali.

********************

­Sementara itu di bagian Barat Kerajaan Jiwanala, tepatnya di pinggir Hutan Kemukus, tampak dua orang sedang bertarung sengit Di sekitar tempat pertarungan itu, tergeletak beberapa sosok tubuh berpakaian seragam prajurit Kerajaan Jiwanala. Dua orang yang sedang bertarung itu adalah seorang laki-laki tua melawan seorang wanita tua yang memakai baju warna jingga.

Tampaknya pertarungan itu sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Serangan-serangan mereka ­begitu dahsyat, disertai gerakan-gerakan cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa. Percikan bunga api terlontar setiap kali terdengar dentingan dua senjata beradu.

"Lepas...!"

Tiba-tiba saja terdengar satu bentakan keras, disusul melesatnya sebilah pedang berwarna keemasan.

Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar suara pekikan tertahan. Tampak laki-laki tua berbaju indah dari bahan sutra halus terhuyung-huyung keluar dari arena pertarungan itu. Sebelah tangan kirinya menekap dada.

"Hi hi hi...! Sudah kukatakan, kau bukan lawanku, kakek peyot!”

"Phuih!" laki-laki tua itu menyemburkan ludahnya.

Cring!

Sambil menggeram keras, dikeluarkan sepasang senjata berbentuk bola-bola kecil berduri berjumlah lima pada setiap ujung-ujung rantainya yang pendek. Senjata itu tergenggam di tangan kanan dan kirinya.

Laki-laki tua itu dengan lincah memain-mainkan senjatanya. Sedangkan perempuan tua itu tetap kelihatan tenang mengelus-elus sekuntum bunga mawar berwarna jingga yang cukup besar ukurannya. Bunga mawar itu memiliki tangkai cukup panjang dan berkeluk-keluk.

"Hiya...!"
"Hait! "

Laki-laki tua itu kembali melompat menerjang sambil melontarkan rantai yang ujungnya terdapat bola-bola kecil berduri tajam. Senjata itu mengarah ke kaki, tapi wanita tua itu dapat melompat dengan lincah menghindari serangan itu. Namun pada saat tubuhnya berada di udara, senjata yang sama di tangan kiri laki-laki tua itu mendesing cepat

"Hiat!"
Trang!

Perempuan tua itu mengebutkan senjata tongkat pendek dengan bunga mawar jingga pada ujungnya. Dua senjata beradu di udara. Betapa terkejutnya perempuan tua itu, karena rantai dengan bola-bola berduri itu membelit senjatanya. Tapi rasa terkejutnya hanya sebentar saja, karena dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam disentakkan senjatanya kuat-kuat.

"Akh!" laki-laki tua itu memekik tertahan. Kalau saja tidak cepat-cepat melepaskan senjatanya, sudah pasti tangan laki-laki tua itu copot ikut tertarik. Dan belum lagi laki-laki tua itu sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, perempuan tua itu sudah mengibaskan senjatanya ke arah kepala.

Tring!

Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih bercampur biru berkilau melesat menyambar ujung tongkat berbentuk bunga mawar jingga itu. Perempuan tua berbaju jingga terpekik tertahan, lalu cepat melompat mundur disertai putaran dua kali di udara.

­"Monyet..,” geram perempuan tua itu.

Tahu-tahu di samping laki-laki tua itu sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Pedangnya berwarna biru berkilau telah menyilang di depan dada. Pemuda itu memasukkan pedang ke dalam warangkanya di balik punggung. Cahaya biru langsung lenyap seketika.

"Kau tidak apa-apa, Paman Patih?" tanya pemuda itu lembut .Namun tatapan matanya tidak lepas pada wanita tua yang bersungut-sungut sambil memijit-mijit pergelangan tangan kanannya.

"Tidak, aku tidak apa-apa. Ah! Untung kau cepat datang, Rangga , " sahut laki-laki tua yang ternyata adalah Patih Raksajunta.

"Siapa dia, Paman?" tanya Rangga.

"Dia yang bernama Iblis Mawar Jingga," jawab Patih Raksajunta.

"Iblis Mawar Jingga...," desis Rangga menggumamkan nama yang disebutkan Patih Raksajunta.

Rangga jadi teringat akan cerita Panglima Bayan Sudira, yang menyebut-nyebut nama Iblis Mawar Jingga. Dikatakan bahwa iblis itu juga menginginkan Pusaka Karang Setra. Sejenak Rangga menatap tajam pada wanita tua itu, kemudian beralih menatap pada Patih Raksajunta. Pandangannya lalu berkeliling merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah. Semua mayat itu adalah para prajurit Jiwanala, yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.

"Apakah dia yang membantai mereka, Paman?" ­tanya Rangga agak tertahan suaranya.

"Benar! Dia itu memang manusia iblis!" sahut Patih Raksajunta menahan geram.

"Hm, kenapa?" tanya Rangga lagi.

Belum sempat Patih Raksajunta menjawab, Iblis Mawar Jingga sudah tertawa mengikik. Suaranya mampu mendirikan bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya. Rangga mengalihkan perhatiannya, lalu menatap tajam pada wanita tua bersenjata tongkat pendek yang ujungnya berbentuk bunga mawar besar berwarna jingga. Rangga bisa menduga kalau bunga mawar itu pasti terbuat dari bahan yang sangat keras dan tajam.

Pendekar Rajawali Sakti sudah menjajal keampuhan tongkat berujung bunga mawar jingga itu tadi, ketika menghalaunya dengan Pedang Rajawali Sakti.

Senjata itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan tenaganya sendiri yang sedikit bergetar ketika senjatanya bersentuhan dengan senjata perempuan tua itu. Sudah bisa ditebak kalau Iblis Mawar Jingga memiliki kepandaian yang tinggi. Jelas ini tidak bisa dianggap remeh. Tidak heran kalau Patih Raksajunta terdesak, dan sukar menandinginya.

"Kau pasti Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, Raja Karang Setra itu," kata Iblis Mawar Jingga setelah berhenti tertawa.

"Benar " sahut Rangga tegas.

"pucuk dicinta ulam tiba...," ucap Iblis Mawar Jingga berbinar matanya. "Aku memang sedang mencarimu, anak Muda. Sungguh beruntung sekali bisa berjumpa di tempat jelek ini," lanjutnya.

"Apa perlumu mencariku?" tanya Rangga.

"Serahkan pusaka itu padaku! " tegas Iblis Mawar Jingga dingin.

"Pusaka... ?!" Rangga terkejut keheranan. "Pusaka apa?"

"Kau jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Rajawah Sakti! Pasti sudah kau dapatkan pusaka itu dari panglimamu!" bentak Iblis Mawar Jingga sengit.

"Tunggu dulu! Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu," kata Rangga.

"Jangan berpura-pura bodoh di depanku, Rangga. Bukankah kau sudah bertemu dengan Panglima Bayan Sudira? Cepat, serahkan pusaka itu, atau kau ingin bernasib sama dengan yang lain?"

"Aku tidak mengerti, pusaka apa yang kau inginkan? Pusakaku hanya satu yaitu nyawaku sendiri. Lantas, pusaka apa yang kau maksud?" Rangga berpura-pura. Padahal dalam hatinya sudah bergejolak menahan marah. Tapi dia harus bisa bersabar agar mendapat keterangan cukup tentang pusaka leluhur Karang Setra yang kini jadi rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan.

"Kau benar-benar bodoh, atau hanya berpura-pura bodoh! Seorang raja di Karang Setra, mustahil tidak mengetahui di mana pusaka itu berada!" dengus Iblis Mawar Jingga sengit.

