Darah Dan Asmara - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

DARAH DAN ASMARA

SATU
“Mega...!”

Suatu teriakan keras tiba-tiba mengejutkan dua anak muda yang tengah duduk berdampingan di lereng sebuah bukit, menghadap ke arah lembah yang subur dengan sawah menguning dan kicauan burung pipit berebut padi. Seketika dua anak manusia itu saling berpandangan. Sementara, wajah pucat nampak tersirat pada gadis cantik yang duduk merapat di sebelah pemuda yang mengenakan baju kulit binatang tanpa lengan. Wajahnya cukup tampan, dengan rambut panjang tergelung ke atas.

“Mega...!”

Terdengar lagi suara panggilan keras dari arah kaki lereng gunung ini. Suaranya terdengar keras. Bahkan seakan-akan begitu dekat, terpantul oleh dinding tebing batu yang hampir memenuhi seluruh permukaan Lereng Gunung Parakan ini. Wajah gadis itu semakin terlihat pucat. Dan pemuda itu meraih tangannya, menggenggam hangat. Bibirnya menyunggingkan senyum manis, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.

“Pulanglah dulu. Ayahmu sudah memanggil, Mega,” lembut sekali suara pemuda itu.

“Maafkan aku, Kakang Partanu,” ucap Mega lirih.

“Aku sudah cukup bahagia jika kau selalu mencintaiku, Mega,” tetap lembut nada suara Partanu.

“Hhh...! Mengapa ayah selalu begitu...? Kenapa dia begitu benci padamu, Kakang...?” nada suara Mega terdengar mengeluh.

“Mega....”

Mereka saling bertatapan mesra, kemudian perlahan-lahan pemuda itu merengkuh tubuh Mega dan membawanya ke dalam pelukan. Mega menyandarkan kepalanya di dada yang bidang dan kekar itu, seakan hendak mendengarkan suara hati kekasihnya ini. Pelahan mereka saling melepaskan pelukan, dan kembali saling bertatapan.

“Pulanglah. Sebentar lagi malam,” ujar Partanu lagi. Tetap lembut suaranya.

“Aku besok akan datang lagi ke sini, Kakang,” jelas Mega.

“Jangan terlalu sering. Aku tidak ingin ayahmu jadi kalap. Nanti kau sendiri yang akan susah, Mega,” Partanu menasihati.

“Kakang... Sebenarnya aku ingin sekali kau membawaku pergi ke mana saja, asal jauh dari desa ini. Jauh dari orang-orang yang selalu membencimu. Kau bersedia membawaku pergi kan, Kakang...?” nada suara Mega penuh harap.
Partanu hanya tersenyum saja, kemudian menarik napas dalam-dalam dan bangkit berdiri. Mega ikut berdiri dibantu pemuda itu.

“Mega...! Di mana kau...?”

Terdengar lagi suara keras bernada panggilan dari arah kaki gunung ini. Mega memandangi wajah kekasihnya dalam-dalam, seakan enggan untuk berpisah lagi. Gadis itu tahu, kalau sudah berpisah sukar untuk bertemu lagi.

“Aku pulang dulu, Kakang,” ucap Mega pelan.

“Pulanglah,” desah Partanu.

Mega melangkah mundur beberapa tindak. Sebentar dipandanginya pemuda itu, kemudian tubuhnya berbalik dan langsung berlari menuruni lereng. Sementara Partanu masih berdiri mematung memandangi gadis itu yang semakin jauh menuruni lereng.

“Hhh...!” Partanu menghembuskan napas panjang begitu bayangan tubuh Mega sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.

Partanu masih berdiri mematung, dan pandangannya tidak berkedip ke arah kaki gunung ini. Beberapa kali ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Terngiang-ngiang lagi kata-kata Mega yang meminta untuk membawanya lari. Gadis itu sudah tidak tahan lagi berada dalam kungkungan dan pengawasan ayahnya yang ketat. Sebentar saja menghilang, pasti sudah dicari.

“Kasihan kau, Mega. Sudah terlalu banyak penderitaan yang kau alami. Aku tidak ingin membuatmu semakin menderita...,” desah Partanu pelan.

“Partanu...!”

“Oh!” Partanu tersentak ketika mendengar suara panggilan dari arah belakang.

Pemuda itu cepat memutar rubuhnya, dan ter­senyum begitu melihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya. Sungguh tidak diketahuinya, kapan laki-laki bertubuh tegap yang wajahnya dihiasi brewok ada di situ. Gagang golok menyembul keluar dari balik ikat pinggangnya.

“Ayah.... Aku tidak tahu kalau Ayah ada di sini,” ujar Partanu buru-buru.

“Aku sudah ada di sini sejak tadi, Partanu,” berat dan besar sekali suara laki-laki itu. Namanya Puliga, tapi orang-orang lebih mengenalnya sebagai Iblis Gunung Parakan. Itu julukannya.

“Oh...!” Partanu mendesah kaget.

“Kau mencintai anak si Anta itu, Partanu?” langsung saja Puliga bertanya.

“Benar, Ayah,” sahut Partanu seraya tertunduk. Pemuda itu benar-benar tidak sanggup menatap sinar mata ayahnya yang tajam memerah bagai sepasang bola api.

“Kau sanggup menanggung segala akibatnya?”

“Maksud Ayah...?!” Partanu tidak mengerti. Langsung diangkat kepalanya, menatap wajah laki-laki berwajah kasar itu.

“Partanu, tidak ada seorang pun yang akan sudi menerimamu. Kau adalah anak Puliga, si Iblis Gunung Parakan yang sudah terkenal tukang begal, perampok, dan pembunuh berdarah dingin. Tak ada seorang pun yang akan menerimamu, Partanu,” jelas Puliga lagi.

”Tapi kami sudah bertekad, Ayah,” mantap suara Partanu.

“Jika itu memang tekadmu, kau harus mendapatkannya dengan cara apa pun juga. Dan yang lebih penting lagi, kau harus menghadapi segala tantangan. Sanggup?”

“Sanggup!” jawab Partanu langsung tanpa berpikir lagi.

“Ha ha ha...!”

*******************

Di saat sinar matahari bersinar terik menyengat kulit, yang utama ada dalam pikiran setiap orang adalah air. Dalam keadaan panas seperti ini, semua orang pasti akan mencari tempat-tempat yang dekat air. Bahkan lebih menyenangkan lagi jika berendam di sungai.

Siang ini, seluruh udara di atas permukaan bumi Desa Parakan, terasa begitu panas menyengat. Matahari bersinar amat terik, seakan-akan hendak menghanguskan seluruh mayapada. Hampir semua penduduk desa itu jadi enggan pergi ke ladang, dan lebih senang berangin-angin di bawah rindangnya pohon. Atau bahkan merendam diri di dalam sejuknya air sungai. Sungai yang biasanya hanya ramai di waktu pagi dan sore, kini setiap saat selalu didatangi orang.

“Huh...! Panas sekali...,” keluh seorang pemuda yang tengah duduk di bawah pohon yang cukup rindang.

Meskipun daun yang menaunginya sempat menahan sinar matahari, namun udara panas tetap saja tak mampu dihalangi. Seluruh tubuhnya telah dibasahi keringat. Bahkan wajahnya begitu memerah bagai terbakar. Dipandanginya orang-orang yang tengah berendam di dalam sungai, seakan-akan tidak ada lagi tempat kosong di sekitar sungai itu.

“Kakang Rangga....”

Pemuda berbaju rompi putih itu menoleh ketika mendengar suara yang memanggil namanya. Bibir yang tipis dan agak memerah, menyunggingkan senyuman ketika melihat seorang laki-laki berusia sekitar lima belas tahun berlari-lari kecil menghampiri dalam keadaan basah kuyup. Langsung saja dihempaskan tubuhnya, duduk di samping pemuda berbaju rompi putih itu.

“Kotor nanti bajumu, Carika,” kata pemuda itu memperingatkan.

“Biarlah. Habis, panas sekali sih...,” sahut pemuda yang dipanggil Carika. “Segar rasanya berada di dalam air. Banyak gadis-gadisnya, Kang,” sambungnya seraya cengar-cengir.

“Kau ini..., belum waktunya melirik gadis!”

Pemuda belasan tahun itu hanya tertawa saja. Begitu renyah suara tawanya, lepas berderai memperlihatkan baris gigi yang putih dan rapi. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga, hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali mengarahkan pandangannya ke sungai. Memang, di sana banyak gadis yang tengah merendam diri, melindungi kulitnya yang putih dari sengatan sinar matahari.

“Carika, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan saja,” ajak Rangga.

“Mau ke mana lagi, Kakang? Ini kan Desa Parakan.”

“Sudah tiga hari kita di sini, tapi pamanmu tidak ada. Bahkan tidak ada yang kenal dengan pamanmu di sini. Barangkali kau salah, Carika,” ujar Rangga mengemukakan alasannya.

Carika tertunduk diam. Wajahnya langsung saja berubah murung. Dikorek-koreknya tanah dengan sebatang ranting di ujung jari kakinya, sambil memeluk lutut Rangga menggeser duduknya lebih mendekat. Diraihnya kepala Carika dan diusap-usapnya. Carika mengangkat kepalanya, langsung menatap sepasang bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” ucap Rangga lembut.

“Kau memang benar, Kakang. Mungkin aku yang salah,” ujar Carika lirih.

Rangga hanya tersenyum saja, mencoba memberi ketabahan pada pemuda belasan tahun itu.

“Maaf. Aku jadi menyusahkanmu, Kakang,” ucap Carika lagi. Suaranya terdengar semakin lirih.

“Sama sekali tidak. Aku senang jika kau menemukan pamanmu,” sahut Rangga diiringi senyum manis.

“Aku jadi ragu-ragu, Kakang...,” ada nada keputusasaan dalam suara Carika.

“Kenapa?” tanya Rangga.

“Barangkali pamanku memang tidak pernah ada.”

“Kalau tidak ada, dari mana kau dapatkan benda itu?” tanya Rangga lagi.

“Ibu.”

“Kau masih ingat pesan ibumu, bukan?” Carika mengangguk.

“Kau tidak boleh putus asa, Carika. Tunjukkan kalau kau adalah anak yang berbakti pada orang tua. Temukan pamanmu, di mana pun berada. Berikan benda itu padanya. Setelah itu, kau boleh bebas menentukan jalan hidupmu sendiri,” Rangga memberi dorongan semangat dan kepercayaan.

''Ya..., aku memang tidak boleh putus asa. Satu-satunya keluargaku hanya paman yang masih ada,” desah Carika.

“Bagus! Ayo, kita jalan lagi. Tidak betah rasanya aku di sini terus. Panas...!” ajak Rangga.

Mereka kemudian bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan tempat itu. Tak ada lagi yang membuka suara. Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan berdebu. Beberapa kali Carika menendang batu kerikil sambil mendengus. Rangga hanya memperhatikan saja tingkah anak itu, namun merasa iba juga.

Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat saat pertama kali bertemu Carika. Saat itu, anak ini tengah dikejar-kejar sambil memondong ibunya yang terluka parah akibat sebuah anak panah menembus dadanya.

Keadaannya sudah demikian parah. Dan Carika tidak bisa lagi berlari sambil memondong ibunya, sehingga jatuh tergulir. Tapi untung pada saat orang-orang yang mengejarnya datang, Pendekar Rajawali Sakti tiba. Langsung saja dia menolong Carika yang hampir saja terpenggal lehernya.

Meskipun sudah berusaha, tapi anak panah yang menembus sampai ke jantung tak bisa lagi menyelamatkan nyawa ibu Carika. Dia tewas, tapi masih sempat menitipkan anaknya pada Rangga. Wanita itu memang sempat meminta pada Rangga untuk membantu Carika mencari pamannya. Tapi Rangga tidak tahu-menahu kalau Carika telah dititipkan sebuah benda yang terbungkus kain putih. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak tahu, mengapa orang-orang itu mengejar dan membunuhnya.

“Tolooong...!”

“Heh...?!” Rangga tersentak ketika tiba-tiba mendengar teriakan itu.

Sejenak Rangga menatap Carika, dan rupanya anak itu juga mendengar suara jeritan tadi.

“Tolooong...!”

Begitu terdengar suara jeritan lagi, Rangga langsung melompat cepat ke arah suara teriakan itu. Carika tidak mau kalah, lalu cepat berlari sekuatnya mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lenyap tidak terlihat lagi dalam sekejap mata saja.

“Hiyaaa...!”

Rangga langsung melompat sambil melontarkan tendangan keras ke arah punggung seorang laki-laki yang sedang berusaha membawa paksa seorang gadis. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu terjungkal mencium tanah. Pendekar Rajawali Sakti langsung menarik tangan wanita itu, dan membawanya menjauh.

“Ghrrr...!” laki-laki bertubuh tinggi besar itu meng­gereng marah, dan langsung cepat melompat bangkit

Sementara Rangga sudah membawa wanita itu menyingkir ke tempat yang aman, kemudian melangkah beberapa tindak ke depan. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berbuat sesuatu, dari arah belakang laki-laki bertubuh tinggi besar itu muncul dua orang lagi berperawakan sama. Mereka semua menggenggam sebilah golok besar, bagai tukang jagal binatang.

Tanpa ada yang bicara sedikit pun, ketiga orang itu langsung berteriak keras menggelegar. Lalu dengan kecepatan luar biasa, mereka berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat Rangga melompat, dan secepat itu pula melepaskan dua pukulan keras disertai satu ten­dangan menggeledek. Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu memang cepat luar biasa. Sehingga sebelum ketiga orang itu sempat melakukan penyerangan, telah lebih dulu mendapat serangan yang tidak bisa terelakkan lagi.

Ketiga orang itu menjerit keras begitu terkena pukulan dan tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka jatuh bergulingan di tanah. Pada saat yang sama, Rangga sudah kembali bergerak seraya mengibaskan tangannya.

Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berdiri tegak tidak jauh dari ketiga laki-laki yang merintih bergelimpangan di tanah. Di tangan pemuda berbaju rompi putih itu tergenggam tiga buah golok besar. Ketiga orang itu serentak bangkit berdiri, tapi menjadi terkejut bukan main saat melihat senjatanya sudah terampas.

Trak!

Hanya sekali hentak saja, Rangga mematahkan golok-golok itu jadi dua bagian, lalu melemparkannya ke depan tiga orang laki laki bertubuh besar dan berwajah kasar itu. Mereka jadi terlongong dengan mulut terbuka lebar dan mata mendelik hampir tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya. Golok-golok besar itu patah hanya sekali sentakan saja.

“Yaaa...!” teriak Rangga keras.

Teriakan Pendekar Rajawali Sakti itu, membuat ketiga laki-laki berwajah kasar itu langsung lari lintang pukang dan sekuat tenaga meninggalkan tempat itu. Rangga tersenyum melihat tingkah ketiga orang itu. Tubuhnya berbalik lalu menghampiri gadis cantik yang hanya mengenakan selembar kain agak basah melilit tubuhnya. Bagian bahu dan sedikit dadanya terbuka lebar, memperlihatkan kulitnya yang putih halus. Pada saat itu Carika muncul, dan langsung menghampiri Rangga yang sudah berada di depan gadis itu.

“Kau tidak apa-apa, Nisanak?” tanya Rangga.

“Ada apa...?” celetuk Carika bertanya, sebelum gadis itu menjawab pertanyaan Rangga.

Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Wajahnya yang cantik, masih terlihat pucat, dan tubuhnya bergetar.

“Terima kasih, kau telah menolongku,” ucap gadis itu perlahan. Suaranya masih terdengar bergetar.

“Di mana rumahmu? Mari kuantarkan pulang,” Rangga menawarkan jasa.

“Tidak jauh dari sini, di Desa Parakan,” sahut gadis itu lagi.

Rangga berpaling pada Carika yang berada di sampingnya. “Kau masih punya simpanan baju, Carika?” tanya Rangga.

“Ada...,” sahut Carika.

Anak itu buru-buru membuka buntalan yang selalu tersampir di pundaknya. Diambilnya sepotong baju berwarna merah muda, dan diberikannya pada gadis itu. Dengan ragu-ragu, gadis itu menerima setelah didesak Carika. Dikenakannya baju itu dengan wajah masih terlihat memucat. Memang kebesaran bajunya, karena tubuh Carika lebih besar daripada tubuh gadis itu. Tapi cukup untuk melindungi tubuhnya agar tidak terlalu terbuka.

“Ayo, kuantarkan pulang,” ajak Rangga.

Mereka kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. Carika kembali menyampirkan buntalan kainnya di pundak, lalu berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada yang berbicara. Semuanya terdiam membisu. Sedangkan beberapa kali Carika mencuri-curi pandang pada gadis cantik yang berjalan di samping Rangga.

“Ada apa sih tadi, Kakang?” tanya Carika memecah kebisuan.

“Hanya berandal-berandal tengik yang mencoba mengganggunya,” sahut Rangga seraya melirik gadis di sebelahnya.

“Mega. Namaku Mega,” selak gadis itu memperkenalkan diri.

“Aku Carika, dan ini kakakku. Namanya Rangga,” sahut Carika langsung saja memperkenalkan Rangga sebagai kakaknya.

Sedikit Rangga melirik pada anak itu, tapi hatinya mengatakan kalau tidak keberatan Carika mengakuinya sebagai kakak. Dan memang sebaiknya begitu, daripada membuat persoalan yang bisa menghambat perjalanan mereka.

“Kalian pasti bukan dari desa ini,” tebak Mega.

“Benar. Kami hanya pengembara,” sahut Rangga cepat, sebelum diserobot Carika.

“Apakah di desa ini banyak berandalnya, Kak?” tanya Carika.

“Sebenarnya tidak. Tapi entah, belakangan ini selalu saja terjadi kerusuhan,” sahut Mega agak mendesah.

“Wah.... Jangan khawatir, Kak. Kakang Rangga pasti bisa mengusir mereka,” kata Carika lagi seraya menyikut iga Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga jadi mendengus dalam hati. Carika memang terlalu banyak bicara, dan selalu membesar-besarkan. Terlebih lagi, selalu memuji-muji Rangga di depan siapa saja yang ditemuinya. Akibatnya, memang tidak jarang mereka mendapat kesulitan dalam perjalanan ini.

“Oh..., apakah Kakang seorang pendekar?” tanya Mega.

“Ti....”

“Iya, Kak. Tidak ada yang bisa mengalahkannya. Kakang Rangga seorang pendekar tangguh,” selak Carika cepat sebelum Rangga sempat menjawab tuntas.

Rangga jadi mendelik, tapi Carika tidak peduli. Bahkan malah pindah ke samping Mega. Hal ini membuat Rangga jadi kesal juga, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Carika memang selalu begitu, tapi Rangga sebenarnya menyenangi. Memang, Carika begitu periang dan penuh kelakar yang membuat hati siapa saja akan senang padanya. Sikapnya memang selalu menyenangkan orang lain, meskipun kadang-kadang suka menjengkelkan.

“Kemarin, Kakang Rangga baru saja membabat habis sepuluh perampok, Kak. Pokoknya, ilmunya tinggi..., deh,” bual Carika memuji Rangga setinggi langit

“Carika...!” desis Rangga mencoba menghentikan bualan anak itu.

“Biasa, Kak.... Orang yang punya ilmu tinggi biasanya selalu merendah. Lain dengan aku, tidak punya apa-apa. Paling-paling kalau ketemu maling, ambil langkah seribu!” sergah Carika tidak mempedulikan peringatan Rangga.

Mega tertawa mendengar kelakar Carika. Hilang sudah ketakutannya akibat kekasaran tiga laki-laki berandal tadi. Dan gadis itu semakin sering tertawa mendengar gurauan Carika. Namun kadang-kadang omongan anak itu terlalu lepas. Dan ini membuat Rangga semakin sering menahan jengkel.

“Kalian harus ketemu ayah. Pasti ayah senang berkenalan dengan kalian,” kata Mega seraya melirik pada Rangga.

“'Terima kasih, tapi...,” ucap Rangga terputus.

“Dengan senang hati kami menerima, Kak,” selak Carika cepat

Lagi-lagi Rangga hanya bisa mendengus dan matanya mendelik pada Carika. Namun anak itu malah memalingkan mukanya ke arah lain, bahkan langsung saja berkicau membuat kelakar-kelakar yang kali ini dirasakan Rangga tidak menggelitik. Tapi, membuat Mega terus-menerus tertawa.

DUA

Rangga benar-benar tidak bisa lagi berkata apa-apa, saat Ki Anta menawarkannya untuk tinggal beberapa hari di rumahnya. Karena Carika sudah langsung menyetujui. Bahkan anak itu semakin membual besar dengan menyanjung-nyanjung Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini semakin membuat Ki Anta tertarik. Memang, sebenarnya laki-laki itu memerlukan bantuan seorang pendekar digdaya untuk menghadapi gerombolan pengacau yang akhir-akhir ini selalu mengganggu ketenteraman penduduk.

“Kau keterlaluan, Carika!” dengus Rangga saat mereka berdua saja di dalam kamar yang disediakan Ki Anta.

“Keterlaluan bagaimana, Kakang...?” ringan sekali suara Carika seraya menghempaskan tubuhnya di pembaringan.

“'Tidak perlu kau bercerita begitu banyak tentang diriku. Kau tidak pernah bisa menghilangkan kebiasaan burukmu. Membual itu tidak baik, Carika...,” Rangga menasihati.

“Tapi yang kukatakan itu benar, bukan?”

“Tidak seluruhnya!” dengus Rangga.

“Paling tidak, ada benarnya,” Carika tidak mau kalah.

Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Sungguh tidak dimengerti sikap anak ini. Bisa dikatakan nakal, tapi juga pandai. Beberapa hari bersama Carika, Rangga sudah bisa mengetahui wataknya. Dan sudah bisa diduga, sikap Carika kali ini tentu ada maksudnya. Carika tidak akan bertingkah seperti ini secara berlebihan jika tidak mempunyai maksud tertentu. Hanya saja anak itu tidak akan mengatakannya, meskipun didesak.

“Lumayan, Kakang. Malam ini kita tidak perlu tidur di dalam hutan lagi,” kata Carika lagi.

“Iya! Tapi kau mempertaruhkan nyawaku!” dengus Rangga masih jengkel.

“Ah..., paling juga hanya berandal biasa, Kakang. Tidak perlu dipikirkan. Aku juga hanya berandalan biasa, dan juga bisa menghadapinya. Aku pernah belajar ilmu olah kanuragan dari ayah. Memang tidak tinggi, tapi cukup untuk menjaga diri,” jelas Carika lagi.

Rangga baru akan membuka mulutnya, ketika terdengar suara ketukan di pintu. Carika langsung melompat turun dari pembaringan dan membuka pintu. Di ambang pintu muncul Mega yang sudah berganti baju. Gadis itu membawa baki berisi makanan dan minuman serta beberapa potong buah pepaya.

Mega kelihatan cantik sekali dengan baju warna biru muda yang agak ketat, sehingga membentuk lekuk tubuhnya yang ramping dan indah. Baju bagian dada yang agak rendah, menampakkan tonjolan berkulit putih mulus. Sejenak Rangga terpesona menatapnya, tapi buru-buru mengusir semua bayangan tentang gadis itu dari benaknya. Mega melangkah masuk, lalu menyerahkan baki di tangannya pada Carika. Dengan senang hati Carika menerimanya dan langsung membawa ke meja.

“Ayah ingin bicara denganmu setelah makan, Kakang,” kata Mega memberi tahu. Suaranya begitu lembut, bagai seorang putri bangsawan.

“Sebaiknya kutemui saja sekarang,” kata Rangga.

“Kau tidak makan dulu...?”

“Aku masih kenyang. Itu juga nanti habis oleh Carika sendirian.”

“Dia lagi marah, Kak,” celetuk Carika.

“Marah...? Memangnya kenapa?” tanya Mega.

Rangga mendengus. Dihampirinya Carika seraya menyambar sepotong ikan. Lalu dengan cepat disumpalkan ikan itu ke mulut Carika. Anak itu jadi gelagapan. Mega tertawa terpingkal-pingkal melihat kejadian itu.

“Sial...!” rutuk Carika seraya meletakkan lagi ikan yang disumpalkan ke mulutnya.

“Sudahlah. Kalian ini selalu saja bertengkar,” Mega melerai.

“Kalau kau bukan kakakku, pasti sudah kubalas!” dengus Carika, tapi bibirnya tersenyum juga.

Dan Rangga jadi tidak tahan juga melihat mimik muka anak itu. Buru-buru kakinya melangkah keluar sebelum tawanya meledak. Tapi belum juga jauh meninggalkan kamar itu, terdengar suara Carika yang terbahak-bahak dibarengi tawa Mega yang lembut dan merdu. Rangga terus saja berjalan meninggalkan kamar itu.

Kelakuan Carika memang membuatnya jengkel. Tapi entah kenapa, Rangga tidak bisa marah padanya. Bahkan kalau dia ingin marah, selalu saja Carika bisa membuatnya jadi tertawa. Dan hampir saja tawanya tidak bisa ditahan kalau tidak segera keluar.

Rangga terus melangkah keluar. Pendekar Rajawali Sakti melihat Ki Anta sedang mengelus-elus kuda hitam gagah yang tertambat di bawah pohon. Rangga jadi teringat kudanya sendiri. Kuda Dewa Bayu yang sudah lama sekali tidak dijumpainya. Tapi dia memang belum memerlukan kuda itu, yang kini tentu ada di istal Istana Karang Setra.

“Ah, Rangga.... Kemarilah!” panggil Ki Anta begitu melihat Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah menghampiri. Sedangkan Ki Anta terus mematut-matut kudanya. Ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu, lalu laki-laki itu duduk di bangku di bawah pohon tidak jauh dari kuda. Rangga langsung duduk di sampingnya begitu Ki Anta menyuruhnya duduk.

“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Nak Rangga. Sesuatu yang sebenarnya sangat pribadi, tapi menyangkut ketenteraman seluruh warga Desa Palakan ini,” jelas Ki Anta.

“Katakan, Ki. Mungkin bisa kubantu,” sambut Rangga.

“Begini. Sebenarnya, aku sudah tahu siapa dirimu....”

Rangga agak terkejut juga mendengarnya, tapi cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya.

“Aku tahu kalau kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada seorang pun yang mempunyai ciri sepertimu. Muda, memakai baju putih tanpa lengan, membawa pedang bergagang kepala burung. Itu merupakan tanda kalau kau adalah Pendekar Rajawali Sakti,” sambung Ki Anta.

“Rupanya aku tidak bisa menyembunyikan tentang diriku di depanmu, Ki,” Rangga mengakui.

“Aku gembira sekali atas kedatanganmu di desa ini. Dan aku memang mengharapkan adanya seorang pendekar yang singgah. Ternyata harapanku kini terkabul,” ungkap Ki Anta dengan wajah cerah.

“Sebenarnya apa yang hendak kau bicarakan denganku, Ki?” tanya Rangga tidak ingin berlarut-larut.

“Aku tidak tahu, apakah kau kenal atau tidak. Tapi terus terang saja, aku tidak sanggup menghadapinya. Bahkan seluruh warga desa ini pun tidak akan mampu menghadapinya. Dia seorang yang berkepandaian sangat tinggi dan kejam. Hhh...!” Ki Anta menghembuskan napas panjang.

“Siapa orang yang kau maksudkan, Ki?” tanya Rangga mendesak.

“Puliga. Dia dikenal berjuluk Iblis Gunung Parakan. Sudah lama sekali desa ini berada di dalam cengkeramannya. Dan selama kami masih sanggup menyediakan upeti, dia tidak akan mengganggu. Tapi belakangan ini, orang-orangnya selalu membuat keributan. Yaaah..., semua ini gara-gara anakku yang susah diatur,” ada nada keluhan pada suara Ki Anta.

“Mega...?”

“Benar. Dia anakku satu-satunya. Sudah sering kuperingatkan agar tidak berhubungan dengan Partanu, tapi masih saja membandel. Bahkan selalu mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi.”

“Siapa itu Partanu?”

“Anak laki-laki Puliga. Dia juga punya kemampuan olah kanuragan tinggi. Bahkan kabarnya hampir setaraf dengan ayahnya.”

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah bisa dimengerti, apa kesulitan yang kini dihadapi Ki Anta. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa mengambil keputusan begitu saja, karena ini persoalan pribadi. Persoalan cinta dua anak manusia dengan latar belakang kehidupan yang berbeda dan saling bertolak belakang.

Tidak mudah menyelesaikan persoalan ini. Masalah cinta bukanlah masalah sepele. Meskipun kelihatannya kecil sekali, tapi bisa berakibat sangat fatal. Bahkan bukannya tidak mungkin bisa menimbulkan pertumpahan darah. Terlebih lagi, yang dihadapi Ki Anta adalah seorang tokoh sakti rimba persilatan yang berkemampuan sangat tinggi dan kejam.

“Boleh kutahu, Ki. Kenapa kau tidak menyetujui hubungan mereka?” tanya Rangga hanya ingin tahu isi hati laki-laki tua Kepala Desa Parakan ini.

“Nak Rangga..., orang tua mana yang sudi anaknya berhubungan dengan keturunan si Iblis Gunung Parakan? Hanya orang tua gila saja yang mengizinkan anaknya punya hubungan dengan Partanu. Sudah pasti anak itu tidak jauh berbeda dengan ayahnya,” sahut Ki Anta.

“Apakah tindakan Partanu memang mengikuti jejak ayahnya?” tanya Rangga lagi.

“Terus terang, sampai saat ini aku belum pernah mendengar Partanu melakukan perampokan atau tindak kejahatan lainnya. Bahkan aku belum pernah mendengar dia bertarung. Apalagi membunuh orang,” sahut Ki Anta jujur.

“Maaf, Ki. Sebenarnya aku tidak berhak ikut campur dalam urusan ini. Tapi menurutku, sebaiknya selidikilah dulu lebih jauh lagi tentang Partanu. Mungkin dia tidak seperti ayahnya,” kilah Rangga bijaksana.

“Tapi, Nak Rangga.... Seorang anak tidak akan mungkin jauh dari ayahnya. Terlebih lagi sejak kecil selalu hidup dalam lingkungan para perampok. Malah, ayahnya sendiri yang menjadi pemimpin perampok itu. Maka sudah pasti dia tidak jauh berbeda dengan ayahnya,” bantah Ki Anta.

“Yaaah.... Sayang sekali, Ki. Aku tidak bisa melakukan apa-apa,” ujar Rangga agak mendesah.

“Tolonglah, Nak Rangga. Pada siapa lagi aku harus meminta bantuan...?” rengek Ki Anta.

“Seandainya aku mau, apa yang harus kulakukan untukmu, Ki?”

“Hancurkan mereka. Bunuh si keparat Partanu dan ayahnya itu. Dengan demikian, bukan saja kau menolong keluargaku, tapi juga membebaskan rakyat dari cengkeraman dan kekejamannya,” tegas Ki Anta.

Rangga tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang, bukannya Pendekar Rajawali Sakti tidak bersedia membantu, tapi memang tidak terlihat adanya sesuatu yang bisa dilakukan. Sedangkan masalah yang dikemukakan Ki Anta, menurutnya hanya persoalan cinta dua anak manusia. Persoalan yang tidak perlu dibesar-besarkan, asal tidak ada yang mengipasi bara.

“Yaaah..., mungkin aku terlalu berlebihan. Kau seorang pendekar digdaya, dan tentunya lebih sempurna cara memandangnya daripada diriku,” kata Ki Anta bernada mengeluh.

“Maaf, Ki. Bukan maksudku membuatmu kecewa,” ujar Rangga menyesal.

“Tidak. Hal ini bisa kupahami. Kau pasti akan bertindak bijaksana. Memang seharusnya aku tidak perlu membesar-besarkan persoalan ini,” balas Ki Anta.

Rangga menepuk punggung tangan laki-laki tua itu, kemudian bangkit berdiri. Namun sebelum kakinya terayun, terlihat Mega berlari-lari kecil keluar dari dalam rumah. Gadis itu langsung menghampiri.

“Kakang, boleh aku minta tolong padamu?” pinta Mega langsung begitu mendekat.

“Tentu,” sahut Rangga.

“Aku ingin ke pusara ibu. Apakah kau mau mengantarku ke sana, Kakang?”

“Jika ayahmu mengizinkan.”

“Pergilah. Tapi jangan terlalu sore pulangnya,” kata Ki Anta langsung mengizinkan sebelum anaknya meminta.

Dengan sikap manja dan riang sekali, Mega menggamit tangan Pendekar Rajawali Sakti itu, dan mengajaknya pergi. Sebentar Rangga masih sempat melirik Ki Anta yang tersenyum-senyum melihat keceriaan anak gadisnya. Setelah beberapa hari belakangan ini, baru kali ini Mega terlihat begitu gembira.

“Ah, mudah-mudahan dia sudah melupakan Partanu,” desah Ki Anta berharap.
Pendekar Rajawali Sakti
Mega berjalan lincah di samping pendekar muda berbaju rompi putih. Wajah gadis itu begitu riang, sekali-kali terdengar senandung kecilnya yang merdu terdengar di telinga. Rangga berjalan perlahan-lahan, sehingga kadang-kadang Mega harus menarik tangan pemuda itu agar lebih cepat lagi berjalan.

“Sebentar, Mega. Bukankah ini tidak menuju...?”

“Memang bukan,” sahut Mega cepat sebelum Rangga menyelesaikan pertanyaannya.

“Lalu, kenapa mengajakku ke sini?” tanya Rangga seraya menghentikan ayunan langkahnya.

Mega tidak langsung menjawab, dan juga berhenti berjalan. Perlahan tubuhnya diputar, maka pandangannya langsung terarah ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya. Mendadak saja wajah gadis itu menjadi murung.

“Maaf, aku telah membuatmu tersinggung,” ucap Rangga buru-buru.

“Tidak,” sahut Mega pelan. “Aku memang sengaja mengajakmu ke sini. Aku ingin bicara berdua saja denganmu. Itu jika kau tidak keberatan, Kakang.”

“Tentu saja tidak. Tapi, kenapa di sini? Bukankah di rumah lebih baik?”

“Tidak ada yang bisa mendengar di tempat ini. Aku tidak sebebas yang kau kira bila berada di rumah, Kakang,” ada kesenduan pada nada suara Mega.

Rangga jadi tertegun, dan langsung teringat kembali percakapannya dengan Ki Anta tadi. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak, apa yang akan dibicarakan gadis ini.

“Mungkin di dunia ini aku adalah orang yang paling tidak bahagia, Kakang,” ungkap Mega memulai.

Rangga masih tetap diam.

“Aku tahu, ayah telah banyak cerita tentang diriku, hubunganku dengan Partanu, dan sikap ayah yang menentang hubungan kami. Dan pasti ayah memintamu untuk memisahkan aku dengan Partanu untuk selama-lamanya,” sambung Mega lagi.

Rangga hanya mengangkat bahu saja.

“Aku memang berhutang budi padamu, Kakang. Tapi kumohon, jangan campuri urusanku. Apalagi menerima permintaan ayah. Partanu orangnya baik, pengertian, dan penuh rasa tanggung jawab. Meskipun ayahnya kejam, perampok, pembunuh dan pemerkosa gadis-gadis. Tapi Partanu tidak pernah melakukan semua itu. Bahkan sangat menentang ayahnya. Dia sungguh-sungguh mencintaiku. Dan aku...,” suara Mega terputus.

Rangga merengkuh gadis itu saat air mata mulai menitik membasahi pipi yang putih halus. Mega tidak kuasa lagi membendung air matanya, langsung menangis di dalam pelukan Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku selalu mencoba gembira di depan ayah, karena tidak ingin membuat ayah sedih. Padahal hatiku selalu menjerit..,” rintih Mega di sela isak tangisnya.

“Aku mengerti, Mega,” bisik Rangga lembut.

Bisikan Rangga yang begitu lembut, membuat tangis Mega semakin keras. Namun gadis itu berusaha menahan, sehingga tubuhnya jadi berguncang menahan isaknya yang tersendat. Rangga membiarkan saja dadanya dibasahi air mata. Dia bisa merasakan apa yang kini tengah dirasakan gadis itu.

“Mega...!” tiba-tiba saja terdengar bentakan keras.

Baik Rangga maupun Mega, jadi tersentak kaget. Cepat gadis itu melepaskan pelukannya. Dan dia semakin terkejut ketika melihat seorang pemuda berbaju kulit binatang, tiba-tiba sudah berdiri di depan mereka.

“Kakang Partanu...,” desis Mega hampir tidak terdengar suaranya.

Rangga sedikit melirik Mega yang kelihatan kebingungan, karena dipergoki sedang memeluk seorang pemuda. Buru-buru diseka air matanya, lalu melangkah mendekati Partanu.

“Berhenti di situ, Mega!” bentak Partanu keras.

Mega langsung menghentikan langkahnya.

“Kakang...,” tersendat suara Mega.

“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa, Mega. Pantas kau semakin jarang menemuiku lagi, rupanya sudah punya laki-laki lain!” dengus Partanu dingin.

“Kakang...!” sentak Mega terperanjat mendengar tuduhan itu.

“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa, Mega. Kau milikku. Tidak seorang pun yang boleh menjamahmu!” bentak Partanu.

“Kisanak, akan kujelaskan yang se...”

“Tutup mulutmu!” bentak Partanu memutus ucapan Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menutup mulutnya.

“Menyingkir kau, Mega...,” desis Partanu memerintah.

“Kakang...!”

“Menyingkir kataku...!” bentak Partanu berang.

Mega jadi kelabakan melihat Partanu begitu marah. Gadis itu memandang Rangga, dan hanya dibalas dengan anggukan kepala sedikit disertai senyum di bibir. Dengan wajah memucat dan tubuh gemetar, Mega bergerak menyingkir menjauh.

Sementara itu, Partanu sudah menggeser kakinya sedikit ke samping. Diloloskan pedang dengan sarungnya dari pinggang. Sarung pedang itu dipegang tepat pada bagian tengah. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak dan bersikap tenang. Namun, matanya tidak berkedip memperhatikan setiap gerakan kaki Partanu yang menggeser menyusur tanah perlahan-lahan.

Tring!

Partanu melemparkan pedangnya ke tanah. Pemuda itu ingin menunjukkan kalau dirinya seorang laki-laki jantan dan menghendaki pertarungan jujur. Melihat itu, Rangga jadi kagum akan jiwa besar Partanu. Maka kemudian Pendekar Rajawali Sakti melepaskan tali pengikat pedangnya, dan meletakkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti perlahan-lahan ke tanah di samping kakinya.

“Bagus! Rupanya kau punya nyali besar juga, Keparat!” dengus Partanu mendesis dingin.

“Masih ada waktu untuk memberi penjelasan padamu, Partanu,” kata Rangga mencoba menghindari pertarungan yang tidak ada gunanya ini baginya.

“Sayang sekali, waktumu sudah habis!” dengus Partanu.

“Aku....”

“Cukup! Hiyaaat...!” keras sekali suara Partanu.

Bagaikan kilat, mendadak saja pemuda itu melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Seketika itu juga, Partanu melontarkan dua pukulan beruntun bertenaga dalam tinggi. Sementara Rangga cepat-cepat menggeser kakinya ke samping, lalu meliukkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan dengan manis sekali. Hasilnya, dua pukulan beruntun yang dilepaskan Partanu tidak mengenai sasaran.

Namun pemuda berbaju kulit binatang itu, cepat menarik kembali tangannya. Dan seketika itu juga, dihentakkan kakinya ke depan. Cepat sekali gerakan Partanu, sehingga Rangga sempat terkesiap. Namun dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu menarik tubuhnya ke belakang, maka tendangan Partanu luput dari sasaran.

“Hiya! Yeaaah...!”

Dua kali Partanu melancarkan serangan, namun berhasil dihindari dengan mudah. Akibatnya pemuda itu semakin geram saja. Partanu segera me­ningkatkan serangan-serangannya. Dikerahkan kekuatan tenaga dalam setiap kali melontarkan pukulan ataupun tendangan. Sementara Rangga masih tetap menghindar, meliuk-liukkan tubuhnya diimbangi gerakan kakinya yang lincah dan cepat dalam pengerahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Suatu jurus yang selalu digunakan dalam awal pertarungan seperti ini.

Meskipun kelihatannya Rangga terdesak dan hanya bisa berkelit menghindar, namun sampai lima jurus berlalu Partanu belum juga mampu menyarangkan satu pukulan atau tendangan ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini membuat kemarahan Partanu semakin memuncak.

