Pusaka Pulau Es Bagian 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 13

Keng Han merasa kagum dan terpesona ketika dia tiba di kota raja. Belum pernah dia melihat bangunan-bangunan sebesar dan seindah itu. Dia benar-benar seperti seorang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar. Tidak sukar baginya mencari rumah Hartawan Ji karena nama itu sudah terkenal di kota raja. Dan dia pun mengunjungi rumah itu, sebuah gedung besar yang mempunyai pintu gerbang besar dan tebal, dijaga pula oleh orang-orang yang nampaknya seperti tukang-tukang pukul atau ahli-ahli silat.

Kepada para penjaga pintu ini ia mengaku bernama Si Keng Han dan ingin menghadap Hartawan Ji karena urusan penting. Dia disuruh menanti sebentar sementara seorang penjaga melaporkan ke dalam, dan tidak lama kemudian dipersilakan memasuki kamar tamu yang besar dan mewah. Keng Han memandangi semua keindahan itu. Gambar-gambar, sajak-sajak, hiasan-hiasan dan bahkan meja kursi di situ berukir indah. Oleh pengawal yang mengantarnya dia dipersilakan duduk menanti dan pengawal itu sendiri lalu keluar lagi.

Bunyi langkah kaki membuat jantung Keng Han berdebar amat tegang. Benarkah cerita Gulam Sang bahwa dia akan mendapat keterangan yang lebih jelas tentang ayahnya? Begitu tuan rumah muncul, dia cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat sambil mengamati wajah orang itu.

Dia melihat seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang masih gagah dan tampan, berpakaian sutera sebagaimana pakaian seorang hartawan. Sebaliknya, tuan rumah itu yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri juga mengamati pemuda yang kini memberi hormat di depannya. Diam-diam dia merasa kagum dan bangga. Puteranya! Akan tetapi di dalam hati yang sudah mengeras itu tidak ada rasa keharuan, hanya ada perasaan girang karena mungkin dia akan mendapatkan seorang pembantu yang amat berguna.

“Maafkan, Tuan...”

“Jangan sebut aku tuan, panggil saja paman,” kata Pangeran Tao Seng atau Hatawan Ji ramah.

“Maafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu kesibukan Paman.”

“Ahh, tidak mengapa. Silakan duduk dan perkenalkan siapa dirimu dan ada kepentingan apa ingin bertemu denganku.”

Keng Han mengambil tempat duduk. Bantalan kursinya lunak sekali, enak diduduki.

“Nama saya Si Keng Han, Paman, dan nama Paman diperkenalkan kepada saya oleh seorang sahabat yang bernama Gulam Sang.”

“Aha, begitukah? Gulam Sang itu adalah putera angkatku sendiri.”

Baru sekarang Keng Han mengetahui dan dia pun terkejut. Kiranya putera gurunya itu telah diambil anak oleh hartawan ini. “Apa bila begitu, semua keterangannya mengenai Paman tentu benar semua.”

“Keterangan apakah tentang diriku?”

“Bahwa Paman pernah mengenal ayah kandung saya dan mengetahui tentang semua peristiwa yang menimpa diri ayah kandung saya.”

“Siapakah ayah kandungmu?”

“Dahulu ayah kandung saya adalah seorang pangeran, namanya Pangeran Tao Seng.”

“Akan tetapi bukankah namamu Si Keng Han dan nama margamu Si?”

“Itu hanya untuk penyamaran saja, Paman. Tidak baik kiranya kalau saya menggunakan nama keluarga istana, hanya akan menarik perhatian orang saja.”

Tao Seng mengangguk-angguk, menyatakan bahwa dia dapat mengerti. “Lalu apa yang hendak kau tanyakan tentang Pangeran Tao Seng? Siapa pula ibumu dan di mana ia sekarang berada?”

”Saya hendak mencari ayah kandung saya, akan tetapi saya mendengar bahwa ayah saya difitnah orang sehingga dihukum buang. Ibu saya adalah seorang wanita Khitan, puteri kepala suku. Ibu yang mengutus saya pergi mencari ayah kandung saya karena setelah meninggalkan ibu selama dua puluh tahun, sedikit pun dia tidak pernah memberi kabar.”

Ji Wan-gwe sekarang merasa yakin bahwa yang berhadapan dengan dia adalah putera kandungnya, putera Silani. Bahkan dia yang dahulu memesan kepada Silani bahwa jika isterinya itu melahirkan seorang anak laki-laki agar diberi nama Tao Keng Han!

Akan tetapi, kalau ada sedikit getaran pada jantungnya karena terharu bertemu putera kandungnya, ingatannya akan cita-citanya lebih besar dan lebih kuat sehingga dia dapat menekan perasaannya. Dia pun menghela napas besar seperti orang bersedih, padahal napas panjang itu untuk menekan rasa harunya.

“Menyedihkan sekali nasib ayahmu itu, Kongcu. Ketahuilah bahwa saya dahulu menjadi pengawal dari ayah kandungmu. Bahkan ketika Pangeran Tao Seng dibuang ke barat, saya tetap mengikutinya untuk menemani dan melayaninya. Dia memang terkena fitnah, Kongcu.”

“Demikian kata Gulam Sang. Bukankah ayah seorang pangeran mahkota? Bagaimana dia bisa terkena fitnah dan siapa pula yang memfitnahnya?”

“Semua itu terjadi akibat iri hati. Salah seorang pangeran lain yang bernama Tao Kuang merasa iri hati karena ayahmu yang terpilih sebagai pangeran mahkota. Maka dia lalu melakukan fitnah dan menuduh ayahmu hendak memberontak serta membunuh kaisar. Memang ada bukti-bukti karena bukti-bukti itu memang sudah disediakan lebih dulu oleh Pangeran Tao Kuang. Oleh karena dituduh hendak membunuh kaisar dan membunuh Pangeran Tao Kuang, maka ayahmu lalu dihukum buang selama dua puluh tahun. Saya mengikutinya sampai di tempat pembuangannya.”

“Ahh, kasihan sekali ayah kandungku! Dan sekarang dia berada di mana, Paman Ji?”

Hartawan Ji menghela napas lagi. “Agaknya Pangeran Tao Kuang tidak puas karena ayahmu hanya dihukum buang. Ia menghendaki kematian ayahmu maka dia menyuruh orang untuk menyusul ke barat, dan di sana orang-orangnya berhasil meracuni ayahmu sehingga meninggal dunia!”

“Ahhh...!” Keng Han menundukkan mukanya karena tidak ingin kelihatan menangis atau berduka.

Sampai lama keduanya terdiam, kemudian terdengar Hartawan Ji berkata dengan suara yang mengandung kemarahan.

“Akan tetapi kita tidak tinggal diam Kongcu! Dendam sedalam lautan ini harus ditebus dengan kematian Pangeran Tao Kuang dan kaisar!”

“Akan tetapi bagaimana mungkin, Paman? Kita hanyalah orang-orang biasa, bagaimana mungkin dapat menentang kekuasaan yang memiliki ratusan ribu pasukan?”

“Kita tidak bergerak sendiri, Kongcu. Dengarlah. Dengan bantuan anakku Gulam Sang, kita sudah menghimpun persekutuan yang cukup kuat. Banyak partai persilatan besar, para tokoh kang-ouw yang sakti, sudah siap membantu. Kalau engkau suka membantu, kiranya tidak akan sukar untuk membunuh Pangeran Tao Kuang atau bahkan kaisar sekali pun.”

“Tentu saja saya suka membantu. Di mana jenazah ayahku dimakamkan, Pamain Ji?”

“Atas permintaannya sendiri sebelum meninggal, jenazahnya sudah diperabukan, akan tetapi sampai sekarang abunya belum dapat kukubur atau kubuang ke laut. Aku masih takut kalau-kalau ada yang tahu atau pun mengenalku sebagai pengawal ayahmu, bisa celaka aku. Abu jenazah itu masih kusimpan di rumah ini, kubuatkan sebuah meja abu. Kalau Kongcu hendak bersembahyang di depan meja abu, silakan, Kongcu.”

Keng Han berterima kasih sekali dan dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam yang hiasannya lebih indah. Mereka sampai di sebuah ruangan di mana terdapat sebuah meja dan abu itu yang tersimpan di dalam sebuah bejana dari perak. Tidak ada tulisan apa pun di situ dan hal ini dapat dimengerti oleh Keng Han karena hartawan itu tentunya tidak ingin ketahuan bahwa dia bekas pengawal Pangeran Tao Seng.

Keng Han lalu bersembahyang dan berlutut di depan meja abu itu. Dia terkenang pada ibunya dan hatinya seperti diremas. Lima tahun lebih dia meninggalkan ibunya dengan harapan akan dapat bertemu dengan ayahnya. Siapa sangka sekarang dia hanya dapat bersembahyang di depan abunya.

“Ayah, saya bersumpah untuk membalas dendam kematian ayah!" katanya kuat-kuat, yang membuat Hartawan Ji yang berdiri di belakangnya tersenyum penuh arti.

Setelah bersembahyang mereka bercakap-cakap lagi berdua saja, di ruangan lain.

"Untuk membunuh kaisar memang merupakan hal yang sulit sekali karena kaisar selalu terkurung rapat oleh para pengawalnya. Akan tetapi membunuh Pangeran Tao Kuang yang kini menjadi Putera Mahkota itu tentu lebih mudah. Dia tidak terjaga begitu ketat. Hanya saja, Pangeran Tao Kuang memiliki seorang selir yang pandai ilmu silat. Tadinya ayah mertuanya juga berada di sana, akan tetapi setelah ayah mertuanya meninggal, yang perlu diperhitungkan adalah selirnya itu. Apakah engkau berani menyerbu ke sana dan melawan selirnya yang lihai itu?"

"Untuk membalas dendam, saya berani melakukan apa saja, Paman Ji!"

"Bagus! Kalau begitu sebaiknya engkau tinggallah di sini beberapa waktu lamanya untuk mempelajari keadaan dalam Istana Pangeran Mahkota. Setelah hafal akan keadaan di sana barulah engkau bergerak. Apakah engkau membutuhkan bantuan, Tao-kongcu?"

"Tidak dalam hal ini jangan sampai Paman tersangkut. Untuk membalaskan dendam ayah, biar aku sendiri yang bertanggung jawab."

"Baiklah, kalau begitu akan kuusahakan menemukan denah istana pangeran mahkota itu sehingga engkau akan lebih mudah bergerak kalau sudah berhasil masuk ke sana."

Keng Han mengucapkan terima kasih dan merasa gembira sekali. Walau pun dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, kalau dia dapat membalaskan sakit hatinya, dia sudah merasa puas sekali. Tentu hal ini juga akan menjadi hiburan bagi ibunya sesudah kelak mendengar tentang kematian ayah kandungnya….
cerita silat karya kho ping hoo

Yo Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki memasuki kota raja. Semenjak kecil Han Li tinggal di Bukit Naga dan biar pun dia pernah melihat kota besar, akan tetapi baru sekali ini dara ini melihat kota raja, maka banyak hal yang membuatnya menjadi bengong! Banyaknya toko, rumah penginapan dan rumah makan yang serba besar, taman-taman yang besar dan indah, banyaknya orang berlalu lalang, pagoda-pagoda yang nampak dari jauh di lereng bukit, semua itu membuatnya berulang kali memuji.

"Uhhh, apa sih bagusnya semua itu? Hanya dapat dipandang akan tetapi tidak dapat dirasakan! Lihat nanti kalau kita bisa mendapatkan hidangan kaisar atau pangeran, baru engkau akan benar-benar kagum! Hidangan-hidangan itu bukan hanya dapat dipandang dan dicium sedapnya, akan tetapi juga dapat dirasakan dengan lidah! Wahhh, mulutku menjadi basah mengingat semua itu."

Han Li tersenyum geli. Yang diingat oleh gurunya ini hanya makanan saja. Selama ini, hampir setiap hari ia harus memasak makanan untuk gurunya yang mengatakan bahwa ia pandai memasak dan bahwa masakannya sedap sekali.

