Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 01

MALAM Jumat kliwon yang gelap pekat dan menyeramkan dalam tahun 1613. Dilereng Gunung Kawi yang sunyi sepi itu suasananya demikian angker dan menyeramkan. Sebuah pondok kayu yang berdiri di lereng sebelah timur tampak sunyi diselimuti malam. Hanya sebuah lampu gantung kecil menerangi depan pondok, sinarnya yang lemah menimbulkan bayang-bayang besar dan menakutkan, menjadikan rupa-rupa bentuk yang mengerikan. Pohon-pohon besar di sekitarnya yang tersapu angin malam tampak seolah-olah menjadi hidup dan bergerak-gerak.

“Kulik-kulik-kulik……!” Suara burung malam yang terdengar lapat-lapat menambah seram suasana dan bau kemenyan menyengat hidung. Bau kemenyan ini mengingatkan orang-orang mati dan setan iblis belasakan. Terpisah dua lereng di bawah pondok itu lapat-lapat dapat terdengar suara anjing meraung, datang dari arah dusun disana yang tampak lampunya berkelap-kelip dari lereng di pondok itu. Tentu malam itu tak seorang pun dari para penduduk dusun itu berani keluar, karena telah menjadi kepercayaan turun temurun bahwa malam Jumat kliwon adalah malamnya bangsa setan demit dan iblis yang berkeliaran di permukaan muka bumi untuk menggoda manusia.

Di dalam pondok kayu itu pun suasananya sepi sekali seolah pondok itu tidak ada penghuninya. Padahal penghuni pondok itu sedang duduk bersila di atas pembaringannya. Seorang laki-laki berusia enam puluhlima tahun, rambutnya yang sudah hampir putih semua itu digelung ke atas dan diikat kain berwarna kuning. Jubahnya seperti jubah pendeta yang berwarna putih dan hanya merupakan pakaina yang amat sederhana. Wajahnya masih tampak segar seperti wajah seorang muda saja, terutama sekali sepasang matanya yang lembut itu kadang mengeluarkan cahaya mencorong, menandakan bahwa dia seorang pendeta atau pertapa yang memiliki kesaktian dan tenaga dalam yang amat kuat.

Dari pintu kamarnya muncuk seorang pemuda yang segera duduk bersila di bawah pembaringan. Melihat pertapa itu seperti orang dalama samadhi, pemuda itu tidak berani menggangunya, hanya duduk diam seperti gurunya, bersila dan memangku kedua tangan. Tak lama kemudian keduanya sudah tenggelam ke dalam samadhi mereka dan suasana menjadi semakin sunyi.

Siapakah pendeta itu? Dia seorang pertapa yang sudah bertahun-tahun bertapa di lereng Gunung Kawi. Namanya disebut orang Bhagawan Sidik Paningal. Seorang tua yang bertubuh jangkung kurus, yang mukanya masih segar seperti muka orang muda dan wajah itu masih terdapat bekas wajah seorang pria yang tampan dan lembut. Adapun pemuda yang duduk bersila di bawah pemabaringan itu adalah Sutejo, muridnya yang terkasih.

Seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan dada yang bidang dan kedua pundak dan lengannya tampak kokoh kuat. Wajahnya tampan dengan sepasang mata lebar yang memandang dunia dengan sinar mata cerah dan penuh semangat, sepasang alisnya hitam tebal, hidungnya mancung dan mulutnya selalu mengandung senyum yang ramah. Dagunya berlekuk menambah kejantanan wajah itu, dan kulit tubuhnya juga bersih kemuning. Rambutnya panjang ditekuk dan digelung ke atas, diikat dengan sehelai kain biru. Bajunya berlengan penadek sebatas siku, celananya hitam sampai ke betis dan sehelai sarung dikalungkan di pundak kiri. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dia menghadap gurunya bersamadhi, diapun tidak berani menggangu, hanya mengikuti contoh gurunya, ikut pula bersamadhi di depan gurunya.

Tiba-tiba Bhagawan Sidik Paningal terbatuk-batuk tiga kali. Batuk yang lebih merupakan isyarat kepada muridnya yang berada di depannya bahwa dia kini sudah sadar dari samadhinya dan isyarat itupun bertanya apa keperluan muridnya memasuki kamarnya dan menghadap.

Sutejo menangkap isyarat itu dan menyembah. “Mohon maaf Bapa, bahwa saya berani menghadap dan mengganggu samadhi Bapa. Akan tetapi, Bapa, sejak senja tadi, saya merasakan sesuatu yang aneh, suasana yang berlainan sekali daripada malam-malam yang lain. Seluruh perasaan saya tergugah, bahkan batin saya merasa terkacau oleh suatu tenaga yang rahasia. Karena itu saya berani mengganggu Bapa untuk minta penjelasan apa artinya semua yang saya rasakan pada saat ini.”

“Hong wilaheng…. Andika juga merasakan itu, Sutejo? Bagus, hal itu menunjukkan bahwa andika telah memiliki kepekaan. Memang apa yang andika rasakan itu ada sebabnya, cukup. Sekarang cepatlah engkau pergi ke belakang, mengambil air jernih sepiring dan letakan piring itu di depan kita di sini. Cepat, mereka telah mulai menyerang!”

Sutejo terkejut. Siapa yang mulai menyerang? Dan menyerang bagaimana yang dimaksudkan gurunya? Akan tetapi dia tidak bertanya dan cepat melaksanakan perintah gurunya, mengambil air jernih dalam sebuah piring yang dibawanya masuk lagi ke kamar gurunya lalu meletakkan piring itu di atas lantai di antara mereka.

“Bagus! Sekarang mari kita bersamadhi lagi dan kerahkan seluruh tenaga batinmu untuk melindung dirimu dari marabahaya. Kerahkan aji kekebalanmu seolah engkau berhadapan dengan musuh yang hendak menikam tubuhmu. Dan jangan banyak bertanya, lakukan saja apa yang kukatakan.”

“Sendhika, Bapa Guru.” Sutejo tidak bertanya-tanya, melainkan sepenuhnya menaati perintah gurunya. Dia bersila lagi dan bersamadhi mengumpulkan seluruh akal pikirannya dan mengerahkan aji kekebalan untuk melindungi tubuhnya.

“Kulik-kulik-kulik......!” Burung malam itu seperti terbang melewati atas pondok mereka sambil mengeluarkan bunyi yang mengerikan itu.

Akan tetapi Sutejo tidak memperdulikan suara itu dan tetap tenggelam ke dalam samadhinya. Terdengar pula raungan anjing di kejauhan dan kelepak sayap burung di atas rumah, lalu bunyi seperti dua batang tulang dipukul-pukulkan, “Tek-tek-tek-tek!” Menurut dongeng tahyul itu adalah suara setan tetekan.

Akan tetapi semua itu tidak menggoyahkan Sutejo yang tetap tenang dalam samadhinya. Bau kembang menyan semakin menyentuh hidung dan tiba-tiba Sutejo merasa dadanya dan lehernya tertusuk sesuatu yang runcing. Akan tetapi aji kekebalannya menolak tusukan itu dan terdengar suara nyaring berdenting di depannya, di atas piring terisi air jernih itu. Sampai beberapa kali peristiwa itu berulang, namun semua tusukan tidak ada yang mempan ketika mengenai kulit tubuh Sutejo yang sudah dilindungi aji kekebalan Kawoco (Baju Besi) itu.

Kemudian sunyi kembali dan terdengar Bhagawan Sidik Paningal terbatuk tiga kali. Sutejo membuka matanya dan yang pertama kali dilihatnya adalah piring terisi air jernih itu. Dan di dalam air itu, tampak jelas adanya beberapa batang jarum dan paku berserakan di dalam piring! Bhagawan Sidik Paningal membuat gerakan dan ternyata kakek itu melemparkan dua batang cundrik (keris kecil) dari atas pembaringan. Dua batang cundrik itu jatuh ke atas lantai dekat piring dan Sutejo melihat betapa ujung kedua batang cundrik itu berwarna biru kehitaman, tanda bahwa dua batang senjata kecil itu mengandung racun yang amat berbahaya.

“Sadhu-sadhu-sadhu-sadhu...! Keji sekali orang yang menyerang kita dengan ilmu hitamnya.”

Suetjo terbelalak. “Kita diserang orang, Bapa? Jadi beginikah orang menyerang dengan gelap dengan ilmu santet?” Sutejo pernah diceritakan gurunya tentang ilmu hitam dan ilmu santet akan tetapi baru sekarang ini dia menyaksikan sendiri karena diapun menjadi sasaran serangan santet!

Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk. “Bawalah semua itu ke belakang dan tanam dua batang cundrik dan semua paku dan jarum itu ke dalam tanah.”

Tanpa bicara Sutejo melaksanakan perintah gurunya lalu dia duduk kembali di hadapan gurunya.

“Akan tetapi, Bapa. Bukankah Bapa dulu pernah mengatakan bahwa serangan ilmu hitam seperti itu dapat ditangkis dan semua serangannya dapat dikembalikan kepada penyerangnya? Kenapa Bapa malah memerintahkan saya untuk mengubur semua senjata rahasia itu?”

“Kulup, membalas kejahatan dengan kejahatan pula adalah perbuatan sesat. Mereka menyerang dengan santet kepada kita, hal itu jelas merupakan kecurangan dan kejahatan. Kalau sekarang kita menyerang mereka dengan cara yang sama, bukankah itu berarti keadaan kita tidak sama dengan mereka? Tidak, muridku. Dan ingatlah bahwa selama hidupmu engkau tidak boleh melakukan penyerangan dengan ilmu santet yang jahat dan curang itu.”

“Lalu, kalau demikian, apakah kita harus mendiamkan saja perbuatan jahat orang terhadap kita?”

“Jangan khawatir akan hal itu. Yang menjerat seseorang, yang membalas seseorang adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Aku percaya bahwa besok pagi penyerangnya sendiri akan datang ke sini. Sekarang beristirahatlah engkau, Sutejo karena besok akan terjadi hal-hal menegangkan yang mungkin akan menguras tenaga kita. Jangan khawatir, biasanya serangan ilmu hitam yang tidak mengenai sasaran tidak akan diulangi dalam semalam. Tidurlah.”

“Sendhika, Bapa.” Suetjo lalu memasuki kamarnya sendiri. Pondok kayu sederhana itu memang hanya memiliki dua buah kamar yang bersebelahan. Biarpun baru saja menghadapi peristiwa yang menegangkan, namun begitu Sutejo mengambil keputusan untuk menaati gurunya dan tidur, maka segera dia tertidur lelap.

********************

Matahari pagi muncul dengan megahnya. Sinarnya sejak subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Embun pagi bergantungan di ujung-ujung daun bambu. Kabut mulai berterbangan, seolah takut menghadapi sinar matahari yang semakin terang. Burung-burung berkicau dari dahan ke dahan, tampak sibuk dan cerewet dalam persiapan mereka untuk mencari makan hari itu. Tidak lama lagi celoteh mereka akan terhenti dan mereka akan berterbangan ke segenap penjuru untuk mencari makan. Sinar matahari mulai menyusuri tebing-tebing dan jurang-jurang di pegunungan kawi, menjenguk semua celah dan menghidupkan segala yang tampak di permukaan bumi.

Sutejo telah bangun sejak ayam jantan berkokok tadi. Dia sudah sibuk bekerja, mengambil air dari sumber dan memenuhi semua gentong dan tempayan tempat air, lalu memasak air untuk membuatkan minuman bagi gurunya. Ketela dan pohung yang diambilnya kemarin masih bersisa banyak dan dia tahu bahwa gurunya suka sekali makan ketela dan pohung yang dibakar, maka diapun membakar beberapa butir pala-kependam itu. Gurunya hanya minum air teh yang encer, tanpa gula. Sambil bekerja, Sutejo selalu waspada. Dia tidak lupa akan kat-kata gurunya bahwa para penyerang gelap dengan ilmu hitam semalam, hari ini tentu akan muncul. Setelah selesai semua pekerjaannya, dia cepat mandi dengan air dingin sehingga tubuhnya terasa segar dan penuh semangat.

Gurunya juga terbangun dan segera pergi ke tempat pemandian di mana telah tersedia air setempayan besar penih. Setelah Bhagawan Sidik Paningal duduk di pendopo rumah itu seperti biasa setiap pagi, Sutejo lalu menghidangkan ketela dan pohung bakar dengan air teh. Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk tanda senangnya hati lalu mulai sarapan sederhana itu. Dia menawarkan kepada Sutejo dan pemuda ini pun menemani gurunya sarapan pagi.

Sinar matahari telah mulai menyentuh pelataran rumah itu ketika mereka melihat datangnya tiga orang itu. Sutejo memandang dengan penuh perhatian. Dia tidak mengenal tiga orang itu. Yang seorang adalah seorang pendet yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata harimau. Pendeta ini berusia kurang lebih enam puluh tahun dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam. Orang kedua juga seorang laki-laki tinggi besar yang kumisnya melintang sekepal sebelah, tampak gagah dan juga seram. Dipundaknya tergantung sebatang golok yang sarungnya terukir indah. Adapun orang ketiga bertubuh kecil pendek, berusia kurang dari orang kedua, paling banyak lima puluh tahun dan dia tampak gesit dan cekatan. Dipinggangnya terselip sebatang keris dan tiga batang pisau belati telanjang.

