Sepasang Garuda Putih Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Sepasang Garuda Putih Jilid 06

SETELAH pekarangan itu penuh penduduk dusun Grobokan dan tempat itu diterangi lampu dan obor-obor, Retno Wilis lalu berkata dengan suara lantang kepada para penduduk.

"Para paman, bibi dan saudara sekalian dengarlah baik-baik. Demang Grobokan ini telah mengakui bahwa dia telah melakukan perbuatan yang jahat, hendak merampas puteri Ki Dirun untuk dijadikan selirnya. Sekarang, Demang Grobokan ini telah mengakui kejahatannya, dan bertaubat, tidak akan melakukan kejahatan lagi di dusun ini. Kalian semua menjadi saksi, kalau sampai dia berani melakukan kejahatan lagi, lain kali kalau aku lewat di sini, aku tentu akan membunuhnya di depan kalian." Setelah berkata demikian, Retno Wilis berkata kepada Demang Grobokan yang masih duduk berlutut. "Ki Demang, hayo kau katakan sendiri kepada mereka semua bahwa engkau telah bertaubat dan tidak akan mengulangi semua perbuatanmu yang jahat. Engkau tidak akan mengerahkan para tukang pukulmu lagi untuk memaksa rakyat!"

Demang Grobokan yang telah hilang nyalinya sejak Suropekik meninggalkannya, apa lagi setelah dia dihajar keras oleh Retno Wilis, bangkit berdiri. Semua orang kini dapat melihat mukanya yang matang biru dan benjol-benjol, dan dengan suara lemah dia berkata.

"Saudara warga dusun Grobokan sekalian..."

"Bicara yang keras!" bentak Retno Wilis.

Demang Grobokan lalu mengulang kata-katanya dengan suara yang keras. "Saudara warga dusun Grobokan sekalian! Aku, Demang Grobokan, mengaku telah berbuat banyak kesalahan terhadap kalian. Akan tetapi aku telah menyadari kesalahanku, dan mulai saat ini, aku berjanji bahwa aku sudah bertaubat dan tidak akan mengulangi semua perbuatanku yang keliru. Kalau aku berbuat jahat lagi, biarlah Hyang Widhi akan memberi hukuman yang seberat-beratnya kepadaku!"

Retno Wilis merasa puas dengan ucapan itu, dan ia berkata, "Ingat baik-baik, Ki Demang. Ucapanmu itu disaksikan semua warga dusun Grobokan, dan jangan kira aku hanya menggertak saja. Lain kali aku tentu akan lewat di sini untuk melihat apakah benar-benar engkau memenuhi janjimu. Awas, kalau engkau masih jahat, aku tidak akan memberi ampun lagi kepadamu!"

Demang Grobokan mengangguk-angguk. "Aku tidak akan melanggar janji."

Retno Wilis lalu menoleh kepada kakaknya dan berkata, "Kakang, mari kita pergi dari sini!"

Akan tetapi Harjadenta menahan mereka berdua dan berkata, "Malam telah tiba, andika berdua tidak mungkin melanjutkan perjalanan dalam kegelapan malam, rumah Ki Dirun sudah kosong ditinggal pergi penghuninya, kalau andika tidak berkeberatan, silakan menggunakan rumah itu. Tadinya aku juga mondok di rumah itu untuk semalam ini."

Bagus Seto mengangguk kepada adiknya, "Kurasa sebaiknya begitu, diajeng. Melanjutkan perjalanan di waktu malam begini, apa lagi kalau jauh dari kota dan pedusunan, kita akan kemalaman di perjalanan."

Retno Wilis memandang kepada kakaknya, kemudian kepada Harjadenta, lalu berkata, "Baiklah kalau begitu."

Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu dan menuju ke rumah Ki Dirun. Baru saja mereka memasuki rumah itu, beberapa orang penduduk dusun Grobokan berdatangan membawa segala macam makanan dan minuman yang mereka punya, disuguhkan kepada tiga orang muda yang menggemparkan itu. Malam itu semua penduduk hampir tidak dapat pulas, dengan gembira membicarakan peristiwa sore tadi dan membayangkan betapa akan bahagia hidup mereka kalau Ki Demang benar-benar menyadari kesalahannya dan akan mengubah sikap hidupnya. Mereka semua akan merasa aman dan dapat bekerja dengan tenang dan sejahtera. Setelah makan hidangan yang disuguhkan para penduduk, tiga orang muda itu bercakap-cakap di ruangan depan.

"Adimas Harjadenta, andika tadi mengatakan bahwa andika mengejar seorang pencuri keris. Bagaimana sebetulnya duduk perkaranya dan siapakah guru andika itu?"

Retno Wilis juga memandang pemuda itu penuh perhatian karena diapun ingin mendengar riwayat pemuda tampan yang gagah perkasa itu. Harus diakui bahwa ia merasa tertarik kepada pemuda yang halus dan lembut tutur sapanya itu, yang dengan gagah berani menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Tadipun Retno Wilis sudah mencarikan daun untuk mengobati luka-luka di pundak dan paha Harjadenta. Harjadenta menarik napas panjang dan mulai bercerita.

"Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai seorangpun keluarga lagi. Guruku adalah Empu Gandawijaya yang bertapa di Gunung Raung. Sejak aku berusia tiga belas tahun sampai kini, sudah sepuluh tahun lamanya aku diambil murid oleh Bapa Guru dan tinggal di lereng Gunung Raung bersamanya. Beberapa pekan yang lalu, Bapa Guru memanggilku dan memberi tahu bahwa dia telah kehilangan sebuah keris pusaka bernama Ki Carubuk yang katanya hilang dicuri seorang wanita sakti yang tidak diketahui namanya. Bapa Guru lalu mengutusku untuk pergi mengejar dan mencari pencuri itu, merampas kembali Ki Carubuk, baru diperbolehkan pulang ke Gunung Raung. Bapa Guru tidak banyak memberi petunjuk, hanya mengatakan bahwa pencuri itu seorang wanita sakti, pandai ilmu sihir dan guna-guna. Aku disuruh naik perahu sepanjang Kali Mayang menuju ke muaranya di Lautan Kidul. Ketika perjalananku tiba di Grobokan, aku singgah dan mencari tempat penginapan. Kebetulan aku bertemu Ki Dirun dan dia menerimaku menginap di rumahnya. Kemudian aku ketahui tentang urusannya dengan Ki Demang Grobokan itu dan aku lalu menolongnya." Harjadenta menceritakan tentang peristiwa itu, semula dia mengusir dua orang utusan Ki Demang, lalu datang lima orang tukang pukul yang dapat diusirnya pula.

"Tidak kusangka bahwa mereka itu masih belum mau menyerah, bahkan lalu datang bersama Suropekik, warok yang digdaya itu dan aku dikeroyok oleh dia dan belasan orang anak buahnya. Aku sudah kewalahan dan tentu aku sudah tewas kalau andika berdua tidak datang menolong. Sekarang tiba giliran kalian berdua. Bagaimana andika berdua dapat datang pada saat yang demikian cepatnya? Andika berdua datang dari manakah dan hendak ke mana?"

Bagus Seto memandang kepada adiknya dan berkata, "Diajeng, engkau sajalah yang bercerita kepada dimas Harjadenta tentang diri kita."

Retno Wilis adalah seorang gadis yang bersikap polos dan terbuka, dan tidak malu-malu seperti para gadis lainnya. Biasanya, seorang gadis akan merasa sungkan dan malu-malu terhadap seorang pemuda yang baru dijumpainya akan tetapi tidak demikian dengan Retno Wilis. Ia berani menentang pandang mata Harjadenta dengan tenang tanpa perasaan apapun seperti kalau ia memandang seorang gadis lain. Biarpun ia sudah amat berpengalaman dalam dunia persilatan dan pertempuran, namun ia masih seperti kanak-kanak dalam pergaulannya dengan pria. Maka kinipun ia menatap wajah Harjadenta sedemikian terbuka dan jujur sehingga pemuda itulah yang merasa jantungnya berdebar ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang demikian tajam dan jernih.

"Nah, apakah yang ingin kau ketahui tentang kami, kakangmas Harjadenta?"

Pertanyaan itu demikian polos dan dikeluarkan dengan suara yang merdu, sehingga Harjadenta menjadi gugup dan tidak berani menentang pandang mata itu terlalu lama. Dia sendiri juga sejak kecil ikut gurunya di lereng Gunung Raung sehingga sama sekali tidak mempunyai pengalaman pergaulan dengan wanita, maka pertemuannya dengan Retno Wilis membuat dia tegang dan tidak tenang.

"Segalanya, diajeng. Riwayat andika berdua, putra siapa datang dari mana, lalu hendak ke mana dengan tujuan apa. Pula, bagaimana andika berdua begitu kebetulan dapat datang pada saat aku terancam bahaya maut?"

Retno Wilis tersenyum. Baiklah, pertama-tama kami adalah putera dan puteri Ki Patih Tejolaksono dari Panjalu."

Harjadenta terbelalak. Putera puteri Patih? Ah, andika berdua adalah orang-orang muda bangsawan tinggi, maafkan kalau aku telah bersikap kurang patut!"

"Hush.... !" Retno Wilis mencela. "Kalau engkau mengubah sikapmu kepada kami dan merendahkan diri, aku tidak mau lagi bersahabat denganmu, kakangmas Harjadenta!"

Pemuda ini terkejut dan memandang wajah cantik yang kini cemberut itu. "Akan tetapi... kalian putera puteri seorang Patih, apalagi Patih Panjalu... !"

"Apa bedanya patih dan bukan patih? Apa pula bedanya seorang raja dan seorang rakyat biasa? Mereka sama-sama manusia! Tidak, aku tidak mau engkau mengubah sikapmu. Kita biasa-biasa saja sebagai sahabat."

Harjadenta menghela napas panjang dan diam-diam dia menjadi semakin kagum. Seorang puteri bangsawan bicara seperti itu! Dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang dara yang benar-benar luar biasa.

"Baiklah, diajeng Retno Wilis. Maafkan aku yang kurang pengertian. Nah, silakan engkau melanjutkan ceritamu. Andika adalah putera puteri seorang Patih dari Panjalu. Lalu mengapa andika berdua datang ke tempat yang begini jauh dari tempat tinggalmu?"

"Kami berdua memang sengaja meninggalkan Panjalu untuk merantau dan mencari pengalaman."

"Ah, dua orang muda yang berilmu tinggi, sakti mandraguna seperti andika berdua masih mencari pengalaman lagi? Kalau boleh aku mengetahui, siapakah guru-guru andika berdua yang mulia?"

"Guruku adalah Nini Bumigarbo dan guru kakakku adalah Sang Bhagawan Ekadenta."

Kembali Harjadenta terbelalak. "Ah, guruku pernah bercerita tentang seorang wanita maha sakti berjuluk Nini Bumigarbo dan seorang Pendeta linuwih berjuluk Sang Bhagawan Ekadenta. Mereka itu seolah manusia setengah dewa yang amat sakti, seperti dalam dongeng. Kiranya andika berdua adalah murid-murid mereka? Pantas kalian memiliki kesaktian yang demikian hebat!"

"Nah-nah-nah, mulai lagi! Aku paling tidak senang melihat orang menjilat-jilat dan memuji setinggi langit!" tiba-tiba Retno Wilis berkata tegas dan suaranya seperti orang marah.

Harjadenta kembali terkejut dan cepat berkata, dengan suara lirih. "Maafkan aku, diajeng, aku... bukan maksudku untuk menjilat-jilat... "

"Tapi engkau memuji setinggi langit. Kami hanya orang-orang biasa saja yang tiada bedanya dengan engkau atau orang lain, tidak perlu memuji-muji seperti itu atau aku tidak mau bercerita lagi."

Harjadenta menelan ludahnya. Gadis ini selain sakti dan hebat, juga galaknya bukan main! "Maafkan, tidak akan kuulangi lagi. Harap kau suka melanjutkan ceritamu, diajeng Retno Wilis." Kini dia bahkan tidak berani menentang langsung wajah gadis itu, hanya memandang ke arah pakaiannya yang serba putih sederhana, akan tetapi yang tidak menyembunyikan lekuk-lengkung tubuhnya yang ramping padat.

"Kami juga tidak sengaja datang ke tempat ini. Kami berdua sedang melakukan perjalanan menyusuri Kali Mayang yang indah pemandangannya. Ketika kami tiba di hutan dekat dusun ini, kami bertemu dengan seorang pemuda bernama Martono bersama ibunya. Ibunya menangis dan kami mendengarnya lalu menemui mereka. Martono itu yang bercerita kepada kami tentang perbuatan Ki Demang, yang hendak merampas Lasmini tunangannya. Karena itu kami lalu cepat memasuki dusun ini dan melihat engkau dikeroyok banyak orang maka aku lalu cepat membantumu."

"Untung sekali engkau tahu siapa yang perlu dibantu dan siapa yang harus ditentang." kata Harjadenta.

"Tentu saja aku tahu. Martono sudah bercerita tentang seorang pemuda yang menolong keluarga Dirun dan yang kini dikeroyok di sini."

"Dan aku tadinya mempunyai dugaan yang amat buruk terhadap dirimu, diajeng Retno."

Retno Wilis memandang wajah pemuda itu penuh selidik. "Dugaan buruk. Apa itu?"

"Melihat engkau demikian cantik dan demikian sakti, sekilas terlintas dalam pikiranku akan pemberitahuan Bapa Guru bahwa pencuri pusaka Ki Carubuk adalah seorang wanita cantik yang sakti."

"Sialan! Kau kira aku ini pencuri keris itu?"

"Maaf, aku tidak tahu...."

"Sudahlah," kata Bagus Seto sambil tertawa. "Sekarang kita harus memikirkan keadaan Ki Dirun dan keluarganya, juga Martono dan ibunya. Mereka entah lari ke mana. Sebaiknya mereka itu kembali lagi ke sini, di mana mereka meninggalkan rumah dan sawah mereka."

"Benar," kata Harjadenta, "biar aku memberitahu kepada para tetangga untuk mengejar mereka dan memberitahu mereka bahwa dusun Grobokan telah aman dan mereka boleh kembali lagi ke sini."

Bagus Seto membenarkan pendapat Harjadenta yang segera menghubungi para tetangga dan minta agar mereka menyusul ke mana larinya keluarga Dirun dan keluarga Martono untuk memanggil mereka pulang. Malam itu mereka melewatkan malam di rumah keluarga Dirun. Retno Wilis menggunakan kamar yang biasa ditiduri Lasmini, sedangkan Bagus Seto dan Harjadenta menggunakan kamar Ki Dirun.

Pada keesokan paginya, setelah mereka mandi dan makan sarapan pagi yang diantar dan disuguhkan oleh para penduduk Grobokan, mereka lalu hendak meninggalkan Grobokan dan mereka merasa perlu untuk berpamit kepada Ki Demang Grobokan. Kunjungan mereka disambut dengan ramah dan hormat oleh Ki Demang. Melihat sikap orang itu, Bagus Seto merasa gembira dan mengharapkan agar penguasa itu benar-benar bertaubat dan selanjutnya akan menjadi seorang penguasa yang memimpin penduduk dusun Grobokan ke arah kehidupan yang sejahtera dan makmur.

"Ki Demang," kata Retno Wilis setelah mereka bertiga berpamit. "Kalau sewaktu-waktu pikiranmu menggodamu untuk melakukan hal-hal yang tidak baik dan menekan rakyat, ingatlah kepada kami karena sekali waktu kami pasti akan lewat di sini melihat keadaan."

Ki Demang tersenyum. Kini baru dia mengerti bahwa tiga orang itu adalah orang-orang muda sakti yang hidupnya sebagai pendekar, dan mereka adalah orang-orang yang baik dan yang memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan. Bukan seperti orang macam Suropekik yang mau melakukan apapun juga asalkan mendapat upah besar. Sekali waktu orang macam Suropekik itu bagaikan memelihara seekor harimau ganas dapat membalik dan menyerang pemeliharanya sendiri. Kalau dia ingin hidup sejahtera dan makmur penuh ketenteraman, dia harus mengubah jalan hidupnya dan tidak selalu menuruti nafsunya sendiri.

"Harap andika bertiga jangan khawatir. Saya tidak akan melanggar janji yang telah saya ucapkan dan disaksikan semua penghuni Grobokan."

Tiga orang muda itu lalu meninggalkan rumah Ki Demang. Akan tetapi Ki Demang Grobokan mengikuti dan mengantar mereka. Di sepanjang jalan para penduduk juga menyambut dan ikut pula mengantar mereka. Setelah mereka tiba di luar pagar yang mengelilingi dusun Grobokan, barulah Ki Demang dan para penduduk dusun berhenti mengantar, apa lagi karena hal ini diminta oleh Retno Wilis.

"Sudahlah, sampai di sini saja kalian mengantar. Sekarang kami harus pergi." Mereka bertiga lalu menuju ke Kali Mayang. Setelah tiba di tempat di mana Harjadenta menyimpan dan menambatkan perahunya, pemuda ini bertanya kepada Bagus Seto.

"Andika berdua hendak pergi ke manakah?"

