Badai Laut Selatan Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 04

"Keparat biadab! Siapa ini.....?!?"

"Adipati Joyowiseso, terimalah hukuman dosa anakmu si bedebah Wisangjiwo!" Pujo berseru dan bagaikan angin badai ia menyerbu dengan sebuah keris telanjang di tangan! Tusukannya ke arah ulu hati adipati itu amat dahsyat, cepat sekali dan disertai tenaga yang kuat, kemudian disusul sebuah tendangan ke arah perut.

Joyowiseso takkan menjadi adipati kalau dia bukan seorang yang pandai beryuda. Usianya sudah lima puluh tahun namun tubuhnya yang tinggi besar itu masih tampak kuat. Dadanya yang terbuka tanpa baju itu memperlihatkan bahu yang bidang dan segumpal rambut yang hitam menghias ulu hati dan buah dada otot-ototnya sebesar tambang bambu. Melihat serangan dahsyat ini, trengginas (sigap) ia menangkis dengan tangan kanannya, sebuah lengan yang besar berbulu menyampok tangan kanan Pujo.

Namun Pujo adalah seorang pemuda gemblengan, pula ia menjadi makin kuat karena dorongan kenekatan bulat dan kemarahan. Selain ini, memang ia lebih dulu membuat persiapan, tidak seperti sang adipati yang masih belum lenyap rasa kagetnya. Maka begitu kedua lengan bertemu, tangan Pujo yang menusuk meleset ke atas dan kerisnya masih menancap pada pangkal lengan kanan Adipati Joyowiseso.

Agaknya tusukan pada pangkal lengan ini tidak akan membuat adipati itu berteriak kalau saja tendangan kaki Pujo tidak mengenai perutnya. Sebuah tendangan yang keras, tepat mengenai perut yang sudah mulai bekel (menggendut), menimbulkan suara "bleggg!" dan tubuh adipati itu terlempar ke belakang, lalu terhuyung-huyung.

"Terimalah kematianmu, Joyowiseso! " Pujo menerjang lagi dan adipati itu berteriak-teriak, "Tolong...! Toloooonggg...!! Penjahat!!"

Namun dalam ketakutannya, ia masih cukup tangkas untuk menggulingkan tubuh ke atas lantai dan terus menggelinding mendekati meja di sudut kamar. Sebelum Pujo sempat menyerang lawan yang bergulingan itu, Adipati Joyowiseso sudah menarik kaki meja. Pelita di atas meja terlempar ke bawah dan padam. Gelap gulita di dalam kamar itu. Yang terdengar hanya isak tangis selir adipati di atas pembaringan yang diusahakannya untuk didekap dengan mulut agar tidak bersuara.

Dendam kesumat mendidih dalam dada Pujo dan kenekatannya sudah bulat, namun dia bukanlah seorang yang sembrono atau bodoh. Melihat betapa dalam kamar yang asing baginya itu gelap sekali, Pujo maklum bahwa bahaya mengancam dirinya. Apalagi ia mendengar suara kaki berlari-lari mendatangi ke arah kamar. Cepat ia lalu mengayun tubuh melompat keluar dari jendela yang sudah berlubang besar karena daun jendelanya roboh oleh terjangannya ketika masuk tadi. Hanya lubang jendela itulah yang tampak dari dalam gelap, disinari oleh cahaya lampu di luar kamar.

Untung ia berlaku waspada dan begitu mendengar ada angin sambaran dari samping, ia mengelak. Sebuah pisau belati melayang dan menancap di jendela, belati yang disambitkan dari dalam gelap oleh Adipati Joyowiseso.

"Penjahat! Tangkap!!"

Terdengar adipati itu berteriak-teriak sambil mengejar, sebatang tombak di tangannya dan kain yang tadi menyelimuti tubuhnya sudah ia lilitkan ke belakang, merupakan cawat. Begitu tubuh Pujo berada di luar kamar, sebuah tombak dan sebilah golok menyambar dari kanan kiri. Trengginas (sigap) ia melompat terus ke depan, menghindarkan diri lalu membalik cepat. Kiranya yang menyerangnya adalah dua orang penjaga yang berlari datang karena teriakan adipati. Pujo tidak menanti sampai mereka menyerang lagi atau menunggu datangnya lawan yang lebih banyak lagi. Begitu si pemegang tombak memutar senjata hendak menusuk, ia telah mendahuluinya dengan terjangan kilat ke depan.

Sukar diikuti pandang mata lawannya gerakan ini saking cepatnya dan tahu-tahu kerisnya telah menancap di perut lawan dan begitu dicabut, darah muncrat keluar dan si pemegang tombak roboh tertelungkup. Pada saat itu si pemegang golok sudah mengayun senjatanya mengancam ke arah kepala dari kiri. Pujo miringkan tubuh, tangan kirinya dengan Aji Pethit Nogo menangkis, jari-jari tangan kirinya yang sudah kemasukan aji yang ampuh ini tepat menghantam pergelangan tangan yang memegang golok, mendahului datangnya sambaran senjata tajam itu.

Terdengar bunyi "krakk!" tanda bahwa lengan itu patah dihajar Ilmu Pethit Nogo. Si pemegang golok berseru kesakitan, akan tetapi di lain saat iapun terjungkal seperti temannya dengan lambung berlubang oleh keris!

"Penjahat busuk, rasakan tombakku!"

Adipati Joyowiseso yang sudah melompat keluar dari jendela mengayun tombaknya. Adipati ini memang terkenal sebagai pemain tombak yang jagoan, tombaknya bergerak cepat berputaran dan mata tombak seakan-akan berubah menjadi lima buah banyaknya, menyambar dengan kecepatan kilat bertubi-tubi ke arah bagian tubuh yang berbahaya.

Pujo tentu saja tidak menjadi gentar, akan tetapi melihat banyak penjaga dengan obor di tangan lari mendatang, ia merasa bahwa tempat itu kurang luas untuk bertempur menghadapi banyak lawan. Kurang leluasalah ia bergerak kalau sampai terkepung. Maka ia meloncat ke belakang menjauhi ancaman tombak, lalu lari menuju ke pekarangan belakang.

"Keparat, hendak lari ke mana kau?"

Adipati Joyowiseso mengejar, kini diikuti oleh belasan orang pengawal yang sudah memegang senjata masing-masing ditangan. Bahkan dari dalam gedung keluar pula seorang gadis yang berpakaian ringkas, memegang cundrik kecil panjang yang runcing. Dia ini adalah Roro Luhito. Dengan hati cemas gadis ini melihat pundak ayahnya yang berdarah.

"Ayah, ada apakah??" tanyanya sambil berlari di samping ayahnya.

"Ada penjahat, hendak membunuhku. Itu dia lari ke sana. Kejar!"

Roro Luhito tidaklah sehebat Wisangjiwo kepandaiannya, akan tetapi dibandingkan dengan para penjaga, agaknya gadis ini masih lebih unggul karena ia mendapat gemblengan sendiri dari ayahnya. Maka kini ia dapat berlari cepat di samping ayahnya dan para pengejar ini sejenak tertegun ketika melihat bahwa orang yang mereka kejar itu tidak terus lari, bahkan kini dengan muka beringas dan senyum mengejek menanti kedatangan mereka dengan keris yang berlumur darah di tangan!

Seorang pemuda yang amat tampan, akan tetapi yang tampak mengerikan karena pandang matanya menyinarkan kehausan akan darah, sinar mata maut! Akan tetapi yang merasa paling kaget dan heran adalah Adipati Joyowiseso sendiri. Dia merasa seperti pernah melihat pemuda ini, dan setelah ia mengingat-ingat, cambangnya yang tebal tergetar saking marahnya.

Dengan tombak ditudingkan ia membentak marah, "Babo-babo, keparat jahanam! Kiranya kau! Bukankah kau murid Resi Bhargowo dari Sungapan? Mengapa kau datang dan menyerangku?"

"Adipati Joyowiseso! Kau harus menebus dosa yang diperbuat oleh puteramu yang biadab!"

Terbelalak lebar mata adipati itu. "Jahanam, lancang mulutmu! Perbuatan apa yang dilakukan Wisangjiwo?"

"Tak usah banyak cakap, siaplah kau untuk mampus!"

Setelah berkata demikian, Pujo menubruk maju dan menyerang dengan kerisnya. Adipati itu juga menggerakkan tombak untuk menangkis karena biarpun keris merupakan senjata pendek, namun gerakan pemuda itu cepat sekali.

"Tranggg...!"

Tombak itu terpental dan kedua tangan Adipati Joyowiseso terasa kaku. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan Roro Luhito menyerang Pujo dengan cundriknya yang ditusukkan ke arah lambung si orang muda dari samping. Tadinya Roro Luhito terpesona karena sama sekali tidak menyangka bahwa penjahat yang dikejar-kejar ayahnya adalah seorang pemuda yang demikian ganteng dan wajahnya menimbulkan rasa iba dan suka di hatinya. Akan tetapi mengingat bahwa pemuda ini sudah melukai ayahnya dan bahkan hendak membunuh ayahnya, kemarahannya timbul dan ia segera menyerang.!

Tangkisan tombak tadi menggagalkan serangan Pujo, akan tetapi melihat adipati itu terhuyung, ia hendak menambahi dengan serangan ke dua sebelum para penjaga sempat mengurung, akan tetapi mendadak ia mendengar bentakan suara wanita dan disusul sambaran angin serangan. Ia membalikkan tubuh dengan putaran tumitnya dan melihat seorang gadis remaja menyerangnya, ia terheran-heran. Ia tidak pernah tahu bahwa adipati itu mempunyai seorang anak perempuan.

Betapapun juga, Pujo adalah seorang ksatria, maka tidaklah tega hatinya untuk membunuh wanita, biarpun ia melihat betapa gerakan wanita ini masih amat lemah dan lambat sehingga sekali saja mendahului serangan, ia pasti akan dapat memukul roboh gadis ini. Karena pikiran itulah maka ia lalu menyampok dengan tangan kirinya, menggunakan jari telunjuknya menyentil kulit lengan yang putih halus.

"Aaauuuhhh...!" Roro Luhito menjerit, cundriknya terlepas dan ia memegangi lengan kanan yang terasa copot sambungannya itu dengan tangan kiri sambil meloncat mundur.

Pada saat itu, para penjaga sudah maju mengurung dan menggerakkan senjata yang datang bagaikan hujan menyerang tubuh Pujo. Namun Pujo berseru garang, tubuhnya berkelebat di antara mata tombak dan golok, lalu meloncat ke atas menubruk pengeroyok sebelah kiri. Begitu tangan kirinya menyampok dan kerisnya berkelebat, empat orang penjaga roboh tak dapat bangun kembali!

Dua orang penjaga terdekat di kanan kirinya mempergunakan kesempatan ini untuk menggerakkan tombak yang ditusukkan dari kanan kiri. Pujo tidak tergesa-gesa. Begitu kedua tombak itu mendekat, ia sudah menggigit kerisnya dan kini kedua tangannya menyambar tombak, dan sekali kedua tangannya membuat gerakan menyendal dan menusuk, dua orang penjaga itu roboh dengan perut tertembus tombak kawannya!

Menyaksikan kehebatan pemuda ini, para penjaga undur tiga langkah dengan gentar, mengharapkan datangnya kawan-kawan yang kini sudah tampak datang berlarian dari luar gedung. Pujo tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Adipati Joyowiseso, hayo inilah dada Pujo anak Sungapan! Kerahkan seluruh anjing-anjing penjagamu, jangan maju seorang demi seorang, majulah berbareng! Saat ini adalah saat kematianmu dan sebelum aku meninggalkan Kadipaten Selopenangkep, kadipaten ini akan menjadi telaga darah!"

"Keparat sombong! Hayo maju semua, tangkap keparat ini, hidup atau mati!" teriak Adipati Joyowiseso yang sudah menerjang maju lagi dengan tombaknya.

Gerakan adipati ini cukup tangkas, tenaganya besar sehingga Pujo tidak berani memandang rendah, apalagi karena para penjaga yang berkumpul di situ lebih dari dua puluh orang banyaknya. Ia mengelak dan melesat ke kiri ketika banyak senjata menyambarnya, kemudian ia menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk melesat ke kanan kiri sambil kadang-kadang menghantam seorang pengeroyok atau menggunakan kerisnya mencari korban. Ramai suara para penjaga yang mengepungnya, sama ramainya dengan pemburu-pemburu mengepung harimau.

Pertandingan yang amat tak sebanding ini berlangsung seru. Pujo mempergunakan kepandaiannya, tangan kirinya yang mempergunakan Ilmu Pethit Nogo dan kerisnya seakan-akan pesta pora dengan tubuh para pengeroyoknya. Belum sampai setengah jam lamanya, di pekarangan belakang gedung kadipaten itu sudah bergelimpangan tubuh Sembilan orang penjaga, ada yang sudah tewas, ada yang masih berkelojotan dan ada yang merintih-rintih.

Akan tetapi Pujo tidak berhasil mendekati Adipati Joyowiseso yang selain dijaga oleh para pengawalnya, juga dijaga oleh Roro Luhito yang kini mainkan sebatang tombak juga! Adipati itu sendiri tidak tinggal diam, ia selalu mencari kesempatan selagi pemuda itu sibuk melayani pengeroyokan untuk menggunakan tombaknya menusuk. Matahari pagi mulai muncul menyinari permukaan bumi dengan cahayanya yang kemerahan, semerah darah yang berceceran membasahi bumi pekarangan belakang Kadipaten Selopenangkep.

Keadaan di situ makin gaduh oleh suara mereka yang mengepung Pujo. Diam-diam Pujo mulai merasa kuatir. Kalau semua penduduk sudah bangun dan bala bantuan datang makin banyak, sukarlah baginya untuk melarikan diri. Akan tetapi, para penjaga itu tak pernah mau melepaskannya lagi dan sebegitu lama belum juga ia berhasil membunuh ayah Wisangjiwo. Ia kecewa. Kalau Wisangjiwo sendiri tidak berada di situ dan ia tidak berhasil membunuh Adipati Joyowiseso, bukankah sia-sia belaka usahanya? Apalagi kalau ia sampai tertawan dan terbunuh! Apa artinya sekian banyak penjaga yang terbunuh olehnya? Nyawa ratusan penjagapun tidak ada artinya bagi pembalasan dendamnya terhadap Wisangjiwo!

Kekecewaan ini membuat kemarahan Pujo meluap dan berteriak menyeramkan, lalu tubuhnya berkelebat seperti burung srikatan mengejar belalang. Hebat bukan main amukannya, karena ini menggunakan pukulan Gelap Musti sehingga tiap orang yang terkena pukulan geledeknya tentu roboh dengan kepala atau dada pecah! juga Ilmu Bayutantra membuat gerakannya seperti angin puyuh!

Akan tetapi kenekatannya ini menimbulkan pula ketidak hati-hatiannya. Tusukan tombak Adipati Joyowiseso yang tentu saja lebih berbahaya daripada tusukan para pengeroyok, secepat kilat menyambar ke arah ulu hati Pujo yang ketika itu sibuk mempergunakan kedua tangannya. Pujo terkejut dan cepat tangannya menyampok dari bawah. Mata tombak tersampok ke atas, meleset malah menyambar ke arah tenggorokannya. Pujo cepat miringkan kepala, akan tetapi tetap saja mata tombak itu menghunjam ke arah lehernya. Baiknya ia telah cepat-cepat mengerahkan tenaga sakti ke arah leher sehingga tombak itu meleset, hanya melukai kulit leher.

Saking marahnya Pujo mencengkeram dengan Aji Pethit Nogo, menangkap mata tombak dan sekali tangannya meremas, hancurlah tombak itu! Adipati Joyowiseso sampai terhuyung ke belakang dan hampir terjengkang. Pujo berteriak seperti harimau terluka, menubruk ke depan. Tetapi sebatang tombak menerima kedatangannya dengan tusukan ke arah perut. Lagi-lagi Roro Luhito yang melindungi ayahnya.

