Rajawali Emas Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJAWALI EMAS JILID 10

Tiga Orang Tua dari Utara itu adalah sahabat-sahabat baik mendiang gurunya, Lian Bu Tojin. Tentu saja kunjungan ini sangat menyenangkan hatinya, apa lagi terjadi pada waktu Hoa-san-pai sedang menghadapi ancaman musuh. Dari tiga orang kakek yang memiliki kepandaian tinggi itu dapat diharapkan bantuannya.

"Persilakan mereka masuk," katanya, lalu dia bersama isterinya, juga Thian Beng Tosu yang masih ingat akan nama tiga orang kakek itu segera menyambut di pintu ruangan.

Tidak lama kemudian masuklah tiga orang kakek itu. Usia mereka sudah tua sekali, akan tapi sikap mereka masih gagah. Tiga orang tosu itu mengenakan pakaian longgar, dengan wajah kereng dan tindakan kaki ringan, tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Melihat mereka, Kwa Tin Siong, isterinya dan Thian Beng Tosu segera menjura dengan hormat. Tiga orang kakek itu mengelus jenggot dan seorang di antara mereka yang tertua dan yang berjenggot panjang sekali segera berkata,

"Sudah lama kami mendengar bahwa Hoa-san-pai sudah berganti ketua. Menyesal kami tidak dapat datang ketika terjadi mala petaka di Hoa-san. Mula-mula memang kami ingin datang dan membalaskan sakit hati sahabat kami Lian Bu Tojin, akan tetapi kemudian kami mendengar bahwa Sicu telah menggantikan kedudukan mendiang sahabat kami itu. Betapa pun juga, kami ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Hoa-san-pai sudah bangun kembali. Siapa kira di tengah perjalanan kami melihat adanya gerombolan orang jahat yang mengancam Hoa-san-pai. Apakah Sicu sudah mengetahuinya?"

Kwa Tin Siong mempersilakan para tamunya duduk, lalu ia menghaturkan terima kasih. "Sam-wi Locianpwe benar-benar sudah mencapaikan diri untuk memperhatikan keadaan Hoa-san-pai. Untuk budi kecintaan itu kami menghaturkan banyak terirna kasih. Memang benar seperti yang Locianpwe katakan tadi, ada segerombolan penjahat hendak datang mengganggu, akan tetapi kiranya hal ini tidak patut untuk membikin Sam-wi capai hati. Hanya urusan kecil saja."

Kui Tosu, yaitu tosu tertua dari tiga kakek itu, mengerutkan alisnya yang sudah putih. Ia memang berwatak berangasan. "Hemm, Sicu sebagai murid dari Lian Bu Tojin sudah tentu telah mewarisi ilmu yang hebat dari Hoa-san-pai. Akan tetapi harap diketahui bahwa kepandaian tiada batasnya dan kiraku hari ini belum tentu kepandaian Hoa-san-pai akan dapat diandalkan untuk mengalahkan musuh. Apakah Sicu sudah tahu siapa yang datang mengganggu?"

Diam-diam Kwa Tin Siong tidak senang mendengar ucapan ini. Dia adalah seorang gagah yang tidak pernah takut menghadapi lawan. Akan tetapi, oleh karena tiga orang kakek ini datang sebagai tamu dan merupakan sahabat-sahabat mendiang gurunya, dia menahan kesabaran dan bertanya, "Yang baru saya ketahui hanyalah bahwa orang yang memimpin gerombolan pengacau itu bernama Bhe Lam, seorang penjahat Sin-yang berjuluk Hek-houw (Harimau Hitam). Penjahat cilik macam itu perlu apa diributkan?"

Tosu termuda dari tiga orang kakek itu yang bernama Lai Tosu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Kalau hanya harimau hitam saja apa artinya? Besar atau kecil kalau hanya Hek-houw saja tak lebih dari pada seekor kucing hitam! Ketahuilah, Kwa-sicu, di belakang si Harimau Hitam itu masih ada dua makhluk yang lebih menakutkan lagi. Kau tahu siapa mereka? Yang seorang adalah Kim-thouw Thian-li Ketua Ngo-lian-kauw dan yang ke dua adalah Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa)!"

Kwa Tin Siong terkejut sekali mendengar nama-nama ini. Tentu saja ia sudah mengenal Kim-thouw Thian-li yang sudah berkali-kali membikin keruh keadaan Hoa-san-pai, bahkan wanita inilah yang mula-mula merusak Hoa-san-pai sehingga terjadi hal yang berlarut-larut dan permusuhan yang menjadi-jadi.

Kim-thouw Thian-li merupakan musuh besar Hoa-san-pai, berarti musuh besarnya pula. Kepandaian wanita itu memang hebat sekali, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa gentar untuk menghadapinya. Yang membikin Ketua Hoa-san-pai ini kaget sekali adalah disebutnya nama Toat-beng Yok-mo. Kakek iblis itu sudah belasan tahun menghilang dari dunia kangouw, mengapa sekarang bisa muncul bersama Kim-thouw Thian-li membantu Hek-houw Bhe Lam?

Melihat kekuatiran di wajah tuan rumah, Bu Tosu orang ke tiga dari Pak-khia Sam-lojin dengan sombong berkata, "Kwa-sicu tidak usah kuatir, Kim-thouw Sian-li dan Toat-beng Yok-mo boleh menakuti orang lain, akan tetapi lihat saja, ada pinto bertiga di sini yang siap untuk meghancurkannya!"

Kwa Tin Siong belum hilang rasa kagetnya dan ia berkata, "Terima kasih atas janji Sam-wi untuk membantu kami. Akan tetapi benar-benar saya tidak mengerti mengapa Toat-beng Yok-mo dapat berada dengan mereka?"

"Ha-ha-ha-ha, Kwa-sicu masih belum mendengar? Agaknya karena belasan tahun sibuk mengurus Hoa-san-pai, tidak tahu akan kejadian di dunia luar! Kakek tua bangka tukang obat itu tergila-gila kepada Kim-thouw Thian-li dan kabarnya ia telah memperisteri Ketua Ngo-lian-kauw itu. Ha-ha-ha, benar-benar tua bangka tak tahu malu!" kata Lai Tosu.

"Akan tetapi Sicu tak perlu merasa kuatir," sambung Kui Tosu tenang. "Biarkan mereka datang, kita akan atur jebakan untuk mereka. Para tosu supaya mengatur bai-hok (barisan terpendam) di sekeliling puncak, siap dengan senjata lengkap. Kami sudah melihat bahwa gerombolan mereka hanya terdiri dari tiga puluh orang lebih. Jumlah kita menang banyak. Kita biarkan mereka masuk dan Sicu boleh menghadapi Bhe Lam sedangkan kami bertiga akan menggempur Toat-beng Yok-mo. Tentang Kim-thouw Thian-li, kami rasa cukup bila dihadapi oleh isterimu dan murid-muridmu. Sementara itu, para tosu datang mengurung dan mengeroyok anak buah mereka yang tidak banyak jumlahnya itu. Dengan cara ini, kami rasa kita akan dapat membunuh mereka semua, jangan ada yang bisa lolos supaya kelak mereka tidak mendatangkan bencana pula!"

Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mengangguk-angguk, setuju dengan rencana siasat ini.

Akan tetapi tiba-tiba Kun Hong berseru marah, "Tidak boleh...! Tidak boleh, jahat sekali itu! Masa kita Hoa-San-pai harus membunuhi orang-orang itu? Tidak boleh, mana ada aturan manusia membunuh manusia lain? Ini perbuatan terkutuk oleh Thian!"

Semua orang kaget, apa lagi Pak-thian Sam-lojin. Mereka menengok memandang kepada pemuda itu dengan heran.

"Kwa-sicu, siapakah orang muda ini?" tanya Kui Tosu.

"Dia adalah Kun Hong, anak kami yang bodoh," Kwa Tin Siong menjawab dan ia sudah melototkan matanya untuk menegur anaknya.

Akan tetapi Kui Tosu sudah mendahuluinya, bertanya dengan kereng. "Orang muda, kalau kau menganggap rencana kami itu tidak boleh dijalankan, habis kalau menurut pikiranmu bagaimana baiknya menghadapi musuh-musuh yang akan menyerbu?"

"Ha-ha, bocah berlagak pintar!" kata Lui Tosu. "Apakah kau ingin agar mereka itu datang menyerbu dan membunuh kita semua?"

"Tidak demikian maksudku. Harap Sam-wi Totiang tidak salah sangka," jawab Kun Hong, suaranya tetap dan tegas. "Kalau ada seorang gila memaki-maki seorang waras, lalu si waras itu balas memaki-maki si gila, lalu bagaimana perbedaan antara mereka? Mana si waras dan mana pula si gila? Demikian juga kalau ada orang jahat berencana hendak membunuh kita, lalu kita berencana pula untuk membunuh mereka, bukankah watak kita tiada bedanya dengan orang jahat itu? Mereka hendak membunuh kita, kita pun hendak membunuh mereka. Siapa di antara kita yang jahat? Siapa benar siapa salah?"

Kwa Tin Siong sendiri melengak mendengar omongan puteranya ini. Memang ia sudah tahu bahwa watak puteranya sangat keras dan juga amat berani dalam mengemukakan pendapatnya, akan tetapi tidak disangkanya akan seberani ini.

Tiga orang kakek itu saling pandang dengan terheran-heran. Kui Tosu lalu membantah. "Tentu ada bedanya! Kita hendak membunuh mereka dengan dasar hendak membasmi orang-orang jahat!"

"Apa Totiang mengira bahwa mereka tidak mempunyai dasar dengan kehendak mereka membunuh kita? Setiap perbuatan tentu ada dasarnya, yaitu dasar untuk kemenangan diri sendiri, untuk kebaikan sendiri. Pendapat seorang takkan sama, dasar yang dipakai orang tidak sama pula. Semua orang memperebutkan kebenaran, kebenaran diri sendiri tentu!"

"Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" Kui Tosu mulai marah.

Oleh karena bocah ini adalah putera Ketua Hoa-san-pai, maka ia mau melayaninya. Kalau bukan putera Kwa Tin Siong, tentu tidak sudi bicara dengannya.

"Maaf, Totiang. Harap Totiang, juga Ayah dan Ibu beserta para susiok dan suheng suka menjawab dulu pertanyaanku. Kalau kukatakan bahwa yang berhak atas sesuatu benda adalah pembuatnya, apakah salah kata-kataku ini?"

"Tentu saja begitu," jawab Thian Beng Tosu karena yang lain-lain tidak menjawab.

"Nah, Suheng sudah menjawab dan membetulkan kata-kataku. Yang berhak atas sesuatu adalah pembuatnya. Lalu, siapakah yang membuat manusia ini hidup di dunia? Salahkah kalau kukatakan bahwa Tuhan yang memberi hidup?"

Kembali pemuda ini berhenti dan memandangi mereka dengan sepasang matanya yang bersinar tajam.

"Benar pula, Kun Hong," jawab Thian Beng Tosu.

"Nah, kalau kita semua mengakui bahwa yang memberi hidup adalah Tuhan, berarti hidup kita ini millk Tuhan. Oleh karena itu pula, hanya Tuhanlah yang berhak untuk mengakhiri hidup kita, jadi hanya Tuhan pula yang berhak membunuh manusia. Kalau kita sudah tahu akan hal ini, mudah saja bagi kita menjawab. Perbuatan membunuh itu baik atau jahat?"

Tidak ada yang menjawab, Kun Hong penasaran dan menghadapi ayahnya. "Ayah selalu mengajar agar supaya aku hanya mengatakan apa yang menjadi isi hatiku. Mengapa sekarang pertanyaanku tidak ada yang menjawab? Ayah, bukankah menurut sebab-sebab tadi, membunuh itu adalah perbuatan jahat?"

"Memang, membunuh adalah perbuatan yang tidak baik," akhirnya ayahnya pun berkata perlahan.

Mata Kun Hong berseri-seri dan bersinar-sinar. "Nah, apa bila perbuatan membunuh ini termasuk perbuatan jahat, mengapa kita malah merencanakan hendak membunuh orang? Mengapa kita hendak membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau orang lain yang hendak membunuh termasuk golongan penjahat, habis kita ini golongan apa kalau juga meniru perbuatan mereka? Membalas perbuatan baik dengan kebaikan pula adalah sikap seorang budiman. Membalas kejahatan dengan kebaikan hanya mungkin dapat dilakukan oleh alam, hanya mungkin dapat dilakukan oleh Tuhan. Hanya manusia yang sudah dapat menyatukan diri dengan alam saja yang akan mencapai kebajikan ini, yaitu membalas kejahatan dengan kebaikan. Tapi seorang manusia bijaksana, seorang budiman biar pun belum dapat membalas kejahatan dengan kebaikan, paling sedikit harus bisa membalas kejahatan dengan keadilan!"

