Badai Laut Selatan Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 05

Roro Luhito masih gemetar semua tubuhnya. Tak dapat pula ia menyangkal, maka sambil menutupi mukanya ia hanya dapat mengangguk. Serasa ditusuk keris dada Adipati Joyowiseso. Ia melompat keluar lagi dari kamar anaknya dan berteriak-teriak, "Kejar...!! Kejar dan tangkap si jahanam Pujo. Siapa yang dapat menangkapnya akan kuberi hadiah besar. Kejar...!!"

Ributlah keadaan di kadipaten, seribut malam kemarin. Semua pengawal mencari-cari ke seluruh tempat dalam kadipaten. Kamar-kamar dimasuki, kamar mandi dan kakus tak terkecuali, bahkan ada yang sudah mengejar keluar kadipaten, seperti mengejar bayangan setan karena mereka tidak tahu ke mana perginya orang yang dikejar. Sementara itu, Jokowanengpati mendekati Adipati Joyowiseso.

"Paman adipati, kulihat Pujo sudah lari keluar kadipaten. Sukar menangkapnya......."

"Anakmas Jokowanengpati! Apa yang kau ucapkan ini? Kau sendiri yang menjaga dia, bagaimana dia bisa lari dan mengapa pula setelah kau melihat dia keluar dari kamar Luhito, tidak kau tangkap dia?"

"Tenanglah, paman, marilah kita masuk dan bicara di dalam."

Mereka masuk dan setelah tidak ada orang lain mendengar, Jokowanengpati berkata, "Saya merasa menyesal sekali, akan tetapi apa dayaku menghadapi paman Resi Bhargowo?"

"Resi Bhargowo? Kau maksudkan...?"

"Paman Resi Bhargowo sendiri yang datang menolong Pujo, paman. Saya sudah mencegah dan terjadi pertandingan mati-matian antara saya dan paman resi, akan tetapi saya kalah dan terpukul pingsan. Ketika saya siuman kembali, saya melihat bayangan Pujo keluar dari kamar diajeng Luhito, akan tetapi tenaga saya belum pulih dan pula, dengan adanya paman Resi Bhargowo, saya merasa tidak berdaya sama sekali. Baik kita laporkan saja ke Mataran dengan tuduhan paman Resi Bhargowo dan Pujo telah memberontak..."

"Tapi... tapi... aduh, anakku Luhi..."

"Paman adipati, saya dapat menduga apa yang telah dilakukan bocah keparat itu. Akan tetapi saya..." sampai di sini suara Jokowanengpati tergetar penuh keharuan, "saya bersedia menutupi aib yang menimpa keluarga paman. Saya bersedia menanggung dan berkorban demi kebahagiaan diajeng Roro Luhito dan demi kehormatan paman adipati."

Adipati Joyowiseso mengangkat muka, lalu menangkap lengan pemuda itu. "Kau... kau maksudkan..."

"Saya bersedia menikah dengan diajeng Roro Luhito, itulah maksud saya, tentu saja kalau paman menyetujui."

"Menyetujui? Tentu saja! Aduh, anakmas... ahh, anak mantuku yang bagus, yang budiman dan arif bijaksana, alangkah besar budi yang kau limpahkan kepada kami..." Adipati Joyowiseso merangkul leher pemuda itu. Dengan muka tunduk Jokowanengpati menyembunyikan senyumnya, senyum kemenangan!

Pada saat itu terdengar jerit-jerit tangis mengagetkan. Adipati Joyowiseso dan Jokowanengpati melompat keluar dan berlari-larian ke arah suara jeritan. Ternyata yang menangis dan menjerit-jerit itu adalah isteri adipati dan para selir, bahkan para pelayan wanita juga menangis. Dengan suara terputus-putus isteri adipati menyampaikan kepada suaminya bahwa Listyokumolo anak mantu mereka, dan juga Joko Wandiro, telah lenyap dari kamarnya tanpa meninggalkan bekas!

"Jahanam Pujo! Akan tiba saatnya aku membekuk batang lehermu!" Jokowanengpati berkata dengan nada marah.

Adipati Joyowiseso menjadi lemas dan orang tua itu menjatuhkan dirinya di atas kursi dengan napas terengah-engah. Tak lama kemudian, selirnya yang tersayang, yaitu ibu Roro Luhito, datang berlari-lari sambil menangis, tanpa bicara sesuatu karena di situ terdapat banyak orang, selir itu menarik tangan suaminya, diseret diajak ke kamar Roro Luhito. Adipati yang sudah maklum akan aib yang menimpa diri puterinya, hanya mengikuti dengan air mata membasahi pipi, sedangkan kumisnya yang biasanya berdiri garang itu kini menggantung terkulai seperti keadaan hatinya.

Sejak saat itu sampai keesokan harinya, yang bergema dari rumah gedung kadipaten itu hanyalah ratap tangis dan tarikan napas panjang, disusul bentakan-bentakan dan maki-makian marah sang adipati ketika menerima laporan bahwa para pengawal tidak berhasil mendapatkan jejak Pujo.

********************


Betapapun besar gelora dendam mengamuk di hati Pujo, namun ia masih tidak tega untuk mengganggu anak kecil berusia setahun dalam pondongannya dan masih tidur nyenyak itu. Anak kecil itu masih tidur ketika ia meletakkannya di sudut gua, di atas rumput kering. Akan tetapi tidak sehalus itu ia memperlakukan ibunya. Karena wanita ini adalah isteri Wisangjiwo, maka sebagian dendamnya tertumpah kepada Listyokumolo yang ia dorong sehingga wanita itu jatuh terpelanting di atas lantai gua.

Dengan muka ketakutan Listyokumolo bangkit dan duduk menahan tubuh dengan tangannya. Ia sudah dapat mengeluarkan suara lagi sekarang. Matanya memandang penuh rasa takut dan tubuhnya gemetar, dadanya turun naik, rambutnya sejak tadi terurai lepas. Pujo berdiri memandang perempuan itu dengan hati puas. Seorang wanita muda yang cantik, berkulit kuning bersih yang tampak makin menarik oleh sinar matahari pagi yang menerobos ke dalam gua. Kembennya yang halus berkembang itu seakan-akan tidak kuasa menahan dan menyembunyikan dada yang menonjol dan yang bergerak seperti gelombang itu.

"Mengapa... mengapa kau membawa aku dan anakku kesini? Kalau hendak kau bunuh kami, mengapa kau bawa kami sejauh ini?" Akhirnya Listyokumolo dapat mengeluarkan kata-kata dengan bibir gemetar.

Pujo tertawa bergelak, menimbulkan rasa ngeri. Wajahnya yang tampan itu membayangkan kekejaman yang mengerikan. "Ha-ha-ha-ha! Kau mau tahu? Dengarlah, isteri Wisangjiwo. Aku membawamu ke sini untuk menyiksamu, untuk memperkosamu, menghinamu sehingga kau tidak akan mempunyai muka lagi untuk melihat sinar sang surya! Aku akan membiarkanmu hidup dalam genangan aib, dan aku akan menyiksa lalu membunuh anakmu, anak Wisangjiwo!"

Terbelalak mata yang bening itu, lalu merintih dan menoleh kepada anaknya yang masih tidur pulas di atas rumput kering di sudut guha: Ia mengeluarkan jerit tertahan, bangkit dan hendak menubruk anaknya, akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Pujo menendangnya roboh kembali ke atas tanah, di mana ia menangis terisak-isak.

"Mengapa kau lakukan ini kepada kami? Mengapa? Apa dosaku? Apa dosa anakku?"

"Dosa mu karena kau adalah isteri Wisangjiwo, dan dia adalah anaknya. Kalian harus menebus dosa yang dilakukan Wisangjiwo!"

"Dosa? Dosa apakah?" Wajah yang cantik itu menjadi pucat sekali.

"Hah! Si bedebah Wisangjiwo telah memperkosa isteriku di sini! Ya, di tempat kau sekarang rebah! Di situ! Di depan mataku! Aku harus membalas, memperlakukan engkau seperti yang telah ia lakukan terhadap isteriku!"

Naik sedu-sedan di kerongkongan wanita itu ketika ia bangkit dan duduk. Di antara isaknya ia berkata, "Aku tahu, suamiku memang seorang yang tidak baik. Tak kusangka ia sampai hati melakukan perbuatan laknat dan terkutuk itu. Keji! Keji sekali! Kau hendak membalas perbuatannya atas diriku? Baik, lakukanlah sesuka hatimu, asal engkau suka mengampunkan anakku yang tidak berdosa. Lakukanlah, aku telah siap dan takkan mengeluh. Akan tetapi... kau... ampunkanlah anakku, jangan kau ganggu Joko Wandiro anakku...!"

"Ha-ha-ha-ha! Akan ku perhina engkau, seperti suamimu menghina isteriku. Beginilah yang ia lakukan kepada isteriku!"

Tangan Pujo meraih dan "reeetttt!" robeklah pakaian penutup tubuh yang padat.

"Tidak perlu engkau menggunakan kekerasan. Tanpa kekerasan akupun akan menurut, takkan melawanmu. Mungkin engkau tidak sejahat Wisangjiwo. Sudah terlalu lama aku menderita batin karena menjadi isterinya, isteri paksaan. Kau bernama Pujo, bukan? Nah, aku siap menanti pernyataan kasihmu, tanpa perlawanan, dengan rela, untuk penebus nyawa anakku dan untuk penebus dosa suamiku." Sambil berkata demikian, Listyokumolo mengembangkan kedua tangannya yang bulat, siap menanti pelukan.

Mendadak wajah Pujo menjadi pucat sekali. Ia mengeluarkan suara gerengan seperti harimau terluka dan tangannya melayang, menampar pipi Listyokumolo sehingga wanita ini kembali terpelanting dan menangis terisak-isak.

"Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu! Engkau menghadapi ancaman perkosaan dengan senyum di bibir dan gairah di mata? Engkau rela dan senang?"

"Hu-huk....... apa lagi yang dapat kulakukan? Aku tidak berdaya..."

"Keparat! Di mana kesetiaanmu terhadap suami? Sekeji engkau inikah semua wanita di jagad ini? Begitu mendapat kesempatan, tanpa malu-malu akan menghianati suaminya, menerima perjinaan dengan hati senang ? Beginikah...?"

Suara Pujo menjadi parau dan hampir menangis. Pujo bukanlah seorang yang mempunyai watak kejam dan mata keranjang. Wanita yang cantik di depannya ini, yang memiliki tubuh menggairahkan, yang hampir telanjang, sama sekali tidak dapat menggerakkan nafsu berahinya, tidak mendatangkan gairah di hatinya, ia melalukan kekejaman itu terdorong nafsu dendam semata.

Andaikata Listyokumolo melakukan perlawanan, belum tentu ia akan melanjutkan niatnya menggagahi wanita ini. Akan tetapi sikap Listyokumolo yang menyerah, bahkan ada sinar mata gairah penuh pengharapan itu, membuat ia menjadi muak dan seakan-akan jantungnya ditembus keris. Ia teringat akan isterinya. Agaknya begini pula sikap isterinya ketika digagahi Wisangjiwo. Menyerah! Dengan alasan tidak berdaya, namun di sudut hatinya mengalami kesenangan, kepuasan dan kegembiraan seperti perempuan ini! Ia muak! Muak dan marah sekali, makin sakit hati terhadap peristiwa nista di dalam guha ini di malam gelap itu.

"Pujo, terserah hendak kauapakan diriku, aku menurut. Asal jangan engkau ganggu anakku. Malah aku siap sedia ikut denganmu, ke manapun kaubawa. Aku bersedia melayanimu selamanya, biar aku tidak kembali ke kadipaten. Kau kehilangan isterimu karena Wisangjiwo? Nah, ambillah aku sebagai gantinya dan peliharalah anakku..."

"Tutup mulut!" Pujo membentak dan kini matanya beralih kepada anak itu.

Joko Wandiro yang sudah berusia setahun itu agaknya kaget oleh suara ribut-ribut dan bangun, lalu duduk. Ia menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan.

"Ibu.......!" Ia berseru girang ketika melihat ibunya berada di situ.

"Joko....... anakku.......!" Listyokumolo hendak menghampiri anaknya, akan tetapi Pujo menghardik, "Mundur! Jangan sentuh dia!"

"Pujo...... ampuni dia...... ah, jangan kauganggu dia, Pujo.....!"

"Perempuan rendah! Akan kuapakan dia tak perlu kau ribut-ribut!"

"Jangan.......! Pujo, kau lihatlah aku. Lihat, aku siap melakukan semua perintahmu. Kau ambillah aku, aku akan melayanimu dengan senang hati, aku akan mentaati semua perintahmu, memenuhi semua keinginanmu. Pujo, lihatlah, aku cukup cantik, aku dapat membahagiakan hidupmu!"

Seperti seorang gila Listyokumolo merenggut sisa pakaiannya, lalu menghampiri Pujo dan hendak memeluknya. Lenyap semua gairah pada sinar mata Listyokumolo. Kini apa yang ia lakukan adalah dorongan hasrat ingin menyelamatkan anaknya semata. Pengorbanan seorang ibu untuk anaknya, apapun juga akan ia lakukan untuk keselamatan anaknya. Berbeda dengan tadi karena perasaan suci itu dikotori hasrat hati melayani Pujo yang memang tampan dan sebagian pula untuk membalas suaminya yang sudah terlalu banyak menyakiti hatinya.

Sekarang semua tindakannya bebas daripada segala macam nafsu, semata-mata untuk memindah kan perhatian dan keinginan Pujo dari anaknya, agar anaknya terbebas daripada maut yang sudah mengancam. Pujo sengaja diam saja. Bibirnya tersenyum mengejek ketika menyaksikan betapa wanita cantik itu mendekapnya, membelainya dan berusaha menarik perhatiannya. Makin muak perutnya. Bukan muak terhadap wanita ini, melainkan terhadap isterinya!

Pandang matanya seakan-akan sudah kabur. Wajah Listyokumolo sudah berubah menjadi wajah isterinya! Dengan perasaan gemas ia menjambak rambut yang hitam halus dan panjang itu, lalu mendorong tubuh wanita itu sampai terguling. Ia meludah ke arah Listyokumolo, kemudian kembali melirik Joko Wandiro yang mulai menangis. Tak dapat ia membalas dengan cara begini, pikirnya. Tak mungkin ia melakukan perbuatan keji dan rendah itu terhadap wanita ini, sungguhpun semata hanya untuk menyakit kan hati Wisangjiwo.

Ada jalan lain! Anak itu! Tentu akan hancur sekali hati Wisangjiwo kalau puteranya hilang. Lebih hebat lagi, ia akan mendidik bocah ini menjadi seorang gemblengan, kemudian ia akan menggoreskan dalam batin anak itu bahwasanya Wisangjiwo adalah musuh besar yang harus dilawannya dan dibunuhnya! Ha-ha, alangkah manis pembalasan dendam itu! Tiba-tiba Pujo melompat menyambar tubuh Joko Wandiro, memondongnya dan membawanya lari keluar guha.

"Jangan...! Anakku... aahhh...! "

Listyokumolo terguling roboh lagi oleh tendangan Pujo ketika ibu ini berusaha menghadang. Ketika ia bangkit kembali dan lari keluar guha, Pujo dan puteranya sudah lenyap tak tampak lagi bayangannya. Hanya masih terdengar tangis anaknya dari jauh, dari balik batu karang akan tetapi hanya sebentar, lalu sunyi. Hanya debur ombak menghantam karang yang terdengar, menelan suara jerit tangis Listyokumolo yang kemudian menggeletak pingsan di dalam Gua Siluman.

Angin laut bertiup keras, ombakpun makin mengganas, seakan-akan ombak dan angin ikut pula murka dan berduka menyaksikan polah-tingkah manusia yang ditakdirkan menjadi mahkluk termulia di antara segala mahkluk di dalam dunia ini. Di bawah ombak yang mengganas, ikan besar menelan ikan kecil, dan yang kecil menelan yang lebih kecil lagi. Menelan bulat-bulat. Ikan menelan ikan lain karena desakan kebutuhan hidup, karena lapar dan karena sudah semestinya. Manusia melakukan kejahatan terhadap sesamanya untuk menuruti nafsu!