“Kakakng Sidik Paningal!” Pendeta itu berseru memanggil dengan suaranya bukan mengandung salam, melainkan mengandung teguran.

“Ah, andhika yang datang. Adi Jaladara dan tidak tahu siapakan andika, dua orang yang datang bersama adi Jaladara?” tanya Bhagawan Sidik Paningal dengan suara lembut dan wajah mengandung keramahan.

“Aku bernama Ki Warok Petak!” kata orang tinggi besar yang berkumis tebal.

“Dan aku adalah Ki Baka Kroda!” kata orang yang bertubuh kecil pendek. Sikap kedua orang ini ketika memperkenalkan diri begitu angkuh seolah memperkenalkan nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi Sutejo belum pernah mendengar nama-nama itu, bahkan nama Bhagawan Jaladara juga belum pernah didengarnya.

“Selamat datang dan selamat pagi adi Jaladara dan kalian. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Mari silakan duduk dan membagi sarapan pagi sekedarnya ini bersamaku.” Kata bhagawan Sidik Paningal dengan suara ramh dan tidak dibuat-buat.

Akan tetapi tiga orang itu tetap berdiri dengan kaki terpentang lebar dan sikap menantang. Bhagawan Jaladara mengelus jenggotnya yang panjang dan alisnya berkerut, mulutnya cemberut sebelum dia menjawab dengan suara yang kaku.

“Kakang Sidik Paningal, andika tentu tahu bahwa kunjunganku ini bukan untuk sarapan pohung bersamamu dan bukan untuk mengobrol denganmu!”

Bhagawan Sidik Paningal masih sabar dan senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang cerah dan berseri itu. “ Kalian bukan untuk itu, apakah andika berkunjung untuk membicarakan peristiwa semalam. Adi Jaladara?”

Wajah yang sudah hitam itu berubah semakin hitam dan matanya yang mencorong itu mengeluarkan sinar berapi ketika dia meluruskan lehernya dan menatap wajah Bhagawan Sidik Paningal dengan alis berkerut.

“Peristiwa semalam tidak perlu dibicarakan lagi. Andika telah dapat menangkis serangan kami, akan tetapi pagi hari ini, kalau andika tetap tidak mau mendengarkan saran kami, terpaksa kami akan bertindak keras dan tidak memberi ampun kepadamu.”

“Hmm, Adi Jaladara. Coba ulangi apa saranmu itu. Aku sudah hampir lupa.” Kata Bhagawan Sidik Paningal dengan sabar.

“Lupa atau pura-pura lupa? Kami mendengar bahwa andika mulai tertarik dan mempelajari agam baru, berarti andika mengingkari guru kita dan melupakan agama sendiri. Kedua, andika telah menolak untuk diajak bekerja sama membantu Bupati Wirosobo.”

“Ah, itukah yang kau maksudkan? Adi Jaladara, aku adalah seorang manusia yang bebas untuk mempelajari agama apapun juga dan aku melihat bahwa Agama Islam tidak menyimpang dari ajaran-ajaran lama. Bukan berarti aku melupakan agama sendiri. Siapapun tidak berhak untuk melarang aku mempelajari Agama Islam. Bahkan kalau andika mau, ada baik sekali kalau andika juga mempelajarinya sehingga andika akan dituntun kembali ke jalan benar, meninggalkan jalan dursila.”

“Pengkhianat! Andika memburuk-burukkan agam sendiri dan memuji agama baru?”

“Bukan, karena yang jahat dan baik itu bukan agamanya, melainkan manusianya. Semua agama mengajarkan kebajikan, namun manusianya sendiri yang mengingkari semua pelajaran itu dan terperosok ke jalan sesat. Apakah kau kira Sang Hyang Widhi akan meridhoi jalan yang kau tempuh semalam, mengirim santet untuk menyerang orang secara rahasia dan pengecut? Sadarlah, Adi Jaladara bahwa jalan yang kau tempuh itu sesat dan keliru.”

“Babo-babo, kakang Sidik Paningal. Kata-katamu semakin membakar hatiku. Sekarang katakanlah apakah andika tetap tidak mau bekerja sama untuk membantu Bupati Wirosobo. Bukankah kita berasal dari daerah Wirosobo? Andika tidak mau membantu bahkan memusuhi daerah sendiri?”

“Kalau Wirosobo mengadakan usaha untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya dengan pembangunan, dengan senang hati aku akan membantu. Akan tetapi kalau diajak untuk memberontak terhadap Mataram, terima kasih, aku tidak suka bekerja sama!”

“Bagus, berarti andika menantang kami!”

“Adi Jaladara, aku adalah kakak seperguruanmu, bagaimana aku akan menantangmu. Aku tidak menantang siapapun juga, akan tetapi juga tidak akan undur selangkahpun kalau ditantang orang.”

“Baik, kalau begitu mari kita putuskan urusan ini dengan mengadu kesaktian!” kata Bhagawan Jaladara sambil membantingkan tongkat hitamnya ke atas tanah. Tampak debu mengepul dan….. tongkat hitam itu telah berubah menjadi seekor ular hitam yang besar dan ular itu menghampiri Bhagawan Sidik Paningal dengan sikap mengancam, mendesis-desis dan menjulurkan lidahnya yang merah.

Dengan tenang Bhagawan Sidik Paningal melepaskan kain pengikat rambutnya dan melemparkan kain itu ke arah ular yang siap menyerangnya sambil berseru dengan suara lembut namun amat berwibawa, “Kembalilah ke asalmu!” Kain pengikat rambut mengenai ular dan kembalilah ujud ular itu menjadi tongkat hitam dan sekali Bhagawan Sidik Paningal menjulurkan tangan kanan, kain pengikat rambut berwarna kuning itu terbang ke arah tangannya!

Bhagawan Jaladara tidak mau kalah. Dia pun menjulurkan tangan kanannya dan tongkat itu terbang ke tangannya.

“Kakang Bhagawan Jaladara, biarkan aku yang lebih dulu maju menghajar orang tua yang keras kepala ini!” tiba-tiba Ki Baka Kroda yang bertubuh kecil pendek dan yang gerak geriknya gesit itu meloncat ke depan dan melolos kerisnya yang tidak berlekuk akan tetapi cukup panjang itu. “Hayo, Bhagawan Sidik Paningal, kita mengadu kedigdayaan!”

Bhagawan Sidik Paningal memandang Ki Baka Kroda itu seperti seorang guru memandang muridnya yang sombong. Pada saat itu, Sutejo sudah melangkah ke depan. “Maaf, Bapa Guru. Mereka datang bertiga menantang Bapa, sungguh tidak adil. Karena itu perkenankan saya mewakili Bapa menghadapi lawan yang sombong ini!”

Bhagawan Sidik Paningal mengangguk-anggukkan kepalanya, “Boleh, untuk latihan bagimu, Sutejo. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau melukai parah apa lagi membunuhnya.”

“Sendhika, Bapa. Saya mengerti bahwa ilmu yang saya pelajari bukan untuk menyiksa atau membunuh orang.” Kata Sutejo dan dia sudah melangkah maju menghadapi Ki Baka Kroda sambil mengikatkan sarungnya di pinggang. Pemuda ini tidak memegang senjata apapun, akan tetapi melihat lawannya memegang keris, diapun melepaskan pengikat kepalanya yang berwarna biru dan membiarkan rambutnya terlepas dan berjuntai disekeliling pundaknya.

“Ki Baka Kroda, kalau andika memang ingin mengadu kesaktian, akulah lawanmu mewakili Bapa Guru. Nah, mulailah!” Kata Sutejo sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kain pengikat kepala yang panjangnya sama dengan lengannya itu terpegang di tangan kanannya. Dia memegang sudut kain itu dan begitu diputar, kain itu menjadi segulungan kain yang keras.

“Bocah sombong, engkau sudah bosan hidup! Makanlah senjataku!” tiba-tiba Ki Baka Kroda berseru keras dan dia sudah menyerang dengan kerisnya, menubruk dan keris itu meluncur ke arah dada Sutejo yang bidang. Namun biarpun gerakan Ki Baka Kroda ini sangat cepat, gerakan Sutejo lebih cepat lagi. Pemuda itu mengelak ke kiri dan dari situ dia menggerakkan tangan kanannya. Gulungan kain pengikat kepala itu berubah menjadi sinar biru yang mencuat dan memukul ke arah hidung Ki Baka Kroda. Orang ini terkejut sekali karena sambaran kain itu mendatangkan angin yang kuat! Dia melompat ke belakang dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat tiga kali dan tiga batang cundrik melayang dan menyambar ke arah leher, dada dan perut Sutejo!

Pemuda itu agak terkejut juga, karena serangan itu mendadak dan tidak terduga-duga datangnya! “Curang!” serunya dan tubuhnya sudah melesat ke samping sehingga tiga batang cundrik itu lewat dan tidak mengenai tubuhnya.

Sutejo kini balas menyerang dengan kain pengikat kepalanya. Biarpun kain itu lemas, namun di tangannya dapat berubah menjadi kaku dan gulugan kain itu berubah seperti sebatang tongkat, atau tombak. Dari gurunya dia memang mendapat gemblengan menggunakan kain pengikat kepala ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dan ilmu silat yang dimainkannya dengan kain itu disebut Sihung Nila (Taring Biru). Begitu Sutejo menggerakkan senjatanya itu dan memainkan Sihung Nila, Ki Baka Kroda segera terdesak hebat. Kain itu berubah menjadi gulungan sinar biru yang mengepungnya dari segenap penjuru sehingga dia hanya menggunakan kerisnya untuk menangkis saja, sambil mengelak kesana ke mari.

Setelah lewat lima puluh jurus, Sutejo sudah merasa cukup. Melihat keris lawannya menyambar ke arah dadanya, dia cepat mengerahkan aji kekebalan Kawoco. “Tukk!” keris itu mengenai dadanya akan tetapi tidak dapat menembus kulit dadanya. Ki Baka Kroda terkejut bukan main dan pada saat itu, sinar biru menyambar dan mengenai lehernya. Ki Baka Kroda terbanting dan terpelanting roboh!

Dengan kepala agak pening, Ki Baka Kroda bangkit berdiri, akan tetapi dia maklum bahwa dia telah kalah. Kalau nekat maju lagi, tentu akan mengalami kekalahan kedua dan tidak mau dia menjadi bahan tertawaan. Sambil bersungut-sungut dia lalu mundur ke sebelah Sang Bhagawan Jaladara seperti minta bantuannya.

“Babo-babo, muridmu telah dapat mengalahkan seorang rekanku, kakang Sidik Paningal. Sekarang mari kita yang tua sama tua maju untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang.” Kata Bhagawan Jaladara sambil memalangkan tongkat hitamnya di depan dada.

Bhagawan Sidik Paningal bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di depan adik seperguruannya. “Adi Jaladara, sejak kecil kita sudah sama-sama digembleng oleh Bapa Guru Resi Limut Manik di puncak Semeru, apakah setelah tua begini kita sama-sama mempergunakan semua ilmu itu untuk saling serang, hanya karena kesalah fahaman sekecil ini? Kalau andika hendak membantu Bupati Wirosobo, silakan dan jangan bawa-bawa aku. Dan tentang agama baru yang kupelajari, engkau tidak perlu memusingkan hal itu karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Adi Jaladara, apakah kita tidak dapat menyudahi saja pertikaian ini, dan menghindarkan diri dari buah tertawaan orang sedunia bahwa ada kakek dan adik seperguruan saling hantam di sini? Apakah hal ini tidak akan menurunkan derajat dan wibawa Bapa Guru Resi Limut Manik?”

“Kakang Sidik Paningal! Kalau engaku berkecil hati dan takut menghadapi aku, lebih baik engkau memenuhi saranku dan mari kita sama-sama membantu Kabupaten Wirosobo sehingga suka duka akan kita alami bersama.”

“Adi Jaladara, seorang pertapa seperti aku ini sudah tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk mencapai kemahsuran, kemuliaan dan kedudukan. Engkau berangkatlah dan lakukan sendiri dan aku akan tinggal bertapa di sini memisahkan diri dari keramaian dunia.”

“Andika berkukuh, kakang Sidik Paningal?”

“Engkau yang berkukuh. Adi Jaladara karena andika yang hendak memaksakan kehendak.”

“Babo-babo, kalau begitu tidak ada jalan lain kecuali memutuskannya dengan mengadu kesaktian!”

“Terserah kalau andika menghendaki demikian.”