Semua orang yang berada di situ maklum bahwa semua yang dikemukakan oleh pemuda itu adalah ajaran-ajaran dalam agama dan filsafat yang memang telah dipelajarinya sejak ia kecil.

"Semua orang sudah mempelajari kebenaran, akan tetapi tidak berani mempertahankan dan membela kebenaran yang dipelajarinya itu! Ayah dan ibu beserta semua susiok dan suheng, Hoa-san pai tak akan bernama kalau dibangun dengan darah dan pembunuhan. Hoa-san-pai merupakan perkumpulan untuk menuntun orang-orang mempelajari Agama Tao supaya manusia dapat membersihkan diri dari pada kejahatan, bagaimana mungkin mengajar orang membersihkan diri dari kejahatan dengan jalan terjun ke dalam kejahatan itu sendiri?"

Melihat pemuda ini makin lama semakin bersemangat, Kwa Tin Siong merasa tidak enak hati, maka dia lalu membentak, "Kun Hong, kau ini anak kecil hendak memberi pelajaran kepada orang-orang tua? Kalau soal begitu saja, kita semua sudah tahu, apa lagi Sam-wi Locianpwe ini. Yang kau kemukakan itu adalah pelajaran-pelajaran yang masih rendah dan semua juga sudah mengetahuinya."

“Tahu tidak sama dengan mengerti, malah mengerti pun tidak sama dengan sadar, Ayah! Tahu saja tanpa mengerti isinya percuma. Mengerti sekali pun tanpa kesadaran tak akan ada gunanya. Yang penting tahu, lalu mengerti akan isinya, dan sadar untuk menerapkan pengertian ini dengan batinnya, kemudian harus disusul dengan ketaatan bulat terhadap pengertian ini. Apa gunanya kalau kita hanya tahu dan mengerti bahwa membunuh itu jahat, akan tetapi kita malah nekat melakukannya? Pendeknya, anak tidak setuju kalau Hoa-san-pai mempunyai orang-orang yang suka menjadi pembunuh sesama manusia!"

"Hemm, hemmm, aneh sekali anakmu ini, Kwa-sicu!" kata Kui Tosu dengan muka merah. Tosu tua yang berangasan ini tak dapat menahan lagi kesabarannya.

"Ehhh, kongcu cilik, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana kita akan menghadapi gerombolan Harimau Hitam itu?"

"Alam mempunyai hukum yang diatur oleh Tuhan. Manusia pun mempunyai hukum yang diatur oleh pemerintahan negara. Kita sebagai manusia harus tunduk kepada hukum pula. Masyarakat telah diatur dengan adanya petugas-petugas yang berkewajiban mengatur hukum-hukum itu. Kalau ada hal yang tidak beres dan melanggar hukum, merekalah yang wajib mengurusnya. Sekarang gerombolan itu kalau sudah datang ke sini, kita ajak bicara secara aturan. Kalau mereka tidak mau terima uluran dan hendak melanggar hukum, biar kita laporkan kepada lurah dan para petugas di dusun, tak jauh di kaki gunung sana."

Meledak suara ketawa tiga orang tosu tua itu pada saat mendengar omongan ini. Kwa Tin Siong menjadi amat merah mukanya sebab sikap Kun Hong ini jelas membuka kenyataan bahwa puteranya itu tidak tahu menahu tentang dunia persilatan, di mana hukum yang dipakai adalah hukum persilatan yang jauh bedanya dengan hukum pemerintah.

"Kwa-sicu, kau benar-benar aneh sekali mendidik anakmu seperti ini! Ha-ha-ha, tak nyana mendiang Lian Bu Tojin mempunyai cucu murid seperti ini!" Kun Tosu tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking geli.

"Locianpwe, harap maafkan puteraku. Memang semenjak kecil dia tidak pernah diberikan pendidikan ilmu silat, melainkan hanya ilmu surat dan filsafat. Betapa pun juga, menurut pendapatku yang bodoh, jauh lebih baik tidak tahu akan ilmu silat sehingga jauh dari pada bermusuh-musuhan seperti dalam penghidupan kita orang-orang persilatan."

Pada saat itu terdengar suara nyaring di luar pintu, suara wanita yang berteriak-teriak, "Hayo, mana dia si orang she Kwa? Suruh dia lekas keluar menyerahkan pedang Hoa-san Po-kiam dan kepalanya!"

Semua orang kaget sekali. Bagaimana bisa ada seorang musuh datang begitu saja tanpa diketahui oleh para penjaga yang sudah diatur serapi-rapinya? Kwa Tin Siong menyangka bahwa yang datang tentulah Kim-thouw Thian-li, maka dia lalu melangkah keluar, diikuti semua orang termasuk Pak-thian Sam-lojin.

Setelah mereka tiba di luar, semua orang ini dibikin bengong saking herannya. Bukan Kim-thouw Thian-li yang berdiri di situ, melainkan seorang gadis tanggung berusia sekitar tujuh belas tahun, yang berdiri dengan tegak di tengah pelataran depan kuil. Gadis ini cantik sekali. Sepasang matanya tajam bergerak-gerak cepat memandang ke kiri kanan, mulut kecil yang berbibir merah itu manis tersenyum-senyum setengah mengejek. Pakaiannya sangat sederhana, hanya terbuat dari kain kasar dengan jahitan sederhana seperti biasanya pakaian gadis-gadis gunung, juga tidak kelihatan membawa senjata apa pun sehingga benar-benar seperti seorang dara gunung yang cantik manis sekali.

Karena ia tidak bersenjata, maka ia mirip seorang gadis yang kurang waras pikirannya. Kalau tidak demikian, bagaimana seorang gadis seperti dia berani bicara tidak karuan di Hoa-san-pai? Berbeda kiranya kalau dia membawa senjata, tentu dia merupakan seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat maka berani membuka suara besar.

Melihat banyak orang keluar dari kuil dan sikap mereka rata-rata gagah, gadis itu kembali berteriak, suaranya nyaring, meski pun merdu dan halus akan tetapi jelas bernada keras mengancam, "Mana Ketua Hoa-san-pai she Kwa?"

Dengan tenang dan sabar Kwa Tin Siong melangkah maju dan balas bertanya, "Nona siapa dan dari mana? Ada keperluan apakah kau mencari Ketua Hoa-san-pai she Kwa?"

Dengan pandang matanya yang tajam gadis itu memandang Kwa Tin Siong penuh selidik, lalu berkata, "Sudah kukatakan tadi, dia harus menyerahkan Hoa-san Po-kiam kepadaku, juga kepalanya. Pedang dan kepalanya harus kubawa pergi."

Jawaban ini demikian sewajarnya sehingga para pendengarnya menjadi bengong. Banyak tosu menganggap bahwa gadis ini tentu miring otaknya, apa bila tidak demikian, masakah mengajukan permintaan yang begitu gila?

Kwa Kun Hong menjadi marah. Dengan mata melotot ia melangkah maju dan berdiri dekat sekali di depan gadis itu. Lagaknya seperti seorang guru memarahi muridnya yang goblok. Telunjuknya menuding ke arah muka yang cantik. "Nona cilik, apakah kau tidak pernah diajar orang tuamu? Ucapan apa yang kau keluarkan itu? Sungguh tidak patut! Mana ada aturan orang seperti kau ini hendak membunuh orang dan minta kepalanya? Ah, dosa... dosa..., benar-benar kau berdosa besar sekali. Apa kau tidak takut ditangkap oleh yang berwajib dan dijebloskan ke dalam penjara? Kalau terjadi demikian, aduh… kasihan sekali kau yang masih begini muda!"

Gadis muda itu nampak bingung dan memandang kepada Kun Hong dengan hati tertarik. "Penjara? Apa itu? Yang berwajib itu siapa? Kenapa aku hendak ditangkap?"

Kun Hong mengira bahwa gadis itu tentu takut dengan gertakannya, karena itu hatinya menjadi girang. "Nah, belum apa-apa kau sudah takut! Maka jangan sembarangan bicara. Yang berwajib itu tentu saja petugas pemerintah yang menjadi penegak hukum. Penjara adalah tempat orang-orang jahat dihukum. Nona, kau masih muda, seorang gadis yang semestinya bersikap lemah lembut dan membantu pekerjaan ibu di rumah. Aku kasihan sekali kepadamu dan sungguh mati aku tidak ingin melihat kau sampai ditangkap dan dimasukkan penjara."

Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa hanya bisa menarik napas panjang menyaksikan sikap putera mereka yang tentu dianggap tolol oleh semua orang itu. Akan tetapi karena gadis itu pun kelihatannya bodoh, maka mereka itu mendiamkannya saja.

Tiba-tiba gadis muda itu kelihatan marah. "Siapa berani menangkap aku? Aku tidak takut! Kau ini... kau menakut-nakuti aku. Apakah kau she Kwa?"

Kun Hong tersenyum lebar. "Ehh, ehh, kiranya kau sudah mengenal aku? Di mana kita pernah bertemu? Bagiku, mimpi pun belum pernah bertemu dengan kau yang lucu ini."

"Siapa pernah bertemu dengan engkau? Apakah kau she Kwa?"

"Kalau belum pernah bertemu, bagaimana kau mengenalku dan mengerti bahwa aku she Kwa? Aneh sekali, aku memang betul she Kwa!"

Secepat kilat tangan gadis itu bergerak dan tahu-tahu leher baju Kun Hong telah berhasil ditangkapnya dan sekali tarik Kun Hong sudah berada di dalam kekuasaannya. Semua orang kaget, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah bersiap menolong puteranya. Akan tetapi gadis itu hanya mengancam.

"Apakah kau Ketua Hoa-san-pai?"

Kun Hong kaget bukan main, lalu berkata gemas, "Kau ini wanita apa laki-laki? Tenagamu amat besar dan kau tarik-tarik aku mau apa sih?"

"Kalau kau Ketua Hoa-san-pai akan kupenggal kepalamu!"

Kun Hong meleletkan lidahnya mengejek. "Kau kira aku takut dengan ancamanmu? Andai kata aku benar-benar Ketua Hoa-san-pai, tentu aku akan mengaku dan tidak takut kau sembelih seperti ayam. Sayangnya aku bukan Ketua Hoa-san-pai."

Gadis itu melepaskan leher bajunya dan mendorongnya perlahan, akan tetapi dorongan ini cukup membuat Kun Hong terlempar dan terguling. "Benar-benar kau jahat sekali, tak tahu dikasihani orang!" kata Kun Hong setelah bangkit berdiri.

Gadis itu mengomel, "Syukur kau bukan Ketua Hoa-san-pai, aku tidak senang kalau harus membunuh orang lemah seperti kau. Lagi pula tak mungkin kalau kau Ketua Hoa-san-pai. Menurut keterangan ibu, Ketua Hoa-san-pai sangat jahat. Kau... tidak mungkin jahat, kau laki-laki lemah tak berguna."

Kun Hong hendak membantah lagi, akan tetapi Kwa Tin Siong menariknya ke belakang lalu menghadapi gadis itu. Suaranya kereng ketika dia bertanya, "Nona, sebenarnya kau ini siapa dan apa kehendakmu mengacau di Hoa-san-pai?"

"Apakah kau she Kwa? Dan siapa Ketua Hoa-san-pai?"

"Betul, akulah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai."

Gadis itu memandang tajam, tampaknya ragu-ragu. "Kau pun tidak pantas menjadi orang amat jahat. Jangan kau membohong. Kalau benar kau orang she Kwa Ketua Hoa-san-pai, mana pedang pusaka Hoa-san Po-kiam?"

Kwa Tin Siong tersenyum. Sikap gadis cilik itu amat menarik hatinya, biar pun aneh dan agak sombong, namun lucu dan banyak memiliki sifat-sifat yang dapat menimbulkan rasa sayang. Ia mencabut Hoa-san Po-kiam sambil berkata,

"Inilah Hoa-san Po-kiam. Nah, apakah sekarang kau sudah percaya bahwa aku adalah Ketua Hoa-san-pai? Sekarang katakanlah, kau ini bernama siapa dan sesungguhnya apa yang menyebabkan kau bersikap begini aneh?"

Gadis itu tak menjawab, hanya matanya memandang tajam ke arah wajah Kwa Tin Siong. Sejenak kemudian, mendadak gadis itu menggerakkan kedua tangannya dan menyerang Ketua Hoa-san-pai itu dengan pukulan-pukulan yang cepat dan bertubi-tubi.

Kwa Tin Siong kaget bukan kepalang. Bukan kaget akibat diserang, baginya sudah terlalu biasa menghadapi serangan-serangan mendadak. Akan tetapi dia kaget dan heran sekali melihat cara menyerang dari gadis itu.

