Jaka Lola Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 11

Akan tetapi, alangkah terkejutnya pemuda itu pada waktu dia mendengar suara orang di belakangnya yang berseru halus, "Saudara, harap suka tunggu sebentar!"

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi Lee Si dan segera mengangkat tangan memberi hormat. Lee Si cepat-cepat membalasnya dan diam-diam ia memuji kesopanan pemuda ini yang usianya jauh lebih tua dari padanya.

"Nona ada keperluan apakah Nona mengejar saya?"

"Saudara, kiranya tidak baik kubiarkan saja kau pergi tanpa menyatakan terima kasih atas pertolonganmu dan..."

Pemuda itu tertawa dan wajahnya yang masak dan agak muram itu tampak jauh lebih muda kalau tertawa. "Wah, harap Nona jangan memperolokku! Sama sekali aku tidak menolongmu, karena kalau tidak kebetulan aku turun tangan terhadap mereka, kiranya mereka itu akan menerima nasib yang lebih berat di tangan Nona. Dengan kepandaian yang Nona miliki, sungguh aku merasa malu kalau aku dikatakan menolongmu."

"Ah, bagaimana kau bisa bilang demikian? Dengan kepandaianmu yang begitu tinggi dan sikapmu yang amat merendah, kau sungguh membikin aku yang bodoh menjadi kagum, Saudara."

"Nona, sebelum aku bergerak kau sudah tahu tadi, sekarang dengan mudah kau dapat menyusulku, ini saja sudah membuktikan bahwa kau seorang yang lihai. Sudahlah, tidak perlu puji-memuji ini. Bolehkah aku mengetahui siapa gerangan nama Nona? Aku sendiri bernama Yo Wan."

"Yo Wan...? Serasa pernah aku mendengar nama ini..."

Lee Si mengerutkan kening, mengingat-ingat, akan tetapi tidak berhasil. Memang tentu saja dia tidak ingat karena andai kata pernah mendengar, tentulah dari percakapan atau penuturan ayah bundanya yang pernah menyebut nama ini sebagai murid dari Pendekar Buta.

"Nona siapakah dan murid siapa?"

"Aku murid orang tuaku sendiri, ayahku adalah Tan Kong Bu, ketua Min-san-pai, dan namaku Tan Lee Si."

"Ah...! Tentu saja Nona pernah mendengar namaku, tentu dari Tan-loenghiong, ayahmu. Aku sendiri sudah lupa lagi kepada beliau, akan tetapi antara ayahmu, terutama ibumu dan suhu ada hubungan yang erat sekali. Ketahuilah, suhu adalah Pendekar Buta..."

"Ahhh...!" Kini Lee Si yang ber ah-ah-ah saking herannya.

Lalu dia teringat akan langkah-langkah seperti orang mabuk yang tadi dilakukan Yo Wan ini dan yang ia ingat ada persamaannya dengan Swan Bu. Dan sekarang tidak aneh lagi baginya akan kelihaian pemuda ini. Kiranya murid Pendekar Buta, kepandaiannya tentu saja hebat.

"Kalau begitu... dia... dia itu sute-mu..." Otomatis ingatannya melayang kepada Swan Bu sehingga kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Yo Wan adalah seorang pemuda yang sudah matang pikirannya dan dia sangat cerdik. Oleh karena itu sikap dan kata-kata gadis cantik manis itu sudah cukup baginya untuk menduga bahwa tentu ada sesuatu di antara gadis cucu Raja Pedang ini dengan putera suhu-nya. Siapa lagi kalau bukan Swan Bu yang tadi disebut ‘si dia’ sebagai sute-nya? Sute-nya memang hanya seorang, yaitu putera suhunya itu. "Nona maksudkan Kwa Swan Bu sute? Apakah dia sahabat baikmu? Di mana adanya sute sekarang?"

Hal yang aneh terjadi, yang membuat Yo Wan sendiri terheran-heran dan terkejut bukan main. Gadis manis itu tiba-tiba menangis! Air matanya bercucuran dan kedua tangannya sibuk mengusapi air mata yang mengalir pada kedua pipinya, pundaknya bergerak-gerak dalam isak tangis yang menyedihkan.

Yo Wan berdebar hatinya, kekhawatiran hebat mencekam jantungnya, timbullah dugaan yang bukan-bukan. "Nona, ada apa dengan sute? Apakah yang terjadi?" tanyanya, wajahnya berkerut dalam kegelisahan.

"Malapetaka hebat... dia dan aku... kami berdua celaka..." Lee Si terisak-isak. Semenjak ia mengalami bencana itu, baru kali ini ia berkesempatan bicara dengan seorang yang ia percaya, karena itu ia tak dapat menahan kesedihannya.

Di lain pihak, Yo Wan terkejut seperti disambar petir. Dia sampai lupa diri sehingga kedua tangannya memegang lengan Lee Si, lalu diguncang-guncangnya nona yang menangis itu sambil berkata, "Ada apakah? Siapa mengganggu sute? Di mana dia dan apa yang telah terjadi?"

Melihat betapa nona itu menurunkan tangan dan dengan kaget memandangnya, Yo Wan melepaskan kedua tangannya dan berkata, "Maaf, aku sampai lupa diri. Ahh, kau tenangkanlah hatimu, Nona dan berceritalah yang baik. Ketahuilah, semenjak kecil aku tidak bertemu dengan sute, hatiku penuh kerinduan, maka mendengar dia ditimpa mala petaka, hatiku menjadi gelisah bukan main. Apakah dia terluka?"

Lee Si menggeleng kepala. "Tidak terluka, dan sekarang entah di mana, akan tetapi apa yang menimpa kami berdua lebih hebat dari pada luka atau maut sekali pun."

Dengan muka menunduk dan suara perlahan, kadang-kadang terputus oleh isak tangis, Lee Si akhirnya menceritakan semua pengalamannya dengan Swan Bu, juga mengenai tipu muslihat penuh fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa-pai.

"Begitulah saudara Yo Wan, dapat kau bayangkan betapa marah ayah melihat keadaan kami, mendengar suara ayah agaknya dia takkan puas kalau belum membunuh Swan Bu untuk mencuci penghinaan. Padahal... padahal Swan Bu sama sekali tak bersalah dalam hal itu."

"Dan kau hendak ke manakah sekarang, Nona?"

"Ke mana lagi? Ke Liong-thouw-san hendak menemui ayah Swan Bu dan menceritakan semua hal itu kepada ayah bundanya. Harap kau suka membantuku... berat juga mulut ini bercerita kepada paman Kwa Kun Hong dan istrinya."

"Jangan khawatir, aku pasti akan membantumu, Nona, demi kebersihan nama sute pula. Akan tetapi, kau dan sute yang begitu lihai bagaimana sampai dapat tertawan? Siapakah yang menjadi jago Ang-hwa-pai ketika itu? Setahuku, yang paling lihai hanyalah Ang-hwa Nio-nio dan pemuda yang bernama Ouwyang Lam. Akan tetapi aku sangsi apakah dua orang ini dapat mengalahkan kau dan sute."

"Kalau hanya mereka berdua, agaknya kami tidak akan dapat tertawan musuh." Lee Si menarik nafas panjang penuh sesal. "Selain mereka, masih ada dua orang kakek yang pada saat aku ditawan, kudengar namanya sebagai pendeta Maharsi dari barat dan yang seorang lagi Bo Wi Sianjin, masih ada lagi seorang iblis wanita bernama Siu Bi!"

Yo Wan menahan perihnya hati yang serasa tertusuk ketika dia mendengar disebutnya nama ini, nama seorang gadis yang mendatangkan rasa sayang dan simpati di hatinya akan tetapi berbareng juga mendatangkan rasa benci karena gadis itu adalah puteri The Sun pembunuh ibunya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa gadis itu kembali menggabungkan diri dengan pihak Ang-hwa-pai yang dia tahu adalah golongan penjahat. Akan tetapi Yo Wan segera merenggut ingatannya keluar dari lamunan tentang diri Siu Bi ini.

"Wah, urusanmu ini memang luar biasa hebat, adik Lee Si." Akhirnya dia berkata sambil menarik nafas panjang. "Mereka itu memang jahat sekali dan tipu muslihat mereka itu agaknya akan dapat menimbulkan bencana perpecahan yang sangat besar. Marilah kita jangan membuang waktu lagi, segera berangkat ke Liong-thouw-san menemui suhu. Aku bisa mengerti betapa beratnya bagimu menceritakan peristiwa itu, maka biarlah aku yang akan mewakilimu bercerita kepada suhu dan subo."

"Terima kasih, kau baik sekali...," jawab Lee Si sambil menghapus air mata terakhir dari pelupuk matanya. Hatinya menjadi besar dengan adanya penolong ini, maka harapannya timbul kembali sehingga kemuraman pada wajahnya mulai menghilang.

Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan dan akhirnya mereka sampai di puncak Liong-thouw-san, mereka menjadi sangat terkejut dan kecewa sekali melihat bahwa puncak gunung itu sunyi sepi, tidak ada kelihatan seorang pun manusia di sana. Tidak terdapat tanda sesuatu, juga tidak ada seorang pun manusia di sana yang dapat menceritakan apakah yang telah terjadi di puncak itu. Tapi menilik keadaan pondok yang masih bersih, seolah-olah masih ‘hangat’, jelas bahwa tempat yang sunyi ini belum lama ditinggalkan oleh penghuninya.

Yo Wan berdiri di depan pondok, termenung dan termangu-mangu. Melihat tempat ini, tak terasa pula dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, karena dia teringat akan keadaannya pada waktu masih kecil dahulu. Terbayanglah semua di depan matanya, keadaan dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih kecil dan tinggal seorang diri di tempat ini. Dia berjalan hilir-mudik seperti orang kehilangan pikiran, meraba-raba dengan mesra batu-batu yang berada di depan pondok, membelai dedaunan di pinggir pondok, bibirnya menyeringai setengah senyum setengah menangis.

la baru sadar setelah mendengar tangis Lee Si dan cepat dia menengok. Melihat gadis itu sudah duduk dan menangis di atas bangku bambu di depan pondok, dia cepat-cepat menghampiri lalu berkata dengan suara menghibur,

"Tenanglah, adik Lee Si. Tidak ada perkara di dunia ini yang tak dapat di atasi asal kita tenang dan sabar. Memang agaknya tidak kebetulan kedatangan kita, agaknya suhu dan subo sedang turun gunung, entah ke mana. Akan tetapi, sebagai wakil suhu, juga demi menjaga nama baik sute Swan Bu, aku siap untuk membasmi penjahat-penjahat busuk itu. Marilah, adik Lee Si, kita turun kembali dan kau antarkan aku ke tempat terjadinya peristiwa itu. Aku akan mencoba untuk menangkap Ang-hwa Nio-nio dan kita menyeret dia ke hadapan ayahmu agar dia mengakui akan tipu muslihat dan fitnah yang diaturnya. Bagaimana?"

Lee Si hanya mengangguk-angguk, kemudian sesudah menekan perasaan kecewanya dapat juga dia berkata, "Kau baik sekali, Yo-twako. Terserah kepadamu saja, aku… aku bingung tak dapat memikir sesuatu...”

Mereka bermalam satu malam di puncak Liong-thouw-san. Pada keesokan harinya baru mereka turun dari puncak itu, menuju ke kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling….
cerita silat karya kho ping hoo

Sebetulnya apakah yang telah terjadi di puncak Liong-thouw-san? Sayang tak ada yang dapat bercerita kepada kedua orang muda itu. Akan tetapi andai kata ada yang dapat bercerita, agaknya malah akan membuat mereka menjadi makin gelisah saja karena baru tiga hari yang lalu, di puncak itu terjadi hal hebat seperti yang dikhawatirkan oleh Lee Si.

Pada suatu senja, tiga hari yang lalu, selagi Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta bersama isterinya, Kwee Hui Kauw, duduk di dalam pondok bercakap-cakap sesudah Hui Kauw menyalakan api penerangan dan Kun Hong tengah makan masakan sayur yang disajikan isterinya sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras dari luar pondok.

"Kwa Kun Hong, keluarlah dan pertanggung jawabkan kebiadaban anakmu!!"