Lewat tengah hari, sepasukan pengawal yang dipimpin Jokowanengpati menuruni gunung karang yang amat curam itu menuju ke Gua Siluman. Memang disengaja oleh Jokowanengpati yang dapat menduga ke mana perginya Pujo dengan ibu dan anak yang diculiknya. Sengaja ia memperlambat pengejaran sehingga baru setelah lewat tengah hari mereka tiba di pantai karang depan Guha Siluman. Dan di antara batu karang itulah mereka mendapatkan Listyokumolo, dengan pakaian setengah telanjang, menjerit-jerit dan menangis memanggil-manggil nama Joko Wandiro. Tidak tampak adanya Pujo dan Joko Wandiro.

Ketika wanita itu ditegur, Listyokumolo menjadi ketakutan dan hendak melarikan diri sambil menjerit-jerit. Terpaksa para pengawal menggunakan kekerasan menangkapnya dan dengan paksa membawanya naik untuk pulang kembali ke Selopenangkep. Listyokumolo terguncang batinnya dan ia menjadi setengah gila!

Ketika pasukan pengawal yang dipimpin Jokowanengpati tiba di Kadipaten Selopenangkep membawa Listyokumolo yang kadang-kadang menjerit-jerit dan meronta-ronta, kadang-kadang tertawa dan berlagak dengan genitnya itu, suasana kadipaten sedang diliputi kabut kedukaan. Ternyata kemudian oleh Jokowanengpati bahwa Roro Luhito telah minggat dari kadipaten tanpa meninggalkan jejak!

Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batin yang diderita Adipati Joyowiseso dan keluarganya ketika mereka menyaksikan keadaan Listyokumolo yang terganggu otaknya itu. Dan semua ini gara-gara perbuatan Pujo, nama yang dikutuk oleh keluarga kadipaten, dibenci dan diancam. Adipati Joyowiseso sendiri sampai hampir gila oleh amarah. Setelah Listyokumolo dipaksa masuk ke dalam kamar oleh ibu mertuanya, Adipati Joyowiseso menghunus kerisnya, mencak-mencak dan berteriak-teriak ke arah pintu kadipaten yang kosong.

"Iblis laknat Pujo! Ke sinilah kamu, mari hadapi aku, Adipati Joyowiseso! Kita bertanding sampai seorang di antara kita mati! Jangan mengganggu wanita, keparat!"

Matanya melotot lebar hampir terlompat keluar dari pelupuknya, sepasang kumis tebal bergerak-gerak, giginya berkerot, tangan yang memegang keris gemetar. Sikap sang adipati benar-benar menyeramkan dan andaikata Pujo ada di depannya, pasti akan diterjangnya mati-matian. Para pengawal hanya menundukkan muka, tidak ada yang berani menentang pandang mata sang adipati.

Hanya Jokowanengpati seorang yang berani mendekati Adipati Joyowiseso. Pemuda inipun merasa terpukul dan agak kecewa mendengar betapa Roro Luhito telah lolos dari kadipaten, padahal sudah pasti dara jelita itu akan terjatuh ke dalam pelukannya. Banyak sudah ia memperoleh wanita, baik gadis maupun janda, baik suka rela maupun paksa, akan tetapi belum pernah hatinya terguncang seperti terhadap puteri adipati ini. Belum pernah Jokowanengpati merindukan seorang wanita untuk kedua kalinya, akan tetapi kali ini, entah mengapa ia ingin selalu mendampingi Roro Luhito, tak ingin berpisah lagi. Hatinya sama sekali tidak peduli melihat kenyataan betapa seluruh keluarga kadipaten terbenam dalam kedukaan akibat perbuatannya, akan tetapi mendengar akan perginya Roro Luhito dari kadipaten, hatinya yang sekeras baja menjadi lunak oleh kekecewaan dan kekhawatiran.

"Paman adipati, harap suka tenang dan bersabar," Jokowanengpati membujuk.

"Mana aku bisa tenang sebelum mencacah isi perut Pujo si jahanam?!?" Adipati Joyowiseso membentak.

"Tenanglah, paman, dan harap suka sarungkan keris paman. Saya berjanji untuk mencari dan mendapatkan kembali diajeng Roro Luhito."

"Bukan hanya Luhito yang menjadikan hatiku berduka."

Adipati Joyowiseso menarik napas panjang dan kembali duduk di atas kursi, Jokowanengpati duduk menghadapinya. Dengan gerak tangannya adipati itu menyuruh semua orang mundur agar ia dapat bicara berdua dengan pemuda yang menjadi harapannya.

Setelah semua orang pergi ia berkata, "Anakmas Jokowanengpati, engkaulah satu-satunya orang yang kupercaya dan kepadamulah kutumpahkan harapanku. Anakmas tahu, Joko Wandiro adalah cucuku satu-satunya, cucu laki-laki. Dia terculik oleh si keparat Pujo. Ah, ke mana perginya anak kurang ajar Wisangjiwo? Dia ngelayap (keluyuran) tak tentu rimbanya! Kalau dia berada di rumah, dengan bantuanmu tentu akan cukup kuat mencegah terjadinya malapetaka ini."

"Kurasa percuma, paman. Kalau hanya Pujo seorang, sayapun cukup kuat untuk menghadapinya. Akan tetapi karena paman Resi Bhargowo ikut campur tangan, saya kira biarpun ada kangmas Wisangjiwo di sini, kita takkan kuat melawannya."

"Hehhh....... kalau begitu, bagaimana baiknya?"

"Harap paman tenang. Saya kira si laknat Pujo tidak akan membunuh Joko Wandiro. Tentu niatnya menculik kakang mbok Listyokumolo hanya untuk.... hemm, si keparat jahanam! Tentu hanya untuk menggagahinya seperti yang telah ia lakukan, setan!" Jokowanengpati sengaja mengucapkan kata-kata fitnah ini sungguhpun sebagai seorang laki-laki yang sudah berpengalaman ia dapat menduga bahwa Pujo tidak melakukan perkosaan terhadap isteri Wisangjiwo. Ia sengaja mengemukakan hal ini untuk menambah api sakit hati pada Adipati Joyowiseso. Dan memang usahanya ini berhasil baik karena muka si adipati menjadi merah sekali, tangan kanannya mengepal dan meninju meja.

"Kalau kudapatkan dia, akan kuhancurkan kepalanya dengan tanganku sendiri!" desis adipati itu.

"Kakangmbok Listyokumolo sudah pulang dengan selamat biarpun tercemar dan terganggu batinnya. Adapun Joko Wandiro yang terculik, saya rasa Pujo tidak akan membunuhnya. Andaikata ada niat jahat itu di hatinya, mengapa tidak ia bunuh di sini atau di dalam guha? Tentu ada maksud tersembunyi dan Joko Wandiro masih selamat. Akan tetapi untuk menghadapi Pujo, terutama sekali Resi Bhargowo yang sakti mandraguna itu, tidak ada jalan lain kecuali melaporkan mereka sebagai pemberontak-pemberontak ke Mataram. Hanya para Empu di Mataram yang agaknya akan sanggup menghadapi dan menangkap Resi Bhargowo."

Adipati Joyowiseso mengangguk-angguk akan tetapi keningnya berkerut. Minta bantuan ke Mataram? Sungguh berlawanan dengan rencananya, rencana rahasia di dalam hati yang selama ini ia pendam, yang sudah hampir ia matangkan dengan beberapa orang tokoh di utara dan barat, yang sudah mulai dipersiapkan, yaitu rencana memberontak terhadap Mataram! Akan tetapi, Jokowanengpati adalah murid Empu Bharodo seorang tokoh Mataram, tentu seorang yang berpihak Mataram. Bagaimana ia dapat mengutarakan rahasia hatinya?

"Urusan ini biarpun amat besar bagi kami sekeluarga, namun tetap merupakan urusan pribadi yang tentu tidak ada artinya bagi Mataram.

Agaknya belum tentu mendapat perhatian sang prabu di Mataram," katanya.

"Kalau kita laporkan bahwa Pujo dan Resi Bhargowo mempunyai niat memberontak, tentu akan mendapat perhatian besar," bantah Jokowanengpati.

"Akan tetapi, lebih baik aku minta bantuan beberapa orang sahabat yang kiranya cukup tangguh untuk menghadapi Resi Bhargowo. Guru Wisangjiwo, Ni Durgogini amat sakti, sungguhpun dia merupakan seorang pertapa aneh yang tidak mau mencampuri urusan dunia, namun apabila Wisangjiwo yang minta, kiraku Ni Durgogini akan mau turun tangan. Di sampingnya masih ada Ni Nogogini yang terkenal sebagai wanita sakti di Laut Selatan. Juga, apabila aku mengundang arok Gendroyono, tentu ia akan suka membantu."

Jokowanengpati tersenyum lebar. "Kiranya paman adipati mempunyai sahabat-sahabat yang demikian sakti. Nama besar ketiga orang tokoh itu tentu saja pernah saya dengar. Agaknya paman ragu-ragu untuk minta bantuan Mataram. Apakah hal ini ada hubungannya dengan ucapan Pujo ketika hendak dihukum perapat?"

Berubah wajah Adipati Joyowiseso. Ia menatap wajah tamunya dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Apa maksud anakmas? Ucapan yang mana?"

"Ucapan bahwa penaklukan paman adipati terhadap Mataram hanya pada lahirnya saja, sedangkan pada batinnya.menentang."

Serentak Adipati Joyowiseso bangkit berdiri, tangan kanannya meraba gagang kerisnya dan mulutnya sudah siap meneriaki pengawal.

"Itu bohong! Apakah anakmas lebih percaya pada mulut seorang jahat seperti Pujo?!" Sepasang mata adipati itu seakan-akan hendak menembus dan menjenguk isi hati Jokowanengpati.

Pemuda itu tenang-tenang saja bahkan tersenyum melihat sikap sang adipati. Kini ia mengangguk dan berkata, "Aku percaya akan apa yang diucapkan Pujo itu dan aku amat girang karenanya."

Adipati Joyowiseso terkejut bukan main, akan tetapi ekor kalimat itu membuatnya terheran.

"Apa... apa maksud anakmas...??"

"Harap paman adipati suka menyarungkan kembali keris itu dan marilah duduk dengan tenang. Saya bukanlah musuh paman, dan terutama sekali dalam hal menghadapi Mataram kita berada di satu pihak. Saya sendiripun ingin sekali melihat jatuhnya Mataram, paman adipati "

Namun, Adipati Joyowiseso bukanlah seorang yang bodoh dan sembrono. Ia cukup maklum akan bahayanya percakapan seperti ini, apalagi mengingat bahwa pemuda di depannya adalah murid Empu Bharodo yang menjadi tokoh di Mataram, ia tidak mau mempercaya keterangan aneh ini begitu saja.

Setelah duduk ia lalu berkata, "Harap anakmas jangan berkelakar. Saya adalah seorang adipati di Selopenangkep yang menerima anugerah gusti prabu di Mataram menjadi penguasa di sini, sedangkan anakmas adalah seorang senopati (panglima) muda yang telah berjasa dalam perang. Bagaimana anakmas dapat bercakap-cakap dengan saya tentang hal-hal yang tidak semestinya itu?"

Senyum di bibir Jokowanengpati melebar. "Paman adipati, harap paman jangan khawatir, karena kita sehaluan. Terus terang saja saya mengaku di depan paman, bahwa saya sendiri merasa sakit hati kepada Mataram dan mencari kesempatan untuk membalas dendam. Saya benci kepada Sang Prabu Airlangga dan Sang Patih Narotama yang pilih kasih dan tidak pandai menghargai jasa orang!"


"Saya harap pamanda adipati tidak berpura-pura lagi. Sayapun sudah berterus terang. Seperti paman ketahui, dalam perang yang terakhir, saya ikut berjuang membela Mataram, apalagi dalam usaha menundukkan raja-raja muda di pantai utara. Akan tetatpi, setelah perang berakhir dan semua pejuang menerima pahala, saya seorang dilupakan oleh sang prabu. Bahkan ketika saya mengadukan hal ini kepada guru saya, Empu Bharodo malah memarahi dan mengusir saya. Saya tahu, hal itu adalah gara-gara sang patih yang memang menaruh iri hati kepada saya. Oleh karena itu, sebelum berhasil meruntuhkan Mataram dan melihat Patih Kanuruhan serta sang prabu terjungkal dari tahta, belum puas hati saya!"

Mendengar ini, Adipati Selopenangkep itu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia memegang lengan tangan Jokowanengpati dan berkata girang, "Ah, siapa kira, kita bersatu haluan, anakmas! Akan tetapi, agaknya sakit hati dan cita-cita kita ini hanya akan tetap tinggal menjadi penyakit di dalam hati. Satu-satunya harapanku tadinya adalah Kerajaan Sriwijaya yang menjadi musuh lama Mataram Akan tetapi setelah Sang Prabu Airlangga memperisteri puteri dari Kerajaan Sriwijaya, lenyaplah harapanku. Di antara kedua kerajaan itu telah ada ikatan keluarga, maka tidak mungkin kita mengharapkan. Kerajaan Sriwijaya lagi."

"Memang wawasan pamanda adipati benar. Akan tetapi, masih banyak jalan menuju ke terlaksananya cita-cita kita. Bukan hanya Kerajaan Sriwijaya yang menjadi musuh Mataram. Para raja muda di pantai utara, para adipati yang ditundukkan dengan kekerasan oleh Mataram, tidak semua di antara mereka takluk dengan tulus ikhlas, tepat seperti kata-kata orang cerdik pandai, bahwa orang ditundukkan oleh perang, hanya tunduk karena kalah, tunduk pura-pura yang tidak dapat dipercaya. Nah, kalau kita mengadakan sekutu dengan mereka, keadaan kita akan cukup kuat, paman adipati."

Adipati Joyowiseso tertawa gembira dan menepuk-nepuk bahu pemuda itu. "Ah, alangkah senang hatiku menemukan seorang sekutu seperti anakmas yang luas pengetahuan lebar pandangan dan tinggi ilmu kesaktian. Ternyata cocok sekali pendapat kita.

Akupun sudah mengadakan hubungan dengan banyak tokoh penting, anakmas, di antaranya seperti telah kusebutkan tadi adalah Warok Gendroyono dari Ponorogo yang pernah menerima hukuman dari Mataram sehingga mengandung dendam, dan selain guru puteraku sendiri Ni Durgogini dan Ni Nogogini adiknya, masih ada lagi seorang tokoh yang siap menjadi tulang punggung, yaitu Ki Krendroyakso di Bagelen!"
"Wah, hebat! Ki Krendoyakso raja sekalian bajak begal dan maling dengan anak buahnya yang ribuan orang banyaknya!Bagus sekali, paman. Semua pembantu itu dapat ditambah dengan banyak senopati dan raja muda taklukan Mataram yang ingin memberontak, dan untuk memperlengkap deretan orang sakti yang membantu, saya dapat mengajukan seorang sakti mandraguna yang tak seorangpun mengenal nama aslinya, hanya dikenal dengan nama julukan Cekel Aksomolo (Cantrik Bertasbih) yang bertapa di hutan Wredo di lereng Gunung Wilis."

Adipati Joyowiseso merasa girang bukan main. Diperintahkannya para pelayan untuk mengeluarkan minuman keras dan makanan, dijamunya pemuda itu dengan keakraban baru karena pemuda ini selain penolong dan calon mantu, juga merupakan seorang sekutu yang boleh diandalkan. Agak terhiburlah hatinya yang tadi penuh amarah dan duka oleh malapetaka yang menimpa keluarganya.

"Nah, kau mengerti sekarang mengapa aku merasa ragu untuk minta bantuan Mataram dalam menghadapi Pujo, anakmas."