Melihat gerakan lengan kiri yang pertama-tama memukul dadanya, tak bisa salah lagi itu merupakan gerak tipu Burung Hong Mematuk Hati dari ilmu silat Hoa-san-pai. Akan tetapi digerakkan amat aneh dan dengan kecepatan luar biasa sehingga hampir saja dadanya kena pukul!

Sebelum ia kehilangan kagetnya setelah berhasil mengelak, serangan ke dua sudah tiba pula. Kali ini juga sebuah gerak tipu dari ilmu silat Hoa-san-pai yang disebut Sepasang Naga Mengejar Awan. Lagi-lagi ia melengak dan repot sekali menggunakan tangan kirinya menangkis sambil membuang diri ke belakang karena kedua kepalan gadis itu bergerak terlalu cepat dan juga aneh sekali.

Dia adalah Ketua Hoa-san-pai, dan semenjak kecil ia sudah melatih diri dengan ilmu silat Hoa-san-pai dan sudah hafal, malah ilmu silat ini sudah mendarah daging dalam dirinya. Akan tetapi mengapa diserang dua kali dengan tipu dari ilmu silat ini dia menjadi repot sekali?

Yang amat hebat adalah perubahan-perubahan yang susul-menyusul dari serangan gadis itu. Karena begitu Kwa Tin Siong membuang diri ke belakang, tahu-tahu gadis itu sudah menyerangnya lagi, sekarang dengan gerak tipu yang amat dahsyat, yaitu yang disebut Harimau Sakti Menerkam Kuda. Dengan kedua tangan terbuka gadis itu sudah meloncat dan menyambar ke arah punggungnya dengan jari-jari tangan terbuka.

Tentu saja Kwa Tin Siong merasa amat tidak enak untuk balas menyerang seorang gadis cilik seperti itu. Apa lagi gadis itu ternyata selalu mempergunakan jurus-jurus dari ilmu silat Hoa-san-pai dalam menyerangnya.

Akan tetapi karena diam-diam ia mengakui bahwa gerakan gadis ini agak berbeda dengan ilmu silatnya sendiri walau pun jurus-jurus itu sama benar, malah diam-diam ia terkejut karena daya penyerangan gadis cilik ini amat dahsyat, ia lalu mengambil keputusan untuk memberi sedikit hukuman kepadanya.

Melihat gadis itu kembali menerjangnya dengan gerakan Harimau Sakti Menerkam Kuda, ia membiarkan gadis itu sudah melayang dekat, lalu tiba-tiba ia menggerakkan tangan kiri menangkis ke depan dengan pengerahan tenaga lweekang-nya. Terdengar seruan kaget dari kedua pihak.

Gadis itu kaget sekali saat tangan kanannya tergetar dalam pertemuan dengan tangkisan Ketua Hoa-san-pai itu sampai seluruh tubuhnya ikut tergetar. Akan tetapi, Kwan Tin Siong kaget bukan main ketika dalam keadaan seperti itu, tanpa tersangka-sangka sama sekali, tangan kiri gadis itu tiba-tiba sudah menotok ke arah pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang dan sekaligus dapat merampas pedang itu dari tangannya!

Merah kini wajah Kwa Tin Siong. Pedang pusaka Hoa-san-pai dapat terampas dari tangan Ketua Hoa-san-pai, benar-benar hal ini merupakan hal yang amat memalukan! Ia harus mengakui bahwa gerakan-gerakan gadis ini dalam ilmu silat Hoa-san-pai amat mahir dan juga amat aneh, akan tetapi perampasan pedang tadi terjadi karena ia tidak menyangka sama sekali dan karena ia sudah banyak mengalah terhadap gadis muda itu.

"Bocah tidak tahu diri! Kau benar-benar semakin kurang ajar. Hayo lekas kau kembalikan pedangku!" katanya kereng.

Gadis muda itu menjebirkan bibirnya yang merah. "Pedang ini aku yang berhak. Karena aku merasa bahwa bukan kau orang yang kumaksudkan, maka kau tidak kubunuh. Orang yang kumaksudkan itu biar pun she Kwa juga, akan tetapi jauh lebih jahat dari padamu."

Diam-diam hati Kwa Tin Siong berdebar. Tidak salah lagi, tentu yang dimaksudkan oleh gadis ini adalah Kwa Hong. "Kau siapakah? Siapa namamu dan siapa orang tuamu?"

"Namaku Li Eng, orang tuaku... hemm, mereka tak ada sangkut-pautnya dengan urusanku ini, kau tidak perlu mengenal mereka." Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke belakang dan agaknya takut-takut.

"Ha, kau bocah nakal!" mendadak Kun Hong berseru sambil tertawa. "Aku tahu sekarang! Kau tentu minggat di luar tahunya orang tuamu, maka kau tidak berani menyebut nama mereka karena takut kami memberi tahu orang tuamu."

Gadis ini nampak semakin ketakutan. "Jangan..." katanya seperti anak kecil ditakut-takuti. "Jangan katakan kepada orang tuaku...!"

Kun Hong tertawa menggoda. "Nah, begitu baru anak baik, takut kepada orang tua! Hayo lekas kau kembalikan pedang ayah jika kau tak mau telingamu dijewer oleh ibumu nanti!"

Gadis itu ragu-ragu. "Tapi... tapi... kata ibu... pedang ini adalah hak ayah ibu dan... dan..."

"Lekas berikan, jika tidak awas, nanti kuberi tahukan ayah ibumu!" Kun Hong mengancam. "Tidak boleh mempergunakan pedang untuk membunuh orang."

"Aku tidak membunuh... boleh kau bawa dulu pedang ini, tetapi aku harus mencoba dulu sampai di mana hebatnya kepandaian Ketua Hoa-san-pai, mengapa dia berani menghina orang lain. Bawalah, tapi jangan kau berikan kepada siapa pun juga."

"Nah, begitu baru disebut gagah! Memang sudah sepantasnya bila kau hendak mencoba kepandaianmu. Tanpa pedang ini mana kau mampu mengalahkan ayahku? Baik, kubawa pedang ini dan kau boleh coba-coba dengan ayah. Kalau kau kalah, kau harus mengaku semuanya dan minta ampun atas kekurang ajaranmu."

"Huh, enak saja. Mana mungkin aku bisa kalah? Kalau aku menang, pedang itu harus kau kembalikan kepadaku dan Ketua Hoa-san-pai harus meninggalkan Hoa-san!"

"Ha-ha-ha, boleh, boleh...," kata Kun Hong yang tidak mau percaya kalau ayahnya akan kalah oleh gadis ini. "Gerakanmu ketiga-tiganya tadi salah semua. Agaknya kau pun telah mempelajari ilmu silat Hoa-san-pai, mana bisa kau menandingi ayah dalam ilmu silat ini? Gerakanmu yang pertama Burung Hong Mematuk Hati, kemudian disusul Sepasang Naga Mengejar Awan lalu yang terakhir tadi Harimau Sakti Menerkam Kuda semuanya salah dan aneh, jelas bukan ilmu silat Hoa-san-pai yang asli, sama sekali tidak cocok dengan catatan ayah!"

Lagi-lagi Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa melengak terheran karena sekali lagi putera mereka membuktikan bahwa hanya dengan melihat catatan anak itu sudah bisa mengenal ilmu yang dimainkan oleh gadis aneh ini.

Juga gadis itu terheran, tapi makin penasaran. Ia memberikan pedang Hoa-san Po-kiam kepada Kun Hong, lalu memasang kuda-kuda menghadapi Kwa Tin Siong.

"Kalau benar engkau adalah Ketua Hoa-san-pai, majulah. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu," tantangnya.

Semenjak tadi Kwa Tin Siong sudah menaruh curiga kepada anak perempuan itu. Tidak salah lagi bahwa gerakan-gerakannya tadi adalah Hoa-san Kun-hoat, namun bagaimana gerakannya demikian aneh? Memang betul Kun Hong, gerakan-gerakan itu agak berbeda dan menurut pandangannya sendiri adalah dilakukan dengan keliru, akan tetapi harus ia akui bahwa kekeliruan itu justru agaknya memperhebat daya penyerangannya!

Kwa Tin Siong menjadi ragu-ragu. Siapakah gadis ini dan apa maksud kedatangannya? Siapa yang menyuruhnya?

"Hayo, apakah kau takut kepadaku?" gadis itu menantang lagi melihat keraguan Kwa Tin Siong.

"Bocah tak tahu diri!" Liem Sian Hwa yang memang berwatak keras tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Sudah jelas bahwa ilmu silatmu adalah ilmu silat Hoa-san-pai, biar pun kurang matang. Bagaimana kau sekarang datang menantang Ketua Hoa-san-pai? Kau terhitung murid Hoa-san-pai juga, walau pun entah dari mana kau mencuri ilmu silat kami. Pergilah, kami tidak sudi berurusan dengan anak kecil!"

Gadis itu memandang Sian Hwa dengan matanya yang jeli. "Hemm, kau cantik, seperti ibu. Apakah kau juga she Kwa? Kalau kau she Kwa, kau majulah!"

"Hush, jangan kau kurang ajar kepada ibuku!” Kun Hong membentak dari samping.

"Aha, jadi dia ini ibumu? Kalau begitu juga tidak becus apa-apa seperti kau?"

Kui Tosu, orang pertama dari Pak-thian Sam-lojin, walau pun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun tapi wataknya amat berangasan. Sebagai tamu terhormat dia menjadi marah sekali menyaksikan lagak bocah itu, maka sekarang sambil mengebutkan ujung lengan bajunya, ia melangkah maju dan berkata,

"Siancai... siancai... alangkah buruk takdir Hoa-san-pai. Saudara Lian Bu Tojin tewas di tangan murid jahat, sekarang agaknya ada lagi murid Hoa-san-pai yang jahat dan datang-datang hendak mengacau perguruannya sendiri. Ehh, bocah, cepatlah kau minggat dari sini. Kami bersama Kwa-sicu sedang menghadapi urusan penting, tiada waktu meladeni anak-anak macam kau ini!"

Gadis itu memandang lucu, tertawa-tawa geli ketika melihat jenggot yang panjang dari Kui Tosu. "He-he-he, kau ini seperti kambing tua mengembik saja. Baru menghadapi penjahat kecil yang berkumpul di Im-kan-kok sudah ribut-ribut. Aku datang untuk berurusan dengan Ketua Hoa-san-pai she Kwa, kau ini kambing tua datang-datang menjual lagak mau apa sih?"

"Bocah kurang ajar!" Kui Tosu tak dapat menahan kemarahannya lagi, lalu tangan kirinya bergerak dan ujung lengan baju yang lebar itu menyambar merupakan tamparan keras ke arah kepala gadis itu.

"Ehh-ehh, kambing tua keluar tanduknya? Suruh dua ekor kambing tua temanmu itu maju semual" Gadis yang mengaku bernama Li Eng itu mengejek.

Serangan yang hebat itu dapat ia elakkan hanya dengan penggeseran kaki ke belakang dan miringkan kepala saja. Hebatnya, sambil mengelak ini kakinya yang kiri menyambar ke depan, ke arah lambung kakek itu!

Kui Tosu kaget sekali melihat tendangan yang amat cepat dan hebat ini. Ia sudah lama mengenal Lian Bu Tojin, karena itu ia pun sudah mengenal ilmu silat Hoa-san-pai. Jelas bahwa tendangan dan gerakan gadis ini adalah dari ilmu silat Hoa-san-pai.

Andai kata yang mainkan ilmu silat itu adalah Lian Bu Tojin sendiri atau setidaknya Kwa Tin Siong, ia tidak akan merasa aneh kalau melihat kehebatan ilmu silat itu. Akan tetapi sekarang yang memainkannya hanya seorang gadis belasan tahun usianya, bagaimana bisa demikian cepat dan juga aneh?

Serangan balasan dengan tendangan ini sebetulnya tidak pada tempatnya untuk melayani tamparan tadi, bahkan membahayakan si penendang sendiri. Maka Kui Tosu juga tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk memberi hajaran dan membikin malu gadis nekat ini. Tangan kirinya menyambar dari bawah dengan maksud menangkap kaki yang menendang untuk kemudian didorong supaya gadis itu jatuh.

Akan tetapi begitu tangan kakek ini menyentuh sepatu Li Eng, dengan kaget ia terhuyung mundur karena pada saat itu tanpa disangka-sangka sama sekali Li Eng dapat memutar kakinya yang langsung menendang ke pundak Kui Tosu. Serangan ini sama sekali tidak tersangka-sangka olehnya karena amat aneh, maka tanpa dapat ia hindarkan, pundaknya telah didorong ujung sepatu, biar pun tidak mengakibatkan luka parah, akan tetapi cukup membuat ia terhuyung-huyung dan kehilangan muka!