"Maaf, aku tidak mengerti dengan pembicaraanmu," kata Rangga semakin menahan geramnya. "Lagi pula untuk apa menginginkan barang orang lain, kalau memang bukan kepunyaan sendiri?"

"Keparat! Berani kau mempermainkanku, heh?!

"He...! Tunggu!"

Tapi Iblis Mawar Jingga sudah tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Rasanya benar-benar dipermainkan oleh sikap Rangga yang seperti orang bodoh. Pura-pura tidak mengetahui permasalahannya. Cepat sekali dia melompat sambil mengibaskan senjatanya.

"Tahan! Hup...!"

Peringatan Rangga sudah tidak digubris lagi. Iblis Mawar Jingga sudah menyerang dengan dahsyat. Terpaksa Rangga melompat mundur menghindari tebasan senjata itu. Pendekar Rajawali Sakti itu sempat tersentak kaget begitu merasakan angin sambaran senjata Itu demikian kuat dan berhawa panas luar biasa. Sementara Patih Raksajunta juga melompat ke samping, menjauhi kedua tokoh itu.

Rangga tidak bisa lagi mencegah pertarungan itu. Terpaksa dilayaninya dengan mempergunakan Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang sering digunakan untuk menjajagi tingkat kepandaian lawannya. ­urus Itu hanya mengandalkan gerakan kaki dan kelenturan tubuh. Sifatnya juga bukan untuk menyerang, tapi hanya untuk menghindari serangan lawan.

­Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang dapat membingungkan lawan, karena gerakan-gerakannya seperti tidak beraturan. Rangga bagaikan orang mabuk yang bergerak hampir tidak sempurna. Namun Iblis Mawar Jingga sukar untuk mendaratkan serangannya. Setiap kali pukulan atau kibasan senjatanya hampir mengenai sasaran, Rangga selalu mampu menghindar dengan gerakan tubuh yang sukar untuk ditebak arahnya.

Tapi bagaimanapun tingginya tingkatan jurus, pasti mempunyai kelemahan. Dan Iblis Mawar Jingga mengetahui kelemahan itu setelah mampu memaksa Rangga bertarung sampai delapan jurus. Mengetahui kelemahan itu, Iblis Mawar Jingga cepat merubah pola serangannya. Kini tidak lagi dihiraukan gerak tubuh Pendekar Rajawali Sakti, tapi dipusatkan perhatiannya pada gerak kaki.

"Edan!" dengus Rangga merasa kewalahan juga menghindari serangan senjata wanita tua itu. Menyadari kalau kelemahan jurusnya sudah diketahui lawan, cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu merubah jurusnya. Kini digunakanlah jurus pertama dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Namun itu pun tidak menolong banyak, karena Iblis Mawar Jingga dapat mengimbanginya.

Jurus demi jurus dilampaui dengan cepat. Dan pertarungan itu meningkat semakin dahsyat. Gerakan-gerakan mereka demikian cepat, sehingga yang tampak hanya dua bayangan berkelebatan saling sambar.

­Kini pertarungan telah memasuki pada jurus-jurus andalan Dan itu dilalui dengan cepat dan berganti-ganti. Rangga sendiri harus mengakui kalau lawannya kali ini benar-benar tangguh. Hampir semua jurus andalannya dikeluarkan, tapi Iblis Mawar Jingga belum juga bisa terdesak.

"Kau hebat, Anak Muda. Tapi jangan harap bisa mengalahkanku," dengus Iblis Mawar Jingga.

"Keluarkan semua kepandaianmu, Perempuan Tua!" balas Rangga memanasi.

"Setan! Hih...!"

Iblis Mawar Jingga menggeram marah dipanggil perempuan tua. Meskipun sebenarnya sudah nenek-nenek, tapi pantang baginya dipanggil demikian. Dengan kemarahan yang meluap, Iblis Mawar Jingga langsung memperhebat serangannya. Senjatanya berkelebat cepat mengarah pada bagian-bagian tubuh yang mematikan. Menghadapi serangan dahsyat seperti ini, Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Segera dihunus senjata pusakanya. Senjata yang jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan terjepit Sret!

"Hiyaaa. ..!"

Cahaya biru berkilau langsung menyemburat begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya. Dengan pedang di tangan. Rangga bagaikan sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tanggung-tanggung lagi. Kini dikerahkannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu ­jurus yang sangat diandalkan dan jarang digunakan kalau tidak perlu.

"Setan! Ilmu apa yang dipakainya...?! " dengus Iblis Mawar Jingga merasa kerepotan juga menghadapi jurus itu.

Trang! Trang!

Dua kali berturut-turut Rangga membabatkan pedangnya pada senjata Iblis Mawar Jingga. Wanita tua itu memekik tertahan, dan langsung melompat mundur sejauh tiga batang tombak Kedua bola matanya membeliak lebar begitu melihat satu helai bunga yang berada di ujung tongkatnya tanggal.

"Keparat..." geram Iblis Mawar Jingga.

Perempuan tua itu segera menggerak-gerakkan senjatanya didepan dada. Sementara itu Rangga memperhatikan sehingga alisnya sedikit berkerut. Dia tahu kalau perempuan tua itu sedang mempersiapkan ajiannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu pun tidak berdiam diri saja. Segera dipersiapkan satu ajian yang sangat ampuh dan diandalkan.

Rangga melintangkan pedangnya di depan dada. Tangan kirinya perlahan-lahan bergerak menggosok pedangnya. Cahaya biru menggumpal bergulung-gulung membentuk bulatan bagai bola. Perlahan-lahan diangkat ujung pedangnya ke atas, lalu tangan kirinya disentuhkan pada ujung pedang. Bulatan biru itu menempel pada tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.

Slap! Cring!

Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung, kemudian menyatukan kedua tangannya yang tergulung cahaya biru bulat. Pada saat itu, Iblis Mawar Jingga juga sudah menyiapkan ajian dahsyatnya. Dari kelopak bunga di ujung tongkatnya mengepul asap berwarna jingga. Asap itu bergulung-gulung menebal, kemudian....

"Hiyaaat...!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"

Rangga menghentakkan tangannya ke depan ketika Iblis Mawar Jingga melompat cepat. Ujung tongkatnya dihentakkan ke depan dengan kuat. Satu ledakan keras terjadi begitu telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti terhantam bunga pada ujung tongkat Iblis Mawar Jingga.

"Heh... !"

TUJUH

­Bukan main terkejutnya Iblis Mawar Jingga ketika ujung senjatanya menyentuh telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun Rangga tidak menggenggam, tapi Iblis Mawar Jingga tidak mampu melepaskan senjatanya dari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Hih." Iblis Mawar Jingga berusaha melepaskan senjatanya. Tapi tetap saja ujung senjata berbentuk bunga mawar Itu melekat erat di telapak tangan Rangga. Bahkan kini terselimut cahaya biru yang berkilat membentuk bulatan. Iblis Mawar Jingga mengerahkan tenaga dalamnya untuk menarik senjatanya kembali. Namun betapa terkejutnya begitu menyadari kalau tenaga dalamnya tersedot deras.

"Gila! Ilmu apa yang dipakainya...?!" dengus Iblis Mawar Jingga terperangah.

Sementara sinar biru terus bergerak merayap menggulung tongkat Iblis Mawar Jingga. Semakin lama semakin terasa kalau tenaga wanita itu kian tersedot. Iblis Mawar Jingga berusaha menahan aliran tenaganya. Namun semakin berusaha, semakin kuat tenaganya tersedot.

"Huh! Harus kugunakan aji 'Guntur Geni'," dengus Iblis Mawar Jingga dalam hati.