“Kakang Sidik Paningal, agaknya saat ini sudah merupakan waktunya bagimu untuk meninggalkan dunia ini! Awas serangan tongkatku!” Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara mengirim serangan hebat. Serangan itu datangnya dahsyat bukan main, mendatangkan angin menderu tanda bahwa tongkat di gerakan oleh tenaga yang amat dahsyat. Sutejo sendiri sampai terkejut melihat hebatnya serangan dari Paman gurunya yang baru pertama kali dijumpainya.

Bhagawan Sidik Paningal cepat mengelak dan seperti juga Sutejo, pendeta ini mengandalkan ikat kepalanya sebagai senjata untuk membela diri. Dia melepaskan kain pengikat kepala dan membiarkan rambutnya yang sudah hampir putih itu terjurai. Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara kakek bersama adik seperguruan itu. Demikian hebatnya perkelahian itu sehingga debu mengebul tinggi dan daun-daun pohon yang terletak di sekitar tempat perkelahian itu bergoyang-goyang dan banyak daun kuning rontok seperti dilanda angin besar. Sutejo dapat merasakan pula sambaran angin pukulan yang dahsyat dari kedua orang sakti itu.

Setelah mereka bertanding selama hampir satu jam, dari kepala kedua orang kakek itu mengepul uap putih dan keduanya sudah mandi keringat. Agaknya ilmu kepandaian mereka memang setingkat. Akan tetapi, perlahan namun pasti, Bhagawan Jaladara mulai terdesar. Kain pengikat kepala berwarna kuning itu telah berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang kuning warnanya dan agaknya sinar ini menembus semua pertahanan Bhagawan Jaladara sehingga dia kehilangn dan keseimbangan dan terus terdesak mundur.

Pada suatu saat, ketika tongkat hitm menyambar ke arah kepala Bhagawan Sidik Paningal, kain kuning itu meluncur dan menangkis lalu melibat tongkat sehingga tidak mampu dilepaskan lagi. Melihat ini Bhagawan Jaladara lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia memukul dengan tangan kirinya ke arah kepala kakak seperguruannya. Akan tetapi Bhagawan Sidik Paningal sudah waspada, diapun mengangkat lengan kirinya ke atas sambil mengerahkan tenaga.

“Wuuuuutttt….. desss…..!” Dua lengan kini bertemu dan akibatnya, tubuh Bhagawan Jaladara terhuyung ke belakang kemudian roboh terjengkang. Dari mulutnya mengalir darah. Adapun tubuh Bhagawan Sidik Paningal hanya terguncang dan mukanya berubah pucat.

Dengan bantuan tongkatnya Bhagawan Jaladara bangkit berdiri dan pada saat itu, Ki Warok Petak yang tinggi besar berkumis tebal itu sudah menerjang dan membacokan goloknya dari samping ke arah kepala Bhagawan Sidik Paningal.

“Sadhu-Sadhu-Sadhu!” Sang Bhagawan berseru dan sekali dia mengangkat lengan kirinya dia sudah berhasil menangkap golok itu dan sekali rengut golok itu berpindah tangan lalu dipatahkan oleh jari-jari tangan sang Bhagawan yang sakti. Ki Warok Petak memandang dengan mata terbelalak dan tidak berani bergerak lagi.

Bhagawan Jaladara membuang tongkat hitamnya dan dia melolos sesuatu dari pinggangnya, lalu menghampiri Bhagawan Sidik Paningal sambil membentak dengan suara yang masih nyaring, “Sidik Paningal, lihat pusaka ini. Beranikah andika menentangnya?”

Bhagawan Sidik Paningal menengadah untuk melihat benda itu. Seketika mukanya menjadi pucat dan cepat dia berlutut dan menyembah ke arah pecut itu. Sebatang pecut yang panjang, gagangnya terbuat dari gading gajah dan pecut itu terbuat dari benang semacam lawe yang panjangnya ada dua meter.

“Saya tidak berani…” kata Sang Bhagawan Sidik Paningal ketika melihat pecut itu. Dia segera mengenal cambuk itu yang bukan lain adalah Pecut Sakti Bajrakirana, pusaka milik gurunya. Gurunya pernah memesan kepada para muridnya bahwa siapa yang kelak memiliki pecut itu, dialah orangnya yang menggantikan kedudukan gurunya dan harus ditaati oleh para murid lain! Dan sekarang, pecut itu berada di tangan Bhagawan Jaladara. Sebagai seorang murid yang amat hormat dan patuh kepada gurunya, yaitu Sang Resi Limut Manik di puncak Semeru, Bhagawan Sidik Paningal segera memberi hormat dan menyembah ketika melihat pecut wasiat itu.

“Hemm, engkau murid yang tidak patuh! Pecut pusaka sudah berada di tanganku dan engkau masih belum juga mau menuruti perintahku? Sidik Paningal, mulai sekarang aku perintahkan kepadamu untuk meninggalkan agama baru dan untuk membantu Bupati Wirosobo. Bagaimana, apakah engkau masih berani membangkang!”

“Saya tidak berani membangkang, akan tetapi dahulu Bapa Guru sudah memberi peringatan agar kita jangan sampai terlibat dalam perang saudara. Karena itu aku tetap tidak dapat membantu Bupati Wirosobo kalau dia ingin memberontak terhadap Mataram!”

“Kurang ajar!” Bhagawan Jaladara lalu menggerakan kakinya menendang.

“Desss...!” Tubuh Bhagawan Sidik Paningal tertendang seperti bola, terlempar dan jatuh bergulingan karena dia sama sekali tidak berani melawan, juga tidak berani mengerahkan aji kekebalannya. Bibirnya pecah dan berdarah, akan tetapi dia bangkit duduk dan berlutut lagi menghadap Bhagawan Jaladara yang masih memegang pecut di atas kepalanya.

“Andika masih tidak mau menurut?” Bentaknya.

“Sampai mati saya tidak akan dapat membantu kabupaten yang hendak memberontak terhadap Mataram. Bapa Guru sudah berpesan agar kita semua membantu Mataram, bukan melawannya.”

“Tar-tar-tarrrr….!” Cambuk itu meledak-ledak di udara lalu meluncur turun ke arah tubuh Bhagawan Sidik Paningal. Pakaian pendeta itu tercabik-cabik dan kulit tubuhnya robek berdarah. Namun Bhagawan Jaladara tidak peduli dan masih mencambuki terus.

“Tar-tar-tar-tar-tarrrr….!” Tubuh Bhagawan Sidik Paningal bergulingan dan seluruh tubuhnya mandi darah.

Melihat ini, Sutejo tidak dapat tinggal diam lagi. Dia melompat dan berusaha merampas pecut itu dari tangan Bhagawan Jaladara, akan tetapi sebuah tendangan dari paman gurunya itu membuatnya terjungkal. Dan sebelum dia mampu bangkit, Ki Warok Petuk dan Ki Baka Kroda sudah mengeroyoknya dan memukulinya. Dia dijadikan bola oleh kedua orang itu, jatuh bangun dan bengkak-bengkak.

“Cukup!” Kata Bhagawan Jaladara kepada dua orang pembantunya. Mereka melepaskan Sutejo yang terkulai roboh ke atas tanah, setengah pingsan. Akan tetapi pemuda ini menggoyang kepalanya mengusir kepeningan dan dia memandang kepada gurunya yang kini bagaikan seonggok daging yang berdarah.

“Bapa Guru….!” Dia merangkak mendekati, lalu merangkul gurunya yang seluruh tubuhnya sudah bermandikan darahnya sendiri.

“Sutejo….kita….tidak…..boleh…..me…lawan…..” kata gurunya terputus-putus.

“Sidik Paningal, sekali lagi kuperingatkan. Kalau dalam waktu sebulan ini engkau belum datang ke Kabupaten Wirosobo, aku akan datang dan mewakili Bapa Guru untuk membunuhmu!” Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara meninggalkan tempat itu bersama dua orang rekannya.

“Bapa…..!” Sutejo merangkul lalu memondong tubuh gurunya yang basah oleh darah itu, diangkatnya masuk ke dalam rumah pondok walaupun tubuhnya sendiri penuh luka dan semua bagian tubuh terasa nyeri.

Akan tetapi kakek pendeta itu tidak menjawab karena dia sudah jatuh pingsan di atas pembaringannya. Biarpun tubuhnya sendiri penuh luka, namun Sutejo tidak memperdulikan dirinya dan dengan tekun dia merawat dan mengobati luka-luka cambukan yang diderita gurunya. Dia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya. Dia mencari biji pinang, daun piciran, bawang merah, gula aren dan arang kayu. Semua ini diaduk dan dipergunakan untuk mengobati luka-luka ditubuh gurunya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Setelah seminggu luka-luka di seluruh tubuh gurunya itupun menjadi kering dan sembuh. Tubuh Sutejo sendiri adalah tubuh yang kuat dan sehat, maka luka-luka yang dideritanya sendiri dengan mudah saja diobatinya dan dalam waktu yang tiga hari luka-luka itu pun sembuh. Untung bahwa Bhagawan Jaladara tidak berniat untuk membunuh mereka sehingga mereka tidak menderita luka dalam, hanya luka di kulit saja. Adapun Sutejo ketika dipukuli dua orang kawan Bhagawan Jaladara telah mengerahkan ilmu kekebalannya Kawoco sehingga diapun tidak menderita luka dalam.

Pada hari ke delapan, seperti biasa Bhagawan Sidik Paningal sudah bangun dari tidurnya dan bersama muridnya dia sarapan pagi. Keadaan mereka biasa saja seolah tidak pernah terjadi sesuatu.

“Bapa, Bolehkah saya bertanya!”

“Tentu saja, Sutejo. Apakah yang hendak kau tanyakan itu!”

“Bapa tidak kalah ketika melawan Bhagawan Jaladara itu…..”

“Hemm, dia itu paman gurumu, maka engkau juga sepatutnya menyebut dia Paman Guru.”

“Baiklah, Bapa. Bapa tidak kalah melawan Paman Guru Jaladara, akan tetapi mengapa Bapa mandah saja dan sama sekali tidak melawan ketika dia mengeluarkan cambuk itu! Apa artinya itu, Bapa?”

Bhagawan Sidik Paningal menghela napas panjang. “Cemeti itu disebut Pecut Sakti Bajrakirana dan pecut itu adalah pusaka milih Bapa Guru Resi Limut Manik di puncak Semeru. Guruku itu mempunyai tiga orang murid. Yang pertama bernama Bhagawan Sindusakti yang kini bertapa di pantai Laut Kidul di daerah Pacitan. Murid kedua adalah aku sendiri, dan Bhagawan Jaladara itu adalah murid ke tiga. Guruku pernah mengatakan kepada kami bertiga bahwa pecut sakti bajrakirana adalah senjata pusaka guruku semenjak beliau masih muda dan memesan pula bahwa kelak siapa yang memegang pecut itu dialah pengganti guru dan harus ditaati segala perintahnya. Nah, hari itu Bhagawan Jaladara mengeluarkan pecut itu! Tentu saja aku tidak berani menentangnya.”

“Akan tetapu apakah Eyang Guru itu masih hidup, Bapa?

“Setahuku masih, karena kalau beliau sudah meninggal dunia, tentu ada yang memberi kabar kepadaku.”

“Akan tetapi kalau Eyang Guru masih hidup, mengapa pecut sakti itu diserahkan kepada Paman Guru Jaladara dan dia pergunakan untuk memaksa Bapa untuk membantu kabupaten Wirosubo?”

Kembali Bhagawan Sidik Paningal menghela napas panjang. “Bapa Guru biasanya bertindak secara bijaksana sekali, maka aku sendiripun merasa heran mengapa Cambuk Sakti Bajrakirana dapat berada di tangan Jaladara. Karena itu, aku mewakilkan kepadamu untuk melaksanakan penyelidikan akan hal itu, Sutejo. Pergilah engkau ke puncak Semeru dan pergi menghadap eyang gurumu, ceritakan apa yang terjadi di sini. Kalau Adi Jaladara memiliki pecut itu secara tidak semestinya, engkau harus membantu eyang guru untuk merampasnya kembali.”

“Akan tetapi Bapa Guru, bagaimana saya akan dapat merampasnya kembali dari tangannya? Paman Guru Jaladara demikian sakti, sedangkan saya…..”

“Percayalah, dalam hal kesaktian, engkau tidak kalah olehnya. Hanya karena dia memiliki ilmu pukulan yang disebut Aji Gelap Musti, kiranya engaku tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi sebelum engkau pergi akan kulatih ilmu itu agar dapat menandinginya kalau engkau berkelahi melawannya.”

“Dan Bagaimanakan dengan Kabupaten Wirosubo itu Bapa? Saya masih tidak mengerti mengapa Paman Guru hendak memaksa Bapa untuk membantu kabupaten itu. Benarkah bahwa kabupaten itu hendak memberontak terhadap Mataram?”

