Kemelut Blambangan Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Kemelut Blambangan

Jilid 10
"BIAR Ayahmu yang memberi penjelasan untuk menjawab pertanyaanmu itu, Joko!" kata Muryani sambil tersenyum memandang kepada suaminya.

"Kita selesaikan dulu makan kita, nanti kuberi penjelasan." kata Parmadi.

Mereka melanjutkan makan dan setelah selesai, Muryani membereskan sisa bekal makanan dan membungkusnya lagi. Parmadi lalu memandang puteranya yang duduk di depannya.

"Pengalaman merupakan pelajaran yang paling baik, Joko, karena merupakan kenyataan yang dialaminya sendiri, bukan hanya mendengarkan keterangan orang lain. Engkau tadi merasakan sendiri betapa nikmatnya makan seperti ini. Pengalaman tadi mengajarkan kenyataan kepadamu bahwa kelezatan makan hanya memegang peran kecil saja untuk membuat orang dapat menikmati makanan. Yang membuat orang dapat menikmati makanan adalah badan sehat, hati bahagia, pikiran tenteram, dan dapat menerima apa yang ada sebagai karunia Gusti Allah."

"Masih ada lagi, Ayah."

"Apa itu?"

"Perut lapar!"

"Ha-ha-ha, tentu saja! Keadaan di tempat terbuka, di alam bebas seperti ini membuat kita merasa bersatu dengan alam, merasa bebas dari semua ikatan dan urusan dunia yang ruwet. Hal ini menimbulkan perasaan bersyukur kepada berkat Gusti Allah yang berlimpah-limpah. Menerima segala macam keadaan apa adanya tanpa menilainya sebagai baik atau buruk, mendatangkan rasa bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah dan inilah yang membuat hati bahagia dan pikiran tenteram itu sehingga kita dapat menikmati hidup ini."

"Wah, Kakangmas, jangan terlalu tinggi, nanti Joko malah menjadi pusing dan tidak mengerti." Muryani mengingatkan.

"Bagaimana, Joko, apakah engkau mengerti?" tanya Parmadi.

Joko Galing mengangguk, "Menurut pengertianku, pendeknya aku tidak boleh mengeluh dan menerima apa adanya dengan bersyukur dan berterima kasih, benarkah ini, Ayah?"

"Benar, hanya perlu ditambah sedikit, yaitu bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah."

"Nah, ini yang ingin kuketahui dengan jelas, Ayah. Aku sering mendengar dari Ayah dan Ibu yang menyebut-nyebut Gusti Allah. Sesungguhnya, siapakah Gusti Allah itu, Ayah?"

Parmadi saling pandang dengan Muryani. Karena pertanyaan ini diajukan oleh anak berusia enam tahun, walaupun mereka tahu akan kecerdasan Joko Galing, maka jawabannya harus disesuaikan pula dengan alam pikiran dan pengertian seorang anak kecil.

"Dengar baik-baik, Joko. Yang kita sebut gusti Allah itu adalah Sang Maha Pencipta, yang menciptakan dan mengadakan segala sesuatu di permukaan bumi, juga yang berada di dalam bumi dan di awang-awang. Segala tumbuh-tumbuhan, dari lumut sampai pohon beringin, segala hewan, dari semut sampai gajah, semua manusia apa saja tidak akan ada kalau tidak diadakan oleh Gusti Allah. Juga cacing-cacing di dalam tanah, ikan-ikan dalam air, burung-burung di udara, segala sesuatu yang hidup dan yang mati, adalah ciptaan Gusti Allah, juga awan, hujan, kilat, badan, matahari, bintang, pendeknya apa saja, semua itu ada karena dibikin ada oleh Gusti Allah Yang Maha Kuasa! Sebutir pasir pun tidak akan ada kalau tidak diadakan atas kekuasaan Gusti Allah. Nah, sudah jelas, bukan?"

Joko Galing bengong mendengar ini. Pikirannya melayang-layang mencoba untuk membayangkan kekuasaan yang demikian hebatnya. "Kalau begitu kekuasaan Gusti Sultan Agung juga masih kalah besar, Ayah!"

Ayah ibunya tertawa dan Muryani merangkulnya. "Tentu saja! Biarpun Gusti Sultan Agung itu besar kuasanya, namun itu hanya kekuasaan seorang manusia dan beliau juga merupakan ciptaan Gusti Allah. Kekuasaan Gusti Allah tidak dapat kau bandingkan dengan apa atau siapapun juga. Kekuasaan manusia, betapapun pandai dan saktinya dia, hanya merupakan setetes air dibandingkan kekuasaan Gusti Allah tiada batasnya. Bahkan air samudera itu hanya merupakan sebagian kecil saja dari ciptaan Gusti Allah."

Joko Galing semakin bengong, terheran-heran karena baru sekarang dia mendengar tentang kekuasaan Gusti Allah yang demikian besar, tak terbayangkan oleh akal pikirannya.

"Hayo kita lanjutkan perjalanan kita. Joko, tidak perlu engkau pusing memikirkan semua yang telah kau dengar tadi. Kelak engkau akan mengerti sendiri."

"Baik, Ayah..."

Mereka menunggang kuda mereka yang sudah mengaso dan makan rumput sejak tadi, lalu melanjutkan perjalanan mereka. Setelah matahari mulai condong ke barat, jalan umum yang sepi itu membawa mereka keluar dari hutan. Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak kuda dari arah belakang. Mereka berhenti dan menengok ke belakang. Debu mengebul tinggi dan Parmadi dapat menduga bahwa yang datang itu adalah rombongan yang terdiri dari sedikitnya sepuluh orang, melihat tebalnya debu mengebul dan suara derap kaki kuda.

"Minggir, Diajeng, Joko, ambil tempat di belakangku!" kata Parmadi untuk menjaga segala kemungkinan.

Setelah rombongan itu tiba dekat, Parmadi mendapat kenyataan bahwa mereka terdiri dari tiga belas orang. Tiga orang yang berada terdepan agaknya yang memimpin rombongan itu karena pakaian mereka berbeda dari sepuluh orang yang lain. Terutama pemuda tampan yang berada paling depan.

Pemuda ini berusia sekitar dua puluh lima tahun, pakaiannya mewah dan dari pakaian dan kain kepalanya, dapat diduga bahwa dia berasal dari Nusa Bali. Ada pun yang dua orang lagi, menunggang kuda dan kini mengapit pemuda itu, berpakaian seperti bangsawan Bali pula. Yang pertama berusia sekitar empat puluh satu tahun, bertubuh tinggi kurus, bermata sipit hidungnya pesek dan mulutnya cemberut terus.

Ada pun orang kedua berusia sekitar tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya bopeng (bekas cacar), matanya lebar hidungnya besar dan mulutnya menyeringai terus. Parmadi, Muryani, dan Joko Galing berada di atas kuda mereka, bersikap tenang berhadapan dengan rombongan itu.

"Kisanak, engkau tentu yang bernama Parmadi dari Pasuruan yang berjuluk Si seruling Gading itu, bukan?" Tanya pemuda tampan berpakaian bangsawan Bali itu.

Dari logat bicaranya pun dapat diketahui bahwa dia adalah seorang dari Bali. Parmadi tidak mengenal tiga orang yang memimpin rombongan berkuda itu. Kalau rombongan ini dapat mengejar dan menyusulnya, berarti mereka tahu ke arah mana dia dan anak isterinya pergi dan hal ini berarti mereka telah mencari keterangan di Pasuruan, mungkin mendapatkan keterangan dari para pelayan di rumahnya yang mengetahui bahwa dia sedang melakukan perjalanan menuju ke Gunung Muria.

"Benar, sekali, Kisanak. Aku adalah Parmadi. Siapakah Andika dan ada keperluan apakah Andika mengejar kami?"

"Aku bernama Tejakasmala, utusan Sang Adipati Blambangan." kata pemuda itu engan nada suara yang membayangkan kebanggan terhadap dirinya sendiri sehingga terdengar congkak sekali.

"Dan aku pembantunya, Cakrasakti senopati terkenal dari Klungkung." kata orang yang tinggi kurus.

"Aku Cakrabaya, juga senopati dari Bali." kata orang yang tinggi besar bermuka bopeng.

Parmadi merasa heran. "Kalian bertiga ini adalah orang-orang Bali, bagaimana dapat menjadi utusan Adipati Blambangan? Dan mengapa mengejar kami yang tidak mempunyai urusan apapun dengan Bali dan Blambangan?"

"Hemm, Parmadi. Apakah Andika tidak tahu bahwa Blambangan dan Bali tidak dapat dipisahkan? Kami adalah utusan dari Kerajaan Klungkung di Bali yang diperbantukan kepada Adipati Blambangan. Sekarang kami menjadi utusan yang berkuasa penuh dari Adipati Blambangan. Beberapa bulan yang lalu kami mencari Andika di Pasuruan, akan tetapi Andika tidak berada di rumah. Sekarang kami datang lagi di Pasuruan, akan tetapi mendapat keterangan bahwa Andika pergi menuju Gunung Muria. Karena itu kami segera mengejar dan dapat menyusul Andika di tempat ini."

Parmadi mengangguk-angguk. Dia memang mendengar dari para pelayannya bahwa ketika dia dan anak isterinya pergi membawa Joko Galing melihat lautan, ada tiga orang berpakaian Bali datang mencarinya. Kiranya tiga orang ini, dan kini mereka membawa sepuluh orang anak buah!

"Lalu apa keperluannya Andika bertiga diutus Adipati Blambangan untuk mencariku?"

"Parmadi, kami diutus Sang Adipati Blambangan untuk mengundang Andika menghadap beliau di Blambangan, sekarang juga." kata Tejakasmala dengan suara membujuk.

Melihat keadaan suami isteri yang elok dan gagah ini, dalam hatinya Tejakasmala merasa kagum. Suami isteri yang tenang dan tampak berwibawa ini lebih menguntungkan dijadikan kawan daripada lawan. Pandangan Tejakasmala yang tajam dapat menegenal orang sakti mandraguna dari sikapnya.

"Maafkan kami, Tejakasmala, kalau kami terpaksa tidak dapat memenuhi undangan itu. Selain kami tidak mempunyai persoalan dengan Kadipaten Blambangan, juga kami hendak pergi ke Muria dan tidak ada waktu luang"

Tejakasmala mulai mengerutkan alisnya, mulai berkurang kesabarannya. Pemuda ini bukan orang jahat walaupun dia memang berwatak sombong dan suka mengagulkan diri sendiri. Dia setia kepada Bali dan menganggap diri sendiri seorang pahlawan. Akan tetapi, belum pernah dia melakukan kejahatan.

"Parmadi, kami adalah utusan Adipati Blambangan yang telah diberi hak dan kekuasaan untuk bertindak. Maka, sekali lagi kutegaskan bahwa Sang Adipati Blambangan memerintahkan agar Andika sekarang juga ikut bersama kami menghadap beliau di Blambangan!"

Parmadi mengerutkan alisnya. "Tejakasmala, aku bukan kawula Blambangan. Adipati Blambangan tidak berhak memerintahkan aku menghadapnya di Blambangan dan aku pun tidak merasa berkewajiban untuk mentaati perintahnya."

"Babo-babo, Parmadi! Andika menantang? Ingat, kami telah diberi kekuasaan untuk memaksamu pergi menghadap ke Blambangan!"

"Hei, bocah lancang keparat Tejakasmala! Siapakah engkau ini, berani memaksa orang untuk mentaati kehendakmu? Kalau suamiku tidak mau, kalian mau apa?" Muryani dengan marah meloncat turun dari punggung kudanya.

Tejakasmala tersenyum. Biarpun usia Muryani sudah tiga puluh lima tahun, namun masih tampak cantik dan luwes. Dia menjawab sambil tersenyum, "Maaf, kalau tidak mau, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan karena perintahnya, Parmadi harus dibawa menghadap, hidup atau mati."

"Hidup atau mati? Jahanam busuk, engkaulah yang akan mati lebih dulu!"

Wanita itu dengan gerakan cepat sejaki tekah menerjang ke depan dan kedua tangannya memukul. Hawa panas sekali menyambar ke arah Tejakasmala.

"Hyaaaatttt!" itulah Aji pukulan Bromo Latu yang mengandung tenaga sakti yang amat panas.

Tejakasmala terkejut juga menghadapi serangan yang dahsyat itu. Tubuhnya mencelat ke atas untuk menghindar dari hawa pukulan yang menyambar itu. Terdengar kuda yang ditunggangi Tejakasmala meringkik keras yang roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika!

cerita silat online karya kho ping hoo

Diajeng...!" Parmadi hendak mencegah namun sudah tidak keburu. Dia pun segera melompat turun dan berkata kepada Joko Galing. "Engkau tunggu dibawah pohon sana."

Joko Galing tidak takut melihat betapa ayah ibunya dihadapi tiga belas orang itu. Dia yakin akan kesaktian ayah ibunya maka ketika ayahnya berkata semikian, dia lalu menjalankan kudanya ke bawah pohon besar tak jauh dari situ. Dia turun, menambatkan kudanya pada batang pohon dan berdiri menonton. Dia menahan diri untuk tidak bertepuk tangan melihat betapa pukulan ibunya tadi merobohkan dan menewaskan kuda besar yang tadi ditunggangi laki-laki sombong yang mengaku bernama Tejakasmala itu.

Tejakasmala marah bukan main, akan tetapi dia pun terkejut. Dia memang sudah mendengar keterangan dari Blambangan bahwa selain Parmadi itu sakti mandraguna, juga isterinya memiliki kesaktian. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa isteri Parmadi sedahsyat itu pukulannya! Karena kudanya dipukul mati, Tejakasmala marah dan dia segera menerjang ke arah Muryani dengan Aji Condromowo yang amat ganas dan dahsyat. Kedua telapak tangan pemuda itu menjadi merah membara dan hawa panas terasa sampai jauh.

"Haiiittt....!" Dia menerjang sambil menghantamkan tangan yang dipenuhi Aji Condromowo itu.

"Biar aku menyambutnya!" kata Parmadi dan tubuhnya sudah berkelebat kedepan isterinya, lalu dia menggerakkan tangan menyambut pukulan tangan membara itu dengan Aji Surya Hasta.

"Wuuutttt.... wessss... !!" Pukulan panas tangan Tejokasmala itu seolah bara api bertemu air dingin. Uap dan asap mengepul ketika dua tangan itu bertemu dan kedua orang itu terdorong ke belakang sampai beberapa langkah. Keduanya terkejut akan tetapi Parmadi memandang heran.

Pemuda itu ternyata memiliki tenaga yang amat dahsyat sehingga ketika dia menangkis, pertahanannya hampir saja bobol! Dia bersikap hati-hati sekali dan lebih banyak menghindarkan diri mengandalkan keringanan tubuh dan gerakannya yang membuat tubuhnya seperti bayangan yang sukar diserang. Tejakasmala yang merasa penasaran menyerang terus. Dia sudah mengambil keputusan untuk membunuh suami isteri yang amat berbahaya bagi Blambangan itu.

Juga ini sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Bhagawan Kalasrenggi atas nama Adipati Santa Guna Alit dan para pimpinan persekutuan yang terdiri dari Blambangan, Klungkung Bali, orang-orang Madura yang memusuhi Mataram di luar tahunya Pangeran Cakraningrat yang oleh Sultan Agung telah diangkat menjadi penguasa di Madura. Selain itu, juga terdapat pula wakil Kumpeni Belanda. Mereka sudah sepakat untuk membunuh Parmadi dan isterinya yang sakti itu.

Tugasnya adalah membujuk Parmadi untuk menyerah kepada Blambangan. Kalau suami isteri itu tidak mau menyerah, mereka harus dibunuh karena kelak mereka akan menjadi penghalang besar bagi Blambangan yang ingin menyerbu Pasuruan sebagai langkah pertama untuk menyerang Mataram. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan menarik antara Parmadi dan Tejakasmala.

Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kesaktian yang hebat. Tejakasmala adalah murid terkasih dari Bhagawan Ekabrata, seorang pertapa yang sakti mandraguna di Gunung Agung, Bali. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Parmadi, murid terkasih mendiang Ki Tejo Wening yang juga seorang pertapa yang sakti mandraguna.

Gerakan kedua orang yang saling serang ini mendatangkan hawa pukulan yang menyambar-nyambar sehingga mengguncang ranting dan daun-daun pohon, bahkan orang lain dapat merasakan getaran yang melanda tanah di sekitar tempat pertempuran itu!

Sementara itu, melihat pemimpin mereka sudah saling serang dengan Parmadi, Cakrasakti dan Candrabaya, dua orang senopati Klungkung Bali itu tidak tinggal diam. Mereka berdua lalu mencabut senjata mereka, yaitu keris yang besar panjang dan mengkilap, kemudian sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, mereka menyerang Muryani.

Wanita cantik gagah ini sama sekali tidak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kanan meraih ke punggungnya dan tampak sinar kilat ketika ia sudah mencabut sebatang pedang tipis yang sinarnya berkilauan ketika tertimpa sinar matahari. Jarang sekali wanita ini mempergunakan senjata. Biasanya, cukup dengan kedua tangannya saja yang terisi berbagai ajian yang amat dahsyat, ia dapat mengalahkan para lawannya.

Akan tetapi kini ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh. Buktinya, baru pemuda tampan itu saja sudah dapat menandingi suaminya yang selama ini jarang bertemu tanding yang setimpal. Dua orang senopati dari Bali itu sudah cepat menerjang ke arah Muryani dengan keris mereka. Murani menggerakkan pedangnya.

"Trang! Cring!" Bunga api berpijar ketika dua batang keris itu tertangkis pedang dan dua orang itu terkejut bukan main karena dari tangkisan itu, tahulah mereka bahwa wanita cantik ini tidak boleh dipandang rigan. Tangan mereka tergetar ketika keris mereka bertemu pedang Muryani. Karena tidak ingin gagal, Cakrasakti memberi isyarat kepeda sepuluh orang anak buahnya dan mereka pun segera bergerak dan menggunakan senjata mereka untuk mengeroyok Muryani!

Mereka tidak berani membantu Tejakasmala karena maklum bahwa pemuda ini dapat marah kalau dibantu. Pula, mereka juga jerih terhadap Parmadi yang gerakannya demikian dahsyat. Tentu saja Muryani menjadi repot. Menghadapi pengeroyokan Cakrasakti dan Candrabaya saja ia sudah kewalahan. Apalagi kini ditambah sepuluh orang jagoan Bali yang rata-rata memiliki ketangkasan dan cukup tangguh.

Ia mulai terdesak dan menhadapi hujan senjata dari dua belas orang yang mengeroyoknya, ia hanya mampu memutar pedang dan menggunakan keringanan dan kecepatan gerak tubuhnya untuk melindungi dirinya agar jangan terkena sambaran senjata yang bertubi-tubi datangnya itu. Wanita perkasa yang tidak pernah gentar menghadapi bahaya apapun itu menjadi marah dan mulailah ia menggunakan tangan kirinya untuk menampar pengeroyok terdekat.

Tangan kirinya itu tidak kalah dahsyatnya dibandingkan pedang di tangan kanannya karena Muryani menampar dengan pengerahan Aji Gelap Sewu dan tubuhnya bergerak dengan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya ringan dan gerakannya cepat sekali. Terdengar dua orang pengeroyok menaduh dan mereka roboh terpelanting.

Biarpun tangan kiri Muryani tidak menyentuh tubuh mereka, akan tetapi sambaran angin pukulannya cukup kuat untuk membuat dua orang terdekat itu roboh dan menderita luka dalam yang rasanya panas. Akan tetapi Muryani semakin terdesak ketika dua orang senopati dari Bali itu memperhebat serangan mereka, dibantu oleh sisa anak buahnya yang masih delapan orang itu.

Tiba-tiba ketika ia berada dalam keadaan terdesak, kaki Cakrasakti yang panjang itu mencuat dan mengenai paha kiri Muryani.

"Bukk.... !" Tubuh Muryani terdorong dan terhuyung ke belakang. Namun ia masih dapat memutar pedangnya sehingga dapat melindungi dirinya dari kejaran dan serangan para pengeroyoknya. Melihat keadaan isterinya, Parmadi terkejut dan cepat dia melompat dan membantu isterinya yang terdesak. Sambaran suling gadingnya membuat empat batang kelewang (golok) para peneroyok terlempar dan orang-orangnya terdorong ke belakang. Akan tetapi Tejakasmala sudah mengejar dan menyerang Parmadi dengan dahsyat sekali sehingga terpaksa Parmadi meninggalkan isterinya untuk menghadapi serbuan Tejakasmala yang amat berbahaya itu. Dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru.

Akan tetapi Muryani, walaupun paha kirinya terasa nyeri, kini sudah dapat memperkuat pertahanannya karena empat orang pengeroyok yang senjatanya terlempar tadi kini kebingungan mencari senjata mereka yang terlempar. Bagaimanapun juga, karena paha kiri Muryani sudah terluka dan ia pun sudah merasa lelah, kembali ia terdesak dan hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran pedangnya.

Sementara itu, Parmadi juga mulai terdesak oleh Tejakasmala karena dia tidak dapat memusatkan perhatiannya yang sebagian tertarik untuk memperhatikan keadaan isterinya.

"Ayah...! Ibu...! Tolong....!" Parmadi dan Muryani terkejut bukan main mendengar jerit putera mereka itu. Mereka cepat menengok dan melihat betapa Joko Galing ditangkap dan dipondong seorang laki-laki yang melompat ke atas kuda yang tadi ditunggangi Joko Galing, lalu membalapkan kuda melarikan diri membawa anak laki-laki itu.

"Jahanam, lepaskan Joko!" bentak Parmadi, akan tetapi dia tidak berdaya karena Tejakasmala memperhebat serangannya dan tidak memungkinkan dia melakukan pengejaran terhadap penculik anaknya.

"Joko....!" Muryani juga menjerit, akan tetapi ia pun tidak dapat melepaskan diri dari kepungan para pengeroyoknya. Tentu saja suami isteri ini menjadi gelisah sekali memikirkan anak mereka dan hal ini membuat pertahanan mereka juga menjadi lemah. Mereka terdesak semakin hebat dan keadaan mereka menjadi gawat. Bahkan Muryani telah tergores golok pada pangkal lengan kirinya, dan Parmadi juga terkena tendangan Tejakasmala.

Walaupun tidak parah karena Parmadi melindungi tubuhnya dengan tenaga sakti, namun tendangan yang mengenai pinggangnya itu terasa cukup nyeri dan mengurangi kecepatan gerakannya.

Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan suami isteri itu, tiba-tiba terdengar derap kaki banyak kuda dan muncul perajurit Pasuruan sebanyak dua lusin orang! Mereka adalah pasukan penjaga perbatasan yang mendapat laporan dari seorang yang kebetulan lewat dan menyaksikan perkelahian antara suami isteri pendekar yang dikeroyok banyak orang itu.

Parmadi dan Muryani merupakan pasangan yang dihormati dan dikenal baik oleh semua perajurit dan penduduk Pasuruan, maka mendengar laporan itu perwira pasukan jaga lalu membawa dua losin orang perajurit menuju ke tempat itu. Akan tetapi sebelum pasukan Pasuruan itu turun tangan membantu Parmadi dan Muryani, tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan sinar keemasan yang panjang menyambar ke arah Tejakasmala yang sedang mendesak Parmadi.

Tejakasmala terkejut sekali, melompat ke samping untuk menghindar lalu dari samping dia menyerang dengan pukulan Aji Condromowo. Tangannya yang merah membara itu menyambar ke arah penyerangnya, akan tetapi yang diserang dengan tenangnya menyambut dengan dorongan tangan kirinya.

"Wuuuttt... darrrr.... !" Tejakasmala terdorong ke belakang. Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa orang yang menyerangnya dan yang kuat menahan serangan Aji Condromowo itu adalah seorang wanita cantik yang berpakaian sederhana serba putih!

Pada saat itu Parmadi sudah menerjangnya dan merasa bahwa dia tidak akan menang kalau menghadapi Parmadi yang dibantu wanita sakti itu, Tejakasmala segera melompat kebelakang. Wanita pakaian putih itu kini menggerakkan tubuh dan tubuhnya seolah melayang ke dekat Muryani. Kembali sinar emas dari sehelai sabuknya berkelebat, Cakrasakti dan Candrabaya cepat menangkis dengan keris mereka.

"Cring.... tranggg.... !!" Dua orang senopati itu terkejut dan cepat melompat ke belakang karena keris mereka patah ketika bertemu sabuk cinde keemasan itu!

Pada saat itu pasukan Pasuruan sudah melompat dari atas kuda dan menyerang orang-orang yang tadinya mengeroyok Muryani. Melihat ini, Tejakasmala dan dua orang pembantunya, Cakrasakti dan Candrabaya, maklum bahwa keadaan mereka kini terancam bahaya, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu melarikan diri, diikuti beberapa orang anak buah yang masih belum terluka dan sempat lari, meninggalkan teman-teman mereka yang tewas atau yang tidak mampu lari karena terluka parah.

Pasukan penjaga lalu merawat teman-temanya yang terluka. Permadi dan Muryani juga tidak melakukan pengejaran terhada orang-orang Bali yang menyerang mereka tadi karena kini seluruh perhatian mereka ditujukan kepada anak mereka yang dilarikan orang. Akan tetapi mereka bingung karena tidak tahu ke arah mana anaknya dilarikan orang tadi. Parmadi memandang kepada isterinya yang juga tampak termenung.

"Diajeng, aku merasa seperti mengenal orang yang melarikan Joko tadi..."

Muryani memandang suaminya dengan alis berkerut dan sinar matanya membayangkan kegelisahan. "Benar, Kakangmas. aku pun mengenalnya. Biarpun tampak lebih tua daripada dulu, akan tetapi tidak salah lagi, dia adalah si jahanam Setyabrata! Ah, ke mana dia tadi melarikan anak kita?"

Suami isteri itu memandang ke sekeliling dan tampak oleh wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang mereka, dalam jarak tiga tombak. Suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak, lalu hampir berbareng mereka berdua berseru, "Maya Dewi...!!"

Wanita berpakaian serba putih itu memang Maya Dewi. Ia sedang dalam perjalanan menuju ke Pasuruan setelah mendengar dari Lurah Ganjar bahwa mungkin sekali Blambangan akan menyerang Pasuruan yang merupakan benteng pertama kerajaan mataram. Ia akan membela Mataram, membela Pasuruan. Ketika tadi ia tiba di situ, ia melihat Tejakasmala dan kawan-kawannya mendesak Parmadi dan Muryani.

Seperti kilat terbayang dalam ingatannya betapa dulu, ia menjadi musuh besar Parmadi dan Muryani. Akan tetapi sekarang ia menyadari sepenuhnya bahwa suami isteri itu adalah orang-orang gagah perkasa dan bijaksana. Dan ia sendiri sudah pernah bertemu dan bertanding melawan Tejakasmala yang curang dan jahat. Maka ia segera turun tangan membantu suami isteri itu.

Dulu, ketika ia dan Bagus membantu ayah ibu Bagus Sajiwo, yaitu Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo, yang dibela Lindu Aji dan Sulastri, menghadapi Tejakasmala bersama banyak kawannya, ia sudah merasakan betapa saktinya Tejakasmala. Hanya Bagus Sajiwo yang mampu mengalahkannya, maka melihat Tejakasmala mendesak Parmadi, ia segera turun tangan membantunya, baru ia membantu Muryani sehingga Tejakasmala dan kawan-kawannya melarikan diri karena di situ muncul pula pasukan Pasuruan.

Melihat suami isteri itu mengenalnya Maya dewi tersenyum, merangkap kedua tangan depan dada sebagai sembah penghormatan lalu berkata dengan lembut, "selamat berjumpa, Parmadi dan muryani. benarkah bahwa putera Andika dilarikan Satyabrata?"

Dengan alis berketut dan mata bersinar tajam, Permadi berkata tegas. "Maya Dewi, katakan ke mana Satyabrata sahabatmu itu melarikan anakku Joko Galing!"

"Maaf, Parmadi. Bagaimana aku dapat mengatakan karena aku sama sekali bukan sahabat Satyabrata lagi."

"Bohong....!!" Muryani membentak marah, matanya mengeluarkan sinar berapi. "Engkau adalah mata-mata Kumpeni Belanda, seperti juga dia! Kalian adalah pasangan yang amat jahat dan keji! Siapa tidak mengenal Maya Dewi Si Iblis Betina Cantik dari Banten? Siapa tidak tahu bahwa Maya Dewi itu antek penjilat sepatu Belanda dan seorang iblis betina hina dan cabul, mempermainkan banyak pemuda lalu membunuhnya? Hayo, katakan ke mana anakku dibawa kekasihmu Satyabrata itu?"

Wajah Maya Dewi menjadi pucat dan sejenak ia memejamkan kedua matanya. merasakan betapa kata-kata itu seperti ujung keris-keris yang runcing menikami hatinya. Ia menggigit bibirnya dan setelah Muryani berhenti bicara, baru ia membuka matanya dan berkata, suaranya masih lembut.

"Muryani, aku mengaku bahwa dulu aku menjadi wanita sesat dan semua yang kau katakan tentang diriku itu benar, akan tetapi aku telah bertaubat dan aku bukan mata-mata Belanda lagi, tidak bersahabat dengan para penjahat."

"Bohong! Siapa tidak atahu bahwa Maya Dewi selain jahat dan kejam, juga amat curang dan licik?"

Maya Dewi tersenyum sabar. "Untuk membuktikan, aku akan mencari Satyabrata dan merampas kembali anakmu, Muryani!"

"Mampuslah!" muryani sudah menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi Maya dewi cepat menghindar dengan lompatan jauh ke belakang. Muryani hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang suaminya. Pada saat itu, pasukan dari Pasuruan yang mendengar bahwa wanita itu adalah Maya Dewi yang terkenal jahat, menjadi marah. "Bunuh mata-mata Belanda!"

"Bunuh perempuan jahat itu!" Para perajurit itu mengambil batu dan mereka menghujani Maya Dewi dengan lemparan batu-batu sebesar kepalan tangan!

Kembali Maya Dewi merasa jantungnya seperti disayat-sayat. Pedih dan sakit sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan batu-batu itu mengenai dirinya. Tak-tuk-tak-tuk batu-batu itu mengenai tubuhnya, bahkan ada yang mengenai kepalanya. Akan tetapi ia tidak peduli karena ia sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan, lalu ia berkata,

"Kalau kalian mengejar, mungkin saja Satyabrata membunuh anak kalian lebih dulu."

Setelah berkata demikian, Maya Dewi meninggalkan tempat itu dengan langkah tenang.

"Jangan dikejar!" teriak Parmadi ketika melihat pasukan itu hendak mengejar. 鈥淚a sakti dan berbahaya sekali. Kalian hanya akan bunuh diri kalau mengejar dan menyerangnya."

Mendengar teriakan Parmadi itu, pasukan berhenti dan tidak berani mengejar sehingga bayangan Maya Dewi lenyap di tikungan. Parmadi mengucapkan terima kasih kepada perwira yang memimpin pasukan, kemudian mengajak isterinya menunggang kuda mereka dan melarikan ke arah utara karena seorang dari para perajurit ada yang memberitahu bahwa Joko Galing tadi dilarikan orang di atas kuda menuju ke arah utara. Dalam perjalanan itu, Muryani yang sudah dapat memulihkan ketenangan hatinya, berkata kepada suaminya dengan suara mengandung penasaran.

