Pusaka Pulau Es Bagian 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 01

PRIA penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling dan dia terpesona. Memang pagi itu indah bukan main. Di sekeliling tempat itu terdapat bukit-bukit berjajar-jajar. Bukit-bukit di timur masih nampak gelap sebab matahari baru muncul mengintai dari balik punggung mereka. Akan tetapi bukit-bukit di sisi barat sudah mulai menerima sinar matahari pagi yang kuning keemasan.

Nampaklah kabut menyingkir perlahan dihalau sinar matahari pagi. Sinar matahari pagi yang masih lembut akan tetapi sudah garang itu menerobos di antara kabut, sungguh merupakan keindahan yang sukar untuk dilukiskan. Keindahannya lebih terasa di dalam hati dari pada di dalam mata.

Burung-burung mulai beterbangan meninggalkan sarang, meski masih ada yang sempat berkicau di antara ranting-ranting pohon, membuat suasana makin ceria gembira dan mendorong seseorang untuk turut bernyanyi. Matahari pagi mulai muncul dan sinarnya menghidupkan segalanya, membangunkan semuanya yang tadinya terlelap tidur dalam kegelapan sang malam.

Nampak beberapa ekor kelinci dan kijang menyeberangi semak dengan hati-hati sekali. Telinga mereka membantu mata yang menoleh ke kanan kiri, lalu mereka melanjutkan jalan menuju ke semak lain. Tidak ada seorang pun manusia lain kecuali si penunggang kuda yang menghentikan kudanya di atas puncak sebuah bukit kecil itu.

Kekuasaan dan kecintaan Tuhan sungguh mengalir sepenuhnya di pagi hari itu, terasa sekali di dalam hati. Dan orang itu merasa bahwa dirinya menjadi satu dengan segala keindahan itu, menjadi bagian tak terpisahkan dari isi alam mayapada yang demikian indah. Dia merasa dirinya kecil sekali, kecil tidak ada artinya, padahal biasanya dia merupakan orang penting yang diperhatikan, dihormati dan dilayani oleh banyak orang.

Laki-laki itu masih muda. Paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Rambutnya dikuncir menjadi sebuah kuncir yang gemuk dan panjang, ujungnya diikat sutera kuning. Rambut itu di atasnya disisir rapi dan mengkilap karena minyak rambut yang harum.

Dahinya lebar, dengan sepasang alis hitam tebal berbentuk golok. Sepasang matanya mencorong bagaikan mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk indah dengan bibir mengarah senyum mengejek. Dandanannya menunjukkan bahwa dia tentu seorang bangsawan muda yang kaya-raya.

Siapakah pemuda tampan gagah yang pakaiannya perlente dan amat pesolek ini? Dia memang bukan orang sembarangan. Ia adalah seorang pangeran! Namanya Pangeran Tao Seng, putera dari Kaisar Cia Cing (1796-1820). Kenapa dan mau apakah seorang pangeran berada di antara pegunungan di tempat yang begitu jauh di utara itu, seorang diri pula?

Pangeran Tao Seng memang seorang petualang besar. Semenjak kecil dia bukan saja mempelajari ilmu kesusastraan, bahkan juga belajar ilmu silat dengan tekun sehingga setelah menjadi dewasa, dia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Agaknya dia tertarik dengan riwayat kakeknya, Kaisar Kian Liong yang di waktu mudanya suka merantau dan memasuki dunia kang-ouw mencari pengalaman. Demikian pula dengan Tao Seng. Agaknya dia mewarisi jiwa petualang dari kakeknya ini.

Sering kali dia merantau seorang diri saja, mengandalkan ilmu silatnya untuk melindungi dirinya. Dia sudah sering menjelajahi dunia kang-ouw dan mengumbar kesenangannya, yaitu senang menggauli wanita-wanita cantik. Mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita cantik karena wanita mana yang tidak tertarik kepadanya? Dia masih muda, tampan dan gagah, dan seorang pangeran pula!

Pada pagi hari itu dia tiba di pegunungan utara. Dia tahu bahwa dia memasuki daerah yang dikuasai orang-orang suku Khitan, akan tetapi dia tidak pernah mengenal takut. Apa lagi dia juga pandai berbahasa Khitan, bahkan ibunya masih memiliki darah Khitan. Pula, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik. Apa yang harus ditakuti? Pangeran Tao Seng sudah sering kali menghadapi bahaya, namun selalu dapat lolos dengan selamat. Dia seorang petualang besar.

Tiba-tiba dia melihat ada seorang penunggang kuda mendaki bukit itu dengan cepat. Kudanya bagus dan penunggangnya mahir sekali menunggang kuda. Duduknya tegak dan keseimbangan tubuhnya mantap. Dekat hutan di sebelah bawahnya, penunggang kuda itu turun dari atas kudanya, mengikat kudanya pada sebatang pohon, kemudian menyusup ke semak-semak dalam hutan itu.

Pangeran Tao Seng tersenyum. Dia sudah melihat bahwa penunggang kuda itu seorang gadis yang berpakaian seperti gadis Khitan dan cantik sekali, membawa busur dan anak panah. Tentu seorang gadis yang sedang memburu binatang hutan dan agaknya gadis itu melihat binatang buruan di dalam hutan itu.

Dia merasa gembira, lalu menggerakkan kudanya turun dari puncak bukit itu menuju ke hutan. Setelah tiba di dekat kuda yang ditambatkan di pohon itu, dia pun turun dari atas kudanya, menambatkan kudanya tidak jauh dari kuda gadis itu dan dia pun menyusup masuk ke dalam hutan, hendak mencari gadis pemburu tadi.

Akhirnya dia melihat gadis pemburu tadi berindap-indap di bawah sebatang pohon dan ternyata yang diincarnya adalah seekor kijang jantan muda yang sedang makan daun muda. Gadis itu sudah menarik tali busurnya dan siap melepaskan anak panah ke arah dada binatang itu. Akan tetapi perhatian Pangeran Tao Seng segera tertarik ke atas pohon, di bawah mana gadis itu berdiri.

“Awas...!” Tiba-tiba Pangeran Tao Seng berteriak nyaring.

Tepat pada saat itu, sang ular besar yang tadi bergantung di pohon itu melepaskan diri dan jatuh ke atas tubuh gadis itu yang sedang melepas anak panah. Karena kaget oleh teriakan, bidikannya terguncang dan anak panah itu luput dari sasaran. Dan selagi ia membalikkan tubuh hendak marah kepada orang yang berteriak, tiba-tiba saja ular itu menjatuhi dirinya dan membelit tubuhnya.

Saking kagetnya gadis itu menjerit. Tangan kanannya sudah ikut terbelit dan tak mampu bergerak. Akan tetapi ketika ular itu mendekatkan moncongnya dan hendak menggigit, dia menahan leher ular itu dengan tangan kirinya. Ular sebesar paha seorang pria itu memperkuat libatan dan menggerak-gerakkan lehernya yang dicekik oleh tangan kiri yang kecil namun kuat itu. Sekali tangan itu terlepas, moncong yang terbuka lebar itu tentu akan menelan kepala gadis itu dengan mudah!

Akan tetapi, Pangeran Tao Seng sudah lompat mendekat dengan pedang terhunus di tangan kanan. Sekali pedangnya berkelebat cepat, kepala ular itu putus dan darahnya muncrat mengenai pipi kiri gadis itu. Belitannya mengendur sehingga gadis itu dapat melepaskan dirinya. Saking ngeri dan kagetnya, dia terhuyung dan tentu sudah jatuh terpelanting kalau saja Pangeran Tao Seng tidak cepat menyambar pinggangnya dan merangkulnya.

“Bahaya sudah lewat, jangan takut,” katanya dalam bahasa Khitan dengan suara amat lembut.

Gadis itu memandang kepadanya dengan sepasang mata seperti seekor kelinci. “Kau... kau... telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman bahaya maut...”

Pangeran Tao Seng tersenyum, menyimpan pedangnya dengan tangan kirinya masih merangkul pinggang. Kemudian tangan kanannya mengambil sehelai sapu tangan dan berbisik, “Pipimu bernoda darah...!”

Dia lalu mengusap pipi kiri itu dengan sapu tangan dan membersihkan darah itu, dan dia terpesona! Setelah muka itu menjadi bersih dari darah, baru nampak betapa cantiknya wajah itu! Cantik segar bagaikan setangkai mawar hutan tersiram embun pagi. Kedua pipi yang segar kemerahan dan halus mulus. Sepasang mata yang lebar dengan sinar yang jernih. Hidung kecil mancung dan mulut yang setengah terbuka itu nampak indah, dengan deretan gigi mengintai dari balik bibir yang merah basah.

“Aduh, engkau cantik sekali, Nona. Bidadari dari sorgakah engkau?”

Gadis itu tiba-tiba tertawa. Lenyaplah semua rasa kaget dan ngeri tadi, dan dia merasa lucu dan senang. Pemuda yang telah menyelamatkannya dari ancaman maut itu adalah seorang pemuda yang amat ganteng dan gagah, dan bicaranya lucu, pandai berbahasa Khitan pula.

“Kalau aku seorang dewi dari sorga, tentunya engkau seorang dewa dari kahyangan,” katanya sambil melepaskan rangkulan pemuda itu.

Pangeran Tao Seng tertawa dan nampaklah deretan giginya yang bersih dan kuat. Dia nampak semakin tampan kalau tertawa dan agaknya hal ini diketahuinya benar, maka dia pun tertawa dengan bebas dan lepas.

“Ha-ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Nona. Aku beruntung sekali hanya manusia biasa seperti engkau, manusia yang bisa jatuh cinta! Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa berada seorang diri di hutan liar ini? Melihat pakaian dan kudamu, tentu engkau bukan gadis Khitan sembarangan, sedikitnya tentu puteri kepala suku!”

“Hemm, selain gagah perkasa ternyata engkau juga amat pandai mengenal orang. Aku Silani, puteri kepala suku Khitan di daerah ini. Dan engkau sendiri, siapakah? Engkau seperti bukan orang Khitan, akan tetapi engkau pandai bahasa kami dan pakaianmu sangatlah indahnya. Engkau seorang bangsawan, ya? Aku pernah melihat bangsawan-bangsawan yang datang berkunjung kepada ayahku. Ayahku adalah Khalaban, kepala suku yang terkenal gagah perkasa.”

“Engkau pun pandai menduga. Aku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng, namaku Pangeran Tao Seng.”

Gadis itu nampak terkejut. “Ahhh, seorang pangeran?” Matanya bersinar-sinar. “Betapa gagahnya!”

“Ahaa, benarkah itu? Benarkah engkau menganggap aku tampan dan gagah? Aku pun melihat engkau sebagai seorang gadis yang cantik jelita dan amat gagah, Silani. Betapa akan amat mudahnya bagiku untuk jatuh cinta padamu.”

Mendengar ucapan itu, Silani tersenyum lebar. Bagi seorang gadis suku Khitan seperti dia, tidaklah aneh mendengar pernyataan cinta seorang pria secara demikian terbuka.

“Ahh, benarkah?”

“Kenapa tidak benar? Aku berani bersumpah, Silani!”

Mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak satu meter, saling pandang, dan sinar mata mereka saling bertemu dan bertaut, penuh ketegangan dan kebahagiaan.

Betapa anehnya cinta antara pria dan wanita. Pria pada umumnya akan jatuh cinta karena kecantikan atau kepribadian si wanita. Akan tetapi wanita lain lagi. Ia dapat saja jatuh cinta karena kagum, karena iba, karena hutang budi, atau karena rayuan walau pun ketampanan wajah dan kepribadian juga memegang peran penting.

Silani merasa berhutang budi, sudah diselamatkan dari ancaman maut, ini saja sudah merupakan penolong baginya untuk jatuh hati. Apa lagi ditambah pengetahuan bahwa pria itu adalah seorang pangeran besar dari kerajaan yang besar, seorang pria yang tampan dan gagah perkasa yang dapat membunuh ular besar dengan sekali bacokan pedangnya, pria yang pandai pula merayu. Maka anehkah kalau ia seketika jatuh cinta kepada Pangeran Tao Seng?

Cinta pertama pada pandangan pertama memang berkesan dalam di hati. Tentu saja gadis Khitan yang sederhana jalan pikirannya ini sama sekali tidak tahu bahwa pria di depannya itu akan jatuh cinta kepada wanita mana pun asalkan wanita itu cantik jelita dan dapat dirayunya!

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan Silani bagaikan sadar dari mimpi.

“Ah, itu ayahku dan para pengawal datang ke sini!” katanya sambil melangkah beberapa tindak mundur menjauhi Pangeran Tao Seng.

Sepuluh orang penunggang kuda, dikepalai oleh seorang kepala suku Khitan yang tinggi kurus datang dan berlompatan turun dari kuda masing-masing. Kepala suku Khitan yang tinggi kurus itu adalan Khalaban, ayah Silani. Melihat puterinya bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing dan di situ terdapat seekor bangkai ular besar, Khalaban segera lari menghampiri puterinya dan menegur.

“Silani, kenapa engkau mendahului kami masuk hutan ini? Dan ular itu, apa yang telah terjadi? Siapa pula pemuda ini?” tanyanya dengan tak sabar.

“Ayah, tadi aku mengejar seekor kijang. Akan tetapi mendadak aku diserang ular besar ini yang menjatuhkan diri dari atas pohon. Kalau tidak ada pemuda ini yang menolongku membunuh ular, tentu sekarang ini anakmu sudah berada di dalam perut ular itu!”

Khalaban yang berusia lima puluh tahun ini tentu saja terkejut bukan main mendengar kata-kata puterinya, akan tetapi juga gembira bahwa puterinya dapat diselamatkan.

“Ahhh, syukur bahwa engkau selamat, Silani. Lalu, siapakah pemuda gagah yang telah menolongmu ini?”

“Ayah tentu tIdak akan pernah dapat menduganya! Ayah, pemuda ini adalah seorang pangeran kerajaan Ceng. Namanya Pangeran Tao Seng!”

Mendengar hal ini, Khalaban lebih terkejut lagi dan cepat-cepat ia membungkuk dengan sikap hormat.

“Pangeran, sungguh kami berterima kasih sekali bahwa Paduka telah menyelamatkan puteri kami, dan maafkan, karena tidak tahu maka kami bersikap kurang hormat.”

Tao Seng tertawa. “Ha-ha-ha, Paman, kenapa menggunakan banyak peraturan? Secara kebetulan sekali aku bertemu dengan puterimu yang cantik dan gagah, dan kebetulan pula aku dapat menolongnya ketika ular itu menyerangnya. Tidak perlu berterima kasih, Paman.”

“Khalaban nama saya, Pangeran. Dan kami persilakan Paduka untuk singgah di tempat perkampungan kami agar kami dapat menjamu Paduka menjadi tamu kehormatan kami dan juga untuk menghaturkan terima kasih kami.”

“Baik, Paman. Memang aku pun ingin berkenalan lebih jauh dengan Silani.”

“Jadi engkau mau berkunjung ke kampung kami, Pangeran? Aihh, aku gembira sekali!” kata Silani dengan sikap akrab.

Melihat sikap ini, Khalaban merasa gembira sekali, akan tetapi ada seorang pemuda Khitan di antara rombongan itu yang memandang dengan alis berkerut dan mata jalang bersinar tak senang.

Pemuda ini seorang pemuda Khitan yang bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah serta penampilannya nampak kokoh dan kuat. Seorang jantan dan memang dia merupakan jagoan di antara para muda Khitan, mahir ilmu bela diri terutama sekali ilmu gulat.

Di antara para muda, pemuda bernama Kalucin ini memang dianggap sebagai seorang yang memiliki harapan besar untuk mempersunting Silani, puteri kepala suku dan juga menjadi kembangnya para dara di antara mereka. Kini, melihat Silani nampak akrab dengan seorang pemuda asing, pangeran pula, tentu saja timbul perasaan tidak senang dan cemburu besar di dalam hati Kalucin.

Kata orang, cemburu adalah kembangnya cinta. Hal ini memang tidak dapat disangkal selama cinta kasih itu berdasarkan nafsu. Cinta nafsu selalu membuat yang mencinta ingin memiliki, ingin menguasai yang dicintai, seperti seseorang yang menyukai sebuah benda yang amat berharga. Tidak ingin disentuh orang lain, apa lagi dimiliki orang lain.

Itulah cemburu yang mendorong agar orang yang dicinta menjadi miliknya pribadi, tanpa diganggu orang lain. Dan cinta kita pada umumnya seperti itu. Cinta kasih yang hanya berdasarkan nafsu!


Demikian pula cinta dalam hati Kalucin terhadap Silani. Dia ingin Silani menjadi miliknya sendiri. Sekarang melihat ada pria lain mendekati gadis itu, bahkan ada kecenderungan berhubungan akrab, hatinya dipenuhi perasaan cemburu yang mendalam.

Bagi Khalaban sendiri, tentu saja dia merasa girang sekali kalau puterinya bergaul akrab dengan seorang pangeran. Pangeran kerajaan Ceng yang besar dan jaya, tampan dan gagah pula. Bahkan lebih dari itu, pangeran itu telah menyelamatkan nyawa puterinya. Kalau saja puterinya dapat menjadi isteri seorang pangeran, alangkah senang hatinya!

Pangeran Tao Seng dijamu dengan hormat dalam sebuah pesta yang meriah. Tentu saja Tao Seng gembira sekali, apa lagi disuguhi tari-tarian Khitan yang menggairahkan. Ketika Silani sendiri tampil sebagai seorang primadona dalam tarian itu, kekagumannya terhadap Silani semakin bertambah.

Di tengah makan minum itu, dengan beraninya Tao Seng bertanya kepada Khalaban, “Paman, kalau boleh aku mengetahui, apakah Silani telah bersuami?”

“Ah, belum, Pangeran. Sudah banyak yang datang meminang, akan tetapi anak saya itu memang keras kepala. Ia selalu menolak sehingga kini usianya sudah sembilan belas tahun dan ia belum menikah.”

“Ahhh... apakah sudah ada calon suaminya?”

Sejenak Khalaban teringat akan Kalucin, akan tetapi segera dilupakannya pemuda itu. Kalau saja dibandingkan dengan Pangeran Tao Seng, tentu saja Kalucin kalah dalam segala-galanya. Kalucin memang seorang pemuda hebat, dan tentu dia akan memilih Kalucin di antara para pemuda Khitan. Akan tetapi dibandingkan dengan Pangeran Tao Seng, Kalucin laksana seekor burung merak dibandingkan dengan burung Hong! Kalah segala-galanya!

“Belum, Pangeran. Silani belum memiliki calon suami. Mengapa Paduka menanyakan hal itu?” Dia memancing.

“Ehemmm... jika sekiranya Paman setuju, aku suka sekali kepada Silani dan aku ingin mengawini dia.”

“Tentu saja kami setuju sekali, tentu saja kalau Silani juga mau. Dan saya kira ia juga setuju, lihat saja sikapnya terhadap Paduka.”

Mereka memandang ke arah Silani yang masih menari dan benar saja, pandang mata Silani ditujukan kepada Tao Seng dan gadis itu tersenyum-senyum kepadanya, senyum yang manis sekali!

“Akan tetapi, Paman. Karena aku adalah seorang pangeran putera mahkota yang kelak akan menggantikan ayah menjadi kaisar, aku tidak boleh menikah begitu saja. Oleh karena itu, aku ingin menikah dengan Silani di sini. Apakah Paman setuju?”

Mendengar bahwa pangeran ini adalah seorang pangeran mahkota yang nantinya akan menjadi kaisar, Khalaban nyaris berjingkrak menari saking girangnya. Puterinya menjadi permaisuri kaisar dan dia menjadi ayah mertua kaisar!

“Setuju, Pangeran. Kami setuju sekali. Dan pernikahan itu dilangsungkan lebih cepat lebih baik. Oya, sekarang ini semua rakyat saya sedang berkumpul, sebaiknya kalau saya menggunakan kesempatan ini untuk mengumumkan pertunangan itu!”

Tao Seng tersenyum. “Paman lupa untuk bertanya dulu kepada Silani, apakah ia setuju ataukah tidak?”

“Baik, akan saya tanyakan sekarang juga, Pangeran!”

Khalaban lalu menggapai ke arah puterinya yang sedang menari. Silani menghentikan tariannya dan menghampiri ayahnya.

“Silani, dengar baik-baik. Pangeran Tao Seng ini seorang putera mahkota calon kaisar, dan beliau ini meminang engkau untuk menjadi isterinya. Bersediakah engkau menikah dengannya?”

Wajah gadis itu berubah kemerahan dan mulutnya tersenyum malu-malu. “Aihh, Ayah...! Bagaimana Ayah sajalah, aku hanya menurut saja!” katanya sambil berlari dan duduk di belakang ayahnya.

Khalaban tertawa bergelak, kemudian memberi isyarat dengan tangan agar para penari menghentikan tarian mereka dan juga musik dihentikan. Dan setelah suasana menjadi tenang, Khalaban lalu berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat bahwa dia hendak mengumumkan sesuatu dan supaya semua orang mendengarkan dengan tenang.

“Saudaraku semua, aku hendak menyampaikan sebuah pengumuman penting sekali. Pada malam hari ini, Pangeran Mahkota Tao Seng dari kerajaan Ceng telah meminang puteriku Silani dan kami pun sudah menerima pinangan itu. Mulai saat ini mereka telah bertunangan, sedangkan pesta pernikahan akan dilaksanakan secepat mungkin dalam beberapa hari ini!”

Rakyat Khitan yang berkumpul dalam pesta itu serentak bersorak dan bertepuk tangan menyambut pengumuman itu. Akan tetapi tiba-tiba seorang pemuda berdiri dan berseru dengan suara mengguntur. “Kami protes...!”

Melihat bahwa pemuda itu adalah Kalucin, Khalaban mengerutkan alis. Dengan marah dia membentak, “Kalucin apa maksudmu dengan protes itu?” katanya mengancam.

“Maaf, paman Khalaban. Sudah menjadi adat kebiasaan bangsa kita semenjak turun menurun bahwa seorang calon suami harus mampu melindungi calon isterinya, maka setiap calon suami harus menunjukkan kegagahannya. Apa lagi sekarang yang dipinang adalah puteri paman Khalaban sendiri sebagai ketua suku kita. Jika Pangeran Tao Seng meminang Silani, dia harus membuktikan bahwa dia cukup berharga untuk menjadi pelindung Silani dan mampu mengalahkan aku dalam kegagahan! Pangeran Tao Seng, aku menantangmu untuk mengadu kekuatan dan kepandaian membela diri!”

“Kalucin! Berani engkau bersikap seperti ini?!” bentak Khalaban.

Akan tetapi Tao Seng segera bangkit sambil tersenyum, lalu berkata kepada Khalaban. “Paman, ucapannya tadi memang benar sekali. Baiklah, aku akan melayaninya, harap Paman menjadi saksi saja.”

Lalu Tao Seng melangkah lebar menuju ke tengah ruangan di mana tadi dipergunakan untuk menari. Di situ memang dibangun sebuah panggung yang agak tinggi sehingga tadi semua orang dapat melihat para penari. Tao Seng menggapai kepada Kalucin.

“Namamu Kalucin? Ke sinilah, aku memenuhi tantanganmu!”

Semua orang terheran-heran dan menjadi tegang. Mereka semua mengenal Kalucin sebagai seorang pemuda yang amat kuat dan pandai berkelahi, terutama sekali pandai dalam ilmu gulat. Kalau hanya dikeroyok tiga empat orang saja, sukarlah mengalahkan pemuda ini. Dan pangeran yang kelihatan halus itu kini menerima tantangan Kalucin!

Kalucin sendiri merasa kagum saat pangeran itu menerima tantangannya. Sikap ini saja sudah mendatangkan kekaguman dan membuat dia menghormatinya. Dia melompat ke atas panggung dan melangkah menghampiri. Setelah berhadapan Kalucin lalu memberi hormat.

“Maafkan sikap saya ini, Pangeran. Oleh karena ini merupakan tradisi lama kami, maka saya berani menantang Paduka.”

“Sudahlah, Kalucin. Katakan saja bagaimana kita hendak mengadu kepandaian, dengan senjata atau dengan tangan kosong?”

“Ini hanya sekedar mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih kuat, bukan saling membunuh, Pangeran. Maka cukup dengan tangan kosong saja. Dan siapa pun yang terbanting roboh, dia dinyatakan kalah. Bagaimana, apakah Paduka setuju?”

“Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa orang Khitan ahli gulat, maka engkau mengajak aku untuk saling banting. Bagaimana kalau engkau roboh bukan karena terbanting namun terkena pukulan atau tendangan? Apakah itu juga dianggap kalah?” Tao Seng bertanya sambil terus tersenyum.

“Tentu saja. Roboh terbanting atau karena terkena tendangan dan pukulan sama saja, tetap dianggap kalah!” jawab Kalucin tegas

“Baik kalau begitu, nah, aku sudah siap. Engkau boleh mulai.”

Menghadapi pangeran yang sikapnya begini tabah, sudah ada rasa hormat dan suka di hati Kalucin. Sikap orang ini begitu gagah. Kalau tenaganya kuat dan pandai berkelahi, memang dia pantas untuk menjadi suami Silani, pikirnya.

“Pangeran, Paduka adalah seorang tamu, sebaiknya kalau Paduka menyerang terlebih dahulu,” kata Kalucin dengan sikap merendah.

Tao Seng juga suka kepada pemuda ini. Tahulah dia bahwa pemuda ini mencinta Silani maka berani bersikap seperti itu. Akan tetapi pada dasarnya, dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik budi.

“Baiklah, aku akan menyerangmu. Lihat tendangan!”

Tao Seng melakukan tendangan dengan kaki kiri. Akan tetapi dengan sigapnya Kalucin mengelak ke kanan, kemudian tangannya meluncur cepat hendak menangkap kaki yang menendang itu. Sekali saja kaki itu tertangkap tentu dengan mudah Pangeran Tao Seng akan dapat dijatuhkan.

Akan tetapi Tao Seng adalah seorang ahli silat yang lihai. Dia maklum akan maksud lawan, maka dia sudah cepat-cepat menarik kembali kakinya dan kini tangannya yang mengirim tamparan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan.

Dan Kalucin segera terdesak hebat. Pemuda ini harus menangkis dan mengelak ke sana sini kalau tidak mau terkena tamparan kedua tangan pangeran itu. Dia membalas dengan usaha menangkap tangan itu, dan kalau ada kesempatan, dia menubruk untuk menyergap tubuh sang pangeran, akan tetapi gerakan Tao Seng terlalu lincah baginya. Sebaliknya, beberapa kali tamparan pangeran itu mengenai sasaran. Akan tetapi tubuh Kalucin memang kuat bukan main dan kebal sehingga tamparan-tamparan itu seperti tidak terasa olehnya.

Pertandingan itu sudah berjalan hampir seperempat jam. Sekarang Pangeran Tao Seng menganggap sudah cukup lama untuk memberi muka kepada lawannya. Dia tidak ingin cepat menjatuhkan lawan. Dia ingin mengawini Silani, akan tetapi tak ingin bermusuhan dengan Kalucin. Setelah menganggap cukup, dia membiarkan tangan kirinya ditangkap Kalucin!

Kalucin girang sekali dan semua orang memandang tegang karena maklum bahwa jika Kalucin sudah dapat menangkap tangan lawan, maka di saat lain tentu lawan itu akan terbanting keras ke atas lantai! Kalucin sudah membalik dan memutar tubuhnya untuk membuat tangan Tao Seng terpuntir dan dibanting.

Namun tiba-tiba jari tangan Tao Seng bergerak menyentuh pundaknya dengan totokan dan seketika juga Kalucin tidak mampu menggerakkan kedua tangannya lagi. Dan pada saat itu, Tao Seng memutar tubuhnya dan kakinya menyabet kedua kaki Kalucin. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kalucin lalu ambruk dan jatuh ke atas lantai dalam keadaan telentang!

Tao Seng membangunkan Kalucin sambil membebaskan totokannya. Setelah kembali berdiri, Kalucin segera membungkuk dalam-dalam untuk memberi hormat dan mengakui kekalahannya di bawah sorak sorai dan tepuk tangan para penonton.

Yang agak menyakitkan hati Kalucin adalah melihat betapa Silani juga bertepuk tangan penuh semangat. Tahulah dia bahwa Silani sudah jatuh cinta kepada Tao Seng dan hal ini mengobati hatinya. Jika Silani sudah jatuh cinta kepada pangeran itu, mau apa lagi? Juga pangeran itu ternyata gagah perkasa dan dia harus mengakui kekalahannya. Ahh, bukan hanya Silani perempuan di dunia ini, dia menghibur hatinya.

Menerima kenyataan dan menerima keadaan adalah suatu sikap yang amat bijaksana. Orang akan dapat melalui keadaan yang bagaimana hebat dan sengsara sekali pun kalau memiliki sikap seperti itu. Menerima kenyataan yang ada dan menerima keadaan tanpa tenggelam ke dalam duka. Bukan berarti lalu berhenti dan jatuh, melainkan tetap berusaha hanya tidak tenggelam ke dalam duka dan putus harapan.

Kalau orang bersikap menerima kenyataan, maka akan timbul saja harapan-harapan baru dan dapat memetik hikmah dari setiap keadaan yang betapa buruk pun! Menerima kenyataan ini berarti iman yang sepenuhnya kepada Tuhan. Maklum bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan, karena itu tidak ada yang perlu dan patut dikeluhkan lagi. Melainkan menengadah, menerima kenyataan dan menyerah kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh keikhlasan. Beginilah sikap seorang bijaksana dan sikap seperti ini akan membebaskan kita dari belenggu duka
.

Beberapa hari kemudian, dilangsungkanlah pernikahan antara Pangeran Tao Seng dan Silani. Pernikahan dilangsungkan dengan meriah sekali. Seluruh rakyat suku Khitan di daerah itu ikut berpesta gembira. Pesta diadakan selama sehari semalam. Akan tetapi yang paling merasa berberbahagia adalah sepasang mempelai. Tidak ada kebahagiaan melebihi dua orang yang paling mencinta dipertemukan dalam sebuah pernikahan.

Pangeran Tao Seng adalah seorang pemuda yang amat berpengalaman dalam merayu wanita. Maka setelah Silani menjadi isterinya, wanita ini pun seperti mabuk kebahagiaan pengantin baru. Mereka seolah tak terpisahkan walau sesaat pun. Ke mana pun mereka berdua dan selalu berkasih-kasihan.

Silani bukan hanya berbahagia karena mempunyai suami yang tampan gagah dan amat mencintanya, akan tetapi juga berbahagia karena dia membayangkan betapa kelak dia menjadi seorang permaisuri kaisar. Benarkah pengakuan Tao Seng bahwa dia adalah seorang putera mahkota yang kelak menggantikan kaisar?

Sebetulnya tidaklah demikian. Hanya karena pandainya Tao Seng bicara saja maka dia dapat mengelabui Silani dan ayahnya, Khalaban. Dia memang benar putera dari Kaisar Cia Cing yang baru saja menggantikan Kaisar Kian Liong, tapi sama sekali bukan putera mahkota. Bahkan Kaisar Cia Cing belum mengangkat putera mahkota karena baru saja dia menjadi kaisar.

Juga andaikan kelak Kaisar Cia Cing mengangkat seorang di antara puteranya menjadi pangeran mahkota, tentu bukan Tao Seng yang diangkatnya karena Tao Seng hanyalah putera seorang selir dan berketurunan Khitan pula. Tao Seng mengaku demikian hanya demi gengsi saja, agar diterima lamarannya menjadi suami Silani. Padahal, andai kata dia tidak berbohong sekali pun tentu dia akan diterima pula karena mempunyai mantu pangeran saja sudah merupakan kehormatan besar bagi Khalaban.

Selama tiga bulan pengantin baru itu setiap hari hanya berkasih-kasihan. Kadang kala mereka ditemani oleh Kalucin yang dianggap sebagai sahabat baik oleh Pangeran Tao Seng. Kadang mereka berburu bertiga saja. Dan Kalucin kini sudah tidak iri lagi. Dia menganggap Silani sebagai adiknya sendiri dan dia ikut merasa gembira betapa Silani hidup berbahagia bersama Pangeran Tao Seng.

Setelah tinggal di situ selama tiga bulan, pada suatu hari Tao Seng berpamit dari mertua dan isterinya untuk kembali ke selatan. Silani menangis hendak ikut suami tercinta.

“Jangan sekarang, isteriku. Pertama, engkau tentu belum dapat diterima dengan resmi dan tidak diperbolehkan memasuki istana. Dan kedua, engkau sedang mengandung, tak baik melakukan perjalanan jauh dan sukar. Kelak, apa bila aku sudah melapor kepada ayahanda kaisar dan sudah mendapat perkenan beliau, engkau tentu akan kujemput ke istana. Juga menanti sampai anakmu terlahir.”

Oleh karena alasan yang dikemukakan Pangeran Tao Seng masuk akal, akhirnya Silani dapat menerimanya. Juga ayahnya membujuk agar menaati pesan suaminya.

“Kalucin, selama aku pergi, harap kau jaga baik-baik isteriku yang kau anggap sebagai adikmu sendiri.”

“Jangan khawatir, Paduka,” jawab Kalucin dengan tulus.

“Akan tetapi, Pangeran suamiku. Sebelum engkau pergi, aku ingin terlebih dulu engkau memenuhi janjimu untuk mengajak aku pesiar ke lautan. Aku ingin sekali pergi melihat lautan seperti yang kau janjikan, naik perahu layar mengarungi samudera luas!” Silani merengek dan karena memang dia sudah berjanji di waktu berpengantinan, Pangeran Tao Seng akhirnya tidak dapat menolak permintaan itu.

Mereka bertiga, Pangeran Tao Seng, Silani dan ditemani Kalucin segera berangkat ke pesisir utara. Mereka melakukan perjalanan santai saja, menggunakan kereta supaya dapat cepat dan tidak terlalu mengganggu kesehatan Silani yang sedang mengandung dua bulan.

Setelah tiba di pantai lautan, Tao Seng menyewa sebuah perahu layar dan dengan pertolongan seorang nelayan mereka pun pergi berlayar. Bukan main girangnya hati Silani. Selamanya belum pernah ia melihat lautan dan kini ia dapat berlayar mengarungi samudera yang amat luas itu.

Mereka telah cukup jauh meninggalkan pantai. Selagi Tao Seng hendak memerintahkan tukang perahu untuk kembali ke daratan, tiba-tiba air bergelombang dengan hebatnya. Tukang perahu merasa heran dan terkejut bukan main. Tiada badai, angin pun biasa saja, bagaimana mendadak timbul gelombang demikian hebatnya?

Untuk menjaga agar supaya perahu tidak terbalik, tukang perahu menggulung layar dan mengemudikan perahu sedapat mungkin. Kemudian terdengar suara menggelegar dan mereka semua melihat air laut mengeluarkan busa yang mengepulkan uap dan asap panas.

Air bergelombang lebih hebat dan tiba-tiba, di depan mata mereka, kurang lebih satu mil jauhnya, muncul sebuah benda hitam yang amat besar. Makin lama semakin besar dan ternyata itu adalah sebuah pulau! Sebuah pulau yang lahir begitu saja dari permukaan laut. Mungkin terjadi di letusan gunung berapi di bawah laut, mungkin di dasar laut itu timbul perubahan yang luar biasa dari letusan gunung yang akhirnya melahirkan sebuah pulau!

Gelombang lautan sedemikian hebatnya mengguncang perahu. Tukang perahu segera memperingatkan tiga orang penumpangnya agar mengikat pinggang mereka pada tiang layar agar tidak terlontar keluar.

Tao Seng mengikat pinggang isterinya dan Kalucin pada tiang perahu sedangkan dia lalu mengikat pinggangnya sendiri pula. Demikian pula tukang perahu yang masih tetap memegang kemudi. Perahu terguncang ke kanan kiri, kadang-kadang dilambungkan ke atas. Seandainya mereka tidak mengikat pinggang mereka dengan tiang, tentu mereka sudah terlempar keluar dari perahu.

Mereka merasa tersiksa. Silani muntah-muntah, bahkan Kalucin juga muntah-muntah. Pangeran Tao Seng hampir putus asa, merasa bahwa kematian sudah di depan mata. Suara menggelegar bagaikan letusan masih terdengar berulang-ulang. Banyak perahu nelayan yang berkeadaan sama dengan mereka, bahkan ada yang sudah terguling dan penumpangnya entah bernasib bagaimana.

Akhirnya gelombang yang amat ganas itu mereda dan letusan pun tidak terdengar lagi. Gelombang tidak sehebat tadi, tinggal sisanya saja. Dan pulau itu baru lahir itu nampak lengkap sudah. Sebuah pulau yang kehitaman.

Tukang perahu melepas ikatan dari pinggangnya, demikian pula Tao Seng dan Kalucin. Tao Seng melepaskan pula ikatan di pinggang Silani yang segera merangkulnya sambil menangis. Tao Seng memeluk dan menghiburnya.

“Ya Tuhan, pulau itu...!” Tukang perahu tiba-tiba berseru.

Tao Seng menoleh. Ia melihat pulau itu biasa saja. Akan tetapi tukang perahu terbelalak memandang pulau itu. Mulutnya berkemak kemik tanpa suara seperti orang berdoa.

“Paman, kenapakah dengan pulau itu?”

“Itu... seperti Pulau Es.... yang dahulu dikabarkan tenggelam. Bentuknya sama benar, hanya ini tidak ditimbuni es!”

Tao Seng sudah pernah mendengar akan dongeng mengenai Pulau Es, bahkan sudah mendengar pula akan Keluarga Pulau Es yang terdiri dari orang-orang yang sakti. Akan tetapi dia tidak mempedulikannya lagi, melainkan menyuruh tukang perahu agar cepat mengembangkan layar dan kembali ke pantai.

Baru setelah perahu meluncur dengan lajunya ke pantai dan laut tidak bergelombang lagi, Pangeran Tao Seng bertanya lebih lanjut tentang pulau itu kepada tukang perahu, didengarkan pula oleh Silani dan Kalucin.

“Kalau melihat bentuknya, tidak salah lagi. Pulau yang baru muncul itu agaknya Pulau Es yang dulu dikabarkan lenyap ditelan air. Di daerah ini terdapat tiga pulau yang amat ditakuti para nelayan. Pertama Pulau Neraka yang sekarang masih ada, Pulau Nelayan yang juga masih ada. Kedua pulau itu kosong akan tetapi amat gawat karena selain sukar didekati, terdapat banyak batu karang yang tajam, juga kabarnya dihuni binatang-binatang buas, dan ada kabar desas-desus mengatakan bahwa kedua pulau itu bahkan dihuni oleh makhluk-makhluk halus seperti jin dan iblis. Tadinya Pulau Es lenyap, dan sekarang muncul lagi, entah pertanda apa itu. Pulau Es juga ditakuti nelayan, karena merupakan pulau larangan. Sudahlah, tak baik membicarakan pulau-pulau itu.” Tukang perahu mengakhiri ceritanya dan perahu pun sudah tiba di pantai.

Pangeran Tao Seng, Silani dan Kalucin segera pulang kembali ke perkampungan Khitan yang bercampur pula dengan bangsa Mongol. Setelah memenuhi permintaan isterinya untuk bertamasya ke laut, akhirnya Pangeran Tao Seng meninggalkan isterinya, diantar sampai ke luar perkampungan oleh Silani sambil menangis.

Setelah pangeran yang menunggang kuda itu lenyap dari pandangannya dan derap kaki kuda sudah tidak terdengar lagi, barulah Silani pulang sambil menangis dan mendekap sebatang pedang bengkok yang berbalut emas. Pedang bengkok ini adalah pemberian suaminya, sebatang pedang kesukaan Tao Seng yang mendapatkannya dari barang rampasan bangsa Kazak pada waktu pasukan kerajaan menundukkan suku Kazak yang membuat kerusuhan di Barat Laut.

Malam itu, suaminya menyerahkan pedang bengkok bersarung emas dihias permata itu sambil berkata kepadanya.

“Isteriku, pedang ini kutinggalkan bukan hanya sebagai kenang-kenangan, melainkan juga sebagai tanda bahwa yang membawa pedang ini adalah keluargaku. Kelak, kalau anak kita lahir pria, aku minta agar engkau beri nama Keng Han, Tao Keng Han. Akan tetapi kalau terlahir wanita, boleh engkau pilihkan nama yang baik untuknya. Dan kalau engkau atau anak kita datang ke kota raja memperlihatkan pedang ini, pasti orang akan membawa pembawa pedang ini datang kepadaku.”

Demikianlah pesan suaminya, maka Silani tidak pernah memisahkan pedang itu dari sisinya. Pedang itu baginya seolah menjadi pengganti diri suaminya. Dengan adanya pedang itu, hatinya agak terhibur, seolah-olah pedang itu merupakan kunci pintu yang akan membuka perpisahan antara ia dan suaminya, yang akan mempertemukan ia dan suaminya…..

**********

Kembalinya Pangeran Tao Seng disambut dengan sangat gembira oleh keluarga istana. Pangeran itu sudah merantau selama setahun, maka ketika dia kembali dalam keadaan sehat, bahkan nampak lebih dewasa dalam penampilan, keluarganya, terutama ibunya tentu saja menjadi gembira dan bangga sekali.

Dan Pangeran Tao Seng sendiri merasa semakin yakin bahwa dia tentu akan diangkat menjadi putera mahkota oleh Ayahnya, Kaisar Cia Cing. Meski dia seorang putera selir, akan tetapi di antara putera kaisar dialah yang merupakan putera sulung, sedangkan yang lebih tua darinya semua adalah puteri. Dan dia pun mendengar dari ibunya bahwa ayahnya memang sudah mengambil keputusan untuk mengangkat seorang putera mahkota dalam waktu dekat ini.

Kerajaan Ceng-tiauw kini mengalami penurunan. Banyak pemberontak yang tadinya sudah ditundukkan oleh Kaisar Kian Liong, sekarang mulai bangkit lagi. Kerajaan Ceng tidaklah begitu jaya seperti di jaman kakeknya, yaitu Kaisar Kang Hsi (1663-1722).

Walau pun selama pemerintahannya, Kaisar Kiang Liong (1736-1796) selalu sibuk untuk memadamkan pemberontakan, namun dia sudah berhasil dengan baik dan kekuasaan kerajaan Ceng bersinar sampai jauh ke barat dan utara. Tetapi semenjak pemerintahan dipegang oleh Kaisar Cia Cing, pemberontakan banyak bermunculan, terutama sekali pemberontakan di dalam negeri.

Para pemberontak yang paling gigih antara lain ialah Pek-lian-pai (Partai Teratai Putih), Pat-kwa-pai (Partai Segi Delapan) dan masih banyak lagi. Thian-li-pang yang terkenal pula sebagai partai atau perkumpulan para pendekar perkasa mulai bergerak karena para pendekar ini pun merasa tidak senang dengan pemerintahan Ceng yang mereka anggap sebagai pemerintahan bangsa Mancu yang menjajah negeri dan bangsanya.

Dalam keadaan seperti itu, Kaisar Cia Cing lalu mulai memilih seorang putera mahkota dengan maksud agar jangan terjadi perebutan di dalam istana antara keluarga sendiri. Dan dia memilih pangeran urutan ke tiga, yaitu putera permaisuri. Pangeran Tao Kuang, sebagai putera mahkota.

Begitu hal ini diumumkan, para pangeran lain segera menerimanya, kecuali dua orang pangeran. Yang pertama adalah Pangeran Tao Seng sebagai putera pertama dan yang kedua adalah Pangeran Tao San sebagai putera ke dua. Kedua pangeran ini kemudian mengadakan pertemuan dan mereka memaki-maki ayah mereka sendiri yang dikatakan tidak adil dan pilih kasih.

“Si Tao Kuang itu bisa apakah? Mentang-mentang dia putera permaisuri, dia diangkat menjadi putera mahkota. Akan tetapi ibunya juga seorang wanita biasa, dari rakyat jelata, hanya putera seorang panglima saja. Dia lebih muda dariku, sepatutnya sebagai putera sulung akulah yang diangkat menjadi putera mahkota!” Tao Seng memaki-maki dengan marah ketika dia bersama Tao San mengadakan pertemuan di kamar rahasia.

“Benar tidak adil! Dia melangkahi engkau dan juga aku, Toako!” kata Tao San dengan nada suara penasaran. “Bagaimana pun kita harus bertindak untuk menentang ketidak adilan ini!”

“San-te, apa yang mampu kita lakukan untuk menentang keputusan ayahanda Kaisar? Menentang kehendak beliau sama saja dengan pemberontakan yang akan membuat kita celaka. Satu-satunya jalan hanyalah menyingkirkan Tao Kuang dari muka bumi, akan tetapi hal ini jangan sampai ada yang menduga bahwa kita yang melakukannya.”

“Pikiran yang bagus!” kata Tao San girang. “Apa rencanamu, Toako?”

Pada saat itu muncul seorang thaikam (lelaki kebiri) utusan kaisar yang mempersilakan mereka berdua menghadap kaisar yang memanggil semua puteranya. Ketika dua orang pangeran itu mendengar perintah ini, tentu saja mereka terkejut sekali.

Mereka baru saja membicarakan tentang rencana mereka menyingkirkan Pangeran Tao Kuang dan tahu-tahu kaisar memanggil mereka. Akan tetapi dengan wajah tenang saja mereka mengikuti thaikam itu pergi ke dalam dan menghadap kaisar. Ternyata para pangeran lain juga sudah berkumpul di situ, termasuk Pangeran Tao Kuang.

“Aku mengumpulkan kalian semua untuk memberi penjelasan mengenai diangkatnya Pangeran Tao Kuang menjadi putera mahkota,” Kaisar mulai berkata.

Semua pangeran mendengarkan sambil menundukkan muka dengan sikap hormat dan taat. Mereka itu seolah mengenakan sebuah topeng menutupi muka masing-masing, topeng ketaatan yang menyembunyikan apa sebenarnya yang menjadi isi hati mereka. Terutama sekali Tao Seng dan Tao San yang saling lirik.

“Aku mengangkat Tao Kuang dengan perhitungan masak. Kulihat para pangeran lain tidak memiliki kebijaksanaan dan bakat untuk kelak menjadi kaisar. Pangeran Tao Seng biar pun sulung, akan tetapi dia suka bertualang dan mengejar kesenangan, maka tidak dapat diharapkan dia menjadi kaisar yang baik. Juga Pangeran Tao San agak pemalas, padahal mengurus negara dibutuhkan orang yang amat rajin. Sebaliknya Pangeran Tao Kuang rajin dan sejak kecil dia suka memperhatikan urusan pemerintahan, maka dialah yang cocok untuk kelak menggantikan aku menjadi kaisar. Nah, kalian semua sudah mengerti?”

Seperti sekelompok burung para, pangeran itu mengangguk dan menyatakan mengerti.

“Dan kuharap tidak akan ada yang merasa iri hati. Kelak kalian masing-masing akan mendapatkan kedudukan yang sesuai dengan kemampuan kalian.”

Pertemuan itu dibubarkan. Tao Seng bersama Tao San dengan sengaja mendampingi Pangeran Tao Kuang ketika keluar dari ruangan itu.

“Ehh, Kuang-te, kami harap setelah menjadi putera mahkota engkau tidak mengubah sikapmu terhadap kami,” kata Tao Seng sambil tersenyum.

“Benar! Jangan-jangan Kuang-te akan memandang remeh kepada kami!” kata Tao San.

“Aihh, mengapa kalian dapat berkata demikian?” kata Pangeran Tao Kuang. “Kita tetap bersaudara dan selamanya aku tidak akan mengubah sikap. Bagiku sama saja menjadi putera mahkota atau tidak. Semua ini hanya mentaati kehendak ayahanda Kaisar.”

“Bagus, kami pun hanya bercanda. Ehh, Kuang-te, kami bermaksud untuk pergi berburu ke hutan buatan di luar kota raja. Engkau tentu suka ikut dengan kami seperti biasa, bukan?”

“Tentu saja!” kata Pangeran Tao Kuang gembira. Dia memang suka sekali pergi berburu binatang-binatang di hutan buatan di mana memang dilepas banyak binatang buruan. “Kapan kita berangkat?”

“Aku belum membuat persiapan. Nanti tiga hari lagi kita berangkat. Menurut hitungan, tiga hari lagi cuacanya baik, tidak turun hujan yang akan mengganggu kita,” kata Tao Seng.