Di saat cahaya biru mulai menggulung tangannya, Iblis Mawar Jingga mengerahkan aji 'Guntur Geni'

Satu ajian yang sangat diandalkan. Saat itu juga Rangga merasakan adanya satu aliran ilmu kesaktian yang dikeluarkan Iblis Mawar Jingga.

“Hm..., dia mulai mengerahkan ajian lain. Baik, akan kuhadapi dengan aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir,” gumam Rangga dalam hati.

“Aji 'Guntur Geni'! Yeaaah...” teriak Iblis Mawar Jingga keras.

“Shaaa...!” Rangga langsung meningkatkan aji 'Cakra Buana Sukma' pada tahap terakhir.

“Aaa...!” Iblis Mawar Jingga menjerit melengking tinggi.

Seluruh tubuhnya bergetar hebat Dan darah keluar dari mulut maupun hidung. Bahkan juga dari mata dan telinganya. Semakin lama getaran tubuh wanita tua itu semakin keras dan menggelegar bagai tersengat ribuan kala berbisa. Iblis Mawar Jingga menjerit-jerit keras. Tubuhnya menggeliat menggelepar kuat. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Bahkan dari pori-pori kulit tubuhnya pun merembes darah segar.

Sementara itu Rangga mulai melepaskan telapak tangannya dari tongkat Iblis Mawar Jingga. Perlahan-lahan dia melangkah mundur dua tindak, namun dari kedua tangannya tetap memancar cahaya biru yang semakin menyelubungi wanita tua itu. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu mengangkat tangannya, ­dan memegang tangkai pedangnya.

"Hiyaaa... !”

Sambil berteriak melengking, Rangga mencabut pedangnya dan langsung melompat seraya mengibaskan pedangnya ke leher Iblis Mawar Jingga

“Aaa...!”
"Hup!”

Rangga kembali melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Cahaya biru lenyap seketika begitu ditarik kembali ajiannya. Dengan gerakan cepat dan manis, Pedang Rajawali Sakti kembali masuk ke dalam warangkanya di balik punggung. Rangga berdiri tegak menatap tajam Iblis Mawar Jingga.

Perempuan itu tampak berdiri tegak tak bergerak-gerak. Sebentar kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah, dan kepalanya menggelinding terpisah dari leher. Darah langsung menyembur keluar dari leher yang buntung. Sedikit pun wanita tua itu tidak bergerak, dan langsung tewas seketika.

Rangga menarik napas panjang. Dia berbalik dan berkerut keningnya melihat Patih Raksajunta langsung menjatuhkan diri berlutut di depannya. Laki-laki tua itu memberi hormat sambil merapatkan kedua tangannya di depan hidung.

“paman Patih, apa yang kau lakukan?" tanya Rangga keheranan akan sikap Patih Raksajunta.

“Ampun, Gusti. Ampunkan hamba yang tak melayani Gusti dengan baik,” ucap Patih Raksajunta.

"Ah, sudahlah! Berdirilah, Paman,” desah Rangga mulai mengerti.

"Hamba, Gusti."

Patih Raksajunta bangkit kembali, namun tubuhnya masih agak membungkuk bersikap penuh rasa hormat. Rangga tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dihampiri dan ditepuknya pundak Patih Raksajunta penuh rasa persahabatan. Meskipun seorang raja, tapi pada saat seperti ini Rangga tidak mau dirinya dianggap raja. Dia lebih senang menjadi orang kebanyakan, menjadi pendekar yang selalu dibutuhkan untuk memerangi kejahatan.

"Meskipun telah tahu siapa aku sebenarnya, tapi kuminta kau tetap menganggapku Rangga, Paman. Rangga yang dulu, bukan Rangga sebagai Raja Karang Setra," jelas Rangga lembut namun bernada penuh wibawa.

"Ampun, Gusti Prabu," ucap Patih Raksajunta.

"Ah..., sudahlah, Paman. Panggil saja aku Rangga. Aku tidak suka dengan sebutan Gusti.”

“Tapi....”

"Di sini aku bukan raja, aku seorang pendekar. Kau harus bisa membedakan itu, Paman," Rangga mencoba meminta pengertian.

"Hamba, Gusti...."

"Rangga! Panggil aku Rangga...!" tegas Rangga.

Patih Raksajunta mengangkat kepalanya menatap bola mata pemuda di depannya. Kemudian kepalanya terangguk, meskipun dari sinar matanya terasa begitu berat memanggil Pendekar Rajawali Sakti hanya dengan namanya saja.

"Bagus. Memang seharusnya kau memanggilku Rangga. Bukan Gusti," kata Rangga tersenyum.

"Maafkan jika hamba berlaku...."

"Sudah. Aku tidak ingin melihatmu berlaku sungkan begini!" potong Rangga cepat.

"Baiklah, Gus..., eh­ Rangga."

"Nah..., begini kan lebih enak."

Patih Raksajunta mengembangkan senyum yang dipaksakan. Benar-benar tidak dimengerti sikap pemuda itu. Seorang raja besar yang memiliki ilmu tinggi, tapi tidak suka dihormati seperti lazimnya seorang raja. Bahkan lebih senang dipanggil namanya saja. Memang sukar bagi Patih Raksajunta yang sudah tahu siapa Rangga sebenarnya. Tapi dia harus mematuhi keinginan Pendekar Rajawali Sakti ini meskipun dalam hatinya memberontak.

“Paman, ada yang ingin kutanyakan padamu," kata Rangga pelan setelah cukup lama terdiam.

"Apa yang akan kau tanyakan, Rangga?" tanya Patih Raksajunta sambil mencoba membiasakan diri.

"Tentang Pusaka Karang Setra," sahut Rangga, tetap pelan suaranya.

Patih Raksajunta tertunduk begitu mendengar Pusaka Karang Setra disebut. Sepertinya tidak ingin membicarakan tentang pusaka itu. Lama dia terdiam, sementara Rangga melangkah menghampiri kudanya yang berada di bawah pohon kamboja Patih Raksajunta masih juga diam dengan kepala tertunduk dalam.

­Dari sudut matanya diperhatikan gerak-gerik Pendekar Rajawali Sakti yang melangkah menghampirinya sambil menuntun kuda hitam yang tinggi tegap.

“Kau tahu tentang pusaka itu, Paman?" tanya Rangga setelah berada di depan Patih Raksajunta kembali.

"Hhh... !" Patih Raksajunta menarik napas panjang dan berat

Rangga melangkah perlahan-lahan sambil menuntun kudanya. Di sampingnya berjalan Patih Raksajunta yang juga menuntun kudanya sendiri. Bibir mereka sama-sama terkatup rapat. Tidak ada yang membuka suara lebih dahulu. Sedangkan kepala Pendekar Rajawali Sakti itu masih dipenuhi misteri hilangnya pusaka Kerajaan Karang Setra. Belum juga dimengerti, mengapa tokoh-tokoh rimba persilatan menginginkan pusaka itu? Pusaka yang hanya berbentuk segitiga besar dengan beberapa lingkaran di dalamnya. Benda itu memang menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang Setra.

“Ceritakan tentang pusaka itu, Paman," pinta Rangga setelah begitu lama terdiam.

"Hhh! Mungkin aku bukan orang yang tepat, Rangga,” sahut Patih Raksajunta mendesah panjang.

"Paman, aku tahu kau dulu berasal dari Karang Setra. Bahkan mempunyai jabatan yang cukup penting pada saat Karang Setra masih menjadi sebuah kadipaten," desak Rangga.

"Kau tahu itu...?" Patih Raksajunta terkejut heran.