"Paman adipati, saya rasa paman keliru dalam hal ini. Kita harus mengerti bahwa Pujo dan Resi Bhargowo adalah orang-orang yang setia kepada Mataram. Buktinya dahulu ketika paman melawan barisan Mataram, orang-orang Sungapan itu tidak mau membantu, kan? Dan memang tidak aneh karena Resi Bhargowo adalah adik seperguruan guru saya, Empu Bharodo. Jadi terang bahwa mereka guru dan murid adalah orang Mataram. Kita bercita-cita membalas dan memukul Mataram, juga mempunyai dendam terhadap Pujo dan gurunya. Adakah jalan yang lebih sempurna daripada mengadu domba mereka satu kepada yang lain? Biarlah mereka saling hantam, karena kalau mereka saling hantam, berarti akan melemahkan kedudukan mereka sehingga mudah bagi kita mencari kesempatan baik. Sebaliknya kalau mereka tidak diadu domba, kita akan harus menghadapi mereka bersama, tentu amat berat. Mengertikah paman adipati akan maksud saya?"

Wajah Adipati Joyowiseso berseri-seri dan ia memandang kagum kepada wajah yang tampan itu. "Aku mengerti, anakmas. Memang tepat dan betul sekali rencanamu itu."

Dua orang sekutu ini bercakap-cakap dan mengatur siasat untuk melaksanakan niat pemberontakan mereka. Karena maklum betapa besar dan kuatnya bala tentara Mataram, maka dengan cerdik Jokowanengpati mengajukan siasat untuk melemahkan Mataram lebih dahulu dengan cara mengadu domba dan memecah-belah, kalau perlu menundukkan atau membunuh ara tokohnya yang berkepandaian tinggi dengan dalih urusan pribadi. Karena hanya dengan cara mengalahkan, menundukkan, atau membunuh tokoh-tokoh sakti pembela Mataram sajalah kerajaan itu dapat dilemahkan dan mudah dipukul kelak kalau saatnya yang baik tiba!

Makin lama mereka bercakap-cakap, makin tertarik dan kagumlah hati Adipati Joyowiseso akan kecakapan pemuda ini yang bukan hanya memiliki kesaktian hebat, juga ternyata memiliki kecerdikan dan siasat serta tipu muslihat yang amat berguna bagi pemberontakannya. Setiap hari mereka bercakap-cakap dan berunding sambil menantikan pulangnya Raden Wisanghjiwo.

Setengah bulan kemudian datanglah Raden Wisangjiwo. Wajahnya berseri-seri ketika ia memasuki pendopo kadipaten dan melompat turun dari kudanya yang besar, yang segera disambut oleh para penjaga dan pelayan. Akan tetapi kegembiraannya segera lenyap seperti kabut disapu panas ketika ia bertemu ayahnya di ruang dalam. Ayahnya tengah duduk semeja dengan Jokowanengpati, dan melihat kedatangannya, ayahnya itu bangkit berdiri dengan mata melotot dan mulut melontarkan teguran keras.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Bocah durhaka! Kau telah keluyuran ke mana saja? Mengapa masih ingat akan pulang? Kalau kau sudah tidak membutuhkan orang serumah ini, mengapa kau masih mau pulang?"

Merah wajah Wisangjiwo. Dimarahi ayahnya yang galak bukan apa-apa baginya, akan tetapi kali ini ia dimarahi di depan Jokowanengpati yang hanya seorang kenalan, berarti seorang tamu atau orang luar.

"Kanjeng rama (ayah), saya baru pulang dari kota raja..."

"Hemm, kau keluyuran ke sana mau apa? Enak ya bersenang-senang di kota raja sedangkan di rumah tertimpa malapetaka hebat!"

"Malapetaka? Apakah yang terjadi?"

"Pujo si pengecut datang mengamuk, ayahmu ini hampir terbunuh olehnya, kemudian anak isterimu diculiknya, isterimu sudah didapatkan kembali akan tetapi anakmu sampai sekarang lenyap. Adikmu Roro Luhito minggat. Semua itu terjadi dan kau berfoya-foya di kota raja!"

Muka yang tadinya berseri itu kini menjadi pucat. Tanpa menjawab lagi Wisangjiwo melompat lari menuju ke kamarnya untuk mendapatkan isterinya. Di situ ia disambut tangis ibunya dan para selir ayahnya. Listyokumolo, istrinya, rebah telentang dengan mata tak bergerak-gerak, bahkan ketika mata melirik ke arahnya, seakan-akan tidak mengenalnya lagi. Bagi Wisangjiwo, Listyokumolo adalah seorang wanita cantik, seorang di antara wanita-wanita cantik yang lain yang menjadi kekasihnya.

Bagi dia, isteri, selir maupun kekasih diluar, semua wanita bagaikan barang permainan yang menyenangkan, dan yang bertugas semata-mata sebagai pemuas nafsu, pelipur hati, pelepas dahaga. Lain tidak! Oleh karena wataknya inilah maka Listyokumolo merasai penderitaan batin setelah menjadi isteri putera adipati ini, dan oleh karena watak ini pula maka Wisangjiwo tidak menaruh perhatian akan nasib yang menimpa diri isterinya. Yang membuat ia gelisah adalah tentang puteranya.

"Nimas Listyokumolo!" Ia cepat-cepat menegur sambil memegang tangan isterinya, tidak mempedulikan para ibunya yang berada di situ, "Di mana adanya Joko Wandiro anakku??"

Karena tangannya dipegang erat-erat dan diguncang-guncang, Listyokumolo menjadi terkejut. Ia menoleh, memandang aneh lalu menangis sambil berteriak-teriak, "Kembalikan anakku...! Kembalikan dan jangan ganggu anakku... kau boleh perbuat sesukamu atas diriku, aku menyerahkan seluruh ragaku kepadamu.... tapi jangan ganggu Wandiro.....!!"

Lalu menangis menggerung-gerung di atas pembaringan. "Listyokumolo, di mana Joko Wandiro? Di mana dia?" Wisangjiwo mengguncang-guncang tubuh isterirya, namun jawaban Listyokumolo selalu sama. Akhirnya ibunya datang memegang pundaknya dan berkata lembut, "Tiada gunanya kau membentak-bentak anakku. Isterimu mengalami pukulan batin dan yang selalu diucapkan hanya itu-itu juga. Lebih baik kau lekas berunding dengan ayahmu dan cepat-cepat mencari sampai dapat puteramu Joko Wandiro."

Isteri adipati itu mengakhiri kata-katanya, dengan isak ditahan. Wisangjiwo menjadi lemas dan keluar dari kamar itu tanpa menoleh kepada isterinya lagi. Ia menuju ke ruangan tengah dan menjatuhkan tubuhnya di atas kursi di depan ayahnya, lalu menarik napas panjang.

"Kanjeng rama, apakah yang telah terjadi selama saya pergi? Dan saya lihat adimas Jokowanengpati hadir di sini, sudah lamakah, dimas?"

Jokowanengpati memandang tajam dan bibirnya sudah berkomat-kamit hendak menjawab, akan tetapi didahului Adipati Joyowiseso, "Jika tidak ada anakmas Jokowanengpati, ramamu sudah menjadi jenazah sekarang!" Adipati Joyowiseso lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga kadipaten. Kemudian ia memandang puteranya dengan tajam sambil bertanya, "Wisangjiwo, sebetulnya apakah yang terjadi antara engkau dan Pujo? Mengapa ia memusuhimu seperti itu?"

Sampai lama Wisangjiwo tidak dapat menjawab. Ia menjadi marah sekali. Mendengar betapa adik perempuannya diperkosa sehingga mungkin saking malu adiknya itu sampai lolos minggat dari kadipaten, mendengar betapa isterinya diculik dan menurut dugaan ayahnya juga diperkosa, hatinya menjadi panas. Tentang isterinya dirusak kehormatannya, ia dapat mencari lain wanita. Akan tetapi penghinaan itu sendiri yang membuat hatinya panas, apalagi penghinaan yang ditimpakan atas diri adiknya.

Semua ini masih ditambah lagi dengan diculiknya Joko Wandiro, puteranya, benar-benar membuat dadanya bergolak dan sukar bagi orang muda ini untuk mengeluarkan suara menjawab pertanyaan ayahnya. "Si keparat Pujo!" desisnya di antara dua baris gigi yang dirapatkan, kedua tangannya mengepal "Akan kuhancurkan engkau!"

Adipati Joyowiseso tak sabar lagi. "Wisangjiwo, simpan dulu kemarahanmu, tiada gunanya sekarang, sudah terlambat. Permusuhan apakah yang timbul antara engkau dan Pujo?"

Wisangjiwo menarik napas panjang. "Sayang sekali, kanjeng rama, tidak kupadamkan saja api hidupnya pada waktu itu, padahal dia sudah berada di tangan saya, kalau saya mau membunuhnya tinggal mengayun tangan saja. Ah, mengapa saya bertindak kepalang tanggung waktu itu?"

"Hayo tuturkan, jangan putar-putar macam itu!" Ayahnya menegur kesal.

"Secara kebetulan sekali saya pergi ke Guha Siluman pada senja hari itu dan bertemu dengan Pujo dan isterinya yang bertapa di dalam gua dalam keadaan aneh sekali, yaitu mereka bertapa berhadapan bertelanjang bulat! Saya menegurnya dan kami bertanding. Isterinya, Kartikosari puteri Resi Bhargowo membantu suaminya. Untung sekali saya dapat mendahului mereka sehingga saya dapat memukul mereka pingsan!"

Adipati Joyowiseso mengerutkan keningnya. Tentu saja ia dapat mengenal watak dan kesukaan puteranya yang tidak jauh bedanya dengan kesukaannya sendiri!

"Hemm, aku mendengar bahwa puteri Resi Bhargowo itu cantik. Kau lalu mengganggu isteri Pujo, bukan?"

Akan tetapi Wisangjiwo menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Kalau saya tahu bahwa si laknat itu akan melakukan perbuatan keji di sini, tidak saja isterinya akan saya perhina, bahkan mereka tentu akan kubunuh lebih dulu! Tidak, kanjeng rama, sungguhpun saya amat terpesona oleh kecantikan Kartikosari dalam keadaan menggairahkan seperti itu, namun saya... saya tidak mengganggunya. Saya masih ingat akan Resi Bhargowo yang sakti dan tidak ingin bermusuh dengannya. Maka setelah mereka roboh, saya lalu pergi dari gua itu meninggalkan mereka."

Jokowanengpati mendengarkan penuh perhatian. Terbayang olehnya semua peristiwa itu. "Kangmas Wisangjiwo. Maafkan pertanyaanku ini. Benar-benar kau tidak menggagahi Kartikosari yang cantik jelita? Melihat sepak terjang Pujo, agaknya ia amat sakit hati kepadamu dan agaknya masuk akal dendamnya itu kalau kau telah memperkosa isterinya."

"Tidak, dimas Jokowanengpati, demi para dewata yang menjadi saksi, aku tidak..... eh, dimas, kelingking kirimu itu mengapa...??"

Bukan main kagetnya hati Jokowanengpati. Pikirannya sedang berpusat pada peristiwa itu dan kelingkingnya justru buntung setengahnya dalam peristiwa itu, maka pertanyaan yang tak tersangka-sangka itu bagaikan serangan kilat yang membuat wajahnya menjadi pucat. Kalau saja bukan dia yang ditanya serentak seperti itu, tentu akan menjadi panik dan gugup. Namun Jokowanengpati adalah seorang yang amat cerdik.

Dalam keadaan terpepet itu ia masih sempat mengerjakan otaknya dan jawabannya tenang cepat tanpa ragu, "Ooohhh, inikah? Sebelum aku datang berkunjung ke sini, aku bertemu dengan gerombolan pengacau di tepi Kali Solo. Aku berhasil membasmi mereka dan membunuh kepalanya, akan tetapi kepala gerombolan itu lumayan kepandaiannya, sehingga dalam pengeroyokan itu jari kelingkingku ini terkena bacokan golok dan putus. Akan tetapi tidak apa-apa, kangmas."

"Untung hanya jari kelingking, anak-mas," Joyowiseso ikut bicara, "kalau ibu jari yang terkena bisa celaka karena ibu jari merupakan bagian paling penting dari tangan." Kemudian sambungnya sambil memandang puteranya, "Lanjutkan ceritamu, mengapa selama ini kau pergi!"

"Karena pertempuran itu, saya khawatir akan menghadapi kemarahan Resi Bhargowo, maka saya langsung pergi menghadap guru saya Ni Durgogini di Girilimut. Akan tetapi disana saya bertemu dengan paman Patih Kanuruhan... "

"Rakyana Patih Kanuruhan di sana??" Jokowanengpati berseru kaget. "Ada apakah beliau berada di sana?" Mendengar nama patih yang sakti itu, diam-diam Jokowanengpati merasa gentar.

"Agaknya beliau dahulu sahabat baik guruku, dimas, dan sengaja datang berkunjung sungguhpun beliau berkata secara kebetulan saja. Entah, aku tidak tahu sebabnya. Akan tetapi pertemuan itu membawa keuntungan bagiku karena aku sekarang mendapatkan kedudukan baik di kota raja berkat perantaraan beliau."

Wisangjiwo lalu menceritakan semua pengalamannya, bahkan ia menceritakan bagaimana ia dicoba kepandaiannya oleh patih sakti itu, kemudian ia berangkat ke kota raja, diterima baik dan ditetapkan menjadi perajurit pilihan calon pengawal istana!

Mendengar ini Adipati Joyowiseso menggebrak meja dengan alis berdiri. "Bodoh! Bodoh sekali! Bagaimana kau malah menjadi calon pengawal Raja Mataram??"

Wisangjiwo membelalakkan mata, melirik ke arah Jokowanengpati dan berseru kepada ayahnya, nadanya mencela, "Kangjeng rama...!!!"

Adipati Joyowiseso maklum akan teguran puteranya, maka ia lalu menepuk bahu Jokowanengpati yang tersenyum-senyum saja itu sambil berkata, "Anakmas Jokowanengpati juga memusuhi Raja Bali, mendukung cita-citaku. Apakah engkau puteraku sendiri malah ingin menjadi gedibal (hamba rendah) orang Bali?"

Orang-orang yang pada waktu itu membenci Raja Airlangga, memakinya sebagai raja atau orang Bali, dan memang sesungguhnya Airlangga adalah seorang putera Bali, sungguhpun darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah raja Bali yang masih ada pertalian darah pula dengan Raja Mataram. Wajah Wisangjiwo menjadi terang mendengar keterangan ayahnya bahwa Jokowanengpati telah menjadi sekutu ayahnya.

"Bagus!" Ia memegang lengan Jokowanengpati. " senang sekali mendengar hal ini, dimas! Ayah, memang saya sengaja mengusahakan agar dapat menjadi pengawal istana, karena kalau hal itu terjadi, bahkan akan banyak menolong usaha terlaksananya cita-cita kita."

"Eh, apa maksudmu?"

"Paman adipati, saya mendukung rencana kakangmas Wisangjiwo. Kalau dia bekerja di dalam istana, berarti kita selalu akan dapat mengetahui gerak-gerik mereka, pula kalau sudah tiba masanya, bantuan dari dalam merupakan hal yang amat berguna, bahkan tidak dilebih-lebihkan kalau dikatakan merupakan syarat mutlak ke arah tercapainya gerakan kita."

Mata sang adipati melebar, kemudian ia tertawa bergelak-gelak, lalu merangkul pundak puteranya. "Ah, kau pintar, puteraku! Maafkan ayahmu yang salah sangka! Benar sekali, kau bertugas di sana mengawasi gerak-gerik mereka tentang usaha kita, kalau-kalau mereka menaruh curiga. Kemudian kita atur rencana dari sini untuk mengacaukan pertahanan mereka. Akan tetapi sebelum kau kembali ke sana, kau harus menghubungi dulu gurumu Ni Durgogini, menyampaikan permintaanku agar mereka suka membantu gerakan kita ini."

"Baik, kanjeng rama, akan tetapi bagaimana dengan anakku Joko Wandiro? Dan bagaimana pula dengan adikku Roro Luhito...?"