"Kami akan kembali ke pantai dan melanjutkan perjalanan perantauan kami." jawab Bagus Seto.

"Kalau begitu, silakan ikut dalam perahuku. Akupun hendak pergi ke muara sungai ini untuk menaati nasihat Bapa Guru bahwa aku diharuskan mencari sampai ke muara sungai Mayang ini."

Bagus Seto memandang kepada adiknya dan tersenyum. "Tentu menarik sekali melakukan perjalanan melalui air, pemandangannya tentu berbeda. Bagaimana, maukah engkau, Retno?"

"Bagaimana engkau saja kakang. Kalau memang kita sejalan, tidak ada salahnya ikut dalam perahu kakangmas Harjadenta, asal saja tidak menyusahkan dia."

Harjadenta tertawa senang. "Mengapa menyusahkan? Kita melakukan perjalanan bersama, membeli beras dan masak sendiri di perahu, lauknya kita cari di sungai dengan mengail."

Pemuda itu tampak gembira sekali dan tak lama kemudian merekapun sudah meluncurkan perahu ke tengah sungai. Karena perahu itu menuju ke hilir, Harjadenta hanya perlu mengemudikannya saja dengan dayungnya, perahu itu sendiri sudah terbawa arus air yang cukup kuat, sehingga meluncur dengan cepatnya ke depan. Naik perahu ini merupakan pengalaman baru bagi Retno Wilis, maka iapun merasa gembira sekali.

********************

Sebelum memuntahkan airnya di laut Kidul, Kali Mayang bertemu dengan Kali Sanen yang mengalir dari timur. Pertemuan dua buah kali itu terjadi di sebelah selatan dusun Ambulu. Tak jauh dari tempat pertemuan dua kali yang membuat muara sungai itu menjadi lebar dan besar, terdapat sebuah kota besar yang disebut Bulumanik. Penduduknya banyak yang menjadi nelayan, karena di muara sungai itu terdapat banyak sekali ikan yang seakan tiada habis-habisnya mereka tangkapi setiap hari.

Selain menjadi nelayan, juga para penghuni itu merupakan petani-petani yang hidupnya cukup makmur karena sawah ladang di sepanjang lembah sungai itu amat subur. Bulumanik terkenal sebagai tempat yang gemah ripah loh-jinawi dan tempat itu dikunjungi banyak pedagang dari kota lain. Rakyatnya cukup mampu untuk membeli barang-barang dari luar kota yang dibawa oleh para pedagang itu. Juga karena adanya sungai, maka lalu lintas dapat dilakukan dengan mudah melalui air.

Bulumanik dipimpin seorang Demang yang bernama Kebolinggo, seorang berusia limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berwibawa. Dia ditaati oleh penduduk Bulumanik karena terkenal sebagai seorang penguasa yang adil dan pandai memimpin. Kedemangan Bulumanik ini termasuk wilayah kekuasaan Kadipaten Nusabarung, bahkan Demang Kebolinggo adalah seorang yang berasal dari Nusabarung juga dan yang diangkat oleh Adipati Martimpang dari Nusabarung.

Pada suatu hari, penduduk melihat betapa Candi Trisakti yang berada di Kebolinggo dipugar. Para pendetanya yang memuja Trimurti oleh Demang Kebolinggo dipecat dan candi itu dipugar dan dibangun kembali, arca-arcanya diganti dengan arca Bathara Shiwa, Bathari Durga dan Bathara Kala. Pembuatan arca-arca dan pemugaran candi itu dilakukan oleh banyak ahli pahat yang terkenal, bahkan dipimpin oleh seorang yang tidak dikenal oleh penduduk Bulumanik. Dia adalah seorang pendeta yang berusia enampuluh lima tahun dan selain ahli tentang bangunan candi, juga ahli membuat arca yang indah. Selain itu, pendeta ini juga amat berwibawa, sebentar saja terkenal sebagai seorang pendeta yang dihormati Demang Kebolinggo dan kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan ahli sihir!

Bagi yang sudah mengenal pendeta itu, tentu saja tidak merasa heran karena dia adalah Sang Wasi Siwamurti, utusan Negeri Cola yang sakti, dan penyebar Agama Shiwa. Seperti telah kita ketahui, Wasi Siwamurti adalah kakak seperguruan dari Wasi Surengpati dan Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat di Blambangan. Wasi Siwamurti ini dating dari Negeri Cola membawa dua orang lain, yaitu anak angkatnya yang berjuluk Ki Shiwananda, dan seorang muridnya yang bernama Ni Dewi Durgomala yang cantik dan genit, masih nampak muda dan menarik walaupun usianya sudah empatpuluh tahun. Ni Dewi Durgomala ini kelihatan seperti berusia dua puluh tahun lebih saja.

Wasi Siwamurti telah mendapat persetujuan dari Adipati Menak Sampar di Blambangan dan sekutunya, Adipati Martimpang dari Nusabarung untuk menyebar-luaskan agama Shiwa dan memecah-belah musuh-musuh mereka, Panjalu dan Jenggala melalui perpecahan agama. Dalam rangka penyebar-luasan agama Shiwa itulah maka dia memugar dan membangun kembali candi di Bulumanik, lalu mengganti candi itu menjadi candi Shiwa, Durga dan Kala! Arca ketiga dewadewi ini yang menghiasi candi baru itu.

Untuk pembangunan candi yang membutuhkan tenaga banyak orang, Wasi Shiwamurti mendapat perkenan dari Demang Kebolinggo untuk mengerahkan tenaga warga Bulumanik. Terjadilah kekacauan di kota itu ketika Wasi Shiwamurti melakukan paksaan kepada para orang muda di Bulumanik untuk bekerja membantu pembangunan candi. Menurut berita angin, siapa berani menolak untuk membantu, oleh sang wasi dikutuk menjadi gila atau menderita penyakit parah yang mengakibatkan kematian. Berita ini didesas-desuskan orang sehingga penduduk dihinggapi perasaan takut dan tidak ada yang berani lagi menolak perintah untuk membantu pembangunan candi baru itu.

Biarpun ada berita yang mengerikan itu, tetap saja ada yang berani menentang, perintah itu. Seorang di antara mereka adalah seorang pemuda bernama Sularko. Sularko adalah seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun yang berwajah tampan dan bertubuh tegap. Dia tinggal di sebuah rumah bersama ibunya yang sudah janda Mbok Rondo Gati dan seorang adik perempuannya yang sudah dewasa berusia delapan belas tahun bernama Sawitri. Seperti juga kakaknya yang tampan, Sawitri seorang gadis yang cantik manis, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum.

Sularko sudah mengetahui akan adanya pembangunan candi itu, dan diapun mendengar desas-desus akan bujukan yang melanda kaum muda di Bulumanik untuk membantu pembangunan candi itu. Bahkan kabarnya, mereka yang membantu pembangunan candi mendapat hadiah-hadiah yang menarik, sering diajak berpesta ria. Akan tetapi mereka yang menolak akan mendapat malapetaka. Dia sendiri menganggap ajakan membangun candi itu mencurigakan, karena walaupun tidak ada paksaan, akan tetapi yang menolak dikenakan kutukan yang membuatnya gila atau sakit. Ini sama saja dengan paksaan. Yang membuat dia tidak senang adalah berita bahwa mereka yang membantu kelompok pembangunan candi itu diajarkan untuk menganut agama baru itu yang katanya penuh dengan kesenangan sorga dunia!

Sularko adalah seorang pemuda yang berwatak gagah dan dia pernah mempelajari kanuragan selama beberapa tahun sehingga dia menjadi seorang pemuda yang pemberani. Dia bekerja sebagai seorang nelayan yang juga mempunyai sedikit ladang untuk bertani. Setiap hari dia bekerja, kadang dibantu adiknya Sawitri yang cantik manis itu, kalau tidak menangkap ikan tentu menggarap ladangnya. Karena dia tekun dan rajin, maka kehidupan mereka bertiga dapat dibilang cukup.

Pada suatu pagi yang cerah di waktu sinar matahari pagi menghidupkan segala sesuatu di permukaan bumi, Sularko ditemani Sawitri sedang bekerja di ladangnya. Dia sedang menanam benih jagung bersama Sawitri. Dia yang membuat lubang dengan paculnya dan Sawitri memasukkan biji jagung kedalam lubang-lubang itu yang lalu ditutupnya. Sularko bekerja dengan menanggalkan bajunya, hanya memakai celana hitam yang sebatas bawah lutut, sedangkan Sawitri juga mengenakan pakaian sederhana untuk bekerja di lading yang berlumpur itu. Namun, dengan pakaian sederhana itu, kedua kakak beradik ini bahkan tampak elok dan wajar.

Sularko tampak perkasa dengan dadanya yang bidang berotot, sedangkan Sawitri tampak lemah gemulai dan ayu dalam pakaiannya yang sederhana dan kainnya yang diangkat sampai memperlihatkan betisnya yang memadi-bunting. Sambil bekerja ini, Sularko bersenandung dan mereka berdua menikmati cahaya matahari yang hangat menyinari tubuh mereka. Kepala mereka terlindung sebuah caping yang lebar.

Sularko memang pandai bertembang. Dia bersenandung tembang Kinanti dengan suara yang merdu dan Sawitri dapat merasakan kedamaian dalam tembang itu. Betapa indahnya keadaan seperti itu. Bekerja dengan hati dan tangan yang ringan, menikmati kehangatan matahari dan kesegaran angin yang semilir. Perpaduan antara kehangatan dan kesejukan yang memberi semangat dan kegembiraan hidup. Punggung dan dada Sularko berkilauan karena keringat yang membasahi tubuhnya dan ayunan cangkulnya mantap dan kuat. Sawitri mengikutinya sambil menaburkan benih jagung dan tubuhnya membuat gerakan amat lenturnya ketika ia membungkuk-bungkuk seperti itu.

Dua orang yang lewat di jalan itu, kemudian memandang mereka dan datang menghampiri dan duduk di pematang ladang adalah seorang wanita yang cantik dan pesolek, dan seorang laki-laki yang tinggi besar dan bertampang menyeramkan. Walaupun wajahnya itu termasuk gagah namun matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu mendatangkan kesan menyeramkan. Wanita itu cantik dan pesolek, kain yang dipakainya baru, rambutnya tersisir rapi dan digelung bagus, mukanya putih karena bedak dan diberi pemerah pipi dan bibir. Di lengan, jari dan lehernya terdapat perhiasan yang indah, demikian pula telinganya memakai perhiasan yang gemerlapan. Yang pria juga mengenakan pakaian baru, dengan baju terbuka sehingga nampak dadanya yang lebar dan berbulu.

Siapakah dua orang itu? Mereka bukan lain adalah Ki Shiwananda dan Ni Dewi Durgornala, anak angkat dan murid Wasi Shiwamurti. Merekalah yang ditugaskan oleh Wasi Shiwamurti untuk melaksanakan pemugaran dan pembangunan candi di Bulumanik. Mereka pula yang membujuk para muda di dusun Bulumanik dan sekitarnya untuk ikut membangun candi itu. Pada pagi hari itu, kebetulan mereka lewat di jalan itu dan melihat Sularko dan Sawitri, mereka merasa kagum dan tertarik sehingga mereka menghampiri dan duduk di pematang tegal itu.

Sepasang mata Ni Dewi Durgomala bersinar-sinar memandang ke arah Sularko yang mencangkul, sedangkan sepasang mata lebar dari Ki Shiwananda juga seolah-olah hendak menelan tubuh Sawitri dengan pandang matanya. Melihat Sularko dan Sawitri, sikap dua orang itu seperti dua ekor singa yang memandang dua ekor domba muda yang berdaging gemuk dan lunak. Air liur telah membasahi mulut mereka dan beberapa kali Ni Dewi Durgomala menjilat bibir sendiri dengan lidahnya yang merah.

Sularko dan Sawitri yang sedang asyik bekerja itu akhirnya merasa bahwa ada orang memandang mereka. Keduanya menghentikan pekerjaan masing-masing, berdiri tegak dan menoleh ke arah dua orang itu. Keduanya memandang heran, apalagi melihat bahwa dua orang itu berpakaian mewah dan sedang mengamati mereka.

"Aduh betapa sayangnya orang-orang muda yang elok harus bekerja keras memeras keringat di lumpur yang kotor!" Terdengar Ni Dewi Durgomala berseru.

"Dan gadis seayu itu sepatutnya berada di keputren!" kata pula Ki Shiwananda dengan suaranya yang berat.

Sularko dan Sawitri memandang heran dan Sularko bertanya, "Apakah andika berdua bicara kepada kami?"

"Duh orang muda yang elok, siapa lagi kalau bukan kepada kalian kami bicara? Di sini tidak ada orang lain. Aku hanya menyayangkan seorang pemuda seperti andika ini bekerja keras di lumpur yang kotor," kata Ni Dewi Durgomala sambil melempar senyum dan kerling yang memikat. Biarpun usianya sudah empatpuluh tahun, wanita ini masih tampak cantik sekali dan masih muda seolah seorang perawan berusia duapuluh tahun saja! Senyumnya memikat dan kerling matanya sungguh tajam menggores kalbu.

Muka Sularko berubah merah mendengar ucapan yang merayu itu, akan tetapi dia menjawab dengan tegas.

"Kenapa sayang bekerja di ladang? Lumpur ini sama sekali tidak kotor dan bekerja di ladang merupakan pekerjaan yang bersih dan sehat!"

"Benar sekali, wong bagus, akan tetapi pekerjaan seperti itu hanya pantas dilakukan para petani yang kotor. Akan tetapi seorang muda yang elok seperti andika ini sepantasnya memiliki pekerjaan yang lebih terhormat dan bersih."

"Misalnya bekerja apa?" tanya Sularko penasaran.

"Misalnya pekerjaan membangun candi yang suci. Andika tidak perlu bekerja keras cukup kalau hanya mengawasi para pekerja mengangkut batu, atau membantu para seniman pemahat arca dan hiasan candi."

Sularko menggeleng kepalanya. "Aku tidak pandai memahat arca, juga adikku ini tidak pandai apa-apa kecuali bekerja di ladang."

"Biarpun begitu, kami dapat menerima andika berdua bekerja kepada kami. Kami dapat mengajarkan sehingga engkau akan pandai memahat arca, dan adikmu dapat menjadi seorang yang bekerja di dapur. Kalian akan mendapatkan pakaian baru yang indah, pekerjaan tidak berat dan kalau malam ikut berpesta dengan kami. Kami menjanjikan penghidupan yang penuh dengan kesenangan untuk kalian. Marilah kalian tinggalkan ladang ini dan ikut bersama kami."

Sularko menjadi tak senang hatinya. Wanita cantik genit itu seakan hendak memaksanya, membujuk-bujuk dengan janji muluk. Dia sudah mendengar akan desas-desus bahwa siapa menolak untuk diajak bekerja membangun candi akan dikutuk. Dia tidak takut.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Sudahlah, harap andika tidak membujuk lagi. Bagaimanapun kami berdua tidak tertarik dan tidak mau bekerja membangun candi. Kami adalah keluarga petani dan pekerjaan kami di ladang atau di sungai," katanya dan dia mulai memegang gagang paculnya pula.

Ki Shiwananda mengerutkan alisnya yang tebal dan dia bangkit berdiri sambil menudingkan telunjuknya kepada Sularko.

"Orang muda, engkau sombong benar! Apakah engkau ingin hidupmu sengsara?"

Sularko menunda pekerjaannya dan balas memandang, "Kami sudah berbahagia dengan kehidupan kami sebagai petani, kalau kami mengubah pekerjaan kami membangun candi, tentu kami hidup sengsara!"

"Kau.... kau.... !" Ki Shiwananda sudah menudingkan lagi telunjuknya, akan tetapi Ni Dewi Durgomala cepat bangkit berdiri mencegah dia bicara lebih lanjut.

"Sudahlah, biarkan mereka berpikir dulu. Eh, orang muda, biarlah kami memberi waktu kepada kalian berdua untuk berpikir mempertimbangkan penawaran kami. Malam nanti kami akan mengunjungi kalian di rumah kalian."

Sularko diam saja dan melanjutkan pekerjaannya menggali lubang. Sawitri juga melanjutkan pekerjaannya, membiarkan dua orang itu pergi meninggalkan tempat itu. Setelah mereka pergi jauh, barulah Sawitri menghentikan pekerjaannya dan berkata kepada Sularko.

"Kakang, siapakah dua orang tadi?"

"Aku sendiripun tidak mengenal mereka, Sawitri. Akan tetapi mendengar bujukan mereka, kukira mereka adalah orang-orang yang mendirikan candi baru itu."

"Kakang, aku takut melihat pandang mata mereka, terutama yang laki-laki tadi."

"Tidak perlu takut, Sawitri. Mereka boleh saja membujuk dengan janji yang manis dan muluk-muluk, akan tetapi kalau kita tidak mau, mereka tidak dapat memaksa kita."

"Akan tetapi aku tetap khawatir, kakang. Bukankah sebelum mereka pergi mereka mengatakan bahwa malam nanti mereka akan datang mengunjungi kita?"