Marah sekali kakek ini. Tanpa berkata apa-apa ia kemudian menerjang kembali, sekarang mengeluarkan serangan yang hebat. Bahkan kakek ke dua, Bu Tosu, juga membentak sambil menyerang.

"Heh-heh, kambing tua yang satu lagi kenapa tidak maju?" Li Eng mengejek.

Tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebatan ke sana ke mari, menyelinap di antara serangan dua orang kakek dari utara itu. Bagaikan seekor burung walet yang amat gesit tubuhnya berloncatan, menyelundup, mengelak dan semua itu digerakkan dengan langkah-langkah ilmu silat Hoa-san-pai yang amat sempurna sehingga Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, dua orang ahli ilmu silat Hoa-san-pai, yang melihat itu jadi saling pandang dengan penuh keheranan.

Apa lagi ketika Lie Eng menggunakan langkah-langkah Hoa-san Pat-kwa-pouw, tak terasa lagi Kwa Tin Siong berbisik kepada isterinya, "Dari mana dia mempelajari ini?"

Sementara itu, Kui Tosu dan Bu Tosu menjadi makin penasaran karena sudah beberapa belas jurus mereka menyerang, belum juga mampu mengalahkan gadis aneh itu. Jangan kata mengalahkan, menyentuh ujung bajunya saja tak mampu.

Melihat ini, Lai Tosu tiba-tiba teringat akan sesuatu dan ia maju pula sambil membentak, "Siluman cilik, apakah kau anggota rombongan di Im-kan-kok yang hendak mengacau Hoa-san-pai?"

"Hi-hik, kambing tua, kau majulah sekalian, mengapa banyak bertanya? Kalau benar aku anggota rombongan, apakah kau takut?"

"Bagus, kalau begitu kami akan menangkapmu lebih dulu!"

Lai Tosu segera menyerbu dan pertandingan menjadi makin ramai karena sekarang Lie Eng di keroyok tiga oleh Pak-thian Sam-lojin. Sungguh pemandangan yang luar biasa lucu apa bila melihat betapa seorang gadis belasan tahun kini dikeroyok tiga oleh tokoh-tokoh ternama seperti Pak-thian Sam-lojin.
cerita silat karya kho ping hoo

Kwa Tin Siong mengerutkan kening. Dua macam perasaan mengaduk dan menguatirkan hatinya. Pertama-tama, sungguh pun Pak-thian Sam-lojin adalah tamunya dan bertindak untuk membantu Hoa-san-pai, namun sungguh amat tidak layak kalau tiga orang tokoh persilatan mengeroyok seorang gadis cilik. Kedua kalinya, jika betul gadis ini adalah anggota rombongan yang menyerbu Im-kan-kok, benar-benar berbahaya sekali. Baru gadis cilik ini saja sudah begini lihai, apa lagi yang lain-lain?

Heran dia, bagaimana seorang seperti Hek-houw Bhe Lam dapat mengajak seorang gadis selihai ini? Dan lebih aneh lagi, kini jelas baginya bahwa gadis ini benar-benar seorang ahli silat Hoa-san Kun-hoat, sungguh pun gerakan-gerakannya sangat aneh dan bahkan lebih cepat dan lebih hebat dari pada ilmu silat Hoa-san-pai yang asli.

Selagi ia hendak turun tangan mencegah dilanjutkannya pertempuran yang seimbang itu, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara suitan panjang yang mengagetkan semua orang. Apa lagi setelah melihat betapa tubuh gadis itu lenyap berubah bayangan yang cepat bukan main.

Tiga orang kakek itu mengeluarkan suara kaget, apa lagi Kui Tosu dan Bu Tosu karena entah bagaimana caranya, tahu-tahu gadis itu sudah dapat menyambar jenggot mereka yang panjang, lalu melilitnya menjadi satu, dan menarik-narik jenggot itu sehingga dengan gerakan kacau-balau dua orang tosu ini terpaksa berjingkrakan.

Mereka merasa kesakitan. Apa lagi sekarang Li Eng lari berputaran dan dalam keadaan yang kacau balau itu dia malah memutari tubuh Lai Tosu sehingga tosu ke tiga ini terbelit jenggot-jenggot itul Tiga orang tosu itu saling bertabrakan dengan kacau dan dua orang tosu yang dipegangi jenggotnya berteriak-teriak, "Lepaskan jenggot! Lepaskan jenggot!"

Keadaan benar-benar sangat lucu dan terdengarlah suara ketawa Kun Hong, "Ha-ha-ha, lucu sekali."

"Apakah yang lucu?" Kwa Tin Siong membentak marah. "Bocah itu kurang ajar sekali." Ia melompat maju dan mencengkeram ke arah lengan tangan gadis itu sambil membentak, "Bocah kurang ajar, pergilah!"

Serangan Kwa Tin Siong ini hebat bukan main karena ia telah menggunakan jurus Dewa Menangkap Geledek. Namun ternyata bocah itu lebih lihai lagi karena dengan kecepatan luar biasa ia lalu mencengkeram jenggot-jenggot itu sambil berseru keras. Seketika itu pula jenggot-jenggot itu putus di tengah-tengah dan sebelum sempat tangan Kwa Tin Siong menyentuhnya ia telah menyambitkan rambut jenggot dalam genggamannya itu ke arah muka Ketua Hoa-san-pai.

"Aiiih!" Kwa Tin Siong cepat membuang diri ke samping dan rambut jenggot itu meluncur cepat di samping kepalanya. Bukan main hebatnya tenaga dalam gadis itu yang mampu menyambitkan rambut menjadi senjata rahasia yang ampuh.

Sementara itu, Pak-thian Sam-lojin benar-benar marah. Hinaan ini membuat mereka bagai kebakaran jenggot dan mencak-mencak saking marahnya. Juga Lai Tosu yang tidak putus jenggotnya, yang tadi tubuhnya terbelit jenggot kedua saudaranya sampai pakaiannya robek-robek, menjadi marah sekali.

Seperti dikomando saja ketiganya menggerakkan tangan dan tahu-tahu tangan mereka telah memegang sebatang pedang. Dengan muka merah mata melotot dan sikap penuh ancaman, ketiganya menghadapi Li Eng yang tersenyum-senyum mengejek.

Kwa Tin Siong hendak membuka mulut mencegah tiga orang tamunya itu mengeroyok gadis aneh tadi dengan pedang di tangan. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara keras, "Aih, tiga orang tua bangka mengeroyok seorang bocah? Ha-ha, betul-betul tak tahu malu Pak-thian Sam-lojin menghadapi lawan yang patut menjadi cucunya!"

Ucapan ini keras dan parau, lalu disusul melayangnya sesosok tubuh ke tengah pelataran itu. Ketika tubuh ini jatuh berdebuk di atas tanah kiranya itu adalah tubuh seorang tosu Hoa-san-pai yang sudah mati dan tubuhnya hitam hangus seperti terbakar.

Li Eng gadis aneh itu tertawa, lalu sekali mengenjot tubuhnya ia telah meloncat ke atas sebuah pohon, duduk ‘nongkrong’ di atas cabang pohon itu, duduk dengan enak seperti orang hendak menonton pertunjukan yang menarik hati.

Dan sementara itu, dari luar pelataran datang beberapa orang aneh. Yang paling depan adalah seorang kakek tua yang bongkok, giginya sudah ompong dan matanya besar sebelah, pakaiannya tambal-tambalan dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam. Di sampingnya berjalan seorang wanita yang biar pun usianya sudah lima puluh tahun lebih namun pakaiannya masih mewah dan wajahnya masih cantik.

Kwa Tin Siong dan isterinya, juga Pak-thian Sam-lojin segera mengenal dua orang ini yang bukan lain adalah Toat-beng Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li, dua orang kang-ouw yang sudah tersohor karena kejahatan dan kelihaiannya.

Toat-beng Yok-mo, sesuai dengan nama julukannya Yok-mo (Setan Obat), adalah ahli pengobatan yang tiada duanya di dunia kang-ouw. Kepandaiannya mengobati luar biasa sekali sehingga boleh dibilang segala macam penyakit ia sanggup mengobatinya sampai sembuh. Akan tetapi hebatnya, setelah orang yang diobati sembuh, ia tentu akan turun tangan membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa ia mendapat julukan Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa). Ada pun Kim-thouw Thian-li adalah Ketua Ngo-lian-kauw yang terkenal jahat, kejam, dan curang sekali.

Di belakang dua orang tokoh ini kelihatan seorang laki-laki tinggi besar dengan mata bundar, di punggungnya terlihat sebatang golok yang mengkilap dan besar. Kwa Tin Siong dan yang lain-lain tidak mengenal orang ini, akan tetapi Thio Ki atau Thian Beng Tosu segera mengenalnya. Itulah musuh lamanya, Hek-houw Bhe Lam! Di belakang tiga orang ini masih terdapat sekelompok orang berjumlah tiga puluh dan rata-rata mempunyai air muka yang kasar dan kejam.

Dengan keberanian luar biasa, sebelum orang lain bergerak, Kun Hong sudah melangkah lebar menyambut kedatangan rombongan yang dikepalai oleh kakek bongkok seperti iblis itu. Dengan nada suara marah Kun Hong berkata, "Apakah kalian ini yang menulis surat dan hendak mengacau Hoa-san-pai?"

Kim-thouw Thian-li yang semenjak dulu berwatak genit dan gila laki-laki, melihat pemuda yang tampan ini menjadi tertarik hatinya dan memandang kagum. Ia selamanya kagum sekali melihat pemuda tampan yang mempunyai keberanian besar seperti Kun Hong ini. Diam-diam ia mengira bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar muda yang memiliki kepandaian tinggi.

Sementara itu, Toat-beng Yok-mo tertawa ha-ha-he-he lalu menjawab, "Yang menulis surat adalah Bhe-sicu ini, aku hanya turut datang saja. Orang muda, kau mau apakah? Orang tidak memiliki ilmu silat seperti kau ini tak perlu maju. Heh-heh!" Sekali pandang dapat melihat bahwa Kun Hong tidak mengerti ilmu silat, hal ini saja sudah membuktikan ketajaman mata kakek ini.

"Aku tidak akan bicara tentang ilmu silat, juga tentang maksud kedatangan kalian biar kita bicarakan belakangan. Yang sekarang penting untuk kita bicarakan adalah tentang ini!" Kun Hong makin marah ketika menudingkan telunjuknya ke arah muka tosu yang rebah menggeletak di atas tanah dalam keadaan mengerikan itu.

"Apakah kalian yang membunuh seorang saudara kami ini?"

"He-heh-heh..." Toat-beng Yok-mo terkekeh geli dan bertukar pandang dengan Kim-thouw Thian-li.

Wanita genit ini merasa semakin kagum saja menyaksikan ketabahan pemuda tampan itu. Diam-diam ia masih tidak percaya kata-kata Toat-beng Yok-mo yang tadi menganggap pemuda ini tiada kepandaian. Seorang tanpa kepandaian silat mana seberani ini?

"Pemuda tolol, kalau betul kami yang membunuh lalu kau mau apa?" Kakek ompong itu kembali tertawa sehingga tampak mulutnya yang tak bergigi lagi.

Kun Hong makin marah. "Mana ada aturan ini? Kalian ini benar-benar jahat sekali, apa kalian tidak patut dihukum? Mana bisa kalian membunuh begitu saja? Aku tidak terima!"

"Habis, kau mau apa?" Hek-houw Bhe Lam melangkah maju menantang.

"Apa kau yang bernama Hek-houw?" Kun Hong bertanya.

"Betul Kau siapa dan apa maksudmu berlagak?" jawab kepala rampok ini.

“Betul-betul tak kenal aturan. Datang-datang membunuh orang. Jika kulaporkan kau tentu ditangkap dan dihukum mati. Apa bila kau dan teman-temanmu datang hendak mengadu kepandaian, itu sih masih mendingan. Akan tetapi kalian datang-datang telah melakukan pembunuhan, benar-benar penasaran! Tunggu saja aku akan menyuruh seorang saudara melaporkan kepada kepala kampung di kaki gunung, kau tentu akan ditangkap dan diseret ke pengadilan!"

Hek-Houw Bhe Lam melengak heran dan terdengarlah suara ketawa ramai di antara para pendatang itu. Bhe Lam akhirnya tertawa juga, tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, kiranya di Hoa-san-pai ada orang gila berotak miring. Jangan banyak mulut, pergilah!" Tangannya bergerak memukul dada Kun Hong.

Kwa Tin Siong kaget sekali dan melompat hendak menolong puteranya, akan tetapi...