Sepasang sumpit yang menyumpit sayur dan sudah berada di depan mulut itu terhenti. Kun Hong miringkan kepalanya, keningnya berkerut dan perlahan-lahan dia menurunkan kembali sumpit serta mangkoknya. Telinganya mendengar gerakan isterinya menyambar pedang di dinding, dan pada saat isterinya hendak melayang keluar pintu, dia berkata lirih,

"Tahan dulu, jangan terburu nafsu. Serasa mengenal suaranya..."

"Tak peduli dia siapa, dia telah menghina kita dan anak kita!"

"Manusia bisa keliru, mungkin salah paham..."

"Kwa Kun Hong, lekas kau keluar sebelum kuhancurkan pondokmu!" kembali terdengar bentakan dari luar.

Dengan tongkat di tangan, Pendekar Buta bergerak keluar dari pintu pondoknya, diikuti oleh Hui Kauw yang masih memegang sebatang pedang dengan muka kereng. Alangkah kaget dan herannya nyonya ini pada saat melihat bahwa yang berdiri di depan pondok, dengan tegak dan dua kaki dipentang, sikap mengancam, wajah bengis, adalah seorang laki-laki tinggi besar dan gagah yang bukan lain adalah Tan Kong Bu.

Keadaan jago tua Min-san ini menyeramkan sekali. Sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar penuh kemarahan, rambutnya agak awut-awutan, mukanya merah padam, tangan kiri dikepal-kepal dan tangan kanan meraba gagang pedang. Suaranya nyaring menggeledek ketika dia melihat Kun Hong dan isterinya keluar dari pondok.

"Kwa Kun Hong, kalau kau tidak lekas mempertanggung jawabkan kebiadaban anakmu, sekarang juga seorang di antara kita harus mampus di sini!"

Wajah Pendekar Buta penuh kerut-merut, akan tetapi dia tetap tenang dan sabar. Tapi sebaliknya, biar pun Hui Kauw adalah seorang wanita yang berperangai halus dan amat sabar, namun sekarang, sebagai seorang ibu yang mendengar anak tunggalnya dimaki biadab, darahnya seketika menjadi naik. la menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Kong Bu dengan tangan kanan melintangkan pedang di depan dada.

"Tan Kong Bu! Isterimu terhitung sebagai murid keponakan suamiku, jadi kau ini boleh juga dikatakan keponakan kami. Akan tetapi sikapmu ini sungguh-sungguh tidak patut. Ada urusan boleh diurus, ada soal boleh dibicarakan, segala sesuatu boleh dirundingkan baik-baik, tidak seperti kau ini yang bersikap kasar dan menghina!"

"Siapa menghina? Ha-ha-ha-ha, bicara tentang penghinaan, anakmu yang biadab itulah yang telah menghina kami! Penghinaan melewati batas takaran, penghinaan yang hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa, nyawa Kun Hong atau nyawaku! Jika kau hendak maju sekalian, boleh, aku tidak takut demi untuk membela nama baik anakku, soal mati bukanlah apa-apa!"

Setelah berkata demikian, agaknya kepanasan hatinya menjadi semakin berkobar oleh kata-katanya. Kong Bu menggerakkan tangan dan…

"Srattt!" la telah mencabut sebatang pedang.

Tentu saja Hui Kauw menjadi makin marah, dia merasa ditantang. "Hemmm, manusia sombong. Kau kira aku takut kepadamu? Kau sangka hanya engkau seorang di dunia ini yang gagah dan tidak takut mati, yang ingin membela anak? Tiada hujan tiada angin kau memaki-maki anak kami, memaki-maki kami, kalau kau menantang bertempur, majulah. Aku lawanmu." Hui Kauw melompat ke depan siap dengan pedangnya.

Pada dasarnya Tan Kong Bu memang seorang yang berwatak keras serta berangasan, maka mendengar omongan ini apa lagi melihat sikap Hui Kauw, kemarahannya terhadap Swan Bu memuncak. Wanita ini adalah ibu Swan Bu patut bertanggung jawab pula. Dia memekik keras, mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya bergerak maju.

"Bagus, kau atau aku yang mampus!"

Pedangnya menyambar ganas, dipenuhi dengan tenaga Yang-kang sehingga sambaran pedang itu mengandung hawa panas yang amat berbahaya. Namun Hui Kauw adalah isteri Pendekar Buta. Sebelum menjadi isteri Pendekar Buta ia telah memiliki kepandaian tinggi, tapi mungkin pada waktu itu tidak akan dapat menahan serangan Tan Kong Bu putera Si Raja Pedang.

Akan tetapi sekarang, dia bukan Hui Kauw dua puluh tahun yang lalu. Ilmu kesaktiannya mengalami kemajuan pesat di bawah bimbingan suaminya. Melihat datangnya serangan hebat ini, dia mengelak sambil membabat dari samping, menghantam pedang lawan.

"Tranggg!"

Bunga api berpijar merupakan kilat-kilat kecil menerangi cuaca yang saat itu sudah mulai remang-remang. Keduanya terpental muncur.

"Bagus, terimalah ini!"

Tan Kong Bu menerjang lagi, lebih ganas dan lebih kuat. Kembali Hui Kauw menangkis dari samping dan kini saking hebatnya tenaga dalam mereka, kedua pedang itu saling tempel tanpa mengeluarkan bunyi! Pada saat itu, berkelebat bayangan merah, disusul suara keras dan dua batang pedang yang saling tempel itu terpental ke belakang, malah Hui Kauw dan Kong Bu terhuyung-huyung tiga langkah. Kiranya Kun Hong sudah turun tangan, ia menggunakan tongkatnya untuk memisahkan dua pedang itu.

"Ahhh, apa perlunya semua ini? Hui Kauw, kau mundurlah. Kong Bu, marilah kita bicara baik-baik. Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Kau agaknya marah-marah kepada anak kami. Kesalahan apakah yang diperbuat oleh Swan Bu? Kau ceritakan kepada kami agar kami bisa mengetahui dan mempertimbangkan. Di antara kita, masa harus menggunakan kekerasan?"

Akan tetapi Kong Bu yang sudah mendidih darahnya itu tak dapat dibikin sabar. Dengan suara tetap lantang dan penuh kemarahan dia berkata, "Kun Hong, mana bisa kita bicara baik-baik lagi setelah penghinaan yang dilakukan oleh anakmu? Akan tetapi agar kalian tidak penasaran, dengarlah apa yang sudah dilakukan oleh anakmu yang biadab itu, agar terbuka mata kalian betapa kalian tidak becus dalam mendidik anak. Anakmu Kwa Swan Bu itu telah menawan Lee Si anakku dan melakukan perbuatan terkutuk, dia... dia berani mencemarkan... dia berani menodai Lee Si, terkutuk dia! Karena dia lari, sekarang aku datang ke sini untuk minta pertanggungan jawabmu. Kun Hong, penghinaan ini terlalu besar, kau sebagai ayahnya harus menebus dengan nyawamu atau aku sebagai ayah Lee Si mencuci noda dengan darahku!"

"Bohong...!" tiba-tiba Hui Kauw menjerit marah. "Di mana terjadinya? Siapa yang menjadi saksi? Apa buktinya?

"Huh, siapa yang bohong? Aku sendiri yang menjadi saksi! Lee Si ditawannya, tertotok tak berdaya dan ditawan ke dalam kuil tua di kota Kong-goan..."

"Bohong! Aku tidak percaya, tidak mungkin anakku melakukan perbuatan itu. Kau yang bohong!" kembali Hui Kauw berteriak.

“Mulut bisa bohong, akan tetapi mata tidak! Dan mataku melihat sendiri kejadian itu, dan mataku tidak buta seperti mata Kun Hong! Hanya mata buta yang tidak mau melihat kebiadaban putera sendiri dan melindunginya!"

"Keparat, tak sudi aku menerima penghinaanmu ini!"

Hui Kauw yang sekarang menerjang maju dengan pedangnya. Kong Bu mendengus dan menangkis, kemudian kedua orang ini kembali sudah bertanding dengan seru. Ada pun Kwa Kun Hong berdiri termangu-mangu setelah mendengar penjelasan Kong Bu. Mana mungkin ada kejadian semacam itu? Swan Bu melakukan perbuatan terkutuk terhadap Lee Si? Apakah mungkin puteranya itu sedemikian hebatnya dikuasai nafsu sehingga membuatnya seperti gila? Agaknya tidak mungkin.

la tahu bahwa puteranya itu memiliki dasar watak yang amat keras dan tidak mau kalah, akan tetapi cukup dia dasari gemblengan batin yang membentuk watak satria, pantang akan perbuatan-perbuatan maksiat, apa lagi perbuatan terkutuk seperti itu. Tentu fitnah!

la cukup mengenal pula watak Kong Bu yang keras serta jujur, tegak seperti baja yang sukar ditekuk, sehingga tidak mungkin pula seorang seperti Kong Bu ini membohong dan mengada-ada. Pemecahan satu-satunya menghadapi dua ketidak mungkinan hanyalah hasut atau fitnah. Agaknya ada fitnah terselip dalam urusan ini. Suara beradunya pedang dan lengking tinggi dari mulut Kong Bu menyadarkannya. Kun Hong merasa khawatir sekali. Dari gerakan yang terdengar oleh telinganya, tahulah dia bahwa pertandingan itu akan dapat menjadi hebat sekali dan mati-matian karena tingkat mereka berimbang dan pertandingan dilakukan dengan penuh hawa amarah oleh kedua pihak. Kalau dia tidak segera turun tangan, tentu seorang di antara mereka akan tewas atau setidaknya akan terluka parah.

"Kalian berhentilah!" Kembali dia menengahi dan karena maklum betapa keduanya tak boleh dipandang ringan, begitu ‘masuk’ Kun Hong menggunakan gerakan yang ampuh.

Tongkatnya berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang membikin mati gerakan Kong Bu, sedangkan tangan kirinya berhasil mendorong pundak isterinya sehingga nyonya itu terhuyung ke belakang.

Biar pun hatinya penasaran, namun Hui Kauw yang sudah hafal akan watak suaminya, tahu apa yang dikehendaki suaminya ini. Maka dia hanya berdiri mengepal tinju kiri dan melintangkan pedang di depan dada, tidak mau maju lagi.

Akan tetapi Kong Bu tidak mau mundur sama sekali. Bahkan di dalam kemarahannya, pertimbangannya menjadi miring dan dia mengira bahwa Pendekar Buta ini takut kalau isterinya kalah maka sekarang maju sendiri.

Memang sebetulnyalah, orang yang tengah ditunggangi dan dipermainkan nafsu amarah, pandang matanya menjadi gelap, pertimbangannya rusak dan yang disangkanya hanya yang buruk-buruk saja. Oleh karena itu, sangat tidak baiklah kalau orang dikuasai oleh hawa nafsu amarah, lebih baik lekas-lekas singkirkan musuh besar pribadi ini dari dalam hati.

"Kun Hong, kau atau aku yang menggeletak tak bernyawa di sini!" Seruan ini disusul serangan dahsyat sekali.

Dalam kemarahan dan kemaklumannya bahwa yang dihadapi kini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, Kong Bu telah menerjang sambil mengerahkan seluruh tenaga serta memainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut yang dahulu dia warisi dari mendiang kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun. Hebat bukan main terjangan Kong Bu ini karena dipenuhi tenaga Yang-kang yang sangat kuat memancar keluar dari gerakannya. Maka, sebatang pedangnya seakan-akan menjadi sebatang besi merah, panas menyala-nyala!

"Ahhh, saudaraku Kong Bu yang baik..." Hanya sampai di sini ucapan Kun Hong karena Pendekar Buta ini harus cepat-cepat mengelak sambil memainkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah dia mampu menyelamatkan diri dari pedang Kong Bu yang berubah menjadi tangan-tangan maut itu.

Kong Bu penasaran bukan main. Setiap kali pedangnya menyambar, seakan-akan tubuh Kun Hong mendahului gerakannya, berubah kedudukannya, tidak lagi berada di tempat semula. Ataukah pedangnya yang selalu menyeleweng apa bila mendekati tubuh Kun Hong? Tak mungkin dapat melakukan hal itu. Rasa penasaran merupakan bensin yang menyiram api yang membakar dadanya, maka sambil mengeluarkan suara melengking keras jago Min-san ini mendesak makin hebat.