"Setan!!" Pujo mendamprat, tangannya mencengkeram tombak dan sekali ia menarik ke samping, tubuh Roro Luhito terlempar dan roboh! Akan tetapi belasan orang penjaga sudah menghadang di depannya, memisahkannya dari Adipati Joyowiseso. Darah mengucur dari lehernya dan luka di leher terasa panas, tanda bahwa mata tombak itu biasa diberi ramuan yang beracun. Matanya agak berkunang, akan tetapi begitu ia menerjang maju, kembali dua orang penjaga roboh dan tewas. Amukan Pujo benar-benar hebat dan nggegirisi (menggiriskan).

Pada saat itu berkelebat sesosok bayangan hitam, gerakannya seperti burung terbang saja dan begitu tiba di dekat Pujo, ia mengirim pukulan dengan telapak tangan ke arah pelipis kanan. Pujo kaget karena hawa pukulan ini amat panas serta mendatangkan angin keras. Cepat ia memutar tubuh dan menangkis, akan tetapi tangan yang memukul itu ditarik kembali, diganti tendangan ke arah pusar! Hebat dan tangkas bukan main penyerang ini. Tadinya hati Pujo berdebar, mengira bahwa yang datang itu musuh lamanya yang dicari-cari, Wisangjiwo, akan tetapi ketika ia mengangkat muka memandang sambil meloncat mundur menghindarkan tendangan, ia menjadi kaget bukan main.

"Kakang Jokowanengpati.......!"

Tentu saja ia mengenal orang muda ganteng berpakaian hitam itu, mengenal murid uwa gurunya. Jokowanengpati adalah murid Empu Bharodo yang sakti.

"Hemm, siapapun yang mengacau harus ditawan!" berkata Jokowanengpati sambil menerjang maju lagi.

Pujo sudah menjadi pening dan lelah dan ia maklum bahwa murid Empu Bharodo ini adalah seorang yang amat pandai.

"Kakang Joko...... harap jangan turut campur!"

"Adipati adalah punggawa gusti prabu, mana bisa aku membiarkan beliau diganggu orang? Pujo, kau menyerahlah!"

"Menyerah? Kepada adipati ayah si laknat Wisangjiwo? Lebih baik mati!"

Sambil berkata demikian, Pujo membalik ke kanan, kerisnya bekerja dan seorang penjaga yang tertusuk keris menjerit dan roboh. Akan tetapi pada saat itu, Jokowanengpati telah menggunakan aji pukulan Siyung Warak (Taring Badak), tepat mengenai tengkuk Pujo yang mengeluarkan suara keluhan dan roboh terguling, pingsan dengan keris masih digenggam di tangan kanan! Tentu tubuh orang muda ini sudah hancur berkeping-keping dihujani senjata oleh para penjaga kalau saja Jokowanengpati tidak cepat-cepat mencegah.

"Tahan semua senjata! Dia harus ditawan dan diperiksa perkaranya!"

Sambil memegang ujung kainnya yang tadi terlepas kaitannya dengan tangan kiri dan menyeret tombak buntung dengan tangan kanan, Adipati Joyowiseso melangkah datang didampingi Roro Luhito yang dahinya lecet sedikit terlempar tadi.

"Benar! Jangan bunuh! Ambil tambang yang besar, ikat kaki tangannya!" teriaknya memerintah.

Sibuk para penjaga mencari tali besar terbuat daripada ijuk yang amat kuat dan membelenggu kaki tangan Pujo yang masih pingsan. Jokowanengpati mengambil keris dari tangan Pujo.

"Setan alas! Keparat jahanam!" Adipati Joyowiseso berjongkok memukuli muka dan kepala Pujo sehingga darah keluar dari hidung dan mulut orang muda itu. Setelah lelah ia lalu bangkit berdiri dan menggunakan kedua kakinya menendangi muka dan tubuh Pujo berganti-ganti sampai napasnya terengah-engah mau putus saking lelahnya.

"Seret ia ke dalam tahanan! Jaga kuat-kuat jangan sampai ia terlepas. Juga jaga jangan sampai ia membunuh diri atau terbunuh sebelum kuperiksa!"

Setelah berkata demikian, Adipati Joyowiseso menggandeng tangan Jokowaneng-pati, menariknya ke dalam sambil berkata, "Untung ada anakmas yang hadir di sini. Genduk Luhito, kaulihat betapa hebat dan tangkasnya kangmasmu Raden Jokowanengpati merobohkan penjahat itu tadi!"

Akan tetapi Roro Luhito. seperti orang termenung. Di dalam hatinya bukan mengagumi sepak terjang Jokowanengpati, melainkan mengagumi sepak terjang Pujo! Kagum dan juga menyesal mengapa pemuda yang ganteng seperti Arjuno dan gagah perkasa seperti Gatot Koco itu memusuhi ayahnya sehingga tertangkap dan tentu akan dihukum mati!

Para penjaga sibuk sekali. Ada yang menyeret tubuh Pujo yang masih pingsan dan lemas itu ke dalam tahanan sambil mengawalnya ketat sekali. Ada yang sibuk mengurus para mayat dan menolong yang terluka. Ada yang membersihkan darah dan membereskan tempat yang menjadi rusak oleh bekas-bekas pertempuran.

Ketika Adipati Joyowiseso bersama Roro Luhito dan Jokowanengpati memasuki ruangan dalam, mereka disambut oleh isteri adipati bersama para selir. Selir yang semalam menyaksikan serbuan Pujo ke dalam kamar dan mukanya pucat sekali, menubruk puterinya, Luhito sambil menangis.

"Cah ayu (anak manis), kau ajak ibumu ke kamar dan beri hiburan. Dia mengalami kaget semalam," kata Adipati Joyowiseso kepada Roro Luhito.

Gadis itu merangkul ibunya dan mengajaknya masuk, tidak peduli atau agaknya tidak melihat betapa Jokowanengpati melirik ke arahnya dengan mata penuh gairah. Isteri adipati segera memanggil pelayan untuk minta datang dukun pengobatan. Tak lama kemudian datanglah kakek berambut putih yang berjari cekatan, mencuci dan mengobati luka di pundak Adipati Joyowiseso. Setelah berganti pakaian, adipati ini mengajak Jokowanengpati duduk di ruangan dalam, menyuguhkan kopi dan penganan.

"Anakmas, saya mendengar tadi anak-mas agaknya kenal dengan penjahat itu. Dia itu bernama Pujo, murid Resi Bhargowo. Apakah benar anakmas mengenalnya?"

Jokowanengpati mengangguk. "Tentu saja saya mengenalnya, paman adipati. Dia adalah murid dan juga mantu paman Resi Bhargowo, sedangkan paman resi adalah adik seperguruan bapa Empu Bharodo."

"Ohhh...?" Adipati Joyowiseso benar-benar kaget mendengar ini.

"Harap paman adipati bertenang hati. Biarpun masih ada hubungan perguruan, namun hubungan antara saya dan mereka guru dan murid tidaklah dapat dikatakan baik. Apalagi setelah jelas bahwa Pujo berkhianat dan mempunyai niat buruk terhadap paman adipati, betapapun juga saya tidak akan membelanya."

"Bagus! Tentu saja pribadi anakmas mana dapat disamakan dengan segala macam pengecut seperti Pujo dan gurunya? He, pengawal! Tengok si keparat itu, kalau sudah siuman dari pingsannya, seret dia ke ruangan belakang, hendak kuperiksa!"

Si pengawal menyatakan baik, memberi hormat lalu mundur.

"Maaf, paman adipati. Sungguhpun saya sama sekali tidak akan membela Pujo yang melakukan tindak khianat, akan tetapi sebaiknya saya tidak hadir dalam pemeriksaan atas dirinya, tidak hadir secara terang-terangan melainkan saya akan mengintai dari balik jendela saja. Perkenankan saya mundur."

"Ah, saya maklum, anakmas. Baiklah. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan anakmas, dan sekali lagi saya merasa bersyukur dan berterima kasih kepada anakmas."

Jokowanengpati lalu mengundurkan diri pula. Sebenarnya, pemuda ini merasa gentar juga kalau harus menyaksikan pemeriksaan itu, bukan gentar terhadap orang lain, melainkan terhadap bayangannya sendiri. Sukar diduga isi hati seorang murid Resi Bhargowo, pikirnya. Ia masih belum yakin benar apakah Pujo masih belum tahu akan perbuatannya di Guha Siluman, ataukah pura-pura tidak tahu, kemudian akan membuka rahasia ini di depan adipati? Orang yang melakukan perbuatan jahat tentu selalu akan merasa tertekan dan tidak tenteram hatinya, selalu diganggu bayangan-bayangan sendiri yang bermunculan. Oleh karena inilah agaknya Jokowanengpati mengajukan alasan itu.

Tak lama kemudian, setelah disiram beberapa ember air dingin, Pujo sadar daripada pingsannya. Kepalanya masih terasa pening dan pangkal lengannya kaku sakit. Akan tetapi begitu ia sadar, ia telah diseret-seret kembali dalam keadaan terikat kaki tangannya, dibawa ke ruangan belakang di mana telah menunggu Adipati Joyowiseso, lengkap dengan para pembantunya, para penyiksa dan algojo yang kesemuanya berpakaian dinas.

"Berlutut kau...!!"

Empat orang penjaga yang menggusur Pujo, secara kasar memaksa Pujo berlutut di atas lantai menghadap sang adipati yang duduk dengan muka masam. Pujo tidak melawan mereka, karena dalam keadaan terbelenggu dan terluka, ia maklum bahwa melawanpun tidak ada gunanya. Maka ia duduk berlutut akan tetapi mukanya diangkat dan pandang matanya menentang adipati itu dengan penuh keberanian dan kemarahan. Atas sikapnya ini, seorang penjaga menampar kepalanya dari belakang, namun Pujo tidak bergeming, tetap saja mukanya dihadapkan kepada adipati penuh tantangan.

"Heh keparat Pujo! Kau sudah tertangkap dan tidak berdaya, masih saja memperlihatkan sikap kepala batu? Apakah kau tidak merasa betapa besar dosamu? Apakah kau tidak menyesal telah membunuh dan melukai banyak pengawal kadipaten?"

Pujo menggerakkan bibir mengejek, "Huh! Menyesal? Aku hanya menyesal mengapa aku tidak sempat membunuhmu sebagai gantinya anakmu si bedebah Wisangjiwo!"

"Plak-plak-desss....!!"

Kemplangan dan hantaman dari para penjaga di belakangnya membuat Pujo yang kaki tangannya terbelenggu itu jatuh terjerembab ke depan, akan tetapi gentakan-gentakan keras para penjaga mendudukkannya kembali.

"Ha-ha-ha-ha! Pujo, agaknya kau telah menjadi gila! Sebelum kau kujatuhi hukuman yang setimpal dengan kejahatanmu, lebih dulu kau mengakulah apa sebabnya kau melakukan perbuatan semalam dan apa sebabnya kau mencaci-maki puteraku."

"Joyowiseso! Aku hendak menumpas keluargamu untuk menebus dosa si Wisangjiwo."

"Dosa apa?"

"Tak perlu kau tahu!"

Marahlah sang adipati. Ia melompat dari kursinya dan meringis karena pundaknya yang terluka terasa nyeri. Hal ini mengingatkan dia bahwa pundaknya terluka keris, mengingatkan dia betapa semalam hampir saja ia terbunuh oleh Pujo yang kini terbelenggu tak berdaya di depan kakinya.

"Jahanam... Kau masih sombong, ya? Hendak kulihat apakah kau masih tidak mau mengaku? Hajar dia! Rangket dengan seratus kali cambukan, telanjangi punggungnya kemudian jemur di tengah alun-alun sampai dia mengaku!" teriak adipati penuh kemarahan.

Pujo mendengarkan perintah ini dengan mata melotot dan mulut tersenyum mengejek, sedikitpun tidak memperlihatkan muka gentar. Tubuhnya lalu diseret ke sudut, diikat pada tiang, punggungnya ditelanjangi dan tak lama kemudian terdengarlah suara cambuk melecut-lecut menghantam punggung, merobek-robek kulit punggung Pujo sampai lumat, membuat darah segar yang keluar menjadi kental dan kering kembali. Biarpun tubuh Pujo telah terlatih dan ia memiliki kekebalan, namun karena ia terluka, tak dapat ia mengerahkan terus kekuatannya dan akhirnya ia harus menyerah. Setelah seratus kali cambukan, ia terkulai. Namun, sedikitpun keluhan tidak pernah keluar dari mulutnya.

"Jahanam, kau masih tidak hendak mengaku?"

Pujo hanya mengedikkan kepala dan memandang adipati sambil melotot dan berkata, "Kau tidak perlu tahu. Pendeknya, Wisangjiwo akan mampus di tanganku, bersama keluarganya!"

"Ha-ha-ha-ha, sudah hampir mampus masih banyak tingkah!" Adipati Joyowiseso makin panas hatinya. "Seret dia ke alun-alun, jemur dia. Kalau mau mengaku boleh bawa menghadap, kalau tidak mau, sore nanti jalankan hukum perapat kepadanya!"

Pujo hanya tersenyum mengejek dan ia masih melotot kepada adipati ketika tubuhnya kembali diseret keluar untuk dijemur di tengah alun-alun. Ia tahu apa artinya hukum perapat. Hukuman mati yang mengerikan. Diperapat berarti dibagi menjadi empat. Tubuhnya akan dirobek menjadi empat potong oleh tarikan empat ekor kuda pada kedua kaki dan kedua tangannya, ditarik ke empat jurusan sampai pecah menjadi empat potong!

Matahari telah tenggelam jauh di barat, namun cahayanya masih membayang dan membentuk senja yang cerah. Alun-alun Kadipaten Selopenangkep penuh orang, hampir semua laki-laki, tidak tampak wanita dan anak-anak. Memang, tontonan yang menarik perhatian hampir seluruh penduduk Selopenangkep, bahkan dari dusun-dusun di sekitarnya, adalah tontonan yang mengerikan sehingga anak-anak dilarang orang tuanya menonton dan wanita-wanita takut menyaksikannya. Bayangkan saja. Hukum perapat!. Siapa dapat menahan kengerian melihat tubuh seorang hidup-hidup dirobek menjadi empat? Darah akan menyembur-nyembur, isi perut akan berantakan, daging merah akan bertelanjang di depan mata!

Ribuan orang telah memenuhi alun-alun, mengelilingi tengah-tengah alun-alun yang menjadi pusat perhatian, dalam jarak seratus meter. Di tengah-tengah alun-alun itu terdapat sebuah bangunan panggung, tempat yang disediakan khusus bagi keluarga kadipaten untuk menonton setiap pertunjukan yang diadakan di alun-alun. Kadang-kadang alun-alun ini bias diubah menjadi tempat latihan kuda, tempat adu banteng, mengurung harimau, atau dipakai ujian ketangkasan para perajurit.

Pada senja hari itu, alun-alun diubah menjadi tempat pelaksanaan hukuman bagi Pujo, hukuman perapat! Tak seorangpun berani menghalangi perintah Adipati Joyowiseso untuk melaksanakan hukuman terberat ini. Semua orang maklum bahwa memang sepatutnya pemuda pesisir Laut Selatan itu menerima hukuman berat. Pemuda itu telah menyerang kadipaten, melukai bahkan hampir membunuh sang adipati sendiri, membunuh dan melukai belasan orang pengawal, dan di samping itu berani mengeluarkan kata-kata kasar dan sikap menantang kurang ajar terhadap Adipati Joyowiseso. Dosanya terlalu besar dan terlalu banyak.