"Jangan kau khawatir, kakangmas. Aku siap untuk mencari Pujo, membawa kembali puteramu dan sedapat mungkin akan kucari diajeng Roro Luhito."

"Wisangjiwo, kita berhutang budi banyak sekali kepada anakmas Jokowanengpati, calon adik iparmu ini."

"Adik..... ipar.....?" Wisangjiwo menoleh kepada Jokowanengpati.

"Dia,... dia telah begitu baik untuk bersedia mengawini adikmu Roro Luhito, agar tertutup noda dan aib...."

"Tidak hanya demikian, paman adipati, melainkan karena saya merasa kasihan kepada diajeng Roro Luhito, dan juga...suka kepadanya....."

"Aduh, kau benar-benar sahabat sejati!", Wisangjiwo memeluk Jokowanengpati, kemudian berkata khawatir, "Akan tetapi, dimas. Kau bilang sendiri bahwa si laknat Pujo dibantu gurunya. Bagaimana kau dapat menandingi Resi Bhargowo yang sakti mandraguna?"

Yang ditanya tersenyum tenang. "Aku sendiri tentu belum kuat melawan sang resi, akan tetapi sebelum mencari mereka, aku akan pergi menemui eyang Cekel Aksomolo di hutan Wredo yang terletak di lereng Gunung Wilis. Bersama dia, aku tidak takut lagi menghadapi Resi Bhargowo."

Secara singkat ia lalu menceritakan kehebatan dan kesaktian Cekel Aksomolo yang dipujinya setinggi langit dan dikatakannya tiada keduanya di dunia ini! Giranglah hati Wisangjiwo dan ayahnya, dan agak terhiburlah hati mereka oleh malapetaka yang menimpa keluarga Kadipaten Selopenangkep. Semalam suntuk hari itu mereka tiada hentinya bercakap-cakap mengatur rencana, karena pada keesokan harinya Jokowanengpati akan berangkat ke Gunung Wilis sedangkan Wisangjiwo akan pergi mencari guru dan bibi gurunya.

********************


"Engkau anak hina! Engkau buah daripada perbuatan jahanam! Hidupmu hanya akan mencemarkan dunia. Tak layak engkau hidup!!

Sikap dan kata-kata yang terlontar dari mulut wanita itu mengerikan. Suaranya nyaring mengatasi debur ombak memecah di batu karang. Wajahnya yang cantik jelita itu tidak terurus, tampak bengis. Matanya yang bening dan indah bentuknya itu menatap liar penuh benci kepada seorang anak bayi perempuan yang telanjang bulat dan tidur nyenyak dalam pondongannya. Rambut wanita itu terurai, panjang sampai ke pangkal pahanya.

Pakaian yang menutup tubuhnya yang muda padat dan berkulit kuning halus bersih itu tak dapat menyembunyikan lengkung lekuk tubuh seorang wanita yang sudah masak karena hanya sehelai tapih pinjung (kain yang bagian atasnya dibelit kan menutup dada), membuka telanjang memperlihatkan bagian atas dada yang bulat membusung, dada seorang wanita yang baru melahirkan, pundak dan lengan. Juga memperlihatkan kaki dari lutut ke bawah, kaki yang betisnya gemuk memadi bunting dan mata kaki yang kecil berlekuk dalam. Sepasang kaki yang kecil itu berdiri di atas batu karang yang tercapai percikan ombak memecah di pantai.

Wanita itu adalah Kartikosari! Isteri Pujo yang bernasib malang ini telah melahirkan seorang anak perempuan, dua pekan yang lalu! Setelah ia berpisah dari Pujo di Gua Siluman akibat peristiwa di malam jahanam itu, dalam keadaan berkeliaran di sepanjang pantai Laut Selatan di daerah Baron dan Karangracuk setiap hari siang dan malam menangisi nasibnya, mengeluh meratapi nama suaminya, kadang-kadang memaki dan menyumpahi nama Wisangjiwo, atau ada kalanya tertawa-tawa dan bermain-main dengan ombak yang datang bergulung-gulung, beberapa bulan kemudian barulah ia sadar akan keadaan dirinya.

Sadar bahwa ia telah mengandung! Setengah hari Kartikosari menggeletak pingsan di dalam sebuah gua kecil di pantai Karangracuk yang ia jadikan tempat tinggalnya, setelah ia ketahui bahwa ia telah mengandung. Di waktu sadar dari pingsannya, ia menangis menggerung-gerung, menjambaki rambutnya sendiri sampai rambut yang hitam halus dan panjang itu awut-awutan, mencakari mukanya yang cantik jelita sampai kulit yang halus dan kuning kemerahan itu menjadi merah oleh darah dari pipi yang terluka kuku, lalu menangis lagi bergulingan di lantai gua seperti anak kecil.

Setelah reda, ia terisak-isak menyembunyikan muka di balik kedua tangan, berlutut di dalam guha. Ingin ia membunuh diri. Tak kuat rasanya harus menghadapi penderitaan yang susul-menyusul, tindih-menindih ini. Namun, ia masih ingin hidup untuk melampiaskan dendamnya!

Demikianlah, beberapa bulan lamanya Kartikosari mengalami penderitaaan lahir batin yang amat hebat. Ia makan seadanya, makan apa saja yang bisa ia dapatkan. Kadang-kadang ia mendaki bukit batu karang di utara, mencari ketela atau buah-buahan, ada kalanya ia hanya makan ikan laut dibakar. Namun, penderitaan lahir ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penderitaan batinnya dengan peristiwa malam jahanam di Gua Siluman, kadang-kadang ia seperti kalap dan gila, ingin ia merobek perutnya sendiri untuk membuang jauh-jauh bayi yang mulai bergerak-gerak dalam kandungannya!

Akan tetapi ada kalanya hati kecilnya membisikkan harapan bahwa kandungannya itu adalah darah daging Pujo, suaminya. Kalau menduga begini, ia akan mengelus-elus perutnya sambil meramkan mata, lalu merintih-rintih membisikkan nama suaminya. Setelah merasa bahwa kandungannya sudah mendekati kelahiran, Kartikosari berjalan meninggalkan pantai, mencari orang. Setengah hari ia berjalan dan barulah ia melihat sebuah dusun kecil di lereng bukit, dusun yang penghuninya hanya petani-petani miskin di tanah kapur Gunung Kidul, tinggal dalam gubuk-gubuk kecil kotor dan miskin tak lebih dari tujuh buah gubuk. Namun hal ini cukup menggirangkan hati Kartikosari.

Tubuhnya sudah lelah, hampir ia tak kuat berjalan tadi kalau saja ia tak melihat gubuk-gubuk itu dari puncak bukit. Ia tadi telah mengerahkan segenap sisa tenaganya untuk berjalan kearah dusun, dan setibanya di depan pintu gubuk pertama, matanya berkunang-kunang, perutnya sakit sekali dan ia terguling roboh pingsan di atas tanah. Betapa ia ditolong beramai-ramai oleh penghuni dusun yang setengah telanjang karena miskin itu, ia tidak tahu. Betapa ia meronta-ronta, merintih-rintih dan bergulat dengan maut, iapun tidak tahu.

Sejak roboh pingsan sampai melahirkan, Kartikosari dalam keadaan tidak sadar. Ketika ia sadar dengan tubuh lemas, ia telah berada di atas balai-balai bambu yang ditilami tikar anyaman dari daun kelapa, dan di dekatnya rebah seorang bayi yang masih merah, bayi perempuan telanjang bulat, gemuk dan berkulit putih bersih berambut hitam tebal, hanya tertutup sehelai popok (kain) kumal dan kotor! Ia tidak pernah menjawab hujan pertanyaan para penghuni dusun itu yang bicara penuh hormat kepadanya, yang menganggapnya seorang puteri bangsawan yang sesat jalan atau diculik perampok, bahkan ada beberapa orang yang berbisik mengira ia bukan manusia, melainkan seorang peri (setan perempuan) atau penghuni Laut Selatan! Ia tidak mau menjawab, akan tetapi bukan tidak berterima kasih.

Dengan taat ia minum jamu-jamu pahit yang disediakan seorang nenek kurus, makan daging kelapa hijau atau bubur jagung yang disuguhkan orang, dan menerima pelayanan dan rawatan mereka selama dua pekan dengan senyum bersyukur.

Dan pada keesokan harinya setelah lewat dua pekan, penghuni dusun itu dengan heran dan kaget hanya mendapatkan sepasang gelang emas di atas balai-balai, sedangkan wanita cantik tapi agaknya gagu karena tak pernah bicara itu lenyap tak meninggalkan jejak, lenyap bersama bayinya yang cantik dan mungil bertubuh montok. Tentu saja kini mereka makin percaya kepada dia yang pernah membisikkan bahwa wanita ayu itu tentulah seorang peri atau seorang puteri dari istana Ratu Roro Kidul di dasar Laut Selatan! Kalau manusia biasa, tak mungkin dapat pergi bersama bayinya tanpa ada yang tahu sama sekali, tidak meninggalkan jejak!

Kartikosari tentu saja dapat pergi tanpa diketahui dengan mudah, mengandalkan ilmunya. Ia kembali ke Karangracuk dan berdiri di atas batu karang memaki-maki anak dalam pondongannya, kemudian matanya menjadi beringas ketika ia memandang ke arah gelombang Laut Selatan yang makin menggelora.

"Anak hina-dina! Kau tak patut hidup!" jeritnya dengan suara terpecah dalam tangis, lalu ia... melemparkan anak itu jauh-jauh ke tengah laut yang bergelombang! Tanpa melihat lagi ia membalikkan tubuh, meloncat turun dari atas batu karang lalu berlarian sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan, kemudian menjatuhkan diri bergulingan di atas pasir sambil menangis. Jantungnya terasa ditusuk-tusuk dan timbul rasa ngeri dihatinya untuk menoleh ke arah laut yang telah menelan bocah yang dilahirkannya dua pekan yang lalu.

Suara ombak yang menderu itu masuk memenuhi telinganya, dan kini berubah menjadi suara tangis anak bayinya! Tangis yang amat nyaring sehingga ia tak kuasa menahan lagi, lalu menutupkan kedua tangannya kepada telinga. Namun, betapa keras ia menutupi telinganya, suara tangis itu masih terdengar terus, bahkan makin lama makin nyaring.

"Diam...!! Jahanam! Diamlah...!! " Ia menjerit-jerit bergulingan di pantai seperti disiksa, akhirnya suara jeritannya menjadi keluh dan rintih mengerang-erang perlahan. ".... diamlah.... diamlah, nak.... diamlah...." dan ia menangis tersedu-sedu.

Setelah mereda gelora hatinya, ia memberanikan diri menoleh ke arah laut. Laut masih mengganas, ombaknya besar-besar seakan-akan menjadi marah kepadanya. Ombak laut seperti terbakar, merah tersinar matahari yang hampir tenggelam di langit barat. Ombak merah menggelora, bergulung-gulung panjang seperti naga raksasa mengamuk.

Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat berdiri. Matanya dilebar-lebarkan memandang kepada sebuah benda yang tergolek di tepi pantai, diatas pasir. Ikankah? Ikan mati? Agaknya ikan mati, terdampar oleh ombak ke pantai. Putih berkilat seperti perut ikan, tak bergerak-gerak. Kartikosari bergidik, meremang bulu tengkuknya. Bentuk ikan itu! Aneh sekali! Hitam-hitam di ujungnya. Ekor? Terlalu besar. Dan mulutnya! Mengapa terpecah menjadi dua? Mulut? Mirip kaki. Kaki bayinya! Benda itu bergerak-gerak, lalu terpecah suara tangis yang melengking. Meremang seluruh tubuh Kartikosari, bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tangis bayi! Tangis anaknya!

"Anakku...!!!" Kartikosari menjerit dan berlari cepat sekali seperti terbang ke arah benda putih itu. Ditubruknya bayi yang menangis terkekal-kekal itu, sambil berlutut di atas pasir ia mendekap bayi telanjang bulat itu ke dadanya, ditangisinya sambil terengah-engah, diciuminya, didekap lagi ke dada dan air matanya membanjir, mencuci pasir yang lekat-lekat pada tubuh bayi.

"Aduh, anakku.... anakku....! Kau kembali....? Kau... kau anak Pujo...? Anakku...! Ampuni ibumu, nak... ampun...!"

Ia tidak perdulikan lidah ombak menjilat-jilat kaki dan lututnya, seperti lidah anjing jinak menjilat-jilat kaki majikannya, mohon perhatian dan belas kasihan. Direnggutnya kain penutup dadanya sehingga tampak kedua buah dadanya yang montok dan penuh air susu, yang seakan-akan hendak pecah karena kulit yang tipis halus itu tak dapat menampung air susu yang terlalu penuh, dimasukkannya ujung buah dada yang merah itu ke mulut bayinya yang menangis keras.

Seketika terhentilah tangis bayi. Tanpa diajari oleh siapapun, manusia kecil itu lantas menghisap air susu dari dada ibunya, menghisap keras-keras dan terpancarlah air kehidupan itu menerjang tenggorokan yang kecil. Bayi itu tersedak dan terbatuk-batuk. Kartikosari melepas buah dadanya dari mulut bayinya, mulutnya berkata halus, "Pissss...! Pissss...!" Sambil menebak-nebak dada sendiri perlahan.

Setelah anaknya tidak terbatuk-batuk lagi, kembali ia tertawa gembira dan air matanya menitik turun ketika ia berkata, "Cah ayu... perlahan-lahan saja menyusu, nak... ibumu tidak marah lagi... oh, tidak akan marah lagi..."

Dengan air mata mengalir di kedua pipinya, Kartikosari membelai-belai kepala anaknya dengan pipi, merasai betapa halus rambut anaknya tergeser di pipi. Ombak agak besar kini mencapai lutut dan pinggangnya. Kartikosari cepat berdiri agar anaknya tidak terkena air. Ia menoleh ke arah laut dan berkata, "Terima kasih, ayahku Laut Selatan! Terima kasih! Kau telah mengembalikan cucumu kepadaku! Baik, akan kurawat dia, akan kujadikan dia seorang gadis yang patut menjadi cucu Laut Selatan!" Kartikosari lalu berlari-lari mendukung anaknya yang masih menyusu lahap itu menuju ke dalam gua yang menjadi tempat tinggalnya.

Semenjak saat itu, hidupnya mempunyai arah dan tujuan. Tidak hanya untuk membalas dendam kepada Wisangjiwo, akan tetapi juga untuk merawat dan mendidik puterinya. Endang Patibroto! Ya, demikianlah ia memberi nama kepada puterinya. Endang Patibroto. Patibroto berarti setia kepada suami. Ya, memang ia selalu setia kepada suaminya, bahkan terjadinya peristiwa hina di malam jahanam dalam Gua Siluman sehingga menimbulkan akibat seperti yang dideritanya sekarang, semata-mata karena kesetiaannya kepada suaminya.

Tak peduli anak siapa bayi itu, ia tetap setia kepada suaminya, setia lahir batin. Biarlah dunia mengutuknya, biarlah suaminya mengumpat caci dan tidak mempercaya akan kesetiaannya, namun Laut dan Badai tahu! Dia sendiri tahu! Puterinya tahu! Karena itu, puterinya harus bernama Endang Patibroto sebagai bukti dan penguat kesetiaannya. Mulailah Kartikosari memperhatikan kesehatannya, demi puterinya, demi Endang Patibroto.

Mulai ia membawa sisa perhiasan emasnya ke dusun dan minta kepada penghuni dusun yang keheranan itu untuk membawa perhiasannya ke kota, menjual dan menukarkan dengan pakaian dan kebutuhan lain. Mulailah ia kini setiap hari mencari sarang burung di tempat-tempat yang sukar, lalu menyuruh penghuni dusun menjualnya ke kota. Di kota banyak terdapat pedagang yang suka berdagang ke kota-kota besar dan kabarnya sarang burung itu dijualnya kepada Bangsa Cina dengan harga tinggi...