"Mereka dapat berbuat apa? Jangan takut, aku akan melindungimu. Kalau mereka mengancam, kita dapat memukul kentongan memanggil para penduduk untuk mengeroyok mereka."

Biarpun dihibur oleh kakaknya, tetap saja Sawitri merasa gelisah. Bayangan sepasang mata Ki Shiwananda itu seperti terus mengikutinya dan ia merasa ngeri. Akan tetapi gadis ini tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan melanjutkan pekerjaannya. Setelah hari menjadi sore dan mereka sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, kakak beradik itu pulang. Di tengah perjalanan, Sularko memesan adiknya agar tidak menceritakan peristiwa kunjungan dua orang tadi kepada ibu mereka. Dia khawatir kalau hal itu akan membuat ibu mereka gelisah.

Mbok Rondo Gati menyambut kedua anaknya dengan gembira. Setelah menyuruh mereka mandi, ia lalu mengeluarkan hidangan makan malam yang sederhana untuk mereka. Mereka bertiga lalu makan bersama dengan gembira. Bukan main lezatnya hidangan sederhana itu bagi Sularko dan Sawitri yang sudah merasa lelah dan kelaparan setelah sehari bekerja di ladang. Sejak sarapan pagi sebelum berangkat ke ladang, mereka tidak makan apa-apa lagi sampai sore.

Malam itu terang bulan. Malam yang indah karena bulan muncul sepenuhnya. Ramai suara anak-anak yang bermain di pelataran rumah sambil berdendang. Suara banyak anak-anak bertembang "ilir-ilir" terdengar mengalun dan mengandung pengaruh aneh yang mendatangkan rasa haru. Malam Respati (Kamis malam) yang indah akan tetapi juga menyeramkan.

Bau kembang dan kemenyan dibakar menambah keseraman malam itu. Telah terjadi kepercayaan umum bahwa pada malam Respati seperti itu, para jin setan dan mahluk-mahluk halus lainnya keluar dari sarang mereka untuk mandi sinar bulan purnama yang memperkuat tubuh halus mereka dan berpesta sekenyangnya dalam asap kemenyan dan keharuman bunga setaman yang oleh manusia memang dihidangkan untuk mereka.

Setelah suara anak-anak bertembang menghilang, tanda bahwa anak-anak itu telah memasuki rumah masing-masing dan tidur, suasana menjadi hening. Keheningan yang menghanyutkan manusia dalam lamunan yang ajaib. Suara burung malam kini menggantikan tembang anak-anak, akan tetapi suara burung-burung hantu itu mendatangkan suasana yang mengerikan, seolah-olah suara itu menjadi pertanda bahwa akan datang suatu malapetaka bagi mereka yang mendengarnya.

Tak lama kemudian, terdengar sayup-sayup suara gamelan. Suara ini datangnya dari candi yang sedang dibangun. Tahulah para penduduk dusun Bulumanik bahwa di candi itu diadakan pesta seperti yang sering diadakan tiap Respati malam. Tidak ada penduduk yang berani menonton keramaian itu karena pesta itu diadakan untuk para anggauta khususnya. Di halaman depan candi itu dibuat panggung dan diatas panggung inilah orang-orang itu mengadakan pesta dengan iringan gamelan yang bertalu-talu.

Biasanya, dalam pesta itu terjadi pengangkatan anggauta baru. Banyak sudah kaum muda, laki-laki dan perempuan yang sudah masuk menjadi anggauta agama baru penyembah Bathara Shiwa, Bathari Durgo, dan Bathara Kala itu. Bukan hanya para anggauta agama baru yang berpesta, akan tetapi juga mereka yang bekerja membangun candi itu. Para pekerja inipun otomatis telah menjadi anggauta mereka sehingga dalam waktu beberapa bulan saja sudah ratusan orang yang menjadi anggauta agama baru itu.

Pesta ini selain untuk memuja tiga dewa dewi itu, juga untuk memberi hiburan dan kesenangan kepada para anggautanya. Di situ mereka diberi kesempatan untuk makan dan minum sepuasnya, juga ikut berpesta pora mengumbar nafsu secara bebas dalam keadaan mabok-mabokan. Sambil minum tuak (minuman keras dari pohon aren) mereka berpesta pora dan diperbolehkan mencari pasangan masing-masing dan memuaskan nafsu mereka dengan bebas.

Malam itu, gamelan baru saja dibunyikan dan pesta belum dimulai. Biasanya pesta baru dimulai kalau Ni Dewi Durgomala yang memimpin pesta itu sudah muncul bersama Ki Shiwananda yang dianggap sebagai puteranya. Kalau kedua orang ini muncul, barulah dilakukan sembahyangan untuk mengundang Wasi Shiwamurti yang dianggap sebagai titisan Bathara Shiwa, yang datang pada setiap Respati malam di waktu bulan sedang purnama. Hanya sebulan sekali Wasi Shiwamurti muncul di situ, sekalian untuk memeriksa hasil pembangunan candi yang pada hari-hari biasa dipimpin oleh Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Malam itu, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda belum muncul dan semua orang menantikan ke dua orang ini karena kemunculan mereka berarti pesta pora dimulai.

Sularko dan Sawitri juga mendengar suara gamelan yang menggantikan suara tembang anak-anak tadi. Mereka merasa heran mendengar gamelan itu yang mengingatkan mereka akan pertemuan mereka dengan dua orang di ladang pagi tadi. Sawitri yang merasa gelisah, tidak dapat tidur. Setelah ibunya pulas, ia keluar dari kamar dan dilihatnya kakaknya juga belum tidur dan sedang duduk di ruangan depan. Ia lalu duduk pula di dekat kakaknya.

"Engkau belum tidur, Sawitri?"

Sawitri menggeleng kepalanya. "Engkau juga belum kakang? Aku tidak dapat tidur, suara gamelan itu terdengar mengerikan."

Biarpun hatinya sendiri merasa tidak tenang, namun Sularko menghibur adiknya. "Ah, apanya yang mengerikan?

"Gamelan itu adalah gamelan biasa, hanya lagunya yang asing bagi kita. Tidak ada yang mengerikan. Tidurlah, Sawitri. Apakah ibu sudah tidur?"

"Sudah, kakang. Justeru karena ibu sudah tidur dan aku belum, maka aku merasa seram dan melihat engkau duduk di sini, aku lalu datang mencari kawan."

Sularko tertawa. "Ha-ha, engkau penakut benar, Sawitri. Apakah yang kau takutkan?"

"Entahlah, kakang. Aku seperti dapat firasat buruk, hatiku terasa berdebar tak menentu dan sepasang mata laki-laki tinggi besar itu seperti mengikuti aku terus."

"Itu hanya karena engkau membayangkan terus, Sawitri...." Tiba-tiba Sularko menghentikan kata-katanya dan dia memandang ke arah pintu depan. Terdengar suara tawa lirih dari depan dan disusul suara seorang wanita yang merdu.

"Orang muda yang bagus, aku telah datang. Bukakan pintu rumahnya."

Suara itu segera disusul suara yang dalam dan berat, "Perawan ayu, aku datang menjemputmu, bukalah pintunya."

Sawitri menggigil ketakutan dan ia lari mendekati kakaknya, bersembunyi di belakang tubuh kakaknya. "Kakang, aku takut... "

Sularko adalah seorang pemuda pemberani, walaupun dua suara itu membuat tengkuknya meremang, namun dengan tabah dia lalu membentak ke arah luar,

"kalian datang mau apa? Kami tidak membutuhkan kalian dan tidak ingin bertemu dengan kalian. Kalian pergilah dari sini!"

"Orang muda, namamu Sularko dan adikmu bernama Sawitri, bukan? Kami datang untuk mengajak kalian bersenang-senang. Bukalah pintunya dan biarkan kami bercakap-cakap dengan kalian."

"Tidak! Kalian pergilah, atau kami akan berteriak agar semua orang datang mengeroyok kalian!" kata pula Sularko, lalu dia melepaskan rangkulan Sawitri, yang ketakutan untuk mengambil sebuah arit yang berada di sudut ruangan. Setelah memegang arit, Sularko menjadi tabah.

Suara Ki Shawananda terdengar pula. "Bukalah pintunya, atau kami terpaksa menjebolnya."

"Kalau kalian berani menjebol pintu, kalian akan kubunuh!" Sularko berteriak, penuh kemarahan dan tangannya memegang gagang arit dengan kuat. Sawitri masih memegang lengan kakaknya dan bersembunyi di balik tubuh kakaknya.

Hening sejenak, kemudian terdengar suara keras. "Brakkkk... !" Daun pintu rumah itu jebol dan pada saat kedua orang itu muncul, Sawitri menjerit ketakutan.

Ni Dewi Durgomala menggerakkan kedua tangannya ke atas seperti menggapai kepada kakak beradik itu. Tiba-tiba saja Sularko dan Sawitri merasa tubuhnya lemas dan kesadarannya hilang. Mereka berdua terkulai lemas, seolah kedua kaki mereka tidak bertenaga lagi dan keduanya seperti terhuyung hendak jatuh. Pada saat itu Ni Dewi Durgomala melompat ke depan dan merangkul tubuh Sularko, sedangkan Ki Shiwananda juga memeluk tubuh Sawitri dara itu juga tidak sampai jatuh. Kemudian mereka memanggul tubuh kakak beradik yang sudah terkulai lemas itu dan membawanya keluar.

Pada saat itu, Mbok Rondo Gati yang mendengar jeritan Sawitri tadi, terbangun dari tidurnya dan tergopoh keluar kamar. Ia sempat melihat kedua orang anaknya dipanggul dua orang yang tidak dikenalnya dan dibawa keluar. Tentu saja ia menjadi kaget dan marah.

"Heii, tahan! Apa yang terjadi dengan anak-anakku? Hendak kalian bawa ke mana mereka?" Ia mengejar.

Ni Dewi Durgomala membalikkan tubuhnya dan melihat seorang wanita setengah tua mengejar, ia lalu mendorongkan tangan kirinya ke arah Mbok Rondo Gati. Bagaikan dilanda angin yang amat kuat tubuh janda itu terjengkang dan roboh. Dadanya terasa sesak dan ketika ia merangkak dan berhasil berdiri, kedua orang anaknya yang dipanggul dua orang itu telah lenyap dari situ. Hanya angin malam saja yang menerobos masuk melalui pintu yang telah jebol.

Mbok Rondo Gati menjerit-jerit dan menangis. Ketika para tetangga datang, ia hanya dapat mengatakan bahwa kedua orang anaknya dibawa lari orang. Akan tetapi ia tidak dapat bercerita dengan jelas bagaimana rupa orang-orang yang dikatakan menculik kedua orang anaknya. Para tetangga menjadi ragu. Rasanya sukar dipercaya ada dua orang dewasa diculik begitu saja oleh dua orang. Padahal mereka semua tahu bahwa Sularko adalah seorang pemuda yang pemberani dan juga bukan pemuda lemah karena pernah mempelajari kanuragan. Akan tetapi melihat daun pintu yang jebol mereka juga merasa heran sekali.

Para penduduk Bulumanik masih percaya sekali akan tahyul, maka para tetangga Janda Mbok Gati itu segera menduga bahwa yang dapat melakukan penculikan itu tentu sebangsa mahluk halus atau iblis. Mereka lalu pulang dan bersembunyi di rumah masing-masing. Dalam malam Respati seperti itu mereka semua percaya bahwa di luar banyak hantu dan setan gentayangan mencari korban, dan mereka percaya bahwa yang mendatangi rumah Mbok Rondo Gati tentulah sebangsa setan pula.

Mbok Rondo Gati yang ditinggal pergi para tetangganya, hanya dapat menangis. Ia sendiri juga ketakutan dan percaya bahwa dua orang yang membawa pergi anak-anaknya tentulah sebangsa iblis. Buktinya, hanya dengan gerakan tangan, wanita cantik yang memanggul tubuh Sularko membuat ia roboh terjengkang, ia menangis akan tetapi tidak berani keluar untuk mencari kedua orang anaknya.

Sementara itu, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda membawa dua orang muda itu ke dalam ruangan belakang candi. Ni Dewi Durgomala lalu mencekoki Sularko dan Sawitri dengan secawan minuman yang telah diramu dan dimantera sehingga kedua orang muda itu terbangun akan tetapi mereka seperti orang mimpi. Mereka menurut saja apa yang dikehendaki dua orang itu dan ketika mereka diajak keluar dari ruangan itu menuju ke panggung di halaman depan, keduanya hanya menurut saja. Kemunculan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda disambut dengan meriah, dengan sorak sorai.

Semua orang bergembira karena kemunculan mereka ini menjadi pertanda bahwa pesta pora akan segera dimulai. Ketika mereka melihat bahwa Sularko dan Sawitri, mereka yang berasal dari Bulumanik mengenal mereka dan menjadi gembira sekali, menganggap bahwa kedua orang muda itu sependapat dengan mereka dan mau masuk menjadi anggauta agama baru dan malam ini tentu akan diadakan upacara penerimaan mereka menjadi murid atau anggauta baru. Maka mereka bersorak dengan gembira.

Sedikitnya ada seratus orang anggauta agama baru itu berkumpul di situ. Mereka adalah juga para pekerja yang membangun candi, dari para seniman pembuat arca dan pemahat yang pandai, sampai kuli-kuli angkut batu dan pelaksana pekerjaan berat lainnya. Pada malam pesta seperti itu mereka diperlakukan sama. Hal ini yang menggembirakan mereka. Pada malam seperti itu biasanya mereka berpesta pora, makan berlimpah ruah dan mereka diperbolehkan mengumbar nafsu mereka. Para anggauta itu bukan hanya laki-laki, akan tetapi juga banyak perempuannya. Kesemuanya masih muda-muda dan berkulit bersih. Bahkan banyak di antara mereka yang tampan dan cantik.

Di sudut panggung serombongan penabuh gamelan dan di atas panggung itu tampak tiga kursi. Kursi yang tengah besar dan diukir indah, sedangkan dua kursi yang mengapitnya lebih kecil dan lebih sederhana bentuknya. Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda naik ke panggung bersama Sularko dan Sawitri. Pemuda dan pemudi ini tampak seperti domba yang jinak. Kalau tadi mereka baru dibawa dari rumah mereka, keduanya seperti kehilangan semangat dan lesu, setelah diberi minum ramuan minuman seperti tuak itu, keduanya menjadi penurut dan menaati semua perintah Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Mereka ikut naik ke panggung dan ketika Ni Durgomala dan Ki Shiwananda duduk dikursi yang mengapit kursi besar, Sularko dan Sawitri juga duduk di atas lantai panggung.

Malam itu tidak seperti malam Respati lainnya. Pada malam Respati yang tidak disinari bulan purnama, pesta itu dilakukan oleh para anggauta dan dipimpin oleh dua orang tokoh agama baru itu. Akan tetapi, khusus diwaktu malam terang bulan purnama, seperti pada bulan-bulan yang lalu, Wasi Shiwamurti sendiri akan muncul dan memimpin upacara dan pesta. Para anggauta masih gaduh menyambut munculnya Sularko dan Sawitri. Ni Dewi Durgomala lalu mengangkat tangannya ke atas sambil berdiri dari kursinya, memberi isyarat agar semua orang diam tidak membuat gaduh. Semua terdiam dan suasana menjadi hening, bahkan gamelan juga dihentikan.

"Saudara-saudara para anggauta sekalian, anak-anakku yang berbahagia, seperti kalian dapat melihat sendiri, malam ini ada seorang pemuda dan seorang pemudi masuk menjadi anggauta kita. Dan pada malam hari ini, Sang Wasi Shiwamurti sebagai penjelmaan Sang Hyang Bathara Shiwa akan hadir dan memimpin sendiri upacara penerimaan murid dan pesta yang akan diadakan pada malam hari ini, untuk menyatakan syukur bahwa pembangunan candi berjalan lancar dan hampir selesai. Sekarang diminta kalian diam karena kami membutuhkan suasana hening untuk mengundang Yang Mulia Sang Wasi Shiwamurti datang ke tengah-tengah kita."

Seorang gadis cantik yang memang menjadi pembantu Ni Dewi Durgomala naik ke panggung membawa sebuah pedupaan di mana terdapat arang membara yang mengepulkan sedikit asap putih. Setelah berjongkok di depan Ni Dewi Durgomala, gadis itu meletakkan pedupaan di atasi lantai panggung. Ni Dewi Durgomala menerima sebungkus besar kemenyan dari gadis itu dan ia memberi isyarat agar gadis itu mundur!

Hanya ada Sularko dan Sawitri yang masih duduk bersimpuh di atas panggung depan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shawananda, duduk tak bergerak bagaikan telah menjadi arca. Ni Dewi Durgomala lalu membaca doa seperti orang berkidung yang terdengar aneh, makin lama semakin nyaring, kemudian ia mengambil kemenyan dan memasukkannya ke dalam bara api dipedupaan. Asap putih yang tebal mengepul dari pedupaan, terus kemenyan itu ditambah sambil membaca mantera dan asap yang mengepul semakin tebal. Tercium bau harum yang menyeramkan dari asap itu.