Mereka berpisah dan Tao Seng mengajak Tao San berbicara di kamar rahasia. Mereka mengatur siasat untuk menyingkirkan Pangeran Tao Kuang atau membunuhnya dalam perburuan itu. Akan diusahakan supaya pembunuhan itu terjadi secara wajar, dilakukan oleh para pemberontak yang sengaja menyerang mereka di dalam hutan itu. Mereka akan mempersiapkan satu regu pasukan, tidak terlalu banyak, cukup dua belas orang saja dari pasukan pengawal kepercayaan mereka.
cerita silat karya kho ping hoo

Kekuasaan didambakan setiap orang, baik di dalam rumah tangga, di antara saudara, di antara kawan, di dalam masyarakat, sampai dalam ketatanegaraan. Setiap orang ingin berkuasa karena tahu benar bahwa di dalam kekuasaan terletak segala keinginan yang mungkin terpenuhi. Maka tidaklah mengherankan jika dunia ini terus bergolak. Manusia terus menerus menciptakan pertentangan, mulai dari permusuhan hingga perang, hanya untuk merebutkan kemenangan yang berarti kekuasaan!

Saling jegal di antara pejabat, pemberontakan-pemberontakan terhadap yang berkuasa, semula dengan dalih mengakhiri kekuasaan yang semena-mena, tetapi berakhir dengan timbulnya kekuasaan baru yang seperti biasanya selalu ingin memaksakan kehendak. Siapa menang dialah berkuasa, dan siapa berkuasa dia selalu benar dan kehendaknya harus ditaati! Ini sudah menjadi watak manusia, maka herankah kita bila melihat perang lalu terjadi di mana-mana? Perang antar bangsa, antar golongan, antar kelompok, antar negara
.

Tiga hari kemudian, saat masih pagi-pagi benar, berangkatlah tiga orang pangeran yang hendak pergi berburu itu. Selosin pasukan pengawal yang berpakaian indah mengawal mereka. Mereka semua menunggang kuda yang tinggi besar dan taat, dan di sepanjang perjalanan menuju keluar pintu gerbang mereka menjadi tontonan yang menarik. Semua orang merasa kagum kepada tiga orang pangeran ini.

Mereka bertiga memang amat menarik untuk ditonton. Bukan saja karena kuda mereka merupakan kuda pilihan, atau pakaian mereka yang sangat mentereng, akan tetapi juga karena mereka adalah tiga orang pangeran muda yang berwajah tampan sekali.

Juga mereka membawa perlengkapan yang tidak biasa mereka bawa. Sebatang busur besar dikalungkan di pundak, dan di punggung mereka terdapat belasan batang anak panah dengan bulu beraneka warna. Di pinggang mereka tergantung sebatang pedang panjang dan terselip pula beberapa batang belati pendek. Pokoknya mereka membawa perlengkapan yang serba cukup. Perlengkapan lain dibawa oleh para pengawal.

Pangeran Tao Seng yang kini berusia dua puluh enam tahun itu jelas merupakan yang paling tampan dan gagah di antara mereka bertiga. Kuncirnya yang hitam lebat itu dikalungkan di lehernya, ujungnya terikat sutera kuning dan rambut di atas kepala disisir rapi dan halus licin.

Dahinya lebar dan alis matanya tebal. Kedua matanya yang seperti mata burung Hong itu bersinar-sinar. Hidungnya mancung dan bibirnya terus tersenyum-senyum mengejek. Dandanannya juga mewah sekali. Apa lagi duduk di atas kuda yang tinggi besar itu, dia nampak gagah bukan main.

Pangeran Tao San, putera kedua dari Kaisar Cia Cing, juga nampak tampan dan gagah. Pangeran ini agak gemuk, dengan wajah yang bulat dan berkilauan. Bentuk tubuhnya agak pendek sehingga dia kelihatan semakin gemuk. Hidungnya tidak begitu mancung dan matanya sipit sekali. Akan tetapi karena pakaiannya juga mentereng, dia kelihatan tampan juga. Pangeran ini, seperti yang dinilai oleh ayahnya sendiri, memang pemalas dan suka pelisir, akan tetapi dia sangat berambisi dan ingin berkuasa.

Orang ke tiga adalah Pangeran Tao Kuang. Usianya dua puluh tiga tahun, setahun lebih muda dari Pangeran Tao San. Dibandingkan dua orang kakaknya, dandanan Pangeran Tao Kuang tidaklah demikian mewah, biar pun tentu saja bagi orang awam pakaiannya itu sudah sangat indah. Wajahnya tampan dan anggun. Sepasang matanya cerdik dan biar pun dia lebih sederhana, namun pakaiannya rapi dan kuncirnya juga dijalin dengan rapi dan bagus.

Di sepanjang jalan kota raja, mereka bertiga menjadi perhatian semua orang, terutama para wanita muda yang terpesona melihat ketiga orang pangeran ini menunggang kuda sambil melempar pandang dan tersenyum ke kanan kiri untuk membalas penghormatan orang-orang yang membungkuk dengan hormat.

Setelah keluar dari pintu gerbang sebelah utara, rombongan itu baru mempercepat lari kuda mereka. Tiga orang pangeran itu berada di depan, diiringkan oleh dua belas orang pasukan pengawal yang bersenjata lengkap.

Akhirnya mereka tiba di hutan buatan itu. Mereka segera memasuki hutan untuk terus masuk ke bagian tengah hutan yang lebat.

“Kenapa terus masuk? Lihat itu, di sana ada serombongan kijang, Toako!” berkata Tao Kuang dengan heran. “Bukankah di situ juga terdapat banyak binatang buruan? Kenapa harus masuk ke dalam hutan yang lebat?”

Tiba-tiba sikap kedua orang pangeran itu berubah. Tao Seng mencabut pedangnya dan berkata, “Bocah sombong, engkaulah yang menjadi buruan kami!”

Pangeran Tao San juga mencabut pedangnya. “Bocah tak tahu diri, engkau akan mati di tempat ini!”

Tentu saja Pangeran Tao Kuang terbelalak memandang kedua orang kakaknya itu. “Eh, Toako, San-ko, harap jangan main-main!”

“Siapa main-main? Kami memang hendak membunuhmu!”

Toa Kuang baru tahu bahwa mereka itu bersungguh-sungguh. Ia menoleh kepada para pengawal untuk minta perlindungan, akan tetapi para pengawal itu hanya memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek.

Segera dia menyadari bahwa memang semua sudah diatur oleh kedua orang kakaknya untuk membunuhnya dan para pengawal itu tentulah orang-orang kepercayaan mereka. Begitu mendapat kenyataan ini, dia segera memutar dan membedal kudanya melompat ke depan untuk melarikan diri!

“Ehh, dia lari! Kejar!” Teriak Tao Seng.

“Kejar, jangan sampai lolos!” teriak pula Tao San.

Dua pangeran itu, juga selosin orang pengawal, segera membedal kuda masing-masing dan cepat melakukan pengejaran. Pangeran Tao Kuang yang maklum bahwa nyawanya sedang terancam maut, lalu membalapkan kudanya tanpa mempedulikan arah sehingga kudanya menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar. Para pengejarnya semakin dekat dengannya dan dalam kegugupannya, ketika kudanya berlari menyusup semak berduri, dia pun tersangkut dan tak dapat dicegah lagi dia pun terlempar jatuh dari atas kudanya!

Pangeran Tao Kuang yang jatuh itu merangkak berdiri dan mencabut pedangnya untuk membela diri. Akan tetapi Pangeran Tao Seng yang berkepandaian tinggi sudah tiba di situ, melompat turun dari atas kudanya sambil tertawa mengejek, kemudian mengayun pedangnya ke arah leher adiknya.

“Tranggg...!”

Pangeran Tao Kuang menangkis dan pedangnya terpental dan terlepas dari tangannya. Bahkan saking kerasnya pertemuan kedua pedang tadi dia hampir jatuh dan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini langsung dipergunakan oleh Pangeran Tao San untuk mengayun pedang membacok.

“Trakkk!”

Tiba-tiba pedang yang menuju ke leher Pangeran Tao Kuang itu terhenti di tengah jalan. Ternyata pedang itu telah tertangkis sebatang kayu ranting yang dipegang oleh seorang gadis yang entah dari mana tahu-tahu muncul di situ. Di samping gadis itu berdiri pula seorang kakek berusia enam puluh tahun yang memegang sebatang tongkat bambu.

“Ehhh, apa kesalahan Kongcu ini maka dia akan dibunuh?” tanya kakek itu, sementara Pangeran Tao San terhuyung ke belakang oleh tangkisan kayu ranting itu yang berada di tangan gadis yang bertubuh ramping dan berwajah ayu.

Tao Seng membentak. “Orang tua, jangan kau mencampuri urusan kami. Kami adalah pangeran-pangeran dari istana! Pergilah atau kalian berdua akan kami bunuh pula!”

“Hemmm, mana ada pangeran bersikap seperti ini?” Gadis itu membentak. “Sikap kalian bukan seperti pangeran melainkan seperti orang-orang jahat!”

Tao Seng menjadi marah bukan main. “Bunuh mereka bertiga!” teriaknya kepada anak buahnya dan dia sendiri sudah menyerang kakek yang memegang tongkat itu.

“Singgggg...!”

Pedang di tangan Tao Seng menyambar dahsyat dan menusuk ke arah dada kakek itu. Akan tetapi dengan tenang sekali kakek itu menggerakkan tongkatnya menangkis.

“Tranggggg...!”

Pedang itu hampir saja terpental dari tangan Tao Seng saat ditangkis tongkat itu. Tentu saja Pangeran Tao Seng terkejut bukan main. Dia memperkuat serangannya, namun serangannya dapat dielakkan atau ditangkis kakek yang ternyata lihai bukan main itu.

Melihat ini, Pangeran Tao San lalu membantu kakaknya menyerang kakek bertongkat secara membabi buta. Kakek itu dikeroyok dua, akan tetapi dia masih tenang saja dan semua serangan kedua orang pangeran itu dapat selalu dihindarkan.

Sementara itu, gadis berpakaian serba hijau itu kini melindungi Pangeran Tao Kuang dari serbuan para pengawal. Pangeran itu berlindung di balik sebatang pohon besar dan gadis itu berdiri di depan pohon, menghalau semua penyerang.

Tidak seperti kakek itu, gadis itu bergerak cepat dan juga ganas. Setiap pengawal yang berani mendekat tentu ditotoknya dengan tongkatnya. Semua serangan pedang dapat dihalau dengan putaran ranting itu dan hebatnya, tiap kali rantingnya bergerak menotok, seorang pengawal tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali!

Tao Kuang juga melihat betapa hebatnya gadis itu menghajar para pengawal. Ketika dia melihat dua orang kakaknya mengeroyok kakek yang memegang tongkat, dia berteriak.

“Locianpwe, harap jangan membunuh mereka berdua! Mereka adalah kakak-kakakku sendiri!”

Tentu saja kakek itu menjadi terkejut dan heran bukan main. Mengapa ada dua orang kakak hendak membunuh adiknya? Akan tetapi timbul rasa kagum dan suka di dalam hatinya terhadap Tao Kuang. Sudah akan dibunuh, tapi kini malah minta agar dia tidak membunuh dua orang kakak pemuda itu!

Dia mempercepat gerakan tongkatnya dan dua orang pangeran yang dikeroyoknya itu pun roboh tertotok. Pedang mereka terlepas dan terpental dan berdua juga tidak dapat bergerak kembali!

Setelah merobohkan dua orang lawannya, kakek itu lalu membantu gadis berbaju hijau yang masih dikeroyok, dan dalam waktu singkat saja mereka berdua telah merobohkan selosin pengawal itu. Mereka semua roboh tertotok dan tak mampu lagi menggerakkan tubuh. Ternyata ayah dan anak ini adalah ahli-ahli totok yang amat lihai, menggunakan tongkat mereka.

Setelah mereka semua dibuat tidak berdaya, Tao Kuang cepat memberi hormat sambil mengangkat kedua tangan di depan dada kepada mereka berdua dan berkata, “Terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Anda berdua). Kalau tidak ada Ji-wi, tentu sekarang aku sudah menjadi mayat.”

“Ahh, Kongcu. Tak perlu berterima kasih. Sudah menjadi kewajiban kami ayah dan anak untuk menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga. Akan tetapi mengapa Kongcu hendak dibunuh oleh mereka ini? Siapakah Kongcu?” Ia bertanya dengan ragu karena sekarang ia melihat bahwa pemuda itu mengenakan pakaian yang amat mewah, tidak seperti seorang kongcu (tuan muda) biasa, melainkan bagaikan seorang pemuda bangsawan tinggi.

“Aku adalah Pangeran Tao Kuang, putera mahkota, Locianpwe.”

Mendengar ini, kakek itu dan puterinya segera menjatuhkan diri berlutut.

“Ahhh, mohon maaf bahwa hamba berdua tidak mengetahui siapa Paduka sehingga tadi bersikap kurang hormat.”

“Ah, Locianpwe, harap jangan begitu. Kalian sudah menolongku, bangkitlah dan jangan melakukan banyak peradatan di tempat seperti ini.”

“Dan kedua orang muda itu...?” si kakek bertanya sambil memandang kepada Tao Seng dan Tao San.

“Mereka adalah kedua orang kakakku dan selosin orang ini adalah anak buah mereka. Sekarang harap Locianpwe dan Nona suka membantuku, membawa mereka ke kota raja. Biarlah ayahanda Kaisar sendiri yang mengadili mereka.”

Tao Seng dan Tao San menjadi ketakutan. Tao Seng segera berkata dengan suara memohon tanpa dapat menggerakkan kaki tangannya.

“Adikku, Kuang-te, kami hanya main-main. Harap maafkan kami dan kami berjanji tidak akan melakukan lagi. Bebaskanlah kami.”

“Hemmm, aku tahu kenapa engkau dan San-ko hendak membunuhku, Seng-ko. Kalian iri hati karena aku diangkat sebagai putera mahkota maka kalian hendak membunuhku. Aku tidak dapat membebaskanmu, biarlah ayahanda Kaisar yang memutuskan.”

Karena kedua orang pangeran ini masih terus membujuk dan merayu, gadis itu lantas menggerakkan rantingnya ke arah leher mereka sehingga kedua orang pangeran itu tak mampu mengeluarkan suara lagi. Kemudian, dengan dibantu oleh anaknya, kakek itu lalu mengikat semua pengawal dan dua orang pangeran di atas kuda mereka dengan tali yang memang telah disiapkan oleh para pengawal untuk mengikat binatang buruan. Kini semua orang terikat sudah di atas kuda masing-masing.

Setelah pekerjaan itu selesai, Pangeran Tao Kuang merasa girang sekali.

“Locianpwe, siapakah nama Locianpwe dan siapa Nona ini? Aku harus mengenal para penolongku.”

“Hamba bernama Liang Cun, dan ini adalah puteri hamba bernama Liang Siok Cu. Kami tinggal di satu dusun yang berada di kaki Pegunungan Thian-san dan sekarang sedang dalam perjalanan merantau. Kebetulan kami berada di sini dan melihat peristiwa tadi.”

“Aku bersyukur sekali, Paman Liang Cun. Sebaiknya kusebut paman saja padamu, dan engkau Nona Liang, sungguh engkau seorang gadis yang hebat, memiliki ilmu silat yang demikian tinggi.”

“Aihh, Paduka terlalu memuji, Pangeran,” kata Siok Cu tersipu.

“Sekarang harap Paman dan Nona suka mengawalku membawa semua tawanan ini ke istana.”

“Baik, Pangeran. Kami siap melakukannya.”

Demikianlah, dua belas orang tawanan yang terikat di atas kuda itu lalu digiring keluar dari hutan, diikuti oleh Pangeran Tao Kuang yang menunggang kuda dan diikuti pula oleh ayah dan anak itu yang berjalan kaki.

Tentu saja mereka menjadi tontonan orang. Akan tetapi berbeda dengan ketika mereka berangkat tadi, saat menjadi tontonan yang mengagumkan, kini menjadi tontonan yang menggegerkan dan membingungkan.

Orang-orang bertanya-tanya, mengapa kedua orang pangeran dan dua belas pengawal itu diikat di atas kuda, akan tetapi tidak ada seorang pun dapat menjawabnya. Dan tak seorang pun berani bertanya kepada Pangeran Tao Kuang atau kepada Liang Cun dan puterinya yang mengawal di belakang para tawanan sambil menggiring rombongan kuda itu.

Para pengawal istana juga gempar melihat Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San diikat di atas kuda. Akan tetapi ketika mereka menghampiri dan bertanya-tanya, mereka dibentak oleh Pangeran Tao Kuang.

“Cepat laporkan kepada ayahanda Kaisar bahwa aku mohon menghadap karena ada urusan yang penting sekali!”

Para pengawal dalam dan para thaikam juga menjadi gempar. Segera Kaisar Cia Cing mendengar akan permohonan putera mahkota. Dia segera menyatakan akan menerima puteranya menghadap. Saat melihat Pangeran Tao Kuang ditemani seorang kakek dan seorang gadis menggiring Tao Seng dan Tao San berikut dua belas orang pengawal itu menghadap, tentu saja kaisar menjadi heran sekali.

“Tao Kuang, apa artinya semua ini?!” seru kaisar sambil mengerutkan alisnya.

Dengan tenang dan panjang lebar, Pangeran Tao Kuang lalu bercerita tentang semua peristiwa yang terjadi, betapa dia hampir saja dibunuh oleh Tao Seng dan Tao San bersama dua belas orang pengawal mereka, dan betapa dia diselamatkan oleh Liang Cun dan puterinya, Liang Siok Cu.

Mendengar laporan ini wajah Kaisar Cia Cing menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Hampir dia tidak dapat mempercayai cerita putera mahkota itu dan dia menghardik dua belas orang pengawal itu.

“Benarkah kalian para pengawal ini hendak membunuh putera mahkota Pangeran Tao Kuang? Kenapa kalian melakukan hal itu?”

Dengan suara serempak dan berlutut ketakutan dua belas orang itu menjawab, “Ampun beribu ampun, Yang Mulia. Hamba semua hanyalah menjalankan perintah dari kedua pangeran...!”

Kini hati kaisar itu tidak ragu lagi bahwa dua orang puteranya memang mempunyai maksud jahat terhadap adik mereka sendiri.

“Tangkap kedua belas orang pengawal ini dan penggal kepala mereka. Tangkap pula keluarga mereka dan jebloskan ke dalam penjara!” perintahnya dan para pengawalnya segera turun tangan melaksanakan perintah, menggusur kedua belas orang pengawal para pangeran itu keluar dari persidangan.

Kaisar Cia Cing memandang kepada dua orang puteranya dan membentak, “Nah, apa yang hendak kalian katakan sekarang? Kalian telah begitu tega untuk membunuh adik sendiri. Tentu kalian lakukan itu karena iri hati, karena dia kami angkat menjadi putera mahkota, bukan?”

“Ampun beribu ampun, Paduka Ayahanda. Hamba berdua merasa bersalah dan hanya dapat mengharapkan pengampunan,” kata mereka berdua sambil membentur-benturkan dahi ke lantai. Bahkan Pangeran Tao Seng menangis dengan sedihnya.

“Hemmm, bagaimana mungkin kami dapat mengampuni anak-anak yang murtad dan jahat macam kalian?”

Pada saat itu, Pangeran Tao Kuang yang sejak tadi menyaksikan semua itu, berlutut pula. “Mohon Paduka mengampuni mereka, Ayah. Mereka melakukan karena terdorong nafsu iri hati. Mereka tentu akan bertobat dan tidak akan mengulang perbuatan mereka lagi.”

Melihat sikap ini, Liang Cun dan puterinya merasa kagum sekali. Benar-benar seorang pangeran yang berbudi mulia, pikir mereka.

“Apa? Engkau nyaris dibunuh dan kini malah memintakan ampun untuk mereka?” tanya kaisar dengan heran dan penasaran.

“Ayah, bagaimana pun juga, mereka adalah kakak-kakak hamba sendiri. Bagaimana hamba tega melihat mereka dihukum mati?” kata Pangeran Tao Kuang.

“Nah, dengarkah kalian berdua? Pangeran Tao Kuang malah memintakan ampun untuk kalian! Baiklah, melihat permohonan Tao Kuang, kalian tidak dihukum mati melainkan dihukum buang ke Sin-kiang selama dua puluh tahun!”

Dua orang pangeran itu menangis tersedu-sedu, akan tetapi kaisar tidak dapat terbujuk lagi untuk mengubah keputusan itu. Segera petugas diteriaki dan mereka datang untuk menggiring dua orang pangeran itu keluar dari ruangan.

Demikianlah peristiwa antar keluarga kaisar itu selesai dengan terhukumnya dua orang pangeran itu. Seperti biasa, kalau terjadi hal-hal buruk dalam keluarga kaisar, maka hal itu dilewatkan begitu saja oleh pencatat sejarah karena kaisar tidak menghendaki ada noda hitam dalam sejarah keluarganya.

Sementara itu, Liang Cun diangkat menjadi guru silat oleh Pangeran Tao Kuang yang kini menyadari betapa pentingnya ilmu silat tinggi bagi dirinya, untuk melindungi dirinya sendiri kalau-kalau terjadi mala petaka seperti yang pernah dialaminya itu.

Liang Cun sebenarnya bukan seorang kakek biasa yang sekedar pandai ilmu silat saja. Dia adalah seorang datuk kenamaan dengan julukan Sin-tung Koai-jin (Orang Aneh Bertongkat Sakti) dari kaki Pegunungan Thai-san, dan Liang Siok Cu sudah mewarisi ilmu tongkatnya yang hebat. Ayah dan anak ini selain memiliki ilmu tongkat, juga amat terkenal dengan ilmu mereka dalam menotok jalan darah lawan.

Setelah bergaul beberapa bulan lamanya, Pangeran Tao Kuang tidak dapat menyimpan lagi perasaan cintanya kepada Siok Cu yang tumbuh semenjak ia ditolong gadis itu dari tangan para calon pembunuhnya. Dan ternyata perasaan cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Ketika Liang Cun mendengar tentang pinangan itu, dia pun merelakan puterinya menjadi selir Pangeran Tao Kuang.

Demikianlah, Liang Siok Cu lalu menjadi selir terkasih dari pangeran mahkota itu. Tentu saja kini ilmu silat Pangeran Tao Kuang menjadi semakin maju di bawah bimbingan selirnya sendiri…..

**********

Waktu berjalan dengan sangat cepatnya. Kalau tidak diperhatikan, sang waktu melesat seperti sebatang anak panah lepas dari busurnya, walau pun kalau diperhatikan sang waktu dapat merayap seperti seekor siput.

Kita kembali kepada Silani, puteri kepala suku Khitan yang ditinggalkan suaminya, Tao Seng. Setelah ditinggalkan, Silani melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan montok. Sesuai dengan apa yang dipesankan Pangeran Tao Seng, anak itu diberi nama Tao Keng Han. Anak itu dirawat dengan baik-baik oleh Silani.

Akan tetapi, suaminya yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang menjemputnya. Tentu saja hal ini membuat Silani berduka sekali. Dia merasa disia-siakan.

Juga Khalaban, kepala suku Khitan itu marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Tao Seng adalah seorang pangeran dari kerajaan besar. Jika Tao Seng tidak datang, apa yang dapat dia lakukan? Dengan prihatin Khalaban lalu mendidik cucunya.

Dalam hal ini Kalucin berjasa besar. Pemuda Khitan yang mencinta Silani memenuhi janjinya kepada Tao Seng. Dia menjaga dan melindungi Silani dan anaknya, bahkan ketika Keng Han mulai besar, dia sendiri yang membimbing dan mengajarkan ilmu silat dan gulat kepada anak itu.

Khalaban yang tak ingin kelak dicela oleh mantunya, mengingat bahwa cucunya adalah keturunan pangeran, kemudian memanggil seorang guru sastra dan mengajarkan ilmu kesusastraan kepada Keng Han agar kelak kalau anak itu dibawa ayahnya ke kota raja tidak akan memalukan ayahnya.

Kebetulan sekali, pada waktu Keng Han berusia sepuluh tahun, di daerah itu muncullah seorang kakek yang pandai dan sakti. Dia adalah Gosang Lama, seorang Lama Jubah Kuning yang diusir dari Tibet dan kemudian merantau sampai ke daerah itu.

Setelah mengetahui bahwa pendeta Lama ini adalah seorang yang sakti, Khalaban lalu menyambutnya dengan penuh kehormatan, bahkan kemudian mengangkatnya menjadi guru bagi Keng Han. Gosang Lama tentu saja menjadi girang sekali. Ia adalah seorang buruan yang membutuhkan tempat persembunyian yang aman dan menyenangkan, maka di perkampungan Khitan itulah dia mendapatkan tempat yang baik, di mana dia dihormati dan segala keperluannya dicukupi.