BADAI LAUT SELATAN JILID 06


Badai Laut Selatan Jilid 05

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 05

Roro Luhito masih gemetar semua tubuhnya. Tak dapat pula ia menyangkal, maka sambil menutupi mukanya ia hanya dapat mengangguk. Serasa ditusuk keris dada Adipati Joyowiseso. Ia melompat keluar lagi dari kamar anaknya dan berteriak-teriak, "Kejar...!! Kejar dan tangkap si jahanam Pujo. Siapa yang dapat menangkapnya akan kuberi hadiah besar. Kejar...!!"

Ributlah keadaan di kadipaten, seribut malam kemarin. Semua pengawal mencari-cari ke seluruh tempat dalam kadipaten. Kamar-kamar dimasuki, kamar mandi dan kakus tak terkecuali, bahkan ada yang sudah mengejar keluar kadipaten, seperti mengejar bayangan setan karena mereka tidak tahu ke mana perginya orang yang dikejar. Sementara itu, Jokowanengpati mendekati Adipati Joyowiseso.

"Paman adipati, kulihat Pujo sudah lari keluar kadipaten. Sukar menangkapnya......."

"Anakmas Jokowanengpati! Apa yang kau ucapkan ini? Kau sendiri yang menjaga dia, bagaimana dia bisa lari dan mengapa pula setelah kau melihat dia keluar dari kamar Luhito, tidak kau tangkap dia?"

"Tenanglah, paman, marilah kita masuk dan bicara di dalam."

Mereka masuk dan setelah tidak ada orang lain mendengar, Jokowanengpati berkata, "Saya merasa menyesal sekali, akan tetapi apa dayaku menghadapi paman Resi Bhargowo?"

"Resi Bhargowo? Kau maksudkan...?"

"Paman Resi Bhargowo sendiri yang datang menolong Pujo, paman. Saya sudah mencegah dan terjadi pertandingan mati-matian antara saya dan paman resi, akan tetapi saya kalah dan terpukul pingsan. Ketika saya siuman kembali, saya melihat bayangan Pujo keluar dari kamar diajeng Luhito, akan tetapi tenaga saya belum pulih dan pula, dengan adanya paman Resi Bhargowo, saya merasa tidak berdaya sama sekali. Baik kita laporkan saja ke Mataran dengan tuduhan paman Resi Bhargowo dan Pujo telah memberontak..."

"Tapi... tapi... aduh, anakku Luhi..."

"Paman adipati, saya dapat menduga apa yang telah dilakukan bocah keparat itu. Akan tetapi saya..." sampai di sini suara Jokowanengpati tergetar penuh keharuan, "saya bersedia menutupi aib yang menimpa keluarga paman. Saya bersedia menanggung dan berkorban demi kebahagiaan diajeng Roro Luhito dan demi kehormatan paman adipati."

Adipati Joyowiseso mengangkat muka, lalu menangkap lengan pemuda itu. "Kau... kau maksudkan..."

"Saya bersedia menikah dengan diajeng Roro Luhito, itulah maksud saya, tentu saja kalau paman menyetujui."

"Menyetujui? Tentu saja! Aduh, anakmas... ahh, anak mantuku yang bagus, yang budiman dan arif bijaksana, alangkah besar budi yang kau limpahkan kepada kami..." Adipati Joyowiseso merangkul leher pemuda itu. Dengan muka tunduk Jokowanengpati menyembunyikan senyumnya, senyum kemenangan!

Pada saat itu terdengar jerit-jerit tangis mengagetkan. Adipati Joyowiseso dan Jokowanengpati melompat keluar dan berlari-larian ke arah suara jeritan. Ternyata yang menangis dan menjerit-jerit itu adalah isteri adipati dan para selir, bahkan para pelayan wanita juga menangis. Dengan suara terputus-putus isteri adipati menyampaikan kepada suaminya bahwa Listyokumolo anak mantu mereka, dan juga Joko Wandiro, telah lenyap dari kamarnya tanpa meninggalkan bekas!

"Jahanam Pujo! Akan tiba saatnya aku membekuk batang lehermu!" Jokowanengpati berkata dengan nada marah.

Adipati Joyowiseso menjadi lemas dan orang tua itu menjatuhkan dirinya di atas kursi dengan napas terengah-engah. Tak lama kemudian, selirnya yang tersayang, yaitu ibu Roro Luhito, datang berlari-lari sambil menangis, tanpa bicara sesuatu karena di situ terdapat banyak orang, selir itu menarik tangan suaminya, diseret diajak ke kamar Roro Luhito. Adipati yang sudah maklum akan aib yang menimpa diri puterinya, hanya mengikuti dengan air mata membasahi pipi, sedangkan kumisnya yang biasanya berdiri garang itu kini menggantung terkulai seperti keadaan hatinya.

Sejak saat itu sampai keesokan harinya, yang bergema dari rumah gedung kadipaten itu hanyalah ratap tangis dan tarikan napas panjang, disusul bentakan-bentakan dan maki-makian marah sang adipati ketika menerima laporan bahwa para pengawal tidak berhasil mendapatkan jejak Pujo.

********************


Betapapun besar gelora dendam mengamuk di hati Pujo, namun ia masih tidak tega untuk mengganggu anak kecil berusia setahun dalam pondongannya dan masih tidur nyenyak itu. Anak kecil itu masih tidur ketika ia meletakkannya di sudut gua, di atas rumput kering. Akan tetapi tidak sehalus itu ia memperlakukan ibunya. Karena wanita ini adalah isteri Wisangjiwo, maka sebagian dendamnya tertumpah kepada Listyokumolo yang ia dorong sehingga wanita itu jatuh terpelanting di atas lantai gua.

Dengan muka ketakutan Listyokumolo bangkit dan duduk menahan tubuh dengan tangannya. Ia sudah dapat mengeluarkan suara lagi sekarang. Matanya memandang penuh rasa takut dan tubuhnya gemetar, dadanya turun naik, rambutnya sejak tadi terurai lepas. Pujo berdiri memandang perempuan itu dengan hati puas. Seorang wanita muda yang cantik, berkulit kuning bersih yang tampak makin menarik oleh sinar matahari pagi yang menerobos ke dalam gua. Kembennya yang halus berkembang itu seakan-akan tidak kuasa menahan dan menyembunyikan dada yang menonjol dan yang bergerak seperti gelombang itu.

"Mengapa... mengapa kau membawa aku dan anakku kesini? Kalau hendak kau bunuh kami, mengapa kau bawa kami sejauh ini?" Akhirnya Listyokumolo dapat mengeluarkan kata-kata dengan bibir gemetar.

Pujo tertawa bergelak, menimbulkan rasa ngeri. Wajahnya yang tampan itu membayangkan kekejaman yang mengerikan. "Ha-ha-ha-ha! Kau mau tahu? Dengarlah, isteri Wisangjiwo. Aku membawamu ke sini untuk menyiksamu, untuk memperkosamu, menghinamu sehingga kau tidak akan mempunyai muka lagi untuk melihat sinar sang surya! Aku akan membiarkanmu hidup dalam genangan aib, dan aku akan menyiksa lalu membunuh anakmu, anak Wisangjiwo!"

Terbelalak mata yang bening itu, lalu merintih dan menoleh kepada anaknya yang masih tidur pulas di atas rumput kering di sudut guha: Ia mengeluarkan jerit tertahan, bangkit dan hendak menubruk anaknya, akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Pujo menendangnya roboh kembali ke atas tanah, di mana ia menangis terisak-isak.

"Mengapa kau lakukan ini kepada kami? Mengapa? Apa dosaku? Apa dosa anakku?"

"Dosa mu karena kau adalah isteri Wisangjiwo, dan dia adalah anaknya. Kalian harus menebus dosa yang dilakukan Wisangjiwo!"

"Dosa? Dosa apakah?" Wajah yang cantik itu menjadi pucat sekali.

"Hah! Si bedebah Wisangjiwo telah memperkosa isteriku di sini! Ya, di tempat kau sekarang rebah! Di situ! Di depan mataku! Aku harus membalas, memperlakukan engkau seperti yang telah ia lakukan terhadap isteriku!"

Naik sedu-sedan di kerongkongan wanita itu ketika ia bangkit dan duduk. Di antara isaknya ia berkata, "Aku tahu, suamiku memang seorang yang tidak baik. Tak kusangka ia sampai hati melakukan perbuatan laknat dan terkutuk itu. Keji! Keji sekali! Kau hendak membalas perbuatannya atas diriku? Baik, lakukanlah sesuka hatimu, asal engkau suka mengampunkan anakku yang tidak berdosa. Lakukanlah, aku telah siap dan takkan mengeluh. Akan tetapi... kau... ampunkanlah anakku, jangan kau ganggu Joko Wandiro anakku...!"

"Ha-ha-ha-ha! Akan ku perhina engkau, seperti suamimu menghina isteriku. Beginilah yang ia lakukan kepada isteriku!"

Tangan Pujo meraih dan "reeetttt!" robeklah pakaian penutup tubuh yang padat.

"Tidak perlu engkau menggunakan kekerasan. Tanpa kekerasan akupun akan menurut, takkan melawanmu. Mungkin engkau tidak sejahat Wisangjiwo. Sudah terlalu lama aku menderita batin karena menjadi isterinya, isteri paksaan. Kau bernama Pujo, bukan? Nah, aku siap menanti pernyataan kasihmu, tanpa perlawanan, dengan rela, untuk penebus nyawa anakku dan untuk penebus dosa suamiku." Sambil berkata demikian, Listyokumolo mengembangkan kedua tangannya yang bulat, siap menanti pelukan.

Mendadak wajah Pujo menjadi pucat sekali. Ia mengeluarkan suara gerengan seperti harimau terluka dan tangannya melayang, menampar pipi Listyokumolo sehingga wanita ini kembali terpelanting dan menangis terisak-isak.

"Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu! Engkau menghadapi ancaman perkosaan dengan senyum di bibir dan gairah di mata? Engkau rela dan senang?"

"Hu-huk....... apa lagi yang dapat kulakukan? Aku tidak berdaya..."

"Keparat! Di mana kesetiaanmu terhadap suami? Sekeji engkau inikah semua wanita di jagad ini? Begitu mendapat kesempatan, tanpa malu-malu akan menghianati suaminya, menerima perjinaan dengan hati senang ? Beginikah...?"

Suara Pujo menjadi parau dan hampir menangis. Pujo bukanlah seorang yang mempunyai watak kejam dan mata keranjang. Wanita yang cantik di depannya ini, yang memiliki tubuh menggairahkan, yang hampir telanjang, sama sekali tidak dapat menggerakkan nafsu berahinya, tidak mendatangkan gairah di hatinya, ia melalukan kekejaman itu terdorong nafsu dendam semata.

Andaikata Listyokumolo melakukan perlawanan, belum tentu ia akan melanjutkan niatnya menggagahi wanita ini. Akan tetapi sikap Listyokumolo yang menyerah, bahkan ada sinar mata gairah penuh pengharapan itu, membuat ia menjadi muak dan seakan-akan jantungnya ditembus keris. Ia teringat akan isterinya. Agaknya begini pula sikap isterinya ketika digagahi Wisangjiwo. Menyerah! Dengan alasan tidak berdaya, namun di sudut hatinya mengalami kesenangan, kepuasan dan kegembiraan seperti perempuan ini! Ia muak! Muak dan marah sekali, makin sakit hati terhadap peristiwa nista di dalam guha ini di malam gelap itu.

"Pujo, terserah hendak kauapakan diriku, aku menurut. Asal jangan engkau ganggu anakku. Malah aku siap sedia ikut denganmu, ke manapun kaubawa. Aku bersedia melayanimu selamanya, biar aku tidak kembali ke kadipaten. Kau kehilangan isterimu karena Wisangjiwo? Nah, ambillah aku sebagai gantinya dan peliharalah anakku..."

"Tutup mulut!" Pujo membentak dan kini matanya beralih kepada anak itu.

Joko Wandiro yang sudah berusia setahun itu agaknya kaget oleh suara ribut-ribut dan bangun, lalu duduk. Ia menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan.

"Ibu.......!" Ia berseru girang ketika melihat ibunya berada di situ.

"Joko....... anakku.......!" Listyokumolo hendak menghampiri anaknya, akan tetapi Pujo menghardik, "Mundur! Jangan sentuh dia!"

"Pujo...... ampuni dia...... ah, jangan kauganggu dia, Pujo.....!"

"Perempuan rendah! Akan kuapakan dia tak perlu kau ribut-ribut!"

"Jangan.......! Pujo, kau lihatlah aku. Lihat, aku siap melakukan semua perintahmu. Kau ambillah aku, aku akan melayanimu dengan senang hati, aku akan mentaati semua perintahmu, memenuhi semua keinginanmu. Pujo, lihatlah, aku cukup cantik, aku dapat membahagiakan hidupmu!"

Seperti seorang gila Listyokumolo merenggut sisa pakaiannya, lalu menghampiri Pujo dan hendak memeluknya. Lenyap semua gairah pada sinar mata Listyokumolo. Kini apa yang ia lakukan adalah dorongan hasrat ingin menyelamatkan anaknya semata. Pengorbanan seorang ibu untuk anaknya, apapun juga akan ia lakukan untuk keselamatan anaknya. Berbeda dengan tadi karena perasaan suci itu dikotori hasrat hati melayani Pujo yang memang tampan dan sebagian pula untuk membalas suaminya yang sudah terlalu banyak menyakiti hatinya.

Sekarang semua tindakannya bebas daripada segala macam nafsu, semata-mata untuk memindah kan perhatian dan keinginan Pujo dari anaknya, agar anaknya terbebas daripada maut yang sudah mengancam. Pujo sengaja diam saja. Bibirnya tersenyum mengejek ketika menyaksikan betapa wanita cantik itu mendekapnya, membelainya dan berusaha menarik perhatiannya. Makin muak perutnya. Bukan muak terhadap wanita ini, melainkan terhadap isterinya!

Pandang matanya seakan-akan sudah kabur. Wajah Listyokumolo sudah berubah menjadi wajah isterinya! Dengan perasaan gemas ia menjambak rambut yang hitam halus dan panjang itu, lalu mendorong tubuh wanita itu sampai terguling. Ia meludah ke arah Listyokumolo, kemudian kembali melirik Joko Wandiro yang mulai menangis. Tak dapat ia membalas dengan cara begini, pikirnya. Tak mungkin ia melakukan perbuatan keji dan rendah itu terhadap wanita ini, sungguhpun semata hanya untuk menyakit kan hati Wisangjiwo.

Ada jalan lain! Anak itu! Tentu akan hancur sekali hati Wisangjiwo kalau puteranya hilang. Lebih hebat lagi, ia akan mendidik bocah ini menjadi seorang gemblengan, kemudian ia akan menggoreskan dalam batin anak itu bahwasanya Wisangjiwo adalah musuh besar yang harus dilawannya dan dibunuhnya! Ha-ha, alangkah manis pembalasan dendam itu! Tiba-tiba Pujo melompat menyambar tubuh Joko Wandiro, memondongnya dan membawanya lari keluar guha.

"Jangan...! Anakku... aahhh...! "

Listyokumolo terguling roboh lagi oleh tendangan Pujo ketika ibu ini berusaha menghadang. Ketika ia bangkit kembali dan lari keluar guha, Pujo dan puteranya sudah lenyap tak tampak lagi bayangannya. Hanya masih terdengar tangis anaknya dari jauh, dari balik batu karang akan tetapi hanya sebentar, lalu sunyi. Hanya debur ombak menghantam karang yang terdengar, menelan suara jerit tangis Listyokumolo yang kemudian menggeletak pingsan di dalam Gua Siluman.

Angin laut bertiup keras, ombakpun makin mengganas, seakan-akan ombak dan angin ikut pula murka dan berduka menyaksikan polah-tingkah manusia yang ditakdirkan menjadi mahkluk termulia di antara segala mahkluk di dalam dunia ini. Di bawah ombak yang mengganas, ikan besar menelan ikan kecil, dan yang kecil menelan yang lebih kecil lagi. Menelan bulat-bulat. Ikan menelan ikan lain karena desakan kebutuhan hidup, karena lapar dan karena sudah semestinya. Manusia melakukan kejahatan terhadap sesamanya untuk menuruti nafsu!