"Engkau berbakat seni memasak, Han Li!" pujinya berulang-ulang. "Tahukah engkau bahwa memasak itu merupakan seni yang tinggi nilainya? Cara mengerat daging atau memotong sayurnya, cara membesarkan atau mengecilkan apinya dan berapa lamanya memasak, semuanya itu mengandung seni tersendiri. Bumbu-bumbu sederhana saja di tangan seorang ahli akan dapat mendatangkan kelezatan pada masakan. Apa saja yang dimasak oleh seorang yang berbakat seni memasak, tentu enak!"

Gurunya memang tukang makan. Kalau perlu dia akan mencuri makanan! Pernah ketika mereka melewati sebuah rumah makan yang memamerkan bebek panggang, Kai-ong lalu berjalan di dekat rumah makan itu, dan ketika dia keluar dari situ, di bawah baju rombengnya telah tersembunyi seekor bebek panggang utuh. Di sepanjang jalan bebek panggang itu dilahapnya sambil memberi komentar tentang rasa bebek panggang itu.

Jarang ada makanan yang dipuji kakek ini, ada saja kekurangannya, kurang asin atau terlalu manis, terlalu kering dan sebagainya. Jika sekarang dia sudah memuji setinggi langit sebelum merasakan hidangan istana, Han Li percaya bahwa hidangan itu tentulah benar-benar istimewa.

Ketika mereka berjalan lewat depan sebuah gedung seperti istana, Kai-ong berhenti. "Ahhh, itu rumah Pangeran Mahkota. Aku yakin hidangan masakan di sini tidak kalah lezat dari pada yang berada di istana kaisar. Kaisar sudah terlalu tua, tentu giginya pun sudah banyak yang ompong dan masakannya tentu yang lunak-lunak saja. Berbeda dengan masakan di istana Pangeran Mahkota, tentu lengkap dengan yang agak keras. Han Li, kita makan di dapur Pangeran Mahkota saja!"

Han Li memandang dengan khawatir. Di depan istana itu saja sudah terdapat prajurit pengawal yang berjaga. Tentu istana itu di jaga ketat. Bagaimana mereka dapat makan di dapur istana ini? Han Li merasa ngeri kalau sampai ketahuan dan dikeroyok, apa lagi kemudian ditangkap. Alangkah malunya. Ditangkap sebagai pencuri makanan!

"Akan tetapi gedung itu tentu dijaga ketat, Suhu."

"Heh-heh-heh, tentu saja. Akan tetapi apa artinya segelintir penjaga itu untuk kita. Mari ikuti aku!"

Kai-ong lalu mengambil jalan memutar dan tibalah mereka di luar tembok pagar yang mengelilingi gedung itu bagian belakang. Setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang, Kai-ong mengajak muridnya untuk meloncati pagar tembok yang tinggi itu. Mula-mula Kai-ong yang lebih dulu melompat dan dia sudah mendekam di atas pagar tembok. Han Li menyusul. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung ia melayang naik ke atas pagar tembok dan mendekam di sebelah gurunya. Ternyata di sebelah dalam pagar tembok itu terdapat sebuah taman yang amat indah.

"Nah, sudah kuduga. Tentu dalamnya sebuah taman atau kebun. Mari kita loncat ke dalam dan kau bersembunyi di belakang rumpun bambu di sana itu!" Kai-ong memberi petunjuk dan keduanya lalu berlompatan masuk. Han Li segera lari ke belakang rumpun bambu seperti yang dikehendaki Kai-ong, sementara kakek itu sendiri berindap-indap menghampiri bangunan itu dari belakang.

Bagai sebuah bayangan, Kai-ong menyelinap masuk. Han Li yang disuruh bersembunyi hanya menunggu. Jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau mereka ketahuan? Ia tidak takut akan ancaman pengeroyokan, hanya merasa malu kalau sampai ketahuan masuk ke rumah orang untuk mencuri makanan!

Tidak lama kemudian, Kai-ong muncul lagi dan memberi isyarat dengan tangan kepada Han Li untuk mengikutinya. Kiranya kakek tadi lebih dahulu menyelidiki di mana adanya dapur istana itu. Han Li berlari menghampirinya dan keduanya lalu menyelinap masuk melalui pintu belakang.

Tiba-tiba Kai-ong menarik tangan Han Li untuk bersembunyi. Baru sekejap saja Han Li bersembunyi di balik tembok, dia melihat tiga orang pengawal yang membawa tombak lewat di dekat mereka. Untung mereka sudah bersembunyi. Kalau terlambat sebentar saja mereka tentu sudah ketahuan!

Setelah tiga orang pengawal itu lewat, kembali Kai-ong mengajak Han Li melanjutkan perjalanan memasuki bagian yang lebih dalam di istana itu. Setibanya di dapur, Han Li melihat ada kesibukan di dalam dapur. Kai-ong memberi isyarat untuk mengikutinya dan kakek itu lalu melayang naik ke atas dapur. Han Li mencontoh perbuatan gurunya dan kini mereka mendekam di atas atap dapur mengintai ke bawah.

Sebelum dapat melihat apa-apa, lebih dulu hidung Han Li disambut bau masakan yang amat sedap. Cepat ia mengintai dan melihat lima orang koki sedang membuat masakan. Bermacam-macam masakan itu.

"Hemmm, udang besar saus tomat itu nampaknya menggapai-gapai kepadaku," Kai-ong berbisik dan dia menjilat bibirnya sendiri.

Han Li merasa geli dan juga heran ketika gurunya mengeluarkan segulung tali yang di ujungnya dipasangi besi kaitan seperti sebuah pancing! Han Li baru mengerti setelah gurunya menurunkan pancing itu ke bawah dan menanti sampai para koki itu lengah, barulah dia mengayun pancingnya dan besi kaitan itu dengan tepat sekali mengait seekor udang goreng saus tomat yang segera ditariknya ke atas. Segera ditangkapnya udang yang masih panas itu dan dimakannya dengan lahap sekali.

"Wah, enaknya bukan main!" Dia memuji dan di lain saat dia sudah mengait seekor lagi yang lalu diberikan kepada Han Li.

Sebetulnya Han Li tidak berselera makan masakan curian itu, akan tetapi ia tidak mau mengecewakan gurunya, maka dimakannya udang itu. Ternyata memang lezat sekali.

Setelah menghabiskan lima ekor udang besar, dan selagi matanya sedang mencari-cari masakan lain, di bawah terjadi keributan. Si tukang masak udang goreng saus tomat itu yang membuat ribut.

"Heiii!! Udangku ke mana? A Sam, jangan main-main kau!" tegurnya kepada temannya yang sedang memasak masakan ayam tanpa tulang. "Tentu engkaulah orangnya yang makan udang-udangku. Kenapa bisa tinggal setengahnya?"

"Ngawur! Siapa makan udang-udangmu? Sejak tadi aku mempersiapkan masakanku sendiri, mana aku ada waktu untuk memperhatikan udangmu, apa lagi mencurinya dan memakannya."

"Akan tetapi udang besar itu tadinya berjumlah belasan ekor, sekarang tinggal delapan ekor lagi! Yang berada di dekatku hanya engkau. Siapa lagi yang mencurinya kalau bukan engkau?"

"Aku tidak mencuri udangmu. Jangan main tuduh sembarangan kau!"

Teman-teman yang lain melerai. "Sudahlah, mungkin dimakan kucing."

"Tidak ada kucing yang masuk ke sini." bantah koki udang yang merasa kehilangan.

Sementara itu, di dalam keributan itu, selagi para koki bicara dan lengah, seekor ayam tanpa tulang sudah melayang naik ke atas. Kai-ong membaginya dengan Han Li dan mereka makan masakan istimewa. Ayam itu masih utuh, akan tetapi ketika digigit, sama sekali tidak ada tulangnya dan ayam itu diisi cacahan daging dengan bumbunya yang sedap.

"Heiii...! Mana ayamku?" tiba-tiba koki ayam yang tadi dituduh mencuri udang, berteriak.

"Ayam apa lagi?!" tanya teman-temannya.

"Tadi masih di sini, baru saja kuangkat dari tempat masak. Semua ada lima ekor, akan tetapi lihat, hanya tingga empat ekor. Yang seekor lagi terbang ke mana?"

"Mana ada ayam tanpa tulang itu dapat terbang?"

"Tentu ada yang mencuri dan menyembunyikan. A-cui, engkau tadi menuduh aku sudah mencuri udang-udangmu. Agaknya engkau kini hendak membalas dendam, kemudian engkau menyembunyikan ayamku!"

"Kau gila! Aku tidak mencuri ayammu!" A-cui membentak.

Dua orang itu sudah saling mengacungkan pisau dapur yang tajam, akan tetapi dilerai teman-temannya. Akhirnya keributan itu pun mereda dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka.

Sementara itu, seekor ayam cabut tulang tadi telah habis memasuki perut Kai-ong dan Han Li. Kai-ong menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan minyak dan menggumam, "Wah, enak... lezat...!"

"Suhu, aku sudah kenyang. Mari kita pergi dari sini," bisik Han Li.

"Wah, nanti dulu. Baru mencicipi sedikit sudah mau pulang! Dan lagi, makan seperti ini kurang enak. Aku ingin mencicipi masakan rebung kaki biruang itu, dan itu ada swi-ke pemakan burung, dan panggang bebeknya, goreng burung merpati, wah, masih begitu banyak dan engkau telah mengajak pulang? Nanti dulu ah!"

Kai-ong mematahkan ujung genting, diremasnya menjadi potongan kecil-kecil lalu mulai menyambitkan ke bawah.

"Aduh, siapa memukul kepalaku?" teriak seorang koki gendut sambil menggosok-gosok kepalanya yang botak.

"Aduh! Aku juga dipukul. Kamu yang memukul kepalaku, ya?" teriak A-sam dan dia langsung saja menuduh A-cui.

Acui menjadi marah lagi. "Siapa yang memukul? Aduh, siapa mengetuk kepalaku?"

Kemudian terdengar mereka semua mengaduh dan suasana menjadi kacau. Dalam keadaan seperti itu, Kai-ong memberi isyarat kepada Han Li dan mengajak gadis itu melayang turun ke dalam dapur!

Dengan cekatan Kai-ong sudah mengambil semangkok sop ayam muda dan sambil berjongkok dan bersembunyi di belakang meja dia menyambar pula sepasang sumpit dan mulailah dia makan dengan lahapnya. Dia memberi isyarat kepada Han Li supaya meniru perbuatannya.

Tetapi Han Li yang juga ikut bersembunyi di belakang meja menggerakkan pundaknya, lalu menyambar sepotong bak-pauw dan memakannya. Bak-pauw adalah sebuah roti biasa yang berisi daging dan sayur, akan tetapi bak-pauw yang terdapat dalam dapur Pangeran Mahkota ini lain rasanya. Memang enak sekali.

Setelah mencicipi berbagai macam masakan, Kai-ong ingin minum dan merangkaklah dia ke tempat penyimpanan guci-guci arak. Dia membuka sebuah guci dan dituangkan isinya begitu saja ke mulutnya.

"Heiii, ke mana masakan goreng burung merpatiku?"

"Dan kenapa sop ayam muda ini tinggal sedikit?"

"Ca rebung muda kaki biruangku juga tinggal sedikit!"

"Wah, bau arak! Jangan-jangan ada guci arak yang pecah!"

Lima orang koki itu ribut-ribut dan mencari ke sana ke mari. Tentu saja guru dan murid itu sibuk berloncatan ke sana ke mari untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi Kai-ong yang keenakan minum arak tidak sempat lagi bersembunyi. Seorang di antara lima koki itu melihatnya dan berteriak, "Wah, ini dia malingnya. Seorang pengemis tua!"

"Celaka, masakan kita diusiknya, banyak yang dimakannya. Apakah keluarga pangeran hanya mendapatkan sisanya?"

"Hayo kita tangkap pencuri itu!"

Dua orang sudah menerjang maju untuk menangkap Kai-ong, akan tetapi Han Li cepat melompat ke depan. Lima orang koki itu terbelalak ketika melihat seorang gadis cantik melindungi kakek itu.

"Paman sekalian, maafkanlah kami yang sudah mencicipi sedikit masakan kalian. Suhu, mari kita pergi!"