“paman Bayan Sudira yang mengatakannya. Bahkan kau masih ada hubungan saudara dengannya. Benar begitu?"

“Ya, memang," desah Patih Raksajunta membenarkan.

"Nah! Tentunya kau mengetahui tentang pusaka itu, bukan?” tanya Rangga semakin mendesak.

“Yaaah..., " Patih Raksajunta mendesah panjang.

“Ceritakan, Paman. Aku sendiri belum mengetahui tentang pusaka itu, meskipun pernah melihatnya. Tapi aku hanya menganggap itu hanya sebuah lambang, tidak lebih.”

"Sebenarnya aku hanya tahu sedikit tentang pusaka keramat itu, Rangga,” pelan suara Patih Raksajunta.

"Ceritakan, Paman,” pinta Rangga

Patih Raksajunta terdiam beberapa saat Mungkin sedang mengintat-ingat, atau juga sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menceritakan perihal pusaka keramat yang menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang Setra. Dan kini pusaka itu menjadi rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan setelah hilang dari tempatnya.

"Sebenarnya pusaka itu sudah ada sebelum Kadipaten Karang Setra didirikan leluhurmu, Rangga. Aku sendiri tidak tahu, siapa yang membuatnya, dan mengapa dijadikan lambang bagi Karang Setra. Hanya...,” Patih Raksajunta berhenti bercerita.

“Teruskan Paman," pinta Rangga.

“Aku pernah melihat Gusti Adipati atau ayahmu menggunakan pusaka itu sebagai perisai ketika beliau diserang tokoh sakti dari golongan hitam. Tokoh sakti itu ingin merebut Gusti Permaisuri, yaitu ibumu sendiri, Rangga. Mungkin saat itu kau masih berusia empat bulan dalam kandungannya," lanjut Patih Raksajunta.

“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya.

“Bukan hanya aku saja yang menyaksikan, tapi banyak pembesar Karang Setra juga ikut menyaksikannya, termasuk tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Dan sejak kejadian itu banyak tokoh rimba persilatan mengincar pusaka itu. Karena selain dapat digunakan sebagai perisai ampuh untuk menahan segala macam gempuran ajian kesaktian, juga sangat hebat dalam menghadapi segala macam jenis senjata pusaka. Pusaka keramat itu bukan saja bisa digunakan sebagai perisai, bahkan juga bisa digunakan untuk senjata lempar yang sangat ampuh. Selain bisa meningkatkan tenaga dalamnya.”

"Hebat..!" desis Rangga tanpa sadar.

"Memang dahsyat sekali, Rangga. Pusaka Karang Setra akan menjadi senjata sekaligus perisai yang tidak tertandingi, dan sangat berbahaya jika sampai jatuh ke tangan tokoh berwatak jahat."

“Kalau memang demikian, pusaka itu harus kuselamatkan sebelum jatuh ke tangan orang macam itu!” tekad Rangga bergumam.

­"Memang seharusnya pusaka itu menjadi milikmu, Rangga. Karena kau satu-satunya pewaris yang masih hidup,” sambung Patih Raksajunta.

“paman, di mana kira-kira pusaka itu berada sekarang?” tanya Rangga setengah bergumam.

“Itulah yang menjadi permasalahannya, Rangga. Sudah bukan rahasia lagi kalau pusaka itu berada di Puri Teratai Emas.”

“Puri Teratai Emas...?” Rangga terbelalak mendengar nama yang disebutkan Patih Raksajunta.

********************

­Rangga hampir tidak percaya kalau Pusaka Karang Setra warisan leluhurnya ada di Puri Teratai Emas. Dipandangi bangunan kuil dari batu-batu bertumpuk dengan goresan ukiran bernapaskan kepercayaan.

Puri Teratai Emas tidak begitu besar dan tampaknya juga tidak terurus lagi. Halaman sekitar puri itu penuh sampah daun kering yang bertebaran. Rumput-rumput liar merambat menyemaki bagian dasar bangunan itu.

Tidak nampak adanya satu kehidupan di tempat ini. Sekelilingnya tampak sepi lengang, bahkan semut pun seolah-olah enggan menginjakkan kakinya di situ.

Memang sukar dipercaya kalau benda keramat yang diperebutkan saat ini berada di tempat terbuka dan mudah dijangkau. Puri Teratai Emas berada di bagian Selatan Kerajaan Jiwanala. Sudah bertahun-tahun puri ini tidak pernah lagi digunakan. sejak pengurusnya tewas dalam suatu pertempuran sengit mempertahankan puri itu dari jangkauan tangan-tangan kotor.

"Paman...," panggil Rangga pelan.

Patih Raksajunta datang menghampiri, lalu berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga masih tetap menatap lurus bangunan tua yang tidak terawat lagi di depannya.

"Kau yakin kalau pusaka itu ada di sini?” tanya Rangga ingin kepastian.

"Tidak salah lagi, Rangga. Pusaka Karang Setra berada di sini, di dalam puri itu," sahut Patih Raksajunta.

"Dari mana kau tahu?" tanya Rangga bernada curiga.

Patih Raksajunta tidak langsung menjawab. Rangga memalingkan kepalanya menatap laki-laki tua di sampingnya. Sementara, suasana di sekitar Puri Teratai Emas tetap tenang. Angin berhembus perlahan membawa kesejukan. Patih Raksajunta masih tetap diam, belum menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi.

"Paman...."

"Oh...!" Patih Raksajunta terbangun dari lamunannya.

"Dari mana Paman tahu pusaka itu ada di sini?" Rangga mengulangi pertanyaannya kembali.

"Sebenarnya sudah lama aku tahu, sejak kau datang ke sini," kata Patih Raksajunta.

­"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.

“Bahkan Gusti Prabu Duta Nitiyasa pun sudah tahu tentang pusaka itu. Adanya Pusaka Karang Setra di Puri Teratai Emas ini memang sudah menyebar luas dan mulut ke mulut, dan entah bersumber dari mana. Terus terang, semula aku juga ingin datang dan membuktikan kebenarannya, tapi Iblis Mawar Jingga menghalangi dan membunuh prajurit-prajurit yang kubawa,” lanjut Patih Raksajunta.

"Hm..., jadi itu hanya sekedar berita saja...?" gumam Rangga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.

Patih Raksajunta tidak menjawab.

"Satu lagi pertanyaanku, Paman. Benarkah Paman Bayan Sud­ra mengkhianatiku?" tanya Rangga yang tiba-tiba teringat kata-kata Macan Gunung Sumbing.

“Tidak!" sentak Patih Raksajunta seketika. "Siapa yang bilang begitu...?"

"Macan Gunung Sumbing."

"Setan keparat! Aku tahu betul kalau Bayan Sudira seorang abdi yang setia. Dia hanya difitnah. Mereka berusaha memecah belah, mengadu domba. Aku yakin, Rangga. Bayan Sudira orang yang setia. Dia tidak mungkin mengkhianatimu," tegas kata-kata Patih Raksajunta.

"Hm...," Rangga bergumam. "Paman, di mana Paman Bayan Sudira sekarang?"

Patih Raksajunta ingin menjawab. Tapi belum juga mulutnya terbuka, tiba-tiba terdengar tawa menggelegar yang demikian keras sehingga menyakitkan telinga. Semakin lama suara itu semakin menyakitkan.

Jelas kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Menyadari akan hal itu Rangga dan Patih Raksajunta segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk menutup pendengarannya.

Tapi pemilik suara itu rupanya sudah terlatih baik dalam menggunakan suara. Begitu Rangga dan Patih Raksajunta menandingi dengan pengerahan tenaga dalam suara itu langsung hilang. Tapi tawa ini kembali terdengar saat mereka menarik tenaga dalamnya.

