Dewa Iblis - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

DEWA IBLIS

SATU
DUA ekor kuda berpacu cepat melintasi padang rumput yang sangat luas bagai tak bertepi. Penunggang kuda itu seorang laki-laki muda tampan. Rambutnya panjang meriap agak tergelung ke atas. Bajunya rompi putih, dan pedangnya yang bergagang kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Pemuda itu menunggang kuda berwarna hitam kelam yang tinggi dan tegap berotot.

Sedangkan penunggang kuda satunya lagi adalah seorang gadis cantik, mengenakan baju ketat berwarna biru langit. Begitu ketatnya, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang bergagang kepala naga tersandang di punggungnya. Kudanya berwarna putih bersih, tanpa belang sedikit pun. Kedua ekor kuda itu digebah cepat bagai kesetanan melintasi padang rumput luas di Kaki Gunung Jaran.

Dua ekor kuda itu terus berpacu cepat menuju sebuah bukit yang ditumbuhi pepohonan cukup lebat. Bukit itu sudah terlihat, namun masih cukup jauh untuk mencapainya. Sementara sang surya semakin terik dengan sinarnya yang panas membakar. Dua penunggang kuda itu berpacu cepat meninggalkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke udara. Tapi tiba-tiba saja...

Swing...!

“Awas...!” seru penunggang kuda hitam tiba-tiba.

“Hap!”
Tring!

Tepat ketika sebuah benda sepanjang jengkal tangan meluncur ke arah wanita berbaju biru itu, dengan cepat dicabut sebuah senjata yang terselip di pinggangnya. Seketika dikebutkannya untuk menyampok benda sepanjang jengkal tangan itu.

“Hup!”

“Yap...!”

Kedua penunggang kuda itu berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Memang tak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar padang rumput ini. Pandangan mereka kemudian tertuju pada sebuah benda seperti ranting berwarna biru tua yang menancap di tanah. Ada bulu-bulu halus pada ujung yang menyembul ke permukaan tanah. Pemuda berbaju rompi putih menghampiri dan mencabut benda itu.

“Mata sumpit...,” gumamnya pelan seraya memperhatikan benda di tangannya.

Bentuk benda itu hanya sepanjang jengkal tangan, bulat dan panjang dengan bulu-bulu halus pada ujungnya. Sedangkan satu ujung lainnya begitu runcing berkilat. Benda itu adalah mata sumpit yang biasa digunakan para pemburu kelinci atau binatang-binatang kecil lainnya. Biasanya benda ini beracun, tapi tidak berbahaya bagi manusia.

“Apa itu, Kakang?” tanya gadis berbaju biru seraya menghampiri.

“Mata sumpit,” sahut pemuda berbaju rompi putih seraya memberikan mata sumpit berwarna biru itu.

“Mungkin ada pemburu kelinci di sekitar sini, Kakang,” kata gadis itu setengah bergumam.

“Mungkin.... Tapi tidak ada perkampungan di sekitar Gunung Jaran ini.”

“Atau...,” suara gadis itu terputus seketika, dan,... “Awas Kakang...!”

“Hap!”

Cepat sekali pemuda itu mengibaskan tangannya ke samping, tepat ketika sebuah benda biru meluncur deras ke arahnya. Ternyata benda itu sama dengan yang pertama. Kedua anak muda itu menjadi semakin waspada. Jelas kalau mata sumpit ini bukan dari seorang pemburu yang meleset sasarannya. Tapi lebih berat ditujukan pada mereka berdua.

“Hati-hati, Pandan. Rupanya ada orang yang tidak suka atas kehadiran kita di sini,” bisik pemuda berbaju rompi putih itu.

“Baik,” sahut gadis itu yang dipanggil Pandan. Dia memang Pandan Wangi, yang berjuluk si Kipas Maut.

Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu tidak lain dari Rangga, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menatap tajam tanpa berkedip. Tapi tak ada satu tanda-tanda adanya kehidupan di sekitar tempat ini.
Bahkan tak terdengar sedikit pun suara-suara mencurigakan. Juga gerak-gerak rerumputan begitu sempurna tersapu angin. Tapi tiba-tiba saja...

“Auh...!” Pandan Wangi terpekik.

Sukar dipercaya! Mendadak saja dari dalam tanah menyembul sebuah tangan yang langsung mencekal kaki gadis itu, dan berusaha menariknya ke dalam. Maka kaki Pandan Wangi langsung melesak ke dalam tanah sampai ke betis.

“Kakang..., tolong!” seru Pandan Wangi terkejut.

“Tahan, Pandan! Hup...! Hiyaaa...!”

Cepat sekali Rangga bertindak. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat ke samping Pandan Wangi, lalu menghantamkan satu pukulan keras ke dalam tanah, tepat di depan kaki gadis berbaju biru itu. Kemudian dengan cepat pula Rangga melompat sambil meraih pinggang Pandan Wangi.

Dua kali mereka berputaran di udara sebelum mendarat manis di tanah berumput. Tampak wajah si Kipas Maut begitu pucat. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling merayapi rerumputan di sekitarnya.

“Sebaiknya kita segera pergi dari sini, Kakang,” usul Pandan Wangi, agak bergetar suaranya.

“Naiklah ke kudamu, Pandan,” ujar Rangga pelan.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya, dan hinggap di punggung kudanya. Wajahnya masih kelihatan pucat. Sungguh hatinya masih diliputi keterkejutan akibat kakinya tertarik ke dalam tanah. Sedangkan Rangga perlahan-lahan menggeser kakinya mendekati Dewa Bayu di samping kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut.

“Cepat, Kakang...,” desis Pandan Wangi.

“Baik! Hup...!”

Begitu Rangga berada di punggung kudanya, langsung menggebah kuda hitam itu agar berlari kencang. Pandan Wangi segera memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Dua ekor kuda kembali berpacu mendekati Gunung Jaran yang menjulang tinggi tertutup kabut pada bagian puncaknya. Kuda-kuda itu berpacu bagaikan berada di atas angin. Jelas sekali kalau kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi sukar untuk menyusul kuda hitam yang bernama Dewa Bayu.

“Kakang, tunggu...!” teriak Pandan Wangi keras.

Rangga menoleh, dan langsung memperlambat laju kudanya. Cukup jauh juga Pandan Wangi tertinggal di belakang. Maka gadis itu harus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi agar sampai di samping Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kembali menggebah Dewa Bayu setelah Pandan Wangi berada di sampingnya. Mereka berkuda berdampingan. Jelas kalau Rangga mengimbangi lari kuda putih yang tampak kewalahan mengikuti lari kuda hitam yang bukan kuda sembarangan itu.

“Hooop...!”

Rangga menghentikan lari kudanya begitu tiba di tepi hutan Kaki Gunung Jaran. Pandan Wangi mengikuti, dan langsung melompat turun dari punggung kudanya begitu melihat Rangga sudah turun dari punggung kudanya sendiri. Mereka berdiri berdampingan memandang ke padang rumput yang begitu luas bagai tak bertepi di depan sana.

“Apa sebenarnya yang terjadi, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Entahlah. Aku hanya melihat sebuah tangan menyembul dari dalam tanah dan menarik kakimu ke dalam,” sahut Rangga tanpa berpaling.

Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling, tentu akan melihat perubahan wajah Pandan Wangi yang begitu cepat memerah bagai kepiting rebus. Sebentar kemudian wajah itu berubah memucat. Tampak gadis itu bergidik sedikit, membayangkan sebuah tangan menyembul dari dalam tanah dan mencengkeram kakinya.

“Kau tidak main-main, Kakang...?” terdengar bergetar suara Pandan Wangi.

“Kenapa?” tanya Rangga seraya memalingkan mukanya.

Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti itu saat melihat wajah Pandan Wangi begitu pucat dan tubuhnya gemetar seperti menggigil kedinginan.

“Kau kenapa, Pandan?” tanya Rangga.

“Oh...! Ah, tidak. Tidak apa-apa,” sahut Pandan Wangi buru-buru memalingkan mukanya ke arah lain.

“Wajahmu pucat. Sakit...?”

“Tidak, Kakang. Aku hanya..., hanya.... Ah, sudahlah,” sahut Pandan Wangi tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.

“Kau takut, Pandan?” tanya Rangga tidak percaya.

Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Memang gadis itu sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja mempunyai perasaan yang belum pernah dirasakannya. Dia tidak tahu, apakah takut atau hanya terkejut saja dengan kejadian tadi yang begitu tiba-tiba dan sulit dimengerti ini. Sementara Rangga terus memperhatikan. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak percaya kalau Pandan Wangi jadi ketakutan setelah menceritakan peristiwanya.

“Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan ini, Kakang,” kata Pandan Wangi pelan.

“Sudah sore, Pandan. Sebentar lagi malam akan menjelang. Aku tidak tahu seberapa luasnya hutan ini. Dan lagi aku begitu yakin kalau di hutan ini tidak ada satu rumah pun yang bisa disinggahi,” jelas Rangga seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Jadi..., kita bermalam di sini?” kembali bergetar suara Pandan Wangi.

“Iya, kenapa...?” Rangga semakin heran saja melihat sikap Pandan Wangi yang tidak seperti biasanya.

“Tidak apa-apa, Kakang. Hanya saja...,” Pandan Wangi tidak melanjutkan ucapannya.

Rangga ingin bertanya lagi, tapi melihat wajah yang pucat begitu, segera diurungkan niatnya. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah dan memunguti ranting-ranting kering yang banyak tersebar di sekitar tempat ini. Dan tentu saja untuk dijadikan api unggun. Ditumpuknya ranting itu di bawah pohon dekat sebuah batu besar yang seperti seekor kerbau berkubang di dalam lumpur. Sedangkan Pandan Wangi masih berdiri saja memandang ke arah padang rumput yang baru dilewatinya tadi.

“Pandan, kau punya pemantik api?” tanya Rangga.

“Ada, di pelana kudaku,” sahut Pandan Wangi tanpa berpaling.

Rangga memandangi gadis itu sejenak, kemudian menghampiri kuda putih dan membuka kantung pelana kuda itu. Diambilnya pemantik api yang terbuat dari batu api berwarna putih bagai batu pualam. Kemudian pemuda berbaju rompi putih itu kembali duduk di dekat tumpukan ranting kering. Sementara senja semakin merayap turun. Keadaan di tepian Hutan Gunung Jaran ini semakin terasa suram. Angin mulai berhembus menyebarkan hawa dingin. Tidak lama lagi malam akan menggantikan tugas sang mentari yang sepanjang hari telah menyinari permukaan belahan bumi ini.

Dengan pemantik api itu, Rangga membuat api unggun. Disimpannya kembali pemantik api itu di dalam saku pelana kuda putih milik si Kipas Maut. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti membaringkan tubuhnya tidak jauh dari api yang berkobar melahap ranting kering. Agar tidak merambat, Rangga menghalanginya dengan batu-batu yang dibuat melingkar seperti cincin. Diperhatikannya Pandan Wangi yang masih saja berdiri memandang padang rumput yang mulai kelihatan gelap.

“Kau tidak pegal berdiri terus begitu, Pandan...?” tegur Rangga seraya beringsut dan duduk bersandar pada batu sebesar badan kerbau.

Pandan Wangi menoleh dan menghampiri, lalu duduk di samping Rangga agak ke depan. Namun pandangannya kembali tertuju ke arah padang rumput yang terlihat jelas dari tempat ini.

“Ada apa, Pandan? Kau melihat sesuatu di sana?” tanya Rangga seraya menggeser tubuhnya mendekati gadis itu.

“Ah, tidak,” sahut Pandan Wangi agak mendesah.

“Seharusnya tadi tidak perlu kuceritakan,” desah Rangga pelan bernada menyesal.

Pandan Wangi memalingkan mukanya, memandang wajah tampan di sampingnya. Diambilnya tangan Pendekar Rajawali Sakti itu dan didekapnya hangat-hangat. Rangga juga memandang wajah cantik yang matanya bersinar bening bagai sejuta bintang bertaburan di langit kelam. Beberapa saat lamanya mereka terdiam, hanya saling pandang saja.

“Kau cantik sekali, Pandan,” desah Rangga.

“Ih genit, ah!” dengus Pandan Wangi seraya mendorong dada Rangga yang mulai mendekat.

Tapi dengan cepat Rangga menangkap tangan gadis itu, lalu menggenggamnya kuat-kuat. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti menariknya, hingga gadis itu jatuh terjerembab dalam pelukannya. Pandan Wangi memekik kecil. Namun belum juga sempat menolakkan pelukan pemuda tampan itu, bibirnya sudah lebih cepat disumpal oleh bibir Rangga.

“Euf...! Hm....”

Pandan Wangi mencoba meronta melepaskan diri, tapi itu hanya sebentar saja. Kemudian dibalasnya pagutan Rangga dengan hangat dan penuh rasa cinta yang membara. Lenyap sudah semua bayangan peristiwa yang hampir membuatnya mati kaku sore tadi. Yang ada sekarang hanya kehangatan dan kemesraan yang menggelora dalam dada.

“Ah...!”

Pandan Wangi menggeliatkan tubuhnya saat jari-jari tangan Rangga mulai nakal menggerayangi tubuhnya. Gadis itu mendorong dada pemuda itu, dan cepat-cepat menggeser menjauh. Pada saat itu, tiba-tiba saja sebuah benda biru melesat ke arah mereka, dan menancap tepat di batu di antara kedua anak muda itu. Rangga dan Pandan Wangi terkejut bukan main, dan langsung melompat bangkit berdiri. Di batu sebesar kerbau itu tertancap sebuah mata sumpit berwarna biru dengan bulu-bulu halus pada bagian pangkalnya.

********************

Malam ini begitu gelap. Langit menghitam tersaput awan tebal, membuat cahaya bulan sukar menembus untuk menerangi permukaan bumi. Rangga menemui kesulitan untuk mencari sumber datangnya mata sumpit biru itu, karena sekelilingnya begitu pekat. Hanya keredupan api unggun saja menerangi sekitarnya dalam jangkauan yang tidak seberapa jauh.

Pandan Wangi menggeser kakinya mendekati Rangga. Gadis itu sudah menggenggam kipas baja putih yang masih tertutup. Itulah salah satu senjata yang menjadikan dirinya terkenal berjuluk si Kipas Maut. Tak ada yang membuka suara, masing-masing diliputi suasana tegang. Terlebih lagi Pandan Wangi. Belum pernah dirasakan ketegangan seperti ini. Sampai-sampai dadanya terasa sesak, bagai dihimpit sebongkah batu sebesar gunung.

“Kakang...,” belum lagi selesai ucapan Pandan Wangi, mendadak saja kembali melesat sebuah mata sumpit dari arah samping kiri.

Secepat kilat Pandan Wangi mengibaskan kipasnya yang langsung terbuka lebar. Kipas itu menyampok mata sumpit berwarna biru tua.

Tring!

Pandan Wangi melompat dua tindak ke belakang. Bibirnya meringis merasakan getaran pada pergelangan tangannya. Kalau saja tadi tidak dikerahkan tenaga dalam, kipas baja putihnya pasti terpental jauh ketika berbenturan dengan mata sumpit biru.

Belum juga Pandan Wangi sempat berpikir jauh, kembali dua buah mata sumpit meluncur ke arahnya dari arah yang berlawanan. Si Kipas Maut itu cepat-cepat memutar tubuhnya sambil mengebutkan kipas disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Dua kali terdengar dentingan senjata beradu. Dan mata sumpit itu terpental menancap cukup dalam di sebuah batang pohon. Buru-buru gadis itu melompat mendekati Rangga.

“Kakang..., tampaknya tempat ini sudah terkepung,” ujar Pandan Wangi setengah berbisik.

Belum lagi Rangga menyahuti, terdengar suara tawa terbahak-bahak. Suara tawa itu menggema seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin. Rangga menggumam, dan langsung merasakan kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, memang sukar untuk mencari arahnya.

“Ha ha ha...! Kau cukup cerdik untuk menebak, Pandan Wangi...!”

Belum hilang suara itu, mendadak muncul seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk mengenakan baju panjang berwarna biru gelap yang sudah kusam. Tangannya menggenggam sebatang tongkat yang ujungnya berbentuk kepala tengkorak manusia. Tongkat itu berkeluk tujuh, dan ujung bagian bawah berbentuk runcing bagai sebuah keris raksasa. Laki-laki tua itu muncul bagaikan dari dalam tanah. Tidak dapat diketahui, dari mana datangnya.

Pandan Wangi menggeser kakinya lebih mendekat ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan laki-laki tua bertongkat tengkorak manusia itu terkekeh, sambil menatap tajam ke arah mereka. Begitu tajam tatapan matanya, sehingga seperti sepasang bola api tertuju langsung ke arah Pandan Wangi. Sedikit pun tidak dipedulikannya keberadaan Rangga di tempat itu.

“Sudah cukup lama aku bersabar menunggumu, Pandan Wangi,” kata laki-laki tua itu.

“Kisanak, apa maksudmu berkata begitu? Aku tidak kenal denganmu!” bentak Pandan Wangi ketus.

“He he he.... Sudah kuduga, kau pasti akan berkata begitu, Pandan. Tapi kau tidak akan bisa lari lagi. Kau berada di wilayah kekuasaanku sekarang.”

“Siapa yang peduli? Aku bebas menentukan tempatku berpijak!” sentak Pandan Wangi masih ketus.

“Rupanya kau sudah pandai bersilat lidah, Pandan,” sinis nada suara laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu. Diliriknya Rangga dengan pandangan tidak suka.

“Kau pikir aku ini siapa, heh?! Aku tidak kenal denganmu! Dan jangan coba-coba mengusik kehidupanku, Orang Tua!” dengus Pandan Wangi dingin.

“Kehidupan...? Ha ha ha...!” Laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu tertawa terbahak-bahak.

Sementara itu Rangga hanya diam saja sambil menyimak setiap pembicaraan. Sebentar dipandangnya orang tua bertongkat kepala tengkorak di depannya. Sebentar kemudian ditatapnya Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya. Terlihat jelas dalam keremangan cahaya api unggun, kalau wajah Pandan Wangi selalu berubah pucat dan memerah bagai terbakar. Memang cukup sulit menebak perasaan si Kipas Maut saat ini. Dan perhatian Pendekar Rajawali Sakti kembali pada laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak.

“Sekarang juga kau harus ikut denganku, Pandan!” tegas laki-laki tua itu agak keras.

“Apa...?!” Pandan Wangi tampak terkejut. “Kau pikir aku ini siapa, heh...? Seenaknya saja ingin membawaku!”

“Aku tidak ingin main-main, Pandan. Ayo, ikut!” bentak orang tua itu.

“Tidak!” Pandan Wangi balas membentak.

“Bocah gendeng...!” dengus orang tua itu.

Tiba-tiba saja orang tua itu melesat bagaikan kilat, langsung mengarah ke Pandan Wangi. Tangan kiri yang tidak menggenggam tongkat, terjulur hendak mencengkeram gadis itu. Tapi manis sekali Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya berkelit, sehingga terkaman orang itu luput dari sasaran. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang tua itu bisa memutar tubuhnya cepat sambil mengibaskan tangan kiri ke arah dada si Kipas Maut.

“Ikh...!” Pandan Wangi terperangah.

Buru-buru si Kipas Maut itu mengebutkan kipas baja putihnya. Kalau saja orang tua itu tidak cepat-cepat menarik pulang tangannya, pasti ujung-ujung kipas baja putih itu telah membuat tangannya buntung seketika. Tapi dia masih juga bisa memberi satu serangan yang begitu cepat. Tongkatnya berkelebat bagaikan kilat menyambar ke arah kaki si Kipas Maut.

“Hait..!”

Cepat sekali Pandan Wangi melompat memutar tubuhnya ke belakang. Maka tongkat berkepala tengkorak itu lewat beberapa jengkal di bawah telapak kaki Pandan Wangi. Dan belum juga gadis itu menjejakkan kakinya di tanah, orang tua bertongkat itu sudah menyerang dahsyat kembali. Kali ini sasaran yang dipilih adalah dada. Dengan ujung jari telunjuk, dia bermaksud menotok si Kipas Maut.

Pandan Wangi mengetahui hal itu. Cepat-cepat dikibaskan kipasnya ke depan dada, sambil memutar tubuhnya. Seketika itu juga, kaki kanannya berkelebat melepaskan tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Hal ini membuat orang tua itu terperanjat, karena tidak menyangka kalau Pandan Wangi mampu melindungi diri sambil balas menyerang dalam waktu yang hampir bersamaan.

“Hup...!”

Cepat-cepat laki-laki tua berbaju biru tua dan bertongkat kepala tengkorak itu melompat mundur. Hampir saja tendangan Pandan Wangi menghantam perutnya. Dengan kedua kaki merentang lebar ke samping, orang tua itu menatap tajam pada si Kipas Maut. Mulutnya menggeram kecil, dan bibirnya yang hampir tertutup kumis putih bergetar menahan amarah.

“Kau cukup membuat kesulitan, Pandan!” dengus orang tua itu menggeram.

“Hm.... Lalu kau mau apa?” tantang Pandan Wangi sinis.

“Kesabaranku ada batasnya, Pandan! Aku tidak peduli siapa dirimu sekarang. Kau sudah membuat banyak kesulitan padaku. Nyawamu tak cukup untuk membayar penghinaan ini!”

Pandan Wangi hanya tersenyum sinis. Gadis itu tahu kalau orang tua bertongkat kepala tengkorak itu sudah sangat marah, tapi tidak dipedulikannya. Dengan adanya Rangga di sini, segala perasaan gentar lenyap dari hatinya. Gadis itu melirik Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi hanya diam saja memperhatikan. Sedikit pun pemuda berbaju rompi putih itu tidak melakukan tindakan apa-apa. Sepertinya Pandan Wangi diberi kebebasan untuk menentukan tindakan sendiri.

Pada saat itu, laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak manusia sudah kembali menyerang, dan kali ini tidak main-main. Bahkan tongkatnya yang aneh itu seperti memiliki nyawa saja, berkelebat mengancam bagian-bagian tubuh Pandan Wangi yang mematikan. Kali ini si Kipas Maut harus mengakui kalau lawannya memiliki kepandaian sangat tinggi.

Dalam beberapa jurus saja, sudah terlihat kalau Pandan Wangi kewalahan menghadapi serangan-serangan orang tua itu. Beberapa kali si Kipas Maut harus jatuh bangun menghindari serangan yang begitu gencar dan dahsyat luar biasa. Hingga suatu saat...

“Lepas...!” seru laki-laki tua bertongkat itu tiba-tiba.

Secepat itu pula dikibaskan tongkatnya ke arah dada Pandan Wangi. Cepat sekali si Kipas Maut itu mengebutkan kipasnya, melindungi daerah dadanya yang terancam. Namun sungguh di luar dugaan, ternyata orang tua itu memutar tongkatnya ke bawah. Dan seketika itu juga, tangan kirinya bergerak cepat menotok pergelangan tangan kanan si Kipas Maut.

“Akh...!” Pandan Wangi memekik keras tertahan.

Kipas baja putih yang menjadi senjata khas gadis itu terpental ke udara. Dan belum juga Pandan Wangi menyadari apa yang terjadi, satu tendangan keras mendarat telak di dadanya yang lowong. Satu tendangan yang tak terbendung lagi.

Bug!

“Akh...!” untuk kedua kalinya Pandan Wangi menjerit keras.

Tubuh si Kipas Maut terjengkang ke belakang sejauh beberapa batang tombak. Dan sebelum gadis itu ambruk, laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu sudah melompat memburu. Pandan Wangi tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dadanya seperti remuk, dan napasnya terhambat. Namun belum juga orang tua itu berhasil menerkamnya, mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat cepat dan telah lebih dahulu menyambar gadis itu.

“Heh...!”

********************

DUA

Bukan main terperanjatnya orang tua bertongkat kepala tengkorak itu. Karena, tiba-tiba saja Pandan Wangi lenyap dari hadapannya, tepat saat sebuah bayangan putih berkelebatan menyambar gadis itu. Orang tua itu jadi celingukan, lalu menggeram begitu menyadari kalau pemuda yang bersama Pandan Wangi juga ikut menghilang.

“Bedebah...!” umpatnya geram.

Diedarkan pandangannya berkeliling, tapi tak terlihat lagi seorang pun di tempat ini. Cahaya api unggun yang begitu redup tidak mampu menembus pekatnya kegelapan malam. Dia menggerutu dan memaki habis-habisan, tapi tetap saja tidak bisa menemukan yang dicari.

“Phuah! Pasti anak muda itu yang menyelamatkannya...!” dengusnya geram.

Sambil menghentakkan kakinya penuh kemarahan, orang tua itu melesat pergi meninggalkan tempat itu. Sama sekali tidak diketahuinya kalau ternyata Pandan Wangi bersembunyi di balik sebongkah batu besar bersama Rangga. Mereka baru keluar dari tempat persembunyian setelah cukup lama laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu pergi.

“Ughk...!” keluh Pandan Wangi saat berusaha berdiri hendak keluar dari tempat persembunyian ini.

“Kau terluka, Pandan?” tanya Rangga seraya membantu Pandan Wangi berdiri.

“He-eh...,” Pandan Wangi hanya menganggukkan kepalanya saja.

Rangga memapah si Kipas Maut keluar dari balik batu. Mereka menghampiri api unggun yang masih menyala redup. Sebagian ranting sudah hancur jadi debu. Rangga menambahkan ranting-ranting yang dikumpulkannya sore tadi. Api kembali membesar, menambah terang sekitarnya. Pandan Wangi duduk bersandar di bawah pohon yang cukup besar. Napasnya nampak terengah satu-satu. Pendekar Rajawali Sakti menghampiri dan duduk di depan gadis itu.

“Aku periksa lukamu, Pandan,” kata Rangga lembut.

“Uhk! Dadaku...,” keluh Pandan Wangi meringis.

Tanpa ragu-ragu lagi, Rangga menekan ujung jari telunjuknya di dada Pandan Wangi. Gadis itu meringis sambil menggeliatkan tubuhnya. Buru-buru pemuda berbaju rompi putih itu menarik kembali ujung jarinya. Dipandangi wajah gadis itu dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit berdiri dan menghampiri kipas baja putih yang tergeletak tidak jauh dari situ.

Dipungutnya senjata itu dan diserahkan pada Pandan Wangi. Gadis itu menyelipkan senjata kesayangannya di balik ikat pinggang. Jelas sekali kalau napasnya masih tersengal, namun tetap mencoba untuk tersenyum. Mendadak saja, Pandan Wangi terbatuk dan memuntahkan darah kental kehitaman.

“Pandan...!” sentak Rangga terkejut.

Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu memeluk Pandan Wangi, tapi pelukan itu malah dicegahnya. Gadis itu beringsut menjauh, membuat Pendekar Rajawali Sakti hanya memandanginya. Sedangkan sinar matanya penuh diliputi berbagai macam pertanyaan. Pandan Wangi membalas tatapan itu dengan pandangan sayu. Bibirnya yang berwarna merah kehitaman menyunggingkan senyuman tipis dan amat dipaksakan.

“Aku tidak apa-apa, Kakang. Hanya sesak sedikit,” kilah Pandan Wangi lemah.

“Kau terluka dalam, Pandan. Biar kuperiksa,” desak Rangga seraya menggeser mendekati.

Tapi Pandan Wangi mencegah, lalu menggeleng dan tersenyum tipis. Dengan punggung tangan, diseka darah di mulutnya. Rangga kelihatan cemas melihat Pandan Wangi begitu lemah dan pucat. Dia yakin kalau gadis itu terluka dalam akibat pertarungannya dengan laki-laki tua misterius tadi.

“Tidurlah, Kakang. Besok, pagi-pagi sekali kita harus keluar dari hutan ini,” kata Pandan Wangi, masih terdengar lemah suaranya.

“Kau benar tidak apa-apa, Pandan?” tanya Rangga cemas.

“Tidak. Aku ingin semadi, mudah-mudahan besok sudah segar lagi,” sahut Pandan Wangi meyakinkan.

Rangga memberi senyuman. Tapi dari sorot matanya masih menampakkan kekhawatiran. Sedangkan Pandan Wangi sudah duduk bersila. Ditekan kedua telapak tangannya di lutut yang terlipat. Rangga memperhatikan sebentar, kemudian menggeser tubuhnya menjauh.

Pendekar Rajawali Sakti itu memilih tempat di seberang api unggun. Direbahkan tubuhnya di atas rerumputan yang basah berembun. Perhatiannya masih tertuju pada Pandan Wangi. Gadis itu sudah tidak bergerak lagi melakukan semadi untuk mengusir rasa sesak yang menghimpit dadanya.

Melihat Pandan Wangi tampaknya benar-benar bersemadi, Rangga mulai memejamkan matanya. Pada saat itu Pandan Wangi membuka kelopak matanya. Diperhatikannya Pendekar Rajawali Sakti yang terbaring di seberang api unggun. Mata pemuda berbaju rompi putih itu terpejam rapat.

Napasnya begitu teratur, menciptakan gerak pada dada yang bidang sedikit berbulu. Agak nanar pandangan Pandan Wangi. Sementara malam terus merambat semakin jauh. Udara dingin begitu terasa menyebar dihembus oleh angin. Sedangkan api semakin redup cahayanya. Tak terdengar lagi suara, selain desiran angin malam dan jeritan binatang malam di hutan ini.
Pendekar Rajawali Sakti
Kokok ayam jantan begitu nyaring terdengar menyambut datangnya pagi. Matahari belum lagi menampakkan sinarnya. Namun burung-burung telah ramai berkicau di atas pepohonan. Rangga menggeliatkan tubuhnya, mencoba mengurangi rasa penat. Semalaman dia tertidur pulas, sehingga tak peduli terhadap nyamuk-nyamuk yang berpesta-pora menikmati darahnya.

“Pandan...!” tiba-tiba Rangga tersentak begitu teringat Pandan Wangi.

Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas bangkit, dan menjadi terkejut menyadari Pandan Wangi tidak ada lagi di tempatnya. Sesaat diedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi gadis itu tak terlihat lagi. Rangga terpaku begitu matanya tertumbuk pada kuda hitam yang tertambat di bawah pohon jati. Di sana seharusnya ada dua ekor kuda, tapi kini hanya tinggal seekor.

“Oh, tidak...!” sentak Rangga mulai dirasuki pikiran buruk.

Bergegas pendekar muda itu melompat ke punggung kuda hitamnya, tapi tidak jadi menggebah. Dipandangi tempat Pandan Wangi semalam duduk bersemadi. Pandangannya terpaku tak berkedip. Rerumputan di situ masih terlihat ada bekasnya. Juga...

“Oh.... Kenapa Pandan pergi begitu saja?” gumam Rangga dalam hati.

Terlihat jelas jejak-jejak kaki di atas rerumputan, yang berakhir di bawah pohon ini. Kemudian disambung jejak-jejak kaki kuda yang menuju tengah Hutan Gunung Jaran ini. Rangga menghentakkan kakinya, menyepak perut kuda hitam itu. Perlahan-lahan Dewa Bayu melangkah mengikuti jejak yang tertera jelas di tanah berumput.

Pagi masih terlalu gelap, namun jejak itu masih terlihat menuju dalam hutan. Rangga mengendalikan kudanya mengikuti jejak-jejak di tanah berumput yang dibasahi embun. Semakin jauh masuk dalam hutan, semakin banyak jejak yang terlihat. Bukan saja di tanah, tapi juga di ranting-ranting yang patah dan semak yang terkuak. Dan semua itu kelihatan masih baru. Terbukti, getah pada ranting itu terus mengucur.

“Hm...,” Rangga bergumam pelan.

Hutan di Gunung Jaran ini demikian lebat. Cukup sukar menerobos dengan menunggang kuda. Tapi jejak-jejak itu terus semakin jauh masuk ke dalam hutan. Rangga turun dari kudanya, lalu melanjutkan dengan berjalan kaki. Pendekar Rajawali Sakti itu membiarkan saja kudanya mengikuti, dan terus berjalan sambil memperhatikan setiap jejak yang terlihat. Semakin jauh masuk ke dalam hutan, semakin nyata kalau jejak itu masih baru.

“Kau ingin ikut denganku terus, Dewa Bayu?” tanya Rangga bertanya pada kudanya.

Kuda hitam itu meringkik kecil dan mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan bisa mengerti ucapan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menepuk leher kuda itu dan kembali berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sungguh luar biasa. Dewa Bayu ternyata mampu mengimbangi kecepatan pemuda itu. Padahal, jalan yang dilalui cukup sulit, lebat oleh rapatnya pepohonan yang saling berkait satu sama lainnya. Tapi kuda hitam itu tidak pernah jauh berada di belakang Rangga.

Sampai matahari berada di atas kepala, Rangga terus bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Meskipun kelihatannya berjalan biasa, namun kecepatannya melebihi orang berlari sekuat tenaga. Pendekar Rajawali Sakti itu baru berhenti setelah tiba di tepi sungai kecil berair jernih. Sedangkan Dewa Bayu menghampiri sungai itu, lalu menjulurkan kepalanya ke dalam sungai.

“Hhh..., putus sampai di sini,” keluh Rangga.

Jejak-jejak yang diikuti memang tidak tampak lagi di tepi sungai ini. Rangga memandang ke seberang sungai. Tidak seberapa lebar, dan hanya sekali lompatan saja bisa sampai ke seberang. Sungai ini juga dangkal, sehingga dasarnya jelas terlihat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat menyeberangi sungai kecil itu.

Benar dugaannya. Hanya sekali lompatan saja, Rangga berhasil menyeberangi sungai itu. Begitu ringan kakinya menjejak tepi seberang sungai. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Agak berkerut juga keningnya, karena tidak lagi menemukan satu jejak pun di seberang sungai ini. Tapi mendadak saja hatinya dikejutkan suara ringkik kuda dari seberang. Saat menoleh...

“Putih...,” desis Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melompat menyeberangi sungai begitu melihat seekor kuda putih berada di samping kuda hitam miliknya. Rangga mengenali betul kalau kuda itu milik Pandan Wangi, dan masih memakai pelana lengkap. Rangga bergegas menghampiri begitu tiba di seberang.

“Putih! Di mana Pandan Wangi?” tanya Rangga.

Kuda putih itu seperti mengerti pertanyaan Rangga, lalu langsung meringkik sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diputar tubuhnya dan berlari kencang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat ke punggung Dewa Bayu dan cepat menggebahnya. Kuda hitam itu meringkik keras, lalu melesat bagai sebatang anak panah lepas dari busur.

Rangga memacu kuda hitam itu membuntuti kuda putih yang terus berlari cepat. Dua ekor kuda berlari menyusuri tepian sungai yang jarang ditumbuhi pepohonan. Kemudian pada belokan sungai, kuda putih itu berhenti, lalu menoleh ke belakang dan kembali berlari lagi mendaki tebing batu yang tidak begitu terjal. Tak ada kesulitan bagi Rangga untuk mengendalikan Dewa Bayu mendaki tebing batu itu. Dan pada akhirnya Pendekar Rajawali Sakti sampai di sebuah dataran yang cukup luas. Rangga menghentikan kudanya, tepat saat kuda putih itu berhenti.

“Hup!”

Rangga melompat turun dari punggung kudanya. “Kau yakin Pandan Wangi ke sini, Putih?” tanya Rangga seraya mendekati kuda putih itu.

Kuda putih itu meringkik sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Rangga memperhatikan tingkah kuda putih itu, kemudian memandang sebuah perkampungan yang terlihat jelas di depan sana. Sebuah perkampungan kecil yang kelihatan sunyi bagai tak berpenduduk.

“Hm..., aku tidak pernah mendengar ada perkampungan di sekitar Gunung Jaran ini,” gumam Rangga berbicara pada dirinya sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati sekitarnya. Suasana begitu sunyi, tak terdengar suara apa-apa. Hanya desir angin saja yang mengusik telinga. Sama sekali tidak terdengar suara binatang. Rangga jadi bersikap waspada terhadap kesunyian ini. Dihampirinya kuda-kuda yang tengah merumput.

“Kalian tunggu di sini. Aku akan melihat ke sana,” kata Rangga pada kedua ekor kuda itu.

Kedua ekor kuda itu seperti mengerti saja, dan sama-sama terangguk dan kembali merumput. Rangga kemudian mengayunkan kakinya menghampiri perkampungan yang tidak begitu jauh di depan. Hanya melewati sedikit padang rumput kering, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di sana.

********************

Rangga merasakan adanya keanehan di perkampungan ini. Begitu sunyi. Malah sama sekali tidak terlihat seorang pun. Rumah-rumah yang terbuat dari bilik bambu beratapkan rumbia, semuanya kosong tak berpenghuni. Bahkan tanda-tanda kehidupan pun tidak dijumpai. Tidak begitu banyak rumah yang ada, hanya sekitar dua belas yang berdiri saling berdekatan satu sama lain.

“Hm..., apa nama tempat ini?” gumam Rangga bertanya pada dirinya sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti sudah mengelilingi tempat ini tiga kali, dan memeriksa setiap rumah. Tapi tetap tak dijumpai seorang pun. Bahkan tanda-tanda bekas kehidupan saja tidak dijumpai. Rumah-rumah ini seperti sengaja dibangun tidak untuk ditempati. Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati rumah yang berada paling tengah. Rumah yang paling besar dan kelihatan paling mewah.

Perlahan-lahan Rangga menghampiri rumah itu. Sepasang matanya yang tajam selalu beredar mengamati sekelilingnya. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu yang terbuka lebar. Dari luar sudah terlihat kalau rumah ini kosong tak berpenghuni. Tapi yang membuat Pendekar Rajawali Sakti itu bertanya-tanya, keadaan di sini begitu bersih seperti terawat rapi. Baru saja Rangga hendak melangkah memasuki rumah itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan dari arah belakang.

“Diam di tempatmu, Anak Muda!”

Rangga mengurungkan niatnya hendak memasuki rumah itu. Perlahan diputar tubuhnya berbalik. Tampak di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia lanjut, dan tubuhnya agak bungkuk. Bajunya bercorak indah dari bahan sutra halus yang cukup mahal harganya. Ikat kepalanya terbuat dari lempengan emas berhiaskan batu-batu permata. Laki-laki tua itu memegang sebatang tongkat hitam, yang dihiasi tiga buah cincin emas membelit tongkatnya. Rangga benar-benar terpukau, seakan-akan tengah berhadapan dengan seorang raja atau bangsawan kesasar di dalam hutan yang sunyi ini.

“Anak Muda, apa tujuanmu datang ke sini?” tanya laki-laki tua itu tajam.

“Maaf. Aku tidak sengaja berada di sini, karena sedang mencari adikku yang hilang,” sahut Rangga sopan seraya membungkuk sedikit memberi hormat.

“Hm.... Siapa namamu?”

“Rangga. Dan adikku yang hilang bernama Pandan Wangi.”

“Rangga...,” laki-laki tua itu bergumam pelan mengulangi nama Rangga.

Sedangkan Rangga sendiri hanya diam saja sambil terus mengawasi seksama. Benaknya masih dipenuhi berbagai macam tanda tanya tentang laki-laki tua ini. Kehadirannya sungguh mengejutkan dan tidak diketahui sama sekali. Sehingga bagai muncul dari dalam tanah saja.

“Kau memasuki daerah yang sangat terlarang, Anak Muda,” jelas laki-laki tua itu. Suaranya serak dan berat.

“Terlarang...? Aku tidak mengerti maksudmu, Ki,” tanya Rangga.

“Tempat ini terlarang bagi siapa saja, tanpa kecuali. Siapa saja yang melanggar harus mati. Itu sudah menjadi hukum tetap di sini, Anak Muda,” tegas kata-kata laki-laki tua itu.

“Eh, tunggu dulu! Aku tidak mengerti maksudmu. Malah aku tidak tahu siapa dirimu dan apa nama tempat ini,” sergah Rangga, terkejut juga mendengar kata-kata orang tua itu.

“Anak Muda, aku bernama Ki Ratapanca. Aku telah diberi wewenang untuk merawat dan menjaga tempat persinggahan ini. Sudah menjadi keputusan Gusti Prabu Sumabrata untuk menghukum mati siapa saja yang berani mengotori tempat ini! Jelas, Anak Muda...?” tegas Ki Ratapanca.

“Oh..., tapi aku tidak mengotori tempat ini. Aku hanya kebetulan lewat saja dan akan segera pergi kalau tidak menemukan adikku di sini,” sahut Rangga mulai bisa mengerti sedikit.

“Aku tidak mengenal adikmu! Dan dia tidak ada di sini. Sudah tiga purnama tempat ini tidak pernah disinggahi seorang pun.”

“Kalau begitu, aku akan segera pergi,” ujar Rangga seraya mengayunkan kakinya hendak meninggalkan tempat yang sangat aneh baginya ini.

“Tunggu dulu...!” bentak Ki Ratapanca.

Rangga menghentikan langkahnya.

“Kau tidak bisa pergi begitu saja, Anak Muda. Dan kau baru boleh pergi, kalau sudah berhasil mengalahkanku.”

“Hm.... Aku tidak kenal siapa dirimu, dan kau juga tidak kenal siapa diriku. Kenapa harus bertarung?” Rangga mengerutkan keningnya.

“Kenal atau tidak, suka atau tidak suka, kau harus bertarung denganku. Jika berhasil mengalahkan aku, kau boleh bebas pergi dari sini, Anak Muda!” tegas Ki Ratapanca.

“Aneh...?! Apakah ini juga perintah dari Gusti Prabumu?”

“Tentu!”