"He-he-heh, nanti dulu, Han Li. Kabarnya Pangeran Mahkota adalah seorang yang amat dermawan. Siapa kira, makanan untuk keluarganya demikian mewah, sedangkan di luar istananya banyak rakyat kelaparan!" Kai-ong minum terus dan nampaknya kakek raja pengemis ini sudah mulai mabuk.

"Mari kita lapor ke dalam!" Lima orang koki itu lalu berlarian keluar dari dalam dapur.

"Suhu, mari kita cepat pergi. Para pengawal tentu segera berdatangan!"

"Heh-heh-heh, aku tidak pernah melarikan diri dari dapur sebelum perutku benar-benar kenyang. Mari kita makan dengan leluasa, Han Li. Begini lebih enak. Ini ada nasi dari Hang-ciu, nasinya lembut dan harum sedap."

Kai-ong tidak mau pergi, malah kini duduk menghadapi meja, menyambar mangkok dan sumpit lalu mulai makan dengan lahapnya. Han Li membanting-banting kakinya dengan bingung. Sudah terdengar suara banyak kaki berlari ke tempat itu.

"Wah, ini bagaimana, Suhu? Mereka sudah berdatangan!"

"Biarkan saja. Kalau mereka berani mengganggu aku makan, akan kuhajar! Nih, kau makan nasi, Han Li. Atau ingin buah-buahan segar. Itu di sana banyak anggur, buah leci dan apel. Tinggal pilih mana yang kau suka, heh-heh-heh!"

"Akan tetapi, Suhu...!" Han Li tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu di ambang pintu dapur telah bermunculan pasukan pengawal yang jumlahnya belasan orang.

Seorang komandan pengawal menudingkan goloknya ke arah Kai-ong yang sedang melahap makanan.

"Pencuri busuk, engkau berani mengacau di dapur istana pangeran?"

"Heh-heh-heh, makanan ini datangnya dari perahan keringat rakyat, apakah kami tidak boleh merasakannya? Aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota adalah seorang yang dermawan dan bijaksana. Apakah dia tidak mengijinkan kami mencicipi makanan ini?" kata Kai-ong sambil menggigit paha ayam dan menyeringai ke arah para pengawal.

"Keparat, berani engkau...!"

"Tahan dulu, Ciangkun. Biarkan kami bicara dengan mereka!" tiba-tiba terdengar suara lembut dan perwira pengawal itu terpaksa mundur lagi karena yang menegurnya adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang sendiri.

Han Li dan Kai-ong memandang penuh perhatian dan melihat munculnya seorang laki-laki bangsawan yang tampan dan berwibawa. Usianya sekitar empat puluh tahun. Di sebelah kanannya berdiri seorang wanita cantik dan di sebelah kirinya berdiri seorang gadis manis. Baik wanita cantik mau pun gadis manis itu membawa sebatang pedang di punggung mereka sehingga mereka nampak anggun dan juga gagah.

Pria itu adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Gadis manis itu bukan lain adalah Tao Kwi Hong dan wanita cantik itu adalah ibunya. Mereka tadi telah bersiap hendak makan siang saat mendengar laporan para koki bahwa di dapur terdapat kakek pengemis yang mencuri makanan. Pangeran Mahkota Tao Kuang tertarik mendengar ini dan dikawal oleh Tao Kwi Hong dan ibunya, Liang Siok Cu, mereka bergegas menuju ke dapur.

Pangeran Mahkota Tao Kuang memiliki watak seperti kakeknya, yaitu suka bergaul dan menghargai orang-orang kang-ouw. Maka, begitu melihat kakek berpakaian pengemis itu bersama seorang gadis cantik yang mendatangkan kekacauan di dapurnya, dia lalu melarang para pengawal turun tangan.

Dia sendiri lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian hormat dan berkata dengan lembut, "Apakah kunjungan Locianpwe dan Nona ini hanya untuk mencicipi makanan?"

"Habis, untuk apa lagi? Kami tidak mempunyai urusan dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang, heh-heh-heh!" kata Kai-ong.

"Kamilah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Kalau memang begitu, biar kami mengundang Locianpwe dan Nona ini untuk makan bersama!" Penawaran ini diajukan dengan sikap yang lembut dan manis sehingga Han Li merasa tidak enak dan malu sendiri.

"Kau dengar itu, Han Li?" Kai-ong berkata sambil tertawa girang. "Sudah sejak lama aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota Tao Kuang adalah seorang yang bijaksana dan kini terbukti kebenaran berita itu. Terima kasih, Pangeran, tentu saja kami menerima undanganmu itu, ha-ha-ha!"

Han Li diam saja akan tetapi merasa tidak enak hati. Sejak kecil ia mendengar tentang penjajahan bangsa Mancu terhadap negara dan bangsanya. Dia sendiri adalah puteri ketua Thian-li-pang yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan sekarang ia diundang makan bersama oleh keluarga Pangeran Mahkota bangsa Mancu! Akan tetapi, menolak pun tidak mungkin karena gurunya sudah menerima, maka ia pun mengikuti saja ketika mereka dipersilakan masuk ke dalam ruangan makan yang luas.

Setelah mereka duduk menghadapi meja makan, hidangan-hidangan yang paling lezat disuguhkan. Pangeran Tao Kuang memberi isyarat kepada pelayan untuk mengisi arak dalam cawan-cawan perak di depan tamunya kemudian menyulangi dua orang tamunya dengan secawan arak.

"Silakan Ji-wi (Anda Berdua) minum untuk ucapan selamat datang dari kami dan untuk perkenalan ini."

Sambil tersenyum lebar Kai-ong minum secawan arak itu dan Han Li hanya mencontoh gurunya.

Pangeran Tao Kuang memperkenalkan selirnya dan puterinya, lalu bertanya, "Siapakah nama Locianpwe yang terhormat dan siapa pula Nona ini?"

"He-he-heh, Pangeran. Terima kasih bahwa Paduka suka menyambut kami orang-orang biasa dengan ramah tamah. Saya bernama Lu Tong Ki, hanya orang biasa saja, bahkan pengemis yang tidak pernah minta-minta."

"Lu Tong Ki...? Apakah bukan Kai-ong (Raja Pengemis) Lu Tong Ki?" mendadak Liang Siok Cu bertanya dengan kaget.

"Heh-heh-heh, saya hanyalah rajanya para pengemis, Nyonya."

"Mendiang ayahku Liang Cun sering bicara tentang Locianpwe," kata nyonya itu kagum.

Kini sepasang mata Lu Tong Ki terbelalak, "Liang Cun? Ahhh, Sin-tung Koai-jin sudah meninggal dunia dan Nyonya adalah puterinya? Pantas, kalian begini ramah. Kiranya keturunan seorang datuk dari Thai-san!"

"Ha-ha-ha, kiranya kita berada di antara orang sendiri!" Pangeran Tao Kuang tertawa gembira.

"Dan engkau, Enci yang baik, siapakah namamu?" tiba-tiba Kwi Hong bertanya kepada Han Li sambil memandang gadis itu penuh perhatian. "Apakah engkau murid Locianpwe ini?"

"Benar, aku adalah murid Suhu, namaku Yo Han Li," jawab Han Li singkat.

Mereka mulai makan dan minum. Setelah acara makan selesai, di mana Kai-ong dapat memuaskan seleranya, tiba-tiba Raja Pengemis itu tertawa sambil mengelus perutnya. "Aihhh, kalau setiap hari makan begini, dalam waktu sebulan aku akan menjadi orang gendut!"

Semua orang tertawa dan Kai-ong kembali berkata, "Ha-ha-ha, Pangeran tentu tidak menduga siapa adanya nona yang mengakui saya sebagai gurunya ini. Sesungguhnya ia jauh lebih terkenal dari pada saya yang hanya raja kaum pengemis. Ibunya terkenal dengan julukan Si Bangau Merah, ayahnya lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Tangan Sakti yang juga menjadi ketua Thian-li-pang..."

"Ahhh...!!"

Liang Siok Cu berseru kaget sambil memandang Han Li, sedangkan wajah Pangeran Tao Kuang juga berubah agak pucat. Akan tetapi Kwi Hong berseru girang.

"Aih, kiranya Enci ini puteri Paman Yo? Senang sekali bertemu dengan puteri Paman Yo Han!"

"Kwi Hong, apakah engkau mengenal ketua Thian-li-pang?" tanya Pangeran Mahkota Tao Kuang, sedangkan isterinya bersiap untuk melindungi suaminya kalau-kalau puteri pemberontak itu mempunyai niat jahat.

"Ayah, aku tidak tahu apakah paman Yo itu ketua Thian-li-pang. Yang aku ketahui dia adalah seorang yang gagah perkasa dan dahulu pernah menolongku dari pengeroyokan pemberontak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Aku kagum sekali kepadanya!"

Han Li tadi terkejut bukan main mendengar gurunya memperkenalkan ayahnya sebagai ketua Thian-li-pang. Akan tetapi dia merasa heran dan juga lega mendengar bahwa Kwi Hong pernah ditolong ayahnya. Ketika dia melirik ke arah gurunya, dia melihat Kai-ong tersenyum-senyum padanya. Dia pun bisa menduga bahwa gurunya sengaja menyebut Thian-li-pang untuk menguji hingga di mana ketulusan hati dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota itu!

Dan memang sebenarnya begitulah. Maklum bahwa ucapannya tadi bisa mendatangkan bahaya, maka diam-diam Kai-ong juga sudah bersiap-siap. Dia cerdik sekali dan andai kata disebutnya Thian-li-pang itu membuat Pangeran Mahkota marah dan mengerahkan pasukan pengawalnya, dia tentu akan bertindak menawan sang pangeran terlebih dulu agar dia dan muridnya dapat keluar dari istana itu dengan aman!

Akan tetapi dia pun merasa lega ketika ucapan Kwi Hong membuyarkan suasana yang tegang tadi. Kini Pangeran Mahkota yang berkata kepada Han Li, di dalam suaranya mengandung perasaan heran.

"Aneh sekali! Ketua Thian-li-pang pernah menolong puteriku dan hari ini aku menjamu puterinya! Padahal semua orang tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa pemberontak!"

"Ayah saya tidak pernah membenci perorangan, Pangeran. Yang ditentangnya adalah penjajah dan penindasan!" jawab Han Li dengan tegas.

"He-he-heh, dalam anggapan Paduka memang Thian-li-pang pemberontak, Pangeran," berkata pula Kai-ong. "Akan tetapi dalam anggapan kami rakyat jelata, Thian-li-pang berjiwa pendekar dan pejuang."

"Berjuang untuk apa?" Pangeran Mahkota mendesak.

"Berjuang untuk menegakkan kebenaran serta keadilan, berjuang untuk kemerdekaan tanah air dan bangsa," kata pula Kai-ong dan ketika mengucapkan kata-kata ini, dia tidak lagi tertawa melainkan berkata dengan suara dan wajah serius.

"Sama saja, itu pemberontakan namanya, menentang pihak yang berkuasa," Pangeran Mahkota Tao Kuang membantah.

"Harap Paduka mempertimbangkan dengan hati dan kepala yang tenang dan dingin," kata pula Kai-ong. "Coba Paduka tempatkan diri Paduka sebagai rakyat kami. Apakah Paduka tidak mempunyai keinginan untuk memerdekakan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajah? Salahkah itu kalau seseorang bercita-cita untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsanya?"

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk. "Mungkin juga kami akan berpendirian yang sama. Akan tetapi kami bukan penindas. Kami menganggap bangsa Han seperti bangsa sendiri. Kami ingin menjalankan pemerintahan yang adil, ingin menyejahterakan rakyat."

"Kami percaya, Pangeran. Tapi yang ditentang oleh para pejuang adalah pemerintahan penjajah, bukan perorangan, seperti yang dikatakan murid saya Han Li tadi."

"Akan tetapi sekarang terbukti bahwa di antara kita tiada kebencian atau permusuhan. Anak kami pernah diselamatkan oleh ketua Thian-li-pang dan anak ketua Thian-li-pang kami undang makan menjadi tamu terhormat kami!" kata Pangeran Tao Kuang sambil tersenyum.

"Ayah, kuharap enci Han Li menjadi tamu kita untuk beberapa waktu lamanya. Aku ingin mengenalnya lebih dekat dan berbincang-bincang tentang ilmu silat dengannya!" kata Kwi Hong kepada ayahnya.

Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk sambil tersenyum ramah kepada Kai-ong, "Aku tidak keberatan dan mereka ini boleh tinggal di istana sebagai tamu berapa lama pun mereka kehendaki!"

Kai-ong tertawa. "Bagus! Aku suka sekali tinggal di sini beberapa lamanya sampai puas makan enak setiap hari. Han Li, kita tinggal di sini sampai bosan!"

Kwi Hong merasa gembira sekali. Dengan senyum manis ia bangkit menghampiri Han Li dan menggandeng tangan gadis itu. "Mari kita melihat-lihat taman, enci Han Li. Akan kutunjukkan kamarmu di mana engkau boleh tinggal!"

Kedua orang gadis itu pergi dan meninggalkan Kai-ong yang diajak bercakap-cakap oleh Pangeran Tao Kuang. Seorang raja pengemis bersama muridnya menjadi tamu dari Pangeran Mahkota…..

**********

Cu In tidak peduli bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang dijumpainya di jalan dalam kota raja. Mukanya yang tertutup sutera putih dari batas hidung ke bawah itulah yang menarik perhatian orang. Akan tetapi tak ada seorang pun mengganggunya. Tentu mereka itu mengira bahwa ia seorang wanita dari Turki atau negara Islam lainnya. Wanita-wanita Islam biasanya menutup mukanya dengan cadar seperti itu.

Tidak sukar bagi Cu In untuk mendapat keterangan di mana adanya rumah Panglima The Sun Tek. The-ciangkun adalah seorang panglima yang terkenal di kota raja. Dialah yang memimpin pasukan ketika memadamkan pemberontakan di selatan. The-ciangkun seorang panglima yang bukan hanya pandai ilmu perang, akan tetapi juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi.

Cu In tidak tahu orang macam apa adanya The Sun Tek. Yang penting baginya adalah bahwa ia harus membunuh orang itu. Menurut gurunya, panglima The itu adalah musuh besar gurunya, dan lebih dari pada itu, panglima The itulah yang membunuh ayah bundanya sehingga ia menjadi seorang yatim piatu sejak masih bayi!

Sejak bayi dia dipelihara oleh subo-nya, maka kini tugas untuk membunuh musuh besar subo-nya itu akan dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan hanya untuk membalas budi gurunya, melainkan juga untuk membalas dendam ayah bundanya.

Cu In merasa agak heran namun girang melihat kenyataan bahwa rumah itu tidak dijaga regu keamanan seperti rumah para panglima tinggi lainnya. Rumah itu dari luar nampak sunyi saja. Cu In lalu mengelilingi pagar tembok rumah itu dan ternyata rumah itu memiliki pekarangan dan taman yang luas sekali.

Hari itu panas sekali. Matahari telah naik tinggi. Bagaikan seekor burung saja ringannya, Cu In sudah melompati pagar tembok di bagian belakang rumah itu dan mendekam di atas untuk mengintai ke sebelah dalam pagar. Ternyata di sebelah dalamnya terdapat sebuah taman yang luas, penuh dengan bunga warna warni yang sedang berkembang sehingga suasana di taman itu nyaman dan indah sekali.

Ia melompat turun ke sebelah dalam dan menyelinap di antara pohon-pohon. Agak jauh di tengah taman itu terdapat sebuah pondok dengan dinding rendah dan bagian atasnya terbuka. Semacam tempat untuk duduk bersantai menikmati keindahan taman. Di depan pondok itu terdapat sebuah kolam ikan dengan bunga teratai dan ikan-ikan emas berenang di dalam kolam. Gemercik suara air di kolam yang jatuh dari sebuah pancuran mendatangkan suara yang menyejukkan hati.

Cu In cepat menyusup ke balik rumpun bunga. Ia melihat seorang laki-laki melangkah seenaknya dengan santai menuju ke panggung atau pondok itu, memasukinya dan duduk di atas bangku menghadapi kolam ikan. Cu In mengintai dan melihat bahwa pria itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi rambut kepalanya sudah banyak beruban.

Rambut itu dikuncir ke belakang dan diikat dengan sutera biru. Wajah yang mulai berkerut merut itu masih nampak tampan dan gagah. Akan tetapi dalam sinar matanya mengandung duka.

Sampai lama pria itu termenung memandangi kolam ikan, dan berulang kali pula dia menghela napas panjang. Tiba-tiba pria itu menengadahkan mukanya, memandangi awan yang berarak di angkasa, dan dia membaca sajak.

Seperti awan bergerak di angkasa
kita bercanda penuh suka dan tawa
sumpah saling mencinta saling setia
berbahagia memadu asmara

Semua itu hilang musnah
ketika angin datang menerpa
kita berpisah dan merana
yang tertinggal hanyalah air mata!


Cu In tertegun. Dia mengenal betul sajak itu karena gurunya, Ang Hwa Nio-nio, sering menyanyikan sajak itu dalam sebuah lagu yang sedih. Dan sekarang pria itu bersajak yang sama!

Karena perasaan terguncang, tubuh Cu In membuat gerakan. Biar pun gerakan itu tidak menimbulkan suara keras, akan tetapi pria itu sudah memutar tubuhnya dan terdengar suaranya yang lantang,

"Sobat, tiada gunanya lagi engkau bersembunyi. Aku telah mengetahui keberadaanmu di situ!" Pria itu memandang ke arah Cu In.

Cu In terpaksa muncul dari balik rumpun bunga lalu menghampiri pondok itu. Pria itu nampak terkejut dan terheran-heran melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis yang mukanya ditutup cadar putih, pakaiannya juga serba putih.

"Siapa engkau? Apa keperluanmu datang ke tempat ini tanpa diundang?" tanya pria itu dan suaranya mengandung wibawa yang kuat.

Akan tetapi Cu In tidak menjawab, melainkan balas bertanya, "Apakah engkau yang bernama The Sun Tek?"

"Tidak salah, akulah The Sun Tek. Siapakah engkau, Nona?"

"Namaku Souw Cu In dan aku datang ke sini untuk membunuhmu, The Sun Tek!"

The Sun Tek sama sekali tidak menjadi terkejut mendengar pengakuan itu, bahkan dia nampak begitu tenang. Sebagai seorang panglima besar, dia tahu bahwa banyak orang menginginkan kematiannya, terutama untuk membalas dendam karena dia sudah sering menghancurkan usaha pemberontakan di mana-mana sehingga tidaklah aneh jika ada yang mendendam kepadanya.

Sering pula terdapat usaha orang-orang yang memusuhinya untuk membunuhnya. Akan tetapi baru kali ini usaha itu akan dilakukan seorang gadis muda. Hal ini mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya.

"Membunuh orang tentu ada alasannya yang kuat, Nona. Dan kenapa engkau hendak membunuhku? Kita belum pernah bertemu dan di antara kita tidak terdapat urusan apa pun!"

"Kita memang tidak pernah bertemu, akan tetapi engkau keliru kalau mengira di antara kita tidak pernah terdapat urusan apa pun. Alasanku datang untuk membunuhmu ini cukup kuat. Pertama, aku hendak membalaskan dendam kematian ayah bundaku yang dahulu sudah kau bunuh! Dan kedua, aku datang mewakili guruku yang menjadi musuh besarmu!"

The Sun Tek mengerutkan alisnya. Kedudukan dirinya sebagai panglima besar yang memimpin pasukan memang banyak resikonya. Entah berapa banyak orang yang dapat menaruh dendam kepadanya karena orang tuanya terbunuh dalam perang.

"Hemm, siapakah nama ayah bundamu itu, Nona? Aku tidak merasa pernah membunuh orang, kecuali tentu saja dalam perang. Apakah dahulu ayah bundamu itu tewas dalam peperangan melawan pasukanku?"

"Aku tidak tahu siapa ayah bundaku, tidak pernah mengenalnya karena sejak aku masih bayi engkau telah membunuh mereka."

"Lalu bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku pembunuh mereka?"

"Guruku yang memberi tahu."

"Aha, gurumu yang kau wakili untuk menghadapi aku sebagai musuh besarnya itu? Dan siapa gerangan nama gurumu itu, Nona?"

"Guruku adalah Ang Hwa Nio-nio!"

The Sun Tek membelalakkan kedua matanya, kemudian wajahnya nampak muram dan mengandung duka.

"Ahhh, Hong Bwe... Hong Bwe, sampai begitu mendalamkah bencimu terhadap diriku? Bertahun tahun aku mencarimu dan kini tiba-tiba muncul muridmu untuk membunuhku."

Cu In tidak mengerti apa yang dimaksudkan pria itu. Ia sudah melolos sabuk suteranya dan berkata, "The Sun Tek, bersiaplah engkau untuk menghadapi seranganku!"

"Nanti dulu, nona Souw. Bersabarlah karena aku tak akan pernah melarikan diri darimu. Engkau tidak dapat membunuh orang begitu saja tanpa alasan yang kuat. Engkau harus yakin benar bahwa aku adalah pembunuh orang tuamu. Dan tentang permusuhanku dengan gurumu Ang Hwa Nio-nio itu, tidakkah engkau ingin untuk mengetahui sebab sebabnya?"

"Aku hanya mendengar tentang kematian ayah bundaku dari guruku, dan kalau guruku sampai menganggap bahwa engkau musuh besarnya, tentulah engkau telah melakukan hal yang amat jahat terhadap subo."

"Tahan dulu dan dengarlah sebentar penjelasanku. Aku melihatmu sekarang ini, tiada ubahnya seperti melihat gurumu ketika itu! Bentuk tubuhmu, matamu itu, dan suaramu! Engkau seperti pinang dibelah dua dengan Hong Bwe! Karena itulah aku ingin engkau mendengar penjelasanku."

Cu In meragu. Dia tidak mengenal siapa itu Hong Bwe, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak keinginan orang tua ini untuk menceritakan persoalannya dengan gurunya. Dia pun meragukan, jangan-jangan bukan orang ini pembunuh ayah bundanya. Subo-nya bercerita demikian mungkin hanya supaya dia membenci orang ini.

"Sesukamu, bicaralah, akan tetapi jangan harap aku akan percaya begitu saja terhadap keteranganmu."

"Percaya atau tidak terserah padamu. Terima kasih jika engkau suka untuk mendengar ceritaku. Silakan duduk, nona Souw."

The Sun Tek mempersilakan Cu In duduk. Gadis ini pun lalu mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu. Mereka hanya terhalang oleh sebuah meja kecil.

Setelah menghela napas panjang beberapa kali, The Sun Tek berkata, "Aku tidak tahu sampai tingkat apa ilmu silatmu, akan tetapi kalau gurumu sudah mengutusmu untuk membunuhku, aku percaya bahwa engkau tentu cukup lihai. Barangkali nanti aku akan terbunuh olehmu, oleh karena itu aku senang bahwa engkau suka mendengar ceritaku. Terjadinya cerita ini kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Pada saat itu, aku belum menjadi seorang panglima, akan tetapi aku suka bertualang di dunia kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw. Aku lalu bertemu seorang gadis kang-ouw bernama Sim Hong Bwe. Kami berkenalan dan saling jatuh cinta. Ketika itulah aku melamar pekerjaan sebagai seorang perwira muda. Karena orang tuaku mengenal panglima yang bertugas menerima para perwira muda, maka aku pun dapat diterima sebagai seorang perwira. Orang tuaku lalu mendesakku untuk menikah. Ketika aku memberi tahu bahwa aku telah mempunyai seorang pilihan hati, yaitu Sim Hong Bwe, ayahku menjadi marah. ‘Menikah dengan seorang gadis kang-ouw? Tidak!’ katanya. Karena aku telah memiliki tugas dan kedudukan, aku harus menikah dengan seorang gadis baik-baik, berasal dari keluarga yang terhormat. Aku tidak mampu membantah ayahku, maka terpaksa aku menerima saja dijodohkan seorang gadis puteri seorang bangsawan."

Sampai di sini The Sun Tek menghentikan ceritanya, agaknya dia mengingat kembali peristiwa yang membuatnya selalu berduka itu. Dia memandang kepada Cu In, akan tetapi Cu In tidak mengacuhkannya...