Sambil berteriak keras menggelegar, pemuda berbaju kulit binatang itu meningkatkan jurus-jurusnya. Bahkan kini menggunakan jurus-jurus yang sangat dahsyat dan berbahaya. Peningkatan serangan dalam kadar yang tinggi dan berbahaya ini sangat dirasakan Rangga. Maka Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin mengambil resiko dengan terus-menerus mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu merubah jurusnya, mengambil jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.

“Modar...!” tiba-tiba Partanu berteriak keras.

Seketika itu juga dilepaskan satu pukulan keras ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatan lowong setelah menghindari sepakan kaki yang mengarah ke kaki. Namun cepat sekali Rangga menyilangkan tangannya di depan dada, sehingga pukulan Partanu menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

Blarrr!

Satu ledakan keras terdengar ketika pukulan Partanu menghantam tangan Rangga. Tampak Partanu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti terdorong enam langkah ke belakang. Cepat Rangga menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Sementara Partanu juga melakukan hal yang sama. Meskipun gerakan mereka berbeda, namun mempunyai tujuan sama.

“Hup! Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja, Partanu mengebutkan tangannya ke depan. Maka seketika itu juga melesat sebuah benda kecil berwarna keperakan dari tangan kanan pemuda itu. Cepat sekali benda keperakan itu meluncur, membuat Rangga agak terperangah sesaat.

“Hup...!”

Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke angkasa, sehingga benda keperakan itu lewat di bawah kakinya. Dua kali Rangga berputaran di udara. Pada saat itu, Partanu melompat, lalu bergulingan di tanah beberapa kali mendekati pedangnya. Secepat pedangnya yang menggeletak di tanah diraih, maka secepat itu pula dicabut. Langsung pedang itu dikibaskan ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang saat itu tengah turun.

Sret!

Wut!

“Uts...! Yeaaah...!”

Buru-buru Rangga memutar tubuhnya, dan manis sekali menotok ujung pedang Partanu dengan kakinya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu melenting ke udara sambil berputaran beberapa kali, kemudian hinggap di batang dahan pohon.

“Yeaaah...!”

Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Partanu memindahkan pedangnya ke tangan kiri. Dengan cepat sekali dihentakkan tangan kanannya ke arah pohon yang dihinggapi Pendekar Rajawali Sakti.

Srat...!

TIGA

Secercah sinar merah meluncur deras keluar dari telapak tangan Partanu, dan langsung menghantam dahan pohon yang dihinggapi Rangga.

Glarrr!

Kembali terdengar ledakan dahsyat begitu sinar merah menghantam pohon. Tampak pohon itu hancur berkeping-keping, menyebar ke segala arah. Pada saat yang bersamaan, tubuh Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya segera mendarat ringan, tepat di samping pedangnya yang tergeletak di tanah. Cepat Rangga memungut pedang pusakanya, dan menggenggam tepat di tengah-tengah sarung pedangnya.

“Hiyaaa...!”

Kembali Partanu menghentakkan tangannya ke depan, mengarah kepada Pendekar Rajawali Sakti. Kembali sinar merah melunak deras dengan kecepatan bagai kilat

“Hup!”

Rangga cepat melompat menghindari terjangan sinar merah itu. Seketika ledakan dahsyat kembali terdengar saat sinar merah itu menghantam tanah. Debu langsung mengepul membumbung tinggi ke angkasa, dan tanah itu berlubang besar bagai sebuah lubang kuburan gajah. Sementara, beberapa kali Rangga bergulingan di tanah, lalu cepat melompat bangkit berdiri

“Hhh! Rupanya kau cukup tangguh juga, Monyet Keparat..!” geram Partanu dingin.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam pelan tidak jelas.

Saat itu, Partanu merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping. Pedangnya dimasukkan kembali ke dalam sarung, dan disampirkan ke pinggang, lalu perlahan menjauh. Kemudian tangan itu bergerak perlahan seperti melambai turun naik dengan gemulai.

Sedangkan Rangga perlahan-lahan menggeser kakinya sambil memasang kembali pedangnya di punggung. Juga, segera dirapatkan kedua tangannya di depan dada, tepat di saat kedua tangan Partanu yang kini memerah bagai bara, berada di pinggang. Lalu perlahan-lahan seluruh tubuh pemuda itu terselimuti cahaya merah.

“Hm...,” kembali Rangga bergumam pelan.

Udara di sekitarnya jadi terasa panas menyesakkan. Dan Rangga langsung bersiap menghadapi serangan selanjutnya. Pelahan Pendekar Rajawali Sakti itu menurunkan kedua tangannya, lalu memutar tangan kanan di depan dada, dan meletakkannya di samping pinggang. Sedangkan tangan kirinya terbuka dengan ibu jari menempel pada dada.

“Yeaaah...!” tiba-tiba Partanu berteriak keras melengking tinggi.

“Yaaa...!” Rangga juga berteriak keras.

Hampir bersamaan, mereka melompat ke depan dengan kecepatan yang tinggi sekali. Masing-masing tangan merentang lurus ke depan dengan telapak terbuka dan jari-jari merapat menjadi satu.

“Hiyaaa...!”

''Yeaaah...!”

Glarrr...!

Ledakan keras menggelegar kembali terdengar. Kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya, tepat ketika dua pasang telapak tangan beradu di udara. Tampak, kedua tubuh berpentalan ke belakang, lalu jatuh bergulingan di tanah. Mereka sama-sama memuntahkan darah dari mulut, tapi dengan cepat bangkit berdiri kembali.

Sret!

Partanu langsung mencabut pedang, lalu menyilangkannya di depan dada. Sedangkan Rangga menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, karena merasa jalan pemapasannya menjadi agak tersendat. Namun hanya sedikit mengerahkan hawa murni, pernapasannya kembali seperti semula.

“Hiyaaat..!”

Partanu sudah kembali melompat menyerang sambil menghunus pedang di tangan. Pada saat itu, Rangga baru saja selesai mengatur pernapasannya kembali. Terjangan Partanu demikian cepat, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu sedikit tergagap. Namun cepat sekali dijatuhkan dirinya ke tanah di saat Partanu menebaskan pedang ke arah leher.

“Hup!”

Bergegas Rangga melompat bangkit berdiri, karena pada saat itu Partanu sudah kembali menyerang lewat tebasan pedangnya yang dahsyat dan cepat luar biasa. Kembali mereka terlibat pertarungan sengit. Namun sampai sejauh ini, Rangga belum menggunakan senjata karena masih sanggup melayaninya dengan tangan kosong.

Tapi setelah pertarungan itu sudah lebih dari sepuluh jurus. Pendekar Rajawali Sakti mulai merasa terdesak. Serangan-serangan yang dilancarkan Partanu semakin dahsyat, terlebih lagi sekarang ini menggunakan senjata pedang.

“Phuih...!” Rangga mendengus dalam hati. Tepat ketika pedang Partanu mengibas ke arah kepala, Rangga cepat-cepat menarik kepalanya ke belakang. Dan begitu pedang Partanu lewat, dengan cepat dicabut pedang pusakanya dari warangka di punggung.

Sret! Cring!

Tepat pada saat itu, Partanu sudah kembali menebaskan pedangnya ke arah dada. Seketika, Rangga membabatkan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau itu ke arah pedang lawannya.

Trang!

“Hah...?!”

Partanu terbeliak kaget begitu melihat pedangnya terbabat buntung jadi dua. Dan lebih terkejut lagi, pegangannya pada pedang juga terlepas, disertai rasa nyeri pada seluruh persendian lengan. Buru-buru pemuda itu melompat mundur sejauh lima langkah. Sinar matanya masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Tapi kenyataannya, pedangnya kini tergeletak di tanah dalam keadaan buntung. Sedangkan Rangga berdiri tegak dengan pedang bersinar biru melintang di depan dada.

“Kali ini kau boleh bangga, Kisanak. Tapi tunggulah pembalasanku!” desis Partanu menggeram.

Setelah berkata demikian, Partanu langsung berbalik dan melesat pergi. Cepat sekali lesatan pemuda itu. Sehingga dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Rangga memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung, dan seketika sinar biru lenyap. Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuhnya dan menghampiri Mega yang masih berdiri agak jauh dari tempat pertarungan tadi.

*******************

Sudah dua hari ini Mega selalu kelihatan murung, dan lebih senang menyendiri. Sejak pertarungan Rangga dengan Partanu yang berlangsung di depannya, gadis itu jadi berubah. Bahkan di depan ayahnya, dia tidak bisa lagi berpura-pura gembira. Hal ini membuat Ki Anta jadi bertanya-tanya. Tapi setiap kali dia ingin bicara, gadis itu selalu menghindar disertai berbagai macam alasan. Sepertinya Mega benar-benar tidak ingin bicara pada siapa pun juga.

Sejak pagi tadi Mega duduk menyendiri di halaman belakang rumahnya. Tidak dipedulikan lagi sengatan matahari yang begitu terik membakar kulit. Bahkan gadis itu tidak menyadari kalau Rangga sudah berdiri di dekatnya. Mega baru tersadar saat mendengar batuk kecil. Kepala gadis itu berpaling sebentar menatap Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian kembali menatap kosong lurus ke depan. Rangga duduk di sampingnya tanpa diminta lebih dahulu lagi.

“Kalau kau datang ke sini karena permintaan ayah, sebaiknya pergi saja dan jangan temui aku lagi,” kata Mega, ketus nada suaranya.

“Tidak,” sahut Rangga lembut “Justru aku menemuimu untuk berpamitan.”

Mega langsung menatap pemuda berbaju rompi putih itu. Memang tidak bisa lagi disembunyikan keterkejutannya mendengar Rangga akan berpamitan. Dan itu berarti, pemuda ini tidak lagi tinggal di rumahnya. Dan itu berarti pula, mereka tidak lagi bisa bertemu. Agak lama juga Mega memandangi wajah pemuda itu, seakan-akan hendak mencari kebenaran dari ucapan Rangga tadi.

“Mega, aku juga menyesalkan kejadian dua hari yang lalu itu. Sungguh tidak kukehendaki, tapi dia terus mendesakku,” kata Rangga pelan dengan nada penuh penyesalan.

“Lupakan saja, Kakang. Aku tahu, kau memang tidak bersalah. Kakang Partanu memang keras, tapi sangat mencintaiku. Aku tahu itu, Kakang. Dan mungkin sekarang dia sudah membenciku,” ujar Mega lirih.

“Mega. Jika kau mengizinkan, aku akan menemui dan bicara dengannya,” tegas Rangga.

“Untuk apa...?” Mega terkejut

“Aku akan menjelaskan hal yang sebenarnya. Aku yakin, dia bisa memahami.”

“Sebaiknya jangan lakukan itu, Kakang. Kau akan celaka. Terlebih lagi bila bertemu ayahnya. Aku tidak ingin kau celaka gara-gara...,” Mega tidak melanjutkan ucapannya.

Gadis itu kemudian menundukkan kepalanya, menekuri ujung jari kakinya sendiri. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri membisu. Mega kembali mengangkat kepalanya perlahan seraya menghembuskan napas panjang.

“Kakang, ke mana kau akan pergi?” tanya Mega.

“Aku tidak tahu. Yang jelas, terserah kakiku melangkah,” sahut Rangga.

“Kau tidak akan kembali ke sini lagi?” tanya Mega lagi.

Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Diambilnya tangan gadis itu, dan digenggamnya dengan hangat Mega membiarkan saja tangannya digenggam. Entah kenapa, terasakan adanya suatu kedamaian setiap kali Rangga menggenggam tangannya. Dan perasaan ini tidak pernah didapatkan meskipun yang melakukan itu adalah Partanu.

Mega sendiri tidak mengerti, mengapa bisa menangis di dalam pelukan pemuda ini. Bahkan saat mendengar suaranya yang lembut, Mega benar-benar merasakan bagaikan tersiram air sejuk di tengah­-tengah kegersangan hatinya. Dan saat Rangga mengatakan hendak berpamitan, terasa seperti akan ada yang hilang. Yaaa... Mega tidak bisa lagi mem­bohongi dirinya. Dia akan kehilangan sekeping hatinya. Gadis itu sendiri jadi tidak mengerti, mengapa sejak bertemu pemuda ini, dia selalu membanding-bandingkannya dengan Partanu. Sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Terlebih lagi setelah disaksikan sendiri, bagaimana Rangga mencoba bertahan dari gempuran Partanu. Pendekar Rajawali Sakti ini benar-benar tidak ingin mencelakakan Partanu, meskipun sebenarnya bisa saja mengalahkannya dengan cepat. Tapi sepertinya hal itu disengaja, bahkan Rangga ingin menjelaskan hal yang sebenarnya. Hanya saja Partanu tidak memberi kesempatan, karena telah hangus terbakar api cemburu.

“Kapan kau akan berangkat, Kakang?” tanya Mega setelah bisa menguasai diri kembali.

“Sebentar lagi,” sahut Rangga.

“Kenapa secepat ini...?” tanya Mega tanpa sadar.

“Mega, aku pasti akan segera kembali setelah bisa mempertemukan Carika dengan pamannya. Kuharap, saat aku kembali nanti, kau sudah menjadi istri yang baik bagi Partanu,” ucap Rangga.

“Ah, Kakang. Kau hanya menghiburku saja,” desah Mega tersipu.

Wajah gadis itu memerah. Namun sinar matanya mengandung arti yang lain, dan terlihat sangat bertentangan. Mega memaki dirinya sendiri dalam hati. Dirutuki dirinya yang mudah sekali terpikat pada pemuda berbaju rompi putih ini. Bahkan nama Partanu serasa semakin jauh terkikis dari hatinya, dan berganti dengan nama Rangga yang semakin nyata terukir.

“Aku pergi dulu, Mega,” pamit Rangga seraya bangkit berdiri.

Mega hanya bisa menganggukkan kepalanya saja. Sebenarnya gadis itu ingin meminta agar Rangga bersedia tinggal barang satu atau dua hari lagi saja. Tapi lidahnya terasa kelu, dan sukar diajak bicara. Mega hanya bisa memandangi wajah pemuda itu dengan sinar mata begitu banyak menyiratkan kata­kata yang tak terucapkan. Pelahan Rangga membungkukkan tubuhnya, dan dengan lembut sekali mengecup kening gadis itu.

“Aku harap kau bisa berbahagia nanti,” bisik Rangga lembut

Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas pergi. Sementara Mega semakin terpaku, kaku tak mampu berbuat apa-apa lagi. Dia hanya bisa memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti yang semakin jauh dan menghilang di dalam rumah. Mega masih duduk tanpa berkedip menerawang jauh. Kecupan lembut di keningnya masih terasa hangat dan membekas dalam di hati.

“Rangga...,” desah Mega.

*******************

Carika bersiul-siul, dan kakinya terayun ringan di samping Rangga. Dari seorang perambah hutan yang ditemui, mereka mendapat keterangan kalau Paman Sentanu berada tidak jauh di Lereng Bukit Langgang sebelah Selatan. Dan itu berarti hanya tinggal sedikit lagi sampai di tempat tinggal paman anak ini

“Kau tampaknya gembira sekali, Carika,” tebak Rangga memperhatikan tingkah anak itu.

“Ya! Aku gembira sekali, Kakang. Karena sebentar lagi bisa bertemu Paman Sentanu,” sahut Carika, berbinar sinar matanya.

“Apa yang akan kau lakukan bila bertemu pamanmu?” tanya Rangga ingin tahu.

“Apa ya...?”

Rangga memandangi anak itu sambil terus berjalan.

“Tidak tahu, ah! Pokoknya aku senang....”

“Ya, sudah. Itu berarti tugasku sudah selesai,” kata Rangga tidak memaksa.

“Selesai...?” Carika mengerutkan keningnya.

“Iya, kenapa?”

“Tidak apa-apa,” desah Carika.

Rangga bisa melihat adanya perubahan di wajah Carika. Direngkuhnya pundak anak itu, dan dipeluknya dengan penuh rasa sayang. Carika melingkarkan tangannya di pinggang Rangga. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi.

Setelah melewati sebuah sungai kecil, mereka sampai di sebuah tempat yang sangat indah. Padang rumput nampak terhampar luas, dihiasi ratusan ekor domba tengah merumput tenang di sana. Sebuah sungai kecil berair jernih yang mengalir di tepi padang rumput itu, seakan-akan membatasi padang rumput itu dengan hutan yang lebat. Tampak di dekat sungai, berdiri sebuah pondok yang tidak seberapa besar.

Di depan pondok, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun tengah mengayunkan kapaknya membelah kayu. Kulit tubuhnya yang kecokelatan, berkilat tertimpa sinar matahari. Otot-ototnya bersembulan saat kapaknya diayunkan.

“Paman...!” teriak Carika begitu dekat.

Laki-laki itu menghentikan ayunan kapaknya yang sudah berada di atas kepala. Dia berpaling memandang Carika yang berlari-lari kecil menghampiri. Sepertinya tidak dipercayai ketika melihat anak berusia sekitar lima belas tahun itu berlari-lari menghampiri.

“Carika...!”

Laki-laki itu langsung melemparkan kapaknya, dan tangannya merentang lebar. Carika langsung masuk dalam pelukannya, tidak peduli kalau tubuh laki-laki itu penuh keringat Sementara Rangga terus saja berjalan menghampiri disertai senyum di bibir. Mereka berpelukan lama sekali, seakan-akan hendak melepaskan seluruh kerinduannya yang selama ini terpendam.

Mereka baru melepaskan pelukan setelah Rangga berada dekat di belakang Carika. Laki-laki kekar berkulit kecokelatan itu memandangi Rangga. Carika buru-buru menarik tangan Pendekar Rajawali Sakti itu, dan memperkenalkannya pada pamannya.

“Kakang, ini pamanku. Paman Sentanu.”

Mereka saling berjabatan tangan sambil menyebutkan nama masing-masing. Paman Sentanu mempersilakan tamunya masuk ke dalam pondoknya, tapi Rangga dan Carika masih senang berada di luar sambil menghirup udara segar dan menikmati keindahan alam di sini.

“Paman, Kakang Rangga ini banyak menolongku. Kalau tidak ada Kakang Rangga, mungkin aku tidak bisa sampai di sini,” jelas Carika.

“Aku tidak tahu, harus bagaimana mengucapkan terima kasih padamu,” ucap Paman Sentanu.

“Aku hanya memenuhi pesan mendiang ibunya saja, Paman,” sahut Rangga merendah.

“Mendiang...?!” Paman Carika terkejut mendengar Rangga menyebut ibu Carika dengan tambahan kata mendiang.

“Benar, Paman. Ibu sudah meninggal,” jelas Carika.

Tanpa diminta lagi, Carika menuturkan semua kejadian yang dialaminya. Dari dia dan ibunya dikejar-kejar, sampai ditolong oleh Rangga. Paman Sentanu mendengarkan dengan wajah mendung dan mata berkaca-kaca. Mulutnya masih membisu walaupun Carika telah selesai bercerita. Carika juga menyerahkan benda yang terbungkus kain putih pada laki-laki hampir separuh baya itu. Kedua bola mata Paman Sentanu semakin merembang berkaca-kaca.

“Sudah kuduga, ini pasti akan terjadi. Seharusnya ayah dan ibumu mau menuruti kata-kataku,” ujar Paman Sentanu lirih.

Paman Sentanu merengkuh pundak Carika dan memeluknya. Anak itu membiarkan saja, meskipun meringis merasakan sakit mendapat pelukan yang begitu kuat. Untung saja tidak lama, jadi tulang-tulang anak itu tidak remuk. Tubuh Paman Sentanu memang kekar, dan otot-ototnya bersembulan. Tenaganya pasti besar sekali, membuat Carika menggeliatkan tubuhnya begitu terlepas dari pelukannya.

“Tapi, biarlah. Semua yang sudah terjadi tak perlu disesalkan lagi. Aku gembira kau sekarang sudah berada di sini, Carika,” ujar Paman Sentanu mencoba tersenyum, meskipun terasa getir.

“Aku juga senang, Paman,” sambut Carika.

Paman Sentanu mengusap-usap kepala anak itu, dan Carika membiarkan saja.

“Tapi aku lapar, Paman...”

“Kau belum makan...?”

“Cuma kelinci bakar,” sahut Carika meringis.

Paman Sentanu tidak bisa lagi menahan gelak tawanya. Ditepuknya punggung Carika dan disuruhnya cepat makan. Carika menawarkan pada Rangga, tapi ditolak. Tanpa menunggu waktu lagi, Carika masuk ke dalam pondok, tapi tidak lama menyembulkan kepalanya.

“Habiskan saja sekuat perutmu, aku sudah makan tadi,” kata Paman Sentanu sebelum Carika membuka mulut.

Carika menyengir kuda. Kepalanya kembali tenggelam di dalam pondok. Paman Sentanu menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menarik napas panjang.

“Anak itu..., sepertinya tidak pernah merasakan kesedihan. Selalu saja membuat orang jadi lupa akan persoalan hidup,” ujar Paman Sentanu seperti untuk dirinya sendiri.

“Tapi menyenangkan, meskipun kadang-kadang menjengkelkan,” sambung Rangga jujur.

“Memang. Aku juga sering dibuatnya jengkel. Tapi aku sangat sayang padanya. Biar begitu, dia cerdas dan tidak malas. Yaaah..., terkadang tingkah lakunya sangat konyol, membuat orang sering jengkel. Tapi tak ada yang bisa marah padanya, karena selalu saja bisa membuat orang jadi tertawa,” kata Paman Sentanu lagi seraya tersenyum.

Rangga jadi ikut tersenyum. Juga dirasakan, beberapa hari bersama Carika sepertinya ada kelainan dalam jalan kehidupannya. Namun, terkadang Rangga jadi suka berpikir juga tentang anak itu. Carika sepertinya selalu menganggap enteng segala sesuatu yang dihadapi. Jika sikap seperti ini terus berlanjut sampai dewasa, dia tidak akan punya pegangan dalam mengarungi kehidupan yang ganas ini.

*******************

EMPAT

Setelah dua hari tinggal di pondok Paman Sentanu, Rangga baru kembali melanjutkan perjalanannya. Pendekar Rajawali Sakti merasakan kali ini tidak ada beban yang harus ditanggung, sehingga berjalan enak tanpa harus diburu-buru. Sengaja jalan yang diambil dengan memutari Bukit Langgang. Tapi sungguh tidak disadari kalau jalan yang ditempuhnya ini, justru menuju Gunung Parakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu baru menyadari setelah melihat dua buah batu kembar yang berdiri berdampingan bagai menyerupai gerbang. Batu itu merupakan sebuah tanda memasuki daerah Gunung Parakan.

“Berhenti...!”

Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba mendengar bentakan keras. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja muncul seorang laki-laki setengah baya berwajah kasar penuh brewok. Bajunya warna hijau tua yang ketat, membentuk tubuhnya yang kekar berotot. Sebuah gagang golok berwarna hitam, menyembul dari balik pinggang.

“Kau yang bernama Rangga...?” tanya laki-laki setengah baya itu. Suaranya besar dan terdengar berat sekali.

“Benar, dan kau siapa?” Rangga balik bertanya.

“Aku Puliga.”

Rangga mengerutkan alisnya begitu mendengar laki-laki berbaju hijau tua itu menyebutkan namanya. Dia teringat cerita Ki Anta. Ternyata orang ini yang bernama Puliga dan berjuluk si Iblis Gunung Parakan. Saat itu juga Rangga sudah bisa menebak maksud laki-laki itu mencegatnya di tempat ini.

“Kau memang cukup gagah, Rangga. Tapi itu bukan berarti bisa seenaknya saja merebut kekasih orang. Kau tahu, apa akibatnya bila berani berurusan dengan Iblis Gunung Parakan?” jelas sekali kalau nada suara Puliga mengandung ancaman.

“Aku tidak mengerti maksudmu...?” Rangga berpura-pura.

“Phuih!” Puliga menyemburkan ludahnya. “Jangan berpura-pura di depanku, Bocah! Kau bisa saja berbangga hati telah mengalahkan anakku, tapi jangan harap bisa lepas dari tanganku!”

“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya, sehingga matanya hampir menyipit.

Sementara Puliga sudah menggeser kakinya ke samping agak ke depan. Sorot mata laki-laki berbaju hijau tua itu demikian tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Digesernya gagang golok dengan ujung sikutnya. Dua kali ludahnya disemburkan, mencoba menggertak pemuda yang kelihatan tenang di depannya.

“Dengar, Anak Muda. Aku akan memberi kesempatan hidup jika kau bersedia berjanji untuk menjauhi Mega. Dia calon istri anakku!” dengus Puliga, dingin nada suaranya.

“Maaf, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Mega. Sedangkan pertarunganku melawan anakmu, karena aku diserang lebih dahulu. Aku hanya mempertahankan diri,” sahut Rangga mencoba menjelaskan.

“Setan...! Kau merendahkan anakku!” geram Puliga, langsung memerah wajahnya.

“Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya...!”

“Cukup!” bentak Puliga memutus ucapan Rangga. “Ternyata kau memang tidak bisa dikasih hati, Bocah! Sekarang bersiaplah untuk mati...!”

Setelah berkata demikian, Puliga mengecutkan kedua tangannya di depan dada. Lalu sambil berteriak nyaring melengking tinggi, laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu melompat cepat. Dua kali dilontarkan pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Hup...!”

Cepat Rangga menggeser kakinya ke belakang sedikit, kemudian mengegoskan tubuhnya, mencoba menghindari terjangan si Iblis Gunung Parakan itu. Namun setelah serangan pertamanya itu lolos, Puliga langsung menyambung dengan serangan berikut. Dan ini membuat Rangga sedikit kerepotan juga. Cepat-cepat dikerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga serangan-serangan yang dilancarkan Puliga tidak ada yang mengenai sasaran.

Pertarungan itu terus berlangsung semakin sengit. Jurus demi jurus berganti cepat, namun belum ada tanda-tanda kalau pertarungan itu bakal berakhir. Mereka sama-sama memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dan sama-sama mempunyai jurus-jurus ampuh dan dahsyat

Sekitar tempat pertarungan sudah porak-poranda tidak berbentuk lagi. Batu-batu berhamburan dan pecah berkeping-keping. Pepohonan juga bertumbangan tak tentu arah, terkena sambaran pukulan bertenaga dalam tinggi yang nyasar. Meskipun mereka sudah sama-sama mengerahkan jurus andalan, namun tampaknya pertarungan masih akan berlangsung lama.

“Hhh! Tangguh juga dia...,” ujar Rangga mengakui dalam hati ketangguhan lawannya.

“Sepuluh orang seperti dia, bisa mengancam kehidupanku,” desah Puliga dalam hati.

Di dalam hati masing-masing, satu sama lain saling mengakui dan memuji ketangguhan lawan. Tapi mereka tidak akan menunjukkan pujian itu di saat bertarung seperti ini. Entah sudah berapa jurus berlangsung, tapi belum juga ada tanda-tanda bakal mengakhiri pertarungan.

“Hup! Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Puliga melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sekali tubuhnya berputaran di udara, kemudian mendarat manis sekali di tanah. Saat itu juga langsung dicabut golok hitamnya yang mengepulkan asap tipis berwarna kehitaman.

Puliga melintangkan goloknya di depan dada. Kakinya perlahan bergeser ke samping. Matanya menyorot tajam memerah, bagai hendak membakar hangus seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga masih belum mau mencabut senjatanya, karena diyakini dirinya masih bisa menandingi laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu dengan tangan kosong. Namun demikian kewaspadaannya semakin bertambah, melihat golok di tangan Puliga semakin tebal mengeluarkan asap kehitaman.

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba saja Puliga melompat cepat sambil mengibaskan goloknya tiga kali ke arah bagian tubuh Rangga yang mematikan.

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat Rangga menggeser kakinya ke kanan, lalu menarik tubuhnya ke belakang seraya meliuk menghindarkan diri dari tebasan golok berwarna hitam pekat itu. Namun mendadak saja hatinya terkejut, karena cuping hidungnya langsung kembang kempis begitu menghirup asap hitam yang keluar dari golok itu.

''Hap...!”

Buru-buru Rangga melompat berjumpalitan ke belakang, tepat pada saat Puliga mengibaskan senjatanya ke arah kaki. Dua kali Rangga berjumpalitan di udara, kemudian mendarat ringan di tanah. Saat itu, Puliga sudah kembali melompat menerjangnya. Gerakan laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu, sungguh cepat luar biasa, sehingga membuat Rangga sedikit terperangah. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya berkelit, saat golok hitam mengepulkan asap itu mengibas ke arah dada.

“Hap! Yeaaah...!”

Rangga cepat-cepat menghentakkan tangannya ke depan begitu golok hitam itu lewat di depan dada. Dan sentakan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat menghantam dada si Iblis Gunung Parakan yang lowong tak terjaga keselamatannya.

Dughk!

“Akh...!” Rangga memekik agak tertahan.

Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, ketika pukulannya tepat menghantam dada Puliga. Saat itu juga Rangga merasakan seperti menghantam sebongkah bukit baja yang keras luar biasa. Tulang-tulang tangannya berkeretak seperti remuk. Buru-buru Rangga melompat mundur sambil menarik pulang tangannya.

“Ha ha ha...!” Puliga tertawa terbahak-bahak.

“Gila! Ilmu apa yang dipakainya?” dengus Rangga dalam hati.

Sebelum keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti lenyap, Puliga sudah kembali melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dikibaskan goloknya cepat-cepat ke arah leher lawan. Buru-buru Rangga menarik kepalanya ke belakang, maka tebasan golok berwarna hitam yang mengepulkan asap itu lewat sedikit di depan tenggorokannya.

Namun sebelum Rangga bisa menarik kembali kepalanya ke depan, si Iblis Gunung Parakan sudah memberi satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi ke arah perut.

“Yeaaah...!”

Beghk!

“Ughk...!”

Rangga mengeluh pendek begitu merasakan perutnya seperti terhantam sebuah palu godam baja yang sangat berat dan keras. Seketika perutnya terasa mual, dan kepalanya jadi pening dengan mata berkunang-kunang. Pendekar Rajawali Sakti itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya.

“Hih! Hsss...!”

Cepat Rangga mengerahkan hawa murni sambil mengatur jalan napasnya. Sebentar digerak-gerakkan tangannya, mencoba mengusir rasa mual dan pening yang menyerang, akibat tendangan Si Iblis Gunung Parakan yang bertenaga dalam cukup tinggi. Meskipun rasa pening dan mual bisa terusir, namun masih juga perutnya terasa kaku.

“'Terimalah kematianmu, Rangga! Hiyaaa...!” seru Puliga keras menggelegar.

Seketika itu juga, si Iblis Gunung Parakan itu melompat bagai kilat seraya mengibaskan goloknya beberapa kali ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

“Hih!”

Sret!

Secepat Rangga mencabut senjata pusakanya, secepat itu pula dikibaskan. Disampoknya tebasan pertama golok berwarna hitam itu.

Trang!

Dua senjata sakti beradu keras di udara, membuat percikan api yang menyebar ke segala arah disertai dentingan memekakkan telinga. Tampak mereka sama-sama berlompatan mundur sejauh tiga langkah.

“Setan...!” desis Puliga menggeram.

Bet! Bet!

Dua kali Puliga mengecutkan goloknya di depan dada. Tampak asap yang mengepul keluar dari mata golok itu berubah menjadi hitam bercampur kemerahan. Saat itu, perlahan-lahan Rangga melintangkan pedangnya di depan dada. Telapak tangan diletakkan pada mata pedang yang bersinar biru berkilau itu. Tapi, dia tidak jadi mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

“Hm.... Racun yang menyebar semakin kuat,” gumam Rangga dalam hati.

Memang, asap yang mengepul dari golok di tangan si Iblis Gunung Parakan itu mengandung hawa racun yang begitu kuat dan dahsyat mematikan. Namun bagaimanapun kuatnya racun, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan berpengaruh apa-apa. Namun demikian, dia masih juga menjaganya dengan menutup bagian-bagian penang pada jalan darah lewat penyaluran hawa murni.

Meskipun Pendekar Rajawali Sakti kebal terhadap segala jenis racun, tapi tidak pernah memanjakan kekebalannya. Dia selalu berhati-hati terhadap racun. Setiap kali berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu beracun, jalan darah terpentingnya selalu ditutup lewat penyaluran hawa murni. Bahkan dengan cara itu pula, dia bisa menyaring udara yang terhisap ke dalam paru-paru. Hal ini dimaksudkan agar selalu mendapatkan udara bersih, tanpa harus mengotori paru-parunya dengan udara beracun.

“Sebut nama gurumu sebelum kukirim ke neraka, Rangga!” desis Puliga dingin.

“Kita lihat, siapa yang lebih dahulu terbang ke neraka!” balas Rangga tidak kalah dinginnya.

“Bersiaplah! Hiyaaat...!”

Bagaikan kilat, Puliga melompat menerjang sambil mengibaskan goloknya beberapa kali. Seketika asap yang keluar dari senjata itu menyebar memenuhi sekitar tempat pertarungan ini.

“Yeaaah...!”

Pada saat yang bersamaan, Rangga juga melompat menyambut serangan dahsyat si Iblis Gunung Parakan itu.

Trang!

Glarrr!

Tepat pada satu titik temu, dua senjata sakti beradu keras di udara sehingga menimbulkan ledakan dahsyat, membuat tempat sekitarnya berguncang hebat. Namun tak ada seorang pun yang terpental balik. Bahkan mereka sama-sama mendarat manis di tanah, dengan senjata masih tetap saling menempel. Pada saat mereka mendarat bersamaan, cepat sekali Puliga menghentakkan kakinya mengarah ke perut Rangga disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Yaaa...!”

“Uts!”

Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, sehingga tendangan Puliga tidak mengenai sasaran. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik kembali tubuhnya seperti semula, Puliga sudah menghentakkan senjatanya pulang. Lalu dengan cepat, dikibaskan ke arah kaki seraya menekuk kedua kakinya, hingga lutut hampir menyentuh tanah.

Wut!

“Hap...!”

Cepat Rangga melompat menghindari tebasan golok hitam yang mengepulkan asap itu. Dan secepat itu pula, Rangga mengibaskan pedangnya ke arah kepala si Iblis Gunung Parakan sambil cepat memutar tubuhnya.

Wut!

“Hih...!”

Puliga cepat mengibaskan goloknya ke atas kepala, menyampok tebasan pedang yang bersinar biru berkilau itu.

Trang!

Kembali dua senjata sakti beradu di atas kepala Puliga. Pada saat yang bersamaan, si Iblis Gunung Parakan itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dan langsung bergulingan beberapa kali sebelum cepat melompat bangkit berdiri. Golok hitamnya sudah bersilang di depan dada, begitu kedua kakinya tegak menjejak tanah. Saat itu, Rangga juga sudah berdiri tegak.

“Kita tuntaskan pertarungan ini dengan aji pamungkas, Rangga,” dengus Puliga.

“Baik, kerahkan aji pamungkas yang paling kau andalkan,” sambut Rangga.

Trek!

Rangga memasukkan pedang pusaka ke dalam warangkanya kembali di punggung. Melihat Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menggunakan senjata, si Iblis Gunung Parakan juga memasukkan goloknya dalam sarungnya di pinggang. Mereka berdiri berhadapan, berjarak sekitar enam langkah.

Mereka saling menatap tajam, seakan-akan sedang mengukur kekuatan ajian yang digunakan. Perlahan-lahan Puliga merapatkan kedua telapak di depan dada. Napasnya ditarik dalam-dalam, dan perlahan-lahan tangan kanannya naik sejajar tangan kiri yang masih berada di depan dada.

Sedangkan Rangga mulai menggerakkan perlahan kedua tangannya di depan. Secara bersamaan dirapatkan kedua telapak tangan di depan dada, dan langsung dimiringkan tubuhnya ke kiri. Kemudian dengan cepat tubuhnya bergerak agak memutar ke kanan. Perlahan-lahan pula Pendekar Rajawali Sakti itu menurunkan tangannya hingga sejajar pinggang, begitu tubuhnya kembali tegak.

Pada saat Puliga menghentakkan tangan kanannya ke depan, Rangga juga menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan hampir bersamaan, mereka berlari cepat menerjang. Satu tangan masing-masing merentang lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka.

“Hiyaaa...!”

“Yeaaa...!”

Begitu telapak tangan mereka saling berbenturan, dengan cepat pula mereka sama-sama menghentakkan tangan yang satunya lagi ke depan. Akibatnya kembali kedua telapak tangan saling berbenturan, menimbulkan ledakan dahsyat. Tampak, tubuh mereka sama-sama berpentalan ke belakang, dan bergulingan di tanah beberapa kali. Namun mereka cepat bangkit berdiri, dan kembali mempersiapkan ajian lagi.

“Hup!”

“Hap...!”

Puliga cepat mengecutkan tangannya beberapa kali. Sementara Rangga masih berdiri tegak, lalu menaikkan tangan kanannya ke atas hingga sejajar hidung. Lalu perlahan-lahan tangan kanannya turun ke bawah, sedangkan tangan kirinya terkepal ke samping pinggang. Saat itu, Rangga mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Ini bisa diketahui dari sinar biru yang memancar pada kedua tangannya.

“Yeaaah...!” tiba-tiba Puliga berteriak keras.

Seketika tubuhnya meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Rangga masih berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping pinggang. Kedua kakinya merentang lebar agak tertekuk. Dia menunggu datangnya serangan si Iblis Gunung Parakan itu.

“Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Hiyaaa...!”

Sambil berteriak kencang, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang langsung terbuka lebar dengan jari-jari menegang kaku. Pada saat itu, kedua tangan Puliga sudah begitu dekat dengan tubuh Pendekar Rajawali Sakti, sehingga benturan dua pasang tangan tak dapat dihindari lagi.

Glarrr...!

LIMA

“Akh...!” Rangga memekik keras. Pendekar Rajawali Sakti itu terpental jauh ke belakang, langsung menghantam lima buah pohon hingga hancur berkeping-keping. Tubuhnya terhenti setelah menghancurkan sebongkah batu cadas yang cukup besar. Rangga menggeliat sambil merintih lirih. Tampak dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah segar dan kental. Sungguh dia tidak tahu kalau ajian yang dilepaskan Ki Puliga bisa menahan aji 'Cakra Buana Sukma'. Rangga langsung menyadari kalau ajian yang dimiliki Ki Puliga satu aliran dengan ajian yang dimilikinya. Dan hal ini memang kelemahan aji 'Cakra Buana Sukma', yang tidak bisa digunakan untuk melawan ajian sealiran.

“Ha ha ha...!” Ki Puliga tertawa terbahak-bahak. Laki-laki tinggi besar itu berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Dengan mantap, diayunkan kakinya mendekati Rangga yang masih menggeletak di atas reruntuhan batu sambil mengerang menahan rasa sakit. Sekujur tubuhnya terasa seperti remuk.

“Tiba saatmu untuk pergi ke neraka, Pendekar Rajawali Sakti!” desis Ki Puliga dingin.

Sret!

Ki Puliga mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Golok hitam itu mengepulkan asap agak kehitaman yang mengandung racun. Sambil menyeringai, langkahnya terus semakin mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaa...!” Ki Puliga berteriak keras menggelegar.

Cepat sekali si Iblis Gunung Parakan itu melompat sambil mengayunkan goloknya ke tubuh Rangga yang masih tergeletak sambil menggeliat dan merintih merasakan sakit pada sekujur tubuhnya.

Bet!

Bagaikan kilat, golok Iblis Gunung Parakan mengibas ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Rangga benar-benar sudah tidak berdaya untuk menghindar. Dia hanya bisa memejamkan mata saja. Pikirannya mengatakan kalau mungkin ini adalah akhir dari segala petualangannya. Namun sebelum golok berwarna hitam mengepulkan asap itu sampai pada sasaran di leher Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat, langsung menyambar tubuh Rangga yang tergeletak tak berdaya.

Cras! Golok Ki Puliga menghantam tanah berbatu.

“Setan...!” geram Ki Puliga marah.

Cepat-cepat dilayangkan pandangannya, namun bayangan yang menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak berbekas lagi. Ki Puliga memaki-maki dan menggeram marah. Kakinya menendang batu-batuan yang berserakan di sekitarnya. Dia mengamuk, membabatkan goloknya pada pepohonan untuk melampiaskan kemarahan.

“Aku tidak akan puas sebelum kau mampus, Rangga...!” geram Ki Puliga dengan suara keras.

Suara si Iblis Gunung Parakan itu menggema keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Suara itu masih terdengar menggema meskipun tubuhnya sudah melesat pergi dengan kecepatan luar biasa.