"Kakangmas, mengapa engkau menghalangi aku mengejar iblis betina tadi? Aku tidak takut padanya!" Sambil memandang kepada suaminya dengan alis berkerut, ia melanjutkan. "Apa engkau percaya bahwa ia sudah bertaubat? Siapa mau percaya? Iblis sejahat itu, mana mungkin dapat berubah menjadi baik?"

"Aku juga tidak percaya begitu saja, Diajeng. Akan tetapi ada beberapa hal yang membuat aku mencegah engkau mengejarnya."

"Hemm, apakah alasan itu?"

"Pertama, kalau memang ia sekutu Satyabrata yang melarikan anak kita, mungkin saja ia memancing agar kita mengejarnya sehingga memberi kesempatan kepada satyabrata untuk pergi dengan aman."

"Hemm, kurasa masuk diakal pendapatmu itu, Kakangmas."

"Dan ke dua, kalau ia benar-benar bukan sekutu Satyabrata, kata-katanya tadi mengandung kebenaran, yaitu bahwa kalau kita mengejar Satyabrata dan memaksanya menyerahkan anak kita, mungkin saja jahanam itu membunuh Joko."

"Ah, kalau begitu, bagaimana baiknya, Kakangmas? Aduh, bagaimana kita dapat merampas kembali Joko dari tangan penjahat itu?" Suara Muryani mulai gemetar, wajahnya pucat.

"Tenangkan hatimu, Diajeng dan kita serahkan saja anak kita kepada Gusti Allah, sementara kita mencoba untuk mencari jejaknya. Kita harus tetap tenang, dengan perhitungan bahwa kalau Satyabrata menculik Joko, itu berarti dia tidak ingin membunuhnya. Kalau bermaksud membunuh, tidak perlu bersusah payah membawanya lari, bukan? Nah, kita mencari jejaknya dan kalau sudah dapat kita temukan, kita mengikutinya dan mencari jalan dan kesempatan untuk merampas anak kita. Kita harus tabah dan tenang agar pikiran kita tetap jernih untuk mempertimbangkan semua tindakan yang harus kita ambil."

Muryani mengangguk-angguk dan membiarkan suaminya yang memandu perjalanan itu. Ia lebih banyak termenung dan mengenang kembali masa silam, ketika ia masih gadis dan bertemu dengan orang yang bernama Satyabrata itu. Ia berusia sekitar dua puluh tahun ketika bertemu dengan Satyabrata yang ketika itu merupakan seorang pemuda yang tampan sekali, tinggi tegap dengan rambut berombak dan mata agak kebiruan. Pemuda itu menolongnya ketika ia dikeroyok tiga puluh lebih orang jahat.

Tentu saja ia menganggap Satyabrata seorang pemuda yang amat baik, tampan, sakti mandraguna dan sopan. Tidak mengherankan kalau ia merasa tertarik dan jatuh cinta, apalagi ketika mengetahui bahwa Satyabrata amat mencintanya. Ia melakukan perjalanan bersama pemuda itu dan Satyabrata selalu membantu dan mati-matian membelanya menghadapi lawan-lawan tangguh.

Hanya karena ia sudah lebih dulu jatuh cinta kepada Parmadi, maka ia masih ragu dan menolak rayuan Satyabrata. Ia tahu dan dapat merasakan bahwa Setyabrata sungguh mencintanya, akan tetapi hatinya condong memilih Parmadi. Akhirnya ia mengetahui bahwa Setyabrata adalah seorang utusan Kumpeni Belanda memusuhi Mataram dan pemuda itu akrab sekali dengan Maya Dewi!

"Ah, tidak mungkin...!" Ia sendiri kaget mendengar ucapan yang tidak disengaja itu.

"Apa yang tidak mungkin, Diajeng?" tanya suaminya. "Ah, aku melamun!" kata Muryani dan mereka menjalankan kuda mereka dengan santai karena kuda-kuda itu sudah mulai kelelahan.

"Aku masih memikirkan Maya Dewi. Tidak mungkin kalau ia kini berubah dan hendak merampas dan mengembalikan anak kita. Dahulu, ia akrab sekali dengan Satyabrata, mereka adalah mata-mata Belanda dan mereka saling mencinta. Agaknya benar dugaanmu tadi bahwa ia ingin agar kita mengejarnya sehingga tidak dapat melakukan pengejaran terhadap Satyabrata."

Suami isteri itu dengan prihatin lalu mulai mencari jejak Styabrata dengan mencari keterangan kepada orang-orang didusun-dusun yang meraka masuki.

********************

Maya Dewi merasa betapa tubuhnya lemas seolah semua urat syarafnya hampir lumpuh. Semua ini timbul dari perasaan hatinya yang tertekan. Bajunya kotor dan terobek di sana-sini karena hujan batu tadi. Kembali orang-orang menghinanya, memakinya dan menyerangnya karena menganggap ia seorang wanita jahat. Memang, penduduk dusun Sampangan dengan lurahnya, Ki Ganjar, bersikap baik dan hormat kepadanya. Akan tetapi hal itu adalah karena pertama, mereka belum pernah mendengar Maya Dewi, dan kedua, karena ia telah berjasa menolong dusun mereka.

Semua orang membencinya, semua orang yang pernah mendengar namanya. Semua orang, kecuali Bagus Sajiwo! Setiap kali hatinya risau dan ia merasa dihina dan direndahkan orang, ia pasti teringat kepada Bagus Sajiwo dan tak dapat ditahannya pula, beberapa butir air mata menggelinding keluar dari kedua matanya. Ia terkenang masa lalunya, ketika ia bertemu dengan Satyabarata. Ia kini harus dapat bertemu dengan Satyabrata dan merampas anak Parmadi dan Muryani yang bernama Joko Galing itu.

Terbayang kembali hubungannya dengan Satyabrata di waktu dahulu. Ketika itu ia berusia sekitar dua puluh tahun. Ia bertemu dan segera akrab dengan Satyabrata karena mereka berdua memiliki persamaan watak dan kebiasaan, juga kedudukan mereka sama. Keduanya adalah mata-mata Kumpeni Belanda, bahkan Satyabrata merupakan pemimpin mata-mata yang amat dipercaya Belanda karena dia adalah keturunan orang kulit putih. Keduanya sama menjadi hamba nafsu masing-masing.

Maka, mereka merupakan pasangan yang cocok, bersama mereka berenang di lautan nafsu, tidak pantang melakukan segala macam kejahatan! Mereka berdua lalu membantu Madura yang berperang melawan Mataram. Setelah pihak Madura kalah, mereka berdua melarikan diri. Akhirnya Satyabrata oleh Kumpeni Belanda dikirim ke Negeri Belanda untuk dididik menjadi seorang yang pandai, sedangkan ia sendiri melanjutkan petualangannya sebagai mata-mata yang dipercaya oleh Kumpeni Belanda.

Ia bertualang, melakukan segala macam kejahatan sampai akhirnya ia sadar setelah merasa tidak menemukan kebahagiaan lalu meninggalkan Kumpeni, tidak mau lagi menjadi mata-mata Belanda. kemudian ia bertemu dengan Bagus Sajiwo dan berubahlah seluruh jalan hidupnya. Sekarang ia harus memetik buah yang pahit dan memakannya, dari pohon yang ia tanam sendiri. Pohon beracun yang menghasilkan buah beracun yang harus dimakannya!

Ketika ia tiba di sebuah daerah persawahan yang luas, berjalan di atas jalan umum yang kasar dan sepi sekali itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang bertembang. Suara itu terbawa angin dan terdengar sayup-sayup, namun kata-katanya yang amat sederhana dapat tertangkap dengan jelas.

"Manungsa urip ing donya. Mung saderma anglakoni Kersaning Hyang Maha Agung. Kanthi pasrah jiwa raga Yaiku narimah lan nyenyuwun. Apa bae kang tinampa Tuhu sihe Sang Hyang Widi."

(Manusia hidup di dunia, hanya sekedar mengalami kehendak Tuhan yang Maha Agung, dengan berserah jiwa raga yaitu menerima dan memohon, apa pun yang diterima sesungguhnya merupakan kasih Yang Maha Kuasa)

Tembang Sekar Pangkur itu dinyanyikan dengan suara tua yang parau, kata-katanya amat sederhana, namun mengandung getaran yang mendatangkan keharuan dalam hati Maya Dewi. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara. Kakek itu tentu sudah enam puluh tahun lebih usianya.

Namun, tubuhnya yang terbakar sinar matahari sehingga kulitnya berwarna coklat kemerahan itu masih tampak tegap dan kuat ketika dia mencangkul tanah persawahan itu. Tubuhnya bagian atas telanjang sehingga tampak tulang-tulang pundak dan iga menonjol dilingkari otot-otot yang menggembung karena sering bekerja berat. Tubuh bagian bawah memakai celana hitam sebatas lutut. Tubuh kurus namun kokoh itu membungkuk ketika dia mencangkul tanah. Agaknya hanya dia seorang yang bekerja di sawah pada saat itu.

Para petani lain agaknya masih menunggu turunnya hujan baru mereka akan mencangkul tanah dan siap menanam padi. Akan tetepai kakek itu dengan sabar dan tekun mencangkuli tanah yang kering itu. Tanah yang luas itu, sinar matahari yang sudah naik tinggi, kesunyian itu dan hanya seorang kakek bekerja seorang diri sambil bertembang, suasananya begitu menyentuh perasaan Maya Dewi sehingga ia kini berdiri di tepi jalan memandang ke arah kakek yang agaknya tidak melihatnya.

Maya Dewi memandang seperti terpesona. Seolah baru terbuka matanya kini, atau seolah matanya kini mempunyai penglihatan yang baru. Sebelumnya, melihat seorang kakek seperti itu, tentu merupakan penglihatan biasa saja dan mungkin hanya mendatangkan perasaan iba melihat seorang tua seperti bekerja berat dan keadaannya miskin. Akan tetapi saat itu, Maya Dewi melihat keindahan tang menggetarkan kalbu.

Tubuh kakek tua kurus itu, kulit tubuh atas telanjang yang coklat tua berkeriput di sana-sini bermandikan keringat sehingga berkilauan ditimpa sinar matahari, kepala yang rambutnya putih terikat kain kepala yang sudah usang, wajah yang kurus keriputan, juga basah oleh keringat, tampak begitu cerah, semua itu tampak olehnya demikian indah dan agung!

Keindahan yang bukan muncul karena perbandingan dan penilaian, keindahan yang timbul karena kesadaran bahwa itulah wujud seorang manusia, mahluk teragung di antara semua ciptaan Gusti Allah. Sesungguhnya, hasil ciptaaan Gusti Allah itu sempurna! Hati akal pikiran penuh nafsu yang membeda-bedakan karena membandingkan dan menilai.

Seorang raja sekalipun, kalau dia sudah setua kakek petani itu, berpakaian hanya celana hitam seperti itu, dan mencangkul di sawah, keadaannya akan sama saja! Yang membedakan antara manusia hanyalah pakaiannya, baik pakaian itu berupa kain penutup tubuh, maupun kedudukan, harta benda, kepandaian dan sebagainya.

Kalau mereka itu ditelanjangi dari semua pakaian itu, keadaannya tidak berbeda dari orang lain. Buktinya, apakah perbedaan di antara orang-orang mati, di antara mayat-mayat yang sudah dilepaskan dari semua pakaian itu?


Agaknya pandang mata Maya Dewi yang penuh perhatian itu terasa oleh kakek petani yang mecangkul. Tiba-tiba dia menoleh ke kiri dan ketika melihat seorang wanita cantik berpakaian putih berdiri memandangnya, dia melepaskan gagang cangkulnya dan mengusap keringat dari matanya dengan menggunakan lengannya. Ketika kakek itu memandangnya dengan heran Maya Dewi tersenyum dan berkata lembut.

"Selamat siang, Paman. Maaf kalau aku mengganggu pekerjaan Andika."

"Wah, sama sekali tidak, Mas Ayu! Aku memang sudah lelah dan ingin mengaso." kata kakek itu, lalu dia meninggalkan cangkulnya dan keluar dari sawah, mencuci tangannya di selokan air. Kemudian dia mengambil baju hitamnya yang dia taruh di atas batu besar, menyusut keringat dari muka dan leher, juga menyusut air dari lengan dan tangannya, kemudian memakai baju hitam itu, mengambil sebuah kendi dan sebuah bungkusan daun pisang yang berada di atas batu itu pula. Lalu sambil tersenyum dia melangkah menghampiri Maya Dewi dan duduk di atas batu di tepi sawah.

"Andika lelah sekali, Paman?" Maya Dewi bertanya sambil duduk di atas batu di depan Kakek itu.

"Ah, lelah yang enak. Mas Ayu. Kelelahan ini yang membuat singkong rebus ini lezat rasanya, air kendi ini segar sekali, dan makan minum di sini sambil mengaso dan dikipasi angin semilir, bukan main nikmatnya!"

Kakek itu membuka bungkusan daun pisang yang ternyata berisi singkong rebus yang cukup banyak dan mempur (gembur), menawarkannya kepada Maya Dewi.

"Silahkan, Mas Ayu. Singkong ini kurebus sendiri tadi dan sudah kuberi garam. Enak sekali!"

Maya Dewi tersenyum dan mengambil sepotong. Ia tercengang betapa lezatnya singkong rebus itu! Padahal, itu hanya makanan sederhana sekali, murah dan merupakan makanan umum rakyat petani miskin. Anehnya, bercakap-cakap dengan petani sederhana ini, duduk di tepi sawah dan makan singkong rebus bersamanya, ia mendapat kenyataan pula bahwa semua perasaan yang tidak enak tadi ketika ia melamun, lenyap seketika tanpa meninggalkan bekas! Ia merasa bersatu dengan kesemuanya itu.

Tanah kering, air selokan, sawah luas, langit cerah dengan awan-awan putih tipis, sinar matahari, kakek petani ini, semua itu demikian akrab dan keadaannya menjadi bagian dari semua keindahan itu!Ia merasa bersatu dengan semuanya, tiada apa pun yang perlu dipikirkan, jiwanya terasa bebas dari semua akal pikiran dan emosi, semuanya mengendap dan jernih, bebas dan bahagia!

Belum pernah ia merasakan keadaan seperti ini. Ia memang sudah sering merasakan kesenangan, namun itu pun hanya merupakan perasaan hati yang tiada bedanya dengan kekecewaan, kepuasan, kesusahan, kekhawatiran, yang semua itu hanya sementara belaka, hanya di permukaan, pergi datang silih berganti, hanya permainan hati akal pikiran yang mempermainkan perasaan, terkadang diangkat, terkadang dibanting.

Akan tetapi saat ini lain sama sekali. Tidak ada lagi Maya Dewi, tidak ada lagi kakek petani, yang ada hanya dua insan, dua manusia ciptaan Gusti Allah di antara segala ciptaanNya yang lain di sekeliling mereka, sejauh mata dapat memandang, sejauh pikiran mampu menjangkau! Inikah bahagia? Maya Dewi kembali ke alam fana dan ia memandang kakek itu. Kakek itu menawarkan air kendi, itulah yang membuat ia sadar kembali bahwa ia tadi mengembara di alam sorgawi.

"Minumlah, Mas Ayu. Air kendi ini segar sekali dan bersih karena aku mengambilnya dari sumur, bukan air kali."

Kakek itu lalu menuangkan air dari lubang pancuran di perut kendi, Dia membuka mulutnya dan air kendi memancur masuk ke mulutnya dengan tepat walaupun air itu mancur dalam jarak sehasta dari mulutmnya. Maya Dewi sampai menelan ludah melihat betapa kerongkongan kakek itu bergerak-gerak ketika menelan air. Begitu segar dan enak!

Maka ia pun menyambut ketika kendi diserahkan kepadanya. Tentu saja minum air kendi bukan merupakan hal asing baginya, jari-jari tangan kanannya mencekik leher kendi, lalu ia menuangkan air ke dalam mulutnya seperti yang dilakukan kakek tadi. Tanpa malu-malu ia membuka mulut lebar-lebar agar air kendi tidak sampai tumpah. Dan bukan main nikmat dan segarnya! Apalagi kerongkongannya memang agak seret (tersendat) setelah makan singkong rebus yang mempur tadi.