BERSAMBUNG KE Rajawali Emas Jilid 11


Rajawali Emas Jilid 10

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJAWALI EMAS JILID 10

Tiga Orang Tua dari Utara itu adalah sahabat-sahabat baik mendiang gurunya, Lian Bu Tojin. Tentu saja kunjungan ini sangat menyenangkan hatinya, apa lagi terjadi pada waktu Hoa-san-pai sedang menghadapi ancaman musuh. Dari tiga orang kakek yang memiliki kepandaian tinggi itu dapat diharapkan bantuannya.

"Persilakan mereka masuk," katanya, lalu dia bersama isterinya, juga Thian Beng Tosu yang masih ingat akan nama tiga orang kakek itu segera menyambut di pintu ruangan.

Tidak lama kemudian masuklah tiga orang kakek itu. Usia mereka sudah tua sekali, akan tapi sikap mereka masih gagah. Tiga orang tosu itu mengenakan pakaian longgar, dengan wajah kereng dan tindakan kaki ringan, tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Melihat mereka, Kwa Tin Siong, isterinya dan Thian Beng Tosu segera menjura dengan hormat. Tiga orang kakek itu mengelus jenggot dan seorang di antara mereka yang tertua dan yang berjenggot panjang sekali segera berkata,

"Sudah lama kami mendengar bahwa Hoa-san-pai sudah berganti ketua. Menyesal kami tidak dapat datang ketika terjadi mala petaka di Hoa-san. Mula-mula memang kami ingin datang dan membalaskan sakit hati sahabat kami Lian Bu Tojin, akan tetapi kemudian kami mendengar bahwa Sicu telah menggantikan kedudukan mendiang sahabat kami itu. Betapa pun juga, kami ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Hoa-san-pai sudah bangun kembali. Siapa kira di tengah perjalanan kami melihat adanya gerombolan orang jahat yang mengancam Hoa-san-pai. Apakah Sicu sudah mengetahuinya?"

Kwa Tin Siong mempersilakan para tamunya duduk, lalu ia menghaturkan terima kasih. "Sam-wi Locianpwe benar-benar sudah mencapaikan diri untuk memperhatikan keadaan Hoa-san-pai. Untuk budi kecintaan itu kami menghaturkan banyak terirna kasih. Memang benar seperti yang Locianpwe katakan tadi, ada segerombolan penjahat hendak datang mengganggu, akan tetapi kiranya hal ini tidak patut untuk membikin Sam-wi capai hati. Hanya urusan kecil saja."

Kui Tosu, yaitu tosu tertua dari tiga kakek itu, mengerutkan alisnya yang sudah putih. Ia memang berwatak berangasan. "Hemm, Sicu sebagai murid dari Lian Bu Tojin sudah tentu telah mewarisi ilmu yang hebat dari Hoa-san-pai. Akan tetapi harap diketahui bahwa kepandaian tiada batasnya dan kiraku hari ini belum tentu kepandaian Hoa-san-pai akan dapat diandalkan untuk mengalahkan musuh. Apakah Sicu sudah tahu siapa yang datang mengganggu?"

Diam-diam Kwa Tin Siong tidak senang mendengar ucapan ini. Dia adalah seorang gagah yang tidak pernah takut menghadapi lawan. Akan tetapi, oleh karena tiga orang kakek ini datang sebagai tamu dan merupakan sahabat-sahabat mendiang gurunya, dia menahan kesabaran dan bertanya, "Yang baru saya ketahui hanyalah bahwa orang yang memimpin gerombolan pengacau itu bernama Bhe Lam, seorang penjahat Sin-yang berjuluk Hek-houw (Harimau Hitam). Penjahat cilik macam itu perlu apa diributkan?"

Tosu termuda dari tiga orang kakek itu yang bernama Lai Tosu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Kalau hanya harimau hitam saja apa artinya? Besar atau kecil kalau hanya Hek-houw saja tak lebih dari pada seekor kucing hitam! Ketahuilah, Kwa-sicu, di belakang si Harimau Hitam itu masih ada dua makhluk yang lebih menakutkan lagi. Kau tahu siapa mereka? Yang seorang adalah Kim-thouw Thian-li Ketua Ngo-lian-kauw dan yang ke dua adalah Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa)!"

Kwa Tin Siong terkejut sekali mendengar nama-nama ini. Tentu saja ia sudah mengenal Kim-thouw Thian-li yang sudah berkali-kali membikin keruh keadaan Hoa-san-pai, bahkan wanita inilah yang mula-mula merusak Hoa-san-pai sehingga terjadi hal yang berlarut-larut dan permusuhan yang menjadi-jadi.

Kim-thouw Thian-li merupakan musuh besar Hoa-san-pai, berarti musuh besarnya pula. Kepandaian wanita itu memang hebat sekali, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa gentar untuk menghadapinya. Yang membikin Ketua Hoa-san-pai ini kaget sekali adalah disebutnya nama Toat-beng Yok-mo. Kakek iblis itu sudah belasan tahun menghilang dari dunia kangouw, mengapa sekarang bisa muncul bersama Kim-thouw Thian-li membantu Hek-houw Bhe Lam?

Melihat kekuatiran di wajah tuan rumah, Bu Tosu orang ke tiga dari Pak-khia Sam-lojin dengan sombong berkata, "Kwa-sicu tidak usah kuatir, Kim-thouw Sian-li dan Toat-beng Yok-mo boleh menakuti orang lain, akan tetapi lihat saja, ada pinto bertiga di sini yang siap untuk meghancurkannya!"

Kwa Tin Siong belum hilang rasa kagetnya dan ia berkata, "Terima kasih atas janji Sam-wi untuk membantu kami. Akan tetapi benar-benar saya tidak mengerti mengapa Toat-beng Yok-mo dapat berada dengan mereka?"

"Ha-ha-ha-ha, Kwa-sicu masih belum mendengar? Agaknya karena belasan tahun sibuk mengurus Hoa-san-pai, tidak tahu akan kejadian di dunia luar! Kakek tua bangka tukang obat itu tergila-gila kepada Kim-thouw Thian-li dan kabarnya ia telah memperisteri Ketua Ngo-lian-kauw itu. Ha-ha-ha, benar-benar tua bangka tak tahu malu!" kata Lai Tosu.

"Akan tetapi Sicu tak perlu merasa kuatir," sambung Kui Tosu tenang. "Biarkan mereka datang, kita akan atur jebakan untuk mereka. Para tosu supaya mengatur bai-hok (barisan terpendam) di sekeliling puncak, siap dengan senjata lengkap. Kami sudah melihat bahwa gerombolan mereka hanya terdiri dari tiga puluh orang lebih. Jumlah kita menang banyak. Kita biarkan mereka masuk dan Sicu boleh menghadapi Bhe Lam sedangkan kami bertiga akan menggempur Toat-beng Yok-mo. Tentang Kim-thouw Thian-li, kami rasa cukup bila dihadapi oleh isterimu dan murid-muridmu. Sementara itu, para tosu datang mengurung dan mengeroyok anak buah mereka yang tidak banyak jumlahnya itu. Dengan cara ini, kami rasa kita akan dapat membunuh mereka semua, jangan ada yang bisa lolos supaya kelak mereka tidak mendatangkan bencana pula!"

Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mengangguk-angguk, setuju dengan rencana siasat ini.

Akan tetapi tiba-tiba Kun Hong berseru marah, "Tidak boleh...! Tidak boleh, jahat sekali itu! Masa kita Hoa-San-pai harus membunuhi orang-orang itu? Tidak boleh, mana ada aturan manusia membunuh manusia lain? Ini perbuatan terkutuk oleh Thian!"

Semua orang kaget, apa lagi Pak-thian Sam-lojin. Mereka menengok memandang kepada pemuda itu dengan heran.

"Kwa-sicu, siapakah orang muda ini?" tanya Kui Tosu.

"Dia adalah Kun Hong, anak kami yang bodoh," Kwa Tin Siong menjawab dan ia sudah melototkan matanya untuk menegur anaknya.

Akan tetapi Kui Tosu sudah mendahuluinya, bertanya dengan kereng. "Orang muda, kalau kau menganggap rencana kami itu tidak boleh dijalankan, habis kalau menurut pikiranmu bagaimana baiknya menghadapi musuh-musuh yang akan menyerbu?"

"Ha-ha, bocah berlagak pintar!" kata Lui Tosu. "Apakah kau ingin agar mereka itu datang menyerbu dan membunuh kita semua?"

"Tidak demikian maksudku. Harap Sam-wi Totiang tidak salah sangka," jawab Kun Hong, suaranya tetap dan tegas. "Kalau ada seorang gila memaki-maki seorang waras, lalu si waras itu balas memaki-maki si gila, lalu bagaimana perbedaan antara mereka? Mana si waras dan mana pula si gila? Demikian juga kalau ada orang jahat berencana hendak membunuh kita, lalu kita berencana pula untuk membunuh mereka, bukankah watak kita tiada bedanya dengan orang jahat itu? Mereka hendak membunuh kita, kita pun hendak membunuh mereka. Siapa di antara kita yang jahat? Siapa benar siapa salah?"

Kwa Tin Siong sendiri melengak mendengar omongan puteranya ini. Memang ia sudah tahu bahwa watak puteranya sangat keras dan juga amat berani dalam mengemukakan pendapatnya, akan tetapi tidak disangkanya akan seberani ini.

Tiga orang kakek itu saling pandang dengan terheran-heran. Kui Tosu lalu membantah. "Tentu ada bedanya! Kita hendak membunuh mereka dengan dasar hendak membasmi orang-orang jahat!"

"Apa Totiang mengira bahwa mereka tidak mempunyai dasar dengan kehendak mereka membunuh kita? Setiap perbuatan tentu ada dasarnya, yaitu dasar untuk kemenangan diri sendiri, untuk kebaikan sendiri. Pendapat seorang takkan sama, dasar yang dipakai orang tidak sama pula. Semua orang memperebutkan kebenaran, kebenaran diri sendiri tentu!"

"Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" Kui Tosu mulai marah.

Oleh karena bocah ini adalah putera Ketua Hoa-san-pai, maka ia mau melayaninya. Kalau bukan putera Kwa Tin Siong, tentu tidak sudi bicara dengannya.

"Maaf, Totiang. Harap Totiang, juga Ayah dan Ibu beserta para susiok dan suheng suka menjawab dulu pertanyaanku. Kalau kukatakan bahwa yang berhak atas sesuatu benda adalah pembuatnya, apakah salah kata-kataku ini?"

"Tentu saja begitu," jawab Thian Beng Tosu karena yang lain-lain tidak menjawab.

"Nah, Suheng sudah menjawab dan membetulkan kata-kataku. Yang berhak atas sesuatu adalah pembuatnya. Lalu, siapakah yang membuat manusia ini hidup di dunia? Salahkah kalau kukatakan bahwa Tuhan yang memberi hidup?"

Kembali pemuda ini berhenti dan memandangi mereka dengan sepasang matanya yang bersinar tajam.

"Benar pula, Kun Hong," jawab Thian Beng Tosu.

"Nah, kalau kita semua mengakui bahwa yang memberi hidup adalah Tuhan, berarti hidup kita ini millk Tuhan. Oleh karena itu pula, hanya Tuhanlah yang berhak untuk mengakhiri hidup kita, jadi hanya Tuhan pula yang berhak membunuh manusia. Kalau kita sudah tahu akan hal ini, mudah saja bagi kita menjawab. Perbuatan membunuh itu baik atau jahat?"

Tidak ada yang menjawab, Kun Hong penasaran dan menghadapi ayahnya. "Ayah selalu mengajar agar supaya aku hanya mengatakan apa yang menjadi isi hatiku. Mengapa sekarang pertanyaanku tidak ada yang menjawab? Ayah, bukankah menurut sebab-sebab tadi, membunuh itu adalah perbuatan jahat?"

"Memang, membunuh adalah perbuatan yang tidak baik," akhirnya ayahnya pun berkata perlahan.

Mata Kun Hong berseri-seri dan bersinar-sinar. "Nah, apa bila perbuatan membunuh ini termasuk perbuatan jahat, mengapa kita malah merencanakan hendak membunuh orang? Mengapa kita hendak membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau orang lain yang hendak membunuh termasuk golongan penjahat, habis kita ini golongan apa kalau juga meniru perbuatan mereka? Membalas perbuatan baik dengan kebaikan pula adalah sikap seorang budiman. Membalas kejahatan dengan kebaikan hanya mungkin dapat dilakukan oleh alam, hanya mungkin dapat dilakukan oleh Tuhan. Hanya manusia yang sudah dapat menyatukan diri dengan alam saja yang akan mencapai kebajikan ini, yaitu membalas kejahatan dengan kebaikan. Tapi seorang manusia bijaksana, seorang budiman biar pun belum dapat membalas kejahatan dengan kebaikan, paling sedikit harus bisa membalas kejahatan dengan keadilan!"