*******************

Malam itu udara di seluruh permukaan Desa Parakan dingin sekali. Angin bertiup kencang, seakan-akan hendak merobohkan seluruh rumah penduduk. Debu beterbangan bercampur daun-daun yang berguguran. Suara angin yang bertiup keras, menderu-deru, membuat jantung terasa bergetar mendengarnya. Dalam keadaan cuaca seperti ini, tak ada seorang pun yang ingin meninggalkan rumahnya.

Namun tidak demikian halnya dengan seseorang yang bergerak cepat menyelinap dari satu rumah ke rumah lainnya. Gerakannya demikian ringan, tak menimbulkan suara sedikit pun. Terlebih lagi suara angin yang menderu kencang, cukup membantu untuk tidak terdengar. Sosok tubuh yang mengenakan baju hitam itu berhenti bergerak setelah dekat dengan sebuah rumah besar dan berhalaman luas. Matanya yang tajam, mengamati rumah itu tanpa berkedip.

“Hup. .!”

Ringan sekali tubuhnya melesat, langsung hinggap di atas atap rumah itu. Sebentar dia diam sambil agak merapatkan tubuhnya di atap. Matanya semakin tajam memperhatikan sekelilingnya, lalu bayangan itu kembali melesat turun ke bagian samping. Namun sebelum melakukan sesuatu, mendadak saja terdengar suara bentakan keras.

“Hei...! Siapa itu...?”

“Sial...!” dengus bayangan itu kesal.

Dan sebelum sempat menyembunyikan diri, dari pintu ke luar seorang laki-laki setengah baya sambil menghunus sebilah golok berkilat. Sosok bertubuh hitam itu tidak bisa menyembunyikan diri lagi.

“Siapa kau?! Mau apa malam-malam menyelinap ke sini?!” bentak laki-laki setengah baya yang tak lain adalah Ki Anta, Kepala Desa Parakan ini.

Pertanyaan Ki Anta tidak dijawab orang berbaju hitam gelap. Laki-laki setengah baya itu mencoba mempertajam penglihatannya. Namun sukar baginya untuk bisa mengenali wajah dalam keadaan gelap seperti ini. Terlebih lagi, jarak mereka cukup jauh, sekitar tiga batang tombak lebih.

“Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja orang berbaju hitam itu berteriak keras, seraya mengelebatkan tangan kanannya cepat ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk ke samping. Seketika dari tangan kanannya melesat deras dua buah benda kecil berwarna keperakan. Begitu cepatnya, sehingga membuat Ki Anta terperangah.

Crab!

Crab!

Kedua benda itu langsung menembus dada Ki Anta. “Aaa...!” Ki Anta berteriak keras melengking tinggi

Hanya sebentar laki-laki setengah baya itu mampu berdiri tegak, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah merembes keluar dari dadanya yang bolong tertembus dua benda berwarna keperakan. Pada saat itu, dari dalam rumah keluar seorang gadis yang ternyata Mega, putri Kepala Desa Parakan itu.

“Ayah...!” jerit Mega terkejut melihat ayahnya menggelepar di tanah meregang nyawa.

“Mega, lari...!” seru Ki Anta memperingatkan.

Laki-laki tua itu mencoba bangkit berdiri. Namun sebelum bisa bangkit, sosok tubuh berbaju hitam itu sudah lebih cepat melesat. Seketika, dilontarkan satu pukulan keras, langsung ke kepala Ki Anta.

“Aaa...!” sekali lagi Ki Anta menjerit melengking tinggi.

“Ayah...!” teriak Mega.

Gadis itu langsung berlari memburu ayahnya. Tapi sebelum sampai, orang berbaju hitam itu sudah lebih cepat lagi melesat dan langsung menyambarnya.

“Oh, aaakh...!” Mega memekik terkejut.

Tapi jeritan Mega hanya sampai di situ saja. Ternyata orang itu sudah menggerakkan tangannya untuk menotok jalan darah gadis itu, sehingga membuat Mega jatuh lemas seketika. Orang itu memanggul tubuh ramping di pundaknya. Sebentar dipandangi mayat Ki Anta yang bergelimang darah. Kepalanya hancur tak berbentuk lagi.

“Hup!”

Hanya sekali lesatan saja, orang berbaju hitam itu udah lenyap bagai ditelan bumi. Kejadiannya begitu cepat, tanpa disaksikan seorang pun. Suasana kembali sunyi, hanya deru angin saja yang masih terdengar, disertai bergemeretaknya rumah-rumah yang bergetar tertiup angin kencang. Sementara malam terus merayap semakin larut Angin terus berhembus kencang menyebarkan udara dingin yang menggigilkan.

*******************

Di sebuah tempat yang tidak jauh letaknya di sebelah Selatan Desa Parakan, Mega terbaring di sebuah dipan kayu beralaskan kain berwarna biru muda. Gadis itu tampak tertidur pulas. Tidak jauh di sampingnya, berdiri seorang berbaju hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam pula. Hanya bagian matanya saja yang terlihat. Orang berpakaian serba hitam itu menggerakkan jari tangannya ke dada Mega bagian atas. Sebentar kemudian, gadis itu mulai mengeluh lirih, dan kepalanya menggeleng lemah. Perlahan-lahan kelopak matanya mulai terbuka.

“Ah...!” Mega terpekik kaget begitu tersadar. Gadis itu mencoba bangkit, namun seluruh tubuhnya terasa sulit digerakkan. Hanya bagian kepalanya saja yang bisa digerakkan. Mega memandangi orang berbaju hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam itu. Dia berdiri tidak seberapa jauh dari pembaringan yang ditiduri Mega.

“Siapa kau? Di mana aku...?”“ tanya Mega seraya memandangi berkeliling.

“Kau ada di tempat pribadiku, Mega,” sahut orang itu. Suaranya terdengar begitu berat seperti dibuat-buat.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Mega memberanikan diri.

“Kau tidak perlu tahu siapa aku, Mega. Aku hanya melakukan menurut perintah,” sahut orang itu lagi.

“Perintah? Siapa yang memerintahkanmu?”

“Sayang sekali, aku tidak boleh mengatakannya padamu. Dan aku sudah bersumpah untuk merahasiakannya. “

“Kau membunuh ayahku, dan sekarang menculikku. Apa maksudmu sebenarnya...?” agak kasar nada suara Mega.

“Maaf, aku harus segera pergi. Kau aman di sini. Hm.... Sebentar lagi pengaruh totokan di tubuhmu lenyap, dan kau bisa bebas bergerak. Tapi, jangan coba-coba lari dari sini,” tegas orang berselubung hitam itu setengah mengancam.

Setelah berkata demikian, dia bergegas berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan ini.

“Hei, tunggu...!” seru Mega.

Tapi orang itu acuh saja, dan langsung keluar dan menutup pintu kamar ini. Terdengar suara pintu dikunci dari luar. Dan Mega sadar kalau kamar ini sudah terkunci. Matanya beredar berkeliling. Sebuah ruangan yang cukup indah dan besar, tapi tak ada sebuah jendela pun di ruangan ini. Hanya sebuah pelita dan perapian yang selalu menyala membuat ruangan ini terasa hangat dan terang.

Mega memandangi pintu yang hanya satu-satunya di ruangan ini. Tampaknya pintu itu terbuat dari kayu jati yang tebal dan kokoh. Mega mencoba menggerakkan tubuhnya, dan merasakan kalau dirinya kali ini bisa bergerak kembali. Bergegas tubuhnya menggelinjang bangkit berdiri, langsung turun dari pembaringan. Gadis itu melangkah cepat menghampiri pintu. Dia mencoba untuk membuka, tapi pintu ini benar-benar terkunci.

“Hhh...!” Mega menghembuskan napas berat.

Gadis itu menyandarkan punggungnya ke dinding di samping pintu. Kembali diedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada yang bisa dilakukannya di sini. Ruangan ini benar-benar tertutup, tak ada celah untuk bisa meloloskan diri. Mega kembali menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepinya. Matanya kembali beredar, mengamati setiap sudut ruangan ini, hingga ke atapnya. Dan begitu memandang ke atas, tahulah kini bahwa ruangan ini merupakan sebuah gua batu. Gadis itu menghembuskan napas panjang. Disadari kalau tidak ada peluang sedikit pun untuk bisa meloloskan diri.

Kreeek...! Mega mengangkat kepalanya ketika mendengar suara derik pintu. Matanya langsung menatap ke arah pintu yang terbuka perlahan-lahan. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering. Pakaiannya lusuh, dan warnanya sudah memudar. Dia membawa sebuah baki yang penuh berisi makanan, minuman, dan buah. Ditutupnya pintu kembali sebelum melangkah menghampiri meja yang terletak di samping pembaringan. Seperti tidak melihat ada orang di ruangan ini, diletakkannya baki penuh berisi makanan itu di atas meja, sementara Mega hanya memperhatikan saja.

“Tunggu dulu...!” sentak Mega ketika laki-laki tua itu hendak meninggalkan kamar ini.

Laki-laki tua itu mengurungkan langkahnya. Tubuhnya berbalik, menghadap pada Mega yang masih tetap duduk di tepi pembaringan. Sinar mata yang cekung itu begitu sayu, seperti tak memiliki gairah sama sekali. Laki-laki tua ini benar-benar kumuh, tak lebih dari seorang gembel jalanan.

“Siapa namamu, Ki?” tanya Mega.

“Jamat,” sahut laki-laki tua itu. Suaranya pelan dan sedikit bergetar.

“Kau tahu, apa nama tempat ini?” tanya Mega langsung.

“Maaf, aku harus pergi. Silakan Gusti Ayu menikmati hidangan itu,” ucap Ki Jamat buru-buru.

“He, tunggu dulu...!” sentak Mega.

Gadis itu langsung melompat bangkit. Setengah berlari, dihadangnya Ki Jamat yang sudah berbalik dan melangkah hendak keluar dari kamar ini. Ki Jamat berhenti melangkah.

“Maaf, Gusti Ayu. Jangan paksa hamba untuk banyak bicara. Hamba hanya bertugas untuk melayani kebutuhan Gusti Ayu. Maafkan hamba, Gusti Ayu...,” ucap Ki Jamat bernada penuh permohonan.

Setelah berkata demikian, Ki Jamat kembali berjalan mendekati pintu. Ketika pintu itu diketuk, seketika terbuka. Ki Jamat bergegas keluar, dan pintu kembali tertutup. Mega hanya bisa memandangi saja. Kini baru jelas kalau di depan pintu ada penjaganya.

Mega berjalan mondar-mandir di ruangan ini. Dicobanya untuk bisa memahami semua peristiwa yang dialami, hingga sampai ke ruangan yang sama sekali asing. Tapi sedemikian keras mencoba untuk memahami, tetap saja sulit dimengerti.

Dia tidak tahu. siapa orang yang menculik dan membunuh ayahnya. Apalagi, untuk mengetahui apa maksudnya orang itu menculiknya. Sedangkan dari suaranya, sama sekali tidak bisa dikenali. Seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain hitam, kecuali matanya saja yang terlihat.

“Hhh.... Apakah ini ada hubungannya dengan ancaman Ki Puliga...?” desah Mega bertanya-tanya sendiri dengan suara setengah bergumam.

Gadis itu teringat akan kedatangan Ki Puliga ke rumahnya kemarin. Terang-terangan si Iblis Gunung Parakan itu meminta agar secepatnya menikahkan Mega dengan anaknya. Tapi Ki Anta tegas-tegas menolak. Bahkan terang-terangan mengatakan kalau tidak akan sudi punya menantu keturunan manusia iblis seperti Ki Puliga.

Penolakan Ki Anta membuat si Iblis Gunung Parakan jadi berang, bahkan mengeluarkan kata-kata ancaman akan membunuh kepala desa itu dan akan menculik putrinya. Hanya saja, Mega bukan untuk dikawinkan dengan anaknya, melainkan untuk dijadikan budak agar seumur hidupnya menderita. Mengingat itu semua, Mega jadi bergidik. Sungguh sikap ayahnya sangat disesali karena terlihat kasar saat menolak lamaran Ki Puliga.

“Tapi..., apakah Ki Puliga akan melakukan ini semua...?” gumam Mega kembali bertanya-tanya di dalam hatinya.

*******************

Saat itu, di Puncak Gunung Parakan yang selalu berkabut, tampak Partanu tengah duduk menyendiri di bawah pohon. Sejak pagi tadi pemuda itu berada di sana, menghadap ke arah Desa Parakan yang berada di kaki gunung ini. Sudah begitu lama Partanu tidak pernah bertemu Mega lagi. Hatinya begitu rindu. Namun kala mengingat Mega berpelukan dengan seorang pemuda lain, kecemburuan dan sakit hati membuatnya harus bisa meredam kerinduannya.

Partanu menghembuskan napas panjang saat telinganya mendengar langkah kaki menghampiri. Sedikit ujung matanya melirik. Tampak seorang laki-laki setengah baya berperawakan tinggi besar dan berotot, datang menghampiri. Bajunya warna hijau tua dengan sebilah golok bergagang hitam terselip di pinggang. Laki-laki yang tak lain Ki Puliga itu duduk di samping anaknya.

“Kau masih memikirkan gadis itu, Partanu?” tebak Ki Puliga langsung.

“Entahlah...,” sahut Partanu mendesah. “Tapi aku benar-benar mencintainya, Ayah.”

“Lupakan saja gadis itu, Partanu. Kau bisa mendapatkan gadis-gadis yang lebih cantik. Tidak ada persoalan bagimu untuk memperoleh gadis-gadis cantik di dunia ini, Partanu.”

Partanu hanya diam saja.

“Kau harus ingat, kalau dia sudah mengkhianatimu. Jadi tidak sepatutnya kalau kau masih mencintainya. Dengar, Partanu. Aku tidak ingin melihatmu terus larut dalam kesedihan. Kau bukan pemuda cengeng yang mudah larut hanya karena seorang gadis. Aku akan lebih senang jika kau suka melupakannya. Bahkan kalau mungkin, kau bunuh pemuda itu, gadis itu, dan seluruh keluarganya,” tegas Ki Puliga membangkitkan semangat anaknya yang telah layu.

“Mungkin Ayah bisa melakukannya, tapi aku tidak bisa menyakiti Mega,” tegas Partanu.

Ki Puliga tersenyum. Ditepuknya pundak pemuda itu. Sedangkan Partanu memandangi tajam ayahnya. Terasa ada sesuatu yang disembunyikan si Iblis Gunung Parakan ini. Tidak mudah ayahnya tersenyum semanis ini. Kalaupun ayahnya tersenyum, tentu ada yang disembunyikan.

“Apa yang telah Ayah lakukan pada Mega,” Partanu langsung menebak.

"Tidak, aku tidak melakukan apa-apa. Tapi...,” sahut Ki Puliga.

“Tapi apa...?” desak Partanu disertai hati berdebar.

“Aku telah menemui sainganmu. Tapi, aku tidak yakin apakah dia masih hidup atau sudah mati sekarang,” Ki Puliga memberi tahu pertarungannya dengan Pendekar Rajawali Sakti. “Anak muda itu memang tangguh. Bahkan hampir saja aku kalah. Pantas saja kau kehilangan golok kesayanganmu, Partanu.”

“Ayah bertarung dengan si keparat itu...?!” Partanu seperti tidak percaya.

“Ya,” sahut Ki Puliga. “'Tapi sayang, saat nyawanya akan kuhabisi, seseorang telah menolongnya, dan cepat membawanya pergi. Aku tidak sempat mengetahui, apalagi mengenalnya.”

“Kalau begitu, aku harus menemui Mega!” sentak Partanu cepat, dan langsung bangkit berdiri.

“Untuk apa...?” tanya Ki Puliga ringan.

“Untuk membawanya ke sini, Ayah. Mega pasti mau kuajak ke sini. Dia pernah bilang kalau bersedia pergi asal bersamaku ke mana saja.”

“Itu dulu, Partanu. Sekarang mungkin tidak lagi.”

“Kenapa Ayah berkata begitu?”

“Karena dia sudah memilih pemuda lain. Lagi pula, ayahnya tidak akan membiarkannya begitu saja. Aku sudah mencoba melamarnya secara baik-baik, tapi ditolaknya dengan kasar.”

“Kapan Ayah melamarnya?” tanya Partanu yang memang tidak tahu.

“Kemarin, sehari setelah aku bertarung dengan sainganmu.”

“Aku akan menculiknya, Ayah!” tegas Partanu.

“Ha ha ha...!” Ki Puliga hanya tertawa saja. Partanu merasakan ada nada ejekan pada suara ayahnya, tapi tidak dipedulikannya. Dengan cepat sekali ditinggalkannya laki-laki setengah baya itu. Ayunan kakinya begitu cepat menuruni Lereng Gunung Parakan ini. Sementara Ki Puliga hanya memandanginya saja dengan bibir menyunggingkan senyuman.

Pada saat bayangan tubuh Partanu sudah tidak terlihat lagi, datang dua orang laki-laki tinggi tegap berwajah kasar. Mereka langsung menghampiri Ki Puliga, dan membungkukkan tubuhnya setelah dekat.

“Rakat, Badir, bagaimana pekerjaanmu?” tanya Ki Puliga langsung.

Iblis Gunung Parakan itu memandangi dua orang yang masing-masing mengenakan baju warna merah dan hitam bercampur merah. Rakat dan Badir menjura lagi memberi hormat. Mereka masing-masing menyandang senjata yang berlainan. Rakat memakai baju warna merah menyala. Di pinggangnya penuh pisau, bahkan sampai ke dada. Julukannya adalah si Pisau Terbang, karena keahliannya memang melemparkan pisau.

Sedangkan Badir mengenakan pakaian berwarna hitam campur merah. Sebuah golok besar yang ujung gagangnya berkepala tengkorak, tersandang di pundaknya. Tangan kanannya memegangi gagang golok yang besar dan berkilat itu. Selain bernama Badir, dia dikenal berjuluk si Golok Setan. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Ki Puliga.

“Kami sudah menyelidiki seluruh Lereng Gunung Parakan ini, Ki. Tapi tidak menemukan ada tanda-tanda di mana Rangga berada sekarang,” lapor Badir.

“Sudah kami sebar sebagian anak buah untuk menyelidiki seluruh desa di sekitar Kaki Gunung Parakan ini, Ki,” sambung Rakat.

“Apa kalian sudah mencari sampai ke luar wilayah Gunung Parakan ini?” tanya Ki Puliga.

“Sudah. Bahkan sampai ke perbatasan kerajaan,” sahut Rakat

“Hm..., pasti dia ada di suatu tempat. Dia tidak akan pergi jauh dalam keadaan terluka. Hm..., tapi orang itu...,” Ki Puliga menggumam pelan, seperti bicara untuk dirinya sendiri.

“Ada sesuatu yang hendak kusampaikan, Ki,” celetuk Badir.

“Katakan,” sahut Ki Puliga.

“Ada sesuatu yang terjadi di Desa Parakan. Ki Anta didapati tewas terbunuh semalam, dan anak gadisnya menghilang,” lapor Badir.

“Ha ha ha...,” tiba-tiba saja Ki Puliga tertawa terbahak-bahak mendengar laporan itu.

Hal ini membuat Badir dan Rakat jadi saling berpandangan tidak mengerti. Mereka buru-buru menjura memberi hormat saat suara tawa si Iblis Gunung Parakan itu berhenti.

“Apa lagi yang kau dengar dari sana?” tanya Ki Puliga.

“Mereka menuduh kita yang melakukannya, Ki,” sahut Rakat

“Keparat..!” geram Ki Puliga. “Rupanya mereka sudah bosan hidup, berani menuduh sembarangan!”

“Benar, Ki. Sudah saatnya mereka diberi peringatan. Selama ini Partai Iblis Gunung Parakan selalu memberi hati, sehingga mereka semakin berani dan kurang ajar,” sambut Badir penuh semangat

“Akan kuberi pelajaran pada mereka...!” desis Ki Puliga menggeram. “Badir! Kau selidiki, siapa saja yang berani melontarkan tuduhan itu. Secepatnya kau laporkan padaku!”

“Baik, Ki,” sahut Badir seraya menjura memberi hormat.

“Dan kau, Rakat. Buat keonaran, tapi jangan sampai ada korban jatuh. Mengerti...?”

“Siap menjalankan perintah, Ki,” sahut Rakat

“Ingat! Satu nyawa penduduk, berarti satu nyawa anggotamu. Kau harus ingat itu, Rakat!”

“Mengerti, Ki.”

“Berangkatlah sekarang!”

Kedua orang itu menjura memberi hormat sekali lagi, kemudian bergegas pergi. Ki Puliga tersenyum-senyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian terdengar suara tawanya yang pecah menggelegar.

*******************

ENAM

Apakah Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tewas di tangan si Iblis Gunung Parakan? Kalau tidak, di manakah pendekar yang selalu mengenakan baju rompi putih itu berada?

Rangga sebenarnya berada tidak jauh dari Gunung Parakan. Tepatnya di Bukit Langgang. Saat itu Rangga tengah duduk bersemadi di sebuah ruangan yang tidak begitu besar, namun tertutup rapat sehingga tidak ada sedikit pun cahaya matahari yang bisa menerobos masuk. Hanya sebuah pelita kecil yang menerangi ruangan itu, berada tepat di depan Rangga.

Sedangkan tepat di depan pintu ruangan itu, duduk dua orang laki-laki. Yang seorang masih begitu muda, dan berusia sekitar lima belas tahun. Sedangkan seorang lagi sudah setengah baya. Tubuhnya yang kecoklatan dan tidak mengenakan baju, terlihat berkilat oleh keringat. Otot-otot bersembulan keluar, membuat tubuhnya semakin terlihat tegap, meskipun usianya sudah berkepala lima.

“Paman, apakah Kakang Rangga akan sembuh lagi?” tanya pemuda belasan tahun yang tak lain adalah Carika.

“Rangga seorang pendekar tangguh, sehingga pasti bisa memulihkan kekuatannya kembali,” sahut Paman Sentanu.

"Tapi, sudah tiga hari dia mengurung diri di dalam kamar. Aku khawatir, Paman...,” Carika tidak bisa membendung kecemasannya.

“Tenanglah. Kalau sampai besok belum juga keluar, aku akan melihatnya ke dalam. Luka-lukanya memang cukup parah, tapi tidak mungkin akan merenggut jiwanya. Daya tahan tubuhnya sungguh luar biasa. Belum pernah aku melihat orang yang begitu perkasa.”

“Tapi, Paman. Dia juga manusia biasa. Buktinya, dia sampai terluka parah begitu.”

“Kau benar, Carika. Setinggi apa pun tingkat kepandaian seorang pendekar, dia masih manusia biasa yang tidak luput dari penderitaan dan kematian. Ah, sudahlah.... tidak perlu kau cemaskan. Aku yakin, dia pasti bisa mengatasi keadaannya,” Paman Sentanu mencoba menenangkan hati keponakannya itu.

Namun demikian, Carika masih tetap saja merasa khawatir, karena Rangga belum juga keluar dari kamar semadinya. Sebuah kamar khusus yang berada paling belakang dari pondok ini. Beberapa kali pemuda tanggung itu menarik napas panjang setiap kali memandang pintu yang masih saja tertutup rapat.

Waktu terus berjalan. Carika merasakan sang waktu berjalan begitu lambat. Hatinya semakin gelisah saja manakala matahari sudah condong ke Barat, tapi Rangga belum juga keluar dari kamar semadinya. Sejak kemarin, pemuda tanggung itu tidak meninggalkan tempatnya. Bahkan makan dan tidur di situ, sambil menunggu Pendekar Rajawali Sakti yang tengah bersemadi memulihkan kekuatan tubuhnya kembali.

Sementara itu Paman Sentanu sudah sejak tadi pergi ke samping pondok. Dia meneruskan pekerjaannya membelah kayu bakar yang sudah menipis persediaannya. Suara ayunan kapak membelah kayu begitu keras terdengar, seakan-akan merupakan pertanda bagi perjalanan sang waktu.

“Paman...!” seru Carika tiba-tiba. Paman Sentanu yang baru saja mengayunkan kapaknya, langsung melompat berlari. Kapaknya dibuang begitu saja. Dan setibanya di bagian belakang, tampak Carika tengah memeluk Rangga yang berdiri di depan pintu kamar semadi. Paman Sentanu buru-buru menghampiri, dan Carika langsung melepaskan pelukannya. Rangga tersenyum seraya menganggukkan kepalanya sedikit pada laki-laki setengah baya itu. Paman Sentanu membalasnya dengan anggukan kepala juga.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Paman Sentanu.

“Sudah membaik,” sahut Rangga. “Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku, Paman.”

“Ah, sudahlah. Aku hanya bisa melakukan apa yang bisa kulakukan,” Paman Sentanu merendah.

Mereka semua kemudian menuju ruangan depan pondok ini, kemudian duduk melingkar di atas tikar daun pandan. Memang tidak ada kursi ataupun meja di ruangan ini.

“Carika, sebaiknya kau siapkan makan untuk Rangga,” kata Paman Sentanu.

“Oh, iya.... Sudah tiga hari Kakang tidak makan. Sebentar, kusiapkan makanan yang terlezat buatanku,” sahut Carika langsung beranjak pergi dari ruangan ini.

Rangga hanya tersenyum saja melihat kejenakaan pemuda tanggung itu.

“Rangga, bagaimana kau bisa bentrok dengan si Iblis Gunung Parakan?” tanya Paman Sentanu setelah Carika menghilang dari ruangan depan ini.

“Aku sendiri tidak tahu, Paman. Tiba-tiba saja dia muncul menghadangku,” sahut Rangga kembali mengingat-ingat semua kejadian selama berada di sekitar Gunung Parakan, terutama di Desa Parakan yang terletak di kaki gunung itu.

“Hm.... Kudengar kau pernah bentrok dengan Partanu. Benar...?” agak bergumam suara Paman Sentanu.

“Ah, pasti Carika melebih-lebihkan,” Rangga langsung sudah bisa menebak.

“Anak itu memang selalu melebih-lebihkan, tapi tidak seluruhnya kupercayai. Itu sebabnya, kenapa aku ingin kau sendiri yang bercerita,” pinta Paman Sentanu.

“Hanya salah paham saja, Paman,” jelas Rangga.

Tanpa diminta dua kali, Rangga kemudian menceritakan pertemuannya dengan Mega secara tidak sengaja. Kemudian bentrokannya dengan Partanu, anak si Iblis Gunung Parakan. Semua diceritakan Rangga tanpa ada yang dikurangi sedikit pun. Sedangkan Paman Sentanu mendengarkan penuh perhatian.

Paman Sentanu masih diam membisu meskipun Rangga sudah menyelesaikan ceritanya. Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiam diri saja. Perlahan Paman Sentanu mengangkat kepalanya, langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di depannya.

“Meskipun kau hanya memandangnya sebagai kesalahpahaman belaka, tapi persoalan itu akan berbuntut panjang, Rangga,” jelas Paman Sentanu pelan, seperti bergumam terdengarnya.

“Mungkin...,” desah Rangga kurang yakin.

“Rangga, ada sesuatu yang hendak kusampaikan padamu,” kali ini suara Paman Sentanu terdengar agak berbisik.

“Sesuatu...? Tentang apa, Paman?” tanya Rangga dengan kening berkerut dalam.

“Ki Anta dan putrinya,” sahut Paman Sentanu.

“Maksud, Paman...?” seketika Rangga merasakan darahnya jadi lebih cepat mengalir begitu mendengar nama Ki Anta dan Mega disebut.

“Ki Anta sudah tewas terbunuh, sedangkan Mega menghilang entah ke mana.”

Rangga hampir tidak percaya mendengarnya. Dipandanginya Paman Sentanu dalam-dalam, seakan akan ingin mencari kebenaran di dalam sorot mata laki-laki setengah baya itu. Namun saat mendapatkan kesungguhan dalam raut wajahnya, Rangga mau tidak mau harus mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

“Itulah yang kukatakan. Persoalan ini akan berbuntut panjang, Rangga,” kata Paman Sentanu lagi. Masih terdengar pelan suaranya.

“Dari mana kau dengar berita itu, Paman?” tanya Rangga jadi serius.

“Seorang pemburu yang kebetulan lewat sini. Dia berasal dari Desa Parakan, jadi banyak mengetahui tentang situasi desa sekarang ini. Terlebih lagi setelah Ki Anta tewas terbunuh. Dia sendiri membawa keluarganya meninggalkan desa itu, dan sekarang menetap di seberang lembah sana,” jelas Paman Sentanu.

Rangga jadi terdiam membisu. Sungguh tidak disangka kalau persoalan itu jadi panjang, bahkan sekarang sudah meminta korban nyawa.

*******************

Pagi-pagi sekali Rangga sudah bersiap hendak meninggalkan Lereng Bukit Langgang. Kesehatan tubuhnya sudah benar-benar pulih seperti sediakala. Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya keluar dari dalam pondok. Hatinya tertegun ketika melihat Paman Sentanu dan Carika sudah menunggu di depan pintu.

“Jadi pergi hari ini, Rangga?” tanya Paman Sentanu.

“Ya, sepertinya aku harus menghadapi Puliga lagi,” sahut Rangga.

“Aku tidak bisa melarangmu, Rangga. Hati-hatilah. Kepandaian Puliga sangat tinggi, di samping licik. Dan yang paling penting, jangan sampai terpancing,”

Paman Sentanu memperingatkan. Rangga hanya tersenyum saja. Semalam Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mengetahui tentang si Iblis Gunung Parakan itu dari Paman Sentanu. Sungguh Rangga tidak menyangka kalau sebenarnya Paman Sentanu sendiri punya persoalan pribadi dengan si Iblis Gunung Parakan itu. Istrinya tewas dibunuh setelah sebelumnya diperkosa. Dan Paman Sentanu mencoba membalas dendam, tapi ilmu yang dimilikinya masih di bawah Ki Puliga.

Itulah sebabnya, mengapa Paman Sentanu menyepi di Bukit Langgang ini. Di samping menunggu kesempatan balas dendam, dia juga memperdalam ilmu olah kanuragan dan kesaktiannya. Tapi setelah bertahun-tahun memperdalam ilmunya, tetap saja tidak mampu menghadapi si Iblis Gunung Parakan itu.

Pada pertarungannya yang terakhir, hampir saja Paman Sentanu tewas kalau saja tidak ditolong seorang tua berilmu tinggi. Sayang sekali, orang tua itu tidak berumur panjang. Tapi berkat orang tua itu, Paman Sentanu sedikit demi sedikit bisa menghilangkan perasaan dendam di hatinya.

“Aku pergi dulu,” pamit Rangga. Setelah berbasa-basi sebentar, Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas pergi. Sementara Paman Sentanu dan Carika hanya memandangi saja kepergiannya. Mereka masih berdiri di depan pintu rumahnya sampai Rangga benar-benar tidak terlihat lagi.

“Ayo, Carika. Hari ini kau harus berlatih tenaga dalam,” kata Paman Sentanu.

“Ada apa?”

“Apakah dengan ilmu kesaktian yang kupelajari nanti bisa seperti Kakang Rangga?” tanya Carika.

“Tergantung kesungguhanmu dalam mempelajari ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian,” sahut Paman Sentanu.

“Harus berapa lama belajarnya?” tanya Carika lagi

“Jika kau rajin dan bersungguh-sungguh, aku rasa tidak akan lama.”

“Aku akan berlatih bersungguh-sungguh, Paman.”

“Kalau begitu, sekarang kau harus berlatih tenaga dalam. Karena, tenaga dalam sangat penting untuk bisa menguasai segala jenis ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian. Tanpa tenaga dalam, semua yang kau pelajari tidak akan ada gunanya.”

“Segala macam ilmu, Paman...?”

“Benar, segala macam ilmu.”

“Berarti, aku juga bisa mempelajari ilmu-ilmu yang dimiliki Kakang Rangga?”

“Tentu. Tapi untuk sekarang ini, kau harus menguasai lebih dahulu ilmu yang aku miliki. Ah, sudahlah. Nanti kau akan kuberi sedikit pengetahuan tentang ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian. Di samping itu, kau juga harus mengetahui perkembangan dunia persilatan agar tidak tertinggal. Sebab, dunia persilatan terus berkembang dengan banyak bermunculannya ilmu baru yang lebih tinggi dan dahsyat. Kau harus mengikuti perkembangannya jika tidak ingin tertinggal.”

Carika hanya menganggukkan kepalanya saja. Hatinya bertekad untuk berlatih sungguh-sungguh. Yaaah..., kalau saja sejak dulu berlatih ilmu olah kanuragan, tentu dia bisa menyelamatkan ibunya dari kematian. Carika menyesali dirinya yang malas berlatih waktu itu. Yang jelas, sekarang tekadnya telah bulat untuk berlatih sungguh-sungguh.

“Ayo, Paman. Kita mulai sekarang. Aku ingin bisa menyamaimu,” ajak Carika bersemangat

“Bukan hanya menyamai, tapi harus lebih dariku.”

“Mana mungkin, Paman...? Umurku jauh lebih muda dari Paman, mana mungkin bisa menandingi Paman.”

“Usia bukan ukuran untuk tinggi rendahnya suatu ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Kau lihat sendiri, Rangga lebih muda usianya dariku. Tapi ilmu yang dimilikinya beberapa tingkat di atasku.”

“Apakah itu mungkin, Paman?”

“Kenapa tidak? Kau ingat bungkusan kain putih yang kau serahkan padaku...?”

Carika mengangguk.

“Bungkusan kain putih itu berisi kitab dan senjata pusaka peninggalan kakekmu. Kitab itu berisi ilmu-ilmu yang sangat tinggi tingkatannya. Jauh lebih tinggi dari yang kumiliki. Carika, kelak aku akan menyerahkan pusaka itu padamu setelah kau bisa menguasai seluruh ilmu yang kumiliki. Dan kau harus bisa menguasai seluruh ilmu yang tertulis dalam kitab itu. Kau mengerti...?”

“Mengerti, Paman.”

“Ayo, kita mulai berlatih. Kau harus mampu menguasai tenaga dalam agar sempurna. Dengan demikian, kau akan bisa menguasai ilmu-ilmu yang ada dalam kitab pusaka itu.”

Tanpa membantah sedikit pun, Carika mengikuti pamannya yang berjalan ke samping rumah. Ayunan langkah kakinya begitu ringan dan riang. Dia ingin sekali menguasai ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian agar kelak bisa melanglang buana membasmi keangkaramurkaan.

*******************

Sementara itu, Rangga sudah sampai di Kaki Gunung Parakan. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak di atas sebuah tebing batu yang cukup tinggi. Dari atas tebing batu ini, Desa Parakan bisa terlihat dengan leluasa. Tampak jelas sekali, suasana desa itu demikian sunyi, tidak seperti pertama kali Rangga menginjakkan kakinya di sana. Desa Parakan kini bagaikan sebuah desa mati yang tidak berpenghuni.

Sepanjang jalan sepi lengang, tak terlihat seorang pun berada di luar rumah. Hanya ayam dan anjing-anjing liar saja yang berkeliaran di antara rumah-rumah penduduk yang kelihatan sunyi bagai tak berpenghuni. Rangga mengayunkan kakinya menuruni tebing batu ini. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mudah dan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menuruni tebing batu yang sedikit curam itu.

Sebentar saja dia sudah sampai di bawah tebing, dan terus berjalan menuju Desa Parakan yang kelihatan sunyi. Semakin dekat ke desa itu, semakin terasa kesunyian yang mencekam. Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan adanya hawa maut yang menyelimuti seluruh angkasa desa itu. Dan perasaan Rangga langsung terbukti ketika baru saja menginjakkan kakinya di batas desa yang langsung berbatasan dengan hutan di Kaki Gunung Parakan ini.

“Ha ha ha...!”

Rangga langsung menghentikan ayunan langkahnya ketika tiba-tiba mendengar suara tawa keras menggelegar terbahak-bahak. Suara itu seperti datang dari segala penjuru mata angin. Rangga langsung bisa menebak kalau tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.

“Hm...,” Rangga bergumam saat telinganya mulai terasa sakit akibat suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-dalam, kemudian menahan napasnya selama mungkin. Lalu...

“Yeaaah...!”

Suara tawa itu berhenti seketika saat Rangga berteriak keras. Akibat teriakan yang disertai penyaluran tenaga dalam itu, adalah getaran dahsyat, sehingga pohon dan bebatuan berguncang. Bumi yang dipijak terasa bergetar bagai terjadi gempa. Daun-daun pohon berguguran layu, beterbangan terbawa tiupan angin yang sedikit kencang.

Srak! Srak...!

Saat itu juga, bermunculan manusia berpakaian serba hitam dari balik gerumbul semak dan atas pohon. Sebentar saja, di sekeliling Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri sekitar sepuluh orang yang semuanya memegang senjata golok bergagang hitam dari tanduk kerbau.

“Serang...!” tiba-tiba terdengar teriakan keras memberi perintah.

“He..., tunggu!” sentak Rangga terkejut “Siapa kalian?”

Tapi pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ada yang menjawab, karena sepuluh orang berpakaian serba hitam itu sudah cepat dan serentak menyerang. Beberapa buah golok berkelebatan di sekitar tubuh Rangga, sehingga membuatnya harus berlompatan sambil meliukkan tubuh menghindari serangan golok yang datang secara beruntun dan gencar itu.

Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan pada Rangga untuk bisa membalas. Pendekar Rajawali Sakti diserang secara bergantian dan cepat sekali. Terkadang tiga orang serentak menyerang maju, disusul yang lainnya. Rangga kelihatan kelabakan juga, karena mereka rata-rata memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menguasai keadaan dirinya yang sangat tidak menguntungkan ini.

“Yeaaah...!”

Tepat ketika sebuah golok menyambar ke arah dada, dengan cepat sekali Rangga menarik tubuhnya ke belakang. Dan secepat itu pula, tangannya bergerak bagaikan kilat menepak pergelangan tangan lawan.

Plak!

“Akh...!” orang itu memekik keras.

Tring!

Goloknya terlepas jatuh ke tanah yang agak berbatu. Dan sebelum lawan sempat menyadari apa yang terjadi, Rangga cepat memutar tangan orang itu, dan membalikkan tubuhnya, sehingga membelakangi. Pada saat yang sama, dari arah depan datang satu serangan lagi. Sebuah golok terhunus datang sangat cepat, dan tidak bisa terbendung lagi arusnya. Hingga....

Crab!

“Aaa...!” orang yang dipelintir tangannya itu menjerit keras ketika golok temannya menghunjam ke dadanya.

“Hih...!”

Rangga mendorong tubuh yang berlumuran darah itu, hingga terjajar ke depan. Orang yang berada di depannya jadi terkejut. Dilepaskan goloknya yang tertancap di dada temannya sendiri. Dan sebelum bisa menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah melompat cepat bagaikan kilat

“Hiyaaa...!”

Seketika itu juga Rangga melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa terbendung lagi, tepat menghantam kepala orang itu.

Prak!

“Aaa...!” kembali terdengar jeritan melengking menyayat hati. Orang berbaju hitam itu melintir sambil memegangi kepalanya yang pecah terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Darah langsung bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Hanya beberapa saat dia masih mampu berdiri, kemudian ambruk tak berkutik lagi. Dua orang tewas dalam waktu singkat, membuat delapan orang lainnya jadi terpana. Sesaat mereka jadi berhenti menyerang.

*******************

TUJUH

Kesempatan yang hanya sesaat ini, dimanfaatkan Pendekar Rajawali Sakti untuk keluar dari kepungan. Pemuda berbaju rompi putih itu melesat cepat bagaikan kilat, dan tahu-tahu sudah berada di luar kepungan. Delapan orang itu langsung tersadar. Mereka cepat berbalik, dan seketika berlompatan menyerang kembali.

“Tunggu...!” bentak Rangga keras menggelegar. Bentakan itu begitu keras karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya delapan orang berbaju hitam itu berhenti bergerak seketika.

“Aku tidak tahu siapa kalian. Kenapa menyerangku?” tanya Rangga.

“Mereka semua anak buahku!”

Rangga langsung berpaling ke kiri ketika mendengar jawaban dari arah kiri. Entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh dari tempat itu sudah berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan. Pemuda itu mengenakan baju kulit binatang. Tampak sebilah pedang panjang tergantung di pinggang. Dia juga memegang sebuah tombak yang ujungnya berkeluk runcing dan berwarna keemasan. Mata tombak itu seperti sebilah keris.

Rangga langsung mengenali pemuda berbaju kulit binatang itu. Dia adalah Partanu, putra Ki Puliga, si Iblis Gunung Parakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak perlu lagi meminta penjelasan, karena sudah tahu maksud Partanu. Sudah pasti anak muda itu ingin membalas kekalahannya waktu itu.