Beberapa kali hal itu berlangsung! Akibatnya Patih Raksajunta yang kemampuan tenaga dalamnya masih berada di bawah tokoh-tokoh rimba persilatan jadi kewalahan juga. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Seluruh tubuhnya mulai bergetar karena tidak mampu mengimbangi permainan tenaga dalam itu.

“Ugh...!” Patih Raksajunta mulai mengeluh. Tampak dari hidungnya mengeluarkan darah.

Sementara Rangga mulai mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Dia tahu kalau Patih Raksajunta sudah tidak mampu lagi menahan serangan tawa bertenaga dalam tinggi ini dan berlangsung terus-menerus. Sedikit demi sedikit, Rangga mulai bisa memilah-milah suara yang masuk ke dalam pendengarannya. Sesaat kemudian kepalanya berpaling ke kanan. Dan...

“Hiya...!”

­Sambil berbalik ke kanan Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan aji ‘Bayu Bajra'. Kedua telapak tangannya terbuka dan mendorong ke depan. Tiba-tiba saja bertiup angin kencang bagai terjadi badai topan yang sangat dahsyat. Tapi angin ini bagai bergulung menjadi satu membentuk lingkaran yang cukup besar dan bergerak cepat menghantam bagian samping puri itu.

Pada saat badai hasil ciptaan Pendekar Rajawali Sakti menyapu bagian samping Puri Teratai Emas melesatlah sesosok bayangan putih ke angkasa. Bayangan itu berputaran beberapa kali di udara, kemudian hinggap di atas bangunan puri. Rangga menarik kembali ajiannya, dan berdiri tegak memandang kepada seorang laki-laki tua berpakaian rapi, dan rambut yang tertata apik.

“Kakek Pesolek Pemetik Bunga...,” desis Rangga yang sudah diberitahu tentang tokoh rimba persilatan itu oleh Panglima Bayan Sudira.

Patih Raksajunta yang juga mengenali laki-laki tua berpakaian apik itu, bergegas menghampiri Rangga. Dia tahu kalau Kakek Pesolek Pemetik Bunga bukanlah orang sembarangan. Tingkat kepandaiannya sukar diukur dan belum ada yang sanggup menandingi kesaktiannya.

“Jangan mimpi mendapatkan Pusaka Karang Setra! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini sebelum kupenggal kepala kalian!” lantang suara Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

­"Oh, ya...? Apa kau pikir dirimu lebih pantas?" balas Rangga sengit.

"Ha ha ha... Pusaka itu hanya pantas dimiliki orang sepertiku!"

"Kau terlalu berlebihan, Kakek Pesolek. Lihatlah dirimu yang sudah bau tanah! Sesaat lagi nyawamu akan terbang ke neraka!"

"Setan keparat! Kurobek mulutmu, bocah!" geram Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

Kata-kata Rangga yang mengandung ancaman ini, secara langsung ditujukan pada laki-laki tua pesolek ini. Tentu saja ini membuat wajah Kakek Pesolek Pemetik Bunga jadi berubah merah padam menahan marah. Dengan sekali loncatan indah, dia meluruk turun. Tanpa bersuara sedikit pun kakinya menjejak tanah, tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Sebutkan namamu sebelum kupenggal kepalamu!" sentak Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

"Aku Rangga, pewaris tunggal Pusaka Karang Setra!" tegas kata-kata Rangga saat memperkenalkan diri.

"Dia juga Raja Karang Setra, dan bergelar Pendekar Rajawali Sakti!" sambung Patih Raksajunta.

"Ha ha ha...!" Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak mendengar nama itu.

Rangga dan Patih Raksajunta saling berpandangan.

­"Jangan mengelabui diriku, Anak Muda. Kau pikir aku bodoh, bisa ditipu begitu saja? Ha ha ha...! Aku tahu betul keluarga Karang Setra. Mereka semua sudah musnah di tangan Iblis Lembah Tengkorak! Ha ha ha....” Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak. Tenggorokannya terasa tergelitik mendengar penjelasan tadi.

"Bagaimana dengan ini?" Rangga mengeluarkan seuntai kalung berbentuk segitiga dengan beberapa lingkaran di dalamnya.

"Bocah! Dari mana kau dapatkan benda itu?" Kakek Pesolek Pemetik Bunga terkejut melihat kalung tanda kebesaran keluarga Karang Setra.

"Benda ini kudapatkan sejak lahir. Kau tahu, akulah Rangga, pewaris tunggal Karang Setra! Kau dengar itu...?!” agak keras suara Rangga.

Kali ini Rangga benar-benar marah, karena benda pusaka warisan leluhurnya menjadi rebutan orang-orang berotak kotor, seperti Kakek Pesolek Pemetik Bunga ini. Dia tidak lagi memandang orang tua macam Kakek Pesolek Pemetik Bunga, yang seharusnya dihormati. Yang ada kini hanya musuh yang ingin menginjak-injak harkat dan martabat leluhurnya.

"Apa pun bisa kau katakan. He he he...! Aku yakin benda Itu kau buat sendiri dan menganggapnya sebagai tanda pengenal. Kau cerdik sekali, Anak Muda...,” terdengar sinis nada suara Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

"Aku memang tidak bisa meyakinkanmu. tapi kau tidak akan mendapatkan pusaka itu!" kata Rangga.

“He he he..., siapa bilang? Aku sudah memilikinya."

"Dusta!"

"Ha ha ha...! Lemparkan dia ke sini!” teriak Kakek Pesolek Pemetik Bunga keras.

Belum lagi hilang suara teriakan itu, tiba-tiba sesosok tubuh melayang keluar dari dalam puri, dan jatuh tepat di depan kaki Rangga. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti itu saat mengenali tubuh yang tergeletak tidak bernyawa di ujung kakinya.

"Paman Bayan...," desis Rangga tidak percaya.

"Dia tidak pantas hidup lebih lama lagi. Penjilat seperti itu sudah sepantasnya mati!" kata Kakek Pesolek Pemetik Bunga dingin.

"Iblis...!" desis Rangga menahan geram.

"Dia tidak lagi percaya padamu, Anak Muda."

"Bohong...!" bentak Patih Raksajunta yang sejak tadi diam saja.

"Hm, siapa kau?" dengus Kakek Pesolek Pemetik Bunga menatap tajam Patih Raksajunta.

"Aku Patih Raksajunta, saudara Bayan Sudira!" Jawab Patih Raksajunta lantang.

"Oh, bagus! Biar sekalian keluarga penjilat musnah dari muka bumi ini," sambut Kakek Pesolek Pemetik Bunga sinis.

"Setan! Kubunuh kau, iblis keparat!" geram Patih Raksajunta gusar.

Patih Raksajunta tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Dia melompat cepat bagai kilat menerjang, seraya menghunus pedangnya. Tapi pada saat yang tepat, seseorang keluar dari dalam puri itu dan langsung memapak terjangan Patih Raksajunta. Terjangan yang begitu cepat dan mendadak, tidak dapat dihindarkan lagi. Patih Raksajunta terpental jauh ke belakang terkena sampokan keras orang yang baru muncul dari dalam Puri Teratai Emas.

Patih Raksajunta bergelimpangan hingga sejauh tiga batang tombak. Namun laki-laki tua itu sudah cepat bangkit kembali. Dengan punggung tangannya, disekanya darah yang keluar dari mulutnya. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, langsung kepada seorang laki-laki yang memegang tombak merah berujung bulan sabit.

"He he he...!"

DELAPAN

"Keparat! Rupanya kalian berkomplot!" seru Patih Raksajunta geram.