Ketika dia diangkat menjadi guru bagi cucu kepala suku Khitan itu, dia menerima hanya untuk mendapatkan kedudukan yang baik saja. Dia hanya sedikit memperhatikan Keng Han yang dianggapnya seorang bocah Khitan biasa yang bodoh.

Akan tetapi setelah dia mulai mengajarkan silat dan sastra kepada anak itu, dia menjadi terkagum-kagum. Belum pernah dia melihat anak yang memiliki kecerdasan dan bakat demikian hebat. Terutama sekali dalam ilmu silat, ternyata Keng Han bertulang baik dan berbakat besar. Tentu saja Gosan Lama menjadi bersemangat sekali mengajarkan ilmu-ilmunya kepada murid ini.

Sejak berusia sepuluh tahun Keng Han menerima gemblengan Gosang Lama. Selama lima tahun dia belajar sastra dan silat sehingga dalam usia lima belas tahun, dia telah menjadi seorang pemuda yang pandai silat dan sastra. Juga dari Kalucin yang dianggap sebagai pamannya sendiri, dia dilatih ilmu gulat sehingga dalam usia lima belas tahun tidak ada seorang pun pemuda di Khitan yang mampu menandinginya, baik dalam ilmu bela diri mau pun ilmu gulat.

Melihat puteranya telah mulai dewasa, pada suatu hari Silani memanggil puteranya itu ke dalam kamarnya.

“Keng Han, sejak engkau masih kecil engkau selalu menanyakan di mana ayahmu dan aku selalu mengelak untuk memberitahu!”

“Ya, mengapa, Ibu? Mengapa Ibu seolah-olah menyembunyikan keadaan Ayah dariku? Siapakah Ayah? Di mana dia? Apakah dia masih hidup?”

“Sekarang engkau sudah mulai dewasa, kukira engkau sudah boleh mengetahui semua, anakku. Ketahuilah, bahwa ayahmu masih hidup dan berada jauh di selatan, di kota raja kerajaan Ceng-tiauw. Ketika dahulu aku menikah dengan ayahmu, ayahmu itu seorang pangeran, anakku. Seorang pangeran mahkota kerajaan Ceng!”

“Ahhh...! Aku... putera seorang pangeran mahkota?” tanya Keng Han dengan kaget.

Pamannya Kalucin, kalau dia tanya tentang ayahnya, juga tidak mau menjelaskan dan menyuruh dia bertanya kepada ibunya. Demikian pula kakeknya. Hanya mereka pernah mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang bangsawan. Siapa kira, ayahnya seorang pangeran! Dan pangeran mahkota pula, calon kaisar!

“Benar, anakku. Engkau memang keturunan Kaisar kerajaan Ceng! Sudah selama lima belas tahun ayahmu meninggalkan kita, dan mungkin sekarang dia telah menjadi kaisar! Dulu ayahmu bernama Tao Seng dan benda inilah yang ditinggalkannya untuk kita. Ini merupakan tanda keluarganya, anakku. Kalau engkau membawa benda ini dan pergi ke kota raja Ceng di selatan, engkau pasti akan diterimanya.”

Silani menyerahkan pedang bengkok pemberian suaminya itu dan Keng Han menerima pedang itu dengan tangan gemetar. Sebatang pedang bengkok yang indah bukan main. Gagangnya terhias emas permata, demikian pula sarungnya. Saat ia mencabut pedang itu, nampak sinar berkilat, tanda bahwa pedang itu tajam bukan main.

Di dalam hati pemuda itu timbul gejolak perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa girang dan bangga bahwa dia adalah putera pangeran yang mungkin kini telah menjadi kaisar! Menjadi putera kaisar, hati siapa tidak akan merasa bangga?

Akan tetapi, di samping perasaan girang dan bangga ini, terdapat perasaan penasaran dan marah sekali. Kenapa ayahnya pergi meninggalkan ibunya sampai lima belas tahun padahal menurut ibunya, ayahnya itu berjanji akan menjemput ibunya dan memboyong mereka ke istana?

Ayahnya telah menyia-nyiakan ibunya! Dan hal ini membuatnya penasaran dan marah, menimbulkan dendam. Dia akan mencari ayahnya dan kalau ayahnya masih tidak mau memboyong ibunya ke istana, entah apa yang akan dilakukannya terhadap laki-laki itu!

Selagi ibu dan anak ini bercakap-cakap, mendadak Kalucin muncul dan berkata, “Keng Han, engkau dipanggil kakekmu. Ada pembicaraan penting dengan gurumu.”

Keng Han segera meninggalkan ibunya, pergi bersama Kalucin menghadap Khalaban, kakeknya yang sudah berusia enam puluh lima tahun itu. Ternyata di situ sudah hadir pula Gosang Lama yang kelihatan berwajah sedih dan bingung.

“Kakek, ada urusan apakah memanggilku? Ada apakah pula dengan Suhu?” Keng Han memandang kepada gurunya.

“Keng Han, gurumu berpamit hendak meninggalkan kita hari ini juga.”

Tentu saja Keng Han menjadi terkejut dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak. “Ehh, kenapa, Suhu? Kenapa Suhu hendak pergi secara mendadak?”

“Tidak apa-apa, Keng Han. Hanya aku menganggap sudah terlalu lama aku tinggal di sini, sudah lima tahun. Aku akan melanjutkan perjalananku merantau.”

“Akan tetapi Suhu sudah tua, kenapa tidak tinggal saja di sini selamanya? Kami sudah menganggap Suhu seperti keluarga sendiri!” bantah Keng Han yang amat menyayangi gurunya yang telah banyak mengajar ilmu kepadanya.

“Engkau benar, Keng Han. Akan tetapi aku harus melanjutkan perjalananku, waktunya berpisah telah tiba dan tidak ada apa pun yang boleh membatalkan niatku untuk pergi.”

Mendengar ucapan yang tegas itu, Keng Han tak berani membantah lagi. Terpaksa dia membantu gurunya berkemas. Gurunya membawa buntalan pakaian serta sekantung emas pemberian kakeknya untuk bekal di jalan. Biar pun Gosang Lama menolaknya, namun Khalaban memaksanya sehingga akhirnya Gosang Lama menerimanya juga.

Setelah selesai berkemas, berangkatlah Gosang Lama meninggalkan perkampungan itu diantar oleh Khalaban, Keng Han dan Kalucin hingga ke luar dari daerah perkampungan mereka. Kemudian pendeta berjubah kuning itu pergi ke arah selatan dengan cepatnya. Sedih juga hati Keng Han ditinggalkan gurunya itu.

Tiga hari kemudian, pada suatu pagi muncul tiga orang pendeta dengan pakaian yang sama dengan yang dipakai Gosang Lama, hanya bedanya ketiga orang pendeta yang usianya sekitar enam puluh tahunan ini berjubah warna merah. MeIihat ada tiga orang pendeta datang, Khalaban sendiri keluar menyambut, ditemani oleh Keng Han dan juga Kalucin yang kini menjadi pembantu utama dari Khalaban.

Khalaban membungkuk kepada tiga orang pendeta itu dan berkata ramah, “Selamat datang di perkampungan kami. Sam-wi (kalian bertiga) hendak mencari siapakah dan ada kepentingan apakah berkunjung ke tempat kami?”

Tiga orang pendeta yang kepalanya gundul itu menoleh ke kanan kiri seperti orang yang mencari-cari, kemudian seorang di antara mereka yang berjenggot panjang bertanya, “Apakah di sini terdapat seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama Gosang Lama?”

“Ahhh, Gosang Lama? Sudah tiga hari yang lalu dia pergi meninggalkan perkampungan kami ini!” kata Khalaban terus terang.

“Hemmm, sayang sekali. Agaknya dia telah mengetahui akan kedatangan kita, maka lebih dulu melarikan diri. Keparat!” kata pendeta itu dengan gemas.

Mendengar makian ini, Keng Han mengerutkan alisnya dan melangkah maju. “Mengapa kalian bertiga memaki guruku? Kalau dia berada di sini kalian mau apa?” bentaknya.

Tiga orang pendeta itu memandang kepada Keng Han dan seorang di antara mereka berkata, “Hemmm, engkau muridnya? Jika sekarang dia berada di sini, tentu kami akan menangkapnya.”

“Ditangkap? Kenapa?” Keng Han bertanya penuh penasaran.

“Dia adalah seorang pelarian dari negeri kami. Dia harus ditangkap dan dihukum.”

“Hei, orang muda! Kalau engkau muridnya, engkau tentu mengetahui ke mana dia pergi bersembunyi!” kata pendeta yang jenggotnya panjang. “Hayo beritahukan kepada kami!” Berkata demikian, pendeta itu menjulurkan tangannya menangkap pundak Keng Han.

Keng Han yang sudah marah sekali itu cepat mengelak, bahkan lalu menubruk maju sambil memukul ke arah perut pendeta itu. Pendeta itu tidak mengelak dan pukulan itu tepat mengenai perutnya.

“Bukkk...!”

Keras sekali pukulan Keng Han. Akan tetapi pendeta yang terpukul perutnya itu tidak apa-apa, sebaliknya Keng Han yang memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kiri. Tulang-tulang jari tangannya rasanya patah-patah seperti memukul baja saja. Dan sebelum dia sempat mengelak, pendeta itu sudah mendorongnya sehingga tubuh Keng Han terdorong dan roboh terjengkang.

Khalaban cepat maju memberi hormat. Orang tua ini maklum bahwa dia berhadapan dengan tiga orang pendeta yang lihai.

“Harap maafkan cucu kami ini. Biar pun dia menjadi murid Gosang Lama, akan tetapi dia tidak tahu di mana adanya Gosang Lama. Kemarin dulu dia berpamit dari kami untuk melanjutkan perjalanan ke selatan, entah ke mana dia tidak memberitahu. Harap jangan memaksa kami!”

Mendengar kata-kata kepala suku itu, dan melihat pula betapa banyaknya orang Khitan berdatangan mengepung tempat itu, tiga orang pendeta itu pun agaknya maklum bahwa kalau mereka menggunakan kekerasan tentu akan berhadapan dengan ratusan orang Khitan, maka tiga orang itu lalu mengangguk dan pergi dari situ tanpa bicara lagi.

Peristiwa itu menggores dalam-dalam di hati Keng Han. Dia sudah kehilangan gurunya, dan tiga hari kemudian dia mendapat kenyataan bahwa semua ilmu yang sudah pernah dipelajarinya dari Gosang Lama, ternyata tak banyak gunanya. Hanya melawan seorang pendeta tua saja dia tidak mampu menang dan dikalahkan dalam segebrakan saja!

Gosang Lama memang pernah mengatakan kepadanya bahwa ilmu silat di dunia ini tak ada batasnya dan banyak terdapat orang pandai di dunia ini. Kenyataan ini menghapus kebanggaan dirinya bahwa dia merupakan pemuda terkuat di perkampungannya. Dia harus mencari guru lagi yang lebih pandai. Dia harus pergi merantau mencari guru yang pandai, dan juga merantau ke selatan mencari ayahnya!

Keng Han pernah mendengar cerita dari ibunya mengenai lahirnya sebuah pulau yang menimbulkan gelombang besar di laut utara.

“Hampir saja ayah dan ibumu celaka dalam gelombang besar itu,” Ibunya menceritakan. “Kalau kami tidak mengikat diri di tiang layar, tentu ibumu dan ayahmu sudah terlempar keluar ditelan gelombang lautan. Dan menurut cerita tukang perahu, pulau yang baru lahir itu adalah yang dahulu disebut Pulau Es. Dan ayahmu pernah bercerita kepadaku bahwa pulau itu dahulu menjadi tempat tinggal keluarga yang sakti luar biasa.”

Kisah yang diceritakan ibunya ini menarik perhatiannya. Bagaimana hatinya tidak akan tertarik? Peristiwa aneh itu dialami oleh ibu dan ayahnya sendiri dan mendengar bahwa pulau itu dahulunya dihuni manusia-manusia sakti, hatinya amat tertarik. Keng Han baru berusia lima belas tahun. Jiwa petualangan sedang berkembang dengan suburnya di dalam hatinya.

Maka dia lalu menghadap ibunya dan menyatakan bahwa dia hendak pergi ke selatan untuk mencari ayahnya. Dia sama sekali tidak menceritakan keinginannya mengunjungi pulau aneh itu karena tentu ibunya tidak akan mengijinkannya.

Mendengar puteranya akan pergi mencari ayahnya, Silani tidak dapat melarangnya. Dia hanya berpesan agar puteranya berhati-hati dan agar pedang bengkok itu disimpannya baik-baik dan jangan sampai hilang sebelum bertemu dengan ayahnya.

Khalaban dan Kalucin memberi banyak nasehat kepada pemuda remaja itu. Tadinya Kalucin hendak menemani keponakannya pergi merantau, akan tetapi niatnya itu ditolak keras oleh Keng Han.

“Paman, aku sudah besar dan aku hendak merantau mencari pengalaman. Bagaimana aku akan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan kalau dikawal oleh Paman? Dan aku sudah cukup kuat untuk menjaga diri sendiri,” bantahnya.

Kalucin tidak dapat berkata apa-apa lagi karena dalam kenyataannya dia sendiri pun tidak akan menang melawan kekuatan dan kepandaian keponakannya itu.

Tao Keng Han berangkat dengan diantar oleh kakeknya serta Kalucin sampai keluar perkampungan, dan diantar pula oleh tangis ibunya yang tentu saja merasa kehilangan sekali. Akan tetapi Silani yakin bahwa kepergian puteranya itu penting sekali.

Puteranya itu harus dapat bertemu dengan ayahnya, puteranya harus dapat mencapai kedudukan yang tinggi. Bagi dirinya sendiri, dia sudah menerima nasib. Biarlah dia tidak dijemput ke istana, asal puteranya dapat diterima oleh ayahnya dan puteranya menjadi seorang pangeran! Dengan adanya harapan ini, maka hatinya yang sedih ditinggal pergi puteranya menjadi agak terhibur.

Harapan memang suatu perasaan yang luar biasa kuatnya. Harapan bisa menimbulkan gairah hidup. Bila masih mempunyai harapan, maka orang mampu menanggung segala derita yang bagaimana berat pun. Sebaliknya orang yang sudah kehabisan harapan, yang putus harapan, akan mudah melakukan hal-hal yang tidak benar. Bahkan banyak orang membunuh diri karena sudah putus harapan. Akan tetapi sebaliknya, harapan yang terlalu digantungi dapat pula menimbulkan kekecewaan pada akhirnya, karena hanya orang yang berharap sajalah yang akan kecewa kalau harapannya tidak terkabul!

Karena itu, orang tidak boleh putus harapan. Akan tetapi juga tidak baik kalau terlalu mengharap sesuatu secara berlebihan. Harapan yang terlalu berlebihan merupakan keinginan nafsu yang tidak akan pernah terpuaskan. Kalau harapan itu terpenuhi sekali pun, biasanya tidak seindah yang diharapkan, atau tidak terasa sebaik yang diharapkan atau diinginkan karena keinginan sudah menghendaki hal lain lagi yang dianggap lebih baik
.

Akan tetapi bagi seorang yang dilanda kedukaan seperti Silani, yang berduka karena tidak dijemput oleh suaminya setelah lewat lima belas tahun lebih, dan yang kemudian berduka karena ditinggal pergi puteranya, amatlah perlu adanya harapan itu. Harapan supaya puteranya dapat bertemu dengan ayah kandungnya dan dapat diterima sebagai seorang pangeran…..

***********

Setelah keluar dari perkampungan Khitan, Keng Han tidak langsung menuju ke selatan seperti yang disangka ibunya dan kakeknya, melainkan dia membelok ke timur karena dia hendak lebih dulu pergi ke pantai lautan timur untuk mencari pulau yang diceritakan ibunya itu. Keng Han melakukan perjalanan yang amat sukar, melalui pegunungan yang seolah tidak ada habis-habisnya. Dia naik turun gunung dan bahkan sampai berhari-hari tidak bertemu pedusunan.

Akan tetapi, sebagai seorang Khitan dia sudah berpengalaman hidup menyendiri seperti itu, dapat berburu binatang untuk makan dan bermalam di atas pohon besar. Beberapa kali dia bertemu binatang buas, akan tetapi berkat ketangkasannya, dia selalu berhasil membunuh binatang buas yang mengancamnya.

Akhirnya tibalah dia di pantai lautan timur. Dia bermalam di sebuah dusun nelayan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah duduk termenung di pinggir pantai. Keadaan pantai masih sepi sekali, para nelayan belum membuat persiapan di hari itu. Pagi masih gelap dan amat dinginnya, membuat orang malas untuk keluar dari rumah.

Akan tetapi Keng Han yang duduk di atas pasir pantai itu terpesona. Dia memandang jauh ke timur, ke arah lautan dan dia melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Mula-mula langit di timur, terutama di atas lautan, nampak merah seolah-olah terbakar. Warna langit yang merah itu bertepi kuning emas dan di sana sini nampak awan putih kebiruan. Indah sekali. Bagaikan pintu gerbang sorga di dalam dongeng.

Kemudian muncullah yang terindah dari segalanya yang terindah di saat itu. Sebuah bola api yang amat besar, warnanya merah darah, tersembul perlahan-lahan keluar dari dalam lautan. Hampir dia lupa bahwa itu adalah sang matahari! Seperti seekor makhluk aneh yang muncul dari dalam lautan.

Bola api merah itu cepat sekali, nampak naik dari permukaan laut, lalu nampak semua. Bulat tanpa cacat, membawa cahaya merah yang masih lembut. Akan tetapi semakin tinggi dia naik, semakin cerah warnanya, bukan darah lagi, melainkan merah bercampur keemasan dan mulai mengeluarkan sinar. Sinarnya kini mulai membuat jalur kemerahan di permukaan lautan yang tenang. Indah sekali. Besar sekali. Agung sekali!

Bersama munculnya Sang Matahari, kehidupan pun mulailah. Nampak binatang malam seperti kelelawar beterbangan di udara, agaknya bergegas pulang ke sarangnya, takut kesiangan karena sinar matahari yang cerah akan membuat mereka buta. Sebaliknya, burung-burung camar mulai beterbangan pula, rendah dipermukaan laut, mencari ikan. Beberapa orang nelayan mulai nampak di tepi laut, berpakaian tebal menahan dingin, ada yang mulai membenahi perahu, membetulkan jala dalam persiapan mereka mencari nafkah di hari itu.

Kekusaan Tuhan bekerja setiap saat, di mana-mana. Kebesaran dan keindahannya dapat disaksikan di mana-mana, di sekeliling kita, di dalam diri kita sendiri.

Sayang sekali, mata kita seolah buta dan tidak melihat semua itu, tidak dapat menikmati dan mensyukuri semua itu. Jiwa kita yang seharusnya selalu kontak dan berhubungan dengan kekuasaan Tuhan, seolah tertutup oleh nalsu, bergelimang nafsu sehingga kita selalu menghendaki yang menyenangkan dan memuaskan nafsu belaka
.

Keng Han terpesona, tenggelam ke dalam semua keindahan itu. Dia bahkan sudah lupa akan dirinya sendiri yang seolah-olah kini sudah bersatu dengan semua keindahan itu, bahkan menjadi sebagian dari keindahan itu sendiri.

Keramaian yang makin banyak terjadi di pantai itu, kesibukan para nelayan dan naiknya matahari pagi yang sekarang sinarnya mulai tak dapat tertahankan oleh pandang mata, menyadarkan dirinya dari lamunan. Apa lagi ketika terdengar suara ribut-ribut di sebelah sana.

Ia mengangkat muka memandang. Ternyata suara ribut-rlbut itu terjadi antara tiga orang pendatang yang pakaiannya ringkas seperti ahli-ahli silat dengan belasan orang nelayan yang ribut mulut.

“Kami tidak peduli!” kata seorang di antara tiga pendatang itu. “Kalian harus serahkan sebuah perahu untuk kami pinjam dan sekalian mengantar kami ke pulau itu. Habis perkara!”

“Tapi hal itu tidak mungkin kami lakukan!” bantah seorang nelayan yang masih muda. “Kami adalah nelayan-nelayan yang harus mencari makan setiap hari. Kami pun harus membayar hutang-hutang kami kepada Juragan Lui setiap hari. Bagaimana kami dapat mengantar kalian bertiga ke pulau kosong itu?”

“Kamu berani membantah?” Seorang di antara tiga pendatang itu melangkah maju dan sebuah pukulan mengenai dada pemuda nelayan itu sehingga dia terpelanting roboh. “Siapa yang tidak menurut akan kami hajar dan siapakah yang akan membela kalian? Juragan Lui itu jangan dihiraukan!”

“Hei, siapa berani memandang rendah Juragan Lui?” terdengar seseorang berteriak dan muncullah dua orang yang dari pakaiannya juga bukan nampak sebagai nelayan, tetapi lebih mirip para jagoan dengan pakaian yang ringkas. “Kami yang akan membela para nelayan ini!”

Tiga orang pendatang itu menoleh dan menjadi marah. “Siapakah kalian berdua yang berani mencampuri urusan kami?” Bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pesek dan mulutnya besar.

“Kami adalah pembantu Juragan Lui. Kehidupan para nelayan ini sepenuhnya sudah ditanggung oleh Juragan Lui dan hasil tangkapan ikan mereka harus diserahkan kepada Juragan Lui untuk membayar hutang mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, bagai mana mereka dapat mencari ikan? Kalian tiga orang asing pergilah dari dusun ini dan jangan membuat ribut di sini, atau kami akan menghajar kalian!”

“Ahhh, kalian ini jagoan-jagoan tukang pukul Juragan Lui agaknya! Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian maka berani membuka mulut besar kepada kami!”

Tiga orang itu lalu maju menyerang kedua orang tukang pukul itu sehingga terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata dua orang tukang pukul itu tidak mampu menandligi tiga orang itu sehingga mereka dipukul jatuh bangun dan melarikan diri, ditertawakan tiga orang pendatang itu. Para nelayan menjadi semakin ketakutan.

“Hayo cepat sediakan sebuah perahu yang baik dan layarkan ke pulau kosong itu!” kata si hidung pesek dengan nada sombong. “Cepat kalian kerjakan, atau kalian ingin kami menghajar kalian semua?”

“Perlahan dulu! Jangan ada yang mengerjakan perintah tiga orang liar ini!” mendadak terdengar seruan dan muncullah seorang pria berusia lima puluh tahun yang memegang sebatang huncwe yang masih mengepulkan uap dari tembakau yang membara.

Disebut tiga orang liar, tiga orang pendatang itu tentu saja marah sekali dan mereka segera menghadapi orang setengah tua itu. Orang itu berpakaian bagus seperti seorang pedagang, tubuhnya tinggi kurus dan pandang matanya tajam.

“Juragan Lui, kami tadi dipaksa untuk melayarkan mereka ke pulau kosong dan mereka memukul kami!” kata nelayan yang tadi dipukul. “Juga dua orang pembantu Juragan Lui telah mereka hajar!”

Mendengar ini, si hidung pesek tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya engkau inilah yang disebut Juragan Lui? Tentu engkau ini lintah darat yang menguras tenaga para nelayan untuk mengisi padat kantung uangmu, juga memberi pinjaman dengan bunga berlipat ganda. Dan engkau berani memaki kami orang liar? Engkau sudah bosan hidup rupanya!”

“Hemmm, kalian bertiga inilah yang bosan hidup!” bentak Juragan Lui sambil menyedot huncwe-nya, lalu meniupkan asap tembakau yang berbau apek itu ke arah mereka.

“Keparat, berani kau!” Si hidung pesek itu menerjang dengan pukulan tangan kanannya.

Akan tetapi dengan amat mudahnya Juragan Lui mengelak, lalu menangkap siku tangan yang memukul. Hanya dengan sekali puntir dan mendorong, Si Pesek itu sudah roboh menelungkup mencium tanah.

Dua orang kawannya menjadi marah bukan main.

“Jahanam yang bosan hidup!” bentak mereka.

Mereka meloloskan golok dari pinggang mereka. Juga si hidung pesek yang ketika jatuh menelungkup itu hidungnya menjadi tambah pesek karena membentur tanah, kini sudah meloncat, membersihkan mukanya dari tanah dan mencabut goloknya. Tanpa banyak cakap lagi tiga orang itu lalu menyerang Juragan Lui dengan golok mereka...