“Ketahuilah keadaan Mataram pada saat ini, Sutejo. Engkau tentu sudah mendengar pula betapa selama pemerintahan Mas Jolang atas yang kemudian disebut Sang Prabu Sedo Krapyak karena beliau wafat di Krapyak, di mana-mana terdapat pemberontakan. Terutama sekali di bagian timur yang didukung oleh Adipati diSurabaya dan disokong pula oleh Sunan Giri. Daerah-daerah seperti Ponorogo, Kertosono, Kediri, Wirosobo (Mojoagung) beramai-ramai bangkit dan memberontak. Biarpun sebagian dari mereka itu sudah ditundukkan kembali oleh Mas Jolang, namun setelah beliau wafat, daerah-daerah itu kembali bergolak. Kini yang menjadi pengganti Mas Jolang adalah puteranya, yaitu Pangeran Raden Mas Rongsang yang setelah dinobatkan menjadi raja Mataram lalu bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman (1613-1645).”

“Saya sudah mendengar akan semua itu, Bapa.”

“Beliau disebut pula Sang Prabu Pandan Cokrokusumo dan disebut pula sebagai Sultan Agung. Dalam usianya yang masih muda ketika dinobatkan, beliau sudah harus berhadapan dengan daerah-daerah yang bergolak dan memberontak dan di antara daerah-daerah itu, kabupaten Wirosobo juga memberontak. Nah, Paman Gurumu itu membela kabupaten Wirosobo dan memaksaku untuk membantu pula. Akan tetapi, aku teringat akan pesan Eyang Gurumu, bahwa kita harus membantu Mataram, tidak boleh melibatkan diri dalam pemberontakan. Nah, demikianlah keadaan kerajaan Mataram pada saat ini, Sutejo. Engkau harus berjanji pula kepadaku bahwa engkau akan membela Mataram dari para pemberontak. Setelah engkau berhasil merampas kembali pecut sakti Bajrakirana dan mengembalikanny kepada Eyang Gurumu, engaku harus mengabdikan dirimu kepada Mataram, Dengan demikian, tidak sia-sialah selama ini aku mengajarkan semua ilmu itu kepadamu.”

“Sendhika dawuh, Bapa Guru. Saya akan menaati semua perintah Bapa.”

“Bagus, Nah, sekarang marilah engakau kulatih dengan Ilmu Gelap Musti. Kalau engkau sudah menguasai ilmu itu, engkau tidak perlu takut lagi menghadapi Bhagawan Jaladara. Waktunya tidak banyak. Sebelum satu bulan lewat, engkau harus sudah dapat merampas pecut wasiat itu. Kalau Adi Jaladara sudah tidak mempunyai pecut sakti bajrakirana, dia tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadap diriku.”

Demikianlah, mulai hari itu sampai dua pekan lamanya, Sutejo melatih diri dengan Aji Gelap Musti. Karena dia memang amat berbakat dan dia sudah memiliki dasar yang kokoh dan kuat, maka dalam waktu dua pekan saja dia sudah dapat menguasai ilmu itu dengan sempurna. Setelah itu, berangkatlah dia menuju ke puncak Gunung Semeru untuk pergi menghadap Eyang Gurunya, yaitu Sang Resi Limut Manik yang bertapa di puncak gunung besar itu, sesuai dengan petunjuk gurunya.

********************

Sultan Agung yang tadinya bernama Pangeran Raden Mas Rangsang dan yang kemudian diangkat menjadi raja menggantikan pamannya yang telah wafat, bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman (1613-1645) masih cukup muda ketika dinobatkan menjadi raja di Mataram. Usianya baru tiga puluh tahun dan dia telah mempunyai beberapa orang putera dan puteri yang berusia sekitar tujuh sampai sepuluh tahun.

Begitu dinobatkan menjadi raja, Sultan Agung sudah harus menghadapi pemberontakan yang dilakukan beberapa daerah, terutama di daerah timur. Namun dia seorang pemimpin negara yang cakap. Disusunnya pasukan besar untuk melindungi Mataram dan diangkatnya orang-orang yang gagah perkasa menjadi senopati. Pemimpin negara yang bijaksana adalah orang-orang yang memiliki kelebihan, pandai mengumpulkan orang-orang sakti dan memberi mereka kedudukan penting.

Sultan Agung juga memperhatikan kepentingan rakyat jelata sehingga rakyat tunduk dan patuh kepada rajanya yang bijaksana. Daerah Mataram di sepanjang Bengawan Solo merupakan daerah yang subur makmur, di mana pertanian berjalan dengan baiknya, tanahnya loh jinawi sehingga kehidupan rakyat pada umumnya makmur. Juga pemerintahan dilaksanakan dengan adil sehingga keadaan aman tenteram tidak ada penjahat yang berani muncul terang-terangan karena mereka tentu akan ditumpas oleh pasukan keamanan yang selalu menjaga ketentraman kehidupan rakyat jelata. Apa bila membutuhkan tenaga bantuan rakyat, dalam beberapa hari saja Sultan Agung tentu akan mampu mengumpulkan ratusan ribu rakyat yang berbondong datang untuk mengabdi kepadanya.

Sultan Agung sendiri adalah seorang pria yang berwajah bundar dan tampan sekali. Gerak geriknya halus lembut, tegur sapanya ramah, dan sepasang matanya mencorong penuh wibawa walaupun sinarnya lembut. Pakaiannya sederhana, tidak mencolok dan tidak jauh bedanya dengan pakaian para punggawa dan senopati. Kehidupan sehari-hariny juga tidak mewah meriah, melainkan sederhana saja. Keadaan inilah yang membuat rakyat semakin mencintai junjungan ini.

Karena Sultan Agung ingin sekali untuk selalu berdekatan dengan para punggawanya, maka sepekan dua kali, yakni hari Senin dan Kamis, tentu diadakan “sebo” (persidangan menghadap raja). Dalam kesempatan itu, Sang Prabu duduk di atas bangku dari kayu cendana yang terletak di atas setinggil (Batu Balai) yang luasnya tiga meter persegi. Di sekelilingnya menghadap ratusan punggawanya, duduk di lantai tiga jajar.

Sultan Agung akan menanyakan keadaan pemerintahannya, keadaan kehidupan penduduk dan terutama sekali dari para senopati dia ingin mendengar akan laporan mengenai ketentraman. Juga Sultan Agung memerintahkan kepada para senopatinya agar memperhatikan kesiap siagaan pasukannya, mengadakan latihan perang-perangan sepekan sekali sehingga pasukannya selalu berada dalam keadaan sigap dan terampil, dan siap kalau sewaktu-waktu dibutuhkan untuk berperang.

Para Adipati dan bupati yang masih tunduk, diharuskan setiap setahun sekali untuk menghadap Sang Prabu untuk berwawancara, untuk menyuburkan hubungan-hubungan yang sudah baik dan menghilangkan kesalah pahaman di antara mereka. Dalam hal kesusatraan, Sang Prabu juga menaruh perhatian besar. Bukan hanya kesusatraan, melainkan juga tentang filsafat dan kesenian. Bahkan beliau telah menulis kitab filsafat “Satrio Gending”.

Pada masa itu, orang-orang Belanda sudah mulai menancapkan kuku-kuku penjajahannya, mula-mula di Batavia. Hal ini amat menganggu perasaan Sultan Agung dan ada satu cita-cita dalam batinnya, yaitu mempersatukan semua kekuatan daerah-daerah untuk kelak mengusir bangsa Belanda. Akan tetapi sebelum itu, dia harus lebih dulu menundukkan daerah-daerah yang bergolak dan yang memberontak terhadap kedaulatan Mataram.

Pada suatu hari Sultan Agung mengadakan persidangan “sebo” dan dihadiri oleh para punggawa lengkap. Dia ingin sekali tahu tentang gerakan di daerah-daerah, maka tanyanya kepada seorang senopati tua yang dipercayanya, yaitu Senopati Ki Mertoloyo.

“Kakang Senopati Mertoloyo, bagaimana keadaan di daerah-daerah sekarang?”

Senopati Ki Mertoloyo menyembah dan mengerutkan alisnya. “Beritanya tidak begitu menyenangkan Gusti. Terjadi pergolakan di Lasem, Pasuruan, Tuban, Gresik, bahkan di kabupaten Wirosobo yang tidak berapa kuat itu kini telah membentuk dan mengembangkan pasukan. Pada Adipati dan bupati di daerah-daerah timur itu tidak mau sowan (menghadap) paduka dan meremehkan Mataram.”

“Hemm, sampai demikian jauh sikap mereka, kakang mertoloyo? Dan menurut pendapatmu, bagaimana baiknya untuk menghadapi mereka?”

“Menurut Hamba, sebaiknya kita menyerang mereka lebih dulu sebelum mereka bergerak, Gusti.”

Sang Prabu mendengarkan pendapat para senopati yang lain dan kebanyakan dari mereka juga mengusulkan agar menggempur daerah-daerah yang membangkang. Setelah mendengarkan pendapat mereka semua, Sang Prabu lalu berkata dengan lantang dan tegas.

“Usul dan pendapat andika sekalian memang benar, akan tetapi kita tidak dapat menyetujui kalau kita harus menggempur lebih dulu. Apa akan kata daerah-daerah lain yang masih setia kepada kita kalau kita menggempur daerah-daerah itu tanpa alasan yang kuat? Biarkanlah mereka itu lebih dulu memperlihatkan pemberontakan mereka, baru kita gempur memberi pelajaran kepada mereka. Kalau mereka memberontak dengan bersatu, akan lebih mudahlah bagi kita untuk sekali pukul menghancurkan beberapa daerah, daripada harus menundukan daerah satu demi satu. Sebaiknya diambil jalan musyawarah lebih dulu dengan mereka itu, bujuk mereka agar jangan melakukan tindakan yang sia-sia itu. Kalau mereka menolak dan memperlihatkan gerakan pemberontakan, kitapun harus membalasnya dengan kekuatan.”

Semua senopati menunduk dan taat terhadap pernyataan yang bijaksana ini.

“Hamba mendengar bahwa daerah-daerah yang bergolak didukung oleh Adipati Surobaya dan bahkan didukung oleh Sunan Giri. Apa yang harus hamba lakukan terhadap dua daerah besar itu?”

“Sama saja, tunggu sikap mereka lebih jauh dan kirimlah orang-orang yang berhubungan dekat dengan mereka untuk membujuk agar mereka itu menghentikan sikap bermusuh mereka. Kalau mereka membangkang kelak kami sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menghukum mereka.”

“Mohon beribu ampun, Gusti.” Kata Senopati Mertoloyo. “Menurut pendapat hamba, lebih baik membunuh ular sebelum dia menggigit kita dari pada membiarkan mereka makin besar dan berbahaya bagi keselamatan kita sendiri.”

“Kakang Mertoloyo, ingatlah bahwa bagaimanapun juga mereka itu adalah bangsa-bangsa Jawa, bangsa kita juga. Sebelum mengambil jalan terakhir, yaitu memerangi mereka, alangkah baiknya kalau mereka itu dapat diajak bermusyawarah dan dengan jalan damai menyelesaikan semua masalah. Musuh kita yang utama adalah Belanda yang kini semakin berkuasa saja di Barat, bukan bangsa Jawa, bangsa kita sendiri.”

Senopati Mertoloyo menyembah dan tidak membantah lagi. “Sendika dawuh, Gusti.”

“Mulai sekarang, undang semua pemuda dan para pendekar agar membantu kita, beri mereka kedudukan sesuai dengan bakat dan kepandaian mereka. Pesilakan para sesepuh dan pendeta yang arif bijaksana untuk bekerja sama dengan kita untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata. Undang pekerja-pekerja yang pandai, seniman-seniman, sastrawan untuk membangun Mataram. Jangan lupa perkuat penjagaan keamanan, tangkapi dan hukum semua malin dan perampok. Urus perkara pertikaian seadil-adilnya, tidak pilih kasih atau melihat keduudkan dan kekayaan masing-masing, menangkan yang benar dan kalahkan yang salah.”

“Sendhika dawuh, Gusti.”

Persidangan itu ditutup lalu bubaran dan dalam hati masing-masing punggawa tertanam kesan yang mendalam akan segala perintah yang dikeluarkan Sultan Agung.

********************

Pendeta itu sudah tua. Sedikitnya tentu sudah tujuh puluh tahun usianya. Rambutnya yang panjang terurai sampai ke punggung sudah putih semua. Bahkan alis, kumis dan jenggotnya yang sudah putih semua seperti terbuat dari benang-benang perak. Yang amat mencolok adalah sinar matanya yang demikian lembut namun menghanyutkan. Kalau mata kita bertemu dengan pandang mata itu, perasaan seperti luluh dan segala kekerasan dan segala kekerasan dalam hati melunak, memancing datangnya senyum ramah. Agaknya tidak ada di dunia ini yang dapat bersikap keras dan kasar terhadap orang yang memiliki sepasang mata seperti itu.

Dia adalah Sang Resi Limut Manik, pertapa yang sudah puluhan tahun tinggal di puncak Semeru. Tubuhnya kurus tinggi, terbungkus kain putih yang agaknya selalu bersih. Dia duduk di depan sebuah pondok kayu yang kokoh, duduk di atas batu besar dan dari jauh dia tampak seperti sebuah arca saja yang membuat suasana di sekeliling tempat itu menjadi keramat...


Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 01

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 01

MALAM Jumat kliwon yang gelap pekat dan menyeramkan dalam tahun 1613. Dilereng Gunung Kawi yang sunyi sepi itu suasananya demikian angker dan menyeramkan. Sebuah pondok kayu yang berdiri di lereng sebelah timur tampak sunyi diselimuti malam. Hanya sebuah lampu gantung kecil menerangi depan pondok, sinarnya yang lemah menimbulkan bayang-bayang besar dan menakutkan, menjadikan rupa-rupa bentuk yang mengerikan. Pohon-pohon besar di sekitarnya yang tersapu angin malam tampak seolah-olah menjadi hidup dan bergerak-gerak.

“Kulik-kulik-kulik……!” Suara burung malam yang terdengar lapat-lapat menambah seram suasana dan bau kemenyan menyengat hidung. Bau kemenyan ini mengingatkan orang-orang mati dan setan iblis belasakan. Terpisah dua lereng di bawah pondok itu lapat-lapat dapat terdengar suara anjing meraung, datang dari arah dusun disana yang tampak lampunya berkelap-kelip dari lereng di pondok itu. Tentu malam itu tak seorang pun dari para penduduk dusun itu berani keluar, karena telah menjadi kepercayaan turun temurun bahwa malam Jumat kliwon adalah malamnya bangsa setan demit dan iblis yang berkeliaran di permukaan muka bumi untuk menggoda manusia.

Di dalam pondok kayu itu pun suasananya sepi sekali seolah pondok itu tidak ada penghuninya. Padahal penghuni pondok itu sedang duduk bersila di atas pembaringannya. Seorang laki-laki berusia enam puluhlima tahun, rambutnya yang sudah hampir putih semua itu digelung ke atas dan diikat kain berwarna kuning. Jubahnya seperti jubah pendeta yang berwarna putih dan hanya merupakan pakaina yang amat sederhana. Wajahnya masih tampak segar seperti wajah seorang muda saja, terutama sekali sepasang matanya yang lembut itu kadang mengeluarkan cahaya mencorong, menandakan bahwa dia seorang pendeta atau pertapa yang memiliki kesaktian dan tenaga dalam yang amat kuat.

Dari pintu kamarnya muncuk seorang pemuda yang segera duduk bersila di bawah pembaringan. Melihat pertapa itu seperti orang dalama samadhi, pemuda itu tidak berani menggangunya, hanya duduk diam seperti gurunya, bersila dan memangku kedua tangan. Tak lama kemudian keduanya sudah tenggelam ke dalam samadhi mereka dan suasana menjadi semakin sunyi.

Siapakah pendeta itu? Dia seorang pertapa yang sudah bertahun-tahun bertapa di lereng Gunung Kawi. Namanya disebut orang Bhagawan Sidik Paningal. Seorang tua yang bertubuh jangkung kurus, yang mukanya masih segar seperti muka orang muda dan wajah itu masih terdapat bekas wajah seorang pria yang tampan dan lembut. Adapun pemuda yang duduk bersila di bawah pemabaringan itu adalah Sutejo, muridnya yang terkasih.

Seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan dada yang bidang dan kedua pundak dan lengannya tampak kokoh kuat. Wajahnya tampan dengan sepasang mata lebar yang memandang dunia dengan sinar mata cerah dan penuh semangat, sepasang alisnya hitam tebal, hidungnya mancung dan mulutnya selalu mengandung senyum yang ramah. Dagunya berlekuk menambah kejantanan wajah itu, dan kulit tubuhnya juga bersih kemuning. Rambutnya panjang ditekuk dan digelung ke atas, diikat dengan sehelai kain biru. Bajunya berlengan penadek sebatas siku, celananya hitam sampai ke betis dan sehelai sarung dikalungkan di pundak kiri. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dia menghadap gurunya bersamadhi, diapun tidak berani menggangu, hanya mengikuti contoh gurunya, ikut pula bersamadhi di depan gurunya.

Tiba-tiba Bhagawan Sidik Paningal terbatuk-batuk tiga kali. Batuk yang lebih merupakan isyarat kepada muridnya yang berada di depannya bahwa dia kini sudah sadar dari samadhinya dan isyarat itupun bertanya apa keperluan muridnya memasuki kamarnya dan menghadap.

Sutejo menangkap isyarat itu dan menyembah. “Mohon maaf Bapa, bahwa saya berani menghadap dan mengganggu samadhi Bapa. Akan tetapi, Bapa, sejak senja tadi, saya merasakan sesuatu yang aneh, suasana yang berlainan sekali daripada malam-malam yang lain. Seluruh perasaan saya tergugah, bahkan batin saya merasa terkacau oleh suatu tenaga yang rahasia. Karena itu saya berani mengganggu Bapa untuk minta penjelasan apa artinya semua yang saya rasakan pada saat ini.”

“Hong wilaheng…. Andika juga merasakan itu, Sutejo? Bagus, hal itu menunjukkan bahwa andika telah memiliki kepekaan. Memang apa yang andika rasakan itu ada sebabnya, cukup. Sekarang cepatlah engkau pergi ke belakang, mengambil air jernih sepiring dan letakan piring itu di depan kita di sini. Cepat, mereka telah mulai menyerang!”

Sutejo terkejut. Siapa yang mulai menyerang? Dan menyerang bagaimana yang dimaksudkan gurunya? Akan tetapi dia tidak bertanya dan cepat melaksanakan perintah gurunya, mengambil air jernih dalam sebuah piring yang dibawanya masuk lagi ke kamar gurunya lalu meletakkan piring itu di atas lantai di antara mereka.

“Bagus! Sekarang mari kita bersamadhi lagi dan kerahkan seluruh tenaga batinmu untuk melindung dirimu dari marabahaya. Kerahkan aji kekebalanmu seolah engkau berhadapan dengan musuh yang hendak menikam tubuhmu. Dan jangan banyak bertanya, lakukan saja apa yang kukatakan.”

“Sendhika, Bapa Guru.” Sutejo tidak bertanya-tanya, melainkan sepenuhnya menaati perintah gurunya. Dia bersila lagi dan bersamadhi mengumpulkan seluruh akal pikirannya dan mengerahkan aji kekebalan untuk melindungi tubuhnya.

“Kulik-kulik-kulik......!” Burung malam itu seperti terbang melewati atas pondok mereka sambil mengeluarkan bunyi yang mengerikan itu.

Akan tetapi Sutejo tidak memperdulikan suara itu dan tetap tenggelam ke dalam samadhinya. Terdengar pula raungan anjing di kejauhan dan kelepak sayap burung di atas rumah, lalu bunyi seperti dua batang tulang dipukul-pukulkan, “Tek-tek-tek-tek!” Menurut dongeng tahyul itu adalah suara setan tetekan.

Akan tetapi semua itu tidak menggoyahkan Sutejo yang tetap tenang dalam samadhinya. Bau kembang menyan semakin menyentuh hidung dan tiba-tiba Sutejo merasa dadanya dan lehernya tertusuk sesuatu yang runcing. Akan tetapi aji kekebalannya menolak tusukan itu dan terdengar suara nyaring berdenting di depannya, di atas piring terisi air jernih itu. Sampai beberapa kali peristiwa itu berulang, namun semua tusukan tidak ada yang mempan ketika mengenai kulit tubuh Sutejo yang sudah dilindungi aji kekebalan Kawoco (Baju Besi) itu.

Kemudian sunyi kembali dan terdengar Bhagawan Sidik Paningal terbatuk tiga kali. Sutejo membuka matanya dan yang pertama kali dilihatnya adalah piring terisi air jernih itu. Dan di dalam air itu, tampak jelas adanya beberapa batang jarum dan paku berserakan di dalam piring! Bhagawan Sidik Paningal membuat gerakan dan ternyata kakek itu melemparkan dua batang cundrik (keris kecil) dari atas pembaringan. Dua batang cundrik itu jatuh ke atas lantai dekat piring dan Sutejo melihat betapa ujung kedua batang cundrik itu berwarna biru kehitaman, tanda bahwa dua batang senjata kecil itu mengandung racun yang amat berbahaya.

“Sadhu-sadhu-sadhu-sadhu...! Keji sekali orang yang menyerang kita dengan ilmu hitamnya.”

Suetjo terbelalak. “Kita diserang orang, Bapa? Jadi beginikah orang menyerang dengan gelap dengan ilmu santet?” Sutejo pernah diceritakan gurunya tentang ilmu hitam dan ilmu santet akan tetapi baru sekarang ini dia menyaksikan sendiri karena diapun menjadi sasaran serangan santet!

Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk. “Bawalah semua itu ke belakang dan tanam dua batang cundrik dan semua paku dan jarum itu ke dalam tanah.”

Tanpa bicara Sutejo melaksanakan perintah gurunya lalu dia duduk kembali di hadapan gurunya.

“Akan tetapi, Bapa. Bukankah Bapa dulu pernah mengatakan bahwa serangan ilmu hitam seperti itu dapat ditangkis dan semua serangannya dapat dikembalikan kepada penyerangnya? Kenapa Bapa malah memerintahkan saya untuk mengubur semua senjata rahasia itu?”

“Kulup, membalas kejahatan dengan kejahatan pula adalah perbuatan sesat. Mereka menyerang dengan santet kepada kita, hal itu jelas merupakan kecurangan dan kejahatan. Kalau sekarang kita menyerang mereka dengan cara yang sama, bukankah itu berarti keadaan kita tidak sama dengan mereka? Tidak, muridku. Dan ingatlah bahwa selama hidupmu engkau tidak boleh melakukan penyerangan dengan ilmu santet yang jahat dan curang itu.”

“Lalu, kalau demikian, apakah kita harus mendiamkan saja perbuatan jahat orang terhadap kita?”

“Jangan khawatir akan hal itu. Yang menjerat seseorang, yang membalas seseorang adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Aku percaya bahwa besok pagi penyerangnya sendiri akan datang ke sini. Sekarang beristirahatlah engkau, Sutejo karena besok akan terjadi hal-hal menegangkan yang mungkin akan menguras tenaga kita. Jangan khawatir, biasanya serangan ilmu hitam yang tidak mengenai sasaran tidak akan diulangi dalam semalam. Tidurlah.”

“Sendhika, Bapa.” Suetjo lalu memasuki kamarnya sendiri. Pondok kayu sederhana itu memang hanya memiliki dua buah kamar yang bersebelahan. Biarpun baru saja menghadapi peristiwa yang menegangkan, namun begitu Sutejo mengambil keputusan untuk menaati gurunya dan tidur, maka segera dia tertidur lelap.

********************

Matahari pagi muncul dengan megahnya. Sinarnya sejak subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Embun pagi bergantungan di ujung-ujung daun bambu. Kabut mulai berterbangan, seolah takut menghadapi sinar matahari yang semakin terang. Burung-burung berkicau dari dahan ke dahan, tampak sibuk dan cerewet dalam persiapan mereka untuk mencari makan hari itu. Tidak lama lagi celoteh mereka akan terhenti dan mereka akan berterbangan ke segenap penjuru untuk mencari makan. Sinar matahari mulai menyusuri tebing-tebing dan jurang-jurang di pegunungan kawi, menjenguk semua celah dan menghidupkan segala yang tampak di permukaan bumi.

Sutejo telah bangun sejak ayam jantan berkokok tadi. Dia sudah sibuk bekerja, mengambil air dari sumber dan memenuhi semua gentong dan tempayan tempat air, lalu memasak air untuk membuatkan minuman bagi gurunya. Ketela dan pohung yang diambilnya kemarin masih bersisa banyak dan dia tahu bahwa gurunya suka sekali makan ketela dan pohung yang dibakar, maka diapun membakar beberapa butir pala-kependam itu. Gurunya hanya minum air teh yang encer, tanpa gula. Sambil bekerja, Sutejo selalu waspada. Dia tidak lupa akan kat-kata gurunya bahwa para penyerang gelap dengan ilmu hitam semalam, hari ini tentu akan muncul. Setelah selesai semua pekerjaannya, dia cepat mandi dengan air dingin sehingga tubuhnya terasa segar dan penuh semangat.

Gurunya juga terbangun dan segera pergi ke tempat pemandian di mana telah tersedia air setempayan besar penih. Setelah Bhagawan Sidik Paningal duduk di pendopo rumah itu seperti biasa setiap pagi, Sutejo lalu menghidangkan ketela dan pohung bakar dengan air teh. Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk tanda senangnya hati lalu mulai sarapan sederhana itu. Dia menawarkan kepada Sutejo dan pemuda ini pun menemani gurunya sarapan pagi.

Sinar matahari telah mulai menyentuh pelataran rumah itu ketika mereka melihat datangnya tiga orang itu. Sutejo memandang dengan penuh perhatian. Dia tidak mengenal tiga orang itu. Yang seorang adalah seorang pendet yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata harimau. Pendeta ini berusia kurang lebih enam puluh tahun dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam. Orang kedua juga seorang laki-laki tinggi besar yang kumisnya melintang sekepal sebelah, tampak gagah dan juga seram. Dipundaknya tergantung sebatang golok yang sarungnya terukir indah. Adapun orang ketiga bertubuh kecil pendek, berusia kurang dari orang kedua, paling banyak lima puluh tahun dan dia tampak gesit dan cekatan. Dipinggangnya terselip sebatang keris dan tiga batang pisau belati telanjang.