“Hm...,” Rangga bergumam seraya mengerutkan keningnya dalam-dalam.

Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak Ki Ratapanca sudah melompat sambil berteriak keras menerjangnya. Tongkat hitam dengan cincin emas tiga buah berkelebat bagaikan deburan ombak menghantam pantai.

Rangga terkejut, dan buru-buru melompat mundur menghindari serangan mendadak ini. Terkesiap juga hatinya, begitu merasakan angin kebutan tongkat yang demikian dahsyat itu. Tubuhnya sampai terhuyung bagai selembar daun kering terhempas angin. Namun cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menguasai keseimbangan tubuhnya sebelum Ki Ratapanca menyerang kembali.

“Tahan! Aku....”

Belum lagi Rangga selesai berkata, Ki Ratapanca sudah kembali menyerang dahsyat. Tongkat yang panjangnya sama dengan tubuhnya itu berkelebatan di sekitar tubuh Rangga. Pemuda berbaju rompi putih itu terpaksa berlompatan menghindari setiap serangan laki-laki tua itu.

Menyadari serangan-serangan yang datang begitu gencar dan sangat berbahaya, Rangga segera menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Gerakan-gerakan kaki dan tubuhnya memang seperti tidak beraturan dan bagai orang yang tidak pernah mengerti ilmu olah kanuragan. Tapi Ki Ratapanca sulit untuk mendesak. Setiap serangan yang dibangun, selalu kandas dan tidak pernah menemui sasaran tepat. Bahkan beberapa kali ujung tongkatnya hampir menusuk tubuh Rangga. Namun tinggal beberapa helai rambut lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu dapat menghindar dengan manis.

“Hup...!”

Tiba-tiba saja Ki Ratapanca melompat mundur menghentikan serangan-serangannya. Ditatapnya Rangga, seakan-akan tengah mengukur kemampuan pemuda itu. Sedangkan Rangga sendiri hanya berdiri tegak dan bersikap tenang.

“Apa hanya sampai di situ kemampuan yang kau miliki, Anak Muda?” tanya Ki Ratapanca, agak sinis suaranya.

“Persoalan yang kuhadapi sudah cukup banyak, Ki. Dan aku tidak ingin menambah persoalan baru lagi denganmu,” sahut Rangga tenang.

“Hm. Penolakanmu sungguh halus, tapi bukan berarti kau bisa pergi dari tempat ini begitu saja.”

Rangga hanya diam saja. Bisa dimengerti kalau laki-laki tua itu tetap akan menyerangnya. Memang disadari kalau dirinya tidak akan mungkin bisa melayani jika hanya menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’.

Sementara Ki Ratapanca sudah kembali bersiap hendak menyerang. Rangga masih berdiri tenang dan terus memperhatikan. Selama laki-laki tua itu masih menggunakan jurus-jurus olah kanuragan, Pendekar Rajawali Sakti akan melayaninya pula dengan jurus. Rangga tidak ingin membuat persoalan baru, dan sedapat mungkin bisa meninggalkan tempat ini tanpa membuat Ki Ratapanca merasa sakit hati.

TIGA

Rangga benar-benar tidak bisa mengelak lagi dan harus bertarung dengan Ki Ratapanca. Laki-laki tua itu kelihatannya bersungguh-sungguh hendak merobohkan Pendekar Rajawali Sakti. Setiap serangan yang dibangun sungguh berbahaya dan sangat mematikan. Sedikit kelengahan saja akan berakibat parah. Dan Rangga tidak bisa lagi bermain-main. Memasuki jurus ke dua puluh, Pendekar Rajawali Sakti itu mulai kelihatan hati-hati. Serangan baliknya selalu membuat Ki Ratapanca kelabakan menghindarinya.

Beberapa kali Ki Ratapanca harus jatuh bangun menghindari setiap serangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi laki-laki tua itu masih juga mampu menyerang, meskipun kini sudah tidak sering. Bahkan sekarang lebih banyak bertahan. Hingga pada jurus yang ketiga puluh, terlihat jelas kalau Ki Ratapanca terdesak hebat. Beberapa kali pukulan dan tendangan Rangga mendarat di tubuhnya, sehingga membuat laki-laki tua itu terguling dan terjerembab mencium tanah.

Buk!

Satu pukulan keras kembali bersarang di tubuh Ki Ratapanca. Laki-laki tua itu kontan mengeluh pendek. Dan belum lagi dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali satu tendangan keras bersarang di tubuhnya. Laki-laki tua itu terjerembab ke tanah dengan posisi menelentang. Rangga cepat memburu. Dan hampir saja kakinya menjejak dada orang tua itu, tapi Rangga cepat melompat mundur dan mengulurkan tangannya.

“Ughk! Terima kasih,” ucap Ki Ratapanca seraya menerima uluran tangan Rangga.

Laki-laki tua itu berdiri. Dipungut tongkatnya yang tadi sempat terlepas dari genggaman. Sambil membersihkan debu yang melekat di baju, dipandanginya Rangga. Pemuda berbaju rompi putih itu hanya memperhatikan saja, dan bibirnya terkatup rapat.

“Kau hebat, Anak Muda. Aku mengaku kalah,” ujar Ki Ratapanca disertai senyum terkulum di bibir.

Sinar mata laki-laki tua itu tidak lagi tajam, dan kini malah kelihatan cerah dengan wajah berseri-seri. Padahal wajahnya agak memar dan sedikit berdarah pada sudut bibirnya. Sikap Ki Ratapanca membuat Rangga jadi berpikir lain. Benaknya diliputi berbagai macam pertanyaan tentang diri laki-laki tua dan juga tempat yang aneh ini.

“Kau boleh pergi sekarang, Anak Muda,” kata Ki Ratapanca ramah.

Namun Rangga tetap diam tak bergeming.

“Tunggu apa lagi, Anak Muda? Kau sudah bebas, dan bisa meninggalkan tempat ini,” ujar Ki Ratapanca.

“Ki Ratapanca, di balik sikapmu, bisa kuduga kalau kau menyimpan sesuatu,” tebak Rangga pelan, namun terdengar mantap suaranya.

Ki Ratapanca hanya tersenyum saja, kemudian menghampiri Rangga dan menepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga diajaknya masuk ke dalam rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lainnya. Rangga tidak menolak, dan mengikuti saja. Mereka kemudian duduk bersila saling berhadapan di ruangan depan yang cukup luas. Hanya selembar permadani tipis sebagai alas lantai yang mereka duduki kini.

“Sudah lama aku menunggu seseorang yang berkepandaian tinggi sepertimu, Anak Muda,” jelas Ki Ratapanca setelah cukup lama berdiam diri.

Rangga hanya diam saja.

“Entah sudah berapa orang yang datang ke sini, tapi tak seorang pun yang bisa kembali lagi...,” lanjut Ki Ratapanca, agak pelan suaranya.

“Kau membunuh mereka, Ki?” tanya Rangga.

“Dalam suatu pertarungan, hanya ada dua pilihan, Anak Muda. Membunuh atau dibunuh.”

“Tentu yang kau bunuh orang-orang yang tidak bersalah. Mungkin saja mereka hanya sekadar lewat seperti aku ini, Ki. Atau mungkin hanya seorang perambah hutan yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan.”

“Tidak, Anak Muda...,” Ki Ratapanca menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak ada satu desa pun di sekitar Gunung Jaran ini. Tidak ada perambah hutan yang memasuki kawasan hutan di sini. Mereka yang datang memang sengaja menguji nasib, tapi ternyata hanya mengantarkan nyawa. Kemampuan mereka begitu rendah, tapi bermulut besar. Mereka tidak pernah mengukur diri sendiri, dan semua itu tidak pernah kusesali. Tapi....”

“Tapi kenapa, Ki?”

“Sejak pertama melihatmu, aku melihat ada sesuatu yang tidak pernah kutemukan selama tiga tahun ini. Kau begitu lain, tidak seperti mereka yang datang ke sini terlebih dahulu. Kau begitu sopan dan selalu merendah. Bahkan tidak bertarung sepenuh hati. Kenapa, Anak Muda? Apakah karena kau menganggapku seorang tua yang sudah tidak waras lagi?”

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. “Maaf, Ki. Tidak sedikit pun terbetik di hatiku kata-kata seperti itu. Aku hanya tidak ingin membuat persoalan denganmu. Lagi pula, tidak ada gunanya melenyapkan nyawa seseorang sebelum aku tahu pasti segala urusannya. Dan sebenarnya bukan nyawa manusia yang kulenyapkan, tapi iblis yang bercokol di hati mereka. Sama sekali setiap musuhku tidak pernah kubenci. Aku hanya ingin membebaskan mereka dari cengkeraman nafsu setannya,” tenang sekali Rangga menjelaskan.

Entah kenapa, tiba-tiba saja Ki Ratapanca tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Rangga. Sedangkan Rangga hanya diam saja. Sedikit pun dia tidak merasa tersinggung, bahkan hanya tersenyum saja.

“Aku benar-benar kagum padamu, Anak Muda. Belum pernah kutemui orang sepertimu. Memiliki prinsip hidup yang begitu cemerlang. Apakah itu keluar dari hati nuranimu...?” ujar Ki Ratapanca setelah reda tawanya.

“Mungkin iya, mungkin juga tidak,” sahut Rangga mantap.

“Bagus! Aku suka jawabanmu, Anak Muda. Jika kau jawab iya, itu berarti berdusta. Dan yang pasti aku akan menyerangmu kembali sampai salah satu di antara kita ada yang mati!”

“Hm, kenapa begitu?”

“Karena aku tidak suka kemunafikan. Aku lebih suka kepolosan dan sikap apa adanya. Itu sebabnya tempat ini kubangun dan kujaga dari gangguan manusia-manusia kotor berhati iblis yang bisanya hanya mengobral mulut besar, tapi tidak ada bukti sama sekali.”

“Hm.... Jadi, apa yang kau lakukan ini bukan karena perintah Prabu Sumabrata? Aku tahu kalau Gunung Jaran ini masih termasuk wilayah Kerajaan Kulon. Dan aku tahu nama rajanya bukan Prabu Sumabrata. Lalu, siapa yang kau maksudkan, Ki?” Rangga mulai bisa memahami hampir seluruhnya.

“Ha ha ha...!” lagi-lagi Ki Ratapanca menjawab dengan suara tawanya yang lepas menggelegar.

Meskipun pertanyaannya belum terjawab, tapi Rangga tidak merasa kecewa. Ditunggunya tawa Ki Ratapanca sampai habis. Laki-laki tua itu menepuk-nepuk pundak Rangga sambil tersenyum lebar. Sepasang bola matanya semakin berkilat bercahaya. Sedangkan Rangga hanya diam saja menunggu sabar jawabannya.

“Ternyata bukan hanya kepandaian tinggi saja yang kau miliki, Anak Muda. Kau begitu cerdik dan cepat tanggap,” tegas Ki Ratapanca memuji.

“Terima kasih. Tapi, kau belum menjawab pertanyaanku, Ki,” ucap Rangga.

“Ha ha ha...!” lagi-lagi Ki Ratapanca tertawa terbahak-bahak.

********************

Pagi-pagi sekali Rangga sudah mempersiapkan kudanya. Dia melompat naik ke punggung kuda hitam yang sudah berpelana. Tangan kirinya memegangi tali kekang kuda putih milik Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling saat mendengar suara pintu terkuak. Tampak Ki Ratapanca keluar dari rumah besar yang dikelilingi sebelas rumah yang berbentuk sama persis.

“Jadi juga kau pergi hari ini, Rangga?” tanya Ki Ratapanca setelah dekat di samping Rangga.

“Tentu, Ki,” sahut Rangga mantap.

“Ke mana tujuanmu?”

“Entahlah. Tapi aku yakin kalau Pandan Wangi belum meninggalkan Gunung Jaran ini, apalagi dalam keadaan terluka,” sahut Rangga.

“Kalau bisa kubantu, pasti aku akan membantumu, Rangga,” ucap Ki Ratapanca.

“Terima kasih, Ki,” ucap Rangga seraya tersenyum.

“Seharusnya akulah yang berterima kasih, karena kau masih memberi kesempatan padaku menikmati udara segar hari ini,” balas Ki Ratapanca.

“Tapi sayang, Ki. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu untuk tetap tinggal di sini dan membantu keinginanmu,” ujar Rangga pelan.

“Tidak mengapa, Rangga. Aku mengerti, keselamatan adikmu lebih penting daripada rencana gilaku ini.”

“Mumpung masih pagi, Ki. Aku pergi dulu,” pamit Rangga.

“Berangkatlah. Jangan lupa kalau sudah ketemu, bawa adikmu ke sini. Aku akan senang bila kau tinggal di sini beberapa hari.”

Rangga hanya tersenyum saja. Mengangguk pun tidak. Pemuda itu memang tidak pernah melakukan janji apa pun yang dirinya sendiri belum tahu kepastiannya. Pendekar Rajawali Sakti itu menggebah kudanya perlahan. Dewa Bayu bergerak pelan berjalan meninggalkan Ki Ratapanca yang memandanginya. Sedangkan kuda putih mengikuti dari belakang.

Ki Ratapanca masih berdiri memandangi kepergian Rangga sampai pemuda berbaju rompi putih itu lenyap dari pandangan mata. Bibirnya tersenyum, dan senyum itu semakin lebar. Lalu terdengar tawa menggelegar terbahak-bahak. Tiba-tiba saja orang tua itu melesat dan lenyap seketika, bagaikan hilang begitu saja.

Sementara Rangga sudah jauh meninggalkan rumah-rumah yang kosong tanpa penghuni itu. Dia tidak tahu, arah mana yang hendak dituju. Tidak ada lagi petunjuk atau jejak yang ditinggalkan Pandan Wangi. Hutan Gunung Jaran begitu luas, dan tidak mungkin dikelilingi dalam waktu singkat. Meskipun dibantu burung rajawali raksasa, rasanya tidak akan cukup mencari satu harian. Itu juga belum tentu bisa berhasil.

“Hhh...,” desah Rangga pelahan.

Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan langkah kudanya setelah tiba di tepi sungai. Di tempat ini jejak Pandan Wangi lenyap. Pemuda berbaju rompi putih itu turun dari punggung kudanya, lalu mendekati tepian sungai.

“Rasanya tidak mungkin kalau Pandan Wangi hanyut. Sungai ini sangat dangkal, dan arusnya juga tidak deras,” gumam Rangga berbicara pada dirinya sendiri.

Selagi Rangga merenung berpikir, mendadak saja telinganya mendengar desiran angin kencang dari belakang. Cepat sekali dimiringkan tubuhnya, dan digerakkan tangannya cepat.

Tap!

Rangga membeliak begitu melihat di antara kedua jarinya terselip mata sumpit berwarna biru dengan bulu-bulu halus menghiasi pangkalnya. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya. Pada saat itu, dari balik semak dan pepohonan bermunculan makhluk-makhluk yang sangat ganjil.

Ada sekitar delapan jumlahnya. Makhluk itu berwujud manusia, tapi sikap dan tingkahnya seperti kera. Seluruh tubuhnya berwarna biru, bahkan rambutnya pun berwarna biru. Mereka semua membawa sumpit berwarna kuning keemasan. Hanya selembar cawat kulit kayu yang menutupi auratnya. Mereka berjingkrakan membuat lingkaran mengepung Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm.... Apakah mereka yang membawa Pandan Wangi dari sini?” gumam Rangga bertanya pada dirinya sendiri.

Rangga memandangi makhluk-makhluk aneh yang mengelilinginya. Baik tingkah maupun suara mereka begitu mirip kera. Tapi tubuh dan wajahnya berwujud manusia biasa. Hanya saja seluruh tubuhnya berwarna biru.

“Khuk khuk khraaaghkkk...!”

Salah satu dari makhluk seperti kera itu memperdengarkan suara keras. Dan tiba-tiba saja makhluk yang berjumlah delapan itu berlompatan menerkam Rangga. Tentu saja serangan yang secara bersamaan ini tidak bisa dihindari dengan cara biasa. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melentingkan tubuhnya ke atas, dan hinggap di atas dahan pohon.

Belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa bernapas lega, manusia-manusia kera itu sudah berlompatan menyerang kembali. Tubuh mereka begitu ringan bagai kapas. Dan justru mereka semakin tangkas berada di atas pohon. Rangga jadi kewalahan menghadapinya. Hingga...

Bughk!

Satu pukulan keras mendarat di punggung Pendekar Rajawali Sakti itu. Tak pelak lagi, Rangga jatuh dari atas pohon yang cukup tinggi. Pendekar Rajawali Sakti kemudian bergulingan di tanah, dan cepat bangkit berdiri. Pada saat itu beberapa mata sumpit bertebaran di sekitar tubuhnya.

“Hiyaaa...!”

Tak ada kesempatan lagi bagi Rangga untuk mengatur jalan napasnya. Dia harus jumpalitan menghindari benda-benda biru yang bertaburan mengancam tubuhnya. Namun begitu benda-benda biru itu habis, Rangga kembali harus menghadapi delapan manusia setengah kera yang langsung menyerang setelah lebih dahulu meluruk turun dari pohon.

Rangga benar-benar tidak mempunyai kesempatan untuk mengambil napas, dan tentu saja tidak mau mati konyol di tempat ini. Segera saja Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan jurus ‘Seribu Rajawali’, salah satu dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’ yang sangat ampuh.

Begitu cepatnya Rangga bergerak, sehingga seolah-olah bisa membuat dirinya menjadi seribu orang! Hal ini membuat manusia-manusia setengah kera itu jadi kelabakan. Serangan-serangan mereka berantakan dan tidak beraturan lagi. Tubuh Rangga seperti ada di mana-mana, dan justru seperti mengepung mereka dari segala arah.

Beberapa kali Rangga berhasil mendaratkan pukulan maupun tendangan keras bertenaga dalam sangat tinggi. Tapi manusia-manusia berwarna biru itu seperti kebal dan tidak merasakan sakit sedikit pun. Bahkan tak ada pengaruh sama sekali, meskipun Rangga mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan dalam pukulan dan tendangannya.

“Gila! Tubuh mereka seperti karet!” dengus Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu memang merasa seperti memukul segumpal karet. Setiap pukulan dan tendangannya selalu berbalik. Kalau saja tenaga dalamnya belum sempurna, tentu akan memakan dirinya sendiri. Rangga jadi berpikir keras sambil terus mempergunakan jurus ‘Seribu Rajawali’. Memang hanya dengan jurus ini serangan-serangan yang dilancarkan manusia-manusia aneh itu mampu diimbanginya.

“Hm..., coba akan kugabung dengan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’,” gumam Rangga dalam hati.

Saat itu juga Rangga mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Tepat pada saat itu salah seorang lawan berada dalam jangkauan pukulannya. Secepat kilat Rangga melontarkan satu pukulan keras begitu tangannya mulai memerah bagai terbakar.

“Hiyaaa...!”
“Aaarghk...!”

Satu raungan keras terdengar bersamaan terdengarnya bunyi berderak dari tulang-tulang yang patah. Pukulan Rangga tepat menghantam dada salah seorang lawannya. Sungguh di luar dugaan sama sekali ternyata manusia setengah kera itu kini menggelepar di tanah dengan dada melesak ke dalam. Sementara dari mulutnya mengeluarkan darah segar.

Robohnya satu orang membuat yang lainnya terkejut. Mereka segera berlompatan menjauh. Tapi Rangga sudah melepaskan dua pukulan beruntun sekaligus, dan langsung mengenai dua orang manusia setengah kera yang terlambat menghindar. Kembali terdengar raungan keras. Dua manusia setengah kera kembali menggelepar. Salah seorang kepalanya pecah, dan seorang lagi perutnya jebol berantakan. Mereka langsung tewas seketika.

“Khraghk...!”

Begitu terdengar seruan keras yang serak, lima orang lainnya berlompatan kabur masuk ke dalam hutan. Rangga tak sempat lagi mengejar. Apalagi gerakan mereka begitu cepat, sehingga sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Tinggal tiga makhluk biru yang tergeletak tak bernyawa lagi di tanah.

“Hm..., aku yakin, ada orang lain di belakang mereka,” gumam Rangga pelan.

Belum lagi hilang suara gumaman Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja terdengar suara tawa terbahak-bahak. Rangga menggerinjang melompat tiga langkah ke depan. Suara tawa itu menggema, seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin. Jelas kalau suara tawa itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Rangga merasakan telinganya mulai sakit. Buru-buru dikerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk mengimbangi suara tawa itu.

********************

Rangga menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Ditarik napasnya dalam-dalam, dan dihimpun seluruh tenaga dalamnya di dada. Kemudian perlahan-lahan tangannya merentang ke samping, lalu...

“Yeaaah...!”

Dengan satu teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah terhimpun di dalam dada. Bumi bergetar, dan batu-batu berlompatan. Pohon-pohon berguncang menggugurkan daun-daunnya. Sungguh dahsyat suara teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu. Seluruh alam bagaikan murka. Dan suara tawa itu seketika berhenti, berganti jeritan panjang melengking.

“Hup! Hup! Hiyaaa...!”

Rangga menghentakkan tangannya ke depan sambil memutar tubuhnya ke kanan. Maka dari kedua telapak tangannya meluncur sinar merah yang langsung menghantam semak belukar. Ledakan keras terdengar begitu sinar merah menghantam semak belukar itu. Pada saat yang sama, tiba-tiba melesat sebuah bayangan biru dari dalam semak yang hancur berantakan. Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang laki-laki berbaju biru tua. Tangannya menggenggam tongkat berbentuk kepala tengkorak manusia pada ujungnya.

“Hhh! Kau lagi, Orang Tua!” dengus Rangga.

“Hebat! Ternyata kau memiliki kepandaian tinggi juga, bocah...!” terdengar dingin nada suara laki-laki tua itu.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam tidak jelas. Pandangan matanya begitu tajam menusuk langsung bola mata laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak di depannya.

“Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi, bocah!?” bentak laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu.

“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Orang Tua!” sambut Rangga dingin.

“Heh...! Aku tidak ada waktu bermain-main, bocah setan!” bentaknya gusar.

“Kau pikir aku juga ada waktu bermain-main denganmu?! Kenal pun aku tidak sudi...!” dengus Rangga tidak kalah ketusnya.

“Kadal! Mulutmu begitu lancang, bocah! Kau akan berlutut memohon ampun jika tahu siapa diriku!”

“Aku tidak peduli meskipun kau utusan iblis dari neraka sekalipun!”

“Setan...! Dengar, bocah! Kau sekarang ini berhadapan dengan pengawal Dewa Iblis, penguasa seluruh daerah Kulon!” lantang suara laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak yang menyebut dirinya sebagai pengawal penguasa daerah Kulon.

“Baru pengawal, sudah sok! Bahkan junjunganmu sendiri, aku tidak akan tunduk!” dengus Rangga dingin penuh ejekan.

“Beledek bongkrek! Kau menghina Dewa Iblis...!” geram laki-laki tua itu marah. “Kau harus mampus di tangan Borga si Tongkat Samber Nyawa!”

“Rasanya kau yang lebih dahulu akan terbang ke neraka, Orang Tua,” begitu dingin sambutan Rangga.

“Keparat...! Hiyaaa...!”

Rupanya laki-laki tua yang menyebut dirinya Borga atau si Tongkat Samber Nyawa itu sudah tidak bisa lagi membendung amarahnya. Seluruh wajahnya sudah memerah bagai besi terbakar di dalam tungku. Dia langsung saja melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti disertai teriakan keras menggelegar.

“Uts!” Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya ketika ujung tongkat si Tongkat Samber Nyawa meluruk ke arah dada. Secepat itu pula dikibaskan tangannya, menyampok tongkat yang lewat di depan dada. Tapi Borga lebih cepat lagi menarik pulang tongkatnya sambil melayangkan satu tendangan menyimpang dengan tubuh setengah berputar.

“Hait!”
“Hiya...!”

Cepat Rangga menarik mundur kakinya ke belakang sejauh dua tindak. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu berbuat sesuatu, Borga sudah menyerang dahsyat kembali. Tongkat berkepala tengkorak itu bagai memiliki mata saja. Meliuk-liuk berkelebatan mengincar setiap bagian tubuh Rangga yang mematikan. Ke mana pun Rangga berkelit, ujung tongkat yang runcing selalu cepat memburunya.

Trak! Trak...!

Beberapa kali tangan Rangga berhasil menyampok tongkat itu. Tapi setiap kali tangannya berbenturan, dirasakan adanya sengatan yang membuat aliran darahnya seolah-olah membeku. Bahkan jantungnya bergetar keras bagai hendak pecah. Rangga langsung menyadari kalau tongkat itu sangat berbahaya dan memiliki suatu kekuatan dahsyat. Menyadari akan hal itu, buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang begitu si Tongkat Samber Nyawa baru selesai memberikan serangan ke arah kaki.

“Kau tidak akan bisa lari, bocah! Dan kali ini harus mampus di tanganku!” dengus Borga menggerung.

“Tidak ada gunanya lari!” sahut Rangga dingin. “Kita tentukan, siapa yang mati lebih dulu hari ini, Borga!”

Setelah berkata demikian, Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari dalam warangkanya di punggung.

Sret! Cring...!

Seketika itu juga cahaya biru berkilau menyemburat keluar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu. Mata Borga langsung terbeliak lebar begitu melihat pamor pedang lawannya. Tubuhnya menggerinjang melangkah mundur tiga tindak. Kedua matanya tidak berkedip memandangi pedang yang melintang di depan Rangga.

“Kau gentar melihat senjataku ini, Borga...?” ejek Rangga memanasi.

Borga tidak menyahuti, tapi kembali menggeser kakinya ke belakang beberapa langkah. Mata dan mulutnya ternganga lebar, seakan-akan terpana menyaksikan pedang bercahaya biru di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

“Bocah! Siapa kau sebenarnya...?” sentak Borga tiba-tiba.

“Namaku Rangga! Tapi, orang-orang selalu memanggilku Pendekar Rajawali Sakti. Puas...?” sahut Rangga lantang.

“Hah...?!”

Borga kelihatan begitu terkejut mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut. Dia kembali melompat ke belakang beberapa langkah. Entah kenapa, tubuhnya seketika itu juga jadi gemetar bagai kedinginan. Padahal siang ini udara begitu panas, dan matahari bersinar amat terik.

“Kau.... Kau tunggulah di sini, bocah!” kata Borga.

Tanpa menunggu jawaban, laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu langsung melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata. Rangga memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Sama sekali hatinya tidak berminat mengejar laki-laki tua itu. Langsung dihempaskan tubuhnya ke atas rerumputan dan disandarkan punggungnya pada sebongkah batu yang cukup besar. Terdengar hembusan napas panjang dan cukup berat dirasakan.

“Hhh.... Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku...?” keluh Rangga lirih. “Ke mana perginya Pandan Wangi...? Hhh.... Terlalu banyak keanehan yang kujumpai di Gunung Jaran ini.”

Memang semua yang terjadi di Gunung Jaran ini belum bisa dimengerti Pendekar Rajawali Sakti. Terlalu banyak peristiwa yang dialami secara beruntun. Dan kesemuanya itu sukar dipahami. Terlebih lagi Rangga tidak bisa menghubungkan antara peristiwa yang satu dengan lainnya. Hanya saja, pusat pikirannya kini tertuju penuh pada hilangnya Pandan Wangi.

“Hhh..., Dewa Iblis. Siapa pula dia...?” gumam Rangga bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

********************

EMPAT

Seperti malam-malam sebelumnya, di sekitar Gunung Jaran suasananya begitu kelam. Langit tertutup awan hitam, sehingga menghalangi sinar bulan menerangi sekitar gunung itu. Angin bertiup kencang menyebarkan udara dingin membekukan tulang. Suasana di sekitar Gunung Jaran begitu sunyi, tak terdengar sedikit pun suara binatang malam. Hanya desiran angin dan gemerisik dedaunan yang terdengar.

Namun kesunyian itu mendadak dipecahkan oleh suara genderang ditabuh bertalu-talu. Suara-suara itu membangunkan Rangga dari tidurnya di tepi sungai kecil yang berair jernih dan mengalir pelan, Pendekar Rajawali Sakti menggerinjang bangun. Dimiring-kan sedikit kepalanya, mencari arah sumber suara genderang itu. Seketika pandangannya tertuju ke satu arah, tempat terlihatnya cahaya terang menyembul dari puncak pepohonan yang merapat hitam.

“Hm.... Suara itu dari...,” gumam Rangga terputus.

Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas menghampiri kudanya, tapi tidak jadi naik. Ditepuk-tepuknya leher kuda itu beberapa kali.

“Kau tunggu di sini, jaga si Putih,” kata Rangga.

Kuda hitam itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti mengerti ucapan Rangga. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu berlari cepat menuju cahaya terang yang terlihat jelas dari tempat ini. Begitu ringan dan cepat gerakannya, bagaikan terbang tak menyentuh bumi. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di perkampungan yang pernah dimasukinya. Perkampungan sunyi tanpa seorang penduduk pun menempatinya.

Rangga berhenti berlari, dan agak tertegun begitu melihat sebuah api unggun besar menyala di tengah halaman rumah yang paling besar di antara rumah-rumah yang ada di situ. Terlihat jelas, di sekitar api unggun itu berkeliling makhluk-makhluk berwarna biru yang bertingkah seperti kera. Mereka berjingkrakan mengikuti irama tabuhan genderang, bersorak-sorak sambil mengelilingi api unggun yang menyala besar membuat sekitarnya jadi terang.

Rangga bergerak mengendap-endap mendekati tempat itu. Sejak semula dia memang sudah curiga pada Ki Ratapanca yang bersikap aneh dan penuh tanda tanya. Semakin dekat ke perkampungan aneh itu, semakin jelas terlihat suasananya. Pendekar Rajawali Sakti itu terkesiap saat menatap ke beranda depan rumah besar itu. Tampak di sana terdapat dua buah kursi berukir indah yang diduduki sepasang manusia. Di samping kanan dan kirinya berdiri dua orang laki-laki tua yang sudah dikenal Rangga. Mereka adalah Ki Ratapanca dan si Tongkat Samber Nyawa.

Namun bukan kedua orang tua itu yang menjadi perhatian Rangga. Mata Pendekar Rajawali Sakti itu sampai tidak berkedip menatap wanita muda berbaju biru dengan sebentuk mahkota bertengger di kepalanya. Wajah yang cantik semakin terlihat cantik bagai dewi kahyangan. Wanita itu duduk di kursi berdampingan bersama seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju indah dan bermahkota.

“Pandan Wangi.... Apa yang dilakukannya di sini...?” desis Rangga bergumam.

Memang wanita itu adalah Pandan Wangi. Wajahnya nampak cerah, namun sorot matanya begitu redup tak bercahaya. Tak ada senyum sedikit pun tersungging di bibirnya yang merah menyala. Sedangkan pemuda di sampingnya terlihat senyum-senyum, dan sepasang bola matanya berbinar seperti bertaburkan bintang.

Baru saja Rangga hendak bergerak lebih mendekat, seketika dibatalkan niatnya. Dari dalam rumah yang berdiri mengelilingi rumah besar itu, bermunculan gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan cawat dari kulit kayu. Sebagian besar tubuh mereka dibiarkan terbuka lebar. Mereka berjalan beriringan membawa baki yang penuh makanan dan minuman serta buah-buahan. Sebentar saja di sekitar halaman rumah itu bagai sedang diadakan pesta.

Saat itu, di tempat persembunyiannya, Rangga terus mengawasi tanpa berkedip. Dia semakin ingin tahu kelanjutannya. Rasa penasarannya be-gitu dalam dan tertumpah penuh pada Pandan Wangi yang duduk berdampingan bersama seorang pemuda tampan bermahkota di kepalanya. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu agak menyipit saat melihat seorang laki-laki berjubah bagai pendeta tengah meniti anak-anak tangga beranda depan. Di belakangnya gadis-gadis yang berjumlah dua belas orang mengiringi.

Suara genderang berhenti ketika laki-laki tua berjubah bagai pendeta itu tiba di depan dua insan yang duduk berdampingan. Makhluk-makhluk berwarna biru juga berhenti berjingkrakan. Semua perhatian tertumpah ke beranda depan rumah besar itu. Rangga tidak berkedip, dan terus memperhatikan dari tempat persembunyiannya.

“Paman Pendeta Gorayana, apakah kau sudah siap melaksanakan upacara perkawinan ini?” tanya pemuda tampan yang duduk di samping Pandan Wangi.

“Semua sudah siap, Gusti Prabu Sumabrata,” sahut laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul yang dipanggil Pendeta Gorayana itu.

“Bagus! Laksanakanlah segera,” sambut Prabu Sumabrata seraya tersenyum cerah.

“Tapi, Gusti Prabu....”

“Apa lagi, Paman Pendeta?”

“Apakah mempelai wanita benar-benar sudah sehat? Sebab hamba tidak berani meresmikan perkawinan ini jika mempelai wanita masih dalam keadaan terluka.”

“Luka yang diderita calon istriku benar-benar sudah sembuh, Paman Pendeta. Tidak ada lagi yang perlu dirisaukan. Kau bisa bertanya pada Paman Ratapanca.”

“Benar, Kakang Gorayana. Pandan Wangi sudah sehat dan pulih seperti sediakala,” jelas Ki Ratapanca yang berdiri di samping Prabu Sumabrata.

“Kalau begitu, upacara bisa dilaksanakan, Gusti Prabu,” ujar Pendeta Gorayana.

“Laksanakanlah. Sudah terlalu lama aku menunggu peristiwa ini, Paman Pendeta. Aku tidak sudi lagi gagal berantakan seperti dulu.”

“Baiklah, Gusti Prabu.”

********************

Rangga benar-benar terkejut bukan main mendengar semua percakapan itu. Sudah dapat ditebak, siapa calon pengantin yang dimaksudkan. Keheranan semakin menyelimuti diri Pendekar Rajawali Sakti itu saat mendengar kesediaan Pandan Wangi menikah dengan Prabu Sumabrata. Ternyata gadis itu mengangguk mengiyakan saat ditanya Pendeta Gorayana.

“Gila! Ini tidak boleh dibiarkan!” geram Rangga dalam hati.

Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dada Pendekar Rajawali Sakti. Marah, geram, dan kecemburuan berkecamuk menjadi satu. Merah padam seluruh wajah Rangga. Jantungnya berdegup kencang dan napasnya mendengus memburu.

“Hentikan...!” seru Rangga tiba-tiba sambil melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Semua yang ada di tempat itu terkejut melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu tiba-tiba. Rangga langsung berdiri tegak di depan tangga beranda depan. Sama sekali tidak dipedulikan makhluk-makhluk berwarna biru yang sudah bergerak mengepungnya.

“Heh! Siapa kau, manusia tidak tahu adat?!” bentak Prabu Sumabrata.

“Aku Rangga. Aku tidak mengizinkan kau mengawini Pandan Wangi!” sahut Rangga dingin.

Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti itu sangat tajam dan terasa dingin menusuk. Sedangkan Pandan Wangi hanya diam duduk seperti patung. Seakan-akan tidak mempedulikan kehadiran Rangga di tempat ini.

“Gusti Prabu, ijinkan hamba memberi pelajaran kepada bocah kurang ajar ini,” ujar si Tongkat Samber Nyawa seraya membungkuk memberi hormat.

“Tunggu dulu, Paman. Aku ingin tahu, apa maksud kedatangannya ke sini,” cegah Prabu Sumabrata.

“Gusti, bocah ini bisa menjadi sumber bencana bagi kita semua. Hamba sudah pernah bertarung dengannya. Kepandaiannya sangat tinggi,” sergah Borga.

“Benar, Gusti Prabu,” sergah Ki Ratapanca.

“Hm..., jadi kalian pernah ber-hadapan dengannya?”

“Benar, Gusti Prabu,” sahut Ki Ratapanca dan Borga berbarengan seraya membungkuk memberi hormat.

“Kenapa kalian tidak mengatakannya padaku?” tanya Prabu Sumabrata menyesalkan.

“Ampun, Gusti Prabu. Hamba berdua tidak ingin merusak hari perkawinan ini. Hamba berusaha mengusirnya keluar dari daerah ini. Segala daya sudah hamba lakukan, tapi...,” kata-kata Borga terputus.

“Tapi kenapa, Paman?” desak Prabu Sumabrata.

“Bocah ini tangguh sekali,” jelas Borga tanpa malu-malu lagi mengakui.

“Gusti, bocah itu datang bersama Pandan Wangi. Dan Pandan Wangi diakuinya sebagai adiknya,” celetuk Ki Ratapanca.

“Oh..., begitu...?” Prabu Sumabrata tersenyum sinis. “Sejak kapan Pandan Wangi mempunyai seorang kakak? Atau dia kekasihnya?”

“Hamba pikir memang demikian, Gusti,” sahut Ki Ratapanca.

“Kalau begitu, singkirkan dia!” perintah Prabu Sumabrata tegas.

“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Borga dan Ki Ratapanca bersamaan.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua laki-laki tua itu berlompatan menerjang Rangga. Tentu saja Rangga yang sudah siap sejak tadi segera melompat ke belakang, dan langsung membalas serangan orang tua itu dengan sengitnya.

Tapi baru beberapa gebrakan saja, Borga dan Ki Ratapanca melompat mundur menghentikan serangan. Mereka berteriak memerintahkan makhluk-makhluk berwarna biru untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Makhluk-makhluk berwarna biru dengan tingkah seperti kera itu langsung berlompatan merangsek. Jumlah mereka tinggal lima orang. Tapi begitu mereka menyerang, mendadak saja dari dalam tanah bersembulan makhluk serupa yang langsung mengeroyok pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Borga dan Ki Ratapanca menyingkir mendekati tangga beranda rumah.

Semakin lama jumlah makhluk berwarna biru itu semakin banyak saja. Mereka bersembulan dari dalam tanah. Rangga benar-benar kewalahan menghadapinya. Ruang geraknya semakin sempit. Beberapa kali pukulan dan tendangannya berhasil mengenai sasaran, tapi makhluk-makhluk biru itu seperti tidak merasa sama sekali. Terus merangsek, tanpa mengenai gentar sedikit pun.

“Huh! Sekarang harus kugunakan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’,” dengus Rangga yang teringat pada pertarungannya melawan makhluk-makhluk ini di tepi sungai kecil.

Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti ini menggunakan jurus yang dahsyat itu. Kedua kepalan tangannya jadi merah membara bagai terbakar. Tidak ada satu pukulan pun yang luput dari sasaran. Jeritan melengking mulai terdengar, disusul ambruknya tubuh-tubuh berwarna biru. Darah mulai bersimbah membasahi tanah yang telah basah oleh embun. Namun makhluk-makhluk biru itu benar-benar tidak mengenal rasa takut. Mereka terus merangsek meskipun sudah banyak yang bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa lagi.

“Kalau begini terus, mereka bisa habis, Kakang Borga,” kata Ki Ratapanca.

“Kau tidak perlu cemas, Adi Ratapanca. Mereka tidak akan habis. Kau lihat saja,” sahut Borga atau si Tongkat Samber Nyawa tenang.

Memang benar apa yang dikatakan Borga. Makhluk-makhluk biru itu terus bermunculan dari dalam tanah. Seakan-akan kehidupan mereka berasal dari setitik debu. Dan hal ini tentu saja membuat Rangga semakin kewalahan menghadapinya. Keringat sudah ber-cucuran membasahi sekujur tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Sudah tidak terhitung lagi, berapa yang tewas. Tapi lebih banyak lagi yang bermunculan dari dalam tanah. Rangga jadi tidak habis mengerti. Mereka ini bagai mayat hidup yang tidak takut mati dan tidak punya perasaan sama sekali.

Tak ada pilihan lain bagi Rangga, kecuali segera mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung. Seketika itu juga cahaya terang berkilau menyemburat dari pedang itu. Dengan senjata andalan tergenggam di tangan, Rangga bagai malaikat maut yang mengamuk dan membantai makhluk-makhluk biru itu. Tapi mendadak saja keanehan terjadi. Makhluk-makhluk biru itu berlompatan mundur sambil menutupi mata dengan kedua tangannya.

“Gusti, sebaiknya pernikahan ini ditunda saja,” usul Pendeta Gorayana yang berdiri di samping Prabu Sumabrata.

“Benar, Gusti Prabu. Sebaiknya Gusti kembali saja ke istana dulu,” celetuk Borga.

Sebentar pemuda yang dipanggil Prabu Sumabrata itu terdiam sambil memandangi Rangga yang masih mengamuk dengan pedang bersinar biru berkilau di tangan. Kemudian digamitnya lengan Pandan Wangi, lalu melangkah masuk ke dalam diikuti Pendeta Gorayana dan Ki Ratapanca. Sedangkan si Tongkat Samber Nyawa tetap tinggal di tempat itu. Gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan cawat dan selembar kain penutup dada juga bergegas masuk ke dalam rumah-rumah lainnya.

********************

“Wuih...! Makhluk apa ini..,?” gumam Rangga keheranan melihat makhluk-makhluk berwarna biru itu tiba-tiba saja melesak masuk ke dalam tanah.

Semua makhluk aneh berwarna biru itu menghilang, terpendam ke dalam tanah. Hanya si Tongkat Samber Nyawa yang masih tinggal. Laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu menghentakkan ujung tongkatnya ke tanah tiga kali. Maka tiba-tiba saja dari dalam tanah bersembulan tiga pasang tangan yang langsung mencekal pergelangan kaki Pendekar Rajawali Sakti.

“Heh...?!” Rangga tersentak kaget.