Lewat tengah hari, sepasukan pengawal yang dipimpin Jokowanengpati menuruni gunung karang yang amat curam itu menuju ke Gua Siluman. Memang disengaja oleh Jokowanengpati yang dapat menduga ke mana perginya Pujo dengan ibu dan anak yang diculiknya. Sengaja ia memperlambat pengejaran sehingga baru setelah lewat tengah hari mereka tiba di pantai karang depan Guha Siluman. Dan di antara batu karang itulah mereka mendapatkan Listyokumolo, dengan pakaian setengah telanjang, menjerit-jerit dan menangis memanggil-manggil nama Joko Wandiro. Tidak tampak adanya Pujo dan Joko Wandiro.

Ketika wanita itu ditegur, Listyokumolo menjadi ketakutan dan hendak melarikan diri sambil menjerit-jerit. Terpaksa para pengawal menggunakan kekerasan menangkapnya dan dengan paksa membawanya naik untuk pulang kembali ke Selopenangkep. Listyokumolo terguncang batinnya dan ia menjadi setengah gila!

Ketika pasukan pengawal yang dipimpin Jokowanengpati tiba di Kadipaten Selopenangkep membawa Listyokumolo yang kadang-kadang menjerit-jerit dan meronta-ronta, kadang-kadang tertawa dan berlagak dengan genitnya itu, suasana kadipaten sedang diliputi kabut kedukaan. Ternyata kemudian oleh Jokowanengpati bahwa Roro Luhito telah minggat dari kadipaten tanpa meninggalkan jejak!

Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batin yang diderita Adipati Joyowiseso dan keluarganya ketika mereka menyaksikan keadaan Listyokumolo yang terganggu otaknya itu. Dan semua ini gara-gara perbuatan Pujo, nama yang dikutuk oleh keluarga kadipaten, dibenci dan diancam. Adipati Joyowiseso sendiri sampai hampir gila oleh amarah. Setelah Listyokumolo dipaksa masuk ke dalam kamar oleh ibu mertuanya, Adipati Joyowiseso menghunus kerisnya, mencak-mencak dan berteriak-teriak ke arah pintu kadipaten yang kosong.

"Iblis laknat Pujo! Ke sinilah kamu, mari hadapi aku, Adipati Joyowiseso! Kita bertanding sampai seorang di antara kita mati! Jangan mengganggu wanita, keparat!"

Matanya melotot lebar hampir terlompat keluar dari pelupuknya, sepasang kumis tebal bergerak-gerak, giginya berkerot, tangan yang memegang keris gemetar. Sikap sang adipati benar-benar menyeramkan dan andaikata Pujo ada di depannya, pasti akan diterjangnya mati-matian. Para pengawal hanya menundukkan muka, tidak ada yang berani menentang pandang mata sang adipati.

Hanya Jokowanengpati seorang yang berani mendekati Adipati Joyowiseso. Pemuda inipun merasa terpukul dan agak kecewa mendengar betapa Roro Luhito telah lolos dari kadipaten, padahal sudah pasti dara jelita itu akan terjatuh ke dalam pelukannya. Banyak sudah ia memperoleh wanita, baik gadis maupun janda, baik suka rela maupun paksa, akan tetapi belum pernah hatinya terguncang seperti terhadap puteri adipati ini. Belum pernah Jokowanengpati merindukan seorang wanita untuk kedua kalinya, akan tetapi kali ini, entah mengapa ia ingin selalu mendampingi Roro Luhito, tak ingin berpisah lagi. Hatinya sama sekali tidak peduli melihat kenyataan betapa seluruh keluarga kadipaten terbenam dalam kedukaan akibat perbuatannya, akan tetapi mendengar akan perginya Roro Luhito dari kadipaten, hatinya yang sekeras baja menjadi lunak oleh kekecewaan dan kekhawatiran.

"Paman adipati, harap suka tenang dan bersabar," Jokowanengpati membujuk.

"Mana aku bisa tenang sebelum mencacah isi perut Pujo si jahanam?!?" Adipati Joyowiseso membentak.

"Tenanglah, paman, dan harap suka sarungkan keris paman. Saya berjanji untuk mencari dan mendapatkan kembali diajeng Roro Luhito."

"Bukan hanya Luhito yang menjadikan hatiku berduka."

Adipati Joyowiseso menarik napas panjang dan kembali duduk di atas kursi, Jokowanengpati duduk menghadapinya. Dengan gerak tangannya adipati itu menyuruh semua orang mundur agar ia dapat bicara berdua dengan pemuda yang menjadi harapannya.

Setelah semua orang pergi ia berkata, "Anakmas Jokowanengpati, engkaulah satu-satunya orang yang kupercaya dan kepadamulah kutumpahkan harapanku. Anakmas tahu, Joko Wandiro adalah cucuku satu-satunya, cucu laki-laki. Dia terculik oleh si keparat Pujo. Ah, ke mana perginya anak kurang ajar Wisangjiwo? Dia ngelayap (keluyuran) tak tentu rimbanya! Kalau dia berada di rumah, dengan bantuanmu tentu akan cukup kuat mencegah terjadinya malapetaka ini."

"Kurasa percuma, paman. Kalau hanya Pujo seorang, sayapun cukup kuat untuk menghadapinya. Akan tetapi karena paman Resi Bhargowo ikut campur tangan, saya kira biarpun ada kangmas Wisangjiwo di sini, kita takkan kuat melawannya."

"Hehhh....... kalau begitu, bagaimana baiknya?"

"Harap paman tenang. Saya kira si laknat Pujo tidak akan membunuh Joko Wandiro. Tentu niatnya menculik kakang mbok Listyokumolo hanya untuk.... hemm, si keparat jahanam! Tentu hanya untuk menggagahinya seperti yang telah ia lakukan, setan!" Jokowanengpati sengaja mengucapkan kata-kata fitnah ini sungguhpun sebagai seorang laki-laki yang sudah berpengalaman ia dapat menduga bahwa Pujo tidak melakukan perkosaan terhadap isteri Wisangjiwo. Ia sengaja mengemukakan hal ini untuk menambah api sakit hati pada Adipati Joyowiseso. Dan memang usahanya ini berhasil baik karena muka si adipati menjadi merah sekali, tangan kanannya mengepal dan meninju meja.

"Kalau kudapatkan dia, akan kuhancurkan kepalanya dengan tanganku sendiri!" desis adipati itu.

"Kakangmbok Listyokumolo sudah pulang dengan selamat biarpun tercemar dan terganggu batinnya. Adapun Joko Wandiro yang terculik, saya rasa Pujo tidak akan membunuhnya. Andaikata ada niat jahat itu di hatinya, mengapa tidak ia bunuh di sini atau di dalam guha? Tentu ada maksud tersembunyi dan Joko Wandiro masih selamat. Akan tetapi untuk menghadapi Pujo, terutama sekali Resi Bhargowo yang sakti mandraguna itu, tidak ada jalan lain kecuali melaporkan mereka sebagai pemberontak-pemberontak ke Mataram. Hanya para Empu di Mataram yang agaknya akan sanggup menghadapi dan menangkap Resi Bhargowo."

Adipati Joyowiseso mengangguk-angguk akan tetapi keningnya berkerut. Minta bantuan ke Mataram? Sungguh berlawanan dengan rencananya, rencana rahasia di dalam hati yang selama ini ia pendam, yang sudah hampir ia matangkan dengan beberapa orang tokoh di utara dan barat, yang sudah mulai dipersiapkan, yaitu rencana memberontak terhadap Mataram! Akan tetapi, Jokowanengpati adalah murid Empu Bharodo seorang tokoh Mataram, tentu seorang yang berpihak Mataram. Bagaimana ia dapat mengutarakan rahasia hatinya?

"Urusan ini biarpun amat besar bagi kami sekeluarga, namun tetap merupakan urusan pribadi yang tentu tidak ada artinya bagi Mataram.

Agaknya belum tentu mendapat perhatian sang prabu di Mataram," katanya.

"Kalau kita laporkan bahwa Pujo dan Resi Bhargowo mempunyai niat memberontak, tentu akan mendapat perhatian besar," bantah Jokowanengpati.

"Akan tetapi, lebih baik aku minta bantuan beberapa orang sahabat yang kiranya cukup tangguh untuk menghadapi Resi Bhargowo. Guru Wisangjiwo, Ni Durgogini amat sakti, sungguhpun dia merupakan seorang pertapa aneh yang tidak mau mencampuri urusan dunia, namun apabila Wisangjiwo yang minta, kiraku Ni Durgogini akan mau turun tangan. Di sampingnya masih ada Ni Nogogini yang terkenal sebagai wanita sakti di Laut Selatan. Juga, apabila aku mengundang arok Gendroyono, tentu ia akan suka membantu."

Jokowanengpati tersenyum lebar. "Kiranya paman adipati mempunyai sahabat-sahabat yang demikian sakti. Nama besar ketiga orang tokoh itu tentu saja pernah saya dengar. Agaknya paman ragu-ragu untuk minta bantuan Mataram. Apakah hal ini ada hubungannya dengan ucapan Pujo ketika hendak dihukum perapat?"

Berubah wajah Adipati Joyowiseso. Ia menatap wajah tamunya dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Apa maksud anakmas? Ucapan yang mana?"

"Ucapan bahwa penaklukan paman adipati terhadap Mataram hanya pada lahirnya saja, sedangkan pada batinnya.menentang."

Serentak Adipati Joyowiseso bangkit berdiri, tangan kanannya meraba gagang kerisnya dan mulutnya sudah siap meneriaki pengawal.

"Itu bohong! Apakah anakmas lebih percaya pada mulut seorang jahat seperti Pujo?!" Sepasang mata adipati itu seakan-akan hendak menembus dan menjenguk isi hati Jokowanengpati.

Pemuda itu tenang-tenang saja bahkan tersenyum melihat sikap sang adipati. Kini ia mengangguk dan berkata, "Aku percaya akan apa yang diucapkan Pujo itu dan aku amat girang karenanya."

Adipati Joyowiseso terkejut bukan main, akan tetapi ekor kalimat itu membuatnya terheran.

"Apa... apa maksud anakmas...??"

"Harap paman adipati suka menyarungkan kembali keris itu dan marilah duduk dengan tenang. Saya bukanlah musuh paman, dan terutama sekali dalam hal menghadapi Mataram kita berada di satu pihak. Saya sendiripun ingin sekali melihat jatuhnya Mataram, paman adipati "

Namun, Adipati Joyowiseso bukanlah seorang yang bodoh dan sembrono. Ia cukup maklum akan bahayanya percakapan seperti ini, apalagi mengingat bahwa pemuda di depannya adalah murid Empu Bharodo yang menjadi tokoh di Mataram, ia tidak mau mempercaya keterangan aneh ini begitu saja.

Setelah duduk ia lalu berkata, "Harap anakmas jangan berkelakar. Saya adalah seorang adipati di Selopenangkep yang menerima anugerah gusti prabu di Mataram menjadi penguasa di sini, sedangkan anakmas adalah seorang senopati (panglima) muda yang telah berjasa dalam perang. Bagaimana anakmas dapat bercakap-cakap dengan saya tentang hal-hal yang tidak semestinya itu?"

Senyum di bibir Jokowanengpati melebar. "Paman adipati, harap paman jangan khawatir, karena kita sehaluan. Terus terang saja saya mengaku di depan paman, bahwa saya sendiri merasa sakit hati kepada Mataram dan mencari kesempatan untuk membalas dendam. Saya benci kepada Sang Prabu Airlangga dan Sang Patih Narotama yang pilih kasih dan tidak pandai menghargai jasa orang!"


"Saya harap pamanda adipati tidak berpura-pura lagi. Sayapun sudah berterus terang. Seperti paman ketahui, dalam perang yang terakhir, saya ikut berjuang membela Mataram, apalagi dalam usaha menundukkan raja-raja muda di pantai utara. Akan tetatpi, setelah perang berakhir dan semua pejuang menerima pahala, saya seorang dilupakan oleh sang prabu. Bahkan ketika saya mengadukan hal ini kepada guru saya, Empu Bharodo malah memarahi dan mengusir saya. Saya tahu, hal itu adalah gara-gara sang patih yang memang menaruh iri hati kepada saya. Oleh karena itu, sebelum berhasil meruntuhkan Mataram dan melihat Patih Kanuruhan serta sang prabu terjungkal dari tahta, belum puas hati saya!"

Mendengar ini, Adipati Selopenangkep itu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia memegang lengan tangan Jokowanengpati dan berkata girang, "Ah, siapa kira, kita bersatu haluan, anakmas! Akan tetapi, agaknya sakit hati dan cita-cita kita ini hanya akan tetap tinggal menjadi penyakit di dalam hati. Satu-satunya harapanku tadinya adalah Kerajaan Sriwijaya yang menjadi musuh lama Mataram Akan tetapi setelah Sang Prabu Airlangga memperisteri puteri dari Kerajaan Sriwijaya, lenyaplah harapanku. Di antara kedua kerajaan itu telah ada ikatan keluarga, maka tidak mungkin kita mengharapkan. Kerajaan Sriwijaya lagi."

"Memang wawasan pamanda adipati benar. Akan tetapi, masih banyak jalan menuju ke terlaksananya cita-cita kita. Bukan hanya Kerajaan Sriwijaya yang menjadi musuh Mataram. Para raja muda di pantai utara, para adipati yang ditundukkan dengan kekerasan oleh Mataram, tidak semua di antara mereka takluk dengan tulus ikhlas, tepat seperti kata-kata orang cerdik pandai, bahwa orang ditundukkan oleh perang, hanya tunduk karena kalah, tunduk pura-pura yang tidak dapat dipercaya. Nah, kalau kita mengadakan sekutu dengan mereka, keadaan kita akan cukup kuat, paman adipati."

Adipati Joyowiseso tertawa gembira dan menepuk-nepuk bahu pemuda itu. "Ah, alangkah senang hatiku menemukan seorang sekutu seperti anakmas yang luas pengetahuan lebar pandangan dan tinggi ilmu kesaktian. Ternyata cocok sekali pendapat kita.

Akupun sudah mengadakan hubungan dengan banyak tokoh penting, anakmas, di antaranya seperti telah kusebutkan tadi adalah Warok Gendroyono dari Ponorogo yang pernah menerima hukuman dari Mataram sehingga mengandung dendam, dan selain guru puteraku sendiri Ni Durgogini dan Ni Nogogini adiknya, masih ada lagi seorang tokoh yang siap menjadi tulang punggung, yaitu Ki Krendroyakso di Bagelen!"
"Wah, hebat! Ki Krendoyakso raja sekalian bajak begal dan maling dengan anak buahnya yang ribuan orang banyaknya!Bagus sekali, paman. Semua pembantu itu dapat ditambah dengan banyak senopati dan raja muda taklukan Mataram yang ingin memberontak, dan untuk memperlengkap deretan orang sakti yang membantu, saya dapat mengajukan seorang sakti mandraguna yang tak seorangpun mengenal nama aslinya, hanya dikenal dengan nama julukan Cekel Aksomolo (Cantrik Bertasbih) yang bertapa di hutan Wredo di lereng Gunung Wilis."

Adipati Joyowiseso merasa girang bukan main. Diperintahkannya para pelayan untuk mengeluarkan minuman keras dan makanan, dijamunya pemuda itu dengan keakraban baru karena pemuda ini selain penolong dan calon mantu, juga merupakan seorang sekutu yang boleh diandalkan. Agak terhiburlah hatinya yang tadi penuh amarah dan duka oleh malapetaka yang menimpa keluarganya.

"Nah, kau mengerti sekarang mengapa aku merasa ragu untuk minta bantuan Mataram dalam menghadapi Pujo, anakmas."