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 02


Pusaka Pulau Es Bagian 01

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 01

PRIA penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling dan dia terpesona. Memang pagi itu indah bukan main. Di sekeliling tempat itu terdapat bukit-bukit berjajar-jajar. Bukit-bukit di timur masih nampak gelap sebab matahari baru muncul mengintai dari balik punggung mereka. Akan tetapi bukit-bukit di sisi barat sudah mulai menerima sinar matahari pagi yang kuning keemasan.

Nampaklah kabut menyingkir perlahan dihalau sinar matahari pagi. Sinar matahari pagi yang masih lembut akan tetapi sudah garang itu menerobos di antara kabut, sungguh merupakan keindahan yang sukar untuk dilukiskan. Keindahannya lebih terasa di dalam hati dari pada di dalam mata.

Burung-burung mulai beterbangan meninggalkan sarang, meski masih ada yang sempat berkicau di antara ranting-ranting pohon, membuat suasana makin ceria gembira dan mendorong seseorang untuk turut bernyanyi. Matahari pagi mulai muncul dan sinarnya menghidupkan segalanya, membangunkan semuanya yang tadinya terlelap tidur dalam kegelapan sang malam.

Nampak beberapa ekor kelinci dan kijang menyeberangi semak dengan hati-hati sekali. Telinga mereka membantu mata yang menoleh ke kanan kiri, lalu mereka melanjutkan jalan menuju ke semak lain. Tidak ada seorang pun manusia lain kecuali si penunggang kuda yang menghentikan kudanya di atas puncak sebuah bukit kecil itu.

Kekuasaan dan kecintaan Tuhan sungguh mengalir sepenuhnya di pagi hari itu, terasa sekali di dalam hati. Dan orang itu merasa bahwa dirinya menjadi satu dengan segala keindahan itu, menjadi bagian tak terpisahkan dari isi alam mayapada yang demikian indah. Dia merasa dirinya kecil sekali, kecil tidak ada artinya, padahal biasanya dia merupakan orang penting yang diperhatikan, dihormati dan dilayani oleh banyak orang.

Laki-laki itu masih muda. Paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Rambutnya dikuncir menjadi sebuah kuncir yang gemuk dan panjang, ujungnya diikat sutera kuning. Rambut itu di atasnya disisir rapi dan mengkilap karena minyak rambut yang harum.

Dahinya lebar, dengan sepasang alis hitam tebal berbentuk golok. Sepasang matanya mencorong bagaikan mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk indah dengan bibir mengarah senyum mengejek. Dandanannya menunjukkan bahwa dia tentu seorang bangsawan muda yang kaya-raya.

Siapakah pemuda tampan gagah yang pakaiannya perlente dan amat pesolek ini? Dia memang bukan orang sembarangan. Ia adalah seorang pangeran! Namanya Pangeran Tao Seng, putera dari Kaisar Cia Cing (1796-1820). Kenapa dan mau apakah seorang pangeran berada di antara pegunungan di tempat yang begitu jauh di utara itu, seorang diri pula?

Pangeran Tao Seng memang seorang petualang besar. Semenjak kecil dia bukan saja mempelajari ilmu kesusastraan, bahkan juga belajar ilmu silat dengan tekun sehingga setelah menjadi dewasa, dia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Agaknya dia tertarik dengan riwayat kakeknya, Kaisar Kian Liong yang di waktu mudanya suka merantau dan memasuki dunia kang-ouw mencari pengalaman. Demikian pula dengan Tao Seng. Agaknya dia mewarisi jiwa petualang dari kakeknya ini.

Sering kali dia merantau seorang diri saja, mengandalkan ilmu silatnya untuk melindungi dirinya. Dia sudah sering menjelajahi dunia kang-ouw dan mengumbar kesenangannya, yaitu senang menggauli wanita-wanita cantik. Mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita cantik karena wanita mana yang tidak tertarik kepadanya? Dia masih muda, tampan dan gagah, dan seorang pangeran pula!

Pada pagi hari itu dia tiba di pegunungan utara. Dia tahu bahwa dia memasuki daerah yang dikuasai orang-orang suku Khitan, akan tetapi dia tidak pernah mengenal takut. Apa lagi dia juga pandai berbahasa Khitan, bahkan ibunya masih memiliki darah Khitan. Pula, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik. Apa yang harus ditakuti? Pangeran Tao Seng sudah sering kali menghadapi bahaya, namun selalu dapat lolos dengan selamat. Dia seorang petualang besar.

Tiba-tiba dia melihat ada seorang penunggang kuda mendaki bukit itu dengan cepat. Kudanya bagus dan penunggangnya mahir sekali menunggang kuda. Duduknya tegak dan keseimbangan tubuhnya mantap. Dekat hutan di sebelah bawahnya, penunggang kuda itu turun dari atas kudanya, mengikat kudanya pada sebatang pohon, kemudian menyusup ke semak-semak dalam hutan itu.

Pangeran Tao Seng tersenyum. Dia sudah melihat bahwa penunggang kuda itu seorang gadis yang berpakaian seperti gadis Khitan dan cantik sekali, membawa busur dan anak panah. Tentu seorang gadis yang sedang memburu binatang hutan dan agaknya gadis itu melihat binatang buruan di dalam hutan itu.

Dia merasa gembira, lalu menggerakkan kudanya turun dari puncak bukit itu menuju ke hutan. Setelah tiba di dekat kuda yang ditambatkan di pohon itu, dia pun turun dari atas kudanya, menambatkan kudanya tidak jauh dari kuda gadis itu dan dia pun menyusup masuk ke dalam hutan, hendak mencari gadis pemburu tadi.

Akhirnya dia melihat gadis pemburu tadi berindap-indap di bawah sebatang pohon dan ternyata yang diincarnya adalah seekor kijang jantan muda yang sedang makan daun muda. Gadis itu sudah menarik tali busurnya dan siap melepaskan anak panah ke arah dada binatang itu. Akan tetapi perhatian Pangeran Tao Seng segera tertarik ke atas pohon, di bawah mana gadis itu berdiri.

“Awas...!” Tiba-tiba Pangeran Tao Seng berteriak nyaring.

Tepat pada saat itu, sang ular besar yang tadi bergantung di pohon itu melepaskan diri dan jatuh ke atas tubuh gadis itu yang sedang melepas anak panah. Karena kaget oleh teriakan, bidikannya terguncang dan anak panah itu luput dari sasaran. Dan selagi ia membalikkan tubuh hendak marah kepada orang yang berteriak, tiba-tiba saja ular itu menjatuhi dirinya dan membelit tubuhnya.

Saking kagetnya gadis itu menjerit. Tangan kanannya sudah ikut terbelit dan tak mampu bergerak. Akan tetapi ketika ular itu mendekatkan moncongnya dan hendak menggigit, dia menahan leher ular itu dengan tangan kirinya. Ular sebesar paha seorang pria itu memperkuat libatan dan menggerak-gerakkan lehernya yang dicekik oleh tangan kiri yang kecil namun kuat itu. Sekali tangan itu terlepas, moncong yang terbuka lebar itu tentu akan menelan kepala gadis itu dengan mudah!

Akan tetapi, Pangeran Tao Seng sudah lompat mendekat dengan pedang terhunus di tangan kanan. Sekali pedangnya berkelebat cepat, kepala ular itu putus dan darahnya muncrat mengenai pipi kiri gadis itu. Belitannya mengendur sehingga gadis itu dapat melepaskan dirinya. Saking ngeri dan kagetnya, dia terhuyung dan tentu sudah jatuh terpelanting kalau saja Pangeran Tao Seng tidak cepat menyambar pinggangnya dan merangkulnya.

“Bahaya sudah lewat, jangan takut,” katanya dalam bahasa Khitan dengan suara amat lembut.

Gadis itu memandang kepadanya dengan sepasang mata seperti seekor kelinci. “Kau... kau... telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman bahaya maut...”

Pangeran Tao Seng tersenyum, menyimpan pedangnya dengan tangan kirinya masih merangkul pinggang. Kemudian tangan kanannya mengambil sehelai sapu tangan dan berbisik, “Pipimu bernoda darah...!”

Dia lalu mengusap pipi kiri itu dengan sapu tangan dan membersihkan darah itu, dan dia terpesona! Setelah muka itu menjadi bersih dari darah, baru nampak betapa cantiknya wajah itu! Cantik segar bagaikan setangkai mawar hutan tersiram embun pagi. Kedua pipi yang segar kemerahan dan halus mulus. Sepasang mata yang lebar dengan sinar yang jernih. Hidung kecil mancung dan mulut yang setengah terbuka itu nampak indah, dengan deretan gigi mengintai dari balik bibir yang merah basah.

“Aduh, engkau cantik sekali, Nona. Bidadari dari sorgakah engkau?”

Gadis itu tiba-tiba tertawa. Lenyaplah semua rasa kaget dan ngeri tadi, dan dia merasa lucu dan senang. Pemuda yang telah menyelamatkannya dari ancaman maut itu adalah seorang pemuda yang amat ganteng dan gagah, dan bicaranya lucu, pandai berbahasa Khitan pula.

“Kalau aku seorang dewi dari sorga, tentunya engkau seorang dewa dari kahyangan,” katanya sambil melepaskan rangkulan pemuda itu.

Pangeran Tao Seng tertawa dan nampaklah deretan giginya yang bersih dan kuat. Dia nampak semakin tampan kalau tertawa dan agaknya hal ini diketahuinya benar, maka dia pun tertawa dengan bebas dan lepas.

“Ha-ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Nona. Aku beruntung sekali hanya manusia biasa seperti engkau, manusia yang bisa jatuh cinta! Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa berada seorang diri di hutan liar ini? Melihat pakaian dan kudamu, tentu engkau bukan gadis Khitan sembarangan, sedikitnya tentu puteri kepala suku!”

“Hemm, selain gagah perkasa ternyata engkau juga amat pandai mengenal orang. Aku Silani, puteri kepala suku Khitan di daerah ini. Dan engkau sendiri, siapakah? Engkau seperti bukan orang Khitan, akan tetapi engkau pandai bahasa kami dan pakaianmu sangatlah indahnya. Engkau seorang bangsawan, ya? Aku pernah melihat bangsawan-bangsawan yang datang berkunjung kepada ayahku. Ayahku adalah Khalaban, kepala suku yang terkenal gagah perkasa.”

“Engkau pun pandai menduga. Aku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng, namaku Pangeran Tao Seng.”

Gadis itu nampak terkejut. “Ahhh, seorang pangeran?” Matanya bersinar-sinar. “Betapa gagahnya!”

“Ahaa, benarkah itu? Benarkah engkau menganggap aku tampan dan gagah? Aku pun melihat engkau sebagai seorang gadis yang cantik jelita dan amat gagah, Silani. Betapa akan amat mudahnya bagiku untuk jatuh cinta padamu.”

Mendengar ucapan itu, Silani tersenyum lebar. Bagi seorang gadis suku Khitan seperti dia, tidaklah aneh mendengar pernyataan cinta seorang pria secara demikian terbuka.

“Ahh, benarkah?”

“Kenapa tidak benar? Aku berani bersumpah, Silani!”

Mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak satu meter, saling pandang, dan sinar mata mereka saling bertemu dan bertaut, penuh ketegangan dan kebahagiaan.

Betapa anehnya cinta antara pria dan wanita. Pria pada umumnya akan jatuh cinta karena kecantikan atau kepribadian si wanita. Akan tetapi wanita lain lagi. Ia dapat saja jatuh cinta karena kagum, karena iba, karena hutang budi, atau karena rayuan walau pun ketampanan wajah dan kepribadian juga memegang peran penting.

Silani merasa berhutang budi, sudah diselamatkan dari ancaman maut, ini saja sudah merupakan penolong baginya untuk jatuh hati. Apa lagi ditambah pengetahuan bahwa pria itu adalah seorang pangeran besar dari kerajaan yang besar, seorang pria yang tampan dan gagah perkasa yang dapat membunuh ular besar dengan sekali bacokan pedangnya, pria yang pandai pula merayu. Maka anehkah kalau ia seketika jatuh cinta kepada Pangeran Tao Seng?

Cinta pertama pada pandangan pertama memang berkesan dalam di hati. Tentu saja gadis Khitan yang sederhana jalan pikirannya ini sama sekali tidak tahu bahwa pria di depannya itu akan jatuh cinta kepada wanita mana pun asalkan wanita itu cantik jelita dan dapat dirayunya!

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan Silani bagaikan sadar dari mimpi.

“Ah, itu ayahku dan para pengawal datang ke sini!” katanya sambil melangkah beberapa tindak mundur menjauhi Pangeran Tao Seng.

Sepuluh orang penunggang kuda, dikepalai oleh seorang kepala suku Khitan yang tinggi kurus datang dan berlompatan turun dari kuda masing-masing. Kepala suku Khitan yang tinggi kurus itu adalan Khalaban, ayah Silani. Melihat puterinya bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing dan di situ terdapat seekor bangkai ular besar, Khalaban segera lari menghampiri puterinya dan menegur.

“Silani, kenapa engkau mendahului kami masuk hutan ini? Dan ular itu, apa yang telah terjadi? Siapa pula pemuda ini?” tanyanya dengan tak sabar.

“Ayah, tadi aku mengejar seekor kijang. Akan tetapi mendadak aku diserang ular besar ini yang menjatuhkan diri dari atas pohon. Kalau tidak ada pemuda ini yang menolongku membunuh ular, tentu sekarang ini anakmu sudah berada di dalam perut ular itu!”

Khalaban yang berusia lima puluh tahun ini tentu saja terkejut bukan main mendengar kata-kata puterinya, akan tetapi juga gembira bahwa puterinya dapat diselamatkan.

“Ahhh, syukur bahwa engkau selamat, Silani. Lalu, siapakah pemuda gagah yang telah menolongmu ini?”

“Ayah tentu tIdak akan pernah dapat menduganya! Ayah, pemuda ini adalah seorang pangeran kerajaan Ceng. Namanya Pangeran Tao Seng!”

Mendengar hal ini, Khalaban lebih terkejut lagi dan cepat-cepat ia membungkuk dengan sikap hormat.

“Pangeran, sungguh kami berterima kasih sekali bahwa Paduka telah menyelamatkan puteri kami, dan maafkan, karena tidak tahu maka kami bersikap kurang hormat.”

Tao Seng tertawa. “Ha-ha-ha, Paman, kenapa menggunakan banyak peraturan? Secara kebetulan sekali aku bertemu dengan puterimu yang cantik dan gagah, dan kebetulan pula aku dapat menolongnya ketika ular itu menyerangnya. Tidak perlu berterima kasih, Paman.”

“Khalaban nama saya, Pangeran. Dan kami persilakan Paduka untuk singgah di tempat perkampungan kami agar kami dapat menjamu Paduka menjadi tamu kehormatan kami dan juga untuk menghaturkan terima kasih kami.”

“Baik, Paman. Memang aku pun ingin berkenalan lebih jauh dengan Silani.”

“Jadi engkau mau berkunjung ke kampung kami, Pangeran? Aihh, aku gembira sekali!” kata Silani dengan sikap akrab.

Melihat sikap ini, Khalaban merasa gembira sekali, akan tetapi ada seorang pemuda Khitan di antara rombongan itu yang memandang dengan alis berkerut dan mata jalang bersinar tak senang.

Pemuda ini seorang pemuda Khitan yang bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah serta penampilannya nampak kokoh dan kuat. Seorang jantan dan memang dia merupakan jagoan di antara para muda Khitan, mahir ilmu bela diri terutama sekali ilmu gulat.

Di antara para muda, pemuda bernama Kalucin ini memang dianggap sebagai seorang yang memiliki harapan besar untuk mempersunting Silani, puteri kepala suku dan juga menjadi kembangnya para dara di antara mereka. Kini, melihat Silani nampak akrab dengan seorang pemuda asing, pangeran pula, tentu saja timbul perasaan tidak senang dan cemburu besar di dalam hati Kalucin.

Kata orang, cemburu adalah kembangnya cinta. Hal ini memang tidak dapat disangkal selama cinta kasih itu berdasarkan nafsu. Cinta nafsu selalu membuat yang mencinta ingin memiliki, ingin menguasai yang dicintai, seperti seseorang yang menyukai sebuah benda yang amat berharga. Tidak ingin disentuh orang lain, apa lagi dimiliki orang lain.

Itulah cemburu yang mendorong agar orang yang dicinta menjadi miliknya pribadi, tanpa diganggu orang lain. Dan cinta kita pada umumnya seperti itu. Cinta kasih yang hanya berdasarkan nafsu!


Demikian pula cinta dalam hati Kalucin terhadap Silani. Dia ingin Silani menjadi miliknya sendiri. Sekarang melihat ada pria lain mendekati gadis itu, bahkan ada kecenderungan berhubungan akrab, hatinya dipenuhi perasaan cemburu yang mendalam.

Bagi Khalaban sendiri, tentu saja dia merasa girang sekali kalau puterinya bergaul akrab dengan seorang pangeran. Pangeran kerajaan Ceng yang besar dan jaya, tampan dan gagah pula. Bahkan lebih dari itu, pangeran itu telah menyelamatkan nyawa puterinya. Kalau saja puterinya dapat menjadi isteri seorang pangeran, alangkah senang hatinya!

Pangeran Tao Seng dijamu dengan hormat dalam sebuah pesta yang meriah. Tentu saja Tao Seng gembira sekali, apa lagi disuguhi tari-tarian Khitan yang menggairahkan. Ketika Silani sendiri tampil sebagai seorang primadona dalam tarian itu, kekagumannya terhadap Silani semakin bertambah.

Di tengah makan minum itu, dengan beraninya Tao Seng bertanya kepada Khalaban, “Paman, kalau boleh aku mengetahui, apakah Silani telah bersuami?”

“Ah, belum, Pangeran. Sudah banyak yang datang meminang, akan tetapi anak saya itu memang keras kepala. Ia selalu menolak sehingga kini usianya sudah sembilan belas tahun dan ia belum menikah.”

“Ahhh... apakah sudah ada calon suaminya?”

Sejenak Khalaban teringat akan Kalucin, akan tetapi segera dilupakannya pemuda itu. Kalau saja dibandingkan dengan Pangeran Tao Seng, tentu saja Kalucin kalah dalam segala-galanya. Kalucin memang seorang pemuda hebat, dan tentu dia akan memilih Kalucin di antara para pemuda Khitan. Akan tetapi dibandingkan dengan Pangeran Tao Seng, Kalucin laksana seekor burung merak dibandingkan dengan burung Hong! Kalah segala-galanya!

“Belum, Pangeran. Silani belum memiliki calon suami. Mengapa Paduka menanyakan hal itu?” Dia memancing.

“Ehemmm... jika sekiranya Paman setuju, aku suka sekali kepada Silani dan aku ingin mengawini dia.”

“Tentu saja kami setuju sekali, tentu saja kalau Silani juga mau. Dan saya kira ia juga setuju, lihat saja sikapnya terhadap Paduka.”

Mereka memandang ke arah Silani yang masih menari dan benar saja, pandang mata Silani ditujukan kepada Tao Seng dan gadis itu tersenyum-senyum kepadanya, senyum yang manis sekali!

“Akan tetapi, Paman. Karena aku adalah seorang pangeran putera mahkota yang kelak akan menggantikan ayah menjadi kaisar, aku tidak boleh menikah begitu saja. Oleh karena itu, aku ingin menikah dengan Silani di sini. Apakah Paman setuju?”

Mendengar bahwa pangeran ini adalah seorang pangeran mahkota yang nantinya akan menjadi kaisar, Khalaban nyaris berjingkrak menari saking girangnya. Puterinya menjadi permaisuri kaisar dan dia menjadi ayah mertua kaisar!

“Setuju, Pangeran. Kami setuju sekali. Dan pernikahan itu dilangsungkan lebih cepat lebih baik. Oya, sekarang ini semua rakyat saya sedang berkumpul, sebaiknya kalau saya menggunakan kesempatan ini untuk mengumumkan pertunangan itu!”

Tao Seng tersenyum. “Paman lupa untuk bertanya dulu kepada Silani, apakah ia setuju ataukah tidak?”

“Baik, akan saya tanyakan sekarang juga, Pangeran!”

Khalaban lalu menggapai ke arah puterinya yang sedang menari. Silani menghentikan tariannya dan menghampiri ayahnya.

“Silani, dengar baik-baik. Pangeran Tao Seng ini seorang putera mahkota calon kaisar, dan beliau ini meminang engkau untuk menjadi isterinya. Bersediakah engkau menikah dengannya?”

Wajah gadis itu berubah kemerahan dan mulutnya tersenyum malu-malu. “Aihh, Ayah...! Bagaimana Ayah sajalah, aku hanya menurut saja!” katanya sambil berlari dan duduk di belakang ayahnya.

Khalaban tertawa bergelak, kemudian memberi isyarat dengan tangan agar para penari menghentikan tarian mereka dan juga musik dihentikan. Dan setelah suasana menjadi tenang, Khalaban lalu berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat bahwa dia hendak mengumumkan sesuatu dan supaya semua orang mendengarkan dengan tenang.

“Saudaraku semua, aku hendak menyampaikan sebuah pengumuman penting sekali. Pada malam hari ini, Pangeran Mahkota Tao Seng dari kerajaan Ceng telah meminang puteriku Silani dan kami pun sudah menerima pinangan itu. Mulai saat ini mereka telah bertunangan, sedangkan pesta pernikahan akan dilaksanakan secepat mungkin dalam beberapa hari ini!”

Rakyat Khitan yang berkumpul dalam pesta itu serentak bersorak dan bertepuk tangan menyambut pengumuman itu. Akan tetapi tiba-tiba seorang pemuda berdiri dan berseru dengan suara mengguntur. “Kami protes...!”

Melihat bahwa pemuda itu adalah Kalucin, Khalaban mengerutkan alis. Dengan marah dia membentak, “Kalucin apa maksudmu dengan protes itu?” katanya mengancam.

“Maaf, paman Khalaban. Sudah menjadi adat kebiasaan bangsa kita semenjak turun menurun bahwa seorang calon suami harus mampu melindungi calon isterinya, maka setiap calon suami harus menunjukkan kegagahannya. Apa lagi sekarang yang dipinang adalah puteri paman Khalaban sendiri sebagai ketua suku kita. Jika Pangeran Tao Seng meminang Silani, dia harus membuktikan bahwa dia cukup berharga untuk menjadi pelindung Silani dan mampu mengalahkan aku dalam kegagahan! Pangeran Tao Seng, aku menantangmu untuk mengadu kekuatan dan kepandaian membela diri!”

“Kalucin! Berani engkau bersikap seperti ini?!” bentak Khalaban.

Akan tetapi Tao Seng segera bangkit sambil tersenyum, lalu berkata kepada Khalaban. “Paman, ucapannya tadi memang benar sekali. Baiklah, aku akan melayaninya, harap Paman menjadi saksi saja.”

Lalu Tao Seng melangkah lebar menuju ke tengah ruangan di mana tadi dipergunakan untuk menari. Di situ memang dibangun sebuah panggung yang agak tinggi sehingga tadi semua orang dapat melihat para penari. Tao Seng menggapai kepada Kalucin.

“Namamu Kalucin? Ke sinilah, aku memenuhi tantanganmu!”

Semua orang terheran-heran dan menjadi tegang. Mereka semua mengenal Kalucin sebagai seorang pemuda yang amat kuat dan pandai berkelahi, terutama sekali pandai dalam ilmu gulat. Kalau hanya dikeroyok tiga empat orang saja, sukarlah mengalahkan pemuda ini. Dan pangeran yang kelihatan halus itu kini menerima tantangan Kalucin!

Kalucin sendiri merasa kagum saat pangeran itu menerima tantangannya. Sikap ini saja sudah mendatangkan kekaguman dan membuat dia menghormatinya. Dia melompat ke atas panggung dan melangkah menghampiri. Setelah berhadapan Kalucin lalu memberi hormat.

“Maafkan sikap saya ini, Pangeran. Oleh karena ini merupakan tradisi lama kami, maka saya berani menantang Paduka.”

“Sudahlah, Kalucin. Katakan saja bagaimana kita hendak mengadu kepandaian, dengan senjata atau dengan tangan kosong?”

“Ini hanya sekedar mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih kuat, bukan saling membunuh, Pangeran. Maka cukup dengan tangan kosong saja. Dan siapa pun yang terbanting roboh, dia dinyatakan kalah. Bagaimana, apakah Paduka setuju?”

“Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa orang Khitan ahli gulat, maka engkau mengajak aku untuk saling banting. Bagaimana kalau engkau roboh bukan karena terbanting namun terkena pukulan atau tendangan? Apakah itu juga dianggap kalah?” Tao Seng bertanya sambil terus tersenyum.

“Tentu saja. Roboh terbanting atau karena terkena tendangan dan pukulan sama saja, tetap dianggap kalah!” jawab Kalucin tegas

“Baik kalau begitu, nah, aku sudah siap. Engkau boleh mulai.”

Menghadapi pangeran yang sikapnya begini tabah, sudah ada rasa hormat dan suka di hati Kalucin. Sikap orang ini begitu gagah. Kalau tenaganya kuat dan pandai berkelahi, memang dia pantas untuk menjadi suami Silani, pikirnya.

“Pangeran, Paduka adalah seorang tamu, sebaiknya kalau Paduka menyerang terlebih dahulu,” kata Kalucin dengan sikap merendah.

Tao Seng juga suka kepada pemuda ini. Tahulah dia bahwa pemuda ini mencinta Silani maka berani bersikap seperti itu. Akan tetapi pada dasarnya, dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik budi.

“Baiklah, aku akan menyerangmu. Lihat tendangan!”

Tao Seng melakukan tendangan dengan kaki kiri. Akan tetapi dengan sigapnya Kalucin mengelak ke kanan, kemudian tangannya meluncur cepat hendak menangkap kaki yang menendang itu. Sekali saja kaki itu tertangkap tentu dengan mudah Pangeran Tao Seng akan dapat dijatuhkan.

Akan tetapi Tao Seng adalah seorang ahli silat yang lihai. Dia maklum akan maksud lawan, maka dia sudah cepat-cepat menarik kembali kakinya dan kini tangannya yang mengirim tamparan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan.

Dan Kalucin segera terdesak hebat. Pemuda ini harus menangkis dan mengelak ke sana sini kalau tidak mau terkena tamparan kedua tangan pangeran itu. Dia membalas dengan usaha menangkap tangan itu, dan kalau ada kesempatan, dia menubruk untuk menyergap tubuh sang pangeran, akan tetapi gerakan Tao Seng terlalu lincah baginya. Sebaliknya, beberapa kali tamparan pangeran itu mengenai sasaran. Akan tetapi tubuh Kalucin memang kuat bukan main dan kebal sehingga tamparan-tamparan itu seperti tidak terasa olehnya.

Pertandingan itu sudah berjalan hampir seperempat jam. Sekarang Pangeran Tao Seng menganggap sudah cukup lama untuk memberi muka kepada lawannya. Dia tidak ingin cepat menjatuhkan lawan. Dia ingin mengawini Silani, akan tetapi tak ingin bermusuhan dengan Kalucin. Setelah menganggap cukup, dia membiarkan tangan kirinya ditangkap Kalucin!

Kalucin girang sekali dan semua orang memandang tegang karena maklum bahwa jika Kalucin sudah dapat menangkap tangan lawan, maka di saat lain tentu lawan itu akan terbanting keras ke atas lantai! Kalucin sudah membalik dan memutar tubuhnya untuk membuat tangan Tao Seng terpuntir dan dibanting.

Namun tiba-tiba jari tangan Tao Seng bergerak menyentuh pundaknya dengan totokan dan seketika juga Kalucin tidak mampu menggerakkan kedua tangannya lagi. Dan pada saat itu, Tao Seng memutar tubuhnya dan kakinya menyabet kedua kaki Kalucin. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kalucin lalu ambruk dan jatuh ke atas lantai dalam keadaan telentang!

Tao Seng membangunkan Kalucin sambil membebaskan totokannya. Setelah kembali berdiri, Kalucin segera membungkuk dalam-dalam untuk memberi hormat dan mengakui kekalahannya di bawah sorak sorai dan tepuk tangan para penonton.

Yang agak menyakitkan hati Kalucin adalah melihat betapa Silani juga bertepuk tangan penuh semangat. Tahulah dia bahwa Silani sudah jatuh cinta kepada Tao Seng dan hal ini mengobati hatinya. Jika Silani sudah jatuh cinta kepada pangeran itu, mau apa lagi? Juga pangeran itu ternyata gagah perkasa dan dia harus mengakui kekalahannya. Ahh, bukan hanya Silani perempuan di dunia ini, dia menghibur hatinya.

Menerima kenyataan dan menerima keadaan adalah suatu sikap yang amat bijaksana. Orang akan dapat melalui keadaan yang bagaimana hebat dan sengsara sekali pun kalau memiliki sikap seperti itu. Menerima kenyataan yang ada dan menerima keadaan tanpa tenggelam ke dalam duka. Bukan berarti lalu berhenti dan jatuh, melainkan tetap berusaha hanya tidak tenggelam ke dalam duka dan putus harapan.

Kalau orang bersikap menerima kenyataan, maka akan timbul saja harapan-harapan baru dan dapat memetik hikmah dari setiap keadaan yang betapa buruk pun! Menerima kenyataan ini berarti iman yang sepenuhnya kepada Tuhan. Maklum bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan, karena itu tidak ada yang perlu dan patut dikeluhkan lagi. Melainkan menengadah, menerima kenyataan dan menyerah kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh keikhlasan. Beginilah sikap seorang bijaksana dan sikap seperti ini akan membebaskan kita dari belenggu duka
.

Beberapa hari kemudian, dilangsungkanlah pernikahan antara Pangeran Tao Seng dan Silani. Pernikahan dilangsungkan dengan meriah sekali. Seluruh rakyat suku Khitan di daerah itu ikut berpesta gembira. Pesta diadakan selama sehari semalam. Akan tetapi yang paling merasa berberbahagia adalah sepasang mempelai. Tidak ada kebahagiaan melebihi dua orang yang paling mencinta dipertemukan dalam sebuah pernikahan.

Pangeran Tao Seng adalah seorang pemuda yang amat berpengalaman dalam merayu wanita. Maka setelah Silani menjadi isterinya, wanita ini pun seperti mabuk kebahagiaan pengantin baru. Mereka seolah tak terpisahkan walau sesaat pun. Ke mana pun mereka berdua dan selalu berkasih-kasihan.

Silani bukan hanya berbahagia karena mempunyai suami yang tampan gagah dan amat mencintanya, akan tetapi juga berbahagia karena dia membayangkan betapa kelak dia menjadi seorang permaisuri kaisar. Benarkah pengakuan Tao Seng bahwa dia adalah seorang putera mahkota yang kelak menggantikan kaisar?

Sebetulnya tidaklah demikian. Hanya karena pandainya Tao Seng bicara saja maka dia dapat mengelabui Silani dan ayahnya, Khalaban. Dia memang benar putera dari Kaisar Cia Cing yang baru saja menggantikan Kaisar Kian Liong, tapi sama sekali bukan putera mahkota. Bahkan Kaisar Cia Cing belum mengangkat putera mahkota karena baru saja dia menjadi kaisar.

Juga andaikan kelak Kaisar Cia Cing mengangkat seorang di antara puteranya menjadi pangeran mahkota, tentu bukan Tao Seng yang diangkatnya karena Tao Seng hanyalah putera seorang selir dan berketurunan Khitan pula. Tao Seng mengaku demikian hanya demi gengsi saja, agar diterima lamarannya menjadi suami Silani. Padahal, andai kata dia tidak berbohong sekali pun tentu dia akan diterima pula karena mempunyai mantu pangeran saja sudah merupakan kehormatan besar bagi Khalaban.

Selama tiga bulan pengantin baru itu setiap hari hanya berkasih-kasihan. Kadang kala mereka ditemani oleh Kalucin yang dianggap sebagai sahabat baik oleh Pangeran Tao Seng. Kadang mereka berburu bertiga saja. Dan Kalucin kini sudah tidak iri lagi. Dia menganggap Silani sebagai adiknya sendiri dan dia ikut merasa gembira betapa Silani hidup berbahagia bersama Pangeran Tao Seng.

Setelah tinggal di situ selama tiga bulan, pada suatu hari Tao Seng berpamit dari mertua dan isterinya untuk kembali ke selatan. Silani menangis hendak ikut suami tercinta.

“Jangan sekarang, isteriku. Pertama, engkau tentu belum dapat diterima dengan resmi dan tidak diperbolehkan memasuki istana. Dan kedua, engkau sedang mengandung, tak baik melakukan perjalanan jauh dan sukar. Kelak, apa bila aku sudah melapor kepada ayahanda kaisar dan sudah mendapat perkenan beliau, engkau tentu akan kujemput ke istana. Juga menanti sampai anakmu terlahir.”

Oleh karena alasan yang dikemukakan Pangeran Tao Seng masuk akal, akhirnya Silani dapat menerimanya. Juga ayahnya membujuk agar menaati pesan suaminya.

“Kalucin, selama aku pergi, harap kau jaga baik-baik isteriku yang kau anggap sebagai adikmu sendiri.”

“Jangan khawatir, Paduka,” jawab Kalucin dengan tulus.

“Akan tetapi, Pangeran suamiku. Sebelum engkau pergi, aku ingin terlebih dulu engkau memenuhi janjimu untuk mengajak aku pesiar ke lautan. Aku ingin sekali pergi melihat lautan seperti yang kau janjikan, naik perahu layar mengarungi samudera luas!” Silani merengek dan karena memang dia sudah berjanji di waktu berpengantinan, Pangeran Tao Seng akhirnya tidak dapat menolak permintaan itu.

Mereka bertiga, Pangeran Tao Seng, Silani dan ditemani Kalucin segera berangkat ke pesisir utara. Mereka melakukan perjalanan santai saja, menggunakan kereta supaya dapat cepat dan tidak terlalu mengganggu kesehatan Silani yang sedang mengandung dua bulan.

Setelah tiba di pantai lautan, Tao Seng menyewa sebuah perahu layar dan dengan pertolongan seorang nelayan mereka pun pergi berlayar. Bukan main girangnya hati Silani. Selamanya belum pernah ia melihat lautan dan kini ia dapat berlayar mengarungi samudera yang amat luas itu.

Mereka telah cukup jauh meninggalkan pantai. Selagi Tao Seng hendak memerintahkan tukang perahu untuk kembali ke daratan, tiba-tiba air bergelombang dengan hebatnya. Tukang perahu merasa heran dan terkejut bukan main. Tiada badai, angin pun biasa saja, bagaimana mendadak timbul gelombang demikian hebatnya?

Untuk menjaga agar supaya perahu tidak terbalik, tukang perahu menggulung layar dan mengemudikan perahu sedapat mungkin. Kemudian terdengar suara menggelegar dan mereka semua melihat air laut mengeluarkan busa yang mengepulkan uap dan asap panas.

Air bergelombang lebih hebat dan tiba-tiba, di depan mata mereka, kurang lebih satu mil jauhnya, muncul sebuah benda hitam yang amat besar. Makin lama semakin besar dan ternyata itu adalah sebuah pulau! Sebuah pulau yang lahir begitu saja dari permukaan laut. Mungkin terjadi di letusan gunung berapi di bawah laut, mungkin di dasar laut itu timbul perubahan yang luar biasa dari letusan gunung yang akhirnya melahirkan sebuah pulau!

Gelombang lautan sedemikian hebatnya mengguncang perahu. Tukang perahu segera memperingatkan tiga orang penumpangnya agar mengikat pinggang mereka pada tiang layar agar tidak terlontar keluar.

Tao Seng mengikat pinggang isterinya dan Kalucin pada tiang perahu sedangkan dia lalu mengikat pinggangnya sendiri pula. Demikian pula tukang perahu yang masih tetap memegang kemudi. Perahu terguncang ke kanan kiri, kadang-kadang dilambungkan ke atas. Seandainya mereka tidak mengikat pinggang mereka dengan tiang, tentu mereka sudah terlempar keluar dari perahu.

Mereka merasa tersiksa. Silani muntah-muntah, bahkan Kalucin juga muntah-muntah. Pangeran Tao Seng hampir putus asa, merasa bahwa kematian sudah di depan mata. Suara menggelegar bagaikan letusan masih terdengar berulang-ulang. Banyak perahu nelayan yang berkeadaan sama dengan mereka, bahkan ada yang sudah terguling dan penumpangnya entah bernasib bagaimana.

Akhirnya gelombang yang amat ganas itu mereda dan letusan pun tidak terdengar lagi. Gelombang tidak sehebat tadi, tinggal sisanya saja. Dan pulau itu baru lahir itu nampak lengkap sudah. Sebuah pulau yang kehitaman.

Tukang perahu melepas ikatan dari pinggangnya, demikian pula Tao Seng dan Kalucin. Tao Seng melepaskan pula ikatan di pinggang Silani yang segera merangkulnya sambil menangis. Tao Seng memeluk dan menghiburnya.

“Ya Tuhan, pulau itu...!” Tukang perahu tiba-tiba berseru.

Tao Seng menoleh. Ia melihat pulau itu biasa saja. Akan tetapi tukang perahu terbelalak memandang pulau itu. Mulutnya berkemak kemik tanpa suara seperti orang berdoa.

“Paman, kenapakah dengan pulau itu?”

“Itu... seperti Pulau Es.... yang dahulu dikabarkan tenggelam. Bentuknya sama benar, hanya ini tidak ditimbuni es!”

Tao Seng sudah pernah mendengar akan dongeng mengenai Pulau Es, bahkan sudah mendengar pula akan Keluarga Pulau Es yang terdiri dari orang-orang yang sakti. Akan tetapi dia tidak mempedulikannya lagi, melainkan menyuruh tukang perahu agar cepat mengembangkan layar dan kembali ke pantai.

Baru setelah perahu meluncur dengan lajunya ke pantai dan laut tidak bergelombang lagi, Pangeran Tao Seng bertanya lebih lanjut tentang pulau itu kepada tukang perahu, didengarkan pula oleh Silani dan Kalucin.

“Kalau melihat bentuknya, tidak salah lagi. Pulau yang baru muncul itu agaknya Pulau Es yang dulu dikabarkan lenyap ditelan air. Di daerah ini terdapat tiga pulau yang amat ditakuti para nelayan. Pertama Pulau Neraka yang sekarang masih ada, Pulau Nelayan yang juga masih ada. Kedua pulau itu kosong akan tetapi amat gawat karena selain sukar didekati, terdapat banyak batu karang yang tajam, juga kabarnya dihuni binatang-binatang buas, dan ada kabar desas-desus mengatakan bahwa kedua pulau itu bahkan dihuni oleh makhluk-makhluk halus seperti jin dan iblis. Tadinya Pulau Es lenyap, dan sekarang muncul lagi, entah pertanda apa itu. Pulau Es juga ditakuti nelayan, karena merupakan pulau larangan. Sudahlah, tak baik membicarakan pulau-pulau itu.” Tukang perahu mengakhiri ceritanya dan perahu pun sudah tiba di pantai.

Pangeran Tao Seng, Silani dan Kalucin segera pulang kembali ke perkampungan Khitan yang bercampur pula dengan bangsa Mongol. Setelah memenuhi permintaan isterinya untuk bertamasya ke laut, akhirnya Pangeran Tao Seng meninggalkan isterinya, diantar sampai ke luar perkampungan oleh Silani sambil menangis.

Setelah pangeran yang menunggang kuda itu lenyap dari pandangannya dan derap kaki kuda sudah tidak terdengar lagi, barulah Silani pulang sambil menangis dan mendekap sebatang pedang bengkok yang berbalut emas. Pedang bengkok ini adalah pemberian suaminya, sebatang pedang kesukaan Tao Seng yang mendapatkannya dari barang rampasan bangsa Kazak pada waktu pasukan kerajaan menundukkan suku Kazak yang membuat kerusuhan di Barat Laut.

Malam itu, suaminya menyerahkan pedang bengkok bersarung emas dihias permata itu sambil berkata kepadanya.

“Isteriku, pedang ini kutinggalkan bukan hanya sebagai kenang-kenangan, melainkan juga sebagai tanda bahwa yang membawa pedang ini adalah keluargaku. Kelak, kalau anak kita lahir pria, aku minta agar engkau beri nama Keng Han, Tao Keng Han. Akan tetapi kalau terlahir wanita, boleh engkau pilihkan nama yang baik untuknya. Dan kalau engkau atau anak kita datang ke kota raja memperlihatkan pedang ini, pasti orang akan membawa pembawa pedang ini datang kepadaku.”

Demikianlah pesan suaminya, maka Silani tidak pernah memisahkan pedang itu dari sisinya. Pedang itu baginya seolah menjadi pengganti diri suaminya. Dengan adanya pedang itu, hatinya agak terhibur, seolah-olah pedang itu merupakan kunci pintu yang akan membuka perpisahan antara ia dan suaminya, yang akan mempertemukan ia dan suaminya…..

**********

Kembalinya Pangeran Tao Seng disambut dengan sangat gembira oleh keluarga istana. Pangeran itu sudah merantau selama setahun, maka ketika dia kembali dalam keadaan sehat, bahkan nampak lebih dewasa dalam penampilan, keluarganya, terutama ibunya tentu saja menjadi gembira dan bangga sekali.

Dan Pangeran Tao Seng sendiri merasa semakin yakin bahwa dia tentu akan diangkat menjadi putera mahkota oleh Ayahnya, Kaisar Cia Cing. Meski dia seorang putera selir, akan tetapi di antara putera kaisar dialah yang merupakan putera sulung, sedangkan yang lebih tua darinya semua adalah puteri. Dan dia pun mendengar dari ibunya bahwa ayahnya memang sudah mengambil keputusan untuk mengangkat seorang putera mahkota dalam waktu dekat ini.

Kerajaan Ceng-tiauw kini mengalami penurunan. Banyak pemberontak yang tadinya sudah ditundukkan oleh Kaisar Kian Liong, sekarang mulai bangkit lagi. Kerajaan Ceng tidaklah begitu jaya seperti di jaman kakeknya, yaitu Kaisar Kang Hsi (1663-1722).

Walau pun selama pemerintahannya, Kaisar Kiang Liong (1736-1796) selalu sibuk untuk memadamkan pemberontakan, namun dia sudah berhasil dengan baik dan kekuasaan kerajaan Ceng bersinar sampai jauh ke barat dan utara. Tetapi semenjak pemerintahan dipegang oleh Kaisar Cia Cing, pemberontakan banyak bermunculan, terutama sekali pemberontakan di dalam negeri.

Para pemberontak yang paling gigih antara lain ialah Pek-lian-pai (Partai Teratai Putih), Pat-kwa-pai (Partai Segi Delapan) dan masih banyak lagi. Thian-li-pang yang terkenal pula sebagai partai atau perkumpulan para pendekar perkasa mulai bergerak karena para pendekar ini pun merasa tidak senang dengan pemerintahan Ceng yang mereka anggap sebagai pemerintahan bangsa Mancu yang menjajah negeri dan bangsanya.

Dalam keadaan seperti itu, Kaisar Cia Cing lalu mulai memilih seorang putera mahkota dengan maksud agar jangan terjadi perebutan di dalam istana antara keluarga sendiri. Dan dia memilih pangeran urutan ke tiga, yaitu putera permaisuri. Pangeran Tao Kuang, sebagai putera mahkota.

Begitu hal ini diumumkan, para pangeran lain segera menerimanya, kecuali dua orang pangeran. Yang pertama adalah Pangeran Tao Seng sebagai putera pertama dan yang kedua adalah Pangeran Tao San sebagai putera ke dua. Kedua pangeran ini kemudian mengadakan pertemuan dan mereka memaki-maki ayah mereka sendiri yang dikatakan tidak adil dan pilih kasih.

“Si Tao Kuang itu bisa apakah? Mentang-mentang dia putera permaisuri, dia diangkat menjadi putera mahkota. Akan tetapi ibunya juga seorang wanita biasa, dari rakyat jelata, hanya putera seorang panglima saja. Dia lebih muda dariku, sepatutnya sebagai putera sulung akulah yang diangkat menjadi putera mahkota!” Tao Seng memaki-maki dengan marah ketika dia bersama Tao San mengadakan pertemuan di kamar rahasia.

“Benar tidak adil! Dia melangkahi engkau dan juga aku, Toako!” kata Tao San dengan nada suara penasaran. “Bagaimana pun kita harus bertindak untuk menentang ketidak adilan ini!”

“San-te, apa yang mampu kita lakukan untuk menentang keputusan ayahanda Kaisar? Menentang kehendak beliau sama saja dengan pemberontakan yang akan membuat kita celaka. Satu-satunya jalan hanyalah menyingkirkan Tao Kuang dari muka bumi, akan tetapi hal ini jangan sampai ada yang menduga bahwa kita yang melakukannya.”

“Pikiran yang bagus!” kata Tao San girang. “Apa rencanamu, Toako?”

Pada saat itu muncul seorang thaikam (lelaki kebiri) utusan kaisar yang mempersilakan mereka berdua menghadap kaisar yang memanggil semua puteranya. Ketika dua orang pangeran itu mendengar perintah ini, tentu saja mereka terkejut sekali.

Mereka baru saja membicarakan tentang rencana mereka menyingkirkan Pangeran Tao Kuang dan tahu-tahu kaisar memanggil mereka. Akan tetapi dengan wajah tenang saja mereka mengikuti thaikam itu pergi ke dalam dan menghadap kaisar. Ternyata para pangeran lain juga sudah berkumpul di situ, termasuk Pangeran Tao Kuang.

“Aku mengumpulkan kalian semua untuk memberi penjelasan mengenai diangkatnya Pangeran Tao Kuang menjadi putera mahkota,” Kaisar mulai berkata.

Semua pangeran mendengarkan sambil menundukkan muka dengan sikap hormat dan taat. Mereka itu seolah mengenakan sebuah topeng menutupi muka masing-masing, topeng ketaatan yang menyembunyikan apa sebenarnya yang menjadi isi hati mereka. Terutama sekali Tao Seng dan Tao San yang saling lirik.

“Aku mengangkat Tao Kuang dengan perhitungan masak. Kulihat para pangeran lain tidak memiliki kebijaksanaan dan bakat untuk kelak menjadi kaisar. Pangeran Tao Seng biar pun sulung, akan tetapi dia suka bertualang dan mengejar kesenangan, maka tidak dapat diharapkan dia menjadi kaisar yang baik. Juga Pangeran Tao San agak pemalas, padahal mengurus negara dibutuhkan orang yang amat rajin. Sebaliknya Pangeran Tao Kuang rajin dan sejak kecil dia suka memperhatikan urusan pemerintahan, maka dialah yang cocok untuk kelak menggantikan aku menjadi kaisar. Nah, kalian semua sudah mengerti?”

Seperti sekelompok burung para, pangeran itu mengangguk dan menyatakan mengerti.

“Dan kuharap tidak akan ada yang merasa iri hati. Kelak kalian masing-masing akan mendapatkan kedudukan yang sesuai dengan kemampuan kalian.”

Pertemuan itu dibubarkan. Tao Seng bersama Tao San dengan sengaja mendampingi Pangeran Tao Kuang ketika keluar dari ruangan itu.

“Ehh, Kuang-te, kami harap setelah menjadi putera mahkota engkau tidak mengubah sikapmu terhadap kami,” kata Tao Seng sambil tersenyum.

“Benar! Jangan-jangan Kuang-te akan memandang remeh kepada kami!” kata Tao San.

“Aihh, mengapa kalian dapat berkata demikian?” kata Pangeran Tao Kuang. “Kita tetap bersaudara dan selamanya aku tidak akan mengubah sikap. Bagiku sama saja menjadi putera mahkota atau tidak. Semua ini hanya mentaati kehendak ayahanda Kaisar.”

“Bagus, kami pun hanya bercanda. Ehh, Kuang-te, kami bermaksud untuk pergi berburu ke hutan buatan di luar kota raja. Engkau tentu suka ikut dengan kami seperti biasa, bukan?”

“Tentu saja!” kata Pangeran Tao Kuang gembira. Dia memang suka sekali pergi berburu binatang-binatang di hutan buatan di mana memang dilepas banyak binatang buruan. “Kapan kita berangkat?”

“Aku belum membuat persiapan. Nanti tiga hari lagi kita berangkat. Menurut hitungan, tiga hari lagi cuacanya baik, tidak turun hujan yang akan mengganggu kita,” kata Tao Seng.