Namun, dengan ketenangannya yang luar biasa, Kun Hong dapat mengatasi keadaan. Langkah-langkah ajaib yang dia lakukan sangat tepat dan teratur sehingga sinar pedang Kong Bu tak pernah dapat menyentuhnya.

"Dengarlah, Kong Bu sadarlah..., anak-anak kita tentu kena fitnah... percayalah, Swan Bu tidak mungkin melakukan kebiadaban itu, mari kita selidiki baik-baik..."

Akan tetapi tiba-tiba Kong Bu berseru keras. Selagi Kun Hong bicara tadi, Kong Bu telah menerjangnya dengan nekat, pedang di tangan ketua Min-san-pai itu melakukan tusukan maut dengan ujungnya digetarkan menjadi tujuh sinar!

Meski pun Kun Hong menguasai Kim-thiauw-kun dan dapat menggerakkan tubuh secara ajaib untuk mengelak setiap serangan, namun dia maklum bahwa jurus sakti seperti ini yang menimbulkan getaran hawa pedang sedemikian dahsyatnya, tak mungkin dielakkan lagi. la tidak suka bermusuhan dengan Kong Bu dan dapat menduga bahwa orang keras hati ini telah makan fitnah.

Dia suka mengalah, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menerima tusukan pedang yang tak boleh dipandang ringan. Oleh karena itu, pada waktu berseru kaget tadi, tongkatnya berkelebat menjadi sinar merah dan sekaligus tongkat itu telah diputar berbentuk payung, menangkis pedang lawan sedangkan tangan kirinya dengan pengerahan separuh tenaga didorongkan ke depan.

Jika saja Kong Bu tidak sedang dikuasai kemarahan yang membuat dia buta dan lengah, kiranya tidak akan mudah bagi Kun Hong untuk mengalahkannya dalam waktu singkat, sungguh pun harus diakui bahwa tingkat kepandaian Kong Bu tidak setinggi Kun Hong. Akan tetapi pada saat itu, Kong Bu sedang marah sekali, begitu marahnya sehingga dia seperti orang nekat, hasrat hatinya hanya ingin menyerang dan merobohkan lawan tanpa mempedulikan penjagaan tubuhnya sendiri.

Karena inilah maka pedangnya terkena ‘libatan’ tongkat Kun Hong yang lihai, terlibat dan terputar hingga pedangnya ikut pula terputar. Sebagai seorang gagah, Kong Bu merasa pantang melepaskan pedang, malah dia memegang makin erat sehingga tubuhnya yang terpelanting oleh hawa putaran yang amat kuat itu.

Pada saat itulah dorongan tangan kiri Kun Hong yang kelihatan lambat itu tiba. Seketika tubuh Kong Bu terjengkang ke belakang dan tubuh itu bergulingan sampai belasan meter jauhnya!

"Ahhh... maaf, saudara Kong Bu....,” Kun Hong memburu, tetapi tangan kirinya segera dipegang oleh Hui Kauw yang menahannya.

Kong Bu melompat bangun dengan nafas terengah-engah, dadanya serasa sesak dan kepalanya pening. la tidak terluka, namun nanar dan maklumlah dia bahwa melanjutkan dengan nekat hanya akan menghadapi kekalahan yang memalukan.

"Kun Hong, kau lebih pandai dari pada aku. Akan tetapi kalau aku tidak dapat membunuh anakmu yang biadab, aku tak akan mau berhenti berusaha. Tidak ada tempat bagi aku dan dia di kolong langit!"

"Kong Bu, tunggu...!" teriak Kun Hong, akan tetapi jago Min-san-pai itu sudah melompat pergi dan lari cepat meninggalkan puncak itu.

"Biarkanlah dia pergi. Orang berhati kaku dan mau menang sendiri itu," kata Hui Kauw sambil memegang lengan suaminya.

Kun Hong menarik nafas panjang. "Hui Kauw, kau lekas berbenah, bawa bekal yang kita perlukan di perjalanan. Kita berangkat sekarang juga mencari Swan Bu dan menyelidiki ke Kong-goan. Ingin sekali aku tahu apa sih yang terjadi di kuil tua di kota Kong-goan itu?"

Begitulah, pada malam itu juga suami isteri pendekar sakti ini berangkat meninggalkan puncak Liong-thouw-san. Dan ini pulalah sebabnya mengapa ketika Yo Wan dan Lee Si tiba di puncak Liong-thouw-san tempat ini sunyi tidak tampak seorang pun manusia…..

**********

Swan Bu terhuyung-huyung, baru beberapa puluh langkah pandang matanya gelap. Dia berusaha menahan diri, tetapi kepalanya terlalu pening dan akhirnya dia jatuh terguling. Dia merasa tubuhnya panas sekali, kepalanya berputaran, maka dia meramkan kedua matanya.

"Siu Bi... ah, Siu Bi... hemmm, apakah aku sudah gila? Kenapa Siu Bi saja yang teringat dan terbayang?" Swan Bu bangkit dan duduk, beberapa kali dia menampar kepalanya sendiri dan bibirnya berbisik-bisik, "Siu Bi... gadis iblis itu, aku harus benci kepadanya... harus!" Akan tetapi rasa panas membakar kepalanya dan dia roboh lagi, kini pingsan.

Tak jauh dari tempat itu, Siu Bi berdiri terisak-isak. Dari jauh ia melihat Swan Bu jatuh bangun, melihat pemuda itu terhuyung-huyung kemudian roboh, juga melihat pemuda itu menggerak-gerakkan bibir akan tetapi dia tidak dapat mendengar kata-katanya, melihat pemuda itu memukul kepalanya sendiri lalu terguling, tak bergerak-gerak.

"Swan Bu...!" Siu Bi menjerit kecil, hatinya serasa ditusuk-tusuk.

Dan ia lalu lari menghampiri, menubruk dan berlutut di dekat tubuh yang tak bergerak. Air matanya bercucuran membasahi muka Swan Bu yang kini menjadi merah sekali dan panas. Ketika tangan Siu Bi menyentuh leher pemuda itu, gadis ini terkejut dan menarik tangannya.

"Panas sekali! Ahh, kau terserang demam..."

Sebagai puteri angkat The Sun dan cucu murid Hek Lojin, serta biasa hidup di puncak gunung yang sunyi sehingga sudah biasa menghadapi penyakit, Siu Bi maklum bahwa demam panas ini adalah akibat dari luka di lengannya. Tanpa ragu-ragu lagi Siu Bi lalu memondong tubuh Swan Bu yang pingsan itu, lalu dibawa lari dengan maksud mencari tempat peristirahatan yang baik agar dia dapat merawatnya.

Entah bagaimana, setelah ia berhasil membuntungi lengan kiri putera Pendekar Buta ini, semua rasa benci lenyap dan timbullah rasa cinta kasih yang memang telah bersemi di dalam hatinya. Siu Bi malah merasa sangat bersalah dan untuk menebus kesalahannya terhadap Swan Bu, ia hendak merawatnya, kalau mungkin, untuk selamanya! Malah ia bersedia menghabiskan permusuhannya dengan orang tua pemuda ini, asal Swan Bu mau memaafkannya dan mau ia ‘rawat’ selamanya.

Tiba-tiba saja telinganya mendengar suara gerakan dan alangkah kagetnya ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik jelita yang ia kenal sebagai Cui Sian! Hanya satu kali Siu Bi bertemu dengan puteri Raja Pedang ini, yaitu di Ching-coa-to, tetapi pertemuan yang sekali itu cukup baginya untuk mengetahui bahwa puteri Raja Pedang itu amat tinggi kepandaiannya.

Di lain pihak, Cui Sian juga tercengang melihat Siu Bi. Tadinya dari belakang ia melihat seorang wanita mempergunakan ilmu lari cepat yang tinggi berlari mendukung seorang pria. Dia menjadi curiga dan mengejar, menyusul lalu menghadang untuk melihat siapa mereka dan apa yang terjadi.

Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal Siu Bi, gadis liar yang bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya, gadis liar yang menimbulkan cemburunya karena sikapnya terhadap Yo Wan. Akan tetapi gadis ini pula yang telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dikeroyok di Ching-coa-to!

"Kau...?!" Saking heran dan kagetnya Cui Sian menegur.

"Hemmm, puteri Raja Pedang. Mau apa kau menghadangku?" balas Siu Bi ketus.

Pandang mata Cui Sian menyelidiki lelaki yang sedang dipondong Siu Bi, terkejut melihat lengan kiri yang buntung sebatas siku, ujungnya dibungkus dan masih terdapat tanda darah dari luka yang baru.

"Ehh, siapa dia?" tanyanya, penuh kecurigaan.

"Dia siapa peduli apakah engkau? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu..."

"Aahhh...!" Cui Sian melangkah maju selangkah, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar. "Dia... dia... Swan Bu...! Bukankah dia Swan Bu...?"

Sudah kerap kali ia bertemu dengan Swan Bu, akan tetapi yang terakhir kali adalah pada waktu Swan Bu berusia empat lima belas tahun. Kalau sekarang tidak melihat pemuda itu buntung lengan kirinya dan dipondong Siu Bi, agaknya ia akan pangling juga. Karena lengannya buntung, sedangkan Siu Bi pernah menyatakan hendak membuntungi lengan Pendekar Buta sekeluarga, dan pemuda yang buntung lengannya ini wajahnya seperti Swan Bu, maka mudah baginya untuk menduga dan hal ini membuat ia kaget dan ngeri.

Kebetulan sekali pada saat itu Swan Bu tersadar, mengerang dan mengeluh, membuka matanya dan tepat dia memandang Cui Sian. Agaknya dia dapat mengenal pula, karena bibirnya berbisik perlahan, "...Bibi Guru..."

Kini hati Cui Sian tidak ragu lagi. Memang dahulu Swan Bu disuruh menyebut ‘sukouw’ (bibi guru) kepadanya karena Pendekar Buta tetap menganggap ayahnya sebagai guru. Dengan suara lantang ia membentak,

"Dia benar Swan Bu! Siapa membuntungi lengannya?" la tidak dapat bertanya kepada Swan Bu karena pemuda itu sudah pingsan lagi.

Siu Bi mendongkol sekali. Ia seorang gadis yang berwatak aneh luar biasa. Hatinya yang keras bagai baja mentah itu agaknya hanya dapat dicairkan oleh kehalusan. Menghadapi kekerasan, dia akan menjadi semakin keras. Suara Swan Bu menyebut ‘bibi guru’ dan perhatian Cui Sian terhadap pemuda itu, mendatangkan kedongkolan hatinya.

"Kau mau membelanya? Nah, terimalah keponakanmu ini!" teriaknya sambil melempar tubuh Swan Bu ke arah Cui Sian.

Gadis Thai-san-pai ini cepat-cepat menerima tubuh itu dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan betapa tubuh itu panas sekali. Cepat ia menurunkan tubuh Swan Bu dengan hati-hati ke bawah pohon yang teduh, kemudian memeriksanya.

Keadaan Swan Bu tidak berbahaya, kecuali kalau darahnya keracunan oleh luka lengan buntung itu. Maka dia lalu menotok beberapa jalan darah sambil mengerahkan sinkang dengan tangan kiri yang ia tempelkan di punggungnya. Kemudian ia berdiri, meloncat ke depan Siu Bi yang masih berdiri tegak dengan muka marah.

"Siu Bi, siapa yang membuntungi lengannya?"

Siu Bi mengedikkan kepala, membusungkan dada. "Aku! Dia anak Pendekar Buta musuh besarku!" Meski mulutnya hanya berkata demikian, akan tetapi pandang matanya seolah menantang, "Kau mau apa?"

Cui San menenangkan hatinya yang menggelora, lalu bertanya, "Kau telah membuntungi lengannya, mengapa dia kau dukung? Hendak kau bawa kemanakah dia?"

Tiba-tiba wajah Siu Bi menjadi merah sekali, "dia... dia demam, aku harus merawatnya... ehhh, kau cerewet amat, mau apa sih?"

Kemarahan Cui Sian tidak sanggup ditahannya lagi. Sekali tangannya bergerak ia telah mencabut Liong-cu-kiam. Pedang itu berkeredepan saking tajamnya dan diam-diam Siu Bi bergidik. la cukup maklum akan kelihaian puteri Raja Pedang ini dan tahu pula bahwa ia tak akan mampu menang melawannya. Akan tetapi untuk menjadi takut, nanti dulu! Dengan hati penuh kemarahan ia juga siap bertempur mati-matian.