“Tidak kusangka, ternyata kau masih hidup, Rangga,” dingin sekali nada suara Partanu. Kakinya melangkah beberapa tindak mendekati. Pemuda itu berhenti setelah jaraknya tinggal satu batang tombak lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.

Sedangkan delapan orang berbaju hitam, kini berada di belakang Partanu. Mereka masih menghunus golok, siap menerima perintah dari putra si Iblis Gunung Parakan itu. Rangga sendiri menggeser kakinya ke kanan dua tindak. Pandangannya tajam merayapi orang-orang yang berada di depannya.

“Sekarang saatnya kau harus mampus, penculik busuk!” desis Partanu menggeram.

“Penculik...? Apa maksudmu?” tanya Rangga tidak mengerti.

“Aku tidak ada waktu berdebat denganmu, Rangga. Sebelum kau mati, tunjukkan, di mana Mega kau sembunyikan?!” bentak Partanu menggeram.

Rangga langsung mengerti arti tuduhan Partanu tadi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi memiliki pertanyaan. Jika bukan Partanu yang menculik Mega, lalu siapa lagi...? Sedangkan Paman Sentanu mengatakan, kalau Mega diculik Ki Puliga, ayah pemuda berbaju kulit binatang itu. Dan kalau memang benar Ki Puliga yang menculik, mengapa anaknya tidak tahu...?

Rangga masih bertanya-tanya dalam hati. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, mendadak saja Partanu sudah berteriak memberi perintah pada orang-orangnya untuk menyerang.

“Bunuh dia...!”

Seketika itu juga, delapan orang berpakaian serba hitam, berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak keras. Golok mereka berkelebatan, langsung mengurung ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Hiyaaa...!”

Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Disadarinya kalau orang-orang ini tidak bisa lagi diajak damai. Serangan-serangan yang dilancarkan sungguh dahsyat. Sedikit kelengahan saja bisa berakibat fatal yang amat sangat Dan Rangga tidak ingin mati konyol. Dia sudah berusaha untuk mencari jalan damai, tapi mereka tampaknya lebih senang menyelesaikan dengan jalan kekerasan. Ini tentu saja dengan resiko, di antara mereka semua ada yang tewas. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu lebih memilih hidup daripada mati terancang. Semua orang pasti akan memilih hal yang sama.

“Uts...!” Rangga merundukkan kepalanya ketika sebuah golok menyambar ke arah kepala. Pada saat yang sama, dikibaskan tangannya menyodok salah seorang yang berada dekat di samping kanan. Sodokan yang cepat dan bertenaga dalam tinggi itu, tidak bisa terhindarkan lagi.

“Hughk...!” Orang itu mengeluh keras. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu, Rangga cepat mengibaskan tangannya, sebelum orang itu jauh dari jangkauan.

“Aaakh...” Satu jeritan panjang melengking tinggi, terdengar menyayat. Seketika itu juga orang itu terpental ke belakang dan keras sekali ambruk ke tanah. Sebentar dia menggeliat, lalu diam tak bernyawa lagi. Kibasan tangan Rangga tepat menghantam dadanya hingga remuk. Tampak dari mulutnya mengeluarkan darah kental.

“Yeaaah...!” Mendapat satu kesempatan baik, Rangga cepat memutar tubuhnya. Dan seketika, dikerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang terkenal sangat dahsyat. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti itu hanya mengerahkan pada tingkatan yang ketiga, tapi hasilnya sungguh luar biasa. Mereka yang berada dekat dengannya, tidak bisa lagi mengelak. Jeritan-jeritan melengking mulai terdengar saling susul. Setiap pukulan yang dilontarkan Rangga, berakibat fatal sekali. Tak ada yang bisa membendung pukulan keras bertenaga dalam sempurna itu.

Satu persatu, Rangga dapat merobohkan lawan-lawannya. Hingga pada akhirnya, mereka tinggal tiga orang saja. Pada saat itu, Partanu sudah melompat terjun ke dalam pertempuran. Dengan senjata tombak di tangan, pemuda itu terus mencecar Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan tiga orang yang tersisa dari sepuluh orang berpakaian serba hitam, tidak berarti lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan pada satu kesempatan, Rangga berhasil memasukkan pukulan keras pada salah seorang, disusul satu tendangan menggeledek untuk seorang lagi.

Dua kali jeritan melengking terdengar menyayat. Dua orang itu terpental ke belakang dan ambruk bergelimpangan di tanah. Seketika mereka tewas tanpa mampu berkutik lagi. Sedangkan seorang lagi langsung bergetar hatinya. Dia mencoba kabur, namun Partanu bisa melihat tindakan anak buahnya itu.

“Yeaaah...!” Sambil berteriak keras, Partanu melompat ke arah orang yang mencoba melarikan diri itu. Seketika dilemparkan tombaknya, dan langsung menancap di punggung orang berbaju hitam itu hingga tembus ke perutnya. Jeritan melengking tinggi kembali terdengar menyayat. Dan sebelum orang itu ambruk ke tanah, Partanu sudah mencabut tombaknya.

“Hih!”

Rangga yang melihat kekejaman anak muda itu, jadi mendidih darahnya. Hanya manusia berhati iblis saja yang tega membunuh anak buahnya sendiri di saat menyadari tidak mampu lagi menghadapi lawan. Dan ini dilakukan Partanu dengan hati dingin.

Pelahan Partanu memutar tubuhnya, berhadapan kembali dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak jelas pada raut wajah Rangga, kalau dirinya begitu muak melihat sorot mata Partanu yang begitu dingin mencerminkan kekejaman. Sebaik apa pun Partanu, watak-watak ayahnya pasti akan menurun, meskipun hanya sedikit. Dan sifat kekejaman ayahnya kini mulai memancar jelas pada wajah pemuda berbaju kulit binatang itu.

“Kau memang tangguh, Rangga. Tapi jangan berbangga dulu bisa mengalahkan sepuluh anak buahku!” desis Partanu dingin.

“Aku tidak membunuh, tapi mereka sendiri yang mempercepat kematiannya,” bantah Rangga.

“Phuih! Kau dan aku, atau siapa saja tidak lebih busuk! Aku tidak berdebat. Aku hanya ingin di antara kita ada yang mati! Atau kita sama-sama mati agar tidak ada yang bisa memiliki Mega!” dengus Partanu menggeram.

“Kau salah besar kalau menuduhku telah merebut Mega, Partanu. Sama sekali aku tidak ada hubungan dengan kekasihmu itu,” kilah Rangga.

“Jangan mungkir lagi dariku, Rangga! Kau boleh merasa menang karena Mega sekarang berada bersamamu. Tapi itu hanya sebentar saja, karena sebentar lagi kau akan mampus!”

“Hm.... Kau mencoba memutarbalikkan kenyataan, Partanu.”

“Jangan banyak omong! Ayo kita buktikan, siapa di antara kita yang lebih pantas mendapatkan Mega!” bentak Partanu geram.

“Sungguh memalukan! Bertarung hanya karena seorang gadis,” desis Rangga tidak senang.

“Setan...! Mampus kau, hiyaaat..!”

Partanu langsung melompat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Serangannya sungguh cepat luar biasa. Sedangkan kibasan tombaknya menimbulkan suara angin menderu bagai topan. Rangga langsung menggeser kakinya ke samping seraya meliukkan tubuhnya menghindari tebasan tombak Partanu. Namun pemuda berbaju kulit binatang itu sudah tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.

Partanu gencar sekali menyerang. Jurus-jurus yang dikeluarkan sungguh cepat dan dahsyat. Dalam hati, Rangga mengakui kehebatan Partanu dalam memainkan tombak. Ujung tombaknya seperti hidup dan memiliki mata saja, dan mampu bergerak cepat mengincar setiap bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang sangat mematikan.

Wuk!

Partanu menusukkan ujung tombaknya ke arah dada Rangga yang kelihatan lowong. Namun begitu ujung tombak hampir mencapai dada, Rangga cepat sekali menarik dadanya ke samping dengan sedikit memiringkan tubuh. Maka ujung tombak itu lewat di depan dadanya. Pada saat yang tepat, Rangga menghentakkan tangannya ke arah batang tombak itu. Sentakan Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh cepat luar biasa, sehingga Partanu terlambat menarik tombaknya pulang.

“Yeaaah...!”

Trak!

Partanu mendelik begitu melihat tombaknya patah terpukul tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sambil mendengus menyemburkan ludahnya, Partanu membuang sisa patahan tombaknya ke arah Rangga. Lemparan Partanu begitu kuat, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Wus!

“Uts...!” Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, maka potongan tombak itu lewat di samping tubuhnya. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu menarik pulang tubuhnya, Partanu sudah kembali menyerang sambil mencabut pedang yang seluruhnya berwarna keemasan.

“Hiyaaat..!” teriak Partanu.

Sret! Bet!

“Hup...!”

Cepat Rangga melompat ke belakang, membuat tebasan pedang Partanu hanya menyambar angin kosong saja. Namun pemuda berbaju kulit binatang itu sudah kembali melompat menerjang. Sepertinya dia benar-benar tidak ingin memberi kesempatan pada lawan untuk bisa membalas menyerang. Pedangnya berkelebat cepat mengurung ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya kelebatan cahaya kuning keemasan di sekitar tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.

Serangan-serangan Partanu yang begitu cepat dan dahsyat, membuat Rangga sedikit kerepotan juga. Namun karena mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti itu mampu mengatasi. Hanya saja sialnya, dia sama sekali tidak bisa membalas serangan yang dilancarkan Partanu. Karena memang, jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' tidak diperuntukkan untuk menyerang lawan, melainkan hanya untuk menghindar sambil mempelajari kepandaian lawan. Meskipun ada satu dua serangan balasan, namun tidak berarti sama sekali.

“Keluarkan senjatamu, Keparat!” bentak Partanu tanpa menghentikan serangan sedikit pun.

Namun tidak mudah bagi Rangga untuk mengeluarkan senjata pusakanya, karena untuk keluar dari serangan ini saja terasa sulit

“Ha ha ha...!” Partanu tertawa terbahak-bahak mengira Rangga sudah begitu terdesak dan tidak mampu lagi balas menyerang.

Melihat posisi Rangga yang kelihatannya semakin terdesak, Partanu semakin meningkatkan serangan-serangannya. Hal ini membuat Rangga jadi tak mampu lagi menahan diri. Malah beberapa kali ujung pedang Partanu hampir merobek kulit tubuhnya. Dan tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin mati dalam keadaan seperti ini, tanpa bisa membalas menyerang.

“Huh! Aku tidak peduli apakah kau kekasih Mega! Kau sudah keterlaluan, Partanu...!” dengus Rangga dalam hati.

Wut..!

Pada saat itu, Partanu mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Maka kesempatan ini tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat dilentingkan tubuhnya ke udara. Namun rupanya serangan Partanu hanya pancingan saja. Karena, begitu Rangga berada di udara, tiba-tiba saja Partanu cepat-cepat memindahkan pedangnya ke tangan kiri. Secepat itu pula, dihentakkan tangan kanannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang masih berjumpalitan di udara.

Set! Slap...!

“Heh...?!”

Bukan main terperanjatnya Rangga ketika melihat Partanu bermain curang. Cepat Rangga memutar tubuhnya di udara, menghindari serbuan senjata rahasia yang dilepaskan Partanu padanya.

“Yeaaah...!”

Sret!

Tak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Senjata-senjata rahasia yang dilepaskan Partanu, memang meluncur deras bagaikan hujan. Maka, cahaya biru langsung menyemburat menyilaukan mata begitu Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung. Secepat itu pula, Rangga cepat memutar pedangnya melindungi diri dari serbuan senjata rahasia lawan.

“Hup, hiyaaa...!”

Cepat Rangga meluruk turun, namun terus memutar-mutar pedangnya cepat bagai baling-baling, membentuk tameng. Bentuk pedang itu lenyap, dan tinggal cahaya biru melingkar yang terlihat melindungi tubuh Rangga dari serangan senjata rahasia. Ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti itu mendarat di tanah.

“Hiyaaa...!”

Pada saat itu juga, tubuh Rangga melenting kembali. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah Partanu dengan pedang masih berputaran cepat Sejenak Partanu terbeliak kaget. Namun dengan cepat pedangnya dipindahkan ke tangan kanan. Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya, mencoba menangkis serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.

Trang!

Trek!

“Heh...?!”

Sepasang bola mata Partanu semakin terbeliak lebar bagaikan hendak keluar, begitu melihat pedangnya terpenggal jadi dua bagian saat membabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum pemuda berbaju kulit binatang itu sempat menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah cepat melompat sambil melontarkan tendangan keras menggeledek.

“Hiyaaat...!”

Deghk!

“Akh...!” Partanu menjerit keras. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada, sehingga membuat Partanu terjajar ke belakang sejauh dua batang tombak. Namun belum juga Partanu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali Rangga sudah melancarkan serangan cepat luar biasa. Dua pukulan langsung dilontarkan secara beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.

Deghk! Des...!.

“Aaakh...!”

Kembali Partanu memekik keras melengking tinggi. Lagi-lagi tubuh pemuda berbaju kulit binatang itu terjengkang ke belakang. Namun sebelum tubuhnya mencapai tanah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat menyambar tubuh pemuda itu.

“Hey...!” Rangga terkejut.

“Hup...!”

Seketika Rangga melesat cepat bagaikan kilat mengejar bayangan biru yang menyambar tubuh Partanu dengan kecepatan luar biasa itu. Namun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga masih bisa mengejar orang itu.

"Tunggu...! Yeaaah...!” teriak Rangga keras. “Siapa kau?”

“Sekarang ini dia bukan lawanmu, Pendekar Rajawali Sakti!” terdengar dingin sekali suara orang itu.

Rangga mengamati orang yang memanggul tubuh Partanu itu. Sama sekali tidak dikenalinya laki-laki tua ini.

“Apakah kau gurunya Partanu?” tanya Rangga.

“Kalau kau ingin tahu, datanglah ke Lembah Kematian! ''

"Heh…?!"

Slap!

Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara, dan berhasil melewati kepala orang yang membawa Partanu. Dan tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak menghadang di depan. Orang itu langsung menghentikan larinya, namun tiba-tiba saja, tangannya mengibas cepat.

Bet!

“Heh...?!”

Bukan main terperanjatnya Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata dari lengan jubah panjangnya yang besar dan longgar, orang itu melontarkan puluhan senjata rahasia sekaligus.

“Hup...”

Cepat-cepat Rangga melompat dan berputaran sambil mengibaskan pedangnya beberapa kali untuk menghalau serangan senjata rahasia itu. Manis sekali Rangga kembali mendarat di tanah. Tapi Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main, karena orang yang tidak kelihatan wajahnya itu sudah lenyap membawa tubuh Partanu.

“Bedebah...!” geram Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi sama sekali tidak melihat adanya sesosok bayangan pun di sekitarnya. Dia mendongak ke atas, kalau-kalau orang itu bersembunyi di atas pohon, tapi tetap saja tidak ada.

“Huh...!” dengus Rangga kesal. “Lembah Kematian.... Hm, apakah dia....”

Cring! Pendekar Rajawali Sakti itu tidak melanjutkan dugaannya, dimasukkan pedangnya kembali ke dalam warangkanya di punggung, maka cahaya biru langsung lenyap seketika. Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu mengedarkan pandangannya kembali berkeliling, kemudian melangkah kesal meninggalkan tempat itu. Pendekar Rajawali Sakti kini menuju Desa Parakan.

DELAPAN

Belum juga Rangga berjalan jauh, tiba-tiba ayunan kakinya terhenti. Telinganya yang tajam, seketika mendengar suara langkah kaki terseret. Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melesat ke atas, lalu hinggap di atas dahan pohon. Pandangannya lurus tak berkedip menatap ke arah datangnya suara itu.

Tak berapa lama kemudian, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus mengenakan baju kumal dan sudah pudar warnanya. Dia membawa keranjang bambu cukup besar. Dua orang laki-laki bersenjata golok di pinggang, mengikuti dari belakang. Mereka berjalan agak cepat menaiki Lereng Gunung Parakan ini.

“Ayo lebih cepat lagi Ki Jamat. Kau tidak boleh terlambat memberi makan buat Mega!” bentak seorang yang berjalan di belakang laki-laki tua kurus itu.

“Uh! Apa kalian tidak tahu kalau yang kubawa ini berat...!” rungut Ki Jamat.

“Huh! Mentang-mentang sudah dipercaya Ki Puliga, kau sekarang berani bertingkah!” dengus seorang lagi.

Laki-laki tua yang dipanggil Ki Jamat itu tampak bersungut-sungut. Sementara Rangga yang berada di atas pohon, bisa mendengar semua percakapan itu. Darahnya langsung mendidih begitu mendengar nama Mega disebut-sebut. Setelah berpikir sejenak, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat turun, dan langsung memberi dua pukulan beruntun ke arah dua orang yang berjalan di belakang Ki Jamat

“Hiyaaat..!”

Dughk! Beghk!

Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dua orang itu langsung ambruk ke tanah dan tak berkutik lagi. Ki Jamat terkejut bukan main. Laki-laki tua itu langsung terpaku dengan lutut gemetar begitu melihat di depannya kini sudah berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju rompi putih. Terlebih lagi saat melihat dua orang yang menyertainya sudah tergeletak tak bergerak-gerak lagi.

“Aku tidak akan melukaimu, jika kau tunjukkan di mana Mega,” kata Rangga, tajam suaranya.

“Oh...,” Ki Jamat tergagap. Seketika itu juga, wajah laki-laki tua kurus itu jadi pucat pasi. Seluruh tubuhnya gemetaran, sehingga tidak kuat lagi menahan beban keranjang bambu yang dibawanya. Keranjang bambu itu jatuh ke tanah. Semua isinya yang ternyata bahan makanan mentah, berserakan.

“Tidak perlu takut padaku, Ki. Kau hanya kuminta menunjukkan, di mana Mega disembunyikan. Dan kau bisa bebas meneruskan perjalananmu kembali,” kata Rangga mencoba lembut.

“Sss..., siapa kau...?” tanya Ki Jamat masih tergagap.

“Aku Rangga,” sahut Rangga.

“Rangga...?!” Tiba-tiba saja Ki Jamat jatuh terkulai di tanah begitu Rangga menyebutkan namanya. Seluruh wajahnya semakin pucat pasi. Keringat sebesar butiran jagung menitik membasahi wajah dan lehernya. Tubuhnya semakin keras bergemetaran.

“Kau tidak perlu takut padaku, Ki. Aku tidak akan menyakitimu,” kata Rangga meyakinkan.

“Tap..., tapi...,” suara Ki Jamat terputus.

Rangga mendekati laki-laki tua itu, lalu membawanya berdiri. Meskipun sikap Pendekar Rajawali Sakti menunjukkan sikap persahabatan, namun Ki Jamat masih juga ketakutan. Masalahnya, nama Rangga yang kini menjadi musuh besar majikannya pernah didengarnya. Malah juga sudah mendengar kalau ilmu kesaktian yang dimiliki pemuda ini tinggi sekali, sehingga Ki Puliga hampir dikalahkan. Tapi karena kesalahan yang kecil saja, si Iblis Gunung Parakan itu berhasil membuat Rangga terluka parah. Dan sekarang pemuda berbaju rompi putih itu ada di depannya.

“Kau takut pada majikanmu, Ki?” tebak Rangga langsung.

Ki Jamat tidak langsung menjawab. Sebenarnya laki-laki tua kurus itu memang takut pada Ki Puliga. Kalau sampai menunjukkan tempat Mega kini berada, sudah dapat dibayangkan kalau kematian akan cepat merenggutnya. Iblis Gunung Parakan tidak akan segan-segan memenggal kepala siapa saja yang mengkhianatinya. Bahkan lawan-lawannya tidak ada yang dibiarkan hidup.

“Dengar, Ki. Aku berjanji akan melindungi keselamatanmu jika kau bersedia menunjukkan, di mana Mega sekarang berada,” bujuk Rangga.

“Aku..., aku tidak tahu,” sahut Ki Jamat tergagap.

“Kau tidak bisa membohongiku, Ki. Kau pasti tahu, di mana Mega berada. Aku mendengar percakapanmu dengan dua orang itu tadi,” desak Rangga.

Ki Jamat jadi serba salah. Diliriknya dua orang yang menyertainya. Dia tidak tahu, apakah dua orang itu sudah mati atau hanya pingsan saja.

“Aku hanya membuatnya pingsan, dan mereka akan sadar kembali,” kata Rangga seolah-olah bisa menebak jalan pikiran laki-laki tua kurus itu.

Ki Jamat merayapi wajah Rangga di depannya, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya sendiri kalau pemuda tampan berbaju rompi putih ini bukanlah manusia kejam seperti majikannya. Karena semua yang didengarnya mengenai Rangga, mengatakan kalau pemuda ini lebih kejam daripada Ki Puliga. Tapi Ki Jamat jadi ragu-ragu juga.

“Baiklah. Tapi kau harus berjanji melindungiku dari kekejaman Ki Puliga dan orang-orangnya,” Ki Jamat menyerah setelah berpikir cukup lama juga.

“Aku janji,” sahut Rangga tersenyum.

*******************

Rangga mengamati bangunan batu yang tampaknya hanya terdiri dari satu ruangan saja. Tak ada jendela, hanya sebuah pintu yang dijaga dua orang saja. Sementara Ki Jamat menyembunyikan diri di balik batang pohon yang sangat besar di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Kau harus ke sana sendiri, Rangga,” bisik Ki Jamat

“Baik. Kau tunggu saja di sini,” sahut Rangga.

Slap!

Tanpa menunda-nunda waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melesat cepat ke arah bangunan batu itu. Dua orang penjaga pintu seketika terkejut. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu yang berarti, Rangga sudah memberi dua pukulan beruntun. Maka dua orang itu langsung ambruk tanpa sempat bersuara sedikit pun.

Cepat Rangga membuka kunci pintu itu, dan mendorongnya hingga terbuka lebar. Tampak di dalam ruangan yang cukup besar dan indah, Mega tengah duduk lesu di tepi pembaringan. Gadis itu terkejut begitu melihat Rangga muncul, lalu langsung bangkit berdiri dan berlari menghampiri.

“Kakang....”

“Ayo! Cepatlah, sebelum yang lain datang,” kata Rangga.

Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menarik tangan Mega, dan membawanya berlari meninggalkan bangunan batu itu. Tapi sebelum jauh berlari, terdengar teriakan keras menggelegar.

“Berhenti...!”

“Kakang...,” tercekat suara Mega.

“Kau terus berlari ke sana,” perintah Rangga.

“Kau...?”

“Cepatlah, sebelum mereka sampai!” desak Rangga seraya mendorong tubuh gadis itu.

Pada saat itu terlihat sekitar dua puluh orang berlarian ke arah mereka. Sebentar Mega memandangi pemuda berbaju rompi putih itu, kemudian berlari ke arah yang ditunjuk Rangga tadi. Namun begitu sampai ke dekat pohon, mendadak saja ada yang menarik tangan gadis itu.

“Ah...!” Mega terpekik.

Gadis itu terjatuh. Matanya membeliak begitu melihat yang menarik tangannya adalah Ki Jamat

“Ssst.., aku akan membawamu keluar dari sini,” bisik Ki Jamat

Mega kelihatan tidak percaya.

“Aku yang membawa Rangga ke sini. Ayo cepat, nanti keburu ketahuan mereka!”

Mega tidak bisa lagi menolak ketika tangannya ditarik laki-laki tua kurus itu. Mereka kemudian berlari secepatnya menembus kelebatan Hutan Gunung Parakan ini. Sementara itu, Rangga masih berdiri tegak menanti kedatangan dua puluh orang yang berlarian ke arahnya. Dan mereka semua mengenakan baju hitam, bersenjatakan golok yang teracung di atas kepala.

“Kepung...!” terdengar teriakan memerintah.

Sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam itu langsung berlompatan mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Mereka menggerak-gerakkan goloknya melintang di depan dada. Sedangkan Rangga hanya merayapi gerak-gerik orang-orang berpakaian serba hitam Itu dengan sikap waspada. Dicobanya untuk mengukur rata-rata kepandaian para pengepungnya ini.

“Ha ha ha...! Kau terlalu berani mendatangi tempatku, Rangga!”

Rangga berpaling begitu mendengar suara keras yang sudah dikenalnya. Pandangannya langsung tertumbuk pada seorang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju hijau tua. Tampak sebilah golok bergagang hitam terselip di pinggangnya. Dia diapit dua orang yang berwajah kasar dan bengis.

“Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, karena hanya akan mengantarkan nyawamu saja, Rangga,” kata Ki Puliga mengejek.

“Aku khawatir, kedatanganku justru akan membuat kau terbang ke neraka,” balas Rangga sinis.

“Ha ha ha...!” Ki Puliga tertawa terbahak-bahak mendengar balasan Rangga yang bernada sinis.

Sedangkan Rangga hanya diam saja dengan mata bersorot tajam. Orang-orang yang berada di sekitarnya ikut tertawa, meskipun tidak sekeras tawa si Iblis Gunung Parakan itu.

“Rangga, kuhargai kedatanganmu ke sini. Sebagai rasa hormatku, aku akan mengajakmu bertarung sebagai seorang laki-laki jantan!” tantang Ki Puliga lantang dan tegas.

“Dengan senang hati, kuterima tawaranmu,” sambut Rangga.

“Bagus. Ha Ha ha...!”

Iblis Gunung Parakan itu melompat cepat, dan mendarat sekitar lima langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti. Tangannya dikibaskan ke samping, dan semua orang yang berada di sekeliling tempat itu langsung bergerak mundur menjauh. Rangga tersenyum menyaksikan kejantanan laki-laki setengah baya itu. Jarang sekali seorang tokoh hitam memiliki jiwa seperti Ki Puliga ini. Dan itu sangat dihargai Pendekar Rajawali Sakti.

“Karena kau tamu di sini, aku beri kesempatan padamu untuk menyerang lebih dahulu,” kata Ki Puliga.

“Terima kasih. Tapi, aku perlu sambutan darimu,” tolak Rangga halus.

“Ha ha ha...! Kau memang benar-benar seorang ksatria, Rangga. Baik, bersiaplah! Hiyaaat...!”

“Hup!” Rangga langsung menggeser kakinya ke samping ketika Ki Puliga melompat menerjang seraya melontarkan dua pukulan beruntun. Hanya dengan sedikit meliukkan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti itu dapat menghindari serangan si Iblis Gunung Parakan itu. Tapi Rangga sempat terkejut juga. Karena, ternyata serangan awal yang dilancarkan Ki Puliga mengandung pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali. Jadi, tak heran kalau angin pukulannya membuat tubuh Rangga sedikit goyah. Cepat Rangga menggeser kakinya ke belakang, dan langsung kembali bersiap pada saat Ki Puliga melancarkan serangan berikut

“Hiyaaat..!” Ki Puliga berteriak keras.

Si Iblis Gunung Parakan itu langsung menerjang melontarkan pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada. Cepat sekali Rangga menarik tubuhnya ke samping agak miring, maka pukulan Ki Puliga lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun tanpa diduga sama sekali, si Iblis Gunung Parakan itu mengibaskan kakinya menyamping ke arah perut

“Hup...!”

Cepat Rangga melentingkan tubuhnya berputar ke belakang, membuat sepakan kaki Ki Puliga tidak mengenai sasaran. Si Iblis Gunung Parakan itu terus melancarkan serangan-serangan dahsyat, meskipun Rangga selalu bisa menghindari dengan manis sekali. Tak terasa, laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu sudah menghabiskan lima jurus dalam waktu singkat. Tapi sampai saat ini belum ada satu serangan pun yang berhasil mengenai sasaran. Hal ini membuatnya jadi berang.

Sret! Ki Puliga tidak bisa lagi menahan geramnya. Langsung dicabut goloknya. Asap hitam seketika berkepul dari golok yang berwarna hitam pekat itu. Buru-buru Rangga melompat mundur sebanyak tiga tindak. Dia sudah pernah menghadapi si Iblis Gunung Parakan yang bersenjatakan golok itu. Maka Pendekar Rajawali Sakti tidak mau melakukan dua kali kesalahan yang bisa mengakibatkan kerugian besar pada dirinya

Cring! Ki Puliga melompat mundur dua tindak begitu Rangga mencabut pedang pusakanya. Tampak pedang itu memancarkan cahaya biru berkilauan menyilaukan mata. Sementara orang-orang yang berada di sekelilingnya juga langsung terkejut. Mereka kontan merasakan matanya jadi pedih, tak sanggup menentang sinar biru yang berkilauan itu.

“Hm...!” Ki Puliga menggumam kecil.

Bet! Wuk!

Laki-laki setengah baya yang mengenakan baju warna hijau tua itu langsung cepat mengecutkan goloknya. Dan seketika itu juga asap yang mengepul, semakin banyak. Bahkan kini bercampur asap merah. Rangga segera memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, dan telapak tangan kirinya menempel pada mata pedang. Lalu dengan cepat ditarik tubuhnya ke kanan, seraya mengebutkan pedangnya ke depan. Gerakan itu menandakan kalau Rangga sedang mempersiapkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus andalan yang jarang sekali digunakan kalau tidak mendapatkan lawan yang tangguh.

“Hiyaaat...!” sambil berteriak nyaring, Ki Puliga melompat menerjang dengan kecepatan bagai kilat.

Wut!

“Yeaaah...!”

Swing!

Secepat itu pula tubuh Rangga melenting sambil mengibaskan pedang, tepat saat si Iblis Gunung Parakan itu juga membabatkan goloknya. Tak dapat dihindari lagi, seketika dua senjata sakti beradu keras di udara.

Glarrr! Satu ledakan keras menggelegar, membuat jantung siapa saja yang mendengarnya akan terasa bagai pecah. Tampak dua orang itu sama-sama terpental ke belakang, namun dengan manis sekali mendarat di tanah. Ki Puliga langsung cepat menggerakkan kakinya menyusur tanah sambil berteriak keras melengking tinggi.

“Hiyaaat...!”

“Hup!”

Cepat sekali Rangga mengegoskan tubuhnya menghindari sodokan ujung golok yang mengepulkan asap beracun itu. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti itu cepat mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Ki Puliga langsung melompat seraya menarik goloknya kembali. Namun sebelum mendarat, Rangga sudah memberi serangan dengan mengibaskan cepat pedangnya beberapa kali. Hal ini membuat Ki Puliga agak kelabakan juga menghindarinya. Beberapa kali pedang Pendekar Rajawali Sakti itu ditangkis dengan goloknya.

Jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dimainkan Pendekar Rajawali Sakti memang dahsyat sekali. Gerakannya begitu cepat, dan kibasan pedangnya berbahaya sekali. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya kelebatan cahaya biru dan putih yang mengurung tubuh si Iblis Gunung Parakan. Namun Ki Puliga juga bergerak cepat seraya mengecutkan goloknya. Akibatnya, asap hitam semakin menggumpal, seakan-akan melindungi dirinya dari incaran maut Pedang Rajawali Sakti.

“Uh...!” tiba-tiba saja Ki Puliga mengeluh mendengus kencang.

Si Iblis Gunung Parakan itu mencoba melompat keluar dari arena pertarungan, tapi Rangga tidak membiarkannya. Dia cepat memburunya dengan pedang yang berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Jelas sekali, kalau gerakan-gerakan yang dilakukan si Iblis Gunung Parakan itu mulai tidak beraturan. Entah kenapa, perhatian laki-laki setengah baya itu jadi pecah. Memang tanpa disadarinya, semua yang terjadi pada dirinya akibat pengaruh dari jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Setan! Yeaaah...!” tiba-tiba saja Iblis Gunung Parakan berteriak keras.

Cepat-cepat dikebutkan goloknya, tepat di saat ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti hampir menghunjam dadanya. Begitu senjata mereka beradu, secepat itu pula Ki Puliga melompat ke belakang sejauh satu batang tombak. Dia langsung membuat gerakan-gerakan cepat untuk menguasai kembali keseimbangan jiwanya yang hampir terpecah belah.

“Phuih...!” dengus Ki Puliga geram.

Kembali dibuatnya gerakan-gerakan cepat. Goloknya berkelebatan mengelilingi tubuhnya. Seketika, seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu berselimut asap hitam agak kemerahan. Rangga yang menyaksikan itu semua, langsung menempelkan telapak tangannya pada mata pedang. Perlahan digosok mata pedang itu. Kini mereka sama-sama mempersiapkan satu ajian pamungkas yang paling dahsyat.

“Hiyaaat..!” Ki Puliga berteriak keras sambil melompat cepat bagaikan kilat.

“Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaah...!” teriak Rangga menggelegar.

Tepat pada saat golok Ki Puliga membabat ke arah dada, Rangga cepat sekali menangkisnya dengan pedang yang melintang di depan dada.

Trang! Glarrr!

“Hih!” Ki Puliga mencoba menarik goloknya, namun jadi terkejut setengah mati. Ternyata goloknya menempel kuat pada pedang yang bersinar biru itu. Ki Puliga mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk melepaskan goloknya. Namun semakin berusaha keras, goloknya semakin erat menempel.

“Setan...!” dengus Ki Puliga menggeram. Si Iblis Gunung Parakan itu semakin geram bercampur rasa keheranan yang amat sangat. Karena saat mencoba melepaskan pegangannya pada tangkai golok, telapak tangannya bagai terpatri kuat, tak bisa dilepaskan lagi. Kemudian darahnya terasa cepat mengalir. Ki Puliga terkejut bukan main. Baru disadari kalau kekuatannya mulai mengalir keluar. Dan dia tidak punya kesempatan lagi untuk mengerahkan ajian yang digunakannya sewaktu melawan Rangga dulu.

“Hih...!” Buru-buru si Iblis Gunung Parakan itu menahan aliran kekuatannya. Tapi semakin mencoba bertahan, semakin kuat saja tenaganya tersedot tanpa bisa dikendalikan lagi. Saat itu juga, terlihat cahaya biru menggumpal menjalar menyelubungi tangan si Iblis Gunung Parakan itu. Dan terus menjalar perlahan, namun pasti.

“Uh! Ilmu apa yang digunakannya...?” dengus Ki Puliga bertanya-tanya di dalam hati.

Semakin kuat Iblis Gunung Parakan itu membuat perlawanan, semakin cepat cahaya biru menjalar menyelimuti dirinya. Bahkan semakin kuat pula tenaganya tersedot keluar. Keringat mulai membanjiri seluruh tubuhnya. Dan Ki Puliga merasa lebih dari separuh kekuatannya sudah tersedot.

“Ughk! Aaakh...!” Ki Puliga mulai menggeliat dan berteriak-teriak.

Namun Rangga semakin kokoh. Memang, Pendekar Rajawali Sakti telah mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' pada tahapan terakhir, sehingga membuat seluruh tubuhnya membiru dan bersinar terang. Daya tahan yang dimiliki Ki Puliga, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa lagi menahan arus kekuatan aji 'Cakra Buana Sukma'.

“Aaakh...!” Ki Puliga kembali memekik keras. Seluruh tubuh si Iblis Gunung Parakan itu menggeletar hebat. Sementara itu, dua orang pembantu utamanya menjadi geram menyaksikan pemimpinnya berkelojotan meregang nyawa. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka berlompatan sambil mencabut goloknya, langsung dibabatkan ke tubuh Rangga. Tapi keajaiban seketika terjadi. Pada saat golok mereka menghantam tubuh Pendekar Rajawali Sakti, tubuh dua orang itu terpental deras diiringi pekikan keras melengking tinggi.

“Aaa...!” “Aaa...!”

Rakat dan Badir, langsung menggelepar di tanah. Tampak seluruh tubuh mereka membiru. Dari mulut, hidung, dan telinga mengucurkan darah kental kehitaman. Tak berapa lama kemudian, dua pembantu utama si Iblis Gunung Parakan itu diam tak bernyawa lagi. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun. Dia hanya melirik sedikit pada dua orang yang menggeletak tak bernyawa lagi.

“Hih! Yeaaah...!” tiba-tiba saja Rangga berteriak keras.

Seketika itu juga pedangnya ditarik, dan dengan cepat sekali dikibaskannya ke leher Ki Puliga. Tebasan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat dan tiba-tiba, tak mampu dihindari lagi. Hingga...

Cras! “Aaa...!”

Sebentar Ki Puliga masih mampu berdiri tegak, kemudian ambruk dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung menyembur dari leher yang buntung tanpa kepala lagi. Sebentar Ki Puliga masih mampu bergerak, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

“Hhh...!” Rangga menarik napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah mundur beberapa tindak. Pandangannya beredar pada semua orang yang berada di sekitarnya. Tiba-tiba saja, mereka semua membuang senjata dan menjatuhkan diri berlutut

Pada saat itu, terdengar suara-suara langkah kaki orang banyak disertai teriakan-teriakan keras membahana. Tak berapa lama kemudian, muncul para penduduk Desa Parakan. Mereka tampak terkejut begitu melihat mayat si Iblis Gunung Parakan dan dua orang pembantu utamanya tewas tergeletak berlumuran darah. Juga tampak sekitar dua puluh orang lebih berpakaian serba hitam tengah berlutut dengan kepala tertunduk di depan Rangga. Di antara para penduduk desa itu, terlihat Mega dan Ki Jamat. Gadis itu bergegas berlari menghampiri Rangga.

“Kakang...,” desah Mega seraya memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu.

Rangga menepuk-nepuk punggung gadis itu, dan melepaskan pelukannya dengan halus. Dipandangnya Ki Jamat yang tersenyum-senyum. Sinar mata laki-laki tua itu tampak memancarkan kegairahan hidup lagi, tidak seperti pertama kali Rangga melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti itu membalas tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit

“Ayo, tangkap mereka semua...!” seru Ki Jamat memberi perintah.

Dan para penduduk Desa Parakan, langsung bergerak. Mereka mengikat tangan orang-orang berbaju hitam itu dengan tambang, lalu menggiringnya menuruni Gunung Parakan ini. Sorak-sorai terdengar gegap gempita, seakan-akan hendak meruntuhkan gunung ini. Penduduk Desa Parakan itu benar-benar bergembira karena Iblis Gunung Parakan telah musnah. Mereka jadi melupakan Rangga yang hanya memandangi disertai senyum di bibir, didampingi Mega.

“Kakang, apakah kau tidak melihat Kakang Partanu?” tanya Mega.

Rangga menoleh, menatap gadis itu. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Sukar untuk menjelaskan pada gadis ini, karena dia sendiri tidak tahu, di mana Partanu kini berada. Apakah masih hidup atau sudah tewas. Karena luka yang diderita pemuda itu cukup parah akibat pertarungannya melawan Pendekar Rajawali Sakti.

“Nanti akan kujelaskan,” kata Rangga agak mendesah.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengajak Mega meninggalkan tempat ini. Mega masih belum puas, dan terus mendesak Rangga agar mengatakan keberadaan Partanu. Dan Rangga semakin iba melihat gadis ini. Cintanya begitu besar, sehingga tidak peduli kalau ayahnya tewas oleh orang tua kekasihnya itu. Dia juga tidak peduli kalau pernah dikurung si Iblis Gunung Parakan, ayah dari Partanu.

Rangga tak punya pilihan lain lagi. Diceritakannya semuanya tentang Partanu. Dari mulai pertarungannya, hingga pemuda itu lenyap dibawa seorang laki-laki tua dari Lembah Kematian. Terdengar suara isak perlahan dari gadis itu. Tapi, rupanya Mega mencoba untuk bertahan agar tidak larut.

“Maafkan aku, Mega. Aku sudah berusaha, tapi rupanya takdir memang menentukan lain,” ucap Rangga menyesal.

“Tidak, Kakang. Kau tidak perlu meminta maaf. Mungkin memang belum jodoh,” sergah Mega agak tersendat.

“Jika Hyang Widi menghendaki, aku yakin kau akan dipertemukan kembali dengan Partanu,” hibur Rangga.

“Apakah itu mungkin, Kakang?”

“Ya! Semuanya bisa saja terjadi tanpa kita ketahui sebelumnya. Aku sendiri yakin kalau Partanu masih hidup. Tapi entah di mana sekarang,” sahut Rangga.

“Kakang! Kalau kau bertemu Kakang Partanu, katakan kalau aku masih menunggu di Desa Parakan. Kau bersedia, bukan?” pinta Mega berharap.

“Tentu,” sahut Rangga untuk menyenangkan hati gadis itu.

“Terima kasih, Kakang.”

SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA: KEMBANG KARANG HAWU

Darah Dan Asmara

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

DARAH DAN ASMARA

SATU
“Mega...!”

Suatu teriakan keras tiba-tiba mengejutkan dua anak muda yang tengah duduk berdampingan di lereng sebuah bukit, menghadap ke arah lembah yang subur dengan sawah menguning dan kicauan burung pipit berebut padi. Seketika dua anak manusia itu saling berpandangan. Sementara, wajah pucat nampak tersirat pada gadis cantik yang duduk merapat di sebelah pemuda yang mengenakan baju kulit binatang tanpa lengan. Wajahnya cukup tampan, dengan rambut panjang tergelung ke atas.

“Mega...!”

Terdengar lagi suara panggilan keras dari arah kaki lereng gunung ini. Suaranya terdengar keras. Bahkan seakan-akan begitu dekat, terpantul oleh dinding tebing batu yang hampir memenuhi seluruh permukaan Lereng Gunung Parakan ini. Wajah gadis itu semakin terlihat pucat. Dan pemuda itu meraih tangannya, menggenggam hangat. Bibirnya menyunggingkan senyum manis, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.

“Pulanglah dulu. Ayahmu sudah memanggil, Mega,” lembut sekali suara pemuda itu.

“Maafkan aku, Kakang Partanu,” ucap Mega lirih.

“Aku sudah cukup bahagia jika kau selalu mencintaiku, Mega,” tetap lembut nada suara Partanu.

“Hhh...! Mengapa ayah selalu begitu...? Kenapa dia begitu benci padamu, Kakang...?” nada suara Mega terdengar mengeluh.

“Mega....”

Mereka saling bertatapan mesra, kemudian perlahan-lahan pemuda itu merengkuh tubuh Mega dan membawanya ke dalam pelukan. Mega menyandarkan kepalanya di dada yang bidang dan kekar itu, seakan hendak mendengarkan suara hati kekasihnya ini. Pelahan mereka saling melepaskan pelukan, dan kembali saling bertatapan.

“Pulanglah. Sebentar lagi malam,” ujar Partanu lagi. Tetap lembut suaranya.

“Aku besok akan datang lagi ke sini, Kakang,” jelas Mega.

“Jangan terlalu sering. Aku tidak ingin ayahmu jadi kalap. Nanti kau sendiri yang akan susah, Mega,” Partanu menasihati.

“Kakang... Sebenarnya aku ingin sekali kau membawaku pergi ke mana saja, asal jauh dari desa ini. Jauh dari orang-orang yang selalu membencimu. Kau bersedia membawaku pergi kan, Kakang...?” nada suara Mega penuh harap.
Partanu hanya tersenyum saja, kemudian menarik napas dalam-dalam dan bangkit berdiri. Mega ikut berdiri dibantu pemuda itu.

“Mega...! Di mana kau...?”

Terdengar lagi suara keras bernada panggilan dari arah kaki gunung ini. Mega memandangi wajah kekasihnya dalam-dalam, seakan enggan untuk berpisah lagi. Gadis itu tahu, kalau sudah berpisah sukar untuk bertemu lagi.

“Aku pulang dulu, Kakang,” ucap Mega pelan.

“Pulanglah,” desah Partanu.

Mega melangkah mundur beberapa tindak. Sebentar dipandanginya pemuda itu, kemudian tubuhnya berbalik dan langsung berlari menuruni lereng. Sementara Partanu masih berdiri mematung memandangi gadis itu yang semakin jauh menuruni lereng.

“Hhh...!” Partanu menghembuskan napas panjang begitu bayangan tubuh Mega sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.

Partanu masih berdiri mematung, dan pandangannya tidak berkedip ke arah kaki gunung ini. Beberapa kali ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Terngiang-ngiang lagi kata-kata Mega yang meminta untuk membawanya lari. Gadis itu sudah tidak tahan lagi berada dalam kungkungan dan pengawasan ayahnya yang ketat. Sebentar saja menghilang, pasti sudah dicari.

“Kasihan kau, Mega. Sudah terlalu banyak penderitaan yang kau alami. Aku tidak ingin membuatmu semakin menderita...,” desah Partanu pelan.

“Partanu...!”

“Oh!” Partanu tersentak ketika mendengar suara panggilan dari arah belakang.

Pemuda itu cepat memutar rubuhnya, dan ter­senyum begitu melihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya. Sungguh tidak diketahuinya, kapan laki-laki bertubuh tegap yang wajahnya dihiasi brewok ada di situ. Gagang golok menyembul keluar dari balik ikat pinggangnya.

“Ayah.... Aku tidak tahu kalau Ayah ada di sini,” ujar Partanu buru-buru.

“Aku sudah ada di sini sejak tadi, Partanu,” berat dan besar sekali suara laki-laki itu. Namanya Puliga, tapi orang-orang lebih mengenalnya sebagai Iblis Gunung Parakan. Itu julukannya.

“Oh...!” Partanu mendesah kaget.

“Kau mencintai anak si Anta itu, Partanu?” langsung saja Puliga bertanya.

“Benar, Ayah,” sahut Partanu seraya tertunduk. Pemuda itu benar-benar tidak sanggup menatap sinar mata ayahnya yang tajam memerah bagai sepasang bola api.

“Kau sanggup menanggung segala akibatnya?”

“Maksud Ayah...?!” Partanu tidak mengerti. Langsung diangkat kepalanya, menatap wajah laki-laki berwajah kasar itu.

“Partanu, tidak ada seorang pun yang akan sudi menerimamu. Kau adalah anak Puliga, si Iblis Gunung Parakan yang sudah terkenal tukang begal, perampok, dan pembunuh berdarah dingin. Tak ada seorang pun yang akan menerimamu, Partanu,” jelas Puliga lagi.

”Tapi kami sudah bertekad, Ayah,” mantap suara Partanu.

“Jika itu memang tekadmu, kau harus mendapatkannya dengan cara apa pun juga. Dan yang lebih penting lagi, kau harus menghadapi segala tantangan. Sanggup?”

“Sanggup!” jawab Partanu langsung tanpa berpikir lagi.

“Ha ha ha...!”

*******************

Di saat sinar matahari bersinar terik menyengat kulit, yang utama ada dalam pikiran setiap orang adalah air. Dalam keadaan panas seperti ini, semua orang pasti akan mencari tempat-tempat yang dekat air. Bahkan lebih menyenangkan lagi jika berendam di sungai.

Siang ini, seluruh udara di atas permukaan bumi Desa Parakan, terasa begitu panas menyengat. Matahari bersinar amat terik, seakan-akan hendak menghanguskan seluruh mayapada. Hampir semua penduduk desa itu jadi enggan pergi ke ladang, dan lebih senang berangin-angin di bawah rindangnya pohon. Atau bahkan merendam diri di dalam sejuknya air sungai. Sungai yang biasanya hanya ramai di waktu pagi dan sore, kini setiap saat selalu didatangi orang.

“Huh...! Panas sekali...,” keluh seorang pemuda yang tengah duduk di bawah pohon yang cukup rindang.

Meskipun daun yang menaunginya sempat menahan sinar matahari, namun udara panas tetap saja tak mampu dihalangi. Seluruh tubuhnya telah dibasahi keringat. Bahkan wajahnya begitu memerah bagai terbakar. Dipandanginya orang-orang yang tengah berendam di dalam sungai, seakan-akan tidak ada lagi tempat kosong di sekitar sungai itu.

“Kakang Rangga....”

Pemuda berbaju rompi putih itu menoleh ketika mendengar suara yang memanggil namanya. Bibir yang tipis dan agak memerah, menyunggingkan senyuman ketika melihat seorang laki-laki berusia sekitar lima belas tahun berlari-lari kecil menghampiri dalam keadaan basah kuyup. Langsung saja dihempaskan tubuhnya, duduk di samping pemuda berbaju rompi putih itu.

“Kotor nanti bajumu, Carika,” kata pemuda itu memperingatkan.

“Biarlah. Habis, panas sekali sih...,” sahut pemuda yang dipanggil Carika. “Segar rasanya berada di dalam air. Banyak gadis-gadisnya, Kang,” sambungnya seraya cengar-cengir.

“Kau ini..., belum waktunya melirik gadis!”

Pemuda belasan tahun itu hanya tertawa saja. Begitu renyah suara tawanya, lepas berderai memperlihatkan baris gigi yang putih dan rapi. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga, hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali mengarahkan pandangannya ke sungai. Memang, di sana banyak gadis yang tengah merendam diri, melindungi kulitnya yang putih dari sengatan sinar matahari.

“Carika, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan saja,” ajak Rangga.

“Mau ke mana lagi, Kakang? Ini kan Desa Parakan.”

“Sudah tiga hari kita di sini, tapi pamanmu tidak ada. Bahkan tidak ada yang kenal dengan pamanmu di sini. Barangkali kau salah, Carika,” ujar Rangga mengemukakan alasannya.

Carika tertunduk diam. Wajahnya langsung saja berubah murung. Dikorek-koreknya tanah dengan sebatang ranting di ujung jari kakinya, sambil memeluk lutut Rangga menggeser duduknya lebih mendekat. Diraihnya kepala Carika dan diusap-usapnya. Carika mengangkat kepalanya, langsung menatap sepasang bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” ucap Rangga lembut.

“Kau memang benar, Kakang. Mungkin aku yang salah,” ujar Carika lirih.

Rangga hanya tersenyum saja, mencoba memberi ketabahan pada pemuda belasan tahun itu.

“Maaf. Aku jadi menyusahkanmu, Kakang,” ucap Carika lagi. Suaranya terdengar semakin lirih.

“Sama sekali tidak. Aku senang jika kau menemukan pamanmu,” sahut Rangga diiringi senyum manis.

“Aku jadi ragu-ragu, Kakang...,” ada nada keputusasaan dalam suara Carika.

“Kenapa?” tanya Rangga.

“Barangkali pamanku memang tidak pernah ada.”

“Kalau tidak ada, dari mana kau dapatkan benda itu?” tanya Rangga lagi.

“Ibu.”

“Kau masih ingat pesan ibumu, bukan?” Carika mengangguk.

“Kau tidak boleh putus asa, Carika. Tunjukkan kalau kau adalah anak yang berbakti pada orang tua. Temukan pamanmu, di mana pun berada. Berikan benda itu padanya. Setelah itu, kau boleh bebas menentukan jalan hidupmu sendiri,” Rangga memberi dorongan semangat dan kepercayaan.

''Ya..., aku memang tidak boleh putus asa. Satu-satunya keluargaku hanya paman yang masih ada,” desah Carika.

“Bagus! Ayo, kita jalan lagi. Tidak betah rasanya aku di sini terus. Panas...!” ajak Rangga.

Mereka kemudian bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan tempat itu. Tak ada lagi yang membuka suara. Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan berdebu. Beberapa kali Carika menendang batu kerikil sambil mendengus. Rangga hanya memperhatikan saja tingkah anak itu, namun merasa iba juga.

Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat saat pertama kali bertemu Carika. Saat itu, anak ini tengah dikejar-kejar sambil memondong ibunya yang terluka parah akibat sebuah anak panah menembus dadanya.

Keadaannya sudah demikian parah. Dan Carika tidak bisa lagi berlari sambil memondong ibunya, sehingga jatuh tergulir. Tapi untung pada saat orang-orang yang mengejarnya datang, Pendekar Rajawali Sakti tiba. Langsung saja dia menolong Carika yang hampir saja terpenggal lehernya.

Meskipun sudah berusaha, tapi anak panah yang menembus sampai ke jantung tak bisa lagi menyelamatkan nyawa ibu Carika. Dia tewas, tapi masih sempat menitipkan anaknya pada Rangga. Wanita itu memang sempat meminta pada Rangga untuk membantu Carika mencari pamannya. Tapi Rangga tidak tahu-menahu kalau Carika telah dititipkan sebuah benda yang terbungkus kain putih. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak tahu, mengapa orang-orang itu mengejar dan membunuhnya.

“Tolooong...!”

“Heh...?!” Rangga tersentak ketika tiba-tiba mendengar teriakan itu.

Sejenak Rangga menatap Carika, dan rupanya anak itu juga mendengar suara jeritan tadi.

“Tolooong...!”

Begitu terdengar suara jeritan lagi, Rangga langsung melompat cepat ke arah suara teriakan itu. Carika tidak mau kalah, lalu cepat berlari sekuatnya mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lenyap tidak terlihat lagi dalam sekejap mata saja.

“Hiyaaa...!”

Rangga langsung melompat sambil melontarkan tendangan keras ke arah punggung seorang laki-laki yang sedang berusaha membawa paksa seorang gadis. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu terjungkal mencium tanah. Pendekar Rajawali Sakti langsung menarik tangan wanita itu, dan membawanya menjauh.

“Ghrrr...!” laki-laki bertubuh tinggi besar itu meng­gereng marah, dan langsung cepat melompat bangkit

Sementara Rangga sudah membawa wanita itu menyingkir ke tempat yang aman, kemudian melangkah beberapa tindak ke depan. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berbuat sesuatu, dari arah belakang laki-laki bertubuh tinggi besar itu muncul dua orang lagi berperawakan sama. Mereka semua menggenggam sebilah golok besar, bagai tukang jagal binatang.

Tanpa ada yang bicara sedikit pun, ketiga orang itu langsung berteriak keras menggelegar. Lalu dengan kecepatan luar biasa, mereka berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat Rangga melompat, dan secepat itu pula melepaskan dua pukulan keras disertai satu ten­dangan menggeledek. Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu memang cepat luar biasa. Sehingga sebelum ketiga orang itu sempat melakukan penyerangan, telah lebih dulu mendapat serangan yang tidak bisa terelakkan lagi.

Ketiga orang itu menjerit keras begitu terkena pukulan dan tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka jatuh bergulingan di tanah. Pada saat yang sama, Rangga sudah kembali bergerak seraya mengibaskan tangannya.

Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berdiri tegak tidak jauh dari ketiga laki-laki yang merintih bergelimpangan di tanah. Di tangan pemuda berbaju rompi putih itu tergenggam tiga buah golok besar. Ketiga orang itu serentak bangkit berdiri, tapi menjadi terkejut bukan main saat melihat senjatanya sudah terampas.

Trak!

Hanya sekali hentak saja, Rangga mematahkan golok-golok itu jadi dua bagian, lalu melemparkannya ke depan tiga orang laki laki bertubuh besar dan berwajah kasar itu. Mereka jadi terlongong dengan mulut terbuka lebar dan mata mendelik hampir tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya. Golok-golok besar itu patah hanya sekali sentakan saja.

“Yaaa...!” teriak Rangga keras.

Teriakan Pendekar Rajawali Sakti itu, membuat ketiga laki-laki berwajah kasar itu langsung lari lintang pukang dan sekuat tenaga meninggalkan tempat itu. Rangga tersenyum melihat tingkah ketiga orang itu. Tubuhnya berbalik lalu menghampiri gadis cantik yang hanya mengenakan selembar kain agak basah melilit tubuhnya. Bagian bahu dan sedikit dadanya terbuka lebar, memperlihatkan kulitnya yang putih halus. Pada saat itu Carika muncul, dan langsung menghampiri Rangga yang sudah berada di depan gadis itu.

“Kau tidak apa-apa, Nisanak?” tanya Rangga.

“Ada apa...?” celetuk Carika bertanya, sebelum gadis itu menjawab pertanyaan Rangga.

Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Wajahnya yang cantik, masih terlihat pucat, dan tubuhnya bergetar.

“Terima kasih, kau telah menolongku,” ucap gadis itu perlahan. Suaranya masih terdengar bergetar.

“Di mana rumahmu? Mari kuantarkan pulang,” Rangga menawarkan jasa.

“Tidak jauh dari sini, di Desa Parakan,” sahut gadis itu lagi.

Rangga berpaling pada Carika yang berada di sampingnya. “Kau masih punya simpanan baju, Carika?” tanya Rangga.

“Ada...,” sahut Carika.

Anak itu buru-buru membuka buntalan yang selalu tersampir di pundaknya. Diambilnya sepotong baju berwarna merah muda, dan diberikannya pada gadis itu. Dengan ragu-ragu, gadis itu menerima setelah didesak Carika. Dikenakannya baju itu dengan wajah masih terlihat memucat. Memang kebesaran bajunya, karena tubuh Carika lebih besar daripada tubuh gadis itu. Tapi cukup untuk melindungi tubuhnya agar tidak terlalu terbuka.

“Ayo, kuantarkan pulang,” ajak Rangga.

Mereka kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. Carika kembali menyampirkan buntalan kainnya di pundak, lalu berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada yang berbicara. Semuanya terdiam membisu. Sedangkan beberapa kali Carika mencuri-curi pandang pada gadis cantik yang berjalan di samping Rangga.

“Ada apa sih tadi, Kakang?” tanya Carika memecah kebisuan.

“Hanya berandal-berandal tengik yang mencoba mengganggunya,” sahut Rangga seraya melirik gadis di sebelahnya.

“Mega. Namaku Mega,” selak gadis itu memperkenalkan diri.

“Aku Carika, dan ini kakakku. Namanya Rangga,” sahut Carika langsung saja memperkenalkan Rangga sebagai kakaknya.

Sedikit Rangga melirik pada anak itu, tapi hatinya mengatakan kalau tidak keberatan Carika mengakuinya sebagai kakak. Dan memang sebaiknya begitu, daripada membuat persoalan yang bisa menghambat perjalanan mereka.

“Kalian pasti bukan dari desa ini,” tebak Mega.

“Benar. Kami hanya pengembara,” sahut Rangga cepat, sebelum diserobot Carika.

“Apakah di desa ini banyak berandalnya, Kak?” tanya Carika.

“Sebenarnya tidak. Tapi entah, belakangan ini selalu saja terjadi kerusuhan,” sahut Mega agak mendesah.

“Wah.... Jangan khawatir, Kak. Kakang Rangga pasti bisa mengusir mereka,” kata Carika lagi seraya menyikut iga Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga jadi mendengus dalam hati. Carika memang terlalu banyak bicara, dan selalu membesar-besarkan. Terlebih lagi, selalu memuji-muji Rangga di depan siapa saja yang ditemuinya. Akibatnya, memang tidak jarang mereka mendapat kesulitan dalam perjalanan ini.

“Oh..., apakah Kakang seorang pendekar?” tanya Mega.

“Ti....”

“Iya, Kak. Tidak ada yang bisa mengalahkannya. Kakang Rangga seorang pendekar tangguh,” selak Carika cepat sebelum Rangga sempat menjawab tuntas.

Rangga jadi mendelik, tapi Carika tidak peduli. Bahkan malah pindah ke samping Mega. Hal ini membuat Rangga jadi kesal juga, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Carika memang selalu begitu, tapi Rangga sebenarnya menyenangi. Memang, Carika begitu periang dan penuh kelakar yang membuat hati siapa saja akan senang padanya. Sikapnya memang selalu menyenangkan orang lain, meskipun kadang-kadang suka menjengkelkan.

“Kemarin, Kakang Rangga baru saja membabat habis sepuluh perampok, Kak. Pokoknya, ilmunya tinggi..., deh,” bual Carika memuji Rangga setinggi langit

“Carika...!” desis Rangga mencoba menghentikan bualan anak itu.

“Biasa, Kak.... Orang yang punya ilmu tinggi biasanya selalu merendah. Lain dengan aku, tidak punya apa-apa. Paling-paling kalau ketemu maling, ambil langkah seribu!” sergah Carika tidak mempedulikan peringatan Rangga.

Mega tertawa mendengar kelakar Carika. Hilang sudah ketakutannya akibat kekasaran tiga laki-laki berandal tadi. Dan gadis itu semakin sering tertawa mendengar gurauan Carika. Namun kadang-kadang omongan anak itu terlalu lepas. Dan ini membuat Rangga semakin sering menahan jengkel.

“Kalian harus ketemu ayah. Pasti ayah senang berkenalan dengan kalian,” kata Mega seraya melirik pada Rangga.

“'Terima kasih, tapi...,” ucap Rangga terputus.

“Dengan senang hati kami menerima, Kak,” selak Carika cepat

Lagi-lagi Rangga hanya bisa mendengus dan matanya mendelik pada Carika. Namun anak itu malah memalingkan mukanya ke arah lain, bahkan langsung saja berkicau membuat kelakar-kelakar yang kali ini dirasakan Rangga tidak menggelitik. Tapi, membuat Mega terus-menerus tertawa.

DUA

Rangga benar-benar tidak bisa lagi berkata apa-apa, saat Ki Anta menawarkannya untuk tinggal beberapa hari di rumahnya. Karena Carika sudah langsung menyetujui. Bahkan anak itu semakin membual besar dengan menyanjung-nyanjung Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini semakin membuat Ki Anta tertarik. Memang, sebenarnya laki-laki itu memerlukan bantuan seorang pendekar digdaya untuk menghadapi gerombolan pengacau yang akhir-akhir ini selalu mengganggu ketenteraman penduduk.

“Kau keterlaluan, Carika!” dengus Rangga saat mereka berdua saja di dalam kamar yang disediakan Ki Anta.

“Keterlaluan bagaimana, Kakang...?” ringan sekali suara Carika seraya menghempaskan tubuhnya di pembaringan.

“'Tidak perlu kau bercerita begitu banyak tentang diriku. Kau tidak pernah bisa menghilangkan kebiasaan burukmu. Membual itu tidak baik, Carika...,” Rangga menasihati.

“Tapi yang kukatakan itu benar, bukan?”

“Tidak seluruhnya!” dengus Rangga.

“Paling tidak, ada benarnya,” Carika tidak mau kalah.

Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Sungguh tidak dimengerti sikap anak ini. Bisa dikatakan nakal, tapi juga pandai. Beberapa hari bersama Carika, Rangga sudah bisa mengetahui wataknya. Dan sudah bisa diduga, sikap Carika kali ini tentu ada maksudnya. Carika tidak akan bertingkah seperti ini secara berlebihan jika tidak mempunyai maksud tertentu. Hanya saja anak itu tidak akan mengatakannya, meskipun didesak.

“Lumayan, Kakang. Malam ini kita tidak perlu tidur di dalam hutan lagi,” kata Carika lagi.

“Iya! Tapi kau mempertaruhkan nyawaku!” dengus Rangga masih jengkel.

“Ah..., paling juga hanya berandal biasa, Kakang. Tidak perlu dipikirkan. Aku juga hanya berandalan biasa, dan juga bisa menghadapinya. Aku pernah belajar ilmu olah kanuragan dari ayah. Memang tidak tinggi, tapi cukup untuk menjaga diri,” jelas Carika lagi.

Rangga baru akan membuka mulutnya, ketika terdengar suara ketukan di pintu. Carika langsung melompat turun dari pembaringan dan membuka pintu. Di ambang pintu muncul Mega yang sudah berganti baju. Gadis itu membawa baki berisi makanan dan minuman serta beberapa potong buah pepaya.

Mega kelihatan cantik sekali dengan baju warna biru muda yang agak ketat, sehingga membentuk lekuk tubuhnya yang ramping dan indah. Baju bagian dada yang agak rendah, menampakkan tonjolan berkulit putih mulus. Sejenak Rangga terpesona menatapnya, tapi buru-buru mengusir semua bayangan tentang gadis itu dari benaknya. Mega melangkah masuk, lalu menyerahkan baki di tangannya pada Carika. Dengan senang hati Carika menerimanya dan langsung membawa ke meja.

“Ayah ingin bicara denganmu setelah makan, Kakang,” kata Mega memberi tahu. Suaranya begitu lembut, bagai seorang putri bangsawan.

“Sebaiknya kutemui saja sekarang,” kata Rangga.

“Kau tidak makan dulu...?”

“Aku masih kenyang. Itu juga nanti habis oleh Carika sendirian.”

“Dia lagi marah, Kak,” celetuk Carika.

“Marah...? Memangnya kenapa?” tanya Mega.

Rangga mendengus. Dihampirinya Carika seraya menyambar sepotong ikan. Lalu dengan cepat disumpalkan ikan itu ke mulut Carika. Anak itu jadi gelagapan. Mega tertawa terpingkal-pingkal melihat kejadian itu.

“Sial...!” rutuk Carika seraya meletakkan lagi ikan yang disumpalkan ke mulutnya.

“Sudahlah. Kalian ini selalu saja bertengkar,” Mega melerai.

“Kalau kau bukan kakakku, pasti sudah kubalas!” dengus Carika, tapi bibirnya tersenyum juga.

Dan Rangga jadi tidak tahan juga melihat mimik muka anak itu. Buru-buru kakinya melangkah keluar sebelum tawanya meledak. Tapi belum juga jauh meninggalkan kamar itu, terdengar suara Carika yang terbahak-bahak dibarengi tawa Mega yang lembut dan merdu. Rangga terus saja berjalan meninggalkan kamar itu.

Kelakuan Carika memang membuatnya jengkel. Tapi entah kenapa, Rangga tidak bisa marah padanya. Bahkan kalau dia ingin marah, selalu saja Carika bisa membuatnya jadi tertawa. Dan hampir saja tawanya tidak bisa ditahan kalau tidak segera keluar.

Rangga terus melangkah keluar. Pendekar Rajawali Sakti melihat Ki Anta sedang mengelus-elus kuda hitam gagah yang tertambat di bawah pohon. Rangga jadi teringat kudanya sendiri. Kuda Dewa Bayu yang sudah lama sekali tidak dijumpainya. Tapi dia memang belum memerlukan kuda itu, yang kini tentu ada di istal Istana Karang Setra.

“Ah, Rangga.... Kemarilah!” panggil Ki Anta begitu melihat Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah menghampiri. Sedangkan Ki Anta terus mematut-matut kudanya. Ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu, lalu laki-laki itu duduk di bangku di bawah pohon tidak jauh dari kuda. Rangga langsung duduk di sampingnya begitu Ki Anta menyuruhnya duduk.

“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Nak Rangga. Sesuatu yang sebenarnya sangat pribadi, tapi menyangkut ketenteraman seluruh warga Desa Palakan ini,” jelas Ki Anta.

“Katakan, Ki. Mungkin bisa kubantu,” sambut Rangga.

“Begini. Sebenarnya, aku sudah tahu siapa dirimu....”

Rangga agak terkejut juga mendengarnya, tapi cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya.

“Aku tahu kalau kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada seorang pun yang mempunyai ciri sepertimu. Muda, memakai baju putih tanpa lengan, membawa pedang bergagang kepala burung. Itu merupakan tanda kalau kau adalah Pendekar Rajawali Sakti,” sambung Ki Anta.

“Rupanya aku tidak bisa menyembunyikan tentang diriku di depanmu, Ki,” Rangga mengakui.

“Aku gembira sekali atas kedatanganmu di desa ini. Dan aku memang mengharapkan adanya seorang pendekar yang singgah. Ternyata harapanku kini terkabul,” ungkap Ki Anta dengan wajah cerah.

“Sebenarnya apa yang hendak kau bicarakan denganku, Ki?” tanya Rangga tidak ingin berlarut-larut.

“Aku tidak tahu, apakah kau kenal atau tidak. Tapi terus terang saja, aku tidak sanggup menghadapinya. Bahkan seluruh warga desa ini pun tidak akan mampu menghadapinya. Dia seorang yang berkepandaian sangat tinggi dan kejam. Hhh...!” Ki Anta menghembuskan napas panjang.

“Siapa orang yang kau maksudkan, Ki?” tanya Rangga mendesak.

“Puliga. Dia dikenal berjuluk Iblis Gunung Parakan. Sudah lama sekali desa ini berada di dalam cengkeramannya. Dan selama kami masih sanggup menyediakan upeti, dia tidak akan mengganggu. Tapi belakangan ini, orang-orangnya selalu membuat keributan. Yaaah..., semua ini gara-gara anakku yang susah diatur,” ada nada keluhan pada suara Ki Anta.

“Mega...?”

“Benar. Dia anakku satu-satunya. Sudah sering kuperingatkan agar tidak berhubungan dengan Partanu, tapi masih saja membandel. Bahkan selalu mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi.”

“Siapa itu Partanu?”

“Anak laki-laki Puliga. Dia juga punya kemampuan olah kanuragan tinggi. Bahkan kabarnya hampir setaraf dengan ayahnya.”

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah bisa dimengerti, apa kesulitan yang kini dihadapi Ki Anta. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa mengambil keputusan begitu saja, karena ini persoalan pribadi. Persoalan cinta dua anak manusia dengan latar belakang kehidupan yang berbeda dan saling bertolak belakang.

Tidak mudah menyelesaikan persoalan ini. Masalah cinta bukanlah masalah sepele. Meskipun kelihatannya kecil sekali, tapi bisa berakibat sangat fatal. Bahkan bukannya tidak mungkin bisa menimbulkan pertumpahan darah. Terlebih lagi, yang dihadapi Ki Anta adalah seorang tokoh sakti rimba persilatan yang berkemampuan sangat tinggi dan kejam.

“Boleh kutahu, Ki. Kenapa kau tidak menyetujui hubungan mereka?” tanya Rangga hanya ingin tahu isi hati laki-laki tua Kepala Desa Parakan ini.

“Nak Rangga..., orang tua mana yang sudi anaknya berhubungan dengan keturunan si Iblis Gunung Parakan? Hanya orang tua gila saja yang mengizinkan anaknya punya hubungan dengan Partanu. Sudah pasti anak itu tidak jauh berbeda dengan ayahnya,” sahut Ki Anta.

“Apakah tindakan Partanu memang mengikuti jejak ayahnya?” tanya Rangga lagi.

“Terus terang, sampai saat ini aku belum pernah mendengar Partanu melakukan perampokan atau tindak kejahatan lainnya. Bahkan aku belum pernah mendengar dia bertarung. Apalagi membunuh orang,” sahut Ki Anta jujur.

“Maaf, Ki. Sebenarnya aku tidak berhak ikut campur dalam urusan ini. Tapi menurutku, sebaiknya selidikilah dulu lebih jauh lagi tentang Partanu. Mungkin dia tidak seperti ayahnya,” kilah Rangga bijaksana.

“Tapi, Nak Rangga.... Seorang anak tidak akan mungkin jauh dari ayahnya. Terlebih lagi sejak kecil selalu hidup dalam lingkungan para perampok. Malah, ayahnya sendiri yang menjadi pemimpin perampok itu. Maka sudah pasti dia tidak jauh berbeda dengan ayahnya,” bantah Ki Anta.

“Yaaah.... Sayang sekali, Ki. Aku tidak bisa melakukan apa-apa,” ujar Rangga agak mendesah.

“Tolonglah, Nak Rangga. Pada siapa lagi aku harus meminta bantuan...?” rengek Ki Anta.

“Seandainya aku mau, apa yang harus kulakukan untukmu, Ki?”

“Hancurkan mereka. Bunuh si keparat Partanu dan ayahnya itu. Dengan demikian, bukan saja kau menolong keluargaku, tapi juga membebaskan rakyat dari cengkeraman dan kekejamannya,” tegas Ki Anta.

Rangga tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang, bukannya Pendekar Rajawali Sakti tidak bersedia membantu, tapi memang tidak terlihat adanya sesuatu yang bisa dilakukan. Sedangkan masalah yang dikemukakan Ki Anta, menurutnya hanya persoalan cinta dua anak manusia. Persoalan yang tidak perlu dibesar-besarkan, asal tidak ada yang mengipasi bara.

“Yaaah..., mungkin aku terlalu berlebihan. Kau seorang pendekar digdaya, dan tentunya lebih sempurna cara memandangnya daripada diriku,” kata Ki Anta bernada mengeluh.

“Maaf, Ki. Bukan maksudku membuatmu kecewa,” ujar Rangga menyesal.

“Tidak. Hal ini bisa kupahami. Kau pasti akan bertindak bijaksana. Memang seharusnya aku tidak perlu membesar-besarkan persoalan ini,” balas Ki Anta.

Rangga menepuk punggung tangan laki-laki tua itu, kemudian bangkit berdiri. Namun sebelum kakinya terayun, terlihat Mega berlari-lari kecil keluar dari dalam rumah. Gadis itu langsung menghampiri.

“Kakang, boleh aku minta tolong padamu?” pinta Mega langsung begitu mendekat.

“Tentu,” sahut Rangga.

“Aku ingin ke pusara ibu. Apakah kau mau mengantarku ke sana, Kakang?”

“Jika ayahmu mengizinkan.”

“Pergilah. Tapi jangan terlalu sore pulangnya,” kata Ki Anta langsung mengizinkan sebelum anaknya meminta.

Dengan sikap manja dan riang sekali, Mega menggamit tangan Pendekar Rajawali Sakti itu, dan mengajaknya pergi. Sebentar Rangga masih sempat melirik Ki Anta yang tersenyum-senyum melihat keceriaan anak gadisnya. Setelah beberapa hari belakangan ini, baru kali ini Mega terlihat begitu gembira.

“Ah, mudah-mudahan dia sudah melupakan Partanu,” desah Ki Anta berharap.
Pendekar Rajawali Sakti
Mega berjalan lincah di samping pendekar muda berbaju rompi putih. Wajah gadis itu begitu riang, sekali-kali terdengar senandung kecilnya yang merdu terdengar di telinga. Rangga berjalan perlahan-lahan, sehingga kadang-kadang Mega harus menarik tangan pemuda itu agar lebih cepat lagi berjalan.

“Sebentar, Mega. Bukankah ini tidak menuju...?”

“Memang bukan,” sahut Mega cepat sebelum Rangga menyelesaikan pertanyaannya.

“Lalu, kenapa mengajakku ke sini?” tanya Rangga seraya menghentikan ayunan langkahnya.

Mega tidak langsung menjawab, dan juga berhenti berjalan. Perlahan tubuhnya diputar, maka pandangannya langsung terarah ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya. Mendadak saja wajah gadis itu menjadi murung.

“Maaf, aku telah membuatmu tersinggung,” ucap Rangga buru-buru.

“Tidak,” sahut Mega pelan. “Aku memang sengaja mengajakmu ke sini. Aku ingin bicara berdua saja denganmu. Itu jika kau tidak keberatan, Kakang.”

“Tentu saja tidak. Tapi, kenapa di sini? Bukankah di rumah lebih baik?”

“Tidak ada yang bisa mendengar di tempat ini. Aku tidak sebebas yang kau kira bila berada di rumah, Kakang,” ada kesenduan pada nada suara Mega.

Rangga jadi tertegun, dan langsung teringat kembali percakapannya dengan Ki Anta tadi. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak, apa yang akan dibicarakan gadis ini.

“Mungkin di dunia ini aku adalah orang yang paling tidak bahagia, Kakang,” ungkap Mega memulai.

Rangga masih tetap diam.

“Aku tahu, ayah telah banyak cerita tentang diriku, hubunganku dengan Partanu, dan sikap ayah yang menentang hubungan kami. Dan pasti ayah memintamu untuk memisahkan aku dengan Partanu untuk selama-lamanya,” sambung Mega lagi.

Rangga hanya mengangkat bahu saja.

“Aku memang berhutang budi padamu, Kakang. Tapi kumohon, jangan campuri urusanku. Apalagi menerima permintaan ayah. Partanu orangnya baik, pengertian, dan penuh rasa tanggung jawab. Meskipun ayahnya kejam, perampok, pembunuh dan pemerkosa gadis-gadis. Tapi Partanu tidak pernah melakukan semua itu. Bahkan sangat menentang ayahnya. Dia sungguh-sungguh mencintaiku. Dan aku...,” suara Mega terputus.

Rangga merengkuh gadis itu saat air mata mulai menitik membasahi pipi yang putih halus. Mega tidak kuasa lagi membendung air matanya, langsung menangis di dalam pelukan Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku selalu mencoba gembira di depan ayah, karena tidak ingin membuat ayah sedih. Padahal hatiku selalu menjerit..,” rintih Mega di sela isak tangisnya.

“Aku mengerti, Mega,” bisik Rangga lembut.

Bisikan Rangga yang begitu lembut, membuat tangis Mega semakin keras. Namun gadis itu berusaha menahan, sehingga tubuhnya jadi berguncang menahan isaknya yang tersendat. Rangga membiarkan saja dadanya dibasahi air mata. Dia bisa merasakan apa yang kini tengah dirasakan gadis itu.

“Mega...!” tiba-tiba saja terdengar bentakan keras.

Baik Rangga maupun Mega, jadi tersentak kaget. Cepat gadis itu melepaskan pelukannya. Dan dia semakin terkejut ketika melihat seorang pemuda berbaju kulit binatang, tiba-tiba sudah berdiri di depan mereka.

“Kakang Partanu...,” desis Mega hampir tidak terdengar suaranya.

Rangga sedikit melirik Mega yang kelihatan kebingungan, karena dipergoki sedang memeluk seorang pemuda. Buru-buru diseka air matanya, lalu melangkah mendekati Partanu.

“Berhenti di situ, Mega!” bentak Partanu keras.

Mega langsung menghentikan langkahnya.

“Kakang...,” tersendat suara Mega.

“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa, Mega. Pantas kau semakin jarang menemuiku lagi, rupanya sudah punya laki-laki lain!” dengus Partanu dingin.

“Kakang...!” sentak Mega terperanjat mendengar tuduhan itu.

“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa, Mega. Kau milikku. Tidak seorang pun yang boleh menjamahmu!” bentak Partanu.

“Kisanak, akan kujelaskan yang se...”

“Tutup mulutmu!” bentak Partanu memutus ucapan Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menutup mulutnya.

“Menyingkir kau, Mega...,” desis Partanu memerintah.

“Kakang...!”

“Menyingkir kataku...!” bentak Partanu berang.

Mega jadi kelabakan melihat Partanu begitu marah. Gadis itu memandang Rangga, dan hanya dibalas dengan anggukan kepala sedikit disertai senyum di bibir. Dengan wajah memucat dan tubuh gemetar, Mega bergerak menyingkir menjauh.

Sementara itu, Partanu sudah menggeser kakinya sedikit ke samping. Diloloskan pedang dengan sarungnya dari pinggang. Sarung pedang itu dipegang tepat pada bagian tengah. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak dan bersikap tenang. Namun, matanya tidak berkedip memperhatikan setiap gerakan kaki Partanu yang menggeser menyusur tanah perlahan-lahan.

Tring!

Partanu melemparkan pedangnya ke tanah. Pemuda itu ingin menunjukkan kalau dirinya seorang laki-laki jantan dan menghendaki pertarungan jujur. Melihat itu, Rangga jadi kagum akan jiwa besar Partanu. Maka kemudian Pendekar Rajawali Sakti melepaskan tali pengikat pedangnya, dan meletakkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti perlahan-lahan ke tanah di samping kakinya.

“Bagus! Rupanya kau punya nyali besar juga, Keparat!” dengus Partanu mendesis dingin.

“Masih ada waktu untuk memberi penjelasan padamu, Partanu,” kata Rangga mencoba menghindari pertarungan yang tidak ada gunanya ini baginya.

“Sayang sekali, waktumu sudah habis!” dengus Partanu.

“Aku....”

“Cukup! Hiyaaat...!” keras sekali suara Partanu.

Bagaikan kilat, mendadak saja pemuda itu melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Seketika itu juga, Partanu melontarkan dua pukulan beruntun bertenaga dalam tinggi. Sementara Rangga cepat-cepat menggeser kakinya ke samping, lalu meliukkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan dengan manis sekali. Hasilnya, dua pukulan beruntun yang dilepaskan Partanu tidak mengenai sasaran.

Namun pemuda berbaju kulit binatang itu, cepat menarik kembali tangannya. Dan seketika itu juga, dihentakkan kakinya ke depan. Cepat sekali gerakan Partanu, sehingga Rangga sempat terkesiap. Namun dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu menarik tubuhnya ke belakang, maka tendangan Partanu luput dari sasaran.

“Hiya! Yeaaah...!”

Dua kali Partanu melancarkan serangan, namun berhasil dihindari dengan mudah. Akibatnya pemuda itu semakin geram saja. Partanu segera me­ningkatkan serangan-serangannya. Dikerahkan kekuatan tenaga dalam setiap kali melontarkan pukulan ataupun tendangan. Sementara Rangga masih tetap menghindar, meliuk-liukkan tubuhnya diimbangi gerakan kakinya yang lincah dan cepat dalam pengerahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Suatu jurus yang selalu digunakan dalam awal pertarungan seperti ini.

Meskipun kelihatannya Rangga terdesak dan hanya bisa berkelit menghindar, namun sampai lima jurus berlalu Partanu belum juga mampu menyarangkan satu pukulan atau tendangan ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini membuat kemarahan Partanu semakin memuncak.