Semua orang membelalakkan mata karena mereka maklum, seperti yang biasa dilakukan setiap bulan purnama, Wasi Shiwamurti tentu akan datang memenuhi panggilan itu secara luar biasa. Dan benar saja, tak lama kemudian tampak bayangan berkelebat dan muncullah seorang kakek berjubah pendeta yang usianya sudah enampuluh lima tahun, berjenggot dan berkumis putih, memegang sebatang tongkat yang gagangnya terukir kepala naga, tahu-tahu telah duduk di atas kursi besar yang berada di tengah sambil tersenyum!

Ni Dewi Durgomala lalu menaburkan bunga mawar ke kaki Sang Wasi, sambil memberi hormat dan Ki Shiwananda juga memberi hormat dengan menyembah. Semua anggauta memandang dengan kagum dan hormat disertai rasa takut karena bagi mereka Wasi Shiwamurti adalah titisan Sang Hyang Shiwa sendiri. Dan mereka percaya bahwa Wasi Shiwamurti pandai menghilang dan melakukan segala macam kesaktian.

Wasi Shiwamurti lalu mengangkat tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa upacara dapat dimulai. Segera para penabuh gamelan membunyikan gamelan mereka dan suasana mendadak menjadi meriah. Seorang anggauta wanita yang cantik lalu naik ke panggung membawa seekor ayam jago putih, diikuti seorang anggauta lain yang membawa periuk dan pisau. Pisau yang tajam berkilau itu diserahkan kepada Wasi Shiwamurti sambil berlutut oleh anggauta wanitai itu. Wasi Shiwamurti lalu menggunakan pisau itu untuk menyembelih ayam jantan putih dan darahnya lalu ditampung ke dalam periuk tanah. Kemudian datang lagi seorang anggauta membawa seguci besar yang terisi tuak, dan darah ayam itu dituangkan kedalam guci, bercampur dengan tuak.

Wasi Shiwamurti membaca mantera diatas guci itu, kemudian mulailah pesta minum-minum tuak yang sudah bercampur darah. Mula-mula, Ni Dewi Durgomala yang menuangkan tuak darah itu dalam dua buah cawan, menyerahkan kepada Sularko dan Sawitri, menyuruh mereka meminumnya. Dua orang yang sudah menjadi seperti boneka hidup itu, tanpa ragu lalu minum tuak itu sampai habis, diikuti sorak sorai para anggauta. Setelah itu, setiap orang anggauta kebagian secawan tuak dan beramai-ramai mereka meminumnya. Hidangan lalu dikeluarkan dan para anggauta mulai naik ke atas panggung dan mereka mulai makan minum, disaksikan oleh Wasi Shiwamurti, Ni Dewi Durgo mala dan Ki Shiwananda sambil tertawa-tawa.

Gamelan terus dipukul gencar. Semua orang bergembira. Tuak dituangkan dan diminum dan tak lama kemudian banyak di antara mereka menjadi mabok. Ni Dewi Durgomala melaporkan kepada Wasi Shiwamurti tentang dua orang muda yang mulai malam itu masuk menjadi anggauta. Wasi Shiwamurti mengangguk-angguk senang.

"Kuserahkan kepada andika berdua untuk melatih mereka agar menjadi anggauta yang setia dan baik," kata Wasi Shiwamurti sambil tersenyum.

Dua orang muridnya itu mengangguk senang. Setelah makan minum selesai dan semua bekas pesta disingkirkan dari panggung, mulailah kini pesta menari yang dimulai dengan tarian Ni Dewi Durgomala. Wanita ini menari dengan indah dan liar, tersenyum-senyum dan ia menari di depan Wasi Shiwamurti yang menonton sambil tertawa-tawa senang, kadang kalau Ni Dewi Durgomala menari dekat, tangannya meraih dan membelai murid yang kadang juga menjadi kekasihnya itu. Karena Wasi Shiwamurti menganggap dirinya titisan Bathara Shiwa, dan Ni Dewi Durgomala sebagai titisan Bathari Durgo, maka wanita itu dianggap sebagai isterinya. Dan Ki Shiwananda yang menjadi putera angkat Wasi Shiwamurti dianggap sebagai titisan Sang Bathara Kala, putera Bathawa Shiwa.

Setelah menari beberapa lamanya, Ni Dewi Durgomala lalu berteriak kepada para anggautanya agar segera menari merayakan malam Respati bulan purnama itu. Dan mulailah tari-tarian yang gila-gilaan. Para anggauta wanita menari-nari, diikuti anggauta pria dan di panggung itu mereka menari berpasang-pasangan. Dalam keadaan mabok-mabokan mereka menari. Terjadi hal yang amat aneh, yaitu Sularko dan Sawitri yang tadinya seperti orang kehilangan semangat dan menurut saja, kinipun bangkit dan ikut pula menari!

Mereka menari sambil memejamkan mata, dengan tarian liar, asal melenggang-lenggok menurutkan irama gamelan yang dipukul gencar. Karena mereka menari berpasangan dan liar dalam keadaan setengah mabok, sebentar saja nafsu mereka memuncak, bagaikan api membakar mereka semua dan mulailah terjadi perbuatan yang tidak sopan yang tidak terkendalikan lagi. Mereka itu, laki-laki dan perempuan, mulai saling berangkulan, berciuman dan saling belai. Dan berpasang-pasangan mereka mulai turun dari panggung dan sambil menari-nari mereka pergi menjauhkan diri, mencari tempat-tempat sunyi dan gelap, membiarkan nafsu berahi menggulung dan menelan mereka.

Melihat ini, Wasi Shiwamurti lalu melempar kemenyan di atas pedupaan dan selagi asap mengepul tebal, diapun menghilang di balik asap. Ni Dewi Durgomala lalu menghampiri Sularko yang masih menari-nari, menggandeng pemuda itu, mengajaknya menari bersama kemudian mereka berdua-pun turun dari panggung dan masuk ke bagian belakang candi di mana terdapat kamar Ni Dewi Dbrgornala.

Demikian pula Ki Shiwananda. Raksasa ini menari dan menuntun Sawitri menuruni panggung. Sawitri yang seperti mabok itu hanya tertawa dan menurut saja ketika tangannya digandeng dan ia digiring masuk ke dalam kamar Ki Shiwananda yang berada di belakang candi pula. Inilah yang menarik banyak orang muda untuk memasuki perkumpulan agama baru itu. Ada pesta pora, ada mabok-mabokan lalu terjadi permainan cinta yang liar di antara mereka, dapat memilih pasangan masing-masing dan dalam keadaan mabok mereka menenggelamkan diri ke dalam lautan nafsu berahi dan melampiaskan nafsu sepuas-puasnya.

Bagaikan sebuah boneka hidup, Sularko menurut saja segala kemauan Ni Dewi Durgomala. Dia bagaikan telah kehilangan kesadarannya karena pengaruh minuman keras, juga karena ilmu sihir dan guna-guna yang dikerahkan wanita itu untuk menundukkannya. Tentu saja Ni Dewi Durgomala girang bukan main dan wanita iblis ini berpelesir sampai pagi, bersenang-senang tanpa ada yang menghalanginya. Selama semalam Sularko memenuhi semua permintaan atau perintah Ni Dewi Durgomala seperti orang yang telah kehilangan pribadinya, bahkan akal pikirannya sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Semua terjadi seperti mimpi yang tidak dapat dikuasainya.

Akan tetapi menjelang pagi, ketika Ni Dewi Durgomala yang telah kelelahan itu tertidur, berangsur-angsur lenyaplah kekuasaan yang mencengkeram dan mempengaruhi batin Sularko dan diapun mulai sadar akan keadaan dirinya. Tentu saja dia menjadi amat terkejut dan menyesal. Dengan hati-hati dan cepat dia membereskan pakaiannya dan meninggalkan Ni Dewi Durgomala yang masih tertidur. Sularko teringat akan adiknya.

Secara samar-samar, seperti dalam mimpi, dia kini teringat kembali betapa dia dan adiknya berada di rumah mereka dan akan kedatangan dua orang, yaitu Ni Dewi Durgomala dan seorang laki-laki seperti raksasa. Dia khawatir sekali akan keadaan adiknya. Kalau dia dibawa ke tempat ini tanpa diketahui, tentu adiknyapun dibawa ke sini pula. Dia lalu menyelinap keluar dari kamar itu dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di bagian belakang dari candi yang sedang dibangun. Dia menjadi bingung. Terdapat beberapa buah kamar di situ dan dia tidak tahu di kamar mana adiknya berada. Dia tahu bahwa tempat itu amat berbahaya dan di situ terdapat banyak orang sakti, maka dia tidak berani sembarangan membuka pintu kamar-kamar itu.

Sementara itu, keadaan Sawitri tidak banyak bedanya dengan keadaan kakaknya, Sularko. Bahkan sebagai seorang wanita muda, keadaan Sawitri lebih parah lagi. Seperti juga dengan Sularko, Sawitri sama sekali tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Ia hanya taat dan menurut saja apa yang dikehendaki Ki Shiwananda darinya. Iapun berada di bawah pengaruh sihir dan minuman yang mengandung obat pembius. Seperti juga Ni Durgomala, setelah kelelahan Ki Shiwananda tertidur pulas dan sedikit demi sedikit Sawitri mendapatkan kembali kesadarannya.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan sedih hatinya ketika ia mendapat kenyataan tentang dirinya yang sudah ternoda. Dengan menahan rasa sakit di badan dan hati, Sawitri yang melihat Ki Shiwananda sedang tidur mendengkur, segera membereskan pakaiannya, ia melihat sebatang keris tergantung di dinding. Dengan hati-hati diambilnya keris itu, kemudian ia menghampiri Ki Shiwananda yang sedang tidur, kemudian dengan segala kebencian yang terkandung di hatinya, ia menusukkan keris itu pada dada raksasa yang telah merusak kehormatan dirinya itu.

"Wuuutt.... takk.... !!" Sawitri terkejut sekali.

Keris itu tidak dapat menembus kulit dada yang tebal dan kebal itu. Bahkan Ki Shiwananda terbangun dari tidurnya. Melihat Sawitri memegang keris terhunus dan hendak menusuknya lagi, dia menjadi marah sekali. Tangan kirinya menampar, mengenai tangan Sawitri yang memegang keris sehingga keris itu terlepas dari tangannya dan terlempar ke atas lantai.

"Jahanam! Berani engkau mencoba membunuhku!" Ki Shiwananda melompat bangun dan dengan langkah lebar dia menghampiri Sawitri.

Gadis yang marah akan tetapi juga ketakutan ini menjerit pada saat tangan yang besar itu menyambar dan mengenai kepalanya. Tubuhnya terputar dan terbanting keras ke atas lantai dan Sawitri tidak dapat bangun kembali. Kepalanya retak terkena hantaman tangan Ki Shiwananda. Pada saat itu, Sularko berada di luar pintu kamar itu. Terkejut sekali dia ketika mendengar jerit adiknya. Dengan nekat dia lalu mendobrak daun pintu sehingga terbuka. Dia melihat Ki Shiwananda dengan pakaian tidak karuan berdiri marah dan Sawitri menggeletak di atas lantai, tak dapat gerak lagi.

"Sawitri.... !" Sularko memekik dan menubruk adiknya.

Diangkatnya kepala adiknya dan ketika dia melihat bahwa adiknya telah tewas dengan kepala mengeluarkan darah, dia menjadi marah bukan main. Lupa akan kekuatan sendiri, Sularko merebahkan kembali adiknya dan dia lalu meloncat dan menyerang Ki Shiwananda dengan pukulan tangan kanannya. Pukulan itu keras sekali karena Sularko yang amat marah itu mengerahkan seluruh tenaganya. Kepalan tangan kanannya menghantam dada Ki Shiwananda.

"Bukk.... !" Tangan Sularko terasa nyeri dan terpental seolah dia memukul dinding baja. Sebelum dia dapat menyerang lagi, Ki Shiwananda yang sudah marah telah menggerakkan tangannya, dihantamkan ke arah kepala Sularko.

"Wuuuuuttt.... prakkkk!" Sekali pukul saja retaklah kepala Sularko dan tubuhnya terpelanting. Robohlah Sularko di dekat tubuh adiknya yang sudah menjadi mayat dan diapun tewas seketika!

Mendengar suara ribut-ribut, Ni Dewi Durgomala berlari keluar dari kamarnya dan memasuki kamar Ki Shiwananda. Melihat pemuda dan gadis yang semalam menjadi permainan mereka itu menggeletak di atas lantai dan tewas, ia menegur Ki Shiwananda.

"Apa yang kau lakukan ini?"

"Terpaksa kubunuh mereka, gadis ini mencoba untuk menyerangku dengan kerisku, dan pemuda itu masuk kamar dan memukulku," jawab Ki Shiwananda dengan pendek dan masih marah.

"Ah, engkau terburu nafsu. Sekarang cepat bawa mereka keluar dan lemparkan ke Kali Mayang!"

Karena malam itu baru menjelang pagi dan suasana masih sunyi sekali, Ki Shiwananda cepat mengangkat dua buah mayat itu dan membawanya keluar dari candi. Dia menggunakan ilmunya berlari cepat dan sebentar saja ketika fajar mulai menyingsing, dia sudah tiba di tepi Kali Mayang. Dia lalu melemparkan dua mayat itu ke dalam sungai dan dua mayat itu hanyut. Setelah melihat dua mayat itu hanyut, Ki Shiwananda lalu cepat kembali ke Bulumanik dan masuk ke dalam candi.

"Bagaimana?" tanya Ni Dewi Durgomala.

"Sudah beres, mereka sudah hanyut di sungai," jawab Ki Shiwananda puas.

"Hemm, lain kali engkau harus lebih dapat menahan diri. Sejauh ini kita belum pernah membunuh secara langsung seperti itu. Kalau ada orang lain mengetahui, sungguh tidak enak sekali."

"Aku menjadi mata gelap ketika mereka berani menyerangku," Ki Shiwananda membela diri. "Biasanya, tidak ada yang bersikap seperti dua orang muda itu."

Ni Dewi Durgomala menghela napas panjang. "Itulah yang membuat mereka menjadi istimewa. Sayang kita lalai sehingga tidak mengikat kesadaran mereka lebih jauh sehingga mereka mendapatkan kesadaran dan mencoba untuk menyerangmu. Pemuda-pemuda lain kalau sadar lalu menjadi jinak seperti domba dan menjadi anggauta yang baik."

"Demikian pula gadis itu. Coba pikir, ia berani menyerangku dengan kerisku sendiri.Untung aku keburu sadar dan dapat mengerahkan aji kekebalan pada saat ia menusuk dadaku. Karena marah aku menamparnya, akan tetapi terlalu kuat sehingga ia tewas seketika. Biasanya, para gadis lain yang sudah melayani aku tidak bersikap seperti gadis itu. Dan pemuda itu agaknya hendak membela adiknya dan menyerangku, terpaksa pula kurobohkan dia dengan pukulan."

"Sudahlah, yang sudah terlanjur tak dapat diubah. Akan tetapi selanjutnya agar engkau berhati-hati, jangan sembarangan membunuh secara langsung seperti itu. Kalau sampai ada yang mengetahui, tentu akan berkurang atau bahkan hilang kepercayaan mereka kepada kita dan kita tentu akan mendapat teguran keras dari Bapa Guru Wasi Shiwamurti."

Setelah matahari mulai naik, kedua orang itu sudah sibuk lagi memimpin para pekerja yang membangun candi. Tidak ada yang tahu bahwa pagi tadi telah terjadi pembunuhan keji yang dilakukan oleh Ki Shiwananda, orang yang mereka anggap sebagai pembantu Ni Dewi Durgomala.

Sementara itu, Mbok Rondo Gati yang kehilangan dua orang anaknya, setelah pagi menggantikan malam, baru berani keluar. Ia menangis dan menceritakan kepada para tetangganya tentang dua orang anaknya yang dibawa pergi seorang laki-laki dan seorang wanita yang dapat bergerak seperti iblis cepatnya. Para tetangga tidak ada yang dapat menduga siapa yang melakukan penculikan itu, hanya menduga bahwa tentu iblis sendiri yang datang mengganggu.

Dengan bingung dan sambil menangis, Mbok Rondo Gati lalu keluar dari rumahnya dan pergi mencari-cari kedua anaknya, bertanya-tanya kepada siapa saja kalau-kalau ada yang melihat dua orang anaknya. Akhirnya ia pergi ke candi yang baru dibangun dan di situ ia mendapat keterangan dari seorang pemahat arca bahwa semalam kedua anaknya ikut berpesta di candi itu. Mbok Rondo Gati merasa girang sekali mendengar ini.

"Akan tetapi kenapa mereka sampai sekarang belum pulang? Di manakah kedua orang anakku itu?"

"Kami tidak tahu bibi, mungkin kalau bibi bertanya kepada Ni Dewi, ia akan dapat memberitahu kepada bibi ke mana perginya dua orang anak bibi itu." Orang itu lalu bekerja lagi dan tidak memperhatikan lagi kepada Mbok Rondo Gati...