Setelah mereka kenyang mereka berhenti makan minum dan Maya Dewi memandang wajah kakek itu sambil tersenyum gembira.

"Terima kasih, Paman. Singkong rebusnya lezat sekali dan air kendinya segar bukan main!"

"Wah, Mas Ayu. Aku hanya dapat menyuguhkan makanan dan minuman desa! Biasanya para priyayi dari kota tidak mau makanan dan minuman seperti ini. Akan tetapi Andika menikmatinya! Aku merasa senang sekali. Mas Ayu ini tentu seorang priyayi dari kota pula, mengapa berada di sini dan sudi bercakap-cakap dengan aku, bahkan sudi pula menerima suguhanku?"

"Ah, Paman. Aku bukan priyayi. Aku orang biasa saja. Namaku Maya Dewi dan aku sedang melakukan perjalanan." Maya Dewi berhenti sebentar dan mengamati wajah kakek itu, hatinya sudah merasa tegang dan khawatir kalau-kalau kakek ini sudah mendengar nama busuknya pula dan lari ketakutan. Akan tetapi ternyata tidak. Kakek itu bersikap biasa saja dan senyumnya masih ramah. Maka ia pun melanjutkan dengan gembira. "Andika tentu seorang yang berbahagia, Paman."

Petani itu memicingkan matanya memandang Maya Dewi dengan lagak lucu akan tetapi sinar matanya memancarkan keheranan karena selain dia menganggap pertanyaan itu aneh dan lucu, dia pun sama sekali tidak mengerti.

"Mas Ayu, aku ini seorang petani, hidup sebagai seorang duda tanpa anak isteriku meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Aku seorang duda petani yang hidup sendiri di dusun sana, bukan seorang yang.... apa tadi yang Andika maksudkan?"

"Seorang yang berbahagia."

"Aku tidak mengerti apa itu berbahagia."

Maya Dewi menjadi bingung karena sesungguhnya ia sendiri juga belum yakin benar bagaimana rasanya bahagia itu, kecuali pada saat-saat tertentu dan kemudian hilang kembali. Karena tidak mungkin menerangkan bagaimana bahagia itu, maka ia akan bertanya tentang hal-hal yang menghilangkan kebahagiaan.

"Paman, Paman bilang kehilangan isteri dan hidup sebatang kara tanpa ada orang yang menemani hidup Paman, apakah Paman tidak merasa kesepian dan nelangsa hidupmu?"

"Wah, tidak sama sekali, Mas Ayu. Semua penduduk dusun mengenalku dan aku hidup rukun dengan mereka semua. Mereka itu kuanggap keluargaku sendiri. Kita merupakan keluarga besar. Aku sama sekali tidak kesepian, Mas Ayu."

Maya Dewi mengerutkan alisnya. Tentu saja Bagus Sajiwo pernah memberi tahu kepadanya bahwa seluruh manusia di dunia ini sesungguhnya adalah keluarga kita sendiri. Akan tetapi begitu banyak orang membencinya, memusuhinya.

"Paman, bagaimana kalau ada penduduk yang membencimu?"

"Membenciku? Mengapa? Kalau aku baik dan sayang kepada mereka, tentu mereka juga baik dan sayang kepadaku, Mas Ayu. Akan tetapi andaikata ada yang membenciku, ya biar saja, itu urusannya. Yang penting aku tidak membenci siapa-siapa, sehingga dapat enak makan dan enak tidur."

"Akan tetapi keadaanmu yang miskin, apakah hal itu tidak menyusahkan hatimu, Paman? Apakah Paman tidak ingin keadaanmu lebih makmur seperti banyak orang lain?"

Kakek itu tertawa memperlihatkan mulutnya yang ompong. "Heh-heh, aku tidak pernah susah dengan keadaanku dan aku tidak pernah iri kepada orang lain, Mas Ayu. Aku selalu Nrima Ing Pandum (menerima dengan syukur apa yang menjadi bagiannya). Boleh jadi aku miskin, akan tetapi aku tidak merasa miskin, karena aku tidak merasa kurang. Aku mempunyai sepetak sawah ini, punya rumah gubuk, mau apa lagi? Aku bekerja giat sebagai kewajiban hidupku, akan tetapi bagaimana hasil akhirnya, hal itu bukan kekuasaanku untuk menentukan."

"Apakah engkau tidak pernah merasa bersedih, Paman?"

"Tentu saja. Orang hidup bagaimana mungkin tidak penah merasa sedih? Misalnya ketika isteriku meninggal dunia, tentu aku merasa sedih. Atau ketika tanaman di sawahku gagal. Akan tetapi kesedihan itu hanya mampir sebentar karena aku tahu bahwa disedihkan bagaimana pun juga, kesedihan itu tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik, bahkan mungkin bertambah buruk. Itu tadi, Mas Ayu, Nrima Ing Pandum."

Maya Dewi tersenyum. "Kalau begitu, Andika adalah orang yang berbahagia, Paman?"

Entahlah, Mas Ayu. Akan tetapi, terus terang saja, aku sama sekali tidak butuh bahagia. Biarlah aku seperti sekarang ini. Bahagia atau tidak, aku tidak ingin kehidupanku ini berubah."

"Satu pertanyaan lagi, Paman. Bagaimana kalau kelak sewaktu-waktu Paman jatuh sakit karena usia tua padahal Paman tidak mempunyai keluarga? Apakah itu tidak menyedihkan hatimu?"

"Heh-heh-heh, Andika ini aneh-aneh saja, Mas Ayu. Aku tidak mau memusingkan hal-hal yang belum terjadi. Bagaimana nanti sajalah! Siapa sih yang mengetahui apa yang akan menimpa dirinya? Maaf, mas Ayu, aku mau melanjutkan pekerjaanku."

Petani itu bangkit berdiri dan Maya Dewi juga bangkit berdiri.

"Terima kasih atas keramahanmu, Paman. Engkau baik sekali dan aku yakin kini bahwa Paman tentu seorang yang berbahagia, walaupun miskin dan hidup sebatang kara!"

"Terserah anggapan Mas Ayu saja."

Maya Dewi meninggalkan tempat itu, melanjutkan pejalanannya, akan tetapi ia berhenti menengok, lalu bertanya kepada petani yang sudah memegang cangkulnya itu. "Oya, Paman. Apakah Paman melihat seorang laki-laki menunggang kuda membawa seorang anak laki-laki?"

"Laki-laki menunggang kuda? Ah, ya, aku ingat sekarang. Kemarin sore aku melihat seorang laki-laki membalapkan kudanya dan dia memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya."

"Ke mana dia pergi, Paman?"

"Dia membalapkan kudanya ke arah sana!" Kakek itu menunjuk ke arah utara.

"Terima kasih, Paman!" Maya Dewi berkata girang dan ia lalu berlari cepat sekali sehingga kakek petani itu memandang dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi karena wanita cantik yang tadi makan singkong bersamanya, tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ.

Setelah jauh meninggalan daerah pertanian itu dan mulai melewati dusun, Maya Dewi berjalan biasa. Ia beberapa kali senyum sendiri, teringat akan percakapannya dengan kakek petani tadi. Ia mendapatkan pengertian baru tentang kebahagiaan. Kalau aku tidak keliru, kata hatinya, setiap orang hidup sebetulnya telah bahagia. Gusti Allah menciptakan manusia bukan untuk ditakdirkan menderita.

Ciptaan yang Maha Sempurna itu sudah tentu sempurna pula. Kalau kita merasa tidak berbahagia, hal itu berarti ada sesuatu yang menghalanginya. Kalau penghalang itu disingkirkan, maka bahagia ada di sana, di dalam hati setiap orang manusia! Jadi ketidak bahagiaan itu timbul karena ulah kita sendiri.

Kalau hidup ini wajar dan berserah diri kepada Gusti Allah Yang Maha Kasih, dapat NARIMA ING PANDUM, yaitu menerima segala hal yang menimpa dirinya dengan rasa syukur karena semua itu terjadi atas kehendakNya, tanpa meninggalkan ikhtiar kita sekuat tenaga, maka kebahagiaan tidak akan terhalang dan bersinar seperti matahari tak terhalang mendung.

Ia dibenci orang, mengapa harus berduka? Kalau ia menerima kenyataan itu sebagai hal yang wajar, karena memang ia sendiri yng bersalah, dan ia berikhtiar sekuatnya untuk melaksanakan kehendak Gusti Allah, menjadi penyalur berkatNya kepada orang lain yang membutuhkannya, maka berarti ia menghilangkan penghalang bagi kebahagiaannya. Ia harus menerima semua perlakuan pahit tehadap dirinya itu sebagai buah perbuatannya yang dulu sebagai imbalan hukuman yang sudah sepatutnya diterimanya.

Dan dalam penyesalan dan pertaubatannya, setiap melakukan sesuatu, ia harus menganggap sebagai menanam bibit yang akan tumbuh dan kelak mengeluarkan buah sesuai bibit yang ditanamnya. Ia masih teringat akan kata-kata Bagus Sajiwo bahwa Gusti Allah itu Maha Pengampun dan Maha Adil, setiap saat siap untuk menanggung semua hukuman ini."

Maya Dewi berdoa dalam hatinya lalu mengusir semua perasaan iba iri itu denganat akan mengampuni setiap orang berdosa yang mau bertaubat dengan sungguh-sungguh seperti seorang ayah yang amat mencinta anaknya akan selalu menerima kembali anak yang hilang dan sesat jalan, menerimanya kembali dengan kasih sayang. Bahkan hukuman yang diberikan kepada si anak yang bersalah juga merupakan bukti kasih sayang si ayah agar si anak menjadi sadar bertaubat tidak melakukan kesalahan seperti itu lagi.

"Duh Gusti Allah, Pangeran Yang Maha Kasih, kasihanilah hamba dan berilah kekuatan kepada hamba untuk menanggung semua hukuman ini."

Maya Dewi berdoa dalam hatinya lalu mengusir semua perasaan iba diri itu dengan mencurahkan perhatiannya terhadap pengejarannya kepada Satyabrata yang melarikan Joko Galing, putera Parmadi dan Muryani.

********************

Siapakah laki-laki berusia sekitar empat puluh satu tahun yang menculik Joko Galing dan dikenal oleh Parmadi sebagai Satyabrata itu? Satyabrata lahir di Cirebon. Ibunya seorang wanita pribumi bernama Marsinah, sedangkan ayahnya adalah seorang pedagang bule berbangsa Portugis bernama Henrik. Ketika Satyabrata terlahir dan anak itu berkulit gelap dan berambut hitam, hanya matanya yang agak kebiruan, lebih mirip pribumi daripada bule, Henrik lalu meninggalkan ibu dan anak itu ketika dia kembali ke negaranya. Marsinah membesarkan anak itu seorang diri.

Ketika Satyabrata berusia empat belas tahun, seorang perwira Kumpeni Belanda bernama Willem van Huisen merasa suka kepadanya dan Satyabrata lalu diambil sebagai anak angkat dan disekolahkan. Willem van Huisen sendiri hanya mempunyai anak perempuan Eisye van Huisen. Satyabrata lalu diberi nama Belanda, yaitu Jan van Huisen. Akan tetapi kalau berada di luar rumah, dia lebih suka memakai nama Satyabrata.

Sebagai anak angkat perwira Belanda, Satyabrata mudah saja berguru kepada orang-orang sakti di Cirebon, mempelajari olah kanuragan. Bahkan dia pernah belajar di perguruan Dadali sakti. Setelah dia berusia dua puluh satu tahun, menjadi seorang pemuda yang tampan dan terpelajar, juga digdaya, ayah angkatnya Willem van Huisen mulai memberi tugas kepadanya sebagai pemimpin mata-mata Kumpeni.

Ketika dia menyusup hendak menyelidiki keadaan Jatikusumo sebagai tempat para pendekar yang setia kepada Mataram, dia ketahuan, berkelahi dan terjatuh ke dalam sumur tua di belakang perguruan Jatikusumo. Sumur ini dikeramatkan dan menjadi tempat larangan bagi para murid Jatikusumo. Semua orang mengiara Satyabrata mati, akan tetapi sebaliknya dia malah dapat mempelajari ilmu-ilmu yang hebat dan aneh peninggalan mendiang Resi Ekomolo yang mati dalam sumur itu.

Dia mendapatkan keris pusaka Ilat Nogo dan catatan ilmu-ilmu yang aneh. Dia mempelajarinya selama bertahun-tahun dan akhirnya dia menjadi seorang yang sakti mandraguna. Dia berusia sekitar dua puluh enam tahun ketika bertemu dengan Muryani dan jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi walaupun Muryani juga terpikat oleh ketampanan dan rayuan Satyabrata, namun gadis itu sudah saling mencinta dengan Parmadi sehingga menolak cinta Satyabrata.

Akhirnya Muryani yang setia kepada Mataram itu mengetahui bahwa Satyabrata seorang yang jahat dan cabul, juga antek Kumpeni Belanda sehingga Muryani meninggalkannya dan bahkan memusuhinya. Setelah Satyabrata membantu Madura dalam perangnya melawan Mataram di mana dia bertemu dengan Muryani yang membela Mataram, kemudian Madura dapat dikalahkan Mataram, Satyabrata melarikan diri bersama Maya Dewi yang ketika itu menjadi rekan dan juga kekasihnya.

Setelah tiba di rumah ayah angkatnya, Wilem van Huisen mengirim dia ke negeri Belanda di mana dia mempelajari banyak ilmu. Ilmu pengetahuan dan juga ilmu militer termasuk kemahiran mempergunakan senjata api. Pada suatu hari dia bertemu dengan Elsye, puteri kandung Willem van Huisen, atau adik angkat Satyabrata. Dahulu, ketika remaja, terjadilah hubungan cinta antara Satyabrata dan Elsye. Akan tetapi ketika mereka bertemu di聽negeri Belanda, Elsye telah menjadi isteri Piet Meijer, Suami isteri ini belum mempunyai anak walaupun mereka sudah menikah selama lima tahun.

Pertemuan itu menggugah cinta diantara mereka dan dengan pengalaman dan aji pengasihannya, akhirnya Satyabrata membuat Elsye jatuh dan menyeleweng dengannya. Hal ini berlangsung berbulan-bulan dan Piet Meijer tidak mengetahuinya karena dia tahu bahwa Satyabrata adalah kakak angkat Elsye. Akan tetapi pada suatu hari, Piet Meijer memergoki perjinahan mereka. Tentu saja dia marah, akan tetapi sebelum dia dapat berbuat sesuatu, Satyabrata mendahuluinya dan membunuhnya.

Pada malam harinya, Satyabrata membawa mayat Piet Meijer ke dalam taman umum yang sudah sepi dan meninggalkan mayat itu di sana. Tentu saja peristiwa pembunuhan ini menggegerkan pemerintah Belanda. Akan tetapi polisi tidak dapat melacak pembunuhnya. Tak seorangpun mencurigai Satyabrata dan akhirnya, setahun kemudian Satyabrata menikah dengan Elsye secara resmi. Akan tetapi pasangan ini juga tidak mempunyai keturunan.

Sudah menjadi watak Satyabrata, cintanya kepada wanita hanyalah cinta berahi. Kalau gejolak berahinya sudah terpuaskan, cintanya pun menguap dan terbang lenyap seperti uap. Dia mulai bosan setelah hidup sebagai suami isteri dengan Elsye selama bertahun-tahun. Dia sudah menghibur dirinya dengan penyelewengan-penyelewengan.

Namun akhirnya dia merasa bosan dengan itu semua, bosan dengan wanita-wanita Belanda dan mulai rindu kepada wanita bangsa ibunya. Terutama sekali dia merasa amat rindu kepada Muryani yang pernah dicintanya, dicintanya dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar cinta berahi.