"Ha ha ha...'" Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.

Tawa itu pun langsung disambung si Kumbang Merah yang membuat Patih Raksajunta tadi terguling sejauh tiga batang tombak. Belum lagi hilang suara tawa itu, muncul pula dua orang muda memakai baju kuning gading dari dalam puri Teratai Emas. Jelas, mereka adalah Sepasang Naga Hitam. Tidak lama kemudian satu raungan keras terdengar, disusul munculnya si Macan Gunung Sumbing bersama binatang peliharaannya berupa seekor harimau besar.

Patih Raksajunta yang mengenali orang-orang itu, menggeser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu. Tokoh-tokoh sakti rimba persilatan yang kini bergabung hanya untuk menguasai Pusaka Karang Setra berdiri berjajar menghadapi Rangga.

"Kalian dengar tadi. Bocah edan ini mengaku dirinya putra Adipati Karang Setra! Lucu..., heh! Meskipun kau kini seorang raja di Karang Setra, belum berarti kau pewaris tunggal! Kau hanya bocah edan yang gila kekuasaan!" Kakek Pesolek Pemetik Bunga menghina dengan suara lantang.

"Ha ha ha...!" empat orang lainnya tertawa terbahak-bahak.

“Tapi dia tampan sekali," celetuk Andini yang sejak tadi tidak lepas memandangi Pendekar Rajawali Sakti.

"Kendalikan dirimu, Andini! " rungut Macan Gunung Sumbing.

"Maaf. Kalau bisa jangan lukai dia sebelum...," Andini tersenyum-senyum dengan mata mengerling pada Rangga.

"Itu urusan nanti, Andini, " sergah Andika.

"Baik, aku akan bersabar. Dan kau juga harus bersabar, Pemuda Tampan," lagi-lagi Andini mengerlingi Rangga.

Sikap Andini menambah kebencian dan kemuakan terhadap diri Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kemarahannya harus bisa ditahan. Menghadapi tokoh-tokoh tingkat tinggi seperti ini, harus bisa menahan kemarahan dan luapan emosi yang akan membuat diri menjadi lupa dan lengah. Jelas ini sangat berbahaya.

Rangga berusaha keras agar dirinya tetap tenang, meskipun hatinya diliputi perasaan marah dan kebencian yang memuncak.

"Kau dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka tidak percaya bualanmu, jadi sebaiknya angkat kaki saja dari sini dan lupakan semua tentang Pusaka Karang Setra. Kau tidak berhak memilikinya, meskipun sekarang kau raja di sana!" kata Kakek Pesolek Pemetik Bunga lagi.

"Apa pun yang kalian katakan, pusaka itu tetap akan kukembalikan pada tempatnya!” balas Rangga tidak kalah lantangnya

“Ha ha ha...!u Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.

“Dan kalian semua lebih tidak berhak memilikinya!" sambung Rangga lebih tegas.

“Kalian semua dengar itu? Lucu sekali! Semua orang berhak memiliki benda tidak bertuan, lebih-lebih sebuah benda pusaka. Tapi...,” Kakek Pesolek Pemetik Bunga berhenti sebentar, lalu memandang pada yang lainnya satu persatu.

"Biar aku dulu!" potong Andini yang mengerti maksud pandangan laki-laki tua pesolek itu.

"Bagus. Tapi hati-hati, Andini. Aku tidak ingin wajahmu yang cantik itu tergores. Jangan biarkan tangannya menyentuh tubuhmu yang menggiurkan itu," goda Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

“Jangankan dia! Kau sendiri tidak mungkin bisa menjamahku, tua bangka," ejek Andini.

"Setan betina...! Kau membuatku jadi bergairah," balas Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengerling genit

"Baik, kita taruhan!" tantang Andini jumawa.

"Taruhan apa?” balas Kakek Pesolek Pemetik Bunga bergairah.

"Siapa di antara kalian yang menang melawan Si Tampan itu, boleh bersenang-senang bersamaku. Bagaimana?" Andini tersenyum-senyum seraya mengerling pada kakaknya. Sedangkan Andika membalas hanya dengan senyuman tipis saja. Sudah dimengerti maksud adik seperguruannya itu.

"He he he.... Kau cerdik sekali, setan betina. Baiklah, banyak saksi di sini," Kakek Pesolek Pemetik Bunga menyanggupi tawaran wanita cantik itu.

Sementara Rangga yang mendengar semua percakapan itu semakin sulit menahan kemarahannya. Dirasakan dirinya begitu direndahkan. Belum pernah dirinya dijadikan taruhan seperti ini. Rangga benar-benar muak. Ingin rasanya menyumpal mulut mereka yang begitu kotor, tidak tahu tata krama. Bicara seenaknya sehingga membuat telinga jadi sakit mendengarnya

Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengerling pada Andini, kemudian melangkah ke depan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Langkahnya begitu ringan, dan sikapnya begitu meremehkan. Sementara Rangga merentangkan sebelah tangannya, memberi isyarat pada Patih Raksajunta untuk menyingkir. Laki-laki tua itu mengerti, dan segera melangkah mundur menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.

"Bagaimana, bocah? Bisa kita mulai?" tantang Kakek Pesolek Pemetik Bunga sinis.

Rangga merentangkan tangannya lebar-lebar. Memang, tidak perlu dijawab tantangan itu. Dijawab atau tidak, harus dihadapi semua orang yang berada di halaman Puri Teratai Emas ini. Dan itu sudah diperhitungkan sejak kakinya menginjak tempat ini.

­“Bersiaplah, bocah! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras, Kakek Pesolek Pemetik Bunga melompat sambil mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah dada Rangga. Namun dengan mantap sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menghindari dengan memiringkan tubuh ke kanan sedikit. Dan pada saat itu dengan cepat dikibaskan tangan kirinya ke arah perut Kakek Pesolek Pemetik Bunga yang meremehkan pemuda itu jadi terkejut bukan main.

Buru-buru ditarik mundur tubuhnya begitu dua serangannya gagal. Bahkan kini harus menghindari kibasan tangan kiri lawan Tapi belum juga sempurna menghindar, kaki kanan Rangga sudah melayang ke arah perut Begitu cepatnya tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu sehingga Kakek Pesolek Pemetik Bunga tidak sempat lagi menghindar. Dan tendangan Rangga telak mendarat di perutnya.

“Hugh...!” Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengeluh tertahan.

Selagi tubuhnya membungkuk, Rangga cepat menyarangkan satu pukulan telak dan tepat bersarang di wajah laki-laki tua pesolek itu. Satu raungan keras terdengar bersama terdongaknya kepala laki-laki tua itu. Tidak hanya sampai di situ saja. Rangga kini juga mengirimkan satu pukulan telak bertenaga dalam penuh ke dadanya. Akibatnya, laki-laki tua itu terjengkang Jauh ke belakang.

Rangga berdiri tegak memandangi lawannya yang menggelepar di tanah. Hanya sebentar Kakek Pesolek Pemetik Bunga menggelepar, sesaat kemudian sudah melompat bangkit kembali. Wajahnya merah padam menahan kemarahan yang memuncak. Lebih-lebih saat melihat senyuman sinis Andini yang bernada mengejek. Laki-laki tua pesolek yang masih suka wanita cantik ini menggeram dahsyat, kemudian berlari cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

“Yaaa...!”
“Hup, hup!”

Rangga menanti serangan itu sambil mempersiapkan satu jurus yang ampuh. ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Dan begitu kakek pesolek menerjang disertai pengerahan tenaga dalam penuh, dengan sigap Rangga melompat sambil menghantamkan pukulannya ke arah kepala laki-laki tua itu.