SEPASANG GARUDA PUTIH JILID 07

Sepasang Garuda Putih Jilid 06

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Sepasang Garuda Putih Jilid 06

SETELAH pekarangan itu penuh penduduk dusun Grobokan dan tempat itu diterangi lampu dan obor-obor, Retno Wilis lalu berkata dengan suara lantang kepada para penduduk.

"Para paman, bibi dan saudara sekalian dengarlah baik-baik. Demang Grobokan ini telah mengakui bahwa dia telah melakukan perbuatan yang jahat, hendak merampas puteri Ki Dirun untuk dijadikan selirnya. Sekarang, Demang Grobokan ini telah mengakui kejahatannya, dan bertaubat, tidak akan melakukan kejahatan lagi di dusun ini. Kalian semua menjadi saksi, kalau sampai dia berani melakukan kejahatan lagi, lain kali kalau aku lewat di sini, aku tentu akan membunuhnya di depan kalian." Setelah berkata demikian, Retno Wilis berkata kepada Demang Grobokan yang masih duduk berlutut. "Ki Demang, hayo kau katakan sendiri kepada mereka semua bahwa engkau telah bertaubat dan tidak akan mengulangi semua perbuatanmu yang jahat. Engkau tidak akan mengerahkan para tukang pukulmu lagi untuk memaksa rakyat!"

Demang Grobokan yang telah hilang nyalinya sejak Suropekik meninggalkannya, apa lagi setelah dia dihajar keras oleh Retno Wilis, bangkit berdiri. Semua orang kini dapat melihat mukanya yang matang biru dan benjol-benjol, dan dengan suara lemah dia berkata.

"Saudara warga dusun Grobokan sekalian..."

"Bicara yang keras!" bentak Retno Wilis.

Demang Grobokan lalu mengulang kata-katanya dengan suara yang keras. "Saudara warga dusun Grobokan sekalian! Aku, Demang Grobokan, mengaku telah berbuat banyak kesalahan terhadap kalian. Akan tetapi aku telah menyadari kesalahanku, dan mulai saat ini, aku berjanji bahwa aku sudah bertaubat dan tidak akan mengulangi semua perbuatanku yang keliru. Kalau aku berbuat jahat lagi, biarlah Hyang Widhi akan memberi hukuman yang seberat-beratnya kepadaku!"

Retno Wilis merasa puas dengan ucapan itu, dan ia berkata, "Ingat baik-baik, Ki Demang. Ucapanmu itu disaksikan semua warga dusun Grobokan, dan jangan kira aku hanya menggertak saja. Lain kali aku tentu akan lewat di sini untuk melihat apakah benar-benar engkau memenuhi janjimu. Awas, kalau engkau masih jahat, aku tidak akan memberi ampun lagi kepadamu!"

Demang Grobokan mengangguk-angguk. "Aku tidak akan melanggar janji."

Retno Wilis lalu menoleh kepada kakaknya dan berkata, "Kakang, mari kita pergi dari sini!"

Akan tetapi Harjadenta menahan mereka berdua dan berkata, "Malam telah tiba, andika berdua tidak mungkin melanjutkan perjalanan dalam kegelapan malam, rumah Ki Dirun sudah kosong ditinggal pergi penghuninya, kalau andika tidak berkeberatan, silakan menggunakan rumah itu. Tadinya aku juga mondok di rumah itu untuk semalam ini."

Bagus Seto mengangguk kepada adiknya, "Kurasa sebaiknya begitu, diajeng. Melanjutkan perjalanan di waktu malam begini, apa lagi kalau jauh dari kota dan pedusunan, kita akan kemalaman di perjalanan."

Retno Wilis memandang kepada kakaknya, kemudian kepada Harjadenta, lalu berkata, "Baiklah kalau begitu."

Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu dan menuju ke rumah Ki Dirun. Baru saja mereka memasuki rumah itu, beberapa orang penduduk dusun Grobokan berdatangan membawa segala macam makanan dan minuman yang mereka punya, disuguhkan kepada tiga orang muda yang menggemparkan itu. Malam itu semua penduduk hampir tidak dapat pulas, dengan gembira membicarakan peristiwa sore tadi dan membayangkan betapa akan bahagia hidup mereka kalau Ki Demang benar-benar menyadari kesalahannya dan akan mengubah sikap hidupnya. Mereka semua akan merasa aman dan dapat bekerja dengan tenang dan sejahtera. Setelah makan hidangan yang disuguhkan para penduduk, tiga orang muda itu bercakap-cakap di ruangan depan.

"Adimas Harjadenta, andika tadi mengatakan bahwa andika mengejar seorang pencuri keris. Bagaimana sebetulnya duduk perkaranya dan siapakah guru andika itu?"

Retno Wilis juga memandang pemuda itu penuh perhatian karena diapun ingin mendengar riwayat pemuda tampan yang gagah perkasa itu. Harus diakui bahwa ia merasa tertarik kepada pemuda yang halus dan lembut tutur sapanya itu, yang dengan gagah berani menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Tadipun Retno Wilis sudah mencarikan daun untuk mengobati luka-luka di pundak dan paha Harjadenta. Harjadenta menarik napas panjang dan mulai bercerita.

"Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai seorangpun keluarga lagi. Guruku adalah Empu Gandawijaya yang bertapa di Gunung Raung. Sejak aku berusia tiga belas tahun sampai kini, sudah sepuluh tahun lamanya aku diambil murid oleh Bapa Guru dan tinggal di lereng Gunung Raung bersamanya. Beberapa pekan yang lalu, Bapa Guru memanggilku dan memberi tahu bahwa dia telah kehilangan sebuah keris pusaka bernama Ki Carubuk yang katanya hilang dicuri seorang wanita sakti yang tidak diketahui namanya. Bapa Guru lalu mengutusku untuk pergi mengejar dan mencari pencuri itu, merampas kembali Ki Carubuk, baru diperbolehkan pulang ke Gunung Raung. Bapa Guru tidak banyak memberi petunjuk, hanya mengatakan bahwa pencuri itu seorang wanita sakti, pandai ilmu sihir dan guna-guna. Aku disuruh naik perahu sepanjang Kali Mayang menuju ke muaranya di Lautan Kidul. Ketika perjalananku tiba di Grobokan, aku singgah dan mencari tempat penginapan. Kebetulan aku bertemu Ki Dirun dan dia menerimaku menginap di rumahnya. Kemudian aku ketahui tentang urusannya dengan Ki Demang Grobokan itu dan aku lalu menolongnya." Harjadenta menceritakan tentang peristiwa itu, semula dia mengusir dua orang utusan Ki Demang, lalu datang lima orang tukang pukul yang dapat diusirnya pula.

"Tidak kusangka bahwa mereka itu masih belum mau menyerah, bahkan lalu datang bersama Suropekik, warok yang digdaya itu dan aku dikeroyok oleh dia dan belasan orang anak buahnya. Aku sudah kewalahan dan tentu aku sudah tewas kalau andika berdua tidak datang menolong. Sekarang tiba giliran kalian berdua. Bagaimana andika berdua dapat datang pada saat yang demikian cepatnya? Andika berdua datang dari manakah dan hendak ke mana?"

Bagus Seto memandang kepada adiknya dan berkata, "Diajeng, engkau sajalah yang bercerita kepada dimas Harjadenta tentang diri kita."

Retno Wilis adalah seorang gadis yang bersikap polos dan terbuka, dan tidak malu-malu seperti para gadis lainnya. Biasanya, seorang gadis akan merasa sungkan dan malu-malu terhadap seorang pemuda yang baru dijumpainya akan tetapi tidak demikian dengan Retno Wilis. Ia berani menentang pandang mata Harjadenta dengan tenang tanpa perasaan apapun seperti kalau ia memandang seorang gadis lain. Biarpun ia sudah amat berpengalaman dalam dunia persilatan dan pertempuran, namun ia masih seperti kanak-kanak dalam pergaulannya dengan pria. Maka kinipun ia menatap wajah Harjadenta sedemikian terbuka dan jujur sehingga pemuda itulah yang merasa jantungnya berdebar ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang demikian tajam dan jernih.

"Nah, apakah yang ingin kau ketahui tentang kami, kakangmas Harjadenta?"

Pertanyaan itu demikian polos dan dikeluarkan dengan suara yang merdu, sehingga Harjadenta menjadi gugup dan tidak berani menentang pandang mata itu terlalu lama. Dia sendiri juga sejak kecil ikut gurunya di lereng Gunung Raung sehingga sama sekali tidak mempunyai pengalaman pergaulan dengan wanita, maka pertemuannya dengan Retno Wilis membuat dia tegang dan tidak tenang.

"Segalanya, diajeng. Riwayat andika berdua, putra siapa datang dari mana, lalu hendak ke mana dengan tujuan apa. Pula, bagaimana andika berdua begitu kebetulan dapat datang pada saat aku terancam bahaya maut?"

Retno Wilis tersenyum. Baiklah, pertama-tama kami adalah putera dan puteri Ki Patih Tejolaksono dari Panjalu."

Harjadenta terbelalak. Putera puteri Patih? Ah, andika berdua adalah orang-orang muda bangsawan tinggi, maafkan kalau aku telah bersikap kurang patut!"

"Hush.... !" Retno Wilis mencela. "Kalau engkau mengubah sikapmu kepada kami dan merendahkan diri, aku tidak mau lagi bersahabat denganmu, kakangmas Harjadenta!"

Pemuda ini terkejut dan memandang wajah cantik yang kini cemberut itu. "Akan tetapi... kalian putera puteri seorang Patih, apalagi Patih Panjalu... !"

"Apa bedanya patih dan bukan patih? Apa pula bedanya seorang raja dan seorang rakyat biasa? Mereka sama-sama manusia! Tidak, aku tidak mau engkau mengubah sikapmu. Kita biasa-biasa saja sebagai sahabat."

Harjadenta menghela napas panjang dan diam-diam dia menjadi semakin kagum. Seorang puteri bangsawan bicara seperti itu! Dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang dara yang benar-benar luar biasa.

"Baiklah, diajeng Retno Wilis. Maafkan aku yang kurang pengertian. Nah, silakan engkau melanjutkan ceritamu. Andika adalah putera puteri seorang Patih dari Panjalu. Lalu mengapa andika berdua datang ke tempat yang begini jauh dari tempat tinggalmu?"

"Kami berdua memang sengaja meninggalkan Panjalu untuk merantau dan mencari pengalaman."

"Ah, dua orang muda yang berilmu tinggi, sakti mandraguna seperti andika berdua masih mencari pengalaman lagi? Kalau boleh aku mengetahui, siapakah guru-guru andika berdua yang mulia?"

"Guruku adalah Nini Bumigarbo dan guru kakakku adalah Sang Bhagawan Ekadenta."

Kembali Harjadenta terbelalak. "Ah, guruku pernah bercerita tentang seorang wanita maha sakti berjuluk Nini Bumigarbo dan seorang Pendeta linuwih berjuluk Sang Bhagawan Ekadenta. Mereka itu seolah manusia setengah dewa yang amat sakti, seperti dalam dongeng. Kiranya andika berdua adalah murid-murid mereka? Pantas kalian memiliki kesaktian yang demikian hebat!"

"Nah-nah-nah, mulai lagi! Aku paling tidak senang melihat orang menjilat-jilat dan memuji setinggi langit!" tiba-tiba Retno Wilis berkata tegas dan suaranya seperti orang marah.

Harjadenta kembali terkejut dan cepat berkata, dengan suara lirih. "Maafkan aku, diajeng, aku... bukan maksudku untuk menjilat-jilat... "

"Tapi engkau memuji setinggi langit. Kami hanya orang-orang biasa saja yang tiada bedanya dengan engkau atau orang lain, tidak perlu memuji-muji seperti itu atau aku tidak mau bercerita lagi."

Harjadenta menelan ludahnya. Gadis ini selain sakti dan hebat, juga galaknya bukan main! "Maafkan, tidak akan kuulangi lagi. Harap kau suka melanjutkan ceritamu, diajeng Retno Wilis." Kini dia bahkan tidak berani menentang langsung wajah gadis itu, hanya memandang ke arah pakaiannya yang serba putih sederhana, akan tetapi yang tidak menyembunyikan lekuk-lengkung tubuhnya yang ramping padat.

"Kami juga tidak sengaja datang ke tempat ini. Kami berdua sedang melakukan perjalanan menyusuri Kali Mayang yang indah pemandangannya. Ketika kami tiba di hutan dekat dusun ini, kami bertemu dengan seorang pemuda bernama Martono bersama ibunya. Ibunya menangis dan kami mendengarnya lalu menemui mereka. Martono itu yang bercerita kepada kami tentang perbuatan Ki Demang, yang hendak merampas Lasmini tunangannya. Karena itu kami lalu cepat memasuki dusun ini dan melihat engkau dikeroyok banyak orang maka aku lalu cepat membantumu."

"Untung sekali engkau tahu siapa yang perlu dibantu dan siapa yang harus ditentang." kata Harjadenta.

"Tentu saja aku tahu. Martono sudah bercerita tentang seorang pemuda yang menolong keluarga Dirun dan yang kini dikeroyok di sini."

"Dan aku tadinya mempunyai dugaan yang amat buruk terhadap dirimu, diajeng Retno."

Retno Wilis memandang wajah pemuda itu penuh selidik. "Dugaan buruk. Apa itu?"

"Melihat engkau demikian cantik dan demikian sakti, sekilas terlintas dalam pikiranku akan pemberitahuan Bapa Guru bahwa pencuri pusaka Ki Carubuk adalah seorang wanita cantik yang sakti."

"Sialan! Kau kira aku ini pencuri keris itu?"

"Maaf, aku tidak tahu...."

"Sudahlah," kata Bagus Seto sambil tertawa. "Sekarang kita harus memikirkan keadaan Ki Dirun dan keluarganya, juga Martono dan ibunya. Mereka entah lari ke mana. Sebaiknya mereka itu kembali lagi ke sini, di mana mereka meninggalkan rumah dan sawah mereka."

"Benar," kata Harjadenta, "biar aku memberitahu kepada para tetangga untuk mengejar mereka dan memberitahu mereka bahwa dusun Grobokan telah aman dan mereka boleh kembali lagi ke sini."

Bagus Seto membenarkan pendapat Harjadenta yang segera menghubungi para tetangga dan minta agar mereka menyusul ke mana larinya keluarga Dirun dan keluarga Martono untuk memanggil mereka pulang. Malam itu mereka melewatkan malam di rumah keluarga Dirun. Retno Wilis menggunakan kamar yang biasa ditiduri Lasmini, sedangkan Bagus Seto dan Harjadenta menggunakan kamar Ki Dirun.

Pada keesokan paginya, setelah mereka mandi dan makan sarapan pagi yang diantar dan disuguhkan oleh para penduduk Grobokan, mereka lalu hendak meninggalkan Grobokan dan mereka merasa perlu untuk berpamit kepada Ki Demang Grobokan. Kunjungan mereka disambut dengan ramah dan hormat oleh Ki Demang. Melihat sikap orang itu, Bagus Seto merasa gembira dan mengharapkan agar penguasa itu benar-benar bertaubat dan selanjutnya akan menjadi seorang penguasa yang memimpin penduduk dusun Grobokan ke arah kehidupan yang sejahtera dan makmur.

"Ki Demang," kata Retno Wilis setelah mereka bertiga berpamit. "Kalau sewaktu-waktu pikiranmu menggodamu untuk melakukan hal-hal yang tidak baik dan menekan rakyat, ingatlah kepada kami karena sekali waktu kami pasti akan lewat di sini melihat keadaan."

Ki Demang tersenyum. Kini baru dia mengerti bahwa tiga orang itu adalah orang-orang muda sakti yang hidupnya sebagai pendekar, dan mereka adalah orang-orang yang baik dan yang memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan. Bukan seperti orang macam Suropekik yang mau melakukan apapun juga asalkan mendapat upah besar. Sekali waktu orang macam Suropekik itu bagaikan memelihara seekor harimau ganas dapat membalik dan menyerang pemeliharanya sendiri. Kalau dia ingin hidup sejahtera dan makmur penuh ketenteraman, dia harus mengubah jalan hidupnya dan tidak selalu menuruti nafsunya sendiri.

"Harap andika bertiga jangan khawatir. Saya tidak akan melanggar janji yang telah saya ucapkan dan disaksikan semua penghuni Grobokan."

Tiga orang muda itu lalu meninggalkan rumah Ki Demang. Akan tetapi Ki Demang Grobokan mengikuti dan mengantar mereka. Di sepanjang jalan para penduduk juga menyambut dan ikut pula mengantar mereka. Setelah mereka tiba di luar pagar yang mengelilingi dusun Grobokan, barulah Ki Demang dan para penduduk dusun berhenti mengantar, apa lagi karena hal ini diminta oleh Retno Wilis.

"Sudahlah, sampai di sini saja kalian mengantar. Sekarang kami harus pergi." Mereka bertiga lalu menuju ke Kali Mayang. Setelah tiba di tempat di mana Harjadenta menyimpan dan menambatkan perahunya, pemuda ini bertanya kepada Bagus Seto.

"Andika berdua hendak pergi ke manakah?"