Sejak pagi tadi Pujo dijemur di bawah terik matahari yang menggerogoti kulit. Hebat penderitaan ini, apalagi bagian punggungnya yang hancur bekas cambukan, amat perih dan nyeri disengat sinar matahari. Namun, pemuda ini tetap tak pernah mengeluh dan atas pertanyaan-pertanyaan para petugas yang mendesak, ia sama sekali tidak mau menjawab. Oleh karena ia sama sekali tidak mau mengaku mengapa ia memusuhi Wisangjiwo, maka akhirnya Adipati Joyowiseso tak dapat menahan amarahnya dan menjatuhkan hukuman perapat kepadanya.

Dalam keadaan terikat kaki tangannya, Pujo diseret ke tengah alun-alun, ditelentangkan dan dijadikan tontonan orang seperti orang menonton seekor harimau yang tertangkap. Empat ekor kuda yang besar-besar telah dipersiapkan. Inilah empat ekor kuda yang bertugas merobek tubuh Pujo menjadi empat potong!

Para penduduk Selopenangkep yang memenuhi alun-alun itu semua mempercakapkan Pujo. Ada yang menyatakan sayang dan iba hati terhadap pemuda tampan itu, apalagi ketika mereka mendengar bahwa pemuda itu putera mantu Resi Bhargowo di Sungapan. Akan tetapi banyak pula yang mencaci-maki karena menganggap bahwa pemuda ini seorang penjahat besar yang mencoba melakukan pembunuhan terhadap adipati, maka sudah sepatutnya menerima hukuman paling berat.

Ada semacam hukuman yang juga hebat sekali, yaitu hukum picis. Penjahat yang dijatuhi hukum picis, dibelenggu di alun-alun atau di depan pasar, kemudian orang-orang yang lewat di depannya, diperbolehkan mengerat kulitnya dengan sebuah pisau tajam runcing yang sudah disediakan di tempat itu!

Kalau dia memang seorang penjahat besar, tentu sudah banyat ia menyakiti hati orang, banyak orang membencinya, maka itulah saatnya bagi orang-orang yang bersakit hati untuk melampiaskan dendamnya. Tubuh penjahat itu sebentar saja sudah dikerat-kerat kulitnya, berlumur darah. Bahkan diperbolehkan menggosokkan garam atau asam pada luka-luka di kulit bekas keratan untuk menambah siksaan.

Tak sampai sehari, orang yang dihukum picis akan mati kehabisan darah yang mengalir di sepanjang tubuhnya yang tercacah itu. Akan tetapi, dibandingkan dengan hukum perapat, hukum picis tidaklah terlalu mengerikan. Hukum perapat ini benar-benar amat mengerikan.

Menyaksikan betapa tubuh yang utuh itu dirobek tarikan empat ekor kuda yang kuat, benar-benar dapat membuat orang yang menonton menjadi pingsan! Kini Adipati Joyowiseso sudah berada di panggung, bersama para pengawalnya. Semua penonton menjadi kagum sekali menyaksikan betapa Roro Luhito yang cantik dan denok itu ikut pula hadir di samping ayahnya! Benar-benar seorang gadis yang luar biasa, pikir mereka.

Tentu saja semua penduduk maklum belaka bahwa puteri adipati ini adalah seorang gadis gemblengan, pandai menunggang kuda, memanah dan mainkan keris atau lembing, tidak kalah oleh perwira-perwira biasa saja. Akan tetapi, melihat gadis itu hadir pula dalam pelaksanaan hukum perapat, benar-benar membuktikan ketabahan hatinya yang luar biasa. Biarpun wajah gadis itu agak pucat dan ia kelihatan pendiam tidak lincah kenes seperti biasa, namun dia tampak tenang-tenang saja, matanya memandang ke arah tubuh si terhukum yang terlentang di atas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari atas panggung.

Dari tempat sedekat itu, tentu akan terdengar suaranya jika tubuh itu tersayat menjadi empat oleh tarikan kuda. Tentu akan tampak jelas isi perut yang berhamburan, jantung yang masih hidup bergerak berloncatan di atas tanah! Puteri ini duduk di samping kiri Adipati Joyowiseso, sedangkan di sebelah kanannya duduk seorang pemuda ganteng berpakaian serba hitam, destarnya kehijauan, bibirnya selalu tersenyum dan sikapnya tenang. Inilah Jokowanengpati dan para penonton memandang kepadanya dengan kagum.

Berita bahwa pemuda perkasa yang menjadi tamu adipati inilah yang merobohkan si penjahat, telah tersiar luas. Karena angkasa raya masih terang cemerlang oleh sinar senja, Pujo yang terlentang tidak mau membuka matanya karena silau. Ia meramkan matanya dan berada dalam keadaan samadhi. ia tidak menyesal akan nasib yang menimpanya, hanya menyesal mengapa belum berhasil membalas dendam.

Teringat akan pengalamannya semalam, ia sadar bahwa ia telah berlaku kurang hati-hati, terlalu menurutkan nafsu dendamnya. Akan tetapi semua itu telah terjadi, tak perlu disesalkan lagi. Sekarang baginya hanyalah menanti datangnya hukuman, akan tetapi di dalam hatinya ia mengambil ketetapan untuk tidak menyerah begitu saja. Akan ia pertahankan nyawanya dengan segala ilmu yang dimilikinya.

Ketika para algojo yang bertubuh tegap-tegap seperti raksasa mengikat lagi kedua tangan dan kedua kakinya dengan sebuah tambang besar yang panjang, barulah Pujo membuka matanya. Kaki tangannya yang sudah terbelenggu, kaki menjadi satu dan tangan juga menjadi satu, kini diikat lebih kuat dengan tambang baru yang panjang, setiap tangan dan setiap kaki diikat erat-erat.

Pujo tidak mempedulikan ini semua. Ia maklum bahwa para algojo itu sudah terlatih dan berlaku amat hati-hati. Sukar mencari kesempatan untuk memberontak atau meloloskan diri. Kini biji matanya mulai bergerak-gerak. Melihat para penonton memenuhi sekeliling alun-alun, kulit di antara kedua matanya berkerut sedikit.

Akan tetapi ketika ia memandang ke arah panggung dan melihat Adipati Joyowiseso duduk didampingi gadis remaja yang ikut mengeroyoknya dan Jokowanengpati, matanya menjadi liar dan dadanya terasa panas oleh amarah. Ia menentang pandang mata adipati itu dengan sinar mata menyala penuh tantangan. Pandang mata Jokowanengpati yang tidak langsung memandangnya itu tidak ia peduli, juga pandang mata penuh perasaan haru dan kagum dari gadis remaja itupun tak dihiraukan.

Kini keempat buah kaki tangan Pujo sudah diikat erat dengan ujung tambang panjang; Setiap tambang lalu diurai dan dibawa kepada kuda yang sudah menanti. Empat ekor kuda itu berada di empat penjuru. Dua ekor di kanan kiri panggung, yang dua ekor lagi menghadap ke arah berlainan, jadi empat ekor kuda itu berdiri membelakangi tubuh Pujo.

Tambang-tambang yang panjang dan yang mengikat keempat buah kaki tangan Pujo, kini diikatkan pada pundak kuda yang sudah dipasangi alat yang khusus untuk pekerjaan ini. Kemudian empat orang algojo melompat ke atas punggung kuda, dengan cambuk di tangan.

cerita silat online karya kho ping hoo

Seorang algojo lain menghampiri Pujo, lalu menggunakan pedang yang amat tajam untuk membikin putus belenggu pertama yang mengikat kaki dan tangan masing-masing menjadi satu. Kini kaki dan tangan Pujo terpentang, tangan kanan di selatan, kaki kiri di utara, tangan kiri di barat dan kaki kanan di timur.

Hukum perapat yang mengerikan sudah siap dilaksanakan! Para penonton yang tadi saling bicara sehingga keadaan di situ menjadi berisik seperti suara ribuan lebah diganggu pada saat persiapan dilakukan, kini semua diam tak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun, seperti seekor binatang jengkerik terpijak.

Ketegangan memuncak dan semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi sekali dan kesunyian inilah yang membuat suara Adipati Joyowiseso terdengar jelas, "Heii, si pembunuh laknat Pujo! Kesempatan terakhir kuberikan kepadamu. Kalau kau bersedia mengaku sebab perbuatanmu yang jahat malam tadi, aku masih belum terlambat untuk mengubah hukumanmu!"

"Hah! Joyowiseso, mengapa masih banyak cerewet lagi? Aku gagal membunuhmu, dan sekarang hendak membunuh mati kepadaku, lakukanlah! Seorang satria sejati tidak gentar menghadapi kematian karena kegagalan perjuangannya!"

Kumis sekepal sebelah di bawah hidung adipati itu bangkit berdiri saking marahnya.

"Kau... pengecut besar masih membuka mulut mengaku satria!"

"Ha-ha-ha! Joyowiseso, kau selalu menyebutku pengecut. Tentu karena dahulu aku tidak ikut melawan barisan Mataram maka kau anggap aku pengecut, bukan? Ha-ha-ha, siapakah yang lebih pengecut di antara kita? Kau dahulu melawan mati-matian, setelah kalah bertekuk lutut untuk mempertahankan kedudukan. Dan semua orang dapat kau tipu, akan tetapi aku tahu bahwa kau menakluk kepada Mataram hanyalah lahirnya saja, sedangkan batinnya... ha-ha-ha!"

"Cukup! Hayo laksanakan hukumannya!" bentak sang adipati sambil bangkit berdiri dengan muka pucat saking marahnya, tangannya memberi tanda kepada empat orang algojo di atas punggung kuda yang memang sejak tadi sudah siap, hanya tinggal menanti tanda yang diberikan sendiri oleh sang adipati.

Penonton yang tadinya menjadi berisik kembali mendengar perbantahan itu, kini diam lagi dan memandang dengan mata terbelalak, bahkan bernapaspun ditahan agaknya. Ketegangan memuncak dan tanpa diketahui orang lain kecuali Jokowanengpati yang selalu melirik ke arah Roro Luhito, gadis ini agak menggigil tubuhnya dan duduk bersandar kursi lalu meramkan kedua matanya!

"Tar-tar-tar-tar!" Empat batang cambuk di tangan empat orang algojo itu berdetak di udara bergantian, kendali kuda disendai dan empat ekor kuda itu bergerak maju sambil mengerahkan tenaga.

Terdengar jerit di sana-sini antara para penonton dan banyak yang kurang kuat syarafnya sudah roboh pingsan dengan tubuh lemas! Sudah terbayang di dalam otak para penonton betapa dalam detik-detik berikutnya, tubuh pemuda ganteng itu akan robek menjadi empat potong. Tanpa ia sadari, dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk mata Roro Luhito, dan Jokowanengpati yang melihat ini tersenyum sinis.

Tiba-tiba kesunyian yang mencengkam perasaan itu berubah sama sekali. Keadaan menjadi berisik sekali, bahkan makin lama makin riuh. Orang-orang berteriak tak tentu maksudnya, ada yang bersorak bahkan ada yang bertepuk tangan, ada pula terdengar suara para penjaga memaki-maki.

Roro Luhito cepat membuka matanya, memandang. Ia terbelalak memandang ke depan, bahkan kini ia berdiri tanpa ia sadari, kedua tangannya menekan dadanya yang membusung. Apakah yang ia lihat? Apakah yang terjadi? Hebat memang! Tubuh Pujo yang terlentang di atas tanah itu meregang, matanya separuh terpejam, otot-otot pada lengannya tampak menonjol, bibirnya berkemak-kemik tanpa suara dan tubuhnya sama sekali belum robek seperti orang sangka. Empat ekor kuda itu menarik sekuatnya, keempat kaki mereka bengkok-bengkok ke belakang dan empat orang algojo membunyikan cambuk, menyendal-nyendal kendali.

Namun tubuh Pujo tidak bergeming! Empat ekor kuda itu seakan-akan berusaha untuk merobek sepotong batu karang yang kokoh kuat! Ternyata dalam saat terakhir itu, Pujo telah mengerahkan kesaktiannya, mengerahkan tenaga sakti untuk menahan tarikan empat ekor kuda dari empat penjuru. Berkali-kali empat orang algojo itu menoleh dan mata mereka terbelalak melihat betapa korban mereka sama sekali belum terobek tubuhnya.

Algojo yang menunggang kuda di sebelah timur menjadi penasaran. Ia mencambuki leher kudanya, menendang-nendang perut kuda sehingga kudanya yang besar itu lalu meringkik marah, mengerahkan tenaga kakinya untuk berlari maju sehingga tambang yang ditariknya dan yang mengikat kaki kanan Pujo itu meregang, makin meregang dan... "takk!" tambang itu putus, kudanya terjungkal ke depan dan penunggangnya jatuh tunggang-langgang! Tepuk tangan riuh menyambut peristiwa hebat ini, bahkan mereka yang tadinya benci kepada Pujo, ikut pula bertepuk tangan dan bersorak-sorak.

Tiga ekor kuda lainnya terkejut dan panik oleh sorakan ini, apalagi penunggang merekapun mencambuki dan menendang kaki, mereka itupun meringkik-ringkik, meloncat ke depan dan ketiganya terjungkal karena tambang-tambang itu putus dalam waktu yang sama. Hal ini terjadi bukan hanya karena kekuatan tiga ekor kuda itu, melainkan juga karena Pujo sudah menggerakkan dua tangan dan kaki kirinya sehingga tambang itu tidak kuat bertahan dan menjadi putus! Makin hebatlah sorak-sorai menggegap-gempita. Lucunya, Roro Luhito juga ikut bertepuk tangan tanpa ia sadari lagi!

"Luhito, gilakah kau?" Adipati Joyowiseso membentak dan gadis itu sadar, lalu menundukkan muka dan berkata perlahan, "Apanya yang hebat? Haiii, para pengawal keroyok dia, bunuh di tempat!"

Akan tetapi kini Pujo sudah bangkit berdiri karena tambang-tambang yang mengikat kaki tangannya sudah terlepas dari kuda. Ia tertawa bergelak melihat para pengawal datang dengan senjata terhunus sehingga para pengawal itu menjadi jerih dan ragu-ragu. Melihat betapa orang hukuman yang amat perkasa itu hendak dikeroyok, para penonton menjadi tegang kembali dan tidak ada suara terdengar.

Maka suara Pujo terdengar jelas, "Ha-ha-ha-ha, Joyowiseso! Siapakah sekarang yang menjadi pengecut besar? Apakah kau lupa bahwa sang prabu di Mataram sendiri pernah membebaskan Ki Warok Gendroyono karena Ki Warok Gendroyono tidak terluka ketika dijatuhi hukum penggal lehernya? Sekali hukuman dilaksanakan, si terhukum telah menjalani hukumannya. Sekarang akupun sudah menjalani hukuman. Salahkah aku kalau empat ekor kudamu itu lemah kurang makan? Ha-ha-ha, sekarang kau hendak mengerahkan anjing-anjingmu mengeroyokku? Boleh, boleh, aku tidak takut mati, akan tetapi kau akan tetap hidup sebagai seorang pengecut besar, ha-ha!"

Para penonton kembali menjadj gaduh, sebagian besar terpengaruh ole ucapan ini. Jokowanengpati bangkit berdiri mendekati Adipati Joyowiseso dan berbisik, "Paman adipati, tidak baik agaknya kalau dia dikeroyok dan dibunuh."

"Maksud anakmas...??" Joyowiseso memandang tajam.

"Jangan salah sangka, paman. Saya bukan membelanya, akan tetapi ucapan Pujo tadi patut direnungkan. Amat tidak baik bagi nama paman kalau pengeroyokan dilaksanakan. Percayalah kepada saya dan saya akan membereskan persoalan ini. Saya akan membujuknya agar dia suka menerangkan sebab permusuhannya dengan kangmas Wisangjiwo, kemudian, saya akan membunuhnya. Berilah saya waktu sampai malam nanti, paman adipati."