Kemelut Blambangan Jilid 10

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Kemelut Blambangan

Jilid 10
"BIAR Ayahmu yang memberi penjelasan untuk menjawab pertanyaanmu itu, Joko!" kata Muryani sambil tersenyum memandang kepada suaminya.

"Kita selesaikan dulu makan kita, nanti kuberi penjelasan." kata Parmadi.

Mereka melanjutkan makan dan setelah selesai, Muryani membereskan sisa bekal makanan dan membungkusnya lagi. Parmadi lalu memandang puteranya yang duduk di depannya.

"Pengalaman merupakan pelajaran yang paling baik, Joko, karena merupakan kenyataan yang dialaminya sendiri, bukan hanya mendengarkan keterangan orang lain. Engkau tadi merasakan sendiri betapa nikmatnya makan seperti ini. Pengalaman tadi mengajarkan kenyataan kepadamu bahwa kelezatan makan hanya memegang peran kecil saja untuk membuat orang dapat menikmati makanan. Yang membuat orang dapat menikmati makanan adalah badan sehat, hati bahagia, pikiran tenteram, dan dapat menerima apa yang ada sebagai karunia Gusti Allah."

"Masih ada lagi, Ayah."

"Apa itu?"

"Perut lapar!"

"Ha-ha-ha, tentu saja! Keadaan di tempat terbuka, di alam bebas seperti ini membuat kita merasa bersatu dengan alam, merasa bebas dari semua ikatan dan urusan dunia yang ruwet. Hal ini menimbulkan perasaan bersyukur kepada berkat Gusti Allah yang berlimpah-limpah. Menerima segala macam keadaan apa adanya tanpa menilainya sebagai baik atau buruk, mendatangkan rasa bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah dan inilah yang membuat hati bahagia dan pikiran tenteram itu sehingga kita dapat menikmati hidup ini."

"Wah, Kakangmas, jangan terlalu tinggi, nanti Joko malah menjadi pusing dan tidak mengerti." Muryani mengingatkan.

"Bagaimana, Joko, apakah engkau mengerti?" tanya Parmadi.

Joko Galing mengangguk, "Menurut pengertianku, pendeknya aku tidak boleh mengeluh dan menerima apa adanya dengan bersyukur dan berterima kasih, benarkah ini, Ayah?"

"Benar, hanya perlu ditambah sedikit, yaitu bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah."

"Nah, ini yang ingin kuketahui dengan jelas, Ayah. Aku sering mendengar dari Ayah dan Ibu yang menyebut-nyebut Gusti Allah. Sesungguhnya, siapakah Gusti Allah itu, Ayah?"

Parmadi saling pandang dengan Muryani. Karena pertanyaan ini diajukan oleh anak berusia enam tahun, walaupun mereka tahu akan kecerdasan Joko Galing, maka jawabannya harus disesuaikan pula dengan alam pikiran dan pengertian seorang anak kecil.

"Dengar baik-baik, Joko. Yang kita sebut gusti Allah itu adalah Sang Maha Pencipta, yang menciptakan dan mengadakan segala sesuatu di permukaan bumi, juga yang berada di dalam bumi dan di awang-awang. Segala tumbuh-tumbuhan, dari lumut sampai pohon beringin, segala hewan, dari semut sampai gajah, semua manusia apa saja tidak akan ada kalau tidak diadakan oleh Gusti Allah. Juga cacing-cacing di dalam tanah, ikan-ikan dalam air, burung-burung di udara, segala sesuatu yang hidup dan yang mati, adalah ciptaan Gusti Allah, juga awan, hujan, kilat, badan, matahari, bintang, pendeknya apa saja, semua itu ada karena dibikin ada oleh Gusti Allah Yang Maha Kuasa! Sebutir pasir pun tidak akan ada kalau tidak diadakan atas kekuasaan Gusti Allah. Nah, sudah jelas, bukan?"

Joko Galing bengong mendengar ini. Pikirannya melayang-layang mencoba untuk membayangkan kekuasaan yang demikian hebatnya. "Kalau begitu kekuasaan Gusti Sultan Agung juga masih kalah besar, Ayah!"

Ayah ibunya tertawa dan Muryani merangkulnya. "Tentu saja! Biarpun Gusti Sultan Agung itu besar kuasanya, namun itu hanya kekuasaan seorang manusia dan beliau juga merupakan ciptaan Gusti Allah. Kekuasaan Gusti Allah tidak dapat kau bandingkan dengan apa atau siapapun juga. Kekuasaan manusia, betapapun pandai dan saktinya dia, hanya merupakan setetes air dibandingkan kekuasaan Gusti Allah tiada batasnya. Bahkan air samudera itu hanya merupakan sebagian kecil saja dari ciptaan Gusti Allah."

Joko Galing semakin bengong, terheran-heran karena baru sekarang dia mendengar tentang kekuasaan Gusti Allah yang demikian besar, tak terbayangkan oleh akal pikirannya.

"Hayo kita lanjutkan perjalanan kita. Joko, tidak perlu engkau pusing memikirkan semua yang telah kau dengar tadi. Kelak engkau akan mengerti sendiri."

"Baik, Ayah..."

Mereka menunggang kuda mereka yang sudah mengaso dan makan rumput sejak tadi, lalu melanjutkan perjalanan mereka. Setelah matahari mulai condong ke barat, jalan umum yang sepi itu membawa mereka keluar dari hutan. Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak kuda dari arah belakang. Mereka berhenti dan menengok ke belakang. Debu mengebul tinggi dan Parmadi dapat menduga bahwa yang datang itu adalah rombongan yang terdiri dari sedikitnya sepuluh orang, melihat tebalnya debu mengebul dan suara derap kaki kuda.

"Minggir, Diajeng, Joko, ambil tempat di belakangku!" kata Parmadi untuk menjaga segala kemungkinan.

Setelah rombongan itu tiba dekat, Parmadi mendapat kenyataan bahwa mereka terdiri dari tiga belas orang. Tiga orang yang berada terdepan agaknya yang memimpin rombongan itu karena pakaian mereka berbeda dari sepuluh orang yang lain. Terutama pemuda tampan yang berada paling depan.

Pemuda ini berusia sekitar dua puluh lima tahun, pakaiannya mewah dan dari pakaian dan kain kepalanya, dapat diduga bahwa dia berasal dari Nusa Bali. Ada pun yang dua orang lagi, menunggang kuda dan kini mengapit pemuda itu, berpakaian seperti bangsawan Bali pula. Yang pertama berusia sekitar empat puluh satu tahun, bertubuh tinggi kurus, bermata sipit hidungnya pesek dan mulutnya cemberut terus.

Ada pun orang kedua berusia sekitar tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya bopeng (bekas cacar), matanya lebar hidungnya besar dan mulutnya menyeringai terus. Parmadi, Muryani, dan Joko Galing berada di atas kuda mereka, bersikap tenang berhadapan dengan rombongan itu.

"Kisanak, engkau tentu yang bernama Parmadi dari Pasuruan yang berjuluk Si seruling Gading itu, bukan?" Tanya pemuda tampan berpakaian bangsawan Bali itu.

Dari logat bicaranya pun dapat diketahui bahwa dia adalah seorang dari Bali. Parmadi tidak mengenal tiga orang yang memimpin rombongan berkuda itu. Kalau rombongan ini dapat mengejar dan menyusulnya, berarti mereka tahu ke arah mana dia dan anak isterinya pergi dan hal ini berarti mereka telah mencari keterangan di Pasuruan, mungkin mendapatkan keterangan dari para pelayan di rumahnya yang mengetahui bahwa dia sedang melakukan perjalanan menuju ke Gunung Muria.

"Benar, sekali, Kisanak. Aku adalah Parmadi. Siapakah Andika dan ada keperluan apakah Andika mengejar kami?"

"Aku bernama Tejakasmala, utusan Sang Adipati Blambangan." kata pemuda itu engan nada suara yang membayangkan kebanggan terhadap dirinya sendiri sehingga terdengar congkak sekali.

"Dan aku pembantunya, Cakrasakti senopati terkenal dari Klungkung." kata orang yang tinggi kurus.

"Aku Cakrabaya, juga senopati dari Bali." kata orang yang tinggi besar bermuka bopeng.

Parmadi merasa heran. "Kalian bertiga ini adalah orang-orang Bali, bagaimana dapat menjadi utusan Adipati Blambangan? Dan mengapa mengejar kami yang tidak mempunyai urusan apapun dengan Bali dan Blambangan?"

"Hemm, Parmadi. Apakah Andika tidak tahu bahwa Blambangan dan Bali tidak dapat dipisahkan? Kami adalah utusan dari Kerajaan Klungkung di Bali yang diperbantukan kepada Adipati Blambangan. Sekarang kami menjadi utusan yang berkuasa penuh dari Adipati Blambangan. Beberapa bulan yang lalu kami mencari Andika di Pasuruan, akan tetapi Andika tidak berada di rumah. Sekarang kami datang lagi di Pasuruan, akan tetapi mendapat keterangan bahwa Andika pergi menuju Gunung Muria. Karena itu kami segera mengejar dan dapat menyusul Andika di tempat ini."

Parmadi mengangguk-angguk. Dia memang mendengar dari para pelayannya bahwa ketika dia dan anak isterinya pergi membawa Joko Galing melihat lautan, ada tiga orang berpakaian Bali datang mencarinya. Kiranya tiga orang ini, dan kini mereka membawa sepuluh orang anak buah!

"Lalu apa keperluannya Andika bertiga diutus Adipati Blambangan untuk mencariku?"

"Parmadi, kami diutus Sang Adipati Blambangan untuk mengundang Andika menghadap beliau di Blambangan, sekarang juga." kata Tejakasmala dengan suara membujuk.

Melihat keadaan suami isteri yang elok dan gagah ini, dalam hatinya Tejakasmala merasa kagum. Suami isteri yang tenang dan tampak berwibawa ini lebih menguntungkan dijadikan kawan daripada lawan. Pandangan Tejakasmala yang tajam dapat menegenal orang sakti mandraguna dari sikapnya.

"Maafkan kami, Tejakasmala, kalau kami terpaksa tidak dapat memenuhi undangan itu. Selain kami tidak mempunyai persoalan dengan Kadipaten Blambangan, juga kami hendak pergi ke Muria dan tidak ada waktu luang"

Tejakasmala mulai mengerutkan alisnya, mulai berkurang kesabarannya. Pemuda ini bukan orang jahat walaupun dia memang berwatak sombong dan suka mengagulkan diri sendiri. Dia setia kepada Bali dan menganggap diri sendiri seorang pahlawan. Akan tetapi, belum pernah dia melakukan kejahatan.

"Parmadi, kami adalah utusan Adipati Blambangan yang telah diberi hak dan kekuasaan untuk bertindak. Maka, sekali lagi kutegaskan bahwa Sang Adipati Blambangan memerintahkan agar Andika sekarang juga ikut bersama kami menghadap beliau di Blambangan!"

Parmadi mengerutkan alisnya. "Tejakasmala, aku bukan kawula Blambangan. Adipati Blambangan tidak berhak memerintahkan aku menghadapnya di Blambangan dan aku pun tidak merasa berkewajiban untuk mentaati perintahnya."

"Babo-babo, Parmadi! Andika menantang? Ingat, kami telah diberi kekuasaan untuk memaksamu pergi menghadap ke Blambangan!"

"Hei, bocah lancang keparat Tejakasmala! Siapakah engkau ini, berani memaksa orang untuk mentaati kehendakmu? Kalau suamiku tidak mau, kalian mau apa?" Muryani dengan marah meloncat turun dari punggung kudanya.

Tejakasmala tersenyum. Biarpun usia Muryani sudah tiga puluh lima tahun, namun masih tampak cantik dan luwes. Dia menjawab sambil tersenyum, "Maaf, kalau tidak mau, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan karena perintahnya, Parmadi harus dibawa menghadap, hidup atau mati."

"Hidup atau mati? Jahanam busuk, engkaulah yang akan mati lebih dulu!"

Wanita itu dengan gerakan cepat sejaki tekah menerjang ke depan dan kedua tangannya memukul. Hawa panas sekali menyambar ke arah Tejakasmala.

"Hyaaaatttt!" itulah Aji pukulan Bromo Latu yang mengandung tenaga sakti yang amat panas.

Tejakasmala terkejut juga menghadapi serangan yang dahsyat itu. Tubuhnya mencelat ke atas untuk menghindar dari hawa pukulan yang menyambar itu. Terdengar kuda yang ditunggangi Tejakasmala meringkik keras yang roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika!

cerita silat online karya kho ping hoo

Diajeng...!" Parmadi hendak mencegah namun sudah tidak keburu. Dia pun segera melompat turun dan berkata kepada Joko Galing. "Engkau tunggu dibawah pohon sana."

Joko Galing tidak takut melihat betapa ayah ibunya dihadapi tiga belas orang itu. Dia yakin akan kesaktian ayah ibunya maka ketika ayahnya berkata semikian, dia lalu menjalankan kudanya ke bawah pohon besar tak jauh dari situ. Dia turun, menambatkan kudanya pada batang pohon dan berdiri menonton. Dia menahan diri untuk tidak bertepuk tangan melihat betapa pukulan ibunya tadi merobohkan dan menewaskan kuda besar yang tadi ditunggangi laki-laki sombong yang mengaku bernama Tejakasmala itu.

Tejakasmala marah bukan main, akan tetapi dia pun terkejut. Dia memang sudah mendengar keterangan dari Blambangan bahwa selain Parmadi itu sakti mandraguna, juga isterinya memiliki kesaktian. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa isteri Parmadi sedahsyat itu pukulannya! Karena kudanya dipukul mati, Tejakasmala marah dan dia segera menerjang ke arah Muryani dengan Aji Condromowo yang amat ganas dan dahsyat. Kedua telapak tangan pemuda itu menjadi merah membara dan hawa panas terasa sampai jauh.

"Haiiittt....!" Dia menerjang sambil menghantamkan tangan yang dipenuhi Aji Condromowo itu.

"Biar aku menyambutnya!" kata Parmadi dan tubuhnya sudah berkelebat kedepan isterinya, lalu dia menggerakkan tangan menyambut pukulan tangan membara itu dengan Aji Surya Hasta.

"Wuuutttt.... wessss... !!" Pukulan panas tangan Tejokasmala itu seolah bara api bertemu air dingin. Uap dan asap mengepul ketika dua tangan itu bertemu dan kedua orang itu terdorong ke belakang sampai beberapa langkah. Keduanya terkejut akan tetapi Parmadi memandang heran.

Pemuda itu ternyata memiliki tenaga yang amat dahsyat sehingga ketika dia menangkis, pertahanannya hampir saja bobol! Dia bersikap hati-hati sekali dan lebih banyak menghindarkan diri mengandalkan keringanan tubuh dan gerakannya yang membuat tubuhnya seperti bayangan yang sukar diserang. Tejakasmala yang merasa penasaran menyerang terus. Dia sudah mengambil keputusan untuk membunuh suami isteri yang amat berbahaya bagi Blambangan itu.

Juga ini sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Bhagawan Kalasrenggi atas nama Adipati Santa Guna Alit dan para pimpinan persekutuan yang terdiri dari Blambangan, Klungkung Bali, orang-orang Madura yang memusuhi Mataram di luar tahunya Pangeran Cakraningrat yang oleh Sultan Agung telah diangkat menjadi penguasa di Madura. Selain itu, juga terdapat pula wakil Kumpeni Belanda. Mereka sudah sepakat untuk membunuh Parmadi dan isterinya yang sakti itu.

Tugasnya adalah membujuk Parmadi untuk menyerah kepada Blambangan. Kalau suami isteri itu tidak mau menyerah, mereka harus dibunuh karena kelak mereka akan menjadi penghalang besar bagi Blambangan yang ingin menyerbu Pasuruan sebagai langkah pertama untuk menyerang Mataram. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan menarik antara Parmadi dan Tejakasmala.

Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kesaktian yang hebat. Tejakasmala adalah murid terkasih dari Bhagawan Ekabrata, seorang pertapa yang sakti mandraguna di Gunung Agung, Bali. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Parmadi, murid terkasih mendiang Ki Tejo Wening yang juga seorang pertapa yang sakti mandraguna.

Gerakan kedua orang yang saling serang ini mendatangkan hawa pukulan yang menyambar-nyambar sehingga mengguncang ranting dan daun-daun pohon, bahkan orang lain dapat merasakan getaran yang melanda tanah di sekitar tempat pertempuran itu!

Sementara itu, melihat pemimpin mereka sudah saling serang dengan Parmadi, Cakrasakti dan Candrabaya, dua orang senopati Klungkung Bali itu tidak tinggal diam. Mereka berdua lalu mencabut senjata mereka, yaitu keris yang besar panjang dan mengkilap, kemudian sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, mereka menyerang Muryani.

Wanita cantik gagah ini sama sekali tidak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kanan meraih ke punggungnya dan tampak sinar kilat ketika ia sudah mencabut sebatang pedang tipis yang sinarnya berkilauan ketika tertimpa sinar matahari. Jarang sekali wanita ini mempergunakan senjata. Biasanya, cukup dengan kedua tangannya saja yang terisi berbagai ajian yang amat dahsyat, ia dapat mengalahkan para lawannya.

Akan tetapi kini ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh. Buktinya, baru pemuda tampan itu saja sudah dapat menandingi suaminya yang selama ini jarang bertemu tanding yang setimpal. Dua orang senopati dari Bali itu sudah cepat menerjang ke arah Muryani dengan keris mereka. Murani menggerakkan pedangnya.

"Trang! Cring!" Bunga api berpijar ketika dua batang keris itu tertangkis pedang dan dua orang itu terkejut bukan main karena dari tangkisan itu, tahulah mereka bahwa wanita cantik ini tidak boleh dipandang rigan. Tangan mereka tergetar ketika keris mereka bertemu pedang Muryani. Karena tidak ingin gagal, Cakrasakti memberi isyarat kepeda sepuluh orang anak buahnya dan mereka pun segera bergerak dan menggunakan senjata mereka untuk mengeroyok Muryani!

Mereka tidak berani membantu Tejakasmala karena maklum bahwa pemuda ini dapat marah kalau dibantu. Pula, mereka juga jerih terhadap Parmadi yang gerakannya demikian dahsyat. Tentu saja Muryani menjadi repot. Menghadapi pengeroyokan Cakrasakti dan Candrabaya saja ia sudah kewalahan. Apalagi kini ditambah sepuluh orang jagoan Bali yang rata-rata memiliki ketangkasan dan cukup tangguh.

Ia mulai terdesak dan menhadapi hujan senjata dari dua belas orang yang mengeroyoknya, ia hanya mampu memutar pedang dan menggunakan keringanan dan kecepatan gerak tubuhnya untuk melindungi dirinya agar jangan terkena sambaran senjata yang bertubi-tubi datangnya itu. Wanita perkasa yang tidak pernah gentar menghadapi bahaya apapun itu menjadi marah dan mulailah ia menggunakan tangan kirinya untuk menampar pengeroyok terdekat.

Tangan kirinya itu tidak kalah dahsyatnya dibandingkan pedang di tangan kanannya karena Muryani menampar dengan pengerahan Aji Gelap Sewu dan tubuhnya bergerak dengan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya ringan dan gerakannya cepat sekali. Terdengar dua orang pengeroyok menaduh dan mereka roboh terpelanting.

Biarpun tangan kiri Muryani tidak menyentuh tubuh mereka, akan tetapi sambaran angin pukulannya cukup kuat untuk membuat dua orang terdekat itu roboh dan menderita luka dalam yang rasanya panas. Akan tetapi Muryani semakin terdesak ketika dua orang senopati dari Bali itu memperhebat serangan mereka, dibantu oleh sisa anak buahnya yang masih delapan orang itu.

Tiba-tiba ketika ia berada dalam keadaan terdesak, kaki Cakrasakti yang panjang itu mencuat dan mengenai paha kiri Muryani.

"Bukk.... !" Tubuh Muryani terdorong dan terhuyung ke belakang. Namun ia masih dapat memutar pedangnya sehingga dapat melindungi dirinya dari kejaran dan serangan para pengeroyoknya. Melihat keadaan isterinya, Parmadi terkejut dan cepat dia melompat dan membantu isterinya yang terdesak. Sambaran suling gadingnya membuat empat batang kelewang (golok) para peneroyok terlempar dan orang-orangnya terdorong ke belakang. Akan tetapi Tejakasmala sudah mengejar dan menyerang Parmadi dengan dahsyat sekali sehingga terpaksa Parmadi meninggalkan isterinya untuk menghadapi serbuan Tejakasmala yang amat berbahaya itu. Dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru.

Akan tetapi Muryani, walaupun paha kirinya terasa nyeri, kini sudah dapat memperkuat pertahanannya karena empat orang pengeroyok yang senjatanya terlempar tadi kini kebingungan mencari senjata mereka yang terlempar. Bagaimanapun juga, karena paha kiri Muryani sudah terluka dan ia pun sudah merasa lelah, kembali ia terdesak dan hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran pedangnya.

Sementara itu, Parmadi juga mulai terdesak oleh Tejakasmala karena dia tidak dapat memusatkan perhatiannya yang sebagian tertarik untuk memperhatikan keadaan isterinya.

"Ayah...! Ibu...! Tolong....!" Parmadi dan Muryani terkejut bukan main mendengar jerit putera mereka itu. Mereka cepat menengok dan melihat betapa Joko Galing ditangkap dan dipondong seorang laki-laki yang melompat ke atas kuda yang tadi ditunggangi Joko Galing, lalu membalapkan kuda melarikan diri membawa anak laki-laki itu.

"Jahanam, lepaskan Joko!" bentak Parmadi, akan tetapi dia tidak berdaya karena Tejakasmala memperhebat serangannya dan tidak memungkinkan dia melakukan pengejaran terhadap penculik anaknya.

"Joko....!" Muryani juga menjerit, akan tetapi ia pun tidak dapat melepaskan diri dari kepungan para pengeroyoknya. Tentu saja suami isteri ini menjadi gelisah sekali memikirkan anak mereka dan hal ini membuat pertahanan mereka juga menjadi lemah. Mereka terdesak semakin hebat dan keadaan mereka menjadi gawat. Bahkan Muryani telah tergores golok pada pangkal lengan kirinya, dan Parmadi juga terkena tendangan Tejakasmala.

Walaupun tidak parah karena Parmadi melindungi tubuhnya dengan tenaga sakti, namun tendangan yang mengenai pinggangnya itu terasa cukup nyeri dan mengurangi kecepatan gerakannya.

Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan suami isteri itu, tiba-tiba terdengar derap kaki banyak kuda dan muncul perajurit Pasuruan sebanyak dua lusin orang! Mereka adalah pasukan penjaga perbatasan yang mendapat laporan dari seorang yang kebetulan lewat dan menyaksikan perkelahian antara suami isteri pendekar yang dikeroyok banyak orang itu.

Parmadi dan Muryani merupakan pasangan yang dihormati dan dikenal baik oleh semua perajurit dan penduduk Pasuruan, maka mendengar laporan itu perwira pasukan jaga lalu membawa dua losin orang perajurit menuju ke tempat itu. Akan tetapi sebelum pasukan Pasuruan itu turun tangan membantu Parmadi dan Muryani, tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan sinar keemasan yang panjang menyambar ke arah Tejakasmala yang sedang mendesak Parmadi.

Tejakasmala terkejut sekali, melompat ke samping untuk menghindar lalu dari samping dia menyerang dengan pukulan Aji Condromowo. Tangannya yang merah membara itu menyambar ke arah penyerangnya, akan tetapi yang diserang dengan tenangnya menyambut dengan dorongan tangan kirinya.

"Wuuuttt... darrrr.... !" Tejakasmala terdorong ke belakang. Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa orang yang menyerangnya dan yang kuat menahan serangan Aji Condromowo itu adalah seorang wanita cantik yang berpakaian sederhana serba putih!

Pada saat itu Parmadi sudah menerjangnya dan merasa bahwa dia tidak akan menang kalau menghadapi Parmadi yang dibantu wanita sakti itu, Tejakasmala segera melompat kebelakang. Wanita pakaian putih itu kini menggerakkan tubuh dan tubuhnya seolah melayang ke dekat Muryani. Kembali sinar emas dari sehelai sabuknya berkelebat, Cakrasakti dan Candrabaya cepat menangkis dengan keris mereka.

"Cring.... tranggg.... !!" Dua orang senopati itu terkejut dan cepat melompat ke belakang karena keris mereka patah ketika bertemu sabuk cinde keemasan itu!

Pada saat itu pasukan Pasuruan sudah melompat dari atas kuda dan menyerang orang-orang yang tadinya mengeroyok Muryani. Melihat ini, Tejakasmala dan dua orang pembantunya, Cakrasakti dan Candrabaya, maklum bahwa keadaan mereka kini terancam bahaya, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu melarikan diri, diikuti beberapa orang anak buah yang masih belum terluka dan sempat lari, meninggalkan teman-teman mereka yang tewas atau yang tidak mampu lari karena terluka parah.

Pasukan penjaga lalu merawat teman-temanya yang terluka. Permadi dan Muryani juga tidak melakukan pengejaran terhada orang-orang Bali yang menyerang mereka tadi karena kini seluruh perhatian mereka ditujukan kepada anak mereka yang dilarikan orang. Akan tetapi mereka bingung karena tidak tahu ke arah mana anaknya dilarikan orang tadi. Parmadi memandang kepada isterinya yang juga tampak termenung.

"Diajeng, aku merasa seperti mengenal orang yang melarikan Joko tadi..."

Muryani memandang suaminya dengan alis berkerut dan sinar matanya membayangkan kegelisahan. "Benar, Kakangmas. aku pun mengenalnya. Biarpun tampak lebih tua daripada dulu, akan tetapi tidak salah lagi, dia adalah si jahanam Setyabrata! Ah, ke mana dia tadi melarikan anak kita?"

Suami isteri itu memandang ke sekeliling dan tampak oleh wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang mereka, dalam jarak tiga tombak. Suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak, lalu hampir berbareng mereka berdua berseru, "Maya Dewi...!!"

Wanita berpakaian serba putih itu memang Maya Dewi. Ia sedang dalam perjalanan menuju ke Pasuruan setelah mendengar dari Lurah Ganjar bahwa mungkin sekali Blambangan akan menyerang Pasuruan yang merupakan benteng pertama kerajaan mataram. Ia akan membela Mataram, membela Pasuruan. Ketika tadi ia tiba di situ, ia melihat Tejakasmala dan kawan-kawannya mendesak Parmadi dan Muryani.

Seperti kilat terbayang dalam ingatannya betapa dulu, ia menjadi musuh besar Parmadi dan Muryani. Akan tetapi sekarang ia menyadari sepenuhnya bahwa suami isteri itu adalah orang-orang gagah perkasa dan bijaksana. Dan ia sendiri sudah pernah bertemu dan bertanding melawan Tejakasmala yang curang dan jahat. Maka ia segera turun tangan membantu suami isteri itu.

Dulu, ketika ia dan Bagus membantu ayah ibu Bagus Sajiwo, yaitu Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo, yang dibela Lindu Aji dan Sulastri, menghadapi Tejakasmala bersama banyak kawannya, ia sudah merasakan betapa saktinya Tejakasmala. Hanya Bagus Sajiwo yang mampu mengalahkannya, maka melihat Tejakasmala mendesak Parmadi, ia segera turun tangan membantunya, baru ia membantu Muryani sehingga Tejakasmala dan kawan-kawannya melarikan diri karena di situ muncul pula pasukan Pasuruan.

Melihat suami isteri itu mengenalnya Maya dewi tersenyum, merangkap kedua tangan depan dada sebagai sembah penghormatan lalu berkata dengan lembut, "selamat berjumpa, Parmadi dan muryani. benarkah bahwa putera Andika dilarikan Satyabrata?"

Dengan alis berketut dan mata bersinar tajam, Permadi berkata tegas. "Maya Dewi, katakan ke mana Satyabrata sahabatmu itu melarikan anakku Joko Galing!"

"Maaf, Parmadi. Bagaimana aku dapat mengatakan karena aku sama sekali bukan sahabat Satyabrata lagi."

"Bohong....!!" Muryani membentak marah, matanya mengeluarkan sinar berapi. "Engkau adalah mata-mata Kumpeni Belanda, seperti juga dia! Kalian adalah pasangan yang amat jahat dan keji! Siapa tidak mengenal Maya Dewi Si Iblis Betina Cantik dari Banten? Siapa tidak tahu bahwa Maya Dewi itu antek penjilat sepatu Belanda dan seorang iblis betina hina dan cabul, mempermainkan banyak pemuda lalu membunuhnya? Hayo, katakan ke mana anakku dibawa kekasihmu Satyabrata itu?"

Wajah Maya Dewi menjadi pucat dan sejenak ia memejamkan kedua matanya. merasakan betapa kata-kata itu seperti ujung keris-keris yang runcing menikami hatinya. Ia menggigit bibirnya dan setelah Muryani berhenti bicara, baru ia membuka matanya dan berkata, suaranya masih lembut.

"Muryani, aku mengaku bahwa dulu aku menjadi wanita sesat dan semua yang kau katakan tentang diriku itu benar, akan tetapi aku telah bertaubat dan aku bukan mata-mata Belanda lagi, tidak bersahabat dengan para penjahat."

"Bohong! Siapa tidak atahu bahwa Maya Dewi selain jahat dan kejam, juga amat curang dan licik?"

Maya Dewi tersenyum sabar. "Untuk membuktikan, aku akan mencari Satyabrata dan merampas kembali anakmu, Muryani!"

"Mampuslah!" muryani sudah menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi Maya dewi cepat menghindar dengan lompatan jauh ke belakang. Muryani hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang suaminya. Pada saat itu, pasukan dari Pasuruan yang mendengar bahwa wanita itu adalah Maya Dewi yang terkenal jahat, menjadi marah. "Bunuh mata-mata Belanda!"

"Bunuh perempuan jahat itu!" Para perajurit itu mengambil batu dan mereka menghujani Maya Dewi dengan lemparan batu-batu sebesar kepalan tangan!

Kembali Maya Dewi merasa jantungnya seperti disayat-sayat. Pedih dan sakit sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan batu-batu itu mengenai dirinya. Tak-tuk-tak-tuk batu-batu itu mengenai tubuhnya, bahkan ada yang mengenai kepalanya. Akan tetapi ia tidak peduli karena ia sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan, lalu ia berkata,

"Kalau kalian mengejar, mungkin saja Satyabrata membunuh anak kalian lebih dulu."

Setelah berkata demikian, Maya Dewi meninggalkan tempat itu dengan langkah tenang.

"Jangan dikejar!" teriak Parmadi ketika melihat pasukan itu hendak mengejar. 鈥淚a sakti dan berbahaya sekali. Kalian hanya akan bunuh diri kalau mengejar dan menyerangnya."

Mendengar teriakan Parmadi itu, pasukan berhenti dan tidak berani mengejar sehingga bayangan Maya Dewi lenyap di tikungan. Parmadi mengucapkan terima kasih kepada perwira yang memimpin pasukan, kemudian mengajak isterinya menunggang kuda mereka dan melarikan ke arah utara karena seorang dari para perajurit ada yang memberitahu bahwa Joko Galing tadi dilarikan orang di atas kuda menuju ke arah utara. Dalam perjalanan itu, Muryani yang sudah dapat memulihkan ketenangan hatinya, berkata kepada suaminya dengan suara mengandung penasaran.