"Kami akan kembali ke pantai dan melanjutkan perjalanan perantauan kami." jawab Bagus Seto.

"Kalau begitu, silakan ikut dalam perahuku. Akupun hendak pergi ke muara sungai ini untuk menaati nasihat Bapa Guru bahwa aku diharuskan mencari sampai ke muara sungai Mayang ini."

Bagus Seto memandang kepada adiknya dan tersenyum. "Tentu menarik sekali melakukan perjalanan melalui air, pemandangannya tentu berbeda. Bagaimana, maukah engkau, Retno?"

"Bagaimana engkau saja kakang. Kalau memang kita sejalan, tidak ada salahnya ikut dalam perahu kakangmas Harjadenta, asal saja tidak menyusahkan dia."

Harjadenta tertawa senang. "Mengapa menyusahkan? Kita melakukan perjalanan bersama, membeli beras dan masak sendiri di perahu, lauknya kita cari di sungai dengan mengail."

Pemuda itu tampak gembira sekali dan tak lama kemudian merekapun sudah meluncurkan perahu ke tengah sungai. Karena perahu itu menuju ke hilir, Harjadenta hanya perlu mengemudikannya saja dengan dayungnya, perahu itu sendiri sudah terbawa arus air yang cukup kuat, sehingga meluncur dengan cepatnya ke depan. Naik perahu ini merupakan pengalaman baru bagi Retno Wilis, maka iapun merasa gembira sekali.

********************

Sebelum memuntahkan airnya di laut Kidul, Kali Mayang bertemu dengan Kali Sanen yang mengalir dari timur. Pertemuan dua buah kali itu terjadi di sebelah selatan dusun Ambulu. Tak jauh dari tempat pertemuan dua kali yang membuat muara sungai itu menjadi lebar dan besar, terdapat sebuah kota besar yang disebut Bulumanik. Penduduknya banyak yang menjadi nelayan, karena di muara sungai itu terdapat banyak sekali ikan yang seakan tiada habis-habisnya mereka tangkapi setiap hari.

Selain menjadi nelayan, juga para penghuni itu merupakan petani-petani yang hidupnya cukup makmur karena sawah ladang di sepanjang lembah sungai itu amat subur. Bulumanik terkenal sebagai tempat yang gemah ripah loh-jinawi dan tempat itu dikunjungi banyak pedagang dari kota lain. Rakyatnya cukup mampu untuk membeli barang-barang dari luar kota yang dibawa oleh para pedagang itu. Juga karena adanya sungai, maka lalu lintas dapat dilakukan dengan mudah melalui air.

Bulumanik dipimpin seorang Demang yang bernama Kebolinggo, seorang berusia limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berwibawa. Dia ditaati oleh penduduk Bulumanik karena terkenal sebagai seorang penguasa yang adil dan pandai memimpin. Kedemangan Bulumanik ini termasuk wilayah kekuasaan Kadipaten Nusabarung, bahkan Demang Kebolinggo adalah seorang yang berasal dari Nusabarung juga dan yang diangkat oleh Adipati Martimpang dari Nusabarung.

Pada suatu hari, penduduk melihat betapa Candi Trisakti yang berada di Kebolinggo dipugar. Para pendetanya yang memuja Trimurti oleh Demang Kebolinggo dipecat dan candi itu dipugar dan dibangun kembali, arca-arcanya diganti dengan arca Bathara Shiwa, Bathari Durga dan Bathara Kala. Pembuatan arca-arca dan pemugaran candi itu dilakukan oleh banyak ahli pahat yang terkenal, bahkan dipimpin oleh seorang yang tidak dikenal oleh penduduk Bulumanik. Dia adalah seorang pendeta yang berusia enampuluh lima tahun dan selain ahli tentang bangunan candi, juga ahli membuat arca yang indah. Selain itu, pendeta ini juga amat berwibawa, sebentar saja terkenal sebagai seorang pendeta yang dihormati Demang Kebolinggo dan kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan ahli sihir!

Bagi yang sudah mengenal pendeta itu, tentu saja tidak merasa heran karena dia adalah Sang Wasi Siwamurti, utusan Negeri Cola yang sakti, dan penyebar Agama Shiwa. Seperti telah kita ketahui, Wasi Siwamurti adalah kakak seperguruan dari Wasi Surengpati dan Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat di Blambangan. Wasi Siwamurti ini dating dari Negeri Cola membawa dua orang lain, yaitu anak angkatnya yang berjuluk Ki Shiwananda, dan seorang muridnya yang bernama Ni Dewi Durgomala yang cantik dan genit, masih nampak muda dan menarik walaupun usianya sudah empatpuluh tahun. Ni Dewi Durgomala ini kelihatan seperti berusia dua puluh tahun lebih saja.

Wasi Siwamurti telah mendapat persetujuan dari Adipati Menak Sampar di Blambangan dan sekutunya, Adipati Martimpang dari Nusabarung untuk menyebar-luaskan agama Shiwa dan memecah-belah musuh-musuh mereka, Panjalu dan Jenggala melalui perpecahan agama. Dalam rangka penyebar-luasan agama Shiwa itulah maka dia memugar dan membangun kembali candi di Bulumanik, lalu mengganti candi itu menjadi candi Shiwa, Durga dan Kala! Arca ketiga dewadewi ini yang menghiasi candi baru itu.

Untuk pembangunan candi yang membutuhkan tenaga banyak orang, Wasi Shiwamurti mendapat perkenan dari Demang Kebolinggo untuk mengerahkan tenaga warga Bulumanik. Terjadilah kekacauan di kota itu ketika Wasi Shiwamurti melakukan paksaan kepada para orang muda di Bulumanik untuk bekerja membantu pembangunan candi. Menurut berita angin, siapa berani menolak untuk membantu, oleh sang wasi dikutuk menjadi gila atau menderita penyakit parah yang mengakibatkan kematian. Berita ini didesas-desuskan orang sehingga penduduk dihinggapi perasaan takut dan tidak ada yang berani lagi menolak perintah untuk membantu pembangunan candi baru itu.

Biarpun ada berita yang mengerikan itu, tetap saja ada yang berani menentang, perintah itu. Seorang di antara mereka adalah seorang pemuda bernama Sularko. Sularko adalah seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun yang berwajah tampan dan bertubuh tegap. Dia tinggal di sebuah rumah bersama ibunya yang sudah janda Mbok Rondo Gati dan seorang adik perempuannya yang sudah dewasa berusia delapan belas tahun bernama Sawitri. Seperti juga kakaknya yang tampan, Sawitri seorang gadis yang cantik manis, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum.

Sularko sudah mengetahui akan adanya pembangunan candi itu, dan diapun mendengar desas-desus akan bujukan yang melanda kaum muda di Bulumanik untuk membantu pembangunan candi itu. Bahkan kabarnya, mereka yang membantu pembangunan candi mendapat hadiah-hadiah yang menarik, sering diajak berpesta ria. Akan tetapi mereka yang menolak akan mendapat malapetaka. Dia sendiri menganggap ajakan membangun candi itu mencurigakan, karena walaupun tidak ada paksaan, akan tetapi yang menolak dikenakan kutukan yang membuatnya gila atau sakit. Ini sama saja dengan paksaan. Yang membuat dia tidak senang adalah berita bahwa mereka yang membantu kelompok pembangunan candi itu diajarkan untuk menganut agama baru itu yang katanya penuh dengan kesenangan sorga dunia!

Sularko adalah seorang pemuda yang berwatak gagah dan dia pernah mempelajari kanuragan selama beberapa tahun sehingga dia menjadi seorang pemuda yang pemberani. Dia bekerja sebagai seorang nelayan yang juga mempunyai sedikit ladang untuk bertani. Setiap hari dia bekerja, kadang dibantu adiknya Sawitri yang cantik manis itu, kalau tidak menangkap ikan tentu menggarap ladangnya. Karena dia tekun dan rajin, maka kehidupan mereka bertiga dapat dibilang cukup.

Pada suatu pagi yang cerah di waktu sinar matahari pagi menghidupkan segala sesuatu di permukaan bumi, Sularko ditemani Sawitri sedang bekerja di ladangnya. Dia sedang menanam benih jagung bersama Sawitri. Dia yang membuat lubang dengan paculnya dan Sawitri memasukkan biji jagung kedalam lubang-lubang itu yang lalu ditutupnya. Sularko bekerja dengan menanggalkan bajunya, hanya memakai celana hitam yang sebatas bawah lutut, sedangkan Sawitri juga mengenakan pakaian sederhana untuk bekerja di lading yang berlumpur itu. Namun, dengan pakaian sederhana itu, kedua kakak beradik ini bahkan tampak elok dan wajar.

Sularko tampak perkasa dengan dadanya yang bidang berotot, sedangkan Sawitri tampak lemah gemulai dan ayu dalam pakaiannya yang sederhana dan kainnya yang diangkat sampai memperlihatkan betisnya yang memadi-bunting. Sambil bekerja ini, Sularko bersenandung dan mereka berdua menikmati cahaya matahari yang hangat menyinari tubuh mereka. Kepala mereka terlindung sebuah caping yang lebar.

Sularko memang pandai bertembang. Dia bersenandung tembang Kinanti dengan suara yang merdu dan Sawitri dapat merasakan kedamaian dalam tembang itu. Betapa indahnya keadaan seperti itu. Bekerja dengan hati dan tangan yang ringan, menikmati kehangatan matahari dan kesegaran angin yang semilir. Perpaduan antara kehangatan dan kesejukan yang memberi semangat dan kegembiraan hidup. Punggung dan dada Sularko berkilauan karena keringat yang membasahi tubuhnya dan ayunan cangkulnya mantap dan kuat. Sawitri mengikutinya sambil menaburkan benih jagung dan tubuhnya membuat gerakan amat lenturnya ketika ia membungkuk-bungkuk seperti itu.

Dua orang yang lewat di jalan itu, kemudian memandang mereka dan datang menghampiri dan duduk di pematang ladang adalah seorang wanita yang cantik dan pesolek, dan seorang laki-laki yang tinggi besar dan bertampang menyeramkan. Walaupun wajahnya itu termasuk gagah namun matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu mendatangkan kesan menyeramkan. Wanita itu cantik dan pesolek, kain yang dipakainya baru, rambutnya tersisir rapi dan digelung bagus, mukanya putih karena bedak dan diberi pemerah pipi dan bibir. Di lengan, jari dan lehernya terdapat perhiasan yang indah, demikian pula telinganya memakai perhiasan yang gemerlapan. Yang pria juga mengenakan pakaian baru, dengan baju terbuka sehingga nampak dadanya yang lebar dan berbulu.

Siapakah dua orang itu? Mereka bukan lain adalah Ki Shiwananda dan Ni Dewi Durgornala, anak angkat dan murid Wasi Shiwamurti. Merekalah yang ditugaskan oleh Wasi Shiwamurti untuk melaksanakan pemugaran dan pembangunan candi di Bulumanik. Mereka pula yang membujuk para muda di dusun Bulumanik dan sekitarnya untuk ikut membangun candi itu. Pada pagi hari itu, kebetulan mereka lewat di jalan itu dan melihat Sularko dan Sawitri, mereka merasa kagum dan tertarik sehingga mereka menghampiri dan duduk di pematang tegal itu.

Sepasang mata Ni Dewi Durgomala bersinar-sinar memandang ke arah Sularko yang mencangkul, sedangkan sepasang mata lebar dari Ki Shiwananda juga seolah-olah hendak menelan tubuh Sawitri dengan pandang matanya. Melihat Sularko dan Sawitri, sikap dua orang itu seperti dua ekor singa yang memandang dua ekor domba muda yang berdaging gemuk dan lunak. Air liur telah membasahi mulut mereka dan beberapa kali Ni Dewi Durgomala menjilat bibir sendiri dengan lidahnya yang merah.

Sularko dan Sawitri yang sedang asyik bekerja itu akhirnya merasa bahwa ada orang memandang mereka. Keduanya menghentikan pekerjaan masing-masing, berdiri tegak dan menoleh ke arah dua orang itu. Keduanya memandang heran, apalagi melihat bahwa dua orang itu berpakaian mewah dan sedang mengamati mereka.

"Aduh betapa sayangnya orang-orang muda yang elok harus bekerja keras memeras keringat di lumpur yang kotor!" Terdengar Ni Dewi Durgomala berseru.

"Dan gadis seayu itu sepatutnya berada di keputren!" kata pula Ki Shiwananda dengan suaranya yang berat.

Sularko dan Sawitri memandang heran dan Sularko bertanya, "Apakah andika berdua bicara kepada kami?"

"Duh orang muda yang elok, siapa lagi kalau bukan kepada kalian kami bicara? Di sini tidak ada orang lain. Aku hanya menyayangkan seorang pemuda seperti andika ini bekerja keras di lumpur yang kotor," kata Ni Dewi Durgomala sambil melempar senyum dan kerling yang memikat. Biarpun usianya sudah empatpuluh tahun, wanita ini masih tampak cantik sekali dan masih muda seolah seorang perawan berusia duapuluh tahun saja! Senyumnya memikat dan kerling matanya sungguh tajam menggores kalbu.

Muka Sularko berubah merah mendengar ucapan yang merayu itu, akan tetapi dia menjawab dengan tegas.

"Kenapa sayang bekerja di ladang? Lumpur ini sama sekali tidak kotor dan bekerja di ladang merupakan pekerjaan yang bersih dan sehat!"

"Benar sekali, wong bagus, akan tetapi pekerjaan seperti itu hanya pantas dilakukan para petani yang kotor. Akan tetapi seorang muda yang elok seperti andika ini sepantasnya memiliki pekerjaan yang lebih terhormat dan bersih."

"Misalnya bekerja apa?" tanya Sularko penasaran.

"Misalnya pekerjaan membangun candi yang suci. Andika tidak perlu bekerja keras cukup kalau hanya mengawasi para pekerja mengangkut batu, atau membantu para seniman pemahat arca dan hiasan candi."

Sularko menggeleng kepalanya. "Aku tidak pandai memahat arca, juga adikku ini tidak pandai apa-apa kecuali bekerja di ladang."

"Biarpun begitu, kami dapat menerima andika berdua bekerja kepada kami. Kami dapat mengajarkan sehingga engkau akan pandai memahat arca, dan adikmu dapat menjadi seorang yang bekerja di dapur. Kalian akan mendapatkan pakaian baru yang indah, pekerjaan tidak berat dan kalau malam ikut berpesta dengan kami. Kami menjanjikan penghidupan yang penuh dengan kesenangan untuk kalian. Marilah kalian tinggalkan ladang ini dan ikut bersama kami."

Sularko menjadi tak senang hatinya. Wanita cantik genit itu seakan hendak memaksanya, membujuk-bujuk dengan janji muluk. Dia sudah mendengar akan desas-desus bahwa siapa menolak untuk diajak bekerja membangun candi akan dikutuk. Dia tidak takut.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Sudahlah, harap andika tidak membujuk lagi. Bagaimanapun kami berdua tidak tertarik dan tidak mau bekerja membangun candi. Kami adalah keluarga petani dan pekerjaan kami di ladang atau di sungai," katanya dan dia mulai memegang gagang paculnya pula.

Ki Shiwananda mengerutkan alisnya yang tebal dan dia bangkit berdiri sambil menudingkan telunjuknya kepada Sularko.

"Orang muda, engkau sombong benar! Apakah engkau ingin hidupmu sengsara?"

Sularko menunda pekerjaannya dan balas memandang, "Kami sudah berbahagia dengan kehidupan kami sebagai petani, kalau kami mengubah pekerjaan kami membangun candi, tentu kami hidup sengsara!"

"Kau.... kau.... !" Ki Shiwananda sudah menudingkan lagi telunjuknya, akan tetapi Ni Dewi Durgomala cepat bangkit berdiri mencegah dia bicara lebih lanjut.

"Sudahlah, biarkan mereka berpikir dulu. Eh, orang muda, biarlah kami memberi waktu kepada kalian berdua untuk berpikir mempertimbangkan penawaran kami. Malam nanti kami akan mengunjungi kalian di rumah kalian."

Sularko diam saja dan melanjutkan pekerjaannya menggali lubang. Sawitri juga melanjutkan pekerjaannya, membiarkan dua orang itu pergi meninggalkan tempat itu. Setelah mereka pergi jauh, barulah Sawitri menghentikan pekerjaannya dan berkata kepada Sularko.

"Kakang, siapakah dua orang tadi?"

"Aku sendiripun tidak mengenal mereka, Sawitri. Akan tetapi mendengar bujukan mereka, kukira mereka adalah orang-orang yang mendirikan candi baru itu."

"Kakang, aku takut melihat pandang mata mereka, terutama yang laki-laki tadi."

"Tidak perlu takut, Sawitri. Mereka boleh saja membujuk dengan janji yang manis dan muluk-muluk, akan tetapi kalau kita tidak mau, mereka tidak dapat memaksa kita."

"Akan tetapi aku tetap khawatir, kakang. Bukankah sebelum mereka pergi mereka mengatakan bahwa malam nanti mereka akan datang mengunjungi kita?"