Adipati Joyowiseso mengangguk-angguk dan memberi tanda dengan tangan agar para pengawal dan algojonya mundur. Mereka merasa lega sekali dan mundur teratur. Jokowanengpati dengan gerakan indah dan ringan seperti burung terbang, telah melompat turun dari atas panggung dan berlari-lari menghampiri Pujo. Semua penonton menjadi makin tegang. Wah, tentu akan terjadi pertandingan puncak yang hebat sekarang, pikir mereka. Tentu akan lebih hebat menarik, lebih ramai daripada keroyokan para pengawal yang tidak seimbang jumlahnya.

Agaknya Pujopun berpendapat bahwa turunnya Jokowanengpati tentu akan berusaha menangkapnya. Maka ia mengerutkan kening, bersiap siaga dan menegur dengan kata-kata dingin, "Kakang Jokowanengpati, malam tadi karena kecuranganmu aku tertawan! Apakah sekarang engkau hendak mengadu nyawa denganku?"

Jokowanengpati mengedipkan matanya lalu mendekat. "Adimas Pujo, kau benar-benar bodoh. Aku sedang menyelidiki adipati, kalau tidak membantunya tentu ia curiga. Mengapa engkau bersikeras hendak melawan? Betapapun juga, menghadapi begini banyak orang kau tentu akan tewas. Kau mendendam kepada Wisangjiwo, bukan? Nah, mengapa nekat mencari mati sebelum berhasil membalas dendam? Percayalah, aku akan mencari akal. Aku sudah menipu adipati, mari kau pura-pura taat dan takluk kepadaku, kuantar kembali ke tempat tahanan tanpa belenggu. Nanti kuceritakan kepadamu bagaimana kau harus bertindak. Aku bersumpah kepada para dewata, malam ini kau pasti akan bebas dan balas dendammu berhasil!"

"Baik, kakang. Sekali ini aku hendak melihat bagaimana setia kawan adanya kakang Jokowanengpati."

Jokowanengpati lalu merenggut tambang panjang yang masih bergantungan pada kedua tangan dan kaki Pujo. Empat kali ia merenggut dan empat helai tambang yang besar dan kuat itu putus semua! Para penonton menjadi riuh karena memuji penuh kekaguman. Namun mereka kecewa ketika melihat betapa Jokowanengpati menggandeng tangan Pujo, diajak masuk ke halaman kadipaten! Juga Adipati Joyowiseso dan para pengiringnya tanpa bicara apa-apa lagi kembali ke dalam kadipaten. Penonton bubar dan alun-alun itu menjadi sunyi kembali menjelang datangnya malam.

Mereka duduk bersila di dalam kamar tahanan, berhadapan. Dengan suara berbisik-bisik dan singkat, Jokowanengpati menceritakan kepada Pujo bahwa ia hanya berpura-pura bertamu di Kadipaten Selopenangkep. Maksud sebenarnya adalah melakukan tugas rahasia dari Mataram untuk menyelidik, karena didengar berita rahasia bahwa Adipati Joyowiseso mempunyai niat untuk memberontak terhadap Mataram. Pujo hanya mendengarkan acuh tak acuh.

"Karena itulah maka malam tadi aku terpaksa turun tangan menangkapmu, dimas. Urusan tugas yang begini penting tidak boleh dirusak oleh urusan pribadimu. Sekarang ceritakanlah, mengapa kau begini nekat hendak membasmi keluarga Adipati Joyowiseso? Permusuhan apa yang terjadi antara kau dan Wisangjiwo?"

Pujo menunduk, menarik napas panjang. Biar kepada Jokowanengpati sekalipun tak mungkin ia menceritakan aib dan hina yang diderita oleh isterinya, "Wisangjiwo telah... membunuh isteriku..."

"Apa...?? Diajeng Kartikosari dibunuh oleh Wisangjiwo? Akan tetapi.... diajeng Kartikosari bukan seorang wanita lemah, bagaimana dia bisa...."

"Memang tidak begitu, akan tetapi...yah, pendeknya isteriku mati karena perbuatan Wisangjiwo. Aku datang ke sini hendak mencarinya, karena dia tidak ada, maka aku hendak bunuh ayahnya."

"Aaahh, mengapa begitu, dimas? Mengapa kau kurang sabar menanti? Carilah kesempatan yang lebih baik sampai kau dapat bertemu dengan Wisangjiwo. Atau... andaikata kau hendak membalas kepada keluarganya, seharusnya isteri dan anaknya yang kau cari, bukan ayahnya. Harap kau mengerti bahwa sekali Adipati Joyowiseso terbunuh, maka gagallah usahaku membongkar rahasia pemberontakan ini. Maka kuminta kepadamu sekarang, jangan kau ganggu Adipati Joyowiseso, dan aku akan membantu kau bebas dari sini, bukan itu saja... bahkan kubantu kau menculik isteri dan putera Wisangjiwo!"

Sepasang mata Pujo bersinar-sinar. Mengapa ia tidak ingat akan isteri dan anak Wisangjiwo. Isterinya harus ia culik? Inilah pembalasan yang paling tepat. Dan anaknya sekali. Hah, akan lebih hebat pukulan ini bagi Wisangjiwo, lebih hebat daripada maut!

"Baiklah, kakang, dan terima kasih atas budimu."

"Mari, dimas, jangan terlambat."

Karena tempat tahanan itu atas permintaan Jokowanengpati dan atas perintah adipati tidak terjaga, maka mudah saja bagi dua orang muda yang berkepandaian tinggi ini untuk melesat keluar. Jokowanengpati yang sudah hafal akan keadaan di dalam kadipaten, membawa Pujo ke kamar Listyokumolo, isteri Wisangjiwo yang tidur bersama Joko Wandiro, puteranya yang baru berusia satu tahun.

Sore-sore Listyokumolo sudah tidur mengeloni puteranya, karena semua peristiwa yang terjadi di kadipaten benar-benar membuat hatinya merasa tidak enak. Sebagai seorang anak lurah yang biasa hidup tenteram di dalam dusun dan dianggap sebagai puteri raja kecil oleh penghuni dusun, Listyokumolo memang tidak begitu kerasan semenjak ia diperisteri Wisangjiwo, tidak kerasan tinggal di kadipaten. Apalagi ia dikawin putera adipati itu atas paksaan orang tuanya, dan watak Wisangjiwo yang suka berfoya-foya dan tidak menghargainya, sering memakinya sebagai perawan dusun, membuat Listyokumolo makin jauh daripada kebahagiaan rumah tangga. Hanya puteranya, Joko Wandiro yang merupakan hiburan satu-satunya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang di dalam kamarnya. Listyokumolo terkejut dan mengira bahwa ia bermimpi. Akan tetapi begitu ia bangkit duduk, lehernya serasa ditekan keras-keras dari belakang. Ia hendak berteriak, akan tetapi aneh, seakan-akan ia menjadi gagu karena tidak ada suara keluar dari kerongkongannya. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan ia pingsan ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan seorang pemuda ganteng yang bukan lain adalah Pujo, orang yang dihukum perapat sore tadi! Bayangan lain menyambar dari dalam kamar, memondong Joko Wandiro, lalu Pujo bersama Jokowanengpati bayangan ke dua itu, melompat keluar jendela, terus keluar dari dalam kadipaten melalui tembok belakang mempergunakan ilmu kepandaian mereka, pergi tanpa diketahui seorangpun penjaga.

"Nah, di sini saja kita berpisah, dimas. Untung dia pingsan sehingga tidak sempat mengenaliku. Nah, kau bawa dia dan puteranya ini. Setelah mereka ini menjadi tawananmu, tak mungkin Wisangjiwo tidak akan pergi mencarimu."

"Terima kasih, kakang Jokowanengpati. Kau benar-benar seorang yang berhati mulia. Aku tidak akan melupakan kebaikan hatimu," jawab Pujo sambil menerima anak kecil yang masih tidur pulas karena aji sirep yang dikenakan Jokowanengpati kepadanya.

Sambil memondong Joko Wandiro dan memanggul tubuh Listyokumolo, Pujo berlari cepat di tengah malam buta, meninggalkan Selopenangkep. Adapun Jokowanengpati setelah berpisah dengan Pujo, menggunakan ilmunya Bayusakti, tubuhnya berkelebat cepat sekali seperti terbang, kembali ke kadipaten. Wajahnya yang tampan itu tersenyum-senyum, kadang-kadang, ia tertawa sendiri dengan hati girang. Ia merasa yakin sekarang bahwa Pujo tetap menyangka Wisangjiwo yang memperkosa isterinya di dalam gua, tepat seperti rencananya. Biarkanlah mereka bermusuhan, pikirnya.

Memang mudah kalau ia membantu adipati dan membunuh Pujo, akan tetapi di sudut hati kecilnya, pemuda ini merasa jerih terhadap paman gurunya, Resi Bhargowo. Ia tidak mau menempatkan dirinya menjadi musuh Resi Bhargowo, dan memang lebih aman baginya begini. Dia yang makan nangkanya, Wisangjiwo yang berlepotan getahnya! Ha-ha-ha, dengan penculikan anak dan isteri Wisangjiwo, permusuhan mereka akan makin mendalam dan dia akan berada makin jauh dari lingkaran permusuhan, aman dan selamat. Sayang, Kartikosari yang cantik jelita itu telah meninggal dunia. Wanita yang sukar dicari bandingnya di dunia ini, cantik bagai dewi kahyangan, harum bagai bunga mawar yang sedang mekar.

"Sayang kau telah mati..." bisiknya! "tapi sudah meninggalkan kenang-kenangan manis, hemmm... " Ia meraba tangan kirinya yang telah kehilangan sebuah jari kelingking, tangan kiri yang hanya berjari empat buah saja, lalu tersenyum dan mempercepat larinya, melompati tembok belakang kadipaten dan menyelinap di dalam gelap bagaikan setan.

Senyum iblis yang menghias mukanya yang tampan itu masih membayang, matanya berkilat-kilat ketika ia mengintai dari jendela sebuah kamar. Kamar Roro Luhito! Pelita kecil di kamar dara itu masih menyala dan Roro Luhito duduk melamun di atas pembaringannya, rambutnya kusut wajahnya lesu, diam tak bergerak seperti sebuah patung. Pintu kamarnya terketuk dari luar, perlahan, namun cukup membuat dara yang sedang melamun itu terkejut.

"Luhito anakku sayang, sudah tidurkah engkau?"

Roro Luhito menarik napas lega, turun dari pembaringan dan dengan langkah malas menghampiri pintu dan membukanya. Ibunya masuk, memandang puterinya sejenak lalu merangkulnya penuh kasih sayang.

"Luhito sayang, mengapa kau belum berganti pakaian, kelihatan lesu dan tidak makan malam! Sakitkah kau, angger?"

"Tidak apa-apa, bunda. Aku hanya merasa aras-arasen (malas) dan ingin mengaso, lain tidak."

"Ah, kalau begitu bunda takkan lama mengganggu, nak." Ia menarik tangan Roro Luhito, diajak duduk di atas pembaringan.

"Aku hanya ingin bertanya kepadamu. Bagaimana kau lihat Raden Jokowanengpati? Dia tampan dan gagah, sakti mandraguna pula, bukan?"

Tak seujung rambutpun dara itu mengenang Jokowanengpati, akan tetapi untuk menghindarkan percakapan lebih panjang, ia hanya mengangguk tanpa menjawab. Ibunya salah sangka, mengira puterinya malu-malu, maka sambil memegang tangannya ia berkata, "Kami, ayahmu dan aku, sudah setuju sekali kalau dia bisa menjadi mantu kami, sayang."

"Apa...??" Roro Luhito benar-benar terkejut dan memandang ibunya dengan mata terbelalak. "Apa... apakah dia datang untuk meminang.....?"

Ibunya menggeleng kepala, tersenyum dan bangkit berdiri.

"Belum lagi, nak. Akan tetapi tak lama lagi tentu dia akan meminangmu. Nah, kau legakanlah hatimu dan mengasolah. Akan tetapi, biarpun tidak berani mandi, kau harus tukar pakaian."

Setelah mencium ubun-ubun anaknya, ibu yang bergembira itu keluar dari kamar, menutupkan daun pintu lambat-lambat. Roro Luhito masih termenung, kemudian cepat-cepat ia mengunci daun pintu, lari lagi ke atas pembaringan dan duduk termenung seperti tadi. Berkali-kali ia menarik napas panjang, kemudian dengan gerakan malas ia menanggalkan pakaian untuk ditukar dengan yang baru. Tentu saja ia sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, semua gerakannya diintai oleh sepasang mata yang bersinar-sinar penuh nafsu!

Mata Jokowanengpati! Baru saja Roro Luhito meniup padam pelita menjelang tengah malam dan naik ke pembaringan, jendela itu terbuka dari luar dan sesosok bayangan dengan sigap melompat masuk, menutup daun jendela lagi dan menghampiri pembaringan.

Roro Luhito terkejut, bergerak hendak loncat turun dari pembaringan, akan tetap sebuah lengan yang kuat merangkul lehernya, dan lain tangan menutup mulutnya dengan gerakan halus, kemudian terdengar bisikan perlahan sekali, "Luhito, aku Pujo... aku tahu... kau suka kepadaku seperti aku mencintamu..."

Gemetar seluruh tubuh Roro Luhito. Memang tak dapat ia sangkal lagi, ia telah jatuh hati kepada Pujo, orang muda yang amat perkasa dan gagah, yang sekaligus telah menarik rasa iba dan cintanya. Akan tetapi ia tadi masih menyedihkan nasib pemuda itu, mengapa kini tahu-tahu muncul dalam kamarnya? Betapapun ia tertarik kepada pemuda itu, sama sekali ia tidak mengharapkan akan terjadi hal yang begini memalukan.

Maka ia meronta, hendak melawan tanpa berteriak karena tak mau ia mencelakai orang muda itu. Namun, orang muda itu luar biasa kuatnya, terlampau kuat untuknya. Ketika orang muda yang menggagahinya itu kemudian melompat keluar dari jendela dengan kesebatan yang luar biasa, Roro Luhito menangis di atas pembaringan. Mendadak ia terkejut mendengar suara di atas genteng, suara teriakan yang amat nyaring.

"Tangkap penjahat! Siap semua...! Kepung... tangkap Pujo yang melarikan diri.....!!"

Itulah suara Jokowanengpati. Menggigil tubuh Roro Luhito. Tak kuasa ia turun dari atas pembaringan. Ketika ia menangis tadi, cinta kasihnya terhadap Pujo bercampur rasa benci dan marah. Akan tetapi kini mendengar teriakan Jokowanengpati, tanpa ia sadari timbul rasa cemas dalam hatinya, cemas dan kuatir akan keselamatan Pujo yang selain telah merampas kasihnya, juga merampasi kehormatannya dan sekaligus menimbulkan benci dan marah dalam hatinya.

Ributlah kini di luar kamar. Suara banyak kaki berlari-lari, bahkan terdengar pula suara ayahnya bertanya-tanya. Kembali terdengar Jokowanengpati berseru, "Tadi kulihat dia melompat keluar dari jendela kamar diajeng Roro Luhito. Entah apa yang diperbuatnya! Aku kuatir..."

"Apa? Bagaimana dia bisa lari? Anakmas,. bukankah kau yang berjanji akan..."

"Nanti saja ku ceritakan semua, paman. Lebih baik sekarang paman memeriksa kamar diajeng Roro Luhito, saya kuatir sekali..."

Daun pintu itu terpentang ketika Adipati Joyowiseso melompat masuk. Jokowanengpati dan para pengawal tidak ada yang berani memasuki kamar puteri adipati itu. Adipati Joyowiseso menyalakan pelita, memandang ke arah pembaringan dan matanya terbelalak lebar, kumisnya bergerak-gerak, giginya berkerot saking marahnya. Sekali pandang saja kepada puterinya yang menangis terisak-isak di atas pembaringan, rambutnya yang terurai lepas dan kusut, pakaiannya yang tidak karuan lagi, ia dapat memaklumi persoalannya.

"Luhito! Dia... dia ke sini tadi..?" Ia masih bertanya ragu...
BADAI LAUT SELATAN JILID 05


Badai Laut Selatan Jilid 04

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 04

"Keparat biadab! Siapa ini.....?!?"