Semua orang yang berada di situ maklum bahwa semua yang dikemukakan oleh pemuda itu adalah ajaran-ajaran dalam agama dan filsafat yang memang telah dipelajarinya sejak ia kecil.

"Semua orang sudah mempelajari kebenaran, akan tetapi tidak berani mempertahankan dan membela kebenaran yang dipelajarinya itu! Ayah dan ibu beserta semua susiok dan suheng, Hoa-san pai tak akan bernama kalau dibangun dengan darah dan pembunuhan. Hoa-san-pai merupakan perkumpulan untuk menuntun orang-orang mempelajari Agama Tao supaya manusia dapat membersihkan diri dari pada kejahatan, bagaimana mungkin mengajar orang membersihkan diri dari kejahatan dengan jalan terjun ke dalam kejahatan itu sendiri?"

Melihat pemuda ini makin lama semakin bersemangat, Kwa Tin Siong merasa tidak enak hati, maka dia lalu membentak, "Kun Hong, kau ini anak kecil hendak memberi pelajaran kepada orang-orang tua? Kalau soal begitu saja, kita semua sudah tahu, apa lagi Sam-wi Locianpwe ini. Yang kau kemukakan itu adalah pelajaran-pelajaran yang masih rendah dan semua juga sudah mengetahuinya."

“Tahu tidak sama dengan mengerti, malah mengerti pun tidak sama dengan sadar, Ayah! Tahu saja tanpa mengerti isinya percuma. Mengerti sekali pun tanpa kesadaran tak akan ada gunanya. Yang penting tahu, lalu mengerti akan isinya, dan sadar untuk menerapkan pengertian ini dengan batinnya, kemudian harus disusul dengan ketaatan bulat terhadap pengertian ini. Apa gunanya kalau kita hanya tahu dan mengerti bahwa membunuh itu jahat, akan tetapi kita malah nekat melakukannya? Pendeknya, anak tidak setuju kalau Hoa-san-pai mempunyai orang-orang yang suka menjadi pembunuh sesama manusia!"

"Hemm, hemmm, aneh sekali anakmu ini, Kwa-sicu!" kata Kui Tosu dengan muka merah. Tosu tua yang berangasan ini tak dapat menahan lagi kesabarannya.

"Ehhh, kongcu cilik, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana kita akan menghadapi gerombolan Harimau Hitam itu?"

"Alam mempunyai hukum yang diatur oleh Tuhan. Manusia pun mempunyai hukum yang diatur oleh pemerintahan negara. Kita sebagai manusia harus tunduk kepada hukum pula. Masyarakat telah diatur dengan adanya petugas-petugas yang berkewajiban mengatur hukum-hukum itu. Kalau ada hal yang tidak beres dan melanggar hukum, merekalah yang wajib mengurusnya. Sekarang gerombolan itu kalau sudah datang ke sini, kita ajak bicara secara aturan. Kalau mereka tidak mau terima uluran dan hendak melanggar hukum, biar kita laporkan kepada lurah dan para petugas di dusun, tak jauh di kaki gunung sana."

Meledak suara ketawa tiga orang tosu tua itu pada saat mendengar omongan ini. Kwa Tin Siong menjadi amat merah mukanya sebab sikap Kun Hong ini jelas membuka kenyataan bahwa puteranya itu tidak tahu menahu tentang dunia persilatan, di mana hukum yang dipakai adalah hukum persilatan yang jauh bedanya dengan hukum pemerintah.

"Kwa-sicu, kau benar-benar aneh sekali mendidik anakmu seperti ini! Ha-ha-ha, tak nyana mendiang Lian Bu Tojin mempunyai cucu murid seperti ini!" Kun Tosu tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking geli.

"Locianpwe, harap maafkan puteraku. Memang semenjak kecil dia tidak pernah diberikan pendidikan ilmu silat, melainkan hanya ilmu surat dan filsafat. Betapa pun juga, menurut pendapatku yang bodoh, jauh lebih baik tidak tahu akan ilmu silat sehingga jauh dari pada bermusuh-musuhan seperti dalam penghidupan kita orang-orang persilatan."

Pada saat itu terdengar suara nyaring di luar pintu, suara wanita yang berteriak-teriak, "Hayo, mana dia si orang she Kwa? Suruh dia lekas keluar menyerahkan pedang Hoa-san Po-kiam dan kepalanya!"

Semua orang kaget sekali. Bagaimana bisa ada seorang musuh datang begitu saja tanpa diketahui oleh para penjaga yang sudah diatur serapi-rapinya? Kwa Tin Siong menyangka bahwa yang datang tentulah Kim-thouw Thian-li, maka dia lalu melangkah keluar, diikuti semua orang termasuk Pak-thian Sam-lojin.

Setelah mereka tiba di luar, semua orang ini dibikin bengong saking herannya. Bukan Kim-thouw Thian-li yang berdiri di situ, melainkan seorang gadis tanggung berusia sekitar tujuh belas tahun, yang berdiri dengan tegak di tengah pelataran depan kuil. Gadis ini cantik sekali. Sepasang matanya tajam bergerak-gerak cepat memandang ke kiri kanan, mulut kecil yang berbibir merah itu manis tersenyum-senyum setengah mengejek. Pakaiannya sangat sederhana, hanya terbuat dari kain kasar dengan jahitan sederhana seperti biasanya pakaian gadis-gadis gunung, juga tidak kelihatan membawa senjata apa pun sehingga benar-benar seperti seorang dara gunung yang cantik manis sekali.

Karena ia tidak bersenjata, maka ia mirip seorang gadis yang kurang waras pikirannya. Kalau tidak demikian, bagaimana seorang gadis seperti dia berani bicara tidak karuan di Hoa-san-pai? Berbeda kiranya kalau dia membawa senjata, tentu dia merupakan seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat maka berani membuka suara besar.

Melihat banyak orang keluar dari kuil dan sikap mereka rata-rata gagah, gadis itu kembali berteriak, suaranya nyaring, meski pun merdu dan halus akan tetapi jelas bernada keras mengancam, "Mana Ketua Hoa-san-pai she Kwa?"

Dengan tenang dan sabar Kwa Tin Siong melangkah maju dan balas bertanya, "Nona siapa dan dari mana? Ada keperluan apakah kau mencari Ketua Hoa-san-pai she Kwa?"

Dengan pandang matanya yang tajam gadis itu memandang Kwa Tin Siong penuh selidik, lalu berkata, "Sudah kukatakan tadi, dia harus menyerahkan Hoa-san Po-kiam kepadaku, juga kepalanya. Pedang dan kepalanya harus kubawa pergi."

Jawaban ini demikian sewajarnya sehingga para pendengarnya menjadi bengong. Banyak tosu menganggap bahwa gadis ini tentu miring otaknya, apa bila tidak demikian, masakah mengajukan permintaan yang begitu gila?

Kwa Kun Hong menjadi marah. Dengan mata melotot ia melangkah maju dan berdiri dekat sekali di depan gadis itu. Lagaknya seperti seorang guru memarahi muridnya yang goblok. Telunjuknya menuding ke arah muka yang cantik. "Nona cilik, apakah kau tidak pernah diajar orang tuamu? Ucapan apa yang kau keluarkan itu? Sungguh tidak patut! Mana ada aturan orang seperti kau ini hendak membunuh orang dan minta kepalanya? Ah, dosa... dosa..., benar-benar kau berdosa besar sekali. Apa kau tidak takut ditangkap oleh yang berwajib dan dijebloskan ke dalam penjara? Kalau terjadi demikian, aduh… kasihan sekali kau yang masih begini muda!"

Gadis muda itu nampak bingung dan memandang kepada Kun Hong dengan hati tertarik. "Penjara? Apa itu? Yang berwajib itu siapa? Kenapa aku hendak ditangkap?"

Kun Hong mengira bahwa gadis itu tentu takut dengan gertakannya, karena itu hatinya menjadi girang. "Nah, belum apa-apa kau sudah takut! Maka jangan sembarangan bicara. Yang berwajib itu tentu saja petugas pemerintah yang menjadi penegak hukum. Penjara adalah tempat orang-orang jahat dihukum. Nona, kau masih muda, seorang gadis yang semestinya bersikap lemah lembut dan membantu pekerjaan ibu di rumah. Aku kasihan sekali kepadamu dan sungguh mati aku tidak ingin melihat kau sampai ditangkap dan dimasukkan penjara."

Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa hanya bisa menarik napas panjang menyaksikan sikap putera mereka yang tentu dianggap tolol oleh semua orang itu. Akan tetapi karena gadis itu pun kelihatannya bodoh, maka mereka itu mendiamkannya saja.

Tiba-tiba gadis muda itu kelihatan marah. "Siapa berani menangkap aku? Aku tidak takut! Kau ini... kau menakut-nakuti aku. Apakah kau she Kwa?"

Kun Hong tersenyum lebar. "Ehh, ehh, kiranya kau sudah mengenal aku? Di mana kita pernah bertemu? Bagiku, mimpi pun belum pernah bertemu dengan kau yang lucu ini."

"Siapa pernah bertemu dengan engkau? Apakah kau she Kwa?"

"Kalau belum pernah bertemu, bagaimana kau mengenalku dan mengerti bahwa aku she Kwa? Aneh sekali, aku memang betul she Kwa!"

Secepat kilat tangan gadis itu bergerak dan tahu-tahu leher baju Kun Hong telah berhasil ditangkapnya dan sekali tarik Kun Hong sudah berada di dalam kekuasaannya. Semua orang kaget, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah bersiap menolong puteranya. Akan tetapi gadis itu hanya mengancam.

"Apakah kau Ketua Hoa-san-pai?"

Kun Hong kaget bukan main, lalu berkata gemas, "Kau ini wanita apa laki-laki? Tenagamu amat besar dan kau tarik-tarik aku mau apa sih?"

"Kalau kau Ketua Hoa-san-pai akan kupenggal kepalamu!"

Kun Hong meleletkan lidahnya mengejek. "Kau kira aku takut dengan ancamanmu? Andai kata aku benar-benar Ketua Hoa-san-pai, tentu aku akan mengaku dan tidak takut kau sembelih seperti ayam. Sayangnya aku bukan Ketua Hoa-san-pai."

Gadis itu melepaskan leher bajunya dan mendorongnya perlahan, akan tetapi dorongan ini cukup membuat Kun Hong terlempar dan terguling. "Benar-benar kau jahat sekali, tak tahu dikasihani orang!" kata Kun Hong setelah bangkit berdiri.

Gadis itu mengomel, "Syukur kau bukan Ketua Hoa-san-pai, aku tidak senang kalau harus membunuh orang lemah seperti kau. Lagi pula tak mungkin kalau kau Ketua Hoa-san-pai. Menurut keterangan ibu, Ketua Hoa-san-pai sangat jahat. Kau... tidak mungkin jahat, kau laki-laki lemah tak berguna."

Kun Hong hendak membantah lagi, akan tetapi Kwa Tin Siong menariknya ke belakang lalu menghadapi gadis itu. Suaranya kereng ketika dia bertanya, "Nona, sebenarnya kau ini siapa dan apa kehendakmu mengacau di Hoa-san-pai?"

"Apakah kau she Kwa? Dan siapa Ketua Hoa-san-pai?"

"Betul, akulah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai."

Gadis itu memandang tajam, tampaknya ragu-ragu. "Kau pun tidak pantas menjadi orang amat jahat. Jangan kau membohong. Kalau benar kau orang she Kwa Ketua Hoa-san-pai, mana pedang pusaka Hoa-san Po-kiam?"

Kwa Tin Siong tersenyum. Sikap gadis cilik itu amat menarik hatinya, biar pun aneh dan agak sombong, namun lucu dan banyak memiliki sifat-sifat yang dapat menimbulkan rasa sayang. Ia mencabut Hoa-san Po-kiam sambil berkata,

"Inilah Hoa-san Po-kiam. Nah, apakah sekarang kau sudah percaya bahwa aku adalah Ketua Hoa-san-pai? Sekarang katakanlah, kau ini bernama siapa dan sesungguhnya apa yang menyebabkan kau bersikap begini aneh?"

Gadis itu tak menjawab, hanya matanya memandang tajam ke arah wajah Kwa Tin Siong. Sejenak kemudian, mendadak gadis itu menggerakkan kedua tangannya dan menyerang Ketua Hoa-san-pai itu dengan pukulan-pukulan yang cepat dan bertubi-tubi.

Kwa Tin Siong kaget bukan kepalang. Bukan kaget akibat diserang, baginya sudah terlalu biasa menghadapi serangan-serangan mendadak. Akan tetapi dia kaget dan heran sekali melihat cara menyerang dari gadis itu.