"Mereka dapat berbuat apa? Jangan takut, aku akan melindungimu. Kalau mereka mengancam, kita dapat memukul kentongan memanggil para penduduk untuk mengeroyok mereka."

Biarpun dihibur oleh kakaknya, tetap saja Sawitri merasa gelisah. Bayangan sepasang mata Ki Shiwananda itu seperti terus mengikutinya dan ia merasa ngeri. Akan tetapi gadis ini tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan melanjutkan pekerjaannya. Setelah hari menjadi sore dan mereka sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, kakak beradik itu pulang. Di tengah perjalanan, Sularko memesan adiknya agar tidak menceritakan peristiwa kunjungan dua orang tadi kepada ibu mereka. Dia khawatir kalau hal itu akan membuat ibu mereka gelisah.

Mbok Rondo Gati menyambut kedua anaknya dengan gembira. Setelah menyuruh mereka mandi, ia lalu mengeluarkan hidangan makan malam yang sederhana untuk mereka. Mereka bertiga lalu makan bersama dengan gembira. Bukan main lezatnya hidangan sederhana itu bagi Sularko dan Sawitri yang sudah merasa lelah dan kelaparan setelah sehari bekerja di ladang. Sejak sarapan pagi sebelum berangkat ke ladang, mereka tidak makan apa-apa lagi sampai sore.

Malam itu terang bulan. Malam yang indah karena bulan muncul sepenuhnya. Ramai suara anak-anak yang bermain di pelataran rumah sambil berdendang. Suara banyak anak-anak bertembang "ilir-ilir" terdengar mengalun dan mengandung pengaruh aneh yang mendatangkan rasa haru. Malam Respati (Kamis malam) yang indah akan tetapi juga menyeramkan.

Bau kembang dan kemenyan dibakar menambah keseraman malam itu. Telah terjadi kepercayaan umum bahwa pada malam Respati seperti itu, para jin setan dan mahluk-mahluk halus lainnya keluar dari sarang mereka untuk mandi sinar bulan purnama yang memperkuat tubuh halus mereka dan berpesta sekenyangnya dalam asap kemenyan dan keharuman bunga setaman yang oleh manusia memang dihidangkan untuk mereka.

Setelah suara anak-anak bertembang menghilang, tanda bahwa anak-anak itu telah memasuki rumah masing-masing dan tidur, suasana menjadi hening. Keheningan yang menghanyutkan manusia dalam lamunan yang ajaib. Suara burung malam kini menggantikan tembang anak-anak, akan tetapi suara burung-burung hantu itu mendatangkan suasana yang mengerikan, seolah-olah suara itu menjadi pertanda bahwa akan datang suatu malapetaka bagi mereka yang mendengarnya.

Tak lama kemudian, terdengar sayup-sayup suara gamelan. Suara ini datangnya dari candi yang sedang dibangun. Tahulah para penduduk dusun Bulumanik bahwa di candi itu diadakan pesta seperti yang sering diadakan tiap Respati malam. Tidak ada penduduk yang berani menonton keramaian itu karena pesta itu diadakan untuk para anggauta khususnya. Di halaman depan candi itu dibuat panggung dan diatas panggung inilah orang-orang itu mengadakan pesta dengan iringan gamelan yang bertalu-talu.

Biasanya, dalam pesta itu terjadi pengangkatan anggauta baru. Banyak sudah kaum muda, laki-laki dan perempuan yang sudah masuk menjadi anggauta agama baru penyembah Bathara Shiwa, Bathari Durgo, dan Bathara Kala itu. Bukan hanya para anggauta agama baru yang berpesta, akan tetapi juga mereka yang bekerja membangun candi itu. Para pekerja inipun otomatis telah menjadi anggauta mereka sehingga dalam waktu beberapa bulan saja sudah ratusan orang yang menjadi anggauta agama baru itu.

Pesta ini selain untuk memuja tiga dewa dewi itu, juga untuk memberi hiburan dan kesenangan kepada para anggautanya. Di situ mereka diberi kesempatan untuk makan dan minum sepuasnya, juga ikut berpesta pora mengumbar nafsu secara bebas dalam keadaan mabok-mabokan. Sambil minum tuak (minuman keras dari pohon aren) mereka berpesta pora dan diperbolehkan mencari pasangan masing-masing dan memuaskan nafsu mereka dengan bebas.

Malam itu, gamelan baru saja dibunyikan dan pesta belum dimulai. Biasanya pesta baru dimulai kalau Ni Dewi Durgomala yang memimpin pesta itu sudah muncul bersama Ki Shiwananda yang dianggap sebagai puteranya. Kalau kedua orang ini muncul, barulah dilakukan sembahyangan untuk mengundang Wasi Shiwamurti yang dianggap sebagai titisan Bathara Shiwa, yang datang pada setiap Respati malam di waktu bulan sedang purnama. Hanya sebulan sekali Wasi Shiwamurti muncul di situ, sekalian untuk memeriksa hasil pembangunan candi yang pada hari-hari biasa dipimpin oleh Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Malam itu, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda belum muncul dan semua orang menantikan ke dua orang ini karena kemunculan mereka berarti pesta pora dimulai.

Sularko dan Sawitri juga mendengar suara gamelan yang menggantikan suara tembang anak-anak tadi. Mereka merasa heran mendengar gamelan itu yang mengingatkan mereka akan pertemuan mereka dengan dua orang di ladang pagi tadi. Sawitri yang merasa gelisah, tidak dapat tidur. Setelah ibunya pulas, ia keluar dari kamar dan dilihatnya kakaknya juga belum tidur dan sedang duduk di ruangan depan. Ia lalu duduk pula di dekat kakaknya.

"Engkau belum tidur, Sawitri?"

Sawitri menggeleng kepalanya. "Engkau juga belum kakang? Aku tidak dapat tidur, suara gamelan itu terdengar mengerikan."

Biarpun hatinya sendiri merasa tidak tenang, namun Sularko menghibur adiknya. "Ah, apanya yang mengerikan?

"Gamelan itu adalah gamelan biasa, hanya lagunya yang asing bagi kita. Tidak ada yang mengerikan. Tidurlah, Sawitri. Apakah ibu sudah tidur?"

"Sudah, kakang. Justeru karena ibu sudah tidur dan aku belum, maka aku merasa seram dan melihat engkau duduk di sini, aku lalu datang mencari kawan."

Sularko tertawa. "Ha-ha, engkau penakut benar, Sawitri. Apakah yang kau takutkan?"

"Entahlah, kakang. Aku seperti dapat firasat buruk, hatiku terasa berdebar tak menentu dan sepasang mata laki-laki tinggi besar itu seperti mengikuti aku terus."

"Itu hanya karena engkau membayangkan terus, Sawitri...." Tiba-tiba Sularko menghentikan kata-katanya dan dia memandang ke arah pintu depan. Terdengar suara tawa lirih dari depan dan disusul suara seorang wanita yang merdu.

"Orang muda yang bagus, aku telah datang. Bukakan pintu rumahnya."

Suara itu segera disusul suara yang dalam dan berat, "Perawan ayu, aku datang menjemputmu, bukalah pintunya."

Sawitri menggigil ketakutan dan ia lari mendekati kakaknya, bersembunyi di belakang tubuh kakaknya. "Kakang, aku takut... "

Sularko adalah seorang pemuda pemberani, walaupun dua suara itu membuat tengkuknya meremang, namun dengan tabah dia lalu membentak ke arah luar,

"kalian datang mau apa? Kami tidak membutuhkan kalian dan tidak ingin bertemu dengan kalian. Kalian pergilah dari sini!"

"Orang muda, namamu Sularko dan adikmu bernama Sawitri, bukan? Kami datang untuk mengajak kalian bersenang-senang. Bukalah pintunya dan biarkan kami bercakap-cakap dengan kalian."

"Tidak! Kalian pergilah, atau kami akan berteriak agar semua orang datang mengeroyok kalian!" kata pula Sularko, lalu dia melepaskan rangkulan Sawitri, yang ketakutan untuk mengambil sebuah arit yang berada di sudut ruangan. Setelah memegang arit, Sularko menjadi tabah.

Suara Ki Shawananda terdengar pula. "Bukalah pintunya, atau kami terpaksa menjebolnya."

"Kalau kalian berani menjebol pintu, kalian akan kubunuh!" Sularko berteriak, penuh kemarahan dan tangannya memegang gagang arit dengan kuat. Sawitri masih memegang lengan kakaknya dan bersembunyi di balik tubuh kakaknya.

Hening sejenak, kemudian terdengar suara keras. "Brakkkk... !" Daun pintu rumah itu jebol dan pada saat kedua orang itu muncul, Sawitri menjerit ketakutan.

Ni Dewi Durgomala menggerakkan kedua tangannya ke atas seperti menggapai kepada kakak beradik itu. Tiba-tiba saja Sularko dan Sawitri merasa tubuhnya lemas dan kesadarannya hilang. Mereka berdua terkulai lemas, seolah kedua kaki mereka tidak bertenaga lagi dan keduanya seperti terhuyung hendak jatuh. Pada saat itu Ni Dewi Durgomala melompat ke depan dan merangkul tubuh Sularko, sedangkan Ki Shiwananda juga memeluk tubuh Sawitri dara itu juga tidak sampai jatuh. Kemudian mereka memanggul tubuh kakak beradik yang sudah terkulai lemas itu dan membawanya keluar.

Pada saat itu, Mbok Rondo Gati yang mendengar jeritan Sawitri tadi, terbangun dari tidurnya dan tergopoh keluar kamar. Ia sempat melihat kedua orang anaknya dipanggul dua orang yang tidak dikenalnya dan dibawa keluar. Tentu saja ia menjadi kaget dan marah.

"Heii, tahan! Apa yang terjadi dengan anak-anakku? Hendak kalian bawa ke mana mereka?" Ia mengejar.

Ni Dewi Durgomala membalikkan tubuhnya dan melihat seorang wanita setengah tua mengejar, ia lalu mendorongkan tangan kirinya ke arah Mbok Rondo Gati. Bagaikan dilanda angin yang amat kuat tubuh janda itu terjengkang dan roboh. Dadanya terasa sesak dan ketika ia merangkak dan berhasil berdiri, kedua orang anaknya yang dipanggul dua orang itu telah lenyap dari situ. Hanya angin malam saja yang menerobos masuk melalui pintu yang telah jebol.

Mbok Rondo Gati menjerit-jerit dan menangis. Ketika para tetangga datang, ia hanya dapat mengatakan bahwa kedua orang anaknya dibawa lari orang. Akan tetapi ia tidak dapat bercerita dengan jelas bagaimana rupa orang-orang yang dikatakan menculik kedua orang anaknya. Para tetangga menjadi ragu. Rasanya sukar dipercaya ada dua orang dewasa diculik begitu saja oleh dua orang. Padahal mereka semua tahu bahwa Sularko adalah seorang pemuda yang pemberani dan juga bukan pemuda lemah karena pernah mempelajari kanuragan. Akan tetapi melihat daun pintu yang jebol mereka juga merasa heran sekali.

Para penduduk Bulumanik masih percaya sekali akan tahyul, maka para tetangga Janda Mbok Gati itu segera menduga bahwa yang dapat melakukan penculikan itu tentu sebangsa mahluk halus atau iblis. Mereka lalu pulang dan bersembunyi di rumah masing-masing. Dalam malam Respati seperti itu mereka semua percaya bahwa di luar banyak hantu dan setan gentayangan mencari korban, dan mereka percaya bahwa yang mendatangi rumah Mbok Rondo Gati tentulah sebangsa setan pula.

Mbok Rondo Gati yang ditinggal pergi para tetangganya, hanya dapat menangis. Ia sendiri juga ketakutan dan percaya bahwa dua orang yang membawa pergi anak-anaknya tentulah sebangsa iblis. Buktinya, hanya dengan gerakan tangan, wanita cantik yang memanggul tubuh Sularko membuat ia roboh terjengkang, ia menangis akan tetapi tidak berani keluar untuk mencari kedua orang anaknya.

Sementara itu, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda membawa dua orang muda itu ke dalam ruangan belakang candi. Ni Dewi Durgomala lalu mencekoki Sularko dan Sawitri dengan secawan minuman yang telah diramu dan dimantera sehingga kedua orang muda itu terbangun akan tetapi mereka seperti orang mimpi. Mereka menurut saja apa yang dikehendaki dua orang itu dan ketika mereka diajak keluar dari ruangan itu menuju ke panggung di halaman depan, keduanya hanya menurut saja. Kemunculan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda disambut dengan meriah, dengan sorak sorai.

Semua orang bergembira karena kemunculan mereka ini menjadi pertanda bahwa pesta pora akan segera dimulai. Ketika mereka melihat bahwa Sularko dan Sawitri, mereka yang berasal dari Bulumanik mengenal mereka dan menjadi gembira sekali, menganggap bahwa kedua orang muda itu sependapat dengan mereka dan mau masuk menjadi anggauta agama baru dan malam ini tentu akan diadakan upacara penerimaan mereka menjadi murid atau anggauta baru. Maka mereka bersorak dengan gembira.

Sedikitnya ada seratus orang anggauta agama baru itu berkumpul di situ. Mereka adalah juga para pekerja yang membangun candi, dari para seniman pembuat arca dan pemahat yang pandai, sampai kuli-kuli angkut batu dan pelaksana pekerjaan berat lainnya. Pada malam pesta seperti itu mereka diperlakukan sama. Hal ini yang menggembirakan mereka. Pada malam seperti itu biasanya mereka berpesta pora, makan berlimpah ruah dan mereka diperbolehkan mengumbar nafsu mereka. Para anggauta itu bukan hanya laki-laki, akan tetapi juga banyak perempuannya. Kesemuanya masih muda-muda dan berkulit bersih. Bahkan banyak di antara mereka yang tampan dan cantik.

Di sudut panggung serombongan penabuh gamelan dan di atas panggung itu tampak tiga kursi. Kursi yang tengah besar dan diukir indah, sedangkan dua kursi yang mengapitnya lebih kecil dan lebih sederhana bentuknya. Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda naik ke panggung bersama Sularko dan Sawitri. Pemuda dan pemudi ini tampak seperti domba yang jinak. Kalau tadi mereka baru dibawa dari rumah mereka, keduanya seperti kehilangan semangat dan lesu, setelah diberi minum ramuan minuman seperti tuak itu, keduanya menjadi penurut dan menaati semua perintah Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Mereka ikut naik ke panggung dan ketika Ni Durgomala dan Ki Shiwananda duduk dikursi yang mengapit kursi besar, Sularko dan Sawitri juga duduk di atas lantai panggung.

Malam itu tidak seperti malam Respati lainnya. Pada malam Respati yang tidak disinari bulan purnama, pesta itu dilakukan oleh para anggauta dan dipimpin oleh dua orang tokoh agama baru itu. Akan tetapi, khusus diwaktu malam terang bulan purnama, seperti pada bulan-bulan yang lalu, Wasi Shiwamurti sendiri akan muncul dan memimpin upacara dan pesta. Para anggauta masih gaduh menyambut munculnya Sularko dan Sawitri. Ni Dewi Durgomala lalu mengangkat tangannya ke atas sambil berdiri dari kursinya, memberi isyarat agar semua orang diam tidak membuat gaduh. Semua terdiam dan suasana menjadi hening, bahkan gamelan juga dihentikan.

"Saudara-saudara para anggauta sekalian, anak-anakku yang berbahagia, seperti kalian dapat melihat sendiri, malam ini ada seorang pemuda dan seorang pemudi masuk menjadi anggauta kita. Dan pada malam hari ini, Sang Wasi Shiwamurti sebagai penjelmaan Sang Hyang Bathara Shiwa akan hadir dan memimpin sendiri upacara penerimaan murid dan pesta yang akan diadakan pada malam hari ini, untuk menyatakan syukur bahwa pembangunan candi berjalan lancar dan hampir selesai. Sekarang diminta kalian diam karena kami membutuhkan suasana hening untuk mengundang Yang Mulia Sang Wasi Shiwamurti datang ke tengah-tengah kita."

Seorang gadis cantik yang memang menjadi pembantu Ni Dewi Durgomala naik ke panggung membawa sebuah pedupaan di mana terdapat arang membara yang mengepulkan sedikit asap putih. Setelah berjongkok di depan Ni Dewi Durgomala, gadis itu meletakkan pedupaan di atasi lantai panggung. Ni Dewi Durgomala menerima sebungkus besar kemenyan dari gadis itu dan ia memberi isyarat agar gadis itu mundur!

Hanya ada Sularko dan Sawitri yang masih duduk bersimpuh di atas panggung depan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shawananda, duduk tak bergerak bagaikan telah menjadi arca. Ni Dewi Durgomala lalu membaca doa seperti orang berkidung yang terdengar aneh, makin lama semakin nyaring, kemudian ia mengambil kemenyan dan memasukkannya ke dalam bara api dipedupaan. Asap putih yang tebal mengepul dari pedupaan, terus kemenyan itu ditambah sambil membaca mantera dan asap yang mengepul semakin tebal. Tercium bau harum yang menyeramkan dari asap itu.