"Siu Bi, kau bocah iblis! Aku tahu bahwa pada dasarnya kau bukanlah orang jahat, akan tetapi karena kau hidup di lingkungan iblis-iblis kejam, hatimu menjadi kejam dan ganas. Manusia macam engkau ini perlu diberi hajaran!"

"Cerewet kau!" bentak Siu Bi dan pedangnya menyambar-nyambar, merupakan sinar hitam, disusul pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu pukulan Hek-in-kang.

Cui Sian cepat mengelak dari pukulan dan menangkis pedang lawan, kemudian dengan sama hebatnya ia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siu Bi. Sebentar saja kedua orang dara perkasa ini sudah bertanding dengan seru. Siu Bi bertempur dengan nekat, mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya hingga mau tidak mau membuat Cui Sian menjadi kewalahan. Bila mana puteri Raja Pedang ini menghendaki, dengan jurus-jurus mematikan dari ilmu pedangnya yang hebat, agaknya ia akan dapat merobohkan lawannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Akan tetapi Cui Sian adalah seorang gadis yang ingat budi. la pernah ditolong oleh Siu Bi ketika terjadi pengeroyokan di Ching-coa-to, maka tiada niat di hatinya untuk membunuh gadis liar itu. Dia hanya marah melihat Swan Bu dibuntungi lengannya dan berusaha untuk menangkap gadis ini kemudian menyerahkan keputusan hukumannya pada Swan Bu sendiri. Inilah yang membuat agak sulit ia menangkan Siu Bi, sama sulitnya dengan menangkap seekor harimau hidup-hidup, tentu lebih mudah membunuhnya.

Betapa pun juga, Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam masih tetap merupakan raja di antara sekalian ilmu pedang, sedangkan pedang di tangan Cui Sian juga merupakan pedang pusaka yang amat ampuh karena Liong-cu-kiam adalah pedang kuno yang hebat. Liong-cu-kiam ada sepasang, maka disebut Liong-cu-kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga) dan menjadi senjata suami isteri ketua Thai-san-pai. Yang panjang dipegang Raja Pedang, yang pendek dipegang isterinya.

Akan tetapi sekarang yang pendek berada di tangan puteri mereka, Cui Sian. Dengan pedang ampuh ini di tangan sambil mainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, lewat lima puluh jurus, Siu Bi menjadi pening dan kabur pandang matanya. Apa lagi, sebetulnya ia masih belum sembuh benar dari luka di dalam dadanya. Yang membuat ia amat penasaran adalah cara Cui Sian bertempur. Puteri Raja Pedang itu seolah-olah mempermainkannya, buktinya setiap kali pedang berkeredepan itu sudah hampir mengenai tubuhnya, ditarik atau diselewengkan sehingga tidak mengenai dirinya.

Dia sama sekali tidak menduga bahwa Cui Sian melakukan itu dengan sengaja karena tak ingin membunuhnya. Siu Bi malah mengira bahwa gadis Thai-san-pai itu memandang rendah dan mempermainkannya. Hal ini membuatnya mendongkol dan marah sekali. Dia sampai lupa akan luka di dalam dadanya dan mengerahkan Hek-in-kang sekuatnya untuk menyerang. Sambil berteriak nyaring, tangan kirinya memukul dan uap hitam pun menyambar.

Cui Sian sangat kaget. Hebat sekali pukulan ini. Akan tetapi ia tidak mau kalah. Cepat ia menggeser kaki ke kanan dan pukulan Hek-in-kang dengan tangan kiri Siu Bi itu lalu ia gempur dengan tangan kiri terbuka sambil mengerahkan sinkang-nya.

"Dukkk!"

Siu Bi mengeluarkan pekik dan tubuhnya terlempar ke belakang, roboh, pedangnya juga terlepas dari tangan kanan. la merintih-rintih. Ada pun Cui Sian berseru kaget karena ia merasa seakan-akan tangannya dimasuki hawa yang mengandung api sedang ia sendiri terhuyung-huyung ke belakang. la terlampau memandang rendah Hek-in-kang dan kalau saja sinkang di tubuhnya belum kuat benar, tentu ia pun akan terluka hebat. Cepat gadis kosen ini menahan nafas dan menyalurkan sinkang untuk memulihkan tenaga dan melindungi isi dadanya. Kemudian ia menghampiri Siu Bi dan menotok jalan darah yang membuat Siu Bi lemas.

"Wanita sial!" Siu Bi yang sudah tidak dapat menggerakkan kaki tangan itu memaki. Dua matanya memandang dengan melotot. "Kau bunuhlah aku, aku tak takut mampus. Hayo, kalau kau gagah, bunuh aku!"

"Cih, perempuan iblis. Sudah selayaknya kau dibunuh atas perbuatan kejimu terhadap Swan Bu. Akan tetapi, aku berhutang nyawa kepadamu, terpaksa sekarang kuampuni kau..."

"Keparat, siapa memberi hutang kepadamu? Siapa sudi menerima ampunanmu? Hayo, gunakan pedangmu itu membunuhku, jangan banyak cerewet"

"Kau yang cerewet!"

"Kau cerewet, kau bawel, kau nenek-nenek bawel!" Siu Bi memaki-maki.

Akan tetapi Cui Sian tidak mau pedulikan gadis galak itu lagi karena dia sudah sibuk menghampiri dan memeriksa keadaan Swan Bu. Lega hatinya bahwa pemuda itu tidak menderita luka-luka lain yang berbahaya kecuali lengannya yang buntung. Hatinya ngeri juga ketika ia membuka lengan buntung yang dibalut itu dan melihat lengan buntung sebatas siku. Darahnya sudah mulai kering, akan tetapi ujung yang buntung itu agak membengkak.

Ini berbahaya, pikirnya. Cepat ia mengeluarkan sebungkus obat dari saku baju sebelah dalam. Dia menggunakan obat itu pada luka dan membalut luka dengan sehelai sapu tangan bersih.

"... jangan bunuh dia... Sukouw..."

Hati Cui Sian tertegun. Apa maksud Swan Bu? Tidak boleh membunuh Siu Bi? Gadis itu sudah membuntungi lengannya dan pemuda ini masih minta supaya dia jangan dibunuh? Atau mungkinkah bukan Siu Bi yang dimaksudkan? Swan Bu sedang terserang demam panas dan biasanya dalam keadaan begini, orang suka mengigau.

"Swan Bu, siapa yang kau maksudkan? Jangan bunuh siapa?"

"Siu Bi... di mana kau..., ahh, Siu Bi, sudah puaskah hatimu sekarang? Alangkah cantik engkau... cantik, liar dan ganas..."

Cui Sian merasa jantungnya tertusuk.

Ah, tidak salah lagi, ada terselip sesuatu antara dua orang muda ini, pikirnya. Celaka, Siu Bi gadis liar dari Go-bi-san itu tak hanya menimbulkan bencana karena kekejiannya, akan tetapi juga karena kecantikannya. Teringat ia akan Yo Wan, dan hatinya menjadi panas. Dia tahu bahwa Swan Bu dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi saking panasnya hati, ia menjawab,

"Jangan pedulikan dia lagi, Swan Bu."

Akan tetapi Swan Bu tentu saja tidak mendengar karena ia kembali mengigau perlahan, tubuhnya panas sekali.

"Sian-moi...!"

Panggilan ini mengagetkan Cui Sian. Cepat ia melompat sambil membalikkan tubuhnya. Seketika wajahnya menjadi merah dan jantung di dadanya berdebar tidak karuan ketika matanya mendapat kenyataan bahwa ia tadi tidak keliru mengenal suara itu, suara Yo Wan!

Akan tetapi kegembiraan hatinya itu ternoda kekecewaan ketika dilihatnya kedatangan pemuda itu bersama seorang dara remaja yang cantik jelita.

"Yo-twako, kebetulan kau datang...," katanya halus.

Akan tetapi Yo Wan sudah melompat ke dekat Swan Bu, memandang dengan mata terbelalak. "Dia ini... bukankah dia sute Kwa Swan Bu?"

Cui Sian mengangguk dan Yo Wan sudah berlutut di dekat tubuh Swan Bu, memandang lengannya yang buntung. Ada pun Lee Si begitu melihat lengan Swan Bu yang kiri buntung, hampir saja ia terguling pingsan. Matanya serasa kabur, kepalanya nanar, bumi yang dipijaknya serasa berputaran. Cepat ia menahan pekik yang hendak meluncur dari mulutnya sehingga hanya terdengar seperti orang mengeluh dan ia pun berlutut di dekat Yo Wan.

"Oh... ahhh..." hanya inilah yang keluar dari mulutnya.

Sedangkan Yo Wan cepat memeriksa tubuh Swan Bu. Seperti juga Cui Sian tadi, dia merasa lega bahwa Swan Bu tidak menderita luka lain yang berbahaya.

"Sian-moi, siapa yang membuntungi?" Ia menahan kata-katanya dan jantungnya serasa berhenti berdetak ketika Yo Wan teringat akan Siu Bi. Siapa lagi kalau bukan Siu Bi?

"Itulah orangnya!" kata Cui Sian menuding ke arah Siu Bi yang rebah miring tak jauh dari situ.

Dua orang muda yang baru datang ini tadi tidak melihat Siu Bi dan sekarang mereka menoleh. Lee Si sudah meloncat sambil mengeluarkan seruan marah. Sedangkan Yo Wan hanya memandang dengan muka berubah agak pucat. Dengan kemarahan meluap-luap Lee Si menyambar tubuh Siu Bi, dijambak rambutnya dan ditariknya berdiri.

"Plak-plak!"

Dua kali tangan kirinya menampar, dan tanda jari-jari merah menghias kedua pipi Siu Bi yang tersenyum-senyum mengejek.

"Hi-hik-hik, perempuan tak tahu malu. Beraninya kalau aku sudah tidak berdaya. Hayo bebaskan totokan ini dan lawan aku secara orang gagah!"

Akan tetapi Lee Si tidak mempedulikan omongannya, malah dia menarik lepas rambut kepala Siu Bi dan menggantungkan Siu Bi pada cabang pohon, mengikatkan rambutnya yang panjang pada cabang pohon itu. Cabang itu rendah saja sehingga kedua kaki Siu Bi tergantung hanya belasan senti meter dari tanah.

"Siapakah gadis itu?" Cui Sian bertanya kepada Yo Wan yang masih saja memandang dengan mata terbelalak dan muka agak pucat.

"Dia Lee Si, puteri kakakmu Tan Kong Bu...," jawab Yo Wan, suaranya menggetar dan lemah.

Karena keadaan tegang, Cui Sian tidak memperhatikan hal ini dan ia pun memandang. Kiranya gadis remaja itu adalah keponakannya sendiri!

"Iblis betina jahat! Hayo kau ceritakan mengenai fitnah keji yang kalian rencanakan, tipu muslihat rendah yang kalian jalankan untuk merusak nama baik Swan Bu dan aku!"

"Tipu muslihat yang mana? Berlaku galak terhadapku setelah aku berada dalam keadaan tertotok, barulah dapat disebut tipu muslihat! Aku tidak biasa melakukan fitnah dan tipu muslihat!" Siu Bi menjawab seenaknya, sepasang matanya yang bening itu memandang penuh ejekan kepada Lee Si.

"Plak! Plak!" kembali tangan Lee Si menampar kedua pipi Siu Bi.

"Kalau kau tidak mau mengaku, akan kusiksa sampai mampus!" Lee Si melompat dan mematahkan sebatang ranting pohon. "Hayo kau mengakulah bahwa Ang-hwa-pai telah mengatur siasat untuk mengelabui mata ayahku agar ayahku mengira Swan Bu dan aku sudah melakukan perbuatan hina!"

"Hi-hi-hik, kaulah yang ingin melakukan perbuatan hina. Swan Bu mana mau? Hi-hi-hik, tak tahu malu!" kembali Siu Bi mengejek, diam-diam hatinya panas dan penuh cemburu.

la mencinta Swan Bu, mencinta dengan seluruh jiwa raganya, hal ini amat terasa olehnya setelah ia membuntungi lengan pemuda itu. Karena itu, teringat bahwa gadis ini pernah berdekatan dengan Swan Bu, hatinya penuh cemburu...