Tapi belum juga hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan kakinya ditarik ke dalam tanah. Seketika kedua kakinya melesak sampai ke lutut. Rangga segera mengerahkan tenaga dalamnya, mencoba menarik kembali kakinya keluar dari dalam tanah. Tapi hasilnya bukannya keluar, melainkan malah semakin melesak dalam.

Sudah hampir sepinggang tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesak ke dalam tanah. Pemuda itu merasakan kedua kakinya dicengkeram kuat, dan terus ditarik ke dalam tanah. Sekuat tenaga berusaha ditahan agar tubuhnya tidak terus melesak masuk ke dalam tanah. Tapi tarikan itu demikian kuat, dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti semakin jauh masuk ke dalam.

“Ha ha ha...!” Borga tertawa terbahak-bahak melihat Pendekar Rajawali Sakti terus amblas ke dalam tanah.

Rangga mengangkat pedangnya tinggi-tinggi di atas kepala dengan ujung berada di bawah. Digenggamnya gagang pedang dengan kedua tangan erat-erat. Kemudian...

“Hiyaaa...!”

Wuk!

Crab!

Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti itu menghunjamkan pedangnya dalam-dalam ke tanah, tepat di depan perutnya. Tepat saat terdengar raungan panjang, Rangga segera mengempos tenaganya melenting ke udara.

Tawa si Tongkat Samber Nyawa seketika itu juga lenyap. Dua kali Rangga berjumpalitan di udara, kemudian manis sekali kakinya menjejak tanah tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Borga. Secepat kilat Rangga mengibaskan pedangnya ke leher laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu.

Bet!
“Uts...!”

Buru-buru Borga mengibaskan tongkatnya menyampok pedang itu sambil melompat mundur dua tindak.

Trak!
“Heh...!”

Betapa terkejutnya si Tongkat Samber Nyawa melihat tongkatnya terpotong menjadi dua bagian. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, Rangga sudah melayangkan satu tendangan menggeledek bertenaga dalam sangat sempurna ke arah Borga.

Des!

“Akh...!” Borga memekik keras.

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada si Tongkat Samber Nyawa. Akibatnya, tubuh laki-laki tua itu terpental jauh ke belakang dan menghantam pilar beranda depan rumah besar itu hingga roboh. Atap beranda langsung ambruk menimpa tubuh Borga.

Rangga melompat mundur ke belakang beberapa langkah. Bumi laksana bergetar ketika atap beranda rumah itu ambruk. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak. Di samping kakinya menggeletak tongkat berkepala tengkorak manusia. Rangga hendak memungut tongkat itu, tapi mendadak saja...

“Jauhkan tongkat itu dari tanganmu, Pendekar Rajawali Sakti...!” terdengar bentakan keras mengejutkan.

Rangga yang sudah membungkuk hendak mengambil tongkat berkepala tengkorak itu jadi mengurungkan niatnya, dan pelahan berdiri tegak kembali. Pandangannya langsung tertuju pada Borga yang sudah berada di atas reruntuhan atap beranda rumah besar itu. Tampak mulutnya dipenuhi darah, dadanya kelihatan melesak ke dalam. Borga berdiri gontai di atas kedua kakinya yang bergetar.

“Kau tidak boleh menjamah tongkat itu, bocah!” dengus Borga seraya melangkah gontai menghampiri.

“Kenapa? Tongkat ini tidak ada artinya lagi bagimu. Aku akan menggunakannya untuk memanggang tubuhmu!” dingin nada suara Rangga.

“Kau bisa saja membunuhku, Anak Muda. Tapi jangan harap dapat menyentuh tongkat itu!” kata Borga tidak kalah dinginnya.

“Kenapa tidak...?”

Rangga kembali membungkuk hendak memungut tongkat di dekat kakinya. Tapi belum juga tangannya menyentuh tongkat itu, Borga sudah melompat sambil berteriak keras. Langsung dilontarkan dua pukulan sekaligus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts...!”

Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya ke samping menghindari pukulan laki-laki tua itu. Namun selagi tubuhnya doyong, si Tongkat Samber Nyawa mengibaskan kakinya mengarah perut. Terpaksa Rangga melentingkan tubuhnya berputar, maka tendangan Borga luput dari sasaran. Secepat itu pula Borga menyambar tongkat yang tergeletak di tanah dengan ujung kakinya. Tongkat itu melayang ke udara.

“Hup! Hiyaaa...!”

Bagai kilat, Borga melesat ke udara mengejar tongkat berkepala tengkorak itu. Pada saat yang sama, Rangga juga melentingkan tubuhnya ke udara mengejar tongkat yang sama. Dua tokoh tingkat tinggi melesat cepat mengejar sebuah tongkat berkepala tengkorak manusia.

Tap!
Tap!

Dalam waktu yang sama, kedua orang itu menangkap tongkat berkepala tengkorak di udara. Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga melayangkan satu pukulan keras ke bagian dada Borga. Pukulan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali itu tak dapat dielakkan lagi.

Dug!

“Akh...!” Borga memekik keras.

Pegangannya pada tongkat berkepala tengkorak langsung terlepas, dan tubuhnya meluruk deras ke bawah. Seketika itu juga Rangga cepat memburu mempergunakan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Kedua kakinya bergerak cepat, sedangkan tubuhnya meluruk deras mengejar Borga.

“Hiyaaa...!"
Buk! Prakkk...!
“Aaa...!”

Satu jeritan melengking tinggi terdengar begitu kaki Rangga menghantam keras kepala si Tongkat Samber Nyawa. Laki-laki tua itu jatuh berdebum ke tanah. Kepalanya pecah dan darah bercucuran deras. Tepat pada saat Rangga menjejakkan kakinya di tanah, Borga tak bergerak-gerak lagi. Dia tewas, dan kepalanya pecah bersimbah darah.

“Hhh...!” Rangga menarik napas panjang dan agak berat.

Pendekar Rajawali Sakti itu hanya sebentar memastikan kalau lawannya sudah tewas, kemudian langsung melesat ke dalam rumah besar. Dia tahu kalau Pandan Wangi tadi dibawa pemuda yang dipanggil Prabu Sumabrata ke dalam rumah ini bersama Pendeta Gorayana dan Ki Ratapanca.

********************

LIMA

Rangga benar-benar tidak habis mengerti, rumah besar ini kosong, tak ada seorang pun yang dijumpai. Pendekar Rajawali Sakti itu terus mencari sampai ke belakang. Tetap saja tidak dijumpai seorang pun. Bergegas dia keluar lagi melalui pintu belakang, lalu memutari rumah ini. Dia berdiri tegak di tengah-tengah halaman yang cukup besar dan luas. Api unggun masih menyala terang membuat malam yang gelap gulita ini jadi terang-benderang.

“Pandan...!” teriak Rangga memanggil.

Teriakan yang begitu keras menggema terpantul, dan menyusup terbawa angin malam ke seluruh hutan di Gunung Jaran ini. Tapi tak ada sahutan sama sekali. Hanya gema yang menyahuti teriakan itu. Rangga menge-darkan pandangannya ke sekeliling. Tak ada yang dapat dilihat, kecuali mayat-mayat bertubuh biru dan mayat Borga yang tergeletak hampir memenuhi halaman rumah ini.

Dengan perasaan kesal bercampur kecemasan, Pendekar Rajawali Sakti itu mengambil tongkat berkepala tengkorak manusia milik Borga dan menghentakkan ke tanah. Saat itu juga tanah yang dipijak bergetar. Rangga terkejut, lalu berjingkrak ke belakang beberapa langkah. Belum hilang keterkejutannya, mendadak saja dari dalam tanah bersembulan makhluk-makhluk berwarna biru. Dan anehnya, makhluk biru yang sudah tewas, kembali hidup tanpa ada bekas luka sedikit pun!

“Edan! Lagi-lagi makhluk keparat ini muncul!” dengus Rangga gusar.

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung bersiap kalau-kalau makhluk biru itu menyerangnya. Tapi pemuda itu jadi terheran-heran, karena mereka hanya berdiri diam memandangnya. Malah sama sekali tidak mengadakan penyerangan. Pendekar Rajawali Sakti memandangi dengan sinar mata penuh keheranan dan segumpal tanda tanya memadati benaknya.

“Siasat licik macam apa lagi ini...?” Rangga bertanya-tanya sendiri di dalam hati.

Sebelum pertanyaan itu bisa terjawab, kembali Pendekar Rajawali Sakti dibuat keheranan yang amat sangat. Makhluk-makhluk biru itu tiba-tiba saja berlutut, dan kedua telapak tangannya ditekan ke tanah. Kepala mereka semua tertunduk dalam. Rangga melangkah mundur, dan seketika mereka yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak menyingkir memberi jalan. Hal ini membuat Rangga jadi semakin bertanya-tanya. Makhluk yang semula buas, mendadak jadi seperti hamba sahaya berada di depan majikannya.

“Apa yang kalian lakukan padaku...?” tanya Rangga terheran-heran.

Tak ada yang menjawab. Semuanya tertunduk diam, dan sikapnya tetap berlutut. Rangga memandangi makhluk-makhluk berwarna biru yang jumlahnya puluhan itu.

“Kalian punya mulut, tentunya bisa berbicara, bukan?” tanya Rangga lagi.

Salah satu makhluk biru yang berada tepat di depan Rangga mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersila. Dan yang lainnya segera mengikuti. Serentak mereka menggu-mamkan suara sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Hal ini membuat Rangga semakin tidak mengerti.

“Katakan, kenapa kalian tiba-tiba berubah sikap padaku?” pinta Rangga masih penasaran.

Makhluk biru yang tadi bersila lebih dulu, bangkit berdiri. Dibungkukkan tubuhnya dengan tangan masih merapat di depan dada. Rangga mengamati penuh keheranan. Dia tahu kalau itu merupakan sikap penghormatan. Tapi baginya sikap itu lebih pantas ditujukan buat seorang pemimpin, atau pada seorang raja.

“Kau bisa berbicara sepertiku?” tanya Rangga.

“Hamba, Yang Mulia,” sahut makhluk biru itu dengan suara berat, tapi nyaring. Lebih mirip suara jeritan seekor kera.

“Hm..., kau menyebutku Yang Mulia. Kenapa?” tanya Rangga ingin tahu.

“Yang Mulia adalah pemimpin kami. Kami siap mengabdi dan menjalankan segala perintah yang dititahkan Paduka Yang Mulia,” sahut makhluk biru itu penuh hormat.

“Pemimpin...?!” Rangga benar-benar tidak mengerti.

“Benar. Yang Mulia membawa tanda kepemimpinan dan telah memanggil kami yang telah siap menjalankan titah.”

Rangga baru tersadar kalau saat ini tengah memegang potongan tongkat milik Borga. Potongan tongkat berkepala tengkorak. Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi tongkat yang tergenggam di tangannya, kemudian beralih pada makhluk biru yang berdiri agak membungkuk di depannya. Sedangkan makhluk-makhluk biru lainnya masih duduk bersila dengan kepala tertunduk dalam.

“Siapa namamu?” tanya Rangga.

“Nama...? Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak mengerti,” sahut makhluk biru itu.

“Heh...! Apakah kau tidak punya nama?” Rangga terkejut heran. “Lalu, biasanya dipanggil apa?”

“Kami semua sama, Yang Mulia. Kami hanya mengabdi dan menjalankan titah pemimpin. Kami tidak pernah berhubungan satu sama lain. Jadi kami tidak memiliki panggilan apa pun,” makhluk biru itu menjelaskan dengan hormat.

“Aneh...,” gumam Rangga.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tersenyum. Memang makhluk-makhluk aneh berwarna biru itu satu sama lain sangat mirip. Jadi, sukar untuk membedakan. Tapi sedikit banyak Rangga sudah bisa mengerti, mengapa sikap mereka langsung berubah padanya. Rangga tahu kini, siapa saja yang memegang tongkat berkepala tengkorak ini, akan dianggap sebagai pemimpin mereka yang harus ditaati segala perintahnya.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan memanggilmu si Biru saja. Bagaimana?” tanya Rangga meminta pendapat.

“Hamba, Yang Mulia,” makhluk biru itu membungkukkan badannya.

Rangga hanya tersenyum saja. Tentu saja semua makhluk biru itu menyetujui, karena baginya tidak ada masalah menggunakan nama apa pun juga. Dan lagi Rangga sendiri tidak akan bisa mengenali lagi jika mereka satu sama lain sudah bergabung. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah menghampiri beranda depan salah satu rumah yang terdekat, kemudian mengambil sebuah tali kulit binatang yang digunakan untuk mengikat tiang. Pendekar Rajawali Sakti itu memberikan pada makhluk biru yang masih berdiri di tempatnya.

“Kalungkan ini pada lehermu, dan jangan dilepas,” perintah Rangga.

“Hamba, Yang Mulia.”

Makhluk berwarna biru itu menerima tali kulit dari tangan Pendekar Rajawali Sakti dan mengalungkannya di leher. Disimpulkannya ujung tali kulit binatang itu menjadi satu, kemudian dibungkukkan tubuhnya kembali memberi hormat. Rangga tersenyum, karena kini bisa mengenali salah satu makhluk yang sama seluruhnya itu.

“Nah, kalian boleh kembali. Kecuali kau, Biru,” perintah Rangga lagi.

Dia memang tidak membutuhkan makhluk-makhluk biru untuk saat ini. Makhluk-makhluk biru itu memberi hormat, kemudian kembali masuk ke dalam tanah. Sungguh menakjubkan! Begitu tubuh mereka lenyap ke dalam tanah, permukaan tanah kembali seperti semula. Tak ada tanda-tanda kalau makhluk-makhluk aneh berwarna biru keluar masuk dari dalam tanah ini. Kini tinggal satu yang masih bersama Rangga di atas permukaan tanah.

“Nah, Biru. Kau kenal orang itu?” tanya Rangga menunjuk mayat Borga yang tergeletak tidak jauh dari situ.

“Dia bernama Borga, Gusti. Sepuluh tahun lebih bangsa kami dikuasainya. Tapi sekarang Yang Mulia adalah pemimpin kami,” sahut si Biru.

“Apakah sebelum Borga, ada orang lain yang pernah menjadi pemimpin bangsamu?” tanya Rangga menyelidik disertai perasaan ingin tahu.

“Benar, Gusti. Kami selalu berganti-ganti pemimpin sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu.”

“Hm..., kenapa kalian selalu menganggap orang yang memegang tongkat ini sebagai pemimpin? Kenapa tidak mengangkat salah satu dari kalian saja yang menjadi pemimpin?” tanya Rangga.

“Hanya Sang Hyang Wenang yang mengetahui, Yang Mulia. Kami sudah ditakdirkan hidup dengan jumlah tetap sampai dunia ini berakhir. Begitu pula pemimpin kami yang selalu datang dari bangsa manusia. Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak tahu, karena semua ini adalah kodrat yang sudah ditentukan Sang Hyang Wenang,” sahut si Biru.

“Ya, sudah,” Rangga tidak mendesak lagi.

********************

Pagi sudah menghiasi mayapada ini. Sang surya menampakkan cahayanya menerangi seluruh permukaan bumi yang indah. Semalaman Rangga tidak bisa tidur, dan terus mencari Pandan Wangi. Tapi sudah setiap jengkal tanah di sekitar tempat ini diteliti, tidak juga ditemukan tanda-tanda yang bisa dijadikan petunjuk untuk menemukan Pandan Wangi.

Rangga duduk mencangkung di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Tidak jauh di depannya bersimpuh si Biru. Makhluk aneh bertubuh seperti manusia, namun berwarna biru dan tingkahnya lebih mirip kera. Rangga memandangi si Biru dalam-dalam. Sebenarnya dia tidak ingin menggunakan makhluk ini untuk kepentingannya. Tapi mengingat makhluk ini pernah bersama orang-orang yang kini menculik Pandan Wangi, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi punya pertimbangan lain.

“Biru, kau tahu di mana mereka kini berada?” tanya Rangga.

“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak mengerti maksud Yang Mulia,” sahut si Biru seraya memberi hormat.

“Maksudku Prabu Sumabrata dan orang-orangnya,” jelas Rangga.

“Yang Mulia, selama hamba hidup ribuan tahun di sini, tidak ada yang bernama Prabu Sumabrata. Hamba tahu kalau sekitar Gunung Jaran ini termasuk wilayah Kerajaan Kulon. Tapi raja sendiri tidak pernah mengijinkan rakyatnya mengusik tempat ini. Dan kami semua memang tidak ingin diganggu. Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu, kecuali..."

“Teruskan, Biru,” pinta Rangga.

“Kecuali Dewa Iblis, Yang Mulia.”

“Dewa Iblis...?!” Rangga terhenyak mendengar nama itu.

“Benar, Yang Mulia.”

Rangga terdiam membisu. Nama itu memang pernah didengarnya saat si Tongkat Samber Nyawa dulu pernah menyebutkan. Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti itu terdiam merenung. Otaknya berputar keras, kemudian Rangga tersentak dan bangkit berdiri. Dipandanginya si Biru dalam-dalam.

“Kau tahu di mana si Dewa Iblis itu tinggal?” tanya Rangga.

“Di Puncak Gunung Jaran ini, Yang Mulia. Dewa Iblis tinggal di sebuah kuil tua,” sahut makhluk biru itu.

Rangga mengalihkan pandangannya ke Puncak Gunung Jaran yang selalu terselimut kabut, baik siang maupun malam. Sepanjang mata memandang, hanya kehijauan yang tertutup kabut. Gunung Jaran ini memang tidak pernah dijamah manusia, dan Rangga sendiri baru kali ini ke sini.

“Biru, mengapa Dewa Iblis selalu mengganggu bangsamu?” tanya Rangga ingin tahu.

“Dewa Iblis yang ini adalah keturunan terakhir, Yang Mulia. Sejak jaman nenek moyang, antara kami dan dia selalu bermusuhan. Mereka selalu ingin menguasai bangsa kami untuk maksud-maksud jahat. Tapi sudah menjadi takdir, kalau kami tidak akan mempunyai pemimpin dari keturunan Dewa Iblis.”

“Kenapa begitu?”

“Karena Sang Hyang Wenang memang sudah menggariskan demikian, Yang Mulia. Dewa Iblis bukanlah manusia utuh, tapi keturunan darah iblis. Sedangkan kami sudah ditakdirkan untuk mengabdi pada manusia seutuhnya yang bukan keturunan neraka atau nirwana. Untuk itu, kami membuat tanda yang terbuat dari tulang-tulang pemimpin pertama. Tanda itu kini dipegang Yang Mulia,” jelas si Biru.

“Hm, jadi siapa saja yang memegang benda ini langsung menjadi pemimpin bangsamu?” Rangga ingin memperjelas.

“Benar, Yang Mulia.”

“Tidak peduli apakah orang itu baik atau jahat?”

“Kami tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang jahat. Kami terlalu patuh pada pemimpin, dan itu sudah menjadi sumpah kami di hadapan Sang Hyang Wenang.”

“Dewata Yang Agung...,” desah Rangga tidak menyangka. “Tidak seharusnya makhluk sepertimu jatuh ke tangan orang berwatak jahat.”

Rangga memandangi potongan tongkat yang tergenggam di tangannya. Sungguh, dia tidak tahu lagi harus berbuat apa dengan tongkat ini. Tidak mungkin tongkat ini dibawa terus selama hidup. Makhluk-makhluk biru ini harus mempunyai pegangan hidup sendiri, tapi tidak mudah untuk merubahnya. Dan ini semua ditentukan Hyang Widi, penguasa tunggal seluruh jagad raya ini. Rangga tidak mungkin mampu merubah keyakinan mereka. Tongkat kepala tengkorak ini sudah menjadi lambang kepemimpinan yang tidak bisa dirubah lagi.

“Ayo, Biru. Kita ke Puncak Gunung Jaran,” ajak Rangga.

“Mau apa ke sana, Yang Mulia?” tanya si Biru sambil berdiri.

“Siapa tahu Pandan Wangi ada di sana. Kalaupun tidak, aku akan membebaskan bangsamu dari gangguan si Dewa Iblis,” tegas Rangga.

“Sebaiknya jangan, Yang Mulia,” cegah si Biru.

“Kenapa?”

“Dewa Iblis sangat kejam. Dia tidak segan-segan membunuh siapa saja yang coba-coba mengusik kehidupannya. Sudah banyak orang yang tewas di tangannya, terutama rakyat Kerajaan Kulon dan desa-desa sekitar kaki Gunung Jaran ini. Yang Mulia, pernah suatu ketika Raja Kerajaan Kulon minta bantuan kami untuk membinasakannya. Tapi kami sendiri tidak sanggup, meskipun tidak bisa mati oleh apa pun. Kecuali, bila Sang Hyang Wenang menghendaki kami mati.”

“Hm...,” gumam Rangga tidak jelas.

Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti itu agak terkejut juga, karena tidak menyangka kalau orang-orang di wilayah Kulon ini sudah mengetahui tentang adanya kehidupan suatu makhluk berwarna biru di Gunung Jaran ini. Bahkan rajanya sendiri mengetahui. Rangga jadi berpikir juga. Kalau hal ini sampai diketahui para tokoh rimba persilatan, tentu kedamaian makhluk-makhluk biru ini akan terancam.

Rangga tahu betul watak orang-orang rimba persilatan yang serakah dan tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki. Rangga tidak ingin memikirkan tentang hal itu sekarang ini. Pikirannya masih tertuju pada keselamatan Pandan Wangi yang kini entah di mana. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya melangkah.

“Yang Mulia...,” panggil si Biru seraya mengejar.

“Ada apa, Biru?” tanya Rangga terus saja berjalan tanpa menoleh.

“Apakah Yang Mulia tetap akan ke Puncak Gunung Jaran?”

“Tentu,” sahut Rangga mantap.

“Hamba mohon, Yang Mulia mengijinkan hamba untuk kembali,” mohon si Biru.

Rangga berhenti melangkah, lalu membalikkan tubuhnya menghadap pada makhluk berwarna biru itu. Dipandanginya dalam-dalam, kemudian ditepuk pundak makhluk itu sambil mengulas senyum.

“Baiklah. Kukabulkan permintaanmu ini. Tapi kuminta kau menjaga tongkat ini baik-baik,” kata Rangga.

“Apakah Yang Mulia akan mengambilnya lagi nanti?”

“Iya,” hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.

“Tapi tongkat ini berguna untuk memanggil, Yang Mulia.”

“Lalu, bagaimana cara memanggilmu selain dengan tongkat itu?”

“Hentakkan kaki tiga kali, dan sebut namaku. Hanya hamba yang akan muncul membawa tongkat ini dan menyerahkan kembali pada Yang Mulia untuk memimpin kami.”

“Baiklah. Aku pergi dulu dan jaga tongkat ini baik-baik.”

“Akan hamba jaga dengan baik, Yang Mulia.”

Rangga tersenyum dan menepuk pundak makhluk biru itu. Setelah membungkuk hormat, makhluk bertubuh biru itu melesak cepat masuk ke dalam tanah sambil membawa tongkat berkepala tengkorak manusia. Rangga memandangi beberapa saat, kemudian bergegas berbalik dan berlari cepat menuju Puncak Gunung Jaran.

********************

ENAM

Tidak terlalu sukar bagi Rangga untuk menemukan letak puri yang merupakan tempat tinggal Dewa Iblis. Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi bangunan yang seluruhnya terbuat dari batu itu. Sebuah bangunan puri tua yang kelihatannya tidak terawat baik. Sekitarnya ditumbuhi rumputan liar. Seluruh dinding puri berlumut tebal. Bangunan ini seperti tidak pernah dijamah manusia.

Rangga mengayunkan kakinya lebih mendekat ke puri itu. Sikapnya begitu waspada. Matanya tidak berkedip memandang sekitarnya. Pendekar Rajawali Sakti itu juga mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’, untuk menangkap suara-suara yang mencurigakan. Tapi sampai sejauh ini, tidak terdengar suara apa pun selain desir angin yang mengganggu gendang telinga. Tapi ketika tinggal beberapa langkah lagi mencapai bangunan puri itu, mendadak saja...

“Berhenti...!” terdengar bentakan keras menggelegar.

Rangga langsung menghentikan langkahnya. Dan belum sempat berbalik, tiba-tiba saja sebuah tombak panjang meluncur deras dari arah belakang. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu memiringkan tubuh, maka tombak itu lewat sedikit di sampingnya. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya membelakangi puri. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang wanita muda berwajah cantik.

Wanita itu hanya mengenakan selembar kain kecil yang menutupi auratnya. Tangannya memegang sebatang tombak panjang bermata tiga pada ujungnya. Wanita itu menghentakkan tombaknya ke tanah tiga kali. Maka seketika itu juga dari dalam semak dan balik pepohonan berlompatan wanita-wanita berwajah cantik menggenggam tombak bermata tiga. Mereka semua hanya mengenakan cawat dan penutup dada. Sebagian besar tubuhnya terbuka lebar, memamerkan kulit putih halus yang membungkus tubuh ramping nan indah. Ada sekitar dua puluh orang yang kini sudah mengepung Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm...,” gumam Rangga perlahan.

Pendekar Rajawali Sakti itu bersikap waspada. Dia tahu kalau wanita-wanita ini pasti bermaksud tidak bersahabat. Dan Rangga pernah melihat mereka di perkampungan aneh yang hanya memiliki dua belas rumah saja. Dan itu dilihatnya pada saat diadakan upacara perkawinan yang membuat darahnya mendidih.

“Ternyata kau cukup punya nyali juga untuk datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti!” kata wanita itu, dingin nada suaranya.

“Siapa kau, Nisanak?” tanya Rangga tenang.

“Aku Lara Pandini, penguasa Puri Jaran ini,” jawab wanita itu lantang.

Rangga bergumam tidak jelas. Wanita yang satu ini memang agak lain dari yang lainnya. Dia mengenakan ikat kepala berwarna kuning keemasan yang dihiasi sebuah batu merah di tengah-tengah keningnya. Sedangkan yang lain tidak mengenakan apa-apa. Dan itu sudah menandakan kalau wanita cantik ini adalah pemimpinnya. Tapi bukan dia yang dicari.

“Kau telah melanggar daerah kekuasaanku, Pendekar Rajawali Sakti. Kau tahu, puri ini terlarang bagi laki-laki. Dan siapa saja yang berani melanggar harus mati!” tegas kata-kata Lara Pandini.

“Hebat! Mudah sekali kau mengatakan mati pada seseorang. Padahal, kau juga menyimpan laki-laki di tempat ini,” sinis nada suara Rangga.

“Tutup mulutmu, keparat!” bentak Lara Pandini memerah wajahnya.

“Kenapa kau kelihatan marah, Nisanak?”

“Mulutmu memang harus dibungkam, Pendekar Rajawali Sakti! Seraaang...!”

Seketika itu juga sekitar dua puluh wanita cantik yang bersenjatakan tombak bermata tiga, langsung berlompatan menyerang Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah siaga sejak tadi, segera bergerak cepat mempergunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang sesekali dipadukan dengan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ pada tingkatan pertama.

Dugaan Rangga memang benar. Wanita-wanita itu bukanlah tandingannya. Tingkat kepandaian mereka masih terlalu jauh bila dibandingkan dengannya. Sehingga mudah sekali pemuda berbaju rompi putih itu memorak-porandakan serangan mereka.

Dalam beberapa gebrak saja, mereka sudah berpelantingan memperdengarkan suara jeritan kesakitan. Rangga memang sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam penuh dalam melancarkan pukulan-pukulan agar tidak membahayakan lawan-lawannya. Satu per-satu mereka dibuat roboh tak sadarkan diri tanpa terluka sedikit pun.

Sebentar saja, dua puluh orang wanita cantik itu sudah tergeletak tidak sadarkan diri. Tinggal sang pemimpin yang bernama Lara Pandini masih berdiri kokoh dengan tombak bermata tiga tergenggam erat di tangan kanan.

“Jangan merasa besar kepala dulu hanya karena bisa menjatuhkan pengawal-pengawalku, Pendekar Rajawali Sakti!” dengus Lara Pandini sengit.

“Aku ingin tahu, apakah kau sama tololnya dengan mereka!” ejek Rangga memanasi.

“Bedebah! Pantang aku dihina, Pendekar Rajawali Sakti!” geram Lara Pandini gusar.

Setelah berkata demikian, Lara Pandini langsung melompat menerjang Rangga yang sudah siap sejak tadi. Wanita cantik ini ternyata memang tidak seperti yang lain, ilmu olah kanuragannya ternyata cukup tinggi juga. Bahkan serangan-serangannya pun cukup berbahaya. Tapi Rangga melayaninya dengan bibir tersungging senyuman.

********************

Kepandaian yang dimiliki Lara Pandini memang cukup tinggi, tapi itu bukan berarti dapat mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Kalau boleh dibilang, masih jauh untuk bisa mendesak sekali pun! Maka tidak terlalu sukar bagi Rangga menjatuhkan wanita itu. Dalam waktu singkat saja satu pukulan telak berhasil disarangkan Rangga pada tubuh wanita itu. Akibatnya Lara Pandini terpekik jatuh tersuruk mencium tanah!

Sebelum sempat bangkit berdiri, Rangga sudah menubruknya dan memberi satu totokan halus di dada Lara Pandini. Wanita cantik itu langsung lemas tak bertenaga lagi. Jalan darahnya tersumbat akibat totokan Pendekar Rajawali Sakti yang tidak dapat terelakkan lagi. Rangga membalikkan tubuh wanita itu hingga menelentang.

“Aku tidak tahu, apa yang membuatmu jadi liar begini, Nisanak. Sinar matamu mencerminkan adanya pengaruh kuat di luar akal sehatmu sesungguhnya,” kata Rangga datar.

“Huh!” Lara Pandini mendengus berang.

“Baik-baiklah di sini. Akan kucoba menghilangkan pengaruh yang ada pada dirimu,” kata Rangga lagi.

Setelah berkata demikian, Rangga langsung melompat mendekati puri tua yang tampak tidak terurus itu. Hanya sekali lesatan saja, Rangga sudah mencapai ambang pintu yang tidak memiliki penutup. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa melangkah masuk, mendadak dari dalam berkelebat sebuah bayangan biru.

“Uts!”

Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya, sehingga terjangan bayangan biru itu lewat di depannya. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat ke belakang, dan jadi terkejut. Ternyata bayangan biru itu kembali menyerang ganas. Tapi yang membuat Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut adalah bukan serangannya, melainkan orangnya.

“Pandan, tahan...!” bentak Rangga keras.

Secepat kilat Rangga melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Serangan wanita berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi itu terhenti. Sejenak Rangga tertegun melihat sorot mata Pandan Wangi merah menyala, bagai sepasang bola api yang siap membakar. Raut wajahnya begitu kaku, dan bibirnya terkatup rapat. Gadis itu bagai sosok makhluk yang tidak mengenal siapa dirinya sendiri.

“Ha ha ha...!”

Belum lagi Rangga sempat berpikir jauh, mendadak saja terdengar tawa terbahak-bahak. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Tampak di atas puri sudah berdiri Prabu Sumabrata yang didampingi Ki Ratapanca dan Pendeta Gorayana.

“He he he..., permainan yang paling mengesankan, Gusti Prabu,” ujar Ki Ratapanca diiringi tawanya yang terkekeh. “Sepasang kekasih saling berhadapan. Sungguh mengesankan. He he he...!”

“Bedebah...!” desis Rangga menggeram marah.

“Ayo, Pandan. Kau tidak ingin ada duri dalam dirimu, bukan...? Bunuh bocah setan itu!” perintah Ki Ratapanca keras dan sangat lantang.

Pandan Wangi menoleh, lalu membungkukkan badannya sedikit pada tiga laki-laki yang berdiri di atas puri itu. Rangga jadi menggeram marah. Gigi-giginya bergemeletuk dan otot-ototnya menegang menahan kemarahan yang memuncak. Kini disadari kalau Pandan Wangi dan gadis-gadis cantik yang tergeletak di tanah itu benar-benar terpengaruh jiwanya, sehingga tidak bisa lagi mengenali diri dan lingkungannya lagi. Mereka hanya patuh menjalankan perintah, tidak peduli apakah perintah itu dapat mencelakakan diri sendiri.

“Hiyaaat...!”

Sambil berteriak keras melengking, Pandan Wangi melompat menyerang Rangga. Cepat sekali serangan si Kipas Maut itu, sehingga Rangga sedikit terperangah. Namun cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat ke samping sambil memberi satu pukulan tanpa disertai pengerahan tenaga dalam. Namun Pandan Wangi dapat berkelit manis sekali, dan bahkan juga melepaskan satu pukulan keras menggeledek.

“Ufs...!”

Rangga benar-benar terkejut. Meskipun pukulan itu dapat dielakkan, tapi tubuhnya sempat juga terdorong ke belakang oleh hempasan angin pukulan yang bertenaga dalam tinggi itu. Rangga sadar kalau Pandan Wangi bertarung di luar kesadarannya sendiri. Serangan-serangan yang dilakukan demikian dahsyat dan sangat berbahaya.

Rangga jadi kebingungan sendiri, karena tidak ingin melukai gadis ini. Tapi kalau bertarung seperti ini terus, bisa-bisa dia sendiri yang akan tewas. Cukup sulit keadaan yang dihadapi Rangga sekarang ini. Dua nyawa harus diselamatkan dalam waktu bersamaan. Nyawanya sendiri dan nyawa Pandan Wangi yang tengah dipengaruhi alam pikirannya.

Keragu-raguan memang akan membuat diri menjadi terpedaya. Demikian juga yang dialami Rangga. Sulit untuk menentukan, harus berbuat apa terhadap Pandan Wangi yang sedang kehilangan kesadarannya. Keraguan Pendekar Rajawali Sakti itu menjadi sasaran empuk Pandan Wangi. Beberapa kali pukulan dan tendangan gadis itu bersarang di tubuh Rangga.

“Pandan, cukup...!” sentak Rangga hampir kehilangan kesabaran.

Darah sudah menetes di sudut bibir Pendekar Rajawali Sakti itu. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang bersarang di dada membuatnya berkunang-kunang, dan napasnya terasa sesak. Pendekar Rajawali Sakti bergulingan beberapa kali di tanah, dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk melompat tinggi ke udara.

“Hiyaaa...!”

Dengan mempergunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, Rangga meluruk deras ke atas puri tempat di mana Prabu Sumabrata, Ki Ratapanca, dan Pendeta Gorayana berada di sana sambil memperhatikan sejak tadi. Mereka jadi terkejut, karena tiba-tiba saja Rangga meluruk ke arah mereka.

“Awas...!” seru Prabu Sumabrata memperingatkan.

Ketiga orang itu buru-buru berlompatan menghindari terjangan Rangga yang begitu cepat bagai kilat. Prabu Sumabrata dan Ki Ratapanca berhasil menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti, tapi Pendeta Gorayana terlambat bertindak. Akibatnya kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa dihindari lagi, tepat menghantam dadanya.

Des!

“Akh...” Pendeta Gorayana memekik keras tertahan.

Darah langsung muncrat dari mulutnya. Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gundul itu kontan terjengkang ke belakang. Punggungnya menghantam batu puri hingga hancur berantakan. Pendeta Gorayana menggeliat berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga mampu berdiri tegak, Rangga sudah kembali melompat sambil menyarangkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.

“Hiyaaa...!”
Prak!

“Aaa...!” jeritan panjang melengking terdengar.

Sungguh luar biasa pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Kepala gundul itu bagai buah kelapa yang hancur tertimpa batu. Darah bersimbah membasahi batu-batu puri. Hanya sebentar Pendeta Gorayana berkelojotan, sesaat kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Laki-laki gundul itu tewas seketika dengan kepala hancur!

Rangga berdiri tegak di samping tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi itu. Diputar tubuhnya pelahan-lahan menghadapi Prabu Sumabrata dan Ki Ratapanca yang sangat terkejut melihat kematian Pendeta Gorayana yang begitu tragis.

********************

Pelahan-lahan Rangga melangkah maju mendekati dua orang laki-laki itu. Pandangan matanya begitu tajam menusuk. Tangannya terkepal erat, pertanda sudah begitu marah. Belum pernah Rangga marah seperti ini. Dirinya merasa benar-benar dipermainkan, ditambah lagi perasaan cemburu melihat Pandan Wangi jadi sedemikian rupa.

“Kalian harus mampus, iblis-iblis keparat..!” desis Rangga menggeram marah. “Hiyaaa...!”

Sambil berteriak nyaring, Pen-dekar Rajawali Sakti melompat mener-jang sambil mencabut pedangnya. Seketika cahaya biru menyemburat terang dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Prabu Sumabrata dan Ki Ratapanca terperangah sesaat, tapi cepat-cepat berlompatan menghindari sabetan pedang yang memancarkan sinar biru yang menyilaukan mata itu.

Glarrr!

Ledakan keras terdengar ketika Pedang Rajawali Sakti menghantam batu puri. Rupanya Rangga mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sewaktu membabatkan pedang itu. Akibatnya batu bangunan puri yang begitu keras, hancur berkeping-keping terkena tebasan pedang pusaka yang dahsyat itu.

Seluruh bangunan puri bergetar hebat bagai diguncang gempa sangat dahsyat. Rangga terus mengamuk membabatkan pedangnya yang luar biasa. Sinar biru bergumpal-gumpal di mata pedang yang berkelebatan cepat mencecar dua orang laki-laki itu. Mereka hanya bisa berlompatan menghindari setiap serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu dahsyat dan berbahaya sekali. Hampir seluruh bangunan puri berantakan, terkena sabetan pedang Pendekar Rajawali Sakti.

“Mampus kalian, iblis keparat! Hiyaaa...!” teriak Rangga keras menggelegar.

Ledakan-ledakan terus menggelegar membahana. Batu-batu bangunan puri berhamburan terbabat pedang bersinar biru berkilau itu. Rangga terus mencecar dua orang laki-laki yang telah membuat kemarahannya memuncak tak terkendali lagi. Tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Satu jurus andalan yang jarang sekali digunakan. Dan akibatnya sungguh luar biasa! Bangunan puri yang seluruhnya terbuat dari batu itu jadi hancur berkeping-keping!

Rangga seperti tidak mempedulikan lagi dua orang musuhnya. Dia terus mengamuk membabi buta membabatkan pedangnya pada apa saja yang berada di dekatnya. Hal ini membuat Prabu Sumabrata mengambil kesempatan untuk melarikan diri. Dengan cepat dia melompat kabur pada saat Rangga menyerang Ki Ratapanca.

“Hup...!”

Ki Ratapanca melompat menghindari tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sigap sekali serangan itu dihindari. Pedang yang bersinar biru itu menghantam batu dinding puri hingga hancur berantakan. Ki Ratapanca sempat melihat Prabu Sumabrata melarikan diri. Dia juga bermaksud kabur, tapi Rangga tidak memberi kesempatan. Pendekar Rajawali Sakti itu terus mencecar menggunakan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’ yang sangat dahsyat.

“Gila! Dahsyat sekali pedang-nya...!” dengus Ki Ratapanca mulai gentar hatinya.

“Mau lari ke mana kau, setan!” geram Rangga sengit.

Ki Ratapanca menggeser kakinya ke samping dengan tongkat menyilang di depan dada. Sedangkan Rangga mengikuti gerakan laki-laki tua itu dengan tatapan tajam menusuk. Bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu memerah membara bagai sepasang bola api yang siap membakar apa saja. Ki Ratapanca agak bergidik juga saat pandangannya tertumbuk pada tatapan mata Rangga yang begitu tajam.

“Mampus kau! Hiyaaa...!” seru Rangga keras dan tiba-tiba sekali.

Sebelum suara teriakannya menghilang, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat bagaikan kilat menerjang Ki Ratapanca.

Wuk!

Bagaikan kilat Rangga mengibaskan pedangnya ke arah leher laki-laki tua itu. Sesaat Ki Ratapanca terperangah, tapi cepat-cepat mengangkat tongkat-nya. Segera dikibaskan tongkat itu untuk menangkis sabetan pedang bersinar biru itu.

Trang!
Trak!
“Heh...!”

Ki Ratapanca terkejut bukan main, hingga melompat mundur sejauh dua batang tombak. Kedua matanya terbeliak melihat tongkatnya buntung jadi dua bagian. Dan sebelum keterkejutannya lenyap, mendadak saja Rangga sudah menyerang kembali dengan pedang terhunus mengarah ke dada.

“Hiyaaa...!”
“Uts!”

Bergegas Ki Ratapanca membanting tubuhnya ke tanah. Pada saat itu, Rangga cepat menarik pedangnya kembali. Dan secepat itu pula diayunkan kakinya disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Des!

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat dibendung lagi. Ki Ratapanca menjerit keras merasakan iganya terhantam tendangan keras bertenaga dalam sempurna itu. Tubuh yang belum juga menyentuh tanah itu kembali terpental dan menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang!

“Yeaaah...!”

Rangga benar-benar seperti kesetanan. Sedikit pun lawannya tidak diberi kesempatan lagi. Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti melompat deras, kemudian mengibaskan pedangnya memenggal leher Ki Ratapanca hingga terpenggal putus dari badan.

Tak ada suara jeritan yang keluar, karena Ki Ratapanca sudah tewas sebelum pedang Pendekar Rajawali Sakti memenggal lehernya. Tendangan yang dilepaskan Rangga membuat seluruh tulang iganya remuk. Rangga berdiri tegak di samping mayat tanpa kepala lagi itu. Sedangkan Pedang Rajawali Sakti masih tergenggam erat di tangannya. Pelahan-lahan kakinya melangkah mundur, lalu dimasukkan pedang pusakanya ke dalam warangka. Cahaya biru langsung lenyap seketika.