Sambil berteriak keras menggelegar, pemuda berbaju kulit binatang itu meningkatkan jurus-jurusnya. Bahkan kini menggunakan jurus-jurus yang sangat dahsyat dan berbahaya. Peningkatan serangan dalam kadar yang tinggi dan berbahaya ini sangat dirasakan Rangga. Maka Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin mengambil resiko dengan terus-menerus mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu merubah jurusnya, mengambil jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.

“Modar...!” tiba-tiba Partanu berteriak keras.

Seketika itu juga dilepaskan satu pukulan keras ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatan lowong setelah menghindari sepakan kaki yang mengarah ke kaki. Namun cepat sekali Rangga menyilangkan tangannya di depan dada, sehingga pukulan Partanu menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

Blarrr!

Satu ledakan keras terdengar ketika pukulan Partanu menghantam tangan Rangga. Tampak Partanu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti terdorong enam langkah ke belakang. Cepat Rangga menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Sementara Partanu juga melakukan hal yang sama. Meskipun gerakan mereka berbeda, namun mempunyai tujuan sama.

“Hup! Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja, Partanu mengebutkan tangannya ke depan. Maka seketika itu juga melesat sebuah benda kecil berwarna keperakan dari tangan kanan pemuda itu. Cepat sekali benda keperakan itu meluncur, membuat Rangga agak terperangah sesaat.

“Hup...!”

Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke angkasa, sehingga benda keperakan itu lewat di bawah kakinya. Dua kali Rangga berputaran di udara. Pada saat itu, Partanu melompat, lalu bergulingan di tanah beberapa kali mendekati pedangnya. Secepat pedangnya yang menggeletak di tanah diraih, maka secepat itu pula dicabut. Langsung pedang itu dikibaskan ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang saat itu tengah turun.

Sret!

Wut!

“Uts...! Yeaaah...!”

Buru-buru Rangga memutar tubuhnya, dan manis sekali menotok ujung pedang Partanu dengan kakinya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu melenting ke udara sambil berputaran beberapa kali, kemudian hinggap di batang dahan pohon.

“Yeaaah...!”

Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Partanu memindahkan pedangnya ke tangan kiri. Dengan cepat sekali dihentakkan tangan kanannya ke arah pohon yang dihinggapi Pendekar Rajawali Sakti.

Srat...!

TIGA

Secercah sinar merah meluncur deras keluar dari telapak tangan Partanu, dan langsung menghantam dahan pohon yang dihinggapi Rangga.

Glarrr!

Kembali terdengar ledakan dahsyat begitu sinar merah menghantam pohon. Tampak pohon itu hancur berkeping-keping, menyebar ke segala arah. Pada saat yang bersamaan, tubuh Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya segera mendarat ringan, tepat di samping pedangnya yang tergeletak di tanah. Cepat Rangga memungut pedang pusakanya, dan menggenggam tepat di tengah-tengah sarung pedangnya.

“Hiyaaa...!”

Kembali Partanu menghentakkan tangannya ke depan, mengarah kepada Pendekar Rajawali Sakti. Kembali sinar merah melunak deras dengan kecepatan bagai kilat

“Hup!”

Rangga cepat melompat menghindari terjangan sinar merah itu. Seketika ledakan dahsyat kembali terdengar saat sinar merah itu menghantam tanah. Debu langsung mengepul membumbung tinggi ke angkasa, dan tanah itu berlubang besar bagai sebuah lubang kuburan gajah. Sementara, beberapa kali Rangga bergulingan di tanah, lalu cepat melompat bangkit berdiri

“Hhh! Rupanya kau cukup tangguh juga, Monyet Keparat..!” geram Partanu dingin.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam pelan tidak jelas.

Saat itu, Partanu merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping. Pedangnya dimasukkan kembali ke dalam sarung, dan disampirkan ke pinggang, lalu perlahan menjauh. Kemudian tangan itu bergerak perlahan seperti melambai turun naik dengan gemulai.

Sedangkan Rangga perlahan-lahan menggeser kakinya sambil memasang kembali pedangnya di punggung. Juga, segera dirapatkan kedua tangannya di depan dada, tepat di saat kedua tangan Partanu yang kini memerah bagai bara, berada di pinggang. Lalu perlahan-lahan seluruh tubuh pemuda itu terselimuti cahaya merah.

“Hm...,” kembali Rangga bergumam pelan.

Udara di sekitarnya jadi terasa panas menyesakkan. Dan Rangga langsung bersiap menghadapi serangan selanjutnya. Pelahan Pendekar Rajawali Sakti itu menurunkan kedua tangannya, lalu memutar tangan kanan di depan dada, dan meletakkannya di samping pinggang. Sedangkan tangan kirinya terbuka dengan ibu jari menempel pada dada.

“Yeaaah...!” tiba-tiba Partanu berteriak keras melengking tinggi.

“Yaaa...!” Rangga juga berteriak keras.

Hampir bersamaan, mereka melompat ke depan dengan kecepatan yang tinggi sekali. Masing-masing tangan merentang lurus ke depan dengan telapak terbuka dan jari-jari merapat menjadi satu.

“Hiyaaa...!”

''Yeaaah...!”

Glarrr...!

Ledakan keras menggelegar kembali terdengar. Kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya, tepat ketika dua pasang telapak tangan beradu di udara. Tampak, kedua tubuh berpentalan ke belakang, lalu jatuh bergulingan di tanah. Mereka sama-sama memuntahkan darah dari mulut, tapi dengan cepat bangkit berdiri kembali.

Sret!

Partanu langsung mencabut pedang, lalu menyilangkannya di depan dada. Sedangkan Rangga menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, karena merasa jalan pemapasannya menjadi agak tersendat. Namun hanya sedikit mengerahkan hawa murni, pernapasannya kembali seperti semula.

“Hiyaaat..!”

Partanu sudah kembali melompat menyerang sambil menghunus pedang di tangan. Pada saat itu, Rangga baru saja selesai mengatur pernapasannya kembali. Terjangan Partanu demikian cepat, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu sedikit tergagap. Namun cepat sekali dijatuhkan dirinya ke tanah di saat Partanu menebaskan pedang ke arah leher.

“Hup!”

Bergegas Rangga melompat bangkit berdiri, karena pada saat itu Partanu sudah kembali menyerang lewat tebasan pedangnya yang dahsyat dan cepat luar biasa. Kembali mereka terlibat pertarungan sengit. Namun sampai sejauh ini, Rangga belum menggunakan senjata karena masih sanggup melayaninya dengan tangan kosong.

Tapi setelah pertarungan itu sudah lebih dari sepuluh jurus. Pendekar Rajawali Sakti mulai merasa terdesak. Serangan-serangan yang dilancarkan Partanu semakin dahsyat, terlebih lagi sekarang ini menggunakan senjata pedang.

“Phuih...!” Rangga mendengus dalam hati. Tepat ketika pedang Partanu mengibas ke arah kepala, Rangga cepat-cepat menarik kepalanya ke belakang. Dan begitu pedang Partanu lewat, dengan cepat dicabut pedang pusakanya dari warangka di punggung.

Sret! Cring!

Tepat pada saat itu, Partanu sudah kembali menebaskan pedangnya ke arah dada. Seketika, Rangga membabatkan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau itu ke arah pedang lawannya.

Trang!

“Hah...?!”

Partanu terbeliak kaget begitu melihat pedangnya terbabat buntung jadi dua. Dan lebih terkejut lagi, pegangannya pada pedang juga terlepas, disertai rasa nyeri pada seluruh persendian lengan. Buru-buru pemuda itu melompat mundur sejauh lima langkah. Sinar matanya masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Tapi kenyataannya, pedangnya kini tergeletak di tanah dalam keadaan buntung. Sedangkan Rangga berdiri tegak dengan pedang bersinar biru melintang di depan dada.

“Kali ini kau boleh bangga, Kisanak. Tapi tunggulah pembalasanku!” desis Partanu menggeram.

Setelah berkata demikian, Partanu langsung berbalik dan melesat pergi. Cepat sekali lesatan pemuda itu. Sehingga dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Rangga memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung, dan seketika sinar biru lenyap. Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuhnya dan menghampiri Mega yang masih berdiri agak jauh dari tempat pertarungan tadi.

*******************

Sudah dua hari ini Mega selalu kelihatan murung, dan lebih senang menyendiri. Sejak pertarungan Rangga dengan Partanu yang berlangsung di depannya, gadis itu jadi berubah. Bahkan di depan ayahnya, dia tidak bisa lagi berpura-pura gembira. Hal ini membuat Ki Anta jadi bertanya-tanya. Tapi setiap kali dia ingin bicara, gadis itu selalu menghindar disertai berbagai macam alasan. Sepertinya Mega benar-benar tidak ingin bicara pada siapa pun juga.

Sejak pagi tadi Mega duduk menyendiri di halaman belakang rumahnya. Tidak dipedulikan lagi sengatan matahari yang begitu terik membakar kulit. Bahkan gadis itu tidak menyadari kalau Rangga sudah berdiri di dekatnya. Mega baru tersadar saat mendengar batuk kecil. Kepala gadis itu berpaling sebentar menatap Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian kembali menatap kosong lurus ke depan. Rangga duduk di sampingnya tanpa diminta lebih dahulu lagi.

“Kalau kau datang ke sini karena permintaan ayah, sebaiknya pergi saja dan jangan temui aku lagi,” kata Mega, ketus nada suaranya.

“Tidak,” sahut Rangga lembut “Justru aku menemuimu untuk berpamitan.”

Mega langsung menatap pemuda berbaju rompi putih itu. Memang tidak bisa lagi disembunyikan keterkejutannya mendengar Rangga akan berpamitan. Dan itu berarti, pemuda ini tidak lagi tinggal di rumahnya. Dan itu berarti pula, mereka tidak lagi bisa bertemu. Agak lama juga Mega memandangi wajah pemuda itu, seakan-akan hendak mencari kebenaran dari ucapan Rangga tadi.

“Mega, aku juga menyesalkan kejadian dua hari yang lalu itu. Sungguh tidak kukehendaki, tapi dia terus mendesakku,” kata Rangga pelan dengan nada penuh penyesalan.

“Lupakan saja, Kakang. Aku tahu, kau memang tidak bersalah. Kakang Partanu memang keras, tapi sangat mencintaiku. Aku tahu itu, Kakang. Dan mungkin sekarang dia sudah membenciku,” ujar Mega lirih.

“Mega. Jika kau mengizinkan, aku akan menemui dan bicara dengannya,” tegas Rangga.

“Untuk apa...?” Mega terkejut

“Aku akan menjelaskan hal yang sebenarnya. Aku yakin, dia bisa memahami.”

“Sebaiknya jangan lakukan itu, Kakang. Kau akan celaka. Terlebih lagi bila bertemu ayahnya. Aku tidak ingin kau celaka gara-gara...,” Mega tidak melanjutkan ucapannya.

Gadis itu kemudian menundukkan kepalanya, menekuri ujung jari kakinya sendiri. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri membisu. Mega kembali mengangkat kepalanya perlahan seraya menghembuskan napas panjang.

“Kakang, ke mana kau akan pergi?” tanya Mega.

“Aku tidak tahu. Yang jelas, terserah kakiku melangkah,” sahut Rangga.

“Kau tidak akan kembali ke sini lagi?” tanya Mega lagi.

Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Diambilnya tangan gadis itu, dan digenggamnya dengan hangat Mega membiarkan saja tangannya digenggam. Entah kenapa, terasakan adanya suatu kedamaian setiap kali Rangga menggenggam tangannya. Dan perasaan ini tidak pernah didapatkan meskipun yang melakukan itu adalah Partanu.

Mega sendiri tidak mengerti, mengapa bisa menangis di dalam pelukan pemuda ini. Bahkan saat mendengar suaranya yang lembut, Mega benar-benar merasakan bagaikan tersiram air sejuk di tengah­-tengah kegersangan hatinya. Dan saat Rangga mengatakan hendak berpamitan, terasa seperti akan ada yang hilang. Yaaa... Mega tidak bisa lagi mem­bohongi dirinya. Dia akan kehilangan sekeping hatinya. Gadis itu sendiri jadi tidak mengerti, mengapa sejak bertemu pemuda ini, dia selalu membanding-bandingkannya dengan Partanu. Sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Terlebih lagi setelah disaksikan sendiri, bagaimana Rangga mencoba bertahan dari gempuran Partanu. Pendekar Rajawali Sakti ini benar-benar tidak ingin mencelakakan Partanu, meskipun sebenarnya bisa saja mengalahkannya dengan cepat. Tapi sepertinya hal itu disengaja, bahkan Rangga ingin menjelaskan hal yang sebenarnya. Hanya saja Partanu tidak memberi kesempatan, karena telah hangus terbakar api cemburu.

“Kapan kau akan berangkat, Kakang?” tanya Mega setelah bisa menguasai diri kembali.

“Sebentar lagi,” sahut Rangga.

“Kenapa secepat ini...?” tanya Mega tanpa sadar.

“Mega, aku pasti akan segera kembali setelah bisa mempertemukan Carika dengan pamannya. Kuharap, saat aku kembali nanti, kau sudah menjadi istri yang baik bagi Partanu,” ucap Rangga.

“Ah, Kakang. Kau hanya menghiburku saja,” desah Mega tersipu.

Wajah gadis itu memerah. Namun sinar matanya mengandung arti yang lain, dan terlihat sangat bertentangan. Mega memaki dirinya sendiri dalam hati. Dirutuki dirinya yang mudah sekali terpikat pada pemuda berbaju rompi putih ini. Bahkan nama Partanu serasa semakin jauh terkikis dari hatinya, dan berganti dengan nama Rangga yang semakin nyata terukir.

“Aku pergi dulu, Mega,” pamit Rangga seraya bangkit berdiri.

Mega hanya bisa menganggukkan kepalanya saja. Sebenarnya gadis itu ingin meminta agar Rangga bersedia tinggal barang satu atau dua hari lagi saja. Tapi lidahnya terasa kelu, dan sukar diajak bicara. Mega hanya bisa memandangi wajah pemuda itu dengan sinar mata begitu banyak menyiratkan kata­kata yang tak terucapkan. Pelahan Rangga membungkukkan tubuhnya, dan dengan lembut sekali mengecup kening gadis itu.

“Aku harap kau bisa berbahagia nanti,” bisik Rangga lembut

Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas pergi. Sementara Mega semakin terpaku, kaku tak mampu berbuat apa-apa lagi. Dia hanya bisa memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti yang semakin jauh dan menghilang di dalam rumah. Mega masih duduk tanpa berkedip menerawang jauh. Kecupan lembut di keningnya masih terasa hangat dan membekas dalam di hati.

“Rangga...,” desah Mega.

*******************

Carika bersiul-siul, dan kakinya terayun ringan di samping Rangga. Dari seorang perambah hutan yang ditemui, mereka mendapat keterangan kalau Paman Sentanu berada tidak jauh di Lereng Bukit Langgang sebelah Selatan. Dan itu berarti hanya tinggal sedikit lagi sampai di tempat tinggal paman anak ini

“Kau tampaknya gembira sekali, Carika,” tebak Rangga memperhatikan tingkah anak itu.

“Ya! Aku gembira sekali, Kakang. Karena sebentar lagi bisa bertemu Paman Sentanu,” sahut Carika, berbinar sinar matanya.

“Apa yang akan kau lakukan bila bertemu pamanmu?” tanya Rangga ingin tahu.

“Apa ya...?”

Rangga memandangi anak itu sambil terus berjalan.

“Tidak tahu, ah! Pokoknya aku senang....”

“Ya, sudah. Itu berarti tugasku sudah selesai,” kata Rangga tidak memaksa.

“Selesai...?” Carika mengerutkan keningnya.

“Iya, kenapa?”

“Tidak apa-apa,” desah Carika.

Rangga bisa melihat adanya perubahan di wajah Carika. Direngkuhnya pundak anak itu, dan dipeluknya dengan penuh rasa sayang. Carika melingkarkan tangannya di pinggang Rangga. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi.

Setelah melewati sebuah sungai kecil, mereka sampai di sebuah tempat yang sangat indah. Padang rumput nampak terhampar luas, dihiasi ratusan ekor domba tengah merumput tenang di sana. Sebuah sungai kecil berair jernih yang mengalir di tepi padang rumput itu, seakan-akan membatasi padang rumput itu dengan hutan yang lebat. Tampak di dekat sungai, berdiri sebuah pondok yang tidak seberapa besar.

Di depan pondok, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun tengah mengayunkan kapaknya membelah kayu. Kulit tubuhnya yang kecokelatan, berkilat tertimpa sinar matahari. Otot-ototnya bersembulan saat kapaknya diayunkan.

“Paman...!” teriak Carika begitu dekat.

Laki-laki itu menghentikan ayunan kapaknya yang sudah berada di atas kepala. Dia berpaling memandang Carika yang berlari-lari kecil menghampiri. Sepertinya tidak dipercayai ketika melihat anak berusia sekitar lima belas tahun itu berlari-lari menghampiri.

“Carika...!”

Laki-laki itu langsung melemparkan kapaknya, dan tangannya merentang lebar. Carika langsung masuk dalam pelukannya, tidak peduli kalau tubuh laki-laki itu penuh keringat Sementara Rangga terus saja berjalan menghampiri disertai senyum di bibir. Mereka berpelukan lama sekali, seakan-akan hendak melepaskan seluruh kerinduannya yang selama ini terpendam.

Mereka baru melepaskan pelukan setelah Rangga berada dekat di belakang Carika. Laki-laki kekar berkulit kecokelatan itu memandangi Rangga. Carika buru-buru menarik tangan Pendekar Rajawali Sakti itu, dan memperkenalkannya pada pamannya.

“Kakang, ini pamanku. Paman Sentanu.”

Mereka saling berjabatan tangan sambil menyebutkan nama masing-masing. Paman Sentanu mempersilakan tamunya masuk ke dalam pondoknya, tapi Rangga dan Carika masih senang berada di luar sambil menghirup udara segar dan menikmati keindahan alam di sini.

“Paman, Kakang Rangga ini banyak menolongku. Kalau tidak ada Kakang Rangga, mungkin aku tidak bisa sampai di sini,” jelas Carika.

“Aku tidak tahu, harus bagaimana mengucapkan terima kasih padamu,” ucap Paman Sentanu.

“Aku hanya memenuhi pesan mendiang ibunya saja, Paman,” sahut Rangga merendah.

“Mendiang...?!” Paman Carika terkejut mendengar Rangga menyebut ibu Carika dengan tambahan kata mendiang.

“Benar, Paman. Ibu sudah meninggal,” jelas Carika.

Tanpa diminta lagi, Carika menuturkan semua kejadian yang dialaminya. Dari dia dan ibunya dikejar-kejar, sampai ditolong oleh Rangga. Paman Sentanu mendengarkan dengan wajah mendung dan mata berkaca-kaca. Mulutnya masih membisu walaupun Carika telah selesai bercerita. Carika juga menyerahkan benda yang terbungkus kain putih pada laki-laki hampir separuh baya itu. Kedua bola mata Paman Sentanu semakin merembang berkaca-kaca.

“Sudah kuduga, ini pasti akan terjadi. Seharusnya ayah dan ibumu mau menuruti kata-kataku,” ujar Paman Sentanu lirih.

Paman Sentanu merengkuh pundak Carika dan memeluknya. Anak itu membiarkan saja, meskipun meringis merasakan sakit mendapat pelukan yang begitu kuat. Untung saja tidak lama, jadi tulang-tulang anak itu tidak remuk. Tubuh Paman Sentanu memang kekar, dan otot-ototnya bersembulan. Tenaganya pasti besar sekali, membuat Carika menggeliatkan tubuhnya begitu terlepas dari pelukannya.

“Tapi, biarlah. Semua yang sudah terjadi tak perlu disesalkan lagi. Aku gembira kau sekarang sudah berada di sini, Carika,” ujar Paman Sentanu mencoba tersenyum, meskipun terasa getir.

“Aku juga senang, Paman,” sambut Carika.

Paman Sentanu mengusap-usap kepala anak itu, dan Carika membiarkan saja.

“Tapi aku lapar, Paman...”

“Kau belum makan...?”

“Cuma kelinci bakar,” sahut Carika meringis.

Paman Sentanu tidak bisa lagi menahan gelak tawanya. Ditepuknya punggung Carika dan disuruhnya cepat makan. Carika menawarkan pada Rangga, tapi ditolak. Tanpa menunggu waktu lagi, Carika masuk ke dalam pondok, tapi tidak lama menyembulkan kepalanya.

“Habiskan saja sekuat perutmu, aku sudah makan tadi,” kata Paman Sentanu sebelum Carika membuka mulut.

Carika menyengir kuda. Kepalanya kembali tenggelam di dalam pondok. Paman Sentanu menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menarik napas panjang.

“Anak itu..., sepertinya tidak pernah merasakan kesedihan. Selalu saja membuat orang jadi lupa akan persoalan hidup,” ujar Paman Sentanu seperti untuk dirinya sendiri.

“Tapi menyenangkan, meskipun kadang-kadang menjengkelkan,” sambung Rangga jujur.

“Memang. Aku juga sering dibuatnya jengkel. Tapi aku sangat sayang padanya. Biar begitu, dia cerdas dan tidak malas. Yaaah..., terkadang tingkah lakunya sangat konyol, membuat orang sering jengkel. Tapi tak ada yang bisa marah padanya, karena selalu saja bisa membuat orang jadi tertawa,” kata Paman Sentanu lagi seraya tersenyum.

Rangga jadi ikut tersenyum. Juga dirasakan, beberapa hari bersama Carika sepertinya ada kelainan dalam jalan kehidupannya. Namun, terkadang Rangga jadi suka berpikir juga tentang anak itu. Carika sepertinya selalu menganggap enteng segala sesuatu yang dihadapi. Jika sikap seperti ini terus berlanjut sampai dewasa, dia tidak akan punya pegangan dalam mengarungi kehidupan yang ganas ini.

*******************

EMPAT

Setelah dua hari tinggal di pondok Paman Sentanu, Rangga baru kembali melanjutkan perjalanannya. Pendekar Rajawali Sakti merasakan kali ini tidak ada beban yang harus ditanggung, sehingga berjalan enak tanpa harus diburu-buru. Sengaja jalan yang diambil dengan memutari Bukit Langgang. Tapi sungguh tidak disadari kalau jalan yang ditempuhnya ini, justru menuju Gunung Parakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu baru menyadari setelah melihat dua buah batu kembar yang berdiri berdampingan bagai menyerupai gerbang. Batu itu merupakan sebuah tanda memasuki daerah Gunung Parakan.

“Berhenti...!”

Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba mendengar bentakan keras. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja muncul seorang laki-laki setengah baya berwajah kasar penuh brewok. Bajunya warna hijau tua yang ketat, membentuk tubuhnya yang kekar berotot. Sebuah gagang golok berwarna hitam, menyembul dari balik pinggang.

“Kau yang bernama Rangga...?” tanya laki-laki setengah baya itu. Suaranya besar dan terdengar berat sekali.

“Benar, dan kau siapa?” Rangga balik bertanya.

“Aku Puliga.”

Rangga mengerutkan alisnya begitu mendengar laki-laki berbaju hijau tua itu menyebutkan namanya. Dia teringat cerita Ki Anta. Ternyata orang ini yang bernama Puliga dan berjuluk si Iblis Gunung Parakan. Saat itu juga Rangga sudah bisa menebak maksud laki-laki itu mencegatnya di tempat ini.

“Kau memang cukup gagah, Rangga. Tapi itu bukan berarti bisa seenaknya saja merebut kekasih orang. Kau tahu, apa akibatnya bila berani berurusan dengan Iblis Gunung Parakan?” jelas sekali kalau nada suara Puliga mengandung ancaman.

“Aku tidak mengerti maksudmu...?” Rangga berpura-pura.

“Phuih!” Puliga menyemburkan ludahnya. “Jangan berpura-pura di depanku, Bocah! Kau bisa saja berbangga hati telah mengalahkan anakku, tapi jangan harap bisa lepas dari tanganku!”

“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya, sehingga matanya hampir menyipit.

Sementara Puliga sudah menggeser kakinya ke samping agak ke depan. Sorot mata laki-laki berbaju hijau tua itu demikian tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Digesernya gagang golok dengan ujung sikutnya. Dua kali ludahnya disemburkan, mencoba menggertak pemuda yang kelihatan tenang di depannya.

“Dengar, Anak Muda. Aku akan memberi kesempatan hidup jika kau bersedia berjanji untuk menjauhi Mega. Dia calon istri anakku!” dengus Puliga, dingin nada suaranya.

“Maaf, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Mega. Sedangkan pertarunganku melawan anakmu, karena aku diserang lebih dahulu. Aku hanya mempertahankan diri,” sahut Rangga mencoba menjelaskan.

“Setan...! Kau merendahkan anakku!” geram Puliga, langsung memerah wajahnya.

“Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya...!”

“Cukup!” bentak Puliga memutus ucapan Rangga. “Ternyata kau memang tidak bisa dikasih hati, Bocah! Sekarang bersiaplah untuk mati...!”

Setelah berkata demikian, Puliga mengecutkan kedua tangannya di depan dada. Lalu sambil berteriak nyaring melengking tinggi, laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu melompat cepat. Dua kali dilontarkan pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Hup...!”

Cepat Rangga menggeser kakinya ke belakang sedikit, kemudian mengegoskan tubuhnya, mencoba menghindari terjangan si Iblis Gunung Parakan itu. Namun setelah serangan pertamanya itu lolos, Puliga langsung menyambung dengan serangan berikut. Dan ini membuat Rangga sedikit kerepotan juga. Cepat-cepat dikerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga serangan-serangan yang dilancarkan Puliga tidak ada yang mengenai sasaran.

Pertarungan itu terus berlangsung semakin sengit. Jurus demi jurus berganti cepat, namun belum ada tanda-tanda kalau pertarungan itu bakal berakhir. Mereka sama-sama memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dan sama-sama mempunyai jurus-jurus ampuh dan dahsyat

Sekitar tempat pertarungan sudah porak-poranda tidak berbentuk lagi. Batu-batu berhamburan dan pecah berkeping-keping. Pepohonan juga bertumbangan tak tentu arah, terkena sambaran pukulan bertenaga dalam tinggi yang nyasar. Meskipun mereka sudah sama-sama mengerahkan jurus andalan, namun tampaknya pertarungan masih akan berlangsung lama.

“Hhh! Tangguh juga dia...,” ujar Rangga mengakui dalam hati ketangguhan lawannya.

“Sepuluh orang seperti dia, bisa mengancam kehidupanku,” desah Puliga dalam hati.

Di dalam hati masing-masing, satu sama lain saling mengakui dan memuji ketangguhan lawan. Tapi mereka tidak akan menunjukkan pujian itu di saat bertarung seperti ini. Entah sudah berapa jurus berlangsung, tapi belum juga ada tanda-tanda bakal mengakhiri pertarungan.

“Hup! Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Puliga melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sekali tubuhnya berputaran di udara, kemudian mendarat manis sekali di tanah. Saat itu juga langsung dicabut golok hitamnya yang mengepulkan asap tipis berwarna kehitaman.

Puliga melintangkan goloknya di depan dada. Kakinya perlahan bergeser ke samping. Matanya menyorot tajam memerah, bagai hendak membakar hangus seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga masih belum mau mencabut senjatanya, karena diyakini dirinya masih bisa menandingi laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu dengan tangan kosong. Namun demikian kewaspadaannya semakin bertambah, melihat golok di tangan Puliga semakin tebal mengeluarkan asap kehitaman.

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba saja Puliga melompat cepat sambil mengibaskan goloknya tiga kali ke arah bagian tubuh Rangga yang mematikan.

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat Rangga menggeser kakinya ke kanan, lalu menarik tubuhnya ke belakang seraya meliuk menghindarkan diri dari tebasan golok berwarna hitam pekat itu. Namun mendadak saja hatinya terkejut, karena cuping hidungnya langsung kembang kempis begitu menghirup asap hitam yang keluar dari golok itu.

''Hap...!”

Buru-buru Rangga melompat berjumpalitan ke belakang, tepat pada saat Puliga mengibaskan senjatanya ke arah kaki. Dua kali Rangga berjumpalitan di udara, kemudian mendarat ringan di tanah. Saat itu, Puliga sudah kembali melompat menerjangnya. Gerakan laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu, sungguh cepat luar biasa, sehingga membuat Rangga sedikit terperangah. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya berkelit, saat golok hitam mengepulkan asap itu mengibas ke arah dada.

“Hap! Yeaaah...!”

Rangga cepat-cepat menghentakkan tangannya ke depan begitu golok hitam itu lewat di depan dada. Dan sentakan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat menghantam dada si Iblis Gunung Parakan yang lowong tak terjaga keselamatannya.

Dughk!

“Akh...!” Rangga memekik agak tertahan.

Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, ketika pukulannya tepat menghantam dada Puliga. Saat itu juga Rangga merasakan seperti menghantam sebongkah bukit baja yang keras luar biasa. Tulang-tulang tangannya berkeretak seperti remuk. Buru-buru Rangga melompat mundur sambil menarik pulang tangannya.

“Ha ha ha...!” Puliga tertawa terbahak-bahak.

“Gila! Ilmu apa yang dipakainya?” dengus Rangga dalam hati.

Sebelum keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti lenyap, Puliga sudah kembali melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dikibaskan goloknya cepat-cepat ke arah leher lawan. Buru-buru Rangga menarik kepalanya ke belakang, maka tebasan golok berwarna hitam yang mengepulkan asap itu lewat sedikit di depan tenggorokannya.

Namun sebelum Rangga bisa menarik kembali kepalanya ke depan, si Iblis Gunung Parakan sudah memberi satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi ke arah perut.

“Yeaaah...!”

Beghk!

“Ughk...!”

Rangga mengeluh pendek begitu merasakan perutnya seperti terhantam sebuah palu godam baja yang sangat berat dan keras. Seketika perutnya terasa mual, dan kepalanya jadi pening dengan mata berkunang-kunang. Pendekar Rajawali Sakti itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya.

“Hih! Hsss...!”

Cepat Rangga mengerahkan hawa murni sambil mengatur jalan napasnya. Sebentar digerak-gerakkan tangannya, mencoba mengusir rasa mual dan pening yang menyerang, akibat tendangan Si Iblis Gunung Parakan yang bertenaga dalam cukup tinggi. Meskipun rasa pening dan mual bisa terusir, namun masih juga perutnya terasa kaku.

“'Terimalah kematianmu, Rangga! Hiyaaa...!” seru Puliga keras menggelegar.

Seketika itu juga, si Iblis Gunung Parakan itu melompat bagai kilat seraya mengibaskan goloknya beberapa kali ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

“Hih!”

Sret!

Secepat Rangga mencabut senjata pusakanya, secepat itu pula dikibaskan. Disampoknya tebasan pertama golok berwarna hitam itu.

Trang!

Dua senjata sakti beradu keras di udara, membuat percikan api yang menyebar ke segala arah disertai dentingan memekakkan telinga. Tampak mereka sama-sama berlompatan mundur sejauh tiga langkah.

“Setan...!” desis Puliga menggeram.

Bet! Bet!

Dua kali Puliga mengecutkan goloknya di depan dada. Tampak asap yang mengepul keluar dari mata golok itu berubah menjadi hitam bercampur kemerahan. Saat itu, perlahan-lahan Rangga melintangkan pedangnya di depan dada. Telapak tangan diletakkan pada mata pedang yang bersinar biru berkilau itu. Tapi, dia tidak jadi mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

“Hm.... Racun yang menyebar semakin kuat,” gumam Rangga dalam hati.

Memang, asap yang mengepul dari golok di tangan si Iblis Gunung Parakan itu mengandung hawa racun yang begitu kuat dan dahsyat mematikan. Namun bagaimanapun kuatnya racun, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan berpengaruh apa-apa. Namun demikian, dia masih juga menjaganya dengan menutup bagian-bagian penang pada jalan darah lewat penyaluran hawa murni.

Meskipun Pendekar Rajawali Sakti kebal terhadap segala jenis racun, tapi tidak pernah memanjakan kekebalannya. Dia selalu berhati-hati terhadap racun. Setiap kali berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu beracun, jalan darah terpentingnya selalu ditutup lewat penyaluran hawa murni. Bahkan dengan cara itu pula, dia bisa menyaring udara yang terhisap ke dalam paru-paru. Hal ini dimaksudkan agar selalu mendapatkan udara bersih, tanpa harus mengotori paru-parunya dengan udara beracun.

“Sebut nama gurumu sebelum kukirim ke neraka, Rangga!” desis Puliga dingin.

“Kita lihat, siapa yang lebih dahulu terbang ke neraka!” balas Rangga tidak kalah dinginnya.

“Bersiaplah! Hiyaaat...!”

Bagaikan kilat, Puliga melompat menerjang sambil mengibaskan goloknya beberapa kali. Seketika asap yang keluar dari senjata itu menyebar memenuhi sekitar tempat pertarungan ini.

“Yeaaah...!”

Pada saat yang bersamaan, Rangga juga melompat menyambut serangan dahsyat si Iblis Gunung Parakan itu.

Trang!

Glarrr!

Tepat pada satu titik temu, dua senjata sakti beradu keras di udara sehingga menimbulkan ledakan dahsyat, membuat tempat sekitarnya berguncang hebat. Namun tak ada seorang pun yang terpental balik. Bahkan mereka sama-sama mendarat manis di tanah, dengan senjata masih tetap saling menempel. Pada saat mereka mendarat bersamaan, cepat sekali Puliga menghentakkan kakinya mengarah ke perut Rangga disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Yaaa...!”

“Uts!”

Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, sehingga tendangan Puliga tidak mengenai sasaran. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik kembali tubuhnya seperti semula, Puliga sudah menghentakkan senjatanya pulang. Lalu dengan cepat, dikibaskan ke arah kaki seraya menekuk kedua kakinya, hingga lutut hampir menyentuh tanah.

Wut!

“Hap...!”

Cepat Rangga melompat menghindari tebasan golok hitam yang mengepulkan asap itu. Dan secepat itu pula, Rangga mengibaskan pedangnya ke arah kepala si Iblis Gunung Parakan sambil cepat memutar tubuhnya.

Wut!

“Hih...!”

Puliga cepat mengibaskan goloknya ke atas kepala, menyampok tebasan pedang yang bersinar biru berkilau itu.

Trang!

Kembali dua senjata sakti beradu di atas kepala Puliga. Pada saat yang bersamaan, si Iblis Gunung Parakan itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dan langsung bergulingan beberapa kali sebelum cepat melompat bangkit berdiri. Golok hitamnya sudah bersilang di depan dada, begitu kedua kakinya tegak menjejak tanah. Saat itu, Rangga juga sudah berdiri tegak.

“Kita tuntaskan pertarungan ini dengan aji pamungkas, Rangga,” dengus Puliga.

“Baik, kerahkan aji pamungkas yang paling kau andalkan,” sambut Rangga.

Trek!

Rangga memasukkan pedang pusaka ke dalam warangkanya kembali di punggung. Melihat Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menggunakan senjata, si Iblis Gunung Parakan juga memasukkan goloknya dalam sarungnya di pinggang. Mereka berdiri berhadapan, berjarak sekitar enam langkah.

Mereka saling menatap tajam, seakan-akan sedang mengukur kekuatan ajian yang digunakan. Perlahan-lahan Puliga merapatkan kedua telapak di depan dada. Napasnya ditarik dalam-dalam, dan perlahan-lahan tangan kanannya naik sejajar tangan kiri yang masih berada di depan dada.

Sedangkan Rangga mulai menggerakkan perlahan kedua tangannya di depan. Secara bersamaan dirapatkan kedua telapak tangan di depan dada, dan langsung dimiringkan tubuhnya ke kiri. Kemudian dengan cepat tubuhnya bergerak agak memutar ke kanan. Perlahan-lahan pula Pendekar Rajawali Sakti itu menurunkan tangannya hingga sejajar pinggang, begitu tubuhnya kembali tegak.

Pada saat Puliga menghentakkan tangan kanannya ke depan, Rangga juga menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan hampir bersamaan, mereka berlari cepat menerjang. Satu tangan masing-masing merentang lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka.

“Hiyaaa...!”

“Yeaaa...!”

Begitu telapak tangan mereka saling berbenturan, dengan cepat pula mereka sama-sama menghentakkan tangan yang satunya lagi ke depan. Akibatnya kembali kedua telapak tangan saling berbenturan, menimbulkan ledakan dahsyat. Tampak, tubuh mereka sama-sama berpentalan ke belakang, dan bergulingan di tanah beberapa kali. Namun mereka cepat bangkit berdiri, dan kembali mempersiapkan ajian lagi.

“Hup!”

“Hap...!”

Puliga cepat mengecutkan tangannya beberapa kali. Sementara Rangga masih berdiri tegak, lalu menaikkan tangan kanannya ke atas hingga sejajar hidung. Lalu perlahan-lahan tangan kanannya turun ke bawah, sedangkan tangan kirinya terkepal ke samping pinggang. Saat itu, Rangga mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Ini bisa diketahui dari sinar biru yang memancar pada kedua tangannya.

“Yeaaah...!” tiba-tiba Puliga berteriak keras.

Seketika tubuhnya meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Rangga masih berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping pinggang. Kedua kakinya merentang lebar agak tertekuk. Dia menunggu datangnya serangan si Iblis Gunung Parakan itu.

“Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Hiyaaa...!”

Sambil berteriak kencang, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang langsung terbuka lebar dengan jari-jari menegang kaku. Pada saat itu, kedua tangan Puliga sudah begitu dekat dengan tubuh Pendekar Rajawali Sakti, sehingga benturan dua pasang tangan tak dapat dihindari lagi.

Glarrr...!

LIMA

“Akh...!” Rangga memekik keras. Pendekar Rajawali Sakti itu terpental jauh ke belakang, langsung menghantam lima buah pohon hingga hancur berkeping-keping. Tubuhnya terhenti setelah menghancurkan sebongkah batu cadas yang cukup besar. Rangga menggeliat sambil merintih lirih. Tampak dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah segar dan kental. Sungguh dia tidak tahu kalau ajian yang dilepaskan Ki Puliga bisa menahan aji 'Cakra Buana Sukma'. Rangga langsung menyadari kalau ajian yang dimiliki Ki Puliga satu aliran dengan ajian yang dimilikinya. Dan hal ini memang kelemahan aji 'Cakra Buana Sukma', yang tidak bisa digunakan untuk melawan ajian sealiran.

“Ha ha ha...!” Ki Puliga tertawa terbahak-bahak. Laki-laki tinggi besar itu berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Dengan mantap, diayunkan kakinya mendekati Rangga yang masih menggeletak di atas reruntuhan batu sambil mengerang menahan rasa sakit. Sekujur tubuhnya terasa seperti remuk.

“Tiba saatmu untuk pergi ke neraka, Pendekar Rajawali Sakti!” desis Ki Puliga dingin.

Sret!

Ki Puliga mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Golok hitam itu mengepulkan asap agak kehitaman yang mengandung racun. Sambil menyeringai, langkahnya terus semakin mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaa...!” Ki Puliga berteriak keras menggelegar.

Cepat sekali si Iblis Gunung Parakan itu melompat sambil mengayunkan goloknya ke tubuh Rangga yang masih tergeletak sambil menggeliat dan merintih merasakan sakit pada sekujur tubuhnya.

Bet!

Bagaikan kilat, golok Iblis Gunung Parakan mengibas ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Rangga benar-benar sudah tidak berdaya untuk menghindar. Dia hanya bisa memejamkan mata saja. Pikirannya mengatakan kalau mungkin ini adalah akhir dari segala petualangannya. Namun sebelum golok berwarna hitam mengepulkan asap itu sampai pada sasaran di leher Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat, langsung menyambar tubuh Rangga yang tergeletak tak berdaya.

Cras! Golok Ki Puliga menghantam tanah berbatu.

“Setan...!” geram Ki Puliga marah.

Cepat-cepat dilayangkan pandangannya, namun bayangan yang menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak berbekas lagi. Ki Puliga memaki-maki dan menggeram marah. Kakinya menendang batu-batuan yang berserakan di sekitarnya. Dia mengamuk, membabatkan goloknya pada pepohonan untuk melampiaskan kemarahan.

“Aku tidak akan puas sebelum kau mampus, Rangga...!” geram Ki Puliga dengan suara keras.

Suara si Iblis Gunung Parakan itu menggema keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Suara itu masih terdengar menggema meskipun tubuhnya sudah melesat pergi dengan kecepatan luar biasa.