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 12


Jaka Lola Jilid 11

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 11

Akan tetapi, alangkah terkejutnya pemuda itu pada waktu dia mendengar suara orang di belakangnya yang berseru halus, "Saudara, harap suka tunggu sebentar!"

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi Lee Si dan segera mengangkat tangan memberi hormat. Lee Si cepat-cepat membalasnya dan diam-diam ia memuji kesopanan pemuda ini yang usianya jauh lebih tua dari padanya.

"Nona ada keperluan apakah Nona mengejar saya?"

"Saudara, kiranya tidak baik kubiarkan saja kau pergi tanpa menyatakan terima kasih atas pertolonganmu dan..."

Pemuda itu tertawa dan wajahnya yang masak dan agak muram itu tampak jauh lebih muda kalau tertawa. "Wah, harap Nona jangan memperolokku! Sama sekali aku tidak menolongmu, karena kalau tidak kebetulan aku turun tangan terhadap mereka, kiranya mereka itu akan menerima nasib yang lebih berat di tangan Nona. Dengan kepandaian yang Nona miliki, sungguh aku merasa malu kalau aku dikatakan menolongmu."

"Ah, bagaimana kau bisa bilang demikian? Dengan kepandaianmu yang begitu tinggi dan sikapmu yang amat merendah, kau sungguh membikin aku yang bodoh menjadi kagum, Saudara."

"Nona, sebelum aku bergerak kau sudah tahu tadi, sekarang dengan mudah kau dapat menyusulku, ini saja sudah membuktikan bahwa kau seorang yang lihai. Sudahlah, tidak perlu puji-memuji ini. Bolehkah aku mengetahui siapa gerangan nama Nona? Aku sendiri bernama Yo Wan."

"Yo Wan...? Serasa pernah aku mendengar nama ini..."

Lee Si mengerutkan kening, mengingat-ingat, akan tetapi tidak berhasil. Memang tentu saja dia tidak ingat karena andai kata pernah mendengar, tentulah dari percakapan atau penuturan ayah bundanya yang pernah menyebut nama ini sebagai murid dari Pendekar Buta.

"Nona siapakah dan murid siapa?"

"Aku murid orang tuaku sendiri, ayahku adalah Tan Kong Bu, ketua Min-san-pai, dan namaku Tan Lee Si."

"Ah...! Tentu saja Nona pernah mendengar namaku, tentu dari Tan-loenghiong, ayahmu. Aku sendiri sudah lupa lagi kepada beliau, akan tetapi antara ayahmu, terutama ibumu dan suhu ada hubungan yang erat sekali. Ketahuilah, suhu adalah Pendekar Buta..."

"Ahhh...!" Kini Lee Si yang ber ah-ah-ah saking herannya.

Lalu dia teringat akan langkah-langkah seperti orang mabuk yang tadi dilakukan Yo Wan ini dan yang ia ingat ada persamaannya dengan Swan Bu. Dan sekarang tidak aneh lagi baginya akan kelihaian pemuda ini. Kiranya murid Pendekar Buta, kepandaiannya tentu saja hebat.

"Kalau begitu... dia... dia itu sute-mu..." Otomatis ingatannya melayang kepada Swan Bu sehingga kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Yo Wan adalah seorang pemuda yang sudah matang pikirannya dan dia sangat cerdik. Oleh karena itu sikap dan kata-kata gadis cantik manis itu sudah cukup baginya untuk menduga bahwa tentu ada sesuatu di antara gadis cucu Raja Pedang ini dengan putera suhu-nya. Siapa lagi kalau bukan Swan Bu yang tadi disebut ‘si dia’ sebagai sute-nya? Sute-nya memang hanya seorang, yaitu putera suhunya itu. "Nona maksudkan Kwa Swan Bu sute? Apakah dia sahabat baikmu? Di mana adanya sute sekarang?"

Hal yang aneh terjadi, yang membuat Yo Wan sendiri terheran-heran dan terkejut bukan main. Gadis manis itu tiba-tiba menangis! Air matanya bercucuran dan kedua tangannya sibuk mengusapi air mata yang mengalir pada kedua pipinya, pundaknya bergerak-gerak dalam isak tangis yang menyedihkan.

Yo Wan berdebar hatinya, kekhawatiran hebat mencekam jantungnya, timbullah dugaan yang bukan-bukan. "Nona, ada apa dengan sute? Apakah yang terjadi?" tanyanya, wajahnya berkerut dalam kegelisahan.

"Malapetaka hebat... dia dan aku... kami berdua celaka..." Lee Si terisak-isak. Semenjak ia mengalami bencana itu, baru kali ini ia berkesempatan bicara dengan seorang yang ia percaya, karena itu ia tak dapat menahan kesedihannya.

Di lain pihak, Yo Wan terkejut seperti disambar petir. Dia sampai lupa diri sehingga kedua tangannya memegang lengan Lee Si, lalu diguncang-guncangnya nona yang menangis itu sambil berkata, "Ada apakah? Siapa mengganggu sute? Di mana dia dan apa yang telah terjadi?"

Melihat betapa nona itu menurunkan tangan dan dengan kaget memandangnya, Yo Wan melepaskan kedua tangannya dan berkata, "Maaf, aku sampai lupa diri. Ahh, kau tenangkanlah hatimu, Nona dan berceritalah yang baik. Ketahuilah, semenjak kecil aku tidak bertemu dengan sute, hatiku penuh kerinduan, maka mendengar dia ditimpa mala petaka, hatiku menjadi gelisah bukan main. Apakah dia terluka?"

Lee Si menggeleng kepala. "Tidak terluka, dan sekarang entah di mana, akan tetapi apa yang menimpa kami berdua lebih hebat dari pada luka atau maut sekali pun."

Dengan muka menunduk dan suara perlahan, kadang-kadang terputus oleh isak tangis, Lee Si akhirnya menceritakan semua pengalamannya dengan Swan Bu, juga mengenai tipu muslihat penuh fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa-pai.

"Begitulah saudara Yo Wan, dapat kau bayangkan betapa marah ayah melihat keadaan kami, mendengar suara ayah agaknya dia takkan puas kalau belum membunuh Swan Bu untuk mencuci penghinaan. Padahal... padahal Swan Bu sama sekali tak bersalah dalam hal itu."

"Dan kau hendak ke manakah sekarang, Nona?"

"Ke mana lagi? Ke Liong-thouw-san hendak menemui ayah Swan Bu dan menceritakan semua hal itu kepada ayah bundanya. Harap kau suka membantuku... berat juga mulut ini bercerita kepada paman Kwa Kun Hong dan istrinya."

"Jangan khawatir, aku pasti akan membantumu, Nona, demi kebersihan nama sute pula. Akan tetapi, kau dan sute yang begitu lihai bagaimana sampai dapat tertawan? Siapakah yang menjadi jago Ang-hwa-pai ketika itu? Setahuku, yang paling lihai hanyalah Ang-hwa Nio-nio dan pemuda yang bernama Ouwyang Lam. Akan tetapi aku sangsi apakah dua orang ini dapat mengalahkan kau dan sute."

"Kalau hanya mereka berdua, agaknya kami tidak akan dapat tertawan musuh." Lee Si menarik nafas panjang penuh sesal. "Selain mereka, masih ada dua orang kakek yang pada saat aku ditawan, kudengar namanya sebagai pendeta Maharsi dari barat dan yang seorang lagi Bo Wi Sianjin, masih ada lagi seorang iblis wanita bernama Siu Bi!"

Yo Wan menahan perihnya hati yang serasa tertusuk ketika dia mendengar disebutnya nama ini, nama seorang gadis yang mendatangkan rasa sayang dan simpati di hatinya akan tetapi berbareng juga mendatangkan rasa benci karena gadis itu adalah puteri The Sun pembunuh ibunya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa gadis itu kembali menggabungkan diri dengan pihak Ang-hwa-pai yang dia tahu adalah golongan penjahat. Akan tetapi Yo Wan segera merenggut ingatannya keluar dari lamunan tentang diri Siu Bi ini.

"Wah, urusanmu ini memang luar biasa hebat, adik Lee Si." Akhirnya dia berkata sambil menarik nafas panjang. "Mereka itu memang jahat sekali dan tipu muslihat mereka itu agaknya akan dapat menimbulkan bencana perpecahan yang sangat besar. Marilah kita jangan membuang waktu lagi, segera berangkat ke Liong-thouw-san menemui suhu. Aku bisa mengerti betapa beratnya bagimu menceritakan peristiwa itu, maka biarlah aku yang akan mewakilimu bercerita kepada suhu dan subo."

"Terima kasih, kau baik sekali...," jawab Lee Si sambil menghapus air mata terakhir dari pelupuk matanya. Hatinya menjadi besar dengan adanya penolong ini, maka harapannya timbul kembali sehingga kemuraman pada wajahnya mulai menghilang.

Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan dan akhirnya mereka sampai di puncak Liong-thouw-san, mereka menjadi sangat terkejut dan kecewa sekali melihat bahwa puncak gunung itu sunyi sepi, tidak ada kelihatan seorang pun manusia di sana. Tidak terdapat tanda sesuatu, juga tidak ada seorang pun manusia di sana yang dapat menceritakan apakah yang telah terjadi di puncak itu. Tapi menilik keadaan pondok yang masih bersih, seolah-olah masih ‘hangat’, jelas bahwa tempat yang sunyi ini belum lama ditinggalkan oleh penghuninya.

Yo Wan berdiri di depan pondok, termenung dan termangu-mangu. Melihat tempat ini, tak terasa pula dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, karena dia teringat akan keadaannya pada waktu masih kecil dahulu. Terbayanglah semua di depan matanya, keadaan dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih kecil dan tinggal seorang diri di tempat ini. Dia berjalan hilir-mudik seperti orang kehilangan pikiran, meraba-raba dengan mesra batu-batu yang berada di depan pondok, membelai dedaunan di pinggir pondok, bibirnya menyeringai setengah senyum setengah menangis.

la baru sadar setelah mendengar tangis Lee Si dan cepat dia menengok. Melihat gadis itu sudah duduk dan menangis di atas bangku bambu di depan pondok, dia cepat-cepat menghampiri lalu berkata dengan suara menghibur,

"Tenanglah, adik Lee Si. Tidak ada perkara di dunia ini yang tak dapat di atasi asal kita tenang dan sabar. Memang agaknya tidak kebetulan kedatangan kita, agaknya suhu dan subo sedang turun gunung, entah ke mana. Akan tetapi, sebagai wakil suhu, juga demi menjaga nama baik sute Swan Bu, aku siap untuk membasmi penjahat-penjahat busuk itu. Marilah, adik Lee Si, kita turun kembali dan kau antarkan aku ke tempat terjadinya peristiwa itu. Aku akan mencoba untuk menangkap Ang-hwa Nio-nio dan kita menyeret dia ke hadapan ayahmu agar dia mengakui akan tipu muslihat dan fitnah yang diaturnya. Bagaimana?"

Lee Si hanya mengangguk-angguk, kemudian sesudah menekan perasaan kecewanya dapat juga dia berkata, "Kau baik sekali, Yo-twako. Terserah kepadamu saja, aku… aku bingung tak dapat memikir sesuatu...”

Mereka bermalam satu malam di puncak Liong-thouw-san. Pada keesokan harinya baru mereka turun dari puncak itu, menuju ke kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling….
cerita silat karya kho ping hoo

Sebetulnya apakah yang telah terjadi di puncak Liong-thouw-san? Sayang tak ada yang dapat bercerita kepada kedua orang muda itu. Akan tetapi andai kata ada yang dapat bercerita, agaknya malah akan membuat mereka menjadi makin gelisah saja karena baru tiga hari yang lalu, di puncak itu terjadi hal hebat seperti yang dikhawatirkan oleh Lee Si.

Pada suatu senja, tiga hari yang lalu, selagi Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta bersama isterinya, Kwee Hui Kauw, duduk di dalam pondok bercakap-cakap sesudah Hui Kauw menyalakan api penerangan dan Kun Hong tengah makan masakan sayur yang disajikan isterinya sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras dari luar pondok.

"Kwa Kun Hong, keluarlah dan pertanggung jawabkan kebiadaban anakmu!!"