“Kakakng Sidik Paningal!” Pendeta itu berseru memanggil dengan suaranya bukan mengandung salam, melainkan mengandung teguran.

“Ah, andhika yang datang. Adi Jaladara dan tidak tahu siapakan andika, dua orang yang datang bersama adi Jaladara?” tanya Bhagawan Sidik Paningal dengan suara lembut dan wajah mengandung keramahan.

“Aku bernama Ki Warok Petak!” kata orang tinggi besar yang berkumis tebal.

“Dan aku adalah Ki Baka Kroda!” kata orang yang bertubuh kecil pendek. Sikap kedua orang ini ketika memperkenalkan diri begitu angkuh seolah memperkenalkan nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi Sutejo belum pernah mendengar nama-nama itu, bahkan nama Bhagawan Jaladara juga belum pernah didengarnya.

“Selamat datang dan selamat pagi adi Jaladara dan kalian. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Mari silakan duduk dan membagi sarapan pagi sekedarnya ini bersamaku.” Kata bhagawan Sidik Paningal dengan suara ramh dan tidak dibuat-buat.

Akan tetapi tiga orang itu tetap berdiri dengan kaki terpentang lebar dan sikap menantang. Bhagawan Jaladara mengelus jenggotnya yang panjang dan alisnya berkerut, mulutnya cemberut sebelum dia menjawab dengan suara yang kaku.

“Kakang Sidik Paningal, andika tentu tahu bahwa kunjunganku ini bukan untuk sarapan pohung bersamamu dan bukan untuk mengobrol denganmu!”

Bhagawan Sidik Paningal masih sabar dan senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang cerah dan berseri itu. “ Kalian bukan untuk itu, apakah andika berkunjung untuk membicarakan peristiwa semalam. Adi Jaladara?”

Wajah yang sudah hitam itu berubah semakin hitam dan matanya yang mencorong itu mengeluarkan sinar berapi ketika dia meluruskan lehernya dan menatap wajah Bhagawan Sidik Paningal dengan alis berkerut.

“Peristiwa semalam tidak perlu dibicarakan lagi. Andika telah dapat menangkis serangan kami, akan tetapi pagi hari ini, kalau andika tetap tidak mau mendengarkan saran kami, terpaksa kami akan bertindak keras dan tidak memberi ampun kepadamu.”

“Hmm, Adi Jaladara. Coba ulangi apa saranmu itu. Aku sudah hampir lupa.” Kata Bhagawan Sidik Paningal dengan sabar.

“Lupa atau pura-pura lupa? Kami mendengar bahwa andika mulai tertarik dan mempelajari agam baru, berarti andika mengingkari guru kita dan melupakan agama sendiri. Kedua, andika telah menolak untuk diajak bekerja sama membantu Bupati Wirosobo.”

“Ah, itukah yang kau maksudkan? Adi Jaladara, aku adalah seorang manusia yang bebas untuk mempelajari agama apapun juga dan aku melihat bahwa Agama Islam tidak menyimpang dari ajaran-ajaran lama. Bukan berarti aku melupakan agama sendiri. Siapapun tidak berhak untuk melarang aku mempelajari Agama Islam. Bahkan kalau andika mau, ada baik sekali kalau andika juga mempelajarinya sehingga andika akan dituntun kembali ke jalan benar, meninggalkan jalan dursila.”

“Pengkhianat! Andika memburuk-burukkan agam sendiri dan memuji agama baru?”

“Bukan, karena yang jahat dan baik itu bukan agamanya, melainkan manusianya. Semua agama mengajarkan kebajikan, namun manusianya sendiri yang mengingkari semua pelajaran itu dan terperosok ke jalan sesat. Apakah kau kira Sang Hyang Widhi akan meridhoi jalan yang kau tempuh semalam, mengirim santet untuk menyerang orang secara rahasia dan pengecut? Sadarlah, Adi Jaladara bahwa jalan yang kau tempuh itu sesat dan keliru.”

“Babo-babo, kakang Sidik Paningal. Kata-katamu semakin membakar hatiku. Sekarang katakanlah apakah andika tetap tidak mau bekerja sama untuk membantu Bupati Wirosobo. Bukankah kita berasal dari daerah Wirosobo? Andika tidak mau membantu bahkan memusuhi daerah sendiri?”

“Kalau Wirosobo mengadakan usaha untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya dengan pembangunan, dengan senang hati aku akan membantu. Akan tetapi kalau diajak untuk memberontak terhadap Mataram, terima kasih, aku tidak suka bekerja sama!”

“Bagus, berarti andika menantang kami!”

“Adi Jaladara, aku adalah kakak seperguruanmu, bagaimana aku akan menantangmu. Aku tidak menantang siapapun juga, akan tetapi juga tidak akan undur selangkahpun kalau ditantang orang.”

“Baik, kalau begitu mari kita putuskan urusan ini dengan mengadu kesaktian!” kata Bhagawan Jaladara sambil membantingkan tongkat hitamnya ke atas tanah. Tampak debu mengepul dan….. tongkat hitam itu telah berubah menjadi seekor ular hitam yang besar dan ular itu menghampiri Bhagawan Sidik Paningal dengan sikap mengancam, mendesis-desis dan menjulurkan lidahnya yang merah.

Dengan tenang Bhagawan Sidik Paningal melepaskan kain pengikat rambutnya dan melemparkan kain itu ke arah ular yang siap menyerangnya sambil berseru dengan suara lembut namun amat berwibawa, “Kembalilah ke asalmu!” Kain pengikat rambut mengenai ular dan kembalilah ujud ular itu menjadi tongkat hitam dan sekali Bhagawan Sidik Paningal menjulurkan tangan kanan, kain pengikat rambut berwarna kuning itu terbang ke arah tangannya!

Bhagawan Jaladara tidak mau kalah. Dia pun menjulurkan tangan kanannya dan tongkat itu terbang ke tangannya.

“Kakang Bhagawan Jaladara, biarkan aku yang lebih dulu maju menghajar orang tua yang keras kepala ini!” tiba-tiba Ki Baka Kroda yang bertubuh kecil pendek dan yang gerak geriknya gesit itu meloncat ke depan dan melolos kerisnya yang tidak berlekuk akan tetapi cukup panjang itu. “Hayo, Bhagawan Sidik Paningal, kita mengadu kedigdayaan!”

Bhagawan Sidik Paningal memandang Ki Baka Kroda itu seperti seorang guru memandang muridnya yang sombong. Pada saat itu, Sutejo sudah melangkah ke depan. “Maaf, Bapa Guru. Mereka datang bertiga menantang Bapa, sungguh tidak adil. Karena itu perkenankan saya mewakili Bapa menghadapi lawan yang sombong ini!”

Bhagawan Sidik Paningal mengangguk-anggukkan kepalanya, “Boleh, untuk latihan bagimu, Sutejo. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau melukai parah apa lagi membunuhnya.”

“Sendhika, Bapa. Saya mengerti bahwa ilmu yang saya pelajari bukan untuk menyiksa atau membunuh orang.” Kata Sutejo dan dia sudah melangkah maju menghadapi Ki Baka Kroda sambil mengikatkan sarungnya di pinggang. Pemuda ini tidak memegang senjata apapun, akan tetapi melihat lawannya memegang keris, diapun melepaskan pengikat kepalanya yang berwarna biru dan membiarkan rambutnya terlepas dan berjuntai disekeliling pundaknya.

“Ki Baka Kroda, kalau andika memang ingin mengadu kesaktian, akulah lawanmu mewakili Bapa Guru. Nah, mulailah!” Kata Sutejo sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kain pengikat kepala yang panjangnya sama dengan lengannya itu terpegang di tangan kanannya. Dia memegang sudut kain itu dan begitu diputar, kain itu menjadi segulungan kain yang keras.

“Bocah sombong, engkau sudah bosan hidup! Makanlah senjataku!” tiba-tiba Ki Baka Kroda berseru keras dan dia sudah menyerang dengan kerisnya, menubruk dan keris itu meluncur ke arah dada Sutejo yang bidang. Namun biarpun gerakan Ki Baka Kroda ini sangat cepat, gerakan Sutejo lebih cepat lagi. Pemuda itu mengelak ke kiri dan dari situ dia menggerakkan tangan kanannya. Gulungan kain pengikat kepala itu berubah menjadi sinar biru yang mencuat dan memukul ke arah hidung Ki Baka Kroda. Orang ini terkejut sekali karena sambaran kain itu mendatangkan angin yang kuat! Dia melompat ke belakang dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat tiga kali dan tiga batang cundrik melayang dan menyambar ke arah leher, dada dan perut Sutejo!

Pemuda itu agak terkejut juga, karena serangan itu mendadak dan tidak terduga-duga datangnya! “Curang!” serunya dan tubuhnya sudah melesat ke samping sehingga tiga batang cundrik itu lewat dan tidak mengenai tubuhnya.

Sutejo kini balas menyerang dengan kain pengikat kepalanya. Biarpun kain itu lemas, namun di tangannya dapat berubah menjadi kaku dan gulugan kain itu berubah seperti sebatang tongkat, atau tombak. Dari gurunya dia memang mendapat gemblengan menggunakan kain pengikat kepala ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dan ilmu silat yang dimainkannya dengan kain itu disebut Sihung Nila (Taring Biru). Begitu Sutejo menggerakkan senjatanya itu dan memainkan Sihung Nila, Ki Baka Kroda segera terdesak hebat. Kain itu berubah menjadi gulungan sinar biru yang mengepungnya dari segenap penjuru sehingga dia hanya menggunakan kerisnya untuk menangkis saja, sambil mengelak kesana ke mari.

Setelah lewat lima puluh jurus, Sutejo sudah merasa cukup. Melihat keris lawannya menyambar ke arah dadanya, dia cepat mengerahkan aji kekebalan Kawoco. “Tukk!” keris itu mengenai dadanya akan tetapi tidak dapat menembus kulit dadanya. Ki Baka Kroda terkejut bukan main dan pada saat itu, sinar biru menyambar dan mengenai lehernya. Ki Baka Kroda terbanting dan terpelanting roboh!

Dengan kepala agak pening, Ki Baka Kroda bangkit berdiri, akan tetapi dia maklum bahwa dia telah kalah. Kalau nekat maju lagi, tentu akan mengalami kekalahan kedua dan tidak mau dia menjadi bahan tertawaan. Sambil bersungut-sungut dia lalu mundur ke sebelah Sang Bhagawan Jaladara seperti minta bantuannya.

“Babo-babo, muridmu telah dapat mengalahkan seorang rekanku, kakang Sidik Paningal. Sekarang mari kita yang tua sama tua maju untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang.” Kata Bhagawan Jaladara sambil memalangkan tongkat hitamnya di depan dada.

Bhagawan Sidik Paningal bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di depan adik seperguruannya. “Adi Jaladara, sejak kecil kita sudah sama-sama digembleng oleh Bapa Guru Resi Limut Manik di puncak Semeru, apakah setelah tua begini kita sama-sama mempergunakan semua ilmu itu untuk saling serang, hanya karena kesalah fahaman sekecil ini? Kalau andika hendak membantu Bupati Wirosobo, silakan dan jangan bawa-bawa aku. Dan tentang agama baru yang kupelajari, engkau tidak perlu memusingkan hal itu karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Adi Jaladara, apakah kita tidak dapat menyudahi saja pertikaian ini, dan menghindarkan diri dari buah tertawaan orang sedunia bahwa ada kakek dan adik seperguruan saling hantam di sini? Apakah hal ini tidak akan menurunkan derajat dan wibawa Bapa Guru Resi Limut Manik?”

“Kakang Sidik Paningal! Kalau engaku berkecil hati dan takut menghadapi aku, lebih baik engkau memenuhi saranku dan mari kita sama-sama membantu Kabupaten Wirosobo sehingga suka duka akan kita alami bersama.”

“Adi Jaladara, seorang pertapa seperti aku ini sudah tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk mencapai kemahsuran, kemuliaan dan kedudukan. Engkau berangkatlah dan lakukan sendiri dan aku akan tinggal bertapa di sini memisahkan diri dari keramaian dunia.”

“Andika berkukuh, kakang Sidik Paningal?”

“Engkau yang berkukuh. Adi Jaladara karena andika yang hendak memaksakan kehendak.”

“Babo-babo, kalau begitu tidak ada jalan lain kecuali memutuskannya dengan mengadu kesaktian!”

“Terserah kalau andika menghendaki demikian.”