*******************

Malam itu udara di seluruh permukaan Desa Parakan dingin sekali. Angin bertiup kencang, seakan-akan hendak merobohkan seluruh rumah penduduk. Debu beterbangan bercampur daun-daun yang berguguran. Suara angin yang bertiup keras, menderu-deru, membuat jantung terasa bergetar mendengarnya. Dalam keadaan cuaca seperti ini, tak ada seorang pun yang ingin meninggalkan rumahnya.

Namun tidak demikian halnya dengan seseorang yang bergerak cepat menyelinap dari satu rumah ke rumah lainnya. Gerakannya demikian ringan, tak menimbulkan suara sedikit pun. Terlebih lagi suara angin yang menderu kencang, cukup membantu untuk tidak terdengar. Sosok tubuh yang mengenakan baju hitam itu berhenti bergerak setelah dekat dengan sebuah rumah besar dan berhalaman luas. Matanya yang tajam, mengamati rumah itu tanpa berkedip.

“Hup. .!”

Ringan sekali tubuhnya melesat, langsung hinggap di atas atap rumah itu. Sebentar dia diam sambil agak merapatkan tubuhnya di atap. Matanya semakin tajam memperhatikan sekelilingnya, lalu bayangan itu kembali melesat turun ke bagian samping. Namun sebelum melakukan sesuatu, mendadak saja terdengar suara bentakan keras.

“Hei...! Siapa itu...?”

“Sial...!” dengus bayangan itu kesal.

Dan sebelum sempat menyembunyikan diri, dari pintu ke luar seorang laki-laki setengah baya sambil menghunus sebilah golok berkilat. Sosok bertubuh hitam itu tidak bisa menyembunyikan diri lagi.

“Siapa kau?! Mau apa malam-malam menyelinap ke sini?!” bentak laki-laki setengah baya yang tak lain adalah Ki Anta, Kepala Desa Parakan ini.

Pertanyaan Ki Anta tidak dijawab orang berbaju hitam gelap. Laki-laki setengah baya itu mencoba mempertajam penglihatannya. Namun sukar baginya untuk bisa mengenali wajah dalam keadaan gelap seperti ini. Terlebih lagi, jarak mereka cukup jauh, sekitar tiga batang tombak lebih.

“Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja orang berbaju hitam itu berteriak keras, seraya mengelebatkan tangan kanannya cepat ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk ke samping. Seketika dari tangan kanannya melesat deras dua buah benda kecil berwarna keperakan. Begitu cepatnya, sehingga membuat Ki Anta terperangah.

Crab!

Crab!

Kedua benda itu langsung menembus dada Ki Anta. “Aaa...!” Ki Anta berteriak keras melengking tinggi

Hanya sebentar laki-laki setengah baya itu mampu berdiri tegak, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah merembes keluar dari dadanya yang bolong tertembus dua benda berwarna keperakan. Pada saat itu, dari dalam rumah keluar seorang gadis yang ternyata Mega, putri Kepala Desa Parakan itu.

“Ayah...!” jerit Mega terkejut melihat ayahnya menggelepar di tanah meregang nyawa.

“Mega, lari...!” seru Ki Anta memperingatkan.

Laki-laki tua itu mencoba bangkit berdiri. Namun sebelum bisa bangkit, sosok tubuh berbaju hitam itu sudah lebih cepat melesat. Seketika, dilontarkan satu pukulan keras, langsung ke kepala Ki Anta.

“Aaa...!” sekali lagi Ki Anta menjerit melengking tinggi.

“Ayah...!” teriak Mega.

Gadis itu langsung berlari memburu ayahnya. Tapi sebelum sampai, orang berbaju hitam itu sudah lebih cepat lagi melesat dan langsung menyambarnya.

“Oh, aaakh...!” Mega memekik terkejut.

Tapi jeritan Mega hanya sampai di situ saja. Ternyata orang itu sudah menggerakkan tangannya untuk menotok jalan darah gadis itu, sehingga membuat Mega jatuh lemas seketika. Orang itu memanggul tubuh ramping di pundaknya. Sebentar dipandangi mayat Ki Anta yang bergelimang darah. Kepalanya hancur tak berbentuk lagi.

“Hup!”

Hanya sekali lesatan saja, orang berbaju hitam itu udah lenyap bagai ditelan bumi. Kejadiannya begitu cepat, tanpa disaksikan seorang pun. Suasana kembali sunyi, hanya deru angin saja yang masih terdengar, disertai bergemeretaknya rumah-rumah yang bergetar tertiup angin kencang. Sementara malam terus merayap semakin larut Angin terus berhembus kencang menyebarkan udara dingin yang menggigilkan.

*******************

Di sebuah tempat yang tidak jauh letaknya di sebelah Selatan Desa Parakan, Mega terbaring di sebuah dipan kayu beralaskan kain berwarna biru muda. Gadis itu tampak tertidur pulas. Tidak jauh di sampingnya, berdiri seorang berbaju hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam pula. Hanya bagian matanya saja yang terlihat. Orang berpakaian serba hitam itu menggerakkan jari tangannya ke dada Mega bagian atas. Sebentar kemudian, gadis itu mulai mengeluh lirih, dan kepalanya menggeleng lemah. Perlahan-lahan kelopak matanya mulai terbuka.

“Ah...!” Mega terpekik kaget begitu tersadar. Gadis itu mencoba bangkit, namun seluruh tubuhnya terasa sulit digerakkan. Hanya bagian kepalanya saja yang bisa digerakkan. Mega memandangi orang berbaju hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam itu. Dia berdiri tidak seberapa jauh dari pembaringan yang ditiduri Mega.

“Siapa kau? Di mana aku...?”“ tanya Mega seraya memandangi berkeliling.

“Kau ada di tempat pribadiku, Mega,” sahut orang itu. Suaranya terdengar begitu berat seperti dibuat-buat.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Mega memberanikan diri.

“Kau tidak perlu tahu siapa aku, Mega. Aku hanya melakukan menurut perintah,” sahut orang itu lagi.

“Perintah? Siapa yang memerintahkanmu?”

“Sayang sekali, aku tidak boleh mengatakannya padamu. Dan aku sudah bersumpah untuk merahasiakannya. “

“Kau membunuh ayahku, dan sekarang menculikku. Apa maksudmu sebenarnya...?” agak kasar nada suara Mega.

“Maaf, aku harus segera pergi. Kau aman di sini. Hm.... Sebentar lagi pengaruh totokan di tubuhmu lenyap, dan kau bisa bebas bergerak. Tapi, jangan coba-coba lari dari sini,” tegas orang berselubung hitam itu setengah mengancam.

Setelah berkata demikian, dia bergegas berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan ini.

“Hei, tunggu...!” seru Mega.

Tapi orang itu acuh saja, dan langsung keluar dan menutup pintu kamar ini. Terdengar suara pintu dikunci dari luar. Dan Mega sadar kalau kamar ini sudah terkunci. Matanya beredar berkeliling. Sebuah ruangan yang cukup indah dan besar, tapi tak ada sebuah jendela pun di ruangan ini. Hanya sebuah pelita dan perapian yang selalu menyala membuat ruangan ini terasa hangat dan terang.

Mega memandangi pintu yang hanya satu-satunya di ruangan ini. Tampaknya pintu itu terbuat dari kayu jati yang tebal dan kokoh. Mega mencoba menggerakkan tubuhnya, dan merasakan kalau dirinya kali ini bisa bergerak kembali. Bergegas tubuhnya menggelinjang bangkit berdiri, langsung turun dari pembaringan. Gadis itu melangkah cepat menghampiri pintu. Dia mencoba untuk membuka, tapi pintu ini benar-benar terkunci.

“Hhh...!” Mega menghembuskan napas berat.

Gadis itu menyandarkan punggungnya ke dinding di samping pintu. Kembali diedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada yang bisa dilakukannya di sini. Ruangan ini benar-benar tertutup, tak ada celah untuk bisa meloloskan diri. Mega kembali menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepinya. Matanya kembali beredar, mengamati setiap sudut ruangan ini, hingga ke atapnya. Dan begitu memandang ke atas, tahulah kini bahwa ruangan ini merupakan sebuah gua batu. Gadis itu menghembuskan napas panjang. Disadari kalau tidak ada peluang sedikit pun untuk bisa meloloskan diri.

Kreeek...! Mega mengangkat kepalanya ketika mendengar suara derik pintu. Matanya langsung menatap ke arah pintu yang terbuka perlahan-lahan. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering. Pakaiannya lusuh, dan warnanya sudah memudar. Dia membawa sebuah baki yang penuh berisi makanan, minuman, dan buah. Ditutupnya pintu kembali sebelum melangkah menghampiri meja yang terletak di samping pembaringan. Seperti tidak melihat ada orang di ruangan ini, diletakkannya baki penuh berisi makanan itu di atas meja, sementara Mega hanya memperhatikan saja.

“Tunggu dulu...!” sentak Mega ketika laki-laki tua itu hendak meninggalkan kamar ini.

Laki-laki tua itu mengurungkan langkahnya. Tubuhnya berbalik, menghadap pada Mega yang masih tetap duduk di tepi pembaringan. Sinar mata yang cekung itu begitu sayu, seperti tak memiliki gairah sama sekali. Laki-laki tua ini benar-benar kumuh, tak lebih dari seorang gembel jalanan.

“Siapa namamu, Ki?” tanya Mega.

“Jamat,” sahut laki-laki tua itu. Suaranya pelan dan sedikit bergetar.

“Kau tahu, apa nama tempat ini?” tanya Mega langsung.

“Maaf, aku harus pergi. Silakan Gusti Ayu menikmati hidangan itu,” ucap Ki Jamat buru-buru.

“He, tunggu dulu...!” sentak Mega.

Gadis itu langsung melompat bangkit. Setengah berlari, dihadangnya Ki Jamat yang sudah berbalik dan melangkah hendak keluar dari kamar ini. Ki Jamat berhenti melangkah.

“Maaf, Gusti Ayu. Jangan paksa hamba untuk banyak bicara. Hamba hanya bertugas untuk melayani kebutuhan Gusti Ayu. Maafkan hamba, Gusti Ayu...,” ucap Ki Jamat bernada penuh permohonan.

Setelah berkata demikian, Ki Jamat kembali berjalan mendekati pintu. Ketika pintu itu diketuk, seketika terbuka. Ki Jamat bergegas keluar, dan pintu kembali tertutup. Mega hanya bisa memandangi saja. Kini baru jelas kalau di depan pintu ada penjaganya.

Mega berjalan mondar-mandir di ruangan ini. Dicobanya untuk bisa memahami semua peristiwa yang dialami, hingga sampai ke ruangan yang sama sekali asing. Tapi sedemikian keras mencoba untuk memahami, tetap saja sulit dimengerti.

Dia tidak tahu. siapa orang yang menculik dan membunuh ayahnya. Apalagi, untuk mengetahui apa maksudnya orang itu menculiknya. Sedangkan dari suaranya, sama sekali tidak bisa dikenali. Seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain hitam, kecuali matanya saja yang terlihat.

“Hhh.... Apakah ini ada hubungannya dengan ancaman Ki Puliga...?” desah Mega bertanya-tanya sendiri dengan suara setengah bergumam.

Gadis itu teringat akan kedatangan Ki Puliga ke rumahnya kemarin. Terang-terangan si Iblis Gunung Parakan itu meminta agar secepatnya menikahkan Mega dengan anaknya. Tapi Ki Anta tegas-tegas menolak. Bahkan terang-terangan mengatakan kalau tidak akan sudi punya menantu keturunan manusia iblis seperti Ki Puliga.

Penolakan Ki Anta membuat si Iblis Gunung Parakan jadi berang, bahkan mengeluarkan kata-kata ancaman akan membunuh kepala desa itu dan akan menculik putrinya. Hanya saja, Mega bukan untuk dikawinkan dengan anaknya, melainkan untuk dijadikan budak agar seumur hidupnya menderita. Mengingat itu semua, Mega jadi bergidik. Sungguh sikap ayahnya sangat disesali karena terlihat kasar saat menolak lamaran Ki Puliga.

“Tapi..., apakah Ki Puliga akan melakukan ini semua...?” gumam Mega kembali bertanya-tanya di dalam hatinya.

*******************

Saat itu, di Puncak Gunung Parakan yang selalu berkabut, tampak Partanu tengah duduk menyendiri di bawah pohon. Sejak pagi tadi pemuda itu berada di sana, menghadap ke arah Desa Parakan yang berada di kaki gunung ini. Sudah begitu lama Partanu tidak pernah bertemu Mega lagi. Hatinya begitu rindu. Namun kala mengingat Mega berpelukan dengan seorang pemuda lain, kecemburuan dan sakit hati membuatnya harus bisa meredam kerinduannya.

Partanu menghembuskan napas panjang saat telinganya mendengar langkah kaki menghampiri. Sedikit ujung matanya melirik. Tampak seorang laki-laki setengah baya berperawakan tinggi besar dan berotot, datang menghampiri. Bajunya warna hijau tua dengan sebilah golok bergagang hitam terselip di pinggang. Laki-laki yang tak lain Ki Puliga itu duduk di samping anaknya.

“Kau masih memikirkan gadis itu, Partanu?” tebak Ki Puliga langsung.

“Entahlah...,” sahut Partanu mendesah. “Tapi aku benar-benar mencintainya, Ayah.”

“Lupakan saja gadis itu, Partanu. Kau bisa mendapatkan gadis-gadis yang lebih cantik. Tidak ada persoalan bagimu untuk memperoleh gadis-gadis cantik di dunia ini, Partanu.”

Partanu hanya diam saja.

“Kau harus ingat, kalau dia sudah mengkhianatimu. Jadi tidak sepatutnya kalau kau masih mencintainya. Dengar, Partanu. Aku tidak ingin melihatmu terus larut dalam kesedihan. Kau bukan pemuda cengeng yang mudah larut hanya karena seorang gadis. Aku akan lebih senang jika kau suka melupakannya. Bahkan kalau mungkin, kau bunuh pemuda itu, gadis itu, dan seluruh keluarganya,” tegas Ki Puliga membangkitkan semangat anaknya yang telah layu.

“Mungkin Ayah bisa melakukannya, tapi aku tidak bisa menyakiti Mega,” tegas Partanu.

Ki Puliga tersenyum. Ditepuknya pundak pemuda itu. Sedangkan Partanu memandangi tajam ayahnya. Terasa ada sesuatu yang disembunyikan si Iblis Gunung Parakan ini. Tidak mudah ayahnya tersenyum semanis ini. Kalaupun ayahnya tersenyum, tentu ada yang disembunyikan.

“Apa yang telah Ayah lakukan pada Mega,” Partanu langsung menebak.

"Tidak, aku tidak melakukan apa-apa. Tapi...,” sahut Ki Puliga.

“Tapi apa...?” desak Partanu disertai hati berdebar.

“Aku telah menemui sainganmu. Tapi, aku tidak yakin apakah dia masih hidup atau sudah mati sekarang,” Ki Puliga memberi tahu pertarungannya dengan Pendekar Rajawali Sakti. “Anak muda itu memang tangguh. Bahkan hampir saja aku kalah. Pantas saja kau kehilangan golok kesayanganmu, Partanu.”

“Ayah bertarung dengan si keparat itu...?!” Partanu seperti tidak percaya.

“Ya,” sahut Ki Puliga. “'Tapi sayang, saat nyawanya akan kuhabisi, seseorang telah menolongnya, dan cepat membawanya pergi. Aku tidak sempat mengetahui, apalagi mengenalnya.”

“Kalau begitu, aku harus menemui Mega!” sentak Partanu cepat, dan langsung bangkit berdiri.

“Untuk apa...?” tanya Ki Puliga ringan.

“Untuk membawanya ke sini, Ayah. Mega pasti mau kuajak ke sini. Dia pernah bilang kalau bersedia pergi asal bersamaku ke mana saja.”

“Itu dulu, Partanu. Sekarang mungkin tidak lagi.”

“Kenapa Ayah berkata begitu?”

“Karena dia sudah memilih pemuda lain. Lagi pula, ayahnya tidak akan membiarkannya begitu saja. Aku sudah mencoba melamarnya secara baik-baik, tapi ditolaknya dengan kasar.”

“Kapan Ayah melamarnya?” tanya Partanu yang memang tidak tahu.

“Kemarin, sehari setelah aku bertarung dengan sainganmu.”

“Aku akan menculiknya, Ayah!” tegas Partanu.

“Ha ha ha...!” Ki Puliga hanya tertawa saja. Partanu merasakan ada nada ejekan pada suara ayahnya, tapi tidak dipedulikannya. Dengan cepat sekali ditinggalkannya laki-laki setengah baya itu. Ayunan kakinya begitu cepat menuruni Lereng Gunung Parakan ini. Sementara Ki Puliga hanya memandanginya saja dengan bibir menyunggingkan senyuman.

Pada saat bayangan tubuh Partanu sudah tidak terlihat lagi, datang dua orang laki-laki tinggi tegap berwajah kasar. Mereka langsung menghampiri Ki Puliga, dan membungkukkan tubuhnya setelah dekat.

“Rakat, Badir, bagaimana pekerjaanmu?” tanya Ki Puliga langsung.

Iblis Gunung Parakan itu memandangi dua orang yang masing-masing mengenakan baju warna merah dan hitam bercampur merah. Rakat dan Badir menjura lagi memberi hormat. Mereka masing-masing menyandang senjata yang berlainan. Rakat memakai baju warna merah menyala. Di pinggangnya penuh pisau, bahkan sampai ke dada. Julukannya adalah si Pisau Terbang, karena keahliannya memang melemparkan pisau.

Sedangkan Badir mengenakan pakaian berwarna hitam campur merah. Sebuah golok besar yang ujung gagangnya berkepala tengkorak, tersandang di pundaknya. Tangan kanannya memegangi gagang golok yang besar dan berkilat itu. Selain bernama Badir, dia dikenal berjuluk si Golok Setan. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Ki Puliga.

“Kami sudah menyelidiki seluruh Lereng Gunung Parakan ini, Ki. Tapi tidak menemukan ada tanda-tanda di mana Rangga berada sekarang,” lapor Badir.

“Sudah kami sebar sebagian anak buah untuk menyelidiki seluruh desa di sekitar Kaki Gunung Parakan ini, Ki,” sambung Rakat.

“Apa kalian sudah mencari sampai ke luar wilayah Gunung Parakan ini?” tanya Ki Puliga.

“Sudah. Bahkan sampai ke perbatasan kerajaan,” sahut Rakat

“Hm..., pasti dia ada di suatu tempat. Dia tidak akan pergi jauh dalam keadaan terluka. Hm..., tapi orang itu...,” Ki Puliga menggumam pelan, seperti bicara untuk dirinya sendiri.

“Ada sesuatu yang hendak kusampaikan, Ki,” celetuk Badir.

“Katakan,” sahut Ki Puliga.

“Ada sesuatu yang terjadi di Desa Parakan. Ki Anta didapati tewas terbunuh semalam, dan anak gadisnya menghilang,” lapor Badir.

“Ha ha ha...,” tiba-tiba saja Ki Puliga tertawa terbahak-bahak mendengar laporan itu.

Hal ini membuat Badir dan Rakat jadi saling berpandangan tidak mengerti. Mereka buru-buru menjura memberi hormat saat suara tawa si Iblis Gunung Parakan itu berhenti.

“Apa lagi yang kau dengar dari sana?” tanya Ki Puliga.

“Mereka menuduh kita yang melakukannya, Ki,” sahut Rakat

“Keparat..!” geram Ki Puliga. “Rupanya mereka sudah bosan hidup, berani menuduh sembarangan!”

“Benar, Ki. Sudah saatnya mereka diberi peringatan. Selama ini Partai Iblis Gunung Parakan selalu memberi hati, sehingga mereka semakin berani dan kurang ajar,” sambut Badir penuh semangat

“Akan kuberi pelajaran pada mereka...!” desis Ki Puliga menggeram. “Badir! Kau selidiki, siapa saja yang berani melontarkan tuduhan itu. Secepatnya kau laporkan padaku!”

“Baik, Ki,” sahut Badir seraya menjura memberi hormat.

“Dan kau, Rakat. Buat keonaran, tapi jangan sampai ada korban jatuh. Mengerti...?”

“Siap menjalankan perintah, Ki,” sahut Rakat

“Ingat! Satu nyawa penduduk, berarti satu nyawa anggotamu. Kau harus ingat itu, Rakat!”

“Mengerti, Ki.”

“Berangkatlah sekarang!”

Kedua orang itu menjura memberi hormat sekali lagi, kemudian bergegas pergi. Ki Puliga tersenyum-senyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian terdengar suara tawanya yang pecah menggelegar.

*******************

ENAM

Apakah Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tewas di tangan si Iblis Gunung Parakan? Kalau tidak, di manakah pendekar yang selalu mengenakan baju rompi putih itu berada?

Rangga sebenarnya berada tidak jauh dari Gunung Parakan. Tepatnya di Bukit Langgang. Saat itu Rangga tengah duduk bersemadi di sebuah ruangan yang tidak begitu besar, namun tertutup rapat sehingga tidak ada sedikit pun cahaya matahari yang bisa menerobos masuk. Hanya sebuah pelita kecil yang menerangi ruangan itu, berada tepat di depan Rangga.

Sedangkan tepat di depan pintu ruangan itu, duduk dua orang laki-laki. Yang seorang masih begitu muda, dan berusia sekitar lima belas tahun. Sedangkan seorang lagi sudah setengah baya. Tubuhnya yang kecoklatan dan tidak mengenakan baju, terlihat berkilat oleh keringat. Otot-otot bersembulan keluar, membuat tubuhnya semakin terlihat tegap, meskipun usianya sudah berkepala lima.

“Paman, apakah Kakang Rangga akan sembuh lagi?” tanya pemuda belasan tahun yang tak lain adalah Carika.

“Rangga seorang pendekar tangguh, sehingga pasti bisa memulihkan kekuatannya kembali,” sahut Paman Sentanu.

"Tapi, sudah tiga hari dia mengurung diri di dalam kamar. Aku khawatir, Paman...,” Carika tidak bisa membendung kecemasannya.

“Tenanglah. Kalau sampai besok belum juga keluar, aku akan melihatnya ke dalam. Luka-lukanya memang cukup parah, tapi tidak mungkin akan merenggut jiwanya. Daya tahan tubuhnya sungguh luar biasa. Belum pernah aku melihat orang yang begitu perkasa.”

“Tapi, Paman. Dia juga manusia biasa. Buktinya, dia sampai terluka parah begitu.”

“Kau benar, Carika. Setinggi apa pun tingkat kepandaian seorang pendekar, dia masih manusia biasa yang tidak luput dari penderitaan dan kematian. Ah, sudahlah.... tidak perlu kau cemaskan. Aku yakin, dia pasti bisa mengatasi keadaannya,” Paman Sentanu mencoba menenangkan hati keponakannya itu.

Namun demikian, Carika masih tetap saja merasa khawatir, karena Rangga belum juga keluar dari kamar semadinya. Sebuah kamar khusus yang berada paling belakang dari pondok ini. Beberapa kali pemuda tanggung itu menarik napas panjang setiap kali memandang pintu yang masih saja tertutup rapat.

Waktu terus berjalan. Carika merasakan sang waktu berjalan begitu lambat. Hatinya semakin gelisah saja manakala matahari sudah condong ke Barat, tapi Rangga belum juga keluar dari kamar semadinya. Sejak kemarin, pemuda tanggung itu tidak meninggalkan tempatnya. Bahkan makan dan tidur di situ, sambil menunggu Pendekar Rajawali Sakti yang tengah bersemadi memulihkan kekuatan tubuhnya kembali.

Sementara itu Paman Sentanu sudah sejak tadi pergi ke samping pondok. Dia meneruskan pekerjaannya membelah kayu bakar yang sudah menipis persediaannya. Suara ayunan kapak membelah kayu begitu keras terdengar, seakan-akan merupakan pertanda bagi perjalanan sang waktu.

“Paman...!” seru Carika tiba-tiba. Paman Sentanu yang baru saja mengayunkan kapaknya, langsung melompat berlari. Kapaknya dibuang begitu saja. Dan setibanya di bagian belakang, tampak Carika tengah memeluk Rangga yang berdiri di depan pintu kamar semadi. Paman Sentanu buru-buru menghampiri, dan Carika langsung melepaskan pelukannya. Rangga tersenyum seraya menganggukkan kepalanya sedikit pada laki-laki setengah baya itu. Paman Sentanu membalasnya dengan anggukan kepala juga.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Paman Sentanu.

“Sudah membaik,” sahut Rangga. “Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku, Paman.”

“Ah, sudahlah. Aku hanya bisa melakukan apa yang bisa kulakukan,” Paman Sentanu merendah.

Mereka semua kemudian menuju ruangan depan pondok ini, kemudian duduk melingkar di atas tikar daun pandan. Memang tidak ada kursi ataupun meja di ruangan ini.

“Carika, sebaiknya kau siapkan makan untuk Rangga,” kata Paman Sentanu.

“Oh, iya.... Sudah tiga hari Kakang tidak makan. Sebentar, kusiapkan makanan yang terlezat buatanku,” sahut Carika langsung beranjak pergi dari ruangan ini.

Rangga hanya tersenyum saja melihat kejenakaan pemuda tanggung itu.

“Rangga, bagaimana kau bisa bentrok dengan si Iblis Gunung Parakan?” tanya Paman Sentanu setelah Carika menghilang dari ruangan depan ini.

“Aku sendiri tidak tahu, Paman. Tiba-tiba saja dia muncul menghadangku,” sahut Rangga kembali mengingat-ingat semua kejadian selama berada di sekitar Gunung Parakan, terutama di Desa Parakan yang terletak di kaki gunung itu.

“Hm.... Kudengar kau pernah bentrok dengan Partanu. Benar...?” agak bergumam suara Paman Sentanu.

“Ah, pasti Carika melebih-lebihkan,” Rangga langsung sudah bisa menebak.

“Anak itu memang selalu melebih-lebihkan, tapi tidak seluruhnya kupercayai. Itu sebabnya, kenapa aku ingin kau sendiri yang bercerita,” pinta Paman Sentanu.

“Hanya salah paham saja, Paman,” jelas Rangga.

Tanpa diminta dua kali, Rangga kemudian menceritakan pertemuannya dengan Mega secara tidak sengaja. Kemudian bentrokannya dengan Partanu, anak si Iblis Gunung Parakan. Semua diceritakan Rangga tanpa ada yang dikurangi sedikit pun. Sedangkan Paman Sentanu mendengarkan penuh perhatian.

Paman Sentanu masih diam membisu meskipun Rangga sudah menyelesaikan ceritanya. Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiam diri saja. Perlahan Paman Sentanu mengangkat kepalanya, langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di depannya.

“Meskipun kau hanya memandangnya sebagai kesalahpahaman belaka, tapi persoalan itu akan berbuntut panjang, Rangga,” jelas Paman Sentanu pelan, seperti bergumam terdengarnya.

“Mungkin...,” desah Rangga kurang yakin.

“Rangga, ada sesuatu yang hendak kusampaikan padamu,” kali ini suara Paman Sentanu terdengar agak berbisik.

“Sesuatu...? Tentang apa, Paman?” tanya Rangga dengan kening berkerut dalam.

“Ki Anta dan putrinya,” sahut Paman Sentanu.

“Maksud, Paman...?” seketika Rangga merasakan darahnya jadi lebih cepat mengalir begitu mendengar nama Ki Anta dan Mega disebut.

“Ki Anta sudah tewas terbunuh, sedangkan Mega menghilang entah ke mana.”

Rangga hampir tidak percaya mendengarnya. Dipandanginya Paman Sentanu dalam-dalam, seakan akan ingin mencari kebenaran di dalam sorot mata laki-laki setengah baya itu. Namun saat mendapatkan kesungguhan dalam raut wajahnya, Rangga mau tidak mau harus mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

“Itulah yang kukatakan. Persoalan ini akan berbuntut panjang, Rangga,” kata Paman Sentanu lagi. Masih terdengar pelan suaranya.

“Dari mana kau dengar berita itu, Paman?” tanya Rangga jadi serius.

“Seorang pemburu yang kebetulan lewat sini. Dia berasal dari Desa Parakan, jadi banyak mengetahui tentang situasi desa sekarang ini. Terlebih lagi setelah Ki Anta tewas terbunuh. Dia sendiri membawa keluarganya meninggalkan desa itu, dan sekarang menetap di seberang lembah sana,” jelas Paman Sentanu.

Rangga jadi terdiam membisu. Sungguh tidak disangka kalau persoalan itu jadi panjang, bahkan sekarang sudah meminta korban nyawa.

*******************

Pagi-pagi sekali Rangga sudah bersiap hendak meninggalkan Lereng Bukit Langgang. Kesehatan tubuhnya sudah benar-benar pulih seperti sediakala. Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya keluar dari dalam pondok. Hatinya tertegun ketika melihat Paman Sentanu dan Carika sudah menunggu di depan pintu.

“Jadi pergi hari ini, Rangga?” tanya Paman Sentanu.

“Ya, sepertinya aku harus menghadapi Puliga lagi,” sahut Rangga.

“Aku tidak bisa melarangmu, Rangga. Hati-hatilah. Kepandaian Puliga sangat tinggi, di samping licik. Dan yang paling penting, jangan sampai terpancing,”

Paman Sentanu memperingatkan. Rangga hanya tersenyum saja. Semalam Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mengetahui tentang si Iblis Gunung Parakan itu dari Paman Sentanu. Sungguh Rangga tidak menyangka kalau sebenarnya Paman Sentanu sendiri punya persoalan pribadi dengan si Iblis Gunung Parakan itu. Istrinya tewas dibunuh setelah sebelumnya diperkosa. Dan Paman Sentanu mencoba membalas dendam, tapi ilmu yang dimilikinya masih di bawah Ki Puliga.

Itulah sebabnya, mengapa Paman Sentanu menyepi di Bukit Langgang ini. Di samping menunggu kesempatan balas dendam, dia juga memperdalam ilmu olah kanuragan dan kesaktiannya. Tapi setelah bertahun-tahun memperdalam ilmunya, tetap saja tidak mampu menghadapi si Iblis Gunung Parakan itu.

Pada pertarungannya yang terakhir, hampir saja Paman Sentanu tewas kalau saja tidak ditolong seorang tua berilmu tinggi. Sayang sekali, orang tua itu tidak berumur panjang. Tapi berkat orang tua itu, Paman Sentanu sedikit demi sedikit bisa menghilangkan perasaan dendam di hatinya.

“Aku pergi dulu,” pamit Rangga. Setelah berbasa-basi sebentar, Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas pergi. Sementara Paman Sentanu dan Carika hanya memandangi saja kepergiannya. Mereka masih berdiri di depan pintu rumahnya sampai Rangga benar-benar tidak terlihat lagi.

“Ayo, Carika. Hari ini kau harus berlatih tenaga dalam,” kata Paman Sentanu.

“Ada apa?”

“Apakah dengan ilmu kesaktian yang kupelajari nanti bisa seperti Kakang Rangga?” tanya Carika.

“Tergantung kesungguhanmu dalam mempelajari ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian,” sahut Paman Sentanu.

“Harus berapa lama belajarnya?” tanya Carika lagi

“Jika kau rajin dan bersungguh-sungguh, aku rasa tidak akan lama.”

“Aku akan berlatih bersungguh-sungguh, Paman.”

“Kalau begitu, sekarang kau harus berlatih tenaga dalam. Karena, tenaga dalam sangat penting untuk bisa menguasai segala jenis ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian. Tanpa tenaga dalam, semua yang kau pelajari tidak akan ada gunanya.”

“Segala macam ilmu, Paman...?”

“Benar, segala macam ilmu.”

“Berarti, aku juga bisa mempelajari ilmu-ilmu yang dimiliki Kakang Rangga?”

“Tentu. Tapi untuk sekarang ini, kau harus menguasai lebih dahulu ilmu yang aku miliki. Ah, sudahlah. Nanti kau akan kuberi sedikit pengetahuan tentang ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian. Di samping itu, kau juga harus mengetahui perkembangan dunia persilatan agar tidak tertinggal. Sebab, dunia persilatan terus berkembang dengan banyak bermunculannya ilmu baru yang lebih tinggi dan dahsyat. Kau harus mengikuti perkembangannya jika tidak ingin tertinggal.”

Carika hanya menganggukkan kepalanya saja. Hatinya bertekad untuk berlatih sungguh-sungguh. Yaaah..., kalau saja sejak dulu berlatih ilmu olah kanuragan, tentu dia bisa menyelamatkan ibunya dari kematian. Carika menyesali dirinya yang malas berlatih waktu itu. Yang jelas, sekarang tekadnya telah bulat untuk berlatih sungguh-sungguh.

“Ayo, Paman. Kita mulai sekarang. Aku ingin bisa menyamaimu,” ajak Carika bersemangat

“Bukan hanya menyamai, tapi harus lebih dariku.”

“Mana mungkin, Paman...? Umurku jauh lebih muda dari Paman, mana mungkin bisa menandingi Paman.”

“Usia bukan ukuran untuk tinggi rendahnya suatu ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Kau lihat sendiri, Rangga lebih muda usianya dariku. Tapi ilmu yang dimilikinya beberapa tingkat di atasku.”

“Apakah itu mungkin, Paman?”

“Kenapa tidak? Kau ingat bungkusan kain putih yang kau serahkan padaku...?”

Carika mengangguk.

“Bungkusan kain putih itu berisi kitab dan senjata pusaka peninggalan kakekmu. Kitab itu berisi ilmu-ilmu yang sangat tinggi tingkatannya. Jauh lebih tinggi dari yang kumiliki. Carika, kelak aku akan menyerahkan pusaka itu padamu setelah kau bisa menguasai seluruh ilmu yang kumiliki. Dan kau harus bisa menguasai seluruh ilmu yang tertulis dalam kitab itu. Kau mengerti...?”

“Mengerti, Paman.”

“Ayo, kita mulai berlatih. Kau harus mampu menguasai tenaga dalam agar sempurna. Dengan demikian, kau akan bisa menguasai ilmu-ilmu yang ada dalam kitab pusaka itu.”

Tanpa membantah sedikit pun, Carika mengikuti pamannya yang berjalan ke samping rumah. Ayunan langkah kakinya begitu ringan dan riang. Dia ingin sekali menguasai ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian agar kelak bisa melanglang buana membasmi keangkaramurkaan.

*******************

Sementara itu, Rangga sudah sampai di Kaki Gunung Parakan. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak di atas sebuah tebing batu yang cukup tinggi. Dari atas tebing batu ini, Desa Parakan bisa terlihat dengan leluasa. Tampak jelas sekali, suasana desa itu demikian sunyi, tidak seperti pertama kali Rangga menginjakkan kakinya di sana. Desa Parakan kini bagaikan sebuah desa mati yang tidak berpenghuni.

Sepanjang jalan sepi lengang, tak terlihat seorang pun berada di luar rumah. Hanya ayam dan anjing-anjing liar saja yang berkeliaran di antara rumah-rumah penduduk yang kelihatan sunyi bagai tak berpenghuni. Rangga mengayunkan kakinya menuruni tebing batu ini. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mudah dan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menuruni tebing batu yang sedikit curam itu.

Sebentar saja dia sudah sampai di bawah tebing, dan terus berjalan menuju Desa Parakan yang kelihatan sunyi. Semakin dekat ke desa itu, semakin terasa kesunyian yang mencekam. Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan adanya hawa maut yang menyelimuti seluruh angkasa desa itu. Dan perasaan Rangga langsung terbukti ketika baru saja menginjakkan kakinya di batas desa yang langsung berbatasan dengan hutan di Kaki Gunung Parakan ini.

“Ha ha ha...!”

Rangga langsung menghentikan ayunan langkahnya ketika tiba-tiba mendengar suara tawa keras menggelegar terbahak-bahak. Suara itu seperti datang dari segala penjuru mata angin. Rangga langsung bisa menebak kalau tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.

“Hm...,” Rangga bergumam saat telinganya mulai terasa sakit akibat suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-dalam, kemudian menahan napasnya selama mungkin. Lalu...

“Yeaaah...!”

Suara tawa itu berhenti seketika saat Rangga berteriak keras. Akibat teriakan yang disertai penyaluran tenaga dalam itu, adalah getaran dahsyat, sehingga pohon dan bebatuan berguncang. Bumi yang dipijak terasa bergetar bagai terjadi gempa. Daun-daun pohon berguguran layu, beterbangan terbawa tiupan angin yang sedikit kencang.

Srak! Srak...!

Saat itu juga, bermunculan manusia berpakaian serba hitam dari balik gerumbul semak dan atas pohon. Sebentar saja, di sekeliling Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri sekitar sepuluh orang yang semuanya memegang senjata golok bergagang hitam dari tanduk kerbau.

“Serang...!” tiba-tiba terdengar teriakan keras memberi perintah.

“He..., tunggu!” sentak Rangga terkejut “Siapa kalian?”

Tapi pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ada yang menjawab, karena sepuluh orang berpakaian serba hitam itu sudah cepat dan serentak menyerang. Beberapa buah golok berkelebatan di sekitar tubuh Rangga, sehingga membuatnya harus berlompatan sambil meliukkan tubuh menghindari serangan golok yang datang secara beruntun dan gencar itu.

Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan pada Rangga untuk bisa membalas. Pendekar Rajawali Sakti diserang secara bergantian dan cepat sekali. Terkadang tiga orang serentak menyerang maju, disusul yang lainnya. Rangga kelihatan kelabakan juga, karena mereka rata-rata memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menguasai keadaan dirinya yang sangat tidak menguntungkan ini.

“Yeaaah...!”

Tepat ketika sebuah golok menyambar ke arah dada, dengan cepat sekali Rangga menarik tubuhnya ke belakang. Dan secepat itu pula, tangannya bergerak bagaikan kilat menepak pergelangan tangan lawan.

Plak!

“Akh...!” orang itu memekik keras.

Tring!

Goloknya terlepas jatuh ke tanah yang agak berbatu. Dan sebelum lawan sempat menyadari apa yang terjadi, Rangga cepat memutar tangan orang itu, dan membalikkan tubuhnya, sehingga membelakangi. Pada saat yang sama, dari arah depan datang satu serangan lagi. Sebuah golok terhunus datang sangat cepat, dan tidak bisa terbendung lagi arusnya. Hingga....

Crab!

“Aaa...!” orang yang dipelintir tangannya itu menjerit keras ketika golok temannya menghunjam ke dadanya.

“Hih...!”

Rangga mendorong tubuh yang berlumuran darah itu, hingga terjajar ke depan. Orang yang berada di depannya jadi terkejut. Dilepaskan goloknya yang tertancap di dada temannya sendiri. Dan sebelum bisa menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah melompat cepat bagaikan kilat

“Hiyaaa...!”

Seketika itu juga Rangga melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa terbendung lagi, tepat menghantam kepala orang itu.

Prak!

“Aaa...!” kembali terdengar jeritan melengking menyayat hati. Orang berbaju hitam itu melintir sambil memegangi kepalanya yang pecah terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Darah langsung bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Hanya beberapa saat dia masih mampu berdiri, kemudian ambruk tak berkutik lagi. Dua orang tewas dalam waktu singkat, membuat delapan orang lainnya jadi terpana. Sesaat mereka jadi berhenti menyerang.

*******************

TUJUH

Kesempatan yang hanya sesaat ini, dimanfaatkan Pendekar Rajawali Sakti untuk keluar dari kepungan. Pemuda berbaju rompi putih itu melesat cepat bagaikan kilat, dan tahu-tahu sudah berada di luar kepungan. Delapan orang itu langsung tersadar. Mereka cepat berbalik, dan seketika berlompatan menyerang kembali.

“Tunggu...!” bentak Rangga keras menggelegar. Bentakan itu begitu keras karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya delapan orang berbaju hitam itu berhenti bergerak seketika.

“Aku tidak tahu siapa kalian. Kenapa menyerangku?” tanya Rangga.

“Mereka semua anak buahku!”

Rangga langsung berpaling ke kiri ketika mendengar jawaban dari arah kiri. Entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh dari tempat itu sudah berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan. Pemuda itu mengenakan baju kulit binatang. Tampak sebilah pedang panjang tergantung di pinggang. Dia juga memegang sebuah tombak yang ujungnya berkeluk runcing dan berwarna keemasan. Mata tombak itu seperti sebilah keris.

Rangga langsung mengenali pemuda berbaju kulit binatang itu. Dia adalah Partanu, putra Ki Puliga, si Iblis Gunung Parakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak perlu lagi meminta penjelasan, karena sudah tahu maksud Partanu. Sudah pasti anak muda itu ingin membalas kekalahannya waktu itu.