Rangga membalikkan tubuhnya, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Gerahamnya bergemeletuk begitu menyadari kalau Prabu Sumabrata yang diyakininya sebagai si Dewa Iblis sudah lenyap dari tempat ini. Pandangan Rangga langsung tertuju pada sosok tubuh berbaju biru yang tergolek di tanah, bersama wanita-wanita bercawat dari kulit kayu.

“Pandan...,” desis Rangga bergegas memburu menghampiri.

********************

TUJUH

Rangga mengangkat tubuh Pandan Wangi yang masih tergeletak dan matanya terpejam rapat. Dengan lembut ditepuk-tepuknya pipi gadis itu. Sebentar kemudian Pandan mulai mengeluh, dan kepalanya bergerak menggeleng pelahan. Dan kini kelopak matanya mulai terbuka sedikit demi sedikit.

“Pandan...,” panggil Rangga.

“Ohhh...,” lemah sekali suara Pandan Wangi.

Sebentar gadis itu memejamkan matanya kembali. Dipegangi kepalanya, kemudian dibuka matanya. Begitu melihat Rangga memeluk tubuhnya, gadis itu langsung menggerinjang bangun sambil mendorong Pendekar Rajawali Sakti. Hampir saja Rangga tersuruk jatuh kalau saja tidak cepat-cepat menahan dengan tangannya. Bergegas pemuda itu berdiri dan menghampiri Pandan Wangi yang tengah mengedarkan pandangannya ke sekeliling seperti orang kebingungan.

“Pandan...,” panggil Rangga lembut.

“Oh! Apa yang terjadi, Kakang?” tanya Pandan Wangi terkejut. Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Justru itu yang hendak kutanyakan padamu,” sahut Rangga.

“Siapa mereka, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Aku tidak tahu.”

Pandan Wangi memandangi Rangga, seperti tidak percaya atas jawaban Pendekar Rajawali Sakti barusan. Pandangan gadis itu kembali tertuju pada gadis-gadis muda yang mulai siuman. Mereka mulai bangun, dan tampak kebingungan. Hampir bersamaan mereka terpekik begitu menyadari hanya mengenakan cawat, dan tubuh hampir seluruhnya terbuka. Mereka jadi kelabakan, terlebih lagi di situ juga ada seorang pemuda yang jadi risih sendiri.

“Siapa kalian? Kenapa berada di sini?” tanya seorang gadis yang dikenal Rangga bernama Lara Pandini.

“Kau yang menjawab, Pandan,” kata Rangga setengah berbisik.

“Aku...? Aku sendiri tidak tahu,” Pandan Wangi juga kebingungan.

“Hhh.... Kenapa jadi begini...?” keluh Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu belum bisa menjelaskan, karena tiba-tiba saja gadis-gadis cantik bercawat itu jadi ribut melihat puri hancur berantakan tak berbentuk lagi. Gadis-gadis itu memandangi bangunan puri yang hancur, kemudian berpaling pada Rangga, seakan-akan meminta penjelasan. Lara Pandini mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Aku minta, tolong jelaskan semua ini, Kisanak,” ujar Lara Pandini, agak tertekan suaranya.

Rangga mengangkat bahunya. Tanpa diminta dua kali, dijelaskanlah semua yang terjadi di puri ini. Tak ada yang membuka mulut, semua mendengarkan penuh perhatian. Rangga menjelaskan sampai pada hal-hal yang terkecil.

Keheningan menyelimuti sekitar tempat itu. Masih belum ada yang membuka suara, meskipun Pendekar Rajawali Sakti telah selesai menceritakan semua kejadiannya. Tampak wajah gadis-gadis cantik itu seperti mendung. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka melangkah menghampiri puri yang berantakan. Hanya Lara Pandini masih berada di tempatnya, di depan Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di samping Pandan Wangi.

“Di mana sekarang Dewa Iblis itu?” tanya Lara Pandini, agak tertahan nada suaranya.

“Entahlah. Dia berhasil kabur dan mengorbankan orang-orangnya,” sahut Rangga.

Lara Pandini menoleh dan menyaksikan dua sosok mayat yang tergeletak mengerikan. Darah masih mengucur dari tubuh mayat itu. Sedangkan gadis-gadis lainnya mulai memberesi puri yang berantakan. Mereka menyusun kembali batu-batu yang masih bisa ditata. Satu pekerjaan berat. Dan Rangga sendiri tidak tahu, siapa gadis-gadis yang kelihatannya begitu berduka melihat kehancuran puri itu.

“Kisanak, sebetulnya puri ini terlarang bagi laki-laki. Kami semua sangat mensucikan puri ini. Kami adalah orang-orang yang terbuang dan ternoda akibat perbuatan laki-laki. Itu sebabnya mengapa aku selalu keras terhadap setiap laki-laki yang mencoba memasuki daerah ini,” jelas Lara Pandini setelah lama terdiam.

“Aku mengerti, dan secepatnya akan pergi dari sini. Maaf, kalau aku telah membuat tempat sucimu jadi kotor dan berantakan begini,” ujar Rangga sopan.

“Tidak, Kisanak. Justru aku yang minta maaf karena telah mencurigaimu. Terus terang, semula aku telah berprasangka buruk padamu. Dan ternyata kaulah yang membebaskan kami dari jerat manusia iblis yang menguasai kami dengan ilmunya. Mereka membuat kami tidak sadar dan patuh pada perintah dan keinginannya selama bertahun-tahun,” ada nada penyesalan pada suara Lara Pandini. Tapi sinar matanya memancarkan dendam membara.

Rangga hanya tersenyum saja. Diliriknya Pandan Wangi yang berada di sampingnya. Gadis itu tersenyum juga dan menganggukkan kepalanya sedikit, hampir tidak terlihat gerakan kepala itu.

“Maaf. Aku tidak bisa lama-lama berada di sini, karena harus mengejar si Dewa Iblis,” ucap Rangga berpamitan.

“Kisanak, maukah kau membawakan kepalanya untukku?” pinta Lara Pandini.

“Kepalanya...?! Untuk apa?” Rangga terkejut.

“Untuk peringatan bagiku dan saudara-saudaraku yang lain, agar tidak terpedaya rayuan manis laki-laki,” sahut Lara Pandini.

Rangga tidak bisa memastikan. Diliriknya Pandan Wangi sekali lagi. Yang dilirik hanya mengangkat bahunya saja, tidak bisa memberikan keputusan apa pun.

“Aku mohon padamu, Kisanak,” ucap Lara Pandini lagi.

“Hhh..., baiklah,” sahut Rangga mendesah setelah berpikir beberapa saat lamanya.

“Terima kasih,” ucap Lara Pandini berseri-seri.

Rangga kemudian mohon diri, dan segera mengajak Pandan Wangi meninggalkan tempat ini sebelum Lara Pandini meminta yang macam-macam lagi. Mereka segera berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan halaman puri di Puncak Gunung Jaran ini. Lara Pandini masih berdiri memandangi, sampai kedua pendekar muda itu lenyap dari pandangannya.

********************

Rangga dan Pandan Wangi baru berhenti berjalan setelah tiba di perkampungan aneh yang tidak ada penduduknya. Mereka merayapi sekitar-nya yang sunyi senyap. Bahkan suara binatang pun tidak terdengar. Hanya desir angin saja yang terdengar, mengalun bermain di gendang telinga. Beberapa saat mereka berdiri diam terpaku merayapi kesunyian itu. Pelahan Rangga berpaling menatap Pandan Wangi. Saat itu Pandan Wangi juga berpaling memandang Rangga.

“Kau pernah ke sini, Kakang...?” tanya Pandan Wangi seperti ragu-ragu. Suaranya pun terdengar pelan sekali.

Rangga memandangi Pandan Wangi dalam-dalam. Agak terkejut juga mendengar pertanyaan gadis itu. Sedangkan Pandan Wangi sendiri merayapi perkampungan yang sunyi tanpa seorang penduduk pun yang menghuni. Perhatiannya lurus tertuju pada rumah yang paling besar, yang bagian depannya hancur berantakan.

“Semalam kau hampir jadi pengantin di sini,” jelas Rangga.

“Ya, aku tahu,” sahut Pandan Wangi mendesah pelahan. “Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.”

“Kau tahu...?!” Rangga benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya kali ini.

“Kau terkejut, Kakang?” Pandan Wangi tersenyum penuh arti. Tapi entah apa arti senyuman si Kipas Maut itu.

Rangga hanya diam saja, dan semakin tidak mengerti akan sikap Pandan Wangi kali ini. Sungguh aneh dan penuh misteri. Rangga tidak mengerti, apa sebenarnya yang tengah terjadi pada diri gadis ini. Sejak berada di Gunung Jaran ini, sikap Pandan Wangi sungguh lain. Sepertinya selalu diliputi perasaan takut, dan jadi lebih pendiam tidak seperti biasanya.

“Sebenarnya ini persoalan lama, Kakang. Aku sendiri tidak tahu, kenapa dia masih juga mengharapkanku menjadi istrinya,” kata Pandan Wangi, pelan bernada mengeluh.

“Ceritakan, apa yang terjadi, Pandan,” pinta Rangga.

“Kau tidak marah, Kakang?”

“Aku akan marah jika memang kaulah yang membuat persoalan ini sebelumnya,” kata Rangga diiringi senyuman kecil.

“Kalau begitu, marahlah! Karena memang akulah yang membuat persoalan jadi berlarut-larut ini,” kata Pandan Wangi.

Rangga menelan ludahnya. Tidak disangka kalau Pandan Wangi akan berkata seperti itu. Walaupun sudah lama mengenal dan selalu bersama-sama gadis ini, tapi belum seluruhnya Rangga mengetahui perihal Pandan Wangi sesungguhnya. Bagi pemuda itu, diri Pandan Wangi masih terlalu banyak diselimuti kabut misteri yang tidak mudah diungkapkan sekaligus. Asal-usul Pandan Wangi pun masih belum begitu jelas, meskipun sebagian sudah diketahuinya. Tapi Rangga tidak pernah ambil peduli.

Namun kali ini Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa berdiam diri saja. Rangga sudah merasakan kalau peristiwa ini bukan main-main dan tidak bisa didiamkan. Beberapa kali nyawanya harus dipertahankan, dan selama itu pula muncul ketidakmengertiannya. Kini tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi mengaku kalau semua kejadian ini ada hubungannya dengan dirinya. Bahkan dirinya sendiri yang membuatnya seperti ini. Sungguh sulit dipercaya. Tapi Rangga harus mempercayainya.

“Sudah lama aku menyimpan dan ingin melupakannya, tapi ternyata tidak semudah yang kukira. Hidupku selalu dibayang-bayangi, dan semuanya jadi petaka begitu melihat Gunung Jaran ini, Kakang...,” jelas Pandan Wangi pelan.

“Ceritakan apa sesungguhnya yang terjadi, Pandan,” pinta Rangga lembut.

“Aku senang, ternyata kau tidak marah,” seloroh Pandan Wangi.

Rangga tersenyum tipis. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melihat Pandan Wangi yang dulu lagi. Pandan Wangi yang dikenalnya selama ini. Meskipun dalam keadaan genting, selalu saja masih bisa berseloroh. Dan inilah yang hilang selama beberapa waktu di Gunung Jaran.

Sambil berjalan memasuki perkampungan sunyi itu, Pandan Wangi terus menceritakan semua yang pernah terjadi pada dirinya, hingga berbuntut panjang sampai kini. Persoalan yang tak akan pernah berakhir sebelum Dewa Iblis berhasil dilenyapkan untuk selama-lamanya. Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian.

“Jadi masalahnya karena kau pernah menantang Dewa Iblis...?” gumam Rangga bertanya seperti untuk dirinya sendiri.

“Ya, dan aku kalah. Sungguh aku menyesal telah membuat perjanjian dengan manusia iblis itu. Jika kalah, aku bersedia menjadi istrinya. Tapi aku tidak sudi apabila harus menjadi istri manusia iblis seperti dia. Lebih baik mati, daripada harus ikut-ikutan berlumur dosa.”

“Hm..., Pandan. Apakah Dewa Iblis memiliki suatu ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa orang lain?” tanya Rangga, teringat akan gadis-gadis di Puri Gunung Jaran. Bahkan Pandan Wangi sendiri juga pernah mengalaminya.

“Bukan dia, tapi Pendeta Gorayana. Ilmunya langsung lenyap begitu kau membinasakannya, Kakang. Dia pengikut setia Dewa Iblis. Demikian juga Ki Ratapanca, dan si Tongkat Samber Nyawa,” jelas Pandan Wangi.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini baru jelas kalau dirinya pernah terjebak oleh Ki Ratapanca di perkampungan ini. Ternyata laki-laki tua itu hanya ingin menguji kemampuannya. Mengusirnya secara halus begitu mengetahui kemampuan Pendekar Rajawali Sakti itu. Sungguh cerdik, tapi sangat licik. Sampai-sampai Rangga terpedaya tipu muslihatnya. Hampir saja Pendekar Rajawali Sakti itu meninggalkan Gunung Jaran ini, kalau saja malam itu tidak mendengar suara genderang ditabuh.

“Pandan, kau tahu di mana Dewa Iblis kini berada?” tanya Rangga setelah mereka cukup lama berdiam diri.

“Aku tidak tahu. Tempat tinggalnya tidak tetap. Dia selalu mengembara dan mencari korban, terutama gadis-gadis muda. Para gadis itu akan dinikmati, lalu dibunuhnya tanpa ada rasa berdosa sedikit pun,” kembali Pandan Wangi menjelaskan.

“Rupanya kau tahu banyak tentang dia, Pandan.”

“Karena aku pernah kehilangan seorang sahabat karib. Itu sebabnya aku menantangnya bertarung untuk membalas kematian sahabatku, Kakang.”

“Dan kau tidak mengukur kemampuan dirimu sendiri...?”

Pandan Wangi tidak menyahut. Mengangguk pun tidak.

“Kau terlalu berani, Pandan,” ucap Rangga seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kakang....”

“Hm?”

“Dewa Iblis biasanya membawa korbannya ke sini. Tempat ini dijadikan sebagai istananya. Tapi kedatangannya ke sini hanya kalau sudah mendapatkan korban seorang gadis muda,” jelas Pandan Wangi lagi.

“Hm..., kalau begitu kita tunggu saja di sini,” gumam Rangga.

“Mustahil kalau akan ke sini lagi, Kakang. Dia selalu mencari istana baru jika istana yang satu sudah diketahui orang lain yang dianggap sebagai musuhnya. Dan kau adalah musuh terbesarnya saat ini, Kakang.”

Rangga terdiam. Otaknya berputar keras mencoba mencari cara untuk mengejar Dewa Iblis yang kini entah berada di mana. Keterangan Pandan Wangi barusan membuat Pendekar Rajawali Sakti itu merasa menemukan jalan buntu. Tapi mendadak saja pemuda itu tersenyum, kemudian berjalan cepat mendahului Pandan Wangi.

“Kau tunggu di situ saja, Pandan!” seru Rangga begitu melihat Pandan Wangi hendak mengejar.

Pandan Wangi hendak bertanya, tapi Rangga keburu lenyap di balik lebatnya hutan ini. Terpaksa gadis itu menunggu, duduk di bawah sebatang pohon yang cukup besar dan lebat untuk melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.

********************

Apa yang dilakukan Rangga sama sekali tidak diketahui Pandan Wangi. Meskipun gadis itu sudah mengerahkan ilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’, tetap saja tidak mendengar apa-apa selain desiran angin dan gemerisik dedaunan. Pandan Wangi mengernyitkan alisnya saat melihat Rangga muncul lagi disertai senyuman di bibir. Gadis itu menunggu, tapi benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Sampai Rangga menggamit tangannya dan mengajaknya pergi, Pendekar Rajawali Sakti itu belum juga mengatakan apa yang telah diperbuatnya di balik pepohonan.

“Sebenarnya aku tidak ingin membalas dendam. Tapi karena aku tidak rela kau jatuh ke tangan manusia iblis itu, maka dia harus kubunuh sekarang juga,” kata Rangga tanpa menghentikan ayunan langkahnya.

“Kau tahu di mana dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Ya. Sekarang ini mungkin dia sedang menunggu kita. Tapi yang pasti, menungguku,” sahut Rangga kalem.

Pandan Wangi mengernyitkan dahinya. Sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba saja Rangga bisa mengetahui di mana Dewa Iblis itu berada. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti juga tahu kalau manusia iblis yang memakai nama Prabu Sumabrata itu sedang menunggunya. Pandan Wangi mencoba menerka-nerka, tapi tidak bisa menemukan jawabannya. Dia tidak melihat kedatangan Rajawali Putih. Juga tidak ada yang bisa diketahui selama Rangga pergi beberapa saat lalu.

“Kakang, dari mana kau tahu dia sedang menunggu kita?” tanya Pandan Wangi tidak bisa lagi mengekang keingin-tahuannya.

Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Sedikit pun tidak berpaling dan terus berjalan ringan bagai tidak menyentuh tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menghemat tenaga. Terpaksa Pandan Wangi mengimbanginya juga. Meskipun kelihatannya mereka berjalan biasa, tapi kecepatannya melebihi orang berlari sekuat tenaga.

“Aku tahu, kau ingin membalasku. Baik.... Aku tidak akan bertanya lagi,” keluh Pandan Wangi seraya mengangkat bahunya.

“Ini bukan pembalasan, Pandan. Tapi belum waktunya untuk mengatakannya padamu. Nanti pembalasannya,” kata Rangga seraya mengerling.

“Aku tunggu,” tantang Pandan Wangi tidak mengerti maksud Pendekar Rajawali Sakti itu.

Pandan Wangi memang tidak bertanya-tanya lagi. Diikuti saja ke mana Rangga pergi membawanya. Sama sekali gadis itu tidak mengetahui arah yang dituju. Hutan Gunung Jaran begitu luas, dan belum terjamah tangan-tangan manusia. Meskipun Pandan Wangi pernah ke Gunung Jaran ini, tapi belum pernah menjelajah sampai sejauh ini. Jalan yang dilalui memang sukar, tapi itu bukanlah halangan yang berarti bagi kedua pendekar muda ini.

Pandan Wangi memang tidak pernah tahu kalau Rangga kini mempunyai sahabat makhluk-makhluk aneh berwarna biru yang hidup dalam tanah. Dari sahabatnya itulah dapat diketahui, di mana Dewa Iblis kini berada. Selama masih berada di lingkungan Gunung Jaran, makhluk-makhluk berwarna biru itu bisa mengetahui siapa saja dengan cepat. Bahkan mereka bisa berada di mana saja. Karena selama masih ada debu di atas muka bumi ini, di situ mereka bisa muncul kapan saja bila diperlukan. Mereka memang berasal dari debu-debu halus yang dianggap kotor oleh semua orang.

Dan Rangga tidak mempunyai kesulitan meminta keterangan dari makhluk-makhluk biru itu. Ini karena Pendekar Rajawali Sakti dianggap sebagai pemimpin mereka. Dan Rangga sendiri memang cerdik. Diserahkan tongkat kepemimpinan pada salah seorang makhluk yang sudah diberi tanda. Dengan demikian, tak ada lagi yang dapat menguasai mereka. Sebab tongkat berkepala tengkorak yang menjadi lambang pemimpin bagi makhluk-makhluk biru itu kini ada pada makhluk yang diberi tanda. Rangga sudah berjanji dalam hati, akan merahasiakan hal ini tanpa terkecuali.

Kedua pendekar muda itu baru berhenti berjalan setelah tiba di suatu bibir lembah yang tidak begitu besar, namun kelihatan sangat indah. Di tengah-tengah lembah itu terdapat danau yang airnya berwarna keperakan tertimpa cahaya matahari. Rangga berdiri tegak memandang ke seluruh lembah itu. Sementara Pandan Wangi berdiri di sampingnya tanpa berbicara sedikit pun.

“Kau lihat sesuatu, Pandan?” tanya Rangga tanpa berpaling.

“Tidak,” sahut Pandan Wangi.

Si Kipas Maut itu memang tidak melihat sesuatu selain pepohonan, rumput ilalang, dan batu-batu serta danau di dalam lembah itu. Hanya burung-burung dan binatang lain yang ada di sana. Tak ada tanda-tanda kehidupan lain lagi. Apalagi manusia.

“Di sanalah Dewa Iblis berada sekarang, Pandan,” kata Rangga memberitahu.

“Kau yakin, Kakang?” tanya Pandan Wangi memastikan.

“Tentu!” sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling memandang si Kipas Maut yang masih saja mengedarkan pandangannya ke seluruh lembah. Tampak jelas kalau raut wajah Pandan Wangi begitu tegang, seperti akan menghadapi sesuatu yang sangat genting dengan mempertaruhkan nyawanya. Rangga bisa memahami. Karena jika tidak dihalangi atau didahului, gadis ini pasti akan berhadapan kembali dengan lawan tangguh yang memiliki kepandaian di atasnya.

“Apa yang kau pikirkan, Pandan?” tanya Rangga.

“Tidak ada,” sahut Pandan Wangi agak mendesah.

Rangga tidak bertanya lagi, dan memang tidak ingin mendesak gadis itu untuk mengungkapkan isi hatinya. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali memperhatikan lembah yang terbentang di depan.

“Kakang....,” terdengar pelan dan agak ragu-ragu nada suara Pandan Wangi.

“Ya...?” Rangga memalingkan mukanya menatap gadis di sampingnya.

“Kau harus hati-hati, Kakang. Dia licik sekali. Kau sudah mengalami saat kehilangan aku ketika kau tidur,” kata Pandan Wangi.

Rangga hanya tersenyum saja. Diakui dirinya pernah kecolongan saat Pandan Wangi menghilang. Dia tidak tahu kalau di saat tidur, Dewa Iblis membawa si Kipas Maut yang sedang terluka cukup parah. Dewa Iblis juga mengelabui Rangga saat menyangka Pandan Wangi pergi secara diam-diam menggunakan kudanya. Padahal kuda putih itu memang sengaja dilepas dan dibawa ke arah berlawanan. Dan tentunya, agar Rangga masuk dalam perangkap. Tapi meskipun Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menyadari, ternyata perangkap itu gagal. Bahkan Ki Ratapanca harus mengakui ketangguhan pendekar muda itu, sehingga mencari jalan halus agar Rangga meninggalkan Gunung Jaran ini.

“Ayo kita turun, Pandan,” ajak Rangga.

“Hhh,” Pandan Wangi mengangguk.

********************

DELAPAN

Tidak terlalu sukar bagi Rangga dan Pandan Wangi untuk menuruni lembah itu. Sebentar saja keduanya sudah sampai di tepi danau kecil di tengah-tengah lembah. Memang tidak ada seorang pun di sini. Rangga jadi ragu-ragu juga, apakah memang benar si Dewa Iblis menunggu di sini?

“Aku tidak yakin dia ada di sini, Kakang,” kata Pandan Wangi.

“Tunggu saja sebentar, Pandan. Tidak lama lagi pasti datang,” kata Rangga menyabarkan. Padahal hatinya sendiri juga ragu-ragu.

“Hhh...!” Pandan Wangi menarik napas panjang.

Mereka merayapi sekitar lembah ini. Tidak ada tanda-tanda kalau Dewa Iblis akan datang ke tempat ini. Semakin lama ditunggu, perasaan Pendekar Rajawali Sakti semakin ragu-ragu. Tapi sebelum keputusan diambil, mendadak saja...

“Ha ha ha...!”

Terdengar tawa menggelegar bagai hendak meruntuhkan dinding-dinding lembah yang sebagian besar terdiri dari batu-batu cadas. Pandan Wangi langsung melompat menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Diraba kipas baja putih di pinggangnya. Sedangkan Rangga mencoba mencari arah sumber tawa yang menggelegar itu.

Belum sempat Rangga mendapatkan arah sumber suara tawa itu, mendadak saja seberkas sinar merah membentuk bulatan sebesar kepala orang dewasa meluncur dari arah utara di atas lembah. Sinar bulat merah bagai bola api itu meluruk deras ke arah Rangga dan Pandan Wangi.

“Awas, Pandan...!” seru Rangga keras memperingati.

“Hup! Hiyaaa...!”

“Hap!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi segera melompat ke samping. Sedangkan Rangga merentangkan kakinya ke samping. Dan seketika itu juga kedua tangannya menghantam ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lebar. Pada saat bola merah itu hampir menghantamnya, mendadak saja dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu menghentak hembusan angin keras.

Wusss!

Bola api itu jadi berbalik arah dan menghantam dinding batu hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Akibatnya seluruh lembah ini jadi bergetar bagai diguncang gempa amat dahsyat. Dinding batu lembah itu hancur berkeping-keping, menimbulkan kepulan debu bagai jamur raksasa.

Belum lagi Rangga berhasil menarik pulang tangannya, kembali datang satu bola api yang kini meluncur lebih deras bagai kilat. Suara menderu terdengar memekakkan gendang telinga. Buru-buru kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti diangkat, dan diturunkan hingga sejajar dada. Kemudian secepat kilat dihentakkannya sambil berteriak nyaring.

“Hiyaaa...!”
Wusss!
Glarrr!

Kembali ledakan keras terdengar begitu bola api itu berbalik arah. Dan kini kembali ke atas, lalu menghantam bibir lembah yang lebat ditumbuhi pohon cemara. Tepat saat bibir lembah itu hancur, melesat satu bayangan putih ke udara. Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, karena tidak ingin Dewa Iblis kembali kabur.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara mempergunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ pada tingkatan terakhir. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras bagai sebatang anak panah terlepas dari busur. Kedua tangannya merentang ke samping dan bergerak-gerak cepat membuat lingkaran bagai sayap burung.

Wut! Wut...!

Dua kali Rangga mengebutkan tangannya begitu bisa mencapai sosok tubuh berbaju putih ketat yang melayang di udara. Tapi sosok tubuh putih yang ternyata memang Dewa Iblis atau juga dikenal sebagai Prabu Sumabrata itu berhasil mengelak dengan memutar tubuhnya mengikuti arah sabetan tangan itu.

Dan tanpa diduga sama Sekali, Dewa Iblis berhasil memberi serangan balasan dengan dua pukulan beruntun mengandung kemposan tenaga dalam tinggi. Rangga juga berhasil mengelakkan pukulan itu dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Pertarungan yang sangat ganjil terjadi di udara. Tapi tubuh mereka melorot turun pelahan-lahan tanpa menghentikan pertarungan. Mereka saling serang dan saling berkelit dengan kecepatan tinggi, sukar diikuti pandangan mata biasa.

Tap!
Tap!

Hampir bersamaan mereka mendarat di tanah dengan manis sekali. Pada saat itu, Rangga langsung memberi satu pukulan keras menggeledek. Pada saat yang sama, Dewa Iblis juga memberikan satu pukulan bertenaga dalam tinggi.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Buk!
Dug!

Pukulan-pukulan itu tidak bisa terbendung lagi. Dan tak mungkin masing-masing bisa mengelakkannya. Sehingga mereka sama-sama menerima pukulan pada waktu yang bersamaan. Tubuh mereka terpental ke belakang dan bergulingan di tanah, namun sama-sama cepat bangkit kembali dengan sigap. Langsung masing-masing mempersiapkan diri untuk pertarungan berikutnya.

“He he he...! Bagus! Ternyata nama besarmu tidak kosong, Pendekar Rajawali Sakti. Hari ini aku sungguh beruntung karena bisa berhadapan dengan seorang pendekar yang telah menggegerkan rimba persilatan,” ungkap Dewa Iblis disertai tawanya yang terkekeh.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam kecil saja. Namun tatapan matanya sangat tajam menusuk.

“Sudah lama kurindukan kesempatan seperti ini, Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata para pembantuku yang goblok memang benar. Kau benar-benar tangguh. He he he...!” kembali Dewa Iblis terkekeh di akhir kata-katanya.

“Hm.... Jadi kau sengaja menggiring Pandan Wangi ke sini, heh?!” dingin sekali nada suara Rangga.

“Ternyata kau cukup cerdas juga, Pendekar Rajawali Sakti. Pandan Wangi memang tidak bisa kudapatkan selama kau masih hidup. Dan saat inilah yang tepat untuk memperebutkan gadis itu,” tantang Prabu Sumabrata atau si Dewa Iblis.

“Mungkin kau lebih dahulu mengenal Pandan Wangi. Tapi sayang.... aku lebih beruntung daripadamu, Dewa Iblis!” balas Rangga sinis.

“Ha ha ha...! Keberuntungan belum ada, Pendekar Rajawali Sakti. Asal tahu saja, Pandan Wangi sudah mempertaruhkan jiwa dan raganya untukku. Dia ingin membalas kematian kekasihnya, tapi kalah. Maka janjinya harus ditepati, dengan menyerahkan diri seutuhnya padaku. Sekarang kau tidak berhak sama sekali memiliki gadis itu!” keras sekali suara Dewa Iblis.

Pandan Wangi yang berada di tepi danau langsung memerah wajahnya. Ditatapnya Rangga yang pada saat itu juga melirik ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh terkejut, karena baru kali ini mengetahui kalau Pandan Wangi ternyata dulu pernah punya kekasih. Bahkan rela mempertaruhkan martabat dan kehormatannya untuk membalas dendam atas kematian kekasihnya pada laki-laki muda yang wajahnya cukup tampan itu.

“Hari ini kita tentukan, Pendekar Rajawali Sakti! Bersiaplah! Hiyaaa...!”

Rangga tidak sempat lagi berpikir lebih jauh tentang Pandan Wangi dan si Dewa Iblis ini. Kini laki-laki muda berbaju putih ketat itu sudah melompat menyerang kembali menggunakan jurus-jurus dahsyat dan sangat berbahaya. Terpaksa Rangga melayaninya. Langsung saja dikerahkan seluruh gabungan dari rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’. Jurus-jurus pertama yang didapatkan ketika menjadi seorang pendekar muda, dan sampai saat ini masih sukar dicari tandingannya.

********************

Pertarungan tidak bisa dielakkan lagi. Dewa Iblis langsung mengerahkan jurus-jurus andalannya yang dahsyat dan sangat berbahaya. Serangan-serangannya begitu cepat dan mengarah pada bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti juga tidak lagi menganggap main-main. Serangan-serangan balasannya seringkali membuat Dewa Iblis harus jatuh bangun menghindarinya.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Sementara Pandan Wangi yang berada di tepi danau memperhatikan jalannya pertarungan itu tanpa berkedip. Gadis itu selalu menahan napas jika Rangga terdesak, dan menghembuskan napas panjang kalau Pendekar Rajawali Sakti itu mendesak lawannya.

Meskipun Pandan Wangi memiliki kepandaian tinggi, tapi menyaksikan pertarungan tingkat tinggi seperti ini, kepalanya jadi pening juga. Hampir sulit membedakan, mana Rangga dan mana Dewa Iblis. Karena mereka berdua sama-sama mengenakan baju putih. Sedangkan pertarungan berjalan begitu cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan putih berkelebat saling sambar.

Mendadak saja Pandan Wangi dikejutkan suara jeritan keras setelah sebelumnya terdengar suara pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang menghantam tubuh. Dan si Kipas Maut itu jadi menahan napas manakala terlihat salah seorang terpental tinggi ke angkasa. Begitu cepat kejadian itu sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Sedangkan seorang lagi langsung melesat mengejar.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Entah bagaimana kejadiannya, dua bayangan tubuh yang berada di udara itu saling berbenturan keras sekali, sehingga menimbulkan ledakan menggelegar bagai guntur di siang bolong. Dua orang yang berbenturan di udara itu saling terpental dan jatuh bergelimpangan di atas tanah, namun sama-sama cepat bangkit berdiri. Tampak yang mengenakan baju rompi putih agak terhuyung. Sedangkan yang seorang lagi agak terbungkuk. Masing-masing mengeluarkan darah pada mulutnya.

“Kita tentukan sekarang, Pendekar Rajawali Sakti!” dengus Dewa Iblis di sela dengusan napasnya yang memburu.

“Silakan,” tantang Rangga sambil mengatur jalan napasnya.

Dewa Iblis menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Jari-jari tangannya menegang terbuka lebar. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tampak, pelahan-lahan seluruh tubuh laki-laki muda berbaju putih itu terselimut sinar hijau.

“Hih!”

Rangga cepat merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping. Dirapatkan tangannya di depan dada, lalu menarik tubuhnya miring ke kanan, dan perlahan-lahan ditarik ke kiri. Dan dengan cepat tubuhnya kembali tegak, namun kakinya tetap terentang lebar agak tertekuk. Perlahan-lahan sekali tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti naik ke atas sejajar wajahnya. Dan begitu tangan kirinya kembali cepat ditarik turun ke dada, cahaya biru langsung menyelimuti kedua telapak tangannya yang berada di depan dada. Rangga kini mengerahkan aji ‘Cakra Buana Sukma’ tanpa menggunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Memang tidak sedahsyat jika menggunakan pedang, tapi sampai saat ini hanya satu dua orang yang mampu menandinginya.

“Hup! Hup! Hiyaaa...!”

Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Dewa Iblis berlari cepat ke arah Rangga sambil merentangkan tangan ke depan. Seluruh tubuh laki-laki muda itu sudah terselubung sinar hijau kekuning-kuningan.

“Aji ‘Cakra Buana Sukma’...! Hiyaaa...!” seru Rangga keras menggelegar.

Tepat pada saat tangan Dewa Iblis berada dalam jangkauan, seketika Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan. Benturan dua pasang tangan tak dapat dihindari lagi. Ledakan keras terdengar dahsyat. Dan pada saat itu, masing-masing terpental ke belakang dan bergulingan di tanah.

“Kakang...!” jerit Pandan Wangi cemas.

Tampak Rangga tergeletak sambil menggeliat-geliat di tanah. Sedangkan Dewa Iblis langsung bangkit berdiri meskipun tubuhnya sempoyongan dan tidak mampu berdiri tegak. Darah semakin banyak keluar dari mulut dan hidungnya.

Pandan Wangi berlari menubruk tubuh Rangga. Tapi belum juga gadis itu bisa memeluk, Rangga sudah merentangkan tangannya mencegah. Sambil menekap dada dengan tangan kiri, Pendekar Rajawali Sakti itu berusaha bangkit. Dirasakan kepalanya berat sekali, dan pandangannya berkunang-kunang. Darah terus menetes dari mulutnya.

“Kau.... Kau terluka, Kakang,” Pandan Wangi tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.

“Menyingkirlah, Pandan. Pertarungan ini belum selesai,” ujar Rangga dingin.

“Kakang....”

“Dia benar, Pandan. Kau tidak perlu ikut campur!” celetuk Dewa Iblis lantang.

“Iblis keparat! Kubunuh kau, hiyaaa...!” geram Pandan Wangi tidak bisa menahan kemarahannya.

Seketika itu juga Pandan Wangi melompat bagaikan kilat menerjang Dewa Iblis. Langsung dilepaskan kipas baja putihnya yang berujung tajam melebihi mata pisau. Dengan pedang kipas baja putih di tangan, Pandan Wangi langsung merangsek pemuda berbaju putih itu.

Namun sungguh di luar dugaan, ternyata walau pertarungannya melawan Rangga banyak menguras tenaga, tapi Dewa Iblis itu masih juga tangguh. Bahkan sukar bagi Pandan Wangi untuk mendesaknya. Dan dalam beberapa jurus saja, justru Pandan Wangi yang terdesak.

“Lepas...!” seru Dewa Iblis nyaring.

Bersamaan dengan itu, tangan kirinya menyodok ulu hati Pandan Wangi. Maka gadis itu buru-buru mengegoskan tubuhnya ke samping. Tapi tanpa diduga sama sekali, satu kibasan tangan yang cepat menghantam pergelangan tangan kanan si Kipas Maut.

“Akh...!” Pandan Wangi terpekik keras tertahan.

Belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak Pandan Wangi merasakan adanya satu sodokan keras di perut. Mulutnya mengeluh pendek dan tubuhnya terbungkuk. Pada saat itu Dewa Iblis menghantamkan satu pukulan keras ke arah dagu.

“Akh!” lagi-lagi Pandan Wangi terpekik.

Kepala gadis itu terdongak. Satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi telak menghantam dada gadis itu. Akibatnya dia terpental jauh ke belakang menghantam sebatang pohon besar di tepi danau lembah ini.

“Oh...,” Pandan Wangi merintih lirih, lalu menggeliat mencoba bangun. Tapi seluruh tubuhnya seperti remuk.

“Bajingan, keparat...!” geram Rangga marah. Wajahnya memerah melihat Pandan Wangi menggeliat-geliat seperti sedang meregang nyawa. “Mampus kau! Hiyaaa...!”

Dengan hati diliputi kemarahan serta kecemasan yang mendalam, Rangga melompat menyerang Dewa Iblis. Serangan Rangga kali ini sungguh dahsyat luar biasa. Pendekar Rajawali Sakti itu bertarung seperti tidak mempunyai aturan sama sekali. Gerakan-gerakannya sungguh aneh, cepat, dan sukar diterka arah tujuannya.

Memang Pendekar Rajawali Sakti menggunakan seluruh gabungan dari rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’ yang dirubah-rubah cepat sekali. Tentu saja hal ini membuat Dewa Iblis jadi kelabakan menghadapinya. Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan lawannya untuk balas menyerang. Pemuda berbaju rompi putih itu selalu mengurung rapat, dan semakin mempersempit ruang gerak pemuda yang juga biasa dipanggil Prabu Sumabrata. Padahal dia tidak mempunyai istana dan wilayah kerajaan.

“Hiyaaa...!”

Sret!

Kemarahan Rangga semakin memuncak karena ternyata lawannya alot dan sukar ditundukkan. Pendekar Rajawali Sakti itu mencabut pedang pusakanya. Maka seketika itu juga cahaya terang biru berkilau memancar dari pedang itu.

“Hiyaaa! Yeaaah...!”

Rangga langsung saja mengerahkan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Satu jurus andalan yang menjadi simpanan dan jarang digunakan. Terlebih lagi, ditambah dengan pedang pusaka yang maha dahsyat ini.

Sinar biru segera menggumpal-gumpal bergulung disertai gumpalan asap memenuhi sekitar pertarungan. Pedang bersinar menyilaukan itu berkelebatan di sekitar tubuh Dewa Iblis. Begitu cepatnya, sehingga seluruh tubuh laki-laki muda berbaju putih itu telah terselubung cahaya biru dan asap yang semakin tebal menggumpal. Rupanya dalam kemarahan yang memuncak, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tahap terakhir jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’.

“Ughk! Oh...,” Dewa Iblis mulai mengeluh.

Sungguh tidak dimengerti, karena perhatiannya jadi terpecah belah dan tidak terpusat pada pertarungan ini. Gerakan-gerakan jurusnya juga menjadi berantakan. Dewa Iblis tidak menyadari kalau jiwanya sudah terpengaruh oleh jurus yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki itu mulai limbung, dan jurus-jurusnya semakin kacau. Dia seperti tidak tahu lagi, di mana musuhnya berada.

“Ucapkan selamat tinggal, Dewa Iblis! Hiyaaa...!” seru Rangga lantang.

Wuk!

Bagaikan kilat, Rangga mengebutkan pedangnya ke arah leher Dewa Iblis yang sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi. Dan memang, tebasan itu tidak dapat terbendung lagi. Rangga langsung memasukkan pedang dan melompat mundur. Tampak Dewa Iblis berdiri tegak dan terdiam seraya menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri sejauh hampir lima langkah di depannya.

Bruk!

Tubuh Dewa Iblis tiba-tiba ambruk ke tanah! Belum juga tubuhnya menyentuh tanah, kepala pemuda itu terlepas buntung. Seketika itu juga darah muncrat keluar dari leher yang tanpa kepala lagi. Dewa Iblis tewas seketika tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sungguh dahsyat tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti, sehingga mampu menebas leher lawan bagaikan menebas batang pisang saja!

“Hhh...,” Rangga menarik napas panjang.

“Kakang...!” seru Pandan Wangi lemah.

Rangga menoleh, langsung membalikkan tubuhnya dan berlari menghampiri Pandan Wangi yang tergolek di antara reruntuhan pohon. Darah merembes keluar dari mulut gadis itu. Rangga membantu si Kipas Maut bangkit duduk, sedangkan dia sendiri duduk di depannya.

“Kau terluka cukup parah, Pandan,” kata Rangga.

“Ya. Tapi, lukamu lebih parah lagi, Kakang,” sahut Pandan Wangi lirih.

“Sudah tidak lagi, Pandan. Jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’ membantu penyembuhan lukaku. Tanpa disadari jurus yang mengandung unsur hawa murni itu mengalir ke seluruh tubuh,” jelas Rangga.

Pandan Wangi tersenyum, tapi begitu lemah dan tipis sekali.

“Aku kenal seorang tabib yang sangat ahli. Kau akan kubawa ke sana, Pandan,” kata Rangga lagi.

Pandan Wangi kembali tersenyum. Setitik air bening menggulir jatuh ke pipinya. Hatinya begitu terharu akan ketulusan cinta Rangga. Padahal seharusnya pemuda itu membencinya karena telah tahu dirinya kini. Seorang gadis yang hampir menghancurkan martabat dan harga diri, hanya karena hendak membalas dendam buat kekasihnya yang diakui sebagai teman biasa. Tapi Rangga tidak mempedulikan itu semua. Dipondongnya tubuh Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti kini melangkah pergi meninggalkan lembah ini bersama Pandan Wangi di pondongannya.

SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA: DENDAM RARA ANTING

Dewa Iblis

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

DEWA IBLIS

SATU
DUA ekor kuda berpacu cepat melintasi padang rumput yang sangat luas bagai tak bertepi. Penunggang kuda itu seorang laki-laki muda tampan. Rambutnya panjang meriap agak tergelung ke atas. Bajunya rompi putih, dan pedangnya yang bergagang kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Pemuda itu menunggang kuda berwarna hitam kelam yang tinggi dan tegap berotot.

Sedangkan penunggang kuda satunya lagi adalah seorang gadis cantik, mengenakan baju ketat berwarna biru langit. Begitu ketatnya, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang bergagang kepala naga tersandang di punggungnya. Kudanya berwarna putih bersih, tanpa belang sedikit pun. Kedua ekor kuda itu digebah cepat bagai kesetanan melintasi padang rumput luas di Kaki Gunung Jaran.

Dua ekor kuda itu terus berpacu cepat menuju sebuah bukit yang ditumbuhi pepohonan cukup lebat. Bukit itu sudah terlihat, namun masih cukup jauh untuk mencapainya. Sementara sang surya semakin terik dengan sinarnya yang panas membakar. Dua penunggang kuda itu berpacu cepat meninggalkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke udara. Tapi tiba-tiba saja...

Swing...!

“Awas...!” seru penunggang kuda hitam tiba-tiba.

“Hap!”
Tring!

Tepat ketika sebuah benda sepanjang jengkal tangan meluncur ke arah wanita berbaju biru itu, dengan cepat dicabut sebuah senjata yang terselip di pinggangnya. Seketika dikebutkannya untuk menyampok benda sepanjang jengkal tangan itu.

“Hup!”

“Yap...!”

Kedua penunggang kuda itu berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Memang tak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar padang rumput ini. Pandangan mereka kemudian tertuju pada sebuah benda seperti ranting berwarna biru tua yang menancap di tanah. Ada bulu-bulu halus pada ujung yang menyembul ke permukaan tanah. Pemuda berbaju rompi putih menghampiri dan mencabut benda itu.

“Mata sumpit...,” gumamnya pelan seraya memperhatikan benda di tangannya.

Bentuk benda itu hanya sepanjang jengkal tangan, bulat dan panjang dengan bulu-bulu halus pada ujungnya. Sedangkan satu ujung lainnya begitu runcing berkilat. Benda itu adalah mata sumpit yang biasa digunakan para pemburu kelinci atau binatang-binatang kecil lainnya. Biasanya benda ini beracun, tapi tidak berbahaya bagi manusia.

“Apa itu, Kakang?” tanya gadis berbaju biru seraya menghampiri.

“Mata sumpit,” sahut pemuda berbaju rompi putih seraya memberikan mata sumpit berwarna biru itu.

“Mungkin ada pemburu kelinci di sekitar sini, Kakang,” kata gadis itu setengah bergumam.

“Mungkin.... Tapi tidak ada perkampungan di sekitar Gunung Jaran ini.”

“Atau...,” suara gadis itu terputus seketika, dan,... “Awas Kakang...!”

“Hap!”

Cepat sekali pemuda itu mengibaskan tangannya ke samping, tepat ketika sebuah benda biru meluncur deras ke arahnya. Ternyata benda itu sama dengan yang pertama. Kedua anak muda itu menjadi semakin waspada. Jelas kalau mata sumpit ini bukan dari seorang pemburu yang meleset sasarannya. Tapi lebih berat ditujukan pada mereka berdua.

“Hati-hati, Pandan. Rupanya ada orang yang tidak suka atas kehadiran kita di sini,” bisik pemuda berbaju rompi putih itu.

“Baik,” sahut gadis itu yang dipanggil Pandan. Dia memang Pandan Wangi, yang berjuluk si Kipas Maut.

Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu tidak lain dari Rangga, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menatap tajam tanpa berkedip. Tapi tak ada satu tanda-tanda adanya kehidupan di sekitar tempat ini.
Bahkan tak terdengar sedikit pun suara-suara mencurigakan. Juga gerak-gerak rerumputan begitu sempurna tersapu angin. Tapi tiba-tiba saja...

“Auh...!” Pandan Wangi terpekik.

Sukar dipercaya! Mendadak saja dari dalam tanah menyembul sebuah tangan yang langsung mencekal kaki gadis itu, dan berusaha menariknya ke dalam. Maka kaki Pandan Wangi langsung melesak ke dalam tanah sampai ke betis.

“Kakang..., tolong!” seru Pandan Wangi terkejut.

“Tahan, Pandan! Hup...! Hiyaaa...!”

Cepat sekali Rangga bertindak. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat ke samping Pandan Wangi, lalu menghantamkan satu pukulan keras ke dalam tanah, tepat di depan kaki gadis berbaju biru itu. Kemudian dengan cepat pula Rangga melompat sambil meraih pinggang Pandan Wangi.

Dua kali mereka berputaran di udara sebelum mendarat manis di tanah berumput. Tampak wajah si Kipas Maut begitu pucat. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling merayapi rerumputan di sekitarnya.

“Sebaiknya kita segera pergi dari sini, Kakang,” usul Pandan Wangi, agak bergetar suaranya.

“Naiklah ke kudamu, Pandan,” ujar Rangga pelan.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya, dan hinggap di punggung kudanya. Wajahnya masih kelihatan pucat. Sungguh hatinya masih diliputi keterkejutan akibat kakinya tertarik ke dalam tanah. Sedangkan Rangga perlahan-lahan menggeser kakinya mendekati Dewa Bayu di samping kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut.

“Cepat, Kakang...,” desis Pandan Wangi.

“Baik! Hup...!”

Begitu Rangga berada di punggung kudanya, langsung menggebah kuda hitam itu agar berlari kencang. Pandan Wangi segera memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Dua ekor kuda kembali berpacu mendekati Gunung Jaran yang menjulang tinggi tertutup kabut pada bagian puncaknya. Kuda-kuda itu berpacu bagaikan berada di atas angin. Jelas sekali kalau kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi sukar untuk menyusul kuda hitam yang bernama Dewa Bayu.

“Kakang, tunggu...!” teriak Pandan Wangi keras.

Rangga menoleh, dan langsung memperlambat laju kudanya. Cukup jauh juga Pandan Wangi tertinggal di belakang. Maka gadis itu harus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi agar sampai di samping Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kembali menggebah Dewa Bayu setelah Pandan Wangi berada di sampingnya. Mereka berkuda berdampingan. Jelas kalau Rangga mengimbangi lari kuda putih yang tampak kewalahan mengikuti lari kuda hitam yang bukan kuda sembarangan itu.

“Hooop...!”

Rangga menghentikan lari kudanya begitu tiba di tepi hutan Kaki Gunung Jaran. Pandan Wangi mengikuti, dan langsung melompat turun dari punggung kudanya begitu melihat Rangga sudah turun dari punggung kudanya sendiri. Mereka berdiri berdampingan memandang ke padang rumput yang begitu luas bagai tak bertepi di depan sana.

“Apa sebenarnya yang terjadi, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Entahlah. Aku hanya melihat sebuah tangan menyembul dari dalam tanah dan menarik kakimu ke dalam,” sahut Rangga tanpa berpaling.

Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling, tentu akan melihat perubahan wajah Pandan Wangi yang begitu cepat memerah bagai kepiting rebus. Sebentar kemudian wajah itu berubah memucat. Tampak gadis itu bergidik sedikit, membayangkan sebuah tangan menyembul dari dalam tanah dan mencengkeram kakinya.

“Kau tidak main-main, Kakang...?” terdengar bergetar suara Pandan Wangi.

“Kenapa?” tanya Rangga seraya memalingkan mukanya.

Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti itu saat melihat wajah Pandan Wangi begitu pucat dan tubuhnya gemetar seperti menggigil kedinginan.

“Kau kenapa, Pandan?” tanya Rangga.

“Oh...! Ah, tidak. Tidak apa-apa,” sahut Pandan Wangi buru-buru memalingkan mukanya ke arah lain.

“Wajahmu pucat. Sakit...?”

“Tidak, Kakang. Aku hanya..., hanya.... Ah, sudahlah,” sahut Pandan Wangi tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.

“Kau takut, Pandan?” tanya Rangga tidak percaya.

Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Memang gadis itu sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja mempunyai perasaan yang belum pernah dirasakannya. Dia tidak tahu, apakah takut atau hanya terkejut saja dengan kejadian tadi yang begitu tiba-tiba dan sulit dimengerti ini. Sementara Rangga terus memperhatikan. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak percaya kalau Pandan Wangi jadi ketakutan setelah menceritakan peristiwanya.

“Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan ini, Kakang,” kata Pandan Wangi pelan.

“Sudah sore, Pandan. Sebentar lagi malam akan menjelang. Aku tidak tahu seberapa luasnya hutan ini. Dan lagi aku begitu yakin kalau di hutan ini tidak ada satu rumah pun yang bisa disinggahi,” jelas Rangga seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Jadi..., kita bermalam di sini?” kembali bergetar suara Pandan Wangi.

“Iya, kenapa...?” Rangga semakin heran saja melihat sikap Pandan Wangi yang tidak seperti biasanya.

“Tidak apa-apa, Kakang. Hanya saja...,” Pandan Wangi tidak melanjutkan ucapannya.

Rangga ingin bertanya lagi, tapi melihat wajah yang pucat begitu, segera diurungkan niatnya. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah dan memunguti ranting-ranting kering yang banyak tersebar di sekitar tempat ini. Dan tentu saja untuk dijadikan api unggun. Ditumpuknya ranting itu di bawah pohon dekat sebuah batu besar yang seperti seekor kerbau berkubang di dalam lumpur. Sedangkan Pandan Wangi masih berdiri saja memandang ke arah padang rumput yang baru dilewatinya tadi.

“Pandan, kau punya pemantik api?” tanya Rangga.

“Ada, di pelana kudaku,” sahut Pandan Wangi tanpa berpaling.

Rangga memandangi gadis itu sejenak, kemudian menghampiri kuda putih dan membuka kantung pelana kuda itu. Diambilnya pemantik api yang terbuat dari batu api berwarna putih bagai batu pualam. Kemudian pemuda berbaju rompi putih itu kembali duduk di dekat tumpukan ranting kering. Sementara senja semakin merayap turun. Keadaan di tepian Hutan Gunung Jaran ini semakin terasa suram. Angin mulai berhembus menyebarkan hawa dingin. Tidak lama lagi malam akan menggantikan tugas sang mentari yang sepanjang hari telah menyinari permukaan belahan bumi ini.

Dengan pemantik api itu, Rangga membuat api unggun. Disimpannya kembali pemantik api itu di dalam saku pelana kuda putih milik si Kipas Maut. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti membaringkan tubuhnya tidak jauh dari api yang berkobar melahap ranting kering. Agar tidak merambat, Rangga menghalanginya dengan batu-batu yang dibuat melingkar seperti cincin. Diperhatikannya Pandan Wangi yang masih saja berdiri memandang padang rumput yang mulai kelihatan gelap.

“Kau tidak pegal berdiri terus begitu, Pandan...?” tegur Rangga seraya beringsut dan duduk bersandar pada batu sebesar badan kerbau.

Pandan Wangi menoleh dan menghampiri, lalu duduk di samping Rangga agak ke depan. Namun pandangannya kembali tertuju ke arah padang rumput yang terlihat jelas dari tempat ini.

“Ada apa, Pandan? Kau melihat sesuatu di sana?” tanya Rangga seraya menggeser tubuhnya mendekati gadis itu.

“Ah, tidak,” sahut Pandan Wangi agak mendesah.

“Seharusnya tadi tidak perlu kuceritakan,” desah Rangga pelan bernada menyesal.

Pandan Wangi memalingkan mukanya, memandang wajah tampan di sampingnya. Diambilnya tangan Pendekar Rajawali Sakti itu dan didekapnya hangat-hangat. Rangga juga memandang wajah cantik yang matanya bersinar bening bagai sejuta bintang bertaburan di langit kelam. Beberapa saat lamanya mereka terdiam, hanya saling pandang saja.

“Kau cantik sekali, Pandan,” desah Rangga.

“Ih genit, ah!” dengus Pandan Wangi seraya mendorong dada Rangga yang mulai mendekat.

Tapi dengan cepat Rangga menangkap tangan gadis itu, lalu menggenggamnya kuat-kuat. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti menariknya, hingga gadis itu jatuh terjerembab dalam pelukannya. Pandan Wangi memekik kecil. Namun belum juga sempat menolakkan pelukan pemuda tampan itu, bibirnya sudah lebih cepat disumpal oleh bibir Rangga.

“Euf...! Hm....”

Pandan Wangi mencoba meronta melepaskan diri, tapi itu hanya sebentar saja. Kemudian dibalasnya pagutan Rangga dengan hangat dan penuh rasa cinta yang membara. Lenyap sudah semua bayangan peristiwa yang hampir membuatnya mati kaku sore tadi. Yang ada sekarang hanya kehangatan dan kemesraan yang menggelora dalam dada.

“Ah...!”

Pandan Wangi menggeliatkan tubuhnya saat jari-jari tangan Rangga mulai nakal menggerayangi tubuhnya. Gadis itu mendorong dada pemuda itu, dan cepat-cepat menggeser menjauh. Pada saat itu, tiba-tiba saja sebuah benda biru melesat ke arah mereka, dan menancap tepat di batu di antara kedua anak muda itu. Rangga dan Pandan Wangi terkejut bukan main, dan langsung melompat bangkit berdiri. Di batu sebesar kerbau itu tertancap sebuah mata sumpit berwarna biru dengan bulu-bulu halus pada bagian pangkalnya.

********************

Malam ini begitu gelap. Langit menghitam tersaput awan tebal, membuat cahaya bulan sukar menembus untuk menerangi permukaan bumi. Rangga menemui kesulitan untuk mencari sumber datangnya mata sumpit biru itu, karena sekelilingnya begitu pekat. Hanya keredupan api unggun saja menerangi sekitarnya dalam jangkauan yang tidak seberapa jauh.

Pandan Wangi menggeser kakinya mendekati Rangga. Gadis itu sudah menggenggam kipas baja putih yang masih tertutup. Itulah salah satu senjata yang menjadikan dirinya terkenal berjuluk si Kipas Maut. Tak ada yang membuka suara, masing-masing diliputi suasana tegang. Terlebih lagi Pandan Wangi. Belum pernah dirasakan ketegangan seperti ini. Sampai-sampai dadanya terasa sesak, bagai dihimpit sebongkah batu sebesar gunung.

“Kakang...,” belum lagi selesai ucapan Pandan Wangi, mendadak saja kembali melesat sebuah mata sumpit dari arah samping kiri.

Secepat kilat Pandan Wangi mengibaskan kipasnya yang langsung terbuka lebar. Kipas itu menyampok mata sumpit berwarna biru tua.

Tring!

Pandan Wangi melompat dua tindak ke belakang. Bibirnya meringis merasakan getaran pada pergelangan tangannya. Kalau saja tadi tidak dikerahkan tenaga dalam, kipas baja putihnya pasti terpental jauh ketika berbenturan dengan mata sumpit biru.

Belum juga Pandan Wangi sempat berpikir jauh, kembali dua buah mata sumpit meluncur ke arahnya dari arah yang berlawanan. Si Kipas Maut itu cepat-cepat memutar tubuhnya sambil mengebutkan kipas disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Dua kali terdengar dentingan senjata beradu. Dan mata sumpit itu terpental menancap cukup dalam di sebuah batang pohon. Buru-buru gadis itu melompat mendekati Rangga.

“Kakang..., tampaknya tempat ini sudah terkepung,” ujar Pandan Wangi setengah berbisik.

Belum lagi Rangga menyahuti, terdengar suara tawa terbahak-bahak. Suara tawa itu menggema seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin. Rangga menggumam, dan langsung merasakan kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, memang sukar untuk mencari arahnya.

“Ha ha ha...! Kau cukup cerdik untuk menebak, Pandan Wangi...!”

Belum hilang suara itu, mendadak muncul seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk mengenakan baju panjang berwarna biru gelap yang sudah kusam. Tangannya menggenggam sebatang tongkat yang ujungnya berbentuk kepala tengkorak manusia. Tongkat itu berkeluk tujuh, dan ujung bagian bawah berbentuk runcing bagai sebuah keris raksasa. Laki-laki tua itu muncul bagaikan dari dalam tanah. Tidak dapat diketahui, dari mana datangnya.

Pandan Wangi menggeser kakinya lebih mendekat ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan laki-laki tua bertongkat tengkorak manusia itu terkekeh, sambil menatap tajam ke arah mereka. Begitu tajam tatapan matanya, sehingga seperti sepasang bola api tertuju langsung ke arah Pandan Wangi. Sedikit pun tidak dipedulikannya keberadaan Rangga di tempat itu.

“Sudah cukup lama aku bersabar menunggumu, Pandan Wangi,” kata laki-laki tua itu.

“Kisanak, apa maksudmu berkata begitu? Aku tidak kenal denganmu!” bentak Pandan Wangi ketus.

“He he he.... Sudah kuduga, kau pasti akan berkata begitu, Pandan. Tapi kau tidak akan bisa lari lagi. Kau berada di wilayah kekuasaanku sekarang.”

“Siapa yang peduli? Aku bebas menentukan tempatku berpijak!” sentak Pandan Wangi masih ketus.

“Rupanya kau sudah pandai bersilat lidah, Pandan,” sinis nada suara laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu. Diliriknya Rangga dengan pandangan tidak suka.

“Kau pikir aku ini siapa, heh?! Aku tidak kenal denganmu! Dan jangan coba-coba mengusik kehidupanku, Orang Tua!” dengus Pandan Wangi dingin.

“Kehidupan...? Ha ha ha...!” Laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu tertawa terbahak-bahak.

Sementara itu Rangga hanya diam saja sambil menyimak setiap pembicaraan. Sebentar dipandangnya orang tua bertongkat kepala tengkorak di depannya. Sebentar kemudian ditatapnya Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya. Terlihat jelas dalam keremangan cahaya api unggun, kalau wajah Pandan Wangi selalu berubah pucat dan memerah bagai terbakar. Memang cukup sulit menebak perasaan si Kipas Maut saat ini. Dan perhatian Pendekar Rajawali Sakti kembali pada laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak.

“Sekarang juga kau harus ikut denganku, Pandan!” tegas laki-laki tua itu agak keras.

“Apa...?!” Pandan Wangi tampak terkejut. “Kau pikir aku ini siapa, heh...? Seenaknya saja ingin membawaku!”

“Aku tidak ingin main-main, Pandan. Ayo, ikut!” bentak orang tua itu.

“Tidak!” Pandan Wangi balas membentak.

“Bocah gendeng...!” dengus orang tua itu.

Tiba-tiba saja orang tua itu melesat bagaikan kilat, langsung mengarah ke Pandan Wangi. Tangan kiri yang tidak menggenggam tongkat, terjulur hendak mencengkeram gadis itu. Tapi manis sekali Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya berkelit, sehingga terkaman orang itu luput dari sasaran. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang tua itu bisa memutar tubuhnya cepat sambil mengibaskan tangan kiri ke arah dada si Kipas Maut.

“Ikh...!” Pandan Wangi terperangah.

Buru-buru si Kipas Maut itu mengebutkan kipas baja putihnya. Kalau saja orang tua itu tidak cepat-cepat menarik pulang tangannya, pasti ujung-ujung kipas baja putih itu telah membuat tangannya buntung seketika. Tapi dia masih juga bisa memberi satu serangan yang begitu cepat. Tongkatnya berkelebat bagaikan kilat menyambar ke arah kaki si Kipas Maut.

“Hait..!”

Cepat sekali Pandan Wangi melompat memutar tubuhnya ke belakang. Maka tongkat berkepala tengkorak itu lewat beberapa jengkal di bawah telapak kaki Pandan Wangi. Dan belum juga gadis itu menjejakkan kakinya di tanah, orang tua bertongkat itu sudah menyerang dahsyat kembali. Kali ini sasaran yang dipilih adalah dada. Dengan ujung jari telunjuk, dia bermaksud menotok si Kipas Maut.

Pandan Wangi mengetahui hal itu. Cepat-cepat dikibaskan kipasnya ke depan dada, sambil memutar tubuhnya. Seketika itu juga, kaki kanannya berkelebat melepaskan tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Hal ini membuat orang tua itu terperanjat, karena tidak menyangka kalau Pandan Wangi mampu melindungi diri sambil balas menyerang dalam waktu yang hampir bersamaan.

“Hup...!”

Cepat-cepat laki-laki tua berbaju biru tua dan bertongkat kepala tengkorak itu melompat mundur. Hampir saja tendangan Pandan Wangi menghantam perutnya. Dengan kedua kaki merentang lebar ke samping, orang tua itu menatap tajam pada si Kipas Maut. Mulutnya menggeram kecil, dan bibirnya yang hampir tertutup kumis putih bergetar menahan amarah.

“Kau cukup membuat kesulitan, Pandan!” dengus orang tua itu menggeram.

“Hm.... Lalu kau mau apa?” tantang Pandan Wangi sinis.

“Kesabaranku ada batasnya, Pandan! Aku tidak peduli siapa dirimu sekarang. Kau sudah membuat banyak kesulitan padaku. Nyawamu tak cukup untuk membayar penghinaan ini!”

Pandan Wangi hanya tersenyum sinis. Gadis itu tahu kalau orang tua bertongkat kepala tengkorak itu sudah sangat marah, tapi tidak dipedulikannya. Dengan adanya Rangga di sini, segala perasaan gentar lenyap dari hatinya. Gadis itu melirik Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi hanya diam saja memperhatikan. Sedikit pun pemuda berbaju rompi putih itu tidak melakukan tindakan apa-apa. Sepertinya Pandan Wangi diberi kebebasan untuk menentukan tindakan sendiri.

Pada saat itu, laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak manusia sudah kembali menyerang, dan kali ini tidak main-main. Bahkan tongkatnya yang aneh itu seperti memiliki nyawa saja, berkelebat mengancam bagian-bagian tubuh Pandan Wangi yang mematikan. Kali ini si Kipas Maut harus mengakui kalau lawannya memiliki kepandaian sangat tinggi.

Dalam beberapa jurus saja, sudah terlihat kalau Pandan Wangi kewalahan menghadapi serangan-serangan orang tua itu. Beberapa kali si Kipas Maut harus jatuh bangun menghindari serangan yang begitu gencar dan dahsyat luar biasa. Hingga suatu saat...

“Lepas...!” seru laki-laki tua bertongkat itu tiba-tiba.

Secepat itu pula dikibaskan tongkatnya ke arah dada Pandan Wangi. Cepat sekali si Kipas Maut itu mengebutkan kipasnya, melindungi daerah dadanya yang terancam. Namun sungguh di luar dugaan, ternyata orang tua itu memutar tongkatnya ke bawah. Dan seketika itu juga, tangan kirinya bergerak cepat menotok pergelangan tangan kanan si Kipas Maut.

“Akh...!” Pandan Wangi memekik keras tertahan.

Kipas baja putih yang menjadi senjata khas gadis itu terpental ke udara. Dan belum juga Pandan Wangi menyadari apa yang terjadi, satu tendangan keras mendarat telak di dadanya yang lowong. Satu tendangan yang tak terbendung lagi.

Bug!

“Akh...!” untuk kedua kalinya Pandan Wangi menjerit keras.

Tubuh si Kipas Maut terjengkang ke belakang sejauh beberapa batang tombak. Dan sebelum gadis itu ambruk, laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu sudah melompat memburu. Pandan Wangi tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dadanya seperti remuk, dan napasnya terhambat. Namun belum juga orang tua itu berhasil menerkamnya, mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat cepat dan telah lebih dahulu menyambar gadis itu.

“Heh...!”

********************

DUA

Bukan main terperanjatnya orang tua bertongkat kepala tengkorak itu. Karena, tiba-tiba saja Pandan Wangi lenyap dari hadapannya, tepat saat sebuah bayangan putih berkelebatan menyambar gadis itu. Orang tua itu jadi celingukan, lalu menggeram begitu menyadari kalau pemuda yang bersama Pandan Wangi juga ikut menghilang.

“Bedebah...!” umpatnya geram.

Diedarkan pandangannya berkeliling, tapi tak terlihat lagi seorang pun di tempat ini. Cahaya api unggun yang begitu redup tidak mampu menembus pekatnya kegelapan malam. Dia menggerutu dan memaki habis-habisan, tapi tetap saja tidak bisa menemukan yang dicari.

“Phuah! Pasti anak muda itu yang menyelamatkannya...!” dengusnya geram.

Sambil menghentakkan kakinya penuh kemarahan, orang tua itu melesat pergi meninggalkan tempat itu. Sama sekali tidak diketahuinya kalau ternyata Pandan Wangi bersembunyi di balik sebongkah batu besar bersama Rangga. Mereka baru keluar dari tempat persembunyian setelah cukup lama laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu pergi.

“Ughk...!” keluh Pandan Wangi saat berusaha berdiri hendak keluar dari tempat persembunyian ini.

“Kau terluka, Pandan?” tanya Rangga seraya membantu Pandan Wangi berdiri.

“He-eh...,” Pandan Wangi hanya menganggukkan kepalanya saja.

Rangga memapah si Kipas Maut keluar dari balik batu. Mereka menghampiri api unggun yang masih menyala redup. Sebagian ranting sudah hancur jadi debu. Rangga menambahkan ranting-ranting yang dikumpulkannya sore tadi. Api kembali membesar, menambah terang sekitarnya. Pandan Wangi duduk bersandar di bawah pohon yang cukup besar. Napasnya nampak terengah satu-satu. Pendekar Rajawali Sakti menghampiri dan duduk di depan gadis itu.

“Aku periksa lukamu, Pandan,” kata Rangga lembut.

“Uhk! Dadaku...,” keluh Pandan Wangi meringis.

Tanpa ragu-ragu lagi, Rangga menekan ujung jari telunjuknya di dada Pandan Wangi. Gadis itu meringis sambil menggeliatkan tubuhnya. Buru-buru pemuda berbaju rompi putih itu menarik kembali ujung jarinya. Dipandangi wajah gadis itu dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit berdiri dan menghampiri kipas baja putih yang tergeletak tidak jauh dari situ.

Dipungutnya senjata itu dan diserahkan pada Pandan Wangi. Gadis itu menyelipkan senjata kesayangannya di balik ikat pinggang. Jelas sekali kalau napasnya masih tersengal, namun tetap mencoba untuk tersenyum. Mendadak saja, Pandan Wangi terbatuk dan memuntahkan darah kental kehitaman.

“Pandan...!” sentak Rangga terkejut.

Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu memeluk Pandan Wangi, tapi pelukan itu malah dicegahnya. Gadis itu beringsut menjauh, membuat Pendekar Rajawali Sakti hanya memandanginya. Sedangkan sinar matanya penuh diliputi berbagai macam pertanyaan. Pandan Wangi membalas tatapan itu dengan pandangan sayu. Bibirnya yang berwarna merah kehitaman menyunggingkan senyuman tipis dan amat dipaksakan.

“Aku tidak apa-apa, Kakang. Hanya sesak sedikit,” kilah Pandan Wangi lemah.

“Kau terluka dalam, Pandan. Biar kuperiksa,” desak Rangga seraya menggeser mendekati.

Tapi Pandan Wangi mencegah, lalu menggeleng dan tersenyum tipis. Dengan punggung tangan, diseka darah di mulutnya. Rangga kelihatan cemas melihat Pandan Wangi begitu lemah dan pucat. Dia yakin kalau gadis itu terluka dalam akibat pertarungannya dengan laki-laki tua misterius tadi.

“Tidurlah, Kakang. Besok, pagi-pagi sekali kita harus keluar dari hutan ini,” kata Pandan Wangi, masih terdengar lemah suaranya.

“Kau benar tidak apa-apa, Pandan?” tanya Rangga cemas.

“Tidak. Aku ingin semadi, mudah-mudahan besok sudah segar lagi,” sahut Pandan Wangi meyakinkan.

Rangga memberi senyuman. Tapi dari sorot matanya masih menampakkan kekhawatiran. Sedangkan Pandan Wangi sudah duduk bersila. Ditekan kedua telapak tangannya di lutut yang terlipat. Rangga memperhatikan sebentar, kemudian menggeser tubuhnya menjauh.

Pendekar Rajawali Sakti itu memilih tempat di seberang api unggun. Direbahkan tubuhnya di atas rerumputan yang basah berembun. Perhatiannya masih tertuju pada Pandan Wangi. Gadis itu sudah tidak bergerak lagi melakukan semadi untuk mengusir rasa sesak yang menghimpit dadanya.

Melihat Pandan Wangi tampaknya benar-benar bersemadi, Rangga mulai memejamkan matanya. Pada saat itu Pandan Wangi membuka kelopak matanya. Diperhatikannya Pendekar Rajawali Sakti yang terbaring di seberang api unggun. Mata pemuda berbaju rompi putih itu terpejam rapat.

Napasnya begitu teratur, menciptakan gerak pada dada yang bidang sedikit berbulu. Agak nanar pandangan Pandan Wangi. Sementara malam terus merambat semakin jauh. Udara dingin begitu terasa menyebar dihembus oleh angin. Sedangkan api semakin redup cahayanya. Tak terdengar lagi suara, selain desiran angin malam dan jeritan binatang malam di hutan ini.
Pendekar Rajawali Sakti
Kokok ayam jantan begitu nyaring terdengar menyambut datangnya pagi. Matahari belum lagi menampakkan sinarnya. Namun burung-burung telah ramai berkicau di atas pepohonan. Rangga menggeliatkan tubuhnya, mencoba mengurangi rasa penat. Semalaman dia tertidur pulas, sehingga tak peduli terhadap nyamuk-nyamuk yang berpesta-pora menikmati darahnya.

“Pandan...!” tiba-tiba Rangga tersentak begitu teringat Pandan Wangi.

Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas bangkit, dan menjadi terkejut menyadari Pandan Wangi tidak ada lagi di tempatnya. Sesaat diedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi gadis itu tak terlihat lagi. Rangga terpaku begitu matanya tertumbuk pada kuda hitam yang tertambat di bawah pohon jati. Di sana seharusnya ada dua ekor kuda, tapi kini hanya tinggal seekor.

“Oh, tidak...!” sentak Rangga mulai dirasuki pikiran buruk.

Bergegas pendekar muda itu melompat ke punggung kuda hitamnya, tapi tidak jadi menggebah. Dipandangi tempat Pandan Wangi semalam duduk bersemadi. Pandangannya terpaku tak berkedip. Rerumputan di situ masih terlihat ada bekasnya. Juga...

“Oh.... Kenapa Pandan pergi begitu saja?” gumam Rangga dalam hati.

Terlihat jelas jejak-jejak kaki di atas rerumputan, yang berakhir di bawah pohon ini. Kemudian disambung jejak-jejak kaki kuda yang menuju tengah Hutan Gunung Jaran ini. Rangga menghentakkan kakinya, menyepak perut kuda hitam itu. Perlahan-lahan Dewa Bayu melangkah mengikuti jejak yang tertera jelas di tanah berumput.

Pagi masih terlalu gelap, namun jejak itu masih terlihat menuju dalam hutan. Rangga mengendalikan kudanya mengikuti jejak-jejak di tanah berumput yang dibasahi embun. Semakin jauh masuk dalam hutan, semakin banyak jejak yang terlihat. Bukan saja di tanah, tapi juga di ranting-ranting yang patah dan semak yang terkuak. Dan semua itu kelihatan masih baru. Terbukti, getah pada ranting itu terus mengucur.

“Hm...,” Rangga bergumam pelan.

Hutan di Gunung Jaran ini demikian lebat. Cukup sukar menerobos dengan menunggang kuda. Tapi jejak-jejak itu terus semakin jauh masuk ke dalam hutan. Rangga turun dari kudanya, lalu melanjutkan dengan berjalan kaki. Pendekar Rajawali Sakti itu membiarkan saja kudanya mengikuti, dan terus berjalan sambil memperhatikan setiap jejak yang terlihat. Semakin jauh masuk ke dalam hutan, semakin nyata kalau jejak itu masih baru.

“Kau ingin ikut denganku terus, Dewa Bayu?” tanya Rangga bertanya pada kudanya.

Kuda hitam itu meringkik kecil dan mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan bisa mengerti ucapan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menepuk leher kuda itu dan kembali berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sungguh luar biasa. Dewa Bayu ternyata mampu mengimbangi kecepatan pemuda itu. Padahal, jalan yang dilalui cukup sulit, lebat oleh rapatnya pepohonan yang saling berkait satu sama lainnya. Tapi kuda hitam itu tidak pernah jauh berada di belakang Rangga.

Sampai matahari berada di atas kepala, Rangga terus bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Meskipun kelihatannya berjalan biasa, namun kecepatannya melebihi orang berlari sekuat tenaga. Pendekar Rajawali Sakti itu baru berhenti setelah tiba di tepi sungai kecil berair jernih. Sedangkan Dewa Bayu menghampiri sungai itu, lalu menjulurkan kepalanya ke dalam sungai.

“Hhh..., putus sampai di sini,” keluh Rangga.

Jejak-jejak yang diikuti memang tidak tampak lagi di tepi sungai ini. Rangga memandang ke seberang sungai. Tidak seberapa lebar, dan hanya sekali lompatan saja bisa sampai ke seberang. Sungai ini juga dangkal, sehingga dasarnya jelas terlihat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat menyeberangi sungai kecil itu.

Benar dugaannya. Hanya sekali lompatan saja, Rangga berhasil menyeberangi sungai itu. Begitu ringan kakinya menjejak tepi seberang sungai. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Agak berkerut juga keningnya, karena tidak lagi menemukan satu jejak pun di seberang sungai ini. Tapi mendadak saja hatinya dikejutkan suara ringkik kuda dari seberang. Saat menoleh...

“Putih...,” desis Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melompat menyeberangi sungai begitu melihat seekor kuda putih berada di samping kuda hitam miliknya. Rangga mengenali betul kalau kuda itu milik Pandan Wangi, dan masih memakai pelana lengkap. Rangga bergegas menghampiri begitu tiba di seberang.

“Putih! Di mana Pandan Wangi?” tanya Rangga.

Kuda putih itu seperti mengerti pertanyaan Rangga, lalu langsung meringkik sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diputar tubuhnya dan berlari kencang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat ke punggung Dewa Bayu dan cepat menggebahnya. Kuda hitam itu meringkik keras, lalu melesat bagai sebatang anak panah lepas dari busur.

Rangga memacu kuda hitam itu membuntuti kuda putih yang terus berlari cepat. Dua ekor kuda berlari menyusuri tepian sungai yang jarang ditumbuhi pepohonan. Kemudian pada belokan sungai, kuda putih itu berhenti, lalu menoleh ke belakang dan kembali berlari lagi mendaki tebing batu yang tidak begitu terjal. Tak ada kesulitan bagi Rangga untuk mengendalikan Dewa Bayu mendaki tebing batu itu. Dan pada akhirnya Pendekar Rajawali Sakti sampai di sebuah dataran yang cukup luas. Rangga menghentikan kudanya, tepat saat kuda putih itu berhenti.

“Hup!”

Rangga melompat turun dari punggung kudanya. “Kau yakin Pandan Wangi ke sini, Putih?” tanya Rangga seraya mendekati kuda putih itu.

Kuda putih itu meringkik sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Rangga memperhatikan tingkah kuda putih itu, kemudian memandang sebuah perkampungan yang terlihat jelas di depan sana. Sebuah perkampungan kecil yang kelihatan sunyi bagai tak berpenduduk.

“Hm..., aku tidak pernah mendengar ada perkampungan di sekitar Gunung Jaran ini,” gumam Rangga berbicara pada dirinya sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati sekitarnya. Suasana begitu sunyi, tak terdengar suara apa-apa. Hanya desir angin saja yang mengusik telinga. Sama sekali tidak terdengar suara binatang. Rangga jadi bersikap waspada terhadap kesunyian ini. Dihampirinya kuda-kuda yang tengah merumput.

“Kalian tunggu di sini. Aku akan melihat ke sana,” kata Rangga pada kedua ekor kuda itu.

Kedua ekor kuda itu seperti mengerti saja, dan sama-sama terangguk dan kembali merumput. Rangga kemudian mengayunkan kakinya menghampiri perkampungan yang tidak begitu jauh di depan. Hanya melewati sedikit padang rumput kering, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di sana.

********************

Rangga merasakan adanya keanehan di perkampungan ini. Begitu sunyi. Malah sama sekali tidak terlihat seorang pun. Rumah-rumah yang terbuat dari bilik bambu beratapkan rumbia, semuanya kosong tak berpenghuni. Bahkan tanda-tanda kehidupan pun tidak dijumpai. Tidak begitu banyak rumah yang ada, hanya sekitar dua belas yang berdiri saling berdekatan satu sama lain.

“Hm..., apa nama tempat ini?” gumam Rangga bertanya pada dirinya sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti sudah mengelilingi tempat ini tiga kali, dan memeriksa setiap rumah. Tapi tetap tak dijumpai seorang pun. Bahkan tanda-tanda bekas kehidupan saja tidak dijumpai. Rumah-rumah ini seperti sengaja dibangun tidak untuk ditempati. Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati rumah yang berada paling tengah. Rumah yang paling besar dan kelihatan paling mewah.

Perlahan-lahan Rangga menghampiri rumah itu. Sepasang matanya yang tajam selalu beredar mengamati sekelilingnya. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu yang terbuka lebar. Dari luar sudah terlihat kalau rumah ini kosong tak berpenghuni. Tapi yang membuat Pendekar Rajawali Sakti itu bertanya-tanya, keadaan di sini begitu bersih seperti terawat rapi. Baru saja Rangga hendak melangkah memasuki rumah itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan dari arah belakang.

“Diam di tempatmu, Anak Muda!”

Rangga mengurungkan niatnya hendak memasuki rumah itu. Perlahan diputar tubuhnya berbalik. Tampak di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia lanjut, dan tubuhnya agak bungkuk. Bajunya bercorak indah dari bahan sutra halus yang cukup mahal harganya. Ikat kepalanya terbuat dari lempengan emas berhiaskan batu-batu permata. Laki-laki tua itu memegang sebatang tongkat hitam, yang dihiasi tiga buah cincin emas membelit tongkatnya. Rangga benar-benar terpukau, seakan-akan tengah berhadapan dengan seorang raja atau bangsawan kesasar di dalam hutan yang sunyi ini.

“Anak Muda, apa tujuanmu datang ke sini?” tanya laki-laki tua itu tajam.

“Maaf. Aku tidak sengaja berada di sini, karena sedang mencari adikku yang hilang,” sahut Rangga sopan seraya membungkuk sedikit memberi hormat.

“Hm.... Siapa namamu?”

“Rangga. Dan adikku yang hilang bernama Pandan Wangi.”

“Rangga...,” laki-laki tua itu bergumam pelan mengulangi nama Rangga.

Sedangkan Rangga sendiri hanya diam saja sambil terus mengawasi seksama. Benaknya masih dipenuhi berbagai macam tanda tanya tentang laki-laki tua ini. Kehadirannya sungguh mengejutkan dan tidak diketahui sama sekali. Sehingga bagai muncul dari dalam tanah saja.

“Kau memasuki daerah yang sangat terlarang, Anak Muda,” jelas laki-laki tua itu. Suaranya serak dan berat.

“Terlarang...? Aku tidak mengerti maksudmu, Ki,” tanya Rangga.

“Tempat ini terlarang bagi siapa saja, tanpa kecuali. Siapa saja yang melanggar harus mati. Itu sudah menjadi hukum tetap di sini, Anak Muda,” tegas kata-kata laki-laki tua itu.

“Eh, tunggu dulu! Aku tidak mengerti maksudmu. Malah aku tidak tahu siapa dirimu dan apa nama tempat ini,” sergah Rangga, terkejut juga mendengar kata-kata orang tua itu.

“Anak Muda, aku bernama Ki Ratapanca. Aku telah diberi wewenang untuk merawat dan menjaga tempat persinggahan ini. Sudah menjadi keputusan Gusti Prabu Sumabrata untuk menghukum mati siapa saja yang berani mengotori tempat ini! Jelas, Anak Muda...?” tegas Ki Ratapanca.

“Oh..., tapi aku tidak mengotori tempat ini. Aku hanya kebetulan lewat saja dan akan segera pergi kalau tidak menemukan adikku di sini,” sahut Rangga mulai bisa mengerti sedikit.

“Aku tidak mengenal adikmu! Dan dia tidak ada di sini. Sudah tiga purnama tempat ini tidak pernah disinggahi seorang pun.”

“Kalau begitu, aku akan segera pergi,” ujar Rangga seraya mengayunkan kakinya hendak meninggalkan tempat yang sangat aneh baginya ini.

“Tunggu dulu...!” bentak Ki Ratapanca.

Rangga menghentikan langkahnya.

“Kau tidak bisa pergi begitu saja, Anak Muda. Dan kau baru boleh pergi, kalau sudah berhasil mengalahkanku.”

“Hm.... Aku tidak kenal siapa dirimu, dan kau juga tidak kenal siapa diriku. Kenapa harus bertarung?” Rangga mengerutkan keningnya.

“Kenal atau tidak, suka atau tidak suka, kau harus bertarung denganku. Jika berhasil mengalahkan aku, kau boleh bebas pergi dari sini, Anak Muda!” tegas Ki Ratapanca.

“Aneh...?! Apakah ini juga perintah dari Gusti Prabumu?”

“Tentu!”