"Adipati Joyowiseso, terimalah hukuman dosa anakmu si bedebah Wisangjiwo!" Pujo berseru dan bagaikan angin badai ia menyerbu dengan sebuah keris telanjang di tangan! Tusukannya ke arah ulu hati adipati itu amat dahsyat, cepat sekali dan disertai tenaga yang kuat, kemudian disusul sebuah tendangan ke arah perut.

Joyowiseso takkan menjadi adipati kalau dia bukan seorang yang pandai beryuda. Usianya sudah lima puluh tahun namun tubuhnya yang tinggi besar itu masih tampak kuat. Dadanya yang terbuka tanpa baju itu memperlihatkan bahu yang bidang dan segumpal rambut yang hitam menghias ulu hati dan buah dada otot-ototnya sebesar tambang bambu. Melihat serangan dahsyat ini, trengginas (sigap) ia menangkis dengan tangan kanannya, sebuah lengan yang besar berbulu menyampok tangan kanan Pujo.

Namun Pujo adalah seorang pemuda gemblengan, pula ia menjadi makin kuat karena dorongan kenekatan bulat dan kemarahan. Selain ini, memang ia lebih dulu membuat persiapan, tidak seperti sang adipati yang masih belum lenyap rasa kagetnya. Maka begitu kedua lengan bertemu, tangan Pujo yang menusuk meleset ke atas dan kerisnya masih menancap pada pangkal lengan kanan Adipati Joyowiseso.

Agaknya tusukan pada pangkal lengan ini tidak akan membuat adipati itu berteriak kalau saja tendangan kaki Pujo tidak mengenai perutnya. Sebuah tendangan yang keras, tepat mengenai perut yang sudah mulai bekel (menggendut), menimbulkan suara "bleggg!" dan tubuh adipati itu terlempar ke belakang, lalu terhuyung-huyung.

"Terimalah kematianmu, Joyowiseso! " Pujo menerjang lagi dan adipati itu berteriak-teriak, "Tolong...! Toloooonggg...!! Penjahat!!"

Namun dalam ketakutannya, ia masih cukup tangkas untuk menggulingkan tubuh ke atas lantai dan terus menggelinding mendekati meja di sudut kamar. Sebelum Pujo sempat menyerang lawan yang bergulingan itu, Adipati Joyowiseso sudah menarik kaki meja. Pelita di atas meja terlempar ke bawah dan padam. Gelap gulita di dalam kamar itu. Yang terdengar hanya isak tangis selir adipati di atas pembaringan yang diusahakannya untuk didekap dengan mulut agar tidak bersuara.

Dendam kesumat mendidih dalam dada Pujo dan kenekatannya sudah bulat, namun dia bukanlah seorang yang sembrono atau bodoh. Melihat betapa dalam kamar yang asing baginya itu gelap sekali, Pujo maklum bahwa bahaya mengancam dirinya. Apalagi ia mendengar suara kaki berlari-lari mendatangi ke arah kamar. Cepat ia lalu mengayun tubuh melompat keluar dari jendela yang sudah berlubang besar karena daun jendelanya roboh oleh terjangannya ketika masuk tadi. Hanya lubang jendela itulah yang tampak dari dalam gelap, disinari oleh cahaya lampu di luar kamar.

Untung ia berlaku waspada dan begitu mendengar ada angin sambaran dari samping, ia mengelak. Sebuah pisau belati melayang dan menancap di jendela, belati yang disambitkan dari dalam gelap oleh Adipati Joyowiseso.

"Penjahat! Tangkap!!"

Terdengar adipati itu berteriak-teriak sambil mengejar, sebatang tombak di tangannya dan kain yang tadi menyelimuti tubuhnya sudah ia lilitkan ke belakang, merupakan cawat. Begitu tubuh Pujo berada di luar kamar, sebuah tombak dan sebilah golok menyambar dari kanan kiri. Trengginas (sigap) ia melompat terus ke depan, menghindarkan diri lalu membalik cepat. Kiranya yang menyerangnya adalah dua orang penjaga yang berlari datang karena teriakan adipati. Pujo tidak menanti sampai mereka menyerang lagi atau menunggu datangnya lawan yang lebih banyak lagi. Begitu si pemegang tombak memutar senjata hendak menusuk, ia telah mendahuluinya dengan terjangan kilat ke depan.

Sukar diikuti pandang mata lawannya gerakan ini saking cepatnya dan tahu-tahu kerisnya telah menancap di perut lawan dan begitu dicabut, darah muncrat keluar dan si pemegang tombak roboh tertelungkup. Pada saat itu si pemegang golok sudah mengayun senjatanya mengancam ke arah kepala dari kiri. Pujo miringkan tubuh, tangan kirinya dengan Aji Pethit Nogo menangkis, jari-jari tangan kirinya yang sudah kemasukan aji yang ampuh ini tepat menghantam pergelangan tangan yang memegang golok, mendahului datangnya sambaran senjata tajam itu.

Terdengar bunyi "krakk!" tanda bahwa lengan itu patah dihajar Ilmu Pethit Nogo. Si pemegang golok berseru kesakitan, akan tetapi di lain saat iapun terjungkal seperti temannya dengan lambung berlubang oleh keris!

"Penjahat busuk, rasakan tombakku!"

Adipati Joyowiseso yang sudah melompat keluar dari jendela mengayun tombaknya. Adipati ini memang terkenal sebagai pemain tombak yang jagoan, tombaknya bergerak cepat berputaran dan mata tombak seakan-akan berubah menjadi lima buah banyaknya, menyambar dengan kecepatan kilat bertubi-tubi ke arah bagian tubuh yang berbahaya.

Pujo tentu saja tidak menjadi gentar, akan tetapi melihat banyak penjaga dengan obor di tangan lari mendatang, ia merasa bahwa tempat itu kurang luas untuk bertempur menghadapi banyak lawan. Kurang leluasalah ia bergerak kalau sampai terkepung. Maka ia meloncat ke belakang menjauhi ancaman tombak, lalu lari menuju ke pekarangan belakang.

"Keparat, hendak lari ke mana kau?"

Adipati Joyowiseso mengejar, kini diikuti oleh belasan orang pengawal yang sudah memegang senjata masing-masing ditangan. Bahkan dari dalam gedung keluar pula seorang gadis yang berpakaian ringkas, memegang cundrik kecil panjang yang runcing. Dia ini adalah Roro Luhito. Dengan hati cemas gadis ini melihat pundak ayahnya yang berdarah.

"Ayah, ada apakah??" tanyanya sambil berlari di samping ayahnya.

"Ada penjahat, hendak membunuhku. Itu dia lari ke sana. Kejar!"

Roro Luhito tidaklah sehebat Wisangjiwo kepandaiannya, akan tetapi dibandingkan dengan para penjaga, agaknya gadis ini masih lebih unggul karena ia mendapat gemblengan sendiri dari ayahnya. Maka kini ia dapat berlari cepat di samping ayahnya dan para pengejar ini sejenak tertegun ketika melihat bahwa orang yang mereka kejar itu tidak terus lari, bahkan kini dengan muka beringas dan senyum mengejek menanti kedatangan mereka dengan keris yang berlumur darah di tangan!

Seorang pemuda yang amat tampan, akan tetapi yang tampak mengerikan karena pandang matanya menyinarkan kehausan akan darah, sinar mata maut! Akan tetapi yang merasa paling kaget dan heran adalah Adipati Joyowiseso sendiri. Dia merasa seperti pernah melihat pemuda ini, dan setelah ia mengingat-ingat, cambangnya yang tebal tergetar saking marahnya.

Dengan tombak ditudingkan ia membentak marah, "Babo-babo, keparat jahanam! Kiranya kau! Bukankah kau murid Resi Bhargowo dari Sungapan? Mengapa kau datang dan menyerangku?"

"Adipati Joyowiseso! Kau harus menebus dosa yang diperbuat oleh puteramu yang biadab!"

Terbelalak lebar mata adipati itu. "Jahanam, lancang mulutmu! Perbuatan apa yang dilakukan Wisangjiwo?"

"Tak usah banyak cakap, siaplah kau untuk mampus!"

Setelah berkata demikian, Pujo menubruk maju dan menyerang dengan kerisnya. Adipati itu juga menggerakkan tombak untuk menangkis karena biarpun keris merupakan senjata pendek, namun gerakan pemuda itu cepat sekali.

"Tranggg...!"

Tombak itu terpental dan kedua tangan Adipati Joyowiseso terasa kaku. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan Roro Luhito menyerang Pujo dengan cundriknya yang ditusukkan ke arah lambung si orang muda dari samping. Tadinya Roro Luhito terpesona karena sama sekali tidak menyangka bahwa penjahat yang dikejar-kejar ayahnya adalah seorang pemuda yang demikian ganteng dan wajahnya menimbulkan rasa iba dan suka di hatinya. Akan tetapi mengingat bahwa pemuda ini sudah melukai ayahnya dan bahkan hendak membunuh ayahnya, kemarahannya timbul dan ia segera menyerang.!

Tangkisan tombak tadi menggagalkan serangan Pujo, akan tetapi melihat adipati itu terhuyung, ia hendak menambahi dengan serangan ke dua sebelum para penjaga sempat mengurung, akan tetapi mendadak ia mendengar bentakan suara wanita dan disusul sambaran angin serangan. Ia membalikkan tubuh dengan putaran tumitnya dan melihat seorang gadis remaja menyerangnya, ia terheran-heran. Ia tidak pernah tahu bahwa adipati itu mempunyai seorang anak perempuan.

Betapapun juga, Pujo adalah seorang ksatria, maka tidaklah tega hatinya untuk membunuh wanita, biarpun ia melihat betapa gerakan wanita ini masih amat lemah dan lambat sehingga sekali saja mendahului serangan, ia pasti akan dapat memukul roboh gadis ini. Karena pikiran itulah maka ia lalu menyampok dengan tangan kirinya, menggunakan jari telunjuknya menyentil kulit lengan yang putih halus.

"Aaauuuhhh...!" Roro Luhito menjerit, cundriknya terlepas dan ia memegangi lengan kanan yang terasa copot sambungannya itu dengan tangan kiri sambil meloncat mundur.

Pada saat itu, para penjaga sudah maju mengurung dan menggerakkan senjata yang datang bagaikan hujan menyerang tubuh Pujo. Namun Pujo berseru garang, tubuhnya berkelebat di antara mata tombak dan golok, lalu meloncat ke atas menubruk pengeroyok sebelah kiri. Begitu tangan kirinya menyampok dan kerisnya berkelebat, empat orang penjaga roboh tak dapat bangun kembali!

Dua orang penjaga terdekat di kanan kirinya mempergunakan kesempatan ini untuk menggerakkan tombak yang ditusukkan dari kanan kiri. Pujo tidak tergesa-gesa. Begitu kedua tombak itu mendekat, ia sudah menggigit kerisnya dan kini kedua tangannya menyambar tombak, dan sekali kedua tangannya membuat gerakan menyendal dan menusuk, dua orang penjaga itu roboh dengan perut tertembus tombak kawannya!

Menyaksikan kehebatan pemuda ini, para penjaga undur tiga langkah dengan gentar, mengharapkan datangnya kawan-kawan yang kini sudah tampak datang berlarian dari luar gedung. Pujo tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Adipati Joyowiseso, hayo inilah dada Pujo anak Sungapan! Kerahkan seluruh anjing-anjing penjagamu, jangan maju seorang demi seorang, majulah berbareng! Saat ini adalah saat kematianmu dan sebelum aku meninggalkan Kadipaten Selopenangkep, kadipaten ini akan menjadi telaga darah!"

"Keparat sombong! Hayo maju semua, tangkap keparat ini, hidup atau mati!" teriak Adipati Joyowiseso yang sudah menerjang maju lagi dengan tombaknya.

Gerakan adipati ini cukup tangkas, tenaganya besar sehingga Pujo tidak berani memandang rendah, apalagi karena para penjaga yang berkumpul di situ lebih dari dua puluh orang banyaknya. Ia mengelak dan melesat ke kiri ketika banyak senjata menyambarnya, kemudian ia menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk melesat ke kanan kiri sambil kadang-kadang menghantam seorang pengeroyok atau menggunakan kerisnya mencari korban. Ramai suara para penjaga yang mengepungnya, sama ramainya dengan pemburu-pemburu mengepung harimau.

Pertandingan yang amat tak sebanding ini berlangsung seru. Pujo mempergunakan kepandaiannya, tangan kirinya yang mempergunakan Ilmu Pethit Nogo dan kerisnya seakan-akan pesta pora dengan tubuh para pengeroyoknya. Belum sampai setengah jam lamanya, di pekarangan belakang gedung kadipaten itu sudah bergelimpangan tubuh Sembilan orang penjaga, ada yang sudah tewas, ada yang masih berkelojotan dan ada yang merintih-rintih.

Akan tetapi Pujo tidak berhasil mendekati Adipati Joyowiseso yang selain dijaga oleh para pengawalnya, juga dijaga oleh Roro Luhito yang kini mainkan sebatang tombak juga! Adipati itu sendiri tidak tinggal diam, ia selalu mencari kesempatan selagi pemuda itu sibuk melayani pengeroyokan untuk menggunakan tombaknya menusuk. Matahari pagi mulai muncul menyinari permukaan bumi dengan cahayanya yang kemerahan, semerah darah yang berceceran membasahi bumi pekarangan belakang Kadipaten Selopenangkep.

Keadaan di situ makin gaduh oleh suara mereka yang mengepung Pujo. Diam-diam Pujo mulai merasa kuatir. Kalau semua penduduk sudah bangun dan bala bantuan datang makin banyak, sukarlah baginya untuk melarikan diri. Akan tetapi, para penjaga itu tak pernah mau melepaskannya lagi dan sebegitu lama belum juga ia berhasil membunuh ayah Wisangjiwo. Ia kecewa. Kalau Wisangjiwo sendiri tidak berada di situ dan ia tidak berhasil membunuh Adipati Joyowiseso, bukankah sia-sia belaka usahanya? Apalagi kalau ia sampai tertawan dan terbunuh! Apa artinya sekian banyak penjaga yang terbunuh olehnya? Nyawa ratusan penjagapun tidak ada artinya bagi pembalasan dendamnya terhadap Wisangjiwo!

Kekecewaan ini membuat kemarahan Pujo meluap dan berteriak menyeramkan, lalu tubuhnya berkelebat seperti burung srikatan mengejar belalang. Hebat bukan main amukannya, karena ini menggunakan pukulan Gelap Musti sehingga tiap orang yang terkena pukulan geledeknya tentu roboh dengan kepala atau dada pecah! juga Ilmu Bayutantra membuat gerakannya seperti angin puyuh!

Akan tetapi kenekatannya ini menimbulkan pula ketidak hati-hatiannya. Tusukan tombak Adipati Joyowiseso yang tentu saja lebih berbahaya daripada tusukan para pengeroyok, secepat kilat menyambar ke arah ulu hati Pujo yang ketika itu sibuk mempergunakan kedua tangannya. Pujo terkejut dan cepat tangannya menyampok dari bawah. Mata tombak tersampok ke atas, meleset malah menyambar ke arah tenggorokannya. Pujo cepat miringkan kepala, akan tetapi tetap saja mata tombak itu menghunjam ke arah lehernya. Baiknya ia telah cepat-cepat mengerahkan tenaga sakti ke arah leher sehingga tombak itu meleset, hanya melukai kulit leher.

Saking marahnya Pujo mencengkeram dengan Aji Pethit Nogo, menangkap mata tombak dan sekali tangannya meremas, hancurlah tombak itu! Adipati Joyowiseso sampai terhuyung ke belakang dan hampir terjengkang. Pujo berteriak seperti harimau terluka, menubruk ke depan. Tetapi sebatang tombak menerima kedatangannya dengan tusukan ke arah perut. Lagi-lagi Roro Luhito yang melindungi ayahnya.