Melihat gerakan lengan kiri yang pertama-tama memukul dadanya, tak bisa salah lagi itu merupakan gerak tipu Burung Hong Mematuk Hati dari ilmu silat Hoa-san-pai. Akan tetapi digerakkan amat aneh dan dengan kecepatan luar biasa sehingga hampir saja dadanya kena pukul!

Sebelum ia kehilangan kagetnya setelah berhasil mengelak, serangan ke dua sudah tiba pula. Kali ini juga sebuah gerak tipu dari ilmu silat Hoa-san-pai yang disebut Sepasang Naga Mengejar Awan. Lagi-lagi ia melengak dan repot sekali menggunakan tangan kirinya menangkis sambil membuang diri ke belakang karena kedua kepalan gadis itu bergerak terlalu cepat dan juga aneh sekali.

Dia adalah Ketua Hoa-san-pai, dan semenjak kecil ia sudah melatih diri dengan ilmu silat Hoa-san-pai dan sudah hafal, malah ilmu silat ini sudah mendarah daging dalam dirinya. Akan tetapi mengapa diserang dua kali dengan tipu dari ilmu silat ini dia menjadi repot sekali?

Yang amat hebat adalah perubahan-perubahan yang susul-menyusul dari serangan gadis itu. Karena begitu Kwa Tin Siong membuang diri ke belakang, tahu-tahu gadis itu sudah menyerangnya lagi, sekarang dengan gerak tipu yang amat dahsyat, yaitu yang disebut Harimau Sakti Menerkam Kuda. Dengan kedua tangan terbuka gadis itu sudah meloncat dan menyambar ke arah punggungnya dengan jari-jari tangan terbuka.

Tentu saja Kwa Tin Siong merasa amat tidak enak untuk balas menyerang seorang gadis cilik seperti itu. Apa lagi gadis itu ternyata selalu mempergunakan jurus-jurus dari ilmu silat Hoa-san-pai dalam menyerangnya.

Akan tetapi karena diam-diam ia mengakui bahwa gerakan gadis ini agak berbeda dengan ilmu silatnya sendiri walau pun jurus-jurus itu sama benar, malah diam-diam ia terkejut karena daya penyerangan gadis cilik ini amat dahsyat, ia lalu mengambil keputusan untuk memberi sedikit hukuman kepadanya.

Melihat gadis itu kembali menerjangnya dengan gerakan Harimau Sakti Menerkam Kuda, ia membiarkan gadis itu sudah melayang dekat, lalu tiba-tiba ia menggerakkan tangan kiri menangkis ke depan dengan pengerahan tenaga lweekang-nya. Terdengar seruan kaget dari kedua pihak.

Gadis itu kaget sekali saat tangan kanannya tergetar dalam pertemuan dengan tangkisan Ketua Hoa-san-pai itu sampai seluruh tubuhnya ikut tergetar. Akan tetapi, Kwan Tin Siong kaget bukan main ketika dalam keadaan seperti itu, tanpa tersangka-sangka sama sekali, tangan kiri gadis itu tiba-tiba sudah menotok ke arah pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang dan sekaligus dapat merampas pedang itu dari tangannya!

Merah kini wajah Kwa Tin Siong. Pedang pusaka Hoa-san-pai dapat terampas dari tangan Ketua Hoa-san-pai, benar-benar hal ini merupakan hal yang amat memalukan! Ia harus mengakui bahwa gerakan-gerakan gadis ini dalam ilmu silat Hoa-san-pai amat mahir dan juga amat aneh, akan tetapi perampasan pedang tadi terjadi karena ia tidak menyangka sama sekali dan karena ia sudah banyak mengalah terhadap gadis muda itu.

"Bocah tidak tahu diri! Kau benar-benar semakin kurang ajar. Hayo lekas kau kembalikan pedangku!" katanya kereng.

Gadis muda itu menjebirkan bibirnya yang merah. "Pedang ini aku yang berhak. Karena aku merasa bahwa bukan kau orang yang kumaksudkan, maka kau tidak kubunuh. Orang yang kumaksudkan itu biar pun she Kwa juga, akan tetapi jauh lebih jahat dari padamu."

Diam-diam hati Kwa Tin Siong berdebar. Tidak salah lagi, tentu yang dimaksudkan oleh gadis ini adalah Kwa Hong. "Kau siapakah? Siapa namamu dan siapa orang tuamu?"

"Namaku Li Eng, orang tuaku... hemm, mereka tak ada sangkut-pautnya dengan urusanku ini, kau tidak perlu mengenal mereka." Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke belakang dan agaknya takut-takut.

"Ha, kau bocah nakal!" mendadak Kun Hong berseru sambil tertawa. "Aku tahu sekarang! Kau tentu minggat di luar tahunya orang tuamu, maka kau tidak berani menyebut nama mereka karena takut kami memberi tahu orang tuamu."

Gadis ini nampak semakin ketakutan. "Jangan..." katanya seperti anak kecil ditakut-takuti. "Jangan katakan kepada orang tuaku...!"

Kun Hong tertawa menggoda. "Nah, begitu baru anak baik, takut kepada orang tua! Hayo lekas kau kembalikan pedang ayah jika kau tak mau telingamu dijewer oleh ibumu nanti!"

Gadis itu ragu-ragu. "Tapi... tapi... kata ibu... pedang ini adalah hak ayah ibu dan... dan..."

"Lekas berikan, jika tidak awas, nanti kuberi tahukan ayah ibumu!" Kun Hong mengancam. "Tidak boleh mempergunakan pedang untuk membunuh orang."

"Aku tidak membunuh... boleh kau bawa dulu pedang ini, tetapi aku harus mencoba dulu sampai di mana hebatnya kepandaian Ketua Hoa-san-pai, mengapa dia berani menghina orang lain. Bawalah, tapi jangan kau berikan kepada siapa pun juga."

"Nah, begitu baru disebut gagah! Memang sudah sepantasnya bila kau hendak mencoba kepandaianmu. Tanpa pedang ini mana kau mampu mengalahkan ayahku? Baik, kubawa pedang ini dan kau boleh coba-coba dengan ayah. Kalau kau kalah, kau harus mengaku semuanya dan minta ampun atas kekurang ajaranmu."

"Huh, enak saja. Mana mungkin aku bisa kalah? Kalau aku menang, pedang itu harus kau kembalikan kepadaku dan Ketua Hoa-san-pai harus meninggalkan Hoa-san!"

"Ha-ha-ha, boleh, boleh...," kata Kun Hong yang tidak mau percaya kalau ayahnya akan kalah oleh gadis ini. "Gerakanmu ketiga-tiganya tadi salah semua. Agaknya kau pun telah mempelajari ilmu silat Hoa-san-pai, mana bisa kau menandingi ayah dalam ilmu silat ini? Gerakanmu yang pertama Burung Hong Mematuk Hati, kemudian disusul Sepasang Naga Mengejar Awan lalu yang terakhir tadi Harimau Sakti Menerkam Kuda semuanya salah dan aneh, jelas bukan ilmu silat Hoa-san-pai yang asli, sama sekali tidak cocok dengan catatan ayah!"

Lagi-lagi Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa melengak terheran karena sekali lagi putera mereka membuktikan bahwa hanya dengan melihat catatan anak itu sudah bisa mengenal ilmu yang dimainkan oleh gadis aneh ini.

Juga gadis itu terheran, tapi makin penasaran. Ia memberikan pedang Hoa-san Po-kiam kepada Kun Hong, lalu memasang kuda-kuda menghadapi Kwa Tin Siong.

"Kalau benar engkau adalah Ketua Hoa-san-pai, majulah. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu," tantangnya.

Semenjak tadi Kwa Tin Siong sudah menaruh curiga kepada anak perempuan itu. Tidak salah lagi bahwa gerakan-gerakannya tadi adalah Hoa-san Kun-hoat, namun bagaimana gerakannya demikian aneh? Memang betul Kun Hong, gerakan-gerakan itu agak berbeda dan menurut pandangannya sendiri adalah dilakukan dengan keliru, akan tetapi harus ia akui bahwa kekeliruan itu justru agaknya memperhebat daya penyerangannya!

Kwa Tin Siong menjadi ragu-ragu. Siapakah gadis ini dan apa maksud kedatangannya? Siapa yang menyuruhnya?

"Hayo, apakah kau takut kepadaku?" gadis itu menantang lagi melihat keraguan Kwa Tin Siong.

"Bocah tak tahu diri!" Liem Sian Hwa yang memang berwatak keras tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Sudah jelas bahwa ilmu silatmu adalah ilmu silat Hoa-san-pai, biar pun kurang matang. Bagaimana kau sekarang datang menantang Ketua Hoa-san-pai? Kau terhitung murid Hoa-san-pai juga, walau pun entah dari mana kau mencuri ilmu silat kami. Pergilah, kami tidak sudi berurusan dengan anak kecil!"

Gadis itu memandang Sian Hwa dengan matanya yang jeli. "Hemm, kau cantik, seperti ibu. Apakah kau juga she Kwa? Kalau kau she Kwa, kau majulah!"

"Hush, jangan kau kurang ajar kepada ibuku!” Kun Hong membentak dari samping.

"Aha, jadi dia ini ibumu? Kalau begitu juga tidak becus apa-apa seperti kau?"

Kui Tosu, orang pertama dari Pak-thian Sam-lojin, walau pun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun tapi wataknya amat berangasan. Sebagai tamu terhormat dia menjadi marah sekali menyaksikan lagak bocah itu, maka sekarang sambil mengebutkan ujung lengan bajunya, ia melangkah maju dan berkata,

"Siancai... siancai... alangkah buruk takdir Hoa-san-pai. Saudara Lian Bu Tojin tewas di tangan murid jahat, sekarang agaknya ada lagi murid Hoa-san-pai yang jahat dan datang-datang hendak mengacau perguruannya sendiri. Ehh, bocah, cepatlah kau minggat dari sini. Kami bersama Kwa-sicu sedang menghadapi urusan penting, tiada waktu meladeni anak-anak macam kau ini!"

Gadis itu memandang lucu, tertawa-tawa geli ketika melihat jenggot yang panjang dari Kui Tosu. "He-he-he, kau ini seperti kambing tua mengembik saja. Baru menghadapi penjahat kecil yang berkumpul di Im-kan-kok sudah ribut-ribut. Aku datang untuk berurusan dengan Ketua Hoa-san-pai she Kwa, kau ini kambing tua datang-datang menjual lagak mau apa sih?"

"Bocah kurang ajar!" Kui Tosu tak dapat menahan kemarahannya lagi, lalu tangan kirinya bergerak dan ujung lengan baju yang lebar itu menyambar merupakan tamparan keras ke arah kepala gadis itu.

"Ehh-ehh, kambing tua keluar tanduknya? Suruh dua ekor kambing tua temanmu itu maju semual" Gadis yang mengaku bernama Li Eng itu mengejek.

Serangan yang hebat itu dapat ia elakkan hanya dengan penggeseran kaki ke belakang dan miringkan kepala saja. Hebatnya, sambil mengelak ini kakinya yang kiri menyambar ke depan, ke arah lambung kakek itu!

Kui Tosu kaget sekali melihat tendangan yang amat cepat dan hebat ini. Ia sudah lama mengenal Lian Bu Tojin, karena itu ia pun sudah mengenal ilmu silat Hoa-san-pai. Jelas bahwa tendangan dan gerakan gadis ini adalah dari ilmu silat Hoa-san-pai.

Andai kata yang mainkan ilmu silat itu adalah Lian Bu Tojin sendiri atau setidaknya Kwa Tin Siong, ia tidak akan merasa aneh kalau melihat kehebatan ilmu silat itu. Akan tetapi sekarang yang memainkannya hanya seorang gadis belasan tahun usianya, bagaimana bisa demikian cepat dan juga aneh?

Serangan balasan dengan tendangan ini sebetulnya tidak pada tempatnya untuk melayani tamparan tadi, bahkan membahayakan si penendang sendiri. Maka Kui Tosu juga tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk memberi hajaran dan membikin malu gadis nekat ini. Tangan kirinya menyambar dari bawah dengan maksud menangkap kaki yang menendang untuk kemudian didorong supaya gadis itu jatuh.

Akan tetapi begitu tangan kakek ini menyentuh sepatu Li Eng, dengan kaget ia terhuyung mundur karena pada saat itu tanpa disangka-sangka sama sekali Li Eng dapat memutar kakinya yang langsung menendang ke pundak Kui Tosu. Serangan ini sama sekali tidak tersangka-sangka olehnya karena amat aneh, maka tanpa dapat ia hindarkan, pundaknya telah didorong ujung sepatu, biar pun tidak mengakibatkan luka parah, akan tetapi cukup membuat ia terhuyung-huyung dan kehilangan muka!