"Paman adipati, saya rasa paman keliru dalam hal ini. Kita harus mengerti bahwa Pujo dan Resi Bhargowo adalah orang-orang yang setia kepada Mataram. Buktinya dahulu ketika paman melawan barisan Mataram, orang-orang Sungapan itu tidak mau membantu, kan? Dan memang tidak aneh karena Resi Bhargowo adalah adik seperguruan guru saya, Empu Bharodo. Jadi terang bahwa mereka guru dan murid adalah orang Mataram. Kita bercita-cita membalas dan memukul Mataram, juga mempunyai dendam terhadap Pujo dan gurunya. Adakah jalan yang lebih sempurna daripada mengadu domba mereka satu kepada yang lain? Biarlah mereka saling hantam, karena kalau mereka saling hantam, berarti akan melemahkan kedudukan mereka sehingga mudah bagi kita mencari kesempatan baik. Sebaliknya kalau mereka tidak diadu domba, kita akan harus menghadapi mereka bersama, tentu amat berat. Mengertikah paman adipati akan maksud saya?"

Wajah Adipati Joyowiseso berseri-seri dan ia memandang kagum kepada wajah yang tampan itu. "Aku mengerti, anakmas. Memang tepat dan betul sekali rencanamu itu."

Dua orang sekutu ini bercakap-cakap dan mengatur siasat untuk melaksanakan niat pemberontakan mereka. Karena maklum betapa besar dan kuatnya bala tentara Mataram, maka dengan cerdik Jokowanengpati mengajukan siasat untuk melemahkan Mataram lebih dahulu dengan cara mengadu domba dan memecah-belah, kalau perlu menundukkan atau membunuh ara tokohnya yang berkepandaian tinggi dengan dalih urusan pribadi. Karena hanya dengan cara mengalahkan, menundukkan, atau membunuh tokoh-tokoh sakti pembela Mataram sajalah kerajaan itu dapat dilemahkan dan mudah dipukul kelak kalau saatnya yang baik tiba!

Makin lama mereka bercakap-cakap, makin tertarik dan kagumlah hati Adipati Joyowiseso akan kecakapan pemuda ini yang bukan hanya memiliki kesaktian hebat, juga ternyata memiliki kecerdikan dan siasat serta tipu muslihat yang amat berguna bagi pemberontakannya. Setiap hari mereka bercakap-cakap dan berunding sambil menantikan pulangnya Raden Wisanghjiwo.

Setengah bulan kemudian datanglah Raden Wisangjiwo. Wajahnya berseri-seri ketika ia memasuki pendopo kadipaten dan melompat turun dari kudanya yang besar, yang segera disambut oleh para penjaga dan pelayan. Akan tetapi kegembiraannya segera lenyap seperti kabut disapu panas ketika ia bertemu ayahnya di ruang dalam. Ayahnya tengah duduk semeja dengan Jokowanengpati, dan melihat kedatangannya, ayahnya itu bangkit berdiri dengan mata melotot dan mulut melontarkan teguran keras.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Bocah durhaka! Kau telah keluyuran ke mana saja? Mengapa masih ingat akan pulang? Kalau kau sudah tidak membutuhkan orang serumah ini, mengapa kau masih mau pulang?"

Merah wajah Wisangjiwo. Dimarahi ayahnya yang galak bukan apa-apa baginya, akan tetapi kali ini ia dimarahi di depan Jokowanengpati yang hanya seorang kenalan, berarti seorang tamu atau orang luar.

"Kanjeng rama (ayah), saya baru pulang dari kota raja..."

"Hemm, kau keluyuran ke sana mau apa? Enak ya bersenang-senang di kota raja sedangkan di rumah tertimpa malapetaka hebat!"

"Malapetaka? Apakah yang terjadi?"

"Pujo si pengecut datang mengamuk, ayahmu ini hampir terbunuh olehnya, kemudian anak isterimu diculiknya, isterimu sudah didapatkan kembali akan tetapi anakmu sampai sekarang lenyap. Adikmu Roro Luhito minggat. Semua itu terjadi dan kau berfoya-foya di kota raja!"

Muka yang tadinya berseri itu kini menjadi pucat. Tanpa menjawab lagi Wisangjiwo melompat lari menuju ke kamarnya untuk mendapatkan isterinya. Di situ ia disambut tangis ibunya dan para selir ayahnya. Listyokumolo, istrinya, rebah telentang dengan mata tak bergerak-gerak, bahkan ketika mata melirik ke arahnya, seakan-akan tidak mengenalnya lagi. Bagi Wisangjiwo, Listyokumolo adalah seorang wanita cantik, seorang di antara wanita-wanita cantik yang lain yang menjadi kekasihnya.

Bagi dia, isteri, selir maupun kekasih diluar, semua wanita bagaikan barang permainan yang menyenangkan, dan yang bertugas semata-mata sebagai pemuas nafsu, pelipur hati, pelepas dahaga. Lain tidak! Oleh karena wataknya inilah maka Listyokumolo merasai penderitaan batin setelah menjadi isteri putera adipati ini, dan oleh karena watak ini pula maka Wisangjiwo tidak menaruh perhatian akan nasib yang menimpa diri isterinya. Yang membuat ia gelisah adalah tentang puteranya.

"Nimas Listyokumolo!" Ia cepat-cepat menegur sambil memegang tangan isterinya, tidak mempedulikan para ibunya yang berada di situ, "Di mana adanya Joko Wandiro anakku??"

Karena tangannya dipegang erat-erat dan diguncang-guncang, Listyokumolo menjadi terkejut. Ia menoleh, memandang aneh lalu menangis sambil berteriak-teriak, "Kembalikan anakku...! Kembalikan dan jangan ganggu anakku... kau boleh perbuat sesukamu atas diriku, aku menyerahkan seluruh ragaku kepadamu.... tapi jangan ganggu Wandiro.....!!"

Lalu menangis menggerung-gerung di atas pembaringan. "Listyokumolo, di mana Joko Wandiro? Di mana dia?" Wisangjiwo mengguncang-guncang tubuh isterirya, namun jawaban Listyokumolo selalu sama. Akhirnya ibunya datang memegang pundaknya dan berkata lembut, "Tiada gunanya kau membentak-bentak anakku. Isterimu mengalami pukulan batin dan yang selalu diucapkan hanya itu-itu juga. Lebih baik kau lekas berunding dengan ayahmu dan cepat-cepat mencari sampai dapat puteramu Joko Wandiro."

Isteri adipati itu mengakhiri kata-katanya, dengan isak ditahan. Wisangjiwo menjadi lemas dan keluar dari kamar itu tanpa menoleh kepada isterinya lagi. Ia menuju ke ruangan tengah dan menjatuhkan tubuhnya di atas kursi di depan ayahnya, lalu menarik napas panjang.

"Kanjeng rama, apakah yang telah terjadi selama saya pergi? Dan saya lihat adimas Jokowanengpati hadir di sini, sudah lamakah, dimas?"

Jokowanengpati memandang tajam dan bibirnya sudah berkomat-kamit hendak menjawab, akan tetapi didahului Adipati Joyowiseso, "Jika tidak ada anakmas Jokowanengpati, ramamu sudah menjadi jenazah sekarang!" Adipati Joyowiseso lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga kadipaten. Kemudian ia memandang puteranya dengan tajam sambil bertanya, "Wisangjiwo, sebetulnya apakah yang terjadi antara engkau dan Pujo? Mengapa ia memusuhimu seperti itu?"

Sampai lama Wisangjiwo tidak dapat menjawab. Ia menjadi marah sekali. Mendengar betapa adik perempuannya diperkosa sehingga mungkin saking malu adiknya itu sampai lolos minggat dari kadipaten, mendengar betapa isterinya diculik dan menurut dugaan ayahnya juga diperkosa, hatinya menjadi panas. Tentang isterinya dirusak kehormatannya, ia dapat mencari lain wanita. Akan tetapi penghinaan itu sendiri yang membuat hatinya panas, apalagi penghinaan yang ditimpakan atas diri adiknya.

Semua ini masih ditambah lagi dengan diculiknya Joko Wandiro, puteranya, benar-benar membuat dadanya bergolak dan sukar bagi orang muda ini untuk mengeluarkan suara menjawab pertanyaan ayahnya. "Si keparat Pujo!" desisnya di antara dua baris gigi yang dirapatkan, kedua tangannya mengepal "Akan kuhancurkan engkau!"

Adipati Joyowiseso tak sabar lagi. "Wisangjiwo, simpan dulu kemarahanmu, tiada gunanya sekarang, sudah terlambat. Permusuhan apakah yang timbul antara engkau dan Pujo?"

Wisangjiwo menarik napas panjang. "Sayang sekali, kanjeng rama, tidak kupadamkan saja api hidupnya pada waktu itu, padahal dia sudah berada di tangan saya, kalau saya mau membunuhnya tinggal mengayun tangan saja. Ah, mengapa saya bertindak kepalang tanggung waktu itu?"

"Hayo tuturkan, jangan putar-putar macam itu!" Ayahnya menegur kesal.

"Secara kebetulan sekali saya pergi ke Guha Siluman pada senja hari itu dan bertemu dengan Pujo dan isterinya yang bertapa di dalam gua dalam keadaan aneh sekali, yaitu mereka bertapa berhadapan bertelanjang bulat! Saya menegurnya dan kami bertanding. Isterinya, Kartikosari puteri Resi Bhargowo membantu suaminya. Untung sekali saya dapat mendahului mereka sehingga saya dapat memukul mereka pingsan!"

Adipati Joyowiseso mengerutkan keningnya. Tentu saja ia dapat mengenal watak dan kesukaan puteranya yang tidak jauh bedanya dengan kesukaannya sendiri!

"Hemm, aku mendengar bahwa puteri Resi Bhargowo itu cantik. Kau lalu mengganggu isteri Pujo, bukan?"

Akan tetapi Wisangjiwo menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Kalau saya tahu bahwa si laknat itu akan melakukan perbuatan keji di sini, tidak saja isterinya akan saya perhina, bahkan mereka tentu akan kubunuh lebih dulu! Tidak, kanjeng rama, sungguhpun saya amat terpesona oleh kecantikan Kartikosari dalam keadaan menggairahkan seperti itu, namun saya... saya tidak mengganggunya. Saya masih ingat akan Resi Bhargowo yang sakti dan tidak ingin bermusuh dengannya. Maka setelah mereka roboh, saya lalu pergi dari gua itu meninggalkan mereka."

Jokowanengpati mendengarkan penuh perhatian. Terbayang olehnya semua peristiwa itu. "Kangmas Wisangjiwo. Maafkan pertanyaanku ini. Benar-benar kau tidak menggagahi Kartikosari yang cantik jelita? Melihat sepak terjang Pujo, agaknya ia amat sakit hati kepadamu dan agaknya masuk akal dendamnya itu kalau kau telah memperkosa isterinya."

"Tidak, dimas Jokowanengpati, demi para dewata yang menjadi saksi, aku tidak..... eh, dimas, kelingking kirimu itu mengapa...??"

Bukan main kagetnya hati Jokowanengpati. Pikirannya sedang berpusat pada peristiwa itu dan kelingkingnya justru buntung setengahnya dalam peristiwa itu, maka pertanyaan yang tak tersangka-sangka itu bagaikan serangan kilat yang membuat wajahnya menjadi pucat. Kalau saja bukan dia yang ditanya serentak seperti itu, tentu akan menjadi panik dan gugup. Namun Jokowanengpati adalah seorang yang amat cerdik.

Dalam keadaan terpepet itu ia masih sempat mengerjakan otaknya dan jawabannya tenang cepat tanpa ragu, "Ooohhh, inikah? Sebelum aku datang berkunjung ke sini, aku bertemu dengan gerombolan pengacau di tepi Kali Solo. Aku berhasil membasmi mereka dan membunuh kepalanya, akan tetapi kepala gerombolan itu lumayan kepandaiannya, sehingga dalam pengeroyokan itu jari kelingkingku ini terkena bacokan golok dan putus. Akan tetapi tidak apa-apa, kangmas."

"Untung hanya jari kelingking, anak-mas," Joyowiseso ikut bicara, "kalau ibu jari yang terkena bisa celaka karena ibu jari merupakan bagian paling penting dari tangan." Kemudian sambungnya sambil memandang puteranya, "Lanjutkan ceritamu, mengapa selama ini kau pergi!"

"Karena pertempuran itu, saya khawatir akan menghadapi kemarahan Resi Bhargowo, maka saya langsung pergi menghadap guru saya Ni Durgogini di Girilimut. Akan tetapi disana saya bertemu dengan paman Patih Kanuruhan... "

"Rakyana Patih Kanuruhan di sana??" Jokowanengpati berseru kaget. "Ada apakah beliau berada di sana?" Mendengar nama patih yang sakti itu, diam-diam Jokowanengpati merasa gentar.

"Agaknya beliau dahulu sahabat baik guruku, dimas, dan sengaja datang berkunjung sungguhpun beliau berkata secara kebetulan saja. Entah, aku tidak tahu sebabnya. Akan tetapi pertemuan itu membawa keuntungan bagiku karena aku sekarang mendapatkan kedudukan baik di kota raja berkat perantaraan beliau."

Wisangjiwo lalu menceritakan semua pengalamannya, bahkan ia menceritakan bagaimana ia dicoba kepandaiannya oleh patih sakti itu, kemudian ia berangkat ke kota raja, diterima baik dan ditetapkan menjadi perajurit pilihan calon pengawal istana!

Mendengar ini Adipati Joyowiseso menggebrak meja dengan alis berdiri. "Bodoh! Bodoh sekali! Bagaimana kau malah menjadi calon pengawal Raja Mataram??"

Wisangjiwo membelalakkan mata, melirik ke arah Jokowanengpati dan berseru kepada ayahnya, nadanya mencela, "Kangjeng rama...!!!"

Adipati Joyowiseso maklum akan teguran puteranya, maka ia lalu menepuk bahu Jokowanengpati yang tersenyum-senyum saja itu sambil berkata, "Anakmas Jokowanengpati juga memusuhi Raja Bali, mendukung cita-citaku. Apakah engkau puteraku sendiri malah ingin menjadi gedibal (hamba rendah) orang Bali?"

Orang-orang yang pada waktu itu membenci Raja Airlangga, memakinya sebagai raja atau orang Bali, dan memang sesungguhnya Airlangga adalah seorang putera Bali, sungguhpun darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah raja Bali yang masih ada pertalian darah pula dengan Raja Mataram. Wajah Wisangjiwo menjadi terang mendengar keterangan ayahnya bahwa Jokowanengpati telah menjadi sekutu ayahnya.

"Bagus!" Ia memegang lengan Jokowanengpati. " senang sekali mendengar hal ini, dimas! Ayah, memang saya sengaja mengusahakan agar dapat menjadi pengawal istana, karena kalau hal itu terjadi, bahkan akan banyak menolong usaha terlaksananya cita-cita kita."

"Eh, apa maksudmu?"

"Paman adipati, saya mendukung rencana kakangmas Wisangjiwo. Kalau dia bekerja di dalam istana, berarti kita selalu akan dapat mengetahui gerak-gerik mereka, pula kalau sudah tiba masanya, bantuan dari dalam merupakan hal yang amat berguna, bahkan tidak dilebih-lebihkan kalau dikatakan merupakan syarat mutlak ke arah tercapainya gerakan kita."

Mata sang adipati melebar, kemudian ia tertawa bergelak-gelak, lalu merangkul pundak puteranya. "Ah, kau pintar, puteraku! Maafkan ayahmu yang salah sangka! Benar sekali, kau bertugas di sana mengawasi gerak-gerik mereka tentang usaha kita, kalau-kalau mereka menaruh curiga. Kemudian kita atur rencana dari sini untuk mengacaukan pertahanan mereka. Akan tetapi sebelum kau kembali ke sana, kau harus menghubungi dulu gurumu Ni Durgogini, menyampaikan permintaanku agar mereka suka membantu gerakan kita ini."

"Baik, kanjeng rama, akan tetapi bagaimana dengan anakku Joko Wandiro? Dan bagaimana pula dengan adikku Roro Luhito...?"