Sepasang sumpit yang menyumpit sayur dan sudah berada di depan mulut itu terhenti. Kun Hong miringkan kepalanya, keningnya berkerut dan perlahan-lahan dia menurunkan kembali sumpit serta mangkoknya. Telinganya mendengar gerakan isterinya menyambar pedang di dinding, dan pada saat isterinya hendak melayang keluar pintu, dia berkata lirih,

"Tahan dulu, jangan terburu nafsu. Serasa mengenal suaranya..."

"Tak peduli dia siapa, dia telah menghina kita dan anak kita!"

"Manusia bisa keliru, mungkin salah paham..."

"Kwa Kun Hong, lekas kau keluar sebelum kuhancurkan pondokmu!" kembali terdengar bentakan dari luar.

Dengan tongkat di tangan, Pendekar Buta bergerak keluar dari pintu pondoknya, diikuti oleh Hui Kauw yang masih memegang sebatang pedang dengan muka kereng. Alangkah kaget dan herannya nyonya ini pada saat melihat bahwa yang berdiri di depan pondok, dengan tegak dan dua kaki dipentang, sikap mengancam, wajah bengis, adalah seorang laki-laki tinggi besar dan gagah yang bukan lain adalah Tan Kong Bu.

Keadaan jago tua Min-san ini menyeramkan sekali. Sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar penuh kemarahan, rambutnya agak awut-awutan, mukanya merah padam, tangan kiri dikepal-kepal dan tangan kanan meraba gagang pedang. Suaranya nyaring menggeledek ketika dia melihat Kun Hong dan isterinya keluar dari pondok.

"Kwa Kun Hong, kalau kau tidak lekas mempertanggung jawabkan kebiadaban anakmu, sekarang juga seorang di antara kita harus mampus di sini!"

Wajah Pendekar Buta penuh kerut-merut, akan tetapi dia tetap tenang dan sabar. Tapi sebaliknya, biar pun Hui Kauw adalah seorang wanita yang berperangai halus dan amat sabar, namun sekarang, sebagai seorang ibu yang mendengar anak tunggalnya dimaki biadab, darahnya seketika menjadi naik. la menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Kong Bu dengan tangan kanan melintangkan pedang di depan dada.

"Tan Kong Bu! Isterimu terhitung sebagai murid keponakan suamiku, jadi kau ini boleh juga dikatakan keponakan kami. Akan tetapi sikapmu ini sungguh-sungguh tidak patut. Ada urusan boleh diurus, ada soal boleh dibicarakan, segala sesuatu boleh dirundingkan baik-baik, tidak seperti kau ini yang bersikap kasar dan menghina!"

"Siapa menghina? Ha-ha-ha-ha, bicara tentang penghinaan, anakmu yang biadab itulah yang telah menghina kami! Penghinaan melewati batas takaran, penghinaan yang hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa, nyawa Kun Hong atau nyawaku! Jika kau hendak maju sekalian, boleh, aku tidak takut demi untuk membela nama baik anakku, soal mati bukanlah apa-apa!"

Setelah berkata demikian, agaknya kepanasan hatinya menjadi semakin berkobar oleh kata-katanya. Kong Bu menggerakkan tangan dan…

"Srattt!" la telah mencabut sebatang pedang.

Tentu saja Hui Kauw menjadi makin marah, dia merasa ditantang. "Hemmm, manusia sombong. Kau kira aku takut kepadamu? Kau sangka hanya engkau seorang di dunia ini yang gagah dan tidak takut mati, yang ingin membela anak? Tiada hujan tiada angin kau memaki-maki anak kami, memaki-maki kami, kalau kau menantang bertempur, majulah. Aku lawanmu." Hui Kauw melompat ke depan siap dengan pedangnya.

Pada dasarnya Tan Kong Bu memang seorang yang berwatak keras serta berangasan, maka mendengar omongan ini apa lagi melihat sikap Hui Kauw, kemarahannya terhadap Swan Bu memuncak. Wanita ini adalah ibu Swan Bu patut bertanggung jawab pula. Dia memekik keras, mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya bergerak maju.

"Bagus, kau atau aku yang mampus!"

Pedangnya menyambar ganas, dipenuhi dengan tenaga Yang-kang sehingga sambaran pedang itu mengandung hawa panas yang amat berbahaya. Namun Hui Kauw adalah isteri Pendekar Buta. Sebelum menjadi isteri Pendekar Buta ia telah memiliki kepandaian tinggi, tapi mungkin pada waktu itu tidak akan dapat menahan serangan Tan Kong Bu putera Si Raja Pedang.

Akan tetapi sekarang, dia bukan Hui Kauw dua puluh tahun yang lalu. Ilmu kesaktiannya mengalami kemajuan pesat di bawah bimbingan suaminya. Melihat datangnya serangan hebat ini, dia mengelak sambil membabat dari samping, menghantam pedang lawan.

"Tranggg!"

Bunga api berpijar merupakan kilat-kilat kecil menerangi cuaca yang saat itu sudah mulai remang-remang. Keduanya terpental muncur.

"Bagus, terimalah ini!"

Tan Kong Bu menerjang lagi, lebih ganas dan lebih kuat. Kembali Hui Kauw menangkis dari samping dan kini saking hebatnya tenaga dalam mereka, kedua pedang itu saling tempel tanpa mengeluarkan bunyi! Pada saat itu, berkelebat bayangan merah, disusul suara keras dan dua batang pedang yang saling tempel itu terpental ke belakang, malah Hui Kauw dan Kong Bu terhuyung-huyung tiga langkah. Kiranya Kun Hong sudah turun tangan, ia menggunakan tongkatnya untuk memisahkan dua pedang itu.

"Ahhh, apa perlunya semua ini? Hui Kauw, kau mundurlah. Kong Bu, marilah kita bicara baik-baik. Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Kau agaknya marah-marah kepada anak kami. Kesalahan apakah yang diperbuat oleh Swan Bu? Kau ceritakan kepada kami agar kami bisa mengetahui dan mempertimbangkan. Di antara kita, masa harus menggunakan kekerasan?"

Akan tetapi Kong Bu yang sudah mendidih darahnya itu tak dapat dibikin sabar. Dengan suara tetap lantang dan penuh kemarahan dia berkata, "Kun Hong, mana bisa kita bicara baik-baik lagi setelah penghinaan yang dilakukan oleh anakmu? Akan tetapi agar kalian tidak penasaran, dengarlah apa yang sudah dilakukan oleh anakmu yang biadab itu, agar terbuka mata kalian betapa kalian tidak becus dalam mendidik anak. Anakmu Kwa Swan Bu itu telah menawan Lee Si anakku dan melakukan perbuatan terkutuk, dia... dia berani mencemarkan... dia berani menodai Lee Si, terkutuk dia! Karena dia lari, sekarang aku datang ke sini untuk minta pertanggungan jawabmu. Kun Hong, penghinaan ini terlalu besar, kau sebagai ayahnya harus menebus dengan nyawamu atau aku sebagai ayah Lee Si mencuci noda dengan darahku!"

"Bohong...!" tiba-tiba Hui Kauw menjerit marah. "Di mana terjadinya? Siapa yang menjadi saksi? Apa buktinya?

"Huh, siapa yang bohong? Aku sendiri yang menjadi saksi! Lee Si ditawannya, tertotok tak berdaya dan ditawan ke dalam kuil tua di kota Kong-goan..."

"Bohong! Aku tidak percaya, tidak mungkin anakku melakukan perbuatan itu. Kau yang bohong!" kembali Hui Kauw berteriak.

“Mulut bisa bohong, akan tetapi mata tidak! Dan mataku melihat sendiri kejadian itu, dan mataku tidak buta seperti mata Kun Hong! Hanya mata buta yang tidak mau melihat kebiadaban putera sendiri dan melindunginya!"

"Keparat, tak sudi aku menerima penghinaanmu ini!"

Hui Kauw yang sekarang menerjang maju dengan pedangnya. Kong Bu mendengus dan menangkis, kemudian kedua orang ini kembali sudah bertanding dengan seru. Ada pun Kwa Kun Hong berdiri termangu-mangu setelah mendengar penjelasan Kong Bu. Mana mungkin ada kejadian semacam itu? Swan Bu melakukan perbuatan terkutuk terhadap Lee Si? Apakah mungkin puteranya itu sedemikian hebatnya dikuasai nafsu sehingga membuatnya seperti gila? Agaknya tidak mungkin.

la tahu bahwa puteranya itu memiliki dasar watak yang amat keras dan tidak mau kalah, akan tetapi cukup dia dasari gemblengan batin yang membentuk watak satria, pantang akan perbuatan-perbuatan maksiat, apa lagi perbuatan terkutuk seperti itu. Tentu fitnah!

la cukup mengenal pula watak Kong Bu yang keras serta jujur, tegak seperti baja yang sukar ditekuk, sehingga tidak mungkin pula seorang seperti Kong Bu ini membohong dan mengada-ada. Pemecahan satu-satunya menghadapi dua ketidak mungkinan hanyalah hasut atau fitnah. Agaknya ada fitnah terselip dalam urusan ini. Suara beradunya pedang dan lengking tinggi dari mulut Kong Bu menyadarkannya. Kun Hong merasa khawatir sekali. Dari gerakan yang terdengar oleh telinganya, tahulah dia bahwa pertandingan itu akan dapat menjadi hebat sekali dan mati-matian karena tingkat mereka berimbang dan pertandingan dilakukan dengan penuh hawa amarah oleh kedua pihak. Kalau dia tidak segera turun tangan, tentu seorang di antara mereka akan tewas atau setidaknya akan terluka parah.

"Kalian berhentilah!" Kembali dia menengahi dan karena maklum betapa keduanya tak boleh dipandang ringan, begitu ‘masuk’ Kun Hong menggunakan gerakan yang ampuh.

Tongkatnya berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang membikin mati gerakan Kong Bu, sedangkan tangan kirinya berhasil mendorong pundak isterinya sehingga nyonya itu terhuyung ke belakang.

Biar pun hatinya penasaran, namun Hui Kauw yang sudah hafal akan watak suaminya, tahu apa yang dikehendaki suaminya ini. Maka dia hanya berdiri mengepal tinju kiri dan melintangkan pedang di depan dada, tidak mau maju lagi.

Akan tetapi Kong Bu tidak mau mundur sama sekali. Bahkan di dalam kemarahannya, pertimbangannya menjadi miring dan dia mengira bahwa Pendekar Buta ini takut kalau isterinya kalah maka sekarang maju sendiri.

Memang sebetulnyalah, orang yang tengah ditunggangi dan dipermainkan nafsu amarah, pandang matanya menjadi gelap, pertimbangannya rusak dan yang disangkanya hanya yang buruk-buruk saja. Oleh karena itu, sangat tidak baiklah kalau orang dikuasai oleh hawa nafsu amarah, lebih baik lekas-lekas singkirkan musuh besar pribadi ini dari dalam hati.

"Kun Hong, kau atau aku yang menggeletak tak bernyawa di sini!" Seruan ini disusul serangan dahsyat sekali.

Dalam kemarahan dan kemaklumannya bahwa yang dihadapi kini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, Kong Bu telah menerjang sambil mengerahkan seluruh tenaga serta memainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut yang dahulu dia warisi dari mendiang kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun. Hebat bukan main terjangan Kong Bu ini karena dipenuhi tenaga Yang-kang yang sangat kuat memancar keluar dari gerakannya. Maka, sebatang pedangnya seakan-akan menjadi sebatang besi merah, panas menyala-nyala!

"Ahhh, saudaraku Kong Bu yang baik..." Hanya sampai di sini ucapan Kun Hong karena Pendekar Buta ini harus cepat-cepat mengelak sambil memainkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah dia mampu menyelamatkan diri dari pedang Kong Bu yang berubah menjadi tangan-tangan maut itu.

Kong Bu penasaran bukan main. Setiap kali pedangnya menyambar, seakan-akan tubuh Kun Hong mendahului gerakannya, berubah kedudukannya, tidak lagi berada di tempat semula. Ataukah pedangnya yang selalu menyeleweng apa bila mendekati tubuh Kun Hong? Tak mungkin dapat melakukan hal itu. Rasa penasaran merupakan bensin yang menyiram api yang membakar dadanya, maka sambil mengeluarkan suara melengking keras jago Min-san ini mendesak makin hebat.