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 14


Pusaka Pulau Es Bagian 13

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 13

Keng Han merasa kagum dan terpesona ketika dia tiba di kota raja. Belum pernah dia melihat bangunan-bangunan sebesar dan seindah itu. Dia benar-benar seperti seorang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar. Tidak sukar baginya mencari rumah Hartawan Ji karena nama itu sudah terkenal di kota raja. Dan dia pun mengunjungi rumah itu, sebuah gedung besar yang mempunyai pintu gerbang besar dan tebal, dijaga pula oleh orang-orang yang nampaknya seperti tukang-tukang pukul atau ahli-ahli silat.

Kepada para penjaga pintu ini ia mengaku bernama Si Keng Han dan ingin menghadap Hartawan Ji karena urusan penting. Dia disuruh menanti sebentar sementara seorang penjaga melaporkan ke dalam, dan tidak lama kemudian dipersilakan memasuki kamar tamu yang besar dan mewah. Keng Han memandangi semua keindahan itu. Gambar-gambar, sajak-sajak, hiasan-hiasan dan bahkan meja kursi di situ berukir indah. Oleh pengawal yang mengantarnya dia dipersilakan duduk menanti dan pengawal itu sendiri lalu keluar lagi.

Bunyi langkah kaki membuat jantung Keng Han berdebar amat tegang. Benarkah cerita Gulam Sang bahwa dia akan mendapat keterangan yang lebih jelas tentang ayahnya? Begitu tuan rumah muncul, dia cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat sambil mengamati wajah orang itu.

Dia melihat seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang masih gagah dan tampan, berpakaian sutera sebagaimana pakaian seorang hartawan. Sebaliknya, tuan rumah itu yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri juga mengamati pemuda yang kini memberi hormat di depannya. Diam-diam dia merasa kagum dan bangga. Puteranya! Akan tetapi di dalam hati yang sudah mengeras itu tidak ada rasa keharuan, hanya ada perasaan girang karena mungkin dia akan mendapatkan seorang pembantu yang amat berguna.

“Maafkan, Tuan...”

“Jangan sebut aku tuan, panggil saja paman,” kata Pangeran Tao Seng atau Hatawan Ji ramah.

“Maafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu kesibukan Paman.”

“Ahh, tidak mengapa. Silakan duduk dan perkenalkan siapa dirimu dan ada kepentingan apa ingin bertemu denganku.”

Keng Han mengambil tempat duduk. Bantalan kursinya lunak sekali, enak diduduki.

“Nama saya Si Keng Han, Paman, dan nama Paman diperkenalkan kepada saya oleh seorang sahabat yang bernama Gulam Sang.”

“Aha, begitukah? Gulam Sang itu adalah putera angkatku sendiri.”

Baru sekarang Keng Han mengetahui dan dia pun terkejut. Kiranya putera gurunya itu telah diambil anak oleh hartawan ini. “Apa bila begitu, semua keterangannya mengenai Paman tentu benar semua.”

“Keterangan apakah tentang diriku?”

“Bahwa Paman pernah mengenal ayah kandung saya dan mengetahui tentang semua peristiwa yang menimpa diri ayah kandung saya.”

“Siapakah ayah kandungmu?”

“Dahulu ayah kandung saya adalah seorang pangeran, namanya Pangeran Tao Seng.”

“Akan tetapi bukankah namamu Si Keng Han dan nama margamu Si?”

“Itu hanya untuk penyamaran saja, Paman. Tidak baik kiranya kalau saya menggunakan nama keluarga istana, hanya akan menarik perhatian orang saja.”

Tao Seng mengangguk-angguk, menyatakan bahwa dia dapat mengerti. “Lalu apa yang hendak kau tanyakan tentang Pangeran Tao Seng? Siapa pula ibumu dan di mana ia sekarang berada?”

”Saya hendak mencari ayah kandung saya, akan tetapi saya mendengar bahwa ayah saya difitnah orang sehingga dihukum buang. Ibu saya adalah seorang wanita Khitan, puteri kepala suku. Ibu yang mengutus saya pergi mencari ayah kandung saya karena setelah meninggalkan ibu selama dua puluh tahun, sedikit pun dia tidak pernah memberi kabar.”

Ji Wan-gwe sekarang merasa yakin bahwa yang berhadapan dengan dia adalah putera kandungnya, putera Silani. Bahkan dia yang dahulu memesan kepada Silani bahwa jika isterinya itu melahirkan seorang anak laki-laki agar diberi nama Tao Keng Han!

Akan tetapi, kalau ada sedikit getaran pada jantungnya karena terharu bertemu putera kandungnya, ingatannya akan cita-citanya lebih besar dan lebih kuat sehingga dia dapat menekan perasaannya. Dia pun menghela napas besar seperti orang bersedih, padahal napas panjang itu untuk menekan rasa harunya.

“Menyedihkan sekali nasib ayahmu itu, Kongcu. Ketahuilah bahwa saya dahulu menjadi pengawal dari ayah kandungmu. Bahkan ketika Pangeran Tao Seng dibuang ke barat, saya tetap mengikutinya untuk menemani dan melayaninya. Dia memang terkena fitnah, Kongcu.”

“Demikian kata Gulam Sang. Bukankah ayah seorang pangeran mahkota? Bagaimana dia bisa terkena fitnah dan siapa pula yang memfitnahnya?”

“Semua itu terjadi akibat iri hati. Salah seorang pangeran lain yang bernama Tao Kuang merasa iri hati karena ayahmu yang terpilih sebagai pangeran mahkota. Maka dia lalu melakukan fitnah dan menuduh ayahmu hendak memberontak serta membunuh kaisar. Memang ada bukti-bukti karena bukti-bukti itu memang sudah disediakan lebih dulu oleh Pangeran Tao Kuang. Oleh karena dituduh hendak membunuh kaisar dan membunuh Pangeran Tao Kuang, maka ayahmu lalu dihukum buang selama dua puluh tahun. Saya mengikutinya sampai di tempat pembuangannya.”

“Ahh, kasihan sekali ayah kandungku! Dan sekarang dia berada di mana, Paman Ji?”

Hartawan Ji menghela napas lagi. “Agaknya Pangeran Tao Kuang tidak puas karena ayahmu hanya dihukum buang. Ia menghendaki kematian ayahmu maka dia menyuruh orang untuk menyusul ke barat, dan di sana orang-orangnya berhasil meracuni ayahmu sehingga meninggal dunia!”

“Ahhh...!” Keng Han menundukkan mukanya karena tidak ingin kelihatan menangis atau berduka.

Sampai lama keduanya terdiam, kemudian terdengar Hartawan Ji berkata dengan suara yang mengandung kemarahan.

“Akan tetapi kita tidak tinggal diam Kongcu! Dendam sedalam lautan ini harus ditebus dengan kematian Pangeran Tao Kuang dan kaisar!”

“Akan tetapi bagaimana mungkin, Paman? Kita hanyalah orang-orang biasa, bagaimana mungkin dapat menentang kekuasaan yang memiliki ratusan ribu pasukan?”

“Kita tidak bergerak sendiri, Kongcu. Dengarlah. Dengan bantuan anakku Gulam Sang, kita sudah menghimpun persekutuan yang cukup kuat. Banyak partai persilatan besar, para tokoh kang-ouw yang sakti, sudah siap membantu. Kalau engkau suka membantu, kiranya tidak akan sukar untuk membunuh Pangeran Tao Kuang atau bahkan kaisar sekali pun.”

“Tentu saja saya suka membantu. Di mana jenazah ayahku dimakamkan, Pamain Ji?”

“Atas permintaannya sendiri sebelum meninggal, jenazahnya sudah diperabukan, akan tetapi sampai sekarang abunya belum dapat kukubur atau kubuang ke laut. Aku masih takut kalau-kalau ada yang tahu atau pun mengenalku sebagai pengawal ayahmu, bisa celaka aku. Abu jenazah itu masih kusimpan di rumah ini, kubuatkan sebuah meja abu. Kalau Kongcu hendak bersembahyang di depan meja abu, silakan, Kongcu.”

Keng Han berterima kasih sekali dan dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam yang hiasannya lebih indah. Mereka sampai di sebuah ruangan di mana terdapat sebuah meja dan abu itu yang tersimpan di dalam sebuah bejana dari perak. Tidak ada tulisan apa pun di situ dan hal ini dapat dimengerti oleh Keng Han karena hartawan itu tentunya tidak ingin ketahuan bahwa dia bekas pengawal Pangeran Tao Seng.

Keng Han lalu bersembahyang dan berlutut di depan meja abu itu. Dia terkenang pada ibunya dan hatinya seperti diremas. Lima tahun lebih dia meninggalkan ibunya dengan harapan akan dapat bertemu dengan ayahnya. Siapa sangka sekarang dia hanya dapat bersembahyang di depan abunya.

“Ayah, saya bersumpah untuk membalas dendam kematian ayah!" katanya kuat-kuat, yang membuat Hartawan Ji yang berdiri di belakangnya tersenyum penuh arti.

Setelah bersembahyang mereka bercakap-cakap lagi berdua saja, di ruangan lain.

"Untuk membunuh kaisar memang merupakan hal yang sulit sekali karena kaisar selalu terkurung rapat oleh para pengawalnya. Akan tetapi membunuh Pangeran Tao Kuang yang kini menjadi Putera Mahkota itu tentu lebih mudah. Dia tidak terjaga begitu ketat. Hanya saja, Pangeran Tao Kuang memiliki seorang selir yang pandai ilmu silat. Tadinya ayah mertuanya juga berada di sana, akan tetapi setelah ayah mertuanya meninggal, yang perlu diperhitungkan adalah selirnya itu. Apakah engkau berani menyerbu ke sana dan melawan selirnya yang lihai itu?"

"Untuk membalas dendam, saya berani melakukan apa saja, Paman Ji!"

"Bagus! Kalau begitu sebaiknya engkau tinggallah di sini beberapa waktu lamanya untuk mempelajari keadaan dalam Istana Pangeran Mahkota. Setelah hafal akan keadaan di sana barulah engkau bergerak. Apakah engkau membutuhkan bantuan, Tao-kongcu?"

"Tidak dalam hal ini jangan sampai Paman tersangkut. Untuk membalaskan dendam ayah, biar aku sendiri yang bertanggung jawab."

"Baiklah, kalau begitu akan kuusahakan menemukan denah istana pangeran mahkota itu sehingga engkau akan lebih mudah bergerak kalau sudah berhasil masuk ke sana."

Keng Han mengucapkan terima kasih dan merasa gembira sekali. Walau pun dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, kalau dia dapat membalaskan sakit hatinya, dia sudah merasa puas sekali. Tentu hal ini juga akan menjadi hiburan bagi ibunya sesudah kelak mendengar tentang kematian ayah kandungnya….
cerita silat karya kho ping hoo

Yo Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki memasuki kota raja. Semenjak kecil Han Li tinggal di Bukit Naga dan biar pun dia pernah melihat kota besar, akan tetapi baru sekali ini dara ini melihat kota raja, maka banyak hal yang membuatnya menjadi bengong! Banyaknya toko, rumah penginapan dan rumah makan yang serba besar, taman-taman yang besar dan indah, banyaknya orang berlalu lalang, pagoda-pagoda yang nampak dari jauh di lereng bukit, semua itu membuatnya berulang kali memuji.

"Uhhh, apa sih bagusnya semua itu? Hanya dapat dipandang akan tetapi tidak dapat dirasakan! Lihat nanti kalau kita bisa mendapatkan hidangan kaisar atau pangeran, baru engkau akan benar-benar kagum! Hidangan-hidangan itu bukan hanya dapat dipandang dan dicium sedapnya, akan tetapi juga dapat dirasakan dengan lidah! Wahhh, mulutku menjadi basah mengingat semua itu."

Han Li tersenyum geli. Yang diingat oleh gurunya ini hanya makanan saja. Selama ini, hampir setiap hari ia harus memasak makanan untuk gurunya yang mengatakan bahwa ia pandai memasak dan bahwa masakannya sedap sekali.