Mereka berpisah dan Tao Seng mengajak Tao San berbicara di kamar rahasia. Mereka mengatur siasat untuk menyingkirkan Pangeran Tao Kuang atau membunuhnya dalam perburuan itu. Akan diusahakan supaya pembunuhan itu terjadi secara wajar, dilakukan oleh para pemberontak yang sengaja menyerang mereka di dalam hutan itu. Mereka akan mempersiapkan satu regu pasukan, tidak terlalu banyak, cukup dua belas orang saja dari pasukan pengawal kepercayaan mereka.
cerita silat karya kho ping hoo

Kekuasaan didambakan setiap orang, baik di dalam rumah tangga, di antara saudara, di antara kawan, di dalam masyarakat, sampai dalam ketatanegaraan. Setiap orang ingin berkuasa karena tahu benar bahwa di dalam kekuasaan terletak segala keinginan yang mungkin terpenuhi. Maka tidaklah mengherankan jika dunia ini terus bergolak. Manusia terus menerus menciptakan pertentangan, mulai dari permusuhan hingga perang, hanya untuk merebutkan kemenangan yang berarti kekuasaan!

Saling jegal di antara pejabat, pemberontakan-pemberontakan terhadap yang berkuasa, semula dengan dalih mengakhiri kekuasaan yang semena-mena, tetapi berakhir dengan timbulnya kekuasaan baru yang seperti biasanya selalu ingin memaksakan kehendak. Siapa menang dialah berkuasa, dan siapa berkuasa dia selalu benar dan kehendaknya harus ditaati! Ini sudah menjadi watak manusia, maka herankah kita bila melihat perang lalu terjadi di mana-mana? Perang antar bangsa, antar golongan, antar kelompok, antar negara
.

Tiga hari kemudian, saat masih pagi-pagi benar, berangkatlah tiga orang pangeran yang hendak pergi berburu itu. Selosin pasukan pengawal yang berpakaian indah mengawal mereka. Mereka semua menunggang kuda yang tinggi besar dan taat, dan di sepanjang perjalanan menuju keluar pintu gerbang mereka menjadi tontonan yang menarik. Semua orang merasa kagum kepada tiga orang pangeran ini.

Mereka bertiga memang amat menarik untuk ditonton. Bukan saja karena kuda mereka merupakan kuda pilihan, atau pakaian mereka yang sangat mentereng, akan tetapi juga karena mereka adalah tiga orang pangeran muda yang berwajah tampan sekali.

Juga mereka membawa perlengkapan yang tidak biasa mereka bawa. Sebatang busur besar dikalungkan di pundak, dan di punggung mereka terdapat belasan batang anak panah dengan bulu beraneka warna. Di pinggang mereka tergantung sebatang pedang panjang dan terselip pula beberapa batang belati pendek. Pokoknya mereka membawa perlengkapan yang serba cukup. Perlengkapan lain dibawa oleh para pengawal.

Pangeran Tao Seng yang kini berusia dua puluh enam tahun itu jelas merupakan yang paling tampan dan gagah di antara mereka bertiga. Kuncirnya yang hitam lebat itu dikalungkan di lehernya, ujungnya terikat sutera kuning dan rambut di atas kepala disisir rapi dan halus licin.

Dahinya lebar dan alis matanya tebal. Kedua matanya yang seperti mata burung Hong itu bersinar-sinar. Hidungnya mancung dan bibirnya terus tersenyum-senyum mengejek. Dandanannya juga mewah sekali. Apa lagi duduk di atas kuda yang tinggi besar itu, dia nampak gagah bukan main.

Pangeran Tao San, putera kedua dari Kaisar Cia Cing, juga nampak tampan dan gagah. Pangeran ini agak gemuk, dengan wajah yang bulat dan berkilauan. Bentuk tubuhnya agak pendek sehingga dia kelihatan semakin gemuk. Hidungnya tidak begitu mancung dan matanya sipit sekali. Akan tetapi karena pakaiannya juga mentereng, dia kelihatan tampan juga. Pangeran ini, seperti yang dinilai oleh ayahnya sendiri, memang pemalas dan suka pelisir, akan tetapi dia sangat berambisi dan ingin berkuasa.

Orang ke tiga adalah Pangeran Tao Kuang. Usianya dua puluh tiga tahun, setahun lebih muda dari Pangeran Tao San. Dibandingkan dua orang kakaknya, dandanan Pangeran Tao Kuang tidaklah demikian mewah, biar pun tentu saja bagi orang awam pakaiannya itu sudah sangat indah. Wajahnya tampan dan anggun. Sepasang matanya cerdik dan biar pun dia lebih sederhana, namun pakaiannya rapi dan kuncirnya juga dijalin dengan rapi dan bagus.

Di sepanjang jalan kota raja, mereka bertiga menjadi perhatian semua orang, terutama para wanita muda yang terpesona melihat ketiga orang pangeran ini menunggang kuda sambil melempar pandang dan tersenyum ke kanan kiri untuk membalas penghormatan orang-orang yang membungkuk dengan hormat.

Setelah keluar dari pintu gerbang sebelah utara, rombongan itu baru mempercepat lari kuda mereka. Tiga orang pangeran itu berada di depan, diiringkan oleh dua belas orang pasukan pengawal yang bersenjata lengkap.

Akhirnya mereka tiba di hutan buatan itu. Mereka segera memasuki hutan untuk terus masuk ke bagian tengah hutan yang lebat.

“Kenapa terus masuk? Lihat itu, di sana ada serombongan kijang, Toako!” berkata Tao Kuang dengan heran. “Bukankah di situ juga terdapat banyak binatang buruan? Kenapa harus masuk ke dalam hutan yang lebat?”

Tiba-tiba sikap kedua orang pangeran itu berubah. Tao Seng mencabut pedangnya dan berkata, “Bocah sombong, engkaulah yang menjadi buruan kami!”

Pangeran Tao San juga mencabut pedangnya. “Bocah tak tahu diri, engkau akan mati di tempat ini!”

Tentu saja Pangeran Tao Kuang terbelalak memandang kedua orang kakaknya itu. “Eh, Toako, San-ko, harap jangan main-main!”

“Siapa main-main? Kami memang hendak membunuhmu!”

Toa Kuang baru tahu bahwa mereka itu bersungguh-sungguh. Ia menoleh kepada para pengawal untuk minta perlindungan, akan tetapi para pengawal itu hanya memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek.

Segera dia menyadari bahwa memang semua sudah diatur oleh kedua orang kakaknya untuk membunuhnya dan para pengawal itu tentulah orang-orang kepercayaan mereka. Begitu mendapat kenyataan ini, dia segera memutar dan membedal kudanya melompat ke depan untuk melarikan diri!

“Ehh, dia lari! Kejar!” Teriak Tao Seng.

“Kejar, jangan sampai lolos!” teriak pula Tao San.

Dua pangeran itu, juga selosin orang pengawal, segera membedal kuda masing-masing dan cepat melakukan pengejaran. Pangeran Tao Kuang yang maklum bahwa nyawanya sedang terancam maut, lalu membalapkan kudanya tanpa mempedulikan arah sehingga kudanya menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar. Para pengejarnya semakin dekat dengannya dan dalam kegugupannya, ketika kudanya berlari menyusup semak berduri, dia pun tersangkut dan tak dapat dicegah lagi dia pun terlempar jatuh dari atas kudanya!

Pangeran Tao Kuang yang jatuh itu merangkak berdiri dan mencabut pedangnya untuk membela diri. Akan tetapi Pangeran Tao Seng yang berkepandaian tinggi sudah tiba di situ, melompat turun dari atas kudanya sambil tertawa mengejek, kemudian mengayun pedangnya ke arah leher adiknya.

“Tranggg...!”

Pangeran Tao Kuang menangkis dan pedangnya terpental dan terlepas dari tangannya. Bahkan saking kerasnya pertemuan kedua pedang tadi dia hampir jatuh dan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini langsung dipergunakan oleh Pangeran Tao San untuk mengayun pedang membacok.

“Trakkk!”

Tiba-tiba pedang yang menuju ke leher Pangeran Tao Kuang itu terhenti di tengah jalan. Ternyata pedang itu telah tertangkis sebatang kayu ranting yang dipegang oleh seorang gadis yang entah dari mana tahu-tahu muncul di situ. Di samping gadis itu berdiri pula seorang kakek berusia enam puluh tahun yang memegang sebatang tongkat bambu.

“Ehhh, apa kesalahan Kongcu ini maka dia akan dibunuh?” tanya kakek itu, sementara Pangeran Tao San terhuyung ke belakang oleh tangkisan kayu ranting itu yang berada di tangan gadis yang bertubuh ramping dan berwajah ayu.

Tao Seng membentak. “Orang tua, jangan kau mencampuri urusan kami. Kami adalah pangeran-pangeran dari istana! Pergilah atau kalian berdua akan kami bunuh pula!”

“Hemmm, mana ada pangeran bersikap seperti ini?” Gadis itu membentak. “Sikap kalian bukan seperti pangeran melainkan seperti orang-orang jahat!”

Tao Seng menjadi marah bukan main. “Bunuh mereka bertiga!” teriaknya kepada anak buahnya dan dia sendiri sudah menyerang kakek yang memegang tongkat itu.

“Singgggg...!”

Pedang di tangan Tao Seng menyambar dahsyat dan menusuk ke arah dada kakek itu. Akan tetapi dengan tenang sekali kakek itu menggerakkan tongkatnya menangkis.

“Tranggggg...!”

Pedang itu hampir saja terpental dari tangan Tao Seng saat ditangkis tongkat itu. Tentu saja Pangeran Tao Seng terkejut bukan main. Dia memperkuat serangannya, namun serangannya dapat dielakkan atau ditangkis kakek yang ternyata lihai bukan main itu.

Melihat ini, Pangeran Tao San lalu membantu kakaknya menyerang kakek bertongkat secara membabi buta. Kakek itu dikeroyok dua, akan tetapi dia masih tenang saja dan semua serangan kedua orang pangeran itu dapat selalu dihindarkan.

Sementara itu, gadis berpakaian serba hijau itu kini melindungi Pangeran Tao Kuang dari serbuan para pengawal. Pangeran itu berlindung di balik sebatang pohon besar dan gadis itu berdiri di depan pohon, menghalau semua penyerang.

Tidak seperti kakek itu, gadis itu bergerak cepat dan juga ganas. Setiap pengawal yang berani mendekat tentu ditotoknya dengan tongkatnya. Semua serangan pedang dapat dihalau dengan putaran ranting itu dan hebatnya, tiap kali rantingnya bergerak menotok, seorang pengawal tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali!

Tao Kuang juga melihat betapa hebatnya gadis itu menghajar para pengawal. Ketika dia melihat dua orang kakaknya mengeroyok kakek yang memegang tongkat, dia berteriak.

“Locianpwe, harap jangan membunuh mereka berdua! Mereka adalah kakak-kakakku sendiri!”

Tentu saja kakek itu menjadi terkejut dan heran bukan main. Mengapa ada dua orang kakak hendak membunuh adiknya? Akan tetapi timbul rasa kagum dan suka di dalam hatinya terhadap Tao Kuang. Sudah akan dibunuh, tapi kini malah minta agar dia tidak membunuh dua orang kakak pemuda itu!

Dia mempercepat gerakan tongkatnya dan dua orang pangeran yang dikeroyoknya itu pun roboh tertotok. Pedang mereka terlepas dan terpental dan berdua juga tidak dapat bergerak kembali!

Setelah merobohkan dua orang lawannya, kakek itu lalu membantu gadis berbaju hijau yang masih dikeroyok, dan dalam waktu singkat saja mereka berdua telah merobohkan selosin pengawal itu. Mereka semua roboh tertotok dan tak mampu lagi menggerakkan tubuh. Ternyata ayah dan anak ini adalah ahli-ahli totok yang amat lihai, menggunakan tongkat mereka.

Setelah mereka semua dibuat tidak berdaya, Tao Kuang cepat memberi hormat sambil mengangkat kedua tangan di depan dada kepada mereka berdua dan berkata, “Terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Anda berdua). Kalau tidak ada Ji-wi, tentu sekarang aku sudah menjadi mayat.”

“Ahh, Kongcu. Tak perlu berterima kasih. Sudah menjadi kewajiban kami ayah dan anak untuk menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga. Akan tetapi mengapa Kongcu hendak dibunuh oleh mereka ini? Siapakah Kongcu?” Ia bertanya dengan ragu karena sekarang ia melihat bahwa pemuda itu mengenakan pakaian yang amat mewah, tidak seperti seorang kongcu (tuan muda) biasa, melainkan bagaikan seorang pemuda bangsawan tinggi.

“Aku adalah Pangeran Tao Kuang, putera mahkota, Locianpwe.”

Mendengar ini, kakek itu dan puterinya segera menjatuhkan diri berlutut.

“Ahhh, mohon maaf bahwa hamba berdua tidak mengetahui siapa Paduka sehingga tadi bersikap kurang hormat.”

“Ah, Locianpwe, harap jangan begitu. Kalian sudah menolongku, bangkitlah dan jangan melakukan banyak peradatan di tempat seperti ini.”

“Dan kedua orang muda itu...?” si kakek bertanya sambil memandang kepada Tao Seng dan Tao San.

“Mereka adalah kedua orang kakakku dan selosin orang ini adalah anak buah mereka. Sekarang harap Locianpwe dan Nona suka membantuku, membawa mereka ke kota raja. Biarlah ayahanda Kaisar sendiri yang mengadili mereka.”

Tao Seng dan Tao San menjadi ketakutan. Tao Seng segera berkata dengan suara memohon tanpa dapat menggerakkan kaki tangannya.

“Adikku, Kuang-te, kami hanya main-main. Harap maafkan kami dan kami berjanji tidak akan melakukan lagi. Bebaskanlah kami.”

“Hemmm, aku tahu kenapa engkau dan San-ko hendak membunuhku, Seng-ko. Kalian iri hati karena aku diangkat sebagai putera mahkota maka kalian hendak membunuhku. Aku tidak dapat membebaskanmu, biarlah ayahanda Kaisar yang memutuskan.”

Karena kedua orang pangeran ini masih terus membujuk dan merayu, gadis itu lantas menggerakkan rantingnya ke arah leher mereka sehingga kedua orang pangeran itu tak mampu mengeluarkan suara lagi. Kemudian, dengan dibantu oleh anaknya, kakek itu lalu mengikat semua pengawal dan dua orang pangeran di atas kuda mereka dengan tali yang memang telah disiapkan oleh para pengawal untuk mengikat binatang buruan. Kini semua orang terikat sudah di atas kuda masing-masing.

Setelah pekerjaan itu selesai, Pangeran Tao Kuang merasa girang sekali.

“Locianpwe, siapakah nama Locianpwe dan siapa Nona ini? Aku harus mengenal para penolongku.”

“Hamba bernama Liang Cun, dan ini adalah puteri hamba bernama Liang Siok Cu. Kami tinggal di satu dusun yang berada di kaki Pegunungan Thian-san dan sekarang sedang dalam perjalanan merantau. Kebetulan kami berada di sini dan melihat peristiwa tadi.”

“Aku bersyukur sekali, Paman Liang Cun. Sebaiknya kusebut paman saja padamu, dan engkau Nona Liang, sungguh engkau seorang gadis yang hebat, memiliki ilmu silat yang demikian tinggi.”

“Aihh, Paduka terlalu memuji, Pangeran,” kata Siok Cu tersipu.

“Sekarang harap Paman dan Nona suka mengawalku membawa semua tawanan ini ke istana.”

“Baik, Pangeran. Kami siap melakukannya.”

Demikianlah, dua belas orang tawanan yang terikat di atas kuda itu lalu digiring keluar dari hutan, diikuti oleh Pangeran Tao Kuang yang menunggang kuda dan diikuti pula oleh ayah dan anak itu yang berjalan kaki.

Tentu saja mereka menjadi tontonan orang. Akan tetapi berbeda dengan ketika mereka berangkat tadi, saat menjadi tontonan yang mengagumkan, kini menjadi tontonan yang menggegerkan dan membingungkan.

Orang-orang bertanya-tanya, mengapa kedua orang pangeran dan dua belas pengawal itu diikat di atas kuda, akan tetapi tidak ada seorang pun dapat menjawabnya. Dan tak seorang pun berani bertanya kepada Pangeran Tao Kuang atau kepada Liang Cun dan puterinya yang mengawal di belakang para tawanan sambil menggiring rombongan kuda itu.

Para pengawal istana juga gempar melihat Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San diikat di atas kuda. Akan tetapi ketika mereka menghampiri dan bertanya-tanya, mereka dibentak oleh Pangeran Tao Kuang.

“Cepat laporkan kepada ayahanda Kaisar bahwa aku mohon menghadap karena ada urusan yang penting sekali!”

Para pengawal dalam dan para thaikam juga menjadi gempar. Segera Kaisar Cia Cing mendengar akan permohonan putera mahkota. Dia segera menyatakan akan menerima puteranya menghadap. Saat melihat Pangeran Tao Kuang ditemani seorang kakek dan seorang gadis menggiring Tao Seng dan Tao San berikut dua belas orang pengawal itu menghadap, tentu saja kaisar menjadi heran sekali.

“Tao Kuang, apa artinya semua ini?!” seru kaisar sambil mengerutkan alisnya.

Dengan tenang dan panjang lebar, Pangeran Tao Kuang lalu bercerita tentang semua peristiwa yang terjadi, betapa dia hampir saja dibunuh oleh Tao Seng dan Tao San bersama dua belas orang pengawal mereka, dan betapa dia diselamatkan oleh Liang Cun dan puterinya, Liang Siok Cu.

Mendengar laporan ini wajah Kaisar Cia Cing menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Hampir dia tidak dapat mempercayai cerita putera mahkota itu dan dia menghardik dua belas orang pengawal itu.

“Benarkah kalian para pengawal ini hendak membunuh putera mahkota Pangeran Tao Kuang? Kenapa kalian melakukan hal itu?”

Dengan suara serempak dan berlutut ketakutan dua belas orang itu menjawab, “Ampun beribu ampun, Yang Mulia. Hamba semua hanyalah menjalankan perintah dari kedua pangeran...!”

Kini hati kaisar itu tidak ragu lagi bahwa dua orang puteranya memang mempunyai maksud jahat terhadap adik mereka sendiri.

“Tangkap kedua belas orang pengawal ini dan penggal kepala mereka. Tangkap pula keluarga mereka dan jebloskan ke dalam penjara!” perintahnya dan para pengawalnya segera turun tangan melaksanakan perintah, menggusur kedua belas orang pengawal para pangeran itu keluar dari persidangan.

Kaisar Cia Cing memandang kepada dua orang puteranya dan membentak, “Nah, apa yang hendak kalian katakan sekarang? Kalian telah begitu tega untuk membunuh adik sendiri. Tentu kalian lakukan itu karena iri hati, karena dia kami angkat menjadi putera mahkota, bukan?”

“Ampun beribu ampun, Paduka Ayahanda. Hamba berdua merasa bersalah dan hanya dapat mengharapkan pengampunan,” kata mereka berdua sambil membentur-benturkan dahi ke lantai. Bahkan Pangeran Tao Seng menangis dengan sedihnya.

“Hemmm, bagaimana mungkin kami dapat mengampuni anak-anak yang murtad dan jahat macam kalian?”

Pada saat itu, Pangeran Tao Kuang yang sejak tadi menyaksikan semua itu, berlutut pula. “Mohon Paduka mengampuni mereka, Ayah. Mereka melakukan karena terdorong nafsu iri hati. Mereka tentu akan bertobat dan tidak akan mengulang perbuatan mereka lagi.”

Melihat sikap ini, Liang Cun dan puterinya merasa kagum sekali. Benar-benar seorang pangeran yang berbudi mulia, pikir mereka.

“Apa? Engkau nyaris dibunuh dan kini malah memintakan ampun untuk mereka?” tanya kaisar dengan heran dan penasaran.

“Ayah, bagaimana pun juga, mereka adalah kakak-kakak hamba sendiri. Bagaimana hamba tega melihat mereka dihukum mati?” kata Pangeran Tao Kuang.

“Nah, dengarkah kalian berdua? Pangeran Tao Kuang malah memintakan ampun untuk kalian! Baiklah, melihat permohonan Tao Kuang, kalian tidak dihukum mati melainkan dihukum buang ke Sin-kiang selama dua puluh tahun!”

Dua orang pangeran itu menangis tersedu-sedu, akan tetapi kaisar tidak dapat terbujuk lagi untuk mengubah keputusan itu. Segera petugas diteriaki dan mereka datang untuk menggiring dua orang pangeran itu keluar dari ruangan.

Demikianlah peristiwa antar keluarga kaisar itu selesai dengan terhukumnya dua orang pangeran itu. Seperti biasa, kalau terjadi hal-hal buruk dalam keluarga kaisar, maka hal itu dilewatkan begitu saja oleh pencatat sejarah karena kaisar tidak menghendaki ada noda hitam dalam sejarah keluarganya.

Sementara itu, Liang Cun diangkat menjadi guru silat oleh Pangeran Tao Kuang yang kini menyadari betapa pentingnya ilmu silat tinggi bagi dirinya, untuk melindungi dirinya sendiri kalau-kalau terjadi mala petaka seperti yang pernah dialaminya itu.

Liang Cun sebenarnya bukan seorang kakek biasa yang sekedar pandai ilmu silat saja. Dia adalah seorang datuk kenamaan dengan julukan Sin-tung Koai-jin (Orang Aneh Bertongkat Sakti) dari kaki Pegunungan Thai-san, dan Liang Siok Cu sudah mewarisi ilmu tongkatnya yang hebat. Ayah dan anak ini selain memiliki ilmu tongkat, juga amat terkenal dengan ilmu mereka dalam menotok jalan darah lawan.

Setelah bergaul beberapa bulan lamanya, Pangeran Tao Kuang tidak dapat menyimpan lagi perasaan cintanya kepada Siok Cu yang tumbuh semenjak ia ditolong gadis itu dari tangan para calon pembunuhnya. Dan ternyata perasaan cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Ketika Liang Cun mendengar tentang pinangan itu, dia pun merelakan puterinya menjadi selir Pangeran Tao Kuang.

Demikianlah, Liang Siok Cu lalu menjadi selir terkasih dari pangeran mahkota itu. Tentu saja kini ilmu silat Pangeran Tao Kuang menjadi semakin maju di bawah bimbingan selirnya sendiri…..

**********

Waktu berjalan dengan sangat cepatnya. Kalau tidak diperhatikan, sang waktu melesat seperti sebatang anak panah lepas dari busurnya, walau pun kalau diperhatikan sang waktu dapat merayap seperti seekor siput.

Kita kembali kepada Silani, puteri kepala suku Khitan yang ditinggalkan suaminya, Tao Seng. Setelah ditinggalkan, Silani melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan montok. Sesuai dengan apa yang dipesankan Pangeran Tao Seng, anak itu diberi nama Tao Keng Han. Anak itu dirawat dengan baik-baik oleh Silani.

Akan tetapi, suaminya yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang menjemputnya. Tentu saja hal ini membuat Silani berduka sekali. Dia merasa disia-siakan.

Juga Khalaban, kepala suku Khitan itu marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Tao Seng adalah seorang pangeran dari kerajaan besar. Jika Tao Seng tidak datang, apa yang dapat dia lakukan? Dengan prihatin Khalaban lalu mendidik cucunya.

Dalam hal ini Kalucin berjasa besar. Pemuda Khitan yang mencinta Silani memenuhi janjinya kepada Tao Seng. Dia menjaga dan melindungi Silani dan anaknya, bahkan ketika Keng Han mulai besar, dia sendiri yang membimbing dan mengajarkan ilmu silat dan gulat kepada anak itu.

Khalaban yang tak ingin kelak dicela oleh mantunya, mengingat bahwa cucunya adalah keturunan pangeran, kemudian memanggil seorang guru sastra dan mengajarkan ilmu kesusastraan kepada Keng Han agar kelak kalau anak itu dibawa ayahnya ke kota raja tidak akan memalukan ayahnya.

Kebetulan sekali, pada waktu Keng Han berusia sepuluh tahun, di daerah itu muncullah seorang kakek yang pandai dan sakti. Dia adalah Gosang Lama, seorang Lama Jubah Kuning yang diusir dari Tibet dan kemudian merantau sampai ke daerah itu.

Setelah mengetahui bahwa pendeta Lama ini adalah seorang yang sakti, Khalaban lalu menyambutnya dengan penuh kehormatan, bahkan kemudian mengangkatnya menjadi guru bagi Keng Han. Gosang Lama tentu saja menjadi girang sekali. Ia adalah seorang buruan yang membutuhkan tempat persembunyian yang aman dan menyenangkan, maka di perkampungan Khitan itulah dia mendapatkan tempat yang baik, di mana dia dihormati dan segala keperluannya dicukupi.