Namun, dengan ketenangannya yang luar biasa, Kun Hong dapat mengatasi keadaan. Langkah-langkah ajaib yang dia lakukan sangat tepat dan teratur sehingga sinar pedang Kong Bu tak pernah dapat menyentuhnya.

"Dengarlah, Kong Bu sadarlah..., anak-anak kita tentu kena fitnah... percayalah, Swan Bu tidak mungkin melakukan kebiadaban itu, mari kita selidiki baik-baik..."

Akan tetapi tiba-tiba Kong Bu berseru keras. Selagi Kun Hong bicara tadi, Kong Bu telah menerjangnya dengan nekat, pedang di tangan ketua Min-san-pai itu melakukan tusukan maut dengan ujungnya digetarkan menjadi tujuh sinar!

Meski pun Kun Hong menguasai Kim-thiauw-kun dan dapat menggerakkan tubuh secara ajaib untuk mengelak setiap serangan, namun dia maklum bahwa jurus sakti seperti ini yang menimbulkan getaran hawa pedang sedemikian dahsyatnya, tak mungkin dielakkan lagi. la tidak suka bermusuhan dengan Kong Bu dan dapat menduga bahwa orang keras hati ini telah makan fitnah.

Dia suka mengalah, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menerima tusukan pedang yang tak boleh dipandang ringan. Oleh karena itu, pada waktu berseru kaget tadi, tongkatnya berkelebat menjadi sinar merah dan sekaligus tongkat itu telah diputar berbentuk payung, menangkis pedang lawan sedangkan tangan kirinya dengan pengerahan separuh tenaga didorongkan ke depan.

Jika saja Kong Bu tidak sedang dikuasai kemarahan yang membuat dia buta dan lengah, kiranya tidak akan mudah bagi Kun Hong untuk mengalahkannya dalam waktu singkat, sungguh pun harus diakui bahwa tingkat kepandaian Kong Bu tidak setinggi Kun Hong. Akan tetapi pada saat itu, Kong Bu sedang marah sekali, begitu marahnya sehingga dia seperti orang nekat, hasrat hatinya hanya ingin menyerang dan merobohkan lawan tanpa mempedulikan penjagaan tubuhnya sendiri.

Karena inilah maka pedangnya terkena ‘libatan’ tongkat Kun Hong yang lihai, terlibat dan terputar hingga pedangnya ikut pula terputar. Sebagai seorang gagah, Kong Bu merasa pantang melepaskan pedang, malah dia memegang makin erat sehingga tubuhnya yang terpelanting oleh hawa putaran yang amat kuat itu.

Pada saat itulah dorongan tangan kiri Kun Hong yang kelihatan lambat itu tiba. Seketika tubuh Kong Bu terjengkang ke belakang dan tubuh itu bergulingan sampai belasan meter jauhnya!

"Ahhh... maaf, saudara Kong Bu....,” Kun Hong memburu, tetapi tangan kirinya segera dipegang oleh Hui Kauw yang menahannya.

Kong Bu melompat bangun dengan nafas terengah-engah, dadanya serasa sesak dan kepalanya pening. la tidak terluka, namun nanar dan maklumlah dia bahwa melanjutkan dengan nekat hanya akan menghadapi kekalahan yang memalukan.

"Kun Hong, kau lebih pandai dari pada aku. Akan tetapi kalau aku tidak dapat membunuh anakmu yang biadab, aku tak akan mau berhenti berusaha. Tidak ada tempat bagi aku dan dia di kolong langit!"

"Kong Bu, tunggu...!" teriak Kun Hong, akan tetapi jago Min-san-pai itu sudah melompat pergi dan lari cepat meninggalkan puncak itu.

"Biarkanlah dia pergi. Orang berhati kaku dan mau menang sendiri itu," kata Hui Kauw sambil memegang lengan suaminya.

Kun Hong menarik nafas panjang. "Hui Kauw, kau lekas berbenah, bawa bekal yang kita perlukan di perjalanan. Kita berangkat sekarang juga mencari Swan Bu dan menyelidiki ke Kong-goan. Ingin sekali aku tahu apa sih yang terjadi di kuil tua di kota Kong-goan itu?"

Begitulah, pada malam itu juga suami isteri pendekar sakti ini berangkat meninggalkan puncak Liong-thouw-san. Dan ini pulalah sebabnya mengapa ketika Yo Wan dan Lee Si tiba di puncak Liong-thouw-san tempat ini sunyi tidak tampak seorang pun manusia…..

**********

Swan Bu terhuyung-huyung, baru beberapa puluh langkah pandang matanya gelap. Dia berusaha menahan diri, tetapi kepalanya terlalu pening dan akhirnya dia jatuh terguling. Dia merasa tubuhnya panas sekali, kepalanya berputaran, maka dia meramkan kedua matanya.

"Siu Bi... ah, Siu Bi... hemmm, apakah aku sudah gila? Kenapa Siu Bi saja yang teringat dan terbayang?" Swan Bu bangkit dan duduk, beberapa kali dia menampar kepalanya sendiri dan bibirnya berbisik-bisik, "Siu Bi... gadis iblis itu, aku harus benci kepadanya... harus!" Akan tetapi rasa panas membakar kepalanya dan dia roboh lagi, kini pingsan.

Tak jauh dari tempat itu, Siu Bi berdiri terisak-isak. Dari jauh ia melihat Swan Bu jatuh bangun, melihat pemuda itu terhuyung-huyung kemudian roboh, juga melihat pemuda itu menggerak-gerakkan bibir akan tetapi dia tidak dapat mendengar kata-katanya, melihat pemuda itu memukul kepalanya sendiri lalu terguling, tak bergerak-gerak.

"Swan Bu...!" Siu Bi menjerit kecil, hatinya serasa ditusuk-tusuk.

Dan ia lalu lari menghampiri, menubruk dan berlutut di dekat tubuh yang tak bergerak. Air matanya bercucuran membasahi muka Swan Bu yang kini menjadi merah sekali dan panas. Ketika tangan Siu Bi menyentuh leher pemuda itu, gadis ini terkejut dan menarik tangannya.

"Panas sekali! Ahh, kau terserang demam..."

Sebagai puteri angkat The Sun dan cucu murid Hek Lojin, serta biasa hidup di puncak gunung yang sunyi sehingga sudah biasa menghadapi penyakit, Siu Bi maklum bahwa demam panas ini adalah akibat dari luka di lengannya. Tanpa ragu-ragu lagi Siu Bi lalu memondong tubuh Swan Bu yang pingsan itu, lalu dibawa lari dengan maksud mencari tempat peristirahatan yang baik agar dia dapat merawatnya.

Entah bagaimana, setelah ia berhasil membuntungi lengan kiri putera Pendekar Buta ini, semua rasa benci lenyap dan timbullah rasa cinta kasih yang memang telah bersemi di dalam hatinya. Siu Bi malah merasa sangat bersalah dan untuk menebus kesalahannya terhadap Swan Bu, ia hendak merawatnya, kalau mungkin, untuk selamanya! Malah ia bersedia menghabiskan permusuhannya dengan orang tua pemuda ini, asal Swan Bu mau memaafkannya dan mau ia ‘rawat’ selamanya.

Tiba-tiba saja telinganya mendengar suara gerakan dan alangkah kagetnya ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik jelita yang ia kenal sebagai Cui Sian! Hanya satu kali Siu Bi bertemu dengan puteri Raja Pedang ini, yaitu di Ching-coa-to, tetapi pertemuan yang sekali itu cukup baginya untuk mengetahui bahwa puteri Raja Pedang itu amat tinggi kepandaiannya.

Di lain pihak, Cui Sian juga tercengang melihat Siu Bi. Tadinya dari belakang ia melihat seorang wanita mempergunakan ilmu lari cepat yang tinggi berlari mendukung seorang pria. Dia menjadi curiga dan mengejar, menyusul lalu menghadang untuk melihat siapa mereka dan apa yang terjadi.

Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal Siu Bi, gadis liar yang bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya, gadis liar yang menimbulkan cemburunya karena sikapnya terhadap Yo Wan. Akan tetapi gadis ini pula yang telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dikeroyok di Ching-coa-to!

"Kau...?!" Saking heran dan kagetnya Cui Sian menegur.

"Hemmm, puteri Raja Pedang. Mau apa kau menghadangku?" balas Siu Bi ketus.

Pandang mata Cui Sian menyelidiki lelaki yang sedang dipondong Siu Bi, terkejut melihat lengan kiri yang buntung sebatas siku, ujungnya dibungkus dan masih terdapat tanda darah dari luka yang baru.

"Ehh, siapa dia?" tanyanya, penuh kecurigaan.

"Dia siapa peduli apakah engkau? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu..."

"Aahhh...!" Cui Sian melangkah maju selangkah, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar. "Dia... dia... Swan Bu...! Bukankah dia Swan Bu...?"

Sudah kerap kali ia bertemu dengan Swan Bu, akan tetapi yang terakhir kali adalah pada waktu Swan Bu berusia empat lima belas tahun. Kalau sekarang tidak melihat pemuda itu buntung lengan kirinya dan dipondong Siu Bi, agaknya ia akan pangling juga. Karena lengannya buntung, sedangkan Siu Bi pernah menyatakan hendak membuntungi lengan Pendekar Buta sekeluarga, dan pemuda yang buntung lengannya ini wajahnya seperti Swan Bu, maka mudah baginya untuk menduga dan hal ini membuat ia kaget dan ngeri.

Kebetulan sekali pada saat itu Swan Bu tersadar, mengerang dan mengeluh, membuka matanya dan tepat dia memandang Cui Sian. Agaknya dia dapat mengenal pula, karena bibirnya berbisik perlahan, "...Bibi Guru..."

Kini hati Cui Sian tidak ragu lagi. Memang dahulu Swan Bu disuruh menyebut ‘sukouw’ (bibi guru) kepadanya karena Pendekar Buta tetap menganggap ayahnya sebagai guru. Dengan suara lantang ia membentak,

"Dia benar Swan Bu! Siapa membuntungi lengannya?" la tidak dapat bertanya kepada Swan Bu karena pemuda itu sudah pingsan lagi.

Siu Bi mendongkol sekali. Ia seorang gadis yang berwatak aneh luar biasa. Hatinya yang keras bagai baja mentah itu agaknya hanya dapat dicairkan oleh kehalusan. Menghadapi kekerasan, dia akan menjadi semakin keras. Suara Swan Bu menyebut ‘bibi guru’ dan perhatian Cui Sian terhadap pemuda itu, mendatangkan kedongkolan hatinya.

"Kau mau membelanya? Nah, terimalah keponakanmu ini!" teriaknya sambil melempar tubuh Swan Bu ke arah Cui Sian.

Gadis Thai-san-pai ini cepat-cepat menerima tubuh itu dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan betapa tubuh itu panas sekali. Cepat ia menurunkan tubuh Swan Bu dengan hati-hati ke bawah pohon yang teduh, kemudian memeriksanya.

Keadaan Swan Bu tidak berbahaya, kecuali kalau darahnya keracunan oleh luka lengan buntung itu. Maka dia lalu menotok beberapa jalan darah sambil mengerahkan sinkang dengan tangan kiri yang ia tempelkan di punggungnya. Kemudian ia berdiri, meloncat ke depan Siu Bi yang masih berdiri tegak dengan muka marah.

"Siu Bi, siapa yang membuntungi lengannya?"

Siu Bi mengedikkan kepala, membusungkan dada. "Aku! Dia anak Pendekar Buta musuh besarku!" Meski mulutnya hanya berkata demikian, akan tetapi pandang matanya seolah menantang, "Kau mau apa?"

Cui San menenangkan hatinya yang menggelora, lalu bertanya, "Kau telah membuntungi lengannya, mengapa dia kau dukung? Hendak kau bawa kemanakah dia?"

Tiba-tiba wajah Siu Bi menjadi merah sekali, "dia... dia demam, aku harus merawatnya... ehhh, kau cerewet amat, mau apa sih?"

Kemarahan Cui Sian tidak sanggup ditahannya lagi. Sekali tangannya bergerak ia telah mencabut Liong-cu-kiam. Pedang itu berkeredepan saking tajamnya dan diam-diam Siu Bi bergidik. la cukup maklum akan kelihaian puteri Raja Pedang ini dan tahu pula bahwa ia tak akan mampu menang melawannya. Akan tetapi untuk menjadi takut, nanti dulu! Dengan hati penuh kemarahan ia juga siap bertempur mati-matian.