Semua orang membelalakkan mata karena mereka maklum, seperti yang biasa dilakukan setiap bulan purnama, Wasi Shiwamurti tentu akan datang memenuhi panggilan itu secara luar biasa. Dan benar saja, tak lama kemudian tampak bayangan berkelebat dan muncullah seorang kakek berjubah pendeta yang usianya sudah enampuluh lima tahun, berjenggot dan berkumis putih, memegang sebatang tongkat yang gagangnya terukir kepala naga, tahu-tahu telah duduk di atas kursi besar yang berada di tengah sambil tersenyum!

Ni Dewi Durgomala lalu menaburkan bunga mawar ke kaki Sang Wasi, sambil memberi hormat dan Ki Shiwananda juga memberi hormat dengan menyembah. Semua anggauta memandang dengan kagum dan hormat disertai rasa takut karena bagi mereka Wasi Shiwamurti adalah titisan Sang Hyang Shiwa sendiri. Dan mereka percaya bahwa Wasi Shiwamurti pandai menghilang dan melakukan segala macam kesaktian.

Wasi Shiwamurti lalu mengangkat tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa upacara dapat dimulai. Segera para penabuh gamelan membunyikan gamelan mereka dan suasana mendadak menjadi meriah. Seorang anggauta wanita yang cantik lalu naik ke panggung membawa seekor ayam jago putih, diikuti seorang anggauta lain yang membawa periuk dan pisau. Pisau yang tajam berkilau itu diserahkan kepada Wasi Shiwamurti sambil berlutut oleh anggauta wanitai itu. Wasi Shiwamurti lalu menggunakan pisau itu untuk menyembelih ayam jantan putih dan darahnya lalu ditampung ke dalam periuk tanah. Kemudian datang lagi seorang anggauta membawa seguci besar yang terisi tuak, dan darah ayam itu dituangkan kedalam guci, bercampur dengan tuak.

Wasi Shiwamurti membaca mantera diatas guci itu, kemudian mulailah pesta minum-minum tuak yang sudah bercampur darah. Mula-mula, Ni Dewi Durgomala yang menuangkan tuak darah itu dalam dua buah cawan, menyerahkan kepada Sularko dan Sawitri, menyuruh mereka meminumnya. Dua orang yang sudah menjadi seperti boneka hidup itu, tanpa ragu lalu minum tuak itu sampai habis, diikuti sorak sorai para anggauta. Setelah itu, setiap orang anggauta kebagian secawan tuak dan beramai-ramai mereka meminumnya. Hidangan lalu dikeluarkan dan para anggauta mulai naik ke atas panggung dan mereka mulai makan minum, disaksikan oleh Wasi Shiwamurti, Ni Dewi Durgo mala dan Ki Shiwananda sambil tertawa-tawa.

Gamelan terus dipukul gencar. Semua orang bergembira. Tuak dituangkan dan diminum dan tak lama kemudian banyak di antara mereka menjadi mabok. Ni Dewi Durgomala melaporkan kepada Wasi Shiwamurti tentang dua orang muda yang mulai malam itu masuk menjadi anggauta. Wasi Shiwamurti mengangguk-angguk senang.

"Kuserahkan kepada andika berdua untuk melatih mereka agar menjadi anggauta yang setia dan baik," kata Wasi Shiwamurti sambil tersenyum.

Dua orang muridnya itu mengangguk senang. Setelah makan minum selesai dan semua bekas pesta disingkirkan dari panggung, mulailah kini pesta menari yang dimulai dengan tarian Ni Dewi Durgomala. Wanita ini menari dengan indah dan liar, tersenyum-senyum dan ia menari di depan Wasi Shiwamurti yang menonton sambil tertawa-tawa senang, kadang kalau Ni Dewi Durgomala menari dekat, tangannya meraih dan membelai murid yang kadang juga menjadi kekasihnya itu. Karena Wasi Shiwamurti menganggap dirinya titisan Bathara Shiwa, dan Ni Dewi Durgomala sebagai titisan Bathari Durgo, maka wanita itu dianggap sebagai isterinya. Dan Ki Shiwananda yang menjadi putera angkat Wasi Shiwamurti dianggap sebagai titisan Sang Bathara Kala, putera Bathawa Shiwa.

Setelah menari beberapa lamanya, Ni Dewi Durgomala lalu berteriak kepada para anggautanya agar segera menari merayakan malam Respati bulan purnama itu. Dan mulailah tari-tarian yang gila-gilaan. Para anggauta wanita menari-nari, diikuti anggauta pria dan di panggung itu mereka menari berpasang-pasangan. Dalam keadaan mabok-mabokan mereka menari. Terjadi hal yang amat aneh, yaitu Sularko dan Sawitri yang tadinya seperti orang kehilangan semangat dan menurut saja, kinipun bangkit dan ikut pula menari!

Mereka menari sambil memejamkan mata, dengan tarian liar, asal melenggang-lenggok menurutkan irama gamelan yang dipukul gencar. Karena mereka menari berpasangan dan liar dalam keadaan setengah mabok, sebentar saja nafsu mereka memuncak, bagaikan api membakar mereka semua dan mulailah terjadi perbuatan yang tidak sopan yang tidak terkendalikan lagi. Mereka itu, laki-laki dan perempuan, mulai saling berangkulan, berciuman dan saling belai. Dan berpasang-pasangan mereka mulai turun dari panggung dan sambil menari-nari mereka pergi menjauhkan diri, mencari tempat-tempat sunyi dan gelap, membiarkan nafsu berahi menggulung dan menelan mereka.

Melihat ini, Wasi Shiwamurti lalu melempar kemenyan di atas pedupaan dan selagi asap mengepul tebal, diapun menghilang di balik asap. Ni Dewi Durgomala lalu menghampiri Sularko yang masih menari-nari, menggandeng pemuda itu, mengajaknya menari bersama kemudian mereka berdua-pun turun dari panggung dan masuk ke bagian belakang candi di mana terdapat kamar Ni Dewi Dbrgornala.

Demikian pula Ki Shiwananda. Raksasa ini menari dan menuntun Sawitri menuruni panggung. Sawitri yang seperti mabok itu hanya tertawa dan menurut saja ketika tangannya digandeng dan ia digiring masuk ke dalam kamar Ki Shiwananda yang berada di belakang candi pula. Inilah yang menarik banyak orang muda untuk memasuki perkumpulan agama baru itu. Ada pesta pora, ada mabok-mabokan lalu terjadi permainan cinta yang liar di antara mereka, dapat memilih pasangan masing-masing dan dalam keadaan mabok mereka menenggelamkan diri ke dalam lautan nafsu berahi dan melampiaskan nafsu sepuas-puasnya.

Bagaikan sebuah boneka hidup, Sularko menurut saja segala kemauan Ni Dewi Durgomala. Dia bagaikan telah kehilangan kesadarannya karena pengaruh minuman keras, juga karena ilmu sihir dan guna-guna yang dikerahkan wanita itu untuk menundukkannya. Tentu saja Ni Dewi Durgomala girang bukan main dan wanita iblis ini berpelesir sampai pagi, bersenang-senang tanpa ada yang menghalanginya. Selama semalam Sularko memenuhi semua permintaan atau perintah Ni Dewi Durgomala seperti orang yang telah kehilangan pribadinya, bahkan akal pikirannya sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Semua terjadi seperti mimpi yang tidak dapat dikuasainya.

Akan tetapi menjelang pagi, ketika Ni Dewi Durgomala yang telah kelelahan itu tertidur, berangsur-angsur lenyaplah kekuasaan yang mencengkeram dan mempengaruhi batin Sularko dan diapun mulai sadar akan keadaan dirinya. Tentu saja dia menjadi amat terkejut dan menyesal. Dengan hati-hati dan cepat dia membereskan pakaiannya dan meninggalkan Ni Dewi Durgomala yang masih tertidur. Sularko teringat akan adiknya.

Secara samar-samar, seperti dalam mimpi, dia kini teringat kembali betapa dia dan adiknya berada di rumah mereka dan akan kedatangan dua orang, yaitu Ni Dewi Durgomala dan seorang laki-laki seperti raksasa. Dia khawatir sekali akan keadaan adiknya. Kalau dia dibawa ke tempat ini tanpa diketahui, tentu adiknyapun dibawa ke sini pula. Dia lalu menyelinap keluar dari kamar itu dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di bagian belakang dari candi yang sedang dibangun. Dia menjadi bingung. Terdapat beberapa buah kamar di situ dan dia tidak tahu di kamar mana adiknya berada. Dia tahu bahwa tempat itu amat berbahaya dan di situ terdapat banyak orang sakti, maka dia tidak berani sembarangan membuka pintu kamar-kamar itu.

Sementara itu, keadaan Sawitri tidak banyak bedanya dengan keadaan kakaknya, Sularko. Bahkan sebagai seorang wanita muda, keadaan Sawitri lebih parah lagi. Seperti juga dengan Sularko, Sawitri sama sekali tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Ia hanya taat dan menurut saja apa yang dikehendaki Ki Shiwananda darinya. Iapun berada di bawah pengaruh sihir dan minuman yang mengandung obat pembius. Seperti juga Ni Durgomala, setelah kelelahan Ki Shiwananda tertidur pulas dan sedikit demi sedikit Sawitri mendapatkan kembali kesadarannya.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan sedih hatinya ketika ia mendapat kenyataan tentang dirinya yang sudah ternoda. Dengan menahan rasa sakit di badan dan hati, Sawitri yang melihat Ki Shiwananda sedang tidur mendengkur, segera membereskan pakaiannya, ia melihat sebatang keris tergantung di dinding. Dengan hati-hati diambilnya keris itu, kemudian ia menghampiri Ki Shiwananda yang sedang tidur, kemudian dengan segala kebencian yang terkandung di hatinya, ia menusukkan keris itu pada dada raksasa yang telah merusak kehormatan dirinya itu.

"Wuuutt.... takk.... !!" Sawitri terkejut sekali.

Keris itu tidak dapat menembus kulit dada yang tebal dan kebal itu. Bahkan Ki Shiwananda terbangun dari tidurnya. Melihat Sawitri memegang keris terhunus dan hendak menusuknya lagi, dia menjadi marah sekali. Tangan kirinya menampar, mengenai tangan Sawitri yang memegang keris sehingga keris itu terlepas dari tangannya dan terlempar ke atas lantai.

"Jahanam! Berani engkau mencoba membunuhku!" Ki Shiwananda melompat bangun dan dengan langkah lebar dia menghampiri Sawitri.

Gadis yang marah akan tetapi juga ketakutan ini menjerit pada saat tangan yang besar itu menyambar dan mengenai kepalanya. Tubuhnya terputar dan terbanting keras ke atas lantai dan Sawitri tidak dapat bangun kembali. Kepalanya retak terkena hantaman tangan Ki Shiwananda. Pada saat itu, Sularko berada di luar pintu kamar itu. Terkejut sekali dia ketika mendengar jerit adiknya. Dengan nekat dia lalu mendobrak daun pintu sehingga terbuka. Dia melihat Ki Shiwananda dengan pakaian tidak karuan berdiri marah dan Sawitri menggeletak di atas lantai, tak dapat gerak lagi.

"Sawitri.... !" Sularko memekik dan menubruk adiknya.

Diangkatnya kepala adiknya dan ketika dia melihat bahwa adiknya telah tewas dengan kepala mengeluarkan darah, dia menjadi marah bukan main. Lupa akan kekuatan sendiri, Sularko merebahkan kembali adiknya dan dia lalu meloncat dan menyerang Ki Shiwananda dengan pukulan tangan kanannya. Pukulan itu keras sekali karena Sularko yang amat marah itu mengerahkan seluruh tenaganya. Kepalan tangan kanannya menghantam dada Ki Shiwananda.

"Bukk.... !" Tangan Sularko terasa nyeri dan terpental seolah dia memukul dinding baja. Sebelum dia dapat menyerang lagi, Ki Shiwananda yang sudah marah telah menggerakkan tangannya, dihantamkan ke arah kepala Sularko.

"Wuuuuuttt.... prakkkk!" Sekali pukul saja retaklah kepala Sularko dan tubuhnya terpelanting. Robohlah Sularko di dekat tubuh adiknya yang sudah menjadi mayat dan diapun tewas seketika!

Mendengar suara ribut-ribut, Ni Dewi Durgomala berlari keluar dari kamarnya dan memasuki kamar Ki Shiwananda. Melihat pemuda dan gadis yang semalam menjadi permainan mereka itu menggeletak di atas lantai dan tewas, ia menegur Ki Shiwananda.

"Apa yang kau lakukan ini?"

"Terpaksa kubunuh mereka, gadis ini mencoba untuk menyerangku dengan kerisku, dan pemuda itu masuk kamar dan memukulku," jawab Ki Shiwananda dengan pendek dan masih marah.

"Ah, engkau terburu nafsu. Sekarang cepat bawa mereka keluar dan lemparkan ke Kali Mayang!"

Karena malam itu baru menjelang pagi dan suasana masih sunyi sekali, Ki Shiwananda cepat mengangkat dua buah mayat itu dan membawanya keluar dari candi. Dia menggunakan ilmunya berlari cepat dan sebentar saja ketika fajar mulai menyingsing, dia sudah tiba di tepi Kali Mayang. Dia lalu melemparkan dua mayat itu ke dalam sungai dan dua mayat itu hanyut. Setelah melihat dua mayat itu hanyut, Ki Shiwananda lalu cepat kembali ke Bulumanik dan masuk ke dalam candi.

"Bagaimana?" tanya Ni Dewi Durgomala.

"Sudah beres, mereka sudah hanyut di sungai," jawab Ki Shiwananda puas.

"Hemm, lain kali engkau harus lebih dapat menahan diri. Sejauh ini kita belum pernah membunuh secara langsung seperti itu. Kalau ada orang lain mengetahui, sungguh tidak enak sekali."

"Aku menjadi mata gelap ketika mereka berani menyerangku," Ki Shiwananda membela diri. "Biasanya, tidak ada yang bersikap seperti dua orang muda itu."

Ni Dewi Durgomala menghela napas panjang. "Itulah yang membuat mereka menjadi istimewa. Sayang kita lalai sehingga tidak mengikat kesadaran mereka lebih jauh sehingga mereka mendapatkan kesadaran dan mencoba untuk menyerangmu. Pemuda-pemuda lain kalau sadar lalu menjadi jinak seperti domba dan menjadi anggauta yang baik."

"Demikian pula gadis itu. Coba pikir, ia berani menyerangku dengan kerisku sendiri.Untung aku keburu sadar dan dapat mengerahkan aji kekebalan pada saat ia menusuk dadaku. Karena marah aku menamparnya, akan tetapi terlalu kuat sehingga ia tewas seketika. Biasanya, para gadis lain yang sudah melayani aku tidak bersikap seperti gadis itu. Dan pemuda itu agaknya hendak membela adiknya dan menyerangku, terpaksa pula kurobohkan dia dengan pukulan."

"Sudahlah, yang sudah terlanjur tak dapat diubah. Akan tetapi selanjutnya agar engkau berhati-hati, jangan sembarangan membunuh secara langsung seperti itu. Kalau sampai ada yang mengetahui, tentu akan berkurang atau bahkan hilang kepercayaan mereka kepada kita dan kita tentu akan mendapat teguran keras dari Bapa Guru Wasi Shiwamurti."

Setelah matahari mulai naik, kedua orang itu sudah sibuk lagi memimpin para pekerja yang membangun candi. Tidak ada yang tahu bahwa pagi tadi telah terjadi pembunuhan keji yang dilakukan oleh Ki Shiwananda, orang yang mereka anggap sebagai pembantu Ni Dewi Durgomala.

Sementara itu, Mbok Rondo Gati yang kehilangan dua orang anaknya, setelah pagi menggantikan malam, baru berani keluar. Ia menangis dan menceritakan kepada para tetangganya tentang dua orang anaknya yang dibawa pergi seorang laki-laki dan seorang wanita yang dapat bergerak seperti iblis cepatnya. Para tetangga tidak ada yang dapat menduga siapa yang melakukan penculikan itu, hanya menduga bahwa tentu iblis sendiri yang datang mengganggu.

Dengan bingung dan sambil menangis, Mbok Rondo Gati lalu keluar dari rumahnya dan pergi mencari-cari kedua anaknya, bertanya-tanya kepada siapa saja kalau-kalau ada yang melihat dua orang anaknya. Akhirnya ia pergi ke candi yang baru dibangun dan di situ ia mendapat keterangan dari seorang pemahat arca bahwa semalam kedua anaknya ikut berpesta di candi itu. Mbok Rondo Gati merasa girang sekali mendengar ini.

"Akan tetapi kenapa mereka sampai sekarang belum pulang? Di manakah kedua orang anakku itu?"

"Kami tidak tahu bibi, mungkin kalau bibi bertanya kepada Ni Dewi, ia akan dapat memberitahu kepada bibi ke mana perginya dua orang anak bibi itu." Orang itu lalu bekerja lagi dan tidak memperhatikan lagi kepada Mbok Rondo Gati...

SEPASANG GARUDA PUTIH JILID 07