“Hm...,” Rangga bergumam seraya mengerutkan keningnya dalam-dalam.

Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak Ki Ratapanca sudah melompat sambil berteriak keras menerjangnya. Tongkat hitam dengan cincin emas tiga buah berkelebat bagaikan deburan ombak menghantam pantai.

Rangga terkejut, dan buru-buru melompat mundur menghindari serangan mendadak ini. Terkesiap juga hatinya, begitu merasakan angin kebutan tongkat yang demikian dahsyat itu. Tubuhnya sampai terhuyung bagai selembar daun kering terhempas angin. Namun cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menguasai keseimbangan tubuhnya sebelum Ki Ratapanca menyerang kembali.

“Tahan! Aku....”

Belum lagi Rangga selesai berkata, Ki Ratapanca sudah kembali menyerang dahsyat. Tongkat yang panjangnya sama dengan tubuhnya itu berkelebatan di sekitar tubuh Rangga. Pemuda berbaju rompi putih itu terpaksa berlompatan menghindari setiap serangan laki-laki tua itu.

Menyadari serangan-serangan yang datang begitu gencar dan sangat berbahaya, Rangga segera menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Gerakan-gerakan kaki dan tubuhnya memang seperti tidak beraturan dan bagai orang yang tidak pernah mengerti ilmu olah kanuragan. Tapi Ki Ratapanca sulit untuk mendesak. Setiap serangan yang dibangun, selalu kandas dan tidak pernah menemui sasaran tepat. Bahkan beberapa kali ujung tongkatnya hampir menusuk tubuh Rangga. Namun tinggal beberapa helai rambut lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu dapat menghindar dengan manis.

“Hup...!”

Tiba-tiba saja Ki Ratapanca melompat mundur menghentikan serangan-serangannya. Ditatapnya Rangga, seakan-akan tengah mengukur kemampuan pemuda itu. Sedangkan Rangga sendiri hanya berdiri tegak dan bersikap tenang.

“Apa hanya sampai di situ kemampuan yang kau miliki, Anak Muda?” tanya Ki Ratapanca, agak sinis suaranya.

“Persoalan yang kuhadapi sudah cukup banyak, Ki. Dan aku tidak ingin menambah persoalan baru lagi denganmu,” sahut Rangga tenang.

“Hm. Penolakanmu sungguh halus, tapi bukan berarti kau bisa pergi dari tempat ini begitu saja.”

Rangga hanya diam saja. Bisa dimengerti kalau laki-laki tua itu tetap akan menyerangnya. Memang disadari kalau dirinya tidak akan mungkin bisa melayani jika hanya menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’.

Sementara Ki Ratapanca sudah kembali bersiap hendak menyerang. Rangga masih berdiri tenang dan terus memperhatikan. Selama laki-laki tua itu masih menggunakan jurus-jurus olah kanuragan, Pendekar Rajawali Sakti akan melayaninya pula dengan jurus. Rangga tidak ingin membuat persoalan baru, dan sedapat mungkin bisa meninggalkan tempat ini tanpa membuat Ki Ratapanca merasa sakit hati.

TIGA

Rangga benar-benar tidak bisa mengelak lagi dan harus bertarung dengan Ki Ratapanca. Laki-laki tua itu kelihatannya bersungguh-sungguh hendak merobohkan Pendekar Rajawali Sakti. Setiap serangan yang dibangun sungguh berbahaya dan sangat mematikan. Sedikit kelengahan saja akan berakibat parah. Dan Rangga tidak bisa lagi bermain-main. Memasuki jurus ke dua puluh, Pendekar Rajawali Sakti itu mulai kelihatan hati-hati. Serangan baliknya selalu membuat Ki Ratapanca kelabakan menghindarinya.

Beberapa kali Ki Ratapanca harus jatuh bangun menghindari setiap serangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi laki-laki tua itu masih juga mampu menyerang, meskipun kini sudah tidak sering. Bahkan sekarang lebih banyak bertahan. Hingga pada jurus yang ketiga puluh, terlihat jelas kalau Ki Ratapanca terdesak hebat. Beberapa kali pukulan dan tendangan Rangga mendarat di tubuhnya, sehingga membuat laki-laki tua itu terguling dan terjerembab mencium tanah.

Buk!

Satu pukulan keras kembali bersarang di tubuh Ki Ratapanca. Laki-laki tua itu kontan mengeluh pendek. Dan belum lagi dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali satu tendangan keras bersarang di tubuhnya. Laki-laki tua itu terjerembab ke tanah dengan posisi menelentang. Rangga cepat memburu. Dan hampir saja kakinya menjejak dada orang tua itu, tapi Rangga cepat melompat mundur dan mengulurkan tangannya.

“Ughk! Terima kasih,” ucap Ki Ratapanca seraya menerima uluran tangan Rangga.

Laki-laki tua itu berdiri. Dipungut tongkatnya yang tadi sempat terlepas dari genggaman. Sambil membersihkan debu yang melekat di baju, dipandanginya Rangga. Pemuda berbaju rompi putih itu hanya memperhatikan saja, dan bibirnya terkatup rapat.

“Kau hebat, Anak Muda. Aku mengaku kalah,” ujar Ki Ratapanca disertai senyum terkulum di bibir.

Sinar mata laki-laki tua itu tidak lagi tajam, dan kini malah kelihatan cerah dengan wajah berseri-seri. Padahal wajahnya agak memar dan sedikit berdarah pada sudut bibirnya. Sikap Ki Ratapanca membuat Rangga jadi berpikir lain. Benaknya diliputi berbagai macam pertanyaan tentang diri laki-laki tua dan juga tempat yang aneh ini.

“Kau boleh pergi sekarang, Anak Muda,” kata Ki Ratapanca ramah.

Namun Rangga tetap diam tak bergeming.

“Tunggu apa lagi, Anak Muda? Kau sudah bebas, dan bisa meninggalkan tempat ini,” ujar Ki Ratapanca.

“Ki Ratapanca, di balik sikapmu, bisa kuduga kalau kau menyimpan sesuatu,” tebak Rangga pelan, namun terdengar mantap suaranya.

Ki Ratapanca hanya tersenyum saja, kemudian menghampiri Rangga dan menepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga diajaknya masuk ke dalam rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lainnya. Rangga tidak menolak, dan mengikuti saja. Mereka kemudian duduk bersila saling berhadapan di ruangan depan yang cukup luas. Hanya selembar permadani tipis sebagai alas lantai yang mereka duduki kini.

“Sudah lama aku menunggu seseorang yang berkepandaian tinggi sepertimu, Anak Muda,” jelas Ki Ratapanca setelah cukup lama berdiam diri.

Rangga hanya diam saja.

“Entah sudah berapa orang yang datang ke sini, tapi tak seorang pun yang bisa kembali lagi...,” lanjut Ki Ratapanca, agak pelan suaranya.

“Kau membunuh mereka, Ki?” tanya Rangga.

“Dalam suatu pertarungan, hanya ada dua pilihan, Anak Muda. Membunuh atau dibunuh.”

“Tentu yang kau bunuh orang-orang yang tidak bersalah. Mungkin saja mereka hanya sekadar lewat seperti aku ini, Ki. Atau mungkin hanya seorang perambah hutan yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan.”

“Tidak, Anak Muda...,” Ki Ratapanca menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak ada satu desa pun di sekitar Gunung Jaran ini. Tidak ada perambah hutan yang memasuki kawasan hutan di sini. Mereka yang datang memang sengaja menguji nasib, tapi ternyata hanya mengantarkan nyawa. Kemampuan mereka begitu rendah, tapi bermulut besar. Mereka tidak pernah mengukur diri sendiri, dan semua itu tidak pernah kusesali. Tapi....”

“Tapi kenapa, Ki?”

“Sejak pertama melihatmu, aku melihat ada sesuatu yang tidak pernah kutemukan selama tiga tahun ini. Kau begitu lain, tidak seperti mereka yang datang ke sini terlebih dahulu. Kau begitu sopan dan selalu merendah. Bahkan tidak bertarung sepenuh hati. Kenapa, Anak Muda? Apakah karena kau menganggapku seorang tua yang sudah tidak waras lagi?”

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. “Maaf, Ki. Tidak sedikit pun terbetik di hatiku kata-kata seperti itu. Aku hanya tidak ingin membuat persoalan denganmu. Lagi pula, tidak ada gunanya melenyapkan nyawa seseorang sebelum aku tahu pasti segala urusannya. Dan sebenarnya bukan nyawa manusia yang kulenyapkan, tapi iblis yang bercokol di hati mereka. Sama sekali setiap musuhku tidak pernah kubenci. Aku hanya ingin membebaskan mereka dari cengkeraman nafsu setannya,” tenang sekali Rangga menjelaskan.

Entah kenapa, tiba-tiba saja Ki Ratapanca tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Rangga. Sedangkan Rangga hanya diam saja. Sedikit pun dia tidak merasa tersinggung, bahkan hanya tersenyum saja.

“Aku benar-benar kagum padamu, Anak Muda. Belum pernah kutemui orang sepertimu. Memiliki prinsip hidup yang begitu cemerlang. Apakah itu keluar dari hati nuranimu...?” ujar Ki Ratapanca setelah reda tawanya.

“Mungkin iya, mungkin juga tidak,” sahut Rangga mantap.

“Bagus! Aku suka jawabanmu, Anak Muda. Jika kau jawab iya, itu berarti berdusta. Dan yang pasti aku akan menyerangmu kembali sampai salah satu di antara kita ada yang mati!”

“Hm, kenapa begitu?”

“Karena aku tidak suka kemunafikan. Aku lebih suka kepolosan dan sikap apa adanya. Itu sebabnya tempat ini kubangun dan kujaga dari gangguan manusia-manusia kotor berhati iblis yang bisanya hanya mengobral mulut besar, tapi tidak ada bukti sama sekali.”

“Hm.... Jadi, apa yang kau lakukan ini bukan karena perintah Prabu Sumabrata? Aku tahu kalau Gunung Jaran ini masih termasuk wilayah Kerajaan Kulon. Dan aku tahu nama rajanya bukan Prabu Sumabrata. Lalu, siapa yang kau maksudkan, Ki?” Rangga mulai bisa memahami hampir seluruhnya.

“Ha ha ha...!” lagi-lagi Ki Ratapanca menjawab dengan suara tawanya yang lepas menggelegar.

Meskipun pertanyaannya belum terjawab, tapi Rangga tidak merasa kecewa. Ditunggunya tawa Ki Ratapanca sampai habis. Laki-laki tua itu menepuk-nepuk pundak Rangga sambil tersenyum lebar. Sepasang bola matanya semakin berkilat bercahaya. Sedangkan Rangga hanya diam saja menunggu sabar jawabannya.

“Ternyata bukan hanya kepandaian tinggi saja yang kau miliki, Anak Muda. Kau begitu cerdik dan cepat tanggap,” tegas Ki Ratapanca memuji.

“Terima kasih. Tapi, kau belum menjawab pertanyaanku, Ki,” ucap Rangga.

“Ha ha ha...!” lagi-lagi Ki Ratapanca tertawa terbahak-bahak.

********************

Pagi-pagi sekali Rangga sudah mempersiapkan kudanya. Dia melompat naik ke punggung kuda hitam yang sudah berpelana. Tangan kirinya memegangi tali kekang kuda putih milik Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling saat mendengar suara pintu terkuak. Tampak Ki Ratapanca keluar dari rumah besar yang dikelilingi sebelas rumah yang berbentuk sama persis.

“Jadi juga kau pergi hari ini, Rangga?” tanya Ki Ratapanca setelah dekat di samping Rangga.

“Tentu, Ki,” sahut Rangga mantap.

“Ke mana tujuanmu?”

“Entahlah. Tapi aku yakin kalau Pandan Wangi belum meninggalkan Gunung Jaran ini, apalagi dalam keadaan terluka,” sahut Rangga.

“Kalau bisa kubantu, pasti aku akan membantumu, Rangga,” ucap Ki Ratapanca.

“Terima kasih, Ki,” ucap Rangga seraya tersenyum.

“Seharusnya akulah yang berterima kasih, karena kau masih memberi kesempatan padaku menikmati udara segar hari ini,” balas Ki Ratapanca.

“Tapi sayang, Ki. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu untuk tetap tinggal di sini dan membantu keinginanmu,” ujar Rangga pelan.

“Tidak mengapa, Rangga. Aku mengerti, keselamatan adikmu lebih penting daripada rencana gilaku ini.”

“Mumpung masih pagi, Ki. Aku pergi dulu,” pamit Rangga.

“Berangkatlah. Jangan lupa kalau sudah ketemu, bawa adikmu ke sini. Aku akan senang bila kau tinggal di sini beberapa hari.”

Rangga hanya tersenyum saja. Mengangguk pun tidak. Pemuda itu memang tidak pernah melakukan janji apa pun yang dirinya sendiri belum tahu kepastiannya. Pendekar Rajawali Sakti itu menggebah kudanya perlahan. Dewa Bayu bergerak pelan berjalan meninggalkan Ki Ratapanca yang memandanginya. Sedangkan kuda putih mengikuti dari belakang.

Ki Ratapanca masih berdiri memandangi kepergian Rangga sampai pemuda berbaju rompi putih itu lenyap dari pandangan mata. Bibirnya tersenyum, dan senyum itu semakin lebar. Lalu terdengar tawa menggelegar terbahak-bahak. Tiba-tiba saja orang tua itu melesat dan lenyap seketika, bagaikan hilang begitu saja.

Sementara Rangga sudah jauh meninggalkan rumah-rumah yang kosong tanpa penghuni itu. Dia tidak tahu, arah mana yang hendak dituju. Tidak ada lagi petunjuk atau jejak yang ditinggalkan Pandan Wangi. Hutan Gunung Jaran begitu luas, dan tidak mungkin dikelilingi dalam waktu singkat. Meskipun dibantu burung rajawali raksasa, rasanya tidak akan cukup mencari satu harian. Itu juga belum tentu bisa berhasil.

“Hhh...,” desah Rangga pelahan.

Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan langkah kudanya setelah tiba di tepi sungai. Di tempat ini jejak Pandan Wangi lenyap. Pemuda berbaju rompi putih itu turun dari punggung kudanya, lalu mendekati tepian sungai.

“Rasanya tidak mungkin kalau Pandan Wangi hanyut. Sungai ini sangat dangkal, dan arusnya juga tidak deras,” gumam Rangga berbicara pada dirinya sendiri.

Selagi Rangga merenung berpikir, mendadak saja telinganya mendengar desiran angin kencang dari belakang. Cepat sekali dimiringkan tubuhnya, dan digerakkan tangannya cepat.

Tap!

Rangga membeliak begitu melihat di antara kedua jarinya terselip mata sumpit berwarna biru dengan bulu-bulu halus menghiasi pangkalnya. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya. Pada saat itu, dari balik semak dan pepohonan bermunculan makhluk-makhluk yang sangat ganjil.

Ada sekitar delapan jumlahnya. Makhluk itu berwujud manusia, tapi sikap dan tingkahnya seperti kera. Seluruh tubuhnya berwarna biru, bahkan rambutnya pun berwarna biru. Mereka semua membawa sumpit berwarna kuning keemasan. Hanya selembar cawat kulit kayu yang menutupi auratnya. Mereka berjingkrakan membuat lingkaran mengepung Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm.... Apakah mereka yang membawa Pandan Wangi dari sini?” gumam Rangga bertanya pada dirinya sendiri.

Rangga memandangi makhluk-makhluk aneh yang mengelilinginya. Baik tingkah maupun suara mereka begitu mirip kera. Tapi tubuh dan wajahnya berwujud manusia biasa. Hanya saja seluruh tubuhnya berwarna biru.

“Khuk khuk khraaaghkkk...!”

Salah satu dari makhluk seperti kera itu memperdengarkan suara keras. Dan tiba-tiba saja makhluk yang berjumlah delapan itu berlompatan menerkam Rangga. Tentu saja serangan yang secara bersamaan ini tidak bisa dihindari dengan cara biasa. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melentingkan tubuhnya ke atas, dan hinggap di atas dahan pohon.

Belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa bernapas lega, manusia-manusia kera itu sudah berlompatan menyerang kembali. Tubuh mereka begitu ringan bagai kapas. Dan justru mereka semakin tangkas berada di atas pohon. Rangga jadi kewalahan menghadapinya. Hingga...

Bughk!

Satu pukulan keras mendarat di punggung Pendekar Rajawali Sakti itu. Tak pelak lagi, Rangga jatuh dari atas pohon yang cukup tinggi. Pendekar Rajawali Sakti kemudian bergulingan di tanah, dan cepat bangkit berdiri. Pada saat itu beberapa mata sumpit bertebaran di sekitar tubuhnya.

“Hiyaaa...!”

Tak ada kesempatan lagi bagi Rangga untuk mengatur jalan napasnya. Dia harus jumpalitan menghindari benda-benda biru yang bertaburan mengancam tubuhnya. Namun begitu benda-benda biru itu habis, Rangga kembali harus menghadapi delapan manusia setengah kera yang langsung menyerang setelah lebih dahulu meluruk turun dari pohon.

Rangga benar-benar tidak mempunyai kesempatan untuk mengambil napas, dan tentu saja tidak mau mati konyol di tempat ini. Segera saja Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan jurus ‘Seribu Rajawali’, salah satu dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’ yang sangat ampuh.

Begitu cepatnya Rangga bergerak, sehingga seolah-olah bisa membuat dirinya menjadi seribu orang! Hal ini membuat manusia-manusia setengah kera itu jadi kelabakan. Serangan-serangan mereka berantakan dan tidak beraturan lagi. Tubuh Rangga seperti ada di mana-mana, dan justru seperti mengepung mereka dari segala arah.

Beberapa kali Rangga berhasil mendaratkan pukulan maupun tendangan keras bertenaga dalam sangat tinggi. Tapi manusia-manusia berwarna biru itu seperti kebal dan tidak merasakan sakit sedikit pun. Bahkan tak ada pengaruh sama sekali, meskipun Rangga mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan dalam pukulan dan tendangannya.

“Gila! Tubuh mereka seperti karet!” dengus Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu memang merasa seperti memukul segumpal karet. Setiap pukulan dan tendangannya selalu berbalik. Kalau saja tenaga dalamnya belum sempurna, tentu akan memakan dirinya sendiri. Rangga jadi berpikir keras sambil terus mempergunakan jurus ‘Seribu Rajawali’. Memang hanya dengan jurus ini serangan-serangan yang dilancarkan manusia-manusia aneh itu mampu diimbanginya.

“Hm..., coba akan kugabung dengan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’,” gumam Rangga dalam hati.

Saat itu juga Rangga mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Tepat pada saat itu salah seorang lawan berada dalam jangkauan pukulannya. Secepat kilat Rangga melontarkan satu pukulan keras begitu tangannya mulai memerah bagai terbakar.

“Hiyaaa...!”
“Aaarghk...!”

Satu raungan keras terdengar bersamaan terdengarnya bunyi berderak dari tulang-tulang yang patah. Pukulan Rangga tepat menghantam dada salah seorang lawannya. Sungguh di luar dugaan sama sekali ternyata manusia setengah kera itu kini menggelepar di tanah dengan dada melesak ke dalam. Sementara dari mulutnya mengeluarkan darah segar.

Robohnya satu orang membuat yang lainnya terkejut. Mereka segera berlompatan menjauh. Tapi Rangga sudah melepaskan dua pukulan beruntun sekaligus, dan langsung mengenai dua orang manusia setengah kera yang terlambat menghindar. Kembali terdengar raungan keras. Dua manusia setengah kera kembali menggelepar. Salah seorang kepalanya pecah, dan seorang lagi perutnya jebol berantakan. Mereka langsung tewas seketika.

“Khraghk...!”

Begitu terdengar seruan keras yang serak, lima orang lainnya berlompatan kabur masuk ke dalam hutan. Rangga tak sempat lagi mengejar. Apalagi gerakan mereka begitu cepat, sehingga sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Tinggal tiga makhluk biru yang tergeletak tak bernyawa lagi di tanah.

“Hm..., aku yakin, ada orang lain di belakang mereka,” gumam Rangga pelan.

Belum lagi hilang suara gumaman Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja terdengar suara tawa terbahak-bahak. Rangga menggerinjang melompat tiga langkah ke depan. Suara tawa itu menggema, seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin. Jelas kalau suara tawa itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Rangga merasakan telinganya mulai sakit. Buru-buru dikerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk mengimbangi suara tawa itu.

********************

Rangga menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Ditarik napasnya dalam-dalam, dan dihimpun seluruh tenaga dalamnya di dada. Kemudian perlahan-lahan tangannya merentang ke samping, lalu...

“Yeaaah...!”

Dengan satu teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah terhimpun di dalam dada. Bumi bergetar, dan batu-batu berlompatan. Pohon-pohon berguncang menggugurkan daun-daunnya. Sungguh dahsyat suara teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu. Seluruh alam bagaikan murka. Dan suara tawa itu seketika berhenti, berganti jeritan panjang melengking.

“Hup! Hup! Hiyaaa...!”

Rangga menghentakkan tangannya ke depan sambil memutar tubuhnya ke kanan. Maka dari kedua telapak tangannya meluncur sinar merah yang langsung menghantam semak belukar. Ledakan keras terdengar begitu sinar merah menghantam semak belukar itu. Pada saat yang sama, tiba-tiba melesat sebuah bayangan biru dari dalam semak yang hancur berantakan. Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang laki-laki berbaju biru tua. Tangannya menggenggam tongkat berbentuk kepala tengkorak manusia pada ujungnya.

“Hhh! Kau lagi, Orang Tua!” dengus Rangga.

“Hebat! Ternyata kau memiliki kepandaian tinggi juga, bocah...!” terdengar dingin nada suara laki-laki tua itu.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam tidak jelas. Pandangan matanya begitu tajam menusuk langsung bola mata laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak di depannya.

“Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi, bocah!?” bentak laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu.

“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Orang Tua!” sambut Rangga dingin.

“Heh...! Aku tidak ada waktu bermain-main, bocah setan!” bentaknya gusar.

“Kau pikir aku juga ada waktu bermain-main denganmu?! Kenal pun aku tidak sudi...!” dengus Rangga tidak kalah ketusnya.

“Kadal! Mulutmu begitu lancang, bocah! Kau akan berlutut memohon ampun jika tahu siapa diriku!”

“Aku tidak peduli meskipun kau utusan iblis dari neraka sekalipun!”

“Setan...! Dengar, bocah! Kau sekarang ini berhadapan dengan pengawal Dewa Iblis, penguasa seluruh daerah Kulon!” lantang suara laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak yang menyebut dirinya sebagai pengawal penguasa daerah Kulon.

“Baru pengawal, sudah sok! Bahkan junjunganmu sendiri, aku tidak akan tunduk!” dengus Rangga dingin penuh ejekan.

“Beledek bongkrek! Kau menghina Dewa Iblis...!” geram laki-laki tua itu marah. “Kau harus mampus di tangan Borga si Tongkat Samber Nyawa!”

“Rasanya kau yang lebih dahulu akan terbang ke neraka, Orang Tua,” begitu dingin sambutan Rangga.

“Keparat...! Hiyaaa...!”

Rupanya laki-laki tua yang menyebut dirinya Borga atau si Tongkat Samber Nyawa itu sudah tidak bisa lagi membendung amarahnya. Seluruh wajahnya sudah memerah bagai besi terbakar di dalam tungku. Dia langsung saja melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti disertai teriakan keras menggelegar.

“Uts!” Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya ketika ujung tongkat si Tongkat Samber Nyawa meluruk ke arah dada. Secepat itu pula dikibaskan tangannya, menyampok tongkat yang lewat di depan dada. Tapi Borga lebih cepat lagi menarik pulang tongkatnya sambil melayangkan satu tendangan menyimpang dengan tubuh setengah berputar.

“Hait!”
“Hiya...!”

Cepat Rangga menarik mundur kakinya ke belakang sejauh dua tindak. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu berbuat sesuatu, Borga sudah menyerang dahsyat kembali. Tongkat berkepala tengkorak itu bagai memiliki mata saja. Meliuk-liuk berkelebatan mengincar setiap bagian tubuh Rangga yang mematikan. Ke mana pun Rangga berkelit, ujung tongkat yang runcing selalu cepat memburunya.

Trak! Trak...!

Beberapa kali tangan Rangga berhasil menyampok tongkat itu. Tapi setiap kali tangannya berbenturan, dirasakan adanya sengatan yang membuat aliran darahnya seolah-olah membeku. Bahkan jantungnya bergetar keras bagai hendak pecah. Rangga langsung menyadari kalau tongkat itu sangat berbahaya dan memiliki suatu kekuatan dahsyat. Menyadari akan hal itu, buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang begitu si Tongkat Samber Nyawa baru selesai memberikan serangan ke arah kaki.

“Kau tidak akan bisa lari, bocah! Dan kali ini harus mampus di tanganku!” dengus Borga menggerung.

“Tidak ada gunanya lari!” sahut Rangga dingin. “Kita tentukan, siapa yang mati lebih dulu hari ini, Borga!”

Setelah berkata demikian, Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari dalam warangkanya di punggung.

Sret! Cring...!

Seketika itu juga cahaya biru berkilau menyemburat keluar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu. Mata Borga langsung terbeliak lebar begitu melihat pamor pedang lawannya. Tubuhnya menggerinjang melangkah mundur tiga tindak. Kedua matanya tidak berkedip memandangi pedang yang melintang di depan Rangga.

“Kau gentar melihat senjataku ini, Borga...?” ejek Rangga memanasi.

Borga tidak menyahuti, tapi kembali menggeser kakinya ke belakang beberapa langkah. Mata dan mulutnya ternganga lebar, seakan-akan terpana menyaksikan pedang bercahaya biru di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

“Bocah! Siapa kau sebenarnya...?” sentak Borga tiba-tiba.

“Namaku Rangga! Tapi, orang-orang selalu memanggilku Pendekar Rajawali Sakti. Puas...?” sahut Rangga lantang.

“Hah...?!”

Borga kelihatan begitu terkejut mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut. Dia kembali melompat ke belakang beberapa langkah. Entah kenapa, tubuhnya seketika itu juga jadi gemetar bagai kedinginan. Padahal siang ini udara begitu panas, dan matahari bersinar amat terik.

“Kau.... Kau tunggulah di sini, bocah!” kata Borga.

Tanpa menunggu jawaban, laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu langsung melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata. Rangga memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Sama sekali hatinya tidak berminat mengejar laki-laki tua itu. Langsung dihempaskan tubuhnya ke atas rerumputan dan disandarkan punggungnya pada sebongkah batu yang cukup besar. Terdengar hembusan napas panjang dan cukup berat dirasakan.

“Hhh.... Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku...?” keluh Rangga lirih. “Ke mana perginya Pandan Wangi...? Hhh.... Terlalu banyak keanehan yang kujumpai di Gunung Jaran ini.”

Memang semua yang terjadi di Gunung Jaran ini belum bisa dimengerti Pendekar Rajawali Sakti. Terlalu banyak peristiwa yang dialami secara beruntun. Dan kesemuanya itu sukar dipahami. Terlebih lagi Rangga tidak bisa menghubungkan antara peristiwa yang satu dengan lainnya. Hanya saja, pusat pikirannya kini tertuju penuh pada hilangnya Pandan Wangi.

“Hhh..., Dewa Iblis. Siapa pula dia...?” gumam Rangga bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

********************

EMPAT

Seperti malam-malam sebelumnya, di sekitar Gunung Jaran suasananya begitu kelam. Langit tertutup awan hitam, sehingga menghalangi sinar bulan menerangi sekitar gunung itu. Angin bertiup kencang menyebarkan udara dingin membekukan tulang. Suasana di sekitar Gunung Jaran begitu sunyi, tak terdengar sedikit pun suara binatang malam. Hanya desiran angin dan gemerisik dedaunan yang terdengar.

Namun kesunyian itu mendadak dipecahkan oleh suara genderang ditabuh bertalu-talu. Suara-suara itu membangunkan Rangga dari tidurnya di tepi sungai kecil yang berair jernih dan mengalir pelan, Pendekar Rajawali Sakti menggerinjang bangun. Dimiring-kan sedikit kepalanya, mencari arah sumber suara genderang itu. Seketika pandangannya tertuju ke satu arah, tempat terlihatnya cahaya terang menyembul dari puncak pepohonan yang merapat hitam.

“Hm.... Suara itu dari...,” gumam Rangga terputus.

Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas menghampiri kudanya, tapi tidak jadi naik. Ditepuk-tepuknya leher kuda itu beberapa kali.

“Kau tunggu di sini, jaga si Putih,” kata Rangga.

Kuda hitam itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti mengerti ucapan Rangga. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu berlari cepat menuju cahaya terang yang terlihat jelas dari tempat ini. Begitu ringan dan cepat gerakannya, bagaikan terbang tak menyentuh bumi. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di perkampungan yang pernah dimasukinya. Perkampungan sunyi tanpa seorang penduduk pun menempatinya.

Rangga berhenti berlari, dan agak tertegun begitu melihat sebuah api unggun besar menyala di tengah halaman rumah yang paling besar di antara rumah-rumah yang ada di situ. Terlihat jelas, di sekitar api unggun itu berkeliling makhluk-makhluk berwarna biru yang bertingkah seperti kera. Mereka berjingkrakan mengikuti irama tabuhan genderang, bersorak-sorak sambil mengelilingi api unggun yang menyala besar membuat sekitarnya jadi terang.

Rangga bergerak mengendap-endap mendekati tempat itu. Sejak semula dia memang sudah curiga pada Ki Ratapanca yang bersikap aneh dan penuh tanda tanya. Semakin dekat ke perkampungan aneh itu, semakin jelas terlihat suasananya. Pendekar Rajawali Sakti itu terkesiap saat menatap ke beranda depan rumah besar itu. Tampak di sana terdapat dua buah kursi berukir indah yang diduduki sepasang manusia. Di samping kanan dan kirinya berdiri dua orang laki-laki tua yang sudah dikenal Rangga. Mereka adalah Ki Ratapanca dan si Tongkat Samber Nyawa.

Namun bukan kedua orang tua itu yang menjadi perhatian Rangga. Mata Pendekar Rajawali Sakti itu sampai tidak berkedip menatap wanita muda berbaju biru dengan sebentuk mahkota bertengger di kepalanya. Wajah yang cantik semakin terlihat cantik bagai dewi kahyangan. Wanita itu duduk di kursi berdampingan bersama seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju indah dan bermahkota.

“Pandan Wangi.... Apa yang dilakukannya di sini...?” desis Rangga bergumam.

Memang wanita itu adalah Pandan Wangi. Wajahnya nampak cerah, namun sorot matanya begitu redup tak bercahaya. Tak ada senyum sedikit pun tersungging di bibirnya yang merah menyala. Sedangkan pemuda di sampingnya terlihat senyum-senyum, dan sepasang bola matanya berbinar seperti bertaburkan bintang.

Baru saja Rangga hendak bergerak lebih mendekat, seketika dibatalkan niatnya. Dari dalam rumah yang berdiri mengelilingi rumah besar itu, bermunculan gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan cawat dari kulit kayu. Sebagian besar tubuh mereka dibiarkan terbuka lebar. Mereka berjalan beriringan membawa baki yang penuh makanan dan minuman serta buah-buahan. Sebentar saja di sekitar halaman rumah itu bagai sedang diadakan pesta.

Saat itu, di tempat persembunyiannya, Rangga terus mengawasi tanpa berkedip. Dia semakin ingin tahu kelanjutannya. Rasa penasarannya be-gitu dalam dan tertumpah penuh pada Pandan Wangi yang duduk berdampingan bersama seorang pemuda tampan bermahkota di kepalanya. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu agak menyipit saat melihat seorang laki-laki berjubah bagai pendeta tengah meniti anak-anak tangga beranda depan. Di belakangnya gadis-gadis yang berjumlah dua belas orang mengiringi.

Suara genderang berhenti ketika laki-laki tua berjubah bagai pendeta itu tiba di depan dua insan yang duduk berdampingan. Makhluk-makhluk berwarna biru juga berhenti berjingkrakan. Semua perhatian tertumpah ke beranda depan rumah besar itu. Rangga tidak berkedip, dan terus memperhatikan dari tempat persembunyiannya.

“Paman Pendeta Gorayana, apakah kau sudah siap melaksanakan upacara perkawinan ini?” tanya pemuda tampan yang duduk di samping Pandan Wangi.

“Semua sudah siap, Gusti Prabu Sumabrata,” sahut laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul yang dipanggil Pendeta Gorayana itu.

“Bagus! Laksanakanlah segera,” sambut Prabu Sumabrata seraya tersenyum cerah.

“Tapi, Gusti Prabu....”

“Apa lagi, Paman Pendeta?”

“Apakah mempelai wanita benar-benar sudah sehat? Sebab hamba tidak berani meresmikan perkawinan ini jika mempelai wanita masih dalam keadaan terluka.”

“Luka yang diderita calon istriku benar-benar sudah sembuh, Paman Pendeta. Tidak ada lagi yang perlu dirisaukan. Kau bisa bertanya pada Paman Ratapanca.”

“Benar, Kakang Gorayana. Pandan Wangi sudah sehat dan pulih seperti sediakala,” jelas Ki Ratapanca yang berdiri di samping Prabu Sumabrata.

“Kalau begitu, upacara bisa dilaksanakan, Gusti Prabu,” ujar Pendeta Gorayana.

“Laksanakanlah. Sudah terlalu lama aku menunggu peristiwa ini, Paman Pendeta. Aku tidak sudi lagi gagal berantakan seperti dulu.”

“Baiklah, Gusti Prabu.”

********************

Rangga benar-benar terkejut bukan main mendengar semua percakapan itu. Sudah dapat ditebak, siapa calon pengantin yang dimaksudkan. Keheranan semakin menyelimuti diri Pendekar Rajawali Sakti itu saat mendengar kesediaan Pandan Wangi menikah dengan Prabu Sumabrata. Ternyata gadis itu mengangguk mengiyakan saat ditanya Pendeta Gorayana.

“Gila! Ini tidak boleh dibiarkan!” geram Rangga dalam hati.

Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dada Pendekar Rajawali Sakti. Marah, geram, dan kecemburuan berkecamuk menjadi satu. Merah padam seluruh wajah Rangga. Jantungnya berdegup kencang dan napasnya mendengus memburu.

“Hentikan...!” seru Rangga tiba-tiba sambil melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Semua yang ada di tempat itu terkejut melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu tiba-tiba. Rangga langsung berdiri tegak di depan tangga beranda depan. Sama sekali tidak dipedulikan makhluk-makhluk berwarna biru yang sudah bergerak mengepungnya.

“Heh! Siapa kau, manusia tidak tahu adat?!” bentak Prabu Sumabrata.

“Aku Rangga. Aku tidak mengizinkan kau mengawini Pandan Wangi!” sahut Rangga dingin.

Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti itu sangat tajam dan terasa dingin menusuk. Sedangkan Pandan Wangi hanya diam duduk seperti patung. Seakan-akan tidak mempedulikan kehadiran Rangga di tempat ini.

“Gusti Prabu, ijinkan hamba memberi pelajaran kepada bocah kurang ajar ini,” ujar si Tongkat Samber Nyawa seraya membungkuk memberi hormat.

“Tunggu dulu, Paman. Aku ingin tahu, apa maksud kedatangannya ke sini,” cegah Prabu Sumabrata.

“Gusti, bocah ini bisa menjadi sumber bencana bagi kita semua. Hamba sudah pernah bertarung dengannya. Kepandaiannya sangat tinggi,” sergah Borga.

“Benar, Gusti Prabu,” sergah Ki Ratapanca.

“Hm..., jadi kalian pernah ber-hadapan dengannya?”

“Benar, Gusti Prabu,” sahut Ki Ratapanca dan Borga berbarengan seraya membungkuk memberi hormat.

“Kenapa kalian tidak mengatakannya padaku?” tanya Prabu Sumabrata menyesalkan.

“Ampun, Gusti Prabu. Hamba berdua tidak ingin merusak hari perkawinan ini. Hamba berusaha mengusirnya keluar dari daerah ini. Segala daya sudah hamba lakukan, tapi...,” kata-kata Borga terputus.

“Tapi kenapa, Paman?” desak Prabu Sumabrata.

“Bocah ini tangguh sekali,” jelas Borga tanpa malu-malu lagi mengakui.

“Gusti, bocah itu datang bersama Pandan Wangi. Dan Pandan Wangi diakuinya sebagai adiknya,” celetuk Ki Ratapanca.

“Oh..., begitu...?” Prabu Sumabrata tersenyum sinis. “Sejak kapan Pandan Wangi mempunyai seorang kakak? Atau dia kekasihnya?”

“Hamba pikir memang demikian, Gusti,” sahut Ki Ratapanca.

“Kalau begitu, singkirkan dia!” perintah Prabu Sumabrata tegas.

“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Borga dan Ki Ratapanca bersamaan.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua laki-laki tua itu berlompatan menerjang Rangga. Tentu saja Rangga yang sudah siap sejak tadi segera melompat ke belakang, dan langsung membalas serangan orang tua itu dengan sengitnya.

Tapi baru beberapa gebrakan saja, Borga dan Ki Ratapanca melompat mundur menghentikan serangan. Mereka berteriak memerintahkan makhluk-makhluk berwarna biru untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Makhluk-makhluk berwarna biru dengan tingkah seperti kera itu langsung berlompatan merangsek. Jumlah mereka tinggal lima orang. Tapi begitu mereka menyerang, mendadak saja dari dalam tanah bersembulan makhluk serupa yang langsung mengeroyok pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Borga dan Ki Ratapanca menyingkir mendekati tangga beranda rumah.

Semakin lama jumlah makhluk berwarna biru itu semakin banyak saja. Mereka bersembulan dari dalam tanah. Rangga benar-benar kewalahan menghadapinya. Ruang geraknya semakin sempit. Beberapa kali pukulan dan tendangannya berhasil mengenai sasaran, tapi makhluk-makhluk biru itu seperti tidak merasa sama sekali. Terus merangsek, tanpa mengenai gentar sedikit pun.

“Huh! Sekarang harus kugunakan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’,” dengus Rangga yang teringat pada pertarungannya melawan makhluk-makhluk ini di tepi sungai kecil.

Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti ini menggunakan jurus yang dahsyat itu. Kedua kepalan tangannya jadi merah membara bagai terbakar. Tidak ada satu pukulan pun yang luput dari sasaran. Jeritan melengking mulai terdengar, disusul ambruknya tubuh-tubuh berwarna biru. Darah mulai bersimbah membasahi tanah yang telah basah oleh embun. Namun makhluk-makhluk biru itu benar-benar tidak mengenal rasa takut. Mereka terus merangsek meskipun sudah banyak yang bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa lagi.

“Kalau begini terus, mereka bisa habis, Kakang Borga,” kata Ki Ratapanca.

“Kau tidak perlu cemas, Adi Ratapanca. Mereka tidak akan habis. Kau lihat saja,” sahut Borga atau si Tongkat Samber Nyawa tenang.

Memang benar apa yang dikatakan Borga. Makhluk-makhluk biru itu terus bermunculan dari dalam tanah. Seakan-akan kehidupan mereka berasal dari setitik debu. Dan hal ini tentu saja membuat Rangga semakin kewalahan menghadapinya. Keringat sudah ber-cucuran membasahi sekujur tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Sudah tidak terhitung lagi, berapa yang tewas. Tapi lebih banyak lagi yang bermunculan dari dalam tanah. Rangga jadi tidak habis mengerti. Mereka ini bagai mayat hidup yang tidak takut mati dan tidak punya perasaan sama sekali.

Tak ada pilihan lain bagi Rangga, kecuali segera mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung. Seketika itu juga cahaya terang berkilau menyemburat dari pedang itu. Dengan senjata andalan tergenggam di tangan, Rangga bagai malaikat maut yang mengamuk dan membantai makhluk-makhluk biru itu. Tapi mendadak saja keanehan terjadi. Makhluk-makhluk biru itu berlompatan mundur sambil menutupi mata dengan kedua tangannya.

“Gusti, sebaiknya pernikahan ini ditunda saja,” usul Pendeta Gorayana yang berdiri di samping Prabu Sumabrata.

“Benar, Gusti Prabu. Sebaiknya Gusti kembali saja ke istana dulu,” celetuk Borga.

Sebentar pemuda yang dipanggil Prabu Sumabrata itu terdiam sambil memandangi Rangga yang masih mengamuk dengan pedang bersinar biru berkilau di tangan. Kemudian digamitnya lengan Pandan Wangi, lalu melangkah masuk ke dalam diikuti Pendeta Gorayana dan Ki Ratapanca. Sedangkan si Tongkat Samber Nyawa tetap tinggal di tempat itu. Gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan cawat dan selembar kain penutup dada juga bergegas masuk ke dalam rumah-rumah lainnya.

********************

“Wuih...! Makhluk apa ini..,?” gumam Rangga keheranan melihat makhluk-makhluk berwarna biru itu tiba-tiba saja melesak masuk ke dalam tanah.

Semua makhluk aneh berwarna biru itu menghilang, terpendam ke dalam tanah. Hanya si Tongkat Samber Nyawa yang masih tinggal. Laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu menghentakkan ujung tongkatnya ke tanah tiga kali. Maka tiba-tiba saja dari dalam tanah bersembulan tiga pasang tangan yang langsung mencekal pergelangan kaki Pendekar Rajawali Sakti.

“Heh...?!” Rangga tersentak kaget.