"Setan!!" Pujo mendamprat, tangannya mencengkeram tombak dan sekali ia menarik ke samping, tubuh Roro Luhito terlempar dan roboh! Akan tetapi belasan orang penjaga sudah menghadang di depannya, memisahkannya dari Adipati Joyowiseso. Darah mengucur dari lehernya dan luka di leher terasa panas, tanda bahwa mata tombak itu biasa diberi ramuan yang beracun. Matanya agak berkunang, akan tetapi begitu ia menerjang maju, kembali dua orang penjaga roboh dan tewas. Amukan Pujo benar-benar hebat dan nggegirisi (menggiriskan).

Pada saat itu berkelebat sesosok bayangan hitam, gerakannya seperti burung terbang saja dan begitu tiba di dekat Pujo, ia mengirim pukulan dengan telapak tangan ke arah pelipis kanan. Pujo kaget karena hawa pukulan ini amat panas serta mendatangkan angin keras. Cepat ia memutar tubuh dan menangkis, akan tetapi tangan yang memukul itu ditarik kembali, diganti tendangan ke arah pusar! Hebat dan tangkas bukan main penyerang ini. Tadinya hati Pujo berdebar, mengira bahwa yang datang itu musuh lamanya yang dicari-cari, Wisangjiwo, akan tetapi ketika ia mengangkat muka memandang sambil meloncat mundur menghindarkan tendangan, ia menjadi kaget bukan main.

"Kakang Jokowanengpati.......!"

Tentu saja ia mengenal orang muda ganteng berpakaian hitam itu, mengenal murid uwa gurunya. Jokowanengpati adalah murid Empu Bharodo yang sakti.

"Hemm, siapapun yang mengacau harus ditawan!" berkata Jokowanengpati sambil menerjang maju lagi.

Pujo sudah menjadi pening dan lelah dan ia maklum bahwa murid Empu Bharodo ini adalah seorang yang amat pandai.

"Kakang Joko...... harap jangan turut campur!"

"Adipati adalah punggawa gusti prabu, mana bisa aku membiarkan beliau diganggu orang? Pujo, kau menyerahlah!"

"Menyerah? Kepada adipati ayah si laknat Wisangjiwo? Lebih baik mati!"

Sambil berkata demikian, Pujo membalik ke kanan, kerisnya bekerja dan seorang penjaga yang tertusuk keris menjerit dan roboh. Akan tetapi pada saat itu, Jokowanengpati telah menggunakan aji pukulan Siyung Warak (Taring Badak), tepat mengenai tengkuk Pujo yang mengeluarkan suara keluhan dan roboh terguling, pingsan dengan keris masih digenggam di tangan kanan! Tentu tubuh orang muda ini sudah hancur berkeping-keping dihujani senjata oleh para penjaga kalau saja Jokowanengpati tidak cepat-cepat mencegah.

"Tahan semua senjata! Dia harus ditawan dan diperiksa perkaranya!"

Sambil memegang ujung kainnya yang tadi terlepas kaitannya dengan tangan kiri dan menyeret tombak buntung dengan tangan kanan, Adipati Joyowiseso melangkah datang didampingi Roro Luhito yang dahinya lecet sedikit terlempar tadi.

"Benar! Jangan bunuh! Ambil tambang yang besar, ikat kaki tangannya!" teriaknya memerintah.

Sibuk para penjaga mencari tali besar terbuat daripada ijuk yang amat kuat dan membelenggu kaki tangan Pujo yang masih pingsan. Jokowanengpati mengambil keris dari tangan Pujo.

"Setan alas! Keparat jahanam!" Adipati Joyowiseso berjongkok memukuli muka dan kepala Pujo sehingga darah keluar dari hidung dan mulut orang muda itu. Setelah lelah ia lalu bangkit berdiri dan menggunakan kedua kakinya menendangi muka dan tubuh Pujo berganti-ganti sampai napasnya terengah-engah mau putus saking lelahnya.

"Seret ia ke dalam tahanan! Jaga kuat-kuat jangan sampai ia terlepas. Juga jaga jangan sampai ia membunuh diri atau terbunuh sebelum kuperiksa!"

Setelah berkata demikian, Adipati Joyowiseso menggandeng tangan Jokowaneng-pati, menariknya ke dalam sambil berkata, "Untung ada anakmas yang hadir di sini. Genduk Luhito, kaulihat betapa hebat dan tangkasnya kangmasmu Raden Jokowanengpati merobohkan penjahat itu tadi!"

Akan tetapi Roro Luhito. seperti orang termenung. Di dalam hatinya bukan mengagumi sepak terjang Jokowanengpati, melainkan mengagumi sepak terjang Pujo! Kagum dan juga menyesal mengapa pemuda yang ganteng seperti Arjuno dan gagah perkasa seperti Gatot Koco itu memusuhi ayahnya sehingga tertangkap dan tentu akan dihukum mati!

Para penjaga sibuk sekali. Ada yang menyeret tubuh Pujo yang masih pingsan dan lemas itu ke dalam tahanan sambil mengawalnya ketat sekali. Ada yang sibuk mengurus para mayat dan menolong yang terluka. Ada yang membersihkan darah dan membereskan tempat yang menjadi rusak oleh bekas-bekas pertempuran.

Ketika Adipati Joyowiseso bersama Roro Luhito dan Jokowanengpati memasuki ruangan dalam, mereka disambut oleh isteri adipati bersama para selir. Selir yang semalam menyaksikan serbuan Pujo ke dalam kamar dan mukanya pucat sekali, menubruk puterinya, Luhito sambil menangis.

"Cah ayu (anak manis), kau ajak ibumu ke kamar dan beri hiburan. Dia mengalami kaget semalam," kata Adipati Joyowiseso kepada Roro Luhito.

Gadis itu merangkul ibunya dan mengajaknya masuk, tidak peduli atau agaknya tidak melihat betapa Jokowanengpati melirik ke arahnya dengan mata penuh gairah. Isteri adipati segera memanggil pelayan untuk minta datang dukun pengobatan. Tak lama kemudian datanglah kakek berambut putih yang berjari cekatan, mencuci dan mengobati luka di pundak Adipati Joyowiseso. Setelah berganti pakaian, adipati ini mengajak Jokowanengpati duduk di ruangan dalam, menyuguhkan kopi dan penganan.

"Anakmas, saya mendengar tadi anak-mas agaknya kenal dengan penjahat itu. Dia itu bernama Pujo, murid Resi Bhargowo. Apakah benar anakmas mengenalnya?"

Jokowanengpati mengangguk. "Tentu saja saya mengenalnya, paman adipati. Dia adalah murid dan juga mantu paman Resi Bhargowo, sedangkan paman resi adalah adik seperguruan bapa Empu Bharodo."

"Ohhh...?" Adipati Joyowiseso benar-benar kaget mendengar ini.

"Harap paman adipati bertenang hati. Biarpun masih ada hubungan perguruan, namun hubungan antara saya dan mereka guru dan murid tidaklah dapat dikatakan baik. Apalagi setelah jelas bahwa Pujo berkhianat dan mempunyai niat buruk terhadap paman adipati, betapapun juga saya tidak akan membelanya."

"Bagus! Tentu saja pribadi anakmas mana dapat disamakan dengan segala macam pengecut seperti Pujo dan gurunya? He, pengawal! Tengok si keparat itu, kalau sudah siuman dari pingsannya, seret dia ke ruangan belakang, hendak kuperiksa!"

Si pengawal menyatakan baik, memberi hormat lalu mundur.

"Maaf, paman adipati. Sungguhpun saya sama sekali tidak akan membela Pujo yang melakukan tindak khianat, akan tetapi sebaiknya saya tidak hadir dalam pemeriksaan atas dirinya, tidak hadir secara terang-terangan melainkan saya akan mengintai dari balik jendela saja. Perkenankan saya mundur."

"Ah, saya maklum, anakmas. Baiklah. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan anakmas, dan sekali lagi saya merasa bersyukur dan berterima kasih kepada anakmas."

Jokowanengpati lalu mengundurkan diri pula. Sebenarnya, pemuda ini merasa gentar juga kalau harus menyaksikan pemeriksaan itu, bukan gentar terhadap orang lain, melainkan terhadap bayangannya sendiri. Sukar diduga isi hati seorang murid Resi Bhargowo, pikirnya. Ia masih belum yakin benar apakah Pujo masih belum tahu akan perbuatannya di Guha Siluman, ataukah pura-pura tidak tahu, kemudian akan membuka rahasia ini di depan adipati? Orang yang melakukan perbuatan jahat tentu selalu akan merasa tertekan dan tidak tenteram hatinya, selalu diganggu bayangan-bayangan sendiri yang bermunculan. Oleh karena inilah agaknya Jokowanengpati mengajukan alasan itu.

Tak lama kemudian, setelah disiram beberapa ember air dingin, Pujo sadar daripada pingsannya. Kepalanya masih terasa pening dan pangkal lengannya kaku sakit. Akan tetapi begitu ia sadar, ia telah diseret-seret kembali dalam keadaan terikat kaki tangannya, dibawa ke ruangan belakang di mana telah menunggu Adipati Joyowiseso, lengkap dengan para pembantunya, para penyiksa dan algojo yang kesemuanya berpakaian dinas.

"Berlutut kau...!!"

Empat orang penjaga yang menggusur Pujo, secara kasar memaksa Pujo berlutut di atas lantai menghadap sang adipati yang duduk dengan muka masam. Pujo tidak melawan mereka, karena dalam keadaan terbelenggu dan terluka, ia maklum bahwa melawanpun tidak ada gunanya. Maka ia duduk berlutut akan tetapi mukanya diangkat dan pandang matanya menentang adipati itu dengan penuh keberanian dan kemarahan. Atas sikapnya ini, seorang penjaga menampar kepalanya dari belakang, namun Pujo tidak bergeming, tetap saja mukanya dihadapkan kepada adipati penuh tantangan.

"Heh keparat Pujo! Kau sudah tertangkap dan tidak berdaya, masih saja memperlihatkan sikap kepala batu? Apakah kau tidak merasa betapa besar dosamu? Apakah kau tidak menyesal telah membunuh dan melukai banyak pengawal kadipaten?"

Pujo menggerakkan bibir mengejek, "Huh! Menyesal? Aku hanya menyesal mengapa aku tidak sempat membunuhmu sebagai gantinya anakmu si bedebah Wisangjiwo!"

"Plak-plak-desss....!!"

Kemplangan dan hantaman dari para penjaga di belakangnya membuat Pujo yang kaki tangannya terbelenggu itu jatuh terjerembab ke depan, akan tetapi gentakan-gentakan keras para penjaga mendudukkannya kembali.

"Ha-ha-ha-ha! Pujo, agaknya kau telah menjadi gila! Sebelum kau kujatuhi hukuman yang setimpal dengan kejahatanmu, lebih dulu kau mengakulah apa sebabnya kau melakukan perbuatan semalam dan apa sebabnya kau mencaci-maki puteraku."

"Joyowiseso! Aku hendak menumpas keluargamu untuk menebus dosa si Wisangjiwo."

"Dosa apa?"

"Tak perlu kau tahu!"

Marahlah sang adipati. Ia melompat dari kursinya dan meringis karena pundaknya yang terluka terasa nyeri. Hal ini mengingatkan dia bahwa pundaknya terluka keris, mengingatkan dia betapa semalam hampir saja ia terbunuh oleh Pujo yang kini terbelenggu tak berdaya di depan kakinya.

"Jahanam... Kau masih sombong, ya? Hendak kulihat apakah kau masih tidak mau mengaku? Hajar dia! Rangket dengan seratus kali cambukan, telanjangi punggungnya kemudian jemur di tengah alun-alun sampai dia mengaku!" teriak adipati penuh kemarahan.

Pujo mendengarkan perintah ini dengan mata melotot dan mulut tersenyum mengejek, sedikitpun tidak memperlihatkan muka gentar. Tubuhnya lalu diseret ke sudut, diikat pada tiang, punggungnya ditelanjangi dan tak lama kemudian terdengarlah suara cambuk melecut-lecut menghantam punggung, merobek-robek kulit punggung Pujo sampai lumat, membuat darah segar yang keluar menjadi kental dan kering kembali. Biarpun tubuh Pujo telah terlatih dan ia memiliki kekebalan, namun karena ia terluka, tak dapat ia mengerahkan terus kekuatannya dan akhirnya ia harus menyerah. Setelah seratus kali cambukan, ia terkulai. Namun, sedikitpun keluhan tidak pernah keluar dari mulutnya.

"Jahanam, kau masih tidak hendak mengaku?"

Pujo hanya mengedikkan kepala dan memandang adipati sambil melotot dan berkata, "Kau tidak perlu tahu. Pendeknya, Wisangjiwo akan mampus di tanganku, bersama keluarganya!"

"Ha-ha-ha-ha, sudah hampir mampus masih banyak tingkah!" Adipati Joyowiseso makin panas hatinya. "Seret dia ke alun-alun, jemur dia. Kalau mau mengaku boleh bawa menghadap, kalau tidak mau, sore nanti jalankan hukum perapat kepadanya!"

Pujo hanya tersenyum mengejek dan ia masih melotot kepada adipati ketika tubuhnya kembali diseret keluar untuk dijemur di tengah alun-alun. Ia tahu apa artinya hukum perapat. Hukuman mati yang mengerikan. Diperapat berarti dibagi menjadi empat. Tubuhnya akan dirobek menjadi empat potong oleh tarikan empat ekor kuda pada kedua kaki dan kedua tangannya, ditarik ke empat jurusan sampai pecah menjadi empat potong!

Matahari telah tenggelam jauh di barat, namun cahayanya masih membayang dan membentuk senja yang cerah. Alun-alun Kadipaten Selopenangkep penuh orang, hampir semua laki-laki, tidak tampak wanita dan anak-anak. Memang, tontonan yang menarik perhatian hampir seluruh penduduk Selopenangkep, bahkan dari dusun-dusun di sekitarnya, adalah tontonan yang mengerikan sehingga anak-anak dilarang orang tuanya menonton dan wanita-wanita takut menyaksikannya. Bayangkan saja. Hukum perapat!. Siapa dapat menahan kengerian melihat tubuh seorang hidup-hidup dirobek menjadi empat? Darah akan menyembur-nyembur, isi perut akan berantakan, daging merah akan bertelanjang di depan mata!

Ribuan orang telah memenuhi alun-alun, mengelilingi tengah-tengah alun-alun yang menjadi pusat perhatian, dalam jarak seratus meter. Di tengah-tengah alun-alun itu terdapat sebuah bangunan panggung, tempat yang disediakan khusus bagi keluarga kadipaten untuk menonton setiap pertunjukan yang diadakan di alun-alun. Kadang-kadang alun-alun ini bias diubah menjadi tempat latihan kuda, tempat adu banteng, mengurung harimau, atau dipakai ujian ketangkasan para perajurit.

Pada senja hari itu, alun-alun diubah menjadi tempat pelaksanaan hukuman bagi Pujo, hukuman perapat! Tak seorangpun berani menghalangi perintah Adipati Joyowiseso untuk melaksanakan hukuman terberat ini. Semua orang maklum bahwa memang sepatutnya pemuda pesisir Laut Selatan itu menerima hukuman berat. Pemuda itu telah menyerang kadipaten, melukai bahkan hampir membunuh sang adipati sendiri, membunuh dan melukai belasan orang pengawal, dan di samping itu berani mengeluarkan kata-kata kasar dan sikap menantang kurang ajar terhadap Adipati Joyowiseso. Dosanya terlalu besar dan terlalu banyak.