Marah sekali kakek ini. Tanpa berkata apa-apa ia kemudian menerjang kembali, sekarang mengeluarkan serangan yang hebat. Bahkan kakek ke dua, Bu Tosu, juga membentak sambil menyerang.

"Heh-heh, kambing tua yang satu lagi kenapa tidak maju?" Li Eng mengejek.

Tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebatan ke sana ke mari, menyelinap di antara serangan dua orang kakek dari utara itu. Bagaikan seekor burung walet yang amat gesit tubuhnya berloncatan, menyelundup, mengelak dan semua itu digerakkan dengan langkah-langkah ilmu silat Hoa-san-pai yang amat sempurna sehingga Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, dua orang ahli ilmu silat Hoa-san-pai, yang melihat itu jadi saling pandang dengan penuh keheranan.

Apa lagi ketika Lie Eng menggunakan langkah-langkah Hoa-san Pat-kwa-pouw, tak terasa lagi Kwa Tin Siong berbisik kepada isterinya, "Dari mana dia mempelajari ini?"

Sementara itu, Kui Tosu dan Bu Tosu menjadi makin penasaran karena sudah beberapa belas jurus mereka menyerang, belum juga mampu mengalahkan gadis aneh itu. Jangan kata mengalahkan, menyentuh ujung bajunya saja tak mampu.

Melihat ini, Lai Tosu tiba-tiba teringat akan sesuatu dan ia maju pula sambil membentak, "Siluman cilik, apakah kau anggota rombongan di Im-kan-kok yang hendak mengacau Hoa-san-pai?"

"Hi-hik, kambing tua, kau majulah sekalian, mengapa banyak bertanya? Kalau benar aku anggota rombongan, apakah kau takut?"

"Bagus, kalau begitu kami akan menangkapmu lebih dulu!"

Lai Tosu segera menyerbu dan pertandingan menjadi makin ramai karena sekarang Lie Eng di keroyok tiga oleh Pak-thian Sam-lojin. Sungguh pemandangan yang luar biasa lucu apa bila melihat betapa seorang gadis belasan tahun kini dikeroyok tiga oleh tokoh-tokoh ternama seperti Pak-thian Sam-lojin.
cerita silat karya kho ping hoo

Kwa Tin Siong mengerutkan kening. Dua macam perasaan mengaduk dan menguatirkan hatinya. Pertama-tama, sungguh pun Pak-thian Sam-lojin adalah tamunya dan bertindak untuk membantu Hoa-san-pai, namun sungguh amat tidak layak kalau tiga orang tokoh persilatan mengeroyok seorang gadis cilik. Kedua kalinya, jika betul gadis ini adalah anggota rombongan yang menyerbu Im-kan-kok, benar-benar berbahaya sekali. Baru gadis cilik ini saja sudah begini lihai, apa lagi yang lain-lain?

Heran dia, bagaimana seorang seperti Hek-houw Bhe Lam dapat mengajak seorang gadis selihai ini? Dan lebih aneh lagi, kini jelas baginya bahwa gadis ini benar-benar seorang ahli silat Hoa-san Kun-hoat, sungguh pun gerakan-gerakannya sangat aneh dan bahkan lebih cepat dan lebih hebat dari pada ilmu silat Hoa-san-pai yang asli.

Selagi ia hendak turun tangan mencegah dilanjutkannya pertempuran yang seimbang itu, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara suitan panjang yang mengagetkan semua orang. Apa lagi setelah melihat betapa tubuh gadis itu lenyap berubah bayangan yang cepat bukan main.

Tiga orang kakek itu mengeluarkan suara kaget, apa lagi Kui Tosu dan Bu Tosu karena entah bagaimana caranya, tahu-tahu gadis itu sudah dapat menyambar jenggot mereka yang panjang, lalu melilitnya menjadi satu, dan menarik-narik jenggot itu sehingga dengan gerakan kacau-balau dua orang tosu ini terpaksa berjingkrakan.

Mereka merasa kesakitan. Apa lagi sekarang Li Eng lari berputaran dan dalam keadaan yang kacau balau itu dia malah memutari tubuh Lai Tosu sehingga tosu ke tiga ini terbelit jenggot-jenggot itul Tiga orang tosu itu saling bertabrakan dengan kacau dan dua orang tosu yang dipegangi jenggotnya berteriak-teriak, "Lepaskan jenggot! Lepaskan jenggot!"

Keadaan benar-benar sangat lucu dan terdengarlah suara ketawa Kun Hong, "Ha-ha-ha, lucu sekali."

"Apakah yang lucu?" Kwa Tin Siong membentak marah. "Bocah itu kurang ajar sekali." Ia melompat maju dan mencengkeram ke arah lengan tangan gadis itu sambil membentak, "Bocah kurang ajar, pergilah!"

Serangan Kwa Tin Siong ini hebat bukan main karena ia telah menggunakan jurus Dewa Menangkap Geledek. Namun ternyata bocah itu lebih lihai lagi karena dengan kecepatan luar biasa ia lalu mencengkeram jenggot-jenggot itu sambil berseru keras. Seketika itu pula jenggot-jenggot itu putus di tengah-tengah dan sebelum sempat tangan Kwa Tin Siong menyentuhnya ia telah menyambitkan rambut jenggot dalam genggamannya itu ke arah muka Ketua Hoa-san-pai.

"Aiiih!" Kwa Tin Siong cepat membuang diri ke samping dan rambut jenggot itu meluncur cepat di samping kepalanya. Bukan main hebatnya tenaga dalam gadis itu yang mampu menyambitkan rambut menjadi senjata rahasia yang ampuh.

Sementara itu, Pak-thian Sam-lojin benar-benar marah. Hinaan ini membuat mereka bagai kebakaran jenggot dan mencak-mencak saking marahnya. Juga Lai Tosu yang tidak putus jenggotnya, yang tadi tubuhnya terbelit jenggot kedua saudaranya sampai pakaiannya robek-robek, menjadi marah sekali.

Seperti dikomando saja ketiganya menggerakkan tangan dan tahu-tahu tangan mereka telah memegang sebatang pedang. Dengan muka merah mata melotot dan sikap penuh ancaman, ketiganya menghadapi Li Eng yang tersenyum-senyum mengejek.

Kwa Tin Siong hendak membuka mulut mencegah tiga orang tamunya itu mengeroyok gadis aneh tadi dengan pedang di tangan. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara keras, "Aih, tiga orang tua bangka mengeroyok seorang bocah? Ha-ha, betul-betul tak tahu malu Pak-thian Sam-lojin menghadapi lawan yang patut menjadi cucunya!"

Ucapan ini keras dan parau, lalu disusul melayangnya sesosok tubuh ke tengah pelataran itu. Ketika tubuh ini jatuh berdebuk di atas tanah kiranya itu adalah tubuh seorang tosu Hoa-san-pai yang sudah mati dan tubuhnya hitam hangus seperti terbakar.

Li Eng gadis aneh itu tertawa, lalu sekali mengenjot tubuhnya ia telah meloncat ke atas sebuah pohon, duduk ‘nongkrong’ di atas cabang pohon itu, duduk dengan enak seperti orang hendak menonton pertunjukan yang menarik hati.

Dan sementara itu, dari luar pelataran datang beberapa orang aneh. Yang paling depan adalah seorang kakek tua yang bongkok, giginya sudah ompong dan matanya besar sebelah, pakaiannya tambal-tambalan dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam. Di sampingnya berjalan seorang wanita yang biar pun usianya sudah lima puluh tahun lebih namun pakaiannya masih mewah dan wajahnya masih cantik.

Kwa Tin Siong dan isterinya, juga Pak-thian Sam-lojin segera mengenal dua orang ini yang bukan lain adalah Toat-beng Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li, dua orang kang-ouw yang sudah tersohor karena kejahatan dan kelihaiannya.

Toat-beng Yok-mo, sesuai dengan nama julukannya Yok-mo (Setan Obat), adalah ahli pengobatan yang tiada duanya di dunia kang-ouw. Kepandaiannya mengobati luar biasa sekali sehingga boleh dibilang segala macam penyakit ia sanggup mengobatinya sampai sembuh. Akan tetapi hebatnya, setelah orang yang diobati sembuh, ia tentu akan turun tangan membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa ia mendapat julukan Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa). Ada pun Kim-thouw Thian-li adalah Ketua Ngo-lian-kauw yang terkenal jahat, kejam, dan curang sekali.

Di belakang dua orang tokoh ini kelihatan seorang laki-laki tinggi besar dengan mata bundar, di punggungnya terlihat sebatang golok yang mengkilap dan besar. Kwa Tin Siong dan yang lain-lain tidak mengenal orang ini, akan tetapi Thio Ki atau Thian Beng Tosu segera mengenalnya. Itulah musuh lamanya, Hek-houw Bhe Lam! Di belakang tiga orang ini masih terdapat sekelompok orang berjumlah tiga puluh dan rata-rata mempunyai air muka yang kasar dan kejam.

Dengan keberanian luar biasa, sebelum orang lain bergerak, Kun Hong sudah melangkah lebar menyambut kedatangan rombongan yang dikepalai oleh kakek bongkok seperti iblis itu. Dengan nada suara marah Kun Hong berkata, "Apakah kalian ini yang menulis surat dan hendak mengacau Hoa-san-pai?"

Kim-thouw Thian-li yang semenjak dulu berwatak genit dan gila laki-laki, melihat pemuda yang tampan ini menjadi tertarik hatinya dan memandang kagum. Ia selamanya kagum sekali melihat pemuda tampan yang mempunyai keberanian besar seperti Kun Hong ini. Diam-diam ia mengira bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar muda yang memiliki kepandaian tinggi.

Sementara itu, Toat-beng Yok-mo tertawa ha-ha-he-he lalu menjawab, "Yang menulis surat adalah Bhe-sicu ini, aku hanya turut datang saja. Orang muda, kau mau apakah? Orang tidak memiliki ilmu silat seperti kau ini tak perlu maju. Heh-heh!" Sekali pandang dapat melihat bahwa Kun Hong tidak mengerti ilmu silat, hal ini saja sudah membuktikan ketajaman mata kakek ini.

"Aku tidak akan bicara tentang ilmu silat, juga tentang maksud kedatangan kalian biar kita bicarakan belakangan. Yang sekarang penting untuk kita bicarakan adalah tentang ini!" Kun Hong makin marah ketika menudingkan telunjuknya ke arah muka tosu yang rebah menggeletak di atas tanah dalam keadaan mengerikan itu.

"Apakah kalian yang membunuh seorang saudara kami ini?"

"He-heh-heh..." Toat-beng Yok-mo terkekeh geli dan bertukar pandang dengan Kim-thouw Thian-li.

Wanita genit ini merasa semakin kagum saja menyaksikan ketabahan pemuda tampan itu. Diam-diam ia masih tidak percaya kata-kata Toat-beng Yok-mo yang tadi menganggap pemuda ini tiada kepandaian. Seorang tanpa kepandaian silat mana seberani ini?

"Pemuda tolol, kalau betul kami yang membunuh lalu kau mau apa?" Kakek ompong itu kembali tertawa sehingga tampak mulutnya yang tak bergigi lagi.

Kun Hong makin marah. "Mana ada aturan ini? Kalian ini benar-benar jahat sekali, apa kalian tidak patut dihukum? Mana bisa kalian membunuh begitu saja? Aku tidak terima!"

"Habis, kau mau apa?" Hek-houw Bhe Lam melangkah maju menantang.

"Apa kau yang bernama Hek-houw?" Kun Hong bertanya.

"Betul Kau siapa dan apa maksudmu berlagak?" jawab kepala rampok ini.

“Betul-betul tak kenal aturan. Datang-datang membunuh orang. Jika kulaporkan kau tentu ditangkap dan dihukum mati. Apa bila kau dan teman-temanmu datang hendak mengadu kepandaian, itu sih masih mendingan. Akan tetapi kalian datang-datang telah melakukan pembunuhan, benar-benar penasaran! Tunggu saja aku akan menyuruh seorang saudara melaporkan kepada kepala kampung di kaki gunung, kau tentu akan ditangkap dan diseret ke pengadilan!"

Hek-Houw Bhe Lam melengak heran dan terdengarlah suara ketawa ramai di antara para pendatang itu. Bhe Lam akhirnya tertawa juga, tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, kiranya di Hoa-san-pai ada orang gila berotak miring. Jangan banyak mulut, pergilah!" Tangannya bergerak memukul dada Kun Hong.

Kwa Tin Siong kaget sekali dan melompat hendak menolong puteranya, akan tetapi...


BERSAMBUNG KE Rajawali Emas Jilid 11