Tapi belum juga hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan kakinya ditarik ke dalam tanah. Seketika kedua kakinya melesak sampai ke lutut. Rangga segera mengerahkan tenaga dalamnya, mencoba menarik kembali kakinya keluar dari dalam tanah. Tapi hasilnya bukannya keluar, melainkan malah semakin melesak dalam.

Sudah hampir sepinggang tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesak ke dalam tanah. Pemuda itu merasakan kedua kakinya dicengkeram kuat, dan terus ditarik ke dalam tanah. Sekuat tenaga berusaha ditahan agar tubuhnya tidak terus melesak masuk ke dalam tanah. Tapi tarikan itu demikian kuat, dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti semakin jauh masuk ke dalam.

“Ha ha ha...!” Borga tertawa terbahak-bahak melihat Pendekar Rajawali Sakti terus amblas ke dalam tanah.

Rangga mengangkat pedangnya tinggi-tinggi di atas kepala dengan ujung berada di bawah. Digenggamnya gagang pedang dengan kedua tangan erat-erat. Kemudian...

“Hiyaaa...!”

Wuk!

Crab!

Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti itu menghunjamkan pedangnya dalam-dalam ke tanah, tepat di depan perutnya. Tepat saat terdengar raungan panjang, Rangga segera mengempos tenaganya melenting ke udara.

Tawa si Tongkat Samber Nyawa seketika itu juga lenyap. Dua kali Rangga berjumpalitan di udara, kemudian manis sekali kakinya menjejak tanah tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Borga. Secepat kilat Rangga mengibaskan pedangnya ke leher laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu.

Bet!
“Uts...!”

Buru-buru Borga mengibaskan tongkatnya menyampok pedang itu sambil melompat mundur dua tindak.

Trak!
“Heh...!”

Betapa terkejutnya si Tongkat Samber Nyawa melihat tongkatnya terpotong menjadi dua bagian. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, Rangga sudah melayangkan satu tendangan menggeledek bertenaga dalam sangat sempurna ke arah Borga.

Des!

“Akh...!” Borga memekik keras.

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada si Tongkat Samber Nyawa. Akibatnya, tubuh laki-laki tua itu terpental jauh ke belakang dan menghantam pilar beranda depan rumah besar itu hingga roboh. Atap beranda langsung ambruk menimpa tubuh Borga.

Rangga melompat mundur ke belakang beberapa langkah. Bumi laksana bergetar ketika atap beranda rumah itu ambruk. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak. Di samping kakinya menggeletak tongkat berkepala tengkorak manusia. Rangga hendak memungut tongkat itu, tapi mendadak saja...

“Jauhkan tongkat itu dari tanganmu, Pendekar Rajawali Sakti...!” terdengar bentakan keras mengejutkan.

Rangga yang sudah membungkuk hendak mengambil tongkat berkepala tengkorak itu jadi mengurungkan niatnya, dan pelahan berdiri tegak kembali. Pandangannya langsung tertuju pada Borga yang sudah berada di atas reruntuhan atap beranda rumah besar itu. Tampak mulutnya dipenuhi darah, dadanya kelihatan melesak ke dalam. Borga berdiri gontai di atas kedua kakinya yang bergetar.

“Kau tidak boleh menjamah tongkat itu, bocah!” dengus Borga seraya melangkah gontai menghampiri.

“Kenapa? Tongkat ini tidak ada artinya lagi bagimu. Aku akan menggunakannya untuk memanggang tubuhmu!” dingin nada suara Rangga.

“Kau bisa saja membunuhku, Anak Muda. Tapi jangan harap dapat menyentuh tongkat itu!” kata Borga tidak kalah dinginnya.

“Kenapa tidak...?”

Rangga kembali membungkuk hendak memungut tongkat di dekat kakinya. Tapi belum juga tangannya menyentuh tongkat itu, Borga sudah melompat sambil berteriak keras. Langsung dilontarkan dua pukulan sekaligus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts...!”

Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya ke samping menghindari pukulan laki-laki tua itu. Namun selagi tubuhnya doyong, si Tongkat Samber Nyawa mengibaskan kakinya mengarah perut. Terpaksa Rangga melentingkan tubuhnya berputar, maka tendangan Borga luput dari sasaran. Secepat itu pula Borga menyambar tongkat yang tergeletak di tanah dengan ujung kakinya. Tongkat itu melayang ke udara.

“Hup! Hiyaaa...!”

Bagai kilat, Borga melesat ke udara mengejar tongkat berkepala tengkorak itu. Pada saat yang sama, Rangga juga melentingkan tubuhnya ke udara mengejar tongkat yang sama. Dua tokoh tingkat tinggi melesat cepat mengejar sebuah tongkat berkepala tengkorak manusia.

Tap!
Tap!

Dalam waktu yang sama, kedua orang itu menangkap tongkat berkepala tengkorak di udara. Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga melayangkan satu pukulan keras ke bagian dada Borga. Pukulan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali itu tak dapat dielakkan lagi.

Dug!

“Akh...!” Borga memekik keras.

Pegangannya pada tongkat berkepala tengkorak langsung terlepas, dan tubuhnya meluruk deras ke bawah. Seketika itu juga Rangga cepat memburu mempergunakan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Kedua kakinya bergerak cepat, sedangkan tubuhnya meluruk deras mengejar Borga.

“Hiyaaa...!"
Buk! Prakkk...!
“Aaa...!”

Satu jeritan melengking tinggi terdengar begitu kaki Rangga menghantam keras kepala si Tongkat Samber Nyawa. Laki-laki tua itu jatuh berdebum ke tanah. Kepalanya pecah dan darah bercucuran deras. Tepat pada saat Rangga menjejakkan kakinya di tanah, Borga tak bergerak-gerak lagi. Dia tewas, dan kepalanya pecah bersimbah darah.

“Hhh...!” Rangga menarik napas panjang dan agak berat.

Pendekar Rajawali Sakti itu hanya sebentar memastikan kalau lawannya sudah tewas, kemudian langsung melesat ke dalam rumah besar. Dia tahu kalau Pandan Wangi tadi dibawa pemuda yang dipanggil Prabu Sumabrata ke dalam rumah ini bersama Pendeta Gorayana dan Ki Ratapanca.

********************

LIMA

Rangga benar-benar tidak habis mengerti, rumah besar ini kosong, tak ada seorang pun yang dijumpai. Pendekar Rajawali Sakti itu terus mencari sampai ke belakang. Tetap saja tidak dijumpai seorang pun. Bergegas dia keluar lagi melalui pintu belakang, lalu memutari rumah ini. Dia berdiri tegak di tengah-tengah halaman yang cukup besar dan luas. Api unggun masih menyala terang membuat malam yang gelap gulita ini jadi terang-benderang.

“Pandan...!” teriak Rangga memanggil.

Teriakan yang begitu keras menggema terpantul, dan menyusup terbawa angin malam ke seluruh hutan di Gunung Jaran ini. Tapi tak ada sahutan sama sekali. Hanya gema yang menyahuti teriakan itu. Rangga menge-darkan pandangannya ke sekeliling. Tak ada yang dapat dilihat, kecuali mayat-mayat bertubuh biru dan mayat Borga yang tergeletak hampir memenuhi halaman rumah ini.

Dengan perasaan kesal bercampur kecemasan, Pendekar Rajawali Sakti itu mengambil tongkat berkepala tengkorak manusia milik Borga dan menghentakkan ke tanah. Saat itu juga tanah yang dipijak bergetar. Rangga terkejut, lalu berjingkrak ke belakang beberapa langkah. Belum hilang keterkejutannya, mendadak saja dari dalam tanah bersembulan makhluk-makhluk berwarna biru. Dan anehnya, makhluk biru yang sudah tewas, kembali hidup tanpa ada bekas luka sedikit pun!

“Edan! Lagi-lagi makhluk keparat ini muncul!” dengus Rangga gusar.

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung bersiap kalau-kalau makhluk biru itu menyerangnya. Tapi pemuda itu jadi terheran-heran, karena mereka hanya berdiri diam memandangnya. Malah sama sekali tidak mengadakan penyerangan. Pendekar Rajawali Sakti memandangi dengan sinar mata penuh keheranan dan segumpal tanda tanya memadati benaknya.

“Siasat licik macam apa lagi ini...?” Rangga bertanya-tanya sendiri di dalam hati.

Sebelum pertanyaan itu bisa terjawab, kembali Pendekar Rajawali Sakti dibuat keheranan yang amat sangat. Makhluk-makhluk biru itu tiba-tiba saja berlutut, dan kedua telapak tangannya ditekan ke tanah. Kepala mereka semua tertunduk dalam. Rangga melangkah mundur, dan seketika mereka yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak menyingkir memberi jalan. Hal ini membuat Rangga jadi semakin bertanya-tanya. Makhluk yang semula buas, mendadak jadi seperti hamba sahaya berada di depan majikannya.

“Apa yang kalian lakukan padaku...?” tanya Rangga terheran-heran.

Tak ada yang menjawab. Semuanya tertunduk diam, dan sikapnya tetap berlutut. Rangga memandangi makhluk-makhluk berwarna biru yang jumlahnya puluhan itu.

“Kalian punya mulut, tentunya bisa berbicara, bukan?” tanya Rangga lagi.

Salah satu makhluk biru yang berada tepat di depan Rangga mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersila. Dan yang lainnya segera mengikuti. Serentak mereka menggu-mamkan suara sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Hal ini membuat Rangga semakin tidak mengerti.

“Katakan, kenapa kalian tiba-tiba berubah sikap padaku?” pinta Rangga masih penasaran.

Makhluk biru yang tadi bersila lebih dulu, bangkit berdiri. Dibungkukkan tubuhnya dengan tangan masih merapat di depan dada. Rangga mengamati penuh keheranan. Dia tahu kalau itu merupakan sikap penghormatan. Tapi baginya sikap itu lebih pantas ditujukan buat seorang pemimpin, atau pada seorang raja.

“Kau bisa berbicara sepertiku?” tanya Rangga.

“Hamba, Yang Mulia,” sahut makhluk biru itu dengan suara berat, tapi nyaring. Lebih mirip suara jeritan seekor kera.

“Hm..., kau menyebutku Yang Mulia. Kenapa?” tanya Rangga ingin tahu.

“Yang Mulia adalah pemimpin kami. Kami siap mengabdi dan menjalankan segala perintah yang dititahkan Paduka Yang Mulia,” sahut makhluk biru itu penuh hormat.

“Pemimpin...?!” Rangga benar-benar tidak mengerti.

“Benar. Yang Mulia membawa tanda kepemimpinan dan telah memanggil kami yang telah siap menjalankan titah.”

Rangga baru tersadar kalau saat ini tengah memegang potongan tongkat milik Borga. Potongan tongkat berkepala tengkorak. Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi tongkat yang tergenggam di tangannya, kemudian beralih pada makhluk biru yang berdiri agak membungkuk di depannya. Sedangkan makhluk-makhluk biru lainnya masih duduk bersila dengan kepala tertunduk dalam.

“Siapa namamu?” tanya Rangga.

“Nama...? Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak mengerti,” sahut makhluk biru itu.

“Heh...! Apakah kau tidak punya nama?” Rangga terkejut heran. “Lalu, biasanya dipanggil apa?”

“Kami semua sama, Yang Mulia. Kami hanya mengabdi dan menjalankan titah pemimpin. Kami tidak pernah berhubungan satu sama lain. Jadi kami tidak memiliki panggilan apa pun,” makhluk biru itu menjelaskan dengan hormat.

“Aneh...,” gumam Rangga.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tersenyum. Memang makhluk-makhluk aneh berwarna biru itu satu sama lain sangat mirip. Jadi, sukar untuk membedakan. Tapi sedikit banyak Rangga sudah bisa mengerti, mengapa sikap mereka langsung berubah padanya. Rangga tahu kini, siapa saja yang memegang tongkat berkepala tengkorak ini, akan dianggap sebagai pemimpin mereka yang harus ditaati segala perintahnya.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan memanggilmu si Biru saja. Bagaimana?” tanya Rangga meminta pendapat.

“Hamba, Yang Mulia,” makhluk biru itu membungkukkan badannya.

Rangga hanya tersenyum saja. Tentu saja semua makhluk biru itu menyetujui, karena baginya tidak ada masalah menggunakan nama apa pun juga. Dan lagi Rangga sendiri tidak akan bisa mengenali lagi jika mereka satu sama lain sudah bergabung. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah menghampiri beranda depan salah satu rumah yang terdekat, kemudian mengambil sebuah tali kulit binatang yang digunakan untuk mengikat tiang. Pendekar Rajawali Sakti itu memberikan pada makhluk biru yang masih berdiri di tempatnya.

“Kalungkan ini pada lehermu, dan jangan dilepas,” perintah Rangga.

“Hamba, Yang Mulia.”

Makhluk berwarna biru itu menerima tali kulit dari tangan Pendekar Rajawali Sakti dan mengalungkannya di leher. Disimpulkannya ujung tali kulit binatang itu menjadi satu, kemudian dibungkukkan tubuhnya kembali memberi hormat. Rangga tersenyum, karena kini bisa mengenali salah satu makhluk yang sama seluruhnya itu.

“Nah, kalian boleh kembali. Kecuali kau, Biru,” perintah Rangga lagi.

Dia memang tidak membutuhkan makhluk-makhluk biru untuk saat ini. Makhluk-makhluk biru itu memberi hormat, kemudian kembali masuk ke dalam tanah. Sungguh menakjubkan! Begitu tubuh mereka lenyap ke dalam tanah, permukaan tanah kembali seperti semula. Tak ada tanda-tanda kalau makhluk-makhluk aneh berwarna biru keluar masuk dari dalam tanah ini. Kini tinggal satu yang masih bersama Rangga di atas permukaan tanah.

“Nah, Biru. Kau kenal orang itu?” tanya Rangga menunjuk mayat Borga yang tergeletak tidak jauh dari situ.

“Dia bernama Borga, Gusti. Sepuluh tahun lebih bangsa kami dikuasainya. Tapi sekarang Yang Mulia adalah pemimpin kami,” sahut si Biru.

“Apakah sebelum Borga, ada orang lain yang pernah menjadi pemimpin bangsamu?” tanya Rangga menyelidik disertai perasaan ingin tahu.

“Benar, Gusti. Kami selalu berganti-ganti pemimpin sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu.”

“Hm..., kenapa kalian selalu menganggap orang yang memegang tongkat ini sebagai pemimpin? Kenapa tidak mengangkat salah satu dari kalian saja yang menjadi pemimpin?” tanya Rangga.

“Hanya Sang Hyang Wenang yang mengetahui, Yang Mulia. Kami sudah ditakdirkan hidup dengan jumlah tetap sampai dunia ini berakhir. Begitu pula pemimpin kami yang selalu datang dari bangsa manusia. Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak tahu, karena semua ini adalah kodrat yang sudah ditentukan Sang Hyang Wenang,” sahut si Biru.

“Ya, sudah,” Rangga tidak mendesak lagi.

********************

Pagi sudah menghiasi mayapada ini. Sang surya menampakkan cahayanya menerangi seluruh permukaan bumi yang indah. Semalaman Rangga tidak bisa tidur, dan terus mencari Pandan Wangi. Tapi sudah setiap jengkal tanah di sekitar tempat ini diteliti, tidak juga ditemukan tanda-tanda yang bisa dijadikan petunjuk untuk menemukan Pandan Wangi.

Rangga duduk mencangkung di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Tidak jauh di depannya bersimpuh si Biru. Makhluk aneh bertubuh seperti manusia, namun berwarna biru dan tingkahnya lebih mirip kera. Rangga memandangi si Biru dalam-dalam. Sebenarnya dia tidak ingin menggunakan makhluk ini untuk kepentingannya. Tapi mengingat makhluk ini pernah bersama orang-orang yang kini menculik Pandan Wangi, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi punya pertimbangan lain.

“Biru, kau tahu di mana mereka kini berada?” tanya Rangga.

“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak mengerti maksud Yang Mulia,” sahut si Biru seraya memberi hormat.

“Maksudku Prabu Sumabrata dan orang-orangnya,” jelas Rangga.

“Yang Mulia, selama hamba hidup ribuan tahun di sini, tidak ada yang bernama Prabu Sumabrata. Hamba tahu kalau sekitar Gunung Jaran ini termasuk wilayah Kerajaan Kulon. Tapi raja sendiri tidak pernah mengijinkan rakyatnya mengusik tempat ini. Dan kami semua memang tidak ingin diganggu. Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu, kecuali..."

“Teruskan, Biru,” pinta Rangga.

“Kecuali Dewa Iblis, Yang Mulia.”

“Dewa Iblis...?!” Rangga terhenyak mendengar nama itu.

“Benar, Yang Mulia.”

Rangga terdiam membisu. Nama itu memang pernah didengarnya saat si Tongkat Samber Nyawa dulu pernah menyebutkan. Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti itu terdiam merenung. Otaknya berputar keras, kemudian Rangga tersentak dan bangkit berdiri. Dipandanginya si Biru dalam-dalam.

“Kau tahu di mana si Dewa Iblis itu tinggal?” tanya Rangga.

“Di Puncak Gunung Jaran ini, Yang Mulia. Dewa Iblis tinggal di sebuah kuil tua,” sahut makhluk biru itu.

Rangga mengalihkan pandangannya ke Puncak Gunung Jaran yang selalu terselimut kabut, baik siang maupun malam. Sepanjang mata memandang, hanya kehijauan yang tertutup kabut. Gunung Jaran ini memang tidak pernah dijamah manusia, dan Rangga sendiri baru kali ini ke sini.

“Biru, mengapa Dewa Iblis selalu mengganggu bangsamu?” tanya Rangga ingin tahu.

“Dewa Iblis yang ini adalah keturunan terakhir, Yang Mulia. Sejak jaman nenek moyang, antara kami dan dia selalu bermusuhan. Mereka selalu ingin menguasai bangsa kami untuk maksud-maksud jahat. Tapi sudah menjadi takdir, kalau kami tidak akan mempunyai pemimpin dari keturunan Dewa Iblis.”

“Kenapa begitu?”

“Karena Sang Hyang Wenang memang sudah menggariskan demikian, Yang Mulia. Dewa Iblis bukanlah manusia utuh, tapi keturunan darah iblis. Sedangkan kami sudah ditakdirkan untuk mengabdi pada manusia seutuhnya yang bukan keturunan neraka atau nirwana. Untuk itu, kami membuat tanda yang terbuat dari tulang-tulang pemimpin pertama. Tanda itu kini dipegang Yang Mulia,” jelas si Biru.

“Hm, jadi siapa saja yang memegang benda ini langsung menjadi pemimpin bangsamu?” Rangga ingin memperjelas.

“Benar, Yang Mulia.”

“Tidak peduli apakah orang itu baik atau jahat?”

“Kami tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang jahat. Kami terlalu patuh pada pemimpin, dan itu sudah menjadi sumpah kami di hadapan Sang Hyang Wenang.”

“Dewata Yang Agung...,” desah Rangga tidak menyangka. “Tidak seharusnya makhluk sepertimu jatuh ke tangan orang berwatak jahat.”

Rangga memandangi potongan tongkat yang tergenggam di tangannya. Sungguh, dia tidak tahu lagi harus berbuat apa dengan tongkat ini. Tidak mungkin tongkat ini dibawa terus selama hidup. Makhluk-makhluk biru ini harus mempunyai pegangan hidup sendiri, tapi tidak mudah untuk merubahnya. Dan ini semua ditentukan Hyang Widi, penguasa tunggal seluruh jagad raya ini. Rangga tidak mungkin mampu merubah keyakinan mereka. Tongkat kepala tengkorak ini sudah menjadi lambang kepemimpinan yang tidak bisa dirubah lagi.

“Ayo, Biru. Kita ke Puncak Gunung Jaran,” ajak Rangga.

“Mau apa ke sana, Yang Mulia?” tanya si Biru sambil berdiri.

“Siapa tahu Pandan Wangi ada di sana. Kalaupun tidak, aku akan membebaskan bangsamu dari gangguan si Dewa Iblis,” tegas Rangga.

“Sebaiknya jangan, Yang Mulia,” cegah si Biru.

“Kenapa?”

“Dewa Iblis sangat kejam. Dia tidak segan-segan membunuh siapa saja yang coba-coba mengusik kehidupannya. Sudah banyak orang yang tewas di tangannya, terutama rakyat Kerajaan Kulon dan desa-desa sekitar kaki Gunung Jaran ini. Yang Mulia, pernah suatu ketika Raja Kerajaan Kulon minta bantuan kami untuk membinasakannya. Tapi kami sendiri tidak sanggup, meskipun tidak bisa mati oleh apa pun. Kecuali, bila Sang Hyang Wenang menghendaki kami mati.”

“Hm...,” gumam Rangga tidak jelas.

Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti itu agak terkejut juga, karena tidak menyangka kalau orang-orang di wilayah Kulon ini sudah mengetahui tentang adanya kehidupan suatu makhluk berwarna biru di Gunung Jaran ini. Bahkan rajanya sendiri mengetahui. Rangga jadi berpikir juga. Kalau hal ini sampai diketahui para tokoh rimba persilatan, tentu kedamaian makhluk-makhluk biru ini akan terancam.

Rangga tahu betul watak orang-orang rimba persilatan yang serakah dan tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki. Rangga tidak ingin memikirkan tentang hal itu sekarang ini. Pikirannya masih tertuju pada keselamatan Pandan Wangi yang kini entah di mana. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya melangkah.

“Yang Mulia...,” panggil si Biru seraya mengejar.

“Ada apa, Biru?” tanya Rangga terus saja berjalan tanpa menoleh.

“Apakah Yang Mulia tetap akan ke Puncak Gunung Jaran?”

“Tentu,” sahut Rangga mantap.

“Hamba mohon, Yang Mulia mengijinkan hamba untuk kembali,” mohon si Biru.

Rangga berhenti melangkah, lalu membalikkan tubuhnya menghadap pada makhluk berwarna biru itu. Dipandanginya dalam-dalam, kemudian ditepuk pundak makhluk itu sambil mengulas senyum.

“Baiklah. Kukabulkan permintaanmu ini. Tapi kuminta kau menjaga tongkat ini baik-baik,” kata Rangga.

“Apakah Yang Mulia akan mengambilnya lagi nanti?”

“Iya,” hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.

“Tapi tongkat ini berguna untuk memanggil, Yang Mulia.”

“Lalu, bagaimana cara memanggilmu selain dengan tongkat itu?”

“Hentakkan kaki tiga kali, dan sebut namaku. Hanya hamba yang akan muncul membawa tongkat ini dan menyerahkan kembali pada Yang Mulia untuk memimpin kami.”

“Baiklah. Aku pergi dulu dan jaga tongkat ini baik-baik.”

“Akan hamba jaga dengan baik, Yang Mulia.”

Rangga tersenyum dan menepuk pundak makhluk biru itu. Setelah membungkuk hormat, makhluk bertubuh biru itu melesak cepat masuk ke dalam tanah sambil membawa tongkat berkepala tengkorak manusia. Rangga memandangi beberapa saat, kemudian bergegas berbalik dan berlari cepat menuju Puncak Gunung Jaran.

********************

ENAM

Tidak terlalu sukar bagi Rangga untuk menemukan letak puri yang merupakan tempat tinggal Dewa Iblis. Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi bangunan yang seluruhnya terbuat dari batu itu. Sebuah bangunan puri tua yang kelihatannya tidak terawat baik. Sekitarnya ditumbuhi rumputan liar. Seluruh dinding puri berlumut tebal. Bangunan ini seperti tidak pernah dijamah manusia.

Rangga mengayunkan kakinya lebih mendekat ke puri itu. Sikapnya begitu waspada. Matanya tidak berkedip memandang sekitarnya. Pendekar Rajawali Sakti itu juga mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’, untuk menangkap suara-suara yang mencurigakan. Tapi sampai sejauh ini, tidak terdengar suara apa pun selain desir angin yang mengganggu gendang telinga. Tapi ketika tinggal beberapa langkah lagi mencapai bangunan puri itu, mendadak saja...

“Berhenti...!” terdengar bentakan keras menggelegar.

Rangga langsung menghentikan langkahnya. Dan belum sempat berbalik, tiba-tiba saja sebuah tombak panjang meluncur deras dari arah belakang. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu memiringkan tubuh, maka tombak itu lewat sedikit di sampingnya. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya membelakangi puri. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang wanita muda berwajah cantik.

Wanita itu hanya mengenakan selembar kain kecil yang menutupi auratnya. Tangannya memegang sebatang tombak panjang bermata tiga pada ujungnya. Wanita itu menghentakkan tombaknya ke tanah tiga kali. Maka seketika itu juga dari dalam semak dan balik pepohonan berlompatan wanita-wanita berwajah cantik menggenggam tombak bermata tiga. Mereka semua hanya mengenakan cawat dan penutup dada. Sebagian besar tubuhnya terbuka lebar, memamerkan kulit putih halus yang membungkus tubuh ramping nan indah. Ada sekitar dua puluh orang yang kini sudah mengepung Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm...,” gumam Rangga perlahan.

Pendekar Rajawali Sakti itu bersikap waspada. Dia tahu kalau wanita-wanita ini pasti bermaksud tidak bersahabat. Dan Rangga pernah melihat mereka di perkampungan aneh yang hanya memiliki dua belas rumah saja. Dan itu dilihatnya pada saat diadakan upacara perkawinan yang membuat darahnya mendidih.

“Ternyata kau cukup punya nyali juga untuk datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti!” kata wanita itu, dingin nada suaranya.

“Siapa kau, Nisanak?” tanya Rangga tenang.

“Aku Lara Pandini, penguasa Puri Jaran ini,” jawab wanita itu lantang.

Rangga bergumam tidak jelas. Wanita yang satu ini memang agak lain dari yang lainnya. Dia mengenakan ikat kepala berwarna kuning keemasan yang dihiasi sebuah batu merah di tengah-tengah keningnya. Sedangkan yang lain tidak mengenakan apa-apa. Dan itu sudah menandakan kalau wanita cantik ini adalah pemimpinnya. Tapi bukan dia yang dicari.

“Kau telah melanggar daerah kekuasaanku, Pendekar Rajawali Sakti. Kau tahu, puri ini terlarang bagi laki-laki. Dan siapa saja yang berani melanggar harus mati!” tegas kata-kata Lara Pandini.

“Hebat! Mudah sekali kau mengatakan mati pada seseorang. Padahal, kau juga menyimpan laki-laki di tempat ini,” sinis nada suara Rangga.

“Tutup mulutmu, keparat!” bentak Lara Pandini memerah wajahnya.

“Kenapa kau kelihatan marah, Nisanak?”

“Mulutmu memang harus dibungkam, Pendekar Rajawali Sakti! Seraaang...!”

Seketika itu juga sekitar dua puluh wanita cantik yang bersenjatakan tombak bermata tiga, langsung berlompatan menyerang Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah siaga sejak tadi, segera bergerak cepat mempergunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang sesekali dipadukan dengan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ pada tingkatan pertama.

Dugaan Rangga memang benar. Wanita-wanita itu bukanlah tandingannya. Tingkat kepandaian mereka masih terlalu jauh bila dibandingkan dengannya. Sehingga mudah sekali pemuda berbaju rompi putih itu memorak-porandakan serangan mereka.

Dalam beberapa gebrak saja, mereka sudah berpelantingan memperdengarkan suara jeritan kesakitan. Rangga memang sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam penuh dalam melancarkan pukulan-pukulan agar tidak membahayakan lawan-lawannya. Satu per-satu mereka dibuat roboh tak sadarkan diri tanpa terluka sedikit pun.

Sebentar saja, dua puluh orang wanita cantik itu sudah tergeletak tidak sadarkan diri. Tinggal sang pemimpin yang bernama Lara Pandini masih berdiri kokoh dengan tombak bermata tiga tergenggam erat di tangan kanan.

“Jangan merasa besar kepala dulu hanya karena bisa menjatuhkan pengawal-pengawalku, Pendekar Rajawali Sakti!” dengus Lara Pandini sengit.

“Aku ingin tahu, apakah kau sama tololnya dengan mereka!” ejek Rangga memanasi.

“Bedebah! Pantang aku dihina, Pendekar Rajawali Sakti!” geram Lara Pandini gusar.

Setelah berkata demikian, Lara Pandini langsung melompat menerjang Rangga yang sudah siap sejak tadi. Wanita cantik ini ternyata memang tidak seperti yang lain, ilmu olah kanuragannya ternyata cukup tinggi juga. Bahkan serangan-serangannya pun cukup berbahaya. Tapi Rangga melayaninya dengan bibir tersungging senyuman.

********************

Kepandaian yang dimiliki Lara Pandini memang cukup tinggi, tapi itu bukan berarti dapat mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Kalau boleh dibilang, masih jauh untuk bisa mendesak sekali pun! Maka tidak terlalu sukar bagi Rangga menjatuhkan wanita itu. Dalam waktu singkat saja satu pukulan telak berhasil disarangkan Rangga pada tubuh wanita itu. Akibatnya Lara Pandini terpekik jatuh tersuruk mencium tanah!

Sebelum sempat bangkit berdiri, Rangga sudah menubruknya dan memberi satu totokan halus di dada Lara Pandini. Wanita cantik itu langsung lemas tak bertenaga lagi. Jalan darahnya tersumbat akibat totokan Pendekar Rajawali Sakti yang tidak dapat terelakkan lagi. Rangga membalikkan tubuh wanita itu hingga menelentang.

“Aku tidak tahu, apa yang membuatmu jadi liar begini, Nisanak. Sinar matamu mencerminkan adanya pengaruh kuat di luar akal sehatmu sesungguhnya,” kata Rangga datar.

“Huh!” Lara Pandini mendengus berang.

“Baik-baiklah di sini. Akan kucoba menghilangkan pengaruh yang ada pada dirimu,” kata Rangga lagi.

Setelah berkata demikian, Rangga langsung melompat mendekati puri tua yang tampak tidak terurus itu. Hanya sekali lesatan saja, Rangga sudah mencapai ambang pintu yang tidak memiliki penutup. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa melangkah masuk, mendadak dari dalam berkelebat sebuah bayangan biru.

“Uts!”

Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya, sehingga terjangan bayangan biru itu lewat di depannya. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat ke belakang, dan jadi terkejut. Ternyata bayangan biru itu kembali menyerang ganas. Tapi yang membuat Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut adalah bukan serangannya, melainkan orangnya.

“Pandan, tahan...!” bentak Rangga keras.

Secepat kilat Rangga melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Serangan wanita berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi itu terhenti. Sejenak Rangga tertegun melihat sorot mata Pandan Wangi merah menyala, bagai sepasang bola api yang siap membakar. Raut wajahnya begitu kaku, dan bibirnya terkatup rapat. Gadis itu bagai sosok makhluk yang tidak mengenal siapa dirinya sendiri.

“Ha ha ha...!”

Belum lagi Rangga sempat berpikir jauh, mendadak saja terdengar tawa terbahak-bahak. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Tampak di atas puri sudah berdiri Prabu Sumabrata yang didampingi Ki Ratapanca dan Pendeta Gorayana.

“He he he..., permainan yang paling mengesankan, Gusti Prabu,” ujar Ki Ratapanca diiringi tawanya yang terkekeh. “Sepasang kekasih saling berhadapan. Sungguh mengesankan. He he he...!”

“Bedebah...!” desis Rangga menggeram marah.

“Ayo, Pandan. Kau tidak ingin ada duri dalam dirimu, bukan...? Bunuh bocah setan itu!” perintah Ki Ratapanca keras dan sangat lantang.

Pandan Wangi menoleh, lalu membungkukkan badannya sedikit pada tiga laki-laki yang berdiri di atas puri itu. Rangga jadi menggeram marah. Gigi-giginya bergemeletuk dan otot-ototnya menegang menahan kemarahan yang memuncak. Kini disadari kalau Pandan Wangi dan gadis-gadis cantik yang tergeletak di tanah itu benar-benar terpengaruh jiwanya, sehingga tidak bisa lagi mengenali diri dan lingkungannya lagi. Mereka hanya patuh menjalankan perintah, tidak peduli apakah perintah itu dapat mencelakakan diri sendiri.

“Hiyaaat...!”

Sambil berteriak keras melengking, Pandan Wangi melompat menyerang Rangga. Cepat sekali serangan si Kipas Maut itu, sehingga Rangga sedikit terperangah. Namun cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat ke samping sambil memberi satu pukulan tanpa disertai pengerahan tenaga dalam. Namun Pandan Wangi dapat berkelit manis sekali, dan bahkan juga melepaskan satu pukulan keras menggeledek.

“Ufs...!”

Rangga benar-benar terkejut. Meskipun pukulan itu dapat dielakkan, tapi tubuhnya sempat juga terdorong ke belakang oleh hempasan angin pukulan yang bertenaga dalam tinggi itu. Rangga sadar kalau Pandan Wangi bertarung di luar kesadarannya sendiri. Serangan-serangan yang dilakukan demikian dahsyat dan sangat berbahaya.

Rangga jadi kebingungan sendiri, karena tidak ingin melukai gadis ini. Tapi kalau bertarung seperti ini terus, bisa-bisa dia sendiri yang akan tewas. Cukup sulit keadaan yang dihadapi Rangga sekarang ini. Dua nyawa harus diselamatkan dalam waktu bersamaan. Nyawanya sendiri dan nyawa Pandan Wangi yang tengah dipengaruhi alam pikirannya.

Keragu-raguan memang akan membuat diri menjadi terpedaya. Demikian juga yang dialami Rangga. Sulit untuk menentukan, harus berbuat apa terhadap Pandan Wangi yang sedang kehilangan kesadarannya. Keraguan Pendekar Rajawali Sakti itu menjadi sasaran empuk Pandan Wangi. Beberapa kali pukulan dan tendangan gadis itu bersarang di tubuh Rangga.

“Pandan, cukup...!” sentak Rangga hampir kehilangan kesabaran.

Darah sudah menetes di sudut bibir Pendekar Rajawali Sakti itu. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang bersarang di dada membuatnya berkunang-kunang, dan napasnya terasa sesak. Pendekar Rajawali Sakti bergulingan beberapa kali di tanah, dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk melompat tinggi ke udara.

“Hiyaaa...!”

Dengan mempergunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, Rangga meluruk deras ke atas puri tempat di mana Prabu Sumabrata, Ki Ratapanca, dan Pendeta Gorayana berada di sana sambil memperhatikan sejak tadi. Mereka jadi terkejut, karena tiba-tiba saja Rangga meluruk ke arah mereka.

“Awas...!” seru Prabu Sumabrata memperingatkan.

Ketiga orang itu buru-buru berlompatan menghindari terjangan Rangga yang begitu cepat bagai kilat. Prabu Sumabrata dan Ki Ratapanca berhasil menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti, tapi Pendeta Gorayana terlambat bertindak. Akibatnya kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa dihindari lagi, tepat menghantam dadanya.

Des!

“Akh...” Pendeta Gorayana memekik keras tertahan.

Darah langsung muncrat dari mulutnya. Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gundul itu kontan terjengkang ke belakang. Punggungnya menghantam batu puri hingga hancur berantakan. Pendeta Gorayana menggeliat berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga mampu berdiri tegak, Rangga sudah kembali melompat sambil menyarangkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.

“Hiyaaa...!”
Prak!

“Aaa...!” jeritan panjang melengking terdengar.

Sungguh luar biasa pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Kepala gundul itu bagai buah kelapa yang hancur tertimpa batu. Darah bersimbah membasahi batu-batu puri. Hanya sebentar Pendeta Gorayana berkelojotan, sesaat kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Laki-laki gundul itu tewas seketika dengan kepala hancur!

Rangga berdiri tegak di samping tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi itu. Diputar tubuhnya pelahan-lahan menghadapi Prabu Sumabrata dan Ki Ratapanca yang sangat terkejut melihat kematian Pendeta Gorayana yang begitu tragis.

********************

Pelahan-lahan Rangga melangkah maju mendekati dua orang laki-laki itu. Pandangan matanya begitu tajam menusuk. Tangannya terkepal erat, pertanda sudah begitu marah. Belum pernah Rangga marah seperti ini. Dirinya merasa benar-benar dipermainkan, ditambah lagi perasaan cemburu melihat Pandan Wangi jadi sedemikian rupa.

“Kalian harus mampus, iblis-iblis keparat..!” desis Rangga menggeram marah. “Hiyaaa...!”

Sambil berteriak nyaring, Pen-dekar Rajawali Sakti melompat mener-jang sambil mencabut pedangnya. Seketika cahaya biru menyemburat terang dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Prabu Sumabrata dan Ki Ratapanca terperangah sesaat, tapi cepat-cepat berlompatan menghindari sabetan pedang yang memancarkan sinar biru yang menyilaukan mata itu.

Glarrr!

Ledakan keras terdengar ketika Pedang Rajawali Sakti menghantam batu puri. Rupanya Rangga mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sewaktu membabatkan pedang itu. Akibatnya batu bangunan puri yang begitu keras, hancur berkeping-keping terkena tebasan pedang pusaka yang dahsyat itu.

Seluruh bangunan puri bergetar hebat bagai diguncang gempa sangat dahsyat. Rangga terus mengamuk membabatkan pedangnya yang luar biasa. Sinar biru bergumpal-gumpal di mata pedang yang berkelebatan cepat mencecar dua orang laki-laki itu. Mereka hanya bisa berlompatan menghindari setiap serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu dahsyat dan berbahaya sekali. Hampir seluruh bangunan puri berantakan, terkena sabetan pedang Pendekar Rajawali Sakti.

“Mampus kalian, iblis keparat! Hiyaaa...!” teriak Rangga keras menggelegar.

Ledakan-ledakan terus menggelegar membahana. Batu-batu bangunan puri berhamburan terbabat pedang bersinar biru berkilau itu. Rangga terus mencecar dua orang laki-laki yang telah membuat kemarahannya memuncak tak terkendali lagi. Tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Satu jurus andalan yang jarang sekali digunakan. Dan akibatnya sungguh luar biasa! Bangunan puri yang seluruhnya terbuat dari batu itu jadi hancur berkeping-keping!

Rangga seperti tidak mempedulikan lagi dua orang musuhnya. Dia terus mengamuk membabi buta membabatkan pedangnya pada apa saja yang berada di dekatnya. Hal ini membuat Prabu Sumabrata mengambil kesempatan untuk melarikan diri. Dengan cepat dia melompat kabur pada saat Rangga menyerang Ki Ratapanca.

“Hup...!”

Ki Ratapanca melompat menghindari tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sigap sekali serangan itu dihindari. Pedang yang bersinar biru itu menghantam batu dinding puri hingga hancur berantakan. Ki Ratapanca sempat melihat Prabu Sumabrata melarikan diri. Dia juga bermaksud kabur, tapi Rangga tidak memberi kesempatan. Pendekar Rajawali Sakti itu terus mencecar menggunakan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’ yang sangat dahsyat.

“Gila! Dahsyat sekali pedang-nya...!” dengus Ki Ratapanca mulai gentar hatinya.

“Mau lari ke mana kau, setan!” geram Rangga sengit.

Ki Ratapanca menggeser kakinya ke samping dengan tongkat menyilang di depan dada. Sedangkan Rangga mengikuti gerakan laki-laki tua itu dengan tatapan tajam menusuk. Bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu memerah membara bagai sepasang bola api yang siap membakar apa saja. Ki Ratapanca agak bergidik juga saat pandangannya tertumbuk pada tatapan mata Rangga yang begitu tajam.

“Mampus kau! Hiyaaa...!” seru Rangga keras dan tiba-tiba sekali.

Sebelum suara teriakannya menghilang, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat bagaikan kilat menerjang Ki Ratapanca.

Wuk!

Bagaikan kilat Rangga mengibaskan pedangnya ke arah leher laki-laki tua itu. Sesaat Ki Ratapanca terperangah, tapi cepat-cepat mengangkat tongkat-nya. Segera dikibaskan tongkat itu untuk menangkis sabetan pedang bersinar biru itu.

Trang!
Trak!
“Heh...!”

Ki Ratapanca terkejut bukan main, hingga melompat mundur sejauh dua batang tombak. Kedua matanya terbeliak melihat tongkatnya buntung jadi dua bagian. Dan sebelum keterkejutannya lenyap, mendadak saja Rangga sudah menyerang kembali dengan pedang terhunus mengarah ke dada.

“Hiyaaa...!”
“Uts!”

Bergegas Ki Ratapanca membanting tubuhnya ke tanah. Pada saat itu, Rangga cepat menarik pedangnya kembali. Dan secepat itu pula diayunkan kakinya disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Des!

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat dibendung lagi. Ki Ratapanca menjerit keras merasakan iganya terhantam tendangan keras bertenaga dalam sempurna itu. Tubuh yang belum juga menyentuh tanah itu kembali terpental dan menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang!

“Yeaaah...!”

Rangga benar-benar seperti kesetanan. Sedikit pun lawannya tidak diberi kesempatan lagi. Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti melompat deras, kemudian mengibaskan pedangnya memenggal leher Ki Ratapanca hingga terpenggal putus dari badan.

Tak ada suara jeritan yang keluar, karena Ki Ratapanca sudah tewas sebelum pedang Pendekar Rajawali Sakti memenggal lehernya. Tendangan yang dilepaskan Rangga membuat seluruh tulang iganya remuk. Rangga berdiri tegak di samping mayat tanpa kepala lagi itu. Sedangkan Pedang Rajawali Sakti masih tergenggam erat di tangannya. Pelahan-lahan kakinya melangkah mundur, lalu dimasukkan pedang pusakanya ke dalam warangka. Cahaya biru langsung lenyap seketika.