“Tidak kusangka, ternyata kau masih hidup, Rangga,” dingin sekali nada suara Partanu. Kakinya melangkah beberapa tindak mendekati. Pemuda itu berhenti setelah jaraknya tinggal satu batang tombak lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.

Sedangkan delapan orang berbaju hitam, kini berada di belakang Partanu. Mereka masih menghunus golok, siap menerima perintah dari putra si Iblis Gunung Parakan itu. Rangga sendiri menggeser kakinya ke kanan dua tindak. Pandangannya tajam merayapi orang-orang yang berada di depannya.

“Sekarang saatnya kau harus mampus, penculik busuk!” desis Partanu menggeram.

“Penculik...? Apa maksudmu?” tanya Rangga tidak mengerti.

“Aku tidak ada waktu berdebat denganmu, Rangga. Sebelum kau mati, tunjukkan, di mana Mega kau sembunyikan?!” bentak Partanu menggeram.

Rangga langsung mengerti arti tuduhan Partanu tadi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi memiliki pertanyaan. Jika bukan Partanu yang menculik Mega, lalu siapa lagi...? Sedangkan Paman Sentanu mengatakan, kalau Mega diculik Ki Puliga, ayah pemuda berbaju kulit binatang itu. Dan kalau memang benar Ki Puliga yang menculik, mengapa anaknya tidak tahu...?

Rangga masih bertanya-tanya dalam hati. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, mendadak saja Partanu sudah berteriak memberi perintah pada orang-orangnya untuk menyerang.

“Bunuh dia...!”

Seketika itu juga, delapan orang berpakaian serba hitam, berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak keras. Golok mereka berkelebatan, langsung mengurung ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Hiyaaa...!”

Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Disadarinya kalau orang-orang ini tidak bisa lagi diajak damai. Serangan-serangan yang dilancarkan sungguh dahsyat. Sedikit kelengahan saja bisa berakibat fatal yang amat sangat Dan Rangga tidak ingin mati konyol. Dia sudah berusaha untuk mencari jalan damai, tapi mereka tampaknya lebih senang menyelesaikan dengan jalan kekerasan. Ini tentu saja dengan resiko, di antara mereka semua ada yang tewas. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu lebih memilih hidup daripada mati terancang. Semua orang pasti akan memilih hal yang sama.

“Uts...!” Rangga merundukkan kepalanya ketika sebuah golok menyambar ke arah kepala. Pada saat yang sama, dikibaskan tangannya menyodok salah seorang yang berada dekat di samping kanan. Sodokan yang cepat dan bertenaga dalam tinggi itu, tidak bisa terhindarkan lagi.

“Hughk...!” Orang itu mengeluh keras. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu, Rangga cepat mengibaskan tangannya, sebelum orang itu jauh dari jangkauan.

“Aaakh...” Satu jeritan panjang melengking tinggi, terdengar menyayat. Seketika itu juga orang itu terpental ke belakang dan keras sekali ambruk ke tanah. Sebentar dia menggeliat, lalu diam tak bernyawa lagi. Kibasan tangan Rangga tepat menghantam dadanya hingga remuk. Tampak dari mulutnya mengeluarkan darah kental.

“Yeaaah...!” Mendapat satu kesempatan baik, Rangga cepat memutar tubuhnya. Dan seketika, dikerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang terkenal sangat dahsyat. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti itu hanya mengerahkan pada tingkatan yang ketiga, tapi hasilnya sungguh luar biasa. Mereka yang berada dekat dengannya, tidak bisa lagi mengelak. Jeritan-jeritan melengking mulai terdengar saling susul. Setiap pukulan yang dilontarkan Rangga, berakibat fatal sekali. Tak ada yang bisa membendung pukulan keras bertenaga dalam sempurna itu.

Satu persatu, Rangga dapat merobohkan lawan-lawannya. Hingga pada akhirnya, mereka tinggal tiga orang saja. Pada saat itu, Partanu sudah melompat terjun ke dalam pertempuran. Dengan senjata tombak di tangan, pemuda itu terus mencecar Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan tiga orang yang tersisa dari sepuluh orang berpakaian serba hitam, tidak berarti lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan pada satu kesempatan, Rangga berhasil memasukkan pukulan keras pada salah seorang, disusul satu tendangan menggeledek untuk seorang lagi.

Dua kali jeritan melengking terdengar menyayat. Dua orang itu terpental ke belakang dan ambruk bergelimpangan di tanah. Seketika mereka tewas tanpa mampu berkutik lagi. Sedangkan seorang lagi langsung bergetar hatinya. Dia mencoba kabur, namun Partanu bisa melihat tindakan anak buahnya itu.

“Yeaaah...!” Sambil berteriak keras, Partanu melompat ke arah orang yang mencoba melarikan diri itu. Seketika dilemparkan tombaknya, dan langsung menancap di punggung orang berbaju hitam itu hingga tembus ke perutnya. Jeritan melengking tinggi kembali terdengar menyayat. Dan sebelum orang itu ambruk ke tanah, Partanu sudah mencabut tombaknya.

“Hih!”

Rangga yang melihat kekejaman anak muda itu, jadi mendidih darahnya. Hanya manusia berhati iblis saja yang tega membunuh anak buahnya sendiri di saat menyadari tidak mampu lagi menghadapi lawan. Dan ini dilakukan Partanu dengan hati dingin.

Pelahan Partanu memutar tubuhnya, berhadapan kembali dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak jelas pada raut wajah Rangga, kalau dirinya begitu muak melihat sorot mata Partanu yang begitu dingin mencerminkan kekejaman. Sebaik apa pun Partanu, watak-watak ayahnya pasti akan menurun, meskipun hanya sedikit. Dan sifat kekejaman ayahnya kini mulai memancar jelas pada wajah pemuda berbaju kulit binatang itu.

“Kau memang tangguh, Rangga. Tapi jangan berbangga dulu bisa mengalahkan sepuluh anak buahku!” desis Partanu dingin.

“Aku tidak membunuh, tapi mereka sendiri yang mempercepat kematiannya,” bantah Rangga.

“Phuih! Kau dan aku, atau siapa saja tidak lebih busuk! Aku tidak berdebat. Aku hanya ingin di antara kita ada yang mati! Atau kita sama-sama mati agar tidak ada yang bisa memiliki Mega!” dengus Partanu menggeram.

“Kau salah besar kalau menuduhku telah merebut Mega, Partanu. Sama sekali aku tidak ada hubungan dengan kekasihmu itu,” kilah Rangga.

“Jangan mungkir lagi dariku, Rangga! Kau boleh merasa menang karena Mega sekarang berada bersamamu. Tapi itu hanya sebentar saja, karena sebentar lagi kau akan mampus!”

“Hm.... Kau mencoba memutarbalikkan kenyataan, Partanu.”

“Jangan banyak omong! Ayo kita buktikan, siapa di antara kita yang lebih pantas mendapatkan Mega!” bentak Partanu geram.

“Sungguh memalukan! Bertarung hanya karena seorang gadis,” desis Rangga tidak senang.

“Setan...! Mampus kau, hiyaaat..!”

Partanu langsung melompat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Serangannya sungguh cepat luar biasa. Sedangkan kibasan tombaknya menimbulkan suara angin menderu bagai topan. Rangga langsung menggeser kakinya ke samping seraya meliukkan tubuhnya menghindari tebasan tombak Partanu. Namun pemuda berbaju kulit binatang itu sudah tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.

Partanu gencar sekali menyerang. Jurus-jurus yang dikeluarkan sungguh cepat dan dahsyat. Dalam hati, Rangga mengakui kehebatan Partanu dalam memainkan tombak. Ujung tombaknya seperti hidup dan memiliki mata saja, dan mampu bergerak cepat mengincar setiap bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang sangat mematikan.

Wuk!

Partanu menusukkan ujung tombaknya ke arah dada Rangga yang kelihatan lowong. Namun begitu ujung tombak hampir mencapai dada, Rangga cepat sekali menarik dadanya ke samping dengan sedikit memiringkan tubuh. Maka ujung tombak itu lewat di depan dadanya. Pada saat yang tepat, Rangga menghentakkan tangannya ke arah batang tombak itu. Sentakan Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh cepat luar biasa, sehingga Partanu terlambat menarik tombaknya pulang.

“Yeaaah...!”

Trak!

Partanu mendelik begitu melihat tombaknya patah terpukul tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sambil mendengus menyemburkan ludahnya, Partanu membuang sisa patahan tombaknya ke arah Rangga. Lemparan Partanu begitu kuat, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Wus!

“Uts...!” Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, maka potongan tombak itu lewat di samping tubuhnya. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu menarik pulang tubuhnya, Partanu sudah kembali menyerang sambil mencabut pedang yang seluruhnya berwarna keemasan.

“Hiyaaat..!” teriak Partanu.

Sret! Bet!

“Hup...!”

Cepat Rangga melompat ke belakang, membuat tebasan pedang Partanu hanya menyambar angin kosong saja. Namun pemuda berbaju kulit binatang itu sudah kembali melompat menerjang. Sepertinya dia benar-benar tidak ingin memberi kesempatan pada lawan untuk bisa membalas menyerang. Pedangnya berkelebat cepat mengurung ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya kelebatan cahaya kuning keemasan di sekitar tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.

Serangan-serangan Partanu yang begitu cepat dan dahsyat, membuat Rangga sedikit kerepotan juga. Namun karena mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti itu mampu mengatasi. Hanya saja sialnya, dia sama sekali tidak bisa membalas serangan yang dilancarkan Partanu. Karena memang, jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' tidak diperuntukkan untuk menyerang lawan, melainkan hanya untuk menghindar sambil mempelajari kepandaian lawan. Meskipun ada satu dua serangan balasan, namun tidak berarti sama sekali.

“Keluarkan senjatamu, Keparat!” bentak Partanu tanpa menghentikan serangan sedikit pun.

Namun tidak mudah bagi Rangga untuk mengeluarkan senjata pusakanya, karena untuk keluar dari serangan ini saja terasa sulit

“Ha ha ha...!” Partanu tertawa terbahak-bahak mengira Rangga sudah begitu terdesak dan tidak mampu lagi balas menyerang.

Melihat posisi Rangga yang kelihatannya semakin terdesak, Partanu semakin meningkatkan serangan-serangannya. Hal ini membuat Rangga jadi tak mampu lagi menahan diri. Malah beberapa kali ujung pedang Partanu hampir merobek kulit tubuhnya. Dan tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin mati dalam keadaan seperti ini, tanpa bisa membalas menyerang.

“Huh! Aku tidak peduli apakah kau kekasih Mega! Kau sudah keterlaluan, Partanu...!” dengus Rangga dalam hati.

Wut..!

Pada saat itu, Partanu mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Maka kesempatan ini tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat dilentingkan tubuhnya ke udara. Namun rupanya serangan Partanu hanya pancingan saja. Karena, begitu Rangga berada di udara, tiba-tiba saja Partanu cepat-cepat memindahkan pedangnya ke tangan kiri. Secepat itu pula, dihentakkan tangan kanannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang masih berjumpalitan di udara.

Set! Slap...!

“Heh...?!”

Bukan main terperanjatnya Rangga ketika melihat Partanu bermain curang. Cepat Rangga memutar tubuhnya di udara, menghindari serbuan senjata rahasia yang dilepaskan Partanu padanya.

“Yeaaah...!”

Sret!

Tak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Senjata-senjata rahasia yang dilepaskan Partanu, memang meluncur deras bagaikan hujan. Maka, cahaya biru langsung menyemburat menyilaukan mata begitu Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung. Secepat itu pula, Rangga cepat memutar pedangnya melindungi diri dari serbuan senjata rahasia lawan.

“Hup, hiyaaa...!”

Cepat Rangga meluruk turun, namun terus memutar-mutar pedangnya cepat bagai baling-baling, membentuk tameng. Bentuk pedang itu lenyap, dan tinggal cahaya biru melingkar yang terlihat melindungi tubuh Rangga dari serangan senjata rahasia. Ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti itu mendarat di tanah.

“Hiyaaa...!”

Pada saat itu juga, tubuh Rangga melenting kembali. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah Partanu dengan pedang masih berputaran cepat Sejenak Partanu terbeliak kaget. Namun dengan cepat pedangnya dipindahkan ke tangan kanan. Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya, mencoba menangkis serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.

Trang!

Trek!

“Heh...?!”

Sepasang bola mata Partanu semakin terbeliak lebar bagaikan hendak keluar, begitu melihat pedangnya terpenggal jadi dua bagian saat membabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum pemuda berbaju kulit binatang itu sempat menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah cepat melompat sambil melontarkan tendangan keras menggeledek.

“Hiyaaat...!”

Deghk!

“Akh...!” Partanu menjerit keras. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada, sehingga membuat Partanu terjajar ke belakang sejauh dua batang tombak. Namun belum juga Partanu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali Rangga sudah melancarkan serangan cepat luar biasa. Dua pukulan langsung dilontarkan secara beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.

Deghk! Des...!.

“Aaakh...!”

Kembali Partanu memekik keras melengking tinggi. Lagi-lagi tubuh pemuda berbaju kulit binatang itu terjengkang ke belakang. Namun sebelum tubuhnya mencapai tanah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat menyambar tubuh pemuda itu.

“Hey...!” Rangga terkejut.

“Hup...!”

Seketika Rangga melesat cepat bagaikan kilat mengejar bayangan biru yang menyambar tubuh Partanu dengan kecepatan luar biasa itu. Namun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga masih bisa mengejar orang itu.

"Tunggu...! Yeaaah...!” teriak Rangga keras. “Siapa kau?”

“Sekarang ini dia bukan lawanmu, Pendekar Rajawali Sakti!” terdengar dingin sekali suara orang itu.

Rangga mengamati orang yang memanggul tubuh Partanu itu. Sama sekali tidak dikenalinya laki-laki tua ini.

“Apakah kau gurunya Partanu?” tanya Rangga.

“Kalau kau ingin tahu, datanglah ke Lembah Kematian! ''

"Heh…?!"

Slap!

Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara, dan berhasil melewati kepala orang yang membawa Partanu. Dan tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak menghadang di depan. Orang itu langsung menghentikan larinya, namun tiba-tiba saja, tangannya mengibas cepat.

Bet!

“Heh...?!”

Bukan main terperanjatnya Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata dari lengan jubah panjangnya yang besar dan longgar, orang itu melontarkan puluhan senjata rahasia sekaligus.

“Hup...”

Cepat-cepat Rangga melompat dan berputaran sambil mengibaskan pedangnya beberapa kali untuk menghalau serangan senjata rahasia itu. Manis sekali Rangga kembali mendarat di tanah. Tapi Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main, karena orang yang tidak kelihatan wajahnya itu sudah lenyap membawa tubuh Partanu.

“Bedebah...!” geram Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi sama sekali tidak melihat adanya sesosok bayangan pun di sekitarnya. Dia mendongak ke atas, kalau-kalau orang itu bersembunyi di atas pohon, tapi tetap saja tidak ada.

“Huh...!” dengus Rangga kesal. “Lembah Kematian.... Hm, apakah dia....”

Cring! Pendekar Rajawali Sakti itu tidak melanjutkan dugaannya, dimasukkan pedangnya kembali ke dalam warangkanya di punggung, maka cahaya biru langsung lenyap seketika. Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu mengedarkan pandangannya kembali berkeliling, kemudian melangkah kesal meninggalkan tempat itu. Pendekar Rajawali Sakti kini menuju Desa Parakan.

DELAPAN

Belum juga Rangga berjalan jauh, tiba-tiba ayunan kakinya terhenti. Telinganya yang tajam, seketika mendengar suara langkah kaki terseret. Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melesat ke atas, lalu hinggap di atas dahan pohon. Pandangannya lurus tak berkedip menatap ke arah datangnya suara itu.

Tak berapa lama kemudian, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus mengenakan baju kumal dan sudah pudar warnanya. Dia membawa keranjang bambu cukup besar. Dua orang laki-laki bersenjata golok di pinggang, mengikuti dari belakang. Mereka berjalan agak cepat menaiki Lereng Gunung Parakan ini.

“Ayo lebih cepat lagi Ki Jamat. Kau tidak boleh terlambat memberi makan buat Mega!” bentak seorang yang berjalan di belakang laki-laki tua kurus itu.

“Uh! Apa kalian tidak tahu kalau yang kubawa ini berat...!” rungut Ki Jamat.

“Huh! Mentang-mentang sudah dipercaya Ki Puliga, kau sekarang berani bertingkah!” dengus seorang lagi.

Laki-laki tua yang dipanggil Ki Jamat itu tampak bersungut-sungut. Sementara Rangga yang berada di atas pohon, bisa mendengar semua percakapan itu. Darahnya langsung mendidih begitu mendengar nama Mega disebut-sebut. Setelah berpikir sejenak, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat turun, dan langsung memberi dua pukulan beruntun ke arah dua orang yang berjalan di belakang Ki Jamat

“Hiyaaat..!”

Dughk! Beghk!

Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dua orang itu langsung ambruk ke tanah dan tak berkutik lagi. Ki Jamat terkejut bukan main. Laki-laki tua itu langsung terpaku dengan lutut gemetar begitu melihat di depannya kini sudah berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju rompi putih. Terlebih lagi saat melihat dua orang yang menyertainya sudah tergeletak tak bergerak-gerak lagi.

“Aku tidak akan melukaimu, jika kau tunjukkan di mana Mega,” kata Rangga, tajam suaranya.

“Oh...,” Ki Jamat tergagap. Seketika itu juga, wajah laki-laki tua kurus itu jadi pucat pasi. Seluruh tubuhnya gemetaran, sehingga tidak kuat lagi menahan beban keranjang bambu yang dibawanya. Keranjang bambu itu jatuh ke tanah. Semua isinya yang ternyata bahan makanan mentah, berserakan.

“Tidak perlu takut padaku, Ki. Kau hanya kuminta menunjukkan, di mana Mega disembunyikan. Dan kau bisa bebas meneruskan perjalananmu kembali,” kata Rangga mencoba lembut.

“Sss..., siapa kau...?” tanya Ki Jamat masih tergagap.

“Aku Rangga,” sahut Rangga.

“Rangga...?!” Tiba-tiba saja Ki Jamat jatuh terkulai di tanah begitu Rangga menyebutkan namanya. Seluruh wajahnya semakin pucat pasi. Keringat sebesar butiran jagung menitik membasahi wajah dan lehernya. Tubuhnya semakin keras bergemetaran.

“Kau tidak perlu takut padaku, Ki. Aku tidak akan menyakitimu,” kata Rangga meyakinkan.

“Tap..., tapi...,” suara Ki Jamat terputus.

Rangga mendekati laki-laki tua itu, lalu membawanya berdiri. Meskipun sikap Pendekar Rajawali Sakti menunjukkan sikap persahabatan, namun Ki Jamat masih juga ketakutan. Masalahnya, nama Rangga yang kini menjadi musuh besar majikannya pernah didengarnya. Malah juga sudah mendengar kalau ilmu kesaktian yang dimiliki pemuda ini tinggi sekali, sehingga Ki Puliga hampir dikalahkan. Tapi karena kesalahan yang kecil saja, si Iblis Gunung Parakan itu berhasil membuat Rangga terluka parah. Dan sekarang pemuda berbaju rompi putih itu ada di depannya.

“Kau takut pada majikanmu, Ki?” tebak Rangga langsung.

Ki Jamat tidak langsung menjawab. Sebenarnya laki-laki tua kurus itu memang takut pada Ki Puliga. Kalau sampai menunjukkan tempat Mega kini berada, sudah dapat dibayangkan kalau kematian akan cepat merenggutnya. Iblis Gunung Parakan tidak akan segan-segan memenggal kepala siapa saja yang mengkhianatinya. Bahkan lawan-lawannya tidak ada yang dibiarkan hidup.

“Dengar, Ki. Aku berjanji akan melindungi keselamatanmu jika kau bersedia menunjukkan, di mana Mega sekarang berada,” bujuk Rangga.

“Aku..., aku tidak tahu,” sahut Ki Jamat tergagap.

“Kau tidak bisa membohongiku, Ki. Kau pasti tahu, di mana Mega berada. Aku mendengar percakapanmu dengan dua orang itu tadi,” desak Rangga.

Ki Jamat jadi serba salah. Diliriknya dua orang yang menyertainya. Dia tidak tahu, apakah dua orang itu sudah mati atau hanya pingsan saja.

“Aku hanya membuatnya pingsan, dan mereka akan sadar kembali,” kata Rangga seolah-olah bisa menebak jalan pikiran laki-laki tua kurus itu.

Ki Jamat merayapi wajah Rangga di depannya, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya sendiri kalau pemuda tampan berbaju rompi putih ini bukanlah manusia kejam seperti majikannya. Karena semua yang didengarnya mengenai Rangga, mengatakan kalau pemuda ini lebih kejam daripada Ki Puliga. Tapi Ki Jamat jadi ragu-ragu juga.

“Baiklah. Tapi kau harus berjanji melindungiku dari kekejaman Ki Puliga dan orang-orangnya,” Ki Jamat menyerah setelah berpikir cukup lama juga.

“Aku janji,” sahut Rangga tersenyum.

*******************

Rangga mengamati bangunan batu yang tampaknya hanya terdiri dari satu ruangan saja. Tak ada jendela, hanya sebuah pintu yang dijaga dua orang saja. Sementara Ki Jamat menyembunyikan diri di balik batang pohon yang sangat besar di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Kau harus ke sana sendiri, Rangga,” bisik Ki Jamat

“Baik. Kau tunggu saja di sini,” sahut Rangga.

Slap!

Tanpa menunda-nunda waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melesat cepat ke arah bangunan batu itu. Dua orang penjaga pintu seketika terkejut. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu yang berarti, Rangga sudah memberi dua pukulan beruntun. Maka dua orang itu langsung ambruk tanpa sempat bersuara sedikit pun.

Cepat Rangga membuka kunci pintu itu, dan mendorongnya hingga terbuka lebar. Tampak di dalam ruangan yang cukup besar dan indah, Mega tengah duduk lesu di tepi pembaringan. Gadis itu terkejut begitu melihat Rangga muncul, lalu langsung bangkit berdiri dan berlari menghampiri.

“Kakang....”

“Ayo! Cepatlah, sebelum yang lain datang,” kata Rangga.

Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menarik tangan Mega, dan membawanya berlari meninggalkan bangunan batu itu. Tapi sebelum jauh berlari, terdengar teriakan keras menggelegar.

“Berhenti...!”

“Kakang...,” tercekat suara Mega.

“Kau terus berlari ke sana,” perintah Rangga.

“Kau...?”

“Cepatlah, sebelum mereka sampai!” desak Rangga seraya mendorong tubuh gadis itu.

Pada saat itu terlihat sekitar dua puluh orang berlarian ke arah mereka. Sebentar Mega memandangi pemuda berbaju rompi putih itu, kemudian berlari ke arah yang ditunjuk Rangga tadi. Namun begitu sampai ke dekat pohon, mendadak saja ada yang menarik tangan gadis itu.

“Ah...!” Mega terpekik.

Gadis itu terjatuh. Matanya membeliak begitu melihat yang menarik tangannya adalah Ki Jamat

“Ssst.., aku akan membawamu keluar dari sini,” bisik Ki Jamat

Mega kelihatan tidak percaya.

“Aku yang membawa Rangga ke sini. Ayo cepat, nanti keburu ketahuan mereka!”

Mega tidak bisa lagi menolak ketika tangannya ditarik laki-laki tua kurus itu. Mereka kemudian berlari secepatnya menembus kelebatan Hutan Gunung Parakan ini. Sementara itu, Rangga masih berdiri tegak menanti kedatangan dua puluh orang yang berlarian ke arahnya. Dan mereka semua mengenakan baju hitam, bersenjatakan golok yang teracung di atas kepala.

“Kepung...!” terdengar teriakan memerintah.

Sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam itu langsung berlompatan mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Mereka menggerak-gerakkan goloknya melintang di depan dada. Sedangkan Rangga hanya merayapi gerak-gerik orang-orang berpakaian serba hitam Itu dengan sikap waspada. Dicobanya untuk mengukur rata-rata kepandaian para pengepungnya ini.

“Ha ha ha...! Kau terlalu berani mendatangi tempatku, Rangga!”

Rangga berpaling begitu mendengar suara keras yang sudah dikenalnya. Pandangannya langsung tertumbuk pada seorang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju hijau tua. Tampak sebilah golok bergagang hitam terselip di pinggangnya. Dia diapit dua orang yang berwajah kasar dan bengis.

“Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, karena hanya akan mengantarkan nyawamu saja, Rangga,” kata Ki Puliga mengejek.

“Aku khawatir, kedatanganku justru akan membuat kau terbang ke neraka,” balas Rangga sinis.

“Ha ha ha...!” Ki Puliga tertawa terbahak-bahak mendengar balasan Rangga yang bernada sinis.

Sedangkan Rangga hanya diam saja dengan mata bersorot tajam. Orang-orang yang berada di sekitarnya ikut tertawa, meskipun tidak sekeras tawa si Iblis Gunung Parakan itu.

“Rangga, kuhargai kedatanganmu ke sini. Sebagai rasa hormatku, aku akan mengajakmu bertarung sebagai seorang laki-laki jantan!” tantang Ki Puliga lantang dan tegas.

“Dengan senang hati, kuterima tawaranmu,” sambut Rangga.

“Bagus. Ha Ha ha...!”

Iblis Gunung Parakan itu melompat cepat, dan mendarat sekitar lima langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti. Tangannya dikibaskan ke samping, dan semua orang yang berada di sekeliling tempat itu langsung bergerak mundur menjauh. Rangga tersenyum menyaksikan kejantanan laki-laki setengah baya itu. Jarang sekali seorang tokoh hitam memiliki jiwa seperti Ki Puliga ini. Dan itu sangat dihargai Pendekar Rajawali Sakti.

“Karena kau tamu di sini, aku beri kesempatan padamu untuk menyerang lebih dahulu,” kata Ki Puliga.

“Terima kasih. Tapi, aku perlu sambutan darimu,” tolak Rangga halus.

“Ha ha ha...! Kau memang benar-benar seorang ksatria, Rangga. Baik, bersiaplah! Hiyaaat...!”

“Hup!” Rangga langsung menggeser kakinya ke samping ketika Ki Puliga melompat menerjang seraya melontarkan dua pukulan beruntun. Hanya dengan sedikit meliukkan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti itu dapat menghindari serangan si Iblis Gunung Parakan itu. Tapi Rangga sempat terkejut juga. Karena, ternyata serangan awal yang dilancarkan Ki Puliga mengandung pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali. Jadi, tak heran kalau angin pukulannya membuat tubuh Rangga sedikit goyah. Cepat Rangga menggeser kakinya ke belakang, dan langsung kembali bersiap pada saat Ki Puliga melancarkan serangan berikut

“Hiyaaat..!” Ki Puliga berteriak keras.

Si Iblis Gunung Parakan itu langsung menerjang melontarkan pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada. Cepat sekali Rangga menarik tubuhnya ke samping agak miring, maka pukulan Ki Puliga lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun tanpa diduga sama sekali, si Iblis Gunung Parakan itu mengibaskan kakinya menyamping ke arah perut

“Hup...!”

Cepat Rangga melentingkan tubuhnya berputar ke belakang, membuat sepakan kaki Ki Puliga tidak mengenai sasaran. Si Iblis Gunung Parakan itu terus melancarkan serangan-serangan dahsyat, meskipun Rangga selalu bisa menghindari dengan manis sekali. Tak terasa, laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu sudah menghabiskan lima jurus dalam waktu singkat. Tapi sampai saat ini belum ada satu serangan pun yang berhasil mengenai sasaran. Hal ini membuatnya jadi berang.

Sret! Ki Puliga tidak bisa lagi menahan geramnya. Langsung dicabut goloknya. Asap hitam seketika berkepul dari golok yang berwarna hitam pekat itu. Buru-buru Rangga melompat mundur sebanyak tiga tindak. Dia sudah pernah menghadapi si Iblis Gunung Parakan yang bersenjatakan golok itu. Maka Pendekar Rajawali Sakti tidak mau melakukan dua kali kesalahan yang bisa mengakibatkan kerugian besar pada dirinya

Cring! Ki Puliga melompat mundur dua tindak begitu Rangga mencabut pedang pusakanya. Tampak pedang itu memancarkan cahaya biru berkilauan menyilaukan mata. Sementara orang-orang yang berada di sekelilingnya juga langsung terkejut. Mereka kontan merasakan matanya jadi pedih, tak sanggup menentang sinar biru yang berkilauan itu.

“Hm...!” Ki Puliga menggumam kecil.

Bet! Wuk!

Laki-laki setengah baya yang mengenakan baju warna hijau tua itu langsung cepat mengecutkan goloknya. Dan seketika itu juga asap yang mengepul, semakin banyak. Bahkan kini bercampur asap merah. Rangga segera memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, dan telapak tangan kirinya menempel pada mata pedang. Lalu dengan cepat ditarik tubuhnya ke kanan, seraya mengebutkan pedangnya ke depan. Gerakan itu menandakan kalau Rangga sedang mempersiapkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus andalan yang jarang sekali digunakan kalau tidak mendapatkan lawan yang tangguh.

“Hiyaaat...!” sambil berteriak nyaring, Ki Puliga melompat menerjang dengan kecepatan bagai kilat.

Wut!

“Yeaaah...!”

Swing!

Secepat itu pula tubuh Rangga melenting sambil mengibaskan pedang, tepat saat si Iblis Gunung Parakan itu juga membabatkan goloknya. Tak dapat dihindari lagi, seketika dua senjata sakti beradu keras di udara.

Glarrr! Satu ledakan keras menggelegar, membuat jantung siapa saja yang mendengarnya akan terasa bagai pecah. Tampak dua orang itu sama-sama terpental ke belakang, namun dengan manis sekali mendarat di tanah. Ki Puliga langsung cepat menggerakkan kakinya menyusur tanah sambil berteriak keras melengking tinggi.

“Hiyaaat...!”

“Hup!”

Cepat sekali Rangga mengegoskan tubuhnya menghindari sodokan ujung golok yang mengepulkan asap beracun itu. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti itu cepat mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Ki Puliga langsung melompat seraya menarik goloknya kembali. Namun sebelum mendarat, Rangga sudah memberi serangan dengan mengibaskan cepat pedangnya beberapa kali. Hal ini membuat Ki Puliga agak kelabakan juga menghindarinya. Beberapa kali pedang Pendekar Rajawali Sakti itu ditangkis dengan goloknya.

Jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dimainkan Pendekar Rajawali Sakti memang dahsyat sekali. Gerakannya begitu cepat, dan kibasan pedangnya berbahaya sekali. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya kelebatan cahaya biru dan putih yang mengurung tubuh si Iblis Gunung Parakan. Namun Ki Puliga juga bergerak cepat seraya mengecutkan goloknya. Akibatnya, asap hitam semakin menggumpal, seakan-akan melindungi dirinya dari incaran maut Pedang Rajawali Sakti.

“Uh...!” tiba-tiba saja Ki Puliga mengeluh mendengus kencang.

Si Iblis Gunung Parakan itu mencoba melompat keluar dari arena pertarungan, tapi Rangga tidak membiarkannya. Dia cepat memburunya dengan pedang yang berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Jelas sekali, kalau gerakan-gerakan yang dilakukan si Iblis Gunung Parakan itu mulai tidak beraturan. Entah kenapa, perhatian laki-laki setengah baya itu jadi pecah. Memang tanpa disadarinya, semua yang terjadi pada dirinya akibat pengaruh dari jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Setan! Yeaaah...!” tiba-tiba saja Iblis Gunung Parakan berteriak keras.

Cepat-cepat dikebutkan goloknya, tepat di saat ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti hampir menghunjam dadanya. Begitu senjata mereka beradu, secepat itu pula Ki Puliga melompat ke belakang sejauh satu batang tombak. Dia langsung membuat gerakan-gerakan cepat untuk menguasai kembali keseimbangan jiwanya yang hampir terpecah belah.

“Phuih...!” dengus Ki Puliga geram.

Kembali dibuatnya gerakan-gerakan cepat. Goloknya berkelebatan mengelilingi tubuhnya. Seketika, seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu berselimut asap hitam agak kemerahan. Rangga yang menyaksikan itu semua, langsung menempelkan telapak tangannya pada mata pedang. Perlahan digosok mata pedang itu. Kini mereka sama-sama mempersiapkan satu ajian pamungkas yang paling dahsyat.

“Hiyaaat..!” Ki Puliga berteriak keras sambil melompat cepat bagaikan kilat.

“Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaah...!” teriak Rangga menggelegar.

Tepat pada saat golok Ki Puliga membabat ke arah dada, Rangga cepat sekali menangkisnya dengan pedang yang melintang di depan dada.

Trang! Glarrr!

“Hih!” Ki Puliga mencoba menarik goloknya, namun jadi terkejut setengah mati. Ternyata goloknya menempel kuat pada pedang yang bersinar biru itu. Ki Puliga mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk melepaskan goloknya. Namun semakin berusaha keras, goloknya semakin erat menempel.

“Setan...!” dengus Ki Puliga menggeram. Si Iblis Gunung Parakan itu semakin geram bercampur rasa keheranan yang amat sangat. Karena saat mencoba melepaskan pegangannya pada tangkai golok, telapak tangannya bagai terpatri kuat, tak bisa dilepaskan lagi. Kemudian darahnya terasa cepat mengalir. Ki Puliga terkejut bukan main. Baru disadari kalau kekuatannya mulai mengalir keluar. Dan dia tidak punya kesempatan lagi untuk mengerahkan ajian yang digunakannya sewaktu melawan Rangga dulu.

“Hih...!” Buru-buru si Iblis Gunung Parakan itu menahan aliran kekuatannya. Tapi semakin mencoba bertahan, semakin kuat saja tenaganya tersedot tanpa bisa dikendalikan lagi. Saat itu juga, terlihat cahaya biru menggumpal menjalar menyelubungi tangan si Iblis Gunung Parakan itu. Dan terus menjalar perlahan, namun pasti.

“Uh! Ilmu apa yang digunakannya...?” dengus Ki Puliga bertanya-tanya di dalam hati.

Semakin kuat Iblis Gunung Parakan itu membuat perlawanan, semakin cepat cahaya biru menjalar menyelimuti dirinya. Bahkan semakin kuat pula tenaganya tersedot keluar. Keringat mulai membanjiri seluruh tubuhnya. Dan Ki Puliga merasa lebih dari separuh kekuatannya sudah tersedot.

“Ughk! Aaakh...!” Ki Puliga mulai menggeliat dan berteriak-teriak.

Namun Rangga semakin kokoh. Memang, Pendekar Rajawali Sakti telah mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' pada tahapan terakhir, sehingga membuat seluruh tubuhnya membiru dan bersinar terang. Daya tahan yang dimiliki Ki Puliga, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa lagi menahan arus kekuatan aji 'Cakra Buana Sukma'.

“Aaakh...!” Ki Puliga kembali memekik keras. Seluruh tubuh si Iblis Gunung Parakan itu menggeletar hebat. Sementara itu, dua orang pembantu utamanya menjadi geram menyaksikan pemimpinnya berkelojotan meregang nyawa. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka berlompatan sambil mencabut goloknya, langsung dibabatkan ke tubuh Rangga. Tapi keajaiban seketika terjadi. Pada saat golok mereka menghantam tubuh Pendekar Rajawali Sakti, tubuh dua orang itu terpental deras diiringi pekikan keras melengking tinggi.

“Aaa...!” “Aaa...!”

Rakat dan Badir, langsung menggelepar di tanah. Tampak seluruh tubuh mereka membiru. Dari mulut, hidung, dan telinga mengucurkan darah kental kehitaman. Tak berapa lama kemudian, dua pembantu utama si Iblis Gunung Parakan itu diam tak bernyawa lagi. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun. Dia hanya melirik sedikit pada dua orang yang menggeletak tak bernyawa lagi.

“Hih! Yeaaah...!” tiba-tiba saja Rangga berteriak keras.

Seketika itu juga pedangnya ditarik, dan dengan cepat sekali dikibaskannya ke leher Ki Puliga. Tebasan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat dan tiba-tiba, tak mampu dihindari lagi. Hingga...

Cras! “Aaa...!”

Sebentar Ki Puliga masih mampu berdiri tegak, kemudian ambruk dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung menyembur dari leher yang buntung tanpa kepala lagi. Sebentar Ki Puliga masih mampu bergerak, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

“Hhh...!” Rangga menarik napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah mundur beberapa tindak. Pandangannya beredar pada semua orang yang berada di sekitarnya. Tiba-tiba saja, mereka semua membuang senjata dan menjatuhkan diri berlutut

Pada saat itu, terdengar suara-suara langkah kaki orang banyak disertai teriakan-teriakan keras membahana. Tak berapa lama kemudian, muncul para penduduk Desa Parakan. Mereka tampak terkejut begitu melihat mayat si Iblis Gunung Parakan dan dua orang pembantu utamanya tewas tergeletak berlumuran darah. Juga tampak sekitar dua puluh orang lebih berpakaian serba hitam tengah berlutut dengan kepala tertunduk di depan Rangga. Di antara para penduduk desa itu, terlihat Mega dan Ki Jamat. Gadis itu bergegas berlari menghampiri Rangga.

“Kakang...,” desah Mega seraya memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu.

Rangga menepuk-nepuk punggung gadis itu, dan melepaskan pelukannya dengan halus. Dipandangnya Ki Jamat yang tersenyum-senyum. Sinar mata laki-laki tua itu tampak memancarkan kegairahan hidup lagi, tidak seperti pertama kali Rangga melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti itu membalas tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit

“Ayo, tangkap mereka semua...!” seru Ki Jamat memberi perintah.

Dan para penduduk Desa Parakan, langsung bergerak. Mereka mengikat tangan orang-orang berbaju hitam itu dengan tambang, lalu menggiringnya menuruni Gunung Parakan ini. Sorak-sorai terdengar gegap gempita, seakan-akan hendak meruntuhkan gunung ini. Penduduk Desa Parakan itu benar-benar bergembira karena Iblis Gunung Parakan telah musnah. Mereka jadi melupakan Rangga yang hanya memandangi disertai senyum di bibir, didampingi Mega.

“Kakang, apakah kau tidak melihat Kakang Partanu?” tanya Mega.

Rangga menoleh, menatap gadis itu. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Sukar untuk menjelaskan pada gadis ini, karena dia sendiri tidak tahu, di mana Partanu kini berada. Apakah masih hidup atau sudah tewas. Karena luka yang diderita pemuda itu cukup parah akibat pertarungannya melawan Pendekar Rajawali Sakti.

“Nanti akan kujelaskan,” kata Rangga agak mendesah.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengajak Mega meninggalkan tempat ini. Mega masih belum puas, dan terus mendesak Rangga agar mengatakan keberadaan Partanu. Dan Rangga semakin iba melihat gadis ini. Cintanya begitu besar, sehingga tidak peduli kalau ayahnya tewas oleh orang tua kekasihnya itu. Dia juga tidak peduli kalau pernah dikurung si Iblis Gunung Parakan, ayah dari Partanu.

Rangga tak punya pilihan lain lagi. Diceritakannya semuanya tentang Partanu. Dari mulai pertarungannya, hingga pemuda itu lenyap dibawa seorang laki-laki tua dari Lembah Kematian. Terdengar suara isak perlahan dari gadis itu. Tapi, rupanya Mega mencoba untuk bertahan agar tidak larut.

“Maafkan aku, Mega. Aku sudah berusaha, tapi rupanya takdir memang menentukan lain,” ucap Rangga menyesal.

“Tidak, Kakang. Kau tidak perlu meminta maaf. Mungkin memang belum jodoh,” sergah Mega agak tersendat.

“Jika Hyang Widi menghendaki, aku yakin kau akan dipertemukan kembali dengan Partanu,” hibur Rangga.

“Apakah itu mungkin, Kakang?”

“Ya! Semuanya bisa saja terjadi tanpa kita ketahui sebelumnya. Aku sendiri yakin kalau Partanu masih hidup. Tapi entah di mana sekarang,” sahut Rangga.

“Kakang! Kalau kau bertemu Kakang Partanu, katakan kalau aku masih menunggu di Desa Parakan. Kau bersedia, bukan?” pinta Mega berharap.

“Tentu,” sahut Rangga untuk menyenangkan hati gadis itu.

“Terima kasih, Kakang.”

SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA: KEMBANG KARANG HAWU