"Kakangmas, mengapa engkau menghalangi aku mengejar iblis betina tadi? Aku tidak takut padanya!" Sambil memandang kepada suaminya dengan alis berkerut, ia melanjutkan. "Apa engkau percaya bahwa ia sudah bertaubat? Siapa mau percaya? Iblis sejahat itu, mana mungkin dapat berubah menjadi baik?"

"Aku juga tidak percaya begitu saja, Diajeng. Akan tetapi ada beberapa hal yang membuat aku mencegah engkau mengejarnya."

"Hemm, apakah alasan itu?"

"Pertama, kalau memang ia sekutu Satyabrata yang melarikan anak kita, mungkin saja ia memancing agar kita mengejarnya sehingga memberi kesempatan kepada satyabrata untuk pergi dengan aman."

"Hemm, kurasa masuk diakal pendapatmu itu, Kakangmas."

"Dan ke dua, kalau ia benar-benar bukan sekutu Satyabrata, kata-katanya tadi mengandung kebenaran, yaitu bahwa kalau kita mengejar Satyabrata dan memaksanya menyerahkan anak kita, mungkin saja jahanam itu membunuh Joko."

"Ah, kalau begitu, bagaimana baiknya, Kakangmas? Aduh, bagaimana kita dapat merampas kembali Joko dari tangan penjahat itu?" Suara Muryani mulai gemetar, wajahnya pucat.

"Tenangkan hatimu, Diajeng dan kita serahkan saja anak kita kepada Gusti Allah, sementara kita mencoba untuk mencari jejaknya. Kita harus tetap tenang, dengan perhitungan bahwa kalau Satyabrata menculik Joko, itu berarti dia tidak ingin membunuhnya. Kalau bermaksud membunuh, tidak perlu bersusah payah membawanya lari, bukan? Nah, kita mencari jejaknya dan kalau sudah dapat kita temukan, kita mengikutinya dan mencari jalan dan kesempatan untuk merampas anak kita. Kita harus tabah dan tenang agar pikiran kita tetap jernih untuk mempertimbangkan semua tindakan yang harus kita ambil."

Muryani mengangguk-angguk dan membiarkan suaminya yang memandu perjalanan itu. Ia lebih banyak termenung dan mengenang kembali masa silam, ketika ia masih gadis dan bertemu dengan orang yang bernama Satyabrata itu. Ia berusia sekitar dua puluh tahun ketika bertemu dengan Satyabrata yang ketika itu merupakan seorang pemuda yang tampan sekali, tinggi tegap dengan rambut berombak dan mata agak kebiruan. Pemuda itu menolongnya ketika ia dikeroyok tiga puluh lebih orang jahat.

Tentu saja ia menganggap Satyabrata seorang pemuda yang amat baik, tampan, sakti mandraguna dan sopan. Tidak mengherankan kalau ia merasa tertarik dan jatuh cinta, apalagi ketika mengetahui bahwa Satyabrata amat mencintanya. Ia melakukan perjalanan bersama pemuda itu dan Satyabrata selalu membantu dan mati-matian membelanya menghadapi lawan-lawan tangguh.

Hanya karena ia sudah lebih dulu jatuh cinta kepada Parmadi, maka ia masih ragu dan menolak rayuan Satyabrata. Ia tahu dan dapat merasakan bahwa Setyabrata sungguh mencintanya, akan tetapi hatinya condong memilih Parmadi. Akhirnya ia mengetahui bahwa Setyabrata adalah seorang utusan Kumpeni Belanda memusuhi Mataram dan pemuda itu akrab sekali dengan Maya Dewi!

"Ah, tidak mungkin...!" Ia sendiri kaget mendengar ucapan yang tidak disengaja itu.

"Apa yang tidak mungkin, Diajeng?" tanya suaminya. "Ah, aku melamun!" kata Muryani dan mereka menjalankan kuda mereka dengan santai karena kuda-kuda itu sudah mulai kelelahan.

"Aku masih memikirkan Maya Dewi. Tidak mungkin kalau ia kini berubah dan hendak merampas dan mengembalikan anak kita. Dahulu, ia akrab sekali dengan Satyabrata, mereka adalah mata-mata Belanda dan mereka saling mencinta. Agaknya benar dugaanmu tadi bahwa ia ingin agar kita mengejarnya sehingga tidak dapat melakukan pengejaran terhadap Satyabrata."

Suami isteri itu dengan prihatin lalu mulai mencari jejak Styabrata dengan mencari keterangan kepada orang-orang didusun-dusun yang meraka masuki.

********************

Maya Dewi merasa betapa tubuhnya lemas seolah semua urat syarafnya hampir lumpuh. Semua ini timbul dari perasaan hatinya yang tertekan. Bajunya kotor dan terobek di sana-sini karena hujan batu tadi. Kembali orang-orang menghinanya, memakinya dan menyerangnya karena menganggap ia seorang wanita jahat. Memang, penduduk dusun Sampangan dengan lurahnya, Ki Ganjar, bersikap baik dan hormat kepadanya. Akan tetapi hal itu adalah karena pertama, mereka belum pernah mendengar Maya Dewi, dan kedua, karena ia telah berjasa menolong dusun mereka.

Semua orang membencinya, semua orang yang pernah mendengar namanya. Semua orang, kecuali Bagus Sajiwo! Setiap kali hatinya risau dan ia merasa dihina dan direndahkan orang, ia pasti teringat kepada Bagus Sajiwo dan tak dapat ditahannya pula, beberapa butir air mata menggelinding keluar dari kedua matanya. Ia terkenang masa lalunya, ketika ia bertemu dengan Satyabarata. Ia kini harus dapat bertemu dengan Satyabrata dan merampas anak Parmadi dan Muryani yang bernama Joko Galing itu.

Terbayang kembali hubungannya dengan Satyabrata di waktu dahulu. Ketika itu ia berusia sekitar dua puluh tahun. Ia bertemu dan segera akrab dengan Satyabrata karena mereka berdua memiliki persamaan watak dan kebiasaan, juga kedudukan mereka sama. Keduanya adalah mata-mata Kumpeni Belanda, bahkan Satyabrata merupakan pemimpin mata-mata yang amat dipercaya Belanda karena dia adalah keturunan orang kulit putih. Keduanya sama menjadi hamba nafsu masing-masing.

Maka, mereka merupakan pasangan yang cocok, bersama mereka berenang di lautan nafsu, tidak pantang melakukan segala macam kejahatan! Mereka berdua lalu membantu Madura yang berperang melawan Mataram. Setelah pihak Madura kalah, mereka berdua melarikan diri. Akhirnya Satyabrata oleh Kumpeni Belanda dikirim ke Negeri Belanda untuk dididik menjadi seorang yang pandai, sedangkan ia sendiri melanjutkan petualangannya sebagai mata-mata yang dipercaya oleh Kumpeni Belanda.

Ia bertualang, melakukan segala macam kejahatan sampai akhirnya ia sadar setelah merasa tidak menemukan kebahagiaan lalu meninggalkan Kumpeni, tidak mau lagi menjadi mata-mata Belanda. kemudian ia bertemu dengan Bagus Sajiwo dan berubahlah seluruh jalan hidupnya. Sekarang ia harus memetik buah yang pahit dan memakannya, dari pohon yang ia tanam sendiri. Pohon beracun yang menghasilkan buah beracun yang harus dimakannya!

Ketika ia tiba di sebuah daerah persawahan yang luas, berjalan di atas jalan umum yang kasar dan sepi sekali itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang bertembang. Suara itu terbawa angin dan terdengar sayup-sayup, namun kata-katanya yang amat sederhana dapat tertangkap dengan jelas.

"Manungsa urip ing donya. Mung saderma anglakoni Kersaning Hyang Maha Agung. Kanthi pasrah jiwa raga Yaiku narimah lan nyenyuwun. Apa bae kang tinampa Tuhu sihe Sang Hyang Widi."

(Manusia hidup di dunia, hanya sekedar mengalami kehendak Tuhan yang Maha Agung, dengan berserah jiwa raga yaitu menerima dan memohon, apa pun yang diterima sesungguhnya merupakan kasih Yang Maha Kuasa)

Tembang Sekar Pangkur itu dinyanyikan dengan suara tua yang parau, kata-katanya amat sederhana, namun mengandung getaran yang mendatangkan keharuan dalam hati Maya Dewi. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara. Kakek itu tentu sudah enam puluh tahun lebih usianya.

Namun, tubuhnya yang terbakar sinar matahari sehingga kulitnya berwarna coklat kemerahan itu masih tampak tegap dan kuat ketika dia mencangkul tanah persawahan itu. Tubuhnya bagian atas telanjang sehingga tampak tulang-tulang pundak dan iga menonjol dilingkari otot-otot yang menggembung karena sering bekerja berat. Tubuh bagian bawah memakai celana hitam sebatas lutut. Tubuh kurus namun kokoh itu membungkuk ketika dia mencangkul tanah. Agaknya hanya dia seorang yang bekerja di sawah pada saat itu.

Para petani lain agaknya masih menunggu turunnya hujan baru mereka akan mencangkul tanah dan siap menanam padi. Akan tetepai kakek itu dengan sabar dan tekun mencangkuli tanah yang kering itu. Tanah yang luas itu, sinar matahari yang sudah naik tinggi, kesunyian itu dan hanya seorang kakek bekerja seorang diri sambil bertembang, suasananya begitu menyentuh perasaan Maya Dewi sehingga ia kini berdiri di tepi jalan memandang ke arah kakek yang agaknya tidak melihatnya.

Maya Dewi memandang seperti terpesona. Seolah baru terbuka matanya kini, atau seolah matanya kini mempunyai penglihatan yang baru. Sebelumnya, melihat seorang kakek seperti itu, tentu merupakan penglihatan biasa saja dan mungkin hanya mendatangkan perasaan iba melihat seorang tua seperti bekerja berat dan keadaannya miskin. Akan tetapi saat itu, Maya Dewi melihat keindahan tang menggetarkan kalbu.

Tubuh kakek tua kurus itu, kulit tubuh atas telanjang yang coklat tua berkeriput di sana-sini bermandikan keringat sehingga berkilauan ditimpa sinar matahari, kepala yang rambutnya putih terikat kain kepala yang sudah usang, wajah yang kurus keriputan, juga basah oleh keringat, tampak begitu cerah, semua itu tampak olehnya demikian indah dan agung!

Keindahan yang bukan muncul karena perbandingan dan penilaian, keindahan yang timbul karena kesadaran bahwa itulah wujud seorang manusia, mahluk teragung di antara semua ciptaan Gusti Allah. Sesungguhnya, hasil ciptaaan Gusti Allah itu sempurna! Hati akal pikiran penuh nafsu yang membeda-bedakan karena membandingkan dan menilai.

Seorang raja sekalipun, kalau dia sudah setua kakek petani itu, berpakaian hanya celana hitam seperti itu, dan mencangkul di sawah, keadaannya akan sama saja! Yang membedakan antara manusia hanyalah pakaiannya, baik pakaian itu berupa kain penutup tubuh, maupun kedudukan, harta benda, kepandaian dan sebagainya.

Kalau mereka itu ditelanjangi dari semua pakaian itu, keadaannya tidak berbeda dari orang lain. Buktinya, apakah perbedaan di antara orang-orang mati, di antara mayat-mayat yang sudah dilepaskan dari semua pakaian itu?


Agaknya pandang mata Maya Dewi yang penuh perhatian itu terasa oleh kakek petani yang mecangkul. Tiba-tiba dia menoleh ke kiri dan ketika melihat seorang wanita cantik berpakaian putih berdiri memandangnya, dia melepaskan gagang cangkulnya dan mengusap keringat dari matanya dengan menggunakan lengannya. Ketika kakek itu memandangnya dengan heran Maya Dewi tersenyum dan berkata lembut.

"Selamat siang, Paman. Maaf kalau aku mengganggu pekerjaan Andika."

"Wah, sama sekali tidak, Mas Ayu! Aku memang sudah lelah dan ingin mengaso." kata kakek itu, lalu dia meninggalkan cangkulnya dan keluar dari sawah, mencuci tangannya di selokan air. Kemudian dia mengambil baju hitamnya yang dia taruh di atas batu besar, menyusut keringat dari muka dan leher, juga menyusut air dari lengan dan tangannya, kemudian memakai baju hitam itu, mengambil sebuah kendi dan sebuah bungkusan daun pisang yang berada di atas batu itu pula. Lalu sambil tersenyum dia melangkah menghampiri Maya Dewi dan duduk di atas batu di tepi sawah.

"Andika lelah sekali, Paman?" Maya Dewi bertanya sambil duduk di atas batu di depan Kakek itu.

"Ah, lelah yang enak. Mas Ayu. Kelelahan ini yang membuat singkong rebus ini lezat rasanya, air kendi ini segar sekali, dan makan minum di sini sambil mengaso dan dikipasi angin semilir, bukan main nikmatnya!"

Kakek itu membuka bungkusan daun pisang yang ternyata berisi singkong rebus yang cukup banyak dan mempur (gembur), menawarkannya kepada Maya Dewi.

"Silahkan, Mas Ayu. Singkong ini kurebus sendiri tadi dan sudah kuberi garam. Enak sekali!"

Maya Dewi tersenyum dan mengambil sepotong. Ia tercengang betapa lezatnya singkong rebus itu! Padahal, itu hanya makanan sederhana sekali, murah dan merupakan makanan umum rakyat petani miskin. Anehnya, bercakap-cakap dengan petani sederhana ini, duduk di tepi sawah dan makan singkong rebus bersamanya, ia mendapat kenyataan pula bahwa semua perasaan yang tidak enak tadi ketika ia melamun, lenyap seketika tanpa meninggalkan bekas! Ia merasa bersatu dengan kesemuanya itu.

Tanah kering, air selokan, sawah luas, langit cerah dengan awan-awan putih tipis, sinar matahari, kakek petani ini, semua itu demikian akrab dan keadaannya menjadi bagian dari semua keindahan itu!Ia merasa bersatu dengan semuanya, tiada apa pun yang perlu dipikirkan, jiwanya terasa bebas dari semua akal pikiran dan emosi, semuanya mengendap dan jernih, bebas dan bahagia!

Belum pernah ia merasakan keadaan seperti ini. Ia memang sudah sering merasakan kesenangan, namun itu pun hanya merupakan perasaan hati yang tiada bedanya dengan kekecewaan, kepuasan, kesusahan, kekhawatiran, yang semua itu hanya sementara belaka, hanya di permukaan, pergi datang silih berganti, hanya permainan hati akal pikiran yang mempermainkan perasaan, terkadang diangkat, terkadang dibanting.

Akan tetapi saat ini lain sama sekali. Tidak ada lagi Maya Dewi, tidak ada lagi kakek petani, yang ada hanya dua insan, dua manusia ciptaan Gusti Allah di antara segala ciptaanNya yang lain di sekeliling mereka, sejauh mata dapat memandang, sejauh pikiran mampu menjangkau! Inikah bahagia? Maya Dewi kembali ke alam fana dan ia memandang kakek itu. Kakek itu menawarkan air kendi, itulah yang membuat ia sadar kembali bahwa ia tadi mengembara di alam sorgawi.

"Minumlah, Mas Ayu. Air kendi ini segar sekali dan bersih karena aku mengambilnya dari sumur, bukan air kali."

Kakek itu lalu menuangkan air dari lubang pancuran di perut kendi, Dia membuka mulutnya dan air kendi memancur masuk ke mulutnya dengan tepat walaupun air itu mancur dalam jarak sehasta dari mulutmnya. Maya Dewi sampai menelan ludah melihat betapa kerongkongan kakek itu bergerak-gerak ketika menelan air. Begitu segar dan enak!

Maka ia pun menyambut ketika kendi diserahkan kepadanya. Tentu saja minum air kendi bukan merupakan hal asing baginya, jari-jari tangan kanannya mencekik leher kendi, lalu ia menuangkan air ke dalam mulutnya seperti yang dilakukan kakek tadi. Tanpa malu-malu ia membuka mulut lebar-lebar agar air kendi tidak sampai tumpah. Dan bukan main nikmat dan segarnya! Apalagi kerongkongannya memang agak seret (tersendat) setelah makan singkong rebus yang mempur tadi.