"Engkau berbakat seni memasak, Han Li!" pujinya berulang-ulang. "Tahukah engkau bahwa memasak itu merupakan seni yang tinggi nilainya? Cara mengerat daging atau memotong sayurnya, cara membesarkan atau mengecilkan apinya dan berapa lamanya memasak, semuanya itu mengandung seni tersendiri. Bumbu-bumbu sederhana saja di tangan seorang ahli akan dapat mendatangkan kelezatan pada masakan. Apa saja yang dimasak oleh seorang yang berbakat seni memasak, tentu enak!"

Gurunya memang tukang makan. Kalau perlu dia akan mencuri makanan! Pernah ketika mereka melewati sebuah rumah makan yang memamerkan bebek panggang, Kai-ong lalu berjalan di dekat rumah makan itu, dan ketika dia keluar dari situ, di bawah baju rombengnya telah tersembunyi seekor bebek panggang utuh. Di sepanjang jalan bebek panggang itu dilahapnya sambil memberi komentar tentang rasa bebek panggang itu.

Jarang ada makanan yang dipuji kakek ini, ada saja kekurangannya, kurang asin atau terlalu manis, terlalu kering dan sebagainya. Jika sekarang dia sudah memuji setinggi langit sebelum merasakan hidangan istana, Han Li percaya bahwa hidangan itu tentulah benar-benar istimewa.

Ketika mereka berjalan lewat depan sebuah gedung seperti istana, Kai-ong berhenti. "Ahhh, itu rumah Pangeran Mahkota. Aku yakin hidangan masakan di sini tidak kalah lezat dari pada yang berada di istana kaisar. Kaisar sudah terlalu tua, tentu giginya pun sudah banyak yang ompong dan masakannya tentu yang lunak-lunak saja. Berbeda dengan masakan di istana Pangeran Mahkota, tentu lengkap dengan yang agak keras. Han Li, kita makan di dapur Pangeran Mahkota saja!"

Han Li memandang dengan khawatir. Di depan istana itu saja sudah terdapat prajurit pengawal yang berjaga. Tentu istana itu di jaga ketat. Bagaimana mereka dapat makan di dapur istana ini? Han Li merasa ngeri kalau sampai ketahuan dan dikeroyok, apa lagi kemudian ditangkap. Alangkah malunya. Ditangkap sebagai pencuri makanan!

"Akan tetapi gedung itu tentu dijaga ketat, Suhu."

"Heh-heh-heh, tentu saja. Akan tetapi apa artinya segelintir penjaga itu untuk kita. Mari ikuti aku!"

Kai-ong lalu mengambil jalan memutar dan tibalah mereka di luar tembok pagar yang mengelilingi gedung itu bagian belakang. Setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang, Kai-ong mengajak muridnya untuk meloncati pagar tembok yang tinggi itu. Mula-mula Kai-ong yang lebih dulu melompat dan dia sudah mendekam di atas pagar tembok. Han Li menyusul. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung ia melayang naik ke atas pagar tembok dan mendekam di sebelah gurunya. Ternyata di sebelah dalam pagar tembok itu terdapat sebuah taman yang amat indah.

"Nah, sudah kuduga. Tentu dalamnya sebuah taman atau kebun. Mari kita loncat ke dalam dan kau bersembunyi di belakang rumpun bambu di sana itu!" Kai-ong memberi petunjuk dan keduanya lalu berlompatan masuk. Han Li segera lari ke belakang rumpun bambu seperti yang dikehendaki Kai-ong, sementara kakek itu sendiri berindap-indap menghampiri bangunan itu dari belakang.

Bagai sebuah bayangan, Kai-ong menyelinap masuk. Han Li yang disuruh bersembunyi hanya menunggu. Jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau mereka ketahuan? Ia tidak takut akan ancaman pengeroyokan, hanya merasa malu kalau sampai ketahuan masuk ke rumah orang untuk mencuri makanan!

Tidak lama kemudian, Kai-ong muncul lagi dan memberi isyarat dengan tangan kepada Han Li untuk mengikutinya. Kiranya kakek tadi lebih dahulu menyelidiki di mana adanya dapur istana itu. Han Li berlari menghampirinya dan keduanya lalu menyelinap masuk melalui pintu belakang.

Tiba-tiba Kai-ong menarik tangan Han Li untuk bersembunyi. Baru sekejap saja Han Li bersembunyi di balik tembok, dia melihat tiga orang pengawal yang membawa tombak lewat di dekat mereka. Untung mereka sudah bersembunyi. Kalau terlambat sebentar saja mereka tentu sudah ketahuan!

Setelah tiga orang pengawal itu lewat, kembali Kai-ong mengajak Han Li melanjutkan perjalanan memasuki bagian yang lebih dalam di istana itu. Setibanya di dapur, Han Li melihat ada kesibukan di dalam dapur. Kai-ong memberi isyarat untuk mengikutinya dan kakek itu lalu melayang naik ke atas dapur. Han Li mencontoh perbuatan gurunya dan kini mereka mendekam di atas atap dapur mengintai ke bawah.

Sebelum dapat melihat apa-apa, lebih dulu hidung Han Li disambut bau masakan yang amat sedap. Cepat ia mengintai dan melihat lima orang koki sedang membuat masakan. Bermacam-macam masakan itu.

"Hemmm, udang besar saus tomat itu nampaknya menggapai-gapai kepadaku," Kai-ong berbisik dan dia menjilat bibirnya sendiri.

Han Li merasa geli dan juga heran ketika gurunya mengeluarkan segulung tali yang di ujungnya dipasangi besi kaitan seperti sebuah pancing! Han Li baru mengerti setelah gurunya menurunkan pancing itu ke bawah dan menanti sampai para koki itu lengah, barulah dia mengayun pancingnya dan besi kaitan itu dengan tepat sekali mengait seekor udang goreng saus tomat yang segera ditariknya ke atas. Segera ditangkapnya udang yang masih panas itu dan dimakannya dengan lahap sekali.

"Wah, enaknya bukan main!" Dia memuji dan di lain saat dia sudah mengait seekor lagi yang lalu diberikan kepada Han Li.

Sebetulnya Han Li tidak berselera makan masakan curian itu, akan tetapi ia tidak mau mengecewakan gurunya, maka dimakannya udang itu. Ternyata memang lezat sekali.

Setelah menghabiskan lima ekor udang besar, dan selagi matanya sedang mencari-cari masakan lain, di bawah terjadi keributan. Si tukang masak udang goreng saus tomat itu yang membuat ribut.

"Heiii!! Udangku ke mana? A Sam, jangan main-main kau!" tegurnya kepada temannya yang sedang memasak masakan ayam tanpa tulang. "Tentu engkaulah orangnya yang makan udang-udangku. Kenapa bisa tinggal setengahnya?"

"Ngawur! Siapa makan udang-udangmu? Sejak tadi aku mempersiapkan masakanku sendiri, mana aku ada waktu untuk memperhatikan udangmu, apa lagi mencurinya dan memakannya."

"Akan tetapi udang besar itu tadinya berjumlah belasan ekor, sekarang tinggal delapan ekor lagi! Yang berada di dekatku hanya engkau. Siapa lagi yang mencurinya kalau bukan engkau?"

"Aku tidak mencuri udangmu. Jangan main tuduh sembarangan kau!"

Teman-teman yang lain melerai. "Sudahlah, mungkin dimakan kucing."

"Tidak ada kucing yang masuk ke sini." bantah koki udang yang merasa kehilangan.

Sementara itu, di dalam keributan itu, selagi para koki bicara dan lengah, seekor ayam tanpa tulang sudah melayang naik ke atas. Kai-ong membaginya dengan Han Li dan mereka makan masakan istimewa. Ayam itu masih utuh, akan tetapi ketika digigit, sama sekali tidak ada tulangnya dan ayam itu diisi cacahan daging dengan bumbunya yang sedap.

"Heiii...! Mana ayamku?" tiba-tiba koki ayam yang tadi dituduh mencuri udang, berteriak.

"Ayam apa lagi?!" tanya teman-temannya.

"Tadi masih di sini, baru saja kuangkat dari tempat masak. Semua ada lima ekor, akan tetapi lihat, hanya tingga empat ekor. Yang seekor lagi terbang ke mana?"

"Mana ada ayam tanpa tulang itu dapat terbang?"

"Tentu ada yang mencuri dan menyembunyikan. A-cui, engkau tadi menuduh aku sudah mencuri udang-udangmu. Agaknya engkau kini hendak membalas dendam, kemudian engkau menyembunyikan ayamku!"

"Kau gila! Aku tidak mencuri ayammu!" A-cui membentak.

Dua orang itu sudah saling mengacungkan pisau dapur yang tajam, akan tetapi dilerai teman-temannya. Akhirnya keributan itu pun mereda dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka.

Sementara itu, seekor ayam cabut tulang tadi telah habis memasuki perut Kai-ong dan Han Li. Kai-ong menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan minyak dan menggumam, "Wah, enak... lezat...!"

"Suhu, aku sudah kenyang. Mari kita pergi dari sini," bisik Han Li.

"Wah, nanti dulu. Baru mencicipi sedikit sudah mau pulang! Dan lagi, makan seperti ini kurang enak. Aku ingin mencicipi masakan rebung kaki biruang itu, dan itu ada swi-ke pemakan burung, dan panggang bebeknya, goreng burung merpati, wah, masih begitu banyak dan engkau telah mengajak pulang? Nanti dulu ah!"

Kai-ong mematahkan ujung genting, diremasnya menjadi potongan kecil-kecil lalu mulai menyambitkan ke bawah.

"Aduh, siapa memukul kepalaku?" teriak seorang koki gendut sambil menggosok-gosok kepalanya yang botak.

"Aduh! Aku juga dipukul. Kamu yang memukul kepalaku, ya?" teriak A-sam dan dia langsung saja menuduh A-cui.

Acui menjadi marah lagi. "Siapa yang memukul? Aduh, siapa mengetuk kepalaku?"

Kemudian terdengar mereka semua mengaduh dan suasana menjadi kacau. Dalam keadaan seperti itu, Kai-ong memberi isyarat kepada Han Li dan mengajak gadis itu melayang turun ke dalam dapur!

Dengan cekatan Kai-ong sudah mengambil semangkok sop ayam muda dan sambil berjongkok dan bersembunyi di belakang meja dia menyambar pula sepasang sumpit dan mulailah dia makan dengan lahapnya. Dia memberi isyarat kepada Han Li supaya meniru perbuatannya.

Tetapi Han Li yang juga ikut bersembunyi di belakang meja menggerakkan pundaknya, lalu menyambar sepotong bak-pauw dan memakannya. Bak-pauw adalah sebuah roti biasa yang berisi daging dan sayur, akan tetapi bak-pauw yang terdapat dalam dapur Pangeran Mahkota ini lain rasanya. Memang enak sekali.

Setelah mencicipi berbagai macam masakan, Kai-ong ingin minum dan merangkaklah dia ke tempat penyimpanan guci-guci arak. Dia membuka sebuah guci dan dituangkan isinya begitu saja ke mulutnya.

"Heiii, ke mana masakan goreng burung merpatiku?"

"Dan kenapa sop ayam muda ini tinggal sedikit?"

"Ca rebung muda kaki biruangku juga tinggal sedikit!"

"Wah, bau arak! Jangan-jangan ada guci arak yang pecah!"

Lima orang koki itu ribut-ribut dan mencari ke sana ke mari. Tentu saja guru dan murid itu sibuk berloncatan ke sana ke mari untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi Kai-ong yang keenakan minum arak tidak sempat lagi bersembunyi. Seorang di antara lima koki itu melihatnya dan berteriak, "Wah, ini dia malingnya. Seorang pengemis tua!"

"Celaka, masakan kita diusiknya, banyak yang dimakannya. Apakah keluarga pangeran hanya mendapatkan sisanya?"

"Hayo kita tangkap pencuri itu!"

Dua orang sudah menerjang maju untuk menangkap Kai-ong, akan tetapi Han Li cepat melompat ke depan. Lima orang koki itu terbelalak ketika melihat seorang gadis cantik melindungi kakek itu.

"Paman sekalian, maafkanlah kami yang sudah mencicipi sedikit masakan kalian. Suhu, mari kita pergi!"