Ketika dia diangkat menjadi guru bagi cucu kepala suku Khitan itu, dia menerima hanya untuk mendapatkan kedudukan yang baik saja. Dia hanya sedikit memperhatikan Keng Han yang dianggapnya seorang bocah Khitan biasa yang bodoh.

Akan tetapi setelah dia mulai mengajarkan silat dan sastra kepada anak itu, dia menjadi terkagum-kagum. Belum pernah dia melihat anak yang memiliki kecerdasan dan bakat demikian hebat. Terutama sekali dalam ilmu silat, ternyata Keng Han bertulang baik dan berbakat besar. Tentu saja Gosan Lama menjadi bersemangat sekali mengajarkan ilmu-ilmunya kepada murid ini.

Sejak berusia sepuluh tahun Keng Han menerima gemblengan Gosang Lama. Selama lima tahun dia belajar sastra dan silat sehingga dalam usia lima belas tahun, dia telah menjadi seorang pemuda yang pandai silat dan sastra. Juga dari Kalucin yang dianggap sebagai pamannya sendiri, dia dilatih ilmu gulat sehingga dalam usia lima belas tahun tidak ada seorang pun pemuda di Khitan yang mampu menandinginya, baik dalam ilmu bela diri mau pun ilmu gulat.

Melihat puteranya telah mulai dewasa, pada suatu hari Silani memanggil puteranya itu ke dalam kamarnya.

“Keng Han, sejak engkau masih kecil engkau selalu menanyakan di mana ayahmu dan aku selalu mengelak untuk memberitahu!”

“Ya, mengapa, Ibu? Mengapa Ibu seolah-olah menyembunyikan keadaan Ayah dariku? Siapakah Ayah? Di mana dia? Apakah dia masih hidup?”

“Sekarang engkau sudah mulai dewasa, kukira engkau sudah boleh mengetahui semua, anakku. Ketahuilah, bahwa ayahmu masih hidup dan berada jauh di selatan, di kota raja kerajaan Ceng-tiauw. Ketika dahulu aku menikah dengan ayahmu, ayahmu itu seorang pangeran, anakku. Seorang pangeran mahkota kerajaan Ceng!”

“Ahhh...! Aku... putera seorang pangeran mahkota?” tanya Keng Han dengan kaget.

Pamannya Kalucin, kalau dia tanya tentang ayahnya, juga tidak mau menjelaskan dan menyuruh dia bertanya kepada ibunya. Demikian pula kakeknya. Hanya mereka pernah mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang bangsawan. Siapa kira, ayahnya seorang pangeran! Dan pangeran mahkota pula, calon kaisar!

“Benar, anakku. Engkau memang keturunan Kaisar kerajaan Ceng! Sudah selama lima belas tahun ayahmu meninggalkan kita, dan mungkin sekarang dia telah menjadi kaisar! Dulu ayahmu bernama Tao Seng dan benda inilah yang ditinggalkannya untuk kita. Ini merupakan tanda keluarganya, anakku. Kalau engkau membawa benda ini dan pergi ke kota raja Ceng di selatan, engkau pasti akan diterimanya.”

Silani menyerahkan pedang bengkok pemberian suaminya itu dan Keng Han menerima pedang itu dengan tangan gemetar. Sebatang pedang bengkok yang indah bukan main. Gagangnya terhias emas permata, demikian pula sarungnya. Saat ia mencabut pedang itu, nampak sinar berkilat, tanda bahwa pedang itu tajam bukan main.

Di dalam hati pemuda itu timbul gejolak perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa girang dan bangga bahwa dia adalah putera pangeran yang mungkin kini telah menjadi kaisar! Menjadi putera kaisar, hati siapa tidak akan merasa bangga?

Akan tetapi, di samping perasaan girang dan bangga ini, terdapat perasaan penasaran dan marah sekali. Kenapa ayahnya pergi meninggalkan ibunya sampai lima belas tahun padahal menurut ibunya, ayahnya itu berjanji akan menjemput ibunya dan memboyong mereka ke istana?

Ayahnya telah menyia-nyiakan ibunya! Dan hal ini membuatnya penasaran dan marah, menimbulkan dendam. Dia akan mencari ayahnya dan kalau ayahnya masih tidak mau memboyong ibunya ke istana, entah apa yang akan dilakukannya terhadap laki-laki itu!

Selagi ibu dan anak ini bercakap-cakap, mendadak Kalucin muncul dan berkata, “Keng Han, engkau dipanggil kakekmu. Ada pembicaraan penting dengan gurumu.”

Keng Han segera meninggalkan ibunya, pergi bersama Kalucin menghadap Khalaban, kakeknya yang sudah berusia enam puluh lima tahun itu. Ternyata di situ sudah hadir pula Gosang Lama yang kelihatan berwajah sedih dan bingung.

“Kakek, ada urusan apakah memanggilku? Ada apakah pula dengan Suhu?” Keng Han memandang kepada gurunya.

“Keng Han, gurumu berpamit hendak meninggalkan kita hari ini juga.”

Tentu saja Keng Han menjadi terkejut dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak. “Ehh, kenapa, Suhu? Kenapa Suhu hendak pergi secara mendadak?”

“Tidak apa-apa, Keng Han. Hanya aku menganggap sudah terlalu lama aku tinggal di sini, sudah lima tahun. Aku akan melanjutkan perjalananku merantau.”

“Akan tetapi Suhu sudah tua, kenapa tidak tinggal saja di sini selamanya? Kami sudah menganggap Suhu seperti keluarga sendiri!” bantah Keng Han yang amat menyayangi gurunya yang telah banyak mengajar ilmu kepadanya.

“Engkau benar, Keng Han. Akan tetapi aku harus melanjutkan perjalananku, waktunya berpisah telah tiba dan tidak ada apa pun yang boleh membatalkan niatku untuk pergi.”

Mendengar ucapan yang tegas itu, Keng Han tak berani membantah lagi. Terpaksa dia membantu gurunya berkemas. Gurunya membawa buntalan pakaian serta sekantung emas pemberian kakeknya untuk bekal di jalan. Biar pun Gosang Lama menolaknya, namun Khalaban memaksanya sehingga akhirnya Gosang Lama menerimanya juga.

Setelah selesai berkemas, berangkatlah Gosang Lama meninggalkan perkampungan itu diantar oleh Khalaban, Keng Han dan Kalucin hingga ke luar dari daerah perkampungan mereka. Kemudian pendeta berjubah kuning itu pergi ke arah selatan dengan cepatnya. Sedih juga hati Keng Han ditinggalkan gurunya itu.

Tiga hari kemudian, pada suatu pagi muncul tiga orang pendeta dengan pakaian yang sama dengan yang dipakai Gosang Lama, hanya bedanya ketiga orang pendeta yang usianya sekitar enam puluh tahunan ini berjubah warna merah. MeIihat ada tiga orang pendeta datang, Khalaban sendiri keluar menyambut, ditemani oleh Keng Han dan juga Kalucin yang kini menjadi pembantu utama dari Khalaban.

Khalaban membungkuk kepada tiga orang pendeta itu dan berkata ramah, “Selamat datang di perkampungan kami. Sam-wi (kalian bertiga) hendak mencari siapakah dan ada kepentingan apakah berkunjung ke tempat kami?”

Tiga orang pendeta yang kepalanya gundul itu menoleh ke kanan kiri seperti orang yang mencari-cari, kemudian seorang di antara mereka yang berjenggot panjang bertanya, “Apakah di sini terdapat seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama Gosang Lama?”

“Ahhh, Gosang Lama? Sudah tiga hari yang lalu dia pergi meninggalkan perkampungan kami ini!” kata Khalaban terus terang.

“Hemmm, sayang sekali. Agaknya dia telah mengetahui akan kedatangan kita, maka lebih dulu melarikan diri. Keparat!” kata pendeta itu dengan gemas.

Mendengar makian ini, Keng Han mengerutkan alisnya dan melangkah maju. “Mengapa kalian bertiga memaki guruku? Kalau dia berada di sini kalian mau apa?” bentaknya.

Tiga orang pendeta itu memandang kepada Keng Han dan seorang di antara mereka berkata, “Hemmm, engkau muridnya? Jika sekarang dia berada di sini, tentu kami akan menangkapnya.”

“Ditangkap? Kenapa?” Keng Han bertanya penuh penasaran.

“Dia adalah seorang pelarian dari negeri kami. Dia harus ditangkap dan dihukum.”

“Hei, orang muda! Kalau engkau muridnya, engkau tentu mengetahui ke mana dia pergi bersembunyi!” kata pendeta yang jenggotnya panjang. “Hayo beritahukan kepada kami!” Berkata demikian, pendeta itu menjulurkan tangannya menangkap pundak Keng Han.

Keng Han yang sudah marah sekali itu cepat mengelak, bahkan lalu menubruk maju sambil memukul ke arah perut pendeta itu. Pendeta itu tidak mengelak dan pukulan itu tepat mengenai perutnya.

“Bukkk...!”

Keras sekali pukulan Keng Han. Akan tetapi pendeta yang terpukul perutnya itu tidak apa-apa, sebaliknya Keng Han yang memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kiri. Tulang-tulang jari tangannya rasanya patah-patah seperti memukul baja saja. Dan sebelum dia sempat mengelak, pendeta itu sudah mendorongnya sehingga tubuh Keng Han terdorong dan roboh terjengkang.

Khalaban cepat maju memberi hormat. Orang tua ini maklum bahwa dia berhadapan dengan tiga orang pendeta yang lihai.

“Harap maafkan cucu kami ini. Biar pun dia menjadi murid Gosang Lama, akan tetapi dia tidak tahu di mana adanya Gosang Lama. Kemarin dulu dia berpamit dari kami untuk melanjutkan perjalanan ke selatan, entah ke mana dia tidak memberitahu. Harap jangan memaksa kami!”

Mendengar kata-kata kepala suku itu, dan melihat pula betapa banyaknya orang Khitan berdatangan mengepung tempat itu, tiga orang pendeta itu pun agaknya maklum bahwa kalau mereka menggunakan kekerasan tentu akan berhadapan dengan ratusan orang Khitan, maka tiga orang itu lalu mengangguk dan pergi dari situ tanpa bicara lagi.

Peristiwa itu menggores dalam-dalam di hati Keng Han. Dia sudah kehilangan gurunya, dan tiga hari kemudian dia mendapat kenyataan bahwa semua ilmu yang sudah pernah dipelajarinya dari Gosang Lama, ternyata tak banyak gunanya. Hanya melawan seorang pendeta tua saja dia tidak mampu menang dan dikalahkan dalam segebrakan saja!

Gosang Lama memang pernah mengatakan kepadanya bahwa ilmu silat di dunia ini tak ada batasnya dan banyak terdapat orang pandai di dunia ini. Kenyataan ini menghapus kebanggaan dirinya bahwa dia merupakan pemuda terkuat di perkampungannya. Dia harus mencari guru lagi yang lebih pandai. Dia harus pergi merantau mencari guru yang pandai, dan juga merantau ke selatan mencari ayahnya!

Keng Han pernah mendengar cerita dari ibunya mengenai lahirnya sebuah pulau yang menimbulkan gelombang besar di laut utara.

“Hampir saja ayah dan ibumu celaka dalam gelombang besar itu,” Ibunya menceritakan. “Kalau kami tidak mengikat diri di tiang layar, tentu ibumu dan ayahmu sudah terlempar keluar ditelan gelombang lautan. Dan menurut cerita tukang perahu, pulau yang baru lahir itu adalah yang dahulu disebut Pulau Es. Dan ayahmu pernah bercerita kepadaku bahwa pulau itu dahulu menjadi tempat tinggal keluarga yang sakti luar biasa.”

Kisah yang diceritakan ibunya ini menarik perhatiannya. Bagaimana hatinya tidak akan tertarik? Peristiwa aneh itu dialami oleh ibu dan ayahnya sendiri dan mendengar bahwa pulau itu dahulunya dihuni manusia-manusia sakti, hatinya amat tertarik. Keng Han baru berusia lima belas tahun. Jiwa petualangan sedang berkembang dengan suburnya di dalam hatinya.

Maka dia lalu menghadap ibunya dan menyatakan bahwa dia hendak pergi ke selatan untuk mencari ayahnya. Dia sama sekali tidak menceritakan keinginannya mengunjungi pulau aneh itu karena tentu ibunya tidak akan mengijinkannya.

Mendengar puteranya akan pergi mencari ayahnya, Silani tidak dapat melarangnya. Dia hanya berpesan agar puteranya berhati-hati dan agar pedang bengkok itu disimpannya baik-baik dan jangan sampai hilang sebelum bertemu dengan ayahnya.

Khalaban dan Kalucin memberi banyak nasehat kepada pemuda remaja itu. Tadinya Kalucin hendak menemani keponakannya pergi merantau, akan tetapi niatnya itu ditolak keras oleh Keng Han.

“Paman, aku sudah besar dan aku hendak merantau mencari pengalaman. Bagaimana aku akan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan kalau dikawal oleh Paman? Dan aku sudah cukup kuat untuk menjaga diri sendiri,” bantahnya.

Kalucin tidak dapat berkata apa-apa lagi karena dalam kenyataannya dia sendiri pun tidak akan menang melawan kekuatan dan kepandaian keponakannya itu.

Tao Keng Han berangkat dengan diantar oleh kakeknya serta Kalucin sampai keluar perkampungan, dan diantar pula oleh tangis ibunya yang tentu saja merasa kehilangan sekali. Akan tetapi Silani yakin bahwa kepergian puteranya itu penting sekali.

Puteranya itu harus dapat bertemu dengan ayahnya, puteranya harus dapat mencapai kedudukan yang tinggi. Bagi dirinya sendiri, dia sudah menerima nasib. Biarlah dia tidak dijemput ke istana, asal puteranya dapat diterima oleh ayahnya dan puteranya menjadi seorang pangeran! Dengan adanya harapan ini, maka hatinya yang sedih ditinggal pergi puteranya menjadi agak terhibur.

Harapan memang suatu perasaan yang luar biasa kuatnya. Harapan bisa menimbulkan gairah hidup. Bila masih mempunyai harapan, maka orang mampu menanggung segala derita yang bagaimana berat pun. Sebaliknya orang yang sudah kehabisan harapan, yang putus harapan, akan mudah melakukan hal-hal yang tidak benar. Bahkan banyak orang membunuh diri karena sudah putus harapan. Akan tetapi sebaliknya, harapan yang terlalu digantungi dapat pula menimbulkan kekecewaan pada akhirnya, karena hanya orang yang berharap sajalah yang akan kecewa kalau harapannya tidak terkabul!

Karena itu, orang tidak boleh putus harapan. Akan tetapi juga tidak baik kalau terlalu mengharap sesuatu secara berlebihan. Harapan yang terlalu berlebihan merupakan keinginan nafsu yang tidak akan pernah terpuaskan. Kalau harapan itu terpenuhi sekali pun, biasanya tidak seindah yang diharapkan, atau tidak terasa sebaik yang diharapkan atau diinginkan karena keinginan sudah menghendaki hal lain lagi yang dianggap lebih baik
.

Akan tetapi bagi seorang yang dilanda kedukaan seperti Silani, yang berduka karena tidak dijemput oleh suaminya setelah lewat lima belas tahun lebih, dan yang kemudian berduka karena ditinggal pergi puteranya, amatlah perlu adanya harapan itu. Harapan supaya puteranya dapat bertemu dengan ayah kandungnya dan dapat diterima sebagai seorang pangeran…..

***********

Setelah keluar dari perkampungan Khitan, Keng Han tidak langsung menuju ke selatan seperti yang disangka ibunya dan kakeknya, melainkan dia membelok ke timur karena dia hendak lebih dulu pergi ke pantai lautan timur untuk mencari pulau yang diceritakan ibunya itu. Keng Han melakukan perjalanan yang amat sukar, melalui pegunungan yang seolah tidak ada habis-habisnya. Dia naik turun gunung dan bahkan sampai berhari-hari tidak bertemu pedusunan.

Akan tetapi, sebagai seorang Khitan dia sudah berpengalaman hidup menyendiri seperti itu, dapat berburu binatang untuk makan dan bermalam di atas pohon besar. Beberapa kali dia bertemu binatang buas, akan tetapi berkat ketangkasannya, dia selalu berhasil membunuh binatang buas yang mengancamnya.

Akhirnya tibalah dia di pantai lautan timur. Dia bermalam di sebuah dusun nelayan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah duduk termenung di pinggir pantai. Keadaan pantai masih sepi sekali, para nelayan belum membuat persiapan di hari itu. Pagi masih gelap dan amat dinginnya, membuat orang malas untuk keluar dari rumah.

Akan tetapi Keng Han yang duduk di atas pasir pantai itu terpesona. Dia memandang jauh ke timur, ke arah lautan dan dia melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Mula-mula langit di timur, terutama di atas lautan, nampak merah seolah-olah terbakar. Warna langit yang merah itu bertepi kuning emas dan di sana sini nampak awan putih kebiruan. Indah sekali. Bagaikan pintu gerbang sorga di dalam dongeng.

Kemudian muncullah yang terindah dari segalanya yang terindah di saat itu. Sebuah bola api yang amat besar, warnanya merah darah, tersembul perlahan-lahan keluar dari dalam lautan. Hampir dia lupa bahwa itu adalah sang matahari! Seperti seekor makhluk aneh yang muncul dari dalam lautan.

Bola api merah itu cepat sekali, nampak naik dari permukaan laut, lalu nampak semua. Bulat tanpa cacat, membawa cahaya merah yang masih lembut. Akan tetapi semakin tinggi dia naik, semakin cerah warnanya, bukan darah lagi, melainkan merah bercampur keemasan dan mulai mengeluarkan sinar. Sinarnya kini mulai membuat jalur kemerahan di permukaan lautan yang tenang. Indah sekali. Besar sekali. Agung sekali!

Bersama munculnya Sang Matahari, kehidupan pun mulailah. Nampak binatang malam seperti kelelawar beterbangan di udara, agaknya bergegas pulang ke sarangnya, takut kesiangan karena sinar matahari yang cerah akan membuat mereka buta. Sebaliknya, burung-burung camar mulai beterbangan pula, rendah dipermukaan laut, mencari ikan. Beberapa orang nelayan mulai nampak di tepi laut, berpakaian tebal menahan dingin, ada yang mulai membenahi perahu, membetulkan jala dalam persiapan mereka mencari nafkah di hari itu.

Kekusaan Tuhan bekerja setiap saat, di mana-mana. Kebesaran dan keindahannya dapat disaksikan di mana-mana, di sekeliling kita, di dalam diri kita sendiri.

Sayang sekali, mata kita seolah buta dan tidak melihat semua itu, tidak dapat menikmati dan mensyukuri semua itu. Jiwa kita yang seharusnya selalu kontak dan berhubungan dengan kekuasaan Tuhan, seolah tertutup oleh nalsu, bergelimang nafsu sehingga kita selalu menghendaki yang menyenangkan dan memuaskan nafsu belaka
.

Keng Han terpesona, tenggelam ke dalam semua keindahan itu. Dia bahkan sudah lupa akan dirinya sendiri yang seolah-olah kini sudah bersatu dengan semua keindahan itu, bahkan menjadi sebagian dari keindahan itu sendiri.

Keramaian yang makin banyak terjadi di pantai itu, kesibukan para nelayan dan naiknya matahari pagi yang sekarang sinarnya mulai tak dapat tertahankan oleh pandang mata, menyadarkan dirinya dari lamunan. Apa lagi ketika terdengar suara ribut-ribut di sebelah sana.

Ia mengangkat muka memandang. Ternyata suara ribut-rlbut itu terjadi antara tiga orang pendatang yang pakaiannya ringkas seperti ahli-ahli silat dengan belasan orang nelayan yang ribut mulut.

“Kami tidak peduli!” kata seorang di antara tiga pendatang itu. “Kalian harus serahkan sebuah perahu untuk kami pinjam dan sekalian mengantar kami ke pulau itu. Habis perkara!”

“Tapi hal itu tidak mungkin kami lakukan!” bantah seorang nelayan yang masih muda. “Kami adalah nelayan-nelayan yang harus mencari makan setiap hari. Kami pun harus membayar hutang-hutang kami kepada Juragan Lui setiap hari. Bagaimana kami dapat mengantar kalian bertiga ke pulau kosong itu?”

“Kamu berani membantah?” Seorang di antara tiga pendatang itu melangkah maju dan sebuah pukulan mengenai dada pemuda nelayan itu sehingga dia terpelanting roboh. “Siapa yang tidak menurut akan kami hajar dan siapakah yang akan membela kalian? Juragan Lui itu jangan dihiraukan!”

“Hei, siapa berani memandang rendah Juragan Lui?” terdengar seseorang berteriak dan muncullah dua orang yang dari pakaiannya juga bukan nampak sebagai nelayan, tetapi lebih mirip para jagoan dengan pakaian yang ringkas. “Kami yang akan membela para nelayan ini!”

Tiga orang pendatang itu menoleh dan menjadi marah. “Siapakah kalian berdua yang berani mencampuri urusan kami?” Bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pesek dan mulutnya besar.

“Kami adalah pembantu Juragan Lui. Kehidupan para nelayan ini sepenuhnya sudah ditanggung oleh Juragan Lui dan hasil tangkapan ikan mereka harus diserahkan kepada Juragan Lui untuk membayar hutang mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, bagai mana mereka dapat mencari ikan? Kalian tiga orang asing pergilah dari dusun ini dan jangan membuat ribut di sini, atau kami akan menghajar kalian!”

“Ahhh, kalian ini jagoan-jagoan tukang pukul Juragan Lui agaknya! Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian maka berani membuka mulut besar kepada kami!”

Tiga orang itu lalu maju menyerang kedua orang tukang pukul itu sehingga terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata dua orang tukang pukul itu tidak mampu menandligi tiga orang itu sehingga mereka dipukul jatuh bangun dan melarikan diri, ditertawakan tiga orang pendatang itu. Para nelayan menjadi semakin ketakutan.

“Hayo cepat sediakan sebuah perahu yang baik dan layarkan ke pulau kosong itu!” kata si hidung pesek dengan nada sombong. “Cepat kalian kerjakan, atau kalian ingin kami menghajar kalian semua?”

“Perlahan dulu! Jangan ada yang mengerjakan perintah tiga orang liar ini!” mendadak terdengar seruan dan muncullah seorang pria berusia lima puluh tahun yang memegang sebatang huncwe yang masih mengepulkan uap dari tembakau yang membara.

Disebut tiga orang liar, tiga orang pendatang itu tentu saja marah sekali dan mereka segera menghadapi orang setengah tua itu. Orang itu berpakaian bagus seperti seorang pedagang, tubuhnya tinggi kurus dan pandang matanya tajam.

“Juragan Lui, kami tadi dipaksa untuk melayarkan mereka ke pulau kosong dan mereka memukul kami!” kata nelayan yang tadi dipukul. “Juga dua orang pembantu Juragan Lui telah mereka hajar!”

Mendengar ini, si hidung pesek tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya engkau inilah yang disebut Juragan Lui? Tentu engkau ini lintah darat yang menguras tenaga para nelayan untuk mengisi padat kantung uangmu, juga memberi pinjaman dengan bunga berlipat ganda. Dan engkau berani memaki kami orang liar? Engkau sudah bosan hidup rupanya!”

“Hemmm, kalian bertiga inilah yang bosan hidup!” bentak Juragan Lui sambil menyedot huncwe-nya, lalu meniupkan asap tembakau yang berbau apek itu ke arah mereka.

“Keparat, berani kau!” Si hidung pesek itu menerjang dengan pukulan tangan kanannya.

Akan tetapi dengan amat mudahnya Juragan Lui mengelak, lalu menangkap siku tangan yang memukul. Hanya dengan sekali puntir dan mendorong, Si Pesek itu sudah roboh menelungkup mencium tanah.

Dua orang kawannya menjadi marah bukan main.

“Jahanam yang bosan hidup!” bentak mereka.

Mereka meloloskan golok dari pinggang mereka. Juga si hidung pesek yang ketika jatuh menelungkup itu hidungnya menjadi tambah pesek karena membentur tanah, kini sudah meloncat, membersihkan mukanya dari tanah dan mencabut goloknya. Tanpa banyak cakap lagi tiga orang itu lalu menyerang Juragan Lui dengan golok mereka...


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 02