Rangga membalikkan tubuhnya, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Gerahamnya bergemeletuk begitu menyadari kalau Prabu Sumabrata yang diyakininya sebagai si Dewa Iblis sudah lenyap dari tempat ini. Pandangan Rangga langsung tertuju pada sosok tubuh berbaju biru yang tergolek di tanah, bersama wanita-wanita bercawat dari kulit kayu.

“Pandan...,” desis Rangga bergegas memburu menghampiri.

********************

TUJUH

Rangga mengangkat tubuh Pandan Wangi yang masih tergeletak dan matanya terpejam rapat. Dengan lembut ditepuk-tepuknya pipi gadis itu. Sebentar kemudian Pandan mulai mengeluh, dan kepalanya bergerak menggeleng pelahan. Dan kini kelopak matanya mulai terbuka sedikit demi sedikit.

“Pandan...,” panggil Rangga.

“Ohhh...,” lemah sekali suara Pandan Wangi.

Sebentar gadis itu memejamkan matanya kembali. Dipegangi kepalanya, kemudian dibuka matanya. Begitu melihat Rangga memeluk tubuhnya, gadis itu langsung menggerinjang bangun sambil mendorong Pendekar Rajawali Sakti. Hampir saja Rangga tersuruk jatuh kalau saja tidak cepat-cepat menahan dengan tangannya. Bergegas pemuda itu berdiri dan menghampiri Pandan Wangi yang tengah mengedarkan pandangannya ke sekeliling seperti orang kebingungan.

“Pandan...,” panggil Rangga lembut.

“Oh! Apa yang terjadi, Kakang?” tanya Pandan Wangi terkejut. Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Justru itu yang hendak kutanyakan padamu,” sahut Rangga.

“Siapa mereka, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Aku tidak tahu.”

Pandan Wangi memandangi Rangga, seperti tidak percaya atas jawaban Pendekar Rajawali Sakti barusan. Pandangan gadis itu kembali tertuju pada gadis-gadis muda yang mulai siuman. Mereka mulai bangun, dan tampak kebingungan. Hampir bersamaan mereka terpekik begitu menyadari hanya mengenakan cawat, dan tubuh hampir seluruhnya terbuka. Mereka jadi kelabakan, terlebih lagi di situ juga ada seorang pemuda yang jadi risih sendiri.

“Siapa kalian? Kenapa berada di sini?” tanya seorang gadis yang dikenal Rangga bernama Lara Pandini.

“Kau yang menjawab, Pandan,” kata Rangga setengah berbisik.

“Aku...? Aku sendiri tidak tahu,” Pandan Wangi juga kebingungan.

“Hhh.... Kenapa jadi begini...?” keluh Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu belum bisa menjelaskan, karena tiba-tiba saja gadis-gadis cantik bercawat itu jadi ribut melihat puri hancur berantakan tak berbentuk lagi. Gadis-gadis itu memandangi bangunan puri yang hancur, kemudian berpaling pada Rangga, seakan-akan meminta penjelasan. Lara Pandini mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Aku minta, tolong jelaskan semua ini, Kisanak,” ujar Lara Pandini, agak tertekan suaranya.

Rangga mengangkat bahunya. Tanpa diminta dua kali, dijelaskanlah semua yang terjadi di puri ini. Tak ada yang membuka mulut, semua mendengarkan penuh perhatian. Rangga menjelaskan sampai pada hal-hal yang terkecil.

Keheningan menyelimuti sekitar tempat itu. Masih belum ada yang membuka suara, meskipun Pendekar Rajawali Sakti telah selesai menceritakan semua kejadiannya. Tampak wajah gadis-gadis cantik itu seperti mendung. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka melangkah menghampiri puri yang berantakan. Hanya Lara Pandini masih berada di tempatnya, di depan Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di samping Pandan Wangi.

“Di mana sekarang Dewa Iblis itu?” tanya Lara Pandini, agak tertahan nada suaranya.

“Entahlah. Dia berhasil kabur dan mengorbankan orang-orangnya,” sahut Rangga.

Lara Pandini menoleh dan menyaksikan dua sosok mayat yang tergeletak mengerikan. Darah masih mengucur dari tubuh mayat itu. Sedangkan gadis-gadis lainnya mulai memberesi puri yang berantakan. Mereka menyusun kembali batu-batu yang masih bisa ditata. Satu pekerjaan berat. Dan Rangga sendiri tidak tahu, siapa gadis-gadis yang kelihatannya begitu berduka melihat kehancuran puri itu.

“Kisanak, sebetulnya puri ini terlarang bagi laki-laki. Kami semua sangat mensucikan puri ini. Kami adalah orang-orang yang terbuang dan ternoda akibat perbuatan laki-laki. Itu sebabnya mengapa aku selalu keras terhadap setiap laki-laki yang mencoba memasuki daerah ini,” jelas Lara Pandini setelah lama terdiam.

“Aku mengerti, dan secepatnya akan pergi dari sini. Maaf, kalau aku telah membuat tempat sucimu jadi kotor dan berantakan begini,” ujar Rangga sopan.

“Tidak, Kisanak. Justru aku yang minta maaf karena telah mencurigaimu. Terus terang, semula aku telah berprasangka buruk padamu. Dan ternyata kaulah yang membebaskan kami dari jerat manusia iblis yang menguasai kami dengan ilmunya. Mereka membuat kami tidak sadar dan patuh pada perintah dan keinginannya selama bertahun-tahun,” ada nada penyesalan pada suara Lara Pandini. Tapi sinar matanya memancarkan dendam membara.

Rangga hanya tersenyum saja. Diliriknya Pandan Wangi yang berada di sampingnya. Gadis itu tersenyum juga dan menganggukkan kepalanya sedikit, hampir tidak terlihat gerakan kepala itu.

“Maaf. Aku tidak bisa lama-lama berada di sini, karena harus mengejar si Dewa Iblis,” ucap Rangga berpamitan.

“Kisanak, maukah kau membawakan kepalanya untukku?” pinta Lara Pandini.

“Kepalanya...?! Untuk apa?” Rangga terkejut.

“Untuk peringatan bagiku dan saudara-saudaraku yang lain, agar tidak terpedaya rayuan manis laki-laki,” sahut Lara Pandini.

Rangga tidak bisa memastikan. Diliriknya Pandan Wangi sekali lagi. Yang dilirik hanya mengangkat bahunya saja, tidak bisa memberikan keputusan apa pun.

“Aku mohon padamu, Kisanak,” ucap Lara Pandini lagi.

“Hhh..., baiklah,” sahut Rangga mendesah setelah berpikir beberapa saat lamanya.

“Terima kasih,” ucap Lara Pandini berseri-seri.

Rangga kemudian mohon diri, dan segera mengajak Pandan Wangi meninggalkan tempat ini sebelum Lara Pandini meminta yang macam-macam lagi. Mereka segera berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan halaman puri di Puncak Gunung Jaran ini. Lara Pandini masih berdiri memandangi, sampai kedua pendekar muda itu lenyap dari pandangannya.

********************

Rangga dan Pandan Wangi baru berhenti berjalan setelah tiba di perkampungan aneh yang tidak ada penduduknya. Mereka merayapi sekitar-nya yang sunyi senyap. Bahkan suara binatang pun tidak terdengar. Hanya desir angin saja yang terdengar, mengalun bermain di gendang telinga. Beberapa saat mereka berdiri diam terpaku merayapi kesunyian itu. Pelahan Rangga berpaling menatap Pandan Wangi. Saat itu Pandan Wangi juga berpaling memandang Rangga.

“Kau pernah ke sini, Kakang...?” tanya Pandan Wangi seperti ragu-ragu. Suaranya pun terdengar pelan sekali.

Rangga memandangi Pandan Wangi dalam-dalam. Agak terkejut juga mendengar pertanyaan gadis itu. Sedangkan Pandan Wangi sendiri merayapi perkampungan yang sunyi tanpa seorang penduduk pun yang menghuni. Perhatiannya lurus tertuju pada rumah yang paling besar, yang bagian depannya hancur berantakan.

“Semalam kau hampir jadi pengantin di sini,” jelas Rangga.

“Ya, aku tahu,” sahut Pandan Wangi mendesah pelahan. “Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.”

“Kau tahu...?!” Rangga benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya kali ini.

“Kau terkejut, Kakang?” Pandan Wangi tersenyum penuh arti. Tapi entah apa arti senyuman si Kipas Maut itu.

Rangga hanya diam saja, dan semakin tidak mengerti akan sikap Pandan Wangi kali ini. Sungguh aneh dan penuh misteri. Rangga tidak mengerti, apa sebenarnya yang tengah terjadi pada diri gadis ini. Sejak berada di Gunung Jaran ini, sikap Pandan Wangi sungguh lain. Sepertinya selalu diliputi perasaan takut, dan jadi lebih pendiam tidak seperti biasanya.

“Sebenarnya ini persoalan lama, Kakang. Aku sendiri tidak tahu, kenapa dia masih juga mengharapkanku menjadi istrinya,” kata Pandan Wangi, pelan bernada mengeluh.

“Ceritakan, apa yang terjadi, Pandan,” pinta Rangga.

“Kau tidak marah, Kakang?”

“Aku akan marah jika memang kaulah yang membuat persoalan ini sebelumnya,” kata Rangga diiringi senyuman kecil.

“Kalau begitu, marahlah! Karena memang akulah yang membuat persoalan jadi berlarut-larut ini,” kata Pandan Wangi.

Rangga menelan ludahnya. Tidak disangka kalau Pandan Wangi akan berkata seperti itu. Walaupun sudah lama mengenal dan selalu bersama-sama gadis ini, tapi belum seluruhnya Rangga mengetahui perihal Pandan Wangi sesungguhnya. Bagi pemuda itu, diri Pandan Wangi masih terlalu banyak diselimuti kabut misteri yang tidak mudah diungkapkan sekaligus. Asal-usul Pandan Wangi pun masih belum begitu jelas, meskipun sebagian sudah diketahuinya. Tapi Rangga tidak pernah ambil peduli.

Namun kali ini Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa berdiam diri saja. Rangga sudah merasakan kalau peristiwa ini bukan main-main dan tidak bisa didiamkan. Beberapa kali nyawanya harus dipertahankan, dan selama itu pula muncul ketidakmengertiannya. Kini tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi mengaku kalau semua kejadian ini ada hubungannya dengan dirinya. Bahkan dirinya sendiri yang membuatnya seperti ini. Sungguh sulit dipercaya. Tapi Rangga harus mempercayainya.

“Sudah lama aku menyimpan dan ingin melupakannya, tapi ternyata tidak semudah yang kukira. Hidupku selalu dibayang-bayangi, dan semuanya jadi petaka begitu melihat Gunung Jaran ini, Kakang...,” jelas Pandan Wangi pelan.

“Ceritakan apa sesungguhnya yang terjadi, Pandan,” pinta Rangga lembut.

“Aku senang, ternyata kau tidak marah,” seloroh Pandan Wangi.

Rangga tersenyum tipis. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melihat Pandan Wangi yang dulu lagi. Pandan Wangi yang dikenalnya selama ini. Meskipun dalam keadaan genting, selalu saja masih bisa berseloroh. Dan inilah yang hilang selama beberapa waktu di Gunung Jaran.

Sambil berjalan memasuki perkampungan sunyi itu, Pandan Wangi terus menceritakan semua yang pernah terjadi pada dirinya, hingga berbuntut panjang sampai kini. Persoalan yang tak akan pernah berakhir sebelum Dewa Iblis berhasil dilenyapkan untuk selama-lamanya. Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian.

“Jadi masalahnya karena kau pernah menantang Dewa Iblis...?” gumam Rangga bertanya seperti untuk dirinya sendiri.

“Ya, dan aku kalah. Sungguh aku menyesal telah membuat perjanjian dengan manusia iblis itu. Jika kalah, aku bersedia menjadi istrinya. Tapi aku tidak sudi apabila harus menjadi istri manusia iblis seperti dia. Lebih baik mati, daripada harus ikut-ikutan berlumur dosa.”

“Hm..., Pandan. Apakah Dewa Iblis memiliki suatu ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa orang lain?” tanya Rangga, teringat akan gadis-gadis di Puri Gunung Jaran. Bahkan Pandan Wangi sendiri juga pernah mengalaminya.

“Bukan dia, tapi Pendeta Gorayana. Ilmunya langsung lenyap begitu kau membinasakannya, Kakang. Dia pengikut setia Dewa Iblis. Demikian juga Ki Ratapanca, dan si Tongkat Samber Nyawa,” jelas Pandan Wangi.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini baru jelas kalau dirinya pernah terjebak oleh Ki Ratapanca di perkampungan ini. Ternyata laki-laki tua itu hanya ingin menguji kemampuannya. Mengusirnya secara halus begitu mengetahui kemampuan Pendekar Rajawali Sakti itu. Sungguh cerdik, tapi sangat licik. Sampai-sampai Rangga terpedaya tipu muslihatnya. Hampir saja Pendekar Rajawali Sakti itu meninggalkan Gunung Jaran ini, kalau saja malam itu tidak mendengar suara genderang ditabuh.

“Pandan, kau tahu di mana Dewa Iblis kini berada?” tanya Rangga setelah mereka cukup lama berdiam diri.

“Aku tidak tahu. Tempat tinggalnya tidak tetap. Dia selalu mengembara dan mencari korban, terutama gadis-gadis muda. Para gadis itu akan dinikmati, lalu dibunuhnya tanpa ada rasa berdosa sedikit pun,” kembali Pandan Wangi menjelaskan.

“Rupanya kau tahu banyak tentang dia, Pandan.”

“Karena aku pernah kehilangan seorang sahabat karib. Itu sebabnya aku menantangnya bertarung untuk membalas kematian sahabatku, Kakang.”

“Dan kau tidak mengukur kemampuan dirimu sendiri...?”

Pandan Wangi tidak menyahut. Mengangguk pun tidak.

“Kau terlalu berani, Pandan,” ucap Rangga seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kakang....”

“Hm?”

“Dewa Iblis biasanya membawa korbannya ke sini. Tempat ini dijadikan sebagai istananya. Tapi kedatangannya ke sini hanya kalau sudah mendapatkan korban seorang gadis muda,” jelas Pandan Wangi lagi.

“Hm..., kalau begitu kita tunggu saja di sini,” gumam Rangga.

“Mustahil kalau akan ke sini lagi, Kakang. Dia selalu mencari istana baru jika istana yang satu sudah diketahui orang lain yang dianggap sebagai musuhnya. Dan kau adalah musuh terbesarnya saat ini, Kakang.”

Rangga terdiam. Otaknya berputar keras mencoba mencari cara untuk mengejar Dewa Iblis yang kini entah berada di mana. Keterangan Pandan Wangi barusan membuat Pendekar Rajawali Sakti itu merasa menemukan jalan buntu. Tapi mendadak saja pemuda itu tersenyum, kemudian berjalan cepat mendahului Pandan Wangi.

“Kau tunggu di situ saja, Pandan!” seru Rangga begitu melihat Pandan Wangi hendak mengejar.

Pandan Wangi hendak bertanya, tapi Rangga keburu lenyap di balik lebatnya hutan ini. Terpaksa gadis itu menunggu, duduk di bawah sebatang pohon yang cukup besar dan lebat untuk melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.

********************

Apa yang dilakukan Rangga sama sekali tidak diketahui Pandan Wangi. Meskipun gadis itu sudah mengerahkan ilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’, tetap saja tidak mendengar apa-apa selain desiran angin dan gemerisik dedaunan. Pandan Wangi mengernyitkan alisnya saat melihat Rangga muncul lagi disertai senyuman di bibir. Gadis itu menunggu, tapi benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Sampai Rangga menggamit tangannya dan mengajaknya pergi, Pendekar Rajawali Sakti itu belum juga mengatakan apa yang telah diperbuatnya di balik pepohonan.

“Sebenarnya aku tidak ingin membalas dendam. Tapi karena aku tidak rela kau jatuh ke tangan manusia iblis itu, maka dia harus kubunuh sekarang juga,” kata Rangga tanpa menghentikan ayunan langkahnya.

“Kau tahu di mana dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Ya. Sekarang ini mungkin dia sedang menunggu kita. Tapi yang pasti, menungguku,” sahut Rangga kalem.

Pandan Wangi mengernyitkan dahinya. Sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba saja Rangga bisa mengetahui di mana Dewa Iblis itu berada. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti juga tahu kalau manusia iblis yang memakai nama Prabu Sumabrata itu sedang menunggunya. Pandan Wangi mencoba menerka-nerka, tapi tidak bisa menemukan jawabannya. Dia tidak melihat kedatangan Rajawali Putih. Juga tidak ada yang bisa diketahui selama Rangga pergi beberapa saat lalu.

“Kakang, dari mana kau tahu dia sedang menunggu kita?” tanya Pandan Wangi tidak bisa lagi mengekang keingin-tahuannya.

Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Sedikit pun tidak berpaling dan terus berjalan ringan bagai tidak menyentuh tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menghemat tenaga. Terpaksa Pandan Wangi mengimbanginya juga. Meskipun kelihatannya mereka berjalan biasa, tapi kecepatannya melebihi orang berlari sekuat tenaga.

“Aku tahu, kau ingin membalasku. Baik.... Aku tidak akan bertanya lagi,” keluh Pandan Wangi seraya mengangkat bahunya.

“Ini bukan pembalasan, Pandan. Tapi belum waktunya untuk mengatakannya padamu. Nanti pembalasannya,” kata Rangga seraya mengerling.

“Aku tunggu,” tantang Pandan Wangi tidak mengerti maksud Pendekar Rajawali Sakti itu.

Pandan Wangi memang tidak bertanya-tanya lagi. Diikuti saja ke mana Rangga pergi membawanya. Sama sekali gadis itu tidak mengetahui arah yang dituju. Hutan Gunung Jaran begitu luas, dan belum terjamah tangan-tangan manusia. Meskipun Pandan Wangi pernah ke Gunung Jaran ini, tapi belum pernah menjelajah sampai sejauh ini. Jalan yang dilalui memang sukar, tapi itu bukanlah halangan yang berarti bagi kedua pendekar muda ini.

Pandan Wangi memang tidak pernah tahu kalau Rangga kini mempunyai sahabat makhluk-makhluk aneh berwarna biru yang hidup dalam tanah. Dari sahabatnya itulah dapat diketahui, di mana Dewa Iblis kini berada. Selama masih berada di lingkungan Gunung Jaran, makhluk-makhluk berwarna biru itu bisa mengetahui siapa saja dengan cepat. Bahkan mereka bisa berada di mana saja. Karena selama masih ada debu di atas muka bumi ini, di situ mereka bisa muncul kapan saja bila diperlukan. Mereka memang berasal dari debu-debu halus yang dianggap kotor oleh semua orang.

Dan Rangga tidak mempunyai kesulitan meminta keterangan dari makhluk-makhluk biru itu. Ini karena Pendekar Rajawali Sakti dianggap sebagai pemimpin mereka. Dan Rangga sendiri memang cerdik. Diserahkan tongkat kepemimpinan pada salah seorang makhluk yang sudah diberi tanda. Dengan demikian, tak ada lagi yang dapat menguasai mereka. Sebab tongkat berkepala tengkorak yang menjadi lambang pemimpin bagi makhluk-makhluk biru itu kini ada pada makhluk yang diberi tanda. Rangga sudah berjanji dalam hati, akan merahasiakan hal ini tanpa terkecuali.

Kedua pendekar muda itu baru berhenti berjalan setelah tiba di suatu bibir lembah yang tidak begitu besar, namun kelihatan sangat indah. Di tengah-tengah lembah itu terdapat danau yang airnya berwarna keperakan tertimpa cahaya matahari. Rangga berdiri tegak memandang ke seluruh lembah itu. Sementara Pandan Wangi berdiri di sampingnya tanpa berbicara sedikit pun.

“Kau lihat sesuatu, Pandan?” tanya Rangga tanpa berpaling.

“Tidak,” sahut Pandan Wangi.

Si Kipas Maut itu memang tidak melihat sesuatu selain pepohonan, rumput ilalang, dan batu-batu serta danau di dalam lembah itu. Hanya burung-burung dan binatang lain yang ada di sana. Tak ada tanda-tanda kehidupan lain lagi. Apalagi manusia.

“Di sanalah Dewa Iblis berada sekarang, Pandan,” kata Rangga memberitahu.

“Kau yakin, Kakang?” tanya Pandan Wangi memastikan.

“Tentu!” sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling memandang si Kipas Maut yang masih saja mengedarkan pandangannya ke seluruh lembah. Tampak jelas kalau raut wajah Pandan Wangi begitu tegang, seperti akan menghadapi sesuatu yang sangat genting dengan mempertaruhkan nyawanya. Rangga bisa memahami. Karena jika tidak dihalangi atau didahului, gadis ini pasti akan berhadapan kembali dengan lawan tangguh yang memiliki kepandaian di atasnya.

“Apa yang kau pikirkan, Pandan?” tanya Rangga.

“Tidak ada,” sahut Pandan Wangi agak mendesah.

Rangga tidak bertanya lagi, dan memang tidak ingin mendesak gadis itu untuk mengungkapkan isi hatinya. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali memperhatikan lembah yang terbentang di depan.

“Kakang....,” terdengar pelan dan agak ragu-ragu nada suara Pandan Wangi.

“Ya...?” Rangga memalingkan mukanya menatap gadis di sampingnya.

“Kau harus hati-hati, Kakang. Dia licik sekali. Kau sudah mengalami saat kehilangan aku ketika kau tidur,” kata Pandan Wangi.

Rangga hanya tersenyum saja. Diakui dirinya pernah kecolongan saat Pandan Wangi menghilang. Dia tidak tahu kalau di saat tidur, Dewa Iblis membawa si Kipas Maut yang sedang terluka cukup parah. Dewa Iblis juga mengelabui Rangga saat menyangka Pandan Wangi pergi secara diam-diam menggunakan kudanya. Padahal kuda putih itu memang sengaja dilepas dan dibawa ke arah berlawanan. Dan tentunya, agar Rangga masuk dalam perangkap. Tapi meskipun Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menyadari, ternyata perangkap itu gagal. Bahkan Ki Ratapanca harus mengakui ketangguhan pendekar muda itu, sehingga mencari jalan halus agar Rangga meninggalkan Gunung Jaran ini.

“Ayo kita turun, Pandan,” ajak Rangga.

“Hhh,” Pandan Wangi mengangguk.

********************

DELAPAN

Tidak terlalu sukar bagi Rangga dan Pandan Wangi untuk menuruni lembah itu. Sebentar saja keduanya sudah sampai di tepi danau kecil di tengah-tengah lembah. Memang tidak ada seorang pun di sini. Rangga jadi ragu-ragu juga, apakah memang benar si Dewa Iblis menunggu di sini?

“Aku tidak yakin dia ada di sini, Kakang,” kata Pandan Wangi.

“Tunggu saja sebentar, Pandan. Tidak lama lagi pasti datang,” kata Rangga menyabarkan. Padahal hatinya sendiri juga ragu-ragu.

“Hhh...!” Pandan Wangi menarik napas panjang.

Mereka merayapi sekitar lembah ini. Tidak ada tanda-tanda kalau Dewa Iblis akan datang ke tempat ini. Semakin lama ditunggu, perasaan Pendekar Rajawali Sakti semakin ragu-ragu. Tapi sebelum keputusan diambil, mendadak saja...

“Ha ha ha...!”

Terdengar tawa menggelegar bagai hendak meruntuhkan dinding-dinding lembah yang sebagian besar terdiri dari batu-batu cadas. Pandan Wangi langsung melompat menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Diraba kipas baja putih di pinggangnya. Sedangkan Rangga mencoba mencari arah sumber tawa yang menggelegar itu.

Belum sempat Rangga mendapatkan arah sumber suara tawa itu, mendadak saja seberkas sinar merah membentuk bulatan sebesar kepala orang dewasa meluncur dari arah utara di atas lembah. Sinar bulat merah bagai bola api itu meluruk deras ke arah Rangga dan Pandan Wangi.

“Awas, Pandan...!” seru Rangga keras memperingati.

“Hup! Hiyaaa...!”

“Hap!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi segera melompat ke samping. Sedangkan Rangga merentangkan kakinya ke samping. Dan seketika itu juga kedua tangannya menghantam ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lebar. Pada saat bola merah itu hampir menghantamnya, mendadak saja dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu menghentak hembusan angin keras.

Wusss!

Bola api itu jadi berbalik arah dan menghantam dinding batu hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Akibatnya seluruh lembah ini jadi bergetar bagai diguncang gempa amat dahsyat. Dinding batu lembah itu hancur berkeping-keping, menimbulkan kepulan debu bagai jamur raksasa.

Belum lagi Rangga berhasil menarik pulang tangannya, kembali datang satu bola api yang kini meluncur lebih deras bagai kilat. Suara menderu terdengar memekakkan gendang telinga. Buru-buru kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti diangkat, dan diturunkan hingga sejajar dada. Kemudian secepat kilat dihentakkannya sambil berteriak nyaring.

“Hiyaaa...!”
Wusss!
Glarrr!

Kembali ledakan keras terdengar begitu bola api itu berbalik arah. Dan kini kembali ke atas, lalu menghantam bibir lembah yang lebat ditumbuhi pohon cemara. Tepat saat bibir lembah itu hancur, melesat satu bayangan putih ke udara. Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, karena tidak ingin Dewa Iblis kembali kabur.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara mempergunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ pada tingkatan terakhir. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras bagai sebatang anak panah terlepas dari busur. Kedua tangannya merentang ke samping dan bergerak-gerak cepat membuat lingkaran bagai sayap burung.

Wut! Wut...!

Dua kali Rangga mengebutkan tangannya begitu bisa mencapai sosok tubuh berbaju putih ketat yang melayang di udara. Tapi sosok tubuh putih yang ternyata memang Dewa Iblis atau juga dikenal sebagai Prabu Sumabrata itu berhasil mengelak dengan memutar tubuhnya mengikuti arah sabetan tangan itu.

Dan tanpa diduga sama Sekali, Dewa Iblis berhasil memberi serangan balasan dengan dua pukulan beruntun mengandung kemposan tenaga dalam tinggi. Rangga juga berhasil mengelakkan pukulan itu dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Pertarungan yang sangat ganjil terjadi di udara. Tapi tubuh mereka melorot turun pelahan-lahan tanpa menghentikan pertarungan. Mereka saling serang dan saling berkelit dengan kecepatan tinggi, sukar diikuti pandangan mata biasa.

Tap!
Tap!

Hampir bersamaan mereka mendarat di tanah dengan manis sekali. Pada saat itu, Rangga langsung memberi satu pukulan keras menggeledek. Pada saat yang sama, Dewa Iblis juga memberikan satu pukulan bertenaga dalam tinggi.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Buk!
Dug!

Pukulan-pukulan itu tidak bisa terbendung lagi. Dan tak mungkin masing-masing bisa mengelakkannya. Sehingga mereka sama-sama menerima pukulan pada waktu yang bersamaan. Tubuh mereka terpental ke belakang dan bergulingan di tanah, namun sama-sama cepat bangkit kembali dengan sigap. Langsung masing-masing mempersiapkan diri untuk pertarungan berikutnya.

“He he he...! Bagus! Ternyata nama besarmu tidak kosong, Pendekar Rajawali Sakti. Hari ini aku sungguh beruntung karena bisa berhadapan dengan seorang pendekar yang telah menggegerkan rimba persilatan,” ungkap Dewa Iblis disertai tawanya yang terkekeh.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam kecil saja. Namun tatapan matanya sangat tajam menusuk.

“Sudah lama kurindukan kesempatan seperti ini, Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata para pembantuku yang goblok memang benar. Kau benar-benar tangguh. He he he...!” kembali Dewa Iblis terkekeh di akhir kata-katanya.

“Hm.... Jadi kau sengaja menggiring Pandan Wangi ke sini, heh?!” dingin sekali nada suara Rangga.

“Ternyata kau cukup cerdas juga, Pendekar Rajawali Sakti. Pandan Wangi memang tidak bisa kudapatkan selama kau masih hidup. Dan saat inilah yang tepat untuk memperebutkan gadis itu,” tantang Prabu Sumabrata atau si Dewa Iblis.

“Mungkin kau lebih dahulu mengenal Pandan Wangi. Tapi sayang.... aku lebih beruntung daripadamu, Dewa Iblis!” balas Rangga sinis.

“Ha ha ha...! Keberuntungan belum ada, Pendekar Rajawali Sakti. Asal tahu saja, Pandan Wangi sudah mempertaruhkan jiwa dan raganya untukku. Dia ingin membalas kematian kekasihnya, tapi kalah. Maka janjinya harus ditepati, dengan menyerahkan diri seutuhnya padaku. Sekarang kau tidak berhak sama sekali memiliki gadis itu!” keras sekali suara Dewa Iblis.

Pandan Wangi yang berada di tepi danau langsung memerah wajahnya. Ditatapnya Rangga yang pada saat itu juga melirik ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh terkejut, karena baru kali ini mengetahui kalau Pandan Wangi ternyata dulu pernah punya kekasih. Bahkan rela mempertaruhkan martabat dan kehormatannya untuk membalas dendam atas kematian kekasihnya pada laki-laki muda yang wajahnya cukup tampan itu.

“Hari ini kita tentukan, Pendekar Rajawali Sakti! Bersiaplah! Hiyaaa...!”

Rangga tidak sempat lagi berpikir lebih jauh tentang Pandan Wangi dan si Dewa Iblis ini. Kini laki-laki muda berbaju putih ketat itu sudah melompat menyerang kembali menggunakan jurus-jurus dahsyat dan sangat berbahaya. Terpaksa Rangga melayaninya. Langsung saja dikerahkan seluruh gabungan dari rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’. Jurus-jurus pertama yang didapatkan ketika menjadi seorang pendekar muda, dan sampai saat ini masih sukar dicari tandingannya.

********************

Pertarungan tidak bisa dielakkan lagi. Dewa Iblis langsung mengerahkan jurus-jurus andalannya yang dahsyat dan sangat berbahaya. Serangan-serangannya begitu cepat dan mengarah pada bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti juga tidak lagi menganggap main-main. Serangan-serangan balasannya seringkali membuat Dewa Iblis harus jatuh bangun menghindarinya.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Sementara Pandan Wangi yang berada di tepi danau memperhatikan jalannya pertarungan itu tanpa berkedip. Gadis itu selalu menahan napas jika Rangga terdesak, dan menghembuskan napas panjang kalau Pendekar Rajawali Sakti itu mendesak lawannya.

Meskipun Pandan Wangi memiliki kepandaian tinggi, tapi menyaksikan pertarungan tingkat tinggi seperti ini, kepalanya jadi pening juga. Hampir sulit membedakan, mana Rangga dan mana Dewa Iblis. Karena mereka berdua sama-sama mengenakan baju putih. Sedangkan pertarungan berjalan begitu cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan putih berkelebat saling sambar.

Mendadak saja Pandan Wangi dikejutkan suara jeritan keras setelah sebelumnya terdengar suara pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang menghantam tubuh. Dan si Kipas Maut itu jadi menahan napas manakala terlihat salah seorang terpental tinggi ke angkasa. Begitu cepat kejadian itu sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Sedangkan seorang lagi langsung melesat mengejar.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Entah bagaimana kejadiannya, dua bayangan tubuh yang berada di udara itu saling berbenturan keras sekali, sehingga menimbulkan ledakan menggelegar bagai guntur di siang bolong. Dua orang yang berbenturan di udara itu saling terpental dan jatuh bergelimpangan di atas tanah, namun sama-sama cepat bangkit berdiri. Tampak yang mengenakan baju rompi putih agak terhuyung. Sedangkan yang seorang lagi agak terbungkuk. Masing-masing mengeluarkan darah pada mulutnya.

“Kita tentukan sekarang, Pendekar Rajawali Sakti!” dengus Dewa Iblis di sela dengusan napasnya yang memburu.

“Silakan,” tantang Rangga sambil mengatur jalan napasnya.

Dewa Iblis menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Jari-jari tangannya menegang terbuka lebar. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tampak, pelahan-lahan seluruh tubuh laki-laki muda berbaju putih itu terselimut sinar hijau.

“Hih!”

Rangga cepat merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping. Dirapatkan tangannya di depan dada, lalu menarik tubuhnya miring ke kanan, dan perlahan-lahan ditarik ke kiri. Dan dengan cepat tubuhnya kembali tegak, namun kakinya tetap terentang lebar agak tertekuk. Perlahan-lahan sekali tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti naik ke atas sejajar wajahnya. Dan begitu tangan kirinya kembali cepat ditarik turun ke dada, cahaya biru langsung menyelimuti kedua telapak tangannya yang berada di depan dada. Rangga kini mengerahkan aji ‘Cakra Buana Sukma’ tanpa menggunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Memang tidak sedahsyat jika menggunakan pedang, tapi sampai saat ini hanya satu dua orang yang mampu menandinginya.

“Hup! Hup! Hiyaaa...!”

Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Dewa Iblis berlari cepat ke arah Rangga sambil merentangkan tangan ke depan. Seluruh tubuh laki-laki muda itu sudah terselubung sinar hijau kekuning-kuningan.

“Aji ‘Cakra Buana Sukma’...! Hiyaaa...!” seru Rangga keras menggelegar.

Tepat pada saat tangan Dewa Iblis berada dalam jangkauan, seketika Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan. Benturan dua pasang tangan tak dapat dihindari lagi. Ledakan keras terdengar dahsyat. Dan pada saat itu, masing-masing terpental ke belakang dan bergulingan di tanah.

“Kakang...!” jerit Pandan Wangi cemas.

Tampak Rangga tergeletak sambil menggeliat-geliat di tanah. Sedangkan Dewa Iblis langsung bangkit berdiri meskipun tubuhnya sempoyongan dan tidak mampu berdiri tegak. Darah semakin banyak keluar dari mulut dan hidungnya.

Pandan Wangi berlari menubruk tubuh Rangga. Tapi belum juga gadis itu bisa memeluk, Rangga sudah merentangkan tangannya mencegah. Sambil menekap dada dengan tangan kiri, Pendekar Rajawali Sakti itu berusaha bangkit. Dirasakan kepalanya berat sekali, dan pandangannya berkunang-kunang. Darah terus menetes dari mulutnya.

“Kau.... Kau terluka, Kakang,” Pandan Wangi tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.

“Menyingkirlah, Pandan. Pertarungan ini belum selesai,” ujar Rangga dingin.

“Kakang....”

“Dia benar, Pandan. Kau tidak perlu ikut campur!” celetuk Dewa Iblis lantang.

“Iblis keparat! Kubunuh kau, hiyaaa...!” geram Pandan Wangi tidak bisa menahan kemarahannya.

Seketika itu juga Pandan Wangi melompat bagaikan kilat menerjang Dewa Iblis. Langsung dilepaskan kipas baja putihnya yang berujung tajam melebihi mata pisau. Dengan pedang kipas baja putih di tangan, Pandan Wangi langsung merangsek pemuda berbaju putih itu.

Namun sungguh di luar dugaan, ternyata walau pertarungannya melawan Rangga banyak menguras tenaga, tapi Dewa Iblis itu masih juga tangguh. Bahkan sukar bagi Pandan Wangi untuk mendesaknya. Dan dalam beberapa jurus saja, justru Pandan Wangi yang terdesak.

“Lepas...!” seru Dewa Iblis nyaring.

Bersamaan dengan itu, tangan kirinya menyodok ulu hati Pandan Wangi. Maka gadis itu buru-buru mengegoskan tubuhnya ke samping. Tapi tanpa diduga sama sekali, satu kibasan tangan yang cepat menghantam pergelangan tangan kanan si Kipas Maut.

“Akh...!” Pandan Wangi terpekik keras tertahan.

Belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak Pandan Wangi merasakan adanya satu sodokan keras di perut. Mulutnya mengeluh pendek dan tubuhnya terbungkuk. Pada saat itu Dewa Iblis menghantamkan satu pukulan keras ke arah dagu.

“Akh!” lagi-lagi Pandan Wangi terpekik.

Kepala gadis itu terdongak. Satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi telak menghantam dada gadis itu. Akibatnya dia terpental jauh ke belakang menghantam sebatang pohon besar di tepi danau lembah ini.

“Oh...,” Pandan Wangi merintih lirih, lalu menggeliat mencoba bangun. Tapi seluruh tubuhnya seperti remuk.

“Bajingan, keparat...!” geram Rangga marah. Wajahnya memerah melihat Pandan Wangi menggeliat-geliat seperti sedang meregang nyawa. “Mampus kau! Hiyaaa...!”

Dengan hati diliputi kemarahan serta kecemasan yang mendalam, Rangga melompat menyerang Dewa Iblis. Serangan Rangga kali ini sungguh dahsyat luar biasa. Pendekar Rajawali Sakti itu bertarung seperti tidak mempunyai aturan sama sekali. Gerakan-gerakannya sungguh aneh, cepat, dan sukar diterka arah tujuannya.

Memang Pendekar Rajawali Sakti menggunakan seluruh gabungan dari rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’ yang dirubah-rubah cepat sekali. Tentu saja hal ini membuat Dewa Iblis jadi kelabakan menghadapinya. Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan lawannya untuk balas menyerang. Pemuda berbaju rompi putih itu selalu mengurung rapat, dan semakin mempersempit ruang gerak pemuda yang juga biasa dipanggil Prabu Sumabrata. Padahal dia tidak mempunyai istana dan wilayah kerajaan.

“Hiyaaa...!”

Sret!

Kemarahan Rangga semakin memuncak karena ternyata lawannya alot dan sukar ditundukkan. Pendekar Rajawali Sakti itu mencabut pedang pusakanya. Maka seketika itu juga cahaya terang biru berkilau memancar dari pedang itu.

“Hiyaaa! Yeaaah...!”

Rangga langsung saja mengerahkan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Satu jurus andalan yang menjadi simpanan dan jarang digunakan. Terlebih lagi, ditambah dengan pedang pusaka yang maha dahsyat ini.

Sinar biru segera menggumpal-gumpal bergulung disertai gumpalan asap memenuhi sekitar pertarungan. Pedang bersinar menyilaukan itu berkelebatan di sekitar tubuh Dewa Iblis. Begitu cepatnya, sehingga seluruh tubuh laki-laki muda berbaju putih itu telah terselubung cahaya biru dan asap yang semakin tebal menggumpal. Rupanya dalam kemarahan yang memuncak, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tahap terakhir jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’.

“Ughk! Oh...,” Dewa Iblis mulai mengeluh.

Sungguh tidak dimengerti, karena perhatiannya jadi terpecah belah dan tidak terpusat pada pertarungan ini. Gerakan-gerakan jurusnya juga menjadi berantakan. Dewa Iblis tidak menyadari kalau jiwanya sudah terpengaruh oleh jurus yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki itu mulai limbung, dan jurus-jurusnya semakin kacau. Dia seperti tidak tahu lagi, di mana musuhnya berada.

“Ucapkan selamat tinggal, Dewa Iblis! Hiyaaa...!” seru Rangga lantang.

Wuk!

Bagaikan kilat, Rangga mengebutkan pedangnya ke arah leher Dewa Iblis yang sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi. Dan memang, tebasan itu tidak dapat terbendung lagi. Rangga langsung memasukkan pedang dan melompat mundur. Tampak Dewa Iblis berdiri tegak dan terdiam seraya menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri sejauh hampir lima langkah di depannya.

Bruk!

Tubuh Dewa Iblis tiba-tiba ambruk ke tanah! Belum juga tubuhnya menyentuh tanah, kepala pemuda itu terlepas buntung. Seketika itu juga darah muncrat keluar dari leher yang tanpa kepala lagi. Dewa Iblis tewas seketika tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sungguh dahsyat tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti, sehingga mampu menebas leher lawan bagaikan menebas batang pisang saja!

“Hhh...,” Rangga menarik napas panjang.

“Kakang...!” seru Pandan Wangi lemah.

Rangga menoleh, langsung membalikkan tubuhnya dan berlari menghampiri Pandan Wangi yang tergolek di antara reruntuhan pohon. Darah merembes keluar dari mulut gadis itu. Rangga membantu si Kipas Maut bangkit duduk, sedangkan dia sendiri duduk di depannya.

“Kau terluka cukup parah, Pandan,” kata Rangga.

“Ya. Tapi, lukamu lebih parah lagi, Kakang,” sahut Pandan Wangi lirih.

“Sudah tidak lagi, Pandan. Jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’ membantu penyembuhan lukaku. Tanpa disadari jurus yang mengandung unsur hawa murni itu mengalir ke seluruh tubuh,” jelas Rangga.

Pandan Wangi tersenyum, tapi begitu lemah dan tipis sekali.

“Aku kenal seorang tabib yang sangat ahli. Kau akan kubawa ke sana, Pandan,” kata Rangga lagi.

Pandan Wangi kembali tersenyum. Setitik air bening menggulir jatuh ke pipinya. Hatinya begitu terharu akan ketulusan cinta Rangga. Padahal seharusnya pemuda itu membencinya karena telah tahu dirinya kini. Seorang gadis yang hampir menghancurkan martabat dan harga diri, hanya karena hendak membalas dendam buat kekasihnya yang diakui sebagai teman biasa. Tapi Rangga tidak mempedulikan itu semua. Dipondongnya tubuh Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti kini melangkah pergi meninggalkan lembah ini bersama Pandan Wangi di pondongannya.

SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA: DENDAM RARA ANTING