"Jangan kau khawatir, kakangmas. Aku siap untuk mencari Pujo, membawa kembali puteramu dan sedapat mungkin akan kucari diajeng Roro Luhito."

"Wisangjiwo, kita berhutang budi banyak sekali kepada anakmas Jokowanengpati, calon adik iparmu ini."

"Adik..... ipar.....?" Wisangjiwo menoleh kepada Jokowanengpati.

"Dia,... dia telah begitu baik untuk bersedia mengawini adikmu Roro Luhito, agar tertutup noda dan aib...."

"Tidak hanya demikian, paman adipati, melainkan karena saya merasa kasihan kepada diajeng Roro Luhito, dan juga...suka kepadanya....."

"Aduh, kau benar-benar sahabat sejati!", Wisangjiwo memeluk Jokowanengpati, kemudian berkata khawatir, "Akan tetapi, dimas. Kau bilang sendiri bahwa si laknat Pujo dibantu gurunya. Bagaimana kau dapat menandingi Resi Bhargowo yang sakti mandraguna?"

Yang ditanya tersenyum tenang. "Aku sendiri tentu belum kuat melawan sang resi, akan tetapi sebelum mencari mereka, aku akan pergi menemui eyang Cekel Aksomolo di hutan Wredo yang terletak di lereng Gunung Wilis. Bersama dia, aku tidak takut lagi menghadapi Resi Bhargowo."

Secara singkat ia lalu menceritakan kehebatan dan kesaktian Cekel Aksomolo yang dipujinya setinggi langit dan dikatakannya tiada keduanya di dunia ini! Giranglah hati Wisangjiwo dan ayahnya, dan agak terhiburlah hati mereka oleh malapetaka yang menimpa keluarga Kadipaten Selopenangkep. Semalam suntuk hari itu mereka tiada hentinya bercakap-cakap mengatur rencana, karena pada keesokan harinya Jokowanengpati akan berangkat ke Gunung Wilis sedangkan Wisangjiwo akan pergi mencari guru dan bibi gurunya.

********************


"Engkau anak hina! Engkau buah daripada perbuatan jahanam! Hidupmu hanya akan mencemarkan dunia. Tak layak engkau hidup!!

Sikap dan kata-kata yang terlontar dari mulut wanita itu mengerikan. Suaranya nyaring mengatasi debur ombak memecah di batu karang. Wajahnya yang cantik jelita itu tidak terurus, tampak bengis. Matanya yang bening dan indah bentuknya itu menatap liar penuh benci kepada seorang anak bayi perempuan yang telanjang bulat dan tidur nyenyak dalam pondongannya. Rambut wanita itu terurai, panjang sampai ke pangkal pahanya.

Pakaian yang menutup tubuhnya yang muda padat dan berkulit kuning halus bersih itu tak dapat menyembunyikan lengkung lekuk tubuh seorang wanita yang sudah masak karena hanya sehelai tapih pinjung (kain yang bagian atasnya dibelit kan menutup dada), membuka telanjang memperlihatkan bagian atas dada yang bulat membusung, dada seorang wanita yang baru melahirkan, pundak dan lengan. Juga memperlihatkan kaki dari lutut ke bawah, kaki yang betisnya gemuk memadi bunting dan mata kaki yang kecil berlekuk dalam. Sepasang kaki yang kecil itu berdiri di atas batu karang yang tercapai percikan ombak memecah di pantai.

Wanita itu adalah Kartikosari! Isteri Pujo yang bernasib malang ini telah melahirkan seorang anak perempuan, dua pekan yang lalu! Setelah ia berpisah dari Pujo di Gua Siluman akibat peristiwa di malam jahanam itu, dalam keadaan berkeliaran di sepanjang pantai Laut Selatan di daerah Baron dan Karangracuk setiap hari siang dan malam menangisi nasibnya, mengeluh meratapi nama suaminya, kadang-kadang memaki dan menyumpahi nama Wisangjiwo, atau ada kalanya tertawa-tawa dan bermain-main dengan ombak yang datang bergulung-gulung, beberapa bulan kemudian barulah ia sadar akan keadaan dirinya.

Sadar bahwa ia telah mengandung! Setengah hari Kartikosari menggeletak pingsan di dalam sebuah gua kecil di pantai Karangracuk yang ia jadikan tempat tinggalnya, setelah ia ketahui bahwa ia telah mengandung. Di waktu sadar dari pingsannya, ia menangis menggerung-gerung, menjambaki rambutnya sendiri sampai rambut yang hitam halus dan panjang itu awut-awutan, mencakari mukanya yang cantik jelita sampai kulit yang halus dan kuning kemerahan itu menjadi merah oleh darah dari pipi yang terluka kuku, lalu menangis lagi bergulingan di lantai gua seperti anak kecil.

Setelah reda, ia terisak-isak menyembunyikan muka di balik kedua tangan, berlutut di dalam guha. Ingin ia membunuh diri. Tak kuat rasanya harus menghadapi penderitaan yang susul-menyusul, tindih-menindih ini. Namun, ia masih ingin hidup untuk melampiaskan dendamnya!

Demikianlah, beberapa bulan lamanya Kartikosari mengalami penderitaaan lahir batin yang amat hebat. Ia makan seadanya, makan apa saja yang bisa ia dapatkan. Kadang-kadang ia mendaki bukit batu karang di utara, mencari ketela atau buah-buahan, ada kalanya ia hanya makan ikan laut dibakar. Namun, penderitaan lahir ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penderitaan batinnya dengan peristiwa malam jahanam di Gua Siluman, kadang-kadang ia seperti kalap dan gila, ingin ia merobek perutnya sendiri untuk membuang jauh-jauh bayi yang mulai bergerak-gerak dalam kandungannya!

Akan tetapi ada kalanya hati kecilnya membisikkan harapan bahwa kandungannya itu adalah darah daging Pujo, suaminya. Kalau menduga begini, ia akan mengelus-elus perutnya sambil meramkan mata, lalu merintih-rintih membisikkan nama suaminya. Setelah merasa bahwa kandungannya sudah mendekati kelahiran, Kartikosari berjalan meninggalkan pantai, mencari orang. Setengah hari ia berjalan dan barulah ia melihat sebuah dusun kecil di lereng bukit, dusun yang penghuninya hanya petani-petani miskin di tanah kapur Gunung Kidul, tinggal dalam gubuk-gubuk kecil kotor dan miskin tak lebih dari tujuh buah gubuk. Namun hal ini cukup menggirangkan hati Kartikosari.

Tubuhnya sudah lelah, hampir ia tak kuat berjalan tadi kalau saja ia tak melihat gubuk-gubuk itu dari puncak bukit. Ia tadi telah mengerahkan segenap sisa tenaganya untuk berjalan kearah dusun, dan setibanya di depan pintu gubuk pertama, matanya berkunang-kunang, perutnya sakit sekali dan ia terguling roboh pingsan di atas tanah. Betapa ia ditolong beramai-ramai oleh penghuni dusun yang setengah telanjang karena miskin itu, ia tidak tahu. Betapa ia meronta-ronta, merintih-rintih dan bergulat dengan maut, iapun tidak tahu.

Sejak roboh pingsan sampai melahirkan, Kartikosari dalam keadaan tidak sadar. Ketika ia sadar dengan tubuh lemas, ia telah berada di atas balai-balai bambu yang ditilami tikar anyaman dari daun kelapa, dan di dekatnya rebah seorang bayi yang masih merah, bayi perempuan telanjang bulat, gemuk dan berkulit putih bersih berambut hitam tebal, hanya tertutup sehelai popok (kain) kumal dan kotor! Ia tidak pernah menjawab hujan pertanyaan para penghuni dusun itu yang bicara penuh hormat kepadanya, yang menganggapnya seorang puteri bangsawan yang sesat jalan atau diculik perampok, bahkan ada beberapa orang yang berbisik mengira ia bukan manusia, melainkan seorang peri (setan perempuan) atau penghuni Laut Selatan! Ia tidak mau menjawab, akan tetapi bukan tidak berterima kasih.

Dengan taat ia minum jamu-jamu pahit yang disediakan seorang nenek kurus, makan daging kelapa hijau atau bubur jagung yang disuguhkan orang, dan menerima pelayanan dan rawatan mereka selama dua pekan dengan senyum bersyukur.

Dan pada keesokan harinya setelah lewat dua pekan, penghuni dusun itu dengan heran dan kaget hanya mendapatkan sepasang gelang emas di atas balai-balai, sedangkan wanita cantik tapi agaknya gagu karena tak pernah bicara itu lenyap tak meninggalkan jejak, lenyap bersama bayinya yang cantik dan mungil bertubuh montok. Tentu saja kini mereka makin percaya kepada dia yang pernah membisikkan bahwa wanita ayu itu tentulah seorang peri atau seorang puteri dari istana Ratu Roro Kidul di dasar Laut Selatan! Kalau manusia biasa, tak mungkin dapat pergi bersama bayinya tanpa ada yang tahu sama sekali, tidak meninggalkan jejak!

Kartikosari tentu saja dapat pergi tanpa diketahui dengan mudah, mengandalkan ilmunya. Ia kembali ke Karangracuk dan berdiri di atas batu karang memaki-maki anak dalam pondongannya, kemudian matanya menjadi beringas ketika ia memandang ke arah gelombang Laut Selatan yang makin menggelora.

"Anak hina-dina! Kau tak patut hidup!" jeritnya dengan suara terpecah dalam tangis, lalu ia... melemparkan anak itu jauh-jauh ke tengah laut yang bergelombang! Tanpa melihat lagi ia membalikkan tubuh, meloncat turun dari atas batu karang lalu berlarian sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan, kemudian menjatuhkan diri bergulingan di atas pasir sambil menangis. Jantungnya terasa ditusuk-tusuk dan timbul rasa ngeri dihatinya untuk menoleh ke arah laut yang telah menelan bocah yang dilahirkannya dua pekan yang lalu.

Suara ombak yang menderu itu masuk memenuhi telinganya, dan kini berubah menjadi suara tangis anak bayinya! Tangis yang amat nyaring sehingga ia tak kuasa menahan lagi, lalu menutupkan kedua tangannya kepada telinga. Namun, betapa keras ia menutupi telinganya, suara tangis itu masih terdengar terus, bahkan makin lama makin nyaring.

"Diam...!! Jahanam! Diamlah...!! " Ia menjerit-jerit bergulingan di pantai seperti disiksa, akhirnya suara jeritannya menjadi keluh dan rintih mengerang-erang perlahan. ".... diamlah.... diamlah, nak.... diamlah...." dan ia menangis tersedu-sedu.

Setelah mereda gelora hatinya, ia memberanikan diri menoleh ke arah laut. Laut masih mengganas, ombaknya besar-besar seakan-akan menjadi marah kepadanya. Ombak laut seperti terbakar, merah tersinar matahari yang hampir tenggelam di langit barat. Ombak merah menggelora, bergulung-gulung panjang seperti naga raksasa mengamuk.

Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat berdiri. Matanya dilebar-lebarkan memandang kepada sebuah benda yang tergolek di tepi pantai, diatas pasir. Ikankah? Ikan mati? Agaknya ikan mati, terdampar oleh ombak ke pantai. Putih berkilat seperti perut ikan, tak bergerak-gerak. Kartikosari bergidik, meremang bulu tengkuknya. Bentuk ikan itu! Aneh sekali! Hitam-hitam di ujungnya. Ekor? Terlalu besar. Dan mulutnya! Mengapa terpecah menjadi dua? Mulut? Mirip kaki. Kaki bayinya! Benda itu bergerak-gerak, lalu terpecah suara tangis yang melengking. Meremang seluruh tubuh Kartikosari, bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tangis bayi! Tangis anaknya!

"Anakku...!!!" Kartikosari menjerit dan berlari cepat sekali seperti terbang ke arah benda putih itu. Ditubruknya bayi yang menangis terkekal-kekal itu, sambil berlutut di atas pasir ia mendekap bayi telanjang bulat itu ke dadanya, ditangisinya sambil terengah-engah, diciuminya, didekap lagi ke dada dan air matanya membanjir, mencuci pasir yang lekat-lekat pada tubuh bayi.

"Aduh, anakku.... anakku....! Kau kembali....? Kau... kau anak Pujo...? Anakku...! Ampuni ibumu, nak... ampun...!"

Ia tidak perdulikan lidah ombak menjilat-jilat kaki dan lututnya, seperti lidah anjing jinak menjilat-jilat kaki majikannya, mohon perhatian dan belas kasihan. Direnggutnya kain penutup dadanya sehingga tampak kedua buah dadanya yang montok dan penuh air susu, yang seakan-akan hendak pecah karena kulit yang tipis halus itu tak dapat menampung air susu yang terlalu penuh, dimasukkannya ujung buah dada yang merah itu ke mulut bayinya yang menangis keras.

Seketika terhentilah tangis bayi. Tanpa diajari oleh siapapun, manusia kecil itu lantas menghisap air susu dari dada ibunya, menghisap keras-keras dan terpancarlah air kehidupan itu menerjang tenggorokan yang kecil. Bayi itu tersedak dan terbatuk-batuk. Kartikosari melepas buah dadanya dari mulut bayinya, mulutnya berkata halus, "Pissss...! Pissss...!" Sambil menebak-nebak dada sendiri perlahan.

Setelah anaknya tidak terbatuk-batuk lagi, kembali ia tertawa gembira dan air matanya menitik turun ketika ia berkata, "Cah ayu... perlahan-lahan saja menyusu, nak... ibumu tidak marah lagi... oh, tidak akan marah lagi..."

Dengan air mata mengalir di kedua pipinya, Kartikosari membelai-belai kepala anaknya dengan pipi, merasai betapa halus rambut anaknya tergeser di pipi. Ombak agak besar kini mencapai lutut dan pinggangnya. Kartikosari cepat berdiri agar anaknya tidak terkena air. Ia menoleh ke arah laut dan berkata, "Terima kasih, ayahku Laut Selatan! Terima kasih! Kau telah mengembalikan cucumu kepadaku! Baik, akan kurawat dia, akan kujadikan dia seorang gadis yang patut menjadi cucu Laut Selatan!" Kartikosari lalu berlari-lari mendukung anaknya yang masih menyusu lahap itu menuju ke dalam gua yang menjadi tempat tinggalnya.

Semenjak saat itu, hidupnya mempunyai arah dan tujuan. Tidak hanya untuk membalas dendam kepada Wisangjiwo, akan tetapi juga untuk merawat dan mendidik puterinya. Endang Patibroto! Ya, demikianlah ia memberi nama kepada puterinya. Endang Patibroto. Patibroto berarti setia kepada suami. Ya, memang ia selalu setia kepada suaminya, bahkan terjadinya peristiwa hina di malam jahanam dalam Gua Siluman sehingga menimbulkan akibat seperti yang dideritanya sekarang, semata-mata karena kesetiaannya kepada suaminya.

Tak peduli anak siapa bayi itu, ia tetap setia kepada suaminya, setia lahir batin. Biarlah dunia mengutuknya, biarlah suaminya mengumpat caci dan tidak mempercaya akan kesetiaannya, namun Laut dan Badai tahu! Dia sendiri tahu! Puterinya tahu! Karena itu, puterinya harus bernama Endang Patibroto sebagai bukti dan penguat kesetiaannya. Mulailah Kartikosari memperhatikan kesehatannya, demi puterinya, demi Endang Patibroto.

Mulai ia membawa sisa perhiasan emasnya ke dusun dan minta kepada penghuni dusun yang keheranan itu untuk membawa perhiasannya ke kota, menjual dan menukarkan dengan pakaian dan kebutuhan lain. Mulailah ia kini setiap hari mencari sarang burung di tempat-tempat yang sukar, lalu menyuruh penghuni dusun menjualnya ke kota. Di kota banyak terdapat pedagang yang suka berdagang ke kota-kota besar dan kabarnya sarang burung itu dijualnya kepada Bangsa Cina dengan harga tinggi...

BADAI LAUT SELATAN JILID 06