“Kakang Sidik Paningal, agaknya saat ini sudah merupakan waktunya bagimu untuk meninggalkan dunia ini! Awas serangan tongkatku!” Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara mengirim serangan hebat. Serangan itu datangnya dahsyat bukan main, mendatangkan angin menderu tanda bahwa tongkat di gerakan oleh tenaga yang amat dahsyat. Sutejo sendiri sampai terkejut melihat hebatnya serangan dari Paman gurunya yang baru pertama kali dijumpainya.

Bhagawan Sidik Paningal cepat mengelak dan seperti juga Sutejo, pendeta ini mengandalkan ikat kepalanya sebagai senjata untuk membela diri. Dia melepaskan kain pengikat kepala dan membiarkan rambutnya yang sudah hampir putih itu terjurai. Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara kakek bersama adik seperguruan itu. Demikian hebatnya perkelahian itu sehingga debu mengebul tinggi dan daun-daun pohon yang terletak di sekitar tempat perkelahian itu bergoyang-goyang dan banyak daun kuning rontok seperti dilanda angin besar. Sutejo dapat merasakan pula sambaran angin pukulan yang dahsyat dari kedua orang sakti itu.

Setelah mereka bertanding selama hampir satu jam, dari kepala kedua orang kakek itu mengepul uap putih dan keduanya sudah mandi keringat. Agaknya ilmu kepandaian mereka memang setingkat. Akan tetapi, perlahan namun pasti, Bhagawan Jaladara mulai terdesar. Kain pengikat kepala berwarna kuning itu telah berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang kuning warnanya dan agaknya sinar ini menembus semua pertahanan Bhagawan Jaladara sehingga dia kehilangn dan keseimbangan dan terus terdesak mundur.

Pada suatu saat, ketika tongkat hitm menyambar ke arah kepala Bhagawan Sidik Paningal, kain kuning itu meluncur dan menangkis lalu melibat tongkat sehingga tidak mampu dilepaskan lagi. Melihat ini Bhagawan Jaladara lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia memukul dengan tangan kirinya ke arah kepala kakak seperguruannya. Akan tetapi Bhagawan Sidik Paningal sudah waspada, diapun mengangkat lengan kirinya ke atas sambil mengerahkan tenaga.

“Wuuuuutttt….. desss…..!” Dua lengan kini bertemu dan akibatnya, tubuh Bhagawan Jaladara terhuyung ke belakang kemudian roboh terjengkang. Dari mulutnya mengalir darah. Adapun tubuh Bhagawan Sidik Paningal hanya terguncang dan mukanya berubah pucat.

Dengan bantuan tongkatnya Bhagawan Jaladara bangkit berdiri dan pada saat itu, Ki Warok Petak yang tinggi besar berkumis tebal itu sudah menerjang dan membacokan goloknya dari samping ke arah kepala Bhagawan Sidik Paningal.

“Sadhu-Sadhu-Sadhu!” Sang Bhagawan berseru dan sekali dia mengangkat lengan kirinya dia sudah berhasil menangkap golok itu dan sekali rengut golok itu berpindah tangan lalu dipatahkan oleh jari-jari tangan sang Bhagawan yang sakti. Ki Warok Petak memandang dengan mata terbelalak dan tidak berani bergerak lagi.

Bhagawan Jaladara membuang tongkat hitamnya dan dia melolos sesuatu dari pinggangnya, lalu menghampiri Bhagawan Sidik Paningal sambil membentak dengan suara yang masih nyaring, “Sidik Paningal, lihat pusaka ini. Beranikah andika menentangnya?”

Bhagawan Sidik Paningal menengadah untuk melihat benda itu. Seketika mukanya menjadi pucat dan cepat dia berlutut dan menyembah ke arah pecut itu. Sebatang pecut yang panjang, gagangnya terbuat dari gading gajah dan pecut itu terbuat dari benang semacam lawe yang panjangnya ada dua meter.

“Saya tidak berani…” kata Sang Bhagawan Sidik Paningal ketika melihat pecut itu. Dia segera mengenal cambuk itu yang bukan lain adalah Pecut Sakti Bajrakirana, pusaka milik gurunya. Gurunya pernah memesan kepada para muridnya bahwa siapa yang kelak memiliki pecut itu, dialah orangnya yang menggantikan kedudukan gurunya dan harus ditaati oleh para murid lain! Dan sekarang, pecut itu berada di tangan Bhagawan Jaladara. Sebagai seorang murid yang amat hormat dan patuh kepada gurunya, yaitu Sang Resi Limut Manik di puncak Semeru, Bhagawan Sidik Paningal segera memberi hormat dan menyembah ketika melihat pecut wasiat itu.

“Hemm, engkau murid yang tidak patuh! Pecut pusaka sudah berada di tanganku dan engkau masih belum juga mau menuruti perintahku? Sidik Paningal, mulai sekarang aku perintahkan kepadamu untuk meninggalkan agama baru dan untuk membantu Bupati Wirosobo. Bagaimana, apakah engkau masih berani membangkang!”

“Saya tidak berani membangkang, akan tetapi dahulu Bapa Guru sudah memberi peringatan agar kita jangan sampai terlibat dalam perang saudara. Karena itu aku tetap tidak dapat membantu Bupati Wirosobo kalau dia ingin memberontak terhadap Mataram!”

“Kurang ajar!” Bhagawan Jaladara lalu menggerakan kakinya menendang.

“Desss...!” Tubuh Bhagawan Sidik Paningal tertendang seperti bola, terlempar dan jatuh bergulingan karena dia sama sekali tidak berani melawan, juga tidak berani mengerahkan aji kekebalannya. Bibirnya pecah dan berdarah, akan tetapi dia bangkit duduk dan berlutut lagi menghadap Bhagawan Jaladara yang masih memegang pecut di atas kepalanya.

“Andika masih tidak mau menurut?” Bentaknya.

“Sampai mati saya tidak akan dapat membantu kabupaten yang hendak memberontak terhadap Mataram. Bapa Guru sudah berpesan agar kita semua membantu Mataram, bukan melawannya.”

“Tar-tar-tarrrr….!” Cambuk itu meledak-ledak di udara lalu meluncur turun ke arah tubuh Bhagawan Sidik Paningal. Pakaian pendeta itu tercabik-cabik dan kulit tubuhnya robek berdarah. Namun Bhagawan Jaladara tidak peduli dan masih mencambuki terus.

“Tar-tar-tar-tar-tarrrr….!” Tubuh Bhagawan Sidik Paningal bergulingan dan seluruh tubuhnya mandi darah.

Melihat ini, Sutejo tidak dapat tinggal diam lagi. Dia melompat dan berusaha merampas pecut itu dari tangan Bhagawan Jaladara, akan tetapi sebuah tendangan dari paman gurunya itu membuatnya terjungkal. Dan sebelum dia mampu bangkit, Ki Warok Petuk dan Ki Baka Kroda sudah mengeroyoknya dan memukulinya. Dia dijadikan bola oleh kedua orang itu, jatuh bangun dan bengkak-bengkak.

“Cukup!” Kata Bhagawan Jaladara kepada dua orang pembantunya. Mereka melepaskan Sutejo yang terkulai roboh ke atas tanah, setengah pingsan. Akan tetapi pemuda ini menggoyang kepalanya mengusir kepeningan dan dia memandang kepada gurunya yang kini bagaikan seonggok daging yang berdarah.

“Bapa Guru….!” Dia merangkak mendekati, lalu merangkul gurunya yang seluruh tubuhnya sudah bermandikan darahnya sendiri.

“Sutejo….kita….tidak…..boleh…..me…lawan…..” kata gurunya terputus-putus.

“Sidik Paningal, sekali lagi kuperingatkan. Kalau dalam waktu sebulan ini engkau belum datang ke Kabupaten Wirosobo, aku akan datang dan mewakili Bapa Guru untuk membunuhmu!” Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara meninggalkan tempat itu bersama dua orang rekannya.

“Bapa…..!” Sutejo merangkul lalu memondong tubuh gurunya yang basah oleh darah itu, diangkatnya masuk ke dalam rumah pondok walaupun tubuhnya sendiri penuh luka dan semua bagian tubuh terasa nyeri.

Akan tetapi kakek pendeta itu tidak menjawab karena dia sudah jatuh pingsan di atas pembaringannya. Biarpun tubuhnya sendiri penuh luka, namun Sutejo tidak memperdulikan dirinya dan dengan tekun dia merawat dan mengobati luka-luka cambukan yang diderita gurunya. Dia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya. Dia mencari biji pinang, daun piciran, bawang merah, gula aren dan arang kayu. Semua ini diaduk dan dipergunakan untuk mengobati luka-luka ditubuh gurunya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Setelah seminggu luka-luka di seluruh tubuh gurunya itupun menjadi kering dan sembuh. Tubuh Sutejo sendiri adalah tubuh yang kuat dan sehat, maka luka-luka yang dideritanya sendiri dengan mudah saja diobatinya dan dalam waktu yang tiga hari luka-luka itu pun sembuh. Untung bahwa Bhagawan Jaladara tidak berniat untuk membunuh mereka sehingga mereka tidak menderita luka dalam, hanya luka di kulit saja. Adapun Sutejo ketika dipukuli dua orang kawan Bhagawan Jaladara telah mengerahkan ilmu kekebalannya Kawoco sehingga diapun tidak menderita luka dalam.

Pada hari ke delapan, seperti biasa Bhagawan Sidik Paningal sudah bangun dari tidurnya dan bersama muridnya dia sarapan pagi. Keadaan mereka biasa saja seolah tidak pernah terjadi sesuatu.

“Bapa, Bolehkah saya bertanya!”

“Tentu saja, Sutejo. Apakah yang hendak kau tanyakan itu!”

“Bapa tidak kalah ketika melawan Bhagawan Jaladara itu…..”

“Hemm, dia itu paman gurumu, maka engkau juga sepatutnya menyebut dia Paman Guru.”

“Baiklah, Bapa. Bapa tidak kalah melawan Paman Guru Jaladara, akan tetapi mengapa Bapa mandah saja dan sama sekali tidak melawan ketika dia mengeluarkan cambuk itu! Apa artinya itu, Bapa?”

Bhagawan Sidik Paningal menghela napas panjang. “Cemeti itu disebut Pecut Sakti Bajrakirana dan pecut itu adalah pusaka milih Bapa Guru Resi Limut Manik di puncak Semeru. Guruku itu mempunyai tiga orang murid. Yang pertama bernama Bhagawan Sindusakti yang kini bertapa di pantai Laut Kidul di daerah Pacitan. Murid kedua adalah aku sendiri, dan Bhagawan Jaladara itu adalah murid ke tiga. Guruku pernah mengatakan kepada kami bertiga bahwa pecut sakti bajrakirana adalah senjata pusaka guruku semenjak beliau masih muda dan memesan pula bahwa kelak siapa yang memegang pecut itu dialah pengganti guru dan harus ditaati segala perintahnya. Nah, hari itu Bhagawan Jaladara mengeluarkan pecut itu! Tentu saja aku tidak berani menentangnya.”

“Akan tetapu apakah Eyang Guru itu masih hidup, Bapa?

“Setahuku masih, karena kalau beliau sudah meninggal dunia, tentu ada yang memberi kabar kepadaku.”

“Akan tetapi kalau Eyang Guru masih hidup, mengapa pecut sakti itu diserahkan kepada Paman Guru Jaladara dan dia pergunakan untuk memaksa Bapa untuk membantu kabupaten Wirosubo?”

Kembali Bhagawan Sidik Paningal menghela napas panjang. “Bapa Guru biasanya bertindak secara bijaksana sekali, maka aku sendiripun merasa heran mengapa Cambuk Sakti Bajrakirana dapat berada di tangan Jaladara. Karena itu, aku mewakilkan kepadamu untuk melaksanakan penyelidikan akan hal itu, Sutejo. Pergilah engkau ke puncak Semeru dan pergi menghadap eyang gurumu, ceritakan apa yang terjadi di sini. Kalau Adi Jaladara memiliki pecut itu secara tidak semestinya, engkau harus membantu eyang guru untuk merampasnya kembali.”

“Akan tetapi Bapa Guru, bagaimana saya akan dapat merampasnya kembali dari tangannya? Paman Guru Jaladara demikian sakti, sedangkan saya…..”

“Percayalah, dalam hal kesaktian, engkau tidak kalah olehnya. Hanya karena dia memiliki ilmu pukulan yang disebut Aji Gelap Musti, kiranya engaku tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi sebelum engkau pergi akan kulatih ilmu itu agar dapat menandinginya kalau engkau berkelahi melawannya.”

“Dan Bagaimanakan dengan Kabupaten Wirosubo itu Bapa? Saya masih tidak mengerti mengapa Paman Guru hendak memaksa Bapa untuk membantu kabupaten itu. Benarkah bahwa kabupaten itu hendak memberontak terhadap Mataram?”