"He-he-heh, nanti dulu, Han Li. Kabarnya Pangeran Mahkota adalah seorang yang amat dermawan. Siapa kira, makanan untuk keluarganya demikian mewah, sedangkan di luar istananya banyak rakyat kelaparan!" Kai-ong minum terus dan nampaknya kakek raja pengemis ini sudah mulai mabuk.

"Mari kita lapor ke dalam!" Lima orang koki itu lalu berlarian keluar dari dalam dapur.

"Suhu, mari kita cepat pergi. Para pengawal tentu segera berdatangan!"

"Heh-heh-heh, aku tidak pernah melarikan diri dari dapur sebelum perutku benar-benar kenyang. Mari kita makan dengan leluasa, Han Li. Begini lebih enak. Ini ada nasi dari Hang-ciu, nasinya lembut dan harum sedap."

Kai-ong tidak mau pergi, malah kini duduk menghadapi meja, menyambar mangkok dan sumpit lalu mulai makan dengan lahapnya. Han Li membanting-banting kakinya dengan bingung. Sudah terdengar suara banyak kaki berlari ke tempat itu.

"Wah, ini bagaimana, Suhu? Mereka sudah berdatangan!"

"Biarkan saja. Kalau mereka berani mengganggu aku makan, akan kuhajar! Nih, kau makan nasi, Han Li. Atau ingin buah-buahan segar. Itu di sana banyak anggur, buah leci dan apel. Tinggal pilih mana yang kau suka, heh-heh-heh!"

"Akan tetapi, Suhu...!" Han Li tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu di ambang pintu dapur telah bermunculan pasukan pengawal yang jumlahnya belasan orang.

Seorang komandan pengawal menudingkan goloknya ke arah Kai-ong yang sedang melahap makanan.

"Pencuri busuk, engkau berani mengacau di dapur istana pangeran?"

"Heh-heh-heh, makanan ini datangnya dari perahan keringat rakyat, apakah kami tidak boleh merasakannya? Aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota adalah seorang yang dermawan dan bijaksana. Apakah dia tidak mengijinkan kami mencicipi makanan ini?" kata Kai-ong sambil menggigit paha ayam dan menyeringai ke arah para pengawal.

"Keparat, berani engkau...!"

"Tahan dulu, Ciangkun. Biarkan kami bicara dengan mereka!" tiba-tiba terdengar suara lembut dan perwira pengawal itu terpaksa mundur lagi karena yang menegurnya adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang sendiri.

Han Li dan Kai-ong memandang penuh perhatian dan melihat munculnya seorang laki-laki bangsawan yang tampan dan berwibawa. Usianya sekitar empat puluh tahun. Di sebelah kanannya berdiri seorang wanita cantik dan di sebelah kirinya berdiri seorang gadis manis. Baik wanita cantik mau pun gadis manis itu membawa sebatang pedang di punggung mereka sehingga mereka nampak anggun dan juga gagah.

Pria itu adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Gadis manis itu bukan lain adalah Tao Kwi Hong dan wanita cantik itu adalah ibunya. Mereka tadi telah bersiap hendak makan siang saat mendengar laporan para koki bahwa di dapur terdapat kakek pengemis yang mencuri makanan. Pangeran Mahkota Tao Kuang tertarik mendengar ini dan dikawal oleh Tao Kwi Hong dan ibunya, Liang Siok Cu, mereka bergegas menuju ke dapur.

Pangeran Mahkota Tao Kuang memiliki watak seperti kakeknya, yaitu suka bergaul dan menghargai orang-orang kang-ouw. Maka, begitu melihat kakek berpakaian pengemis itu bersama seorang gadis cantik yang mendatangkan kekacauan di dapurnya, dia lalu melarang para pengawal turun tangan.

Dia sendiri lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian hormat dan berkata dengan lembut, "Apakah kunjungan Locianpwe dan Nona ini hanya untuk mencicipi makanan?"

"Habis, untuk apa lagi? Kami tidak mempunyai urusan dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang, heh-heh-heh!" kata Kai-ong.

"Kamilah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Kalau memang begitu, biar kami mengundang Locianpwe dan Nona ini untuk makan bersama!" Penawaran ini diajukan dengan sikap yang lembut dan manis sehingga Han Li merasa tidak enak dan malu sendiri.

"Kau dengar itu, Han Li?" Kai-ong berkata sambil tertawa girang. "Sudah sejak lama aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota Tao Kuang adalah seorang yang bijaksana dan kini terbukti kebenaran berita itu. Terima kasih, Pangeran, tentu saja kami menerima undanganmu itu, ha-ha-ha!"

Han Li diam saja akan tetapi merasa tidak enak hati. Sejak kecil ia mendengar tentang penjajahan bangsa Mancu terhadap negara dan bangsanya. Dia sendiri adalah puteri ketua Thian-li-pang yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan sekarang ia diundang makan bersama oleh keluarga Pangeran Mahkota bangsa Mancu! Akan tetapi, menolak pun tidak mungkin karena gurunya sudah menerima, maka ia pun mengikuti saja ketika mereka dipersilakan masuk ke dalam ruangan makan yang luas.

Setelah mereka duduk menghadapi meja makan, hidangan-hidangan yang paling lezat disuguhkan. Pangeran Tao Kuang memberi isyarat kepada pelayan untuk mengisi arak dalam cawan-cawan perak di depan tamunya kemudian menyulangi dua orang tamunya dengan secawan arak.

"Silakan Ji-wi (Anda Berdua) minum untuk ucapan selamat datang dari kami dan untuk perkenalan ini."

Sambil tersenyum lebar Kai-ong minum secawan arak itu dan Han Li hanya mencontoh gurunya.

Pangeran Tao Kuang memperkenalkan selirnya dan puterinya, lalu bertanya, "Siapakah nama Locianpwe yang terhormat dan siapa pula Nona ini?"

"He-he-heh, Pangeran. Terima kasih bahwa Paduka suka menyambut kami orang-orang biasa dengan ramah tamah. Saya bernama Lu Tong Ki, hanya orang biasa saja, bahkan pengemis yang tidak pernah minta-minta."

"Lu Tong Ki...? Apakah bukan Kai-ong (Raja Pengemis) Lu Tong Ki?" mendadak Liang Siok Cu bertanya dengan kaget.

"Heh-heh-heh, saya hanyalah rajanya para pengemis, Nyonya."

"Mendiang ayahku Liang Cun sering bicara tentang Locianpwe," kata nyonya itu kagum.

Kini sepasang mata Lu Tong Ki terbelalak, "Liang Cun? Ahhh, Sin-tung Koai-jin sudah meninggal dunia dan Nyonya adalah puterinya? Pantas, kalian begini ramah. Kiranya keturunan seorang datuk dari Thai-san!"

"Ha-ha-ha, kiranya kita berada di antara orang sendiri!" Pangeran Tao Kuang tertawa gembira.

"Dan engkau, Enci yang baik, siapakah namamu?" tiba-tiba Kwi Hong bertanya kepada Han Li sambil memandang gadis itu penuh perhatian. "Apakah engkau murid Locianpwe ini?"

"Benar, aku adalah murid Suhu, namaku Yo Han Li," jawab Han Li singkat.

Mereka mulai makan dan minum. Setelah acara makan selesai, di mana Kai-ong dapat memuaskan seleranya, tiba-tiba Raja Pengemis itu tertawa sambil mengelus perutnya. "Aihhh, kalau setiap hari makan begini, dalam waktu sebulan aku akan menjadi orang gendut!"

Semua orang tertawa dan Kai-ong kembali berkata, "Ha-ha-ha, Pangeran tentu tidak menduga siapa adanya nona yang mengakui saya sebagai gurunya ini. Sesungguhnya ia jauh lebih terkenal dari pada saya yang hanya raja kaum pengemis. Ibunya terkenal dengan julukan Si Bangau Merah, ayahnya lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Tangan Sakti yang juga menjadi ketua Thian-li-pang..."

"Ahhh...!!"

Liang Siok Cu berseru kaget sambil memandang Han Li, sedangkan wajah Pangeran Tao Kuang juga berubah agak pucat. Akan tetapi Kwi Hong berseru girang.

"Aih, kiranya Enci ini puteri Paman Yo? Senang sekali bertemu dengan puteri Paman Yo Han!"

"Kwi Hong, apakah engkau mengenal ketua Thian-li-pang?" tanya Pangeran Mahkota Tao Kuang, sedangkan isterinya bersiap untuk melindungi suaminya kalau-kalau puteri pemberontak itu mempunyai niat jahat.

"Ayah, aku tidak tahu apakah paman Yo itu ketua Thian-li-pang. Yang aku ketahui dia adalah seorang yang gagah perkasa dan dahulu pernah menolongku dari pengeroyokan pemberontak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Aku kagum sekali kepadanya!"

Han Li tadi terkejut bukan main mendengar gurunya memperkenalkan ayahnya sebagai ketua Thian-li-pang. Akan tetapi dia merasa heran dan juga lega mendengar bahwa Kwi Hong pernah ditolong ayahnya. Ketika dia melirik ke arah gurunya, dia melihat Kai-ong tersenyum-senyum padanya. Dia pun bisa menduga bahwa gurunya sengaja menyebut Thian-li-pang untuk menguji hingga di mana ketulusan hati dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota itu!

Dan memang sebenarnya begitulah. Maklum bahwa ucapannya tadi bisa mendatangkan bahaya, maka diam-diam Kai-ong juga sudah bersiap-siap. Dia cerdik sekali dan andai kata disebutnya Thian-li-pang itu membuat Pangeran Mahkota marah dan mengerahkan pasukan pengawalnya, dia tentu akan bertindak menawan sang pangeran terlebih dulu agar dia dan muridnya dapat keluar dari istana itu dengan aman!

Akan tetapi dia pun merasa lega ketika ucapan Kwi Hong membuyarkan suasana yang tegang tadi. Kini Pangeran Mahkota yang berkata kepada Han Li, di dalam suaranya mengandung perasaan heran.

"Aneh sekali! Ketua Thian-li-pang pernah menolong puteriku dan hari ini aku menjamu puterinya! Padahal semua orang tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa pemberontak!"

"Ayah saya tidak pernah membenci perorangan, Pangeran. Yang ditentangnya adalah penjajah dan penindasan!" jawab Han Li dengan tegas.

"He-he-heh, dalam anggapan Paduka memang Thian-li-pang pemberontak, Pangeran," berkata pula Kai-ong. "Akan tetapi dalam anggapan kami rakyat jelata, Thian-li-pang berjiwa pendekar dan pejuang."

"Berjuang untuk apa?" Pangeran Mahkota mendesak.

"Berjuang untuk menegakkan kebenaran serta keadilan, berjuang untuk kemerdekaan tanah air dan bangsa," kata pula Kai-ong dan ketika mengucapkan kata-kata ini, dia tidak lagi tertawa melainkan berkata dengan suara dan wajah serius.

"Sama saja, itu pemberontakan namanya, menentang pihak yang berkuasa," Pangeran Mahkota Tao Kuang membantah.

"Harap Paduka mempertimbangkan dengan hati dan kepala yang tenang dan dingin," kata pula Kai-ong. "Coba Paduka tempatkan diri Paduka sebagai rakyat kami. Apakah Paduka tidak mempunyai keinginan untuk memerdekakan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajah? Salahkah itu kalau seseorang bercita-cita untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsanya?"

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk. "Mungkin juga kami akan berpendirian yang sama. Akan tetapi kami bukan penindas. Kami menganggap bangsa Han seperti bangsa sendiri. Kami ingin menjalankan pemerintahan yang adil, ingin menyejahterakan rakyat."

"Kami percaya, Pangeran. Tapi yang ditentang oleh para pejuang adalah pemerintahan penjajah, bukan perorangan, seperti yang dikatakan murid saya Han Li tadi."

"Akan tetapi sekarang terbukti bahwa di antara kita tiada kebencian atau permusuhan. Anak kami pernah diselamatkan oleh ketua Thian-li-pang dan anak ketua Thian-li-pang kami undang makan menjadi tamu terhormat kami!" kata Pangeran Tao Kuang sambil tersenyum.

"Ayah, kuharap enci Han Li menjadi tamu kita untuk beberapa waktu lamanya. Aku ingin mengenalnya lebih dekat dan berbincang-bincang tentang ilmu silat dengannya!" kata Kwi Hong kepada ayahnya.

Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk sambil tersenyum ramah kepada Kai-ong, "Aku tidak keberatan dan mereka ini boleh tinggal di istana sebagai tamu berapa lama pun mereka kehendaki!"

Kai-ong tertawa. "Bagus! Aku suka sekali tinggal di sini beberapa lamanya sampai puas makan enak setiap hari. Han Li, kita tinggal di sini sampai bosan!"

Kwi Hong merasa gembira sekali. Dengan senyum manis ia bangkit menghampiri Han Li dan menggandeng tangan gadis itu. "Mari kita melihat-lihat taman, enci Han Li. Akan kutunjukkan kamarmu di mana engkau boleh tinggal!"

Kedua orang gadis itu pergi dan meninggalkan Kai-ong yang diajak bercakap-cakap oleh Pangeran Tao Kuang. Seorang raja pengemis bersama muridnya menjadi tamu dari Pangeran Mahkota…..

**********

Cu In tidak peduli bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang dijumpainya di jalan dalam kota raja. Mukanya yang tertutup sutera putih dari batas hidung ke bawah itulah yang menarik perhatian orang. Akan tetapi tak ada seorang pun mengganggunya. Tentu mereka itu mengira bahwa ia seorang wanita dari Turki atau negara Islam lainnya. Wanita-wanita Islam biasanya menutup mukanya dengan cadar seperti itu.

Tidak sukar bagi Cu In untuk mendapat keterangan di mana adanya rumah Panglima The Sun Tek. The-ciangkun adalah seorang panglima yang terkenal di kota raja. Dialah yang memimpin pasukan ketika memadamkan pemberontakan di selatan. The-ciangkun seorang panglima yang bukan hanya pandai ilmu perang, akan tetapi juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi.

Cu In tidak tahu orang macam apa adanya The Sun Tek. Yang penting baginya adalah bahwa ia harus membunuh orang itu. Menurut gurunya, panglima The itu adalah musuh besar gurunya, dan lebih dari pada itu, panglima The itulah yang membunuh ayah bundanya sehingga ia menjadi seorang yatim piatu sejak masih bayi!

Sejak bayi dia dipelihara oleh subo-nya, maka kini tugas untuk membunuh musuh besar subo-nya itu akan dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan hanya untuk membalas budi gurunya, melainkan juga untuk membalas dendam ayah bundanya.

Cu In merasa agak heran namun girang melihat kenyataan bahwa rumah itu tidak dijaga regu keamanan seperti rumah para panglima tinggi lainnya. Rumah itu dari luar nampak sunyi saja. Cu In lalu mengelilingi pagar tembok rumah itu dan ternyata rumah itu memiliki pekarangan dan taman yang luas sekali.

Hari itu panas sekali. Matahari telah naik tinggi. Bagaikan seekor burung saja ringannya, Cu In sudah melompati pagar tembok di bagian belakang rumah itu dan mendekam di atas untuk mengintai ke sebelah dalam pagar. Ternyata di sebelah dalamnya terdapat sebuah taman yang luas, penuh dengan bunga warna warni yang sedang berkembang sehingga suasana di taman itu nyaman dan indah sekali.

Ia melompat turun ke sebelah dalam dan menyelinap di antara pohon-pohon. Agak jauh di tengah taman itu terdapat sebuah pondok dengan dinding rendah dan bagian atasnya terbuka. Semacam tempat untuk duduk bersantai menikmati keindahan taman. Di depan pondok itu terdapat sebuah kolam ikan dengan bunga teratai dan ikan-ikan emas berenang di dalam kolam. Gemercik suara air di kolam yang jatuh dari sebuah pancuran mendatangkan suara yang menyejukkan hati.

Cu In cepat menyusup ke balik rumpun bunga. Ia melihat seorang laki-laki melangkah seenaknya dengan santai menuju ke panggung atau pondok itu, memasukinya dan duduk di atas bangku menghadapi kolam ikan. Cu In mengintai dan melihat bahwa pria itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi rambut kepalanya sudah banyak beruban.

Rambut itu dikuncir ke belakang dan diikat dengan sutera biru. Wajah yang mulai berkerut merut itu masih nampak tampan dan gagah. Akan tetapi dalam sinar matanya mengandung duka.

Sampai lama pria itu termenung memandangi kolam ikan, dan berulang kali pula dia menghela napas panjang. Tiba-tiba pria itu menengadahkan mukanya, memandangi awan yang berarak di angkasa, dan dia membaca sajak.

Seperti awan bergerak di angkasa
kita bercanda penuh suka dan tawa
sumpah saling mencinta saling setia
berbahagia memadu asmara

Semua itu hilang musnah
ketika angin datang menerpa
kita berpisah dan merana
yang tertinggal hanyalah air mata!


Cu In tertegun. Dia mengenal betul sajak itu karena gurunya, Ang Hwa Nio-nio, sering menyanyikan sajak itu dalam sebuah lagu yang sedih. Dan sekarang pria itu bersajak yang sama!

Karena perasaan terguncang, tubuh Cu In membuat gerakan. Biar pun gerakan itu tidak menimbulkan suara keras, akan tetapi pria itu sudah memutar tubuhnya dan terdengar suaranya yang lantang,

"Sobat, tiada gunanya lagi engkau bersembunyi. Aku telah mengetahui keberadaanmu di situ!" Pria itu memandang ke arah Cu In.

Cu In terpaksa muncul dari balik rumpun bunga lalu menghampiri pondok itu. Pria itu nampak terkejut dan terheran-heran melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis yang mukanya ditutup cadar putih, pakaiannya juga serba putih.

"Siapa engkau? Apa keperluanmu datang ke tempat ini tanpa diundang?" tanya pria itu dan suaranya mengandung wibawa yang kuat.

Akan tetapi Cu In tidak menjawab, melainkan balas bertanya, "Apakah engkau yang bernama The Sun Tek?"

"Tidak salah, akulah The Sun Tek. Siapakah engkau, Nona?"

"Namaku Souw Cu In dan aku datang ke sini untuk membunuhmu, The Sun Tek!"

The Sun Tek sama sekali tidak menjadi terkejut mendengar pengakuan itu, bahkan dia nampak begitu tenang. Sebagai seorang panglima besar, dia tahu bahwa banyak orang menginginkan kematiannya, terutama untuk membalas dendam karena dia sudah sering menghancurkan usaha pemberontakan di mana-mana sehingga tidaklah aneh jika ada yang mendendam kepadanya.

Sering pula terdapat usaha orang-orang yang memusuhinya untuk membunuhnya. Akan tetapi baru kali ini usaha itu akan dilakukan seorang gadis muda. Hal ini mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya.

"Membunuh orang tentu ada alasannya yang kuat, Nona. Dan kenapa engkau hendak membunuhku? Kita belum pernah bertemu dan di antara kita tidak terdapat urusan apa pun!"

"Kita memang tidak pernah bertemu, akan tetapi engkau keliru kalau mengira di antara kita tidak pernah terdapat urusan apa pun. Alasanku datang untuk membunuhmu ini cukup kuat. Pertama, aku hendak membalaskan dendam kematian ayah bundaku yang dahulu sudah kau bunuh! Dan kedua, aku datang mewakili guruku yang menjadi musuh besarmu!"

The Sun Tek mengerutkan alisnya. Kedudukan dirinya sebagai panglima besar yang memimpin pasukan memang banyak resikonya. Entah berapa banyak orang yang dapat menaruh dendam kepadanya karena orang tuanya terbunuh dalam perang.

"Hemm, siapakah nama ayah bundamu itu, Nona? Aku tidak merasa pernah membunuh orang, kecuali tentu saja dalam perang. Apakah dahulu ayah bundamu itu tewas dalam peperangan melawan pasukanku?"

"Aku tidak tahu siapa ayah bundaku, tidak pernah mengenalnya karena sejak aku masih bayi engkau telah membunuh mereka."

"Lalu bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku pembunuh mereka?"

"Guruku yang memberi tahu."

"Aha, gurumu yang kau wakili untuk menghadapi aku sebagai musuh besarnya itu? Dan siapa gerangan nama gurumu itu, Nona?"

"Guruku adalah Ang Hwa Nio-nio!"

The Sun Tek membelalakkan kedua matanya, kemudian wajahnya nampak muram dan mengandung duka.

"Ahhh, Hong Bwe... Hong Bwe, sampai begitu mendalamkah bencimu terhadap diriku? Bertahun tahun aku mencarimu dan kini tiba-tiba muncul muridmu untuk membunuhku."

Cu In tidak mengerti apa yang dimaksudkan pria itu. Ia sudah melolos sabuk suteranya dan berkata, "The Sun Tek, bersiaplah engkau untuk menghadapi seranganku!"

"Nanti dulu, nona Souw. Bersabarlah karena aku tak akan pernah melarikan diri darimu. Engkau tidak dapat membunuh orang begitu saja tanpa alasan yang kuat. Engkau harus yakin benar bahwa aku adalah pembunuh orang tuamu. Dan tentang permusuhanku dengan gurumu Ang Hwa Nio-nio itu, tidakkah engkau ingin untuk mengetahui sebab sebabnya?"

"Aku hanya mendengar tentang kematian ayah bundaku dari guruku, dan kalau guruku sampai menganggap bahwa engkau musuh besarnya, tentulah engkau telah melakukan hal yang amat jahat terhadap subo."

"Tahan dulu dan dengarlah sebentar penjelasanku. Aku melihatmu sekarang ini, tiada ubahnya seperti melihat gurumu ketika itu! Bentuk tubuhmu, matamu itu, dan suaramu! Engkau seperti pinang dibelah dua dengan Hong Bwe! Karena itulah aku ingin engkau mendengar penjelasanku."

Cu In meragu. Dia tidak mengenal siapa itu Hong Bwe, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak keinginan orang tua ini untuk menceritakan persoalannya dengan gurunya. Dia pun meragukan, jangan-jangan bukan orang ini pembunuh ayah bundanya. Subo-nya bercerita demikian mungkin hanya supaya dia membenci orang ini.

"Sesukamu, bicaralah, akan tetapi jangan harap aku akan percaya begitu saja terhadap keteranganmu."

"Percaya atau tidak terserah padamu. Terima kasih jika engkau suka untuk mendengar ceritaku. Silakan duduk, nona Souw."

The Sun Tek mempersilakan Cu In duduk. Gadis ini pun lalu mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu. Mereka hanya terhalang oleh sebuah meja kecil.

Setelah menghela napas panjang beberapa kali, The Sun Tek berkata, "Aku tidak tahu sampai tingkat apa ilmu silatmu, akan tetapi kalau gurumu sudah mengutusmu untuk membunuhku, aku percaya bahwa engkau tentu cukup lihai. Barangkali nanti aku akan terbunuh olehmu, oleh karena itu aku senang bahwa engkau suka mendengar ceritaku. Terjadinya cerita ini kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Pada saat itu, aku belum menjadi seorang panglima, akan tetapi aku suka bertualang di dunia kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw. Aku lalu bertemu seorang gadis kang-ouw bernama Sim Hong Bwe. Kami berkenalan dan saling jatuh cinta. Ketika itulah aku melamar pekerjaan sebagai seorang perwira muda. Karena orang tuaku mengenal panglima yang bertugas menerima para perwira muda, maka aku pun dapat diterima sebagai seorang perwira. Orang tuaku lalu mendesakku untuk menikah. Ketika aku memberi tahu bahwa aku telah mempunyai seorang pilihan hati, yaitu Sim Hong Bwe, ayahku menjadi marah. ‘Menikah dengan seorang gadis kang-ouw? Tidak!’ katanya. Karena aku telah memiliki tugas dan kedudukan, aku harus menikah dengan seorang gadis baik-baik, berasal dari keluarga yang terhormat. Aku tidak mampu membantah ayahku, maka terpaksa aku menerima saja dijodohkan seorang gadis puteri seorang bangsawan."

Sampai di sini The Sun Tek menghentikan ceritanya, agaknya dia mengingat kembali peristiwa yang membuatnya selalu berduka itu. Dia memandang kepada Cu In, akan tetapi Cu In tidak mengacuhkannya...


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 14