Setelah mereka kenyang mereka berhenti makan minum dan Maya Dewi memandang wajah kakek itu sambil tersenyum gembira.

"Terima kasih, Paman. Singkong rebusnya lezat sekali dan air kendinya segar bukan main!"

"Wah, Mas Ayu. Aku hanya dapat menyuguhkan makanan dan minuman desa! Biasanya para priyayi dari kota tidak mau makanan dan minuman seperti ini. Akan tetapi Andika menikmatinya! Aku merasa senang sekali. Mas Ayu ini tentu seorang priyayi dari kota pula, mengapa berada di sini dan sudi bercakap-cakap dengan aku, bahkan sudi pula menerima suguhanku?"

"Ah, Paman. Aku bukan priyayi. Aku orang biasa saja. Namaku Maya Dewi dan aku sedang melakukan perjalanan." Maya Dewi berhenti sebentar dan mengamati wajah kakek itu, hatinya sudah merasa tegang dan khawatir kalau-kalau kakek ini sudah mendengar nama busuknya pula dan lari ketakutan. Akan tetapi ternyata tidak. Kakek itu bersikap biasa saja dan senyumnya masih ramah. Maka ia pun melanjutkan dengan gembira. "Andika tentu seorang yang berbahagia, Paman."

Petani itu memicingkan matanya memandang Maya Dewi dengan lagak lucu akan tetapi sinar matanya memancarkan keheranan karena selain dia menganggap pertanyaan itu aneh dan lucu, dia pun sama sekali tidak mengerti.

"Mas Ayu, aku ini seorang petani, hidup sebagai seorang duda tanpa anak isteriku meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Aku seorang duda petani yang hidup sendiri di dusun sana, bukan seorang yang.... apa tadi yang Andika maksudkan?"

"Seorang yang berbahagia."

"Aku tidak mengerti apa itu berbahagia."

Maya Dewi menjadi bingung karena sesungguhnya ia sendiri juga belum yakin benar bagaimana rasanya bahagia itu, kecuali pada saat-saat tertentu dan kemudian hilang kembali. Karena tidak mungkin menerangkan bagaimana bahagia itu, maka ia akan bertanya tentang hal-hal yang menghilangkan kebahagiaan.

"Paman, Paman bilang kehilangan isteri dan hidup sebatang kara tanpa ada orang yang menemani hidup Paman, apakah Paman tidak merasa kesepian dan nelangsa hidupmu?"

"Wah, tidak sama sekali, Mas Ayu. Semua penduduk dusun mengenalku dan aku hidup rukun dengan mereka semua. Mereka itu kuanggap keluargaku sendiri. Kita merupakan keluarga besar. Aku sama sekali tidak kesepian, Mas Ayu."

Maya Dewi mengerutkan alisnya. Tentu saja Bagus Sajiwo pernah memberi tahu kepadanya bahwa seluruh manusia di dunia ini sesungguhnya adalah keluarga kita sendiri. Akan tetapi begitu banyak orang membencinya, memusuhinya.

"Paman, bagaimana kalau ada penduduk yang membencimu?"

"Membenciku? Mengapa? Kalau aku baik dan sayang kepada mereka, tentu mereka juga baik dan sayang kepadaku, Mas Ayu. Akan tetapi andaikata ada yang membenciku, ya biar saja, itu urusannya. Yang penting aku tidak membenci siapa-siapa, sehingga dapat enak makan dan enak tidur."

"Akan tetapi keadaanmu yang miskin, apakah hal itu tidak menyusahkan hatimu, Paman? Apakah Paman tidak ingin keadaanmu lebih makmur seperti banyak orang lain?"

Kakek itu tertawa memperlihatkan mulutnya yang ompong. "Heh-heh, aku tidak pernah susah dengan keadaanku dan aku tidak pernah iri kepada orang lain, Mas Ayu. Aku selalu Nrima Ing Pandum (menerima dengan syukur apa yang menjadi bagiannya). Boleh jadi aku miskin, akan tetapi aku tidak merasa miskin, karena aku tidak merasa kurang. Aku mempunyai sepetak sawah ini, punya rumah gubuk, mau apa lagi? Aku bekerja giat sebagai kewajiban hidupku, akan tetapi bagaimana hasil akhirnya, hal itu bukan kekuasaanku untuk menentukan."

"Apakah engkau tidak pernah merasa bersedih, Paman?"

"Tentu saja. Orang hidup bagaimana mungkin tidak penah merasa sedih? Misalnya ketika isteriku meninggal dunia, tentu aku merasa sedih. Atau ketika tanaman di sawahku gagal. Akan tetapi kesedihan itu hanya mampir sebentar karena aku tahu bahwa disedihkan bagaimana pun juga, kesedihan itu tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik, bahkan mungkin bertambah buruk. Itu tadi, Mas Ayu, Nrima Ing Pandum."

Maya Dewi tersenyum. "Kalau begitu, Andika adalah orang yang berbahagia, Paman?"

Entahlah, Mas Ayu. Akan tetapi, terus terang saja, aku sama sekali tidak butuh bahagia. Biarlah aku seperti sekarang ini. Bahagia atau tidak, aku tidak ingin kehidupanku ini berubah."

"Satu pertanyaan lagi, Paman. Bagaimana kalau kelak sewaktu-waktu Paman jatuh sakit karena usia tua padahal Paman tidak mempunyai keluarga? Apakah itu tidak menyedihkan hatimu?"

"Heh-heh-heh, Andika ini aneh-aneh saja, Mas Ayu. Aku tidak mau memusingkan hal-hal yang belum terjadi. Bagaimana nanti sajalah! Siapa sih yang mengetahui apa yang akan menimpa dirinya? Maaf, mas Ayu, aku mau melanjutkan pekerjaanku."

Petani itu bangkit berdiri dan Maya Dewi juga bangkit berdiri.

"Terima kasih atas keramahanmu, Paman. Engkau baik sekali dan aku yakin kini bahwa Paman tentu seorang yang berbahagia, walaupun miskin dan hidup sebatang kara!"

"Terserah anggapan Mas Ayu saja."

Maya Dewi meninggalkan tempat itu, melanjutkan pejalanannya, akan tetapi ia berhenti menengok, lalu bertanya kepada petani yang sudah memegang cangkulnya itu. "Oya, Paman. Apakah Paman melihat seorang laki-laki menunggang kuda membawa seorang anak laki-laki?"

"Laki-laki menunggang kuda? Ah, ya, aku ingat sekarang. Kemarin sore aku melihat seorang laki-laki membalapkan kudanya dan dia memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya."

"Ke mana dia pergi, Paman?"

"Dia membalapkan kudanya ke arah sana!" Kakek itu menunjuk ke arah utara.

"Terima kasih, Paman!" Maya Dewi berkata girang dan ia lalu berlari cepat sekali sehingga kakek petani itu memandang dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi karena wanita cantik yang tadi makan singkong bersamanya, tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ.

Setelah jauh meninggalan daerah pertanian itu dan mulai melewati dusun, Maya Dewi berjalan biasa. Ia beberapa kali senyum sendiri, teringat akan percakapannya dengan kakek petani tadi. Ia mendapatkan pengertian baru tentang kebahagiaan. Kalau aku tidak keliru, kata hatinya, setiap orang hidup sebetulnya telah bahagia. Gusti Allah menciptakan manusia bukan untuk ditakdirkan menderita.

Ciptaan yang Maha Sempurna itu sudah tentu sempurna pula. Kalau kita merasa tidak berbahagia, hal itu berarti ada sesuatu yang menghalanginya. Kalau penghalang itu disingkirkan, maka bahagia ada di sana, di dalam hati setiap orang manusia! Jadi ketidak bahagiaan itu timbul karena ulah kita sendiri.

Kalau hidup ini wajar dan berserah diri kepada Gusti Allah Yang Maha Kasih, dapat NARIMA ING PANDUM, yaitu menerima segala hal yang menimpa dirinya dengan rasa syukur karena semua itu terjadi atas kehendakNya, tanpa meninggalkan ikhtiar kita sekuat tenaga, maka kebahagiaan tidak akan terhalang dan bersinar seperti matahari tak terhalang mendung.

Ia dibenci orang, mengapa harus berduka? Kalau ia menerima kenyataan itu sebagai hal yang wajar, karena memang ia sendiri yng bersalah, dan ia berikhtiar sekuatnya untuk melaksanakan kehendak Gusti Allah, menjadi penyalur berkatNya kepada orang lain yang membutuhkannya, maka berarti ia menghilangkan penghalang bagi kebahagiaannya. Ia harus menerima semua perlakuan pahit tehadap dirinya itu sebagai buah perbuatannya yang dulu sebagai imbalan hukuman yang sudah sepatutnya diterimanya.

Dan dalam penyesalan dan pertaubatannya, setiap melakukan sesuatu, ia harus menganggap sebagai menanam bibit yang akan tumbuh dan kelak mengeluarkan buah sesuai bibit yang ditanamnya. Ia masih teringat akan kata-kata Bagus Sajiwo bahwa Gusti Allah itu Maha Pengampun dan Maha Adil, setiap saat siap untuk menanggung semua hukuman ini."

Maya Dewi berdoa dalam hatinya lalu mengusir semua perasaan iba iri itu denganat akan mengampuni setiap orang berdosa yang mau bertaubat dengan sungguh-sungguh seperti seorang ayah yang amat mencinta anaknya akan selalu menerima kembali anak yang hilang dan sesat jalan, menerimanya kembali dengan kasih sayang. Bahkan hukuman yang diberikan kepada si anak yang bersalah juga merupakan bukti kasih sayang si ayah agar si anak menjadi sadar bertaubat tidak melakukan kesalahan seperti itu lagi.

"Duh Gusti Allah, Pangeran Yang Maha Kasih, kasihanilah hamba dan berilah kekuatan kepada hamba untuk menanggung semua hukuman ini."

Maya Dewi berdoa dalam hatinya lalu mengusir semua perasaan iba diri itu dengan mencurahkan perhatiannya terhadap pengejarannya kepada Satyabrata yang melarikan Joko Galing, putera Parmadi dan Muryani.

********************

Siapakah laki-laki berusia sekitar empat puluh satu tahun yang menculik Joko Galing dan dikenal oleh Parmadi sebagai Satyabrata itu? Satyabrata lahir di Cirebon. Ibunya seorang wanita pribumi bernama Marsinah, sedangkan ayahnya adalah seorang pedagang bule berbangsa Portugis bernama Henrik. Ketika Satyabrata terlahir dan anak itu berkulit gelap dan berambut hitam, hanya matanya yang agak kebiruan, lebih mirip pribumi daripada bule, Henrik lalu meninggalkan ibu dan anak itu ketika dia kembali ke negaranya. Marsinah membesarkan anak itu seorang diri.

Ketika Satyabrata berusia empat belas tahun, seorang perwira Kumpeni Belanda bernama Willem van Huisen merasa suka kepadanya dan Satyabrata lalu diambil sebagai anak angkat dan disekolahkan. Willem van Huisen sendiri hanya mempunyai anak perempuan Eisye van Huisen. Satyabrata lalu diberi nama Belanda, yaitu Jan van Huisen. Akan tetapi kalau berada di luar rumah, dia lebih suka memakai nama Satyabrata.

Sebagai anak angkat perwira Belanda, Satyabrata mudah saja berguru kepada orang-orang sakti di Cirebon, mempelajari olah kanuragan. Bahkan dia pernah belajar di perguruan Dadali sakti. Setelah dia berusia dua puluh satu tahun, menjadi seorang pemuda yang tampan dan terpelajar, juga digdaya, ayah angkatnya Willem van Huisen mulai memberi tugas kepadanya sebagai pemimpin mata-mata Kumpeni.

Ketika dia menyusup hendak menyelidiki keadaan Jatikusumo sebagai tempat para pendekar yang setia kepada Mataram, dia ketahuan, berkelahi dan terjatuh ke dalam sumur tua di belakang perguruan Jatikusumo. Sumur ini dikeramatkan dan menjadi tempat larangan bagi para murid Jatikusumo. Semua orang mengiara Satyabrata mati, akan tetapi sebaliknya dia malah dapat mempelajari ilmu-ilmu yang hebat dan aneh peninggalan mendiang Resi Ekomolo yang mati dalam sumur itu.

Dia mendapatkan keris pusaka Ilat Nogo dan catatan ilmu-ilmu yang aneh. Dia mempelajarinya selama bertahun-tahun dan akhirnya dia menjadi seorang yang sakti mandraguna. Dia berusia sekitar dua puluh enam tahun ketika bertemu dengan Muryani dan jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi walaupun Muryani juga terpikat oleh ketampanan dan rayuan Satyabrata, namun gadis itu sudah saling mencinta dengan Parmadi sehingga menolak cinta Satyabrata.

Akhirnya Muryani yang setia kepada Mataram itu mengetahui bahwa Satyabrata seorang yang jahat dan cabul, juga antek Kumpeni Belanda sehingga Muryani meninggalkannya dan bahkan memusuhinya. Setelah Satyabrata membantu Madura dalam perangnya melawan Mataram di mana dia bertemu dengan Muryani yang membela Mataram, kemudian Madura dapat dikalahkan Mataram, Satyabrata melarikan diri bersama Maya Dewi yang ketika itu menjadi rekan dan juga kekasihnya.

Setelah tiba di rumah ayah angkatnya, Wilem van Huisen mengirim dia ke negeri Belanda di mana dia mempelajari banyak ilmu. Ilmu pengetahuan dan juga ilmu militer termasuk kemahiran mempergunakan senjata api. Pada suatu hari dia bertemu dengan Elsye, puteri kandung Willem van Huisen, atau adik angkat Satyabrata. Dahulu, ketika remaja, terjadilah hubungan cinta antara Satyabrata dan Elsye. Akan tetapi ketika mereka bertemu di聽negeri Belanda, Elsye telah menjadi isteri Piet Meijer, Suami isteri ini belum mempunyai anak walaupun mereka sudah menikah selama lima tahun.

Pertemuan itu menggugah cinta diantara mereka dan dengan pengalaman dan aji pengasihannya, akhirnya Satyabrata membuat Elsye jatuh dan menyeleweng dengannya. Hal ini berlangsung berbulan-bulan dan Piet Meijer tidak mengetahuinya karena dia tahu bahwa Satyabrata adalah kakak angkat Elsye. Akan tetapi pada suatu hari, Piet Meijer memergoki perjinahan mereka. Tentu saja dia marah, akan tetapi sebelum dia dapat berbuat sesuatu, Satyabrata mendahuluinya dan membunuhnya.

Pada malam harinya, Satyabrata membawa mayat Piet Meijer ke dalam taman umum yang sudah sepi dan meninggalkan mayat itu di sana. Tentu saja peristiwa pembunuhan ini menggegerkan pemerintah Belanda. Akan tetapi polisi tidak dapat melacak pembunuhnya. Tak seorangpun mencurigai Satyabrata dan akhirnya, setahun kemudian Satyabrata menikah dengan Elsye secara resmi. Akan tetapi pasangan ini juga tidak mempunyai keturunan.

Sudah menjadi watak Satyabrata, cintanya kepada wanita hanyalah cinta berahi. Kalau gejolak berahinya sudah terpuaskan, cintanya pun menguap dan terbang lenyap seperti uap. Dia mulai bosan setelah hidup sebagai suami isteri dengan Elsye selama bertahun-tahun. Dia sudah menghibur dirinya dengan penyelewengan-penyelewengan.

Namun akhirnya dia merasa bosan dengan itu semua, bosan dengan wanita-wanita Belanda dan mulai rindu kepada wanita bangsa ibunya. Terutama sekali dia merasa amat rindu kepada Muryani yang pernah dicintanya, dicintanya dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar cinta berahi.