“Ketahuilah keadaan Mataram pada saat ini, Sutejo. Engkau tentu sudah mendengar pula betapa selama pemerintahan Mas Jolang atas yang kemudian disebut Sang Prabu Sedo Krapyak karena beliau wafat di Krapyak, di mana-mana terdapat pemberontakan. Terutama sekali di bagian timur yang didukung oleh Adipati diSurabaya dan disokong pula oleh Sunan Giri. Daerah-daerah seperti Ponorogo, Kertosono, Kediri, Wirosobo (Mojoagung) beramai-ramai bangkit dan memberontak. Biarpun sebagian dari mereka itu sudah ditundukkan kembali oleh Mas Jolang, namun setelah beliau wafat, daerah-daerah itu kembali bergolak. Kini yang menjadi pengganti Mas Jolang adalah puteranya, yaitu Pangeran Raden Mas Rongsang yang setelah dinobatkan menjadi raja Mataram lalu bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman (1613-1645).”

“Saya sudah mendengar akan semua itu, Bapa.”

“Beliau disebut pula Sang Prabu Pandan Cokrokusumo dan disebut pula sebagai Sultan Agung. Dalam usianya yang masih muda ketika dinobatkan, beliau sudah harus berhadapan dengan daerah-daerah yang bergolak dan memberontak dan di antara daerah-daerah itu, kabupaten Wirosobo juga memberontak. Nah, Paman Gurumu itu membela kabupaten Wirosobo dan memaksaku untuk membantu pula. Akan tetapi, aku teringat akan pesan Eyang Gurumu, bahwa kita harus membantu Mataram, tidak boleh melibatkan diri dalam pemberontakan. Nah, demikianlah keadaan kerajaan Mataram pada saat ini, Sutejo. Engkau harus berjanji pula kepadaku bahwa engkau akan membela Mataram dari para pemberontak. Setelah engkau berhasil merampas kembali pecut sakti Bajrakirana dan mengembalikanny kepada Eyang Gurumu, engaku harus mengabdikan dirimu kepada Mataram, Dengan demikian, tidak sia-sialah selama ini aku mengajarkan semua ilmu itu kepadamu.”

“Sendhika dawuh, Bapa Guru. Saya akan menaati semua perintah Bapa.”

“Bagus, Nah, sekarang marilah engakau kulatih dengan Ilmu Gelap Musti. Kalau engkau sudah menguasai ilmu itu, engkau tidak perlu takut lagi menghadapi Bhagawan Jaladara. Waktunya tidak banyak. Sebelum satu bulan lewat, engkau harus sudah dapat merampas pecut wasiat itu. Kalau Adi Jaladara sudah tidak mempunyai pecut sakti bajrakirana, dia tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadap diriku.”

Demikianlah, mulai hari itu sampai dua pekan lamanya, Sutejo melatih diri dengan Aji Gelap Musti. Karena dia memang amat berbakat dan dia sudah memiliki dasar yang kokoh dan kuat, maka dalam waktu dua pekan saja dia sudah dapat menguasai ilmu itu dengan sempurna. Setelah itu, berangkatlah dia menuju ke puncak Gunung Semeru untuk pergi menghadap Eyang Gurunya, yaitu Sang Resi Limut Manik yang bertapa di puncak gunung besar itu, sesuai dengan petunjuk gurunya.

********************

Sultan Agung yang tadinya bernama Pangeran Raden Mas Rangsang dan yang kemudian diangkat menjadi raja menggantikan pamannya yang telah wafat, bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman (1613-1645) masih cukup muda ketika dinobatkan menjadi raja di Mataram. Usianya baru tiga puluh tahun dan dia telah mempunyai beberapa orang putera dan puteri yang berusia sekitar tujuh sampai sepuluh tahun.

Begitu dinobatkan menjadi raja, Sultan Agung sudah harus menghadapi pemberontakan yang dilakukan beberapa daerah, terutama di daerah timur. Namun dia seorang pemimpin negara yang cakap. Disusunnya pasukan besar untuk melindungi Mataram dan diangkatnya orang-orang yang gagah perkasa menjadi senopati. Pemimpin negara yang bijaksana adalah orang-orang yang memiliki kelebihan, pandai mengumpulkan orang-orang sakti dan memberi mereka kedudukan penting.

Sultan Agung juga memperhatikan kepentingan rakyat jelata sehingga rakyat tunduk dan patuh kepada rajanya yang bijaksana. Daerah Mataram di sepanjang Bengawan Solo merupakan daerah yang subur makmur, di mana pertanian berjalan dengan baiknya, tanahnya loh jinawi sehingga kehidupan rakyat pada umumnya makmur. Juga pemerintahan dilaksanakan dengan adil sehingga keadaan aman tenteram tidak ada penjahat yang berani muncul terang-terangan karena mereka tentu akan ditumpas oleh pasukan keamanan yang selalu menjaga ketentraman kehidupan rakyat jelata. Apa bila membutuhkan tenaga bantuan rakyat, dalam beberapa hari saja Sultan Agung tentu akan mampu mengumpulkan ratusan ribu rakyat yang berbondong datang untuk mengabdi kepadanya.

Sultan Agung sendiri adalah seorang pria yang berwajah bundar dan tampan sekali. Gerak geriknya halus lembut, tegur sapanya ramah, dan sepasang matanya mencorong penuh wibawa walaupun sinarnya lembut. Pakaiannya sederhana, tidak mencolok dan tidak jauh bedanya dengan pakaian para punggawa dan senopati. Kehidupan sehari-hariny juga tidak mewah meriah, melainkan sederhana saja. Keadaan inilah yang membuat rakyat semakin mencintai junjungan ini.

Karena Sultan Agung ingin sekali untuk selalu berdekatan dengan para punggawanya, maka sepekan dua kali, yakni hari Senin dan Kamis, tentu diadakan “sebo” (persidangan menghadap raja). Dalam kesempatan itu, Sang Prabu duduk di atas bangku dari kayu cendana yang terletak di atas setinggil (Batu Balai) yang luasnya tiga meter persegi. Di sekelilingnya menghadap ratusan punggawanya, duduk di lantai tiga jajar.

Sultan Agung akan menanyakan keadaan pemerintahannya, keadaan kehidupan penduduk dan terutama sekali dari para senopati dia ingin mendengar akan laporan mengenai ketentraman. Juga Sultan Agung memerintahkan kepada para senopatinya agar memperhatikan kesiap siagaan pasukannya, mengadakan latihan perang-perangan sepekan sekali sehingga pasukannya selalu berada dalam keadaan sigap dan terampil, dan siap kalau sewaktu-waktu dibutuhkan untuk berperang.

Para Adipati dan bupati yang masih tunduk, diharuskan setiap setahun sekali untuk menghadap Sang Prabu untuk berwawancara, untuk menyuburkan hubungan-hubungan yang sudah baik dan menghilangkan kesalah pahaman di antara mereka. Dalam hal kesusatraan, Sang Prabu juga menaruh perhatian besar. Bukan hanya kesusatraan, melainkan juga tentang filsafat dan kesenian. Bahkan beliau telah menulis kitab filsafat “Satrio Gending”.

Pada masa itu, orang-orang Belanda sudah mulai menancapkan kuku-kuku penjajahannya, mula-mula di Batavia. Hal ini amat menganggu perasaan Sultan Agung dan ada satu cita-cita dalam batinnya, yaitu mempersatukan semua kekuatan daerah-daerah untuk kelak mengusir bangsa Belanda. Akan tetapi sebelum itu, dia harus lebih dulu menundukkan daerah-daerah yang bergolak dan yang memberontak terhadap kedaulatan Mataram.

Pada suatu hari Sultan Agung mengadakan persidangan “sebo” dan dihadiri oleh para punggawa lengkap. Dia ingin sekali tahu tentang gerakan di daerah-daerah, maka tanyanya kepada seorang senopati tua yang dipercayanya, yaitu Senopati Ki Mertoloyo.

“Kakang Senopati Mertoloyo, bagaimana keadaan di daerah-daerah sekarang?”

Senopati Ki Mertoloyo menyembah dan mengerutkan alisnya. “Beritanya tidak begitu menyenangkan Gusti. Terjadi pergolakan di Lasem, Pasuruan, Tuban, Gresik, bahkan di kabupaten Wirosobo yang tidak berapa kuat itu kini telah membentuk dan mengembangkan pasukan. Pada Adipati dan bupati di daerah-daerah timur itu tidak mau sowan (menghadap) paduka dan meremehkan Mataram.”

“Hemm, sampai demikian jauh sikap mereka, kakang mertoloyo? Dan menurut pendapatmu, bagaimana baiknya untuk menghadapi mereka?”

“Menurut Hamba, sebaiknya kita menyerang mereka lebih dulu sebelum mereka bergerak, Gusti.”

Sang Prabu mendengarkan pendapat para senopati yang lain dan kebanyakan dari mereka juga mengusulkan agar menggempur daerah-daerah yang membangkang. Setelah mendengarkan pendapat mereka semua, Sang Prabu lalu berkata dengan lantang dan tegas.

“Usul dan pendapat andika sekalian memang benar, akan tetapi kita tidak dapat menyetujui kalau kita harus menggempur lebih dulu. Apa akan kata daerah-daerah lain yang masih setia kepada kita kalau kita menggempur daerah-daerah itu tanpa alasan yang kuat? Biarkanlah mereka itu lebih dulu memperlihatkan pemberontakan mereka, baru kita gempur memberi pelajaran kepada mereka. Kalau mereka memberontak dengan bersatu, akan lebih mudahlah bagi kita untuk sekali pukul menghancurkan beberapa daerah, daripada harus menundukan daerah satu demi satu. Sebaiknya diambil jalan musyawarah lebih dulu dengan mereka itu, bujuk mereka agar jangan melakukan tindakan yang sia-sia itu. Kalau mereka menolak dan memperlihatkan gerakan pemberontakan, kitapun harus membalasnya dengan kekuatan.”

Semua senopati menunduk dan taat terhadap pernyataan yang bijaksana ini.

“Hamba mendengar bahwa daerah-daerah yang bergolak didukung oleh Adipati Surobaya dan bahkan didukung oleh Sunan Giri. Apa yang harus hamba lakukan terhadap dua daerah besar itu?”

“Sama saja, tunggu sikap mereka lebih jauh dan kirimlah orang-orang yang berhubungan dekat dengan mereka untuk membujuk agar mereka itu menghentikan sikap bermusuh mereka. Kalau mereka membangkang kelak kami sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menghukum mereka.”

“Mohon beribu ampun, Gusti.” Kata Senopati Mertoloyo. “Menurut pendapat hamba, lebih baik membunuh ular sebelum dia menggigit kita dari pada membiarkan mereka makin besar dan berbahaya bagi keselamatan kita sendiri.”

“Kakang Mertoloyo, ingatlah bahwa bagaimanapun juga mereka itu adalah bangsa-bangsa Jawa, bangsa kita juga. Sebelum mengambil jalan terakhir, yaitu memerangi mereka, alangkah baiknya kalau mereka itu dapat diajak bermusyawarah dan dengan jalan damai menyelesaikan semua masalah. Musuh kita yang utama adalah Belanda yang kini semakin berkuasa saja di Barat, bukan bangsa Jawa, bangsa kita sendiri.”

Senopati Mertoloyo menyembah dan tidak membantah lagi. “Sendika dawuh, Gusti.”

“Mulai sekarang, undang semua pemuda dan para pendekar agar membantu kita, beri mereka kedudukan sesuai dengan bakat dan kepandaian mereka. Pesilakan para sesepuh dan pendeta yang arif bijaksana untuk bekerja sama dengan kita untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata. Undang pekerja-pekerja yang pandai, seniman-seniman, sastrawan untuk membangun Mataram. Jangan lupa perkuat penjagaan keamanan, tangkapi dan hukum semua malin dan perampok. Urus perkara pertikaian seadil-adilnya, tidak pilih kasih atau melihat keduudkan dan kekayaan masing-masing, menangkan yang benar dan kalahkan yang salah.”

“Sendhika dawuh, Gusti.”

Persidangan itu ditutup lalu bubaran dan dalam hati masing-masing punggawa tertanam kesan yang mendalam akan segala perintah yang dikeluarkan Sultan Agung.

********************

Pendeta itu sudah tua. Sedikitnya tentu sudah tujuh puluh tahun usianya. Rambutnya yang panjang terurai sampai ke punggung sudah putih semua. Bahkan alis, kumis dan jenggotnya yang sudah putih semua seperti terbuat dari benang-benang perak. Yang amat mencolok adalah sinar matanya yang demikian lembut namun menghanyutkan. Kalau mata kita bertemu dengan pandang mata itu, perasaan seperti luluh dan segala kekerasan dan segala kekerasan dalam hati melunak, memancing datangnya senyum ramah. Agaknya tidak ada di dunia ini yang dapat bersikap keras dan kasar terhadap orang yang memiliki sepasang mata seperti itu.

Dia adalah Sang Resi Limut Manik, pertapa yang sudah puluhan tahun tinggal di puncak Semeru. Tubuhnya kurus tinggi, terbungkus kain putih yang agaknya selalu bersih. Dia duduk di depan sebuah pondok kayu yang kokoh, duduk di atas batu besar dan dari jauh dia tampak seperti sebuah arca saja yang membuat suasana di sekeliling tempat itu menjadi keramat...