Sejak pagi tadi Pujo dijemur di bawah terik matahari yang menggerogoti kulit. Hebat penderitaan ini, apalagi bagian punggungnya yang hancur bekas cambukan, amat perih dan nyeri disengat sinar matahari. Namun, pemuda ini tetap tak pernah mengeluh dan atas pertanyaan-pertanyaan para petugas yang mendesak, ia sama sekali tidak mau menjawab. Oleh karena ia sama sekali tidak mau mengaku mengapa ia memusuhi Wisangjiwo, maka akhirnya Adipati Joyowiseso tak dapat menahan amarahnya dan menjatuhkan hukuman perapat kepadanya.

Dalam keadaan terikat kaki tangannya, Pujo diseret ke tengah alun-alun, ditelentangkan dan dijadikan tontonan orang seperti orang menonton seekor harimau yang tertangkap. Empat ekor kuda yang besar-besar telah dipersiapkan. Inilah empat ekor kuda yang bertugas merobek tubuh Pujo menjadi empat potong!

Para penduduk Selopenangkep yang memenuhi alun-alun itu semua mempercakapkan Pujo. Ada yang menyatakan sayang dan iba hati terhadap pemuda tampan itu, apalagi ketika mereka mendengar bahwa pemuda itu putera mantu Resi Bhargowo di Sungapan. Akan tetapi banyak pula yang mencaci-maki karena menganggap bahwa pemuda ini seorang penjahat besar yang mencoba melakukan pembunuhan terhadap adipati, maka sudah sepatutnya menerima hukuman paling berat.

Ada semacam hukuman yang juga hebat sekali, yaitu hukum picis. Penjahat yang dijatuhi hukum picis, dibelenggu di alun-alun atau di depan pasar, kemudian orang-orang yang lewat di depannya, diperbolehkan mengerat kulitnya dengan sebuah pisau tajam runcing yang sudah disediakan di tempat itu!

Kalau dia memang seorang penjahat besar, tentu sudah banyat ia menyakiti hati orang, banyak orang membencinya, maka itulah saatnya bagi orang-orang yang bersakit hati untuk melampiaskan dendamnya. Tubuh penjahat itu sebentar saja sudah dikerat-kerat kulitnya, berlumur darah. Bahkan diperbolehkan menggosokkan garam atau asam pada luka-luka di kulit bekas keratan untuk menambah siksaan.

Tak sampai sehari, orang yang dihukum picis akan mati kehabisan darah yang mengalir di sepanjang tubuhnya yang tercacah itu. Akan tetapi, dibandingkan dengan hukum perapat, hukum picis tidaklah terlalu mengerikan. Hukum perapat ini benar-benar amat mengerikan.

Menyaksikan betapa tubuh yang utuh itu dirobek tarikan empat ekor kuda yang kuat, benar-benar dapat membuat orang yang menonton menjadi pingsan! Kini Adipati Joyowiseso sudah berada di panggung, bersama para pengawalnya. Semua penonton menjadi kagum sekali menyaksikan betapa Roro Luhito yang cantik dan denok itu ikut pula hadir di samping ayahnya! Benar-benar seorang gadis yang luar biasa, pikir mereka.

Tentu saja semua penduduk maklum belaka bahwa puteri adipati ini adalah seorang gadis gemblengan, pandai menunggang kuda, memanah dan mainkan keris atau lembing, tidak kalah oleh perwira-perwira biasa saja. Akan tetapi, melihat gadis itu hadir pula dalam pelaksanaan hukum perapat, benar-benar membuktikan ketabahan hatinya yang luar biasa. Biarpun wajah gadis itu agak pucat dan ia kelihatan pendiam tidak lincah kenes seperti biasa, namun dia tampak tenang-tenang saja, matanya memandang ke arah tubuh si terhukum yang terlentang di atas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari atas panggung.

Dari tempat sedekat itu, tentu akan terdengar suaranya jika tubuh itu tersayat menjadi empat oleh tarikan kuda. Tentu akan tampak jelas isi perut yang berhamburan, jantung yang masih hidup bergerak berloncatan di atas tanah! Puteri ini duduk di samping kiri Adipati Joyowiseso, sedangkan di sebelah kanannya duduk seorang pemuda ganteng berpakaian serba hitam, destarnya kehijauan, bibirnya selalu tersenyum dan sikapnya tenang. Inilah Jokowanengpati dan para penonton memandang kepadanya dengan kagum.

Berita bahwa pemuda perkasa yang menjadi tamu adipati inilah yang merobohkan si penjahat, telah tersiar luas. Karena angkasa raya masih terang cemerlang oleh sinar senja, Pujo yang terlentang tidak mau membuka matanya karena silau. Ia meramkan matanya dan berada dalam keadaan samadhi. ia tidak menyesal akan nasib yang menimpanya, hanya menyesal mengapa belum berhasil membalas dendam.

Teringat akan pengalamannya semalam, ia sadar bahwa ia telah berlaku kurang hati-hati, terlalu menurutkan nafsu dendamnya. Akan tetapi semua itu telah terjadi, tak perlu disesalkan lagi. Sekarang baginya hanyalah menanti datangnya hukuman, akan tetapi di dalam hatinya ia mengambil ketetapan untuk tidak menyerah begitu saja. Akan ia pertahankan nyawanya dengan segala ilmu yang dimilikinya.

Ketika para algojo yang bertubuh tegap-tegap seperti raksasa mengikat lagi kedua tangan dan kedua kakinya dengan sebuah tambang besar yang panjang, barulah Pujo membuka matanya. Kaki tangannya yang sudah terbelenggu, kaki menjadi satu dan tangan juga menjadi satu, kini diikat lebih kuat dengan tambang baru yang panjang, setiap tangan dan setiap kaki diikat erat-erat.

Pujo tidak mempedulikan ini semua. Ia maklum bahwa para algojo itu sudah terlatih dan berlaku amat hati-hati. Sukar mencari kesempatan untuk memberontak atau meloloskan diri. Kini biji matanya mulai bergerak-gerak. Melihat para penonton memenuhi sekeliling alun-alun, kulit di antara kedua matanya berkerut sedikit.

Akan tetapi ketika ia memandang ke arah panggung dan melihat Adipati Joyowiseso duduk didampingi gadis remaja yang ikut mengeroyoknya dan Jokowanengpati, matanya menjadi liar dan dadanya terasa panas oleh amarah. Ia menentang pandang mata adipati itu dengan sinar mata menyala penuh tantangan. Pandang mata Jokowanengpati yang tidak langsung memandangnya itu tidak ia peduli, juga pandang mata penuh perasaan haru dan kagum dari gadis remaja itupun tak dihiraukan.

Kini keempat buah kaki tangan Pujo sudah diikat erat dengan ujung tambang panjang; Setiap tambang lalu diurai dan dibawa kepada kuda yang sudah menanti. Empat ekor kuda itu berada di empat penjuru. Dua ekor di kanan kiri panggung, yang dua ekor lagi menghadap ke arah berlainan, jadi empat ekor kuda itu berdiri membelakangi tubuh Pujo.

Tambang-tambang yang panjang dan yang mengikat keempat buah kaki tangan Pujo, kini diikatkan pada pundak kuda yang sudah dipasangi alat yang khusus untuk pekerjaan ini. Kemudian empat orang algojo melompat ke atas punggung kuda, dengan cambuk di tangan.

cerita silat online karya kho ping hoo

Seorang algojo lain menghampiri Pujo, lalu menggunakan pedang yang amat tajam untuk membikin putus belenggu pertama yang mengikat kaki dan tangan masing-masing menjadi satu. Kini kaki dan tangan Pujo terpentang, tangan kanan di selatan, kaki kiri di utara, tangan kiri di barat dan kaki kanan di timur.

Hukum perapat yang mengerikan sudah siap dilaksanakan! Para penonton yang tadi saling bicara sehingga keadaan di situ menjadi berisik seperti suara ribuan lebah diganggu pada saat persiapan dilakukan, kini semua diam tak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun, seperti seekor binatang jengkerik terpijak.

Ketegangan memuncak dan semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi sekali dan kesunyian inilah yang membuat suara Adipati Joyowiseso terdengar jelas, "Heii, si pembunuh laknat Pujo! Kesempatan terakhir kuberikan kepadamu. Kalau kau bersedia mengaku sebab perbuatanmu yang jahat malam tadi, aku masih belum terlambat untuk mengubah hukumanmu!"

"Hah! Joyowiseso, mengapa masih banyak cerewet lagi? Aku gagal membunuhmu, dan sekarang hendak membunuh mati kepadaku, lakukanlah! Seorang satria sejati tidak gentar menghadapi kematian karena kegagalan perjuangannya!"

Kumis sekepal sebelah di bawah hidung adipati itu bangkit berdiri saking marahnya.

"Kau... pengecut besar masih membuka mulut mengaku satria!"

"Ha-ha-ha! Joyowiseso, kau selalu menyebutku pengecut. Tentu karena dahulu aku tidak ikut melawan barisan Mataram maka kau anggap aku pengecut, bukan? Ha-ha-ha, siapakah yang lebih pengecut di antara kita? Kau dahulu melawan mati-matian, setelah kalah bertekuk lutut untuk mempertahankan kedudukan. Dan semua orang dapat kau tipu, akan tetapi aku tahu bahwa kau menakluk kepada Mataram hanyalah lahirnya saja, sedangkan batinnya... ha-ha-ha!"

"Cukup! Hayo laksanakan hukumannya!" bentak sang adipati sambil bangkit berdiri dengan muka pucat saking marahnya, tangannya memberi tanda kepada empat orang algojo di atas punggung kuda yang memang sejak tadi sudah siap, hanya tinggal menanti tanda yang diberikan sendiri oleh sang adipati.

Penonton yang tadinya menjadi berisik kembali mendengar perbantahan itu, kini diam lagi dan memandang dengan mata terbelalak, bahkan bernapaspun ditahan agaknya. Ketegangan memuncak dan tanpa diketahui orang lain kecuali Jokowanengpati yang selalu melirik ke arah Roro Luhito, gadis ini agak menggigil tubuhnya dan duduk bersandar kursi lalu meramkan kedua matanya!

"Tar-tar-tar-tar!" Empat batang cambuk di tangan empat orang algojo itu berdetak di udara bergantian, kendali kuda disendai dan empat ekor kuda itu bergerak maju sambil mengerahkan tenaga.

Terdengar jerit di sana-sini antara para penonton dan banyak yang kurang kuat syarafnya sudah roboh pingsan dengan tubuh lemas! Sudah terbayang di dalam otak para penonton betapa dalam detik-detik berikutnya, tubuh pemuda ganteng itu akan robek menjadi empat potong. Tanpa ia sadari, dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk mata Roro Luhito, dan Jokowanengpati yang melihat ini tersenyum sinis.

Tiba-tiba kesunyian yang mencengkam perasaan itu berubah sama sekali. Keadaan menjadi berisik sekali, bahkan makin lama makin riuh. Orang-orang berteriak tak tentu maksudnya, ada yang bersorak bahkan ada yang bertepuk tangan, ada pula terdengar suara para penjaga memaki-maki.

Roro Luhito cepat membuka matanya, memandang. Ia terbelalak memandang ke depan, bahkan kini ia berdiri tanpa ia sadari, kedua tangannya menekan dadanya yang membusung. Apakah yang ia lihat? Apakah yang terjadi? Hebat memang! Tubuh Pujo yang terlentang di atas tanah itu meregang, matanya separuh terpejam, otot-otot pada lengannya tampak menonjol, bibirnya berkemak-kemik tanpa suara dan tubuhnya sama sekali belum robek seperti orang sangka. Empat ekor kuda itu menarik sekuatnya, keempat kaki mereka bengkok-bengkok ke belakang dan empat orang algojo membunyikan cambuk, menyendal-nyendal kendali.

Namun tubuh Pujo tidak bergeming! Empat ekor kuda itu seakan-akan berusaha untuk merobek sepotong batu karang yang kokoh kuat! Ternyata dalam saat terakhir itu, Pujo telah mengerahkan kesaktiannya, mengerahkan tenaga sakti untuk menahan tarikan empat ekor kuda dari empat penjuru. Berkali-kali empat orang algojo itu menoleh dan mata mereka terbelalak melihat betapa korban mereka sama sekali belum terobek tubuhnya.

Algojo yang menunggang kuda di sebelah timur menjadi penasaran. Ia mencambuki leher kudanya, menendang-nendang perut kuda sehingga kudanya yang besar itu lalu meringkik marah, mengerahkan tenaga kakinya untuk berlari maju sehingga tambang yang ditariknya dan yang mengikat kaki kanan Pujo itu meregang, makin meregang dan... "takk!" tambang itu putus, kudanya terjungkal ke depan dan penunggangnya jatuh tunggang-langgang! Tepuk tangan riuh menyambut peristiwa hebat ini, bahkan mereka yang tadinya benci kepada Pujo, ikut pula bertepuk tangan dan bersorak-sorak.

Tiga ekor kuda lainnya terkejut dan panik oleh sorakan ini, apalagi penunggang merekapun mencambuki dan menendang kaki, mereka itupun meringkik-ringkik, meloncat ke depan dan ketiganya terjungkal karena tambang-tambang itu putus dalam waktu yang sama. Hal ini terjadi bukan hanya karena kekuatan tiga ekor kuda itu, melainkan juga karena Pujo sudah menggerakkan dua tangan dan kaki kirinya sehingga tambang itu tidak kuat bertahan dan menjadi putus! Makin hebatlah sorak-sorai menggegap-gempita. Lucunya, Roro Luhito juga ikut bertepuk tangan tanpa ia sadari lagi!

"Luhito, gilakah kau?" Adipati Joyowiseso membentak dan gadis itu sadar, lalu menundukkan muka dan berkata perlahan, "Apanya yang hebat? Haiii, para pengawal keroyok dia, bunuh di tempat!"

Akan tetapi kini Pujo sudah bangkit berdiri karena tambang-tambang yang mengikat kaki tangannya sudah terlepas dari kuda. Ia tertawa bergelak melihat para pengawal datang dengan senjata terhunus sehingga para pengawal itu menjadi jerih dan ragu-ragu. Melihat betapa orang hukuman yang amat perkasa itu hendak dikeroyok, para penonton menjadi tegang kembali dan tidak ada suara terdengar.

Maka suara Pujo terdengar jelas, "Ha-ha-ha-ha, Joyowiseso! Siapakah sekarang yang menjadi pengecut besar? Apakah kau lupa bahwa sang prabu di Mataram sendiri pernah membebaskan Ki Warok Gendroyono karena Ki Warok Gendroyono tidak terluka ketika dijatuhi hukum penggal lehernya? Sekali hukuman dilaksanakan, si terhukum telah menjalani hukumannya. Sekarang akupun sudah menjalani hukuman. Salahkah aku kalau empat ekor kudamu itu lemah kurang makan? Ha-ha-ha, sekarang kau hendak mengerahkan anjing-anjingmu mengeroyokku? Boleh, boleh, aku tidak takut mati, akan tetapi kau akan tetap hidup sebagai seorang pengecut besar, ha-ha!"

Para penonton kembali menjadj gaduh, sebagian besar terpengaruh ole ucapan ini. Jokowanengpati bangkit berdiri mendekati Adipati Joyowiseso dan berbisik, "Paman adipati, tidak baik agaknya kalau dia dikeroyok dan dibunuh."

"Maksud anakmas...??" Joyowiseso memandang tajam.

"Jangan salah sangka, paman. Saya bukan membelanya, akan tetapi ucapan Pujo tadi patut direnungkan. Amat tidak baik bagi nama paman kalau pengeroyokan dilaksanakan. Percayalah kepada saya dan saya akan membereskan persoalan ini. Saya akan membujuknya agar dia suka menerangkan sebab permusuhannya dengan kangmas Wisangjiwo, kemudian, saya akan membunuhnya. Berilah saya waktu sampai malam nanti, paman adipati."