Namun Kakek Pesolek Pemetik Bunga lebih cepat lagi merunduk sehingga pukulan Pendekar Rajawali Sakti mengenai bagian kosong. Pada saat itu tangan kanan Kakek Pesolek Pemetik Bunga menghentak ke atas, dan menangkap tangan Rangga.

“Hih!”

Hanya sekali hentakan saja tubuh Rangga terbanting keras ke tanah. Hebatnya, Pendekar Rajawali Sakti malah meminjam tenaga hentakan tadi untuk menarik tubuh laki-laki tua itu, sehingga sama-sama terjungkal ke tanah. Pada saat yang sama, kaki kanan Rangga melayang deras dan tepat menghantam dada Kakek Pesolek Pemetik Bunga.

­"Akh..” Kakek Pesolek Pemetik Bunga terpekik tertahan.

"Modar...!" seru Rangga keras.

Sukar sekali pertarungan itu dilihat dengan mata biasa. Namun semua orang yang ada di halaman depan Puri Teratai Emas, dapat melihatnya meskipun harus menajamkan mata. Sementara itu dengan gerakan cepat, Rangga menghentakkan tangannya ke depan menghajar kepala Kakek Pesolek Pemetik Bunga. Satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dan mengandung tenaga dalam sempurna, telak menemui sasaran.

"Aaa...!" jerit Kakek Pesolek Pemetik Bunga keras.

Darah langsung muncrat keluar dari kepala yang hancur terhantam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Satu jurus maut dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Rangga bangkit berdiri dan menendang tubuh laki-laki tua yang sudah tidak bernyawa lagi. Tubuh itu melayang deras, dan jatuh tepat di depan Andini.

"Hebat aku suka itu Pertunjukan yang sangat menarik," kata Andini dengan bola mata berbinar. Diberikannya senyum manis Pada Rangga.

"Andini, apakah pertaruhan itu masih berlaku?" tanya si Macan Gunung Sumbing.

­"Bagaimana, Kakang?" Andini bertanya pada Andika.

"Kau yang menentukan," sahut Andika kalem.

"Baiklah. Tapi kalau kau menang, harus bertarung melawan kakakku," Andini memberi syarat.

Memang, laki-laki mana yang tidak tertarik akan kecantikan Andini? Wanita itu memiliki daya pesona tersendiri, dan mampu memikat pria hanya dengan kerlingan matanya saja. Tidak heran kalau taruhan yang dibuat Andini begitu menggiurkan! Tapi baru saja Macan Gunung Sumbing melangkah maju, terdengar suara bentakan keras.

“Tunggu!”

Semua mata tertuju pada sumber suara bentakan itu. Kumbang Merah yang sejak tadi diam saja melangkah maju ke depan, dan berdiri di tengah-tengah antara Rangga dan Macan Gunung Sumbing. Sebentar dipandangi semua orang yang berada di tempat itu satu persatu.

"Hentikan lelucon ini!" dengus Kumbang Merah dingin.

"Apa...? Hentikan!? Kumbang Merah, apa kau tidak sadar dengan ucapanmu itu?" bentak Macan Gunung Sumbing.

"Kalian semua bodoh! Untuk apa membuang-buang nyawa percuma hanya untuk memperebutkan yang tidak ada?" lantang suara Kumbang Merah.

"Kumbang Merah, menyingkirlah!" sergah Andini kesal.

­"Kau yang harus menyingkir. Andini. Sudah kuketahui semua akal busukmu. Sengaja kau tiupkan kabar bohong hanya untuk melenyapkan satu orang. Kau tidak sadar kalau ulahmu dapat memecah-belah orang-orang rimba persilatan. Mengumbar nyawa dan darah hanya untuk memenuhi ambisimu!" tetap lantang suara Kumbang Merah.

“Tutup mulutmu, Kumbang Merah!" bentak Andini gusar

"Setelah begitu banyak korban berjatuhan? Tidak, Andini! Meskipun selalu bergelimang darah dan dosa, aku tidak pernah berbuat licik dan keji seperti ini. Sayang, Panglima Bayan Sudira tidak pernah mendengar peringatanku. Dia tewas akibat kelicikanmu, Andini," tetap lantang suara Kumbang Merah.

"Aku bilang, tutup mulutmu!" Andini semakin gusar.

Kumbang Merah tidak mempedulikan bentakan keras Andini, dan malah berbalik dan menghadap pada Pendekar Rajawali Sakti. Matanya sempat melirik pada Macan Gunung Sumbing.

"Kau pasti sudah pernah mendengar namaku, Rangga. Aku memang bukanlah orang yang bersih dan patut dipercaya. Tapi kali ini, ku harap kau mempercayaiku," kata Kumbang Merah serius.

"Hm..., " Rangga menatap tajam tokoh hitam yang begitu kondang namanya dan sangat disegani lawan maupun kawan. Seorang yang selalu bertindak berdasarkan kejantanan meskipun dapat dikatakan kejam.

"Siasat apa lagi yang akan kau gunakan, Kumbang Merah?" dengus Patih Raksajunta yang sudah berada kembali di samping Rangga

"Bukan siasat! Tapi, aku hanya ingin menjelaskan semua kebohongan ini," jawab Kumbang Merah tegas.

"Kebohongan...!? Apa maksudmu?" tanya Rangga jadi penasaran juga.

­"Sebenarnya semua ini karena ulah mereka!" Kumbang Merah menunjuk ke arah Sepasang Naga Hitam. "Mereka gagal merebut salah satu kadipaten di Karang Setra, lalu timbul dendam dan ingin meruntuhkan Kerajaan Karang Setra dengan meniupkan berita bohong."

"Jadi, maksudmu.... Pusaka Karang Setra tidak hilang?" Rangga mulai memahami.

"Aku tidak tahu. Yang aku tahu. ini semua hanya tipuan saja untuk memancingmu, Rangga. Mereka memang sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh rimba persilatan agar bertarung melawanmu. Dengan demikian mereka mengira kalau kau bakal tewas, sehingga dengan mudah dapat menguasai Karang Setra," jelas Kumbang Merah.

"Licik...!" desis Rangga menggeram.

"Setan! Pengkhianat...!" geram Andini.

"Tapi, kenapa mereka memilih tempat ini?" tanya Rangga.

"Mereka tahu kalau hampir seluruh rakyat Jiwanala berasal dari Karang Setra. Bahkan rajanya pun masih terpaut darah dengan leluhur pendiri Karang Setra. Mereka berharap bisa meraup dua wilayah sekaligus melalui adu domba dua kerajaan."

Rangga ingin bertanya lagi, tapi sempat dilihatnya Andini mengirimkan pukulan jarak jauh kepada Kumbang Merah. Dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat melewati kepala si Kumbang Merah dan memapak serangan jarak jauh itu. Namun akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu terpental bergulingan di tanah.

"Pengecut!" geram Kumbang Merah.

"Kau yang pengecut, Kumbang Merah! Pengkhianat! Menyesal aku mengajakmu," balas Andini gusar.

"Kau pikir aku bodoh, heh? Sebenarnya aku hanya ingin merasakan permainan asmara mu saja."

"Setan! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"

Merah padam wajah Andini ketika terbongkar kedoknya dalam upaya memperalat tokoh-tokoh rimba persilatan untuk bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti. Dengan rasa marah yang meluap wanita itu langsung melompat dan menerjang Kumbang Merah.

Namun terjangan itu manis sekali dapat dihindari Kumbang Merah. Bahkan dengan cepat si Kumbang Merah mengibaskan tongkatnya.

"Hait!"
­Trak!