"Siu Bi, kau bocah iblis! Aku tahu bahwa pada dasarnya kau bukanlah orang jahat, akan tetapi karena kau hidup di lingkungan iblis-iblis kejam, hatimu menjadi kejam dan ganas. Manusia macam engkau ini perlu diberi hajaran!"

"Cerewet kau!" bentak Siu Bi dan pedangnya menyambar-nyambar, merupakan sinar hitam, disusul pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu pukulan Hek-in-kang.

Cui Sian cepat mengelak dari pukulan dan menangkis pedang lawan, kemudian dengan sama hebatnya ia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siu Bi. Sebentar saja kedua orang dara perkasa ini sudah bertanding dengan seru. Siu Bi bertempur dengan nekat, mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya hingga mau tidak mau membuat Cui Sian menjadi kewalahan. Bila mana puteri Raja Pedang ini menghendaki, dengan jurus-jurus mematikan dari ilmu pedangnya yang hebat, agaknya ia akan dapat merobohkan lawannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Akan tetapi Cui Sian adalah seorang gadis yang ingat budi. la pernah ditolong oleh Siu Bi ketika terjadi pengeroyokan di Ching-coa-to, maka tiada niat di hatinya untuk membunuh gadis liar itu. Dia hanya marah melihat Swan Bu dibuntungi lengannya dan berusaha untuk menangkap gadis ini kemudian menyerahkan keputusan hukumannya pada Swan Bu sendiri. Inilah yang membuat agak sulit ia menangkan Siu Bi, sama sulitnya dengan menangkap seekor harimau hidup-hidup, tentu lebih mudah membunuhnya.

Betapa pun juga, Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam masih tetap merupakan raja di antara sekalian ilmu pedang, sedangkan pedang di tangan Cui Sian juga merupakan pedang pusaka yang amat ampuh karena Liong-cu-kiam adalah pedang kuno yang hebat. Liong-cu-kiam ada sepasang, maka disebut Liong-cu-kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga) dan menjadi senjata suami isteri ketua Thai-san-pai. Yang panjang dipegang Raja Pedang, yang pendek dipegang isterinya.

Akan tetapi sekarang yang pendek berada di tangan puteri mereka, Cui Sian. Dengan pedang ampuh ini di tangan sambil mainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, lewat lima puluh jurus, Siu Bi menjadi pening dan kabur pandang matanya. Apa lagi, sebetulnya ia masih belum sembuh benar dari luka di dalam dadanya. Yang membuat ia amat penasaran adalah cara Cui Sian bertempur. Puteri Raja Pedang itu seolah-olah mempermainkannya, buktinya setiap kali pedang berkeredepan itu sudah hampir mengenai tubuhnya, ditarik atau diselewengkan sehingga tidak mengenai dirinya.

Dia sama sekali tidak menduga bahwa Cui Sian melakukan itu dengan sengaja karena tak ingin membunuhnya. Siu Bi malah mengira bahwa gadis Thai-san-pai itu memandang rendah dan mempermainkannya. Hal ini membuatnya mendongkol dan marah sekali. Dia sampai lupa akan luka di dalam dadanya dan mengerahkan Hek-in-kang sekuatnya untuk menyerang. Sambil berteriak nyaring, tangan kirinya memukul dan uap hitam pun menyambar.

Cui Sian sangat kaget. Hebat sekali pukulan ini. Akan tetapi ia tidak mau kalah. Cepat ia menggeser kaki ke kanan dan pukulan Hek-in-kang dengan tangan kiri Siu Bi itu lalu ia gempur dengan tangan kiri terbuka sambil mengerahkan sinkang-nya.

"Dukkk!"

Siu Bi mengeluarkan pekik dan tubuhnya terlempar ke belakang, roboh, pedangnya juga terlepas dari tangan kanan. la merintih-rintih. Ada pun Cui Sian berseru kaget karena ia merasa seakan-akan tangannya dimasuki hawa yang mengandung api sedang ia sendiri terhuyung-huyung ke belakang. la terlampau memandang rendah Hek-in-kang dan kalau saja sinkang di tubuhnya belum kuat benar, tentu ia pun akan terluka hebat. Cepat gadis kosen ini menahan nafas dan menyalurkan sinkang untuk memulihkan tenaga dan melindungi isi dadanya. Kemudian ia menghampiri Siu Bi dan menotok jalan darah yang membuat Siu Bi lemas.

"Wanita sial!" Siu Bi yang sudah tidak dapat menggerakkan kaki tangan itu memaki. Dua matanya memandang dengan melotot. "Kau bunuhlah aku, aku tak takut mampus. Hayo, kalau kau gagah, bunuh aku!"

"Cih, perempuan iblis. Sudah selayaknya kau dibunuh atas perbuatan kejimu terhadap Swan Bu. Akan tetapi, aku berhutang nyawa kepadamu, terpaksa sekarang kuampuni kau..."

"Keparat, siapa memberi hutang kepadamu? Siapa sudi menerima ampunanmu? Hayo, gunakan pedangmu itu membunuhku, jangan banyak cerewet"

"Kau yang cerewet!"

"Kau cerewet, kau bawel, kau nenek-nenek bawel!" Siu Bi memaki-maki.

Akan tetapi Cui Sian tidak mau pedulikan gadis galak itu lagi karena dia sudah sibuk menghampiri dan memeriksa keadaan Swan Bu. Lega hatinya bahwa pemuda itu tidak menderita luka-luka lain yang berbahaya kecuali lengannya yang buntung. Hatinya ngeri juga ketika ia membuka lengan buntung yang dibalut itu dan melihat lengan buntung sebatas siku. Darahnya sudah mulai kering, akan tetapi ujung yang buntung itu agak membengkak.

Ini berbahaya, pikirnya. Cepat ia mengeluarkan sebungkus obat dari saku baju sebelah dalam. Dia menggunakan obat itu pada luka dan membalut luka dengan sehelai sapu tangan bersih.

"... jangan bunuh dia... Sukouw..."

Hati Cui Sian tertegun. Apa maksud Swan Bu? Tidak boleh membunuh Siu Bi? Gadis itu sudah membuntungi lengannya dan pemuda ini masih minta supaya dia jangan dibunuh? Atau mungkinkah bukan Siu Bi yang dimaksudkan? Swan Bu sedang terserang demam panas dan biasanya dalam keadaan begini, orang suka mengigau.

"Swan Bu, siapa yang kau maksudkan? Jangan bunuh siapa?"

"Siu Bi... di mana kau..., ahh, Siu Bi, sudah puaskah hatimu sekarang? Alangkah cantik engkau... cantik, liar dan ganas..."

Cui Sian merasa jantungnya tertusuk.

Ah, tidak salah lagi, ada terselip sesuatu antara dua orang muda ini, pikirnya. Celaka, Siu Bi gadis liar dari Go-bi-san itu tak hanya menimbulkan bencana karena kekejiannya, akan tetapi juga karena kecantikannya. Teringat ia akan Yo Wan, dan hatinya menjadi panas. Dia tahu bahwa Swan Bu dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi saking panasnya hati, ia menjawab,

"Jangan pedulikan dia lagi, Swan Bu."

Akan tetapi Swan Bu tentu saja tidak mendengar karena ia kembali mengigau perlahan, tubuhnya panas sekali.

"Sian-moi...!"

Panggilan ini mengagetkan Cui Sian. Cepat ia melompat sambil membalikkan tubuhnya. Seketika wajahnya menjadi merah dan jantung di dadanya berdebar tidak karuan ketika matanya mendapat kenyataan bahwa ia tadi tidak keliru mengenal suara itu, suara Yo Wan!

Akan tetapi kegembiraan hatinya itu ternoda kekecewaan ketika dilihatnya kedatangan pemuda itu bersama seorang dara remaja yang cantik jelita.

"Yo-twako, kebetulan kau datang...," katanya halus.

Akan tetapi Yo Wan sudah melompat ke dekat Swan Bu, memandang dengan mata terbelalak. "Dia ini... bukankah dia sute Kwa Swan Bu?"

Cui Sian mengangguk dan Yo Wan sudah berlutut di dekat tubuh Swan Bu, memandang lengannya yang buntung. Ada pun Lee Si begitu melihat lengan Swan Bu yang kiri buntung, hampir saja ia terguling pingsan. Matanya serasa kabur, kepalanya nanar, bumi yang dipijaknya serasa berputaran. Cepat ia menahan pekik yang hendak meluncur dari mulutnya sehingga hanya terdengar seperti orang mengeluh dan ia pun berlutut di dekat Yo Wan.

"Oh... ahhh..." hanya inilah yang keluar dari mulutnya.

Sedangkan Yo Wan cepat memeriksa tubuh Swan Bu. Seperti juga Cui Sian tadi, dia merasa lega bahwa Swan Bu tidak menderita luka lain yang berbahaya.

"Sian-moi, siapa yang membuntungi?" Ia menahan kata-katanya dan jantungnya serasa berhenti berdetak ketika Yo Wan teringat akan Siu Bi. Siapa lagi kalau bukan Siu Bi?

"Itulah orangnya!" kata Cui Sian menuding ke arah Siu Bi yang rebah miring tak jauh dari situ.

Dua orang muda yang baru datang ini tadi tidak melihat Siu Bi dan sekarang mereka menoleh. Lee Si sudah meloncat sambil mengeluarkan seruan marah. Sedangkan Yo Wan hanya memandang dengan muka berubah agak pucat. Dengan kemarahan meluap-luap Lee Si menyambar tubuh Siu Bi, dijambak rambutnya dan ditariknya berdiri.

"Plak-plak!"

Dua kali tangan kirinya menampar, dan tanda jari-jari merah menghias kedua pipi Siu Bi yang tersenyum-senyum mengejek.

"Hi-hik-hik, perempuan tak tahu malu. Beraninya kalau aku sudah tidak berdaya. Hayo bebaskan totokan ini dan lawan aku secara orang gagah!"

Akan tetapi Lee Si tidak mempedulikan omongannya, malah dia menarik lepas rambut kepala Siu Bi dan menggantungkan Siu Bi pada cabang pohon, mengikatkan rambutnya yang panjang pada cabang pohon itu. Cabang itu rendah saja sehingga kedua kaki Siu Bi tergantung hanya belasan senti meter dari tanah.

"Siapakah gadis itu?" Cui Sian bertanya kepada Yo Wan yang masih saja memandang dengan mata terbelalak dan muka agak pucat.

"Dia Lee Si, puteri kakakmu Tan Kong Bu...," jawab Yo Wan, suaranya menggetar dan lemah.

Karena keadaan tegang, Cui Sian tidak memperhatikan hal ini dan ia pun memandang. Kiranya gadis remaja itu adalah keponakannya sendiri!

"Iblis betina jahat! Hayo kau ceritakan mengenai fitnah keji yang kalian rencanakan, tipu muslihat rendah yang kalian jalankan untuk merusak nama baik Swan Bu dan aku!"

"Tipu muslihat yang mana? Berlaku galak terhadapku setelah aku berada dalam keadaan tertotok, barulah dapat disebut tipu muslihat! Aku tidak biasa melakukan fitnah dan tipu muslihat!" Siu Bi menjawab seenaknya, sepasang matanya yang bening itu memandang penuh ejekan kepada Lee Si.

"Plak! Plak!" kembali tangan Lee Si menampar kedua pipi Siu Bi.

"Kalau kau tidak mau mengaku, akan kusiksa sampai mampus!" Lee Si melompat dan mematahkan sebatang ranting pohon. "Hayo kau mengakulah bahwa Ang-hwa-pai telah mengatur siasat untuk mengelabui mata ayahku agar ayahku mengira Swan Bu dan aku sudah melakukan perbuatan hina!"

"Hi-hi-hik, kaulah yang ingin melakukan perbuatan hina. Swan Bu mana mau? Hi-hi-hik, tak tahu malu!" kembali Siu Bi mengejek, diam-diam hatinya panas dan penuh cemburu.

la mencinta Swan Bu, mencinta dengan seluruh jiwa raganya, hal ini amat terasa olehnya setelah ia membuntungi lengan pemuda itu. Karena itu, teringat bahwa gadis ini pernah berdekatan dengan Swan Bu, hatinya penuh cemburu...


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 12