Adipati Joyowiseso mengangguk-angguk dan memberi tanda dengan tangan agar para pengawal dan algojonya mundur. Mereka merasa lega sekali dan mundur teratur. Jokowanengpati dengan gerakan indah dan ringan seperti burung terbang, telah melompat turun dari atas panggung dan berlari-lari menghampiri Pujo. Semua penonton menjadi makin tegang. Wah, tentu akan terjadi pertandingan puncak yang hebat sekarang, pikir mereka. Tentu akan lebih hebat menarik, lebih ramai daripada keroyokan para pengawal yang tidak seimbang jumlahnya.

Agaknya Pujopun berpendapat bahwa turunnya Jokowanengpati tentu akan berusaha menangkapnya. Maka ia mengerutkan kening, bersiap siaga dan menegur dengan kata-kata dingin, "Kakang Jokowanengpati, malam tadi karena kecuranganmu aku tertawan! Apakah sekarang engkau hendak mengadu nyawa denganku?"

Jokowanengpati mengedipkan matanya lalu mendekat. "Adimas Pujo, kau benar-benar bodoh. Aku sedang menyelidiki adipati, kalau tidak membantunya tentu ia curiga. Mengapa engkau bersikeras hendak melawan? Betapapun juga, menghadapi begini banyak orang kau tentu akan tewas. Kau mendendam kepada Wisangjiwo, bukan? Nah, mengapa nekat mencari mati sebelum berhasil membalas dendam? Percayalah, aku akan mencari akal. Aku sudah menipu adipati, mari kau pura-pura taat dan takluk kepadaku, kuantar kembali ke tempat tahanan tanpa belenggu. Nanti kuceritakan kepadamu bagaimana kau harus bertindak. Aku bersumpah kepada para dewata, malam ini kau pasti akan bebas dan balas dendammu berhasil!"

"Baik, kakang. Sekali ini aku hendak melihat bagaimana setia kawan adanya kakang Jokowanengpati."

Jokowanengpati lalu merenggut tambang panjang yang masih bergantungan pada kedua tangan dan kaki Pujo. Empat kali ia merenggut dan empat helai tambang yang besar dan kuat itu putus semua! Para penonton menjadi riuh karena memuji penuh kekaguman. Namun mereka kecewa ketika melihat betapa Jokowanengpati menggandeng tangan Pujo, diajak masuk ke halaman kadipaten! Juga Adipati Joyowiseso dan para pengiringnya tanpa bicara apa-apa lagi kembali ke dalam kadipaten. Penonton bubar dan alun-alun itu menjadi sunyi kembali menjelang datangnya malam.

Mereka duduk bersila di dalam kamar tahanan, berhadapan. Dengan suara berbisik-bisik dan singkat, Jokowanengpati menceritakan kepada Pujo bahwa ia hanya berpura-pura bertamu di Kadipaten Selopenangkep. Maksud sebenarnya adalah melakukan tugas rahasia dari Mataram untuk menyelidik, karena didengar berita rahasia bahwa Adipati Joyowiseso mempunyai niat untuk memberontak terhadap Mataram. Pujo hanya mendengarkan acuh tak acuh.

"Karena itulah maka malam tadi aku terpaksa turun tangan menangkapmu, dimas. Urusan tugas yang begini penting tidak boleh dirusak oleh urusan pribadimu. Sekarang ceritakanlah, mengapa kau begini nekat hendak membasmi keluarga Adipati Joyowiseso? Permusuhan apa yang terjadi antara kau dan Wisangjiwo?"

Pujo menunduk, menarik napas panjang. Biar kepada Jokowanengpati sekalipun tak mungkin ia menceritakan aib dan hina yang diderita oleh isterinya, "Wisangjiwo telah... membunuh isteriku..."

"Apa...?? Diajeng Kartikosari dibunuh oleh Wisangjiwo? Akan tetapi.... diajeng Kartikosari bukan seorang wanita lemah, bagaimana dia bisa...."

"Memang tidak begitu, akan tetapi...yah, pendeknya isteriku mati karena perbuatan Wisangjiwo. Aku datang ke sini hendak mencarinya, karena dia tidak ada, maka aku hendak bunuh ayahnya."

"Aaahh, mengapa begitu, dimas? Mengapa kau kurang sabar menanti? Carilah kesempatan yang lebih baik sampai kau dapat bertemu dengan Wisangjiwo. Atau... andaikata kau hendak membalas kepada keluarganya, seharusnya isteri dan anaknya yang kau cari, bukan ayahnya. Harap kau mengerti bahwa sekali Adipati Joyowiseso terbunuh, maka gagallah usahaku membongkar rahasia pemberontakan ini. Maka kuminta kepadamu sekarang, jangan kau ganggu Adipati Joyowiseso, dan aku akan membantu kau bebas dari sini, bukan itu saja... bahkan kubantu kau menculik isteri dan putera Wisangjiwo!"

Sepasang mata Pujo bersinar-sinar. Mengapa ia tidak ingat akan isteri dan anak Wisangjiwo. Isterinya harus ia culik? Inilah pembalasan yang paling tepat. Dan anaknya sekali. Hah, akan lebih hebat pukulan ini bagi Wisangjiwo, lebih hebat daripada maut!

"Baiklah, kakang, dan terima kasih atas budimu."

"Mari, dimas, jangan terlambat."

Karena tempat tahanan itu atas permintaan Jokowanengpati dan atas perintah adipati tidak terjaga, maka mudah saja bagi dua orang muda yang berkepandaian tinggi ini untuk melesat keluar. Jokowanengpati yang sudah hafal akan keadaan di dalam kadipaten, membawa Pujo ke kamar Listyokumolo, isteri Wisangjiwo yang tidur bersama Joko Wandiro, puteranya yang baru berusia satu tahun.

Sore-sore Listyokumolo sudah tidur mengeloni puteranya, karena semua peristiwa yang terjadi di kadipaten benar-benar membuat hatinya merasa tidak enak. Sebagai seorang anak lurah yang biasa hidup tenteram di dalam dusun dan dianggap sebagai puteri raja kecil oleh penghuni dusun, Listyokumolo memang tidak begitu kerasan semenjak ia diperisteri Wisangjiwo, tidak kerasan tinggal di kadipaten. Apalagi ia dikawin putera adipati itu atas paksaan orang tuanya, dan watak Wisangjiwo yang suka berfoya-foya dan tidak menghargainya, sering memakinya sebagai perawan dusun, membuat Listyokumolo makin jauh daripada kebahagiaan rumah tangga. Hanya puteranya, Joko Wandiro yang merupakan hiburan satu-satunya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang di dalam kamarnya. Listyokumolo terkejut dan mengira bahwa ia bermimpi. Akan tetapi begitu ia bangkit duduk, lehernya serasa ditekan keras-keras dari belakang. Ia hendak berteriak, akan tetapi aneh, seakan-akan ia menjadi gagu karena tidak ada suara keluar dari kerongkongannya. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan ia pingsan ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan seorang pemuda ganteng yang bukan lain adalah Pujo, orang yang dihukum perapat sore tadi! Bayangan lain menyambar dari dalam kamar, memondong Joko Wandiro, lalu Pujo bersama Jokowanengpati bayangan ke dua itu, melompat keluar jendela, terus keluar dari dalam kadipaten melalui tembok belakang mempergunakan ilmu kepandaian mereka, pergi tanpa diketahui seorangpun penjaga.

"Nah, di sini saja kita berpisah, dimas. Untung dia pingsan sehingga tidak sempat mengenaliku. Nah, kau bawa dia dan puteranya ini. Setelah mereka ini menjadi tawananmu, tak mungkin Wisangjiwo tidak akan pergi mencarimu."

"Terima kasih, kakang Jokowanengpati. Kau benar-benar seorang yang berhati mulia. Aku tidak akan melupakan kebaikan hatimu," jawab Pujo sambil menerima anak kecil yang masih tidur pulas karena aji sirep yang dikenakan Jokowanengpati kepadanya.

Sambil memondong Joko Wandiro dan memanggul tubuh Listyokumolo, Pujo berlari cepat di tengah malam buta, meninggalkan Selopenangkep. Adapun Jokowanengpati setelah berpisah dengan Pujo, menggunakan ilmunya Bayusakti, tubuhnya berkelebat cepat sekali seperti terbang, kembali ke kadipaten. Wajahnya yang tampan itu tersenyum-senyum, kadang-kadang, ia tertawa sendiri dengan hati girang. Ia merasa yakin sekarang bahwa Pujo tetap menyangka Wisangjiwo yang memperkosa isterinya di dalam gua, tepat seperti rencananya. Biarkanlah mereka bermusuhan, pikirnya.

Memang mudah kalau ia membantu adipati dan membunuh Pujo, akan tetapi di sudut hati kecilnya, pemuda ini merasa jerih terhadap paman gurunya, Resi Bhargowo. Ia tidak mau menempatkan dirinya menjadi musuh Resi Bhargowo, dan memang lebih aman baginya begini. Dia yang makan nangkanya, Wisangjiwo yang berlepotan getahnya! Ha-ha-ha, dengan penculikan anak dan isteri Wisangjiwo, permusuhan mereka akan makin mendalam dan dia akan berada makin jauh dari lingkaran permusuhan, aman dan selamat. Sayang, Kartikosari yang cantik jelita itu telah meninggal dunia. Wanita yang sukar dicari bandingnya di dunia ini, cantik bagai dewi kahyangan, harum bagai bunga mawar yang sedang mekar.

"Sayang kau telah mati..." bisiknya! "tapi sudah meninggalkan kenang-kenangan manis, hemmm... " Ia meraba tangan kirinya yang telah kehilangan sebuah jari kelingking, tangan kiri yang hanya berjari empat buah saja, lalu tersenyum dan mempercepat larinya, melompati tembok belakang kadipaten dan menyelinap di dalam gelap bagaikan setan.

Senyum iblis yang menghias mukanya yang tampan itu masih membayang, matanya berkilat-kilat ketika ia mengintai dari jendela sebuah kamar. Kamar Roro Luhito! Pelita kecil di kamar dara itu masih menyala dan Roro Luhito duduk melamun di atas pembaringannya, rambutnya kusut wajahnya lesu, diam tak bergerak seperti sebuah patung. Pintu kamarnya terketuk dari luar, perlahan, namun cukup membuat dara yang sedang melamun itu terkejut.

"Luhito anakku sayang, sudah tidurkah engkau?"

Roro Luhito menarik napas lega, turun dari pembaringan dan dengan langkah malas menghampiri pintu dan membukanya. Ibunya masuk, memandang puterinya sejenak lalu merangkulnya penuh kasih sayang.

"Luhito sayang, mengapa kau belum berganti pakaian, kelihatan lesu dan tidak makan malam! Sakitkah kau, angger?"

"Tidak apa-apa, bunda. Aku hanya merasa aras-arasen (malas) dan ingin mengaso, lain tidak."

"Ah, kalau begitu bunda takkan lama mengganggu, nak." Ia menarik tangan Roro Luhito, diajak duduk di atas pembaringan.

"Aku hanya ingin bertanya kepadamu. Bagaimana kau lihat Raden Jokowanengpati? Dia tampan dan gagah, sakti mandraguna pula, bukan?"

Tak seujung rambutpun dara itu mengenang Jokowanengpati, akan tetapi untuk menghindarkan percakapan lebih panjang, ia hanya mengangguk tanpa menjawab. Ibunya salah sangka, mengira puterinya malu-malu, maka sambil memegang tangannya ia berkata, "Kami, ayahmu dan aku, sudah setuju sekali kalau dia bisa menjadi mantu kami, sayang."

"Apa...??" Roro Luhito benar-benar terkejut dan memandang ibunya dengan mata terbelalak. "Apa... apakah dia datang untuk meminang.....?"

Ibunya menggeleng kepala, tersenyum dan bangkit berdiri.

"Belum lagi, nak. Akan tetapi tak lama lagi tentu dia akan meminangmu. Nah, kau legakanlah hatimu dan mengasolah. Akan tetapi, biarpun tidak berani mandi, kau harus tukar pakaian."

Setelah mencium ubun-ubun anaknya, ibu yang bergembira itu keluar dari kamar, menutupkan daun pintu lambat-lambat. Roro Luhito masih termenung, kemudian cepat-cepat ia mengunci daun pintu, lari lagi ke atas pembaringan dan duduk termenung seperti tadi. Berkali-kali ia menarik napas panjang, kemudian dengan gerakan malas ia menanggalkan pakaian untuk ditukar dengan yang baru. Tentu saja ia sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, semua gerakannya diintai oleh sepasang mata yang bersinar-sinar penuh nafsu!

Mata Jokowanengpati! Baru saja Roro Luhito meniup padam pelita menjelang tengah malam dan naik ke pembaringan, jendela itu terbuka dari luar dan sesosok bayangan dengan sigap melompat masuk, menutup daun jendela lagi dan menghampiri pembaringan.

Roro Luhito terkejut, bergerak hendak loncat turun dari pembaringan, akan tetap sebuah lengan yang kuat merangkul lehernya, dan lain tangan menutup mulutnya dengan gerakan halus, kemudian terdengar bisikan perlahan sekali, "Luhito, aku Pujo... aku tahu... kau suka kepadaku seperti aku mencintamu..."

Gemetar seluruh tubuh Roro Luhito. Memang tak dapat ia sangkal lagi, ia telah jatuh hati kepada Pujo, orang muda yang amat perkasa dan gagah, yang sekaligus telah menarik rasa iba dan cintanya. Akan tetapi ia tadi masih menyedihkan nasib pemuda itu, mengapa kini tahu-tahu muncul dalam kamarnya? Betapapun ia tertarik kepada pemuda itu, sama sekali ia tidak mengharapkan akan terjadi hal yang begini memalukan.

Maka ia meronta, hendak melawan tanpa berteriak karena tak mau ia mencelakai orang muda itu. Namun, orang muda itu luar biasa kuatnya, terlampau kuat untuknya. Ketika orang muda yang menggagahinya itu kemudian melompat keluar dari jendela dengan kesebatan yang luar biasa, Roro Luhito menangis di atas pembaringan. Mendadak ia terkejut mendengar suara di atas genteng, suara teriakan yang amat nyaring.

"Tangkap penjahat! Siap semua...! Kepung... tangkap Pujo yang melarikan diri.....!!"

Itulah suara Jokowanengpati. Menggigil tubuh Roro Luhito. Tak kuasa ia turun dari atas pembaringan. Ketika ia menangis tadi, cinta kasihnya terhadap Pujo bercampur rasa benci dan marah. Akan tetapi kini mendengar teriakan Jokowanengpati, tanpa ia sadari timbul rasa cemas dalam hatinya, cemas dan kuatir akan keselamatan Pujo yang selain telah merampas kasihnya, juga merampasi kehormatannya dan sekaligus menimbulkan benci dan marah dalam hatinya.

Ributlah kini di luar kamar. Suara banyak kaki berlari-lari, bahkan terdengar pula suara ayahnya bertanya-tanya. Kembali terdengar Jokowanengpati berseru, "Tadi kulihat dia melompat keluar dari jendela kamar diajeng Roro Luhito. Entah apa yang diperbuatnya! Aku kuatir..."

"Apa? Bagaimana dia bisa lari? Anakmas,. bukankah kau yang berjanji akan..."

"Nanti saja ku ceritakan semua, paman. Lebih baik sekarang paman memeriksa kamar diajeng Roro Luhito, saya kuatir sekali..."

Daun pintu itu terpentang ketika Adipati Joyowiseso melompat masuk. Jokowanengpati dan para pengawal tidak ada yang berani memasuki kamar puteri adipati itu. Adipati Joyowiseso menyalakan pelita, memandang ke arah pembaringan dan matanya terbelalak lebar, kumisnya bergerak-gerak, giginya berkerot saking marahnya. Sekali pandang saja kepada puterinya yang menangis terisak-isak di atas pembaringan, rambutnya yang terurai lepas dan kusut, pakaiannya yang tidak karuan lagi, ia dapat memaklumi persoalannya.

"Luhito! Dia... dia ke sini tadi..?" Ia masih bertanya ragu...
BADAI LAUT SELATAN JILID 05