Tapi Andika lebih gesit lagi. Dihantamkan tongkat itu sebelum menyentuh tubuh Andini. Kumbang Merah mendengus sengit sambil menyemburkan ludahnya.

Sementara itu Rangga yang sudah bangkit berdiri, tidak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan antara Kumbang Merah yang kini melawan Sepasang Naga Hitam tidak bisa dicegah lagi. Mereka bertarung sengit, masing-masing berupaya untuk saling menjatuhkan.

Baru beberapa jurus saja pertarungan itu berjalan, Sepasang Naga Hitam sudah mengeluarkan senjata andalannya. Kini, serangan-serangan sepasang anak muda itu semakin dahsyat Dari pedang kembar yang mereka gunakan, mengepul asap tipis hitam dan berbau busuk menyesakkan dada.

“Ugh...!” Kumbang Merah merasakan kepalanya jadi pening.

Tampak jelas kalau jurus-jurus yang dimainkan si Kumbang Merah menjadi tak beraturan. Gerakan-gerakannya kacau dan tidak terarah lagi Bau busuk yang menyebar dari pedang Sepasang Naga Hitam membuat kepala si Kumbang Merah semakin pening, dan napasnya pun terasa sesak.

"Mampus kau! Hiyaaat...!" teriak Andini sambil mengibaskan pedangnya dengan cepat.

"Aaakh...!" Kumbang Merah menjerit keras.

Tebasan pedang Andini tidak mungkin lagi dielakkan. Ujung pedang itu menggores dalam di dada si Kumbang Merah. Darah langsung mengucur dari luka-luka yang cukup panjang dan dalam itu. Kumbang Merah terhuyung-huyung ke belakang. Tapi satu tendangan keras Andika membuatnya terpental dan menabrak pohon dengan keras sekali.

"Hiyaaa...!"

Rangga cepat melompat ketika Andini sudah melompat sambil menghunus pedang ke depan. Rangga tidak punya pilihan lain lagi untuk menyelamatkan nyawa si Kumbang Merah. Langsung dicabut pedang pusakanya, dan dibabatnya pedang Andini.

Trang!

"Akh!" Andini memekik tertahan, dan langsung melompat mundur.

Andini menggerutu sambil memijit-mijit pergelangan tangannya yang kesemutan. Saat itu benar-benar disadari kalau tenaga dalamnya kalah jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Namun dia tidak peduli, dan langsung menyerang Rangga. Andika juga tidak tinggal diam. lalu membantu adik seperguruannya menyerang Pendekar Rajawali Sakti itu.

Namun dengan Pedang Rajawali Sakti di tangan, Sepasang Naga Hitam bukanlah tandingan Rangga. Lebih-lebih saat itu Rangga tengah diliputi kemarahan besar terhadap dua anak muda itu. Langsung dikerahkan jurus andalannya 'Pedang Pemecah Sukma' Satu jurus yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya pada saat ini.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Trang! Trang!
­"Akh!"
"Ughk!"

Cepat sekali tubuh Rangga setengah berputar sambil mengibaskan pedangnya, sehingga membuat senjata Sepasang Naga Hitam terpental ke udara. Dan pada saat yang bersamaan, sebelah tangan Pendekar Rajawali Sakti mengirimkan pukulan beruntun yang sulit dihindari lagi. Sepasang Naga Hitam bergulingan di tanah.

"Modar...!” seru Rangga keras.

Seketika itu juga dikibaskan pedangnya dengan cepat ke arah Andini. Tapi Andika dengan cepat bangkit dan melompat. Tidak dapat dielakkan lagi!

Ayunan Pedang Rajawali Sakti yang begitu cepat, sukar untuk ditarik kembali. Dan...

"Akh!" Andika hanya mampu memekik sedikit, kemudian tubuhnya ambruk terpotong menjadi dua.

Andika tidak bisa lagi bergerak, dan langsung tewas seketika. Andini yang melihat itu, jadi terbeliak matanya. Dia bergegas bangkit dan cepat melompat kabur. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap.

"Rangga...."

Rangga menoleh. dan melihat Patih Raksajunta telah berdiri memapah tubuh Kumbang Merah. Sempat juga dilirik sekitarnya. Kini, tidak ada lagi si Macan Gunung Sumbing. Entah kabur ke mana orang itu.

Pikirnya mungkin tidak ada gunanya lagi berada di tempat ini. Rangga menghampiri Patih Raksajunta yang memapah tubuh Kumbang Merah.

"Bagaimana keadaanmu, Kumbang Merah?” tanya Rangga.

“Buruk,” sahut Kumbang Merah. “Pedang Sepasang Naga Hitam mengandung racun yang sangat dahsyat. Hanya guruku, si Raja Kumbang saja yang mampu mengobati.”

"Berapa lama kau mampu bertahan?" tanya Rangga.

"Paling lama tiga hari."

"Kalau begitu, akan kuantarkan kau ke sana," Rangga menawarkan.

"Tidak perlu! Kau harus melanjutkan perjalananmu mencari Pusaka Karang Setra itu."

"Jadi...?!" Rangga terkejut.

"Pusaka yang ada di Istana Karang Setra. itu adalah palsu. Sedangkan aslinya sampai kini tidak jelas di mana. Sepasang Naga Hitam tahu akan hal Itu dari gurunya. Maka dimanfaatkanlah hal itu untuk melaksanakan ambisinya menguasai Karang Setra. Kau tahu, guru si Sepasang Naga Hitam adalah musuh besar Adipati Karang Setra yang dulu. Mereka memang selalu berselisih untuk menguasai Karang Setra.... Aku pergi dulu, Rangga. Senang sekali rasanya bisa berbuat baik. Bahkan untuk pertama kali kulakukan perbuatan baik ini. Aku senang dan bahagia meskipun harus mati di perjalanan," ucap Kumbang Merah.

"Tidak, kau harus selamat. Aku akan membawamu ke tempat gurumu."

­"Tidak mungkin Rangga. Kau akan mati sesampainya di sana. Tidak ada seorang pun yang dapat masuk ke sana. Tempat itu penuh dengan laba-laba, sejenis kumbang, dan serangga lainnya yang sangat berbahaya."

“Tapi kau akan kuantarkan sampai ke perbatasan saja,” desak Rangga merasa berhutang budi.

"Baiklah. Tapi ingat, setelah itu kau harus cepat pergi. Aku tidak ingin guruku melihatmu."

"Aku janji."

Rangga menggantikan Patih Raksajunta memapah Kumbang Merah, dan meminta laki-laki tua itu untuk mengambil kuda. Patih Raksajunta cepat-cepat mengambil kuda mereka yang ditinggalkan tidak jauh dari tempat itu. Rangga kemudian menaikkan Kumbang Merah ke punggung Kuda Dewa Bayu, kemudian melompat naik di belakangnya. Patih Raksajunta memperhatikan di samping kudanya sendiri.

"Paman, sampaikan salam ku pada Gusti Prabu Duta Nitiyasa. Maaf aku tidak bisa berkunjung lagi," ucap Rangga. "Aku harus segera mengantarkan Kumbang Merah, setelah itu aku akan mencari Pusaka Karang Setra sampai kapan pun"

"Akan hamba sampaikan, Gusti," sahut Patih Raksajunta seraya membungkuk memberi hormat.

“Terima kasih."

Rangga tidak ingin lagi membuang-buang waktu. Segera digebahnya kuda hitam yang bernama Dewa Bayu, yang kemudian langsung berlari cepat bagaikan angin. Patih Raksajunta sampai ternganga melihat kecepatan lari tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

Dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata, meninggalkan debu yang mengepul di udara.


SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA BANGKITNYA PANDAN WANGI